content
stringlengths
5.02k
20.7k
title
stringlengths
7
76
Suasana berkabung dengan air mata dan doa-doanya terlalu menyedihkan. Aku memandang Togar, teman lamaku sejak kecil, dari kejauhan. Dia setengah mati menahan diri untuk tidak menangis. Padahal dia berhak untuk itu. Kami berdua dan adiknya; Ranto, yang menjadi jenazah sekarang, tak pernah luput satu sama lain semenjak kecil. Aku pun mestinya menangis, tapi tidak. Tuhan—dan Anda juga nanti—tahu aku adalah orang yang menyedihkan. Tidak perlu air mata untuk membuktikan itu. Para pelayat mulai surut; tinggal keluarga inti, beberapa kerabat dekat dan kekasih yang ditinggal pergi. Aku meminta diri. Togar mengerti lalu mengantar sampai ke pintu. Jabat tangan kami berlanjut jadi pelukan erat. Aku merasakan cairan hangat merembes di punggungku. Samar sebuah isak lolos dari pengawasannya, kemudian dia melepas lengannya dariku dengan wajah seperti yang selalu kulihat: air muka keras dengan keangkuhan yang khas serta segaris senyum yang jarang luput dipasang. ”Sering-sering main ke sini,” katanya. ”Pasti,” jawabku. Kami saling bertukar salam dan dia kembali menyelinap dalam kesedihannya. Aku berbalik menelusuri jalan pulang. Pukul dua. Fajar tinggal beberapa jam lagi. Purnama masih bergelayut di mana dia semestinya berada. Begitu pucat, begitu pasi. Begitu mati. Aku terus melangkah tanpa menoleh ke arah rumah duka untuk terakhir kalinya. Aku tidak bisa kembali melihat kesedihan itu. Tidak setelah air mata Togar merembes di punggungku. Aku tidak pernah menyambanginya lagi setelah malam itu. Mungkin kematian bukanlah hal yang menyenangkan untuk memulai sebuah cerita, tapi sebuah cerita tetap harus dimulai dengan cara apa pun itu. Yang barusan kau baca bukanlah kematian pertama dan, aku bisa memastikan, bukanlah yang terakhir yang pernah bersentuhan denganku. Enam bulan setelahnya, kakek meninggal. Nenek benar-benar terpukul dan nampak kehilangan sebagian besar porsi kehidupannya. Satu tahun kemudian, beliau menyusul. Sebelum kusadari, aku mulai menandai waktu dengan kepergian orang-orang di sekelilingku. Mungkin aku terkesan terlalu muram; terlalu melebih-lebihkan, tapi seperti sudah kubilang sejak awal, pada dasarnya aku memang orang yang menyedihkan. *** Selepas kuliah aku mulai mengendus rupiah sebagai freelance graphic designer. Nama yang kedengarannya cukup upbeat—mungkin karena ditulis dalam cetak miring—tapi biar aku luruskan terlebih dahulu: kemilau graphic design nyaris hanya sebatas nama. Sebagian lulusan sekolah graphic design terdampar menjadi pengusaha jasa printing kelas menengah dan sebagian besar ilmu yang dibayar dengan harga mahal tersesat tak tersalurkan. Sebagian lain bekerja mati-matian untuk memenuhi tuntutan industri kemasan sekaligus harus berhadapan dengan klien keras kepala, pesaing picik dan perlombaan dengan waktu. Lama-kelamaan kau akan kelelahan dan ketika rasa lelah itu merongrong batok tengkorakmu, fakta yang tak terelakkan menendang bokongmu: kreativitas yang awalnya kau harapkan akan membantu mendaki tangga karier tak membawamu ke mana-mana. Kreativitas hanya kemampuan membongkar-pasang idiom-idiom klise lawas dari tempat sampah untuk menghasilkan sesuatu yang—nampaknya—baru. Yang benar-benar kau butuhkan adalah kecerdasan sosial. Secara finansial mungkin pekerjaan ini tidak terlalu memuaskan, tapi tidak ada lagi yang bisa aku lakukan. Aku juga butuh makan dan orangtuaku tidak bisa terus-terusan memanggul tanggung jawab itu. Bekerja adalah hal yang semestinya dilakukan selepas kuliah. Untuk itulah orang rela membuang uang demi pendidikan. Semua orang tahu: lahir, sekolah, kerja, menikah, punya anak, kerja lagi, dan akhirnya, mati. Hari-hari berlalu. Banyak cerita yang luput. Lima tahun setelah pemakaman Ranto aku berusia dua puluh enam dengan pekerjaan tetap dalam media massa. Wanita datang-pergi, dua tahun ini bernama Asri. Satu tahun lebih muda, cerdas, manis, dan punya senyum menawan ala iklan pasta gigi. *** Kematian menghadang suatu pagi. Tak diduga dan tak dikenal, bergelimpang begitu saja di tengah jalan dengan sayur-mayur, tangis bocah dan sepeda motor tua. Sebuah truk melanggar sebuah keluarga kecil yang berboncengan di atas motor di perempatan. Sang ibu hanya luka kecil, begitu juga dengan kedua anaknya—bocah laki-laki sekitar lima tahun dan gadis cilik selisih beberapa tahun lebih tua, keduanya berseragam SD. Namun tidak dengan sang bapak. Wajahnya rusak terhantam trotoar dan tubuhnya remuk tergilas roda truk. Dia tewas seketika. Puluhan orang mengerubung, polisi merapikan lalu lintas yang kusut. Beberapa orang ditagih keterangan. Sopir truk bermata merah diamankan. Aku urung bekerja hari itu. Ibu terkejut melihat kepulanganku, hari masih pagi dan aku sudah pulang dengan awan hitam menggantung di atas ubun-ubun. Aku bilang sedikit tidak enak badan, dia percaya lalu pergi ke kamar mandi. Di atas kasur aku mereka ulang kejadian; bapak menjemput ibu di pasar lalu mengantar kedua anaknya bersekolah. Lampu lalu lintas berubah merah, tapi kedua anaknya sudah hampir terlambat. Tak ada kendaraan lewat di depan. Dia tancap gas. Lalu sopir truk: pertengkaran dengan istri membuatnya tak bisa tidur semalaman, matanya berat meski segelas kopi kental sudah disikat. Lampu kuning, dia mengusap mata dan menggeleng keras mengusir kantuk. Gas diinjak dalam karena kecepatan bisa membuatnya tetap terjaga. Sepeda motor melengang dengan suara terbatuk. Kantuk diusir panik. Rem sempat diinjak, tapi terlambat tetap terlambat. *** Keputusan itu datang begitu saja. Mendadak menelusup masuk ke kepalaku ketika ia terpelanting di atas bantal. Aku harus keluar dari tempat ini, sangkar yang menjadi tempatku kembali sampai sekarang. Memalukan, kata orang, masih tinggal bersama orangtua. Tapi bukan itu yang jadi alasan. Kejadian di jalan beberapa hari lalu terus menghantui kepalaku. Darah di jalan, anak-anak menangisi kematian ayah di dekapan ibu mereka—begitu intim. Begitu tragis. Seperti foto di dinding: ibu—dengan gaun merah dan rambut disisir ke belakang—di sebelah kiri; memangku adik yang tidak sempat bersiap untuk difoto, ayah mengenakan jas hitam dan sebuah kumis tipis berdiri kaku di samping ibu, aku di depannya, tujuh tahun, dengan setelan kemeja putih dan tawa lebar. Waktu membuat foto itu usang. Kenangan di dalamnya terasa berjarak. Di dalam bingkai itu aku menemukan sebuah keluarga. Begitu intim. Ketika aku mendapati diriku sendirian di meja makan untuk makan malam: begitu tragis. Tidak ada drama ketika aku pergi karena aku tidak pergi jauh. Rumahku hanya empat puluh lima menit dari rumah. Ibu masih tertidur waktu aku mengangkut barang terakhir, adik sudah pergi kuliah sedari pagi dan ayah pun tak ada di rumah. Tempat tinggal baruku benar-benar sederhana. Satu ruang tamu, dua kamar tidur, satu kamar mandi dan satu dapur. Sedikit perabotan… paling tidak aku bisa menyebutnya rumah. Dua tahun kemudian aku dan Asri menikah. Hari-hari yang baru menunggu di depan sana. Aku mencintai Asri dan mungkin dia juga begitu. Kebahagiaan-kebahagiaan kecil terus menyisip dari balik selimut, kopi pagi, dan telepon di jam istirahat. *** Suatu malam aku terbangun dengan keringat dingin. Mimpiku pasti buruk sekali, mujur aku lupa ketika terjaga. Mimpi itu masih menyisakan teror yang merayap di balik kulit. Merobek dinding tipis yang memisahkannya dari realitas dan mengintip dari celah sempit. Mengintai dengan tajam matanya yang entah, menunggu waktunya tiba. Aku tidak tahu apa. Asri tidur meringkuk memunggungiku. Tersesat dalam mimpinya sendiri. Saat seperti inilah, pembaca yang budiman, kesepian nyata-nyata menyelimuti dan kau bisa menggapai tanganmu untuk merangkulnya. ”Jatuh tertidur sungguh mengerikan,” celetuk Patricia Franchini. ”Tidur memisahkan manusia. Meski kau sedang tidur bersama seseorang, kau tetap sendiri.” Hey, siapa Patricia Franchini? Apa urusan dia di cerita ini? Aku bangkit menuju dapur untuk sekaleng bir lalu duduk di ruang tamu. Dua pasang mata di dinding memandangiku tanpa berkedip. Tapi bukan aku benar yang mereka pandang. Tatapan itu terlempar jauh ke depan, menantang masa depan dan segala kejutan yang disimpannya tanpa bersenjata apa-apa. Mungkin tanpa senjata sama sekali pun tidak sepenuhnya benar. Keduanya membersitkan cinta. Kau bisa melihatnya dari mata Asri yang sedikit sembap karena haru. Hari pernikahan kami benar-benar melepaskan kodratku sebagai makhluk yang—pada dasarnya—menyedihkan. Sampai sekarang pun aku masih merasa asing di depan foto pernikahan kami. Inikah jawabannya—jalan keluar dari kehilangan dan kematian yang bertubi-tubi? Tiba-tiba aku bertanya-tanya. Cintakah? Kalau benar, apakah benar aku mengalaminya? Cintakah Ferdinand dan Mariane, Samsul Bahri dan Siti Nurbaya—cintakah strangers in the night yang begitu sendu dinyanyikan Frank Sinatra? Kalau bukan, kenapa aku menitikkan air mata untuk mereka, seperti aku menitikkan air mata ketika Asri mengatakan ’iya’ untuk lamaranku? Aku tidak menemukan jawabannya. Cuma ada tanah basah dan nisan dingin. Kaleng bir lolos dari genggamanku lalu menghantam ilalang. Gila, hidupku hanya perjalanan dari satu pemakaman ke pemakaman lain. Selalu tentang kematian dan kehilangan. Pikiran ini sudah cukup untuk menerormu seumur hidup. Aku bersimpuh di depan nisan kakek. Nenek dan Ranto nampak tersenyum satu meter di bawah tanah. Dengan pengap dan belatung yang menggerogoti tubuh bagaimana mereka bisa tersenyum—seperti apa wujud tengkorak ketika sedang tersenyum? Aku menemukan diriku terkapar. Peluh merangkak dari ujung mataku. Tak mengapa. Tak mengapa, tegasku meyakinkan diri sendiri. Samar lagu mengalun. Sebuah tangan menuntunku untuk berdiri. Senyum pasta gigi itu menemukan pertahanan terakhirku dan meremukkannya dengan hangat. Tangan kanannya menyelinap di pinggangku dan jemari tangan kirinya menyelinap dalam jemariku. ”Sudah lama kita tidak berdansa dengan lagu ini.” Sudah lama kami tidak berdansa dengan lagu ini. Aku bahkan sudah lupa bagaimana caranya berdansa, tapi perlahan aku menemukan ingatanku dalam setiap langkah. Aku tidak lagi berjalan gontai dari satu pemakaman ke pemakaman lain. Aku berdansa. Kami adalah dua orang asing yang berdansa tengah malam di atas alunan strangers in the night Sinatra. Tak jauh dari kami Ferdinand dan Mariane berdansa, begitu juga Samsul Bahri dan Siti Nurbaya. Tak ada yang tahu letak cinta, tapi cinta tahu untuk siapa dia ada. Mungkin. Senyum pasta gigi Asri melumer, tinggal partikel kristal yang berkilauan di sela deretan giginya. Begitu asing. Setelah sekian lama aku hanya jadi penonton dalam hidupku sendiri, aku baru sadar aku tidak pernah sendiri. Selalu ada tangan-tangan yang siap mengangkatku kalau aku jatuh dan aku tak pernah peduli. Aku selalu penuh dengan diriku sendiri. Aku lebih banyak menggunakan ’aku’ kalimatku. Aku tak tahu apa pun tentang Asri. Aku tak menyisakan banyak kalimat untuk menggambarkan betapa cantik senyumnya, molek kulitnya, bagaimana matanya menyihir kata-kata sampai kehilangan makna. Tentang kesedihannya, kehilangannya… dia pantas untuk itu. Begitu juga dengan Ranto, nenek dan kakek. Ayah, ibu, adik, Togar— Cerita ini harus ditulis ulang. Mulai dari hari pertama aku bertemu Asri.
""Pusara""
Lelaki itu kamu panggil Ayah John karena perbedaan usia membuatmu lebih sesuai menjadi anaknya. Dia adalah atasanmu di sebuah perusahaan farmasi. Dia memperlakukanmu seperti anak, meskipun sudah memiliki empat anak perempuan di rumahnya. Dia memanjakanmu dengan semua kelebihan yang dimilikinya. Menyewakan sebuah rumah buatmu dengan seorang pembantu dan seorang sopir, tapi dia selalu menjemputmu dari rumah ke kantor dan mengantarmu dari kantor ke rumah. Sopir hanya bekerja kalau Ayah John sedang ada tugas keluar daerah, sehingga dengan waktu yang demikian panjang, sopir menyambi kerja sebagai tukang ojek. Kalau ada tanggal merah terutama di akhir pekan, dia mengajakmu berlibur ke Bali, Yogya, Lombok dan beberapa daerah lainnya di dalam negeri. Keluar, kalian hanya mengunjungi Singapura, Malaysia dan Thailand karena waktu yang sempit. Namun Ayah berjanji akan membawamu ke sebuah negara di Eropa nanti. “Aku harus menabung untuk itu. Yakinlah apa pun akan kulakukan untuk membuatmu bahagia,” kata Ayah John kepadamu dan aku mendengarkannya dari bibirmu. Kamu pun bahagia, setidaknya sampai saat itu. Ayah John memberikan semua yang tidak kamu dapatkan di rumah. Sebagai balasannya kamu memberikan semua yang kamu miliki termasuk kehormatanmu. “Ayah John akan menjadi suamiku. Aku tak peduli jadi istri kedua, itu hanya masalah angka. Aku ingin memiliki anak dari Ayah John.” Di luar rumah dia memperlakukan kamu seperti anaknya sendiri. Di dalam rumah ia memperlakukan kamu seperti istrinya sendiri. Akhirnya kamu hamil sebelum Ayah John sempat menikahimu. Untuk menenangkanmu dia hanya berjanji segera menikahimu setelah kesibukannya di kantor selesai. Kamu yakin itu benar adanya sampai kemudian kamu menemukan beberapa tablet kecil obat peluruh kandungan dalam mobilnya. Ketika kamu tanyakan, Ayah John berdalih mobilnya dipakai teman dan obat itu milik temannya. Kamu tidak percaya dan kalian bertengkar hebat. Saat itulah Ayah John memukul perutmu. Pukulan untuk pertama kali tapi dilakukan beberapa kali. DIa tak berhenti menangis histeris. Semakin kencang tangisanmu, semakin keras pukulannya. “Aku tidak tahu apakah itu pukulan seorang ayah terhadap anaknya atau pukulan suami terhadap istrinya. Tapi aku tidak percaya Ayah John melakukan itu.” Ketika memeriksakan diri ke dokter kandungan, kamu baru menyadari kandunganmu sudah hancur. Ternyata kamu sudah meminum banyak obat peluruh kandungan yang dilarutkan Ayah John dalam minuman kamu, jauh sebelum kamu menemukan sisa obat itu dalam mobilnya. Dokter mengatakan kamu harus dikuret dan dia bertanya apakah kamu sudah menikah. Kamu mengangguk di tengah kegalauan yang melanda. “Saya akan memberi rekomendasi untuk dikuret,” kata dokter itu. Kamu pulang bukan saja dengan kandungan yang hancur, tetapi juga hati yang lebur. Pupus sudah impianmu untuk memiliki anak dari Ayah John. Isi rahimmu dikosongkan sekosong hatimu. Lalu Ayah John pun pergi darimu tanpa pernah mengatakan apa pun. Rumah kontrakan tidak dibayar lagi, pembantu pulang kampung dan supir sepenuhnya bekerja sebagai tukang ojek karena mobil ditarik Ayah John. Bahkan kemudian kamu pun dikeluarkan dari tempatmu berkerja dengan alasan yang tidak kamu pahami dan tanpa pesangon. Ayah John tidak pernah menjawab panggilan teleponmu. Pesan-pesanmu tak pernah ditanggapinya. Semua kemanisan hidup bersama Ayah John berubah menjadi pahit, lebih pahit dari obat yang diam-diam dilarutkan Ayah John dalam minumanmu. Dalam keputusasaan itu, kamu kembali ingat masih memiliki keluarga. Kamu kembali kepada keluarga hanya untuk membuat hatimu semakin hancur. Bapak dan ibu menerimamu kembali tetapi tidak mau turut campur dalam persoalanmu karena sudah mengingatkan jauh-jauh hari. Mereka bahkan tidak pernah mau mendengarkan penderitaanmu akibat perlakuan Ayah John karena menganggapmu sudah cukup dewasa menanggungnya sendiri. Itu kata-kata yang pernah kamu ucapkan ketika kamu pergi dari rumah untuk hidup bersama Ayah John. “Ayah John bukan saja telah membunuh bayiku, tetapi juga membunuh jiwaku.” Kamu mengucapkan itu dengan air mata yang mengalir di pipi sambil menatap air hujan mengalir di permukaan kaca. Aku memelukmu dari belakang dan mencium pipimu penuh perasaan. Air mata kita menyatu seperti tubuh kita. Ketika pernyatuan itu terjadi, bahkan diriku dan dirimu tak bisa membedakan mana air mataku dan mana air matamu. Keduanya mengalir di pipiku dan di pipimu menjadi air mata kita. *** Ketika kamu bercerita tentang apa yang kamu lakukan terhadap lelaki itu, aku menangis sendiri di dalam kamar yang minim cahaya. Tidak ada hujan di luar sana, tidak ada kemacetan dan tidak ada kamu di sini. Hanya ada aku, hati yang patah dan air mata. Dua tahun kalian menjalin hubungan, jauh lebih lama dibandingkan denganku yang baru dua bulan. Dua tahun bukanlah perjalanan cinta terlama yang pernah kamu lewati. Masa tujuh tahun penuh cinta, tapi dua tahun itulah yang paling berkesan sepanjang hidupmu. Di kamar sama, kita memulai percakapan soal masa lalumu, masa laluku serta masa depan kita. Kamu tidak bisa datang malam ini karena “ingin mengujungi saudara yang sakit”. Aku menelpon sabelum kamu berangkat. Kita berecerita tentang aroma dan lagu, dua hal yang bisa membangkitkan memori ke masa lalu. Aroma dan lagu mengundang kenangan, kita bersepakat soal itu. Aku pun menyemprotkan aroma lemon yang lembut ke seluruh tubuh agar bisa mengingatkanmu sampai di dalam tidur. Aku ingat aroma tubuhmu saat kita menangis bersama dan kuyakin itulah kenikmatan terbesar dalam hidupku. Kejadian itu lebih kuat terpatri bahkan bila dibandingkan dengan desahan kita di kamar mandi. Setelah mengucapkan janji untuk tetap mencintaiku, suaramu lenyap dari telinga tetapi tetap melekat di hatiku. Aku tidak pernah menyangka itulah kata cinta terakhir yang kudengar darimu. Malam itu aku membawa kerinduanku ke keramaian, berharap lelah datang dan pulang dengan kantuk yang mengundangmu lebih cepat dalam impianku. Sampai hari berganti dan kamu tak hadir dalam mimpiku, kabar darimu belum juga datang. Aku harus menghubungimu karena didorong rasa rindu yang tak tertahankan. Panggilan pertama sampai panggilan yang tidak dapat kuingat tak juga mendapat tanggapan dari kamu. Aku mengirim pesan dan tidak mendapatkan jawaban. Haruskah kudatangi rumahmu untuk mengetahui apa yang terjadi? Kamu pernah mengundangku ke rumah dan memperkenalkanku kepada orang tuamu dan ketiga adik lelakimu. Kamu anak perempuan satu-satunya dan sebagai anak sulung orangtuamu mengharapkan kamu bisa menjadi contoh yang baik bagi adik-adik. Kamu diharapkan menjadi tulang punggung keluarga bukan tumpuan tulang selangka Ayah John. Itulah kedatanganku yang pertama sekaligus yang terakhir. Kamu melarangku datang lagi karena kedua orang tuamu tidak merestui hubungan kita. “Bagaimana mereka bisa tahu hubungan kita? Kamu menceritakannya? Bukankan kita sudah sepakat akan merahasiakan sampai mereka dan dunia tahu dengan sendirinya?” “Aku masih ingat dengan kesepakatan itu. Tapi aku tak ingin mereka tahu lebih cepat.” “Mereka takkan tahu kalau kamu tidak menceritakannya. Keluargamu mengira kita hanya sahabat. Dunia juga mengira kita sepasang sahabat.” “Aku bisa membohongi perasaanku dengan kata-kata, tapi tidak dengan mataku.” Aku menyukai kekhawatiranmu itu dan percaya memang karena itulah kamu melarangku ke rumah lagi. Kalau sekarang aku nekat ke rumahmu untuk mengetahui apa yang terjadi, apakah kamu akan marah? Panggilan kamu datang ketika aku berada dalam kebimbangan. Aku menyambut suaramu dengan gembira, tetapi kemudian kamu membawa kabar duka. Ayah John kena stroke. Ketika aku mendengar itu pertama kali aku malah menduga itulah kabar gembira sesungguhnya. Kemudian kamu mengatakan dengan jujur selama ini kamu berada di rumah sakit untuk merawat Ayah John. “Mengapa harus kamu? Bukankah sudah ada keluarganya?” “Ayah John yang mengharapkan aku datang. Kami merawatnya bersama.” “Kami? “Aku, istri Ayah John, dan ke empat anaknya.” Aku masih belum dapat memahami. Bahkan setelah kamu menjelaskan panjang lebar kalian (kamu, Ayah John, istrinya dan anak-anaknya) sudah berdamai dan sepakat melangsungkan pernikahanmu dengan Ayah John. Itu janji yang akan dipenuhi setelah Ayah John benar benar sembuh. “Ayah John pernah mengucapkan janji yang sama dulu. Tapi dia mengingkarinya…” “Beda, sekarang janji di depan keluarganya sendiri dan semuanya menerima. Kami sekarang seperti sebuah keluarga.” Kamu percaya dengan janji dan perubahan yang cepat sehingga suaramu terdengar sangat bahagia ketika mengucapkan itu. Kamu tidak peduli dengan hariku yang terluka sehingga dengan enteng mengatakan hal itu seperti mengabarkan sebuah berita ada film bagus yang main malam ini. “Kenapa?” aku mulai tidak mampu mengendalikan emosi setelah sekian lama terdiam, “mengapa kamu lakukan ini kepadaku? “Maaf, sayang. Aku tahu ini membuatmu sakit. Tapi aku harus mengatakannya. Aku menginginkan seorang anak dari rahimku sendiri.” Kita pernah sepakat mengadopsi bebrapa anak saat kita hidup bersama. Masihkan kamu ingat dengan semua itu? Suaramu lalu lenyap dari telingaku dan luka hatiku semakin menganga. Aku tidak percaya kamu melakukan semua ini kepadaku, apa pun alasannya. Kamu membunuh jiwaku dengan membuka kembali cinta lama yang ingin kamu kubur di dasar hatimu paling dalam. Jiwaku baru saja mati tetapi jiwamu baru hidup kembali. Malam mulai beranjak tua tapi aku masih duduk di tepian ranjang sambil terus menangis. Aku ingin kamu berada di sini dan kita menangis bersama sampai air mata kita menyatu seperti dulu.
""Air Matamu, Air Mataku, Air Mata Kita""
Adrenalinku berpacu cepat. Jantungku berdetak dengan irama tak beraturan. Istriku berbaring dengan tubuh kisutnya di ranjang dan aku telah menua sepuluh tahun dalam waktu sebulan. Uban bermunculan di rambutku seperti jamur di musim hujan. Mereka tumbuh dengan kecepatan yang tidak dapat kuramalkan lagi. Mungkin warna putih itu segera akan menjajah kepalaku. Aku sungguh tidak peduli. Saat ini, aku sudah terlampau marah. Panasnya mendidihkan semua cairan di tubuhku. Aku sangat marah. Aku marah kepada perawat yang begitu bego menerjemahkan perintah dokter, marah pada dokter yang begitu bego mengartikan gejala-gejala penyakit pada tubuh istriku, marah pada rumah sakit yang begitu lambat mengerjakan perintah-perintah dokter, aku marah pada istriku sendiri mengapa tidak merasakan dengan benar gejala di tubuhnya samapai semuanya terlalu terlambat. Aku ingin marah pada teman-teman istriku, teman-temanku sendiri dan sanak saudara yang terasa menambah perih hatiku dengan obrolan mereka, dan pada saatnya mereka akan melemparkan aku sendiri pada kesedihan yang tanpa ujung. Kepada siapa lagi aku harus marah? Mungkin aku terlalu marah pada diriku sendiri yang tidak pernah dengan benar memperhatikan istriku sendiri. Membiarkannya bekerja tak mengenal waktu dan membiarkannya menilai sendiri kesehatannya tanpa pernah berusaha menyelidiki sendiri. Bukankah aku sangat tahu bahwa istriku adalah pembohong terbesar dalam kesehatannya. Dalam hidupnya hanya ada kerja, kerja dan kerja, kesehatan adalah masalah paling buntut yang dipikirkannya. Mungkin lagi-lagi aku harus marah pada diriku sendiri kenapa menikahi perempuan yang demikian. Oh… Aku kehilangan kata-kata. Tiba-tiba aku merasa begitu lelah. Pernahkah kau menunggui orang yang kau cintai mengerang menahan sakit dan kau merasa kau akan gila bila terus berada di sana. Bagimu udara terasa pengap dan nafasmu sesak. Hatimu hancur detik demi detik melihat keadaanya semakin memburuk. Setiap detik kehancuran menumbuhkan uban di rambut dan satu kerut mendalam di wajahmu. Kadangkala aku ingin pergi meninggalkan istriku begitu saja. Pergi sejauh-jauhnya dan melupakan tubuh istriku yang kelihatan semakin buruk. Apa yang bisa diharapkan dari tubuh kurus tinggal belulang dan jiwa yang tidak lagi sadar pada dunia sekitarnya? Ingin rasanya kunikmati duniaku sendiri yang lebih cerah dan berwarna-warni. Namun gerakan kecil tubuhnya dan lirih erangannya selalu memanggil-manggilku untuk kembali. Tubuh ringkih itu masih menyimpan ketenangan dan kedamaian yang membuatku selalu ingin memeluknya. Kata orang, begitu kau berani mencitai, kau akan dibuat menderita olehnya. Cinta akan membuatmu merasakan luka terperih di hatimu dan ketakutan yang mengazab jiwamu. Cintaku padanya membuat aku harus siap untuk hancur berkeping-keping menjadi debu menunggu saat-saat terakhirnya. Walaupun harus kuakui, belakangan ini kekuatan hatiku seolah-olah menuju babak akhir. Aku selalu gemetar ketakutan ketika langkah-langkah dokter mendekat ke ruangan. Kata-kata mereka selalu membuat aku jeruh dan nyaliku menciut. Seandainya aku dapat menyihir mereka menghilang dari pandanganku, agar mereka tidak pernah datang kembali. Oh, bukannya aku sangat mengharapkan mereka menyembuhkan istriku? Tahukah engkau, betapa aku membenci bangunan yang bernama rumah sakit ini. Bau kain cat, bau infus, bau lantai dan bau udara di rumah sakit ini membuat nafasku terasa melukai paru-paruku. Jika keluar dari tempat ini, aku akan merawat diriku dan berjanji untuk tidak akan pernah lagi kembali ke sini. Andai saja aku masih bisa berharap akan ke lari dari rumah sakit ini bersama istriku yang sehat dan segar bugar, dengan pipi tembamnya dan wajah berkilau. Aku memang harus memupuk harapan itu agar aku sanggup bertahan disini. Karena tempat ini telah membuat jiwaku mati. tak sanggup lagi mengindra rasa. Pertama kalinya dalam hidupku aku sungguh-sungguh ingin meledak. Meledak membuat jasadku bisa melenting ke tempat sejauh-jauhnya, sehingga semua rasa berhamburan dan musnah. Oh tidak khayalanku sudah mulai kacau balau. Sungguhkah aku masih waras? Sesungguhnya aku ingin mengistirahatkan jiwaku barang sejenak dan melupakan segala hal tentang istriku sesaat. Rasanya aku ingin mengintip bayanganmu di cermin. Sudah seperti apa rupaku saat ini? Aku selalu menyisir rambutku dalam hitungan detik, tanpa pernah memperhatikan apa rambutku sudah rapi atau tidak. Seperti apa rupaku sekarang ini? Mungkin aku sudah tampak sebagai tikus dekil yang baru keluar dari got yang kotor. Setidaknya aku pasti sangat mirip dengan burung yang basah kuyup sehabis hujan deras yang mengguyur bumi. Aku gemetar kedinginan dan sayap-sayapku tidak sangguh lagi mengepakkan sayap ke tempat yang teduh. Ah tidak, ini bukan saatnya melihat wajahku sendiri. Aku mengarahkan pandanganku kepada tubuh istriku yang sedang tertidur. Mukanya sepucat kain kafan. Batok kepalanya meyisakan sejumput rambut yang sangat jarang. Tubuhnya begitu tipis seolah tak seorang pun terbaring di sana. Apakah yang masih tersisa di tubuhnya? Aku tertidur lelah di sisi pembaringannya. *** Kabar terakhir yang kudengar dari dokter adalah kabar mengenai istriku yang menuju babak akhir. Penyakit kanker paru-paru yang menggrogoti tubuhnya sudah sampai pada stadium akhir. Tak ada jenis pengobatan yang sanggup untuk memperpanjang umurnya lebih lama lagi. Oh istriku yang penuh dengan energi. Yang membangkitkan seluruh hidupnya untuk menulis dan membela kau tertindas. Apakah segala nyala yang pernah memancar dari tubuhnya akan padam begitu saja? Apakah kata-kata tanya yang bersemangat akan lenyap begitu saja? Aku masih tidak dapat percaya pada tubuhnya yang lincah seperti kijang tersimpan penyakit yang begitu ganas. Seharusnya aku tahu sejak awal, perempuan yang kunikahi ini adalah perempuan yang akan memilih akhir yang tragis buat dirinya sendiri. Bukankah begitu yang selalu kudengar terntang orang-orang besar? Mereka akan memilih cara mati yang akan membuat mereka diingat dengan perasaan haru. Akan tetapi tidak dengan aku, laki-laki yang menjadi suaminya. Aku akan tetap mengenang kepergianmu kekasih dalam rasa sakit yang jauh merajam hatiku. Karena jauh di dalam hatiku aku masih ingin meneruskan hidup denganmu hingga di ujung waktu. Andai aku memilih perempuan yang lebih lunak menjadi istriku, mungkin kejadiannya akan berbeda. Barangkali ia akan lebih peka pada penyakit yang menyeruak di tubuhnya. Barangkali ia akan segera memeriksakan diri ke dokter ketika ia merasa ada yang ganjil dengan dirinya. Dan segalanya diketahui lebih awal, obat masih sanggup menyembuhkan penyakirnya dan kami masih bisa merajut kebahagiaan bersama. Kami akan menggapai cita-cita kami bersama. Istriku akan tersenyum cermelang pada keberhasilannya mewujudkan cita-citanya. Aku akan tersenyum bangga untuknya. Mungkin setelah itu kamu akan memutuskan untuk menghabiskan lebih banyak waktu untuk bersama-sama, menyesap setiap bulis kebahagiaan yang mentes dalam kehidupan kami. Karena kadang-kadang waktu melesat seperti kilat dan meninggalkanmu jauh ke belakang. Kami akan menghabiskan waktu dengan minum kopi tengah malam dan mengobrol sampai subuh. Kami saling memeluk dan memberi ciuman mesra. Lalu kami akan berpelukan lama sekalli seolah tak ada yang dapat memisahkan kami. Gelagak-gelagak tangis tiba-tiba tak sanggup untuk kutahankan lagi. Aku menangis dengan suara yang terasa terpantul pantul ke seluruh ruang. Aku tidak tahu apakah aku sudah mempermalukan diriku sendiri. Aku tidak tahan lagi. Aku tidak sanggup lagi menunggu saatnya tiba. Karena setiap kali aku mengingat saat itu akan tiba, nyaliku menjadi kerdil, aku gemetar ketakutan membayangkan lorong kesedihan yang menungguku di sana. Aku merasakan rasa sakit yang tak terperikan dari sebuah bolong hitam besar hatiku. Masih sanggupkah aku menunggu saat itu tiba? Rasanya aku tidak akan pernah sanggup. Terutama karena aku merasa istriku belum pantas untuk mati. Terlalu banyak hal hebat yang bisa dikerjakannya seandainya ia tidak mati. Aku bahkan masih bisa merasakan gelora semangatnya yang membara sekalipun ia terbaring tanpa daya. Mengapa ia harus padam di saat ia begitu ingin berpendar seperti kembang api. Apa ini yang sungguh bernama takdir? Istriku memang mempunyai musuh. Ialah orang-orang yang terus menerus mendapat kritik pedas darinya. Kalaupun ada yang bersorak bahagia sekarang mungkin merekalah orangnya. Mereka dengan penuh dendam bisa saja mengatakan istriku terkena karma. Oh aneh, bukankan merekalah yang harus menerima karma karena istriku orang baik. Seharusnya istrikulah yang bersorak karena satu persatu orang yang dikritiknya akan menuai balasan. Tangisku berubah menjadi sedu sedan yang masih terdengar keras. Istriku terlelap dalam tidurnya akibat obat-obatan yang mengguyur saraf-sarafnya. Ia tidak akan mendengar suara tangisku, karena bila ia melihatku seperti ini ia akan tertawa terbahak-bahak. Pada saat menahan rasa sakit yang sanggup mengoyak jantungku pun, tak setetes pun air mata meleleh ke pipinya. Istriku adalah perempuan yang tangguh, namun tidak aku suaminya. Entahlah, tangis ini membuat segalanya terasa lebih mudah bagiku. Ada kepedihan yang hanyut bersama dengan tetes-tetes air yang mengguyur daguku. Sungguhkah ini cara kematian yang diinginkan oleh perempuan yang begitu tergila-gila pada idenya? Barangkali ia ingin mati sebagai martir dari ide-ide yang belum sempat disampaikannya. Barangkali kematiannya pun ia harapkan menjadi sumbu yang mengobarkan api perjuangannya. Tetesan air mataku mengering tepat ketika aku siap melepasnya pergi atau merangkulnya kembali kedalam kehidupan. Aku tahu perempuan ini adalah perempuan yang begitu bahagia mencumbui cita-citanya. Demi cintaku padanya aku rela ia memilih.
""Perempuan yang Tergila-gila pada Idenya""
Ketika seorang lelaki bertubuh besar, dengan tubuh legam dan rambut bergelung seperti ujung-ujung pakis lembut teratur menenteng dua anak lelakinya, sambil bertanya, “Ko pu ilmu buat ajar torang (kami) pu anak pandai melaut? Torang trada pu waktu. Ini anak lagi semua nakal. Sa pusing” Sam memahami penggal dua penggal. Dia, seperti yang diajarkan saat micro teaching, mulai mengulai senyum lalu berkata, “Bapak yang baik, kurikulum untuk pendidikan dasar itu keterampilan dasar, matematika, bahasa indonesia, olahraga dan beberapa kerajinan..” “Ah, omong ko sama dengan dong (dia) di bukit atas! Ayo pulang!” Kaget. Sam tersentak, belum lagi dia selesai. Dan ini tak pernah diajarkan di pengajaran mikro. Juga di buku diktum bab penerimaan siswa baru. Dia pucat; diraihnya segelas air putih. Pendaftaran pertama memantik rasa sabar dan sesuatu yang asing dalam dirinya. Ia bersabar menunggu detik berikutnya dari lepas pukul sembilan. Ia mengelap lagi wajahnya. Di meja pendaftaran samping, kosong, Tati belum datang. Cuma ada Markus, Waenuri dan Tirto—teman sekelasnya yang sedang betugas masing-masing di ruang lain; mulai dari siap berkas, mencatat kebutuhan anggaran dan menyiapkan papan tulis. Bismillah, ia mengharap, tepat ketika sebarisan orang-orang legam bertelanjang kaki menjejaki halaman yang setengah becek bertanah merah, dilatari sisa-sisa alat berat dan bekas pengadukan material bangunan itu. Dan syukurlah, meski dengan penjelasan yang tak kalah berat; setidaknya, tak ada yang seperti orang pertama. Begitu seterusnya sampai Tati tiba membantu. Tapi ia masih penasaran , siapa sebenarnya orang itu. Ia mencoba mencari tahu, hasilnya, ternyata lelaki pertama tadi adalah kepala suku Lat, berada di sekitar pantai sebelah kanan, menembus seratusan rengkuh dayung untuk sampai di kampungnya yang ada di laut. Kira-kira begitu kata orang -orang yang juga ada berasal dari sana. “Trada perlu risau, dong itu memang keras kepala,” kata di penjelas itu sambil bisik bisik takut ada yang melaporkan omongannya. /2/ Hari tadi tercatat dua puluh satu siswa terdaftar jadi angkatan baru sekaligus kelas baru buat sekolah itu. Usia mereka beragam. Hari berjalan, minggu silih berganti dan bulan menumpang tindih. Tepat memasuki bulan Agustus, keganjilan itu muncul kembali. Meski sebelumnya pernah terjadi, tapi kali ini semakin sering. Dua anak itu sering muncul di halaman. Mereka nampak memandangi sesuatu yang mungkin aneh baginya. Teman-teman yang lain menghadapi sebuah tiang dengan bendera dua warna. Berbaris lalu menyanyi-nyanyi. Dari sini Sam merasa iba. Ia dekati. Dan tahu betul mereka itu yang tempo hari dibawa oleh kepala suku Lat. “Kenapa kalian, ingin seperti mereka?” “He-eh…” yang satu mengangguk. Ia menatap teman-temannya yang menyanyi-nyayi bersama itu dari sana terbalas, dua tiga melambai ke mereka yang ada di dekat jalan depan sekolah itu. “Apa ko ini Do! Trada boleh!! Bapa ade bisa marah” Mereka kemudian menjauh, menurun di bukit-bukit kecil bercadas, berkelok, samar dan hilang bersama suara angin dan pemandangan hijau hutan juga beberapa rumah penduduk dan sekali dua waktu minibus berlalu dengan muatan penuh. Sam memutuskan sore nanti ia akan mengunjungi rumah anak-anak itu dan memberikan semacam penjelasan. Dengan dibantu salah seorang wali murid, sampailah dia di rumah lelaki itu. Sam kemudian menyampaikan maksud dan sejumlah penjelasan terutama perihal anak mereka yang sering datang ke sekolah. “Ko trada perlu ajari torang. Torang dah pu sekolah sendiri. Lihat mari! Justru murid ko yang mari” Sam, dengan setengah tak percaya mengikuti lelaki itu. Turun dari rumah besar, lalu menuju perahu di antara barisan rumah-rumah, aroma laut menebar, hidungnya disesaki asin dan matanya dipenuhi tatapan aneh dari penduduk sekitar. Dia menuju sebuah rumah yang sama di atas laut dan di sana nampak sudah dua anak lelaki yang menyambanginya siang tadi. Dan, beberapa muridnya yang ia kira sakit, ternyata mereka ada di sana. Di tempat ini terlihat: barusan dayang-dayung tergantung, tombak bermata tajam, sebuah perahu di tengah ruangan, jala, pisau, sebuah titik-titik dengan cangkang karang yang kemudian Sam tau itu rasi bintang di langit. Lelaki Lat menjelaskan lagi dengan bahasa alihkode semi kacau, bahwa disinilah seklah yang ia dirikan. Sekolah yang diberinama Lat: Sesuai nama suku. Sebenarnya lelaki tadi tidaklah bodoh terlalu. Ayahnya dulu pernah menyekolahkannya ke “sekolah pemerintah” meski hanya dikelas satu—demikian mereka menyebutnya, namun suatu hal mengganjal. Ketika kakaknya yang sudah kelas enam di SD Jayapura 2 tak bisa apa-apa ketika harus nenemani kakak mereka yang lebih tua pergi melaut menggantikan ayahnya yang sakit keras. Dia, kakaknya yang SD tersebut, hanya bisa omong dan menyanyi-nyayi, lalu pamer angka-angka tak jelas dalam kertas, tapi tak becus membaca rasi bintang, arah angin, membelah ombak, mengarah tombak, apa lagi mencecap asin air dan jernih gelombang untuk menerka di mana ikan-ikan berkumpul. Dari situ ia benci sekolah—ia benci menghabiskan waktu dengan menyayi dan menggambar tidak jelas. Dan, pelak, ketika ada pembukaan sekolah baru ia selalu mencari sekolah yang mengajarkan anaknya melaut, membelah ombak, mendayung, membaca rasi bintang, menombak ikan paus dan seterusnya. Dan itu tak pernah ada, atau mungkin tak akan pernah ada! Sam terdiam. Ia paku bagi kelana: semua diktum terkulum gelombang di kaki pancang: berpias-pias. Dan juga sorenya, sam melihat bahwa cahaya senja senantiasa keemasan sebelum muram menjadi gelap, lelaki itu mengajar dua anaknya dan tiga dari muridnya yang belakangan absen. Dia mengajari cara memegang dayung, menggerakkannya kanan kiri di atas perahu di tengah kelas itu. Dan, tak sekalipun lelaki itu membentak atau bahkan memukul bila salah. Dia selalu berkata, “Ko pasti bisa! Ko dilahir atas laut, makan ikan laut, garam laut, ko anak laut! Laut ibu torang. Kitorang cintai dayungi dan ciumi angin asin ini. Laut tempat ko makan, laut tempat ko besar nanti, ko paham sa pu nasehat? Ini tujuan ko sekolah di Lat, ko belajar hidup bukan cuma omong kosong menggambar. Ko dititipi laut bapa kitorang” /3/ Peristiwa dua tahun silam terngiang makin dalam, di meja kelas ketika kini dia mengadapi pesan pendek berisi keluh dari sejumlah kawan di Jogja yang belum juga mendapat kerja. Dia menarik nafas. Untung dia dapat ikatan dinas; meski jauh seperti ini, terpisah dari keluarga. Dia sedang mengabsen, saat tiba-tiba lelaki kepala suku Lat itu datang mengetuk pintu kelas. Dia izin sebentar pada murid- muridnya yang kini tinggal setengah—sisanya “sekolah” di Lat: memilih belajar membelah ombak dengan benar, membaca rasi bintang dengan sket cangkang dan seterusnya. “Maaf ada yang bisa sayang bantu Pak?” Sam bertanya, dalam hati ia mengira lelaki itu, yang kini membawa kedua anaknya beserta anak lain, ingin menyekolahkan di tahun ajaran baru yang sebentar lagi tiba. “Ko orang Jawa, bisa ajar torang buat ini?” Sam mundur sedikit. Ia kaget. Lelaki itu menunjukan ikan kalengan bermerek sarden. Usut punya usut, setelah bercakap kemudian, sekolah Lat mengalami masalah. Murid-muridnya bertambah banyak, orang-orang Batu Tua lebih memilih menyekolahkan anaknya di sana, yang dalam waktu tak lebih dari setahun dapat membantu menangkap ikan. Yang mengajar juga dari orang mereka sendiri yang berpengalaman. Nah dari sana penghasilan menangkap ikan naik deras. Ketika kepala suku Lat itu pergi ke Jayapura untuk memasarkan ikan, ia melihat ikan kaleng yang ternyata harga sebuahnya setara dengan harga satu kilogram ikan mentah. Dia terkejut. Padahal, menurut si kepala suku Lat itu satu kaleng hanya berisi dua tiga potong. Dari ini dia ingin menemui sekolah yang bisa mengajarkan “murid”-nya membuat ikan kaleng. Dan sekali lagi Sam menggeleng. Ia menjelaskan kembali tentang standar pengajaran di sekolah, kurikulum, evaluasi, ijasah, menghitung, menghafal nama menteri, Pancasila, Undang-Undang Dasar… “Ah baiklah. Ko tau tempat buat ini?” kepala suku menegas. Matanya resah. Anak-anak di belakangnya tengah membaur bersama anak-anak dalam kelas. Sam membaca pabrik produksinya yang ternyata itu ada di Banyuwangi Jawa Timur. “Sa mau ke sana! Ko kasih tau..” Sam terbengong. Dan ia akan makin kaget, jika tahu bahwa lima hari mendatang akan ada rombongan kecil dengan perahu berlayar sedang, berbekal peta yang ia berikan sewaktu bertanya beduyun megarungi Samudra Hindia menuju Jawa Timur buat belajar cara mengalengkan ikan agar tidak rugi dalam menangkap demikian banyak ikan, agar anak-anak kelak sejahtera, agar listrik penuh, televisi seperti kota, mobil, motor… Tidak ada yang ragu; mereka anak-anak sekolah Lat; yang, membaca angin, gemintang dan asin air laut dan jejak-jejak ikan diantara buih dan gelombang. Jiah! Khiaaak! 2010
""Ikan Kaleng""
Di mata Amir, Nenek adalah sosok perempuan tua yang bijak dan pintar. Amir tak tahu apa makna nasehat Nenek itu, tapi ia merasa ada benarnya. Bangun pagi membuatnya tidak terlambat tiba di sekolah dan tidak ketinggalan pelajaran. Selain itu, bangun pagi sungguh menyenangkan. Hanya pada waktu pagi kita bisa menikmati suasana alam yang paling nyaman. Cahaya matahari masih hangat, udara masih bersih, tumbuhan pun tampak segar, seolah semua lebih bugar setelah bangun tidur. Pagi itu Amir mendapati Nenek duduk sendirian di beranda depan. Rupanya, Nenek sedang menyulam bendera. Amir menyapa dan bertanya, ”Selamat pagi, Nek. Benderanya kenapa?” ”Oh, cucuku yang ganteng sudah bangun!” sahut Nenek pura-pura kaget. ”Bendera ini sedikit robek karena sudah tua.” ”Kenapa tidak beli yang baru saja?” Nenek tersenyum. ”Belum perlu,” katanya. ”Ini masih bisa diperbaiki. Tidak baik memboroskan uang. Lebih untung ditabung, siapa tahu akan ada kebutuhan yang lebih penting.” ”Bendera tidak penting ya, Nek?” ”O, penting sekali. Justru karena sangat penting, Nenek tidak akan membuangnya.” Nenek berhenti sejenak dan menatap cucunya. ”Kelak, ketika kamu dewasa, Nenek harap kamu juga menjadi penting seperti bendera ini.” Amir mengamati bendera itu. Selembar sambungan kain merah dan putih. Tidak ada yang istimewa. ”Apa pentingnya, Nek? Apa bedanya dengan kain yang lain?” Pertanyaan Amir membuat Nenek berhenti menyulam. Nenek diam. Pintar sekali anak ini, kata Nenek dalam hati. Nenek merasa perlu memberi jawaban terbaik untuk setiap pertanyaannya. Untunglah, Nenek teringat Eyang Coelho, seorang lelaki gaek yang cengeng dan sedikit manja, yang membayangkan dirinya bersimpuh dan tersedu di tepi Sungai Paedra. Eyang Coelho pernah menulis sebuah cerita tentang pensil. Nah, Nenek akan meniru cara tokoh perempuan tua dalam cerita itu ketika memberikan penjelasan kepada sang cucu. ”Penting atau tidak, tergantung bagaimana kita menilainya,” akhirnya Nenek berkata. Bendera ini, lanjutnya, bukan kain biasa. Ia punya beberapa keistimewaan yang membedakannya dengan kain-kain lain. Keistimewaan itu yang patut kita tiru. Pertama: semula ini memang kain biasa. Tapi, setelah dipadukan dengan urutan dan ukuran seperti ini, ia berubah jadi bendera, menjadi lambang negara. Merah-putih ini lambang negara kita, Indonesia. Setiap negara punya bendera yang berbeda. Dan semua warga negara menghormati bendera negaranya. Tapi, jangan lupa, kain ini menjadi bendera bukan karena dirinya sendiri, melainkan ada manusia yang membuatnya. Begitu pula kita bisa menjadi apa saja, tapi jangan lupa ada kehendak Sang Mahapencipta. Kedua: Pada waktu kain ini dijahit, tentu ia merasa sakit. Tapi sesudahnya, ia punya wujud baru yang indah dan bermakna. Kita, manusia, hendaknya begitu juga. Sabar dan tabah menghadapi sakit dan derita, karena daya tahan itulah yang membuat kita menjadi pribadi yang kuat, tidak mudah menyerah. Ketiga: Bendera akan tampak perkasa jika ada tiang yang membuatnya menjulang, ada angin yang membuatnya berkibar. Artinya, seseorang bisa mencapai sukses dan berguna karena ada dukungan dari pihak-pihak lain. Kita tak boleh melupakan jasa mereka. Keempat: Makna bendera ini tidak ditentukan oleh tempat di mana ia dibeli, berapa harganya, atau siapa yang mengibarkannya. Ia bermakna karena di balik bentuk dan susunan warnanya ada gagasan dan pandangan yang diwakili. Begitulah, kita pun harus memperhatikan diri dan menjaganya agar tetap selaras dengan cita-cita dan tujuan hidup kita. Kelima: Seutas benang menjadi kain, lalu kain menjadi bendera, dan bendera punya makna; karena diperjuangkan dan akhirnya dihormati. Kita juga seperti itu. Harus selalu berusaha agar apa yang kita lakukan bisa bermakna. Jadikan dirimu bermakna bagi orang lain, jika dirimu ingin dihormati. ”Begitulah, cucuku yang ganteng, sekarang kau mengerti?” ujar Nenek mengakhiri penjelasannya. Amir mengangguk. Meski belum bisa memahami semua, ia menangkap inti dan garis besarnya: betapa penting arti sebuah bendera. ”Sudah, sana mandi dulu. Nenek akan menyiapkan gudeg manggar lengkap dengan telor dan daging ayam kampung empuk kesukaanmu.” Amir menuruti saran Nenek. Ia masuk ke rumah sambil membayangkan kesegaran air sumur pedesaan. *** Pada kesempatan lain, Amir mendapat tugas sebagai pengibar bendera pada upacara di sekolahnya. Seiring dengan lagu ”Indonesia Raya” yang dinyanyikan serentak oleh para guru dan teman-temannya, ia menarik tali pengikat bendera agar Sang Saka Merah-Putih berkibar di angkasa. Ketika bendera mencapai puncak tiang, semua peserta upacara khusyuk memberikan penghormatan. Saat itu Amir berpikir bahwa setiap orang di lapangan itu tak ubahnya sehelai benang. Sekolah tempat mereka belajar ibarat alat pemintal, tempat benang-benang itu menganyam dan meluaskan diri agar menjadi lembaran kain. Kelak setiap lembar kain akan berguna. Ada yang menjadi baju, celana, selimut, atau taplak meja. Menjadi lap piring juga berjasa, meski tidak pernah dibanggakan dan murah harganya. Sebaliknya, jika menjadi pakaian, sering dipamerkan dalam acara-acara gemerlapan dan harganya bisa mencapai ratusan juta. Di dalam hati Amir bertekad, ingin menjadi kain yang istimewa. Ia ingin menjadi lambang, seperti bendera.
""Bendera""
Malaikat di sebelah kiriku, hingga hari kematianku, tidak pernah mengharapkan aku melakukan kejahatan, meski yang ia lakukan hanya menuliskan kejahatan-kejahatan yang kulakukan di dalam jutaan lembar kulit kambing berbungkus kain lusuh hitam yang selalu didekapnya, dan kulit-kulit itulah nanti yang akan ia perlihatkan kepada penciptanya. Bajuku tebal berwarna lumut namun terlalu banyak lumut yang menutupinya, panjang menyentuh bumi dan menutupi jari-jari tanganku. Rambutku panjang melebihi punggung dan tidak pernah kucuci dengan batang-batang padi kering maka sering membuat kepalaku gatal-gatal dan berkutu dan sudah puluhan tahun kusengajakan berpilin-pilin, meski aku membenci Daun Kenikmatan karena akan membuatku bodoh dan bicaraku bagai orang dungu. Kuku di tangan kiri dan kananku panjang-panjang sehingga mirip setan bermata besar, bergigi taring, berambut putih panjang sekaki, bongkok dan berpunuk yang muncul dari balik asap ledakan, kata orang ledakan sekantung kecil pasir warna abu-abu, padahal tidak mungkin sekantung kecil pasir warna abu-abu meledak sedahsyat itu. Tidak ada alas kaki, tidak ada mahkota berlian, tidak ada kereta kuda. 2 Kedua telapak tanganku terbuka, menampung hatiku yang merah di tangan kanan namun tidak berlumur darah karena telah kubersihkan karena kutahu akan kuperlihatkan kepadamu, lalu belati mengkilat di tangan kiri, yang belum lama kupakai untuk merobek dadaku dan sudah kubersihkan karena kutahu akan kuperlihatkan kepadamu. Inilah kabar yang seharusnya dilihat dan didengar semua orang. Sebuah berita, bukan cerita, karena ada beda yang nyata antara aksara kedua dengan aksara ketiga, meski hanya satu, karena sebuah berita seharusnya berguna, begitu pula cerita. Bukan tentang jubah yang dikenakan si Anak Pertama. Bukan tentang makanan yang masuk ke perut si Anak Kedua. Bukan tentang permata yang mengelilingi lengan si Anak Ketiga. Sampah. Bukan tentang si Mata Besar yang menawarkan cincin kepada si Mata Kecil. Bukan tentang si Kuping Besar yang memberi cincin kepada si Kuping Kecil. Bukan tentang si Hidung Besar yang mengambil cincin dari jari si Hidung Kecil. Sampah. Sampah. Bukan tentang si Gemuk yang tubuhnya kurus tiba-tiba. Bukan tentang si Kurus yang tubuhnya menggelembung tiba-tiba. Bukan tentang si Hidup yang mati tiba-tiba. Sampah. Sampah. Sampah. Sering kepalaku berputar-putar dan mataku menjadi gelap gulita bila memikirkan anak-anak perempuan setiap hari, dari pagi hingga malam, hingga kembali pagi, melahap sampah-sampah di dalam rumah-rumah mereka, sampah beku dan sampah bergerak, begitu pula perempuan-perempuan berketurunan puluhan yang hanya bergerak dari kasur ke sumur ke dapur, dari sumur ke dapur ke kasur, dari dapur ke kasur ke sumur, dari sumur ke kasur ke dapur. 3 Sang Kejahatan dan Sang Kebaikan sering bertengkar di dalam kepalaku. Suaranya membuatku gundah dan berputar-putar tiga belas putaran. Mereka bersuara sama memekakkan, bahkan selalu memukul-mukul tempurung kepalaku dengan tombak besi merah dan tongkat kayu putih di tangan kanan mereka hingga membuat kepalaku semakin berputar-putar dua puluh enam putaran. Bila Sang Kejahatan memenangkan pertengkaran karena suaranya lebih memekakkan, maka ia akan bersorak- sorai sambil menghentak-hentakkan tombak besi merah ke tempurung kepalaku, dan Sang Kebaikan akan menangis tersedu-sedu sambil memukul-mukulkan tongkat kayu putih di tangan kanannya, juga ke tempurung kepalaku. Bila Sang Kejahatan kalah dalam pertengkaran karena suaranya kurang memekakkan, maka ia akan menangis tersedu-sedu sambil memukul-mukulkan tombak besi merah ke tempurung kepalaku, dan Sang Kebaikan akan bersorak-sorai sambil menghentak-hentakkan tongkat kayu putih di tangan kanannya, juga ke tempurung kepalaku. Maka aku sering diam, dan berpikir lebih baik tidak berkeinginan mempunyai keinginan. 4 Hati dan belati bukan pilihan yang harus kau pilih. Engkau bukan sedang ikut berjudi dalam lingkaran empat-lima orang, atau permainan mengadu nasib yang dilihat 155 juta orang semalam suntuk di seluruh negeri. Hati dan belati, hari ini, bukan perumpamaan yang diucapkan para lelaki yang sepanjang hari menyembunyikan taring dan tanduknya dengan wajah laksana Sang Kebaikan dan mengenakan mahkota berlian di atas kereta kuda mewah berpahat lambang-lambang kerajaan. Hati kuberikan dengan kerelaan, karena aku ingin engkau menyimpannya di dadamu, sebelum aku merobek dadamu dan mengambil hatimu dan menyimpannya di dadaku, maka kita tidak perlu mempertarungkan kata-kata tentang isinya sewaktu-waktu hingga berhari-hari dan membuat kita bagai orang tanpa kepala. Belati kubawakan bukan untuk mengancammu, melukaimu, bahkan membunuhmu. Aku hanya ingin melindungimu dari iblis-iblis bertaring dan bertanduk dan berbulu dan berekor dan berlidah cabang tiga belas yang akan mencakari tubuhmu dari kiri dan kanan, dari depan dan belakang, dan dari pencoleng-pencoleng yang akan merobek dadamu dan mengambil hatiku yang disangkanya hatimu dan menyimpannya di dada mereka, padahal seharusnya mereka tahu ruang di dadamu hanya cukup untuk hatiku dan ruang di dadaku hanya cukup untuk hatimu, karena hati kita sama besar, sungguh-sungguh sama, maka itulah yang membuat kita bisa hidup selamanya bila kita telah merobek dada dan menukarnya. Tidak mati salah satunya hanya lebih dahulu beberapa helaan, karena sudah pasti disusul kematian berikutnya. Kematianku, atau kematianmu. 5 Terimalah hati dan belati yang kubawa, karena inilah harta yang kumiliki. Semata. Aku tidak akan membeli tubuhmu dengan sebongkah besar berlian atau sebuah istana berpintu seribu menghadap laut, karena aku tidak memilikinya dan aku bukan lelaki yang akan menyimpan perempuan-perempuan mereka di dalam kamar-kamar rahasia dan menyetubuhinya siang dan malam dengan kerakusan. Bila sudah kurobek dadamu dan mengambil hatimu dan menyimpannya di dadaku, dan hatiku yang kubawa di tangan kananku kuletakkan di dadamu, maka akan kuhadiahi engkau dengan bunga-bunga setiap pagi dan malam. Pagi ketika engkau terbangun dari tidur dengan rambutmu yang panjang dan berantakan tetapi wajahmu tetap indah, padahal pernah kudengar seorang perempuan tua berkata, ”Seorang perempuan nyata indahnya ketika ia terbangun dari tidur pagi harinya.” Malam ketika engkau akan terlelap dalam mimpi-mimpi yang kuharapkan indah, dengan rambutmu yang tersisir dan wangi bunga-bunga yang akan membuat wajahmu semata-mata indah dan memabukkanku, padahal pernah kudengar seorang lelaki tua berkata, ”Keindahan perempuan untuk di mata dan di badan.” Akan kuberikan engkau ciuman di kening setiap malam dan pagi hari sebagai rasa bungah cintaku kepadamu. Bukan lumatan di bibir atau buah dadamu, karena aku mencintai hadirmu, bukan semata tubuhmu, maka aku tidak akan memperkosamu sejak sebelum tengah malam hingga ayam jantan berkokok bersama keluarnya matahari. Malam ketika engkau akan terlelap dalam mimpi-mimpi yang kuharapkan indah, dengan rambutmu yang tersisir dan wangi bunga-bunga yang akan membuat wajahmu semata-mata indah dan memabukkanku. Pagi ketika engkau terbangun dari tidur dengan rambutmu yang panjang dan berantakan tetapi wajahmu tetap indah. Semata-mata. Akan kuganti baju tebal berwarna lumut namun terlalu banyak lumut yang menutupinya, panjang menyentuh bumi dan menutupi jari-jari tanganku, dengan jubah berwarna merah bersulam naga-naga dari benang emas, meski tetap panjang menyentuh bumi dan menutupi jari-jari tanganku. Akan kuhabisi rambut panjang melebihi punggung yang tidak pernah kucuci dengan batang-batang padi kering dan sering membuat kepalaku gatal-gatal dan berkutu dan sudah puluhan tahun kusengajakan berpilin-pilin, meski aku membenci Daun Kenikmatan karena akan membuatku bodoh dan bicaraku bagai orang dungu. Maka rupaku akan laksana Penguasa Negeri Pasir, meski aku membenci manusia bodoh yang menganggap dirinya Sang Maha Segala dan aku selalu tertawa bila mengingatnya tenggelam bersama pasukan berkudanya di laut luas saat mengejar lelaki yang dijadikannya sebagai musuh besar, yang pergi bersama pengikut-pengikutnya, padahal saat kanak-kanak lelaki itu dijadikannya sebagai saudara sedarah karena mereka datang dari dua rahim. Akan kupotong kuku di tangan kiri dan kanan yang panjang-panjang sehingga aku mirip setan bermata besar, bergigi taring, berambut putih panjang sekaki, bongkok dan berpunuk yang muncul dari balik asap ledakan, kata orang ledakan sekantung kecil pasir warna abu-abu, padahal tidak mungkin sekantung kecil pasir warna abu-abu meledak sedahsyat itu. Maka tanganku akan begitu indah hingga tidak lagi membuatku laksana setan yang datang dari lubang-lubang besar di kaki gunung. Terompah dari kulit domba dengan lapis sutra dan butir-butir emas akan membungkus kedua kakiku. Mahkota dari emas dengan butir-butir berlian dan permata akan melindungi kepalaku. Sebuah kereta dengan kuda-kuda yang kuat dan bersih akan mengikutiku kemana angin. 6 Namun aku tidak akan memaksamu. Bila hari ini engkau mengutuk sebuah ketiba-tibaan, maka aku akan menunggumu hingga beberapa hari berpikir meski kerut-kerut membuat keningmu hilang indahnya, dan hari ketujuh aku akan kembali mendatangi dengan sebuah pertanyaan berhari lalu: ”Bersediakah engkau menerima hati dan belati yang kubawakan untukmu?” Bila hari itu engkau belum pula memiliki kata, maka aku akan mendatangimu tujuh hari kemudian, lalu pada hari ke-21, 28, 35, 42, 49, 56, 63, 70, 77, 84, 91, 98, 105, 112, 119, 126, 133, 140, 147, 154, 161, 168, 175, 182, 196, 203, 210, 217, 224, 231, 238, 245, 252, 259, 266, 273, 280, 287, 294, 301, 308, 315, 322, 329, 336, 343, 350, 357, 364. Lalu pada hari ke-365 aku akan berhenti, karena aku tahu, engkau tidak berkenan. Tentu tubuhku terlalu bau dan kotor, meski wajahku tidaklah buruk, maka engkau menampik diriku. Tentu aku membawa persembahan yang tidak akan membawamu ke atas menara emas, maka engkau tapi-kan diriku. Tentu engkau mengharapkan seorang lelaki akan membeli tubuhmu dengan sebongkah besar berlian atau sebuah istana berpintu seribu menghadap laut, meski engkau tahu akan disimpannya bersama perempuan-perempuan lain di dalam kamar-kamar rahasia dan engkau akan disetubuhinya siang dan malam dengan kerakusan semata. Dengan kerakusan. Semata. Namun aku bahagia karena hari ini suara Sang Kejahatan kalah memekakkan. Ia menangis tersedu-sedu sambil memukul-mukulkan tombak besi merah ke tempurung kepalaku, dan Sang Kebaikan akan bersorak-sorai sambil menghentak-hentakkan tongkat kayu putih di tangan kanannya, juga ke tempurung kepalaku. Meski membuatku semakin pusing tiga belas putaran. Kubawa sakit di kepala dan kakiku yang retak-retak kepanasan, mengelilingi tanah-tanah dan pasir-pasir dan debu-debu dengan kedua telapak tanganku yang terbuka, mencari tempat menghadap laut untuk menanam hatiku yang merah dan tidak lagi berlumur darah di tangan kanan, dan belati mengkilat di tangan kiri. Aku akan menunggumu di gerbang ruh-ruh abadi. Pondok Pinang, 2302
""Belati dan Hati""
Sambil berjongkok dan mengintip kolong lemari, ia menarik keluar sebuah payung besar warna-warni kebanggaannya. Besarnya hampir seperti payung yang setia bertengger di atas gerobak penjual buah dingin di ujung gang. Payung ini benda terbaru dan terbagus yang ia miliki saat ini. Warna kainnya masih cemerlang, berbeda warna di setiap lengkungannya. Gagangnya terbungkus kayu yang dipernis warna coklat muda. Payung itu ditemukan Bapak seminggu yang lalu di bak sampah milik sebuah rumah besar di kompleks perumahan tempat Bapak biasa memulung sampah. Waktu ditemukan, tiga bilah rangkanya terlepas sehingga payung menjadi bengkok jika dikembangkan. Padahal, hanya jahitannya saja yang putus, sedangkan rangkanya masih bagus dan berkilap. Dengan bantuan Bang Ayub, tetangga sebelah rumah, sebentar saja payung selesai dijahit. Ongkosnya gratis, begitu kata Bang Ayub. Kebetulan ada Mak yang menjaga Diyon di rumah. Sebentar lagi Bapak pulang. Sambil menenteng sandal jepit kuningnya, Dian berjalan mengendap-endap melangkahi tubuh Mak dan Diyon yang sedang tidur pulas, melintang di atas kasur tipis di tengah rumah. Pintu rumahnya berderit pelan saat ditutup. Sejak payung itu jadi miliknya, hujan membawa gairah baru dalam hidup Dian. Hujan berarti kerja. Kerja berarti rezeki. Seperti Bapak, ia juga ingin membawa pulang sejumlah uang ke rumah. Hari ini payungnya akan beraksi untuk kedua kalinya. Pengalaman pertamanya sebagai pengojek payung seminggu yang lalu menghasilkan tiga belas ribu rupiah dalam waktu dua jam, di tengah guyuran hujan yang tak seberapa deras. Harusnya bisa mencapai paling sedikit enam belas ribu rupiah jika Markun tak mendadak muncul dan merebut paksa tiga calon pelanggannya. Hari ini pasti lebih banyak, pikirnya. Sekarang adalah waktunya para karyawan—yang bekerja di gedung-gedung tinggi itu—pulang kerja. Mereka yang tak mendapat tumpangan kendaraan akan membutuhkan payungnya untuk menuju halte bus atau pangkalan taksi. Dian berharap, hujan sedikit lama hari ini. Semoga tak bertemu Markun di hari yang baik ini. Juga tak bentrok dengan Jaka, Bono, dan Ipung, yang rajin bekerja di musim hujan. Mereka tak seperti Markun yang suka merebut pelanggan. Tapi, Bono gesit luar biasa, karena jam terbangnya lebih banyak dari yang lain. Dia pengojek payung senior di musim hujan. Jika hari sedang cerah, Bono sering menongkrong di gang dengan kacamata hitam kebanggaannya. Biasanya, rambut Bono berkilap seperti habis mandi dan disisir kaku dengan gel hingga membentuk kerucut di ubun-ubun kepala. Dalam hati, Dian berencana membeli gel rambut semacam itu suatu hari nanti jika ia punya uang. Sambil menyusuri gang, Dian menimbang-nimbang, akan digunakan untuk apa uangnya nanti. Uang hasil ojek payung yang lalu dipinjam Mak untuk membeli beras. Tak apalah, musim hujan belum berakhir, pikirnya. Yang pasti, kali ini ia ingin membelikan Diyon biskuit yang diputar-dijilat-dicelupin itu. Satu bungkus saja, untuk dicelupkan dalam segelas air putih. Tak perlu beli susu karena Diyon sudah cukup menyusu pada Mak waktu kecil. Tapi, boleh juga. Jika rezekinya baik, Dian ingin membeli sekotak susu rasa stroberi. Dian meneguk ludah waktu membayangkan dirinya memutar, menjilat, dan mencelupkan biskuit itu ke dalam segelas susu berwarna semu merah muda. Dian sudah berencana akan menabung sebagian uangnya untuk membeli payung tambahan. Ia sudah menyurvei harga payung di beberapa toko di pasar. Ada yang berharga dua puluh ribu rupiah, tapi terlihat kecil dan rapuh. Yang kelihatan cukup besar dan lebih kekar kira-kira berharga tiga puluh ribu rupiah. Ia tak mau membeli yang rapuh, supaya tahan lama. Payung tambahan pertama itu akan disewakannya pada Satrio saat hujan. Bagi hasil seperempatnya untuk pemilik payung. Jika Satrio dapat sepuluh ribu, Dian berhak atas setoran dua ribu lima ratus. Kemudian ia akan menabung terus hingga payung tambahannya ada lima buah. Payung besarnya akan tetap ia gunakan sendiri. Selain Satrio, masih ada Upit, Karyono, Agus, dan Cakri. Mereka pasti juga mau jadi pengojek payung. Yang penting mereka jujur, tidak nakal seperti Markun. Jika hujan, mereka berpencar mencari pelanggan. Payung-payung Dian akan beredar di beberapa halte, rumah sakit, dan ruko-ruko, melalui kelima temannya itu. Kemudian setoran pada pemilik payung akan menambah jumlah tabungannya. Dian tak dapat menahan senyum saat membayangkan teman-temannya menyetor hasil ojek payung. Tapi, bagaimana jika mereka berlima membohonginya? Atau istilahnya, korupsi? Mungkin saja, Cakri yang genit itu ingin segera membeli gel rambut seperti punya Bono dan tidak melaporkan uang hasil ojek payung dengan jujur. Senyum Dian menghilang. Dahinya berkerut. Lalu…, aha! Ia berseru dalam hati. Sebelum menjadi mitranya, ia akan meminta kelima temannya bersumpah di atas Al Quran, seperti pada pelantikan para pejabat yang dilihatnya di televisi Bang Ayub. Sebaiknya, ia juga meminjam peci hitam Bapak supaya sumpah itu terasa resmi. Jika rezeki ojek payung baik, Dian ingin membeli jas-jas hujan kecil yang dijual di warung. Jas hujan warna-warni yang plastiknya tipis itu berharga paling sedikit sepuluh ribu rupiah. Ia pikir, sebaiknya, anak buahnya itu jangan sampai jatuh sakit karena diguyur hujan. Jas hujan bertopi itu akan melindungi teman-temannya. Seragam warnanya, semua berwarna biru. Maka mereka akan menjadi Pasukan Biru, penyelamat dalam musim hujan. Tidak bisa gratis, pikirnya. Ia akan menyewakan jas hujannya sebesar seribu rupiah untuk satu kali pakai, saat mereka menyewa payung-payungnya. Tapi, bagaimana jika Satrio, Upit, Karyono, Agus, dan Cakri lupa pada sumpahnya? Dahinya kembali berkerut. Matanya menatap jalanan. Kakinya iseng menendang-nendang kerikil di depan langkahnya. Sesaat kemudian, sebuah ide menyergap lamunannya. Baiklah, pikirnya, supaya mereka tak lupa, ia akan membeli spidol antiair. Akan ditulisnya di bagian dalam payung. Tuhan ada di mana-mana. Jujur saja, sebenarnya Dian tak terlalu paham pada kalimat itu. Ia hanya meniru apa yang pernah dikatakan Pak Ustad padanya. Dengan malu-malu, setelah belajar mengaji, ia pernah bertanya, ”Di mana Allah itu, Bapak Ustad?” Pak Ustad mengelus kepala Dian, menatap lekat bola matanya, sambil menjawab, ”Allah atau Tuhan ada di mana-mana, Nak. Di mana-mana…,” Saat itu Dian manggut-manggut. Tapi, sejujurnya, dia tetap tak mengerti. Pak Ustad tidak bilang bahwa Tuhan mengawasi mereka dari atas. Di mana-mana, harusnya berarti di semua tempat, bahkan yang gelap dan tersembunyi. Pikirnya, Tuhan yang Maha Agung itu pasti sangatlah penyayang jika Dia juga ada di sini, di tengah-tengah bau sampah yang menguar tertiup embusan angin dari sungai di belakang rumah. Jika Tuhan mau berada di sini, apalagi di rumah megah yang dilihatnya di televisi semalam. Tapi, herannya, pemilik rumah megah itu memilih minggat dari rumah dan sedang dicari polisi karena korupsi. Begitulah kata si penyiar berita. Tuhan pasti tahu di mana orang itu, tapi Dia tak bilang. Karena Tuhan tak bilang-bilang apa yang diketahui-Nya, mungkin saja Satrio, Upit, Karyono, Agus, dan Cakri juga tak takut pada Tuhan. Tapi, Dian berencana tetap membeli spidol tahan air itu. Seandainya Satrio, Upit, Karyono, Agus, dan Cakri tidak korupsi, tetap saja mereka juga bisa berhenti jadi anak buahnya dan menyewakan payung milik mereka sendiri nantinya. Biarlah, pikir Dian. Terlalu jauh untuk dipikirkan. Payung tambahannya saja belum dibeli. Wajahnya kembali gembira karena membayangkan lembaran-lembaran rupiah di kantong celananya. Memikirkan lembaran-lembaran uang membuat khayalan Dian buntu. Ia tak dapat membayangkan, berapa uang yang bisa ia tabung dengan modal enam buah payung. Bahkan, ia tak pernah membayangkan punya uang banyak. Yang dia tahu, uang adalah penyambung hidup keluarganya sehari-hari. Jika mampu, mungkin ia ingin lebih sering membeli biskuit dan susu, juga sepasang sandal baru untuk Mak. Mungkin juga, suatu hari dia bisa membeli sepasang sepatu bola. Tapi, ia tak yakin karena tak tahu harganya. Lamunannya terhenti saat tiba di ujung gang. Dian menganggukkan kepalanya pada Bang Joni, penjual buah dingin. ”Hei, Kojek!” Bang Joni memanggilnya dengan suara serak dan melambaikan tangannya pada Dian. Ia memang sering memanggil anak-anak dengan sembarangan. Dian berhenti di depan Bang Joni. ”Jual aja payung kau itu. Buat ganti payung gerobakku ini.” ”Enggak dijual, Bang.” ”Kubayar dua puluh ribu rupiah.” ”Enggak mau, Bang.” ”Berapa?” ”Enggak dijual, Bang.” Bang Joni mendengus. ”Payung itu terlalu besar buat kau. Lebih besar payung itu daripada badan kau yang macam ikan asin itu, Jek.” ”Biarin, Bang.” Dian mengeratkan pegangan pada payungnya dan berbelok ke jalanan di sisi tanah kosong berpagar beton rendah. Masih didengarnya Bang Joni memaki-maki dirinya. Dari kejauhan dilihatnya Satrio. Anak itu makin kurus saja. Ia pasti lebih mirip ikan asin, seperti yang dikatakan Bang Joni, pikir Dian. ”Mau ke mana, Yan?” ”Biasa,” Dian menggerakkan sedikit payung yang dipeluknya. ”Payungmu masih satu?” ”Satu. Nanti kalau ada satu lagi, kamu ikut, Yo.” Satrio mengangguk sambil mengelap ingusnya dengan pinggiran baju. Lama ia menatap punggung Dian yang menjauh ke arah jalan raya. Mobil-mobil masih bergerak lancar, tetapi sebentar lagi pasti akan semakin padat karena mendekati jam tutup kantor-kantor. Banyak yang akan membutuhkan ojek payungnya. Seribu rupiah diterimanya untuk satu kali menyewakan. Kadang-kadang ada yang berbaik hati memberi dua ribu rupiah untuk jarak yang dekat. Dian melihat Markun di kejauhan. Lebih baik pura-pura tak melihat dan melewati jalan lain. Tapi sudah terlambat. Markun berjalan ke arahnya. Dian heran, Markun tak membawa payung di hari semendung ini. ”Hai, Jelek! Pinjam payungnya!” Pantas Markun tak membawa payung. Jantung Dian berdegup lebih kencang. Tak sadar, ia mengeratkan pegangan pada payungnya. ”Jangan, Mar.” ”Sebenar aja, Sompret!” Markun melotot galak pada Dian. Sengaja dadanya dibusungkan, menggertak. Dian memeluk payung besarnya erat-erat. Bola matanya melirik ke kiri dan ke kanan. Markun mencibir. ”Enggak ada yang nolongin lu. Mau lari, ha?!” Markun mendesak Dian mundur sampai merapat ke tembok beton. ”Pinjam. Jangan pelit. Nanti malam gua balikin.” ”Enggak boleh. Gua belum kerja hari ini.” ”Sama donk, Nyet. Bukan lu aja yang butuh duit!” Bau nafas Markun terbawa hembusan angin. Busuk, sebusuk perbuatannya. Dian melengos, menghindari bau yang menyerang hidungnya. ”Memangnya lu enggak punya payung?” ”Ngapain lu tanya-tanya?!” bentak Markun sambil menyentuh payung. ”Sini payung lu!” ”Jangaaa…an!” ”Sini!” ”Enggak!” Markun mencoba merenggut payung itu. Tenaganya yang besar menyeret tubuh Dian yang tetap memeluk payung. Markun melepas sebelah tangannya pada batang payung dan melayangkannya pada pipi Dian. Plak! Plak! ”Rasain lu!” ”Aaaa….!” Buk! Markun mendorong Dian sekuat tenaga ke tembok. Payung terlepas dari tangan Dian. Punggung Dian membentur tembok. Sakit. Matanya mendadak panas oleh desakan air mata yang siap-siap tercurah. Sandal jepitnya putus. Markun tak membuang waktu. Sebentar lagi hujan turun. Dengan gesit ia berlari. Tujuannya adalah halte bus di dekat jembatan. Di sana rezeki musim hujan menunggu. Lembaran-lembaran seribu rupiah akan berpindah tangan. Siapa cepat, siapa dapat. Siapa yang rajin, siapa yang kuat, akan menuai lembaran rupiah terbanyak. Dian membuang sandal jepitnya. Telapak kakinya perih, mungkin tergesek kerikil saat tadi Markun mendorongnya kuat-kuat dan menginjak sandalnya. Gagal pekerjaan hari ini. Ia tak memercayai Markun akan mengembalikan payungnya nanti. Seandainya dikembalikan, payungnya mungkin sobek atau patah, tak akan selamat dari kejahilan Markun. Mendadak Dian teringat Diyon. Biskuit dan susu. Satrio dan teman-teman. Payung-payung tambahan. Pasukan Biru. Hatinya sakit. ”Bangsaaat….at!” Lidahnya yang tadi kelu tiba-tiba lantang memaki. Mendengar teriakan itu, Markun menengok dan mengacungkan tinjunya. Lalu, ia melanjutkan larinya. Kilat menyambar-nyambar. Guntur menggelegar di langit yang makin menghitam. Seorang gadis di tepi jalan menjerit sambil menutup telinganya. Terkejut oleh suara guntur, sekaligus karena Dian yang berlari seperti kesetanan dan hampir menabraknya. Markun pun berlari dengan lincah, meliuk-liukkan pinggangnya untuk menghindari tabrakan dengan manusia lain yang berjalan bergegas karena khawatir hujan segera turun. Cepat sekali larinya. Entah, karena dia mendadak takut pada Dian yang mengamuk seperti kesurupan karena memburu waktu, atau karena dia tak mau membuat keributan di pinggir jalan yang mulai padat. Markun pernah diciduk Satpol PP saat tawuran. Ciiiitttt…..!!! Sebuah mobil pikap hitam mendadak mengerem, nyaris menghantam tubuh Markun di belokan pagar beton yang membatasi bantar kali dengan jalan raya. Markun berhenti mendadak dan hampir jatuh karena sandal jepitnya yang tiba-tiba putus. Ia melepas sandalnya dan terus berlari. ”Mampus lu!” Si pengemudi berteriak membentak Markun. Markun tak peduli. Ia terus berlari. Keterkejutan menahan langkah Dian. Ia membiarkan pikap itu lewat memutar di hadapannya. Mendadak tubuhnya terasa lemas. Sebagian kemarahannya berganti kesedihan. Tetesan air hujan pertama jatuh di kening Dian, diikuti tetesan lain yang semakin banyak. Air tumpah ruah dari langit, menyamarkan air mata yang juga mengucur deras. Pandangan Dian menjadi kabur. Semangatnya mendadak runtuh. Markun menghilang. Tak ada gunanya berteduh. Dian menyeberangi jalan raya yang semakin padat. Tak ada Markun di jembatan, berarti ia mengojek payung di tempat lain. Di jembatan terlihat Bono, dengan rambut yang tertutup bandana kuning yang sudah basah, sedang sibuk menawarkan payungnya. Terduduk di median yang lengang. Dian membenamkan wajah di antara kedua lututnya, menghindari tetes hujan yang membuat pipinya pedih. Matanya telah kering oleh air mata. Hanya air hujan yang terus menderas. Dian menutup mata dan telinganya. Lamat-lamat suara klakson kendaraan terdengar berganti-ganti, seolah berasal dari tempat yang jauh. Dian merasa dirinya mandi di bawah pancuran air bergagang putih. Di sekelilingnya, dinding dan lantai keramik yang juga serba putih, seperti dalam iklan sabun mandi yang sering ia lihat di televisi. Hatinya kemudian mendingin dalam tubuh yang menggigil. Di hadapannya, mobil-mobil bergerak tersendat. Tangerang, 30 Maret 2010 *Cerpen ini terinpirasi foto dalam buku Mata Hati yang berisi kumpulan foto Kompas.
