content
stringlengths
5.02k
20.7k
title
stringlengths
7
76
Oh, sungguh aku setengah-setengah menginginkan ini terjadi pada diriku. Tak pernah kusangka aku akan menghadapi resepsi yang kurencanakan, namun tak kukehendaki. Aku merencanakan pernikahan itu bersama pengantin pria yang akan bersanding denganku. Namun, aku menghendaki pengantin itu kekasihku yang memujaku seumur hidupnya, bukan pria itu. Aku ingin menghentikan pernikahan setengah-setengah ini. Ya, akan kuhentikan ketika Kebo Giro itu mulai didengungkan.  Sejenak kepalaku sedikit ringan. Simaklah, aku akan memulai rencanaku. Neng nong neng gung…! Lantunan Kebo Giro mengalir memenuhi sekujur tubuh ruangan berhias kain putih yang melambai-lambai tertiup bayu. Pranotocoro bersiap memonyongkan bibir tuk permulaan resepsi agung. Terus, hingga penghujung kata mulai mengiringi laju dua mempelai, tuk dipersilahkan bersanding dalam singgasana. Tak satupun mempelai tampak bertaut mesra, apalagi bergamit jemari, hingga ribuan kata terucap, nama pun tersingkap. Lembu…! Sari…! Tak ada sahut di balik kerumunan tamu, tak ada muka di balik pintu. Semua terpaku, mencukur malu. Kebo Giro pun ikut terpaku, sejenak tercekat oleh laku jari sang pelaku yang menekan tombol. STOP! *** Rupanya rencana Kebo Giro-ku tak semulus rangkaian kata dalam sajak yang telah tersusun di kepalaku. Sia-sia saja aku merangkainya menjadi bait-bait strategiku untuk kabur dari pernikahan berbalut kain putih itu. Sungguh aku tak kuasa menahan tangis ketika bersanding di depan penghulu. Tangis derita bukan bahagia. Aku terus tergugu hingga ijab kabul selesai terlontar dari pengantin pria dan ayahku. Ada bisik di sela-sela bibir para tamu undangan yang mulai meramaikan bangunan tarub yang ditegakkan sejak tujuh hari yang lalu. Samar-samar mereka mengucapkan penilaian tentang ekspresi kesedihanku layaknya kebahagiaan pengantin-pengantin perempuan dengan pernikahan mereka. Terlalu! Kuhentikan tangisku ketika tubuhku bersanding di kursi pelaminan untuk dipertontonkan pada undangan. Di kala Kebo Giro terdiam. Lalu kucari sesosok kekasih yang kurindukan. Berharap datang demi melihat diriku yang kesakitan. Kulantunkan Nyanyi Rindu untuknya meski mataku tak menemukan tubuh yang sangat kukenali aromanya. Dengarkanlah, aku akan melantunkan sajak dengan rima tak beraturan ini. Membagi rindu Kue rindu kubagi-bagi Sepertiga pertama untuk jinggaku Sepertiga kedua untuk hitamku Sepertiga terakhir untuk putihku Perselingkuhan rindu Di balik rinduku pada siang Terselip rindu untuk malam Ketika ku memeluk siang Jemariku bertaut pada malam Perceraian rindu Meliuk-liuk rindu merengkuh malunya Menjamah harap nan huru-hara Menuju gerbang mahkamah Memecah duri membagi tai Sekejap rindu koyak bak hidup tergilas waktu Nyanyian rindu Membagi, berselingkuh lalu bercerai dengan rindu Membentuk lirik tuk melantunkan lagu Mengeja nyanyi nan merdu, pilu dan rindu Menyayat bait yang terkait sembilu Muntahkan senyum dengan menahan perihnya rindu Hantarkan nyanyian hingga rindu membeku, terbujur kaku Berulang kali kuucapkan bait-bait kerinduan itu. Seperti seorang pawang hujan yang komat-kamit merapal mantra, berusaha menggusur hujan ketika gelaran macam pernikahan akan berlangsung. Aku melafalkannya dalam getar bibir yang tak kuncung diam. Ingatanku terus merangkai gerakan-gerakan sajak yang sedari tadi menari-nari di kepalaku. Bukan mengingat siapa saja tamu undangan yang hadir. Hingga resepsi ini berakhir, aku terus mengucapkannya. Sajak itu menjadi mantra pengikat hatiku. Supaya tak lari dari jeratan cinta kekasih pujaanku. Meninggalkan hatinya yang telah membiru setelah tubuhnya kutelantarkan demi pernikahan ini. Sajak itu menjelma bagai doa-doa yang kuharapkan terkabul ketika kerinduan mulai membuncah dan terpisah dari pria yang mulai detik ini telah menjadi suamiku. Baris-barisnya tercipta sebagai sumpah serapah yang akan menghantarkanku pada malam pertama yang terkutuk. Sumpah mati aku akan jadikan malam itu tak akan terlupakan oleh pria yang berani menyematkan cincin di jari manisku. Lihatlah, sajak Kutukan Sang Perawan mulai mengecambah di selaput-selaput dalam otakku. Ketika sungkeman telah usai, gambar sudah terekam dalam kamera digital si pemotret, uluran tangan ucapan selamat menempuh hidup baru sekaligus selamt tinggal terjabat, hingga laku tetamu perlahan-lahan menjauh. *** Suasana menjadi sepi, hanya keluarga yang bercengkrama. Sesekali terdengar keributan sapu lidi yang terseok-seok membersihkan sampah yang teronggok di sela-sela kursi tamu. Lamat-lamat juga terdengar piring, gelas, sendok, dan garpu beradu ketika dibersihkan si tukang cuci sewaan. Aku membisu. Bibirku tak mampu ucapkan sepatah kata pun semenjak kuucuapkan kata: sampai jumpa lagi kekasihku, tunggulah aku di pelaminan! Tubuhku digiring ke peraduan oleh ayahku. Sejak pertemuan terakhir dengan kekasih kukehendaki jadi pendampingku, ragaku tak lagi mampu melangkah dengan sempurna. Limbung. Bagai pemabuk yang menenggak puluhan gelas yang berisi minuman yang bikin kepayang. Aku tak pernah bisa berpisah dari kekasihku barang sekejap. Sampailah aku pada peraduan. Kucengkram tangan ayah kuat-kuat agar tak meninggalkanku berdua saja dengan pria yang telah menjadi suamiku. Tetapi, ayah menepisnya dengan tenaga dua kali lipat dari yang kumiliki. Aku tak kuasa. Dengan lembut suamiku membelai rambut kepalaku. Kurasakan bagai api sumbu kompor yang pernah mampir di telapak tanganku semasa anak-anak. Hatiku meronta, menolak malam yang selalu didamba setiap mempelai. Karenanya kusematkan kutukan Sang Perawan pada labirin yang dapat memuncratkan noda merah di peraduan ketika benda mirip tumbuha jamur menembusnya. Kelambu itu tak mungkin membuka beku hatinya, menemani bujang yang berbaring di hadapnya. Tak ada bercak merah laiknya malam persembahan labirin keperawanan, juga malam-malam berikutnya. Yang ada hanya kutuk-merutuk di ujung waktu yang menghantarkan sang perawan pada hitam hatinya, hingga pekat tak lagi berani menjamah. Titian masa, seperempat dari kebersamaan, sang perawan pun melaju bersama ragu sembari menangisi garis takdir yang tersemat dalam selaput yang dipujanya. *** Benar,  malam terkutuk itu tak menghasilkan sebercak darah pun. Suamiku sedikit pun tak menjamahku. Dia hanya membuka gaun pengantin yang membalut tubuhku, kemudian menggantinya dengan baju tidur yang telah tersedia di ranjang putih tempat kami beradu muka. Lalu. ia bercerita tentang seorang putri dengan tanaman ajaib. Kisah itu terus bersambung hingga malam-malam berikutnya tanpa menyisakan sebuah hubungan persenggamaan. Hanya ada dengkuran kecil miliknya, tanda betapa hari telah membuatnya lelah. Aku merasa lega, kutukan itu ternyata ampuh. *** Suatu malam, pria berkulit gelap itu berkata: Hari ini libur, besok malam aku akan mengakhiri ceritaku. Kau akan terbebas dariku. Terima kasih telah mendengar ceritaku. Terbersit dalam hatiku, iya, aku akan menunggu akhir cerita itu. Pertanda aku akan segera bertemu dengan kekasihku. Hari itu akan kunantikan. Malam yang dijanjikan tiba, namun pria itu tak kunjung hadir dalam peraduan, seperti malam-malam sebelumnya. Dia ingkar janji. Di sisi lain ada segurat senyum yang mampir di dua bibirku yang mengatup. Begitu pula malam-malam berikutnya, pria yang dulu kukenal sebagai sahabat sejati kekasihku itu tak juga menampakkan raut wajahnya yang penuh senyum itu. Kuketahui belakangan, ia tergeletak di sebuah kamar bercat biru yang penuh dengan alat-alat pemompa sisa hidupnya. Kanker otak telah membuatnya tak mampu mengakhiri cerita seorang putri dan tanaman ajaibnya itu padaku. Ada setitik iba di hatiku meski ia telah menghancurkan masa depanku dengan menjadi pendamping hidupku. Ia mati dengan meninggalkan kata maaf  di akhir nafasnya. Aku hanya terpaku. Entahlah, apakah aku bisa memaafkannya. Kuhantarkan tubuh pria yang telah menemaniku lebih dari seratus malam itu ke peraduannya yang terakhir. Tak ada air mata yang mengalir di sudut mataku. Yang ada hanya senyum yang menyongsong pertemuan dengan kekasihku. Pertemuan yang telah kujanjikan padanya. *** Usai pemakaman, aku langsung menuju rumah mungil yang terletak di ujung jalan yang sedang kulewati. Kutemukan ibu kekasihku menyambut dengan wajah sedikit terkejut. Aku bertanya padanya di mana gerangan kekasihku. Wanita itu diam sejenak dan mengembuskan napas dalam-dalam. Apa nak Sari ndak tahu kalau Bagas sudah meninggal, Bagas kecelakaan seminggu sebelum perayaan pernikahan. Nak Lembu ndak cerita ya… Aku mematung. Bumi terasa bergetar. Pandanganku mulai mengelabu, kian gelap. Kristal-kristal bening mulai berjatuhan. Sajak-sajak kematian telah menggelayut di kepala, menggantikan tiga sajak yang dari sedari persandingan menari-nari di kepalaku. Sarolangun, 18 Februari 2009
""Tiga Sajak yang Menari di Kepala""
Anak kera itu dipanggil Mona–nama mantan istri Aji yang menikah kembali, dan punya anak dari suaminya sekarang. Monalah yang dapat menghibur perasan Aji sepulang dari kantor sore atau senja hari. Ia bermain-main dengan Mona. Perasaannya menjadi murka, bila dilihatnya pada remang pagi induk Mona bergelayutan di dahan pohon rambutan, disertai kera-kera lain, merenggut buahnya dari ranum kemerahan. Kera-kera itu meninggalkan goa persembunyian, kian berani memasuki perkampungan, menggasak buah-buahan dari ladan-ladang sekitar rumah. Ada induk kera dengan mata kanan terpejam buta, yang paling sering–hampir tiap remang pagi–bergelantungan di dahan pohon rambutan di atas kandang tempat kera kecil Mona dikurung. Monyet itu menjatuhkan buah-buahan di kandang, sambil bergayut dari dahan ke dahan. Memandangi Mona dengan satu mata. Mata kanannya telah ditembak Aji dengan senapan angin. Tak terlihat lelehan bening dari sudut mata kiri induk kera, mengalir di antara rambut pipinya. Dengan buah-buah rambutan yang masak yang dilempar  itu, ia berteriak-teriak kecil. Serupa benar dengan keriangan canda. Tetapi, kegembiraannya ini tak berlangsung lama. Akan segera muncul Aji dengan senapan angin di tangan. Membidikkan senapan ke arah sekawanan kera. Mona berjingkrak melihat induknya bergayutan di ranting pohon rambutan tak jauh dari kandang besinya. Aji merasa terledek dengan kedatangan induk kera itu, juga kera-kera lain yang mengayun-ayunkan ranting dahan dengan kegusaran dan ejekan. Aji marah melihat perilaku kera-kera itu meledek dan merusak ladangnya. Dia mengambil senapan angin. mencari tempat bersembunyi. Sekali terdengar letusan senapan angin. menghalau kera-kera itu kembali menghambur ke tengah ladang dan ke goa tempat mereka berasal. Kegusaran hati Aji tak terkendali lagi. Ia ingin membutakan mata kiri induk kera, biar tak lagi menghampiri Mona. Mengendap-endap, lelaki kurus setengah baya itu mencari sudut yang paling tepat sasaran. Ia membidik dari jendela kamar di lantai dua. Terarah pada mata kiri induk kera. Ditariknya pelatuk. Peluru menembus kelopak mata kiri yang terkatup. Darah memercik di dedaunan. Jeritan induk kera itu mengagetkan sekawanan kera lain. Bergayut tergantung di ranting-ranting pepohonan. Merembes darah, induk kera itu terguling di tanah. Terus berlari menerjang ladang, semak, dan meloncat-loncat dalam kegelapan. Memekik kesakitan. “Mampus kau!” desis Aji, dengan dada berdegup, gigi bergemeretak, menuntaskan kebenciannya. Melampiaskan dendamnya. Dendam pada istri yang meninggalkannya. *** Sebagai direktur perusahaan kecil, Aji selalu mendapat gelombang protes dari buruh-buruhnya. Tetapi aneh, kini begitu ia turun dari mobil, gelombang protes para buruhnya dilakukan dengan topeng kera. Berjubel manusia-manusia bertopeng kera mendesak ke arah mobilnya. Aji seperti melihat kekejiannya sendiri, melihat wajahnya dalam topeng-topeng yang dikenakan para buruh. Teriakan buruh-buruh itu meminta kenaikan upah. Ingin Aji menggantikan mereka dengan buruh-buruh baru yang datang melamar. Beringas mereka merangsek Aji. Terkepung Aji oleh topeng-topeng monyet yang liar berteriak-teriak. Aji terimpit, terdesak, tak bisa bergerak. Teriakan-teriakan dari balik topeng mengitarinya. Mendorong-dorong tubuhnya yang kurus kering. Tangan-tangan terkepal. Telunjuk mengacung ke muka. Satpam tak dapat menyelamatkannya. Tak terduga, dari kerumunan buruh bertopeng kera terjulur tangan dengan tikaman sebilah belati. Terarah pada mata kanan Aji. Lelaki kurus itu menjerit. Dari mata kanannya mengucur lelehan darah. Sorak-sorai buruh-buruh bertopeng kera itu dalam riuh kegirangan. Mereka menari-nari. Berteriak-teriak. Melampiaskan kemarahan. Aji terjerembab dengan mata kanan yang terus mengucurkan kepedihan luka. Merintih. Tak ada yang menolongnya. Sunyi sekali setelah penusukan pisau belati. Buruh-buruh masih berdiri. Terdiam. Memandangi Aji tersungkur. Menutup mata kanannya dengan telapak tangan. Darah merembes dari celah-celah jemari. Buruh-buruh itu meninggalkan Aji sendirian tergeletak. Berteriak-teriak. Topeng-topeng kera yang mengepungnya tak ada lagi. Detak sepatu satpam berlarian. Gugup menolong Aji. Membawanya ke rumah sakit. Mata itu tak dapat lagi diselamatkan. Harus dioperasi. Seorang perawat, Laela, kurus dan cerewet sekali, menjadi seorang yang menyelamatkan jiwa Aji dari keputus-asaan. Dengan Laela inilah Aji bisa bicara. Laela sangat pandai menghibur perasaannya. Laela juga memiliki watak yang serupa dengannya, tak takut pada siapapun yang melawannya. Suka memaki. Suka berkata-kata lantang. Suka menghardik, dan kalau perlu, memaki-maki orang. Tak memedulikan benar atau salah. Yang penting bisa memaki dan berkata kasar. *** Jeritan kera-kera yang bergayutan di pepohonan sekitar rumah Aji pada pagi berkabut membangunkan lelaki setengah baya itu. Ia terhuyung-huyung dengan mata kanan tertutup perban. Tak seorangpun menemaninya. Tak ada kerabat. Tak ada sahabat. Tak ada pembantu, yang sering merepotkannya karena diam-diam suka mencuri uang atau malas bekerja. Ia lebih suka kesunyian. Ia menikmati kesendirian. Kera kecil di kandang besi yang dipeliharanya itulah yang menghibur hatinya. Kini ia mulai cemas mencari-cari di antara kera-kera yang bergelayutan di dahan itu, adakah induk Mona, yang sepasang matanya buta. Ia ingin menebus kesalahannya, ingin memelihara kera buta itu. Ia tak mau memasuki dunia tanpa cahaya, dunia tanpa sepasang mata sebagaimana induk kera itu–terkena dua tembakan yang semula memuaskannya. Terdiam di pelataran, memandangi kera-kera itu, Aji terkejut. Angin berembus memusar dedaunan. Kera-kera berloncatan turun dari dahan-dahan, menyerbu Aji. Meloncat di pundak dan kepalanya. Kuku-kuku kera itu mencakar wajahnya. Rupanya, bukan wajah yang ingin dicakar. Tetapi, mata kirinya. Aji berlari memasuki rumah. Mengambil senapan angin. Menembak membabi-buta. Kera-kera itu lenyap di antara pusaran angin dan kerosak rimbun dedaunan. Dengan cuma memiliki mata kiri, Aji jadi sering uring-uringan. Ia jadi cepat naik pitam. Orang-orang yang bekerja padanya mulai menjauh. Menjaga jarak. Hanya pada Mona, ia bisa memahami perasaan binatang itu. Memahami sepasang mata Mona yang murung. Mata yang kadang memberontak. Kadang bersahabat. Kali ini, ketika Aji mendekat, sepasang mata Mona memancarkan kemurkaan. Kera itu melonjak-lonjak marah. Mencakar-cakar jeruji besi yang mengurungnya. *** Memarkir mobil di lantai dasar gedung kantornya, belum lagi melangkah untuk mencapai lift, para buruh yang dipecatnya, lagi-lagi bertopeng kera, menyergapnya dari berbagai sudut. Mengepungnya. Begitu cepat. Mendesaknya. Menjerit-jerit seperti sekawanan kera liar di ranting pepohonan. Berseru dan memaki-makinya. Mereka meledek. Mengimpit. Menganiayanya. Aji tak mungkin surut. Ia berdiam diri. Menahan ketegangan. Tarian para buruh yang dipecat dan bertopeng kera itu kian cepat. Seseorang menyumpah. Yang lain menghina. Di hadapannya berhamburan caci-maki. Tangan-tangan itu terjulur ke wajah Aji. Aniaya ini berlangsung cepat. Sebilah belati menikam mata kirinya. Tak terduga. Darah muncrat. Lelaki kurus setengah baya ini meraung. Memekik. Ia tergeletak berkelejatan dengan mata kiri berlelehan darah. “Mataku, mataku,” pekik Aji sebelum pingsan di sisi mobilnya. Seketika sunyi. Ruang parkir itu kosong, satpam yang menolong Aji tak menemukan siapa pun. Tak menemukan seorang pun buruh yang dipecat mengenakan topeng kera. Lalu, siapakah yang telah menikamkan belati tepat menghunjam mata kiri Aji? *** Kegelapan telah mengantarkan seorang perempuan pendamping dalam kehidupan Aji. Lelaki itu tak dapat melihat apapun. Tetapi, Aji telah mengenal Laela sebelum kedua matanya buta. Perempuan setengah baya itu bersuara lantang. Bermata tajam. Garis rahang dan mulutnya serupa benar dengan kera. Giginya memanjang melampaui bibir. Suka memaki. Suka melabrak siapa pun yang berseberangan dengannya. Terhadap Aji, perempuan itu bisa meladeninya. Dia seorang perawat yang–karena galak dan suka memaki–belum juga menemukan jodohnya. Dialah yang merawat Aji dari pagi sampai malam, dan mengantarkan lelaki itu lelap dalam ranjangnya dengan mimpi dikerubuti beribu-ribu ekor kera, yang mencakar-cakar tubuhnya. Sebelum pulang dari rumah sakit, Aji–tanpa pikir panjang–meminang Laela, perempuan kurus dan keras hati itu. “Maukah kau menikah denganku?” “Apa saya pantas mendampingimu?” tanya Laela berpura-pura. *** Kegaduhan telah menjadi bagian kesibukan keluarga Aji. Ia kini berjalan terbungkuk, suka mencakar, memiliki kebiasaan berteriak: tiap kali meminta sesuatu. Laela memenuhinya dengan kemarahan , omelan, dan teriakan yang tak kalah galak. Teriakan, makian, dan cercaan kasar, menjadi bagian yang senantiasa memenuhi rumah itu. Mona turut meramaikan teriakan-teriakan Aji dan Laela. Melonjak-lonjak, menjerit-jerit. Laela memasang rantai besi pada kaki kanan Mona. Kera itu menemukan kegembiraaanya bisa memanjat di pohon rambutan. Bila ia mendengar kegaduhan Aji dan Laela, turut pula memekik-mekik. Laela memutuskan berhenti dari pekerjaannya sebagai perawat, mendampingi Aji kemana pun–termasuk ke perusahaannya. Berjalan terbungkuk-bungkuk, digandeng Laela, Aji bisa melakukan semua hal seperti sediakala. Tentu Laela menjadi mata yang menuntun Aji. Pagi hari ketika turun dari mobil di tempat parkir, Aji dan Laela dihadang buruh-buruhnya yang mengenakan topeng kera, melakukan tuntutan kenaikan upah. Laela tak gentar. Ia dan Aji mengenakan topeng gorila. Laela mengusir orang-orang dengan menggeram. Berteriak. Melengking. Menyakitkan telinga. Tak pernah sebelumnya, seorang perempuan terhormat menghardik mereka dengan kebiadaban serupa itu. “Kalian mau apa? Ayo kembali kerja! Kenaikan upah, serahkan itu padaku” Para buruh bertopeng kera itu surut, undur diri, meninggalkan tempat parkir hingga kembali senyap. Tinggal mereka, Aji dan Laela, yang bertopeng gorila. Terengah-engah dalam murka. “Lebih baik kita pakai topeng gorila ini selamanya,” pinta Laela. Pandana Merdeka, Februari 2009
""Memburu Mata Kera""
Beberapa lelaki mencekal, memukul, menendang, dan menginjak lalu melemparkan tubuh lunglai si tertuduh maling. Beberapa yang lain menimpukkan bebatuan ke sekujur tubuh kerempeng pasrah itu. Mirip segerombolan anjing berebut tulang, mulut-mutut mereka terbuka menghirup-embuskan udara maam dengan buas. Jumlah mereka semakin banyak laki-laki, permepuan, tua dan muda, berkeluaran dari rumah-rumah yang berjejer rapi. Beberapa hanya menonton saja. Mulut mereka juga terbuka. Yang perempuan menutup mulut terbukanya dengan tangan. Wajah si tertuduh maling berkilat-kilat karena darah segar memanulkan cahaya bulan yang sedang pumama. Di sebagian kepalanya menempel debu dan butir-butir kerikil. Beberapa gigi depannya copot dengan paksa. Ada yang patah lalu jatuh ke aspal dan hancur terinjak-injak. Memar biru di dadanya menandakan ada tulang iga yang telah patah. Di tubuhnya Mnggal menempel cawat kotor menghitam compang-camping. Pakaiannya teiah lepas tercabik-cabik. Lenguhan-lenguhan kecil dari mulutnya menunjukkan ia masih bemyawa, walaupun mungkin tinggal separuh. Lelaki malang si tertuduh maling itu bemama Kemin. Kemin bin Rawin. Aku tahu orang ini, bahkan kenal baik. *** Kemin adalah tetanggaku. Rumah kamu di perkampungan miskin yang letaknya agak jauh dari perumahan terawat ini. Aku dan Kemin sudah berkawan sejak kecil. Kami selalu duduk di sekolah yang sama. Sama-sama pemah tidak naik kelas saat SD. Tahun pertama di SMP, kami juga kompak tinggal kelas. Untuk membiayai keperluan sekolah di SMP, kami mengasong barang apa saja yang laku dijual di terminal. Lontong tahu, kacang bawang, air mineral, dan lain-lain. Pekerjaan ini tidak membutuhkan modal uang. Mula-mula kami hanya memohon kepada Bu Par, tetangga kami pemilik kios di terminal, untuk mengasong barang dagangannya. Lama-kelamaan para pemilik barang dagangan lain di terminal dan sekitamya mengenal kami. Mereka juga bersedia menitipkan barang pada kami. Akhirnya kami lulus SMP setelah mengulang ujian di tahun berikutnya. Kami Tidak melanjulkan ke SMA karena tak mampu. Kami capek sekolah dan tahu diri. Mencoba peruntungan, kami melamar bekerja menjadi buruh di beberapa pabrik di dekat kampung. Tetapi, belum pemah satu pun lamaran kami mendapatkan balasan. Mungkin karena tulisan di surat lamaran kami seperti cakar ayam, atau para pelamar lain, yang kebanyakan dari luar kota, jauh lebih pintar. Mereka berijazah SMA. Bahkan, katanya, ada juga yang lulusan universitas. Beberapa lama kemudian, baru kami menyadari bahwa kami melamar dengan cara yang salah. Untuk melamar menjadi buruh di pabrik-pabrik itu tak perlu tulisan bagus atau ijazah tinggi. Cukup menghubungi Pak Dul dari kampung sebelah, menitipkan lamaran, dan menyerahkan uang jaminan sekian juta. Setelah itu tinggal menunggu panggilan kerja. Mengetahui hal itu, kami menutup rapat-rapat keinginan bekerja di pabrik. Sekian juta dari mana? Begitulah kami. Enam tahun tetap berstatus pedagang asongan. Tak pernah berpikiran pindah profesi lain. Menjadi centeng terminal, misalnya. Padahal, penghasilan centeng terminal lebih banyak dari penghasilan pengasong. Tubuh kami yang kecil, kurus, dan lemah tidak memungkinkan untuk itu. Dengar-dengar, jadi centeng juga harus punya jimat yang didapat dari tempat-tempat jauh. Sedangkan kami tidak memiliki uang untuk pergi-perrgi jauh. Bagi kami lebih aman menjadi pengasong saja. Di terminal ini. Kemin jatuh cinta pada Nur, sesama pengasong sebaya kami. Lalu mereka pacaran. Sebenamya, aku juga naksir Nur. Tapi aku terima saja saat akhirnya Nur menjatuhkan cintanya untuk Kemin. Wajah Kemin lebih lumayan dibanding wajahku, walaupun secara umum, kami sama-sama jelek. Wajah Nur juga tidak cantik. Kurang dari setahun pacaran, saat sebuah Yayasan mengadakan program pernikahan massal lengkap dengan bantuan maskawin, mereka sepakat menikah. Kemin dan Nur tenlihat sangat bahagia. Aku pun merasa bahagia. Aku menyumbangkan seluruh uang hasil kerjaku selama sebuIan untuk mereka. Saat itu, sempat terbersit di dalam pikiranku, kedekatanku dengan Kemin akan berkurang. Apalagi, Kemin tinggal bersama orangtua Nur di kampung sebelah terminal. Ternyata kekhawatiranku tidak terjadi. Kami berdua tetap dekat. Bahkan, aku sering menumpang istirahat di rumah mertua Kemin. Kami juga mempunyal bahan obrolan baru, yaltu pengalaman berumah tangga Kemin. Pengalaman yang tak tahu kapan bisa aku alami sendiri. Kehadiran Nur sebagal istri Kemin membawa peshabatan kami menjadi lebih berwarna. Kadang-kadang Nur bertanya kepadaku tentang perempuan-perempuan yang naksir Kemin. Walaupun Kemin pernah bercerita bahwa Milah si penjual jeruk naksir padanya, aku tutup mulut saja, demi membuat hati Nur tenang. Aku berpikir, jika mereka ribut, aku juga yang repot. Tiga bulan kemudian, Nur hamil. Wajah Nur terlihat lebih berseri. Wajah Kemin? Awalnya terlihat bahagia. Tetapi seiring berjalannya bulan, wajah itu menjadi berubah-uhah. Kadang bahagia, kadang murung. Tentu ia bahagia menjelang kedatangan sang buah hati. Pada saat yang sama, kami merasakan bekerja mengasong di terminal semakin berat. Jumlah pengasong bertambah banyak. Bahkan, yang berbadan kuat pun nimbrung menjadi pengasohg. Kami sering kalah berebut untuk masuk bus. Pendapatan kami menurun. Mungkin ini yang membuat Kemin murung. Kemin pernah berkeluh-kesah tentang biaya melahirkan anak yang sangat mahal. Ia bertekad untuk bekerja lebih keras mengumpulkan uang banyak Aku termangu-mangu mendengar ceritanya saat itu. Bagaimana caranyu Kemin bisa mengumpulkan uang sebanyak itu? Penghasilan jadi pengasong hanya cukup menutup kebutuhan satu-dua hari saja? Aku mungkin bisa membantunya. Tetapi berapa banyak uangku? Utang? Bukannya itu malah menambah masalah? Orangtua mereka? Ahhh… lupakan saja. *** Dua han yang lalu, saat aku istirahat di rumah mertua Kemin, Kemin mengutarakan sebuah rencana. Dia hendak mencuri barang elektronik di sebuah rumah di kompleks perumahan. Barang elektronik bagus, walaupun curian, bisa dijual lagi dengan harga yang tinggi. Ujang tetangga Kemin yang suka mencuri pemah memberitahukan padanya bahwa perumahan ini keamanannya lemah. Petugas satpamnya sudah tua dan sering bolos sakit. Kemin juga bercerita bahwa ayah mertuanya mendukung rencana ini. Nur dan ibu mertuanya tidak diberitahu. Kemin memintaku untuk tutup mulut dan membantunya. Aku tak kuasa menolak. Kemarin saat istirahat slang, kami mencoba mengamati kompleks perumahan ini. Meski sebelumnya kami sudah beberapa kali ke sini, tetapi kemarin tempat ini terasa lebih asing. Aku disergap rasa waswas dan takut. Aku merasa semua orang sedang mencurigai gerak-gerik kami. Aku tidak mampu berpikir untuk membuat strategi. Aku hanya pasrah kepada Kemin, apa yang akan kami lakukan malam ini. Ternyata Kemin sudah mempunyai rencina yang menurutnya matang. Mungkin Ujang telah memberi masukan kepadanya. Ia sudah menentukan rumah mana yang akan dimasuki, jalur untuk menyusup dan melarikan diri dan apa tugasku. Tugasku adalah berjaga-jaga di dekat tiang listrik yang berjarak sekitar 50 meter dari rumah sasaran. Di bawah tiang listrik ada semak yang lumayan tinggi sehingga sepintas orang tidak akan melihatku. Aku diminta memberikan kode dengan memukulkan batu pada tang listrik. Jangan terlalu keras yang penting kedengaran. Satu kali tanda aman. Dua kali tanda bahaya. Sejam yang lalu, aku berdiri tegang dekat tiang listrik itu. Mataku membelalak mengamati Kemin berjalan di keremangan mendekati rumah sasaran. Keringat dingin menggigit tengkukku yang kurus. Tangan terasa kesemutan mencengkeram sebongkah batu yang kulekatkan ke dada. Sesaat kemudian, Kemin menaiki sebuah pohon untuk masuk melalui pagar belakang rumah. Ia telah hilang dari pandangan. Aku tak tahu apa yang sedang dikerjakannya. Tugasku sekareng menghitung kira-kira lima menit setelah Kemin berjalan, lalu memukulkan batu sebagai tanda aman atau sebaliknva. Mataku jelalatan mengamati keadaan sekitar. Aku rasa sudah lima menit. “Aman!” aku mendesah. Batu dingin menggigit telapak tangan berpeluh. Bergetar lengan saat kutarik menjauhi tiang. Aku merasa sangat sulit mengontrol gerakan ini. Aku empaskan saja tanganku. “Tang!” Mendengung. Sesaat kemudian…. “Maaaaaaaaliiiiing, maaaaliiiiing!” Aku terkesiap. Teriakan itu datang dan rumah sasaran. Terus mengumandang. Dadaku herdegup lebih kencang lagi. Napasku semakin memburu. Aku merangsek keluar dari semak kudengar ayunan langkah kaki di belakangku. “Bukk!” orang menepuk pundakku. “Mana malingnya, Bang?” “Di sana” “Maaaaaaaaliiiiing, maaaaliiiiing!” *** Aku tidak tahu, di langit bulan tengah meronta atau tertawa. Orang-orang masih berpesta menggelandang Kemin. Mulut-mulut itu masih terbuka. Napas-napas terus mendengus kencang. Seolah ada alunan gaib yang membuat mereka bergerak seirama, ditimpali histeria yang memecah kebekuan malam. Aku menari mengikuti atunan itu dengan perasaan menrintih. Kulihat di kejauhan polisi-polisi berjalan pelan. Jogja, 1999
""Maling""
Akan selalu ada wanita-wanita yang menangis kala menikmati senja di taman ini. Dan mereka tak butuh alasan untuk melakukannya, menitikkan air mata ketika cahaya merah terlihat dari hamparan penuh rerumputan, pohon-pohon, dan sebuah danau kecil di taman Ewood, di sudut kota Blackburn. Waktu-waktu berjalan, malam, pagi, siang, sore, dan tentu saja, senja. Aku juga akan membagi cerita ini menjadi lima bagian sebagaimana waktu, karena di antara wanita-wanita yang menangis itu aku akan melihatmu, duduk bersandar di bangku tepi danau, dengan pakaian yang paling kusut dan mata yang paling sendu, menatap kosong pada titik cakrawala tempat terbenamnya matahari. Semua wanita di taman Ewood mengenalmu, wanita tanpa nama yang tak pernah absen menikmati jatuhnya matahari kemerah-merahan menuju pekat yang menyambar-nyambar, wanita yang tak henti-hentinya meneteskan air mata di antara kerikil dan rerumputan. Kamu pasti datang dengan kemeja putih itu, ditambah syal merah muda melingkar di leher, dan rok panjang ala gadis Eropa pada umumnya. Kamu datang jauh sebelum wanita-wanita itu hadir bersama pasangannya, lebih dulu menemani kicau burung dan kepak sayap kupu-kupu di hamparan bunga-bunga, terkadang kamu memetiknya, dan melemparkannya pada ikan-ikan yang mengiranya sebagai umpan, atau menemani sepasang angsa yang tak jemu mengelilingi danau, kamu pasti membayangkan kita seperti mereka, hidup bersama dengan bebas, menikmati ketenangan, menjadi bagian keindahan di mata setiap orang. Aku masih ingat ketika membawamu ke taman Ewood untuk pertama kali. Jangan pernah lupakan bagaimana perkenalan kita, pertemuan di satu titik rapuh. Ketika itu kamu adalah wanita ahli kata-kata yang selalu merangkai cerita tentang senja. Sedangkan kualitas tulisanku berada tepat di garis kemiskinan sastra. Kita bertemu dalam ruang maya, menjalin cerita yang hampir membosankan jika dituliskan di majalah-majalah anak muda. ”Aku suka senja, apalagi jika melihat burung-burung terbang ke arah barat, seakan-akan rumah mereka adalah senja.” ”Tetapi, aku tidak begitu mengerti senja. Bagiku tak ada sekat antara sore dan malam, antara sisa-sisa cahaya siang dan datangnya potongan-potongan malam.” ”Apa kamu tidak pernah bermain di pantai ketika sore hari? Ketika kamu lihat langit menggaris merah dan beberapa perahu berlayar lurus hanya menyisakan layarnya yang berkibar. Seperti sangat dekat dengan garis dunia itu. Seakan bersandar pada cahaya senja.” ”Tidak, aku hanya tahu pantai yang panas, dan sore hari aku pulang untuk beristirahat.” ”Jadi, kamu tidak pernah melihat senja?” ”Aku bisa melihatnya dari foto-foto.” ”Foto-foto tidak hidup, semuanya diam, seperti dunia tanpa waktu.” ”Kalau begitu berikan aku video yang merekam senja.” ”Tidak. Aku tidak punya. Aku saja jarang menikmati senja yang utuh. Kadang setahun dua kali, kadang setahun sekali, bahkan sering tidak sama sekali.” ”Lalu, di mana kamu bisa melihat senja yang utuh?” ”Aku hanya melihatnya ketika pulang ke rumah orangtuaku di desa Yorkshire, di London Utara. Di sana ada bukit luas yang jarak pandangnya sampai ke pantai, dan ketika sore tidak akan ada yang menghalangi pemandangan terbenamnya matahari, termasuk senja itu.” Kemudian segalanya hening. ”Kalau begitu, aku akan membawamu ke suatu tempat di kota ini yang bisa melihat senja setiap hari.” ”Apa? Bukankah tadi kamu bilang tidak pernah melihat senja?” ”Aku berbohong.” Senja memang barang langka di kota Blackburn. Gedung-gedung bertingkat dengan lampu merkuri telah mengalahkan sisa cahaya setelah tenggelamnya matahari. Belum lagi lampu kota menyinari jalanan di mana mobil-mobil berkejaran dengan waktu. Orang-orang di sini tak begitu peduli apakah matahari telah tenggelam atau bahkan terbit dari arah tenggelamnya. Becerita tentang senja hanya lelucon di kantin dan taman bermain anak-anak. Tetapi, tidak bagi kamu yang baru tinggal di kota ini. Sejak masuk ke University of Central Lancashire setahun yang lalu, kamu seperti kehilangan nyawa dalam tulisan-tulisanmu. ”Ke mana kita pergi?” ”Ya seperti janjiku. Melihat senja.” ”Jangan bercanda, di kota seperti ini mana ada tempat untuk melihat senja.” ”Kalau begitu biarkan aku bercanda, aku akan membawamu ke daerah Ewood, sedikit terpencil, tetapi aku pernah sampai ke sana sewaktu berkeliling kota Blackburn. Dan aku sampai di tempat itu menjelang terbenamnya matahari. Mungkin itu senja yang kamu maksud.” Mobil melaju kencang, jalanan semakin sepi, hanya kompleks perumahan yang berdempetan. Setelah sekitar satu jam perjalanan meninggalkan hiruk-pikuk kota, kita sampai juga di taman Ewood, tepat menjelang malam. Aku sudah mengaturnya. ”Gila! Ini benar-benar senja!” Kau berteriak kegirangan, menatap langit merah sedikit keemasan itu seolah tak berkedip, sementara sekeliling taman hanya berupa rerumputan, pohon, bunga-bunga, dan danau, ”Tetapi, mengapa sepi sekali? Apa tidak ada yang tertarik dengan pemandangan senja?” ”Setiap orang lelap dalam kesibukannya, tidak ada waktu untuk datang dan melihat yang seperti ini.” aku menjawab. Memang, seperti tak ada kehidupan di taman Ewood kecuali sebuah rumah mungil di dekat jalan raya tempatku memarkir mobil, bisa jadi penghuni rumah itulah yang merawat taman ini. Seorang kakek dan ketiga cucunya yang kecil-kecil. Mereka tersenyum ketika kita melintasi pagar menuju taman. Suasana menjelang malam yang sempurna, tetapi segala sesuatu yang terasa indah saat itu ternyata tidak berulang. Keesokan harinya kamu mengajakku pergi ke tempat yang sama—dan aku pun selalu memberikan waktuku untuk mengantarmu melihat fase pergeseran matahari itu—Alangkah terkejutnya kita melihat puluhan orang bertumpuk di taman tersebut. ”Mengapa tiba-tiba banyak orang?” tanyaku heran. Aku menduga, gara-gara kita menikmati senja kemarin, pemilik rumah itu lalu mengomersialkan taman yang dirawatnya, tetapi aku tidak melihat loket pembayaran di pintu masuk atau karcis parkir. ”Entahlah, padahal aku hanya memberitahu beberapa sahabatku di kampus bahwa ada senja di daerah Ewood.” Dugaanku meleset. Rupanya kabar ini menyebar karena kamu, di antara puluhan orang itu aku memang sempat melihat beberapa gelintir kawan-kawanmu. Kalian bercakap-cakap, meninggalkanku untuk sementara. ”Bagus sekali ya! Ayo dipotret!” ”Direkam saja!” Kebanyakan dari mereka hadir bersama kekasihnya, tetapi ada juga yang membawa anak-anak kecil, membiarkannya berlarian di jalanan penuh kerikil, mendekati sepasang angsa di danau, bermain air yang jernih dengan pantulan cahaya senja. ”Padahal aku ingin menunjukkan senja ini spesial hanya untukmu.” Aku sedikit berbisik ketika kamu sudah berada di dekatku. ”Aku juga tidak menyangka akan banyak orang datang ke sini. Tetapi, setidaknya ini bukti bahwa mereka masih mau untuk menikmati pemandangan senja. Ya, kan?” Kamu menatapku dengan tersenyum, wajah putihmu yang teduh itu membuatku urung untuk kecewa. Walaupun sepertinya kamu membaca gurat kekecewaan di wajahku yang murung. ”Kalau begitu aku ingin kamu melakukan sesuatu untukku, sekali lagi. Sesuatu yang spesial, dan aku yakin tak seorang pun bisa menirunya,” kamu berkata tiba-tiba. ”Apa itu?” ”Menjadi senja.” Bagaimana caranya menjadi senja. Apakah harus mengikuti burung-burung yang terbang ke arah terbenamnya matahari di titik cakrawala sambil memakai baju merah keemasan? Bagaimana caranya? Kalau saja aku bisa bertanya kepada penyair dan penulis cerita yang suka membawa obyek senja, mungkin mereka tahu, mungkin mereka pernah beberapa kali menjadi senja sehingga senja selalu hidup dalam tulisan mereka. Tetapi, itu tidak mungkin. ”Kamu yakin ingin aku menjadi senja?” ”Tentu, aku yakin kamu dapat melakukannya, dan mereka di taman itu tak akan bisa menirunya.” Aku tertegun, otakku berputar keras. Tidak mungkin aku bertanya kepada kawan-kawan geniusku di kampus, pasti mereka semua menertawakanku. Pertanyaan paling konyol yang kembali keluar dari mulut seseorang yang sebenarnya tengah jatuh cinta pada taraf akut. ”Kalau berbuat untuk wanita yang realistislah, jangan sampai gila begitu.” ”Lihat saja, aku pasti bisa memenuhinya. Lihat saja.” Pasti ada caranya, setidaknya, harus ada. Di dunia ini ketidakmungkinan sudah hampir punah, segala sesuatu bisa dilakukan walaupun hakikatnya semu dan jauh melenceng dari kenyataan. Dan benar, kan? Beberapa jam menyendiri dalam kamar, akhirnya kulihat sesuatu yang berkilat itu, sesuatu yang memantulkan cahaya putih dari sinar matahari yang tak terhalang gorden jendela. Ya! Aku mendapatkannya, akhirnya aku mendapatkan cara untuk memenuhi keinginanmu, keinginan yang tak seorang pun bisa menirunya. ”Besok aku adalah senja,” gumamku. Aku tersenyum puas. Angin sore menerpa deretan pohon cemara, beberapa bangku masih tak berpenghuni, kamu datang jauh lebih awal. Belum ada siapa pun di taman Ewood. Hanya sepasang angsa itu tengah memainkan ekornya membentuk riak-riak kecil. Tetapi, ikan-ikan tak pernah takut dengan keduanya. Mereka seperti bersimbiosis mutualisme, saling menyiratkan kesempurnaan pemandangan taman Ewood. Beberapa daun kering jatuh ke pangkuanmu, sebagian jatuh ke rambutmu yang basah menjuntai melewati bahumu, terbalut kaus putih dengan syal merah muda. ”Datanglah nanti ke taman Ewood, aku akan menjadi senja.” Kamu membaca kembali pesan singkat yang kukirimkan pagi tadi. Lalu tersenyum. Kamu pasti bangga denganku. ”Bagaimana caranya?” ”Datang saja, nikmati cahaya merah setelah matahari terbenam, kamu harus yakin bahwa senja itu adalah aku.” ”Jadi, kamu tidak akan hadir menikmati senja bersamaku?” ”Tentu tidak. Bukankah yang menjadi senja adalah aku sendiri?” ”Bagaimana aku bisa tahu kalau itu kamu?” ”Aku akan membuat senja itu sedikit berbeda.” Senja masih akan hadir sekitar satu jam lagi, beberapa pasangan telah tiba dan mencari tempatnya masing-masing, semakin banyak orang berdatangan, jauh lebih banyak dari sebelumnya, bahkan ada yang membawa kanvas untuk melukis senja. Mereka antusias sekali menunggu. Taman Ewood seperti menjadi tempat rekreasi dadakan, yang gratis. Dan tibalah saatnya, matahari perlahan membenamkan tubuhnya di pelukan cakrawala. Cahaya senja itu muncul, membentang merah lebih pekat, tidak bercampur dengan warna kuning keemasan. Memenuhi garis langit. Orang-orang berdecak kagum. ”Hei, lihat, warnanya agak berbeda dari kemarin. Sepertinya lebih indah. Mungkin ini fenomena alam.” ”Cepat dipotret! Diabadikan!” ”Direkam saja sayangku. Mmmuach!” sepasang muda-mudi berciuman di depan senja yang spesial kuhadirkan untukmu. Sementara kulihat kamu terdiam dengan pemandangan senja itu, mungkin kamu sedang membandingkannya dengan senja yang kemarin atau senja yang biasa kamu lihat di desa Yorkshire. ”Aku sudah melihat senja. Senja yang benar-benar berbeda.” Kamu mengirimkan pesan singkat untukku. Senyummu mengambang, tidak ada yang tahu bahwa senja itu adalah aku kecuali kamu. ”Bagaimana caranya? Beritahu aku. Biar besok giliran aku yang menjadi senja untukmu.” Pesan singkat yang lain kamu kirimkan lagi. Orang-orang masih menatap dengan kagumnya, mereka mengambil kamera dan memotret setiap sudut senja itu. Ada pula yang benar-benar merekamnya, meminta pasangan bergaya di sepanjang taman yang berlatar warna merah. Senja itu semakin lengkap ketika burung-burung menuju ke arahnya, pemandangan yang nyaris sempurna, puluhan kamera mencipratkan cahaya, seperti suatu pertunjukan di atas panggung, orang-orang tak henti-hentinya melontarkan kalimat kekaguman, semakin ramai saja, seolah penduduk kota Blackburn semuanya tumpah di taman Ewood, hingga akhirnya beberapa dari mereka sadar, ada sekelompok burung hitam yang tak seharusnya ada di situ. Kamu melihat handphone, belum ada pesan balasan dariku. Wanita-wanita menjerit, sebagian memeluk pasangannya, sebagian lagi menutup matanya dan menangis, teriakan menggema di taman Ewood, ”Itu bukan senja! Itu darah!” (Yogyakarta, 2009)
""Senja di Taman Ewood""
Aku menutup kembali pintu lemari pakaian. Isak tangis tertahan masih terdengar dari luar kamar. Tanganku meraih daun pintu, menutup pintu kamar yang terbuka sejengkal. Suara tangisan tinggal lamat-lamat. Aku berjalan pelan menuju jendela, membukanya, lalu duduk di atas kursi. Pagi ini, langit berwarna kelabu. Sejujurnya, sempat melintas pertanyaan di kepalaku, kenapa aku tidak menangis? Kemudian pikiranku mengembara, menyusuri tiap jengkal peristiwa yang terjadi tiga pekan lalu. ”Kamu belum pernah punya anak. Menikah pun belum. Kalaupun toh punya anak, kamu tidak akan pernah punya pengalaman melahirkan. Kamu, laki-laki.” Aku menatap wajah di depanku, wajah perempuan yang sangat kukenal. ”Aku, ibunya. Aku yang mengandung dan melahirkannya. Kelak kalau kamu punya anak, kamu akan tahu bagaimana rasanya khawatir yang sesungguhnya.” Pelayan datang. Ia meletakkan dua buah poci, menuangkan poci berisi kopi di gelasku, beralih kemudian menuangkan poci teh di gelas perempuan di depanku. Pelayan itu lalu pergi setelah mempersilakan kami menikmati hidangannya. ”Apa yang dia lakukan selama seminggu berada di tempatmu?” ”Kami banyak jalan-jalan berdua, menonton film, ke toko buku, ke pantai. Kebetulan aku sedang tidak sibuk. Aku pikir, ia sedang liburan sekolah.” ”Sekolah tidak sedang libur, dan ia tidak pamit kepadaku.” ”Mana aku tahu?” ”Dan kamu tidak memberitahuku.” ”Aku pikir ia pergi dengan seizinmu.” ”Kamu bohong. Kamu tahu kalau ia minggat dari rumah.” Aku diam. Tidak mau memperpanjang urusan pada bagian ini. Aku datang tidak untuk berdebat. Tiga perempuan masuk ke ruangan ini. Bau harum menebar ke seluruh penjuru ruangan. Perempuan di depanku mendesah. Tangannya meraih tas, mengeluarkan sebungkus rokok, menyulutnya. ”Ia kacau sekali…” ”Ia boleh kacau, tetapi tidak boleh minggat. Ia masih duduk di bangku kelas satu SMA!” Aku tertawa. ”Kamu tahu, aku minggat pertama kali dari rumah saat kelas satu SMP…” ”Itu kamu. Setiap keluarga punya tata tertib yang tidak boleh dilanggar.” ”Minggat itu memang melanggar tata tertib keluarga. Dan itu pasti ada maksudnya. Tapi aku tidak mau bertengkar. Aku datang jauh-jauh ke sini, hanya untuk mengatakan sesuatu yang kupikir penting menyangkut dia.” ”Apa?” ”Jangan terlalu memaksanya untuk melakukan hal-hal yang tidak disukainya.” ”Hey, kamu hanyalah pamannya. Aku, ibunya!” ”Aku tahu, dan aku tidak sedang ingin merebut apa pun darimu.” ”Tapi kamu seperti sedang menceramahiku tentang bagaimana menjadi seorang ibu yang baik!” Suaranya terdengar memekik. Orang-orang menoleh ke arah kami. Kami diam untuk beberapa saat. Sama-sama merasa kikuk menjadi perhatian beberapa orang. ”Jendra, anak yang manis. Tidak sepertimu…” desisnya kemudian. Aku mulai merasa darahku naik. ”Ia penurut, dan tidak pernah menyusahkan orangtua. Tidak sepertimu.” Darahku semakin terasa naik. ”Aku tahu persis karena aku ini ibunya, ibu kandungnya!” Dengan suara menahan marah, aku bertanya, ”Lalu kenapa dia minggat dari rumah?” Perempuan di depanku diam. Ia mematikan rokok di asbak dengan cara yang agak kasar. Aku gantian menyulut rokok. ”Risa, aku akan membuka sedikit rahasia yang kusimpan selama ini. Hanya sekali saja aku akan menceritakan ini untukmu… Aku selalu bermimpi buruk, sampai sekarang. Dan mimpi buruk yang paling sering kualami, aku tidak lulus sekolah. Kadang aku bermimpi tidak lulus SMP, SMA dan tidak lulus kuliah.” Ia tertawa. ”Wajar kalau kamu mimpi seperti itu, kamu kan agak bodoh dalam hal sekolah…” ”Bukan itu poinnya!” suaraku, mungkin terdengar marah. Risa seketika menghentikan tawanya. ”Aku tidak suka sekolah, dan aku harus menjalani itu semua. Memakan hampir sebagian besar waktu yang kumiliki… Aku masih bisa merasakan sampai sekarang, gedung-gedung kaku itu, lonceng masuk, upacara bendera, tugas-tugas, seragam, suara tak tok tak tok sepatu para guru…” ”Kamu memintaku agar Jendra tidak sekolah?” ”Dengarkan dulu… Dan apa gunanya itu semua bagiku sekarang ini? Tidak ada. Ini kehidupan yang gila, aku tersiksa berbelas tahun melakoni sesuatu yang menyiksaku, yang kelak kemudian tidak berguna.” ”Bagimu. Bagiku, sekolahku berguna. Juga bagi Jendra.” ”Tapi kamu bukan aku.” ”Kamu juga bukan Jendra. Ingat itu!” ”Aku hanya sedang menceritakan diriku!” ”Kupikir kamu datang jauh-jauh untuk menceritakan soal Jendra yang minggat dari rumah dan tinggal di tempatmu! Bukan untuk menceritakan sesuatu tentang dirimu yang jelas aku tahu…” ”Itulah kesalahanmu sejak dulu, merasa tahu persoalan orang!” Aku menatap kakak perempuanku. Mungkin sudah ratusan kali, sejak aku kecil untuk menempeleng wajahnya. Tapi belum pernah kesampaian. ”Tahukah kamu, kalau sejak kecil kamu selalu menyusahkan orangtua kita?” Aku menarik napas panjang. Aku memandang cangkir kopi di depanku, dan ingin sekali melemparkan benda itu di mulut pedasnya. ”Dan tahukah kamu kalau sifat itu bisa menular?” Kali ini, kupikir Risa sudah keterlaluan. ”Kamu pikir aku menularkan sifat burukku kepada Jendra?” ”Aku tidak bilang seperti itu. Kamu yang mengatakannya sendiri. Yang aku tahu, semenjak ia minggat dan tinggal di tempatmu, ia semakin berani kepadaku, semakin sering bolos sekolah dan tidak mau lagi mengikuti berbagai kursus!” ”Jadi kamu menuduhku sebagai biangnya!” Risa hanya mengangkat bahunya. Dan tersenyum sinis. Aku benar-benar nyaris kehilangan kontrol. Untuk meredakan semua yang kurasakan, aku menuang kopi, menyeruput, dan menyulut lagi sebatang rokok. ”Jadi menurutmu, kenapa dia bisa minggat?” ”Mungkin dia ada masalah… Itu biasa saja. Kesalahannya yang paling fatal adalah… Ia minggat ke tempatmu!” Begitu mendengar kesimpulan itu, aku merasa bahwa pertemuan ini akan berakhir dengan buruk. Rasa marah sudah benar-benar menjalar di dadaku. Tetapi aku sadar, sebelum keadaan ini bertambah semakin buruk, aku ingin mengatakan sesuatu yang harus kukatakan berhubungan dengan Jendra kepada Risa. ”Rif, kamu menikah saja belum.” ”Ris, tidak ada hubungannya hal itu dengan obrolan kita hari ini!” ”Ada! Mengambil beban tanggung jawab yang sesederhana itu saja kamu tidak sanggup, dan kamu ingin menceramahiku soal bagaimana mendidik anak…” ”Aku datang hanya untuk menyampaikan apa yang dikeluhkan Jendra kepada orang yang merasa bisa mendidiknya!” ”Apa yang dia katakan?” ”Dia ingin pindah sekolah.” ”Itu sekolah paling favorit.” ”Favorit menurutmu, tetapi tidak menurutnya.” ”Dia masih anak-anak… Dia belum tahu apa pentingnya ilmu.” ”Itu kesalahanmu…” ”Dia butuh jaringan untuk masa depannya, dan itu ada di sekolahnya!” ”Itu menurutmu…” ”Ya jelas menurutku, karena aku lebih banyak makan asam garam hidup ini. Dan punya tugas untuk memastikan dan menjamin masa depannya!” ”Ia ingin kursus bahasa Perancis.” ”Boleh. Tetapi dia tidak boleh meninggalkan kursus bahasa Mandarin.” ”Dia ingin kursus main drum.” ”Boleh! Tapi dia tidak boleh meninggalkan kursus belajar piano.” ”Kenapa dia tidak boleh memilih?” ”Karena dia belum bisa memilih.” ”Dia terlalu capek dengan itu semua…” ”Dia harus belajar bekerja keras dari sejak kecil. Disiplin. Itu yang akan menyelamatkannya dari persaingan di masa depan.” ”Kenapa kamu menyuruhnya memutuskan pacarnya?” ”Dia masih kelas satu SMA!” ”Kamu dulu pacaran ketika masih kelas tiga SMP.” ”Itu aku, bukan dia! Jendra itu, makan saja kalau tidak disuruh, tidak makan!” ”Kamu merasa lebih baik dan lebih hebat dari Jendra, hah?” ”Aku, ibunya! Rif, sudahlah… Kalau kamu punya anak, kamu baru bisa merasakan apa arti anak bagi orangtua. Rif, aku hanya minta, kalau dia datang lagi ke tempatmu, segera hubungi aku!” ”Ris, aku bawakan hasil penelitian seorang psikolog tentang tingkat stres para pelajar di kota ini…” ”Aku tidak butuh informasi itu.” Kali ini, darahku benar-benar mendidih. ”Aku khawatir kelak kamu akan menyesal…” ucapku dengan nada mengancam. ”Kamu urus saja kehidupanmu. Jendra adalah urusan keluargaku.” Pembicaraan terkunci. Dadaku bergolak. Kemarahanku sudah sampai pada pangkal leher. Aku hanya menekan-nekan dahi dengan tanganku. Aku ingin mengatakan apa yang sempat dikatakan Jendra kepadaku. Tetapi jika mulutku terbuka, aku khawatir gelegak itu akan membeludak. ”Kamu langsung pulang atau menginap?” Aku diam. ”Aku masih ada urusan kantor.” Aku memberi isyarat dengan kepalaku, ia boleh pergi. Ia bangkit, lalu melangkah pergi. ”Risa…” Ia menoleh. ”Sudahlah, Rif. Aku bisa mengurusnya.” Ia kembali berjalan menuju pintu. Aku bisa saja mengejarnya, dan mengatakan apa yang seharusnya aku katakan. Tetapi aku sudah terlalu marah. Dan aku juga membayangkan apa yang akan dikatakan Risa begitu mendengar apa yang seharusnya kukatakan. Ia mungkin hanya akan tertawa. Ia mungkin hanya akan semakin membuatku marah. Perasaanku kacau. Aku keluar, menyetop taksi, pergi menuju ke bandara. Aku bangkit, berjalan, membuka pintu kamar. Kudapati, Mita masih menangis si atas sofa. Ia melihat ke arahku. Aku berjalan, lalu duduk di sampingnya. ”Kenapa belum bersiap?” dalam isak, Mita bertanya. Aku hanya diam. Mita memegang tanganku. ”Kita bisa ketinggalan pesawat…” Aku hanya bisa menarik-narik rambutku ke arah belakang. ”Kupikir kamu saja yang berangkat.” ”Kenapa bisa begitu?” Aku menatap wajah pacarku. ”Aku tidak sanggup datang.” ”Kamu tidak boleh begitu. Apa yang harus kukatakan kepada keluargamu?” ”Mereka tahu sifatku, jadi tidak usah khawatir.” ”Kamu yakin?” Aku menganggukkan kepala. Mita bangkit dari sofa, perlahan menuju kamarku, merapikan diri. Sesaat kemudian dia keluar, meraih tasnya. ”Aku berangkat ya…” Aku mengangguk. ”Rif… Kenapa Jendra bisa melakukan ini semua?” Aku diam. Lalu menggelengkan kepalaku. ”Sudahlah, nanti kamu terlambat datang ke pemakamannya.” Mita melangkah pergi keluar. Beberapa saat kemudian, aku membuka laptop di atas meja. Membuka berkas foto yang tersimpan di sana. Melihat kembali gambar-gambar Jendra terakhir di pantai bersamaku, sebelum keesokan harinya ia pulang kembali ke rumah orangtuanya. Di malam sebelum pergi, sepulang dari pantai, ia sempat mengatakan apa yang ingin dilakukannya. Omongan yang seharusnya kusampaikan kepada Risa. Tetapi aku terlalu marah, dan takut semakin marah membayangkan apa yang akan dikatakan Risa begitu mendengar omonganku. Kini, aku tidak berani membayangkan bagaimana jika yang terjadi sebaliknya, begitu aku sampaikan apa yang sempat terlontar dari mulut Jendra kepadaku. Bagaimana jika kemudian Risa peduli pada omongan itu dan mengubah sikapnya kepada Jendra? Kini, aku menangis keras-keras di dalam kamar. Sendirian.***
""Sesaat Sebelum Berangkat""
Aku duduk di bangku kayu lalu merogoh tisu di dalam saku. Ada remah-remah roti yang sengaja kubawa dari hotel untuk kusebarkan di dekat kaki, seperti yang biasa dilakukan Leila dahulu. Lalu kudengarkan sorak gadis itu di dalam kenangan ketika jalak dan merpati satu per satu hinggap ke atas tanah mencucuki remah-remah di antara kaki mungilnya. Mungkin semalam hujan. Bangku yang kududuki agak lembab sehingga warnanya menjadi semakin gelap. Saat bersandar, aku merasakan titik-titik air di sekitar punggung, yang meresap melalui kaus coklat yang kukenakan. Kepalaku terasa pening. Sejak pesawat tinggal landas, mataku memang tak bisa terpejam. ”Kau harus datang, kau mengerti, Ron?” kata Leila lewat e-mail tempo hari, menutup kabar pernikahannya yang seketika membuat pikiranku tak karuan. Beberapa pengunjung taman yang melintas di hadapanku melemparkan senyum. Seorang lelaki paruh baya terengah-engah hingga bahunya turun naik dengan cepat. Ia lalu duduk di sampingku. ”Apa kabar?” sapanya sambil mengelap keringat di wajah dan tengkuk lehernya. ”Tidak begitu baik,” kataku, namun tetap berusaha menyembunyikan perasaanku. Ia terkesiap. Kemudian mengalihkan pandangannya dari wajahku. ”Tentu, cuaca tidak terlalu bagus belakangan ini ya?” ”Bukan, bukan itu. Kekasihku akan menikah.” Kata-kata itu meluncur saja dari lidahku. ”Benarkah? Ia berkhianat?” ”Tidak, tidak seperti itu.” Entah mengapa, aku merasa perlu menjelaskan sesuatu kepada lelaki yang baru kukenal itu. Leila tidak pernah mengkhianatiku, kataku sedikit tersinggung. Ia hanya terjebak oleh keadaan, tapi tetap mencintaiku. Maksudku, ibunya menginginkannya menerima pria lain yang datang melamar, sementara aku masih tak dapat memberinya kepastian-kepastian. Kami merentang jarak begitu jauh sehingga timbul keraguan di pihak keluarganya. Tapi memang sama saja. Semua orang bisa menganggap Leila berkhianat, sedangkan aku tetap bertahan dengan penilaianku sendiri. Lelaki itu beranjak meninggalkanku. Kulihat seorang wanita tua melambaikan tangan ke arahnya. Aku bergumul lagi dengan kenangan sambil membayangkan Leila di sana, melambaikan tangannya pula seperti wanita itu. *** Mataku perih sekali. Seperti ada pasir yang bergesekan di antara kelopak dan bola mata. Meskipun sudah lelah, aku tetap tak bisa memaksanya terpejam. Akhirnya kuputuskan pergi ke luar. Kupakai sweater ungu hadiah dari Leila pada ulang tahunku yang lalu. Ia bangga menuliskan pada secarik kertas yang diselipkan di antara lipatannya, ”Beli di Tanah Abang. Dikirim buat Abang di negeri seberang. Leila.” Dadaku berdesir mengingatnya. Bahan sweater ini tebal. Cukup hangat untuk dipakai ke luar asrama. Modelnya juga aku suka. Teman sekamarku yang sama berasal dari Indonesia berkelakar, ”Embargo, embargo Tanah Abang, ha-ha-ha-ha.” Tadinya aku hendak kembali ke taman. Namun, kukira jalan menuju ke sana terlalu gelap. Lagi pula malam ini pasti banyak pasangan muda-mudi yang duduk-duduk di situ. Aku hanya akan terjebak dalam kenangan demi kenangan bersama Leila. Kakiku, tanpa kepastian hendak berjalan ke mana, terasa kian lemah. Tapi aku tak ingin segera kembali ke hotel. Sekonyong- konyong, kuhentikan taksi pertama yang melintas. Aku duduk di depan. Tiba-tiba saja aku ingin diantarkan ke rumah Leila. Saat kami meninggalkan jalan besar aku tersadar, malam sudah begitu larut. Sepi sekali. Pohon-pohon di sisi jalan membentuk bayangan seram. Sedikit saja cahaya bulan yang jatuh lewat celah-celah dahannya. Suara operator taksi di pangkalan sesekali menyembul keluar lewat radio pemanggil. Seakan-akan hendak mempertegas suasana malam. Kaca mobil kuturunkan dan angin berembus lembut di keningku. Kamar Leila, yang berada di lantai dua dan langsung menghadap pagar, tampak masih terang. Tirai jendela sudah ditutup. Suara handphone mengagetkan aku. ”Sudah landing? Atau tidak datang? Kau jahat!” Pengirimnya Leila. Belum sempat kubalas, masuk satu pesan lagi. ”Aku tak tahu harus bagaimana mengatakannya. Jemput aku pagi-pagi sekali, Ron! Aku tahu kau akan datang. Kau akan membawaku pergi, kan?” Dadaku berdeburan rindu. Aku tak tahu bagaimana harus mengatasi diriku. Kucoba memejamkan mata hingga kedua kelopaknya mengerut sambil memerintahkan si sopir untuk membawaku kembali ke hotel. Rupanya aku tertidur sepanjang perjalanan pulang. Sopir membangunkanku ketika taksi sampai di depan hotel. Saat itu kusadari, sosok yang sejak tadi duduk di sampingku adalah seorang perempuan. *** Namanya Dina. Ia bukan wanita yang ramah. Namun, jika kau memerhatikan caranya duduk selama menungguku di lobi hotel, kau akan terkesima. Dina lebih anggun dari siapa pun yang pernah kukenal, kecuali Leila tentunya. Aku terlambat menemui Dina karena terlampau lelap tertidur. Kulihat jam tangan menunjukkan pukul setengah sepuluh. Ia menampakkan mimik geram dan aku segera meminta maaf. Lagi pula aku heran, bagaimana ia bisa datang tepat waktu, padahal semalam masih membawa taksi. Tapi aku tak mau menyinggung masalah itu. Aku cukup memerhatikan matanya yang merah untuk mengerti bahwa Dina, selain anggun dan tidak ramah, adalah tipikal orang yang menepati janji. Aku mengajaknya sarapan di luar. Ya, kau benar, aku mengajaknya ke taman itu. ”Leila senang bila kuajak makan bubur di sini,” kataku membuka pembicaraan. Dina tak menanggapi sepatah kata pun dan kami berdiam sampai bubur yang kami pesan dicicipinya. ”Rasanya biasa,” ujarnya heran. ”Tidak, bukan soal rasa.” Aku sengaja berhenti di situ untuk memerhatikan responsnya. ”Leila senang memerhatikan penjualnya,” lanjutku. ”Coba tengok!” Kutuntun matanya ke arah pasangan tua itu. Dari tempat duduk, kami, setidaknya aku, merasakan hangatnya cinta mereka berdua. Sementara si kakek melayani pembeli, istrinya membersihkan piring, gelas, dan sendok. Sesekali ia menyeka keringat di kening istrinya dengan ibu jarinya, lalu keduanya saling tersenyum. Dina berdiam diri untuk memberiku kesempatan berbicara. Kami tumbuh di keluarga yang tidak sempurna, kataku mulai bercerita. Ibuku bukan wanita yang baik. Ia pergi dari rumah demi memilih kesenangan yang dijanjikan pria kaya yang ditemuinya dalam suatu perjalanan. Ayah Leila pun demikian, jatuh ke pelukan perempuan tidak terhormat yang sejak itu menghunjamkan kecemasan di lubuk hatinya. Kami menemukan sebagian diri kami satu sama lain. Sejak menyadarinya, aku merasa ia adalah perempuan yang dapat kupercaya. Demikian pula, barangkali ia merasa nyaman untuk memercayaiku sebagai kekasihnya. Dina memerhatikan penjual bubur itu lagi. Entah apa yang ia pikirkan ketika kukatakan kepadanya: aku dan Leila senantiasa mendapati bayangan diri kami muncul pada siluet pasangan tua itu. Sebagian hari itu kami habiskan untuk berbelanja. Aku membelikannya pakaian untuk ia kenakan pada resepsi pernikahan malam harinya. Aku, yang merasa akan kesulitan mengendalikan sikap bila bertemu Leila, membayar Dina untuk pertolongan ini. Sampai saat itu, aku belum menjawab SMS dari Leila, yang memintaku untuk membawa pergi dirinya. Beberapa telepon darinya juga tidak kuangkat. Atas saran Dina, kuurungkan pula niat untuk menghubunginya sebelum berangkat meski sekadar mengucapkan semacam perkataan, ”Aku akan datang.” Ya, akhirnya kami datang juga ’kan? Dari pintu masuk kulihat kau berdiri di samping Leila. Menyalami undangan yang datang seraya mengembangkan senyum yang santun. Pakaian kalian bagus sekali. Kau pandai memilihkan Leila gaun pengantin yang baik. ”Selamat ya, Mas,” kata Dina kepadamu setelah memerhatikanku kesulitan mengucapkan sepatah kata pun. Sebelum meninggalkan pesta, sempat kusaksikan kau merangkul Leila yang berlinang air mata. Tapi kau pun tak perlu cemas. Aku tumbuh di keluarga tak sempurna yang telah jauh-jauh hari mengajarkan sesuatu kepadaku. Aku takkan mengganggumu. *** Sesuatu telah menuntunku kembali ke taman ini. Aku duduk di bangku seorang diri sambil merogoh tisu di dalam saku. Ada remah makanan yang sengaja kubawa dari acara resepsimu untuk kusebarkan lagi di dekat kakiku, seperti yang biasa dilakukan Leila dahulu. Lalu kudengarkan sorak gadis itu di dalam kenangan ketika burung-burung satu per satu hinggap ke atas tanah mencucuki remah-remah di antara kaki-kakiku. Kubayangkan juga ngilu di hatimu saat membaca kertas- kertas, yang kutinggalkan di bangku taman ini. Itu pula ngilu hatiku. Jalak dan merpati setia menemaniku hingga pagi nanti sebelum pengunjung taman satu per satu berdatangan lagi dan salah seorang di antara mereka yang hendak duduk-duduk di bangku ini kemudian menjerit, ”Mayat! Ada mayat!” Sudahkah tulisan ini sampai ke tanganmu?
""Di Bangku Taman""
Setahun sekali kami melintas di tengah laut ini, beberapa mil dari rumah penduduk yang jumlahnya tak seberapa. Menyediakan diri sebagai umpan yang akan menghidupi mereka selama laut utara dingin membekukan. Hubungan kami dengan mereka, yang sudah berabad-abad, membuat mereka hafal bahwa paus jenis kami adalah buruan yang mudah ditaklukkan. Sekali tempuling tertancap, kami bukannya melawan, malah mempermudah pertarungan. Kami tidak akan melawan sebagaimana paus pembunuh yang akan menggeliat meronta dalam darah, berputar-putar, menyiksa, mau meremukkan perahu seisi-isinya. Membuat ombak marah, memerah, amisnya mencemari langit yang begitu biru, begitu damai. Terkadang di antara pemburu yang baik hati tapi tak berdaya itu ada yang mati atau tinggal terkatung-katung berminggu-minggu sebelum terdampar di benua selatan. Sementara untuk menaklukkan kami layaknya seperti mengikuti pesta besar yang pada akhirnya toh akan usai. Begini jalannya pesta perburuan itu. Tempuling yang sudah tertanam di jantung kami dihubungkan dengan leo, tali yang terbuat dari kapas yang dipilin dan disamak, ditambatkan ke sebatang galar di dalam perahu. Sesungguhnya, kami adalah makhluk pemasrah. Kami tahu kami adalah untuk mereka, para pemburu itu. Tetapi, kami ingin mati terhormat dengan berenang menyongsong laut lepas di mana tiada dosa. Karena kami mengejar kematian ke tengah laut, maka para pemburu itu pun terseret tali yang menegang, lurus-lurus menuju tepi langit. Sampai kami lemas kehilangan darah dan tenaga, lalu mati. Para pemburu itu adalah makhluk yang menertawakan. Yang mereka kerjakan lucu. Mereka tak perlu terjun ke laut sambil menghunus pisau untuk melukai, mencabik-cabik nadi kami supaya darah menyembur lebih deras. Kami akan menemui kematian kami sendiri demi mereka. Kami tahu, mereka tidak berbakat pembunuh. Ini cuma kesalahpahaman yang sudah berabad-abad. Kami tak pernah dipahami. Langit begitu biru. Semburan-semburan air yang melukis dinding langit membuat hati para pengintai di pantai sana berdebur rasa riang bercampur cemas. Apalagi semburan itu tampak tidak tegak lurus mencakar langit, melainkan condong ke depan, membentuk buah pir yang sedang ranum-ranumnya. Pertanda bahwa lakonnya adalah kami, koteklema, dan bahwa pesta akan berlangsung mudah. Tubuh-tubuh manusia terpacak di atas kaki yang tegak gemetaran. Seperti hendak memecahkan urat leher, mereka berseru sejadi-jadinya begitu melihat semburan napas kami yang sedang menyingkapkan hari yang baru di laut yang hangat ini. ”Baleo…! Baleo…!” Jeritan itu secepat libasan angin bersahut-sahutan dalam lengking yang dipantulkan pasir di pantai dan batu cadas yang mendaki tebing-tebing bukit. Manisnya hidup ini, kawan. Hari ini 1 Mei, saat mereka yang tak punya apa-apa, kecuali darah dan tenaga, menari-nari di semua benua. Sementara di sini, agama menemukan jiwanya yang sejati. Sesaat lalu, di pantai itu berlangsung misa, di mana doa bercampur dengan mantra kaum Jahiliah untuk memanggil roh kami. Oh… pekerjaan manusia yang sia-sia! Tuhan terlalu baik. Dia tak usah disembah supaya menghanyutkan kami kemari. Adalah seruan hidup kami untuk sengaja datang dan menyerahkan diri. Bukankah kami lebih kuat dari agama, kalau diingat bahwa agama dikenal penduduk pulau kecil itu hanya karena kecelakaan. Dua pastor, dengan tujuan pulau yang lebih besar, terdampar ke kesini. Perahu mereka diterjang badai dan gelombang yang mengamuk. Tetapi, baiklah kalau misa pemanggil roh sudah telanjur diniatkan. Niat selalu suci. Namun, misa itu tetaplah misa yang ganjil. Lihatlah, di situ tak ada gereja. Cuma ada kapel dan altar yang terbuat dari batu gunung yang ditatah, dionggokkan dengan rasa hormat di pojok dusun. Lelaki dan perempuan mengenakan sarung dan baju terbaik. Mereka berdiri dengan tertib. Kuping mereka tampak lebih besar, yang mereka tadahkan dengan baik-baik, untuk menyimak pastor yang sedang memimpin misa yang digelar di atas pasir putih di bibir pantai. Di bibir pantai…. Pujaan setinggi angkasa dan permohonan yang mengiba-iba kepada Roh Kudus diperdengarkan untuk mengundang kami, para paus, yang diharapkan datang bergulung-gulung dalam jumlah yang akan membuat laut menjadi hitam. Mengalun pula doa bagi orang yang tewas dan hilang dalam perburuan yang ganas tahun kemarin, atau berabad-abad yang silam, agar mereka mendapatkan belaian kasih dan pengampunan Allah di surga. Ini desa nelayan tiada duanya. Malam-malam terdengar orang mengaji Injil. Kata-kata Ilahiahnya melintasi pintu dan jendela-jendela rumah yang tak pernah ditutup supaya kecipak ikan masuk leluasa. Dan hidup benar-benar terasa duniawi karena di beberapa sudut tercium aroma tuak dan ceracau mereka yang mabuk. ”Baleo..! Baleo…!” Dalam hitungan sekecipak air laut, selusin perahu bercadik meluncur dan dikayuh kuat-kuat. Hati para pemburu itu dikuasai keinginan untuk meratah daging kami, mereguk minyak dan darah kami. Begitu sulitkah sebuah pengertian? Seakan beratus tahun tak pernah cukup untuk memahami bahwa kami melintas di sini untuk memenuhi panggilan penyerahan diri, pengorbanan untuk kelangsungan hidup mereka di pulau yang kering sengsara. Lamalera! Pandanglah si lamafa, pemegang tempuling yang berdiri di haluan perahu itu. Dia yang segagah itu harus berkelahi menenangkan hatinya yang gentar dan tangannya yang gemetar memegangi tempuling seraya matanya lapar mencari bagian tubuh kami yang paling empuk untuk dirajam. Kalau kami dipahami dengan benar. Kalau saja mereka mengerti bahwa hidup kami memang buat mereka, tak seharusnya hati seorang lamafa adalah campuran kecemasan dan keberanian. Orang semanis dia tak seharusnya menyimpan hasrat membunuh. Sama seperti tidak seharusnya anak-anak kami berniat membunuh kami supaya bisa menyusu di puting susu kami. Kami bukan makhluk yang haus darah sebagaimana manusia di Jawa dan Bali yang memangsa saudaranya sendiri, berpuluh tahun yang lalu, ketika kami sekaum sedang menjelajahi laut selatan. Menjijikkan. Ada jenderal yang bangga telah membinasakan orang tak bersenjata, tak bersalah, jutaan jumlahnya. Jung pecah yu yang kenyang, kata peribahasa. Sesudah pembantaian itu, langit pun tahu siapa yang mati kekenyangan. Langit semakin biru. Garis pantai terputus-putus terlindung haluan perahu yang menderu, beradu cepat mengejar kami. Para pemburu maju bersama perahu mereka yang begitu sederhana, yang tak pernah berubah sejak ratusan tahun yang lampau sejak kami saling bertemu. Memang, seharusnya seperti itulah. Berangkat dengan doa. Bertolak dengan kesederhanaan. Melaut membawa perut yang hanya sejengkal. Tidak seperti pemburu di daratan lain, yang datang dengan kapal-kapal besi. Tempuling mereka bukan bambu, tapi meriam! Setengah mil dari iring-iringan kami, tempuling pertama sudah dihunjamkan si lamafa sekuat-kuatnya dengan seluruh tubuhnya ikut mencebur ke laut. Mata senjata itu tertancap persis di jantung seguni jantan. Dalam sekejap, perahu berputar seligat gasing. Ekor si jantan berkelebat menghantam perut perahu. Ombak membalun. Darah menyebar. Darah! Tapi, takkan ada hiu yang punya nyali untuk mendekat karena pemburu itu akan terjun membantu si lamafa dengan membawa pisau atau parang dan menikam hiu yang mendekat. Laut menggelora, gulungan ombak memerah kusumba. Paus pembunuh itu tetap tak rela mati dibunuh. Berputar-putar dia mengitari perahu. Ekornya melibas, menggapai-gapai. Pagi ini, tempuling, pisau, dan parang panjang sudah mencabik-cabik tubuhnya, tapi baru menjelang malam nanti darah timpas dari nadinya. Di laut sini, jantan menunjukkan kelaki-lakian mereka yang tiada duanya. Mereka memilih mati daripada betinanya yang dibunuh. Di musim kemarin, jantanku sengaja menyerahkan diri, membiarkan jantungnya dirajam tempuling, agar aku dan kaumku bisa meneruskan perjalanan. Tapi, dalam perjalanan menghanyutkan diri di laut yang hangat ini, aku sudah memohon dia supaya menjauh. Menjauh… Aku percaya, kematianku takkan menyebabkan kepunahan koteklema. Para pemburu itu manusia sederhana, yang menyambut seruan hidup untuk memuliakan para janda dan si miskin dengan mempersembahkan daging kami kepada mereka. Usus mereka terlalu pendek untuk melenyapkan kami semua. Mereka bukan orang-orang berkulit putih atau kuning, yang memangsa kami bersenjatakan kapal-kapal besi bermesiu di belahan dunia di utara sana. Berkelebat aku menikung, semakin jauh dari jantanku. Sekali ekorku berdebur mengepak udara, tubuhku meluncur beratus meter ke bawah permukaan laut. Ketika aku muncul kembali, para pemburu itu terperanjat bukan kepalang melihat ekorku mengegol-egol di buritan. Kuapungkan tubuhku. Dan perahu pemburu itu menempel seperti bayi yang mungil di punggungku. Tak ada jerit ketakutan di antara mereka. Bukan karena keberanian, tapi karena adat yang mengharamkan suara dalam perburuan. ”Jangan tikam é…! Kamu jangan jadi pengecut… Betina… Jangan bunung betina! Dia bagus seperti Yesus.” Kudengar seseorang berbicara tertahan. Pasti ada pengkhianat di antara pemburu. Sebab adat melarang mereka melontarkan sepatah kata pun. Dalam perjalanan pulang, menghela hasil buruan yang sudah tertambat di sisi perahu, juga tak boleh ada kata. Apalagi menyebutkan daratan, seperti Adonara, Larantuka. Bisa bikin perjalanan pulang bakalan lama, sejauh jarak daratan yang disebutkan. Suatu ketika ada yang ngomel: ”Apa saya bicara Belanda sehingga kamu orang tidak mengerti?” Gara-gara umpatan itu, pantai seperti Eropa jauhnya. Tapi, suara di haluan itu, seruan si lamafa itu, boleh dimaafkan dewa-dewa karena ini memang kejadian luar biasa. Aku, koteklema, paus berbobot 40 ton sedang menyerahkan diri bulat-bulat. Supaya laut tidak berdarah-darah lagi. Langit biru, laut senyap. Di punggungku, perahu dengan delapan pemburu yang berserah diri kencang menjelajah ke pantai. Dengan tertempel di punggungku, muncung perahu deras menyisir ombak ditingkah gemercik air di ujung cadik. Layar yang terbuat dari daun lontar dibiarkan saja kuncup, tak ada gunanya. Dalam tatinganku perahu seisi-isinya tambah menepi. Sekali ekorku melibas, daguku sudah akan mendarat di pasir pantai. Di haluan, kudengar si lamafa mengutuk dirinya dengan kata-kata yang tak bisa kupahami. Dia terisak-isak. Kupikir dia menangis sambil memegangi ujung haluan. Mencium kayu itu, kayu yang beberapa hari sebelum perahu itu melaut, diselimuti dengan anyaman daun lontar, diperlakukan seperti manusia. ”Anna,” si lamafa memuja. ”Maafkan aku. Memang aku membelai pipi Leoni dan sembunyi-sembunyi kasi dia jepitan rambut dari plastik yang selalu dia pakai. Bikin dia senang. Aku lupa sumpah di depan pastor, kamu satu-satunya istriku. Sampai mati….” Penduduk desa nelayan itu terdiam, takjub, terkejut, tak percaya melihat aku sendiri yang menghamparkan tubuhku di pasir. Orang-orang mengerumuniku. Menepuk-nepuk perutku yang buat mereka kokoh seperti bukit yang tak bisa dirubuhkan. Penuh daging dan lemak, lebih dari cukup untuk lauk mereka setahun. Semua merapat ke tubuhku. Kecuali si lamafa, yang merasa malu karena mata tempulingnya sia-sia. Dia menuntun istrinya menjauh. Si lamafa bercerita kepada istrinya tentang jalannya perburuan yang gagal, tetapi membawa pulang seekor paus sebesar rumah. ”Dia koteklema betina. Seperti kamu. Dia menyerahkan diri. Juga seperti kamu. Dan menuntun kami pulang. Seperti kamu. Aku malu pada kamu, Anna….” Anna Margaretha cuma mengais-ngaiskan kaki di pasir. Matanya haus menatap kerumunan orang di pantai. Ia kepingin menjamah perut mamalia itu, tanda terima kasih. Bersyukur untuk daging dan lemakku, juga untuk penyerahan diriku yang telah menyadarkan suaminya pada sumpah dan cinta pertama.***
""Tiada Darah di Lamalera""
De Malcontent2 memang menyimpan bara pada kompeni. Namun, siapa percaya jika ia mampu menghimpun kekuatan untuk membantai seluruh orang Belanda di Batavia? Bukankah Margaretha, istrinya, juga seorang Belanda? Kuasa kompeni telah memilih Pieter dan kawan-kawan sebagai tertuduh utama meski tak satu bukti—kecuali isu yang diembuskan oleh seorang budak kepada istri Reijkert Heere. Aku tahu, Pieter akan mati hari ini. Tiga pekan lalu, serdadu kompeni menyerbu kediaman Pieter. Meringkusnya sebagai penjahat yang hendak melakukan makar. Bahkan, usaha Aletta mencegah serdadu membawa ayahnya hanya kesia-siaan. Margaretha mendekap tubuh anaknya ketika Pieter, Kartadriya, Layeek, dan enam belas orang lainnya digiring ke Stadhuis3. Aku hanya bisa memandang dari balik jendela. Menuliskannya dalam baris-baris soneta. Apa boleh buat, aku hanya seorang pujangga. Apakah segerombolan kata-kata akan mungkin menghadang bedil-bedil kompeni itu? Sejarah memang harus dituliskan. *** Wajah Pieter mengeras demi mendengar keputusan Dewan Heemraden. Bagaimana mungkin, tanah di Pondok Bambu dan Sontar yang dahulu dibeli ayahnya dihapus kepemilikannya. Ia bahkan harus membayar sewa karena telah menggunakan tanah tersebut untuk usaha. ”Begitu besarkah kebencian mereka kepada seorang Indo sepertiku?” kata Pieter memeram bara, ”mamiku memang Siam. Tapi apa salahnya menjadi orang Siam? Bukankah kita tak memilih dari rahim siapa dan di mana kita dilahirkan?” Margaretha dan Aletta tak tahu harus berkata apa. Mereka hanya bisa bermain-main dengan sendok dan garpu di tangannya. Selera makan mereka telah hilang sejak Pieter menggebrak meja setelah membaca surat keputusan Dewan Heemraden mengenai kepemilikan tanah keluarga Erberveld. ”Bukankah dahulu papi Tuan seorang Vertegenwordige4 di Het College van Heemraden?” tanya Ateng Kartadriya, meneliti surat keputusan tersebut. ”Benar, Raden!” ujar Pieter, “mereka bahkan tak peduli pada jasa Papi.” ”Hmm… tiga ribu tiga ratus ikat padi?” gumam Ateng Kartadriya, ”mungkinkah ini ada hubungannya dengan Reijkert Heere?” Kedua alis Pieter saling bertaut ketika keningnya mengerut. Ia seperti sedang mencari alasan paling mungkin bila dugaan Ateng itu benar. Ya… untuk apa? Mengapa Reijkert harus melakukan itu? Ateng Kartadriya dan Pieter saling berpandangan, seperti menemukan jawaban. *** Sejak usaha leerlooierij5 Erbelveld senior tersohor, nama Jacatraweg menjadi tenggelam. Orang lebih mengenal tempat itu sebagai kampung Peca’ Kulit. Mungkin karena kepiawaian Erberveld senior itu, Pemerintah Belanda mengangkatnya sebagai wakil presiden di Het College van Heemraden. Sepeninggal Erbelveld senior, Pieter melanjutkan usaha itu. Kedekatannya dengan bangsa pribumi membuat Pieter disegani. Ia bahkan berkarib dengan seorang pribumi bernama Raden Ateng Kartadriya. Mereka bahkan menyebutnya Toean Goesti setelah ia mengaku sebagai orang Selam6. Seandainya saja dahulu Pieter mau menerima tawaran Henricus Zwaardecroon, mungkin Reijkert Heere tak perlu menjelma sebagai penulis lakon sebuah sandiwara dan menjadikan Pieter pemeran utamanya. Aku tahu, Pieter akan mati hari ini. Siapa pun yang dijebloskan ke ruang hukuman di Stadhuis akan mengakui kesalahannya. Landdrost7 selalu memiliki cara untuk membuat orang mengakui kesalahannya meski sesungguhnya ia tiada bersalah. Ruang bawah tanah itu adalah saksi bagi keputusasaan. Dan sejarah memang harus dituliskan. *** Sejak mercon itu meledak di benteng Zeelandia, Gubernur Jenderal Zwaardecroon kian meradang. Hanya tinggal selangkah lagi ia akan menjadi pemilik seluruh tanah di Batavia. Namun, dukun yang diundangnya mengatakan kepadanya tentang langit Batavia yang telah dipenuhi segala macam ilmu hitam. Seorang stafnya meninggal tiba-tiba karena penyebab yang entah apa. Apalagi, tersiar kabar tentang jimat-jimat yang beredar di tengah masyarakat. ”Selamat siang, Tuan!” sapa seseorang. Zwaardecroon bergeming menatap keluar jendela kantornya. ”Apakah kau datang membawa kabar, Tuan Reijkert?” tanya Henricus Zwaardecroon tanpa menoleh. ”Saya ada membawa kabar, Tuan!” ”Kabar baik?” ”Tentu, Tuan!” kata Reikert, ”kami sudah menemukan biang keladi kekacauan selama ini.” Zwaardecroon langsung memutar tubuhnya, ”Betul yang kaukatakan itu, Reijkert?” ”Benar, Tuan,” ujarnya, ”Tuan tentu mengenal Raden Ateng Kartadriya?” ”Mandor di leerlooierij milik Pieter?” ”Kami menggeledah rumahnya dan menemukan jimat-jimat yang selama ini beredar di masyarakat.” ”Jadi, dia pelakunya?” Reijkert tersenyum, ”Tuan tahu siapa yang berada di belakangnya?” ”Pieter?” ”Benar, Tuan!” Zwaardecroon memandang keluar jendela ruang kerjanya, ”Kau tentu sudah tahu apa yang harus dilakukan, Reijkart?” Reijkart memberi hormat, melangkah meninggalkan ruang kerja Gubernur Jenderal Henricus Zwaardecroon. Suara langkahnya seperti irama kematian. *** Sejak suaminya menjadi penghuni ruang hukuman di Stadhuis, Margaretha telah kehabisan air mata. Ia tak lagi bisa menangis. Leerlooierij milik suaminya tak lagi beroperasi. Hari-harinya hanya ditemani sepi. Sudah beberapa kali dia mengunjungi Stadhuis, mencari tahu nasib suaminya. Sia-sia. Gubernur Jenderal tak mengizinkan siapa pun mengunjungi pelaku pemberontakan. Seperti juga aku, Margaretha tahu, hidup suaminya tak akan lama lagi. Pagi tadi, berkas perkara Pieter dan teman-temannya tidak diserahkan ke Raad van Justitie, tetapi ke Collage van Heemraden. Tanpa seorang pengacara pun mendampingi mereka. Aku tahu, Pieter akan mati hari ini. Bukankah sudah kukatan, tak ada yang tidak akan mengaku bersalah setelah masuk ruang hukuman di Stadhuis? Begitulah hukum kompeni. Mereka selalu punya cara untuk membuat orang mengakui kesalahan yang tidak dilakukannya. Aku memang tidak berada di ruang hukuman, tapi aku tahu apa yang telah mereka lakukan terhadap Pieter dan teman-temannya. Sejarah memang harus dituliskan, bukan? *** Tiap jengkal tubuh Raden Kartadriya telah menerima pukulan serta tendangan. Kedua tangannya dirantai. Lehernya dikalungi timbangan besi. Kepalanya tertunduk ke lantai menahan nyeri setiap kali serdadu kompeni menambah pemberat pada timbangan. Namun, ia masih bungkam, tak mau membuka suara. ”Potong habis rambutnya!” perintah Reijkert, ”kita lihat, apakah ia masih sanggup tutup mulut!” ”Baik, Meneer!” Helai demi helai rambut Raden Kartadriya berjatuhan di lantai hingga tak sehelai pun tersisa di kepalanya. Reijkert mencengkeram leher Raden Kartadriya, lalu mendongakkannya. Lelaki itu malah tersenyum sinis, sorot matanya menyimpan api. Sebuah hantaman ditengkuknya membuat kesadarannya hilang. ”Masukan dia ke dalam sel!” perintah Reijkert, ”seret yang lainnya!” Serdadu kompeni menyeret Layeek, seorang budak dari Sumbawa, orang kepercayaan Pieter setelah Raden Kartadriya. ”Kamu orang tak perlu menderita seperti Kartadriya jika mau menceritakan tentang rencana pemberontakan kalian!” bujuk Reijkert. ”Fuih!” Layeek meludahi wajah Reijkert. ”Kurang ajar!” Tangan Reijkert menghantam dagu Layeek. Pemuda itu langsung tumbang, ”Angkat dia!” Serdadu kompeni merebahkan tubuh Layeek di atas de pijnbank8. Kedua tangannya dibentangkan, lalu telapaknya disekrup. Layeek menjerit-jerit kesakitan. Darah. Reijkert tertawa menikmati setiap tetes darah yang retas dari tubuh legam Layeek. ”Baik… baik, Tuan… saya akan ceritakan!” *** Sejak Pieter dan teman-temannya membuat pengakuan, Collage van Heemraden telah mengetukkan palunya. Konon dan memang hanya konon, Pieter menyimpan semua rencana pemberontakannya di sebuah peti di dalam lemari tua di rumahnya. Pieter mengatakan akan melakukan pemberontakan pada malam tahun baru dengan dukungan pasukan dari Banten, Cirebon, dan Kartasura. Pieter bahkan mengaku telah berkirim surat kepada putra Surapati. Aku tahu, Pieter akan mati hari ini. Meski kompeni tak berhasil menemukan surat-surat yang konon disembunyikan dalam peti di lemari tua miliknya, Raad van Indie telah menyetujui hukuman mati dengan penggal kepala kepada Pieter dan delapan belas orang inlander pengikutnya. Mereka akan mengeksekusinya di lapangan sebelah selatan kasteel. Begitulah, sejarah akan dituliskan, kataku mengakhiri cerita. Kedai minum itu hening. Tak ada yang tahu apa yang sedang bermain di dalam kepala orang-orang yang mendengar ceritaku itu. Pieter Erbelveld memang dikenal luas di Batavia. ”Kita harus meninggalkan tempat ini, Tuan!” ujar seorang lelaki dengan destar merah melilit kepalanya, ”sebelum kompeni menyadari pelarian Tuan. Raden Pengantin beserta pasukannya telah menanti di bekas tanah milik Tuan di Sontar.” ”Kartadriya….” ”Kita tak mungkin membawanya serta.” ”Apakah kau akan ikut dengan kami, Jan?” ”Pergilah!” jawabku, ”aku akan menyusul kalian. Biar kuselesaikan dulu soneta ini.” Sepeninggal kedua orang itu, pemilik kedai yang ikut mendengarkan ceritaku menghampiri, ”Tuan, bukankah Meneer yang wajahnya penuh luka itu Pieter Erbeveld?” ”Bukan!” kataku sambil berlalu meninggalkan pemilik kedai itu, ”Pieter akan mati hari ini!” Pemilik kedai itu hanya tersenyum, memandangi kepergianku. Depok, 09/11/2008 Catatan: 1. Gudang mesiu di Kota 2. Orang yang Kuciwa, lihat Saidi, Ridwan (hlm 184). 1987. Profil Orang Betawi–Asal Muasal, Kebudayaan, dan Adat Istiadat, Jakarta: PT Gunara Kata 3. Sekarang Museum Fatahilah 4. Wakil Presiden 5. Penyamakan kulit 6. Orang Islam 7. Semacam jaksa 8. Bangku penyiksa
""Pieter Akan Mati Hari Ini""
“Engkau yang memutuskan, Ning. Jika engkau menolak, tetap tak akan ada pendeta di keluarga besar ini.” ”Berulang saya sampaikan, saya menerima. Bukankah saya mendesak terus agar Aji segera madiksa jadi pendeta?” ”Aku mengerti, tapi, itu berarti aku harus….” ”Harus kawin lagi, dan perempuan itu mesti seorang brahmana. Keluarga segera memilihkan untuk Aji.” Semula Krining bimbang, sampai kemudian ia berada di simpang jalan, antara mempertahankan keutuhan rumah tangga dan mengembalikan martabat keluarga besar suami. ”Ini bukan semata masalah suami-istri. Ini urusan keluarga besar, dan mereka mengharap pengorbanan saya. Apa salah kalau saya bersedia?” Tidak semua orang menganggap tindakan Krining sebagai pengorbanan. Banyak yang menilai sebagai keharusan dan kepatutan, karena ia bukan perempuan brahmana. Memang, keluarga Aji Punarbawa tidak menolak pernikahan mereka, tapi tidak berarti mereka sepenuhnya merestui. Bahkan tidak sedikit yang menyayangkan, mengapa Aji tidak memilih perempuan brahmana saja, agar keturunan mereka berhak jadi pendeta. ”Tidak apa-apa, kalau memang sudah jodohmu,” ujar ibu Punarbawa dengan suara datar, terasa ia menerima dengan terpaksa. ”Bersyukurlah kamu, karena bisa memilih calon istri dengan bebas, tanpa direcoki keluarga besar,” komentar ayahandanya. ”Ini awal baik membangun rumah tangga bahagia. Istri akan patuh, anak-anak bakal menghormati ayahnya. Kamu akan jadi kepala keluarga bermartabat.” Martabat itu memang berhasil menjadi mahkota keluarga Krining dan Aji, tapi tidak bagi keluarga besar brahmana di Gria Rangkan. Mereka merasa sudah sangat lama kehilangan martabat, karena tak seorang pun berminat meneruskan tradisi kependetaan. Pegangan hidup kependetaan terbenam dalam puluhan lontar berdebu di gria itu, teronggok usang di sebuah almari kayu jati tinggi besar. Tak seorang pewaris pun tertarik mempelajarinya. Tiga generasi Gria Rangkan lebih memilih jadi pegawai negeri, dosen, guru, dokter. Yang lain jadi pengusaha, politikus. Selebihnya karyawan hotel, penari dan sopir taksi. Mereka tak peduli pada tinggi gelar kebangsawanan untuk mengambil pekerjaan rendah sekalipun. Bagi mereka ilmu kependetaan terlalu kalem dan teduh, tak ada riaknya. Untuk apa menghukum diri dan mengekang indra dengan mempelajari dan mengamalkan ajaran-ajaran usang tentang adat dan agama? Tapi, ketika orang-orang brahmana itu beranjak tua, mereka mulai sadar harus ada yang meneruskan riwayat kependetaan di Gria Rangkan. Bertahun-tahun kesadaran itu mengendap dan mengental, tetap tak seorang pun bersedia dikukuhkan sebagai pendeta. Mereka justru ingin menikmati ketenangan dan kebebasan ketika uzur, tidak mengisinya dengan kelelahan menjadi pelayan umat. Harapan pun ditumpahkan pada Aji Punarbawa, seorang guru agama sekolah menengah. ”Kamu yang paling cocok menjadi pendeta, bukankah sebagai guru agama kamu paham banyak tentang filsafat, etika dan upacara?” rajuk para tetua. Aji tak berminat, ia punya alasan untuk itu. ”Apakah tidak keliru menunjuk saya? Istri saya bukan wanita brahmana. Saya tak berhak jadi pendeta.” ”Ah, gampang mengaturnya, itu masalah kecil. Yang penting kamu bersedia!” ”Saya tak sudi jadi pendeta karena akal-akalan. Itu melanggar hukum kaum brahmana, kutukan taruhannya,” serang Aji. Para tetua itu terkekeh-kekeh. ”Tak ada yang dilanggar. Kita menempatkan perempuan sederajat laki-laki. Jika seseorang madiksa sebagai pendeta, istrinya akan jadi pendeta pula.” ”Tapi, istri saya bukan seorang brahmana.” ”Tidak ada larangan kamu beristri lagi dengan perempuan brahmana.” Aji segera menemui Krining, memeluknya, karena ternyata ia sudah mendengar semua rencana itu, tapi ia pendam sampai Aji menyampaikan langsung. ”Ini rencana gila dan dungu, Ning! Kenapa kita mesti menerima?” ”Karena jika Aji bersedia, semua orang akan lega dan bahagia.” Aji Punarbawa terbelalak. ”Engkau bahagia jika aku kawin lagi?” Krining mengangguk. ”Ya, jika itu demi syarat Aji jadi pendeta.” Aji mendatangi semua tetua di Gria Rangkan, menyampaikan ia menolak jadi pendeta. Ia tak mau kawin lagi, tak sudi menyakiti istrinya. ”Kalau begitu, kita dengar pendapat Krining. Dia yang memutuskan nasib dan kehormatan gria ini,” jelas para tetua. Dalam pertemuan yang dihadiri semua brahmana sudah berkeluarga, Krining menyampaikan keikhlasan jika suaminya kawin lagi. ”Ini kehormatan dan kesempatan bagi hamba untuk menunjukkan keluhuran budi,” jelasnya. ”Engkau perempuan ajaib yang pernah kukenal, Ning,” ujar Aji malam terakhir ia punya seorang istri. Besok pernikahan akan dilangsungkan, selepas tengah hari. Empat puluh dua hari kemudian pasangan itu akan dikukuhkan sebagai pendeta. Aji Punarbawa menatap Krining yang duduk di tepi ranjang dengan seprai baru dicuci. Aroma segar dan harum menebar ke seluruh ruangan. Temaram lampu di sudut membuat tubuh Krining tampak lebih jenjang, seperti bayang-bayang senja. Aji duduk di samping meja jati dengan kedua telapak tangan di atas lutut. ”Pasti engkau punya alasan melakukan semua ini. Katakan dengan jujur, Ning.” ”Dulu Gria Rangkan tempat pendeta-pendeta bijak dan sakti, Aji. Tapi, sudah tujuh puluh tahun tak ada lagi pendeta di sini. Sudah saatnya…” ”Itu bukan alasanmu, Ning. Itu ocehan semua brahmana tua di gria ini. Mereka cuma mau menikmati, tak sudi dibebani, ingin tampil sebagai pahlawan tanpa harus bertindak dan berkorban. Aku ingin mendengar alasan dari hatimu, yang jujur dan sejati, karena engkaulah yang berkorban.” Krining menatap mata Aji dalam temaram sinar. Ia sangat mencintai laki-laki yang lima belas tahun bersamanya, dan memberi dua anak itu. Ia dirasuki bayangan masa muda, tatkala bersua seorang brahmana yang sudi memilih perempuan biasa sebagai istri. Perlahan-lahan matanya hangat, terkenang bagaimana dulu ia meminta agar Aji meninggalkan saja dirinya, sehingga ia bebas memilih perempuan lain dari kaum brahmana pula. Jika kemudian mereka akhirnya menikah, tentu ia benar-benar perempuan pilihan, yang ditakdirkan hidup dalam hiruk-pikuk orang-orang brahmana modern. ”Katakan Ning, apa pun tak akan mengubah keputusan. Kalian sudah keluar sebagai pemenang. Aku cuma ingin mendengar kata hatimu.” ”Saya hanya ingin lontar-lontar itu ada yang membaca dan melakoni.” Aji tertawa. ”Jangan bercanda, Ning. Aku bersungguh-sungguh. Engkau menyimpan sesuatu yang harus dijelaskan.” Krining meremas tepi ranjang dengan kedua tangan, dan tetap menatap Aji. Mereka beradu pandang seperti saling menerka isi hati. ”Selain Aji, tak ada yang menggubris keberadaan saya di gria ini,” ujar Krining berusaha tenang. ”Sekarang saya punya kesempatan untuk dihargai. Sungguh luar biasa, ketika para brahmana meminta pendapat saya, membujuk dan memelas agar saya sedia berkorban. Mereka akhirnya harus mengakui, yang mengembalikan wibawa kependetaan dan kesucian Gria Rangkan adalah seorang perempuan biasa.” Aji Punarbawa melangkah mendekati Krining, mengangkat betis dan merengkuh lututnya, kemudian merebahkannya pelan-pelan di ranjang. ”Tidakkah semua itu berarti engkau lebih menghargai orang lain dibanding diri sendiri?” Krining tak menjawab, ia tersedu dalam pelukan laki-laki yang mutlak menjadi miliknya hanya saat itu. Aji memberi kehangatan seperti hanya malam itu yang tersisa. Krining menikmatinya dengan raga dan jiwa membuncah, seolah tak ada lagi malam-malam lain bersama suaminya kelak. Mereka menikmati sepenuh malam itu hingga waktu memisahkan, karena pagi tiba, dan Aji harus bersiap melangsungkan upacara perkawinan. Aji memberi kecupan di kedua mata dan dahi ketika melepas istrinya. Krining melipat seprai yang terpilin-pilin, masih terasa hangat, dan lembab di bagian tengah. Nanti malam ranjang itu akan berselimut seprai baru, untuk Aji bersama perempuan lain. Krining beranjak lima puluh langkah ke barat, ke sebuah kamar di bawah jineng, tempat menyimpan hasil panen. Jineng itu tak lagi digunakan, karena hasil panen sudah dijual langsung di sawah. Krining membersihkan dipan, menutup kasur kusam dengan seprai yang masih kuat menyisakan bau peluh percintaan mereka. Ia mengunci diri, bersimpuh di lantai, bersamadi menenangkan dada yang berdebar-debar, menguatkan jiwa yang gundah dan getir. Selepas tengah hari ia mendengar gelak tawa genit dan meriah ketika upacara pernikahan berlangsung. Guyonan-guyonan jorok oleh mereka yang menyaksikan perkawinan itu, di antara suara genta, menampar-nampar telinganya. Matanya hangat, sekuat perasaan ia mencoba tidak menangis. Ia tetap di kamar ketika malam tiba, berusaha sekuat tenaga agar tidak diganggu oleh bayangan gairah pasangan calon pendeta itu menikmati malam pertama. Waktu terasa beranjak malas dan sangat lamban. Dinding-dinding kamar mengepung dan mengimpit, atap bagai hendak ambruk menimpa, membenamkan tubuhnya dalam-dalam ke lantai. ”Kuatkan jiwa hamba, Hyang Widhi,” dia berdoa lirih tanpa henti. Tubuhnya lemas, perasaannya lunglai. Ketika hendak merebahkan diri di ranjang, ia mendengar suara gaduh beruntun dari arah timur, disertai jerit perempuan berulang-ulang disela isak tangis. Sudah larut malam, saat Krining mendengar langkah terseret-seret menghampiri jineng. Pintu diketuk berulang-ulang, suara lelaki memanggil-manggil. ”Buka, Ning, buka!” Krining terkesiap, di hadapannya Aji Punarbawa berdiri dengan napas tersengal-sengal. Di belakangnya seorang perempuan telanjang bersimpuh merunduk tersedu sedan. ”Aku tak sanggup melakukannya, Ning,” ujar Aji dengan tubuh gemetar. ”Terus-menerus aku teringat dirimu yang pasti dirundung sakit hati dan sunyi.” ”Saya meminta, karena Aji suami saya,” isak perempuan bersimpuh itu buru-buru menjelaskan, agar tidak disalahkan. Rambutnya tergerai menggerayangi pinggulnya yang mulus, padat dan kencang. Krining tak mengerti, mengapa Aji menolak melakukan tugas mulia yang menggairahkan di malam pertama. Tubuh ranum perawan itu dengan sepasang kuntum payudara segar, yang terguncang-guncang menahan deras isak, pasti menantang berahi lelaki mana pun. Bagaimana bisa Aji Punarbawa tak tergoda hanya karena terganggu oleh bayangan derita istri? Perlahan Krining menarik seprai, agar debu dari kasur kusam tidak beterbangan. Ia gamit pundak perempuan itu berdiri, dan menyelimuti tubuhnya yang telanjang dengan seprai. Betapa lemas jemari perempuan itu terasa oleh Krining ketika menuntunnya kembali ke kamar pengantin, lima puluh langkah ke timur. Aji Punarbawa mengikuti seperti seekor anak kucing membuntuti induknya. Di depan pintu Krining melepas seprai dan meminta perempuan yang dibalut gairah itu memasangnya di ranjang. Aji bengong dan bingung melihat tingkah istrinya. ”Sekarang Aji pasti sanggup,” ujar Krining. ”Bayangkan malam pertama ketika Aji menggumuli saya. Hirup bau keringat kita di seprai, semua akan berlangsung seperti biasa.” ”Berarti aku memerkosa, karena melakukan tanpa cinta.” ”Tak apa, tebuslah empat puluh dua hari nanti, ketika Aji madiksa jadi pendeta,” ujar Krining seperti bercanda. Aji Punarbawa membungkukkan badan, perlahan-lahan duduk bersila, mencakupkan kedua tangan di depan dada dengan takzim, kemudian memeluk betis Krining dan mencium lututnya. ”Tak pantas calon pendeta menyembah perempuan biasa, Aji.” ”Engkau wanita luar biasa, Ning.” Seprai sudah terpasang, perempuan itu tergolek telanjang menunggu penuh harap berlumur berahi. Terbayang zaman gemilang yang akan dilaluinya sebagai penampung benih penerus generasi kependetaan Gria Rangkan. Krining membimbing Aji berdiri, menuntunnya masuk kamar, lalu menutup pintu dari luar. Setenang dan setegar mungkin ia berusaha menempuh lima puluh langkah ke barat, kembali ke jineng. Dalam sunyi hening ia terkenang para leluhur, yang ia yakini selalu mengawasi perilakunya sehari-hari. Di depan pintu ia terpekur, berdoa semoga leluhur merestui tindakannya, dan tidak menghujatnya sebagai perempuan bodoh yang menistakan diri sendiri. Sudah lewat tengah malam ketika Krining merebahkan diri di dipan dengan kasur kusam, tanpa seprai. Namun, ia merasa sangat nyaman, tetap sebagai perempuan biasa. Denpasar, Mei 2009
""Malam Pertama Calon Pendeta""
Hanya berjaga-jaga: mungkin saja, kalian akan mendengar sebuah nama atau julukan atau juga olok-olokan yang berbunyi ”Bujang Kurap”. Tentu saja kalian akan membayangkan semacam penyakit kulit menular yang diidap seorang pemuda, seorang bujang. Mungkin juga kalian akan langsung memaklumi bagaimana si pemuda dipanggil ”Bujang” atau belum menikah: siapa yang sudi disunting lanang kurap? Dan sangatlah mungkin bila pikiran kalian pun melukiskan parasnya dengan sangat buruk dan menyeramkan—walaupun sebenarnya belum tentu juga orang yang terkena kurap itu adalah ia yang tak elok rupanya! Mengapa perlu berjaga-jaga? ”Bujang Kurap” kadang jua dipakai untuk berolok-olok sesama kawan—atau juga terhadap orang lain—dengan berbagai dalih: satu/beberapa orang yang memang kurap—walaupun sedikit saja bercak itu terdapat di bagian tubuh tertentu; atau orang tak disenangi itu jauh dari rupawan wajahnya; atau sekadar mengolok-olok tanpa harus memikirkan tersambung atau tidaknya kata yang mereka gunakan untuk berolok-olok; atau juga ada alasan lain…. Sebenarnya, tak ada yang perlu diluruskan sehingga cerita ini harus dituliskan, apabila ”Bujang Kurap” yang dimaksud itu berada dalam pengertian bahasa Indonesia yang setakzimnya. Perkaranya adalah olok-olokan itu diambil dari sebuah cerita yang melegenda di Bumi Silampari, tentang seorang laki-laki yang berjuluk ”Bujang Kurap”. Ini bukan perkara bahwa kampung kami tak ingin diturun-derajatkan dengan penggunaan julukan pemuda itu. Artinya, bila pun Bujang Kurap dicerita-legendakan sebagai bujang yang kurap saja, maka tak apa-apalah. Namun, Bujang Kurap kami adalah pemuda yang sifat dan tabiatnya sangatlah bertentangan dengan penilaian orang terhadap parasnya. Bujang Kurap kami adalah pemuda yang elok perangainya. Entah, apakah orang-orang kampung kami yang berolok-olokan tersebut tahu atau tiada mengindahkan cerita si Bujang Kurap, namun disilakanlah kiranya kami merayu, mengajak ikut serta merobohkan batang yang mungkin saja lebih besar dari derum itu. Mungkin kalian akan mencela, ”Takkah terlebih dahulu, diberi tahu dan diajak dengan bijak, orang-orang kampung ini untuk merobohkan pohon itu?” Alamak jan, ini bukan perkara tak menganggap orang sekampung. Tapi sudah kapalan mulut kami berkisah dan berseru. Tetap saja telinga mereka jangak, pikiran mereka bebal, hati mereka kajat…. Sebagian mereka tak pandai memperlakukan cerita rakyat itu dengan hikmah. Maka, telah cukupkah kiranya alasan untuk membentang cerita tentang si Bujang Kurap? Adalah Datuk Saribijaya, laki-laki gagah nan rupawan: satu dari dua depati yang mengawal kepergian sang raja, Datuk Ketemenggungan sekeluarga, dari kerajaannya, Pagarruyung. 1 Setelah sekian lama mengikuti pengembaraan sang raja, singgahlah Datuk Saribijaya di Titiang Dalam, salah satu kampung di Sorulangun Jambi. 2 Di sana, ia menaut hati seorang gadis dari keluarga kerajaan Melayu Bangko. Putri Sari Banilai, demikian hikayat menceritakan namanya. Alahai, siapa yang tak ingin disunting laki-laki gagah serupa Datuk Saribijaya. Ya, walaupun ia tiada jemawa dengan ketinggian derajat yang disandang semasa di Minangkabau, namun kilau air muka, pembawaan, dan tindak-tanduknya tak urung memikat sesiapa, tak terkecuali bagi gadis-gadis Jambi, tak terkecuali bagi seorang Putri Sari Banilai. Kain panjang dikebat. Perayaan besar pun dihelat. Betangkup dua hati, berjatuhanlah kelapa muda, bernyanyilah murai-murai Batanghari Sembilan…. Datuk Saribijaya dan Putri Sari Banilai memadu kasih secara adat dan kepercayaan. Mereka pun beranak pinak. Keturunan dari Datuk Saribijaya dan Putri Sari Banilai ini pun merajut keluarga-keluarga kecil pula. Nah, salah satu keturunan dari keluarga-keluarga dari silsilah itu rupanya dititipkan Tuhan seorang bayi laki-laki yang kelak termasyhur namanya di seantero Musirawas dan sekitarnya. Entah bagaimana, orangtuanya 3 yakin saja bahwa suatu saat nanti, putranya akan menjadi pemuda yang berhati mulia. Keyakinan itu tiada jua goyah meskipun beberapa tahun setelah itu, lahir seorang bayi perempuan 4 dalam keluarga mereka. Ya, walaupun dalam tumbuh-kembangnya, si sulung kerap mengidap penyakit gatal di sekujur tubuhnya, namun tak pernah mereka berpilih kasih dalam mencurahkan kasih pada kedua buah hatinya. Sang putra tetap diurus sebagaimana anak yang sakit mesti diperhatikan. Bahkan banyak tabib dan orang pintar yang dimintai bantuan untuk mengobatinya, namun tetap, tak kunjung sembuh penyakit anak bujang mereka. Singkat cerita, putra mereka tumbuh sebagai pemuda kurap, hingga orang-orang menjulukinya ”Bujang Kurap”. Dan… terbuktilah peribahasa lama itu: Tiadalah Tuhan menciptakan manusia sebagai makhluk yang berkekurangan saja. Ya, sebagaimana dahulu orangtuanya berkeyakinan, Bujang Kurap juga tumbuh sebagai pemuda yang berbudi. Walaupun orang-orang tahu bahwa Bujang Kurap adalah pemuda yang bersahaja, menghormati orang yang lebih tua, bahkan—ini yang lebih terperhatikan kala itu—tak jarang meringkus perampok yang masuk kampung, namun mereka masih saja menjulukinya seperti itu. Nah inilah yang perlu didudukkan: julukan yang disematkan pada si pemuda, tak lain tak bukan, demi memudahkan penjelasan tentang siapa orang berhati baik yang dimaksud. Ya, tak ada niat untuk berolok-olok dengan julukannya itu. Dan… itulah mulianya orangtua. Tiadalah mereka merasa malu dengan apa-apa yang mendera anak bujangnya itu. Maka, Bujang Kurap merasa sedih yang tak alang kepalang ketika ibunya meninggal. Tak lama berkelang, Bujang Kurap pamit pada ayahnya untuk merantau, mengembara mencari kesaktian-sebagaimana cara orang-orang dahululah. Dalam kisah yang sudah dipersingkat, setelah memperoleh kesaktian dari sebuah pertapaan, Bujang Kurap melanjutkan perjalanan hingga tiba di sebuah aliran air bernama Sungai Rawas. Aliran itu hulunya bermula dari celah gugusan bukit di sebelah timur Bukit Barisan. Dari sini, mengalir ke arah timur: panjang dan berliku-liku. Akhirnya bermuaralah di daerah yang kini bernama Musi Banyuasin, namun masih berdekatan dengan perbatasan Musirawas. Maka, Bujang Kurap pun melalui dusun-dusun di sepanjang sungai: Kota Tanjung, Napal Licin, Muara Kulam, Muara Kuis, Pulau Kidak, dan banyak lagi, berakhirnya di Dusun Pauh, dan bermuara di daerah dekat Sungai Musi yang bernama Muara Rawas. Bujang Kurap membantu penduduk dusun-dusun yang dilaluinya. Membantu menaikkan bubungan rumah, mengangkut batu jelapang untuk memirik rempah, membuka ladang, menyadap karet, memanen kopi, dan tentu saja dengan semua kesaktian yang dimiliki, ia mengamankan kampung dari sekawanan penyamun, perampok, dan kelompok pembuat onar lainnya. Nama Bujang Kurap pun termasyhur di bantaran Sungai Rawas. Orang-orang menaruh hormat padanya. ”Bujang Kurap” bukan lagi julukan yang memerudukkan keburukan seseorang. ”Bujang Kurap” dipakai untuk melukiskan betapa baiknya hati seorang pemuda; betapa rupa bukanlah tiang untuk mengukur tabiat. Bujang Kurap menghabiskan hayat di sebuah kampung di Lubuklinggau, Ulak Lebar. 5 Di sana, ia mengajarkan silat dan kuntau-bela diri Sumatera, dan ilmu kesaktian yang dimilikinya kepada penduduk setempat dan datangan. Bujang Kurap dikebumikan di kaki Bukit Sulap, daerah yang dibentuk oleh tiga aliran sungai: Sungai Kasie, Sungai Ketue, dan Sungai Kelingi. Sebenarnya apa-apa yang baru saja diceritakan dapatlah dikatakan sebagai sebuah ringkasan yang tak sempurna dari sebuah kisah yang utuh. 6 Bujang Kurap juga manusia. Pastilah ada kekurangan, kekhilafan, dan keburukan sifat dan tabiatnya. Namun, tanpa bermaksud mencari alibi, apa-apa yang hitam dalam perjalanan hidupnya tiba-tiba menguap saja, bila disandingkan dengan keelokkan budi pekertinya. Hingga kini, di tepi Sungai Kelingi, sebelah selatan Benteng Kuto Ulak Lebar, tempat Bujang Kurap tidur berbungkus kain putih murah, masih ada saja orang-orang yang mengadakan reritual demi sesuatu yang sebenarnya mereka sendiri tak sepenuhnya yakin dapat diraih. Artinya, bila kalian tak hakkul percaya pada cerita yang diringkas ini, setidaknya lihatlah orang-orang yang belum tegak imannya itu. Mereka mungkin tak paham beragama, namun mereka paham sekali bahwa tiadalah akan ”berkah”—menurut mereka—sesembahan yang dijaban, bila arwah yang diharapkan membubung itu bukan orang baik-baik semasa hidupnya. Oh, malu sebenarnya mengatakan ini: Bila tak bisa diajak bersekutu orang-orang kampung demi merobohkan batang yang besar itu, maka tak ada salahnya bukan, kami mengait tangan kalian untuk mengabar kebaikan yang tak dimunculkan? Ya, Bujang Kurap kami bukan serupa Malin Kundang di Minangkabau. Namun, uda-uni di barat Sumatera dapat dengan layak menempatkan cerita anak durhaka itu sebagai pembelajaran akhlak dan budi pekerti. Ini perkara salah bungkus! Kami pun kadang-kadang membersit tanya: Mengapa sampul cerita ini harus bertulis ”Bujang Kurap”. Mengapa tak mengambil judul lain? O bukan hanya itu, Kawan! Cerita ini tak pernah dibukukan sebagaimana layaknya buku bacaan (jadi, jangan berharap kalian akan menemukan semacam buku cerita rakyat Musirawas-Lubuklinggau di toko-toko buku di kampung kami). Bahkan dicetak sebagai buku cerita ringan—yang disebarkan ke perpustakaan-perpustakaan sekolah daerah kami, juga tidak! Kantong buah karet sudah meletus. Biji-bijinya berhamburan di tanah yang berselimut daun-daun kering yang berwarna abu. Hanya menghitung hari, semua telah tumbuh. Dan kini, sudah berabad kiranya cerita itu disiram, dipupuk, dan dijaga. Menjadi batang. Semakin besar. Sukar sekali dirobohkan, Kawan! Jadi, bila suatu waktu nanti, Tuhan berketetapan bahwa kalian harus berada di Lubuklinggau atau Musirawas (entah karena bus kalian yang transit, atau kunjungan khusus, atau memang akan tinggal menetap), kami berharap; kalaupun kalian tak mampu merobohkan pohon itu, paling tidak, janganlah kalian indahkan olok-olokan orang kampung kami yang menjadikan seorang pemuda kurap sebagai senjata olokannya. Lubuklinggau, 13-16 Mei 2009 Catatan:
""Bujang Kurap""
Tapi, tunggu, tunggu dulu. Meski aku tukang cuci, aku bukan sembarang mencuci. Aku hanya mencuci pakaian istriku. Istriku yang kini telah menjelma ikan paus yang gemuk. Yang punya mata tajam. Yang saking tajamnya mampu melihat barang-barang renik. Meski dalam kegelapan. Kegelapan yang aku gunakan bercinta dengannya. ”Mas, Mas, apa yang terselip di telingamu itu?” Begitu katanya saat asyik- asyiknya bercinta. Dan dia meraba telingaku. Terkejut. Sebab, dia menemukan sumpal kecil. Sumpal kecil yang menutup pendengaranku. Akh, dia marah. Matanya yang tajam makin menajam. Dan bruk! Dia membanting aku. Lalu, seperti anak kecil, dia pun menangis tak karuan. ”Mas, Mas, sudah benci pada suaraku, ya? Gila, gila, gila!” Dan dengan sebat, dia pun membuka lemari pakaian. Dia keluarkan semua pakaiannya. Juga boneka-boneka kecilnya. Lalu menginjak-injaknya. Dalam pandanganku, saat menginjak-injak itu, dia bukan seperti orang marah. Tapi, orang menari-nari. Ya, ya, bayangkan, apa aku tak ketawa, ketika melihat ikan paus yang gemuk menari-nari? Ha, ha, ha, hampir saja aku mencibirnya. Tapi, cepat aku tahan. Aku tak mau berhantam dengan dia malam-malam. Dan paginya, seluruh pakaian istriku berserakan. Kotor. Lecu dan mengenaskan. Sedangkan istriku, seperti biasa, cuma tidur di atasnya. Telentang. Dan giginya menggerentam. Seperti catutan yang mengkriuk. Dan diam-diam, seperti biasa, aku punguti pakaian-pakaian yang berserakan itu. Dan kembali lagi menjalani hidupku sebagai tukang cuci. Tukang cuci. ”Apa ada yang lebih ganjil dari gajah yang memakai kaus?” Jawabnya: Tak ada! Itu teka-teki gendeng. Segendeng ukuran kaus istriku ini. Dan lihat! Gede sekali ukurannya, bukan? Apa dobel L? Apa tripel L? Apa kuartet L? My God. Barangkali tak akan terukur. Maka tak perlulah untuk dijawab. Yang jelas, kini aku harus mencucinya. Mencuci dengan bersih. ”Mas, Mas, ini kaus kesayanganku. Terutama sulaman kembang merahnya. Jangan rusak, ya?” Memang, sejak remaja istriku paling suka kembang merah. Dan kesukaannya ini sering membuat aku gelagapan. Bayangkan, semua barang yang ada di rumah (entah milikku atau miliknya) mesti ada kembang merahnya. Walau ukurannya kecil dan tersembunyi. Jadinya, jangan heran jika diam-diam aku membenci kembang merah itu. Masak di kaus singletku ada kembang merahnya. Di kerah bajuku ada. Dan, dan di celana dalamku pun ada. Letaknya persis di depan. Jadinya, kalau aku berkaca lucu sekali. Celana dalam laki-laki kok ada kembang merahnya? Huh, jika begini aku benar-benar kelihatan konyol. Dan celakanya, aku tak bisa berbuat apa-apa. Aku tak berkutik. Aku hanya dapat meredam marah. Dan takut untuk berkaca dalam kondisi setengah telanjang. Padahal, sejak kecil, aku paling suka memperhatikan lekuk-lekuk tubuhku. ”Mas, Mas, kembang merah itu lambang cinta?” Cinta? Wau, aneh juga pikiran istriku ini. Kembang merah kok lambang cinta? Apa tak ada lambang lain? Kompor kek? Sepatu kek? Atau duit? Ya, aku lebih setuju jika duit adalah lambang cinta. Sebab, apa sih di dunia yang tak bisa dibeli duit? Semua bisa dibeli! Bahkan, apa saja yang dulunya lebih penting dari duit, kini mesti bertekuk-lutut. Klepek-klepek di depan duit. Klepek-klepek seperti ikan kena oli atau kena sampah. Oya, ngomong-ngomong tentang sampah; karena banyaknya kembang merah di rumahku, aku merasa itu seperti sampah. Sampah kembang merah. Yang menyumbat saluran got. Lalu, membuat kampung jadi banjir. Dan orang-orang kebingungan. Cuma bisa nangkring di genting. Sambil membayangkan: ”Akh, seandainya punya duit, kami akan membeli rumah di gunung. Biar jauh dari banjir?” Ha, betul kan? Apa aku bilang. Duit itu sangat penting. Dan layak dijadikan sebagai lambang cinta. Termasuk, cinta untuk membeli rumah yang jauh dari banjir dan hidup yang nangkring di genting. Selanjutnya, aku akan mencuci rok bawahan istriku. Seperti ukuran kausnya yang tak terukur, ukuran rok bawahannya pun begitu. Bahkan, ini adalah ukuran yang tak semua toko membuatnya. Sebab, di samping membutuhkan kain yang panjang. Juga tak semua perempuan gemuk mau membeli rok bawahan hasil toko. Mereka takut membuka kekurangan dirinya di depan pelayan toko. Tapi, hal di atas tidak terjadi pada istriku. Dengan kepercayaan yang tinggi, dia tetap membeli rok bawahan di toko. Dan meski semua ukuran yang besar dia coba, hasilnya tetap saja. Jarang yang pas. Apakah itu kurang besar pinggangnya. Sempit pahanya. Atau, jika ada, maka kebetulan tak ada gambar kembang merahnya. Jadinya, ketika saat belanja tiba, aku sering malas mengantarnya. ”Mas, mulai malu jalan sama aku, ya? Mas, mau mencari daun muda, ya? Jika begitu, kembalikan aku ke orangtuaku!” Aduh, aku mau ngomong apa lagi. Mengembalikan ke orangtuanya? Ini soal yang juga makin gila. Sebab, orangtua istriku saat ini mengalami musibah. Rumahnya telah tergenang lumpur panas. Yang keluar dari pengeboran minyak yang gagal. Jadinya, orangtua istriku pun kini hidup di penampungan. Dan tiap hari hanya berencana untuk unjuk rasa. Agar pengeboran minyak yang gagal itu mau mengganti rumah mereka yang tergenang. Rumah yang dibeli secara nyicil. Nyicil 15 tahun. Dan saat ini, baru berjalan tujuh tahun. Kasihan. Kasihan sekali orangtua istriku. Badan mereka kurus drastis. Dan di mata mereka, selalu terbayang kekesalan. Wah, aku tak tahu, bagaimana tambah susahnya jika istriku yang gemuk itu mesti kembali lagi ke mereka. Jangan-jangan akan tambah kesal. Dan tambah mengutuki keadaan yang tak jelas ini. ”Sudahlah. Ayo, kita berangkat!” selaku pada istriku. Selaan yang aku pikir sangat penting daripada dia kembali ke orangtuanya yang ada di penampungan. Dan istriku ketawa. Memang, meski kini telah menjelma ikan paus yang gemuk, tapi ketawanya tetap manis. Dan ketawa itulah yang dari dulu sampai kini membuat aku jatuh hati padanya. Ketawa yang lebih indah daripada matahari sore. Lain itu, yang perlu juga aku tambahkan, aku paling tidak suka ketika mencuci rok bawahan istriku ini. Sebab, di samping berat, juga menggunakan bahan yang tebal dan kasar. Dan jika diucek seperti menyentak. Dan bahan yang tebal dan kasar ini sangat tak pantas untuk dipakai perempuan. Hanya pantas digunakan para serdadu. Para serdadu yang menenteng senjata api itu. Para serdadu, yang belakangan pernah salah menembak. Apakah itu menembak keluarganya. Teman seregunya. Atau orang-orang kampung yang bisanya cuma berladang jagung. Ah, mengapa bisa terjadi seperti ini? Padahal, jika jujur, serdadu kan tugasnya melindungi. Melindungi yang lemah. Dan yang selalu dikalahkan. Tapi, mengapa kini terjadi seperti itu? Seperti tidak memiliki kelurusan pekerti? Barangkali, apa yang sedang terjadi perlu segera dibicarakan. Dicari sisi masalahnya. Dan jika sudah ketemu, bawalah ke rumahku. Aku bersedia mencucinya sampai bersih. Mencuci dengan namaku. Dengan hidupku. Ya, ya, akulah si tukang cuci. Dan aku mesti mencuci. Khususnya mencuci rok bawahan istriku yang berbahan tebal dan kasar ini. Seperti tebal dan kasarnya seragam para serdadu. Yang belakangan pernah salah menembak. Dan, aduh, inilah kutang istriku yang aku cuci. Warnanya kuning. Ada gambar kembang merah. Kembang merah kecil-kecil. Yang dari kejauhan, seperti rantai mungil. Dan sebagai kutang orang gemuk, buntalan di kedua sisinya seperti bukan buntalan biasa. Malah seperti sepasang bola basket yang menggantung. Bola basket yang seukuran dua kali lipat dari ukuran yang biasa. Dan untuk barang yang satu ini istriku memang mencintainya. Bahkan, saking cintanya, dia tak bosan membelinya. Mengumpulkan di lemari. Dan dipajang seperti memajang di gantungan-gantungan toko. Gila. Memang gila. Tapi, apa mau dikata, itulah salah satu hobi istriku. Hobi yang disebutnya: ”Tanda keindahan tubuh perempuan….” Ha, ha, ha, bagaimana mungkin perempuan gemuk begitu percaya jika punya buah dada yang indah. Tapi, biarlah jika itu maunya. Aku tak peduli. Yang aku pedulikan adalah ketika mencuci itu kutang, pikiranku melayang. Dan hinggap pada peristiwa yang pernah menghebohkan. Peristiwa tentang sebuah film. Film perselingkuhan dari seorang pemuka rakyat dengan seorang artis belia. Artis belia, yang belakangan mulai hilang dari sorotan media massa. Dalam film yang berdurasi lima menit itu, si artis belia berdiri di pantai. Mengibar-ngibarkan kutangnya yang berwarna kuning. Dari kejauhan, si pemuka rakyat mendekat. Lalu keduanya berangkulan. Dan kutang si artis belia terlempar ke pasir. Film selesai. Dan kehebohan pun terjadi. Sebab, ternyata, film itu telah beredar dari ponsel ke ponsel. Dan keluarga si pemuka rakyat pun jadi bulan-bulanan gosip. Akh, anehnya, ternyata model kutang si artis belia itu tiba-tiba jadi terkenal. Banyak kutang keluaran baru yang mengambil contoh modelnya. Dan aku tak tahu, apakah ini model yang baik atau sebaliknya? Yang jelas, istriku pun membeli model kutang itu. Dan setiap aku mencucinya, aku selalu teringat pada film itu. ”Kok bisanya perselingkuhan semacam itu terjadi? Dan kok bisanya rakyat memukakan orang seperti itu? Dan juga dihibur artis belia seperti itu?” Ya, aku terus saja mencuci kutang kuning istriku ini. Kutang yang besar. Kutang yang jika dapat berbicara akan berbicara seperti ini: ”Aku dibentuk dari keindahan. Semestinya aku tersembunyi. Dan semestinya juga aku hanya terbuka bagi yang memang layak untuk membuka. Tapi, apa mau dikata, roda terus berputar. Yang di atas kini di bawah. Dan yang rapat pun kini tak rapat lagi. Tak ada tempat bersembunyi.” Dan sampailah aku mencuci pada cucian yang mendebarkan. Yaitu celana dalam! Ahai, celana dalam istriku benar-benar luar biasa. Dan terus terang saja aku malu untuk bercerita. Masak rahasia pribadi dibuka-buka? Dan masak juga aku mesti mengelupasi topeng di muka ini? Topeng hitam. Putih. Ungu. Dan topeng-topeng yang selalu aku rapatkan agar tak menjadi kasak-kusuk yang busuk? Sekali lagi, aku benar-benar malu dan tak mau. Tapi, meski begitu, dari ukurannya yang luar biasa ini, tentu ada saja yang punya pikiran yang bukan-bukan. Yang inilah. Yang itulah. ”Mas, Mas, jika telah selesai, tolong dijemur di depan rumah. Jangan kena sinar matahari!” Aduh, kembali istriku berteriak dari dalam rumah. Dan di dalam rumah, seperti biasa, sehabis marah, istriku tak mau bangkit dari ranjangnya. Dia hanya tidur-tiduran sambil bermain dengan boneka-boneka kecilnya. Boneka-boneka yang hampir semuanya berupa binatang laut. Ada ikan. Ada cumi-cumi. Ada kura-kura. Dan semuanya itu diajaknya berbicara. Berteka-teki. Dan bernyanyi. ”Ayo, apa yang jika malam jalannya miring? Kura-kura bodoh sekali, ya? Yang agak pintar itu memang kepiting!” Ha, ha, ha, siapa yang tidak ketawa melihat itu semua. Melihat perempuan gemuk asyik berceloteh di ranjangnya. Ranjang yang morat-marit. Ranjang yang kini seperti lautan luas tempat dia berkuasa dan bersemayam. Ya, ya, memang, jika sudah begini, istriku memang benar-benar menjelma ikan paus. Si ratu lautan yang gemuk. Si ratu lautan yang selalu dapat memerintah apa dan siapa pun. Termasuk juga memerintah aku. Suaminya. Si tukang cuci. Yang juga dipanggil tukang cuci. Sebab bernama Tukang Cuci. ”Mas, Mas, jika sudah beres kemarilah, temui aku!” Akh, kembali istriku berteriak. Dan kembali itu pula, sebelum aku menemuinya, aku memasang sumpal kecil di telingaku. Sumpal kecil yang dibencinya itu. Sumpal kecil yang selalu aku sapa begini: ”Sumpal kecil, sumpal kecil, tetaplah berada di telingaku. Sebab, aku membutuhkanmu bukan untuk menutupi suara istriku. Tetapi, agar aku selalu terhindar dari suara-suara. Suara-suara yang tak bosan-bosan mendesakku agar aku segera berhenti dari kerja cuci-mencuci!” Gresik, 2009
""Tukang Cuci""
Seperti anak-anak lelaki lain di desa ini, Naomi pun sering mencuri waktu memilah ombak dengan sampan ayahnya. Laut sepi perahu sedangkan angin dan gelombang tengah di puncak senggama mereka. Entah penunggu laut mana yang menjarah pikirannya waktu itu, Naomi berjibaku sendirian menyiangi ombak. Sebenarnya tak satu penduduk desa pun melihat kepergian Naomi. Namun kenyataan ia menghilang selama dua hari dan tak tertambatkannya perahu ayahnya di pantai, menyebabkan cerita seperti itulah yang berkembang. Ada pula berpikir, Naomi bosan dengan keseharian di desa sehingga memutuskan pergi ke kota dan perahu ayahnya dicuri orang atau digunakan penjahat untuk menyelamatkan diri dari kejaran polisi. Tetapi, kemungkinan-kemungkinan itu tak pernah mampu melebihi dominasi kemungkinan tenggelamnya Naomi. Selama itu pula, bahkan lebih awet lagi, Eta terus menangis tersedu-sedu. Betapa tidak. Naomi selalu menantang ayahnya berkelahi di pasir putih, bila lelaki itu pulang dari pesta tuak-arak sembari memaki dan meninju Eta. Ibu tua itu lupa akan air, makan, apalagi mengurus suami. Mengurung diri di kamar dan di senja hari menyisir pantai sembari memunguti apa saja yang ada di sana menjadi keseharian Eta. Desa pesisir pantai kami pun mendapat topik baru dalam sela-sela rutinitasnya yang membosankan; Eta yang menimbun sedih, stres lantas gila. Berhari-hari, berbulan-bulan, bahkan tiga empat tahun, spekulasi tentang Naomi yang menjadi hamba Nitu Ari—gurita raksasa dengan tiga jari—Naomi mempersunting Peri Laut, dan Naomi melebur masuk ke perut bumi dihisap Golo Maranggele menjadi perbincangan tak putus-putus di bibir pantai, di atas sampan nelayan ketika menanti kail dimamah ikan, di penjemuran-penjemuran ikan, di warung-warung kebutuhan sehari-hari, di sela-sela permainan kanak-kanak, pula di ranjang sehabis suami istri bercinta. Tak ketinggalan, Wujo dan Danti yang tengah beradu cinta di ceruk pasir kecil, di bawah akar-akar serabut kelapa, dihalau dari mata-mata tak diundang oleh dedaunan waru, lamtoro, menyematkan kisah Naomi dan ibunya di antara cumbuan-cumbuan penuh gelora mereka. Tak peduli kepiting-kepiting kecil yang sesekali melatai kaki, siput-siput yang tak henti curi pandang dari bawah rumah siput mereka, kedua anak Hawa itu asyik berbagi cerita. Banyak kisah yang bercampur antara acungan jempol dan isapan jempol tak putus-putus keluar dari mulut mereka. Yah, cinta memang mampu mengubah manusia menjadi pencerita yang andal. Bahkan, kisah Naomi dan ibunya yang telah sering mereka dengar menjadi indah dan baru ketika itu. Jangan kira cerita itu dongeng. Ini benar-benar terjadi. Di bawah air sana, dunia indah penuh istana dan cinta itu benar-benar ada. Naomi pastinya salah satu perwira Nitu Ari di sana. Atau ia menjadi perantara antara dunia sana dan dunia kita. Anak yang berbakti pada orangtuanya pasti akan selalu menghormati orangtua itu. Tak seperti Malin Kundang, Naomi menjemput ibunya. Ah, semoga anakku nanti seperti itu. Ketika itu, Eta tengah menyulam pantai seperti biasanya. Tiba-tiba, dari tengah laut pasang senja yang tenang penuh plankton, muncul perahu itu. Penuh lumut, teripang, dan karang di kiri kanannya. Perahu tua namun kokoh itu mendatangi pantai, tepat di depan Eta. Perempuan gila itu sekejap tersenyum penuh bahagia. Inilah senyum pertama Eta dalam sepuluh tahun itu. Dilihatnya Naomi yang telah tumbuh jadi pemuda perkasa duduk di belakang mengayuh sampannya, menciptakan gelombang-gelombang kecil di permukaan air selicin kaca. Setibanya di tepian, Naomi pun turun lantas menggandeng ibunya. Dituntunnya naik ke sampan. Mereka pun kembali ke tengah lautan dan menghilang ke bawah Golo Maranggele, pintu gerbang ke Kerajaan Nitu Ari. Tak ada sesiapa pun menyadari hilangnya Eta dari desa. Hingga pada suatu hari ketika beberapa nelayan tengah melaut di bawah langit yang kelam tanpa bulan, beberapa dari mereka melihat dua sosok manusia menari-nari di atas Golo Maranggele. Dua sosok manusia itu menari-nari diiringi lompatan-lompatan lumba-lumba di tengah pusaran air. Setelah cerita itu menjadi buah bibir di desa, orang-orang lantas mulai menyadari ketak-hadiran Eta di desa itu. Rumahnya didatangi dan penduduk desa menemukan rumah yang kosong. Tidak setiap hari memang nelayan melihat dua sosok manusia itu (yang tanpa kata terucap disetujui warga desa sebagai sosok Naomi dan ibunya). Bahkan, ada cerita yang lebih menggetarkan lagi, yang diceritakan Sinyo, seorang nelayan muda yang baru beberapa minggu melaut. Pada suatu dini hari, ia, entah karena alasan apa, kembali dari laut lebih dini. Saat tiba di pantai, dari arah Golo Maranggele dilihatnya sebuah sampan melaju menuju pantai. Sambil membereskan peralatan memancingnya, ia pun menunggu, jangan-jangan itu salah satu nelayan sejawatnya. Semakin dekat, tampak olehnya dua orang di sampan itu. Sedangkan untuk nelayan-nelayan di desa kami, sangat jarang satu sampan dinaiki dua orang. Sebab, hampir semua nelayan di kampung kami memiliki sampan. Dan memang tak biasanya orang melaut di malam hari berdua. Kalaupun ada, itu pasti salah satu orang kota yang berkunjung ke kampung dan ingin menaikkan adrenalin mereka dengan menuruti salah satu nelayan melaut. Tapi setahu Sinyo, hari ini dan dalam minggu ini tak ada satu pun orang asing yang datang ke kampung. Lagi pula sekarang pun bukan musim liburan, sehingga sanak saudara yang telah lama merantau mungkin saja datang berlibur. Ia pun tak mendengar kabar bahwa ada orang jauh yang kembali. Sampan yang diperhatikannya itu ternyata tak mendarat di pantai tetapi hanya melingkar-lingkar, mengelilingi pantai dan lantas bertolak lagi ke tengah laut, ke arah Golo Maranggele. Gemparlah desa keesokan harinya. Cerita itu berkembang menjadi cerita baru, Naomi dan ibunya kadang-kadang kembali mengunjungi desa tepatnya pantai desa. Mungkin saja di kala rindu atau mungkin ada petanda lain dari alam bawah sana untuk kampung mereka. Apalagi seminggu setelah Sinyo melihat sampan dari Golo Maranggele itu, Sipa—orang tertua di desa itu yang berumur 150 tahun—meninggal. Wujo dan Danti semakin hanyut dalam cerita dan cinta. Lupa segalanya. Hari beranjak petang dan pantai sepi di bawah sinar matahari yang memudar. Tak ada nelayan yang siap melaut sebab bulan tengah asyik-asyiknya mandi sinar matahari. Cinta itu buta mungkin memang benar. Danti dan Wujo begitu asyiknya berbagi kisah di pantai itu. Udara yang berubah kelam dan alam yang menghitam malam pun tak disadari mereka. Berbagai hal dari masa kecil, kisah-kisah konyol, pengukuhan cinta mereka hingga cita-cita atau lebih tepatnya mimpi masa depan diutarakan dan dimamah tanpa henti di sana. Keinginan untuk pulang selalu ditimpa lima menit lagi berbagi cerita yang lantas melipat berlipat jadi lima jam. Malam terus beranjak cepat karena dunia selalu dikejar keresahan sang waktu. Danti dan Wujo terus lupa bahwa waktu tak memberi banyak kesempatan bagi manusia untuk bermimpi. Burung malam terdengar perlahan dari kejauhan. Tanpa Danti dan Wujo sadari, dari Golo Maranggele meluncur cepat sebuah sampan. Sampan itu perlahan-lahan mendekati pantai dan mendarat di sana. Ada baiknya malam ini kubawa Danti pergi dari desa ini, pikir Wujo. Kami bisa saja berjalan menelusuri pantai pasir putih ini, berjalan terus sejauh mungkin dari kampung ini. Atau, bisa saja aku mencari sebuah sampan yang lupa dibawa pulang kayuhnya. Berlama-lama di desa ini, segala cinta tak’kan bisa berakhir bahagia, segala mimpi dan cita-cita akan masuk ke bubuh adat. Sukuku tak bisa menikahi perempuan sukunya. Dan Danti tengah beriming-iming tentang cinta yang akan berlanjut pada altar gereja dengan gaun putih bagaikan bidadarinya. Lantas mereka menyaksikan semburat putih dari pinggir pantai. Danti tiba-tiba menjelma putri bergaun putih laksana bidadari. Wujo menjelma nelayan kekar dengan pakaian seadanya. Wujo menggandeng Danti keluar dari ceruk pantai itu. Dibawanya ke pinggir pantai. Di sana, dilihatnya sebuah sampan berkilau emas, dengan lelampu warna-warni, menerangi air sekelilingnya. Di kiri-kanan sampan itu pun menari-nari ikan-ikan kecil beraneka warna dan rupa. Depok, Juni 2007 Keterangan: – Golo adalah pusaran air di laut. – Maranggele berarti setan.
""Naomi""
Tiga minggu sebelumnya, salah seorang calon telah membuat kesalahan fatal karena tidak memperhitungkan kondisi rel yang buruk, dan berangkat dari Monterey begitu saja sesuai jadwal. Akibat yang ditanggungnya, ia tiba di Kota Tamaulipas lima jam terlambat, dan saat itu semua orang sudah memutuskan untuk pulang dan makan dan tidur siang. Rombongan orkes, merasa peluangnya lepas untuk bermain tiga minggu sebelumnya, melakukan latihan keliling kota pagi itu. Mereka sudah bangun sejak matahari terbit. Tiga di antaranya, bersama bocah-bocah penyemir sepatu dan penjaja lotre, berbaris naik dan turun sepanjang tepi parit yang berdebu di belakang arena adu banteng. Di plaza1 dua orkes lagi berlatih menyatukan irama dan nada untuk mendapatkan rasa titinadanya. Di jalanan, beberapa orkes lain melintas di atas truk sambil berlatih pula. Kereta api khusus yang membawa Jenderal dan rombongannya mendadak masuk stasiun dengan pongah, masinis membunyikan peluitnya sekali panjang dan dua kali pendek ketika sudah berjarak dua belas rel saja. Semua orang tidak siap. Memang terlambat satu setengah jam, tetapi tiga puluh menit lebih cepat dari saat yang diharapkan. Seperti yang sudah-sudah, orang-orang yang berada di pelataran stasiun ketika kereta sang Jenderal menyelonong masuk dan berhenti adalah bocah-bocah tukang semir dan penjaja lotre, dan mereka memang akan selalu berada di sana meskipun seandainya hari itu sama sekali tidak ada sesuatu yang luar biasa. Para petugas panitia penyambutan masih berada di kantin yang jaraknya dua blok, dan sopir limusin yang akan membawa Jenderal ke arena adu banteng untuk berpidato, masih duduk santai dalam restoran di seberang jalan sambil makan buncis goreng. Limusinnya sendiri, betapapun, diparkir di pelataran stasiun itu. Jenderal dan rombongannya membeli semua lotre yang berangka 5 dalam nomor serinya dan langsung menuju limusin. Seseorang meniup trompet dengan tiga lengkingan tajam. Sopir datang berlari dari restoran dengan mulut yang penuh buncis panas, mengira seseorang main-main dengan trompet itu. Ketika ia mengenali Jenderal di kursi belakang, ia menelan buncis itu, memberi hormat, dan menyelip ke belakang kemudi. Berita kedatangan Jenderal sudah mulai tersebar ke seluruh kota. Para pemilik toko mulai menarik turun kerai baja di depan kaca-kaca etalase mereka, mengira massa akan memenuhi jalanan setiap saat. Salah satu orkes di plaza mendengar berita itu dan segera mulai bermain, para pemain musik menyuarakan instrumen mereka sekeras-kerasnya sehingga suaranya terdengar mencapai empat blok melintasi kota sampai stasiun, tempat Jenderal akan bisa mendengar dan menghargainya. Namun sebelum musik mencapai telinga Jenderal, ia dan rombongannya terpisah dalam lesat kecepatan dan gelombang debu. Enam pengawalnya yang tidak mendapat tempat di dalam limusin, menempel di luar limusin bersama lima atau enam bocah penyemir sepatu, sejumlah penjaja lotre, dan seorang utusan suatu ejido2 yang berada di stasiun lebih awal karena keliru menghitung waktu. Setengah jalan ke arena adu banteng seorang bocah penyemir sepatu dan utusan ejido tadi terjatuh ketika limusin menabrak suatu tonjolan di jalan. Ketika Jenderal tiba di arena adu banteng, tempat tujuh atau delapan ribu orang di tribun memenuhinya, dan dua atau tiga ribu berada di luar berusaha dengan sia-sia mencapai pintu masuk, dengan memanjat tembok bata dan membuka jalan dengan pisau tajam di bawah bangunan tribun. Baru saja ia dan rombongannya mau memasuki arena adu banteng, suatu regu serdadu yang telah diperintahkan melindungi jiwa calon presiden maju dan melucuti senjata para pengawalnya, mengambil segenap pistol automatik mereka dan membuangnya ke dalam karung kanvas. Para pengawal merasa tersinggung atas perilaku para serdadu, yang merupakan teman seperjuangan dalam revolusi juga, tetapi Jenderal tertawa dan memberi isyarat kepada setengah lusin gadis-gadis tercantik di sekitarnya. Ia meminta gadis-gadis itu untuk mendahuluinya melalui gang terusan, dan kemudian mereka memasuki arena adu banteng bersama. Para pengawal tinggal di belakang dan bertengkar dengan para serdadu, sementara mereka semua mengambil keuntungan atas kesempatan untuk disemir sepatunya dan membeli beberapa lembar lotre. Jenderal menaiki panggung yang telah didirikan di tengah arena adu banteng ketika seorang utusan ejido menyampaikan pidato perkenalan kepada massa melalui sistem pengeras suara. Ketika orang-orang mengenali Jenderal itu, suara mereka menenggelamkan kata-kata sang utusan dan ia harus mengundurkan dirinya, memutuskan pidatonya yang baru dibaca separuh. Bersama dengan surutnya teriakan banyak orang, dua orkes tiba dan mulai main sambil berbaris mengitari panggung beberapa kali. Dalam pada itu sejumlah bocah penyemir sepatu dan penjaja lotre membuat tanda garis pemisah bagi panggung, membuatnya aman sementara perhatian setiap orang terikat kepada penampilan orkes. Beberapa saat kemudian gerak dan keributan berkurang, dan Jenderal menuju mikrofon dan memberi salam kepada orang banyak itu. Ia hanya bisa mengucapkan sedikit kata-kata sebelum teriakan massa membuatnya tak mungkin melanjutkan. ”Apa kata Jenderal?” Kami bertanya kepada salah satu penjaja lotre di samping kami. ”Jenderal bilang dia bahagia ada di sini, karena sekarang ia menyaksikan gadis-gadis tercantik dan kaum lelaki terkuat di seluruh Meksiko!” Setelah beberapa saat Jenderal bisa menyimpulkan amanatnya. Ia bicara satu kalimat penuh dan setengah lagi pada mikrofon sebelum teriakan banyak orang lagi-lagi menenggelamkan suaranya. ”Hidup sang Jenderal!” ”Hidup Meksiko!” ”Hidup sang Jenderal!” Gelombang demi gelombang teriakan ribuan suara membahana melalui arena adu banteng. ”Apa kata Jenderal?” Kami bertanya dengan penuh perhatian. ”Jenderal bilang ia merasa bahagia datang kemari, tempat yang tanahnya kaya dan subur-bahkan juga di lereng-lereng gunung!” Kata penjaja lotre, yang dengan penuh semangat melambai-lambaikan tangannya dengan cara yang seperti akan menelan seluruh dunia. Tepat ketika Jenderal siap berusaha bicara lagi, datanglah dua orkes. Mereka mulai memainkan lagu-lagu mars yang mereka kenal, sambil terus-menerus mengitari panggung. Saat mereka bermain, gerbang arena mendadak terbuka lebar dan selusin lelaki di atas punggung kuda dan berkeriapan menyeberangi arena adu banteng. Mereka membawa spanduk-spanduk revolusi dan bendera-bendera republik, tetapi mereka tidak membawa alat-alat musik, dan segera tidak seorang pun memperhatikan mereka lagi. Ada juga saat yang lumayan tenang di arena adu banteng, dan Jenderal itu segera melangkah ke mikrofon dan bicara dengan cepat kepada khalayak. Kini ia menyelesaikan dua kalimat sebelum suara massa yang berteriak-teriak menyetujuinya sekali lagi menghentikannya. Ia melangkah mundur, menyeka wajahnya, dan menunggu surutnya hiruk-pikuk dengan sabar. ”Apa katanya sekarang?” Kami bertanya penuh ingin tahu. ”Jenderal bilang ia mengharapkan semua orang di dunia mendapat nasib baik untuk datang ke Kota Tamaulipas!” Saat ketenangan yang tidak terduga tiba, Jenderal itu bergegas kembali ke mikrofon, tetapi sebelum ia bisa mengucapkan suara apa pun, orkes lain datang pula dan mengentakkan musiknya ketika mulai mengelilingi panggung. Ketika semuanya sudah lewat, Jenderal meraih mikrofon dan menggenggamnya erat-erat dengan kedua tangan dan cepat-cepat menyimpulkan pidatonya. Kali ini ia melaju sampai beberapa kalimat sebelum gelombang raungan massa memaksanya istirahat. ”Hidup sang Jenderal!” ”Hidup Meksiko!” ”Hidup sang Jenderal!” Teriakan-teriakan itu berlangsung lama, dan para penjaja sekitar kami bergabung dengan penuh semangat, yang berlangsung beberapa menit sebelum kami bisa meminta perhatian seseorang. ”Apa kata Jenderal sampai orang-orang luar biasa senang seperti itu?” Penjaja lotre meremas lengan kami dengan perasaan meluap, berteriak di telinga kami. ”Jenderal bilang ini hari yang indah!” Dalam keasyikan mengikuti keadaan kami tidak sadar bahwa salah satu bocah penyemir sepatu telah menyemir sepatu-sepatu kami, dan mengejutkan kami dengan meninggikan suaranya dan mengulang-ulang apa yang dikatakan Jenderal. Kami menatap langit biru pucat tanpa awan di atas. Itulah salah satu hari terindah yang pernah kami saksikan di Meksiko. Matahari memancar ke bawah di atas kami bagai senyuman sahabat yang bijak, menghangatkan kami sampai ke hati. Kami berdiri di sana dalam cahayanya yang ramah, merasakan dalam kedalaman kalbu kami betapa tiada kata-kata yang lebih benar lagi pernah terucapkan sebelumnya. Di sana, dalam terik dan teriakan, menghirup sedalam-dalamnya aroma tajam padang pasir yang gersang, kami mengulang kepada diri kami sendiri harapan bahwa Jenderal, yang membuat kami mem- beri perhatian atas keindahan hari itu, akan meraup semua suara dan menjadi presiden negeri ini. *** Dari ”The Day the Presidential Candidate Came to Ciudad Tamaulipas” yang dimuat pertama kali dalam Town and Country. Dimuat kembali dalam The Complete Stories of Erskine Caldwell (1929). Diterjemahkan oleh Seno Gumira Ajidarma. Catatan: 1Plaza > Alun-alun sekaligus pasar dan tempat orang duduk-duduk. 2 Ejido > Tanah komunal di Meksiko.
