Rencana pemindahan Ibukota Negara Republik Indonesia atau yang biasa disebut IKN RI, ke Kalimantan Timur (Kaltim) bukan merupakan isu yang muncul tiba-tiba, tetapi sudah direncanakan dalam kurun waktu relatif lama. Bappenas menyebutkan time line pelaksanaan rencana pemindahan tersebut sudah dimulai di tahun 2017. Sedangkan Tim Visi Indonesia 2033 menunjukkan bahwa usulan agenda pemindahan IKN RI ke Kaltim bukan sebagai gagasan reaktif yang semata-mata berangkat dari alasan kemacetan dan kepadatan Kota Jakarta. Usulan pemindahan IKN RI adalah usulan kongkrit untuk membalik paradigma pembangunan, yang terbukti saat ini justru menimbulkan masalah. Bahkan, usulan dari Tim Visi Indonesia 2033 dimunculkan sejak tahun 2008 yang disebut berdasarkan pada kepentingan bangsa Indonesia di masa depan, seperti halnya saat Presiden Soekarno merencanakan pemindahan Ibukota di tahun 1957.
Rencana pemindahan IKN oleh Pemerintahan Joko Widodo - Jusuf Kalla dan berlanjut periode Joko Widodo-Ma’ruf Amien. Meskipun diputuskan ditunda akibat bencana pandemi Covid-19 di tahun 2020, namun aspek politik pemerintahan dari rencana tersebut tetap penting untuk dibahas. Ideologi untuk keselarasan IKN bagi upaya desentralisasi pemerintahan masih kuat berkembang. Selain itu rencana pemindahan IKN menjadi ideologi pembangunan bagi Pemerintahan Jokowi-Ma’ruf Amien yang tetap dipegang kuat setelah Pemilu 2019. Menteri PPN/Kepala Bappenas, Suharso Monoarfa mengatakan proses dukungan pada tim komunikasi dan koordinasi strategis tetap mendapat alokasi anggaran di tahun 2021. Kajian terkait aspek-aspek bersifat politik yang menyangkut rencana pemindahan itu sendiri masih penting kiranya dilakukan. Hal ini mengingat keputusan politik atas agenda pemindahan IKN itu sendiri sudah memiliki dukungan politik yang kuat dari DPR setelah menerima laporan dari Panitia Khusus (Pansus) DPR RI terkait Kajian Rencana Pemindahan Ibukota Negara, pada Rapat Paripurna DPR RI, 30 September 2020.
IKN yang bukan hanya sekedar pada pemindahan lokasi fisik semata, tetapi juga adanya budaya kerja dan politik demokrasi yang semakin kondusif. Ini menjadi tantangan tersendiri pada saat pemindahan IKN bukan hanya secara politis pada tataran yang ingin diwariskan rezim pada generasi bangsa berikutnya di masa mendatang. Tetapi juga pada partisipasi warga dalam pembangunan dan iklim demokrasi yang semakin positif bagi kepentingan masyarakat yang lebih luas. Wacana terkait IKN yang kemungkinan mengambil bentuk semacam badan otorita membuka ruang yang sangat luas bagi penerapan konsep kewirausahaan birokrasi dalam menjalankan politik pemerintahan dan bisnis, serta relasi kemasyarakatannya.
Pemindahan Ibu Kota Nusantara sudah resmi setelah disahkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Nusantara. Disahkannya UU IKN sebagai bentuk politik hukum dari pemerintah untuk mewujudkan tujuan bernegara sesuai dengan pembukaan UUD 1945, dan sesuai dengan landasan filosofis, yuridis dan sosiologis dalam memenuhi kebutuhan masyarakat Indonesia dalam rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat diseluruh Indonesia, mengingat urgennya pemindahan Ibu Kota dari Jakarta ke Ibu Kota baru demi masa depan negara kita, mengingat beban Pulau Jawa khususnya Kota Jakarta dan sekitarnya sudah sangat berat yang dikhwatirkan akan mengancam kelestarian lingkungan hidup, disamping itu, dengan dipindahkannya Ibu Kota ke kabupaten Penajam Paser Utara Kalimantan Timur adalah untuk pemerataan pembangunan dan peningkatan perekonomian wilayah Indonesia Tengah dan Indonesia Timur.