""Payung""
”Sastri,” katanya dengan suara lembut. Nama Nicosia harus dibaca dengan tekanan suara pada ”si” bukan pada ”co”. Jadi Nicosia dibaca Nico’sia bukan Ni’cosia. ”Sorry for the mistake, Barbara,” Sastri menyahut. ”Ok. No problem,” sahut produser yang berasal dari Australia itu. Kemudian kedua perempuan itu melangkah bersama, Barbara ke kamar kerjanya dan Sastri ke ruang kerja para broadcaster. Rekan-rekan Sastri tampak sibuk mengetik bahan program masing-masing di ruang kerja itu. Mereka disebut broadcaster bukan announcer, karena tugas mereka bukan semata-mata menyiar, tetapi juga menyunting, mewawancara, mencari bahan-bahan dari perpustakaan yang akan mereka rangkum untuk program masing-masing, menyampaikan laporan pandangan mata, memperkaya berita dari yang diterima dari pusat pemberitaan (news room), bertugas keluar kota dan berbagai tugas lain yang menyangkut siaran radio. Begitu Sastri membalik-balik bahan-bahan tertulis untuk acara mingguannya ”Arts in Britain”, Colin, kepala seksi, muncul di pintu masuk dan memanggil Sastri ke kamarnya. ”Sebagai orang yang besar perhatiannya terhadap sastra dan teater tampaknya kamu akan mendapat kepercayaan melakukan tugas yang tidak ringan dari atasan kita.” ”Mr. Hugh House?” ”Bukan” ”Lalu siapa?” ”Kepala Bagian Timur Jauh, Harold Dickens.” ”Tugas apa, Colin?” ”Saya tidak tahu. Tapi ada hubungannya dengan peningkatan persahabatan antara kedua negara, negeri ini dan negeri Anda. Juga ada kaitannya dengan pameran industri negara ini di Jakarta.” ”Oh, goodness.” ”Mengapa? Senang?” ”Tidak malahan takut” ”Takut?” ”Boleh dibilang begitu tetapi juga senang.” *** ”Saya mendengar banyak tentang Anda dari Colin, kepala seksi yang memimpin Anda. Anda suka teater dan sastra, bahkan katanya Anda menulis karya sastra.” Sastri hanya tersenyum mendengar kata-kata Harold Dickens, di ruang kerjanya itu. ”Karena itu saya mempercayai Anda untuk melaksanakan tugas ini. Saya rasa dari semua teman-teman Anda, hanya Anda yang dapat melaksanakan tugas ini.” Setelah itu Harold Dickens menatap Sastri yang sejak awal tidak mengeluarkan sepatah kata pun. Sebenarnya, di matanya gadis berusia 24 itu terlalu muda untuk melaksanakan tugas yang akan dibebankannya. Tapi ia yakin atasan langsung gadis itu, Colin Wild, mencalonkan Sastri karena prestasi Sastri yang baik walaupun Sastri baru saja melalui probationary period atau masa percobaan enam bulan di kantor itu. Merasa tak nyaman dengan tatapan kepala bagian Timur Jauh itu, Sastri bertanya. ”Apa yang harus saya lakukan Mr. Dickens?” ”Good question,” kata Harold Dickens sambil berdiri dan menyerahkan sebuah buku kepada Sastri. Sastri membaca judul buku itu. Sebagai gadis yang juga senang kepada sejarah buku itu tidak asing baginya karena ia pernah membacanya sebagian di Perpustakaan Nasional di Jakarta. ”History of Java” karyaThomas Stamford Bingley Raffles yang pernah menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda pada abad ke-19. Merasa ingin tahu lebih jauh Sastri menatap wajah Mr. Dickens. ”Perdana Menteri akan ke Indonesia tiga bulan lagi, untuk meningkatkan hubungan kedua negara. Pada waktu yang sama pameran industri Inggris akan berlangsung di Jakarta. Nah, upaya yang baik ini akan kita meriahkan dengan mengudarakan sebuah sandiwara radio tentang tokoh yang ada hubungannya dengan negeri Anda yang dulu bernama Hindia Belanda. Tokoh itu, banyak melakukan penelitian tentang flora dan fauna di negeri Anda. Raffles ,tokoh yang saya maksudkan, dengan tekun meneliti peninggalan-peninggalan kuno seperti Candi Borobudur dan Prambanan. Ia juga belajar bahasa Melayu dan meneliti berbagai dokumen sejarah Melayu dan sastra Jawa. ”History of Java” yang Anda pegang dan diterbitkan tahun 1817 itu adalah karya tulisnya mengenai penelitian yang dilakukannya di Jawa. Dan jangan lupa bunga Rafflesia Arnoldi yang aromanya menyengat itu diberikan sebagai penghormatan kepada Raffles yang menemukannya.” Menyaksikan Sastri terus menatapnya dengan sungguh-sungguh dan penuh perhatian, Mr. Dickens tersenyum. ”Andalah yang dipercaya menulis sandiwara radio itu.” ”Saya?” Sastri bertanya karena ia tidak percaya kepada pendengarannya. ”Ya, Anda. Sastri Handayani.” ”Saya tidak pernah menulis naskah drama, apalagi drama radio,” jawab Sastri spontan. ”Saya hanya pernah menjadi pemain dalam sebuah kelompok teater.” ”Colin memperlihatkan novel yang Anda tulis.” ”Novel memang benar, Mr. Dickens, tapi bukan drama.” ”Saya tetap percaya Anda mampu menulisnya. Cukup dengan enam kali siaran dengan durasi masing-masing selama lima belas menit.” Sastri terdiam. Baginya tugas itu tidak ringan. Waktunya hanya tiga bulan, sedangkan buku yang harus dibacanya cukup tebal. Di meja di depan Mr. Dickens masih ada dua buah buku lagi yang jangan-jangan harus dibacanya juga. Tetapi risikonya pasti ada jika ia menolak tugas ini. Pada waktu yang sama Sastri merasa kepercayaan yang diberikan kepadanya ini merupakan tantangan. Menulis drama radio dari sebuah buku sejarah bukanlah pekerjaan mudah. Ia harus hati-hati sekali melakukan pilihan, mana yang harus diungkapkan dan mana yang tidak perlu ditampilkan. Pilihan itu harus diwujudkan pula dalam dialog-dialog yang meyakinkan, pekerjaan yang jelas tidak mudah, karena ini adalah peristiwa sejarah dari masa lampau yang jauh. ”Bagaimana?” ”Sastri tidak langsung menjawab. Bahkan, ia pula yang bertanya. ”Mengapa Anda memilih Raffles, bukan tokoh lain atau drama Inggris yang sudah ada.” ”Hanya Raffles yang paling tepat. Dia cukup dikenal di negeri Anda. Monumen istrinya bahkan masih berdiri kukuh di Kebun Raya Bogor.” Jawaban itu membuat Sastri merasa Harold Dickens tidak ingin mengubah rencananya. Susah untuk dibantah lagi. Di matanya Raffles mungkin akan ditampilkan seindah mungkin tanpa cacat cela. Saat itulah Sastri ingin menguji apakah Harold Dickens memang menginginkan begitu. ”Anda ingin saya menulis drama tentang Raffles seutuhnya, maksud saya apa adanya, dalam keterbatasan sebagai sebuah drama?” ”Benar.” ”Termasuk kedatangannya sebagai penjajah?” Harold Dickens terkejut. Ia tidak menyukai kata-kata itu. Baginya Raffles hanya melaksanakan tugas dan banyak melakukan yang baik untuk Hindia Belanda termasuk memperkenalkan otonomi terbatas dan membagi Jawa dalam 16 karesidenan, mengubah sistem kolonial dan sistem hukum, memperbaiki kehidupan pribumi di samping menghentikan perdagangan budak dan membuat peraturan yang mencegah kaum feodal pribumi memeras rakyatnya. ”Anda tahu?” katanya menanggapi kata-kata Sastri. ”Raffles mengambil-alih jabatan Gubernur Jenderal dari tangan penjajah Belanda, hanya karena ketika Inggris tiba di Batavia dengan 100 kapal dan 12.000 tentara, penjajah Belanda mengaku takluk dan menyerahkan jajahannya kepada Inggris.” ”Apakah itu tidak berarti Raffles justru menjadi tokoh penting penjajah?” ”Itu hanya pengambilalihan sementara. Karena sangat banyak langkah-langkah yang baik dilakukan Raffles di Hindia Belanda, Inggris menganggap tindakan Raffles berbahaya dan menariknya pulang ke Inggris pada akhir 1815. Ia bukan penjajah, ia hanya mengambil alih jabatan untuk sementara mewakili Inggris.” Sastri melihat kemarahan di mata Harold Dickens. Namun, hati Sastri berontak. Baginya Raffles tetap penjajah, mewakili negara Inggris. Setelah itu Belanda kembali menjajah negerinya 350 tahun ketika negeri ini masih bernama Hindia Belanda. Itu pun harus diungkapkan betapa pun banyak hal baik yang dibuat Raffles selama bertugas di Hindia Belanda. Masih dalam suasana marah, dialog tetap berlangsung antara Sastri dan Harold Dickens tentang penjajah dan penjajahan. Mereka mempunyai pandangan berbeda tentang penjajah, dan penjajahan itu paling tidak tentang Raffles yang disebut Sastri sebagai penjajah itu. Debat berlangsung keras sekitar lima belas menit, karena Sastri berani membantah pendapat Dickens. Karena Harold Dickens tetap defensif dan menyalahkan Sastri, dengan suara pelan gadis berusia 24 tahun itu menjawab. ”Maafkan, Mr. Dickens. Bagi saya Raffles tetap petinggi penjajah dan itu harus juga diungkapkan walaupun hanya dalam satu kalimat. Kalau tidak bagaimana saya harus memulai drama ini? Apakah saya harus menyebut Raffles sebagai ilmuwan atau seorang peneliti yang secara sukarela datang ke Hindia Belanda untuk meneliti Candi Borobudur, Prambanan dan meriset sastra Jawa? Apakah saya harus menyebutnya seorang turis yang tiba-tiba berhasrat melakukan penelitian karena banyak obyek menarik di Hindia Belanda?” Harold Dickens terdiam. Pertanyaan yang masuk akal, pikirnya. Tapi untuk menyebut Raffles sebagai penjajah ia tetap keberatan. Apalagi ia sendiri adalah anggota ”Zoological Society of London” yang didirikan Raffles. Ia tidak punya alasan untuk membantah kata-kata Sastri. Setelah lama berpikir dan terdiam akhirnya ia memutuskan untuk tidak melanjutkan rencananya dan mengakhiri pembicaraannya dengan Sastri. Dia sangat sadar Sastri pasti akan menolak jika ia memaksa gadis itu untuk tidak menyebut Raffles sebagai penjajah. Inilah yang menyebabkan Dickens mengalah. ”Ya, sudah, kalau Anda tidak ingin menulis yang baik tentang Raffles, rencana ini saya batalkan saja,” ujarnya dengan dingin. Ia pun hanya mengangguk dan tidak berkata apa pun ketika Sastri meminta diri. *** Satu minggu setelah itu, Harold Dickens kembali memanggil Sastri ke kamarnya. Kepada Bagian Timur Jauh itu tampak berubah dan sangat ramah kepadanya. ”Anda punya saran lain sebagai pengganti Raffles? Seingat saya minggu lalu Anda menyarankan drama Inggris yang ada. Drama mana yang Anda maksudkan?” ujar Dickens. ”Bagaimana kalau Shakespeare?” ”Shakespeare? Wah, itu ide bagus. Drama mana yang Anda pilih? ’Julius Caesar’ atau ’Othello’, ’Macbeth’ atau ’King Lear’?” ”Saya memilih Hamlet.” ”Mengapa Hamlet?” Dickens bertanya. Ketika Sastri akan menjawab, Dickens meletakkan jari telunjuk ke bibirnya, sebagai isyarat agar Sastri tidak menjawab. ”Pilihan yang bagus,” katanya kemudian. Saya pengagum Laurence Olivier yang berperan sebagai Hamlet dalam drama pengarang besar kami itu. Saya senang betul pada kata-kata yang diucapkan Hamlet pada saat ia dirundung keraguan. ”To be or not to be, that is the question.” ”Oke saya akan mengerjakan itu secepatnya,” sahut Sastri. *** Ketika Sastri sibuk membolak-balik ”Hamlet, Pangeran Denmark” terjemahan Trisno Sumardjo yang dipinjamnya dari perpustakaan, Colin berdiri di depannya. ”Mr. Dickens mengatakan Anda anak yang berani dan keras kepala. Tapi dia senang karena Anda punya jiwa kebangsaan yang hebat.” Ketika Sastri menatap Colin, atasannya itu mengangguk. ”Colin, aku juga senang kepada Mr. Dickens. Ia orang yang paling berkuasa di bagian Timur Jauh ini, tapi ia tidak mau menggunakan kekuasaannya karena cara berpikirnya tidak sempit. Kemarin ia menepuk pundak saya, karena saya tidak mengambil pilihannya, tetapi mengajukan pilihan saya sendiri yaitu ’Hamlet’.” Jakarta, 1 Maret 2011
""Pilihan Sastri Handayani""
Setelah tiga puluh tahun aku meninggalkan Cungking, baru kali ini aku kembali lagi. Ya, ini bukan mimpi. Aku benar-benar pulang kampung. Sesekali terdengar percakapan dalam boso osing yang hanya dimengerti oleh kami orang osing. Setelah enam setengah tahun mengarungi beberapa samudra sebagai awak kapal, akhirnya aku terdampar di kota pelabuhan Marseille, Perancis Selatan. Di bar aku kenal Manuela, gadis keturunan Spanyol yang ngefan orang Indonesia. Usaha Manuela berbahasa Indonesia kami apresiasi. Manuela memaksa saya untuk bercakap dalam bahasa Indonesia, ia tak melayani percakapanku dalam bahasa Inggris. Ennuyeux¹ komentarnya. Tak puas sampai di situ, ia pun memaksa saya tinggal di apartemen kecilnya agar ia lebih intensif belajar bahasa, alasannya. Bahkan ia mencarikan pekerjaan sebagai sopir di perusahaan catering agar aku tak melaut lagi. Jadilah aku kumpul kebo dengan Manuela hingga lahir dua orang gadis yang kini sudah remaja. Aku sengaja pulang hendak menemui gadisku, yang dulu dengan sengaja meninggalkan aku. Walaupun untuk itu aku harus berbohong kepada Manuela atas rencana kepulanganku ini. ”Kamu tidak bermaksud menemui pacarmu di Cungking kan?” tanyanya menyelidik. Aku tak peduli seperti apa gadisku sekarang. Hidup makmur bersama juragan gabah yang menikahinya dulu? Ataukah sudah menjanda ditinggal mati suaminya? Aku berharap ia sudah janda. Aku mau pamer. Ketika mendengar kabar gadisku dilamar orang dan diterima, dadaku terasa sesak, dan perut terasa mual sekali. Aku mengutuk keputusannya. Dan aku bersumpah tak ingin menjumpainya walaupun hanya dalam angan. Tapi jujur dalam hati kecilku aku tetap merindukannya, aku berharap ia kembali, aku terima ia sejanda apa pun. Tidak! Najis! Aku tidak sehina itu, egoku segera menolak. Aku akan dapatkan gadis yang lebih cantik dari dia, sumpahku. Tapi kenapa bayangannya menggelayutiku ke mana pun aku pergi? Dekapan itu terasa lembut menenteramkan hatiku di saat aku gelisah. Aku sering mendekapnya walau hanya dalam bayang. Kubayangkan ia mendekap erat tubuhku dan menyandarkan kepalanya di dadaku penuh pasrah. Bayang-bayang itu sangat aku nikmati, sampai akhirnya aku tersadar, aku dan dia berjarak ribuan kilometer. Dan aku kembali menyumpah. Najis! Patah hati anak dusun pada gadis penyanyi gandrung. Perasaan galau sudah terasa sejak bis memasuki kawasan Kalibiru setelah melalui hutan Merawan yang eksotis. Seharusnya aku yang menjadi bapak anak-anaknya, kalau saja aku mau membuang gengsiku. Penyesalan itu yang selalu mengusik hatiku. Entah berapa ratus kali aku menggumam seperti itu walaupun kini sudah ada Margareta dan Aleece, hasil kumpul keboku bersama Manuela. Kerap aku menyalahkan diri sendiri. Kata orang, sebelum ada janur melengkung aku masih punya kesempatan. Baru saja gadisku dilamar orang, aku sudah menggelepar. Tak ada sedikit pun keberanianku ketika itu untuk mendekati dia dan menyatakan cinta gombalku padanya. Padahal ada empat puluh hari masa pingit, waktu yang lebih dari cukup untuk sekadar menggombal mengobral cinta. Ke mana aku saat itu? O ya, aku ingat, aku pergi ke Kang Suri dukun pelet Macan Pote dusun terpencil jauh di selatan Cungking. Dengan sebungkus rokok Gangsar dan uang seribu rupiah, setara dengan lima belas liter beras kala itu, aku diberi seruas kecil patahan batang koro yang sudah kering. Semasa kanak-kanak, batang koro yang sudah kering acap digunakan untuk latihan merokok. Namun kini untuk kepentingan lain. Setiap pagi menjelang subuh, aku diwajibkan meniup batang koro ke arah rumah gadisku seraya mengucap kata-kata bujukan dalam hati agar ia membatalkan pernikahannya dan memilih aku sebagai pendampingnya. Syarat itu memberatkan, aku hanya melakukan beberapa kali karena aku lebih sering bangun kesiangan. Aku mengira setelah sematku diambilnya, usai sudah perburuanku. ”Pucuk semate hun kuthung telu,” (ujung lidinya saya patahkan tiga ruas) bisikku yang ditanggapinya dengan tertawa cekikikan. Hanya dia yang aku beri tahu, gadis yang lain tidak. Tapi pesanan seperti itu bisa datang dari banyak pemuda. Semakin menarik sang gadis semakin banyak pemuda yang menitip pesan sematnya. Tapi aku berharap dia hanya mencabut sematku. Betapa bungahnya hati ini ketika tengah malam seusai acara malam pesat maulid nabi, semat yang aku sisipkan di dinding gedek bersama semat pemuda lainnya sudah tercabuti. Tinggal beberapa biting yang masih tersisa, entah punya siapa. Aku yakin sematku telah diambilnya. Itu artinya ia telah memilihku sebagai bakal calonnya. Pacaran kala itu sifatnya rahasia, tidak lazim jalan berdua. Bahkan tak saling kenal pun dapat dinikahkan. Aku tak ingin jadi bulan-bulanan kawan sebaya yang mengumumkan hubungan saya dengan gadisku dengan menuliskannya di sembarang tembok entah pakai arang atau daun jati. Tulisan itu kerap membuat hubungan remaja yang sedang memadu kasih kandas di tengah jalan lantaran malu diketahui banyak orang. Rupanya perkiraanku salah, tak lama setelah acara maulid nabi, ia dilamar juragan penebas gabah dan dinikahinya. Gumpalan harapan itu masih mengganjal dalam hatiku, dan abadi hingga kini. Gumpalan imajiner itu seharusnya sudah memudar terurai waktu. Namun perasaan penyesalan dan terkalahkan membuat hati penasaran. Dan gumpalan itu semakin mengganjal, mengeras dan membatu di sudut ruang yang kian tak terjangkau. Gadis mungil hitam manis bersuara merdu, bermata bola pingpong yang kerlingannya senantiasa menggoda hatiku itu adalah cintaku. *** Suasana Cungking tak banyak berubah setelah aku tinggalkan puluhan tahun. Aku masih merasa akrab dengan lingkungannya. Namun ada sedikit pergeseran budaya, anak mudanya lebih bangga berbahasa Indonesia gaya jakartaan. Boso osing menjadi asing di negerinya sendiri. Padahal Manuela di Paris semangat belajar boso osing setelah aku ceritakan keunikannya. Langue Osing seulement compris par les gens Osing,² promosiku suatu ketika kepada Manuela yang membuat ia semakin penasaran. Tak jarang Manuela ikut menyanyikan lagu Ulan Andung-andung ketika aku menyanyikannya. Exotiques, katanya. Aku merasa geli karena cengkoknya jauh api dari panggang. Ia berjanji suatu saat akan berkunjung ke Cungking, bukan ke Bali. Aku sengaja datang pada bulan maulud, karena pada bulan ini banyak kawinan dan aku berharap gadisku naik pentas dan menyanyi seperti dulu. Benar saja, gadisku mengenakan kebaya putih berenda dan bawahan batik warna hijau, siap menyanyi. Entah apa judul lagu yang dinyanyikannya, sebagian liriknya aku dengar ”Ulan katon adoh panggone. Riko adoh kari parek rasane, eman. Hun enteni riko saenteke ulan. Gawanen isun munggah nang ulan, eman.” (Bulan kelihatan tapi jauh, kamu jauh tapi terasa dekat sayang, aku menunggumu hingga habis bulan, bawa aku naik ke bulan sayang). Aku ge-er, berharap lirik lagu itu untukku. Gadisku terperanjat saat melihat aku menyelinap menemuinya. Tanpa berucap ia menghampiri dan menarik lenganku pergi menjauh. Kawan sebelahnya cuma melirik sekilas dan masa bodo. Pelayanan seperti itu sudah biasa terutama untuk si penyawer. Mata bola pingpongnya menusuk tajam ke mataku seraya berkacak pinggang ia memaki ”Ke mana saja kau pecundang?” katanya ketus. Hampir saja aku jatuh tak siap menyambut makiannya. ”Puluhan tahun aku menunggu, empat kali aku menjanda karena menunggumu. Dasar pecundang!” makinya setengah menjerit. Aku tak hendak membela diri, mendengar suaranya saja aku sudah senang walaupun itu makian. Ini cinta ataukah birahi? L’amour sans désir est impossibilité.³ Terdengar desahan napasnya yang memburu. Aku biarkan dia melepaskan umpatannya. Akhirnya kudengar ia terisak. Ingin rasanya aku menggapainya. Sembari terisak ia merogoh-rogoh tas hitamnya yang sejak tadi dikempitnya. ”Ini sematmu. Tak ada lagi gunanya bagiku. Aku berjanji akan mengembalikannya sendiri kepadamu. Supaya kamu tahu betapa lama aku menunggumu.” Ia mematah-matahkan sematku sebelum mengembalikan kepadaku. Ketika kutanya kenapa dipatahkan? Untuk melampiaskan kekesalannya padaku umpatnya sambil menahan isak. ”Lagu yang kau nyanyikan tadi untukku?” tanyaku berharap. ”Iya,” jawabnya dengan tatapan kosong. ”Tapi itu yang terakhir, aku takkan menyanyikannya lagi,” imbuhnya memelas. Tak tega aku mendengar sumpahnya. Ingin rasanya aku memeluk dan mendekap erat tubuhnya, mengelus, menepuk-nepuk punggungnya sembari meminta maaf, seperti yang sering aku lakukan dalam bayang. Di atas pentas, remaja putri menyanyikan lagunya Rosa yang sedang ngetop ”Ku Menunggu”, seolah mewakili perasaan gadisku selama ini yang setia puluhan tahun menungguku. Perdants!4 Batinku mendamprat diriku sendiri. (Bekasi, Maret 2011). 1)membosankan 2)bahasa Osing hanya bisa dimengerti oleh orang Osing 3)cinta tanpa gairah itu tak mungkin 4)pecundang!
""Sematku Patah di Cungking""
Ribuan, barangkali lebih dari sepuluh ribu, sebut saja beribu-ribu orang baik-baik telah siap dengan segenap senjata tajam, parang-golok-kelewang, tombak, linggis, pentungan besi, rantai, alu, kayu, maupun badik yang lekuk liku dan geriginya jelas dibuat agar ketika ditusukkan mampu menembus perut dengan mulus, dan ketika ditarik keluar membawa serta seluruh isi perut itu tanpa dapat dibatalkan. Beribu-ribu orang baik-baik, tiada satu pun tiada membawa senjata, tampak sangat amat siap menggebuk dan menyabet, mencincang dan membantai, memenggal dan menyembelih, bagai tiada tujuan lain dalam hidup ini selain melakukan pembunuhan dan tiada lain selain pembunuhan. Orang baik-baik yang sebelumnya tampak sebagai orang-orang yang selalu ketakutan, karena memang penakut dan pengecut jika sendirian, mendadak bagai kerasukan setan ketika melebur dalam jumlah ribuan. Terdengar dentang parang saling diadukan seperti tiada sabar lagi untuk ditetakkan, suara kelewang diasah pada batu basah demi jaminan betapa darah pasti akan tersemburkan, semua orang sibuk dengan alat-alat pembunuhan, senjata tajam maupun senjata tumpul, yang telah disahihkan untuk memberlangsungkan pembinasaan. Sebentar lagi, tepat pada saat hari menjadi gelap, telah disepakati menjadi waktu penyerbuan. ”Jika mereka masih tidak mau menyerahkan pemerkosa itu,” kata seseorang sambil mengacungkan pentungan, “perkampungan itu harus dibakar.” Disebutkan betapa anak perempuan Pak Carik telah diperkosa. Ia ditemukan terkapar di jalan keluar desa setelah hilang semalaman. Para penggali kapur yang berangkat pada pagi hari berembun segera membawanya kembali ke desa, yang segera saja menjadi gempar. Mirah, kembang desa sederhana, tetapi yang justru karena itu layak dipuja, telah dihinakan begitu rupa sehingga nyaris tak bisa menangis dan tak bisa berbicara. “Siapa mereka, Mirah? Siapa?” Pak Lurah yang berkumis melintang tampak begitu berang, bertanya terus sambil memaksa, karena baginya penghinaan ini bukanlah hanya penistaan kepada seorang perawan umur 16 tahun yang diperkosa, melainkan juga penghinaan kepada desa. Pak Carik sendiri, ayah dari korban yang tak bisa bersuara, kaku beku membisu seribu bahasa. “Katakan Mirah, katakan! Supaya aku tidak membunuh sembarang manusia!” Wajah Mirah sulit diceritakan, karena perasaan yang terbayang di wajahnya pun mustahil diterjemahkan. Namun cerita para penggali kapur tentang kain dan kebayanya yang koyak moyak dan centang perenang, tanpa harus bernoda darah segala, bagi orang-orang desa itu sudah lebih dari segala pengungkapan. Sebetulnya belum jelas bagaimana Mirah bisa ditemukan terkapar pada pagi hari di tempat itu. Di desa terpencil seperti itu, anak gadis seperti Mirah pasti sudah berada di dalam rumah pada pukul enam sore. Untuk berada di sana, seseorang atau beberapa orang, harus menculiknya—dan pikiran semua orang memang Mirah itu pasti diculik, diperkosa di tengah jalan itu, lantas dibuang… Tepatnya lebih baik begitu, supaya terdapat pihak yang bisa diganyang. Tidak jelas juga mengapa kecurigaan dan kesalahan harus dialamatkan kepada perkampungan para pencuri. Namun beberapa saat lagi, ribuan orang yang merupakan gabungan duapuluh desa di sekitar pegunungan kapur itu sudah akan menyerbu perkampungan. *** “Seandainya pun tidak ada peristiwa pemerkosaan ini, perkampungan candala itu memang sudah lama harus dibakar,” kata Pak Lurah kepada Jagabaya yang hanya bisa mengangguk-angguk tanpa kata. Sebagai penjaga keamanan ia tahu diri betapa selama ini hanya menjadi tertawaan para pencuri, perampok, pembunuh, dan pelacur yang menghuni perkampungan itu. Jalan keluar itu memang terarah menuju perkampungan di bawah sebuah bukit kapur, tetapi penduduk desa tidak pernah menapakinya turun ke sana, melainkan percabangannya yang menuju ke atas, tempat mereka melinggis dinding-dinding di bukit kapur, dan mengumpulkan bongkahannya yang menggelinding. Batu-batu kapur yang putih kekuning-kuningan telah lama menjadi sumber kehidupan mereka, sampai mereka lupa sebelumnya orangtua mereka mendapatkan penghasilan darimana. Di pegunungan kapur tidak ada sawah, jadi nenek moyang mereka, bahkan sampai kepada orangtua mereka yang beberapa di antaranya masih hidup, tentu mempertahankan kehidupan dengan segala cara. Mulai dari berburu dan menjerat binatang, mencari ikan di sungai, dan sekadar berkebun di tengah hutan supaya ada yang bisa dimakan. Bagi mereka yang belum pernah melakukan perjalanan keluar desa, dijamin tidak pernah mengunyah nasi dan sudah cukup bahagia dengan ubi. Ketika jalan aspal dibuat nun di balik pegunungan kapur, dan dari jalan aspal itu muncul sejumlah truk yang bersedia membeli dan mengangkut bongkahan batu-batu kapur, tidak kurang dari duapuluh desa sampai hari ini hidup dari penggalian kapur. Dalam waktu empatpuluh tahun wajah pegunungan itu sudah berubah. Apa yang semula tampak sebagai pegunungan dengan punggung bukit memanjang, separuhnya kini lebih terlihat sebagai dinding-dinding tegak lurus dan jurang-jurang baru yang terbentuk karena penggalian. Maka jalan setapak bisa juga berarti jalan setapak dengan jurang dalam di sisi kiri dan kanan … Pada jalan setapak seperti itulah Mirah ditemukan. “Ini saat yang tepat untuk membasmi mereka,” ujar Pak Lurah berulang-ulang. Dengan datangnya truk-truk pengangkut bongkahan batu kapur, sedikit demi sedikit datang pula orang-orang dari luar desa, yang jika tidak ikut menggali atau membuka warung makan bagi para pekerja, di antaranya ada pula yang menjadi perantara pembelian bongkahan batu-batu, membuka kios rokok dan sampo untuk membersihkan rambut dari serbuk-serbuk kapur, dan sejumlah pekerjaan yang tidak begitu dipahami penduduk desa. Di antara pekerjaan itu antara lain menyewakan pengeras suara dan televisi untuk menyanyi-nyanyi. Adapun mereka yang menyewa pengeras suara dan televisi itu dilayani perempuan pekerja yang menyediakan minuman, ikut menyanyi, dan hampir selalu tersenyum dengan amat sangat manis sekali. Senyuman itu juga dipermasalahkan penduduk desa, karena tidak dianggap sebagai senyum keramahan melainkan senyum rayuan. “Senyum rayuan beracun!” Kata orang-orang yang merasa wajib menjaga kesucian di setiap desa orang baik-baik. Sebetulnya hanya para penggali kapur dari luar desa sajalah yang dalam kesepian dan keterasingan alam pegunungan kapur datang ke sana untuk melewatkan waktu. Namun pemandangan orang menyanyi dan tertawa-tawa rupanya memberikan perasaan tidak menyenangkan bagi orang-orang yang merasa dirinya suci. “Lagipula, siapa bilang penduduk desa suatu hari tidak akan pernah tergoda?” Tentu saja senyum yang manis adalah senyum yang manis. Apalagi jika itu senyuman yang manis sekali. Manusia yang bermata dan berhati tidak akan terlalu keberatan, jika suatu ketika secara suka rela merasa lebih baik tergoda sahaja. Mirah masih terpaku beku tanpa suara. Pandangan matanya sungguh tanpa makna, bagaikan mata itu terbuat dari kelereng layaknya. Sebetulnya tidak ada kesimpulan yang bisa diambil dari pandangan mata seperti itu. Namun tergeletaknya anak Pak Carik di jalan keluar desa yang mengarah ke perkampungan itu bagai telah menyimpulkan sesuatu. Memang benar, apabila ada pencurian, perampokan, bahkan pembunuhan, selalu saja kecurigaan terarah ke perkampungan itu. Memang benar pula betapa tiada pernah ada bukti, karena kambing yang lenyap dari kandang tak meninggalkan jejak, begal menyambar dan menghilang pada remang senja bagaikan bayangan, dan mayat korban selalu merupakan buangan dari desa takdikenal yang tidak pernah menunjuk langsung siapa pembunuhnya. Betapapun kali ini seperti terdapat kesepakatan tanpa perlu peresmian, bahwa perkampungan itu sudah waktunya dimusnahkan, jika perlu bahkan tanpa alasan! Kebencian, ya kebencian yang tidak mungkin dicari alasannya, adalah satu-satunya alasan itu sendiri… Orang-orang luar, orang-orang yang berbeda, orang-orang yang tidak mungkin sepenuhnya dimengerti, menimbulkan kebencian karena selalu tampak menyanyi dan tertawa-tawa. Telah dikirimkan Jagabaya yang selalu gagal menjaga datangnya bahaya itu ke sana, dengan tugas meminta penyerahan sang pemerkosa. Jagabaya itu, yang sejak awal sudah selalu ragu, pulang dengan tangan hampa. “Apa kata mereka?” Jagabaya pun menirukan jawaban kepala perkampungan di bawah sana. “Pemerkosa? Tidak ada pemerkosa di kampung ini! Mungkin kami memang sebangsa candala, tetapi kami sama sekali tidak perlu memperkosa siapapun di luar kampung ini untuk mendapatkan cinta, karena di kampung ini cinta macam apapun setelah dibagi rata masih selalu bersisa. Tidakkah kalian sadari betapa semua perempuan memang pelacur di kampung ini? Dan perempuan kampung ini sudah jelas senyumannya manis sekali, baik kepada orang luar, apalagi kepada saudara candalanya sendiri! Tuduhan apalagi yang ingin ditimpakan kepada kami? Kami telah membuka warung makan dan kami telah membuka kios rokok maupun sampo maupun sabun untuk membasuh debu-debu kapur, tetapi kalian rupanya lebih suka menganggap kami sebagai candala! Katakan kepada bangsamu, bangsa orang-orang yang menamakan dirinya orang baik-baik itu, kami tidak takut mati, karena apapun yang kami lakukan selalu kami pertanggungjawabkan dengan seluruh hidup kami!” Dalam keremangan, tetap saja terasa betapa wajah Pak Lurah merah dan padam. “Dasar bejad!” Ia mengangkat pedangnya bagaikan Drestajumena bersiap memimpin balatentara Pandawa dalam Perang Bharatayudha. Langit yang tadi kemerah-merahan dan membara sekarang memang sudah gelap. Perlu waktu sehari penuh untuk berkeliling dari desa ke desa, meyakinkan setiap lurahnya untuk ikut membasmi kampung candala. “Serbu!” Maka ribuan orang baik-baik dari duapuluh desa yang mengelilingi bukit bersama lurahnya masing-masing segera menyerbu ke bawah dengan senjata di tangan. Mereka berlari dalam gelap sambil berteriak-teriak, sebagian besar untuk menutupi ketakutannya sendiri. Ada yang tersandung batu dan jatuh tertelungkup lantas mati terinjak ribuan penyerbu di belakangnya. Ada yang menahan lari karena takut mati tetapi terseret dan terpaksa melaju ke depan jua. Ada pula yang menyerbu dengan semangat tekad bulat seolah-olah memang membela keadilan dan kebenaran, meski jika diamati jelas tidak menguasai cara bertempur sama sekali. Namun dalam kegelapan segala perbedaan hanya melebur dalam gelombang serbuan penuh amarah, karena berita yang tersebar dari mulut ke mulut bahwa Mirah putri Pak Carik telah diperkosa. Siapa lagi pelakunya jika bukan begundal dari kampung candala? *** Syahdan, di perkampungan takbernama di tepi sungai yang mengalir dengan tenang dan berkelok yang selama ini dikenal sebagai kampung tempat bermukimnya para pencuri, perampok, pembunuh, dan pelacur, tampak semua orang dengan wajah sungguh-sungguh telah bersiap menyambut penyerbunya. Mereka tidak perlu berteriak-teriak dan hanya dengan saling memandang telah sangat siaga. Jumlah mereka tidak sampai seratus orang, tetapi wajah mereka tidak menunjukkan ketakutan sama sekali. Nyaris tidak ada seorangpun yang memegang senjata karena apapun yang dipegangnya bisa menjadi senjata yang sangat berguna. Ada yang memegang batang kayu, ada yang memegang gagang sapu, dan ada pula yang cukup memegang sebatang lidi. Para pelacur yang senyumnya manis, begitu manis, bagaikan tiada lagi yang lebih manis, ada yang tampak mengebutkan selendang dan ada pula yang menggenggam ratusan jarum. Tidakkah segenap orang baik-baik itu menyadari, betapa tindakan mereka itu seperti bunuh diri sahaja? Tidakkah mereka sadari, betapa para candala, jika memang candala, dan tiada lain selain candala, yang selalu terpinggirkan dari zaman ke zaman, tentulah jauh lebih siap menghadapi pertempuran terbuka daripada mereka, meskipun dikeroyok orang baik-baik begitu banyaknya? Tidakkah telah sering mereka bicarakan juga, meskipun tak pernah dan tiada akan pernah dengan bukti nyata, betapa para candala sebagai manusia memang digjaya dengan segala mantra sirep, tenung, teluh, kebal tubuh, dan setelah merapal ilmu halimunan bila perlu dapat menghilang bersama senja? Tidakkah ribuan orang baik-baik yang menyerbu bagaikan air bah ke bawah menuju perkampungan candela di pegunungan kapur itu taksadar, setaksadartaksadarnya, betapa batang kayu, gagang sapu, dan sebatang lidi itu sekali digerakkan, sembari melenting-lenting di atas kepala, akan memakan korban jiwa, setidaknya ratusan dari mereka dalam seketika? Begitulah, ribuan orang baik-baik yang sedang berteriak-teriak sambil berlari-lari itu, betapapun tidaklah pernah membayangkan, bagaimana selendang yang halus dan wangi itu akan dapat memecahkan kepala, dan betapa ratusan jarum dalam genggaman akan melesat seketika bagaikan bermata untuk mencabut ratusan nyawa. Banjir darah akan membuat bukit kapur itu menjadi merah. “Serbuuuuuuuuu!” Teriakan membahana yang terdengar dari jauh itulah yang telah menggugah kembali kesadaran Mirah, sehingga matanya yang semula bagaikan kelereng itu kini tampak bersukma dan bibirnya bergetar seperti mau berbicara. Namun, betapapun, segalanya sudah terlambat. Sudah terlambat bagi Mirah untuk menyampaikan, bahwa yang telah menyambarnya ketika ia kembali dari sumur pada pagi buta, melarikannya ke jalan itu dan berusaha—ya, masih berusaha—memaksakan suatu kehendak yang tidak dipahaminya, tiada lain dan tiada bukan adalah anak Pak Lurah adanya… Kampung Utan, Sabtu 1 Januari 2011. 23:23.
""Pring Re-ke-teg Gunung Gamping Ambrol""
Di dahan yang paling dekat dengan pokok batangnya, ada seekor ular coklat besar bersarang. Ular itu akan menggigit siapa saja yang mengusiknya. Mendengar jawaban Emak itu, aku pasti akan berjinjit ngeri. Terburu membunuh keinginan yang meluap-luap untuk bergumul di dahan-dahannya. Dan sejak saat itu, aku selalu menikam luapan rasa yang sama. Namun, semakin gigih aku meredam keinginan mendekati batang kayu itu, semakin gencar pula Emak mengulang-ulang hikayatnya. Cerita yang aku pun mulai hafal tiap bagiannya. Entah, Emak seolah-olah tengah menggodaku, serupa seseorang yang hendak menguji; seberapa patuh aku akan larangannya itu? Sementara itu, sifat kanak-kanakku yang penasaran akan kebenaran hikayat Emak, menggebu-gebu: Apa benar? Atau ini hanyalah dongeng Emak semata agar aku tak jadi anak gadis bengal yang bergumul dengan dahan-dahan kayu, macam bujang-bujang ingusan itu. Di batang kayu itu ada seekor ular coklat besar yang siap mematuk siapapun yang mendekatinya. Dulu, ada seorang gadis muda dengan wajah bulat telur, leher jenjang, kulit sawo matang dengan ikal mayang yang bergelombang sebatas pinggulnya, mata belok, hidung bangir, dan bibirnya sangat tipis. Ia gadis yang cantik. Selalu itu yang jadi pembuka hikayat Emak. Lambat laut, aku seperti merasa: Tidakkah tokoh gadis yang ada dalam hikayat Emak itu diriku? Sejak menduga-duga serupa itu, aku kerap mematut wajahku di cermin dalam bilik. Rambut hitam yang legam serupa ombak bergelombang sampai pinggang, mata belok, hidung bangir, kulit sawo matang. Persis. Emak seolah-olah tengah menghikayat cerita tentang diriku. Gadis muda itu tinggal bersama emaknya di limas mereka. Seorang perempuan tua yang mulai terdengar begitu cerewet baginya. Selalu saja melarangnya mendekati batang kayu yang tumbuh rindang di belakang limas mereka. Padahal, di bawah batang kayu itu, saban hari menjelang siang sampai malam merayap datang, ada seorang bujang yang duduk dengan kambing-kambingnya. Bujang berahang keras dengan sorotan mata elang, tangannya besar dengan bidang dada yang begitu luas untuk bersandar. Sebelum emaknya memergoki ia kerap datang dan bercerita bersama bujang itu tentang kambing, batang kayu tempat mereka berteduh, sampai kain tenun (setelah itu emaknya selalu melarangnya mendekati batang kayu itu), gadis itu merasa telah menemukan hidupnya. Diam-diam, ada yang tumbuh di dadanya, sekuntum mawar liar yang menggeliat-geliat. Di bagian hikayat itu, aku selalu menemukan raut muka Emak berubah. Ada binar-binar yang tak dapat Emak sembunyikan, serupa sipu gadis pemalu yang jatuh cinta. Jarang sekali, aku menemukan riak-riak bahagia di gurat muka Emak yang keras. Gadis itu tak dapat meredam geliat mawarnya. Lebih-lebih bila mata beloknya tengah menerawang di langit-langit kamar. Bayangan ia yang menyandarkan kepala di dada bujang itu selalu saja mengantar-kantar matanya. Genggaman jemari besar dengan telapak kapalan terasa begitu lembut saat memegang tangannya. Ia tak tahan. Ia tak dapat menahan rindu yang menyekap. Lalu, raut muka Emak akan kembali berubah. Setelah binar-binar yang demikian jarang aku temui itu, aku akan menemukan wajah Emak yang nelangsa. Penuh beban, penuh derita, seperti seseorang yang menahan rindu begitu besar, hingga rindu itu terasa tengah meremas-remas hatinya tanpa belas. Setelah tak sanggup menahan rindu yang mengantar-kantarnya, gadis itu melarang pantang emaknya. Pada pagi menjelang siang yang kelak gadis itu catat sebagai hari paling pekat dalam hidupnya, ia menemui bujang itu. Mereka melepas rindu yang sudah tak tertakar, hingga meluapkan segala rasa sampai tak sadar kain tenun telah tersingkap dan seekor ular coklat besar yang mengintai mematuk si gadis yang lengah. Bisa telah tersembur, taring telah tertanam. Si gadis membiru dalam ketakutan, si bujang cemas hingga lari ditelan rimba, meninggalkan gadis bermata belok menampung bisa yang merenggut nyawanya. *** Sesungguhnya, aku tak suka bila Emak telah berhikayat. Selain cerita Emak yang selalu sama: Tentang seorang gadis cantik dan batang kayu yang tumbuh rindang di belakang limas kami itu, cerita Emak diam-diam telah menakutiku. Aku kerap bermimpi buruk. Telah berkali-kali aku ceritakan itu kepada Emak. Tentang aku yang ketakutan dalam tidurku. Seolah aku tengah melanggar pantang Emak, diam-diam menyelinap, dan pergi ke bawah batang kayu itu. Di sana, aku menemukan seekor ular coklat yang demikian besar, bermulut lebar dengan kedua taring yang mengerikan. Itu artinya, jangan sesekali kau pantang Emak. Bila kau lakukan, ular coklat besar itu akan mematukmu, menyemburkan bisanya yang beracun, hingga kau meregang nyawa sendiri dan terlempar ke alam orang-orang mati. Terkuncil. Sendiri. Dan sunyi. Pasti. Pasti kata-kata itu yang Emak lontarkan bila aku bercerita tentang mimpi-mimpi burukku. Bila telah demikian, Emak akan kembali mengulang hikayatnya, perihal sebatang kayu di belakang limas kami itu dan seorang gadis cantik yang dipatuk ular coklat karena melanggar pantang emaknya. Setelah aku merasa Emak tak akan pernah berhenti menceritakan hikayatnya yang menakutkan itu, aku memilih untuk tak menceritakan lagi mimpi-mimpi burukku. Sebab, ceritaku tentang mimpi-mimpi yang mengerikan itu tak akan membuat Emak iba dan menyudahi kisah membosankannya. Sama hal dengan keinginanku untuk pergi bersama bujang-gadis sebayaku yang saban pagi kutatap dari jauh. Mereka tertawa-tawa, berloncat-loncatan, kejar-kejaran dengan baju yang seragam. Putih-merah. Warna yang menggoda mataku. Selalu saja, saban malam sebelum pejam menjemputku pelan berlahan, doaku sama: Hendak rasanya aku bermimpi di antara mereka, dengan seragam yang sama, menderaikan tawa bersama. Namun, mimpi itu tak kunjung datang, saban malam hanyalah mimpi tentang ular yang bersarang di batang kayu itu yang menemani tidurku. Mimpi mengerikan. Sejatinya, aku hendak bercerita kepada Emak, mengapa aku ingin sekali mendekati batang kayu itu. Batang kayu yang tumbuh di belakang limas kami, batang kayu yang berdiri kokoh di tengah padang rumput. Di sana, aku kerap menemukan bujang-gadis seumurku berkejaran, berlari menangkapi capung, bersorak-sorak, lalu mereka berguling-guling di atas rumput. Menderai tawa yang rincak di cupingku. Tapi, aku tak kunjung mampu untuk mengutarakannya. Tersebab, Emak seolah telah mampu membaca pikiran yang ada di batok kepala kanak-kanakku. Percayalah, mereka tak akan suka padamu. Ebak-emak mereka akan gegas menyeru mereka pulang, bila kau ada di antara mereka. Setelah itu, kau pasti menangis. Dan Emak tak hendak melihat airmata ada di wajahmu, sebab airmata itu tak akan membuat mereka iba. Menyakitkan, bukan? Entah, apa yang Emak katakan? Hanya saja, air muka Emak terasa sangat mengerikan. Serupa seringai hantu perempuan yang mati penasaran, nelangsa, penuh beban, penuh dendam. Dan, aku memilih mengubur keinginanku bersama hantu perempuan yang menakutkan itu. *** Ada hikayat yang sesungguhnya sangat ingin kudengar dari Emak. Tentunya, bukan hikayat tentang sebatang kayu yang tumbuh di belakang limas kami dan seorang gadis cantik yang dipatuk ular coklat besar lantaran melanggar pantang emaknya. Hikayat ini tentang Ebak yang tak sekalipun dapat kubayangkan rupanya. Tak ada selembar foto atau apapun yang berhubungan dengan lelaki itu di limas kami. Hingga, aku pun tak tahu, harus membayangkan rupanya seperti apa. Ebak-mu telah mati dan kau yatim bersamaku di limas ini. Selalu. Selalu itu yang Emak katakan bila aku mulai memancing Emak untuk bercerita tentang Ebak. Dan aku pun akan menemukan air muka Emak berubah keruh. Seperti seseorang yang menahan marah, nelangsa, cinta, kesumat, dan semua rasa yang berbalur dalam hatinya. Rasa yang bergumul-gumul hingga melahirkan raut muka Emak yang terlihat begitu mengerikan juga menumbuhkan iba bila kau pandang lamat-lamat. Bisakah kita ziarah ke kuburnya? Dan aku pun mengikuti kebiasaan Emak. Mengulang permintaan yang sama. Berulang-ulang. Walau aku pun tahu, jawaban Emak pasti akan sama pula. Anak gadis tak elok berziarah ke kubur. Kau mulai lupa apa yang Emak ajarkan? Nabi melarang anak gadis ziarah, tersebab pasti akan menangis meraung-raung di sana. Lalu, aku mulai memutar otak kanak-kanakku agar dapat meminta Emak menceritakan hikayat tentang Ebak. Selain, aku ingin membuat Emak lupa mengulang-ulang hikayat sebatang kayunya itu, aku kian penasaran dengan sosok laki-laki yang telah membuatku ada di limas ini. Tak ada yang luar biasa untuk Emak ceritakan tentang Ebak-mu. Ia lelaki berahang keras dengan sorot mata elang, bertelapak tangan besar yang kapalan. Rambut legam dan dadanya serupa padang rumput yang bidang. Hanya itu. Dan cuma itu. Tak ada yang lainnya, hingga aku hanya dapat mereka-reka wajah Ebak dalam benakku. Dalam benak kanak-kanak. Aku pun tak punya pembanding, seperti apa rupa lelaki. Di limas ini, cuma ada aku dan Emak. Dua perempuan yang terasa begitu kaku dalam bercerita. Apa musabab kematian Ebak? Aku masih setia mengejar Emak dengan hikayat yang sepertinya tak hendak ia terakan. Bila telah demikian, Emak akan memasang wajah merengut. Mendelikkan mata tak suka padaku. Dan aku pun akan menutup mulut. Ebak-mu mati di tengah rimba, usai berlari lantaran melihat seekor ular mematuk seseorang. Kematian yang mengerikan, kematian yang membuatnya terlempar ke alam yang tak bisa kau raba. Sudah, tak usah kau tanya tentang itu lagi. *** Begitulah, Emak selalu saja menghikayatkan tentang sebatang kayu di belakang limas kami itu. Tentang seorang gadis cantik yang dipatuk ular coklat besar lantaran melanggar pantang dari emaknya. Kebiasaan Emak menceritakan hikayatnya itu kian menjadi-jadi saja seiring usiaku yang menampak. Dan aku mulai terbiasa dengan ceritanya, kuanggap dongeng semata, tak perlu dicemaskan. Aku pun tak hendak lagi memaksa Emak menceritakan hikayat tentang Ebak, karena aku tahu Emak pasti tak akan menceritakannya. Dan, aku pun tak perlu bercerita kepada Emak, kalau aku diam-diam telah dua kali ke bawah batang kayu itu. Mengintip seorang bujang yang mulai berjakun, bersorot mata elang dengan rahang keras yang tersenyum padaku. (*) C59, Januari-Maret 2011
""Perihal Sebatang Kayu di Belakang Limas Kami yang Ada dalam Hikayat Emak""
Tiga hari setelah ibumu meninggal, kamu, kembaranmu Fabian dan ayahmu pergi ke Sungai Spree dan mengenang masa silam yang kini bagai mimpi. Sejak itu kamu ingin lebih dekat dengan mereka. Kamu akan mengunjungi ayahmu sebulan sekali setidaknya jika menetap dan bekerja di Berlin. Kita sekarang berdiri dan menatap sungai yang sama, di bagian tubuhnya yang lain. ”Hampir tiga belas tahun saya meninggalkan rumah orangtua saya. Setelah Ibu tidak ada, keinginan saya untuk menengok rumah jadi lebih kuat. Kamar saya juga masih ada,” katamu memandang ke seberang sungai. Sudah dua kali kita bertemu di kota ini. Setelah seminar tentang negara-negara berkembang dan masalah-masalah yang tidak pernah selesai, kita bergegas mencari tempat untuk minum kopi dan menghirup udara luar. Bedanya, ibumu sudah tidak ada. Namun, ibumu tidak pergi seperti Rosa. Ia meninggal dalam kamar yang tenang ketika kamu tengah mengemudi dengan kecepatan tinggi untuk menemuinya terakhir kali. Empat hari sebelum itu, ia minta dipindahkan ke sebuah rumah tempat orang-orang menunggu kematian. Ia ingin menyongsong mautnya sendiri. Seperti apa ibumu waktu hidup, aku ingin tahu, menyesal tidak sempat bertemu dan mulai hanyut dalam kenangan kematian itu. ”Ibu saya seorang guru, kepala sekolah yang baik dan serius bekerja, sangat memperhatikan anak-anaknya, sedikit tidak sabar, dan kadang-kadang khawatir,” katamu. Kamu menatapku, tapi sebenarnya tidak sungguh-sungguh. Kamu melihat seseorang yang tidak ada. ”Ibu saya meninggal dengan berani.” Kali ini kamu berseru sambil mengamati permukaan sungai yang mulai bergetar. Bayangan hijau kita masih di situ. Tidak ada yang ganjil dan keliru dalam pilihan ibumu. Sebagian tubuh yang sekarat sama seperti dia. Mereka sengaja menjauh dari siapa pun yang mengenalnya, yang pernah mesra. Mereka sengaja mencipta jarak yang kelak akan terus memanjang ketika perpisahan itu benar-benar datang. Ibumu ingin kalian terbiasa dengan ketidakhadirannya atau ia memang ingin melepas semua ikatan dengan kehidupan lebih dini, seperti menuang ikan-ikan kecil di akuarium ke dalam sungai ini dengan kesadaran untuk tidak mencari mereka lagi dan memang mustahil. Ia bahkan berkata pada ayahmu untuk mencari seseorang yang lain sebagai penggantinya. Ia juga sudah melepas ikatan mereka yang membuat kamu dan Fabian ada. Kamu masih ingat suatu hari bersama ibumu. Musim panas terakhir. Fabian belum kembali dari Frankfurt karena ia harus menunggu pembukaan pameran lukisannya. Ayahmu di lantai bawah. Dari jendela apartemen, puncak-puncak gedung dan langit bersih terlihat jelas dan seolah lebih nyata dari hari-hari sebelumnya karena baru sekarang perhatianmu benar-benar tercurah pada pemandangan di luar sana, ketika tidak banyak yang menyita pikiran kecuali sosok kurus yang terbaring sakit di ranjang. Ibumu tiba-tiba berkata, lirih, ”Hidup saya begitu indah.” Kamu tertegun. Tidak percaya Ibumu mengucap kalimat itu, kata-kata yang sangat dalam maknanya dan menghapus seketika sedih yang muncul dari rasa tidak berdaya sekaligus kegagalan untuk berbuat lebih baik dan lebih sering terhadapnya sejak dulu. Setelah itu, ia tidak berkata sepatah kata pun selama hampir tiga jam. Kamu memijat lembut kaki-kakinya. Kamu belum siap berpisah. Ketika suara ibumu benar-benar hilang karena sakit yang makin parah, percakapan kalian bertukar dengan sentuhan, sama seperti saat kamu lahir dulu, saat terdorong keluar dari rahimnya yang hangat. Kamu mencari-cari tubuhnya dan sentuhan ibumu adalah rasa aman dan tenang. Kamu ibarat ulat mungil dalam sebuah kepompong, sebelum menjadi kupu-kupu dan terbang. ”Saya sudah pergi ke mana-mana, kadang meninggalkan negara ini dan sekarang saatnya tinggal. Tapi sebenarnya negara yang mana ya? Negara saya sudah tidak ada,” tuturmu seraya tertawa. Usiamu 10 tahun saat tembok itu hancur. Orang-orang di timur bebas pergi ke barat, lalu kata ”timur” dan ”barat” itu benar-benar lenyap. Kesenyapan dalam kamar ibumu masih terasa dalam hati, di satu bagian yang selalu kosong setelah ia pergi. Kesenyapan itu pernah menjelma luka yang dalam dan kini bekasnya tetap ada. ”Selalu di sana.” Kamu meraih tanganku dan menggenggamnya erat. Barangkali orang-orang yang lewat menyangka kita pasangan kekasih. Di kamar ibumu, benakmu dipenuhi kenangan dari masa kanak-kanak, masa yang sudah lama berlalu serta paling berarti dari semua kenangan, dan inilah yang ganjil dari bagian yang seharusnya sayup itu: semua kesedihan dan kebahagiaan berasal dari sana, ada di masa kini dan terbawa ke masa depan. Suatu hari kamu, Fabian, dan orangtuamu tamasya ke pantai. Angin bertiup dari Laut Baltik. Kamu berlari-lari di pasir. Ibumu berdiri di pinggir pantai, memandang kejauhan. Kamu merasakan butir-butir pasir yang hangat, melihat ombak putih bergulung-gulung. Tiba-tiba ibumu menoleh ke arahmu, melambai seraya tersenyum. ”Musim panas seharusnya lebih panjang.” Suaramu terdengar jauh dan kelam. Kutatap matamu yang coklat dan ingin mengatakan sesuatu, lalu menganggapnya tidak lagi perlu. Mungkin nanti saja, saat kita punya waktu lebih panjang atau saat kamu sudah siap. Tapi kelihatannya waktu kita pendek, tidak pernah terulang. Apa ya nama perasaan semacam ini? Rasanya seperti sesak dan aku memang mengidap asma. Kamu tersenyum, lalu menatapku sungguh-sungguh, ”Mungkin itu namanya kesedihan.” Setelah itu, kamu melihat ke sungai dan berkata lagi, datar dan pelan, ”Saya tidak tahu. Mungkin juga bukan kesedihan. Hanya kamu yang tahu.” Kita sama-sama menghela napas. Ayahmu juga terlambat sampai di rumah itu. Perawat mengabarkan bahwa kematian datang lima menit yang lalu dan Ibumu telah pergi bersamanya. Suntikan morfin membuat rasa sakit sama sekali tidak mengganggu prosesi itu, perawat meyakinkan ayahmu yang pucat dan sedih. Ayahmu lantas menghibur diri lebih keras bahwa inilah cara pergi yang diinginkan istrinya. ”Ayah sudah punya seseorang sekarang, yang dia sedikit cinta. Saya senang dia kembali hidup”. Kamu terdengar merestui hubungan mereka. Udara dingin. Apakah kita akan makan siang di restoran yang sama? Seperti tahun lalu? ”Kita makan di restoran yang sama saja, ya. Pelayannya mungkin masih ingat kita.” Aku benar-benar letih. Kita melangkah bersisian, meninggalkan tepi sungai. Pohon-pohon menaungi kita. Daun-daun berguguran di trotoar. Kamu sudah memiliki seseorang. Semalam kamu mimpi aneh. ”Dalam mimpi itu saya berbaring dan ketika saya membuka mata saya, saya melihat Ibu saya berbaring di arah yang berlawanan. Saya lalu bertanya kepadanya, bukankah Ibu sudah meninggal. Ibu saya bilang, dia belum meninggal, tapi hanya koma. Waktu itu saya panik sekali, waduh, bagaimana ini Ibu saya kok hidup lagi padahal Ayah saya sudah dengan seseorang.” Kamu menghela napas. ”Mungkin saya belum sepenuhnya bisa menerima orang lain yang menggantikan Ibu saya dalam hidup Ayah.” Tiba-tiba kamu berhenti melangkah, ”Tolong kamu pikirkan ini baik-baik. Jangan hidup sendirian. Siapa pacarmu sekarang?” Aku merengkuh pundakmu, mengajakmu terus melangkah, tiada berkata-kata. Kamu tertawa. Rasanya enak berjalan seperti ini. ”Sudah lama, ya, kita tidak berjalan seperti ini.” Kamu memelukku. Atau kukatakan saja sekarang? Tapi aku malah bercerita tentang kematian Ayahku. Setelah dia meninggal, aku pulang ke rumah sebentar untuk menengok ibuku. Di kamar orangtuaku, ada satu lemari besar khusus untuk menyimpan barang-barang ayah agar tidak berdesakan dengan milik ibu di lemari yang lain. Aku membukanya, melihat pakaianpakaian Ayah tergantung dan terlipat rapi. Waktu kubuka salah satu laci, kutemukan baju baletku waktu berusia tujuh tahun, sepatu baletku yang tali-talinya telah kumal, kacamata-kacamataku waktu di sekolah dasar, jepit-jepit rambut dengan hiasan beruang kecil. ”Barangkali Ayahmu merindukan kamu yang tidak pernah pulang dan benda-benda itu menghiburnya,” katamu pelan. Udara benar-benar dingin. Patung beruang di muka satu galeri itu tampak begitu tua. Hans, kita tidak akan bertemu lagi tahun depan atau bahkan sebelum tahun itu tiba. Setelah meninggalkan Berlin, aku akan menulis surat terakhir untukmu: tentang sel-sel penyakit yang berkembang dan menjalar dalam kesenyapan, dan hari-hari yang tidak akan kita miliki lagi di mana pun.*** *) Rosa Luxemburg, seorang tokoh sosialis Jerman. Dia meninggal ditembak pada 1919, mayatnya dibuang ke sungai.