""Hari Ketika Calon Presiden Datang ke Kota Tamaulipas""
Seto mati pada usia 30 tahun kurang tiga bulan, kurang lebih sama dengan umurku sekarang. Aku sedang membaca puisi-puisi murungnya di kamarku dan tidak bisa tidur hingga larut malam dan merasakan desakan takdir untuk menuliskan cerita ini. Kupikir waktuku tinggal sedikit lagi untuk menyampaikan apa yang ingin kusampaikan. Kautahu, air cucuran atap jatuhnya pastilah ke situ-situ juga; dan aku tak akan berbeda jauh dengan ibu dan Seto, ayahku, yang keduanya sama-sama mati di seputar usia 30-an. Jadi kurasa aku akan segera mati dan cerita ini akan menjadi satu-satunya cerita yang pernah kutulis. Dan jika takdirku seperti itu, hanya akan menulis satu cerita, Setolah yang sepanjang hidup ada di benakku. Bertahun-tahun aku membaca puisi-puisinya, yang kutemukan di peti peninggalan ibu, dan dari bahan itu aku akan menulis masa kecil Seto, ayah yang tak benar-benar kukenal namun mewariskan kepadaku nama buruk yang membuatku terbanting-banting. Namun aku tidak membencinya; aku hanya ingin menulis cerita tentangnya. Ini hanya sebuah cara mengenali dari mana diri kita bermula lalu tumbuh merambat, melata, dan terlunta-lunta. Maka, sampai di sinilah pengantarku dan kita masuk ke ”aku” lain yang bukan aku: dialah ayahku…. ”Seto! Ayo dikunyah! Cepat ditelan! Gigimu bakalan keropos kalau cara makanmu begitu!” Ibu menjaga tertib rumah kami dengan mulut yang ribut. Ia berisik ketika menyuapiku makan. Ia berisik ketika memaksaku mandi meskipun aku masih ingin bermain-main. Ia selalu memaksaku tidur siang meskipun aku tidak mengantuk. Dan ia memaksaku bangun ketika aku masih mengantuk, dan langsung menjejaliku sarapan sebelum aku benar-benar sadar. Ia membuatku ogah-ogahan. Aku mandi dengan cara duduk saja tanpa segera mengguyurkan air; aku makan dengan cara berlama-lama menahan nasi di mulutku; aku tak cepat menyahut ketika ia memanggilku. Ibu akan semakin bising dan aku semakin tidak mengantuk jika ia menyuruhku tidur siang. Kata ayah, itu karena ibu mencintaiku. Aku tidak percaya pada apa yang ia katakan, tetapi aku menyukai caranya bicara. Ia pasti meletakkan aku di pangkuannya jika ingin mengajakku membicarakan ibu, dan aku menikmati obrolan dengannya meskipun tidak semua omongannya tentang ibu bisa kupercaya. Sering aku memberontak pada ibu, dan ibu akan melaporkan hal itu sore hari sebelum ayah menanggalkan baju kerjanya, dan pernah suatu hari kudengar ayah bilang, ”Kau sendiri, apa tidak capek ribut sehari-harian dengan anak?” ”Kalian ayah dan anak sama saja,” balas ibu sengit. Malam itu, ketika ibu sedang menidurkan adikku, ayah mengajukan pertanyaan setelah ia memuji gambar yang baru selesai kubuat—pertanyaan yang sudah sering kudengar. ”Kau tidak menyayangi ibu, Seto?” ”Tidak.” ”Begitu rupanya?” ”Ia marah-marah terus.” ”Karena ia menyayangimu.” ”Tapi ia marah-marah terus.” ”Mungkin kau membuatnya kesal.” Aku memberontak hendak turun dari pangkuannya, tetapi ia menahanku dan mengelus-elus kepalaku. ”Kurasa kalian lebih baik bersahabat,” katanya. ”Aku tidak mau,” kataku. ”Tidak ada masalah,” katanya. ”Aku cuma bilang lebih baik kalian bersahabat. Kalau kau tidak mau, aku tak bisa memaksamu.” ”Tapi aku sebetulnya mau bersahabat, asalkan ia tidak ribut.” ”Kurasa ia akan senang sekali mendengarnya.” Ayahku orang baik dan ia bilang ibuku orang baik, tetapi kadang mereka ribut juga—bisanya ibu yang memulai: Kenapa kau tidak menelepon? Kenapa makan pagimu tadi seperti anak cacingan? Kenapa tidak memberi tahu kalau pulang agak telat? Kurasa ibuku menganggap urusan-urusan yang demikian itu sangat penting dan sepertinya ayah tidak beranggapan begitu. Karena itulah mereka kadang-kadang ribut. Tetapi mereka pasangan yang baik dan seterusnya tetap berpasangan secara baik meskipun ayahku kemudian mengubah dirinya dan aku menjadi bingung harus memanggilnya apa. Ia masuk ke rumah sakit suatu hari, setelah berhasil menjual tanah warisan orang tuanya, dan pulang ke rumah sebagai perempuan. Ia tak pernah berpikir bahwa itu akan memberiku banyak kesulitan. Di awal-awal perubahannya, aku masih sering keliru memanggilnya ayah. Tetapi sebutan itu tak cocok lagi untuknya dan aku tak menemukan sebutan baru. Aku menjauhinya karena tak menemukan sebutan yang tepat untuknya. Ia tetap mendekatiku. Ia masih suka meraihku dan mendudukkanku di pangkuannya dan ia tahu bahwa kunang-kunang berasal dari kuku orang mati. Itu membuat perasaanku tak menentu jika melihat kunang-kunang di hari liburan sekolah ketika ibu membawaku menginap beberapa hari di rumah orang tuanya—sebuah rumah di dekat sawah, dua jam naik bus dari kota kami. Di sana aku merasa seperti berada di dalam kepungan kuku-kuku hantu. Aku bisa merasakan bahwa ia ingin selalu bersikap sama kepadaku meskipun ia sudah menjadi perempuan dan payudaranya lebih menggunduk ketimbang payudara ibuku. Aku merasakan payudara itu menyentuh punggungku ketika aku duduk di pangkuannya dan aku tak tahu harus memanggilnya apa. Ia masih suka menanya-nanyakan pelajaran sekolahku, tetapi kini suaranya terdengar sengau di telingaku dan aku tak ingin menjawab apa pun yang ia tanyakan dengan suara sengaunya. Sampai kapan pun suara itu tak enak didengar, tetapi ia tetap baik kepadaku dan masih suka mendudukkanku di pangkuannya, hanya saja lidahku tak lancar lagi berbicara dengannya. Pernah kutanyakan kepada ibu, ketika kami sedang berdua saja di rumah, kenapa ayah menjadi perempuan. Ibu mengatakan entahlah. ”Aku menikah dengan lelaki, tetapi sekarang ini harus berumah tangga dengan perempuan meskipun aku bukan lesbian,” katanya. Bertahun-tahun kemudian, aku menyadari bahwa semestinya ibu tidak menjawab dengan cara seperti itu kepadaku. Ucapan yang getir tak semestinya disampaikan oleh seorang ibu kepada anaknya; lagi pula waktu itu aku tidak tahu apa yang ia maksud lesbian. Namun mereka tetap pasangan yang baik dan aku tetap tinggal serumah bersama mereka, dengan lidah yang tak tahu harus memanggil apa kepada ayahku. Ayahku hampir setinggi ambang pintu dan kini ia tampak seperti perempuan raksasa. Dan ibu menjadi perempuan yang tak peduli. Ia tidak lagi cerewet dan aku diam-diam menginginkan ia kembali bising seperti semula. Kau tahu, sejak ayahku menjadi perempuan, ibu tidak lagi memaksaku mandi, mengunyah nasi cepat-cepat, atau tidur siang; ia sepertinya mencabut semua larangan. Aku sendiri pun tidak banyak keluar bermain dengan teman-temanku. Paling-paling aku duduk-duduk saja di pekarangan belakang. Di sana ada kalkun piaraan dan, meskipun aku tidak membenci ayahku, aku ingin melihat binatang ini mematuk teteknya. Ayah masih sering keluar rumah, pergi seharian, dan kulihat ia sudah jarang atau mungkin tidak pernah lagi berkumpul dengan bapak-bapak lain di kampung. Ia tidak lagi datang ke arisan bapak-bapak setiap bulan, tapi juga tidak ikut arisan ibu-ibu. Sampai aku kelas enam SD, ayahku masih suka meraihku; aku semakin menjauh dari jangkauannya karena sudah hampir ujian dan aku tidak ingin mendapatkan banyak kesulitan. Teman-temanku di sekolah, yang akhirnya tahu bahwa ayahku berubah menjadi perempuan, mengatakan bahwa ayahku banci. Mereka benar, kautahu, tetapi aku sesungguhnya marah sekali mendengar mereka mengatakan ayahku banci. Ayahku berbeda dari ayah mereka, aku sendiri tahu itu. Di antara ayah-ayah kami, hanya ayahku yang pergi ke rumah sakit untuk membesarkan payudara di dadanya. Persoalannya, mereka tak bisa menjaga mulut mereka sementara aku tak bisa membuka mulutku untuk membalas mereka. Aku menjadi mudah demam, pilek, dan sakit- sakitan; mungkin karena memendam kemarahan. Tetapi aku pernah benar-benar tak tahan dan itu terjadi pada bulan puasa. Tenggorokanku kering dan mataharinya panas sekali dan aku sedang berjalan menunduk dengan langkah buru- buru, menyempal dari teman- teman yang berjalan bergerombol sepulang sekolah. Lalu kudengar suara di belakangku memanggil, hai anak banci. Kautahu, orang yang berpuasa memang mudah mendapatkan godaan; saat itu aku menoleh dan menghentikan langkah dan menanyakan siapa yang memanggilku anak banci. ”Aku,” kata salah satu temanku. ”Ayahmu buntung,” kataku. Kami berantam. Ia tidak suka mendengar itu meskipun aku mengatakan yang sebenarnya— kaki kiri ayahnya memang buntung. Kupikir mereka seharusnya juga tahu bahwa aku tak suka jika mereka mengatakan ayahku banci. Mereka berenam menyantapku dan aku pulang ke rumah dengan muka lebam dan kepala berdarah; dadaku nyeri sekali oleh jotosan dan rasa marah yang tak pernah tersingkirkan sampai bertahun-tahun kemudian. Malamnya aku demam tinggi dan keesokannya ibu membawaku ke rumah sakit. Luka di kepalaku harus dijahit. Ibu berbohong sewaktu mengisi blangko yang harus diisi. Nama Ayah: Lindu Praptanto. Itu nama yang tidak ada lagi di rumah kami, sebab kini ayahku sudah mengganti namanya menjadi Linda Praptanto, terasa seperti nama artis. Ia tetap mempertahankan nama belakang yang kini terdengar seperti nama ayahnya. Kautahu, artis-artis sering menggunakan nama ayah mereka di belakang nama mereka sendiri. Misalnya Adi Bing Slamet, karena nama ayahnya Bing Slamet; Sari Yok Koeswoyo, karena nama ayahnya Yok Koeswoyo. Namun tidak selalu begitu. Darto Helm, misalnya, tentu bukan karena ayahnya bernama Helm. Empat hari aku menginap di rumah sakit. ”Kenapa ayah menjadi banci?” tanyaku pada ibu ketika ia menjengukku. Aku sudah pernah menanyakan hal yang sama sebelumnya tetapi ibu hanya menyodorkan suara getirnya dan itu bukan jawaban. ”Tanyakan sendiri padanya.” Aku tidak ingin menanyakan apa pun kepada ayah, dan sepertinya ibu bisa membaca apa yang tidak kuinginkan. Akhirnya ia bilang, ”Ayahmu sudah gila.” Itu juga bukan jawaban. Sekalipun aku tetap bingung kenapa ayahku tiba-tiba menjadi perempuan, dan aku merasa tidak nyaman lagi duduk di pangkuannya dan tidak ingin bicara dengannya, namun aku tidak bisa mendengar ibuku mengatakan ayahku sudah gila. Aku tetap meyakini bahwa ia tidak gila, hanya saja bagi ibuku ia memang mungkin sudah gila. Tidak pernah kubenci ayahku, dia pernah menjadi ayah yang baik, namun kuharap ia paham jika aku menghindarinya. Sejak masuk SMP aku bergaul dengan teman-teman yang suka merokok dan aku juga merokok dengan congkak di rumah. Ibuku tidak peduli apa yang kulakukan. Ia benar-benar sudah mencabut semua larangan. Ayahku mengingatkan bahwa belum saatnya aku merokok. Kukatakan kepadanya, ”Kau bukan ayahku. Apa pedulimu?” Ia tak bisa apa-apa. Dan seterusnya ia tak bisa apa-apa ketika aku tumbuh sesukaku dan mulai mabuk dan membuat keributan di tempat mangkal para banci. Ada dua alasanku untuk melakukan hal ini. Pertama, para banci itu akan melengking-lengking berisik sekali. Aku senang mendengar mereka berisik karena ibuku tak lagi berisik dan aku merindukan keberisikannya. Kedua, aku mau ayah menjauhiku. Aku tahu bahwa ia tetap ingin dekat denganku, dan aku sesungguhnya sedih menyakiti perasaan orang yang tetap ingin dekat denganku. Bagaimanapun, aku masih menyimpan ingatan baik tentangnya sebagai ayah yang menyenangkan. Kupikir rasa bersalahku akan sedikit berkurang jika ia membenciku; karena itulah aku menunjukkan tindakan tidak hormat kepada orang-orang sepertinya. Kau tahu, sebelum aku membangun dan mengepalai kelompokku, aku sudah pernah menyiksa enam orang banci meski tak ada salah mereka kepadaku. Aku hanya berharap ayah membenciku dan menjauhiku. Jumat, 8 Juni 2003-Senin, 3 Agustus 2009
""Dua Perempuan di Satu Rumah""
Paling tidak begitulah yang dipikirkan Ajo Kawir. Ia harus mengeluarkan ongkos untuk pergi bersama Mia Mia ke Tokyo, ketika nilai yen sedang begitu congkak atas rupiah, demi niat mengakhiri pernikahan mereka; demi kepercayaan atas takhayul. Tak apa, soal ongkos, ia bisa menggunakan anggaran studi banding. Itu sudah biasa. Keduanya menginap di sebuah hotel bernama Tokyu Inn, di sebuah distrik bernama Kichijoji. Bukan tanpa alasan mereka berada di sana. Tak jauh dari hotel, hanya berjalan kaki sekitar lima menit ke bagian belakang, mereka akan sampai ke Taman Inokashira. Di musim semi, orang- orang akan berkumpul di sekitar pohon ceri, menikmati bunga- bunga yang bermekaran. Tapi, saat itu akhir musim gugur, daun-daun berwarna kuning, dan taman dipenuhi remaja-remaja yang berlari untuk menghangatkan badan dan orang tua berselimut mantel memberi makan bebek-bebek air. Taman itulah tujuan sesungguhnya Ajo Kawir: Taman Patah Hati. Mia Mia tak tahu alasan sebenarnya mereka ke sana, kecuali apa yang dipikirkannya sendiri. Ia juga tak tahu apa-apa tentang Taman Inokashira. Ketika suatu malam Ajo Kawir mengajaknya makan di restoran Jepang, dan Ajo Kawir memperlihatkan tiket perjalanan ke Tokyo, yang terbersit di pikirannya dengan segera hanyalah rencana untuk berjalan-jalan ke Harajuku, serta Museum Ghibli. ”Akhirnya kita berbulan madu. Tak apalah meski telat lima tahun. Aku memaafkanmu,” begitu kata Mia Mia. Ajo Kawir hanya tersenyum kecil. Ajo Kawir berhasil meyakinkan Mia Mia agar mereka tinggal di Kichijoji. Selain fakta bahwa ia telah memesan hotel tersebut jauh hari, ia meyakinkan Mia Mia bahwa tempat mereka akan tinggal tak jauh dari Museum Ghibli. Mereka bisa datang ke sana setiap sore jika mau. Lagipula daerah itu merupakan tempat yang tenang, sangat cocok untuk pasangan yang berbulan madu (sebab begitulah Mia Mia berpikir tentang perjalanan mereka), meski lumayan jauh dari Harajuku. ”Tapi jangan khawatir,” kata Ajo Kawir. ”Menurut peta dan wikitravel, kita cuma perlu naik kereta sekali dari Stasiun Kichijoji ke Shibuya. Dari sana tinggal jalan kaki, atau kembali naik kereta dalam perjalanan satu stasiun, untuk sampai ke Harajuku.” ”Yakin?” ”Kalaupun tersesat, tidak mungkin sampai ke Tibet.” Begitulah kemudian mereka tinggal di Tokyu Inn, tak jauh dari Stasiun Kichijoji. Di luar dugaan Ajo Kawir, Mia Mia menyukai keputusannya untuk tinggal di tempat tersebut. Porter hotel, dengan bahasa Inggris yang payah, meyakinkannya bahwa Shibuya memang tidak jauh. Lagipula dengan sistem transportasi Tokyo yang begitu hebat, pergi ke mana pun boleh dianggap gampang dan tak jauh. Mia Mia membuka tirai jendela, dan roman mukanya cerah melihat jalan di depan hotel. Diam-diam, Ajo Kawir agak sedih menyadari ia akan mengoyak roman gembira itu. Membayangkan tak lama lagi, ia akan membuat perempuan itu patah hati. Ajo Kawir percaya takhayul. Bahkan banyak temannya yakin, jabatannya (untuk kedua kali ia terpilih sebagai anggota Dewan, belum lama ini) juga diperoleh dengan takhayul. Dan perjalanannya ke Jepang, boleh juga disebut sebagai perjalanan memercayai takhayul. ”Pergilah ke Taman Inokashira dengan kekasih atau istrimu, kamu akan segera menemukan hubungan kalian hancur total.” Begitu seorang teman merekomendasikan. Ia membuka internet dan mencari tahu. Banyak orang mengatakan hal yang sama. Ia percaya dan segera merencanakan perjalanan ke Tokyo, begitu waktu memungkinkan. ”Semua orang tahu ongkos perceraian mahal. Jangan terlalu pelit, pergilah ke Jepang,” kata sang teman lagi. Ajo Kawir pernah mendengar tempat semacam itu, tempat untuk patah hati, tempat yang akan mengutuk siapa pun yang datang dengan kehancuran hubungan asmara, beberapa tahun lalu ketika ia masih berpacaran dengan Mia Mia. Saat itu ia belum mendengar tentang Taman Inokashira, tapi ada tempat semacam itu, hanya sepuluh jam perjalanan darat dari Jakarta, satu jam saja dengan pesawat, dan semua dibayar dengan rupiah: Prambanan. Tidak masalah apakah hal itu benar atau tidak, tapi begitu mendengarnya dari beberapa orang, Ajo Kawir langsung percaya. Saat itu ia belum pernah bepergian jauh bersama Mia Mia. Sebenarnya Mia Mia ingin pergi berdua ke Bali. Ajo Kawir meyakinkannya bahwa pergi ke Yogya juga bakalan sangat romantis. Mia Mia akhirnya mau pergi ke sana, tentu setelah Ajo Kawir berjanji, setelah itu mereka akan berencana pergi ke Bali. Perjalanan berdua itu sungguh membuat mereka kikuk. Sebenarnya Ajo Kawir ingin menyewa dua kamar hotel (ingat, pikirnya, ia berniat menghentikan hubungan mereka). Tapi gagasan itu konyol bagi sepasang kekasih yang memperoleh kesempatan jalan ke luar kota hanya berdua. Jalan tengah dibuatnya: mereka tinggal satu kamar meski dengan ranjang terpisah, dan Ajo Kawir berusaha sebisanya untuk tak pernah melihat Mia Mia saat gadis itu berganti pakaian (yang juga melakukannya secara malu-malu). Di hari kedua, Ajo Kawir mengajaknya ke Prambanan. ”Apa menariknya?” tanya Mia Mia. ”Cuma tumpukan batu, kan?” Tentu saja Ajo Kawir tak mungkin mengatakan kutukan Roro Jongrang: bahwa jika sepasang kekasih pergi mengunjungi Prambanan, hubungan mereka akan berakhir, sebagaimana ia dengar dari beberapa orang. Ia hanya berkata, ”Bukan sekadar batu. Ada patung perempuan seksi.” Mia Mia tak tertarik perempuan seksi, apalagi sekadar patung. Tapi menyadari patung perempuan seksi barangkali penting bagi seorang laki-laki, akhirnya ia menyerah dan mau diajak ke sana. Mereka hanya satu jam di Prambanan, hanya untuk menghabiskan dua rol film, serta perdebatan panjang dengan pedagang asongan. Bagaimanapun misi itu gagal. Malamnya, tak tertahankan, mereka bercumbu dan untuk pertama kali bercinta. Seminggu kemudian mereka melanjutkan percintaan itu di sebuah hotel di daerah Cikini, Jakarta. Sebulan kemudian mereka melakukannya kembali di Bali. Bukan cuma mereka tidak berhasil mengakhiri hubungan: tak lama setelah serangkaian percintaan itu, Mia Mia keguguran dan Ajo Kawir (terpaksa) melamarnya. Lima tahun kemudian, Ajo Kawir masih mencoba cara lain: Taman Patah Hati. Mia Mia sedang pergi ke Sun Road. Itu merupakan daerah perbelanjaan di depan Stasiun Kichijoji. Cukup lima hari bagi Mia Mia untuk memiliki keberanian pergi sendiri. Ia bahkan sudah hapal bagaimana pergi ke Shibuya dan ke Shinzuku. Mia Mia senang menjelajahi Sun Road jika mereka tak punya rencana bepergian jauh. ”Aku tahu laki-laki tak bergairah dengan jendela toko,” kata Mia Mia sambil tertawa dan meninggalkan Ajo Kawir di hotel. Di hari pertama, Ajo Kawir mau menemani Mia Mia ke Sun Road, tapi ketika menemukan sepatu-sepatu, bahkan kimono, Made in Indonesia di sebuah toko, ia segera kehilangan selera. Bagaimanapun, itu kesempatan bagi Ajo Kawir untuk menyelinap ke Taman Inokashira. Sampai hari kelima itu, ia belum juga mengajak Mia Mia ke sana meski hanya lima menit dari hotel ke arah yang berkebalikan dari Sun Road. Ia merencanakan kunjungan bersama itu di hari terakhir mereka berada di sana. Saat itu sudah pukul sepuluh pagi. Tak ada matahari. Ajo Kawir menuruni tangga menuju taman sambil melesakkan kedua tangannya ke dalam saku mantel. Ia senang musim dingin belum datang. Ia tak tahan dingin. Ia duduk di bangku dan memandang ke tengah danau. Jauh di seberang sana, tampak sampan- sampan fiber berbentuk burung menunggu penyewa. ”Para pemuda Jepang biasanya memutuskan kekasih mereka di atas sampan, di tengah danau,” kata temannya. ”Bukan hal yang aneh jika kamu melihat seorang gadis sesenggukan patah hati di tengah danau.” Temannya juga memberi tahu, jika seorang gadis diajak kencan ke Taman Inokashira, mereka segera menyadari hubungannya segera berakhir. Mereka biasanya datang dengan roman muka yang murung. Tapi saat itu tak seorang pun naik ke atas sampan. Mungkin hari masih pagi. Mungkin bukan musim liburan. Dan mungkin saja semua orang sudah mengetahui reputasi buruk sampan- sampan tersebut dalam hal membuat sepasang kekasih patah hati. Seperti Roro Jongrang, di Taman Inokashira terdapat Benzaiten, Sang Dewi. Ia akan mengutuk pasangan mana pun dalam cinta yang berakhir, terutama jika mereka naik ke atas sampan di tengah danau. Tentu saja banyak orang yang tak percaya hal itu berhubungan dengan Benzaiten, yang pada dasarnya versi Jepang dari Saraswati. Mereka berdalih, perkara orang- orang patah hati di atas sampan danau Inokashira hanyalah ulah para pemuda kurang ajar: jika mereka memutuskan kekasih di atas kereta atau di restoran, tentu akan banyak orang yang melihat sang kekasih menangis, jika mereka melakukannya di atas danau, hanya mereka berdua dan langit membentang jadi saksi momen itu. Sekali lagi Ajo Kawir tak memedulikan apakah kutukan itu benar atau tidak. Ia bahkan tak kenal siapa Benzaiten atau Saraswati, sebagaimana ia tak tahu- menahu kisah di balik Roro Jongrang. Keinginannya sederhana saja: mengakhiri hubungannya dengan Mia Mia. Ia berjalan melintasi jembatan yang membelah danau itu. Di tengah jembatan tampak seorang lelaki tua, berdiri dan bersandar ke pagar jembatan sambil memerhatikan bebek-bebek berenang. Ia menoleh ketika Ajo Kawir datang mendekat. Mata mereka beradu. Dengan bahasa Inggris yang (entah kenapa, juga) buruk, lelaki tua itu berkata, ”Harus kita akui, tak ada yang lebih menyenangkan kecuali berjalan-jalan seorang diri di Taman Patah Hati.” ”Mia Mia,” katanya, ”Aku ingin mengakhiri hubungan kita.” Ajo Kawir mengatakan itu setelah basa-basi panjang dan bertele-tele. Saat itu mereka tengah berada di atas sampan. Langit musim gugur lumayan cerah. Tujuh tahun lalu ia melakukan sebuah perjalanan yang dikutukinya setiap malam setelah itu. Atas saran guru politiknya, ia menemui seorang lelaki tua di pedalaman kaki Gunung Halimun. Perjalanan itu memakan waktu sepanjang malam, menentang arus sungai kecil, sebab begitulah syaratnya. Lelaki tua itu tinggal di sebuah gubuk, dengan beberapa orang yang tampaknya merupakan pengikut atau murid. Ketika Ajo Kawir sampai di depan rumahnya, lelaki tua itu langsung menyambutnya: ”Tidurlah dulu. Aku tahu apa tujuanmu kemari.” Tanpa harus mengiyakan atau menyanggah, Ajo Kawir yang kelelahan langsung tertidur. Ketika terbangun, konon tiga hari kemudian, ia hanya melihat lelaki tua itu di depannya tengah memegang tempurung kelapa berisi air bening. ”Kamu akan memperoleh segala keinginanmu kecuali satu: tidak ada perempuan lain kecuali yang akan datang segera setelah kamu pulang. Dan jangan sekali-kali membuatnya patah hati, atau kamu akan kehilangan segala yang berharga.” Ia meminum air di tempurung kelapa sebagai kesepakatan mereka. Begitulah kemudian Mia Mia datang ke dalam hidupnya seminggu kemudian. Tentu saja Mia Mia juga tak ada kurangnya. Kalau mau jujur, ia cantik, pintar, dan pandai bergaul. Meskipun begitu, ada satu hal yang Ajo Kawir tak bisa terima, dan itulah yang membuatnya ingin mengakhiri hubungannya sejak awal dan menyesali perjanjiannya dengan si lelaki tua: Ajo Kawir percaya Mia Mia bukan manusia. Ajo Kawir hampir melupakan keinginan untuk mengakhiri hubungannya dengan Mia Mia, hingga suatu hari ia bertemu seorang gadis, seorang biduan. Ia berkali-kali pergi menonton pertunjukannya, dan yakin ia jatuh cinta. Mia Mia segera mengetahuinya, dan untuk pertama kali mengancam, ”Jangan pernah kamu sentuh gadis itu.” Ia bicara nasib sialnya kepada seorang teman, yang kemudian memberitahunya mengenai Taman Inokashira. ”Tak yakin bisa diakali begitu, tapi cobalah. Siapa tahu?” Dan di sinilah, di tengah danau Taman Inokashira, dengan mulutnya sendiri, ia memutuskan untuk mengakhiri hubungannya dengan Mia Mia. Mia Mia memandangnya tak percaya. ”Karena gadis biduan itu?” Ajo Kawir tak menjawab. Udara tiba-tiba menjadi dingin. Angin berembus dan daun- daun yang tersisa kembali rontok, membentuk tirai daun berwarna kuning. Tiga ekor gagak terbang rendah dan berteriak nyaring. Suara mereka melengking membuat Ajo Kawir menggigil. Lama tak ada suara di antara mereka, hingga Mia Mia mengayuh sampan ke tepi. Mia Mia menghentikan sampan di tepi danau dan kembali memandang Ajo Kawir. ”Sejujurnya aku patah hati, tapi tak ada alasan untuk tak menerima kenyataan, kan? Jangan tunggu aku di hotel. Aku mungkin tak akan pulang ke Jakarta. Aku akan tinggal di sini, berteman dengan Benzaiten.” Setelah mengatakan itu, Mia Mia turun dari sampan ke dek. Sejenak ia berdiri di tepi danau, masih memandang Ajo Kawir yang tak berani balas menatapnya. ”Kuharap kamu bahagia dengan gadis itu.” Ucapan Mia Mia tak terdengar seperti doa.
""Taman Patah Hati""
Dua sosok itu termangu oleh pikiran masing-masing. Tubuh mereka menua. Napas mereka memburu, tetapi keinginan untuk saling bunuh masih saja menyala di mata mereka. ”Mengapa tak kau akhiri saja semua ini, di sini, sekarang juga…,” ucap yang satu dengan suara setengah menggeram. ”Aku pun heran, mengapa kau berlama-lama dengan urusan ini?” balas yang satunya dengan suara penuh dendam. Sejak benda yang konon turun dari langit itu berada di tangan Anjani, kedua laki-laki itu seperti tersihir untuk merebutnya. Tak perlu alasan lain, keduanya sangat ingin memiliki benda ajaib yang berasal dari matahari itu. Benda yang mampu melihat dunia dan isinya. Benda yang berisi pengetahuan tentang masa lalu dan mendatang. Benda yang mampu menjawab apa yang masih menjadi pertanyaan manusia. Keduanya masih mengatur napas, menghirup udara jeda, setelah tujuh hari tujuh malam baku hantam. Siang terik, ketika bergulat, tubuh mereka berkeringat, dan matahari membuatnya seolah jilatan kilat. Batu hancur, pohon tumbang, tanah berlubang, debu mengepul, menjauh, karena tak kuasa menahan hantaman tubuh-tubuh yang terjengkang. Malam, tubuh mereka berpijar ketika tangan mereka saling gampar. Angin malam hanya hilir mudik, mengamati pergumulan yang entah kapan akan berhenti. Ibu mereka hanya menitikkan air mata beku, tubuhnya membatu. Mereka, kedua anak laki-lakinya itu, sesungguhnya lahir dari sebuah dendam. Dendam yang tumbuh dari benih keinginan yang tak terpenuhi. Dan ketika mereka tumbuh dan saling memusuhi, sang ibu pun tak lagi bisa berbuat apa-apa. Jika saja dia tahu semua akan menjadi seperti saat ini, tentu kedua bayi kembarnya itu telah dibunuhnya, jauh bahkan ketika mereka masih di dalam rahimnya. Akan tetapi, siapakah yang mampu melawan kasih sayang? Bahkan ketika benda langit itu—yang menurut sang ayah menjadi penyebab perkelahian anak kembarnya itu—dibuang ke udara, perkelahian mereka tak bisa dihentikan sama sekali. Mereka melesat, adu cepat, memburu, mengikuti ke mana benda langit itu akan jatuh. Berhari-hari mereka berlari, menerabas hutan, menghancurkan sawah ladang, melesat meninggalkan kobaran api di hamparan kering ilalang. Mereka berlari seperti adu kencang melawan angin, seolah terbang, sedemikian rupa sehingga seolah mereka lupa, apa sebenarnya yang tengah mereka kejar. Hingga berminggu-minggu kemudian, ketika masing-masing mengira benda langit itu tenggelam di dasar telaga, barulah keduanya berhenti sejenak. Mereka berseberangan. Setelah bersitatap sesaat, seolah saling memperhitungkan langkah lawan, tiba-tiba mereka melompat dan menghilang ke perut telaga. Sebatang pohon kawista tua, yang entah sejak kapan tumbuh di pinggir telaga, hanya sedikit mengangguk-anggukkan tubuhnya—ah, barangkali saja dia menggeleng-geleng; siapa yang peduli? Tak ada yang peduli apakah sebatang pohon mengangguk atau menggeleng, bukankah itu semua hanya penamaan dan celakanya manusia hanya punya keterbatasan kata-kata. Yang jelas, pohon kawista itu tersenyum menertawakan kedua manusia yang tiba-tiba menceburkan diri ke dalam telaga. Seekor capung dengan sepasang matanya yang tak pernah berkedip itu menatap permukaan telaga. Sesaat kemudian menatap kawista, untuk kemudian memandangi permukaan telaga kembali. Hanya ada gelembung udara membuih. Telaga seperti wajah bayi yang lelap pulas dibuai mimpi. Sementara di perut telaga, seekor ikan gabus tua, yang kumisnya melintang, memanjang mirip lengan gurita, mencoba mempertanyakan apa yang disaksikan matanya. Ketika dia tengah menunggu udang-udang kecil yang bodoh, bermain-main di dekat kumisnya—yang tentu saja akan segera disantapnya dengan tiba-tiba, matanya menangkap sebuah pendar cahaya jatuh dari langit dan tenggelam ke dasar telaga. Bersamaan dengan gerak lamban benda bercahaya itu, yang perlahan-lahan tenggelam, tibatiba gabus tua itu seperti disadarkan bahwa dirinya adalah sebuah ciptaan. Dia tiba-tiba merasakan daya hidup luar biasa dan karenanya dia mampu mengagumi sebuah keindahan. Itu saja. Pendar cahaya itu kemudian menghilang di dasar telaga, dan dengan sendirinya air telaga menjadi serba temaram kembali. Namun, baru beberapa saat si gabus merasakan keheningannya kembali, dan tepat ketika seekor udang kecil mengendus-endus bibirnya, tiba-tiba sebuah ceburan dahsyat terjadi di permukaan. Si gabus ternganga, si udang melejit entah ke mana. Dua benda jatuh bersamaan. Meluncur deras menuju dasar telaga, menyisakan buih putih di belakangnya. Samar-samar, mata si gabus tua bisa menangkap yang jatuh itu adalah dua manusia. Matanya cukup hafal akan sosok makhluk bernama manusia itu. Namun, inilah yang pertama kali terjadi dalam hidupnya; mungkin hanya pernah terjadi di zaman moyang para gabus. Dua manusia itu, dalam perjalanannya menuju dasar telaga, tiba-tiba berubah menjadi kera. Kera bertubuh manusia. Lengan-lengan mereka berbulu. Wajah mereka berbulu. Dan di kedua ujung punggung mereka menjulur ekor panjang. Yang juga tak dipahami oleh otaknya yang kecil itu adalah ketika dua manusia-kera itu, begitu menyadari bahwa ada ”sosok” asing, yang sama-sama melaju, tiba-tiba berhenti. Tubuh mereka melayang di perut telaga dan dengan tiba-tiba pergulatan pun terjadi. Perkelahian. Bukan, ini sebuah nafsu membunuh yang tumpah begitu saja. Karena, di mata si gabus, keduanya benar-benar tak memiliki ampun bagi lawan. Seakan mereka hanya mau berhenti jika lawan mati. Bisakah kau menciptakan nama untuk kekejian ini? Sesekali mereka berebut menuju dasar, tetapi sesaat kemudian, setelah pergulatan saling menghalangi terjadi, keduanya meluncur ke permukaan. Begitu berulang kali. Para batu yang tertidur abadi terbangun oleh arus panas dua makhluk itu. Dalam diam dan kebekuan pandangan, mereka bersepakat dengan palung dan air untuk mengirimkan kembali kedua makhluk itu ke permukaan. Maka, gabus tua itu menyaksikan dengan mata kepalanya kedua makhluk itu termuntahkan ke permukaan. Seketika telaga temaram dan sejuk kembali. Sebaliknya, pohon kawista yang tengah terkantuk-kantuk setelah tadi tersenyum, atau menggeleng, mendadak terkejut. Seandainya saja dia tak berakar, tentu dia sudah terlontar entah ke mana. Tiba-tiba dua makhluk aneh, seperti manusia sekaligus kera, terlontar tinggi ke udara bersama semburan air dahsyat dari dasar telaga. Dua tubuh itu terpelanting tak berdaya, satu ke kiri, yang satu ke kanan. Jatuh berdebuk ke bumi dan tak sadarkan diri. Hening. Capung-capung merubung, mungkin curiga. Di sela-sela bunga kemuning, lebah mendengung mendambakan madu bening. Uir-uir mendetir-detir, mewartakan keheningan hingga ke pinggir-pinggir. Namun, itu semua hanya beberapa saat. Kelopak mata masing-masing mulai berkedut-kedut. Ada kehidupan kembali pada tubuh mereka. Sesaat kemudian keduanya menggeliat. Seperti disengat oleh ingatan purba, mereka melanjutkan perkelahian itu kembali. Begitu saja. Matahari mulai melorot, merah, lelah memelototi dua makhluk yang masih saja saling menimpakan maut kepada lawannya. Malam gulita, seolah meniru seorang dewi yang bersumpah tak ingin menyaksikan matahari, dan kedua manusia-kera itu belum tahu kapan akan mengakhiri laga mereka. Sementara itu, telaga itu sendiri, oleh daya gaib benda bercahaya yang ada di dasarnya, telah berubah menjadi sebuah dunia. Gabus tua itu kini sudah bisa mengenali sanak saudaranya, dan membentuk keluarga-keluarga baru, beranak pinak, bercucu dan bercicit. Udang-udang pun yang tak lagi terancam tertelan gabus-gabus mengembangkan kebudayaan mereka di sela-sela karang di dasar telaga. Adapun ras para batu berkembang dalam kebekuan dan tidur abadinya. Tubuhnya dipersembahkan bagi kaum lumut untuk berkembang dan menebal hijau. Dan kaum lumut kian sadar bahwa dirinya tercipta sebagai dunia bagi kaum kriwil kecil tak kasatmata. Aneh memang. Telaga dan penghuninya itu seolah mendapat cahaya baru, pengertian baru, pandangan baru tentang keberadaan mereka. Kawista, yang menyerap air telaga, kini berkembang biak dengan buah-buahnya yang manis. Dia kian muda dan karenanya buahnya bertambah lebat. Di sepanjang bibir telaga kini telah tumbuh ratusan batang kawista muda, di sela-sela kemuning, soka, dan bunga api rimba. Namun, manusia-kera itu belum juga menyudahi sengketa mereka. Hidup mereka sudah kusut masai, tetapi perkelahian mereka belum usai. Mereka telah benar-benar lupa, apa yang membuat mereka berlaga. Mereka mungkin sudah tak peduli mengapa mereka ingin membuat hidup lawan tersudahi. Bulu-bulu di tubuh mereka sudah mengelabu termakan waktu, tetapi keinginan membunuh masih saja menggebu. Seribu tahun berlalu dan mereka belum juga jemu. Perkelahian mereka menjadi adat yang dipahami manusia sebagai teladan. Ketika dunia dipenuhi manusia yang selalu terburu waktu ke mana pun mereka menuju, pergulatan manusia-kera itu masih berkelebat, berpijar, di sana-sini. Tak perlu lagi alasan mengapa sebuah perkelahian terjadi, karena bukankah sudah seperti makan, minum, tidur, dan bercinta? Rasanya kurang pas jika dalam hidup tak ada laga, begitulah angin berkisah tentang pengalaman perjalanannya mengelilingi dunia. Para orangtua hanya merenung, memandangi kelebatan bayangan yang melintas dan melibas peradaban anak cucunya. Mereka menyebut dua manusia kera itu Sugriwa-Subali. Perseteruan yang tak pernah usai. Perselisihan yang tak pernah lerai. Persengketaan yang tak kunjung selesai. Bumi seakan tak lagi dihuni para laksmi. Mereka pergi menuju kayangan Saraswati karena bumi telah tak lagi suci. Dua manusia kera itu terkutuk dalam sebuah laga tanpa tepi. Mungkin saja mereka sengsara, tetapi sekali lagi itu hanya kata-kata yang, sekali lagi, hanya sebatas itu yang kita pahami. Mereka kembali mendengar gaung suara itu, yang seakan mengingatkan mereka akan sesuatu. Setelah semua ini, lalu apa? Setelah perseteruan ini, lantas apa? Masih adakah yang tersisa ketika kita habiskan seluruh kebencian dan sakit hati ini? Ataukah kita memang dilahirkan untuk saling bunuh? Namun, sekali lagi, perkelahian itu sudah mengadat, padat, dan mereka—dua manusia-kera itu—terkurung di dalamnya tanpa daya sama sekali. Bukit Nusa Indah, 1982
""Bayangan Darah""
Bagi mereka, itu adalah awal kebangkitan sejarah. Kali pertama anggota keluarga mereka mengajukan diri sebagai calon wakil rakyat. Pertama kali anak kemenakannya maju sebagai calon anggota dewan yang terhormat dan menikmati fasilitas serta hak-hak kedewanan. Malah Datuk Birahin, ketua suku Caniago, mendukung sepenuhnya dan siap menjadi ketua tim sukses kemenakannya itu. ”Saya siap menjadi ketua The Syahbuddin Center,” kata dia gaya-gaya elite politik nasional yang sering dilihatnya di teve. ”Ini namanya mambangkik batang tarandam. Momen ini adalah kebangkitan bagi suku Caniago yang selama ini dipandang sebelah mata orang lain,” kata dia lagi menambahkan. ”Benar, kita mesti mendukung rencana ini,” ujar datuk-datuk yang lain. ”Syahbuddin harus duduk,” begitu kata mereka serempak. Maka, keluarlah maklumat suku, semua anggota suku Caniago wajib mendukung Syahbuddin. Segala persoalan yang ada di dalam suku harus dilupakan sementara waktu. ”Sekarang kita fokus ke kampanye. Pokoknya semua akan dilakukan agar kemenakan kita Syahbuddin duduk sebagai anggota dewan terhormat. Apa pun akan dilakukan. Namun, persoalan sekarang kita keterbatasan dalam dana. Kami sebagai tim sukses sudah menghitung-hitung keperluan dana, kita butuh sekitar seratus juta.” ”Seratus juta???” semua mata terbelalak. Semangat yang semula begitu menggelora padam bagai tersiram air dingin. Tak ada yang berani menyahut. Tak ada yang berani bersuara atau mengeluarkan pendapat. Hening sekitar setengah jam. Di sudut ruangan Syahbuddin mukanya memerah. Kemudian dia bangkit dari tempat duduknya, berdiri dan memberikan sepatah dua patah kata. Ia juga menuturkan ke mana saja keperluan dana-dana itu. ”Untuk biaya spanduk, kalender, kartu nama sekitar 15 juta, untuk setoran ke partai 30 juta, biaya kampanye diperkirakan 50 juta, serangan subuh…. dan… dan… ini… itu….” Semua mata masih terbelalak. ”Tetapi, jangan khawatir, semua halangan akan kita selesaikan secara bijaksana. Apa pun akan kami lakukan untuk menggalang dana, termasuk….” ”Termasuk apa Datuk?” tiba-tiba saja suasana rapat suku di rumah gadang itu jadi hening. Perkataan Johan tidaklah seperti biasanya. Orang-orang tidak menyangka Johan akan berani menginterupsi Datuk Birahin yang sedang berbicara. Johan bukanlah orang kebanyakan. Ia baru saja tamat kuliah di jurusan sastra Inggris di sebuah universitas di Kota Padang. Jadi, wajar saja ia berani berpendapat. Ia tahu Datuk Birahin akan mengucapkan kata-kata itu, ia tahu arah tujuan perkataan datuknya itu. Sebagai mantan wartawan kampus sewaktu kuliah, ia mengerti sangat ke mana biduk akan didayung. Setidaknya ia sudah mendengar desas-desus itu, bahwa Datuk sudah akan menjual tanah pusaka tinggi atau tanah ulayat untuk keperluan kampanye Syahbuddin. Persoalan muncul karena di atas tanah ulayat itu berdiri tegak rumah yang ditempati Johan dan ibunya. Jadi, kalau tanah mesti dijual, maka rumah mau dikemanakan. Artinya sama saja mengusir Johan dan ibunya. Sebenarnya keluarga Johan termasuk keluarga melarat. Ia tidak punya tanah peninggalan kakeknya, karena kebaikan hati Datuk Birahin, ia diizinkan memakai tanah ulayat itu untuk mendirikan rumah. ”Ingat, saya mengizinkan membangun rumah hanya untuk sementara. Kalau ada keperluan seperti sekarang ini, ya harus bagaimana lagi. Kamu harus ingat itu,” kata Datuk Birahin lagi. Sebenarnya kalau dihitung-hitung, tanah itu harusnya jatuh ke tangan ibunya Johan. Tetapi, baik Johan maupun ibunya tak mau terlalu mempermasalahkan tanah itu. Mereka sibuk dengan urusan kehidupan mereka sendiri. Ibunya sibuk ke sawah dan Johan sibuk mengajar sebagai guru honorer di sebuah SMP di kampung itu. Tetapi, kalau persoalannya sudah akan menggadai tanah ulayat tempat rumahnya tegak, jelas dia akan mempermasalahkan itu sebab secara hukum adat, ibunya sah sebagai pewaris tanah itu. Apalagi kalau alasannya hanya untuk menutupi biaya kampanye Syahbuddin, mantan perantau yang gagal itu. ”Saya tidak setuju…,” katanya lagi. Rumah gadang itu jadi hening lagi. Suasana kian memanas. Hadirin jadi hening. Tidak ada yang menyahut. Datuk Birahin memerah mukanya. Ia tak menyangka Johan akan seberani itu. ”Johan… kau????” Hadirin jadi hening. Tegang. Tak ada yang berani menyahut. Jangankan menyahut, bahkan mereka seakan menahan napas untuk beberapa saat. ”Aku tidak setuju… ke mana kami akan pindah?” ujar dia. Di sudut rumah gadang itu, Nursyiah, ibu Johan, duduk terenyak. Mulutnya seakan-akan mengatakan sesuatu, tetapi ia tak sanggup. Ia hanya teringat mendiang suaminya, Mardan. Jika Mardan masih ada, tentulah orang tidak akan bisa berlantas angan saja kepadanya. ”Soal pindah, bisa kita bicarakan nanti. Jika duduk, Syahbuddin akan membuatkanmu rumah baru. Lagi pula ini hanya untuk sementara, kalau Syahbuddin berhasil menjadi anggota dewan nanti, tanah itu akan ditebus lagi. Kau dan ibumu bisa tinggal sementara di surau. Lagi pula surau itu kian kotor karena tak ada yang membersihkan. Kalian bisa tinggal di sana.” Suasana hening dan mencekam. Semua mata terbelalak dengan perkataan Datuk. Siapa juga yang sudi tinggal di surau itu. Rapat suku Caniago di rumah gadang itu sebenarnya sudah hampir berakhir. Niat Syahbuddin untuk menggadai tanah pusaka tinggi, warisan turun-temurun, hampir kesampaian. ”Apa pun alasannya, saya tetap tidak setuju. Rumah ibu saya yang ada di atas tanah itu ke mana akan dipindahkan?” ulang Johan. ”Tidak bisa Han, kami para pimpinan suku sudah setuju. Apa alasanmu menolak?” Datuk Marajo berang. ”Ingat, kamu itu hanya seorang kemenakan, tidak punya hak untuk mementalkan keputusan adat,” ujar Datuk Suri. Johan tidak mau peduli, ia bahkan bersikeras, ”Langkahi dulu mayat saya baru bisa tanah itu dijual.” Kemudian Johan mengeluarkan sesuatu dari balik bajunya, astaga… keris pusaka. Itulah satu-satunya pusaka peninggalan almarhum ayahnya. Datuk Suri melompat ke luar rumah. Datuk Birahin terpaku di tempat duduknya. Mukanya kecut. Walau ia seorang datuk, tetapi tak pernah mengalami hal yang seperti ini. ”Johan… jangan….” Dari luar terdengar suara Zakir, temannya memekik. Zakir kemudian melompat ke dalam rumah gadang dan menenangkan Johan. ”Bunuh saja aku daripada kalian perlakukan seperti ini,” katanya. Datuk Birahin sibuk membolak-balik buku tambo adat Minangkabau yang kertasnya sudah menguning itu. Ia mencari-cari dalil adat untuk memuluskan rencana menjual tanah pusaka tinggi itu. ”Dapat…,” kata dia seketika, mukanya cerah. ”Yang mana Datuk,” ujar orang-orang yang ada di dekat situ dan juga sedang membolak-balik buku yang lain. ”Johan itu kan anak kuliahan, dia akan patuh kalau memang aturan memperbolehkan kita menggadai tanah itu.” Yang lain tersenyum menang. ”Ya, kalian dengarkan baik-baik.” ”Tanah ulayat atau pusaka tinggi di Minangkabau menurut hukum adat boleh saja dijual. Siapa bilang tidak bisa. Tak tahu diadat mereka itu,” ujarnya berapi-api. ”Tanah ulayat bisa dijual dengan tiga alasan, mayat terbujur di dalam rumah, rumah gadang ketirisan, perempuan tidak bersuami.” ”Apa maksudnya Datuk?” sela yang lain. ”Ya dan di mana letak posisi kita sekarang. Bukankah kita sedang mencari alasan menjual tanah itu.” ”Tiga alasan itu, yaitu mayat terbujur di dalam rumah, artinya mayat salah seorang anggota suku kita sedang terbujur di dalam rumah, kita tidak ada biaya untuk menyelenggarakan mayat itu, mulai dari membeli kafan, memandikan, menguburkan, sampai mentahlilkan hingga malam keseratus. Alasan kedua, rumah gadang ketirisan, artinya atap rumah gadang sudah bocor, dinding sudah rusak, tetapi tidak ada biaya untuk memperbaiki. Hal itu jelas untuk menutup malu para anggota suku. Yang ketiga, yaitu perempuan tidak bersuami. Artinya, sebuah keluarga punya seorang perempuan yang tidak bersuami padahal umurnya sudah cukup, bahkan lebih dari cukup, hanya terhalang karena tidak ada biaya. Memang dalam adat Minang untuk menyelenggarakan perkawinan butuh dana sangat besar. Dengan alasan-alasan seperti itu tanah ulayat boleh dijual.” ”Lalu….” ”Ya, di mana posisi kita sekarang. Apa alasan kita menjual, bukankah tidak ada pasal yang mengatakan boleh dijual untuk biaya jadi caleg?” yang lain bertanya. ”Nah, di sanalah letak kuasa datuk kalian ini, tidak salah kalian memilih saya sebagai datuk. Ya, saya sebagai datuk di suku Caniago ini menambah satu ayat, mambangkik batang tarandam. Artinya, boleh dijual untuk menegakkan kembali harga diri suku. Membangkitkan kembali harkat dan martabat suku kita.” Hadirin hening dengan senyum dikulum. Memang datuk mereka adalah orang yang pintar dan cerdas. Maka, jadi juga tanah itu dijual akhirnya. Waktu sore ketika hujan lebat turun, rumah Johan dibongkar. Barang-barangnya dipindahkan ke surau tua tak berpenghuni itu. Sebelum dinding diruntuhkan, Johan menepati janjinya sebagai lelaki Minang sejati. ”Langkahi dulu mayat saya.” Ia membabi buta sore itu. Keris pusaka satu-satunya peninggalan ayahnya tercabut dari gagangnya. Darah memercak ke atas bumi. Lima orang datuk suku Caniago tergolek bersimbah darah. Johan kini ditahan di kantor polsek. Sorenya, ia dikunjungi seseorang. ”Apa yang kau lakukan sudah benar anakku. Tanah itu bukanlah tanah ulayat. Itu tanah pembelian orangtuamu. Datuk-datuk itu tahu. Aku siap jadi saksinya. Lagi pula tak ada yang namanya ayat keempat. Itu pandai-pandai mereka saja. Itu sudah merusak adat Minangkabau yang sebenarnya,” kata Datuk Malenggang Alam, Ketua Kerapatan Adat Nagari Air Dingin, memberi secercah harapan bagi Johan.
""Ayat Keempat""
Selebihnya adalah gelap. Listrik belum masuk dan orang-orang dewasa terlalu sibuk dengan urusan ranjang. Maka, belum genap malam, bocah-bocah pun diusir pergi ke luar rumah, ke surau untuk mengaji atau berlatih silat ke lapangan sepak bola asalkan jangan bermain kunang-kunang. Karena bagaimanapun, orang-orang tua tetap meyakini kunang-kunang sebagai jelmaan kuku-kukunya orang mati. Jika menjadikannya sebagai mainan, maka akan menyebabkan kesialan. Untunglah sekumpulan bocah-bocah pencinta kunang-kunang ini mendapatkan pelajaran ilmu kehewanan di sekolah sehingga mereka tahu bahwa kunang-kunang tak lebih dari sejenis serangga yang bisa mengeluarkan cahaya yang akan tampak jelas jika gelap malam menyungkup dunia. Mengapa kunang-kunang bisa menghasilkan cahaya dan mengapa dengan cahaya itu tubuhnya sendiri tidak kepanasan atau terbakar, tentu juga bukan lagi menjadi rahasia bagi mereka. Pak Guru Sadirun pernah menguak semua rahasia mengenai makhluk yang bernama kunang-kunang itu. Berdasarkan buku teks pelajaran, Pak Sadirun menjelaskan bahwa di dalam tubuhnya, kunang-kunang memiliki zat kimia lusiferin dan enzim lusiferase. Untuk menghasilkan cahaya, dua zat ini bercampur. Percampuran ini menghasilkan energi dalam bentuk cahaya. Cahaya itu pun sifatnya dingin, tidak mengandung ultraviolet dan sinar inframerah. Ia memiliki panjang gelombang 510 hingga 670 nanometer dengan warna merah pucat, kuning, atau hijau. Kunang-kunang termasuk dalam golongan Lampyridae yang merupakan familia dalam ordo kumbang Coleoptera. Ada lebih dari dua ribu spesies kunang-kunang yang dapat ditemukan di daerah empat musim dan tropis di seluruh dunia. Spesies ini dapat ditemukan di rawa atau hutan yang basah di mana tersedia banyak persediaan makanan untuk larvanya. Maka, dengan berkah pengetahuan itu, bocah-bocah ini menjadi tak pernah khawatir dengan larangan orangtua mereka dan mereka tak pernah takut akan kesialan. Bagaimanapun, mereka tetap berlomba-lomba menangkap kunang-kunang. Siapa yang mendapat paling banyak akan dinobatkan sebagai Raja Kunang-kunang. Kesenangan dan kebahagiaan itu tak tergantikan. Hingga, akhir-akhir ini mereka pun tak lagi mendatangi guru mengaji atau guru silat mereka karena kunang-kunang memiliki lebih banyak pesona. Untuk menghadirkan kunang-kunang, mereka biasanya mendendangkan berulang-ulang nyanyian kunang-kunang itu: Hai kunang-kunang, datanglah, datanglah….. Jangan malu-malu pada rindu malam-malam….. Hai kunang-kunang datanglah, datanglah….. Jangan ragu-ragu kami tunggu, kami rindu….. Kunang-kunang sepertinya sudah begitu akrab dengan suara-suara itu sebab setelah nyanyian itu mengalir, sekumpulan kunang-kunang dari semak, dari pepohonan, dan dari mana pun akan melayang-layang menyatu menyerbu para bocah itu, merelakan diri untuk ditangkap tangan-tangan lugu, tangan-tangan milik makhluk yang tak punya hasrat membunuh, mereka yang hanya ingin bermain dan menikmati permainan masa kanak yang bukanlah lagi menjadi suatu bagian diri jika kelak mereka dewasa. Bagaimanapun, tangan waktu dan zaman akan berperan mengubah mereka. Kunang-kunang yang tertangkap akan dikumpulkan di dalam botol masing-masing. Jika malam sudah genap dan embusan angin lembah mulai membuat kunang-kunang melayang tak tentu arah, maka mereka akan berhenti dan mulai menghitung hasil tangkapan mereka di pos ronda. Tak ada yang bisa menyaingi rekor predikat Raja Kunang-kunang yang sudah dibuat oleh Yasser Arafat. Hampir selalu, bocah bertinggi badan melebihi sebayanya ini menjadi pengumpul terbanyak. Bagaimana tidak, dia memiliki jangkauan lompatan tertinggi. Dia juga yang paling kuat berlari. Pernah memang, predikat Raja Kunang-kunang menjadi milik Anhar Alifudin. Itu terjadi semata karena Yasser Arafat yang sakit tidak bisa ikut bermain. Malam ini, Yasser Arafat berhasil mengumpulkan lima puluh kunang-kunang. Kontras dengan Baraq Syariati yang hanya mendapatkan lima kunang-kunang. Dengan badannya yang kecil, Baraq tak pernah mampu melompat lebih tinggi. Juga tak kuat berlari. Dengan begitu, dialah yang selalu menjadi pecundang sejati dan rutin menjalani hukuman dengan mencabut dan mengambil singkong dari kebun milik orang terkaya di dusun itu: Juragan Hussein Akbar. Usai dihitung semua dan Raja Kunang-kunang sudah diketahui siapa, maka kunang-kunang kembali dilepas. Bocah-bocah bersorak dan kunang-kunang berkerlap-kerlip riang, merasa bangga sudah bisa menghibur sekaligus terhibur berkat tingkah bocah-bocah lugu itu. Dingin mulai menusuk. Bocah-bocah mengembangkan sarung dan memakaikannya ke badan. Ranting-ranting kering dikumpulkan dan dibuatlah api unggun pengusir dingin di depan pos ronda. Setibanya Baraq Syariati yang membawa singkong-singkong dari kebun Juragan Hussein Akbar, mulailah mereka memanggang. Kenyataannya, pos ronda yang sudah menjadi markas mereka itu tak pernah lagi digunakan. Orang-orang tua di lembah itu tak bisa setia menjalankan apa yang sebenarnya sudah mereka rancang sendiri. Jika mengharapkan partisipasi para pemuda, tentu tidak bisa sebab semua pemuda dari dusun itu merantau ke kota-kota. Giliran ronda untuk bapak-bapak memang pernah berjalan. Namun, karena dingin lembah itu tak tertahankan dan wajah istri selalu membayang, serta tak pernah ada peristiwa kemalingan, mereka pun tak lagi setia dengan kewajiban masing-masing. Fakta itu justru membuat bocah-bocah pencinta kunang-kunang ini senang. Mereka mendapatkan markas untuk rehat usai bermain. Sehabis menyantap singkong panggang, tentu banyak angin yang harus dibuang. Dan, bocah-bocah itu menjadikannya sebagai bahan permainan selanjutnya, yaitu perang kentut. Kemenangan dan predikat sebagai Raja Kentut sama prestisiusnya dengan Raja Kunang-kunang. Bagaimanapun, penilaian tidak didasarkan semata pada bunyi yang dihasilkan, tapi juga pada bau yang mematikan. Jika kentutnya berbunyi keras dan berbau busuk, tak diragukan lagi dialah sang juara sejati. Untuk urusan yang satu ini, pemegang rekornya adalah Hang Jebad, bocah paling tua di kumpulan itu. Biasanya, sehabis perang kentut, malam sudah larut sempurna. Bocah-bocah menyadari itu dan pulanglah mereka segera dan tidur lelap setibanya mereka di pembaringan. Bocah-bocah pencinta kunang-kunang berkumpul seperti biasanya malam ini. Di sekitar tanah lapang, tak jauh dari semak. Mereka melantunkan dendang kunang-kunang, mengundang kunang-kunang untuk datang bermain bersama sebagaimana biasa: Hai kunang-kunang, datanglah, datanglah….. Jangan malu-malu pada rindu malam-malam….. Hai kunang-kunang datanglah, datanglah….. Jangan ragu-ragu kami tunggu, kami rindu….. Meski telah diulang-ulang berpuluh-puluh kali, dendang itu tak sanggup mendatangkan kunang-kunang. Mereka menjadi heran. Setahu mereka, semenjak pertama mendendangkan nyanyian sekaligus mantra pemikat itu, ratusan kunang-kunang terindah dari segenap penjuru lembah selalu berdatangan. Namun, malam ini, semuanya terasa lain, tak ada kunang-kunang yang berkerlap-kerlip terbang mendekat. Maka, lembah itu pun benar-benar menjadi mati dan bocah-bocah itu, untuk kali pertama dirasuki kekecewaan. Apa yang terjadi? Apakah ada kumpulan bocah-bocah lain yang membuat kunang-kunang itu lebih tertarik mendekat ke sana? Bocah-bocah itu tenggelam dalam pertanyaan-pertanyaan yang tak terjawab. Malam makin pekat dan awan menghitam dan hujan pun tumpah. Bocah-bocah berlari-lari dalam hujan, berupaya menggapai pos ronda. Di pos ronda, dalam hawa yang dinginnya melumat tulang, bocah-bocah itu membuat diri senyaman-nyamannya dalam penantian. Hujan tampaknya tak segera habis dalam waktu dekat. Anak-anak memutuskan untuk tetap bertahan. Percuma juga mereka pulang di malam yang belum genap seperti sekarang karena pintu rumah masih rapat terkunci. Barulah dibuka kuncinya jika malam sudah larut dan orang tua mereka sudah menyelesaikan ritual hiburan ranjang. Dalam hujan badai dengan angin yang merontokkan dedaunan itu, bocah-bocah itu mendengar derum sebuah truk yang tenggelam dalam tunggal nada hujan. Jauh dari sini, mereka bisa menangkap—meski tak begitu jelas—gerakan lamban truk itu di sana. Awalnya mereka mengira itu truk milik Juragan Hussein Akbar yang biasa pulang malam sehabis menjual hasil pertanian ke kota, tapi nyatanya bukan. Truk milik Juragan Hussein Akbar berwarna kuning. Meski dalam gelap, kuningnya tetap akan terlihat dari kejauhan. Tetapi, truk yang satu itu berwarna gelap dan tertutup tenda di bagian belakangnya. Tak berapa lama kemudian, truk itu berhenti di tepi jurang. ”Mungkin mesinnya mogok.” ”Mungkin bannya terendam lumpur.” Mereka pun hanya bisa mengira-ngira apa yang melanda truk itu karena gelap kembali berkuasa setelah dua lampu sorot pada truk itu mati. Truk itu berhenti sekitar setengah jam lamanya di sana dan bocah-bocah pencinta kunang-kunang masih juga berteduh menanti hujan berhenti. Kedua lampu pada truk itu hidup lagi dan truk itu bergerak perlahan meninggalkan tepi jurang kemudian berbelok di pertigaan, mengambil jalan ke arah kecamatan. Bocah-bocah itu hanya melihat kepergian truk itu dari kejauhan. Beberapa jam sepeninggalan truk itu, hujan pun reda. Malam sudah larut dan bocah-bocah itu memutuskan untuk pulang ke rumah masing-masing. Namun, mereka segera membatalkan niat itu setelah melihat kemunculan kerlap-kerlip kunang-kunang di sekitar tepi jurang, di lokasi berhentinya truk tadi. Maka, bocah-bocah itu pun berlari riang ke arah kunang-kunang itu dengan segera. Semakin banyak kunang-kunang, semakin girang bocah-bocah. Satu hal yang pasti, kunang-kunang itu tampak tak banyak beranjak. Mereka hanya mengambang bertahan di atas jurang. Meski bocah-bocah sudah mendekat, tetap saja kunang-kunang tak terbang. Setiba mereka di tepi jurang, bocah-bocah itu didekap rasa penasaran menyaksikan kunang-kunang yang semakin banyak bermunculan dari dasar jurang yang gelap. Bocah-bocah itu tak jadi menangkap kunang-kunang itu. Mereka justru turun ke dasar jurang demi memastikan apa yang ada di sana. ”Mungkin di sana ada kerajaan kunang-kunang.” ”Mungkin….” Pelan-pelan, mereka menapaki jalan kecil menuju jurang yang licin dan basah. Sesampai mereka di dasar jurang, Baraq Syariati terjatuh. Ia tersandung sesuatu. Anhar Alifudin segera menyalakan senter. Gelap sedikit terusir dan mereka kini mengetahui bahwa Baraq terjatuh karena tersandung sesosok tubuh, sesosok mayat. Serta-merta mereka dilanda kepanikan yang tak tanggung-tanggung karena tak hanya ada satu mayat saja. Di situ menumpuk banyak mayat dan sudah berbau busuk dan kunang-kunang indah pun semakin banyak. Mulanya kuku-kuku yang terlepas dari jari kaki dan tangan mayat-mayat itu mengambang untuk kemudian menjelma titik-titik cahaya, menjadi kunang-kunang yang indah rupa. Tak bisa tidak, bocah-bocah itu pun berlari ketakutan meninggalkan jurang itu, meninggalkan tumpukan-tumpukan orang mati dengan luka-luka tembak itu, meninggalkan ribuan kunang-kunang dengan keindahan yang memesona, makhluk-makhluk baru yang menjelma dari kuku-kuku mayat-mayat yang dilemparkan begitu saja dari dalam truk tadi. Maka, malam itu, wajah dusun kecil di lembah tersebut menjadi terang benderang sebab beribu-ribu kunang-kunang yang baru lahir berpesta dan inilah malam terindah milik mereka semata: malam kunang-kunang. Tarakan, 25-26 Maret 2009
""Malam Kunang-Kunang""
Pagar beton mengelilingi dua batang pohon beringin di bagian tengah lapangan luas itu. Kudapatkan celah dari jeruji besi di atas bangunan tembok beton pagar, kuintip ke dalam ke batang pohon beringin, ada dua pancang tulisan nama pohon, Ki Soeryo Putro batang pohon di sebelahnya Ki Dewo Atmodjo. Kau harus masuk ke dalam kalau kau mau melihat namanya. Kalau kau melihat dari trotoar saja, kau hanya melihat rimbun pohon dan untaian akar udaranya seperti janggut kakek tua. Teruslah jalan ke barat, keluar dari alun-alun itu, menyeberang jalan. Masuklah ke pintu gerbang Masjid Agung Darul Muttaqin di dalamnya kau akan temukan Beduk Pendowo terbesar di dunia sebagai tanda waktu sholat. Dibuat lebih kurang tahun 1762 Jawa atau tahun 1834 Masehi, panjang rata-rata 292 cm, bergaris tengah depan 194 cm, garis tengah belakang 180 cm, keliling bagian depan 601 cm, keliling bagian belakang 564 cm, jumlah paku depan 120 buah, jumlah paku belakang 98 buah. Bahan pohon jati bercabang lima pendowo didatangkan dari Dukuh Pendowo Desa Bragolan Purwodadi. Beduk terbesar di dunia itu sebagai peninggalan budaya yang harus dijaga dan dirawat, kegunaannya dibunyikan setiap hari Jumat dan hari-hari besar. ”“Terima kasih penjelasannya.” ”Ayo shalat subuh.” ”Ayo.” *** Kubeli lima ikat rambutan. Kulepas dari ikatannya kuurai dan kubungkus dalam alas taplak meja rumah kosku. Rambutan dalam bungkusan taplak meja itu kutinting ke rumah Nur. ”Pi ada tamu,” kata Nur. Adik–adik dan kakaknya muncul dan mengambil bungkusan yang kubawa. ”Apa yang dia bawa?” kata papinya keluar muncul ke ruang tamu. Badannya tegap seperti pegulat. Kakak Nur yang gendut meletakkan bungkusan kain taplak meja itu di atas meja ruang tamu. Rambutan beserta daunnya berserak di atas meja. ”O, baru dipetik.” Diambilnya sebuah dikupasnya dan dimakannya. ”Lekang ya. Ada kebun rambutanmu?” ”Iya dong. Anak Medan kalau merantau selalu berhasil,” kata istrinya. ”Dia anak Medan. Di mana dia tinggal?” ”Di daerah cagar budaya, Condet.” ”Luas kebunmu?” ”Tak seberapa. Cuma beberapa pohon.” ”Bikinkan dia kopi.” ”Jadi Papi nonton Wayang Wong Sriwedari dari Solo itu?” ”Jadi, terima kasih tiket yang kau berikan itu. Untung tidak hujan. Cerita klasik dibawakan mereka, bulan muncul di atas panggung. Seakan bulan itu bagian suasana cerita. Betul-betul nikmat menonton di teater terbuka di Taman Ismail Marzuki itu. Kadang-kadang ibumu tertawa Nur, kelelawar masuk ke dalam panggung. Kalau ada lagi boleh itu.” Nur masuk ke dalam dan keluar membawa dua gelas kopi di atas nampan. Diletakkan satu gelas di depanku. Satu gelas yang lain diletakkan di meja dekat jendela. Kemudian dia masuk. ”Minumlah anak Medan.” Nur keluar. ”Pi kami boleh pergi malam ini?” ”Ke mana kalian mau pergi?” ”Jalan-jalan dong, kan malam minggu,” kata ibunya. ”Ke mana kalian mau jalan-jalan?” ”Ke Monas. Mau lihat Oma Irama,” kata Nur. ”Bawa adikmu. Jangan malam-malam ya pulangnya.” ”Ya Pi,” kata Nur menyalam dan mencium belakang telapak tangan ayahnya. “Kalau pulang bawa makanan kesenangan Papi, kerak telor.” ”Itu terus makanan yang Papi pesan,” kata ibu Nur. ”Di mana kita tinggal kita harus larut dengan budaya mereka.” Kupanggil becak. Kami naik becak di Jalan Thamrin. Adiknya kami dudukkan di tengah-tengah setelah jok tempat duduk kutarik ke depan. Adiknya duduk di antara kami. Kepala Nur kubalikkan sehingga mukanya mengarah kepadaku. Kucuri bibirnya dengan bibirku. ”Ah…” katanya menyembunyikan wajahnya sambil menunjuk kepala adiknya. Tiga bulan kemudian kami menikah dan ketika anak kami yang pertama lahir, papinya masuk rumah sakit. Lama dia dirawat. Kami datang menjenguk. Didekapnya cucu pertamanya dari kami. ”Cucuku yang pertama, siapa namamu?” ”Masak Mbah lupa. Yang memberi nama, kan kamu,” kata istrinya. ”Oiya. Sudah ya… Mbah tidak kuat menggendongmu.” Nur mengambil anaknya dari pangkuan ayahnya. Kata dokter beberapa hari lagi dia sudah boleh pulang, dia sudah boleh rawat jalan. Tiga hari lagi sebenarnya dia sudah boleh pulang. Kami senang mendengarnya. Tapi ayahnya dari kampung datang menjenguk, dia berteriak seperti menemukan masa lalunya. Dia bicara dalam bahasa Jawa yang tak kumengerti. Tapi akhirnya aku bisa berkesimpulan, dia minta pulang. Kulihat tangannya seperti memegang kayu pemukul. Mengayun-ayunkan ke depan. ”Aku ingin memukul beduk.” Dia berdiri dari tempat tidur. Dia cabut jarum infus dan dia terus meminta pulang ke kampungnya. Sore itu aku disuruh membeli beberapa tiket kereta api Senja Utama di Gambir. Dia dipapah ayahnya keluar sembunyi-sembunyi meninggalkan rumah sakit. Di jendela kereta senja utama itu dia tak membalas lambaian tangan kami. Rombongan itu berangkat ke tempat dia dilahirkan. Kabar yang kami terima dia tiga kali pingsan di kereta. Di stasiun Kutoarjo, kereta Senja Utama itu menurunkan mereka dan pindah naik delman ke Purworejo. Sampai di alun-alun dia minta berhenti dan turun dari kereta kuda itu melepas sepatunya dibimbing ayahnya jalan di tengah lapangan luas itu. Sepatu yang dilepas itu dijinjing istrinya turun dari kereta kuda berlari kecil mengejar langkah suaminya di rumput basah embun pagi. Mereka mengikutinya sampai ke pohon beringin kembar itu, kemudian mereka keluar dari alun-alun dan menyeberang jalan, masuk ke halaman masjid. Entah pertimbangan apa penjaga masjid membimbingnya ke bawah beduk terbesar di dunia itu dan menyerahkan pemukul beduk. Dia memukulnya seperti yang diinginkannya. Hanya beberapa pukulan saja yang dapat dia lakukan. Ayahnya membujuknya kembali ke delman membawanya ke kampung halamannya, Desa Seren. Hanya tiga hari dia nikmati halaman rumah masa lalunya, kemudian wafat. *** Telepon sakuku berdering menerima pesan. ”Ayah di mana? Ibu sudah mau keluar dari hotel, mau beli kembang,” kata Nur. ”Oke aku pulang. Baru jalan pagi di alun-alun.” ”Kok curang nggak ngajak-ngajak.” ”Sudahlah, nanti kita bicara di hotel.” Aku masuk ke kamar mandi hotel. Bergegas keluar hotel. Kami panggil becak. Kutarik jok tempat duduknya. ”Untuk siapa?” ”Ibu.” ”Dua becak Mas.” ”Mengapa dua?” ”Aku ingin duduk lapang di becak bersamamu.” ”Kita cari sarapan pagi dulu, Mas.” Kami dibawa berputar-putar mencari makanan yang khas kota kecil ini. Dibawanya kami ke warung dekat tepi sungai. Kupesan kopi panas. Pelayan warung itu menyuguhkan tiga piring suguhan makanan ringan, satu piring Clorot yang dibuat dari jalinan janur, anyaman daun kelapa muda, membentuk bungkus makanan itu seperti terompet. Kubuka lilitan janur itu yang lama-kelamaan terjurai seperti pita memunculkan isinya yang dibuat dari tepung ketan dicampur gula merah lembek kenyal-kenyal seperti jenang. Tapi Nur memanggil pelayan warung tepi sungai itu, dia tidak mau tangannya dikotori daun kelapa muda yang melilitnya dia minta dibukakan dari anyaman daun janur pembungkusnya. Pelayan warung itu meletakkan piring kosong di depan meja tempat duduk Nur. Memencet ujung anyaman seperti kerucut itu dan pelan-pelan isinya muncul dari bulatan bungkus depan. Pelayan warung itu jadi tahu kalau kami tidak pernah makan makanan itu. Kopi panas menyertai Clorot yang mereka suguhkan. Diparutnya kelapa, ditaburkannya ke atas makanan berbentuk gelang yang baru disenduk dari kukusan anyaman bambu. Dihidangkan di depan kami. Gebleg itu dibuat dari tepung ketela berbentuk gelang yang satu sama lain bersambung seperti rantai ditabur kelapa parut bercampur gula. ”Bawa makanan ini untuk oleh-oleh,” kataku karena sedap. Krimpying bahan tepung ketela berbentuk gelang digoreng kering keras tapi renyah itu dibungkusnya dalam kantong plastik. ”Enak, buatan sendiri?” ”Tidak, buatan penduduk Bruno, kami tidak tahu ada campuran khusus, pembeli-pembeli kami sangat menyukainya, rasanya paling khas kata mereka, kami tidak tahu apa itu khas?” ”Ayo kita ke pasar,” kata ibu Nur, ”kami mau beli kembang, untuk nyekar.” Kami tinggalkan warung di tepi sungai itu. Becak membawa kami ke pasar. Ibunya Nur membeli dua keranjang bunga rampai dan kami terus ke makam. Di pemakaman itu kami sulit mencari dua makam ayah dan anaknya, suami dan mertuanya. Kucabut rimbunan semak menyiangi makam. Akhirnya kutemukan makam yang kami cari, R. Soedjatmiko, wafat 31 Agustus 1973. Kutabur bunga rampai. Kusentuh nisan yang bertulis namanya dan kupegang erat pusaranya. ”Maafkan aku Papi… Kutanggalkan ikatan lima ikat rambutan itu, kucampur dengan daun segarnya, kubungkus dengan taplak meja rumah tempat aku kos. Aku tak punya kebun dan pohon rembutan Papi… Maafkan aku membohongimu,” bisikku pelan supaya tidak didengar yang lain. Wangi bunga rampai semerbak diterbangkan angin mengiring kami keluar dari pemakaman itu meninggalkannya…
""Nyekar""
”Aku akan selalu ingat kamu saat hujan.” ”Kenapa?” ”Karena kita sering menari bersama hujan.” ”Hanya itu alasanmu?” ”Bukan, karena kamu perempuan hujan.” ”Maksudmu?” ”Hujan dan kamu adalah cintaku…” ”Aku belum pernah ke tempat ini.” ”Aku juga. Eh tapi orangtua kamu tinggal di kota itu kan?” Percakapan biasa dari sebuah pertemuan tampak biasa. Kami tidak begitu mengenal satu sama lain pada awalnya. Tapi aku merasa lelaki itu telah ada dalam tubuhku beratus-ratus tahun yang lalu. Aku tahu sekali pertemuan itu akan terjadi dan entah kenapa aku percaya sejak awal bahwa dia selalu mencariku selama ini. Mata itu bicara. Mata itu merindukan kedatanganku. Mata itu tertawa memandangku. ”Kamu seperti orang patah hati deh…” ” Memang. Kamu juga seperti orang marah…” ”Memang. Jadi kita sama- sama orang cacat neh?” ”Cacat?” ” Iya, cacat emosi.” Hujan sering turun dalam di gelap atau di pagi dengan kabut menghebat. Kami bicara banyak dalam kata, tapi juga kami bicara banyak antara mata. Kami sering tertawa melihat hujan yang menari seperti tarian Siwa. Kami melihat hujan yang riang. Hujan yang tertawa. Aku sangat suka hujan karena lelaki itu selalu tertawa saat hujan. Kami bermain air seperti kanak-kanak yang melihat dewi rembulan. Tangan kami menengadah ke langit sambil tubuh kami berputar mengikuti irama hujan. Kami menyebutnya tarian hujan dan aku memanggil lelaki itu si Penari Hujan. Aku dan Penari Hujan pun bercinta di bawah hujan. ” Hujan itu indah.” ” Kupu-kupu juga indah, kamu tahu kan aku suka kupu-kupu?” ” Hujan itu ajaib.” ” Cinta juga ajaib.” ” Hujan itu tarian semesta.” ” Kamu hadiah semesta.” ” Aku mencintaimu…” Cinta itu seperti hujan. Sering meruah tiba-tiba. Menyisakan warna-warna di langit bernama pelangi. Penari Hujan sering berdiri di depan pintu menatap hujan. Bibirnya terkatup rapat. Mata kecilnya berkejap-kejap menghalau air yang mendesak keluar. Aneh, mengapa tidak ditumpahkan saja air di matanya sehingga berbaur bersama air hujan yang dicintainya itu? Mata itu ketakutan akan kesendirian. Sunyi yang mengentak dan merongga ke sudut hitam hatinya. Sunyi itu dia sebut hantu. Ah, bukankan hantu itu hanya ada di kepala Sayangku? Penari Hujan takut hantu bernama Sunyi. ”Perempuan, kamu mencintaiku?” ” Mengapa kamu tanya itu? Kita sering menari bersama hujan kan?” ”Kamu mencintaiku?” ” Seperti katamu, hujan dan kamu adalah cinta.” ”Cinta… Sejatikah cintamu?” ”Pertanyaan yang aneh. Cinta sejati, cinta murni, Cinta palsu, Cinta bohong-bohongan? Apa bedanya?” Selalu pertanyaan tentang cinta tidak pernah selesai. Semua selalu mencari dan bertanya tentang cinta sejati. Adakah cinta sejati itu? Ah, Penari Hujan cinta bagiku selalu sejati dan pertama. Karena setiap cinta yang kubuat selalu satu-satunya dan pertama kali kuberikan ke lelaki yang kujatuhcintai. Satu cinta dan cinta lainnya tidak pernah sama. Mungkin mirip-mirip tapi tidak ada satu pun yang sama persis. Cinta yang kupunya bagiku selalu adi busana, cinta yang dibuat tangan oleh perancangnya. Bukan cinta pakaian jadi buatan pabrik konveksi. Massal dan seragam. Cinta itu selalu sejati karena tidak pernah dirancang kapan jatuhnya dan kapan hilangnya. Aku selalu merenda cintaku dengan hati dan jiwaku untuk semua lelaki yang beruntung membuatku mau merenda cinta itu. Cinta untukku selalu menyanyikan keindahan, jika ada tangis dan air mata itu hanya para ego yang terluka. Egoku selalu terluka karena sekarang aku selalu menangis. ”Kamu mau tinggal bersamaku selamanya di sini?” ” …” ”Mengapa kamu diam?” ”Aku ingin mengejar asal pelangi itu. Mau ikut?” ”Kamu tidak mencintaiku? Mengapa ingin pergi?” ”Mengejar pelangi dan cintaku tidak ada hubungannya.” ”Tapi kamu akan meninggalkanku.” ”Aku tidak akan pernah meninggalkanmu. Kamu sudah ada dalam hatiku, dalam tubuhku.” ”Kamu jahat. Kamu akan pergi meninggalkanku.” ”Maksudmu kamu mau tubuhku selalu ada bersamamu? Mana yang kamu inginkan dariku: tubuh ini bersamamu atau hatiku bersamamu?” ”Huh, kamu lebih mencintai negeri pelangimu daripada aku” Lelaki itu tidak pernah tahu, aku hidup dari pecahan-pecahan puzzle mimpiku. Udara setiap pagi yang kuhirup mengembuskan satu puzzle baru yang harus kutata agar menjadi mimpi utuh. Mungkin mimpi itu tidak akan pernah menjadi kenyataan tapi dengan membuat keping-keping puzzle paling tidak aku punya semangat menyusunnya. Kamu tidak pernah mengerti di setiap keping puzzle itu ada kamu, Sayangku. Tidakkah itu cukup bagimu? Kita sudah ada sejak beratus tahun lalu dan apa yang kita punya itu tidak akan pernah hilang dan mati. Selalu ada di tempatnya. Selalu ada di sana. ”Datanglah lebaran nanti, aku ingin mengenalkanmu ke keluargaku. Aku ingin menikahimu.” ”Haruskah?” ”Bukankah kamu mencintaiku. Kamu bilang kamu mau jadi istriku. Gimana sih?” ”Aku kan sudah bilang aku ingin ke negeri pelangi dulu. Bukankah kita sudah bicarakan hal ini?” ”Aku benar-benar ingin kamu datang Lebaran nanti. Aku tunggu kamu. Ibuku sayang kamu” ”Aku juga sayang ibumu” … … … Lelaki itu terus menunggu. Hingga dia tahu bahwa perempuan hujannya telah pergi ke Negeri Pelangi. Saat itu juga dia berhenti menari dan membenci hujan. Setiap hujan tiba dia selalu memaki langit yang memberi warna abu-abu yang pernah sangat dia suka. Air hujan membuat kaki dan tangannya membeku. Tak lagi mampu menarikan tarian semesta seperti ketika Tamino bertemu Pamina, sepasang kekasih di Magic Flute, opera terakhir Mozart. Derap kaki menari di atas bumi telah disimpannya, dengan satu warna merah di dada. … Waktu menyimpan misterinya sendiri. Waktu seperti pendulum, yang selalu kembali ke tempat di mana kita mengayunkannya. Kita pun akan selalu bertemu di tempat di mana kita akan mulai … Dear Penari Hujan kekasihku… Perempuan Hujanmu … Surat itu diterimanya sehari setelah kelahiran anak pertamanya. Bayi perempuan yang cantik. Perempuan kecil itu lahir di sebuah hujan yang aneh di akhir bulan Juli. Hujan seperti tanpa henti. Hujan itu seperti pukulan-pukulan tabla dan sitar para pemusik Siwa ketika dia mulai menggerakkan tangan dan kakinya di atas semesta. Lelaki sejenak ragu. Tetapi tangan dan kakinya seperti tanpa tuan terus bergerak. Tanpa peduli teriakan istrinya dan tangis bayinya, lelaki itu berlari keluar. Ditengadahkannya kedua tangannya ke langit abu-abu dengan sedikit semburat putih. Air hujan sangat deras mengguyur bumi, bau tanah kering yang meranggas begitu kental ketika air itu menyentuhnya. Petir pun berkilat seperti suara perkusi para pemusik samba seolah tertawa riang menyambut kembalinya lelaki penyuka hujan itu. Bumi pun bersorak ketika kaki lelaki itu menjejakkan kembali di atas tubuhnya dan meliukkan kembali tarian-tarian semestanya. … … Sebuah sore yang indah. …. Perempuan Hujanku Lelaki Hujanmu … … Kebahagiaan itu ternyata seperti sebuah ciuman. Akan begitu menyenangkan ketika kita membaginya. Hujan dan lelaki itu adalah bahagia. Ubud, Agustus 2009
""Penari Hujan""
Kami berjumpa pada sebuah malam yang panas dua puluh lima tahun lalu. Berdiri di atas podium dengan dagu agak terangkat, ia memperkenalkan dirinya dalam rentetan suara berat dengan kalimat-kalimat yang ringan dan dingin. Seorang pemimpin aktivis mahasiswa terkemuka, datang dari sebuah universitas besar di Ibu Kota. Namanya menjulang, kerap disebut dengan hormat oleh para demonstran mahasiswa hingga ke banyak pulau yang jauh. Pidato singkat perkenalannya boleh jadi paling kami tunggu di antara serangkaian panjang pidato perkenalan dari pimpinan delegasi semua kampus. Ditunggu dan ternyata bermutu! Dialah bintang paling terang di langit Yogyakarta malam itu. Ia bukan saja memperkenalkan dengan amat efisien semua anggota delegasinya, tapi dengan tandas memberi setengah lusin catatan untuk agenda-agenda pokok pertemuan. Paparannya tertata, menukik langsung ke sasaran. Sungguh-sungguh efisien. Tapi dagu itu tak lagi mendongak ketika tangannya dengan kelembutan yang berbekas panjang dalam ingatanku memegang dahiku. ”Tinggi sekali suhu tubuhmu. Panas sekali,” katanya lirih. ”Harus secepatnya kita bawa ke dokter,” lanjutnya. Lebih mirip gumaman. Lalu, selebihnya terbangunlah sebuah sejarah kecil kami. Sebuah sejarah yang amat pendek. Aku sungguh tak ingat persis pangkal ceritanya. Dialah yang membawaku ke dokter di tengah kota, tak jauh dari fakultas ekonomi, tempat kami berkumpul untuk sebuah kongres dan serangkaian seminar nasional hari-hari itu. Demam tinggi itu menarikku terbaring di atas tempat tidur asrama tempat kami menginap selama nyaris satu setengah hari. Aku tak ingat, bagaimana awal hikayatnya hingga dengan amat segera kami menjadi amat dekat, lekat dan rekat. Yang aku sangat ingat, dia selalu menjengukku di tiap jeda antarmata acara. Memegang tanganku sesekali. Memandangku dengan tatapan yang sulit kumengerti. Dan membisikkan kata-kata pengharapan, bukan sekadar doa lekas sembuh, yang membangkitkan getaran-getaran aneh, melonjak-lonjak dan tak beraturan di kepalaku. Hari-hari yang tersisa kemudian adalah hari-hari kami. ”Pembicara dan materi seminar ini sungguh membosankan,” katanya suatu pagi. Aku hanya mendengarkan. Takzim seperti biasa. Seperti jemaat setia di hadapan pengkhotbah agungnya. ”Dan tak bermutu,” katanya lagi. Maka, kami pun membolos dari banyak sekali mata acara seminar berhari-hari itu. Menyusuri Malioboro. Berkeliling Yogyakarta di atas becak. Menyelusup di tengah sebuah bazar murah di sepanjang sisi Mandala Krida. Menyisir setiap kios yang memajang buku-buku bajakan. Menghabiskan nyaris sepenggalan hari di Gembira Loka. Bagiku, hari-hari membolos seminar bersama lelaki itu justru merupakan rangkaian seminar menyenangkan. Bahkan, itulah hari-hari kuliah terbaik sepanjang hidupku. Selepas ciuman pertama kami, yang terjadi begitu saja, ia bercerita tentang seorang profesor ekonomi politik Jerman yang baru saja mengumumkan buku terbarunya. Nama profesor itu tentu saja tak bisa kuingat lagi. Yang kuingat, sang profesor mengagumi Jepang dan meratapi Brasil. ”Pembangunan Jepang sukses lantaran menjaga jarak dari kapitalisme internasional yang penuh jebakan. Mereka membangun kapitalisme disosiatif. Mereka meminjam cara kerja kapitalisme sambil membentengi diri dengan kebijakan ekonomi yang berorientasi pada pasar domestik. Sementara itu, Brasil keliru dengan membangun kapitalisme asosiatif. Tunduk, bertekuk lutut berhadapan dengan kapitalisme internasional. Jadilah mereka zona kehancuran. Monumen kegagalan pembangunan,” kuliahnya berapi-api. Di depan orang utan Gembira Loka yang termangu-mangu, ia bercerita dengan penuh luapan kekaguman tentang Doktor Soedjatmoko. Ia menyebut Sang Doktor sebagai seorang humanis dengan pikiran yang meloncat- loncat ke depan. Kutipannya tentang Soedjatmoko kemudian berhamburan seperti rangkaian gerbong kereta, menderu-deru, tak habis-habis. Yogyakarta hari-hari itu pun ditaburi banyak kutipan yang sebagian besar tak bersahabat dengan kepalaku yang sempit. Para pemikir besar itu berjejal-jejal di kepalaku dan anehnya menghasilkan rasa bahagia yang menghanyutkan. Lelaki itu memang berhasil mengangkat derajatku tinggi- tinggi. Aku, seorang aktivis pemula, mahasiswi sebuah universitas di sebuah pelosok kota ujung timur Pulau Jawa, tiba-tiba diangkat naik menjadi teman bicara lelaki aktivis yang serba gemerlap. Aku tersanjung dan hanyut. Diam-diam lelaki itu berhasil dengan cepat menyudahi peperangan dalam hatiku. Nyaris seluruh bagian hatiku telah ditaklukkannya tanpa ampun. Dan akhirnya, di hari yang sungguh terasa panjang itu, kami menyelusup masuk ke asrama yang melompong ditinggal para penghuninya mengikuti pidato kebudayaan seorang penyair besar di balairung Bulaksumur. Sungguh sulit kumengerti. Betapa mudah aku menyerah petang itu. Aku benar-benar hanyut. Tanpa perdebatan atau sekadar perbincangan panjang, jadilah dia ”lelaki pertama” dalam hidup perempuanku. Di hari perpisahan kami, dia menggenggam tanganku erat. Tatapan matanya menggetarkan ulu hatiku. Mataku nanar dan nyaris berair. Mendung terasa menggantung di atas stasiun Tugu petang itu. Aku benar-benar menangis ketika suara baritonnya menyeruput telinga kananku.. ”Aku telah jatuh cinta,” bisiknya lirih. Nyaris tak terdengar. Lututku bergetar hebat. Tulangku serasa dilolosi ketika gerbong terakhir kereta itu musnah ditelan tikungan. Bukan hanya lelaki itu yang pergi ke Jakarta, tapi seluruh hatiku terbawanya serta. Tapi, sejarah kami dimulai dan berakhir pada titik yang sama. Hari-hariku selepas Kongres dan Seminar Yogyakarta itu adalah sebuah penantian panjang tanpa ujung. Lelaki itu lenyap dengan sempurna. Bulan-bulan dan tahun-tahunku yang panjang tak disinggahi sepotong pun kabar darinya. Yang kutahu bertahun-tahun kemudian adalah namanya kerap benar mengisi berita utama surat kabar. Wajahnya nyaris setiap hari muncul dalam acara-acara pamer cakap televisi. Kejatuhan Soeharto telah menaikkan namanya. Dari balik bau bangkai kekuasaan Orde Baru, nama harumnya menyeruak semerbak ke mana-mana. Suara baritonnya akrab menggauli telinga siapa saja hingga ke dusun-dusun di pedalaman. Karier politiknya melejit. Aku sendiri harus menutup rapat-rapat buku sejarahku dengannya. Semuanya sudah kuanggap tamat dan usai begitu saja. Tapi, kuhabiskan lima tahun untuk menanggung rasa sakit yang mengiris-iris. Lima tahun penantian tanpa hasil itu telah mengubah dengan sempurna wujud lelaki itu di kepalaku. Dari lelaki pertama yang menyentuhku, yang kepadanya segenap jiwa, raga, pemujaan, dan cinta naifku kuserahkan, ia telah menjelma sebagai seorang bajingan tengik tak punya tanggung jawab, yang pada tiap pagi, siang dan petangku kukirimi doa masuk neraka. Sejarah pendek itu makin lama makin lapuk dan menguap. Sejarahku yang sesungguhnya kemudian adalah menjadi istri bersahaja dari seorang suami yang bekerja keras dari pagi hingga petang dalam enam hari setiap pekan. Penantian dan pengharapan sia-sia akan lelaki itu memang berakhir setelah kusua seorang lelaki lain yang meminangku pada sebuah pagi biasa. Kini, aku telah dihadiahinya dua bidadari mungil dan satu jagoan kecil. Dan sepi pagi hari rumah kami robek oleh dering telepon itu. Lalu, bungsuku berlari dengan napas memburu. ”Ibu! Ibu! Ada telepon! Katanya dari Istana Presiden!” Teriaknya berulang-ulang. Semacam rasa waswas yang asing membikin goyah langkahku menjemput telepon di ruang tengah. ”Selamat pagi Ibu. Mohon maaf jika mengganggu. Saya ajudan Bapak Presiden. Bapak berkenan bicara,” suara formal di ujung sana mengguncang-guncang seluruh jiwaku. Tanpa menjawab sepatah kata pun, aku tahu pesawat telepon di ujung sana telah berpindah tangan. ”Selamat pagi Dyah. Ini saya. Apa kabar?” Suara bariton itu menyeruak masuk ke dalam gendang telinga kananku. Berat, dengan kalimat ringan dan dingin. Suaranya benar-benar mengorek menguak kembali luka yang kupikir sudah benar-benar kering dan sembuh. Seperti sebuah suara dari neraka. Bintaro-Pondok Indah, 15 Agustus 2009
""Lelaki dari Neraka""
Ibu cari Nalea tidak ya?” Gadis kelas empat SD itu kemudian bertanya kepada dirinya sendiri. Hujan masih turun sangat deras, seperti puluhan kubik air yang lama tersimpan di perut awan, sepertinya semua hujan sengaja jatuh tak jauh dari pos ronda tempat gadis kecil itu berteduh. Suara air yang membentur atap terdengar begitu keras, begitu ribut, belum lagi angin yang sesekali menghempas cukup kencang, mengayunkan pepohonan di sekitarnya, merontokkan dedaunan, mengayunkan bulir air ke kanan dan kiri hingga hujan pun tampak miring jatuhnya. Nalea mengingat-ingat kembali ucapan ibunya, ”Nanti kalau di sekolah hujan, Nalea jangan pulang dulu, ya. Tunggu ibu datang untuk menjemput.” Kemudian ia merenungi dirinya sendiri, mengapa ia tak mendengarkan nasihat sang ibu. ”Lama sekali hujannya. Tidak reda-reda.” Gadis kecil itu bergumam sambil menatap langit, dibukanya tas sekolah itu, beberapa bagian bukunya sudah basah kuyup, ia melihat sebuah buku yang membuatnya murung, ”Ini buku pinjam dari Mia juga ikut basah,” ucapnya. Ia lihat sampul buku yang kecoklatan sudah robek di pinggirnya, ia lalu memindahkan buku itu dan menyelipkannya di tengah-tengah, di antara buku-buku lain yang sebenarnya juga sudah basah. Langit masih dihiasi mendung pekat, ada percik air yang berhasil menembus pos ronda tempat gadis kecil itu berteduh, seharusnya ia ada di pelukan ibunya sekarang, seperti anak-anak lainnya yang ketakutan ketika hujan turun begitu kejam, apalagi jika suara petir menggelegar, seperti hendak membolak-balikkan langit, seperti ingin menelan siapa pun yang berada di bawahnya. Namun Nalea berusaha untuk tenang, ia kini duduk di bawah meja, sesekali menutup telinganya karena kebisingan suara air yang diselingi gemuruh kilat. Merasa hujan masih akan lama, ia kini justru mengeluarkan semua buku dan menghamparkannya di bawah meja tua yang lembab, ia berharap buku itu bisa kering dan tulisannya tidak luntur, ia takut dimarahi ibunya, ia takut dimarahi temannya yang meminjamkan buku. Tetapi dalam ketakutannya ia tidak menangis. Ia mencoba untuk menenangkan diri, meski tidak bisa karena suara air yang disertai angin itu membuatnya sering terkejut. ”Harusnya tadi menunggu ibu di sekolah. Tidak pulang sendiri. Harusnya Nalea tadi ingat nasihat ibu.” Rupanya ia mulai menyesal. Gadis sekecil itu sudah mengerti arti sebuah penyesalan. Hujan telah membuatnya belajar dengan salah satu perasaan hidup. Ia merasa bersalah kepada ibunya, tadi ia tak sabar menunggu lebih lama, apalagi ketika rintik air mulai jatuh dari langit dan ia tak melihat tanda-tanda bahwa ibunya segera datang, ia justru terus berlari meninggalkan sekolah, padahal ia tahu rumahnya masih jauh. ”Ibu pasti sibuk tadi. Tidak bisa cepat menjemput. Coba Nalea mau menunggu di sekolah, mungkin ibu sekarang sudah sampai sambil bawa payung.” Ia ungkapkan penyesalannya itu dengan kata-kata yang entah ditujukan kepada siapa. Sementara itu air sudah meluap dari sungai, jembatan yang sebenarnya tak jauh dari pos ronda itu kini tak terlihat lagi, air sudah menguasai permukaannya. Nalea mulai ketakutan. Di rumah. Seorang wanita mulai panik, anak semata wayangnya belum pulang juga. Sudah tiga kali ia bolak-balik sekolah, tetapi hasilnya nihil, tak ada siapa-siapa di sekolah ataupun sepanjang jalan antara rumah dan sekolah. Wanita itu terduduk lesu di teras rumah. Hujan deras mengaburkan pandangannya, ia membayangkan anaknya akan muncul dari kejauhan, berlari-lari kecil, dalam keadaan yang basah kuyup. Namun, tak ada siapa-siapa di balik rerimbunan hujan di depan rumah itu. Hanya derasnya air yang tak mampu lagi dibendung oleh saluran-saluran air. ”Hujan sekarang benar-benar deras. Bagaimana ini, Pak?” Tanya wanita itu kepada suaminya. Namun laki-laki di sebelahnya itu hanya diam. Keduanya tampak lesu, seperti kehilangan harapan, tiba-tiba mereka tak bisa melakukan apa-apa untuk mengetahui keadaan anak mereka. ”Mungkin Nalea mampir ke rumah temannya. Mungkin ia berteduh di sana.” Ucap suaminya untuk menenangkan wanita itu. Tetapi, begitulah perasaan seorang ibu yang lembut, yang sangat peka seperti helai rambut. Ia merasa Nalea sedang membutuhkannya, meski ia tak tahu di mana anak gadisnya kini berada. ”Semoga saja, Pak. Semoga Nalea tidak apa-apa. Belum pernah rasanya hujan deras seperti ini.” Suara wanita itu mendadak terhenti karena suara gemuruh dari langit. Gadis kecil itu masih duduk di bawah meja, suara petir kini semakin sering terdengar, langit yang kelabu sesekali menampakkan warna terang yang kemudian diiringi gemuruh. Dada Nalea berdegup kencang, sesekali ia memejamkan mata, sesekali ia menutup telinganya. Namun, ia juga sekilas melihat-lihat sekeliling, siapa tahu ada yang orang yang dikenalnya, siapa tahu ibunya muncul, atau setidaknya seseorang yang bisa menolong untuk mengantarkannya sampai ke rumah, namun ia kecewa, tak satu pun orang lewat, semuanya sepi, seperti desa yang mati. Semua orang pasti berada di rumah masing-masing karena hujan turun begitu deras. Nalea benar-benar sendirian sekarang. Ia sempat memangil-manggil seseorang atau sesuatu, namun suaranya kalah dengan suara hujan yang seolah tak henti-hentinya menggerutu. ”Nalea pulangnya gimana?” Ia bergumam lagi, dilihatnya sepatu yang sudah basah, buku-buku yang sudah basah, seragamnya juga, ia mengambil jepit rambut dari kepalanya, bibirnya kini sedikit gemetar, wajah gadis kecil itu mendadak pucat, mungkin ia tak kuat menahan dingin yang diembuskan angin bersama bulir-bulir air. Ia melihat air mengalir di bibir jalan yang tak terlihat lagi batu-batuannya. ”Kenapa hujannya belum berhenti ya, Pak?” Wanita itu kembali bertanya kepada suaminya. Keduanya masih berada di teras rumah, melihat air yang tak henti-hentinya jatuh dari langit, berharap ada sedikit waktu untuk menembus pekatnya panah-panah air yang tajam itu. ”Lebih baik kita cari saja.” ”Tetapi, payungnya cuma satu, Pak. Itu pun angin begitu kencang, dan kita juga tidak tahu harus mencari ke mana.” ”Apa ibu tidak hafal jalan yang biasa dilalui Nalea kalau pulang sendirian?” Wanita itu tiba-tiba menunduk, seperti memikirkan sesuatu, mungkin Nalea pergi ke supermarket sebentar, bersama kawan-kawannya, Nalea biasa menghabiskan uang sakunya di situ, ramai-ramai menyerbu supermarket untuk sekadar membeli jajan bungkusan. Mungkin juga Nalea memang mampir ke rumah teman-temannya—sebagaimana yang diucapkan suaminya tadi—tetapi siapa yang didatangi Nalea? Berpuluh-puluh detik berpikir, yang hadir justru beribu-ribu pertanyaan dan kemungkinan yang memberatkan hatinya. ”Biar aku yang cari.” Suaminya berkata. Rupanya laki-laki itu sudah menggenggam satu-satunya payung di tangannya. Ia tak sabar menunggu istrinya berpikir. ”Jangan, Pak. Aku saja. Aku coba cari ke jalan yang kuingat pernah dilewati Nalea. Bapak di rumah saja, ya. Berdoa. Hujannya semakin deras, Pak.” Laki-laki itu diam sejenak, hening sesaat, lantas menyerahkan payung kepada istrinya. ”Hati-hati, Bu. Hujan deras begini air meluber di mana-mana.” Meski tampak berat, wanita itu kini mulai beranjak, membuka payung, lalu melangkah ke pekarangan yang sedikit direndam air beberapa sentimeter. Dengan sandal jepit wanita itu mulai menyibak derasnya hujan, suara gemeretak air jatuh dan memantul-mantul di atas payung, tetapi tetap saja sebagian pakaian wanita itu basah karena payung yang tidak begitu lebar. Kecipak air terdengar karena pijakannya di tanah berlumpur, namun wanita itu tidak peduli, ia tetap berjalan, mencoba untuk menembus pelukan hujan. Tak ada tanda-tanda hujan akan segera berhenti, kini jalanan kampung yang berbatu itu pun sempurna dikelilingi genangan air. Jika satu jam hujan tetap tidak reda, mungkin jalanan tidak akan terlihat, mungkin akan seperti laut atau danau. Nalea duduk di atas meja, entah mengapa ia tak lagi bersembunyi di kolong meja sambil menutup telinganya, ia mulai berani melihat semuanya. Suara petir kini tak mengganggunya, ia mulai terbiasa, meski wajahnya yang semakin pucat, ia menggigil, bibirnya gemetar, giginya gemeletuk, ia duduk sambil memeluk tasnya yang basah. Ia mencoba untuk berdoa, ia coba mengingat-ingat doa yang biasa diajarkan ibunya. ”Nanti Nalea mau minta maaf sama ibu. Lain kali Nalea mau menunggu kalau ibu datang terlambat.” Gadis kecil itu mengusap wajahnya. Ia mencoba untuk tersenyum, mencoba menghibur dirinya sendiri. Apa yang sebenarnya dipikirkan hujan? Sudah dua jam lebih ia turun mengguyur bumi, apakah hujan juga melihat seorang gadis kecil yang berteduh kedinginan di pos ronda itu? Apakah hujan turun karena sengaja untuk menakut-nakutinya? Padahal gadis itu hanya tidak sabar menunggu ibunya sepulang sekolah, lalu hujan mendahuluinya sebelum ia sampai ke rumah, hujan tak hanya membuat tubuh gadis kecil itu basah kuyup, tetapi juga sepatunya yang memijak genangan air dan kotor oleh lumpur, buku-buku dalam tasnya juga basah, apakah hujan mengerti gadis kecil itu kini takut dimarahi ibunya? Hujan turun disertai angin, airnya jatuh ke selokan yang telah penuh, alirannya begitu deras, hujan turun membentur badan jalan yang berbatu, hujan turun menggelincirkan sampah-sampah dari tempat penampungannya, hujan menggugurkan rantig-ranting kering, hujan sangat menakutkan bagi gadis kecil yang sedang berteduh di pos ronda. Gadis kecil itu benar-benar melihat semuanya, ia menjadi saksi ketika hujan perlahan mulai membuat jembatan di kejauhan itu tak terlihat, air yang meluap dan meluber ke jalan, siapa pun yang melihat pasti merasa takut, air semakin meninggi meski perlahan-lahan, langit pekat seperti sudah sore, padahal ini masih siang hari, awan bergumul di atas sana, menurunkan air sambil membenturkan dirinya satu sama lain hingga menimbulkan suara kilat yang membuat terkejut penduduk bumi. Sudah tiga jam berlalu, jalan raya desa kini lebih terlihat seperti laut, beberapa ranting pohon gugur dan mengalir. Angin berputar-putar di langit, mengempaskan air ke sana-kemari. Ibu Nalea sudah berencana untuk menyisir jalanan antara rumah dan sekolah sekali lagi, Nalea juga berencana cepat pulang selepas hujan reda meski masih takut dimarahi. Tetapi, hujan telah lebih dulu menjalankan rencananya, jika ibu dan anak itu dapat bertemu lagi setelah ini, keduanya tentu akan lebih saling menyayangi. (Selokan Mataram, 2009)
""Sebuah Rencana Hujan""
Aku tak ingat benar bagaimana awal mula perkenalanku dengan Enek. Tahu-tahu kami sudah sering main bersama. Dan sebagai pemilik badan paling besar, tentu saja ia sangat membantu kami. Misalnya untuk memanjat pohon kelapa mencari kelapa muda, atau menyelamatkan kami dari arus sungai yang terlalu deras. Enek adalah dewa penolong kami. Tapi juga badut yang kerap jadi bahan olokan kami. Entah kenapa kami suka menggodanya. Mungkin karena diam-diam kami merasa lebih pintar. Atau karena ia terlalu gampang kami bodohi. Ya. Lama-lama ia menjadi seperti adik kami. Kami yang harus mengemongnya. Dan untuk itu kami merasa berhak mengisenginya. Tapi ia adalah adik yang setia. Seperti Sukrasana kepada Sumantri dalam kisah pewayangan. Meski si adik terus-menerus dilukai, ia tetap setia dan membantu kakaknya. Demikianlah meski kemudian harus terbunuh di tangan sang kakak. Enek adalah Sukrasana, raksasa yang baik hati, yang mengusung taman Sri Wedari bagi kami. Dan setelah itu kami akan membunuhnya. Meninggalkannya sendirian. Dan inilah kisah pembunuhan tersebut: Saat itu kami lagi demam teater. Hampir tiap malam di musim ujian pementasan, kami menontonnya di kampus seni yang terletak persis di sebelah kampung kami. Enek juga ikut bersama kami. Dan ketika musim ujian itu telah selesai, kami bersepakat mendirikan kelompok teater sendiri. Enek ikut bergabung di dalamnya. Dengan gagah berani, tepatnya: asal-asalan, kami berlatih dan memainkan naskah-naskah ciptaan kami sendiri. Hingga akhirnya kami mulai berpentas dari panggung ke panggung kampung. Enek juga bermain. Dan ia selalu kebagian jatah menjadi raksasa atau perampok yang dungu dan gampang kami kalahkan. Tapi ia sangat menyenangi perannya. Kedua orangtuanya juga sangat bahagia melihat Enek tampil di atas panggung. Kami juga senang, karena tak satu pun dari kami yang mau memainkan peran tersebut. Di atas panggung kami membunuhnya berulang-ulang. Hampir dua tahun kami bersama, hingga kemudian masing-masing dari kami berpisah. Aku mulai sibuk dengan teater di SMP-ku. Beberapa teman lain juga telah tergabung dengan kelompok teater anak yang lebih besar namanya di luar kampung. Kami juga mulai merambah drama-drama anak di televisi. Enek mulai kami tinggalkan. Ia tetap berada di kampung kami. Tidak ke mana-mana. Di luar kampung kami, ia tidak diterima sebagai anak-anak, sehingga tidak bisa bergabung dengan salah satu di antara kami. Tiap kali berkumpul, di emper masjid selepas magrib, kami selalu saling membanggakan aktivitas masing-masing. Bagaimana kami bermain dengan aktor-aktor dewasa yang tenar, bermain drama di TVRI atau bermain ketoprak bersama pelawak-pelawak idola kami. Dan Enek mendengarkan semua itu dengan setia. Ia tak tampak iri atau sedih. Ini sebenarnya membikin kami agak jengkel. Sebagaimana anak-anak kecil yang lain, tentu saja kami akan merasa bangga jika ada yang iri dengan keberhasilan kami. Enek malah tampak senang dengan perkembangan dan kemajuan kami. Sialan. Kami semakin menjadi-jadi memamerkan cerita kami. Menambah-nambahinya di sana-sini. Kami berusaha membuat Enek iri dengan apa yang kami dapatkan di luar sana. Tapi kami tak pernah berhasil. Suatu hari, tanpa sepengetahuan Enek, aku mengumpulkan teman-teman. Aku mengungkapkan rasa sebalku kepada Enek. Aku bilang kepada teman-teman bahwa tidak mungkin Enek tidak memiliki keinginan seperti kita. Ia hanya berpura-pura saja, kataku. Mereka, seperti dugaanku, juga memiliki perasaan yang kurang lebih sama. Dongkol alias nggondhuk dalam bahasa kami. Lalu kami bersepakat untuk mengerjainya. Kami ingin membuktikan bahwa diam-diam di dalam hatinya, Enek iri kepada kami. Ide pertama datang dariku. Aku akan mengiriminya sebuah surat undangan untuk shooting di TVRI. Dengan meminjam mesin ketik Budi, aku menulis surat undangan itu. Agar meyakinkan kami juga membuat kop surat dan stempel palsu. Kop surat kami bikin sebagus mungkin, mengambil nama sebuah kelompok teater terkemuka di kota kami. Lalu kami fotokopi agar lebih meyakinkan. Stempel kami buat dari karet penghapus. Andri yang mengukirnya dengan pisau lipat. Bunyinya seperti ini: Kepada Yth. Enek Mugiyono Teguh S Kami masukkan surat tersebut ke dalam kotak pos. Kami berdebar menunggu tanggal yang telah ditentukan. Dan selama menunggu waktu pengambilan gambar palsu itu, tiap malam kami berkumpul di rumahnya. Kami ingin mendengar apa yang akan diceritakan Enek kepada kami mengenai surat undangan tersebut. Kami berharap Enek akan memamerkan undangan tersebut. Tapi selama seminggu menjelang tanggal tersebut, Enek tak bercerita apa-apa. Bahkan tak tampak perubahan sama sekali di raut wajahnya. Ia juga tak tampak menyembunyikan apa pun. Kami saling pandang dan tanya, jangan-jangan surat itu tak sampai ke tangannya. Mendekati tanggal 19 kami makin berdebar. Rencana kami bisa saja gagal. Tanggal 19 Januari, siang hari selepas pulang sekolah kami berkumpul. Kami berencana mengikuti kepergian Enek jika memang dia menerima dan memenuhi undangan tersebut. Akhirnya pada jam setengah dua siang, Antok yang berjaga di dekat rumah Enek melaporkan bahwa Enek sudah bersiap dengan sepedanya. Dan tak lama kemudian kami melihat Enek mengayuh sepedanya meninggalkan kampung kami. Ia tampak tergesa-gesa dan gelisah. Ia seperti tak ingin kepergiannya diketahui oleh siapa pun. Setelah agak jauh, kami menguntitnya. Benar. Ia menuju arah studio TVRI. Kami terus menguntitnya dari kejauhan. Sesampai di gerbang studio TVRI Enek menghentikan sepedanya. Ia mendatangi kantor satpam dan menanyakan sesuatu. Agak lama mereka bercakap. Mungkin Pak Satpam tidak mengerti apa yang tengah ditanyakan Enek. Lalu kami lihat Enek mengeluarkan sesuatu dari saku bajunya. Itu surat undangan kami. Pak Satpam geleng-geleng kepala lalu tangannya menunjuk-nunjuk sebuah gedung. Enek segera melajukan sepedanya ke gedung yang tadi ditunjukkan oleh Pak Satpam. Kami mendekat lagi. Kami menyandarkan sepeda kami di seberang jalan. Lalu mengendap mendekati tembok untuk melihat apa yang terjadi pada Enek. Setelah memarkir sepedanya, Enek berjalan menuju pintu gedung. Enek melangkah terus. Tapi makin lama langkahnya makin lambat. Dan akhirnya berhenti di anak tangga depan pintu. Ia berdiri terpaku. Seperti ragu-ragu. Ayo! Ayo! Kami bersorak dalam hati berharap Enek segera melangkah masuk. Agak lama ia berdiri di sana. Tapi akhirnya Enek melangkah juga. Tidak menuju pintu, melainkan menuju ke samping gedung. Lalu berbelok, menghilang di balik gedung. Kami tak mampu melihatnya lagi. Kami tak tahu apa yang terjadi di sana. Akhirnya kami memutuskan pulang karena sudah satu jam lebih Enek tak juga muncul. Sepedanya masih tetap terparkir di tempat semula. Kami pulang dengan hati yang tak tenang. Jangan-jangan, Enek malah beneran ikut shooting di dalam studio. Niatnya mengerjai malah kami sendiri yang kena. Sial. Kalau pun Enek cuma ngumpet di sana, setidaknya ia berhasil membuat kami berpanas-panasan mengawasinya. Selepas magrib kami segera menuju ke rumahnya. Pengin tahu apakah ia sudah pulang. Juga bertanya dari mana ia sesiangan tadi. Tapi kata ibunya Enek belum pulang, sedang pentas di TVRI. Kami saling pandang. Selepas isya kami balik lagi ke rumahnya. Hasilnya sama saja. Enek tetap belum pulang. Kami pulang ke rumah masing-masing. Aku tak bisa segera tidur malam itu. Jangan-jangan sesuatu yang buruk telah terjadi pada Enek. Dan semua itu adalah salahku. Keesokan paginya, sambil berangkat ke sekolah, aku mampir ke rumah Enek. Aku panggil-panggil namanya. Tapi ibunya yang keluar. Enek belum bangun, katanya, semalam pulang tengah malam. Aku lega sekali. Tak penting lagi apa yang dilakukan Enek kemarin siang hingga tengah malam. Yang penting Enek pulang dengan selamat. Aku mengayuh sepeda ke sekolah dengan ringan. Kami merasa tak enak karena telah mengerjainya. Tapi kami sama sekali tak menyesali perbuatan kami. Kami hanya harus berjalan melingkar kalau mau shalat di masjid supaya tidak melintasi rumah Enek dan bertemu dengannya. Tapi kami yakin keadaan ini tak akan berlangsung terlalu lama. Seminggu kemudian keyakinan kami terbukti. Kami sudah kembali bercanda di rumah Enek. Seperti semula. Seperti Enek tak pernah mengayuh sepedanya di siang terik untuk memenuhi undangan bohong-bohongan. Kami kembali mengumbar cerita-cerita kami. Dan Enek, seperti biasa, mendengarkannya sambil manggut-manggut, menganggap cerita kami biasa saja, tidak terlalu istimewa. Sehingga kembali kami merasa perlu menyusun rencana untuk mengerjainya. Rencana kedua datang dari Budi. Ia pernah mendengar sebuah akademi seni yang cukup nyentrik. Saking anehnya akademi ini sering jadi bahan olok-olokan di kalangan seniman. Namanya ATI. Singkatan dari Akademi Teater Indonesia. Didirikan oleh seorang seniman tua yang sekaligus menjadi rektor dan dosen tunggal di sana. Rumahnya yang sempit dan mirip kandang ayam diubah menjadi ruang kuliah. Dan, lucunya, para mahasiswa di sana boleh membayar uang kuliah dengan gula dan teh. Nah, kami akan memanas-manasi Enek untuk mendaftar menjadi mahasiswa di sana. Di sebuah percakapan dengan Enek, Budi melontarkan idenya. Ia bilang bahwa bakat Enek sebagai aktor panggung bisa hilang jika ia tak rajin mengasahnya. Bakat sebesar yang dimiliki Enek sungguh sayang jika ditelantarkan di kampung begitu saja. Aku dan teman-teman lain juga mengimbuhinya. Kipasan kami makin lama makin kencang. Dan membuat hati Enek mau tak mau berdesir juga. Ia mulai terbawa. Kenangannya di panggung sewaktu bermain bersama kami mulai tumbuh lagi. Lebih besar dari yang seharusnya. Tepat di titik inilah, Budi memunculkan nama ATI. Di depan Enek kami mendandani ATI sedemikian rupa sehingga menjelma menjadi sebuah akademi seni terkemuka yang menjadi rebutan banyak mahasiswa. Bentuknya memang aneh, Nek, tapi begitulah sekolah seni yang bener, kataku. Dosennya cuma satu. Itu menunjukkan bahwa beliau adalah dosen yang luar biasa, tambah Budi. Dan kamu boleh membayar uang kuliah dengan beras atau apa saja. Tidak ada sekolah lain yang seperti itu. Sangat nyeni, kataku. Enek bilang malam itu akan berpikir dulu. Kami tahu dia tertarik. Dan pasti akan mengikuti bujukan kami. Studio TVRI tempo hari telah membuktikannya. Keesokan paginya Enek sudah memunculkan jawaban. Siangnya selepas sekolah, kami berjanji untuk mengantar Enek mendaftar di sana. Siapkan saja fotokopi ijazah SMA-mu, kata kami. Tak perlu lagi kuceritakan apa yang terjadi siang itu. Yang jelas hari berikutnya Enek telah berstatus mahasiswa. Mugiyono, mahasiswa ATI semester pertama. Ia mengajak kami makan di angkringan di hari pertama kuliahnya. Kami makan dengan lahap sampai kenyang. Beberapa bulan kemudian kami mendapat undangan dari Enek untuk menyaksikan pementasannya. Pentas dalam rangka dies natalis kampusnya. Disna talis, katanya dengan bangga. Kami sama sekali tak bertanya kepadanya, peran apa yang akan dimainkannya. Kami yakin, perannya tak akan banyak berubah dari yang sudah-sudah: keluar sekali langsung mati, atau, keluar lama tapi tak bicara apa-apa. Aku dan Budi bertaruh limaratus perak. Aku untuk pilihan pertama dan Budi yang kedua. Dan Budilah yang memenangkan taruhan. Enek menjadi seorang pengawal raja. Berdiri diam memegang tombak di belakang sang Raja sepanjang pertunjukan. Aku memberikan uang saku selama seminggu itu dengan gemas. Karena Enek akhirnya mati di akhir pertunjukan. Tapi kan tidak keluar langsung mati, kata Budi. Sekali lagi Enek terbunuh di panggung pertunjukan. Tapi sesungguhnya, Enek tak bisa terbunuh dalam ingatanku, sekeras apa pun aku berusaha. Ia terus hidup dan melanjutkan kisahnya. Sampai beberapa hari yang lalu kudengar kabar ia telah menikah. Aku lega. Setidaknya ada seseorang yang akan menemaninya, dan kelak memberinya teman-teman kecil, yang akan menghiburnya di saat ia mau tak mau menjadi tua. Jogjakarta, 2009
""Mugiyono""
Mereka tinggal di ceruk gua-gua purba. Ke sanalah butir-butir air mata yang dipetik itu dibawa. Di selisir ulir batu alir, di antara galur batu kapur berselubung tirai marmer bening yang licin dan basah, di jejulur akar-akar kalsit yang bercecabang di langit-langit stalagtit, peri-peri itu membangun sarang. Butir-butir air mata itu ditata menjadi sarang mereka, serupa istana-istana kecil yang saling terhubung jembatan gantung yang juga terbuat dari untaian air mata. Di langit-langit gua itu pula butir-butir air mata itu dironce terjuntai menyerupai jutaan lampu kristal yang berkilauan. Seorang pencuri sarang walet menemukan tempat peri-peri pemetik air mata itu tak sengaja. Setelah berhari-hari menyelusup celah gua, ia merasakan kelembaban udara yang tak biasa, hawa yang membuat kuduknya meriap, dan menyadari dirinya telah tersesat dan tak akan lagi melihat dunia karena setiap kali bersikeras mencari jalan keluar ia justru merasa semakin mendekati kematian. Kesepian gua itu begitu hitam dan mengerikan. Bahkan kelelawar, ular dan lintah pun seperti memilih menjahuinya. Sayup jeritan dan gema kelepak ribuan walet seperti berada di dunia yang berbeda. Semua suara seperti lesap—bahkan ia tak mendengar suara napasnya sendiri—dan ia merasakan betapa udara tipis dan bau memualkan yang bukan berasal dari tumpukan kotoran kelelawar atau lumpur belerang membuatnya limbung dan perlahan-lahan seperti mulai mengapung. Saat kesadarannya seperti terisap, lamat-lamat didengarnya tangisan yang begitu gaib, menggema dari palung gua. Sampai kemudian ia menyadari betapa tangisan itu berasal dari butir-butir kristal bening yang menempel dan bergelantungan nyaris memenuhi seluruh langit-langit stalagtit di mana ribuan peri mungil tampak beterbangan lalu lalang. Pada saat-saat tertentu butir-butir kristal air mata itu memang memperdengarkan kembali kesedihan yang masih tersimpan di dalamnya. Tak ada yang bisa menghapus kesedihan bukan, bahkan ketika kesedihan itu telah menjelma kristal? Di lambung gua itu bergaung jutaan tangisan yang terdengar bagaikan simfoni kesedihan yang agung. Ketika akhirnya lelaki pencuri sarang walet itu meninggalkan jazirah peri dan menemukan jalan pulang, ia membawa sekarung kristal air mata yang kemudian dijualnya eceran. Kristal-kristal air mata itulah yang kini banyak dijajakan di pinggiran dan perempatan jalan. *** Sandra tak percaya cerita itu. Meski ia sering melihat para pengasong menjajakan kristal air mata itu. Sering mereka mengetuk-ngetuk kaca mobilnya, setengah memaksa. ”Air mata, Bu? Murah… Seribu tiga, Bu… Seribu tiga…” Dulu, semasa kanak, setiap kali melihat Mamanya diam-diam menangis, Sandra selalu berharap peri-peri pemetik air mata itu muncul. Mamanya memang sering menangis terisak malam-malam. Ia pun selalu menangis bila melihat Mamanya menangis. Tapi Sandra berusaha menahan tangisnya karena Mamanya pasti akan langsung membentak bila tahu ia menangis. ”Jangan cengeng anak setan!” Kadang teriakan itu disertai lembaran kaleng bir yang segera bergemerontangan di lantai yang penuh puntung dan debu rokok. Rumahnya memang selalu berantakan. Selalu ada pakaian dalam Mamanya yang berceceran begitu saja di lantai. Tumpahan bir di meja, bercak-bercak sisa muntahan di pojokan, botol-botol minuman yang menggelinding ke mana-mana. Kasur yang selalu melorot seprainya. Bantal- bantal tak bersarung. Pintu yang tak pernah tertutup dan sejumlah manusia yang terus- menerus mendengkur, bahkan ketika Sandra pulang dari sekolah. Suara Mama memang nyaris selalu membentak. Pernah sekali Sastra bertanya soal Papanya, tetapi ia langsung disemprot mulutnya yang berbau alkohol, ”Belajarlah untuk hidup tanpa seorang Papa! Taik Kucing dengan Papa!” Meski begitu Sandra tahu kalau sesungguhnya perempuan itu menyayanginya. Bila pulang setelah pergi berhari-hari—Mamanya memang selalu pergi berhari-hari keluar kota atau entah ke mana, kadang mendadak pergi terburu-buru begitu saja malam-malam setelah menerima pager—selalu ada oleh-oleh menyenangkan untuk Sandra. Sering boneka. Tapi Sandra lebih senang bila ia dioleh-olehi buku cerita. Sering, bila hari Minggu, Mamanya juga mengajaknya jalan-jalan. Membelikannya baju, mengajak makan kentang goreng atau ayam goreng. Saat Sandra menikmati es krim, perempuan itu tampak selalu menatap dengan mata penuh cinta. Tanpa sadar ia akan bergumam, ”Sandra, Sandra….” Sambil membersihkan mulut Sandra yang belepotan. Tapi saat-saat paling menyenangkan bagi Sandra adalah saat perempuan itu membacakannya cerita dari buku berbahasa Inggris dengan gambar-gambar berwarna. Kadang tanpa sadar di tengah-tengah cerita yang dibacakannya, air mata Mamanya menetes. ”Kenapa Mama menangis?” ”Tidak, Sandra… Mama tidak menangis.” ”Kenapa manusia bisa menangis, Mama?” ”Karena manusia diciptakan dari kesedihan.” ”Kenapa mesti ada kesedihan, Mama?” ”Diamlah. Jangan cerewet. Atau Mama hentikan bacanya!” Lalu Mama kembali membacakan cerita tentang peri-peri pemetik air mata. Pada mulanya adalah sebutir air mata. Saat itu Tuhan begitu sedih dan kesepian, hingga meneteskan sebutir air mata. Dari sebutir air mata sejernih putih telur itulah tercipta semesta, hamparan kabut, langit lakmus yang belum dihuni bintang-bintang, makhluk-makhluk gaib, pepohonan dan sungai-sungai madu. Kemudian, pada hari ke tujuh, barulah terbit cahaya. Dari sebutir air mata itu pula muncul sepasang manusia pertama. Karena tahu manusia akan mengenal kesedihan, maka sebelum menciptakan maut, Tuhan menciptakan lebih dulu peri-peri pemetik buah kesedihan. Saat itu memang ada tumbuh Pohon Kesedihan, yang buah-buah bening segarnya selalu bercucuran dari ranting-rantingnya. Setiap kali datang musim semi, peri-peri itulah yang selalu memetiki buah-buah kesedihan yang telah ranum, yang membuat manusia tergoda menikmatinya. Saat manusia sedih karena harus pergi dari surga, peri-peri pemetik air mata turun menyertai. Maka, sejak saat itu, bila ada manusia menangis malam-malam, peri-peri itu akan muncul dan memetik air matanya yang bercucuran. Setiap kali mendapati Mamanya menangis, Sandra pun berharap peri-peri pemetik air mata itu muncul. Ia tahu peri-peri itu bisa menghapus kesedihan dari mata Mamanya. Tapi Sandra tak pernah melihat peri itu muncul, dan Mamanya terus terisak menahan tangis, sembari kadang-kadang memeluk dan dengan lembut menciumi Sandra yang pura-pura tertidur pulas. Setiap malam Sandra memang selalu pura-pura bisa tertidur lelap, terutama bila ada laki-laki entah siapa datang ke rumahnya. Sandra tak pernah lupa ketika suatu malam Mamanya pelan-pelan memindahkannya ke kolong ranjang dan mengira ia sudah tertidur, padahal ia bisa mendengar suara lenguh Mamanya dan laki-laki itu di atas ranjang. Juga suara dengus sebal Mamanya ketika akhirnya laki-laki itu mendengkur keras sekali. Di kolong ranjang Sandra terisak pelan, ”Mama… Mama….” Pipinya basah air mata. Bahkan saat itu peri-peri pemetik air mata yang diharapkannya tak pernah muncul. Itulah sebabnya ia tak percaya. *** Tapi Bita, anak semata wayangnya, punya beberapa butir kristal air mata itu. Dia membelinya dari seorang pedagang mainan di sekolahnya. Cerita tentang pencuri sarang walet yang menemukan koloni peri itu pun didengarnya dari Bita. Kata anaknya yang berumur 10 tahun itu, cerita itu dia dengar langsung dari penjual kristal air mata itu. ”Itu bohong, sayang…” ”Kenapa penjual itu mesti bohong, Mama? Ini memang air mata beneran, kok. Cobalah Mama dengerin, kadang-kadang ia mengeluarkan tangisan.” Lalu Bita berceloteh riang, kalau kawan-kawan sekolahnya juga banyak yang membeli butir-butir kristal air mata itu untuk dikoleksi. ”Semua anak laki-laki di sekolah sekarang enggak suka lagi adu jangkrik. Saat istirahat, mereka lebih suka mengadu kristal-kristal air mata miliknya. Kristal air mata yang mengeluarkan tangisan paling panjang dan paling menyedihkan yang menang.” Bita menyimpan koleksi kristal air matanya di kotak kecil, dan selalu menaruhnya di sisi bantal tidurnya. Kadang Bita terbangun ketika didengarnya kristal-kristal air mata itu mengeluarkan tangisan. ”Bita senang mendengar tangisan mereka yang merdu, Mama,” katanya. ”Apa Mama juga suka menangis kalau malam?” Tidak, tidak—tapi Sandra tak mengucapkannya. ”Apakah kalau Bita menangis, peri-peri itu juga akan muncul, Mama?” Sandra mencoba tersenyum. ”“Sekarang tidurlah,” Sandra berusaha menghentikan percakapan, kemudian dengan lembut menyelimuti dan mencium keningnya. Baru saja beranjak hendak keluar kamar, terdengar suara Bita, ”Apa besok Papa jadi ngajak Bita jalan-jalan?” Sandra tersenyum. ”Nanti Mama tanyakan Papamu, ya. Kamu kan tahu, Papamu sibuk.…” Lalu mematikan lampu. *** Suaminya tengah berbaring di ranjang ketika Sandra masuk. Senyumnya masih tetap memikat seperti saat pertama kali Sandra melihatnya, ketika suatu malam ia menyanyi di sebuah kafe. Senyum yang membuatnya jatuh cinta. Ia bukannya tak berdaya oleh senyum itu. Namun senyum itu sejak mula memang telah membuatnya percaya, bahwa ia akan menemukan hidup yang lebih baik. Sandra memang tak ingin nasibnya berakhir celaka seperti Mamanya: digeroti penyakit kelamin saat tua dan ditemukan mati tergorok di losmen murahan. Tidak. Tidak. Sandra tidak ingin seperti Mamanya. Bahkan Sandra tahu kalau Mamanya tak pernah menginginkan ia menjadi seperti Mamanya. Sandra selalu ingat, dulu, di saat-saat Mamanya begitu tampak mencintainya, perempuan itu selalu mendekapnya erat-erat sembari sesekali berbisik terisak, ”Berjanjilah pada Mama, kamu akan menjadi wanita baik-baik, Sandra.” ”Seperti Mama?” ”Tidak. Kamu jangan seperti Mama, Sandra. Jangan seperti Mama….” Sandra merasa hidupnya jauh lebih beruntung dari hidup Mamanya karena punya suami yang mencukupi hidupnya. Bagaimana pun suaminya memang laki-laki penuh perhatian yang pernah dikenalnya. Setidaknya dibanding puluhan laki-laki yang hanya iseng terhadapnya. Berbaring di ranjang, hanya dengan selimut di bawah pinggang, suaminya terlihat segar. Hmm, pasti habis mandi air hangat, batin Sandra. Itu berarti laki-laki itu memang menginginkannya malam ini. Sandra segera meredupkan lampu, membuka gaunnya, dan bersijengkat naik ke ranjang. Bau harum tubuh laki-laki itu merangsanya untuk menciuminya. Ia hafal dengan denyut otot laki-laki itu yang perlahan meregang. Sandra ingin selalu membuat laki-laki itu betah bersamanya. ”Kamu menyenangkan sekali malam ini,” desah laki-laki itu tersengal, setelah lenguh panjang dan berbaring lemas memeluk Sandra. ”Makanya kamu nginep saja malam ini. Biar besok sekalian ngajak Bita jalan-jalan.” Ketika laki-laki itu hanya diam, Sandra tahu kalau ia telah meminta yang tak mungkin laki-laki itu penuhi. Selama ini mereka memang sepakat, Sandralah yang akan mengurus Bita. Mengantar jemput ke sekolah. Menemani jalan-jalan atau pergi makan. Dan Sandra selalu mengatakan ”Papamu sibuk…” setiap kali Bita bertanya kenapa Papa enggak pernah ikut? Sandra tahu malam ini laki-laki itu pun harus pergi. Sandra sudah terbiasa dengan pertemuan-pertemuan yang cuma sebentar seperti ini. Tapi ketika selepas jam 2 dini hari Sandra mendengar derum mobil laki-laki itu keluar rumahnya, ia benar-benar tak kuasa menahan air matanya. Dulu, saat ia seusia Bita, Sandra selalu pura-pura tertidur ketika ada laki-laki keluar masuk rumahnya. Apakah Bita kini juga pura-pura tak mendengar suara mobil itu pergi? Sandra ingin semua ini akan berjalan baik seterusnya. Ia berusaha serapi mungkin menyembunyikan. Ia tak ingin Bita sedih. Ia ingin Bita menikmati masa-masa sekolahnya dengan nyaman dan tak cemas menghadapi pelajaran mengarang. Sandra kembali merasakan saat-saat paling sedih masa kanak-kanaknya, saat ia tahu kalau ibunya pelacur. Sungguh, ia tak ingin Bita tahu, kalau ibunya hanya istri simpanan. Sandra merasa bantalnya basah. Ia berharap, sungguh-sungguh berharap, para peri pemetik air mata itu muncul malam ini. Yogyakarta, 2009 Seluruh kisah masa kanak-kanak Sandra bisa dibaca pada cerpen Pelajaran Mengarang, karya Seno Gumira Ajidarma.
""Pemetik Air Mata""
Aku sulit memejamkan mata karena nyamuk kecil yang sering mendengung dengan bunyi yang nyaring, sesekali nyamuk itu menerkam kuping. Malam semakin larut ketika merasakan ada sesuatu yang mengusik gelapnya malam. Beberapa rumah panggung terdapat di desa yang baru kami bangun, sekitar setahun yang lalu, tanah garapan baru. Jarak antara satu rumah dengan rumah lainnya kira-kira lima puluh meter. Gemerisik sesuatu antara belukar semakin mengganggu ketika terdengar ketukan di rumah tetangga. Derap kaki bersepatu berat semakin jelas terdengar disusul dengan gedoran. Ada teriakan kasar. Aku mengintip dari celah dinding, tetapi tidak ada sesuatu yang tampak. Gelap malam memeluk rahasia malam. Teriakan terdengar ketika langkah kaki itu agak menjauh. Ada pukulan yang keras membuat teriakan lenyap. Sunyi malam mendekap. Kugoyang-goyang tubuh istriku sambil berbisik, ”Kau dengar suara-suara ribut itu?” Ia membuka matanya dan menggosok kelopak matanya, lalu menjawab, ”Sayup-sayup. Seolah-olah ada sesuatu yang terjadi.” ”Apa, ya?” kataku seolah-olah berkata kepada diri sendiri. Beberapa menit kami tenggelam dalam hening. Sepanjang malam kami tidak dapat tidur, tak juga berani berbicara atau menduga-duga apa yang terjadi. Rasanya malam merangkak amat lama. Subuh, ada tangisan dari arah tetangga sebelah. Ketika ayam berkokok, aku memberanikan diri turun tangga rumah, dan bergegas ke rumah sebelah. Beberapa orang tetangga lain sudah ada di situ. Aku bergabung dengan mereka. ”Ada apa?” kataku. Seorang kepala dusun yang kami angkat sendiri malah balik bertanya, ”Tidakkah Saudara dengar peristiwa tadi dalam?” ”Ya, kudengar langkah kaki, gedoran dan orang berteriak karena dipukul. Aku tidak berani keluar. Sepanjang malam aku dilanda rasa takut,” kataku. Tarmin, kepala dusun itu, kemudian berkata, ”Suami ibu ini tadi malam diculik orang, juga Turman yang tinggal di ujung dusun.” ”Oleh siapa?” tanyaku. ”Belum tahu.” Tangis ibu Saleh tak henti- henti. Kepala dusun pagi sekali menghubungi ketiga belas keluarga yang tinggal di perhumaan itu. Kami berkumpul di rumahnya. Yang hadir hanya sebelas kepala keluarga. Dua orang yang hilang pada malam itu. Saleh dan Turman. Saleh si pendiam namun mudah menolong orang. Turman si pemberani yang mendorong kami memulai menggarap tanah di pinggir hutan itu. Menurut kami, kedua orang itu adalah teladan dalam segala hal. Kurang lebih setahun sebelumnya, kami membuka ladang baru, tanah huma. Jauh dari kampung halaman kami. Jarak kampung halaman kami lebih seratus kilometer, dan untuk sementara kami meninggalkan anak-anak bersama kakek-nenek di tanah leluhur yang sudah sesak penduduk. Sebagai ladang baru, hasilnya lumayan. Tanah huma membuat tanaman subur, pada panen pertama tentunya. Kami memasuki tahun kedua dalam suasana dusun yang tenang. Rasa persahabatan dan kekeluargaan lebih menonjol daripada sikap bersaing. Kami mengalami nasib yang sama di tanah leluhur yang semakin sempit karena pertambahan penduduk. Rasa persaudaraan yang tinggi terbentuk karena penderitaan yang sama, dan memiliki harapan yang sama. Mengubah nasib. Walaupun di ladang yang sangat bergantung kepada kemurahan alam, hujan. Pertemuan hari itu sarat dengan usul cara menjaga keamanan dusun. ”Tapi penculikan ini, melihat dari jejak kaki,” kata Sahir, ”rasanya adalah jejak kaki orang bersenjata api.” Yang lain-lain terdiam. ”Jangan-jangan ketika kita jaga malam, justru dengan lebih mudah diculik satu demi satu,” katanya melanjutkan. Seminggu kemudian, dalam kantuk yang penat, menjelang subuh aku tertidur lelap. Baru saja beberapa menit terlelap, aku mendengar pintu digedor dan tiba-tiba menganga karena didobrak dari luar. Dalam sekejap beberapa sosok tubuh merangsek ke dalam membuat istriku tiba- tiba menjerit. Tamparan di mukanya membuatnya terhuyung dan diam dalam jerembab. Beberapa tangan yang kokoh menarik kedua tangan dan kakiku. Aku diseret dalam kegelapan malam. Mereka menggelandang tubuhku dan mengikat kedua tanganku ke belakang. Mulutku dibekap dengan sepotong kain. Dalam gigitan malam yang dingin menyengat, mereka melemparkan tubuhku ke dalam sebuah truk yang menunggu di tepi jalan. Aku merintih kesakitan. Kutahu ada orang lain di dalam truk itu karena kaki mereka bersentuhan dengan kakiku. Sebelum kabut meninggalkan malam, truk berhenti di sebuah tempat. Kudengar suara-suara orang yang berbicara dalam bahasa yang tidak kumengerti. Aku diturunkan dari truk bersama sembilan orang lainnya yang tampaknya senasib denganku. Tidak seorang pun dari antara mereka yang kukenal. Kami digiring ke sebuah rumah gedung tua yang tampak kokoh dari luar. Ada penjaga bersenjata di segala sudut. Di sebuah ruangan satu demi satu kami diempaskan ke lantai. Ikatan tangan kami dilepaskan satu demi satu. Nyeri rasa luka di bekas ikatan itu. Menjelang siang seorang berwajah garang duduk di belakang meja reyot, dan kami duduk di kursi rotan di hadapannya. Satu demi satu kami ditanyai: nama, keluarga, alamat, asal-usul, pekerjaan, sejak kapan masuk organisasi politik, siapa pemimpinnya, dan macam-macam jenis pertanyaan yang aku sendiri tidak mengerti. Sore itu perut diisi dengan beberapa potong ubi rebus. Tengah malam, ketika perut masih keroncongan, namaku dipanggil dari kamar berukuran tiga kali empat meter yang dihuni dua belas orang. Aku berdiri dan menuju ke sebuah ruangan. Dari ruangan lain kudengar jeritan orang dipukul. Aku duduk dan tidak dapat menjawab pertanyaan interogator itu. Lalu ia tuduh aku masuk gerakan tutup mulut (GTM). Ia lalu berdiri di belakangku dan memegang dagu dan kepalaku, mencoba memutar leherku. ”Jawab! Atau kupatahkan lehermu!” Aku diam saja. Kemudian ia melepaskan kedua tangannya, tapi menohok punggungku membuat aku jatuh pingsan. Ketika aku tersadar, aku sudah berada di tengah-tengah kawan seselku. Mereka mengoles punggungku dengan minyak kelapa. Aku belum mampu memusatkan pikiran untuk mendengar apa yang dikatakan mereka. Jamahan tangan mereka sedikit melegakan rasa sakitku. Sebulan kemudian aku mendengar secara sembunyi-sembunyi dari sesama tahanan bahwa hampir semua lelaki di dusunku sudah ”diangkat” dan kaum perempuan melarikan diri ke orang tua mereka masing-masing. Beberapa kawan seselku ”pergi” dan tidak pernah kembali, diganti dengan tahanan baru, sampai pada akhirnya aku sendiri pun dipanggil bersama beberapa orang yang dahulu ditangkap bersamaku. Menurut pengawal yang melemparkan kami ke dalam truk, kami akan dipindahkan ke tempat yang lebih nyaman, tenteram, pembebasan. Karena ia mengatakannya dengan senyuman dengan mata mengejek, yakinlah aku bahwa inilah hari akhir dalam kehidupanku. Wajah anak- anakku, istriku, melintas silih berganti di benakku. Tubuh-tubuh yang kurus bagai paku tipis yang karatan mungkinkah dibebaskan ke tempat yang nyaman dan tenteram? Aku tidak tahu dosa apa yang membuat aku harus mengalami derita seperti ini. Sampai bulan-bulan terakhir aku hendak di-”bebaskan” tidak ada pengakuan apa pun yang keluar dari mulutku. Pernah aku berpapasan dengan seorang interogator yang rasanya pernah kukenal dan memalingkan wajah daripadaku ketika sekilas bertatap mata. Diakah biang keladi dari derita lelaki dari dusunku? Ah, tidak berani aku berburuk sangka. Semua orang ingin mencari selamat sendiri. Bayangan dalam benakku, anak-anak akan telantar, istriku dalam kesetiaannya harus banting tulang memberi makan mereka. Dan cap dalam keluarga, mereka termasuk turunan yang dianggap kutuk bagi bangsa ini. Tiba-tiba hatiku menjerit. ”Tuhan, lindungilah mereka!” Tendangan di pantatku menyadarkan aku. ”Ayo, naik! Naik! Naik!” Truk menggelegar memecah kegelapan malam. Kami benar- benar menjadi warga kegelapan. Gelap dalam sel. Gelap dalam pertanyaan yang tak kunjung berjawab. Semuanya gelap gulita! Berjam-jam kami yang ada di dalam truk diam dalam bahasa hati kami sendiri. Bahasa batin dengan kisah gelap. Karena telah terbiasa di dalam kegelapan malam dan siang, aku dapat menyaksikan celah antara kegelapan dan remang-remang malam. Truk berhenti di mulut sebuah jembatan yang besar dan panjang. Kami semua diturunkan dan berjalan satu demi satu menuju tengah jembatan, di sisi jembatan bagian tengah yang rusak penahannya. Aku berjalan di barisan paling akhir dari lima belas orang. Orang yang berada di barisan depan disuruh berhenti di pinggir jembatan. Tiba-tiba sekelebat pedang yang terayun menebas lehernya. Ada lengkingan dan bunyi kepala ya berdebuk ke dalam sungai yang mengalir deras disusul gedebuk tubuh yang terempas ke dalam air. Selang beberapa menit suara yang sama bergenta, sampai giliranku pun tiba. Dalam kepergian malam, dalam sunyi air yang mengalir, dalam remang gelap, aku menyaksikan pedang yang berayun semakin melemah. Aku berdiri dan melihat pedang yang dientakkan. Dalam detik yang sama aku membungkuk dan terjun ke dalam sungai. Ikatan tangan yang telah kukendurkan dan ikatan tali di kaki yang merenggang membuat aku menyelam lebih mudah bergerak dalam kedalaman dan arus sungai. Beberapa menit kemudian aku muncul ke permukaan sementara arus terus membawa aku hanyut. Di dalam alun arus, aku semakin menepi sampai aku mampu berpijak di dasar sungai dan berjalan sambil merangkak menyusuri batu-batu. Kulepaskan ikatan tangan dengan susah-payah, kemudian tali dari kaki. Air yang dingin menambah perihnya goresan tali. Aku merangkak ke tepi sungai dan mencoba mendengarkan langkah kaki. Tidak ada. Di kejauhan ada deru kendaraan yang semakin lama semakin hilang. Berjam-jam aku berjalan dalam keremangan gelap malam, menyusuri tepi sungai dengan keyakinan bahwa lambat atau cepat pasti di sekitar alur sungai ada kampung terpencil. Dengan pakaian yang basah-kuyup dan langkah yang goyah, aku berjalan sejauh-jauh jarak yang dapat kutempuh. Matahari mulai muncul di celah gunung. Aku tidak tahu di daerah mana aku berada. Di tepi sungai ada pisang yang sedang berbuah, merunduk rendah. Buah yang matang tapi ketika kukunyah, banyak batunya. Pisang monyet. Aku menduga, bila monyet pun bisa makan buah pisang monyet, pastilah manusia pun bisa. Tidak jauh dari sana ada durian belanda. Aku memanjatnya, dan mengambil buah yang ranum. Aku berterima kasih kepada Tuhan bahwa bumi ini kaya dengan kemurahan-Nya. Kukeringkan pakaianku di atas batu dan mereguk air dari pinggir sungai, yang tergenang dan bening. Ada mata air di situ. Setelah kekuatanku pulih, aku berjalan dan berjalan, menyongsong matahari yang terbit. Di kaki gunung, tepatnya sebuah lembah yang landai, aku menemukan sebuah gubuk. Kukira gubuk itu milik pemilik ladang di situ. Kuketuk pintunya. Seorang lelaki tua dan ibu yang sudah berumur membuka pintu. Dari wajah mereka kulihat rasa terkejut. Aku memperkenalkan diri dan memberitahukan tentang diriku yang sebenarnya, dan pelarianku. Kedua orang tua itu mengangguk-angguk mengerti. Mereka mempersilakan aku sarapan pagi dengan pisang rebus. Rasanya aku berminggu- minggu bersama mereka. Aku membantunya di ladang karena aku jauh lebih muda dari mereka. Akan tetapi, aku tidak bisa berlama-lama dengan mereka. Setelah tubuhku pulih betul aku pamit dan mendaki gunung menuju ke tanah seberang. Kata orang tua itu, di seberang ada laut. Bertahun-tahun aku menjadi kuli pelabuhan atau ikut nelayan pada malam hari. Siang hari aku tidur dan malam melaut bersama nelayan, atau kalau musim ombak, menjadi kuli pelabuhan bagi tongkang dan kapal yang merapat malam. Sesekali aku mencari tahu keberadaan istriku dari orang yang sebahasa denganku. Setelah berbulan-bulan, aku mendapat informasi mengenai alamat mereka, dan mengirimkan upah yang kuperoleh. Kiriman berikutnya tidak dapat kulakukan karena pada suatu hari aku berpapasan dengan seorang bekas interogatorku. Ia terkejut melihatku. Aku pun terkejut melihatnya. Aku cepat-cepat menghilang. Pergi ke laut, masuk tongkang yang hendak berlayar berbulan-bulan di laut, menjual ikan ke seberang. Malam-malam berbintang, aku menghitungnya. Hari-hari pelarianku yang tidak kutahu kapan akan berakhir. Sepuluh tahun? Dari beberapa pelabuhan, kukirim upahku, kepada anak-anakku. Tanpa alamat, karena aku bersama bintang di laut dengan pelaut yang tidak peduli pusaran politik. Mereka hanya peduli pusaran arus laut. Alam keras membuat mereka hidup. Dan di sanalah aku merajut nasibku juga. Sampai berpuluh tahun kemudian, iklim politik pun berubah, sekalipun laut tetap bergelora! Laut mengajariku untuk tabah. Bandung, 21 Agustus 2009
""Gelap, Gelap Sekali""
Pasti sebab pembantaian Nancy terlalu mengerikan, kematiannya terlalu keji. Lima orang memberangusnya, mengikatnya di kursi tempat pelanggan salon biasanya duduk. Dari kursi itu Nancy bisa menemukan bayangannya sendiri. Sehari-hari cermin di hadapannya biasa memantulkan berangsur wajah para pelanggan menuju kecantikan, malam itu berangsur wajahnya menuju kematian. Dua di antara lima pemberangus mencukur rambutnya serampangan. Satu yang lain menyumpalkan potongan-potongan rambut ke mulut Nancy dan satu terakhir sekadar menutup hidungnya. Nancy sempat kelojotan, sebentar. Ketika rambut di kepalanya habis, Nancy mampus. Bedah otopsi kemudian membuktikan bahwa Nancy kehabisan napas, versi yang lebih simpatik akan lebih menggarisbawahi kemungkinan Nancy mati karena tak sanggup melihat wajahnya sedemikan buruk. Tersumpal rambut, mulutnya terbuka lebar, seperti terbahak. Rautnya merot-perot, matanya melotot, nyalang dan ngeri. Zulfikar, pemberangus kelima, di pojokan, gemetaran. Melihat bangkai Nancy, penyesalan Zulfikar tak tertanggungkan. Seribu kali kematiannya tak mungkin impas mengganti sekali kematian Nancy. Sesungguhnya tak butuh penyelidik tangguh untuk membongkar kejahatan ini tapi di Kebon Sawah beberapa kejahatan memang terjadi bukan untuk dipecahkan. Lupa selalu bisa diandalkan, tak pernah mengecewakan. Untunglah, bisik-bisik hantu Nancy terembus. Ada tidaknya hantu Nancy akan tetap menjadi misteri sampai akhir cerita ini, terutama karena semua orang yang pernah bertemu dengannya tak lagi bisa ditanyai. Satu hal yang bisa dipastikan, beberapa orang telah dibunuh menyusul Nancy. Untuk mengikis sebagian penasaran, ada baiknya kita mulai dari suatu Rabu sore, tepat sebelum kemunculan pertama hantu Nancy. *** Hampir seminggu setelah Nancy dibunuh, hampir seminggu pula Zulfikar menghilang. Sulaiman Badik menyuruh Ahmad Senin mencarinya, santun memerintahkan agar Senin mencari tahu apakah Zulfikar sedang sakit atau membutuhkan sesuatu. Senin berjalan ke rumah Zulfikar bersiap menemukan keadaan terburuk dan bertindak. Zulfikar bukan anggota komplotan Leman Badik. Ia kelas teri, nyalinya tipis, kejahatannya paling cuma maling. Hanya karena Zulfikar pelanggan setia salon Nancy, ia diajak serta. Kuda troya, kata Leman, apa pun itu artinya. Anak buah Leman sejak awal bersiaga, siap menutup mulut Zulfikar kalau-kalau mentalnya kecut. Ditemukan di rumah ibunya, Zulfikar jongkok di dekat sumur, memandangi cacing tanah. Ketika Senin ikut jongkok dan mengajak bicara, ia menyahut dengan kalimat yang tampaknya disusun tanpa akal sehat. ”Ini tadi cacing ini tadi mati tadi, Nin.” Kalimat berikutnya, setelah jeda cukup lama, melompat. ”Senin, lu punya duit? Gua mau cukur,” satu tangannya memainkan ujung rambut panjangnya, sebelum mendadak menadah seperti pengemis. Senin, mungkin iba, merogoh kantongnya lalu menyorongkan selembar lima ribuan. Zulfikar melipat uang itu dengan riang. Setengah bergurau, Senin bertanya di mana Zulfikar bercukur, mengingat Nancy sudah mati. Wajah girang Zulfikar tiba-tiba lenyap. ”Nancy mati, Nin?” Zulfikar terlihat sungguh-sungguh, tawa Senin hampir meledak. Senin memutuskan mengangguk. Senin tahu jenis orang yang mudah patah, dan Zulfikar pastilah salah satunya. Setengah iba, ia menyimpulkan bahwa Zulfikar tak berbahaya, seperti potongan cacing di depan mereka. Setelah menepuk-nepuk punggung Zulfikar, Senin beranjak. Sempat membatin laporan untuk bosnya, langkah Senin terhenti begitu mendengar kalimat Zulfikar kemudian. ”Kasihan pembunuh-pembunuh Nancy itu, Nin.” Membalik badan, Senin bertanya kenapa. ”Aku mimpi ketemu Nancy. Dia bilang mau balas dendam.” Wajah Zulfikar begitu serius namun malah begitu tolol. Pertahanan Senin jebol, ia tertawa sampai tersedak. Besok paginya, setelah semalaman menertawai kegilaan Zulfikar bersama komplotannya, Senin ditemukan di kamar yang terkunci dari dalam. Mati tersumpal rambut, ia melotot. *** Hampir genap empat minggu setelah kematian Nancy, Rabu selepas maghrib, Leman Badik duduk di pinggir kolam ikan di belakang rumah Sudirja, Lurah Kebon Sawah. Sudah tiga anak buah Leman mati berturut-turut, tiga Rabu malam terakhir. Sudirja di telepon tadi siang gagal menyembunyikan gelisah suaranya. Leman Badik selalu mengira ketakutan ampuh menggerogoti sembarang orang, selain Sudirja. Duduk di sisinya, menghadapi pancing tanpa umpan, Sudirja tampak kosong, lemah. Lima minggu yang lalu, persis di tempat yang sama, Sudirja memerintahkan padanya untuk menghabisi Nancy. Saat itu suara majikannya pelan namun penuh percaya diri. Menyingkirkan perasaan cinta yang mendalam pada Nancy, raut Sudirja tak terlihat sedikit pun gundah. Leman telah menjadi tukang pukul Sudirja sejak sepuluh tahun terakhir, menyaksikan berbagai kebusukan tuan tanah itu. Sejak tiga tahun yang lalu, gara-gara Nancy, untuk pertama kalinya Sudirja terjebak selangkangannya sendiri. Nancy seperti tahu sudut-sudut Sudirja yang paling lemah, mengolahnya, meracuninya, membuatnya ketagihan, kesetanan. ”Saya gak percaya ini kerjaan setan,” cetus Leman, menyergah pikirannya sendiri. Persis ketika Leman mengucap ”setan”, pancing di tangan Sudirja lepas. Leman mencium kerusakan yang parah, jenis yang tak mungkin terobati. Tercetus dalam pikirannya, waktunya tak lama lagi untuk mencari majikan pengganti. Sejurus kemudian keduanya tenggelam dalam pikiran masing-masing. Menekuni pembunuhan beruntun lima minggu belakangan, arah pikiran keduanya tak beririsan. Leman percaya ini perbuatan manusia, kemungkinan besar musuh-musuh di pemilihan lurah tahun lalu, sekurangnya-kurangnya karena dua alasan: pertama, karena ini dipastikan oleh dukun langganannya dan, kedua, dukun itu tak pernah mengecewakannya. Sementara itu, pikiran Sudirja dipenuhi Nancy berkepala gundul dengan mata melotot dan mulut dipenuhi rambut yang datang setiap Rabu malam. Nancy akan mencapai dirinya, tak lama lagi. Pertengkaran terakhir keduanya terngiang. Saat itu, Sudirja tegas menolak permintaan Nancy. Kekasihnya itu mengancam membeberkan hubungan gelap mereka, biar orang kampung tahu siapa Lurah Sudirja sesungguhnya. Sudirja mengancam akan menghabisi Nancy, menegaskan bahwa cara semacam itu bukan pula yang pertama untuknya. Nancy balas menantang, mengancam akan bangkit dari kubur dan membalas dendam jika ia benar-benar dibunuh. Mencintai Nancy justru karena apa adanya, tak kurang tak lebih, Sudirja tak mungkin mengubah keputusannya. Mengabulkan permintaan itu sama dengan kehilangan Nancy selamanya, sama dengan membunuhnya. Sudirja ingat, saat itu ia sekadar melakukan yang biasanya ia lakukan jika merasa terdesak. Kini Rabu malam menjelang dan Sudirja menyesal sekadar menganggap angin ancaman Nancy. Semua sudah terlambat, ia yakin kematiannya sudah dekat. Dari tempat duduknya, Leman bisa mencium ketakutan majikannya tapi bergeming. Malam nanti hantu Nancy bahkan boleh saja datang untuknya. Silakan. Anak buahnya tolol, kalah sebelum perang, itulah alasan kematian mereka. Hantu Nancy hanyalah akal-akalan manusia. Tak diketahui apakah sempat Leman melawan dengan gagah. Esok paginya, ia ditemukan mati melotot melihat ngeri. *** Dua malam Rabu setelah Leman, hantu Nancy mengambil dua lagi. Warga kampung mulai terbuka matanya, setelah Supriningsih, istri lurah, mati, dan lalu berani mengambil kesimpulan, setelah seminggu berikutnya giliran Sudirja. Bisik-bisik bahwa Lurah Kebon Sawah berhubungan gelap dengan Nancy, sekalipun sempat susah masuk akal, kini sulit dibantah lagi. Sudirja mati melotot dengan mulut tersumpal rambut, seperti istrinya, seperti seluruh komplotan Leman. Semuanya pastilah berhubungan. Orang-orang berpikiran paling jernih di Kebon Sawah saling menggenapkan dugaan masing-masing, menyimpulkan bahwa latar pembunuhan Nancy adalah kecemburuan istri Sudirja dan atau ancaman buka mulut Nancy. Kedua latar ini mendorong Sudirja bertindak sedemikian keji. Menurut musuh-musuhnya, kekejian semacam ini bukan yang pertama bagi Sudirja. Mengenai betul tidaknya bisik-bisik bahwa pelaku balas dendam Nancy adalah arwah penasaran, tetua kampung menganjurkan warga mendekatkan diri pada Tuhan. Anjuran ini tak terlalu menenteramkan, terutama karena sudah setiap malam dalam enam minggu terakhir ini warga bertahlil dan dalam mengaji Yasin sebagian telah kehilangan kekhusyukan. Sekalipun kesimpulan sudah diambil, tak satu pun warga memperkirakan bahwa dibutuhkan satu kematian lagi sebelum keadaan kembali tenang dan lupa mulai bisa diamalkan. *** Rabu malam ketujuh setelah kematian Nancy, pintu salon miliknya dibuka paksa. Keadaan remang dan angker tak mencegah Zulfikar menemukan kursi di depan cermin di mana Nancy melihat dirinya sendiri terakhir kali. Zulfikar duduk di kursi, dan berkat lampu jalan yang menerobos masuk ke salon itu, ia bisa menemukan bayangannya sendiri. Zulfikar menunggu. Sebentar kemudian, penantiannya berakhir. Di cermin itu kini bisa ia lihat, Nancy berdiri di belakangnya. Sejak mati Nancy semakin cantik, bukan setan gundul melotot dengan mulut tersumpal rambut seperti perkiraan orang. Rambutnya utuh, hitam tergerai panjang dan lebat, sangat terawat, persis sebagaimana yang Zulfikar ingat. Matanya tenang, menatap Zulfikar penuh sayang. Pakaiannya tipis menerawang. Zulfikar melihat ke dada Nancy dan terharu, sekali lagi. Kematian telah memberikan pada Nancy apa yang hanya bisa ia impikan semasa hidup. Sepasang dada yang mengkal, bukan tambalan potongan gombal. Wajah Nancy demikian halus dan cantik. Seperti janjinya pada Zulfikar dulu, jika operasi penanaman payudaranya berhasil, Nancy akan membiarkan kumis dan cambangnya tumbuh dengan anggun. Sungguh Zulfikar tak pernah mengira sedikit pun bahwa kumis dan cambang bisa membuat seseorang demikian cantik. Zulfikar berandai-andai, jika saja Sudirja bisa menghargai kecantikan yang diangankan Nancy, tak sulit mengabulkan permintaannya. Sayang, lurah itu kuno. Zulfikar terus berandai-andai, jika saja ia kaya, bukan maling sekadarnya, tentu lain cerita. Terus ia menatapi Nancy di cermin, terus tak berhenti jatuh cinta lebih dari sebelumnya. Zulfikar ingin bersuara tapi lidahnya kelu. Ia selalu ingin menjelaskan semuanya, kenapa ia mau jadi kaki tangan Leman, kenapa ia terlibat pembunuhan orang yang paling dicintainya. Zulfikar selalu urung karena ia yakin Nancy tak akan mengerti. Nancy tak akan bisa menakar cinta Zulfikar, betapa dalam sehingga jika ia tak bisa mendapatkan Nancy, tak seorang pun boleh bisa. Nancy demikian cantik. Jika Sudirja tak mewujudkan keinginannya, masih banyak orang kaya yang bisa. Di cermin, Nancy tersenyum padanya. Zulfikar tahu saatnya sudah dekat. Ia telah mematuhi seluruh perintah Nancy tapi masih ada satu lagi. Dengan tenang, Zulfikar mulai memotong rambutnya sendiri, meletakkan potongan-potongan rambut itu di pangkuannya. Senyum Nancy semakin mengembang, menyemangatinya. Tak berapa lama rambut di kepalanya mulai tercukur habis. Ia melihat ke pangkuannya sendiri, puas dengan hasil kerjanya. Menatap ke arah bayangan Nancy penuh pembuktian diri, satu tangan Zulfikar mulai memasukkan rambut-rambut itu ke dalam mulutnya, satu tangan yang lain ia gunakan menutup hidungnya. Nancy tersenyum, semakin cantik. *** Butuh waktu lama agar Kebon Sawah lupa. Dua tahun setelah kematian Nancy, tak satu pun salon baru berdiri. Warga harus pergi ke kampung sebelah atau ke pusat kota untuk bercukur dan didandani. Kerepotan kecil ini memaksa mereka mengingat delapan kematian beruntun di Kebon Sawah. Warga masih terbelah sikap, sekalipun polisi sudah berusaha menenangkan, mengatakan bahwa Zulfikarlah pelaku di balik kematian enam orang, sebagaimana ditunjukkan jejak sidik jarinya, sebelum akhirnya bunuh diri. Sulit memaksa warga mendapatkan tenang, bukan semata-mata karena pembunuhan Nancy tak pernah terungkap terang. Mayat Zulfikar, setelah lenyap saat disemayamkan di masjid, sampai sekarang tak pernah ditemukan. Dua bulan yang lalu seseorang bernama Siska datang, mendirikan salon persis di bekas salon Nancy. Mula-mula tak seorang pun mengunjunginya. Keadaan mulai berubah sejak Siska berjanji untuk membakar semua rambut yang dipotongnya. Tetua kampung, sekalipun sempat khawatir dengan kedatangan Siska, urung cemas begitu melihat pemilik salon itu. Berbeda dengan Nancy yang cantik, Siska berwajah buruk, lipstik merah di bibirnya dikelilingi kumis dan janggut. Keburukan itu, anehnya, tak sempat mengingatkan mereka pada wajah seseorang yang demikian akrab. Di balik celemong make-up dan semrawut cambangnya, mudah didapati betapa wajah Siska begitu mirip dengan Zulfikar. Sampai kisah ini dituliskan, tak seorang pun warga pernah menghubungkan kemiripan keduanya, bahkan tidak juga pada sekadar obrolan ringan. Lupa rupa-rupanya bukan suatu cara bertahan yang bisa diwujudkan sekenanya, gotong royong dibutuhkan agar semuanya berjalan sesuai rencana. Begitupun, ingatan masih penasaran: mampirlah, di kampung itu kamu selalu bisa menghirup bau rambut terbakar.