A. UU Nomor 3 Tahun 2022 Tentang Ibukota Negara
Setelah melalui berbagai pro dan kontra berkaitan dengan rencana pemindahan Ibu Kota Jakarta ke Kabupaten Penajam Paser Utara Provinsi Kalimantan Timur, akhirnya pada tanggal 18 Januari 2022, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Nusantara (selanjutnya disebut UU IKN) terealisasi. Pembentukan Undang-Undang ini didasarkan pada kebutuhan perluasan kawasan Ibu Kota, yang selama ini pusat perekonomian dan bisnis mayoritas bertumpu di Jakarta dan padatnya penduduk di pulau Jawa, maka untuk meratakan pembangunan dan meningkatkan perekonomian di daerah, dan pemindahan Ibu Kota negara harus secepatnya dilaksanakan.
Problematika komunikasi muncul karena proses perumusan dan pembentukan kebijakannya berlangsung sangat cepat. Sebagai gambaran, penyusunan UU IKN yang hanya kurang dari dua bulan.Bagaimanapun pemindahan IKN ini merupakan sebuah proyek besar dengan pendanaan mencapai Rp 466 triliun. Namun dalam proses perumusan dan pembentukan kebijakannya berlangsung sangat cepat. Sebagai gambaran, penyusunan UU IKN yang hanya kurang dari dua bulan. Maka bisa dipahami ketika banyak orang tidak tahu persis, apa alasan sesungguhnya kebijakan pemindahan IKN itu selain soal pemerataan ekonomi. Akibatnya hal ini memicu rasa ingin tahu lebih mendalam mengenai persoalan ini. Mengingat ada hak publik untuk tahu (right to know) mengenai informasi publik (right to information) yang dijamin oleh UU Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP No.14/2008) dan konstitusi UUD 1945 pasal 28F. Yaitu bahwa, “Setiap orang berhak berkomunikasi dan memperoleh informasi guna mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak mencari memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dengan menggunakan semua jenis saluran yang tersedia”.
Alasan pemindahan Ibu Kota ke Kabupaten Penajam Paser Utara selain karena beban pulau jawa yang sudah terlalu padat, dan pemerataan pembangunan perekonomian ke daerah-daerah, juga untuk menghapus kesan ‘‘jawasentris’’ sehingga kontribusi di pulau lain juga harus ditingkatkan. Alasan lainnya adalah ketersediaan air bersih di pulau Jawa yang sudah mulai mengkhawatirkan, sehingga dengan dipindahkannya Ibu Kota ke tempat baru, diharapkan akan menekan krisis air bersih di pulau jawa, khususnya di Jabodetabek. Alasan berikutnya adalah konversi lahan di Pulau Jawa paling besar dibandingkan pulau-pulau lain di Indonesia, yakni mencapai lima kali lipat dibandingkan Pulau Kalimantan yang diprediksi akan meningkat menjadi 11,08 persen pada tahun 2030 dari sebelumnya 9,29 persen di tahun 2010.
Alasan selanjutnya, pemindahan Ibu Kota ini adalah tingginya urbanisasi di kawasan Jakarta dan Jabodetabekpunjur (Jakarta, Bogor, Tangerang, Bekasi, Puncak, Cianjur). Bahkan pada tahun 2013 Jakarta sendiri dinobatkan sebagai kota kesepuluh dengan jumlah penduduk terpadat di dunia, dan meningkat menjadi urutan kesembilan pada tahun 2017. Alasan yang terakhir adalah ancaman banjir, gempa bumi, dan tanah turun di Jakarta, sebab dengan meningkatnya beban Jakarta, akan berdampak pada penurunan daya dukung lingkungan dan besarnya kerugian ekonomi, seperti banjir, tanah turun, muka air laut naik, dan pencemaran air sungai. Adapun pemilihan Kalimantan Timur sebagai lokasi baru IKN karena mempertimbangkan beberapa hal. Antara lain lokasi yang aman dan minim ancaman bencana dan aksesibilitas lokasi yang tinggi terhadap kota yang sudah berkembang. Kemudian ketersediaan sumber air baku, ketersediaan lahan luas milik pemerintah atau BUMN. Sehingga mengurangi biaya yang dibutuhkan, dan potensi konflik sosial yang rendah.