""Perpisahan""
(Buat GM) Ketika hampir aku putuskan untuk mencari ke tempat lain, suara seorang perempuan menyapa. ”Mencari bunga untuk apa Pak?” Aku menoleh dan menemukan seorang gadis cantik usianya di bawah 25 tahun. Atau mungkin kurang dari itu. ”Bunga untuk ulang tahun.” ”Yang harganya sekitar berapa Pak?” ”Harga tak jadi soal.” ”Bagaimana kalau ini?” Ia memberi isyarat supaya aku mengikuti. ”Itu?” Ia menunjuk ke sebuah rangkain bunga tulip dan mawar berwarna pastel. Bunga yang sudah beberapa kali aku lewati dan sama sekali tak menarik perhatianku. ”Itu saya sendiri yang merangkainya.” Mendadak bunga yang semula tak aku lihat sebelah mata itu berubah. Tolol kalau aku tidak menyambarnya. Langsung aku mengangguk. ”Ya, ini yang aku cari.’ Dia mengangguk senang. ”Mau diantar atau dibawa sendiri?” ”Bawa sendiri saja. Tapi berapa duit?” Ia kelihatan bimbang. ”Berapa duit.” ”Maaf sebenarnya ini tak dijual. Tapi kalau Bapak mau nanti saya bikinkan lagi.” ”Tidak, aku mau ini.” ”Bagaimana kalau itu?” Ia menunjuk ke bunga lain. ”Tidak. Ini!” ”Tapi itu tak dijual.” ”Kenapa?” ”Karena dibuat bukan untuk dijual.” Aku ketawa. ”Sudah, katakan saja berapa duit? Satu juta?” kataku bercanda. ”Dua.” ”Dua apa?” ”Dua juta.” Aku melongo. Mana mungkin ada bunga berharga dua juta. Dan bunga itu jadi semakin indah. Aku mulai penasaran. ”Jadi, benar-benar tidak dijual?” ”Tidak.” Aku pandangi dia. Dan dia tersenyum seperti menang. Lalu menunjuk lagi bunga yang lain. ”Bagaimana kalau itu?” Aku sama sekali tak menoleh. Aku keluarkan dompetku, lalu memeriksa isinya. Kukeluarkan semua. Hanya 900 ratus ribu. Jauh dari harga. Tapi aku taruh di atas meja berikut uang receh logam. Dia tercengang. ”Bapak mau beli?” ”Ya. Tapi aku hanya punya 900 ribu. Itu juga berarti aku harus jalan kaki pulang. Aku tidak mengerti bunga. Tapi aku menghargai perasaanmu yang merangkainya. Aku merasakan kelembutannya, tapi juga ketegasan dan kegairahan dalam karyamu itu. Aku mau beli bunga kamu yang tak dijual ini.” Dia berpikir. Setelah itu menyerah. ”Ya, sudah, Bapak ambil saja. Bapak perlu duit berapa untuk pulang?” Aku terpesona tak percaya. ”Bapak perlu berapa duit untuk ongkos pulang?” ”Duapuluh ribu cukup.” ”Rumah Bapak di mana?” ”Cirendeu.” ”Cirendeu kan jauh?” ”Memang, tapi dilewati angkot.” ”Bapak mau naik angkot bawa bunga yang aku rangkai?” ”Habis, naik apa lagi?” ”Tapi angkot?” ”Apa salahnya. Bunga yang sebagus itu tidak akan berubah meskipun naik gerobak.” ”Bukan begitu.” ”O, kamu tersinggung bunga kamu dibawa angkot? Kalau begitu aku jalan kaki saja.” ”Bapak mau jalan kaki bawa bunga?” ”Ya, hitung-hitung olahraga.” Dia menatap tajam. ”Bapak bisa ditabrak motor. Bapak ambil saja uang Bapak 150 untuk ongkos taksi.” Aku tercengang. ”Kurang?” “Tidak. Itu bukan hanya cukup untuk naik Blue Bird, tapi juga cukup untuk makan double BB di BK PIM.” Dia tersenyum. Cantik sekali. ”Silakan. Bapak perlu kartu ucapan selamat di bunga?” ”Tidak.” Dia berpikir. ”Jadi, bukan untuk diberikan kepada seseorang? Bunga ini saya rangkai untuk diberikan pada seseorang.” ”Memang. Untuk diberikan pada seseorang.” ”Yang dicintai mestinya.” ”Ya. Jelas!” ”Sebaiknya, Bapak tambahkan ucapannya. Bunga ini saya rangkai untuk diantar dengan ucapan. Diambil dari puisi siapa begitu yang terkenal. Misalnya Kahlil Gibran.” Aku terpesona lalu mengangguk. ”Setuju. Tapi tolong dicarikan puisinya dan sekaligus dituliskan.” Ia cepat ke belakang mejanya mengambil kartu. ”Sebaiknya Bapak saja yang menulis.” ”Tidak. Kamu.” Ia tersenyum lagi mungkin merasa lucu. Lalu menyodorkan sebuah buku kumpulan sajak. Aku menolak. ”Kamu saja yang memilih.” ”Tapi, saya tidak tahu yang mana untuk siapa dulu.” ”Pokoknya yang bagus. Yang positip.” ”Cinta, persahabatan, atau sayang?” ”Semuanya.” Ia tertawa. Lalu menulis. Tampaknya ia sudah hapal di luar kepala isi buku itu. Ketika ia menunjukkan tulisannya, aku terhenyak. Itu bukan sajak Gibran, tapi kalimat yang ditarik dari sajak Di Beranda Itu Angin Tak Berembus Lagi karya Goenawan Mohamad: ”Bersiap kecewa, bersedih tanpa kata-kata.” Aku terharu. Pantas Nelson Mandela mengaku mendapat inspirasi untuk bertahan selama 26 tahun di penjara Robben karena puisi. ”Bagus?” Aku tiba-tiba tak sanggup menahan haru. Air mataku menetes dengan sangat memalukan. Cepat-cepat kuhapus. ”Saya juga sering menangis membacanya, Pak.” ”Ya?” ”Ya. Tapi sebaiknya Bapak tandatangani sekarang, nanti lupa.” Aku menggeleng. Aku kembalikan kartu itu kepadanya. ”Kamu saja yang tanda tangan.” ”Kenapa saya?” ”Kan kamu yang tadi menulis.” ”Tapi itu untuk Bapak.” ”Ya memang.” Ia bingung. ”Kamu tidak mau menandatangani apa yang sudah kamu tulis?” ”Tapi, saya menulis itu untuk Bapak.” ”Makanya!” Ia kembali bingung. ”Kamu tak mau mengucapkan selamat ulang tahun buat aku?” Dia bengong. ”Aku memang tak pantas diberi ucapan selamat.” ”Jadi, bunga ini untuk Bapak?” ”Ya.” ”Bapak membelinya untuk Bapak sendiri?” ”Ya. Apa salahnya?” ”Bapak yang ulang tahun?” ”Ya.” Dia menatapku tak percaya. ”Kenapa?” ”Mestinya mereka yang yang mengirimkan bunga untuk Bapak.” ”Mereka siapa?” ”Ya, keluarga Bapak. Teman-teman Bapak. Anak Bapak, istri Bapak, atau pacar Bapak…” ”Mereka terlalu sibuk.” ”Mengucapkan selamat tidak pernah mengganggu kesibukan.” ”Tapi itu kenyataannya. Jadi aku beli bunga untuk diriku sendiri dan ucapkan selamat untuk diriku sendiri karena kau juga tidak mau!” Aku ambil uangku dan letakkan lebih dekat ke jangkauannya. Lalu aku ambil bunga itu. ”Terima kasih. Baru sekali ini aku ketemu bunga yang harganya 900 ribu.” Aku tersenyum untuk meyakinkan dia bahwa aku tak marah. Percakapan kami tadi terlalu indah. Bunga itu hanya bonusnya. Aku sudah mendapat hadiah ulang tahun yang lain dari yang lain. Tapi sebelum aku keluar pintu toko, dia menyusul. ”Ini uang Bapak,” katanya memasukkan uang ke kantung bajuku sambil meraih bunga dari tanganku, ”Bapak simpan saja.” ”Kenapa? Kan sudah aku beli?” Aku raih bunga itu lagi, tapi dia mengelak. ”Tidak perlu dibeli. Ini hadiah dariku untuk Bapak. Dan aku mau ngantar Bapak pulang. Tunjukkan saja jalannya. Itu mobilku.” Dia menunjuk ke sebuah Ferrari merah yang seperti nyengir di depan toko. ”Aku pemilik toko ini.” Aku terkejut. Sejak itulah hidupku berubah. Jakarta, 30 Juni 2011
""Bersiap Kecewa Bersedih Tanpa Kata-kata""
Bergegas saya menuju tempat tinggalnya. Setibanya di gubugnya, terlihat tidak banyak orang yang melayat. Hanya ketua RT setempat, beberapa hansip, pengurus mesjid, dan seorang polisi. Mbah Prawiro terbaring di atas ranjang bambu beralaskan tikar pandan yang sudah lusuh, diselubungi selembar kain batik. Di dalam ruangan yang cuma 3×4 meter yang sekaligus sebagai rumah tinggal dan dapur, di sekelilingnya teronggok kompor minyak tanah, periuk nasi, panci aluminium, dan dua buah cangkir dan piring kaleng. Pak Min, penjaga palang rel kereta api mengisahkan, tadi sehabis shalat subuh, mbah Wiro, begitu biasa dipanggil namanya, berjalan pulang seperti biasanya lewat sepanjang rel kereta. Waktu itu adalah saatnya kereta dari Jakarta menuju Solo Balapan akan lewat. Sementara dia menutup palang rel kereta, dari sinar lampu kereta yang datang terlihat bayangan mbah Wiro yang masih berjalan di tengah rel. Pak Min berusaha mengejar sambil berteriak memanggilnya, tetapi mbah Wiro semakin cepat melangkah sambil mengucapkan Allahu Akbar dan merentangkan tangan. Dan terjadilah, mbah Wiro terpental ke sawah di samping rel. ”Tidak banyak lukanya, hanya di dada dan kedua kaki patah” jelas pak Min. *** Sebetulnya belumlah bisa disebut rumah karena masih berupa gubug bambu beratap rumbia tak jauh dari rel kereta, seluas tak lebih dari 12 meter persegi, dengan secuil tanah sekeliling teritisannya dipenuhi tanaman sayur seledri yang rimbun, adalah tempat tinggal mbah Wiro yang telah dihuninya lebih 10 tahun. Dengan penghuninya yang sepertinya menyimpan misteri ini, sangat menarik perhatian dan keingintahuan saya. Konon mbah Wiro adalah eks tahanan politik yang telah belasan tahun mendekam di tanah buangan jauh di belahan timur negeri ini. Usianya mungkin hampir 80 tahun. Setiap kali, dengan tertatih-tatih berjalan sambil membawa segepok sayur seledri untuk di jual ke pasar. Inilah kemudian yang mebuatnya disebut juga mbah Wiro Seledri. Pertama kali saya berjumpa mbah Wiro, sewaktu berta’ziah seorang kerabat yang meninggal beberapa tahun lalu. Saya perhatikan, sementara jenasah sedang dishalatkan, dia duduk menyendiri, dengan mata rapat terpejam, kedua tangan dalam sikap mau shalat, nafas hampir tak terdengar. Kemudian ketika jenasah dimasukkan ke liang lahat, dia pun berhal demikian. Ternyata beberapa kali, setiap kali ada warga yang meninggal, saya menjumpai hal yang sama, sehingga mengusik hati dan penasaran untuk ingin tahu, apa sebenarnya yang dia lakukan. Dari pak lurah, saya dengar bahwa mbah Wiro memang rajin melayat siapapun warga yang meninggal, kenal maupun tidak kenal. Sehingga kadang orang mencibir, itu kan hanya mencari suguhan teh dan sepotong kue dari keluarga yang berduka. Tetapi warga desa kami jarang mengadakan suguhan seperti itu. Kalaupun ada saya lihat mbah Wiro tidak menyentuhnya. Ini yang mendorong saya makin ingin tahu tentang dia. Kesempatan itu datang saat ada acara pemakaman di desa sebelah. Kami pulang bersama meniti pematang. Secara tidak langsung saya bertanya tentang doa untuk orang meninggal. Dia menatap saya agak lama, sepertinya ingin mengatakan, ”Kan kamu sendiri sudah tahu!” ”Begini nak mas, saya berdoa untuk yang meninggal dan untuk saya sendiri,” jelasnya, ”Saya berbuat seperti yang nak mas perhatikan, karena dalam kegelapan mata terpejam kita bisa lebih banyak melihat.” Saya terperangah sejenak. “Maksudnya mbah.” Dia hanya tersenyum dan bergegas menuju gubugnya. Ah, gila rasanya dengan semakin besar keingintahuan saya akan misteri orang sepuh ini. Saya pun jadi rajin mendatangi acara pemakaman siapa saja untuk bertemu mbah Wiro. Mungkin teman-teman saya sudah menganggap saya ini pengikut ajaran mbah Wiro. Waktu saya tanyakan dalam kegelapan apa yang ingin mbah Wiro lihat. Izroil! Wah, makin gila saya mendengar jawabannya. Malaekat maut?! Akhirnya saya paksa diri saya pada suatu hari berkunjung ke tempat tinggalnya. ”Nak mas masih muda. Dalam usia seperti saya, yang telah menjalani perjalanan hidup yang kelewat panjang adalah saat untuk merindukan ketenangan. Saya tahu malaekat Izroil akan selalu hadir saat orang meninggal” Saya masih belum mengerti maksudnya ”Mbah pernah melihat Izroil?” Dia menatap saya agak lama dengan muka serius. Seakan bergumam pelan dia berkata: ”Saya rasa sudah saatnya kaum muda mengerti akan perjalanan sejarah kelam yang telah terjadi di negeri ini?” ”Sudah pernah!” ujarnya kemudian dengan tegas ”Sekitar 40 tahun lalu, pasti nak mas belum lahir, hal itu terjadi. Bersamaan dengan munculnya lintang kemukus di langit menjelang tengah malam, itu pertanda bahwa dajal menguasai kita. Oleh dendam yang tak jelas, ribuan saudara kita dimakan pedang dan clurit.” Saya belum menangkap maknanya. Mbah Wiro berbalik sejenak, menyiapkan teh hangat yang kemudian disodorkan ke saya. Dia sulut rokok kawungnya, diisapnya dalam-dalam. Asapnya menyembur ke seluruh ruangan, membuat saya sedikit terbatuk-batuk. Dia ucapkan maaf dan menyilakan saya minum. Saya agak mengernyit menghirup teh yang pahit benar di lidah saya. ”Nak mas, kepahitan hidup bisa menjadi permulaan kemanisan hidup. Juga kemanisan hidup bisa juga menjadi permulaan kepahitan hidup.” ”Maksudnya?” ”Semasa muda saya hidup senang sebagai petani dengan sawah warisan orangtua yang luas. Hidup sangat kecukupan. Tapi kita manusia suka lupa diri, kurang mensyukuri nikmat Allah. Sawah ludes dalam judi sabung ayam. Jatuh ke tangan orang kaya yang banyak orang menyebutnya seorang tuan tanah. Akhirnya jadilah saya cuma sebagai petani penggarap. Dalam kesulitan hidup ini, sebuah organisasi persatuan para petani datang sebagai dewa penolong, paling tidak menolong saya lebih bersemangat dalam menghadapi hidup. Organisasi ini menjanjikan perjuangan untuk memperbaiki kehidupan petani, dengan melawan apa yang disebut setan desa, seperti rentenir, tengkulak ijon, dan apa saja yang merugikan kaum tani, termasuk melawan tuan tanah. Saya aktif di dalamnya sebagai ketua ranting desa…Yang baru kemudian saya tahu, bahwa organisasi ini mendapat julukan onderbow partai terlarang, oleh pemerintah!” Mbah Wiro menghentikan ceritanya sejenak. Menarik nafas panjang, kemudian meneruskan: ”Dan pertanda lintang kemukus malam itu terbukti. Petaka besar terjadi. Hanya dengan tudingan terindikasi partai terlarang saja, saudara-saudara kita dibantai oleh sesama saudara. Perburuan telah membuat desa ini banjir darah. Nyawa manusia lebih murah dari nyawa ayam. Pak lurah memang menasehatkan saya untuk melarikan diri, karena menurut dia saya sudah masuk daftar. Tapi saya enggan. Sampai suatu tengah malam segerombolan orang berseragam membawa senjata laras panjang dan beberapa warga menyandang pedang dan clurit terdengar bergerak menuju tempat tinggal saya. Istri saya suruh sembunyi di semak-semak kebun belakang, sedang saya di ladang jagung, tak jauh dari depan rumah. Setelah mereka menggeledah rumah ternyata kosong. Seorang dari mereka berteriak: Ladang jagung! Jadilah tanpa pikir lagi saya lari. Terus saja lari, meskipun dari jauh terdengar jeritan dan tangisan minta ampun istri saya. Lari menerabas apa saja, sampai nafas hampir habis, sampai jatuh terjerembab di bantalan rel kereta di pinggir desa. Kemudian dengan sisa tenaga yang ada, saya susuri rel hingga sampai stasiun di batas kota. Saya mungkin pingsan. Setelah sadar saya sudah terbaring di tengah beberapa pemuda berbaju loreng seperti aparat. Saya dibawa ke suatu rumah besar yang penuh pemuda berseragam sama, tetapi saya rasa mereka bukan ABRI, karena hanya menyandang pedang dan clurit. Di sana saya benar-benar merasa akan dihabisi oleh sesama saudara!” Sampai di sini, saya berpikir mana hubungannya dengan Izroil? Yang saya tahu hanyalah cerita guru tentang pemberontakan G30S sewaktu di sekolah menengah. ”Setelah disekap satu hari, tengah malam saya dinaikkan truk bersama banyak orang tangkapan lain,” lanjut mbah Wiro. ”Dengan tangan terikat dan mata tertutup kain hitam kami dibawa entah ke mana. Kami diturunkan di tempat yang saya pikir pasti hutan karena saya mendengar suara gemerisik dedaunan yang kami lewati. Kami dibariskan satu-satu disertai tendangan dan makian. Sebentar-sebentar kami disuruh maju selangkah. Dan sebentar-sebentar terdengar jeritan mohon ampun serta suara benda berat jatuh ke air. Saya semakin pasti bahwa saya akan dibantai. Ya Tuhan ampunilah segala dosa kami, tolonglah kami. Giliran saya tinggal maju setapak lagi. Saya tengadahkan muka sambil menangis, doa saya tak henti-henti. Dalam kegelapan mata tertutup, saya melihat seorang berjubah hitam mengendarai kuda di angkasa dan menoleh, sekejap tersenyum kepada saya…. Tiba-tiba terdengar tembakan gencar dan langkah-langkah berat berdatangan. Tembak-menembak terjadi. Tanpa komando kami tiarap. Teriakan kematian bersahutan. Sesaat kemudian berhenti. Ternyata yang datang benar-benar anggota ABRI yang melepaskan tutup mata dan tali ikatan kami. Terdapat ada beberapa orang pemuda sedang sekarat dan seorang benar-benar meninggal tergeletak dengan sebuah kapak besar masih di tangan. Dan ya Allah, sebuah gubug pembantaian itu terletak di bibir sungai besar di mana menurut kisah lama Joko Tingkir telah mengalahkan 40 ekor buaya di sungai itu! Itulah permulaan jalan panjang saya menuju tanah pengasingan di sebuah pulau yang jauh di sebelah timur sana” Badan saya merinding membayangkan kisahnya. Saya jadi ragu dan bingung, apa yang sebenarnya terjadi dengan kengerian yang digambarkan film Pengkhianatan G30S/PKI yang diwajibkan oleh pemerintah untuk semua warga sampai anak sekolah harus menonton. Melihat wajah mbah Wiro yang tampak letih, saya mencoba mengalihkan pembicaraan: ”Wah hebat. Sayur seledrinya subur amat mbah.” ”Darah dan daging saya seorang petani,” ujar mbah Wiro manggut-manggut, ”Tuhan menganugerahi setiap umat, kemampuan untuk bertahan hidup dalam keadaan apa pun.” ”Termasuk semaktu di tanah pengasingan mbah?” ”Benar nak mas. 12 tahun memendam perasaan kesendirian, kesepian, kengerian keadaan ribuan tahanan yang tak lepas dari kekerasan petugas, jaminan hidup tak memadai, harga diri sebagai manusia dihabisi, dan segala yang rasanya membikin hilang harapan. Tetapi ternyata itu semua makin memperkuat ketahanan kita untuk hidup. Meskipun kami ditempatkan di daerah perbukitan yang gersang. Tanaman yang tumbuh banyak hanya pohon kayu putih. Semula memang tidak tahu apa yang akan saya buat, tapi akhirnya sadar bahwa kami dibuang di sini, mungkin demi mengurangi beban pemerintah untuk memberi makan kami. Itulah yang membuat kami semua merasa mempunyai satu ikatan kekeluargan yang erat. Kami mencoba bercocok tanam padi, tebu, jagung, ubi, dan kacang, Hasilnya kami konsumsi bersama. Meski kekurangan pupuk, tanaman kami cukup memuaskan.” ”Lalu dengan pupuk apa mbah” tanyaku asal-asalan. ”Sedikit ZA dicampur air tinja!” jawabnya serius. Saya tersenyum mendengar jawabannya. Tetapi wajahnya berubah sedih seperti hampir menangis. ”Tinja memang kita anggap barang paling hina dan menjadi santapan enak bagi babi. Tapi benda itu yang membuat saya bisa bertemu Izroil lagi!” Mbah Wiro tercenung beberapa saat, kemudian mendekatkan wajahnya padaku, sambil ujarnya pelan: ”Suatu hari, selepas menyiangi tanaman, perut saya berontak, yang membuat saya tak tahan buang air besar di sungai yang tak jauh dari barak. Tiba-tiba sebuah bedil menyalak, pelurunya hampir menembus kepala saya. Segera saya lari menuju barak, ternyata petugas bersenapan tadi sudah menunggu saya. Dengan tendangan saya dipaksa mengambil tinja yang sudah terapung di sungai. Dan di depan teman-teman dia paksa saya merangkak, dengan tendangan bertubi-tubi serta ancaman senjata, saya harus melahap tinja bagaikan seekor babi. Selama seminggu hati saya menangis. Ketabahan saya selama ini runtuh. Betapa hinanya harga diri saya sebagai manusia. Sehingga tak tahan saya untuk tidak menyiapkan tali. Sewaktu jeratan tali mencekik leher dan sudah tak sadarkan diri sekilas seorang berjubah hitam mengendarai kuda di angkasa menoleh dan tersenyum kepada saya. Tiba-tiba teman-teman menolong menurunkan saya!” Mbah Wiro diam sejenak, berkata pelan seperti pada dirinya sendiri: ”Ya sebetulnya dijadikan babi tidaklah seberat ketika telah dipulangkan dari sana. Saya menerima kenyataan tidak lagi bisa menjumpai rumah dan istri serta sanak keluarga saya.” Seakan ada sesuatu yang menyesaki dada saya mendengar kisah terakhir ini. Lama kami terdiam. Mbah Wiro melepas nafas panjang dan memandang jauh ke depan, ke arah rel kereta di depan rumah. Sambil menunjuk sepasang rel kereta yang lurus sampai ujungnya tak terlihat, ujarnya: ”Lihat nak mas! Perjalanan hidup ini ibarat dalam kereta di atas rel lurus dengan tujuan yang sudah pasti di ujungnya. Kita tidak bisa membelokkan sendiri ke arah lain!” Kami ngobrol apa saja sampai menjelang magrib. Sebelum meninggalkan rumahnya, saya sempat bertanya setengah bercanda: ”Omong-omong bagamana wajah malaekat itu, mbah?” ”Itu rahasia Tuhan!” jawabnya tegas. Sesampai di depan rumahnya, saya memperhatikan tanaman seledrinya yang nampak benar sangat subur, saya bertanya pula: ”Pupuknya apa mbah?” Dia hanya tersenyum kecil, sambil berbalik ke rumahnya. Sehabis pertemuan itu, sekian lama saya tidak menjumpainya, sehubungan dengan tugas saya ke ibu kota. Hingga suatu hari secara kebetulan saya bertemu mbah Wiro sedang berjalan ke pasar sambil membawa segepok sayur seledri. Basa basi saya menyapa dengan bertanya apa kabar. ”Semalam saya bertemu dengan malaekat Izroil, dan dia telah mengabulkan permohonan saya tentang kerinduan yang selama ini saya dambakan” jawabnya sambil tersenyum. Tapi senyum itu! Senyum itu terasa sangat aneh. *** Sehabis dzuhur jenasah mbah Wiro diberangkatkan ke pemakaman di pinggir desa. Pelayatnya hanya bisa dihitung dengan jari. Saya ikut mengusung kerandanya. Sewaktu jenasah diturunkan ke liang lahat dan ketika kain kafan di wajahnya dibuka, saya sempat melihat wajahnya. Wajah yang tenang dan nampak tersenyum. Saya rasa mbah Wiro Seledri telah bersama malaekat Izroil ikut menunggang kuda di angkasa! Klaten, 2011
""Wiro Seledri""
”Di mana kamu, anakku? Di mana?” Nyala di tubuhnya begitu terang, seperti kerinduan yang membara, namun berkedip-kedip, seperti rasa sakit yang menusuk-nusuk. Ibumu—kunang-kunang itu—terus mengembara, berjam-jam, tanpa lelah, tanpa keluh kesah. Ia akan terus mencarimu, ia arungi sepanjang jalanan yang berliku, yang senyap berbatu, ia terbang di atas sungai yang bercabang, yang entah bermuara di mana. Ia datangi setiap gubug-gubug lapuk. Sampai akhirnya ia temui kamu di sebuah rumah, rumah yang kemudian sangat dikenalnya. Dan sejak itulah, setiap malam, ibumu selalu setia mengunjungi rumah itu, melihat dirimu tertidur pulas, mendoakan keselamatanmu, lalu bergegas pergi ketika pagi hendak tiba, dengan niat untuk kembali di malam berikutnya…. *** Ceritanya akan selalu seperti itu, turun-temurun. Di kampung sepanjang bantaran Sungai Logawa ini, kalau ada seorang anak yang kehilangan ibunya, entah meninggal atau minggat dengan lelaki kota, maka orang-orang akan menghibur dengan cerita itu, mereka akan mengatakan bahwa ibunya sekarang sudah berubah menjadi kunang- kunang yang rajin mengunjunginya. Meski tak berwujud manusia, anak itu harus sadar bahwa sang ibu masih benar-benar ada, masih suka berdiam di dekatnya, terutama di malam hari, untuk memberikan kasih sayang yang tulus kepadanya. Sejak dahulu aku tak benar-benar percaya dengan cerita tersebut, sampai malam ini aku mendengar penuturan Antiona, gadis kecil yang baru sebulan lalu ditinggal sang ibu, menikah lagi dengan seorang pengusaha. Aku memang suka menemani Antiona yang kesepian, ia tinggal sendiri bersama sang Kakek, sementara ayahnya juga sudah tiada, menjadi korban tabrak lari oleh sebuah bus jurusan Surabaya-Yogyakarta. Antiona berkisah padaku, bahwa semalam ia baru saja bertemu ibunya. Awalnya aku tak terkejut, sebab bisa saja ibunya memang berkunjung ke desa ini untuk menjenguk Antiona. Tetapi gadis itu berkata bahwa ibunya sudah menjelma kunang-kunang, dan ia melihat kunang-kunang itu terbang di luar kaca jendela kamarnya. ”Lalu? kamu buka jendelanya?” Tanyaku. ”Iya, kubiarkan kunang-kunang itu masuk, lalu tidur di sampingku, di atas kasur.” ”Terus?” ”Terus aku tidur dan bermimpi, dalam mimpi itu, aku benar-benar bertemu Ibu.” ”Jadi, kamu bertemu ibumu cuma dalam mimpi?” ”Iya.” ”Besok paginya bagaimana?” ”Besok paginya kunang-kunang itu hilang.” ”Hilang?” ”Iya. Hilang begitu saja.” Wajah Antiona berakhir sedih. Namun saat itu juga pikiranku melayang jauh. Setelah berpamitan dan meninggalkan rumah Antiona, cerita itu seperti berputar kembali untuk diriku sendiri. Aku membayangkan ibuku masih hidup sampai saat ini, sampai detik ini, dan dia pun amat merindukanku malam ini. Tetapi, siapa ibuku? Barangkali ibuku memang pelacur. Ya. Sudah jadi rahasia umum, bahwa aku hanya anak pungut yang ditemukan warga dan sempat dititipkan ke keluarga kepala desa, sebelum akhirnya diserahkan ke seorang nenek di gubug dekat masjid yang kesepian. Awalnya aku adalah bayi menangis di dalam kardus mi, menangis di bawah tiang lampu dekat pos ronda yang remang-remang. ”Dulu, kamu ditemukan warga di bawah sana,” Kata Nenek angkatku. ”Siapa yang membuang aku, Nek?” ”Mungkin saja ibumu.” ”Kenapa ibu membuangku, Nek?” ”Tidak tahu.” ”Terus ibu ke mana?” ”Tidak tahu.” ”Apa ibu tidak rindu aku?” ”Tidak tahu.” ”Apa Nenek mau bantu aku mencari ibu?” ”Hmm, tidak tahu.” Lalu desas-desus pun mengiringi pertumbuhanku, ketika aku beranjak empat belas tahun, ketika aku dianggap sudah mulai bisa mengingat dan menampung kenangan, setiap tetangga berusaha memberikan versinya masing-masing tentang asal-usulku. ”Biasanya, yang suka membuang bayi adalah perempuan yang masih muda, masih SMA.” ”Betul itu, mungkin ibumu masih sekolah, dan ditinggal pacarnya sehabis dihamili, jadi kamu dibuang karena tidak dikehendaki.” ”Eh, tapi mungkin saja kamu dibuang suster rumah sakit, karena orangtuamu tidak bisa membayar biaya persalinan, sekarang kan banyak kasus seperti itu.” ”Atau kamu ini korban penculikan, orangtuamu tak sanggup membayar uang tebusan.” ”Atau mungkin kamu harus terima kalau ibumu memang pelacur. Wanita yang jadi pelacur memang suka membuang bayi yang telat diaborsi, sudah biasa itu.” Semakin lama, kisah tentang asal-usulku membuatku pusing, namun aku sempat heran, mengapa tak ada yang menghiburku dengan cerita yang beredar di kampung ini, bahwa ibuku sudah menjelma kunang-kunang, dan hingga kini masih setia mengunjungiku setiap malam. ”Cerita itu hanya ditujukan untuk menghibur anak-anak yang benar-benar berasal dari kampung di tepi Sungai Logawa ini, diketahui jelas siapa ibunya, dan karena alasan apa perginya. Sementara kamu sudah pasti bukan dari kampung ini, karena sewaktu kamu ditemukan, orang-orang langsung lapor ke kantor polisi, beberapa hari dilakukan pencarian, tidak ada hasil, tidak ada seorang warga pun di sini yang merasa kehilangan atau ketahuan membuang anaknya. Jadi, pasti kamu dibuang orang dari kampung lain.” Begitu penjelasan Nenek angkatku, ia suka berbicara sambil mengunyah sirih. Sebenarnya aku juga tidak terlampau berharap mereka akan menghiburku dengan cerita semacam itu, sebab toh cerita itu sangat tidak masuk akal, mana ada seorang ibu yang bisa menjelma kunang-kunang? Semakin bertambah umurku, aku semakin tidak percaya. Tetapi semuanya nyaris runtuh setelah penuturan Antiona malam ini, entah mengapa aku merasa kisah kunang-kunang itu benar adanya. Barangkali memang tak ada yang mustahil di dunia ini. Malam sudah larut, aku berjalan pulang dari rumah Antiona dengan setengah melamun, melangkah sendirian di jalanan kampung. Dan di sebuah perempatan yang remang, beberapa ratus meter sebelum rumahku, tiba-tiba kulihat seekor kunang-kunang terbang rendah di dekat tanah. Aku terheran-heran. Kunang-kunang itu sendirian saja, berkedip lemah. Tunggu. Apakah ia adalah jelmaan seorang ibu yang anaknya ada di kampung ini? Apakah ia ibu dari Antiona yang kemarin malam terbang di luar jendela? Apakah ia ibuku yang pernah membuangku ketika aku masih bayi? Kudekati kunang-kunang itu, kuambil salah satu botol bekas yang berserak di tempat sampah. Aku membentuk cekungan pada telapak tangan kiri untuk menggiring kunang-kunang itu masuk ke lubang botol, lalu aku menutupnya dengan telapak tanganku. Anehnya, kunang-kunang itu menurut begitu saja. Kunang-kunang itu sekarang ada dalam botol, cahayanya tak memantul, ia terbang kesana-kemari, sepertinya kebingungan, berpindah-pindah pada dinding botol. Aku setengah berlari menuju rumah, langsung ke kamar, untung saja Nenek sudah tidur, jadi tak tahu apa yang kulakukan. Kututup bagian atas botol dengan plastik dan karet, lalu kuletakkan di atas meja. Dan seperti cerita Antiona, aku berharap malam ini bisa bertemu ibu, agar aku bisa tahu wajah ibu, walaupun hanya dalam mimpi. Sambil merebah di atas tempat tidur, masih bisa kunikmati cahaya lemah kunang-kunang itu, hingga akhirnya aku terlelap dengan sendirinya. *** Entah sudah berapa jam berlalu, aku terjaga karena sebuah guncangan kecil, tetapi cukup untuk membuatku tergagap bangun, kemudian segalanya menjadi terasa amat ringan. Tubuhku seperti melayang di udara. Dan ketika perlahan kubuka mata, tampak seorang lelaki dan seorang wanita sedang duduk dengan pandangan mata yang mengarah kepadaku. ”Jadi ini kunang-kunang yang semalam tidak mau pergi?” Tanya si laki-laki sambil mengernyitkan dahi. Si wanita lantas tersenyum. ”Benar, aku menangkapnya dengan mudah, kumasukkan ke dalam botol.” ”Untuk apa sih? Kurang kerjaan saja.” “Lho, kamu tidak tahu, ya? Di desa sepanjang bantaran Sungai Serayu ini, semua wanita yang pernah kehilangan anaknya, entah meninggal, hilang, diculik, atau dibuang, selalu percaya tentang sebuah cerita konyol yang diwariskan turun-temurun.” ”Cerita konyol?” ”Iya. Cerita bahwa anak mereka yang hilang itu masih selalu hadir dalam wujud yang lain, yaitu berwujud kunang-kunang. Jadi, kutangkap saja kunang-kunang yang kesepian ini. Soalnya, kalau melihat kunang-kunang, aku selalu teringat cerita yang sungguh tidak masuk akal itu. Lucu, ya? Mana ada anak-anak yang bisa menjadi kunang-kunang? Konyol sekali, kan? Ha ha ha.” Wanita itu terbahak-bahak, namun si lelaki sepertinya tidak tertarik untuk ikut tertawa, kulihat ia justru mengernyitkan dahi. ”Nalea…” Panggil si lelaki tiba-tiba. Dan wanita itu pun berhenti tertawa. ”Ya Sayang?” ”Aku jadi berpikir…” Lelaki itu menghentikan ucapannya, kini keduanya berpandangan, tak lagi menatapku. ”Berpikir apa?” ”Apa benar kata orang-orang, sebelum menikah denganku, kau sudah pernah punya anak?” Lelaki itu bertanya sambil menatap wajah si wanita dengan tajam. Wanita itu tiba-tiba terdiam. Aku seperti akan merasakan keheningan yang amat panjang di antara mereka, sampai akhirnya wanita itu tampak tersenyum tipis, lantas memeluk tubuh si lelaki, ”Tentu belum pernah, Sayang…” Situbondo, 2010
""Biografi Kunang-kunang""
Bagi orang-orang yang datang ke kampung itu, ia akan didengar dari mulut orang-orang tua atau tukang cerita, berbaur-biluh dengan kisah para pendekar yang dalam bahasa mereka disebut pandeka. Pakiah dan pandeka, bagi mereka orang-orang Sitalang, memang hampir tak bisa dipisahkan. Bahkan tak jarang, untuk tak mengatakan hampir selalu, dua sebutan itu berada dalam tubuh yang sama. Seseorang menjadi pakiah ketika remaja, menjelma jadi pandeka atau pendekar ketika dewasa. Tentu saja pakiah bisa langsung dikenali, sementara pandeka, orang-orang yang berkemampuan silek (silat) tinggi itu, sering-sering bersembunyi di dalam diri. Tentang bersembunyi di dalam diri, menurut Nek Minah, mereka sebetulnya juga serupa. Hanya karena tugasnya, pakiah harus berkeliling meminta sedekah dengan penampilan sama: memakai sarung, atau celana dasar, dengan baju koko. Berpeci, dengan buntie (buntal) atau kantung beras di tangannya. Siapa pun akan langsung mengenali bahwa itu pakiah. Akan tetapi, pandeka? ”Jangan terkecoh oleh tampak luar,” begitu kata Nek Minah kepada kanak-kanak atau cucu-cucunya. ”Seperti halnya pandeka, pakiah itu orang yang bisa menahan diri. Mereka meminta-minta bukan untuk mendapatkan sesuatu dari orang lain, melainkan untuk melatih dan menemukan sesuatu dalam diri mereka. Kerendahhatian. Kesabaran. Kalian bayangkan, coba, bagaimana perasaan kalian bila suatu kali orang bukan memasukkan beras, melainkan abu, ke kantong beras kalian?” Dan lalu, Nek Minah akan melayangkan pandang ke mulut jalan, ke arah dari mana dulu saat ia kanak-kanak melihat pakiah itu muncul-datang, pergi-pulang, tetap dengan wajah tenang, bahkan seperti terang, walau tak mendapat sedekah apa-apa dari rumahnya. Mulut jalan itu, yang dulu kecil saja karena cuma jalan setapak, kini telah menjelma jadi mulut jalan besar yang langsung disambut oleh pekan (pasar) Sitalang. Betapa Nek Minah tak menyangka, rumahnya yang pada masa lalu adalah pinggir kampung dengan ladang dan belukar di mana-mana, kini menjelma jadi daerah cukup ramai dengan Jorong Sitalang pusat pekan-nya. Dan, di pusat pekan atau pasar kampung itu, cerita tentang pakiah kembali bermula. Tetapi, siapa pula bakal menyangka, cerita itu, pada akhirnya, lebih jadi milik para pengemis? *** Seperti biasa, setiap tahun bila Ramadhan tiba, pekan Sitalang akan mencapai puncak ramainya. Sayur-mayur atau palawija apa pun dari kampung sekitar, seakan hanya dibawa ke sana. Begitu pun pakaian, barang-barang sandang yang sebelumnya tak ada, tiba-tiba muncul dengan pedagang-pedagang bertenda. Mungkin karena terletak di antara dua kota, barang apa pun seperti singgah, seolah mencoba peruntungan Lebaran sebelum dibawa ke kota lainnya. Di pusat pekan kampung semacam itu, keramaian kadang bisa tak terkira. Segala macam orang bisa ada, tak ubahnya seperti di terminal atau pasar induk di kota-kota. Mulai dari tauke, pedagang eceran, sampai pedagang tiban yang mengambil barang di sana dan menjualnya juga di sana. Mulai dari kuli angkat, tukang ojek motor, sampai preman pekan tukang palak, pun pencopet. Para perantau yang mudik atau pulang, juga sejenak berhenti di sana. Dan tentu, yang dari hari ke hari Ramadhan terus bertambah, adalah para pengemis. Para pengemis ini, dari manakah mereka datang? Hanya dua-tiga orang yang bisa dikenali sebagai penduduk sekitar Sitalang, selebihnya tentu berasal dari kampung yang jauh. Bila mereka berasal dari kampung-kampung yang jauh, pukul berapakah mereka berangkat dari kampung mereka karena pagi sekali mereka sudah berada di Pekan Sitalang? Bila mereka berangkat malam sebelumnya atau sangat dini, kenapa mereka tak tampak lelah? Kecuali mimik memelas dan pakaian yang lusuh dan kumal, tak tampak masalah apa-apa pada diri mereka. Bahkan, galib kejadian, mereka bisa berkelahi dengan preman pekan tukang palak, walau selalu kalah. Di tengah para pengemis seperti itu, munculnya dua pengemis remaja berpakaian sama, jadi tampak sangat mencolok. Pakaian mereka: celana dasar warna coklat dengan baju koko hijau muda. Berpeci hitam dengan buntalan dijinjing atau kadang disampir di pundak mereka. Ya, dua orang pakiah. Sudah dua hari ini mereka muncul di Pekan Sitalang. Tetapi ya, seperti Anda tahu, pakiah sudah jadi masa lalu. Maka orang-orang hanya heran tentang pakaian, tentang kerapian, dan tentang wajah yang bukan memelas, melainkan, walau terkesan lembut dan lemah, tampak bersih dan tenang. Tetapi pula, tentu tak semua orang di Pekan Sitalang sudah tak kenal pakiah. Beberapa orangtua asli Sitalang yang berjualan di pasar itu adalah pengecualian. Dan di antara mereka yang tetap kenal ini, ada juga yang samar-samar mendengar bahwa di kampung tua bernama Pariangan, kampung yang dulu dipercaya sebagai tempat asal-usul nenek moyang mereka, telah sejak setahun ini berdiri sebuah pesantren. Dan, di antara yang samar-samar mendengar ini, ada yang kemudian samar-samar pula mendengar pendiri pesantren itu Inyiak Pakiah Babanso. Siapakah Inyiak Pakiah Babanso? Dulu, dulu sekali, bila Anda mendengar namanya, maka Anda akan menggigil. *** Inyiak Pakiah Babanso adalah pendekar tanpa tanding. Pada masanya, tak seorang pun pandeka yang mau mencari gara-gara dengannya. Ia menguasai silek tuo dan sitaralak, dua aliran silat yang sangat efisien. Tak banyak gerak, tetapi mematikan. Ia juga tak tertanding dalam kecepatan kobek (ikat), tangkok (tangkap), dan kunci (mengunci sendi dan engsel), yakni kemampuan dasar yang menjadi gelek atau gerakan refleks dalam silat. Bila ada yang bertanya bagaimana Inyiak Pakiah Babanso bisa bergerak secepat itu, orang lain akan segera bilang, ”Hanya Tuhan yang tahu”. Tetapi, entah bagaimana kemudian, orang-orang mendengar Inyiak Pakiah Babanso menghilang dari dunia silat. Samar-samar orang kemudian tahu, ia kecewa pada Orde Baru yang menjelmakan silek jadi tarian. Bukan soal tariannya, tetapi kepada sesuatu yang sengaja dipertunjukkan. Jadi, bila sekarang Inyiak Pakiah Babanso kembali muncul dan mendirikan pesantren di kampung tua Pariangan, itu sangat masuk akal. Otonomi daerah yang mengembalikan pemerintahan—tak terkecuali pendidikan—ke lembaga-lembaga lokal, telah menjadikan pesantren sebagai pilihan. Di situlah, di pesantren tradisional, surau dan sasaran (gelanggang) silek menjadi dua hal utama. Siang hari para murid belajar kitab-kitab kuning seperti Nahu, Syaraf, Tafsir, Bayan, Maani, dan lain-lain di surau, sementara pada malam harinya mereka belajar silek di sasaran. Di antara itu, mereka menjadi pakiah, minta sedekah ke kampung-kampung. Menjadi pakiah, atau mereka sebut mamakiah, adalah kurikulum mental mendidik para murid menjadi orang yang sabar, tabah, papa, tiada. Entah pada hari ketujuh, atau hari kedelapan munculnya dua pengemis remaja di Pekan Sitalang, terjadi kegemparan. Orang-orang mendengar preman pekan tukang palak kembali berkelahi dengan para pengemis. Karena sering terjadi, peristiwa itu mestinya hanya merupakan peristiwa biasa. Ia menjelma jadi heboh dan menggemparkan karena yang kalah kali ini adalah para preman tukang palak! Dan, sebetulnya, perkelahian itu, bukan pula antara preman pekan tukang palak dan para pengemis. Melainkan hanya antara preman tukang palak dan dua pengemis remaja. Begitulah sebuah peristiwa, di tengah pasar yang gaduh dan dengan begitu banyak mulut, tak lagi sampai sebagaimana kejadian sebenarnya. Dan, kejadian yang sebenarnya itu, sebenarnya pula, sangat sederhana. Seorang preman tukang palak, dengan lebih dulu menggertak, merogoh buntal si salah seorang pengemis remaja. Tetapi, begitu tangan si preman tukang palak itu masuk ke buntal, mulut si preman segera terpekik. Di dalam buntal itu, entah bagaimana caranya, tangan si preman tukang palak telah dikunci oleh tangan si pengemis remaja. Si preman tukang palak itu melolong-lolong, tubuhnya tertekuk-tekuk, sampai terbungkuk-bungkuk, memohon-mohon meminta ampun agar tangannya dilepaskan. Hanya begitu saja kejadiannya. Tak lebih. Tetapi, kata orang-orang: ”Dua pengemis itu mengobrak-abrik kelompok Si Patai.” ”Si Patai sampai menyembah-nyembah agar dibiarkan pergi.” ”Pengemis super sakti!” ”Dari manakah para pengemis itu datang?” Padahal bukan ’para’, karena cuma dua orang. Dan dua orang remaja itu bukan pengemis, melainkan pakiah. Seperti Anda sudah tahu, tentu bukan tak ada orang yang tak kenal pakiah di Pekan Sitalang. Dan juga bukannya tak ada orang yang tak tahu bahwa pakiah itu datang dari Pariangan. Tetapi soalnya, orang-orang yang tak tahu jauh lebih banyak, dan mereka yang tak tahu ini lebih ingin, dan senang, mendapati kenyataan ada pengemis yang begitu sakti, dan mereka lalu dengan rela memberikan apa pun untuk para pengemis ini. Maka, kemudian, bila Anda jeli mengamati apa yang terjadi di Pekan Sitalang, pemandangan ini akan sangat mungkin Anda dapati: Seorang pengemis datang entah dari mana, masuk ke toilet umum atau mengendap-endap menyelinap ke dalam belukar, sejenak kemudian kembali muncul dengan pakaian beda: bercelana dasar dengan baju koko, berpeci dengan buntalan dijinjing atau disampir di pundaknya…. *** Begitulah Nek Minah jadi sering duduk di jendela. Dari rumahnya, memandang ke mulut jalan besar yang langsung disambut oleh Pekan Sitalang, Nek Minah bisa melihat bagaimana pakiah-pakiah itu datang, kembali muncul dari masa lalu. Seperti dalam ingatannya, dan seperti yang sering ia katakan kepada kanak-kanak atau cucu-cucunya, pakiah itu orang yang bisa menahan diri. Mereka meminta-minta bukan untuk mendapatkan sesuatu dari orang lain, melainkan untuk melatih dan menemukan sesuatu dalam diri mereka. Kerendahhatian. Kesabaran. Nek Minah tersenyum. Senyum yang kian lebar, kian cerah saat melihat pakiah-pakiah itu semakin banyak. Sampai hari ini, tiga hari menjelang Lebaran, pakiah-pakiah itu bahkan tak lagi minta sedekah hanya di Pekan Sitalang, melainkan juga merambah ke rumah-rumah sekitar, dan satu-dua orang melangkah menuju rumah Nek Minah…. *** Payakumbuh, 13 Agustus 2011
""“Pakiah” dari Pariangan""
Dua hari yang lalu, seorang perempuan setengah baya memintanya membuat lukisan seorang lelaki yang sudah cukup tua, berkumis tebal, mengenakan kopiah warna hitam dengan ornamen tambahan yang mengantarnya menemui ajalnya. Ornamen itu berupa sebuah mobil yang ringsek sebab tertabrak truk tronton. Mobil itu berdiri gagah di samping lelaki yang tampak sedang tersenyum kecut. Senyum yang seolah-olah telah memisahkannya dengan perempuan setengah baya itu: istrinya. Pada hari ketiga setelah lusa, perempuan setengah baya itu datang kembali, mengambil lukisan yang dipesannya. Dia gembira sekali sebab di dalam lukisan itu, suaminya tampak gagah seperti masa mudanya, laksana seorang laksmana. Berdiri di puncak kariernya menjadi manajer perusahaan di samping mobil dinasnya. ”Lukisan ini akan menjadi catatan sejarah bagi kehidupan dan juga akhir kejadian kematian suamiku,” katanya kepada pelukis itu. Pelukis itu tersenyum. ”Lho, tapi Mas, kok…….!” Perempuan itu kaget. Tiba-tiba seperti sadar dengan apa yang dilihatnya pada lukisan. ”Ini kok, mobilnya utuh?” Pelukis itu hanya diam. ”Saya kan memesan lukisan suami saya setelah kejadian. Sebab kecelakaan itu, mobilnya ringsek dan suamiku mati. Lukisan wajah suami saya yang gagah itu, benar, tetapi, ornamen mobilnya? Harusnya sudah ringsek.” Dengan tenang, pelukis itu menjawab. ”Mudah kok, Bu. Kalau Ibu mau melihat ornamen mobil yang ringsek, pandang saja mobil itu, ringsek. Imajinasikan pikiran Ibu akan peristiwa kecelakaan itu, maka, mobil itu akan kelihatan ringsek sendiri. Tentunya, ya, dalam kacamata kenangan.” ”Apa cukup semudah itu?” ”Coba saja! Sekarang, enyahlah agak jauh dari lukisan! Lalu, pikiran Ibu harus difokuskan pada peristiwa kecelakaan itu.” Setelah menjauh dari lukisan, perempuan itu tersenyum. Ornamen mobil itu dilihatnya ringsek betulan. Sebab imajinasinya yang tajam, atau keunikan lukisan? Entahlah. Yang pasti, pelukis itu telah membuatnya tersenyum, tanda puas. Dua hari berikutnya, seorang lelaki datang padanya untuk mengambil lukisan pesanannya. Di dalam lukisan itu, ada seorang kakek yang berdiri gagah di sawah. Sebuah cangkul dipegangnya. Akunya, sawah dan cangkul adalah tempat terakhir yang dikunjungi kakek itu. Dan, kakek yang dipanggilnya ayah itu, menemui ajalnya di kamar, di kamar mandi, sepulangnya dari sawah. ”Parmin, Ayah mau mandi, lantas istirahat. Itu nanti, sawah diteruskan nyangkulnya, ya,” pintanya. Eh, setelah itu, lama tak keluar-keluar, pintu didobraknya. Hatinya tersentak. Ditemuinya, Ayahnya telah tiada. ”Kenapa kamu mau mengabadikan gambar ayahmu?” tanya si pelukis. ”Ayahku adalah pahlawan dalam hidupku.” ”Ibumu?” ”Sejak kecil, aku tak punya ibu. Jadi, ibu hanya pahlawan dalam angan-angan,” katanya, lalu pergi. Beberapa hari berikutnya, semakin sibuk ia melayani pesanannya. Bagaimana tidak? Lukisannya sangat mengagumkan. Lukisannya berkesan seperti nyata. Lukisannya menjadi kenangan yang terabadikan. Apalagi, ongkos pembuatan lukisan itu terbilang tidak mahal. Ia hanya ingin membagi apa yang bisa ia kerjakan, kepada sesamanya. Baginya, ya, dengan melukis. Ia tidak memasang tarif untuk sebuah lukisan yang telah diselesaikannya. Baginya melukis adalah sarana penyaluran imajinasi yang bercampur baur dengan carut-marut kehidupan. Seakan-akan ia mengerti apa yang diinginkan pemesannya. Meskipun begitu, justru, tak jarang, ia menerima uang lebih dari pemesannya. Mereka tampak merasakan kepuasan tersendiri atas garapannya yang mengagumkan. Sebagai teman sebayanya, sering pula aku bermain ke rumahnya. Aku pun mengagumi kecanggihannya dalam melukis. Lukisan yang digarapnya berlatar belakang kematian. Memang, setiap kali ia melukis, lukisannya seperti nyata dan seolah-olah menyimpan sejarah yang bermakna. Suatu waktu, aku berkesempatan untuk bertanya kepadanya. Lukisannya tampak hidup dan bugar. Mengagumkan. Seakan-akan, wajah-wajah kematian yang dilukisnya, hidup kembali. Ada ruh di dalamnya, menggetarkan jiwa setiap orang yang melihatnya. Maka, tak khayal kalau hanya dalam waktu beberapa bulan, reputasinya sebagai pelukis handal, mencuat sampai ke luar daerah. Bahkan, sampai lingkup antarkota. Namanya banyak dikenal massa. Sarjo. Begitu, aku memanggilnya. Dulu, kami satu kelas, ketika belajar di bangku sekolah dasar. Menginjak lanjutan, ia merantau. Ketika aku mulai kuliah, ia pulang. Sejak itu, ia mulai berkecimpung dalam dunia lukis. Kabarnya, dari perantauan itu, ia belajar melukis. Ketika aku dilantik sarjana, orang tua satu-satunya; ayahnya, meninggal. Ia mengabadikan wajah ayahnya dalam lukisan. Ibunya, hanyalah angan-angan yang tak pernah bisa terungkapkan keberadaannya. ”Kenapa kamu tidak melukis keindahan alam saja?” ”Aku tak suka bersaingan dengan Tuhan. Biarkan orang itu melihat kenyataan saja. Alam yang diciptakan Tuhan itu lebih indah dan mampu mendekatkan hati seseorang kepada-Nya.” ”Tapi, kamu malah melukis wajah-wajah kematian?” ”Kenapa, emang?” Aku diam. ”Kuabadikan ayah dalam lukisan. Aku selalu mengingatnya, bagaimana laut itu membekukan darah dalam tubuhnya.” Aku diam saja. Terharu. ”Kamu tahu?” tanyanya. Aku menggelengkan kepala. ”Lukisan itu adalah pusara ayah. Aku selalu berziarah padanya. Aku kirimkan surat Al Fatihah kepadanya. Lukisan itu, pengganti pusara ayah di laut.” Hampir, air mataku copot dan meleleh dari kebekuannya. ”Lalu bagaimana dengan ibumu?” ”Aku tak pernah mengerti bagaimana wajah ibu. Ayah hanya pernah bercerita, kalau aku ini anak jadah. Dan ayah tak pernah menjelaskan apa maksud ’anak jadah’ itu. Akhirnya, kukatakan kalau ibuku tak pernah ada. Ibuku sendiri adalah ayah. Dia yang mengasuhku sejak kecil. Maka, di dalam lukisan itu, ada ibuku juga. Ibu yang tampak hanya dari wilayah imaji rasa. Ketika aku mendoakan ayah, artinya aku pun mendoakan ibu.” Sebab tak tahan, airmataku menetes. Sembab. Aku bersyukur, aku masih punya ibu. Masih punya ayah. ”Mengapa kamu menangis?” tanyanya heran. Aku diam saja. Lidahku kelu. ”Sudahlah. Aku telah terbiasa dengan itu. Makanya, aku suka melukis wajah-wajah kematian. Alasannya mudah saja. Aku ingin lukisan-lukisanku, menjadi pusara juga bagi mereka, mengingatkan mereka akan misteri kematian. Dan mereka akan banyak berziarah atau sekadar mengirimkan surat Al Fatihah, serta doa-doa kepada sosok di balik lukisan.” ”Mulia sekali niatmu.” ”Jangan memuji. Ini tak lebih indah dari mengorek sampah.” ”Maksudmu?” ”Tak ada nilainya.| Aku tersenyum. Dia pun tersenyum. ”Banyak sekali pesananmu sekarang?” ”Seperti yang kau lihat.” ”Boleh, aku melihatnya?” Dia mengangguk. Lukisan-lukisan itu kulihat satu-satu. Lukisan pertama, seorang lelaki muda sedang duduk di taman, bersama seorang perempuan sebayanya. Lelaki itu memegang sebilah pisau. Dari kejauhan, aku melihat misteri kejadian kematian lelaki. Ditusukkannya pisau itu tepat ke jantungnya sendiri. Perempuan itu berbicara samar-samar. Bahkan, dia membiarkan kematian si lelaki. Pikirku, itu kisah ’cinta gila’, di mana perempuannya sama gilanya dengan lelaki, lelaki yang rela mati hanya untuk pembuktian cintanya. Lukisan kedua, lukisan ketiga, lalu lukisan keempat, kulihat sebentar saja. Hanya dari dekat. Sebab, tiba-tiba aku merasa muak dengan kisah sejarah di balik gambar dalam lukisan. Pikirku, segala misteri dalam lukisan itu, semuanya memiriskan. Aku terlalu takut dan trauma. Mendapati lukisan lain, aku tercengang. Lukisan itu dibungkus kain putih serupa kafan. Wajah dalam lukisan itu sendiri, seperti, aku telah mengenalnya. Warna kulitnya saja yang tampak terlalu putih, seolah-olah tak ada merah darah di dalamnya. Serupa jenazah. Kutatap lekat lukisan itu. Seperti sketsa lukisan yang pernah kulihat sebelumnya. Hanya ada wajahnya dan wajah laut. Aku ingat, lukisan itu seperti sebuah lukisan yang dianggap pusara olehnya. Lukisan ayahnya. Lukisan yang berlatar belakang laut. Apa artinya? Kulihat sekeliling ruangan, dia telah tiada. Kupanggil dia, tak ada suara. Aku keluar ruangan. Keluar dari rumahnya. Berjalan menuju laut yang jaraknya terbilang dekat. Sepuluh menit aku sampai. Tak ada apa-apa. Laut sepi. Aku pulang ke rumah. Aku menjadi khawatir sekali kepadanya. Jangan-jangan? Banyak tanda tanya berloncat-loncatan dalam pikiran. Keesokan harinya, pagi-pagi sekali, kudengar ada berita menggemparkan dari laut. Aku berlarian menuju laut. Ada kerumunan orang di laut. Aku masuk ke dalamnya. Ada mayat. Ada mayat. Kulitnya putih sekali. Kulihat wajahnya. Aku tak sempat berpikir, semua akan berakhir di sini. Wajahnya? Oh, tidak…..! Aku ingat sebuah lukisan. Lukisan itu seperti lukisan ayahnya. Lukisan itu pusara dirinya. Kuambil lukisan itu dan kupajang di kamar. Seperti yang pernah dikatakannya, ia sering mengirimkan surat Al Fatihah kepada ayahnya. Maka, aku pun demikian, akan menirunya. Yogyakarta, 3 April 2011
""Lukisan Kematian""
Aku tidak bohong. Di sini hujan turun seperti gadis kecil yang pemalu, tetapi selalu riang. Kadang kala kubayangkan hujan mengetuk-ngetuk bumi dengan kaki-kaki gadis kecil yang menari kian kemari. Aspal, trotoar, dan pepohonan basah tapi ceria turut menari bersama. Di sini hujan sering turun dan, uniknya, hampir selalu hanya berupa gerimis. Sesekali saja terjadi hujan lebat dengan angin ribut atau geledek membentak-bentak di angkasa. Apabila hujan turun, aku paling suka duduk dekat jendela sambil melipat tangan di meja. Kulayangkan pandangan ke luar sambil menyimak ketukan air tempias ke kaca. Dari jendela tampak dinding-dinding dan atap bangunan kuno di seberang jalan. Dalam kondisi kering, tembok dan atapnya tampak kelabu terang, tapi setelah dibasahi hujan, warnanya menggelap dan terlihat misterius, seakan-akan di dalam gedung itu ada makhluk-makhluk gaib yang bergentayangan. Pada bagian tertentu meruap juga nuansa merah bata yang asli, meski tidak mencolok. Bangunan itu ada sebelum aku dilahirkan dan seingat aku bentuknya tidak pernah diubah oleh pemiliknya. Selain itu, yang kuintai manakala hujan tengah mempersembahkan baktinya kepada bumi adalah angkasa kelabu yang menggigil dan memuncratkan seluruh embun yang menggenangi permukaannya kepada bentang alam yang telentang pasrah. Pernah aku membayangkan langit sebagai dada perempuan yang berdegup dengan suasana batin seorang ibu yang prihatin dan bersedih. Dada yang subur. Dada yang telanjang, tetapi sensualitasnya terselubung oleh uap samar yang menenangkan. Kemudian dada itu berpeluh. Peluh yang menyembul melalui pori-pori dan melapisi kulitnya yang halus dengan genangan embun bening menebal. Ketika angin menepuk dada itu, genangan itu luruh menjadi hujan. Aku pernah mengungkapkan gambaran tersebut kepada seorang teman, tetapi dia mencibir seraya berujar, ”Bukankah seharusnya dada memuncratkan air susu? Mengapa keringat? Lalu di mana keindahannya? Ada-ada saja kamu ini. Air susu adalah metafora bagi cinta seorang ibu. Mestinya kamu tahu, sengawur apa pun imajinasi, sepatutnya diperkuat logika—mungkin dalam ketidakmungkinannya.” ”Haruskah begitu?” Dia tertawa, kemudian dengan gaya merenung yang dibuat-buat dia bersabda, ”Kamu ini naif sekali. Bergaya penyair, tapi tidak paham perkara remeh seperti itu.” ”Aku tidak bermaksud bergaya penyair.” Temanku tersenyum dan kupikir itu senyuman orang jahat. Agar tidak menambah kesan jahat pada dirinya, aku tidak pernah lagi mengungkapkan apa pun yang melintas di benakku sebagai apa yang dia istilahkan ”buah imajinasi”. Anehnya, setelah hijrah ke luar negeri, dia lebih sering bertanya soal hujan kepadaku lewat telepon, pesan singkat, dan surat elektronik. Aku hanya menjawab sekenanya. Kemudian dia memprotes. Protes itu dia lontarkan dalam obrolan via internet. Saat itu matahari tengah memancarkan cahayanya dengan murah hati. Akhir pekan yang cerah. Terlalu cerah malah. ”Dulu kamu sering berkomentar tentang hujan. Kau bilang indahlah, romantislah, begini, begitu. Sekarang kenapa kering ungkapanmu? Apakah sudah jelek hujan di sana sekarang?” Uh, sinis sekali. ”Hujannya tetap seperti dulu.” ”Lalu?” ”Aku tidak bisa ceritakan. Kalau kamu mau tahu, pulanglah dan saksikan sendiri. Tak bisa kamu mencerap keindahan hanya lewat komentar orang lain.” ”Wah, hebatnya!” ”Salah sendiri, bertanya soal hujan pada saat matahari bersinar terang.” ”Oh, di sana cerah sekarang?” ”Ya.” ”Di sini beku. Kami dikepung salju seminggu penuh!” Lambat laun kami semakin jarang berkomunikasi. Mungkin dia sibuk. Aku sendiri sibuk, ditambah kehadiran perempuan yang menjadi ibu bagi putra-putriku. Selanjutnya anak-anak mempersembahkan cucu-cucu untuk kami. Kawanku yang kadang-kadang menyebalkan itu tidak pernah mudik dan tanpa kabar lagi. Kebiasaanku menikmati hujan tidak pernah berubah, meski tidak sesering dulu. Mungkin intensitas penikmatannya pun tidak sedalam dulu, entahlah. Sesekali aku masih keluar rumah ketika gerimis mulai turun, yang menimbulkan kejengkelan anak bungsuku dan menantu yang tinggal serumah dengan kami. Istriku sendiri tidak banyak cakap. Kukira dia sudah tahu tidak ada gunanya melarang aku menikmati hujan. ”Kalau Papa sakit bagaimana? Sudah tua masih suka keluyuran dalam hujan. Ini payung dan jas hujan.” Kecerewetannya sungguh menjengkelkan. ”Apakah dulu aku pernah melarang kamu dan kakak-kakakmu berhujan-hujan?” begitulah aku pernah mengomel. Menantuku mundur dengan bijaksana, tapi putriku pantang menyerah. ”Iya. Malah dulu Papa cerewet sekali.” ”Apa iya?” ”Iya.” Aku mengalah. Kuterima jas hujan parasut yang panjang selutut itu. ”Ini payungnya, Pa.” ”Tidak usah.” Sempat kudengar gerutu putriku ketika aku membuka pintu dan melangkah, menyentuh tirai gerimis, ”Dasar keras kepala.” *** Itu dulu, sebelum datang tahun-tahun yang ganjil ini. Pada awal tahun masih kukagumi Januari dan Februari sebagaimana biasa, tapi bulan demi bulan berlalu dan genangan air mulai terbentuk di sudut-sudut kota, bantaran sungai, bahkan hingga di tengah kota. Kendaraan-kendaraan seperti berenang akibat banjir. Kini hujan bukan lagi sekadar gerimis yang menggemaskan bagai kanak-kanak, melainkan berupa curahan air terjun disertai petir dan angin ribut. Sepanjang hari langit gelap dan mendung selalu mengurung berupa gumpalan-gumpalan hitam yang menakutkan. Aku tidak lagi berminat keluar rumah apabila hujan mulai tercurah. Yang kulakukan hanya duduk mematung di sisi jendela sambil membayangkan masa lalu yang tidak akan kembali. Walaupun demikian, aku tidak ingin berubah pikiran hanya karena perubahan iklim. Aku ingin mengenang hujan yang indah dalam benakku. Tiba-tiba, petir membahana. Jantungku nyaris copot. Lantas atap berderak diterpa angin. ”Pakai mantel ini, Kek,” bisik cucuku dengan lembut. Senyumnya teduh. Sebentar lagi dia akan menikah. Alangkah cepat waktu berlalu. Kurasakan kantong mataku memberat. Ketika mantel yang tebal dan lembut menyentuh kulitku, barulah aku menyadari bahwa aku menggigil kedinginan sejak tadi. 2 April 2011
""Hujan yang Indah""
Kau, tidak bercerita tentang dirimu. Kau, bercerita tentang ibumu. Kedekatanmu dengan ibu yang melebihi kedekatan dengan ayah. Bahkan hanya kau satu-satunya yang ibumu minta untuk meneteskan obat ke telinganya yang sedang sakit. Hanya pada dirimulah ibumu meminta diantar ke dokter, bukan kepada adikmu atau ayahmu. Keluargamu adalah dua kubu yang terpisah. Kau dan ibumu, adikmu dan ayahmu. Namun, kalian tetap baik-baik saja. Kalian telah terbiasa hidup seperti itu. Terbiasa dengan pertengkaran-pertengkaran kecil yang selesai dengan sendirinya. Manusia memang seperti itu, kataku. Kita hidup karena terbiasa. Kita membenci kemacetan jalan raya tapi tetap menerimanya. Karena itu bagian hidup kita. Kau terdiam seolah mengiyakan. Taman ini baru pertama kali kau kunjungi. Sementara aku, sudah puluhan kalinya. Kau terlihat takjub dengan kencan yang kuciptakan. Kencan yang memang tak ingin kubuat lazim—ke mal, makan, nonton bioskop, jalan-jalan dalam ruang berpendingin, dan jika masih ada sisa waktu nongkrong di kedai kopi. Tidak. Aku ingin membuatmu terkesan. Ingin membuatmu merasa aku berbeda dari orang-orang yang selama ini pernah kau kenal dalam hidupmu. Aku tahu kamu sangat mudah berkeringat, hingga kau lebih merasa nyaman di ruangan berpendingin. Tapi, aku yakin, kau dengan perasaanmu padaku, akan mau mencoba mengikuti cara kencan ini. Dan di kursi inilah kita berada saat itu. Melihat warna langit yang berubah perlahan. Menyaksikan terang beranjak gelap. Minum segelas air jeruk artifisial seharga seribu lima ratus rupiah. Mendengarkan suara pengamen yang bernyanyi di kedai makanan dekat taman. Saling bercerita tentang kehidupan masing-masing. Kau dengan keluargamu, dan aku dengan impian-impianku. Kencan kita di taman mengawali sederetan pertemuan kita selanjutnya. Pertemuan yang tak melulu ideku. Kau, pada akhirnya terlihat lebih nyaman di ruang berpendingin yang kau anggap satu-satunya solusi untuk mengatasi ketidaknyamanan dirimu pada tubuhmu yang sangat mudah berkeringat. Namun, ada hal yang menyentuh hatiku yang kau lakukan untukku. Sewaktu aku menuju mal tempat kita akan bertemu, kau kaget sewaktu aku meneleponmu bahwa aku naik bus karena sulit menemukan taksi yang tidak berpenumpang. Aku turun di seberang mal dan saat menaiki jembatan penyeberangan, kau sudah ada di tengah jembatan dengan ekspresi khawatir. Tak kau pedulikan keringat yang membasahi wajah dan rambutmu. Rupanya kau setengah berlari dari mal untuk menjemputku. Kau segera memelukku dan berbisik bahwa kau khawatir karena aku naik bus kota. Saat itu kau begitu tampan dan manis meski wajahku ikut basah oleh keringatmu. Kini di sinilah aku berada, di kursi taman yang sama sambil mengingat saat-saat bersama kita. Saat kita bercinta untuk pertama kalinya. Saat aku menyadari kenapa aku mencintaimu. Jawaban itu ada di matamu. Mata yang selalu terbuka saat kau menciumi sekujur wajah dan tubuhku. Mata yang lebih berbicara banyak hal dari yang terkatakan oleh bibirmu yang penuh dan lembap. Mata yang membuatku menyerah untuk menemukan semua penjelasan nalar. Melihat dan terlihat oleh matamu, membuatku selalu telanjang. Seharusnya aku ngeri. Karena aku tak lagi memiliki selubung apa pun. Seolah kota tanpa benteng. Rumah tanpa pagar. Mata itu tak menyampaikan kata permisi. Langsung masuk melewati pintu utama, melintasi ruang tamu, tak memedulikan isi dapur, dan langsung masuk ke ruang tidur tempatku menunggu dengan kepasrahan bulat Ishak yang akan dikorbankan Abraham kepada Tuhannya. Kau, lewat matamu, membuatku tak pernah bisa menolak. Banyak hal yang kautawarkan lewat mata itu. Tentang kebersamaan, tentang hidup tanpa beban, kebebasan tak berbatas, perjalanan ke ujung pelangi. Hanya ada kau dan aku. Berdua menyusuri setiap tepi impian. Ya, kaulah dunia fantasiku. Aku terbebaskan di duniamu. Sesekali aku harus pulang ke dunia nyata. Saat itulah aku merindukan teramat sangat pada matamu. Sering kusengaja memejamkan mata untuk membayangkan saat-saat kita berciuman dan mata kita saling berpandangan. Kau membiarkanku masuk dalam dunia di dalam matamu. Saat aku merasakan ketiadaan gravitasi. Ruang angkasa yang tak berbatas. Namun, kenyataan memang selalu mengempaskan kita kembali ke tanah. Terbanting keras hingga kadang membuat remuk. Tak peduli seberapa lamanya kita ingin bersama, kita harus berpisah. Kuharap untuk sementara, bisikku sambil mengecup pelan lehermu. Kau terdiam, bibirmu mengerut cemberut. Dan kau pun terpejam, tak membiarkan matamu menyaksikanku pergi. Aku tak pernah pergi. Bahkan meski itu hanya untuk beberapa hari. Bagaimanapun demi pertemuan kita selanjutnya, aku tak ingin membuat pasanganku jadi bertanya-tanya jika aku pergi lebih dari satu hari. Ada peran berbeda yang harus kujalankan. Seperti seorang aktris panggung yang tak bisa menolak peran yang disodorkan sutradara. Demi kepuasan penonton, aku harus menjalankan peran itu hingga selesai. Sering kali saat aku menjalankan peranku, kubiarkan pikiranku melayang menciptakan imajinasi tentang kita berdua ketika semuanya mungkin berbeda. Aku bisa dengan mudah mengunjungi rumahmu, mungkin bertemu dengan ibumu, berbincang dengannya tentang masa-masa kecilmu. O ya, mungkin dia akan memperlihatkan foto-fotomu sewaktu kecil. Siapa tahu dia akan berkisah tentang kesedihan dan kekhawatirannya sewaktu tanganmu patah hingga menyisakan segaris bekas jahitan panjang di lengan kirimu. Dalam hati aku akan berkata kepada ibumu, aku sering mengecup bekas luka anakmu untuk meringankan sakitnya. Ada benang jahitan yang masih tertinggal dan membuatnya nyeri setiap kali sikunya terbentur. Tapi, hal itu tidak kukatakan padanya. Aku tahu dia bakal lebih banyak berpikir nantinya. Tak baik untuk kesehatan sarafnya. Atau bisa juga aku akan menemani ayahmu berkebun. Mungkin membawakan sekop atau sekadar bercakap-cakap dengannya ketika dia tengah mencabuti rumput liar. Siapa tahu dia akan bercerita bahwa sedingin apa pun sikapnya padamu, dia selalu mengkhawatirkanmu. Bahwa di balik kemarahannya, dia begitu sedih saat kalian bertengkar dan melihatmu menggenggam pisau. Bahwa sebenarnya dia bangga terhadapmu sekarang. Dengan pekerjaanmu, dengan cara kamu membantu keuangan keluargamu, dan cara kamu merawat ibumu. Bisa jadi aku akan memiliki waktu ngobrol dengan adikmu. Yang sebenarnya mengagumimu diam-diam. Jika tidak, mana mungkin dia sampai meminjam kausmu dan sepatumu tanpa izin? Kau begitu marah setiap kali adikmu meminjam barang-barangmu. Kau yang begitu rapi, memang sangat berbeda dengan adikmu yang terkesan sembarangan. Namun, tahukah kau, dia sebenarnya segan terhadapmu, dengan cara yang belum kaumengerti. Kubayangkan aku mungkin akan memasak untuk seluruh keluargamu. Tumis spaghetti daging asap dengan irisan cabe rawit yang kausukai. Atau garang asem ayam yang akan sangat mudah kubikin karena aku tinggal memetik belimbing keris di halamanmu untuk menciptakan rasa asam yang segar. Dan saat semuanya terhidang, aku akan menunggui kau dan keluargamu untuk mencicipinya terlebih dahulu dan merasakan gelenyar hangat di dadaku ketika mereka menyukainya. Saat itu kau akan mengecup keningku dengan rasa bangga dan sayang tak terkira. Tahukah kau, semakin hari aku semakin merasa ilusi itu semakin mendesak ke permukaan. Bergerak seolah magma yang menyusup celah-celah kerak bumi mencari kepundan yang siap meletuskannya. Aku sekuat tenaga mencoba menahan lava itu untuk tetap berada di dasar bumi. Entah untuk berapa lama. Suatu hari aku mulai menyadari matamu mulai terpejam. Kau menciumku dengan mata terpejam. Kau memejamkan matamu saat menyentuh sekujur tubuhku, saat mengelus rambutku, saat mengecup leherku, saat tubuhmu menegang, mengeratkan pelukanmu. Kau menutup matamu. Saat kau membuka matamu, labirin yang biasa kutelusuri tak lagi sama. Dulu, labirin itu tak pernah menyesatkanku. Labirin itu menuntunku menyusuri kelokan-kelokan yang kukenal, menuju sebuah taman yang sama tempat kencan pertama kita. Hanya saja taman itu tak berpenghuni. Lebih hijau, lebih sejuk, hingga tak membuatmu berkeringat. Di taman itu kita duduk di bangku yang sama, saling bergenggaman tangan, dan aku selalu duduk di sebelah kirimu. Kusandarkan kepalaku di bahu kirimu. Tangan kiriku perlahan mengelus bekas luka di lengan kirimu. Kita sama-sama terdiam. Sunyi. Hening. Hanya bunyi napas kita di taman itu. Kini labirin itu tak mengantarkanku ke mana pun. Aku berusaha menyusuri setiap kelokan, tapi tak kunjung kutemukan taman itu. Labirin ini memerangkapku. Tersesat membuatku sesak napas. Aku tersengal. ”Kau sakit?” tanyamu sambil membelai pipiku. Aku menggeleng. Aku kembali berusaha melihat matamu. Namun, aku kembali mengalami kejadian yang sama. Tersesat dan tak bisa bernapas. ”Ingatkah kau dengan taman tempat kita berkencan pertama kali?” tanyaku. Kau mengangguk. ”Itu saat terindah buatku,” kataku. ”Buatku juga, Sayang,” ujarmu sambil mendaratkan ciuman di bibirku. Dengan mata terpejam. Dalam hati, aku berteriak. Terbukalah! Aku ingin kau memandangku seperti dulu lagi. Aku tak tahu siapa yang ada di matamu jika kau terpejam seperti itu! Biarkan hanya aku yang kau lihat. Namun, kau tetap terpejam. ”Maukah suatu hari kita kembali ke taman itu?” tanyaku. Kau mengangguk. Dan di sinilah aku sekarang. Duduk di bangku yang sama di taman tempat kita pertama kali berkencan. Sore ini tak ada remaja-remaja yang bermain basket. Namun, masih ada penjual minuman air jeruk artifisial yang dulu. Kulihat ada seorang lelaki 40 tahunan yang mengajak seekor anjing husky berjalan-jalan. Lihatlah, anjing itu begitu besar dan sepertinya jinak. Di bangku ini, aku duduk dengan kedua tanganku berada di atas pangkuanku. Kali ini aku tidak memakai celana jins abu-abu dan kaus lengan panjang warna putih. Aku memakai rok terusan warna biru pucat. Perlahan kubuka kedua tanganku yang sedari tadi tergenggam. ”Lihatlah, Yank. Taman ini masih sama seperti dulu. Kau lihat sendiri kan, penjual minuman itu masih sama. Kali ini tidak ada yang bermain basket. Pengamen di sana masih bernyanyi seperti dulu,” ujarku perlahan. Kupandangi kedua telapak tanganku yang basah bersimbah darah. Menetes hingga menodai kain rokku. Di situlah, di kedua telapak tanganmu, kuletakkan matamu. Terbuka utuh. Sepenuhnya. Hanya memandangku dan memandang taman kita berdua. Jakarta, 2 Juni 2011
""Terbukalah""
Dua belas jam yang lalu ada yang mengaku akan datang. Yang saya harapkan selalu di kafe itu senyumnya akan mengembang. Ketika melihat saya. Karena berdekatan dengan pujaan hati, katanya. Biasanya kami akan menghabiskan waktu dengan percakapan. Saling bertatapan. Saling bertukar harapan. Harapan untuk bisa merapat dan berdekapan. Di suatu tempat yang jauh dari kegaduhan. Namun, sebenarnya, hati saya selalu gaduh. Ketika di atas tubuhnya saya mengaduh. Karena setelahnya saya akan mengeluh. Bertanya, ke manakah hubungan ini akan berlabuh? ”Kenapa perlu dipertanyakan, Sayang. Kita sedang berlabuh ke sebuah ketidak-tahuan yang memabukkan.” ”Hah?!” Saya bukan orang yang mengerti bahasa isyarat. Apalagi kalau itu mengandung makna filosofis berat. Saya cuma tahu karena saya merasa. Bukan karena teori-teori yang tercantum dalam buku-buku yang pemikir sepertinya biasa baca. Saya hanya mau mencinta. Apakah lewat buku-buku bermartabat itu baru cinta bisa dicerna? Ia selalu menyebutkan nama-nama terkenal yang saya tidak kenal. Ia selalu menyebutkan nama-nama yang bahkan di dalam kepala saya pun tak akan lama mengental. Badiout? Platoy? Badut yang letoi, begitu yang selalu ada di dalam kepala saya tercantol. Bukan karena pemikiran mereka tentang kebenaran yang tidak saya pahami. Tapi lebih karena setiap kali melihat badut yang letoi, saya merasa tak sampai hati. Saya tidak pernah habis pikir mengapa ada karakter semacam badut di sirkus. Rata-rata mereka sebenarnya berbadan kurus. Bermuka tirus. Hanya kosmetik di mukanya memberangus. Dan buntalan di perutnya yang besar membungkus. Sehingga ia kelihatan lucu dan mungkin bagus. Bagi mata orang-orang tua yang membawa anak-anaknya hanya untuk sejenak melupakan haus. Haus hiburan. Haus kebersamaan. Haus tertawa bersama dalam suasana kekeluargaan. Padahal mata anak-anak itu mungkin bisa melihat apa yang ada di balik mata badut-badut. Mata yang bersungut. Dan mulut yang merengut di balik riasan begitu lebar dan memerah di mulut. Salah satu mata anak-anak itu, adalah mata saya. Mungkin di antara banyaknya anak-anak itu, hanya saya satu-satunya. Melihat badut yang itu-itu saja di setiap pertunjukan sirkus apa pun dan di mana pun juga. Badut yang letoi. Letoi yang adalah seperti tak bersendi dalam bahasa asli Jakarta. Dan selalu ada garis merah di bawah mata mereka seperti air mata. Jadi saya tidak pernah mengerti mengapa mereka menertawakannya. Bahkan sampai sekarang, ketika usia saya menginjak dewasa. Menertawakan kesedihan. Menertawakan kebersamaan. Menertawakan keadaan merekakah yang terpaksa datang bersama sanak keluarga hanya atas nama kekeluargaan? Menertawakan diri mereka sendiri. Dan untuk itu ada harga yang harus mereka beli? ”Hahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahhahahahahahahaha.” Akhirnya saya tertawa lepas sebelum ia menjawab reaksi saya. Sangat lepas melebihi tawa saya melihat badut-badut letoi di sirkus. Berikut binatang-binatang yang tidak seharusnya diberangus. Sangat sangat lepas melebihi tawa-tawa dengannya yang sudah hangus. ”Kenapa kamu ketawa, Sayang? Saya kan udah bilang, kalau kamu mau jadikan anak kita, sekarang saatnya. Saya tidak akan bisa kasih anak ke kamu lagi mengingat umur saya sudah lima puluh tahun sekarang. Tapi, saya tidak bisa jamin apakah saya bisa tanggung jawab secara material.” Kupu-kupu melebarkan sayapnya tepat di depan bebungaan di mana kami duduk. Ia pun melebarkan jangkauan tangannya di mana tangan saya sedang diam merunduk. Mencoba meredam tawa saya yang sudah terdengar seperti orang mabuk. Tenang gerakannya sangat saya tahu sebenarnya memendam rasa amuk. Karena itu segera saya kibaskan tangan itu berpura-pura menghalau nyamuk. ”Kamu…” ”Hah?!” Saya memotong kalimatnya. Persis seperti apa yang dilakukan badut-badut ketika berada di atas arena. Berteriak ketika ada yang mengolok-oloknya. Terjatuh. Mengaduh. Berlari. Tanpa berani memaki. Menghilang ke balik panggung. Disertai dengan sorak-sorai dan tawa menggunung. Sorak-sorai itu yang mengingatkan saya atas kutipan-kutipan yang disebutkan ia dari nama-nama pemikir. Membuat saya mencibir. Karena ada letupan kembang api di kepalanya. Dan warna-warni serpihan kembang api itu jatuh ke bahunya. Ia tidak pernah mengetahuinya. Maka, ia tak merasakannya. Ketika serpihan kembang api itu melumatnya. Bahkan ketika ia berkata, ”Kenapa perlu dipertanyakan, Sayang. Kita sedang berlabuh ke sebuah ketidak-tahuan yang memabukkan.” Tapi di manakah sekarang ia? ”Hah?!” Terkejut saya ketika bahu ditepuk seseorang. ”Boleh saya ambil bangku yang tak terpakai?” ”Hah?!” Saya tidak bisa menentukan. Saya sudah menunggu dua jam dengan perut kram akibat pengguguran. Namun ia tak juga datang. Tapi apakah saya harus menyerahkan bangku kosong di sebelah saya ke seseorang? Seseorang yang membutuhkan bangku tambahan di mejanya karena ia bersama banyak teman tak terkecuali perempuan? ”Boleh saya pakai bangkunya, Mbak?” Saya menatapnya. ”Maaf, ada yang saya tunggu.” ”Waktu?” Waktu menunjuk pukul tujuh. Jakarta, 19 Agustus 2011 10:14 AM
""TUNGGU!""