""Hantu Nancy""
Aku mencoba-coba mengingat siapa dia, tersebab ada gelenyar di dada, bahwa dia seperti pernah bersua denganku sewaktu kuliah di UISU, universitas swasta tertua di Medan. Hmm, siapa dia? Kenapa dia sangat dingin, meski berulang- ulang sejak dari Terminal Sambu aku mencoba menarik perhatiannya? Ketika kutarik rokok jambu bol yang kubawa dari Palembang, lalu mengisapnya setelah nyalanya bergemeretek, dia acuh. Termasuk saat aku mencoba membuarkan asap ke wajahnya yang menyisakan kecantikan di lima belas atau dua puluhan tahun lalu. Hmm, perempuan yang dingin! Sebaliknya aku memaki-maki diri sendiri. Apa pula setua ini ingin berganjen dengan perempuan! Dia pasti sudah bersuami, dan paling tidak lebih mencintai suaminya ketimbang diriku yang berbadan kurus-berwajah tirus. Cuma, tak ada salahnya mencoba berbincang sejenak dengannya karena aku yakin kami pernah akrab bertahun silam. Sekalian kalau bisa, kami menautkan rasa. Siapa tahu dia sudah melajang seperti diriku yang telah ditinggal mati istri dua setengah tahun lewat. Dia akhirnya menghentikan laju sudako persis di depan kampus UISU. Entah pengaruh apa, aku tiba-tiba ikut turun. Tujuan utamaku adalah rumah kakak di Amplas. Tetapi, peduli setan, aku tak ingin kehilangannya. Ketertarikanku kepadanya sejak sekian menit lalu semakin memerangkap. Baru kali ini aku merasakan awal puber yang kedua. Ha-ha- ha, dasar laki-laki penggatal! ”Kenapa Anda mengikuti saya terus!” Dia menusukkan ujung majalah ke ulu hatiku. Aku tersedak. Terkejut sangat karena dia merespons balik sedemikian cepat. Terpaksalah aku mengubah sikap lebih santai sambil bersiul-siul. ”Maaf, Anda merasa terganggu?” tanyaku. ”Jelas! Apalagi oleh orang setua Anda!” Dia menggeram. Dia melangkah cepat meninggalkanku. Kususuri juga sisa jejaknya. Sementara angin sepoi seketika mengentak. Daun-daun akasia tua dan coklat beterbangan di sepanjang jalan. Rambut perempuan itu berkibar sehingga rambut putihnya yang tergerai sepunggung terbelah dua. Sepintas kulihat tahi lalat besar di tengkuknya. O, tidak salah lagi. Dia memang mantan teman kampusku. Tidak salah lagi! Andaikan dia masih bersuami, tak masalah bagiku. Aku hanya merindukan berbincang dengan seseorang demi mengenang masa lalu, setelah semua orang terdekatku seperti berusaha mengindariku. Dari anak-mantu sampai cucu-cucu. Siapa pula yang mau bercakap dengan orang menjelang pikun begini? ”Saleha!” Memoriku kiranya belum majal nian. Aku ingat nama perempuan itu. Aku ingat wajahnya yang manis. Sikap manjanya dulu ketika berkumpul dengan teman-teman. Sayang, aku hanya bisa menyentuh wajahnya dengan khayalku dari jauh. Aku memendam cinta kepadanya sampai empat tahun. Selebihnya aku dongkol sendiri. Dia lebih dulu menjadi sarjana Sastra Inggris, sementara aku hampir-hampir bergelar mahasiswa abadi setelah susah payah mampu menamatkan kuliah di tahun kedelapan. Sontak dia berhenti. Menatapku nanap. ”Anda siapa?” Dia menghentikan langkah. Tujuannya naik becak urung sudah. Tukang becak yang distopnya mendelik dan mengumpat. ”Hariman! Hariman Sipahutar! Masih ingat?” Aku sangat ragu dia mengingatku. Karena semasa kuliah dulu, aku hanyalah anak bawang bila dikaitkan dengan masalah perempuan. ”Hariman Sipahutar? Kau, kau penulis novel hebat itu, kan?” Dia mendekat, langsung menjabat tanganku erat-erat. Mata dinginnya mencair serupa segelas es teh manis yang menggoda. Aku berharap dia tak mengenaliku dari kehebatan seorang novelis, tetapi dari kenangan saat kami sama-sama kuliah. Sekarang, ternyata dia lebih menghargai karya bertuliskan namaku ketimbang sosok seorang Hariman Sipahutar. Hiks! ”Tidak sehebat-hebat itulah!” ”Tetapi benar Anda, kan?” ”Hmm!” Perubahan yang drastis. Dia langsung menelepon seseorang dari HP-nya, setengah berteriak kegirangan tentang keberadaanku. Dia meminta dijemput naik mobil. Kemudian tersenyum sambil memperbincangkan tentang dunia tulis-menulis, tentang novel trilogi-ku berjudul Ziarah Hati jilid kedua kapan terbit, tersebab dia sudah ingin membaca kelanjutan ceritanya yang mengharu biru itu. Kini aku yang menjadi salah tingkah. Aku yang akhirnya menyesal kenapa satu sudako dengannya. Kenapa harus mengikuti langkahnya sehingga pertemanan yang tak mengenakkan ini terwujud. Perasaan tak nyaman berlanjut di rumahnya yang megah. Hampir seluruh sanak keluarganya berkerumun. Mereka memiliki nyaris semua novel bertuliskan namaku. Mereka meminta tanda tanganku. Menggenggam jemariku. Memerkosaku dengan makanan minuman. Sementara cara berbicara Saleha semakin berapi. Dia hafal seluruh jalan cerita novel-novel yang aku sendiri alpa. Aku gelagapan ketika ditusuknya dengan pertanyaan-pertanyaan tentang tokoh novel ini-tokoh novel itu. Saleha juga tanpa malu-malu mengatakan sudah menjanda. Dia tersipu saat kukatakan bahwa kami sama-sama lajang tua. Anak-cucunya menggoda, menjodoh-jodohkanku dengannya. Siapa pula yang tak bangga, penulis novel ternama bisa memasuki rumah dan kemungkinan besar menjadi salah seorang anggota keluarga mereka! Cukup sudah! Aku harus buru-buru permisi. Aku tak ingin rasa yang mengganjal dada bisa meledak dan membuatku merasa amat bersalah. ”Kapan bisa bertemu lagi?” Saleha memastikan. Kutatap dia di cahaya remang senja. Hampir malam. ”Kapan, ya?” ”Sibuk?” kejarnya. ”Saya menunggu telepon Anda saja.” Dia sangat berterima kasih. Digenggamnya tanganku erat- erat seolah tak ingin dilepas. Namun, semua ini harus dihentikan. Aku tak mau dipuja-puji hanya oleh novel-novel itu. Saleha akhirnya tak sabar bersua aku. Pada malam yang sedikit berkabut, kami berjanji bertemu di sebuah kafe di kawasan Kesawan. Aku harus menjelaskan semuanya sebelum terlambat. Aku tak ingin dirundung kesalahan bertimpa-timpa saat orang yang pernah kucintai itu merindukan pelukan bayang-bayang semu. Saleha harus memahami kondisi ini. Termasuk mungkin orang- orang yang selalu memuja novel-novel itu. Aku tak ingin hidupku berujung kebohongan-kebohongan, yang menyebabkanku kembali kepada Pencipta tanpa bekal apa-apa, kecuali cap wajah sebagai penipu kelas berat. Tetapi, jangan pernah menghakimiku. Semua kulakukan bukan tanpa sebab. Kau tak perlu tahu sekarang sebelum aku berterus terang kepada Saleha. Tentang semuanya sehingga terang- benderang serupa pagi. Mien, keponakanku, sengaja mengantarkanku dengan VW kodoknya. Bukan apa-apa, perempuan yang sebelumnya amat susah dimintai tolong ini ternyata senang sekali saat aku meminta diantarkan ke kawasan Kesawan. Tanpa diperintah untuk yang kedua kali dia langsung mengambil kunci mobil. Brrm! Mobil melaju pelan. ”Benar Kakek mau bertemu seorang perempuan?” Mien senang memanggilku dengan sebutan kakek, sama seperti keponakan-keponakanku yang lainnya. Mungkin penampilanku yang kian renta ini penyebabnya. ”Calon kekasih, ya?” Dia tertawa ketika kupelototi. ”Ini jadi rahasia kita lho, Kek!” Shit! Aku menyuruh Mien berhenti ketika melihat Saleha memasuki sebuah kafe. Ban mobil mendecit. ”Boleh ikut, Kek?” ”Pulanglah!” usirku. ”Yang pacaran! Ha-ha-ha!” Dia mengedipkan mata sambil berlalu meninggalkan debu. Malam sudah sangat merapat. Aku menghela langkah ragu-ragu serupa seorang kekanak yang terlambat pulang sekolah dan sedang ditunggu sang bunda. Saleha langsung melihatku. Dia melambai. Dia duduk di sudut kafe bersama seorang perempuan yang nyaris setua dia. Pengganggu! Beruntunglah setelah bersalaman dengan perempuan itu, sekalian berbincang apa adanya, si perempuan permisi setelah dijemput seorang pemuda. Mungkin anaknya. Masih seperti seminggu lalu, Saleha tetap antusias membicarakan novel-novel itu. Bahkan dia berniat berguru kepadaku. Namun kutanggapi dingin, sama dinginnya dengan jus wortel yang terhidang di depanku. ”Saya memesan teh hangat saja. Tak biasa meminum air es.” Kupanggil seorang pelayan. Saat teh hangat itu terhidang di meja menggantikan jus wortel itu. Saleha seperti merasa bersalah. Dia tak tahu kalau aku anti yang dingin-dingin. Tak apa menurutnya, jus wortelku biarlah dibungkus plastik saja. ”Saleha, apakah kau pemuja kejujuran?” tanyaku akhirnya. ”Kejujuran? Kejujuran apa itu?” Pipinya bersemu merah. Dia barangkali mengira aku ingin mengatakan ingin memacarinya. ”Meski kejujuran itu akhirnya membuat orang kecewa?” lanjutku. ”Kejujuran itu memang pahit, Hariman!” Aku mendesah satu kali. Kuhirup teh hangat. Kucicipi sepotong kecil kue khas Medan, bika ambon. Kemudian aku memulai berbicara sangat berat karena mengungkapkan kejujuran adalah lebih sukar ketimbang berbohong. Begitulah! ”Kalau saat ini aku mengatakan bahwa novel trilogi Ziarah Hati dan juga yang lainnya itu bukan karyaku, tanggapanmu bagaimana?” ”Mustahil!” Dia menikmati martabak mesir di hadapannya. ”Ini benar, Saleha!” Dia menghentikan suapannya. Sendok mengapung di atas piring bulat putih itu. Segera diturunkannya lagi pelan, manakala dia merasakan keseriusan dari mulutku. Kukatakan bahwa sebenarnya semua novel yang bertuliskan namaku adalah karya Sulaiman, seorang sahabatku di Palembang. Dia sengaja meminjam namaku karena tak ingin cerita di novel- novel yang merupakan realitas hidupnya menjadi bumerang. ”Aku tak ingin keluargaku, keluarga istriku tahu bahwa akulah penulisnya. Bila mereka tahu, aku menjadi yang tersalah. Mereka pasti membenci aku sehingga anggapan bahwa aku si babi yang brengsek memang betul. Bisa-bisa aku tersingkir dari dua keluarga besarku, lalu aku menjadi sebatang kara.” Begitu awalnya Sulaiman mengajuk meminta namaku terpacak di novelnya. ”Berarti dia ghostwriter, dong!” sela Saleha. ”Jangan menuduh kawanku terlalu naif begitu, Ha. Kalau aku memang memberi imbalan atas penulisan namaku di novel-novel itu demi sebuah ketenaran, tak masalah kau menyebutnya ghostwriter. Tetapi, ini persoalannya berbeda.” ”Maaf kalau kau tersinggung!” katanya. Kudapati wajahnya sedemikian terkejut. Sikapnya menjadi tak utuh lagi kepadaku. Tatapnya seperti menjaga jarak. Ya, inilah sebuah jawaban kejujuran. Kejujuran itu tetap pahit. Bagaimana kelak kalau seluruh orang Indonesia yang pernah membaca novel-novel bertuliskan namaku mengetahui rahasia ini? Jangankan tomat busuk, telur busuk pun mungkin akan dijejalkan mereka ke setiap hela langkahku. Kuteruskan bercerita kepada Saleha. Bahwa setelah berbilang tahun novel Sulaiman menjadi best seller, aku sama sekali tak pernah mencicipi royaltinya. Memang yang berurusan dengan penerbit serta kegiatan lain pascacetak, aku yang mengambil alih. Begitupun, aku hanya menikmati biaya perjalanan dan makan-makan enak bila harus berjumpa fans. Mengenai uang saku, sama seperti royalti, kuserahkan bulat- bulat kepada Sulaiman. Dia memang memberiku pembagian cukup besar. Namun, semuanya diam-diam kusumbangkan ke masjid. Hingga suatu kali orang-orang di sebelahku terbelalak ketika segepok uang kutaruh ke tempat infak yang terbuat dari baskom plastik. Kejadiannya sebelum shalat Jumat. Orang-orang itu langsung kagum. Bahkan usai shalat, mereka mencoba mengejarku. Tetapi, aku cepat menghindar, dan berhenti shalat di masjid itu. Selanjutnya uang pemberian Sulaiman kusumbangkan ke mana-mana dengan cara lain yang lebih tersembunyi. Aku tak ingat berapa tahun setelah novel pertama Sulaiman terbit, dia meninggal karena kecelakaan lalu lintas. Sebelum meninggal, dia memintaku menerbitkan seluruh karyanya yang tersimpan di rumah kontrakannya. Meskipun berduit banyak, dia tetap senang tinggal di rumah kontrakan ketimbang di rumah mertua bersama istri atau kembali ke rumah orangtuanya. ”Kau tahu, disketnya sangat banyak, menyimpan karya-karya yang begitu bagus. Itulah yang kuterbitkan sampai sekarang. Masalah royalti kukirim pakai wesel ke istrinya tanpa nama pengirim. Aku bekerja sama dengan orang di kantor pos.” Kuembuskan napas panjang demi membuang sesak di dada. ”Itulah ceritanya. Inilah kejujuranku!” Tatap mata Saleha semakin meredup. Tak ada nyala sumringah di situ. Namun, dia masih ragu-ragu memercayai ceritaku. Seperti dongeng anak-anak, katanya. Merasa susah hati, akhirnya aku pamit duluan. Tetapi, dia buru-buru menahan langkahku. ”Ngomong-ngomong, pertama kali kita bertemu, Anda tahu nama saya dari mana?” Dia kembali ber-saya dan Anda denganku. Blesss! Seolah ada tikaman menghunjam hati ini. Ternyata sampai sekarang dia tak tahu bahwa aku adalah seorang mantan teman kuliah yang diam-diam mengaguminya sekian tahun lalu. Oh, pecundangnya kau Hariman! ”Oya, aku membaca di sampul majalah yang kau baca di sudako,” dustaku. Dia mengernyit. ”Sepertinya saya tak menuliskan nama saya di situ. Apa saya lupa, ya? Maklumlah mulai pikun.” Tawanya pecah, tetapi cenderung tak lepas. Nyaris sengau! Dan kami akhirnya berpisah.
""Suatu Pertemuan""
Sekedar mengingatkan: Walter Benjamin juga pernah tertegun melihat citraan bayang-bayang yang berbaur dengan kenyataan seperti itu di Paris. Seperti sebuah mimpi-phantasmagoria meminjam istilah filsuf Jerman mazhab Frankfurt itu. Bagaimana seorang terjebak dalam phantasmagoria? *** Senja di Kuta. Tiba-tiba timbul ide di benak Tanata untuk terjun ke arena di mana kenyataan tak bersekat dengan mimpi tempatnya berdiri. Ia pun menembus kaca, menembus bayang-bayang, dan ketika mendapati wanita yang serasa pernah dikenalnya: Marianne. “Marianne, bagaimana kamu berada di sini?” tanyanya takjub. Yang disapa tersenyum. “Aku tahu kamu akan datang, cepat atau lambat,” kata Marianne. “Kamu penghayal sejati.” Marianne masih seperti dulu. Dia mengenakan blouse putih lengan pendek, memperlihatkan putih kulit lengannya. Celana jins membalut pinggangnya yang padat, terangkat oleh selop bermodel sederhana-selempang kulit hitam dengan hiasan manik-manik-bertumit tinggi. Kuku-kuku jarinya ber-cutex merah. Wanita ini melayani percakapan sambil membereskan meja bar, menaruh gelas-gelas yang diangkatnya dari tempat pencucian di bibir pantry dalam posisi terbalik. “How’s life…” tanyanya. Tanata terdiam tak tahu harus menjawab apa. Kembali Marianne tersenyum. Ia menuju alat pemutar lagu. Kuku-kuku jarinya yang juga ber-cutex merah menyala memencet tombol alat pemutar yang kelihatan sangat kuno modelnya. “Adanya ini…” katanya demi melihat Tanata memerhatikan alat pemutar lagu tadi. “Aku tahu kamu menyukai ini…” lanjutnya. Mengalun lagu lembut berjudul seperti namanya. Dari dulu terus terang aku memujanya… “Problemnya pasti irama ya, iya kan?” ucap Marianne seperti hendak menebak, mengapa Tanata tak menjawab pertanyaannya. “Kamu menyebut, semua adalah soal irama. Irama kamu sebenarnya di sini.” “Bersamamu,” tukas Tanata. “Kamu masih suka merayu.” “Aku sungguh-sungguh.” “Aku tahu. Kamu jujur mengungkapkan apa yang kamu rasakan, meski aku juga tahu, seusai ini pada keadaan yang lain lagi kamu berkata hal serupa pada perempuan lain.” Kali ini Tanata tersenyum. Marianne selalu benar. Meski, mungkin tidak kali ini. *** Marianne, nama ini, kosa kata ini, berada dalam jajaran kosa kata-kosa kata lainnya dalam lintasan hidup Tanata, misalnya Vila Ulangun, Lila Buana, Kayuapi, Bumi Shanti, dan lain-lain. Pertama kali Tanata melihatnya di Vila Ulangun-sebuah proyek kawasan hiburan yang pada masa itu belum jadi. “Siapa dia?” tanya Tanata ketika melihat wanita itu melintas masuk Vila Ulangun. Bahkan masih diingatnya apa yang ditentengnya. Yakni, perangkat pantry untuk persiapan pembukaan bar. “Adik Pak Franky,” kata seorang di situ. “Adik Pak Franky?” Tanata mengulangi. “Siapa namanya?” “Marianne. Cantik ya… ” yang diajak bicara berkomentar tanpa diminta. “Pernah jadi Miss Minahasa.” “Ooh…” Diingatnya percakapan-percakapan mereka di masa awal perkenalan. Tanata memperkenalkan diri sebagai orang baru di situ, sebagai pemain band yang baru saja lolos audisi, yang dilakukan sendiri oleh Pak Franky. “Dari mana asalnya?” tanya Marianne. “Magelang,” kata Tanata. Dia selalu menyebut kota ini. “Di mana itu?” “Di Jawa Tengah. Bayangkanlah Minahasa. Kota itu sama indahnya dengan Minahasa. Berbukit-bukit dan dingin.” Marianne tersenyum. “Saya juga belum lama di sini,” kata Marianne. “Baru dua bulan.” “Sudah ke mana saja?” tanya Tanata. “Tidak pernah ke mana-mana…” jawabnya. “Tahunya hanya Bumi Shanti dan sini,” tambahnya tertawa. Bumi Shanti adalah nama banjar di mana Franky tinggal. Marianne cukup sering membantu beres-beres di Vila Ulangun. Ketika sedikit-sedikit operasi Vila Ulangun dimulai, termasuk dibukanya bar, kadang ia tinggal di situ sampai malam, ikut sibuk. Tanata tahu belaka bagaiman menyenangkan adik “sang bos”. Di panggung dia bercuap-cuap kepada siapa lagu yang hendak dinyanyikan ditujukan. Lalu mengalunlah lagu ini: Where are the roses that I brought you, my love Where are the poems that I wrote… Lalu, sejak malam itu, Marianne pulang ke Bumi Shanti tidak lagi dengan mobil jemputan keluarga. Tanata mengantarnya pulang, memboncengkannya dengan Yamaha trail yang dipakainya sehari-hari. Kadang tidak langsung menuju rumah. Mereka nongkrong dulu di lapangan tengah kota bernama Lila Buana, yang pada tengah malam hari sampai dini hari diramaikan penjual makanan. Di situlah mereka yang biasa hidup di malam hari mencari makan pada lewat tengah malam, termasuk beberapa seniman, yang namanya cukup terkenal. Di Lila Buana-orang-orang menyingkatnya “Lebanon”-Tanata menulis beberapa puisi itu. Itu masa hidupnya yang dirasakan paling produktif. Sebagian puisinya dimuat oleh surat kabar lokal dengan di bawahnya tertulis: “untuk M”. *** Sebuah masa, masa hujan sajak dan puisi. Seperti pisau bermata seribu, sajaknya mengena pada siapa saja: kalau toh tidak pada seribu wanita, setidaknya pada satu, dua, atau tiga orang. Nama dari satu, dua, atau tiga orang itu masih diingatnya. Inisialnya, sebut saja dua di antaranya, Y dan S. Tentu saja selain M-Marianne Bersama Marianne ia membelah pulau, menuju arah utara, kehujanan, sama-sama menggigil kedinginan berteduh di dangau di daerah Batubulan. Tak ada suar apa pun senja itu. Sawah berundak-undak rapi itu sunyi dalam guyuran hujan senja hari. Mereka sering melewatkan waktu di kawasan selatan, yang ramai dengan kafe dan klub-klub musik, antara lain Kayuapi. Di sana-sini masih banyak pepohonan kelapa, di mana di bawahnya sapi-sapi berkeliaran. Sapi-sapi itu membuang kotoran, yang ketika mengering menghasilkan jamur, dan jamur dari tahi sapi itulah pada masa itu dikenal menghasilkan camilan yang membuat mereka fly: mushroom omelette. Berdua mereka fly, melayang dalam sajak dan jamur tahi sapi… *** Sebenarnya banyak yang bisa diceritakan Tanata, terlebih ketika bersama keluarga, mereka memilih liburan di pulau ini. Hanya saja siapa yang hendak mendengar ceritanya kini? Siapa yang masih bersedia mendengar cerita mengenai sajak-sajaknya, mengenai lagunya, mengenai sepeda motor Yamaha trail yang dijualnya untuk ongkos pindah ke Jakarta, mengenai William Butler Yeats, mengenai Umbu Lambu Paranggi, mengenai teman sekamarnya yang menguangkan wesel kiriman dari surat kabar yang memuat tulisannya tanpa sepengetahuannya, setelah itu mentraktirnya, dengan uang yang sebenarnya uangnya sendiri? Tanata tersenyum mengenang masa itu. Kini, semua orang di sekelilingnya, anak istrinya sibuk dengan gadget masing-masing dari handphone, Blackberry sampai laptop yang pada liburan seperti ini pun tetap menyertai mereka semua. Begitu masuk hotel, mereka langsung membuka laptop. Pada kegiatan di luar, entah di mobil atau di manapun, semua sibuk dengan perangkat teknologi informasi di tangan masing-masing. Pada masa sebelumnya, hanya satu tangan sibuk memencet-mencet. Kini, dengan peralatan makin canggih, kedua tangan mereka terpacak di situ, kepala menunduk, tak pernah melihat kiri-kanan. Sawah-sawah yang masih tersisa, pintu pura yang mereka lewati, Taman Ayun, langit jingga, anak-anak main layang dengan bentuk menakjubkan, semua tak ada artinya bagi mereka. Mata mereka hanya mengarah ke layar handphone. Ketika diajak berbicara paling berujar “hehh”, atau “apa?”, justru ketika penjelasan telah berlalu. Saat berjalan berendeng-rendeng kadang Tanata harus menoleh kesana-kemari, mencari anggota keluarganya entah itu istri atau anak, yang tercecer karena mereka berjalan sambil menunduk, sibuk memperhatikan layar handphone, bukan keadaan sekeliling di mana mereka berada. “Perhatikanlah sekeliling, supaya tidak kehilangan ruang dan waktu,” ucap Tanata. “Apa?” kata yang diajak bicara, sebelum sibuk lagi dengan handphone-nya. Dunia kenyataan, telah menjadi dunia niskala. Lagi-lagi Tanata tersenyum. Kenyataan-realitas darah dan daging-telah lenyap bagi mereka. *** Tiba-tiba saja, di depan toko-toko, butik, kafe, dan restoran yang sudah ramai dibanding puluhan tahun lalu ketika dia menghasilkan sajak-sajaknya di sini, Tanata mendapati dirinya sendirian. Benar-benar sendirian. Ia hanya dengan bayangannya sendiri yang menyatu dengan manekin, benda-benda dan huruf-huruf di kaca etalase. Bagaimana kalau aku terjun ke situ, pikirnya. Maka masuklah Tanata menembus bayang-bayang, masuk ke dunia phantasmagoria. Seperti mimpi-ah, benar-benar seperti mimpikah, atau sebaliknya malah ini kenyataan-dia bertemu lagi dengan Marianne. Marianne yang masih seperti dulu: cantiknya, wanginya, dan dayanya mendengar setiap potong ucapannya. “Dengarkan, sekarang aku akan menjawab pertanyaanmu tadi,” kata Tanata pada wanita yang sangat menyenangkan ini. “Pertanyaan yang mana?” tanya Marianne. “Bukankah kamu tadi mengatakan, aku jujur mengungkapkan apa yang aku rasakan, meski menurut kamu, seusai ini pada keadaan yang lain aku akan berkata hal serupa pada perempuan yang lain…” “Itulah dirimu yang kukenal,” kata Marianne. “Itulah aku yang kamu kenal dulu,” tukas Tanata. “Kini aku hendak mengatakannya, bahwa aku mengatakan ini padamu.” “Kamu bermimpi…” “Aku tidak bermimpi.” “Ini dunia phantasmagoria…” ucap wanita cerdas itu. “Kamu tidak bisa pulang ke duniamu” “Aku memang tidak ingin pulang.” *** Di manakah realitas virtual, simulakra, phantasmagoria, atau apa pun namanya tergantung referensi apa yang kita gunakan, berakhir, dan sesuatu yang nyata, real, berdarah daging, memulai dirinya kembali? Tak jelas. Walter Benjamin sendiri tak pernah menyelesaikan proyek arkade-nya, passangenwerke-nya. Manusia=mesin. Realitas=ilusi. Marianne=ilusi. Marianne=benar-benar ada. Masa lalu=masa kini. Bagaimana membedakan itu semua? Pada musim liburan itu, sebuah keluarga, seorang ibu dan anak-anaknya, panik ketika menyadari telah kehilangan kepala keluarga. Keluarga itu real=keluarga itu tidak real. Istri itu real=istri itu tidak real. Marianne real=istri tidak real. Nah, semembingungkan itu implikasi phantasmagoria di mana Tanata terseret di dalamnya. Keluarga itu sibuk dengan handphone dan peralatan teknologi informasinya, mengabarkan hilangya Tanata. Seluruh anggota jemaat dunia maya menyambut ramai. Berita berseliweran, baik lewat SMS, Facebook, maupun percakapan handphone. Ada yang menanggapi serius, ada juga satu-dua yang main-main. “Dia nyeleweng…” begitu seorang berkomentar. “Suamiku tidak nyeleweng. Dia hilang,” kilah sang istri. “Hilang=nyeleweng. Nyeleweng=hilang,” yang berkomentar tidak mau kalah. Mereka terus sibuk satu sama lain. Semua menatap layar handphone atau komputernya masing-masing. Tak ada yang meoleh ke kiri ataupun ke kanan. Giliran dunia phantasmagoria memanipulasi mereka. Tak ada yang menyadari, Tanata sebenarnya di situ-situ saja. Ia bersama Marianne, menertawakan semua orang. Suwung, September 2009
""Phantasmagoria""
”Ada apa lagi Laila,” tanya istri saya. ”Kok nangis seperti sinetron, kapan habisnya?” Tangis Laila bukannya berhenti, malah tambah menjadi-jadi. Saya cepat memberi kode rahasia supaya interogasi itu jangan dilanjutkan. Besar kemungkinan, itu taktik minta gaji naik. ”Laila itu bukan jenis pembantu murahan yang mata duitan. Dia orang Jawa yang tahu diri, memangnya kamu!” bentak istri saya, sambil menarik Laila bicara empat mata. ”Dia punya konflik,” kata istri saya kemudian. ”Suaminya kurang ajar. Masak memaksa Laila banting tulang, tapi dianya ngurus anak ogah! Primitif banget! Laki-laki apa itu? Giliran anaknya kena DB dibiarin saja. Coba kalau sampai mati bagaimana? Pasti si Laila lagi yang disalahin! Memangnya perempuan WC untuk nampung kotoran?!” ”Terlalu!” ”Sekarang si Romeo nyuruh Laila berhenti lagi!” ”Berhenti?” ”Ya! Apa nggak gila?! Kalau Laila tidak kerja mau ngasih makan apa si Arjuna?” ”Kali Laila dapat kerjaan baru.” ”Mana ada orang mau menerima pembantu yang tiap sebentar pulang, karena anaknya nangis!” ”Jadi Laila akan berhenti?” ”Tidak! Biar Laila bawa Arjuna kemari, jadi kerjanya tenang.” ”Boleh sama si Romeo?” ”Memang itu yang dia mau!” Saya menarik nafas. Sejak itu, Arjuna yang baru lima tahun itu jadi bagian dari rumah kami. Kalau dia nangis, sementara ibunya memasak, sedangkan istri saya sibuk, itu tanggung jawab saya. Mula-mula berat. Tapi kemudian terjalin persahabatan indah antara saya dan Arjuna. Saya bahkan merasa tersanjung ketika Arjuna memanggil saya Pakde. Sudah 11 tahun saya dan istri merindukan anak. Kami sudah capek menjalani nasehat dokter. Akhirnya kami ambil kesimpulan, tugas manusia memang beda-beda. Kami mungkin bukan mesin reproduksi manusia. Kehadiran Arjuna membuat rumah berubah. Kelucuan bahkan kebandelan Arjuna menyulap tiap hari jadi beda. Sampai-sampai istri saya memanggilnya si Buah Hati. Tapi pulang dari mudik, saya terkejut. Di dapur terdengar suara ketawa beberapa orang anak. Ternyata di situ ada lima bocah hampir seusia Arjuna sedang main petak umpet. Mereka sama sekali tidak takut oleh kehadiran saya. ”Itu anak-anak pembantu-pembantu sebelah.” ”O ya?” ”Ya, orangtuanya juga sibuk kerja, jadi anaknya tidak ada yang ngurus. Daripada mereka jadi gelandangan atau korban narkoba, aku suruh saja main di sini nemani si Buah Hati,” kata istri saya. Mula-mula saya keberatan. Satu anak tertawa dalam rumah, memang lucu. Tapi enam orang, saya akan kehilangan privasi. Ketika saya sedang bekerja di meja, semuanya seliwar-seliwer di depan pintu. Kalau saya menoleh mereka mencelup. Punggung saya terasa gatal ditancapi tatapan. Saya kira mereka mulai kurang-ajar. ”Kamu frustrasi!” komentar istri saya sambil tertawa, ”Persis!” ”Karena kamu kurang peka!” Saya berpikir. Istri saya terus ketawa. ”Kamu tidak peka. Anak-anak itu tahu kamu baru kembali dari mudik. Mereka menunggu.” ”Menunggu apa?” ”Biasanya kalau pulang mudik orang bawa oleh-oleh.” ”Aku bawa untuk Arjuna, bukan untuk mereka!” ”Mereka semua anak-anak. Kamu harus berikan sesuatu kepada semuanya.” Istri saya mengulurkan sebuah kantung plastik yang penuh coklat. ”Bagikan ini pada mereka!” Saya takjub, tapi tak bisa menolak. Sejak peristiwa itu, rumah saya seperti penitipan anak. Kerap ibu-ibu tetangga karena keperluan yang mendesak menitipkan anak di rumah kami. Anaknya pun senang bahkan mereka menganjurkan agar dirinya dititipkan. Untung saya cepat membiasakan diri. Apalagi keadaan itu membuat gengsi kami naik. Istri saya menjadi popular. Saya sering dipuji sebagai lelaki sejati. Tetapi kemudian Laila kembali menangis. ”Si Romeo bertingkah lagi!” umpat istri saya setelah mengusut Laila, ”bayangkan, masak dia minta dibelikan motor!” ”Motor? Emang mau ngojek.” ”Boro-boro ngojek, naik motor juga nabrak melulu!” ”Terus untuk apa?” ”Menurut Laila itu mau disewakan Romeo pada tukang ojek. Laila minta gajinya setengah tahun di bayar di muka.” ”Kamu tolak kan?!” ”Gimana ditolak? Laila diancam akan digebukin kalau tidak berhasil.” Saya jadi penasaran. Lalu saya mencecer Laila. ”Laila, cinta itu tidak buta. Kalau suami kamu terus dituruti, kepala kamu bisa diinjaknya. Suami pengangguran yang mengancam dibelikan motor oleh istri itu bukan saja menginjak, tapi itu sudah explotation de l’home par l’home tahu?!” ”Ya Pak.” ”Kamu mengerti?” ”Mengerti, Pak.” ”Suami yang baik boleh dihormati, tapi yang jahat tendang!” Laila tunduk dan mulai menangis. ”Kamu kok cinta mati sama si Romeo, kenapa? Jangan-jangan kamu sudah kena pelet!” ”Saya hanya mau berbakti kepada suami, Pak!” ”Itu bukan berbakti, tapi sudah bunuh diri!” ”Orangtua saya selalu berpesan, suami itu guru, Pak. Kata Ibu saya, tidak boleh membantah kata suami, nanti tidak bisa masuk surga!” ”Tapi kelakuan si Romeo kamu itu sudah melanggar HAM!” Laila menunduk dan meneruskan menangis. Hanya motor yang bisa menyetop air matanya. Terpaksa saya mondar-mandir ke sana ke mari untuk mencari info motor bekas. Beruntunglah salah satu satpam bangkrut karena kalah berjudi. Dia jual murah motornya. Langsung saya bayar, daripada kehilangan Laila. ”Ah?! Ngapain mesti peduli semua permintaan Laila,” kata istri saya marah-marah, ”Kalau kamu manjakan dia begitu, sebentar lagi dia akan menginjak kepala kita! Pembantu itu jangan dikasih hati. Kalau dia mau berhenti, biarin. Kita cari yang lain!” Tapi kemudian istri saya sendiri yang menyerahkan kunci motor bekas itu kepada Laila. ”Ini motornya, Laila. Cicil berapa saja tiap bulan, asal kamu jangan keluar!” Laila mencium tangan istri saya dengan terharu. Saya juga mendapat perlakuan manis. Laila kelihatan sangat bahagia. Sambil nyuci ia menyenandungkan lagu Nike Ardila. Tapi itu hanya berlangsung sebulan. ”Si Romeo itu memang kurang ajar!” teriak istri saya kemudian, ”Motor sudah digadaikan lagi, katanya nggak ada yang doyan nyewa motor bekas!” Saya bengong. Dengan mata berkaca-kaca Laila minta maaf. Katanya, suaminya diancam akan dibunuh kalau tidak melunasi hutangnya setelah kalah taruhan bola. Istri saya mencak-mencak. Tapi kemudian ia mendesak saya menebus motor itu dengan janji, Romeo dilarang menyentuhnya. ”Kamu saja yang boleh naik motor itu Laila! Yang lain-lain, haram!” Sejak itu Laila masuk kerja menunggang motor. Mobilitasnya lebih rapih. Dia selalu datang tepat waktu. Anaknya bangga sekali duduk di boncengan. Meski para pembantu lain keki, menganggap nasib Laila terlalu bagus, tidak kami pedulikan. Yang penting, Laila tetap setia di posnya. ”PRT seperti Laila memang perlu punya motor, supaya tenaganya tidak terkuras di jalanan. Motor itu bukan untuk dia, tetapi untuk kepentingan kami juga,” kata istri saya kepada ibu-ibu tetangga. Tak terduga argumen itu patah, ketika pada suatu hari Laila muncul tanpa motor. Hari pertama saya diam saja. Pada hari ketiga saya tidak kuat melihat dia pulang menggendong Arjuna sambil menenteng tas besar. ”Motor kamu mana, Laila?” ”Dipakai saudara misan saya, si Neli, Pak.” ”Kenapa?” ”Kerjanya lebih jauh, Pak.” ”Kenapa dia tidak naik angkot saja?” ”Nggak boleh sama suami saya, Pak.” Saya bingung. Kemudian saya baru tahu, Neli saudara misan Laila sekarang tinggal bersama Laila satu rumah. ”Itu motor kamu Laila, tidak boleh dipakai orang lain!” ”Tapi suami saya bilang begitu, Pak. Saya harus mengalah sebab di pabrik tempat Neli kerja aturannya keras. Kalau datang telat bisa dipecat.” ”Kamu juga harus tepat waktu sampai di sini, Laila!” ”Betul, Pak.” ”Ambil motor itu kembali!!!!!!” Besoknya Laila masuk kerja tepat waktu. Tapi dia naik ojek. Saya marah. ”Maksudku kamu tidak hanya datang tepat waktu, tapi harus pakai motor kamu! Kalau kamu datang ke mari naik ojek, lebih baik jangan kerja!” Laila bingung. Dia tidak mengerti apa maksud saya. Istri saya mencoba menjelaskan. Tapi bukan menjelaskan kepada Laila, dia justru menerangkan kepada saya. ”Laila tidak berani minta motor itu karena takut digampar si Romeo.” Saya bingung. ”Kenapa bangsat itu malah ngurus misannya, bukan istrinya?” ”Sebab misan Laila itu perempuan !” ”Gila! Istrinya juga perempuan!” ”Tapi perempuan itu lebih muda! Dan Romeo sudah mau menikahi si Neli!” Saya megap-megap. ”Ya Tuhan! Kenapa Laila nerima saja dikadalin begitu? Istri saya hanya mengangguk. ”Sekarang memang banyak orang gila!” Langsung saya interogasi Laila di dapur. ”Kenapa kamu terus mengalah Laila? Suami kamu sudah kurang ajar. Jangankan mau menikahi misanmu, mengancam kamu membelikan pacarnya motor saja, sudah zolim! Kenapa?” Laila tak menjawab. ”Kamu takut? Kalau perlu aku bantu kamu mengadu kepada LBH. Orang macam Romeo itu, maaf, bajingan. Dia harus dihajar supaya menghormati perempuan!” Laila diam saja. ”Itu namanya kamu sudah kena pelet! Kamu yang cantik begini pantasnya sudah lama menendang Romeo. Apa kamu tidak sadar?!” ”Ya, Pak.” ”Kalau sadar kenapa tidak bertindak?” ”Saya ingin berbakti pada suami, Pak!” ”Itu bukan berbakti, tapi menghamba! Diperbudak! Dijadikan kambing congek si Romeo asu itu, tahu!?” ”Ya, Pak!” ”Ya apa?” ”Kata orangtua saya, sebagai istri saya mesti menghormati suami, saya tidak boleh membantah kata suami. Hanya orang yang baik dan sabar yang akan bisa masuk surga.” ”Kalau orangtua kamu masih hidup, dia tidak akan rela kamu disiksa begini?! Kamu ini cantik Laila!” Mendengar dua kali menyebut kata cantik, istri saya muncul. Saya diberi isyarat supaya minggir. Lalu dia bicara dari hati ke hati dengan Laila. Entah apa yang mereka bicarakan. Tapi kemudian saya lihat dari jauh, Laila menghapus air matanya. ”Kita tidak bisa kehilangan Laila,” kata istri saya kemudian. ”Lho, memangnya dia minta berhenti?” ”Dia tidak bisa merebut motor itu dari si Neli.” ”Tapi itu kan haknya!” ”Kita tidak bisa memaksakan jalan pikiran kita ke otaknya. Tidak. Pokoknya tidak bisa.” ”Harus! Kita berkewajibkan mengajarkan dia berpikir logis!” ”Kalau terlalu didesak, bisa-bisa dia minta berhenti.” ”O ya, Laila bilang begitu?” ”Dia tidak bilang begitu, tapi pasti akan begitu.” ”Kenapa dia begitu ketakutan?” ”Sebab Neli sudah dikawini Romeo!” Saya terpesona. Lama saya mencoba menghayati bagaimana perempuan yang secantik Laila bisa dikuasai Romeo tak beradab itu. Saya tak akan pernah bisa mengerti. Sementara terus-terang, kami sangat bergantung pada Laila. Kalau dia tidak ada, rumah akan berantakan. ”Kita tidak mungkin kehilangan Laila,” kata istri saya. ”Tapi dia tidak boleh dibiarkan masuk kerja terlambat terus.” ”Karena itu dia harus punya motor!” Saya tak menjawab. Istri saya yang harus menjawab. Jawabannya agak tidak masuk akal. Laila dibelikan motor baru. Laila tersenyum sambil meneteskan air mata haru mendengar keputusan itu. Arjuna juga tertawa. Motor kedua Laila langsung dari dealer. Bodinya mulus, suaranya halus dan tarikannya kuat. Laila dan Arjuna selalu datang tepat waktu. Saya dan istri puas, merasa keputusan kami tepat. Tapi tak sampai satu bulan, tiba-tiba Laila muncul kembali dengan motor bututnya yang lama. Waktu kedatangannya memang tepat. Wajahnya juga tidak berubah. Ia tetap cantik dan ceria. Hanya Arjuna yang kelihatan rewel. Dan istri saya ngamuk. Tidak pakai pendahuluan lagi, Laila langsung digebrak. ”Laila, Ibu sudah bosan bicara! Kalau kamu masih saja datang pakai motor busuk ini, tidak usah kembali! Pulang! Ibu beli motor baru untuk kamu dan Arjuna bukan untuk lelaki hidung belang itu! Kalau motor itu dipakai oleh orang lain, kamu berhenti saja kerja sekarang! Kembalikan motor kamu!” Laila gemetar. Saya pun tersirap. Belum pernah istri saya marah seperti itu. Tanpa berani membantah lagi. Laila menaikkan lagi Arjuna yang sudah turun dari motor, lalu segera pergi. Saya lihat mukanya pucat pasi. Saya kira perempuan itu tidak akan pernah kembali lagi. Tapi saya keliru. Besoknya, terdengar suara motor yang halus masuk ke halaman. Saya cepat keluar dan kaget melihat Laila dengan motor barunya. Arjuna tertawa senang. Laila mengangguk dan menyapa saya dengan sopan. ”Laila kembali, tapi mungkin untuk pamit pergi,” bisik saya. Istri saya menjawab acuh tak acuh. ”Sudah waktunya dia menghargai dirinya sendiri!” Hari berikutnya, seminggu, sebulan dan seterusnya, Laila tetap bekerja. Ia selalu datang tepat waktu. Lewat dengan anak dan motor baru, memasuki halaman rumah kami ia kelihatan tegar. Tidak pernah menangis lagi. Rupanya terapi kejut dari istri saya sudah membuatnya menjadi orang lain. Tapi kalau diperhatikan ada sesuatu yang hilang. Laila tidak pernah lagi menggumamkan lagu Nike Ardila. Kadang-kadang dia termenung dan kelihatan hampa. Ketika gajinya dinaikkan, Laila tersenyum, mencium tangan istri saya, tapi tidak lagi meneteskan air mata. Saya jadi penasaran. ”Laila, kenapa kamu kelihatan tidak terlalu gembira?” ”Saya gembira gaji saya dinaikkan Ibu, terima kasih, Pak.” ”Kamu naik motor mulus yang membuat iri orang-orang lain. Anak kamu senang dan sehat. Saya dengar saudara misan kamu sudah tidak di rumah kamu lagi. Suami kamu juga sudah tidak berani lagi memukul dan berbuat semena-mena. Betul?” ”Betuk, Pak.” ”Tapi kenapa kamu kelihatan susah?” Laila menunduk. ”Kenapa kamu sedih?” ”Ya, Pak, karena sekarang saya tidak akan bisa masuk surga.” Jakarta, 12 Oktober 09
""Laila""
”Belum,” kataku. ”Kata dokter sudah.” Setelah melihat Bapak masih hidup, meski hanya berbaring tanpa bisa bergerak, tangisnya reda. Adikku bilang, setelah menerima telepon dari Ibu untuk pulang, ia mampir dulu ke pusat kesehatan di kampusnya untuk memeriksa matanya yang gatal. Apa yang dikatakan Ibu kepadanya persis seperti yang kudengar: kalau sempat, kamu pulang, kata perawat yang mengurusnya, ginjal Bapak sudah tidak berfungsi. Adik perempuanku sambil lalu bertanya kepada dokter yang memeriksa matanya, ”Oh ya, Dok, ngomong-ngomong kalau orang sudah enggak berfungsi ginjalnya, apa yang akan terjadi?” Tanpa menoleh, sambil menulis resep, si dokter menjawab, ”Mati.” ”Astagfirullah,” pekik adikku, air matanya tak tertahankan tumpah, membuat si dokter terkejut. Sepanjang perjalanan pulang ia menangis, berpikir Bapak sudah mati. Aku yakin jika Bapak masih mendengar obrolan kami, ia akan tertawa. Ia suka tertawa. Barangkali ia mendengarnya, tapi ia tak bisa menggerakkan mulutnya, bahkan untuk tertawa. Tapi aku yakin ia tertawa di dalam hatinya. Tertawa hingga tertidur. *** Kami berkumpul di sekitar Bapak. Ibu dan adik perempuanku yang paling tua sedang membaca Yassin. Aku tak ikut membaca. Aku bisa membaca, tapi tak bakalan secepat mereka, karena itu aku memilih mendengarkan saja. Adik-adikku yang lain sama buruknya dalam membaca Al Quran denganku. Bapak sendiri yang mengajari kami mengaji. Aku khatam Al Quran tiga kali, jika aku tak salah ingat. Bapak mendirikan surau kecil di belakang rumah dan kemudian mengajari pula anak-anak tetangga mengaji. Ia juga memberikan khotbah Jumat di masjid. Aku selalu melihatnya setiap Jumat pagi menulis khotbahnya. Ketika modin masjid itu meninggal, ia menggantikannya. Karena masjid itu milik Muhammadiyah, banyak orang berpikir Bapak orang Muhammadiyah. Ia tak keberatan dengan anggapan itu, toh ia selalu Puasa maupun Lebaran mengikuti kalender orang-orang Muhammadiyah. Termasuk shalat tarawih sebelas rakaat, meskipun jika terpaksa, ia mau mengikuti tarawih bersama orang-orang NU (misalnya bersama kakekku, yang selalu ngotot shalat tarawih dua puluh tiga rakaat). Sambil duduk menghadap Bapak, aku bertanya-tanya apakah Bapak pernah berharap salah satu anaknya akan menggantikannya menjadi pengkhotbah Jumat? ”Jangankan kasih khotbah, kamu ngaji saja enggak benar,” kata ibuku. Benar juga. Jika Bapak menginginkan itu, mestinya ia mengirimku ke pesantren. Nyatanya, ia membiarkanku pergi untuk kuliah filsafat dengan risiko besar menemukan anaknya tak lagi pernah shalat dan puasa. Ketika aku pulang semester tiga mengenakan kaus bergambar Lenin, justru ibuku yang berseru. ”Lihat, anakmu jadi kuminis.” (Ia tidak bilang komunis tapi kuminis). Bapak, seperti biasa, hanya tertawa. Bapak juga membiarkan adik lelakiku kuliah di jurusan peternakan, dan setelah berbagai penelitian dengan ayam ras, adikku mengamini Charles Darwin, percaya nenek moyang manusia dan monyet (juga ayam) memang sama. Tidak ada Adam dan Hawa. Bapak tak peduli dan memberinya modal untuk membuat peternakan ayam. Waktu Pemilu 1999, Ibu yang memilih Partai Bulan Bintang (begitu juga Bapak setelah bertahun-tahun lalu memilih Masyumi, lalu Partai Persatuan Pembangunan) kembali mengadu. Kali ini gara-gara di seantero desa hanya satu orang yang mencoblos Partai Rakyat Demokratik (PRD) dan semua orang tahu itu kelakuan adikku si peternak ayam, karena hanya ia yang memasang bendera partai itu di depan rumah. ”Satu lagi anakmu jadi kuminis.” Kembali Bapak hanya tertawa. Aku tahu ia lebih risau jika anaknya mencuri ikan di kolam tetangga daripada melihat anak yang memakai kaus Lenin atau mencoblos PRD. Meskipun begitu, salah satu adik perempuanku, yang kini membaca Yassin bersama Ibu, akhirnya kuliah ke Institut Agama Islam Negeri di Yogyakarta. Tapi tak ada tanda-tanda Bapak merencanakannya menjadi guru mengaji. Paling tidak, ia pernah berkata kepadaku saat itu. ”Biar ia pergi dari rumah dan ketemu jodoh.” Adikku yang ketiga, yang menangis setelah bertemu dokter, kuliah di sastra Indonesia. Adikku yang keempat, kuliah manajemen. Hanya adik kami yang paling bungsu, laki-laki, yang masih sekolah. Ia duduk bersila bersama kami, gelisah. Ia ingin pergi dari sana. Aku tahu ia ingin pergi ke kamarnya dan bermain PlayStation. Akhirnya aku, memiliki sedikit hak menyuruh sebagai anak paling tua, memperbolehkannya pergi. ”Ia lagi jatuh cinta, dua hari lalu ketemu cewek di bus,” kata adik perempuanku setelah usai membaca Yassin. ”Cewek?” ”Heeh. Katanya cewek itu mengedipkan mata ke arahnya.” ”Terus?” Adikku jadi tertawa kecil. ”Terus ia bilang, jantungnya serasa berhenti seketika. Sepanjang jalan ia enggak berani melihat cewek itu. Ia pengin mendekatinya, mengajaknya berkenalan, tapi enggak berani. Ha-ha-ha….” ”Terus?” ”Nah, ini yang paling lucu. Akhirnya ia sampai ke tempat tujuan. Takut tak punya kesempatan untuk melihatnya lagi, ia memberanikan diri memandang cewek itu. Si cewek konon masih melihat ke arahnya. Maka sambil turun dari bus, ia membalas mengedipkan mata untuk cewek itu. Gara-gara itu ia tersungkur ke selokan pinggir jalan.” ”Ha-ha-ha…” Jika ada yang disesali Bapak kalau mati saat itu, mungkin karena ia belum sempat melihat adik bungsuku tumbuh besar dan pergi dari rumah seperti yang lainnya. Tapi barangkali ia mendengar cerita adikku, dan jika ia mendengarnya, aku yakin ia akan tersenyum. Senyum kecil di sudut hatinya, pengantar tidur panjangnya. Anaknya yang paling kecil sudah besar. Sudah bisa mengedipkan sebelah mata untuk seorang gadis di dalam bus. *** Waktu aku masih di awal umur belasan tahun, aku tak punya malam Minggu sebagaimana teman-temanku. Tak ada pacar, tak ada genjreng gitar memainkan ”Party Doll” (tak masalah, aku baru menyukai The Rolling Stones dan Mick Jagger bertahun-tahun setelah itu), dan tak ada acara menonton televisi. Bapak mengajakku ke pengajian. Bukan hal yang buruk, sebenarnya. Pengajian itu dilakukan di rumah pemilik penjagalan sapi. Di akhir acara selalu ada penutup istimewa (dan ini yang paling kutunggu): makan malam dengan berbagai hidangan daging sapi. Aku tak ingat dari mana ustaz yang memimpin pengajian. Yang aku ingat, ia hafal Al Quran dan artinya di luar kepala. Jika seseorang bertanya mengenai suatu masalah, dengan cepat ia bisa menunjukkan surat dan ayat berapa sebagai jawabannya. Untuk itulah, setiap orang harus membawa Al Quran dengan terjemahan, untuk mencocokkan dan membuktikannya. Kalimatnya yang paling terkenal adalah ”Semua jawaban ada di Buku ini.” Hingga suatu ketika ia bercerita tentang ”saudara-saudara kita” di Afganistan. Aku lupa berapa lama isu ini dibawakan. Pasti berminggu-minggu. Lalu suatu malam, aku bilang kepada Bapak, ”Aku mau pergi ke Afganistan.” Bapak tak menjawab apa pun. Malahan ia tak mengajakku ke pengajian minggu depannya dan minggu depannya lagi. Aku tak ingat apakah ia sendiri masih mengikuti pengajian itu atau tidak, yang jelas kemudian seluruh rumah terjangkit cacar air, kecuali aku. Bapak menyuruhku mengungsi sementara waktu ke rumah salah satu pamanku. Di sana paman meminjamiku radio. Begitulah malam Minggu-malam Minggu selanjutnya lebih banyak kuhabiskan di dekat radio. Lagi pula aku baru saja berkenalan dengan seorang gadis adik kelasku. Aku selalu mengiriminya pesan lewat radio, bersama dengan lagu. Ia tak pernah membalasnya, tapi aku tetap mengejarnya. Usaha pengejaranku yang memakan waktu berbulan-bulan membuatku lupa akan gagasan pergi ke Afganistan. Kini, sambil memandang Bapak yang berbaring di tempat tidur, aku memikirkan waktu-waktu itu. Aku tak tahu apakah aku harus bersyukur atau tidak. Jika Bapak mengizinkanku pergi ke Afganistan, mungkin sekarang aku tak akan ada di sisinya. Mungkin sekarang aku berada di dalam daftar buron karena peledakan gereja atau hotel. Barangkali lebih dari itu. Karena menurutku, aku lebih pintar daripada kebanyakan orang, barangkali nasibku jauh lebih buruk: di penjara Guantanamo. Siapa tahu? Kupandangi Bapak. Jika ia sehat sebagaimana dulu, dengan mudah ia pasti bisa membaca pikiranku. Dan ia pasti akan tertawa sampai air matanya meleleh. ”Enggak mungkin,” begitu ia akan bilang. ”Kamu memang pintar, tapi tak akan seberani itu. Kamu penakut, dan itulah mengapa kamu tak pergi ke Afganistan. Kamu selalu takut dengan polisi dan tentara, meskipun kamu tampaknya tak pernah takut dengan neraka.” *** Akhirnya Bapak meninggal, di malam kedua keberadaanku di rumah. Menjelang subuh. Umurnya 63 tahun, menjelang 64. Ia pasti senang sekali, sebab itu umur yang sama dengan Rasulullah. Ibuku juga senang, terutama karena ia mendengar kata terakhir yang diucapkan Bapak sebelum meninggal adalah ”Allah”. Kata Ibu, sudah beberapa hari Bapak tak mengeluarkan suara apa pun, selain tidak bergerak. Tapi setengah jam sebelum meninggal, ia mulai mengerang lagi. Napasnya pendek-pendek. Ibu yang pernah menunggui kakek dan nenekku meninggal tahu waktunya hanya beberapa menit lagi. ”Tercium dari aromanya,” begitu Ibu bilang. Aku sendiri mencium aroma itu, seperti bau bayi yang baru dilahirkan. Ibu meletakkan piring berisi serbuk kopi di samping Bapak, aku menyemprotkan pengharum ruangan. Bertiga dengan seorang paman, kami membisikkan nama Allah ke telinga Bapak. Akhirnya Bapak berhasil mengucapkannya, ”Allah” … ”Allah” … ”Allah”. Setelah itu Bapak meninggal. Ibu menitikkan air mata. Paman menutup mata Bapak. Adik-adikku sudah di sekeliling kami. Aku menelepon istriku yang kutinggal di Jakarta. Percayalah, aku selalu berpikir bahwa nasib Bapak akan selalu sama dengan nasib Republik Indonesia. Ia lahir sebulan setelah Proklamasi. Menurut astrologi China, Bapak dan Republik Indonesia memiliki shio yang sama. Ayam dengan unsur Kayu. Nasib mereka tak akan jauh berbeda. Misalnya, pada tanggal 28 November 1975 aku dilahirkan. Pada saat yang sama Fretilin memerdekakan Timor Timur dan Republik Indonesia mencaploknya. Mereka berdua (Bapak dan Republik Indonesia) sama-sama memiliki anggota keluarga baru. Sejak itu usaha Bapak (bermacam-macam) menuai keberhasilan. Di tengah puncak kemakmuran, Bapak bangkrut di tahun 1998. Ha, bukankah begitu juga Republik Indonesia? Bapak memperoleh serangan stroke dan sejak itu kesehatannya tak pernah sebaik sebelumnya. Tahun 1999 ia mulai membekali dirinya dengan tongkat. (Ya, tahun itu Indonesia dipimpin Gus Dur, Presiden yang juga berjalan dengan tongkat). Dengan kematian Bapak apakah Republik Indonesia juga akan tamat? Sungguh aku mengkhawatirkannya. Tapi daripada sibuk memikirkan urusan semacam itu, lebih baik aku menyibukkan diri dengan urusan pemakaman Bapak. Ia akan dikuburkan persis di samping kuburan ibu mertuanya, nenekku. Dari tanah kembali ke tanah. Ada empat penggali kubur yang perlu dibayar. Ada tamu-tamu yang perlu disambut. Ada kerabat yang perlu diberi tahu. Begitulah. *** Empat hari kemudian, aku kembali ke Jakarta dengan bus malam. Tujuh jam perjalanan dan aku akan tiba di Kampung Rambutan. Aku duduk, suara AC berdengung di atasku. Kurebahkan sandaran kursi. Selama lebih dari satu jam, aku hanya melamun. Lalu kondektur datang mendekat. Aku merogoh dompet di saku celanaku. Si kondektur berhenti di sampingku, memandang ke arahku. Aku mendongak ke arahnya. Ia sedikit terkejut dan setelah beberapa saat, menyapa, ”Apa kabar?” Sungguh, aku tak merasa mengenalnya. Sebelum aku sempat membuka mulut, ia sudah berkata lagi, ”Ikut berduka atas kepergian Bapak.” Aku mengangguk dan mengucapkan terima kasih. Aku hendak mengeluarkan uang dari dompet, tapi ia segera menghalanginya. Tidak usah, katanya. Lalu ia bercerita, beberapa tahun lalu ia sempat sakit gigi, tak sembuh oleh obat. Dokter tak berani mencabut giginya sebelum sakitnya hilang. Hingga seseorang menyarankannya menemui seorang kiai. Ia pergi menemui kiai tersebut. Sang kiai memberinya minum. Air putih biasa dari dapur. Sakitnya mendadak hilang dan dokter kemudian mencabut giginya. ”Kiai itu bapakmu,” kata kondektur. Sejujurnya, aku belum pernah mendengar cerita ini. Kondektur pergi setelah menepuk bahuku, menghampiri penumpang lain. Aku hanya menoleh, memerhatikan punggungnya. Apa boleh buat, kumasukkan kembali dompet ke saku celana. Bahkan, pikirku, setelah meninggal Bapak masih memberiku ongkos bus. Aku tersenyum sambil kembali bersandar. Kukeluarkan iPod dan kupilih lagu: ”Seasons in the Sun” dari Terry Jacks. Kupasang earphone dan kupejamkan mata. ”Goodbye, Papa, it’s hard to die …” Dan segera aku terlelap. 2009
""Pengantar Tidur Panjang""
Kau mengada-ada! Kau ’ngarang, ya?” Aku memenggal kisah Sobar. ”Apa maksudmu dengan, Siti Nurjannah adalah makhluk yang tidak kasatmata?” tanyaku heran. Sobar memang muncul tiba-tiba. Dia bagai orang bunian datang di rumah tua, di desa kelahiranku, tempatku sembunyi. Dia tersipu. Saat itu bulan Desember yang berhujan lebat. Matahari senja memerahkan cakrawala di kawasan barat, ketika lelaki yang lama menghilang itu datang. Sekujur tubuhnya basah kuyup. Pakaian dari bahan dril abu-abu yang membungkus badan mantan tapol kurus itu, lepek, kusut, dan dekil. Dulu, Sobar bertubuh tegap, gagah, dan atletis. Kini, kulitnya hitam, seperti gosong, dan bersisik mungkin disebabkan penganiayaan yang dialaminya selama dalam tahanan. Kumisnya lebat, liar, tidak terurus. Jenggotnya panjang, putih seluruhnya, lancip bagai tergantung di dagunya yang tirus. Wajahnya pucat, keriput, kukira bukan karena usia tua, tetapi disebabkan penderitaan panjang, yang telah dilaluinya selama ditahan tanpa proses hukum. Rambut kribonya jadi gondrong, beruban bagai brokoli putih. Siti Nurjannah tidak kasatmata, jawabnya setelah merenung seketika lamanya. Mata sayunya begitu letih menatapku, seakan bercerita tentang deritanya. Sebentar-sebentar dia menoleh ke arah pintu apabila terdengar langkah-langkah mendekat di luar rumah. Dia tampak selalu waswas. Siti Nurjannah adalah salah seorang penghuni RTM, tempatku ditahan, Sobar menegaskan. RTM itu hanya untuk tahanan politik pria, kataku. Senyum Sobar sinis, mengejekku—si pengecut—yang lari terbirit-birit meninggalkan Jakarta ke desa kelahiran setelah terjadi tragedi berdarah awal 0ktober 1965, yang menggegerkan dunia. Penghuni RTM itu bukan hanya tapol pria yang kasatmata, bantah Sobar. Ada juga yang tidak tampak, yakni roh, makhluk yang hidup tanpa jasad. Sang jasad telah kopong. Rohnya telah meninggalkan alam fana—menuju alam baka, Sobar menjelaskan. Siti Nurjannah yang memiliki mata memesona itu adalah salah satu roh atau ruh. Selaku Muslim yang taat beribadat, kau tentu paham maksudku. Di dalam kitabullah dan kamus, ikhwal roh itu pun tertera, sambung Sobar. Dia tahu benar, aku tidak percaya kepada cerita-cerita takhayul, yang tak masuk akal sehat, dan membuat orang tetap bodoh. Sobar tidak mau menyebut Siti Nurjannah yang diceritakannya itu adalah hantu, setan, atau kuntilanak. Siti Nurjannah benar-benar roh, ucapnya pasti. Setelah kau mandi, bersalin pakaian bersih dan hangat yang kusediakan, lalu, kita makan, kataku kepadanya. Usai makan, ceritamu boleh diteruskan, kataku. Aku tidak tega menyaksikan dia lapar dan kedinginan dibungkus pakaian dril sangat dekil, basah pula. Saat masak di dapur, aku teringat perilaku Sobar semasa kami masih menjadi reporter muda di Jakarta, dulu. Dia adalah wartawan yang cerdas, jujur dan berani. Tulisannya kritis, dan akurat. Dia berani mengkritik oknum polisi lalu lintas yang minta uang kepada sopir-sopir truk, yang dituduh salah jalan. Ketika itu, usianya masih belasan tahun. Tentu saja dia harus berurusan dengan polisi. Beritanya itu dinilai suatu penghinaan kepada aparat penegak hukum. Menyaksikan sosok Sobar, komandan polisi tidak percaya bahwa dia adalah wartawan benaran. Segera Sobar menunjukkan kartu pelajar dan kartu persnya. Foto si oknum polisi yang sedang meminta uang kepada sopir-sopir truk di jalan yang sepi di luar kota dikeluarkannya juga. Komandan polisi itu ternganga, memelintir kumis lebatnya, lalu marah. Foto anak buahnya yang nakal itu dirampasnya dari tangan Sobar. Sobar yang romantis ingin menikah dengan Farida, putri pemilik Toko Obat Walafiat, yang terkenal kaya. Sobar melamar Farida dengan modal nekad. Si cerdas itu dapat meyakinkan calon mertuanya. Wartawan muda yang masih ’kere’ itu berhasil menyunting Farida yang jelita, pemilik mata indah yang memesona. Setahun, setelah Sobar ditahan di RTM, sang interogator berpangkat letnan dari oknum AD tergila-gila kepada Farida. Pemilik mata yang memesona luar biasa memikat. Kata interogator, Sobar segera dikirim ke Pulau Buru jika Farida tak mau bercinta dengannya. Farida yang cinta sejati kepada Sobar seperti akan gila. Terjadi peperangan dahsyat di dalam dirinya. Namun, iming-iming sang interogator itu untuk sementara dapat dihindarinya dengan mengatakan, saya baru saja datang bulan. Ketika sang interogator melarang Farida menengok suaminya, perempuan muda itu syok. Farida diancam, jika menolak keinginan sang interogator, Sobar dibuang ke Pulau Buru hari Minggu depan! Farida terpaksa takluk. Tetapi, sang interogator belum puas. Dia memaksa Farida menjadi istri gelapnya. Seminggu setelah kejadian yang memilukan itu, Farida mengirim surat kepada Sobar. Dia mengaku berdosa karena tak suci lagi. Perempuan polos, jujur, dan lugu itu minta diceraikan. Hal itu terjadi setelah dibujuk, dirayu, dan diteror oleh sang interogator. Tiga bulan setelah kejadian itu, Farida sakit ingatan. Dia dikembalikan sang interogator kepada orangtuanya. Ayahnya segera mengirim anak perempuan semata wayangnya itu ke rumah sakit jiwa. Ketika makan malam, seusai shalat isya berjamaah bersamaku, Sobar mengatakan, belakangan ini, setelah bebas dari tahanan, kehilangan nafsu makan. Dia selalu teringat kepada Farida. Tubuh Sobar gemetar. Segera kupegang lengan kanannya kuat-kuat. Kumohon dia agar senantiasa istigfar. Matanya basah. Kelima jarinya yang menjumput nasi dan sepotong telur ceplok masih di pinggan. Belum sesuap nasi pun masuk ke mulutnya. Tubuh Sobar terguncang-guncang seketika lamanya. Kupeluk dia erat-erat dengan harapan, dia mampu berdamai dengan duka laranya. Maaf, Bagus, bisiknya, aku malu jadi lelaki yang lemah. Kau selalu kuat, Sobar, ucapku. Akulah lelaki yang pengecut. Buktinya, aku kabur dari Jakarta setelah tragedi awal bulan 0ktober 1965 itu, karena takut melihat banjir darah, kataku. *** Sebelum tidur, Sobar bercerita tentang Siti Nurjannah— yang bermakna, ’Siti Cahaya Surga’. Ketika pertama kali muncul dalam mimpiku, ya, dalam mimpi, katanya, tubuh Siti Nurjannah berlumuran darah, tetapi menyebarkan bau wangi bunga melati yang melegakan. Aku takut, kata Sobar. Aku menyangka makhluk seram itu adalah hantu atau iblis penghuni RTM. Sekujur tubuhku menggigil, bukan karena hujan deras dan angin kencang di luar RTM, tapi lantaran takut, tutur Sobar. Aku sempat bertanya, Anda ini siapa, kok tidak mengucapkan salam saat masuk ke kamar tahananku, yang terkunci? Bagaimana Anda bisa masuk bangunan RTM, padahal tiga pintu berlapis-lapis kawat berduri dijaga ketat oleh polisi militer bersenjata lengkap? Sobar mengaku takut, tapi takjub. Ketika Siti Nurjannah membuka selendang yang menutup wajahnya, aku ternganga, lanjut Sobar. Sepasang mata yang memesona menyorot ke arahku, persis mata milik Farida. Bagaimana bisa, mata indah—yang bikin pria mabuk kepayang ini sama dengan milik Farida? Sobar terus bertanya. Setiap insan ciptaan Tuhan memiliki keunikan, jawab Siti Nurjannah. Keunikan itu adalah suatu kelebihan yang dianugerahkan Sang Maha Pencipta alam semesta dan segenap isinya kepada makhluk mulia ciptaan-Nya yakni manusia. Pertanyaannya, adalah, apakah semua makhluk mulia ciptaan Tuhan itu telah mengetahui kelebihan itu? Apakah keunikan dan kelebihan yang dianugerahkan Sang Maha Pencipta itu telah digali oleh pemiliknya dan dikembangkan sekuat daya sehingga menjadi unggul? Sobar bertanya lagi, mengapa sekujur tubuh Siti Nurjannah berlumuran darah? Ceritanya panjang, jawab Siti Nurjannah. Lalu, perempuan rupawan itu minta izin untuk membersihkan darah dari luka-luka di tubuhnya di kamar mandi. Setelah itu, dia bercerita sejujurnya kepada Sobar tentang siapa dirinya yang sebenarnya. Ayah Siti Nurjannah adalah pemilik bengkel mobil yang sedang maju pesat. Saingannya adalah mertua seorang oknum perwira tinggi AD. Pesaing itu melaporkan kepada aparat keamanan bahwa Haji Zoim, penggemar wayang kulit adalah anggota Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Cepat aparat keamanan berpakaian sipil dan para pemuda mengepung rumah Haji Zoim. Siti Nurjannah berteriak-teriak, minta tolong kepada tetangga. Dia mengatakan, para perampok menyantroni rumahnya. Merasa yakin difitnah, Haji Zoim, mantan guru silat itu, melawan. Dia melindungi anak perawan tunggalnya. Para aparat keamanan tidak menyangka akan mendapat perlawanan. Mereka terdesak, lalu melepaskan tembakan membabi buta ke arah Haji Zoim. Siti Nurjannah memeluk ayahnya yang mandi darah sambil menyumpahi para aparat keamanan dan para pemuda yang menyerbu rumahnya. Siti Nurjannah pun diberondong dengan senjata otomatis. Seisi rumah itu mati dibantai. Rumah pun dibakar sampai jadi arang. Itulah yang menyebabkan sekujur tubuhku mandi darah, cerita Siti Nurjannah. Jangan takut, Bung, lanjut si gadis, mahasiswi semester tujuh di fakultas psikologi negeri itu. Aku adalah roh. Aku datang ke sini untuk menghibur orang-orang yang tidak bersalah, tapi telah difitnah, lalu dijadikan tahanan politik tanpa proses hukum. Anda sendiri ditahan karena apa? Siti Nurjannah bertanya kepada Sobar. Sobar terkejut, lalu jawabnya, cerita tentang diriku unik juga. Aku seorang jurnalis, kata Sobar. Aku memberitakan di media massa ibu kota ihwal seorang oknum jenderal AD yang diangkat jadi direktur utama di perusahaan milik negara. Oknum jenderal AD itu mendepositokan uang perusahaan negara atas nama pribadinya. Oknum kolonel AD, oknum mayor AD, oknum kapten AD, dan oknum letnan AD, para anak buah sang jenderal itu ikut juga mendepositokan uang milik perusahaan itu atas nama pribadi di bank BNI. Artikelku itu berjudul ’Rayap-rayap Hijau di Perusahaan Negara’, tutur Sobar. Kemudian, aku dipaksa minta maaf, lalu diperiksa oleh oknum mayor AD. Selanjutnya, aku dikirim ke kantor polisi militer. Setelah diinterogasi dua hari, aku dijebloskan ke dalam tahanan. Alasan penahananku adalah karena pemeriksaan belum selesai. Tapi, koran-koran pemerintah yang terbit esok harinya memberitakan, seorang wartawan berinisial ’S’ ditahan karena dia adalah anggota Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang berafiliasi kepada Partai Komunis Indonesia (PKI). Anda terlalu berani, kata Siti Nurjannah seraya terkekeh-kekeh, heh heh heh! Anda telah menentang arus deras suatu rezim yang maha zalim, lanjut Siti Nurjannah. Ya, ya, sahut Sobar, teman-temanku pun bilang, kau telah membenturkan kepala ke tembok. Konyol kau! Begitu kata mereka. Ya, boleh jadi begitu. Tetapi, aku merasa sangat yakin telah melakukan perlawanan kepada penguasa yang rakus dan maha zalim, ujar Sobar tenang. Sobar melanjutkan ceritanya, aku ikut pemilihan umum di dalam tahanan yang menyediakan tempat pemungutan suara khusus (TPS Khusus) di RTM. Malamnya, aku bermimpi lagi, Siti Nurjannah datang bersama bau wangi melati yang semerbak mengharumkan kamar tahananku. Dengan ikut pemilihan umum, padahal di dalam rumah tahanan, membuktikan, fitnah atas diri Anda adalah bohong besar, kata Siti Nurjannah. Seseorang yang berhak memilih, menurut Undang-Undang Pemilihan Umum adalah seseorang yang tidak terlibat partai terlarang dan organisasi massanya, lanjut Siti Nurjannah pula. Tak lama lagi Anda akan dibebaskan, katanya yakin. Apa yang dikatakan Siti Nurjannah di dalam mimpiku itu ternyata benar, kata Sobar pula. Semalam sebelum aku dibebaskan, Siti Nurjannah datang lagi bersama harum bunga melati. Besok sore, pada malam takbiran Idul Fitri, Anda akan dibebaskan, katanya. Tetapi, mengapa Bung Sobar sedih? Mengapa tidak bersyukur? Kukatakan kepada Siti Nurjannah, tentu saja aku mensyukuri semua nikmat dari Tuhan. Lalu, kuceritakan ihwal aku tidak lagi memiliki Farida, pemilik mata indah memesona seperti mata Siti Nurjannah. Lagi pula, kata Sobar, sesungguhnya—aku bebas dari penjara kecil menuju penjara yang lebih besar di luar sana! Sobar hampir menyudahi sepenggal kisah hidupnya. Tetapi, lanjutnya, bila Bung Bagus melintas di Jalan Budi Utamo Jakarta sekarang ini, bangunan gedung RTM—yang disebut juga Asrama Tunatertib Militer (Astuntermil), itu sudah tidak tampak lagi jejak garangnya. Bangunan tua, tempat penyiksaan tapol, yang tak jauh dari SMA Negeri I Jakarta, itu telah rata dengan tanah. Kini, di tempat bangunan itu hanya tampak tanah kosong. Entah apa maksud penguasa menghancurkan rumah tahanan politik bersejarah di Jakarta Pusat itu? Lalu, ke mana Siti Nurjannah pindah? *** Villa Kalisari, Depok, 23 November 2009
""Kisah Siti Nurjannah""
Bila ada peribahasa berkata pelihara lidah, berjalan pelihara kaki, maka Anda boleh yakin, hanya penggal terakhirlah yang penting bagi nenek saya. Sementara untuk penggal pertama, ia akan menyergah, ”Lidah?! Mestinya pelihara ludah!” seraya mengulum menciutkan bibir, lantas mendorong dengan pipi kempotnya. Meludah. Merah, sirih bercampur sedah. Dan kami takkan lagi bertanya. Karena bila masih, maka mulut krumput Ine—begitu nenek biasa menyebut dirinya—akan siap ”menembak” kami sesudah bilang, ”Mau he, kalian Ine ludahi?!” Tapi tak jarang kami menantang, ”Mau Ine! Mau Ine!” seraya segera meloncat mundur, tertawa terpingkal-pingkal, bergerak memencar, agar nenek tak mudah membidik kami. ”Nah, kalian takut pada ludah! Bukan lidah! Hi-hi,” Nenek kemudian juga akan terkekeh. ”Kaki! Lebih penting pelihara kaki!” Dan akan masih beberapa kalimat lagi sebelum akhirnya nenek menunjuk ke bukit itu. Bukit kecil, di pinggir kampung, dengan puncak yang aneh. Bila dilihat dari rumah kami, puncak bukit itu tampak seperti sisi luar kaki yang diacungkan telentang mengarah ke atas. Kenapa bisa begitu persis? *** Tentu saja kami pernah mencoba naik ke bukit itu. Tapi karena bagian yang bisa didaki atau ditempuh bukan sisi yang mengarah ke rumah kami, kami tak menemukan bentuk yang jelas kecuali sedikit dataran berbatu di puncaknya dengan banyak lumut hitam licin menyembul dari rerengkahan, hingga kami harus melangkah sangat hati-hati. Dan di puncak itu, kami, para cucu nenek, akan berteriak, ”Neneek, tak ada kaki! Neneeekk!” terkakah-kakah seraya membayangkan alangkah seru menggoda nenek kalau saja nenek bisa ada di situ. Tapi entah kapan, suatu kali, kami terkejut oleh ucapan Adang, ”Ine itu, dulu semasa muda, suka naik ke Bukit Kaki.” Adang adalah panggilan kami untuk kakak perempuan tertua ibu-ibu kami. Artinya juga, ia adalah anak sulung nenek, dan paling punya banyak waktu bersama nenek karena (bahkan sampai tua kelak) tak pernah menikah. Spontan, kami saling pandang. ”Mau apa Ine ke bukit itu, Adang?” ”Kenapa tak langsung kalian tanya Ine?” Maka kami menghambur, berlarian mencari nenek. Mulanya nenek tak acuh saat kami tanya. Tetapi setelah menggumpal-gumpalkan sirih, lalu menyumpalkan ke balik gusi (seolah memang ada kantong khusus di situ), nenek bergumam, ”Mmm kalian bocah-bocah takkan mengerti, tapi baik Ine bilang. Ine sering naik ke bukit itu karena di situlah peruntungan Ine.” Kami tak tahu apa itu peruntungan. Yang kami tahu cuma kata beruntung. Kelak, bertahun-tahun kemudian, kami baru paham bahwa kata peruntungan lebih berkaitan dengan jodoh, pernikahan, hubungan lelaki dan perempuan. Tapi waktu itu, apa pun arti kata itu, tak ada bedanya. Usman, adik sepupu yang usianya tepat di bawah saya, cepat bertanya. ”Jadi, tak berkaitan dengan kaki, Ine?” ”Jelas berkaitan.” Kami semua bingung. ”Yaa… kalian bocah-bocah memang takkan mengerti. Kalau kaki Ine tak melangkah ke bukit itu, maka Ine tak bakal bertemu Atuak kalian.” Atuak adalah panggilan untuk kakek kami. Tapi kami tetap belum mengerti, bahkan walau saya sendiri kemudian menanyakan, ”Ine ketemu Atuak di bukit itu?” ”Tidak.” Jadi… ”Karena kaki Ine melangkah ke arah situ, makanya Ine bertemu Atuak. Jadi kaki lebih penting dari apa saja.” Ooo! Kami mengangguk-angguk, walau sebenarnya masih berpikir tentang apa hubungan bertemu Atuak, kaki lebih penting, dan seringnya nenek ke bukit itu. Kalau cuma karena bertemu Atuak, setelah bertemu kenapa mesti datang lagi ke situ? Tapi keheranan kami yang tak terucap, bila dipikir kemudian, mungkin karena nenek memang sering jalan kaki ke mana-mana. Dan alasan nenek, bila kami tanya, selalu ia jawab cuma karena suka. Sesuatu yang lalu jadi biasa, tak lagi menimbulkan heran, bahkan bagi penduduk kampung. Bahkan sampai lama kelak, walau tubuh nenek sudah bungkuk dan harus ditopang dengan tongkat, berjalan melangkah satu-dua, berhenti, lalu melangkah lagi seperti kura-kura. *** Kata seperti kura-kura saya gunakan tidak sambil lalu atau kebetulan. Ungkapan itu pertama saya dengar dari Usman, saat beberapa dari kami sudah masuk SMA di kota kecamatan, yang membuat hari-hari kami tak lagi banyak di kampung. Anda benar bila menduga ungkapan itu berasal dari orang-orang kampung, tetapi keliru bila mengira ungkapan itu langsung mengarah ke sesuatu yang tak baik. Di kampung kami, banyak ungkapan menggunakan nama binatang bukan karena sifatnya, melainkan lebih karena gerak-geriknya. Ungkapan-ungkapan itu, karena sangat khas dan menyangkut seseorang, tak jarang jadi sangat dikenal. Dan untuk nenek yang dinilai orang-orang kampung termasuk keturunan terpandang, ungkapan itu hampir-hampir menyamai legenda. Tetapi legenda kura-kura nenek ini, baik saya beri tahu, tak bertahan lama. Dia hancur bersama legenda lain, helikopter Harun, yang juga akan saya ceritakan. Legenda kura-kura bisa bertemu dengan legenda ganjil itu (ya, helikopter bukan nama binatang), tak lain tak bukan, kaki jugalah yang menghubungkan. Waktu itu, saat kami semua masih SD, keluarga besar kami melepas Mak Etek ke Jakarta. Mak Etek, nama panggilan kami untuk adik lelaki terkecil ibu-ibu kami (yang tentu pula berarti anak bungsu nenek), melanjutkan kuliah ke Ibu Kota. Banyak sekali nasihat nenek kepada Mak Etek, tapi yang justru kami ingat adalah apa yang kemudian diucapkan nenek kepada kami, ”Kakilah yang menentukan hidup seseorang akan seperti apa. Dan kaki itu kini telah membawa Mak Etek kalian ke Jakarta.” Lama kami tak mendengar kabar tentang Mak Etek. Atau, mungkin pula memang kami yang tak begitu peduli. Entahlah. Cerita tentang seseorang merantau dalam keluarga besar kami tak begitu terperhatikan. Ada 11 orang anak nenek, ditambah dengan 18 orang anak adik-adik nenek (belum lagi jika dihitung anak-anak sepupu nenek), maka mengingat kabar tentang masing-masing yang merantau mungkin memang percuma, karena sesudahnya akan segera lupa. Tetapi, rupanya, tak begitu dengan Mak Etek. Suatu kali, seorang dari kampung sebelah yang juga merantau ke Jakarta, pulang dan bilang bahwa Mak Etek telah sangat kaya. Kabar seperti ini juga tak bakal terperhatikan, lazim saja para perantau jadi kaya, kalau tidak ada kabar dan desas-desus sesudahnya, ”Saking kayanya, si Harun itu kini ke mana-mana naik helikopter.” Harun? Itu memang nama Mak Etek. Helikopter? Itu benda yang hanya pernah kami lihat di gambar-gambar atau televisi. Ah, apakah benar, apakah mungkin, Mak Etek bisa punya helikopter? Bahkan orang terkaya sekecamatan—bukan hanya di lingkup kampung kami—cuma punya satu mobil sedan dan dua truk barang. Maka segera, helikopter Harun jadi legenda. Dan nenek, dengan kebanggaan yang tak bisa ia sembunyikan, jadi sering bilang, ”Itu semua karena kaki! Coba, kalau kaki Harun tak membawanya ke Jakarta.” *** Sebetulnya, kalau mau jujur, bukan hanya nenek yang bangga. Banyak dari keluarga kami, yang bila ngobrol, tak bisa menyembunyikan perasaan bangga kepada keluarga lain. Bahkan, bukan hanya keluarga kami. Banyak dari penduduk kampung, yang bila ngobrol, juga tak bisa menyembunyikan bangga kepada penduduk kampung lain. Maka, keyakinan nenek pada kaki, berkembang bagai tak terbantahkan. Seperti tak cukup kalau kaki hanya dikatakan penting. Kaki adalah sesuatu yang terhormat. Dan legenda helikopter Harun, bukan hanya ganjil. Anda tahu, tak semua penduduk kampung kami kenal helikopter. Maka legenda itu, kemudian, juga jadi mirip-mirip dongeng. Orang-orang membayangkan seperti apa kini Mak Etek, seraya berusaha mereka-reka membayangkan seperti apakah sesungguhnya helikopter. Tetapi, suatu ketika, dongeng itu seperti akan jadi nyata. Terbetik kabar bahwa Mak Etek bakal pulang. Bukan pulang sembarang pulang, tapi pulang dengan suatu rencana besar: jalan raya akan dibentangkan, Bukit Kaki akan diruntuhkan, dan di bawahnya akan dibangun pabrik semen yang, konon, biayanya triliunan. *** Dan, memang, saat itu akhirnya datang. Banyak sekali orang-orang, para pekerja dengan alat-alat berat entah apa, datang ke kampung kami. Pohon-pohon pun direbahkan, bagian-bagian puncak Bukit Kaki diledakkan, tapi belum ada tanda-tanda Mak Etek bakal pulang. Beberapa paman, yang biasa kami panggil Mamak, menyabarkan nenek. Tak ada reaksi dari nenek, kecuali kian sering duduk di jendela, memandang ke arah Bukit Kaki lama-lama. Jalan kecil ke arah Bukit Kaki diperlebar, beberapa bagian mulai diaspal, tapi tetap tak pasti kapan Mak Etek pulang. Bukan hanya ibu-ibu dan para keluarga pihak sepupu yang kini bertanya-tanya, tetapi para paman juga mulai gelisah. Dan persis saat kegelisahan itu seperti mulai tampak menghinggapi nenek, berita besar menghantam bagai geledek: Harun terlibat kasus korupsi. Korupsi besar. Sangat besar. Melibatkan bank besar dan orang-orang besar. Seisi kampung heboh. Bahkan sekecamatan. Bahkan sekabupaten, orang-orang tak henti mempercakapkan. Berhari-hari, berminggu-minggu, Mak Etek kami jadi berita. Tak ada lagi dongeng, karena orang-orang kini bisa melihat Harun dengan nyata. Wajahnya muncul di halaman depan koran-koran, televisi-televisi pun bagai tak henti menayangkan. Dan nenek kami, seperti Anda duga, mulai tak lagi tampak di jalan-jalan. Legenda helikopter itu lenyap, runtuh, membawa serta legenda kura-kura. *** Tak ada lagi yang perlu saya ceritakan. Tapi kalau misalnya Anda bertemu salah seorang dari kami (ya, para cucu nenek) lalu mendengar cerita sedikit berbeda, itu wajar saja. Setelah nenek tak ada, memang, ada beberapa versi cerita tentang nenek dan kaki, terutama di bagian akhir atau penutupnya. Banyak dari kami yang percaya, setelah Mak Etek dipenjara, nenek bilang semua terjadi karena diledak dan diruntuhkannya puncak Bukit Kaki. Tapi kepada saya, pada saat saya telah tamat kuliah dan akan merantau pula sebagaimana lelaki anggota keluarga besar lainnya, nenek mendekatkan kepala, seperti berbisik, ke telinga saya. ”Kau tahu apa sebenarnya yang membuat Mak Etekmu celaka?” Saya menarik kepala. Memandang bibir krumput nenek lalu menggeleng. ”Karena ia tak lagi menggunakan kakinya. Karena ke mana-mana hanya dengan kendaraan, di atas helikopter itu saja.” Saya diam, hanya terpana. Sebenarnya, saya tak begitu yakin apakah memang perlu menceritakan bagian terakhir ini kepada Anda hingga cerita tentang nenek dan kaki punya versi yang tak sama. Payakumbuh, 2009
""Kaki yang Terhormat""
Betul hari ini Makku pulang, Pak?” gadis itu bertanya kepada ayahnya ketika Sobri dengan telaten menyeka sisa-sisa air dari tubuhnya. ”Jika tidak ada halangan, Mak pulang hari ini,” jawab Sobri. Wajah gadis itu berbinar-binar. Matanya berkilat-kilat. Sobri menyimpan sukacitanya dalam dadanya. Menahannya sekuat tenaga agar letupannya tak terlihat Arni. Tiga tahun sudah Nima tak pulang dari Jepang dengan berbagai alasan dan selama tiga tahun itu pula kerinduan Sobri tertahan. ”Mak bawa apa nanti, Pak?” Arni mengusik khayal Sobri yang mulai liar dibakar api kerinduan yang begitu lama diperam. ”Boneka. Boneka Jepang,” jawab Sobri. ”Makmu pernah bilang begitu. Apa namanya? Ah ya, momotaro. Namanya momotaro.” Arni cekikikan melihat wajah ayahnya ketika mengucapkan kata itu. ”Tapi, seperti apa itu momo… momotaro itu, Pak?” ”Wah, Bapak juga nggak tahu. Nanti saja kita lihat sendiri seperti apa.” ”Lalu, bawa apa lagi?” Arni melanjutkan pertanyaan sambil coba menyisir rambutnya yang panjang sebahu. Sobri berpikir sesaat. Matahari terus merambat mendaki kaki langit di sebelah timur, mengintip dari balik gunung, satu-satunya gunung yang tinggal di Desa Cibaresah itu. ”Uang, Pak. Uang,” Arni menjawab sendiri pertanyaannya. ”Uang untuk sekolah.” Sobri mengambil sisir dari tangan anak itu, membantunya menyisiri rambut anaknya. Ditatapnya wajah bocah itu di kaca. Sobri mengagumi wajah Arni, wajah yang mirip dengan wajah ibunya. Alis matanya yang hitam, bulu matanya yang panjang, bibirnya yang kemerahan, hidungnya yang mancung. Dulu, Nima adalah kembang di desanya. Bunga indah yang mekarnya tak cuma membuat banyak orang terkagum-kagum, tapi juga harum menebarkan wewangiannya kepada siapa pun yang berada di dekatnya. Sebagai putra kepala desa, Sobri beruntung akhirnya berhasil memetik bunga indah bernama Nima itu. Tapi hidup ternyata berubah begitu cepat. Sobri menjadi bukan siapa-siapa ketika ayahnya meninggal dunia setahun setelah pernikahannya dengan Nima sampai kemudian datang seorang pengerah tenaga kerja dan menawarkan pekerjaan dengan gaji menggiurkan di Chiba, Jepang. ”Chiba itu seperti Depok. Letaknya tak begitu jauh dari Tokyo, seperti juga Depok yang tak begitu jauh dengan Jakarta,” kata sang pengerah tenaga kerja. ”Banyak orang yang bekerja di Tokyo, tapi tinggalnya di Chiba. Jadi, Chiba itu kawasan permukiman, sedangkan Tokyo itu kawasan bisnis.” Sobri cuma manggut- manggut. Baginya tak penting di mana Chiba berada. Yang terpenting adalah Nima mendapatkan pekerjaan dengan gaji selangit untuk memperbaiki kehidupan keluarga dan rumah tangganya. ”Mak pulang jam berapa, Pak?” Arni mengusik lamunan Sobri lagi. ”Agak sore katanya,” jawab Sobri. Nima tentu sudah berada dalam perut bus kota yang kini tengah berlari menuju arah barat dengan angin menampar-nampar pipinya serta mencerai-beraikan rambutnya, Sobri membatin. Nima pun tentu tengah dibakar kerinduan setelah tiga tahun bekerja. Dia pasti sudah tak sabar ingin memeluk Arni, buah cinta mereka setelah tiga tahun bekerja keras mengumpulkan uang demi keluarganya. Tentu dalam koper yang dibawanya telah terselip barang-barang bagus untuk Arni. Kimono baru untuk anak-anak seperti biasa dibawanya setiap kali pulang. Boneka-boneka Jepang yang tak pernah dilupakannya. Hadiah buat Sobri adalah api cintanya, kehangatan tubuhnya, dan gelegak gairahnya. Satu hal lagi yang diinginkan Sobri. Nima tak perlu lagi kembali ke Jepang. Dengan uang- uang kirimannya selama ini, Sobri telah memiliki dua sepeda motor yang digunakannya untuk ngojek dan satunya lagi disewakan. Untuk ukuran warga Desa Cibaresah, rumah mereka juga sudah lumayan. Hampir semua bangunan terbuat dari batu. Bukan dari kayu atau bambu seperti umumnya rumah tetangga-tetangganya. Biarlah hidup sederhana, asalkan setiap hari bisa bersama, pikir Sobri. Sobri juga ingin memberi Arni adik. Adik? Sobri mendengar ketukan di pintu. Ibunya berdiri dengan sesungging senyum. ”Kapan mantuku katanya tiba di rumah, Sobri?” Dia langsung menyergap Sobri. ”Siapa saja yang pulang bersamanya? Ainun, Sarti, apa juga ikut pulang?” Arni melompat mendengar suara neneknya. Menghampiri dan mencium tangan keriput neneknya. ”Mak pulangnya sore, Wak,” Arni membantu Sobri menjawab pertanyaan ibunya. ”Kata Bapak….” ”Betul, Sobri?” Wanita itu mengambil kursi dan duduk perlahan-lahan. ”Kabarnya begitu, Bu. Tapi, Ainun dan Sarti mungkin tidak ikut pulang,” kata Sobri menyebut dua nama TKW yang ikut bekerja bersama Nima di Jepang. Ainun dan Sarti adalah tetangga mereka. ”Lagi pula, kabarnya mereka sudah pindah ke… ke… ke Malaysia kalau saya tidak salah.” ”Kenapa rupanya?” ”Biasa, Ibu. Kontrak mereka di Jepang sudah habis.” Satu per satu keluarga dekat dan keluarga jauh serta tetangga Sobri datang dan kemudian meramaikan rumah di tikungan jalan di mana di depannya terdapat sungai kecil yang bening airnya membuat ikan-ikan kecil yang berlari-larian ke sana kemari terlihat sangat jelas. Arni pun sudah asyik bercengkerama dan bercanda dengan sepupu-sepupunya. Dalam beberapa saat saja rumah itu sudah berubah menjadi layaknya pasar. Sesekali Sobri mendapat sindiran-sindiran nakal. Sobri menanggapinya dengan senyum-senyum. ”Ingat, Sobri,” kata abangnya, ”jangan kau izinkan lagi Nima ke luar negeri. Selama ini kan dia baru tiga kali pulang setelah lima tahun bekerja. Dia harus berhenti. Semua kau sudah punya. Ada rumah. Ada sepeda motor. Apa lagi?” ”Yang kurang cuma adik buat Arni,” sambung yang lain. ”Ya itu penting. Kau laki-laki tulen. Apa mau kau bertahun-tahun terus kesepian? Lagi pula, Nima itu kan tidak jelek. Berbahaya kalau dia pun terlalu lama di luar negeri.” *** Tapi, sepekan setelah kepulangannya di Cibaresah, Nima mengatakan akan kembali ke Jepang, mendahului keinginan Sobri untuk mengatakan Nima tak boleh kembali ke luar negeri. ”Minggu depan saya sudah harus kembali ke Jepang, Pak,” kata Nima ketika suaminya tengah memanaskan sepeda motor di depan rumah. Sobri menahan degup jantungnya. Rasa sesal juga menyelinap di lubuk hatinya. Kenapa aku tak mengatakan dia harus berhenti bekerja sejak kemarin? Sobri mengutuk keterlambatannya. Nima mengatakan tak bisa berlama-lama di Cibaresah karena perusahaannya di Jepang hanya memberikan izin cuti selama dua minggu. ”Kantor saya buka setiap hari, Pak,” kata Nima ketika Sobri pura-pura mengutak-atik motornya sambil menahan gejolak di dadanya. Dia tahu, Nima takkan mudah dicegah. Akan jadi perkelahian besar jika dia bersikeras Nima tak boleh kembali ke Jepang. Dan, jika Nima benar-benar pergi, yang akan kehilangan bukan cuma dirinya, tapi juga Arni, putrinya. Kepadanya Arni juga mengatakan ingin ibunya tak bekerja lagi di luar negeri. ”Bilang sama Makmu,” kata Sobri dua hari lalu ketika Arni mengungkapkan hal itu. ”Aku takut, Pak.” ”Kenapa takut?” ”Takut Mak marah.” ”Kenapa Makmu marah?” Arni tak bisa menjawab. ”Makmu takkan memarahi kamu cuma karena kamu mengatakan kamu ingin Makmu tak kembali ke luar negeri,” kata Sobri meyakinkan putrinya. ”Bapak yang bilang,” Arni merajuk. Berdiam sesaat, Sobri kemudian mengatakan, ”Ya, nanti Bapak yang akan bilang.” Dan Arni pun berjingkrak-jingkrak kegirangan. Tapi ternyata dia belum sempat mengatakannya. Dan kini dia harus menahan rasa gundah di dadanya. Terbayang di wajahnya duka Arni kelak begitu ibunya kembali ke Jepang. Duka seorang bocah yang menginginkan dekapan hangat dan kasih sayang orangtuanya. Duka seorang bocah yang tak lagi bisa bercerita kepada ibunya jika dia terluka karena terjatuh, tak lagi bisa menyampaikan rasa bangganya setelah bisa menghafalkan ayat-ayat suci Al Quran dari guru mengajinya, karena tak bisa lagi meminta uang jajan jika ayahnya sedang tak ada di rumah, atau mengantarkannya berjalan-jalan di pematang sawah sambil menikmati hamparan padi yang menguning indah seperti permadani. Kepulangan Nima memang membawa uang yang sangat banyak. Mereka bisa membeli pesawat televisi baru, membeli sepeda kecil untuk Arni, membangun pagar rumah. Malahan Nima sempat membawa Arni ke kota dan membuka tabungan untuk putrinya. Andaikan daya listrik di rumah besar, Nima juga sanggup membelikan keluarganya kulkas dan mesin cuci. Tapi, uang itu sama sekali tak bisa menggantikan sosok Nima. Yang mereka butuhkan bukan cuma uang yang banyak, tapi juga kasih sayang yang berlimpah dan tak tersekat oleh jarak. Karena itu Sobri lebih suka Nima tetap berada di rumah, di Cibaresah, bahkan meskipun mereka tak memiliki apa-apa. Tapi, kepergian Nima tak bisa dicegah. Seminggu kemudian, Arni cuma bisa menjerit-jerit ketika ibunya melangkah meninggalkan rumah. Tak satu orang pun bisa menahan Nima. Bahkan air mata dan tangis Arni sekalipun. *** Dalam perut pesawat terbang yang akan membawanya ke Jepang, air mata Nima meleleh. Tangis dan jeritan Arni terdengar melengking di telinganya. Sesaat kemudian tawa kebahagiaan Arni juga bermain-main dalam benaknya. Juga dekapan Arni yang begitu ketat menyambut kedatangannya. Dekapan yang seolah tak ingin dilepaskannya. Sesaat Nima mengutuk dirinya yang pada akhirnya tega meninggalkan Arni, bocah yang begitu membutuhkan kasih sayangnya. Berkali-kali dia mencoba, tetapi selalu gagal untuk menepis semua bayang-bayang Arni. Dari dalam tasnya dia kemudian mengeluarkan sebuah foto. Foto Erica. Nima ingat, foto itu diambil Eric Sato ketika gadis berusia dua tahun itu tengah berlari di sebuah taman bermain di Chiba, tak jauh dari Hotel Ambassador. Gadis itu sangat menggemaskan. Erica jadi gadis kebanggaan Eric, laki-laki yang menyergapnya di suatu malam yang begitu dingin di bulan Februari tiga tahun yang lalu. Segunung sesal karena dia lupa mengunci pintu kamar apartemennya tak lagi punya arti ketika semuanya terjadi begitu cepat. Sesudahnya Nima cuma bisa mengurai air mata sia-sia hingga pagi menjelang dan bongkahan-bongkahan air yang membeku di atas jendela sedikit demi sedikit mengalirkan cairnya. ”Aku melakukannya dengan nafsu,” ujar Eric setelah benih- benih mulai tumbuh dalam rahim Nima. ”Tapi nafsuku bukan tanpa cinta. Besok kita menikah. Aku memaksamu untuk menjadi istriku. Aku akan menjadi ayah dari janin dalam kandunganmu.” Berkali-kali Nima menegaskan bahwa dia sudah memiliki suami dan seorang anak, namun Eric tak mau memercayainya. ”Kamu masih sangat muda. Tidak mungkin kamu sudah menikah. Kamu haru menjadi istriku,” katanya. Kenyataannya Eric memang sangat mencintainya. Dia memberi Nima segala perhatian yang dibutuhkan seorang perempuan, sampai kemudian Erica lahir, sampai kemudian dia menemukan dirinya sudah terperangkap dalam labirin kebingungan antara cintanya kepada Sobri dan Arni dengan rasa sayang yang diam-diam tumbuh dan tumbuh dan tumbuh terhadap Erica dan Eric. Di sebuah apartemen tak seberapa jauh dari stasiun kereta MRT di Chiba (Nima selalu berjalan kaki ke stasiun itu kemudian naik kereta cepat ke Narita dan kemudian terbang ke Indonesia), Nima tahu Erica kini tengah menantikan kedatangannya. Juga Eric yang melepaskan kepergiannya ke tanah airnya dengan ancaman mematikan. ”Aku akan menyusulmu, aku akan menjemputmu jika kamu tidak kembali dalam waktu dua minggu.” Nima tahu dia tak mungkin mengabaikan ancaman itu. Eric akan benar-benar menyusulnya jika dia mengingkari janjinya. Nima tahu siapa suaminya. Nima tak tahu kegemparan apa yang akan melanda Cibaresah jika hal itu sampai terjadi. Nima kemudian menyandarkan kepalanya setelah diam-diam menelan beberapa butir obat tidur di toilet. Dalam pejam matanya tiba-tiba bayangan Arni melintas. Tengah berlari-lari bersama Erica sambil tertawa-tawa di sebuah taman entah di mana. Tanah Kusir, Juli 2009
""Nima""
Banyak orang yang dinilai tak berharta, tapi lulus pergi haji. Uwak Bandi ingin masuk dalam golongan tersebut. Tak kaya, tak mengapa. Tapi, pantang baginya memiskinkan cita-cita. Asal jangan cita-cita yang disusupi cela, titah hatinya. Jangan pula sampai terjangkit penyakit riya: berlomba naik haji biar diseru kaya raya! Andai boleh memilih, ia rela dituding miskin sebelum maupun sepulang dari Mekkah. Memang, Uwak Bandi kerap mengumpamakan impiannya mencium tebing Kabah semacam orang awam hendak menggapai bulan. Namun, ia bukan orang yang mudah memberangus harapan. Terlebih dalam doa. Maka, setiap menyaksikan tanak bulan purnama, Uwak Bandi senantiasa berdoa: ”Ya Allah, perkenankan aku mencium bulan.” Mmh, bulan dalam doa tersebut bermakna Kabah baginya. Uwak Bandi juga sering menyemai doa tatkala memenuhi undangan menyenandungkan marhaban di berbagai acara tepung tawar haji. Ia dikenal ahli marhaban, ahli doa. Kian kukuhlah niatnya setiap diminta mendoakan kemabruran ibadah para sejawatnya. Ya, soal keinginan kuat, Uwak Bandi tak terhadang lagi. Dorongan Haji Sazali, sahabatnya, pensiunan pegawai Bea dan Cukai pun makin memanjangkan galah tekad Uwak Bandi. Pula Haji Sazali yang hendak menunaikan ibadah haji untuk kali ketiga mengajaknya pergi bersama. Jujur, percakapan keduanya, terkait apa pun, pada hilirnya menyinggung kisah Haji Sazali sewaktu di Mekkah. Berbunga-bunga hati Uwak Bandi mendengarnya. ”Mana tahu rezekimu melimpah setelah mendaftar, Bandi,” nasihat Haji Sazali suatu kali. ”Pokoknya daftar dulu. Kasih tanda jadi. Tinggal dicicil. Insya Allah ada jalan untuk niat muliamu itu.” Maka, seusai menyimpulkan saran Haji Sazali: niat tak akan lunas kalau terus-terusan menunggu ongkos haji cukup, Uwak Bandi pun menegakkan tiang keyakinan. Apalagi, tegurnya ke dada sendiri. Sisa pesangon—sekitar enam juta—selepas bekerja hampir 30 tahun di Socfindo (perusahaan penyulingan minyak sawit) memadailah untuk memulai rencananya. Bismillah, ia pun mendaftarkan diri sekaligus menyetor uang muka ke bank, menyusul Haji Sazali yang sudah lebih dulu. Nah, tercatat sebagai calon jemaah haji dalam daftar tunggu, Uwak Bandi tinggal memasok cicilan sekerap mungkin. Atau siapa tahu, tunggakan biaya haji bisa ditunaikan sekaligus. Hingga ia tak perlu berlama-lama terjebak dalam daftar tunggu. Dengan perhitungan matang, Uwak Bandi memanjar ongkos haji sejumlah satu juta. Selebihnya, ya, diputarkan untuk usaha lain. Mmh, andai saja…. Ah, Uwak Bandi terus berjuang untuk tak terjerembab ke lumpur penyesalan. Seperti halnya Dariah, sang istri, yang sering mengungkit-ungkit kelunakan hati Uwak Bandi meminjamkan sebagian besar pesangon kepada kedua anaknya. Memang, setelah membeli sampan usang dan memodali Dariah membuka kedai lontong, ketajaman pisau sebab akibat terus menyayat daging tabungannya. Bayangkan, ia harus menanggung biaya operasi caesar putri sulungnya, Maemunah, sewaktu melahirkan anak ketiga. Ia maklum, suami Maemunah hanya pekerja kasar di pabrik pengalengan ikan. Ha, lain pula Ruslan, adik lelaki Maemunah, butuh uang demi menebus keteledorannya saat bekerja. Ruslan satpam di perusahaan pengolahan besi baja dan sedang mendapat giliran jaga ketika gudang perusahaan ditelikung maling. Sialnya, uang tebusan dibalas dengan surat pemecatan. Sejatinya, Maemunah dan Ruslan tetap menganggap bantuan ayah mereka sebagai utang yang mesti dilunasi. Namun, Uwak Bandi tak pernah sampai hati menagihnya. Apalagi kepada Ruslan, yang akhirnya harus membiayai anak-istri dari mocok-mocok—bekerja serabutan. Bahkan, meski tak sepenuhnya disetujui Dariah, ia ikhlas (tepatnya mencoba ikhlas). Memang, kalau dipikir-pikir, pesangon Uwak Bandi tempo hari hampir mencapai separuh ongkos haji. Ancang-ancangnya pun memang untuk ongkos haji. Tetapi, ya, bukankah rezeki kerap berlindung di sarang misteri? Tak tahu kapan hinggap, kapan terbang. Untuk soal itu, ia terkesan jarang mengeluh. Meski perjuangannya menghidupi keluarga tak ringan, ia tetap merasa liuk nasibnya tak securam orang lain. Tinggal di kota pelabuhan bukan jaminan untuk hidup layak. Seperti warga lainnya, Uwak Bandi hanya bisa menyambut uluran laut, juga belas kasihan deru pabrik. Ia sendiri sejak usia belasan tahun sudah pergi melaut. Teramat tekun ia menjadi nelayan. Riwayat garam tersimpan di tubuhnya. Setelah menikahi Dariah, ia menyambi kerja sebagai buruh bongkar muat pelabuhan. Lantas, ketika Maemunah berusia dua tahun, Uwak Bandi merasa beruntung bisa bekerja di Socfindo meski hanya mandor gudang. Inilah pekerjaan yang berjasa membesarkan kedua anaknya. Di kota pelabuhan itu, tak banyak orangtua yang mampu mengantarkan anak-anaknya tamat sekolah setingkat SMA. Uwak Bandi adalah pengecualian. Kalaupun setelah pensiun ia melaut lagi, bukanlah seperti dulu lagi: memburu ikan dalam hitungan malam! Uwak Bandi pergi ke laut hanya untuk mengerat kejenuhan karena tak betah ongkang-ongkang—cuma makan tidur—di rumah. Ia pun tak sanggup lagi ke tengah laut, hanya menjala ikan di sekitar paloh—rawa laut. Untuk itu pulalah, sampan bekas ia beli. Ya, hasil menjaring ikan setengah hari di paloh lumayanlah untuk mengasapi mulutnya dengan rokok atau memawangi sakunya. Untuk keperluan sehari-hari, dipasok dari hasil kedai lontong Dariah. Namun, untuk memuluskan rencana naik haji, Uwak Bandi tak mungkin mengharapkan kedai lontong saja, punpaloh. Maka, ketika mengetahui A-Siong, juragan arang menyewakan tanah bekas tambak, Uwak Bandi tergiur. Sejatinya, bengkalai tambak tersebut termasuk tanah yang sudah dijual A-Siong. Katanya mau ditimbun dan dibangun pabrik. Tetapi, menurut A-Siong, belum berlangsung timbang terima. Berarti masih ada peluang untuk sekali panen tambak. Nah, semua sudah ditimbang masak-masak. Uang sewa tambak seluas 45 rante, sekitar satu hektar, cuma satu juta. Tambak seluas itu mampu mengasuh 5.000 bibit udang tiger. Dibutuhkan biaya hampir tiga juta untuk bibit tiger sebanyak itu. Intinya, tak ke mana uang lima juta demi meraup keuntungan setara ongkos naik haji. Bahkan bisa lebih. Tentu Uwak Bandi paham, keuntungan ibarat lumba-lumba yang menyenangkan dan kerugian laksana hiu yang kejam. Rezeki harimau, kata orang-orang. Untung sekalian atau buntung sepenuhnya! Namun, Tuhan Maha Mengabulkan doa. Keinginan ke Mekkah memberinya kekuatan untuk belasan hari mengorek bangkai tambak yang dangkal. Lumpur hasil korekan dionggok ke atas benteng tambak,pagar tanah yang berfungsi sebagai pengepung air. Lantas, paloh secara alami akan memasok air asin ke tambak. Melalui pengaturan pintu air, pasang surut paloh bakal menyegarkan tambak. Beres! Tapi tentu, selama tiga bulan, Uwak Bandi akan lebih banyak tinggal di tambak, terutama malam hari. Kalau tidak, maling tiger akan leluasa memburaikan isi tambak. Untuk menjaga tambak, Uwak Bandi tak perlu lagi mendirikan pondok di bahu tambak. Sudah ada. Dinding tepasnya pun masih kuat. Ia cuma perlu mengganti atap rumbianya. *** Serangga laut sesekali pamer suara! Tadi, sebelum istirahat di beranda pondok, Uwak Bandi masih sempat mengitari pematang benteng beberapa kali. Tak perlu menenteng senter karena bulan sedang ranum-ranumnya. Langit malam cerah. Hujan sore tadi telah menanggalkan daun-daun awan. Maka, cahaya keemasan bebas menyapu permukaan tambak pun menuntun mata dan langkah Uwak Bandi menyusuri punggung benteng. Ia memang harus tetap awas. Selain maling tiger, masa 15 hari bulan—purnama masak—memaksa Uwak Bandi harus jeli mengeja air. Pasang besar sering terjadi pada 15 hari bulan. Tak jarang pasang besar menyeberangkan udang ke luar tambak. Tapi Uwak Bandi boleh lega karena benteng sudah ditinggikannya dua hari lalu. Dalam kewaspadaan, Uwak Bandi masih sempat menatap purnama di jantung langit. Pantulannya jatuh persis di pusar tambak. Sambil memutari sisi tambak, ia membayangkan dirinya sedang tawaf, mengelilingi Kabah. ”Ya Allah, izinkan aku mencium bulan,” zikirnya penuh geli. Aih, tak sampai sepekan lagi masa panen tiba. Entahlah, berbagai kemudahan memihak kepadanya. Bukankah kemudahan namanya ketika wabah penyakit tak menyerang tiger-tiger­piaraannya? Pun maling seperti enggan mengusik tambaknya. Mmh, kelana angannya begitu mudah menaklukkan Masjidil Haram. Tapi, udara dingin yang berbisa mengembalikan Uwak Bandi ke tambak. Daun-daun bakau riuh disabung angin. Uap garam menyengat penciumannya. Ia membelitkan sarung ke lehernya. Rokok disulut. Sebelum ke pondok, ia pergi memastikan pintu air sudah terkunci. Selanjutnya, ya, Uwak Bandi bergegas menyalakan perapian dari potongan-potongan kayu waru. Ampuhlah untuk menghalau nyamuk, menawar dingin. Lantas, ia duduk bersandar di beranda pondok. Uwak Bandi mendapatkan dadanya sekonyong-konyong padang. Lapang. Diselimuti kehangatan api, ia kembali memandang bulan bak menyaksikan Kabah. He, Kabah 15 hari bulan, selorohnya ke diri sendiri. Tempias angin mengatupkan kelopak matanya. Wahai, Tanah Suci, aku datang, igaunya. Namun, saat kelelapan siap menyongsong, Uwak Bandi terperanjat oleh suara debum air. Ia kumpulkan kesadaran, lalu berlari ke ufuk suara. Air pasang memenuhi tambak, membobol benteng. Dinding tambak terluka! Angin menyalak! Suara hewan malam siur! Uwak Bandi banting langkah ke pintu air. Ampun, pintu air jebol didongkel pasang. Ia kembali ke benteng yang terluka. Sebab, tak ada faedahnya mengurusi pintu air yang roboh. Sudah pasti lubang yang bersemayam di luka benteng bakal mengirim isi tambak ke paloh, terus ke laut. Uwak Bandi terperangah, terengah. Ia sibuk merajut siasat, kewalahan mencari akal. Debur air, sepadan ternak yang hambur keluar kandang, menciutkan nyalinya. Uwak Bandi berlari ke pondok, lalu kembali sambil menggendong setumpuk kayu waru. Dengan tubuh yang bergetar, ia tancapkan kayu-kayu itu di mulut benteng yang jebol. Mana tahu mumpuni menghadang pasang yang hendak pergi ke alam. Tapi, apalah daya tancapan kayu di kumparan lumpur. Uwak Bandi menceburkan diri ke tambak. Ia jongkok, menyurukkan lengkung punggungnya ke liang benteng. Pinak-pinak air seperti jemari yang mencengkeram lehernya. Tapi, ia tak peduli. Sepasang tangannya terus mendorong-dorong air agar pulang ke tambak. ”Ayo, timpas! Surut kau air!” Uwak Bandi menghardik, terbata. Air bercampur lumpur menerobos mulutnya. Menyumbat kerongkongannya! Tapi, air tak kunjung timpas—surut tak diturut. Terkaman pasang malah makin buas, menciptakan lubang yang lebih besar. Tubuhnya tak mampu menjadi akar bakau penentang arus. Pasang yang bergelicak deras memberantakkan wujud purnama di permukaan air. Cahaya keemasan pecah, menjelma kilau kecemasan. ”Kabahku! Hancur Kabahku!” Uwak Bandi meronta seperti kanak-kanak. Menempeleng pipi air bertubi-tubi untuk apa? Toh, kerumunan tiger sebesar kuncup telapak tangan orang dewasa terus melintasi tubuhnya sebelum akhirnya dirampas paloh, ditelan alam. Uwak Bandi kehabisan tenaga, kehilangan doa. Tubuhnya dilumpuhkan air pasang. Kepalanya terdongak ke langit. Ei, mengapa dalam gontai kuyup pandangan, ia menyaksikan Haji Sazali melayang ke pekarangan langit, menuju bulan? Haji Sazali tersenyum sambil melambaikan tangan, semacam kibas ajakan. Uwak Bandi ingin menyahut lambaian itu. Tapi, bentang tangannya tengah berjuang menjadi benteng. Air menyandera Uwak Bandi. Bahkan, memerosokkan tubuhnya ke nganga lubang. Tenaga Uwak Bandi tinggal ampas. Tubuhnya timbul tenggelam, diisap diembuskan air pasang. Ah, adakah yang mampu mendengar gelepar tangisnya di perut air? ”Haji Sazali, tega nian kau meninggalkanku….” Medan, 2009
""15 Hari Bulan""
Dua jam sebelum tengah malam, biasanya Pita mulai sibuk mengelap sisa-sisa makanan dan tuak yang tertumpah di atas meja. Membersihkan dan merapikan kursi-kursi merupakan isyarat bahwa dia sedang bersiap-siap untuk menutup kedai tuaknya. Satu atau dua orang tamu yang masih berada di kedainya harus bersiap-siap pula untuk pulang. Tapi pada malam itu, ada seorang lelaki beruban yang tidak menunjukkan tanda-tanda akan beranjak dari kursinya. Pita tersenyum ramah ketika mengamati sosok lelaki itu. Tak lama kemudian, senyumnya hilang seketika. Dia terkesima. Sekujur tubuhnya sempat bergetar ketika lelaki beruban itu membalas tatapannya. Pita merasa pernah mengenali wajah lelaki itu. Bahkan pernah mengenali tatapannya. Dia ingin segera berlari ke kamarnya untuk membuka album masa mudanya. Dia ingin memastikan bahwa wajah lelaki beruban itu adalah wajah tua milik seorang pemuda yang pernah dikenalnya. Wajah yang sesekali masih mampu menggelorakan rindunya. Pita tetap melanjutkan pekerjaannya dengan kepala tertunduk. Ada rasa cemas yang tiba-tiba menyergap dirinya sehingga dia segan melirik lelaki itu, tapi nalurinya memberitahukan bahwa mata lelaki itu sedang mengamati wajahnya, rambutnya, dan sekujur tubuhnya. ”Aku pernah mengenal seseorang yang mirip kau.” Pita menoleh. Tanpa disadarinya, ternyata lelaki itu telah berdiri di dekatnya. ”Sekarang aku hanya bisa mengenangnya.” Pita membisu, tetapi dadanya bergemuruh. ”Maaf, aku telah mengganggu pekerjaanmu. Agar kau tak terganggu, aku akan menunggu hingga kau menyelesaikan pekerjaanmu. Setelah itu, berilah aku kesempatan untuk bicara.” Setelah semua meja dibersihkan dan kursi-kursi ditata kembali, Pita menguatkan hatinya untuk duduk di hadapan lelaki itu. ”Apa yang ingin kau bicarakan?” ”Tentang seorang perempuan di masa mudaku, dulu.” ”Apakah kau merasa aku pernah mengenalmu?” Lelaki itu mengangguk, lalu bertanya, ”Apakah suamimu bernama Martohap?” Pita membisu. ”Atau anakmu yang memiliki nama itu?” Pita menggeleng. Lelaki itu menarik napas panjang. Ada kelegaan terbias di wajahnya. Lalu dia berkata dengan santun, ”Aku tidak suka minum tuak. Aku mampir karena membaca papan nama di depan kedai tuakmu ini. Nama siapa yang kau gunakan?” Pita menunduk. Walau telah berhasil memendam cintanya, dia tetap merasa malu untuk menjawab pertanyaan itu. ”Apakah itu nama seorang lelaki yang pernah kau cintai?” ”Apakah kau pernah mencintai seorang perempuan?” Lelaki itu terdiam sejenak. Dahinya berkerut. Lalu dia berkata, ”Maaf karena aku sangat lancang bertanya. Mengapa kau namai Martohap? Bukankah nama Songgop lebih berarti untukmu?” Sekujur tubuh Pita mulai menggigil. ”Apakah kau pulang untuk perempuan yang kau cintai itu?” ”Aku tidak pulang. Aku datang!” jawab lelaki itu. Matanya menatap tajam. ”Aku yakin bahwa kau mengenal perempuan yang kumaksud. Kira-kira dua puluh lima tahun yang lalu, perempuan itu diperistri oleh anak Kepala Kampung ini,” sambungnya. Pita membisu kembali. Napasnya tersendat. ”Namaku Martohap.” Pita bangkit dari kursinya. Ditinggalkannya lelaki itu. Di dalam kamarnya yang terletak di belakang kedai tuaknya, dia tak mampu menahan air matanya walaupun tak tahu pasti apa sesungguhnya yang dia tangisi. Apakah dia menangis karena terharu akan pertemuan itu atau menangis karena menyesal telah memberikan hatinya kepada lelaki itu. Gara-gara lelaki itu, tak ada lagi hati yang tersisa untuk dia berikan kepada lelaki lain. Tahun demi tahun telah dilaluinya dalam kesendirian. Dinikmatinya kesendirian itu sambil menunggu lelaki itu pulang untuk mengembalikan hatinya. Nama lelaki itu digunakannya menjadi nama kedai tuaknya. Setiap orang yang melewati kedai tuaknya dapat membaca nama itu dengan jelas. Dia memang ingin menyapa dan mengundang lelaki yang memiliki nama yang sama untuk singgah di kedai tuaknya. Di dalam hatinya, Pita berkali-kali menyebut nama Tuhannya. ”Tuhan, akhirnya kau kirimkan lelaki itu untuk menemuiku. Terima kasih Tuhan, mendekati usia senja aku masih sempat melihat wajahnya.” *** Dua puluh lima tahun yang lalu, Pita sering termenung menimbang-nimbang perasaannya. Rencana pernikahan itu membuatnya resah dan marah. Berulang-ulang kali pula dia bertanya dalam hati, apakah aku benar-benar tega menistakan kehormatan yang telah berada dalam genggaman orangtuaku? Seminggu sebelum pesta pernikahannya dilaksanakan, terjadi demonstrasi besar-besaran yang menuntut agar sebuah pabrik bubur kertas ditutup. Masyarakat dari empat kampung di sekitar lokasi pabrik bubur kertas itu bergerak serentak menebangi pohon-pohon di hutan tanaman industri. Batang-batang pohon itu diseret untuk memalang jalan. Dahan-dahannya dibiarkan berserakan di tengah jalan. Pohon besar di pinggir jalan, yang batangnya berdiameter setengah meter, turut ditebang untuk memalang jalan. Bahkan batu gunung dilinggis beramai-ramai hingga menggelinding ke tengah jalan. Ribuan masyarakat berdiri di pinggir jalan sambil membawa spanduk-spanduk tuntutan mereka, ”Jangan biarkan bau busuk merusak kehidupan kami”. ”Stop menebar racun di Tanah Toba!”. Truk-truk pengangkut kayu terpaksa berhenti. Terjadi antrean panjang lebih dari 10 jam. Penumpang-penumpang bus lintas Sumatera terpaksa turun untuk membantu aparat kepolisian dan TNI. Mereka bekerja sama menyingkirkan batang-batang pohon yang menghalangi jalan. Dua hari setelah demonstrasi itu, orang-orang asing berseragam dan berbaju preman terlihat hilir-mudik ke luar-masuk kampung. Masyarakat saling berbisik. ”Kepala Kampung dituduh sebagai penggerak demo.” ”Beberapa anggota masyarakat sedang dicari.” ”Yang dicap sebagai tokoh harus segera bersembunyi!” Dan calon mertuanya sempat menghilang beberapa hari. Ada yang mengatakan sedang ditahan, tapi berita-berita di televisi mengatakan sedang diinterogasi. Beberapa hari kemudian, Kepala Kampung kembali terlihat sibuk mengadakan rapat dengan masyarakatnya. Hari pernikahan itu tentu urung dilaksanakan, tapi tepat pada hari itu tersiar kabar pengangkatan kepala kampung yang baru. Masyarakat kembali berbisik-bisik. ”Kepala kampung yang baru itu langsung ditunjuk oleh pemerintah.” Pada saat yang sama, calon mertua Pita menyatakan tak akan mundur dari jabatannya. Sejak saat itu demonstrasi yang dilaksanakan terpecah dua. Ada kubu yang mendukung. Ada kubu yang menolak. Dan sejak saat itu pula, Songgop, pemuda yang akan menikahinya menghilang. Dia dicap sebagai salah seorang aktivis yang membantu bapaknya mempersiapkan demonstrasi besar-besaran itu. Martohap juga menghilang. Masyarakat di kampungnya menganggap dia melarikan diri karena kalah memperebutkan Pita, si perempuan kampung yang cantik dan cerdas. Tapi Pita menganggap Martohap yang menjadi pemenang. Dia telah mencicipi manisnya bibir pemuda itu. Bibir Martohap memang telah membuat kuncup bunga di hati Pita mekar bersamaan waktunya dengan sukaria pemuda dan pemudi sekampungnya. Pada malam itu, mereka sedang menghias sebuah pohon cemara menjadi pohon Natal. Beberapa pemuda-pemudi sibuk menyelipkan kabel lampu-lampu kecil di antara daun-daun di sekeliling pohon. Tapi Pita memilih untuk membantu Martohap menyangkutkan hiasan-hiasan salib dan serpihan-serpihan kapas. Ketika pekerjaan mereka selesai, semua lampu gereja dimatikan. Kegelapan menyelimuti mereka. Di balik rimbunnya pohon Natal, Martohap segera merengkuh dan mendekap tubuh Pita erat-erat. Sebelum seseorang mencolokkan kabel ke stop kontak di dekat altar gereja, pemuda itu telah selesai menciumnya. Ketika lampu-lampu pohon Natal itu menyala indah berkelap-kelip, Pita dan Martohap saling tatap penuh makna. Dan Songgop menatap curiga! Dua tahun setelah demonstrasi besar-besaran itu, Songgop kembali ke kampungnya. Dia pulang bersama seorang bayi berumur beberapa bulan. Bayi itu berada dalam gendongan seorang perempuan yang telah dinikahinya di Tanah Karo. *** Sebelum tengah hari Pita membuka kedai tuaknya. Tak lama kemudian dua orang lelaki masuk dan segera membuka papan catur yang selalu tersedia di atas sebuah meja. Tapi sebelum menyusun buah caturya, salah seorang menyapa. ”Tadi malam kulihat kau bercakap-cakap dengan seseorang. Siapa dia?” Pita sempat tergagap sebelum menjawab, ”Dia pendatang yang sedang mencari seseorang.” ”Siapa yang dicarinya?” ”Katanya adiknya,” jawab Pita sekenanya. ”Ah, kok bisa dia kehilangan adik? Sudah berapa lama dia merantau?” ”Aku tak tahu!” Lelaki itu terdiam sejenak. ”Aneh juga. Kau lama bercakap-cakap dengan dia, tetapi tak tahu berapa lama dia sudah merantau.” Dahinya berkerut. ”Sudah kau suruh bertanya ke Kepala Kampung?” sambungnya. ”Sudah. Kupikir, sekarang dia sedang menemui Kepala Kampung.” Lelaki itu berpaling dan mulai melangkahkan buah caturnya. Di dapur kedai tuaknya, Pita termenung. Dia menyesal telah berbohong, tapi kalau berkata jujur, dia mungkin akan lebih menyesal. Mereka akan bertanya, dan bertanya… hingga bisa merangkai sebuah cerita. Lalu dia akan selalu curiga bila gelas-gelas dan botol-botol tuak terkumpul di tengah meja. Akan semakin curiga bila mereka bercakap-cakap dengan suara rendah. Akhirnya terusik ketika mereka tiba-tiba tertawa terbahak-bahak. Dia akan ditertawai di kedai tuaknya sendiri. Kalau merasa sungkan, mungkin mereka akan pergi ke kedai tuak orang lain dan terbahak-bahak di sana! Pita pernah menegur. Dia tahu, saat itu mereka sedang mempercakapkan seorang perempuan yang sudah berumur, tetapi belum pernah dinikahi. Walaupun bukan dirinya yang sedang mereka percakapkan, tetapi hatinya cemas. Sebelum mereka tertawa, dengan lantang dia menegur, ”Sudahlah! Jangan mempercakapkan cerita seperti itu. Apa kalian tak ingin menjaga perasaanku?!” Tegurannya membuat cerita yang sedang mereka percakapkan dianggap telah selesai. Biasanya, cerita baru dianggap selesai beberapa menit sebelum kedai tuak itu tutup. Tapi kadang-kadang ada juga cerita yang bersambung ke malam berikutnya. Bila terjadi seperti itu, biasanya seseorang dari malam sebelumnya dituntut untuk mengulang apa yang telah dipercakapkan. Jadi selalu ada cerita yang dipercakapkan karena orang-orang yang bercakap-cakap pada malam berikutnya, belum tentu semua sama dengan orang-orang yang bercakap-cakap pada malam sebelumnya. *** Setelah semua meja dibersihkan dan kursi-kursi ditata kembali, Pita kembali menguatkan hatinya untuk duduk di hadapan lelaki beruban itu. ”Mengapa kau datang lagi?” ”Untuk melihat siapa yang membantumu menutup kedai tuak ini.” ”Aku sendiri yang melakukannya.” ”Mengapa suami atau anakmu tak ikut membantu?” ”Aku belum pernah menikah.” Martohap terkejut. Matanya sempat berbinar. Dia baru tahu kalau pernikahan itu tak pernah dilaksanakan, padahal rencana pernikahan itu yang membuat dia mempertaruhkan nasibnya di perantauan dan selama dua puluh tahun membuatnya takut untuk pulang. Walau membisu, Martohap tetap mengamati wajah yang dulu sangat dikaguminya. Dulu? Tidak! Tidak! Bantah hatinya seketika. Sekarang pun dia masih tetap mengaguminya. Dia memang sangat mengagumi perempuan yang tulus dan tegar. Apalagi bila perempuan itu telah membuktikan dirinya tulus menikmati kesendiriannya. Tegar mengikuti perjalanan hidupnya. ”Aku pun belum pernah menikah.” Pita terbelalak. Untuk apa dia mengatakan itu? Tentu dia tidak sedang merayu, katanya dalam hati. Lalu dia tersenyum kecil. Dia tahu, Martohap memang tidak bisa merayu. Lelaki itu lebih suka berpikir dan bertindak. ”Apakah seseorang yang telah menjalani kesendirian selama puluhan tahun berani menjalani kebersamaan di bagian akhir masa hidupnya? Bila mengenang cerita cinta sudah terasa indah, mengapa perlu mempertaruhkan kebersamaan? Bila kebersamaan itu akhirnya ternyata menyakitkan, bukankah nikmatnya kesendirian akan menjadi sia-sia? Padahal kesendirian itu telah dinikmati hingga usia menjelang senja. Tak lama lagi kematian akan datang untuk memisahkan kebersamaan. Mungkin naif bila kusimpulkan, semakin tua menjalani kesendirian, semakin takut menghadapi kebersamaan.” ”Untuk apa kau katakan itu?” ”Karena aku ingin pulang.” ”Pulanglah!” kata Pita ketus. Hatinya meradang. Dengan sigap dia bangkit dari kursinya. Ditinggalkannya lelaki itu sebelum air matanya sempat menetes. Martohap terkesima. Matanya nanar menatap atap kedai tuak yang tak berlangit-langit itu. Lalu dia merogoh saku bajunya dan meletakkan sebuah amplop di atas meja. Langkahnya gontai ketika meninggalkan kedai tuak yang telah sepi itu. *** Seperti biasanya, dua jam sebelum tengah malam, Pita selalu sibuk mengelap sisa-sisa makanan dan tuak yang tertumpah di atas meja. Dia masih tetap sendirian membersihkan dan merapikan kursi-kursi kedai tuaknya. Setelah menutup kedai tuaknya, sesekali dia membuka amplop yang ditinggalkan Martohap. Lalu dibacanya surat pendek itu untuk kesekian kalinya, ”Pita, hingga sekarang aku tetap mencintaimu! Aku berbahagia karena tak ada orang yang berhak melarangku untuk berhenti mengenangmu!” Pita mengangkat kepalanya. Ditatapnya kegelapan malam. Lalu bibirnya tersenyum. Ada segumpal kebahagiaan ketika dia membayangkan seorang lelaki beruban yang tak pernah berani melamarnya. Menteng Metro, Des 2009.