B. Simbol Identitas Bangsa
“Ibukota Negara” adalah frasa yang bermartabat dan dianggap penting. Pandangan strategis kenegaraan terhadap frasa dimaksud diletakkan pada penyebutannya dua kali dalam konstitusi. Dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945), Ibukota negara merupakan simbol identitas bangsa, sama halnya dengan bendera negara yaitu Sang Merah Putih (Pasal 35). Bahasa Indonesia (Pasal 36). Lambang negara ialah Garuda Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika (Pasal 36), dan lagu kebangsaan ialah Indonesia Raya (Pasal 36B). Dimensi bernegara IKN semakin kental melekat dalam konstitusi, karena secara eksplisit menentukan MPR bersidang di Ibukota Negara, sesuai bunyi Pasal 2 ayat (2) UUD 1945. Hal menarik terkait konstitusi dan simbol identitas bangsa, bisa dilihat pada Bab III UUD 1945 terkait Kekuasaan Pemerintahan Negara. Dalam konteks ini, Presiden dan Wakil Presiden tidak disebutkan ketentuannya adalah berkedudukan di IKN dalam ketentuan di Konstitusi. Demikian halnya dengan DPR dan DPD yang tidak dibunyikan terkait kedudukannya di Ibu Kota Negara. Sebaliknya, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) disebutkan dalam konstitusi sebagai lembaga yang berkedudukan di IKN, yaitu di Pasal 23 G UUD 1945.
Sesudah Pansus DPR RI tentang Rencana Pemindahan IKN terbentuk pada 16 September 2019, maka saat itu publik mulai mengkritisi ketentuan konstitusi yang mengatur terkait wilayah Negara Kesatuan RI. Selama ini Undang-Undang No. 29 Tahun 2007 menjadi ketentuan yang melegalisasi Provinsi DKI Jakarta sebagai Ibukota NKRI. Keberadaan undang undang yang nantinya mengatur mengenai Ibu Kota Negara Kesatuan RI dengan kondisi yang mempertimbangkan Pasal 18 UUD NRI 1945 terkait ketentuan yang membatasi secara limitatif wilayah NKRI yang terbagi atas daerah daerah provinsi dan daerah provinsi dibagi atas kabupaten dan kota.
Keberadaan IKN sebagai simbol identitas bangsa yang sangat penting dalam rangka membangun landasan nasionalisme, tidak dapat dicapai dalam konteks yang sekejap. Upaya menuju langkah-langkah pemindahan IKN oleh pemerintahan Joko Widodo saat ini, memerlukan tahapan perencanaan dan pelaksanaannya yang matang. Misalnya, sejak awal sudah dapat diidentifikasi jenis-jenis pekerjaan apa saja yang diperlukan pada berbagai tahapan, agar nantinya pemerintah dapat memberikan pendidikan yang tepat bagi penduduk di kawasan terpilih. Dengan demikian saat diperlukan nantinya, penduduk lokal bisa ikut terlibat dalam pembangunan. Keberadaan IKN sebagai simbol identitas bangsa, diharapkan dapat menjadi wadah yang menaungi keberagaman latar belakang identitas sosial kemasyarakatan dan perkembangan ekonomi warganya. Cermin dari simbol identitas bangsa penting bagi Indonesia dengan karakteristik kewilayahan dan kemasyarakatan yang bermukim di dalamnya agar dapat terbentuk solidaritas gotong royong sesuai ideologi Pancasila. Ini sekaligus menjadi penting sebagai landasan dalam rangka mencegah terjadi konflik sosial antar warga.
Pilhan politik memindahkan IKN ke Kaltim sering dikaitkan dengan realitas relatif amannya daerah ini dari konflik antar komunitas, utamanya terkait relasi antar etnis. Kesadaran atas perlunya dihindari konflik etnis yang pernah terjadi Kalimantan Barat (Kalbar), dalam peristiwa di Kabupaten Sambas, antara etnis Madura dan Dayak, di Kalimantan Selatan (Kalsel), saat terjadi peristiwa di Kabupaten Sampit, di tahun 1997, misalnya, telah melahirkan Forum Komunikasi Persaudaraan Antar Masyarakat Kalimantan Timur (FPKMT), pada 26 Januari 1999. Hal yang penting pula dicatat di Kaltim, adalah amalgamasi yang terjadi disetiap sektor kehiduupan, sehingga Kaltim terbebas dari konflik etnik yang tajam, meskipun ketegangan dalam skala terbatas bisa terjadi. Komunitas Bugis misalnya, bisa tampil dominan dalam ranah politik dan ekonomi sejak awal kedatangannya dan mampu menjadi komunitas yang mapan dalam relasi antar etnis di Kaltim. Pemukiman komunitas etnis Bugis di Kaltim, khususnya di Kota Samarinda, yang mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitar dan berkontribusi signifikan bagi bagi