Munar, sang sesepuh desa, berusia hampir 70-an. Meskipun kulit tubuhnya dipenuhi keriput sekujurnya, kegesitannya belum banyak tergerus. Meskipun juga tidak jelas apa mata pencahariannya, Munar mampu memberi makan empat istri dengan masing-masingnya memiliki tiga hingga lima anak. Cucunya belasan. Namun, ini memang bukan cerita tentang Munar yang—meskipun sepuh tapi—matanya masih selalu menyemburkan api bila melihat wanita muda dan cantik. Ini soal Casmidi semata. Laki-laki yang sudah memberi Cisminah seorang anak laki-laki yang diberinya nama Cusd’amato. Munar sangat disegani karenanya. Karena pertama, dia tertua di dusun itu. Karena kedua, dia dianggap bijak bestari. Karena ketiga, dia berilmu lahir dan batin. Setelah itu, orang lain suka atau tidak, bininya empat dan akur satu sama lain. Tak ada laki-laki senekat Munar. Karenanya, begitu dia melangkah mantap menaiki podium, semua mulut hadirin terkatup rapat. Diam menunggu. Cuma gesekan dedaunan rumpun bambu yang terdengar karena embusan angin. Sebelum membuka mulutnya, Munar menandai penghargaannya atas kehadiran warga dengan menyapukan pandangan kepada seluruh tamunya dengan senyumnya. Tak lupa anggukan-anggukan takzimnya. Sesaat kemudian, setelah membuka acara dengan sejumlah kalimat dan bacaan-bacaan sebagaimana mestinya, Munar menyilakan Cisminah naik ke podium untuk mengurai persoalan hidup yang tengah dihadapinya—meskipun dia tahu Cis pasti kian tersiksa karenanya. ”Cis yang sangat memahami persoalan hidup yang tengah membelit hidup dan rumah tangganya,” Munar berucap seraya menancapkan pandang matanya kepada perempuan 40-an tahun yang duduk dengan kepala tertunduk. ”Ayo, Cis, silakan.” Munar melangkah mundur dari podium. Para undangan menunggu. Seluruh pandang mata tertuju kepada Cisminah. Perempuan itu duduk sambil terus menggenggam tangan Cusd’amato. Para undangan menakar-nakar dan menduga-duga keberanian Cis untuk maju dan berdiri di podium, membuka katup mulutnya, menceritakan laku suaminya belakangan. Cis memandang Cus. Seperti meminta dukungan. Cus menunduk tanpa reaksi. Membiarkan waktu merambat dan rambut jojosnya digoyang embusan angin yang menelusup dari sela-sela rumpun bambu. ”Cis,” suara Munar memecah sepi, setengah berbisik. Tanpa perlu diingatkan kedua kalinya, Cis mengangkat pantatnya. Para undangan berdebar menunggu sambil terus mengikuti langkah satu-dua Cis menuju podium. Hening lagi. Cis berdiri bagai onggok kayu. Membiarkan kepalanya merunduk dan waktu terus mengalir. ”Cis,” Munar mengingatkan. Cis bergeming. Dua tiga kali tetap begitu. Munar membawa langkahnya mendekati Cis. Menyisi. Cis jadi tampak imut karena ujung rambut bagian atas kepalanya tak lebih tinggi dari punggung Munar. Dia mendehem, seolah membuang sumbat dalam lubang rongga kerongkongannya. ”Baiklah,” Munar memulai. ”Izinkan aku yang bicara, Cis.” Memutar leher ke Cis yang masih merunduk. Lalu, beralih menebar pandang kepada tamu-tamu yang masih duduk diam di hadapannya. ”Cas,” kata Munar menyebut nama Casmidi, ”Sikapnya aneh, benar-benar aneh, tidak kita bisa mengerti, semenjak seminggu yang lalu.” Berhenti sesaat oleh suara batuk tertahan salah satu undangan. Pada kepala orang-orang itu berseliweran sosok Cas. Tinggi sekitar 170 cm. Kepala agak lonjong. Bibir kebiruan. Mata cekung dengan alis hitam pekat. Dahinya lebar. Sebagian rambut memutih. Warna kulit putih pucat. Munar kemudian mengurai keanehan-keanehan Cas seperti yang sebagian besar sebenarnya juga sudah diketahui warga. ”…dua minggu lalu Cas menguras tabungannya. Membagi-bagikannya kepada orang-orang yang dia anggap sangat membutuhkan bantuan dan hanya menyisakan sedikit untuk kebutuhan keluarganya untuk sekali makan…” Diam sejenak. Berdehem satu kali. Lalu melanjutkan: ”…Cas sekarang selalu keluar dari rumahnya pada pagi hari. Menjelang siang dia pulang dan memberi uang atau apa pun yang didapatkannya untuk makan keluarganya siang itu. Untuk makan keluarganya di sore hari, Cas berangkat lagi dari rumahnya entah ke mana dan baru kembali menjelang sore untuk memberikan pendapatannya kepada keluarganya…” Munar mengatur sengalnya. ”…seminggu lalu, Cas menjual barang-barang di rumahnya. Televisi, radio, sepeda… Cas melepas lima burung perkututnya, melepasnya begitu saja. Burung-burung klangenan itu beterbangan tak karuan. Ada yang kembali ditangkap tetangga. Cas diam saja. Membiarkan. Seperti tidak tahu…” Munar kembali mengatur napas. Cis terduduk serupa patung. Cus di kursinya menatap ruang kosong. Tanpa reaksi. ”…Cas juga membagi-bagikan pakaian-pakaiannya dan pakaian-pakaian anak dan istrinya yang masih layak pakai. Menyisakan satu dua potong belaka. Isi rumahnya hampir melompong…” Munar mendongak seperti memikirkan sesuatu. Lalu katanya lagi: ”…Cis kemarin mendatangi saya. Menangis terisak. Katanya Cas sudah menjual sepetak sawahnya. Uangnya tidak dibawa pulang. Diserahkan kepada amil masjid. Amal jariah katanya. Selain tanah dan rumah yang kini ditempati, Cas tak punya apa-apa lagi.” ”…itu mungkin baru sebagian yang kita sama-sama tahu. Kita belum tahu apa saja yang sudah dilakukan Cas, laku aneh yang tidak kita mengerti…” Munar terdiam sesaat. Seperti menunggu reaksi 15-an orang yang duduk di hadapannya tanpa suara. Karena tidak ada yang berani membuka suara, Munar melanjutkan: ”…ada yang bertanya?” dia bertanya. ”Ada yang bertanya mengapa Cas melakukan hal itu? Tidak ada. Kalau begitu, baiklah saya jelaskan saja garis besarnya.” ”Bagi Cas,” Munar memulai lagi, ”Manusia bisa mati kapan saja. Bisa sekarang, satu menit kemudian, satu jam kemudian, satu hari kemudian, satu minggu, satu bulan, satu tahun… kapan saja. Karena itu, Cas merasa ndak perlu punya tabungan atau simpanan makanan atau uang bahkan untuk besok pagi, untuk sore hari, untuk besok, minggu depan, bulan depan, atau tahun depan. Semua simpanan kita, uang, makanan, pakaian, kendaraan, rumah, tanah, tidak ada artinya bila kita tiba-tiba semaput dan mati. Semuanya akan kita tinggalkan. Yang kita bawa cuma raga kita dan amal kita…” Mulai terdengar bisik-bisik. Seperti suara lalat. Munar membiarkan. ”Coba tenang,” Munar memulai lagi. ”Cis menangis kepada saya, meminta saya mencarikannya jalan keluar. Apa sebaiknya yang harus dia lakukan? Saya memberinya beberapa pilihan. Pertama ikut saja apa kata dan laku Cas yang penting setiap hari bisa makan, bisa pakai baju, tidak kelaparan, ndak kedinginan karena Cis mengaku masih cinta sama Cas. Yang kedua, ini bukan anjuran, ini cuma pilihan jalan keluar, yaitu bercerai saja dari Cas. Berpisah. Memilih jalan hidup masing-masing. Sudah tentu pilihan itu ditolak Cis karena Cis masih cintrong sama Cas. Cas, kata Cis, hebat di…” Munar menahan senyum. Para undangan pun senyum-senyum sembari bersidakep. Malam terus merayap. Bulan mulai ngintip dari langit pucat. Gerimis menyisakan dingin. ”Sudara-sudara karenanya saya minta berkumpul di sini. Untuk membantu Cis mencari jalan keluar. Makin banyak kepala makin banyak ide. Juga pikiran. Siapa tahu di antara kita yang ternyata sangat pintar sehingga punyalah pilihan jalan keluar.” Munar berhenti. Menunggu. ”Coba, siapa yang mungkin bisa membantu? Angkat tangan,” kata Munar karena tak ada yang berani angkat suara. ”Mungkin Tasmin,” Munar menatap Tasmin, ”Atau Amri, Nazar, Suyag, Tanta, Fudin, Haripur, Amsai, Zali, Bidin, Zubir, Akhyar, Dayus, Hayat, Anas…” Munar menyebut semua nama tamunya. Lalu tersenyum. ”Siapa saja boleh membantu. Membantu orang yang dalam kesulitan itu berpahala…” Zubir mengangkat tangan. Wajah Munar sumringah. ”Nah, lihat, Zubir mengangkat tangannya. Mari kita dengar apa bentuk sarannya. Mudah-mudahan sesuatu yang cerdas. Silakan, Bir.” Zubir berdiri. Tanpa memandang ke kiri dan kanan, dia memulai. ”Maaf, menurut saya, ternyata tidak ada gunanya kita berkumpul di sini. Apa yang dilakukan Cas itu benar. Benar sebenar-benarnya. Bahwa tidak ada gunanya kita memenuhi lemari dengan pakaian yang belum tentu kita pakai semuanya. Tidak ada gunanya kita menumpuk harta, uang, makanan, yang belum tentu bisa kita belanjakan, belum tentu kita makan. Jadi, Cas, sekali lagi, benar sebenar-benarnya…” ”Cukup, Bir,” Munar coba memotong. Zubir menutup mulutnya. Duduk. Namun, sejurus kemudian, suasananya jadi riuh. Oleh bisik-bisik. Kian lama kian keras. Tak bisa dikendalikan. ”Diam! Diam!” Munar berteriak nyaring. Namun, tak ada yang peduli. Satu per satu tamu-tamunya bangkit. Meninggalkan tempat itu. ”Hei! Tunggu! Tunggu! Pertemuan belum ditutup!” Munar terus berteriak. Lalu menyambar tangan Akhyar. ”Pada mau ke mana kalian?” ”Ke rumah Cas,” Akhyar menjawab. Mantap. ”Kami ingin seperti dia. Dia benar sebenar-benarnya.” Bidin mendekati Munar. Mulutnya menempel ke kuping Munar. Lalu berbisik. ”Cas itu…wali.” Cis menyorotkan tajam matanya kepada Munar. Juga Cus. Munar gelagapan.* * Tn Kusir, Juni 2011
""Cas Cis Cus""
Mata Peter akan berbinar setiap menceritakannya. Ia termasuk keturunan langsung spesies kura-kura yang diamati Charles Darwin ketika merumuskan teori evolusinya pada abad ke-19. Berapa kali ia sudah mendengar Peter mengatakan itu? Kau harus melihat sendiri, betapa cakepnya kura-kura itu. Ia botak dan bermata besar. Ia tua dan kesepian memang. Namun, sebentar lagi ia akan punya keturunan. Ada benarnya juga kelakar teman- temannya. ”Kau tahu, Jane, itulah risiko punya pacar zoologist. Kamu harus lebih dulu menjadi primata yang menarik untuk membuatnya tertarik bercinta denganmu.” ”Justru itulah untungnya. Aku tak perlu cemas. Karena Peter lebih tertarik memperhatikan binatang langka ketimbang perempuan berambut pirang.” Dan ia tertawa walau sebenarnya merasa konyol bila menyadari: betapa ia mesti berebut perhatian kekasihnya, justru dengan binatang-binatang langka seperti itu. Peter pernah cerita perihal burung bulbul langka yang berhasil ditemukannya bersama rombongan peneliti Worldwide Conservation Society di perbukitan kapur dataran rendah Laos; penemuan yang menurut Peter begitu menakjubkan, karena belum pernah dalam 100 tahun terakhir ditemukan spesies baru di Asia. Kau tahu, kicau burung bulbul itu jauh lebih merdu dari burung bulbul dalam dongeng HC Andersen. Bulu-bulunya hijau mengilap. Peter pernah pula bercerita tentang kucing emas yang misterius dan tak mungkin dijumpai, tapi ia berhasil melihatnya di pegunungan Tibet, sedang melesat memanjat pepohonan dengan gerakan yang bagai terbang. Setiap saat ada kesempatan mereka bertemu—saat mereka seharusnya menghabiskan setiap menit dengan bercinta—kekasihnya justru sibuk bicara soal katak berwarna ungu yang ditemukannya di Suriname, kumbang tahi, kadal tanpa kaki, duiker merah, galago kerdil, mokole mbembe di Sungai Zambeze, sejenis tikus bermoncong panjang yang disebutnya Zanzibar, burung Akalat Ukwiva—dan entah nama-nama aneh apa lagi—sampai obsesinya menemukan spesies putri duyung yang diyakininya masih hidup di perairan Kiryat Yam, Israel. Aku akan menjadi orang kedua setelah Richard Whitbourne, kapten kapal yang pada tahun 1610 pernah melihat putri duyung di pelabuhan Newfoundland St James…. Langit mulai menggelap dan keriuhan kendaraan yang memadati Horrison Street menyelusup masuk Café Gratitude. Jane Jeniffer ingat, tujuh tahun lalu, saat ia menikmati house lemonade di kafe ini, ia bertemu dengan Peter Bekoff, yang muncul dengan seekor iguana di pundaknya. Karena nyaris tak ada kursi kosong, laki-laki itu mendekati mejanya. ”Kau tahu, kenapa aku ke sini membawa iguana? Karena kalau aku datang bersama Jennifer Lopez pasti kafe ini seketika dipenuhi paparazi, dan kau tak bisa dengan tenang menikmati house lemonade-mu itu…” Entahlah, kenapa saat itu, ia menganggap lucu kata-kata itu. Mungkin itulah sebabnya, sering kita kangen pada saat-saat pertemuan pertama. Kita memang ingin selalu mengulang kenangan. *** ”Bukankah kau ingin melihat kunang-kunang?” Dulu, semasa kanak, ia memang pernah terpesona dengan makhluk yang bagai hanya ada dalam buku-buku dongeng. Di San Francisco yang hiruk pikuk, tempat ia tinggal sejak kanak-kanak, ia tak pernah melihat kunang-kunang secara langsung. Ia melirik Peter yang begitu asyik memandangi kunang-kunang yang disimpannya dalam stoples. Cahaya kuning kehijauannya membias pucat. ”Ini kunang-kunang istimewa, bukan golongan Lampyridae pada umumnya. Para penduduk setempat percaya, kunang-kunang ini berasal dari roh penasaran. Roh para perempuan yang diperkosa….” Saat menyadari Jane tak terlalu memperhatikan kunang-kunang itu dan lebih sering memandangi langit muram San Francisco yang membayang di jendela, Peter menyentuh lengannya. ”Percayalah, di sana, nanti kau akan menjumpai langit yang megah dipenuhi jutaan kunang-kunang.” Lalu suaranya nyaris lembut, ”Dan kita bercinta di bawahnya….” Tapi ia tak merasa kunang-kunang itu istimewa, seperti dikatakan Peter. Mungkin karena saat itu, ia memendam kekecewaan, sebab tahu bahwa pada akhirnya Peter tak akan mengajaknya menikmati kehangatan Pulau Galapagos, tetapi ke kota yang panas dan bising ini. Ini jelas bukan kota yang ada dalam daftar yang ingin dikunjunginya pada musim libur. Peter membawanya ke permukiman padat kota tua tak terawat. Banyak toko kosong terbengkalai, dan rumah-rumah gosong bekas terbakar yang dibiarkan nyaris runtuh. ”Di gedung-gedung gosong itulah para kunang-kunang itu berkembang biak,” ujar Peter. Padahal, sebelumnya ia membayangkan hutan tropis eksotis, atau hamparan persawahan, di mana ribuan kunang-kunang beterbangan. Peter seperti abai pada kedongkolannya, sibuk mengeluarkan kamera, fotograf dan beberapa peralatan lain dari ranselnya. Ia menunggu tak jenak. Ketika senja yang muram makin menggelap, dalam pandangannya gedung-gedung yang gosong itu seperti makhluk-makhluk ganjil yang rongsok dan bongkok, menanggung kepedihan. Dan dari ceruk gelap gedung-gedung itu seperti ada puluhan mata yang diam-diam manatapnya. Seperti ada yang hidup dan berdiam dalam gedung-gedung kelam itu. Lalu ia melihat kerlip lembut kekuningan, terbang melayang-layang. ”Lihat,” Peter menepuk pundaknya. ”Mereka mulai muncul. Kunang-kunang itu….” Itulah detik-detik yang kemudian tak akan pernah ia lupakan dalam hidupnya. Ia menyaksikan puluhan kunang-kunang menghambur keluar dari dalam gedung-gedung gosong itu. Mereka melayang-layang rendah, seakan ada langkah-langkah gaib yang berjalan meniti udara. Puluhan kunang-kunang kemudian berhamburan seperti gaun yang berkibaran begitu anggun. Beberapa kunang-kunang terbang berkitaran mendekatinya. ”Pejamkan matamu, dan dengarkan,” bisik Peter. ”Kunang-kunang itu akan menceritakan kisahnya padamu….” Ia merasakan keheningan yang membuatnya pelan-pelan memejamkan mata, sementara Peter dengan hati-hati menyiapkan micro-mic, yang sensor lembutnya mampu merekam gelombang suara paling rendah—menurut Peter alat itu bisa menangkap suara-suara roh, biasa digunakan para pemburu hantu. Keheningan itu seperti genangan udara dingin, yang berlahan mendesir. Pendengarannya seperti kelopak bunga yang merekah terbuka; geletar sayap kunang-kunang itu, melintas begitu dekat di telinganya, seperti sebuah bisikan yang menuntunnya memasuki dunia mereka. Ia terus memejam, mendengarkan kudang-kunang itu bercerita. ”Lihatlah api yang berkobar itu. Setelah api itu padam, orang-orang menemukan tubuhku hangus tertimbun reruntuhan….” Suara itu, suara itu menyelusup lembut dalam telinganya. Dan ia seperti menyaksikan api yang melahap pusat perbelanjaan itu. Menyaksikan orang- orang yang berteriak-teriak marah dan menjarah. Ia menyaksikan seorang perempuan berkulit langsat diseret beberapa lelaki kekar bertopeng. Asap hitam membubung. Beberapa orang melempar bom molotov ke sebuah toko, kemudian kabur mengendarai sepeda motor. Api makin berkobar. Perempuan itu menjerit dan meronta, diseret masuk ke dalam toko yang sudah ditinggalkan penghuninya. ”Lihatlah gedung yang gosong itu. Di situlah mereka memerkosa saya….” ”Mereka begitu beringas!” ”Mayat saya sampai sekarang tak pernah ditemukan.” ”Roh kami kemudian menjelma kunang-kunang….” ”Lihatlah… lihatlah….” Ia melihat puluhan kunang-kunang terbang bergerombol, seperti rimbun cahaya yang mengapung di kehampaan kegelapan. Puluhan suara yang lirih terus menyelesup ke dalam telinganya. Ia merasakan tubuhnya perlahan mengapung, seperti hanyut terseret suara-suara itu. ”Ayo, ikutlah denganku. Ayolah, biar kau pahami seluruh duka kami….” ”Jane!!” Ia dengar teriakan cemas. ”Jane!!” Ada tangan menariknya, membuatnya tergeragap. Peter mengguncang bahunya, ”Jane! Kamu tak apa-apa?!” Suara-suara itu, perlahan melenyap. Tapi bagai ada yang tak akan pernah lenyap dalam hidupnya. Ia menatap kosong, seakan ada sebagian dirinya yang masih ada di sana. Seakan sebagian jiwanya telah dibawa dan terikat dengan kunang-kunang itu. Lalu ia lebih banyak diam, memandang takjub pada ribuan kunang-kunang yang muncul berhamburan dari gedung-gedung yang gosong, seperti muncul dari mulut goa. Semakin malam semakin bertambah banyak kunang-kunang memenuhi langit kota. Jutaan kunang-kunang melayang, seperti sungai cahaya yang perlahan mengalir dan menggenangi langit. Langit kota dipenuhi pijar cahaya hijau kekuningan yang berdenyut lembut; seperti kerlip bintang-bintang yang begitu rendah, dan kau bisa menyentuhnya. Malam itu ia merasakan sentuhan dan pelukan Peter meresap begitu dalam. Ciuman-ciuman yang tak akan terlupakan. Ciuman-ciuman yang paling mengesankan di bawah hamparan cahaya kunang-kunang. Ciuman-ciuman yang selalu membawanya kembali ke kota ini dan kenangan. *** Pertama kali, kunang-kunang itu terlihat muncul pertengahan tahun 2002, empat tahun setelah kerusuhan. Seorang penduduk melihatnya muncul dari salah satu gedung gosong itu. Makin lama, kunang-kunang itu makin bertambah banyak, terus berbiak, dan selalu muncul pertengahan tahun. Para penduduk kemudian percaya, kunang-kunang itu adalah jelmaan roh korban kerusuhan. Roh perempuan yang disiksa dan diperkosa. Orang-orang di sini memang masih banyak yang percaya, kalau kunang-kunang berasal dari kuku orang yang mati. Dari kuku orang mati itulah muncul kunang-kunang itu. Sering, orang-orang mendengar suara tangis muncul dari gedung-gedung gosong yang terbengkalai itu. Gedung-gedung itu seperti monumen kesedihan yang tak terawat. Peter menceritakan semua itu, seolah-olah ia bukan zoologist. ”Sering kali ilmu pengetahuan tak mampu menjelaskan semua rahasia,” kata Peter, bisa menebak keraguannya. ”Bisakah kau menjelaskan apa yang barusan kau alami hanya dengan logika?” Memang, ia hanya bisa merasakan, seperti ada yang ingin diceritakan oleh kunang-kunang itu padanya. Suara-suara gaib yang didengarnya itu seperti gema yang tak bisa begitu saja dihapuskan dari ingatannya. Ia percaya, segala peristiwa di dunia ini selalu meninggalkan gema. Seperti gema, mereka akan selalu kembali. Karena itulah ia pun kemudian selalu kembali ke kota ini. Untuk kunang-kunang dan kenangan. Ia selalu terpesona menyaksikan jutaan kunang-kunang memenuhi langit kota. Langit menjelma hamparan cahaya kekuningan. Itulah satu-satunya pemandangan termegah yang selalu ingin ia nikmati kembali. Ia dan Peter suka sekali berbaring di atap gedung, menyaksikan berjuta-juta kunang-kunang itu memenuhi langit kota. Pada saat-saat seperti itu, sungguh, kau tak akan mungkin menemukan panorama langit yang begitu menakjubkan di belahan dunia mana pun, selain di kota ini. ”Kelak, bila aku mati, aku akan moksa menjelma kunang-kunang. Aku akan hidup dalam koloni kunang-kunang itu. Dan kau bisa selalu memandangiku ada di antara kunang-kunang itu….” Saat itu, ia hanya tertawa mendengar omongan Peter. Semua menjadi berbeda ketika telah menjadi kenangan. *** Ia tengah dalam perjalanan bisnis ke Louisville ketika menerima telepon itu: Peter meninggal dunia. Tepatnya lenyap. Beberapa orang bercerita menyaksikan tubuh Peter terjun dari puncak ketinggian gedung. Mungkin ia meloncat. Mungkin seseorang mendorongnya. Tubuh Peter yang meluncur itu mendadak menyala, bercahaya, kemudian pecah menjadi ribuan kunang-kunang. Penggambaran kematian yang terlalu dramatis, atau mungkin malah melankolis! Mungkin memang benar seperti itu. Tapi mungkin benar juga desas-desus itu: Peter dilenyapkan karena berusaha menghubung-hubungkan fenomena kunang-kunang itu dengan kerusuhan yang bertahun-tahun lalu terjadi di kota ini. Dari tahun ke tahun populasi kunang-kunang itu memang makin meningkat. Kemunculan kunang-kunang yang memenuhi langit kota Jakarta menjadi fenomena yang luar biasa. Banyak yang kemudian menyebut sebagai salah satu keajaiban dunia. Menjadi daya tarik wisata. Setiap pertengahan Mei, saat jutaan kunang-kunang itu muncul dari reruntuhan gedung-gedung gosong—pemerintah daerah kemudian menetapkan gedung-gedung gosong itu menjadi cagar budaya dan wisata—banyak sekali turis yang datang menyaksikan. Para penduduk lokal bahkan telah menjadikannya sebagai acara tahunan. Mereka duduk menggelar tikar, mengadakan beberapa atraksi hiburan di sepanjang jalan, sembari menunggu malam ketika kunang-kunang itu memenuhi langit kota. Para pengunjung akan bersorak gembira ketika serombongan kunang-kunang muncul, terbang meliuk-liuk melintasi langit kota, dan berhamburan bagai ledakan kembang api. Betapa megah. Betapa indah. Mata Jane selalu berkaca-kaca setiap kali menyaksikan itu; membayangkan Peter ada di antara jutaan kunang-kunang yang memenuhi langit Jakarta itu. Itulah sebabnya kunang-kunang dan kenangan selalu membuatnya kembali ke kota ini. Ia tengah memandangi langit yang penuh kenang-kunang itu dengan mata berkaca-kaca, ketika seorang pengunjung di sampingnya berkata, ”Keindahan memang sering membuat kita sedih….” Jane tersenyum. ”Saya tiba-tiba ingat peristiwa yang menyebabkan kunang-kunang itu muncul. Apakah Anda ingat peristiwa itu?” Orang itu menggeleng. Jane tak terlalu kaget. Orang-orang di kota ini memang tak lagi mengingat peristiwa kerusuhan itu. Jakarta, 2010-2011
""Kunang-kunang di Langit Jakarta""
Sejak aku kecil, pohon randu alas itu telah tumbuh sebesar sekarang—empat rentangan tangan orang dewasa—rindang dan menggugurkan daun-daun kering kekuningan pada musim kemarau. Umurku kini enam puluh dua, sudah beberapa tahun pensiun, menjadi saksi pohon randu alas yang berdiri tegak, rimbun dedaunan, dan dianggap angker. Seekor ular bersarang di rongga lapuk pangkal pohon randu alas yang menganga serupa gua. Bila diintip ke dalam gelap rongga pangkal pohon itu, tampak sepasang mata ular berkilau mengancam. Sepasang mata seekor ular yang siap mematukku, suatu saat bila aku terlena. Sebatang pohon jambu biji tumbuh liar di bawah pohon randu alas—mungkin sisa hutan jambu yang ditebang habis untuk lahan perumahan. Dari dua cabang pohon jambu terjulur beberapa ranting dan bergelantungan buah-buah yang selalu ranum. Tak jauh dari pohon jambu, tumbuh pohon melati liar, bermekaran bunga-bunga putih mungil. Tercium lembut wangi tiap pagi. Untuk cucu kesayanganku, Aini, kupetik buah-buah jambu ranum kesukaannya dan bunga-bunga melati yang dijadikannya sebagai mainan. Menjelang siang ia pulang sekolah taman kanak-kanak bersama teman-temannya, beramai-ramai makan buah jambu, dan bermain-main kembang-kembang melati yang kupetik. Berada di bawah pohon randu alas, aku kadang merasa cemas. Dalam mimpiku enam tahun silam, seorang nenek keriput dengan tongkat kepala ular, mengutukku, ”Kau tega melukai ular penunggu randu alas. Tiba waktunya nanti, pada umurmu yang ke-62, ular itu akan mematukmu!” *** Gairah untuk memetiki buah-buah jambu yang ranum, dengan merenggut ujung ranting dan menjulurkan tangan meraih buah-buah itu, menggetarkan tubuhku. Kutukan perempuan tua penunggu randu alas itu, yang datang dalam mimpi, sudah saatnya terjadi. Aku mesti menjemput takdirku. Bila memang harus mati dipatuk ular, biarlah aku merasakan sakit patukan ular yang dulu pernah kucederai, dan melata ke arah rongga pangkal randu alas, dengan ceceran darah di rerumputan. Aku tak sengaja melukai ular itu. Cangkul yang kuayunkan untuk membersihkan rerumputan di bawah pohon randu alas dan meratakan tanah tak kusadari merobek daging seekor ular. Ular itu melata ke arah rongga pangkal pohon randu alas. Aku merasa tak bersalah. Kuteruskan mengayunkan cangkul, membersihkan rerumputan dan meratakan tanah. Pohon jambu biji kubiarkan tumbuh di bawah pohon randu alas. Ada pula pohon melati yang masih kecil, yang tak kucabut. Kubiarkan tumbuh liar. Kuratakan tanah dan terus kutimbuni agar lebih tinggi. Akan kuundang tukang batu untuk mendirikan sebuah kios sederhana. Di kios itu aku akan menjual barang-barang kelontong dan kebutuhan sehari-hari. Malam harinya aku bermimpi, nenek bertongkat kepala ular, menatapku dengan murka. Wajahnya bengis, sepasang matanya mengancam. Ia mengutukku. Ular penunggu pohon randu itu bakal mematukku pada ulang tahun ke-62. Begitu tegas kutukan nenek bertongkat kepala ular, seperti hadir dalam kehidupan sehari-hari dan bukan terjadi dalam mimpi. Mimpi burukku tak menghentikan pembuatan kios kelontong. Tiap pagi aku membuka kios, melayani pembeli, hingga malam larut. Mula-mula jarang orang berbelanja ke kiosku. Tapi lama-kelamaan, berdatangan pula orang-orang berbelanja. ”Kau tak takut akan digigit ular penunggu pohon randu?” tanya Lik Man, lelaki setengah baya, pencari rumput untuk kambing-kambingnya. Ia dulu menjual ladang jambu miliknya, yang didirikan perumahan, dan memilih pindah ke daerah perkampungan, dengan tanah yang luas. Di rumah baru, ia masih bisa bercocok tanam dan memelihara kambing. Ia paling sering mencari rumput di bawah pohon randu alas. Di sini rerumputan tumbuh subur, dan dalam waktu sebentar, ia sudah memanggul segulung rumput, yang diikat erat, diletakkan di bawah pohon jambu. Ia meneguk kopi di warung Yu Warso dan membeli rokok di kiosku. Di warung Yu Warso itu ia biasa ngobrol dan baru pulang menjelang siang. ”Kau selalu merumput di bawah pohon randu. Tak takut digigit ular?” ”Sejak muda dulu aku selalu mencari rumput di sini. Tak pernah kulihat ular itu. Yang selalu kutemukan cuma kulit ular, menjalar di rerumputan. Kau pernah melihat ular itu?” ”Aku pernah melukainya dengan cangkulku.” ”Hati-hatilah!” Lik Man meninggalkanku. *** Tak seorang pun melihat Lik Man. Menjelang siang ia membawa sabit ke bawah pohon randu dengan rokok mengepul di bibirnya. Matahari sudah bergeser dari puncak pohon randu alas. Biasanya Lik Man meninggalkan bawah pohon randu alas, memanggul gulungan rumputnya pulang, setelah minum kopi dan makan pisang goreng di warung Yu Warso. Anak lelaki Lik Man mulai mencari ayahnya. Ia sempat menyapaku, sebelum menyusup ke dalam semak-semak. Dari bawah pohon randu alas, kudengar ia memekik, ”Ayah meninggal!” Kudapati Lik Man terbujur kaku, masih menggenggam sabit. Mulutnya berbusa. Kaki kirinya melepuh biru kehitaman darah beku. Terlihat dua titik bekas patukan ular. Darah ular berceceran di rerumputan, lenyap di rongga keropos pangkal pohon randu alas. Sabit Lik Man, secara tak sengaja, mungkin telah melukai ular penunggu pohon randu alas dan ular itu menggigitnya. *** Melintasi pertokoan senja hari, di trotoar, sepulang dari belanja untuk keperluan kios kelontong, kulewati seorang penjual obat oles yang menggelar tikar, dengan ular dalam kotak kayu. Sama sekali orang lalu lalang tak menghiraukannya. Ia menawarkan obat oles untuk menyembuhkan penyakit kulit. Tak seorang pun datang mendekat. Lelaki setengah baya bersorban putih, berjenggot, masih duduk dengan tenang. Aku sempat memandanginya, sambil menanti bus kota di halte. Lelaki setengah baya bersorban itu melambai ke arahku. ”Kemarilah!” panggilnya. Aku bimbang untuk mendekat. Sepasang matanya seperti menuntunku untuk menghampiri dan berjongkok di depannya. Dia memintaku untuk menjulurkan tangan kiri dan membuka telapak tangan. Ia baca garis telapak tangan itu. ”Kau perlu kekebalan,” kata lelaki penjual obat bersorban, sambil mengelus jenggotnya. ”Suatu hari kelak kau akan dipatuk ular.” Teringat ular penunggu randu alas yang pernah kulukai, kutukan perempuan tua bertongkat ular dalam mimpi, dan kematian Lik Man yang dipatuk ular, aku merasakan degup dada yang mengencang. ”Kau dapat memberiku kekebalan?” ”Kalau kau yakin, insya Allah, tubuhmu akan kebal dipatuk ular,” lelaki setengah baya berjenggot itu meyakinkan. Aku mengangguk. Meminum segelas air putih darinya. Pergelangan kaki kananku diolesi minyak dan seekor ular dari dalam kotak kayu dikeluarkannya. Aku memejamkan mata. Begitu cepat terasa patukan dua gigi ular pada pergelangan kaki. ”Kau akan berkunang-kunang sebentar. Kaki kananmu mengejang, sulit digerakkan. Tak lama. Kau akan segera pulih seperti sediakala.” *** Berjingkat-jingkat aku meraih buah-buah jambu. Masih kuingat kutukan perempuan tua bertongkat kepala ular. Pada hari kelahiranku yang ke-62, seekor ular akan mematukku. Aku sama sekali tak takut dengan patukan ular itu. Mungkin aku akan benar-benar dipatuk ular, sebagaimana enam tahun silam perempuan tua berambut memutih dengan mata murka itu mengutukiku dalam mimpi. Aku tak perlu ragu memetiki buah jambu yang ranum. Juga nanti akan kupetiki kembang-kembang melati untuk Aini. Kalaupun seekor ular mematukku, tukang obat di trotoar pertokoan itu telah memberiku kekebalan. Gigitan ular tukang obat yang tak kukenal itu memang menyebabkan pandanganku berkunang-kunang, kaki kanan mengejang kaku. Darah seperti membeku. Tapi tak lama. Pandanganku kembali terang dan kaki kananku segera dapat kugerakkan. Kuberikan selembar uang dari dompetku, yang diterimanya dengan ucapan terima kasih berkali-kali. Tiap kali aku berbelanja untuk keperluan kios kelontongku, selalu kucari dia. Tapi tempat ia menggelar tikar, obat-obat oles, dan kotak ular selalu kosong. Harus kusambut hari ini, pagi ke-62 umurku, saat kutukan perempuan tua dalam mimpi itu akan terjadi. Kalau benar seekor ular itu mematukku pagi ini, mungkin seperti kata lelaki setengah baya bersorban penjual obat, aku akan kebal. Tubuhku hanya merasakan sengatan patukan ular itu, mata berkunang-kunang, bagian yang dipatuk akan terasa mengejang. Tak lama. Setelah itu aku akan leluasa bergerak seperti sediakala. Tapi kalau penjual obat itu berdusta, ketika ular penunggu pohon randu alas mematukku, tubuhku akan segera kaku seperti Lik Man. Buah-buah jambu yang ranum terus kupetiki. Teringat aku pada cucuku, Aini, yang tinggal serumah denganku, akan pulang sekolah, aku bergairah memetiki buah-buah jambu. Ia suka membagi-bagikan buah jambu pada teman-temannya dan bahagia dipuji sebagai putri yang baik hati. Aku meraih ujung ranting pohon jambu, meloncat, agar dapat menarik ranting itu dan memetik beberapa buah jambu ranum. Kakiku menginjak seekor ular. Ular itu menggeliat, mematuk kaki kananku. Aku tak sempat memekik. Terjatuh. Merasakan patukan ular yang menyengat. Mataku berkunang-kunang. Kaki kananku mengejang. Mungkin aku akan segera bangkit dengan tubuh segar bugar seperti sediakala, tanpa luka dan rasa sakit. Mungkin tubuhku akan segera terbujur kaku, tergeletak di rerumputan, di bawah pohon randu alas, pohon jambu, dan bunga melati. Tapi, aneh, dalam pandanganku yang berkunang-kunang, kulihat Lik Man sedang merumput. Wajahnya bahagia sekali. Di seberangnya kulihat lelaki setengah baya bersorban penjual obat. Wajahnya tenang, penuh keyakinan, dan sepasang matanya teduh. Dari jauh, samar-samar kudengar suara Aini memanggil-manggilku dengan suara yang riang, penuh harapan, ”Kakek, mana buah-buah jambuku? Petikkan juga bunga-bunga melati untukku!” Pandana Merdeka, April 2011
""Ular Randu Alas""
Tak ada keindahan seanggun tarian burung bangau yang sedang bercumbu. Dan Siti menatap takjub beratus-ratus pasangan bangau yang sedang berkencan itu. Burung-burung itu serempak mencericitkan kicau mirip tangisan paling pedih yang memekakkan telinga tetapi pada saat sama mereka bergerak mirip penari keraton. Mereka mengayunkan sayap dalam gerak yang kadang-kadang lamban, kadang-kadang cepat, kadang-kadang ritmis, kadang-kadang sembarangan. Mereka juga melompat, berlari, melompat lagi, dan berlari lagi. Dan yang membuat lelaki kencur 10 tahun itu lebih takjub, bangau-bangau itu berdiri tegap saling menatap dengan paruh menusuk ke langit. Ia tak tahu kenapa sang pejantan hanya mengeluarkan suara sekali dan para betina berkali-kali. Itulah pemandangan yang berulang-ulang dilihat oleh Siti dan berulang-ulang pula membuat dia kehilangan cara untuk mengungkapkan ketakjuban. Akan tetapi, hari itu, pada Oktober 1965 saat angin laut begitu asin dan amis, burung-burung bangau itu nyaris tidak melakukan gerak apa pun. Isya sudah usai menghampiri kampung di ujung tanjung itu tetapi satwa-satwa tropis ini tetap saja membisu. Siti menduga ada ratusan ular raksasa yang menelan mereka. Dan dalam benak lelaki kencur itu hewan melata yang menjijikkan itu mula-mula menyambar sayap, lalu menghajar, dan meng-kremus kepala-kepala mereka. Karena penasaran, Siti yang dari masjid hendak bergegas ke rumah, tiba-tiba berbalik arah menuju ke tanah lapang yang dikelilingi hutan bakau tak jauh dari makam yang dikeramatkan. Dari tanah lapang itulah, ia akan bisa dengan seksama melihat segala yang terjadi pada burung-burung bangau yang berkerumun di tanah becek, di antara pohon-pohon bakau. Tentu jika memang benar ular-ular raksasa itu melahap secara sembarangan burung-burung bangau kesayangan, dengan oncor (1) yang terus menyala Siti akan mengusir binatang-binatang menyeramkan itu. ”Kalian tak boleh menyakiti temantemanku,” kata Siti sambil mengacung-acungkan oncor kepada ular-ular yang ia bayangkan sangat ganas itu. Ternyata tidak ada yang mencurigakan. Tak ada ular-ular raksasa yang berkeliaran. Tak ada satu pun bangkai bangau yang berdarah-darah. Ratusan bangau itu justru nyekukruk (2) meskipun tetap mencericitkan suara-suara kacau yang memekakkan. ”Mengapa kalian tak menari?” Tak ada jawaban. Siti sama sekali tidak tahu sesungguhnya alam punya cara merahasiakan segala peristiwa buruk kepada anak-anak. Bangau-bangau dan pohon-pohon bakau itu malam itu seakan-akan menjadi benteng kokoh yang tidak bisa ditembus oleh mata lemah Siti. Saking rapat mereka menyembunyikan segala hal yang terjadi di balik gerumbul bakau dan benteng bangau, Siti hanya melihat semacam dinding tebal hitam memisahkan tanah lapang dari ujung tanjung. Akibat air menyurut ujung tanjung itu berubah menjadi alun-alun penuh pasir, selongsong siput, dan aneka kerang. ”Ayolah, mengapa kalian tidak menari?” teriak Siti sekali lagi. Tetap tak ada jawaban. Tetap hanya angin amis yang menampar-nampar tubuh Siti yang terlalu rapuh untuk berhadapan dengan amuk malam. *** Apa yang disembunyikan oleh bangau-bangau dan pohon bakau? Jika saja telinga Siti tidak ditulikan oleh kicauan bangau, sesungguhnya ada jerit panjang terakhir yang menyayat dari sebelas perempuan dan laki-laki dewasa yang lehernya dipancung oleh para pembantai dari kampung sebelah. Para pembantai itu meneriakkan nama Allah berulang-ulang sebelum dengan hati dingin mengayunkan parang, sebelum dengan kegembiraan bukan alang kepalang menusukkan bayonet ke lambung. ”Kami harus membunuh mereka karena sebelumnya mereka akan membunuh kami,” kata seorang serdadu. ”Kami harus membantai orang-orang yang menistakan agama ini karena mereka telah membunuh para jenderal terlebih dulu,” kata seorang pemuda berjubah serbaputih. Apa yang disembunyikan oleh bangau-bangau dan pohon bakau? Jika saja mata Siti tidak dibutakan oleh ratusan bangau yang membentuk semacam dinding pembatas, sesungguhnya ada puluhan perempuan dan laki-laki dewasa, serta anak-anak kecil dari kampung sebelah mengarak sebelas makhluk malang dibelit tali ke ujung tanjung. Para makhluk yang dianggap manusia paling laknat dan bersekutu dengan setan itu, dipaksa untuk menggali kubur bagi dirinya sendiri di tanah lapang berpasir. Setelah semuanya selesai orang-orang yang merasa paling suci menusukkan bayonet dan mengayunkan parang sesuka hati ke leher atau ke punggung ringkih. ”Jangan menganggap kami kejam….Jika sekarang mereka tak mati, pada masa depan mereka akan membantai seluruh keturunan kami,” desis seorang perempuan nyaris tak terdengar oleh orang lain. Ia berbicara untuk dirinya sendiri. ”Ini tugas negara. Tak perlu kalian anggap ini sebagai kekejaman yang tak terampuni,” desis seorang serdadu nyaris tak terdengar oleh serdadu lain. Ia berbicara untuk dirinya sendiri. Apa yang juga tak didengar dan dilihat oleh Siti? Tangis bangau dan jerit pohon bakau. Mereka gigrik menyaksikan segala peristiwa yang terjadi saat itu karena Allah tidak menyembunyikan sorak-sorai dan tarian suka cita para pembantai setelah makhluk bantaian terbunuh kepada mereka. Lalu makin malam laut kian pasang. Para pembantai telah kembali ke rumah. Sorak-sorai menghilang. Tanah lapang di ujung tanjung telah tenggelam. Pasir yang semula digenangi darah dengan cepat terhapus. Segalanya sunyi diam. Segalanya dilupakan oleh para pembantai dan saksi mata pembunuhan kejam itu. *** Akan tetapi Oktober yang kian panas dan ganas tetap saja tak memiliki cara lembut untuk memperkenalkan kematian kepada Siti. Para pembantai —yang dari bisik-bisik di kampung sebelah telah dirasuki arwah para jenderal yang dibunuh di kota yang jauh—sepanjang siang sepanjang malam mencari siapa pun yang dianggap sebagai para pemuja iblis, yakni iblis-iblis yang senantiasa mengibar-ngibarkan bendera palu arit dan menari-nari sambil bernyanyi-nyanyi saat menghajar para jenderal dan para pemeluk teguh. Azwar, ayah Siti, hanya karena tidak pernah mau bergabung dengan para serdadu dan orang-orang yang mengaku paling suci, kali ini tak terhindarkan harus menjadi makhluk buruan paling dibenci. Puluhan orang dari kampung sebelah–tentu bersama para serdadu dan lelaki beringas berjubah serbaputih—menyerbu kampung di ujung tanjung setelah Isya yang sangat tenang itu. Mereka mengasah amarah sambil menjulur-julurkan lidah, mengacung-acungkan parang, dan meneriakkan kebesaran Allah berulang-ulang agar segala tindakan tersucikan dari kesalahan. Untuk membantai Azwar, kau tahu, seharusnya cukup seorang serdadu menusukkan bayonet ke lambung. Tetapi mengutus serdadu yang ringih tidaklah mungkin. Warga kampung di ujung tanjung sangat mencintai Azwar. Membunuh lelaki kencana yang senantiasa menjadi suluh kampung dalam segala tindakan akan membuat warga kalap. Karena itu agar bisa meredam kemarahan para pemuja Azwar, tidak ada cara lain puluhan pembantai harus disiagakan. ”Bunuh, Azwar! Selamatkan warga kampung dari iblis laknat ini!” ”Bunuh, pembela para pembenci Allah ini!” ”Bunuh dia!” ”Bunuh dia!” Siti yang saat itu sedang mengaji dan mempercakapkan dengan Azwar tentang perbedaan burung-burung bangau di tanjung dari burung-burung ababil yang menghajar tentara gajah, terperanjat mendengar teriakan-teriakan itu. Setelah ia bertanya, ”Apakah para bangau bisa menjadi burung api?” dan dijawab Azwar, ”Semuanya bisa terjadi jika Allah mengizinkan.” Siti lalu mengintip dari lubang jendela dan mendapatkan puluhan orang mengacung-acungkan parang dan mengacungkan bayonet. Ia juga melihat puluhan warga kampung dengan gagang pendayung sampan mencoba menghalau para pembantai. Lalu teriakan pun berbalas teriakan. Acungan parang dan bayonet pun berbalas acungan gagang pendayung. Pertumpahan darah akan segera terjadi jika tak seorang pun berusaha mencegah pertempuran pada malam yang hanya disinari oleh separo bulan itu. Pada situasi yang semacam itu, di luar dugaan Siti, Azwar membuka pintu dan dengan langkah yang sangat tenang menyibak kerumunan. Warga kampung menghalang-halangi, tetapi Azwar tetap berusaha membelah kerumunan dan bergegas menghadapi para pembantai yang berteriak-teriak tak keruan. ”Bunuhlah aku jika kalian anggap dengan membunuhku hidup kalian lepas dari iblis paling laknat,” Azwar berteriak membelah malam. Tak ada jawaban. Sebuah parang mengayun di punggung Azwar. ”Bunuhlah aku jika kalian anggap dengan membunuhku kalian akan jadi manusia-manusia paling suci!” Tak ada jawaban. Sebuah bayonet ditusukkan ke lambung Azwar. Tentu saja warga kampung di ujung tanjung tak bisa membiarkan Azwar dibantai di depan mata mereka. Karena itu sebelum leher Azwar dipancung, sebelum tubuh Azwar diseret dan dibuang ke laut, warga kampung melakukan perlawanan. Lalu parang-parang dan bayonet pun beradu dengan gagang pendayung. Beberapa orang tertebas parang, beberapa orang tertusuk bayonet, beberapa orang terhantam gagang pendayung sampan. Di mana Siti? Siti tidak melihat pemandangan mengerikan itu. Pada saat sama burung-burung bangau yang menghuni hutan bakau di kampung itu terbang bersama-sama dan mengepung orang-orang yang sedang bertikai. Tak ada celah sekecil apa pun yang memungkinkan Siti melihat darah yang mengucur dari lambung atau bacokan parang di punggung. Bangau-bangau tetap tak menginginkan kekejaman dan kekerasan diendus oleh anak-anak sekencur Siti. Akan tetapi Oktober yang kian panas dan ganas tetap saja tak memiliki cara lembut untuk memperkenalkan kematian kepada Siti. Teriakan-teriakan para pembantai kian keras. Teriakan-teriakan yang dibantai juga tak kalah keras. Darah mengucur. Tanah berpasir di tanjung pun memerah hingga ke ujung, hingga ke relung-relung cangkang siput dan kerang murung. Tak ada cara lain untuk menghentikan pertempuran sia-sia itu, kecuali burung-burung bangau di ujung tanjung itu harus mengulang peristiwa bertahun-tahun lalu yang pernah dilakukan oleh nenek moyang mereka. Atas izin Allah, bangau-bangau yang riuh mencericitkan semacam zikir itu lalu meliuk-liuk ke arah pembantai dan setiap liuknya menebarkan api. Bangau-bangau itu sebagaimana burung ababil menjatuhkan batu-batu sijil dari neraka ke tubuh para pembantai. Batu-batu api itu bergesek dengan udara, menembus dada para pembantai sehingga tubuh-tubuh para pembunuh itu terbakar. Dan karena para pembantai itu berlarian tak keruan–dan alhamdulillah Allah mengizinkan dan tak berhasrat membunuhnya—dari kejauhan tampak seperti panah-panah api yang melesat menembus kegelapan malam. Saat itulah Siti melihat segala peristiwa yang mengerikan itu. Melihat tubuh para pembunuh menyala, Siti bertanya, ”Mengapa bangau-bangau ini jadi ganas semua?” Tak ada jawaban. Siti hanya melihat Azwar tertatih-tatih—dengan luka di lambung dan leher yang terus mengucurkan darah—berjalan ke arah masjid dan sisa-sisa kilatan api para bangau yang terus riuh mencericitkan semacam zikir menggores langit Oktober yang perih. Siti hanya tahu kampung pada akhirnya jadi sunyi kembali seperti tak pernah terjadi kekejaman agung yang tak tepermanai. Siti hanya… Semarang, 7 Agustus 2011
""Burung Api Siti""
Sebelum berangkat kami akan berkumpul di lembah Astungkara, di hamparan yang kami sebut campuhan, terbentuk oleh pertemuan dua sungai: Tukad Telagawaja dan Tukad Tugtugan. Orang-orang memercayai, campuhan adalah lembah suci, tempat mencari keheningan dan pelepasan. Seorang guru akan membimbing kami, menyodorkan ajakan dan kepastian, ke wilayah mana kami akan tamasya. Tak seorang pun tahu asal Sang Guru. Kami mengenalnya begitu kami mulai berkumpul di lembah Astungkara, kemudian memanggilnya Guru Tung, yang sehari-hari sibuk mengurus kebun, beristirahat di gubuk beratap alang-alang, dengan tiang-tiang dan sekat bilik dari kayu. Orang-orang kemudian menyebut tempat itu sebagai pedukuhan Astungkara. Jika hendak tamasya, di pedukuhan itu kami berbaring terlentang menatap angkasa, memusatkan lamunan pada bintang-bintang dengan rentang sekian juta tahun cahaya. Beberapa tergolek nyaman di bawah pohon wani, jambu, mangga, atau durian. Yang lain terbaring begitu saja di atas rumput sehingga sekujur tubuh berselimut embun. Ada yang nyaman telentang dalam bilik atau di emperan pondok yang menghadap ke sungai. Jika sudah siap, Guru Tung memberi aba-aba dengan helaan napas supaya kami bersujud pada sunyi, memohon pada hening dan sepi, agar bersua dengan kosong sejati. Dalam kosong kami bisa mendengar detik-detik terakhir kami di bumi, saat berada persis pada batas gelap dan terang, pada sekat tipis wilayah gemuruh dan sunyi. Batas-batas itu oleh Guru Tung diajarkan kepada kami sebagai peralihan antara terjaga dan tidur. ”Semua orang bisa memilih saat hendak istirahat tidur. Tapi, tak seorang tahu detik ketika ia tertidur,” ujar Guru. ”Siapa pun yang bisa meraih detik ketika tertidur, ia akan tetap terjaga, rohnya melayang bisa melihat raga sendiri. Niscaya ia bisa memilih saat melepas roh dari raga untuk mati.” Kami pun dibimbing untuk menguasai aji batas tidur, ilmu sederhana tapi bukan main sulit mendapatkannya. Kami diminta memejamkan mata, mengintip dengan perasaan dan khayalan, saat-saat menjelang tidur, sehingga bisa menyadari detik terakhir terjaga. Tapi, yang sering terjadi justru kami terlelap tanpa tahu jam dan detik berapa kami tertidur. Kendati kami belum menguasai ilmu batas tidur, Guru Tung selalu dengan senang hati membantu kami melepas roh dari raga, sehingga kami bisa tamasya melayang-layang seringan kapas. Raga yang kami tinggalkan di bawah pohon, dalam bilik, di hamparan rumput, tak boleh dipindahkan dari kedudukannya. Jika digeser, roh tak bisa kembali memasuki raga, matilah orang itu. Biasanya kami meminta bantuan satu atau beberapa orang untuk tidak ikut tamasya, bertugas menjaga ketetapan posisi jasad kami, karena siapa tahu tiba-tiba ada yang berkunjung, bingung melihat kami terserak ketiduran, lalu menggoyang-goyang dan menggeser raga kami untuk membangunkan. Guru Tung bercita-cita menciptakan rumus aji batas tidur agar mudah dikuasai dan dihayati kapan pun oleh siapa saja. Seperti rumus Phytagoras yang memudahkan orang membuat sudut sembilan puluh derajat setelah membuat kuadrat sisi miring sama dengan jumlah kuadrat sisi siku-siku. Menurut Guru Tung, karena kematian adalah kepastian, ia bisa dijabarkan dengan matematika. Jika banyak orang menguasai aji batas tidur, orang sakit parah tak tersembuhkan tak perlu sengsara karena bisa memilih hari kematian yang diinginkan tinimbang minum obat mahal tak kunjung menyembuhkan dan terus memiskinkan. Tak akan ada orang digencet sakit hati dan putus asa tewas gantung diri atau menenggak racun, karena ia akan memilih mati teduh lewat batas tidur. Kematian bukan lagi maut yang seram menakutkan dan merepotkan, namun sebuah pilihan yang kapan pun bisa diselesaikan sesuai keinginan, bisa dihitung seperti bilangan. Pedukuhan Astungkara pun jadi terkenal, dikunjungi banyak orang dari berbagai benua dan pelosok negeri, datang belajar untuk mati dengan pertolongan ilmu batas tidur. Bule-bule banyak di sini, membuat iri para pemilik wisata spiritual di hotel dan vila dengan menu tapa-yoga-semadi, karena ditinggalkan peminat. Tapi, sedikit orang asing yang bisa ikut tamasya dengan bimbingan Guru Tung karena sebagai pelancong, waktu mereka sempit, tergesa-gesa, tak pernah sanggup bersujud pada sepi, gagal memohon pada sunyi dan hening, untuk masuk ke dalam kosong. Di antara kami yang berhasil adalah Dingkling, seorang terpidana mati yang divonis tujuh tahun lalu. Karena berkelakuan sangat baik, ia sering diizinkan bermalam di pedukuhan Astungkara, dibimbing Guru Tung ikut tamasya bersama ke batas tidur. Tadi malam Dingkling datang ke pedukuhan, dan akan menjadi malamnya yang terakhir karena dini hari ia akan berhadapan dengan regu tembak. Ketika ditanya permintaan terakhir sebelum dieksekusi, dengan gembira ia menjawab, ”Izinkan saya mampir ke pedukuhan Astungkar, untuk mendapat doa restu Guru Tung dan murid-muridnya.” Kami merayakan perpisahan itu dengan tamasya bersama ke batas tidur. Dingkling memilih berbaring menatap angkasa raya di bawah pohon leci, di antara rentang akar-akar yang menyembul ke atas tanah. Dua sipir siaga menjaganya penuh awas. Kami yang menemani Dingkling tamasya segera masuk ke dalam kosong. Tubuh pun melayang-layang, terayun-ayun seringan kapas, benda-benda terangkat mengambang. Menjelang dini hari, dua sipir itu membangunkan Dingkling, menggoyang-goyang tubuhnya. Ketika Dingkling tak juga bergerak, sipir itu panik. ”Kita angkat ke dalam, ayo!” teriak sipir yang kurus, setengah menyeret tubuh diam itu. Kami terjaga, secepatnya kembali dari tamasya. Bergegas kami bangkit dari tempat masing-masing di atas rumput dan bawah pohon, menghambur ke dalam bilik. Guru menatap tubuh Dingkling yang lunglai di ubin. Kami saling pandang karena tahu Dingkling tak bakal kembali. Ia meninggal dalam tamasya batas tidur karena sipir memindahkan raganya dari bawah pohon leci ke dalam bilik. ”Ikhlaskan, mari kita berdoa, Dingkling sudah pergi dengan damai,” ujar Guru. Dua orang sipir itu ternganga, tak tahu bagaimana harus menjelaskan kepada komandan karena kelalaian mereka membuat regu tembak yang sudah siaga urung bertugas. Berita terpidana hukuman mati tewas di pedukuhan Astungkara beberapa jam menjelang eksekusi menjadi berita besar, disiarkan televisi berulang-ulang, merambat cepat lewat pesan singkat telepon seluler. Menjelang petang, gerombolan orang riuh di depan pedukuhan. Beberapa orang mengacungkan kelewang, selebihnya menggenggam batu yang diambil dari sungai, siap dilempar ke pondok. Ada yang mengacung-acungkan obor. ”Bakarrrrr…! Bunuhhhhh…!” jerit mereka galak berulang-ulang. Kami gemetar, namun pasrah dan mencoba tenang. Sudah sejak lama berembus kabar, penghuni pedukuhan Astungkara tengah menekuni ajaran sesat. Orang-orang sangat meyakini itu karena yang datang ke tempat kami adalah kaum terbuang, manusia-manusia yang dikucilkan karena depresi menderita sakit tak tersembuhkan. Banyak yang dikenal sebagai pemadat, mantan preman, pemakai narkoba yang kemudian mengidap AIDS, sengsara menunggu ajal. Sekarang, para penuduh itu punya kesempatan melampiaskan amarah, berdesak-desak hiruk-pikuk sampai di tepi sungai, berteriak-teriak kasar menantang dan mengumbar bermacam tuduhan. Empat pemimpin mereka berdiri di pintu pagar pepohonan. Kami masuk bilik menemui guru yang duduk bersila di lantai. ”Biarkan mereka masuk, sekarang saat menunjukkan siapa kita,” ujar Guru lembut, tenang, dan bersahaja. Empat pemimpin itu memasuki halaman, kami menyongsong mereka dengan memaksakan keberanian. ”Mana Pak Pektung?!” teriak pemimpin yang mengenakan destar melecehkan nama Guru, dengan bibir sinis menyeringai. Seingat kami, dia salah seorang tokoh yang punya vila dengan wisata spiritual tapa-yoga-semadi. ”Katakan pada gurumu, jangan memelihara iblis dan setan!” seru pemimpin yang bersarung. ”Dosa besar kalau gurumu mengajarkan tentang semesta kepada kalian, namun tak menyebut-nyebut kebesaran Tuhan,” ujar pemimpin yang mengenakan jas dan berdasi. Pemimpin yang berkepala gundul menghampiri kami sembari berujar dengan datar, ”Gurumu boleh-boleh saja jadi pemimpin, tapi jangan menyesatkan umat.” Tapi, pengikut empat pemimpin ini sungguh sangar dan berlumur dengki. ”Bakarrrrr…! Bunuhhhhh…!” teriak mereka sengit merangsek maju menerobos pagar tanaman. Nyala obor yang diacung-acungkan kian terang karena petang akan sempurna, hari sebentar lagi malam. Kami masuk ke pondok diikuti empat pemimpin itu. Di dalam, kami tercengang, guru tak ada lagi. Kami hanya menemukan onggokan abu di tempat Guru tadi bersila. Lelaki berdestar dan pemimpin bersarung tertawa terbahak menyaksikan onggokan abu itu. Mungkin mereka menduga itu abu sisa pemujaan. Mereka berdua maju dan menendang gundukan abu itu berulang-ulang sembari terus terbahak. Lengking tawa bercampur gulungan debu beterbangan memenuhi bilik. Abu terserak ke mana-mana. Tiba-tiba cahaya terang benderang menyilaukan menyergap, seperti usai gemuruh dentuman ledakan bom. Kami terperangkap dalam kilatan dahsyat cahaya, tak sanggup melihat apa pun, harus secepatnya memejamkan mata karena silau cahaya benderang itu akan merusak kornea. Kami tahu yang seharusnya kami lakukan: segera telentang di lantai, tangan bersedekap di dada, menghadap ke atap, mencoba masuk ke dalam kosong, agar segera melayang masuk angkasa. Kami melihat Guru berdiri. ”Sekarang mereka tahu siapa kita,” ujar Guru pelan. Guru Tung pernah bercerita, seseorang yang sempurna menguasai aji batas tidur, jika memilih saat untuk mati, ia akan mengeluarkan energi panas membakar raga sendiri jadi abu. Setelah itu, ia akan menjadi seberkas cahaya yang bisa menampakkan diri, sanggup bercakap-cakap dengan siapa saja, kapan pun ia mau. Kami mengerti, Guru Tung telah menjadi cahaya, moksa. Aji batas tidur adalah jalan pelepasan, menuju pembebasan yang sempurna, hidup kekal abadi. Dan yang tidak paham ketika berhadapan dengan peristiwa pelepasan akan terbakar, seperti empat pemimpin itu. Mereka menjerit-jerit keluar halaman pedukuhan, menggelepar-gelepar menahan panas pada mata, buta, karena kornea mereka binasa oleh sergapan kilatan benderang cahaya. Telinga mereka mendenging, tuli. Kerongkongan tercekat oleh hawa panas, akan membuat mereka gagap dan terbata-bata kalau bicara. Setelah peristiwa petang itu, jika hendak bertemu Guru Tung, kami akan telentang menatap angkasa, memusatkan lamunan pada bintang-bintang jutaan tahun cahaya, bersujud pada sunyi, memohon pada hening dan sepi, agar bisa bersua dengan kosong sejati. Kami akan terus di campuhan ini, meresapi aji batas tidur, agar bisa memilih sendiri hari mati. Denpasar, September 2011
""Batas Tidur""
”Astaga!” pekik Fla saat melihat lidahnya di cermin. Daging lembut merah muda itu dipenuhi kerumunan ulat yang menggeliat. Isi perutnya bergolak, memberontak dalam semburan brutal yang mengubur wastafel putih gading di depannya menjadi entah apa warnanya. Dibukanya keran air panas sebesar-besarnya untuk mengusir anyir. Dipandanginya lagi cermin. Jumlah ulat tak berkurang di mulutnya, terus menggeliat. Disambarnya jubah mandi. Kedua kaki lancipnya berlari menuju klinik 24 jam di lingkungan apartemen. Di tempat lain, setengah jam bermobil jauhnya dari klinik, Romero sang legislator sudah semalaman begadang menyempurnakan daftar pertanyaan dengar pendapat yang akan ditayangkan langsung televisi swasta tempat Flayya bekerja. Sebagai anggota dewan yang lebih sering tampil di layar infotainment ketimbang menghadiri rapat komisi, Rom sangat paham bahwa acara ini sebuah kesempatan emas untuk menyepuh popularitas. Tiba-tiba ujung matanya menangkap gerakan aneh di bibir cangkir kopi. Kedut seekor ulat tengah berjuang mengangkat tubuhnya yang gendut. Tak percaya, Rom melongok isi cangkir kopi luwak itu. Badannya sontak menggigil: isi cangkir tak ubahnya sauna ulat. Rom memasukkan jari telunjuk ke dalam mulutnya, baru menyadari ada kedutan yang sama di sana. Dengan panik diambilnya ponsel, menekan tombol panggilan cepat. Tak ada jawaban yang diharapkan dari seberang. Rom mengetik pesan pendek, dengan degup jantung melebihi kecepatan mobil dinasnya melesat di jalan tol. *** Dokter jaga tak bisa memberikan diagnosis akurat penyakit Fla, selain menebar sejumlah dugaan. ”Penyebabnya bisa dari makanan, infeksi lingkungan, atau akibat kontak mulut dengan orang lain yang sedang terjangkit,” katanya seperti mengutip buku teks. Kalimat itu sudah cukup membuat Fla melakukan kalkulasi, (1) Dari makanan jelas mustahil. Semalam dia makan bersama tiga narasumber tayangan talk show yang dipandunya di studio, dan tak ada kabar mereka sakit. (2) Terjangkit infeksi lingkungan juga tak mungkin, sebab sehabis siaran dia langsung pulang. Atau lebih tepatnya, diantar pulang tanpa mampir ke mana pun. Jadi… mungkinkah? Dada mancung Fla bergemuruh. Pandangannya menyusuri layar ponsel, menemukan notifikasi pesan pendek yang belum sempat dibacanya: dari Rom. Luv, kauy ta akn percya. Tem ui ku @ Medici Int’l hosptl. Soon! Sebuah pesan pendek yang hancur lebur dan meledakkan cemas: Mungkinkah Rom juga terjangkit? Atau justru dirinya yang terinfeksi oleh lelaki beranak dua dari dua istri berbeda itu? Mereka memang sempat bertukar saliva dalam beberapa menit yang bergelora sebelum berpisah, ketika Rom mengelus perutnya semalam. Ponselnya kembali berdenting memberitahu pesan masuk yang baru. Dari Sekretariat Redaksi tempatnya bekerja: Mbak Fla, pak Muiz terkena infeksi mulut serius. Juga mas Gazi & mbak Aline. Pemred bilang mbak segera check-up. Ambil cuti dulu. Sinting! Muiz adalah Produser Eksekutif dan Gazi juru kamera. Dengan keduanya Fla tak pernah memiliki hubungan asmara. Lalu, bagaimana pula Aline, asisten produser yang jarang bicara, bisa terjangkit penyakit serupa? Dua jam kemudian televisi berlomba-lomba memberitakan stop press yang tak lazim: penyakit misterius menyerang mulut warga. Ada yang memberitakan heboh di sebuah TK, ketika para bocah yang antre makan menjerit ngeri melihat tempat makan mereka dipenuhi ulat yang sempat mereka kira potongan cakwe. Tak satu pun dari mereka yang tahu bahwa bencana pagi itu dimulai dari rumah Bagas, anak Muiz, yang sempat tak mau sarapan kecuali disuapi sang ayah. Kanal TV lain mewartakan kegemparan di sebuah kampus ketika dari mulut pengajar Filsafat Politik berhamburan ulat yang membuat banyak mahasiswi pingsan ketakutan. Saluran televisi tempat Fla bekerja menyajikan tayangan paling mencekam: Guru Kalip sekarat di ranjang rumah sakit. Padahal semalam, Guru Kalip masih bersemangat dalam acara talk show berjudul ”Mengupas Akar Korupsi Massal dan Erosi Moral” yang dipandu Flayya. Merosotnya kesehatan Guru Kalip membuat seluruh saluran televisi membatalkan acara yang sudah mereka programkan. Tak ada siaran langsung dengar pendapat dari gedung Parlemen, karena Guru Kalip adalah guru dari semua guru yang pernah mengajar anggota Dewan. Ketika konflik sosial pecah di beragam tempat, Guru Kalip juga yang menjadi tumpuan akhir banyak pihak, hingga tak sedikit yang menjulukinya sebagai ’Mercusuar Nurani Bangsa’. Awak media massa berlomba-lomba mewawancarai lusinan dokter ahli untuk mendapatkan informasi akurat tentang penyakit Guru Kalip. Apalagi setelah dari menit ke menit, rumah sakit terus kebanjiran pasien dengan gejala serupa di bagian mulut. Dua jam sebelum mentari bertengger di pucuk hari, muncul keterangan resmi dari Wali Negeri bahwa bencana nasional sedang terjadi. Warga dianjurkan tetap di rumah, mengikuti perkembangan keadaan melalui televisi dan sebuah situs web. Keadaan Guru Kalip kian memburuk. Lidahnya sudah membusuk sampai ke pangkal. Tim dokter memutuskan, lidah itu harus dibuang. Guru Kalip menolak dengan alasan yang membuat alis para dokter melengkung keheranan. ”Ulat-ulat itu juga hamba Tuhan yang harus disayangi dengan cinta sejati. Mereka tak boleh dibunuh semena-mena. Pasti ada alasan mengapa Tuhan menempatkannya di lidah saya, seperti Tuhan pernah menempatkan mereka bertahun-tahun di kulit Ayub manusia mulia.” ”Apa maksudnya?” tanya wartawan yang merekam wajah Sang Guru dari kejauhan, karena jijik dan mual melihat gerombolan ulat yang seakan tak ada habisnya di dalam mulut tua yang, anehnya, selalu tersenyum itu. ”Kebenaran akan mengungkapkan dirinya sendiri,” ujar Guru Kalip. Sesaat kemudian jiwanya bercerai dari badan. Kepanikan langsung menggila karena dokter terahli pun masih belum tahu wabah yang terjadi. Wartawan yang mewawancarai istri Guru Kalip hanya mendapatkan jawaban singkat ”Ulat-ulat itu baru muncul kemarin, setelah pagi harinya Guru Kalip bertemu empat mata dengan Wali Negeri,” jawab sang istri. Tiga jam berikutnya pemakaman Guru Kalip dimulai dengan tembakan salvo dan rangkaian acara kenegaraan. Wali Negeri menyampaikan belasungkawa yang disiarkan langsung oleh seluruh saluran televisi. ”Hari ini kita kehilangan sosok luar biasa yang selalu jujur dalam bicara dan bertindak. Negeri kita karam dalam duka mendadak yang lebih perih dari segala pedih penyebab sedih,” katanya dengan ekspresi seperti sedang berdeklamasi. ”Yang membuat saya, Wali Negeri, lebih bersedih hati adalah karena munculnya desas-desus bahwa penyakit misterius Guru Kalip muncul beberapa saat setelah Guru bertemu empat mata dengan saya. Akibatnya, muncul tuduhan-tuduhan tak bertanggung jawab bahwa sayalah yang sebenarnya membuat Guru Kalip jatuh sakit. Saya nyatakan itu tidak benar!” ujar Wali Negeri dengan suara menggelegar. ”Itu fitnah tak bertanggung jawab!” Flayya yang sudah tergolek lemah di ranjang rumah sakit terbelalak ketika melihat seekor ulat melayang dari mulut Wali Negeri yang sedang merintih sedih, ”Baiklah saya ungkapkan di sini, di hadapan rakyat yang saya cintai, bahwa yang saya sampaikan kepada Guru Kalip hanyalah imbauan agar selalu menyampaikan kebenaran setiap saat, di setiap tempat.” Tiga ekor ulat mendadak nemplok di layar televisi. Mengira dirinya berhalusinasi, Fla memindahkan saluran ke kanal berbeda dan melihat Wali Negeri sedang mengepalkan tangan dengan suara membahana. ”Hal terpenting yang saya sampaikan kepada Guru Kalip adalah untuk terus mengingatkan masyarakat bahwa hukum dan keadilan harus dijunjung tinggi, meski harus mengorbankan keluarga dan orang yang kita cintai!” Puluhan ulat berukuran besar dan kecil terus beterbangan dari mulut Wali Negeri selama dia bicara, semakin memenuhi layar televisi yang hanya menyisakan sedikit bidang bersih. Marah dan jijik melihat ulat-ulat terus menggeliat ke mana pun dia memindahkan saluran, Fla hampir mematikan televisi ketika melihat sebaris teks berjalan: Legislator Romero meninggal dunia dengan gejala yang sama seperti dialami Guru Kalip. Mata perempuan seindah mutiara itu langsung membasah, hatinya berdarah. Ingin rasanya dia berteriak menuntut kepada Tuhan agar kekasihnya kembali dihidupkan. Tetapi ulat-ulat laknat di dalam mulutnya yang terus menggeliat sudah mengunyah lebih dari separuh lidahnya. Dia tak bisa lagi berkata-kata mesti begitu ingin. Dicobanya lagi untuk mengeluarkan suara. Namun yang datang hanyalah kenangan saat Romero mengelus perutnya semalam. ”Setelah anak kita ini lahir Fla, hanya kau satu-satunya perempuan yang tercatat dalam akta nikahku. Guru Kalip akan memimpin pernikahan kita, dan Wali Negeri sudah bersedia menjadi saksi. Tidakkah itu menjadikanmu sebagai perempuan paling berbahagia di muka bumi ini, Cinta?” Entikong-Jakarta, 2011
""Epitaf bagi Sebuah Alibi""
Ah elu! Empat-empet-empat-empet aje dari tadi! Empet kenape Sit?” Di tengah pesta nikah putrinya, di gedung pertemuan termewah di Jakarta, Siti merasa perutnya mual. Tadi pun belum-belum ia sudah tampak seperti mau muntah di wastafel. ”Emang elu bunting Sit?” Ira main ceplos aje ketika melihatnya. ”Bunting pale lu botak! Gue ude limapulu, tau?” ”Yeeeeeee! Mane tau elu termasuk keajaiban dunie!” Usia 50, hmm, 25 tahun perkawinan, seperti baru sekarang ia mengenal sisi yang membuatnya bikin muntah dari suaminya. ”Bikin muntah?” ”Yo-i! Bikin muntah…. Hueeeeeekkk!” Perutnya mual, begitu mual, bagaikan tiada lagi yang bisa lebih mual. Meski sebegitu jauh tiada sesuatu pun yang bisa dimuntahkannya. ”Bagaimana tidak bikin muntah coba!” ”Nah! Pegimane?” *** Waktu masih SMU, Siti pernah diajari caranya menulis naskah sandiwara dalam eks-kul, jadi sedikit-sedikit ia bisa menggambarkan adegan di kantor seorang menteri seperti berikut. Seorang sekretaris tua, seorang perempuan dengan seragam pegawai negeri yang seperti sudah waktunya pensiun, membawa tumpukan surat yang sudah dipilahnya ke ruangan menteri. Ia belum lagi membuka mulut, ketika menteri yang rambutnya tak boleh tertiup angin itu sudah berujar dengan kesal melihat tumpukan surat tersebut. ”Hmmmhh! Lagi-lagi undangan kawin?” ”Kan musim kawin Pak,” sahut sekretaris tua itu dengan cuek. Sudah lima menteri silih berganti memanfaatkan pengalamannya, sehingga ada kalanya ia memang seperti ngelunjak. ”Musim kawin? Jaing kali’!” Namanya juga menteri reformasi, doi sudah empet dengan basa-basi. Ia terus saja mengomel sambil menengok tumpukan kartu undangan yang diserahkan itu. Satu per satu dilemparkannya dengan kesal. ”Heran, bukan sanak bukan saudara, bukan sahabat apalagi kerabat, cuma kenal gitu-gitu aja, kite-kite disuru dateng setiap kali ada yang anaknya kawin. Ngepet bener. Mereka pikir gue kagak punya kerjaan apa ya? Memang acaranya selalu malam, tapi justru waktu malam itulah sebenarnya gue bisa ngelembur dengan agak kurang gangguan. Negeri kayak gini, kalau menteri-menterinya nggak kerja lembur, kapan bisa mengejar Jepang?” Perempuan tua itu tersenyum dingin sembari memungut kartu-kartu undangan pernikahan yang berserakan di mana-mana. ”Ah, Bapak itu seperti pura-pura tidak tahu saja….” Belum habis tumpukan kartu undangan itu ditengok, sang menteri menaruhnya seperti setengah melempar ke mejanya yang besar dan penuh tumpukan berkas proyek, yang tentu saja tidak bisa berjalan jika tidak ditandatanganinya. ”Tidak tahu apa?” Menteri itu memang seperti bertanya, tapi wajahnya tak menunjukkan bahwa ada sesuatu yang tidak diketahuinya. ”Masa’ Bapak tidak tahu?” ”Coba Ibu saja yang bilang!” Perempuan berseragam pegawai negeri itu hanya tersenyum bijak dan menggeleng. Pengalaman melayani lima menteri sejak zaman Orde Baru, membuatnya cukup paham perilaku manusia di sekitar para menteri. Baginya, menteri reformasi ini pun tentunya tahu belaka, mengapa sebuah acara keluarga seperti pernikahan itu begitu perlunya dihadiri seorang menteri, bahkan kalau perlu bukan hanya seorang, melainkan beberapa menteri! Ia ingin mengatakan sesuatu, tetapi menteri itu sudah bergegas lari ke toilet pribadinya. Dari luar perempuan berseragam pegawai negeri itu seperti mendengar suara orang muntah. ”Hueeeeeeekkkk!!!” Perempuan itu masih tetap berada di sana ketika menteri tersebut muncul kembali dengan mata berair. ”Bapak muntah?” Menteri yang kini rambutnya seperti baru tertiup angin kencang, meski hanya ada angin dari pendingin udara di ruangan itu, membasuh air di matanya dengan tissue. ”Sayang sekali tidak,” jawabnya, ”kok masih di sini Bu?” ”Kan Bapak belum bilang mau menghadiri undangan yang mana.” ”Hadir? Untuk apa? Cuma foto bersama terus pergi lagi begitu,” kata menteri itu seperti ngedumel lagi. “Jadi, seperti biasanya? Kirim karangan bunga saja?” ”Iyalah.” ”Bapak tidak ingin tahu siapa-siapa saja yang mengundang?” ”Huh!” Sekretaris tua itu segera menghilang ke balik pintu. Menteri itu menggeleng-gelengkan kepala tak habis mengerti. Kadang-kadang orang yang mengawinkan anak ini tak cukup hanya mengirim undangan, melainkan datang sendiri melalui segala saluran dan berbagai cara, demi perjuangan untuk mengundang dengan terbungkuk-bungkuk, agar bapak menteri yang terhormat sudi datang ke acara pernikahan anak mereka. Apakah pengantin itu yang telah memohon kepada orangtuanya, agar pokoknya ada seorang menteri menghadiri pernikahan mereka? ”Jelas tidak!” Menteri itu terkejut mendengar suaranya sendiri. Ia merasa bersyukur karena sekretaris tua yang tiba-tiba muncul lagi itu tidak mendengarnya. ”Apa lagi Bu?” ”Karangan-karangan bunga untuk semua undangan tadi….” ”Ya kenapa?” Menteri itu melihat sekilas senyum merendahkan dari perempuan berseragam pegawai negeri tersebut. ”Mau menggunakan dana apa?” Menteri itu menggertakkan gerahamnya. ”Pake nanya’ lagi!” *** Seperti penulis skenario film, Siti bisa membayangkan adegan-adegan selanjutnya. Pertama tentu pesanan kepada pembuat karangan bunga. Karangan bunga? Hmm. Maksudnya tentu bukan ikebana yang artistik karena sentuhan rasa, yang sepintas lalu sederhana, tetapi mengarahkan pembayangan secara luar biasa. Bukan. Ini karangan bunga tanpa karangan. Tetap sahih meskipun buruk rupa, karena yang penting adalah tulisan dengan aksara besar sebagai ucapan selamat dari siapa, dan dari siapa lagi jika bukan dari Menteri Negara Urusan Kemajuan Negara Bapak Sarjana Pa.B (Pokoknya Asal Bergelar), yang berbunyi SELAMAT & SUCCESS ATAS PERNIKAHAN PAIMO & TULKIYEM, putra-putri Bapak Pengoloran Sa.L (Sarjana Asal Lulus) Direktur PT Sogok bin Komisi & Co. Lantas karangan bunga empat persegi panjang yang besar, memble, hanya mengotor-ngotori dan memakan tempat, boros sekaligus mubazir, dalam jumlah yang banyak dari segala arah, berbarengan, beriringan, maupun berurutan, akan berdatangan dengan derap langkah maju tak gentar diiringi genderang penjilatan, genderang ketakutan untuk disalahkan, dan genderang basa-basi seperti karangan bunga yang datang dari para menteri, memasuki halaman gedung pernikahan yang telah menjadi saksi segala kepalsuan, kebohongan, dan kesemuan dunia dari hari ke hari sejak berfungsi secara resmi. Satu per satu karangan bunga itu akan diurutkan di depan atau di samping kiri dan kanan pintu masuk sesuai urutan kedatangan, agar para tamu resepsi bisa ikut mengetahui siapa sajakah kiranya yang berada dalam jaringan pergaulan sang pengundang. ”Bukan ikut mengetahui,” pikir Siti, ”tapi diarahkan untuk mengetahui. Tepatnya dipameri. Ya, pamer. Karangan bunga untuk pamer.” Siti jadi mengerti, tak jadi soal benar jika tidak dihadiri menteri, asal para tamu melihat sendiri, bahwa memang ada karangan bunga dari menteri. Ini juga berarti para pengundang seperti berjudi, tanpa risiko kalah sama sekali, karena meski yang diundang adalah sang menteri, yang datang karangan bunganya pun jadi! Begitulah, saat karangan-karangan bunga itu datang, Siti telah mengaturnya sesuai urutan kedatangan. Ia mencatat dari siapa saja karangan bunga itu datang, karena ia merasa sepantasnyalah kelak membalasnya dengan ucapan terima kasih, atau mengusahakan datang jika diundang pihak yang mengirim karangan bunga, atau setidaknya mengirimkan karangan bunga yang sama-sama buruk dan sama-sama mengotori seperti itu. ”Ah, dari Sinta!” Ternyata ada juga yang tulus. Mengirim karangan bunga karena merasa dekat dan betul-betul tidak bisa datang. Sinta, sahabat Siti semasa SMU, mengirim karangan bunga seperti itu. Dengan terharu, Siti menaruh karangan bunga dari Sinta di dekat pintu, antara lain juga karena tiba paling awal. Di sana memang hanya tertulis: dari Sinta; bukan nama-nama dengan embel-embel jabatan, nama perusahaan atau kementerian dan gelar berderet. Tiga karangan bunga dari menteri, karena datangnya cukup siang, berada jauh di urutan belakang, nyaris di dekat pintu masuk ke tempat parkir di lantai dasar. Siti tentu saja tahu suaminya telah mengundang tiga orang menteri, yang proyek-proyek kementeriannya sedang ditangani perusahaan suaminya itu. Suaminya hanya kenal baik dengan para pembantu menteri tersebut, meski hanya tanda tangan menteri dapat membuat proyeknya menggelinding. Tentu pernah juga mereka berdua berada dalam suatu rapat bersama orang-orang lain, tetapi sudah jelas bahwa menteri yang mana pun bukanlah kawan apalagi sahabat dari suaminya itu. Sama sekali bukan. Maka, dalam pesta pernikahan putri mereka, bagi Siti pun karangan bunga dari menteri itu tidak harus lebih istimewa dari karangan bunga lainnya. Namun ketika suaminya datang memeriksa, Siti terpana melihat perilakunya. Itulah, setelah 25 tahun pernikahan, masih ada yang ternyata belum dikenalnya. Suaminya, yang agak gusar melihat tiga karangan bunga dari tiga menteri saling terpencar dan berada jauh dari pintu masuk, memerintahkan sejumlah pekerja untuk mengambilnya. Ia mengawasi sendiri, agar terjamin bahwa ketika melewati pintu masuk, setiap tamu yang datang akan menyaksikan betapa terdapat kiriman karangan bunga dari tiga menteri. ”Yang ini ditaruh di mana Pak?” Siti melihat seorang pekerja bertanya tentang karangan bunga dari Sinta, sahabatnya yang sederhana, cukup sederhana untuk mengira karangan bunga empat persegi panjang seperti itu indah, dan pasti telah menyisihkan uang belanja agar dapat mengirimkan karangan bunga itu kepadanya. ”Terserahlah di mana! Pokoknya jangan di sini!” Siti melihat suaminya dari jauh. Suaminya juga minta dipotret di depan ketiga karangan bunga itu! Ia merasa mau muntah. ”Hueeeeeeeeeekkkk!!!” *** Itulah yang terjadi saat Ira bertanya. ”Emang elu bunting, Sit?” Kampung Utan, Sabtu 3 September 2011. 08:30.