""Ada Cerita di Kedai Tuak Martohap""
Di luar kamar, terdengar ibu mertuanya sibuk mengomel. Sesekali juga terdengar perempuan tua itu membentak-bentak. ”Dasar ayam pemalas. Sepagi ini masih nyekukruk, seperti ayam gering (sakit). Sana keluar cari makan!” ”Wuttt, glontang, klotakkk, brukk!” bunyi sepotong kayu dilempar. ”Sial, dia lagi-lagi menyindirku,” umpat Rena dalam hati. Ya, tidak sekali dua kali ucapan ibu mertuanya membikin merah telinga Rena. Melukai perasaannya. Dan pagi itu entah yang keberapa. Rena menganggap perempuan itu sudah keterlaluan. Dengan mengatakan dirinya sepagi itu masih nyekukruk seperti ayam digampar penyakit. Memang, Rena juga mendengar suara kokok ayam berlarian. Mungkin ternak itu berusaha menghindari lemparan kayu. Namun dalam keyakinannya, ucapan ibu mertuanya tidak semata-mata ditujukan pada ayam. Sebab mana mungkin ayam yang tak berakal disodori ucapan dan bentakan seperti itu. Tentu yang dimaksud ibu mertuanya adalah dia yang saat itu masih mendekam dalam kamar. Teringat oleh Rena, kejadian seperti itu bukan satu-satunya yang membuatnya makin membenci ibu mertuanya. Meski perempuan tua itu adalah ibu kandung suaminya yang seharusnya dia anggap sebagai ibu kandungnya juga. Dua hari lalu terjadi pula peristiwa lain yang tak kalah sengitnya. Saat itu Dino, anak Rena yang berumur tiga tahun, bermain kejar-kejaran dengan si Bidin, anak tetangga sebelah. Demi menghindari tangkapan Bidin yang mengejarnya, Dino masuk rumah. Di waktu menutup pintu depan, Dino membantingnya dengan amat keras. Maka ketika mendengar pintu berdentar, ibu mertuanya terperanjat bagai mendengar bunyi petasan. Wajahnya merah padam karena marah, dan dalam pandangan Rena keriput kulit wajah ibu mertuanya tampak makin menyeramkan. ”Eh, bocah kurang ajar. Jangan keras-keras kau banting pintu. Bisa sempal nanti. Kau tahu, ini rumahku, bukannya rumahmu, bukan rumah ibumu. Kau tinggal menempati saja pakai membanting pintu segala.” Saat mendengar ocehan itu, Rena merasakan hatinya seperti dibakar. Ucapan ibu mertuanya ibarat anak panah yang melesat dari busurnya dengan kecepatan tinggi. Sekilas mengarah ke Dino, tapi ternyata berbelok dan menancap di ulu hatinya. Rena yakin, mustahil omongan penuh sindiran itu ditujukan pada Dino, bocah tiga tahun yang belum jelas mengucapkan bunyi tiap-tiap abjad. Bocah itu bahkan belum mampu menemukan perbedaan antara kidal kata sifat dan kadal sebagai kata benda. Pastilah yang dimaksud ibu mertuanya sebagai ”orang yang tak punya rumah dan tinggal menempati saja” adalah dirinya. Sementara Dino hanya cengengesan mendengar celoteh neneknya. Renalah yang merasakan ulu hatinya bagai tertusuk puluhan jarum berbisa. Lambat laun, kebencian Rena pada ibu mertuanya makin menebal. Dia bahkan merasa tak betah lagi tinggal di rumah itu. Hidup satu atap dengan seorang perempuan renta, namun banyak sekali bicara. Rena mulai dihinggapi perasaan muak. Gerah dengan segala tingkah mertuanya yang baginya terlalu mencampuri urusan orang. Hampir tiap hari Rena harus menyiapkan kelapangan dada ekstra. Merelakan diri jadi papan sasaran bagi omelan, ocehan, serta sindiran ibu mertuanya. Begitu bencinya, Rena sampai menduga memang ada susuk emas tertanam di kedua bibir perempuan tua itu. Maka tak heran, meskipun tanpa deretan gigi yang menopang sehingga mulutnya tampak ompong, toh dia masih begitu lincah berujar. Selalu melimpah ruah dalam menumpahkan kalimat. Pernah di satu kesempatan Rena mengadukan rasa tidak betahnya pada suaminya. Namun saat mendengar pengaduan Rena, suaminya hanya tersenyum. Lelaki itu seperti telah mengetahui kenyataan itu. Dan dengan enteng saja berkata ”Ya, namanya juga orang tua, Re. Saya kira di mana-mana seperti itu.” ”Tapi Mas, saya kira ibu sering keterlaluan.” ”Sudahlah. Tak usah diambil hati. Anggap saja ucapannya hanya angin lalu. Aku yakin kau bisa melakukannya. Kau tahu kan, perilaku orang tua itu memang mirip anak kecil. Juga tuntutan dan permintaannya. Bagaimana pun juga dia adalah ibuku.” ”Tapi, kalau begini terus rasanya aku tidak betah lagi tinggal di sini. Ayo kita pindah saja. Kita mengontrak atau apalah, yang penting pergi dari rumah ini.” ”Ah, kamu ini jangan mikir aneh-aneh. Kita punya rumah sendiri kok mau mengontrak rumah.” ”Rasanya aku tidak betah lagi tinggal di rumah ini.” Suami Rena tampak memahami apa yang menjadi akar masalah. Lelaki itu juga tahu, ibunya yang telah renta itu memang banyak omong. Kadang sering mengurus hal-hal sepele yang tak perlu. Namun tidak mungkin dirinya sebagai seorang anak meninggalkan ibunya sendirian di rumah. ”Sabarlah, Re. Aku tahu, ada begitu banyak ketidakcocokan antara kau dan ibu. Aku sadari kenyataan itu. Tapi aku mohon padamu Re, bersabarlah. Jangan kau sodorkan padaku buah Simalakama. Kalau kita pindah dari rumah ini, lalu bagaimana beliau yang sudah setua itu. Siapa yang akan mengurusnya. Ah sekali lagi, sabarlah, please,” ucap lelaki itu memohon. Dan Rena tak bisa berbuat apa-apa. Pernah juga Rena keceplosan bicara. Dia mengumbar masalahnya dengan ibu mertuanya di depan teman-temannya. Rena pikir sesama wanita tak apalah bila dia membicarakan soal itu. Saat itu mereka berkumpul di halaman sekolah taman kanak-kanak tempat anak-anak mereka belajar dan bernyanyi. Seperti biasa, saat anak-anak asyik belajar mengeja dan menyanyi bersama guru mereka, para ibu yang mengantar tak mau kalah. Mereka membentuk kelompok diskusi di luar kelas. Ah, bukan ”diskusi” yang terdengar intelek, tapi sekadar kelompok ngerumpi di antara para wanita pengantar anak sekolah. ”Ah, kalau aku jadi kamu, sudah kusuruh suamiku memilih antara dua pilihan. Apakah mau tinggal terus dengan ibunya atau denganku. Daripada kumpul satu rumah berantem terus sama mertua,” ucap ibu Jeny. Perempuan yang selalu berdandan wah saat mengantar anaknya ke sekolah. ”Betul jeng, biar tidak makan hati lalu bisa-bisa mati ngenes sampean.” Ibunya Agus menambahkan. ”Tapi, aku kasihan pada suamiku. Dia harus menghadapi pilihan yang amat dilematis,” ucap Rena mencoba membantah usul teman-temannya ”Halah! kasihan apanya. Salah sendiri punya ibu banyak cingcong. Ngapain juga kita berkumpul dengannya di satu rumah. Eh, kalau gitu terus, bisa habis dagingmu sebab memikirkan ibu mertuamu, ya nggak Bu Agus?” Mendengar namanya disebut, ibunya Agus mengangguk. Rena makin bingung dalam pusaran bermacam usulan yang dilontarkan teman-temannya. Salah seorang teman Rena yang bernama Monar mengajak Rena sedikit menjauh dari kelompok itu. Lalu setelah menoleh kiri-kanan, Monar membisikkan sesuatu ke telinga Rena Rena mengangguk-angguk saat Monar menjelaskan sesuatu. Begitulah. Hari terus berlalu dan perang saraf antara Rena dan ibu mertuanya pun terus berlanjut. Hingga pada akhirnya, Rena benar-benar kalah melawan diri sendiri. Lapisan kesabaran yang selama ini dia bangun mulai ambruk. Rena terperosok dalam kondisi gelap mata, lalu mengambil keputusan nekad. Dirinya nekad akan melakukan apa yang pernah disarankan Monar. *** Tanpa sepengetahuan siapa pun, Rena mendatangi rumah lelaki itu. Seorang lelaki tua yang kerap dijuluki orang sebagai ’orang pintar’. Seperti juga pernah diceritakan Monar. Di depan orang pintar itu Rena mengadukan masalahnya. Terlebih kebenciannya pada ibu mertuanya yang telah sampai ubun-ubun. Rena memang telah gagal menjalani nasihat suaminya untuk bersabar. Maka di depan lelaki berusia uzur itu, Rena menceritakan niatnya untuk melenyapkan ibu mertuanya. ”Emm, apa kamu serius ingin melakukan itu?” tanya lelaki tua. Rena hanya mengangguk. Dia merasakan dadanya bergemuruh ”Lalu ingin cara yang bagaimana? Maksudku, cepat atau perlahan?” ”Kalau bisa secepatnya Mbah. Saya sudah tidak betah.” ”Heh, ingat! Terlalu cepat malah bisa menimbulkan kecurigaan. Nanti bila polisi membongkar, malah kau akan menanggung risikonya.” ”Lalu bagaimana, Mbah?” ”Menurutku, gunakan cara halus. Meski perlahan namun hasilnya pasti. Tak apa agak lamban, tapi aman. Saya jamin semua akan beres.” Begitulah, saat pulang lelaki tua itu memberi Rena sebungkus serbuk. Dia katakan serbuk itu mengandung zat arsenik mematikan, namun baru bereaksi setelah lewat satu bulan. Setelah serbuk itu bekerja, maka tak akan ada yang tahu bahwa ibu mertuanya mati sebab diracuni orang. Orang akan mengira perempuan itu meninggal sebab usia tua. Saat mendengar orang pintar itu menyebut kata arsenik, Rena sempat teringat kasus kematian seorang aktivis di atas pesawat terbang. Saat orang yang getol memperjuangkan HAM itu bepergian ke negeri Belanda. Ya, Rena pernah membaca berita itu. Orang pintar itu juga berpesan pada Rena agar bersikap sopan dan manis pada ibu mertuanya. Meskipun semua itu hanya sebatas pura-pura. Bahkan jika perempuan tua itu mengomel atau memarahinya. Toh dia akan mati juga. Rena tak keberatan melaksanakan pesan orang pintar itu. *** Tiap pagi dan sore, Rena rajin menaburkan serbuk putih itu dalam makanan yang dikonsumsi ibu mertuanya. Dia juga pura-pura bersikap manis dan sopan pada ibu mertuanya. Seperti pesan lelaki tua itu. Bahkan saat ibu mertuanya mengomel-ngomel atau berteriak marah, Rena menyambut semua itu dengan keramahan dan senyuman. Meski dalam hatinya, Rena ingin segera melihat serbuk itu bereaksi walau belum sebulan. Belum genap sebulan, Rena merasakan ada yang berubah. Sikap ibu mertuanya makin melunak. Perempuan tua itu juga amat ramah dan sopan pada Rena. Tak pernah lagi dia mengucapkan kata-kata kasar atau memperlihatkan sikap yang menyakitkan hati Rena. Karena perubahan itu, kebencian Rena pada ibu mertuanya seperti terkikis lalu longsor. Dan anehnya, Rena menjadi khawatir bila serbuk yang tiap hari dia tabur di atas makanan perempuan tua itu bereaksi. Rena mulai bimbang, hingga akhirnya dia putuskan datang lagi ke rumah orang pintar itu. ”Mbah, sekarang saya kok malah takut bila racun itu bereaksi.” ”Bereaksi? Ah, tidak akan pernah itu.” ”Lho memangnya, Mbah?” Rena belum mengerti ”Sejujurnya, itu bukan arsenik. Tapi penyedap rasa untuk setiap masakan. Dan rupanya serbuk itu telah menaklukkan lidah ibu mertuamu. Pulanglah, kukira masalahmu dengan ibu mertuamu telah selesai.” Rena tak menyangka dengan semua itu. Namun dia bersyukur sebab tak sampai menjadi seorang pembunuh. Meski dirinya selamat dari pengetahuan polisi, namun dirinya tak akan selamat dari vonis nuraninya sendiri. Dan dia mengakui, lelaki tua itu memang sangat pantas serta sesuai jika dijuluki ’orang pintar’. Seperti pernah dibisikkan Monar saat berada di halaman sekolah TK. Gresik 2009
""Lidah""
Sayangnya, ia harus masuk sekolah. Maka pagi ini Manisha terjaga setelah ibunya tak henti-henti menggedor pintu kamar. Ketika membuka mata, cahaya matahari sudah separuh menerangi kamarnya. Ia pun bangkit, melemparkan selimut, lalu mandi dengan sangat tergesa-gesa. ”Itu masih ada sabun di telingamu! Dibilas yang bersih!” bentak ibunya ketika ia baru keluar dari kamar mandi. Dan betapa terkejutnya ia ketika melihat jam dinding, sudah pukul tujuh kurang lima belas menit, padahal ia belum juga mengenakan seragam, apalagi sarapan. Dan seolah sudah bisa menebak, ibunya segera membungkus nasi yang sudah terhidang di meja makan. ”Ini, dimakan nanti kalau istirahat.” Kata ibunya, masih dengan nada tinggi. Manisha mencoba untuk tersenyum sebagai tanda terima kasih, tetapi tak bisa, atau lebih tepatnya, tidak sempat. Sementara itu, ayahnya pasti belum pulang, sebagai satpam bank, ayahnya sering mendapat giliran jaga malam, sangat jarang Manisha menemui sang ayah pagi hari, padahal kalau ayahnya ada, ia bisa bermanja-manja sebentar untuk meminta uang saku tambahan, bahkan ibunya bisa mendadak berubah sabar, tidak berbicara dengan nada tinggi seperti pagi ini. Manisha selesai memakai sepatu, bungkusan nasi hangat hanya dengan lauk tempe itu dimasukkan ke dalam tas, lalu ia pun bergegas meninggalkan rumah. Ia sangat terburu-buru, sampai-sampai uang saku yang telah disiapkan ibunya di atas meja tidak diraihnya. Bahkan, ia tak sempat berpikir adakah pekerjaan rumah apa yang harus disiapkan hari ini. Ia berhambur keluar rumah tanpa sempat mencium tangan atau mengucapkan salam. Ia segera berlari, suara buku-buku terguncang di dalam tas. Ia melewati beberapa petak bunga di pekarangan, lalu menelusuri trotoar yang berpasir. Sebenarnya sekolah Manisha tak begitu jauh, kalau berjalan santai, sepuluh menit saja sudah sampai. Sekolahnya terletak di seberang jalan raya, Manisha hanya harus melewati trotoar, lalu masuk ke sebuah gang, muncul di jalan raya, lantas menyeberang. Namun ternyata, selepas melewati trotoar, di sebuah gang itulah ia mendapat masalah. Di gang sempit itu langkah Manisha terhenti dan memicingkan matanya. ”Sejak kapan ada anjing di situ?” gumamnya. Ia melihat seekor anjing yang sedang meringkuk di sudut gang, tentu saja ia heran, sebab kemarin-kemarin gang itu lengang, ia bisa melenggang bebas sambil menempelkan tangannya pada sepanjang dinding gang yang dingin dan lembab. Tetapi kenyataan berkata lain pagi ini, sudah terlambat masuk sekolah, ada anjing pula. Sepertinya anjing itu sedang tidur. Hewan itu membaringkan dirinya agak jauh di tepi gang sana, Manisha sudah berjalan sampai ke tengah-tengah hingga akhirnya melihat anjing yang sedang menggeletak sangat santai itu, sepasang kaki depan dilipat untuk menopang dagu, dengan mata terpejam, seolah menunjukkan bahwa anjing itu pemalas, tetapi mungkin juga anjing itu sedang kekenyangan, mungkin baru selesai melahap kucing kumal yang memang tak lagi punya harapan untuk hidup. Mungkin sudah beberapa ekor kucing yang diterkam hingga hewan itu tak mampu menopang tubuhnya untuk sementara waktu sehingga kini memilih untuk berbaring saja. Manisha terpaksa berhenti, napasnya masih tersengal setelah berlari di sepanjang trotoar, ia menggaruk-garuk kepalanya, rambut yang sudah tersisir rapi itu kini sedikit berantakan, sekarang ia diam saja, sementara waktu terus beranjak, detik demi detik beranak pinak. Manisha kebingungan, ia berharap anjing itu tidur saja yang lelap. Mata binatang itu memang banyak tertutup, tetapi bukankah pendengaran seekor anjing sangat peka? Ah, betapa sempitnya gang itu. Sepeda motor saja tak bisa datang dari dua arah, harus ada yang mengalah. Manisha menunggu sejenak, berharap ada yang lewat situ untuk memberinya pertolongan, sebab ia tidak mungkin pulang lagi, ibunya pasti marah besar. Terkadang ia menyesal mengapa punya rumah yang hanya bisa dilewati melalui sebuah gang. Sebenarnya dahulu tidak ada gang sempit itu, hanya saja, sejak lahan tak jauh dari rumahnya terkena dampak pembangunan mal, maka gang itu pun terbentuk dari sebuah mal di bagian kiri, dan toko bertingkat yang sudah lebih dulu ada di bagian kanan. Sejak itulah, kalau mau berangkat dan pulang sekolah, hanya gang tersebut jalan terdekat yang bisa dilewati. Sementara kalau lewat trotoar harus berputar terlalu jauh, lama, dan sangat melelahkan. Waktu bergulir pelan tetapi pasti, Manisha semakin kebingungan, ia memandangi hewan yang masih tetap meringkuk di sudut gang. Anjing itu berbulu hitam legam, entah berasal dari ras apa, sepertinya kumuh sekali, kalau lebih diperhatikan, hidungnya berlendir, lidahnya juga terjulur, ada liur yang tak kunjung menetes ke tanah. Jangan-jangan sudah mati? Entah mengapa tiba-tiba Manisha sudah berada lebih dekat dengan anjing itu. Ia melangkah perlahan dalam keadaan setengah melamun, tetapi sewaktu sadar, ia pun kembali menjauh dengan jantung berdebar kencang. ”Kalau begini terus, tidak bisa sampai di sekolah.” Manisha berpikir. Sayangnya, di kamusnya tak ada kata bolos, ia harus tetap masuk sekolah, sebab bolos adalah hal yang bisa membuat ibunya sangat murka, tadi pagi ibunya sudah marah-marah karena ia kesiangan, padahal ia paling takut dengan kemurkaan ibunya. Meski ia tahu ibunya sayang kepadanya, tetapi kalau marah tetap saja mengerikan. Biasanya, ia suka pura-pura tertidur kalau sedang dimarahi, menutupi telinganya dengan bantal agar tak mendengar suara ibunya yang terus-menerus berbicara, dan biasanya pula sang ibu akan menunggu, sampai kapan Manisha bisa sabar untuk pura-pura tertidur, terkadang ia bisa benar-benar tertidur pada akhirnya, terkadang pula tetap tak bisa tidur, hanya bisa menunggu emosi ibunya reda, dan akhirnya, mereka akan saling menunggu, siapa yang paling sabar di antara keduanya. Sudah ratusan kali Manisha dimarahi ibunya, entah karena kesalahan fatal semacam menumpahkan gula dari stoples, atau membiarkan air keran kamar mandi terbuka yang menyebabkan airnya meluber, sampai beragam alasan yang menurutnya mengada-ada. Lama kelamaan, Manisha bisa dikriminalisasi oleh ibunya sendiri. Bahkan gadis itu sempat berpikir bahwa ibunya tidak benar-benar sayang kepadanya. Lebih jauh lagi, pernah terlintas seburuk-buruk pertanyaan dalam otaknya, apakah ia benar-benar anak kandung dari seorang wanita yang suka memarahinya nyaris setiap hari itu? Manisha pernah mendengar tetangga bercerita bahwa ia sebenarnya ditemukan di jalan, menangis dalam kardus yang digeletakkan di tepi trotoar, ada juga yang bilang bahwa ia diambil dari panti asuhan, tetapi ibunya selalu mengatakan itu semua tidak benar, dan ia percaya bahwa para tetangga memang hanya bercanda, apalagi banyak yang berkata bahwa hidung dan pipi Manisha mirip sekali dengan milik ibunya. Meski begitu, Manisha tetap tak mengerti mengapa ibunya suka marah-marah, apakah ibunya mengidap penyakit? Ia terkadang iri kepada kawan-kawan sekelasnya, ia iri kepada Suminten yang suka dibawakan bekal bermacam-macam, ”Ibuku tadi pagi buat roti kismis, besok rencananya mau buat brownies.” Begitu biasanya Suminten akan berbangga-bangga, sementara Manisha cukup diam saja. Ia juga sering iri kepada Nalea, kawan sebangku yang selalu dijemput ibunya sepulang sekolah baik cerah ataupun hujan, sementara Manisha tak pernah dijemput, berangkat sendiri, pulang pun sendiri. Tetapi ia sadar bahwa ibunya memang tidak punya waktu untuk menjemput, ibunya adalah tukang cuci yang setiap hari sibuk berkeliling dusun untuk menerima cucian-cucian kotor. Oleh karena itulah Manisha sudah biasa melakukan banyak hal sendiri. Jadi, kalau ia mendapat masalah seperti sekarang ini, Manisha harus menyelesaikan sendiri. Dan ternyata ia juga lupa membawa jam tangan kecil, ia melihat pergelangan tangannya, hampa, ia tak tahu sekarang sudah jam berapa, ia tak tahu bel sekolah sudah berbunyi atau belum. Ia belum juga ingat bahwa ada dua pekerjaan rumah yang akan dikoreksi hari ini. Ia nyaris tak peduli lagi seandainya Bu Mursleh—guru Matematika berkacamata yang suka bawa camilan ke dalam kelas itu—tiba-tiba mengadakan ulangan mendadak. Sekarang perhatiannya hanya tertuju pada anjing itu. Tubuh hewan itu memang tidak cukup besar. Tetapi bulunya yang hitam legam nan lebat membuat Manisha ngeri. Tentu ia takut digigit, apalagi ia tahu gigitan anjing bisa menimbulkan penyakit, kemarin ia melihat berita wabah rabies yang menelan banyak korban di suatu daerah, siapa tahu anjing ini membawa penyakit yang sama! Manisha menelan ludah, kalau harus digigit, ia lebih suka digigit si Jupritus saja, teman sekelas yang terlampau nakal itu. Kemudian Manisha mengingat sesuatu, rasanya ia pernah mendengar cerita-cerita tentang anjing, entah itu dari kawannya atau mungkin dari ayahnya, ia sudah lupa siapa yang bercerita, ia hanya ingat isinya, semacam teori, bahwa kalau lewat di dekat anjing yang tertidur harus tenang, tidak boleh lari, karena kalau lari anjing itu justru mengejar, sebab langkah kaki yang terburu-buru sangat mengganggu. Tetapi teori itu seperti berbalik di kepalanya, yang terbayang adalah: Kalau berjalan terburu-buru maka anjing itu akan memburunya dengan segera, kalau berjalan tenang maka anjing itu akan memakannya juga dengan tenang penuh kedamaian. Tidak. Tidak. Manisha menggelengkan kepalanya. Ia menoleh ke belakang untuk kesekian kalinya, ia heran mengapa nyaris tak ada yang lewat gang itu. Hanya sosok orang-orang berkelebat saja, tak ada yang berbelok, tetapi ia juga tak mau ibunya tiba-tiba muncul di situ dengan wajah mengerikan. Ia ingin libur dari amarah sang ibu barang sehari—kalau pun bisa, apalagi di gang ini ia tak bisa pura-pura tertidur seperti biasa kalau ibunya tiba-tiba muncul di ujung situ. Manisha mencoba untuk kembali melangkah, berat sekali. Dan semakin dekat, rasa takutnya justru semakin bertambah, apalagi sesekali anjing itu menggeliat, mungkin hewan itu tahu ada yang sedang menunggunya terjaga, mungkin hewan itu senang ada gadis kecil yang memerhatikannya. Itu artinya, Manisha dan seekor anjing sedang bermain kucing-kucingan perasaan. ”Anjing manis, Manisha mau lewat.” Ia mengucapkan kalimat itu seperti doa. Sebab, ia hanya bisa berharap anjing itu pergi dari gang. Cukup itu saja. *** Matahari bergegas naik, cahaya berangsur-angsur terik. Di sebuah gang sempit yang tidak begitu kumuh, seekor anjing sedang tertidur pulas, binatang berkaki empat itu mungkin tengah bermimpi ada di sebuah kebun surga, merebah di pangkuan bidadari jelita. Sementara tak jauh dari situ, ada seorang anak SD yang sudah terlambat sekolah, dia berdiam di situ sebab takut melangkah, dia masih menunggu anjing tersebut pergi, dia mengira hewan mengerikan itu hanya pura-pura tertidur, sama seperti dirinya kalau sedang dimarahi ibunya. (Situbondo, 2009)
""Seekor Anjing Manis""
Tak lagi terdengar Sukro mengerang. Orang-orang kampung berhenti melampiaskan kemurkaan: menganiayanya dengan kayu, batu, dan senjata tajam. Tubuh Sukro terkulai. Seseorang memeriksa detak nadi lelaki setengah baya itu. Tak berdenyut. Tubuhnya tak bergerak. Tapi kebencian orang padanya masih tersungkup sumpah serapah, ”Ayo, tampakkan kesaktianmu, Sukro! Mana buktinya kalau kamu kebal? Hiduplah kembali!” Seekor sapi yang dicuri Sukro berdiri di dekat pembantaian tubuh lelaki setengah baya itu. Pemilik sapi diam-diam meninggalkan bawah pohon trembesi, menjauhi lelaki-lelaki beringas pembantai Sukro. Menuntun sapinya, mencari jalan setapak pulang. Orang-orang lain mengikuti jejaknya. Keriuhan orang di bawah pohon trembesi, dekat kuburan tua, dalam gelap dini hari, surut seketika. Senyap. Udara yang murni, segar, mengapungkan anyir darah yang meleleh di sekujur tubuh Sukro. Tinggal tubuh Sukro—pencuri ternak itu—yang tergeletak di bawah pohon trembesi, dekat kuburan tua dengan makam keramat di atasnya. Di sekelilingnya terserak potongan kayu, bambu, batu-batu, dan ceceran darah di rerumputan gersang. Tak ada gerak. Tak ada napas. Angin mati. Begitu cepat orang-orang menelusuri jalan setapak di rerumputan, melintasi lereng bukit cadas yang tandus, keras, dan senantiasa dikeruk buldoser, diangkat dengan truk ke daerah-daerah yang jauh sejak fajar rekah, sepanjang cahaya matahari tercurah ke bumi hingga jauh larut malam. Masih terlentang tubuh Sukro, melelehkan darah kental. Dari liang-liang luka, darah merembes. Di tempatnya tergeletak, orang-orang tak menyisakan jejak pembantaian. Seekor sapi yang dicuri Sukro telah dibawa pulang pemiliknya, jauh meninggalkan kuburan tua dan makam keramat di sisi bukit cadas yang hampir rata dengan tanah. Dari kejauhan Pak Lurah memandangi pembantaian Sukro. Membuang muka. Geram. Tak mau terlibat. Buru-buru meninggalkan kuburan tua dan daerah bukit cadas yang digempur. Mencari jalan pulang. Tak ingin dilihat orang. *** Tubuh Sukro merasakan getar panas telaga api tanpa tepi. Tubuh-tubuh serupa bayangan, tinggi besar, menyeret tubuhnya yang ringan ke telaga api. Menyiksanya. Mengayun-ayun tubuhnya, hendak menceburkannya ke telaga api. Sukro berteriak-teriak. Meronta-ronta. Tapi lelaki-lelaki bertubuh bayangan itu menyekapnya paksa. Lidah api yang terjulur-julur, serupa debur ombak mengisap tubuhnya. Cahayanya berkilau-kilau dengan warna merah besi berkarat, pekat panas, menyerap tubuhnya untuk menyatu ke dalamnya. Membebaskan diri dari gelombang api yang menjalar, Sukro beringas. Ketakutan, Sukro meronta dari sekapan lelaki-lelaki bertubuh bayangan, tinggi besar, yang memburunya. Menjauhi telaga api. Menghindari siksa. Memasuki kembali tubuhnya yang terkapar di bawah pohon trembesi. Ia terbangun, merintih, menggeliat pedih memandangi kuburan tua. Tak bisa menggerakkan sekujur tubuhnya. Lumpuh. Tanpa kekuatan. Terus merintih. Tubuhnya pedih. Tubuh yang tak berbentuk. Tubuh yang remuk. Hanya suara rintihannya yang terdengar lirih. Napas tersengal. Mata berkedip-kedip. Tak seorang pun mendengar suara rintihan Sukro, ketika pagi rekah. Deru alat berat mengeruk tanah mulai meratakan bukit cadas di sisi kuburan tua. Gemuruh. Truk-truk tanpa muatan berdatangan dan meninggalkan bukit cadas dengan sarat beban batu cadas. Deru truk menenggelamkan suara rintihan lelaki setengah baya itu. *** Lelaki muda buta itu baru saja selesai memijat Pak Lurah, melintasi jalan setapak di celah bukit cadas dan kuburan tua. Ia mengetuk-ngetukkan tongkatnya, mencari jalan yang akan dilaluinya. Telinganya yang peka mendengar suara rintihan seseorang yang tergeletak di rerumputan dekat kuburan tua. Lelaki muda buta itu mencari sosok tubuh yang merintih dengan ujung tongkatnya. Berjongkok. Meraba tubuh Sukro yang berlumur darah. Ia membersihkan darah yang meleleh, memijat sekujur tubuh Sukro, bergemeretak tulang-tulang yang patah diluruskannya. ”Sirih, sirih,” rintih Sukro. Lelaki buta itu usai sudah memijat sekujur tubuh Sukro, yang disangka telah mati. Terdengar Sukro meminta sirih. Lelaki pemijat itu pulang. Memetik daun-daun sirih. Kembali lagi dia dan memberikannya segulung daun sirih untuk dikunyah-kunyah lelaki setengah baya yang terkapar itu. Menahan nyeri tubuh, lelaki setengah baya yang hampir sekarat itu bisa mengunyah-ngunyah daun sirih, pelan, sesekali terhenti. Tidak sampai lumat. Masih tampak sebagai lembaran-lembaran daun sirih yang lentur. Ia meminta lemah, ”Tempelkan daun sirih ini pada luka-lukaku.” Terus-menerus Sukro mengunyah daun sirih. Tidak lumat benar. Lembar-lembar daun sirih yang lembek setelah dikunyahnya, dilekatkan lelaki buta pada sekujur tubuh yang menganga luka. Lelaki buta itu selesai menempel lembar daun sirih lembek ke liang-liang luka di tubuh Sukro. Ia tersenyum tenang setelah tak terdapat lagi liang luka yang dibiarkan mengucurkan darah. Lelaki buta pemijat itu bimbang sejenak. Merenung. Dan ia memutuskan untuk meninggalkan Sukro berbaring sendirian di bawah pohon trembesi. Ia menjenguk lelaki setengah baya yang terkapar itu pada sore hari. Mengantar makan, minum. Tapi Sukro masih belum bisa menelan makanan. Ia meminta minum. Hari kedua barulah lelaki yang terluka parah itu bisa makan beberapa suap. Hari ketiga ia bisa bergerak lebih leluasa. Hari keempat ia tergagap-gagap bangun. Hari kelima ia berdiri tertatih-tatih. Hari keenam ia berjalan terseret-seret. Hari ketujuh ia meninggalkan pohon trembesi. Sore hari lelaki buta datang dengan makanan, minuman, dan pakaian bersih. Sukro sudah tak ditemukannya di bawah pohon trembesi. ”Aku di makam keramat,” seru Sukro, ”kemarilah!” Lelaki buta itu mengetuk-ngetukkan tongkatnya, mencari jalan setapak ke kuburan tua, dan menemukan rumah papan makam keramat. Ia merasa lega, Sukro sudah bisa berjalan, meski terseret-seret. Tapi ia cemas bila pencuri ternak itu dimusuhi orang-orang kampung. ”Kukira kau tak perlu lagi menolongku,” kata Sukro, ”di sini banyak buah-buahan dan tanaman yang bisa kumakan setiap hari. Aku akan tinggal di kuburan tua ini. Kabarkan pada istri dan anakku, mereka tak perlu mencariku.” *** Pelan-pelan lelaki buta itu melakukan perjalanan ke sudut desa, mencari rumah Sukro, dan menemukan rumah yang terpencil di bawah rumpun bambu itu kosong. Istri dan kedua anak Sukro sudah meninggalkan rumah. Lelaki buta itu tak mengerti, kapan rumah itu ditinggalkan. Ia hanya bisa merasakan kesunyian dan kekosongan di dalamnya. Ia bisa mencium aroma tungku perapian yang telah lama tak digunakan memasak. Ia tak mencoba mengetuk-ngetuk pintu rumah yang terkunci. Ia menenteramkan hatinya sendiri. Ia tahu tetangga-tetangga Sukro memandanginya dengan tatapan curiga. Tapi ia tenang-tenang saja. Ia tetap dengan tongkatnya. Mencari jalan kembali ke rumah. Ia merasa telah selesai menolong Sukro, pencuri ternak yang teraniaya di bawah pohon trembesi dekat kuburan tua. *** Sukro tak pernah meninggalkan makam keramat, kecuali subuh dini hari dan lepas maghrib lelaki setengah baya itu menyusuri jalan setapak ke sungai. Tertatih-tatih. Terpincang-pincang. Kaki kanannya terseret-seret. Sepanjang hari ia membersihkan makam. Berkebun di sekeliling kuburan tua. Ia memakan umbi dan buah-buahan dari kuburan itu. Terdapat pohon sirih menjalar subur di samping makam keramat. Ia senantiasa memetik dan mengunyah daun-daun sirih. Sesekali memang peronda malam mengelilingi kuburan tua. Menyorotkan lampu senter ke makam keramat. Di situlah Sukro tidur. Makam keramat itu selama ini tak pernah dikunjungi orang. Kini banyak orang diam-diam mengintai curiga. Meski belum seorang pun berani mendaki kuburan tua dan menjenguk Sukro ke dalam makam keramat, orang-orang yang lewat kadang sekilas memandangi makam keramat itu dengan curiga. Bila menyapukan pandangan ke kuburan tua, tatapan mereka penuh selidik, dendam, dan kebencian. Mereka tak pernah berani menatap kuburan dan makam keramat itu terlalu lama, takut bila Sukro diam-diam menebar ancaman pada keselamatan ternak-ternak mereka. Tubuh Sukro tak pernah mereka lihat dengan jelas. Hanya suara cangkul dan sabit yang terdengar. Kadang terlihat kepulan asap. Ia tengah membakar ubi dalam gemeretak ranting kering dan kayu bakar di sudut kuburan tua. *** Masih pagi ketika Pak Lurah turun dari mobil mewah, bersama seorang cukong dari kota, yang licin kepalanya, berpandangan dingin di balik kacamatanya. Mereka memandangi kuburan tua yang bersih, tak lagi terlihat kesan angker, rimbun, dengan pepohonan liar. Makam keramat itu pun tampak bersih. Menjalar pohon sirih yang segar pada sebatang pohon jambu biji, dengan daun-daun hijau segar. ”Pabrikku akan didirikan dari daerah bekas bukit cadas hingga mencapai kuburan tua ini,” kata cukong itu. ”Perkara ganti rugi makam dan penggusuran kuburan, kuserahkan padamu.” Lelaki setengah baya itu, lurah desa ini, mengerutkan kening. Mengisap rokok. Dan melihat kekayaan di balik bukit cadas dan kuburan tua yang bakal terjual untuk pabrik. Tapi ia segera berkerut. Di makam keramat itu tinggal Sukro. Sesaat ia tersenyum. ”Serahkan semua ini padaku. Ini bukan hal yang sulit,” Pak Lurah meyakinkan. ”Dalam seminggu, semua akan beres.” Mereka kembali naik ke dalam mobil. Tak terlihat asap. Mobil itu pelan-pelan meninggalkan jalan berumput yang menghubungkan kuburan tua, bukit cadas yang rata dengan tanah, dan desa. Dari balik celah papan makam keramat, sepasang mata Sukro memandangi gerak-gerik mereka dengan curiga. Meradang. Sepasang mata yang memendam rasa nyeri penganiayaan. Sepasang mata manusia yang bersembunyi dalam kekeramatan makam, kesunyian, dan alam kematian. Sepasang mata yang terkucil berbulan-bulan, dalam ancaman dan kecurigaan. *** Kegaduhan itu terjadi di kuburan tua, menjelang dini hari. Obor-obor, senter berpancaran di gundukan tanah makam yang bersih, dikelilingi kebun. Wajah-wajah berkilatan. Menampakkan kebencian, kedengkian. Orang-orang berteriak, terus mendaki kuburan tua, ”Maling! Maling! Maling!” Orang-orang susul-menyusul memburu maling ternak. Mereka garang membawa parang, sabit, pentungan, dan senter. Dari empat arah orang-orang desa memburu, mendaki kuburan tua. Kerumunan orang murka terhenti di dekat makam keramat. Sesosok tubuh lelaki berlumur darah tergeletak di sisi makam keramat, diinjak kaki Sukro, yang terus-menerus mengunyah sirih, dan diludahkan pada tubuh lelaki yang diinjaknya. ”Lelaki ini mencuri ternak kalian!” seru Sukro. ”Tanyakan padanya, siapa yang menyuruhnya mencuri sapi membawanya kemari!” Tak jauh dari tubuh yang tergeletak, seekor sapi yang dicuri, sedang dipegang ujung talinya oleh seseorang. Dari gelap kuburan tua mendaki Pak Lurah, berseru, ”Tangkap Sukro! Hajar dia! Dialah malingnya!” Berkacak pinggang, Sukro seperti menantang siapa pun yang mengepungnya. Tak seorang pun yang berani menangkapnya. Bulan sabit memucat, dan kelelawar-kelelawar hinggap di sela dahan trembesi, mencari tempat berlindung. Orang-orang tergeragap, serupa kelelawar-kelelawar yang memerlukan dahan untuk berlindung. Pak Lurah berseru garang, merenggut ujung tali pengikat sapi, dan membentak, ”Sukro inilah pencuri sapi. Tangkap dia!” Ludah sirih yang disemburkan Sukro ke mata kiri sapi, cuah, memedihkan, dan mengejutkan binatang itu. Mata kiri sapi yang pedih, gelap, telah membangkitkan kemarahannya. Binatang itu menyeruduk Pak Lurah. Merobek lambung. Menginjak-injaknya. Tak terkendali. Mengamuk. Sapi itu memburu orang-orang di kuburan tua. Orang-orang berlari. Takut bila mereka terobek tanduk sapi. *** Menjelang fajar lelaki muda pemijat mendaki jalan setapak kuburan tua. Ia telah mendengar kegaduhan semalam. Tubuh Pak Lurah yang berlumur darah baru saja diselamatkan orang-orang desa. Kini ketika kegaduhan itu reda, lelaki muda pemijat mencari-cari Sukro, dan tersenyum mendengar suara lelaki itu, ”Kemarilah! Rawat pencuri sapi ini dengan pijatanmu! Hentikan aliran darahnya dengan daun-daun sirih ini!” Lelaki pencuri sapi itu tergeletak penuh luka dalam perkelahian dengan Sukro. Ia terluka parah setelah diinjak-injak sapi yang dicurinya sendiri. Lelaki setengah baya pencuri sapi itu mengerang kesakitan ketika lelaki buta memijat sekujur tubuhnya. ”Ini orang suruhan Pak Lurah yang mencuri sapi dan membawanya ke kuburan. Dia memfitnahku!” ujar Sukro sambil mengunyah daun sirih. ”Jangan kau benci dia. Rawatlah seperti kau merawatku dulu.” Pandana Merdeka, Desember 2009
""Pengunyah Sirih""
Tangga sempit satu meter menekuk langsung ke lantai dasar, dengan dapur dan jajaran dua kamar mandi bersama. Pengujung lorong yang diapit dua kamar itu: lobi dengan meja panjang penyekat kantor penginapan. Di mana petugas yang renta tanpa gairah menerima tamu, mengurus tetek bengek administrasi nginap, dengan kursi dan meja tamu yang seperti tidak pernah dibersihkan di tentangnya—seperti memberengut malu menyandang debu. Pagi ini ruang dengan pintu tertutup itu sunyi, remang dingin memaksa mengenyak cuma bisa menyulut rokok—meski ingin sarapan, minum kopi dan baca koran. Apa ini ada termasuk wilayah Indonesia bagian barat? gumamku. Penjaga, yang tidur di kamar di sebalik dinding kantor penginapan itu, muncul. ”Bapak mau keluar?” katanya, dengan mulut mengepulkan asap, bergegas membuka pintu—hawa dingin masuk dan gumpalan kabut di luar pekat. ”Mau sarapan,” kataku. Lelaki itu tersenyum. Minta maaf karena penginapan sudah tak menyediakan sarapan lagi—meski bisa menyiapkan kopi. Sekaligus bilang, kalau warung di pasar menunya amat sederhana. ”Kalau mau, ada penjual bubur ayam di depan sekolah, di alun-alun di depan pasar—di bawah pohon beringin. Tidak istimewa, tapi itu bisa menghangatkan lambung. Ini kota mati, Pak,” katanya. Kota sunyi. Jalan beku dalam dingin, udara bagaikan menyublim di awal hari, dengan serakan sampah kuyup dalam remang yang enggan terang. Meski jarang, ada terlihat yang bergegas, menuju ke alun-alun di depan pasar, yang juga terminal tidak resmi, dengan masjid, kantor kecamatan, dan sekolah di utara. Bidang terbuka dengan beringin di pojok tenggara—tiga pojok lain bersih. Kata kernet yang menunjuk arah ke penginapan, semalam, dulu keempat pojok itu ditumbuhi beringin. Ke titik mana, dari pertigaan dekat penginapan, aku lurus—tanpa susah payah memasuki pasar yang terlihat biasa itu. Mengenyak ke bangku, sambil minta menu bubur lauk telor—tanpa sambal. Menunggunya mendingin sambil menghabiskan rokok. ”Bapak orang baru?” ”Saya menginap di Wisma Aqli.” ”Maaf, Bapak dari gunung atau mau ke gunung?” Aku tertawa. Terbayang: kemarin, dari Cirebon, aku turun di Majalengka untuk ashar, iseng ke Maja dan pergi ke entah—memburu maghrib dan isya—dengan naik colt bangkotan yang ditawarkan sebagai yang penghabisan itu. Memang ada berapa angkutan—tanyaku. Si kernet bilang, ada tiga buah colt yang bergerak serentak pagi-pagi, dua dari sini dan satu dari Maja, terakhir dua dari Maja dan satu dari sini—yang tetap harus berangkat meski nyaris tanpa penumpang, ngangkut warga yang ke Maja. Semua nyaris ada dalam ikatan duduluran. Aku tersenyum. Bisa jadi aku ini penumpang asing yang senantiasa diharapkan, pikirku, sambil mengenyak—yang datang sebagai rezeki tak terduga angkutan terakhir. Dan semalam aku terjebak di sini. Celingukan tak bisa ke mana-mana lagi karena tak ada kendaraan ke mana pun dan si kernet menunjukkan jalan ke penginapan yang nyaris tanpa tamu itu. ”Kenapa ada penginapan di kota sesunyi ini?” kataku. Si penjaga lelah itu bilang, masih ada desa-desa dan kampung-kampung di pegunungan. Nun, sehingga sesekali ada yang kemalaman, tidak mungkin meneruskan perjalanan pulang, atau ketinggalan angkutan penghabisan ke Maja, dan ia terpaksa menginap. ”Bisnis yang sepi,” kataku, ”Tidak setiap hari ada tamu,” kataku. Si penjaga mengangguk. Bilang, bisnis hotel ini merupakan cara halus menjaga tali silaturahmi. ”Meski tidak setiap hari ada tamu,” katanya, menguman. Ya! Dan di menjelang jam 22.00 yang senyap itu, semalam di dalam bingung—sewa kamar harus dibayar di muka—saat tahu tak ada kios ATM untuk ambil uang: si lelaki penjaga itu bilang ada kantor pos di kompleks kecamatan. Ke mana sesungguhnya sekarang aku menuju. Untuk memulihkan persediaan dana setelah hanya cukup untuk sarapan dan ongkos balik ke Maja. Nanti setelah dzuhur. ”Iraha pos teh buka?” Si penjual bubur tersentak, lantas bilang: paling cepat jam 8.30—seharusnya jam 8.00. Aku melirik arloji. Sambil menyuap memperhatikan anak yang berdatangan dini dengan tangan terlipat di dada dan langkah pelan gemetaran—dipaksa etika sekolahan: harus mandi pagi. Atau mereka terbiasa cuci muka tanpa sikat gigi? Aku tersenyum—teringat anak di Soreang. Terhibur. Meski mungkin lebih karena aku punya wesel pos wisata sebesar dua ratus lima puluh ribu. Cukup buat berjalan-jalan tanpa harus bergegas ke Maja, atau langsung mencari ATM di Majalengka—lantas ke kantor pos beli wesel pos wisata. Siap buat tercangkul di kota pengujung dari jalan lain, dan siap untuk—akhirnya—menemukan kampung yang tak dicatat peta itu. Nanti. Sekitar sebulan, setiap berangkat kerja dengan duduk abai di kursi belakang: aku selalu melihat lelaki bergamis putih itu di perempatan. Ia tersenyum—yang sinyal lampu lalu lintasnya selalu merah ke arah kami. Kemudian ia setia mengetuk jendela, berulang-ulang—sampai akhirnya aku membuka celah. ”Kenapa?” kataku. Ia senyum. ”Saya mau membantu Anda, dengan menerima utang zakat Anda, Tuan,” katanya. Aku menyeringai, bilang aku pembayar pajak yang patuh. Dan si lelaki bergamis putih itu membungkukkan badan, mundur mempersilakan—lampu lalu lintas berubah warna. Setelah itu aku digoda mimpi aneh. Ada di restoran kecil yang sepi pengunjung, entah di mana, menikmati segelas kopi, nasi goreng dan telor ceplok—tanpa koran dan rokok. Sendiri di kota yang sunyi nyaris tanpa penghuni, yang mungkin hanya dihuni si lelaki tua yang melayaniku makan. ”Apa nama kota ini?” Si tua melirik, ”Tungtung Tenjo!” Aku menelan ludah, ”Apa nama restoran ini?” Lelaki itu menarik napas lelah. ”Panyawangan!” katanya. Aku bergegas menghabiskan makanan yang tidak enak itu dan bangkit mau membayar. Tapi tak ada uang di saku. Aku tergagap. Si tua senyum. ”Sudah. Enggak apa-apa,” katanya. Aku mengusap mulut dengan telapak tangan kiri, aku terbata-bata bilang—dengan kesungguhan setara sumpah: aku tak sadar bila saat masuk ke restoran dan memesan makanan itu aku tak punya duit, karenanya tenang menikmati makanan dan bertanya ini-itu. ”Saya bayar dengan tenaga. Kerja apa saja.” ”Enggak perlu. Kau tahu: semua ini jodoh, skenario Allah yang mempertemukan kita di sini, dengan beban takdir kita masing-masing. Aku yang berjaga, meski di kota ini tinggal aku seorang yang masih hidup, menunaikan kewajiban membuka restoran, nyadikeun menu sederhana bagi yang mampir—kamu. Tamu pertama dalam rentangan lima tahun. Kamu dengan beban harus mengunjungi tempat ini, spontan masuk tanpa sadar tak punya uang dan digariskan memesan makanan dan kudu menanggung malu. Haruskah kamu malu? Haruskah aku jadi yang ditipu, dipermainkan, serta menuntut? Tidak! Semua diatur di Lauhulmahfud. Kita ini hanya boneka, harus ikhlas menerima skenario, mensyukuri yang terjadi. Menghirup wangi napas-Nya saat kehendak-Nya jelma. Lupakan aku, cari Dia, nanti kita bertemu lagi,” katanya. Kami bertatapan. Bersalaman. Pamitan. Jalan ke pintu. Menariknya, dan aku pun mendusin. Terjaga. Apa makna semua itu? Kapan itu akan terjadi? Di mana adanya kota yang penuh bangunan tak berpenghuni itu, dengan jalan aspal yang mulus meski sempit itu, dengan seembusan angin yang lembut, geriapan pohon dan bunyi kersip daun tersibak di tengah cecuitan tajam burung itu, dan keheningan yang seperti tak tergoyahkan itu? Kota sejuk. Kota teduh. Kota damai tanpa kegopohan. Kota yang memanggil untuk ikhlas bersyukur dan tenang dalam dizikir. Baru setelah mimpi itu terulang hampir setiap malam selama setahun full: aku memutuskan harus mencari dan menemukannya. Meski tidak bisa segera karena aku harus menyiapkan orang-orang yang harus mengambil tanggung jawab atas keputusan besarku: menanggalkan identitas kepemilikan atas delapan perusahaan besar, dan satu istri dengan tiga anak. Semuanya menentang. Orangtua. Mertua. Saudara. Keluarga. Relasi. Tetangga. Semuanya. Semua menyebutku si gila—bahkan ada yang menyebut aku sok jadi Jalaludin Rumi. Tapi aku rindu bertemu si lelaki tua itu. Sangat merindu. Dan baru di tiga tahun lalu aku bebas. Setelah susah payah melatih istri menjadi komisaris di enam perusahaan—yang dua dijual dan uangnya didepositokan. Pamitan—sangat bersusah payah dan malah balik mendapat banyak nasihat keduniawian yang jempolan dan masuk akal sehat berniaga—kepada semua orang, dan terutama kepada anak-anak. Dan setelah lebih banyak mengabaikan rasionalisasi bisnis banyak orang: aku mulai mengembara mencari kota tidak berpenghuni tapi punya restoran—dan yang entah berada di mana itu. Ya! Tapi apa bukan ilusi? Aku, karenanya, berulang-ulang, shalat istiharah. Tiga tahun ini aku pergi ke udik di pengujung jalan, kota kecamatan yang ada restorannya, di pelosok Banten. Lantas pelosok Sukabumi, Garut, Tasik, Banjar, dan Ciamis. Memutar ke Cirebon lewat Kuningan. Bergerak ke Majalengka, menyelinap ke Maja, dan naik colt entah ke kota apa, ke tempat yang sunyi dan dingin berkabut ini. Tersuruk dengan sepiring bubur kental yang diberi bundaran telor utuh, remukan kerupuk diseling biji kedelai goreng, irisan bawang, dan kecrut kecap. Membuat segala yang putih jadi coklat pudar. Menyuapkan dan lembut merasakan larut resapan rasa di lidah, membangkitkan nikmat yang spontan dibalas dengan syukur—Alhamdulillah. Ada sentuhan di bahu. Ada sapaan salam. Aku tersentak. Bergegas membalas sapaan dari si tua dalam mimpi yang mendadak muncul dan suaranya melekat dalam ingatan dan rindu itu. ”Kau sudah sampai,” katanya. Aku bersyukur. Meletakkan piring. Bangkit mau mengikuti ajakannya. Tapi cuma bangkit—tersentak oleh jerit si tukang bubur. Aku melirik. Tubuh terbanting ke tanah yang padat berkerikil di bawah beringin. Aku tertegun. Lalu bergegas mengikuti si tua dalam mimpi itu, yang berseru memanggil, mengajak bergegas. Kami melangkah, mengikuti jalan gaib di sisi utara masjid barat alun-alun. Menanjak. Naik. Naik. Nun. Fokus ke titik kiblat. Nun. Catatan: bangkotan: sudah sangat tua, rongsokan duduluran: sistem usaha persaudaraan iraha: kapan Tungtung Tenjo: titik akhir/ujung pandangan Panyawangan: pos pengamatan nyadiakeun: menyediakan kudu: harus, wajib cecuitan: suara suit burung yang tajam, nyaring, dan berulang-ulang kecrut: percik
""Rumi""
Aku pergi masih membawa botol bir yang isinya tinggal seperempat. Empat bulan ini rasanya hidupku berada di neraka. Maksudku, selama tujuh tahun usia perkawinan kami dan empat bulan ini adalah puncaknya. Itulah kebenarannya. Aku memang pecundang. Atau mungkin benar kata ayahku bahwa aku adalah manusia pembawa sial. Pertama ibuku. Ia meninggal saat melahirkanku. Dokter membelah perutnya, hal yang tak akan pernah dilakukan seorang dukun gila sekalipun jika bayi tak mau keluar dari perut ibunya. Sejak saat itu ayah membenciku dan dokter. Tatapan matanya seperti gagak yang lapar setiap memandangku. Dan, tentu kau tahu bagaimana reaksi ayahku ketika aku mengutarakan cita-citaku untuk jadi dokter? Ah, tidak sesadis itu, kau terlalu berlebihan kawan. Begini, dengan lembut ia bilang bahwa aku memang ditakdirkan menjadi seorang pembunuh sejak hari pertama dilahirkan dan sebelum cita-citaku menjadi pembunuh ”profesional” itu terlaksana, ayahku berjanji akan membunuhku terlebih dahulu. Aku tak marah atas perlakuannya padaku. Sebagai seorang anak, aku tetap mencintainya, bahkan saat ayahku mulai tak rasional dan berangsur-angsur menjadi gila karena tahu dengan diam-diam aku masuk fakultas kedokteran, alih-alih kuliah bisnis seperti permintaannya. Tapi, tunggu dulu, jangan buru-buru menyalahkanku atas kegilaannya. Aku bukan dokter. Aku masuk jurusan gizi di fakultas kedokteran. Aku ingin jadi ahli gizi, seperti kau lihat di sekelilingmu, penyakit memalukan semacam busung lapar itu masih menganga di negeri ini. Jadi, dalam kasus kegilaan ayahku ini aku tidak dapat dipersalahkan begitu saja. Ini hanya masalah sepele, yah, hanya salah paham. Begitu saja. Seperti tawuran yang sering terjadi di kampung-kampung saat ada dangdutan hingga memakan korban jiwa. Sepele, kan? Tentu itu bukan salah penyanyi dangdut yang goyangannya mampu menimbulkan gempa bumi dan merobohkan rumah tangga yang konstruksinya memang rapuh. Seperti yang melanda perkawinan kami. Awalnya kami bahagia. Aku mengenal istriku sebagai gadis yang menyenangkan. Sungguh setiap kali aku melihat lesung pipitnya kala ia tersenyum, oh, Tuhan, aku merindukan saat-saat itu lagi. Saat ia tak henti-hentinya bicara dan terus bicara dari jok belakang vespa biruku kala kami menuju pantai menikmati rona senja. Senja selalu merona serupa wajahnya yang menyimpan malu karena rayuan mautku. Dan, di pengujung tenggelamnya matahari itu aku mencium bibirnya yang semanis madu. Sungguh tak ada yang lebih menyenangkan selain kenangan, begitu pun sebaliknya, tak ada yang lebih menyedihkan selain kenangan. Aku jadi ingin menangis. Boleh, kan, laki-laki menangis? Kau pernah menangis? Aku sering menangis akhir- akhir ini. Tapi, aku bersyukur karena Tuhan menciptakan kenangan. Maksudku Tuhan memberikan kenangan dalam bentuk kertas putih karena bagaimana pun juga kitalah yang mengisi kenangan itu. Aku bersyukur karena kertas putih itu. Hanya itu kan yang bisa kita ziarahi setelah kita tak bisa kembali lagi pada sebuah kenyataan? Maafkan kesentimentilanku, kawan. Tapi, bukankah setiap manusia lebih dari sekali bersikap seperti itu? Aku tak ragu lagi tentang hal itu. Bagaimana denganmu? Kau punya istri cantik seperti istriku? Istriku itu cantik, kawan, aku yakin jauh lebih cantik dari istrimu. Rambutnya tidak lurus, tapi keriting mendekati ikal, ia terlihat menyenangkan dan anggun dengan rambut seperti itu meskipun aku tahu ia tetap cantik dengan rambut lurus seperti yang kulihat saat rambutnya masih basah seusai mandi. Bau tubuhnya yang harum mengundangku untuk mendekatinya lalu berbisik di telinganya bahwa betapa terkejutnya aku setelah menyadari menikahi seorang bidadari. Tak butuh waktu lama untuk membuat handuk yang melilit tubuhnya terlepas dan kami saling memagut dan menggapai satu sama lain. Tapi, sekarang kau tahu, kawan? Kami, bahkan, jarang bicara kecuali dengan bahasa-bahasa kasar dan ucapan-ucapan setajam pisau. Aku tak ragu lagi untuk berkata bahwa kami siap untuk saling membunuh satu sama lain. Meski kami tidur masih dalam satu ranjang, sebenarnya di antara kami, yang mungkin bagimu hanya berjarak sejengkal, terdapat tembok kokoh yang menghalangi kami untuk saling menatap dan bertanya bagaimana kabarmu hari ini. Salah satu dari kami akan pergi tidur lebih dulu sedangkan yang lainnya pura-pura menonton acara televisi atau membaca koran selama satu atau dua jam hingga merasa yakin salah satu dari kami sudah tertidur pulas. Hujan memang telah lama tak lagi turun di ranjang kami. Bagaimana dengan ranjangmu? Apakah istrimu masih menggairahkanmu? Istriku sekarang berusia 32. Masih cantik. Terkadang memang riasan wajahnya yang luntur sepulang ia bekerja membuatku sadar bahwa itu membantu istriku menyamarkan kesegaran wajahnya yang mulai berangsur berkurang. Tapi, sejujurnya ia adalah perempuan tercantik yang pernah kukenal sampai hari ini. Sewaktu kami masih pengantin baru ia tidak langsung mencuci muka, kau tahu, ia langsung memelukku. Saat seperti itu tak pernah kami sadari bahwa kami sedang bahagia. Sering kali tak ada percakapan, hanya kepalanya yang bersandar, tapi tak diragukan lagi, itu masa-masa paling bahagia bagi kami. Aku membayangkan kami akan selalu begitu hingga rambut kami memutih dan saling merasakan betapa kulit kami yang bersentuhan terasa bagai daun-daun kering. Tapi kenyataan berkata lain. Bagaimana dengan kenyataanmu? Apakah kau masih bahagia, kawan? Kalau aku tidak. Ini bermula, ah, maaf, aku pun tak tahu pasti dari mana permulaannya. Dugaanku, sejak kami lupa mengucapkan selamat pagi saat bangun. Kebiasaan lupa itu berlanjut ketika istriku memutuskan untuk pergi ke Jepang melakukan sebuah penelitian. Dua bulan lamanya. Seingatku ia hanya sekali meneleponku saat ia berada di rumah sakit, mengabarkan bahwa ia keguguran. Satu-satunya calon bayi kami. Kami tak pernah membahas itu lagi. Terlalu menyakitkan. Aku juga takut jika ia hamil lagi akan bernasib sama seperti ibuku. Kami tahu kami menginginkan bayi, tapi kami menundanya. Entah sampai kapan. Akhirnya malam yang buruk itu terjadi. Aku mabuk. Dan, penyanyi dangdut yang selama kampanye pemilu terakhir sudah berkeliling Nusantara bersama partai pemenang pemilu mengantarku pulang. Kami berkenalan secara tak sengaja ketika aku bertugas di sebuah kabupaten di timur Jawa selama seminggu. Sekarang ia telah terkenal. Malam itu kami bertemu di sebuah kafe secara kebetulan. Bahkan, kami tak membicarakan apa pun. Karena kebaikan hatinyalah ia mengantarku pulang berbekal kartu namaku. Bukan salahnya jika ia menduga aku belum berumah tangga. Aku tak memakai cincin kawinku malam itu. Apakah kau akan mengatakan hal itu sebagai perselingkuhan? Aku tahu kau tidak akan mengatakannya demikian. Tapi, tidak dengan istriku. Ia membanting pintu tepat di depan wajah perempuan baik hati yang telah memapahku hingga di depan pintu rumahku. Itu bentuk kesopanan seorang istri yang cemburu buta, kata istriku dengan pongah. Kegilaan istriku semakin menjadi. Ia, bahkan, berani menyuruhku untuk membuka mata lebar-lebar bahwa aku telah mengabaikannya. Dalam seminggu ini setidaknya ada sepuluh kesalahan fatal yang telah kuperbuat, salah satunya aku membiarkannya kedinginan di halte bus karena asyik menonton siaran langsung sepak bola di televisi hingga lupa menjemputnya. Lalu, ia mengatakan betapa menderitanya ia selama menikah denganku. Kau percaya jika ia telah menjadi satu-satunya korban dalam perkawinan kami? Bukan dia, tapi aku. Aku adalah salah satu pria yang dijajah wanita masa kini. Beberapa bulan ini ia tak mau lagi kusentuh. Barangkali ia mengira aku laki-laki kotor yang najis untuk menyentuhnya. Tapi, aku masih memiliki kesabaran jika ia tak lagi menganggap penting gairah. Termasuk ketika aku yang harus mencuci piring sisa makan malam, menyapu rumah setiap pulang dari kantor, menyiram bunga dua hari sekali. Aku tertekan. Dan, alkohol adalah teman yang tepat ketika kau mengalami hal demikian. Tapi kesabaran ada batasnya, bukan? Apalagi jika kau dianggap tak lebih dari seekor anjing! Oh, maaf. *** Itu ayahku. Laki-laki yang sedang berbicara dengan seekor anjing. Binatang itu mengerti kesedihan yang sedang dirasakannya. Setiap orang yang mendengar lolongan sang anjing pasti tahu bahwa itu berasal dari kesedihan yang paling gelap, dari rawa-rawa kemalangan yang suram. Ayahku adalah laki-laki menyedihkan. Tanpa sadar ia telah menganggapku sebagai sumber tidak harmonisnya hubungannya dengan ibu. Sejak kematianku mereka mengalami komunikasi yang buruk, bahkan lebih buruk dari percakapan dua orang bisu sekalipun. Mereka membiarkan diri mereka menderita dan saling menyiksa satu sama lain. Betapa bodohnya ayahku, bahkan ia tidak tahu bahwa baru satu jam yang lalu sebuah mobil menabraknya ketika ia berjalan sempoyongan di jalan raya. Saat ini ketika ia tengah berkeluh kesah pada seekor anjing, jenazahnya sedang dalam perjalanan ke rumahnya. Sementara itu, di rumah ibu sedang memandang foto pernikahan mereka yang tiba-tiba terjatuh hingga membuat ibu terbangun. Ibu menangis, menyadari bahwa ia begitu mencintai ayah, menyesali kebodohan-kebodohan yang mereka lakukan hingga menyebabkan ketidakbahagiaan perkawinan mereka. Untuk pertama kalinya sejak bertahun-tahun setelah kematianku, ibu ingin menyandarkan kepalanya di dada ayah. Ia begitu rindu. Sungguh-sungguh rindu dan ingin memberikan sebuah kejutan pada ayah atas kehamilannya serta meminta maaf atas ketidakstabilan emosinya. Itu calon adikku, ibu sangat menyayanginya juga menjaganya agar tak bernasib sama denganku karena itulah ibu selalu menolak ketika ayah menyentuhnya. Ah, sebentar lagi jenazah ayah sampai dan aku ingin memeluk ibu. Aku ingin menghapus air mata dari pipinya.
""Kenangan Perkawinan""
“Ini warna dari negeri bulan,” katanya. Bulan yang diam. Aku pun mengangguk, mengiyakan sapanya. Sebuah negeri yang aneh pikirku. Laki-laki itu seperti membaca pikiranku. Tangannya kemudian menyentuh ujung jariku, diciumnya dengan lembut satu per satu jariku seperti mengeja huruf-huruf yang berdetak dalam dadaku. ”Negeri bulan itu indah sekali, Sayang. Kamu harus ke sana, aku temani kamu.” Laki-laki itu pasti pengkhayal. Negeri bulan pasti tidak ada. Aku memang tidak suka khayalan. Karena bagiku khayalan seperti gelembung-gelembung sabun yang rapuh. Ketika kita meniupnya, gelembung itu memancarkan warna-warna yang membuat hati kita percaya bahwa harapan itu akan selalu membesar setiap kali kita meniupnya. Kita akan meniupnya semakin besar dan melepasnya ke angkasa. Ketika angin mengajak gelembung itu makin ke atas, kita pun makin riang dan mulai memercayai bahwa harapan kita akan selalu mendapat jawabannya. Pyarrr! Ketika gelembung itu pecah, sebuah kosong yang hampa tiba-tiba menjadi seperti seorang diktator yang tiba-tiba menjajah hati kita. Aku benar-benar benci khayalan. Sungguh. Lelaki itu tetap tersenyum. Tangannya bergerak ke arah langit, seperti sebuah puja yang tak putus untuk semesta. Dia tetap diam sambil sesekali sinar dalam tubuhnya berkejap seiring suara detak. Aku percaya sinar itu adalah sinar jadi-jadian. Dia duduk tepat di sampingku. Kedai itu mulai sepi. Sisa-sisa bau arak para penabuh gong bertebaran di mana-mana. Digesernya tubuhnya mendekat ke arahku. Aku mencium bau tubuhnya. Bau itu begitu gelisah, meruap sampai ke lorong-lorong kedai itu. Kegelisahan yang mulai beranak-pinak dengan berbagai kemarahan. Lelaki itu terus memancarkan cahaya yang aneh dari tubuhnya. ”Kamu ngapain malam-malam di kedai ini? Ini tempat para pemuja malam atau kamu pemiliknya?” dia bicara kepadaku sambil mulutnya tak henti mendesis seperti suara ular dengan gumam yang tak jelas. Separuh tubuhnya berdenyut secara konstan. Sinar dari dalam separuh tubuhnya itu seperti memberi berbagai macam ruang rasa, kadang aku liat dia begitu kesakitan dengan cahaya-cahaya itu, tapi kadang dia begitu menikmati setiap kerlip cahayanya. Tubuh yang benar-benar aneh. ”Ha-ha-ha kamu takjub kan dengan tubuhku? Kamu pasti menebak-nebak bagaimana aku bisa punya tubuh seperti ini. Sudah enggak usah gengsi untuk mengiyakan. Aku benar-benar tahu kamu sangat terpesona denganku.” Sialan, benar-benar narsis. Bagaimana dia bisa membaca pikiranku? Tapi dia benar-benar kurang ajar, karena yang dia katakan itu sangat benar. Aku benar-benar tak kuasa menolak separuh tubuh yang bersinar itu. Dia makin merapat dan aku pun berdetak. Tangannya dengan lembut mulai membelai belakang tubuhku. Seperti sihir raksasa, aku pun mulai menggerakkan tanganku dan menyentuh tubuhnya. Seperti masuk dalam kerajaan awan, tubuh itu begitu lembut dan hampir tanpa tulang. Cahaya itu terasa dingin. Aku tersentak, rasa di dalam tubuh itu tak asing bagiku…. Rasa sepi yang dari dalam nadinya tumbuh bercabang berbagai pertanyaan. Benar, cabang itu seperti jaring laba-laba yang tak berujung. Pertanyaan-pertanyaan yang sering sangat nadir. Ah, laki-laki ini tidak seajaib yang aku kira. Dia hanya lelaki seperti para lelaki yang biasanya mampir di kedai ini. Lelaki-lelaki yang mengawini rasa sepi. Kesepian yang menasbihkan dirinya menjadi Tuhan bagi malam-malamnya. Anehnya aku selalu merasa jatuh sayang dengan lelaki-lelaki itu. Mereka seperti anak kijang yang tersesat di tengah malam. Begitu rapuh dan lembut meski mereka selalu berusaha mati-matian sekuat tenaga menjadi raksasa-raksasa dengan seringai yang menyilaukan. Aku pun sering kali berpura-pura takut dengan seringai itu, padahal aku selalu sangat ingin memeluk anak kijang jadi-jadian itu dengan dadaku. Meski demikian anehnya, aku selalu punya keinginan anak kijang jadi-jadian itu menjadi raksasa-raksasa sungguhan, meskipun aku tahu setelah mereka menjadi raksasa, mereka akan melumatku hidup-hidup, mengunyahnya dan akhirnya melemparkan tubuhku yang setengah hidup itu ke tepi jalan. Tubuhku yang terpecah-pecah itu tidak pernah benar-benar mati, tubuhku akan dengan sendirinya bersatu kembali. ”Mengapa kamu datang ke kedai ini? Tidak ada satu pun yang menarik dari kedai ini. Bahkan aku pun tidak bisa lagi menjadi penabur birahi yang baik buatmu. Lihatlah tubuhku sudah separuh cacat. Berkali-kali anak-anak kijang yang menjadi raksasa itu melumatku, memamahnya dan memuntahkannya begitu saja.” Kucatat pertanyaanku itu di dalam hatiku saja. Aku benar-benar takut untuk bersuara terhadapnya. Cahaya tubuhnya terlalu menyilaukanku. Kami benar-benar terdiam dalam sepi yang berpesta dalam ruangan itu. Satu per satu para lelaki di kedai itu mulai pergi, hanya ada satu dua saja yang masih enggan untuk berpamitan dengan sepinya untuk kembali pulang. Lelaki dengan tubuh separuh bercahaya itu bergeser sedikit ke arahku, tiba-tiba dipalingkannya wajahnya tepat di samping telingaku. Seperti sihir, kepalaku menoleh tepat di depan kedua matanya yang begitu hitam. Seperti labirin menuju bawah tanah yang tergelap. Aku terpaku begitu saja di depan mata itu. Ruang-ruang di antara sekat-sekat jantungku merongga luar biasa dan di antaranya mengalirlah darahku yang berwarna merah jambu. ”Aku menyukai matamu.” Labirin di dalam matanya bersuara lirih. Aku tertawa terbahak menyembunyikan jengahku. Pasti mukaku memerah seperti buah plum yang telah masak. Aku mengejap untuk menghindar dari serbuan warna hitam yang pekat dari mata yang bernuansa nujum itu. Ribuan dentam di dadaku berdegup oleh satu kalimat yang sebenarnya sering sekali kudengar dari para lelaki yang menuai taburan birahiku. Selalu seperti sebuah entah, mata yang pekat itu menyimpan satu kejujuran yang membuatku sangat nyaman menikmati mungkin sebuah kebohongan lagi. ”Ha-ha-ha-ha-ha terima kasih, Sayang. Awas kamu jangan jatuh cinta dan jangan rindu aku setelah pulang nanti ya,” seperti sebuah hafalan yang begitu biasa meluncur dari mulut penari-penari malam sepertiku mencoba untuk menghindar dari degup karena mata pekat itu. Sebuah nyeri menyergap tiba-tiba karena aku tahu aku amat sangat berbohong dengannya. Aku benar-benar ingin dia selalu merinduiku. Meski untuk sebuah rindu yang entah. Mungkin aku telah melanggar aturan. Sebagai penari malam, aku hanya boleh bergerak mengikuti irama malam. Setiap keringat adalah bunyi dan setiap lenguh adalah ritme dari desah rasa sepi yang begitu menyengat para lelaki pemuja malam. Seperti yang sudah tertebak, lelaki itu hanya tersenyum. Mata itu tetap pekat. ”Kamu benar-benar tidak ingin tahu tentang negeri tempat aku datang?” Mata itu mulai merajuk. Tangannya terus membelai punggungku dan tubuhnya yang gelap tanpa cahaya semakin pekat, sedangkan separuh tubuhnya yang bercahaya semakin gemilang. Satu paradoks yang luar biasa aneh. ”Mengapa kamu begitu ingin aku bertanya tentang negerimu?” ”Karena aku ingin kamu datang secepatnya ke sana.” ”Sekarang?” ”Iya, secepatnya. Tidak ada waktu lagi.” Waktu yang diam. Pepat tanpa suara. Waktu pun berdetak. Detak itu dari jantung kita sendiri. Seperti tarian-tarian awan, waktu pun bergerak dengan semena-mena. Membentuk gambar-gambar peristiwa yang tak pernah jelas. Waktu hanya ada di dalam pikiran. Aku pernah berpikir bahwa jika aku bisa menghentikan pikiran, aku akan bisa menghentikan waktu. Alangkah bahagianya jika itu terjadi. Aku akan bisa memilih waktu bagi kemudaanku. Waktu selalu akan bisa berpora dalam diamnya. Lelaki itu terus menatapku dalam pekatnya. Separuh tubuhnya yang bersinar semakin menyilaukan. Bibirnya terkatup rapat dan digerakkannya ke arahku. Ciuman dalam cahaya. Begitu aku menyebutnya saat itu. Aku mulai menebak. Mungkin dia malaikat yang terjatuh dan ciuman itu akan membuatnya menjadi malaikat utuh kembali sehingga dia bisa mengepakkan sayapnya dan berlari menuju tempat di mana asal matahari tanpa takut terbakar seperti Ikarus yang malang. ”Kamu malaikat jatuh?” Lelaki itu terbahak hingga hampir saja dia terjungkal dari sampingku. Senyumnya membelai rambutku. Jari-jariku pun kembali dikecupnya satu per satu dan mata pekat itu kembali menatapku dengan sihir yang tetap memukauku. ”Sama sekali tidak, Sayangku. Malaikat jatuh tidak akan bercahaya tubuhnya. Dia tidak lagi memerlukan cahaya karena dia telah menukarnya dengan tempat di mana warna apa pun tidak akan pernah terlihat. Gelap.” Jawaban lelaki itu melegakanku sekali. Artinya masih ada harapan dia seperti lelaki-lelaki pengunjung kedaiku. Lelaki-lelaki yang selalu mengisi malam-malamnya dengan nyanyian-nyanyian sunyi yang memekakkan. Bibir lelaki itu masih amat sangat dekat dengan bibirku. Tercium dengan jelas detak jantungnya lewat hembusan nafasnya yang menderu. Perlahan kuberanikan diri membelai rambutnya dengan tanganku yang terus terang sedikit gemetar. ”Mengapa kamu datang?” Tiba-tiba dada ini meruah dengan kepedihan yang pekat ketika kutanyakan itu. Aku pun tersekat. Aku tahu sebuah perih yang akan pasti menjadi penghuni baru ruang-ruang bernafasku sedang setia menunggu giliran untuk menempatinya. Sebuah kebodohan luar biasa dan aku rela menjadi bodoh. Sungguh benar-benar bodoh. ”Aku menemukanmu pada sebuah ruang bernama sepi, kamu terus aku cari dan aku bahagia akhirnya aku menemukanmu.” Aku benar-benar membencinya ketika lelaki itu mengatakan itu. Aku benci karena aku menyukai kata-katanya. Entah kata-kata itu sudah pernah terlontar ke ribuan makhluk sekali pun, ternyata aku tetap menyukai kata-kata itu. Bodohnya lagi aku selalu memercayai kata-kata. Meskipun aku sering sekali terluka oleh kata-kata, tapi aku tetap mencandu kata-kata. ”Mungkin kita bertemu di waktu yang tepat. Tapi di saat yang salah, Sayang,” aku mencoba untuk konsisten menjadi salah satu penari malam ketika aku membelai rambutnya dengan rasa heran yang luar biasa ketika aku sadar aku tidak sedang menabur birahi pada kejapan mataku. Aku sering terjebak dengan waktu yang meluka. Waktu-waktu yang salah ketika aku memilih menjadi kekasihnya. ”Mungkin iya mungkin tidak. Aku dikutuk karena aku mencoba membelah bulan. Aku ingin tahu apa warna hitam di balik cahaya terang bulan. Negeri bulan pun marah. Tanah di sana kemudian merajamku. Karenanya separuh cahaya bulan itu ada di tubuhku, sedangkan separuh lainnya selalu ada dalam kegelapan. Aku cari separuh cahaya untuk mengisi ruang-ruang gelap di tubuhku yang lain sehingga tubuhku menjadi utuh.” Sialan, aku berharap jadi separuh cahayanya. Aku benci. Aku tersanjung. Aku bahagia. Aku senang. Aku meniup buih-buih sabun itu. Aku khawatir buih itu pecah. Aku terbang. Aku ada di ketinggian. Aku pasti terjatuh. Aku menunggu waktuku pecah. Aku begitu lemah. Aku sedih. Aku takut. Aku meluka. Aku mencinta. ”Ha-ha-ha-ha-ha-ha… kamu itu aneh. Kamu mencari separuh cahayamu yang hilang, tapi kamu mencarinya di malam gelap seperti ini, dan kamu pun salah orang dengan menemuiku. Aku sama sekali tidak punya cahaya yang kamu cari.” Aku benar-benar marah dengan kata-kataku sendiri. Aku benar-benar takut dia tahu aku ingin jadi separuh cahayanya. Menjadi penghuni malam dan menemani lelaki-lelaki malam sudah amat membuatku nyaman. Aku tidak pernah bermimpi menjadi Engtay yang menunggu Sampek dalam sakratulmautnya. Mitos cinta abadi memang memuakkan. Mitos yang menciptakan buih-buih sabun bagi jutaan umatnya. Aku menyebut umat itu adalah kaum Pencinta. Padahal buatku bagi kaum Pencinta harus menyukai semua warna, termasuk hitam dan malam. ”Aku benar-benar perlu separuh gelap dalam tubuhku ini terisi cahaya.” Lelaki itu menyimpan bergalon-galon air mata yang tidak pernah tumpah. Air mata yang membuat bulan itu terbelah ketika dia mengejapkan matanya dan menjadi serakah dengan cahaya. ”Pergilah, ini sudah menjelang subuh. Berjalanlah kembali, nanti kamu akan ketemu persimpangan-persimpangan yang menarik dalam perjalananmu. Mungkin kamu akan terluka, mungkin kamu akan bahagia. Tapi kamu akan tahu bahwa di persimpangan itulah sebuah hidup akan bermula. Pergilah Sayangku. Aku tidak akan menunggumu. Begitu banyak lelaki yang membutuhkan malam-malamku.” Aku mengantarkannya pada ujung pintu, punggungnya dengan separuh cahaya yang berpendar masih tetap memancarkan bau yang sama persis dengan ketika aku berjumpa dengannya di sebuah episode di ujung senja pada sebuah masa. Aku tahu aku mungkin separuh cahaya yang dia cari itu, tapi aku pikir berbohong padanya tentang hal itu adalah hal yang terbaik untuk hidupnya. Lelaki itu terus berpendar dari separuh tubuhnya dalam gelisah. Ah, kubutuhkan tanah lapang yang begitu luas saat ini di dadaku. Kulambaikan hatiku. ”Datanglah lagi pada sebuah malam di sebuah makam. Sayangku.” •Terima kasih untuk Oky S Harahap Ubud, 26 Januari 2010
""Lelaki yang Membelah Bulan""
Radio dan buku-buku yang berada di atas meja kecil di sudut ruangan sudah terbungkus oleh debu. Baju-baju kotor yang tergantung di dinding sudah menjadi sarang laba-laba. Ampas kopi dan puntung rokok sudah mengering di dasar gelas. Bau makanan busuk dari piring di bawah kolong ranjang membuat ruang kamar itu bertambah pengap. Wanita separuh baya itu masuk ke dalam kamar itu dengan langkah perlahan seraya memerhatikan lekat-lekat seluruh sudut kamar. Dan ia menutup hidungnya dengan tisu yang memang sudah dipersiapkannya. Karena ia sudah mengira suasana kamar itu akan seperti apa yang dilihatnya sekarang. Pandangan wanita separuh baya itu pun tertumbuk pada secarik foto yang tertempel di dinding. Foto itu memperagakan bagaimana si penghuni kamar dengan beberapa orang di dekatnya mengacungkan kepalan tangan ke udara. Di samping foto itu juga tertera seberkas berita dari koran lokal, ”Deklarasi Pemuda Revolusioner Digerebek polisi!” Wanita itu pun melihat penghuni kamarnya berada dalam foto di koran itu diborgol dan digiring oleh dua-tiga polisi menaiki sebuah mobil tahanan. Sekarang semakin jelas bagi wanita itu, kenapa penghuni kamarnya tidak pernah pulang. Mungkin sekarang berada di dalam tahanan polisi. Tapi apa sebenarnya yang dilakukan pemuda itu hingga harus ditangkap polisi? Maka ia pun mencoba mereka-reka makna dari judul tulisan Deklarasi Pemuda Revolusioner itu, yang hanya mengingatkannya pada apa yang pernah diucapkan oleh Presiden Pertama Soekarno, ketika ia masih remaja. Pada masa itu, ia sering mendengar teriakan-teriakan anak-anak muda di jalanan atau pidato-pidato pemimpin pada saat itu selalu menyebutkan kata-kata revolusioner. Ia sendiri tidak begitu memahami makna dari kata itu. Hanya saja pada saat itu, para pemuda atau orang yang tidak bersikap revolusioner, berarti menentang pemerintahan pada saat itu. Bahkan tidak jarang dituduh sebagai agen imperialis. Agen Amerika dan Inggris. Dan ayahnya, yang pada saat itu menjabat sebagai Kepala Jawatan Kereta Api, dituduh tidak bersikap revolusioner, diadukan oleh salah seorang bawahannya ke pihak kepolisian sehingga kemudian dicopot dari jabatannya dan dijebloskan ke dalam penjara selama beberapa bulan. Sedangkan harta benda milik mereka dirampas oleh para pemuda dengan alasan disita atas nama negara karena semuanya hasil korupsi. Ekonomi keluarganya kemudian berantakan, apalagi setelah ayahnya meninggal dalam tahanan karena tidak tahan menderita. Hingga mereka yang semula serba kecukupan, terjadi sebaliknya. Satu per satu harta benda keluarga yang masih tersisa, baju, seprai, sendok makan, dan lainnya dijual ke tukang loak untuk makan sehari-hari. Untuk dibelikan beberapa kilo singkong, kemudian direbus dan dimakan dengan sambal secara bersama-sama. Dan meskipun mereka hanya makan singkong yang dijatah di setiap piring di atas meja, mereka tidak bisa meninggalkan kebiasaan lama mereka, jika mereka selalu harus makan tepat waktu. Siapa yang terlambat makan, maka yang terlambat itu tidak diperbolehkan makan hingga menjelang makan malam. Akibat dari peristiwa itu pula, ia dan juga saudara-saudaranya yang lain menunggak uang sekolah berbulan-bulan, hingga akhirnya pihak sekolah mengeluarkan mereka atau akhirnya mereka sendiri yang memilih untuk keluar dari sekolah, kemudian bekerja serabutan apa saja untuk mempertahankan hidup. Dari menjual es mambo berkeliling atau menjadi tukang cuci pakaian tetangga. Beranjak dewasa, karena ia ingin kehidupan yang lebih baik, ia terpaksa bekerja di sebuah kelab malam karena tidak memiliki keterampilan apalagi ijazah SMA. Karena bekerja di kelab malam itu juga dirasakan masih belum mencukupi, ia pun memenuhi panggilan di luar jam kelab malam, hingga ia nyaris menjadi pelacur profesional, kalau saja ia tidak diambil sebagai istri muda oleh suaminya sekarang. Suaminya kemudian membelikannya sebuah rumah yang cukup besar, hingga kemudian, bagian paviliunnya, ia sekat beberapa ruangan untuk dijadikan kamar kos. Dan ia sungguh merasa beruntung karena rumahnya dekat dengan sebuah kampus swasta sehingga kamar kosnya tidak pernah sepi. Apalagi ia memberikan kebebasan kepada anak-anak kosnya untuk keluar-masuk asal tidak sampai mengganggu penghuni kos lainnya. Ia juga sudah sangat berpengalaman menghadapi anak-anak kos yang nakal-nakal, hingga ia tahu juga bagaimana mengatasinya. Tetapi, baru kali ini ia mempunyai perhatian khusus terhadap anak kos yang kamarnya sedang diamatinya sekarang ini. Padahal anak itu sangat pendiam atau jarang sekali berbicara. Kalaupun anak itu berbicara, bicaranya pun hanya seperlunya. Anak itu pun tidak juga banyak bergaul dengan anak-anak kos lainnya. Bahkan anak itu, boleh dikatakan, sering menutup diri dan lebih banyak membaca buku. Tetapi dibandingkan dengan anak-anak kos lainnya, anak kos yang kamarnya kosong ini selalu saja mempunyai jawaban untuk setiap persoalan yang sering ia ajukan pada anak itu. Bahkan sebaliknya setiap kali anak kos itu melontarkan sebuah pertanyaan padanya, pertanyaan itu sangat sulit dijawabnya, kecuali jika anak kos itu kemudian memberikan contoh-contoh kasus, baru ia dapat memahaminya. Tetapi sekarang, anak kos itu meninggalkan sebuah pertanyaan besar dalam dirinya. Sebuah pertanyaan yang sama sekali tidak bisa ia mengerti, kenapa anak kos itu berada di dalam selembar koran dan ditangkap oleh polisi. Dan revolusi apa yang dideklarasikan oleh anak itu beserta kelompoknya. Jika ayahnya dulu ditangkap karena dianggap tidak revolusioner, kenapa sekarang orang yang berteriak revolusioner ditangkap. Apakah karena zaman sudah berbeda? Pemerintahannya juga sudah berbeda? Ia bertanya-tanya dalam hati, sambil mengambil piring kotor dari bawah ranjang. Ia letakkan piring kotor itu di luar pintu kamar karena ia masih ingin membersihkan kamar itu dari debu dan sarang laba-laba di sudut kamar. Ia kemudian membuka jendela agar kamar itu tidak terasa pengap. Belum lagi ia selesai membersihkan kamar kos itu, seorang anak kos perempuan berlari menghampirinya. ”Bu, ada berapa anggota polisi di teras.” ”Polisi?” wanita separuh baya itu agak terperangah dan hampir tak percaya sepenuhnya. ”Iya, mereka tanya soal Nirwan, Bu,” kata anak kos itu lagi. Tanpa menjawab pertanyaan anak kos, wanita separuh baya itu menuju ke teras diikuti anak kosnya. Di teras tampak empat orang yang sama sekali tak dikenalnya. Dua orang berseragam lengkap dan dua orang lagi berseragam preman. ”Selamat siang, Ibu?” sapa salah seorang berpakaian preman pada wanita separuh baya itu. ”Siang, Pak?” ”Maaf, Ibu, apa betul ini rumah Ibu Rubiah?” Tanya polisi berbaju preman itu lagi dengan nada sopan, tapi pandangan mata penuh selidik. ”Iya, Pak. Saya sendiri,” jawab wanita separuh baya bernama Rubiah itu. ”Kami dari kepolisian. Apa betul Nirwan tinggal di sini?” Tanya orang berbaju preman itu sambil memperlihatkan selembar foto pada wanita separuh baya bernama Rubiah itu. ”Iya, betul?” sahut Ibu Rubiah setelah memerhatikan foto yang diperlihatkan kepadanya. ”Sudah berapa lama dia tinggal di sini, Bu?” Tanya polisi berpakaian preman itu lagi. ”Sudah lama. Tapi, sudah….” Ibu Rubiah sedikit tergagap. Ia ingin menjelaskan bahwa sudah enam bulan lebih anak kosnya itu tidak pulang. Tapi ia seolah-olah tidak diberi kesempatan menjawab. ”Ibu tidak pernah laporkan ke rukun tetangga?” potong polisi berpakaian preman itu lagi. ”Saya memang… belum…,” Ibu Rubiah semakin tergeragap dan mulai merasa panik. ”Ibu tidak tahu kalau ia buron pihak kepolisian?” polisi berpakaian preman itu terus mencecar. ”Saya tidak tahu kalau dia buronan.” ”Kalau begitu, Ibu ikut kami.” Dua orang polisi yang berpakaian lengkap melangkah maju dan langsung memborgol pergelangan Ibu Rubiah. ”Lho, salah saya apa, Pak?” Ibu Rubiah benar-benar tak percaya dengan apa yang terjadi pada dirinya. Ia mulai menangis, apalagi tangannya mulai diborgol oleh para polisi itu ”Ibu kami anggap telah menyembunyikan buronan.” ”Saya tidak tahu kalau dia…,” Ibu Rubiah mencoba berkilah. ”Nanti ibu jelaskan semua di kantor polisi. Dan ada pengacara untuk itu.” Potong polisi berbaju preman sambil menyeret wanita itu ke atas mobil. Sementara itu, polisi lainnya memasang garis polisi.
""Orang-orang Tak Bersalah""
Tapi ketika sampai malam tangis itu terus terdengar, sebagian warga pun menjadi mulai terganggu. Tiba-tiba saja tangis itu seperti mengingatkan pada banyak kesedihan yang diam-diam ingin mereka lupakan. Tangis itu jadi mirip cakar kucing yang menggaruk-garuk dinding rumah. Bagai mimpi buruk yang menggerayangi syaraf dan minta diperhatikan. Beberapa warga yang jengkel langsung mendatangi pos ronda. ”Siapa sih yang terus-terusan menangis begitu?!” ”Apa dia tak lagi punya urusan yang harus dikerjakan selain menangis seharian. Ini sudah keterlaluan!” ”Suruh keparat itu berhenti menangis,” sergah warga lainnya. ”Ah paling juga itu tangisan Kumirah,” ujar seorang peronda. ”Ia pasti masih sedih karena suaminya mati dibakar kemaren.” Orang-orang terdiam. Mendadak saja mereka teringat Sidat yang ketangkap mencuri jagung rebus, kemudian dibantai ramai-ramai. Belum puas melihat Sidat bonyok dan ringsek, seseorang menyiramkan bensin ke tubuh suami Kumirah itu. Sidat mengerang-erang terkapar. Bau daging yang melepuh terbakar itu membuat mereka merinding. Bau daging bakar yang harum campur aroma bensin itu kini kembali tercium. Seakan masih menempel di udara. Bau yang bagai kembali mengapung bersama isak tangis. Adakah yang lebih menyedihkan dari tangisan itu? Para peronda dan beberapa warga segera menuju kontrakan Kumirah. Kamar itu sepi terkunci. Tak ada tangis merembes dari dalamnya. Tangis itu mengambang di udara entah berasal dari mana. Seperti menggenang dan mengepung mereka. Mereka sudah sambangi tiap rumah, tapi tak menemukan siapa yang menangis begitu sedih begitu nelangsa seperti itu. Kadang tangis itu terdengar seperti suara tangis bayi yang rewel kelaparan. Kadang seperti suara perempuan terisak setelah digampar suaminya yang mabok. Kadang terisak panjang. Kadang seperti keluhan. Kadang seperti erang binatang sekarat. Kadang seperti sayatan panjang yang mengiris malam. Berhari-hari tangisan itu terdengar timbul-tenggelam merepihkan kesedihan yang paling memilukan. Hidup sudah sedemikian penuh kesedihan kenapa pula mesti ditambah-tambahi mendengarkan tangisan yang begitu menyedihkan sepanjang hari seperti itu? ”Ini sudah keterlaluan!” geram seorang warga. ”Bukannya saya melarang orang menangis, tapi ya tahu diri dong. Masak nangis nggak berhenti-henti begitu.” Lalu kompak, warga sepakat mengadu pada Pak RT. ”Kami harap Pak RT segera mencari siapa yang terus-menerus menangis begitu…” ”Lho, apa salahnya orang menangis. Kadang menangis kan ya perlu,” ujar Pak RT. ”Kalau nangisnya sebentar sih nggak papa. Kalau terus-terusan kan kami jadi terganggu.” ”Terus terang, kami juga jadi ikut-ikutan sedih karenanya.” ”Jadi kebawa pingin nangis…” ”Itu namanya mengganggu ketertiban!” ”Pokoknya orang itu harus segera diamankan!” Tak ingin terjadi hal-hal yang makin meresahkan, Pak RT segera menghubungi Ketua RW, karena barangkali yang terus-terusan menangis itu dari kampung sebelah. Seminggu lalu memang ada warga kampung dekat pembuangan sampah yang mati gantung diri setelah membunuh istri dan empat anaknya yang masih kecil. Mungkin roh orang itu masih gentayangan dan terus-terusan menangis. Namun Ketua RW menjelaskan kalau suara tangis itu memang terdengar di seluruh kampung. ”Warga seberang rel juga cerita, kalau mereka siang malam mendengar suara tangis itu,” kata Ketua RW. ”Makanya, kalau sampai nanti malem suara tangis itu terus terdengar, saya mau lapor Pak Lurah.” *** Pada hari ke-3, suara tangis itu terdengar makin panjang dan menyedihkan. Tangisan itu terdengar begitu dekat, tetapi ketika didatangi seakan berasal dari tempat yang jauh. Tangis itu seperti air banjir yang meluber ke mana-mana. Orang-orang mendengar tangisan itu makin lama makin sarat rintihan dan kepedihan. Tangisan yang mengingatkan siapa pun pada kesedihan paling pedih dan tak terbahasakan. Siapakah dia yang terus-terusan menangis penuh kesedihan seperti itu? Bila orang itu menangis karena penderitaan, pastilah itu karena penderitaan yang benar-benar tak bisa lagi ditanggungnya kecuali dengan menangis terus-menerus sepanjang hari. Pada hari ke-17 seluruh kota sudah digelisahkan tangisan itu. Para Lurah segera melapor Pak Camat. Tapi karena tak juga menemukan gerangan siapakah yang terus-terusan menangis, Pak Camat pun segera melapor pada Walikota, yang rupanya juga sudah merasakan kegelisahan warganya karena tangis yang terus-menerus terdengar sepanjang hari itu. Tangis itu telah benar-benar mengganggu karena orang-orang jadi tak lagi nyaman. Tangis itu makin terdengar ganjil ketika menyelusup di antara bising lalu-lintas. Tangis itu telah menjadi teror yang menyebalkan. Radio dan koran-koran ramai memberitakan. Mencoba mencari tahu siapakah yang terus- menerus menangis sepanjang hari, berhari-hari… Orang-orang hanya bisa menduga dari manakah asal tangisan itu. Siapakah yang tahan terus- terusan menangis seperti itu. ”Mungkin itu tangis pembantu yang disiksa majikannya…” ”Mungkin itu tangisan buruh yang baru terkena PHK.” ”Mungkin itu tangisan korban mutilasi…” ”Barangkali itu tangisan bocah yang mati disodomi dan mayatnya dibuang ke dasar kali dan tak ditemukan sampai kini…” ”Barangkali itu tangisan pedagang kaki lima yang digusur dan tubuhnya tersiram air panas.” ”Atau bisa jadi itu tangisan kuntilanak…” ”Mungkin tangisan Suster Ngesot…” Hingga hari ke-65 tangisan itu makin terdengar penuh kepedihan dan membuat Walikota segera menghadap Gubernur. Ternyata Gubernur memang sudah mendengar tentang tangis yang terdengar hingga ke seluruh provinsi. Tangisan itu bagai mengalir sepanjang jalan sepanjang sungai sepanjang hari sepanjang malam, melintasi perbukitan kering, merayap di hamparan sawah yang tergenang banjir dan terdengar gemanya yang panjang hingga ngarai dan lembah yang kelabu sampai ke dusun-dusun paling jauh di pedalaman. Tangis itu mengalun sayup-sayup bersama galau angin yang melintasi padang savana dan teluk-teluk yang redup sampai ke pantai-pantai. Tangisan itu bagai mampu meredakan deru ombak hingga laut terlihat bening dan datar berkilauan di bawah cahaya bulan yang keperakan. Orang- orang termangu diluapi kesenduan setiap mendengar tangisan yang timbul tenggelam itu. Para penyair menuliskan sajak-sajak perihal kesenduan dan kesedihan tangis itu seakan-akan itulah tangisan paling menggetarkan yang pernah mereka dengar. Pada hari ke-92 para menteri berkumpul membahas laporan para Gubernur perihal tangis yang telah terdengar ke seluruh negeri. Tangis itu bahkan terdengar begitu memelas ketika melintasi gang-gang becek di Ibu Kota. Terdengar terisak-isak serak bagai riak yang mengapung di gemerlap cahaya lampu gedung- gedung menjulang hingga setiap orang yang mendengar sekan diiris-iris kesedihan. ”Apakah kita mesti melaporkan hal ini pada Presiden?” kata seorang Menteri. Menteri yang lain hanya diam. *** Pada hari ke-100, tangis itu sampai juga ke kediaman Presiden yang asri dan megah. Tangis itu menyelusup lewat celah jendela, dan membuat Presiden tergeragap dari kantuknya. Ia menyangka itu tangis cucunya. Tadi sore anak dan menantunya memang mengajak cucu pertamanya tidur di sini. Mungkin dia kehausan, batin Presiden, lalu bangkit menuju kamar sebelah. Tapi cucunya yang mungil itu tampak lelap. Betapa pulas dan damai tidur cucunya itu. Lalu siapa yang menangis? Seperti terdengar dari luar sana. Pelan Presiden membuka jendela, tapi yang tampak hanya bayangan pagar yang baru direhab menghabiskan 22,5 Milyar. Mendadak istrinya sudah di sampingnya. ”Ada apa?” ”Saya seperti mendengar suara tangis…” ”Siapa?” ”Entahlah…” ”Sudah, tidur saja. Besok kamu mesti pidato,” kata istrinya. ”Apa ya nanti kamu akan mengeluh hanya karena mendengar tangis itu?” Presiden hanya tersenyum. Tetap berusaha tampak anggun dan tenang. Lalu menutup jendela. *** Sementara tangisan itu terus mengalun dan angin perlahan-lahan bagai susut. Segala suara bagai meredup dan mengendap dalam gelap. Semesta terkesima dan seketika terdiam. Seekor lelawa yang terbang melintas malam mendadak berhenti di udara. Sebutir embun yang bergulir mendadak tergantung beku di ujung daun. Beberapa ekor kunang-kunang dengan cahaya kuning yang redup pucat terlihat diam mengapung dalam dingin. Semesta begitu hening. Tak ada suara selain tangis yang penuh kesedihan itu. Tangis yang terus mengalun mengalir hingga galaksi-galaksi paling jauh. Apakah kau dengar tangisan itu? Jakarta, 2007-2010
""Ada yang Menangis Sepanjang Hari…""
Angsa-angsa ini tak mau kutinggal di puri. Selalu ingin mengikutiku ke mana pergi,” ucapnya. Harum cempaka merekah dari langsat kulitnya. Bibir tipisnya mirah delima. Angin cemburu tak mampu mengurai hitam rambutnya. Hamba terpana pesona di hadapan hamba. Gerimis merah muda mengurai cuaca di kesunyian pesanggrahan. Hamba tuntun sang putri masuk gubuk. Langkahnya pasti menjejak lantai tanah. Mulus betisnya memancarkan cahaya surgawi. Hamba menenteramkan riak-riak ombak di hati. Sang putri duduk anggun di balai-balai bambu. Dia mengulum senyum. Seakan hendak menerka rahasia dari lontar-lontar kusam masa silam, yang hamba susun rapi di peti tua berukir bunga padma. ”Lautan dan topan sejatinya sepasang kekasih yang ingin menembangkan kidung-kidung dewa di cangkang-cangkang kerang,” lirihnya. Hamba merasa malu pada hati hamba, yang tiba-tiba mekar di jelita matanya. Buru-buru hamba nyalakan pelita minyak kelapa. Malam telah membutakan jarak di pesanggrahan. Remang cahaya pelita menggurat dua bayang di dinding kayu. Bayang yang saling termangu merunut silsilah dan sejarah, yang mengasingkan kami sejauh tahun-tahun kepedihan, sepanjang jarak dua belahan bumi. ”Angin apa kiranya yang membawamu ke sini, Putri? Hamba telah asingkan diri dari segala kenangan meski parasmu masih membekas di hati. Cahaya apa menuntun langkahmu, menyusuri jejak sunyi tak terperi, hingga tiba di gubuk hamba?” Mata sekilau purnama menatap hamba tajam. Menembus remang ruang, remang jiwa. Bibir seindah mirah membuka sabda: ”masih ingatkah kau pada sebilah daun lontar di mana tertatah syair, yang kau gurat dari lubuk jiwamu?” Hamba merasa darah hangat dari jantung yang berdegup malu, mengalir perlahan memenuhi wajah hamba. Sudah lama sekali, belasan tahun lalu. Ketika usia kami masih ranum, begitu hijau. Agaknya waktu telah membekukan syair itu di sebuah gua rahasia di hatinya. ”Meski bilah lontar itu telah kusam, tinta hitam dari kemiri dan jelaga hampir luntur, tapi syair itu tak henti menitiskan rindu dan mengalir hangat di nadiku. Kini tiba saatnya bagiku melunasi karma,” ucap Sang Putri. Hamba terpana, menerka-nerka arah kerumunan kata yang berhamburan bagai kunang-kunang dari bibir rekah yang dulu hamba rindui. Di luar gubuk, angsa-angsa bercengkerama dengan malam, dengan halimun. Lengking suaranya melengkapi hening ”Jangan ragu. Aku tiba di sini untukmu. Aku akan berkisah. Dan hanya kau yang kupercayai menggurat kisah-kisahku ini di bilah-bilah lontarmu. Karena kau pujangga istana di mana dulu hatiku pernah bahagia….” Hamba terkesiap, jiwa hamba berdesir, serupa angin subuh mengelus lembut kulit ari. Sudah lama sekali hamba tak mampu menggurat syair. Tiba-tiba hamba terkenang, saat hamba tinggalkan istana, diam-diam di tengah sunyi malam. Demi janji hamba pada keheningan dan pengembaraan. Pantai demi pantai hamba susuri. Gunung demi gunung menjulang hamba daki. Rimba demi rimba rahasia hamba jelajahi. Lembah demi lembah misteri hamba hayati. Hingga tiba hamba di pesisir timur ini. Tak ada yang mengenali hamba. Kecuali sunyi, kawan sejati seperjalanan. Bukankah manusia dilahirkan demi merayakan kesunyian? Dan ketika tiba saat kembali, jiwa menyusuri jalan sunyi yang itu-itu juga…. Suatu waktu angin pegunungan mengabarkan warta. Putri jelita sangat bersedih hati tak menemukan hamba di istana. Dia pun pergi membawa duka lara menyeberangi lautan seorang diri, menetap di negeri asing, demi menemukan kesejatian. Hamba memahami kesedihannya. Hamba terlanjur tergoda kesunyian. Lebih memilih mengasingkan diri, ketimbang mendampingi sang putri melewati hari-harinya di puri. Hamba merasa tak leluasa berada di istana, mengabdi pada raja. Hamba hanya ingin kembali pada alam dan kaum jelata. Belajar bertani, memahami nyanyian jengkrik dan kodok hijau. Berbaur dengan kuli, petani ladang garam dan nelayan. Mendengar siul angin di pucuk-pucuk bambu. Belajar mengurai makna sabda cicak di dinding kayu. ”Tak perlu disesali. Waktu begitu jauh berpacu. Namun wajah dan hatimu masih seperti dulu. Hanya beberapa helai uban tumbuh di sela-sela hitam rambutmu. Ketahuilah, kau masih selalu pujanggaku.” Hamba tak pernah tahu, apa wajah dan hati bisa tidak berubah. Hanya waktu yang abadi, dan sekelumit rasa yang berupaya kekal dalam fana. Remang jadi makin nyalang. Cahaya pelita bergoyang. Mengaburkan bayang-bayang. Angsa-angsa sesekali melengking. Halimun melingkupi pesanggrahan. Dua ekor cicak di dinding kayu sedari tadi menerka-nerka arah jiwa kami. Menerawang sesuatu yang makin sawang. ”Ketahuilah, pujanggaku. Aku bukan sejatinya putri istana. Aku hanya anak jadah. Meski ayahku turunan raja, yang sungguh kasip kuketahui. Namun tak pernah kutahu rupa ibuku. Sedari janin aku telah mencecap getir. Tangis pertamaku menyayat rahim ibu. Hatinya memang telah lama luka. Tak diakui, malu dengan aib sendiri. Aku dibuangnya begitu saja, seperti membilas daki di kelamin…,” keluh Sang Putri. Hamba tercekat, sungguh terperanjat. Kata-kata berasa duri menyumbat kerongkongan. Nyeri seperti mengalir di sumsum nadi. Hamba hanya mampu terdiam. Sang putri tak henti berkeluh kesah. Kisah miris ini makin meyakinkan hamba, betapa manusia sejatinya ditakdirkan mengalami kesunyian dan kesepian. Hamba merasa sepasang cicak di dinding kayu sedari tadi tertawa. Dan, lengking angsa menggenapi sunyi kami. Letih dengan jiwa sendiri, sang putri terlelap di bale-bale bambu, tanpa kelambu. Di bilah-bilah daun lontar hamba mulai menggurat syair. Di remang cahaya pelita, terbayang wajah sang putri, sedang mengutuki dirinya…. (Karangasem, Bali, Januari 2010)
""Balada Sang Putri di Gubuk Hamba""
Suara? Suara apa?” katamu sambil mengangkat kepala tinggi-tinggi, mencoba menemukan suara yang kumaksud. Aku berkeras, memaksamu mendengar, tapi sekali lagi kau bilang, kau tak dengar apa-apa. Lalu kita masuk rumah. Menyalakan lampu. Mandi. Duduk di ruang tamu. Berhadapan. Diam. Aku tetap mendengar suara itu. Melengking. Kita duduk berhadapan. Kau membaca majalah berita setelah menyalakan radio–kau tak suka televisi–di ruang tengah. Aku menikmati secangkir teh hangat. Suara itu, masih terdengar juga. Tak enak di telinga. Aku bilang sekali lagi, suara itu semakin keras. Kau berhenti membaca sebentar, memasang telinga, lalu menggeleng. ”Suara? Aku tak dengar apa-apa,” katamu. Aku bangun dari sofa, mengecilkan radio. Kau dengar sekarang, tanyaku. Kau memejamkan mata. Sesaat kemudian kau bilang, ”Ya. Samar saja.” Lalu kau kembali membaca. Di telingaku, suara itu semakin keras. Memekakkan telinga, menyakitkan kepala. Mungkin baiknya aku tidur saja. Suara itu mengikuti. Kau menyusul beberapa saat kemudian. Berbaring di sisiku. Napasmu hangat di telinga. Setengah berbisik, aku katakan padamu: suara itu tak juga henti. ”Biarkan saja, nanti hilang juga,” kau menggumam, biarkan saja, nanti pasti hilang juga. Suara itu makin keras. Seperti sangat kesakitan, kataku. Kau menggumam lagi. Kau bilang, ”Sebentar lagi pasti berhenti.” Lalu napasmu mulai teratur. Kau tertidur. Suara itu, masih terdengar. *** Paginya, suara itu masih ada. Semakin keras. Kali ini, kau mengaku mendengarnya dengan jelas, ”Suara bayi.” Bayi yang masih sangat kecil, kataku. Aku khawatir, jangan-jangan ada yang tak beres dengan bayi itu. ”Jangan terlalu mendramatisir.” Aku bilang, ini bukan mendramatisir, tetapi rasanya sudah terlalu lama bayi itu menangis. Aku khawatir. ”Mungkin dia sedang kurang enak badan. Ya, seperti kita juga, orang dewasa,” katamu. Kalau begitu, harusnya dibawa ke dokter, lalu diberi obat, kataku. Sudah terlalu lama ia menjerit-jerit begitu. Kau membuang napas keras-keras, tak sabar, ”Bisa saja bayi itu sudah dibawa ke dokter, sudah diberi obat. Tapi bayi itu terlalu manja. Minta digendong. Cengeng.” Cengeng? Tak ada bayi cengeng, kecuali sedang sakit, kataku. ”Siapa bilang?” Aku bilang, aku. Dari alismu yang mendadak naik, dari bentuk bibirmu yang melengkung ke bawah, aku tahu kau tak setuju denganku. Kau mengelak, ”Aku tak beranggapan begitu!” Tetapi aku tahu. Aku merasakannya. Tanpa harus mengeluarkannya dari mulutmu aku tahu apa yang di kepalamu. Kau mau bilang kalau aku tak tahu apa-apa soal bayi. Karena aku–sampai hari ini–belum juga memberimu anak. Tak ada bayi yang datang, lalu bagaimana aku bisa tahu tentang jenis tangisan bayi? Kau menggeram. Mukamu memerah. Mukamu memerah. Kau cengkeram bahuku, menyuruhku diam. Kau tahu: aku berkata benar. *** Ketika kau pulang kemarin malam, aku bersiap tidur. Kau duduk di tepi ranjang. ”Aku masih mendengar tangisan bayi itu. Padahal malam sudah begini larut,” katamu. Aku diam saja. ”Mungkin kau benar, ada apa-apa dengan bayi itu…” Aku diam saja, membalikkan badan, memejamkan mata. *** Pagi ini aku minta kau berangkat kerja sendiri. Aku tak ikut. Aku mau ke rumah bayi itu. Aku akan ke apotik membeli bedak, minyak telon, … apa saja. Aku harus ke sana, kataku. ”Jangan!” katamu setengah berteriak. Kenapa? Aku harus ke sana, lihat bayi itu. Pasti ada apa-apa dengannya. Jangan-jangan sakit parah, terluka. Tangisannya itu mengisyaratkan dia sangat kesakitan, kataku. Aku tahu itu. Kau menggelengkan kepala, dahimu berkerut. Kau tak setuju. Sudah terlalu lama dia menjerit-jerit, kataku. ”Ya, tapi jangan sekarang. Nanti sore saja, sepulang kerja. Berdua kita berangkat menjenguknya,” katamu. Kita? ”Ya, sambil berkenalan. Sambil bawa makanan kecil buat ibunya. Sambil … apa sajalah. Tapi kita berdua.” Kenapa? ”Supaya si Ibu tak curiga kau mencari tahu soal bayinya.” Aku ingin pergi sekarang. Tetapi mungkin kau benar, sebaiknya kita pergi bersama. Lalu kau menambahkan akan pulang cepat sore nanti supaya tak terlalu malam bertandang ke rumah bayi itu. Baiklah. *** Ternyata kau pulang sangat larut. Hampir tengah malam. Kau sengaja pulang lambat, aku yakin itu. Selambat-lambatnya sampai kita tidak bisa bertamu ke rumah bayi itu. Kau memang tak pernah berniat menemaniku menjenguk bayi itu. Kau memang tak ingin. Ajakan pergi ke sana berdua sebenarnya hanya upayamu agar aku tak usah ke rumah itu. Aku tahu itu. ”Tadi jalan macet sekali. Ban kena paku pula!” katamu. Jalan macet sejak dahulu kala. Ban mobil kena paku? Oh, mengapa tak meledak saja mobilmu? Wajahmu merah padam. ”Aku lelah!” kau berteriak sambil bergegas masuk kamar, lalu membanting pintu. Lelah berbohong, aku balas berteriak. Suara tangisan itu: masih juga terdengar. Memekakkan telinga. Menyakitkan kepala. *** ”Tangisan bayi itu benar-benar makin keras. Dia pasti kesakitan…,” katamu sambil berpakaian, siap berangkat kerja. Aku tak menyahut. Lalu kau tepuk bahuku, ”Aku yakin, ibu bayi itu pasti sudah membawanya ke dokter. Bahwa ia masih tetap menangis, mungkin obatnya belum tepat. Tetapi sebentar lagi tangis itu pasti berhenti.” Aku tetap diam. *** Sore ini kau masuk rumah dengan tergesa. ”Aku sengaja pulang cepat, karena aku mau mengantarmu ke rumah ibu bayi itu. Aku sudah janji, kan? Ayo!” katamu dengan sangat semangat. Di tanganmu ada sekantong jeruk, di tangan yang lain ada kotak-kotak kecil beraneka ukuran. ”Perlengkapan bayi!” katamu sambil tersenyum lebar dan menyorongkannya padaku. Ada bedak, ada minyak telon, ada popok sekali pakai…. Tak usah, kataku. ”Ayolah, jangan begitu! Ganti baju, kita berangkat sekarang.” Tak perlu lagi kita ke sana, kataku. Bayi itu sudah berhenti menangis. Kau tersenyum lega, mengelus dada, menepuk bahuku, ”Ah, syukurlah!” Lalu kusampaikan padamu, sepuluh menit lalu, sebelum kau pulang, Bu RT mengabari kalau bayi kecil itu meninggal sebelum waktu sholat asar. Tubuhnya penuh lebam dan luka. Dipukuli ibunya, yang sekarang sedang diinterogasi di kantor polisi. Aku menuju dapur, meninggalkanmu. Senyummu hilang. Rawamangun, Februari 2010
""Bayi""
Kamu takkan mengerti. Tak ada orang yang mau mengerti. Sudah, jangan dengarkan celotehanku ini. Toh, semua orang sudah berhenti mendengar—kecuali Dr Pana. Dalam evaluasinya, Dr Pana menyimpulan bahwa aku menderita penyakit manik depresif ringan, yang berarti emosiku terus berubah-ubah, tak konstan. Mood Swing namanya, apalah. Terserah. Menurutku emosi ya emosi. Nyata. Mendera. Dr Pana tak mengerti aku. Sama seperti kamu. Berhentilah menceramahiku. Aku berjalan mondar-mandir di kamar tidurku, di sebuah unit apartemen di Menara Tiga yang menghadap ke jalur arteri ibu kota. Hujan turun deras sejak sore tadi, butiran air terus menghantam jendelaku, satu demi satu, menapakkan jejak bening. Ibu berkali-kali menelepon, berusaha menenangkanku, takut aku melakukan sesuatu yang tak diinginkan, sesuatu yang bodoh, tergesa-gesa, ceroboh. Beliau bercerita kepadaku perihal lelucon yang didengarnya di pasar minggu lalu, agar aku tergelak, lupa sesaat—tapi aku tak pernah tertawa jika beliau berusaha membuatku terkekeh. Leluconnya membosankan. Sudah kudengar sebelumnya. Tak ada yang lucu di dunia ini. Habis sudah tawa yang dulu terpendam dalam dada, kering tak bersisa. Kamu takkan mau tahu. Aku lelah menjelaskan semua ini. Aku mencoba untuk duduk, tapi tak bisa. Aku harus terus bergerak. Saat kuangkat gagang telepon, jemariku bergetar. Kutatap jajaran tombol numerik yang ada di pesawat telepon. Lima jam telah berlalu sejak terakhir aku menghubunginya. Dia pasti sudah pulang ke rumah sekarang. “Halo?” Nah itu dia! Shhhhh… “Halo?” Kutekan tombol flash. Kamu dengar suaranya barusan? Dia menyapaku. Terus terang, aku tak perlu banyak. Sapaan ringan atau desah napasnya saja sudah cukup. Kini dunia tampak lebih baki, stabil, indah; gambaran wajahnya memenuhi kepalaku, meninggalkan tapak-tapak hasrat dalam tubuhku, dan dengan girang kusambut kebahagiaan ini. Telingaku tak mencurangiku. *** Namanya Kemarau, seperti nama musim. Dia adalah wanita tercantik yang pernah hadir alam hidupku. Matanya berwarna hitam-kecoklatan, dan saat dia tertawa matanya menari menggodaku. Kemarau paling senang menghabiskan waktunya di sebuah vila milik keluarganya di Sukabumi, di mana dia bisa menunggang kuda dan berenang di danau tenang. Aku masih ingat. Dia suka rasa buah ceri yang masih setengah matang, gemar memetiknya langsung dari pohon tanpa dicuci terlebih dahulu. Katanya, sebisa mungkin dia ingin menceraikan diri dari kehidupan di kota besar dan kembali ke alam natural. Di Sukabumi, ia punya kebiasaaan bangun pukul 5 pagi dan pergi berjalan kaki menyusuri perkebunan. Dia ingin sendiri. Aku masih ingat. “Apa kamu masih mencintainya?” tanya Dr Pana di salah satu sesi pertemuan kami/ Tubuhnya yang tambun bersandar pada punggung kursi yang dilapisi bahan kulit, kakinya bertumpu di sudut meja yang tersusun oleh kayu mahoni. Kedua tangannya terekat dalam posisi berdoa di atas perutnya yang buncit. Aku menatap jauh, ke luar jendela kantor Dr Pana yang terletak di gedung perkantoran bertingkat empat di area Kningan, melewati hamparan taman kecil di bawah sana. Jantungku berdetak cepat, secepat langkah kaki yang kubiarkan berlari dalam imajinasi, melampaui kutub-kutub dunia. “Entahlah.” aku berbohong. Masih banyak yang ingin kusampaikan, jauh lebih banyak. “Apa kamu rela melakukan apa saja untuk mendapatkannya kembali?” lanjut Dr Pana seraya melepas kacamatanya, lalu menggunakan jempol dan jari telunjuknya menekan titik di antara kedua mata. Pertanyaan itu tidak masuk akal. Sejauh mana pengabdian cinta bisa dikategorikan sebagai pengorbanan? Aku rela memberikan hidupku. Menggabungkan dua benua yang dipisahkan lautan luas. Memindahkan gunung. Kelaparan. Tapi, tidak sekarang. Tidak sejak Kemarau melaporkanku ke polisi atas dasar gangguan jiwa. Aku tak menjawab. Dr Pana mencatat sesuatu di buku catatannya. *** Kami teman dekat, atau setidaknya aku dan Kemarau pernah jadi teman dekat. Katanya aku adalah pria paling baik yang pernah dia temui; dan dia bersyukur karena tak sengaja bertemu denganku di sebuah toko DVD bajakan, saat sedang memburu film-film teranyar. Aku menyapanya, karena parasnya mengingatkanku akan temanku dulu di sekolah dasar. Kami berkenalan. Dulu aku masih berprofesi sebagai seorang dokter umum. Setahun sebelumnya, aku baru saja lulus dari universitas kedokteran, dan aku punya banyak mimpi untuk mengubah dunia menjadi tempat yang lebih baik. Jika kamu lihat tanganku saat itu, kamu pasti tak menyangka. Jemariku tak pernah bergetar sedikit pun. Diam, seperti batu. Aku tak mengenal rasa takut. Kemarau mengagumi cita-citaku untuk menolong orang, dan sesekali dia membandingkan perjalanan hidupku dengan kisah orang suci dan pahlawan rakyat yang pernah dia dengar selagi kanak-kanak. Kuyakini dia baha aku sama bejatnya dengan sebagian besar laki-laki yang dia kenal. Kemarau mengangguk, tapi kemudian memberiku nama panggilan “Santo” yang lekat hingga sekarang. Di penghujung musim hujan tahun itu, kami berbaring bersebelahan di atas hamparan rumput segar di belakang vila keluarganya di Sukabumi. Punggung kami bersentuhan dengan permukaan tanah. Wajah kami berhadapan dengan langit senja. Dua gelas sirop dibiarkan kosong di samping kami, berikutnya keranjang buah dan makanan kecil yang setengah isinya telah kami santap. Menjelang malam, Kemarau menunjukkan jarinya ke arah konstelasi bintang yang dikenalnya dari pelajaran astronomi di kampus. Ia tersenyum mendapati bentuk gugus bintang yang menyerupai kepala botak. “Itu pamanku, Om Lingus,” bisiknya sambil tertawa. “Rambutnya tak pernah tumbuh lagi sejak ia berusia dua tahun.” Sesuatu di dalam tubuhku bereaksi mendengar suaranya. Aku menoleh ke arahnya. Kemarau terdiam bisu. Kupegang tangannya, lalu aku berguling menyamping hingga tubuhku berada di atasnya. Wajahnya mendadak dipenuhi teror, berubah merah, berat tubuhku mengimpit gejolak yang tumbuh di dada. Persahabatan kami berubah menjadi sesuatu yang lain, berbeda. Langit menjadi saksi kami. “Aku baru makan bawang putih tadi,” akunya malu. Kemarau berusia 20 tahun dan setiap inci tubuhnya memancarkan cahaya hidup yang tak pernah redup. Aneh rasanya mendapati wajah Kemarau memerah karena malu. “Mulutku bau,” lanjuntnya, menahan agar bibirnya tidak terbuka terlalu lebar. Aku tak peduli. Kudekatkan wajahku dengannya. Pipinya hangat ketika bersentuhan dengan pipiku, ketika kukecup pucuk hidungnya, dan kurasakan dia menahan napas. Jika ia masih ingin memberi alasan lain, aku takkan mendengarnya. Dia tahu itu. “Lepas napasmu,” kataku, menyentuh sudut bibirnya. “Aku tak peduli.” Pasrah, dia melepas napasnya; kuhela bau bawang putih yang keluar dari mulutnya sama seperti kuhela ciuman perawannya. Dia tak pernah mengakuinya kepadaku, tapi aku adalah yang pertama. Aku tak bisa membuktikannya, tapi aku bisa merasakannya. *** “Kamu harus bisa melupakan dia, Santo,” nasihat Dr Pana, menyilangkan kakiknya yang tebal dan gemuk, menatap jauh ke dalam mataku. Itu adalah hal terbodoh yang pernah ia sampaikan kepadaku, seolah aku tak tahu, tak sadar, tak mau tahu. Aku berserah pada kursi tempatku duduk, membiarkan tubuhku yang menggumpal di sana, seperti orang yang baru saja dipaksa berlari marathon dan kini lelah bukan kepalang, “Cobalah pergi keluar dengan teman-teman kerjamu,” tambah Dr Pana. Kucoba main tenis, kucoba main video game. Kucoba berjalan jauh mengelilingi kompleks perumahan. Kucoba merokok, kucoba marijuana. Aku menenggak alkohol di bar umum dan menggauli gadis-gadis murahan untuk semalam. Kucoba berakting, kucoba memecahkan teka-teki matematika. Tadinya aku ingin mencoba berenang, tapi takut tenggelam. Akhirnya aku duduk di bangku taman dan menatap matahari terbenam. *** Saat ini leawt pukul 02.00 pagi dan mataku tak mau terpejam. Jika kesunyian bisa membunuh, dalam waktu dekat aku pasti sudah mati. Hampa ruangan dengan cepat digantikan oleh gumaman bernada tinggi yang datang dari setiap sudut ruangan, membuat bulu kudukku berdiri. Kudengar napasku berburu, mencari bayang-bayang masa lalu, mengembara di alam gelap dan terpuruk berpapasan dengan sesal. Hari esok adalah satu-satunya harapanku. Matahari akan bersinar lagi. Aku akan hidup sehari lagi. Ini bentuk yang kulihat dari tempatku berbaringl sebuah bola besar berpijar terang membawa petaka, terjatuh dari kegelapan di atas sana, pijarannya panas membakar kulitku, memicu amarah, benci, dan duka. Kutunggu kesempatan untuk menekan nomornya lagi, dan itu saja sudah cukup. Itu lebih dari cukup. Obsesi, permainan yang tak ada habisnya!
""Obsesi""
Si lelaki mengalihkan pandang, menatap nanap ke mata putrinya. Mata yang bertahun-tahun berusaha ia kenali, tapi selalu ada kabut yang menutupi. Mata sejernih itu. Mata sebening itu. Ada cerlang pagi, sibak matahari mulai naik, di dalamnya. Tapi cuma sebentar, sangat sebentar, sebelum gumpal kabut turun, merendah dari bukit-bukit, menebal menghalangi pendar. Lalu dunia bagai dibelah. Lapis atas dan lapis bawah. Lapis atas, dunia di balik kabut itu, semata rahasia, kesenyapan, tempat yang entah kenapa dalam kepalanya hanya terhampar malam dan bintang-bintang. Sementara lapis bawah, ia lihat dirinya dan teman-temannya, para pemburu, bersama anjing-anjing yang menghambur dan menyalak, berlarian mengejar babi hutan yang mendudu, melanda semak atau belukar atau apa pun, terhosoh-hosoh ketakutan. Tapi, sebetulnya, dunia lapis bawah itu juga tak semata terang. Ada banyak ceruk, lembah, dan lakuak (bahasa mereka untuk menyebut lembah-lembah kecil di antara undukan bukit) yang bila ditempuh akan menangkup lebat dedaun dan akar, menghalangi rembes rambat cahaya, menjadikan mata mereka seolah buta, tak bisa mengenali atau melihat apa-apa, menyerahkan arah hanya pada naluri atau krosak langkah dan gerung salak anjing-anjing mereka. Dan, sebetulnya pula, di lapis bawah ini, bukannya tak ada apa yang ia sebut rahasia. Di tengah gelap ceruk, kelam lembah atau lindap lakuak, bisa saja tiba-tiba terbentang dunia terang. Dunia yang semua daun adalah bunga dan semua bunga adalah cahaya. Pohon-pohon meliuk, reranting berjalin, membentuk kubah dan pilar-pilar. Di situlah singgasana, alam jihin dan lelembut, dunia orang bunian. Tapi saat bertemu orang bunian, mereka tak boleh menyebut apa-apa. Karena jika bicara, siapa pun akan terbawa, tertawan, hidup selamanya di dunia orang bunian. *** Dunia di balik kabut, dunia mereka para pemburu, dan dunia orang bunian baginya adalah dunia sendiri-sendiri. Ketiganya punya dan berjalan dalam ruang waktu masing-masing. Bahkan bagi ninik mamak, tetua kaumnya, setiap alam yang berbeda dikatakan samo manjago (saling jaga). Dan sebagai keturunan para peladang yang tak asing dengan hutan, dunia jihin dan lelembut, sebetulnya, tentu pula baginya biasa. Berbeda dari teman-temannya, para pemburu lain, yang kebanyakan datang dari kota-kota kecil di sekitar. Teman-temannya itu, bisa juga dibilang, berburu lebih karena kesukaan. Di kepala mereka tak ada istilah hama babi kecuali gelak tawa, keriangan. Anjing-anjing mereka, sangat berbeda dari anjingnya, adalah anjing-anjing yang bersih, gagah, dan terpelihara. Anjing-anjing yang, seperti halnya juga tuan mereka, di matanya kadang terasa ganjil. Seolah tampak: mereka bukan bagian dari alam ini. Bukan bagian dari hutan ini. Dan, bila begitu, tidakkah sebenarnya teman-temannya bukan bagian dari lapis bawah, tempat di mana dirinya juga berada, salah satu dari tiga dunia? Tetapi sebetulnya, bukan hanya antara dirinya dan teman-teman pemburu dari kota-kota kecil sekitar itu saja yang tampak berbeda. Antara dirinya dan teman-teman lain yang juga peladang dan sama berburu babi karena alasan hama pun kadang tak seperti dipikirkannya. Tapi memang begitulah mereka. Antara satu suku dengan suku lain selalu tak sama. Bahkan satu suku tetapi lain tempat bisa berbeda. Mereka menyebut, lain lubuk lain ikannya. Entah itu keyakinan entah pantangan, entah itu anjuran entah larangan. Tentang orang bunian itu misalnya. Semua percaya, jika bertemu orang bunian mereka tak boleh bicara. Tapi akan ada pemburu, teman-temannya dari suku lain, yang menyertai dengan pantangan. Pantangan yang juga akan tak sama. Ada yang berpantang membawa apa pun peralatan berbuhul rotan, ada yang tak boleh rebahan di antara dua munggu. Ada yang kembali pulang jika melihat binatang dengan tingkah tertentu, ada yang dilarang menggauli istri pada Jumat malam sebelum berburu. Dan ia merasa senang (atau lega?) tak menerima pantangan apa pun dari tetua kaumnya kecuali menjaga apa yang mereka sebut sumangaik. Bila ia membagi dunia jadi tiga, tiga bagian pulalah tetua kaumnya memerikan tubuh. Ada jasad, sesuatu yang jelas terlihat, ada ruh yang menghidupkan jasad. Yang ketiga, seperti ruh yang tak terlihat tapi serupa jasad yang hubungannya nyata dengan dunia, itulah sumangaik. Seseorang jadi gila atau pindah ke lain dunia, semisal dunia orang bunian, sumangaik merekalah yang sebenarnya hilang atau terbawa. Seseorang disantet, tasapo (bahasa mereka untuk menyebut orang yang diganggu makhluk halus), dipelet atau diguna-guna, sesungguhnya, sumangaik merekalah yang diambil ditarik pergi dari tubuh mereka. Dengan keyakinan demikianlah, selalu, ia tak pernah ragu memasuki hutan. Seperti halnya juga di hari itu. Sebenarnya, hari itu pagi yang cerah. Semua tanda alam yang sangat ia kenali, sejak malam sampai dini hari, menunjukkan besoknya siang bakal cemerlang. Malam dingin, udara seperti parutan es, dan bumi bagai merembeskan air dari pori-pori tanah. Ia tahu, itulah saat di mana babi-babi melekap lama, menyuruk dalam ke kehangatan sarang, dan buru-buru keluar begitu subuh menjelang. Waktu yang pendek, jangka yang seketika, saat kabut terangkat dan embun dilibas matahari tiba-tiba, babi-babi masih akan berada di perlintasan. Itulah saat yang tepat. Mereka menyebutnya bakutiko: babi-babi masih berkeliaran saat mereka pas tiba di hutan. Jarang sekali mereka bisa memilih buruan. Tapi hari itu sungguh istimewa. Ada empat ekor babi yang mereka lihat di perlintasan, dan mereka memilih yang gemuk, betina, besar, seekor induk muda, untuk mereka giring ke lembah. Saat si babi telah mengarah dan masuk ke jalan setapak yang mereka inginkan, anjing-anjing pun mereka lepaskan. Dan begitulah anjing-anjing segera menghambur, memburu. Dan, seperti para anjing itu, mereka pun ikut berlarian menerobos jalan pintas mengikuti perburuan anjing-anjing. Itulah saat paling riang, paling tegang, sekaligus paling heboh dalam berburu. Karena masing-masing mereka, selain bersorak, juga akan berteriak, mengabarkan segala apa yang mereka lihat kepada para pemburu lain yang mengepung dan memintas dari arah lain. ”Hoooiii, dia mengarah ke lakuuuaakk!” ”Pinggulnya dikoyak Si Puncooo!” ”Pintas dari Bukit Buraaaii!” Punco adalah nama salah seekor anjing mereka. Dan rupanya anjing itu berhasil melukai si babi dan si babi lari ke lakuak. Bukit Burai adalah undukan beberapa bukit kecil di hutan itu. Bila mereka tak ingin kehilangan jejak karena banyaknya lakuak, memang, mereka harus memintas dari bukit itu. Sebelum si babi mencapainya, mereka harus menghadang lebih dulu. Dan, saat itulah tiba-tiba lindap. Tiba-tiba gelap. Entah dari mana, gumpal kabut bagai muncul begitu saja. Apakah bukan kabut? Pada saat cuaca begitu cerah! Semua bunyi, semua suara, juga jadi senyap. Tak ada teriak, riuh sorak teman-temannya. Tak terdengar salak, hondoh-posoh anjing-anjing mereka. Ia, tiba-tiba, juga merasa seolah sendiri. Padahal sebelumnya ia yakin ada beberapa teman mengikutinya. Apakah karena gelap? Ia memanggil, tapi tak ada jawaban dari teman-temannya. Ia berteriak, tapi yang membalas hanya gema sunyi suara sendiri. Apakah teman-temannya telah memilih jalan pintas lain? Mengandalkan naluri, ia teruskan langkah mengira arah ke Bukit Burai. Entah seratus meter, entah dua ratus meter, saat tiba-tiba kembali terang. Secepat hilang, secepat itu pula kembali benderang. Butuh beberapa detik baginya mengenali sekitar, sebelum kemudian merasa asing. Dunia di sekelilingnya, betapa indah. Pepohon besar melengkung seperti kubah. Akar-akar membelit, menjalin, seperti tirai berbaku-pilin. Di antara itu semua, dedaun merumbul dikepung bunga. Beberapa kuntum mencuat, mendongak, bagai berkilau karena cahaya. Entah berapa lama ia terpana. Saat sadar, dadanya berdesir: dunia orang bunian? Kesadarannya sebetulnya belumlah lengkap, belum sempurna, saat lamat- lamat ia dengar suara: orang merintih? Dan, tak butuh lama untuk mencari. Tak jauh darinya, di belakang salah satu pohon yang melengkung itu, sesosok tubuh tersender ke sebongkah batu. Dan betapa ia sangat terkejut. Seorang perempuan! Perempuan muda. Merintih. Mengerang. Seperti terluka. Sebelah tangannya membekap pinggul, sebelah yang lain memegang akar menahan tubuh agar tak jatuh. Memang, di belakang batu itu menganga jurang. Belum sempat ia melakukan apa- apa, sesosok lain bergerak, merangkak keluar dari semak-semak. Dan betapa ia lebih terkejut. Bayi! Seorang bayi! Ia akan melangkah, bergegas hendak menolong ketika matanya terarah ke bekap tangan si perempuan. Luka itu! Sobek itu! Pinggul babi yang dikoyak Punco! Kembali ia sadar. Awas pada diri. Sumangaik. Entah berapa lama ia tak bersuara. Hanya memandang si perempuan yang merintih minta tolong dan sosok bayi yang merangkak ke arahnya. Tiba-tiba, sayup, tapi makin lama semakin jelas, ia dengar suara itu: sorai-sorak, hondoh-posoh, gonggong salak. Dari ketinggian tempat ia berada, ia bisa melihat mereka: teman-temannya, bersama anjing-anjing yang menghambur, memburu, mengejar seekor babi yang tampak telah terluka. Segera ia sadar. Ada yang salah. Saat ia bergegas, si perempuan telah melorot. Tangannya tak lagi berpegang pada akar dan tubuh itu terguling, meluncur ke dalam jurang. Lama ia terpaku. Dadanya sesak napasnya memburu. Di bawah, sedepa di depan kakinya, si bayi mendongak, menatapnya dengan mata itu. Mata itu. Mata yang bertahun-tahun—sampai remaja—berusaha ia kenali, tapi selalu ada kabut yang menutupi. *** ”Masih adakah orang bunian itu, Ayah?” Si lelaki bagai tersadar, mengerjap-ngerjapkan mata, menarik tatapan dari mata putrinya. Mata sejernih itu. Mata sebening itu. Menahan desah, dialihkannya pandang. Lihatlah kini semua berubah. Bukit Burai bagai tak lagi ada, berganti dengan undukan-undukan tanah pribadi; pepohon bertinggi sedang yang teratur dan tertata dan vila di sana-sini. Tiga dunia; dan tiga bagian tubuh, di manakah kini berada? Kalau saja ia seorang asing, seorang yang darahnya bukan tertumpah di tanah ini, ia yakin semua akan berlalu dalam lupa. Tak akan ada tempat, bahkan walau tempat itu sesal terbesar dalam hidupnya. Ia ceritakan semua pada putrinya. Perburuan, teman-temannya, anjing-anjing, babi-babi, dan terutama orang bunian. Tapi, tak pernah sanggup ia bercerita tentang seorang ibu muda yang terluka, merintih, mengerang, yang ia biarkan mati meninggalkan anaknya. ”Ayah?” Sekilas, kembali ia menatap ke mata putrinya. Tetapi kabut itu, tiga dunia itu, bagai deras menolak, mendorong ia balik ke alam nyata: segala yang terbentang di hadapannya. Undukan-undukan itu, pepohonan yang teratur, vila-vila, Bukit Burai yang berubah. Terbayang pula ladang mereka, ladang-ladang penduduk sekitar dan kaumnya, yang telah jauh pindah ke lembah. Orang bunian itu, masih adakah? Sangat ingin ia menjawab: Tidak. Tetapi, lirih, mulutnya berkata, ”Masih.” Payakumbuh, 15 Maret 2010
""Orang Bunian""
Lelaki bermata surya itu bukanlah seorang pria tampan bak pangeran. Toh, tak juga terlalu buruk rupa. Ia juga bukan belia pengobral kata. Hanya seorang lelaki yang tak lagi muda, dengan beberapa gurat keriput di wajahnya. Bibir tipis yang nyaris terkatup sepanjang hari. Sehingga suaranya pun aku lupa seperti apa persisnya. Yang bersemayam dalam ruang ingatanku hanya cengkeraman tangannya. Cengkeraman yang kukuh, liar dan menyakitkan. Cengkeraman yang begitu intim dengan lenganku dan menyisakan beberapa lekukan, jejak hunjam kuku hitamnya. Serta beberapa birat, yang dulunya mengalirkan darah segar. Darah yang kuperoleh dengan susah payah dari sisa makanan yang disedekahkan tetangga. Baiklah, kumulai saja ceritanya. Sebelum temaram yang menggantung di mataku semakin pekat. Kisah hidupku dengan lelaki itu dimulai saat ibu membawa pulang seseorang di suatu pagi yang cemerlang. Dan bayangan yang menghalangi masuknya sinar matahari dari pintu itu ternyata milik seorang lelaki yang dikenalkan ibu sebagai ayah. Aku tak mengenalnya sama sekali. Aku asing dengan wajahnya, tubuhnya, tatapannya bahkan untuk menyapanya, Ayah! Aku tak mengerti dan sedikit tak mau tahu, apakah ia benar-benar ayahku atau seseorang yang dipungut ibu entah dari rimba mana, untuk menjadi ayahku. Yang aku tahu, setelah kehadirannya, aku memiliki seorang ayah. Satu figur yang tak pernah kupunya, bahkan sejak saat pertama aku berkenalan dengan aroma dunia. Sejak kehadiran ’ayah’ di rumah, ibu semakin tak punya waktu untukku. Ia bahkan tak pernah lagi memandikanku. Menggosok tengkukku—tempat di mana daki begitu cepat menutupi putih kulit asli—apalagi memijat kulit kepalaku dengan minyak kemiri. Tak! Yang ada, ibu sibuk mengurusi ayah. Makan ayah, pakaian ayah, air hangat untuk mandi ayah, serta menempeli ayah sepanjang waktu ia berada di rumah. Ibu juga tak peduli padaku, meski ia tahu ada yang berubah pada tampilan fisikku. Aku mulai berlekuk. Sama seperti ibu! Aku juga mulai ketiban ’tamu bulanan’. Yang pertama kali kutemukan saat mengganti pakaian dalam sepulang sekolah. Yang kutatap dengan nanar dan ketakutan, lalu menyurukkannya pada kolong lemari usang di sudut kamar. Cemas dan panik yang memeluk seluruh benak, membuatku menarik selendang usang yang tersampir di balik pintu. Punya ibu. Aku melipatnya tanpa pola. Mengganti celana dalam lalu menyelipkan lipatan selendang di antara selangkangan. Berbagai praduga mengisi benak. Menebak-nebak, benda apa yang tadi mencederai organ keperempuananku? Meski tanya itu tak pernah terjawab, meski ibu tak pernah menyadari kehilangan beberapa selendangnya, meski darah terus mengalir selama enam hari berturut-turut, toh setelah semuanya kembali normal tanyaku juga hilang begitu saja. Dan bulan-bulan selanjutnya aku menjadi terbiasa. Terbiasa mengambil kain apa saja, untuk mencegah darah mengalir. Setelah terkumpul banyak, memberanikan diri untuk mencucinya di sungai kecil beberapa kilometer di belakang rumah. Meski dengan gumpalan rasa jijik, toh aku merasa terhibur dengan aliran darah yang mengalir dari kain-kain basah, lalu menghilang dalam lumatan riak-riak sungai. Tapi itu tak lama. Karena yang terjadi sesudahnya, tiga bulan kemudian, jauh dari gapai duga yang kupunya. Tak terlintas sedikit pun. Ibu pergi. Pergi di suatu pagi. Pergi meninggalkan banyak luka. Luka di tubuhnya dan luka di hatiku. Ia juga meninggalkan banyak darah dan tanya. Darah yang menciprat tak hanya di sekujur tubuh, juga di pematang sawah, di baju ayah, di tangan dan tubuhku yang memeluk tubuh kakunya. Banyak tanya yang tersisa. Namun diam ayah memenjarakan tanya itu di palung hatiku. Kami mengubur ibu di belakang rumah. Tak ada yang mengetahui kematian ibu, selain kami, angin dan helai daun padi yang berayun di sekitar jasad ibu. Aku kerap membeo kalimat ayah bila ada yang bertanya tentang ibu. ”Ibu ke Malaysia, jadi TKW.” Dan dari sudut mata kulihat ia tersenyum samar, puas dengan jawabanku. Lalu semua tanya menguap begitu saja, raib bersama waktu yang berlari. Setahun berlalu seperti angin. Ayah menghabiskan waktunya di rumah dan sawah. Hanya itu. Ia tak pernah mampir di warung, berbincang seperti kebanyakan lelaki penghuni kampung. Ia selalu pulang di jam yang sama. Dan aku, penunggu rumah yang setia. Jauh melampaui anjing tetangga, yang terkadang berlari kesana-kemari. Sepeninggal ibu, kami lebih miskin dari sebelumnya. Makan hanya sekadarnya. Lauk pauk adalah barang mewah yang bersemayam di ranah impian. Tak terjangkau. Paling jauh, sepotong kecil ikan asin yang disuguhkan tetangga bersama sepiring nasi hangat. Hadiah untukku yang membantu menjaga balita mereka. Ayah memang menghabiskan waktunya di sawah. Tapi setengah dari waktu itu dihabiskannya dengan duduk merenung di pinggir pematang. Memandang kosong ke tempat di mana dulu ibu terkapar bermandi darah! Ayah sepertinya memang akrab dengan darah. Beberapa kali dalam sebulan, Ayah selalu pulang dalam keadaan berdarah-darah. Kulitnya berbarut-barut, seperti tergores senjata tajam. Toh, aku tak yakin ia baru berkelahi dengan seseorang. Dan aku tak berani bertanya. Seperti biasa. Aku hanya mencuci pakaiannya yang bernoda ke sungai kecil di belakang rumah. Dan menikmati darah yang mengalir dari baju basah, beringsut mencumbu beningnya air sungai yang mengalir. Entah kenapa aku menikmatinya. Begitu seterusnya. Dan neraka itu mulai menunjukkan aromanya, beberapa bulan setelah fenomena baju berdarah. Ayah kerap marah tanpa alasan. Ia kerap mencengkeram lengan dan mendorong tubuh kurusku ke sudut ruang. Tatap nyalangnya memerintahkanku untuk tetap di situ berjam-jam lamanya. Menghitung detik dalam gelap, yang rasanya lebih panjang dari empat purnama. Dan itu merupakan awal! Ayah bukan lagi figur asing yang pertama kukenal. Ayah berubah menjadi sosok tak terjamah kewarasan. Kehadirannya bukan saja mimpi buruk tapi sebuah reinkarnasi makhluk tak berperadaban. Aku tak mengenalinya. Sama sekali. Tak. Aku ingat malam ketiga dalam hukuman, ketika bayangnya hadir di celah sinar yang menyeruak kegelapan. Membawa pisau berkilau dan secangkir minuman. Hatiku bergetar. Tubuhku menggeletar. Jiwaku tersirap memikirkan apa yang akan dilakukannya dengan pisau di tangan. Akankah aku bernasib sama dengan ibu? Akankah aku mati sebelum menikmati cinta pertama, surga dunia masa remaja yang kucuri dengar dari pembicaraan gadis-gadis di sungai belakang rumah? Namun, sepertinya ketakutanku terlalu hitam. Lelaki itu menyodorkan cangkir di tangannya. Tanpa bicara. Hanya dagunya bergerak sekadarnya, menyuruhku minum. Meski ragu, dahaga lebih dulu mengambil keputusan. Mengalahkan bayang-bayang menyeramkan. Begitu gelas kosong kuletakkan di lantai, ia bergerak membantuku berdiri. Memapah ke ruang tengah. Meja kayu tua satu-satunya yang ada di ruangan itu telah dipenuhi dengan sepiring nasi berteman telur mata sapi yang kuningnya tak bulat lagi. Hmm.., jadi ini bau yang tadi menggugah lelap gelisahku di ruang gelap. ”Makanlah. Hanya ini yang ada..” ujarnya seraya mendekatkan tubuhku ke meja dan meninggalkanku begitu saja. Ia menghilang di balik pintu kamar. Dengan ragu dan berkali-kali menoleh ke pintu kamar yang tertutup sepertiga, aku mengulurkan tangan. Mencoba menjamah nasi yang telah tiga hari tak kunikmati. Tersendat-sendat suap demi suap mengalir di kerongkongan, memenuhi organ pencernaan. ”Sudah?” Aku nyaris terjengkang dari duduk ketika mendengar suara hangat di belakangku. Astaga?! Aku mengangguk gentar. ”Kalau begitu, tolong pijat sebentar, ya? Ayah lelah.” Aku kembali mengangguk. Tak punya pilihan. Aku mengekori langkahnya menuju kamar depan, ruang yang penuh debu, sarang laba-laba dan seperangkat perabot usang. Aku mulai memijat kakinya. Naik ke punggung dan akhirnya kepala. Aku melihat lelaki itu memejamkan mata. Hmm, mungkin ia telah terbang ke alam mimpi, pikirku. Sayangnya tak demikian setelah beberapa saat aku menikmati keras lekuk wajahnya. Mencoba mengenalinya dari jarak yang nyaris tak pernah ada. Ia membuka mata. Tepat menghunjam ke wajahku. Ia menatapku dalam diam, tajam dan menyulut dingin ke sekujur tubuhku. Aku bergidik samar. ”Kau tahu? Kau bukan anakku.” Aku mengangguk. ”Kau tahu? Kau bukan apa-apaku?” Lagi-lagi aku mengangguk. ”Kau tahu? Kenapa aku tetap bersamamu?” Kali ini aku menggeleng, bimbang sesaat. ”Karena ibumu telah menitipkanmu di ambang ajalnya. Dan ia pun telah menitipkan sebuah janji untukku.” Aku terdiam. ”Setahun aku menunggu. Dan kau tahu apa artinya? Itu lebih dari siksa neraka! Lebih dari kiamat! Tapi aku sudah berjanji. Dan sekarang, saatnya aku menepati janjiku pada ibumu.” Aku menatapnya tak mengerti. Namun, sebuah jejak samar dari gerak tubuhnya kemudian menyadarkanku. Membalutku dalam dingin dan geletar tak berkesudahan. Meski sepasang tangan dan sebidang kehangatan mengungkungku dalam kecepatan dan keliaran. Merobek segalanya. Harapan, tangis dan masa depan. Dan dalam erang dan kesakitan aku menghapus nama Tuhan dalam ruang ingatan! Waktu tak sekadar berlalu bagai angin namun waktu juga tak meninggalkan bekas pada kehadiranku. Aku hanya mampu mencerna darah berbeda yang kucuci di sungai belakang rumah. Aku hanya mampu membelai hunjam kuku yang menghitam di lenganku. Dan aku hanya mampu menekuri bayang ibu yang tersisa dalam kubangan dangkal di pematang sawah. Selebihnya, tak! Kau tahu apa artinya darah bagi seorang anak perempuan? Khususnya darah yang mengalir dari organ kewanitaan selama tujuh hari berturut? Itulah pertanda tapak kedewasaan yang tengah diretasnya. Kedewasaan menyikapi hidup dan sekitar. Termasuk kedewasaan menyimak makna darah itu sendiri. Dan kubungkus itu semua di palung hati terdalam. Tersembunyi dalam kegelapan. Purnama. Dan berahi menemukan tambatannya. Aku lunglai di bingkai jendela. Membiarkan lelaki di belakangku mengemasi pakaiannya dan beringsut meninggalkan kamar. Aku terus mengulum amarah, melumatnya perlahan-lahan. Mengendapkannya pada jejalan catatan buram di sudut ruang. Aku menghitung detik. Menunggu pintu berderit dan langkah-langkah menjauh dari jangkauan pendengaran. Rasanya sangat menyiksa. Jauh melampaui malam-malam penuh erang kesakitan. Sekejap sepi mengurungku. Tak ada suara apa-apa, kecuali teriakan tokek yang sesekali memecah hening. Aku beranjak keluar dan berdiri tepat di ambang pintu, mencoba melihat dalam gelap samar-samar. Kuhirup udara dalam-dalam dan memenuhi rongga yang ada di sekujur tubuh. Perlahan mulai mengeja, seiring lambat langkah menembus hitamnya malam yang berpendar secercah cahaya purnama. Pagi terang-benderang. Tapi itu justru menyulitkan untukku melihat dan bernapas. Kepalaku masih terasa sakit. Juga tubuh. Kupegangi kepala yang terasa lembab. Sedikit memicing untuk memastikan cairan apa yang telah mengeramasi kepala. Merah. Aku menangkap warna itu dengan hati menggigil. Hidungku membaui amis. Darah. Hei.., dimana aku? Kepalaku benar-benar sakit. Bahkan untuk mengangkat tubuh pun sudah tak mampu. Mataku mengerjap-ngerjap, mencoba mengenali sekitar. Sejauh mata memandang hanya batang padi yang kulihat, dengan bulir-bulir buahnya yang tertimpa surya bagai keping emas. Menyilaukan. Tempatku terkapar menyerupai ceruk dangkal. Aku mencoba mengingat. Apa yang terjadi? Namun sepertinya itu menjadi pe-er yang rumit. Karena aku tak bisa mengingat apa yang membuatku berada di tempat ini. Tempat di mana aku pernah memeluk ibu dalam kubangan darah. Susah payah kucoba untuk duduk. Tak mudah. Karena sakit di sekujur tubuh telah menghunjam tulang dan urat kesadaran. Namun itu tak seberapa. Karena pemandangan seorang lelaki yang tertelungkup di sawah membuatku tersengat. Sebilah belati menghunjam punggungnya, tempat dimana darah mengucur. Deras dan tak terbendung. Mengalir hingga ke genangan air di sawah. Namun tak seperti di sungai belakang rumah, darah itu menggenang lama di sana. Dan tak berganti warna. Aku menggumam perlahan, Ibu, aku telah menepati janji. Janji saat memelukmu terakhir, di sini.. Dan kulepas senyum terakhir untuk pagi. Pagi yang telah lama tak kunikmati..