pembentukan masyarakat multi etnis yang baru yang didominasi oleh budaya Bugis.23 Dalam sejarahnya, jauh sebelum orang Jepang merebut Pulau Kalimantan atau yang saat itu dikenal dengan sebutan Pulau Borneo, dari Belanda, dan mendudukinya, orang Dayak, utamanya di Kalimantan Barat, sudah berinteraksi dengan suku dan bangsa lain, baik lokal seperti suku Melayu maupun pendatang seperti orang Tionghoa. Mereka tiba dan masuk daerah itu dalam suasana kedamaian dan diterima oleh masyarakat Dayak. Mereka umumnya bermata pencaharian sebagai pedagang, pekerja, atau petani. Interaksi sosial dan ekonomi mereka dengan masyarakat Dayak umumnya berjalan baik. Namun dengan berjalannya waktu dan posisi kaum pendatang semakin kuat, terutama di bidang perekonomian, maka gesekan-gesekan pun timbul. Orang Tionghoa yang bergiat dalam bidang usaha semakin kuat, sehingga sejak tahun 1777 mereka membentuk kongsi pertambangan dan perdagangan. Kongsi-kongsi itu dalam perkembangan menjadi semakin besar dan merasa kuat, sehingga mulai menimbulkan konflik dengan masyarakat lokal, baik Melayu maupun Dayak. Pengasa kolonial Belanda juga tidak menyukai kehadiran kongsi-kongsi yang semakin membesar itu, dan dianggap bisa menjadi pesaing dalam kekuasaannya.

C. Aspek Politik
Politik hukum dalam setelah disahkannya UU IKN merupakan bentuk pembangunan hukum nasional secara implisit mencerminkan bahwa sampai saat ini di Indonesia masih terjadi proses perubahan sosial menuju ke arah modernisasi yang dikemas dalam proses legislasi yang teratur dan berkelanjutan dengan memasukkan atau memperhatikan aspek sosial kultural yang mendukung arah perubahan hukum positif.16 Jika ditinjau dari perspektif politik, pembentukan UU IKN tersebut dijadikan sebagai jaminan yuridis bahwa proses pemindahan IKN nantinya tidak serta merta bisa dibatalkan. Dengan demikian, ada kontinuitas kebijakan yang berkelanjutan meski terjadi pergantian pemegang kekuasaan, baik di rumpun eksekutif maupun legislative.
Untuk mewujudkan tujuan bernegara sebagaimana yang dinyatakan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, maka disahkan UU IKN yang berlandaskan Pancasila, hal ini dilakukan sebagai upaya memperbaiki tata kelola wilayah IKN yakni mewujudkan tujuan bernegara yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Terdapat beberapa muatan yang bersifat substansi dari aspek politik pemerintahan menyangkut rencana IKN. Adapun muatan dimaksud yaitu meliputi: pusat pemerintahan dan bisnis, simbol identitas bangsa, sisi regulasi, dan peta politik setempat, utamanya dari sudut kepartaian. Keempat muatan dari aspek politik pemerintahan tersebut perlu dirangkai dalam satu kesatuan yang utuh, karena kegagalan atas pemenuhan salah satu muatan aspek tadi, maka menyebabkan rencana IKN tidak akan berjalan kondusif. Sebaliknya, pemenuhan masing-masing muatan dari aspek politik pemerintahan yang saling mengisi dan terintegrasi akan memudahkan tujuan rencana pemindahan IKN sejalan dengan upaya peningkatan kapasitas pemerintahan guna melayani kebutuhan masyarakat lokal setempat secara maksimal dan mendorong iklim demokratisasi di tingkat nasional.
Aspek politik pemerintahan dari IKN diharapkan benar-benar menegakan prinsip kedaulatan rakyat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Ini menjadi penting dalam konteks kelembagaan pemerintahannya yang dilakukan pemindahan lokasi yang diharapkan bukan hanya berdampak secara fisik spasial, tetapi juga dapat membentuk karakter kerja birokrasi yang semakin responsif dan mendorong politik demokrasi. Melalui langkah pemindahan pusat pemerintahan demikian diharapkan dapat memberikan dampak positif bagi pelayanan publik yang tidak lagi sekedar pada formalitas prosedural, tetapi benar-benar merupakan upaya bagi pemberdayaan masyarakat. Ini sejalan dengan konsepsi kewirausahaan bagi birokrasi yang disamping menjalankan tugas kenegaraan bagi integrasi di antara segenal komponen bangsa, juga mendorong partisipasi aktif warga dan inovatif terhadap proses pengambilan kebijakan.

Ready to merge
This branch is ready to get merged automatically.

Sign up or log in to comment