""Karangan Bunga dari Menteri""
Masjid itu kecil saja, mungkin hanya bisa menampung sekitar 50 orang berjemaah. Namun, halaman masjid itu cukup luas. Dan di hadapan bangunan masjid itu tumbuh pohon trembesi yang cukup besar. Mungkin saja usianya sudah ratusan tahun. Mungkin saja si pembangun masjid ini dulunya berangan-angan betapa sejuknya masjid ini di siang hari karena dinaungi pohon trembesi. Mungkin saja begitu. Begitu besarnya pohon trembesi itu, dengan dahan dan cabangnya yang menjulur ke segala arah, membentuk semacam payung, membuat kita pun akan berpikir, masjid ini memang dipayungi trembesi. Cantik sekali. Namun, masjid ini sepi. Terutama jika siang hari. Subuh ada lima orang berjemaah, itu pun pengurus semua. Maghrib, masih lumayan, bisa mencapai dua saf. Isya… hanya paling banyak lima orang. Begitu setiap hari, entah sejak kapan dan akan sampai kapan hal itu berlangsung. Bagi Haji Brahim, keadaan itu merisaukannya. Sejak, mungkin, 30 tahun lalu dia dipercaya untuk menjadi ketua masjid, keadaan tidak berubah. Bahkan, setiap Jumat, jumlah jemaah, paling banyak 45 orang. Pernah terpikirkan untuk memperluas bangunan, tetapi dana tak pernah cukup. Mencari sumbangan tidak mudah, dan Haji Brahim tak mengizinkan pengurus mencari sumbangan di jalan raya—sebagaimana dilakukan banyak orang. ”Seperti pengemis saja…,” gumamnya. Seiring dengan berjalannya waktu, maka pikiran untuk memperluas bangunan itu tinggal sebagai impian saja. Kas masjid nyaris berdebu karena kosong melompong. Dan itu pula sebabnya masjid itu tak bisa memasang listrik, cukup dengan lampu minyak. Daun-daun trembesi berguguran setiap hari, seperti taburan bunga para peziarah makam. Buah-buahnya yang tua berserakan di halaman. Satu-dua anak memungutnya, mengeluarkan biji-bijinya yang lebih kecil daripada kedelai itu, menjemurnya, menyangrai, dan menjadikannya camilan gurih di sore hari. Jelas tak ada orang yang secara khusus menyapu halaman setiap hari. Terlalu luas untuk sebuah pekerjaan gratisan. Semua maklum, termasuk Haji Brahim. *** Suatu siang, seusai shalat Jumat, ketika orang-orang sudah lenyap semua entah ke mana, Haji Brahim dan dua pengurus lainnya masih duduk bersila di lantai masjid. Haji Brahim masih berzikir sementara dua orang itu tengah menghitung uang amal yang masuk hari itu. ”Tiga puluh ribu, Pak,” ucap salah seorang seperti protes pada entah apa. ”Alhamdulilah.” ”Dengan yang minggu lalu, jumlahnya 75.000. Belum cukup untuk beli cat tembok.” ”Ya, sudah… nanti kan cukup,” ujar Haji Brahim tenang. Sesaat ketika kedua orang itu akan berdiri, di halaman dilihatnya ada seorang nenek tua tengah menyapu pandang. Haji Brahim pun menoleh dan dilihatnya nenek itu dengan badan bungkuk, tertatih mendekat. ”Alaikum salam… nek,” jawab salah seorang pengurus, sambil mengangsurkan uang 500-an. Tapi si nenek diam saja. Memandangi si pemberi uang dengan pandangannya yang tua. ”Ada apa?” tanya Haji Brahim, seraya mendekat. ”Saya tidak perlu uang. Saya perlu jalan ampunan.” Sesaat ketiga pengurus masjid itu terdiam. Angin bertiup merontokkan dedaunan trembesi. Satu dua buahnya gemelatak di atap. ”Silakan nenek ambil wudu dan shalat,” ujar Haji Brahim sambil tersenyum. Nenek itu diam beberapa saat. Tanpa berkata apa pun, dia kemudian memungut daun yang tergeletak di halaman. Daun itu dipungutnya dengan kesungguhan, lalu dimasukkannya ke kantong plastik lusuh, yang tadi dilipat dan diselipkan di setagen yang melilit pinggangnya. Setelah memasukkan daun itu ke kantong plastik, tangannya kembali memungut daun berikutnya. Dan berikutnya. Dan berikutnya…. Ketiga orang itu ternganga. Sesaat kemudian, karena melihat betapa susah payahnya si nenek melakukan pekerjaan sederhana itu, salah seorang kemudian mendekat dan membujuk agar si nenek berhenti. Tapi si nenek tetap saja memunguti daun-daun yang berserakan, nyaris menimbun permukaan halaman itu. Haji Brahim dan seorang pengurus kemudian ikut turun dan mengambil sapu lidi. ”Jangan… jangan pakai sapu lidi… dan biarkan saya sendiri melakukan ini.” ”Tapi nanti nenek lelah.” ”Adakah yang lebih melelahkan daripada menanggung dosa?” ujar si nenek seperti bergumam. Haji Brahim tercekat. Ada sesuatu yang menyelinap di sanubarinya. Dilihatnya si nenek kembali memungut dan memungut daun-daun itu helai demi helai. Dan, demi mendengar apa yang tergumam dari bibir tua itu, Haji Brahim menangis. Dari bibirnya tergumam kalimat permintaan ampun dan sanjungan kepada Kanjeng Nabi Muhammad. Pada setiap helai yang dipungut dan ditatapnya sesaat dia menggumamkan ”Gusti, mugi paringa aksama. Paringa kanugrahan dateng Kanjeng Nabi.” Sebelum dimasukkannya ke kantong plastik. Haji Brahim tergetar oleh kepolosan dan keluguan si nenek. Di matanya, si nenek seperti ingin bersaksi di hadapan ribuan dedaunan bahwa dirinya sedang mencari jalan pengampunan. *** Hari bergulir ke Magrib. Dan si nenek masih saja di tempat semula, nyaris tak beranjak, memunguti dedaunan yang selalu saja berguguran di halaman. Tubuh tuanya yang kusut basah oleh keringat. Napasnya terengah-engah. Ketiga orang itu tak bisa berbuat lain, kecuali menjaganya. Ketika maghrib tiba, dan orang-orang melakukan sembahyang, si nenek masih saja memunguti dedaunan. ”Siapa dia?” bisik salah seorang jemaah kepada temannya, ketika mereka meninggalkan masjid. Tentu saja tak ada jawaban, selain ”entah”. ”Nek, istirahatlah… ini sudah malam.” ”Kalau bapak mau pulang, silakan saja… biarkan saya di sini dan melakukan ini semua.” ”Nek, mengapa nenek menyiksa diri seperti ini?” ”Tidak. Saya tidak menyiksa diri. Ini… mungkin bahkan belum cukup untuk sebuah ampunan,” ucapnya sambil menghapus air matanya. Haji Brahim terdiam. Mencoba mereka-reka apa yang telah diperbuat si nenek di masa lalunya. *** Malam itu, Haji Brahim pulang cukup larut karena merasa tak tega meninggalkan si nenek. Pengurus masjid yang semula akan menunggui, sepulang Haji Brahim, ternyata juga tak tahan. Bahkan, belum lagi lima menit Haji Brahim pergi, dia diam-diam pulang. Tak ada yang tahu apakah si nenek tertidur atau terjaga malam itu. Begitu subuh tiba, Mijo yang akan azan Subuh mendapati si nenek masih saja melakukan gerakan yang sama. Udara begitu dingin. Beberapa kali si nenek terbatuk. *** Peristiwa si nenek itu ternyata mengundang perhatian banyak orang. Mereka berdatangan ke masjid. Niat mereka mungkin ingin menyaksikan si nenek, tetapi begitu bertepatan waktu shalat masuk, mereka melakukan shalat berjemaah. Tanpa mereka sadari sepenuhnya, masjid itu jadi semarak. Orang datang berduyun-duyun, membawa makanan untuk si nenek, atau sekadar memberinya minum. Dan, semuanya selalu berjemaah di masjid. Dua hari kemudian, tepat ketika kumandang waktu Ashar terdengar, si nenek tersungkur dan meninggal. Orang-orang terpekik, ada yang mencoba membawanya ke puskesmas, tetapi entah mengapa tak jadi. Hari itu juga polisi datang. Karena semua orang tak tahu siapa keluarga si nenek, akhirnya diputuskan si nenek dimakamkan di halaman belakang masjid. Ketika semua orang sibuk, Haji Brahim tercekat. Dia tiba-tiba merasa sunyi menyergapnya. Dia menyapu pandang, ada yang aneh di matanya. Dedaunan yang berserak itu lenyap. Halaman masjid bersih. Menghitam subur tanahnya, seperti disapu, dan daun yang gugur ditahan oleh jaring raksasa hingga tak mencapai tanah. Sudut mata Haji Brahim membasah. ”Semoga kau temukan jalanmu, nek,” gumamnya. Dan ketika semua orang, yang puluhan jumlahnya itu, secara bersamaan menemukan apa yang dipandang Haji Brahim, mereka ternganga. Bagaimana mungkin halaman masjid bisa sebersih seperti itu. *** Lama setelah kisah itu sampai kepadaku, aku tercenung. Rupanya, menurut Haji Brahim kepadaku, nenek itu hadir mungkin sebagai contoh. ”Mungkin juga dia memang berdosa besar—sesuai pengakuannya kepada saya,” ucap Haji Brahim kepadaku beberapa waktu lalu. ”Dan… dia melakukan semacam istigfar dengan mengumpulkan sebanyak mungkin daun yang ada di halaman, mungkin begitu… saya tak yakin. Yang jelas, mata kami jadi terbuka. Sekarang masjid kami cukup ramai.” ”Pasti banyak yang mau menyapu halaman,” godaku. ”Iya… ha-ha-ha… benar.” ”Memangnya bisa begitu, Ji?” ”Maksudnya, ampunan Allah? Ya, saya yakin bisa saja. Allah maha-berkehendak, apa pun jika Dia berkenan, masak tidak dikabulkan?” ucap Haji Brahim tenang. Aku terdiam. Kubayangkan dedaunan itu, yang jumlahnya mungkin ribuan helai itu, melayang ke hadirat Allah, membawa goresan permohonan ampun. Pinang 982
""Salawat Dedaunan""
Kimpul belum bergerak dari tempat duduknya. Sejak pukul delapan pagi hingga pukul dua belas tengah hari itu belum seorang pun singgah dan meminta jasanya. Biasanya, ia baru bergerak setelah hujan rintik-rintik turun dan berlari jika rintik-rintik air itu bertambah besar. Terkadang ia terpaksa siap untuk basah kuyup karena hujan deras mendadak turun tanpa memberi kesempatan kepadanya untuk berlindung di tempat berteduh. Tempat berteduh yang nyaman bagi Kimpul adalah Stasiun Besar di seberang jalan raya yang jaraknya kira-kira tiga puluh meter dari tempatnya bekerja. Ke sanalah ia berlari dan berlindung selama hujan mencurah. Berlari dan berlindung seperti itu setiap hari harus dilakukannya selama musim hujan. Jika hujan tidak lagi berderai Kimpul kembali ke tempatnya semula, menunggu siapa saja yang membutuhkan jasanya. Kimpul masih menunggu dan berharap. Mudah-mudahan ada orang yang singgah ke tempatnya walaupun hanya satu orang karena selama dua hari belakangan ini tidak seorang pun menyapanya dan duduk di kursi di depannya. Ia menatap toko-toko buku baru dan buku bekas yang berjejer tidak jauh di depannya, toko-toko yang menghambat pemandangan ke lapangan di belakangnya. Dulu, semua toko buku itu tidak ada dan setiap orang yang berada di Stasiun Besar, yang sedang melangkah atau berkendaraan di jalan raya atau berdiri di tempat Kimpul duduk saat itu, dengan leluasa dapat melihat lapangan di belakang toko-toko buku itu. Di keempat sisi lapangan rumput itu terdapat parit yang membatasi lapangan dengan lahan kosong yang lebarnya lima belas meter di sekeliling lapangan. Tidak sedikit orang lalu lalang di lahan kosong ini, karena di sana banyak gerobak yang menjual makanan dan minuman. Para penumpang kereta api dari luar kota yang turun di Stasiun Besar umumnya makan dan minum di lahan kosong ini. Pada tengah hari, para penjual obat kaki lima berteriak-teriak berkampanye di lahan kosong yang teduh di bawah kerimbunan pohon-pohon besar yang telah puluhan tahun berdiri di sana. Semua penjual obat berlomba memamerkan kehebatan mereka berorasi agar pengunjung yang melingkar di sekitar mereka mau membeli obat yang mereka jajakan. Dan, setiap orasi pastilah memuji kemujaraban obat. Begitu orasi selesai biasanya ada saja pengunjung yang langsung membeli obat mereka. Masih erat melekat dalam ingatan Kimpul bahwa seorang penjual obat kaki lima itu berhasil meningkatkan diri menjadi bintang film. Semula ia hanya menjadi figuran dalam film ”Lewat Jam Malam” yang disutradarai Usmar Ismail. Ia kelihatan beberapa detik di layar putih, karena hanya berperan sebagai orang yang harus berjalan kaki dari sebuah pintu ke pintu lain yang jaraknya hanya tujuh meter. Tapi, setelah itu ia muncul dalam beberapa film lain sebagai pemeran utama. Hebat si Djoni, ujar Kimpul kepada dirinya sendiri. Begitu cepatnya keadaan berubah, Kimpul membatin. Dulu, lapangan luas itu selalu digunakan untuk tempat berbagai rapat umum dan upacara peringatan hari kemerdekaan sambil mendengarkan pidato Bung Karno. Ribuan murid sekolah SMP dan SMA diwajibkan hadir di sana untuk mendengarkan pidato berapi-api Pemimpin Besar Revolusi yang gagah itu. Di selatan lapangan rumput itu terdapat hotel megah peninggalan penjajah Belanda. Kini hotel itu tidak kelihatan lagi karena telah berganti dengan gedung milik sebuah bank dengan lapangan parkir yang luas. Di utara lapangan, di Jalan Rumah Bola, terdapat sebuah tempat pertemuan orang-orang Belanda yang setelah kemerdekaan diberi nama Balai Prajurit. Balai itu sirna sudah karena di lokasi itu telah dibangun sebuah pusat perbelanjaan yang senantiasa rampai pengunjung. Kimpul merasa perubahan terjadi begitu cepat tanpa menyadari bahwa ia telah empat puluh tahun menjual jasanya di pinggir lapangan itu sejak berusia dua puluh lima tahun. Karena kondisi yang berubah ini, nasib Kimpul turut berubah. Kalau dulu banyak orang yang satu profesi dengan Kimpul bekerja di bawah pohon rindang di pinggir lapangan, kini hanya dia dan seorang lagi yang masih menawarkan jasa di sana. Kalau dulu tanah kosong yang mengelilingi lapangan terasa teduh karena beberapa pohon rimbun berdiri kukuh di sana, kini tanah kosong itu lenyap sudah karena seluruhnya ditelan ruko-ruko yang beroperasi hingga malam hari. Cahaya matahari langsung jatuh di toko-toko buku itu, karena sebagian pohon telah ditebang. Sekarang, lahan kosong pun semakin sempit. Di lahan kosong yang sempit itulah Kimpul dan seorang temannya membuka praktik sebagai pemotong rambut yang lazim disebut tukang pangkas. Dengan hanya bermodalkan sebuah kursi lipat, sebuah cermin yang diikatkan ke sebuah tiang, seperangkat alat pemotong rambut yang dibawanya di sebuah tas kecil yang kumuh dan sebotol air, ia siap melayani siapa saja. hingga menjelang magrib. Awan hitam yang merangkak tidak lagi kelihatan. Hujan juga tidak jadi berkunjung. Hari kembali cerah hingga sore hari. Kimpul masih menunggu. Ternyata tidak ada orang yang ingin meminta jasanya untuk memangkas rambut. Ketika magrib memperlihatkan wajahnya, Kimpul mengambil cermin dari tiang yang dipancangnya, mencabut tiang itu, melipat kursi yang sejak pagi didudukinya, mengambil tas kumuh yang berisi alat-alat cukur dan membuang air yang tersimpan dalam botol. Setelah itu dengan mengayuh sepeda ia pulang tanpa memperoleh uang sepeser pun seperti dua hari sebelumnya. *** Ketika Kimpul terangguk-angguk karena mengantuk, ia mendengar seseorang memanggil namanya. Ia segera membuka mata dan berdiri. Seorang lelaki muda berusia sekitar tiga puluh lima tahun berdiri di depannya sambil tersenyum. Ia menyilakan laki-laki itu duduk di kursi lipat yang sebelumnya didudukinya. Kimpul menduga laki-laki itu akan memotong rambut. Laki-laki itu menolak dengan sopan dan tetap berdiri. ”Pak Kimpul, kan?” kata lelaki muda itu bertanya. ”Benar, saya Kimpul”. ”Masih kenal saya, Pak?” Kimpul menatap laki-laki itu, memperhatikannya dan mencoba menggali ingatannya. Ia tidak berhasil. Karena itu ia menggeleng dengan sopan. ”Saya Dasuki.” ”Dasuki?” Kimpul kembali mencoba membangunkan memorinya. Sekali lagi ia tidak berhasil. ”Tidak apa-apa, Pak, kalau tidak ingat. Maklum peristiwanya sudah lama sekali. Lima tahun. Cukup lama memang.” Kimpul semakin tidak mengerti semua yang diucapkan laki-laki itu. Jangan-jangan dia salah alamat. Mungkin saja yang dicarinya memang Kimpul, tapi Kimpul yang lain. Laki-laki yang menyebut namanya Dasuki itu tidak ingin melihat wajah Kimpul yang bengong seperti itu. ”Lima tahun lalu saya pangkas di sini. Pak Kimpul yang memotong rambut saya. Ketika Bapak akan mencukur janggut, kumis dan cambang saya, tiba-tiba turun hujan deras. Saya menyambar sepeda motor dan segera memacunya ke stasiun itu untuk berteduh,” katanya sambil menunjuk ke arah Stasiun Besar. Kimpul mendengarkan dengan serius. ”Saya melihat Pak Kimpul berkemas dan membawa semua peralatan Bapak ke stasiun. Cuma, karena banyak orang di sana, saya benar-benar tidak tahu di mana persisnya Pak Kimpul berteduh. Hingga hujan berhenti dan semua orang meninggalkan emper stasiun, saya juga tidak melihat Pak Kimpul. Karena saya harus segera kembali ke kantor, saya tidak kembali lagi ke tempat Bapak bekerja. Saya langsung pergi dengan janggut, kumis dan cambang yang belum dicukur. Saya buru-buru karena mempersiapkan kepindahan saya ke Jakarta dua hari setelah itu.” Kimpul masih dengan tekun mendengarkan penjelasan orang yang bernama Dasuki itu. ”Lima tahun saya terganggu karena belum membayar ongkos pangkas rambut itu. Karena itu hari ini saya sempatkan ke sini, pada saat saya sedang bertugas ke kota ini. Saya ingin membayar utang saya itu.” Begitu selesai mengucapkan kalimat itu ia mengambil uang dari sakunya dan menyerahkan Rp 100.000 kepada Kimpul. Karena Kimpul masih tidak memahami cerita laki-laki itu, ia diam saja dan tidak berani menerima uang yang diulurkan kepadanya. Dasuki memberikan uang itu ke tangan Kimpul dan menggenggamkannya. ”Permisi, Pak Kimpul, saya harus pergi sekarang untuk rapat. Kalau sempat saya akan datang lagi,” kata orang yang bernama Dasuki itu sambil melangkah pergi. Kimpul merasa uang yang tergenggam di tangannya itu bukan miliknya. Ia pasti salah alamat, pikir Kimpul. Karena itu Kimpul buru-buru berjalan ke arah laki-laki itu pergi. Setelah itu ia berlari-lari kecil di keempat sisi lapangan, namun laki-laki tidak ditemukannya. Ia kembali ke tempatnya bekerja dengan napas tersengal-sengal. Kimpul benar-benar tidak tahu apa yang akan dilakukannya dengan uang Rp 100.000 di tangannya itu. Ia berpikir keras dan menggedor ingatannya. Akhirnya ia sampai kepada kesimpulan bahwa semua yang diungkapkan laki-laki itu tidak benar dan tidak pernah terjadi. Ingatannya cukup kuat untuk mengetahui semua itu. Lalu mengapa ia memberikan Rp 100.000 sedangkan biaya pangkas lima tahun lalu cuma Rp 5.000. Kimpul bergumam, dari mana pula orang bernama Dasuki itu tahu namaku, padahal aku tidak pernah menyebutkan namaku kepada pelanggan karena memang tidak ada yang pernah bertanya. *** ”Bagaimana Das? Ketemu dengan orang yang kamu cari?” ”Tidak,” sahut Dasuki menjawab pertanyaan istrinya. ”Lalu bagaimana?” ”Aku mengelilingi lapangan itu. Hanya dua orang tukang pangkas yang aku temukan. Yang satu masih muda dan yang seorang lagi, aku rasa berusia lebih dari enam puluh tahun. Mungkin sekitar enam puluh lima tahun. Sebelum aku menghampiri orang tua itu aku bertanya dulu kepada penjaga toko buku bekas yang kumasuki sebelumnya. Dialah yang memberikan nama Kimpul itu kepadaku.” Dasuki menunggu reaksi istrinya. Istri Dasuki menunggu kelanjutan cerita suaminya. ”Lalu aku datangi orang tua itu dan kuberikan Rp 100.000. Aku ceritakan alasan mengapa aku memberikan uang itu. Dia bengong dan mulanya tidak mau menerima uang itu. Tapi aku berikan uang itu kepadanya dengan menggenggamkannya. Setelah itu aku pergi dan berjanji akan datang lagi kalau aku masih punya waktu luang.” ”Kamu yakin bukan itu orang yang kamu cari?” ”Aku belum lupa wajah orang yang dulu memangkas rambutku. Pipinya kempot, kepalanya botak dan tubuhnya ceking. Aku melihatnya begitu aku selesai makan gado-gado yang enak di pinggir lapangan itu. Karena kasihan aku segera menghampirinya, duduk di kursi kayunya dan memintanya memotong rambutku. Padahal sebelumnya aku berniat memotong rambut di barber shop di sebelah kantorku. Hanya karena aku ingin makan gado-gado dulu makanya aku pergi ke pinggir lapangan itu, bertemu dengan orang tua itu, jatuh kasihan dan memintanya memangkas rambutku.” Melihat Dasuki menceritakan hal itu dengan lancar istrinya tersenyum dan tidak bertanya apa pun. Dasuki yang merasa perlu memberikan penjelasan lebih lanjut. ”Orang yang kuberi Rp 100.000 itu berambut lebat, beruban dan tidak kurus. Tapi dengan memberikan uang itu aku merasa utangku telah terbayar.” ”Kamu yakin akan merasa tenang setelah membayar utang itu walaupun bukan kepada orang yang berhak menerimanya?” Lama Dasuki menunduk dan terdiam. Kemudian ia menengadah dan menatap istrinya. ”Aku tidak tahu. Aku harapkan begitu.” Jakarta, 20 Juni 2011
""Kimpul""
Demikian ritual yang dijalankan ayah tiap pagi sejak dua puluh-tiga puluh tahun lalu sampai saat kita mudik kali ini. Kacamata ayah adalah yang ia pakai ketika meminang ibu. Setiap tahun kita membelikannya sarung tetapi ia menyimpannya di lemari. Ayah memakai sandal yang ia pakai tahun lalu, dua tahun lalu, tiga tahun lalu, bahkan kita tidak pernah ingat melihatnya berganti sandal baru. Tatkala kita memberinya sepasang Crocs warna ungu Lebaran lalu, ia seperti tersinggung alih-alih tersanjung, apalagi terharu. Ibu rajin bin tabah. Bangun pagi-pagi, mendidihkan air, menyeduh kopi, mencuci pakaian, menyiapkan sarapan, dan kita tidak ingat kapan ibu pernah tidak begitu, termasuk hari minggu, hari libur, atau Lebaran seperti sekarang. Ibu pula yang menyapu, mengepel, menanak nasi, memasak, menjahit, memberi makan kucing, dan menyiram tanaman. Ibu tidak mengomel soal uang belanja layaknya istri kita merecoki kita. Ibu tidak pernah meminta ayah keluar malam-malam seperti istri kita menyuruh kita membelikannya martabak pada pukul sebelas malam. Ibulah yang melarang kita mengajak anak gadis orang nonton bioskop sebelum yakin hendak menikahinya. Ibu mengajari kita agar membawa jeruk bila mengunjungi orang sakit. Dari ibu kita tahu riwayat sanak saudara dan tetangga-tetangga. Kakak ada kalanya bersikap manis tetapi lebih sering sinis. Ia hanya menjajani kita bila hendak meminta tolong kita membantunya mengerjakan sesuatu atau membujuk kita merahasiakan kesalahannya. Bila datang bulan, ia menjadikan kita bulan-bulanannya. Kakak malas, sejak dulu sampai sekarang, tetapi ia dapat disebut berhasil dalam sekolah serta kariernya dan kita tahu pasti itu berkat doa ayah-ibu selain bahwa ia memang tidak bodoh. Pulang mudik bersama suaminya, mereka masih tidur meskipun matahari sudah tinggi dan baru bangun menjelang siang. Adik selalu merongrong. Minta uang. Tahun ini ia akan lulus SMA dan uang yang ia minta semakin banyak. Sama seperti semua remaja yang mulai berjerawat, adik berpacaran. Cinta monyet. Kita cemas ia tidak mau meneruskan sekolah dan memilih menikah muda. Soalnya ia sudah memperkenalkan pacarnya, seorang entah gadis entah tidak lagi, yang menindik hidung, puser, dan lidahnya. Saat bertemu, kita juga melihat anak itu menyemir rambutnya, mengenakan sepatu bot, dan memakai maskara hijau. Kita pikir adik sudah gila atau kena guna-guna. Namun, pacar adik itu cukup sopan, bahkan untuk ukuran ayah dan ibu. Hanya penampilannya menjengahkan dan bisa membuat orang salah menilainya. Mungkin itu disebut sensasi mengekspresikan diri. *** Dahlan sekarang sudah menjadi orang. Tahun ini ia pulang mudik membawa Honda CRV edisi terbaru. Ke mana-mana ia membagikan kartu nama. Ia sudah menjabat direktur sebuah BUMN dan suka main golf. Di Aliyah dulu, Dahlan siswa yang jorok. Setelah menjadi pejabat pun ia tidak pandai berpakaian. Bila mengenakan kemeja batik, kancing pada bagian perutnya sering lepas mempertontonkan pusernya karena ia tidak juga mengenakan singlet. Tak jarang ia lupa menaikkan retsleting celananya pula, persis saat masih sekolah. Untuk itu kini ia memiliki asisten yang senantiasa mengingatkannya. Padahal, ia cukup menyiasati kemungkinan keteledorannya dengan mengenakan baju yang lebih longgar dan panjang. Nasib orang tidak ada yang tahu. Orangtua Dahlan sangat bahagia dan suka bercerita mengenai anak mereka. Sumarni menjadi perancang program komputer. Ia mampu memecahkan semua masalah teknis pelik. Dulu ia menolak dikawinkan setelah lulus kuliah dan bersikeras melanjutkan pendidikan ke Jepang. Pulang dari Jepang ia pergi menuntut ilmu ke Swiss. Kembali dari Swiss ia berangkat lagi mencari pengalaman ke Massachusetts. Ia tidak jelek, hanya tidak terlalu suka bergaul. Ia tidak pernah punya inisiatif memulai pertemanan sehingga orang menganggapnya tertutup dan menjaga jarak dengannya, baik pria maupun wanita. Bila orang mulai bicara soal cowok, gaya berdandan, dan seks, Sumarni biasanya langsung menyingkir. Kini Sumarni pulang membawa sejumlah gelar, termasuk S-4. Rambutnya sudah beruban dan kacamatanya menebal. Tahun ini orangtuanya berancang-ancang menjodohkannya dengan seorang peternak sapi. Joko, di zamannya siswa paling ganteng di kelas, sekarang menjadi koruptor. Ia mudik untuk meminta maaf kepada ayah-bundanya dan memohon didoakan agar diberkahi rezeki. Ternyata koruptor selama ini menganggap kesempatan yang diperolehnya merupakan limpahan rezeki berkat doa-doanya dan doa orangtuanya. ”Itu sudah rezeki gue, kenapa sirik?” cetus Joko membela diri. Arlojinya kini Rolex Perpetual berantai emas 22 karat. Ia siap membantu warga kampung. Pak RT menerima Rp 10 juta untuk membangun rumah Mak Icih yang hampir roboh. Pak Lurah mendapat Rp 25 juta untuk membantu petani membeli pupuk. Pak Camat konon memperoleh sampai Rp 40 juta entah untuk apa. Semua orang, kecuali KPK, melihat Joko tokoh yang sukses dan murah hati. ”Joko tidak korupsi. Ia mendapat semuanya karena rajin berdoa,” kata Ustaz Jamil. Kita tidak bisa melupakan Santi. Alisnya, matanya, bibirnya, lehernya, jemarinya, dadanya, pinggangnya, pinggulnya, betisnya, pernah membuat jiwa dan raga kita meradang menerjang. Dulu, melihat atap rumahnya saja kita sudah senang bukan alang kepalang. Sampai mudik ke berapa pun, Santi terlihat cantik dan bersih. Santi telah menikah tiga tahun lalu dengan juragan tahu asal Sukabumi. Kita merasa jengkel dan menyesal, padahal punya banyak peluang menyatakan cinta kepada Santi. Kita malu menjadi pengecut. Setiap kali mudik kita mencari tahu kabar Santi. Tahun ini kita tahu Santi telah diboyong suaminya ke Ciamis. Sepertinya usaha suaminya berhasil dan kita hanya bisa berharap Santi menikmati hidupnya sebagai istri juragan. Cinta memang kadang-kadang tidak mudah. Perlu keberanian untuk membawa cinta keluar dari sekolah. Namun, banyak cinta kehilangan sihir dan sarinya setelah meninggalkan halaman Aliyah. *** Sekolah merupakan monumen masa lampau. Kita pasti mampir ke sana. Halaman rumputnya terlihat sudah mengering dan menciut skalanya. Sebagian lahan telah dibangun kelas-kelas baru di atasnya. Tak tersisa cukup tempat untuk bermain alip-alipan lagi. Maka, anak-anak sekarang bermain bola melalui PlayStation. Pohon beringin di tengah pekarangan sekolah sudah ditebang dan bekasnya dipasangi paving block. Lonceng yang dipukul sudah diganti dengan bel listrik yang diatur otomatis berbunyi pada waktu tertentu. Pak Maman sudah dipecat sebab tidak dibutuhkan lagi orang untuk memukul lonceng dan memotong rumput. Pak Silitonga, guru fisika, sudah wafat akibat TBC. Ibu Jumilah yang mengajar geografi telah pensiun dan kini sakit-sakitan. Kehidupan guru, entah mengapa, selalu tragis. Setiap kali mudik dan mampir ke sekolah, kita tidak dapat menahan air mata yang tahu-tahu sudah berlinang. Toko kitab Pak Wongso masih buka. Masih menjual buku mewarnai, komik terbitan lokal, beberapa jilid buku memasak dan menjahit, serta novel-novel lama seperti Cintaku di Kampus Biru dan Hamlet, Pangeran Denmark. Semuanya buku lama atau buku yang asalnya baru tetapi jadi lusuh lantaran lama tak laku-laku. Tak ada buku pelajaran dijual di sini sebab sudah diatur penyalurannya melalui sekolah yang bekerja sama dengan penerbit buku. Kalau Pak Wongso tidak keras kepala, anaknya sudah menutup toko buku ini dan membuka kafe di sini. Pak Wongso tidak mengenal kita lagi tetapi kita mengenalinya. Ia sudah uzur sekali dan kini tidak memiliki gigi. Ajaibnya, ia masih terlihat memakai kacamata kulit kura-kura yang sama yang mungkin akan dikenakannya hingga akhir hayatnya. Pasar Lama masih bertahan. Kotornya dan baunya juga. Becak-becak yang menutupi sebagian jalur jalan di depan pasar pun ikut bertahan. Tukang-tukang becaknya mengingatkan kita kepada waktu yang berlalu bergegas. Mbok Umi masih berjualan gado-gado dan harganya masih tiga ribu. Bila harga sayur-mayur, tahu, dan kacang naik, Mbok Umi mengurangi porsinya sehingga harga jualnya tetap. Pembeli bertambah sejak Mbok Umi berjualan didampingi putrinya yang saban hari mengenakan tank-top dan jins low-waist. Jika sedang berdampingan, kita dapat mempelajari perubahan zaman dari sosok Mbok Umi dan putrinya. Wak Alang, penjual ikan asin yang suka berkata jorok menggoda ibu-ibu, masih berjualan. Sekarang dia tidak banyak ngomong lagi sejak sering sesak napas belakangan ini. Barangkali sebentar lagi Wak Alang akan mati. Kantor pos, PLN, PDAM, dan Telkom masih melayani dari gedung yang sama, bahkan pegawainya masih yang dulu-dulu juga. Kiranya suasananya tidak sesibuk dulu. Orang sekarang bisa memilih membayar rekening listrik dan tagihan PAM atau telepon melalui ATM dan tidak perlu mengunjungi fasilitas pelayanan di gedung-gedung tua yang menyeramkan. Ke kantor pos? Untuk apa? Bukankah sejak sepuluh tahun terakhir ini kita tidak pernah berkirim-kirim surat lagi? Waktu seperti berhenti di sini. Mudik seperti kembali ke masa lampau. Bersyukurlah bahwa kita masih sempat mudik untuk menikmati dan menghormati masa silam. Bandung, 5 Agustus 2011
""Mudik""
”Barang apa yang kau bicarakan itu, kok mahal amat?” bertanya suaminya. ”Lho, musim hujan tahun lewat dan sebelumnya juga, kan, saya bilang, Pak, roti yang diberi gula yang berbentuk bunga mawar itu harganya tiga ratus lima puluh ribu. Roti itu besar, cukup untuk satu keluarga dengan beberapa tamu. Tapi, sekarang naik dua puluh lima ribu,” Sum mencoba menjelaskan. Lakinya tetap tak paham. Ia menarik rokok sebatang dari bungkusnya dan mencoba menyalakan korek. ”Ngerokok lagi,” tiba-tiba Sum sedikit membentak. ”Apa enggak bisa uangnya sedikit disimpan untuk tambahan beli roti.” ”Beli roti bagaimana?” Uncok gantian membentak. ”Kau ini edan, ya. Nyediain nasi aja susah, kok beli roti mewah kayak gitu. Itu makanan menteri, bupati, dan wali kota serta para koruptor. Tahu?! Kita makan nasi aja sama sambal…. Kamu itu mimpi….” Lakinya menegaskan. Tiba-tiba sepi. Di langit ada mendung yang memberi sasmita akan hujan. Kilat sesekali menggebyar. ”Rumah kita masih bocor,” kata Uncok lagi sambil mendongak. ”Belum bisa beli plastik tebal penahan tiris. Kok kamu mikirin roti tart yang, buat kita, harganya triliunan rupiah. Edan kau itu!” Sum diam. Tak mendengarkan omelan suaminya. Bayangan di depan matanya sangat jelas: tart dengan bunga-bunga mawar, dengan tulisan Happy Birthday. Betapa bahagianya anak yang diberi hadiah itu. Sum sendiri belum pernah mendapat hadiah seperti itu, apalagi mencicipi. Tapi, alangkah lebih bahagia ia jika bisa memberikan sesuatu yang dinilainya luar biasa, betapa pun belum pernah menikmatinya. ”Kurang beberapa hari lagi, Pak,” kata Sum memecah kesunyian. ”Apanya yang kurang beberapa hari lagi?” Uncok membentak. ”Kiamatnya apa gimana? Kita memang mau kiamat. Hakim, jaksa, polisi, pengacara, menteri, anggota DPR… nyolong semua. Dan kau malah mau beli tart lima triliun. Duitnya sapa? Nyolong? Tak ada yang bisa kita colong. Ngerampok? Kau punya pistol atau bedil? Enggak! Kau cuma punya pisau dapur dan silet untuk mengerok bulu ketiakmu….” Sum tak menyahut. Pikirannya masih melanglang ke toko roti. ”Kita bisa naik bus Trans Yogya Pak, aman. Enggak ada copet. Pulangnya naik becak aja. Kita harus hati-hati bawa tart sangat istimewa itu, Pak. Ah, si bocah itu pasti seneng banget.… Kalau dia bisa seneng, alangkah bahagia diriku.” Kedua tangannya dilekatkan pada dada dan membentuk sembah, menunduk. Tuhan, bisik Sum, perkenankan saya membeli tart untuk ulang tahun si anak miskin itu. Ia lalu menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Saking kepinginnya beli tart, seakan ia hendak menangis. Matanya terasa basah. Kemudian hujan pun rintik-rintik. ”Naaah, mau hujan,” kata lakinya. ”Pindah-pindahin bantal-bantal. Jangan biarkan di situ, tempat tiris deras….” Uncok memberi komando. Sum tenang saja. ”Biarkan tiris membasahi rumah,” kata Sum. ”Itu rezeki kita: air,” sahut Sum. Uncok tak tahan. ”Kamu kok semakin edan,” lakinya membentak. Malam merambat larut. Tidak diketahui dengan pasti apakah malam itu jadi hujan atau tidak. *** Gagasan beli tart dengan bunga-bunga mawar itu sudah lama muncul di benak Sum. Dua tahun lalu. Waktu itu Bu Somyang Kapoyos, rumahnya di Surabaya, menginap lima hari di Yogyakarta karena urusan disertasi. Ia membawa putranya. Dan tepat satu hari kemudian, ia teringat ulang tahun anaknya. Cepat-cepat ia berganti pakaian, memanggil taksi dan meluncur ke toko roti Oberlin. Ia pun membeli tart ulang tahun dengan tulisan Happy Birthday dengan lima lilin menyala. Ketika kembali ke home stay, Sum, yang sedang menyapu lantai, melihat roti itu. Tergetar. Astaga, indahnya. Lilinnya menyala, seperti menyala dalam hatinya. Aku harus beli tart itu, buat si bocah, saat ulang tahunnya di bulan hujan nanti, gumamnya. ”Berapa harganya, Bu?” tanya Sum. ”Tiga ratus lima puluh ribu,” jawabnya. Astaga! Gaji Sum kerja di home stay hanya dua ratus lima puluh ribu sebulan. Kalau ada tamu, ia memang sering mendapat tip, tetapi cuma cukup buat beli soto Pak Gareng tiga ribuan. Ia masih harus memikirkan seragam anaknya. Suaminya, yang sopir bus, tak selalu bisa bawa uang cukup. Jalan makin padat. Motor jutaan memenuhi jalanan. Sering macet. Kadang harus cari jalan lain. Perjalanan makin panjang. Artinya bensin boros, padahal bahan bakar mesti dibeli sendiri. Tapi aku harus beli tart itu, gumamnya. Buat si bocah. Di ulang tahunnya di bulan hujan. Ia bakal senang. ”Oh, enggak begitu mikirnya. Tapi gini: semoga ia senang. Tuhan, perkenankan ia senang menerima persembahan roti dari saya,” gumamnya lagi. ”Tuhan, saya butuh sekali bahagia dengan melihat si bocah bahagia.…” ”Di mana tokonya, Bu,” tanya Sum lagi. ”O, deket toko onderdil motor itu,” jawab Bu Somyang, ”Kamu mau beli?” tanyanya. Sum mengangguk. ”Anakmu ulang tahun?” desak Bu Somyang. ”Buuukan anak saya, tapi kalau dianggap anak saya, ya enggak papa,” jawab Sum. ”Oooo, anak yatim piatu di panti asuhan yang kamu pungut?” Bu Somyang mendesak. ”Bukan, enggak,” jawab Sum. ”Ah, Sum aku tak paham. Tapi, aku ingin ingatkan kalau untuk anak-anak gelandangan, ya enggak usah tart kayak gini. Cukup beberapa potong roti santen apa roti bocongan atau roti teles yang seribuan ditambah minuman dawet. Itu pun tiap gelas cendolnya lima belas atau enam belas biji saja. Kalau anak-anak dibiasakan makan-minum yang mewah-mewah, kurang baik. Bisa tuman, ketagihan.” Sum diam. Jantungnya terasa tertusuk oleh kata-kata yang diucapkan karena ketidaktahuan. Sum menunduk. Beberapa tahun silam pernah seorang penyair diminta berkhotbah di gereja. Ia berkata, malanglah dia orang yang tak tahu kalau ia tak tahu, hina dan sakit orang yang tak paham kalau ia tak paham. Kata-kata itu mendengung kembali di telinganya ketika ia menatap mulut Bu Somyang yang mengerikan. ”Aku harus membeli tart itu, apa pun yang terjadi,” gumam Sum. ”Apa pun komentar orang aku tidak peduli. Aku hanya ingin si bocah bahagia pada hari ulang tahunnya. Selama bertahun-tahun aku menyaksikan perayaan ulang tahun si kecil, belum pernah ada yang membawa tart. Padahal, kalau mau, mereka bisa beli. Kebanyakan tamu yang datang sedikitnya naik motor, malah ada yang naik mobil. Heran! Bagaimanakah pikiran orang-orang itu.” Dua minggu setelah menyaksikan tart yang menggetarkan, Sum memutuskan menabung. Ketika dikonsultasikan, Ketua Lingkungan menyarankan agar Sum menabung di bank. Tapi, Pak Karta Wedang memberi tahu bahwa bank kadang-kadang tak bisa dipercaya. Uang para nasabah dibawa lari oleh petugas bank sendiri dan bank tidak bertanggung jawab. ”Oooo, gitu…,” kata Sum, ”Lalu, enaknya gimana, ya?” Pak Karta tidak menjawab. Akhirnya, Sum memutuskan menabung di rumah sendiri. Ia merencanakan menyisihkan uangnya lima belas ribu setiap bulan. Kalau ia sukses lebih menekan kebutuhan, setahun, kan, seratus delapan puluh ribu. Dua tahun, kan, tiga ratus enam puluh ribu. ”Horeeeee! Dua tahun lagi, aku bisa beli tart buat si kecil. Dan masih sisa sepuluh ribu.” Hatinya bersorak-sorai…. Dan pada bulan hujan tahun ini, kegiatan menabungnya hampir genap dua tahun. Ia tak sabar lagi. Tapi, alangkah kecewa ketika ia menengok di toko roti Oberlin, tart yang dibayangkan sudah naik harganya. Ia sedikit lemas. Ia menjadi pucat. Dan pandangannya berkunang-kunang. ”Ada apa Bu, sakit?” tanya pelayan toko. Sum menggeleng. Ia berkeringat dingin. Punggung terasa sedikit basah, tetapi keleknya terasa basah sekali. ”Ibu mau beli roti?” desak pelayan toko. ”Ya,” jawab Sum sangat pelan hampir tak terdengar. Apalagi lalu lintas hiruk-pikuk. ”Mau beli,” pelayan mendesak. ”Iyaa,” jawab Sum. Pelan sekali. ”Yang mana?” Sum menuding tart mahal itu. ”Haaah?” Pelayan toko kaget sambil memandangi penampilan Sum. Sum lemas. Bagaimanapun masih ada kekuatan. ”Tapi tidak sekarang,” Sum menegaskan. ”Oooo, kamu disuruh majikanmu lihat-lihat harganya, begitu?” Sum menggeleng. ”Saya mau beli sendiri. Saya sudah menabung. Tart itu untuk si bocah.” Pelayan toko tak paham, dan mulai curiga. Karena itu, dengan cara halus, ia menggiring Sum ke luar toko. Perempuan itu melangkah ke luar. ”Masih ada waktu,” gumamnya. ”Aku akan buruh nyuci di kos-kosannya Pak Nur Jentera. Pokoknya, bulan hujan tahun ini aku harus beli tart untuk si kecil. Aku ingin sekali merasakan bahagia ketika bocah itu bahagia. Kalau aku sudah berhasil membeli tart untuk si bocah, aku lega banget. Aku rela mati. Kalau yang aku lakukan dianggap keliru oleh sidang malaikat dan aku harus masuk neraka… ya enggak papa. Aku tetap bahagia di neraka. Ya, mati dengan bahagia sekali karena sudah bisa mempersembahkan roti tart di bulan hujan. Di minggu hujan. Di malam hujan,” gumamnya. Tiba di rumah, ia langsung mengambil uang tabungannya yang disembunyikan di dalam lemari, di bawah pakaian. Kurang empat puluh lima ribu, gumamnya sambil menghitung uang receh. Ia ingat, ia harus membeli nasi buat anaknya, si Domble. ”Tapi kalau aku berhasil nyuci pakaian di kos-kosan Pak Nur Jentera, semua bakal beres. Slamet bilang, Pak Jentera baik banget sama orang duafa. Beda banget dengan Wak Zettep yang pelit banget dan tukang mempermainkan orang.” Sum menunduk. ”Tuhan, biarkan saya percaya bisa membeli tart untuk si bocah.” *** Esoknya sudah mulai memasuki bulan hujan. Ia pun menghitung hari. Di lingkungannya, warga sudah sering kumpul-kumpul menyiapkan pesta ulang tahun. Di gereja banyak pengumuman tentang kegiatan menyongsong pesta itu. Sum tak pernah diajak. Alasan ibu-ibu kaya, Sum, kan, sibuk bantu rumah tangga sana-sini. Mana ada waktu buat gini-gini. Di samping itu, kalau ia diajak, Sum selalu merasa tak pantas duduk sama rendah berdiri sama tinggi dengan mereka. Sum selalu merasa dirinya orang duafa yang tempatnya di pinggiran. Dengan senang Pak Jentera menerima Sum. Tampaknya, lelaki itu terpesona dengan cara kerjanya yang cekatan. Karena itu, tak ragu-ragu ia memberi Sum upah tambahan, bahkan boleh dikatakan setiap hari. Maka, sebelum saat pembelian tart tiba, di tangannya sudah ada uang cukup. Bahkan lebih. Sementara itu, Bu Jentera juga luar biasa perhatiannya. Sekali ia memanggilnya ke rumah. ”Kamu mau pesta apa pada natalan nanti.” ”Ah, enggak pesta kok, Bu, cuma mau beli tart,” jawab Sum. ”Tart? Tart? Siapa yang ulang tahun? Anakmu?” Bu Jentera kaget dan bertanya setengah mencecar. Tapi Sum tetap tenang. ”Bukan anak saya Bu, tapi kalau dibilang anak saya, ya enggak papa,” jawab Sum. ”Ooooooooo, anak pungut? Di panti asuhan dekat rumah Wak Zettep yang terkenal pelit itu?” Bu Jentera bertanya lagi. ”Enggak, bukan… dia anak baik-baik, sangat baik… cantik sekali, pandangan matanya menggetarkan,” jawab Sum. ”Ah, aku tak paham,” kata Bu Jentera. Lho, kata-kata Bu Somyang di ulang di sini, gumam Sum. ”Tapi baiklah,” kata Bu Jentera lagi, ”kalau mau beli tart, ya, yang baik sekalian,” sambungnya. Wuuuah, luar biasa ibu ini, kata Sum dalam hati. ”Nih, aku ngiur dua ratus ribu,” kata Bu Jentera sambil senyum sangat manis. Ya Tuhan, apakah Bu Jentera ini malaikat utusanmu, kata Sum dalam hati. Dengan gemetar Sum menerima uang itu. Tepat pada saat itu, Pak Nur Jentera tiba di rumah dari sepeda-an bersama persekutuannya. Ia langsung duduk dan mendengarkan cerita istrinya tentang rencana Sum. ”O, bagus, bagus,” kata Pak Jentera. Ia berdiri lalu tangan kanannya merogoh dompet di saku belakang. ”Mbak Sum mesti beli roti lain untuk tambahan. Kan anak-anak pasti akan datang, rame-rame. Nih, ada tambahan tiga ratus,” katanya dengan tenang. Sum hampir tak memercayai telinganya. Ya Tuhan, engkau begitu dermawan, jerit gembira hati Sum. Hatinya bersorak-sorai. Ia pun lari ke Bapak Ketua Lingkungan menceritakan rencananya. Hujan pun turun, menderas. ”Apa boleh Bu Sum membawa tart masuk gereja, apalagi meletakkan tart itu di depan patung Kanak-Kanak Yesus di dalam Goa? Pak Koster pasti takut gerejanya kotor. Pastor paroki akan tanya, perayaan Natal dengan tart di depan Kanak-Kanak Yesus itu menurut ayat Kitab Suci yang mana, teologinya apa….” Tanpa menggubris, Sum berangkat ke toko roti. Sebelumnya mampir ke rumah dulu, menemui suaminya, yang kebetulan tak nyopir. Uncok terdiam mendengar cerita Sum tentang Bapak Lingkungan. Sepi. Lama. Hati Uncok trenyuh. Laki itu merasa harus berbela rasa dengan istrinya. Apalagi ia membawa uang berlebih untuk beli seragam si Domble. Juga uang buat rokok.… Uncok, kemudian, mendekap istrinya. ”Selepas dari toko, pulang dulu,” kata lakinya. Sum tak bisa berkata apa-apa. Mulutnya terkunci. Keharuan mendesak paru-paru dan tenggorokannya. Suaminya berubah tiba-tiba. ”Tuhaaan, hebatnya dikau. Berangkatlah,” kata suaminya, ”Pulangnya mampir ke rumah dulu sebelum ke gereja.” Di toko roti, pelayan-pelayannya memandang dengan sebelah mata. Mereka tak percaya Sum punya uang untuk beli tart hampir empat ratus ribu. ”Tidak masuk akal,” kata Tanpoting, pemilik toko roti itu. Ketika Sum akhirnya mengeluarkan uang lebih dari harga tart, baru mereka percaya. Pukul setengah empat sore Sum tiba di rumah. Alangkah kagetnya dia melihat goa dengan Kanak-Kanak Yesus di dalamnya sudah disiapkan lakinya di tengah rumah. Patung kecil-kecil itu rupanya dipinjam dari asrama para suster. ”Mereka memperkenankan aku memakai ini semua,” kata suaminya. Sum tak bisa berkata-kata apa-apa. Kegembiraan meluap. ”Taruhlah tart di sini,” kata Uncok, persis di depan Kanak-Kanak Yesus terbaring. ”Nanti malam, selesai Misa Natal, anak-anak kita undang ke rumah ini merayakan ulang tahunnya. Tak perlu di gereja. Mereka akan menyanyi panjang umurnya, panjang umurnya, panjang umurnya serta mulia…. Lalu anak-anak akan menyantap tart. Biarlah rumah kita kotor, tapi ada senyum dan tawa meriah.” Sum memeluk suaminya. Air matanya menetes karena haru. Persis hujan turun dengan sangat deras dan rumah sepasang merpati itu tiris di sana-sini, kecuali di atas tart. Seluruh rumah basah, lambah-lambah. Tapi, Sum dan Uncok tertawa terbahak-bahak sambil berpelukan. Si Domble pun ikut menari-nari sambil sesekali nyuri mencolek tart yang dibalut gula-mentega-cokelat yang lezat luar biasa. Patung Kanak-Kanak Yesus menatap mereka dengan senyum. Menjelang pukul sembilan malam, anak-anak langsung menyerbu rumah Sum dan Uncok selepas dari misa di gereja. Mereka menari-nari di depan patung Kanak-Kanak Yesus dan tart. Kue-kue lainnya pun disiapkan. Anak-anak berebut membersihkan rumah yang basah dan kotor luar biasa. Diam-diam Sum menatap pandangan mata anak-anak yang datang. Seperti bersinar, seperti bersinar… Sum berjongkok dan memeluk mereka satu demi satu. Sum tersedu karena haru dan bahagia….