""Janji""
Aku mendekat, kurapikan kakinya hati-hati. Aku tersenyum lega merasa kehangatan mengalir di sana. Di luar, hari berlayar menuju petang seperti usia. Bayang pohon memanjang di halaman berlawanan dengan bayang pagi. Suara-suara pembantu senyap di belakang. Telepon bisu di sudut ruang. Di jalan agak jauh di depan rumah kendaraan lalu-lalang, bunyinya menyusup masuk usai berenang meniti daun dan bunga-bunga di halaman. Dibawanya juga harum kenanga ke dalam ruangan. Kuamati wajah Laila sekali lagi, balik ke kursi, menonton tivi. Tidak ada yang patut. Pisah-cerai artis. Heboh, aneh, bagai pasangan hidup hanya mainan. Atau baju, sepatu, dapat kau ganti kapan mau. Tapi aku terus menonton. Siapa tahu Man ada lagi di tivi. Atau telepon berbunyi. Lalu Armin, Arni, berkabar mengenai abang mereka. Di saluran lain film kartun, masak-memasak. Ah. Masakan Laila tentu mampu bersaing kalau tak lebih sedap. Tiga puluh delapan tahun seleraku dimanja, asam urat kolesterol pun tak singgah. Cuma umur, terus menjulur; meretas garis dekat ke batas. ”Oh, hebat ini! Sedap. Luar biasa!” Semua teman pun memuji tiap kali kujamu makan di rumah, dulu, sebelum pensiun–dan jumlah sahabat juga masih lengkap. Macam mana tak hebat luar biasa. Dari kecil Laila suka dan terlatih memasak. Bakatnya turun dari nenek serta ibunya, dia asah tiap hari. ”Pokoknya, masakan Laila itu hm!” puji kakak-kakak perempuan ketika aku disuruh pulang dengan alasan ibu sakit, tahunya mau dijodohkan. Umurku 30 waktu itu. Keluarga cemas aku tidak dapat jodoh di rantau orang, bujang lapuk seumur hidup bak kayu dilahap rayap. Kepalang basah, kutantang mereka, para kakak. ”Hm, itu apa?” ”Macam mana kau ini. Variatif, inovatif, sedap!” ”Dibanding rumah makan Famili Andalas?” ”Jangan mencemooh kau. Ibu saja takjub, amat berharap Laila jadi menantu.” Ayah ikut-ikutan. Saat kami berdua, diajaknya aku bicara, istilah dia, ”obrolan antarlelaki”. Bahwa cinta seorang lelaki diawali dari tengah, dari perut, naik ke dada, baru turun ke bawah. Tak sebaliknya: dari dada atau hati dulu macam anak baru baliq. Apalagi dari bagian tubuh bawah. ”Mengapa begitu?” tanyaku. ”Karena perut itu pusat, keseimbangan. Penyakit asalnya dari perut. Pun nafsu, keserakahan. Karena itu, perut harus kita jaga dengan makanan sehat sekaligus sedap. Karena itu lelaki memerlukan perempuan yang campin memasak, cerdas, baik, selain cantik. Ya, seperti ibumu. Juga, Laila.” ”Memang kalau dari atas dulu, dari hati macam anak baru baliq, kenapa?” “Cinta kau mudah guyah,” ujar ayah. ”Dada itu emosi, perasaan. Dan perasaan rentan terhadap cuaca, mudah berubah.” ”Kalau dari bawah dulu?” Tiba-tiba ayah melotot. ”Dungunya!” dia bilang. ”Dari tadi aku kias-kias tidak paham. Bejat, tahu. Juga tolol. Kau bakalan terjebak menolak kodrat sebagai manusia, mendekat ke hewan. Kau akan terus mencari, tak puas-puas, bak minum air laut!” ”Oh. Eh, pernah Ayah minum air laut? Maksudku, waktu muda.” ”Mana sudi aku!” Ayah kembali membelalak. ”Kau? Mau? Sudah?” ”Ah, aku tak tahan lelah, Yah,” kubilang. Muka ayah cerah. ”Makanya, lekas kau belajar kenal dengan Laila!” katanya. Kemudian aku tahu, memang dia paling bersemangat menjodohkan aku dengan Laila. *** LAILA bergerak. Matanya perlahan terbuka. Dia lihat aku sejenak, lalu beralih melihat tivi. ”Ada lagi?” tanyanya. Suaranya lirih seperti bisik. Matanya redup, hatiku teriris. ”Tidak.” Ya, tambahku tanpa suara. Cukup sekali anak kami, Man, terlihat di tivi diapit pengacara, aparat kepolisian. Jangan lagi tampak, terlebih oleh Laila. Anak, setelah dewasa, beranak pula, memang tidak lagi di bawah-asuh orangtua. Tapi, siapa dapat memupus hubungan anak-orangtua? Siapa mampu mengelak dari derita anak? ”Arman dan Arni?” ”Mereka juga tidak menelepon. Pindah ke kamar, ya. Mereka tak telepon tentu karena tidak ada yang perlu dikabarkan.” Aku masih ingin di sini.” ”Kalau begitu tidurlah kembali. Dokter menyuruhmu istirahat. Tuhan juga.” Ia menyenyumiku. Manis-lembut tetap senyum yang dulu. ”Abang tahu Tuhan menyuruhku istirahat,” dia bilang. Matanya berbinar, mengerdipkan harapan. ”Tentu.” Kutinggalkan kursi, aku dekati dia. ”Ia suruh kita lebih dulu menjaga diri, sebelum orang lain. Dia larang kita mencelakai diri.” Tapi Man bukan orang lain, Abang.” ”Anak kita. Tapi bukan diri kita. Tidurlah.” Laila menarik napas, telentang lagi. Matanya perlahan terkatup. Bulu matanya lentik dilindung alis lengkung halus. Kulitnya putih, bersih. Tubuhnya masih ramping. Aku kecup keningnya dengan sayang. Serasa baru kemarin kami menjadi pengantin. Tak lima menit, matanya terbuka pula. ”Aku ingat ayah Abang,” dia bilang. ”Ya, ya. Aku mengerti. Tidurlah kembali. Istirahat.” Dia sangat percaya aku bisa menjaga perut Abang. Dan, tak sedebu pun yang bukan hak Abang bawa pulang dulu, waktu masih aktif.” ”Ya. Tentu. Lina, istri Man, juga campin memasak sepertimu.” Tapi, mungkinkah dia terlalu sibuk dengan pekerjaannya?” ”Kau pun sibuk dulu, mengajar. Kalaupun sibuk tentu dia pesan pembantu apa yang mesti dimasak. Dia ajari mereka memasak, agar yang disantap tidak hanya sedap tetapi juga sehat.” ”Kalau begitu, kenapa Man.” ”Tidur sajalah kembali. Istirahatlah,” kubilang. ”Mataku tak bisa pejam, Abang. Pikiranku tak dapat lelap.” ”Tetapi tubuhmu membutuhkan. Jantungmu. Dokter menyuruhmu istirahat.” ”Ya, Tuhan juga.” Ia senyum. ”Tapi, menurut Abang, apakah Man tidak selalu makan di rumah?” ”Aku pun sesekali makan di lepau dulu. Kau tahu itu. Di kota macam Jakarta, tak mungkin orang makan siang di rumah lalu kembali ke kantor. Kota itu bukan lagi Jakarta tempo dulu, waktu kita tinggal di situ.” Laila menarik napas pula. Lapat-lapat kudengar suara kendaraan menyusup ke dalam ruang, usai berenang meniti daun dan bunga di halaman. Dia bawa serta harum kenanga yang tumbuh di pekarangan. Dan, hari terus berlayar dekat ke petang; seperti umur, bagai usia. Siapa lebih dulu yang akan tiba di senja, lalu malam, di antara kami berdua? Aku bangkit dari kursi, mendekati Laila. ”Tidurlah kembali. Istirahat,” kataku membujuk. ”Atau, kusuruh Sinah bikin teh? Hangat-hangat. Mau?” ”Aku hanya ingin dekat Abang. Anak-anak, menantu, dan juga cucu.” ”Aku di dekatmu. Aku selalu bersamamu. Jika sembuh nanti, pekan depan kita tengok mereka ke Jakarta.” ”Mereka dulu anak-anak yang manis. Man, Armin, Arni. Man elok laku, sadar benar jadi sulung. Selalu dia mengalah dan bertanggung jawab kepada adik-adiknya.” ”Dia belum tentu bersalah,” kataku. ”Baru dipanggil. Diperiksa polisi, sebagai saksi. Bukan terdakwa.” Mata Laila berbinar lagi, mengerdipkan harapan. Dia juga senyum kepadaku. Lembut-manis tetap seperti dulu. ”Abang tahu,” dia bilang, memegang tanganku. ”Itu yang membuatku dulu tidak ragu menerima Abang waktu kita dijodohkan. Ketegaran, dan kesabaran Abang.” ”Bagiku kecantikan dan ke-campin-anmu memasak. Tidurlah sekarang, kau perlu istirahat.” Perlahan, matanya pejam kembali. Satu, dua, lima, sepuluh menit berlalu. *** LAILA masih tidur di sofa ruang tengah. Angin tak sampai. Hanya lapat-lapat suara kendaraan, agak jauh di depan, di jalan. Juga harum kenanga. Dan hari tak henti berenang dalam petang. Aku masih duduk di kursi mengamati Laila, sesekali melihat ke tivi. Alangkah lengang petang. Betapa sunyi siang di ujung hari. Aku dengar suara galau, kudengar bisik-bisik mengimbau. Adakah anak-anak, terutama Man, tahu, bahwa ayahnya, lelaki tua ini tak sesabar dan setegar yang dilihat ibunya? Adakah dia tahu ada yang remuk di dalam, justru di penghujung usia? Apa kitanya yang kerap ia santap di luar rumah, lalu menjelma nafsu serakah, mengalir dalam darah? Mengapa tak ia jaga lambungnya, perutnya, seperti ayah, juga kakeknya? Seberapa banyak, seberapa lama, seberapa parah gerangan yang ia lahap di luar, sampai-sampai yang berasal dari masakan ibunya di masa kecil, atau dari istrinya kini, seolah tidak berbekas? Tak lama lagi, seiring tiba senja, stasiun-stasiun tivi akan berlomba menyiarkan berita. Umumnya mengenai korupsi. Apakah anak itu, Man, bakal muncul lagi di sana; seperti kemarin, dan jantung ibunya bermasalah, ayahnya remuk di dalam–debarnya serasa menghancur tulang? Aku alihkan mata dari tivi, menengok ke arah Laila. Dia masih tidur di sofa, di ruang tengah, tak bergerak. Napasnya halus, lunak. Dadanya bak tak beriak. Mukanya bersih, putih. Atau, pucat? Tidak, tidak. Kulit Laila memang putih, bersih, dan di saat tidur mukanya tampak semakin putih. Namun aku mendekat juga. Kuraba keningnya, lalu merasa lega karena kehangatan mengalir di sana. Di luar, hari terus berenang menyelesaikan petang. Seperti umur, serupa usia; tidak henti menarik garis menuju batas. Tivi memainkan gambar-gambar. Tik-tok jam di dinding. Sesaat lagi berita-berita. Dadaku kian berdebar. Aku tengok berganti-ganti dari Laila ke tivi, dari tivi ke Laila. Lalu telepon berdering. Seolah rangkaian gelas-piring dibanting. Aku bangkit, bergegas. Bergegas! ”Halo? Bapak?” ”Ya. Arni? Ya, ini Bapak. Ada apa?” Tak ada lagi kata. Hanya sedu tertahan. Di sana, di ibu kota negara, di Jakarta. Dan dari pojok ruang kulihat Laila tidur di sofa, tak bergerak. Dadanya bak tak beriak. Mukanya putih-bersih. Atau pucat? Tidak, tidak. Kulit Laila memang bersih-putih dan saat tidur mukanya terlihat makin putih. Tapi aku ingin meraba keningnya, memegang tangannya, menyentuh jarinya. Aku ingin merasa kehangatan tetap mengalir di sana. (saat bercakap denganmu) Jakarta, Februari, 2010
""Menjaga Perut""
Pertanyaan itu tak serta-merta membuat Asyura berhenti terkekeh. Khawatir makin jengkel dan penyakit bengek yang membuat napasnya megap-megap kumat, Masdudin melangkah keluar meninggalkan istrinya dan membiarkan perempuan yang rambutnya mulai beruban itu menelan tawa dan bahaknya sendiri. Dia baru mendengar teriakan sang istri ketika badan pendek hitamnya hampir hilang di balik rumah tetangga sebelah. ”Bang!” Meski masih menyimpan rasa kesal, Masdudin menghentikan langkah. ”Sini!” Gerimis halus masih turun dari langit. Masdudin berbalik dan mengikuti langkah istrinya ke ruang tamu. ”Mengapa abang tiba-tiba kepingin makan kue gemblong Mak Saniah?” Asyura bertanya ketika Masdudin tengah mengatur napas. Masdudin berpikir untuk mencari jawaban yang pas. Dia sendiri tak tahu mengapa pagi itu, ketika gerimis jatuh dari langit, dia ingat Mak Saniah yang biasanya menjajakan kue gemblong ke rumahnya. Tidak setiap hari juga. Dalam sepekan, dua sampai tiga kali Mak Saniah datang ke rumahnya. ”Syuraaaaa… Syuraaaaaaa… gemblong Neeeeeng!” Mak Saniah biasa memanggil istrinya. Lalu tubuh rentanya duduk di teras rumah setelah meletakkan sebuah panci besar berisi jajanan berupa kue gemblong atau kue unti. Asyura tak pernah membiarkan Mak Saniah pulang dengan tangan hampa. Begitu mendengar suara Mak Saniah, dia segera mengambil piring dan menjumpai Mak Saniah di luar. Selembar uang Rp 5 ribu biasa diberikan Asyura kepada Mak Saniah dan mengambil kue gemblong empat hingga lima buah serta unti dua sampai tiga buah. Mak Saniah tak pernah menjual kue-kuenya lebih dari Rp 500 per buah. Dengan uang Rp 5 ribu seharusnya Asyura bisa mengambil 10 buah kue. Namun, hal itu tak pernah dilakukan Asyura. Dia selalu mengambil kue-kue secukupnya dan membiarkan uang kembaliannya untuk Mak Saniah. Sesekali Asyura juga memberikan Mak Saniah lembaran uang sepuluh ribuan tapi mengambil jumlah kue yang sama serta tak mengambil uang kembaliannya. ”Terima kasih banyak ya, Neng. Semoga rezeki Neng banyak, berkah, anak-anak pada sehat, disayang laki, setia,” kata Mak Saniah selalu sembari menyelipkan uang di balik lipatan kainnya (Mak Saniah semula biasa meletakkan uangnya di balik alas kue dari koran bekas di dasar pancinya. Namun, kini tak pernah lagi dilakukannya karena dia pernah kehilangan uang yang sudah dia kumpulkan sedikit demi sedikit dari para pembeli). ”Lucu juga kalau nggak ada angin nggak ada hujan abang tiba-tiba kepingin kue gemblong Mak Saniah,” kata istrinya. Masdudin melirik ke depan rumah, pada tempias gerimis yang membasahi genting rumah tetangganya. ”Abang ngidam? Ngidam istri kedua abang?” Masdudin memalingkan wajah dari kerlingan istrinya. Bukan dia ingin menyembunyikan sesuatu, tapi untuk membuang rasa kesal yang selalu dilakukannya jika Asyura mulai agak merajuk. Belakangan, Asyura memang kerap melontarkan sindiran serupa itu. Mungkin juga karena usia yang makin beranjak dan garis-garis ketuaan yang kian ramai. Padahal Asyura pun tahu, Masdudin takkan mungkin punya istri lebih dari satu. Dia tak cukup punya modal. Tampang pas-pasan. Kantong pas-pasan. Keberanian pun pas-pasan. Tapi, pertanyaan itu pun wajar dilontarkan Asyura. Sejak pertama kali Mak Saniah menjajakan kue gemblong ke rumahnya hingga kini, gemblong Mak Saniah ya begitu-begitu saja. Bentuknya sama gepeng seperti kue-kue gemblong lainnya, agak besar dan agak lembek. Kue gemblong Mak Saniah juga tak sekering, serenyah, dan seenak gemblong yang pernah dibeli Masdudin ketika dia dan keluarganya jalan-jalan ke Taman Bunga di kawasan Puncak tahun lalu. Jadi, terasa ada yang aneh jika kini dia merindukan kue gemblong Mak Saniah. ”Bang Masdud,” Asyura mengagetkan suaminya. ”Ada apa?” Masdudin jadi sedikit serba salah. ”Aku cuma…” Masdudin menyahut sambil coba mencari jawaban yang pas. ”Aku cuma merasa aneh saja. Belakangan kan Mak Saniah tak pernah datang lagi. Dia kan sudah sangat tua. Jangan-jangan….” ”Sudah meninggal maksud Abang?” Masdudin menyambar permen di atas meja. Sisa jajanan anaknya. Ada sedikit rasa lega di dadanya begitu rasa manis dan hangat merayapi rongga mulutnya. Usia Mak Saniah memang sudah sangat tua bahkan ketika beberapa tahun lalu dia mulai menyambangi rumah Masdudin. Seluruh tubuh putih wanita tinggi besar itu sudah dipenuhi keriput. Langkahnya tertatih-tatih. Apalagi dengan beban panci berdiameter hampir 50 cm berisi kue gemblong dan unti yang dijajakannya. Langkahnya makin terpiuh-piuh. Itulah yang membuat Masdudin atau istrinya tak pernah bisa membiarkan Mak Saniah pergi dari rumahnya tanpa menjual lima hingga enam kue jajanannya. Padahal, kue-kue itu pun hanya dimakan satu-dua buah. Anak-anaknya lebih suka makan panganan lain. Kue-kue gemblong Mak Saniah dibeli hanya agar hati Mak Saniah senang. ”Belakangan Mak Saniah memang makin jarang datang. Aku dengar dia sudah sakit-sakitan,” kata Asyura. ”Tapi ya memang kasihan juga orang setua dia masih juga berjualan,” Masdudin menimpali. Asyura lalu bercerita tentang Mak Saniah lebih panjang. Cerita yang sebelumnya tak pernah dia dengar. Bahwa Mak Saniah adalah wanita dengan tujuh anak. Bahwa anak-anaknya pun sudah pada ”jadi orang”. Bahwa Mak Saniah memilih tetap mendiami rumah sederhananya di kampung yang bertetangga dengan kampung tempat di mana Masdudin dan keluarganya tinggal. Bahwa Mak Saniah, setelah suaminya wafat belasan tahun lalu, memilih menghidupi dirinya dengan berjualan kue gemblong buatannya sendiri. Dengan begitulah dia bertahan hidup tanpa harus merepotkan anak-anak dan cucu-cucunya. ”Jadi, anak-anak Mak Saniah sebetulnya sudah melarang dia berjualan. Tapi Mak Saniah tetap membandel,” kata Asyura menutup cerita panjang lebarnya. Masdudin juga tak pernah meminta istrinya untuk mencari tahu bagaimana kabar Mak Saniah saat ini, tapi pada hari Minggu berikutnya keduanya sudah berada di depan rumah Mak Saniah setelah berusaha mencari dengan bertanya ke sana kemari. Dari bertanya itu pula keduanya tahu bahwa Mak Saniah kini memang sudah tak lagi bisa memaksakan diri untuk berjualan. Beragam penyakit berkumpul dan menyatu dalam tubuh rentanya. Mulai dari pikun, rematik, pengapuran, darah tinggi, sesak napas, dan mata yang tak lagi bisa melihat dengan jelas. Cuma kuping Mak Saniah yang masih berfungsi dengan lumayan baik. Dari pembaringan Mak Saniah menyambut kedatangan Masdudin dan Asyura setelah seorang cucunya, seorang gadis berusia 20-an tahun, mengantarkan mereka masuk ke kamar Mak Saniah. Begitu masuk ke ruangan itu Masdudin dan Asyura membaui wewangian asing tapi menyegarkan. Kamar itu, meskipun tidak terbilang bagus, tampak sangat terawat. Tak banyak benda-benda berserakan. Tempat Mak Saniah berbaring juga sangat bersih. ”Ya Allah mimpi apa ya Mak semalam? Elu tahu rumah Mak, Neng?” sambut Mak Saniah. Masdudin melihat ada genangan air di kedua sudut mata Mak Saniah. ”Ya, kita kan tetangga, Mak. Tetangga kampung. Nggak jauh. Cuma satu kali naik mobil angkutan.” Mak Saniah tersenyum tipis. ”Ya, memang nggak jauh ya, Neng. Makanya Mak pun kalau jualan sampai ke rumah Neng Syura….” Tanpa diminta, gadis yang tadi mengantarkan Masdudin dan Asyura sudah menyuguhkan dua gelas teh panas dengan sekaleng biskuit. ”Ayo, minum dulu dah, Neng. Makan tuh biskuitnya. Cuma itu yang ada. Mak sudah nggak sanggup bikin kue gemblong,” ujar Mak Saniah begitu baki diletakkan di atas meja. Masdudin dan istrinya bertukar pandang dan berbagi senyum. ”Mak juga sebenarnya masih kepingin jualan, Neng.” Mak Saniah melanjutkan kalimatnya sambil menggenggam tangan Asyura yang kini sudah duduk di sisi Mak Saniah di tempat tidur Mak Saniah. ”Bukannya apa-apa, Neng. Mak ingeeeet terus sama orang-orang yang suka beli gemblong Mak, terutama Neng Asyura ama laki Neng Asyura yang nggak pernah nggak beli gemblong Mak. Kalau orang sudah cocok kan susah ya, Neng. Biar banyak makanan laen, tetep yang dicari gemblong-gemblong Mak Niah juga. Iya kan?” Masdudin tersenyum sambil melempar kerling kepada istrinya. ”Betul, Mak. Gemblong Mak Niah memang beda dari yang lain,” Asyura menimpali, menahan senyum. ”Manisnya pas, lembeknya pas, gedenya pas, terus nggak mahal.” Wajah Mak Saniah tampak cengar. Berbinar. ”Ya, Mak mah kalau jualan emang nggak cari untung gede-gede. Yang penting ada untungnya biar sedikit. Cukup buat makan. Buat apa Neng harta dibanyakin. Amal ibadah yang harus dibanyakin. Harta mah nggak dibawa mati.” Dua minggu berikutnya, pada Minggu yang cerah, Masdudin mendengar suara seseorang di luar. ”Saya Cindi, Pak,” kata gadis yang berdiri di hadapan Masdudin begitu dia membuka pintu. ”Saya cucu Mak Saniah yang kemarin mengantar Bapak sama Ibu ketemu Mak.” ”O, iya… iya… saya ingat. Kan baru kemarin,” kata Masdudin seraya mempersilakan tamunya masuk. Dari kamar belakang Asyura muncul dan memperlihatkan kekagetannya. ”Ada apa ini?” Asyura langsung bertanya. ”Apa ada kabar buruk tentang Mak Saniah?” lanjut Asyura. Kali ini, pertanyaan itu disimpannya dalam hati. Namun, ada debar-debar di dadanya. Cindi mengeluarkan sebuah amplop berwarna putih dan memberikannya kepada Asyura. ”Ini ada titipan dari Mak. Katanya minta disampaikan kepada Bu Asyura. Karena ini amanat, jadi buru-buru saya sampaikan.” ”Surat apa ini?” Asyura bertanya. ”Nggak tahu, Bu. Saya juga nggak bertanya kepada papa yang minta saya mengantarkannya ke sini sesuai pesan Mak.” Asyura menimang-nimang amplop itu. Adakah Mak Saniah mengembalikan uang-uang yang selama ini diterimanya karena menganggap dirinya berutang? Rasanya tak mungkin. ”Kabar Mak Inah gimana?” Masdudin tak lagi bisa menahan kesabarannya untuk mendengar kabar Mak Saniah setelah beberapa saat sama-sama terdiam. ”Mak sudah meninggal,” jawab Cindi segera. Ia menatap wajah Masdudin dan Asyura bergantian. ”Innalillahi….” Masdudin dan Asyura berucap hampir berbarengan. ”Meninggalnya hari Jumat kemarin,” lanjut Cindi. Masdudin dan Asyura saling berpandangan. ”Kenapa kami tak dikabari?” Masdudin lebih dulu bersuara. Cindi mengulas bibirnya dengan senyum. ”Maaf… maaf… kami memang kepikiran untuk memberi kabar. Tapi kami belum tahu ke mana harus memberi kabar. Rumah Bapak dan Ibu pun baru saya coba cari hari ini sesuai petunjuk Mak waktu masih hidup. Itu pun karena memang ada amanah yang harus kami sampaikan. Kami tidak mungkin menahan amanah, apalagi bagi orang yang sudah wafat. Alhamdulillah ketemu.” Membuang napas sekaligus rasa menyesalnya karena tak bisa menghadiri prosesi pemakaman Mak Saniah, Asyura lalu ingat cerita Rosa, putri bungsunya. Hari Jumat lalu, kata Rosa kemarin, melihat Mak Saniah duduk di teras rumah mereka dengan panci kue gemblong tergeletak di sisinya. ”Dia nggak bilang apa-apa, bunda. Diam aja seperti patung. Terus aku ke dapur untuk mengambil piring karena ayah nggak ada dan bunda di kamar mandi, Aku kan ada uang dua ribu untuk beli kue gemblongnya. Tapi, waktu aku ke depan lagi, eh Mak Saniahnya udah nggak ada. Aku cari-cari nggak ketemu. Padahal kan dia jalannya lamban. Tapi, aku kejar sampai ke depan juga nggak ketemu. Ya udah, aku nonton TV lagi,” kata gadis berusia lima tahun itu. Asyura ingin menyampaikan cerita itu kepada Cindi, tapi dia membatalkannya karena Cindi sudah buru-buru mohon diri untuk pergi. Asyura dan Masdudin melepas kepergian Cindi dengan ucapan terima kasih berulang-ulang. ”Apa isinya, bunda?” Masdudin mengambil amplop yang masih tergeletak di atas meja. ”Aku juga penasaran. Cepat buka, Bang,” sahut Asyura. Dengan cepat Masdudin merobek amplop itu dan mengeluarkan isinya. Berdua mereka membaca tulisan pertama pada isi surat Mak Saniah: ”Cara Bikin Kue Gemblong Mak Saniah”. Tanah Kusir, 30 Desember 2009
""Kue Gemblong Mak Saniah""
Inilah alasan mengapa Dinaya dulu selalu menolak untuk meneruskan sekolahnya. Betapapun ia menyukai ilmu yang serasa melambungkannya ke cakrawala dunia, ia tahu semua itu akan sia-sia belaka. Ketika kedua orangtuanya memintanya untuk meneruskan kuliahnya, Dinaya menolak mentah-mentah anjuran itu. Dinaya merasa tidak penting baginya untuk melanjutkan kuliah. Perkuliahan akan membuka pikirannya dan membuatnya mengembara ke tempat-tempat yang jauh. Buat apa? Toh pada akhirnya ia akan kembali ke tempat di mana ia berasal. Di sini, dengan posisi seperti ini. Dinaya menyeka peluh yang membasahi pipinya. Tubuhnya sudah terasa begitu lengket. Kedua kakinya pegal luar biasa. Mukanya tentu saja terlihat sangat berantakan. Dinaya tidak ingat lagi berapa banyak pekerjaan yang sudah dikerjakannya sejak subuh tadi. Begitu satu pekerjaan selesai, pekerjaan lainnya menunggu. Begitu seterusnya seolah tidak ada habisnya. Dinaya belum sempat mendudukkan pantatnya barang sejenak pun sejak tadi pagi. Pekerjaan dapur dan tetek bengek rumah tangga ini seolah memutarnya seperti gasing yang tidak tahu kapan akan berhenti. Suaminya, Gusti Nyoman Ghana, tampaknya baru bangun. Dinaya mendengar suara gayung menciduk air di kamar mandi. Ghana pasti sedang bersiap-siap untuk berangkat kerja. Sebentar lagi, ia akan mengenakan seragam coklatnya dan berangkat ke Denpasar. Gusti Nyoman seorang pegawai negeri. Pekerjaan yang selalu membuat suaminya itu bisa membusungkan dada dan menegakkan bahu. Sebaliknya bagi Dinaya, pekerjaan tidak lebih hanya kulit. Yang penting adalah bagaimana orang itu menjalankan pekerjaannya. Satu hal yang tidak dimengerti Dinaya adalah suaminya tidak pernah betul-betul mengajaknya bicara. Ghana memang sering berkata-kata, namun kata-kata itu hanya membutuhkan pendengar, bukan lawan bicara. Ghana lebih sering terlihat seperti bermonolog, berbicara dan kemudian memberikan komentar sendiri atas pembicaraannya. Di manakah posisi Dinaya pada saat itu, mungkin ia hanya menjadi cermin yang memantulkan bayangan suaminya. Ghana juga sering terlihat terlalu sibuk dengan kegemarannya sendiri. Ghana betah seharian dengan permainan play station-nya dan tidak memedulikan apa pun. Secangkir kopi dan sepiring pisang goreng selalu menemaninya mengerjakan kegemarannya itu. Apakah laki-laki ini betul-betul membutuhkan seorang istri? Dinaya tidak ingat kapan terakhir ia betul-betul bicara dengan suaminya. Apakah Ghana mewakili kemiripan sifat yang dimiliki oleh sebagian besar orang di kampung mereka? Lebih suka menutup mulutnya rapat-rapat dan pelit mengucapkan kata-kata. Bukankah bicara bisa memekarkan pikiranmu? Ah sudahlah, tidak ada gunanya ia mengeluh tentang laki-laki yang sudah dipilihnya itu. Laki-laki yang dipilihkan Biyang untuknya dan Dinaya menerimanya ketika ia merasa putus asa untuk menemukan seorang kekasih pada saat batang usianya semakin tinggi. Pernikahan ini mungkin hanya menjadi tempat berlindung baginya karena ia takut disebut perawan tua. Dulu, Dinaya tidak pernah mencintai Ghana. Ternyata makin hari ia makin membenci laki-laki itu. Masih layakkah apa yang sedang dijalaninya ini disebut sebagai sebuah pernikahan? Dinaya menyesal tidak pernah memberi ruang pada perasaannya sendiri. Seharusnya ia biarkan perasaan itu memilih laki-laki yang akan menjadi pendamping hidupnya. Perasaan cinta ternyata hanya tumbuh sekali dalam hidupnya. Cinta itu untuk teman kuliahnya di Malang. Seorang laki-laki Jawa. Cinta itu terpaksa ia telan bulat-bulat ke dalam kerongkongan dan membiarkannya tersekap di ruang sempit di dalam ususnya. Biyang dan Aji tidak pernah bisa menerima laki-laki Jawa menjadi suami Dinaya. Mereka tidak dapat menerima segala kerumitan yang mungkin terjadi bila ia menikahi orang yang begitu berbeda latar belakangnya. Ratusan pertanyaan pun bermunculan di benak mereka dan jawaban dari ratusan pertanyaan itu adalah tidak mungkin, tidak mungkin, dan tidak mungkin sebanyak seratus kali. Dinaya seolah dibenturkan dengan dinding yang mahatebal. Namun, di balik itu, bagi Dinaya, kedua orangtuanya selalu memiliki sikap yang mendua. Mereka begitu terobsesi menambahkan huruf SH di belakang namanya seperti anak kecil yang begitu menginginkan mainan kegemarannya. Biyang dan Aji terus mendorongnya rajin belajar dan meraih gelar sarjana hukum. Waktu itu, Dinaya mengira kedua orangtuanya memang sungguh-sungguh berharap ia akan menjadi perempuan yang intelek. Kini ia tahu, apa yang Biyang dan Aji lakukan tidak semata-mata demi gengsi bahwa anak-anak mereka adalah orang yang berpendidikan. Mereka sendiri tidak siap menerima anak-anaknya yang berubah karena pendidikan yang telah mereka pelajari. Biyang dan Aji sangat menginginkan gelar itu di belakang nama Dinaya, namun mereka tidak ingin ia lebih pintar dari yang mereka kenal dahulu. Dinaya yang masih bocah dan mengenakan seragam sekolah dasarnya. Pada saat itu Biyang dan Aji sering memarahinya karena belum bisa menulis dan membaca. Mereka selalu mengenang Dinaya sebagai anak mereka yang itu. Tidakkah mereka tahu bahwa pengetahuannya sudah jauh melesat ke angkasa? Apakah gelar dapat dipisahkan dengan ilmu yang dimilikinya? Tepat seperti dugaannya. Dinaya hanya bisa pasrah ketika keluarganya menuntut ia membuang semua ilmu yang dimilikinya ke tempat sampah. Kesarjanaan itu kata mereka hanya membuat Dinaya menjadi perempuan yang tinggi hati. Ia direnggut dari tempat yang dicintainya dan dipaksa menempati ruang sempit yang ia rasakan bagaikan penjara. Di sinilah segala kekuatannya dilucuti sehingga segala bentuk pikiran yang pernah dimilikinya dipaksa hanya bisa meringkuk di sudut. Dinaya tahu bahwa suatu saat pikiran itu akan sekarat dan tewas. Dan semua orang di sekelilingnya malah bersorak dengan segala derita yang dialaminya. Seolah-olah Dinaya bukan seorang anak manusia. Dinaya selalu ingin bertanya-tanya dalam hati mengapa laki-laki selalu mendapat pembelaan yang berlebih-lebih? ”Suamimu memintamu untuk berhenti bekerja, Dinaya. Dia bilang begitu pada Biyang.” ”Kenapa dia tidak bicara langsung pada tiang? Bukankah dia masih punya mulut.” ”Dia takut kamu menjadi marah karena ia tahu kamu perempuan yang keras.” ”Apakah dia memang seorang laki-laki?” ”Kenapa kamu mengatai-ngatai suamimu sendiri?” ”Suami pilihan Biyang tepatnya.” ”Kenapa kamu masih saja suka membangkang seperti dulu. Apa umur belum juga mendewasakanmu?” ”Menurut tiang Biyang-lah yang belum dewasa di umur Biyang yang sekarang. Tiang amat mencintai pekerjaan tiang sebagai dosen. Mengapa tiang harus berhenti? Bukankah tiang bisa membantunya secara ekonomi?” ”Suamimu merasa kau lebih mencintai pekerjaanmu daripada dirinya. Dia cemburu pada pekerjaanmu.” ”Laki-laki kurang kerjaan.” ”Belajarlah menghargai suamimu!” ”Bli Gusti yang tidak pernah menghargaiku sebagai perempuan. Mengapa aku tidak boleh mengembarakan pikiranku? Apa yang dia inginkan dari aku?” ”Dia ingin kamu lebih banyak di rumah untuk menemaninya, bukannya sibuk dengan urusanmu di kampus. Lagi pula pekerjaan rumah jadi terbengkalai. Urusan mebanten saja harus minta tolong orang lain. Bukankah seorang istri yang seharusnya mengerjakan semua itu?” Dinaya hanya mendesah panjang. Ia sama sekali tidak setuju dengan kalimat terakhir Biyang. Sebuah keluarga yang harus mengerjakan semuanya. Sebuah keluarga terdiri dari istri dan suami. Mengapa semua orang tidak pernah berubah? Apakah ketika seorang perempuan dilahirkan ke dunia ia telah terlahir sebagai manusia atau hanya sebuah barang yang kebetulan bernyawa? ”Bagaimana kalau tiang menolak?” ”Biyang dan seluruh keluarga tidak akan menjadi keluargamu lagi. Biyang tidak mau anak Biyang menjadi tinggi hati karena pendidikannya.” ”Bukankah Biyang adalah keluarga tiang. Mengapa Biyang malah membela Bli Gusti?” ”Karena kamu sudah menyimpang dari kewajibanmu sebagai istri.” Dinaya meradang. Namun ditekannya kuat-kuat segala amarah jauh di dasar hatinya. Bahkan untuk marah saja Dinaya tahu ia tidak memiliki tempat. Biyang yang dikenalnya sejak bocah tidak pernah berubah. Seorang ibu yang terus-menerus mengkritik anak perempuannya. Dinaya selalu merasa menjadi anak yang penuh kesalahan di hadapan Biyang. Sejak kecil Biyang selalu mengata-ngatai Dinaya dengan kata-kata yang menghancurkan harga dirinya. Perempuan kok bangun siang. Makan kok belepotan seperti babi. Itu badan apa gentong air. Mana ada sih laki-laki yang mau melihat tampangmu. Sekali-kali ke salon dong biar tidak dikira babu. Di hadapan Biyang, Dinaya merasa menjadi manusia yang paling gagal. Dinaya tahu ini bukan kesalahan Biyang semata-mata. Barangkali seluruh cakrawala pikiran Biyang dipenuhi oleh kepercayaan bahwa sumber kebahagiaan perempuan adalah apabila ia memuaskan kebutuhan laki-laki. Biyang tidak ingin putrinya gagal memenuhi kewajiban itu. Mungkin itulah satu-satunya yang dimengerti Biyang mengenai peranan perempuan. Karena Biyang juga pernah merasakan semua yang Dinaya rasakan. Bukankah Biyang lahir dan dibesarkan dengan luka batin yang sama di lubuk hatinya? Sebagai perempuan ia selalu dipandang sebagai barang, sebagai obyek. Yang menjadi berharga sejauh mana ia bisa memuaskan laki-laki. Hanya saja Biyang tidak pernah menyadarinya. Ia terus saja menuntut Dinaya untuk mengamini nilai-nilai yang dipercaya oleh Biyang. Hanya saja bagi Dinaya, ia tidak sudi mengamini nilai-nilai itu. Sebagai manusia ia merasa berhak diperlakukan sama dengan laki-laki. ”Baiklah tiang menuruti Biyang sekarang, tapi bukan karena tiang merasa Biyang benar. Tiang akan berhenti bekerja, tapi jangan harap tiang akan menghormati Bli Gusti. Pernikahan ini memang masih ada, tapi bagi tiang ini bukan pernikahan tiang. Tiang sudah mati dalam pernikahan ini. Yang tinggal hanya raga tiang.” Wajah Biyang terlihat memerah. Dengusan napasnya terdengar sangat keras. Dinaya hanya memandangnya dengan mata tenang. Dinaya tahu hanya ketenangannya yang membuat ia menjadi pemenang. Hari-hari berikutnya Dinaya memusatkan perhatiannya pada setumpuk pekerjaan rumah tangga yang harus dikerjakannya. Dinaya bangun subuh dan mulai menyiapkan masakan di dapur dan menyapu halaman rumah yang penuh dengan dedaunan layu. Tepat jam tujuh pagi ia menyiapkan kopi untuk suaminya. Ghana terlihat menyeruput kopinya dengan begitu nikmat. Tidak pernah ada senyum atau sapa yang diperlihatkan Dinaya untuk suaminya, namun Ghana kelihatannya tenang-tenang saja. Dia sibuk mengoceh mengenai pekerjaannya sendiri. Dinaya semakin sadar, bagi suaminya ia bukanlah seorang istri, namun tak lebih dari perhiasan rumahnya saja. Perempuan yang akan mengabulkan seluruh mimpi-mimpinya akan kesempurnaan dan kekuasaan sebagai laki-laki. Dinaya selalu mengingat dirinya dengan posisi yang sama. Ia dengan mata kosong memandang ke luar dari jendela dapur. Ia merasa terkurung dalam penjara yang disediakan untuk perempuan. Seolah dapur menjadi satu-satunya takdir bagi perempuan sekalipun memasak bukan kegemarannya. Bukankah di luar sana ada begitu banyak macam warna-warni dunia yang bisa dicoba oleh perempuan. Namun ia dipaksa berada di tempat yang tidak diinginkannya. Dan ia pun harus menyediakan waktunya dari subuh hingga malam hari untuk mengosongkan seluruh energi yang dimilikinya. Semua pekerjaan yang tiada habisnya itu akan menghampakan dia sehingga tidak akan pernah ada ruang untuk berpikir. Mungkinkah dunia begitu takut pada pikiran perempuan? Betulkah pikiran perempuan akan menjelma bom waktu yang akan meledakkan dunia? Catatan: biyang: ibu aji: ayah tiang: saya bli: kakak/mas
""Sepasang Mata Dinaya yang Terpenjara""
Di ujung akarnya yang menjentang di permukaan tanah, dengan bersila beralaskan tikar pandan, duduklah Kartika Suryani sejak beberapa saat yang lalu. Mantan guru itu duduk dengan tegak. Usia tidak membuat punggungnya condong. Binar bola matanya di waktu muda masih disisakan oleh usia. Hanya pojok-pojok mata itu yang berkerut dilukis waktu. Rambutnya yang memutih tidak membuat wajahnya renta. Sinar matahari pagi mendatangkan kecerahan pada penampilannya. Di bawah pohon tua itu dia menanti murid-muridnya. Tentu bukan untuk memberikan pelajaran lagi, tetapi guna menepati janji yang sama-sama mereka sepakati dua puluh tahun yang silam. Janji yang lahir dari pedihnya kebebasan dan kejujuran. Kartika memang cuma seorang guru bantu, tetapi dia telah membawa suasana baru ke sekolah itu. Dia selalu menyelipkan kelakar untuk menyingkirkan suasana bengis yang selama ini merajai ruang belajar. Kedudukannya sebagai guru tidak mengungkungnya untuk menjaga jarak dari murid. Dia memperlakukan mereka layaknya anak sendiri. Teman malah. Terkadang dia memberikan tanda mata berupa manisan atau alat tulis kepada murid, yang menurutnya, pada hari itu telah menunjukkan upaya yang lebih besar dibandingkan kemarin. Dengan begitu, penghargaan itu tidak hanya monopoli murid yang paling pandai, tetapi juga menjadi sumber kepercayaan diri bagi mereka yang telah berusaha untuk menyayangi diri sendiri dengan berbuat lebih baik. Untuk menghidupkan suasana kebebasan, tak jarang dia mengajak murid-murid keluar kelas dan belajar dengan bergerombol mengelilingi hariara di pekarangan belakang. Ke kelas mana pun dia menampakkan diri, simpati dan sukacita tumpah padanya. Matanya yang berbinar dan senyumnya yang murah acapkali memancing murid-murid pria, yang suka iseng, diam-diam menyambut kedatangannya dengan suitan. Dia tidak hanya menjadi buah bibir di sekolah, tetapi juga bahan pujian di meja makan ketika murid-muridnya menceritakan kepada orangtua mereka tentang seorang guru yang cara mengajarnya membuat mereka betah di kelas. Begitu masuk kelas, dia bukannya langsung memerintahkan murid-murid untuk membuka buku pelajaran, tetapi memulainya dengan percakapan enteng tentang apa saja. Dia menyemangati murid-murid supaya berani mengemukakan pendapat tentang pelajaran yang mereka peroleh kemarin dan mimpi apa yang mereka ingin gapai hari ini. Muridnya memanfaatkan kesempatan di menit-menit awal menjelang pelajaran itu untuk menyampaikan kritik maupun pujian. Kuping Kartika tak pernah tipis. Dia selalu mendengar dengan sabar dan penuh minat. Semangat untuk menyatakan pendapat itu rupanya sudah tidak memperoleh ruang yang cukup kalau hanya diutarakan dalam beberapa menit menjelang pelajaran dimulai. Kartika kemudian menyediakan buku harian yang dia bentangkan di dekat pintu. Ke dalam halaman buku itu dia persilakan murid-murid untuk menuliskan apa saja yang mereka rasakan, atau pikirkan, tentang sekolah dan dunia mereka sendiri. ”Banyak yang bilang masa di sekolah menengah merupakan penggal kehidupan yang paling membahagiakan. Masa keemasan itu akan terampas ketika kita sudah duduk di perguruan tinggi, lantaran kehidupan senyatanya sudah di depan mata. Benarkah itu? Tolong beri aku jawaban. Tapi, jangan klise, ya…!” begitu kata seseorang di buku harian itu. ”Tidakkah bisa dipikirkan bagaimana mengajarkan matematika supaya menarik, bukannya seperti menyuapkan simbol-simbol yang menyebalkan, mati, dan diajarkan dengan sikap yang sukar dibedakan apakah guru atau monster?!” tulis yang lain menumpahkan kedongkolan. Ada pula yang menulis dengan awal yang manis, tetapi ditutup dengan sikap seperti mau bunuh diri karena tak ingin kehilangan: ”Sumpah, swear! Kesemarakan hidup hanya kutemukan di sekolah ini, pada guru yang begitu besar cinta mereka kepadaku. Dan teman- teman hebat semua. Baik-baik bangat! Kalau boleh memilih, gue kepingin mati di sini aja.” Di sebelahnya, ada pula yang menanggapi dengan berseloroh: ”Enjoy aja neng, napa sih, he-he.” Buku harian itu menjadi bahan pembicaraan ketika muncul sebuah kritik yang terlalu berterus terang dan tajam di situ. ”Ini adalah sekolah. Kata-kata guru di sini harus menjadi kenyataan tanpa tawar-menawar. Mereka berbicara mengenai lingkungan yang sedang terancam. Gak usah ngomong pake kaka-kata segede gajah, deh. Bicaralah tentang kamar kecil, kawan! Bak airnya kumal. Tali air di lantai mirip najis yang belepetan mencari jalan keluar. Tidakkah sekolah ini bisa memberikan contoh yang baik bagaimana hidup yang beriman? Kandang kuda tak sepesing ini.” Kabar tentang keberadaan buku harian itu menyebar ke mana-mana. Murid dari kelas lain turut menikmati keterusterangan yang mekar di halamannya. Mereka seperti menemukan pintu masuk menuju sebuah lekuk kehidupan yang menenteramkan di situ. Banyak yang cemburu mengapa di kelas mereka tak terbentang buku tempat mencurahkan perasaan. Sementara guru yang merasa tersindir di halaman buku itu jadi kepanasan dibuatnya. Terutama kepala sekolah. Untuk beberapa guru, kritik dan kecaman yang ditulis di situ terasa seperti duri yang benar-benar mengusik ketenangan mereka. ”Siapa lagi yang bikin demokrasi edan ini kalau bukan si ganjen itu. Guru bantu saja sok selangit!” Guru-guru yang kegerahan terkena sentilan di buku harian itu menebarkan kebencian dari kelas yang satu ke kelas yang lain, dari satu kolega ke kolega yang lain. Hasut-menghasut membanjir supaya buku itu diberangus, disingkirkan. Puncaknya bukan pada kritik yang dilancarkan para murid, tetapi pada Kartika Suryani, yang sudah tak tahan membendung banjir perasaannya. Untuk pertama kali dia mencurahkan kata hatinya: ”Aku tak pernah menyangka bahwa suatu ketika, dalam hidup ini, aku akan menemukan kepelikan yang muncul dari sikap korup seseorang yang semestinya menjunjung tinggi kejujuran. Karena kata inilah yang justru sering dikumandangkannya di depan murid-murid, pada setiap upacara seninan. Dan inilah yang menyakitkan. Dia menyuruh aku untuk menjadi penghubung, menemui seseorang yang akan memberikan kunci jawaban ujian nasional di suatu tempat. Mimpi buruk macam apa yang kudapatkan ini? Penghinaan seperti apa yang sedang dia rekayasa untuk merendahkan derajat anak-anakku? Aku tak mau dan tak bisa terlibat dalam kejahatan ini… Aku telah memilih untuk meninggalkan sekolah ini.” Zaman sudah berkelok dan jauh meninggalkan kodratnya. Seorang kepala sekolah sudah bukan lambang di mana kejujuran menemukan bentuknya. Kartika harus menutup buku yang menjadi jangkar bagi para muridnya untuk melabuhkan kata hati yang sering datang meronta-ronta. Dia hanya seorang guru bantu. Dia tidak dilahirkan dan tidak dikirimkan ke sekolah itu untuk menjadi dewi penyelamat. Bakat sebagai pembangkang juga dia tak punya. Hanya saja, dia tak punya nyali untuk menipu dan membungkam keyakinannya sendiri. Sebagaimana yang disumpahkannya di dalam buku harian itu, maka dia memilih berhenti. Dia mengajak seisi kelas untuk mengadakan semacam upacara perpisahan dengannya di sekolah itu juga, pada satu pagi di hari Minggu. Murid-murid membawa tanda cinta dan air mata mereka yang penghabisan dalam bentuk kado kecil-kecil yang mereka bungkus sendiri. Kartika membalas semua itu dengan terima kasih dan peluk cium. ”Mari kita tanam buku ini di sini, sebagai tanda terima kasih kepada lembar-lembar halamannya kepada siapa kita telah belajar tentang keberanian dan memercayakan perasaan kita. Lembar-lembar kertas yang telah ikut membesarkan kita semua. Kebebasan berpikir dan mengungkapkan kata hati takkan pernah bisa dibungkam. Dan itulah yang telah kita lakukan dengan catatan harian ini,” katanya seraya menahan perasaan dan titik air mata. Seperti sedang meratapi peruntungannya sendiri, katanya pahit: ”Saya tahu mencari pekerjaan buat saya tidaklah mudah. Tetapi, saya tak pernah takut jadi miskin. Saya hanya gentar pada kejujuran.” Dengan kesepakatan murid-murid yang tegak menahan emosi, buku itu diputuskan supaya ditanam. ”Kita yang setia kepada kejujuran diharap datang lagi ke sini, tepat di sini, di bawah pohon ini, pada hari ini juga, Minggu, persis dua puluh tahun mendatang. Kita akan lihat bagaimana kejujuran akan menunjukkan wajahnya. Apakah dia pernah menjadi tua…?” Kata-kata itu membuat upacara di bawah pohon itu terdiam oleh haru. Dengan setangkai cangkul yang dia bawa sendiri, Kartika memulai galian pertama, diikuti semua muridnya, satu-demi-satu. Buku harian itu dimasukkan ke dalam kantong plastik dan dikuburkan di bawah pohon hariara di pekarangan belakang sekolah itu. Persis dua puluh tahun kemudian, pada hari ini, hari Minggu, sebagaimana yang sudah disepakati, Kartika sudah duduk menanti di antara akar-akar hariara yang menjalar melilit-lilit memperkokoh cengkeramannya di tanah. Punggung Kartika Suryani tetap tegak. Juga lehernya yang jenjang menadah sapuan angin pagi. Matanya menatap ke pintu gerbang. Dan dia ingat, gerbang itu dulu terbuat dari kayu, yang kalau dikuakkan akan berderik. Kini, pintu masuk itu adalah besi kempa berukir. Waktu masih mengajar dulu, dia selalu datang lebih awal dari murid- muridnya. Menjadi orang pertama yang melintas di gerbang itu, dia selalu disambut tukang kebun yang kini sudah tiada. Dan, sebagaimana dulu, pada hari ini, dua puluh tahun kemudian, mantan guru bantu itu mendahului kedatangan murid-muridnya guna menepati sebuah janji untuk menyaksikan kejujuran yang tak bisa dibengkokkan. Mereka akan bersama-sama menggali tanah di kaki pohon tua yang berkeriput itu, mengeluarkan sebuah buku harian, di mana kebebasan dan kejujuran mereka telah menemukan bentuknya yang paling awal. ***
""Di Kaki Hariara Dua Puluh Tahun Kemudian""
Orang-orang di kampungku menyebutnya kingkilaban. Seperti sebuah isyarat atau gelagat. Kau ingin memahaminya, tapi bagiku menghayati sudah cukup. Sebab ada banyak rahasia yang tak terurai dalam bening pikir manusia. Semakin ingin memahami, semakin jauh tersesat dalam pemahaman yang terkadang memasuki wilayah amarah. Kita masih di teras sebuah mesjid. Menunggu gerimis reda. Kau tak ingin menyeberangi titik-titik air itu. Kau ingin berteduh dan menunggu. Menghitung gerimis yang malas. Atau angin yang benar-benar nyaris diam. Cahaya-cahaya temaram di sekitar pelataran mesjid ini semakin meremangkan suasana, koridor yang melingkari mesjid, sungguh sunyi, memanjang dan berkelok, namun di sanalah sesungguhnya matamu mengembara, entah kepada kenang atau harapan, namun aku tak terletak di sana. Entah di mana aku malam ini pada dirimu. Kau menyandarkan tubuh pada tembok yang mulai lembab. Menggenggam pemantik dan memainkan percikan api. Seperti ada sesuatu yang ingin kau bakar. Entah apa. Sebab masa silam tak bisa dibakar dengan apa pun. Seperti juga dosa yang tak bisa dihapus. ”Di mesjid ini dulu aku sering kali tidur dan koridor itu tidaklah seperti ini.” Bisikmu saat percikan api semakin sering di jarimu. ”Ada banyak burung bersarang di kubah masjid ini. Kicaunya menyusup dalam sujudku.” Kataku sesaat menatap matamu yang asyik menatap api lantas pandanganmu menyeberang ke setiap lekuk koridor. Pada salah satu tiang penyangganya kau katakan, kau sering kali duduk dan bersandar. Mungkin seperti posisi dudukmu sekarang. ”Ada banyak malam yang terjaga.” Ucapmu sesaat setelah kupinjam pemantik dan kunyalakan rokok terakhirku. Aku seperti mendengar malam-malam yang resah. Entahlah, barangkali aku salah mengartikan namun kata terjaga terucap sedemikian berat. Seperti memanggul beban dan murung. Asap rokok keluar masuk paru-paruku, lalu melayang di udara basah. Seperti juga kabut yang pelan-pelan muncul di matamu. Melayang, naik, kemudian hilang begitu saja. Sering kali kutanyakan kepadamu. Ke mana sesungguhnya api lenyap, ke manakah asap sirna. Dan sering kali kau hanya diam. ”Terdapat banyak sajak dalam malam-malam terjagamu.” Pada isapan ketiga aku menimpali. Dengan berusaha mengulang intonasimu pada kata terjaga. ”Bukankah kita disarankan untuk terjaga ketika orang lain terlelap.” Kau menggeser duduk dan berbalik menatapku. Sepertinya kau terganggu dengan cara pangucapanku yang terkesan seperti meledek. Padahal aku cuma ingin sedikit merasakan suasana terjaga. ”Ya. Teramat banyak malam-malamku terjaga lantas terlalu lelap dalam terjaga itu.” Aku kini terseret jauh ke belakang pada malam-malam yang dipenuhi hujan. Terjaga dengan gigil. Tanpa api sama sekali. Tak ada api. Beberapa helai rambut nampak lolos dari perangkap kerudungmu. Garis-garis hitam lembut itu begitu tegas pada pipimu. Sementara di langit garis-garis bulan nampak perlahan membongkar awan. Angin mulai bangkit di bumi maupun di langit, di teras mesjid maupun di hati. Gerimis belum usai. Di lampu-lampu temaram, jarum gerimis masih berguguran. Pada koridor beberapa orang melangkah dengan hening. Tak ada suara sama sekali. Kau seperti merindukan sesuatu, sementara aku kembali merindukan gaduh kicau burung-burung di kubah mesjid. Barangkali kau merindukan gaduh yang lain, kicau yang lain, burung yang lain pula. Aku merindukan kembali sujud yang riuh itu. Tak bisa kusebut khusyu namun aku mendapati sebuah pengembaraan yang ajaib, ketika tiba-tiba mendapati seluruh burung menyusup dalam sujudku. Kukatakan padamu, bahkan aku tak mengingat apakah membaca doa atau tidak pada sujud itu. Entah berapa lama aku tersungkur. Karena seluruh yang ada di mesjid telah kosong ketika aku ucapkan salam ke arah kanan dan kiri hidupku, padahal sebelum aku shalat masih banyak yang shalat maupun dzikir. Tinggal aku, suara burung dari kubah, detik waktu dari jam dinding. Mesjid sungguh lengang namun terasa sangat berisi. Utuh. Dan aku ada dalam lingkaran keutuhan itu, menjadi bagian di dalamnya. Dan ini saat aku mengenal sesuatu yang bernama haru. Tadinya aku ingin mengajakmu untuk shalat berjamaah. Tapi sayangnya ini masa saat kau sedang tak shalat. Seandainya tadi kita jadi berjamaah, mungkin kau pun merasakan apa yang kurasakan. ”Tuliskan dalam sajak-sajakmu.” Pintamu, matamu semakin jauh menerawang. Mungkin masih mengembara. Masih tak kutemukan diriku di sana. Di mana kau letakkan diriku sesungguhnya. ”Ah, barangkali kau sekarang sedang menemukan getar sajak dari tanah kenanganmu.” Sesungguhnya aku meraba kegelisahan dari tatapanmu. Akar seluruh sajak-sajakmu. ”Masa itu telah usai pada sajak-sajak yang telah lewat. Aku tak bisa lagi menulis sajak sejak menemuimu. Seluruh sajakku melulu tentang duri waktu. Tentang manis kematian. Telah kau rontokkan seluruh duri itu. Kini aku hidup. Ingin hidup. Maka aku tak menemukan sajak lagi.” Kau kembali mengambil pemantik dari jariku, mempermainkannya layaknya anak kecil menemukan mainan. ”Sajak tak pernah mati, bukan?” ”Ya.” ”Dan kau merindukannya?” ”Aku lebih merindukanmu.” ”Dan kau gelisah.” ”Ah, pada setiap sajakmu, sekarang ini, aku mencecap kenikmatan seketika aku menulis sajak. Pada setiap kata-katamu kutemukan kata-kataku.” ”Lantas di mana kau tempatkan aku pada dirimu?” ”Utuh pada diriku.” ”Belum seluruhnya utuh.” ”Kau tak percaya padaku?” ”Utuhkan diriku pada sajak-sajakmu.” ”Dirimu hidup dalam doa-doaku.” ”Doa adalah penyatuan dengan-Nya. Sedang denganku akan utuh dengan sajak-sajakmu. Aku merindukan kata-katamu, terlebih jika diriku terdapat di dalamnya. Jangan membuat sajak untukku. Sebab itu hanya akan membuatmu kehilangan kata-kata. Jadikan aku kata-kata dalam sajakmu. Mungkin kau akan kembali menulis. Karena aku pun begitu.” ”Kau hanya membujukku untuk menulis kembali.” ”Kau gelisah. Diam hanya akan mengasahnya menjadi gelisah lain yang liar. Kau tahu? Aku tak bisa melukiskan kicau burung tadi, ataupun sujudku tadi. Sampai kapan juga kau tak bisa merangkainya jadi kata. Tapi burung dan sujud adalah kata itu sendiri. Sajak itu sendiri. Karena itu aku akan menulis diksi burung dan sujud dalam sajakku. Seperti apa sajakku, entahlah. Aku hanya akan menuliskannya. Baru niat. Tapi ini lebih baik dari tidak sama sekali. Setidaknya gelisah sedikit reda. Jika menunggu memahaminya, aku tak tahu kapan aku akan mulai menulisnya.” ”Kaulah yang meredakan gelisahku.” ”Lantas gelisah yang kini mekar di matamu, nyatanya tak reda dengan kehadiranku. Gelisah yang murni lahir dari persinggunganmu dengan hidup, dengan semesta.” ”Sudahlah. Aku hanya ingin menikmati kebersamaan kita kali ini. Mungkin lebih pekat, karena tempat ini menyimpan beragam kenangan bagiku.” Kau berusaha tersenyum seperti ingin menyudahi percakapan dan kembali sama-sama hening dan sunyi. Seperti koridor itu, seperti koridor itu. Gerimis tinggal jejaknya. Bulan purnama begitu bulat merayap di langit yang mulai ditinggalkan awan. Bintang bersinar terang di puncak langit, tepat di tempat kita menengadah. Terdengar bunyi saklar dari dalam mesjid. Satu per satu lampu ruangan padam. Seseorang membawa sapu lantas menyapu lantai. ”Kenapa kau mengantarku shalat di mesjid ini?” ucapku sembari berdiri dan mengajakmu untuk segera beranjak, karena gerimis tak lagi hadir. ”Karena aku ingin menulis sajak.” Ucapmu menggenggam jemariku. ”Sudah?” ucapku sedikit terkejut. ”Telah lunas seluruh kenangan, maka kau akan temukan dirimu dalam sajak-sajakku. Tak lama lagi. Aku akan kembali menulis.” ”Aku tak sabar untuk membacanya. ”Bisikku, saat dua pasang kaki menyusuri koridor yang sunyi. Dan kutemukan dirimu pada setiap tiangnya. Tersenyum padaku. Tanpa kutahu artinya. Tapi kutemukan diriku dalam senyum itu. ”Kau telah membacanya.” ”Yang mana?” ”Aku mengirim seluruh burung dari hutan hatiku untuk bersarang di kubah mesjid ini, telah kususupkan seluruh kicau rindu pada sujudmu, telah kau dengar seluruhnya, sajak-sajakku kembali hidup. Di mesjid itu kusimpan seluruhnya, kata dan kalimat, cinta dan perjalanan. Telah kau reguk seluruh isinya. Kini kata-kata kembali mengalir dengan dirimu berdenyut di sajakku.” Kau berbicara dengan tenang dan pelan. Aku perlahan melayang dalam kata-katamu. Meninggalkan mesjid dengan sesuatu yang tak terkatakan.
""Al Furqon, Sebuah Malam Sebuah Sajak""
Ia selalu duduk di sana, di meja paling pojok. Sering kali ia menyandarkan kepalanya di dinding kaca, membiarkan rambut panjangnya yang terurai menyentuh dinding itu, seakan mewakili dirinya untuk selalu mengawasi jalan di luar sana. Seperti itu. Selalu seperti itu. Awalnya, kupikir ia seorang karyawati baru di salah satu kantor yang ada di seberang jalan. Ya, tentulah aku menduga serupa itu. Sebab baru kali itu kulihat ia di café ini. Telah berapa lamakah aku menghabiskan hari-hariku di sini? Tiga tahun, empat tahun, atau mungkin telah lima tahun? Aku sendiri hampir lupa, berapa lama aku mendedikasikan hidupku untuk sesuatu yang disebut pekerjaan dan pastinya, baru kali itu aku melihatnya di sini, di café langgananku. Ia selalu duduk di bangku yang sama, menu yang sama: secangkir kopi dan sepotong kue—yang nyaris selalu tak ia sentuh. Mata sayunya selalu fokus menatap jalanan di luar sana, seolah-olah tengah menghitung berapa mobil yang lewat. Ah, tidak. Tentu dia menunggu seseorang. Ya, mungkin saja ia tengah menunggu seseorang. Kekasihnyakah? Suami. Teman. Rekan bisnis. Ah, aku lebih yakin ia tengah menunggu kekasihnya. Mungkin mereka telah membuat janji untuk bertemu di café ini. Sayangnya, duga itu harus kubuang jauh-jauh. Berapa lama seseorang mau menunggu kekasihnya menempati janji kencan mereka? Satu hari, satu minggu, satu bulan, atau seperti perempuan itu yang telah tiga bulan setia menunggu di sini. Saban petang saat jam berada di angka empat sampai enam. Ah, tentu ia seorang kekasih yang demikian setia. Namun, lama-lama aku menjadi iba dengan dirinya. Ah, tidak. Mungkin pula tertarik atas perilakunya. Oh, tidak-tidak. Aku, aku suka dengan matanya. Sepasang mata sayu yang setia mengawasi jalan di luar sana, mata sayu yang tiba-tiba begitu banyak melontarkan cerita. Mata sayu itu begitu mencuri perhatianku. *** Mulanya, aku tak bisa memahami cerita dari mata sayu itu. Lalu, mataku menafsirkannya dengan begitu baik. Dan aku terhanyut, tersentuh hingga selalu rindu untuk mendengar cerita dari mata sayu itu. Cerita pertama yang aku dengar dari mata sayu itu adalah tentang alasan mengapa perempuan itu duduk di sini, menatap jalanan, dan memilih jam di antara pukul empat sampai enam petang. Rupanya, dugaku sedikit benar. Ia memang menunggu seseorang. Sayangnya, ketika kutanya mata itu: siapakah yang ia tunggu? Mata itu bungkam dan tak ingin bercerita. Mungkin, terlalu sukar baginya untuk menyebutkan nama seseorang yang ia tunggu itu. Ketika aku tak memaksa untuk menyebutkan orang yang ia tunggu itu, mata sayu itu kembali mau bercerita. Katanya, ia selalu datang ke sini untuk menjumpai seseorang, seseorang yang telah mencuri perhatiannya. Seseorang yang telah menorehkan sesuatu yang begitu dalam di hatinya. Ah, tentu itu cinta, tebakku. Mata sayu itu terdiam, cukup lama dia diam, mungkin ia mengingat atau merenungkan ucapan yang baru saja aku lontarkan: apa mungkin memang cinta yang tertoreh di sana? Bisa jadi. Bisa jadi memang cinta yang tertoreh di hati, ujar mata sayu itu. Aku tersenyum kecil mendengar itu. Ya, siapa yang sudi menunggu berhari-hari untuk seseorang yang tak begitu penting? Tentulah hanya karena cinta yang dapat menyebabkan seorang perempuan seperti pemilik mata sayu itu, rela menghabiskan tiap petangnya hanya untuk menunggu seseorang yang tak pasti kapan datangnya. Cinta. Hanya alasan itu sajalah yang bisa membuat orang berbuat serupa itu. Tentu seseorang itu lelaki yang tampan. Oh, apakah ia laki-laki? Ah, mata sayu itu tiba-tiba merona, seperti ada binar-binar yang meletup dan begitu bergairah di dalam retinanya saat aku menebak seseorang itu lelaki yang tampan. Baru kali itu, ya baru kali itu, aku melihat mata sayu itu berbinar: cantik dan terasa sangat hidup, menyulut suatu gairah yang bersemayam dalam dadaku. Pipinya ikut-ikutan merona, mata itu mengangguk kecil. Ah, ia mengiyakan tebakanku. Aku tepat menebak seseorang yang ia tunggu itu: seorang laki-laki tampan yang telah mencuri hatinya. Oh, ini kisah cinta yang romantis. Tapi, bukan ketampanan lelaki itu yang membuat mata sayu itu tertarik kepadanya. Aku jadi terdiam ketika mata sayu itu mengungkapkan hal itu. Lantas, apa penyebabnya? Apa wangi tubuh seseorang itu? Ya, ya, bisa juga. Bukankah perempuan suka dengan bau laki-laki? Bau yang menggelitik hidung dan menggelinjangkan jantungnya. Oh, rupanya bukan pula, mata sayu itu menggeleng. Kalau bukan wangi tubuhnya lantas apa? Aha, biar kutebak lagi, tentu postur tubuh seseorang itu. Apakah ia lelaki berbadan atletis? Dada bidang yang begitu kekar, banyak bulu di sekujur tubuhnya, rahang kuat yang menonjol. Oh, perempuan memang akan tergila-gila dengan lelaki serupa itu, berbadan bagus, wajah tampan, apalagi? Tentu ia lelaki yang sempurna. Bukan pula! Lalu, apa penyebabnya? Mata sayu itu tersenyum malu-malu, ah manis sekali ketika ia tersipu seperti itu. Seperti gadis ABG yang kali pertama jatuh cinta dan seorang pemuda impiannya mengirimi sepucuk surat. Oh, kau suka matanya. Ya, aku tahu. Mata memang sesuatu yang indah. Apakah mata lelaki itu indah? Mata sayu itu mengangguk, ia melukiskan betapa indah mata seseorang yang ia tunggu itu. Matanya coklat dengan bagian putih yang teramat bersih. Mata yang begitu mempesona, mata yang sangat pandai mengisahkan segala harapan yang ada, mata yang selalu membuatnya tak sabar menunggu hari esok untuk berjumpa, mata yang menyemangatinya untuk datang lebih awal, mata yang selalu mengajarinya untuk tak lelah, mata yang kerap melambungkan imajinasinya. Mata itu, mata sayu milik lelaki yang ia tunggu. Ah, mata sayu itu kembali berbinar ketika ia menyebut keindahan mata seseorang yang ia tunggu itu. Aku jadi membayangkan mata seseorang itu. Apa matanya seperti mata sayumu? Mata yang begitu indah dengan kisah-kisah yang sangat menghanyutkan. Oh, tidak. Benarkah? Benarkah jauh lebih indah dari matamu yang sudah begitu mempesona? Ah, mata sayu itu mengangguk penuh keyakinan. Tak dapat aku bayangkan mata seseorang itu kalau matanya jauh lebih indah dari mata sayu perempuan ini. Alangkah sulit melukiskan mata yang jauh lebih indah dari matanya, sebab bagiku mata sayu itu sungguh mata yang luar biasa indahnya, kalau ada yang lebih indah. Oh, kanvas mana yang bisa menampungnya? Kuas mana yang bisa menggoreskannya? Pantaslah kalau mata sayu itu begitu menyukai seseorang yang ia tunggu itu. Pantaslah. Sangat pantas. Kini, barulah kupaham, mengapa perempuan pemilik mata sayu itu rela berhari-hari menunggu seseorang itu. Ia seseorang yang sangat istimewa, seseorang yang telah menorehkan sesuatu dalam hatinya, mencuri perhatiannya. Seseorang yang memiliki mata yang begitu indah, mata yang telah membetot mata sayu perempuan itu. Mungkin, jika aku yang menjadi perempuan itu, aku pun akan melakukan hal serupa, menunggu dan akan selalu menunggu seseorang bermata indah dan penuh cerita itu kembali dan bercerita lagi. Itulah mengapa aku semakin rajin datang ke café ini setelah pulang dari kantorku di seberang jalan sana. Aku ingin menemui mata sayu itu, mendengarkan kembali cerita-ceritanya dan menikmati betapa indah bola matanya. Selain itu, aku ingin menemaninya menunggu seseorang itu, tentu ia lelah dan kesepian jika menunggu seorang diri. Dan juga, aku penasaran dengan seseorang yang ia tunggu itu: apa benar seseorang itu memiliki mata sayu yang jauh lebih indah dari matanya? Aku ingin menyaksikan sendiri keindahan mata seseorang itu dan juga menyimak cerita-cerita dari mata itu, tak hanya sekedar cerita dari mata sayunya. *** Sejak jarum jam tepat di angka empat sore, aku telah duduk di bangku ini. Sengaja aku memilih meja yang paling dekat dengan meja yang saban petang ditempati pemilik mata sayu itu. Niatku telah bulat, aku ingin sekali bercerita langsung kepadanya, bukan hanya lewat mata sayunya. Sayang, rupanya petang ini aku harus kembali kecewa. Lagi-lagi, ia tak datang. Seperti petang-petang sebelumnya. Satu minggu sudah mata sayu itu hilang dari pandanganku. Oh, ke mana rupa mata sayu itu? Apakah ia mulai lelah bercerita? Mungkin pula ia telah letih menunggu seseorang yang tak kunjung menemuinya itu. Atau, ceritanya telah tamat, hingga ia merasa tak ada gunanya duduk di café ini lagi sebab tak ada cerita yang bisa ia uraikan kepadaku. Ah, aku tak akan menyerah begitu saja. Aku akan setia menunggunya, mungkin bukan petang ini, bisa jadi ia tengah sibuk, banyak pekerjaan, atau ada halangan yang menyebabkan ia tak bisa datang. Mungkin. Mungkin saja. Mungkin saja ia akan datang besok petang. Besoknya lagi atau besoknya lagi. Aku akan menunggu mata sayu itu kembali, kembali bercerita banyak hal kepadaku, tentang seseorang yang ia tunggu. Tentu saja, untuk memastikan apakah ia datang atau tidak, aku harus menunggunya di café ini, di meja paling pojok. Meja yang bisa membuatku leluasa menatap jalanan di luar sana. Dari jam empat sampai enam petang, aku harus di sini, memesan kopi dan sepotong kue, lalu menyandarkan kepala di dinding kaca sembari memutar kembali semua cerita yang ia uraikan di mataku: mataku yang menjadi sayu karena hanyut akan cerita-ceritanya itu. (*) /C59, ditulis dari pojok café yang sepi, Januari 2010.
""Mata Sayu Itu Bercerita""
Karna. Nama itu kini seakan menambah persoalan yang dihadapinya. Dulu, hanya Arjuna yang dikhawatirkannya akan merebut Surtikanti, namun setelah dilihatnya Surtikanti agak tak acuh pada Arjuna, Duryudana agak tenteram. Piala anggur di tangan kirinya. Rambutnya kusut. Wajahnya keruh dimainkan cahaya api minyak. ”Suruh Togog kemari.” perintahnya dingin pada penjaga ruangan. Sang penjaga segera undur dan beberapa saat kemudian kembali bersama seorang laki-laki tua, gemuk. Laki-laki itu membawa sebuah kotak, berisi sitar. ”Tuanku?” sapa si laki-laki gemuk dengan suara seperti terkulum oleh bentuk mulutnya yang tampak terlalu besar dibandingkan keseluruhan kepalanya. Sedemikian besar mulutnya sehingga seolah-olah orang hanya melihat wajah Togog Tejamantri hanyalah bibir yang bermata dan bertelinga. Tanpa memandang kehadiran Togog, raja muda itu meneguk anggurnya. Lalu, ”Gog… apa yang bisa mengobati kekhawatiran hati manusia.” Togog tertawa. Lalu jemarinya mulai memetik dawai-dawai sitar. Nada pun mendenting-denting. ”Kekhawatiran,” Togog tersenyum dan menggantung ucapannya sesaat. ”Ya…, perasaan takut kehilangan. Kehilangan karena kita merasa memiliki….” ”Apa ini sebuah permainan, Gog?” ”Permainan, tuanku?” ”Aku merasakan diriku dipermainkan.” ”Dipermainkan, tuanku?” ”Dia seperti melihat dan menimbang dengan kedua bola matanya sekaligus, yang anehnya masing-masing melihat sesuatu yang berbeda.” ”Ha-ha-ha-ha-ha… perasaan tuanku mengatakannya demikian, tetapi, menurut hamba….” ”Memang aneh, Gog, perasaanku ini…” ”Ha-ha-ha-ha… Mengapa tuanku tidak melihat dengan seribu mata?” ”Gog, jangan memberiku pertanyaan aneh. Hidupku sudah aneh.” ”Tuanku adalah raja segala raja. Lebih tinggi daripada Gunung Mahameru. Menjulang menggapai awan gemawan.. tentunya tuanku memiliki apa yang hamba maksudkan.” ”Gog…” ”Hamba, tuanku….” ”Menyanyilah….” Togog tersenyum. Jemarinya menjentik-jentik nada-nada yang tersimpan pada setiap dawai sitar. ”Ada yang berkisah, tentang seorang lelaki resah… hidupnya bergelimang harta dan mewah bersama angin dia pergi, mencari sunyi dengan kaki luka, dia menghancurkan keangkuhannya berjalan menyeruak semak, seorang diri mencari jalan menuju keabadian sejati Tak ada lagi pintu untuk diketuk Tak ada saudara untuk dijenguk Dia abaikan istana, dialah Pa..” ”Berhenti sebentar.” Duryudana menabrak keheningan yang mengalir dari suara Togog. Togog berhenti menembang. Jemarinya masih sesekali menjentik-jentik dawai. Nada merambat nyaring memenuhi sepi malam. ”Apa kau percaya pada perempuan?” Togog tersenyum. Majikannya terbakar asmara. Putri dari Mandaraka itu memang jelita. Dan Togog tahu, siapa yang telah bertahta jauh di lubuk hati putri cantik itu. Majikannya memang memiliki takhta kekuasaan gading, berbalut emas, namun tak mampu memindahkannya ke ruang paling dalam kehidupan Surtikanti. Menyakitkan, memang. Namun, itulah harga yang harus dibayar ketika manusia harus memilih. ”Hamba percaya, tuanku….” ”Mengapa?” Duryudana meneguk anggur, lalu menyambungnya, ”Apa yang membuatmu percaya?” ”Karena perempuan berkata dengan hatinya, tuanku.” ”Togog, jangan menyindirku….” Togog diam, hanya tersenyum. ”Aku tahu, dia memilih Karna. Tetapi, bagaimana dengan aku? Mengapa dia memilih Karna. Apa hebatnya Karna? Bahkan, derajatnya pun aku yang memberinya. Kini, bahkan dia menjadi pembicaraan para prajurit. Namanya berkobar bagai api, siap menghanguskan rimba raya kejayaanku. Bangsat!” dan piala anggur itu dilemparkannya. Bergelontang benda yang sesaat lalu ditimang dan dipandangnya penuh kebanggaan itu. Menggema jauh suaranya, sesaat kemudian teredam sunyi. Togog hanya diam. Dia hanya tersenyum dalam hati dan menjawab pertanyaan Duryudana dengan pertanyaan sederhana: mampukah kau, wahai anak Drestrarastra, berguru pada Parasu? Mampukah kau, wahai anak Gendari, berpisah dari kedua orangtuamu? Karna mampu menelan kenyataan paling pahit dalam hidupnya, dan karenanya dia layak menerima kemampuan itu. Dia bagai sebuah pedang yang terasah batu paling keras, sehingga layak mendapat ketajaman sehebat itu. ”Togog, apa kau pernah merasakan kepedihan seperti ini?” ”Tuanku.. tak ada obat untuk perasaan sakit seperti itu. Apakah tuanku pernah menyatakan perasaan tuanku pada Surtikanti….” ”Tentu saja.” ”Oh, tentu tuanku, tentu….” ”Tentu saja, dia seharusnya mengerti..” ”Ooh? Ha-ha-ha… ha-ha-ha…” dan seperti menirukan ucapan Duryudana Togog bergumam, ”dia seharusnya mengerti….” ”Diam, kau Togog.” Namun, Togog malah terbahak-bahak. Duryudana tertunduk, kalah oleh gema suara Togog yang terasa jauh lebih tua daripada segala yang ada di ruangan itu. ”Tentu, seharusnya dia mengerti. haha-ha, Duryudana tuanku, junjunganku, tuanku seharusnya bicara sebagai Duryudana, bukan sebagai raja Hastina. Karena sebagai raja, tuanku hanya memperoleh setangkup sembah. Tuanku adalah kekuasaan. Mana mungkin orang mampu bicara di depan kekuasaan? Namun, bila tuanku bicara sebagai Duryudana, yang laki-laki biasa.. maka hatinya akan terbuka….” ”Ajari aku tentang itu,” ucap Duryudana lirih. Dikenakannya selimut kain untuk membungkus tubuhnya yang tiba-tiba terasa dingin. Denting dawai mengisi sunyi. Menenangkan gelegak amarah. Suara Togog menggaung menembangkan kisah manusia yang bersedia ”menelanjangi” diri. Kisah seorang manusia bernama Palasara, yang mengembara, membuang semua kilau harta. Menjelajah lembah, menyeruak semak, membiarkan diri ditelan hutan. Dialah moyang keluarga besar Hastinapura. Palasara manusia yang menghamba dan karena itu tak ingin memperhamba orang lain. Dia tolak singgasana dan memilih kegelapan gua-gua sebagai gantinya. Dia mencari keheningan nurani di jalan orang papa, dan menjauhi kehirukpikukan istana. Palasara mempersiapkan keabadian hidupnya, dan sedang berlatih menjalani kehidupannya kelak di alam kekal. Dan apalah arti hidupnya yang hanya terdiri dari darah, daging dan tulang-belulang ini, jika dengan meninggalkannya dia memperoleh hidup yang jauh lebih bermakna? Maka, wahai anak tertua bangsa Kuru, apalah arti seorang perempuan yang bahkan tak mengganggapmu ada, sedangkan Palasara dengan senang hati menyerahkan istri yang dicintainya kepada orang lain? *** Belum lagi usai Togog mendendangkan tembangnya, dilihatnya Duryudana tertunduk. Dia menangis bagai anak kecil kehilangan mainan dan takut dimarahi ibu-bapaknya. Pundaknya terguncang-guncang, merasakan sakit yang menusuk ulu jiwanya. Togog, manusia tua itu, berjalan mendekati rajanya. Kini dia adalah orangtua, yang jauh lebih memahami perasaan seorang anak kecil yang kini terendam kepedihan. Diusapnya kepala Duryudana, sebagaimana dulu ketika dia masih bocah. Di mata Togog, Duryudana tak lebih dari seorang bocah yang harus memikul beban terlalu berat. Harapan dan impian ibundanya, orang yang melahirkannya, terlalu besar. Di balik kegagahannya, Duryudana ternyata hanyalah bayangan, atau bahkan hanya sebuah telapak kaki bagi kehendak dan impian Gendari; ibundanya. Telah untuk kedua kalinya raja muda itu mengalami kepahitan menghadapi perempuan. Dulu, ketika dia diam-diam dijodohkan dengan Erawati—putri tertua Prabu Salya, sebetulnya Duryudana kurang suka. Namun, karena Gendari mencengkeramkan kuku elangnya, dan Duryudana hanyalah seekor anak ayam, maka anak muda itu pun mengalah. Dia mencoba menyukai pilihan bundanya dan memang pada akhirnya dia merasa tertarik pada Erawati. Erawati pun—sepengetahuan Togog, sebetulnya tak memiliki alasan untuk menolak Duryudana. Nyaris sempurna. Maka, hubungan diam-diam itu pun sebetulnya telah terjalin. Namun, setelah Duryudana mulai terbawa oleh perasaan kerinduannya pada Erawati—yang diam-diam dirindukannya lebih sebagai ibu daripada istri, tiba-tiba perkawinan itu batal begitu saja. Erawati dikawinkan dengan Kakrasana dari Mandura. Maka dengan kepahitan yang serupa, Duryudana pun dipaksa menelan kenyataan, harus memilih Surtikanti—anak Prabu Salya yang nomor dua. Namun, kini, ketika semua bahkan sudah mengetahui secara gamblang hubungan keduanya, tiba-tiba muncul Karna. Dan Karna, seakan tak memandang sebelah mata pada Duryudana. Pesona dan kehebatan Karna memang tak bisa dilawan dengan harta dan kekuasaan. Itulah sebabnya Togog merasa iba dengan anak muda yang kini menangis sesenggukan itu. Sejak kecil dia tak pernah diberi pilihan, dan hanya menjalani apa kata Gendari, yang dibantu Suman; adiknya. Duryudana tak bisa melihat pilihan lain. Otaknya seperti kosong dan hanya bisa melakukan sesuatu atas perintah dan petunjuk ibunya. Kakinya hanya melangkah manakala ibunya menyuruhnya melangkah. Sementara, mungkin, jauh di lubuk jiwanya, keinginan untuk memberontak itu sudah ada, hanya saja.. tak mungkin dia mampu mewujudkannya. Persoalan pelik itu terus bergulung-gulung di dalam jiwanya. Kekhawatiran akan hilangnya Surtikanti dari tangannya, bukanlah semata-mata sebuah tamparan besar karena dia seorang raja. Kegagalan menyunting Surtikanti adalah sebuah tusukan telak bahwa dirinya bukanlah laki-laki yang layak mendapatkan cinta seorang perempuan. Inilah, yang di mata Togog, membuat Duryudana menangis merasakan kepedihannya. ”Tuanku.. ini sebuah pelajaran..” ucap Togog dengan suara parau. Ucapan yang keluar, setelah menyimak gemulung persoalan Duryudana. ”Tetapi, ini terlalu mahal…,” jawab Duryudana. Dia mengangkat wajahnya dan menatap Togog, yang berdiri dengan ketuaannya. ”Tak ada pelajaran yang tak berharga, tuanku.” Duryudana tegak perlahan, kemudian berjalan menuju jendela yang terbuka lebar, seakan ingin menghirup kekelaman malam beku di luar sana. Raja bangsa Kurawa itu mencoba memandang jauh ke depan. Dibiarkannya kebekuan malam kemarau panjang itu berhembus menerpa kulitnya. Dongeng kuna tentang Raja Palasara yang mengembara, seakan memberinya kekuatan. Dulu dongeng itu diabaikannya karena baginya hanyalah sebuah isapan jempol. Dulu kisah itu dianggapnya sebagai upaya manusia untuk menutupi ketidakmampuannya mengurus kerajaan. Namun, kini, kisah itu sesungguhnya mengajarkan betapa besar kekuatan dan kekuasaan Palasara. Sedemikian besar dan kuatnya, sehingga Palasara mampu menentukan pilihan hidupnya. Palasara mampu menepiskan keakuannya, menjadikan dirinya sebagai humus, yang akan menyuburkan pertumbuhan anak cucunya di kelak kemudian hari.. Sementara Togog melantunkan sepenggal tembang: [1] Ada lagi sebuah kisah tentang seorang raksasa Menyiramkan darahnya sendiri bagi kebebasan negerinya… [1] terjemahan bebas dari Serat Tripama.
""Raja Kuru""
Kakak kedua, Basoko, kepalanya selalu meleng ke kiri, tak mau memandang jika diajak bicara. Ia hanya mau bersitatap denganku bila aku menanyakan sedang apa ia dengan bulpennya itu. Ia senang mencoret-coret bukunya mirip gambar, mirip angka, mirip tulisan, atau tak mirip apa pun. Kakak ketiga, Astrid, masih mengompol walau umurnya 17 tahun, dan tak hanya itu matanya selalu lapar setiap melihat lelaki muda. Jika ada lelaki bertamu, ia segera bergegas menyambut. Bersalaman dengan mata genit dan bibir mengembang lalu menggelayut manja. Kakak terakhir, Raka, bagai Gunung Berapi. Ia pendiam tapi jangan salah sangka, ketika sedang marah, dunia jadi kiamat! Semua barang dilempar, digulingkan, dipecahkan, ditumpahkan. Lantai dicakar-cakar, mengamuk. Lalu bapak dan aku dibantu tetangga segera menangkap kedua tangan dan kakinya untuk menenangkan. Butuh paling tidak empat orang dan waktu yang lama untuk sampai dia tenang kembali. Namaku Redi. Kata ibu, ketika aku lahir terdengar ledakan gunung meletus lalu turun dengan derasnya hujan abu. Segala daun dan pohon, tegalan, rumah, kali, semuanya kelabu. Karena itu aku diberi nama Redi Kelud, Gunung Kelud, artinya. Nama yang tak lazim sebab umumnya bayi perempuan diberi nama yang indah seperti: Dewi, Astrid, atau Seruni, begitulah kira-kira. Namun aku tak berkecil hati, dengan nama itu aku merasa kuat. Kuat seperti gunung. Suatu saat ada tamu datang menawarkan pengasuhan pada kami. Kami semua? Tentu tidak, kata Si Mas tamu. Katanya, anggaran lembaga sangat terbatas jadi baru satu yang bisa ditampung. Baru satu, nanti yang lain bisa menyusul? Ya, nanti kita lihat situasi keuangan dulu. Kita lihat situasi, bukankah itu tidak pasti. Sahutku sebagai juru bicara keluarga ini. Walau aku terkecil, aku yang selalu maju berhadapan dengan tamu karena yang lain pasti tak nyambung, diam mematung, ngompol, marah, atau ketakutan di kamar mandi, berendam. Si Mas tamu diam, namun kulihat sorot matanya berubah. ”Jangan kau berpikir buruk dan jahat!” tegasku. Dia kaget, ”Apakah kau bisa membaca pikiranku?” ”Tentu tidak! Aku cuma ingin berkata itu saja!” ”Tapi kenapa kau bisa mengatakan hal itu?” ”Aku tak tahu, yang kutahu tatapan mata Mas tiba-tiba seperti silet.” ”Kau anak yang cerdas sekaligus mendapat anugerah luar biasa.” ”Apa maksudmu dengan berkata demikian!” ”Aku tak bermaksud yang bukan-bukan. Aku merasa tentulah karena kecerdasan dan kebaikan hatimu, kau bisa menentukan mana yang terbaik bagi keluargamu. Kau bisa memilih salah satu keluargamu yang kau titipkan untuk kami rawat dan sembuhkan.” ”Kami tak perlu bantuan dan kami tidak sakit, toh selama ini, kami berkecukupan. Bapak bekerja di ladang. Ibu beternak. Aku menjual hasilnya ke pasar.” ”Bukan begitu. Memang semuanya baik-baik saja. Tapi bagaimana dengan kakak-kakakmu? Bukankah sejak dulu hingga sekarang mereka hidup begitu-begitu saja.” ”Kau datang seolah-olah paling tahu yang baik buat kami! Aku tak mengerti pikiranmu, yang aku tahu kami senang karena kami bersama.” ”Bagaimana kau bisa berkata seperti itu? Kau baru berumur 10 tahun.” ”Aku suka membaca,” jawab Redi sekenanya. ”Apa yang kau baca?” ”Hanya koran-koran lusuh, itu pun bau pesing Kakak Astrid dan isinya hanyalah kabar kejahatan. Sungguh menyebalkan!” ”Lalu dari mana kau bisa berkata demikian?” ”Aku keceplosan.” Redi mengangkat bahu. Si Mas itu tak tahu bahwa Redi memiliki sayap di kedua bahunya. Siapa pun tak ada yang tahu kecuali keluarganya. Awalnya seperti daging kecil di bahu, lama kelamaan seiring tubuh Redi yang membesar daging itu juga tumbuh, dan sekarang mirip sayap walau hanya sepanjang telapak tangan Redi. Sayap itu selalu tertutupi baju. Kalaupun ada orang lain yang tahu, tak bakal mengira bahwa itu sayap. Orang pasti berpikir, Redi cacat karena keluarganya juga cacat. Mungkin dikira punya empat tangan. Tapi yang jelas berkat sayap itu Redi jadi cerdas. ”Apakah itu artinya kau menolak tawaran kami?” ”Ya, tentu saja. Tidak ada alasan kami menerimanya, kan? Kecuali, jika kami semua kalian tampung, itu masuk akal.” ”Tapi kami tak ada anggaran untuk itu. Kami juga harus menampung orang lain.” ”O, ya aku mengerti.” Lalu Si Mas itu pamit dengan kepala yang berat. *** Redi berlari ke lorong terang ketika semua tengah tertidur. Si Mas tamu meninggalkan tujuh nasi bungkus dan kekenyangan membuat semua keluarganya pulas. Ia duduk di bongkahan batu hitam lalu melepaskan bajunya. Mengelus dua sayap di bahunya yang berwarna abu-abu, mirip abu Kelud yang meletus 10 tahun lalu. Kedua sayap itu ia gorok dengan belati kecil. ”Aku tak suka ini. Aku tak mau ada sayap di tubuhku. Aku bukan burung!” ”Jangan kau lakukan itu, teman.” Muncul seorang lelaki cebol berkuping panjang dan bentuk mulutnya tegak vertikal. Matanya juling, dengan alis tebal yang terangkat. ”Kenapa? Bukankah ini milikku, aku bisa melakukan apa pun pada milikku.” ”Tentu kau punya hak. Tapi untuk apa?” ”Sudah aku bilang, aku manusia, bukan burung!” Segera ia potong dua sayapnya itu dengan belati. Darah merembes dari bahunya. Menetes, menetes lagi tak berhenti-henti, mengalir, terus mengalir hingga meluber di lantai. ”Kau hanya mengotori lantaiku saja!” ”Nanti aku bersihkan!” ”Kau memang selalu buat masalah! Lihat, celanaku jadi basah. Sumbat darah di bahumu itu. Pasang kembali dua sayapmu!” ”Jangan kau usik aku dengan serapahmu yang tak berguna itu. Biarkan aku meresapi apa yang sedang kurasakan. Aku sudah lama mengharapkan hal ini.” Redi memandang dua sayapnya yang telah hanyut bersama darah itu. ”Lihat, darahku mengalir keluar dari lorongmu ini. Jadi aku tak perlu membersihkan lantaimu!” Tubuh Redi jadi tak biasa, rasanya demikian aneh. Kepalanya pening. *** Orang-orang cemas. Hujan deras sejak kemarin mencapai batas ambang waduk. Hanya tinggal menghitung waktu banjir segera datang. Orang-orang berlarian menyelamatkan harta benda. Seorang tetangga bergegas ke rumah Redi. ”Cepat pergi, kota akan segera tenggelam. Waduk telah meluap.” ”Kami menunggu Redi. Bukankah kau tahu, ia sejak semalam tak pulang. Kau juga mestinya tahu bahwa kami selalu bersama-sama, kemana pun pergi dan tak pergi kami selalu bersama-sama. Pasti anak itu sedang mengunjungi temannya yang gila itu. Sejak dulu aku bilang, Si Cebol itu gila. Gila karena semua keluarganya mati dilempar ke Kali Brantas waktu huru-hara tahun 65 dulu. Si gila itu malah dianggapnya wali. Wali tengik! Tidak pernah di pesantren, tidak pernah naik haji. Tak mungkin bisa jadi wali,” terang ibu Redi. ”Ya sudah, kok jadi ngelantur. Yang penting aku sudah memperingatkan. Kami mau ke atas gunung.” ”Jangan ke Kelud!” ”Kenapa?” ”Berbahaya.” ”Aku tak percaya. Kau hanya berseloroh!” Perempuan itu lalu menggerutu. Terlintas di pikirannya untuk pergi tapi bukankah selama ini mereka bisa bertahan dalam kebersamaan. Tiba-tiba datang mobil Si Mas, ”Ayo cepat! Kami tinggal mengangkut kalian, semua telah mengungsi.” Ibu Redi mengumpat-umpat tak karuan. Tangannya mengusir pergi lalu memaki-maki sekenanya. Berteriak-teriak, rambutnya ia jambak, lalu terduduk dengan kaki ia tendangkan pada apa saja. Ia mengamuk jika ada perang dalam pikirannya. Tak lama kemudian Redi datang bersama Si Cebol. Darah masih menetes dari bahunya. Bau anyir seketika menusuk hidung namun serentak hilang karena tubuh Si Cebol tiba-tiba mengeluarkan bau harum. Wangi dan legi. Ratusan kupu-kupu dan lebah mulai mengitari Si Cebol. ”Kenapa kalian tak pergi?” tanya Si Cebol. ”Kami menunggumu, Redi.” Jawab ibu Redi yang mulai tenang. ”Biarkanlah aku di sini,” jawab Redi. ”Kalau kau di sini semua juga di sini. Tapi kenapa dengan bahumu?” ”Aku tak-apa-apa, Ibu.” Tiba-tiba Si Ibu ketakutan. Redi baru tersadar bahwa ibunya bakal kumat jika melihat darah. ”Ibumu terjun mengejar jasad kakekmu di Kali Brantas itu, Redi. Ia berenang di air penuh darah itu….” Redi terpaku. ”Redi, kau tenangkan dulu ibumu, aku melihat situasi dulu,” lanjut Si Cebol. Si Cebol diam sebentar lalu tubuhnya terangkat perlahan-lahan. Kini ia berada jauh di atas Redi. Ratusan kupu-kupu dan lebah mengikuti. Dari matanya tampak banjir telah menenggelamkan desa di depan. Airnya berwarna merah. Ia sejenak mengamati itu, lalu turun. ”Redi, jernihkanlah pikiranmu. Kau tahu, banjir itu berwarna merah pasti dari darahmu yang terus menetes sejak tadi. Lihatlah ibumu, ia tak tahan melihat darahmu. Berdamailah, Redi. Terimalah kau seperti adanya. Sayap itu anugerah dari Tuhan. Kau adalah manusia seberapa pun kau berbedanya dengan orang-orang itu. Redi, kau tahu aku tak sanggup membendung banjir jika berwarna merah. Aku bisa kalap. Ingatan itu tak bisa kulupa….” Untuk kali pertama, Redi melihat Si Cebol menitikkan air mata. Ibunya dilanda ketakutan. Ia tercenung, lalu mulutnya menyedot udara, seketika dua sayapnya tertarik lalu segera ia pasang. Darah tak lagi menetes, warna merah di kejauhan telah tergulung oleh coklatnya air bah dari waduk. Si Cebol perlahan-lahan naik lalu jempolnya ia tiup. Tiba-tiba, perlahan namun pasti, jempol itu menggelembung, membesar. Tangannya memanjang dan menjadi raksasa. Lalu dengan cekatan ia membuat gorong-gorong ke utara, ke arah lereng Gunung Kelud. Sebenarnya ia tahu gunung itu telah gundul, dan itu artinya tak semua air bisa dibelokkan tapi memang tak ada pilihan lain. Matanya tak jeli, para penduduk ada di sana…. *** Banjir telah redam dengan kematian ratusan jiwa. Orang-orang telah pergi seperti ribuan batang pohon-pohon hutan yang digotong ratusan truk. Redi bersedih telah kehilangan semua tetangganya. Ia selalu teringat pada mereka yang telah berbuat baik pada keluarganya. Ia terbang ke lorong terang hendak mengaduh pada Si Cebol. Solo, 4 Maret 2010
""Redi Kelud""
Wujud rupaku menyerupai genta. Walaupun kami lebih identik sebagai bunga kuburan, tetapi oleh wanita yang memeliharaku, aku tumbuh di dalam sebuah pot cantik di teras depan rumahnya. Dari tempatku berada, aku biasa menatap bentangan langit malam yang berhamburan bebintangan. Benda-benda angkasa yang terang benderang itu selalu mengingatkanku pada seseorang. Seseorang yang benarlah nyata, tetapi lebih tampak seperti fatamorgana. Aku selalu memandanginya tatkala ia sedang memandikan mobil kesayangannya dari dalam garasi. Lelaki itu adalah anak sulung wanita yang warna gincunya sewarna diriku. Sempat kedengkian menghinggapiku melihat betapa kedekatan kedua manusia berbeda kodrat itu, sampai kudengar si lelaki menyapa wanita bergincu kesumba itu dengan panggilan ibu. Dari wajah dan rekah senyumnya tahulah aku betapa kebaikan hatinya seperti kebanyakan manusia penghuni rumah ini. Dari caranya memperlakukan mobil kesayangannya, tahulah aku betapa ia tak pernah pilih kasih terhadap benda mati ataupun benda hidup. Sampai detik ini aku masih memendam rasa cemburu terhadap benda mati bernama mobil itu. Setiap hari kulihat lelaki itu menumpanginya manakala hendak menuju suatu tempat yang tak pernah kuketahui juntrungannya. Tiap kali ia kembali hari telah merangkak malam. Raut wajah dan bahasa tubuhnya memberitahuku bahwa ia kelelahan. Tetapi keesokan pagi ia akan mengulangi kebiasaan yang sama, sampai lantas kuhafal luar kepala pola kegiatannya meskipun sebatas teras dan garasi itu saja. Sesekali kulihat ia pulang dengan mengajak beberapa orang lelaki seusia dirinya. Tak jarang terdapat satu atau dua orang perempuan di antara mereka. Percakapan yang diiringi tawa berlangsung tatkala mereka melintasi teras depan sebelum mencapai ruang tamu. Betapa beruntung menjadi manusia lelaki dan perempuan yang dekat dengan lelaki itu, walaupun bagiku tetap tiada yang lebih beruntung daripada mobil yang selalu ia tumpangi. Tak jarang mereka berkumpul di kursi teras sembari bercakap ditemani penganan dan secangkir teh. ”Coba lihat. Kembang Kemboja itu seperti sedang menatap kita.” kata perempuan yang telunjuknya menunding ke arahku. Lantas seorang lelaki bertubuh ceking berjalan melintasi teras sambil menggenggam spidol di satu tangannya. ”Kamu mau apa?” tanya si lelaki, menyela langkah temannya. ”Aku mau bikin mata pada kedua kelopak Kemboja itu supaya kelihatan kalau dia benar-benar menatap kita.” “Hey, itu Kemboja kesayangan Ibuku.” Itulah hari pertama ia membelaku di depan teman-temannya. Kelopak-kelopakku mekar dan warnaku kian merona. Tetapi selain hari itu, lelaki itu tak pernah memperhatikan diriku secara khusus. Keindahanku hanya berlaku di depan mata para wanita sebab mereka lebih dapat menghargai keindahan. Bagi lelaki itu dan teman-temannya, aku tiada berbeda dari pot tempat tubuhku bertumbuh. Rasa kecewa yang hinggap dalam diriku semakin besar tiap kali lelaki itu lewat tanpa pernah sempatkan melirikku barang sekejap. Betapa keindahan ini seperti tak berarti tanpa dihargai oleh lelaki yang kucintai. Atas kesadaran itu, suatu hari aku berhenti membuat diriku mekar, tak peduli berapa kali dalam seminggu wanita bergincu itu memandikanku dan memberiku pupuk untuk meningkatkan kualitas tanah di dalam potku, usahanya tetap tak bisa membantu. Aku telah kehilangan minat terhadap kehidupan. Masa itu berlangsung berminggu-minggu lamanya. Rona pada kelopak-kelopak bungaku pudar. Wanita itu kini tak bergincu lagi. Wajahnya tampak selisut diriku yang tak mau mekar barang serecup saja. Seluruh bunga Kemboja di teras rumahnya turut merasakan dukaku. Mereka lantas putuskan tak mau mekar selama dukaku belum teratasi. Raut wajah sebam dan sepasang mata tanpa binar cahaya menatap iba kepada kami. Belakangan lelaki itu pun tampak bermuram durja. Tiap kali melintasi teras menuju garasi ia tak lagi memutar-mutar seronce anak kunci di ujung telunjuknya sambil bersiulan. Jangan-jangan sesuatu terjadi pada mobil kesayangannya. Tetapi kepada seorang teman kudengar ia memberi tahu bahwa kesedihannya disebabkan oleh sikap murung ibunya. Wanita yang telah malang melintang di dunia botani itu mendandak merasa dirinya tak becus mengurusi tetumbuhan di teras depan rumahnya sehingga nyaris seluruh Kemboja kesayangannya mati. Daun-daun meluruh nyaris tanpa bersisa, kelopak-kelopak bunga mengatup seperti gadis-gadis remaja yang merajuk. Sumber terdalam kesedihan lelaki itu adalah keputusan sang ibu untuk menyerah dari hobinya bercocok tanam, hal mana yang menjadi satu-satunya hiburan di masa menjelang pensiun. Melihat kenyataan itu, yakinlah aku bahwa si lelaki lebih menyayangi sang ibu daripada benda mati yang ia mandikan setiap pagi, walaupun tampak ia lebih besar menaruh perhatian padanya. Tetapi ia tetaplah lebih mencintai perempuan yang mencintai diriku dan bunga-bunga Kemboja yang lain, bagaikan kami ini anak-anaknya sendiri. Pagi hari adalah waktu terbaik bagi setiap bunga. Titik-titik embun menyaput sekujur kelopak yang baru separuh merecup. Kami lebur bersama gigil pagi. Tetapi pagi itu aku merekah mendahului yang lainnya. Kelopak-kelopakku bahkan mekar lebih lebar daripada biasanya. Dengan tak sabaran aku menantikan pintu depan di ujung teras itu dibuka untuk pertama kali. Pada setiap pagi yang telah kulalui di teras rumah ini, wanita berginculah yang selalu membuka pintu depan untuk pertama kali bersama alat penyiram tanaman di tangannya, dengan bekal semangat berniat memberi kami makan. Minggu-minggu terakhir betapa pemandangan itu tak pernah tampak lagi, tetapi kujamin pagi ini keputusanku menjadi mekar kembali dapat mengembalikan semangat yang sempat redup wanita bergincu itu. Matahari sudah setengah perjalanan melakukan patrol. Sinarnya menyapuh tiap lembar daun dan kelopak bunga kami. Siang hari menjelang. Aku gelisah menunggu pintu itu dibuka oleh si wanita bergincu. Akhirnya daun pintu terbuka, tetapi yang tampak olehku pertama kali adalah dia, lelaki itu! Kaus oblong yang membalut tubuhnya nyaris sewarna kelopak-kelopak bungaku. Ia berjalan gontai. Aku terus mengawasi wajah tampan lelaki itu. Sesuatu dalam diriku berdebar keras, sehingga menyebabkan kelopak-kelopakku bergoyang. Tak kuduga gerakanku memancing lelaki itu menoleh. Matanya melebar pada detik pertama ia menatapku. Kutunggu lelaki itu menghampiriku, tetapi tubuh itu berbalik menuju pintu, berlari sepanjang ruangan. Kurang dari satu menit kemudian, lelaki itu muncul lagi bersama wanita bergincu yang masih belum lagi bergincu. Mata wanita itu melebar sambil mulutnya menganga. Perlahan ia melangkah menghampiri pot-pot berisi Kemboja sepanjang tepian teras, menyapuhkan tangannya di atas kelopak-kelopak kami secara bergantian. ”Bunga-bunga itu tak ingin berlama-lama melihat kesedihan ibu.” Lelaki itu berkata. Sebutir air susul menetes jatuh dari sudut mata wanita itu. Keterkejutan di wajahnya berubah haru atau apa pun itu yang sukar kujelaskan. Pelan bahunya lantas bergetar sebelum isak tangis menguasainya. Lelaki itu mendekap tubuh ibunya, merapatkan kepala pada bidang dadanya. ”Mungkin ini karena pupuk yang ibu beri waktu itu.” kata wanita itu. ”Mungkin karena ibu tak pernah berhenti mencintai mereka,” lelaki itu lebih yakin dengan pendapatnya. Mungkin baginya, kebahagiaan sang ibu membawa dua kali lipat kebahagiaan bagi dirinya, tetapi bagiku, betapa kebahagiaannya membawa berlipat-lipat kebahagiaan bagi diriku. Aku mulai dapat memaknai diriku lebih dari sewujud bentuk yang menyerupai genta dan merah kesumba kelopak-kelopakku. Keindahan barulah bermakna ketika ia dapat bermanfaat bagi makhluk lain tak terkecuali manusia, terutama bagi wanita bergincu yang betapa kesedihannya adalah beban bagi anak laki-laki sulungnya. Wanita bergincu itu kembali memoles bibirnya dengan gincu merah kesumba sewarna kelopak-kelopakku. Duka si lelaki kini lesap bersama duka sang ibu. Mulailah pola kegiatannya berjalan seperti biasa dengan semangat yang tak biasa. Malam hari mobil kesayangannya memasuki garasi. Sesuatu dalam diriku berdebar keras menunggu sosok lelaki itu terlihat. Pintu kemudi terbuka, menyusul dirinya berjalan keluar mengitar mobil. Di luar kebiasaan ia membuka pintu di samping jok penumpang. Tampaklah seorang wanita berambut panjang ikal mayang, berdiri di sampingnya. Kulihat wajah si lelaki sumringah tatkala menuntun perempuan itu berjalan melintasi teras. Tangan keduanya saling menggenggam. Di tengah teras mereka berhenti. Perempuan itu menunduk sambil menggigit bibir. Tangannya meremas tangan lelaki yang menggenggamnya. Kudengar ia mengeluh cemas. ”Tidak apa-apa, tidak apa-apa,” Lelaki itu berusaha menenangkan. Sehembus angin menyebabkan desir dedaunan yang saling menggesek. Dua helai daunku melayang jatuh, disambut lembab tanah. Tetes-tetes getah berjatuhan dari ujung lengan tempat pangkal daunku barusan jatuh. Sebelum malam ini angin sekencang apa pun tak dapat menyebabkan daun-daunku luruh. Melihat keadaannya sekarang, aku ragu bahwa anginlah benar penyebabnya. Siapakah yang patut kusalahkan di antara si lelaki dan perempuan berambut panjang ikal mayang? Barangkali takdirku sendiri karena tercipta hanya sebagai sekuntum bunga Kemboja. Lelaki itu berjalan menujuku. Perempuan berambut panjang ikal mayang itu tetap terpaku di tengah teras, memperhatikan gelagat si lelaki. Tangan lelaki itu terangkat menuju sepal tempat melekatnya kelopak-kelopakku. Detik pertama ia menyentuhku, ia membawa serta seluruh kesadaranku dari lengan cabang tempat aku tertancap seorang diri. Betapapun, aku hanyalah sekuntum bunga Kemboja. Hidupku berakhir di ujung jemari lelaki yang kuncintai, yang dengan wajah direkah senyuman membawaku kepada perempuan berambut panjang ikal mayang yang tengah cemas menantinya di tengah teras. Diselipkannya diriku di ujung pangkal telinga sang kekasih. Dari sana aku dapat menatap wajahnya lebih jelas dari yang sudah-sudah. Ia tersenyum menatap diriku di ujung pangkal telinga kekasihnya, bening matanya memantulkan seraut wajah perempuan yang balas tersenyum. Aku sekarat. Perempuan itu luput merasakan getahku yang bertetesan di antara helai-helai rambutnya. ”Kamu tidak apa-apa sekarang?” lelaki itu bertanya. Perempuan itu mengangguk pelan. Mereka lantas berjalan menuju pintu masih dengan kedua tangan saling menggenggam. Di ambang pintu lelaki itu memindahkan diriku dari celah di antara kuping kekasihnya ke dalam kantong depan kemejanya. Dari sana, aku dapat mendengar detak jantungnya yang bagaikan menghitung detik-detik kematianku. ”Jangan sampai dilihat ibu bunga Kembojanya dipetik,” samar-samar suaranya terdengar. Getahku berhenti menetes. Walaupun aku masih memendam perasaanku terhadap dirinya, kini yang terpenting adalah memberikan kepada orang yang kucintai sesuatu hal yang dapat mendatangkan kebahagiaan bagi dirinya. Seandainya aku tercipta sebagai seorang manusia tentulah aku dapat belajar lebih banyak tentang cinta daripada yang dapat terpahami oleh sekuntum bunga Kemboja. Januari, 2010
""Solilokui Bunga Kemboja""
Di sudut rumah ini kutemukan pak Klown buru-buru menghapus air matanya. Sesungguhnya air mata itu seperti rangkaian bunga melati yang harum dan jatuh satu per satu! Aku tercengang! Setelah peristiwa itu (yang selalu menjadi obsesiku), bertahun-tahun kemudian, aku bertemu lagi dengan pak Klown, secara tidak sengaja dalam perjalanan pulang dari Jakarta ke Malang dengan kereta api. Kami duduk bersebelahan, dia segera tahu siapa aku. Pak Klown tersenyum kepadaku. *** Tom, hal ini belum pernah kuceritakan kepadamu. Setiap kali sendirian, aku merasa melihat lagi air mata pak Klown. Di kereta api ini beberapa orang menghampiri dan menyalami pak Klown. (Mereka kelihatan tersenyum, bahkan ada beberapa yang tertawa geli). Padahal aku tahu, pak Klown tidak sedang melawak. Ketika rombongan itu sudah pergi, pak Klown menoleh (aku sedang membaca buku). ”Aku senang, melihat kau suka membaca!” ”Pak Klown juga membaca?” ”Yah, aku membaca setiap kali ada kesempatan.” ”Maaf, di setiap lakon yang kulihat, peran pak Klown kok cuma jadi pembantu tua yang bodoh!” ”Ya, aku sudah tua dan hanya berperan itu-itu saja. Namun bukan berarti, aku tidak butuh membaca buku. Menurutku peran itu tidak hanya menampilkan kebodohan, tapi cara kita menertawakan diri sendiri. Ini sulit, karena ego melindungi kelemahan dan perlu keberanian untuk menetralisir ego itu.” Aku Ona, perempuan muda (dua puluh dua tahun) melihatnya. Dan kukatakan, ”Aku akan belajar dengan pak Klown selama libur semester ini. Aku jenuh mempelajari ilmu di bangku kuliah.” ”Aku suka ngobrol dengan kamu.” *** Tom, kemudian dia tidur dalam perjalanan yang jauh ini. Entahlah, mengapa baru sekarang aku menceritakan kepadamu sejujur mungkin tentang pak Klown. Klown terbangun lagi. ”Ini tidur yang nyenyak sekali, kita sudah sampai di Jogja? Kau tahu, kami pernah manggung di kota ini. Tapi yang datang tidak banyak, karena di panggung lain ada musik dari Jakarta. Beberapa temanku sedih dan bilang, kita sudah terlampau tua untuk digemari anak-anak muda. Melihat kursi yang hanya terisi beberapa orang, tiba-tiba kami semua merasa sedih dan menangis bersama. Ketika dalam situasi kacau, kami harus naik panggung! Namun, kala itu para penonton tertawa sembari memegang perutnya. Gemuruh tawa mereka luar biasa. Padahal saat itu, salah seorang teman kami ayahnya seminggu yang lampau meninggal, tapi aktingnya luar biasa, dialah yang menyulut tawa para penonton.” Tom, aku nyeri mendengar buntut percakapan itu. Aku kira selama ini, apa pun yang dia lakukan di panggung mengalir begitu saja. ”Jadi selama ini pak Klown akting?” ”Aku memang harus belajar keras untuk akting seperti itu. Padahal, selama ini aku tidak pernah berpikir untuk jadi pelawak yang harus mengerti filosofi kehidupan. Waktu itu aku cuma menggantikan seorang senior yang sakit dan kulakukan itu dengan semangat muda yang sedang mencari identitas. Sebab, semua orang di kampung tahu, ayahku cuma gemar menikah tanpa pernah peduli pada anak-anak hasil pernikahannya. Masa kecilku lebih banyak kulewati dengan kesedihan, kesendirian dan selalu kurindukan seorang ayah yang bisa mengajakku jalan-jalan. Setelah bertahun-tahun kemudian baru kutemukan sosok itu, adik sepupu ayahku yang pulang kampung karena kecelakaan lalu lintas, sehingga berkaki satu. Dari dia, aku belajar bagaimana orang bisa sabar melihat kelemahan setiap manusia. Salah satu caranya dengan melucu. Bersamanyalah aku baru tahu, melucu itu harus belajar!” Sebelum muncul pertanyaan lain dariku, sekali lagi banyak orang merubung pak Klown dan terpingkal-pingkal. Lantas kulihat pak Klown ingin beranjak dari tempat ini, ”Saya akan ke kamar kecil dulu.” Orang-orang tertawa lagi. Dengan terbirit-birit pak Klown masuk ke kamar kecil itu. Aku sekarang yang mulai mengantuk. Tiba-tiba kudengar napas pak Klown dan aku bicara pelan-pelan, ”Pak Klown apa sedang akting?” ”Aku mengantuk, hampir dua malam tidak bisa tidur, keinginan yang sederhana kan?” ”Ona, kalau kamu mau, aku bisa mendidikmu menjadi pelawak perempuan yang berkesan tidak bodoh. Ini memang tidak mudah, tapi aku tahu, kau pasti bisa.” Waktu itu, aku menggelengkan kepala. Aku sedang belajar akuntansi dan dia bilang begini, ”Menjadi pelawak bukan sekadar mesin tertawa, tapi belajar menyeimbangkan otak kiri dan kanan dan menghibur orang lain. Itu pelajaran yang sulit, butuh kesungguhan dan kerja keras.” ”Aku tahu, tapi aku merasa tidak perlu berada di dunia itu.” Pak Klown menganggukkan kepalanya, dan berkata begini, ”Kalau dunia ini tidak ada pelawak lagi, lantas bagaimana ya? Apa kita cuma harus belajar ilmu kesehatan, matematika dan cuaca hari ini? Apa dunia pelawak sudah tidak bisa dianggap sebuah hiburan yang membebaskan diri kita sendiri, kalau sudah banyak klub-klub malam, mimpi-mimpi yang dirangkai oleh pengusaha dalam bentuk sinetron?” ”Ona, di tahun-tahun ini aku tidak melihat lagi orang-orang yang bersenda gurau seolah-olah itu tabu, tidak efisien dan efektif. Karena bentuk dari dunia modern hanya orang yang bekerja keras dan orang-orang yang melipat bibirnya, mereka sudah melupakan senda gurau itu bahkan anak-anak yang belajar di SD tidak bisa tertawa lagi karena beban di sekolahnya terlampau berat.” Pernyataannya kelewat berat, ketika kulihat wajahnya dia tidak akting. Lantas pak Klown meneruskan ceritanya, ”Keempat anakku tidak ingin seperti diriku. Kau tahu sendiri, setelah tamat SMA mereka kuliah ke luar kota dan jarang pulang. Teman-teman anakku tidak ada yang tahu kalau bapaknya seorang pelawak, aku pernah dengar cerita di kos-kosan anakku, kalau aku muncul di TV mereka tidak pernah ingin menontonku. Aku tahu, aku tidak bisa dibanggakan seperti bapak teman mereka, apalagi peranku dalam dunia lawak sering sebagai pembantu yang di pundaknya selalu ada lap dan kelihatan dungu! Penonton ingin melihatku seperti itu di luar panggung, kalau tidak aneh kan? Seperti mencabik-cabik mimpi mereka, kau tahu suatu kali anakku membersihkan kamar di kosnya, anakku menaruh lap di pundaknya, dan seorang temannya yang masuk ke kamar itu nyeletuk, ’Doni, kamu setolol pelawak itu (dia menyebut namaku).’ Pada waktu itu anakku merasa dicekik, dia bilang begini,” Itu bapakku! Dia memang tolol, tidak seperti bapakmu yang pejabat.” ”Pak Klown, pelawak kan pekerjaan yang butuh keseimbangan antara rasio dan rasa dan panjenengan (Anda) bukan koruptor atau penjahat lainnya.” Pak Klown tidak menjawab, namun dia kelihatan resah, lantas kami berdua terdiam. Tom yang baik, kukatakan pada pak Klown, apa yang dia lakukan adalah keberanian, sekalipun menjadi badut bukan tempat terhormat di masyarakat kini. Pak Klown membenarkan ucapanku, dia juga bilang begini, ”Tidak ada yang bisa dibanggakan dengan menjadi pelawak saat ini, memang sebaiknya teruskan kuliah dan menjadi akuntan seperti cita-citamu, sebab menjadi orang yang berseberangan dengan orang lain sungguh tidak mudah, apalagi semua orang pada saat ini punya cita-cita bersama, di luar itu adalah kegilaan.” ”Tapi pak Klown bahagia kan bekerja seperti ini?” ”Saya tidak tahu Ona, apakah ini seperti ketika kita mengisap rokok yang sudah menjadi kebiasaan rutin dan melekat atau ada hal lain, popularitas dan uang.” Aku ingin berkata lebih lanjut, tapi kehidupan pak Klown seperti jarum jam yang berputar terbalik, dia harus segera pulang, dan selang beberapa jam kemudian melawak ke kota lain. *** Tom, kau pasti berpikir aku lagi kacau! Sebetulnya bukan itu, beberapa teman mama menawarkan pekerjaan kalau aku lulus S1. Aku beruntung kan! Beberapa kakak kelasku yang sudah sarjana belum dapat pekerjaan, apalagi yang kucari! Sebulan yang lampau orangtua kita berunding akan mengukuhkan hubungan kita dengan pernikahan. Lantas apalagi? Aku sudah mendapatkan apa pun yang diimpikan setiap perempuan muda! Tom yang baik, tapi sejak bertemu dengan pak Klown mimpiku semakin liar dan saling berkejaran. Lantas, aku kepingin mengkaji ulang kehidupan yang kita impikan bersama. Bekerja di suatu lembaga dari jam sembilan sampai jam lima sore, memiliki dua anak yang sehat dan manis, rumah mungil, mobil yang bisa membawa kita pergi ke mana saja. *** Lantas di jam satu malam itu kami ngobrol tentang dunia pelawak, pada saat itu kami tertawa bersama! Dan ketika sampai di Malang, tiba-tiba aku kepingin belajar tentang ilmu melawak secara keseluruhan. Kemudian kami sepakat untuk mencari sebuah tempat yang nyaman di mana pak Klown bisa memberikan seluruh ilmu lawaknya kepadaku. Berhari-hari, sampai bulan ketiga, secara maraton siang malam, aku belajar sari pati kehidupan dari dunia lawak. Dan akhirnya pak Klown berkata, ”Kau sudah mendapatkan sebagian ilmuku.” Aku tahu maksudnya, dia akan menyerahkan seluruhnya. Lantas kumantapkan hari itu untuk menyerap seluruh ilmu itu. Karena kami adalah dua tubuh yang berbeda, baik itu latar belakang sosial maupun pendidikan. Kami meleburkan itu, dengan tidur bersama, sehingga menjadi dua senyawa yang menyatu. Setelah itu kami tidak pernah bertemu lagi! Malang, 4 Februari-31 Maret 2010
""Klown dengan Lelaki Berkaki Satu""
Sebuah harapan yang terwujud ketika rumah tangganya harus segera mendapat tambahan pemasukan keuangan. Ekonomi rumah tangganya harus segera disokong. Mengingat Alya, anaknya, empat bulan lagi sudah harus masuk sekolah dasar. Sedang mengandalkan gaji Gunadi, suaminya, menurut perhitungan mereka berdua tak cukup. Sesungguhnya memang sudah menjadi perjanjian sebelum menikah, rumah tangga mereka akan ditopang oleh dua tiang pemasukan keuangan. Jadi Gunadi tak keberatan bila Farida bekerja. Mereka sadar, bekerja tak sekadar sebagai aktualisasi hidup, tapi yang lebih penting adalah pemenuhan kebutuhan dan ekonomi rumah tangga. Mereka tahu, zaman terus berkembang dan kebutuhan ke depan semakin beraneka macam. Sudah sejak tahun lalu Farida rajin mengirim lamaran-lamaran ke perusahaan-perusahaan. Beberapa kali juga sudah mendapat panggilan tes dan wawancara. Namun gagal. Kini, sebuah perusahaan periklanan menerimanya sebagai karyawan. Bergembiralah ia. Persoalan yang muncul kemudian, seperti yang sudah diduga sebelumnya, mereka membutuhkan seorang pembantu rumah tangga untuk menemani Alya di rumah. Seseorang yang dapat dipercaya untuk menangani kebutuhan Alya, sementara Farida tak di rumah. Seorang pembantu dengan kriteria; telaten dengan seorang anak kecil dan mengerjakan pekerjaan standar, seperti mengepel dan menyetrika. Tak usah mencuci karena sudah diwakili oleh sebuah mesin. Tak bisa masak, tak apa. Toh, sekarang pun mereka telah berlangganan makanan katering dan rencananya akan tetap begitu. Telah mereka cari berbagai informasi tentang bagaimana mendapatkan seorang pembantu rumah tangga. Berbagai kemungkinan telah dijajaki. Dari mendapatkan pembantu lewat agen-agen penyalur hingga menelepon teman dan kerabat apabila mempunyai pembantu lebih atau teman dari pembantu yang telah bekerja. Gunadi dan Farida sendiri sesungguhnya lebih suka memilih lewat jalur kekerabatan dan pertemanan. Lebih nyaman saja menurut mereka. Karena dipastikan sudah mengenal hubungan satu sama lain. Karena kesibukan di kantornya, Gunadi menyerahkan sepenuhnya urusan ini pada Farida. Maka kini Faridalah yang pusing tujuh keliling. Namun hingga tinggal dua minggu lagi Farida bekerja, pembantu rumah tangga yang mereka inginkan belum juga didapat. Beberapa hari yang lalu Gunadi sudah mengajak Farida berdiskusi bilamana mereka mengambil pembantu lewat agen penyalur saja. Namun Farida masih belum setuju. Farida masih menunggu kabar dari ibunya di Solo yang katanya akan mencarikan dari sana. Gunadi tak dapat menolak pertimbangan Farida. Karena menurutnya, kalau mertuanya yang mendapatkan pembantu, tentu itu lebih baik. Pasti jaminan mutu. Paling tidak, pengalaman mertuanya lebih dapat diandalkan dalam menilai seseorang. Masih terngiang di telinga ketika ibu mertuanya bertelepon dengannya. ”Sudah, ibu saja yang cari dari sini. Nanti ibu seleksi. Kasian Alya kalau dapet pembantu yang ra karuan. Biar ibu saja yang cari di sini.” Tapi sudah seminggu lebih belum juga ada kabar dari ibu mertuanya. Tulululululut…, telepon rumah berbunyi ketika Farida dan Gunadi baru saja menyelesaikan makan malamnya. Farida yang sedang membereskan meja makan segera menghentikan pekerjaannya dan berjalan beberapa langkah ke belakang. Telepon itu menempel di dinding tak jauh dari tempatnya tadi berdiri. ”Assalamualaikum,” sapanya. ”Waalaikum salam,” jawab suara lembut di seberang sana. Ibunya. ”Da, ibu sudah dapat orangnya,” katanya kemudian. Pasti ini tentang pembantu, pikir Farida. Inilah kabar yang dia tunggu dari ibunya. ”Iya Bu, bagaimana?” ”Kamu pasti ndak nyangka, siapa yang mau ibu tawarkan sama kamu,” ”Siapa?” ”Wong ibu aja kaget kok… tiba-tiba saja dia datang ke sini. Ya, mungkin ini jodohmu, Da.” ”Iya, siapa Bu?” ”Masih ingat ndak, siapa yang menolongmu waktu kamu kecemplung kali dulu?” Emmmmm…” Farida memeras otaknya untuk melayangkan ingatan kembali ke masa kecilnya. Ya. Waktu kecil dulu, mungkin lebih besar sedikit dari Alya, dia pernah tercebur di sebuah kali kecil. Kali untuk pengairan persawahan yang kebetulan sedang berarus deras sehabis hujan. ”Mbak Supriatun?” Tanyanya kemudian ketika ingatan itu telah tergambar. Terdengar tawa ibunya di seberang sana. ”Bener,” katanya setelah tawanya mereda. ”Kok, ya tiba-tiba dia mbejedul, nongol di rumah. Mau cari kerja katanya.” ”Lalu, ibu tawarin?” ”Ya iya. Dan dia langsung mau. Kamu sendiri gimana?” Farida terdiam. Dia mencoba mengingat sosok Mbak Supriatun. Setua apakah dia sekarang. Tak ada yang diingatnya dari perempuan yang pernah bekerja ikut ibunya itu. Karena cukup banyak perempuan yang pernah bekerja di sana. Ah, tak ada yang diingatnya. ”Aku lupa Bu, setua apa dia sekarang?” ”Ya lumayan lah. Dulu mungkin beda umurnya sama kamu sekitar lima belas tahunan atau lebih. Lha, itung aja sekarang kira-kira berapa.” Farida menaksir, mungkin usia Mbak Supriatun sudah empat puluhan. Masih kuatkah ia bekerja sebagai pembantu rumah tangga? Tanyanya dalam hati. ”Ya sudah. Terima saja dulu. Kamu kan sebentar lagi masuk bekerja. Kasihan Alya. Ibu pikir Supriatun ini bisa kok. Dia itu sudah punya cucu satu lho. Dia dulu kan kawin muda. Beberapa tahun setelah pulang ke desanya dia menikah. Jadi sudah pasti terbiasa dengan anak-anak. Lagi pula bekerja di rumahmu kan nggak terlalu berat.” ”Nanti aku bicara sama Mas Gunadi, Bu. Biar dia juga tau dan ikut memutuskan.” ”Ya… ya… saran ibu sih sebaiknya terima saja ya. Kasihan Supriatunnya juga. Dia butuh uang dan sudah mau bekerja di Jakarta.” Setelah bertelepon dengan ibunya, Farida mendiskusikan kabar itu dengan Gunadi. Juga cerita-cerita tentang jasa Supriatun yang telah menyelamatkan nyawanya ketika tercebur kali irigasi persawahan. Dan beberapa cerita tentang siapa Supriatun yang dia sendiri tak yakin benar mengingatnya. Gunadi pun langsung setuju. Empat hari setelah memberi kabar persetujuan, Supriatun langsung ke Jakarta dengan kereta api sendirian. Farida, Gunadi dan Alya menjemputnya di Stasiun Gambir. Sudah tergambar jelas di benak mereka berdua akan kesungguhan niat bekerja. Supriatun. Melihat betapa berani perempuan itu pergi sendiri ke Jakarta. Hal yang belum pernah dilakukannya. Jarak berpuluh tahun tentu telah mengubur sebagian ingatan. Apalagi setiap saat dunia berubah. Juga manusia, penghuninya. Setali tiga uang dengan Farida. Dia betul-betul tak tahu, bagaimana sosok Supriatun sekarang. Namun, ibunya sudah mengingatkan akan sebuah tahi lalat besar di kening kiri perempuan itu. Farida sedikit mengingatnya. Namun, itulah petunjuk sosok Supriatun. Petunjuk lain dari ibunya adalah di mana Supriatun duduk di gerbong kereta juga menjadi andalan. Dan pertemuan pun berlangsung. Supriatun mengenal sosok Farida lebih dulu. Perempuan itu melambai-lambaikan tangan ketika turun dari gerbong kereta. Dengan bersamaan pula ingatan-ingatan Farida keluar berhamburan. Supriatun datang seperti membawa serta kenangan masa kecilnya. Farida memeluk tubuh mungil Supriatun. ”Njenengan tidak berubah Mbak. Masih suka memelihara rambut panjang,” kata Supriatun lalu tersenyum. ”Walah… kok saya malah lupa wajah Mbak Atun. Lagi pula Mbak Atun kok masih ingat saja sih…” balas Farida. ”Ah… di desa itu orangnya sedikit jadi gampang mengingatnya. Sementara di kota banyak ketemu orang. Pasti gampang lupa,” Mereka tertawa berbarengan. Selanjutnya Farida memperkenalkan Gunadi dan Alya. ”Ih… cantik seperti ibunya. Mirip Mbak juga di waktu kecil,” kata Supriatun demi melihat Alya. Supriatun, perempuan berusia 48 tahun, itu pun bekerja dan tinggal di keluarga Gunadi. Keluarga dari anak perempuan majikannya yang pernah diasuhnya dulu. Bagi dirinya, ini seperti mengulang masa lalu. Bedanya, hanya pada zamannya. Ya, zamannya. Dulu dia mengasuh Farida di halaman depan. Bawah pohon asam. Atau jalan-jalan ke sawah. Sampai terjadi kecelakaan Farida terpeleset, tercebur kali irigasi. Beruntung Supriatun pemberani dan pandai berenang. Farida yang sudah terseret arus ditariknya ke tepian. Lalu dibantu naik oleh seorang penggembala kerbau. Zamannya kini dia mengasuh anak dari anak majikannya dulu, Alya, di dalam rumah. Di bawah embusan mesin penyejuk udara. Dengan beraneka mainan warna-warni dan buku-buku cerita. Sayang, Supriatun tak dapat membaca. Bila Alya memintanya mendongeng dari buku-buku itu, Supriatun hanya menebak-nebak dari gambarnya. Atau dia dongengkan saja dari cerita-cerita yang pernah dikenalnya, ”Utek-utek ugel”, ”Kancil dan Sabuk Nabi Sulaiman”, ”Kisah Kambing dan Harimau”. Tentu saja ada perasaan asing menyelimutinya. Supriatun merasa tercebur ke dunia yang lain dari dunianya di desa. Meski Ndoro Putri, Ibu Farida, sudah membekalinya dengan berbagai pengetahuan kehidupan di kota, tak urung dia tetap merasa aneh. Tapi sudah menjadi tekadnya. Karena ini adalah kemauannya setelah suaminya di-PHK dari pabrik tebu yang tak jauh dari desa. Tak ada lagi sumber keuangan keluarga. Dua anaknya masih SMA dan butuh biaya. Meski satu anak tertua sudah berkeluarga dan memberikan satu cucu, mereka tentu masih terlalu repot mengurusi rumah tangganya sendiri. Apalagi diharapkan mengurusinya. Kini, sambil menunggu sang suami mendapatkan pekerjaan kembali, dia memutuskan untuk pergi bekerja. Di rumah keluarga Gunadi, dia tak boleh memasak. Karena keluarga itu sudah berlangganan makanan katering. Makanan yang diantar oleh seorang pemuda seumuran anaknya yang terkecil dengan sepeda motor yang dirancang untuk membawa banyak rantang makanan. Supriatun ingat sepeda anak laki-lakinya yang boncengannya dipasangi dua buah keranjang untuk mengangkut rumput makanan ternak. Makanan katering tak disukai oleh Supriatun. Menurutnya, makanan itu kurang bumbu. Terlalu banyak vetsin yang sering kali membuatnya mual. Diam-diam, hampir setiap hari, Supriatun hanya makan berlauk sambal demi menghindari lauk, sayur, atau makanan lain yang bagi lidahnya terasa terlalu gurih. Atau hanya ditambah sekerat tempe, tahu. Meski makanan itu berasa vetsin juga. Telah sebulan lebih Supriatun tinggal di keluarga Gunadi. Telah sekian lama pula dia dapat menilai kehidupan rumah tangga Gunadi dan Farida. Tebersit dalam pikirannya; ternyata kehidupan berkeluarga di desa dan di kota sangat jauh berbeda. Dia teringat sinetron-sinetron dan berita-berita artis yang ditonton di layar TV-nya. Ternyata dunia seperti itu hampir benar adanya. Beberapa hari terakhir ini dia melihat Gunadi dan Farida bertengkar. Sumpah serapah dan kata ”cerai, cerai, cerai” berhamburan ke udara. Kalau sudah begitu, dia, tanpa disuruh, segera menyelamatkan Alya. Agar tak melihat pertengkaran kedua orang tuanya. Menurutnya, orang tua tak baik bertengkar di depan anak. Supriatun mengajaknya bermain sepeda di jalan aspal depan rumah. Namun bila suara pertengkaran itu merembes keluar, membuat beberapa orang yang lewat di depan rumah mereka menengok lalu melempar wajah tanya kepada Supriatun, perempuan itu tak dapat menahan senyum kecutnya. Meski baru dua bulan, dari pertengkaran-pertengkaran itu Supriatun dapat membaca masalah-masalah yang sering kali dipersoalkan. Di antaranya adalah teguran Gunadi kepada Farida akan berkurangnya perhatian terhadap Alya, lalu keberatan Farida akan kesibukan Gunadi yang kian menjadi setelah Supriatun datang. Laki-laki itu semakin kerap beberapa hari tak pulang dengan alasan bisnis ke luar kota. Dan berdua mereka akhirnya saling menyalahkan. Supriatun sepenuhnya sadar, kehadirannya di keluarga ini sangat menjadi tumpuan. Sendirian dia menangani Alya, mengantar jemput ke sekolah TK yang hanya tak sampai seratus meter dari rumah, mengurus akuarium, dan taman depan, menangani pekerjaan rumah tangga di luar mencuci dan memasak. Namun, sekuat-kuat hati Supriatun, jebol pula pertahanan perasaannya. Suatu malam dia menangis sedih. Meratapi hidup keluarga Farida dan Gunadi. Terbayang dalam pikirannya sebuah perceraian yang seperti dia tonton di berita-berita artis. Perceraian yang kata-katanya selalu mencuat di setiap pertengkaran Farida dan Gunadi. Perceraian, yang dalam pikirannya, tentu membuat semua sengsara, Alya, anak kecil itu tentu menjadi korban. Lalu bagaimana dengan Ndoro Putri di Solo? Pasti akan timbul pertanyaan pada dirinya. Tak urung dia pun akan terlibat. Dia takut pula dipersalahkan. Perempuan desa itu kini mulai tak tahan dengan keadaan keluarga Gunadi dan Farida. Tebersit di hati Supriatun untuk berhenti bekerja saja dari keluarga itu. Kembali ke desa menjalani kehidupan apa adanya. Mencari pekerjaan di desa seadanya. Suatu hari tangis Supriatun didengar oleh Farida yang pulang menjelang tengah malam. Farida terkejut dan agak takut mendengar tangisan lirih di kala malam hendak mencapai puncaknya itu. Mengendap-endap dia di dekat kamar perempuan desa itu. Mencari asal suara tangisan itu. Ternyata benar seperti dugaannya. Itu suara tangis Supriatun. Farida mendekati pintu dan mengetuknya. ”Mbak… Mbak… Mbak Atun kenapa?” Tanya Farida. ”Eh… anu… sebentar…” jawab Supriatun dengan suara lirih dan tergopoh-gopoh. Masih terdengar isakan di sana. Tak lama pintu dibuka. Dan tampaklah muka sembap perempuan desa itu. Air matanya masih menggenang di pelupuknya. Supriatun memaksakan tersenyum. Lalu dia menghambur ke tubuh Farida. Memeluknya. Farida sejenak terkejut dan kemudian mendekap tubuh Supriatun. ”Mbak Atun kenapa menangis?” Tanya Farida. ”Saya sedih, saya ndak kuat kerja di sini,” ”Lho… sedihnya kenapa? Nggak kuatnya kenapa?” Tanya Farida yang mulai diserang kebingungan kalau-kalau Supriatun benar-benar tak tahan karena kangen anak dan suaminya. ”Saya sedih… karena Mbak Farida dan Mas Gunadi bertengkar terus. Saya ndak kuat Mbak…. Saya mau pulang saja,” kata Supriatun sambil menangis kembali. Tersedu-sedu. Farida melepaskan pelukannya. Begitu pula Supriatun. Dalam jarak yang amat dekat mereka bersitatap. Mata Farida juga mulai berkaca-kaca. Beberapa menit mereka terdiam. Seperti ada bahasa yang susah disampaikan. Namun akhirnya, Farida, memecah keheningan sejenak itu, ”Mbak Atun… maafkan saya. Saya memahami kesedihan Mbak. Maafkan kami. Kami sendiri sedang menyesuaikan diri dengan kondisi kami sekarang ini. Tapi tolong Mbak… Mbak Atun jangan pulang. Saya sepertinya akan membutuhkan Mbak Atun dalam jangka waktu yang agak lama. Dua hari yang lalu saya mendapat kabar dari dokter kandungan. Saya sudah isi lagi. Sudah hampir satu bulan. Saya janji, nggak akan bertengkar lagi…” Wajah mereka saling berhadapan. Mata mereka saling menyelami perasaan dalam hati lawan bicaranya. Raut muka Supriatun tampak mulai berubah berbinar, mensyukuri apa yang telah didapat oleh Farida. Kemudian tersenyum dan pelan-pelan mengangguk. Farida pun tersenyum. Dalam keheningan mereka kembali berpeluk.
""Pilihan Ibu""
Tak ada yang betah di rumah, dan makin menyusahkan karena tak ada hiburan di luar. Adakalanya biduanita organ tunggal meliuk-liuk seperti belut sawah di atas panggung berhias pelepah kelapa di pinggir-pinggir pantai, lebih menyanyikan maksiat daripada lagu. Tapi itu hanya lama-lama sekali, pun kalau harga timah sedang bagus—yang amat jarang bagus. Tak ada galeri seni, gedung bioskop, kafe-kafe, atau pusat perbelanjaan untuk dikunjungi. Yang sedikit menarik perhatian hanya sebuah jam besar di tengah kota dan jam itu sudah rusak selama 46 tahun. Jarum pendeknya ngerem mendadak di angka lima. Jarum panjangnya mengembuskan napas terakhir di pelukan angka dua belas. Jarum detik telah minggat dengan perempuan lain, tak tahu ke mana. Melihat jam itu sejak kecil, aku punya firasat, bahwa nanti jika dunia kiamat, kejadiannya akan tepat pukul lima. Penarik perhatian lainnya adalah dua buah patung, juga di tengah kota. Patung pertama berupa seekor buaya yang sedang melilit sebilah parang. Besar, tingginya mungkin enam meter. Sejak kecil pula aku telah berusaha mencerna makna filosofis patung itu, tapi selalu gagal. Aku hanya menduga-duga, buaya adalah perlambang lelaki hidung belang, maka, semua lelaki pembuat parang patutlah dicurigai. Patung satunya lagi juga besar dan tinggi, adalah patung para pejuang kemerdekaan tahun 45. Lengkap dengan senapan dan bambu runcing. Mereka mengacungkan tinju dengan geram, siap menyikat Belanda. Juga sejak kecil aku bertanya-tanya, mengapa pematung membuat kepala patung-patung itu secara anatomis sangat besar? Baru belakangan ini kutahu jawabannya, yaitu di depan patung itu kini dipasang papan reklame dan di situ para politisi sering berbusa-busa membanggakan program-program mereka. Maka tampaklah kini para pejuang 45 itu seperti ingin menonjok mereka. Jika ingin tahu definisi dari visi seorang seniman, patung itu memberi contoh yang sangat pas. Jam besar, patung pejuang 45 dan papan reklame itu adakalanya bagiku tampak bak panggung parodi, adakalanya bak wangsit, dan adakalanya bak segitiga Bermuda, yang menyimpan misteri politik republik ini. Namun, tak pernah kami risaukan semua itu sebab kami punya sebuah museum, dan museum kami adalah museum yang paling hebat di dunia ini. Tak ada yang bisa menandinginya sebab ia museum sekaligus kebun binatang. Baiklah, mari bicara soal museum. Di sana ada sebuah ruangan yang jika dimasuki harus membuka sandal dan mengucapkan assalamualaikum demi menghormati tombak-tombak karatan, peninggalan para hulu balang antah berantah. Uang kecil diselipkan ke dalam kotak di samping tombak-tombak itu dapat menyebabkan pendermanya awet muda dan enteng jodoh. Anak-anak yang tak sengaja menunjuk tombak itu harus mengisap telunjuknya agar tidak kualat. Dari jendela museum, istimewa sekali, tampak hewan-hewan berkeliaran. Itulah kebun binatang kami. Setiap minggu tempat itu dipenuhi orang-orang yang ingin melihat kijang yang saking buduknya sudah tampak serupa kambing. Ada pula unta gaek yang menderita sakit batuk kering stadium 4. Setiap kali dia batuk, nyawanya seperti mau copot. Ada zebra jompo yang hanya memandang ke satu jurusan saja. Tak paham aku apa yang tengah berkecamuk di dalam kalbunya. Ada orangutan uzur yang sudah ompong dan tampak terang-terangan menafsui bebek-bebek gendut di kolam butek sebelah sana. Tak ada malu sama sekali. Lalu ada singa tua kurapan bermata sendu macam penyanyi dangdut. Singa itu sepertinya sangat benci pada hidupnya sendiri. Mereka muak melihat orang-orang udik yang menontong mereka di dalam kandang. Konon, mereka dihibahkan ke kampung kami karena telah afkir dari sebuah kebun binatang di Jawa, di mana mereka dianggap tidak sexy lagi. Namun, seperti segala sesuatu yang selalu kami terima apa adanya, seperti segala sesuatu yang tak pernah berubah di kampung kami, makhluk-makhluk hidup segan mati tak mau itu selalu punya tempat di dalam kebun binatang kami, di dalam hati kami. Hewan-hewan itu menguap sepanjang hari, mereka hanya seekor saja dari jenisnya masing-masing, jadi mereka adalah pejantan bujang lapuk seumur-umur. Sungguh mengerikan hidup ini kadang-kadang. “Mau kemana kau, Bujang?” sapa penjual tebu yang bertedu di bawah patung pejuang 45 itu. Malas aku menjawabnya. Karena ia selalu menanyakan hal yang sama padaku, setiap kali aku melintas di situ, dan karena aku terpana menatap propaganda yang dikoarkan politisi di papan reklame itu, megah bertalu-talu tentang perubahan-perubahan yang akan mereka buat. Tanpa mereka sadari, mata nanar mereka yang penuh optimisme tengah menatap jam besar yang telah rusak selama 46 tahun itu. Tanpa mereka sadari, para pejuang 45 mengacungkan tinjunya pada mereka. “Mau ke pinggir sungai,” jawabku dalam hati. Jika kemarau makin menggelak, aku menyingkir dan duduk melamun dibelai angin di sebuah kapal keruk yang termangu-mangu di sana. Kapal itu tinggal segunung besi rongsokan. Mesin besar dan digdaya, dulu selalu dikagumi anak-anak Melayu. Ketika meskapai Timah masih berjaya, jumlahnya puluhan. Mereka mengepung kampung, menderu siang dan malam, mengorek isi bumi untuk meraup timah. Kini, satu-satunya yang tertinggal, tempatku melamunkan nasib ini, teronggok seperti fosil dinosaurus. Kapal keruk pernah menjadi pendendangirama hidup kami, bagian penting dalam budaya kami. Karena semua lelaki angkatan kerja bekerja bergantian selama 24 jam. Tak kan pernah kulupa, setiap pukul dua pagi, truk pengangkut buruh kapal keruk menjemput ayahku. Kudengar suara klakson. Ayah keluar rumah di pagi buta itu sambil menenteng rantang bekal makanan dari ibu. Jika melihatku terbangun, ayah kembali untuk mengusap rambutku dan tersenyum. Dari dalam rumah kudengar ayah mengucapkan salam pada kawan-kawan kerjanya yang telah berdesakan di dalam bak truk. Kawan-kawan kerjanya itu adalah ayah-ayah dari kawan-kawanku. Lalu kudengar gemerincing besi beradu, kemudian truk menggerung meninggalkan rumah. Sering aku minta dibangunkan jika ayah berangkat kerja pukul dua pagi itu. Karena aku ingin melihat ayah dengan seragam mekaniknya yang penuh wibawa, yang ada test pen di sakunya, yang berbau sangat lelaki. Ayah melangkah tangkas sambil menyandang ransel berisi tang, ragum, dan sekeluarga kunci Inggris. Kunci-kunci baja putih itu bila dibariskan akan membentuk segitiga yang sangat hebat. Kubayangkan, tugas-tugas yang berat diemban oleh bapak kunci paling besar, dan tugas-tugas sepele adalah bagian anak-anaknya. Aku senang melihat ayah melompat ke dalam bak truk. Dia, pria yang gagah itu, penguasa sembilan kunci Inggris anak-beranak itu, adalah ayahku, begitu kata hatiku. Lalu aku tidur lagi, sambil tersenyum. Sepuluh tahun telah hangus sejak terakhir aku melamun di rongsokan kapal keruk itu. Jam besar di tengah kota tepat menunjukkan pukul 5 saat kutinggalkan kampungku dulu. Musim kemarau waktu itu. Sekarang, ketika aku kembali pulang, jam besar itu masih saja menunjukkan waktu pukul 5, dan musim masih kemarau. “Mau ke mana kau, Bujang?” sapa penjual tebu waktu aku melintas dekat patung pejuang 45. Sepuluh tahun telah lewat, apa dia tak punya pertanyaan lain? Malas aku menjawabnya. Lagi pula aku tengah terpana menatap propaganda para politisi di papan reklame itu. Silih berganti mereka telah merajai papan itu. Periode demi periode mereka telah berkuasa. Silih berganti mereka telah berkoar soal perubahan-perubahan yang akan mereka buat, namun jam besar yang berada di depan hidung mereka telah rusak selama 56 tahun, tetap rusak selama 56 tahun, dan para pejuang 45, tetap mengacungkan tinjunya pada mereka. “Mau ke pinggir sungai,” jawabku dalam hati. Aku melenggang pergi. Tapi sungguh merana. Sampai di sana, yang kutemui hanya semilir angin dan riak-riak halus gelombang. Bangkai kapal keruk itu telah lenyap, macam telah disulap seorang illusionist. Aku kembali. Pada penjual tebu aku bertanya. “Pak Cik, ke mana perginya kapal keruk itu?” “Sudah dipotong-potong menjadi besi kiloan,” jawabnya tak acuh sambil mengunyah tebunya yang tak laku. Aku terhenyak. Sirna sudah kenangan manis itu, lenyap sudah kebanggaan masa kecil itu, hapus sudah kebudayaan itu. Di kampung kami, arkeologi industri telah dilanda tsunami. Saat itu, rasanya ingin aku memanjat patung itu dan bergabung dengan pejuang 45. Namun tak kulakukan, karena aku sudah terlambat untuk pulang, sudah sore. Kulihat jam besar itu, sudah pukul 5. Musim masih kemarau saat aku kembali ke Jakarta dan hidup berlangsung seperti biasa. Suatu malam aku terjaga. Pukul dua pagi waktu itu. Lalu seakan terdengar suara klakson mobil truk, dan menguar suara orang-orang mengucap salam. Kemudian kudengar suara gemerincing besi saling beradu. Kulihat ke luar jendela, seorang lelaki berkelebat dengan seragam mekaniknya yang hebat, lalu truk menggerung, pelan-pelan meninggalkan rumah. Aku termangu. Kerinduanku pada ayah semakin tak tertanggungkan. Vancouver, Mei 2010 Diadaptasi dari salah satu bab dalam novel Padang Bulan dan Kisah-Kisah dari Negeri Laskar Pelangi, karya Andrea Hirata
""Kemarau""
Air matanya begitu indah: mengalir berbulir-bulir penuh cahaya serupa permata. Aku ingin memunguti dan menguntainya menjadi kalung dan mengenakan di leher jenjang perempuan itu. Siapa tahu, kalung air mata itu dapat sedikit menghiburnya? Tapi niatku yang baru saja kuhunus itu pupus. Ia tiba-tiba menatapku sambil mengucap lirih, “Kamu masih mendengar tangisku?” Tentu saja aku mengangguk. Dengan lirih kukatakan bahwa aku memang telah menyiapkan waktuku, perasaanku, dan seluruh dalam diriku hanya untuk mendengarkan tangisnya. Dia tersenyum. Tatapan matanya menunjukkan dirinya lega dan dia pun meneruskan tangisnya. Mendengarkan tangisnya yang panjang dan menyayat, aku menduga dia sangat terlatih menangis atau setidaknya dia punya pengalaman yang panjang dalam soal tangis-menangis. Tentu saja, dugaanku itu sama sekali tak berhubungan dengan dirinya yang perempuan. Tangis bukan hanya milik perempuan, tapi juga laki-laki. Aku juga sama sekali tidak menganggap ia cengeng, apalagi menghubungkannya dengan raut wajahnya yang sendu dan melankolis. Bagiku ia menangis karena memang harus menangis. Tidak setiap tangisan punya alasan. Karena itu, aku tetap kukuh untuk tidak bertanya kenapa dan untuk apa dia menangis. Kupikir itu tidak sopan. “Kamu tidak ingin tahu kenapa aku menangis?” ujarnya lirih. Aku menggeleng. Dia memberikan tatapan yang mengambang. Mungkin aku dianggapnya aneh dan berbeda dengan banyak laki-laki lain yang selalu ingin tahu alasan seorang perempuan menangis. Lalu, laki-laki itu mencoba menjadi tukang pemberi nasihat dengan kata-kata yang gagah dan gemerlap, namun setelah itu menyatakan jatuh cinta. Simpati seperti itu, kupikir, tak lebih dari jebakan. “Kamu tidak ingin tahu, kenapa aku menangis?” Aku tersentak, namun cepat-cepat menguasai diri dengan mengambil nafas dalam dan panjang. Kegugupan mendorongku untuk menghunus sebatang rokok dan menyulutnya. Kuhisap rokok itu kuat-kuat dan kuhembuskan asapnya. Aku tak berani menatap wajahnya. Aku memilih menyapu pandangan pada botol-botol bir yang kosong, pada gelas-gelas yang menganga, atau cawan berisi kacang goreng. Aku merasa kecanggungan itu mencair ketika perempuan pelayan kafe datang dan mengangkat botol-botol itu. Tanpa berpikir panjang, kupesan dua botol bir dan satu porsi kentang goreng. Perempuan pelayan itu cepat melesat setelah pesananku dicatat. Kurasakan suasana canggung kembali mengurung. Musik blues mengelus ruangan. Seorang penyanyi berambut coklat mengalunkan lagu. Irama dan suaranya menjelma sembilu. “Apa bagimu kisah perempuan selalu membosankan?” Kembali ia menohokku. Hatiku merasa tersodok. Aku sulit menjawab. Kurasakan aku gagal menyusun setiap kalimat atau suaraku seperti tercekat di tenggorokan. “Aku selalu tertarik pada kisah-kisah perempuan. Namun, aku tidak bisa memaksa setiap perempuan untuk menceritakan. Apalagi kita saling kenal belum cukup lama.” “Bagaimana kalau aku yang bercerita, tanpa kamu merasa bersalah untuk mendengarnya?” “Tapi aku lebih suka mendengar tangismu.” “Kenapa? Kamu merasa terhibur?” “Bukan. Bukan. Jangan salah paham.” “Lalu, kenapa? Bukankah umumnya setiap orang menangis? Apa istimewanya tangisku?” “Tangismu sangat indah….” Dia diam. Aku tak tahu perasaan apa yang kini mengaduk-aduk hatinya. Aku sangat khawatir, ucapanku tadi menyakiti hatinya. Pelan-pelan ia menyeka air matanya, dengan sapu tangan kecil. “Aku sudah sangat lelah menangis. Aku telah menangis sepanjang waktu, sepanjang usiaku….” Suara penyanyi yang menyayat, tiba-tiba menerobos, lalu pelan-pelan menghilang diringkus kesunyian malam. Tanpa kutanya, perempuan itu bercerita. Pertama kali dia menangis dengan perasaan terluka sangat dalam ketika dia masih tumbuh remaja. Waktu itu, seorang laki-laki setengah baya—yang telah dianggapnya sebagai orang tuanya sendiri—menggagahi tubuhnya. Tangis dalamnya yang kedua adalah, ketika semasa mahasiswa: seorang laki-laki mencoba memerkosanya. Tangis ketiganya pecah ketika ia dilecehkan secara seksual oleh seorang laki-laki, bos dari sebuah perusahaan, tempat ia melamar pekerjaan. Tangis keempat, tangis kedua puluh lima, tangis keseratus satu… ah dia sudah tidak ingat. “Aku sebenarnya ingin mengakhiri tangisan hidupku. Ya, malam ini, ketika bersamamu.” Darahku berdesir. Degub jantungku meningkat cepat. “Kenapa harus bersamaku? Apa istimewanya diriku?” “Kamu pendengar yang baik. Entah kenapa, aku merasa aman dan nyaman. O ya, meskipun kita baru seminggu ini saling kenal, aku merasakan kita sudah bersahabat sangat lama.” Aku merasa sedikit tersanjung, meskipun mungkin baginya aku ini tak lebih dari keranjang sampah yang baik dan santun. “Tapi, ternyata kamu ini laki-laki paling aneh sepanjang yang kutemui dalam hidupku. Kamu tak pernah ingin tahu apa alasanku menangis? Aku merasakan tangisanku ini sia-sia….” Kembali dia “menyerangku”. Darahku kembali berdesir. Beban rasa bersalah mendadak menindihku. Aku menenggak bir langsung dari botolnya. Namun dingin bir itu kurasakan tak bertenaga meredam gebalau galau dalam hatiku. “Aku baru saja cerai dengan suamiku,” ucapnya tiba-tiba. Aku tersentak, tapi aku tak kuasa untuk mencari sebab. Aku hanya berani menebak-nebak dalam benak. Mungkin, dia merasa dikhianati suaminya yang berselingkuh dengan wanita lain. Atau, justru dirinya yang meninggalkan suaminya karena tertarik pada pria lain? Atau alasan klise lainnya. Aku sama sekali tak tertarik mengusutnya. “Sekarang aku tinggal sendirian. Kebetulan, kami belum dikaruniai anak, meskipun kami telah berumah tangga selama hampir empat tahun.” Perempuan itu berbicara dengan pasti, tanpa emosi. Aku heran, kenapa kini dia tidak menangis? “Aku ingin mengakhiri tangis hidupku malam ini, bersamamu. Kamu tidak keberatan?” Aku mengangguk. Malam telah menjelma gelaran kain waktu yang lusuh, mungkin juga basah oleh air mata perempuan yang sepanjang pertemuan kami tadi selalu menagis. Aku kaget, mendadak ia menggenggam tanganku kuat-kuat. Aku ingin menariknya, tapi tak kuasa. Kurasakan kehangatan mengaliri jiwaku. Aku pun pasrah dalam genggamannya. “Aku pulang dulu. Besok kita bertemu lagi di sini,” bisiknya. “Kamu tidak keberatan jika aku mengantarmu?” aku memberanikan diri bertanya. Agak lama dia diam. Menimbang-nimbang, mungkin dengan bimbang. Namun, gumpalan kecemasanku pun runtuh oleh anggukan kepalanya. Kurasakan sayap-sayap dalam tubuhku tumbuh. *** Rumah perempuan yang kukenal bernama Sonya Rury itu terletak di sebuah perbukitan yang jaraknya sekitar 25 kilometer dari kota. Mobilku pun cepat melesat, mencapai rumahnya yang mungil tapi indah itu. Ia menggenggam erat tanganku, membimbingku memasuki ruang tamu. Ketika ia masuk kamar tidurnya, aku duduk mengatur nafas dan degup jantungku. Saat itu aku baru sadar, aku lelaki yang miskin petualangan. Mendadak ia memanggil namaku. Ia memintaku masuk ke kamarnya. Jantungku cepat berdegup. Aku gugup dan hanya bisa terpaku diam di sofa. Ia mengulangi permintaannya. Kegugupan membimbing langkahku. Di kamar yang bercahaya temaram itu, ia berdiri memunggungiku. Hanya separoh tubuh kuning langsatnya yang dibalut kain. Kutatap tubuhnya lekat-lekat. Namun, perasaanku yang campur-aduk mendorong niatku untuk berbalik keluar dari kamar. Dia mencegah. “Kamu tidak melihat punggungku?” “Ya, punggungmu penuh bekas luka. Bahkan beberapa luka masih tampak baru dan segar…,” ucapku lirih. “Kamu ingin tahu, kenapa luka-luka itu terpahat di punggungku?” Dia memelukku. “Siapa yang melukaimu?” aku gagap bertanya. Sonya pun berkisah. Dia bertemu dengan seorang laki-laki yang berwajah menawan di sebuah kafe. Mereka pun lama berpacaran. Laki-laki itu menyatakan jatuh cinta dan berniat mengawininya. “Tapi sebenarnya kami tak pernah menikah…. Maafkan aku telah berbohong di kafe tadi…. Kami hanya kumpul kebo….” Di bawah ancaman pembunuhan, ternyata laki-laki itu menjual Sonya kepada para pelanggannya. “Seluruh pukulannya telah merata dalam tubuhku. Juga sayatan dan tikaman pisau lipat.” Dengan sukma yang selalu meradang, Sonya terpaksa melayani beberapa laki-laki yang bisa membayarnya. Setiap malam. Seluruh tubuh dan jiwanya terasa ngilu. “Tapi aku tak pernah melihat uang hasil keringatku, apalagi memilikinya….” Sonya nekat berlari. “Inilah rumah persembunyianku. Liang hidupku….” Malam telah menyusut, kegelapan pun semakin surut. Angin pagi bertiup memasuki seluruh ruangan rumah ini, mengusap tubuh Sonya yang penuh luka. Kutatap wajah Sonya yang tertidur pulas. Mungkin ia sedang menyusun kedamaian dalam hatinya, di tengah pelarian yang penuh kecemasan. Aneh, aku merasa telah menjadi bagian dari dunia Sonya yang cemas. Kulihat mata Sonya tak lagi sembab. Ia telah mengakhiri tangis dalam hidupnya. Ndalem Tirtonirmolo 2010
""Sonya Rury""
Konon waktu akan mampu mengurai segalanya, membuat air keruh menjadi kembali bening. Namun saat ini waktu gagal mengurai kepedihanku padamu. Malah membuatku berkhianat pada janji untuk tidak menemuimu lagi sampai mati. Tapi, rasanya terlalu berat bagiku menafikan kesempatan melihat wajahmu sedekat sekarang. Walau tidak lagi sesegar dulu, namun sorot mata tajam dan cemerlang itu sepertinya tak pernah bisa kulupakan. Ingatanku seolah segar kembali menoleh ke belasan tahun lalu, sewaktu penguasa paling lama di negeri ini jatuh. Kita pernah sama-sama dilempar ke dalam truk polisi karena dianggap menolak dan berkata tidak pada kekuasaan. Setelah peristiwa itu aku sudi lagi turun ke jalan berurusan dengan tongkat pemukul dan sepatu laras yang membuat pinggangku memar berhari-hari. Waktu itu kau juga mengurusi pinggangku. Sempat malu juga aku diuruti olehmu dengan setengah telanjang di antara kawan lain menyoraki kita di markas polisi. Untungnya hanya 24 jam kita diinterogasi. Mereka belum punya cukup alasan menahan lebih lama. Mungkin lebih tepatnya telah pusing mengurusi kita. Mereja seolah dipekerjakan dalam kantornya sendiri. Direpotkan dengan mengurusi makan minum kita. Sudah begitu masih ditambah mendengarkan omongan sekenanya pula. Menambah pekerjaan bila saja menahan lama-lama mungkin pikir mereka. Setelah peristiwa itu kau masih kuperhatikan tetap rajin dalam aksi-aksi selanjutnya. Masih kokoh merapat dalam barisan. Masih berteriak sambil mengepalkan tinju. Dan tetap lantang menyanyikan mars pembangkan ketidakadilan para penguasa; kita pasti menang! Kadang aku menerka-nerka, betulkan kau waktu itu bicara atas nama orang-orang kalah, bukan karena gelisah mencari jati diri. Bila saja sempat kutanyakan hal ini padamu, pasti matamu seolah keluar dari kelopaknya, lali dengan ganas menyerangku sambil mengutip kalimat Mark sampai Andre Gunder Frank. Sumpah, kadang aku suka pada bagian dirimu itu. Berapi-api dan gagah. Pantas saja kau sering mendapat tugas sebagai koorlap sewaktu aksi. Kau seperti Yeni Rosa Damayanti, anak tentara yang menolak jika penderitaannya dalam penjara terlalu dibesarkan dan mengaku malu pada kawan lain yang telah menyerahkan nyawa untuk perjuangan ini. “Aku hanya perempuan biasa yang mencoba membuktikan bahwa sekarang ini adalah abad perempuan. Juga berusaha dengan cara apa pun agar kami tidak hanya dipandang seperti sekerat daging,” katamu dengan nada tinggi. Lalu aku pasti akan terburu mengiyakan, khawatir kalimatmu kepanjangan. Bila tidak, kau pasti dengan sukacita siap berperang kata denganku. Bisa hancur berantakan pertemanan kita bila kuladeni segala keberangasanmu itu. Padahal paling tidak, perlu waktu satu bulan berjauhan sebelum kita saling menyapa lagi. Kau memang tipe perempuan yang mengandalkan mulut besar. Aku paham itu. Tak mungkin rasanya kau bisa terlibat dalam organisasi kampus, LSM, dan organisasi lain di masyarakat bila hanya mengandalkan bicara dan bentuk fisikmu yang cantik. Tak ada suatu hasil terbaik tanpa konkret diperjuangkan, no pain no gain! ujarmu. Wajahmu terlihat bersemangat ketika bercerita tentang seorang Nadine Gordimer, perempuan kulit putih pemenang Nobel Sastra dari negara Nelson Mandela, yang gelisah melihat ketidakadilan kaumnya pada penduduk asli Afrika Selatan. Dia menghantam apartheid dalam novel-novelnya sehingga ia kemudian harus rela kerap terjaga tengah malam karena pengerebekan keamanan setempat untuk ditahan. Hal yang seharusnya tidak ia alami bila hanya menulis novel biasa tanpa menyinggung apartheid. Mungkin kegelisahan semacam itu yang membuatmu tabah menyusuri perkampungan dan gang kumuh kota ini untuk membagi-bagikan kondom gratis. Hal yang membuat para pekerja seks dan preman di sekitar kawasan Stasiun Tugu dan Malioboro akrab menyapamu mbak kondom. Sering kali mereka berani tanpa sungkan menggodamu dengan anekdot jorok sebab tahu kau pasti tak akan marah. Pada awalnya mereka memang penuh curiga padamu dan memperlakukan mu dengan kurang baik. Ada yang menyindir, bahkan sontak mengungkapkan keberatan atas kedatanganmu. Lebih jauh lagi, sempat kau juga mengalami pelecehan di kawasan ini. Namun, pada akhirnya mereka luluh juga dengan semangat pantang menyerahmu. Lagi pula kau memang tulus pada orang semacam mereka. Rasanya tidak sulit bagi orang-orang di sana menyadari bahwa sesuatu yang dari hati akan sampai ke hati. Beberapa pengalaman mereka sering kali kau bagi padaku saat kita punya kesempatan menghabiskan waktu di pinggiran pantai berdua. Tentang seorang anak perempuan belasan tahun yang dijual ibunya, atau bagaiman cara perempuan di sana yang sukses menghabiskan uang tamunya, para lelaki tua yang sebetulnya sangat pelit pada anak-istrinya. Kita lalu tertawa bila pada episode lucu, dan meringis pada episode yang tragis. “Mereka, bagaimanapun adalah guruku. Orang-orang yang gagah berani hidup sekaligus berani mati. Kau pasti masih ingat Chairil pernah terpesona pada orang macam mereka,” katamu memukauku di sela suara gemuruh ombak Parangtritis menjelang gelap. “Ya benar, penyair pemberontak itu pernah memang memngungkapkannya, ‘Aku suka pada mereka yang berani hidup!’ itu kan maksudmu?” ujarku menimpali. Bila bicaramu sudah seperti ini, maka pasti kutanggapi dengan serius karena saat seperti inilah kau terlihat begitu indah. Entah kenapa aku suka saat engkau bicara tentant Tagore sampai tentang seorang Umbu Landu Paranggi, sastrawan yang menggauli setiap sudut di Malioboro dan membikin sekelompok pedagang kaki lima, gali, dan tentu saja seniman jalanannya akrab pada puisi. Katamu, dia memang pantas disebut presiden Maliioboro. Apa yang ia lakukan mirip karakter Robin Williams dalam film Dead Poet Society, seorang guru yang membuat murid-muridnya menggilai puisi. Puisi juga kadang bisa membuatmu bertingkah gila. Seperti waktu kau ajak beberapa kawan melakukan aksi dadakan di depan sebuah gedung pertunjukan. Waktu itu almarhum Rendra akan membaca karya-karyanya dalam Disebabkan oleh Angin. Kau tuding tokoh ini menjual idealismenya dan berpihak pada golongan kaya karena harga tiket yang melambung, di luar jangkauan mahasiswa kere macam kita ini. Aku tahu pasti, sebenarnya itu adalah akal-akalanmu saja yang sedang bokek namun memaksakan diri untuk menonton. Aku heran kenap masih bisa mengingat begitu banyak hal konyol dalam dirimu. Mungkin kau memang kawan perempuan paling aneh yang pernah kutemui. Yang selalu ingin mengemudikan motor bila kita pergi berdua. Yang mengajariku berpuisi tentant Tuhan, sementara bulir arak terserak di seputar bibir kita. Mungkin kau membayangkan saat itu serasa bagai seorang Abunawas, hedonis yang berputar arah menjadi seorang sufi lalu membuat syair menggetarkan dalam Al I’tiraf. Atau seperti Sutardji Calzoum Bahri yang bersyair tentang Tuhan dengan mulut penuh busa bir. “Aku mungkin brengsek, namun bukan seorang ateis,” ujarmu sambil melempar botol dari tanganmu ke tengah laut. Sekarang, setelah belasan tahun berlalu. Kekuasaan negeri ini pun sudah beberapa kali berganti. Kurasa segala kebadungan, kebrengsekan, dan kenekatanmu pasti sudah banyak berkurang. Berubah seperti juga banyak kawan seperjuangan kita dulu pun berubah. Sebagian ada di partai, sebagian memakan mentah-mentah apa yang dulu mereka maki-maki, dan sisanya tak punya cukup alasan lagi untuk tetap berjuang. Tapi, kuyakin kau dalam hal ini masih tetap seorang pemberontak. Seperti kuduga sebelumnya, sikapmu memilih tinggal di luar Jawa sebenarnya bukan sekedar mencari suasana baru. Mesti banyak hal kau lakukan di sana. “Setelah dari Cina, selama bertahun-tahun aku hidup seperti hippies. Berkeliling ke beberapa negara di Eropa sana. Bergabung dengan Amnesti Internasional, ikut program Greenpeace. Berteriak sebebasnya, melakukan semua yang kuingin, sampai kemudian aku rindu pulang dan menyadari bahwa tempatku memanglah bukan di sana. Alangkah bodohnya aku jika meninggalkan negeri yang sering membuat iri bangsa-bangsa lain ini,” dengan datar kau bercerita. Agak lama kita kemudian terdiam tanpa kata-kata. Masing-masing terdiam dalam benaknya sendiri. “Lalu sebenarnya apa yang kau lakukan di sini?” tanyaku agak kaku. Sebenarnta kalimat itu terdengar terlalu kaku untuk kedekatan kita, terutama setelah lama tidak bertemu. “Aku ada acara di Jakarta. Kawan-kawan Walhi mengundangku menjadi pembicara mengenai eksploitasi alam di Borneo. Kupikir, sepertinya ada sesuatu yang belum selesai denganmu, setelah tahu kau ada di Bandung, kusempatkan mampir menemuimu sebelum terus ke Jakarta,” perlahan sekali kau bertutur. Kita terdiam lagi beberapa waktu. Belum sempat kukatakan sesuatu, kau menyambung lagi kalimatmu. “Seperti yang kubilang, aku memang bukanlah orang taat. Hanya saja pernah seorang kyai berkata padaku bahwa satu hikmah yang terdapat dalam beberapa ritual keagamaan kita adalah silaturahmi. Orang yang berkali-kali pergi haji, dan selalu bersujud srta membaca kitab suci, belum tentu baik di mata-Nya bila hubungan dengan sesamanya buruk. Itulah yang membawaku kemari. Jadi, maukan kau memaafkanku?” Ya ampun. Alangkah hebatnya perempuan ini. Untuk kesekian kalinya ia mengajariku tentang memaafkan dan kelapangan hati. Tanpa mengindahkan beberapa pasangan yang juga sedang berdua di pantai itu, kugenggam tangannya dan berbisik dekat sekali di telinganya, seharusnya aku yang pertama memaafkanmu, bukan menunggumu untuk mengatakannya. Cianjur, 5 April 2010.
""Perempuan dalam Baju Zirah""
Kalau kamu datang, tunggu aku di bawah pohon cemara. Aku sudah membuat janji untuk menginap di Gang Bakwan. Kamu ingat? Mak Kus, pemilik rumah yang baik hati itu akan menyiapkan segalanya. Tak perlu berlama-lama, kamu bisa pulang pada pagi kemudian. Setelah itu, kamu memiliki janjiku. Janji yang terakhir. *** Kaci, Sudah dua Sabtu Pahing aku menunggumu di tikungan ketiga, di bawah pohon cemara. Menggigil dan sendirian. Tujuh batang rokok kuhabiskan sembari berharap sosokmu muncul dari balik belokan, tetapi pada batang ketujuh, aku tahu, kamu tak akan muncul. Sia-sia saja menunggu. Maka aku akan pulang dalam diam, dan tertidur lepas subuh di sofa merah ruang tamu. Sementara teman-temanku yang lain menari dalam kamar dengan mereka yang telah menambatkan tali di tubuhnya. Diam-diam, aku masih menunggumu. Kamu tak pernah datang. Ke bawah pohon cemara tempat kita biasa duduk di pelipiran jalan, atau ke ruang tamu pondokanku. Surat itu kuselipkan di bawah pot bunga di samping wastafel Restoran Miraza lantai 1 yang tersembunyi. Di situ, janjimu, kita bertukar pesan. Atau sajak. Sebab katamu, kamu lebih suka membaca gurat tanganku yang rahasia, ketimbang membaca pesan pendekku di ponselmu yang sulit dirahasiakan. Atas nama rahasia pula, surat-suratmu kutitipkan pada sebuah kotak sepatu tua dan kusembunyikan rukut dalam lemari plastik. Tahukah kamu, kotak sepatu itu sudah hampir buncah, sebab kita bersurat tanpa jeda. Sampai kau berhenti muncul di restoran. Atau tepatnya, berhenti memeriksa pot bunga yang letaknya tersembunyi itu. Aku tahu, sesekali kamu masih datang ketika aku tak ada. Ah, aku tahu, tak sepantasnya aku besar kepala, meskipun kamu bisa membawaku ke restoran yang jaraknya hanya 12 kilometer dari pondokanku itu. Kebanyakan laki-laki yang datang padaku hanya ingin lubang senang, bukan cinta. Tetapi aku telah telanjur memaknai rumah makan besar di lereng Pandaan itu sebagai tempat rendez-vous. Barangkali karena bagiku kamu berbeda dengan penambat yang lain. Sebab rasanya, bukan tubuhku yang ingin kau ikat. Ada yang lebih dari itu. Sebab itulah aku desak diriku untuk bertanya. Tapi sejak itu kamu tak lagi muncul dan menjemputku dari sofa merah pondokanku. Apakah karena aku telah lancang bertanya? Apa perempuan seperti aku tidak punya hak untuk mencintai? Percakapan di senja layu itu berakhir dengan diam. Kamu ranggas dan mengeras, seperti batu. Lalu lenyap sama sekali. Mama Tien sudah bosan bertanya tentang kamu, sebab tak pernah kugubris. Akhir-akhir ini, ia bahkan bersikap judes padaku. Sebab aku sudah enggan berias. Meski dengan wajah natural pun orang-orang tetap menganggapku primadona Pesanggrahan. Kaci, Aku tahu kamu membaca suratku. Aku tahu kamu perlu waktu untuk berpikir. Tapi Sabtu depan adalah Sabtu Pahing terakhir yang bisa kuberikan. Aku tak bisa menunggu selamanya. Mama Tien mengancam akan memotong bagianku dua kali lipat lebih besar, kalau aku terus-terusan keluar ketika malam sedang ramai. Lagipula, ia mungkin takut aku akan lari. Aku bukan orang kaya, Kaci. Aku masih punya mimpi untuk membangun sebuah rumah batu di Jember sana. Berangan-angan bisa memensiunkan emak-bapakku dari ladang orang. Biarlah mereka hidup enak. Biar aku saja yang bekerja. Bukankah aku pernah bercerita? Maka, Kaci, jemputlah aku di tikungan ketiga, di bawah pohon cemara. Setelah itu kita bisa pergi. Tidak ke rumah dengan sofa merah itu. Tidak juga ke kota, sebab aku tak berniat lari. Tapi ke sebuah kamar hangat di Gang Bakwan, yang sudah kupesan dan kubayar lunas. Sedikit orang mungkin hadir untuk mengesahkan perjanjian kita. Tapi selebihnya, kita sendirian. Seperti biasa. Kamu boleh memilikiku sepenuhnya. *** Jumat legi terakhir. Semua sudah rapi kusiapkan. Entah kenapa aku bisa begitu yakin, kamu akan datang. Sebelum adzan Jumat selesai sikumandangkan, aku sudah terjaga, lebih awal dari biasa, dan buru-buru turun ke Gang Bakwan. “Apa kamu yakin, dia pasti datang?” tanya Mak Kus setelah tawanya habis, ketika aku tergopoh-gopoh datang padanya untuk memastikan. Rencana ini memang kususun bersama Mak Kus. Hanya dengannya aku berani bercerita. Dulu, Mak Kus sama sepertiku, tak seperti Mama Tien yang judes dan pandai berhitung. Karena itu ia bisa memahamiku. Aku mengangguk. Mak Kus barangkali menangkap kecemasan berkilat di wajahku. “Sudah ada ojek yang njemput Pak Ma’ruf?” pertanyaan perempuan gemuk yang baik hati itu membuatku tercekat. Bukan karena aku alpa mengatur rencana. Tapi oleh angin dingin yang tiba-tiba menghantam tubuhku. Memerihkan jantung. Entah kenapa. Barangkali sebab kedatangan Pak Ma’ruflah yang akan mengesahkan perjanjian terakhirku denganmu. “Sudah, Bu. Taryo nanti yang pergi. Aku akan bel dia kalau Kaci sudah datang.” Jam dua belas lewat tengah hari. Setelah menyulut sebatang rokok yang tertinggal di meja, aku berpamitan. “Salam untuk Sur, ya Bu. Masih tidur dia?” Induk semang yang kukunjungi itu mengangguk. Aku beranjak dan melambai. Kurasakan wajahku merona, entah kenapa? Aku berbelok ke barat, keluar gang, menyusur jalan raya, dan mendaki ke utara, melewati Hotel Inna. Hangan masih terus tertinggal di pipiku. Tetapi dingin menyusup dari hutan-hutan jauh. Kaci, semua sudah siap. Tinggal diriku sendiri yang mesti berkemas. *** Pukul sebelas kurang lima belas. Susah payah, kujejalkan selembar gaun hitam seharga Rp 250.000,- yang kubeli dari Mama Tien ke dalam tasku. Menurutku, gaun yang harus kucicil dalam lima kali pembayaran itulah satu-satunya yang layak dijadikan pakaian pengantin. Aku lalu menyelinap lewat pintu belakang setelah berpamitan dan mencium pipi Mama Tien. Mukanya sedikit cemberut, karena sedari sore sudah tiga-empat orang yang datang untuk menemuiku dan kutolak halus-halus, tapi toh diizinkannya aku pergi, setelah kujanjikan akan membawa upeti esok pagi. Pukul sebelas tepat, aku sudah duduk di sana, menunggumu di tempat yang dijanjikan. Jantungku berdegup kencang. Tubuhku menggigil. Sambil menyulut sebatang rokok pertama, kubayangkan kamu dan perjanjian kita nanti. Kamu akan menjemputku dengan sedan 80-an yang aroma kabinnya kuingat betul. Setelah itu, kita mampir di toko Pak Sokeh untuk menjawil Taryo. Biasanya ia menunggu ojekan di sana. Aku akan memintanya menjemput Pak Ma’ruf di Kalisat. Perjalanan Prigen-Kalisat-Prigen dengan kecepatan sedang di malam hari makan waktu kurang lebih satu setengah jam. Sembari menunggu penghulu yang biasa menikahkan pasangan kawin siri itu dijemput, kita bisa duduk-duduk di depan Hotel Surya, menikmati jagung bakar dan seseruputan angsle panas, merokok dan mengobrol. Aku akan bertanya, ke mana saja kamu selama ini? Apa kamu enggak kangen sama aku? Dan kamu akan tersenyum tipis seraya meremas jariku. Itu adalah isyaratmu kalau sedang ingin menciumku. Kusulut batang rokok ketigaku. Malam menjadi. Di jalan, mobil lalu lalang. Sesaat, aku seperti melihat mobilmu, tapi kalau toh benar kamu pasti berhenti dan menjemputku. Kuembus asap kuat-kuat ke udara. Kamu mungkin terlambat, tapi pasti datang. Sesuatu di perutku meloncat girang, seperti kupu yang menggeliat dari kepompongnya. Pukul satu, kita akan berkumpul di Gang Bakwan, di dalam kamar hangat yang telah kupesan dan kubayar lunas. Aku dan kamu, Mak Kus, Pak Ma’ruf, dan Suryani. Aku akan menyalin bajuku dengan gaun yang kubawa, dan membaiki riasan yang luntur disapu angin malam. Sementara Mak Kus dan Suryani membawakan kerudung, peci, dan kitab suci. Gemetar, kuraba uang dalam amplop yang kusimpan baik di dalam tasku. Tujuh ratus ribu. Biaya perkawinan kita, lengkap dengan buku nikah yang nyaris tak beda dengan yang asli. Ya, Kaci. Bukankah sudah kukatakan kepadamu, aku ingin menikah? Tak perlu takut kena penyakit kelamin, sebab aku disiplin dengan kondom, dan dua kali seminggu pergi suntik ke Puskesmas Pandaan. Aku juga tak akan banyak menuntut seperti lazimnya istri-istri yang lain. Toh kamu sendiri sudah punya istri. Hati kecilku tak pelak berharap kamu akan membawaku pergi dari rumah bersofa merah terang itu, untuk menetap di rumah kecil yang hanya terbuka untuk tamu baik-baik, tapi jika itu terlampau muluk-muluk, aku bisa tinggal di sini saja. tetap dengan mimpiku membangun rumah batu di Jember sana dan memensiunkan emak-bapakku dari ladang orang. Bagiku, menikah denganmu saja sudah cukup. Cepatlah datang dan jemput aku, Kaci. Malam hampir berakhir. Aku tak sabar lagi. *** Pukul dua. Mobil mengalir tak sederas tadi; kini mereka parkir di vila-vila. Kamu tetap saja tak ada. Mulutku asam dan berliur menahan lapar dan dingin. Di mana kamu? Aku tak seberapa peduli pada lapar, kita bisa makan bersama, nanti. Tapi kenapa kamu belum juga datang? Bulu kudukku berdiri. Angin menusuk. Di langit timur, kembang api mulai menyalak. Orang-orang berpesta. Malam ini malam Minggu extravaganza. Aku belum ingin menyerah, Kaci. Tapi aku kedinginan tanpa kamu. *** Dekat jam tiga pagi. Jalanan sepi, sudah terlampau larut. Kubuang gaun pengantinku jauh ke jurang, sebelum berjalan mendaki ke Gang Sono. Malam ini kuputuskan untuk pulang ke Gang Bakwan, ke kamar kosong yang sudah kupesan. Aku bisa main kartu sendirian di sana. Atau bersama Suryani, kalau dia tak sedang ada tamu. Kalau ada penambat yang kelihatan cukup berduit, barangkali aku akan berubah pikiran. Satu-dua lelaki saja cukup. Lumayan untuk menyaur upeti pada Mama Tien besok pagi. Sembari tersengal, kusulut rokok terakhirku. Aku berbelok ke toko Pak Sokeh untuk membeli minuman dan rokok. Ada duit tujuh ratus ribu menganggur di dalam tasku. Malam ini aku bisa foya-foya. Di tikungan, sepasang manusia setengah teler keluar dari rumah biliar di sebelah toko. Berangkulan, berciuman. Aku merasa mengenal salah satu dari kedua orang itu, maka aku berhenti sejenak untuk memerhatikan mereka. Sepasang manusia itu masih tertawa-tawa. ”Darsih!” si perempuan memanggilku. Misye, pesolek Gang Sono yang terkenal pandai merayu. Aku melambai dan tersenyum tipis. ”Hei, ‘lemu’, Sye?” Ya. Tentu. Aku tahu benar, laki-laki itu cukup gemuk dompetnya, Misye. Bersenang-senanglah kamu malam ini. Misye tertawa genit sambil menggamit lengan si lelaki. Lelaki berkemeja hitam yang masih memandangku dengan wajah putih. Ya. Itu memang kamu, Kaci. Tapi aku tak lagi mengenalmu. Kubuang puntung rokokku yang masih setengah ke tanah. Sebelum kembali berjalan menuju toko Pak Sokeh, tanpa menoleh lagi.
""Janji Kaci""
Kesedihan beranak pinak dan seperti bedug bertalu-talu memecahkan dada. Tapi, layaknya aturan dari Tuhan, di desa itu kesedihan tidak boleh dibicarakan. Seperti tiran, ketika kesedihan dibicarakan, tanpa ampun lagi, kerongkongan penduduk berlubang dengan sendirinya, dan suara selamanya tidak akan pernah keluar dari mulutnya. Orang-orang dengan rongga di kerongkongan segera menutupi lehernya dengan berbagai cara. Ada yang memakai kalung dengan batu mulia sebesar lubang itu, ada yang memesan pakaian khusus agar leher mereka tertutup rapat. Pada intinya lubang itu harus ditutupi, karena kalau tidak, rongga di leher itu begitu mudahnya infeksi dan kesakitan akan menghebat. Kesedihan yang melahirkan kesakitan. Orang-orang di desa itu tak ingin mengalami kesakitan, sehingga setiap kesedihan datang mereka akan berupaya sekuat tenaga menyembunyikannya dengan rapat, bahkan nafas mereka pun tidak tahu di mana kesedihan itu berada. Sepanjang pagi dan siang yang tampak hanya wajah-wajah bahagia, tawa yang menggelegar, basa-basi yang begitu meruah. Orang-orang yang berongga di lehernya pun akan selalu menampakkan muka terbaik mereka. Membentuk senyuman. Mereka seperti mencoba menebus keteledorannya karena sudah membuka kesedihan kepada angin dan suara. Dunia adalah bahagia, begitulah jargon yang berlaku. Kesedihan adalah kejahatan. Sebuah rasa yang, kalau perlu harus dimusnahkan. Sejak lahir pun bayi-bayi tahu bahwa jargon itu seperti dogma yang terus didengungkan kepada roh-roh suci itu. Para ibu membuai anak-anaknya dengan senandung anti kesedihan. Ketika anak-anak besar dan bertanya tentang kata sedih, buru-buru dibungkamnya mulut mereka rapat-rapat sambil berkata bahwa penguasa kegelapan akan segera datang begitu kata itu keluar dari mulut anak-anak yang begitu indah bola matanya. “Nak, bunuh kesedihanmu, kita cincang air mata demi dunia yang gembira, jauhi dunia gelapmu, hanya tawa yang berhak tinggal di hati kita,” demikian kira-kira senandung itu. Sambil menikmati kehangatan dada ibunya, bayi-bayi menyimpan gambar tentang dunia yang hanya boleh bahagia. Ketika pemilihan kepala desa, para kandidat berlomba-lomba menawarkan program paling efektif bagaimana melawan kesedihan. Seperti supermarket dengan diskon besar-besaran menjelang hari raya, program yang paling menarik akan diserbu habis-habisan. Bahkan para mahasiswa yang melakukan kuliah kerja di desa itu diwajibkan hanya mengajar program kebahagiaan dan sebuah kontrak bermeterai harus mereka tanda tangani dengan sangsi sangat berat bagi yang melanggarnya. Tiran emosi! Begitu umpatan para mahasiswa . Benar-benar desa yang suka cita. Semua mematuhi peraturan desa itu tanpa kecuali. Termasuk Kemplu, jagoan desa itu. Dia bahkan begitu gencar menggaungkan kampanye bahwa kesedihan adalah kejahatan besar. Air mata harus ditekan habis-habisan. Bahkan ketika badai besar menerbangkan keluarganya entah kemana, Kemplu tertawa gembira, diadakannya pesta besar dan dijamunya hampir seluruh penduduk desa. Tak lama kemudian dia kawin lagi dan beranak pinak. Benar-benar hidup harus berjalan katanya. Ditertawakannya orang-orang yang berongga di lehernya. Orang-orang yang lemah. Begitulah cemoohnya. “Hanya orang-orang yang lemah yang menangis, emosi yang diumbar itu hanya milik orang-orang tak bermartabat. Air mata adalah kebodohan.” Hanya sebuah senja yang tidak bisa berbohong. Ketika warna di batas antara dunia dan mimpi itu seperti air mata yang hampir jatuh, kesedihan seperti menyeruak begitu saja dari dada para penghuni desa itu. Kepanikan selalu melanda setiap menjelang senja. Segera diikatnya dada mereka dengan tali yang begitu erat, mulut mereka ditutup dengan plester yang sangat kuat. Mereka mati-matian berusaha agar kesedihan itu tidak meledak, agar leher mereka tidak berongga dan kesakitan tidak menjadi teman sepanjang nafas yang tersisa. Mereka diam di rumah dengan peluh berbulir-bulir menahan agar ledakan dada yang sarat kesedihan tidak jebol dari mulut dan mata mereka. Setiap orang mencari cara agar kesedihan tetap pada tempatnya; di ujung paling sepi hatinya. Kalau perlu Tuhan pun tidak boleh menemukannya. Di antara mereka ada yang dengan tegas menukar dengan suka rela kesedihan yang sudah tidak bisa dikuasainya dengan senyum lembut malaikat maut. Kesakitan karena kerongkongan berongga lebih mematikan dibanding penggalan pedang yang paling tajam. Di setiap semburat jingga mulai bertiup di ujung cakrawala, hampir tidak ada satupun pintu dan jendela yang terbuka. Semua rapat menyimpan kesedihan yang meledak-ledak di rumah-rumah mereka. Anehnya Kemplu selalu menghilang di setiap senja. Istrinya hanya tahu dia pergi ke hutan di ujung desa. Hutan yang dinamai hutan Gembira oleh penduduknya meski entah kenapa nama itu seperti berolok-olok dengan udara yang dihembuskannya setiap pagi, yang pekat dengan kesedihan. Jika angin berhembus di atas pohon-pohon hutan itu, gesekan daun-daunnya menyenandungkan requiem yang paling pedih. Badan pohon-pohon itu bergaung bersahut-sahutan dengan irama yang lantang, menyenandungkan kesedihan yang pekat. Ketika orang menyentuh papan nama “Hutan Gembira”, mereka seperti menembus jantung dan mengambil dengan paksa kesedihan di dalamnya untuk dimuntahkan. Persis “ilmu Rogoh Jantung” para penjahat keji di film laga . Meski demikian teka-teki tentang hutan itu belum pernah ada yang bisa menjawabnya. Bahkan Kemplu yang setiap pagi keluar dari hutan dengan penuh tawa dan keceriaan luar biasa, selalu menjawab, bahwa kesedihan hutan itu sudah ada bersama tanahnya saat Semesta menanam pohon pertama kalinya di sana. Semesta menangis karena Adam dipisahkan dari Hawa, dan itu dispensasi satu-satunya kenapa kesedihan diperbolehkan di muka bumi ini. “Adam manusia pertama, dia punya hak khusus dan hanya satu-satunya yang boleh merasakan rasa sedih itu. Rasa itu begitu memekat di hati, anak cucunya harus membasminya.” Sihir. Kata-kata ajaib. Semua mengamini tanpa ragu setitik pun. Hingga satu hari, kepala desa memutuskan bahwa satu-satunya jalan agar tingkat kebahagiaan di desa itu meningkat pesat adalah membuat taman keriaan yang termegah di negeri ini dengan cara membabat Hutan Gembira. Semua setuju, juga orang-orang dengan rongga di kerongkongannya. Mereka berharap dengan taman keriaan itu rasa sakit yang bernanah di kerongkongannya hilang. Hanya Kemplu yang protes. “Kita perlu oksigen segar dan itu merusak lingkungan,” lantang teriaknya, menirukan para aktivis linkungan di televisi. Kepala desa yang mengaku keponakan jenderal yang berkuasa itu tetap keras kepala. Saat Kemplu mengorganisir anti taman keriaan, saat itu pula buldoser-buldoser didatangkan untuk menyapu rata hutan Gembira. Dalam dua-tiga jam, hampir seluruh pohon tumbang. Hanya satu pohon yang tersisa. Kemplu pun pasi. Suasana tiba-tiba semencekam saat senja, padahal terik matahari seperti meretakkan kepala mereka, seperti saat sakaratul maut tersenyum dan siap mencabut semua jejak nafas. Buldoser mendekat ke satu-satunya pohon yang tersisa. Ketika mulut buldoser hanya tinggal satu senti dari ujung pohon itu, tiba-tiba suara Kemplu keluar dengan lolongan kesedihan yang begitu pekat. “Jangan…!” suara yang keluar bercampur isak yang sudah bertahun membatu. Seperti geledek di musim kemarau yang parah, semua warga jantungnya berhenti berdetak. Kemplu, lelaki paling jagoan di desa itu melantangkan kesedihan begitu hebat. Isak tangis yang meruah tak bisa dihentikan oleh buaian perempuan berpayudara surga sekalipun. “Di rongga pohon itulah keluargaku tinggal. Mereka tidak hilang bersama badai. Aku bercakap kepada mereka di setiap senja. Aku berikan percakapan bernama air mata di sana. Rongga itu adalah mulutku sekaligus telingaku. Aku mencium bau keringat mereka dan kubelai dengan seluruh cinta yang aku miliki . Badai itu telah menipu kalian. Keluargaku selalu sembunyi di rongga itu, kucumbu mereka dengan percakapan paling sepiku. Maafkan, kesedihan ini tidak tertahankan. Aku butuh bicara tentang kesedihanku, aku butuh berbagi. Aku tidak tahan. Tolong , jangan ambil pohonku, hanya itu satu-satunya yang mau mendengarkanku…. Aku akan mati tanpa rongga itu….” Suaranya makin menghilang. Sebuah rongga di kerongkongannya tiba-tiba menyeruak. Semua orang menjerit, karena rongga itu tidak berhenti sebatas kerongkongan. Rongga itu terus membesar hingga akhirnya tubuh Kemplu meledak dan serpihan tubuhnya berhamburan. Hanya jantungnya yang tetap berdetak. Istri barunya pingsan, anak-anaknya meleleh. Hening pekat. Rahasia kesedihan hutan Gembira pun tersingkap. Sambil meyakinkan dirinya bahwa adegan itu mungkin hanya ilusi, kepala desa memungut jantung berdetak itu. Berhati-hati dimasukannya ke dalam rongga pohon terakhir itu. Begitu dimasukkan, pohon itu hidup seperti di ruang keluarga bahagia di iklan TV. Suara gelak tawa yang menggelegar, dentingan piano, keriaan yang penuh. Semua warga yang mendengarnya, tahu bahwa Kemplu benar-benar bahagia di dalamnya. Sejak itu, ada yang berubah. Setiap senja, desa itu begitu riuh dengan tawa. Ruang-ruang keluarga menjadi hangat. Pintu dan jendela di buka lebar-lebar. Meski angin akan merapuhkan tubuh mereka, tapi penduduk desa itu tahu bahwa hati mereka akan menahannya. Mereka tahu, setiap senja jatuh, hati mereka akan mengeras dan menguat. Mereka menerima dengan suka cita. Kesedihan yang sangat bersahabat…. Ketika mereka mengenalnya, kesedihan justru menjadi begitu pemurah dan melimpahinya dengan detak bernama bahagia. Hutan itu tetap berfungsi sebagai ruang publik. Sekarang justru bernama Taman Air Mata. Siapa pun bisa dan boleh menangis sepuas-puasnya. Bahkan pengunjung taman yang sedang gembira dan ingin merasakan bagaimana indahnya kesedihan di taman itu bisa membeli obat perangsang kesedihan yang ditawarkan petugas penyobek tiket tanda masuk. Setiap pengunjung sebelum pulang akan menyempatkan berfoto di pohon Kemplu, demikian mereka menyebut satu-satunya pohon yang tidak di tebang itu. Pohon yang merindang. Berterimakasihlah kepada kesedihan dan airmata karena bersamanya kita belajar kekuatan yang sempurna. Sebuah lingkaran tidak harus bulat penuh seperti halnya garis tidak selalu lurus. Sebuah senja yang indah, sebuah senja yang pekat…. Ubud, 15-Juni-2010 Untuk lelaki-lelaki kecilku, Banyu Bening dan Langit Jingga
""Rongga""
Aku mengerem sekali lagi, perlahan-lahan, kulihat barisan penumpang yang berjejal. Seorang petugas stasiun baru saja menangkap surat perjalanan yang kuserahkan lewat jendela. Akhirnya kereta pun berhenti. Dan seperti biasanya, perempuan itu sudah ada di situ, berdiri di ujung barat stasiun, tersenyum padaku. Lempuyangan yang murung, lempuyangan yang sedih. Mendung bergulung-gulung, cahaya matahari mengendap di langit. Sore begitu tua. Ibu-ibu penjual nasi berpakaian hijau hilir mudik di sepanjang gerbong, berteriak dengan intonasi yang khas, menjajakan nasi yang hangat dan akan selalu hangat. Suasana yang selalu hiruk-pikuk. Tetapi, setelah turun dari lokomotif, perhatianku kemudian hanya tertuju kepadanya, seorang perempuan yang kini duduk di sebelahku, di tangannya ada rantang kecil. Aku tahu, rantang itu berisi makanan: masakannya sendiri. Kami duduk dan sejenak saling menatap. ”Terlambat setengah jam, ya?” Ia bertanya. ”Iya. Kamu sudah lama?” ”Lumayanlah…. Ini, dimakan dulu.” Aku membuka rantang bersusun itu, ada nasi dan lauk ayam, lengkap dengan sambal. Aku pun segera menyantapnya. Ia hanya mengamatiku. Kereta yang kukemudikan masih punya waktu sekitar lima belas menit di Lempuyangan, ini dikarenakan sejak perjalanan awal tadi sudah terlambat, dampaknya adalah mengacaukan seluruh jadwal, dan karena keretaku kelas ekonomi, maka harus lebih sering mengalah. Lima belas menit itu kumanfaatkan untuk menikmati masakan pemberiannya. Ia, seperti hari-hari dan minggu-minggu sebelumnya, tetap tak banyak bicara. Kalaupun harus bicara, mungkin ia hanya berbagi kisah-kisah pendek yang bahagia, entah fiktif entah nyata, lalu diakhiri ucapan selamat jalan ketika aku harus kembali ke atas lokomotif. Kami duduk di tempat yang agak sepi. Sementara di bagian timur, penumpang hilir-mudik, naik-turun, mengangkat tas, berdesakan, terburu-buru. Aku masih makan. Sesaat kulihat ia tersenyum tipis kepadaku, setipis hati yang sepertinya sangat rindu. *** Sudah empat tahun aku menjadi masinis, menjalankan kereta api Logawa jurusan Purwokerto-Jember, terkadang juga aku menjadi kepala perjalanan kereta Sawunggalih jurusan Kutoarjo-Pasarsenen. Tetapi tak ada yang lebih menyenangkan selain membawa kereta Logawa memasuki Stasiun Lempuyangan, Yogyakarta. Sebab di sanalah aku selalu melihat perempuan itu selama beberapa bulan terakhir, setia menunggu kedatanganku. Aku tidak ingat lagi bagaimana pertemuan awal kami, bagaimana kemudian ia rajin membawakanku masakan dalam rantang kecil, bagaimana kami bisa akrab tanpa saling mengenal, bagaimana ia bisa bersabar menunggu kehadiranku di sela jadwal kereta yang selalu dan akan selalu terlambat. Bahkan, hingga kini aku tak pernah tahu namanya. Aku juga tidak memperkenalkan namaku, dan aku tak bertanya apakah ia mengenal namaku. Ya. Semua terjadi begitu saja, lebih alami dari uap air yang menjadi hujan, seakan-akan kami pernah mengenal pada suatu masa yang lampau, dan kini dipertemukan kembali. Ia menjadi sangat akrab berada di dekatku. Namun, aku tak pernah berpikir serius. Bisa saja ia tidak hanya melakukan ini padaku. Mungkin setiap ada kereta yang tiba, pasti ia juga mendatangi sang masinis dan menawari makanan. Itu dugaan awalku, tetapi, ketika iseng-iseng kutanya masinis kereta Pasundan jurusan Bandung-Surabaya, apakah dia pernah melihat seorang wanita tersenyum padanya setiap kali tiba di Stasiun Lempuyangan, dia tampak bingung, dan ketika kutanya lagi, apakah ada seorang wanita yang memberinya makanan dalam rantang kecil, dia semakin bingung. Karena itulah, selanjutnya aku benar-benar yakin bahwa ia hanya menungguku, sebab masinis kereta Logawa selain aku pun mengaku tak pernah melihat perempuan yang memberikan makanan dan menyambut dengan senyuman. Pada usia di atas 40 tahun, memiliki seorang istri dan sepasang anak, pertemuan dengan seorang perempuan rasanya hanya kilasan sesaat yang tak berjejak bagiku, seperti risiko yang biasa dihadapi seseorang yang lebih sering berada dalam perjalanan. Namun lama-kelamaan, kehadirannya seperti serabut yang kian lama kian menguat. Aku kian terjebak. Tiba-tiba ada aura tak terelakkan setiap kali kereta Logawa yang kukemudikan berhenti di Lempuyangan. Pada sore hari, dari arah Jember, kereta ini tiba pukul empat, sementara pagi harinya, dari Purwokerto, kereta tiba pukul sembilan. Di dua waktu tersebut, ia selalu berada di stasiun ini, menyambutku turun dari lokomotif, menjulurkan rantang kuningnya yang berisi makanan kepadaku. Seperti sebuah seremoni sederhana, aku merasakan ketenangan tersendiri di antara kepenatan dan kebosanan menjadi kepala perjalanan ini. Entah berapa usia perempuan itu, mungkin dua puluh lima, mungkin lebih muda dari itu. Tetapi ia tampak dewasa, cara berpakaiannya, sikap hangatnya setiap kali menatap dan menyambutku, seperti telah mengerti bagaimana menghadapi seorang laki-laki. Diam-diam, kalau sedang bertugas di atas kereta Logawa, aku selalu ingin cepat bertemu dengannya, duduk berdua selama kereta berhenti. Dan setiap kali petugas stasiun sudah memberikan tanda hijau, aku selalu mengalami perpisahan layaknya yang terjadi antara penumpang kereta dan pengantarnya. Aku kembali ke atas lokomotif, melihat ia melambaikan tangan kepadaku, lalu kami perlahan menjauh, menjauh, menjauh, begitu berulang-ulang, dengan janji akan bertemu di jadwal perjalananku berikutnya. *** Begitulah. Minggu melipat hari, bulan menggulung minggu. Ia masih setia, menungguku, menemaniku dalam rentang waktu yang sangat sedikit, memberikan makanan yang selalu beragam. Entahlah, aku tak bisa menafsirkan perasaan macam apa yang sedang berusaha tumbuh di antara kami. Aku menikmatinya, tiba-tiba segala di luar itu menjadi tidak penting. Rasanya keretaku ingin kuberhentikan lebih lama lagi, melawan lagu anak- anak itu. Sampai akhirnya, pada suatu hari aku menyadari sesuatu. Pagi itu, aku berangkat dari Purwokerto. Rindu sudah menggebu. Ketika memasuki Stasiun Lempuyangan, aku melihatnya mengenakan daster merah muda, wajahnya tetap cerah, senyumnya sangat indah, membawa rantang kecil yang segera diberikannya kepadaku. Tetapi sepertinya ada yang tak bisa disembunyikan lagi kali ini: aku melihat perutnya membesar, aku menebak, ia sedang hamil. Itu juga jelas sekali dari perubahan gerak tubuhnya. Aku pun merasa bodoh, mengapa beberapa bulan terakhir aku tak sempat memerhatikan? Meski bisa saja itu karena kemampuannya sebagai wanita untuk menyembunyikan sesuatu. Namun pagi ini aku tak lagi tertipu, ia menunduk ketika aku beberapa kali melirik ke arah perutnya. Seakan-akan sudah tahu apa yang ada di pikiranku tanpa harus mengucapkan sepatah kata pun. Ya, ia tak perlu berkata apa-apa. Aku juga tak berhak bertanya apa-apa. Kami sama- sama tertunduk. Jadi, ia sudah punya suami, dan sebentar lagi punya anak. Begitu. Lalu untuk apa selama ini ia membawakanku makanan? Apakah ia sekadar membangun fantasi? Padahal aku sudah 40 tahun, setidaknya ia bisa menafsirkan usiaku. Aku tak mengerti, perempuan, di mana-mana, selalu membingungkan. Sejenak hanya terdengar suara mesin lokomotif, teriakan ibu-ibu penjual nasi, dan obrolan orang-orang yang bercampur aduk. Selain itu, kesepian batin menghampar di antara kami. Dan demi mencairkan suasana, akhirnya aku membuka suara juga. ”Sudah berapa bulan?” Mendengar pertanyaanku yang sudah diduga-duga, ia menoleh, lalu tersenyum sambil mengelus perutnya. ”Lima bulan.” ”Ooo….” Dan tiba-tiba saja aku langsung kehabisan kata-kata. ”Semoga kelak anakku ini bisa jadi masinis, ya?” Ucapnya kemudian. Aku tak tahu apakah ia bertanya kepadaku, sebab kepalanya lagi-lagi tertunduk, tak menatapku. Aku tak mengerti apakah itu semacam pertanyaan atau selintas harapan. ”Jadi masinis? Seperti aku?” Ia mengangguk, masih tak menatapku. ”Jangan.” Jawabku. ”Kenapa?” ”Masinis sangat jarang tinggal di rumah. Lebih baik anakmu menjadi dokter atau guru.” Ia terus menunduk dalam senyum heningnya. ”Aku tetap lebih suka anakku menjadi masinis.” ”Kenapa?” Kali ini aku yang bertanya. ”Sebab, masinis selalu dirindukan oleh penumpang kereta meski tak ada yang mengenalnya.” Aku tak tahu harus menjawab apa. Sebuah jeda yang gelisah, beberapa teman petugas stasiun tampak melirik kepadaku, tetapi mereka sudah tahu, selalu ada yang menungguku di sini. Pemandangan yang sungguh biasa. Keheningan ini pun terus merebak di antara kami. Aku memikirkan kata, ia entah berpikir apa. Kami mencapai titik diam yang sempurna. Sampai beberapa menit kemudian, seseorang membuyarkannya. ”Waah, Vivin, habis diusir Tante Dini, sekarang mangkal di sini, ya?” Ucap seorang pemuda yang lewat di hadapan kami. Ia tampak terkejut mendengarnya. Kulihat wajahnya mendadak merah, matanya mulai basah. Ia tak berkata apa-apa, namun apa yang terjadi benar-benar di luar dugaan. Ia segera bangkit, lalu berlari ke arah peron tanpa berkata apa-apa lagi padaku. Semua serba cepat. Entah mengapa aku hanya terpaku, tak memanggilnya untuk kembali. Aku seperti melamun, aku berpikir amat serius tentang kata ”mangkal”, ia sudah menghilang di kerumunan, pemuda itu pun entah ke mana, lamunanku baru selesai, kepala stasiun mengumumkan keberangkatan. Rantang kecil yang ternyata masih di tanganku, kubawa ke atas lokomotif. Mangkal? Apa dia pelacur? Gumamku. Sambil menatap rantang kuning yang ditinggalkannya. Suasana kemudian sangat mengganjal. Pagi menjelang siang itu, tak ada lambai perpisahan seperti biasa, seakan-akan aku merasakan suatu keanehan yang dalam. Seperti ketakutan yang samar-samar. *** Dan sungguh. Apa yang kutakutkan ternyata benar-benar terjadi. Sejak kejadian itu, sampai hari ini, pada setiap kedatanganku di Lempuyangan, ia tak ada di sana. Tak pernah kulihat lagi seorang perempuan yang menungguku di Stasiun Lempuyangan setiap kali kereta Logawa yang kukemudikan tiba. Seakan-akan yang terjadi selama ini hanya ilusi yang terang dan mencengangkan. Rinduku tersesat, buntu, seperti berujung di sebuah tebing yang terjal. Ke mana perempuan itu? Ke mana dia? Mengapa aku merasa kehilangan? Mengapa ia pergi begitu saja? Aku berharap ini memang ilusi, mungkin karena aku merindukan keluargaku. Namun aku paham, selalu ada sisa-sisa bayangan bagaimana kebersamaan itu jelas terekam, bagaimana ia tersenyum padaku, bagaimana ia menyerahkan masakan buatannya sendiri, lalu berbincang tentang segala hal yang indah, menghabiskan waktu yang singkat seperti kerinduan yang amat panjang, sampai akhirnya ia pergi begitu saja dengan menahan tangis. Ya. setidaknya aku bisa mengerti, semua kenangan itu memang benar-benar pernah terjadi, di sini, di Stasiun Lempuyangan yang dingin ini. Lempuyangan, 2010
""Lempuyangan: Seraut Kenangan""
Ordil melangkah pelan mendekati bade yang dibangun dari bambu, dibalut kapas biru, merah, kuning, hijau, membentuk wajah boma dengan mata mendelik, kedua tangan terbuka lebar dengan kuku-kuku panjang. Di kedua sisi membentang sayap dililit kain putih, membuat menara itu bagai hendak terbang. Tumpang sembilan mengkerucut ke atas, dihias kertas-kertas emas dan warna-warni, sehingga bade itu menjadi sebuah meru yang meriah dan pesolek. Cahaya sore membuat warna-warna prada yang membungkus tiang-tiang bade kian gemerlap, berpendar ke daun-daun beringin di sebelahnya. ”Mampir, Dil! Ada kecambah dan sayur kelongkang kesukaanmu,” sapa Men Kelambi, pedagang tahu goreng dengan bumbu pedas di pinggir alun-alun. Men Kelambi menatap botol plastik bekas air mineral setengah liter yang digenggam Ordil. Perempuan separo baya itu seolah tahu, cairan bening dalam botol itu bukan air. Ia merasakan, isinya lebih kental dibanding air. Ordil berdiri di bawah bade yang menuding langit. Besok, selepas tengah hari, puluhan orang mengarak menara itu ke kuburan, mengusung jenazah Dalem Sogata. Wartawan televisi dan cetak dari Jepang, Australia, Eropa, Amerika, Jakarta, datang meliput ngaben termegah setengah abad terakhir. Di Facebook foto bade itu sudah berhari-hari muncul, dijalarkan internet ke mana-mana, diunduh ribuan orang. Besok adalah hari milik Dalem Sogata, orang paling bermartabat di kota kecil itu. Tapi, tidak bagi Ordil, kendati ibunya selalu membujuk agar ia menghormati Dalem. ”Dalem Sogata itu ayahmu, Nak!” jelas Ibu berkali-kali penuh iba. ”Tapi, keadaan tak memungkinkan kita bersama….” ”Maafkan saya yang bosan mendengar penjelasan itu berulang-ulang, Bu. Dia menolak menikahi Ibu tidak karena Ibu perempuan biasa, tapi karena dia sudah beristri dua dengan delapan anak. Dia malu kalau punya tiga istri, tak rela menerima kenyataan saya anaknya yang kesembilan. Bagaimana bisa Ibu membela laki-laki pengecut macam dia?” Ibu tak pernah sepenuhnya paham, bagaimana bisa menerima cinta Dalem Sogata. Awalnya cuma pertemuan-pertemuan pendek jika Dalem datang ke pondok, menanyakan hasil sawah dan kebun yang digarap keluarganya. Pertemuan itu berulang dalam pertunjukan seni untuk kegiatan keagamaan dan adat. Ketika hamil, dan Dalem Sogata berjanji menikahi, dia terisak karena tersanjung bahagia, kendati cuma akan jadi istri ketiga. Tapi, sekian kali Dalem berjanji menikahi, sekian kali pula ia mengingkari. Hasrat melambung itu rapuh menjadi mimpi ketika Ordil lahir. Seluruh kota tahu Dalem tak akan menikahi wanita yang menandu sawah keluarganya. Itu sama saja dengan aib yang harus ditanggung seorang tuan besar ketika harus menikahi babunya. Untuk apa? Bukankah semua bisa dicampakkan begitu saja? Pengingkaran itu berbiak menjadi dengki yang meruyak, memenuhi seluruh rongga dan pori-pori tubuh Ordil. Dia merasa dinista dan dicampakkan, sejak lahir, hingga kini, lebih dari seperempat abad kemudian. Tak pernah lelah ia memanggul dendam yang mendekam sepanjang usia. Dan petang ini, ia punya hari baik untuk menuntaskannya. Lampu di sudut-sudut alun-alun sudah menyala. Ordil membuka tutup botol, menuangkan minyak tanah isinya ke bagian bawah bade. Tak ada yang tahu, karena para pengagum bade yang sepanjang hari tadi duduk-duduk di bawah beringin, sudah pulang, setelah capek berdecak-decak heran dan bangga. Ordil merogoh saku, mengeluarkan korek api, menggesek, dan melepasnya ke kapas dan kertas-kertas yang basah oleh minyak. Api pelan-pelan merambat menimbulkan suara berdetak-detak halus, semakin keras. Dalam beberapa detik api membesar, bade pesolek setinggi pohon beringin di sebelahnya itu mulai benar-benar terbakar. Men Kelambi yang pertama melihat api merambat berteriak sembari melompat dan berputar-putar di depan warung. ”Apiii…! Apiii…! Apiii…!” teriaknya kuat-kuat dengan telunjuk kanan menuding-nuding bade, tangan kiri melambai-lambai pada setiap orang lewat. Ia segera bisa menduga si pelaku, karena segera teringat dengan botol plastik dalam genggaman Ordil. Api berkobar beringas, membakar kertas-kertas dan kapas warna-warni, menjadi serpihan-serpihan bunga api berseliweran, berlomba dengan asap yang merayap kemudian membubung. Alun-alun terang benderang oleh api menjilat-jilat, menerangi orang-orang yang cuma bisa melongo dan berkerumun. Tak ada guna melakukan apa pun, karena dalam sekejap bade molek itu akan menjadi puing, dengan tonggak-tonggak hitam tiang-tiang bambu gosong. Semua menonton dengan bisu ketika bade itu ambruk, tumpang-tumpang sembilan terjungkal menimpa ranting-ranting beringin, menimbulkan deru gemuruh, diikuti gema seruan, ”Ooooohhhhh……!” semua orang. Orang-orang Dalem Sogata menghampiri Men Kelambi, mengharap kepastian pembuat onar. ”Bangsat, pemuda tengik bikin rusuh!” seru seorang. Mereka bergegas kembali ke rumah Dalem Sogata, mengambil kelewang, tombak, dan seekor anjing pelacak yang biasa diajak memburu landak dan biawak. ”Ayo bunuh… bunuh! Serbuuu…!” teriak mereka semangat berhamburan keluar gerbang. Keluarga besar Dalem Sogata panik karena harus membuat bade untuk mengusung jenazah besok, yang mustahil bisa diselesaikan dalam semalam. Berita bade yang disiapkan berminggu-minggu dan dibakar sehari sebelum saatnya, akan menyebar ke seluruh dunia. Televisi dan Facebook akan riuh, mengabarkan keluarga Dalem Sogata dipermainkan oleh sebuah sabotase yang dirancang cermat. Malu, betapa malu menerima kekalahan ini, yang dilampiaskan oleh dendam tersimpan lebih dari seperempat abad. Ordil bergegas pulang dengan kepuasan tiada tara. Ia memasuki halaman berpagar pohon beluntas dengan enteng. Tak pernah ia merasa seringan ini ketika menguak pintu masuk rumah. Ia melihat Ibu bersimpuh mengenakan kain batik, mencakupkan tangan di ruang depan, di hadapan foto Dalem Sogata. Ia berdoa untuk ketenangan arwah laki-laki yang memberinya seorang anak, walau tak pernah menepati janji untuk menikahi. ”Sudah kutuntaskan dendam kita, Bu!” seru Ordil dengan bangga. Tubuhnya hangat oleh bara kemenangan. ”Mereka pasti malu dan kacau. Kuruntuhkan kejayaan dan kemegahan mereka dalam sekejap. Ha, ha, ha!” Ibu berdiri, memeluk Ordil, mengusap-usap kepalanya. ”Dendammu Nak, bukan dendam Ibu,” ujar Ibu meratap. ”Kamu dengar gemuruh itu? Mereka memburumu!” Ordil memiringkan kepala, menajamkan telinga. Ia mendengar langkah orang-orang tergopoh-gopoh. Ia pandang Ibu, meminta pendapat tindakan yang mesti ia perbuat. ”Mereka akan membunuhmu. Lari, Nak, lari!” seru Ibu mengguncang-guncang pundak Ordil. Wajah Ordil yang tadi sumringah kini merayap tegang. ”Ibu…… bersama Ibu……!” ”Tinggalkan Ibu, kamu yang mereka inginkan. Mereka tak akan menyentuh Ibu!” Langkah-langkah orang berderap di depan rumah, bersiap memasuki pekarangan. Anjing pelacak menyalak terus, tak sabar masuk halaman, menarik-narik tali yang digenggam kuat seorang pawang cekatan. Ibu menarik Ordil ke dapur, membuka pintu ke kebun belakang. Ordil memandang Ibu dengan gamang. Betapa tabah dan teguh hati perempuan itu, yang memilih memendam duka sendiri tinimbang mengobral cerita ke banyak orang. Pintu depan digedor orang-orang dengan nafas tersengal-sengal karena amuk amarah. Ibu menarik Ordil ke ambang pintu, memeluknya, mengusap kepala dan mengecup dahinya. ”Larilah sekuat-kuatmu, Nak. Pergilah sejauh kamu sanggup. Kelak akan ada cara buatmu untuk berkabar. Kita pasti bertemu!” ”Maafkan saya, Bu.” Pintu didobrak, mereka kini di ruang depan. ”Lari Nak, lari!” Ordil menerobos tanaman singkong, berlari kencang menembus batas petang dan malam. Para pemburu itu berdiri di ujung dapur, berkacak pinggang, menghunus kelewang. Anjing pelacak mengendus-endus seluruh ruangan. ”Di mana dia?!” teriak geram laki-laki berkumis. Ibu tak menjawab, terpaku di samping tungku. Ia kenal baik laki-laki berkumis itu, sering menjadi utusan Dalem Sogata untuk menanyakan keadaan dirinya dan Ordil. Ia selalu santun kalau bertemu, kadang ngobrol lama menanyakan hasil kebun. ”Di mana laknat itu!” hardik yang lain, langsung melompat hendak mencabik kain Ibu. ”Jangan!” teriak laki-laki berkumis. ”Dia milik Dalem.” Anjing pelacak itu menyalak, moncongnya yang cerewet mendongak-dongak ke pintu belakang yang terbuka. Tubuhnya maju mundur tak sabar siap memburu. ”Ayo, kita kejar! Cepat!” seru pawang yang ditarik-tarik anjing pelacak. Tengkuk Ordil merinding mendengar salak anjing. Para pemburu rasanya cuma sejengkal di belakang pundak, siap menerkam. Di atas tebing, dekat rumpun bambu, ia berhenti. Di bawah sana terdengar suara halus sekali, gemericik dan liukan air sungai yang pelit di musim kemarau. Ia harus menyeberangi sungai kalau ingin lolos, namun ia tak sepenuhnya yakin. Mungkin dengan menyamar dan bersembunyi lebih baik. Tapi, anjing pelacak akan tetap mengendusnya. Sempat ia berniat bersembunyi dengan memanjat pohon sengon yang dahannya menjulur ke atas kali. Tapi, ia memutuskan untuk memanfaatkan rimbunan pohon pisang gancan yang tumbuh subur di hadapannya. Ibu selalu menggunakan daun pisang gancan untuk mengusir kucing yang suka mencuri ayam panggang dalam sesaji. Daun pisang gancan diserakkan sekitar sesaji, dan kucing-kucing itu takut mendekat. Ordil ingin mencoba berlindung dari endusan anjing pelacak dengan membalut diri menggunakan daun pisang gancan. Ordil menarik daun-daun pisang, memutus dengan menyentak pelepah. Daun-daun itu ia lilitkan ke pinggang, membuat ia seperti menjadi sebatang pohon pisang gancan. Ia menuruni tebing, masuk ke sebuah ceruk yang dirimbuni pohon paku-paku dan pidpid. Air menetes-netes mengikuti aliran daun-daun kecil dan lancip. Ia mendengar langkah para pemburu berhenti di tebing, tiga meter di atas ceruk. Anjing pelacak berhenti menyalak, hanya mengeluarkan bunyi nguik-nguik tak teratur. Daun telinganya bergerak-gerak, kaki mengais-ngais. Anjing itu kehilangan jejak endusan, dengan hidung hanya bisa mendengus-dengus linglung dan bingung, mengapa buruannya lenyap tak berbekas. Laki-laki berkumis memerintahkan rombongan menuruni tebing, menerobos sungai, terus memburu sampai ke seberang. Ordil melihat dari sela-sela daun dan tetesan-tetesan air pemburu-pemburu bergerak gesit, sigap meloncat dari batu ke batu. Anjing pelacak terkaing-kaing tercebur ke air diseret pawangnya. Tadi binatang itu sangat dihargai sebagai penuntun, kini jadi beban merepotkan. Ordil keluar ceruk, merangkak dalam gelap naik ke tebing, berdiri di antara pohon pisang gancan. Ia pandang angkasa bertabur bintang, semoga mendapat berkah tentang arah mesti dituju. Lama ia tengadah dan tercenung, berharap di antara bintang-bintang bertemu sesuatu yang menyapanya. Tiba-tiba ia mendengar bisikan, ”Ke utara, Nak! Ke utara kamu harus pergi!” Ke utara berarti ke arah pegunungan, tempat para petani dan penggarap kebun bermukim. Dia melangkah mengikuti bisikan itu, menurutkan kata hati, dituntun bintang biduk. Daun pisang gancan masih melilit di pinggang, tak ada anjing menggonggong, karena kini ia bebas endusan. Tentu dia akan menjadi orang baru di sana, dan harus menyamar agar tak terlacak oleh orang-orang Dalem Sogata yang memburunya. Kepada orang-orang di daerah baru itu ia akan memperkenalkan diri, ”Nama saya Gancan.”
""Ordil Jadi Gancan""
Sebagai orang yang dituakan di kampung, aku menyambutnya dengan sangat baik. Kulayani dia selayaknya tamu yang benar-benar baru tiba dari perjalanan sangat jauh. Bincang-bincang kami pun mengalir seperti air. Lalu dia minta aku bercerita. Cerita tentang apa saja, katanya. Tentang kampung ini juga boleh, pintanya. Aku pun mulai bercerita tentang sejarah kampungku apa adanya, seperti yang kudapat dari kakekku semasa hidupnya dulu. Kulihat dia sangat menyimak ceritaku. Esok malam dia kembali datang ke rumahku dan meminta aku bercerita. Kali ini aku bercerita tentang yang lain pula. Aku bercerita tentang hikayat-hikayat yang kuperoleh dari kakek dan nenekku. Dia juga kulihat mendengarkannya dengan penuh perhatian. Ketika ada satu alur saja yang kurang dipahaminya, dia langsung menyela dan aku menjelaskannya. Begitulah saban malam. Katanya, dia belum bisa tidur sebelum mendengar aku bercerita. Akhirnya, kuajak dia untuk tinggal bersamaku, di rumahku. Saban malam aku bercerita padanya. Semua hikayat yang pernah kudengar dari kakek dan nenek kukisahkan kembali kepada lelaki itu, tetapi aku tak pernah mendengar cerita dari dia, siapa dia, dari mana asalnya, apa pekerjaannya, dan mau apa dia sebenarnya, aku tak pernah diberi tahu. Ingin sekali aku mendengar cerita dari dia, tetapi dia tak pernah di rumah kala siang hari. Sedangkan malam, aku sudah berjanji kalau aku yang bercerita. Suatu malam aku berhenti bercerita. Aku minta dia yang bercerita kepadaku. ”Aku tidak minta kamu membawa hikayat, aku hanya minta kamu menceritakan siapa dirimu dan dari mana sesungguhnya kamu,” ujarku malam itu. Lelaki itu hanya diam. Kulihat dia menundukkan kepalanya. Hatiku luruh dan akhirnya aku kembali menceritakan sebuah hikayat lagi kepadanya. Suatu hari aku jatuh sakit. Aku tak sanggup lagi bercerita. Beberapa malam sudah lewat, aku belum sanggup juga bercerita. Lelaki itu pun tak lagi pulang ke rumah. Hingga beberapa malam berikutnya dia juga tak pulang, sedangkan sakitku terasa semakin parah. Sudah lima hari aku tak keluar ke meunasah. Sebagai orang tua yang dipercayakan mengurus meunasah, seharusnya aku beritahukan kepada Pak Lurah atau pengurus lain. Suatu malam Pak Lurah datang ke rumahku. Semula Pak Lurah mengira aku tak mau lagi mengurus meunasah karena sudah ada yang mencari rezeki sehingga lupa terhadap meunasah. Tentu saja aku terkejut dan sangat malu mendengarnya. ”Apa maksud Pak Lurah?” tanyaku. ”Maaf, saya lihat lelaki yang tinggal bersama Pak Imam sangat rajin menjual obat sambil bercerita di lapangan bola. Banyak orang yang datang mengunjungi dia meskipun hanya sekadar mendengarkan dia bercerita. Tapi obatnya banyak laku, Pak Imam.” ”Jadi dia penjual obat?!” Aku tersentak mendengar cerita Pak Lurah. Kuurut dadaku yang sesak. Besoknya, Pak Lurah mengajak aku ke puskesmas yang terletak di ujung jalan kampung. Untuk sampai ke puskesmas, kami melewati lapangan bola kaki. Pak Lurah menunjuk lapangan bola itu saat kami melintasinya. ”Di sini biasanya dia menjual obatnya sambil berteriak-teriak menceritakan sesuatu. Ceritanya sangat menarik. Dia juga sangat hafal segala cerita seluk-beluk kampung kita, tentang gajah duduk yang menjadi kepercayaan orang-orang kampung kita, tentang rencong yang bentuknya seperti basmallah, tentang taman gunongan, dan lain-lainnya. Dia paham dan hafal benar semua itu sehingga orang-orang suka mendengar dia bercerita. Di penghujung ceritanya, dia selalu menawarkan obatnya. Banyak laku obat dagangannya,” ujar Pak Lurah panjang lebar. Aku diam sambil memerhatikan lapangan bola itu. Sepulangnya dari puskesmas, aku melihat banyak orang berkumpul di lapangan bola tersebut seperti yang dikatakan Pak Lurah. ”Nah, itu pasti dia, lelaki yang tinggal bersama Pak Imam,” ujar Pak Lurah. ”Apa Pak Imam tak ingin mendengarkan dia bercerita? Pak Imam pasti suka mendegar ceritanya. Kalau Pak Imam tak keberatan, kita singgah dulu sebentar melihat-lihat,” lanjut Pak Lurah semangat. Aku dan Pak Lurah mendekati kerumunan orang di lapangan bola. Sebelum sampai di tempat kerumunan itu, aku mendengar seseorang berteriak dengan alat pengeras suara. Suara itu sangat kukenal. Sangat kukenal lagi cerita itu. Itu hikayat Buloh Peurindu yang pernah kuceritakan kepada seorang lelaki, malam Minggu lalu. Pak Lurah menarik tanganku agar dapat masuk dalam kerumunan orang yang berdesak-desakan. Semula aku tak mau, tetapi Pak Lurah memaksaku. Setelah melewati desakan orang, di tengah lapangan aku melihat seorang lelaki berbadan kurus menggunakan ikat kepala merah melantunkan syair-syair cerita sambil menggenggam pengeras suara. Bajunya berlengan panjang warna putih. Dia juga mengikat kain sarung di pinggangnya sebatas lutut. Kuperhatikan lelaki itu, pakaiannya persis seperti pakaian Aneuk Meutuah dalam Hikayat Dangderia. Dari mana lelaki ini bisa berpenampilan seperti itu, apakah karena juga dia mendengar ceritaku? Semua orang terdiam mengangguk-angguk mendengar lelaki itu bercerita, termasuk Pak Lurah. Kulihat Pak Lurah sesekali tersenyum ketika lelaki itu bercerita sambil memperagakan suatu gerakan seperti gerakan tokoh dalam ceritanya. ”Hari ini sampai di sini dulu saya ceritakan tentang Apa Bangai, besok saya sambung kembali. Bagaimana bapak-bapak dan ibu-ibu sekalian? Ini obat bukan sembarang obat. Kalau Apa Bangai sering lupa, lupa bertanya siapa tamunya, di mana tinggalnya, maka dengan saudara-saudara memakai ini obat, akan terjauh dari lupa punya sifat. Kalau kemarin saya jual sampai lima puluh ribu rupiah, ini hari saudara-saudara tak perlu mengeluarkan uang sebanyak itu. Saudara-saudara tidak punya uang empat lima, tiga puluh, dua lima; ini hari cukup keluarkan dua puluh ribu saja. Silakan ini obat dibawa pulang. Ini hari saya mau bagi-bagi rezeki. Sepuluh pembeli pertama, saya kasih keringanan lima belas ribu saja.” Lelaki itu berkeliling mendekati para pengunjung sambil membawa sepuluh bungkus obatnya. Akhirnya, dia sampai di tempat aku dan Pak Lurah berdiri. Lelaki itu menatapku. Lama dia memandangku, dari ujung rambut sampai ke ujung kaki. Lalu dia berkata, ”Pak Imam sudah sembuh?” Aku tak menjawab pertanyaannya, kecuali diam. Aku terus menatap matanya sampai akhirnya dia tak tahan kupandang. Lelaki itu kembali ke tempatnya semula, tempat barang-barang dagangannya. ”Hari ini saya cukupkan sampai di sini dulu,” ujar lelaki itu sambil mengemasi barang-barangnya. Satu per satu pengunjung pun meninggalkan tempat itu. Kuajak Pak Lurah segera pulang. Aku tak mau lagi melihat lelaki itu. Dia sudah mencuri hikayatku, pikirku. Seminggu sudah berjalan sejak hari itu, tak kulihat lagi lelaki itu menjual obat di lapangan bola. Ke mana dia pergi, aku juga tak tahu. Aku pun tak mau lagi memikirkannya. Hatiku mulai tenang tak mendengar dan tak melihat dia. Tetapi, suatu hari di balai rapat kecamatan, ketika menghadiri musyawarah kecamatan, aku melihat seorang lelaki membawa Hikayat Bayan Budiman. Lelaki itu hadir untuk menghibur para peserta musyawarah. Kepalaku langsung pening. Telingaku mendengar sangat jelas setiap kata dan sajak yang dibawakan orang itu. Mataku menatap tajam ke arah panggung kecil dalam balai rapat kecamatan. Di sana seorang lelaki kurus mengenakan pakaian mirip Aneuk Meutuah dalam Hikayat Dangderia sedang melantunkan Hikayat Bayan Budiman dengan syahdunya. Beberapa minggu kemudian, lelaki kurus yang pernah tinggal bersamaku dua bulan yang lalu jadi terkenal di kotaku. Dalam setiap acara, baik di kampung maupun kecamatan, dia selalu hadir sebagai pembawa hikayat. Semua hikayat yang pernah kuceritakan padanya dijadikan sebagai pencari rezeki dan nama. Kini dia semakin terkenal, bahkan sampai ke ibu kota provinsi. Oh, lelaki itu telah mencuri hikayatku dan menjadi orang yang sangat terkenal. Sementara aku semakin tua. Koeta Radja, 2007-2010
""Tukang Obat Itu Mencuri Hikayatku""
Bila, kata orang sebijak-bijaknya, jodoh merupakan salah satu tulang rusuk yang tercerabut. Tidak bagiku. Kau adalah sebelah mataku. Yang kugunakan untuk mengenal dunia. 2. Sepanjang malam, gelap menyadurkan melankolia. Jalanan kota hari ini sepi. Malam semakin larut. Bebunyian yang tersisa hanya deru kendaraan malam. Yang terlambat bangun. Yang melintasi malam bersama kerahasiaan tentang tujuan. Perjalananku sendiri lamat saja. Decit roda motor menggilas aspal terdengar jelas. Belum pernah kurasa kota menjadi amat sepi. Malam ini, kota seakan lelah. Dan jatuh terlelap. Bagi seorang buta sebelah sepertiku, pelan adalah keselamatan. Menekuri ketelitian. Menghindari bakhil yang celaka. Hanya mata kiriku yang berfungsi. Tersisa dunia hanya bagi belahan pandang sebelah kiri. Semenjak beberapa tahun lampau. Ketika mata kananku kudonorkan. Lebih tepatnya, hadiah sebuah ulang tahun. Tak mengenal aku coklat, parfum mahal, pakaian, atau lingkar cincin di pergelangan jari manis—tak mampu pula isi dompetku menebus hal tersebut—sebagai hadiah. Maka kuberikan mataku sebelah kanan. Yang terjernih. Begitu membanggakan. Bulan mendengkur. Aku mendengarnya. Aku selalu dapat mendengar dengkurnya yang keras menggaung di antara awan dan gedung tinggi. Bulan selalu tertidur selepas tengah malam. Bosan barangkali. Lelah juga mungkin. Tapi kau selalu mengatakan, ”bulan bukan bosan. Ketika kota hening, ketenangan akan membiusnya.” Tak setuju benar aku perihal itu. Tapi memang keheningan selalu dapat membius. Keheningan adalah jenis racun dengan wujud yang lain. ”Kau ingin hadiah apa untuk ulang tahun?” tanyaku pada pertengahan bulan September. Tahun lalu. Ketika kemarau membakar kulit. Kau tampak asyik melumat sebongkah pecahan es batu dalam mulut. Mengusir gerah. ”Mobil!” Jawabmu sembari melempar senyum nakal. Kau selalu menggoda. Ah, alangkah hal ini membuat jantung berdegup. Dapat kuterjemahkan godaan tersebut dari matamu yang bulat, melirik dengan mengerdip. ”Ayolah, aku ingin memberimu sesuatu kali ini.” Kau tertawa. Siang begitu jernih. Dapat kulihat bibirmu yang penuh bongkah es terbuka. Terkekeh. Kau tak percaya? Aku tersinggung. ”Tak percayakah kau? Baiklah, Sonya, aku hanya seorang penulis lepas. Pengangguran di mata orang normal seperti kau. Yang tak selalu memiliki peser-peser uang. Bahkan selama ini, selalu pundi-pundi dan kiriman orang tuamu yang selalu kau bagikan. Maka, atas segala jasamu izinkan aku membalasnya. Dengan materi.” Meledaklah rasa payahku. ”Oho, marah rupanya. Aku ikhlas melakukannya selama ini. Tak dapatkah kau mengartikan ketulusan, wahai penulis?” kembali kau terkekeh. Sebuah lesung pipit tersemat di hulu pipimu, kiri. Aku terpengkur. Nanar kesabaranku. ”Sonya, aku harus tahu apa yang sedang kau inginkan.” ”Simpan saja uangmu.” ”Mengertilah arti dari balas budi ini. Bukan hanya tentang berbagi. Harga diri. Aku ingin menggelontorkan materi untukmu.” ”Budi, mengertilah. Sudah banyak bantuanmu.” ”Tapi, bukan materi.” Sebuah kereta melintas di sisi kiri jalan. Derap rodanya bagai guntur. Memecah hening. Kota sekejap terbangun. Terdengar kembali klakson dan teriak orang. Rupanya perjalanan membawaku pada sebuah pasar. Aku keterusan. Tujuanku terlewat. Segera kucari jalur untuk memutar arah. 3. Bahkan bertahun-tahun diriku masih berkantung kempis. Tak dapat kuberikan hadiah pada tepat ulang tahunmu. Sebagai cendera mata dari kedalaman kesungguhan. Tetap saja aku tak ber-uang. Bahkan, ketika dulu kujanjikan banyak hal, tak ada satu pun berwujud nyata. Kecuali racun yang bernama ketenteraman. Kecuali juga, seorang bayi manis—yang kerap menangis malam hari mengganggu persanggamaan kita. Dan tentu kecuali, sebutir mata sebelah kanan. Sudah luluh benar rasanya kejantananku. Kodrat sebagai seorang lelaki. Simbol kesuksesan. Ketika dulu aku melamarmu, kukatakan impian yang dapat membius wanita mana pun. Dan mimpi itu kini lapuk dimakan rayap. Waktu. Dan bumi yang berputar menyelipkan kusam. Seperti sesusun batu di balkon rumah susun kita—kita sebut sebagai tugu. Tugu yang kini tua dimakan cuaca. Renta melahapnya. Walau banyak tersemat nostalgia. ”Maaf, Sonya, nasib baik enggan menghampiriku,” kataku ketika melahap makan malam. Perayaan dua tahun pernikahan; kau menggodaku pada sebuah jamuan; makanan lezat restoran mahal. ”Apalah nasib baik itu, Budi? Perjalanan kitalah yang satu-satunya kunikmati.” Kau melumat sepotong daging dan lumatan halus kentang. Sambil menatapku dalam. Tak kau rasa ketika setitik saus hinggap di ujung bibir. Dengan kepala ibu jari kuusap. Kau tersenyum. ”Tak dapat kuberikan hal menyenangkan. Tak dapat kuberikan sebuah mobil seperti impian kita sebelum menikah. Tak dapat.” Kau melintangkan telunjuk kurusmu di depan bibirku. Dan memang sepertinya hidupku harus berjauhan dengan materi. Seperti sebuah musuh. Sebuah pembantaian akan harapan. Gestapo kehidupanku, barangkali. Ketika ibu meninggal. Kuingat. Kau pun merelakan separuh gajimu untuk pembiayaan ibu. Uang yang kau cari setiap gelap dengan menjadi seorang pelayan klub malam. ”Akan kuganti uang ini,” ujarku ketika dalam perjalanan pulang selepas menjemputmu. Malam telah pudar. Fajar menguncup di balik mega-mega. ”Sudahlah,” tercium bau alkohol menyelinap keluar dari dalam mulutmu. Dan hingga kini tak dapat kuganti uang tersebut. Bahkan untuk kepul harum di atas meja makan, harus kurela menjadi seorang pengecat rumah serabutan. Ketika cerita-cerita picisanku hanya menjadi penghuni laci meja tulis. 4. Malam semakin dingin. Waktu semakin bergeser. Dan pagi menunggu di ujung jalan. Terdengar kicau beberapa burung yang terjaga. Cukup untuk memberi kabar bahwa sudah waktunya kau pulang. Kutambah kecepatan. Bersalipan dengan waktu. Meskipun aku harus waspada juga. Aku hanya punya mata sebelah kiri, dan tak ingin tergelincir karenanya. Cukup sekali kusaksikan sebuah kecelakaan. Musibah. Sebuah peristiwa yang memerihkan. Musibah tersebut menghilangkan pandanganmu. Yang membutakanmu. Merenggut segala parawarna yang diciptakan untuk dikagumi. Menghancurkan asa. Kuingat, Sonya, hari naas tersebut. Sebagai lara yang tak tersembuhkan. Yang kelak kutahu bahwa hal tersebut sebagai penyiksa. Seperti kuingat tetumpuk batu yang kita bangun—kita sebut tugu. Di balkon tempat kita menghitungi lampu kota pada malam, tugu tersebut selalu mengingatkan pada masa-masa penuh kelaparan. ”Aku lapar,” katamu. Kontan berhenti jari-jariku yang sedari pagi menari di atas tuts komputer. Mendadak diriku melemah. Serasa ada denyut nadi terpotong. Seminggu penuh, hanya dedaunan yang disebut kangkung—kukira lambung kita turut merayakan kemiskinan—yang dapat dikunyah. Kala itu, bulan sedang menutup umurnya. Tanggal tua. ”Sedang nasi hanya tinggal satu gelas.” ”Lapar.” Pekerjaan menulis memang sedang tak banyak. Sedangkan, upah mengecat belum juga dibayar. Ingin kupotong saja kemaluanku. Oh, kaum pria. Kaum pekerja. ”Ayo duduk di balkon, mungkin ada yang dapat mengalihkan pikiran,” ajakku. Siang itu tak terlalu terik. Agaknya gerumbul awan berdesakan di cakrawalalah musababnya. Di dinding balkon, terpajanglah dengan cantik beberapa kaktus. Buah tangan ibu. Hadiah pernikahan kami. Pada dasar pot kaktus tersebut bertimbunlah bebatuan aneka warna. ”Kaktus—tanaman tahan susah. Ibu seperti hendak menyindir,” kataku sembari memunguti beberapa batu dari kaki-kaki kaktus. ”Hush.” Kutata bebatuan tersebut di lantai balkon. Membentuk sebuah limas. Kau tersenyum, bagimu menggelikan memang terus-menerus mendirikan bebatuan yang bandel. Bebatuan tak kenal disiplin. Permukaan batu yang berpori kecil membuat licin. Absurd. Setelah bergelut dengan ketekunan sekian lama, sempurnalah! ”Akan kuruntuhkan ketika kelaparan adalah makhluk asing bagi kita.” ”Runtuhkan saja ketika kita punya mobil.” ”Terserahlah.” Dan kemiskinan kian mesra. Berbulan kemudian kulihat tubuhmu tambah ceking. Bahkan setahun kemudian, ketika kau melahirkan Kaktus—anak kita. Kau tampak kekurangan gizi. Celakalah bagiku. Tak dapat merawat istri. ”Pakai kata Kaktus untuk nama depannya. Agar tahan susah,” katamu di meja persalinan. Dan seperti kau duga, memang hidup bersama seorang anak tak menambah rezeki kita. Bahkan, dengan kepala tertunduk, aku (dan kau, Sonya) harus menitipkan Kaktus ke rumah ibumu. Dan kau meminta izin kepadaku untuk bekerja pada malam hari. Untuk pertama kali aku sesenggukan. Dan untuk kedua kalinya, aku merasa lemah. Hanya pikiran yang kupunya, dan perut buncit. Dan kemaluan—yang sangat ingin kutanggalkan. Dan untuk yang kedua kali sesenggukanku menjadi raungan, ketika pada sebuah pagi, klub malam tempatmu bekerja diserang gerombol pria bersurban dan berjubah putih. Mereka membakar tempat kau mengais nafkah. Meneriakkan nama Tuhan. Dan membabi buta. Menghancurkan apa saja. Memukuli siapa saja. Termasuk membawamu dalam lubang hitam bernama koma. 5. Segala usaha pekerjaan kulakukan. Hingga sales kosmetik yang akrab dengan cibiran. Kesialan menguntitku. Bahkan aku selalu merasa ketika tertidur, kesialan memerkosaku. Aku seorang sarjana. Sarjana kebudayaan. Namun, dunia semakin praktis. Kebudayaan bukanlah barang sekali kedip, tak praktis, cenderung rumit, harganya tak lebih penting ketimbang sebungkus mi instan. Seribu lima ratus. Suatu waktu temanku yang bekerja pada sebuah koran menghubungi. Jawatannya membutuhkan seorang penulis. Bidang kebudayaan. Sebuah kolom. Di antara berita tentang mayat dan pelecehan manusia. Aku menerima dengan perasaan yang berbunga. Kelebatan pikiran yang muncul pertama adalah bayanganmu, Sonya—dan Kaktus, tanggung jawab kita. Sebuah ledakan meledak di dada. Seperti kembang api berharga jutaan. Dengan kaya warnanya mendebarkan getar semangatku. Sonya, akan kukabarkan hal baik ini padamu, segera. Bahkan aku ingin mendahului waktu. Sebuah pekerjaan tetap dan hadiah akan bertumpuk terbayang kemudian. Kita rayakan apa pun; ulang tahunmu, ulang tahun Kaktus, ulang tahun perkawinan, bahkan bila perlu kematian ibu—mengingat jasa beliau. Maka, kupacu sepeda motor menembus padat kota malam hari. Tak sabar rasanya mengabarkan sukacita. Harapan. Namun malam itu, tak dapat kutemui dirimu. Hanya gedung dan gerombol riuh manusia yang kutemui.. *** Kuingat, dua hari kemudian dokter menunjukkan hasil pemeriksaan. Visum menunjukkan kepalamu terantuk benda keras puluhan kali. Gegar otak. Bahkan bibit amnesia merupakan risikonya. Kaktus menangis semalaman. Ibumu juga. Dan aku meraung. Ketika dokter berkabar bahwa kau menjadi buta, aku kalap. Hampir kujotos dokter. Bila ia tak mengatakan, ”Mata kanannya masih punya harapan. Sedangkan mata kirinya rusak berat akibat hantaman. Kiranya mata kanan itu dapat sembuh apabila ada pendonor mata.” Dua hari kemudian kubagikan mataku. Dokter mengundangku ke ruang inapmu. Kulihat kau masih terpejam. Malam itu kau begitu cantik. Kulitmu begitu bersinar. Amat putih. Dan bibirmu yang menjadi biru, menyisir darahku dengan kekaguman. Sonya. Sayangku. 6. Inilah tikungan terakhir, Sonya. Mari kita pulang. Esok kita jemput Kaktus dari rumah ibumu. Dan untuk menyambut pagi kita habiskan waktu dengan bercinta. Sonya, esok hari ulang tahunmu. Mintalah apa pun. Bahkan, bulan yang mendengkur sekali pun. Setelah sebuah tikungan ke arah kiri, terbayanglah senyummu. Kuhentikan sepeda motor di depan bangunan dengan tanaman rambat yang merimbun dan gosong yang kelam. Kutatap bangunan tersebut seperti menatap bulan yang jatuh ke atas ubun-ubunku, Sonya. Surabaya, 11 April 2010
""Perjalanan""
“Mana ada orang bisa berjalan di atas air,” pikirnya. Namun, ia memang berpendapat bahwa jika seseorang ingin membaca doa, maka ia harus belajar membaca doa secara benar. ”Bagaimana mungkin doanya sampai jika kata-katanya salah,” pikir Kiplik, ”karena jika kata-katanya salah, tentu maknanya berbeda, bahkan jangan-jangan bertentangan. Bukankah buku Cara Berdoa yang Benar memang dijual di mana-mana?” Adapun dongeng yang didengarnya menyampaikan pesan, betapa siapa pun orangnya yang berdoa dengan benar, akan mampu berjalan di atas air. Kiplik memang bisa membayangkan, bagaimana kebesaran jiwa yang dicapai seseorang setelah mampu membaca doa secara benar, akan membebaskan tubuh seseorang dari keterikatan duniawi, dan salah satu perwujudannya adalah bisa berjalan di atas air. Namun, ia juga sangat sadar sesadar-sadarnya, pembayangan yang bagaimanapun, betapapun masuk akalnya, tidaklah harus berarti akan terwujudkan sebagai kenyataan, dalam pengertian dapat disaksikan dengan mata kepala sendiri. ”Dongeng itu hanyalah perlambang,” pikirnya, ”untuk menegaskan kebebasan jiwa yang akan didapatkan siapa pun yang berdoa dengan benar.” Justru karena itu, semenjak Kiplik memperdalam ilmu berdoa, kepada siapa pun yang ditemuinya, ia selalu menekankan pentingnya berdoa dengan benar. Adapun yang dimaksudnya berdoa dengan benar bukanlah sekadar kata-katanya tidak keliru, gerakannya tepat, dan waktunya terukur, selain tentu saja perhatiannya terpusat, melainkan juga dengan kepercayaan yang mendalam dan tak tergoyahkan betapa sedang melakukan sesuatu yang benar, sangat benar, bagaikan tiada lagi yang akan lebih benar. Kebahagiaan yang telah didapatkannya membuat Kiplik merasa mendapatkan suatu kekayaan tak ternilai, dan karena itulah kemudian ia pun selalu ingin membaginya. Setiap kali ia berhasil membagikan kekayaan itu, kebahagiaannya bertambah, sehingga semakin seringlah Kiplik menemui banyak orang dan mengajarinya cara berdoa yang benar. Ternyata tidak sedikit pula orang percaya dan merasakan kebenaran pendapat Kiplik, bahwa dengan berdoa secara benar, bukan hanya karena cara-caranya, tetapi juga karena tahap kejiwaan yang dapat dicapai dengan itu, siapa pun akan mendapatkan ketenangan dan kemantapan yang lebih memungkinkan untuk mencapai kebahagiaan. Demikianlah akhirnya Kiplik pun dikenal sebagai Guru Kiplik. Mereka yang telah mengalami bagaimana kebahagiaan itu dapat dicapai dengan berdoa secara benar, merasa sangat berterima kasih dan banyak di antaranya ingin mengikuti ke mana pun Kiplik pergi. ”Izinkan kami mengikutimu Guru, izinkanlah kami mengabdi kepadamu, agar kami dapat semakin mendalami dan menghayati bagaimana caranya berdoa secara benar,” kata mereka. Namun, Guru Kiplik selalu menolaknya. ”Tidak ada lagi yang bisa daku ajarkan, selain mencapai kebahagiaan,” katanya, ”dan apalah yang bisa lebih tinggi dan lebih dalam lagi selain dari mencapai kebahagiaan?” Guru Kiplik bukan semacam manusia yang menganggap dirinya seorang nabi, yang begitu yakin bisa membawa pengikutnya masuk surga. Ia hanya seperti seseorang yang ingin membagikan kekayaan batinnya, dan akan merasa bahagia jika orang lain menjadi berbahagia karenanya. Demikianlah Guru Kiplik semakin percaya, bahwa berdoa dengan cara yang benar adalah jalan mencapai kebahagiaan. Dari satu tempat ke tempat lain Guru Kiplik pun mengembara untuk menyampaikan pendapatnya tersebut sambil mengajarkan cara berdoa yang benar. Dari kampung ke kampung, dari kota ke kota, dari lembah ke gunung, dari sungai ke laut, sampai ke negeri-negeri yang jauh, dan di setiap tempat setiap orang bersyukur betapa Guru Kiplik pernah lewat dan memperkenalkan cara berdoa yang benar. Sementara itu, kadang-kadang Guru Kiplik terpikir juga akan gagasan itu, bahwa mereka yang berdoa dengan benar akan bisa berjalan di atas air. ”Ah, itu hanya takhayul,” katanya kepada diri sendiri mengusir gagasan itu. *** Suatu ketika dalam perjalanannya tibalah Guru Kiplik di tepi sebuah danau. Begitu luasnya danau itu sehingga di tengahnya terdapatlah sebuah pulau. Ia telah mendengar bahwa di pulau tersebut terdapat orang-orang yang belum pernah meninggalkan pulau itu sama sekali. Guru Kiplik membayangkan, orang-orang itu tentunya kemungkinan besar belum mengetahui cara berdoa yang benar, karena tentunya siapa yang mengajarkannya? Danau itu memang begitu luas, sangat luas, bagaikan tiada lagi yang bisa lebih luas, seperti lautan saja layaknya, sehingga Guru Kiplik pun hanya bisa geleng-geleng kepala. ”Danau seluas lautan,” pikirnya, ”apalagi yang masih bisa kukatakan?” Maka disewanya sebuah perahu layar bersama awaknya agar bisa mencapai pulau itu, yang konon terletak tepat di tengah danau, benar-benar tepat di tengah, sehingga jika pelayaran itu salah memperkirakan arah, pulau itu tidak akan bisa ditemukan, karena kedudukannya hanyalah bagaikan noktah di danau seluas lautan. Tiadalah usah diceritakan betapa lama dan susah payah perjalanan yang ditempuh Guru Kiplik. Namun, akhirnya ia pun sampai juga ke pulau tersebut. Ternyatalah bahwa pulau sebesar noktah itu subur makmur begitu rupa, sehingga penghuninya tiada perlu berlayar ke mana pun jua agar dapat hidup. Bahkan, para penghuninya itu juga tidak ingin pergi ke mana pun meski sekadar hanya untuk melihat dunia. Tidak terdapat satu perahu pun di pulau itu. ”Jangan-jangan mereka pun mengira, bahwa dunia hanyalah sebatas pulau sebesar noktah di tengah danau seluas lautan ini,” pikir Guru Kiplik. Namun, alangkah terharunya Guru Kiplik setelah diketahuinya bahwa meskipun terpencil dan terasing, sembilan orang penduduk pulau sebesar noktah itu di samping bekerja juga tidak putus-putusnya berdoa! ”Tetapi sayang,” pikir Guru Kiplik, ”mereka berdoa dengan cara yang salah.” Maka dengan penuh pengabdian dan perasaan kasih sayang tiada terkira, Guru Kiplik pun mengajarkan kepada mereka cara berdoa yang benar. Setelah beberapa saat lamanya, Guru Kiplik menyadari betapa susahnya mengubah cara berdoa mereka yang salah itu. Dengan segala kesalahan gerak maupun ucapan dalam cara berdoa yang salah tersebut, demikian pendapat Guru Kiplik, mereka justru seperti berdoa untuk memohon kutukan bagi diri mereka sendiri! ”Kasihan sekali jika mereka menjadi terkutuk karena cara berdoa yang salah,” pikir Guru Kiplik. Sebenarnya cara berdoa yang diajarkan Guru Kiplik sederhana sekali, bahkan sebetulnya setiap kali mereka pun berhasil menirunya, tetapi ketika kemudian mereka berdoa tanpa tuntunan Guru Kiplik, selalu saja langsung salah lagi. ”Jangan-jangan setan sendirilah yang selalu menyesatkan mereka dengan cara berdoa yang salah itu,” pikir Guru Kiplik, lagi. Guru Kiplik hampir-hampir saja merasa putus asa. Namun, setelah melalui masa kesabaran yang luar biasa, akhirnya sembilan orang itu berhasil juga berdoa dengan cara yang benar. Saat itulah Guru Kiplik merasa sudah tiba waktunya untuk pamit dan melanjutkan perjalanannya. Di atas perahu layarnya Guru Kiplik merasa bersyukur telah berhasil mengajarkan cara berdoa yang benar. ”Syukurlah mereka terhindar dari kutukan yang tidak dengan sengaja mereka undang,” katanya kepada para awak perahu. Pada saat waktu untuk berdoa tiba, Guru Kiplik pun berdoa di atas perahu dengan cara yang benar. Baru saja selesai berdoa, salah satu dari awak perahunya berteriak. ”Guru! Lihat!” Guru Kiplik pun menoleh ke arah yang ditunjuknya. Alangkah terkejutnya Guru Kiplik melihat sembilan orang penghuni pulau tampak datang berlari-lari di atas air! Guru Kiplik terpana, matanya terkejap-kejap dan mulutnya menganga. Mungkinkah sembilan penghuni pulau terpencil, yang baru saja diajarinya cara berdoa yang benar itu, telah begitu benar doanya, begitu benar dan sangat benar bagaikan tiada lagi yang bisa lebih benar, sehingga mampu bukan hanya berjalan, tetapi bahkan berlari-lari di atas air? Sembilan orang penghuni pulau terpencil itu berlari cepat sekali di atas air, mendekati perahu sambil berteriak-teriak. ”Guru! Guru! Tolonglah kembali Guru! Kami lupa lagi bagaimana cara berdoa yang benar!” Ubud, Oktober 2009 / Kampung Utan, Agustus 2010. *) Cerita ini hanyalah versi penulis atas berbagai cerita serupa, dengan latar belakang berbagai agama di muka bumi.
""Dodolitdodolitdodolibret""
Dia pergi ke tepi danau di tengah hutan setelah usai memanen padi ladang bersama Bapak dan Emak. Bila akan pergi ke tepi danau berair biru jernih itu, dia tak lupa membawa beberapa lembar kain belacu putih dan peralatan menyulam. Di keheningan tepi danau tercium olehnya harum bunga mawar hutan. Dia dengar nyanyian burung dan hiruk pikuk kawanan kera. Dia melihat gelepar ekor ikan di permukaan danau. Air beriak bagaikan tersibak. Di atas tebing, daun pepohonan sangat rimbun—bercermin di air danau yang bening. Sekian tahun silam, menjelang petang, seorang pelukis tua berjanggut lebat, dan putranya datang dari kota ke ladang di tepi hutan itu. Pemuda tampan itu menyetir mobil jip tua dan membantu sang ayah membawa peralatan melukis. Bapak dan Emak Si Gadis mengizinkan Si Pelukis dan putranya memasang tenda di tepi ladang. Perupa itu berniat melukis fauna dan flora di hutan sekitar itu. Dia juga mau melukis peladang, pengail ikan di sekitar danau, mawar hutan, dan pemandangan alam. Semula, Bapak dan Emak agak ragu untuk mengizinkan Si Pelukis dan putranya mendirikan tenda di tepi ladang mereka. Berkat perilaku santun kedua tamu, hati orangtua Gadis luluh. Keramahtamahan Si Pelukis dan putranya menjadikan mereka cepat akrab. Usia putra Si Pelukis dan Gadis hampir sebaya. Setelah mendirikan tenda, Si Pelukis minta tolong kepada Emak untuk memasak makanan buat sarapan, makan siang, dan malam—selama mereka bermukin di tepi ladang yang lengang itu. Bapak mengizinkan Emak memasak untuk mereka. Si Pelukis menyerahkan sejumlah uang untuk belanja kepada Emak. Uang itu ditolak Emak. Tetapi, setelah dibujuk berulang-ulang oleh Si Pelukis dengan sabar dan manis, akhirnya uang yang cukup banyak itu diterima Emak. Giliran Gadis menolak uang itu. Katanya, tidak pantas tamu membayar makan kepada tuan dan nyonya rumah. Si Pelukis mengatakan kepada si perawan cantik itu, ”Aku dan putraku bukanlah tamu keluarga di ladang ini. Kami tidak mau membebani keluarga ini. Uang itu tak seberapa. Ya, itu hanya sekadar tanda terima kasih. Kalau pemberian kami itu ditolak, sama dengan keluarga ini tidak ikhlas menerima kami,” lanjut Si Pelukis, lirih. Setelah Si Pelukis dan putranya masuk tenda, Gadis menggerutu kepada Emak. ”Uang pemberian Si Pelukis itu akan membuat Bapak, Emak, dan aku berutang budi kepada Si Pelukis. Keluarga kecil kita ini bisa disangka mata duitan,” sambungnya. Bapak mengatakan, uang itu sebagai tanda terima kasih. Tidak elok menolak ucapan terima kasih dari seseorang, lanjut Bapak. Sejak saat itu, Gadis diam. Dia pergi ke tepi danau dan menyulam. Selesai sarapan pagi, esoknya, Si Pelukis mengatakan kepada Bapak, beberapa hari ini, ingin melukis bunga anggrek. Dia mengetahui ada sekitar 30.000 jenis bunga anggrek di seluruh dunia. Tetapi, dari sekian banyak jenis anggrek itu, dia hanya akan melukis beberapa jenis saja. Kemudian, dia menunjukkan kepada Bapak daftar nama puluhan macam bunga anggrek, yakni Anggrek Bambu, Anggrek Bulan, Anggrek Buntut Bajing, Anggrek Congkok Kuning, Anggrek Gebeng, Anggrek Hitam, Anggrek Jambrut, Anggrek Janur, Anggrek Kalajengking, Anggrek Kancil, Anggrek Kasut Belang, Anggrek Kasut Berbulu, Anggrek Kasut Pita, Anggrek KembangGoyang, Anggrek Kepang, Anggrek Lau-Batu, Anggrek Lilin, Anggrek Loreng, Anggrek Mawar, Anggrek Merpati, Anggrek Mutiara, Anggrek Pandan, Anggrek Tanah Kuning, Anggrek Tebu, Anggrek Uncal, dan Anggrek Nan Tongga. Sebagian besar nama anggrek itu masih sangat asing bagi Bapak. Bapak mengaku sejujurnya, sedikit sekali pengetahuannya mengenai bunga anggrek. Bapak tak menjamin, di hutan sekitar ini terdapat anggrek yang diinginkan Si Pelukis. Sambil tersenyum, Si Pelukis berkata, ”Seberapa adanya sajalah, Pak.” Selama Si Pelukis dan Bapak mencari bunga anggrek di dalam hutan, Emak memasak di dangau. Gadis dan putra Si Pelukis duduk di tepi danau. Mereka ngobrol dengan seorang pemancing tua, sahabat Gadis. Si Pemancing telah berhasil mengail ikan gabus, lele, gurame, betok, dan mujair. Setelah itu, putra Si Pelukis mengajak Gadis duduk di bawah naungan batang rengas *) besar dan tinggi. Kedua orang muda itu saling menanyakan nama lengkap dan bertukar cerita. ”Namaku Kiagus Muhammad Gindo,” putra Si Pelukis menyebutkan nama lengkapnya. ”Panggil saja aku Gindo,” lanjutnya. ”Namaku Masayu Nurul Indahwati,” kata Gadis malu-malu. ”Biasanya, aku dipanggil Gadis,” ucapnya sambil melipat selembar kain belacu putih yang sedang disulamnya. ”Berapa banyak sarung bantal yang sudah Gadis sulam?” tanya Gindo. ”Lumayan,” jawab Gadis, ”Sulit aku menghitungnya. Sejak kecil aku sudah belajar menjahit dan menyulam pada Emak. Selain menyulam sarung bantal, aku menyulam hiasan dinding untuk pajangan, taplak meja, saputangan, tas kain, dan macam-macam lagi,” cerita Gadis. ”Kau hebat sekali,” puji Gindo. ”Ah, biasa saja,” ujar Gadis. Gindo terkejut setelah mendengar cerita Gadis tentang kemampuannya membudidayakan ikan patin dan nila. Gadis akan meneliti ikan belida, dalam waktu dekat. Ternyata, Gadis bukanlah perawan dusun yang berpikir kuno dan tradisional. Gindo memberondong Gadis dengan berbagai pertanyaan tentang masa kecil dan masa kininya, tapi tidak berhasil mendapat jawaban sesuai kehendak hatinya. Gadis yang berwajah cantik dan tenang, pemilik mata sebening air danau, tak tak membuka pintu rahasia hatinya. Gindo menyimpulkan, selain pintar, rendah hati, Gadis berkarakter luhur. Gindo secara diam-diam mengagumi kecantikan dan kepribadian Gadis. Waktu terus berlalu. Si Pelukis telah menyelesaikan lukisan bunga anggrek, satwa liar, danau, peladang, pemancing tua, dan mawar hutan. Terakhir, sebelum pamitan, dia minta izin kepada Bapak dan Emak untuk melukis Gadis dengan latar belakang danau dan kebun tembakau. Kata Bapak dan Emak, terserah pada Gadis. Mengejutkan sekali, Gadis menolak jadi model. Dia merasa tidak berminat dan tak berbakat. Dia juga malu, bila wajah dan tubuhnya diabadikan di kain kanvas, kemudian akan dipamerkan di hadapan para kolektor dan penggemar seni lukis di kota-kota besar. Si Pelukis tak putus asa. Dia membujuk Gadis dengan menawarkan sejumlah uang sebagai honorarium. Iming-iming itu tak mengubah pendirian Gadis. ”Maafkan aku, Pak Pelukis,” kata Gadis sopan. ”Bagaimana mungkin Gadis melakukan pekerjaan yang berbeda dengan kata hati? Bila gadis memaksakan diri menjadi model lukisan Bapak, aku yakin lukisan itu tidak akan berjiwa,” lanjutnya tegas, tapi sopan. Kata-kata Gadis, itu menambah kagum Gindo kepadanya. Di dalam hati, Gindo kurang setuju, Gadis menjadi model lukisan ayahnya. Tumbuh benih cemburu di hati pemuda kritis itu. ”Tak apa-apa kalau Gadis keberatan,” kata Si Pelukis. ”Aku tak hendak memaksa,” lanjutnya, berupaya menyembunyikan rasa kecewanya. Gadis usul kepada Si Pelukis agar melukis sosok dirinya di dalam imajinasi, tetap berlatar belakang danau, atau ketika dirinya sedang memandang sekuntum mawar hutan. Lukisan berdasarkan imajinasi, kata Gadis mungkin akan lebih indah dan berjiwa dibanding yang natural. Si Pelukis tersentak. Dia tersindir. Dia sadar, dirinya bukanlah tukang gambar. Ali adalah seniman lukis, atau perupa berpengalaman, kata hatinya. Saran Gadis diterimanya dengan jiwa besar. Si Pelukis mengangguk-anggukkan kepala sambil menatap wajah Gadis yang ayu, lembut keibuan, dan selalu tampil alami. Bersahaja saja dia. Saat itu pula, Si Pelukis terkenang pada 0lga, istrinya yang sudah lama tiada. *** Kehadiran Si Pelukis dan putranya beberapa tahun silam dikenang Gadis sambil menyulam di tepi danau. Senja kali ini bergerimis. Pelangi melengkung di seberang sana danau. Gadis membayangkan tujuh bidadari turun meniti pelangi. Para putri kayangan itu mandi berkecipung di air danau—yang kemerahan disinari matahari senja—semerah isi semangka. Pelangi dan bidadari pun menjadi inspirasi bagi Gadis untuk menyulam. Senja itu, Gadis menyulam sekuntum mawar hutan di selembar kain belacu putih. Dia sangat cemas apabila seluruh hutan dan ladang Bapak kelak menjadi lahan kebun kelapa sawit, tak akan ditemukan lagi mawar hutan. Itulah sebabnya Gadis mengabadikan mawar hutan di dalam beberapa sulaman untuk hiasan dinding. Salah satu sulaman bunga mawar hutan, khusus disediakannya untuk Gindo. Ketika pamitan, dulu, Gindo mengatakan, awal tahun depan akan menemui Gadis di tepi danau. Sekian lama, Gadis setia menunggu, tapi Gindo tak kunjung datang. Penanggalan di dinding dangau telah diganti Bapak dengan kalender baru, Gindo belum juga datang. Gadis segera kembali ke kota, sehabis cuti tahunan, melanjutkan penelitian ikan belida untuk gelar S2-nya. Si pemancing tua, berjenggot putih, sahabat Gadis di tepi danau merasa sepi setelah Gadis pergi. Gindo tak berniat melanggar janji kepada Gadis. Musibah telah menimpa Si Pelukis gaek, ayahnya. Jip yang dikendarainya masuk jurang, ketika meneruskan pengembaraan sendirian untuk melukis Bukit Barisan. Lelaki tua pemberani itu tewas di tempat kejadian. Gindo berhalangan menemani ayahnya karena sedang mengikuti ujian S2—jurusan ilmu komunikasi di ibu kota provinsi. Mengenai musibah itu, Gindo telah mengirim e-mail kepada Gadis. Pada bagian akhir e-mail itu, Gindo menulis: ”Gadis yang baik. Kini, aku sudah yatim piatu. 0lga, ibuku, yang asal Rusia meninggal 27 tahun lalu, setelah aku lahir. Ayah tidak pernah menikah lagi karena setia, dan sangat cinta pada Ibu. Bila rindu pada Ibu, Ayah ziarah ke makamnya berlama-lama. Aku janji, 40 hari setelah Ayah wafat, aku segera menemuimu di danau. Banyak yang ingin kukatakan kepadamu. Gadis, Ketahuilah, di dalam diriku sedang menguntum romansa merah jambu. Sampai di sini dulu, ya? Salam. Gindo selalu merindukanmu.” Pesan itu tak sampai karena laptop milik Gadis sedang mengalami error. Di ujung tahun, Gindo menyetir jip tua peninggalan ayahnya menuju danau. Dia tercengang di depan pagar besi tinggi berkawat duri. Dirasakannya pagar yang menghadang itu sangat angkuh. Ladang dan hutan tak tampak lagi. Tanaman kelapa sawit muda setinggi lutut—terbentang di depannya seluas mata memandang. Danau makin sunyi. Pemancing tua entah berada di mana? Tak ada lagi pepohonan tinggi yang berdaun rimbun di sekitar danau itu. Gindo tidak diizinkan masuk lokasi perkebunan sawit oleh petugas keamanan berseragam hijau-loreng. Para petugas keamanan itu tidak dapat menjawab pertanyaan Gindo, ”Di mana Emak, Bapak, dan Gadis, setelah hutan, dan ladang mereka digusur? (Mengenang Tanjung Serian, dusun Bapak, Kepur, dusun Emak, dan Tanjung Raman, dusun Taufik Kiemas—di tepi Sungai Lematang). Villa Kalisari, Depok, 04 Juni 2010 *) Pohon yang kayunya merah, getahnya sangat tajam, dan gatal bila tersentuh, dapat menyebabkan kulit melepuh. Getahnya dapat dijadikan cat pernis atau minyak kayu. Buahnya mirip jeruk purut, warna cokelat, tak dapat dimakan.
""Romansa Merah Jambu""
Sebaliknya saya mengancam, jika ia main-main saja dengan Putri Solo, misalnya mengajaknya kumpul kebo, saya akan melaporkannya ke Presiden Obama. Ternyata John berani bersumpah bahwa ia serius akan menikahi Putri Solo yang Macan Lapar itu dan memboyongnya ke Amerika. Anak keturunannya kelak, janji John, merupakan masyarakat baru Amerika yang akan mendatangkan berkah. Saya menyambutnya dengan mengucap amin, amin, amin. Okey, jawab saya. Insya Allah, John, saya akan membantumu untuk menemukan Putri Solo si Macan Lapar itu. John adalah seorang arkeolog. Perkenalannya dengan dunia Timur ketika ia melancong ke Jawa Tengah dan Jawa Timur untuk memelototi candi-candi. Waktu itu ia masih berusia 23 tahun, sedang giat-giatnya menjaring ilmu pengetahuan sebanyak-banyaknya. Candi Borobudur sudah tentu, Prambanan, Mendut, Sukuh, Panataran, semuanya, sudah pindah ke benaknya. Tentu banyak lagi. Setelah John menjadi profesor di usia 25, ia sadar bahwa tak ada gunanya seorang profesor yang jomblo. Ia merasa sangat kesepian. John sebenarnya sudah menjalin hubungan dengan sejumlah mahasiswinya. Tapi semuanya menolak untuk dinikahi, yang membuat John uring-uringan. Menurut John, masa bahagia adalah ketika kuliah di Solo, ia menginap di rumah saya di bilangan Notosuman, bertetangga dengan kedai Srabi Notosuman yang termasyhur itu. Bagaimana ia tidak berbahagia, segalanya tersedia dengan gampang. Tidak seperti di Amerika yang segalanya harus ia lakukan sendiri, di Solo jika lapar bisa langsung makan, bila pengin ngopi tinggal pesan, bila pakaian kotor tinggal dilemparkan. Jika nonton pertunjukan, pergi kuliah, maupun piknik, cukup dengan naik sepeda. Di universitasnya, UCLA, John berkenalan dengan Eko, seorang penari dari Solo yang sedang melakukan tur ke 30 universitas Amerika untuk menari. Eko menyarankan supaya John menikah dengan gadis Solo saja. Di samping gemi, nastiti, ngati-ati (irit, terperinci, berhati-hati), putri Solo gaya berjalannya persis macan lapar yang bisa membekukan waktu. Tetapi, menurut Fafa Dyah Kusumaning Ayu, seorang DJ yang menjelma sejarawan yang mbaurekso (mengayomi) kota Solo, putri Solo yang gaya berjalannya persis macan lapar itu sudah tidak ada lagi. Menurut dia, dari satu artikel yang dibacanya, putri Solo yang demikian, yang terakhir terlihat di zaman penjajahan Jepang, yaitu di tahun 40-an. Mendengar ini, Eko dari Boston kirim SMS: Fafa, lo jangan bikin John pesimistis. Fafa pun menjawab: Eko, lo jangan mengada-ada. Di bandara Adi Sumarmo, Solo, saya dan anak-anak, Ning, Nong, dan Nug, menjemput John yang datang lewat Bali. Di rumah, ibunya anak-anak menyiapkan nasi goreng ikan asin kesukaan John. Ia tinggal di rumah penginapan penduduk yang banyak bertebaran di kampung-kampung. Serta-merta ia diminta mengajar di ISI (Institut Seni Indonesia) untuk mata pelajaran arkeologi budaya. Menurut Fafa, gaya berjalan Macan Lapar adalah gaya berjalan yang bertumpu pada pinggul dan pundak. Jika melangkah, sebagaimana orang berjalan, pinggul kanan berkelok muncul keluar dari garis tubuh, maka pundak kiri lunglai ke depan. Begitu bergantian, pinggul kiri mencuat, pundak kanan lunglai ke depan. Irama ini dalam paduan langkah yang pelan. Gaya berjalan begini akhirnya diadopsi oleh para art director fashion show menjadi gaya berjalan yang kita kenal sekarang oleh para peragawati di seluruh dunia di atas cat-walk. Megal-megol-nya para peragawati Eropa, Amerika, maupun Asia, menurut Fafa sangat teknis. Hal itu tampak ketika para peragawati sudah tidak di atas cat-walk lagi, mereka ternyata berjalan biasa saja, sebagaimana orang-orang biasa berjalan. Artinya, megal-megol mereka di atas cat-walk belum merupakan kekayaan budaya fashion show. Padahal macan laparnya putri Solo itu tulen, alamiah, menyatu dengan tubuh yang hidup dalam budaya tradisinya. Meski cuma berjalan di dalam rumahnya, gaya berjalan Putri Solo tetap persis macan lapar. Sehingga Putri Solo jauh lebih gandes, luwes, kewes, dan sensuous. Pada suatu hari di siang yang panas, ketika saya dan Nug selesai jumatan di Masjid Gede, lalu bergabung dengan Ning, Nong, dan ibunya anak-anak untuk menikmati tengkleng, semacam sop tetelan daging sapi atau kambing khas Solo di gerbang Pasar Klewer, tiba-tiba menghambur John di sela kerumunan orang yang antre tengkleng, sambil berkata mantap: ”Saya sudah dapat si Macan Lapar.” ”Alhamdulillah,” sahut saya. Lepas ashar di gerbang Keraton Susuhunan, sejumlah orang berkumpul: John, Fafa, mas Rahayu Supanggah (komponis), mas Modrik Sangidu (aktivis), Sadra (komponis), Slamet Gundono (dalang), Suprapto Suryodarmo (guru spiritual), dan pak Jokowi (wali kota Solo) sedang berharap-harap cemas sambil mencereng menatap jalanan. Kami semua diundang John untuk menerima kejutan. Mendadak muncul seorang gadis yang berpakaian lengkap mengesankan seorang penari. Kami terperangah melihat gaya jalannya yang Macan Lapar. Ketika pinggul kanan mencuat ke samping, pundak kanan tertarik ke belakang, sedang pundak kiri mencuat ke depan. Begitu bergantian. Sungguh cara berjalan yang menggetarkan. Langkah yang pelan, yang pasti, yang terkonsentrasi penuh. Namun gaya ini—sekali lagi–tulen. Gadis itu melenggang ke pintu masuk keraton ketika tiba-tiba John meloncat mengejarnya. Fafa mencoba menahan John. Saya dan Modrik serta pak Jokowi ikut berlari mengejar. Prapto, Sadra, dan Panggah terbahak. Gundono berteriak dan tertawa, ”Kejar! Kejar!” sambil mencakar cukelelenya keras-keras membangun ketegangan. Ketika John mencapai teras keraton, kami melihat pemandangan yang mengerikan: John jadi Cleret Gombel! Menyaksikan John yang bermetamorfosis jadi sebangsa bunglon yang bisa terbang itu, gadis yang dikejar itu berteriak-teriak ketakutan lalu meloncat ke dalam ke halaman dalam keraton. Kami berloncatan meringkus John si Cleret Gombel. Saya dan pak Jokowi terlempar. Fafa menjerit karena si Cleret Gombel menggeram sambil memperlihatkan taringnya. Mas Modrik yang persis Samson itu dengan kuat meringkus John hingga roboh. John terus meronta menggeram-geram sambil unjuk taringnya yang putih berkilat. Kemudian dengan mobil hardtop mas Modrik, ramai-ramai John kami serahkan kepada pak Oei Hong Djien, guru spiritual yang khusus menangani keseimbangan pikiran dan perasaan, dari komunitas kebatinan Sumarah. Kami sepakat membantu John untuk melamar penari Macan Lapar itu yang kemudian ketahuan namanya Intan Paramaditha. Belakangan pak Jokowi melakukan rapat maraton dengan para budayawan Solo untuk membahas tentang rencananya melakukan revitalisasi gaya melenggok ala Macan Lapar ini. Kota Solo diyakini menjadi satu-satunya kota di dunia yang punya gaya berjalan putri-putrinya yang elegan itu. ***** Kota Tangerang Selatan, 10 Juni 2010
""Macan Lapar""
Jadinya, segalanya seperti memang alamiah. Dan sepertinya memang sudah digariskan dari sono-nya. Tak ada yang bisa menerka. Apalagi meramalkan. Karenanya, terus terang, aku lebih percaya jika urusan mati ya urusan mati sendiri. Dan sakit ya urusan sakit sendiri. Dan meski ada yang bilang: ”Jika sakit adalah bagian dari pembuka jalan bagi mati, aku tetap saja merasa itu bukan hal yang benar. Tapi hal yang kebetulan benar saja. Jadi bisa benar bisa tidak.” ”Bisa benar bisa tidak?” ”Ya, begitulah!” Dan itu dapat dilihat dari diriku sendiri. Diri yang kini sudah berumur hampir 70 tahun ini. Diri yang tetap bisa mandi, makan, jalan-jalan, nonton TV dan sesekali membaca ini-itu yang mungkin remeh-temeh. Diri, yang waktu umur 27 tahun, telah divonis oleh si dokter cuma bisa hidup 3 bulan. Tapi nyatanya? Hmmm, masih saja bertahan sampai kini. Bahkan, masih sanggup untuk menikmati apa saja yang enak-enak. Rawon, tempe penyet, hamburger, nasi kuning, martabak. Atau menonton siaran sepak bola dini hari. Diri yang dianggap oleh orang-orang yang ada di sekitar sebagai orang yang lebih kuat dari mati. Orang yang mungkin punya nyawa rangkap. Dan orang yang dianggap tenggorokannya buntu. Dan karena buntu itu, maka nyawanya cuma memantul-mantul di rongga dadanya. Tak bisa keluar. Atau dikeluarkan. Ha-ha-ha, anggapan yang agak aneh. Anggapan yang kerap membuat aku tersenyum simpul. Ya, barangkali aku memang lebih kuat dari mati. Dan barangkali pula itu yang membuat aku ingin menulis cerita ini. II Seperti yang aku katakan, ketika umurku 27 tahun, aku telah divonis oleh si dokter cuma bisa hidup 3 bulan. Katanya, aku mengidap penyakit ganas. Penyakit yang sudah menjalar ke seluruh tubuh. Bahkan, kata si dokter lagi, mulai hari itu juga apa yang menjadi keinginan dan hasratku harus dituruti. Tentu saja, keluargaku menjadi sedih. Adik perempuanku menangis. Ibuku juga menangis. Dan ayahku, ya, ayahku, meski tak kelihatan menangis, tapi matanya tampak merah. Seperti menahan sesuatu. Sesuatu yang dijaga oleh karang yang kokoh. Tapi aku yakin, pasti sesekali, tanpa sepengetahuanku diambrolkannya juga. ”Istirahatlah, Nak,” begitu kata ayahku. ”Jangan terlalu berpikir yang macam-macam,” sambung ibuku. Dan sergah adik perempuanku: ”Iya, Mas, harus istirahat. Jika sudah sembuh bisa jalan-jalan sama Mbak Ninuk lagi.” Ninuk? Akh, Ninuk. Pacarku yang tersayang. Pacarku yang akan aku nikahi 2 tahun lagi. Pacarku yang cantik, manis dan berambut keriting. Pacarku yang telah aku cium sebanyak 4 kali. Sekali di beranda rumahku. Dua kali di alun-alun kota. Dan sekali lagi di rumahnya. Sewaktu rumahnya kosong. Ditinggal oleh keluarganya kondangan di kelurahan. Dan karena ciuman sebanyak 4 kali inilah, aku pun berbisik padanya: ”Kau harus kontrol, Nuk?” ”Kontrol?” ”Iya. Siapa tahu kau ketularan penyakitku?” Dan deg, Ninuk pun menutup mulutnya. Wajahnya memerah. Ada ketakutan dan kegelisahan di wajah itu. Ketakutan dan kegelisahan yang tak diduga. Yang muncul ketika semuanya telah terjadi. Ya, memang, ketika kita sudah di depan pacar, kita sudah tak lagi berpikir: ”Apakah pacar kita punya penyakit dalam atau tidak. Menular atau tidak. Yang penting ciuman dan ciuman. Mumpung ada kesempatan. Kesempatan yang kelak akan mencelakakan atau tidak? Siapa yang peduli? Jiahh….” Dan dua bulan kemudian (setelah kontrol dan ternyata tak tertular), Ninuk pun memutuskan untuk pergi dari sisiku. Sebagai pacar yang berpenyakit. Yang hidupnya sudah divonis cuma 3 bulan, tentu saja aku tak bisa berbuat apa-apa. Dan meski semangatku sedikit ambruk, tapi aku tetap bertahan. Dan tetap merasa jika kepergian Ninuk adalah hal yang baik. Sebab, apa yang bisa diharapkan dari seorang pacar yang punya kondisi seperti diriku ini. Paling-paling cuma akan merumitkan masa depannya saja. III Waktu berlalu. Tiga bulan dari waktu yang divonis si dokter tinggal seminggu lagi. Rasanya rumahku jadi ramai. Tetangga dan keluarga jauhku berdatangan. Menjenguk diriku. Ada yang menghibur. Ada yang basa-basi. Dan ada pula yang malah mengajari aku untuk bersabar. Sambil membocorkan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan kubur. Siapa Tuhanmu? Siapa nabimu? Apa kitabmu? Yang kesemuanya selalu diakhiri dengan tangisan. Tangisan yang juga kerap membuat aku turut terharu. Dan berpikir: ”Apakah benar aku akan mati? Dan apakah semua orang yang datang ini cuma ingin mengantar diriku mati?” Aku tak bisa menjawabnya. Aku cuma merasa jika memang mati ya matilah! Mati ya matilah! Tapi, ahai, ternyata, seperti yang terjadi aku tidak mati. Dan meski 3 bulan telah lewat. Diganti 5, 6, sampai 7 bulan. Terus setahun. Dan sekian puluh tahun (meski kerap kumat dan drop), aku tetap tak mati-mati. Tetap hidup. Bahkan, malah-malah sempat datang ke perayaan pernikahan Ninuk dengan lelaki yang punya usaha penggilingan daging. Dan itu terjadi setahun setelah Ninuk memutuskan untuk pergi dari sisiku. Juga aku pun sempat melihat bagaimana kotaku dibangun. Lalu terterjang macet. Dibangun lagi. Terterjang lagi. Dibangun lagi. Lagi. Lagi. Dan lagi. Seperti tak ada hentinya. Tak ada lelahnya. Seperti sebuah persilangan yang tak tahu mana ujungnya. Yang hasilnya tetap saja ruwet. Dan macet melulu. Macet yang makin lama makin mengancam. Macet yang seperti hidup. Bisa berpikir. Dan bisa menentukan sikap. Jika dibuka yang sebelah sini, akan memacetkan sebelah sana. Dan jika sebelah sana yang dibuka, wah, wah, akan ngeloyor ke sebelah yang lain lagi. Yang lain lagi. Dan yang lain lagi. Dan itu membuat siapa saja saling tuding. Saling melemparkan kesalahan. Juga tanggung jawab yang tak diketahui bagaimana mesti menjawabnya. Cuma ada gontok-gontokan. Yang disertai dengan sekian ribu alasan. Dan juga sekian ribu teori. Teori yang sepertinya tulus dan ikhlas. Tapi nyatanya malah seperti permainan cilukba. Dan yang lebih tak masuk akal, tepat 3 bulan dari vonis hidupku itu, ternyata si dokterlah yang justru mati duluan. Kabarnya, dia terjungkal di kamar mandi. Gegar otak dan tak tertolong. Dan setelah itu giliran tetangga dan keluarga jauhku (yang pernah menjengukku) yang bersusulan mati. Emak Icih yang menyusul pertama. Emak Icih mati karena kaget ketika ada suporter di kotaku ngamuk. Ngamuk gara-gara tim sepak bola kesayangan mereka kalah telak. Seluruh pot di jalanan diguling. Warung-warung disatroni. Bahkan beberapa lampu-lampu jalan yang ada dipecahi. Dan kota pun seperti dalam siaga berat. Lalu Kang Pardi mati karena jatuh dari atap sewaktu hujan deras. Bayu tertabrak sepeda motor. Wely terpeleset di trotoar sekolahannya. Terus Joko, Mbak Sol, dan Takin yang mati tanpa sakit. Dan yang lebih menggegerkan adalah matinya Mas Karyo. Mas Karyo mati karena tabung gas di warung kopinya meledak. Banyak yang menjadi korban. Termasuk juga Suaib dan Wak Ipin yang sedang asyik main catur di warung itu. Yang setelah kejadian itu, sebagian tangan dan dada mereka berdua terbakar berat. Terbakar dengan kulit gosong. Mengeriput dan kasar. Kasar dengan bentuk-bentuk yang begitu menggiriskan. Seperti bentuk-bentuk yang kerap aku temui saat penyakitku sedang kumat atau drop. Ada yang lonjong. Ada yang bundar. Ada yang segi tak beraturan. Juga lurus lancip menukik. Ya, ya, satu per satu hampir semuanya bersusulan mati. Juga ayah dan ibuku pun mati. Dan keduanya mati hampir berbarengan. Dan itu persis ketika aku berumur 40 tahun. Tepat ketika adikku perempuan telah menikah hampir 7 tahun dengan seorang pemilik peternakan marmut. Seorang yang biasa aku panggil dengan nama: Adik War. Dan ketika ayah dan ibuku ini mati, aku benar-benar merasa kehilangan. Dunia yang aku pijak pun seakan longsor. Dan itu cukup lama aku tanggung. Aku tanggung! IV ”Pak De, mau ke mana?” ”Ikut?” ”Tidak. Kata ibu jangan terlalu lama. Juga jangan lupa minum obat.” Nah, itulah percakapanku dengan Sasi, putri tunggal adik perempuanku, di suatu pagi. Memang, sejak ayah dan ibuku itu mati, aku tinggal bersama keluarga adikku. Dan semua keperluanku ditanggung oleh mereka. Keperluan seseorang yang telah berumur hampir 70 tahun dan tidak menikah ini. Seseorang yang pernah divonis cuma bisa hidup 3 bulan di umur ke-27 tahunnya. Dan seseorang yang ternyata tetap tak mati-mati. Dan tetap saja bisa mandi, makan, jalan kaki, nonton TV dan sesekali membaca ini-itu yang mungkin remeh-temeh. Dan setiap orang yang melihatku kini, setiap orang, dari anak-anak para tetangga dan kerabat jauhku yang lebih dulu mati dibandingkan aku itu, selalu memanggilku: ”salah satu pak tua yang tersisa”, Pak tua yang punya nyawa rangkap. Pak tua yang punya tenggorokan buntu (sehingga nyawanya tak bisa keluar atau dikeluarkan). Pak tua yang setiap pagi berkeliling kampung. Pak tua yang baru semingguan ini mendapat kabar. Jika Ninuk, bekas pacarnya dulu, juga telah mati. Tanpa sebab-sebab yang jelas. Akh! ”Baiklah. Paling sebelum jam 9, Pak De sudah pulang….” V Nah, itulah cerita yang aku tulis. Cerita (seperti yang aku katakan), berhubungan dengan kepercayaanku. Jika antara sakit dan mati tak ada hubungannya. Melainkan berdiri sendiri-sendiri. Dan punya urusan sendiri-sendiri. Mati ya urusan mati sendiri. Sakit (separah apa pun) juga begitu. Dan setelah kepercayaanku ini terbukti, apakah lantas aku senang? Ternyata tidak. Malahan, aku merasa waswas. Sebab, bagaimana tidak waswas. Jika ternyata nanti aku benar-benar akan jadi lebih kuat dari mati. Dan umurku makin lebih panjang. Mungkin menginjak 80, 90, atau 100 tahun lebih. Tentu aku akan lebih banyak menyaksikan: ”Bagaimana orang-orang yang aku kenal, baik yang lama ataupun yang baru, selalu mati satu demi satu. Dan bagaimana pula kotaku, yang jatuh bangun melawan macet, selalu kalah. Dan kalah!” Hmmm, siapa yang lebih kuat dari mati…. (Gresik, 2010)
""Lebih Kuat dari Mati""
Ada banyak Banun di perkampungan lereng bukit yang sejak dulu tanahnya subur hingga tersohor sebagai daerah penghasil padi kwalitet nomor satu itu. Pertama, Banun dukun patah-tulang yang dangau usangnya kerap didatangi laki-laki pekerja keras bila pinggang atau pangkal lengannya terkilir akibat terlampau bergairah mengayun cangkul. Disebut-sebut, kemampuan turun-temurun Banun ini tak hanya ampuh mengobati patah-tulang orang-orang tani, tapi juga bisa mempertautkan kembali lutut kuda yang retak, akibat bendi yang dihelanya terguling lantaran sarat muatan. Kedua, Banun dukun beranak yang kehandalannya lebih dipercayai ketimbang bidan desa yang belum apa-apa sudah angkat tangan, lalu menyarankan pasien buntingnya bersalin di rumah sakit kabupaten. Sedemikian mumpuninya kemampuan Banun kedua ini, bidan desa merasa lebih banyak menimba pengalaman dari dukun itu ketimbang dari buku-buku semasa di akademi. Ketiga, Banun tukang lemang yang hanya akan tampak sibuk pada hari Selasa dan Sabtu, hari berburu yang nyaris tak sekali pun dilewatkan oleh para penggila buru babi dari berbagai pelosok. Di hutan mana para pemburu melepas anjing, di sana pasti tegak lapak lemang-tapai milik Banun. Berburu seolah tidak afdol tanpa lemang-tapai bikinan Banun, yang hingga kini belum terungkap rahasianya. Tapi, hanya ada satu Banun Kikir yang karena riwayat kekikirannya begitu menakjubkan, tanpa mengurangi rasa hormat pada Banun-banun yang lain, sepatutnyalah ia menjadi lakon dalam cerita ini. *** Di sepanjang usianya, Banun Kikir tak pernah membeli minyak tanah untuk mengasapi dapur keluarganya. Perempuan itu menanak nasi dengan cara menyorongkan seikat daun kelapa kering ke dalam tungku, dan setelah api menyala, lekas disorongkannya pula beberapa keping kayu bakar yang selalu tersedia di bawah lumbungnya. Saban petang, selepas bergelimang lumpur sawah, daun-daun kelapa kering itu dipikulnya dari kebun yang sejak lama telah digarapnya. Mungkin sudah tak terhitung berapa jumlah simpanan Banun selama ia menahan diri untuk tidak membeli minyak tanah guna menyalakan tungku. Sebab, daun-daun kelapa kering di kebunnya tiada bakal pernah berhenti berjatuhan. ”Hasil sawah yang tak seberapa itu hendak dibawa mati, Mak?” tanya Rimah suatu ketika. Kuping anak gadis Banun itu panas karena gunjing perihal Banun Kikir tiada kunjung reda. ”Mak tak hanya kikir pada orang lain, tapi juga kikir pada perut sendiri,” gerutu Nami, anak kedua Banun. ”Tak usah hiraukan gunjingan orang! Kalau benar apa yang mereka tuduhkan, kalian tak bakal mengenyam bangku sekolah, dan seumur-umur akan jadi orang tani,” bentak Banun. ”Sebagai anak yang lahir dari rahim orang tani, semestinya kalian paham bagaimana tabiat petani sejati.” Sejak itulah Banun menyingkapkan rahasia hidupnya pada anak-anaknya, termasuk pada Rimah, anak bungsunya itu. Ia menjelaskan kata ”tani” sebagai penyempitan dari ”tahani”, yang bila diterjemahkan ke dalam bahasa orang kini berarti: ”menahan diri”. Menahan diri untuk tidak membeli segala sesuatu yang dapat diperoleh dengan cara bercocok tanam. Sebutlah misalnya, sayur-mayur, cabai, bawang, seledri, kunyit, lengkuas, jahe. Di sepanjang riwayatnya dalam menyelenggarakan hidup, orang tani hanya akan membeli garam. Minyak goreng sekalipun, sedapat-dapatnya dibikin sendiri. Begitu ajaran mendiang suami Banun, yang meninggalkan perempuan itu ketika anak-anaknya belum bisa mengelap ingus sendiri. Semakin banyak yang dapat ”ditahani” Banun, semakin kokoh ia berdiri sebagai orang tani. Maka, selepas kesibukannya menanam, menyiangi, dan menuai padi di sawah milik sendiri, dengan segenap tenaga yang tersisa, Banun menghijaukan pekarangan dengan bermacam-ragam sayuran, cabai, seledri, bawang, lengkuas, jahe, kunyit, gardamunggu, jeruk nipis, hingga semua kebutuhannya untuk memasak tersedia hanya beberapa jengkal dari sudut dapurnya. Bila semua kebutuhan memasak harus dibeli Banun dengan penghasilannya sebagai petani padi, tentu akan jauh dari memadai. Bagi Banun, segala sesuatu yang dapat tumbuh di atas tanahnya, lagi pula apa yang tak bisa tumbuh di tanah kampung itu akan ditanamnya, agar ia selalu terhindar dari keharusan membeli. Dengan begitu, penghasilan dari panen padi, kelak bakal terkumpul, guna membeli lahan sawah yang lebih luas lagi. Dan, setelah bertahun-tahun menjadi orang tani, tengoklah keluarga Banun kini. Hampir separuh dari lahan sawah yang terbentang di wilayah kampung tempat ia lahir dan dibesarkan, telah jatuh ke tangannya. Orang-orang menyebutnya tuan tanah, yang seolah tidak pernah kehabisan uang guna meladeni mereka yang terdesak keperluan biaya sekolah anak-anak. Tak jarang pula untuk biaya keberangkatan anak-anak gadis mereka ke luar negeri, untuk menjadi TKW, lalu menggadai, bahkan menjual lahan sawah. Empat orang anak Banun telah disarjanakan dengan kucuran peluhnya selama menjadi orang tani. *** Sesungguhnya Banun tidak lupa pada orang yang pertama kali menjulukinya Banun Kikir hingga nama buruk itu melekat sampai umurnya hampir berkepala tujuh. Orang itu tidak lain adalah Palar, laki-laki ahli waris tunggal kekayaan ibu-bapaknya. Namun, karena tak terbiasa berkubang lumpur sawah, Palar tak pernah sanggup menjalankan lelaku orang tani. Untuk sekebat sayur Kangkung pun, Zubaidah (istri Palar), harus berbelanja ke pasar. Pekarangan rumahnya gersang. Kolamnya kering. Bahkan sebatang pohon Singkong pun menjadi tumbuhan langka. Selama masih tersedia di pasar, kenapa harus ditanam? Begitu kira-kira prinsip hidup Palar. Baginya, bercocok tanam aneka tumbuhan untuk kebutuhan makan sehari-hari, hanya akan membuat pekerjaan di sawah jadi terbengkalai. Lagi pula, bukankah ada tauke yang selalu berkenan memberi pinjaman, selama orang tani masih mau menyemai benih? Namun, tauke-tauke yang selalu bermurah-hati itu, bahkan sebelum sawah digarap, akan mematok harga jual padi seenak perutnya, dan para petani tidak berkutik dibuatnya. Perangai lintah darat itu sudah merajalela, bahkan sejak Banun belum mahir menyemai benih. Palar salah satu korbannya. Dua pertiga lahan sawah yang diwarisinya telah berpindah tangan pada seorang tauke, lantaran dari musim ke musim hasil panennya merosot. Palar juga terpaksa melego beberapa petak sawah guna membiayai kuliah Rustam, anak laki-laki satu-satunya, yang kelak bakal menyandang gelar insinyur pertanian. Dalam belitan hutang yang entah kapan bakal terlunasi, Palar mendatangi rumah Banun, hendak meminang Rimah untuk Rustam. ”Karena kita sama-sama orang tani, bagaimana kalau Rimah kita nikahkan dengan Rustam?” bujuk Palar masa itu. ”Pinanganmu terlambat. Rimah sudah punya calon suami,” balas Banun dengan sorot mata sinis. ”Keluargamu beruntung bila menerima Rustam. Ia akan menjadi satu-satunya insinyur pertanian di kampung ini, dan hendak menerapkan cara bertani zaman kini, hingga orang-orang tani tidak lagi terpuruk dalam kesusahan,” ungkap Palar sebelum meninggalkan rumah Banun. ”Maafkan saya, Palar.” Rupanya penolakan Banun telah menyinggung perasaan Palar. Lelaki itu merasa terhina. Mentang-mentang sudah kaya, Banun mentah-mentah menolak pinangannya. Dan, yang lebih menyakitkan, ini bukan penolakan yang pertama. Tiga bulan setelah suami Banun meninggal, Palar menyampaikan niatnya hendak mempersunting janda kembang itu. Tapi, Banun bertekad akan membesarkan anak-anaknya tanpa suami baru. Itu sebabnya Palar menggunakan segala siasat dan muslihat agar Banun termaklumatkan sebagai perempuan paling kikir di kampung itu. Palar hendak membuat Banun menanggung malu, bila perlu sampai ajal datang menjemputnya. *** Meski kini sudah zaman gas elpiji, Banun masih mengasapi dapur dengan daun kelapa kering dan kayu bakar, hingga ia masih menyandang julukan si Banun Kikir. ”Nasi tak terasa sebagai nasi bila dimasak dengan elpiji,” kilah Banun saat menolak tawaran Rimah yang hendak membelikannya kompor gas. Rimah sudah hidup berkecukupan bersama suaminya yang bekerja sebagai guru di ibu kota kabupaten. Begitu pula dengan Nami dan dua anak Banun yang lain. Sejak menikah, mereka tinggal di rumah masing-masing. Setiap Jumat, Banun datang berkunjung, menjenguk cucu, secara bergiliran. ”Kalau Mak menerima pinangan Rustam, tentu julukan buruk itu tak pernah ada,” sesal Rimah suatu hari. ”Masa itu kenapa Mak mengatakan bahwa aku sudah punya calon suami, padahal belum, bukan?” ”Bukankah calon menantu Mak calon insinyur?” ”Tak usah kau ungkit-ungkit lagi cerita lama. Mungkin Rustam bukan jodohmu!” sela Banun. ”Tapi seandainya kami berjodoh, Mak tak akan dinamai Banun Kikir!” Sesaat Banun diam. Tanya-tanya nyinyir Rimah mengingatkan ia pada Palar yang begitu bangga punya anak bertitel insinyur pertanian, yang katanya dapat melipatgandakan hasil panen dengan mengajarkan teori-teori pertanian. Tapi, bagaimana mungkin Rustam akan memberi contoh cara bertani modern, sementara sawahnya sudah ludes terjual? Kalau memang benar Palar orang tani yang sesungguhnya, ia tidak akan gampang menjual lahan sawah, meski untuk mencetak insinyur pertanian yang dibanggakannya itu. Apalah guna insinyur pertanian bila tidak mengamalkan laku orang tani? Banun menolak pinangan itu bukan karena Palar sedang terbelit hutang, tidak pula karena ia sudah jadi tuan tanah, tapi karena perangai buruk Palar yang dianggapnya sebagai penghinaan pada jalan hidup orang tani. Tanah Baru, 2010
""Banun""
“Kamar 462. Doakan aku selamat, ya…,” bisikku lirih. Salah satu dari bodyguard itu menatapku. Sorot matanya sulit kumengerti. Aku tak tahu apa yang ada di dalam hatinya, tetapi di balik wajah garangnya, kulihat kedamaian. ”Hati-hati,” katanya singkat saat melepasku. Pistol tersembunyi di balik celananya yang tertutup kantong besar. Aku tersenyum padanya sebelum berlalu. Rahadian. Di lift, kulihat bayang diriku. Tubuhku tirus terbalut rok mini dan atasan hitam menerawang. Tubuh yang jiwanya seperti keluar dari jiwaku. Entah jiwa milik siapa, sulit kukenali lagi. Hari ini di kamar 462, aku akan menari, membawakan tarian yang berjudul tarian pengorbanan. *** Di Indramayu, setelah ibu sakit keras yang mengakibatkan tubuhnya mengeluarkan bau-bauan tak sedap, aku sering mencari tikus untuk ditukar sejumlah uang. Aku sudah berusaha melamar untuk bekerja ke sana-ke mari, namun begitu sulitnya dengan ijazah SMA yang kumiliki. Karena banyak sekali tikus liar, maka pemda setempat memberikan sejumlah uang untuk setiap tikus yang terbunuh. Aku bisa mengumpulkan uang untuk pengobatan ibu. Teman sebayaku banyak yang menjajakan tubuh ke para lelaki hidung belang. Mereka bergerombol berdiri di pinggiran jalan setiap malam tiba. Dalam sekejap mereka mendapatkan uang cukup banyak. Aku tak tertarik. Aku memilih berburu tikus, lebih halal daripada menjajakan tubuh. ”Apa pun yang terjadi, berjanjilah pada Ibu untuk tidak terseret ke lembah hitam. Lebih baik miskin terhormat daripada kaya raya tetapi harus menjual diri.” ”Aku berjanji, Bu.” Kini, aku terpaksa harus mengingkari janjiku. Walau seluruh manusia di muka bumi ini mengutuk pun aku rela. Angina Pectoris yang di derita ibu, di tambah Herpes Simplex Virus yang menyebabkan bisul bau dan bernanah di sekujur wajah ibu, membutuhkan biaya besar untuk mengobatinya. Aku ingin ibu sembuh. *** Lelaki yang akan meniduriku kali ini adalah seorang bos dari Jepang. Perawakannya pendek dengan perut tambun. Dia menyuruhku mandi. Setelah mandi, aku mulai menari. Menarikan tarian yang sengaja kuciptakan untuk membuatnya ketagihan. Tarian yang melibatkan seluruh panca indraku bekerja. Tarian penuh gelora. Terkadang, tangan kasarnya memperlakukanku tidak senonoh. Mencakar kulitku hingga terasa pedih, namun semakin pedih, bayang wajah ibu semakin tergambar jelas. Semakin pedih terasa, kecintaanku pada ibu semakin kuat. *** Bapak kandungku adalah seorang bupati. Dia yang seharusnya bertanggung jawab, malah lari bersama wanita simpanannya, membawa semua harta yang kami miliki. Dia hanya menyisakan rumah saja, yang telah lama kami jual. Kini kami menempati rumah kontrakan yang kecil dan kumuh. Bapak menceraikan ibu di saat ibu butuh dukungan atas sakit yang dideritanya. Bapak memanipulasi harta gono gini bersama pengacara sahabatnya. Permainan kotor yang menyakitkan hatiku. Luka yang diderita ibu begitu sempurna. Jiwa dan raga. Aku marah pada Mbak Ning yang menghalangiku menusuk bapak dengan pisau. ”Biarkan bapak gila, kita tak usah terbawa gila.” kata Mbak Ning. Aku menangis di pelukannya. *** Dari hasil melacur, rupiah demi rupiah kubayarkan ke rumah sakit. Dengan perasaan bahagia membayangkan ibu akan segera sembuh, kutengok tidurnya yang pulas. Wajah ibu mulai cerah. Bisul dan nanah di sekujur tubuhnya sedikit berkurang. Mbak Ning tengah bersenandung ketika aku datang. Dia begitu telaten merawat ibu. Namun begitu melihatku, raut wajahnya berubah. ”Jangan dekati ibu!” bisiknya ketus. Hatiku tergetar. Tak biasanya Mbak Ning bersikap demikian kasar padaku. Tak ingin ibu paham apa yang terjadi, aku keluar diikuti Mbak Ning. Di kursi ruang tunggu, kami duduk berhadapan. ”Jika kau masih mau kuanggap sebagai adikku, berhentilah melacur!” katanya tegas. Aku menciut. Tak mengira Mbak Ning akan tahu. Kepadanya, aku berbohong mengatakan aku kerja di bank. ”Tuhan akan membuka jalan dari setiap kesukaran. Tak perlu melacur pun, Mbak yakin ibu bisa sembuh!” katanya. ”Mbak akan meminta keringanan rumah sakit dan mencoba menghubungi mantan relasi bapak. Mbak yakin rekanan bapak yang dahulu sering minta tolong mau membantu.” Aku tersenyum sinis. Aku telah lakukan itu. Tak seorang pun dari rekanan-rekanan bapak yang mau membantu. Bahkan mereka melecehkan dan menghinaku. ”Percuma Mbak. Aku sudah mencoba, tapi mereka balik menghinaku.” Mbak Ning menggeleng. ”Tetap akan kucoba. Tolong jaga ibu dan berjanjilah padaku untuk berhenti melacur!” Aku mengangguk. Mbak Ning menghampiriku lalu memelukku. Dengan ketegaran luar biasa, Mbak Ning meninggalkanku. Dalam hati aku berjanji untuk berhenti melacur. *** Dua hari sudah, Mbak Ning menghilang. Dua hari itu pula, aku tak beranjak dari rumah sakit menemani ibu. Suster mulai bicara tentang rupiah yang harus kubayar untuk menebus obat ibu. Aku berusaha mengalihkan pembicaraan untuk mengulur waktu. Malamnya, saat ibu tertidur pulas dan aku tengah duduk di luar menatap bulan, seseorang menghampiriku. Dari kelibas bayangnya, cara dia melangkah sampai detail gerak-geriknya, aku hafal. ”Apa kabar?” sapanya kaku. Walau lama berteman, kami jarang bicara. ”Baik.” Jawabku. ”Kapan kamu akan kembali?” ”Aku tak akan kembali.” ”Mengapa?” Jawabnya dingin. ”Dilarang mbakku. Dia tak setuju aku melacur.” Lalu sunyi. Dia menatap langit. Tubuhnya yang tinggi menjulang menciptakan bayangan raksasa. Sampai pagi, dia tetap berdiri mematung. Menungguiku yang duduk bertopang dagu di bangku. Pagi hari, saat suster datang dan mulai bicara masalah keuangan, kudengar kabar itu. Paimin, tetanggaku yang berjualan bakso di samping rumah, menyeruak masuk dengan napas tersengal. ”Mbakmu di PGD, cah ayu. PGD sini.” ”Eh, kenapa? Ada apa dengan mbakku?” Paimin berlari, aku mengikuti. Di PGD kulihat Mbak Ning. Ususnya terburai keluar. Seprai rumah sakit yang berwarna putih berubah merah pekat. Aku menggigil. Tanganku gemetar sulit digerakkan. ”Dia menjual organ tubuhnya secara ilegal. Saat kutemukan, kondisinya sudah parah. Tak tertolong lagi.” ”Tak tertolong? Tidak!!!” Bagaimana bisa mbakku yang sangat tegar dan tenang bisa pergi dengan cara begitu? ”Dia menitipkan ini padamu. Kutemukan di samping jasadnya.” Paimin menyerahkan sebuah amplop coklat berisi segepok uang seratus ribuan, dengan sepucuk surat. Sulit sekali membuka surat dengan tangan gemetar. ”Adikku sayang, kujual organ tubuhku demi ibu. Semoga uang ini cukup sampai ibu sembuh. Pesan terakhirku, apa pun terjadi, janganlah melacur, bekerjalah yang halal, walau untuk itu kau harus kehilangan nyawamu.” Mbakmu, Ning. Dunia terasa gelap. Tubuhku lunglai. Tulang kakiku tak sanggup lagi menopang tubuhku. Aku terjatuh di pelukan Rahadian…. *** Mbak Ning kini hanya tinggal nama. Namun keharumannya terpatri di hatiku. Aku bersumpah tak akan melacur lagi. Walau Mbak Ning sudah pergi, aku akan tepati janjiku. Setelah pemakaman Mbak Ning, kondisi ibu turun drastis. Ibu tak mau makan. Dalam tidurnya dia selalu menyebut nama Mbak Ning. Tak pernah sedetik pun kutinggalkan ibuku. Aku menjaganya siang malam. Rahadian, entah kenapa, jadi sering menemaniku di rumah sakit. Dia terkadang membantu mencucikan baju kotorku dan baju milik ibu. Suatu malam, ibu memanggilku. Aku duduk di samping tempat tidurnya. ”Nak, kembalilah bekerja. Biarlah Ibu dijaga suster. Ibu tak mau melihatmu pucat pasi begini. Ayolah, kau lanjutkan hidupmu.” ”Tidak, Bu. Aku akan tetap di sini menemani Ibu sampai sembuh.” ”Jangan hancurkan masa depanmu, Nak. Bagaimana kalau kau dipecat dari kantor gara-gara sering alpa? Tinggalkanlah Ibu, kau butuh istirahat juga.” Aku mengangguk. Ibu begitu baik. Dengan berat, kuturuti permintaan ibu. Hari itu, untuk pertama kali setelah sekian lama, kujenguk rumahku. Aneh rasanya tidur tanpa Mbak Ning dan ibu. Paginya, aku bergegas ke rumah sakit. Aku ingin memastikan ibu baik-baik saja. Sejak semalam perasaanku tak enak. Selalu kepikiran ibu. Ketika sampai di kamar ibu, kulihat ada police line. Begitu banyak orang berkumpul. Bergegas kudekati kerumunan itu. Ternyata firasatku menjadi kenyataan. Ibu yang kukasihi bunuh diri dengan selendang biru. Selendang laknat itu diikat ibu ke besi di atas tempat tidurnya. Mata ibu melotot dengan lidah terjulur kaku. Dengan perasaan hancur, kuusap air yang menganak sungai di mataku. Hatiku sakit sesakit neraka. Kuambil selendang biru yang dipegang polisi itu. Kucaci maki suster, dokter, dan semua satpam rumah sakit yang tak bisa menjaga ibuku dengan baik. Kupukul dan kutendangi tembok rumah sakit dan semua orang yang berkerumun di sana. Berharap mereka bisa merasakan sakit yang kurasa. Duniaku gelap dan suram. Air mataku kering sudah. Aku benar-benar ingin menyusul mereka ke surga. *** Berbulan-bulan sesudah kematian ibu, di rumah hanya ada aku. Kadang aku tertawa sendiri. Menertawakan nasibku yang edan. Kuingat lagi kenangan hidupku bersama ibu dan Mbak Ning. Dulu kami sangat bahagia. Kurunut lagi di mana letak kesalahan itu. Bapak. Ambisinya akan kehormatan, uang, dan wanitalah penyebab semua ini. Aku mengutuk bapak. Gara-gara bapak aku terjerumus ke lembah hitam. Andai sekarang bapak datang padaku, memohon ampun sekalipun, aku tak sudi memaafkannya. Harga kehilanganku pada ibu dan Mbak Ning terlalu mahal untuk ditukar kata maaf. Tadinya, aku berniat mengikat leherku dengan selendang atau kawat berduri. Atau aku ingin dilindas traktor berisi beban jutaan kilo. Namun setiap kali datang keinginan itu, suara Tuhan melintas. Aku adalah pelacur. Namun di saat-saat kritis itu, toh aku masih mengingat nama-Nya. Dalam sedih, aku berdialog dengannya. Kadang, aku menangis menceritakan nasibku pada-Nya. Aku memang pelacur tak tahu malu, karena masih mengingat Tuhanku. Dalam saat terberatku, Rahadian rajin merawatku. Dia menjadi dekat denganku. Hampir setiap hari, dia jambangi rumahku. Mengajakku ngobrol, menyiapkan makanan untukku, menyiapkan air panas untuk mandiku. Sampai akhirnya, kuserahkan diriku bulat-bulat padanya dengan kerelaan. Berbeda dengan saat aku menjadi pelacur. Kepadanya, kuberikan kehangatan dan cinta, sesuatu yang sebelumnya belum pernah kuberikan pada lelaki mana pun di dunia ini. Karena aku sudah sebatang kara, saat dia melamar, kuterima pinangannya. Kami pun menikah secara sederhana. *** Setahun setelah pernikahan itu, anakku lahir. Kami menyambutnya dengan sukacita. Ibu Rahadian dari Kalimantan datang. Melihat cucu pertamanya, kebahagiaan terpancar jelas dari sinar matanya. Bayiku yang lucu digendongnya. Lalu dari tas yang dibawanya dari Kalimantan, dia mengeluarkan selendang biru. Coraknya sama dengan corak selendang biru yang dipakai ibu gantung diri! Sama persis!