""Tart di Bulan Hujan""
Namaku Limbuk, asal Dukuh Menjangan. Hidupku isinya cuma kesedihan. Keceriaan adalah hal yang absurd bagiku. Lagipula tak ada yang aneh dengan kesedihan di negeri ini bukan? Namun aku selalu ingat kata simbok dulu, hidup ini memang sekadar mampir ngombe, singgah untuk minum. Tak pernah aku mengerti arti perawan sampai suatu hari simbok bilang aku tak perawan lagi. Padahal hanya sedikit noda darah pada celana dalam, tapi mengapa nasibku jadi berputar seratus delapan puluh derajat? Sebelas tahun usiaku waktu itu, ketika dengan kejamnya Lik Sol mengenalkan arti perih sesungguhnya. Ego yang berbalut nafsu itu biang keladinya. ”Untung kamu masih bau kencur…” Istri Lik Sol ketus memarahiku sambil panjatkan seribu syukur. Benih suaminya tak bisa membuahiku. Bibirnya mencang-mencong tak mengerti apa yang menarik dari tubuh kurus keringku. Perempuan-perempuan muda penumbuk padi jadi aneh memandangiku. Tatapan mereka seperti menelanjangi dari kepala sampai kaki. Alu besar tetap dihunjamkan ke dalam lumpang, tapi lirikan dan bisikan mereka tak bisa mengelabuiku. Pemuda-pemuda desa menggodaku dengan kata-kata kotor. Mata mereka isyaratkan birahi. Tak tahu aku ada kesepakatan apa antara simbok dengan keluarga Lik Sol, tapi sejak saat itu tak pernah lagi aku melihat Lik Sol berkeliaran di desa. Kata orang, ia mengadu nasib di kota dan kadang-kadang pulang tengah malam. Esok hari pagi-pagi buta, ia telah menghilang. Istrinya tak peduli asal dapurnya bisa tetap berasap. Aku tak mau lagi pergi bermain, keluar rumah hanya untuk sekolah atau disuruh simbok ke warung. Limbuk kecil makin terpuruk tak tahu bagaimana bersihkan lumpur yang melekat. Aku ingat selalu mandi berlama-lama karena merasa tak pernah bisa bersih lagi. Tidur bagai kepompong, berbalut seprai putih sambil berharap tak bangun lagi esok pagi. Godaan untuk bunuh diri bukan tak ada, sayang uang jajanku tak pernah cukup untuk beli obat serangga. Gantung diri jelas tak menarik minat. Pasti sakit sekali mati dengan cara seperti itu. Ketika tawaran Yu Silam datang, aku seperti kejatuhan bintang. Ia mengajak ke kota untuk sekadar bantu-bantu di rumahnya. Aku tahu simbok berat hati melepasku. Apa daya bayangan uang kirimanku kelak begitu menggodanya. Apalagi bapak sudah lama lari dengan perempuan nakal. Penghasilan simbok sebagai buruh tani tentu jauh untuk dikatakan layak. Mungkin saja simbok lega dengan kepergianku, tak ada lagi aib yang ditutupi. Aku tahu, ia sering menangis diam-diam ketika mengelus-elus kepalaku di tengah malam. Tentu ia paham penderitaanku, bukankah selama sembilan bulan kami pernah berada pada raga yang sama? Ternyata bayangan kota di benakku selama ini amat jauh dengan kenyataannya. Meski rumah-rumah di sana lebih bagus daripada di desa, tapi tak ada gedung bertingkat dan Monas seperti di buku pelajaran. ”Ini bukan Jakarta, bodoh! Ini Patokbeusi, negeri seribu impian… ” sergah Yu Silam memotong tanya ini dan ituku. ”Patokbeusi ini kota, Yu Silam?” ”Ssssttt… jangan pernah panggil aku dengan nama itu di sini!!” bentaknya. ”Aku Ningce.” Ia melangkah pongah dengan dagu terangkat. Aku mengikuti langkah-langkah lebarnya dengan senyum dikulum. Nama yang aneh, apa nama kota memang aneh-aneh begitu? ”Ini daerah pantura, pantai utara Jawa,” jelasnya tak sabar. ”Kenapa belum terlihat pantainya?” Yu Silam mendengus. Ternyata yang dimaksud bantu-bantu itu mengurusi Yu Silam. Menyiapkan air mandi, masak, termasuk menyediakan minuman hangat sepulang kerja. Yu Silam pulang kerja menjelang pagi. Berangkatnya waktu Isya dijemput ojek langganan. Aku tak berani tanya-tanya lagi karena matanya melotot waktu kutanya kantornya di mana. Lama-lama aku mulai menduga-duga Yu Silam kerja apa. Pantas saja ia harus bergincu begitu rupa dengan bahu terbuka. Aku tak mau ambil pusing selama ia rajin mengirimi uang kepada simbok sebagai bayaran tenagaku. Untuk diriku, cukuplah uang jajan ala kadarnya. Toh aku selalu makan kenyang di rumahnya. Kadang-kadang Yu Silam pulang membawa fuyunghai. Nama yang aneh untuk masakan telor dadar dengan isi macam-macam. Enaknya luar biasa, simbok pasti belum pernah ketemu makanan seperti ini seumur hidupnya. Dua tahun berlalu, Yu Silam mengeluh tak sekuat dulu lagi. Ia mulai sering masuk angin. Aku sudah hafal saat ia mulai sibuk mencari duit benggol untuk kerokan. Kudengar ia berkata kepada temannya kalau pelanggannya tak sebanyak dulu. ”Ganti namamu, tak ada Limbuk yang sekurus tubuhmu.” Gurau Yu Silam. Aku terkekeh. Mungkin waktu aku lahir, bapak berharap aku semontok Limbuk, tokoh punakawan. Ternyata tak ada yang berubah. Yu Silam terus saja memanggil nama asliku. ”Apa kamu ndak mau jadi seperti aku tho, Mbuk?” ”Coba kamu ingat-ingat siapa yang rumahnya paling mentereng di desa kita selain Pak Lurah?” Aku cuma termangu dan membisu. ”Jangan takut, kalau kau rajin suntik tidak akan apa-apa.” Yu Silam tersenyum manis sekali. Aku masih diam saja. Tak tahu harus bicara apa. ”Toh kamu sudah pernah disentuh laki-laki.” Tak ada nada cemooh dalam suara Yu Silam, tapi hatiku serasa disilet-silet. Pedih dan perih. Demikianlah akhirnya aku terbawa masuk lingkungan warung remang-remang itu. Jadi ini memang kantornya Yu Silam. Untung saja Mami di situ masih punya nurani, ataukah memang usiaku yang masih belum cukup? Mungkin saja memang seperti itu jenjang yang harus ditempuh untuk menjadi dongdot 1). Jadi aku cuma bantu-bantu cuci piring dan bersih-bersih. Kadang-kadang juga bantu keperluan perempuan-perempuan di situ. Di siang hari aku bisa bernapas lebih lega, sebab malam hari telingaku tersiksa mendengar tawa mereka yang berubah seperti ringkik kuda. Makin malam makin ramai pesanan makanan dan minuman. Musik dangdut berdentum keras. Truk besar banyak diparkir di luar. Sopir-sopir dengan wajah berkilat oleh keringat sejenak melepas lelah, dikelilingi gelak dan bisik undangan syahwat. Beberapa dari mereka kemudian menghilang ke kamar-kamar di belakang. Tak tahu pasti aku, mereka sekadar melepas lelah ataukah sejenak melupakan beban hidup? Kupikir jadi dongdot di sini bukan hanya karena terimpit kemiskinan, tapi sudah jadi gengsi. Ada yang menganggap sebutan jablay sebagai kebanggaan. Kebanyakan mereka berasal dari daerah tak jauh dari sini. Kakak beradik bisa bekerja di satu warung bahkan kabarnya ada yang seizin orangtua. Kelihatannya hanya Yu Silam yang satu-satunya pendatang. Pasti ada seseorang yang membawanya ke sini dulu. ”Jangan melamun saja, nanti piringnya pecah.” Mami menepuk bahuku perlahan. Aku tersenyum malu, ketahuan bekerja tak sepenuh hati. ”Kamu mesti sabar dan tekun sampai tiba nanti saatnya senang-senang.” Senyumku terhenti di tenggorokan. Ia melangkah keluar dapur sambil berbisik di telingaku, ”Jangan mau digoda tamu, bilang Mami kalau ada apa-apa …” Duh Gusti, perempuan setengah baya ini dari luar tampak perhatian dan penuh kasih. Sesungguhnya ia hanya mengincar keperawananku yang punya harga tinggi di sini. Seandainya ia tahu kisah sedihku. Mami memang perhatian kepada anak-anak asuhnya. Tak bosan-bosan mengingatkan mereka kapan waktunya suntik. Kadang-kadang juga menegur cara berdandan dan berpakaian. Ada yang bilang Mami juga ’dosen’ alias dongdot senior yang masih menerima tamu sewaktu-waktu jika dibutuhkan. Aku tak yakin, apa benar masih ada tamu dengan selera seperti itu. Sebab jadi primadona di sini tak bisa lama-lama, selalu saja ada yang baru datang, dan lebih segar. *** Empat bulan aku di sini, Yu Silam jarang kerja lagi karena sakit-sakitan sampai suatu hari berhenti sama sekali. Aku tak tahu ia sakit apa sebab banyak sekali keluhannya. Ia rutin pergi berobat entah ke mana. Tempatnya pasti jauh karena pergi pagi dan pulang malam hari, malah kadang-kadang tak pulang dua hari. Pulangnya selalu dengan obat satu tas keresek. Suatu hari Mami memberiku baju baru dan mengajari dandan. ”Besok malam, mulailah belajar menemani tamu di meja.” Ia diam sejenak sambil menggerak-gerakkan kuas kecil di pipiku. ”Jangan mau diajak ke kamar dulu ya!” suaranya tetap rendah tapi tegas. Malam berikutnya, seperti kerbau dicocok hidung aku didorong Mami bergabung dengan kelompok kecil di sudut ruangan. Ada dua orang lelaki di sana yang menyambut dengan senyum penuh arti. Beberapa perempuan di sana ikut juga tersenyum, ada yang tulus ada juga yang dengan bibir setengah terangkat. Biasa itu, anak baru diterima sebagai teman juga sebagai pesaing. Jarum jam seperti lambat bergerak menunggu malam usai. Satu tamu pergi datang tamu lainnya. Tubuhku sudah lelah dan betisku pegal-pegal karena sepatu berhak tinggi. Mulutku juga pegal tersenyum dari tadi, meski aku lebih banyak berdiam diri. ”Kamu baru ya?” lelaki di samping menyenggolku dengan sikutnya. Aku mengangguk sambil tersenyum. ”Ngapain kamu di sini? Mending jadi istriku saja.” Senyumnya lebar seperti senyum keledai. Untung Mami keburu menyelamatkanku. Ia pura-pura menarikku ke meja lain. Mungkin lelaki itu sudah terkenal buaya di sini. Paling buaya di dunia buaya. Selama seminggu itu aku cuma menemani tamu minum-minum. Minggu depan tak mungkin tugasku masih sama. Kudengar beberapa tamu berbisik keras di telinga Mami sambil memandangiku, ”Berapa?” Jantungku berdetak sekeras musik di situ. Mami menggeleng dengan senyum menggoda, kelihatannya ia punya rencana tersembunyi. *** Dua orang tamu datang ke rumah. Katanya mereka dari tempat Yu Silam biasa berobat. Tanpa basa-basi ajarkan bagaimana mencegah penularan penyakitnya. ”Lho, memangnya Yu sakit apa?” ”Pokoknya aku tinggal menunggu mati,” sergah Yu Silam kasar, memotong maksud tamu itu untuk menjelaskan. Percumalah aku bertanya jenis penyakitnya, paling-paling pakai bahasa asing yang tak kupahami. Kemudian semua anjuran dua orang tamu tempo hari kujalani sungguh-sungguh. Kalaupun aku harus tertular, itu pasti kersaning Gusti Allah 2). Yu Silam kelihatan lega aku tak tanya-tanya soal penyakitnya. Sama leganya waktu ia tahu aku mulai menemani tamu minum di warung Mami. Tanpa kesepakatan, pelan-pelan kuambil alih biaya pengeluaran di rumah Yu Silam. Biaya berobat masih ditanggungnya sendiri dari sisa uang tabungannya. Sisa bayaran dari Mami masih ada sedikit untuk pegangan dan dikirim ke simbok. Namun, aku harus bicara jujur pada Yu Silam. ”Yu, aku mau jadi buruh cuci saja.” Yu Silam terbelalak. Pisang goreng yang sedang dimakannya seperti menyangkut di tenggorokan. Takut-takut aku melanjutkan, ”Aku ndak bisa Yu, kerja macam itu.” ”Kamu mau tinggalkan aku kan?? Kamu mau balik ke desa ya??” Yu Silam meradang. Aku tak berani menatap matanya. Bagaimana menjelaskannya? ”Sudah kucoba. Sudah kucoba Yu, tapi aku ndak bisa.” Jeritku dalam hati. ”Pergilah sejauh yang kau suka. Biarkan aku membusuk di sini!!!” teriaknya parau. Kupeluk ia dengan air mata, ”Tidak Yu… tidak… kalaupun Yu harus mati akan kurawat dirimu baik-baik.” Tak bisa kujelaskan dengan kalimat bahwa ia adalah malaikat penyelamatku. Aku tak bisa kembali ke desa lagi. Biarlah simbok hidup dengan adik lelakiku. Suatu hari akan kutinggalkan tempat ini untuk memulai hidup baru bersama Yu Silam. Di tempat yang benar-benar baru, bukan di desa. Aku tak bisa kembali ke sana. Pandangan perempuan-perempuan penumbuk padi itu tak pernah pergi dari benakku. Juga pandangan mata penuh birahi pemuda-pemuda desa. Mereka tak pernah menganggapku manusia lagi sejak musibah itu. Sesuatu yang terpaksa kulakukan karena ancaman Lik Sol. Tak sanggup kuhadapi mereka nanti bila kulakukan perbuatan atas nama kelamin yang berkesadaran. Aku tak mau jadi dongdot. *** Mami terbelalak waktu kuutarakan keinginan untuk tetap kerja di bagian dapur. ”Memangnya kau tak ingin uang banyak? Atau ada anak sini yang menjahatimu?” tanyanya beruntun. Aku menggeleng cepat-cepat, ”Saya hanya ingin bantu bersih-bersih saja di sini. Jadi tukang cuci juga saya mau.” Mami ikut menggeleng-geleng. Tubuhnya yang tak lagi langsing bergoyang-goyang. ”Tapi kenapa? Kenapaaa??” kedua tangannya terbuka lebar. Aku menggeleng juga sambil tersenyum. Mami kelihatan tak puas, mungkin tak rela harga perawanku melayang terbang. ”Saya…saya… saya sudah tak perawan lagi, Mi…” bisikku pelan. Perempuan setengah baya itu terbelalak, seperti ingin bertanya sesuatu tapi tak jadi. ”Saya korban perkosaan,” lanjutku lirih. Rasanya malu mengakui itu tapi di hati terasa lega luar biasa. Mulut Mami terbuka dan bergerak-gerak tapi tak ada suara yang keluar. Ia mengangguk lemah. Dengan latar belakang segelap itu, mungkin dipikirnya aku tak cukup sehat mental untuk melayani tamu-tamu di sini. Aku melangkah dengan pasti menuju dapur. Aku siap kembali ke tugas lama, bersih-bersih, cuci piring, dan membuang sampah-sampah. Tapi setidaknya aku bukan sampah dan aku tak mau jadi sampah. Panggilan lembut Mami menghentikan langkahku. Bibir Mami bergetar, suaranya mirip seperti erangan hewan yang terluka, ”Nasibmu sama seperti diriku dulu, Mbuk…” Pamulang, Agustus 2011 Catatan : 2) Kersaning Gusti Allah = kehendak Allah SWT
""Di Persimpangan Pantura""
”Tukang bendring datang….” Begitulah dulu. Kami. Anak-anak saat melihatnya dari jauh. Serentak kami meninggalkan permainan. Menyambutnya dengan gegap gempita sambil berharap ia akan menoleh. Kadang kala, kami membuntuti dari belakang, membayangkan sebuah baju baru. Tak jarang, ketika berpapasan, di antara kami berdesakan membisikinya, agar ia mau membujuk ibu untuk membeli baju dagangannya. Seperti biasa, ia hanya mengangguk disertai sungging senyum penuh harap. Ketika itulah, kami langsung menggiringnya masuk ke halaman rumah. Meski sebenarnya, sering ibu kami menyambutnya dengan wajah cemberut. Tak terkecuali ibuku, yang selalu takut. Bahkan, untuk menyambut. Tukang bendring itu mendatangi kampung kami ketika pagi menjelang siang, saat bapak-bapak kami sedang berada di tegalan. Dan ia, bagi kami serupa seorang istimewa, yang selalu kami tunggu kehadirannya. Tetapi, sekali lagi, tidak bagi ibuku. Ya. Bagi ibuku, ia tak lebih dari sesosok hantu, yang selalu membuat ibuku ketakutan setiap mendengar suara sumbangnya melengking parau dari balik pintu. Entah, setiap kali ia datang, senantiasa menjadi ancaman bagi ibuku. Barangkali, karena utang ibu belum lunas hingga membuat ibu waswas. Atau ibu khawatir keinginan untuk berutang baju baru lagi tak terkendali. Untuk menghindari kedatangan, dan teriakannya yang sumbang itu. Banyak cara ibu lakukan. Kadang, ibu segera mengunci pintu halaman dari luar hingga ia mengira, ibu sedang bepergian. Kadang, ibu segera mengemasi baju-baju basah dari atas jemuran, serta sandal hingga suasana rumah terkesan sudah lama ditinggal bepergian oleh penghuninya. Kadang juga, ibu menandai bayangan tubuhnya saat berjalan menuju rumah kami. Biasanya, bentuk bayangannya lebih panjang. Dan yang khas, kalau bayangan itu adalah bayangan tukang bendring, adalah dari bentuk bayangan kepalanya yang lebih panjang dan lebar. Semua itu ibu lakukan karena semata-mata ibu malu lantaran tak bisa menepati janji untuk membayar utang. Pernah juga, pada suatu ketika, saat tiba pada waktu tagihan, dan ibu tak ada cara lain untuk menghindarinya ke rumah. Pagi-pagi, ketika dari jauh terdengar lengking anak-anak meneriaki tukang bendring, tanpa ragu-ragu ibu keluar, dan aku mengira, ibu mau menghindar, namun ternyata tidak. Di depan pintu ibu berdiri dengan gelisah. ”Ibu mau ke mana?” tanyaku. ”Menunggu tukang bendring,” jawabnya tegas. ”Ibu punya uang?” ”Tidak.” Aneh, bisikku. Bukannya selama ini ibu selalu menghindar? Dan ketika perempuan tukang bendring itu sampai di pertigaan jalan kampung, wajah ibu tiba-tiba pias dan tampak murung. Mungkin ia segera bergegas pulang. Tetapi tidak, ibu tetap berdiri di situ, dan ketika perempuan tukang bendring itu mulai mendekat, persis di pertigaan, perempuan itu berbelok ke arah kiri, seketika ibu merasa lega, sontak mengajakku masuk. Namun tak lama berselang, tiba-tiba dari luar halaman terdengar suara sumbang seseorang. Pada mulanya suara itu samar-samar, tetapi setelah beberapa saat suara itu kian lantang. Dengan muka pucat dan gemetar, ibu mengintip dari sela lubang pintu. Di luar, tampak seseorang mondar-mandir. ”Ju, utangmu!” ”Sialan,” umpat ibu. Selarik cahaya tipis menyelinap masuk lewat celah-celah jendela. ”Kenapa, Bu?” ”Baju lebaranmu belum lunas.” ”Ju, buka pintu,” teriaknya lagi. Ketika ia sudah berteriak-teriak, biasanya ibu tak bisa mengelak. Khawatir kalau-kalau para tetangga lainnya keluar, lalu mendatangi rumah kami, dan mencibir. Untuk menghindari semua itu, dengan malu-malu ibu terpaksa membukakan pintu. Dan ia, dengan galak, membentak. Melampiaskan kekecewaannya, yang barangkali sudah memuncak. Sementara ibu, hanya mengangguk. 2/ Dan kini, sebagaimana dulu, tukang bendring itu terus bergegas, menapaki jalan setapak. Kemudian masuk ke sebuah gang sebelum akhirnya dengan ragu memasuki pekarangan rumah seseorang. Sekilas sungging senyum terkembang. Di halaman, orang-orang berkerumun. Mungkin sedang bergunjing. Sementara di tempat yang lain, di beranda, beberapa perempuan duduk memanjang saling menisik rambut. Dan ia? Perempuan dengan bundelan sarung di kepalanya tanpa ragu-ragu segera masuk. ”Baju baru…,” teriaknya, menawarkan barang dagangannya. Sontak perempuan-perempuan itu menyambutnya. ”Harga?” ”Dijamin.” Mata perempuan yang berkerumun terbelalak saat melihat aneka ragam baju baru tergelar di depannya. Menggoda mata untuk segera memiliki. Tak penting, alasan tak ada uang. Toh, perempuan yang kini menyajikan baju-baju baru itu dengan gayanya yang khas memberi mereka kelonggaran, bayaran bisa dicicil seminggu sekali. Meski tak pasti. ”Murah.” Intonasi suaranya ditekan. Adalah Lastri, salah satu di antara para perempuan itu, segera mengambil satu baju berwarna hijau. Sebelumnya, Lastri melirik kepada para ibu, seakan minta pendapat perihal baju yang dipegangnya hingga membuat mereka heran. Bagaimana mungkin. Bukannya diam-diam belakangan Lastri juga menjadi tukang bendring, pedagang baju keliling? ”Las, bukannya….” ”Ini, Bu. Harganya?” Lastri memotong. Barangkali Lastri cari perbandingan harga. ”Itu baju sudah ada yang pesan.” Sepasang matanya kembali menatap catatan-catatan tagihan yang belum lunas. Mengerut dan berucap sinis, Lastri belum melunasi utang-utang baju sebelumnya. Orang-orang melirik tak senang. ”Sudahlah. Sesama pedagang, berapa harga baju ini?” ketus Lastri. Perempuan itu tak menjawab. Ia tahu, Lastri memang belakangan menjadi tukang bendring, meski tidak di kampungnya sendiri. Bahkan, tak jarang ia mendapatkan laporan bahwa diam-diam Lastri tak keberatan jika ada seorang lelaki ingin membayar tubuhnya daripada baju dagangannya. 3/ ”Ini hanya cerita,” bisik ibu, sambil mengintip mereka dari balik jendela. ”Lastri, dan tukang bendring yang sudah renta itu. Kamu masih ingat namanya, Nak?” tanya Ibu. ”Markoya,” jawabku. ”Ya, Markoya.” Ia, tukang bendring itu, Markoya, namanya. Sebagaimana juga dulu, ketika kami masih asik bermain di belakang rumahnya hingga sore menjelang malam. Kami sambil menunggunya datang. Tentu, yang tak dapat kulupa sampai sekarang, sejak dua puluh dua tahun silam—aku meninggalkan kampung halaman. Sepulang dari berkeliling sebagai pedagang baju bendring, ia suka membawakan kami oleh-oleh jajanan pasar, kemudian dibagi-bagikan secara rata, sebelum akhirnya menyuruh kami pulang, agar tidak telat pergi mengaji. ”Besok lagi mainnya. Sebentar lagi petang,” begitu katanya. Ah, alangkah bijaknya perempuan itu. *** Dan kini, bersama ibu, aku hanya mengintipnya dari balik jendela. Ia tampak tergesa-gesa. Melewati jalan setapak yang teramat terik. Sesekali ia menoleh. Barangkali kesal dengan sikap Lastri, yang sudah berjanji akan melunasi utang bendring. Atau dengan ibuku? ”Tak sembarang orang sekarang boleh mengambil barang dagangannya.” ”Termasuk Lastri?” Kusingkap jendela, perempuan tukang bendring itu sudah mulai menjauh. ”Kenapa dengan Lastri, Bu?” ”Senok.” Astaga, desisku tak percaya dengan ucapan ibu tentang Lastri. Tidak percaya di kampungku yang sekecil ini ada seorang senok, pelacur. Entah sejak kapan. Tiba-tiba tanpa ditanya ibu menambahkan. ”Sudah lama ia berpisah dengan Madrihmah. Lalu, ia menjadi tukang bendring, tapi tidak di sini.” ”Lantaran?” ”Senok!” ”Dan Markoya itu tak mau ngasih utang kepada senok?” ”Mungkin ia takut, bajunya dipakai ngelonte.” Ya, rasanya sulit dipercaya kabar, yang baru saja kudengar dari ibuku itu. Bagaimana mungkin, dalam tempurung kampung sekecil ini hidup seorang senok, dan itu Lastri, teman sepermainanku dulu. Bukannya ia juga pedagang baju? *** Sudah setengah hari Markoya berkeliling. Melewati jalan setapak perkampungan, yang kondisi tanahnya kelewat gersang. Lelehan keringat tak membuatnya merasa gerah, namun sebaliknya, ia umpamakan lelehan keringat itu sebagai air peneduh setelah berjam-jam berkeliling dari kampung ke kampung. Berkunjung dari rumah ke rumah. Sebagai tukang bendring, meski kadang hasilnya tak sebanding. Tak membuatnya putus asa. Menyerah. Bertemu banyak orang jauh lebih penting, begitu ia menjawab setiap pertanyaan orang tentang pekerjaannya. ”Dagang hanya sampingan,” ujarnya sambil mengikat antara ujung kain. Hari sudah menjelang sore. Tentu, masih banyak orang mesti ia temui. Banyak rumah mesti ia kunjungi. Ke Brudin, salah satunya, yang tempo hari memesan kain kafan. Kasihan, desisnya, sambil memelankan langkahnya. Setelah melewati perbatasan kampung. Kini, ia tiba di sebuah pekarangan rumah Lastri. Ia pun tak heran ketika di beranda tak terlihat seseorang. Bukannya ini hari sudah sore? Maka, sebagaimana sering Markoya lakukan setiap memasuki rumah seseorang, ia berucap salam, lalu tanpa menunggu jawaban ia bergegas masuk, dan menuju langgar yang terletak di ujung barat, samping rumah utama. Markoya duduk bersandar pada salah satu tiang penyangga. Tak lama berselang, Lastri dengan tubuh hanya dibaluti sarung hingga setinggi dada. Tampak pada lekuk-lekuk tubuhnya pasir putih masih melekat, begitu saja datang menyamperi Markoya. Dan Markoya, dengan berat hati menyambutnya dengan senyum. Satu hal yang tak boleh dilupakan oleh seorang pedagang. ”Baju baru?” tanyanya. ”Beberapa.” Lastri mengambil salah satu baju, bermotif batik. ”Utangmu belum lunas.” Markoya membuka buku catatan. ”Minggu depan,” ujarnya, kemudian masuk, dan tak lama berselang Lastri muncul dengan membawa secangkir kopi. ”Minum dulu.” Markoya tersenyum simpul. ”Sudah ketemu Ke Brudin?” Markoya menyeduh kopi hangat. ”Tadi Ke Brudin pesan, kalau sampean datang suruh ke sana.” ”Guru mengaji itu?” tanya Markoya. ”Ya. Beliau ingin pesan baju baru untuk dipakai hari Jumat. Kasihan, bajunya cuma satu.” ”Ke Brudin juga pesan kain kafan,” desisnya lirih. ”Dengan apa ia akan membayar?” ”Dengan doa.” ”Ngawur. Doa tak membuat orang kenyang.” ”Buktinya, Ke Brudin sampai sekarang masih segar bugar.” Seketika Markoya tercengang. Diam-diam ia membenarkan pernyataan Lastri, meski ucapan itu terasa janggal. Dalam bimbang ia terusik. Bagaimana mungkin, bisiknya. ”Kenapa?” ”Ke Brudin…,” desisnya. ”Sudah tua. Tak mungkin gitu-gituan.” ”Maksudmu, Las?” ”Ngamar,” selorohnya. ”Mulutmu.” ”Lalu?” ”Kain kafan,” suara Markoya, serak dan serasa berat. Sore hari di halaman. Pasir-pasir berhamburan. Pelepah nyiur dan janur seperti malas berayun. Selarik cahaya senja membentuk garis tipis masuk lewat celah-celah bilik langgar tempat ia duduk bersandar pada tiangnya, yang miring. Sesekali cahaya senja bergetar samar, sesamar gerakan kedipan matanya. Dan tak lama berselang, sebuah bisikan tanpa ia jelang datang, menggiringnya pada sesosok lelaki tua renta. Ke Brudin, desisnya. Ia hanya menghabiskan waktunya untuk anak-anak, mengajari mengaji, ilmu dunia dan akhirat, suara Markoya lirih. Mungkin tak lama lagi ajal juga menjemputku. ”Ah, sudah lama, saya tak membawakan anak-anak oleh-oleh. Mereka belajar mengaji kepada Ke Brudin.” ”Betul,” spontan Lastri menyahut. ”Saya harus segera ke sana,” lekas mengikat ujung kain sarungnya. Dan segera bergegas. Tapi sesaat ia kembali dan bertanya. ”Baju koko?” ”Baju koko untuk shalat,” Lastri menahan tawa. ”Ya. Saya segera ke sana. Utangmu minggu depan.” Dan Lastri. Entah, seperti mukjizat lain muncul mengusik. Selepas Markoya, tukang bendring itu menghilang di pekarangan, tiba-tiba Lastri merasakan sesuatu yang aneh, dan teringat, pernah menjanjikan Ke Bruddin kain kafan. Yogyakarta, Desember 2008-2011
""Sehelai Kain Kafan""
Tak ada yang tahu persis, kapan dan bagaimana pohon itu tumbuh. Sewaktu nenek kecil, pohon itu sudah menjulang meneduhi alun-alun kota, serupa payung raksasa. Menilik kokohnya, tampaknya akarnya telah menancap jauh ke kedalaman bumi. Batangnya pun tampak seperti lengan lelaki yang kuat dan penuh urat. Dahan dan ranting berjabar serupa jari-jemari yang lentik. Dedaunnya lebar serupa wajah-wajah yang tengah tersenyum dalam keabadian. Kata nenek, kehidupan setiap penduduk di kota ini tersemat di tiap daun yang bertengger di cabang, ranting, dan tangkai pohon itu. Setiap kali ada satu daun yang gugur, artinya seseorang di kota ini telah lepas dari kehidupan. Satu daun artinya satu kehidupan, begitu kisah nenek. *** Suatu ketika, aku pernah mendesak nenek untuk mengantarku ke alun-alun kota, untuk melihat langsung pohon itu. Tentu saja tanpa sepengetahuan ibu. Karena, kalau ibu tahu pasti ibu tak akan mengizinkan. Diam-diam kami pun berangkat, pelan-pelan aku menuntun nenek yang jalannya sudah tidak tegap lagi. Jarak antara rumah dan alun-alun kota sebenarnya tidak terlalu jauh. Kami cukup naik angkutan umum satu kali, tak sampai setengah jam kami sudah sampai. Begitu sampai di alun-alun kota, nenek langsung mengajakku ke pusat alun-alun, tempat di mana pohon itu berada. Kami berteduh di bawahnya, nenek duduk dengan napasnya yang terdengar ngik-ngik. Kepala nenek menengadah ke atas. Aku pun menirukannya. ”Banyak sekali misteri dan kehidupan di atas sana,” gumam nenek. Lelah menengadahkan kepala, aku pun menunduk. Tampak daun-daun kering berserakan di mana-mana, sebagian terinjak-injak oleh kakiku. ”Nek,” aku menjawil lengan nenek. ”Ya?” ”Apakah daun-daun kering yang berserakan di bawah ini adalah jasad orang-orang yang sudah mati?” ”Ya, daun-daun itu adalah jasad tilas mereka dari pohon kehidupan.” ”Berarti jasad tilas ayah ada di antara daun-daun kering itu?” ”Mungkin. Tapi nenek kira, kini, jasad ayahmu sudah menyatu kembali dengan tanah.” ”Nek.” ”Ya?” ”Mengapa daun-daun kering itu tidak dibersihkan atau dibakar saja.” ”Tak perlu, lambat laun mereka juga akan kembali ke muasalnya, tanah, melebur menjadi tanah. Dari tanah kembali ke tanah.” Kepalaku kembali menengadah, ”Kalau daun-daun kemuning yang ada di atas sana itu siapa?” ”Mereka adalah orang-orang tua yang masih hidup di kota ini, mereka-mereka yang sudah lama bertengger di atas pohon kehidupan.” ”Apakah mereka akan segera gugur.” ”Tentu saja, Nak. Gugur adalah takdir mereka.” ”Apa Nenek ada di antara salah satu daun kemuning yang ada di atas sana, yang siap gugur itu?” ”Nenek tak tahu. Itu rahasia yang di atas, tak seorang pun berhak tahu.” Aku terus menengadahkan kepala, mencari-cari di mana letak daun milik nenek, milikku, dan juga milik ibu. ”Nek.” ”Ya?” ”Tunas-tunas daun yang tersemat di pucuk pohon itu, pasti adalah bayi-bayi yang baru lahir di kota ini, ya, kan?” ”Ya. Benar, memang kenapa?” ”Berarti, sekarang, aku berada di antara daun-daun muda yang bertengger di atas sana?” ”Ya. Tentu saja.” ”Artinya, masa gugurku masih sangat lama, ya, Nek?” Nenek mengernyitkan dahi, ”Siapa bilang? Setiap lembar daun kehidupan yang ada di atas sana adalah rahasia. Tak ada seorang pun yang tahu. Gugur adalah hak semua daun, dari yang kemuning, yang masih segar dan hijau, bahkan yang masih tunas pun bisa saja patah dan gugur.” Aku terdiam. Mencerna kata-kata nenek. *** Sepulang dari alun-alun kota, nenek mengeluhkan kaki tuanya yang keram. Beberapa hari berikutnya nenek terbaring sakit. Ibu menyebut penyakit nenek dengan ’penyakit orang tua’. Musabab itulah ibu tidak memarahiku ketika kukatakan bahwa sebenarnya akulah yang menyebabkan nenek sakit. Kian hari penyakit nenek kian parah. Tubuh nenek mati separuh. Tak bisa digerakkan. Nenek berak dan buang air kecil pun di tempat. Dengan sabar ibu mengurusinya. Barangkali memang itu kewajiban seorang anak. Ketika ibu masih bayi, pasti nenek juga melakukan hal yang sama. Kian hari tubuh nenek kian kering. Bahkan ia sudah tidak sanggup lagi bicara. Saat itu aku benar-benar takut. Takut ditinggalkan nenek. Takut kehilangan nenek. Tiba-tiba aku teringat pohon itu. Daun-daun kemuning itu. Tanpa izin ibu, aku beringsut pergi menuju alun-alun kota. Aku berdiri di bawah pohon itu dengan kepala tengadah. Berjaga-jaga jika sewaktu-waktu sebuah daun gugur dari sana. Tapi tidak, detik itu aku tak ingin ada satu daun pun gugur dari sana. Tapi seperti kata nenek, daun-daun di atas sana adalah rahasia. Tak seorang pun berhak tahu atas rahasia itu. Berjam-jam aku berdiri di bawah pohon itu. Tak tampak satu daun pun yang gugur. Nenek hanya sakit tua biasa. Ia akan segera sembuh, bisikku dalam hati. Ketika aku beranjak pergi meninggalkan pohon itu, tiba-tiba angin berhembus. Sekilas hembus. Beberapa daun dari pohon itu melayang-layang di udara dan akhirnya rebah di tanah. Aku terdiam menyaksikannya, lalu pergi dengan rahasia yang masih mengepul kepala. Sampai di rumah, tiba-tiba ibu memelukku dengan isakan lirih, ”Nenekmu sudah pergi.” Bujur tubuh nenek mengingatkanku pada daun kemuning yang rebah di tanah, di alun-alun kota beberapa saat lalu. *** Seiring usia, masa kecilku hilang dilalap masa. Sebagai remaja yang bebas, aku pun merantau dari kota ke kota. Satu hal yang kemudian kusadari, setiap kota yang kusinggahi selalu memiliki pohon besar yang tumbuh menjulang di alun-alunnya. Hal itu mengingatkanku pada cerita nenek tentang pohon kehidupan di alun-alun kotaku. Namun, geliat zaman menyulap cerita itu menjadi cerita picisan yang sulit untuk dipercaya. Setiap manusia pasti akan pergi ke muasalnya. Tak ada hubungannya dengan pohon dan daun-daun. Tapi entahlah, hati kecilku selalu mengatakan bahwa cerita nenek itu benar adanya. Aku jadi bertanya-tanya, apakah setiap pohon yang ada di alun-alun kota adalah pohon kehidupan yang menyimpan rahasia kehidupan setiap penduduknya? Entahlah, kukira itu juga sebuah rahasia. *** Meski hidup dalam rantauan, aku selalu pulang ke kota ibu, kota lahirku, paling tidak setahun sekali. Setiap lebaran fitri. Dan benar, setiap tahun, alun-alun kotaku selalu mengalami perubahan. Taman, bangku-bangku, air mancur, bahkan kini di sisi-sisi jalan sudah ditanami ruko-ruko berderet. Mulai dari pengamen, pengemis, topeng monyet, penjual tahu petis keliling, bahkan tante-tante menor, semua tumplek blek di alun-alun kota. Satu-satunya hal yang tidak berubah adalah pohon itu. Pohon itu masih tampak kokoh dari waktu ke waktu. Setiap aku melihat pohon itu, rol film dalam kepalaku kembali berputar, menayangkan bocah kecil dan neneknya yang tengah asyik berbincang tentang kehidupan di bawahnya. Tahun berlalu-lalang seperti manusia-manusia yang datang dan pergi di alun-alun kota. Kian tahun, pohon itu kian rimbun, penduduk kota kian merebak. Namun entahlah, daun-daun yang bertengger di pohon itu tampak kusam dan menghitam, warna hijau seperti pudar perlahan. Barangkali kian waktu kian banyak serangga dan hama yang hinggap di sana. Membuat sarang, mencari makan, membuang kotoran dan beranak pinak di sana. Aku jadi bertanya-tanya, apakah itu artinya, para manusia yang hidup di kota ini juga terserang hama? Entahlah. *** Aku tak pernah menyalahkan waktu, tapi memang banyak sekali hal berubah oleh waktu. Kudengar dari ibu, kini, kota kelahiranku telah jauh berubah. Kian waktu, pepohonan kian habis. Sawah-sawah mulai ditumbuhi rumah-rumah. Tempat ibadah kian melompong. Muda-mudi lebih suka keluyuran ke mal dan bioskop-bioskop. Gadis-gadis kini tak sungkan lagi mengenakan pakaian setengah jadi. Para bujang pun lebih suka bergerombol di pinggir-pinggir jalan ditemani botol, kartu, dan gitar. Gadis hamil di luar nikah menjadi kabar biasa. Merentet kemudian, banyak ditemukan bayi-bayi dibuang di jalan. Sengketa dan pembunuhan merajalela. Barangkali orang-orang di kotaku memang sudah terserang hama. Seperti daun-daun di pohon kehidupan yang kian kusam di alun-alun kota. Berkali-kali ibu menggumamkan syukur, aku menjadi seorang perantau yang merekam berbagai pohon kehidupan, tanpa melupakan kenangan. Di zaman yang sudah berubah ini, ruang tak pernah menjadi penghalang. Meski ruang kami berjauhan, setidaknya, setiap seminggu sekali, aku dan ibu saling bertukar kabar, bersilang doa. ”Kian waktu, dunia kian renta, Nak, seperti juga ibumu. Dari itu, pandai-pandailah engkau menempatkan diri,” begitu nasihat ibu yang terakhir yang sempat kurekam. ”Kian waktu, daun-daun itu pun akan luruh satu per satu dan habis. Suatu saat nanti, akan tiba masanya, pohon itu akan tumbang tercabut dari akarnya. Semua sudah tercatat dan tersimpan rapi dalam perkamen rahasia yang tergulung di atas sana. ”Kita hanya manusia yang naif dan rapuh, yang tak tahu apa-apa. Satu-satunya hal yang bisa kita lakukan adalah berjaga-jaga jika sewaktu-waktu nanti pohon kehidupan melepaskan kita dari tangkainya,” Ibu membisikkan nasihat-nasihat itu dengan suara serak. Tiba-tiba aku teringat kerutan yang berombak di dahinya, juga rambutnya yang mulai pecah memutih. Terbayang dalam kepalaku bahwa kini, mungkin, daun ibu telah menguning dan siap luruh. Tiba-tiba aku ingin pulang, kembali terlelap dalam pangkuan ibu yang hangat. Namun, sebelum langkahku sampai di tanah lahir, telah kudengar kabar bahwa bencana besar telah melanda kotaku. Merebahkan seluruh kota setara dengan tanah. Ada yang mengatakan, bencana yang menimpa kota itu adalah sebuah cobaan. Ada pula yang mengartikan bencana itu sebagai peringatan. Namun, juga tidak sedikit yang mengemukakan bahwa bencana itu merupakan azab. Entahlah. Ketika aku kembali ke kota itu, yang kutemui hanya kota yang mati. Dengan sisa-sisa kenangan, aku merelakan ibu, merelakan kotaku, merelakan tilas masa kecilku. Bersama air mata, semua kularung ke udara. Aku merangkak mendatangi alun-alun kota yang telah porak poranda. Dari kejauhan, pohon itu masih tampak menjulang meski compang-camping. Di bawah pohon itu, tubuhku gemetar memandangi satu-satunya daun yang masih bertengger di sana. ”Suatu saat nanti akan tiba masanya, pohon itu akan tumbang tercabut dari akarnya. Semua sudah tercatat dan tersimpan rapi dalam perkamen rahasia yang tergulung di atas sana,” kata-kata ibu kembali mengiang di telinga.
""Pohon Hayat""
Bila suatu kali kau berkunjung ke kota yang terletak di lekuk teluk yang bagai mata yang mengantuk ini, kau sesekali hanya akan bertemu dengan satu dua orang tua yang berjalan malas atau pemabuk yang meringkuk mendengkur di bangku-bangku taman. Bila kau perhatikan dengan cermat, setiap perempuan yang kau temui di kota ini selalu berjubah dan kerudung hitam, seolah-olah mereka terus berkabung sepanjang hidupnya, seolah-olah mereka semua adalah rahib kesedihan. Dan bila kau memperhatikan lebih cermat lagi, lebih teliti, maka kau akan segera tahu: hampir dari mereka semua, buta! Ada banyak kisah–setidaknya yang pernah aku dengar–kenapa semua penduduk di kota ini buta. Jagat raya semula hanyalah gugusan cahaya. Cahaya yang kuning keemasan. Lalu ruh sepasang manusia pertama tercipta dari cahaya itu. Berbentuk percik cahaya. Kekuningan. Serupa kunang-kunang. Sepasang ruh yang serupa kunang-kunang itu kemudian turun ke dunia, begitu kisah leluhur, lalu berdiam di tubuh manusia, yang semula, hanyalah serupa batang-batang pohon. Tinggi menjulang, diam bagai pertapa. Ruh yang serupa kunang-kunang itu hinggap di tubuh manusia, sebagai sepasang mata, hingga manusia hidup dan bisa melihat dunia. Ketika manusia mati, ruh itu kembali terbang, menjelma kunang-kunang. Dan manusia kembali buta. Kisah lain datang dari muasal teluk yang terletak di Utara kota ini. Teluk Duka Cita, begitu orang-orang di kota ini menyebutnya. Pangeran Ketiga dan Putri Kelima, mereka sekandung anak Raja Pertama, saling jatuh cinta, dan waktu, juga maut dan mampu menghentikannya. Karena tak tahu lagi bagaimana cara menghentikan cinta terlarang dua saudara sekandung itu, Permaisuri, sembari terisak meminta syarat yang menurutnya muskil dipenuhi: dalam semalam mereka harus menyediakan kunang-kunang, yang bila dihamparkan dengan rapi, sanggup menutup seluruh permukaan teluk. Cinta yang buta memberi mereka akal, juga kekejaman. Dengan menggabungkan sihir yang dimilikinya, Pangeran Ketiga dan Putri Kelima, memanggil semua kunang-kunang yang ada, bahkan mereka diam-diam menambahi kunang-kunang itu dengan mata para penduduk yang telah mereka congkel, dan mereka sihir menjadi kunang-kunang. Melihat itu, Raja segera menyuruh para prajurit menebah kunang-kunang yang telah berhasil dikumpulkan itu agar kembali terbang. Maka, meski telah ratusan mata dicongkel untuk menggenapi kunang-kunang agar bisa menutupi seluruh permukaan teluk, hingga pagi tiba, masih ada sebagian teluk yang tak tertutup kunang-kunang. Pangeran Ketiga dan Putri Kelima mengeram marah, ketika mengetahui cara licik Raja menggagalkan cinta mereka. Di hadapan Raja dan Permaisuri, mereka langsung saling menusuk jantung masing-masing, sambil mengutuk: mereka akan mengambil semua mata seluruh penduduk dan keturunan yang hidup di kota ini, hingga siapa pun yang tak harus menanggung dosa menjadi buta. Kemudian mayat keduanya jatuh ke dalam teluk. Tak ada muda-mudi kota ini yang berani berpacaran di teluk itu. Bila nekat, sepulang dari sana, mata mereka buta. Kisah yang ini, barangkali, akan lebih kau percaya. Bermula dari kedatangan pasukan asing, dan perang saudara yang berlangsung bertahun-tahun setelahnya. Banyak warga yang kemudian dicap pemberontak. Mereka yang dituduh mata-mata pemberontak, langsung ditangkap dan dicongkel matanya. Andai saat itu kau ada di kota ini, jangan kaget, bila seseorang yang kau jumpai pada sore hari, telah menjadi buta pada pagi harinya. Ada gereja tua, yang dianggap menjadi sarang pemberontak, dan pasukan asing itu mengepungnya. Seluruh yang ada di dalamnya diseret keluar dan dikumpulkan di pekuburan yang berada di belakang gereja. Mereka langsung dihabisi dengan serentetan tembakan. Peristiwa itu selalu diperingati dengan misa paling murung di kota ini. Seperti diriwayatkan leluhur, ruh mereka yang mati akan kembali menjadi kunang-kunang. Bila malam hari, kau bisa menyaksikan puluhan kunang-kunang terbang berkitaran dari arah pekuburan di belakang gereja itu. Atau berjalanlah menyusuri kesunyian lorong-lorong kota ini malam hari, maka kau akan selalu berpapasan dengan kunang-kunang, yang melintas sendirian, atau bergerombol, seakan-akan mereka adalah sebuah keluarga yang sedang jalan-jalan. Jangan kaget, bila tiba-tiba pundakmu seakan ada yang menepuk, dan kau mendapati seekor kunang-kunang telah hinggap di pundakmu. Tak terlalu banyak penerangan di kota ini. Satu-satunya pembangkit listrik yang tersisa hanyalah berasal dari kincir air yang letaknya jauh di luar kota dan sudah payah tenaganya. Para pasukan asing dan penguasa telah lama melupakan kota ini, bagai hendak melupakan dosa mereka dari ingatan mereka. Kota itu terasa murung dan kelabu di siang hari. Dan tanpa penerangan listrik yang cukup, di malam hari kota ini seperti dikuasai kegelapan yang ganjil. Kegelapan yang dipenuhi kunang-kunang yang bagai muncul dari lorong-lorongnya yang paling gelap. Atau berjalanlah kau menyisir tepian teluk, maka kau akan menyaksikan ribuan kunang-kunang terbang nyaris menyentuh permukaan airnya yang bagai pulas tertidur. Ribuan kunang-kunang itu seolah ruh yang bangkit dan ingin membebaskan diri dari cengkeraman kutukan masa silam yang kelam. Kadang kau bisa mendengar suara mereka bernyanyi dengan kepedihan yang begitu memilihan. Seperti koor ruh yang purbawi. Cahaya kunang-kunang akan membuat jalanan kota di malam hari menjadi tampak berpendaran kekuningan, seperti ada mata yang terus menyala dari balik kegelapan. Kau akan melihat kunang-kunang itu bergerombol memenuhi warung dan kafe-kafe, seakan tengah mengobrol. Kau akan menyaksikan kunang-kunang itu hinggap di tiang listrik yang mati, hingga tiang listrik itu terlihat seperti pohon yang menyala kekuningan. Ketika segerombolan kunang-kunang hinggap di serimbun perdu atau tumpukan batu, maka perdu dan batu itu seketika menyala berpendaran. Diding-dinding yang telihat kusam dan tua di siang hari, menjadi berkilauan di malam hari. Dan sebuah pohon meranggas, bisa saja seketika langsung menyala kekuning-kuningan, seakan hiasan lampu jalan atau pohon Natal. Ada yang hidup di malam hari di kota ini, yang tak hidup di siang hari. Sebenarnya pernah, suatu saat, kota ini mencoba hidup dan berbenah diri. Banyak pendatang yang mencari peruntungan. Tapi barangkali kota ini memang kota yang ingin dilupakan, atau dilenyapkan. Selalu saja ada hal-hal kecil yang sepertinya sengaja diciptakan untuk menjadi kerusuhan. Pembunuhan dan perkelahian. Rumah ibadah yang dibakar. Penembakan dan ledakan bom. Kota ini menjadi kota yang selalu dipenuhi permusuhan dan kerusuhan. Iman menjadi sesuatu yang menakutkan. Desas-desus tantang pasukan bertopeng yang suka menculik dan mencongkel mata siapa saja yang ditangkapnya, membuat bergidik para warga yang kemudian memilih meninggalkan kota ini. Hingga kota ini tinggal dihuni orang-orang yang sebagian besar telah buta, dan kunang-kunang. Apalah yang layak diceritakan dari kota yang murung dan hanya didiami orang-orang buta dan kunang-kunang seperti aku ini? Aku, seperti ribuan kunang-kunang lain di kota ini, hidup dalam kesunyian cahaya. Kami seperti menanggung beban masa silam yang sampai kini tak pernah bisa kami pahami. Sebagai ruh, kunang-kunang seperti kami, hidup abadi. Tapi apalah arti keabadian bila kami hidup dalam kesunyian yang tak tertanggungkan seperti ini? Kami hidup untuk melupakan apa yang telah terjadi pada kami. Aku sendiri selalu ingin melupakan ingatan buruk itu. Ketika suatu malam, saat aku masih hidup sebagai manusia, berjalan pulang seusai pesta dansa. Di kelokan jalanan gelap, beberapa orang bertopeng menyergap dan meringkusnya. Aku tak sempat menjerit dan melawan ketika kurasakan belati tepat menikam jantungku. Pada detik terakhir aku hanya sempat merasakan kesakitan yang tak bisa aku lukiskan dengan kata-kata, tepat, saat mereka mereka mencongkel mataku. Pada detik terakhir itulah, ruhku keluar dari tubuh, dan menjelma kunang-kunang. Peristiwa itu terjadi sebulan sebelum Natal. Setelah peristiwa itu, terjadi kerusuhan dan kebakaran, yang menghanguskan nyaris sepertiga kota. Bekas yang disisakannya, berupa onggokan arang kebakaran, bila dilihat dari ketinggian, seperti luka sayatan pedang, yang mengiris wajah kota. Kesakitan yang akan lama kekal dalam ingatan. *** Dan inilah kali pertama aku akan merayakan Natal sebagai kunang-kunang. Mengenang dan memikirkan apa yang telah terjadi di kota ini, aku diluapi kesedihan, yang membuatku sepertinya akan menjadi kunang-kunang terakhir di kota ini. Ah, aku merasa, aku hanya terlalu dikuasai kesedihan. Mereka yang sudah lama menjadi kunang-kunang, mungkin pernah mengalami perasaan sentimentil seperti ini, tetapi akhirnya menjadi terbiasa. Perasaan sentimentil itulah, yang barangkali, membuatku ingin menceritakan semua kisah ini, kepadamu. Pada malam Natal di kota ini, kau akan menyaksikan kunang-kunang bermunculan dari penjuru kota, yang bergerak melayang menuju gereja tua, di mana dulu pernah terjadi pembantaian. Kunang-kunang itu memenuhi gereja. Hingga gereja menjadi terang benderang berkilauan kuning keemasan. Pada fresko di belakang altar, kacanya yang buram dan sudah pecah di beberapa bagian, cahaya kunang-kunang itu menampakkan diri bagaikan aura para santa, membuat salib Kristus yang menjulang seolah diselubungi cahaya kesucian yang lembut dan meneduhkan. Sementara para jemaat, yang nyaris sebagian besar renta dan buta, para perempuan yang murung sepanjang hidupnya, mengikuti misa dengan keheningan jiwa yang membuat segala suara di sekitarnya seperti terhisap lesap. Pada saat-saat seperti itu, suara pelan daun yang melayang jatuh menyentuh rerumputan, akan terdengar jelas di telingamu. Ubi caritas et amor, Deus ibi est Et in medio nostri sit Christus Deus…. Nyanyian itu, nyanyian itu, membuat aku tak kuasa menahan sedu. Aku membayangkan kota yang terang, teluk yang lembut dan menguarkan kesegaran yang tak terjamah musim. Kotaku, kotaku, yang sesungguhnya elok ini, kenapa engkau ditinggalkan para penduduk yang mencintamu dengan seluruh nestapa dan duka cita? Keheningan misa mendadak pecah oleh ledakan. Para jemaat yang buta berlarian dan tersandung hingga terjerembap. Aku melihat api berkobar dari arah samping gereja. Seperti ada yang melemparkan bom molotov. Seperti ada ledakan granat atau entah apa yang tak pernah aku tahu. Mungkin seseorang telah menyelusup ke dalam gereja dan meledakkan diri. Dan api makin berkobar. Sebentar lagi, mungkin gereja ini akan terlalap api dan memusnahkan semua kunang-kunang di dalamnya. Sebelum api itu juga menghanguskanku, mungkin aku akan menjadi kunang-kunang terakhir di kota ini yang masih sempat menceritakan semua ini kepadamu. Ambon, 2011
""Requiem Kunang-Kunang""
Kau ada di situ. Begitu saja. Berpayung jingga. Berdiri mematung. Matamu terlihat menerawang. Bajumu putih, sedikit berenda. Kalau saja matahari sedang berbaik hati pada Praha, rok tipismu tentu menerawang pula. Kau seperti berjejer dengan patung-patung monumen itu. Menjadi bagiannya yang paling menarik. Monumen karya Olbram Zoubek itu sederhana belaka. Terdiri dari tujuh anak tangga dengan tujuh sosok di atasnya. Ketujuhnya terlihat sedang melangkah naik. Sosok yang berdiri di anak tangga terbawah adalah seorang lelaki dengan tubuh yang lengkap. Tapi semakin tinggi anak tangga, semakin tak lengkap bagian tubuhnya. Akhirnya, di anak tangga teratas, berdiri sosok yang sudah kehilangan begitu banyak anggota tubuhnya sehingga nyaris tak lagi berbentuk manusia. Monumen ini adalah salah satu dari sekian banyak monumen yang dibangun di Republik Ceko setelah komunisme mati. Bagiku, pesan yang disampaikannya tegas-terang-benderang. Komunisme menawarkan kebohongan berongkos mahal. Seolah menyediakan anak tangga untuk naik menggapai kejayaan, tapi sejatinya adalah parade prosesi kematian kemanusiaan. Sepekan menyusuri Praha cukup untuk menemukan betapa masa lalu, termasuk yang baru saja lewat, beroleh tempat penting. Monumen, mural, artefak museum, teater mutakhir, seni rupa beramai-ramai mengabadikannya dengan saksama. Sepertinya, ada kerja kolektif untuk menjaga ingatan. Semacam saling mengajak waspada. Jakarta adalah lain cerita. Uang dihamburkan untuk lampu-lampu hias, air mancur, patung-patung pahlawan palsu dan monumen-monumen nirmakna. Ketika Praha dikepung ingatan, Jakarta terkubur kepalsuan dan lupa. Kau tetap mematung menerawang di sana. Di pelataran monumen yang sempit ini, jarak kita, mau tak mau, dekat belaka. ”Kau pasti dari Asia. Filipina?” Suara empukmu menyengatku tiba-tiba. ”Eh…. Ya. Asia. Indonesia.” ”Mengherankan juga. Ada turis yang suka monumen jelek ini.” Batas antara seringai dan senyummu menyembul dari balik payung jingga. Gigimu putih berkilau. ”Memang jelek secara artistik dan arsitektural. Tapi aku suka pesan yang dibawanya. Ajakan waspada pada kembalinya kebrutalan masa lalu. Menjaga ingatan. Melawan lupa.” ”Hmmm….” ”Kenapa kau bilang ini monumen jelek?” ”Lihatlah tujuh sosok itu. Semua laki-laki. Padahal, lebih banyak perempuan yang jadi korban komunisme. Bahkan, perempuan adalah korban berlapis-lapis. Korban partai, negara, dan laki-laki. Dan si pematung tetap saja seperti laki-laki umumnya. Memandang perempuan hanya sebagai pelengkap. Statistik. Bukan manusia.” ”Wow! Kau punya sinisme para feminis!” ”No. No. No. Tanpa menjadi feminis, perempuan mana pun, bahkan laki-laki, dengan gampang bisa menangkap kejanggalan itu.” ”Sekarang giliranku yang mesti heran kalau begitu. Kenapa kau tampak menikmati monumen yang kau bilang jelek ini?” Aku menyergah, mengubah posisi. ”Sederhana. Di musim panas seperti ini, Praha diserbu turis. Mereka ada di mana-mana, kecuali di sedikit tempat yang tak populer dan dilirik sebelah mata seperti monumen ini. Jadi, jangan keliru. Aku tak sedang menikmati monumen jelek ini. Aku butuh senyap.” Senyap menyergap senja Praha. Gerimis mulai mereda. Langit merah di balik Bukit Petrin memanggil-manggil malam. *** Perjumpaan kedua kita adalah pada senja bergerimis berikutnya. Angin tak mau mengajak berkawan. Udara musim panas Praha pun sedikit mendingin. ”Boleh aku merapat ke tubuhmu?” Permintaanmu tiba-tiba. Dan mustahil kutolak. Kios-kios souvenir terserak di Stare Mesto. Berderet-deret sepanjang Smetanovo Nabi hingga ke kaki jembatan Charles. Berdempetan. Kita berjalan saling merengkuh. Mengusir dingin. Seperti sepasang kekasih. Gerimis yang tak juga reda menyemai rambut panjang kita menjadi masai. ”Aku ingin bunuh diri.” Kau pecah sunyi dengan cara yang sama sekali tak kuduga. ”Hah!? Maksudmu?” ”Kurang jelaskah itu? Atau bahasa Inggrisku kurang bagus di telingamu? ”No. No. Inggrismu sempurna. Aku mendengar. Tapi….” ”Ya. Aku sedang berpikir untuk bunuh diri….” ”Bagiku tak masuk akal.” ”Maksudmu?” ”Kau begitu muda. Ranum. Cantik. Cerdas. Dunia membentang luas di depanmu. Di sekelilingmu, perubahan berdentum-dentum. Ceko-mu begitu bergairah. Kau hidup persis di tengah contoh sukses Eropa Timur dan Tengah. Masa depan menunggumu. Tinggal kau jemput. Kau dikepung musim semi daya hidup. Bagaimana mungkin kau justru ingin melangkah ke arah sebaliknya.” ”Oh… Begitukah kami dari kejauhan? Kau terlalu romantis. Kau pikir kematian komunisme adalah berita baik seluruhnya? Setelah komunisme mati, perubahan menghasilkan para penikmat sekaligus korban. Celakanya, aku menjadi yang kedua.” ”OK. Sorry untuk kenaifanku. Aku siap menjadi pendengar.” ”Ceritaku akan panjang. Ayo kita ke hotelmu saja. Seperti tadi kau bilang, malam ini kamu mesti packing kan? Keberatan kutemani dengan cerita panjangku?” ”No. Sama sekali tak keberatan.” Tentu aku menggeleng. Begitu baikkah Tuhan padaku senja ini? *** Di luar, para pelancong hiruk-pikuk lalu lalang. Suara-suara beragam bahasa dunia menerobos masuk melalui jendela kamar hotel yang kita biarkan lebar terbuka. Seperti suara ribuan lebah yang pandai berganti dendang. Ceritamu panjang. Lirih. Dan kelabu. ”Aku anak kesembilan. Bungsu. Di bawah kekuasaan komunis, hidup menjadi begitu rutin. Ayah dan Ibuku menjadikan kegiatan membuat anak sebagai selingan menantang. Anak demi anak lahir begitu saja. Setiap tahun satu. Berderet-deret seperti pagar. Komunisme memang memanjakan. Negara menyediakan apa saja, mulai sabun mandi hingga roti, dengan tak ada lebih pada seseorang dibanding yang lain. Di bawah komunisme, orangtuaku dan siapa pun tak dibiasakan apalagi didesak untuk berkompetisi. Segalanya tersedia tanpa perlu upaya berlebih. Tapi itulah, hidup kami menjadi manja. Tidak menjadi kaya, tapi dalam kesehajaan yang terpelihara. Hidup terasa mudah belaka sampai kemudian Komunisme dijatuhkan oleh Revolusi Beludru dan keadaan berbalik seratus delapan puluh derajat. Demokrasi memaksa kami untuk berkompetisi. Negara tak lagi jadi penyantun, tapi membiarkan kami saling sikut untuk bertahan dan saling berebut hidup yang lebih baik.” Suara-suara bising beragam bahasa dunia yang menyelinap dari balik jendela terbuka mulai perlahan menyenyap. Malam makin sepuh. Kubayangkan, para turis yang mulai letih telah memenjarakan dirinya di kamar-kamar hotel atau menyerbu panti-panti pijat dan klub-klub malam untuk menukarkan penat dengan keletihan yang lebih menyenangkan. Suaramu masih benderang, ceritamu seolah tak berujung, sementara ujung malam beringsut mendekat. ”Ibuku yang terlampau tua di hadapan kapitalisme, tersingkir dan tak lagi terpakai sebagai pramuniaga di sebuah kios di Kota Tua. Ayahku terkena rasionalisasi, dipecat dari sebuah lembaga birokrasi yang kelebihan pegawai, tanpa dipensiunkan. Kakak-kakakku sibuk dengan urusan masing-masing. Hidup yang keras membikin mereka tak lagi saling peduli satu sama lain. Aku terjepit dalam ketiadaan pilihan sampai sebuah tawaran yang begitu manis datang begitu saja dua tahun lalu. Sebuah biro penyalur tenaga kerja menawariku menjadi pramusaji pada sebuah restoran besar di Berlin. Kusambut tawaran itu dengan tangan terbuka sambil bersyukur betapa Tuhan telah begitu baik padaku.” Kau terdiam. Menunduk. Matamu segera menjadi telaga. Dua sudut bendungan di sisi luar pangkal hidungmu makin tak mampu menahan air telagamu yang membanjir. Air matamu berjatuhan tanpa tercegah. Aku merapat begitu saja. Kau menjatuhkan bahumu ke dadaku. Lalu suaramu menyendat pada pangkal cerita yang rupanya segera tiba. ”Aku ditipu. Aku dijual ke sebuah tempat prostitusi di timur Berlin. Garis nasib yang kelam mesti kuterima tanpa daya. Badanku remuk dihantam kerja jahanam itu. Kemanusiaanku terbunuh oleh rutinitas itu. Membuka pintu kamar, membiarkan diperlakukan sebagai binatang, memunguti uang yang dilempar begitu saja ke atas tempat tidur sambil mendengar pintu ditutup dan suara sepatu lelaki di lantai menjauh hingga hilang ditelan lobi berkarpet. Badanku hancur, tapi hatiku lebih hancur. Kemanusiaanku makin hari makin tak bersisa. Benar-benar binasa.” Air matamu membasahi bahuku. Dingin. Kita diterkam senyap yang tiba-tiba menjadi asing. ”Untunglah aku akhirnya bisa melepaskan diri dari enam bulan terpanjang dalam hidupku itu. Kabur dari Berlin, kembali pulang. Tapi hidup tetap tak bersahabat. Akhirnya kuulang pekerjaan yang sama di sini. Kali ini atas kemauanku. Persisnya, karena aku tak punya pilihan lain. Hingga sampailah aku di titik ini. Ketika sungai Vltava mengamuk tempo hari, keinginanku untuk mengakhiri hidup menderas begitu saja seperti air sungai yang sedang murka. Ya… aku ingin bunuh diri. Rasanya aku sanggup menghadapi hidup yang berat dan keras, tapi tidak hidup yang terasa hambar seperti ini….” Sesenggukanmu mengeras. Sebuah cara pilu mengakhiri cerita panjangmu. Dalam pelukanku yang merapat, semua bagian badanmu terasa bergetar. Seperti mesin pengeras jalan yang dengan lembut menekan-nekan dadaku. Lembut sekali. Melahirkan rasa yang asing dan nyaris tak kukenali. Malam makin larut dalam sunyi. Lalu semua terjadi begitu saja. Kau tak lagi kupeluk, tapi kita saling memeluk. Dan pada dini hari pengujung musim panas itu, kita tergeletak kelelahan begitu saja seusai perjalanan saling bertaut penuh gelegak yang menguras keringat. *** Senja bergerimis. Langit di atas Bandara Internasional Praha tersapu terlalu banyak kelabu. Birunya seperti malu-malu. Enggan memperlihatkan diri. Kau mematung menopang dua matamu yang nanar. Lagi-lagi bertelaga. Baru saja kita menunaikan pelukan selamat tinggal. Aku nyaris kaku ketika kau bisikkan kata-kata itu…. ”Terima kasih banyak Lusi. Untuk pertama kali dalam waktu yang sangat panjang, aku sanggup berbagi dan menangis. Kupikir air mataku sudah habis di Berlin. Kembalilah, Lusi. Aku akan menunggu. Jangan-jangan aku sudah jatuh cinta padamu.” Suaramu parau. Aku hanya bisa mengeratkan pelukan dan mengusap-usap lembut punggungmu. ”Aku akan segera menghubungimu, Elena. Sesampai di Jakarta.” Berjalan menuju ruang tunggu pesawat yang akan membawaku ke Jakarta seperti memasuki lorong panjang yang asing. Kita menjauh, tapi suaramu seperti makin keras memanggil-manggil. Diam-diam, kupastikan untuk segera kembali. Diam-diam, aku terganggu perasaan serupa Elena. Jangan-jangan aku sudah jatuh cinta. Sosokmu hilang tertelan kelokan menuju ruang tunggu pesawat. Dan telepon genggamku bergetar. ”Mama, kami tak bisa tidur. Tak sabar menunggumu pulang. Aku dan anak-anak akan menjemputmu di Cengkareng.” Suara sengau milik suamiku terdengar dari tengah malam Jakarta. Keriangannya tak bisa disembunyikan. Ruang tunggu yang ramai tiba-tiba terasa begitu senyap. Di belakangku, terhalang berlapis-lapis dinding, di bawah gerimis senja Praha seorang perempuan Ceko sedang menangisi kepergianku. Nun di depanku, dipeluk malam Jakarta, seorang lelaki mendekap rindunya yang meluap untukku. Bintaro, 2011
""Gerimis Senja di Praha""
Memang hanya langit, hanya langit itulah yang ditunggu-tunggu Barnabas, karena apabila kemudian ia menyelam di dekat batang-batang pohon ke bawah permukaan danau untuk menombak ikan, secercah cahaya pun cukuplah untuk melihat segala sesuatu yang bergerak, hanya bergerak, tiada lain selain bergerak, ketika hanya dengan sudut matanya pun ia tahu mana bukan ikan gabus mana bukan ikan merah. Ya, tangannya hanya akan bergerak menombak secepat kilat bagaikan tak menunggu perintah otak, apabila kedua jenis ikan itu lewat meski melesat, berombongan maupun terpisah dan tersesat, yang mana pun takkan lepas dari sambaran tombaknya yang sebat. Kacamata yang digunakannya untuk menyelam memang sudah terlalu tua dan agak kabur jika digunakan untuk melihat dalam keremangan, yang kali ini tampaknya masih akan bertahan cukup lama, karena langit mendung dan mega hitam bergumpal-gumpal. Dari dalam air, tanpa harus melirik ke permukaan, tahulah Barnabas hujan rintik telah menitik di seluruh permukaan danau. Namun apalah artinya hujan rintik-rintik bagi seseorang yang menyelam dan memburu ikan, bukan? Barnabas terus berenang di dalam air nyaris seperti ikan, memburu ikan, tanpa ikan-ikan itu harus tahu betapa jiwanya sedang terancam. Tentu ia mengenal ikan seperti mengenal dirinya sendiri. Ikan-ikan tak berotak, pikirnya, pantaslah begitu mudah ditombak. Namun Barnabas juga tahu, justru karena otak ikan sangat amat kecil, sehingga tidak mencukupi untuk berpikir, naluri ikan terhadap bahaya bekerja dengan kepekaan tinggi. Jadi Barnabas pun tetap harus menipunya. Makanya ia pun berenang seperti ikan, mengapung seperti kayu, menyelam seperti pemberat—dan sekali tangannya bergerak, memang harus melesatkan tombaknya lebih cepat dari bekerjanya naluri ikan. Ia telah memperhatikan, betapa ikan dalam rombongan akan lebih kurang berhati-hati daripada ikan yang berenang sendirian, mungkin karena merasa aman bersama banyak ikan, sehingga memang tak sadar bahaya mengancam. Ikan yang terlepas dari rombongan dan kebingungan kadang lebih menarik perhatian Barnabas. Ia suka mengintai dan mengincarnya dengan hati-hati, kadang tanpa kentara memojokkannya, untuk pada saat yang tepat menombaknya tanpa ikan itu sempat mengelak. Ikan merah artinya ikan gabus merah, sedap jika dibakar. Ikan gabus artinya ikan khahabei, besarnya bisa sebesar betis, persembahan bagi ibu-ibu yang baru melahirkan, tak kalah sedap digoreng, tetapi Barnabas beranggapan minyak goreng bukanlah bagian dari kehidupannya, karena memang tak pernah membelinya. Bahkan Barnabas tak pernah lagi makan ikan yang diburunya itu. Jika langit yang keungu-unguan itu telah menjadi lebih terang, setidaknya dua puluh sampai tiga puluh ikan yang bernasib malang di tangannya sudah tergantung di salah satu tiang dermaga. Jumlah yang cukup guna menyambung hidup untuk sehari, dua hari, tiga hari, seminggu, tak penting benar berapa lama, karena Barnabas setiap harinya menyelam jua—kecuali, tentu kecuali, pada hari Minggu, karena pada hari itu Barnabas beribadah. Pada hari apa pun ikan-ikan tidak beribadah, pikirnya lagi, jadi ke manakah mereka pergi hari ini? Bukanlah karena hujan maka ikan-ikan tidak terlihat, mungkin juga tiada sebab apa pun selain sedang berombongan mencari makan di tempat lain dengan moncongnya yang tak habis bergerak memamah-mamah. Namun tetap saja Barnabas merasa jengkel karena ini membuatnya terpaksa memburu ikan lebih lama. Ia memang tak suka memasang bubu dan tak juga suka memasang jala seperti banyak orang lainnya di pulau-pulau di dalam danau, karena memasang bubu bukanlah berburu dan memasang jala juga bukanlah berburu, sedangkan ia hanya ingin jadi pemburu ikan dan tiada lain selain berburu ikan seperti yang selama ini dianggapnya sebagai panggilan. Ada orang ingin jadi pendeta, pikirnya pula, aku ingin jadi pemburu ikan. Dari masa kecil diketahuinya orang-orang menyelam tanpa kacamata dan bahkan bisa mendapatkan ikan lebih banyak darinya sekarang. Mungkinkah air danau dahulu tidak seperti air danau sekarang? Lebih jernih karena memang lebih bersih dan mata penyelam tak harus menjadi pedas meskipun menyelam berlama-lama? Barnabas tentu ingat betapa pada masa lalu di danau itu segala sesuatunya tidaklah sama dengan sekarang. Dulu tidak ada raungan Johnson, pikir Barnabas, karena perahu bolotu tidak bermesin tempel. Dari pulau ke pulau, atau dari pulau ke daratan, orang-orang menggunakan bolotu yang hanya perlu didayung. Kadang penumpang bantu mendayung, tetapi tanpa bantuan penumpang pun, perjalanan dari pulau kecil yang satu ke pulau kecil lain di dalam danau yang dikelilingi perbukitan itu tetap bisa berlangsung, tanpa peduli apakah itu cepat ataukah lambat karena memang tiada waktu yang terlalu tepat maupun terlambat. Langit dan bumi bersenyawa tanpa peduli detak arloji—dan Barnabas lebih suka menjadi bagian langit maupun bagian bumi daripada arloji. Maka tiada yang dikhawatirkan Barnabas jika pagi ini ikan-ikan seperti bersembunyi. Langit memang gelapnya agak lebih lama karena mendung dan hujan dan tentu saja ini harus dianggap biasa saja, begitu biasa, bagaikan tiada lagi yang lebih biasa, dan sungguh Barnabas sama sekali tiada keberatan karenanya. Aku sabar menunggumu ikan, batinnya, setiap orang harus cukup bersabar menantikan makhluk yang akan menyerahkan jiwa hari ini demi kelanjutan hidup pembunuhnya. Apalah artinya menahan lapar sejenak untuk hidup lebih lama? Nikmatilah hidupmu yang amat sementara itu ikan, karena pada akhirnya aku akan membawamu ke pasar dan pedagang ikan akan segera memajang dirimu di meja kayu murahan, tempat koki restoran di tepi danau itu akan menunjukmu, membelimu, membuang sisik dan isi perutmu, lantas menggorengmu bagi santapan para wisatawan yang akan membuang tulang-tulang dan kepalamu untuk menjadi rebutan ikan-ikan emas di kolam yang tak tahu menahu betapa cepat atau lambat mereka juga segera akan jadi santapan dan tulang-tulang serta kepalanya juga akan dilempar sebagai pertunjukan kebuasan dunia yang tampaknya justru meningkatkan selera makan. Barnabas tiba-tiba teringat, Klemen anaknya, yang putus sekolah teologia, pernah mengucapkan suatu kata yang tak dimengertinya. ”Homo homini lupus….” Saat itu Barnabas memang bertanya, apa maknanya Klemen tidak melanjutkan sekolah untuk menjadi pendeta, menyia-nyiakan tabungan hasil berpuluh-puluh tahun berburu ikan. Di negeri danau, tempat setiap bukit berpuncak salib, menjadi pendeta adalah kehidupan terpuji. Namun inilah jawaban Klemen anak tunggalnya itu, yang pada suatu hari tiba-tiba saja muncul kembali dari balik kabut di atas danau sambil mendayung bolotu, meninggalkan sekolah di kota untuk selama-lamanya. ”Apalah artinya memuja langit, tapi membiarkan darah mengotori bumi….” Selama tinggal di rumah mereka, tempat kecipak air danau selalu terdengar dari bawah lantai papan dari malam ke malam, Klemen tampak sering tepekur. Ibunya sudah lama meninggal karena cacing pita dan mereka hanya hidup berdua saja, sampai Klemen pergi ke kota, atas restu pendeta, untuk belajar menjadi pendeta. ”Kampus tempat belajar agama pun diobrak-abrik tentara,” katanya, ”benarkah sudah cukup kita hanya berdoa?” Barnabas bukan tak mendengar orang-orang berbicara dengan nada rendah tentang penembakan dan kerusuhan di berbagai tempat lainnya. Klemen pernah membacakan pesan pada benda kecil yang sering digunakannya pula untuk bicara. Aku masih di hongyeb, beberapa hongibi, dan syidos tahu persis siapa pelaku penembakan di gidinya, bekas nyahongyeb Dadbdedsya katanya punya data nama-nama pelaku penembakan. Mereka adalah (self-censorship oleh pengarang) yang menyamar sebagai pasukan sagangrod Tjhitgosoe ede dede nyalabi, seragamnya sama dengan sagangrod ini, senjatanya yang beda. Ini informasi A1, tapi kudu hati-hati, kami media tinggal tunggu siapa otoritas yang berani sebut siapa mereka. Jangan percaya omongan para petinggi munafik…. Barnabas sungguh tak mengerti apa yang harus dikatakannya. Negerinya hanyalah sebatas danau dengan tiga puluhan pulau yang dikelilingi tebing serba terjal dan meliuk berteluk-teluk itu. Ia tidak pernah tahu dan tidak butuh apa pun yang lain selain cakrawala negeri danaunya itu, yang telah memberikan kepadanya mega-mega terindah di langit biru, bukit-bukit menghijau, dan kedalaman di balik permukaan danau tempatnya memburu ikan-ikan yang baginya merupakan segala dunia yang lebih dari cukup. Ditambah khotbah para pendeta yang menyejukkan setiap akhir pekan dan pesta rakyat dari segenap pulau setiap tahun, itu semua sudah lebih dari apa pun yang bisa dimintanya. Namun Barnabas merasakan perubahan yang terjadi belakangan ini, bahwa pendeta yang tidak bicara tentang kemerdekaan gerejanya akan sepi. *** Hujan tampak menderas dan ketika Barnabas mengambil napas di permukaan danau memang sepanjang mata memandang hanyalah dunia yang kelabu karena tirai hujan dengan latar belakang bayangan punggung perbukitan di kejauhan. Perutnya terasa agak lapar tetapi tenaganya sama sekali belum berkurang. Ia bisa membawa ikatan dua puluh sampai tiga puluh ekor ikan ke pasar, tetapi jika hanya membawa sepuluh atau lima belas pun tidak ada yang harus disesalinya sama sekali. Bahkan jika ikan yang ditombaknya cukup besar—dan ikan-ikan terbesar suka menyendiri—maka seekor atau dua ekor pun justru akan dibayar lebih tinggi daripada sepuluh ikan yang biasa. Ya, ikan-ikan tak tahu kapan akan mati, batin Barnabas, tetapi pagi ini tampaknya belum ada yang akan mati. Setidaknya di dekat permukaan ini. Maka Barnabas menyelam, menyelam, dan menyelam semakin dalam, ke tempat ikan besar biasanya menyendiri. Namun gagasan tentang ikan besar yang menyendiri ini, yang memisahkan dirinya secara alamiah karena tak dapat lagi berombongan ke sana kemari dengan ikan-ikan kecil meskipun dari jenisnya sendiri, mengingatkan Barnabas kepada dirinya. Sedikit pemburu di antara penjala dan pemasang bubu, dan di antara pemburu yang biasanya bekerja siang atau malam, hanyalah Barnabas yang selalu bekerja tepat menjelang fajar merekah—jelas membuatnya berbeda, keberbedaan yang mungkin menurun kepada Klemen. Memang banyak hal tak dimengertinya pula dari gagasan-gagasan Klemen, apalagi ketika ia bicara tentang pernyataan untuk merdeka…. Manusia kadang masih seperti ikan, pikirnya, tak dapat bercampur baur dan hanya nyaman dengan golongan sejenisnya. Di danau itu telah dimasukkan ikan dari tempat asing, seperti ikan gabus Toraja, yang ternyata lebih suka memakan telur ikan gabus asli dari danau itu maupun ikan-ikan lainnya. Ikan gabus asli yang disebut khahabei itu harus dicari para penyelam di bagian danau terdalam. Sedangkan ikan lohan yang juga asing di danau itu, tak hanya memakan telur-telur ikan gabus, anak-anak ikan gabus, dan ikan-ikan kecil lain, tetapi juga udang dan jengkerik . Maka ikan-ikan asli lain seperti ikan seli, ikan gete-gete besar dan kecil, ikan gastor, ikan gabus merah, ikan gabus hitam yang dahulu berlimpah kini hanya tertangkap dalam jumlah sedang; yang masih banyak tinggal ikan-ikan hewu atau ikan pelangi, tetapi ikan kehilo semakin susah dicari, mungkin karena makin jauh bersembunyi, mungkin juga memang tinggal sedikit sekali. Tempat mereka telah diisi ikan-ikan asing yang disebut ikan mata merah, ikan tambakan, ikan sepat siam, ikan nila, ikan nilem, dan ikan mas. Barnabas tahu benar, dahulu setidaknya terdapat dua puluh sembilan jenis ikan, termasuk ikan laut yang masuk dari muara sungai di sebelah timur, dan sekarang hanya enam belas jenis, itu pun tinggal sembilan jenis yang asli. Ikan makan ikan, apakah manusia tidak memakan manusia? Barnabas tidak terlalu peduli apakah ia pernah menjawab pertanyaannya sendiri. Sudah beberapa hari Klemen menghilang. Tetangganya menyampaikan kadang ada orang datang bertanya-tanya tentang Klemen—bukan, mereka bukan sesama penduduk di negeri danau yang saling mengenal sejak dilahirkan. Perahu bolotu yang digunakan Klemen juga masih di tempatnya, ketika beberapa malam lalu mendadak terdengar deru perahu Johnson di kejauhan pada tengah malam. Penduduk yang masih terjaga saling berpandangan. Mereka yang terbiasa menyendiri memang harus menghadapi segala sesuatunya sendirian. Barnabas menyelam makin dalam, bahkan sampai menyentuh lumpur di dasar danau. Seekor ikan khahabei besar yang waspada berkelebat, mengepulkan lumpur yang segera saja menutupi pandangan. Barnabas tidak dapat melihat apa pun. Cahaya yang sejak pagi tidak pernah lebih terang dari kekelabuan dalam hujan, di dasar danau ini tak dapat juga memperlihatkan sesuatu kepada Barnabas. Namun di antara kepulan lumpur pekat Barnabas merasakan sesuatu datang dari dasar danau dan ia segera menghindarinya. Tak urung, sesuatu yang mengambang karena gerakan ikan khahabei itu telah melepaskan keterikatannya dari akar-akaran di dasar danau, menyentuh tubuhnya juga dalam perjalanan ke permukaan danau. Ia terkesiap dan melepaskan dirinya dari kepulan lumpur, melesat dan menyusul sesuatu yang segera jelas merupakan sesosok mayat. Dari balik kacamata selamnya yang buram, matanya terpaku kepada sosok itu, yang perlahan tetapi pasti menuju ke atas sampai mengapung di permukaan danau. Dengan cahaya yang sedikit lebih baik daripada di dasar danau, meskipun tidak terlalu jelas, Barnabas dapat memastikan bahwa tangan dan kaki mayat itu terikat, dan pengikatnya adalah robekan bendera bergaris biru putih, sedangkan mulutnya disumpal dengan kain merah. Di permukaan itu hujan bukan semakin mereda tetapi menderas. Angin keras menyapu seluruh permukaan danau, sehingga air hujan yang turun dari langit tersibak bagaikan tirai raksasa yang melambai-lambai. Di antara deru angin yang menarik-narik daun pohon nyiur di semua pulau, terdengarlah jeritan panjang dari tengah danau. ”Klemeeeeeeeennnn!” Jayapura, 12-14 November 2011
""Mayat Yang Mengambang Di Danau""
Tidak tergantung apakah fajar, tengah hari, sore, senja, malam, ataupun selepas tengah malam, mata laki-laki pemanggul goni selalu menyala-nyala bagaikan mata kucing di malam hari, dan selalu memancarkan hasrat besar untuk menghancurkan. Tubuh laki-laki pemanggul goni tidak besar, tidak juga kecil, dan tidak tinggi namun juga tidak pendek, sementara goni yang dipanggulnya selamanya tampak berat, entah apa isinya. Pada waktu sepi, laki-laki pemanggul goni pasti berdiri di tengah jalan, dan pada waktu jalan ramai, pasti laki-laki pemanggul goni berdiri di trotoir, tidak jauh dari semak-semak, yang kalau sepi dan angin sedang kencang selalu mengeluarkan bunyi-bunyian yang sangat menyayat hati. Beberapa kali terjadi, ketika jalan sedang ramai dan laki-laki pemanggul goni menembakkan mata kepadanya, Karmain dengan tergesa-gesa turun, lalu mendekati semak-semak dekat trotoir, tetapi laki-laki pemanggul goni pasti sudah tidak ada lagi. Dan ketika Karmain bertanya kepada beberapa orang apakah mereka tadi melihat ada seorang laki-laki pemanggul goni, mereka menggeleng. Apabila hari masih terang, beberapa kali laki-laki pemanggul goni membaur dengan orang-orang yang sedang menunggu bus, sambil menembakkan matanya ke arah Karmain. Tapi, ketika Karmain tiba di tempat orang-orang yang menunggu bus, laki-laki pemanggul goni sudah tidak ada, dan orang-orang pasti menggelengkan kepala apabila mereka ditanya apakah tadi mereka menyaksikan ada laki-laki pemanggul goni. Pada suatu hari, ketika hari sudah melewati tengah malam dan Karmain sudah bangun lalu membersihkan tubuh untuk sembahyang, korden jendela seolah-olah terkena angin dan menyingkap dengan sendirinya. Maka Karmain pun bergegas mendekati jendela, dan menyaksikan di bawah sana, di tengah-tengah jalan besar, laki-laki pemanggul goni berdiri membungkuk mungkin karena goninya terlalu berat, sambil menembakkan matanya ke arah dirinya. Kendati lampu jalan tidak begitu terang, tampak dengan jelas wajah laki-laki pemanggul goni menyiratkan rasa amarah, dan menantang Karmain untuk turun ke bawah. Karena sudah terbiasa menyaksikan laki-laki pemanggul goni bertingkah, dengan lembut Karmain berkata: ”Wahai, laki-laki pemanggul goni, mengapakah kau tidak naik saja, dan ikut bersembahyang bersama saya.” Kendati jarak antara jendela di lantai sembilan dan jalan besar di bawah sana cukup jauh, tampak laki-laki pemanggul goni mendengar ajakan lembut Karmain. Wajah laki-laki pemanggul goni tampak berkerut-kerut marah, dan matanya makin tajam, makin menyala, dan makin mengancam. ”Baiklah, laki-laki pemanggul goni, kalau kau tak sudi naik dan sembahyang bersama saya, tunggulah saya di bawah. Saya akan sembahyang dulu. Sejak saya masih kecil sampai dengan saatnya ibu saya akan meninggal, ibu saya selalu mengingatkan saya untuk sembahyang dengan teratur lima kali sehari. Fajar sembahyang satu kali. Itulah sembahyang subuh. Tengah hari sembahyang satu kali. Itulah sembahyang lohor. Sore satu kali, itulah sembahyang ashar. Senja satu kali. Itulah sembahyang maghrib. Malam satu kali. Itulah sembahyang isya. Lima kali sehari. Dan kalau perlu, enam kali sehari, tambahan sekali setelah saya bangun lewat tengah malam dan akan tidur lagi. Itulah sembahyang tahajud. Dan kamu selalu mengawasi saya, seolah-olah kamu tidak tahu apa yang patut aku lakukan dan apa yang tidak patut aku lakukan.” Dengan tenang Karmain menutup korden, namun karena sekonyong-konyong angin bertiup keras, korden menyingkap kembali. Laki-laki pemanggul goni tetap berdiri di tengah jalan, tetap menampakkan wajah penuh kerut menandakan kemarahan besar, dan tetap menembakkan matanya dengan nyala mengancam. Di sebelah sana, dekat trotoir di sebelah sana, semak-semak bergoyang-goyang keras tertimpa angin, dan mengirimkan bunyi-bunyi yang benar-benar menyayat hati. Karmain melayangkan pandangannya ke depan, ke gugusan apartemen-apartemen besar, dan tampaklah semua lampu di apartemen sudah padam, sejak beberapa jam yang lalu. Lampu yang masih menyala hanyalah lampu-lampu di gang-gang yang menghubungkan apartemen-apartemen itu, sementara lampu merah di tiang tinggi di sebelah sana itu, berkedip-kedip seperti biasa, seperti biasa menjelang hari menjadi gelap, atau mendung, atau hujan lebat. Seperti biasa pula, lampu di tempat pemberhentian bus menyala, sebetulnya terang, tetapi tampak redup. Selebihnya sepi, kecuali angin yang tetap menderu-deru. Karmain pindah ke kamar lain, yang korden jendelanya ternyata juga terbuka, kemudian melihat jauh ke sana. Di sana itu, ada laut, dan meskipun gelap, terasa benar bahwa laut benar-benar sedang gelisah. Sembahyang selesailah, lalu Karmain mendekati jendela, dan laki-laki pemanggul goni masih di sana, masih menunjukkan wajah marah, masih menembakkan pandangan mengancam. Maka Karmain turunlah. Dan ketika Karmain tiba di tepi jalan, laki-laki pemanggul goni tidak ada. Angin masih bertiup keras. Seekor anjing hitam, besar dan tinggi tubuhnya, mengawasi Karmain sekejap, kemudian menyeberang jalan, dan di tengah jalan berhenti lagi sebentar, mengawasi Karmain lagi, lalu lari ke arah kegelapan. Lalu terdengar lolongan-lolongan anjing, lolongan kesakitan, lolongan pada saat-saat meregang nyawa. Dulu, ketika masih kecil, Karmain bersahabat karib dengan Ahmadi, Koiri, dan Abdul Gani, semuanya dari kampung Burikan. Dan di kampung Burikan tidak ada satu orang pun yang memelihara anjing, dan anjing dari kampung-kampung lain pun tidak pernah berkeliaran di kampung Burikan. Terceritalah, ketika mereka sedang berjalan-jalan di kampung Barongan, mereka tertarik untuk mencuri buah mangga di pekarangan rumah seseorang yang terkenal karena anjingnya sangat galak. Belum sempat mereka memanjat pohon mangga, dengan sangat mendadak ada seekor anjing hitam, tinggi dan besar tubuhnya, menyalak-nyalak ganas, kemudian mengejar mereka. Sebulan kemudian, anjing hitam bertubuh tinggi dan besar mati, setelah terperangkap oleh racun hasil ramuan Ahmadi, Koiri, dan Abdul Gani. Karmain menunggu beberapa saat, sambil berkata lembut dan perlahan-lahan: ”Wahai, laki-laki pemanggul goni, di manakah kau sekarang. Marilah kita bertemu, dan berbicara.” Karena tidak ada kejadian apa-apa lagi, Karmain berjalan menuju semak-semak, dan, meskipun tiupan angin sudah meredup, semak-semak masih bergerak-gerak, menciptakan bunyi-bunyi yang menyayat hati. Karmain kembali ke lantai sembilan, masuk ke dalam apartemen, kemudian mencari berkas-berkas lama yang sudah lama tidak ditengoknya. Setelah membuka-buka sana dan sini, Karmain menemukan album lama. Ada foto ibunya ketika masih muda, seorang janda yang ditinggal oleh suaminya karena pada hari raya Idul Adha, suaminya tertembak ketika sedang berburu babi hutan bersama teman-temannya di hutan Medaeng. Ada lima pemburu, termasuk dia, ayah Karmain. Mereka berlima masuk hutan bersama-sama, kemudian melihat seekor babi hutan berlari kencang, menabrak beberapa semak-semak. Untuk mengejar babi hutan itu, mereka berpisah, masing-masing lari ke berbagai arah. Siapa di antara empat temannya yang dengan tidak sengaja menembak ayah Karmain, atau justru dengan sengaja menembaknya, tidak ada yang tahu. Karmain terpaku pada foto ibunya sampai lama, kemudian, tanpa sadar, dia terisak-isak. Dulu ibunya pernah bercerita, bahwa pada waktu-waktu tertentu akan ada laki-laki pemanggul goni, mengunjungi orang-orang berdosa. Pekerjaan laki-laki pemanggul goni adalah mencabut nyawa, kemudian memasukkan nyawa korbannya ke dalam goni. Ibunya juga bercerita, beberapa hari sebelum suaminya tertembak, pada tengah malam laki-laki pemanggul goni datang, mengetuk-ngetuk pintu, kemudian pergi tanpa meninggalkan jejak. ”Pada hari Idul Adha,” kata ibu Karmain dahulu, sebelum ayahnya pergi berburu. ”Tuhan menguji kesetiaan Nabi Ibrahim. Anaknya, Ismail, harus disembelih oleh ayahnya, oleh Nabi Ibrahim sendiri.” Karmain tertidur, dan ketika terbangun, waktu sembahyang fajar sudah tiba. Dan setelah Karmain membersihkan tubuh, siap untuk sembahyang, korden jendela menyingkap lagi. Laki-laki pemanggul goni berdiri di tengah jalan lagi, wajahnya menunjukkan kemarahan lagi, dan matanya menyala-nyala, menantang lagi. ”Baiklah, laki-laki pemanggul goni, harap kamu jangan lari lagi.” Dengan sangat tergesa-gesa Karmain turun, langsung ke pinggir jalan, dan laki-laki pemanggul goni sudah tidak ada. Ketika Karmain tiba kembali di apartemennya, ternyata laki-laki pemanggul goni sudah ada di dalam, duduk di atas sajadah, melantunkan ayat-ayat suci, sementara goninya terletak di sampingnya. Setelah selesai berdoa, tanpa memandang Karmain, laki-laki pemanggul goni berkata lembut: ”Karmain, kamu sekarang sudah menjadi orang penting. Kamu sudah menjelajahi dunia, dan akhirnya kamu di sini, di negara yang terkenal makmur. Bahwa kamu tidak mau kembali ke tanah airmu, bukan masalah penting. Tapi mengapa kamu tidak pernah lagi berpikir tentang makam ayahmu? Tidak pernah berpikir lagi tentang makam ibumu. Makam orangtuamu sudah lama rusak, tidak terawat, tanahnya tenggelam tergerus oleh banjir setiap kali hujan datang, dan kamu tidak pernah peduli.” Laki-laki pemanggul goni berhenti sebentar, kemudian bertanya: ”Apakah kamu beserta sahabat-sahabatmu, Ahmadi, Koiri, dan Abdul Gani, pernah tersesat di hutan Gunung Muria?” ”Ya.” ”Tahukah kamu ke mana sahabat-sahabatmu itu pergi?” ”Tidak.” ”Mereka saya ambil. Saya tahu, kalau mereka tidak saya ambil, pada suatu saat kelak dunia akan gaduh. Gaduh karena, kalau tetap hidup, mereka akan mengacau, membunuh, dan menyebarkan nafsu besar untuk berbuat dosa. Saya tidak mengambil kamu karena kasihan. Kamu habis kehilangan ayah. Ayah bejat. Pada saat seharusnya dia di masjid, bersembahyang, dan kemudian membantu orang-orang menyembelih kambing, ayahmu berkeliaran di hutan. Bukan untuk menyembelih kambing, tapi mengejar-ngejar babi hutan untuk dibunuh. Ingatlah, pada hari Idul Adha, ketika Nabi Ibrahim sedang menyembelih anaknya sendiri, Ismail, datang keajaiban. Bukan Ismail yang disembelih, tapi kambing.” Berhenti sebentar, kemudian laki-laki pemanggul goni bertanya dengan nada menuduh: ”Apakah benar, ketika kamu masih remaja, kamu menjadi penabuh beduk masjid kampung Burikan? Setiap saat sembahyang tiba, lima kali sehari, kamu menabuh beduk mengingatkan semua orang untuk sembahyang?” Karmain ingat, ketika masih umurnya memasuki masa remaja, dia bercita-cita, kelak kalau sudah dewasa, dia akan memiliki gedung bioskop. Maka, dengan caranya sendiri, dia menciptakan bioskop-bioskopan. Kertas tipis dia gunting, dia bentuk menjadi orang-orangan. Lalu dengan tekun dia membuat roda kecil dari kayu. Orang-orangan dari kertas tipis dia ikat pada benang, benang ditempelkan pada roda kayu. Lalu dia memasang kertas minyak, menutup semua jendela supaya gelap, menyalakan lilin, menggerak-gerakkan orang-orangan. Dari balik kertas minyak terpantulah bayangan orang-orangan. Mereka bisa berlari-lari, berkejar-kejaran, dan saling membunuh, seperti yang terjadi pada tontonan wayang kulit. Demikianlah, pada suatu hari, ketika sedang asyik-asyiknya bermain bioskop-bioskopan, tiba-tiba Karmain ingat, waktu untuk menabuh beduk sudah tiba. Maka berlarilah dia ke masjid, meninggalkan kertas-kertas tipis berserakan di lantai. Seorang anak kampung Burikan pula, Amin namanya, telah datang terlebih dahulu, dan telah menabuh beduk. Setelah selesai sembahyang, Karmain dan beberapa orang pulang. Dalam perjalanan pulang itulah, mereka melihat asap hitam pekat membubung ke langit. Udara pun menjadi luar biasa panas. Hampir seperempat rumah di kampung Burikan terbakar, dan dua laki-laki lumpuh meninggal, terjebak oleh kobaran-kobaran api. ”Karmain,” kata laki-laki pemanggul goni sambil menunduk, ”Janganlah kamu pura-pura tidak tahu, kamu lari ke masjid, sementara lilin masih menyala.” Sunyi senyap, dan laki-laki pemanggul goni tetap tertunduk. ”Wahai, laki-laki pemanggul goni,” kata Karmain setelah terdiam agak lama. ”Ibu saya dulu pernah berkata, ada laki-laki pemanggul goni yang sebenarnya, ada pula pemanggul goni yang sebetulnya setan, dan menyamar sebagai laki-laki pemanggul goni.” Laki-laki pemanggul goni tersengat, kemudian memandang tajam ke arah Karmain. Wajahnya penuh kerut-kerut menandakan rasa amarah yang sangat besar, dan matanya benar-benar merah, benar-benar ganas, dan benar-benar menantang. Setelah membisikkan doa singkat, Karmain berkata lagi: ”Bagaimana kamu bisa tahu, wahai laki-laki pemanggul goni, bahwa kelak Ahmadi, Koiri, dan Abdul Gani akan menyebarkan dosa yang membuat orang-orang tersesat?” Laki-laki pemanggul goni, dengan kerut-kerut wajahnya dan nyala matanya, dengan nada ganas berkata: ”Hanya sayalah yang tahu apa yang akan terjadi seandainya mereka saya biarkan hidup.” ”Wahai, laki-laki pemanggul goni, hanya Nabi Kidirlah yang tahu apakah seorang anak kelak akan menciptakan dosa-dosa besar atau tidak. Apakah kamu tidak ingat, Nabi Kidir menenggelamkan perahu seorang anak muda yang tampan? Nabi Kidir tahu, kelak anak tampan ini akan menjadi pengacau dunia. Dan Nabi Kidir pun mempunyai hak untuk menghancurleburkan sebuah rumah mewah. Sebuah rumah mewah yang dihuni oleh seorang bayi yang kelak akan membahayakan dunia.” Dan Karmain ingat benar, dulu, menjelang kebakaran hebat melanda kampung Burikan, kata beberapa orang saksi, laki-laki pemanggul goni datang. Lalu, kata beberapa saksi pula, laki-laki pemanggul goni masuk ke rumah Karmain, kemudian bergegas-gegas ke luar, dan melemparkan bola-bola api ke rumah Karmain. Dan setelah api berkobar-kobar ganas menjilati sebagian rumah di kampung Burikan, beberapa orang dari kampung Burikan dan kampung Barongan sempat melihat, laki-laki pemanggul goni melarikan diri di antara lidah-lidah api yang makin membesar.
""Laki-laki Pemanggul Goni""
Batu-batu jalan setapak seperti memuntahkan kembali rindu yang tiba-tiba mencuat seperti kancing yang lepas begitu saja dari baju seragam anak sekolah. Ketika kumasuki desa itu, malam mulai merapat pada warna jingga di cakrawala. Malam yang selalu menakutkan bagi anak-anak ketika ibu mereka memberi warna hitam pada sebuah hari di mana matahari sedang penat menampakkan cahayanya. Malam pada akhirnya selalu menjadi kutukan. Tak ada satu pun yang menyukai malam di desa itu, hanya Simbah Ibulah yang selalu menyukai waktu di mana semua pekat menjadi penguasa sebuah hari dan sunyi. Aku tidak tahu sejak kapan aku panggil perempuan itu Simbah Ibu. Perempuan dengan guratan waktu yang penuh pada wajah berhamburan seribu damai di tiap kedip matanya yang bercahaya. Mata yang sebening cinta. Mata yang memberiku keberanian memberi makna kesetiaan utuh pada Semesta. Mata itu benar-benar mengajariku menjadi utuh, menjadi perempuan. Karena hanya menjadi utuh, seorang perempuan akan melahirkan anak-anak yang bahagia. Mata itu memberiku nama Ratri. ”Mbah, mengapa namaku Ratri?” ”Karena kamu lahir pada sebuah malam yang penuh dengan pekat. Kepekatan yang mengerikan. Kepekatan yang begitu banyak melahirkan kesedihan. Malam yang membuat cinta berubah menjadi peluh birahi pada hati yang kosong.” Perempuan renta itulah yang selalu mengajariku mencintai malam. Setiap malam dikecupnya pelan-pelan lelapku dan dengan lembut diajaknya aku keluar melihat bintang. ”Mari Nduk, kita berburu Bidadari”. Entah kenapa kata-kata itu selalu manjur membuat mataku langsung terbelalak gembira. Diajaknya aku ke halaman rumah tanpa alas kaki dan diajarkannya ritual ”memanggil Bidadari” itu padaku. Pada awalnya tangan kami terkatup di depan dada. Mata kami perlahan terpejam dan mulai merasakan desir angin bergerisik di antara daun-daun kering. Suara gemerisik itu kadang seperti bisikan kesedihan yang entah dari mana datangnya. Entah kekuatan dari mana tangan kaki kami berdentam ke tanah dan seperti sebuah orkestra raksasa hati kami berdegup tak kuasa untuk menolak musik yang begitu saja menyeruak dari dada. Simbah Ibu dengan gemulai mulai meliukkan tubuhnya dan dengan perlahan penuh harap Bidadari akan segera turun. Aku ikuti gerakan itu. Gerakan pemanggil Bidadari, begitu Simbah Ibu menyebutnya. ”Mengapa kita memanggil Bidadari?” ”Karena jika Bidadari-Bidadari turun, maka desa kita menjadi damai. Para Bidadari itu akan masuk ke rumah-rumah dan menyebarkan bubuk bahagia pada mimpi orang-orang yang terlelap. Jadi ketika orang-orang itu bangun, tanpa mereka sadari mereka sudah membawa bubuk bahagia itu di dalam darahnya. Jika mereka bahagia mereka akan kuat. Hanya merasa bahagia yang akan melahirkan kekuatan. Sehingga mereka akan berusaha sekuat tenaga mengejar mimpi mereka dalam hari-harinya dengan kekuatan itu.” Benar saja, seperempat jam kami meliukkan tubuh dengan diiringi musik dari hati kami serta mantra syahdu yang begitu lembut keluar dari tubuh rapuhnya. Tak lama kemudian dari angkasa turun beribu-ribu cahaya. Seulas senyum ada disudut wajahnya yang penuh dengan guratan-guratan waktu. ”Mungkin salah satu Bidadari itu ibumu, Nduk. ” Seperti sihir, kata itu mampu selalu memberi terang sebenderangnya dalam hatiku. Terang yang mampu melahirkan gambar perempuan dengan panggilan Ibu. Sejak aku lahir perempuan itu tidak pernah aku sentuh. Konon, satu-satunya anak perempuan Simbah Ibu itu meninggal ketika aku lahir dan bapakku menjadi gila terus menghilang entah di mana. Mungkin itu sebabnya perempuan tua itu kupanggil Simbah Ibu, Karena hanya dia perempuan yang bisa kupanggil ibu. Ketika mantra selesai, Simbah Ibu menengadahkan tangannya ke atas dan berserulah dia dengan penuh cinta ke angkasa. Dalam sekejap cahaya-cahaya yang bergemuruh datang seperti hujan meteor menembus pekatnya malam. Cahaya- cahaya itu berhamburan masuk ke rumah-rumah penduduk. Setiap rumah yang dimasuki cahaya itu selalu memancarkan sinar benderang luar biasa. Kami percaya itulah cahaya jelmaan bidadari. Saat Bidadari-Bidadari turun di mataku adalah waktu di mana lukisan terindah sedang dilukis oleh Maha Cinta. Karena angkasa menjadi begitu banyak berwarna. Warna dari mimpi yang melahirkan cinta. Sekitar jam 3 pagi cahaya-cahaya itu kembali ke angkasa dan menghilang dalam pekat. Dengan kelegaan luar biasa Simbah Ibu selalu mengajakku bersujud mencium bumi sebagai tanda rasa syukur luar biasa karena para Bidadari telah sudi turun membagi cahaya dari Maha Cahaya kepada penduduk desa kami. Bumi seperti mengerti, setiap kami selesai bersujud maka beribu kunang-kunang berhamburan entah dari mana datangnya mengerumuni kami dan aku percaya kunang-kunang itu dihadiahkan para Bidadari untuk memberi senyuman pada wajahku karena konon pada roh-roh suci selalu menjelma menjadi kunang-kunang. Aku begitu yakin kunang-kunang adalah cara roh suci ibuku berbicara padaku. Ya, harum tubuh ibuku di antara kunang-kunang yang menari di antara malam dengan pekat yang hebat… Setiap pagi penduduk desaku bangun dengan wajah gemerlap penuh cahaya yang menyemburat dari dalam dada mereka. Mereka tidak tahu bahwa setiap malam Bidadari-Bidadari penghuni sorga turun menebarkan serbuk cahaya pada mimpi mereka. Demikianlah di desa kami yang sangat sederhana itu setiap malam kami memanggil Bidadari-Bidadari itu karena Simbah Ibu yakin jika rahim-rahim merah muda penduduk desa kami bahagia maka bayi-bayi yang akan lelap di dalamnya akan menjadi bayi yang penuh dengan cinta di dadanya. Jadi ketika mereka nanti lahir maka dunia akan penuh dengan cinta karena bayi-bayi itu akan terus memancarkan detak jantung yang memompa cinta ke seluruh jaringan nadinya. Setiap malam meskipun desa kami tak punya listrik, desa kami selalu benderang dengan cahaya Bidadari-Bidadari yang turun. Malam-malam yang sangat membahagiakan. Kemana pun kami pergi, para penduduk selalu memberi senyum tulus tak terhingga kepada kami, Pemanggil Bidadari, begitu mereka menyebut kami. Betul, ilmu memanggil Bidadari itu memang telah diwariskan secara turun temurun oleh nenek moyangku. Hanya keluargaku yang memiliki ilmu itu. Hingga satu hari entah karena terlalu renta atau karena memang sudah saatnya, Simbah Ibu pergi menemui Maha Cahaya. Sejak itu duniaku benar-benar gulita. Meskipun sebelum pergi Simbah Ibu sangat mewanti-wanti untuk tetap meneruskan memanggil Bidadari di setiap malam, pesan itu tak pernah kujalankan. Aku begitu marah luar biasa, tidak tahu kepada siapa. Setiap malam aku memilih tidur untuk melupa kerinduanku pada Simbah Ibu dari pada memanggil Bidadari untuk desaku. Demikianlah sejak Simbah Ibu pergi, tak ada lagi yang memanggil Bidadari. Tentu saja akibatnya malam semakin membuat kelam desaku. Tak ada satu pun cahaya yang memancar di atap-atap rumah penduduk. Tak ada serbuk cahaya yang menaburkan cinta pada mimpi-mimpi mereka. Akibatnya setiap pagi orang-orang menjadi kekeringan oleh cinta karena pada darahnya tak lagi mengalir bahagia. Hidup menjadi penuh kekhawatiran karena orang-orang tak lagi mau bermimpi. Mereka takut untuk bermimpi. Mereka menjadi lemah. Tak ada lagi kekuatan untuk mengejar mimpi. Banyak penduduk desaku yang akhirnya meninggal karena mereka memilih itu dari pada hidup tanpa mimpi. Aku tak tahan dengan pemandangan itu. Hingga pada satu pagi yang masih menyisakan pekat yang sepekat-pekatnya kutinggalkan desaku. Demikianlah keturunan terakhir pemanggil Bidadari tak lagi berada di desa itu. Bertahun-tahun kutinggalkan desaku, tanpa kenangan sedikit pun. Setiap kali ingatan tentang Simbah Ibu dan desaku yang penuh cahaya Bidadari itu muncul, buru-buru aku bunuh dengan minuman atau obat yang membuatku terlelap sedalam-dalamnya dalam mimpi tanpa matahari. Hatiku tak lagi mampu merasakan apa pun. Meskipun kata orang-orang kecantikanku mampu membuat tulang di leher para lelaki bergerak tetapi tak sedikit pun aku mampu merasakan detak dalam hatiku, orkestra itu telah mati. Senyum tak ada lagi ada dalam mataku. Orkestra itu telah pergi bersama kepergian Simbah Ibu. Kesedihan yang tak bisa dieja oleh huruf paling purba sekalipun. Aku pilih pekerjaan yang membuatku selalu harus berjalan ke segala pelosok dunia untuk melupa. Tapi ingatan adalah sebuah luka yang sangat menyakitkan. Hingga suatu hari aku menyerah pada kesedihanku. Rindu yang tak tertahan luar biasa membuatku melolong berhari-hari tanpa henti. Kupanggil berkali-kali perempuan bermata sorga itu. Aku benar-benar rindu memanggil Bidadari. Aku rindu kunang-kunang yang keluar dari bumi. Aku rindu ibuku. Aku rindu malam. Aku rindu bersujud pada bumi. Aku rindu melihat wajah-wajah bahagia di desaku. Aku rindu Hidup. Pada tahun ke 9 tepat setelah kematian Simbah Ibu aku putuskan kembali ke desaku. *** Rumah Simbah Ibu tetap sama dengan waktu aku tinggalkan dulu. Wasino tukang kebun kami yang sekarang sudah begitu renta masih tetap setia merawat rumah itu. Foto-foto yang mulai pudar warnanya tetap melekat pada dinding kamar. Ingatan memang sangat kurang ajar, karena hanya ingatan yang mampu mengubah waktu dalam sekejap. Seperti kembali di mana bau rokok klembak Simbah Ibu bercampur melati yang keluar dari sanggulnya menjadi bau yang selalu aku rindukan setiap kali pulang sekolah. Aku begitu rindu luar biasa pada perempuan itu. Penduduk desaku silih berganti datang mengucapkan selamat datang. Wajah-wajah mereka begitu penuh dengan rasa lelah luar biasa. Entah kapan terakhir mereka merasa bahagia. Wajah-wajah itu begitu berharap aku kembali memanggil Bidadari untuk mereka. Tetap mulut mereka membisu. Mereka takut berharap karena hanya harapan yang melahirkan luka. Untuk pertama kalinya sejak 9 tahun ini aku sangat merasa bersalah pada Simbah Ibu karena berhenti memanggil Bidadari. Aku melolong sejadi-jadinya karena rasa sesal itu begitu tak tertahankan. Aku putuskan malam ini aku kupanggil Bidadari kembali. Benar saja, tepat jam 12 malam kulakukan kembali ritual yang dulu selalu kulakukan bersama Simbah Ibu. Mungkin karena memang darahku adalah darah pemanggil Bidadari tak lama kemudian langit seperti benderang siang, Cahaya-cahaya yang selalu kurindukan itu turun seperti hujan yang meruah dari angkasa. Dadaku kembali berdentam dan orkestra di dalamnya mulai berbunyi. Para Bidadari kembali menaburkan cahaya pada mimpi-mimpi. Orang tanpa mimpi lebih dahulu mati daripada kematian itu sendiri. Airmataku tak henti-henti keluar, tapi aku tahu ini bukan airmata kesedihan tapi airmata dengan cahaya yang keluar dari dadaku. Serbuk bahagia dari para Bidadari itu mengalir juga ternyata dalam mimpiku. Kunang-kunang kembali berhamburan bahkan sebelum aku bersujud ke bumi. Kunang-kunang yang pasti di antaranya juga ada roh suci Simbah Ibu itu seperti mengerti bahwa aku mulai mengisi darahku kembali dengan mimpi karena hanya mimpi yang mampu meneruskan hidup. Karena mimpi adalah kekuatan. Ubud, September 2011 Untuk Simbah Ibu semoga selalu menari disana…
""Pemanggil Bidadari""
Yang ada cuma angin senja, menerbangkan bau rerumputan bercampur debu, memperberat kecemasanku. ”Mas Koyo,” orang yang sebentar-sebentar melemparkan pandang ke arahku dari pagar kawat berduri, tiba-tiba menghampiri, merapat, membuatku tegak. ”Saya Kiswoyo, masih ada hubungan sedarah dengan Mbak Uci,” katanya menyebutkan nama akrab istriku. Aku merunduk dibuat ucapannya itu. Istri! Bisikku dalam hati. Ada duka di balik kata itu. ”Sudah gelap. Kelihatannya dia tak bakalan datang. Kalau Mas tak keberatan, ikut saya saja. Nginap dulu di rumah saya. Tak jauh dari sini,” sambungnya. Tiga tahun digelandang dari Salemba, ke Cipinang, ke Tangerang, kemudian digiring ke kapal rusak untuk dikucilkan selama sepuluh tahun di Pulau Buru, maka tawaran tadi membuat hatiku tak percaya bahwa orang yang berdiri di depanku itu manusia Bumi. Aku sangsi, beberapa saat curiga, apa maksud orang ini. Bukankah tadi pagi dia sudah melihat bagaimana aku, dan puluhan tahanan politik yang lain, diturunkan dari truk dan diperlakukan tidak lebih berharga dari kawanan kerbau dan kambing yang sedang dihalau ke pejagalan. Kasar gerendel pintu bak truk diempaskan, papannya dibiarkan terbanting berdentam, kawir-kawir ke bawah. Untuk hewan saja disediakan titian turun. Tidak buat kami. Serentetan bentakan keluar dari muncung seorang sersan supaya kami buru-buru melompat dan masuk ke pekarangan markas militer itu. Kupikir aku sedang ketiban mukjizat. Manusia Bulan yang bernama Kiswoyo itu seperti bimbang merengkuh tanganku. Aih, nasib apa yang menimpa orang buangan seperti aku ini. Gemetar buku-buku jariku menyambutnya. Dibawanya aku ke rumahnya. Tiga belas tahun kota ini kutinggalkan di luar kehendakku. Nasib orang yang baik hati ini mungkin tak banyak berubah. Dia, istri, dan dua anaknya menempati rumah petak, setengah semen, separuh papan. Agak repot menyambut kedatanganku, Kiswoyo memepetkan kursi tamunya ke sisi dinding yang satu, dan menggelar dipan kayu nangka ke sisi yang lain. Buntalanku kusurukkan ke bawah. Di atas dipan itulah aku menghabiskan satu malam dari hidupku di dunia bebas. Itulah pertama kali, setelah tiga belas tahun yang gulita, aku melewati malam dengan terang bohlam yang redup. Semalaman gelisah. Bukan bohlam itu benar yang membuat aku tak bisa lelap, tetapi hantu tentang sebuah rencana hidup yang terus menumpati otakku. Bagaimana esok, dan keesokan harinya lagi, aku mempertahankan hidup di surga yang bernama dunia bebas ini? Di Buru, aku dan kawan-kawan punya lahan yang kami buka sendiri dengan tangan telanjang. Ya, benar-benar tangan telanjang! Jangankan traktor. Arit pun tak ada. Walau begitu, pulau buangan itu akhirnya bisa berswasembada pangan berkat tangan-tangan kami orang rantai, meskipun yang menikmati adalah tentara yang mengawasi hidup kami dalam pemencilan dan kerja paksa. Hari kedua, dan ini pastilah berkat Kiswoyo, satu-satunya anakku muncul. Peluk dan air mata merayakan berakhirnya perpisahan paksa antara kami, membanjir tak tertahankan di bendul pintu rumah tumpanganku itu. ”Nduk,” bujukku lembut, ”maukah kau membantuku?” Dia merunduk. ”Bapak harus punya penghasilan. Sebelum kapal membelah ombak Laut Jawa, Bapak sudah punya angan-angan,” kataku pula. ”Besok, bawakanlah batu-asah warisan Eyangmu. Tanya Ibumu. Dia tentu tak lupa. Batu-asah itu diperoleh Eyangmu ketika dia di Australia dan sempat dia bawa ke Digul sebagai orang buangan. Batu itu bermuka dua. Yang sebelah kasar, sebelah lagi licin, halus.” Hatiku gemas tak tahan menunggu. Baru pada hari kelima putriku itu muncul. ”Kenapa lama sekali, Nduk?” ”Sungguh Ibu tak pernah menyangka Bapak akan pulang. Tiga hari, siang-malam, kami mencari-cari. Begitu ditemukan sudah jadi ganjalan ember di sumur kerekan. Di belakang rumah tetangga,” katanya seraya menyerahkan batu dalam lipatan kertas koran itu ke tanganku. Hatiku biru. Kecupan yang dalam kudaratkan ke dahinya tanda terima kasih. Langkahnya pulang kuiringi kata-kata: ”Sampaikan salam dan rasa syukurku kepada Ibu.” Kutimang kuelus permukaannya yang halus bak pauh dilayang. Juga sisinya yang kasar seperti bertabur pasir. Aku yakin batu-asah ini akan menyelamatkan napasku. Akan kubebaskan diriku dari ketergantungan pada Kiswoyo. Kulunasi semua makanan, minuman, dipan kayu-nangka, dan segala kerepotan yang menimpa dirinya. Dengan batu-asah warisan itu aku mengelilingi pusat kota, berjalan kaki, dengan langkah gontai seperti layang-layang putus tali teraju. ”Asah gunting! Asah pisau! Batu-asah dari Australia!” Begitulah teriakanku menjajakan. Hari pertama, dua pemilik warung nasi tegal meminta aku membereskan perkakas mereka. Lancar seperti mimpi dalam membangun hari kebangkitan, sampai hari kedua puluh delapan tak ada hari tanpa asahan. Kalau tidak mempertajam pisau, ya, mengasah gunting. Hari kedua puluh sembilan. Begitu kakiku menikung di perempatan jalan, di wilayah perumahan berpagar tembok tinggi, muncul seorang anak perempuan, berkulit putih, bermata sipit, dalam bimbingan seorang perempuan, yang kuduga adalah pembantu rumah tangga. Mereka menyodorkan sebilah pisau. ”Ini pasti pisau sashimi.” ”Wow… Abang pintar sekari, ya,” sahut anak perempuan itu dengan lidah cadelnya. Belum selesai kuasah, pembantu itu menimpali: ”Bang, sekalian perbaiki yang rompal, ya.” ”Baik, tapi tak bisa buru-buru. Makan waktu agak lama.” ”Tak apa-apa.” Begitu pisau yang sudah tajam dan mulus hendak kuserahkan, sebuah sedan berhenti di belakangku. Bergaun putih, seorang nyonya menguakkan pintu. ”Ini Nyonya, pisaunya sudah bagus. Tajam sekali,” pembantu itu pamer kepada tuannya. Sang Nyonya menilik pisau itu, dan katanya: ”Kore wa yoku kireru. Yokatta [Ini tajam sekali. Syukurlah],” katanya berceloteh, kegirangan. ”Sashimi wo kiru tame desu, ne [Untuk memotong sashimi, kan?]?” aku memotong. ”Hai, sashimi no tame desu. Nihongo dekimasu, ne [Ya, untuk sashimi. Bisa bahasa Jepang, ya].” ”Hai, dekimasu,” cepat kusahut. ”Belajar di mana?” ”Di Universitas Waseda, di Jepang.” Alis mata nyonya itu hendak terbang, menjungkit ke atas. ”Ha?!” Dia bergumam. Matanya mau menelan kepalaku. ”Waseda?!” Sang Nyonya memperhatikan ujung kaki sampai ke ubun-ubunku. ”Tunggu, ya….” Tergopoh dia masuk ke rumah, diiringi anak dan pembantu tadi. Sekelebat angin, dia muncul lagi, diantar seorang laki-laki. Pastilah suaminya, pikirku. Laki-laki berkacamata itu menghampiriku. Pipinya tembem. Matanya memberi kesan seorang peramah, suka bercanda. Sapanya: ”Kamu cuma tukang asah pisau, tapi bisa bahasa Jepang. Apa kamu intelijen mau memata-matai kantor saya? Ini kantor berita Jepang. Dibuka karena diundang pemerintah. Kamu siapa?” Kedua tangannya tetap menyangga pinggang. ”Saya baru pulang dari Pulau Buru. Saya tahanan politik, tapi sudah bebas,” tukasku, lagi-lagi dalam bahasa Jepang. ”Pulau Buru?!” Lantas dia menggiringku ke dalam. Aku dipersilakan duduk di seberang meja kerjanya. Dijangkaunya sebuah file dan meletakkan dua foto di daun meja. ”Kenal?” tanyanya. ”Ini siapa?” ”Profesor Doktor Suprapto, ahli hukum. Pramoedya, sastrawan,” jawabku. ”Yang ini,” lanjutku, ”yang pakai caping ini, saya.” Kacamatanya turun-naik mencocokkan foto dengan tampangku. ”Bahasa Jepang Saudara bagus. Belajar di mana? Di Buru?” Aku terkekeh. ”Tidak. Di Waseda. Di Universitas Waseda. Saya lulus Master.” ”Lulus dari Waseda? Ujian masuknya saja begitu susah,” katanya menggurui dirinya sendiri. Kuceritakan, aku ikut bertempur di Kalimantan mengusir balatentara pendudukan Jepang tahun 1943. Setelah Republik berdiri, aku memperoleh beasiswa untuk belajar di Jepang. Beberapa tahun aku menetap di Tokyo, menjadi koresponden koran Partai Komunis yang terbit di Jakarta. ”Tak usah lagi saya teruskan cerita ini. Karena jadi wartawan itulah maka saya dibuang ke Buru,” kataku. Dia nyengir. ”Menyesal sekali, saya sudah punya sekretaris merangkap penerjemah,” katanya. Seraya menghela napas dipandanginya aku dari balik kacamata yang melorot di batang hidungnya. ”Tapi, kalau mau, boleh datang tiga hari dalam seminggu,” ucapnya menggenapkan harapanku yang memang menggunung. Nyaris aku melompat waktu dia bilang: ”Besok mulai masuk.” Belasan tahun dizalimi. Aku hafal sakitnya hati jika kita dilangkahi. Menjadi pemantik kecemburuan aku tak sudi. Tapi, apa yang bisa kuperbuat? Nyatanya, akulah yang diajaknya ke mana-mana. Bukan penerjemah yang sudah bertahun bekerja padanya. Terakhir, dimintanya aku turut ke Laguboti, di bibir Danau Toba, mencari seorang insinyur Batak, yang seorang diri, dengan gajinya, ditambah tabungan istrinya, meneruskan pembangunan Proyek Asahan yang diterbengkalaikan presiden kita yang kedua. Jepang ini menjadi-jadi. Disuruhnya aku masuk setiap hari. Nasibku semulus batu-asah. Memasuki bulan keenam, aku sudah bisa mengontrak rumah yang layak. Bulan kesembilan. Istriku merengek, minta aku membiayainya menunaikan ibadah haji. Aih…. Inilah kesempatan emas bagiku untuk membayar dosa-dosa sebagai suami yang telah menelantarkannya belasan tahun, sampai-sampai lima tahun terakhir dia terpaksa menikah dengan lelaki lain. Aku tak pernah menyesali keputusannya. Kutimpakan seluruh peruntungan yang buruk itu di kepalaku. Uci bilang, dia rela menikahi lekaki itu karena orang itu berjanji mau mengajaknya ke Mekkah. Bertahun menanti. Janji itu cuma angin gurun. Lantaran malu, barangkali, lelaki itu baik-baik meminta maaf, mohon berpisah. Kuurus segala kebutuhan dan persyaratan sehingga Uci terdaftar sebagai calon jemaah. Dia sendiri sudah khatam seluruh kalimah ibadah, yang wajib maupun sunah. Mendekati hari keberangkatannya, menjelang magrib, kupegangi tangannya, erat seperti tiga puluh tahun yang lalu mula pertama aku merengkuhnya. ”Uci, ingat kuplet ketiga lagu kebangsaan Indonesia Raya. Larik pertama berbunyi ’Indonesia tanah yang suci…’. Ya, Indonesia tanah yang suci…. Kalau kau melempar jumroh di Tanah Suci, ingatlah Tanah Air kita ini. Tancapkan di hatimu bahwa batu-batu yang kau hunjamkan itu merajam setan-setan kota maupun desa di tanah suci kita ini, yang tak sempat disingkirkan karena presiden pertama keburu ditumbangkan. Lihatlah, sekarang, di samping setan kapitalis birokat, muncul pula setan banggarong. Mereka pesta-pora, gentayangan bermobil mewah meraung-raung suka-suka di Senayan sana. Pernah di antara mereka, suatu ketika, melintas di jalan bebas hambatan. Sudah tak bayar tol, menebas nyawa orang pula. Rajamlah mereka dengan batu-batumu itu. Rajamlah, sayangku….” ”Kang Mas…,” istriku manis berbisik, semanis tiga puluh tahun yang lalu. Seruan azan mengguntur ke langit. Dia mengecup tanganku. (Untuk Trikoyo Tri Ramidjo, dari siapa ilham kisah ini bermula)
""Batu-Asah dari Benua Australia""
Turun dari pesawat kami harus jalan darat, dan tiba sudah sangat larut malam. Ada beberapa penjemput, dan kudengar Melani bertanya ke para penjemput itu, “Apakah Bapak Uskup sudah tidur?” Pertanyaan bodoh pikirku, tetapi aku hanya berjalan seperti zombie menuju mobil jemputan. Aku tidak tahu pasti apakah bisa tersenyum kepada para penjemput yang menyalami kami itu, atau wajahku juga mirip dengan wajah zombie. Maka setiba di wisma tamu aku langsung mandi dan tidur. Aku masukkan seluruh diriku ke dalam kantung tidur, dan selanjutnya rohku terbang sampai ke langit tujuh, lalu terjun sampai ke palung yang paling dalam, lubuk yang paling hangat di perut bumi. Tahu-tahu hari sudah pagi. Bahkan sudah sangat siang. Semua sibuk dan ribut. Orang-orang itu juga meributkan, karena kata mereka, Melani tidur di kamarku. “Lalu ada apa?” tanyaku kepada orang-orang itu. Sambil tertawa-tawa mereka mengatakan, “Ya tidak kenapa-kenapa!” Maka siang itu pun kami berlatih dengan sangat serius sebab kata mereka pertunjukan akan berlangsung dua hari lagi. Aku bilang ke mereka, “Ini bukan pertunjukan, ini permainan pendengaran.” Mereka bingung tetapi segera mengatakan, “Ya benar juga ya Bapak? Bapak kan hanya akan duduk-duduk saja ketika memainkan alat-alat itu?” Meskipun kami hanya latihan, setiap kali selesai satu permainan, para penonton yang hanya beberapa orang itu memberikan aplaus berupa tepuk tangan. Ya, aku sadar ini kan kota kecil. Ini kota yang sangat kecil. Bapak Uskup itu ternyata muda, gagah, tampan dan sangat ramah, bahkan egaliter. Dia memanggil saya dengan sebutan “Bung”. Saya tentu tetap memanggilnya dengan Bapak Uskup, kadangkala dengan Monsinyur. “Ini tadi Bung sudah makankah?” Saya menjawab, “Sudah Bapak Uskup. Kami makan enak sekali. Ikan, katanya hasil tangkapan dari sungai, dan sayur bunga pepaya. Tapi mengapa di sini juga ada tempe, Monsinyur?” Bapak Uskup itu tertawa berderai. “Wah, Bung ini bagaimana? Di sini kan banyak sekali transmigran dari Jawa, dari Yogya, dari Bali, ya merekalah yang memperkenalkan tempe ke orang-orang sini. Jadi Anda keberatan kalau acara kita ini nanti disebut pertunjukan?” *** Melani menjelaskan, bahwa sebenarnya biaya yang digunakan untuk mendatangkan rombongan, mengangkut alat-alat dari Jakarta, dan tetek bengek lainnya, andaikan dipakai untuk membangun sekolah, atau memberi beasiswa ke anak-anak berbakat, akan lebih bermanfaat bagi masyarakat. Dan yang akan mereka lihat hanyalah tangan yang memetik-metik, memukul-mukul, memencet-mencet, mulut yang meniup-niup, selebihnya mereka hanya akan mendengar teror bunyi. “Juga membetot, dan menggesek bukan?” Tanya Bapak Uskup itu, dan Melani mengangguk mengiyakan. “Benar Bapak Uskup, juga membetot dan menggesek.” Maka, seharusnya mereka cukup tidur-tiduran di rumah masing-masing, atau duduk-duduk mengitari perapian sambil makan ubi bakar, lalu bunyi-bunyian itu diperdengarkan ke telinga mereka. Itu lebih dari cukup. Mereka tentu akan sangat berterima kasih, andaikan uang untuk menerbangkan kami ini, diserahkan ke mereka guna membeli babi, atau untuk jajan bir dan wisky. “Ya itulah yang terkenal sampai di luaran sana.” Kata Bapak Uskup sambil manggut-manggut, menangkap apa yang disampaikan Melani. “Etnis yang tak punya tradisi memfermentasi karbohidrat, atau gula menjadi alkohol, ketika mengenal jenis minuman ini memang akan ketagihan. Beda dengan etnis yang punya keahlian membuatnya.” Panggung sudah didirikan entah berapa minggu yang lalu. Lampu sorot, sound system, dan generator sekian puluh ribu KVA digotong dari bawah sana. Berdrum-drum solar juga didatangkan, babi dipotong, sagu ditebang, semua siaga satu. “Apakah tadi Bung ikut bakar batu?” Sayang sekali. Saking capeknya aku ketiduran di kursi, dan tak ada seorang pun yang berani membangunkanku. Melani pun, yang biasanya teliti, kali ini teledor. Sayang sekali. Upacara bakar batu itu sangat penting. Bukan soal makannya, melainkan guyubnya itu lho! Seakan ada energi yang turun dari langit sana. Itu semua memang energi matahari: daging babi, ubi jalar, sayuran, semua hasil fotisintesis dari energi matahari. Lalu api untuk membakar batu itu juga berasal dari kayu dan serasah hasil fotosintesis energi matahari. Di kejauhan saya melihat Bapak Uskup itu berbicara serius sekali dengan Melani, lalu mereka berdua menunjuk-nunjuk ke arah tertentu. Lalu mereka berbicara serius lagi, lalu beberapa orang datang membagi-bagikan bungkusan. “Ini rompi harus Bapak kenakan! Ini perintah Bapak Uskup. Kalau tidak pakai ini rompi, bisa mati kena peluru OPM.” Aku kaget, “Apakah di sini ada OPM?” Orang itu tetap menjawab dengan sangat serius. “Kata Bapak Uskup, kami semua OPM. Bapak Uskup juga OPM. Kami Orang Papua yang Merdeka. Itu kata Bapak Uskup. Kami tidak tahu apa maksud Bapak Uskup. Tetapi ini rompi harus Bapak Pakai. Maka aku pun mengenakan rompi itu, dan ya ampun! Berat sekali ternyata! Ini rompi dari bahan apa kok beratnya seperti ini? *** Saya bertanya ke Melani, mengapa pada malam pertama itu ia tidur di kamar saya. Saya sama sekali tidak tahu, sebab begitu memasukkan badan ke kantung tidur langsung terlelap. Kebiasaan saya tidak pernah mengunci pintu kamar. Ketika pagi-pagi bangun, saya memang melihat Melani ada di kamar, tetapi saya mengira ia masuk pagi itu untuk sesuatu yang harus ia persiapkan. Ternyata Melani memelototi saya, “Kalau tidak masuk ke kamar ini, dan mengunci pintu dari dalam, saya sudah digilir tiga bapak-bapak yang sangat kekar.” Pasti. Kata Bapak Uskup, mereka pasti mabok. Sudahlah, kita memang terpaksa harus melupakan apa saja yang sebaiknya kita lupakan. Sambil terus mengingat-ingat apa saja yang seharusnya kita ingat-ingat dengan sangat cermat. Kamu masih ingat kan Melani, ini bukan Jakarta. Maka kita semua harus ekstra hati-hati. Maka apakah kamu sudah memakai rompi? Aku yakin tubuh Melani yang kecil itu akan jadi lucu kalau harus diberi rompi, lalu ia harus memakai blus, atau apa saja di bagian luarnya. Jangan-jangan ia tidak mau mengenakan rompi itu? Seharusnya kita memang mengenakan sesuatu yang penting, dan mendesak untuk kita kenakan. Maka saya minta izin kepada Bapak Uskup, apakah dalam pertunjukan ini nanti boleh mengenakan kain sarung? Bapak Uskup menggeleng-gelengkan kepala, tetapi seraya menjawab, “Untuk Bung, apa sih yang tidak diperbolehkan? Andaikan Bung minta izin untuk pakai koteka pun aku harus kasih izin. Silakan, monggo. Ya, aku memang Flores. tepatnya Manggarai, tetapi ngomong Jawa iso. Kromo inggil sekedik-sekedik! Lha wong Seminari Tinggi saya di Kentungan kok!” “Tapi saya akan menjawab kritikan anak buah Bung itu. Ya, Bu Melani itu. Keuskupan membiayai penerbangan sekian banyak orang dari Jakarta, memang benar. Tetapi saya akan cerita yang lain. Dulu para mahasiswa di sini pernah usul agar saya mendatangkan seniman besar nasional kemari. Kebetulan saya pribadi kenal baik dengan beliau, maka langsung saya hubungi. Di luar dugaan beliau minta dibayar seratus juta. Lha saya bilang keuskupan tidak punya uang sebanyak itu. E, beliau enak saja bilang bahwa saya bisa minta ke Freeport. Saya juga langsung bilang bahwa saya ini uskup, bukan peminta-minta. Tampaknya beliau agak tersinggung saya jawab begitu, dan itu semua saya sampaikan ke para mahasiswa.” Baiklah, semua sudah sangat jelas. Tak akan ada pertunjukan. Mereka hanya akan menyaksikan orang duduk-duduk, satu dua memang akan ada yang berdiri di panggung, lalu semua akan mengoperasikan tangan-tangan mereka, hingga alat-alat mahal yang diangkut dari Jakarta itu akan mengeluarkan bunyi-bunyian. Bunyi alat-alat itu memang tidak ada yang seperti teriakan perang, suara burung, atau jerit babi yang ditusuk aortanya sebelum dipotong-potong dan dipanggang. Mengapa bunyi-bunyian itu perlu diperdengarkan ke mereka? Semua hanya sebuah konsensus. Tapi sejak awal, saya hanya mengira bahwa yang akan terjadi hanyalah basa-basi. Para undangan akan berpura-pura mengapresiasi dengan tepuk tangan. Itu gampang sekali sebab cara bertepuk tangan sudah diajarkan sejak anak-anak, oleh para ibu guru TK. *** Kadangkala aku juga agak kikuk ketika ada bapak-bapak atau ibu-ibu memanggil saya dengan sebutan Romo. Itu kan sebutan untuk pastor, padahal saya ini bukan pastor. Sulit sekali menjelaskan hal ini, tetapi tetap harus dijelaskan dengan sejelas-jelasnya. Melani sangat bisa diandalkan dalam hal ini, hingga tahu-tahu semua sudah sangat rapi. Aparat pemerintah berjajar rapi di kursi kehormatan deretan paling depan. Di depan meja mereka ada minuman air dalam botol plastik, ada juga buah impor. Mereka duduk menghadap panggung, dan kuping mereka sudah terpasang di kiri maupun di kanan. Hanya kadangkala kuping kanan mereka, mereka paksa untuk mendengar suara dari sebuah kotak kecil gepeng berwarna hitam, dengan tombol-tombol banyak sekali. Rakyat juga sudah siap untuk menyaksikan para pejabat itu bertepuk tangan, dan itu adalah komando bahwa mereka juga wajib ikut bertepuk tangan. Tepuk tangan mereka juga harus sopan, lalu bisa dihentikan serentak ketika tiba saatnya untuk berhenti, tanpa perlu diberi aba-aba secara resmi. Teratak yang dibangun darurat itu cukup kokoh, beratapkan daun sagu, dan setelah pidato-pidato, setelah sambutan-sambutan, rombongan dari Jakarta itu pun lalu memperdengarkan bunyi-bunyian dari peralatan yang mereka bawa. Begitu alat-alat itu dibunyikan, serentak para undangan bertepuk tangan, dan segera disusul oleh rakyat yang juga bertepuk tangan ramai sekali. Tapi biarkan saja. Drum, gitar, piano, bas, apalagi? Tepuk tangan itu juga sangat keras. Lampu sorot itu bukan hanya terang tetapi juga panas hingga tubuh yang di panggung menjadi gerah dan berkeringat. Tapi ketika lampu sorot itu padam, juga lampu-lampu yang lain, maka kedengaran jerit ramai sekali. Ketika lama sekali lampu tidak kunjung menyala, semua bertanya-tanya. Ketika kedengaran suara tembakan maka yang kupikirkan apakah Melani sudah benar-benar mengenakan rompinya? Lho, apakah ia juga mendapatkan jatah rompi? Jangan-jangan hanya aku seorang yang diberi rompi. Beberapa orang lalu menyorotkan lampu senter. Lalu ada tembakan lagi. Lalu aparat kepolisian menjadi sangat sibuk. Itulah, tak ada yang bisa dipertunjukkan. Semua gelap, tapi tetap ada yang bisa diperdengarkan: jeritan, tembakan, dan suara yang gaduh. Sorong, 2011
""Pertunjukan""
Laut tak sedang mendamparkan perahu Nuh ke kampung yang karena terlalu sunyi lebih mirip hiu tidur itu. Laut—dalam ketenangan musim kemarau—juga tidak sedang menebarkan kolera busuk ke tanjung tenang berpenghuni orang-orang yang teramat karib dengan lapar dan kemiskinan. Tetapi memang ada sembilan perahu yang merapat ke ujung tanjung tak jauh dari makam keramat. Sembilan perahu itu mengusung sembilan celeng milik Jamuri, juragan dari kota, yang dikawal oleh sembilan cempiang atau jagoan berseragam loreng-loreng. Tentu tak ada seorang pun di kampung itu yang ingin beternak celeng. Tak juga tetua kampung, Kiai Siti. Apalagi Panglima Langit Abu Jenar, pemeluk teguh syariat, yang sangat mengharamkan binatang bertaring yang menjijikkan itu. Jamuri sangat tahu hutan bakau ini bukan habitat bagi babi-babi liar. Akan tetapi, ia harus menernakkan satwa 200 kilogram itu di hutan ini karena tak mungkin membiakkan hewan bermoncong panjang ini di kota. Ada banyak alasan yang menyebabkan orang kota menolak pembiakan celeng di kawasan yang kini dipadati oleh mal dan gedung-gedung yang hendak menusuk langit itu. Mungkin saja, mereka tidak menyukai hewan yang bisa mencapai panjang hingga 1,8 meter ini karena tidak mau berurusan dengan sengatan bau yang menusuk hidung. Atau mereka menolak berdekatan dengan celeng karena satwa itu dianggap sebagai simbol kerakusan dan keserakahan. Namun, sesungguhnya mereka mengusir para celeng dari kota karena tak mau diseruduk oleh binatang digdaya itu. Jika mereka sampai diseruduk oleh hewan-hewan itu, ada semacam virus yang segera menyerang otak dan menyebabkan mereka merasa telah berubah menjadi celeng. *** Semua itu bermula dari Ustad Rosyid, seorang yang dianggap paling suci di kota, pingsan setelah diseruduk celeng yang terlepas dari pusat pembiakan babi liar. Ketika siuman, dia menguik-nguik dan menyeruduk apa pun yang berada di sekitar. Kegemparan itu tentu saja menyebabkan orang-orang yang hendak shalat magrib di masjid kaget. Mereka terkejut bukan sekadar mendengar suara celeng dari mulut Ustad Rosyid, tetapi lelaki kencana itu bertingkah seperti babi liar. Ia mbrangkang dan siap menyeruduk jemaah shalat magrib. Tak pelak jemaah pun buyar. Mereka berlari ketakutan karena Ustad Rosyid benar-benar bertabiat seperti babi gila. Sebenarnya tidak akan ada persoalan apa pun jika Ustad Rosyid tak menggigit salah seorang yang paling ringkih. Sebab begitu tergigit, sang korban tiba-tiba juga bertingkah serupa Ustad Rosyid. Ia bertabiat seperti babi liar. Ia juga berusaha menyeruduk siapa pun. Ia juga menggigit orang lain. Begitu seterusnya hingga ada sembilan orang yang bertingkah seperti celeng. ”Edan! Ini jelas virus sableng. Bagaimana mungkin dalam sekejap sembilan orang bertingkah seperti celeng?” kata seorang dokter. Tak ada waktu untuk menjawab pertanyaan itu. Wali Kota lebih memilih menangkap sembilan orang yang kerasukan virus celeng itu dan menjebloskan ke rumah sakit jiwa. ”Hanya orang waras yang boleh tinggal di kota ini!” Tak hanya itu. Sejak itu, Wali Kota juga melarang pembiakan celeng atau babi liar di kota. Spanduk, baliho, dan poster bertuliskan ”Dilarang memelihara celeng!” serta ”Bunuh seluruh celeng!” dipasang di mana-mana. Akan tetapi Jamuri, pemilik pembiakan babi liar, tak tinggal diam. Merasa harus menyelamatkan celeng dari amuk manusia, dia berusaha mencari lahan yang masih memungkinkan dijadikan sebagai daerah hidup binatang-binatang itu. Tak ada tempat lain, dia akhirnya menemukan tanah kosong di ujung tanjung. Karena itu, setelah membeli tanah dari Lurah Lantip—yang menyerobot tanah milik sebagian warga yang terusir ke tanah relokasi—Jamuri langsung mengusung tujuh celeng betina dan dua celeng jantan ke tanah yang sangat diberkahi oleh Allah ini. Tetapi menggiring sembilan celeng ke ujung tanjung dan melintasi hutan bakau pada senja yang amis bukan perkara mudah. Jamuri dan para cempiang harus berjuang keras menghalau celeng agar tidak berlarian ke laut. Apalagi karena satwa-satwa asing itu jadi tontonan gadis kencur Kufah dan anak-anak kecil lain, perjalanan ke kandang agak terhambat. Dan karena anak-anak kecil itu belum pernah melihat celeng, tak terhindarkan mereka ingin mengelus punggung atau sekadar memegang buntut. Ini membuat para cempiang dan Jamuri marah. Bukan hanya itu. Karena sebagian celeng betina itu sedang bunting, mereka merasa terganggu ketika anak-anak berusaha memegang perut dan puting. Tak pelak celeng-celeng itu pun mengasah taring dan menyeruduk anak-anak. Dengan spontan anak-anak berlari. Dengan spontan pula celeng-celeng mengejar mereka. ”Minggir! Minggir! Kalian bisa mampus kalau keseruduk!” teriak para cempiang hampir bersamaan. Tetapi dasar anak-anak, tak satu pun yang mau menyingkir. Mereka malah ikut-ikutan menghalau para celeng dan mencoba membantu menggiring ke kandang. Anak-anak itu bersorak-sorak karena merasa mendapatkan mainan baru. Dalam bayangan mereka, sepanjang hari mereka akan bermain seruduk-kejar dengan celeng-celeng itu. Kufah, misalnya, berharap bisa menunggang celeng-celeng ini, membelai taring-taringnya, dan sesekali memandikan hewan yang dia anggap lucu setengah mati itu. Jika diperbolehkan oleh Kiai Siti, dia bahkan rela tidur bersama celeng-celeng itu di kandang. Malah, Kufah juga yakin tepat tengah malam di kedua bahu celeng itu akan tumbuh sayap sehingga dia dan anak-anak kecil lain bisa menunggang celeng terbang mengelilingi hutan bakau dan mengajak bangau-bangau di kampung itu berkejaran di langit dalam cahaya bulan. Ya, ya, di mata anak-anak, celeng adalah satwa kencana. Mainan yang indah dan sahabat tak terpisahkan. Dalam mimpi mereka, celeng-celeng itu adalah raja imut yang sama sekali tidak akan pernah menusukkan taring kepada satwa lunak bernama manusia. ”Kita sungguh-sungguh telah kedatangan hewan dari surga,” kata Kufah kepada anak-anak kecil lain. *** Hanya, celeng-celeng itu bukan mainan untuk orang dewasa. Ketika seorang warga tahu dan mengabarkan betapa kampung mereka telah diserbu satwa-satwa bermoncong penuh lendir, terjadi kegemparan. ”Ini pasti hewan dari neraka!” bisik seseorang yang sebelumnya tidak pernah melihat celeng kepada Kiai Siti. Tak ada reaksi yang berlebihan dari kiai santun ini. Dia justru bergegas ke masjid dan meminta warga segera menjalankan shalat magrib. Kiai Siti—yang telah berkali-kali melihat celeng dan tahu daging satwa itu haram jika dimakan—sebenarnya punya alasan untuk marah. Namun, dia memilih setelah shalat isya saja akan bertemu dengan Jamuri untuk membicarakan celeng-celeng itu. ”Allah tentu punya maksud mengapa Dia mengirim celeng-celeng itu ke sini…,” batin Kiai Siti. Akan tetapi Rajab, pemuda pemberang yang pernah sekolah di Kota Wali, tak sabar menunggu shalat isya tiba. Menunda shalat magrib dia mengajak beberapa warga melabrak Jamuri. Rajab—karena telah membaca begitu banyak buku perihal celeng—tak ingin kampung yang sangat dia cintai menjadi pemasok hewan yang dianggap sebagai paling rakus, suka mencuri, gemar kawin, dan selalu berisik itu. Dan lebih dari itu, Rajab tak ingin kampung di ujung tanjung ini, menjadi tempat pembiakan celeng. Dia khawatir celeng-celeng itu mendengus-dengus merapalkan semacam mantra pembunuh dan tepat tengah malam satwa-satwa yang telah kerasukan ratusan iblis itu akan menyeruduk seluruh warga dan tak memberi kesempatan mereka untuk mendengarkan lagi keributan kicau bangau dan gesekan daun-daun bakau dengan angin amis yang risau…. Jamuri tak tinggal diam. Dengan mengacung-acungkan parang, ia mengajak sembilan cempiang berbaju loreng meladeni perlawanan Rajab. Perkelahian pun tak terelakkan. Rajab dan warga yang tak bersenjata dengan cepat terusir. Meskipun terjadi adu pukul, magrib berlalu tanpa pertumpahan darah. Magrib berlalu dalam koor nguik sembilan celeng dan sorak-sorai cempiang berbaju loreng. *** ”Celeng-celeng itu akan mati kalau Allah tak menghendaki!” kata Kiai Siti sesaat setelah Rajab melaporkan segala yang dia alami kepada tetua kampung yang hampir-hampir tak pernah marah itu di masjid. ”Tetapi kita tetap saja harus menolak Jamuri membiakkan celeng di sini, Kiai. Di kota telah berkembang wabah celeng loreng. Siapa pun yang diseruduk celeng akan bertabiat seperti babi liar.” ”Kalau Allah tak menghendaki wabah itu datang, kampung kita akan aman….” Rajab tentu saja tak terima mendengar penjelasan Kiai Siti. Ia mengira Kiai Siti telah disuap Jamuri sehingga berkesan membiarkan pembangunan pusat pembiakan celeng di kampung yang riuh oleh lantunan shalawat dan zikir itu. Karena itu tanpa permisi dan tak jadi shalat isya, Rajab meninggalkan Kiai Siti. Pemberang yang khatam syariat agama dari Kota Wali ini berusaha mencari cara mengusir para celeng, cempiang, dan Jamuri dari tanah yang dia anggap paling suci ini. *** ”Kiai Siti telah jadi celeng! Ia tak layak jadi panutan kita lagi!” bisik Rajab kepada hampir semua laki-laki di kampung, suatu hari. Dan, masya Allah, tak seorang pun merasa perlu menyangkal omongan Rajab. Mereka menyangka wabah yang mendera Ustad Rosyid—sebagaimana diceritakan Rajab pada penduduk—juga telah menyerang Kiai Siti. ”Jamuri ternyata juga celeng. Semalam aku melihat ia berubah jadi celeng. Mula-mula ia merangkak ke arahku…, kemudian mulutnya memanjang berubah jadi moncong berlendir yang menjijikkan…, dan tumbuh pula sepasang taring yang siap menghunjam perut siapa pun…,” Rajab berbisik dengan mulut yang lebih berbusa lagi. Dan, masya Allah, tak seorang pun berhasrat mendebat perkataan sang pemberang yang merasa sedang melakukan pekerjaan agung untuk menyelamatkan kampung. ”Jadi tak ada alasan apa pun kita harus menyingkirkan Kiai Siti dan Jamuri. Kita harus mengenyahkan celeng-celeng itu dari kampung ini… Ambil parang, celurit, linggis, bambu runcing, atau apa pun…. Kita serang mereka malam ini juga….” Lalu malam itu juga Rajab membayangkan diri menjadi Hamzah (panglima perang pasukan Nabi Muhammad dalam Perang Uhud) yang mengomando pertempuran sengit melawan kemungkaran. Dengan bengis dia akan segera menghunjamkan linggis ke perut celeng-celeng itu… dengan bengis dia akan memburaikan usus hewan-hewan menjijikkan itu. Sayang, pada saat sama Jamuri juga ingin menyingkirkan Rajab. Jamuri juga sudah menyusun strategi untuk menghilangkan sang pemberang dari kampung. Jamuri menjebak dan Rajab tak tahu sembilan celeng yang dikawal oleh sembilan cempiang telah mengepungnya malam itu. Mereka bersiap-siap menyeruduk dan menancapkan taring ganas ke tubuh rapuh Rajab yang tak berpelindung apa-apa itu. Dengan menyeruduk laki-laki pemberang, mereka ingin Rajab menjadi celeng pertama yang berasal dari kampung penuh harum zikir dan shalawat di kampung itu…. Semarang 4 September 2011 Catatan: Judul cerpen ini merupakan akronim dari celeng satu celeng semua. Ungkapan ini bertolak dari pergelaran wayang Ki Manteb Soedharsono berkolaborasi dengan Romo Sindhunata, Lengji Lengbeh (Celeng Siji Celeng Kabeh).
""Lengtu Lengmua""
Ataukah kau sudah menduganya, dan membayangkan dari kejauhan seluruh ketololan yang kulakukan ini, menertawai masa lalumu bersama seorang lelaki yang tak pernah bisa lepas dari kenangan? Menjelang berangkat aku bangun sebelum cahaya kemerahan merekah di timur. Kubuka jendela kamar agar angin pagi menyegarkan ruangan kamar dan menahan mataku dari serangan kantuk. Kegelapan yang perlahan menghilang di luar rumah sungguh menggetarkan. Aku seolah terkurung dua makhluk mengerikan, di depan dan di belakang. Telinga dan benakku masih memperdengarkan gemuruh teriakan-teriakan demonstrasi, rentetan tembakan dari senapan tentara, dan tubuh teman-temanku yang roboh oleh peluru karet atau peluru sungguhan. Mungkin aku masih mengalami halusinasi berkepanjangan akibat peristiwa tiga belas tahun lalu itu. Untuk menutupi rasa pedih kehilanganmu dan teror masa lalu itu, kunyanyikan lagu masa kanak-kanakku, ”Di Timur Matahari”. Di sekolah dasar, aku sangat menyukai lagu itu. Lima belas tahun kemudian aku dan teman-temanku kembali menyanyikannya setiap kali kami berdemonstrasi di bawah ancaman moncong senjata. Ingatkah engkau kalau di masa-masa awal demonstrasi itu kita bertemu, saat orang-orang berseragam itu menghalau demonstran dan kau yang sedang dalam perjalanan pulang dari kampus hampir saja dipukul oleh mereka? Lengan kananku memar akibat menangkis pemukul mereka. Sedangkan kau, yang terus gemetar tanpa bisa mengeluarkan sepatah kata pun, membiarkan tubuhmu terseret tangan kiriku yang mencari jalan di tengah kekacauan itu. Tak kusangka kalau ternyata dirimulah orang yang gantian menyelamatkan aku ketika kaki tangan penguasa tua itu hendak menghabisiku lewat daftar mahasiswa yang harus diamankan begitu demonstrasi tak bisa lagi dikendalikan oleh ancaman senapan. Kau akan bangkit dari ilusimu, Sayangku. Semuanya telah selesai. Tak ada lagi orang yang akan menculikmu. Aku ingin kembali mendengarmu bercerita tentang film-film yang kau tonton atau melihatmu berlatih menulis skenario film. Paling tidak kita bisa menyusuri pantai di sore hari sampai lewat senja. Bukankah di pantai itu kau sering berkata bahwa esok, begitu matahari terbit, kau akan berjalan ke timur menyambut matahari baru? *** Gerbong kereta ini memang membawaku ke arah timur, namun bukan menyongsong matahari. Ia menyongsong kotamu–ataukah menyongsong masa laluku? Di kereta aku benar-benar merasa menjadi orang lain. Sebagian di antara mereka adalah para pekerja kantor dan mahasiswa; hanya satu-dua yang berpakaian lusuh. Sementara aku, dengan celana jeans dan berkaus, memeluk tas ransel, tenggelam dalam pemandangan sawah di sebelah kiriku, deretan rumah-rumah penduduk yang berlarian ke belakang, gunung yang tak pernah bergeser dari tempatnya, dan kabut misterius yang menyelimutinya. Di tengah deretan penumpang anonim ini, sering kubayangkan dirimu terselip di sebuah bangku di sudut dekat sambungan gerbong, menatap kabut pagi yang masih mengambang dan bayangan gunung berwarna biru kelabu. Kau menatapku terkejut, sementara aku segera menyongsongmu dengan pertanyaan-pertanyaan konyol: Kenapa kau sendirian saja di situ? Ke mana saja kau selama ini? Apakah kau juga akan pulang kembali ke kotamu? Kenapa kau tak memanggil dan memintaku duduk di sampingmu? Bukankah setiap kita melakukan perjalanan dengan kereta kau selalu memintaku bercerita tentang rapat-rapat rahasia, para pengkhianat yang menukar perjuangan teman-temanku dengan keselamatan nyawa mereka, orang-orang yang selalu membuntuti ke mana aku pergi, dan kenapa kita bisa saling jatuh cinta sebegitu dahsyatnya di tengah ketidakmenentuan itu? Semua ketololan ini hanya bisa dilakukan oleh seorang lelaki pengkhayal yang tak lagi memercayai hari esok. Bagaimana tidak, dalam satu tahun hampir setiap bulan aku melakukan perjalanan bolak-balik selama dua setengah jam, hanya untuk mencari sesuatu yang tak bisa kutemukan sampai kapan pun. *** Apakah aku harus berbohong pada diriku sendiri bahwa aku tak bisa melupakanmu, bahwa bayanganmu selalu mengikuti setiap adegan dalam film yang kutonton, bahwa tatapan matamu yang teduh bermain di antara halaman buku yang sedang kubaca? Bertahun-tahun setelah kau pergi, setelah demonstrasi mahasiswa yang heroik itu telah berlalu, setelah kusaksikan tumbangnya harapan-harapanku pada negeri ini, aku berpikir bagaimana akan kutulis skenario film tentang perjalanan kereta sepanjang dua setengah jam ini, kegelisahanku di dalam gerbong kereta dan para penumpang yang masih diterkam hawa kantuk luar biasa sekalipun tubuh mereka telah bersih dan wangi. Sungguh, aku membayangkannya sebagai sebuah film dengan bagian awal seorang laki-laki yang berlarian tergesa ke loket stasiun karena kereta hampir berangkat. Kakinya hampir terpeleset ketika memasuki gerbong yang mulai bergerak perlahan. Perjalanan demi perjalanan tanpa suara. Hanya gerakan mata, langkah kaki, dan lanskap-lanskap yang berbicara dengan bahasa mereka sendiri. Begitu turun dari kereta dan menjejakkan kaki di stasiun kotamu, mata lelaki itu akan bergerak memutari seluruh stasiun, menatap ratusan orang yang bergegas ke pintu keluar, para petugas kereta api yang sibuk, para calon penumpang yang sedang menunggu pemberangkatan dan para pengemis yang mulai berkeliaran di antara para penumpang. *** Kau tentu belum lupa undak-undakan yang biasanya dilewati para penumpang begitu turun dari kereta itu bukan? Di situlah terakhir kali kita duduk berdua dengan tubuh berimpitan pada suatu sore, satu tahun setelah aku keluar dari klinik rehabilitasi jiwa, ketika suara-suara mengancam dalam benakku mulai mereda. Rasa-rasanya saat itu kita sedang memainkan adegan film menyedihkan senja itu. Seorang perempuan dengan mata bening dan pipi cembung, mulut kecil dan bibir tipis, tengah berada di simpang jalan perpisahan dengan seorang lelaki bodoh yang telah kehilangan banyak harapan pada kehidupan yang diarunginya. Aku membelai rambutmu yang panjang, menghapus air matamu dengan penuh kelembutan, sampai-sampai tak sadar bahwa kita telah menjadi tontonan orang-orang di dalam stasiun. ”Setelah ini mungkin kita tak bisa lagi bertemu. Ayahku tak pernah bisa memaafkanmu atas apa yang telah kau lakukan bersama teman- temanmu. Ia menganggap dirimu dan teman-temanmu adalah perusuh dan generasi tak tahu diri,” katamu sembari memandang lekat ke dalam kedua biji mataku. ”Kau tak mau mengambil pilihan lain?” ”Aku tak bisa meninggalkan ayahku. Kalau aku memilihmu, dia akan mengambil pilihan yang mungkin membuatku menyesal seumur hidup,” ujarmu dengan tenggorokan turun-naik. Kini, bertahun-tahun setelah peristiwa itu lewat, aku tak bisa membedakan apakah kita sedang berpura-pura memerankan sebuah adegan menyedihkan dalam film ataukah tengah mengalami sesuatu yang benar-benar nyata, sebuah mimpi buruk yang tengah bersiap menerkam kedamaian hidupku. Warna langit sore begitu lembut, dan angin tajam yang menyisir kulitku saat itu seperti mengiris kenyataan pahit dan menghidangkannya padaku. Apakah hidup harus sepahit dan sesunyi ini? Masih kuingat jelas pesan ayahmu lewat telepon genggamku yang ia kirimkan tanpa sepengetahuanmu. ’Aku tak sudi memiliki menantu pemberontak dan berjiwa rusak sepertimu. Jauhi anakku, tak layak keluarga kami memiliki menantu yang mengidap sakit jiwa sepertimu!’ Dan kau, di ujung percakapan di undak-undakan lantai stasiun itu, memelukku untuk terakhir kalinya, sebelum kereta berangkat ke kotaku. ”Aku juga berlaku bodoh karena mencintaimu,” katamu. *** Kini, begitu kakiku telah menyentuh stasiun kereta di kotamu, semua peristiwa yang mengikat kita berdua di masa lalu seperti hadir kembali dengan warna yang baru. Keluar dari stasiun kereta, aku menatap wajah kotamu yang sangat sibuk, ragu apakah harus berjalan kaki atau naik bis kota. ”Kau selalu tak bisa menikmati waktu setiap naik bis kota. Lebih baik jalan kaki daripada melihatmu selalu resah di dalam bis,” katamu setiap kali kita turun dari kereta dan akan naik bis. Ingatan akan ucapanmu itu membuatku berjalan kaki menyusuri trotoar jalanan. Langkah kakiku terhenti di benteng tua yang selalu kita singgahi setiap kali mengantarmu pulang ke rumah. Di salah satu ruangan benteng itu, di bagian yang paling gelap, aku pernah berteriak seperti orang gila menyebutkan namamu. Kau tertawa dalam kegelapan dan aku menikmati sensasi tawamu. Mataku benar-benar tak bisa melihatmu ketika tiba-tiba dari balik kegelapan kau memelukku erat-erat dan membisikkan kata-kata yang menenteramkan hatiku. Untuk inikah aku melakukan perjalanan tolol yang tak pernah kau ketahui? Lihatlah taman kota yang penuh pohon beringin itu, undak-undakan yang ada di tengahnya, rumput hijau yang menutupi tanahnya, dan sinar matahari yang menyirami rerumputan dan seluruh pepohonan rindangnya. Ada sebuah bangku kecil dari kayu di tengah taman kota itu, tempat kita duduk dan menghabiskan sore hari ketika anak-anak kecil banyak berkeliaran di sini. Pernah kau bertanya padaku apakah aku akan suka punya banyak anak, dan aku menggelengkan kepala keras-keras. ”Aku tak mau diributi oleh teriakan dan tangisan mereka. Aku hanya ingin satu anak perempuan yang manis, berambut ikal dan berpipi cembung sepertimu!” ”Kau bodoh. Punya anak banyak sangat menyenangkan. Aku akan melahirkan banyak anak nanti, biar kau tak sempat menonton film atau membaca buku!” katamu sambil tertawa. Taman kota ini, seperti halnya benteng tua, bioskop besar di pusat kota yang selalu kumaki karena kegelapannya menakutkanku, gedung kampus dengan bangunan tinggi yang tersebar seperti raksasa-raksasa bisu pada malam hari, dan sebuah kedai kopi yang tutup sampai larut malam di pinggiran kotamu, masih menyimpan aroma kayu putih dan bedak bayi yang sering kau pakai. Bahkan ketika kusentuh bangku kayu kecil di taman ini, perasaan melayang yang sama dengan mengisap aroma kayu putih di lehermu itu masih jelas dalam benakku. Aku selalu kehilangan diriku di saat seperti itu, melebur dalam sesuatu yang tak kupahami, sesuatu yang luas dan tak bisa kukendalikan. Hanya suara lirihmu, serupa rintihan lembut di ujung senja ketika aku masih kanak-kanak dan ibuku menyuruhku pulang ke rumah, yang menghadirkan diriku kembali ke dunia dan mendapati kau tengah menatapku dengan tatapan asing. ”Kau masih seperti anak kecil, bodoh,” katamu dengan senyum berbinar. Sampai di depan bekas rumahmu, getaran perih itu tak pernah berkurang sedikit pun. Setelah bertahun-tahun kau tak di situ, tak ada yang berubah dari rumah itu. Sebuah rumah tua, dengan pintu kayu berukir, jendela-jendela panjang dan agak tinggi dengan jeruji kayu di baliknya, beranda dengan hiasan lampu tua, dan pagar kayu yang mengelilinginya. Sebuah taman kecil, penuh anggrek yang tertempel di pohon mangga serta kembang sepatu merah masih terpelihara dengan baik. Kemurungan ganjil mengalir tak terbendung dalam diriku, melahirkan rasa sesal tak berkesudahan. Apakah manusia bisa terlepas dari kenangan? Apakah orang yang terjerumus dalam kenangan tak akan mampu memiliki impian tentang masa depan yang terbebas dari masa lalunya? Lalu untuk apa aku harus menjalani hari-hari seperti ini? Sepanjang perjalanan pulang kembali, aku selalu memikirkan pertanyaan-pertanyaan itu.