""Laila: Tarian Pengorbanan""
Dulu, ketika dia masih mengenakan seragam putih abu-abu. Saat senyumnya masih seranum mangga muda. Dengan rambut tergerai hingga di atas buah dada. Saat itu ia yakin: ia tak mungkin bisa bahagia tanpa dia. ”Aku akan selalu mencintaimu, kekasihku….” Kata-kata itu kini terasa lebih sendu dari lagu yang dilantunkan penyanyi itu. I just called to say I love you…. Tapi mengapa bukan sendu lagu itu yang ia katakan dulu? Ketika segala kemungkinan masih berpintu? Mestinya saat itu ia tak membiarkan dia pergi. Tak membiarkan dia bergegas meninggalkan kafe ini dengan kejengkelan yang akhirnya tak pernah membuatnya kembali. Waktu bisa mengubah dunia, tetapi waktu tak bisa mengubah perasaannya. Kenangannya. Itulah yang membuatnya selalu kembali ke kafe ini. Kafe yang seungguhnya telah banyak berubah. Meja dan kursinya tak lagi sama. Tetapi, segalanya masih terasa sama dalam kenangannya. Ya, selalu ke kafe ini ia kembali. Untuk gelas bir ketiga yang bisa menjadi keempat dan kelima. Seperti malam-malam kemarin, barangkali gelas bir ini pun hanya akan menjadi gelas bir yang sia-sia jika yang ditunggu tidak juga tiba. ”Besok kita ketemu, di kafe kita dulu….” Ia tak percaya bahwa dia akhirnya meneleponnya. ”Kok diam….” ”Hmmm.” ”Bisa kita ketemu?” ”Ya.” ”Tunggu aku,” dia terdengar berharap. ”Meski aku tak yakin bisa menemuimu.” Tiba-tiba saja ia berharap kali ini takdir sedikit berbaik hati padanya: semoga saja suaminya mendadak kena ayan atau terserang amnesia, hingga perempuan yang masih dicintainya itu tak merasa cemas menemuinya. Menemui? Apakah arti kata ini? Yang sangat sederhana, menemui adalah berjumpa. Tapi untuk apa? Hanya untuk sebuah kenangan, atau adakah yang masih berharga dari ciuman-ciuman masa lalu itu? Masa yang harusnya mereka jangkau dulu. Dulu, ketika ia masih mengenakan seragam putih abu-abu. Saat senyumnya masih seranum mangga muda. Dengan rambut tergerai hingga di atas dada. Ketika ia yakin, ia tak mungkin bahagia tanpa dirinya. Ah, ia jadi teringat pada percakapan-percakapan itu. Percakapan di antara ciuman-ciuman yang terasa gemetar dan malu-malu. ”Aku selalu membayangkan, bila nanti kita mati, kita akan menjelma sepasang kunang-kunang.” Dia tersenyum, kemudian mencium pelan. ”Tapi aku tak mau mati dulu.” ”Kalau begitu, biar aku yang mati dulu. Dan aku akan menjadi kunang-kunang, yang setiap malam mendatangi kamarmu….” ”Hahaha,” dia tertawa renyah. ”Lalu apa yang akan kamu lakukan bila telah menjadi kunang-kunang?” ”Aku akan hinggap di dadamu.” Dada yang membusung. Dada yang kini pasti makin membusung karena sudah dua anak menyusuinya. Pun dada yang masih ia rindu. Dada yang sarat kenangan. Dada yang akan terlihat mengilap ketika seekor kunang-kunang hinggap di atasnya. ”Kunang-kunang…mau ke mana? Ke tempatku, hinggap dahulu….” Ia bersenandung sambil membuka satu per satu kancing seragam. Dia yang hanya memejam. Ia seperti melihat seekor kunang-kunang yang perlahan keluar dari kelopak matanya yang terpejam. Seperti ada kunang-kunang di keningnya. Di pipinya. Di hidungnya. Di bibirnya. Di mana-mana. Kamar penuh kunang- kunang beterbangan. Tapi tak ada satu pun kunang-kunang hinggap di dadanya pualam. Dada itu seperti menunggu kunang-kunang jantan. Ia selalu membayangkan itu. Sampai kini pun masih terus membayangkannya. Itulah yang membuatnya masih betah menunggu meski gelas bir ketiga sudah tandas. Selalu terasa menyenangkan membayangkan dia tiba-tiba muncul di pintu kafe, membuat ia selalu betah menunggu meski penyanyi itu telah terdengar membosankan menyanyikan lagu-lagu yang ia pesan. Ia hendak melambai pada pelayan kafe, ingin kembali memesan segelas bir, ketika dilihatnya seekor kunang-kunang terbang melayang memasuki kafe. Kemudian kunang-kunang itu beterbangan di sekitar panggung. Di sekitar kafe yang ingar bingar namun terasa murung. Murung menapak geliat lidah pada tiap jeda tubuhnya. Murung mengharap tiap geliat di liat tubuhnya mengada. Lagi. Di sini. Menjadi nanti. Adakah kunang-kunang itu pertanda? Adakah kunang-kunang itu hanya belaka imajinasinya? Penyanyi terus menyanyi dengan suara yang bagai muncul dari kehampaan. Dan kafe yang ingar ini makin terasa murung. Tiba-tiba ia menyaksikan ribuan kunang-kunang muncul dari balik keremangan, beterbangan memenuhi panggung. Hingga panggung menjadi gemerlapan oleh pendar cahaya kunang-kunang yang berkilau kekuningan. Gelas birnya sudah tidak berbusa. Hanya kuning yang diam. Tidak seperti kunang-kunang beterbangan gemerlapan berpendar kekuningan. Kuning di gelas birnya mati. Sementara kuning di luar birnya gemerlapan. Hidup. Ia jadi teringat pada percakapan mereka dulu. Dua hari sebelum dia memilih hidupnya sendiri. Percakapan tentang bir dan kunang-kunang. ”Aku menyukai bir, seperti aku menyukai kunang-kunang,” ia berkata, setelah ciuman yang panjang. ”Warna bir selalu mengingatkanku pada cahaya kunang-kunang. Dan kunang-kunang selalu mengingatkanku kepadamu.” ”Kenapa?” ”Karena di dalam matamu seperti hidup ribuan kuang-kunang. Aku selalu membayangkan ribuan kunang-kunang itu berhamburan keluar dari matamu setiap kau merindukanku.” ”Tapi aku tak pernah merindukanmu.” Dia tersenyum. ”Bohong….” ”Aku tak pernah membohongimu. Kamu yang selalu membohongiku.” Ia memandang nanar. Seolah tidak yakin apa yang ia dengar salah atau benar. Bohong baginya adalah dusta yang direncanakan. Sementara apa yang ia lakukan dulu adalah pilihan. Dan pilihan hanyalah satu logika yang terpaksa harus diseragamkan. Oleh banyak orang. Olehnya…. ”Tidak. Aku tidak bohong.” ”Semakin kau bilang kalau kau tidak bohong, semakin aku tahu kalau kamu berbohong.” Ia tak menjawab. Tapi bergegas menciumnya. Rakus dan gugup. Begitulah selalu, bila ia merasa bersalah karena telah membohonginya. Seolah ciuman bisa menyembunyikan kebohongannya. Tapi ia tak bohong kalau ia bilang mencintainya. Ia hanya selalu merasa gugup setiap kali nada suaranya terdengar mulai mendesaknya. Karena ia tahu, pada akhirnya, setelah percakapan dan ciuman, dia pasti akan bertanya: ”Apakah kau akan menikahiku?” Ia menyukai ciuman. Tapi, sungguh, ia tak pernah yakin apakah ia menyukai pernikahan. Kemudian ia berteka-teki: ”Apa persamaan bir dengan kunang-kunang?” Dia menggeleng. Keduanya akan selalu mengingatkanku padamu. Bila kau mati dan menjelma jadi kunang-kunang, aku akan menyimpanmu dalam botol bir. Kau akan terlihat kuning kehijauan. Tapi kita tak akan pernah tahu bukan, siapa di antara kita yang akan menjadi kunang-kunang lebih dulu? Kita tak akan pernah bisa menduga takdir. Kita bisa meminta segelas bir, tetapi kita tak pernah bisa meminta takdir. Seperti ia tak pernah meminta perpisahan yang getir. ”Aku mencintaimu, tapi rasanya aku tak mungkin bahagia bila menikah denganmu….” Hidup pada akhirnya memang pilihan masing-masing. Kesunyian masing-masing. Sama seperti kematian. Semua akan mati karena itulah hukuman yang sejak lahir sudah manusia emban. Tapi manusia tetap bisa memilih cara untuk mati. Dengan cara wajar ataupun bunuh diri. Dengan usia atau cinta. Dengan kalah atau menang? Pada saat ia tahu, bahwa pada akhirnya perempuan yang paling ia cintai itu benar-benar menikah—bukan dengan dirinya—pada saat itulah ia menyadari ia tak menang, dan perlahan-lahan berubah menjadi kunang-kunang. Kunang-kunang yang mengembara dari kesepian ke kesepian. Kunang-kunang yang setiap malam berkitaran di kaca jendela kamar tidurnya. Pada saat itulah ia berharap, dia tergeragap bangun, memandang ke arah jendela, dan mendapati seekor kunang-kunang yang bersikeras menerobos kaca jendela. Dia pasti tahu, betapa kunang-kunang itu ingin hinggap di dadanya. Sementara suaminya tertidur pulas di sampingnya. ”Aku memilih menikah dengannya, karena aku tahu, hidup akan menjadi lebih mudah dan gampang ketimbang aku menikah denganmu.” Itulah yang diucapkannya dulu, di kafe ini, saat mereka terakhir bertemu. ”Jangan hubungi aku!” Lalu dia menciumnya. Lama. Bagi ia, ciuman itu seperti harum bir yang pernah terhapus dari mulutnya. Barangkali, segalanya akan menjadi mudah bila saat itu diakhiri dengan pertengkaran seperti kisah dalam sinetron murahan. Misal: dia menamparnya sebelum pergi. Memaki-maki, ”Kamu memang laki-laki bajingan!” Atau kata-kata sejenis yang penuh kemarahan. Bukan sebuah ciuman yang tak mungkin ia lupakan. Dan kini, seperti malam-malam kemarin, ia ada di kafe kenangan ini. Kafe yang harum bir. Kafe yang mengantarkannya pada sebuah ciuman panjang di bibir. Kafe yang selalu membuatnya meneguk kenangan dan kunang-kunang dalam bir. Ini gelas bir ketiga, desahnya, seakan itu kenangan terakhir yang bakal direguknya. Hidup, barangkali, memang seperti segelas bir dan kenangan. Sebelum sesap buih terakhir, dan segalanya menjadi getir. Tapi benarkah ini memang gelas terakhir, jika ia sebenarnya tahu masih bisa ada gelas keempat dan kelima? Ini gelas bir keenam! Dan ia masih menunggu. Ia melirik ke arah penyanyi itu, yang masih saja menyanyi dengan suara sendu. Ia melihat pelayan itu sudah setengah mengantuk. Tinggal ia seorang di kafe. Barangkali, bila ia bukan pelanggan yang setiap malam berkunjung, pasti pelayan itu sudah mengusirnya dengan halus. Sudah malam, sudah tak ada lagi waktu buat meneguk kenangan. Pada gelas kedelapan, akhirnya ia bangkit, lalu memanggil pelayan dan membayar harga delapan gelas kenangan yang sudah direguknya habis. Ya, malam pun hampir habis. Sudah tak ada waktu lagi buat kenangan. Sudah tidak ada kenangan dalam gelas bir kedelapan. Setiap kenangan, pada akhirnya punya akhir bukan? Inilah terakhir kali aku ke kafe ini, batinnya. Besok aku tak akan kembali. Kemudian ia beranjak pergi. *** Malam makin mengendap. Tamu terakhir sudah pergi. Diam dan setengah mengantuk, para pelayan kafe membereskan kursi. Bartender merapikan gelas-gelas yang bergelantungan. Sebentar lagi penjaga malam akan menutup pintu. Pada saat itulah, terlihat seekor kunang-kunang memasuki kafe. Kunang-kunang itu terbang melayang berputaran, sebelum akhirnya hinggap di gelas bir yang telah kosong. Jakarta, Coffeewar, 8/26/10 12:38:25 AM
""Kunang-kunang dalam Bir""
Malam yang gulita hanya bisa ditembus pandangan mata beberapa depa, sementara tumpahan hujan yang tercurah mengaburkan pendengaran penduduk—bahkan bagi yang tinggalnya terdekat dengan kuburan massal itu. Ada yang mengira, yang terayun adalah mata cangkul yang menancap di tanah yang gembur, yang di baliknya teronggok umbi jalar atau ubi singkong. Ada yang menyangka, yang terayun adalah bilah celurit atau kelewang yang membabat batang jagung yang semakin ranum. Banyak—termasuk keluarga kami—yang sama-sama menafsirkan bahwa Pak Runci yang sudah berhari-hari sakit itu tak lagi kuat menahan lapar; dan jagung atau ubi atau umbi itu hendak diganjalkan ke dalam perutnya yang mungkin meronta pada malam yang begitu pekat dan hujan yang demikian lebat. Beberapa hari ini beberapa sudut kuburan itu tak berpenerangan lampu minyak. Tak begitu ada yang memedulikan, memang, karena memang tak ada jalanan—termasuk jalanan setapak—yang melewati dekat-dekat lokasi pemakaman itu. Bukan karena kuburan itu dianggap angker, tapi bagi sebagian orang, mereka tak ingin mengenang dan membangkitkan masa lampau yang kelam yang menjadikan jatuh banyak korban dan kemudian secara massal dimakamkan. Lampu minyak di ujung-ujung pemakaman yang dinyalakan saat menjelang senja menjadi penanda bahwa Pak Runci masih menjaga makam itu. Bisa dikatakan, Pak Runci adalah satu-satunya penduduk asli tertua yang masih tersisa, yang tak ikut menjadi korban, sementara penduduk lainnya—yang lolos sebagai korban—mulai meninggalkan wilayah untuk menata hidup baru di lain tempat atau bahkan memburu peruntungan ke negeri seberang. Sama sekali Pak Runci tak pernah alpa menyalakan lampu minyak itu, kecuali jika dia jatuh sakit, yang tak memungkinkan dia berjalan menenteng lampu minyak untuk dipasang hingga ujung pemakaman. Maka, jika dalam hujan lebat dalam malam pekat itu Pak Runci mampu memangkas batang jagung atau menggali umbi, kami bersyukur karena artinya Pak Runci sudah sehat—dan esok senja ujung pemakaman itu tak lagi disungkup gelap yang pekat. Namun, senja esoknya—hingga malam dan kemudian pagi hari—kuburan itu tetap saja gelap dari ujung ke ujung. Juga malam kedua berikutnya. Apakah Pak Runci kehabisan minyak untuk menyalakan lampunya? Rasanya Pak Runci bukanlah sosok pemalu yang enggan meminta minyak pada kami—sebagaimana biasa dia lakukan jika kami alpa memasok minyak untuknya secara sukarela. Jangan-jangan dia masih sakit atau sakitnya kian parah sehingga untuk meminta minyak pada kami tak bisa dia lakukan karena tubuhnya masih susah bangkit. Karena itu, pagi esoknya, kami—tak hanya keluarga kami, ternyata juga tetangga lain—menengok ke pondok Pak Runci, yang tak jauh dari gerbang pekuburan. Dia tampak lunglai di dipannya. Satu dua orang buru-buru mengambil makanan dan minuman dari rumahnya untuk disuapkan pada Pak Runci. Pada malam yang pekat dalam hujan yang lebat beberapa hari lalu itu memang tak ada yang menebang jagung atau menggali umbi dan ubi. Kami tak melihat ada tanda-tanda batang jagung yang ditebang atau tanaman singkong dan umbi jalar yang dibongkar. Yang dibongkar justru sebuah kuburan. Itu ada di pojok pemakaman yang bersampingan dengan belukar. Seseorang dari kami yang berkeliling pemakaman melihatnya. Lahat itu menganga terbuka. Tak lagi ada sosok mayat di dalamnya. Juga sama sekali tak ada kerangka. ”Diambil keluarganya,” ucap seseorang, Pak Runci, yang sudah berada di belakang kami. Pak Runci tampak bugar. Kami saling pandang—tak paham. ”Dua-tiga malam yang lalu,” Pak Runci menambahkan. Tiga malam yang lalu: hujan luar biasa lebat, malam sangat pekat. ”Pak Runci tahu?” kami bertanya nyaris bersamaan. ”Tahu ada pembongkaran? Iya. Yang bersangkutan minta izin saya.” ”Pak Runci tahu kalau….” ”Tahu kalau itu keluarganya? Entahlah. Saya tak menghapal ratusan jenazah yang dimakamkan di sini. Kan semua sudah bergeletakan di banyak tempat. Kan waktu dimakamkan tak ada yang diminta mengenali satu per satu jenazah, karena wajahnya memang sudah bubrah—tak lagi dikenali.” Jika Pak Runci tak termasuk yang merasa sangat kehilangan saat terjadi musibah, itu dikarenakan sejak dulu dia tak berkerabat dengan sesiapapun. ”Pak Runci tahu….” ”Tahu untuk apa kuburnya dibongkar? Tidak.” ”Maksud kami….” ”Mungkin keluarganya punya makam atau tanah di tempat lain yang dianggap lebih layak untuk mengubur,” Pak Runci memotong. ”Maksud kami, Pak Runci kenal keluarga yang membongkar makam itu?” Pak Runci hanya bergumam. Kami tak yakin apakah Pak Runci mengenal seorang demi seorang penduduk yang pernah tinggal—juga yang kemudian meninggalkan—perkampungan ini. *** Malam tak begitu pekat. Beberapa lampu minyak membenderangi setiap sudut kuburan massal itu. Namun, tetap saja, hujan yang begitu lebat menutup jarak pandang kami. Mata kami memang sedang menatap mengamati arah pekuburan massal itu. Menurut Pak Runci, malam ini—beberapa hari setelah pembongkaran kuburan pada malam pekat hujan lebat itu—bakal datang entah siapa ke pemakaman. Tak diketahui pasti jamnya. Tak diketahui pasti untuk apa. Tak diketahui pasti, siapa seseorang itu. ”Bagaimana Pak Runci tahu?” saya bertanya. ”Nalurinya mengatakan. Begitu katanya. Entahlah,” suami saya menjawab. Kami penasaran. Untuk apa kuburan—massal pula—kembali didedah, padahal yang dikubur tak pernah dikenali rincian wajah-wajahnya. Bukan saja tak dikenali karena telah dimakan waktu, tapi waktu dimakamkan pun wajah-wajah itu telah dicacah-cacah oleh musibah. Karenanya, alasan memindahkan kerangka ke tempat yang lebih layak, bagi kami—setidaknya bagi saya—sungguh tak masuk benak. Tak hanya di ujung-ujung pemakaman dipasangi lampu minyak. Di setiap ujung gang dan perempatan jalan, juga di antaranya, kami pasang pula lentera. Dengan penerangan lentera dan lampu minyak, setiap jengkal jalanan di hadapan dan sekitaran rumah-rumah kami, juga jalanan menuju pekuburan, akan menampak siapa saja yang bahkan lewat selintasan ke pekuburan. Namun, begitu hujan menderas, dan kami masuk ke dalam rumah, pindah dari teras karena menghindari percik air hujan yang menempias, kami jadi gagal mengamati kalau-kalau ada yang mendatangi pekuburan itu. Hingga menjelang fajar, hujan masih membilas-bilas. Pelupuk mata kami mulai terkatup digelayuti kantuk. Kami rasa, tak ada yang mendatangi pekuburan massal itu yang kemudian membongkar salah satu sudutnya. Kami salah, ternyata. Begitu hujan mulai mereda dan matahari membiaskan cahayanya, kami dengar suara teriakan entah siapa dari arah pekuburan. Ada tiga lubang penggalian yang letaknya berjauhan dari pembongkaran pertama. Jenazah—mungkin kerangka, mungkin sekadar serbuk yang sudah berbaur tanah—tak lagi ada di dalamnya. Tampaknya, penggalian itu dilakukan saat kami disungkup rasa kantuk ketika menjelang fajar itu. Rasa kantuk itu telah membuat telinga kami tak lagi peka untuk mendengar suara-suara ayunan cangkul yang beradu dengan tanah yang dibongkar. Naluri Pak Runci terbukti. Atau bukan naluri, melainkan benar-benar ada seseorang yang memberitahunya, meminta izin, sebagaimana kejadian pertama pada malam tanpa lentera dan hujan yang mendera-dera itu. ”Jika benar ada yang mendatangi Pak Runci, berarti Pak Runci membohongi kita,” ujar suami saya, yang juga menjadi ujaran penduduk lainnya. ”Tapi, apa untungnya Pak Runci berbohong?” suami saya bergumam, terkesan membantah kesimpulannya sendiri. ”Lagian, tak ada yang mengharuskan Pak Runci untuk melapor ke kita,” timpal saya pada suami saya saat kami makan malam. ”Lebih tepatnya, tak ada yang dirugikan di kampung kita ini karena dibongkarnya kuburan itu,” saya menambahkan. ”Juga hilangnya kerangka-kerangka itu,” suami saya menegaskan. Gemuruh guntur di langit menghentikan percakapan kami. Kami buru-buru merapatkan daun pintu dan jendela karena hujan mendadak tumpah. Saya—juga suami saya—tak sempat menengok memastikan apakah lampu minyak sudah dipasang Pak Runci di segenap sudut pemakaman. Kalaupun lentera sempat kami pasang di depan rumah dan di setiap perempatan, pastilah akan segera susut, meredup, diguyur air hujan yang makin menderas, untuk kemudian padam. Saya dan suami mencoba mencungkil-cungkil ingatan, apakah Pak Runci sempat memberitahu bahwa malam ini akan datang seseorang atau beberapa orang entah siapa hendak membongkar pemakaman massal. Namun, pemberitahuan Pak Runci—jika ada—tak lagi begitu penting, karena esoknya, setelah hujan yang terguyur sepanjang malam itu mereda, kami menemukan jawabannya, yakni: belasan kuburan dibongkar dan kerangka yang ada di dalamnya tak lagi ada di tempatnya. ”Saya setengah lupa setengah ingat mereka yang datang menggali kubur itu. Mereka adalah penduduk sini juga yang pindah rumah setelah musibah,” ungkap Pak Runci setelah kami mendesaknya agar memberikan keterangan. Kami, termasuk yang seharusnya sudah sampai di tempat kerja, pagi itu mendatangi pondok Pak Runci. ”Kata mereka, mereka hendak membuktikan bahwa kerabat mereka benar-benar meninggal. Suaminya tewas, istrinya wafat, orangtuanya—ayahnya atau ibunya atau dua-duanya—tak lagi bernyawa,” sangat panjang Pak Runci menjelaskan. ”Membuktikan pada siapa?” seseorang bertanya. ”Pada aturan di wilayah mereka berburu mata pencaharian. Mereka tak bisa menunjukkan bukti tertulis bahwa istri atau suaminya benar-benar meninggal.” ”Akta atau pencatatan kematian maksudnya?” Seseorang mencoba mempertegas. ”Dengan kepastian status mereka, janda atau duda, atau sebatangkara, mereka berhak mendapatkan santunan di wilayah tetangga,” Pak Runci tak menggubris pertanyaan. ”Lha, kan, semua surat-surat itu, termasuk akta tanah segala, ikut lebur dihancurkan musibah?” Seseorang tadi kembali mempertegas arah pembicaraan. *** Senja jatuh di perbatasan. Banyak orang berbaris mengantre hendak melewati perbatasan yang ditandai oleh selarik garis itu. Wajah-wajah mereka lusuh karena lelah berjalan seharian dan semalaman. Mereka meninggalkan pemakaman massal pada dinihari usai menggali lahat yang diperkirakan sebagai tempat kerabatnya dikuburkan. Mereka bopong jenazah yang sesungguhnya sudah menjadi kerangka itu ke suatu tempat yang menyediakan peti jenazah. Setelah kerangka itu dimasukkan ke dalam peti, mereka menyeret peti itu menuju perbatasan. Seretan peti itu meninggalkan jejak berupa garis-garis bercak di sepanjang jalan yang mereka lewati, termasuk ketika kemudian menyeberangi sungai dan melintasi ngarai. Sebelum benar-benar memasuki pintu-pintu gerbang yang dideret-deretkan di tembok yang memanjang dari pangkal ke tepian, ada berderet palang pintu yang dibuat dari bambu, yang dijaga para petugas. Mereka ini mencatat sosok-sosok yang menyeret peti mati itu, juga mencatati isi peti mati setelah terlebih dulu mereka membuka peti-peti itu. Setelah itu, para penjaga itu memberi selembar kertas kepada para penyeret peti mati itu. Lembaran kertas itulah yang dijadikan penanda bahwa pemegangnya diperbolehkan melewati gerbang yang dideretkan di tembok yang memanjang. Begitu menerima lembaran kertas, rata-rata penerimanya langsung melonjak lega sebelum kemudian buru-buru menuju deretan gerbang. Di balik tembok yang memanjang itu, sekalipun dari kejauhan sudah tampak kilauan cahaya bauksit, mangan, perak, juga emas. Peti mati yang mereka seret sepanjang siang sepanjang malam itu begitu saja mereka tinggalkan di hadapan para penjaga. Memang, para penjaga itu akan melemparkan peti-peti dan isinya itu ke tubir jurang yang menganga di hadapan mereka ketika malam merayap perlahan. **** Saya tiba di perbatasan juga pada saat matahari makin temaram. Saya rasa, bahkan sinar matahari tak pernah mampir di perbatasan ini. Udara cenderung menggigilkan. ”Nama?” tanya penjaga palang perbatasan begitu saya mendekati garis batas. Saya sebutkan nama saya. ”Bukti apa hendak kamu sampaikan?” kata penjaga sambil membuka buku catatan. ”Saya seorang janda,” ujar saya. ”Buktinya apa?” Saya mengerling ke peti yang saya seret semalaman hingga seharian. Penjaga itu memeriksa isi peti. Saya lihat wajahnya terperangah. ”Ini mayat baru?” katanya. Saya mengiyakan. ”Beberapa hari lalu.” ”Ini bukan jenazah dari pemakaman!” penjaga itu membentak saya. Dia segera memberi isyarat kepada penjaga lain, yang segera meringkus saya dan melemparkan saya sejauh-jauhnya. ”Tapi saya janda. Saya punya hak mendapatkan santunan,” saya tersengal. Napas saya sesak. ”Santunan hanya untuk janda yang suaminya menjadi korban musibah. Atau anak-anak piatu, juga yatim, yang orangtuanya menjadi korban musibah. Kamu, bahkan kamu tak punya kerabat yang menjadi korban musibah. Juga suamimu.” Benar. Penjaga itu tak salah ucap. Benar. Sejak beberapa hari lalu, semua jenazah, semua kerangka di kuburan massal sudah habis dibongkar. Karena itu, diam-diam saya asah ketajaman pedang sebelum kemudian saya hunus untuk saya tancapkan ke jantung suami saya setelah sebelumnya menerobos dan merontokkan tulang rusuknya. Sangat ingin saya menjadi janda.*** Kupang, 06 Mei 2010; Jakarta, 05 Juli 2010
""Para Pembongkar Kuburan Massal""
Pertama kali kami menyadari kehadiran penghuni rumah yang tak diundang, dan tak kami ingini itu, ketika saya tengah menonton film-video The End of the Affair yang dibintangi Ralph Fiennes dan Julianne Moore, seorang diri, sementara istri telah mendengkur kecapaian di kamar. Waktu tiba pada adegan panas pasangan selingkuh Fiennes dan Julianne, tengah bugil di ranjang, yang membuat saya menahan napas dan pupil mata melebar, tiba-tiba kaki saya diterjang benda dingin yang meluncur ke arah televisi, dan saya lihat tikus hitam besar itu berlari kencang bersembunyi di balik rak buku. Jantung saya nyaris copot, darah naik ke kepala akibat terkejut, dan otomatis kedua kaki saya angkat ke atas. Baru kemudian muncul kemarahan dan dendam saya. Saya mencari semacam tongkat di dapur, dan hanya saya temukan sapu ijuk. Sapu itu saya balik memegangnya dan menuju ke arah balik rak buku. Tangan saya amat kebelet memukul habis itu tikus. Namun, tak saya lihat wujud benda apa pun di sana. Mungkin begejil item telah masuk rak bagian bawah di mana terdapat lubang untuk memasukkan kabel-kabel pada televisi. Untuk memeriksanya, saya harus mematikan televisi dulu yang ternyata masih menayangkan adegan panas pasangan intelektual Inggris itu. Saya takut kalau tikus keparat itu menyerang saya tiba-tiba. Imigran gelap rumah itu saya biarkan selamat dahulu. Saya tidak pernah menceritakan keberadaan tikus itu kepada istri saya yang pembenci tikus, sampai pada suatu hari istri saya yang justru memberitahukan kepada saya adanya tikus tersebut. Berita itu begitu pentingnya melebihi kegawatan masuknya teroris di kampung kami. ”Pak, rumah kita kemasukan tikus lagi! Besar sekali! Item!” ”Di mana mamah lihat?” ”Di dapur, lari dari rak piring menuju belakang kulkas!” Istri saya cemas luar biasa, menahan napas, sambil mengacung-acungkan pisau dapur ke arah kulkas di dapur. ”Sudah satu tahun enggak ada tikus. Rumah sudah bersih. Mengapa tikus masuk rumah kita? Tetangga jauh. Dari mana tikus itu?” ”Itu tikus kebun, Mah,” jawab saya santai sambil mengembalikan buku Nietsche ke rak buku. ”Jangan santai-santai saja Pah, cepat lihat kolong kulkas!” Wah, situasi semakin gawat. Saya memenuhi perintah istri saya dengan menyalakan senter ke bagian kolong kulkas. Tidak ada apa pun. Tikus keparat! Ke mana dia menghilang? Sejak itu istri saya amat ketat menjaga kebersihan. Semua piring di rak dibungkus kain, juga tempat sendok. Tudung saji diberati dengan ulekan agar tikus tidak bisa menerobos masuk untuk menggasak makanan sisa. Gelas bekas saya minum nescafe-cream malam hari harus ditutup rapat. Tempat sampah ditutupi pengki penadah sampah sambil diberati batu. Strategi kami adalah semua tempat makanan ditutup rapat-rapat sehingga tikus tak akan bisa menerobos. Istri saya memesan dibelikan lem tikus paling andal, yakni merek Fox. Selembar kertas minyak tebal dilumuri lem tikus oleh istri saya dan di tengah-tengah lumeran lem itu ditaruh ampela ayam bagian makan malam saya. Jebakan lem tikus ditaruh di kaki kulkas. Pada malam itu, ketika istri saya tengah asyik menonton sinetron ”Cinta Kamila”, yang setiap malam setengah sembilan selalu menangis itu, istri saya tiba-tiba berteriak memanggil saya yang sedang mengulangi membaca Filsafat Nietsche di kamar kerja, bahwa si tikus terperangkap. Saya segera menutup buku dan lari ke dapur menyusul istri. Benar, seekor tikus hitam sedang meronta-ronta melepaskan diri dari kertas yang berlem itu. ”Mana pukul besi?!” saya panik mencari pukul besi yang entah disimpan di mana di dapur itu. ”Jangan dipukul Pah!” ”Lalu bagaimana?” Saya menjawab mendongkol. ”Selimuti dengan kertas koran. Bungkus rapat-rapat. Digulung supaya seluruh lem lengket ke badannya.” ”Lalu diapakan?” Saya semakin dongkol. ”Buang di tempat sampah!” ”Aah, mana pukul besi?” Kedongkolan memuncak. ”Nanti darahnya ke mana-mana! Bungkus saja rapat-rapat!” Saya mengalah. Ketika tikus itu akan saya tutupi kertas koran, matanya kuyu penuh ketakutan memandang saya. Ah persetan! Saya menekan rasa belas kasihan saya. Tikus saya bungkus rapat-rapat, lalu saya buang di tong sampah di depan rumah, sambil tak lupa memenuhi perintah istri saya agar penutupnya diberati batu. Siang harinya sepulang dari mengajar, istri saya terbata-bata memberi tahu saya bahwa tikus itu lepas ketika Mang Maman tukang sampah mau menuangkan sampah ke gerobaknya. Cerita Mang Maman, ada tikus meloncat dari gerobak sampahnya dan lari ke kebun sebelah dengan terbungkus kertas coklat. Cerita lepasnya tikus ini beberapa hari kemudian diperkuat oleh Bi Nyai, pembantu kami, bahwa dia melihat tikus hitam yang belang-belang kulitnya. Geram juga saya, dan diam-diam saya membeli dua jebakan tikus. Ketika mau saya pasang malam harinya, istri saya keberatan. ”Darahnya ke mana-mana,” katanya. ”Ah, gampang, urusan saya. Kalau kena lantai, saya akan pel pakai karbol,” jawabku. Istri saya mengalah, dan rupanya merasa punya andil bersalah juga. Coba kalau tikus itu dulu kupukul kepalanya, tentu beres. Pada waktu subuh istri membangunkan saya. ”Tikusnya kena Pah!” Memang benar, seekor tikus hitam terjepit jebakan persis pada lehernya. Darah tak banyak keluar. Ketika saya amati dari dekat, ternyata bukan tikus yang kulitnya sudah belang-gundul. ”Ini bukan tikus yang lepas itu Mah!” ”Masa?” Ia mendekat mengamati. ”Kalau begitu ada tikus lain.” ”Mungkin ini istrinya,” celetekku. Ketika mau saya lepas dari jebakan, istri saya melarangnya. ”Buang saja ke tempat sampah dengan jebakannya.” Rasa tidak aman masih menggantung di rumah kami. Tikus belang itu masih hidup. Dendam kami belum terbalas. Berhari-hari kemudian kami memasang lagi lem tikus dengan berganti-ganti umpan, seperti sate ayam, sate kambing, ikan jambal kegemaran saya, sosis, namun tak pernah berhasil menangkap si belang. Bibi mengusulkan agar dikasih umpan ayam bakar. Saya membeli sepotong ayam bakar di restoran padang yang paling ramai dikunjungi orang. Sepotong kecil paha ayan itu dipasang istri saya di tengah lumeran lem Fox, sisanya saya pakai lauk makan malam. Gagasan Bi Nyai ternyata ampuh. Seekor tikus menggeliat-geliat melepaskan diri dari karton tebal yang dilumuri lem. Tikus itu benar-benar musuh istri saya, di beberapa bagian badannya sudah tidak berbulu. Kasihan juga melihat sorot matanya yang memelas seolah minta ampun. ”Mah, cepat ambil pukul besinya.” Istri saya mengambil pukul besi di dapur dan diberikan kepada saya. Ketika mau saya hantam kepalanya, istri saya melarang sambil berteriak. ”Tunggu dulu! Pukul besinya dibungkus koran dulu. Kepala tikus juga dibungkus koran. Darahnya bisa enggak ke mana-mana!” Begitu jengkelnya saya kepada istri yang tidak pernah belajar bahwa tikus yang meronta-ronta itu bisa lepas lagi. ”Cepat sana cari koran!” bentakku jengkel. ”Kenapa sih marah-marah saja?” sahut istri saya dongkol juga. Saya diam saja, tetapi cukup tegang mengawasi tikus yang meronta-ronta semakin hebat itu. Kalau dulu berpengalaman lepas, tentu dia bisa lepas juga sekarang. Akhirnya tikus hitam itu saya hantam tiga kali pada kepalanya. Bangkainya dibuang bibi di tempat sampah. Beberapa hari setelah itu istri saya mulai kendur ketegangannya. Kalau saya lupa menutup kopi nescafe, biasanya dia marah-marah kalau bekas kopi susu itu dijilati tikus, tetapi sekarang tidak mendengar lagi sewotnya. Begitulah kedamaian rumah kami mulai nampak, sampai pada suatu pagi istri saya mendengar sayup-sayup cicit-cicit bayi tikus! Inilah gejala perang baratayuda akan dimulai lagi di rumah kami. ”Harus kita temukan sarangnya! Bayi-bayi tikus itu kelaparan ditinggal kedua orangtuanya. Kalau mati bagaimana? Kalau mereka hidup, rumah kita menjadi rumah tikus!” kata istri. Lalu kami melakukan pencarian besar-besaran. Bagian-bagian tersembunyi di rumah kami obrak-abrik, namun bayi-bayi tikus tidak ketemu. Bayi-bayi itu juga tidak kedengaran tangisnya lagi. ”Mungkin ada di para-para. Tapi bagaimana naiknya?” kata saya. ”Nunggu Mang Maman kalau ambil sampah siang,” kata istri. Ketika Mang Maman mau mengambil sampah di depan rumah, bibi minta kepadanya untuk naik ke para-para mencari bayi-bayi tikus. ”Di sebelah mana Bu?” tanya Mang Maman. ”Tadi hanya terdengar di dapur saja. Mungkin di atas dapur ini atau dekat-dekat sekitar situ,” sahut istri saya. Sekitar setengah jam kemudian Mang Mamang berteriak dari para-para bahwa bayi-bayi tikus itu ditemukan. Mang Maman membawa bayi-bayi itu di kedua genggaman tangannya sambil menuruni tangga. ”Ini Bu ada lima. Satu bayi telah mati, yang lain sudah lemas. Lihat, napas mereka sudah tersengal-sengal.” Istri saya bergidik menyaksikan bayi-bayi tikus merah itu. ”Bunuh dan buang ke tempat sampah Mang” kata istri saya. ”Ah, jangan Bu, mau saya bawa pulang.” ”Mau memelihara tikus?” tanya istri saya heran. ”Ah ya tidak Bu. Bayi-bayi tikus ini dapat dijadikan obat kuat,” jawab Mang Maman sambil meringis. ”Obat kuat? Bagaimana memakannya?” ”Ya ditelan begitu saja. Bisa juga dicelupkan ke kecap lebih dulu.” Setelah memberi upah sepuluh ribu rupiah, istri saya masih terbengong-bengong menyaksikan Mang Maman memasukkan keempat bayi tikus itu ke kedua kantong celananya, sedangkan yang seekor dijinjing dengan jari dan dilemparkan ke gerobak sampahnya. Tikus-tikus tak terpisahkan dari hidup manusia. Tikus selalu mengikuti manusia dan memakan makanan manusia juga. Meskipun bagi sementara orang, terutama perempuan, tikus-tikus amat menjijikkan, mereka sulit dimusnahkan. Perang melawan tikus ini tidak akan pernah berakhir. Saya masih menunggu, pada suatu hari istri saya akan terdengar teriakannya lagi oleh penampakan tikus-tikus yang baru. Lebaran 2010
""Tikus dan Manusia""
Tak ada pernak-pernik di fasat bagian luar. Ia seperti kotak-kotak beton, mengikuti kontur tanah yang agak berundak. Bagian yang menghadap gunung dan bukit terekspos melalui kaca besar. Alam menjadi lukisan terbaik ciptaan Tuhan. Aluminium hitam yang menjadi bingkai kaca itulah piguranya. Penyiasatan ruang yang cerdas. Dinding bagian dalam seluruhnya berwarna abu-abu, sama dengan warna keramik lantai. Hanya ada dua kamar. Kamar Mami dan kamar yang disiapkan untuk tamu, masing-masing dengan kamar mandi menggunakan shower. Di dekat dapur ada kamar pembantu, dan satu kamar mandi lagi untuk dipakai beramai-ramai. Ketapang kencana yang aku datangkan secara khusus dari pembibit yang sangat berpengalaman ini tak akan mengganggu estetika bangunan. Kalau besar nanti, dahan-dahannya yang teduh tak akan menutupi fasat bangunan karena bentuknya renggang. Pohon ini kuanggap paling tepat untuk bangunan yang dirancang Teh Rani itu. Mami sendiri suka. Ia langsung mengomentari dahannya. Berundak-undak, seperti tangga ke surga, katanya. Itulah yang menyenangkan pada Mami. Ia selalu memiliki komentar otentik. *** Aku memanggilnya Mami, ikut-ikutan anak-anaknya. Dia kakak ibu. Seharusnya aku memanggilnya Uwak. Ketika G30S meletus, keluargaku berantakan. Dari Jawa Tengah, aku dikirim ke kota kecil di Jawa Barat ini, ikut Uwak yang selanjutnya kupanggil Mami. Kini praktis Mami tinggal sendiri. Anak-anaknya—kecuali Teh Rani—tersebar di beberapa kota di Jawa Barat dan Jakarta. Teh Rani, anak nomor dua yang paling sukses dan makmur, tinggal di luar negeri. Paris, Roma, New York. Sesekali di rumahnya di Bali. Teh Rani pula yang mengatur kehidupan Mami. Di rumah, Mami ditemani dua pembantu setia, Asep dan Kokom. Semenjak Mami sering terganggu kesehatan belakangan, aku sangat sering mengunjungi Mami. Keadaannya turun naik. Kadang tampak sangat sehat. Pada kondisi seperti itu Mami seperti kami kenal dulu: ceplas-ceplos suka melucu. Pada kali lain bisa tampak sangat drop. Teh Rani—entah di mana pun—sering meneleponku, menanyakan keadaan Mami. Sebenarnya aku juga tidak melihat keadaan Mami sehari-hari. Kami tinggal di kota berjauhan. Aku sendiri bahkan tergolong sering bepergian, tidak di Indonesia. Hanya saja semua tahu, dibanding dengan saudara-saudaranya sendiri termasuk yang sekota dengan Mami, Teh Rani paling percaya padaku. Keluarga juga tahu, selain Teh Rani, aku punya tempat khusus di hati Mami. Mami sering bilang: rumah lengkap kalau ada Rani dan aku. *** Bisa kupahami keresahan Teh Rani. Mami makin tua. Dulu mungkin tak terpikir akan muncul keresahan akan Mami. Di rumah banyak orang. Rumah selalu ramai. Apa-apa akan beres dengan sendirinya. Tak pernah kami sadari arti ”banyak orang dan tidak ada orang bagi orang tua”. Pada perkembangannya, jumlah orang di rumah menyusut dan menyusut. Terakhir-terakhir seingatku masih ada Anti, Risma, dan Deden. Kemudian Anti menikah. Suaminya pegawai Pertamina, bertugas di Cirebon. Ia diboyong ke Cirebon. Menyusul Deden. Deden mendapatkan pekerjaan, setelah beberapa tahun menganggur seusai kuliah di akademi perbankan. Deden diterima bekerja di sebuah bank yang punya kantor cabang di kota-kota kecil. Ia ditempatkan di Tasikmalaya. Tinggal sendiri dengan Risma, mulai kami sadari bagaimana kalau Risma nanti juga harus meninggalkan rumah. Siapa akan menemani Mami? Lalu, tahu-tahu Risma hamil. Mau tidak mau, menikahlah dia. Aku kurang tahu suaminya kerja apa. Mereka pindah ke Malangbong. *** Apa yang bisa kami berikan kepada Mami? Teh Rani kutahu berbuat sebisa-bisanya. Rumah dia rombak untuk membuat kenyamanan pada Mami yang tinggal sendiri. Diharapkan itu menghibur Mami. Apa pun kebutuhan Mami diharapkan Mami segera memberi kabar. Cuma sepengetahuanku, Mami jarang sekali menelepon anak untuk menyatakan meminta sesuatu. Hal yang bahkan tak mungkin dilakukannya. Kegembiraan Mami sejatinya cuma kalau anak-anak dan cucu di rumah. Rumah ramai. Apalagi dengan kehadiran Teh Rani. Teh Rani—meski tak terucap—bukannya tak paham hal itu. Hanya saja—semua dalam posisi seperti kami—juga tahu, apa yang bisa kami lakukan? Kami punya kehidupan sendiri-sendiri. Menelepon setiap saat pasti. Meski, kami sadari itu juga kurang cukup. Bahkan kadang meresahkan diri sendiri, kalau menangkap Mami tampaknya kurang sehat. Setiap resah akan keadaan Mami, Teh Rani akan terus-terusan meneleponku. Bertanya ini-itu, kapan terakhir menengok Mami, dan seterusnya. Sekarang ini baru saja Teh Rani meninggalkan Mami setelah berlibur di situ sekitar satu minggu. Seusai itu Teh Rani ke Jakarta, sempat ketemu aku sebentar, sebelum pulang ke Bali dan kemudian balik ke Paris. Teh Rani meneleponku agar menengok Mami. Ia sempat pula bilang rencananya akhir tahun. Ia akan bertahun baru di New York, bersama Marita, anak perempuan semata wayangnya. Aku tak jadi ke Bangkok. Aku akan segera menengok Mami, janjiku pada Teh Rani. *** Rumah sepi. Mami di kamar, tiduran ditemani Kokom yang ikut tidur di kasur sembari memijat-mijat Mami. Asep berbisik, Mami begitu sejak Teh Rani pergi. Bisa kurasakan perasaan sepi Mami. Kuperhatikan sekeliling kamar. Dinding dan lantai abu-abu yang dalam keadaan biasa bercita-rasa berkelas, pada saat seperti ini rasanya malah menambah rasa dingin. Apalagi, belakangan hujan terus-terusan turun. Daerah ini tambah sering berkabut. Di dinding kamar terpajang foto Teh Rani dan Marita. Marita sudah besar. Sudah hendak masuk sekolah fotografi di Paris. Kuamati cantiknya ibu anak ini. Dalam foto itu mereka berpelukan mesra, tersenyum, mengenakan pakaian dingin. Tak tahu aku, foto itu diambil di Paris, Roma, atau New York. Aku merasakan dua dunia terpisah jauh. Kuingat beberapa kali saat aku mengunjungi Teh Rani di Paris. Terbayang St Germain-des-Pres. Di sekitar kawasan gemerlap itu letak apartemen Teh Rani. Kuingat kebiasaannya ketika berniat jalan-jalan. Selalu saja baru berjalan beberapa saat dia mengajak berhenti dulu di kafe. Ini mah duduk-duduk, bukan jalan-jalan, komentarku. Dia cuma tertawa. Rasanya, semua bangku kafe terkemuka di kawasan Quartier Latin pernah kami duduki. Kami mencari-cari alasan, untuk makan apa saja atau minum apa saja. Di setiap tempat, kami membenarkan diri untuk minum wine. Atau espresso. Aku perhatikan meja kecil di samping ranjang. Ada gelas teh. Makanan terbungkus daun yang sudah dimakan sebagian. Dulu, semasa kami semua masih tinggal di rumah, makanan berlimpah. Mau makan apa saja dan kapan saja, selalu tersedia. Selintas teringat, di Paris Teh Rani sering mengajakku ke restoran favoritnya, restoran Afrika dengan daging-daging terbaik yang disajikan dengan serba bakar. Kami tak bisa mengekang hedonisme dalam soal makan. ”Kami tidak masak, soalnya tanggung masak hanya untuk Mami,” Kokom menerangkan mengenai makanan yang tersisa di meja. *** Duduk di pinggir ranjang, aku ikut-ikutan memijit-mijit kaki Mami yang dibalut selimut tebal. Aku tahu Mami tidak tidur, dan pasti juga tahu kehadiranku. ”Mami sakit…,” aku bertanya. ”Mami yang sehat. Nanti kita bikin pesta, bikin bakar-bakaran di halaman,” aku melanjutkan begitu saja. Dia diam saja. Mata tetap terpejam. Bersama Kokom aku terus memijit-mijit atau mengusap-usapnya. Di matanya yang terpejam, beberapa kali keluar air mata. Kokom dan aku bergantian mengelap dengan tisu. ”Sejak Teh Rani pergi…,” Kokom berbisik padaku. ”Sering nangis sendiri….” Aku mengangguk. Lama-lama Mami bergerak. ”Punggung Mami sakit…,” katanya pelan. Tetap dengan mata terpejam. Aku mengusap-usap punggungnya. Asep dan Kokom senyum-senyum. Kami semua tahu, Mami cuma mencari-cari. ”Sakit sekali ya Mi…,” tanyaku. ”Sampai menangis….” ”Tadi Mami bermimpi…,” ucapnya. ”Mimpi apa, Mi,” tanyaku. Mami diam saja. Baru beberapa saat kemudian dia bicara. ”Ketapang kencana berubah jadi pohon emas…,” katanya pelan. ”Mami bermimpi ketapang kencana berubah jadi emas?” Dalam posisi tiduran miring ia menganggukkan kepala. ”Kencana artinya memang emas, Mi…,” ucapku. ”Kencanawungu, emas ungu….” ”Pohon itu tumbuh tinggi sekali, sampai di balik awan…,” ia meneruskan ucapan seperti pada diri sendiri. ”Mami naik memanjatnya. Dahan demi dahan. Tiba-tiba Mami sudah di balik awan dan tak bisa lagi kembali,” lanjutnya, dengan air mata kembali keluar. ”Kembang tidur, Mami…,” kataku. Mami diam saja. ”Kapan Rani pulang lagi…,” tanyanya pelan. ”Tahun depan. Katanya mau tahun baru di New York.” Ia kembali diam. ”Tahun depan…,” Mami seperti bicara pada diri sendiri. ”Tahun depan artinya hanya bulan depan, Mi. Ini sudah Desember.” Dia tak menjawab. Malah berucap sendiri, ”Ketapang kencana….” Kutatap lagi foto di dinding kamar. Teh Rani dan Marita dengan senyumnya yang manis. Tak ada yang mengalahkan manisnya perempuan Sunda, tetapi foto ini tak mungkin bisa menemani Mami. *** Kuputuskan menelepon Teh Rani. Dengan antusias dia bertanya, bagaimana keadaan Mami. Rumah bagaimana? Baik-baik saja? Dia bilang, katanya bermimpi tentang rumah. Apa yang diimpikan Teteh, aku bertanya. Ketapang kencanamu bertumbuh bagus sekali. Tinggi menjulang, dahan-dahannya menjadi emas. Aku terkesiap. ”Halo…,” suara Teh Rani, mendapati suaraku menghilang. ”Oh, halo…,” kataku. ”Kamu mendengar?” ”Ya, ya, aku mendengar,” ucapku. ”Kenapa kamu diam saja?” Sejenak aku berpikir. ”Tahun baru sebaiknya kita semua di rumah Mami saja…,” ucapku. Dia yang kemudian balik terdiam. ”Halo,” kataku. ”Ya, aku mendengar…,” kata Teh Rani pelan. ”Aku pikir juga begitu,” tambahnya tetap dengan nada pelan. ”Jadi Teteh akan pulang? Tak jadi ke New York?” aku bicara antusias. ”Tidak jadi. Aku akan pulang. Tahun baru di rumah Mami. Kamu juga. Awas, jangan ada acara lain.” Aduh, serentak kubayangkan betapa bakal membahagiakannya tahun baru kali ini. Teh Rani adalah pusat keluarga. Rumah akan langsung ramai begitu dia pulang. Kureka-reka sendiri kami akan mengadakan barbeque atau pesta bakar-bakaran di halaman. Cari daging terbaik. Minum wine bersama Teh Rani—sembari mengajari yang lain-lainnya. Mami akan kembali melucu. Mungkin malah merokok. Biar saja. Kami akan berpesta di bawah ketapang kencana. Cucu-cucu akan lari kesana kemari. Tak kumengerti, bagaimana pohon ini bisa mempertautkan ibu dan anak perempuan kecintaannya dalam mimpi. Aku berdoa, pohon ini akan tumbuh subur, selalu hijau di segala musim seperti sifat-sifatnya yang kupelajari dari buku. Tak perlu menjadi pohon emas, dan Mami selalu sehat…. Banjarsari, November 2010
""Ketapang Kencana""
Namanya tak penting benar. Atau setidaknya dalam kisah ini—bila kau menganggap perlu memberi sebuah nama untuknya—kau bisa memberinya nama sesuai dengan keinginanmu, tak akan berpengaruh apa-apa. Yang jelas, ia adalah lelaki yang tak dapat membedakan cinta dan sepi. Maka begitulah, ia senantiasa meminta kekasihnya untuk menemaninya. Ia tak bisa tidur tanpa ada dekap kekasihnya. Ia tak mampu menelan makanannya tanpa kekasihnya yang mengangsurkan suap. Ia tak sanggup mandi bila kekasihnya tak menuang air hangat dan menyiapkan handuk. Ia tak dapat keluar rumah jika kekasihnya tak menjemput. Sungguh, ia ingin senantiasa bersama kekasihnya. Setiap malam, sebelum benar-benar lelap dalam buai kekasihnya, ia berdoa agar esok terbangun dalam rahim kekasihnya, terbangun sebagai cikal janin yang tak akan pernah keluar dari perut ibunya. Selamanya jadi bakal janin. Selamanya bersama-sama kekasihnya. Selamanya merasa aman dalam nyaman lindungan kekasihnya. Ia mengira mencintai kekasihnya dan baginya begitulah cinta yang mesti diwujudkan. Ia lelaki yang tak dapat membedakan cinta dan sepi. Sebab itulah ia senantiasa menulis puisi cinta buat kekasihnya. Ia berkata, ”selama aku masih mencintaimu, aku akan terus menulis puisi cinta untukmu.” Kau tak akan sanggup menghitung berapa banyak puisi yang ia tulis untuk kekasihnya. Ia juga sering berdoa, ”bila aku tak dapat tinggal di rahimnya, izinkan aku menjadi sebait puisi yang ia sukai, yang ia hafal, yang sering ia lantunkan. Aku ingin tinggal di lidahnya, menjadi sesuatu yang kerap ia sebut.” Ia menyangka mencintai kekasihnya dan tak ada cara lebih tepat menunjukkannya selain melalui puisi. Ia lelaki yang tak dapat membedakan cinta dan sepi. Ia menganggap telah sempurna mencintai kekasihnya dan berharap kekasihnya melakukan hal serupa: mencintainya dengan sempurna pula. Dan kekasihnya memang mencintainya. Sangat mencintainya. Mencintai dengan cara yang berbeda dari yang ia yakini. Wanita itu mengerti bahwa ia tak sepenuh hati mencintai. Wanita itu paham mengapa si lelaki ingin senantiasa ditemani dan menulis puisi. ”Sungguh itu bukan cinta,” bisik wanita itu. ”Hanya yang takut pada sepi yang senantiasa ingin ditemani, hanya untuk membunuh sepi ia menulis beratus sajak cinta.” Barangkali inilah alasan wanita itu kerap terlihat malas-malasan menemani si lelaki berjalan di taman pagi-pagi atau membaca seantologi sajak dengan tebal ratusan halaman yang ditulis oleh lelaki kita dalam kisah ini. Namun wanita itu memang mencintainya. Cinta yang membuat wanita itu bertahan dengan itu semua. Dan cinta pulalah yang pada akhirnya membuat wanita itu meninggalkan lelaki kita ini. Selalu ada yang mesti dikorbankan atau ikhlas berkorban dalam cinta bukan? Dan wanita itu memilih yang kedua: ikhlas berkorban. Ketika ketakutan akan sepi yang diderita lelaki kita kian hebat hingga bahkan dalam mimpi pun menuntut wanitanya untuk hadir dan menemani menulis atau membaca puisi, maka wanita itu merasa mesti ada yang dikerjakan untuk menyelamatkan kejiwaan lelaki kita ini. Bagaimana menyingkirkan rasa takut pada sepi bila tak langsung menantangnya? Maka demikianlah, wanita itu meninggalkan lelaki kita. Meninggalkannya sendiri dalam sepi, meninggalkannya sendiri untuk melawan sepi. Maka kini lelaki kita sendirian. Merasa kesepian. Tak ada lagi yang membenarkan selimut selimut yang melorot ketika ia tidur. Tak ada yang mengambilkan nasi atau menjerang air buat mandinya. Tak ada senyum yang menemaninya menulis puisi, tak ada sorot lembut menatapnya. Tak ada semua yang selama ini membuatnya kuat. Ia merasa payah, merasa tak sanggup lagi melangkah. Dan pada sebuah malam kesekian yang senantiasa menyiksanya dengan kenangan, ia melihat wajah bulan. Wajah yang berbeda dengan wajah-wajah bulan pada malam-malam sebelumnya. Wajah yang tergantung di langit itu serupa benar dengan wajah kekasih yang meninggalkannya. Ia segera keluar rumah. Menuju halaman dan berdiri diam di sana sambil mendongak ke atas, ke aras bulan bulat itu. Tiba-tiba lelaki kita ini ingin menulis sajak cinta lagi. Tapi bulan sempurna bundar yang mirip wajah kekasih yang meninggalkan lelaki kita ini tak setiap hari bersinar. Pelan-pelan bulan akan mencengkung, membentuk sabit untuk kemudian benar-benar lenyap di ujung bulan penanggalan Jawa. Tapi bulan akan muncul lagi. Awalnya serupa noktah, lalu kembali membentuk sabit dan bundar sempurna pada tengah bulan dalam kalender Jawa. Dan ia merasa tak mampu menunggu begitu lama untuk melihat wajah indah itu. Maka ia berdoa agar bulan senantiasa purnama. Namun bulan tak mungkin selalu purnama. Ada putaran musim, aliran angin, ketinggian air laut, masa panen dan tanam, sampai waktu laku ilmu tertentu yang bergantung pada rotasi dan evolusi bulan. Semua mesti berjalan sesuai kodratnya. Maka sekhusyuk apa pun lelaki itu berdoa, bulan akan tetap mengalami sabit, melalui bulan mati dan pasti kembali purnama tengah bulan. Lelaki kita itu, sungguh keras hati kali ini. Ia tak ingin lagi ditinggal kekasihnya. Ia ingin menjadi yang pertama menyambut ketika wajah kekasihnya itu perlahan sembul dan ingin menjadi yang terakhir mengucap sampai jumpa sewaktu kekasihnya beranjak redup. Ia memutuskan tak bergerak dari halaman bahkan saat mentari terbit. Kau tahu, kadang-kadang kau masih bisa menyaksikan bulan menjelang siang walau sinarnya tenggelam dalam pancaran matahari. Bagimu mungkin itu tak penting. Namun lelaki kita ini menganggapnya sesuatu yang haram terlewatkan. Kalau kau pernah mendengar orang-orang tua berujar bahwa cinta bisa membuat seseorang menjadi bodoh dan melakukan hal-hal yang tak masuk akal, maka lelaki kita ini adalah amsal ujaran itu. Ia tak beranjak dari halaman, berhari-hari, berminggu- minggu selain untuk makan atau buang air. Namun langit tak hanya menyimpan wajah indah kekasihnya yang hilang atau kilau cerlang bintang-bintang. Langit juga mempunyai mendung dan hujan, kilat dan badai, matahari dan cahaya panas. Tak ada yang mampu menghentikan mereka menjalankan tugas. Maka beginilah, selama beberapa malam mendung tebal tergantung di langit untuk kemudian tumpah menjadi hujan dan badai, menabur kilat dan dingin. Namun pada siang harinya, matahari bersinar teramat cerah, mendedah panas yang menyiksa. Kejadian seperti itu terjadi pada tengah bulan hitung-hitungan Jawa. Pada masa di mana semestinya purnama terlihat sempurna. Lelaki itu tak juga beranjak. Telah lama ia memendam rindu. Hitunglah sendiri berapa lama ia tak bersua wajah kekasihnya itu setelah tengah bulan kemarin purnama yang terakhir. Badai yang menghajar tubuhnya malam-malam atau panas yang meremas tubuhnya tak membuatnya bergerak. Ia kecewa sebab mendung tebal menghalanginya melihat wajah indah bulan dan berharap langit kembali ramah segera. Namun langit cerah ketika pagi telah sepenggalan dan bulan tak lagi terlihat. Ia tetap tak bergerak. Berharap keajaiban, berharap bulan kesiangan. Ia telah lama bertahan. Berhari-hari. Berminggu-minggu. Ia hanya masuk ke rumah untuk makan dan minum dengan tergesa dan buru-buru kembali ke halaman. Ia kuat. Tapi tidak kali ini. Tiga malam dihajar badai dan tiga hari digempur panas yang sangat. Ia merasa tubuhnya lemas dan panas. Pada malam keempat ia jatuh. Ia mengira tertidur. Ia seperti bermimpi. Ia melihat kekasih yang meninggalkannya dulu telah menjelma bulan. Bulan yang senantiasa ia nanti. Bulan itu tak tergantung di langit seperti yang selama ini ia lihat. Bulan itu begitu dekat dengannya, bahkan menyatu dengan dirinya. Terletak di hatinya. Bulan itu berkata, ”kalau kau benar-benar mencintaiku, kau akan tahu bahwa aku selalu menemanimu tanpa harus mendekap tidurmu, menyiapkan air hangatmu atau mengangsurkan suapanmu. Kau akan tahu bahwa aku selalu bersamamu sebab aku tinggal di hatimu dan senantiasa di sana. Aku tak pernah ke mana-mana.” Lelaki kita itu ingin bangun. Tapi tak bisa. Tubuhnya tak dapat bergerak. Maka ia putuskan untuk pergi tanpa tubuhnya. Pergi menuju hatinya yang menyimpan bulan. Ia lihat tubuhnya telah begitu payah.
""Lelaki Sepi""
Kau tak tahu di mana tubuh Kufah, Kiai Siti, Zaenab, dan ikan-ikan terbang itu menghilang bukan? Kufah keberatan bukan karena nisan Syeh Muso sering menguarkan cahaya hijau yang menyilaukan mata, tetapi jika sewaktu-waktu tanjung itu turut dilenyapkan, ia tidak akan bisa berlama-lama memandang bulan sambil mengecipakkan kaki di kebeningan air laut yang jika pasang tiba, kerap mengempaskan segala benda tak terduga. Kadang-kadang, kau tahu, saat bermain bersama perempuan-perempuan kencur lain, Kufah melihat perahu-perahu kecil merapat dan memuntahkan beberapa laki-laki—yang mereka sangka malaikat bersayap merah—berkerumun di makam Syeh Muso. Para lelaki itu mendesiskan suara-suara serupa cericit kelelawar, serupa doa-doa yang senantiasa dipanjatkan oleh Kiai Siti—ayah Kufah—saat amuk laut menjilat-jilat beranda rumah, pohon-pohon bakau tenggelam, dan kegelapan menyuruk-nyuruk ke masjid kuno yang fondasinya telah terkubur oleh air asin. Juga bersama Zaenab—perempuan penunggu makam, tiga puluh tahunan, yang seluruh tubuhnya bersisik dan hendak mengelupas itu—pada suatu malam dia merasa bertemu dengan sepasang malaikat berlampion putih agak redup yang tersesat di makam. ”Mengapa mereka ke sini?” tanya Kufah. ”Karena mereka menziarahi makam Syeh Muso, Kufah. Kau tahu, menziarahi makam Sang Junjungan sama dengan menziarahi raudah di Negeri Penuh Kemuliaan.” Kufah tak paham desisan Zaenab. Meskipun demikian, ia tetap memandang segala peristiwa yang terjadi di makam tanpa berkedip sesaat pun. Ia takjub ketika di kedua bahu laki-laki dan perempuan dengan wajah bercahaya yang selalu bergandeng tangan itu, tampak tato sayap dengan warna pelangi yang menyilaukan. Yang lebih mengejutkan mereka menundukkan kepala kepada Zaenab, perempuan yang justru diusir dari kampung hanya karena seluruh tubuhnya bersisik, suka bicara sendiri, dan lidahnya bercabang. Beberapa kali Kufah juga melihat sebuah perahu merapat dan pria tinggi bersorban berjalan-jalan tergesa-gesa ke masjid. Pada saat-saat seperti itu, Kiai Siti bersama lima lelaki dewasa penghuni daratan yang tenggelam akibat abrasi tersebut akan mendengarkan apa pun yang diucapkan oleh makhluk bermata merah menyala yang senantiasa menuding-nuding dan mengacungkan jari ke langit itu. Kufah suka sekali mengintip dan mendengarkan secara serampangan khotbah tamu berjenggot yang lebih dikenal sebagai Panglima Langit Abu Jenar tersebut. Hanya, karena dalam bayangan Kufah, Abu Jenar tampak sebagai raksasa yang bengis dan rakus serta bersiap melahap apa pun, ia selalu meninggalkan rumah ketika Kiai Siti dan hantu bermulut penuh lendir itu bercakap tentang perjuangan akbar dan hutan bakau yang bakal digusur. Ia juga tidak suka pada Abu Jenar karena sang Panglima Langit selalu memandang dengan mata nakal setiap bersitatap dengan dirinya. Ia makin benci ketika mendengar gunjingan Abu Jenar hendak menjadikan dia sebagai istri keempat. Akan tetapi, entah karena apa malam ini Kufah ingin mendengarkan apa pun yang diucapkan oleh Abu Jenar. Tak mudah mencuri dengar dari jarak yang agak jauh. Nyaris tidak ada kata-kata penting yang menyusup ke telinga. Kufah hanya seperti mendengar dengung lebah, kemudian berganti dengan cericit bangau, debur ombak, dan sesekali petir ketika Abu Jenar mengacung-acungkan tangan. Kufah pun kemudian berjingkat-jingkat lebih mendekat. Kini suara-suara yang semula terasa aneh di telinga mulai bisa didengar. Hanya didengar… belum bisa dimaknai oleh Kufah yang masih sebelas tahunan. ”Tidak ada cara lain… kita ledakkan sendiri saja makam Syeh Muso ketimbang dihancurkan oleh mereka…,” kata Abu Jenar berapi-api. Wajah Kiai Siti menegang. Meskipun demikian, Kufah tidak tahu mengapa ayahnya tidak berani menolak ajakan untuk menggusur makan kakek buyutnya itu. ”Jika perlu masjid dan kampung ini kita bakar. Jika mereka menghalang-halangi, kita harus bersiap mati!” Seperti pada hari-hari sebelumnya, tidak ada yang berani melawan Abu Jenar. Karena itu, dalam benak Kufah yang belum bisa menggapai nalar, itu berarti perintah Abu Jenar akan dituruti. Makam Syeh Muso akan diledakkan. Api akan melahap kampung dan penduduk hangus percuma. ”Dan aku kira, malam ini adalah saat paling tepat untuk meledakkan makam itu. Bersiaplah kalian melaksanakan perjuangan besar ini!” cerocos Abu Jenar lagi, menjijikkan. Sambil membayangkan api yang bakal melahap makam, Kufah teringat pada ikan-ikan yang berkecipakan di sekitar makam. Dia tak ingin melihat ikan-ikannya kepanasan. Karena itulah dengan berjingkat-jingkat ia mencari juru selamat ikan. Dia mencari Zaenab. Zaenab pasti tak akan memperbolehkan makam Syeh Muso dibakar, diledakkan, atau dihancurkan oleh siapa pun. Dan kalau makam terselematkan, terselamatkan pula ikan-ikan kesayangan. *** Laut pasang saat itu. Beranda tenggelam. Karena itu, tidak ada cara lain, Kufah harus menggunakan sampan kecil untuk sampai ke makam Syeh Muso yang sepanjang waktu tidak pernah terkubur amuk laut itu. Dan benar, Zaenab berada di keheningan makam. Perempuan itu sedang tafakur di makam sambil bertasbih. Kufah seperti melihat malaikat yang diasingkan dari surga tengah menangis sesenggukan. Ia melihat di kedua bahu perempuan yang tersingkir dari kampung itu, sayap hijau berkilauan menguncup dan mengembang seirama zikir seirama napas Kiai Siti seusai sembahyang. Hmm, inilah sang pelindung makam, inilah yang akan melindungi ikanku, inilah yang akan melindungi tempat bermainku bersama teman-teman, pikir Kufah. Tak lama kemudian Kufah menepi. Dengan tergopoh-gopoh ia menuju ke cungkup dan segera tafakur di hadapan makam Syeh Muso. Ia ingin memohon pada Allah lebih dulu agar makam keramat ini tidak diledakkan oleh Panglima Langit dan penduduk kampung. Ia ingin mengatakan kepada Zaenab agar segera meninggalkan makam dan mengungsi ke kampung sebelah. ”Ada apa kau ke sini malam-malam, Kufah?” Zaenab mendesis dan menggerak-gerakkan lidahnya yang bercabang. ”Panglima Langit akan meledakkan makam…. Aku mau menyelamatkan ikanku. Aku ingin ia tetap beterbangan di seputar makam. Sebenarnya aku ingin ikan itu mengaji pada Syeh Muso, tetapi Syeh Muso akan dibakar,” Kufah mendengus pelan, ”Tinggalkan tempat ini…” Di luar dugaan Kufah, wajah Zaenab tak berubah sama sekali. Ia tetap tafakur dan merasa tak bakal terjadi apa-apa. ”Siapa pun tak akan berani meledakkan makam turunan raja, Kufah. Kau tahu, sekalipun orang luar menganggap Syeh Muso sebagai komunis yang menyamar jadi kiai terkemuka, ia tetap saja putra Raja Pemangku Bumi Ketiga yang memiliki istri dari keturunan Raden Fatah,” Zaenab mulai berkisah tanpa berpikir apakah Kufah tahu segala yang ia ceritakan. Kufah memang tak tahu siapa Raja Pemangku Bumi Ketiga dan Raden Fatah. Ia hanya tahu jika makam diledakkan atau dibakar, kisah-kisah menakjubkan tentang Syeh Muso yang membangun kampung dalam semalam juga akan hilang. Dan yang lebih penting, ia tak ingin ikan piaraannya kepanasan dan Zaenab hangus terbakar. ”Kita hanya butuh hujan. Kita harus memohon Allah agar memberikan sihir hujan!” Zaenab mendesis lagi. ”Hujan? Untuk apa?” tanya Kufah tak mengerti maksud Zaenab. ”Bukankah hanya hujan yang bisa menghapus api?” Zaenab memberi jawaban, ”Tetapi tak mungkin akan muncul hujan pada saat bulan purnama, Kufah.” ”Aku bisa memanggil hujan!” teriak Kufah sambil membentangkan tangan seperti orang tersalib. Lalu Kufah berjingkat-jingkat ke pusat tanjung. Ia bersujud menirukan Kiai Siti saat memohon hujan. Tetapi tidak setiap keajaiban datang sesuai keinginan Kufah. Hujan tak segera turun. Hujan tak segera datang. *** Tanpa sepengetahuan Kufah, Kiai Siti bertanya kepada Abu Jenar mengapa Panglima Langit ngotot meledakkan sendiri makam Syeh Muso. Rupa-rupanya Kiai Siti mulai mengendus bau busuk pengkhianatan. Ia khawatir jangan-jangan Abu Jenar justru merupakan suruhan orang kota yang dikendalikan untuk segera menghancurkan kampung. ”Kalau mereka yang meledakkan, kita menjadi manusia-manusia yang kalah,” kata Abu Jenar, ”Sudahlah… aku sudah meletakkan bom di makam. Kita tinggal meledakkan dari sini, maka perjuangan akbar kita selesai.” ”Jangan! Jangan Tuan ledakkan dulu makam keramat itu. Izinkan aku menyelamatkan buku-buku penting di sana. Ketahuilah semua riwayat kampung dan silsilah keturunan Syeh Muso kami simpan di cungkup itu. Jika makam itu Tuan ledakkan sekarang, kami tak akan punya kenangan apa pun,” Kiai Siti mencoba mengulur waktu. Apakah ia benar-benar ingin menyelamatkan buku? Entahlah yang jelas kini pandangan matanya menjelah ke berbagai sudut. Ia mencari istrinya. Ada. Ia mencari Kufah. Tak ada. ”Kufah pasti sedang berada di makam itu,” pikir Kiai Siti. Karena itu tanpa memedulikan siapa pun, Kiai Siti meninggalkan masjid. Ia terjun ke laut. Ia berenang menuju ke tanjung, ke makam Syeh Muso. Ia tak ingin melihat tubuh Kufah terbakar atau tercerai-berai akibat ledakan bom Abu Jenar. Tetapi terlambat. Di luar dugaan Abu Jenar dan penduduk lain, ternyata Kufah menemukan bom yang disembunyikan di sebalik nisan di bagian yang tidak diketahui oleh Zaenab. ”Mainan siapa ini?” tanya Kufah sambil menimang-nimang bom. ”Mainan? Itu bukan mainan, Kufah. Itu…,” Zaenab curiga pada benda yang juga tidak pernah ia lihat sepanjang hidup itu. ”Itu… apa?” ”Buanglah! Lemparkan ke laut!” Tak ada jawaban. Lalu terdengar ledakan. Lalu terdengar sorak-sorai. Lalu tubuh Kufah menyala, memburaikan api yang menyerupai kibasan sayap-sayap malaikat menjilat-jilat apa pun yang diam dan berkelebat di makam. Kini kau tak tahu di mana tubuh Kufah, Kiai Siti, dan Zaenab, dan ikan-ikan terbang itu menghilang bukan? Semarang, 15 September 2010
""Ikan Terbang Kufah""
Seolah-olah jatuh dari langit biru, tiba-tiba saja Kedung Gang Buntu ada di situ, di sebuah kawasan dari sekian banyak kawasan di kota Surabaya. Dinamakan ”kedung” karena di situ ada sebuah ”kedung”, yaitu sumber air jernih, dan dinamakan ”buntu”, karena memang gang ini buntu. Buntu karena ujung gang ini bertemu dengan sebuah makam kuno, dan di sebelah makam kuno ada sebuah sumber air bersih, dan di seberang sana sumber air bersih ada sebuah hutan lebat. Untuk masuk ke Kedung Gang Buntu, seseorang harus melewati sebuah jalan, Kroepen Straat namanya. Di tengah-tengah Kroepen Straat, tepat di mulut Gang Kedung Buntu, ada sebuah pohon jejawi yang asal-usulnya, seperti juga asal-usul Kedung Gang Buntu, sama sekali tidak jelas. Mungkin di seluruh dunia hanya ada beberapa pohon yang sama tua, sama besar, sama kokoh, sama tinggi, dan sama anggun dengan pohon jejawi di hadapan mulut Kedung Gang Buntu. Sudah beberapa kali pohon jejawi ini memakan korban, semuanya orang Belanda. Pernah ada seorang pemuda Belanda naik kuda putih besar dan anggun tiba-tiba raib, konon diisap dan kemudian dikunyah-kunyah oleh arwah-arwah gaib penghuni pohon jejawi. Ada pula seorang pemuda Belanda bertubuh gagah, naik sepeda motor besar, melintasi Kroepen Straat dengan kecepatan setan, tiba-tiba tersandung batu besar yang sebelumnya tidak ada, lalu tubuhnya melesat ke udara, dengan cekatan didekap akar-akar pohon jejawi yang bergelantungan di dahan-dahannya, dijepit keras-keras tanpa ampun, kemudian dibanting ke tanah dengan kecepatan setan pula. Tercatat pula paling sedikit lima orang Belanda gantung diri, salah satunya tidak lain adalah seorang perempuan muda yang ketahuan bunting, entah dibuntingi siapa. Pemuda penunggang kuda tiba-tiba raib, sebetulnya tidak masuk akal, demikian pula mengapa ada paling sedikit lima orang Belanda mati gantung diri. Di bawah pohon jejawi selalu ada orang bergerombol-gerombol, bukan hanya dari Surabaya, tapi juga dari tempat-tempat jauh, bahkan dari luar pulau, untuk bersemadi. Pribumi, Cina, Arab, dan entah bangsa apa lagi pasti ada. Seharusnya ada kesaksian mengenai penunggang kuda, dan seharusnya bunuh diri dapat dicegah *** Kamis, 31 Maret 1927, pukul 2.47 siang, seorang insinyur Belanda asal Amsterdam turun di stasiun kereta api Semut, Surabaya, setelah menginap dua malam di Semarang dalam perjalanannya dari Batavia menuju ke Surabaya. Wajah insinyur ini tampan tapi sombong, tampak pandai tapi konyol pula, jalannya digagah-gagahkan, potongan tubuhnya mirip pemain sepak bola, tapi bukan sepak bola kelas nasional, cukuplah kelas kampung saja. Insinyur Henky van Kopperlyk, inilah wali kota baru Surabaya, menggantikan wali kota lama, Justin Verhaar, yang masih muda tapi uzur karena penyakit tuberkulosis. Dalam hati Henky van Kopperlyk berkata garang: ”Vini, Vidi, Vici,” dengan lagak Julius Caesar ketika Julius Caesar pada tahun 47 Sebelum Masehi dengan mudah mengalahkan Raja Parnaces II di Zile, wilayah Turki sekarang. Tapi ingat, kendati sudah punya istri, Henky van Kopperlyk masih menyembunyikan istrinya di Batavia. Bukan saja dia tidak bangga mengenai istrinya, tapi juga, dan inilah yang penting, dia agak malu. Nanti-nanti sajalah, barang satu dua minggu setelah dia datang, istrinya akan diselundupkan ke Surabaya, langsung dibawa masuk ke rumah dinas wali kota. Pikiran utama Henky van Kopperlyk terpaku pada, tidak lain dan tidak bukan, pohon jejawi di mulut Kedung Gang Buntu. Mungkin pohon ini sudah berumur lebih dari empat ratus tahun, pikirnya. Andaikata lima belas orang berjejer-jejer sambil merentangkan tangan mengelilingi lingkaran pohon ini, tidak akan cukup. Dua puluh orang pun mungkin masih kurang. Dan Henky van Kopperlyk tahu, di semua kawasan di Afrika, Asia, dan Amerika Latin bagian selatan, pohon jejawi dianggap keramat. Tapi, mestikah pohon jejawi itu dibiarkan tegak, menelan korban orang-orang Belanda, dan siapa tahu. Siapa tahu karena dia sudah mendengar, banyak orang suka berkumpul di bawah pohon jejawi, menyembah-nyembah pohon jejawi, meletakkan sesaji dengan penuh khidmat di bawah pohon jejawi, dan saling berbisik. Orang berdatangan kemudian berbisik-bisik, itulah yang terjadi menjelang Perang Diponegoro, sebuah perang dahsyat pada tahun 1825-1830, pemberontakan Sitti Margopoh di Lubukbasung, Kabupaten Agam, Minangkabau, pada tahun 1908-1910, serta perkelahian antara kelasi-kelasi pribumi dan perwira-perwira Belanda di atas kapal perang Belanda Lucas Roemeltje pada tanggal 4 Februari 1924 di Laut Jawa, tidak jauh dari Surabaya. Contoh lain masih banyak. Semuanya diawali dengan segerombolan orang datang ke tempat-tempat tertentu, disambung bisik-bisik. Semua merugikan Belanda. Memang, akhirnya Belanda menang, tapi melalui akal-akal licik, yang menurut hukum internasional diharamkan. Pangeran Diponegoro, misalnya, diundang untuk berunding, dan sesuai dengan kesepakatan, Pangeran Diponegoro datang sendirian, sama sekali tanpa pengawal. Ternyata Pangeran Diponegoro tidak diajak berunding, tapi langsung ditangkap, digebuki, dirantai, kemudian dibuang ke Makassar. Sudah beberapa kali Henky van Kopperlyk membaca laporan mengenai pohon jejawi di mulut Kedung Gang Buntu. Beberapa orang bergantian datang dan berbisik-bisik. Inilah awal gerakan sebuah komplotan. Dan yang berbisik-bisik itu datang dari berbagai suku. Inilah awal gerakan nasional Indonesia, yang menyangkut semua suku bangsa di Indonesia. Beda dengan Perang Pangeran Diponegoro, yang hanya melibatkan orang-orang Jawa. Tidak sama pula dengan pemberontakan Sitti Margopoh, sebuah pemberontakan suku bangsa Minang di Sumatera Barat, dan sama sekali tidak menyuarakan ke-Indonesia-an. Henky van Kopperlyk juga sudah banyak mendengar mengenai ilmu-ilmu gaib di berbagai daerah di Indonesia. Ilmu ini diciptakan dengan melalui berbagai sesajen dan doa-doa yang diucapkan dengan berbisik-bisik pula. Setengah tahun sebelum Henky van Kopperlyk tiba di Surabaya, misalnya, ada seorang laki-laki Belanda yang tiba-tiba kehilangan kemaluannya. Konon laki-laki Belanda ini bertualang di Kalimantan, menginap di tempat tinggal kepala suku, lalu meminang anak perempuan kepala suku. Malam itu juga keperawanan anak kepala suku dirusak, kemudian laki-laki Belanda ini, dengan bantuan serdadu-serdadu Belanda, melarikan diri ke Surabaya. Di atas kapal laki-laki ini dengan bangga bercerita mengenai cara dia memperdaya kepala suku dan anak gadisnya, sambil beberapa kali tertawa terbahak-bahak. Tidak ada peristiwa apa-apa pada laki-laki Belanda ini selama perjalanan dari Banjarmasin ke Surabaya. Sampai tiba di Surabaya pun dia tidak mengalami apa-apa. Malam harinya, ketika dia akan kencing, barulah dia tahu bahwa kemaluannya telah hilang, tanpa merasa apa-apa. Peristiwa laki-laki Belanda kehilangan kemaluan ini makin meyakinkan Henky van Kopperlyk, bahwa tindakan tegas harus segera diambil: binasakanlah pohon jejawi itu sampai ke akar-akarnya, sampai tidak ada sisanya lagi. Di luar dugaan, ketika Henky van Kopperlyk dengan menggebu-gebu memutuskan untuk membabat habis pohon jejawi di mulut Kedung Gang Buntu, semua anak buahnya, baik langsung maupun menyindir-nyindir, menyatakan tidak setuju. Berbahaya. Maka, setelah memberanikan diri, beberapa pembantu Henky van Kopperlyk memberi tahunya terang-terangan. Ada pembesar yang mati terpatuk ular liar, ada pembesar lain yang tiba-tiba linglung, ada pula pembesar yang tampak sehat-sehat belaka, tapi ternyata tanpa alasan jelas anak laki-lakinya lumpuh, dan banyak contoh lain. Henky van Kopperlyk pura-pura dengan sungguh-sungguh mendengarkan semua peringatan itu, dengan menutup mulutnya rapat-rapat. Selama beberapa hari dia tidak mau diajak bicara oleh siapa pun, termasuk pembantu-pembantu dekatnya mengenai masalah-masalah penting di Surabaya. Dia menutup mulut, dan dengan matanya terbuka, dia sengaja tidak melihat apa-apa. Selama beberapa malam berturut-turut dia membaca laporan-laporan wartawan Belanda, Willem Coorvaben, dan juga surat-menyurat Wille Coorvaben dengan beberapa orang Belanda di Indonesia, antara lain dengan Rob Nieuwenhuys, pengarang Indo Belanda kelahiran Semarang. Willem Coorvaben sangat jijik dengan orang-orang pribumi, orang-orang yang menurut dia ”inlander”, yaitu orang-orang kawasan pedalaman hutan belantara dan karenanya sangat primitif, biadab, malas, dan, ini yang berbahaya, anarkis. Dalam suratnya kepada Rob Nieuwenhuys dia menyatakan, dalam kedudukannya sebagai wartawan, dia akan berjuang mati-matian lewat tulisan-tulisannya, agar Belanda, sampai kapan pun, kalau perlu sampai dengan terompet tanda kiamat ditiup para malaikat, harus tetap mencengkeram Indonesia. Bangsa inlander ini, tegas Coorvaben dalam suratnya, akan sangat berbahaya apabila dibiarkan di luar kendali Belanda. Karena biadab dan malas, kalau dibiarkan, maka bangsa inlander akan menjadi bangsa yang korup, dan apabila dibiarkan terus, akan menjadi bangsa anarkis, yang kalau dibiarkan terus-menerus justru akan menghancurkan bangsa ini sendiri. Akan tetapi, Henky van Kopperlyk tidak habis pikir mengapa Willem Coorvaben justru bukan hanya mengkhianati dirinya sendiri, tapi malahan menusuk sesama bangsa Belanda dari belakang. Dia menusuk bangsanya sendiri bukan pada jantungnya, tapi pada punggungnya. Coorvaben justru jatuh cinta kepada Imih, perempuan pribumi asal Jawa Timur, dan akhirnya mengawini perempuan hina-dina ini. Kawin resmi, bukan kawin bohong-bohongan. Kawin resmi, bukan kawin dengan nyai, sebutan resmi gundik-gundik Belanda. ”Willem Coorvaben, binatang terkutuk itu, tidak lain hanyalah calon penghuni neraka,” pikir Henky van Kopperlyk, bukan sambil bergidik, tapi justru sambil tersenyum, seolah-olah habis memenangi sebuah pertandingan berbahaya. Henky van Kopperlyk merasa menang, karena, sebetulnya, setiap kali dia berhadapan dengan perempuan pribumi, jantungnya selalu berdegup-degup, dan semangatnya untuk mengawini pribumi ini hampir-hampir tidak dapat dikendalikan. Dalam kepalanya, hampir setiap hari, dia membayangkan mempunyai istri pribumi. Karena setiap kali dia melihat perempuan pribumi, orangnya atau gambarnya, langsung jatuh cinta dan ingin mengawininya, maka istri dia di kepala dia hampir setiap hari berganti-ganti pula. Hari ini dia membayangkan punya istri pribumi asal Krembangan, besok dia membayangkan sedang bercumbu dengan istri pribumi dari Perak, lusa dia membayangkan sedang bergulat dengan istri pribumi asal Mojokerto, atau mungkin Jombang, atau mungkin juga Sidoarjo. Semua bayangan indah selalu membawanya kembali ke bumi tempat dia berpijak, yaitu bumi nyata penuh penindasan. Henky van Kopperlyk adalah suami, tapi istrinya, Anneke von Hubertus, anak saudagar kaya asal Tilburg, selalu siap menginjak-injak kepala suaminya. Sebagai seorang laki-laki yang menurut dirinya sendiri cerdik, tentu saja Henky van Kopperlyk tidak kehabisan akal. Sekali tempo dia berhasil memperdaya perempuan pribumi, dan memperlakukannya sebagai kuda tunggangan. Bagaikan seorang joki gagah perkasa, dia tunggangi perempuan pribumi itu dengan gaya naik turun, seperti gaya naik turunnya seorang joki benaran di atas kuda pada pawai festival. Joki benaran pasti menengok ke kanan dan ke kiri sambil melambaikan-lambaikan tangan, dan Henky van Kopperlyk menengok ke kanan dan ke kiri dengan bangga, karena, inilah kebiasaannya, setiap kali dia berhasil menjerat perempuan pribumi, di kiri kanannya pasti dia pasang cermin ukuran besar. *** Pagi itu, ketika cuaca Surabaya benar-benar cerah, Henky van Kopperlyk datang ke kantor lebih awal, dengan gaya percaya diri, dan jalan agak digagah-gagahkan. Bahkan, beberapa saksi mata menuturkan, sambil berjalan menuju ke ke ruang kerjanya, Henky van Kopperlyk sempat menggumamkan lagu ”Penebang Pohon Tua”. Untuk mendirikan kincir-kincir angin, babat habislah pohon-pohon tua. Kincir angin sumber kemakmuran, kincir angin sumber ketenangan. Pohon tua hanyalah sarang burung-burung jahat, pohon tua hanyalah rumah para iblis, pohon tua hanyalah persinggahan kelelawar-kelelawar besar sebelum menjadi vampir. Babat habislah pohon tua, babat habislah pohon tua. Gumam Henky van Kopperlyk benar-benar bersemangat. Demikianlah, pagi itu juga dia memerintahkan anak buahnya untuk membabat habis pohon jejawi di mulut Kedung Gang Buntu. Alat-alat berat harus didatangkan. Dalam waktu paling lama lima jam, pohon jejawi beserta seluruh akar dan udara yang mengelilinginya, serta burung-burung jahat yang menghuninya, harus sudah selesai. Sebelum gergaji raksasa digerakkan, Henky van Kopperlyk naik ke kendaraan berat, lalu berpidato. Suasana tenang, sunyi, senyap. Hanya kata-kata lantang Henky van Kopperlyklah yang menyalak-nyalak. Alam tetap tenang. Tidak ada satu burung pun yang terbang, tidak ada satu burung pun yang berkicau. Dan juga, tidak ada satu burung pun yang tampak. Lalu Henky van Kopperlyk turun dari kendaraan berat, memberi aba-aba: ”satu… dua… tiga!” Mesin gergaji raksasa mulai meraung-raung. Barulah ketika tangan-tangan raksasa gergaji akan menyentuh pohon jejawi, dengan sangat mendadak angin berderak-derak ganas, dan sekian ratus burung yang mula-mula bersembunyi dengan serentak beterbangan, sambil menjerit-jerit, memuntahkan sumpah serapah. Dalam waktu yang sangat singkat, hampir semua burung di seluruh Surabaya dan sekitarnya berdatangan dengan sangat cepat sekali. Langit gelap, bagaikan mendung yang menggantung. Lalu, bagaikan mendapat komando dari kekuatan gaib, sekian banyak burung melayap mendekati Henky van Kopperlyk, tidak untuk memagut-magutnya, tapi hanya untuk mengelilingi tubuhnya, sambil menjerit-jeritkan sumpah serapah. Penebangan pohon jejawi gagal. Gubernur Jenderal di Jakarta memarahinya, dan Gubernur Pantai Timur Jawa, berkedudukan di Surabaya, pura-pura memuji-mujinya. Istri Henky van Kopperlyk, yang sudah didatangkan secara sembunyi-sembunyi, seorang perempuan gendut dan berwajah berantakan, menertawainya dengan bumbu kata-kata ”sejak dulu saya sudah tahu kamu goblok.” Sebagai wali kota yang ingin menunjukkan kepandaian dan wibawa besarnya, Henky van Kopperlyk berusaha keras untuk menutupi kelemahannya. Dia bersumpah untuk mengguncang-guncang bumi dan langit sambil berseru-seru dalam hati: ”Inilah Henky van Kopperlyk, wali kota yang namanya akan dicatat dengan tinta emas dalam sejarah kolonialisme Belanda!” Benar juga. Hanya dalam waktu beberapa bulan Henky van Kopperlyk sudah siap untuk melaksanakan gagasan besarnya: semua klub sepak bola Belanda di seluruh Jawa dikumpulkan di Surabaya untuk bertanding memperebutkan Piala Gubernur Jenderal. Hari dan tanggal pembukaannya sudah ditentukan, yaitu Minggu, 17 Juli 1927, tepat pada hari ulang tahun Gubernur Jenderal. Acara pembukaan pun dirancang dengan sangat teliti: tempat duduk Gubernur Jenderal, para gubernur, para bupati, pawai drumband, paduan-paduan suara lengkap dengan lagu-lagu marsnya, penyanyi-penyanyi, penari-penari, dan semuanya sudah siap. Seluruh kota Surabaya dihiasi lampu pijar, gedung-gedung pemerintah dibersihkan dan dicat baru, demikian pula semua sekolah, toko, rumah, dan bangunan lain. Gedung-gedung klub Belanda, kolam-kolam renang untuk orang Belanda, ruang tunggu khusus untuk orang Belanda di tiga stasiun kereta api Surabaya, dipasangi papan dengan huruf-huruf besar: ”Pribumi dan Anjing Dilarang Masuk”. Tidak boleh ada satu acara pun yang gagal. Jangan sampai Gubernur Jenderal menganggapnya goblok. Tidak boleh ada satu gubernur pun di seluruh Indonesia yang tidak memuji-mujinya. Semua bupati harus bertekuk lutut memberi hormat kepada dia. Henky van Kopperlyk adalah nama yang tidak boleh dipandang sebelah mata oleh siapa pun, tidak pula oleh Anneke von Hubertus, istrinya. Henky van Kopperlyk sadar perempuan bernama Anneke von Hubertus bukan hanya berwajah berantakan, tapi juga berhati duri, congkak, selalu menganggap dirinya benar, dan orang lain hanyalah kera tanpa otak. Ayahnya, Henricus von Hubertus, di mana-mana berusaha meyakinkan, darah dalam tubuhnya darah Belanda tulen asal Tilburg, dan sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan darah Jerman. Hubertus nama Jerman, tapi dalam darahnya justru mengalir kebencian terhadap Jerman. Di ruang tamu dan ruang kerja rumah Henricus von Hubertus terpampanglah iklan rokok yang sudah dibesarkan, dan dibingkai dengan lapisan emas. Iklan rokok merek Ogden. Dalam iklan ada gambar kapten JR Jellicoe RN, seorang kapten kapal perang Inggris yang terkenal berani, dan terkenal pula sebagai perokok berat. Kapten Jellicoe ini, tidak lain, adalah nenek moyang Jenderal Angkatan Laut Inggris, yang dengan kapalnya, His Majesty Ship Centurion, mengobrak-abrik angkatan laut Jerman dalam Perang Dunia I. Henky van Kopperlyk insinyur tamatan Universitas Delft, muda, berambisi, dan merasa tahu jalan paling baik untuk sampai ke puncak. Dia mengenal nama Henricus von Hubertus sebagai saudagar sombong tapi kaya, tidak punya saudara, keponakan, dan apa pun juga, kecuali istrinya yang raut wajahnya seperti orang akan menangis, tapi tahu bagaimana memuaskan suaminya pada waktu malam. Anneke von Hubertus satu-satunya anak Henricus von Hubertus, dan karena itu, tidak ada orang lain yang dibenarkan oleh undang-undang untuk menerima harta karun warisan kecuali Anneke. *** Setiap hari, paling sedikit tiga kali, Henky van Kopperlyk berkeliling kota mengontrol persiapan acara besar hari ulang tahun Gubernur Jenderal. Dia sering naik kuda dengan sikap digagah-gagahkan, diiringi oleh beberapa ajudannya. Di tempat-tempat ramai dia memerintah kudanya berjalan perlahan-lahan bagaikan dalam sebuah parade, sambil mengangkat hidungnya tinggi-tinggi dan melambai-lambaikan tangan kepada khalayak ramai. Dia selalu kurang puas melihat papan-papan besar ”Anjing dan Pribumi Dilarang Masuk” di tempat-tempat umum. Terlalu kecil, atau hurufnya kurang mencolok, atau tempatnya terlalu tersembunyi. Maka, atas perintahnya, papan-papan ”Anjing dan Pribumi Dilarang Masuk” menjadi benar-benar mencolok. Kisah tentang Belanda kehilangan kemaluannya dan pengalamannya sendiri dikerubuti sekian banyak burung membuat hatinya terbakar. Pribumi harus dihina, dilecehkan, dan dipermalukan, sebelum mereka dibakar hidup-hidup. Para bupati adalah pribumi, kendati bangsawan, bagaimanapun mereka pribumi. Perintah langsung dari Gubernur Jenderal menegaskan, semua orang Belanda harus berbuat baik kepada para bupati, dan harus mampu membuat mereka makin setia kepada Belanda dan makin jijik kepada sesama pribumi. Henky van Kopperlyk akan membuktikan bahwa para bupati nanti akan bertekuk lutut menghadapinya. Sejak hari pertama perkawinannya, Henky van Kopperlyk sudah bertekad untuk tidak mempertontonkan istrinya di depan umum, kecuali kalau terpaksa sekali. Dia tahu orang-orang akan mengejek-ejek istrinya dan menganggap dia goblok karena tidak mampu mencari istri yang pantas. Dan dia sadar orang-orang mempunyai hak penuh untuk mengolok-olok istrinya karena memang wajah istrinya berantakan, dan kalau berbicara kadang-kadang seperti anjing geladak sedang menyalak. Demikianlah, pada hari ulang tahun Gubernur Jenderal, Henky van Kopperlyk datang ke lapangan sepak bola, seperti biasanya, tanpa istri. Bagi pembesar-pembesar Belanda, datang ke acara resmi tanpa istri adalah perbuatan bejat. Tapi semua tamu sudah mafhum, Henky van Kopperlyk tidak akan berani mempertontonkan istrinya di depan umum. Upacara pun dimulai. Drumband berjalan keliling lapangan. Anak-anak sekolah Belanda berjalan dengan semangat membara di belakangnya. Berangkai-rangkai mercon meledak-ledak di udara. Dua pesawat kecil pun berkeliaran ke sana kemari, menyebarkan potongan-potongan kertas beraneka warna. Lalu, pidato-pidato pun dimulai. Akhirnya, tibalah acara yang amat penting bagi Henky van Kopperlyk. Bola dipasang tepat di tengah lapangan. Bunyi terompet dan tambur menggetarkan udara. Lalu, senyap. Henky van Kopperlyk berdiri dengan sikap gagah tidak jauh dari bola. Pistol pertama meledak. Senyap. Henky van Kopperlyk mengambil ancang-ancang untuk menendang bola. Pistol kedua meledak. Senyap. Henky van Kopperlyk makin siap menendang, menunggu pistol ketiga meledak. Begitu pistol ketiga meledak, dengan penuh semangat Henky van Kopperlyk lari menuju ke arah bola. Nah, Henky van Kopperlyk makin mendekati bola, kemudian menyepak bola dengan kekuatan penuh. Karena tali sepatunya entah mengapa kurang kencang, bukan bolanya yang terkena tendangan. Justru sepatu Henky van Kopperlyklah yang terlepas, lalu melayang di udara, terus melayang, seolah-olah ingin menggedor-gedor pintu surga. Bola tetap berada di tempatnya semula.
""Pohon Jejawi""
Delapan tahun lamanya kubaktikan diriku untuk mempersiapkan mahakarya ini; kukunjungi banyak perpustakaan, kukumpulkan buku-buku dan artikel, kuwawancarai para pakar yang paham sejarah dan fasih berbahasa Sansekerta atau Jawa Kuno, bahkan di tahun kelima ketika menikah, bulan maduku adalah wisata ke Candi Borobudur yang sang raja rampungkan. Dengan keseriusan dan gelora membara yang demikian, aku yakin tulisanku—yang pasti bakal epik—niscaya menjulang tinggi di antara segala karyaku yang lain, baik yang tidak diterbitkan atau yang ditelantarkan. Satu-satunya bukuku pernah terbit sembilan tahun lalu, yaitu sebuah novel yang tak laku. Setelah itu belum ada lagi, dan ini gara-gara istriku. Sekian ratus upayaku menulis selalu digagalkannya. Setiap kali aku sedang asyik membayangkan plot, intrik, dan hampir sampai pada poin-poin penting kemungkinan cerita novelku, setiap kali itu pula istriku muncul dan bicara hal-hal remeh. Selalu tepat waktu. Seakan dia bisa mengendus dari jauh kapan saja kumulai proses imajinatif benakku, lalu datang menghancurkan bakal buah pikiranku di saat-saat genting. Seakan dia tahu kapan waktunya memperalat pikiranku untuk hal-hal tak penting. Perangai buruknya sama saja dengan orang-orang di kantor yang gemar mengajakku bicara ini itu, melibatkanku dalam sejuta urusan. Terlalu. Kupikir semua mereka lahir ke dunia untuk bersekongkol memberantas karya artistik manusia. Baru tadi sore kubilang pada istriku, kenapa kau begini anti-Hawa? Semua orang tahu, Hawa yang menggoda Adam ke pohon pengetahuan, kenapa kau justru ingin aku jauh-jauh dari pohonku, malah ingin menghancurkannya? Kenapa kau selalu membasmi buah pikiranku dan menyabot proses penciptaan bukuku? Diam-diam aku senang, setelah sekian kali mengancam akan pulang, setelah menjerit-jerit padaku hampir sejam lamanya, sore tadi istriku sungguhan pulang ke rumah orang tuanya. Tak sadar dirinya telah memberkahiku sebuah malam Minggu bersejarah untuk akhirnya kumulai novel sejarahku, sejak maghrib hingga subuh nanti. Aku menatap kertas putih di layar laptop dan berpikir, sebaiknya kumulai dengan mempersiapkan semacam suasana yang tepat bagi kerja intelektualku ini, apalah arti sejam dua jam di malam ini dibanding delapan tahun persiapanku. Aku lalu sibuk mencari paduan pencahayaan yang tepat antara lampu kuning di sudut ruangan (untuk melembutkan suasana), lampu duduk neon putih di atas meja (untuk mencegah kantuk dan menerangi berkas), dan lampu neon di tengah ruangan (agar tetap waspada). Kuputar-putar tombol lampu kuning untuk menyetel tingkat ketemaraman yang tepat, kulengkung-lengkungkan gagang lampu duduk untuk mencari derajat yang pas bagi jatuhnya sinar agar mataku tak silau. Kemudian kurapikan sebukit referensiku; buku-buku, berkas dan bundel catatan yang berantakan lantaran telah ditendang istriku sebelum dia keluar—kukira kakinya pasti agak sakit oleh tendangan sekeji itu. Istriku lalu pergi ke kamar mengepak baju dengan berisik dan menyemprotkan minyak wangi pada dirinya secara berlebihan. Dia tahu aku tak suka wangi parfumnya. Bau musykil itu kini merebak di dalam rumah, khususnya di kamar kerjaku, sebab dia sempat masuk menenteng koper untuk menjerit lagi sebelum banting pintu –mungkin jeritan jangan cari aku atau semacam itulah. Bahkan ketika dia sudah tak ada, baunya sengaja ditinggalkan untuk berkuasa, seakan diberi mandat khusus untuk terus menggangguku. Aku membuka lebar-lebar pintu dan jendela, mengangin-anginkan ruang. Empat jam lamanya aku bersibuk dalam persiapan menulis. Referensiku sudah rapi, malah aku sempat menikmati secangkir kopi sebagai pelepas lelah sambil memutar lagu-lagu, hingga suatu saat kusadari betapa cepat waktu berlalu. Buru-buru aku kembali ke depan meja. Aku mulai memikirkan kalimat pertamaku. Ini kalimat yang sungguh penting, penentu seluruh isi buku, begitu pikirku, mesti orisinal. Saat kupikirkan perkara pentingnya kalimat pertamaku, tiba-tiba kupikir ada baiknya minum segelas air putih terlebih dulu. Aku perlu menenangkan diri, lagi pula banyak minum air putih itu baik, seperti pesan para dokter. Aku pergi menenggak segelas air di atas rak, tiba-tiba membayangkan jus nanas dari kulkas. Kuomeli diriku sendiri, jangan tergoda, sekali keluar dari kamar, aku sangat mungkin akan berkeliaran di seantero rumah. Maka dengan bijaksana, kuputuskan duduk lagi. Lima menit menatap karser kelap-kelip dengan agak jemu, kuputuskan mengecek email sebentar. Aku terbawa suasana, klik sana-sini ke berbagai situs internet. Sejam lebih aku wara-wiri sebelum tiba-tiba ingat novelku. Kuomeli lagi diriku, kekurangdisiplinan semacam ini tak boleh dipiara. Aku duduk tegak dan mulai mengerahkan segenap kemampuan imajinatif dan intuitifku untuk kalimat pertama. Ketika salah satu bakal pikiranku tengah genting menguntum, mendadak sikuku gatal. Saat kugaruk, melesatlah seekor nyamuk menuju kupingku, berdenging nyaring. Tahu-tahu sepasukan nyamuk datang menyerang sekujur badanku, menukik dalam pelbagai manuver semahir pilot pesawat tempur. Nyamuk patriot sialan, keluhku dalam hati sambil bangkit menutup pintu jendela. Melanjutkan berpikir, dudukku tak lagi bisa tegak. Aku dibikin sibuk menepuk dan menggaruk badanku yang gatal dan merah di sana-sini oleh terjangan nyamuk. Aku pura-pura tak peduli. Namun dalam batinku, aku merasa sangat dirugikan sebab kini mesti berpikir sambil mewaspadai mereka. Kewaspadaanku yang kian meningkat, di saat yang sama, telah menindas pikiranku. Bagaimana aku bisa memunculkan buah karya, jika para nyamuk begitu beringas memberantas buah pikiranku? Jangankan sempat berbuah-buah, berbunga saja tidak, kuntum pun belum. Aku sebal memikirkan nyamuk komplotan istriku, sebal badanku gatal-gatal. Kesebalan berganda itu membuatku merasa perlu istirahat sejenak. Aku keluar menuju teras, menarik nafas dalam-dalam. Di langit ada bulan purnama. Menatapnya membuatku ingat istriku, padahal aku tak ingin. Aku tak ingin mengingat pertama kali ketemu istriku di acara pernikahan dan terpesona dengan suara seraknya ketika dia menyanyikan lagu Bob Tutupoly diiringi organ tunggal. Kubilang pada diriku sendiri, berapa orang wanita yang menyanyikan lagu Bob Tutupoly di depan khalayak ramai? Hanya bisa dihitung jari. Baru kali ini kusaksikan wanita menyanyikan lagu Bob Tutupoly, apalagi Widuri, apalagi dengan begitu merdu dan syahdu. Wanita macam apa ini, yang begitu serius menyanyi Widuri, tanyaku dalam hati, apa dia tidak khawatir dikira lesbian oleh orang-orang? Jangan-jangan benar lesbian? Dan dia sedang menatap, di antara para hadirin, seorang Widuri (atau Bob Tutupoly?) yang elok bagai rembulan oh sayang seperti kata Bob Tutupoly kepada Widuri? Menelusuri arah tatapannya, kutetapkan lima orang tersangka rembulan. Penasaran, kuhampiri biduanitaku seusai menyanyi, saat dia mengambil minuman. Kukenalkan diri dan langsung kutanya, Anda senang perempuan atau laki-laki? Biduanitaku tertawa keras, mesti kubilang keras sekali, sampai aku terpesona yang kedua kali, sebab baru kali ini kudengar ada wanita tertawa begitu keras –semacam tawa tak melengking seperti umumnya wanita, pun bukan tawa membahana lelaki, tapi lebih serupa tawa suatu makhluk tak berjenis kelamin yang bukan dari dunia ini. Dia tampak surgawi, wujudnya bermandi sinar matahari, suaranya mengalun masih biduan padahal dia tidak sedang menyanyi Widuri, bagai musik cinta yang turun dari langit bersemilir ke telingaku mengenyahkan organ tunggal. Aku jadi kangen pada istriku, agak murung dengan prospek hari-hari bujangan; keluyuran cari makan, memasak untuk satu orang, siapa yang akan mengantar ke dokter kalau mag-ku kambuh. Menatap bulan, kuputuskan akan datang menjemput istriku besok pagi-pagi sekali. Mungkin tidak pagi benar sebab aku perlu tidur sebentar, mungkin besok malam, atau lusa—nantilah, seketika kalimat pertamaku selesai. Aku harus memikirkan kalimatku terlebih dulu, hanya dengan cara itu aku bisa datang padanya. Akan kubuktikan aku akhirnya telah menulis novelku, supaya dia tak lagi menjerit-jerit seperti sore tadi. Kamu selalu menunda segala-gala, jerit istriku, menunda mencicil rumah, punya anak, mengirim pos paketku, berangkat ke kantor, menunda makan sampai mag lalu empat bulan menunda ke dokter, mau belok mobil saja kamu tunda sampai mobil motor sepi. Tunda ini tunda itu, besok ya say minggu depan ya say—kamu penunda sejati di segala bidang, lihat nasib bukumu yang tak jelas itu, kalimat pertama saja tak ada, raja siapa tu namanya, Siramatungga. Dan kamu Sirajatunda! Maharaja! Prabu! Begitulah, dalam salah satu rentetan jeritnya, dengan tak senonoh dia mengata-ngataiku. Tanpa menunda-nunda, aku masuk lagi. Jika ingin istriku kembali, aku harus serius memikirkan kalimat pertama. Aku duduk dan mulai berpikir keras. Begitu keras aku berpikir, entah berapa lama, hingga kurasakan semacam lelah pikiran yang membekukan. Ketika pikiranku hampir mendekati titik beku, tiba-tiba melintaslah sebuah kalimat –buru-buru kuketik. Panggil aku Samaratungga. Aku girang, kalimat pertamaku telah tertera di layar. Dengarlah bunyinya: nggi-ngga, ai-au-aaaa, tiga kata senada seirama, musik sempurna. Daya desaknya begitu telak, menggoda, bahkan memerintah. Kalau seseorang sudah memerintahkan panggil namanya dengan desak semantap itu, niscaya banyak kejadian akan mengikuti. Kuucapkan kalimat itu berulang-ulang dengan berwibawa.Di ulangan ke sekian, kudengar suaraku tertunda. Panggil aku Samaratungga. Tunggu, berhenti! kuhardik diriku. Aku mencurigai sesuatu, tetapi belum jelas benar. Lima menit kemudian tiba-tiba jelaslah: oh tidak, itu Ishmael! Moby Dick! Herman Melville telah duluan memikirkan dan menuliskan kalimat pertamaku! Orang itu mencoleng buah pikiranku yang cemerlang, buah kalamku yang pertama di malam ini setelah berjam-jam. Tidakkah Herman Melville tahu delapan tahun lamanya kupersiapkan diriku untuk kalimat itu, tidakkah dia tahu kalau nasib rumah tanggaku ada di situ, tega betul Herman Melville datang dengan mesin waktu dan merampas kesempurnaan kalimatku. Dengan getir kuhapus kalimat yang cuma sesaat jadi milikku. Aku bersandar di kursi, menatap lesu layar yang kembali putih kosong. Aku merasa tak berdaya. Dan tak orisinal. Dan frustrasi. Semua hal yang bisa diperkatakan oleh manusia di dunia ini, telah pernah dikatakan seseorang dalam sesuatu buku. Semua kalimat pertama yang mungkin, telah habis dipikirkan dan dituliskan orang-orang. Sisanya adalah daur ulang. Batinku menjerit pilu, oh buah pena, mahakarya, oh susastra! Di antara jerit batinku, sayup-sayup kudengar suara mengaji dari mesjid. Aku tersentak, sebentar lagi subuh. Jangan menyerah! kuperingatkan diriku sendiri, ingat, istrimu taruhannya. Aku kembali mulai berpikir keras. Kuterus berpikir, hingga kurasakan taraf kekerasanku dalam berpikir hampir baja. Aku memikirkan, jika tak kupikirkan kalimat pertamaku, aku takkan bisa menjemput istriku, dan aku menderita dibuatnya. Tapi jika kupikirkan kalimat pertamaku, aku juga menderita, sebab sambil memikirkan kalimat pertamaku, di saat yang sama, aku juga memikirkan bahwa jika tak kupikirkan kalimat pertamaku, aku takkan bisa menjemput istriku, dan aku menderita berganda dibuatnya –lalu jika kuterus pikirkan, aku akan menderita berganda-ganda. Seakan ke arah mana pun aku berpikir, apa pun buah pikiranku, semata terantuk buah simalakama. Tak cuma sebuah, namun berlipat ganda, dalam panen raya buah- buah Simalakama Sirajatunda Samaratungga—kalimat pertama mahakaryaku menyelip entah di mana. Memikirkan semua ini membuatku mengantuk dan ingin tidur saja. Tidur yang lama.
""Sirajatunda""
Orang Jepang menyebut hutan ini sebagai ”hutan bunuh diri” sehingga mau tak mau tak jarang orang berpersepsi keliru mengenai orang-orang yang datang ke hutan ini. Aku datang ke sini bukan sebagai turis entah untuk menikmati pemandangan gunung Fuji di sebelah barat ataupun suasana mistis yang hanya dimiliki oleh tempat di mana ratusan bahkan ribuan nyawa melayang di lokasi yang sama. Aku datang untuk mencari nafkah. Untuk bertahan hidup. Seperti yang telah kuamati selama ini, malam-malam pada perayaan seperti tahun baru inilah yang biasanya digunakan oleh sebagian orang Jepang untuk mengakhiri nyawanya sendiri. Di tengah tawa dan pesta penduduknya, ada segelintir orang yang mengasingkan diri dan merasa bahwa saat itulah… saat terbaik untuk mengucapkan selamat tinggal pada dunia. Kupikir aku datang terlalu cepat, tapi ternyata sudah ada klien yang pergi ke dunia sana. Pria itu tergantung pada sebatang pohon dengan menggunakan ikat pinggangnya. Aku memeriksa denyut nadinya dan merasakan mayatnya masih hangat. Aku menunggu satu dua menit karena tidak ingin mengganggu perjalanannya ke alam sana. Setelah itu aku merangkapkan kedua tanganku di depan dada—meniru pengikut-pengikut Buddha yang biasanya sembahyang di kuil-kuil. ”Lima puluh tahun di bawah langit! Lima puluh tahun di bawah langit!” bisikku berdoa. ”Aku tak minta hidup lama-lama. Cukup berikan aku lima puluh tahun di bawah langit saja. Maafkan aku. Aku akan membakar dupa untukmu besok. Aku janji,” doaku khusyuk. Setelah itu aku menurunkannya dan membaringkan mayat pria itu di tanah. Aku mempunyai kode etik untuk selalu mencari tahu nama mayat yang sedang kujarah sebelum mengambil barang-barang peninggalannya. Menurutku adalah suatu hal yang ironis apabila tidak berusaha mencari tahu nama mereka yang sudah mati, padahal selama hidup pun mereka juga diabaikan. Aku mengeluarkan KTP dari dompetnya. Ken’ichi Matsuyama, 32 tahun. Dua kali lipat dari usiaku. Masih ada delapan belas tahun sisa hidupnya, tapi ia memilih mengakhirinya malam ini. Aku tidak terlalu berharap pada uang tunai klien-kilenku karena biasanya kebanyakan alasan mereka bunuh diri adalah karena kekurangan uang. Namun aku terkejut ketika menemukan 58.000 yen di dalam dompetnya. Aku buru-buru mengambil setengahnya dan menyisakan sebagian pada kolegaku yang lain. Walaupun disebut kolega, sebenarnya kami belum bertemu satu sama lain. Orang Jepang adalah orang yang memiliki kehormatan yang tinggi sehingga mereka merasa amat malu apabila ada orang lain yang mengetahui pekerjaan mereka yang hina ini. Bagi mereka, lebih baik mati daripada harus hidup menanggung aib karena ada orang lain yang tahu bagaimana cara mereka bertahan hidup. Hal itu kupelajari setelah tanpa sengaja bertemu dengan pemulung lain, seorang bocah berusia 12 tahun yang mungkin disuruh orangtuanya. Bukannya mengancam layaknya binatang buas agar aku tidak mendekati bangkai yang sedang dijarahnya, dia malah meninggalkan hasil rampasannya dan kabur begitu melihatku. Di kemudian hari, aku mengetahui dari koran bekas bahwa bocah itu gantung diri tak lama setelah bertemu denganku. Aku berpikir benarkah bocah seusia itu merasa harus mempertahankan kehormatan keluarganya ataukah kematiannya itu pun adalah perintah dari ayahnya yang merasa anaknya sudah membawa aib? Misteri itu tidak pernah terpecahkan dan aku menyesal harus bertemu dengan bocah itu. Sejak saat itu aku menajamkan pendengaranku dan berusaha membuat sedikit suara setiap kali sedang menjarah. Kami biasanya memberi kesempatan pada yang datang duluan. Aku mengambil kartu kredit milik Ken’ichi. Tiket kereta api berlangganan, SIM, dan juga jam tangannya. Suara gemerisik rumput di belakangku membuatku bereaksi dan menoleh ke belakang. ”Haaanttuuu,” pekikku tertahan. Biar kujelaskan. Jangan dulu katakan aku ini pengecut, ok? Aku sudah terlalu terbiasa melakukan pekerjaan ini sehingga tidak ada perasaan takut dalam diriku untuk bertemu hantu mereka yang bunuh diri. Sebaliknya, seperti yang kuceritakan tadi, aku justru takut bertemu manusia-manusia sepertiku yang berusaha bertahan hidup dari peninggalan mereka yang memilih mati. Hanya saja gadis itu terlalu cantik untuk seorang manusia. Kecantikan yang kupikir hanya bisa ditiru siluman atau hantu untuk memperdaya manusia. Aku sudah menyiapkan mentalku untuk bertemu setan-setan yang bonyok di wajah dan mengucurkan darah sehingga sama sekali tidak siap memandang kecantikan surgawi yang terpancar dalam diri gadis itu. Rambutnya yang panjang menjuntai di samping pelipisnya. Dia pun memakai kimono putih yang indah bersulam burung-burung bangau yang terbang ke selatan. Wajahnya tampak dibedaki tipis-tipis dan bibirnya diberi pewarna merah yang menandakan bahwa ia telah beranjak usia akil balig. ”Memalukan sekali!” bibirnya yang mengerucut dan senyum sinisnya itu mengembalikan aku pada dunia nyata. ”Hidup dari jerih payah orang-orang yang sudah mati. Kau benar-benar memalukan!” ulang gadis itu memancing reaksiku. Aku tahu seharusnya aku berbalik dan kabur seperti yang dilakukan bocah itu dan kembali ke sini esok malam untuk menggantung diri di salah satu pohon. Hanya saja aku bukan orang Jepang dan tidak mempunyai mental orang Jepang meskipun aku mengagumi kebudayaan mereka. ”Mereka mati itu pilihan mereka. Aku hidup itu pilihanku sekalipun dengan cara ini.” Wajahku terbakar rasa malu yang luar biasa ketika mengatakan hal itu. Gadis itu mengerutkan kening sedikit. Wajahnya terlalu anggun untuk mengekspresikan rasa jijik yang ia rasakan pada diriku sehingga hanya melalui matanya aku tahu ia menatapku dengan hina dan jijik. Ia tak berkata apa-apa lagi dan hanya melepaskan giwangnya dan memberikannya padaku. Sebagai penadah barang curian aku tahu giwang hijau itu terbuat dari mutu yang bagus. Aku terlalu sibuk menaksir harganya sehingga tidak menyadari situasi yang sedang kualami. ”Untuk apa ini?” tanyaku seperti orang bodoh. ”Aku tidak ingin kau menjamah tubuhku ketika aku sudah mati. Hanya ini yang kupunyai. Ambillah!” jawab gadis itu. ”Kau tidak bawa uang?” tanyaku spontan. Gadis itu tergeragap mendengar pertanyaanku yang kurang ajar, tidak manusiawi, dan tidak pada tempatnya. Ia melepaskan kalungnya yang dibandulnya terdapat sebuah kantung kecil. ”Di dalamnya ada sekeping uang logam zaman dulu. Pemberian dari kakekku. Kupakai sebagai jimat dan mungkin cukup ampuh untuk mengusir hantu sepertiku jika kita bertemu lagi.” Aku berani bersumpah bahwa ia tersenyum kecil sewaktu menyindirku tadi! Jika hujan tidak segera turun, aku yakin sebentar lagi ubun-ubun kepalaku akan mengeluarkan asap. Aku tak tahu harus berkata apa sehingga aku hanya menganggukkan kepala kepadanya. Dengan raut sedih ia membalas anggukanku dan berbalik menuju jalan yang dipilihnya. Dua-tiga langkah kemudian ia berbalik padaku dan berkata dengan tajam, ”Ingat! Jangan menyentuhku atau aku akan menggentayangimu, ok!?” gadis itu mengedipkan matanya padaku. Aku terlalu percaya takhayul bahwa permintaan orang yang akan meninggal harus dipenuhi dan perintahnya harus dipatuhi sehingga kedipan itu pun tidak dapat membuat hatiku tenang. Aku ingin mengatakan padanya bahwa aku bukan seorang nekrofil (aku memang tidak terdidik, tapi aku tahu arti kata itu) dan tidak memiliki minat pada mayat yang secantik apa pun—meskipun aku sedikit berharap dia berbuat sedikit kebaikan di akhir hidupnya dengan memberiku kecupan selamat tinggal. Terakhir kali aku melihatnya, dia sedang berusaha mengaitkan ikat pinggang kimononya pada sebuah cabang pohon. Membentuk sebuah simpul. Aku melayangkan pandanganku dengan sedih dan berbalik berjalan di jalan kehidupan yang sulit. ”Kosong adalah isi. Isi adalah kosong,” aku berjalan terhuyung-huyung seperti orang mabuk berusaha tampak bijak dan arif seperti pendeta-pendeta tao zaman dulu. ”Pertemuan adalah perpisahan. Akhirku adalah permulaanku,” ceracauku tak jelas. Sedetik setelah itu, aku dikejutkan sedemikian rupa oleh gadis itu yang tiba-tiba muncul di depanku sehingga aku terlompat mundur beberapa langkah ke belakang. ”Bagaimana bisa? Tadi kau di belakangku!” kataku padanya. Gadis itu tersenyum. Senyum yang manis dan menghanyutkanku. ”Aku mengenal hutan ini lebih baik darimu.” ”Ta-tapi…,” aku hendak protes sewaktu gadis itu merapatkan bibirnya pada bibirku. Rasanya basah, dingin dan hmm… tak bisa kujelaskan. Lidahku kelu sehingga tak dapat menanyakan untuk apa ciuman itu. ”Mengapa kau tidak berusaha menyelamatkanku?” tanyanya merajuk padaku. ”Aku, aku tidak tahu kau ingin diselamatkan. Kupikir kau memang sudah berbulat hati memilih jalan itu.” ”Kauu jahattt!” ia memukulkan tangannya yang kecil pada dadaku dan merebahkan kepalanya pada pundakku. Aku membelai rambutnya yang halus. ”Kau tidak jadi mati?” tanyaku, lagi-lagi salah ucap. Kugigit lidahku. ”Kau ingin aku mati?” dia tiba-tiba menarik kepalanya dan menatapku dengan serius. ”Bu, bukan begitu! Maksudku, aku bingung apa yang membuatmu mengubah keputusanmu?” Air matanya bergulir sewaktu dia menjawab pertanyaanku. ”Tidak ada yang peduli padaku,” katanya. ”Seumur hidupku tidak ada yang peduli padaku. Aku ingin ada seorang saja yang peduli padaku jika aku berusaha bunuh diri.” Sorot matanya tampak seperti anak kucing yang tercebur di sungai dan minta pertolongan. Tanpa sadar aku telah mengulurkan tangan untuk merengkuhnya dan mendekapnya dalam pelukanku. ”A-aku peduliii…,” kataku dengan gugup dan malu. ”Benarkah?” matanya menatap lekat padaku, seolah sedang mencari jejak-jejak kebohongan. ”Ya,” jawabku pendek untuk mengukuhkan suatu komitmen. Gadis itu tersenyum dan membenamkan wajahnya di bahuku. Tangannya mencari tanganku dan menggenggamnya. Kemudian tiba-tiba dia membuka telapak tanganku dan mengambil giwang dan kalung miliknya. ”Kau sudah memiliki aku, jadi tak membutuhkan ini!” katanya seraya melemparkan benda-benda miliknya itu ke kedalaman hutan. Apakah dia sedang berusaha menghapus masa lalunya? Entahlah. Malam itu kami berjalan bergandengan tangan dan aku merasa jalan pulang yang kulalui telah berubah dan membentuk sebuah cabang baru. Sebuah perasaan aneh dalam diriku membuatku berbalik dan menatap hutan Aokigahara—yang entah kenapa kurasakan untuk yang terakhir kalinya. Hutan yang telah menelan banyak korban. Bahkan orang-orang asing dari benua Eropa pun tertarik dengan keeksotisan hutan ini dan memilih mengakhiri hidupnya di sini. Mungkinkah hutan ini sudah insaf dan ingin bertobat? Ataukah kisahku hanya salah satu dari sedikit cerita yang belum dikonsumsi umum bahwa di samping meminta banyak kematian, hutan ini juga mampu memberikan kehidupan? Entahlah. Aku tidak tahu dan aku tidak yakin dengan tapak langkahku di jalan baru ini. Aku tidak yakin hutan ini dapat menghidupi kami berdua. Atau bertiga. Aku harus mencari pekerjaan lain.
""Aokigahara""
Sejak aku lahir, kakeklah figur ayah bagiku. Meski beliau yang tua dan rapuh lebih banyak tergolek di balai-balai daripada membawaku pergi ke taman bermain. Sesekali, beliau duduk di kursi goyang, sambil menyipitkan kedua matanya, berusaha memperhatikanku yang sedang disuapi oleh nenek. Penglihatan kakek memang terganggu. Tak lama sejak didiagnosa dokter menderita diabetes, beliau menderita glaukoma. Malam-malam, jika sedang kambuh, kakek akan terus mengerang dan mengeluhkan matanya yang sakit. Selang beberapa menit kemudian, beliau akan muntah-muntah dan tergolek lemah di balai-balai yang telah dilapisi matras. Ketika nada erangan kakek mulai meninggi, aku hafal betul, nenek pasti akan memanggil dan memintaku untuk mengambilkan botol obat tetes mata bertuliskan Eserine di lemari tengah. Seusai menyelesaikan tugas kecil itu, aku kembali bergelung di ranjang. Dari balik korden kamar yang usang, aku selalu terharu memandangi nenek yang setia merawat kakek hingga fajar menjelang kemudian. *** Ibuku, kau tahu? Dia sangat cantik. Suaranya merdu. Rambutnya yang sepunggung, hitam legam bak bulu gagak. Setiap wanita pasti akan iri saat memandang wajahnya yang jelita. Setiap lelaki pasti akan jatuh cinta melihat lekuk tubuhnya yang molek. Namun, menurut pendapatku, ia tak lebih dari seorang wanita tolol. Kecantikan dan suaranya yang mendayu, hanya bisa mengantarkannya menjadi biduanita kelas teri. Bersama grup musik keliling, ia menyanyi dari desa ke desa. Kata nenek, ketika masih belia, banyak pemuda bersahaja datang melamarnya. Namun, ia justru jatuh cinta pada seorang lelaki tak beridentitas. Percintaan ibu dengan lelaki itu pun membuahkanku. Tanpa nama ayah di surat kelahiran, aku pun menghirup udara dunia yang tak seramah rahim ibu. Ketika aku berumur empat tahun, reputasi ibu sebagai biduan naik daun. Ia tak lagi menyanyi di panggung keliling, melainkan menjadi penyanyi tetap di sebuah bar di Yogyakarta. Awalnya, ibu pulang seminggu sekali, dengan membawa banyak hadiah untukku. Lama-lama ibu pulang sebulan sekali, lalu tiga bulan sekali, dan akhirnya aku tak lagi bisa menghitung berapa lama ibu pergi. “Aku tidak mau boneka lagi! Aku mau ibu di sini!” aku ingat, usiaku lima tahun saat aku menangis menjerit-jerit, menyaksikan ibu beranjak pergi dari pintu rumah untuk kesekian kali. “Ibu pergi agar kau bisa sekolah saat kau besar nanti,” bujuknya lembut. “Aku tidak mau sekolah. Aku hanya mau ibu!” teriakanku makin melengking. *** “Mbak, belok ke kanan atau ke kiri?” suara sopir taksi membuyarkan lamunanku. “Ke kiri, Pak! Nanti di sebelah kiri, ada gapura warna hitam, masuk kira-kira dua ratus meter,” jawabku dengan suara berat. Taksi yang kutumpangi dari Bandara Adisutjipto, Yogyakarta, semakin mendekati rumah nenek yang terlihat mulai lapuk dan mengelupas catnya di mana-mana. Rumah itu kini hanya dihuni oleh nenek seorang. Kakekku sudah meninggal jauh sebelum aku meninggalkan rumah. Beberapa bulan kemudian, ibuku pun meninggal. Saat itu, aku baru menginjak usia dua belas. Sanak saudara berdatangan untuk berbela sungkawa. Termasuk adik nenek yang menikah dengan seorang prajurit Belanda dan tinggal di Groningen, Belanda. Tepat tujuh hari setelah ibu meninggal, aku ikut adik nenek untuk bersekolah dan tinggal di negeri kincir angin itu. *** Ketika taksi berhenti di depan rumah, nenek sedang sibuk dengan rajutan dan setumpuk benang wol di pangkuannya. Wanita tua itu terkesiap melihatku turun dari taksi. Sontak, ia bangkit dari kursi goyangnya, dan berlari kecil menghampiriku. Ada segunung kerinduan yang terpancar dari kedua bola matanya yang terbingkai kacamata presbiopi. “Mala! Oh….Mala cucuku!” serunya berbaur dengan suara tangis mengharu biru. “Rasanya lama sekali nenek menunggumu pulang, Mala. Kau sekarang betul-betul sudah dewasa,” lanjut nenek sambil menyeka air matanya. “Aku merindukan nenek,” balasku sambil memeluk tubuh rentanya. “Syukurlah, kini kau sudah pulang,” ujarnya sambil mengelus rambutku. Kerinduan kami selama sepuluh tahun pun melebur ke dalam sebuah pelukan hangat tiada tara. Malam harinya, aku tiduran di pangkuan nenek. Nyaman rasanya. Kuhirup dalam-dalam aroma khas kain jarit yang dipakai oleh nenek. Masih sama seperti dulu. “Kau tak ingin menjenguk Kus?” pertanyaan nenek membuatku tersentak. “Om Kus?” tanyaku datar. “Semestinya kau menjenguknya, Mala. Dulu kau sangat sayang padanya bukan? Datanglah ke pondoknya esok pagi, sebelum ia berobat,” “Berobat?” *** Keesokan paginya, aku mengunjungi lelaki yang nenek sebut dengan nama Kus. Sewaktu kecil dulu, aku lebih suka memanggilnya dengan sebutan Om Koko. Jika kebetulan ia menjadi wali yang mengambil raporku di sekolah, dengan bangga aku akan memperkenalkannya kepada teman-temanku sambil menyebutkan nama lengkapnya, yang hanya terdiri dari satu suku kata. Kuswidiatmoko. Kata para tetangga, Om Koko adalah kekasih ibu. Mereka saling jatuh cinta karena Om Koko selalu mengiringi ibu menyanyi di panggung dengan piano klasiknya. Meski aku menyayangi lelaki bertubuh atletis itu, tapi aku sama sekali tidak berharap kelak ia menjadi ayah tiriku. Pondok Om Koko sangat teduh. Dikelilingi oleh pagar kayu yang dililit oleh bunga Alamanda. Sayup-sayup kudengar suara tuts piano beradu dengan pedal. Permainan itu amat akrab di telingaku. Meski terlambat mendengarkan untaian nada-nada itu, tetapi aku hafal judulnya di luar kepala. Tristesse, gubahan Frederic Chopin, komposer favorit Om Koko. *** “Om, bisakah suatu saat nanti aku bermain piano seperti Om?” tanyaku padanya ketika usiaku masih sepuluh tahun. Tubuhku yang mungil tampak tenggelam saat berdiri di samping grand piano akustik berwarna hitam mengkilat milik Om Koko. “Tentu saja kamu bisa,” jawabnya meyakinkan. “Mainkan satu lagu untukku, Om! Aku juga ingin memainkannya dalam mimpiku nanti,” ujarku sembari melemparkan novel berjudul ’Buku Catatan Josephine’ yang belum selesai kubaca ke sofa. “Mmmm…baiklah. Om mainkan sebuah lagu pengantar tidur untukmu,” bisiknya penuh sayang. Aku menyandarkan tubuhku di sofa, bersiap mendengarkan dia memainkan jemarinya di atas tuts gradded hammer yang tebal dan kokoh. “Apa judulnya?” “Tristesse,” jawabnya lembut. “Tristesse?” tanyaku sambil berusaha mengeja. “Ya, Tristesse. Kata itu berasal dari bahasa Perancis, yang artinya kesedihan. Komposisi ini juga dikenal dengan sebutan Etude Op. 10 No 3,” tutur Om Koko sambil tersenyum. Kedua lesung pipinya terlihat semakin cekung, menghiasi wajah tampannya yang terbungkus oleh jambang samar. Perlahan, alunan Tristesse mengantarkanku ke dunia bawah sadar. Anehnya, ketika aku terlelap sembari mendengarkan melodi itu dengan cermat, aku memimpikan diriku sendiri memainkannya. Jemari tanganku yang lentik dan lincah menari-nari di atas tuts piano. Sejenak, aku pun melupakan Eserine, nama obat tetes mata kakek yang baru saja kutemukan di novel yang beberapa menit lalu menyita perhatianku. *** Aku terhenyak. Peristiwa bertahun silam itu melesat cepat menembus memoriku. Kuayunkan satu langkah kaki mendekati pintu bercat cokelat di hadapanku. Aku mengintip dari jendela. Mataku terpaku pada sosok lelaki dengan helai-helai rambut berwarna kelabu. “Permisi!” seruanku ternyata tak membuat lelaki itu berhenti memainkan Tristesse. Agaknya, ia terlampau menikmati setiap gerakan jarinya yang menekan tuts-tuts berat piano Steinway di hadapannya. “Permisi!” seruku sekali lagi dengan nada sedikit kutinggikan. Tampak seorang wanita paruh baya menghampiri pintu sambil mengelap tangannya dengan celemek yang melilit perutnya. Wanita itu membukakan pintu untukku. Sesaat, ia terdiam sambil berusaha mencermati wajahku. “Kumala…kaukah itu?” seru si wanita seolah tak percaya. “Iya, ini aku, Mak!” balasku bersemangat. “Mala, Emak sangat merindukanmu,” ujar wanita bertubuh kurus itu sambil mendekapku erat. “Kau betul-betul sudah dewasa Mala. Dan kau amat mirip dengan Maya, ibumu,” lanjutnya. Aku pun hanya tersenyum tipis mendengar kalimat yang terlontar dari bibirnya. Dulu, Mak Min atau yang kerap kupanggil Emak itu sering datang untuk mengasuhku, jika kebetulan nenek sedang repot mengurus kakek yang sakit-sakitan. “Sejak kapan Mak Min bekerja di pondok ini?” tanyaku mengalihkan pembicaraan. “Sejak ibumu meninggal dan kamu pergi ke negara kompeni, Emak ikut Den Kus. Apalagi sejak kehilangan Maya, ibumu, pikiran Den Kus jadi agak terganggu. Tubuhnya juga jadi sakit-sakitan. Keluarga Den Kus lalu mengupah Emak untuk mengurusnya karena tak sanggup merawatnya sendiri.” “Jadi, karena itu Om Koko harus berobat?” “Iya, setiap sebulan sekali Den Kus menjalani terapi kejiwaan. Selain itu juga harus bolak-balik rumah sakit untuk berobat lambungnya yang terkena infeksi.” “Infeksi?” “Kata dokter, lambung Den Kus mengalami infeksi kronis. Kalau penyakit pikirannya sedang kambuh, ia bisa tak makan selama berhari-hari. Jadi lambungnya pun ikut-ikutan rusak,” ujar Mak Min prihatin. Ketika aku dan Mak Min sedang serius berbincang, tiba-tiba dari balik untaian korden manik-manik muncul seorang lelaki paruh baya berwajah kuyu. “Mak, siapa yang datang?” seru lelaki itu dengan suara parau. “Eh, ini Den! Ada tamu ingin menjenguk Aden,” jawab Emak dengan nada serba salah. Mungkin Emak takut membangkitkan kenangan pahit Om Koko akan masa lalunya bersama wanita yang ia cintai, yang tak lain adalah ibuku sendiri. “Maya?” seru Om Koko ketika melihat bayangan tubuhku mendekatinya. “Bukan, Om aku Kumala bukan Maya. Om sudah lupa padaku?” “Maya! Maya, aku sangat merindukanmu,” jawab Om Koko sambil berusaha memeluk tubuhku. Mendadak aku tak mampu membendung air mata yang terus saja menganaksungai di kedua pipiku. Aku sadar, aku menangis bukan karena sedih mengenang ibuku, melainkan kecewa karena Om Koko terus saja menganggapku sebagai dirinya. *** Sepuluh tahun yang lalu. Suatu hari, dari balik jendela pondok Om Koko, kulihat ibuku yang cantik jelita duduk di sampingnya menghadap piano. Ibu dengan sepasang tangannya yang berkulit kuning langsat, lengkap dengan sepuluh jemari lentiknya, memainkan tuts-tuts piano. Di banding seminggu sebelumnya, permainan piano ibu kali itu sudah lebih baik. Om Koko bersorak girang sambil mencium kening ibu, ketika ibu berhasil memainkan sebuah lagu dengan kunci accord sederhana. Aku tidak menyukai pemandangan mesra itu! Aku benci karena ibu bisa belajar bermain piano bersama Om Koko, sedangkan aku tidak. Kebencian itu semakin tak terkendali tatkala kupandangi kedua lenganku yang hanya sebatas siku orang normal, dengan dua tonjolan daging yang lebih mirip kue kaastengels dibanding ibu jari dan kelingking. Aku tidak bisa belajar bermain piano, itu salah ibu! Aku bisa berkata begitu karena aku kerap mendengar para tetangga bergunjing. Kata mereka, aku cacat akibat ibu yang pernah berusaha keras menggugurkanku ketika masih dalam kandungan. Tapi, kini aku cukup puas karena takdir berkata lain. Aku tidak mati di tangan ibu, melainkan sebaliknya. Mungkin hanya nenek satu-satunya yang menyadari, kalau ibu meninggal setelah meminum sirup lemon yang kubawakan untuknya. Sirup lemon yang sudah kucampur dengan banyak-banyak Eserine, sisa obat glaukoma kakek yang tertinggal di lemari. Untuk itulah, nenek mengirimku jauh ke Belanda, agar tak ada yang bisa menyalahkanku atas kematian ibu. Mungkin aku harus berterima kasih pada Josephine, tokoh gadis berusia dua belas tahun yang ada di novel yang kubaca itu. Atau sebetulnya, ibulah yang menyebabkan kematiannya sendiri, karena dialah yang menghadiahiku novel itu. Jadi, bukan salahku kalau aku meniru cara Josephine yang meracuni kakeknya, Aristide Leonides, dengan obat tetes mata yang namanya sama dengan obat kakek. Sayang sekali, ibu memang tak pernah menyadari telah melahirkan anak cacat yang kelewat cerdas, sehingga aku pun berhasil meracuninya dengan obat tetes mata itu. Dan dengan begitu, aku bisa memiliki Om Koko untuk selamanya, tanpa ada ibu sebagai pengganggu. Kebon Jeruk, 18 Juli 2010. 01.37 AM
""Piano""
Bagaimana bisa ada tumpukan mayat dalam menara Rashomon, baiknya kuceritakan dulu. Ini adalah Kyoto, kota yang ramai dan permai, dulu. Namun beberapa tahun silam, kota ini didera bencana beruntun. Gempa bumi, angin puyuh, kebakaran dan paceklik. Itulah sebab kota ini menjadi senyap dan porak poranda. Menurut catatan kuno, patung Buddha dan peralatan upacara agama Buddha lainnya hancur, dan kayu-kayunya yang masih tertempel cat dan perada ditumpuk di pinggir jalan, dijual sebagai kayu bakar. Dengan kondisi seperti itu, perbaikan Rashomon sulit diharapkan. Rubah dan cerpelai, musang dan burung punai, juga para penjahat, memanfaatkan reruntuhannya sebagai tempat tinggal. Dan akhirnya, bukan perkara aneh membawa dan membuang mayat ke gerbang itu. Setiap senja seperti sekarang ini, seperti saat si perempuan tua itu berjongkok sambil memandang wajah mayat perempuan itu, suasana menjadi teramat menyeramkan. Tak seorang pun—kecuali perempuan tua itu, tentu saja—berani mendekat. Perempuan itu sebatang kara, tak mempunyai keluarga. Perempuan itu tak menikah sebab tak ada lelaki yang ingin menikah dengan perempuan berwajah buruk seperti monyet. Apalagi ia bukan seorang kaya atau turunan bangsawan. Dulu, ia bekerja sebagai pelayan di rumah bangsawan Kyoto. Bertahun-tahun ia bekerja dengan baik dan tak pernah mengeluhkan gaji yang terlalu sedikit. Majikannya menyayanginya. Ia merasa bahagia. Dan sepertinya tak bakal ada alasan bagi majikannya untuk memberhentikannya. Ia sudah seperti keluarga saja dengan keluarga majikannya. Karena perlakuan seperti itulah ia tak terlalu bersedih sewaktu bapak ibunya meninggal terkena wabah penyakit. Namun ia keliru. Kondisi Kyoto pada waktu seperti ini mengalami kemunduran yang teramat cepat. Dan majikannya yang baik itu juga merasakan dampak kemunduran itu. Majikannya memecatnya. Majikannya bilang tak mampu lagi membayar gajinya yang tak banyak dan memberinya makan. Majikannya tak sekaya dan sebaik yang ia sangka ternyata. Kemudian ia pergi dari rumah majikannya. Dan karena ia tak mempunyai sanak famili untuk menumpang tinggal, juga rumah orangtuanya yang sempit telah lama dijual untuk biaya pengobatan mereka, maka ia melantung, tidur di emper rumah penduduk atau meringkuk di relung-relung reruntuhan bangunan yang banyak terdapat di seantero Kyoto bersama pencoleng dan orang-orang buangan. Awalnya ia kebingungan bagaimana bekerja dan mendapat uang untuk menopang kehidupannya. Ia tak punya keahlian apa-apa selain menyiapkan teh dan membikin sushi, menyapu rumah dan mencuci pakaian. Ia tahu, tak bakal ada yang mau menerimanya sebagai pelayan. Semenjak krisis berkepanjangan ini, orang-orang kaya tak lagi mencari pelayan baru, sebagian besar malah memecat pelayan mereka. Dan para istri saudagar atau bangsawan mesti belajar menanak nasi, membersihkan rumah dan merawat kebun. Krisis berlangsung terlalu panjang dan menimbulkan akibat yang teramat hebat. Pemecatan perempuan tua itu dan pelayan-pelayan lainnya barangkali hanya sekadar riak kecil saja dari kemunduran itu. Dalam kebingungan seperti itu, perempuan tua itu berpikir untuk menjadi pencuri. Ia kelaparan. Daripada mati kelaparan lebih baik ia mencuri. Tidak ada yang bisa dilakukannya untuk menopang hidupnya selain dengan mencuri. Namun belum sempat menjalankan pikiran itu, kesadarannya timbul. Tubuhnya sudah lemah dimakan usia, ia tak bakal bisa berlari cepat menyelamatkan diri bila terpergok pemilik rumah. Ia akan mudah tertangkap dan menjadi bulan-bulanan penduduk Kyoto. Itu akan sangat memalukan. Memang, seringkali rasa malu lebih penting dari perut yang kelaparan. Hingga pada suatu ketika, ia sampai di Rashomon. Dengan menaiki beberapa anak tangga, ia menuju menara yang teduh untuk beristirahat. Alangkah terkejut ia dan hampir saja semaput demi dilihatnya dalam menara itu bertumpuk mayat-mayat. Sebagian mayat-mayat itu berpakaian, sebagian lagi telanjang. Sebagian mayat laki-laki dan sebagian lagi perempuan. Mayat-mayat itu berserakan dan bertumpuk di lantai, serupa boneka-boneka dari tanah. Ada yang mulutnya menganga dan tangan terentang. Sulit baginya membayangkan bahwa mayat-mayat mengerikan itu pernah hidup sebelumnya. Perempuan tua itu nyaris berlari balik ke arah darimana ia datang, ke jalan yang tadi ia tempuh. Namun secepat ia berbalik badan, secepat itu pula terbersit pikiran untuk mendapatkan uang dari mayat-mayat itu. Barangkali di saku baju mayat-mayat yang masih berpakaian ada barang berharga yang tertinggal, barang berharga yang bisa dijual. Tapi mayat-mayat itu adalah mayat buangan. Bagaimana bisa ada barang berharga dari mayat-mayat semacam itu. Tentu orang yang membuang mayat-mayat itu telah lebih dulu mengambilnya. Namun ia menemukan ide yang lebih cemerlang. Dulu, sewaktu masih kanak-kanak, bapaknya pernah mengajarinya membuat cemara palsu dari bahan rambut. Itu bisa dijual. Dan kini di hadapannya, tersedia banyak sekali rambut untuk membuat cemara. Rambut mayat-mayat itu. Ia tinggal mencabutinya. Kemudian ia putuskan untuk tinggal dalam menara itu, tidur bersama tumpukan mayat-mayat itu. Senja ini, hujan mengguyur Kyoto. Perempuan tua itu tak peduli. Ia merasa nyaman dan terlindung dalam menara itu. Tadi siang seseorang melempar mayat baru ke dalam menara itu. Mayat perempuan dengan rambut panjang yang lembut, perempuan yang seperti ia kenal, atau paling tidak pernah ia jumpai, hanya saja ia tak tahu persisnya di mana dan kapan. Ia tak tahu kenapa wanita itu mati dan dibuang ke dalam menara. Tak ada bekas luka di tubuh mayat itu, karena itulah ia menyimpulkan perempuan itu meninggal karena wabah penyakit. Tapi itu tak menjadi pikiran yang penting dan perlu berlama-lama direnungkan. Ia juga tak peduli siapa yang membuang mayat perempuan itu. Yang penting baginya adalah sesegera mungkin mencabuti rambut di kepala wanita itu untuk membuat cemara. ”Alangkah bagus rambut ini. Tentu bakal jadi cemara yang bagus dan berharga mahal nantinya,” bisiknya pada diri sendiri. Setelah mengamati beberapa saat, perempuan itu menancapkan oncor kayu cemara di sela lantai papan, kemudian menaruh kedua belah tangannya pada leher mayat itu. Perempuan tua itu mulai mencabuti rambut panjang si mayat helai demi helai. Persis seekor monyet yang sedang mencari kutu di tubuh anaknya. Pada waktu itulah, ia teringat siapa perempuan yang kini menjadi mayat dan tengah ia cabuti rambutnya itu. Ia terlalu bersemangat mencabuti rambut mayat itu sampai tak tahu bahwa sedari tadi seseorang tengah mengamatinya. Seorang Genin, samurai kelas rendah. Genin itu tiba-tiba saja melompat dari tangga. Sambil menggenggam gagang pedang, lelaki itu menghampirinya dengan langkah lebar. Ia terkejut. Saking kagetnya, ia sampai terlonjak bagai dilontarkan dengan ketapel. ”Hei, mau ke mana kau?” hardik Genin itu seraya mencengkeram tangan perempuan itu yang bermaksud melarikan diri. Ia masih meronta-ronta dengan hebat. Namun sehebat apa pun rontaan dari tubuhnya yang lemah, tetap saja tak mampu membuatnya lolos dari cengkeraman Genin itu. ”Apa yang sedang kamu lakukan? Jawab! Kalau tidak mau mengaku…” Genin itu melepaksan cengkeramannya seraya menghunus pedang baja putih berkilau dan mengacungkannya ke depan mata perempuan tua itu. Namun perempuan itu bungkam, kedua tangannya gemetar hebat, napasnya terengah, matanya membelalak seperti hendak melompat keluar dari kelopaknya. Genin mengerti perempuan tua itu tengah ketakutan. ”Aku bukan petugas Badan Keamanan. Aku kebetulan lewat di dekat gerbang ini. Maka aku tidak akan mengikatmu atau melakukan tindakan apa pun terhadapmu. Kau cukup mengatakan sedang melakukan apa di sini.” ”Aku mencabuti rambut. Aku mencabuti rambut untuk membuat cemara.” Genin itu merasa kecewa dan kaget dengan jawaban sederhana dan di luar dugaannya itu. Perempuan tua itu melanjutkan, ”Ya, memang, mencabuti rambut orang yang sudah mati bagimu mungkin merupakan kejahatan besar. Tapi mayat-mayat yang ada di sini semua pantas diperlakukan seperti itu. Perempuan yang rambutnya barusan kucabuti, biasa menjual daging ular kering yang dipotong-potong sekitar 12 sentimeter ke barak penjaga dan mengatakannya sebagai ikan hering. Kalau tidak mati karena terserang wabah penyakit, pasti sekarang pun ia masih menjualnya. Para pengawak katanya kerap membeli, dan mengatakan rasanya enak. Perbuatannya tak dapat disalahkan, karena kalau tak melakukan itu ia akan mati kelaparan. Ia terpaksa melakukannya. Jadi, yang kulakukan pun bukan perbuatan tercela. Aku terpaksa melakukannya, karena kalau tidak, aku pun akan mati kelaparan. Maka, perempuan itu tentunya dapat pula memahami apa yang kulakukan sekarang ini.” Genin menyarungkan pedangnya kembali. Ia mendengar ocehan perempuan tua itu dengan dingin. ”Kau yakin begitu?” tanyanya dengan nada mengejek ketika perempuan itu telah selesai bicara. Lalu sambil mencengkeram leher baju perempuan itu, ia berkata geram. ”Kalau begitu, jangan salahkan aku bila aku merampokmu. Aku pun akan mati kelaparan kalau tak melakukannya.” Dengan kasar, lelaki itu merenggut pakaian si perempuan tua, menarik tangan dan menyepak tubuh ringkih itu hingga jatuh menerpa tumpukan mayat-mayat. Dengan mengempit pakaian hasil rampasan, Genin itu menuruni tangga dan hilang di ujung jalan. Beberapa saat kemudian, tubuh perempuan tua yang telanjang itu menggeliat di antara tumpukan mayat-mayat. Ia pandang berlama-lama tumpukan tubuh takbernyawa itu sambil memijit-mijit bagian tubuhnya yang sakit karena ditendang dan jatuh tadi. Ia memandang jasad-jasad itu seperti tak pernah memandang sebelumnya. Tiba-tiba ia bergumam, ”Alangkah damai mayat-mayat itu, alangkah tenang mereka yang tak lagi berurusan dengan perkara lapar, dengan perkara duniawi.” Pada waktu itu, ia ingin menjadi mayat. Terlentang di tempat itu. Tak lagi berpikir apa-apa. Tak lagi merasa sedih sewaktu ada seseorang yang datang mencabut rambut atau mengiris sekerat dagingnya.
""Perempuan Tua dalam Rashomon""
Dia menghuni sebuah rumah reyot dari batu tanpa jendela. Hanya ada satu pintu besi berkarat yang selalu berbunyi saat membuka dan menutup. Seluruh dinding rumah itu ditumbuhi lumut gelap yang lebat. Ulat-ulat gemuk berwarna hitam hidup dan beranak-pinak di dalamnya. Sesekali kulihat perempuan itu mencungkili ulat-ulat tadi dari dinding, memasukkan mereka ke dalam panci, dan membawanya ke dalam rumah. Aku tak tahu apa yang dilakukannya dengan ulat-ulat tadi. Tapi tak lama sesudahnya, asap akan membubung dari cerobong. Ulat-ulat tadi mungkin telah jadi sup atau ramuan pembuat gila. Aku percaya dia adalah seorang penyihir. Sejak tinggal di kepalaku, belasan tahun yang lalu, perempuan itu seolah berhenti menua. Aku tak menyukainya. Dia tak menyukaiku. Dia menyukai apa yang tidak kusukai dan tidak menyukai apa yang kusukai. Dia memakiku ketika aku menolong anak laki-laki yang jatuh dari sepeda, dan menjerit-jerit marah ketika suatu pagi aku menikmati suara burung-burung pertama di pohon depan rumah. Jeritannya membuat burung-burung itu kabur ketakutan. Tapi ia bertepuk senang ketika aku menempeleng pengendara motor yang memotong jalur mobilku. Atau mengajukan saran-saran balas dendam yang benar-benar bagus ketika aku bersungut-sungut keluar dari ruang kerja bosku setelah setengah jam penuh diceramahi karena terlalu sering terlambat. Satu sarannya kujalankan. Hari itu bos terpaksa pulang naik taksi karena dua dari empat ban mobilnya kempes. Tak seorang pun mencurigaiku. Di saat-saat terburuknya, perempuan tua itu benar-benar menyulitkan. Dia akan memukuli bagian dalam kepalaku dengan tongkatnya, atau menusuk-nusuk otakku dengan jarum jahitnya yang besar. Sakitnya luar biasa. Aku hanya bisa diam-diam menangis sambil membentur-benturkan kepalaku ke benda-benda keras yang terdekat: tembok, pintu, kepala tempat tidur, meja, kursi, wastafel, pinggiran bath tub,… apa saja – dan baru berhenti setelah dia berhenti. Aku pernah mengusirnya. Tentu saja dia tak mau. Aku mengancam akan meledakkan kepalaku. Dia malah menantang, ”Coba saja kalau berani!” Dia menang. Aku memang pengecut. Sejak itu, dia makin kejam dan sewenang-wenang. Aku tak bisa berbuat lain kecuali belajar menahan rasa sakit agar dia tak selalu menang. Tapi sore ini dia cukup tenang. Mungkin karena aku sekedar duduk minum kopi di sebuah café di sebuah mal dengan pikiran kosong. Sesuatu yang tak membuatnya geram ataupun senang. Tak banyak yang lalu lalang di tengah minggu seperti ini. Cuma gadis-gadis dengan baju serba terbuka. Ibu-ibu muda dengan rambut bergulung-gulung dan wangi yang menyengat hidung. Di belakang mereka, rombongan baby sitter berseragam kedodoran membuntuti dengan tergopoh-gopoh. Beberapa menggendong bayi, lainnya membawa tas berisi botol-botol susu dan air panas yang terlihat berat. Tiga lelaki gemuk lewat dengan celana dan kemeja berbunga-bunga cerah yang tak serasi. Satu dari mereka mengenakan kalung dan anting-anting emas. Aku menunduk muak. ”Sen!” Seorang lelaki tiba-tiba menjulang di depanku. Tinggi, tegap, wangi. Wajahnya bersih. Senyumnya berkilau. Aku langsung teringat sebuah iklan pasta gigi, tapi kesulitan mengingat siapa dia. Mataku pasti penuh tanda tanya karena matanya kemudian dengan sabar menuntunku ke sebuah gudang di satu siang, belasan tahun yang lalu. Di satu sudutnya, seorang anak lelaki kecil dengan celana pendek hijau berjongkok di sebelahku. ”Jangan takut,” bisiknya. Tangannya lalu menggenggam tanganku. Dengan tangan yang lain dia mengangsurkan sehelai selampai untuk menghapus air mata dan ingus. Aku masih menyimpannya hingga kini. ”Ben?” Tanyaku ragu. Dia mengangguk. Senyum pasta giginya melebar, nyaris menunjukkan geraham. Dia langsung duduk di depanku dan, seperti dulu, menggenggam tanganku. Aku tak sempat merasa jengah. Tapi ulu hatiku mendadak kram dan di perutku seekor kupu-kupu raksasa mengepak panik. ”Kamu menghilang begitu saja!” Protesnya. Aku tak yakin harus menjawab apa. Sejak gudang itu, kami memang tak pernah bertemu lagi. Baju pengantin yang kugunting hingga jadi potongan-potongan kecil tak membatalkan pernikahan ibu. Sehari sesudahnya, kami pindah kota mengikuti ayah baruku. Aku minta maaf karena tak sempat berpamitan. Aku berbohong. Sesungguhnya, aku tak berani menemuinya karena takut ia akan meminta sapu tangannya kembali. Aku ingin menyimpannya. Ben percaya dan memaafkanku. Ia memesan secangkir kopi, lalu duduk menemaniku. Tak banyak yang bisa kukatakan. Butuh waktu untuk memilah-milah tumpukan cerita yang seketika menggunung di belakang kepala. Ben cukup bijak untuk tak bertanya apa-apa. Dia cuma menyesap kopinya pelan-pelan sambil sekali-sekali menatapku. Aku berkali-kali menelan kata-kata yang tersangkut di pangkal lidah. Ketika dia menggenggam tanganku untuk kedua kalinya, kelopak mataku memejam. Di baliknya, perempuan tua itu duduk dengan muka masam. Matanya berkilat sepekat malam. *** Lelaki yang dicintai ibu mencintaiku juga. Ia suka membelai kepalaku dan membelikan aku berbagai jajanan: permen dan aneka keripik yang mengandung msg. Aku tahu, permen tak baik untuk gigi, dan msg tak baik untuk otak, tapi aku tak peduli. Ibu tak pernah membelikan jajanan dan tak memberikan ayah. Jadi, lelaki ini ideal. Ia akan jadi ayah yang suka membelikan jajanan. Ia sering memintaku duduk di pangkuannya. Sambil bercerita tentang rumahnya di kota lain yang punya kolam ikan koi, tangannya akan membelai pahaku. Aku suka geli dan menyuruhnya berhenti. Tapi ia tak peduli. Ibu juga tak peduli. Ibu malah senang karena ada yang menjagaku di rumah jika ia menghabiskan waktu dan uangnya di mal. Di hari perempuan tua itu datang, ibu meninggalkanku dengan laki-laki itu. Dari udara yang tipis perempuan tua itu menjelmakan burung-burung hitam. Tujuh ekor banyaknya. Mereka berjajar dengan gelisah di bubungan rumahnya. Menanti. Mengancam. Lalu, dengan satu isyarat tangan, gagak-gagak itu menyerbu bola mataku, mematuk-matukinya tanpa ampun. ”Tutup matamu. Kamu tak akan merasa sakit.” Lelaki itu berbohong. Aku merasakan nyeri yang luar biasa di bawah sana. Dan tetap nyeri walau mataku telah terpejam. Aku menjerit. Lelaki itu membenturkan kepalaku ke tembok. Aku menjerit lagi. Ia membenturkan kepalaku lagi. Lagi. Lagi. Aku nyaris pingsan karena sakit yang tak tertahan. Dan rasa mual yang bergulung-gulung. Sesuatu tiba-tiba meledak dalam duburku. Cengkeraman lelaki itu seketika melemah. Ia mencampakkanku di lantai. Isi perutku tumpah saat itu juga. Entah berapa lama aku tak sadar. Ketika mataku terbuka, burung-burung hitam telah pergi. Perempuan tua itu berdiri diam, mengamatiku berkubang dalam muntahku sendiri. *** Di depan pintu itu, ia berdiri dengan senyum yang harum. ”Aku berharap kamu cukup lapar.” Ben menjawab bahwa dia sudah tak makan tiga hari. Aku terbahak. ”Aku bahkan bisa makan daging mentah,” lanjutnya, sambil mengerling nakal. Ia mulai genit. Meski begitu, aku merasa sedikit tersanjung. Telingaku tiba-tiba berdenging. Perempuan tua itu menggeserkan ujung tongkatnya yang tajam ke dinding kepalaku. Ben masuk tanpa kusilahkan. Dengan santai ia melepas sepatu dan melempar tubuhnya ke sofa. Seketika ia melesak. Busa sofa tua itu memang terlalu empuk. ”Apartemenmu nyaman,” pujinya. Matanya menjelajahi studioku yang cuma 42 meter persegi. Dari tempat dia duduk, semua bisa terlihat. Tak sampai lima menit ia selesai memindai semuanya: pintu masuk, dapur kecil, ruang makan kecil, ruang kerja kecil di samping jendela, sofa bed, dan kamar mandi mungil yang cuma ditutupi korden. Aku menawarinya minum. Ia menolak halus. Matanya tajam menatapku. Jantungku langsung berdebar gila. Agak gugup, aku kembali ke dapur. Sambil pura-pura mencuci tangan yang tak kotor, aku menenangkan diri. ”Aku membuat greek salad dan fish linguini. Kita makan?” Di atas meja sudah kusiapkan dua piring, dua set sendok, garpu, dan pisau, dua gelas air putih, dua gelas kosong untuk anggur nanti. Semuanya tertata rapi. Ben berdiri menghampiri. Aku menarik kursi, bersiap untuk duduk. Tapi Ben menarik tanganku, menghela tubuhku mendekatinya. ”Kita langsung ke acara utama saja,” ujarnya dengan bibir yang hanya berjarak satu senti dari bibirku. *** Ibu bilang, anak laki-laki tidak boleh cengeng. Ia tetap pergi meski aku merengek-rengek memintanya tinggal. Saat itu, aku benar-benar membencinya. Laki-laki itu bilang, aku tak boleh bercerita pada ibu, atau ia akan benar-benar menyakitiku. Di balik pintu aku berdiri kaku dengan bibir terkatup rapat dan tinju terkepal erat, lalu mulai berhitung. Satu, dua, tiga. Laki-laki itu menggandengku ke kamar. Empat, lima, enam. Laki-laki itu melucuti celanaku. Tujuh, delapan, sembilan. Ia menelungkupkanku di tempat tidur. Tangannya mulai menggerayangi pantatku yang terbuka. Aku menutup mata erat-erat. Di hitungan kesepuluh, pintu rumah perempuan tua itu terbanting terbuka. Mukanya marah. Sebelas, dua belas. Lelaki itu menindih tubuhku. Napasnya mulai terengah. Tiga belas. Perempuan tua itu berteriak garang. Dari mulutnya keluar kata-kata paling kotor yang pernah kudengar. Laki-laki itu terjengkang kaget. Dengan sigap perempuan tua itu meraih lampu baca di samping tempat tidur. Sepenuh tenaga, dihantamkannya kaki lampu itu ke kepala laki-laki. Besi beradu tulang. Aku mendengar suara retak. Tubuh lelaki itu terpuruk ke lantai. Darah merembes pelan dari lukanya. Sekali lagi perempuan tua menghantamnya. Lagi. Lagi. Lagi. Empat belas, lima belas. Lelaki itu tak bangun lagi. Di dalam kepala, tawa serak perempuan tua itu menggema tak henti-henti, menelusup ke rongga-rongga kecil di tengkorakku. Aku menggigil. Rasa dingin seketika menyelimutiku. *** Sambil berbaring di tempat tidur, kuceritakan pada Ben tentang masa kecilku yang bahagia. Ayah tiriku mati muda. Tapi ibuku segera menikah lagi. Kami pindah keluar negeri. Aku punya dua adik tiri perempuan yang manis-manis. Ibuku meninggal tahun lalu setelah tiga tahun menderita kanker rahim. Aku kembali ke sini sesudah lulus kuliah dan langsung bekerja sebagai editor mode di majalah wanita dengan oplah terbanyak di Indonesia. Hingga kini. Ben membelai rambutku. Dia bilang, dia senang bisa bertemu kembali denganku. Sejak berpisah dulu, dia tak bisa melupakanku. Mataku berair. Ben terlihat kuatir. ”Kenapa, sayang?” Aku bahagia, sahutku cepat. Di dalam kepalaku, perempuan tua itu menggerutu. Ember di tangannya kini kosong. Aku tak tahu, cairan apa yang tadi disiramkannya ke mataku. Rasanya perih sekali. ____ Jakarta, 26.11.10.
""Perempuan Tua dalam Kepala""
Tentu bukan sesuatu yang aneh kalau cuma menyorongkan wajah, tetapi ini, seperti kemarin kata Ben, bibir perempuan itu bergerak-gerak samar. Jadi, apakah benar, Kak Ros sedang bicara dengan daun-daun? Dan tampaknya, bukan hanya bicara. Tangan Kak Ros bergerak lembut, menyentuh, mengusap daun-daun. Tangan yang lain, dengan tak kalah hati-hati, menyemprotkan air dari botol sprayer sedemikian rupa, hingga tampak seperti seorang ibu yang memandikan dan mengeramas rambut anaknya. Tempo-tempo, semprot dan usapan itu terhenti, lalu jarinya tampak seperti mengutip dan memindahkan sesuatu dari tangkai atau punggung daun, juga sangat lembut dan hati-hati. Kembali aku ingat kata Ben. Apakah perempuan itu tengah memindahkan semut, atau serangga kecil lain, agar tak terpelanting oleh semprotan air? ”Naa,” tepukan halus di pundak mengejutkanku, ”Om memerhatikannya.” Ben yang rupanya juga telah keluar dari kamar, berdiri di sampingku. ”Aa… ti-tidak.” ”Jangan bohong,” nada Ben menggoda. ”Sangat lembut ya?” ”Si-siapa?” Entah kenapa aku agak gugup. ”Yaa, dia!” Telunjuk Ben bergerak sedemikian rupa, membentuk paruh burung pelatuk, mematuk ke arah Kak Ros. Senyum Ben, sungguh menjengkelkan. Seraya melotot, kudorong tubuhnya dengan bahu, kusorongkan wajah, lalu mendesis: ”Berapa usianya, berapa usiaku?!” *** Ben adalah ponakanku, anak sulung kakak perempuanku paling tua. Meski Ben memanggilku ”om”, usia Ben hanya tiga tahun lebih muda. Karena bisa dibilang sepantaran, sejak kecil kami memang lebih tampak seperti sahabat, maksudku bila dibanding hubungan paman-ponakan. Dan itulah sebabnya, ketika ada undangan pertemuan sastra ke sini, Tanjungpinang, kota tempat Ben merantau dan bekerja di sebuah mal, aku lebih memilih menginap di tempat kost Ben ketimbang hotel yang disediakan panitia. Agak aneh sebetulnya. Pertemuan yang jarang, ditambah kenyataan bahwa ini merupakan kunjungan pertamaku ke tempat Ben, mestinya membuat kami tenggelam dalam nostalgia baku-canda. Tetapi itu hanya sebentar, cuma di hari pertama. Di hari kedua dan kemarin, obrolan Ben melulu itu: Kak Ros, ibu kostnya yang sudah hampir separo baya, tapi masih lajang, sangat lembut, halus, pengasih, dan seperti bisa bicara dengan daun-daun. Bisa bicara dengan daun-daun? Tentu saja aku tak percaya. Setelah membantah, menyanggah ini-itu, kubilang, ”Daun memang sangat mungkin disukai, disenangi, bahkan disayangi orang, Ben. Orang yang sangat sayang pada daun bisa saja tampak seperti bercakap-cakap saat merawatnya.” ”Maksud Om, bunga?” ”Bukan. Daun. Tidakkah menurutmu daun sangat luar biasa?” Wajah Ben seperti bingung. ”Daunlah yang membongkar molekul air, menghasilkan oksigen yang dilepas ke udara. Daunlah makhluk yang bisa memasak makanan sendiri. Dan karenanya, tahukah kau, kalori yang mengalir dari satu mata rantai ke mata rantai lain itu sesungguhnya berawal dari daun?” Ben tertegun, tersipu, sekaligus tampak jengkel kuceramahi. Maka baik ceramah lalu kurampungkan dengan canda, ”Kau boleh lupakan pelajaran biologi-mu, Ben. Tetapi, untuk hal-hal penting tentang hidup, sebaiknya kau selalu ingat.” Ben tertawa, menonjok pundakku. Maka baik topik ini tak kulanjutkan dulu. Kubilang tak kulanjutkan dulu, karena memang ada hal yang sebenarnya Ben harus tahu. Bahwa aku, telah tiga tahun ini, juga menanam dan memelihara banyak tanaman. Menyukai dan menyenangi dan menyayangi bermacam daun. Ya, seperti Kak Ros. Semua tanaman di pekarangan ini, tapak dara, sangitan, salam, sinyo nakal, tempuyung, suruhan, sidaguri, srikaya, tahi kotok, juga kumiliki. Pun berbagai tanaman lain, temu giring, siantan, sosor bebek, daun dewa, sente, sereh wangi, senggani, dan banyak lagi. Ya, aku seperti Kak Ros. Itulah yang membuatku sangat yakin Ben keliru. Tetapi, itu pulalah yang membuatku tertegun (dan lalu tampak gugup?), ketika, tadi, betul-betul melihat Kak Ros seperti bicara dengan daun-daun. Tetapi ah, bukankah bisa saja kalau aku cuma salah lihat? Turun dari kamar (merupakan bagian dari paviliun) ke lantai satu, lalu melangkah menuju pintu pagar (yang tak begitu jauh dari Kak Ros) di samping taman, aku tak bisa menahan diri untuk tak lebih memerhatikan perempuan itu. Dan tidak, ia tidak tengah bicara. Mulutnya memang agak sedikit terbuka. Ataukah sudah? Dan oh, ia memang tengah mengutip memindahkan serangga. Sangat hati-hati. Sangat lembut. Ah, sungguh halus. Tiba-tiba ia menoleh, dan kami bersitatap. Cepat aku tersenyum. Ia membalas. Matanya, matanya. *** Sampai di ruang seminar, di lantai empat sebuah hotel, aku tak bisa fokus pada topik yang disampaikan pemakalah. Entah kenapa, mata itu, sorot mata Kak Ros, bagai terus terbayang di kepalaku. Ada apa ini? Ada apa dengan diriku? Tidak, ini bukan debar, ini bukan soal rasa yang digodakan Ben. Sorot itu, sangat lembut (atau sangat tenang?), tetapi… Sampai istirahat siang, sampai kemudian masuk lagi, masih juga pikiranku ke mata itu. Tetapi untunglah, saat istirahat sore, aku tenggelam dalam obrolan menarik dengan kenalan baru. Seorang penyair, sastrawan setempat. Mulanya kami bercerita tentang tempat-tempat menarik di kota ini. Saat obrolan beralih ke hal-hal lebih khas, lebih spesifik, aku mendapat pengetahuan tentang sesuatu: papaitan. Papaitan? Ya, benar, nama daun juga. Daun yang kata si teman bisa diramu untuk mengobati tipus, TBC, dan darah tinggi. Ah, sayang ia tak tahu nama Indonesianya, atau nama dalam bahasa daerah lain. Dari gambaran yang ia berikan, daun itu mirip-mirip sembung. Tetapi tentu bukan sembung, karena sembung (yang nama latinnya blumea balsamifera) manfaatnya beda: mengobati diare, malaria, dan jantung. Kuminta ia bertanya ke sesama peserta seminar dari Tanjungpinang, tetapi tetap tak ada yang tahu. ”Eh, kenapa kau begitu peduli pada daun?” tanyanya heran. Kutatap wajahnya. Berkelebat wajah Ben. Pertanyaan tolol. Hih, kenapa ada tolol di mana-mana. Harusnya aku yang bertanya, kenapa mereka tak peduli daun: sumber hidup mereka, asal kalori mereka. Semua tanaman, daun-daun yang kupelihara itu, bahkan bisa menyelamatkan mereka dari penyakit apa pun. Dan mendadak, kembali aku terbayang Kak Ros. Lembutnya. Halusnya. Dan betapa ia tentu menangis setiap melihat daun-daun dirambah, pohon-pohon ditebas. Tetapi, tetapi, matanya… Kembali aku disergap, oleh mata itu. Sampai saat seminar selesai, sampai orang-orang tetap belum bubar walau harusnya sudah istirahat karena mesti bersiap-siap untuk pagelaran seni nanti malam. Aneh, aku seperti tak sabar. Orang-orang tetap masih belum pulang saat kuputuskan meninggalkan ruang seminar. Ben tentu juga belum pulang, aku tahu. Tetapi ini tak ada urusan dengan Ben. Masih di balik pagar, saat kulihat sosok Kak Ros di taman. Ya, aku tahu, perempuan itu akan kembali ada di taman pada sore jam-jam segini. Tetapi, saat aku sudah membuka pintu pagar dan sudah pula melangkah ke dalam, sosok Kak Ros bergeming. Ia tetap dalam posisi itu: menunduk, seperti terpaku, menatap ke rimbun daun suruhan di ujung kakinya. Merasa heran, mataku ikut memerhatikan apa yang ia tatap. Tak ada yang aneh pada rimbun daun suruhan itu. Eh, ada. Beberapa batangnya yang lunak tampak seperti patah. Mungkin aku ikut tertegun. Sejenak. Saat aku akan meneruskan langkah, ia baru sadar akan kehadiranku dan mengangkat wajah. Kami bersitatap. Mata itu… ”Kucing. Kucing itu lagi. Telah beberapa kali ia mematahkan daun-daunku.” *** Besoknya, Sabtu. Hari keempat aku di sini, hari ketiga seminar sekaligus penutupan. Hanya sebentar aku di ruang seminar, dan setelah meminta dengan sedikit membujuk, si kenalan tolol kemarin bersedia mengantarku mencari memperlihatkan seperti apa wujud daun papaitan. Namun, tak setiap waktu kita punya hari yang baik. Setelah mencari ke mana-mana, bahkan juga ke tukang obat tradisional—mereka menyebutnya bomo, yang menurut si teman biasa menggunakan daun itu, agaknya aku harus menerima kenyataan daun papaitan mungkin hanya kutemukan di kesempatan lain. Lagipula, ini sudah hampir sore. Jelas sekali terlihat kecemasan di wajah si teman. Rautnya seolah nyaris berkata, ”Kenapa daun bisa begitu lebih penting bagi kau ketimbang seminar?” Hih, tentu saja lebih penting. Apalagi dibanding semacam seminar. Sastra itu dunia kreatif, dunia melakukan. Maka yang paling penting ya menulis, bukan berkumpul-kumpul membuat rumusan. Ah, penyair. Kau mestinya tahu: betapa indah yang diungkapkan kata, dan betapa buruk pengarangnya. Dan memang, sampai kembali di lokasi seminar, acara sudah hampir selesai. Membayangkan orang-orang berkumpul tetapi enggan pulang—seperti kemarin itu, tiba-tiba kembali berkelebat wajah Kak Ros. Dan mendadak, tiba-tiba pula, melintas pikiran itu: kenapa aku tak coba menanyakan daun papaitan kepada Kak Ros? Ah, kenapa aku sampai lupa ada seseorang yang sangat mungkin tahu, tak jauh-jauh dariku, dan seseorang itu justru orang yang tak lepas-lepas dari kepalaku. Bergegas aku pulang. Dan karena ini jam-jam yang lebih kurang sama dengan saat aku pulang kemarin, kukira aku juga bakal segera menemukan Kak Ros di taman itu. Tetapi, ternyata tidak. Kulayangkan pandang ke atas rumah. Juga seperti kosong. Akan kulangkahkan kaki menaiki teras, menuju pintu depan, saat kudengar lengking suara kucing dari halaman samping. Lengking yang aneh. Seperti gerung ngeong keras, lalu tiba-tiba terhenti. Ada pula suara seperti pukulan (atau tumbukan?) beruntun, lalu satu-satu. Segera aku bergerak, melangkah ke situ. Dan oh, betapa aku terkejut. Di situ, di bawah teras halaman samping, pemandangan itu menyambutku. Kepala seekor kucing, nyaris gepeng, menjulur dari karung goni. Kedua tangan Kak Ros terangkat, memegang sebongkah batu besar, siap diempaskan kembali ke kepala si kucing. Tangan itu terhenti. Kak Ros menatapku. Mata itu. Mata itu. Baru aku tahu. Bukan lembut bukan tenang, tetapi dingin. Sangat dingin. Membuatku kini menggigil. *** Tanjungpinang, 30 Oktober 2010
""Kak Ros""
Lelaki itu tak bisa mengelak dari kenyataan yang menyakitkan ini. Serta-merta ia terhempas ke dalam duka yang nyaris tanpa ujung. Bukan semata tersebab kehilangan orang yang begitu ia cintai tapi juga sumber penghidupan. Selama ini, istrinya itu rutin mengirimkan uang asing dari negeri asing yang jika dirupiahkan, jumlahnya bisa membiayai lebih dari cukup hidupnya bersama anak semata wayang mereka. Kenyataan yang tak dinyana itu memaksanya kembali menggeluti pekerjaan semula, berjualan obat tradisional racikan sendiri, di pasar. Tak seberapa uang yang bisa diperoleh dari situ. Bahkan, sering kali ia tak beroleh rupiah sama sekali. Masa jayanya tak lagi berbekas. Telah banyak penjual obat yang bermunculan sepeninggalannya. Orang-orang itu lebih lihai menggoda calon pembeli, menggelitik-gelitik rasa penasaran dengan mulut berbumbu mereka, menghipnotis secara tidak langsung sampai membuat mereka menjadi pelanggan setia. Ia duduk terpaku dalam lamunan di belakang hamparan obat-obatan jualannya. Ia hanya mengandalkan tulisan sendiri di sebuah papan yang mengumumkan bahwa dialah penjual obat pertama di pasar itu sehingga semestinya kemanjuran obat yang ia jual tak akan ada yang bisa menandingi. Setelah hari-hari tanpa hasil, hari ini hatinya senang bukan kepalang. Seorang kawan lama mampir dan lebih karena rasa kasihan, membeli sebotol obat gosok buatannya dengan bayaran dua kali lipat dari harga yang ditawarkan. Ia pun segera pulang setelah sebelumnya membeli dua bungkus nasi padang. Ia memutuskan untuk makan duluan. Sebungkus lagi ia sisakan buat anaknya. Ia sangat menyayangi anaknya yang sudah beranjak bujang itu. Selama ini, dialah yang berperan besar menghalau kesepian dan kesendirian si penjual obat. Anak itu pula menjadi alasannya untuk kuat bertahan menjalani sisa hidup, meski dalam kesulitan, sepeninggalan istri tercinta. Sampai malam tiba, anaknya tak segera menampakkan diri. Memang, waktu berangkat sekolah tadi pagi ia sempat berpamitan sambil mengatakan: sepulang dari sekolah, ia langsung menonton pertandingan bola di ibu kota. Klub kesayangannya akan main. Sampai pagi keesokannya, anak itu belum juga datang. Justru mobil ambulans tiba dengan membawa sesosok jasad dalam kondisi yang mengenaskan. Itulah anaknya. Ia tewas setelah terjatuh dari atap kereta api yang tengah melaju. Dibantu oleh orang-orang kampung, dalam suasana hatinya yang tak karuan, anak itu dimakamkan siang itu juga. Mulai malamnya, ia merasakan kesepian yang menakutkan, hidup sebatang kara yang begitu menyakitkan. Ia dikungkung kesepian yang mencekam, seperti yang mungkin dirasakan orang yang baru saja mati meninggalkan dunia dan susah payah beradaptasi dengan kehidupan di alam kubur yang benar-benar asing. Tak tahan dalam teror penderitaan itu, dua minggu kemudian, ia nekad menggali kuburan anaknya. Pikirnya, daripada mereka hidup masing-masing di tempat yang berbeda, lebih baik mereka kembali hidup berdua lagi meski anaknya hanya tulang belulang kini. ”Aku kesepian. Kau pasti kesepian juga. Baiknya kita tetap hidup bersama saja. Kalau ibumu, tak akan sendirian dia dalam kubur. Ada nenek dan kakekmu di sana.” Ia berbicara pada tulang belulang anaknya itu. Tulang belulang itu ia bebaskan dari lumpur dan kotoran, ia mandikan. Ia sirami dengan minyak wangi, ia sayangi kemudian. Ia pun mengajaknya bertukar cerita sampai larut malam, sampai ia tertidur tak lagi memeluk guling, tapi tulang belulang itu. Malam itu juga, ia bermimpi indah. Esok paginya, seperti biasa, dari rumah ia beranjak menuju pasar. Ada pemandangan yang tak biasa bagi orang-orang pasar pagi itu. Mereka melihatnya membawa tulang belulang. Mulanya orang-orang terteror dan enggan mendekat. Namun, lama kelamaan, rasa penasaran memicu terjadinya kerumunan di sekitar lelaki yang mereka kenal sebagai penjual obat itu. ”Apakah itu dijual?” ”Tidak.” ”Tulang belulang siapa itu?” ”Anakku.” ”Ha?” Orang-orang langsung saja bubar jalan usai mendengar pengakuan yang mengejutkan itu. Dalam bisik-bisik, mereka mencapnya gila. Meski kerumunan telah bubar, ada seorang lelaki muda yang justru bertahan di hadapan si penjual obat. ”Mengapa masih di sini. Mengapa tak pergi juga seperti mereka?” Lelaki itu tersenyum dan mengajukan permintaan yang aneh: ”Aku meminta air bekas bilasan tulang belulang itu.” Penjual obat tersinggung dan tak mengindahkan permintaan itu. Karena tak digubris, lelaki muda itu berinisiatif mendapatkan sendiri apa yang dipintanya. Penjual obat tak sempat menghalangi gerak cepat lelaki muda itu yang mengambil salah satu bagian dari tulang belulang untuk kemudian ia siram. Air bekas menyiram tulang yang tertampung dalam baskom itulah yang kemudian diambilnya. Ia bergegas pergi dengan wajah sumringah setelah meninggalkan begitu saja selembar uang lima puluh ribu di hadapan si penjual obat. Meski masih dilanda kebingungan bercampur marah yang tertahan, penjual obat menyambar uang itu dan memasukkannya ke sela kopiah miringnya. Ia mencoba untuk tenang dan menimbang-nimbang dengan akal, apa yang sesungguhnya terjadi barusan. Ia pun sampai pada kesimpulan bahwa, lelaki tadi pasti menganggap tulang belulang anaknya itu sebagai pembawa berkah. Dengan demikian, dalam sukacita ia mengambil air bilasan dari belulang itu demi hajat tertentu. Ia tak mau memperpanjang pikiran ke arah kejadian yang barusan. Ia cukup puas dengan pemberian lelaki muda itu. Dengan uang selembar tersebut, ia tak lagi perlu menjajakan dagangannya hari ini. Ia memutuskan pulang. Dari perhitungan, uang itu cukup untuk keperluan hidup sampai tiga hari. Ia akan berdiam diri saja di rumah selama tiga hari ke depan. *** Ia belum bangun pagi itu. Pintu rumahnya digedor-gedor seseorang. Lebih karena ingin mengakhiri teror gedoran daripada mengetahui siapa yang melakukannya, ia beranjak dari tidur dan membuka segera pintu rumah dengan harapan urusan segera kelar dan ia bisa segera melanjutkan tidur. Ia tak begitu memperhatikan siapa yang berada di ambang pintu. Ia hanya mendengarkan beberapa baris omongannya. Permintaan lelaki itu, yang ingin mendapatkan lagi air siraman dari tulang belulang anaknya, membuatnya tahu itu pasti lelaki terakhir yang memberinya uang lima puluh ribu tiga hari yang lalu. ”Oh.. kamu..” ”Ya, Pak. Berilah lagi saya air tulang belulang itu. Soto saya laris manis tiga hari ini berkat kuah yang saya campurkan dengan air tulang belulang dari Bapak. Para pembeli bilang, kuah soto saya dahsyat nikmatnya.” ”Dari mana kamu tahu saya tinggal di sini?” ”Sama seperti waktu saya menemukan Bapak beberapa hari yang lalu di pasar, saya menemukan tempat tinggal Bapak ini berdasarkan bisikan spiritual.” ”Bisikan spiritual?” Meski belum begitu paham dengan penjelasan si penjual soto, ia tak bisa mengelak untuk memenuhi permintaannya. Lebih-lebih lagi lelaki itu telah menyodorkan uang yang berlipat jumlahnya dibanding yang lalu. Kali ini, tiga lembar seratus ribuan. Tanpa berpanjang lebar, ia segera menyiram tulang belulang anaknya dan mengisi jeriken lima liter bawaan si penjual soto. Sepeninggalan penjual soto, dia meledak dalam girang bukan main. Dari perhitungan, uang itu akan cukup untuk hidup selama seminggu. Ia segera menghampiri tulang belulang anaknya, memeluknya sebagai ungkapan rasa terima kasih tak terhingga. *** Kabar mengenai kehebatan air bilasan tulang belulang milik si penjual obat segera merebak ke mana-mana, terbang bersama angin ke segenap penjuru. Setelah si penjual soto, berdatangan beragam orang, dari beraneka profesi, beragam desa dan kota dengan tujuan yang sama: ingin sukses dalam bidangnya masing-masing dengan air bilasan tulang belulang. Sesungguhnya, ia sendiri sangsi dengan khasiat air tulang belulang itu sebagaimana yang mulai banyak diyakini orang-orang. Ia pun tak tahu sampai sejauh mana keyakinan orang-orang itu akan bertahan. Meski demikian, ia akan tetap melayani. Kapan lagi ia bisa memperoleh uang banyak dengan cara yang begitu mudah, bukan? Kini, ia menetapkan tarif. Untuk satu jeriken lima liter air rendaman tulang belulang, ia memungut lima ratus ribu rupiah. Meski terhitung mahal, tak ada yang keberatan. Semakin hari semakin banyak orang yang berbondong-bondong dan rela antre kepanasan selama berjam-jam demi mendapatkan air rendaman tulang belulang. Sampai saatnya kemudian, si tukang obat tak sanggup melayani sendiri orang-orang yang berdatangan tanpa henti. Ia lantas mengupah dua orang tetangganya sebagai asisten dan mulai menetapkan jam buka dan jam tutup pelayanan. Orang yang berdatangan makin tak henti-henti. Meskipun suatu hari kenyataan pahit datang ke hadapan mereka di mana si penjual obat tak lagi bisa memberikan air rendaman tulang belulang sebab tulang belulang anaknya hilang. Ia tak tahu siapa yang telah mencurinya. Ia kini hanya mampu bersedih tanpa henti. Ia menyesal tak bisa menjaga dengan baik tulang belulang itu sampai-sampai ia mengutuk dirinya sendiri kini. Untuk sementara waktu, ia memutuskan menutup pintu rumahnya dan menghentikan pelayanan. Ia menawarkan hadiah berpuluh juta bagi siap saja yang bisa menemukan tulang belulang anaknya. Sampai berminggu-minggu, tulang belulang si anak tak juga ditemukan. Sementara itu, antrean orang-orang tak henti memanjang. Dalam penantian tanpa kepastian, mereka tetap sabar. Meski rumah si penjual obat masih dalam kondisi tertutup. Beberapa hari kemudian, muncul bau busuk dari dalam rumah itu. Dari salah seseorang yang berinisiatif masuk ke dalam rumah, diketahui kemudian bahwa si tukang obat telah meninggal. Kenyataannya, ia mati dalam kesedihan tiada tara dan rasa kesepian yang menggunung setelah kehilangan tulang belulang anaknya. Mendengar kabar kematian itu, tiba-tiba saja orang-orang berebutan masuk ke dalam rumah si penjual obat. Mereka menjadi liar, mereka sikut-sikutan, saling berebut mengambil bagian-bagian dari tubuh si penjual obat yang telah menjadi jasad. Mereka yakin, kesaktian air bilasan tulang belulang milik si tukang obat akan lebih hebat daripada air bilasan tulang belulang anaknya. Samarinda, 2010
""Tulang Belulang""
Dia masih saja berusaha membujukku untuk pulang. Padahal jelas-jelas aku sudah mengatakan kepadanya kemarin bahwa Natal tahun ini aku tak pulang. Ya. Pulang. Rumah Nenek adalah rumah untuk pulang. Aku dibesarkan olehnya. Juga oleh ayahku. Tapi tidak oleh ibuku. Ibu. Itulah alasan Nenek untuk menyuruhku pulang. ”Sudah lima tahun kamu ndak pulang Wid. Tahun ini kamu harus ada. Ibumu pulang,” kata Nenek kemarin lewat telepon. Aku tidak mengiyakan. Tidak pula menolak. Aku hanya meminta Nenek untuk meneleponku lagi keesokan harinya, dengan alasan aku harus meminta izin bosku untuk bisa cuti. ”Nenek akan telepon kamu besok sore ya. Jangan lupa,” tegas Nenek. Nenek memang tipe orang yang suka mendesak. Kupikir-pikir sekarang, sifatnya itu memang aku perlukan. Jika tidak, mungkin aku akan mati. Atau akan jadi pengangguran di rumah. Atau pasrah saja jika ada orang yang melamarku. Atau jadi gila. Namun semua pilihan itu tidak terjadi padaku. Berkat Nenek. Dengan keras kepala, dia akan menyuruhku ini itu. Membangunkanku agar tak terlambat ke sekolah. Menyiapkan makanan untukku, hingga memilihkan kursus apa saja yang ketika tiba waktunya, ternyata memang berguna. Toh ketika aku sudah bisa hidup dengan kemampuanku sendiri, bahkan bisa dibilang berlebih, Nenek tak pernah sedikit pun meminta apa pun dariku. Dia hanya memintaku untuk pulang setiap Natal. Dibanding Nenek, Ayah tak memiliki pengaruh apa pun buatku. Dia sama mati surinya denganku. Membeku. Diam. Hanya melihatku dengan matanya, tapi tidak dengan jiwanya. Dia sering hanya menghabiskan waktu di kamarnya, atau di kebun, atau di perpustakaan, atau di teras rumah. Aku sendiri tak tahu apa yang dikerjakannya. Di kemudian hari, kutemukan banyak sekali sketsa berisi sosok Ibu dan diriku di kamarnya. Kata Nenek, Ayah menjadi pendiam seperti itu sejak kepergian Ibu. Saat aku berusia tiga tahun, Ibu pergi dari rumah tanpa pamit. Dia baru bilang keberadaannya setelah dua tahun kemudian. Sepucuk surat datang pada suatu sore. Dikirim dari Brooklyn, New York. Di surat itu, Ibu mengabarkan bahwa dia baik-baik saja dan lebih memilih tinggal di sana. Dia berjanji suatu saat akan pulang. Janji itu ditepatinya saat ini. Ketika aku sudah berusia seperempat abad. Usia di mana aku sudah tak membutuhkannya lagi. Saat di mana aku sudah memiliki pendapat sendiri tentang konsep Ibu. Tentang perlu tidaknya memiliki seorang ibu dalam hidupku. Tentang tidak semua perempuan bisa dan harus menjadi Ibu. Buatku, Nenek lebih dari seorang Ibu. Bahkan juga menjadi Ayah bagiku. Jadi aku merasa tak perlu untuk menemui Ibu. Tidak untuk Natal kali ini, maupun di hari yang lain. Namun Nenek begitu mendesakku untuk pulang. Lima Natal sebelumnya, aku tidak lagi pulang dan Nenek tidak berkata apa pun. Dia sudah sangat mengerti aku telah memiliki kehidupan sendiri. Justru karena aku lama tak pulang inilah, Nenek menggunakannya sebagai senjata untuk memaksaku. ”Nenek ndak masalah kamu sudah lama ndak pulang. Bahkan Nenek juga ndak pernah minta apa pun dari kamu kan? Sekarang Nenek cuma minta kamu pulang, tapi kamu masih mikir-mikir. Sudahlah. Jika kamu ndak mau pulang karena ibumu, setidaknya kamu pulang buat Nenek,” pinta Nenek dengan nada kesal. Ketimbang memelas atau mengiba, Nenek memang lebih nyaman untuk bersikap marah atau ngambek. Setahuku dia memang bukan tipe nenek-nenek tua yang lemah. Tak heran jika dia masih bisa mengurus rumah sendiri di usia hampir 80 tahun hingga dua tahun lalu, kusewa seorang pembantu untuk membantunya. Usul yang ditolaknya mentah-mentah, namun Nenek berhasil kuancam untuk tidak mengusirnya. ”Dia sudah tidak punya rumah lagi, Nek. Kalau Nenek mengusirnya, dia bisa bunuh diri,” kataku. Sesuai dengan iman Kristianinya yang begitu kuat, Nenek sangat membenci bunuh diri. Karena itulah dia mati-matian menjagaku dan Ayah untuk tidak mengakhiri hidup dengan tangan sendiri. Pikiran tentang mengakhiri hidup sebenarnya tak pernah terlintas di benakku. Tidak dengan Ayah. Aku tahu dia sudah tak ada keinginan hidup tanpa Ibu di sisinya. Namun setelah bertahun-tahun kemudian, aku jadi berpikir mungkin karena kesetiaannya itulah Ibu pergi meninggalkannya. *** Akhirnya aku memutuskan untuk pulang tepat pada malam Natal. Nenek terlihat kesal karena aku melewatkan misa malam Natal di gereja. Aku memang sengaja karena aku tidak berminat bertemu dengan orang-orang yang mungkin masih mengenalku jika aku misa bersama Nenek di gereja kota kecil ini. ”Padahal tadi aku bertemu dengan teman-teman misdinarmu dulu, lho. Mereka sudah berkeluarga dan punya anak,” kata Nenek sambil menata piring di meja untuk makan malam. Aku hanya mengangguk malas. Sejak aku tiba di rumah Nenek, aku memilih diam. Apalagi ketika bertemu Ibu. Begitu aku memasuki rumah, Nenek langsung menarikku ke ruang makan dan memperkenalkan seorang perempuan yang sedang duduk di kursi makan. Begitu melihatku, dia segera berdiri. ”Wid, apa kabar?” ujarnya sambil mengulurkan tangannya, mengajakku bersalaman. Kedua telapak tangan kami berjabatan. Seperti sepasang asing yang baru akan memperkenalkan diri. ”Baik. Bagaimana perjalanan Ibu?” tanyaku sambil menarik kursi di dekatnya. Dan mengalirlah pembicaraan di antara kami bertiga: aku, Ibu, dan Nenek. Ibu seorang perempuan yang tenang. Cara bicaranya teratur. Senyumnya tipis dan seperlunya. Rambutnya panjang sebahu dengan sebagian uban di beberapa tempat. Tubuhnya kurus. Namun terlihat kuat dan kokoh. Meski kerut di beberapa bagian di wajahnya jelas terlihat, Ibu terlihat masih memperlihatkan sisa-sisa kecantikannya di masa lalu. Bentuk wajahnya oval dengan alis yang tebal dan hidung yang mancung. Sorot matanya tajam namun teduh. Pembicaraan kami lebih banyak tentang kehidupan Ibu di sana yang bekerja di sebuah galeri seni. Kemudian tentang penerbangan yang melelahkan dan rasa kangennya akan masakan Indonesia. Di Brooklyn, Ibu jarang masak. Tapi dia tahu tempat-tempat di New York yang menjual bumbu-bumbu Indonesia. Perbincangan kami terhenti karena Nenek sudah mengantuk. Kami pun berpisah dan menuju kamar masing-masing. Malam itu, Ibu tidur di kamar Ayah. Tengah malam aku terbangun. Entah mimpi apa yang membangunkanku, aku sudah lupa. Yang jelas aku terbangun dengan perasaan hampa. Kuputuskan keluar kamar untuk mengambil air minum. Tenggorokanku terasa kering. Di dapur, aku melihat setitik cahaya di teras taman belakang. Aku bergegas ke sana dan melihat Ibu tengah duduk sambil mengisap rokok. ”Selamat Natal, Wid,” ujar Ibu sambil menawarkan rokok kepadaku. Aku menggeleng. ”Selamat Natal juga, Bu.” ”Tak bisa tidur atau terbangun?” tanyanya. ”Terbangun.” Agak lama keheningan menguasai kami berdua. Akhirnya Ibu yang pertama mengeluarkan suara saat rokoknya habis. ”Bagaimana suamiku meninggal saat itu?” ”Ayah meninggal saat tidur. Aku dan Nenek tak mengetahuinya sampai pagi, ketika Nenek hendak membangunkan dia.” ”Begitu ya. Tahukah kamu dari dulu dia menginginkan kematian seperti itu. Kematian yang mengendap-endap. Bak pencuri. Tak meninggalkan tanda apa pun. Tak merepotkan siapa pun,” kata Ibu sambil memandang kegelapan. ”Kenapa Ibu tak pulang waktu Ayah meninggal?” ”Aku tak cukup kuat melihatnya tak bisa lagi bergerak, tersenyum, atau sekadar menggodaku dengan cubitan di pipiku. Tahukah kamu, dia dulu sangat suka duduk di sini. Sambil melukis atau membersihkan rumput. Sementara aku melihatnya dari balik jendela dapur. Begitu kamu lahir, dia tak lagi melukis. Dia lebih banyak menghabiskan waktunya dengan mengajakmu bermain di sini. Kamu didudukkan di rumput, dan kemudian dia akan merangkai berbagai macam bunga untuk dijadikan mahkota di kepalamu,” kata Ibu. ”Sepertinya indah dan menyenangkan. Lantas kenapa Ibu pergi?” akhirnya aku berhasil mempertanyakan hal yang dari dulu membuatku geram. ”Aku belum siap memiliki kamu. Sementara dia menginginkanmu begitu kami menikah. Ketika akhirnya aku hamil, dia semakin membuatku sesak dengan perhatian dan cintanya yang begitu sempurna. Membuatku merasa bersalah dari waktu ke waktu karena aku tak pernah bisa mencintainya sebesar itu. Saat kamu lahir, aku tahu dia akan bisa mencintaimu sebesar dia mencintaiku. Kujadikan dirimu sebagai penggantiku.” ”Ayah tak pernah bisa menjadikan siapa pun sebagai pengganti Ibu. Termasuk diriku.” ”Aku tahu. Perpisahan yang sia-sia,” ujar Ibu sambil beranjak dari duduknya. ”Aku sudah mengantuk, Wid. Aku tidur dulu ya,” pamit Ibu. Aku mengangguk dan memutuskan tetap duduk sambil menunggu fajar. Dalam kegelapan, aku membayangkan kehidupanku jika Ibu tak pernah pergi. Mungkin Ayah tetap hidup dan setiap tahun aku akan pulang untuk merayakan Natal. Kemudian kami semua akan berkumpul di dekat pohon natal sambil saling bertukar kado. Atau seperti di film-film Hollywood, aku, Ibu, dan Nenek akan memasak hidangan natal bersama. Mungkin juga akan muncul pertengkaran layaknya sebuah keluarga, ketika aku memperkenalkan calon suami saat Natal tiba dan orangtuaku tidak menyetujuinya. Bahkan bukan tidak mungkin aku sudah memberikan cucu untuk Ayah dan Ibu. Dua hari setelah Natal, Ibu pulang. Aku tetap tinggal di rumah Nenek sampai Tahun Baru. Setelah kepergiannya, aku akhirnya menyadari bahwa Ibu pergi karena tidak pernah memaafkan dirinya sendiri. Kesimpulan ini kudapatkan dari cerita Nenek dan hadiah Natal dari Ibu. Sewaktu kubuka, hadiah itu berisi album foto yang memasang foto-fotoku sewaktu kecil. Aku belum pernah melihat foto-foto itu. Sembari melihat isi album foto itu, Nenek akhirnya bercerita bahwa Ayah begitu menginginkan anak dalam pernikahannya dengan Ibu. Aku lahir lima tahun kemudian. Namun kehadiranku tak bisa menghalangi kepergian Ibu. Bagi Ayah, aku adalah hadiah dalam hidupnya. Sementara bagi Ibu, kehadiranku adalah memorabilia ketidaksetiaannya. Kini aku menyadari mengapa wajahku tidak sama dengan Ayah maupun Ibu. Di halaman terakhir album foto itu, kulihat diriku sewaktu kecil berada di sebuah taman. Aku dipangku Ibu yang sedang duduk bersama seorang lelaki dengan sorot mata dan senyum yang sama denganku. Jakarta, Desember 2010
""Ibu Pulang""
Terkadang gemerisik angin terlembut pun entah kenapa tetap membuat helaan napas menjadi lebih berat. Malam adalah waktu di mana hanya boleh dimiliki oleh orang-orang yang menahbiskan dirinya pada kekuatan hati. Benar hanya orang yang berhati kuat yang akan berani menghadapi malam. Seperti para pemberani di desaku. Suatu tempat amat elok di kaki gunung Jaganmantri. Gunung yang kontur tanahnya menyerupai payudara ranum ibu yang baru melahirkan itu benar-benar sangat cantik. Ibu semesta begitu setiap kali ada orang yang bertanya tentang arti Jaganmantri. Desaku sangat indah luar biasa. Setiap pagi saat matahari pertama kali menyetubuhi bumi, genting-genting rumah berkilauan bersahut-sahutan dan dari kilau itu bermunculan warna-warni seperti pelangi yang menyilaukan memantul ke angkasa. Seperti selendang para bidadari bertebaran di langit yang begitu tampak selalu tertawa. Seluruh negeri ini tahu bahwa pantulan kilau dari genting itu adalah air mata yang membeku sehingga bisa dibentuk apa saja. Benar semua benda di desaku terbuat dari kristal-kristal airmata yang membeku. Mulai dari jalan desa, rumah-rumah, bahkan beberapa baju yang dipakai penduduk tebuat dari pintalan warna-warni kristal airmata. Tidak ada satu orang pun tahu siapa yang pertama kali membuat adonan airmata sehingga bisa dibentuk menjadi apa saja itu. Desaku menjadi desa terindah di seluruh negeri dan airmata adalah hal yang sangat biasa ditemukan di sini. Penduduk desaku hidup dari airmata. Apapun yang kami lakukan selalu diiringi airmata. Bahkan ketika di saat-saat bahagia sekalipun, saat bersenang-senang, airmata selalu harus hadir di sana. Kami tidak mengenal airmata kesedihan ataupun kebahagiaan. Kami hanya mengenal airmata adalah napas. Seperti detak jantung yang berdentam setiap detik, airmata di desa ini pun adalah hidup mereka. Di sini diyakini orang yang semakin mengeluarkan airmata adalah orang yang benar-benar bahagia. Tak heran salah satu seniman nomor satu di desa ini mampu membuat satu komposisi dari lolongan tangis dan tawa sekaligus. Konon komposisi ini pernah ditawar salah satu produsen besar dari ibukota, tapi seniman itu tak melepaskan karena si produser ternyata tidak bisa mengeluarkan airmata. Ke mana pun penduduk desa ini pergi mereka tampak selalu membawa tas berisi botol besar air mineral kosong dan spons. Karena ketika airmata merekan mengucur deras, segera disapunya dengan spons dan diperas hati-hati ke dalam botol air mineral tersebut. Sangat lazim telihat orang-orang membawa lebih dari satu botol. Airmata dari botol-botol tersebut terus dikumpulkan ke dalam sebuah koperasi unit desa untuk kemudian diolah menjadi potongan 2 baluk kristal airmata sebagai bahan dasar apa pun benda di desa itu. Potongan-potongan kristal itu terus diolah menjadi berbagai macam kebutuhan. Begitulah desaku begitu damai dan nyaman penuh keberlimpahan dengan airmata. Airmata yang menjadi hidup dan juga bahagia. Orang-orang sederhana dengan airmata bercucuran ternyata membuat hati orang-orang di desaku menjadi orang-orang kuat luar biasa. Orang-orang yang pemberani. Bahkan malam dengan kepekatan akan duka sekalipun tak mampu membuat mereka menghindar dari gulita. Setiap menjelang senja, saat roh-roh tua mulai ingin mengembara, para lelaki di desaku segera keluar menghadap ke barat. Dengan penuh cinta dibungkukkan badan mereka dalam sikap berdoa. Mereka tidak menganggap matahari itu Tuhan, tetapi mereka percaya saat matahari mulai membakar kaki langit dengan ujung-ujung lidah apinya sehingga langit berubah kemerahan, saat itu pula seluruh alam raya ini menangis sejadi-jadinya. Nah, karena tangisan alam raya inilah maka mereka membungkuk menghormatinya karena mereka merasa bahkan alam raya turut merestui tangisan-tangisan yang mereka haturkan sebagai puja. Sungguh jika malaikat kesayangan Tuhan sekalipun pasti akan selalu merasa senang tinggal di desa itu. Desa yang penuh air mata, tetapi begitu bahagia luar biasa ini. Hingga suatu hari ada yang merubah segalanya. Awalnya terjadi dari kedatangan salah satu warga yang sudah lama merantau. Entah karena sudah lama merantau hingga lupa bagaimana caranya mengeluarkan air mata atau memang dia tidak mau lagi mengeluarkan air matanya. Tentu saja pada awalnya para penduduk terheran-heran bagaimana bisa lelaki itu tidak lagi mengeluarkan air mata. Ketika ditanya mengapa dia tidak mengeluarkan air mata oleh kepala desa yang diyakini sangat sakti karena mampu mengeluarkan air mata seputih susu sungai-sungai sorga itu, jawabannya sungguh mengglegarkan “Airmata hanya untuk para perempuan. Lelaki tidak menangis. Karena hanya lelaki pengecut saja yang menangis.” Sungguh, kalimat itu seperti angin puting beliung yang merontokkan semua peradaban dalam satu helaan napas. Semua lelaki yang mendengarnya langsung tanpa sadar menghentikan air matanya. Sejak saat itu, terjadilah proses penghentian besar-besaran air mata oleh para lelaki di desa itu. Wajah-wajah lelaki di desa itu yang tadinya begitu ringan dan penuh dengan harapan, tiba-tiba menjadi tegang dan tampak sekali ada desakan-desakan air yang mati-matian ditahan di dalam sekat-sekat dadanya. Benar, lelaki tidak menangis. Begitu jargon baru yang terjadi didesa itu dan itu fatal. Sejak saat itu pula para lelaki menempatkan dirinya lebih tinggi daripada para perempuan di desa itu. Lelaki-lelaki yang tadinya mau membantu para perempuannya memasak, menjahit dan mengurus anak tiba-tiba menjadikan diri mereka tuan. Air mata hanya milik kaum perempuan. Karena hal ini, maka sejak hari lelaki berhenti menangis, tidak ada lagi lelaki yang membawa botol mineral kemana-mana. Koperasi pengolah air mata mulai kesulitan pasokan karena hanya kaum perempuanlah yang menyetor air mata. Tentu saja pasokan itu tidak akan cukup mensuplai kebutuhan. Terlebih kompisisi mineral air mata lelaki dan perempuan berbeda. Balok-balok kristal air mata menjadi menurun kualitasnya. Orang akhirnya mencampurnya dengan air untuk memproduksi apa saja. Tentu saja ini sama sekali menghancurkan. Setiap pagi pelangi-pelangi yang berkilau karena terpaan matahari di atap-atap kristal air mata rumah-rumah penduduk mulai berkurang kadar warnanya. Meredup pelan-pelan seperti detak jarum yang berputar terbalik, makin lama warna itu makin samar dan begitu tipisnya. Desa itu benar-benar menjadi desa yang sedih sesedih-sedihnya. Air mata menjadi barang langka, tetapi kesedihan menjadi begitu berakar. Hingga satu hari koperasi pengelola balok kristal air mata itu menyatakan bangkrut. Mereka tak sanggup lagi berproduksi karena suplai air mata hampir tidak ada lagi. Air mata yang tersedia begitu buruk kualitasnya karena hanya air mata perempuan sehingga tidak mampu lagi membuat kristal yang solid tanpa air mata lelaki. Ketika menyadari bahwa balok kristal air mata tidak ada lagi, mulailah mereka panik. Kepala desa membunyikan kentongan tanda para lelaki harus berkumpul, “Ini sebuah kesalahan, lelaki boleh menangis karena kita butuh air mata untuk kelangsungan hidup kita, mari kita menangis lagi.” Dia pun mulai mengejap-kejapkan matanya untuk memanggil roh air mata agar kembali hadir, tanpa sadar semua lelaki yang hadir mengikutinya. Tetapi roh air mata mereka memang sudah tidak ada lagi. Mereka pun mulai panik. Semakin keras mereka berusaha, semakin air mata tidak lagi keluar. Bahkan karena terlalu keras hanya darah yang keluar dari mata mereka. Tentu saja itu bukan air mata karena berwarna merah. Air mata seperti suara Tuhan, begitu bening dan sejuk. “Roh air mata itu harus kita cari, kalau perlu ke ujung dunia pun harus kita buru,” begitu akhirnya keputusan kepala desa itu dalam keputuasaannya. Begitulah, sejak hari itu banyak lelaki keluar dari desaku. Mereka memburu air mata ke seluruh pelosok negeri. Ada yang berhasil ada pula yang tidak. Ada yang pulang dengan membawa bergalon-galon air mata, ada yang mengirimkan lewat kilat khusus, tetapi ada juga yang pulang hampa sia-sia. Lelaki perantau pencetus gagasan penghapusan air mata bagi lelaki itu menghilang entah kemana. Konon, ada yang pernah melihat dia secara diam-diam menghilang ke atas gunung dalam penyesalannya karena telah membuat desanya menjadi berantakan. Tetapi ada juga rumor yang menyebutkan bahwa saat dia menyebarkan propaganda anti air mata itu sebenarnya dia telah disuruh oleh setan yang tidak pernah ingin melihat manusia bahagia. Entah benar atau tidak, yang jelas sekarang ini sangat jarang ditemui lelaki di desaku. Kebanyakan mereka telah menjadi pemburu air mata. Mereka akan sangat mudah ditemui di kota-kota besar maupun kecil. Dengan berbagai cara mereka akan membuat orang-orang menangis, yang paling sering dilakukan adalah menjadi pendongeng cerita-cerita sedih dimana ketika para penonton beramai-ramai menangis maka si pendongeng akan buru-buru mengambilnya dengan sponsnya dan dimasukkan kedalam botol air mineralnya. Demikianlah, desaku yang tadinya begitu damai dan indah kini menjadi sunyi. Kesunyian yang begitu menyayat. Kesunyian yang melahirkan pekat. Seloka-seloka yang disenandungkan perempuan yang tinggal hanyalah senandung kesepian yang dibungkus rapat dengan kerinduan, karena para lelaki mereka menjadi pemburu air mata dan tidak tahu kapan mereka pulang. Benar-benar desa yang tidak bahagia. Mereka sering sekali merindukan waktu lalu, dimana air mata begitu mudah didapat, sangat bening seperti hati. Mereka begitu mendendam kepada lelaki pencetus ide penghapusan air mata. Dendam yang melahirkan bara di dada. Bara yang melahirkan air mata api. Air mata menjadi makin langka. Air mata pada akhirnya melahirkan hanya lolongan. Air mata pada akhirnya menjadi absurd maknanya dan para pemburu air mata tak pernah lelah memburunya karena mereka benar-benar tahu bahwa hidup mereka akan kembali penuh dengan air mata. Ya, karena dari air mata akan melahirkan tawa. Ubud, 20 Januari 2010 Untuk air mata-air mata yang menjadi guruku.
""Pemburu Air Mata""
Aku masih ingat, kamu menjerit histeria dan memelukku ketika pertama kali tahu bahwa aku dari Indonesia. Ya, Indonesia, kamu sangat mencintai negeri itu. Entah mengapa, banyak orang yang pernah ke Indonesia, akan jatuh cinta dengan negeri itu. Dan bukan cinta sembarang cinta, tetapi cinta mati yang sangat mendalam. ”I love Indonesia so much,” katamu. Aku sendiri, ketika itu sedang berada dalam salah satu fase yang sangat genting dalam hidupku. Boleh kubilang ketika itu hidupku tak punya arah sama sekali. Benar bahwa aku baru saja memulai hidup yang baru di Leuven. Tetapi, bersamaan dengan datangnya hidup yang baru itu, aku juga kehilangan sesuatu yang sangat berarti dalam hidupku. Kekasih yang sangat aku cintai pergi begitu saja meninggalkan luka yang mendalam. ”I’m in love dengan someone else,” demikian pesannya di Facebook. Singkat sekali, tetapi lebih dari cukup untuk menjelaskan semuanya dari versi dia. Meskipun dari versiku, aku tak pernah dapat mengerti tentang pesan singkat di Facebook itu. Kepergiannya meninggalkan lubang dalam diriku. Ada ruang kosong, yang mungkin akan kosong untuk selamanya. Apa boleh buat. Aku tahu banyak lelaki berlari membawa luka dalam dirinya. Dan mungkin bagiku, aku harus berlari dengan lubang dalam diriku. Apa pun, hidup harus berjalan. Masih segar dalam ingatanku pertemuan kita yang pertama di laundry sore itu. Di gedung De Waag, pojok hunian mahasiswa Katholieke Universiteit Leuven, Heverlee. Aku harus berterima kasih kepada detergen yang membuatku bingung. Karena tanpa kebingunganku dengan detergen itu, mungkin kita tidak akan pernah berkenalan. Aku benar-benar takut ketika itu, kalau-kalau aku salah memakai detergen, maka bisa saja semua pakaianku akan luntur dan berwarna putih. Dan, nasiblah yang menentukan hanya ada kita berdua di ruangan itu, hingga aku tak punya tempat bertanya selain kamu. Karena aku tak mungkin menanyakan itu pada kursi-kursi kosong di De Waag ataupun rak pajangan poster dan papan informasi di ruangan itu. Dan sejak itu kita jadi sering bertemu. Diawali dengan masak tahu isi bersama. Karena beberapa hari sebelumnya kamu pernah berbicara soal tahu isi. Dalam ingatanku kamu sebenarnya seperti mengigau. Karena aku lupa detail obrolan kita pada waktu itu. Yang aku ingat hanyalah kamu bilang kalau kamu suka tahu isi dengan cabai rawit. Aku tidak pernah memasak tahu isi sebelumnya. Tapi aku pernah melihat bagaimana mbok-mbok tukang gorengan di Jogja melakukannya. Dan tak ada susahnya meniru itu. Yang kita butuhkan hanyalah semangat dan keyakinan bahwa kita akan sanggup memasak tahu isi ini. Sambil berusaha terus sepelan mungkin melubangi tahu dengan pisau, aku masih sempat mengomentari bahwa sepertinya tahu yang kita beli dari Asia Market tidaklah seperti tahu di Indonesia. Kamu kelihatan bengong dan hanya mengangkat bahumu sedikit sambil meneruskan mengiris bawang. I like it. Komentarmu pendek ketika mau pulang sambil membawa beberapa tahu isi dan tempe goreng di dalam boks ke kamarmu. Sejak itu kita semakin sering bersama. Sekadar minum bir. Nonton film di ZED CINEMA. Main bulu tangkis. Sekadar menyapa di Facebook. Atau saling mendengarkan keluhan masing-masing. Aku takkan pernah lupa ketika suatu malam kamu datang mengetok kamarku dengan wajah yang amburadul seperti lalu lintas Jakarta dan mengajakku keluar. Sepanjang perjalanan ke Grote Markt, oh ya kita selalu jalan kaki dari Heverlee ke Grote Markt, kecuali pada kali pertama kita nongkrong di Oude Markt ketika aku memboncengmu pakai sepeda dari Oude Markt ke Heverlee pada malam menjelang subuh itu, kamu bercerita tentang tasmu yang hilang. Kartu-kartumu yang ada di dalamnya. Kartu mahasiswa, kartu kredit, kacamata, serta HP-mu dengan stiker gambar yang sangat kamu sayangi. Beberapa hari kemudian kita mencoba mencarinya. Karena ada orang yang mengirim e-mail padamu dan mengatakan bahwa ia menemukan kacamata dan kartu pelajarmu, somewhere di Leuven. Kita ke sana, sebuah rumah di sekitar Brusselsestrat. Agak kaget pada awalnya. Karena kamu berjanji dengan seorang perempuan, tetapi yang menerima kita malam itu adalah seorang lelaki yang mengaku sebagai pacarnya. ”I don’t believe that man,” katamu begitu kita meninggalkan rumah itu. Agak aneh memang karena orang itu tidak menyebutkan di mana dia menemukan kacamata dan kartu pelajarmu. Dia bilang dia lupa karena ketika itu lagi mabuk. Apa boleh buat, kita sama-sama tidak percaya pada orang itu. Tetapi, tidak ada alasan yang cukup untuk menyatakan kecurigaan padanya. Entah berapa bar yang sudah kita singgahi di seputaran Oude Markt, aku sudah tidak ingat. Atau bar Universum di Tiensestrat. Aku suka suasana di sana. Senang karena tidak sepenuh bar-bar di seputaran Oude Markt, bebas merokok sepuasnya, dan tentu saja tertawa. Aku senang kalau kamu senang, katamu suatu ketika. Dan aku pun demikian. Tak masalah, meski aku yakin kalau ada orang yang mendengarkan kita, kadang-kadang pasti akan merasa janggal. Bagaimana tidak janggal, ketika aku tanya kamu bagaimana rasa bir gratis pada gelas besar yang kamu dapat dari bartender di The Rock Cafe sebagai hadiah ulang tahunmu itu, kamu menjawabnya dengan sendawa dan menyambungnya sesaat kemudian, ”That’s all my answer”. Ha-ha-ha… orang-orang di Eropa tidak suka dengan sendawa. Mereka menganggap itu tidak sopan. Tetapi, kita tertawa sambil salah satu telapak tangan kita beradu di udara. Kamu suka sekali musik dan berdansa. Aku, sebenarnya tidak terlalu familiar dengan suasana itu. Tetapi, kamu begitu sabar. Menata gerakanku yang menurutku tidak selaras sama sekali. Atau, persisnya aku mengikuti iramamu saja. Aku bisa bilang begitu karena ketika kamu memegang tanganku, aku hanya membiarkanmu saja menariknya ke sana kemari. ”I’m a cow,” kataku suatu ketika soal selera musik dan dansaku. ”No, do not say that, you are not a cow,” balasmu “”Yeah.., following another cow.” ”What? Ha-ha-ha….” Harus kuakui memang, untuk urusan berdansa dan bernyanyi, aku memang idiot dan hampir-hampir tak punya ide soal gerakan apa yang akan kulakukan. Mungkin aku harus ngambil kursus salsa semester depan. Sementara ini tidak masalah, semuanya berjalan lancar pada malam itu. Kita bergoyang sampai larut. Meskipun sebenarnya beberapa kali aku hanya duduk dengan birku dan merokok sambil tersenyum-senyum melihatmu yang bergoyang lepas mengikuti irama musik. ”I’m a girl baby, I’m a girl baby,” katamu salah tingkah ketika aku memergokimu sedang berkaca di dinding bar sambil mengibas-ngibaskan rambutmu. Aha.., aku tambah tersenyum melihatmu begitu. Itu momen belum tentu datang seratus tahun sekali. Sayang sekali aku tak bisa melihat rona wajahmu ketika itu karena lampu bar yang remang-remang. Jadi aku cuma bisa menebak-nebak saja. Dan tentu saja aku takkan menceritakan seperti apa wajahmu dalam tebakanku. Yang jelas, malam itu aura perempuanmu benar-benar keluar. Jauh dari penampilanmu di hari-hari biasa yang sedikit tomboi. Malam semakin larut. Dan kita merasa lapar. Seperti biasa, titik berikutnya adalah penjual makanan Turki yang buka 24 jam di dekat Grote Markt. Satu porsi kentang goreng dengan saus samurai yang agak pedas itu cukup. Biasanya kita makan lebih banyak diam. Tetapi, malam itu kamu terus mengoceh. Sementara aku tak banyak bicara. Mungkin karena aku lapar, atau juga mungkin karena aku memang serius makan. Dari sana kita pindah ke kursi di lapangan Oude Markt. Aku pikir waktu itu sudah sekitar pukul 3 pagi. Sebatang rokok di kursi panjang. Begitu rapat kita duduk karena memang pagi semakin dingin. Apalagi kalau tiba-tiba ada angin. Meski tak kencang, tapi bagiku itu sangat menyiksa. Dinginnya terasa sampai ke tulang. Perjalanan pulang ke Heverlee penuh dengan tawa. Tidak ada hujan, tidak ada salju turun, tetapi kita berpelukan di bawah payung. Sepanjang jalan kita mengejek orang-orang mengapa mereka tidak pakai payung padahal ini hujan deras. Satu dua orang melihat dan mendengarkan teriakan kita, kemudian sambil tersenyum mereka berlalu. Beberapa orang yang kita teriaki pagi itu sama sekali tidak menoleh, mungkin mereka sudah sering melihat pemandangan seperti kita yang pakai payung di pagi buta tanpa hujan dan tanpa salju itu. Ini Leuven Maria. Ini Leuven Maria. Begitu kataku ketika kita melihat dua orang laki-laki hitam berdansa di tengah jalan mengikuti gerakan cahaya lampu bergerak yang datang dari salah satu puncak bangunan di sekitarnya. Barangkali kata-kata bermakna sama diucapkan diam-diam oleh orang-orang yang kita teriaki pagi itu. Tidak ada urusan. Kita tetap tertawa. Apalagi setelah kamu bilang bahwa kamu hampir percaya bahwa hujan sedang turun. Mendekati Heverlee, tidak ada lagi orang di jalanan karena memang asrama milik Universitas tempat kita tinggal terpisah dari rumah-rumah warga Leuven. Tidak ada lagi yang bisa diteriaki. Dan kamu mulai bernyanyi, ”nananananaa… Come on baby, gimme a tittle of song please, I forget all of them now, ” katamu. Aku tidak menjawabnya, tetapi langsung memulai, ”It’s late in the evening; she’s wondering what clothes to wear,” dan di pagi Leuven yang dingin itu, mengalunlah ”Wonderful Tonight”. Dan dari jendela kamarku, ketika aku menulis cerita ini, aku bisa melihat pohon-pohon yang ranting-rantingnya tertutupi salju. Di luar itu pasti dingin sekali. Tidak mungkin berjalan tanpa jaket di sana. Jaket memberikan kehangatan bagi tubuh-tubuh yang berjalan di bawah hujan salju yang turun lembut dari langit. Aku merasakan dingin itu. Bukan karena salju atau angin di luar sana. Tetapi karena aku tahu kamu akan segera pulang ke Bratislava. Berakhir sudah masa satu semestermu di Leuven. Tidak akan ada lagi masak bersama atau nongkrong di Grote Markt. Tetapi seperti katamu, aku harus memercayaimu. Seperti katamu, kamu akan datang ke Leuven untuk minum bir dan menari bersamaku. Dan seperti katamu, aku harus mengunjungimu di Bratislava pada tanggal yang sudah kamu tentukan agar kita bisa menonton festival musik itu. Aku percaya kepadamu. Bagiku, kata-katamu seperti jaket di musim dingin. Dari jendela, sekilas kulihat salju turun perlahan di luar sana. Leuven, Desember 2010
""Salju di Leuven""
Bila kupikir-pikir, keberadaan pohon itu sendiri adalah sebuah keajaiban; suatu jenis ganjil yang tumbuh di tengah berkas-berkas pepohonan karet yang tertancap kokoh di tanah pedesaan ini. Sebuah rumah antik berdinding bilik nan apik dengan sentuhan cat putih berdiri di belakangnya. Kabel-kabel menjuntai yang merepet di sela-sela atap menjadi ornamen yang cukup kontras. Aku memang berharap mendapati dirinya seperti ini. Rupanya, ia telah menempatkan kursinya dengan hati-hati di depan pohon cincau kesayangannya itu, kemudian duduk tafakur memandangi daun-daun hijaunya yang melambai lemah diterpa angin musim panas. Pikirannya tenggelam ke masa-masa silam; masa di mana akar-akar kuat pohon cincau merambat jauh dalam tanah, hingga menembus lantai tanah ruang tamu rumah. Aku ingat bahwa akar-akar mengganggu itu telah ditebas dan tanahnya diuruk rapat dengan semen, saat renovasi rumah lama. ”Eh, kau sudah datang,” kata perempuan itu sambil bangkit dengan tergopoh-gopoh dan memegang tanganku. ”Iya, Ma. Mama sehat kan?” Badannya yang bungkuk berusaha ditegakkannya, seakan berusaha untuk tetap terlihat muda dan penuh perhatian terhadap anak-anaknya. Tatapan matanya yang tajam menyaratkan penolakan yang gigih terhadap satu fakta: bahwa kini akulah—dan kedelapan saudaraku yang lain—yang kini ganti wajib merawat dan mengunjunginya. Pertanyaanku yang tadi tidak dijawab, dan ia segera membalikkan tubuhnya. Langkahnya terhenti di depan pohon cincau tua. Ia tertegun. Baru kusadari betapa pohon itu terlihat jauh lebih kurus dan gundul daripada sebelumnya. Apa tahun lalu sudah seperti ini? Dua tahun lalu? Tiga? Walaupun setiap tahun kemari, kuakui aku tidak pernah memerhatikannya secara khusus, seperti saat ini. Tapi kenapa? Apa jangan-jangan Mama telah mencabut terlalu banyak cincau untuk dibuat jeli? Tapi itu tidak mungkin, sebab tumbuhan itu telah bertahan selama ini. Pucuk-pucuk itu telah dicabuti dan diremas-remas dan diramu menjadi eliksir kehidupan, namun selalu saja tumbuh lebih lebat dari sebelumnya. Terkadang bahkan harus ditebangi supaya tidak melintang pagar ke kebun tetangga. Butuh lebih dari sekadar penggundulan terencana untuk mematikan tumbuhan ini. ”Ma, pohonnya makin kurus kok.” ”Iya. Mungkin karena sering dicabuti orang kampung. Biasa, buat jualan.” ”Lho, kenapa Mama tak larang mereka? Abang Sardi saja biasa beli dari Mama sekarung sepuluh ribu.” ”Itu kan dulu. Sekarang hidup makin susah. Bahan baku jajanan makin mahal, dan orang-orang makin nekat buat mendapat sesuatu semurah-murahnya. Lagi pula, pohon cincau kita ini satu-satunya di tanah ini….” Mama terbengong sekilas. Mendadak dia berjalan mendekati pohon, berjinjit, dan menarik sehelai daun dari tangkainya. Ia pandangi daun itu lekat- lekat, seperti sedang berusaha menemukan suatu cacat pada permukaannya. Kemudian wajahnya menerawang ke atas, memandangi pohon itu dari pucuk tertinggi hingga ke akar. Ia membuat keputusan. Ia jatuhkan daun itu ke tanah. Dan mendesah. Sejurus perasaan takut menghinggapi diriku. Kupegang dahan terbesar pohon itu, bertekad untuk menemukan ciri apa pun yang tidak dimiliki tanaman yang hendak mati. Ketika kutekan dahan itu perlahan, permukaan kulitnya yang kasar menjadi retak. Kerkahan di antara sulur-sulur yang dulu kuat itu mengeluarkan suara berkeriut yang mengerikan. Lapis demi lapis sulur pembelit batang ternyata sudah renggang dan mulai terurai. Kulepaskan cengkeramanku cepat- cepat, dan suatu perasaan sayang dan keterikatan kuat yang belum pernah kurasakan sebelumnya memenuhi benakku. Aku tidak pernah tahu bahwa ancaman hilangnya suatu hal berharga yang belum pernah kusadari bisa begitu menyakitkan. ”Kenapa? Kamu juga rindu sama pohon cincau ini?” tanya Mama dengan tepat, seakan kita baru saja memikirkan hal yang sama. Ia tidak mengalihkan tatapannya dari pohon. ”Ya, Ma. Sayang sekali, padahal dulu batang-batang ini… begitu kuat, tidak bakalan putus sekalipun dinaiki beramai-ramai. Mama ingat tidak? Aku dan si Pin sering memanjat pohon ini….” Kuhentikan ujaranku. Tanpa sadar, aku telah menyebut nama kakak keduaku yang telah kabur ke negeri seberang, tiga belas tahun yang lalu. Waktu itu, ia hanya meninggalkan rumah yang hangus dan sebuah mobil sedan yang ringsek. Mama sangat merindukannya dan memohonnya untuk pulang, namun ia bersumpah tidak akan pernah kembali ke negeri ini: istrinya telah menjadi mayat legam. Korban kebencian buta yang sulit padam. Ujaranku pasti telah membuka kembali luka lamanya. Herannya, wajah Mama tidak berubah. Ia bahkan seperti mengabaikan ucapanku barusan. ”Tapi… syukurlah pohon ini masih ada di sini ya, Ma. Jangan sampai roboh nih, kenang-kenangan zaman dulu,” kataku mencoba memecah kesunyian. Lagi-lagi tanpa terkesan mendengarkan komentarku, Mama berkata, ”Ayo masuk, makan cincau dulu. Mama sudah bikin buat kamu semua. Kamu suka sekali cincau kan.” Ah, cincau itu lagi. Minuman manis yang menyegarkan, lagi sarat dengan khasiat ajaib yang sulit dijelaskan. Telah bertahun-tahun makanan hijau itu menyejukkan kerongkongan kami yang kering, mendinginkan tubuh yang panas dan kelelahan, memulihkan kerinduan yang tertahan. Dan pohon itu adalah sumbernya. Daun-daunnya yang tumbuh pada batang kelabu yang pernah kokoh itu telah memenuhi kebutuhan kami, anak-anak Mama, selama masa kecil yang berlalu dengan cepat. Mamalah yang dulu seminggu sekali menggerakkan jari-jarinya di sela rimbunnya daun cincau, memilih daun yang terbaik untuk konsumsi anak-anaknya, untuk kemudian dilumatkan dan diperas sarinya. Dengan sentuhan tangannya yang terampil, cincau alami pun tersajilah; tidak, bukan cincau modern ala kota yang mulus lembut nan kenyal—yang kabarnya telah dicampur sejenis bedak. Cincau Mama adalah struktur kasar yang renyah dengan carikan kecil daun-daun hijau terlebur menjadi satu. Tanda perjuangan dan ketetapan hati yang luar biasa. Buah tangan yang merengkuh asa. Bagiku, sajian itu telah melebar makna, menyatu dengan pribadi Mama. Makanan bagi tubuh dan bagi jiwa. ”Ma, Ateng sudah datang belum?” kataku merujuk pada adik lelakiku yang biasanya datang sehari sebelum hari raya. Sejurus, Mama tidak menjawab. Tangannya masih sibuk menuangkan potongan-potongan cincau ke dalam mangkuk. Kini ia menuang gula cair hasil masak sendiri. Sempurna. Ia letakkan mangkuk itu di meja makan lebar yang kini kosong. ”Belum,” jawabnya, ”Mungkin dia tidak datang tahun ini. Tahu sendiri, dia lagi terbelit masalah sama pengadilan. Urusan begitu, memang pasti berabe…. Dia sudah telepon Mama tadi pagi, kasih ucapan tahun baru.” Jadi begitu. Tahun ini berkurang satu kunjungan lagi. Aku mulai menyeruput cincau segar itu dengan bernafsu. Luar biasa, cita rasanya tidak pernah berubah. Benar- benar bukan sajian biasa, ibarat memperbarui ikatan ragaku dengan kehidupan sejati yang mengisi segenap nadi dan sendi-sendi tubuh…. Tiba-tiba, Mama berlalu keluar lagi. Kuletakkan mangkuk itu dengan cepat ke atas meja, hingga menumpahkan cairan keruh pada permukaannya yang berdebu. Aku tahu aku harus mengikutinya. ”Hai! Apa yang kalian lakukan?” teriak Mama sambil menyeret badannya yang tertatih-tatih. Ternyata ia masih belum kehilangan teriakan melengkingnya yang tersohor itu. Sesampainya di luar, kulihat tiga orang bocah kecil sedang berusaha memanjat dahan pohon cincau tua itu. Salah satunya, yang bertampang paling bergajulan, bahkan sudah menggapai puncak pohon yang kini tingginya tidak sampai tiga meter. Dengan santainya ia mencerabuti daun-daun hijau ke bawah, bersiap untuk ditampung kawannya yang bertengger dengan asyik di sebuah sulur sambil menenteng sebuah karung beras. Bocah teratas lantas melompat dengan gesit ke tanah, mematahkan sebuah dahan besar hingga jatuh ke tanah. Daun-daun rontok bertebaran di antara debu tanah yang miskin air. Ia mulai berteriak-teriak memberi perintah kepada rekan-rekan komplotannya dengan bahasa daerah yang tidak pernah kumengerti. Mereka berlari melompati pagar rendah sambil menenteng karung hasil rampasan mereka hari ini. Belum tersadar dari kekagetanku, tiba-tiba kudapati Mama terhuyung sesaat. Ia segera merambet lenganku untuk mencari tumpuan. Aku membimbing Mama kembali ke kursi anyamnya. ”Akh, tak kusangka. Pohon itu makin habis!” seru Mama sambil menepuk- nepukkan tangannya ke kepalanya. ”Mama, sudahlah. Sebentaran pasti tumbuh lagi…. Lagi pula, anak-anak Mama kan sudah jarang di sini, jadinya kan tidak perlu sering-sering bikin cincau.” ”Ya! Kalian memang sudah jarang di sini. si Pin sudah kabur, si Mey sudah dibawa lari lelaki hidung belang itu, dan si Teng sekarang kena masalah. Mama bahkan tidak tahu kenapa sisanya belum pada datang!” semburnya kepadaku. Binar di matanya tampak redup dan tangan-tangannya yang kasar karena kerja keras seumur hidup mulai bergetar. Tampaknya, Mama terlalu menganggap serius masalah pohon ini. Bagaimanapun, aku tetap berjongkok di samping kursi, menemani Mama hingga tubuhnya pulih kembali. Namun aku tahu, saat aku menatap matanya sekali-kali sambil memegang tangannya dan membimbingnya menuju ke dalam rumah, bahwa sesuatu dari dalam dirinya telah hilang, tercerabut selamanya. *** Semenjak itu, pikiranku nyaris tidak pernah kembali ke rumah tua dan pohon cincau setengah rubuh yang tumbuh di halamannya. Tidak, ketika urusan pekerjaan, komitmen-komitmen, dan keluarga mengambil alih seluruh jiwa ragaku—siapa pula yang peduli pada sebatang pohon di kampung halaman, yang kini menjadi serpihan masa lalu yang memudar perlahan, laksana jiwa hampa yang tanpa sadar terseret dalam kenihilan? Tidak, sebelum kudengar kabar bahwa pohon cincau itu telah mati dan roboh untuk selamanya. Tidak, sebelum kudengar kabar bahwa Mama, dalam usahanya untuk menyelamatkan tiap daun terakhir dari pohon cincau, telah merengkuh batang pohon dan memanjat hingga dahannya yang tertinggi. Tidak juga, sebelum akhirnya kudengar bahwa dahan besar itu pun patah, dan Mama terjatuh ke tanah. Kepalanya terantuk batu yang menonjol dari dalam tanah gersang, dan mengakhiri nyawanya.
""Ketika Pohon Itu Masih Mekar""
Salah satunya adalah kebaya pengantin lengkap dengan kain batik pesisiran, rapi ia simpan di dalam koper kecil usang di bawah ranjang. Setelah ijab kabul sekitar lima puluhan tahun silam, kebaya brokat putih itu dikenakan untuk kedua kalinya ketika Mbak Ratih, kakak sulung kami, bersanding dengan lelaki pilihan hatinya di pelaminan. Sepanjang resepsi perkawinan Mbak Ratih, kami adik-adik perempuannya menatap kagum sekaligus iri. Membayangkan betapa sakralnya riwayat kebaya yang saat itu melekat di tubuh Mbak Ratih. Kebaya itu dijahitkan sendiri oleh mendiang ibunya Ibu di tengah keadaan negeri yang sedang porak-poranda. Sekitar pertengahan tahun 1950-an Indonesia dalam keadaan darurat perang karena banyaknya pemberontakan di berbagai daerah di tanah air. Militer memegang posisi yang menonjol dalam mengatur kehidupan masyarakat. Kemiskinan terasa sampai ke pelosok-pelosok. Ibu dan Bapak yang tinggal di pinggiran kota kecil Magelang dinikahkan secara sederhana di tengah keadaan ekonomi yang kacau-balau. Banyak rakyat terpaksa makan bulgur, semacam campuran ketan dan beras, yang menurut informasi diperoleh dari sisa makanan ternak kiriman Amerika untuk membantu rakyat Indonesia. Karena tidak punya uang untuk membeli kain brokat yang layak, mendiang Eyang Putri terpaksa mengeluarkan gorden yang biasanya hanya dipasang menghiasi ruang tamu untuk acara istimewa setahun sekali seperti kaulan dan kendurian. Gorden yang terbuat dari kain semacam brokat itu pun digunting Eyang Putri dan dijahit menjadi kebaya pengantin. Seusai menikah, Bapak yang tentara itu harus buru-buru berangkat ke medan perang melawan pemberontak. Sejarahnyalah yang membuat kebaya itu begitu terasa mahal saat dikenakan oleh Mbak Ratih yang menjadi pengantin. Entah bagaimana cara Ibu menyimpannya. Kebaya itu masih tampak sekemilau dulu. Ibu menisik dengan sangat hati-hati bagian-bagian yang mulai renggang dan menambahkan manik-manik agar terlihat lebih indah dan modern. Mewariskan pakaian lama itu merupakan pertanda cinta Ibu kepada keturunannya. Bagi kami pun sudah menjadi semacam tradisi yang ditunggu-tunggu. Ibu hanya melakukannya untuk momen-momen penting bagi keluarga kami. Sebelum memberikannya, biasanya Ibu mengumpulkan semua anak perempuannya di ruang tengah, kami duduk bersila di lantai, Ibu duduk di kursi menceritakan terlebih dulu riwayat pakaian itu. Kami seperti terseret pada kenangan masa lalu yang mengharu biru. Lalu kami semua berharap-harap cemas menantikan siapakah yang menjadi orang yang beruntung pada hari itu. Ketika putri pertama Mbak Ratih lahir, yang juga menjadi cucu pertama Ibu, Ibu melungsurkan selimut dan baju bayi yang dulu membungkus tubuh mungil Mbak Ratih ketika pertama kali menghirup udara bebas di barak militer karena saat itu negara sedang sibuk menumpas pemberontakan. Bayangkan. Betapa Ibu tidak pernah melewatkan setiap peristiwa penting dalam kehidupannya. Jika bukan kami yang terpilih, dan tidak beruntung pada hari itu, kami akan masuk ke kamar masing-masing dengan kepala menunduk, menyimpan tangis kami diam-diam. Karena itu artinya kami belum dianggap istimewa oleh Ibu. *** Tradisi itu berlanjut hingga kami, anak-anak perempuan Ibu, pindah berpencar ke kota-kota lain, menikah dan punya anak. Aku merantau ke Jakarta, bekerja dan menikah dengan Mas Harris. Mbak Ratih pindah ke Bandung mengikuti suaminya. Mbak Suti menetap di Semarang dengan keluarganya. Laras, adik bungsu kami, memilih tinggal di Bogor dengan suami dan anak-anaknya. Hanya Ibu dan Bapak yang berkeras tetap tinggal di Magelang, meskipun Bapak sudah pensiun dari ketentaraan. Setiap Lebaran kami berkumpul di sana, setelah acara sungkem dan makan ketupat opor buatan Ibu, kami akan berkumpul di ruang tengah. Seperti dulu. Hanya kali ini dengan anggota yang lebih banyak. Karena ditambah dengan cucu-cucu Ibu yang sudah berjumlah delapan orang. Dua orang cucu dari Mbak Ratih, tiga dari Mbak Suti, satu dari aku, dua dari Laras. Perasaan kami masih seperti dulu, berdebar-debar cemas, menunggu siapakah yang dipilih Ibu pada Lebaran tahun ini. Sedangkan bagi anak-anak kami, cerita Ibu seperti dongeng sejarah yang mengagumkan. Mungkin di benak mereka seperti melihat film dokumenter dengan layar hidup. Siapa yang beruntung mendapatkan lungsuran pakaian merasa seperti menjadi pemenang lotre miliaran rupiah. Dan sepanjang tahun, cerita itu akan didengung-dengungkan terus di antara keluarga kami. Menjadi topik hangat sampai tiba Lebaran berikutnya. *** Yang paling berkesan bagiku adalah Lebaran lima tahun yang lalu. Ibu menyerahkan kebaya Kartini berukuran mungil dengan sulaman emas yang cantik sekali. Menurut Ibu, itu adalah kebaya yang kupakai saat perayaan hari Kartini ketika aku masih kelas satu sekolah dasar. Ketika itu aku diminta oleh guru menjadi Kartini dalam sandiwara yang dipentaskan di sekolah, lalu diajak berkeliling kecamatan bersama pawai sekolah. Kebaya itu yang kemudian dikenakan oleh putriku saat pawai yang sama tiga puluh tahun kemudian. Mataku berkaca-kaca melihat putriku yang mungil tampak begitu jelita dalam balutan kebaya beludru. Ibu bercerita, beludru itu diperolehnya dari tetangganya yang juru rias pengantin. Ibu menjahit sendiri dan menambahkan sulaman emas yang memanjang dari leher hingga ke ujung bawah kebaya. Kini aku mengerti betapa besarnya cinta Ibu kepadaku. Menyadari betapa sehelai pakaian bisa merekam begitu banyak peristiwa penting dalam hidup kami, maka kami pun mengikuti jejak Ibu menyimpan semua pakaian yang kami anggap memiliki nilai sejarah. Kelak saat anak-anak kami dewasa nanti, kami akan menyerahkannya satu per satu kepada mereka dengan cerita yang membuat harganya tidak bisa diukur dengan mata uang mana pun. *** Tradisi itu terhenti ketika suatu pagi Ibu menelepon kami sambil terisak-isak. Hanya menangis. Tidak ada kata-kata yang tercetus dari mulutnya yang penuh air mata. Kami tahu apa yang terjadi, dan segera berangkat ke Magelang dengan pesawat paling pagi. Kami menguburkan jasad Bapak keesokan harinya di pemakaman umum dekat rumah agar Ibu mudah kapan pun ingin nyekar. Karena kami semua bekerja, kami sepakat untuk bergantian menjaga Ibu selama masa berkabungnya. Aku mengambil cuti untuk bisa menemani Ibu melewati kesedihannya ditinggal Bapak. Tapi rupanya kehadiranku seperti tidak nyata di mata Ibu. Ibu yang dulu begitu periang dan senang mengobrol sekarang menjadi pendiam dan sering duduk melamun di beranda. Di sana biasanya Ibu menemani Bapak melewati waktu senja, minum kopi tubruk dan pisang goreng, sambil bernostalgia. Aku memahami kepedihan Ibu. Jadi aku biarkan saja Ibu dengan dunianya. Aku duduk menemaninya di sana. Sama-sama diam. Yang penting aku bisa memastikan bahwa Ibu tetap sehat dan tidak kekurangan suatu apa. Setelah lewat berbulan-bulan, kami melihat kondisi Ibu mulai cukup tenang. Kami, anak-anak perempuan Ibu, berembuk untuk membujuk Ibu menjual rumah lalu pindah tinggal di rumah salah satu dari kami. Ibu boleh memilih ingin tinggal di Bandung, Semarang, Bogor, atau Jakarta. Mbak Ratih yang kami minta mewakili pergi ke Magelang untuk meluluhkan hati Ibu. Dari semua anak perempuannya, Mbak Ratih yang paling banyak mendapatkan lungsuran pakaian simpanan Ibu. Mbak Ratih pulang tanpa membawa Ibu. Ibu berkeras tinggal sendiri di Magelang, dengan seorang pembantu. Hidup dengan segala kenangannya tentang Bapak. *** Mbak Suti yang tinggal paling dekat dengan Ibu sering kali harus pulang-pergi Semarang-Magelang untuk mengawasi keadaan Ibu. Kami merasa kasihan kepada Mbak Suti karena selain bekerja, ia juga mengurus anak-anaknya sendiri. Supaya Ibu tidak terlalu larut dengan kesedihan, akhirnya kami berkompromi bergantian membelikan tiket pesawat untuk Ibu. Dengan begitu Ibu bisa bergantian menginap di rumah kami, mengunjungi anak-anak dan cucunya secara rutin. Mungkin dengan berada di antara kami, hati Ibu akan sedikit terhibur. Ibu bersedia, tapi tidak bersedia naik pesawat. Terpaksa kami membelikannya karcis kereta api, meskipun khawatir dengan keadaan fisiknya yang mulai renta. Rupanya Ibu bahagia naik kereta api. Ibu bisa mengingat kembali masa-masa pacaran dan bulan madunya bersama almarhum Bapak, bertemu di peron, dan bepergian naik kereta api. Sesibuk apa pun, aku sekeluarga selalu menyempatkan menjemput Ibu di stasiun. Aku, suamiku, dan putriku. Ibu memeluk kami erat-erat. Tampak bahagia bertemu kami. Meskipun aku melihat ada ruang kosong di matanya. Ada yang hilang dalam setiap pertemuan kami. Ibu tidak pernah lagi melungsurkan pakaian-pakaian lamanya. Kami pun tidak berani mengungkitnya. Mungkin Ibu butuh waktu untuk pulih. Karena kini menceritakan kenangan berarti mengungkit lagi kesedihannya. Semua saat yang bernilai baginya tentu erat berkaitan dengan almarhum Bapak. Ibu melahirkan Mbak Ratih ketika Bapak harus bertugas menumpas pemberontakan. Ibu menamakanku Sri karena bidan bernama Sri yang dijemput Bapak subuh-subuh naik sepeda ontel untuk membantu persalinan Ibu melahirkanku. Dan, semua hal yang dulu terasa patriotik sekarang menjadi begitu pedih. Karena Bapak telah pergi. *** Rupanya dalam setahun Ibu menemukan kembali dirinya. Lebaran tahun itu, ketika kami menjenguknya di Magelang, Ibu kembali kepada tradisi lamanya. Ibu mengumpulkan kami semua di ruang tengah dan mulai bercerita. Satu per satu peristiwa diceritakan dengan rinci oleh Ibu. Kami menyimak sungguh-sungguh. Di saat kami tengah hanyut dengan ceritanya, Ibu mengeluarkan sehelai kain lebar, membentangkannya di hadapan kami. Kami terbelalak melihat hamparan kain berisi potongan-potongan kain perca yang disambung dan dijahit menjadi bed cover. Semua peristiwa yang baru saja diceritakannya itu tiba-tiba saja terobek-robek, menjadi potongan-potongan yang tidak bernilai, menjadi seonggok bed cover lebar. ”Kita ndak boleh termakan kenangan,” begitu kata Ibu, tersendat. ”Kita bisa mati merana.” *** Sekarang setiap kali mengunjungi rumah anak-anaknya, Ibu selalu meminta kami mengeluarkan pakaian-pakaian lama yang masih kami simpan. Dengan berat hati kami memberikannya. Di hadapan kami juga, Ibu menggunting pakaian-pakaian itu menjadi potongan-potongan kain perca. Kami yang sejak kecil terbiasa mendengarkan betapa pakaian menyimpan nilai sejarah, jadi merasa seperti teriris-iris. Pada kunjungan berikutnya, potongan-potongan kain perca itu telah dijahit Ibu, dan berubah menjadi bermacam-macam fungsi. Kemahiran Ibu menjahit rupanya tidak termakan usia. Ibu menyulapnya menjadi seprai, sarung bantal, taplak meja, yang menawan. Kadang-kadang kami usil memesan Ibu untuk menjahitkan kain perca itu menjadi bermacam-macam hal remeh seperti serbet, keset, sampai tutup galon air mineral. Mbak Ratih malah pernah mengusulkan agar Ibu membuka bursa pengumpulan baju bekas di rumahnya, lalu menjual hasil jahitan kain percanya. Kini kami terbiasa menertawakan sejarah. Di rumahku misalnya. Kami melihat kemeja kerja suamiku yang pertama kali dikenakan ketika naik jabatan menjadi alas piring makan kami. Atau baju batikku ketika menghadiri pementasan tari putriku menjadi tatakan gelas minum. Sungguh lucu rasanya. Kami tertawa-tawa mengingat semua peristiwa itu. *** Suatu pagi pembantu di rumah Ibu meneleponku dengan suara panik. Ibu terjatuh di kamar mandi. Aku langsung berangkat naik pesawat dengan jadwal paling awal. Sesampainya di Magelang, semua anak perempuan Ibu sudah berkumpul. Aku melihat Ibu telah dibaringkan di ranjang di ruang tengah, tempat kami biasa berkumpul. Jasad Ibu diselubungi kain perca jahitannya sendiri. Aku menghambur memeluk Ibu. Mencium punggung tangannya dengan penuh bakti untuk terakhir kali. *** Seminggu setelah kepergian Ibu, baru kami memiliki kekuatan untuk membereskan barang-barang peninggalan Ibu. Kami melakukannya bersama-sama. Keempat anak perempuan Ibu. Kami melangkah masuk ke kamar Ibu dengan air mata tertahan. Perlahan kami membuka lemari pakaian Ibu. Menemukan setumpuk pakaian Bapak di sudut sana. Utuh. Terlipat rapi. Tidak digunting Ibu menjadi potongan-potongan kain perca. Jakarta, 7 Desember 2010
""Kain Perca Ibu""
Nyaris sembilan tahun terlalui. Belum satu dasawarsa, tetapi bukan rentang waktu yang sebentar untuk sebuah penantian. Berapa lama lagi? Masihkah tersisa ketabahan untuk menjalani rentang masa yang tak terkira itu? Kau sapukan lap basah pada bingkai jendela, menyeka debu yang melekat di sudut-sudutnya. Selalu ada sisa debu meski kau bebersih tiap hari. Akankah tabahmu serupa debu? Selalu ada tiap hari, tertebar di segala sudut? Kau tak tahu. Adalah melahirkan, yang menjadi angan pertamamu saat laki-laki itu meminangmu. Kau lamunkan dirimu sedang menyusui bayimu sembari bersenandung saat suamimu rebah di dadamu. Bahwa akan kau kisahkan seribu dongeng pada anak-anakmu, pengantar tidur setiap kali kau akan terlelap dalam dekapan hangat suamimu. Kau sulam dengan telaten angan itu, yang setiap bulan bertambah dengan harapan kala tamu periodik biologismu datang. Bulan berganti dan makin memanjang sulamanmu. Rapat benang-benang itu terjalin membentuk angan-anganmu. Merah kesumba, ungu muda, hijau pupus adalah warna-warni impianmu. Tahun berganti dan lapis harapanmu kian menebal. Kau tambahkan warna-warna baru pencerah angan. Lepas tahun berikutnya kau temukan benang baru berkualitas terbaik. Kau sulamkan setiap helai benang itu sepenuh rasa. Serabutnya yang berkilau seolah memberimu cahaya, tak memberi ruang pada semangatmu untuk meredup. Tahun berganti tak berhenti. Demikian pula tamu periodik bulananmu. Selepas tahun kelima kau dapati persediaan benang-benangmu telah menipis, tak banyak lagi warna tersisa. Kau tak hendak berhenti apalagi putus asa, tetapi suamimu telah terperangkap pada harapan yang pudar, tak hendak diantarnya kau mencari benang-benang baru. Kini kau berjuang dengan benang-benang tersisa, warna seadanya dengan jarum yang mulai tumpul. Sulaman angan macam apalagi yang bisa kau buat? Suamimu masih rebah di dadamu nyaris setiap malam. Dekapannya padamu tetaplah hangat dan seerat dahulu. Namun, dari seribu dongeng yang hendak kau kisahkan, tak kau yakini lagi berapa yang masih tersimpan utuh dalam ingatanmu. Entahlah belasan ataukah satu. Telah selesai kau seka lekat partikel debu pada daun jendela dan bilah pintu ketika sebuah becak menghentikan lajunya di pelataran rumah. Bibimu datang. Dibawanya sebuah kotak merah. Terulur kotak itu padamu, dengan sepasang mata yang ingkar dari lurusnya tatapanmu. Kau mengerti. Gerak mata yang menghindar itu demi menyembunyikan prihatin tersirat. Bela rasa yang tak terungkapkan sejelasnya. ”Duduklah, Ik, 1” salammu menyambut dengan nada riang. Menyamarkan pedih yang berkilauan dalam genggaman benakmu. ”Sehat bayinya? Lancarkah air susu ibunya?” Lagi kau berkata, tepatnya berseru agar nada riang itu tersampaikan sejelas-jelasnya. Nada yang menipu dan sungguh kau tahu bahwa bibimu tak akan tertipu. ”Sehat, sudah bertambah satu kilo beratnya,” bibi menjawab pelan. Kau seduh teh dalam poci. Kau sertakan tiga bongkah kecil gula batu. Kotak merah itu terdiam di samping ibu poci dan sepasang anak cangkirnya. Kau tahu apa isinya. Kue ku berbagai bentuk berwarna merah terbuat dari tepung ketan yang legit, membalut kacang hijau tumbuk di dalamnya. Pastilah ada juga kue mangkuk merah muda dengan daun pisang sebagai takirnya. Harum daun pisang terkukus itu melekat samar. Apalagi? Barangkali kue wajik, yang butiran beras ketannya saling melekat berkilau-kilau oleh minyak yang gurih. Entah merah muda atau hijau warna wajik itu. Tapi yang tak akan tertinggal pastilah ada telur rebus yang cangkangnya sungguh merah karena sumba. Itulah tradisi telur merah. Telur penanda kelahiran, merah, perlambang kebahagiaan. Satu butir telur untuk penanda bayi perempuan, sepasang telur untuk bayi laki-laki. Kaummu menamakan bingkisan itu Ma gui an atau Ma yek. Tradisi membagi buah tangan sebagai penanda kelahiran tepat ketika sang bayi genap berusia satu bulan. Itulah kebahagiaan atas anugerah yang harus dirayakan dan diberitakan. Begitulah kotak merah Ma gui an itu dibagikan kepada kerabat dan tetangga, sebagai bagian dari tradisi telur merah. Kau suguhkan teh di meja makan di mana bibi duduk. Piring kecil alas cangkir berdenting lirih saat bersentuhan dengan meja marmer peninggalan Ibu. Bibi mengusap-usap marmer itu, seolah merayapi gurat-guratnya yang tak lagi utuh. Ada beberapa retak dan parutan serupa butiran pasir pada beberapa sudutnya. Kau tahu bibi sedang merindui ibumu. ”Apakah Ma gui an kelahiranku dulu juga seperti ini?” tanyamu kemudian, sembari mengunyah sepotong kue ku. Pertanyaan itu lebih sebagai upayamu untuk menetralisir suasana muram yang seolah mengambang di antara kalian. Kepala bibi bergerak mengangguk. Matanya yang kecil memanjang berkedip lambat, menyiratkan terawang yang jauh, seolah menembus perjalanan sejarah silam. ”Tidak banyak toko roti atau tukang kue di masa itu. Sebagian harus kami masak sendiri. Aku membuat kue ku dan wajik. Tetangga sebelah rumah memasak kue mangkok dan kue lapis. Ibumu memilih merebus sendiri telur-telur itu. Tangannya berwarna merah berhari-hari karena sumba. Nyaris tak berani dia menyentuhmu sesudah itu. Khawatir bekas sumba pada telapak tangan itu akan menodai kulitmu.” ”Lalu bagaimana?” kau sungguh ingin tahu. Tidak sering bibi sudi berbagai cerita tentang masa kecilmu. Selalu ada banyak alasan untuk mengalihkannya pada hal-hal lain. ”Ayahmu yang menggendong dan memandikanmu. Kadang-kadang kugantikan. Tapi kau selalu rewel dalam dekapanku, tak pernah lama anteng di gendonganku. Dasar wan bik 2,” mata bibi melirik padamu, menyiramkan sisa kejengkelan masa lalu, berbaur rasa sayangnya padamu yang tak terhitung. Kau tertawa. ”Barangkali karena naluri kecilku tahu bahwa aku akan lebih lama berada dalam asuhanmu,” ucapmu lepas. Ucapan yang kemudian mengejutkanmu dan menjerat kalian berdua dalam pekatnya kepedihan kenangan masa lalu. Kebahagiaan yang tersisa dari penggalan silam itu samar dan rapuh belaka. Suara tawamu surut dengan segera. Bibi menyeka ujung mata dan meneguk lambat seduhan teh terhidang. Senyap. Berbagai bunyi dan suara tertiup entah ke mana. Kau raup tangan bibi kemudian. ”Ik, ada yang mengatakan Ibu pergi pada suatu tempat sebelum mengandung aku. Antarlah aku ke sana.” ”Tidak akan!” bibi menghardikmu dengan tajam. Satu hal yang tidak pernah dilakukannya sejak mula mengasuhmu setelah ibumu berpulang saat lima tahun usiamu. ”Tapi aku sungguh ingin,” kau memohon. Mengalir air matamu, menggenangi harapanmu yang tersulam sejauh ini. ”Kukatakan padamu, jangan pernah satu kali pun melakukannya!” lagi bibi mengulang peringatannya. ”Ramuan mereka berhasil bagi Ibu, pastilah bagiku juga,” kau tak berhenti. Bibi meninggalkanmu. Seakan membiarkan segala sulamanmu terendam untuk kemudian tenggelam. Akankah kau menyerah dan melepaskan harapan sekian tahun itu terkubur sia-sia? Pastilah tidak. Keinginanmu yang tak lagi terbendung menggetarkan udara di sekitar dan meruntuhkan tembok penghadangmu. *** Sosok tua tak bernama itu menampik uluran uangmu. ”Tidak ada yang dibayar dengan uang di sini,” katanya serupa gumam. ”Pada waktunya nanti, akan datang kesempatan untuk membalasnya. Mungkin kau bisa memilih, bisa juga tidak.” Kau tak mengerti, tetapi sebelum mendapatkan penjelasan lanjut, kau telah dipersilakan untuk beranjak pergi. Seseorang mengantarkanmu hingga ke gerbang. Bilah pintu besar itu terbelah, memberimu celah untuk keluar. Jalan setapak di depanmu dengan pohon-pohon tua berjajar seolah membentuk barisan di sepanjang jalurnya. Dedaunan yang saling bersentuhan berdesir-desir suaranya menyertai langkah menjauhmu. Kau bertanya-tanya kemudian, apakah pohon-pohon itu mengingat dan menyimpan derap langkah ibumu yang menyusuri jalan ini pada suatu ketika di masa silam? Satu iramakah langkah yang dahulu itu dengan gerak langkahmu sekarang? Kau rindui ibumu. Kau ingat senandungnya yang menidurkanmu. Dan kau rindui pula kesempatan menjadi ibu. Ingin kau bersenandung dan mengisahkan dongeng-dongeng pada anak-anakmu. Kepada bibi kau bawa pertanyaan tak terjawab itu. Bibi tercekat, lalu meraung sesudahnya. ”Mengapa kau langgar pesanku?” desisnya menuntut. ”Seharusnya kau patuh.” ”Ibu melakukannya, mengapa aku tak boleh?” balik kau bertanya serupa gugatan. ”Justru karena itu kau tak perlu mengulangnya!” ”Tapi aku ingin anakku. Sembilan tahun sudah kutunggu.” Bibi menangisimu tanpa air mata. Rebah pula dirimu tak berdaya pada pangkuannya. Tak ingin kau kenakan lagi topeng-topeng ketabahanmu. Tak pula hendak kau jadikan sulaman anganmu sebagai cadar belaka. ”Lebih sepuluh tahun Tacik 3 menunggumu,” bibi mulai berkisah. Bergetar suaranya di antara cemas dan pahit berselang-seling. ”Setiap datang bulan, dia menangis berhari-hari. Ragam cara dicoba, banyak ahli didatangi. Nihil belaka. Lalu datang seorang dari jauh itu, membawa ayah dan ibumu ke sana. Bulan berikutnya Tacik hamil dan kau lahir.” Suara bibi menghilang. Atau menjauh? Kau memilih untuk menunggu. Kau tahu inilah bagian masa lalu yang hendak diingkari itu. Yang seolah hendak dibuang, tetapi akar-akarnya tak tercerabut. ”Sesudah kau mulai pandai berlari, datang seseorang menagih sesuatu. Katanya, tidak ada yang cuma-cuma di dunia ini, segala sesuatu ada nilai tukarnya. Begitulah perjanjian yang dahulu disepakati demi kelahiranmu,” bibi melanjutkan. Telapak tangannya dingin berkeringat dalam genggamanmu. ”Tacik meminta tenggang, lalu mencari sembarang perempuan untuk mengandung adik tirimu. Anak itu lahir kemudian.” Kau terkejut dicengkeram gemetar pada saat yang sama. Sungguh itu bagian dari cerita silam yang tak terduga. ”Apa yang terjadi dengan adikku?” Bibi menangis. Suara isaknya begitu pahit dan pedih. Serupa luka yang ditabur garam dan lelehan jeruk nipis. ”Seharusnya anak itulah penukar kelahiranmu, tetapi ibumu tak tega dan memilih dirinya sendiri sebagai pembayarnya. Ayahmu tak sanggup menanggung beban dan menyusul ibumu kemudian. Nyawa dibayar nyawa, begitulah adanya.” Labirin sejarahmu terkuak sudah. Terpapar jelas dari ujung permulaan hingga kelokan terakhir. Tak lagi kau temukan persimpangan yang menipu. Saat yang sama kau telah terperangkap pada salah satu jalur misterius di dalamnya. Akankah kau temukan jalan untuk kembali? Jadwal periodik biologis bulanan itu selalu kau tunggu dengan berdebar sepanjang sembilan tahun. Debaranmu kali ini adalah akumulasi sepanjang masa itu disertai harapan yang retak serupa cangkang telur merah dalam anganmu. Keterangan: 1. Ik: panggilan untuk saudara perempuan dari pihak ibu dalam keluarga China. 2. Wan bik: nakal 3. Tacik: kakak perempuan
""Tradisi Telur Merah""
Oya, sebelumnya kita buat kesepakatan: Untuk memudahkan aku bercerita, kita singkat saja nama Bi Maryam menjadi Bi Mar, tersebab lidahku agak sulit menyebut namanya bila kuucapkan secara panjang. Jadi ketika aku menyebutkan nama Bi Mar, kau pahamlah kalau yang kumaksud adalah Bi Maryam istrinya Mang Isa, lantaran sangat banyak Bi Mar di dusun Tanah Abang. Kita mulai cerita ini di suatu malam ingusan, ketika bulan tengah mati di kelam raya dan kesiuran angin penanda hujan telah bertiup sejak langit mulai temaram, tepatnya di bilik pengap Bi Mar dan Mang Isa, pada sebuah limas yang terpancang tak jauh dari bibir Sungai Lematang. Dan kisah ini dibuka oleh ucapan Kajut Mis, dukun beranak di dusunku, Tanah Abang. ”Masih belum terlihat, Mar. Kau harus bertahan. Ambil napas lagi, lalu kau ejankan kuat-kuat.” Bi Mar tersengal, kedua tangannya mencengkeram kuat seruas bambu yang tergantung tepat di atasnya. Seruas bambu yang diikat kuat tali trap—tali yang terbuat dari kulit kayu bernama trap. Keringat telah membanjir di pelipisnya, melucumkan seluruh tubuh dan merembes ke kasur kapuk yang menampung tubuh kepayahannya. Ada rasa sakit yang mengili-ngili tubuhnya, merayap dari sendi-sendi, lalu menjalar ke seluruh pori. Sakit yang bermuara dari satu titik: perut bengkaknya. Mertua Bi Mar, emaknya Mang Isa, terlihat cemas di sebelahnya. Padahal, ini bukan kali pertama ia mengawani menantunya ini bertaruh nyawa, melahirkan cucu-cucunya, hampir saban dua tahun sekali, ia mengulangi adegan yang selalu membuat jantungnya berdebar lebih kencang ini. Bahkan, ia pun telah berkali-kali melakoninya. Tetap saja, kernyit muka penuh nyeri Bi Mar tak urung membuat dadanya mengempis. ”Sudahlah, Mar, tak usah beranak lagi. Kau datangi saja bidan di puskes sana, minta KB,” itulah ucapan mertua Bi Mar dua tahun silam, ketika usai mengawaninya melahirkan Serina, anak gadisnya yang baru saja dapat berlari dengan sempurna. Kata-kata serupa tak terluncur dari mulut mertua Bi Mar saja, Kajut Mis, dukun beranak yang kian uzur itu, pun telah mengucapkannya empat tahun lalu, pun dengan mulut-mulut karib-karib Bi Mar—tapi tidak dengan mulut orang-orang di Tanah Abang. ”Tak kau tengok, Mar, anakmu sudah macam rayap? Menyempal-nyempal sampai limasmu sesak. Apa lagi yang nak kau ranakan? Gadis-gadismu sudah banyak. Empat belas orang. Apa kau buta hingga tak dapat menghitungnya?” Sejatinya, Bi Mar tak buta. Mata beloknya yang indah itu dapat dengan sempurna menghitung jumlah anak perawannya. Pun jika hendak menuruti kemauan hatinya, ia sangat ingin untuk menyudahinya. Tetapi, ucapan lakinya, Mang Isa, selalu saja membuatnya tak berdaya, ujung-ujungnya kembali mengharuskan Bi Mar bertaruh nyawa, melahirkan anak-anaknya. ”Kita harus dapat anak bujang, Dik,” itulah kata-kata Mang Isa pada Bi Mar, ”Apa kata orang se-Tanah Abang bila jurai limas kita tak tertegak lantaran kita hanya melahirkan anak-anak perawan saja? Pada masanya, bila kita telah uzur dan anak-anak gadis kita telah diboyong laki mereka ke limas seorang-seorang, kita hanya tinggal berdua di limas ini, tak ada yang mengurusi. Lalu, kita akan mati bergilir dalam sepi. Nasib baik, jika kita mati bersama, hingga yang ditinggal tak merasa sunyi.” Ucapan Mang Isa membuat mata Bi Mar menerawang, membayangkan dirinya ringkih dan tertatih-tatih sendiri dalam limas. Menanak nasi, mandi ke Sungai Lematang, mengumpulkan kayu bakar, merumputi lapangan sekitar limas, menyambangi kebun duku-durian, menyayatkan pahat pada kulit balam di pagi kelam. Mendadak, tengkuk Bi Mar meriap. Alangkah menakutkan bayang itu di matanya. ”Kalau kita ada anak bujang. Ada yang menunggu limas, memboyong istri dan anaknya di sini, bersama kita. Mengurus kebun duku-durian, menyadap balam pagi-pagi kelam. Kita hanya tinggal di rumah saja, bermain dengan cucu-cucu yang banyak. Tak usah risau bila ada yang sakit karena tua, tak perlu cemas kalau-kalau kita mati tak ada yang tahu musababnya. Sebab, ada yang bersama kita. Anak bujang dengan anak dan istrinya,” tambah Mang Isa membuat mata Bi Mar mengatup rapat. Alangkah indah. Sekelebat pula sebuah bayangan mengantar-kantar mata Bi Mar yang terpejam. Sebuah bayangan yang mendadak menciutkan kembali nyalinya. Bi Mar teringat akan nasib buruk Mak Salit. Perempuan tua itu kini hidup sendiri di limasnya yang megah setelah lakinya meninggal beberapa purnama silam. Nasib malangnya bukan lantaran karena Mak Salit seorang perempuan mandul yang tak punya anak. Anaknya banyak, hampir mencapai sepuluh orang. Sayangnya, semua perawan dan telah mengikuti laki-lakinya di dusun-dusun tetangga. Mungkin, bukan tak ada anak-anak perempuan Mak Salit yang tak iba melihat nasib malang Emak mereka. Dapat pula sebenarnya mereka takut akan mendapatkan nasib serupa di masa tua lantaran telah menelantarkan Emak mereka. Tapi, apa yang dapat mereka perbuat sebagai perempuan selain tunduk kepada suami dan adat yang mengikat? Tak akan mertua mereka mengizinkan, bila anak bujangnya menunggui limas mertua, mengikuti istri melangkah, menegakkan jurai perempuan sembari membunuh jurai keluarga seorang lanang. Itulah mengapa Bi Mar seolah-olah menulikan telinga dari ucapan mertuanya, ucapan Kajut Mis, dan karib-karib sebayanya. Ia harus dapat anak bujang, tak peduli dengan ucapan segelintir orang. Orang-orang Tanah Abang pun paham apa yang hendak ia capai dengan lakinya. *** ”Mungkin kau kurang syarat, Mar, jadinya selalu meranakkan perawan,” ucapan itu Bi Mar dapat dari Kajut Muya ketika perempuan tua yang tak seorang pun memiliki anak perawan itu, sekali waktu menyambangi limas Bi Mar seusai Bi Mar melahirkan anaknya yang keempat belas, Serina. ”Syarat apa, Jut?” kejar Bi Mar dengan mata berbinar. Ada semangat yang meluap dari dadanya hingga Bi Mar seolah lupa dengan tubuhnya yang masih kepayahan sebab baru saja meranakkan anak gadisnya yang kesekian. Di mata Bi Mar terlintas deret-deret bujang Kajut Muya yang elok-elok parasnya. ”Kau malinglah sereket dari kayu ribu-ribu milik bibi atau saudara perempuan lakimu yang telah beranak bujang. Usai itu, kau pakai sekali saja saat menanak nasi. Nah, nasi-nasi yang menempel di sereket itu kau makan, lalu simpan sereketnya di bawah kasur kapuk kau dengan Isa. Insya Allah, kau akan dapat anak bujang. Aku pun dulu demikian, Mar. Awal-awal menikah hingga anakku bujang semua.” Bibir Bi Mar mengembang, serupa kuntum bunga yang menemukan masanya mekar. Ada luap keinginan yang rasanya hendak lekas-lekas ia tunaikan. Bila tak sadar dirinya masih terkulai di atas lamat kapuknya, mungkin Bi Mar telah gegas meninggalkan Kajut Muya seorang saja bersama gadisnya yang masih merah. Di matanya yang mendadak berbinar, Bi Mar telah dapat limas siapa yang akan ia satroni, menggondol sereket kayu ribu-ribu penanak nasi: Limas Bi Jumar, adik mertuanya yang memiliki banyak bujang. Begitulah, seusai merasa dirinya telah sehat walafiat, Bi Mar melancarkan aksinya. Pada petang yang kesekian di bilangan almanak rumah, Bi Mar berpura bertandang sembari memamerkan anak gadisnya yang merah. Ketika Bi Jumar lengah, Bi Mar mengambil sereket kayu ribu-ribu yang terselip di dinding limas samping periuk yang bergemerutup. Entah, apa Bi Jumar sebenarnya paham apa yang dilakukan Bi Mar atau ia benar-benar tak mengetahuinya. Bi Mar melenggang pulang dengan sereket kayu ribu-ribu yang terselip di balik besannya. Di rumah, Bi Mar gegas menanak nasi seperti biasa, meletakkan perawannya yang masih merah dalam ayunan. Lalu, melakukan petuah Kajut Muya padanya. Menggunakan sereket kayu ribu-ribu milik Bi Jumar untuk mengaron nasinya hingga matang. Dan, memamah nasi yang tertinggal di sereket. Usai itu, Bi Mar menyelipkan sereket itu di bawah kasur, tempat ia dan Mang Isa tidur. *** Keinginan Bi Mar memiliki anak bujang kian menjadi saja. Sebab, ada berita yang tengah hangat dibicarakan perempuan-perempuan di batang—tempat mencuci dan mandi di Sungai Lematang. Berita tentang Mang Marwan yang berbini dua! Kata berita yang lagi hangat-hangatnya itu, Mang Marwan berbini dua lantaran tak kunjung mendapatkan anak bujang dari istrinya, Bi Murni. Bi Mar pun ingat, ada lima anak gadis Bi Murni itu. Semua berparas elok, berbibir tipis dengan hidung bangir, kulit putih dan mata sipit, mirip Mang Marwan yang memang termasuk lelaki rupawan. Mendadak, degup di jantung Bi Mar terasa tak normal. Ada dag-dig-dug yang tak biasa. Ia seperti merasa, mata-mata perempuan yang mencuci dan mandi di batang seolah-olah mencuri pandang. Seperti perempuan-perempuan itu tengah meramalkan nasibnya pun akan seburuk Bi Murni yang tengah dikisahkan. Dimadu oleh lakinya lantaran tak kunjung mengoekkan anak bujang dari selakangannya. Tak kunjung menegakkan jurai limas dengan menetak burung bujang ingusan. Gegas sekali Bi Mar menyikat baju cuciannya, membilas, dan menyabuni tubuhnya. Lalu, membasuh diri dengan air Lematang yang mengalir. Setelah itu, ia terburu melangkah pulang. Dalam hatinya yang kusut-masai, ia percaya, mata-mata perempuan di batang masih saja tertuju hingga tubuhnya lenyap dari pandangan. Bi Mar pun mulai waswas melihat tingkah pola Mang Isa. Bila lelaki itu tak kunjung pulang pada malam yang kian larut saja, hatinya mendadak dibalur cemburu. Jangan-jangan Mang Isa tengah memadu kasih dengan janda di dusun ini dan itu. Mengurai rencana dan sudah mulai menyusun kata, bila ia menangis sembab ketika mendapati Mang Isa dikabarkan telah berbini dua kelak. Bi Mar pun kian risau, bila ia mendapati dirinya masih saja datang bulan. Padahal, ia sangat berharap ada sesuatu yang tumbuh di perutnya, buah dari cinta dengan Mang Isa. Sesuatu yang ia harapkan membayar tunai kegalauannya. Rupa-rupanya, Tuhan mendengar doa Bi Mar, atau ini hanyalah kebetulan semata. Pastinya, hal ini memang sudah tersemat dalam kisah semesta. Bi Mar kembali hamil muda. Lalu, pelan-pelan perutnya membengkak, menuju bilangan bulan demi bulannya, seiring anak gadis yang keempat belas belajar berjalan. Segala syarat yang ia dapatkan dari tetua, orang-orang yang telah kenyang asam garam dunia, ia lakonkan, tujuannya cuma satu saja: Kali ini ia beranak seorang bujang. Menyudahi pertarungan yang sejatinya enggan ia ulang. *** Angin kian mendedas di pelipir limas, meningkahi perjuangan Bi Mar dalam bilik pengap. Sesekali terdengar rintik mengimbau di atas genting. Kajut Mis masih terus memberi aba-aba, menyemangati Bi Mar yang kian kepayahan. Usia yang sudah lewat kepala empat, anak yang kata Kajut Mis sungsang, membuat perjuangan Bi Mar kian berat. Sementara itu, di tengah limas, Mang Isa menunggu dengan cemas, anak-anak perawannya meringkuk dalam senyap. Doanya cuma sebatang kalimat: Anak bujang! (*) C59, November 2010 – Januari 2011
""Mar Beranak di Limas Isa""
Cepatlah, sebelum tangan ini lepas dari kendaliku! Teriak lelaki itu dalam getaran yang hebat. Aku tak tahu apakah ia marah atau gentar. Suara keras, namun runtuh sebagai kemurungan. Aku mengambil dompet dan kuserahkan dengan gemetar pula. Ini masalah nyawa, Bung. Satu-satunya. Bukan kematian yang kutakutkan, namun janjiku untuk menemui seseorang tengah malam ini, membuatku tak mungkin mengambil resiko untuk mencumbui ketajaman pisau dan liar kegelisahan di sepasang mata yang nampak mulai berair itu. Ia menangis. Sungguh. Tangisan apa pula yang mengalir deras dari seorang perampok. Pergilah! Pergilah! Ambil semua yang kau inginkan. Aku membatin sendiri. Bagaimana bisa seorang bajingan menyerah kepada seorang perampok gelisah macam itu. Kau sakit! Cepatlah cari obat yang mujarab. Pergilah ke tempat pelacuran. Atau belilah minuman keras. Mabuklah sampai memar sepasang mata yang rapuh itu. Aku terus mencacinya dalam hati. Ia tak juga beranjak. Pisau itu terus terarah. Tajam, berkilat, dan penuh getaran. Sebelah tangannya menangkap dompet dan membukanya dengan tergesa. Hampir jatuh. Ia terkejut dengan kebodohannya sendiri. Dan akibatnya pisau itu menekan keras keningku. Ada yang mengalir. Ngalir di celah antara dua mataku. Darah! Teriaknya tergagap. Kau! Kau berdarah! Pisau itu bukannya melemah, malah semakin kuat menusuk. Ngilu merasuk. Perih terbit. Ia mendadak marah dan gila. Barangkali darah itu telah menyulut sesuatu di tubuh orang itu. Barangkali rasa takut. Perampok sialan. Gerutuku sambil menahan sakit. Tubuhku semakin rapat ke tembok yang lembab. Dan tubuhnya hendak merapat pula ke tubuhku. Tubuhku terlalu kecil untuk berontak terhadap manusia tinggi kekar ini. Jika saja. Tidak. Tak ada berandai-andai. Sekali kubuat kesalahan. Pisau itu akan membabi-buta. Pisau itu berada dalam kendali orang yang tak punya kendali. Getaran hebat di tangan dan tubuhnya bisa saja membuat pisau itu terjatuh, bisa juga membuatnya menjelma seribu sayatan indah di kulit, daging, dan tulangku. Aku punya janji. Tak bisa aku bermain-main. Ah, padahal kematian adalah sesuatu yang sering kupermainkan. Cepat selesaikan permainan ini! Aku menahan geram. Tak sulit buatnya untuk melepasku, semudah ia membunuhku. Namun ia tak melakukan keduanya. Malah bersusah-payah menahan getaran hebat itu. Pisau semakin tak menentu. Seperti dalam perang. Antara menikam dan melompat pulang. Ini tentunya sangat menyiksaku. Harapanku nyaris tak bersisa. Tuhan. Aku ingin menemui tidak setelah kematian. Tengah malam ini. Dalam kehidupan. Aku berbisik gigil pada getaran pisau itu, pada galau tusukannya. Enyahlah! Enyahkanlah perampok gila ini. Jangan biarkan ia jadi pembunuh dan merasa berdosa seumur hidup. Selamatkan ia untukku. Untukku! Percuma aku meracau. Tiba-tiba tusukan itu semakin menekan. Dan kurasakan, sedikit-sedikit, menembus tulang keningku. Menancap rapat. Segera ia mengerang sedemikian rupa. Mengaduh gaduh sekali. Seperti orang yang mengalami puncak orgasme. Tangannya lepas dari pisau. Tubuhnya menggeliat. Mengejang. Lantas terjengkang seketika. Suara berdebum. Tubuhnya kini kaku. Membujur di depan jari-jariku yang mengkerut surut seperti hendak sembunyi ke dalam telapak kaki yang telanjang. Aku seperti terbius dengan pemandangan menakjubkan itu. Tanganku perlahan meraba pisau yang menancap kuat di kening. Darah seperti sungai mungil yang mengalir menuruni celah antara dua mata, mengalir ke hidung. Pecah jadi beberapa sungai yang lebih mungil. Dan bermuara di bibirku. Mulutku mencicipinya tak henti-henti. Aku tak terlalu mempersoalkan perampok sialan yang mampus dengan khusyuk, toh ia mati ataupun tidak kuanggap sebagai jawaban atas doaku. Pisau di keningku menjelma persoalan baru. Selepas gang ini adalah jalan yang sangat ramai sekalipun malam semakin larut. Malah, semakin larut semakin hidup. Orang-orang di sini hanya hidup dan bergembira pada malam hari. Seperti perkampungan vampir. Kau dapat mencari apa saja yang kau inginkan sepanjang malam. Pasar. Toko-toko. Tempat-tempat hiburan. Bahkan sekolah pun buka malam hari. Orang-orang tak terlalu pedulian terhadap yang lainnya, namun mereka sangat senang mengolok-olok. Mengolok-olok segala sesuatu yang tak lazim. Segala sesuatu yang lain dari kebiasaan. Bagaimana aku pulang dengan pisau menancap di kening. Tak kuasa aku mencabutnya. Tenagaku tak sanggup melepasnya dari impitan tulang yang retak itu. Lepas aku dari satu rintangan. Namun rintangan itu mewariskan sesuatu yang tak bisa kulenyapkan. Bukan rasa nyeri atau perih yang kini menjalar. Bukan sungai mungil darah yang terus kureguk. Aku berjalan sepanjang gang yang temaram. Sedikit sempoyongan. Dengan kedua tangan memegang hulu pisau, seperti memegang botol minuman keras, yang menancap di kening. Malam semakin dingin di tubuhku. Gigil. Angin kini seperti silet. Tipis. Semakin dekat ke mulut gang, udara mendadak mulai menghangat. Keluar dari mulut gang, nampak lampion-lampion merah bertebaran di mana-mana. Lampu-lampu berwarna berkibaran. Kain-kain berwarna merah berjatuhan dari tempat yang tinggi. Orang-orang ramai sekali. Dari mulai anak kecil sampai orang tua tumpah ruah di jalanan. Aku mencari-cari sesuatu yang dapat menutupi kening dan kepalaku, dan wajahku tentunya. Tapi tak ada apa-apa. Kota ini sangat bersih. Maka aku berjalan dengan meminggirkan diri dari keramaian. Mencari jalur paling sunyi, yang tentu saja sangat sulit dicari di kota ini. Anak-anak berlarian di depan sebuah sekolah. Seperti sungai mungil darah yang terus mengalir di wajahku, terus bermuara di bibirku. Anak-anak muda nampak bergerombol di depan sebuah panggung musik, di meja-meja kafe yang dipasang di trotoar. Sedang orangtua hilir-mudik di pasar, toko-toko, dan taman kota. Lampu-lampu yang merah, adalah napas yang menghidupkan kota ini. Segala macam merah, dari yang paling muda sampai yang paling pekat. Ada juga yang sewarna sungai darah. Aku menyisir yang paling pinggir. Mencari jalur sepi yang paling mustahil. Seluruh perih dan kemungkinan untuk diolok-olok bukanlah alasan yang membuatku sembunyi-sembunyi. Kebiasaan penghuni kotalah yang membuatku harus sangat berhati-hati. Pisau itu akan menjadi masalah yang harus dipertanggungjawabkan. Di kota ini benda-benda tajam adalah benda yang diharamkan. Hanya orang-orang tertentu yang boleh menggunakannya. Apalagi jika mereka menganggap aku mau bunuh diri. Akan lebih gawat lagi. Aku akan disekap dalam penjara paling gelap, paling dalam, dan paling lembab. Kota semakin memerah. Hampir tengah malam. Jam raksasa di atas taman sebentar lagi bernyanyi. Dan orang-orang akan segera menari bersama. Kesempatan yang paling baik. Pisau terkutuk ini tidak akan terlalu memancing perhatian. Aku berhenti sebentar di tempat yang paling temaram. Menatap perempatan yang mewah dengan warna merah. Rumahnya terdapat di sana. Kecil. Terselip di antara bangunan-bangunan tinggi. Sebenarnya rumahnya bertebaran di mana-mana. Sangat banyak. Hampir di setiap wilayah. Aku sering membayangkan bahwa dalam setiap inci nadiku pun terdapat rumahnya. Rumahnya yang kecil di perempatan itu adalah yang terdekat, rumah-rumahnya dalam nadiku belum dapat kumasuki. Ah, bagaimana aku memasuki diriku sendiri. Belum kulangkahkan lagi kakiku, seseorang menubruk punggungku. Aku terjatuh dengan cepat dan kuat. Akibatnya pisau itu makin dalam menancap di keningku. Ngilu tumbuh seperti bangunan-bangunan yang terus meninggikan lantai-lantainya. Seorang perempuan muda berulang kali meminta maaf dan hendak membantuku berdiri. Aku terus saja menelungkup, dan ia begitu keras kepala untuk meminta maaf. Oh! Anda berdarah! Darah! Aku sungguh berdosa! Toloooong! Tolooooong! Perempuan muda dan cantik, ketika kulirik sekali saja kecantikan itu tertanam langsung di mataku, kini berteriak dan semanggil semua orang. Mampuslah aku. Ancaman kematian kembali datang. Pisau ini, pisau yang sekarang setengahnya tertanam di keningku, seperti malapetaka yang tak pernah habis. Orang-orang cepat sekali berkerumun. Tak ada tempat berlari selain pura-pura mati. Tolonglah cepat. Ada darah di wajahnya. Cepatlah, lelaki ini mempunyai pisau di kepalanya! Lagi-lagi suara perempuan itu meletup-letup penuh ketakutan. Ia akan segera dicap pembunuh. Seseorang membalikkan tubuhku. Dan kudengar suara orang-orang bergemuruh. Pisau itu tak dapat dilepas. Darah itu tak dapat dihentikan. Ia masih hidup. Seseorang berteriak, setelah kurasakan ada yang mencoba menggerakkan pisau keparat itu. Seseorang telah menusuknya! Teriak yang lain. Bukan! Bukan! Pisau itu tumbuh sendiri di keningnya! Aku pernah mendengar ramalan tentang akan datang seseorang dengan pisau di kening. Suara yang lain lagi menyeruak, membuat semuanya terdiam dan senyap. Suara-bisik-bisik. Itu hanya dongeng! Bantahan datang dari belakang kepalaku. Tidak. Itu ramalan. Seseorang dengan pisau di kening akan menemui kekasihnya di Kota Merah. Dan pisau itu akan lenyap ke dalam kepalanya jika ia benar-benar menemui kekasihnya. Tak ada yang dapat mencabutnya selain ciuman seorang kekasih. Cerita yang ajaib sekali, seperti hipnotis. Semua orang mundur perlahan. Semuanya mundur meninggalkanku seorang diri. Sepertinya cerita itu membangkitkan ketakutan terdalam yang mereka miliki. Semuanya sekejap saja sudah berlarian. Dan lampu-lampu merah semakin banyak dan semarak. Perempuan muda yang menubrukku ternyata masih memandangku dari sebuah jendela toko makanan. Tak baik kau menatap seorang bajingan dengan tatapan yang paling lembut. Kau tak membunuhku, malah menolongku terjerumus dalam cerita yang tak masuk akal. Rintihku tersiksa oleh sorot matanya, oleh kerinduan untuk menemuinya kembali kelak. Kelak dalam kehidupan bukan setelah kematian. Janji ini akan segera kutepati. Kakiku kini tak lagi menyusuri jalur sunyi yang mustahil. Aku berlari menembus keramaian. Tak ada lagi yang kusembunyikan. Pisau yang menancap indah. Indah di keningku. Sungai mungil darah yang bermuara di bibirku. Tak ada yang kusembunyikan toh aku adalah seseorang yang ada dalam ramalan. Aku adalah legenda bagi kota ini. Aku teringat perampok sialan yang mewariskan pisau ini, o, ia bisa saja seseorang yang dikirim Tuhan untuk menuntunku pada sebuah janji. Segalanya seperti berada di luar rotasi kebiasaan. Kejadian-kejadian seperti melompat dari topi seorang penyihir. Tapi lebih penting bagiku adalah menepati janji. Rumahnya telah terlihat. Aku berlari dengan diiringi penghuni kota. Langkahku menjadi langkah mereka. Sampai di rumahnya. Dadaku begitu berdebar. Sepi sekali. Lampu temaram bahkan hampir padam. Pintunya terkunci. Jendela-jendelanya rapat. Rumah yang tak lagi dipakai. Hanya sebuah bangunan telantar. Aku sedikit nanar. Bagaimana bisa rumahnya seperti begini. Aku berlari lagi mengitari kota. Mencari rumahnya yang lain. Hampir sama. Tak ada rumahnya yang terbuka dan benderang. Semuanya seperti rumah hantu bahkan sebagian menjelma puing dan reruntuhan. Aku hampir putus asa. Hampir tengah malam. Sebentar lagi jam bernyanyi dan orang-orang menari. Tuhan, Aku ingin menepati janji, menemuimu dalam kehidupan bukan setelah kematian. Aku menjerit-jerit seperti anak kecil. Penghuni kota ikut menjerit-jerit. Lampion merah bergoyang, kain-kain berkibaran. Aku seperti melihat darah berpesta di kota ini. Putus asa aku melangkah ke tengah taman. Menceburkan diri ke dalam kolam air mancur. Tak kutemukan rumahnya. Padahal aku hendak mandi dirumahnya. Membasuh seluruh tubuh. Sebelum menemuinya untuk pertama kali, barangkali juga untuk terakhir kali. Tuhan, aku kehilangan jejakmu di kota ini. Aku menceburkan diriku pada kolam air mancur dengan rasa kehilangan teramat sangat. Detik-detik di mana aku akan menjelma seorang pengingkar janji. Aku tak akan dapat menemuinya sekarang ataupun nanti setelah kematian. Ingin kuhancurkan diriku dalam air kolam. kutenggelamkan diriku. Aku bersujud di dasar kolam. Tuhan. Keningku dapat menyentuh dasar kolam. Keningku. Keningku. Pisau itu tertanam dengan sempurna dan tak berbekas di keningku. Dan sungai darah itu tak lagi ngalir di wajahku, bibirku usai mereguk amis luka. Aku terus menenggelamkan diri. Aku bisa bernapas dalam air. Malam memerah. Jam bernyanyi. Orang-orang menari. Aku berdiri di pucuk air mancur. Menepati janji. Janji pada seseorang. Aku berdiri di pucuk air mancur menatap kota yang memerah. Menatap orang-orang yang mabuk dalam tarian. Aku melihat mereka semua, tapi mereka tak lagi dapat melihatku. Aku lenyap bagi mereka. Seperti dalam ramalan. Aku tersenyum sendiri. Asing sendiri. Sepasang mata yang lembut menatapku dari sebuah jendela. Perempuan itu. Sepasang mata yang lain. Liar dan galau, mengintipku dari mulut sebuah gang. Perampok sialan itu. Kini aku ingin berpikir tentang malaikat dan iblis. Tapi aku tak lagi dapat berpikir. Pisau itu mungkin telah menggasak seluruh isi kepala. Aku hanya dapat merasa. Merasa. Bahwa dua pasang mata itu masih dapat melihatku. Merasa. Bahwa aku diliputi kerinduan. Kedungpanjang, 2011
""Malam di Kota Merah""
Tanpa sepengetahuan bapak, aku membuka pintu depan, sedikit, supaya laron-laron itu bisa masuk ke dalam rumah, dan bisa kuajak bermain dan berbincang-bincang. Tak kurang dari satu menit, laron-laron itu sudah memenuhi ruang tamu, dapur, dan kamar-kamar. Berputar-putar berebut cahaya. Sayap-sayap kecil mereka bertebaran di mana-mana bagai potongan-potongan kertas yang sengaja disemburatkan di pesta ulang tahun atau perayaan-perayaan. Aku berteriak girang sambil meniupi sayap-sayap laron yang luruh ke lantai. Indah sekali. Aku membayangkan saat itu sedang hujan sayap, sayap peri. Tapi, tiba-tiba bapak muncul dari kamarnya dan berteriak-teriak. Aku mengkerut. ”Dasar bocah gak punya otak, pintunya kok malah dibuka. Laronnya masuk semua, Goblok!” teriak bapak sambil menutup pintu depan yang tadi kubuka sedikit. Ia menutupnya dengan setengah membanting. ”Sayapnya itu sulit disapu. Kamu mau nyapu?” kata bapak lagi sambil mendorong kepalaku dengan kasar. Dengan sangat cepat, bapak mematikan semua lampu di dalam rumah. Seketika itu semua gelap. Dan aku berteriak ketakutan, memanggil-manggil ibu. ”Ada apa tho ini?” terdengar suara ibu, dan klik, ibu kembali menyalakan lampu. Dari dalam kamar, bapak berteriak lagi, ”Jangan dinyalakan lampunya! Laronnya biar keluar dulu!” Ibu tidak menyahut. Ibu segera menggandengku dan membawaku masuk ke dalam kamar. Dari dalam kamarku, aku mendengar bapak mengumpat lagi. ”Kampreeet!! Dibilangin suruh matikan kok….” Dan klik, ruang depan kembali gelap. Hanya lampu kamarku yang menyala. Ibu menutup pintu kamarku rapat-rapat. ”Ditutup, ya, biar laronnya gak masuk,” kata ibu lembut. Aku mengangguk karena di kamarku sudah ada beberapa laron yang beterbangan mengitari lampu, sebagian hinggap di gorden jendela, dan beberapa—yang sayapnya tinggal dua—berpusing-pusing di lantai. Aku tertawa geli melihatnya. Tapi, mendadak aku jadi ingat ketika bapak memusing-musingkan kepalaku dan mengguyuriku dengan air, beberapa waktu lalu, ketika aku asyik bermain keran dan kemudian mematahkannya. Maka, kembali aku bertanya dengan bahasa mata kepada ibu. ”Mengapa bapak suka memarahiku, Bu?” Ibu tersenyum, diusapnya liur yang hampir menetes dari bibirku yang lebar. Ibu mentapku, ”Bapak tidak marah padamu, bapak cuma tak suka kalau rumah kita ini kotor. Sayap-sayap laron itu bikin kotor. Susah disapu.” Aku mencerna perkataan ibu, dan memanyunkan bibir sebagai pemakluman. Namun, pemakluman itu masih terasa belum tunai, mengingat perlakuan bapak selama ini padaku. Hati kecilku selalu mengatakan bahwa bapak memang tak pernah suka padaku. Lamat-lamat aku teringat pada sebuah malam, di mana bapak dan ibu bertengkar gara-gara aku tidak menghabiskan makan malam. Malam itu bapak sendiri yang mengambilkan porsiku karena waktu itu ibu belum pulang dari pengajian. Bapak mengambilkan porsiku dua kali lebih banyak dari biasanya—yang diambilkan ibu. Malam itu, bapak terus mengawasiku. Padahal sudah hampir setengah jam aku mendiamkan makananku. ”Habiskan nasinya!” gertakan bapak saat itu membuatku gemetar. Saat itu aku menyesalkan ibu yang tidak pulang-pulang. ”Sekarang beras mahal!” Bapak terus memelototiku sambil sesekali menggebrak meja. Maka, dengan sangat terpaksa nasi itu kumasukkan ke dalam mulutku. Beberapa kali aku ber-”hoek”, hendak muntah. Bapak semakin geram. Ia mendekatiku dan menjejalkan nasi itu ke mulutku hingga berceceran di lantai. Aku menangis tanpa suara. Saat itulah tiba-tiba ibu datang dan menampik tangan bapak. ”Apa-apaan ini, Pak!?” Ibu membersihkan nasi yang tumpah di bajuku dan segera membawaku masuk ke dalam kamar. Di luar kudengar bapak berteriak-teriak, ganti memarahi ibu. Agak lirih suara ibu, menuntaskan pembelaan. Namun suara bapak semakin menggelegar, ia mengeluarkan sumpah serapah yang tak kupahami artinya. ”Sudah kubilang, dari dulu, bocah cacat itu dititipkan ke panti asuhan saja. Biar tidak merepotkan kita.” Suara bapak terdengar jelas dari kamarku, disusul suara ibu yang terdengar seperti menangis. ”Gusti Allah menitipkan dia buat kita, Pak! Dia anak kita! Satu-satunya!” Selanjutnya kudengar bapak meneriakkan namaku dengan sebutan bocah idiot, autis, bisu, gagu, dan seterusnya… yang direnteti ungkapan penyesalan seperti dendam. Beberapa kali terdengar suara ibu menyela dan meninggi, meminta bapak beristigfar. Kudengar juga ibu mengumpat bapak dengan sebutan ”seperti orang tak tahu agama”. Maka terdengar suara plak, kulit beradu kulit, dan setelah itu sepi. *** Ibu mengusap rambutku ke belakang. Kemudian ibu bercerita panjang tentang bapak. Kata ibu, sebenarnya bapak sangat sayang padaku. Hanya saja, bapak tak suka bila aku berbuat nakal. ”Maka dari itu, kamu tak boleh nakal lagi, yang nurut sama bapak,” kata ibu kemudian. Aku jadi sangsi pada perkataan ibu, bukankah selama ini aku selalu menuruti perkataan bapak. Bahkan, ketika bapak memintaku mengambil makanan yang telah kubuang di tempat sampah dan memakannya kembali, aku menurutinya. Tentu waktu itu ibu tidak tahu. ”Janji, ya!” kata ibu lagi. Aku mengangguk saja hingga ibu mengecup keningku dan beringsut meninggalkan kamarku. Di dalam kamar, aku sudah tidak lagi memikirkan perkataan ibu ataupun perangai bapak padaku. Yang kupikirkan adalah laron-laron itu. Sebenarnya aku berniat membuka jendela kamarku supaya laron-laron di luar bisa turut masuk ke kamarku. Tapi hal itu kuurungkan. Aku takut, kalau membuka jendela kamar termasuk perbuatan nakal yang tidak disukai bapak. Maka aku bermain dengan laron-laron yang ada di kamarku saja. Sebagian besar dari mereka sudah gundul, tanpa sayap. Mereka berjalan beriringan di sudut-sudut lantai. Yang berputar-putar seperti gasing juga masih ada. Aku mendekati laron-laron itu dan mengajaknya bermain. Tapi, ketika jari telunjukku menyentuh laron-laron itu, mendadak laron-laron itu berhenti bergerak. Kemudian, laron-laron itu mengeluarkan suara. ”Kami sudah gundul, pesta kami sudah usai. Ternyata pesta kami sangat singkat,” katanya. ”Sekarang kalian mau ke mana?” tanyaku. ”Menemui ajal,” jawab mereka. ”Jika kami tahu, pesta kami sangat singkat, dan sayap-sayap kami sangat rapuh, kami akan memilih untuk tetap menjadi rayap,” kata laron yang lainnya. ”Mengapa?” tanyaku lagi. ”Kami tak pernah merasa cukup menjadi rayap tanah, kami ingin punya sayap dan terbang bebas menikmati cahaya. Dan inilah yang terjadi….” ”Apa yang terjadi?” ”Kamu lihat sendiri. Kami hanya berputar-putar menunggu mati. Hidup kami akan berakhir di perut katak atau cicak. Kalau lebih buruk lagi, kami akan mati terinjak-injak manusia, tak bersisa, dan tak pernah berarti apa-apa. Semoga kamu tidak menjadi seperti kami.” ”Menjadi laron?” ”Bukan!” ”Menjadi apa?” ”Menjadi makhluk yang tidak pernah puas menerima pemberian Tuhan, anugerah Tuhan.” Tiba-tiba aku teringat bapak. ”Sudah! Biarkan kami pergi,” kata laron itu lagi. ”Pergi ke mana?” ”Maut. Kami harus menemui takdir kami.” ”Kalau begitu kalian kupelihara saja.” ”Jangan! Kami sangat bau. Nanti kamu dimarahi bapakmu lagi.” ”Kalian kusembunyikan saja di kamarku.” *** Diam-diam, aku membuka pintu kamar. Berjingkat ke dapur, mengambil rantang plastik di rak piring. Jika bapak atau ibu memergokiku, aku akan bilang kebelet pipis. Tapi bapak ataupun ibu tak memergokiku. Aku berhasil kembali ke kamarku dengan selamat. Kukunci pintu kamarku rapat-rapat. Aku membuka jendela kamarku lebar-lebar, seperti orang lupa. Saat laron-laron dari luar berhamburan ke dalam kamarku, sama sekali aku lupa soal bapak. Yang kutahu hanya bahwa detik itu—saat laron-laron beterbangan menuju kamarku—adalah sebuah pemandangan yang menakjubkan. Kubayangkan kamarku penuh oleh peri-peri kecil yang berkerik lirih dan merdu. *** Aku senang sekali, malam itu, bapak ataupun ibu tidak kembali ke kamarku. Pasti mereka mengira aku sudah tidur. Padahal, malam itu aku begadang sampai larut malam. Memunguti laron-laron itu dan memasukannya ke dalam rantang plastik. Sayap-sayap yang berceceran di lantai kubersihkan dengan kertas basah yang kulumuri ludah. Kutempelkan kertas basah itu perlahan ke sayap-sayap yang berceceran. Ternyata mudah sekali membersihkan sayap laron. Setelah kamarku bersih. Aku membuang kertas-kertas basah yang penuh sayap itu keluar jendela. Kututup kembali jendela kamarku pelan-pelan. Kututup pula rantang plastik yang penuh laron itu dengan sebuah buku tulis tebal sebelum akhirnya kudorong ke bawah ranjang dan kutinggal tidur. *** Pagi-pagi sekali ibu sudah membangunkanku. ”Kenapa pintunya kok dikunci?” tanya ibu. Aku menatap ibu sambil mengibaskan tangan. Ibu paham yang kumaksudkan supaya laronnya tidak masuk. Hatiku agak tidak enak membohongi ibu. Tapi aku juga kasihan pada laron-laron itu. Ibu menyuruhku segera mandi. Detik itu aku berdoa semoga ibu tidak menggeledah kamarku. Apalagi bapak. Tapi doaku muspra, tak terwujud. Karena tiba-tiba bapak datang dan mengendus bau kamarku. ”Kamar ini kok bau laron busuk, ya?” tukasnya. Hidungnya mengendus seperti tikus. Hatiku sudah tidak enak. Ibu mengingatkanku kembali untuk lekas-lekas mandi. Aku berjalan ke kamar mandi dengan hati cemas. Aku pun mandi ala kadarnya. Kalau tidak dimandikan ibu, aku memang tak pernah mau mandi memakai sabun. Apalagi gosok gigi. Dan tampaknya, pagi itu ibu masih sibuk membersihkan sayap laron di dapur, kamarnya, dan ruang tamu. Selepas mandi, aku buru-buru ke kamar. Kutengok kolong ranjangku, dan rantang plastik berisi laron yang kututupi dengan buku tulis sudah raib, tak ada di sana. Aku tersentak dan hampir terpeleset ketika tiba-tiba bapak menyeret telingaku dan membawaku ke muka ibu. ”Lihat ini!” bapak melemparkan rantang plastik berisi laron itu ke depan ibu. Laron-laron itu tumpah dan merayap ke mana-mana. Secepat kilat ibu merapikannya dan membawanya ke dapur. Bapak menyusul ibu ke dapur. ”Semalam dia tak tidur; kau lihat pula sana, di bawah jendela kamarnya!” kata bapak lagi. Telingaku terasa nyeri, tapi tangan bapak masih utuh di sana. ”Kau membohongi ibu?” tutur ibu berkabut. Aku mulai menangis. Air mataku mulai meleleh. Tapi tak seulas suara pun keluar dari mulutku. Ibu meninggalkanku dengan tatapan kecewa, ia berjalan menuju kamarku. Bapak masih menyeret telingaku, menyusul ibu. Di kamar ibu menengok keluar jendela dan menggelengkan kepala beberapa kali. Lantas ibu pergi begitu saja. Tapi matanya merah, seperti mau menangis. Sementara ibu pergi, bapak menghujani pipiku dengan tamparan. Dijambaknya rambutku sebelum akhirnya aku dilempar ke ranjang. Di dalam kamar, aku sesenggukan menahan nyeri. Hingga akhirnya ibu datang dengan membawa salep dan sapu tangan. Setelah mengusap wajahku. Ibu menidurkan aku di pangkuannya. *** Aku masih belum berani keluar kamar dan bertemu bapak, hingga akhirnya ibu menuntunku ke ruang tengah untuk makan malam. Di sana kulirik bapak dengan wajahnya yang dingin seperti batu. Ibu mengambilkan aku nasi dan sayur. Perlahan kutilik satu demi satu lauk-pauk yang terhidang di meja. Hingga mataku mendarat pada sebuah toples berisi rempeyek dengan bintik-bintik hitam. Semula, aku mengira rempeyek yang dibuat ibu adalah rempeyek kedelai hitam. Namun, mendadak bapak berkomentar. ”Rempeyek laronnya gurih sekali.” Aku mengangkat wajah. Memerhatikan bapak yang tengah lahap mengganyang rempeyek laron. Tak henti-henti bapak mengudapnya. Habis satu, ia ambil lagi dari dalam toples hingga rempeyek dalam toples tinggal separuh. Saksama kuperhatikan mulut bapak yang terus bergerak mengunyah rempeyek laron itu. Kuperhatikan mulut itu, bibir itu, gigi itu, lidah itu. Sungguh sangat menjijikkan. Dalam penglihatanku, bapak sudah menjelma menjadi seekor katak raksasa yang mengunyah serangga sampai sayap-sayapnya. Tanpa sadar, kulemparkan piring berisi nasi dan lauk-pauk ke arah katak raksasa yang sedang mengunyah serangga itu. Dan lemparanku tepat mengenai kepalanya. Nasi berceceran di atas meja. Piring jatuh ke lantai, berdentang serak dan pecah menjadi beberapa keping. Tiba-tiba kulihat bapak memegangi kepalanya yang berdarah-darah. Matanya mendelik ke arahku. Mata yang berkilau dan tajam, seperti hendak menikamku.*** Malang, Desember 2010
""Laron""
Bila kesal ia menyebut-nyebut alat kelamin pria dan wanita. Orang yang pertama kali mendengar nenek menggerutu pasti kaget bukan alang kepalang. Namanya saja nenek, jadi, ia memang sudah tua sehingga semua orang tampaknya memaklumi segala ulahnya yang menyimpang. Kalau menasihati orang, nenek selalu terus terang. ”Malas kau! Mana ada laki yang mau sama kau? Bisanya cuma duduk-duduk mengangkang dan berdandan. Sana cuci piring, cuci pakaian, masak, atau beres-beres! Jadi perempuan jangan sampai harus disuruh-suruh. Malu.” Saudara sepupu jauhku langsung merah matanya dan tersengal-sengal napasnya diomeli begitu. Aku melihat nenek sendiri tidak mengerjakan apa-apa. Sepanjang hari ia cuma duduk-duduk di kursi-baringnya yang terbuat dari kayu dan kain terpal. Ya, duduk-duduk sambil berkipas-kipas bila hari panas dan merokok Kansas. Bibi Ketiga yang selalu membelikannya rokok sehingga nenek sering bercerita kepada orang mengenai anak bungsunya ini yang dikisahkannya sebagai anak berbakti. Nenek suka membanding-bandingkan Bibi Ketiga dengan Bibi Kedua yang dilukiskannya pelit dan hanya peduli pada keluarganya sendiri. Maka Bibi Kedua suka menyela bila nenek sudah mulai menyinggung Paman Kedua dan membandingkan perhatiannya dengan Paman Ketiga yang selalu dipujinya royal. Seperti efek domino, nenek pun lebih menyayangi anak-anak Bibi Ketiga dan selalu mencela anak-anak Bibi Kedua yang dinilainya nakal karena dimanja. Ada sebuah pispot tempat nenek buang ludah di samping kursi-baringnya. Keadaan ini membuat aku merasa jijik tetapi aku mendiamkannya. Kalau aku tak menahan diri, nenek mungkin akan langsung menuding aku durhaka atau entah apalah. Ayah adalah anak sulung nenek. Karena melahirkan anak sulung laki-laki, nenek disayang kakek. Nenek, dengan demikian, juga menyayangi ayah lebih daripada Bibi Kedua dan Bibi Ketiga. Nenek suka membanggakan ayah yang sebenarnya kurang cakap berdagang, suatu kemampuan yang menjadi andalan banyak orang perantauan pada masa itu. Seingat aku, ayah gagal dan rugi melulu bila memperdagangkan sesuatu. Berbeda dengan sikapnya terhadap ayah, nenek kurang senang dengan ibuku. Mungkin lantaran setelah menikah dengan ibu, ternyata ayah tidak maju-maju. Nenek juga tidak mencintai kami, aku dan saudara-saudaraku. Ada kalanya aku merasa cemburu kepada teman yang sering bercerita betapa mereka disayang nenek masing-masing. Bukan perkara mata duitan tetapi nenek orang lain ternyata suka memberi uang kepada cucu-cucunya. Nenekku tidak pernah memberi aku uang jajan. Bila menyuruh-nyuruh pun ia tidak membiarkan aku mengantongi uang kembaliannya. Aku tahu nenek tidak punya banyak uang maka aku tidak banyak menuntut dan mengata-ngatainya pelit atau apalah. Jika membeli mie pangsit, nenek memesan mie polos tanpa pangsit. Belinya selalu sebungkus untuk dirinya saja. Jajan apapun nenek hanya memuaskan dirinya sendiri. Sejauh ingatanku, aku juga tak pernah membelikan sesuatu untuk nenek. Hubungan aku dan nenek jauh dari ikatan kasih sayang. *** Nenekku istri muda kakekku. Istri kedua. Dahulu, zaman kakek dan nenekku, cukup banyak wanita menjadi istri muda pria perantauan dari Tiongkok. Orang yang merantau tidak pernah membawa-bawa serta istri dan anak mereka. Tiba di rantau, suratan tangan berbelok ke mana-mana. Usia pria perantau umumnya masih relatif muda dan penuh gairah. Mana tahan tidak menyentuh perempuan dalam waktu lama dan tak ada ujungnya? Beberapa yang berakhlak rendah masuk-keluar rumah pelacuran dan mengisap opium. Kakekku bermoral tinggi biarpun akhirnya ia menyerah pada nafsunya sendiri. Ia mencari jalan yang agak bersih dengan mengambil keputusan menikah lagi. Aku yakin nenekku yang mulai menggodanya. Walaupun sudah tua, aku tahu nenek bertulang sedikit genit dari sananya. Belakangan nenek di Tiongkok tahu bahwa suaminya sudah menikah lagi di perantauan meskipun kakek masih setia mengirimkan uang secara teratur. Mungkin nenek di Tiongkok sakit hati dan sudah memikirkan akan menempuh sebuah jalan sendiri. Pada suatu kesempatan ia menitipkan putrinya, putri sulung kakekku, kepada seorang perantau dari kampung yang sama untuk diserahkan kepada kakek. Kukira kakek orang baik dan bertanggung jawab. Ia membesarkan putri sulungnya secara terpisah. Kakek sudah cukup kaya waktu itu setelah sukses di perantauan. Entah pekerjaan yang dilakukan kakek sebelumnya, hal yang aku ketahui adalah bahwa kakek berdagang ikan asin grosiran. Aku memang tidak tahu banyak sebab kakek meninggal dunia saat aku masih berusia antara 1-2 tahun. Cerita-cerita aku dengar dari keluarga dan nenek. Nenek suka bercerita jika tak dapat dikatakan banyak mulut. Setiap kali duduk atau jongkok dan berhadapan dengan orang, ia akan mulai bercerita. Biasanya semua ceritanya menyinggung hal yang bagus-bagus mengenai dirinya dan soal yang jelek-jelek dan aneh-aneh jika menyangkut orang lain. Sebagai sesepuh, nenek sesekali dikunjungi sanak keluarga yang lebih muda. Ia senang dihormati tetapi tak segan-segan menyerang orang dengan kata-kata polos. Suatu kali ia mengintip salah seorang kerabat yang bersimpuh mengenakan celana dalam mini dan berkomentar, ”Beraninya kau! Pada zaman aku, celana dalam seperti itu hanya dipakai pelacur!” Kontan sang kerabat memerah wajahnya. Selain cerita sehari-hari yang dibumbuinya, nenek sering pula mendongeng. Tentang Sun Go Kong yang dapat berubah menjadi 72 wujud, tentang kera yang jempolnya lemah sebab jika kuat bisa memegang pisau dan membunuh manusia, tentang tokoh bernama Gong Beng (Beng si Bodoh) yang duduk telanjang di bawah meja untuk menjadi santapan nyamuk agar ayahnya bebas dari gigitan nyamuk, dan lain-lain. Paling heboh bila nenek mendongeng tentang neraka. Orang yang berbohong bakal dipotong lidahnya, (bukan memanjang hidungnya), orang yang berkhianat akan direbus, orang yang mencuri dipenggal tangannya dan diumpankan kepada anjing, dan macam-macam siksaan menurut imajinasi nenek. Tujuannya membuat kami takut dan menjadi anak penurut. Di atas semua itu, tentu kami paling suka mendengar kisah hantu. *** Kamar nenek seram atau begitulah pendapat aku. Satu-satunya jalan masuk cahaya berasal dari genteng kaca di atap. Pada langit-langit kamar ada bagian yang diberi lempengan kaca sehingga cahaya dari atap tersebut dapat menerobos masuk. Tidak ada jendela sebab kamar nenek berada di bagian dalam rumah. Pada dinding kamar tergantung sepasang lukisan potret kakek dan nenek dalam bingkai oval. Lukisan itu dibuat oleh seniman Belanda yang datang berkeliling dan mengumpulkan foto mereka yang hendak dilukis. Foto-foto yang terkumpul dibawa pulang dan dilukis di negeri Belanda. Setelah selesai ia membawa hasil karyanya kembali ke sini. Perabot milik nenek hanya sebuah lemari kayu besar tempat ia menyimpan pakaiannya dan seluruh rahasia hidupnya. Aku tidak pernah tahu isi lemari nenek dan tidak ingin tahu. Aku masuk ke kamar nenek biasanya lantaran hendak mengambil sesuatu dari meja belajar kakak yang sejak kecil tidur bersama nenek. Setelah ia sakit-sakitan aku jarang mendengar lagi mengenai nenek. Aku sendiri kemudian meninggalkan rumah untuk merantau ke Jawa. Aku tidak merindukan nenek dan aku kira nenek juga tidak peduli padaku. Perpisahan kami seperti sebuah keniscayaan yang pasti terjadi. Suatu waktu aku tahu, pada saat sakit, nenek pernah menuduh adikku mencuri uangnya dari dalam lemari! Aku tidak percaya dan marah. Nenek juga menambahkan bahwa uangnya dipakai adik untuk berjudi. Astaga, orang tua ini mengigau atau berhalusinasi. Fantasinya masih berjalan ke mana-mana ketika ia terbaring lemah. Aku mengenal adikku dan berani berkata bahwa ia tidak mungkin berlaku sejahanam itu. Aku pikir, jika masih ada di rumah, barangkali aku yang akan menjadi sasaran hujatan nenek. Setelah ibu mempertanyakannya, Bibi Ketiga mengaku bahwa dialah yang mengambil uang nenek. Alasannya, ia khawatir bila nenek meninggal, kami mengambil uang itu. Ia merasa itu uangnya sebab hanya dia yang selalu memberi nenek uang. Sayangnya, ia mengaku setelah nenek meninggal dunia. Bibi Ketiga berkelit bahwa ia tidak tahu nenek menaruh curiga kepada adikku. Nenek senantiasa memuji Bibi Ketiga. Kenyataannya memang Bibi Ketiga sering membelikan nenek sesuatu, hal yang jarang dilakukan anak-anak nenek yang lain termasuk ayah. Selain rokok yang sekali beli 2-3 slop (1 slop isi 20 bungkus), Bibi Ketiga suka membelikan nenek sarung. Nenek memang mengenakan kebaya (yang belakangan aku tahu namanya kebaya ”encim”) dan sarung seperti nyai-nyai di Jawa. Aku tahu, tidak baik bercerita tentang orang yang sudah tiada, apalagi mengenai keburukannya. Aku hanya ingin orang tahu bahwa tidak semua nenek baik. Nenek juga manusia dan ada yang jahat. Mungkin bukan jahat dalam arti suka memukul atau mencaci maki, melainkan tidak menyayangi cucunya dan egois sampai mati. Nenek telah wafat dan dikubur. Aku tidak pernah mengunjungi kuburannya. Tidak ada kerinduan untuk itu. Bandung, 11 Februari 2011
""Nenek""
Ah, betapa lekas, betapa gegas, gunjing itu tersiar, bahkan jauh sebelum pantang dan larang kami langgar. Toa-toa itu bagai beranak-pinak, sambung-menyambung, balik-bertimbal, berteriak di pangkal kuping kami. Perihal beban berat yang bakal ditimpakan di pundak kami, tentang utang yang selekasnya mesti kami lunasi. Diselang-selingi pula dengan peringatan yang kadang terdengar serupa ancaman: ”siapa melompat siapa jatuh.” Sekali lagi, jauh sebelum pantang dan larang yang disebut-sebut itu kami terabasi. Seolah-olah kami telah lengah menimbang dan menakar, bahwa bila ”hidung dicucuk, tentulah mata bakal berair.” Toa yang terus menyala itu telah menjadi sebab paling absah menghilangnya yang terhormat pengulu kami, Bendara Gemuk. Sudah empat petang tak tampak batang hidungnya di lepau kopi, tidak pula di surau. Di usia kepala tujuh, Gemuk tentu tiada bakal pergi jauh. Sesungguhnya ia tidak pergi, hanya saja tidak pulang, dari ladang gambirnya, di rimba Cempuya. Mengingat, kerabat dekat kami, Julfahri, bersikeras hendak mempersunting Nurhusni, yang tidak lain adalah juga sanak famili kami. Dua sejoli yang sedang mabuk kepayang itu berasal dari rumpun yang sama: Larenjang. ”Kawin sesuku,” demikian leluhur kami menukilkan sebutan bagi pantang dan larang itu. Bila dilanggar, suku kami akan terbuang. Julfahri dan Nurhusni wajib kami hapus dari ranji silsilah dan hak waris. Keduanya diharamkan menginjakkan kaki di tanah Larenjang. Mereka harus angkat kaki dan tidak akan pernah ada tempat berpulang. Sementara itu, dalam beberapa musim, akibat menerabas pantangan, orang-orang Larenjang, tanpa kecuali, akan dikucilkan dari pergaulan antarsuku. Bagi kami, tidak akan berlaku lagi, duduk sama- rendah, apalagi tegak sama-tinggi. Pucuk pimpinan yang membawahi semua wilayah persukuan akan menetapkan denda, dan hukuman yang mesti kami jalani. Pendeknya, sebagaimana Julfahri dan Nurhusni, kami pun bakal merantau, meski bermukim di kampung sendiri. Maka, bagi Bendara Gemuk, daripada hidup berkalang malu, tentulah lebih baik mati berkalang tanah. Ia bertahan di rimba Cempuya, menggelepak di dangau lapuk dengan bekal seadanya. Meski lengang dan hawa dingin menusuk-nusuk tulang tuanya, tetap saja terasa lebih baik ketimbang terus-menerus mendengar desas-desus yang tak kunjung reda. ”Kenapa awak mesti menghamba pada aturan usang itu?” begitu Julfahri berkelit ketika Gemuk mendesaknya untuk membatalkan rencana itu. ”Mentang-mentang bersekolah tinggi, berani kau melanggar pantangan adat?” bentak Gemuk. ”Kami tidak punya hubungan tali-darah, jadi kami bisa menikah! Kami siap dibuang dari Larenjang!” ”Tapi, bagaimana dengan kami yang akan menanggung malu seumur- umur?” ”Bila tidak berbuat salah, kenapa harus malu?” ”Kau tidak takut akibat dari melanggar pantangan itu?” ”Awak hanya takut melanggar ajaran Tuhan!” ”Jaga mulutmu, Julfahri. Bisa kualat kau nanti!” 2 Kami tidak menutup mata, bahwa tiga dari lima pengulu di setiap suku di kampung ini lebih kerap beroleh celaan ketimbang menerima pujian. Alih-alih mencurahkan perhatian pada kemenakan, mereka lebih kerap menjadi benalu dalam suku. Betapa tidak? Tengoklah para pengulu itu, bagai berlomba-lomba mengeruk kekayaan suku, lalu hasilnya diboyong ke rumah anak-bini. Mentang-mentang berkuasa, tak segan-segan mereka menggadai- melego tanah suku, guna membangun rumah batu, untuk istri dan anak-anaknya, sementara banyak kemenakannya putus sekolah lantaran tidak ada biaya. Maka jangan heran, kalau ada pengulu yang sudah dibawa-lalu, tidak lagi diperlakukan sebagaimana pengulu. Sekali waktu, ada pengulu yang sampai babak belur setelah dihajar-digebuk oleh kemenakannya sendiri. Namun, yang terhormat Bendara Gemuk, selalu dapat kami kecualikan. Sejak dulu, belum sekali pun ia mengecewakan kami. Nyaris separuh umurnya telah habis oleh segala macam urusan kemenakan. Tak jarang ia mesti bersitegang urat leher dengan istrinya, lantaran perhatiannya lebih tercurah pada kemenakan dalam suku Larenjang. Perkara seremeh apa pun yang menimpa kami, Gemuk selalu menjadi orang yang pertama kali turun-tangan menyelesaikannya. Bahkan bila terjadi kegentingan, ia tidak gamang ”pasang-badan” demi membela kami, para kemenakannya. Suatu hari, ketika judi sabung merajalela di kampung ini, kami tertangkap tangan dan beberapa hari harus meringkuk di sel kantor polisi. Bendara Gemuk kasak-kusuk, berupaya mencarikan jalan, agar secepatnya kami terbebas dari kurungan. Begitu pun ketika kerabat kami Julfahri bertekad hendak menjadi sarjana, meski ibu-bapaknya melarat. Gemuk pula orang yang tak bisa dilupakan jasanya. Betapa tidak? Waktu itu, di kota provinsi, ia mencarikan induk-semang bagi Julfahri. Dari sanalah ia dapat membiayai kuliah hingga tercapai juga cita-citanya. Dan, ketika tiba masanya kami menerima pembagian jatah lahan untuk berladang, Gemuk melakukan pembagian dengan cara seadil-adilnya hingga tak seorang pun dari kami yang merasa kurang, apalagi mencurigai ada yang curang. Bila ada keluarga kami yang jatuh sakit, Gemuk yang pertama kali tahu kabar itu. Apalagi bila ada di antara kami yang merasa sudah patut menikah, Gemuk mengurusnya hingga tuntas. Pokoknya, bagi kami orang-orang Larenjang yang tak sempat mengecap sekolah tinggi ini, Bendara Gemuk lebih dari sekadar pengulu. Kami menghormatinya, sebagaimana kami menghormati ayah kami. Ajaran dan nasihatnya kami patuhi sebagaimana kami menuruti ajaran ibu-bapak kami. Maka, membuat lelaki sepuh itu terluka, sama dengan melukai perasaan kami. Merendahkan martabat Gemuk berarti juga menghina kami. Melangkahi Gemuk adalah juga menampar muka kami. Oleh karena itu, siapa pun yang mendukung rencana pernikahan terlarang antara Julfahri dan Nurhusni akan berhadapan dengan kami. ”Bila ajal Gemuk lebih lekas lantaran menanggung malu akibat perangai gilamu itu, kau tak bakal selamat!” begitu kami menggertak Julfahri. ”Lantaran kami tidak berpendidikan sepertimu, kami tidak pandai menyelesaikan kusut ini dengan cara berunding.” ”Lalu dengan cara apa kalian akan menyelesaikannya?” tanya Julfahri, pongah. ”Dengan kerat kayu. Paham kau, keparat busuk?” ”Atau mulut besarmu itu kami sumpal dengan ketupat bengkulu!” 3 Di usia sepetang ini, hidup sebatangkara di tanah rantau pula tentu akan menjadi tahun-tahun penghujung yang sulit bagi lelaki ringkih itu. Selepas kematian Yanuar, ia mengira musibah bakal bersudah. Namun, suratan nasib berkata lain, tak lama berselang, Imelda, anak perempuan yang dibangga-banggakannya, mengidap kanker otak stadium puncak. Berbagai cara telah ditempuh Julfahri dan Nurhusni guna menyelamatkan satu-satunya keturunan mereka yang tersisa. Selepas menjalani operasi dengan pertaruhan hidup-mati, kondisi Imelda kian memburuk. Julfahri dan Nurhusni mulai dihantui rasa gamang pada kehilangan yang kedua. Mereka begitu waswas, begitu cemas, bilamana hidup Imelda berakhir seperti saudaranya, Yanuar. Itu berarti mereka tidak akan punya siapa-siapa lagi, selain harta-benda yang melimpah-ruah itu. Apa guna kekayaan yang bertahun-tahun ia kumpulkan, bila akhirnya ia hidup seorang diri? Sementara itu, dalam kecemasan bakal kehilangan Imelda, istrinya perlahan-lahan menunjukkan tanda-tanda orang yang kurang sehat. Badannya kurus, sorot matanya begitu sayu, tak bergairah sebagaimana dulu. Kerisauan Julfahri kian bertambah-tambah. Dan, setelah berkali-kali diperiksa, Nurhusni divonis menderita diabetes, yang akhirnya berujung pada kehilangan daya penglihatannya. Buta permanen. Hanya berselang satu tahun selepas kepergian Imelda untuk selamanya, Nurhusni, perempuan yang diperjuangkan Julfahri dengan cara melanggar pantang dan larangan adat, mengembuskan napas penghabisan. Ah, betapa lekas, betapa gegas, orang-orang dekat Julfahri pergi. Musibah yang bagai sambung-menyambung itu mengingatkan ia pada mulut orang-orang kampungnya puluhan tahun silam, yang dari pagi ke pagi, bagai bersalin-rupa menjadi toa. Memaklumatkan gunjing dan pitanah perihal orang-orang Larenjang yang bakal terbuang, bahkan sebelum pantang dan larang itu dilanggar. Kenangan usang itu pula yang membangkitkan ingatannya pada Bendara Gemuk, yang di masa itu terpaksa menyingkir dari kampung, lantaran tak sanggup menanggung malu. Kini, setelah puluhan tahun perantauannya di tanah seberang, tajam sorot mata pengulu yang separuh usianya telah terkuras oleh urusan orang-orang Larenjang itu, kerap muncul dalam lamunannya. Ia sukar melupakan jasa Bendara Gemuk yang telah mencarikan induk-semang di kota provinsi, hingga ia bisa bekerja dan membiayai kuliah, meraih cita-cita sarjananya. Dan, yang paling menghantui kesendiriannya saat ini adalah perseteruan hebatnya dengan Bendara Gemuk sebelum ia nekat melanggar pantang. Ia menyadari, betapa perbuatannya di masa lalu telah melukai hati pengulu, dan menistai keluarga besar suku Larenjang. Hingga bumi jungkir-balik pun, kesalahan fatal itu tiada bakal terampuni. Tanah orang-orang Larenjang sudah mustahil menjadi tempat ia berpulang. Dalam kesepian yang terasa semakin ganjil, kadang lelaki renta itu berangan- angan, kelak bila waktunya tiba, ia ingin dimakamkan di tanah pemakaman suku Larenjang. Pulang ke pangkal jalan. Namun, tiba-tiba saja ada yang mendenging di kupingnya, dan lekas ia batalkan niat itu. Bila menimbang pantang dan larang yang telah ia langkahi, apalagi menakar arang yang tercoreng di kening Bendara Gemuk, dan amarah orang-orang Larenjang, tanah pemakaman itu tiada bakal sudi menerima bangkainya. Tanah Baru, 2011
""Orang-orang Larenjang""
Kuingat kali pertama mencari botol di kuburan. Angin yang membentur bulu tengkuk terasa lebih dingin dari biasanya. Gugup campur cemas, bergetar jemariku saat menggenggam dan mencabut pantat botol dari pucuk makam. Sekilas kubaca nama, tanggal lahir dan tanggal kematian yang tertera dengan cat hitam di kayu nisan. Antara bergumam-berbisik, kuminta maaf pada pemiliknya yang sedang tidur di bawah sana. Malamnya mataku sulit terpejam. Rusuh hati membayangkan arwah pemilik botol menyelinap masuk ke dalam mimpi, menyumpahserapahiku yang lancang mencabut botol dan menyuruhku mengembalikannya ke tempat semula. Pengalaman pertama memang guru terbaik. Kini, buatku, mencabut botol di kuburan telah menjadi hal biasa saja layaknya makan, berak, ketawa, atau kentut. Entah berapa botol kuburan yang telah kucabuti. Melihat botol menancap di gundukan makam bagai memergoki uang yang berkilat-kilat disorot cahaya matahari. Saat mencabutnya, tak lupa kuingatkan pada orang di dalam sana agar jangan mengutukku gara-gara sebiji botol. Sebagai imbalan, kubersihkan sampah yang berserak di sekitar makam mereka. Agar kian iba, acap kutambah-tambahi: kami membantu orangtua cari nafkah, hanya ingin bertahan hidup, atau botol itu sangat berharga buat orang miskin macam kami. Mengingatnya, aku nyengir sendiri. Serupa orang bodoh saja bicara pada angin. Untuk apa minta izin pada tulang belulang, pada daging yang telah lebur dengan tanah, pada jasad yang busuk bersama waktu? Yang tak bernyali mencabut botol kuburan, acap menakuti-nakuti: di sana angker, rumah segala jenis hantu, nanti kualat, kesambet makhluk halus, dikutuk arwah yang murka. Yang sok alim menggurui: jangan menumpuk dosa. Ah, soal itu, biar Tuhan yang menimbang. Kami pasrah, terima bersih saja. Kami hanya menumpuk barang bekas. Ada pula yang mencetus, kelak kami akan diganjar di neraka; botol-botol itu akan ditancapkan ke anus kami. Ada yang terbahak-bahak mendengarnya, ada pula yang kontan terdiam dan berwajah murung. *** Kami anjing-anjing kecil yang besar di jalanan. Diasuh debu kemarau dan hujan yang riang. Selain bak sampah, taman kota, terminal, trotoar, lorong-lorong pertokoan, atau pasar becek bau bacin, kuburan pun jadi ladang pemulung cilik macam kami. Dalam kelompok-kelompok kecil—tak pernah ada yang nekat pergi sendirian—kami sambangi kuburan. Jika ada yang sok iba bertanya tentang orangtua, keluarga, atau kenapa tak sekolah; kami punya jawaban berbeda untuk pertanyaan yang sama. Senang rasanya membuat mereka terdiam, menghela napas, atau bermimik sedih. Tak perlu sekolah untuk pandai berbohong. Jika berpapasan dengan anak-anak berseragam sekolah di jalan, tak sungkan pula kami rampas apa yang mereka punya: termos minuman, topi, tas, sepatu. Ada juga yang mujur berhasil merampas telepon genggam mereka. Kami hanya takut pada Bang Gayu, duda empat puluhan, tukang mabuk dan buat onar. Hampir tiap hari kami dipalaknya. Kami muak, tapi tak berdaya. Mata kirinya picek. Kabarnya, waktu bujang, mata itu ditujah sesama preman yang berebut wilayah kekuasaan. Bang Gayu terkenal doyan mengendap malam-malam, mengintip perempuan tidur. Yang lebih parah bila dia kumat, salah satu dari kami akan dibawanya pergi ke tempat sepi. Meski tengah malam, kami tak bisa mengelak di bawah ancaman. Hanya bisa pulang meringis menahan nyeri di dubur. *** Kami mendarat siang bolong di pemakaman umum yang terimpit di antara rumah-rumah penduduk. Mirip stasiun berjejal penumpang di ambang lebaran, nyaris semua kuburan yang kami datangi telah sesak menampung jasad manusia. Makam-makam yang kompak menghadap ke satu arah itu bagai kerumunan manusia yang gelisah menunggu moncong kereta muncul dari barat. Tak perlu peta untuk menuntun dari satu kuburan ke kuburan lainnya. Peta tak punya jemari untuk memungut dan menghirup kamboja yang tumbang disentuh angin. Peta tak punya mata kaki untuk menghindari lumpur selepas hujan. Lebih dari itu, ia tak bisa mengendus aroma kematian. Matahari menancapkan panah-panah teriknya ke ubun- ubun. Ada kincir bambu bungkam dekat asap tipis sisa pembakaran sampah. Bunga-bunga kamboja berserak. Ayam-ayam liar mengorek-ngorek tanah. Konvoi semut hitam di atas marmer putih. Cacing, ulat, dan kaki seribu menyelinap ke balik sampah dedaunan. Banyak makam telah berlapis keramik dan berpagar runcing. Tak sedikit pula yang telantar, nyaris rata dengan tanah, bertahun tak diziarahi keluarganya. Pohon-pohon besar menjulang nampak angker. Seperti ada yang mengintai kami dari balik kelam dahan dan batangnya. Di beberapa kuburan, ada semacam pondok sederhana. Konon, di dalam- nya ada makam keramat orang-orang sakti atau disegani di masa lampau. Tempat yang sesekali ramai bila ada yang mati, mirip pasar tumpah menjelang dan saat hari raya, senyap muram di hari-hari biasa itu; memang bisa jadi tempat rehat yang enak. Kami tak ada alasan untuk bergegas di sana. Pun tak perlu lagi beruluk salam, sopan santun saat memasuki gerbangnya. Zaman sekarang, salam cuma basa-basi, tak lahir dari hati. Sehangat-hangat salam, masih lebih hangat tahi ayam yang terinjak kaki kami. Dengan karung kumal, kami berpencar layaknya bermain di tanah lapang. Mata kami jelalatan mengincar makam yang nampak baru, sebab di sanalah biasanya teronggok barang yang diburu. Kebanyakan botol bening bekas sirup, bukan bekas kecap, apalagi minuman keras. Jarang ada botol menancap di makam-makam yang sudah dimarmer. Mataku tersenyum memergoki botol bening hampa yang nyaris menempel dengan kayu nisan. Mulut botol menancap dalam tanah. Pantatnya nungging miring menuding langit. Airnya telah lama lesap dalam tanah. Hanya butir-butir tanah kering menempel di badannya. Mungkin sisa hujan beberapa hari silam. Kembang-kembang aneka warna yang bertabur sepanjang puncak gundukan telah layu. Tak ingin disalip saingan, jemari kananku mencengkeram pantat botol itu. Perlahan dan hati-hati mencabutnya, jangan sampai mengusik tidur orang di dalam sana. Lega rasanya saat botol itu sudah kulesakkan ke dalam karung lusuh kumal. Kami seret langkah keluar kuburan diiringi suara ngilu gesekan botol dalam karung. Botol-botol itu tak langsung kami jual, tapi ditumpuk bersama barang-barang rongsok lainnya. Seminggu kemudian baru kami usung ke lapak pengepul, menukarnya dengan lembar-lembar uang yang tak sampai setengah jam digenggam sebelum pindah ke tangan orangtua. Itulah yang kelak mengisi periuk dan bakul nasi di gubuk kami. Andai kami dapat upah, lekas habis kami tukar makanan murahan atau es degan. Beberapa kali kami bergunjing kenapa botol-botol itu ditancapkan ke makam orang yang baru ditanam? Bukankah sia-sia menelantarkannya di kuburan? Bukankah mereka yang sudah mati tak bisa merasakan apa-apa lagi? Beragam pendapat kami: sebagai obat dahaga buat mereka di alam sana, agar yang berkalang tanah selalu segar, dan lainnya. Yang pasti, mereka yang menikam botol itu tentu tak menduga kelak ada yang mencabutnya. Ah, kenapa bukan uang saja yang ditancapkan di gundukan tanah itu agar kerja kami jadi lebih mudah? Memang pernah ada yang meriang setelah mencabut botol kuburan. Mukanya pucat pasi. Semula kami kira masuk angin biasa. Punggungnya sudah di kerok, tapi tak ada perubahan berarti. Dia terus saja menggigil. Kami panik, tak ada yang tahu penyakit apa yang merongrong tubuhnya. Ada yang berbisik, dia kesambet jin penunggu pohon besar di tengah kuburan karena kencing sembarangan di sana. Untung dia sembuh begitu saja hingga terhindar dari rumah sakit. Dia pun tak jera mengulang perbuatannya. *** Tak selalu mulus hajat kami memetik botol di kuburan. Acap kami keluar dengan tangan kosong dan hati dongkol. Pasalnya? Tertangkap basah orang lain! Mungkin warga sekitar yang mengurus kuburan, tukang gali kubur, atau tukang ngaji kubur. Segerombol pemulung cilik kumal keliaran dalam pemakaman umum barangkali memancing rasa curiga mereka. Kami seperti diintai dari tempat tersembunyi lalu mereka muncul tiba-tiba begitu memergoki apa yang kami perbuat. Meski serupa tapi tak sama, kami telah hafal hardikan mereka: ”Kembalikan botol-botol itu!” ”Kecil-kecil sudah jadi maling!” ”Cari sampah di tempat lain!” ”Banyak jalan cari duit, bukan maling botol di kuburan!” Kami, anjing-anjing kecil dengan hati ciut, terbirit-birit menjangkahi makam demi makam. Menjauhi mereka, orang-orang uzur yang tampaknya mengidap penyakit darah tinggi hingga mudah murka. Sepanjang jalan pulang, gantian kami rutuki mereka. Macam kami tak tahu saja, mereka juga kerap dapat rezeki lewat orang mati. Sudah miskin, kedekut pula. Arwah pemilik botol dan hantu yang mukim di pohon-pohon dalam kuburan lebih baik ketimbang orang-orang yang menggebah menimpuki kami. Mereka tak pernah muncul tiba-tiba untuk mendamprat kami. Mereka yang lelap berserak dalam tanah itu lebih maklum, kami datang diseret angin kemiskinan. Dan ini rahasia perusahaan. Tak pernah kami bocorkan muasal botol kepada pengepul. Patah ranting rezeki kami jika mereka tahu. Terbayanglah mimiknya bila tahu dari mana asal botol-botol itu. Pengepul pun menolak botol bermulut sumbing. Tak laku dijual ke bos besar, dalihnya. Siapa, di mana, dan bagaimana sosok bos besar itu, kami tak pernah tahu. Yang pasti, tiap mencabut botol, kami amati dulu bibirnya. Jika cacat, kami kembalikan ke tempat semula. Tak mau dua kali lipat kalah kami. Sudah tambah dosa, botol urung jadi uang pula. Belum lagi jika pengepul lengit mencatut jumlah timbangan dan seenak udel mematok harga rongsokan yang kami bawa. *** Bang Gayu mati anjing. Tengah malam tadi dia ditikam empat lubang entah oleh siapa. Kami pura-pura kaget, tapi dalam hati bersyukur. Sempat kudengar bisik orang-orang yang mengekor saat mengantar kerandanya ke kuburan: ”Nggak usah diberi air. Tancapkan saja sebotol anggur murahan untuk menemaninya dalam kubur…” Kami terkekeh mendengarnya. Meski melarat, orang-orang tua kampung kami masih suka guyon. Orang mati pun bisa dijadikan bahan kelakar. Sepoi embus angin ambang petang. Ketika orang-orang pergi dan kuburan sudah sepi, kami bersijingkat menyambangi makamnya. Kami amati gundukan tanah merah bertabur kembang. Kami senang dia mati. Hilang satu masalah. Kami terkekeh melihat seorang teman mencabut botol yang baru beberapa jam menancap di kuburnya. Aku tersenyum kecut memergoki lubang kecil bekas botol itu. Kubuka retsleting celana. Serupa anjing kencing, kunaikkan kaki kiri ke nisan kayu. Kuarahkan rudal ke sasaran. Sekedip kemudian, air kekuningan berdesis membentur gundukan tanah. ”Ini minuman tambahan untukmu, Anjing Tua…” kataku sambil menatap namanya di nisan kayu. ”Balaslah sekarang kalau kau bisa…” disambut kekeh yang lainnya. Dendam yang berkarat dalam benak kami akhirnya tunai. Ada kebahagiaan yang tak bisa dijelaskan lewat kata-kata saat menyaksikan air menciprati kayu nisan dan gelembung-gelembung kecil memenuhi lubang bekas botol. Pengalaman pertama memang guru terbaik. Kami tak peduli bila kelak di neraka, anus kami berkali-kali dijejali botol. Orang dalam kubur ini, yang botolnya kami cabut dan makamnya kami kencingi, telah mengajari kami bagaimana sakitnya. Bandar Lampung, Januari 2011
""Botol Kubur""