""Renjana""
Sudah hampir sepuluh tahun Ambe terbaring di dalam erong, seolah menanti upacara rambu solo yang tak kunjung dilaksanakan oleh sanak keluarga. Sebab, tak ada dana atau belum dan jauh dari mencukupi walau kami tengah mengupayakannya. Hingga hari ini. Pagi tak lagi halimun. Kulihat Indo sedang sarapan dengan Ambe yang masih sakit, terbujur kaku di dalam peti mati itu. Nyawanya menjelma arwah, tapi tetap tinggal kendati tidak menyatu dengan jasad. Menderitakah ia menjadi bombo? ”Selamat pagi, Ambe. Aku mau berangkat.” Cahaya matahari, yang bangkit menembus celah dinding di sumbung, menimpa tubuh Ambe yang susut dan pakaian kebesarannya tampak berdebu. ”Hati-hati, Anakku. Semoga dalle-mu hari ini berkah. Berkat dari langit.” Jawaban Indo seperti doa. Sering kulihat rona wajahnya tak ada duka meski ia sudah lama berkabung. Mungkin karena itu hatinya tak lagi berkabut. Menjalani hari dengan bahagia walau keadaan seperti ini. Ia mengantar kepergianku sampai depan pintu. Aku tahu, ia selalu menaruh harap agar aku cepat dapat uang untuk upacara kematian Ambe. Letihkah Indo merawat Ambe? Cuma tongkonan ini yang kami punya atau yang tersisa. Indo hanya istri kedua Ambe. Katanya, dulu banyak kerabat tidak setuju ketika mereka menikah dan kakak-kakak tiriku menerima dengan syarat menuntut pembagian harta sebagai ahli waris mendiang ibu mereka. Sekarang, Ambe tak memiliki harta peninggalan, bahkan buat perayaan kematiannya sendiri. Anak-anaknya terdahulu pun seperti tak peduli. Tinggallah aku dan Indo yang menanggung beban. Berat, entah sampai kapan kami mampu menahan. Aku pulang membawa hasil yang lebih dari biasanya walau aku tidak menjadi guide. Lumayan. Ukir-ukiran aku hampir habis dan beberapa lembar tenunan Indo laku. Dibeli oleh turis asing dan lokal yang lalu lalang. Sebenarnya masih siang meski sudah menjelang sore. Dan, aku mendapatkan kejutan kecil. Margaretha Sua datang berkunjung. Dari Makale ke Rantepao menempuh jarak yang tak jauh. Ia perempuan mamasa dan sudah jadi pegawai. Akhir-akhir ini aku jarang bertemu dengannya. Kami tidak sering bersama setelah ia pindah mengikuti orangtuanya. Kami duduk di kolong alang. Alih-alih melepas rindu, wajahnya malah mendung membawa kabar tak baik. ”Upta, dia ingin segera melamarku,” segan perempuan itu berucap. Bibirnya seperti bunga yang kusuka, tapi ia mengeluarkan sengat. ”Kau mau menerimanya?” Aku mengumpulkan perasaanku yang tadi berhamburan untuk mengatakan itu. ”Aku cuma dikasih waktu sedikit buat berpikir,” ujarnya pelan dan tergugu, barangkali isak. ”Etha, bilang saja kalau kita hanya bisa sampai di sini.” Aku terempas seperti udara sisa di hidungnya. Margaretha Sua menatapku kisruh, ”Aku tidak mau jadi biarawati.” Ia terlalu dirasuki cerita tantenya yang hidup selibat lantaran ditinggalkan kekasihnya yang tak mau menunggu. Upacara kematian bapaknya, kakek Margaretha Sua, tertunda lama. Kini perempuan di hadapanku takut berlomba dengan kematian neneknya. ”Maafkan aku.” ”Aku yang minta maaf.” Margaretha Sua pergi, pelan-pelan mengabur dari penglihatanku ditelan tikungan jalan. Mungkin ia membawa luka atau lega? Ia seperti tidak setia. Petang di ambang hari. Senja melumuri langit. Seketika bayangan gelap datang dari barat. Sementara aku tengah memandang di bukit utara itu yang dipenuhi tebing-tebing. Gunung-gunung batu yang di kakinya rimbun belukar rimba. Semak-semak raksasa yang tak habis untuk dikuak. Mungkin Tuhan menjelma hutan hingga belantara itu dihuni arwah-arwah. Segala yang sudah mati hidup di sana seperti alam baka. Rindukah Ambe untuk ke sana sebagai tomembali puang? Bergabung dengan tau-tau yang asyik bertengger atau bernaung di pohon-pohon suaka ketika malam tiba bagai mengulang masa kanaknya. Seperti apakah kehidupan di puya? Dan, sampai kapan aku harus menanggung? Tabunganku tidak akan genap sekeras apa pun aku berusaha. Maafkan aku, Ambe, bila aku mengeluh. Aku sedang patah hati, mungkin putus asa. Indo tidak bisa dibujuk. ”Adalah larangan melakukan rambu tuka, apalagi rampanan kappa, apabila rambu solo belum diselenggarakan. Ambemu masih sakit. Rohnya masih terkatung-katung di alam sana.” Kata Indo seolah memegang kukuh wasiat Ambe. Tapi, aku menerka ini kemauannya. ”Kenapa? Apakah itu menyalahi aluk?” Aku tak tahu apa aku sedang menggugat adat yang aku yakini sendiri. ”Itu sama saja kau meminta hakmu tanpa menunaikan kewajibanmu sebagai anak.” Indo seolah berkata, tunjukkan baktimu. ”Dulu Ambe pernah bilang padaku, hidup itu untuk mati. Dunia ini tempat persinggahan dan mati adalah pintu ke puya, di kehidupan yang sesungguhnya,” jelasku punya maksud ”Iya, itu betul. Lantas?” kejar Indo mencium niatku. ”Kata Ambe carilah bekal, dalle buat mati. Biar kelak tidak menyusahkan keturunanmu. Seharusnya Ambe juga begitu.” Aku tertunduk sebab lancang, ada sesal yang hinggap. Aku tak berani melihat Indo yang mungkin tengah membelalakkan mata, tak menyangka. ”Indo merasa tidak pernah kurang mengajarimu, Upta.” Ia memanggil namaku seakan aku bukan anaknya lagi. Dapat kudengar hela embusnya kecewa, ”Ambemu perlu kunci untuk membuka pintu ke puya, rambu solo. Perjalanan ke sana jauh sekali butuh kendaraan, tedong bonga, agar cepat sampai.” ”Beberapa babi dan seekor kerbau aku kira sudah cukup, Indo. Tedong bonga ratusan juta harganya. Kita mana sanggup.” ”Kau ini! Ambemu keturunan tana bulaan. Bukan orang sembarangan. Kalau cuma itu, sudah dari dulu Indo melakukan rambu solo. Tak perlu menunggu bertahun-tahun. Dengar, Upta. Ini bukan asal upacara, tapi martabat yang mesti dijunjung. Kau tahu itu! Ambemu akan tersesat karena ulahmu.” Suara Indo melangit seperti bulan yang pongah. ”Aku lebih bangga kau merantau ke Papua. Di sana kau bisa dapat uang banyak ketimbang di sini. Atau kau mau mati di sana, terserah.” Indo bicara terus sebab aku seperti patung, kepala batu. Indo kenal sekali tabiatku, kalau ada mau diam tapi rusuh. ”Kau tidak bakal ada di dunia ini kalau tak ada Ambemu yang meminta kau dilahirkan.” Indo berkata tega. Napasnya panas. Kubayangkan, dulu mungkin ia hendak menggugurkan dan menguburkanku di pohon nangka, tapi dicegah oleh Ambe. Keberadaanku kau tampik, benarkah kabar itu? ”Matahari siang dan bulan malam tidak pernah bertemu. Kalau sampai itu terjadi, itu artinya kiamat! Kau boleh menikah, tapi bukan di tongkonan ini dan tanpa restu dariku,” cetusnya mengancam. Indo menarik kakinya pergi ke sumbung, kebiasaannya sesenggukan di sana. Meratapi Ambe dan nasib. Atau masa lalu yang berusaha ia tutup dan simpan. Malam benar-benar rindang. Beberapa kerabat dan tetangga datang. Kami main kartu sampai suntuk. Aku menyuguhkan kopi dan penganan seadanya. Mereka membawa ballo. Sunyi dingin meruap. ”Upta Liman, itu bukan sepenuhnya bebanmu dan keputusan ada di tangan kakak-kakakmu yang telah abai di perantauan,” ujar Tato Randa bijak. Ia pamanku dari pihak Indo dan teman Ambe sebagai pemangku adat. ”Seperti bukan orang Toraja saja mereka itu. Mabuk di kampung orang sampai lupa kampung sendiri,” imbuh Urru, teman seprofesiku yang sudah oleng. Entah berapa gelas tuak ia tenggak. ”Kewajibanmu cuma mengingatkan meski kau harus menanggung belasungkawa yang menunda kegembiraan di tongkonan ini,” lanjut Tato Randa. Menimbulkan tanya di benakku yang keruh. Adakah rahasia yang kalian taruh? ”Kecuali kalau Indomu rela memutus hubungan dengan membayar nilai salah yang tak seberapa,” celetuk Tante Ully tak dinyana. Tanteku ini perempuan tua yang agak lain pikirannya. Ia melenggang setelah mendapat isyarat diam dari yang hadir selain aku, pergi menemani Indo di kamar. Matanya bicara padaku. Kami kembali melanjutkan berembuk, tapi aku tidak berminat lagi. Mereka membujuk. ”Kontaklah saudara-saudaramu itu untuk segera pulang. Urusan ini harus lekas dibereskan. Kami di sini sudah siap memberikan bantuan. Nanti kami ajukan proposal ke pemda buat diikutkan program pariwisata Natal dan Tahun Baru. Babi-babi dan kerbau akan kami sumbangkan. Kurangnya kalian usahakanlah.” Ah, bantuan ini adalah utang moral. Bakal malu jika tidak bisa mengembalikan, ketika kelak di antara mereka ada yang meninggal. Setara atau lebih dan aib akan aku tanggung bila tak mampu. Masih sakralkah perayaan kematian ini? Mereka pamit. ”Indomu sulit berdamai dengan masa lalunya. Dulu ia berbuat dosa dan mencari selamat. Orang-orang kampung tak jadi mengusirnya. Ketahuilah dari silsilah,” bisik Tante Ully sebelum pulang. Selain kakak-kakak tiriku, yang aku tahu Ambe pernah menikah dengan janda kaya punya satu anak yang tak pernah kulihat dan tidak kutahu keberadaannya. Ambe dari manakah aku mulai merunut? Kini aku berbaring lelap di sebelahmu. Hendak menerima jawab. ”Kenapa Ambe menikahi Indo?” tanyaku seakan rohnya masih bersemayam dalam tubuh. ”Karena aku mencintai Indomu.” Lama kutatap Ambe. Kuperhatikan saksama. ”Apakah Indo mencintai Ambe?” Sebab ia terlalu lansia buat jadi Ambe. ”Tanyakan itu pada Indomu.” Ia seolah tersenyum serupa sunggingan orang yang tidak punya gigi. Aku terjaga. Pagiku dibuka dengan kedatangan tamu. Ribut, suara Indo ramai di halaman ketika aku menuruni tangga. Lelaki itu lagaknya seperti turis lokal dengan badan tambun. Tubuh Indo bergetar, kusut dan berantakan, menghalanginya masuk. ”Aku punya hak atas rumah tongkonan ini, aku ahli warisnya!” tuntutnya tanpa melepas kacamata riben di wajahnya. ”Kamu siapa?” aku maju di muka Indo. ”Aku anak dulu dari Indoku. Istri pertama Ambemu. Tongkonan ini akan kujual. Pembelinya sudah ada. Sertifikatnya masih atas namaku, belum ada balik nama.” Jelasnya beruntun. ”Rantedoping, ahli waris sudah berpindah tangan sejak kau pergi dan tak ada kabar. Biar nanti adat yang menentukan.” Indo bersikeras. ”Siapa ahli warisnya, kau?” ”Bukan. Upta Liman, anakmu.” Baru kulihat airmata Indo menetes. Lelaki itu menatapku nanap dan aku terlongo saat Indo hampir rebah pingsan. Kupeluk Indo yang begitu ringkih. Toddopuli 2 STP 8 Catatan: Ambe: ayah Indo: ibu Tongkonan: rumah adat orang Toraja To makula: orang mati yang belum diupacarakan, masih dianggap sakit Erong: peti mati Rambu solo: upacara kematian khas Toraja Bombo: roh yang menunggu upacara Sumbung: bagian belakang rumah tempat menyimpan mayat Dalle: rezeki Alang: tempat menyimpan padi miniatur tongkonan Rambu tuka: upacara kegembiraan Rampanan kappa: pesta pernikahan Aluk: adat Tomembali puang: roh yang sudah diupacarakan berwujud setengah dewa Tau-tau: boneka kayu, wujudnya menyerupai orang yang diupacarakan Puya: surga Ballo: tuak Tana bulaan: kaum bangsawan tertinggi
""Ambe Masih Sakit""
Ketika ada yang penasaran mengapa dia diberi nama Arjuna, laki-laki itu hanya tersenyum ramah. Lalu, biasanya, dia akan melanjutkan dengan suaranya yang ragu dan sedikit gemetar bahwa itu pilihan ibunya. Ibunya hanya penjual bunga di makam. ”Apa ibu sampean penggemar wayang?” ada saja yang bertanya begitu. ”Saya tidak tahu. Dan saya juga tidak tertarik untuk bertanya,” jawabnya seperti biasa. Arjuna juga tidak setampan yang dibayangkan banyak gadis; paling tidak itu yang dialaminya dulu ketika masih remaja. Wajahnya berkesan layu, apalagi dengan rambutnya yang lurus tipis dan selalu berantakan. Belum lagi ada beberapa bopeng bekas cacar semasa bocah, maka Arjuna sangat jauh dari bayangan kegantengan pemuda idola. Dia sahabat sepermainanku, sejak masa belum sekolah, kemudian taman kanak-kanak, ngaji bersama, sampai kelas 3 sekolah dasar. Setelah itu, kami terpisahkan oleh nasib orangtua kami. Maksudku, aku terpaksa pindah ke Jakarta dan dia tetap di sana. Akan tetapi, nasib pula yang mempertemukan kami di tempat ini. Aku tinggal di dekat Bogor, dan ketika aku dan istri iseng-iseng mencari tanaman untuk rumah baru kami, aku dipertemukan dengan Arjuna. Begitulah, tanpa upacara, nyaris tanpa kata, aku bertemu dengan Arjuna, yang masih kurus, layu dan wajah berbopeng luka cacar. Namun sejak itu—dua tahun lalu—aku sering bertandang ke kediaman sekaligus kebunnya. *** Arjuna dan mawar memang tak terpisahkan. Maksudku, Arjuna adalah sahabatku, dan siapakah mawar? Bukan siapa-siapa, karena memang bukan manusia, tetapi tanaman. Mawar kampung. ”Kenapa?” tanyaku, suatu kali. ”Apanya yang kenapa?” jawabnya sambil membuat wadah dari sabut kelapa dan pelepah pisang untuk bibit. Tangannya sangat terampil menciptakan wadah-wadah sederhana itu. ”Mawar. Kenapa bukan Anthurium, atau Anggrek Hitam, misalnya?” ”Sudah pernah dan ketika anthurium merajai pasaran, aku bisa beli tanah ini, seluas ini,” ujarnya datar saja, tetap berkonsentrasi pada pekerjaannya. Kupandangi tanah seluas seribu meter persegi di tepi jalan itu. Ada patok-patok kayu. ”Mereka mau membangun mal,” ucapnya dingin. ”Maksudmu?” ”Mereka memaksaku untuk menjual tanah ini dan membangun mal di atas lahan ini.” ”Hmm… kalau harganya bagus, kenapa tidak dilepas.” ”Harganya bagus. Tapi aku tidak mau melepas.” ”Kenapa?” Dia diam, menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya dengan sedikit kesal. ”Lantas di mana aku menanam mawar-mawarku?” *** Sepulangku dari kediaman Arjuna, aku tak bisa tidur. Aneh, manusia satu itu. Kuperkirakan, dia bisa mengantungi sedikitnya dua miliar; dengan luas dan posisi dekat jalan raya, dan dengan uang itu dia bisa membeli tanah yang lebih luas…lebih daripada cukup kalau untuk menanam mawar kampung! Gila. Tapi, entah mengapa, aku diserang rasa gelisah. Ada yang begitu murni, bodoh—mungkin—dan rasa cinta yang tulus, ketika dia mempertanyakan di mana akan menanam mawarnya. Ah, jangan-jangan aku sudah tertular penyakit gila yang dideritanya. Sangat tidak masuk akal. Sangat bodoh. *** Beberapa bulan berlalu, aku tidak main ke rumahnya. Mungkin karena jengkel, mungkin juga karena merasa berhadapan dengan orang sinting, aku tidak berminat menemuinya. Tapi, mungkin juga karena aku memang ditelan kesibukan pekerjaan. Aku harus mengawasi proyek, yang kadang-kadang membuatku berhari-hari di luar kota. Ketika pulang pun, aku hanya bisa bertemu dengan kesunyian rumah dan si Min, pembantu kami, karena istriku pun ditelan kesibukan kantornya, dan saat itu dia di Makassar. ”Dua hari yang lalu, ada orang ke rumah, nyari bapak…” ujar Min sambil membongkar tasku. Aku diam, mencoba menikmati kehampaan yang tiba-tiba menganga ini. Kusimak pembicaraan Min dan aku tahu bahwa orang itu pastilah Arjuna. Apalagi ketika kutanyakan apakah di wajahnya ada bekas bopeng cacar dan Min mengiyakan sambil tertawa, aku yakin, orang itu pasti Arjuna. ”Keberatan nama Pak, Arjuna, kok, nyekingkring.” tambahnya sambil tertawa geli sendiri. ”Ada pesan apa?” ”Ndak ada…dia cuma bilang, ’o, ya, sudah’…terus pulang.” *** Lama setelah itu, aku masih saja belum sempat menemui Arjuna. Aku mau telepon, tapi seingatku, dia tak pernah memberiku nomor HP. Manusia primitif satu ini memang istimewa sekali. Sementara itu persoalanku sendiri dengan Andin—istriku—muncul lagi. Persoalan yang sebetulnya sudah bisa diduga dan diurai dengan mudah, tapi, sekali lagi, emosi dan tenaga kami habis disedot pekerjaan. Siang dan malam hanyalah soal terang dan gelap belaka. Rumah berkamar tidur dengan pendingin udara, bahkan bukan sebuah kesejukan di rumah kami. Kami adalah dua orang yang saling bermusuhan diam-diam dan menyembunyikan diri di balik laptop atau BB, untuk saling …entahlah. Aku bahkan kehilangan semua kosakata, dan anehnya dia yang dulu terkenal bawel—dan itu yang membuatku jatuh cinta—kini lebih bisu daripada batu. Aku sendiri sudah tidak tahu lagi, sudah berapa jauh jarak kehidupan cinta kami terentang. Sejak kapan hal itu dimulai, kurasa dia pun tak punya jawaban. Yang ada hanyalah kami harus punya foto perkawinan yang bahagia, senyum manis tak terkira dan handai taulan, sanak saudara, kenalan, relasi, bos menganggap kami manusia bahagia yang patut dijadikan contoh. Beruntunglah Arjuna, barangkali dia tidak menemukan neraka itu di rumahnya, karena dia hanya mengikatkan diri pada mawarnya. *** Siang itu di proyek, yang kurasakan adalah tusukan sepi yang luar biasa. Di kantin, ketika makan siang, mataku tertuju pada televisi yang menyiarkan peristiwa. Ah, ini membuatku kian merasa terpuruk menjadi manusia; apa sebetulnya yang ingin kucari? Protes, demo, penembakan oleh aparat, korupsi, artis dilecehkan, wartawan dan pelajar saling jotos, guru menggampar murid, murid membunuh guru…; coba sebut satu saja yang mampu memberikan harapan hidup lebih baik. Tapi, ketika seorang penyiar menyebut satu nama—sambil sedikit tersenyum, aku seperti tersengat lebah. Arjuna jadi berita. Ah, pastilah kasus tanahnya. Ah, bagaimana dia? Kusimak berita, tapi tak kulihat si Arjuna. Hanya ada massa yang kulihat mendukung Arjuna—di halaman Kantor Pengadilan Negeri. *** Entah mengapa, berita tv siang itu menggangguku; paling tidak, telah berubah menjadi semacam isu di antara kami. Sambil makan malam bersama kolega bisnis properti dan beberapa investor, percakapan tentang Arjuna menjadi bagian dari menu malam itu. Aku tentu saja harus bersama Andin, yang sejak semula harus merasa bahagia bersamaku. ”Andin, coba kalau kamu punya tanah seluas itu dengan harga jual yang sangat bagus—di atas NJOP di wilayah itu—kamu bertahan?” ucap bosku sambil menyuapkan potongan steik ke mulutnya. Andin hanya tersenyum saja, menjawab tanpa jawaban. Sempat kulirik senyumnya. Masih senyum yang dulu kukenali dan kusukai. Sesaat kemudian pandangan kami bertemu di suatu sudut yang dulu pernah kami singgahi; sudut kecil saja di kenanganku—paling tidak. ”Kalau saya, maaf, tanah itu tidak akan saya jual…” entah mengapa, aku tiba-tiba seperti didorong oleh tenaga aneh, meloncat begitu saja dari mulutku. Meja makan seperti tersiram es. Aku tahu, tak seorang pun boleh membantah ucapan bosku, karena dia adalah bos. ”Mmm…bukan itu jawaban yang aku harapkan, apalagi dari kamu. Tapi, …mm…tolong, buat aku bisa memahami ’kebodohan’ yang…” dia menebar pandangan kemudian tertawa, diikuti orang semeja. Kulihat Andin salah tingkah. ”Mmm…(aku menelan ludah)…maksud saya, saya paham pada apa yang dilakukan Arjuna…” ”Ooo, jadi kamu kenal juga dengan si Arjuna?” sela bosku, yang melanjutkannya dengan gelak tawa. ”Mmm…ya, Pak. Dia sahabat sepermainan…” ”Maaf…bilang sama Arjuna, dia boleh saja menikmati kemenangannya kali ini. Tapi itu tidak lama…” Di perjalanan pulang, aku membisu. Andin membeku. Entah mengapa, aku merasa tiba-tiba menjadi ancaman bagi Arjuna. Entah mengapa, tiba-tiba Andin membuka pembicaraan yang membuatku merasa kian bodoh. Bermula dari celaannya tentang mengapa aku tiba-tiba berkomentar tentang pertanyaan yang bahkan bukan untukku, sampai sebuah hubungan antara kantorku dengan Arjuna yang selama ini sama sekali tak kusadari. ”Makanya, jangan asyik sendiri. Jelas sekali, siapa pun tahu kalau kantormu itu gurita dengan sejuta tentakel. Terus mau apa? Demi Arjuna dan mawarnya itu, kamu mau apa?” Aku diam. Aku hanya ingin sampai di rumah. *** Sejak peristiwa makan malam itu, aku jadi makin kehilangan kegembiraan bekerja. Semua perhatianku, bahkan mimpiku, tersedot pada Arjuna dan mawarnya. Dan entah mengapa, di mata bosku, aku seperti duri dalam daging. Kusadari semuanya tanpa perasaan apa-apa. Kuterima semua penilaian atas dedikasiku selama ini, dari bosku, dengan jiwa kosong. Aneh juga rasanya, tapi itulah yang kualami. Termasuk ketika bos menawariku posisi lain di salah satu perusahaannya yang lain—untuk menghilangkan ’duri’ yang ada di ’daging’-nya, aku menolak dengan halus. Aku memilih duduk di samping Arjuna yang tenang membuat wadah-wadah sederhana dari tapas kelapa dan pelepah pisang. *** Itulah yang kulakukan. Dan ketika aku sampai di rumah Arjuna, aku dibuat terperangah. Rupanya, selama ini, ketika proses pengadilan berlangsung, pihak ’pembeli’ bahkan sudah membangun bangunan, memang belum finishing, tapi bangunan itu sudah berdiri. Ya, Tuhan, sudah berapa lama aku tidak berhubungan dengan Arjuna? Dan bangunan itu, oleh Arjuna sengaja tidak dihancurkan. Orang gila satu ini memang selalu aneh-aneh. Dia bahkan menggali tanah di sekeliling bangunan belum jadi itu dan menguruk seluruh bangunan itu hingga menjelma bukit. Bukit tanah merah yang dikelilingi parit dalam. Kusaksikan orang-orang kampung yang mendukung tindakan Arjuna di pengadilan sibuk melakukan ini-itu. Kami duduk di tanah menatap ’bukit’ yang baru lahir itu. ”Apa yang akan kamu lakukan dengan bukit ini?” ”Bayangkan, Tom. Ini nanti akan jadi bukit mawar. Seluruhnya aku tanami mawar kampung.” ”Seluruhnya?” dan kudengar Arjuna tertawa bahagia. Kemudian dia menyambung bahwa parit yang lebar dan panjang mengelilingi bukit ini akan jadi lahan pemancingan, yang mengurusi nanti adalah–dia menyebutkan beberapa nama yang kuduga orang kampung situ. Sambil membayangkan di sana-sini muncul warung makan kecil, dan orang-orang makan ikan bakar, atau sekadar minum kopi, mereka menikmati ”keajaiban dunia”: bukit mawar. Arjuna bukan hanya membangun keajaiban, bukan juga membangun mimpi, tetapi harapan bagi orang banyak. Aku jadi kian merasa tak ada apa-apanya berhadapan dengan anak janda penjual bunga di makam ini. ”Terima kasih, kamu mau datang,” ucapnya dengan senyum mawarnya. ”mmm…ngajak mbak Andin, ya…” Andin menyusulku? Dan kulihat Andin gembira, gelak tawanya lepas, seperti murai yang berkicau di pagi hari, dia pun mengoceh dan mengoceh. Aku terkunci dalam kebingunganku sendiri. ”Aku suka ini. Aku gembira ada yang bisa memutus rantai kebekuan. Dan aku bangga, kau pun melakukan itu.” Ucapnya dengan wajahnya, yang—ah, kenapa jadi cantik sekali? ”Aku tidak melakukan apa-apa…” ”Kau keluar dari gurita raksasa, itu adalah sebuah perbuatan gila, sinting, tapi benar. Dan…aku bangga bahwa aku masih punya seseorang yang mau berbuat benar.” ”Meskipun gila?” godaku. ”Plus sinting dan nekat,” tambahnya diikuti gelak tawa. *** Setelah dia jelaskan apa yang akan dilakukannya dengan bukit itu, dia pun merangkak memanjat bukitnya. Di tangan kanannya tergenggam sebatang mawar. Sebuah ritual pun dimulai. Catatan Redaksi: Karena terjadi kesalahan teknis pekan lalu, cerpen ”Bukit Mawar” dimuat kembali dalam edisi ini.
""Bukit Mawar""
Ketika ada yang penasaran mengapa dia diberi nama Arjuna, laki-laki itu hanya tersenyum ramah. Lalu, biasanya, dia akan melanjutkan dengan suaranya yang ragu dan sedikit gemetar bahwa itu pilihan ibunya. Ibunya hanya penjual bunga di makam. ”Apa ibu sampean penggemar wayang?” ada saja yang bertanya begitu. ”Saya tidak tahu. Dan saya juga tidak tertarik untuk bertanya,” jawabnya seperti biasa. Arjuna juga tidak setampan yang dibayangkan banyak gadis; paling tidak itu yang dialaminya dulu ketika masih remaja. Wajahnya berkesan layu, apalagi dengan rambutnya yang lurus tipis dan selalu berantakan. Belum lagi ada beberapa bopeng bekas cacar semasa bocah, maka Arjuna sangat jauh dari bayangan kegantengan pemuda idola. Dia sahabat sepermainanku, sejak masa belum sekolah, kemudian taman kanak-kanak, ngaji bersama, sampai kelas 3 sekolah dasar. Setelah itu, kami terpisahkan oleh nasib orangtua kami. Maksudku, aku terpaksa pindah ke Jakarta dan dia tetap di sana. Akan tetapi nasib pula yang mempertemukan kami di tempat ini. Aku tinggal di dekat Bogor, dan ketika aku dan istri iseng-iseng mencari tanaman untuk rumah baru kami, aku dipertemukan dengan Arjuna. Begitulah, tanpa upacara, nyaris tanpa kata, aku bertemu dengan Arjuna, yang masih kurus, layu dan wajah berbopeng luka cacar. Namun sejak itu—dua tahun lalu—aku sering bertandang ke kediaman sekaligus kebunnya. *** Arjuna dan mawar memang tak terpisahkan. Maksudku, Arjuna adalah sahabatku, dan siapakah mawar? Bukan siapa-siapa, karena memang bukan manusia, tetapi tanaman. Mawar kampung. ”Kenapa?” tanyaku, suatu kali. ”Apanya yang kenapa?” jawabnya sambil membuat wadah dari sabut kelapa dan pelepah pisang untuk bibit. Tangannya sangat terampil menciptakan wadah-wadah sederhana itu. ”Mawar. Kenapa bukan Anthurium, atau Anggrek Hitam, misalnya?” ”Sudah pernah dan ketika anthurium merajai pasaran, aku bisa beli tanah ini, seluas ini,” ujarnya datar saja, tetap berkonsentrasi pada pekerjaannya. Kupandangi tanah seluas seribu meter persegi di tepi jalan itu. Ada patok-patok kayu. ”Mereka mau membangun mal,” ucapnya dingin. ”Maksudmu?” ”Mereka memaksaku untuk menjual tanah ini dan membangun mal di atas lahan ini.” ”Hmm… kalau harganya bagus, kenapa tidak dilepas.” ”Harganya bagus. Tapi aku tidak mau melepas.” ”Kenapa?” Dia diam, menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya dengan sedikit kesal. ”Lantas di mana aku menanam mawar-mawarku?” *** Sepulangku dari kediaman Arjuna, aku tak bisa tidur. Aneh, manusia satu itu. Kuperkirakan, dia bisa mengantungi sedikitnya dua miliar; dengan luas dan posisi dekat jalan raya, dan dengan uang itu dia bisa membeli tanah yang lebih luas…lebih daripada cukup kalau untuk menanam mawar kampung! Gila. Tapi, entah mengapa, aku diserang rasa gelisah. Ada yang begitu murni, bodoh—mungkin—, dan rasa cinta yang tulus, ketika dia mempertanyakan di mana akan menanam mawarnya. Ah, jangan-jangan aku sudah tertular penyakit gila yang dideritanya. Sangat tidak masuk akal. Sangat bodoh. *** Beberapa bulan berlalu, aku tidak main ke rumahnya. Mungkin karena jengkel, mungkin juga karena merasa berhadapan dengan orang sinting, aku tidak berminat menemuinya. Tapi, mungkin juga karena aku memang ditelan kesibukan pekerjaan. Aku harus mengawasi proyek, yang kadang-kadang membuatku berhari-hari di luar kota. Ketika pulang pun, aku hanya bisa bertemu dengan kesunyian rumah dan si Min, pembantu kami, karena istriku pun ditelan kesibukan kantornya, dan saat itu dia di Makassar. ”Dua hari yang lalu, ada orang ke rumah, nyari bapak…” ujar Min sambil membongkar tasku. Aku diam, mencoba menikmati kehampaan yang tiba-tiba menganga ini. Kusimak pembicaraan Min dan aku tahu bahwa orang itu pastilah Arjuna. Apalagi ketika kutanyakan apakah di wajahnya ada bekas bopeng cacar dan Min mengiyakan sambil tertawa, aku yakin, orang itu pasti Arjuna. ”Keberatan nama Pak, Arjuna, kok, nyekingkring.” tambahnya sambil tertawa geli sendiri. ”Ada pesan apa?” ”Ndak ada…dia cuma bilang, ’o, ya, sudah’…terus pulang.” *** Lama setelah itu, aku masih saja belum sempat menemui Arjuna. Aku mau telepon, tapi seingatku, dia tak pernah memberiku nomor HP. Manusia primitif satu ini memang istimewa sekali. Sementara itu persoalanku sendiri dengan Andin—istriku—muncul lagi. Persoalan yang sebetulnya sudah bisa diduga dan diurai dengan mudah, tapi, sekali lagi, emosi dan tenaga kami habis disedot pekerjaan. Siang dan malam hanyalah soal terang dan gelap belaka. Rumah berkamar tidur dengan pendingin udara, bahkan bukan sebuah kesejukan di rumah kami. Kami adalah dua orang yang saling bermusuhan diam-diam dan menyembunyikan diri di balik laptop atau BB, untuk saling …entahlah. Aku bahkan kehilangan semua kosakata, dan anehnya dia yang dulu terkenal bawel—dan itu yang membuatku jatuh cinta—kini lebih bisu daripada batu. Aku sendiri sudah tidak tahu lagi, sudah berapa jauh jarak kehidupan cinta kami terentang. Sejak kapan hal itu dimulai, kurasa dia pun tak punya jawaban. Yang ada hanyalah kami harus punya foto perkawinan yang bahagia, senyum manis tak terkira dan handai taulan, sanak saudara, kenalan, relasi, bos menganggap kami manusia bahagia yang patut dijadikan contoh. Beruntunglah Arjuna, barangkali dia tidak menemukan neraka itu di rumahnya, karena dia hanya mengikatkan diri pada mawarnya. *** Siang itu di proyek, yang kurasakan adalah tusukan sepi yang luar biasa. Di kantin, ketika makan siang, mataku tertuju pada televisi yang menyiarkan peristiwa. Ah, ini membuatku kian merasa terpuruk menjadi manusia; apa sebetulnya yang ingin kucari? Protes, demo, penembakan oleh aparat, korupsi, artis dilecehkan, wartawan dan pelajar saling jotos, guru menggampar murid, murid membunuh guru…;coba sebut satu saja yang mampu memberikan harapan hidup lebih baik. Tapi, ketika seorang penyiar menyebut satu nama—sambil sedikit tersenyum, aku seperti tersengat lebah. Arjuna jadi berita. Ah, pastilah kasus tanahnya. Ah, bagaimana dia? Kusimak berita, tapi tak kulihat si Arjuna. Hanya ada massa yang kulihat mendukung Arjuna—di halaman Kantor Pengadilan Negeri. *** Entah mengapa, berita tv siang itu menggangguku; paling tidak, telah berubah menjadi semacam isu di antara kami. Sambil makan malam bersama kolega bisnis properti dan beberapa investor, percakapan tentang Arjuna menjadi bagian dari menu malam itu. Aku tentu saja harus bersama Andin, yang sejak semula harus merasa bahagia bersamaku. ”Andin, coba kalau kamu punya tanah seluas itu dengan harga jual yang sangat bagus—di atas NJOP di wilayah itu—kamu bertahan?” ucap bosku sambil menyuapkan potongan steik ke mulutnya. Andin hanya tersenyum saja, menjawab tanpa jawaban. Sempat kulirik senyumnya. Masih senyum yang dulu kukenali dan kusukai. Sesaat kemudian pandangan kami bertemu di suatu sudut yang dulu pernah kami singgahi; sudut kecil saja di kenanganku—paling tidak. ”Kalau saya, maaf, tanah itu tidak akan saya jual…” entah mengapa, aku tiba-tiba seperti didorong oleh tenaga aneh, meloncat begitu saja dari mulutku. Meja makan seperti tersiram es. Aku tahu, tak seorang pun boleh membantah ucapan bosku, karena dia adalah bos. ”Mmm…bukan itu jawaban yang aku harapkan, apalagi dari kamu. Tapi, …mm…tolong, buat aku bisa memahami ’kebodohan’ yang…” dia menebar pandangan kemudian tertawa, diikuti orang semeja. Kulihat Andin salah tingkah. ”Mmm…(aku menelan ludah)…maksud saya, saya paham pada apa yang dilakukan Arjuna…” ”Ooo, jadi kamu kenal juga dengan si Arjuna?” sela bosku, yang melanjutkannya dengan gelak tawa. ”Mmm…ya, Pak. Dia sahabat sepermainan…” ”Maaf…bilang sama Arjuna, dia boleh saja menikmati kemenangannya kali ini. Tapi itu tidak lama…” Di perjalanan pulang, aku membisu. Andin membeku. Entah mengapa, aku merasa tiba-tiba menjadi ancaman bagi Arjuna. Entah mengapa, tiba-tiba Andin membuka pembicaraan yang membuatku merasa kian bodoh. Bermula dari celaannya tentang mengapa aku tiba-tiba berkomentar tentang pertanyaan yang bahkan bukan untukku, sampai sebuah hubungan antara kantorku dengan Arjuna yang selama ini sama sekali tak kusadari. ”Makanya, jangan asyik sendiri. Jelas sekali, siapa pun tahu kalau kantormu itu gurita dengan sejuta tentakel. Terus mau apa? Demi Arjuna dan mawarnya itu, kamu mau apa?” Aku diam. Aku hanya ingin sampai di rumah. *** Sejak peristiwa makan malam itu, aku jadi makin kehilangan kegembiraan bekerja. Semua perhatianku, bahkan mimpiku, tersedot pada Arjuna dan mawarnya. Dan entah mengapa, di mata bosku, aku seperti duri dalam daging. Kusadari semuanya tanpa perasaan apa-apa. Kuterima semua penilaian atas dedikasiku selama ini, dari bosku, dengan jiwa kosong. Aneh juga rasanya, tapi itulah yang kualami. Termasuk ketika bos menawariku posisi lain di salah satu perusahaannya yang lain—untuk menghilangkan ’duri’ yang ada di ’daging’-nya, aku menolak dengan halus. Aku memilih duduk di samping Arjuna yang tenang membuat wadah-wadah sederhana dari tapas kelapa dan pelepah pisang. *** Itulah yang kulakukan. Dan ketika aku sampai di rumah Arjuna, aku dibuat terperangah. Rupanya, selama ini, ketika proses pengadilan berlangsung, pihak ’pembeli’ bahkan sudah membangun bangunan, memang belum finishing, tapi bangunan itu sudah berdiri. Ya, Tuhan, sudah berapa lama aku tidak berhubungan dengan Arjuna? Dan bangunan itu, oleh Arjuna sengaja tidak dihancurkan. Orang gila satu ini memang selalu aneh-aneh. Dia bahkan menggali tanah di sekeliling bangunan belum jadi itu dan menguruk seluruh bangunan itu hingga menjelma bukit. Bukit tanah merah yang dikelilingi parit dalam. Kusaksikan orang-orang kampung yang mendukung tindakan Arjuna di pengadilan sibuk melakukan ini-itu. Kami duduk di tanah menatap ’bukit’ yang baru lahir itu. ”Apa yang akan kamu lakukan dengan bukit ini?” ”Bayangkan, Tom. Ini nanti akan jadi bukit mawar. Seluruhnya aku tanami mawar kampung.” ”Seluruhnya?” dan kudengar Arjuna tertawa bahagia. Kemudian dia menyambung bahwa parit yang lebar dan panjang mengelilingi bukit ini akan jadi lahan pemancingan, yang mengurusi nanti adalah–dia menyebutkan beberapa nama yang kuduga orang kampung situ. Sambil membayangkan di sana-sini muncul warung makan kecil, dan orang-orang makan ikan bakar, atau sekadar minum kopi, mereka menikmati ”keajaiban dunia”: bukit mawar. Arjuna bukan hanya membangun keajaiban, bukan juga membangun mimpi, tetapi harapan bagi orang banyak. Aku jadi kian merasa tak ada apa-apanya berhadapan dengan anak janda penjual bunga di makam ini. ”Terima kasih, kamu mau datang,” ucapnya dengan senyum mawarnya. ”mmm…ngajak mbak Andin, ya…” Andin menyusulku? Dan kulihat Andin gembira, gelak tawanya lepas, seperti murai yang berkicau di pagi hari, dia pun mengoceh dan mengoceh. Aku terkunci dalam kebingunganku sendiri. ”Aku suka ini. Aku gembira ada yang bisa memutus rantai kebekuan. Dan aku bangga, kau pun melakukan itu.” Ucapnya dengan wajahnya, yang—ah, kenapa jadi cantik sekali? ”Aku tidak melakukan apa-apa…” ”Kau keluar dari gurita raksasa, itu adalah sebuah perbuatan gila, sinting, tapi benar. Dan…aku bangga bahwa aku masih punya seseorang yang mau berbuat benar.” ”Meskipun gila?” godaku. ”Plus sinting dan nekat,” tambahnya diikuti gelak tawa. *** Setelah dia jelaskan apa yang akan dilakukannya dengan bukit itu, dia pun merangkak memanjat bukitnya. Di tangan kanannya tergenggam sebatang mawar. Sebuah ritual pun dimulai.
""Bukit Mawar""
Mereka semua melayat diri mereka sendiri. Hanya orangtuaku dan beberapa orang famili yang terus menjagaku agar aku tidak pingsan seperti banyak santri yang sama sekali tidak siap ditinggal almarhum. Almarhum sejak selesai dimandikan dan dikafani, sudah sepenuhnya milik mereka para pelayat diri sendiri itu. Mereka bawa almarhum ke mesjid yang sudah penuh sesak untuk mereka sembahyangi. Aku setengah sadar mengikuti upacara pelepasan jenazah. Kiai Salman, sahabat almarhum, yang memberi sambutan atas nama keluarga. Lalu beberapa kiai dari berbagai daerah memanjatkan doa; tapi aku tak tahu persis siapa-siapa mereka. Aku hanya asal mengamini. Hari berikutnya dan berikutnya, banjir jama’ah laki-laki perempuan tak susut meluapi makam dan mesjid pesantren kami. Alunan tahlil dan doa seolah tak pernah putus dari pagi hingga malam hari. Mereka meratapi kepergian almarhum yang selama ini mereka anggap guru dan bapak. Sandaran mereka. *** Kiai Sobir atau yang popular dipanggil Mbah Sobir adalah sesepuh dalam arti yang sebenarnya di wilayah kabupaten kami dan sekitarnya. Di samping mengasuh pesantren dengan ratusan santri laki-laki perempuan, beliau secara de facto juga mengasuh dan melayani ribuan ’santri kalong’. Mereka yang tidak tinggal menetap di pesantren, tapi selalu datang untuk mengikuti pengajian rutin beliau atau yang sekadar sowan dengan berbagai keperluan. Belum lagi mereka yang datang dari tempat-tempat yang jauh. Bahkan banyak sekali pejabat dari tingkat propinsi dan pusat yang menyempatkan diri sowan kiai sepuh yang sederhana ini. Dalam hal menerima tamu, pastilah tak ada yang dapat menandingi Kiai Sobir. Hampir setiap hari dari pagi hingga malam, ndalem*) beliau tak pernah sepi dari tamu, baik yang datang perorangan atau—kebanyakan—berombongan. Bahkan tidak jarang rombongan tamu datang tengah malam. Dan ’peraturannya’, setiap tamu yang datang harus makan. Ruang tamu ndalem beliau yang sederhana, didominasi oleh dua bale-bale besar dari bambu dialasi tikar pandan. Ada bangku memanjang tempat Mbah Sobir duduk dan—biasanya dengan—kiai atau tamu sepuh yang diajak duduk bersama beliau. Di depannya ada meja kuno yang selalu penuh dengan makanan, dikelilingi beberapa kursi yang tidak seragam. Di atas dua bale-bale besar itulah biasanya santri-santri ndalem dengan sigap mengatur hidangan untuk makan para tamu. Kiai Sobir tidak membedakan siapa-siapa yang datang kepada beliau. Siapa pun tamunya, pejabat tinggi atau rakyat jelata; laki-laki atau perempuan; dari kalangan santri atau tidak; beliau terima dengan gembira dan penuh penghormatan. Telinga beliau dengan sabar menampung segala keluhan, curahan hati, bahkan bualan tamu-tamunya yang beragam. Di hadapan beliau, semua orang merasa benar-benar menjadi manusia yang merdeka. Manusia yang dimanusiakan. Maka mereka pun tak segan-segan mengutarakan keperluan-keperluan mereka. Mulai dari mengundang ceramah, hingga mengundang untuk peletakan batu pertama pembangunan mesjid atau madrasah. Mulai dari minta doa restu, hingga minta utangan. Dari minta air suwuk**) untuk anak yang rewel, hingga minta nasihat perkawinan. Dari minta dicarikan jodoh, hingga minta dicarikan mantu. Dari minta arahan menggarap sawah, hingga minta dukungan untuk pilkada. Dari minta fatwa keagamaan, hingga minta bantuan kenaikan pangkat . Maka tak heran bila kepergian Kiai Sobir mendapat perhatian yang begitu luas. *** Semua perhatian hanya tertuju kepada almarhum bahkan sampai peringatan wafat beliau yang ke-40. Empati hanya tertuju kepada mereka sendiri yang merasa kehilangan Kiai Sobir. Aku terlupakan sama sekali. Aku adalah istri almarhum yang selama ini mereka panggil Nyai Sobir. Perempuan yang kemarin-kemarin juga mereka perhatikan dan hormati bersama almarhum. Perempuan yang mendampingi beliau sejak nyai sepuh wafat hingga akhir hayat beliau. Akulah yang selama ini mengatur keperluan-keperluan pribadi abah (begitu aku selalu memanggil beliau) sehari-hari; mulai potong rambut hingga pakaian yang abah kenakan. Akulah yang mengatur jadwal abah; kapan mendatangi undangan-undangan dan kapan mesti istirahat. Akulah juga yang mengatur agar mereka yang sowan tidak ada yang terlantar. Semua harus disuguh makan seperti yang dikehendaki abah. Peringatan 40 hari wafat almarhum abah, banjir manusia kembali meluapi kawasan pesantren kami. Setelah itu barulah pengunjung yang berziarah agak menyusut. Aku tidak tahu apakah orang-orang mulai mengingatku sebagai Nyai Sobir pendamping kiai mereka atau tidak; yang jelas aku sendiri teringat saat nyai sepuh, istri abah yang pertama wafat. Teringat beberapa bulan kemudian aku yang kala itu nyantri di pesantren abah dan baru berumur 20 tahun, dipinang abah melalui seorang tokoh masyarakat di desaku. Ketika kemudian orangtuaku—yang juga termasuk santri kiai abah—menyampaikan pinangan itu, aku tak bisa berkata apa-apa. Perasaanku campur aduk tidak karuan. Kaget, tidak percaya, bangga, dan entah apa lagi. Tapi karena kedua orangtuaku sepertinya mendukung, aku pun akhirnya ikut saja seperti kerbau dicocok hidung. Walhasil jadilah aku Nyai Sobir. Istri seorang kiai besar yang dihormati tidak hanya di wilayah kota kami saja. Kiai yang bila ada pembesar datang dari ibu kota, tidak pernah terlewatkan dikunjungi dengan segala penghormatan. Sebagai pendamping kiai sekaliber abah, aku mempunyai sedikit modal. Di samping berwajah lumayan, aku hafal Al-Quran dan di pesantren bagian puteri, aku menjabat sebagai pengurus inti. Ditambah lagi, berkat latihan setiap malam Selasa di pesantren, aku sedikit bisa berpidato. Maka tidak lama, aku sudah benar-benar bisa menyesuaikan diri. Masyarakat pun tampaknya sudah benar-benar memandangku sebagai nyai yang pantas mendampingi Kiai Sobir. Bahkan sesekali aku diminta panitia mewakili abah mengisi pengajian. Dari sisi lain; perasaanku terhadap abah yang semula lebih kepada menghormati, berangsur menjadi menyintai beliau. Apalagi abah begitu baik dan bijaksana sikapnya terhadap diriku yang dari segi umur terpaut sangat jauh. Abah tahu bahwa aku masih muda dengan pikiran dan keinginan-keinginan anak muda. Abah tidak pernah melarangku misalnya melihat televisi atau mendengar lagu-lagu dari radio. Paling-paling beliau hanya mengingatkan supaya aku tidak melupakan tugas-tugas. Peringatan 100 hari wafat abah, kemudian 1 tahun, kemudian peringatan haul beliau setiap tahun (sekarang sudah haul yang ke 7), terus ramai dibanjiri ribuan orang dari berbagai penjuru. Aku terlupakan atau tidak oleh mereka. Tapi aku benar-benar terus merasa sendirian. *** Abah, apakah di sana abah masih memperhatikanku seperti dulu? Aku kini benar-benar sendirian, abah. Sendirian. Alangkah cepatnya waktu. Alangkah singkatnya kebersamaan kita. Kini tak ada laki-laki yang kuurus sehari-hari. Tidak ada orang yang selalu memperhatikanku, yang menasihati dan memarahiku. Dan persis seperti kata Titik Puspa dalam salah satu tembangnya. Tidak ada lagi tempat bermanja. Aku mencoba sebisaku ikut mengurus pesantren tinggalan abah. Alhamdulillah ustadz-ustadz yang gede-gede masih setia mengajar di madrasah dan pesantren kita. Pengurus pesantren juga masih menganggap aku Nyai mereka dan mereka taati seperti saat abah masih hidup. Ah, semuanya seperti berjalan biasa-biasa saja, abah. Hanya setiap malam ketika aku sendirian, aku selalu teringat abah. Pedih rasanya tak mempunyai kawan berbincang yang seperti abah; yang setia mendengarkan celotehku meski sepele, yang siap membantu memecahkan masalah yang aku lontarkan. Oh, abah. Kini aku mempunyai masalah besar dan abah tak ada di sampingku. Orang mulai memperhatikanku. Tapi tidak seperti perhatian mereka saat abah masih ada. Kini mereka memperhatikanku sebagai janda muda. Baru setahun abah meninggalkan kami, sudah ada saja godaan yang harus aku hadapi. Seorang ustadz yang sudah mempunyai dua orang istri, terang-terangan melamar aku. Lalu seorang duda kaya mengirimkan proposal lamaran, lengkap dengan CV-nya. Belakangan seorang perwira polisi bujangan juga menyampaikan keinginannya yang serius mempersunting aku. Semuanya aku tolak dengan halus. Kemudian kedua orangtuaku sendiri dengan hati-hati menanyakan kepadaku apakah aku memang sudah ingin menyudahi status jandaku. Ingin didampingi oleh seorang suami. Namun ketika aku tanya ”Kawin dengan siapa?” kedua orangtuaku tidak bisa menjawab. Dan sejak itu mereka tidak pernah menyinggung-nyinggung masalah itu lagi. Sungguh, abah, bukan kebutuhan biologi benar yang membuat aku terpicu pertanyaan kedua orangtuaku dan berpikir tentang laki-laki lain untuk menjadi suami setelah abah. Meski tidak aku pungkiri faktor biologi itu ada. Tapi dengan memikul tanggung jawab memelihara pesantren tinggalan abah, aku sungguh memerlukan penopang. Belum banyak ilmu yang sempat aku serap dari abah. Aku perlu pengayom seperti abah dulu. Aku perlu orang dengan siapa aku dapat bertukar pikiran. Syukur dapat memberikan nasihat dan arahan bagi kelangsungan dan perkembangan pesantren kita. Dalam pada itu, abah, telingaku yang tersebar di mana-mana, terus mendengar pembicaraan masyarakat. Beberapa tokoh masyarakat diam-diam membicarakan diriku dan pesantren kita. Mereka iba terhadap nasibku dan sekaligus memprihatinkan pesantren. Mereka sadar bahwa aku masih muda dan di sisi lain, pesantren kita butuh kiai laki-laki seperti umumnya pesantren-pesantren yang lain. Mereka, seperti juga aku, terbentur kepada pertanyaan: siapakah kiai laki-laki itu? Kemudian kudengar mereka menyepakati kriteria dan syarat-syarat siapa yang boleh mengawiniku. Mereka tidak rela kalau aku dipersunting orang ’biasa’ yang tidak selevel abah. Mana ada orang yang selevel abah mau mendampingiku? Masya Allah, abah. Apakah karena menjadi jandanya kiai seperti abah, lalu aku hanya dianggap obyek yang tidak berhak menentukan nasib sendiri? Setiap malam aku menangis, abah. Menangis sebagai Nyai yang mendapat warisan tanggung jawab. Menangis sebagai perempuan dan janda muda yang kehilangan hak. Tapi aku tetap nyaimu, abah; aku tidak akan menyerah. Aku percaya kepadaNya. 17 Desember 2011 *) ndalem = sebutan untuk rumah kediaman kiai pesantren **) air suwuk = air yang didoa-i
""Nyai Sobir""
Sejak Pasar Kliwon terbakar, keberadaan Murwad tidak jelas. Ada yang mengatakan, Murwad tewas terbakar. Tubuhnya mengabu. Arwahnya gentayangan. Seorang bakul sayuran mengaku melihat Murwad berjalan melayang di antara los-los dan selasar pasar. ”Wajahnya ringsek! Kasihan sekali. Aku tidak tega melihatnya,” ujar bakul sayuran itu dengan wajah pucat. Pengakuan itu segera menyebar ke seantero pasar. Umumnya orang-orang percaya, Murwad telah tewas. Namun, Sumbi yakin, suaminya itu masih hidup. Dia pasti pulang. Entah kapan. Sumbi berusaha mengulur-ulur harapan itu dengan selalu menyajikan bubur gula jawa buat Murwad. Di hamparan bubur hangat itu, terbayang wajah Murwad. Tersenyum. Dada Sumbi terasa mengembang. *** Murwad mengayun-ayunkan sapunya. Menghalau belasan pasangan yang sedang asyik masyuk bercinta di sela-sela los pasar. Bangku-bangku dipukulinya. Kursi dan dingklik dilemparkannya. Suara gaduh menjelang subuh itu membuat beberapa pasangan kaget. Mereka bergegas bangun. Langsung berlarian. Ada yang setengah telanjang. Beberapa pasangan masih bertahan. Ada yang masih berangkulan. Bahkan nekat bercumbu. ”Ayo minggat! Minggat!” seru Murwad sambil mengacung-acungkan sapu lidi yang bertangkai panjang, bagai mengacungkan senapan. Seorang lelaki gemuk, bertelanjang dada, berdiri. Matanya melotot. Ia mengayunkan tinjunya ke wajah Murwad, namun Murwad mampu menghindar. Murwad memukul kepala laki-laki itu dengan tangkai sapu. Laki-laki itu sempoyongan. Jatuh. ”Enak saja bercinta di pasar! Kalau tidak kuat nyewa losmen, ya cari kuburan!” Murwad meradang. Laki-laki itu kembali menyerang dengan pukulan, namun hantaman sapu Murwad lebih cepat mendarat di kepalanya. Laki-laki itu pun kabur. Diikuti pasangannya. Murwad, dengan wajah keruh, memunguti lembaran-lembaran koran, botol minuman beralkohol, bungkus jamu kuat lelaki, kondom, dan tikar jebol. Pekerjaan ini telah ia lakukan berulang kali, setiap menjelang subuh tiba. ”Dasar sundal! Kalian telah mengotori pasar. Gara-gara ulah kalian, pasar jadi sepi. Bakul-bakul bangkrut. Awas, jika kalian masih berani bercinta di sini!” Murwad berteriak-teriak. Suaranya diserap dinding-dinding pasar. Mendadak terdengar suara ledakan. Sangat keras. Muncul percikan-percikan api. Makin lama makin membesar. Menjilat-jilat. Api itu terus menjalar membakar apa saja. Murwad berlari pontang-panting. Ia berusaha meloloskan diri dari kepungan api. Tubuhnya menjelma bayang-bayang. Tubuh Murwad melayang memasuki lapisan-lapisan ruang. Ketika tubuh itu hendak jatuh, mendadak ada tangan yang terulur dan menangkapnya. Murwad kaget. Namun, sang penolong itu membujuknya untuk tenang lewat senyuman. ”Eyang ini siapa?” ”Namaku Ki Dono Driyah.” ”Kenapa Eyang menyelamatkan saya?” Laki-laki sepuh itu tersenyum. ”Di mana saya?” ”Ruang awung-uwung. Tempat istirah jiwa-jiwa sebelum meneruskan perjalanan menuju Jagat Kelanggengan.” ”Jadi saya sudah mati?” ”Jantungmu masih berdetak. Rabalah….” Murwad meraba dadanya. Ia masih merasakan degup jantungnya. ”Saya masih bisa pulang?” ”Bisa. Kapan saja. Sekarang?” ”Saya masih ingin di sini. Ruang ini sangat sejuk. Indah. Terang.” ”Seluruh dinding ruang ini adalah cahaya….” Eyang Dono Driyah bercerita. Dulu dialah yang merintis berdirinya Pasar Kliwon hingga berkembang menjadi besar. Sebelum memulai kehidupan pasar itu, Eyang Dono bertapa selama 40 hari untuk mendapatkan wahyu pasar. ”Tuhan mengabulkan permohonanku. Wahyu itu hadir, berpendar-pendar di atas pasar itu. Dalam pendaran itu, Tuhan menaburkan rezeki,” ujar Ki Dono Driyah. ”Sekarang, wahyu itu masih ada, Eyang?” Eyang Dono Driyah menatap wajah Murwad. Lalu, menggeleng. ”Kenapa?” ”Aku tidak tahu persis. Tapi, sejak pasar itu dihuni Genderuwo, suasana jadi aneh. Gerah. Genderuwo itu selalu meniupkan hawa panas dalam setiap aliran darah, hingga orang-orang saling membunuh.” ”Tapi di pasar itu, saya tidak pernah melihat perkelahian atau mayat-mayat….” ”Karena kamu tidak melihatnya dengan mata batin.” ”Bagaimana wujud Genderuwo itu?” ”Tinggi dan besarnya tak bisa dibayangkan. Tubuhnya berbulu hitam. Kasar. Kuku kaki dan tangannya sangat panjang. Matanya hijau. Bola matanya sangat besar, sepuluh kali lipat dari danau. Tubuhnya bisa berubah menjadi apa saja. Angin. Api. Udara. Dia hadir di mana saja, di setiap belahan dunia. Di setiap hati manusia.” ”Saya ingin melihatnya. Bisakah Eyang membantu?” ”Kamu belum siap. Kamu masih kamanungsan. Kamu mesti membebaskan diri dari hasrat-hasrat kemanusiaanmu. Berpuasalah. Kuat?” ”Kuat, Eyang. Saya ini terlatih menderita.” Mendadak Tubuh Murwad terpental. Melenting ke udara. Melayang. Ia kaget. Tiba-tiba ia berada di sel penjara. Ia pukuli jeruji sel itu dengan piring seng. Seorang sipir datang. Matanya melotot. Murwad mengamati kaki sipir itu yang menapak di lantai. Ia pun yakin, dirinya masih hidup di dunia nyata. *** ”Dengan berubahnya Pasar Kliwon menjadi Kliwon Plaza maka masa depan itu kini ada dalam genggaman kita. Dinamika ekonomi kota ini akan terus meningkat dengan semakin banyaknya orang belanja.” Wajah Wali Kota Bragalba menyala. Orang-orang tepuk tangan. Ratusan blitz menghujani wajahnya. ”Masyarakat yang suka berbelanja adalah masyarakat yang makmur!” Bragalba mengunci pidatonya. Tepuk tangan kembali membahana. Bragalba menekan tombol sirene. Kliwon Plaza resmi dibuka. Ia pun turun panggung. Para wartawan langsung menyerbunya. ”Apa benar, Pasar Kliwon sekarang dihuni Genderuwo?” tanya seorang wartawan. ”No comment. Maaf. Saya hanya menjawab pertanyaan yang rasional. Saya tidak percaya hantu.” ”Tapi masyarakat sangat percaya soal Genderuwo itu.” ”Itu mitos. Itu dongeng!” *** ”Saudara tahu, kenapa saudara ditahan di sini?” ujar seorang pemeriksa dengan ramah. Murwad terdiam. Kepalanya terasa pusing diterpa lampu sangat terang. ”Tahu alasannya saudara ditahan?!” ”Tidak. Saya hanya melihat pasar itu tiba-tiba terbakar.” ”Bagus. Berarti saudara ada di lokasi ketika itu.” ”Iya. Tapi, saya hanya tukang sapu.” ”Itu tidak penting. Yang penting, saudara mengakui ada di lokasi.” ”Apa tujuan saudara membakar pasar itu?” tanya pemeriksa yang lain. ”Maaf Pak. Kenapa pertanyaan Bapak aneh? Saya tidak membakar.” ”Akui saja. Hukuman saudara akan ringan.” ”Tapi saya tidak membakar. Tidak, Pak. Tidak.” ”Saudara sakit. Saudara perlu dokter.” Beberapa sosok meninggalkan ruangan. Dua petugas menggelandang Murwad menuju sel tahanan. *** Sumbi mengambil bubur gula jawa yang tadi pagi ditaruhnya di meja dan menggantinya dengan bubur yang baru, yang masih hangat. Ia berharap, Murwad segera menikmatinya. Lahap. Seperti biasanya. Agar ia tetap sehat. Dan bisa cepat pulang. Bayangan wajah Murwad melekat di hamparan bubur panas. Sumbi melihat, Murwad sangat menikmati bubur itu. *** Di sel tahanan, sudah lebih seminggu Murwad tidak mau makan. Makanan itu dibiarkan saja dirubung lalat. Ia merasakan tubuhnya lemas dan panas. Namun, semangatnya tetap tinggi untuk tidak menyerah. Para sipir selalu membujuknya untuk mau makan. Namun selalu ditolaknya. Pada hari kesebelas, Murwad merasakan tubuhnya ringan. Melayang. Memasuki lapisan-lapisan cahaya. Ia melihat Eyang Dono Driyah duduk mengambang di antara dinding-dinding cahaya. ”Eyang…..aku melihat Pasar Kliwon berubah jadi bangunan megah dan indah. Penuh cahaya. Tapi Eyang, aku melihat sosok hitam besar sekali. Ya, dia duduk di sana,” mata Murwad terpejam. ”Ya, itulah Genderuwo penguasa pasar!” ”Aduh eyang, mataku tidak kuat. Pandanganku jadi gelap.” ”Dia memang sakti sekaligus ganas! Hati-hati. Sekarang lihatlah lagi. Genderuwo itu masih di sana?” ”Masih….; Dia menggerakkan tangannya. Tidak hanya dua, tapi banyak sekali. Tangan-tangan itu berubah jadi belalai panjang dan besar. Ya, ampun pasar itu dibelitnya. Gumpalan-gumpalan uang itu dihisapnya.” ”Dia lebih dari rakus….” ”Genderuwo itu menoleh, Eyang. Dia menatapku. Matanya hijau bikin silau. Gigi-giginya gemeretak. Taring-taringnya berkilat-kilat. ”Eyangggggg!!!!!!” *** Tubuh Murwad tumbang. Murwad membuka mata. Pelan-pelan. Ia melihat ruangan yang asing. Serba putih. Bersih. Selang-selang infus menancap di lengannya. Seorang perawat tersenyum kepadanya. Murwad ketakutan. Ia melihat wajah hitam berbulu kasar, dengan tatapan mata hijau tajam, dengan mulut yang menyeringai, dengan taring-taring tajam penuh bercak darah. Mata Murwad terbelalak. Kedua tangannya seperti menahan tangan-tangan lain yang mencekik lehernya. Murwad terus meronta. Tubuhnya mengejang. Napasnya terasa berhenti. Tangan-tangan itu terlalu kuat untuk ditahan. Sumbi, dengan takzim, menaruh bubur gula jawa yang masih panas itu di meja. Tangannya mendadak gemetar. Piring itu terlepas. Bubur itu tumpah. Ia tak melihat lagi wajah suaminya dalam hamparan bubur…. Yogyakarta 2011
""Wajah Itu Membayang di Piring Bubur""
Dan sebagai jembatan, maka Jembatan Tak Kembali adalah jembatan yang begitu indah. Kerangkanya berwarna merah. Punggungnya kuning keemasan. Sedangkan pagar pembatas samping kiri-kanannya seakan-akan selalu berputar pelan. Seperti berputarnya jarum jam yang bunyinya begitu halus. Deg-deg-deg surrr. Tapi, meski tak kembali, selalu saja, hampir tiap saat ada yang menyeberangi jembatan itu. Dan si penyeberangnya berasal dari sekian kalangan yang berbeda. Baik berbeda umur, status, atau kepandaian. Dan rata-rata, mereka selalu menampakkan wajah yang ceria. Penuh harap. Dan gelora. Bahkan, jika kalian saksikan, selalu saja ada di antara mereka (yang menyeberang itu) bernyanyi. Terutama bernyanyi tentang apa-apa yang membuat semua nafsu buruk memadam. Berganti dengan seribu genta mungil yang melayang-layang. Genta mungil yang berdenting. Seperti denting sebaris mantra. Mantra tentang sorga yang dicinta. Sorga yang ketemu lagi. Dan sorga yang akan membuat mereka mencapai tingkat yang tiada tara. Tingkat, di mana, apa yang mereka sandang akan menjadi sempurna. Dan menjadi sesuatu yang menurut kabar yang ada, mencapai titik yang tak terjabarkan lagi. Misalnya, yang pintar masak, akan dapat memasak tanpa kompor. Yang pintar silat, akan bersilat tanpa bergerak. Dan yang pintar berlari, akan berlari tanpa mengenal tenaga. ”Hoi, berilah kami kelancaran untuk menyeberang!” ”Hoi, juga kelancaran agar tak terperosok!” ”Hoi, juga keteguhan diri!” Tentu saja, meski mereka menyebut: ”Hoi!,” tapi nada suara mereka bukanlah nada yang memaksa. Sebaliknya, penuh ketulusan dan kerendahan hati. Ibarat sebuah lautan yang biru dan dalam, betapa, betapa tenangnya nada suara mereka. Dan ibarat gunung yang menjulang, betapa, betapa, sampainya puncak gunung itu ke langit lapis ketujuh. Langit yang di semua sisinya begitu meluas dan makin meluas. Seperti tak ada lagi makhluk yang sanggup mengukurnya. Meski itu cuma di dalam pikiran dan khayalan. Pikiran dan khayalan yang sanggup untuk menulis sekian ribu halaman buku. Buku yang berisi tentang semua pengetahuan yang pernah ditemukan dan yang akan ditemukan. ”Ayo, kita menyeberang. Sampai jumpa ya!” ”Yup, kita menyeberang bersama-sama!” ”Siap! Ayo berangkat!” Dan mereka (yang menyeberang itu) pun menyeberanglah. Dan rasanya, ketika kaki mereka menjejak di punggung jembatan, pun menjelma semacam langkah-langkah sebuah tarian. Langkah-langkah yang gemulai. Ke kiri, ke kanan. Indah dan memesona. Mungkin, jika saja langkah-langkah itu berada di atas panggung, tentu akan menjadi sebuah pertunjukan yang serasi, kompak, dan menggetarkan. Sedangkan bagi yang melihatnya. Yang berada di pingir-pinggir, dan yang tak ikut menyeberang, cuma bisa melambai. Sambil tetap mengarahkan pandangannya tanpa berkedip. Di hati mereka, pun penuh dengan doa. Doa yang bermuara pada satu harap: ”Cepat atau lambat, kami segera juga menyeberang. Menyusul mereka. Menyusul untuk mencapai kesempurnaan. Tunggu saja.” *** Hmm, itulah ceritaku tentang Jembatan Tak Kembali. Sebuah cerita yang penuh teka-teki. Kenapa? Karena aku yakin, kalian pasti akan bertanya: ”Jika mereka yang menyeberang itu telah sampai di seberang jembatan. Di tempat yang berkabut dan berisi kesempurnaan, lalu apa yang dilakukannya? Apakah mereka menjadi puas? Atau ada hal lain yang perlu untuk juga diceritakan di sini?” Ahai, pertanyaan yang bagus. Pertanyaan yang memang aku nanti. Dan jujur saja, ternyata, ketika telah sampai di seberang, dan memperoleh kesempurnaan yang diharapkannya itu, mereka memang menjadi lain. Apa yang mereka sandang telah mencapai pada titik yang tiada tara. Tak terjabarkan. Semuanya hanya tinggal dipinta dan diucapkan. Langsung tersedia. Dan langsung bisa untuk direngkuh. ”Aku ingin berlari ke bukit!” maka sampailah mereka ke bukit. Atau ”Aku ingin merasakan masakan paling nikmat!” pun langsung tersedia. Dan itu membuat mereka bahagia. Dan membuat mereka untuk terus-terusan mengucapkan ini-itu yang beragam. Ini-itu yang membuat mereka cuma berada di tempat. Tak bergerak. Sebab, buat apa mesti bergerak, jika apa yang diinginkan selalu tersedia di hadapan. Tersedia dalam aneka ragam yang dapat disesuaikan. Jadinya, karena kelamaan tak bergerak, pelan-pelan mereka pun menjadi terdiam. Hanya mata mereka saja yang kedap-kedip. Mata yang begitu sempurna dan layak untuk disebut sebagai mata yang bulat, bundar, dan penuh ketenangan. Mata yang kini tampak tak lagi memikirkan bagaimana cara mengasah apa yang disandangnya. Ya, mereka kini bukan lagi sebagai pengejar dari apa yang mesti dikejar. Sebaliknya, mereka jadi sebagai si pendiam. Si pendiam yang tak lagi menginginkan apa-apa. Sebab, apa yang mesti diinginkan, jika semuanya begitu mudah untuk terwujud dan tercapai? Dan begitu mudah untuk dibentuk hanya dengan sebuah ucapan? Dan rasa-rasanya, tanpa mereka sadari tubuh mereka pun mulai mengeluarkan serabut. Serabut halus. Serabut yang entah apa warnanya. Tapi begitu berkilau. Dan begitu menerangi tempat di mana mereka berada. Dan saking terangnya, apa-apa yang bergeriapan di sekeliling mereka pun terlihat. Apakah itu yang terbang, merayap, berguling, atau hanya sekadar terpaku tak bergerak. Semuanya terlihat. Dan semuanya seakan-akan memang begitu bahagia hanya untuk dapat terlihat. *** ”Akh, aku tak jadi menyeberang deh!” ”Loh?” ”Iya. Jika akhirnya cuma seperti itu, terus buat apa.” Ya, ya, itu adalah perkataan Jose di pagi ini. Perkataan yang mungkin kesekian kalinya. Dan memang perlu kalian ketahui, Jose adalah satu-satunya orang yang kerap membatalkan niatnya ketika akan menyeberangi jembatan. Padahal, jika boleh aku bercerita pada kalian, semua yang ada di diri Jose sudah mumpuni. Dan layak untuk mencapai kesempurnaan. Lain itu, barangkali, hanya Jose-lah yang telah digadang-gadang oleh semua orang untuk segera menyeberang. ”Tapi, siapa nanti yang akan memberi makan kucing-kucingku?” sergah Jose. Kucing? Astaga, inilah alasan sejak dulu yang mengganjal diri Jose untuk menyeberang. Alasan untuk memberi makan kucing-kucingnya. Dan kini, kucing-kucing Jose tidak lagi lima atau enam ekor. Tapi mungkin hampir lima puluh ekor. Dan setiap pagi, siang, dan sore selalu diberinya makan. ”Kucing-kucingku butuh makanan yang layak?” begitu tambah Jose, ”Sebab kucing-kucingku itu hampir tiap malam mengejari tikus-tikus. Tikus-tikus yang gemar merusak setiap apa yang ada di kampung. Dan kalian tahu jugakan, tikus-tikus yang merusak itu, kini semakin banyak. Gemuk-gemuk. Dan ngawur-ngawur. Bahkan, saking ngawurnya, di siang bolong pun berani merusak juga. Seperti sudah tak ada lagi yang ditakuti.” ”Terus, kapan kau akan jadi sempurna?” tanya seseorang. ”Aduh, biarlah tak jadi sempurna. Asalkan kucing-kucingku masih dapat aku urus.” Dan seperti yang sudah-sudah, Jose pun kembali meninggalkan pinggir Jembatan Tak Kembali. Semua orang memandangnya. Semua orang melongo. Dan seperti pendekar dari dunia antaberantah, kucing-kucingnya pun mengintil. Kucing-kucing yang lucu. Kucing-kucing yang tangkas. Dan kucing-kucing yang membuat orang yang melihatnya jadi gemas. Bagaimana tidak gemas, kucing-kucing itulah yang kerap mengganggu mereka ketika sedang makan. Atau sedang enak-enak tidur. Sebab, tingkah laku dan suara ngeongnya demikian keras dan memekak. Apalagi jika sudah memasuki musim kawin. Ck ck ck kampung pun seakan-akan berubah menjadi panggung simponi yang ribut. Simponi yang sering membuat genting-genting bergeser. Jose, Jose, ya, itulah nama orang yang tak mau menyeberangi Jembatan Tak Kembali. Jembatan untuk memperoleh kesempurnaan. Hanya karena tak mau meninggalkan kucing-kucingnya. Dan karena ketakmauannya itulah, banyak orang di kampung yang membicarakannya. Ada yang bangga. Ada yang cuek. Dan ada pula yang diam-diam menyebut Jose sebagai si aneh. Si aneh yang lebih suka memberi makan kucing-kucingnya daripada mengejar kesempurnaan hidupnya. Dan mereka yang diam-diam menyebut Jose sebagai si aneh ini, semakin lama, semakin bertambah. Dan siasat pun mulai mereka gariskan. Yaitu, bagaimana caranya agar kucing-kucing Jose dapat berkurang. Mulailah mereka mencuri kucing-kucing Jose. Yang kuning. Yang coklat. Yang hitam. Yang putih. Dan yang kelabu pun dicurinya. Dimasukkan ke dalam karung dan dibuang ke luar kampung. Sampai akhirnya, kucing-kucing Jose habis. Dan Jose pun kelimpungan. Dan Jose pun menjadi sedih. Setiap waktu, setiap saat, kerjanya cuma mencari kucing-kucingnya yang hilang. Dan di antara rasa sedih dan mencari inilah, mereka yang telah mencuri kucing-kucing itu, berkata pada Jose: ”Jose, percayalah, kucing-kucingmu itu telah menyeberangi Jembatan Tak Kembali. Menyeberangi secara diam-diam.” Tapi anehnya, sejak perkataan ini terlontar, sejak itu pula sosok Jembatan Tak Kembali pun jadi menghilang. Tak berjejak. Seperti ditelan kegaiban. Dan tikus-tikus, yang kini tak lagi punya penghalang itu, pun segera merajalela di kampung! (Gresik, 2011) buat jose rizal manua dan maman s. mahayana
""Jembatan Tak Kembali""
Puncak kedigdayaan ilmu hitam itu adalah hidup abadi, alias tak bisa mati. Namun, setiap kaji-penghabisan tentulah membutuhkan pengujian, agar pencapaiannya benar-benar tak diragukan. Maka, pada suatu malam keramat, ia menggorok leher anjingnya hingga putus dari batang leher, dan kepala hewan itu menggelinding seperti buah mumbang jatuh dari pohon. Sebelum penyembelihan, ia memasang jimat di ekor anjingnya, disertai mantra gaib yang hanya bisa dilafalkan oleh pengikut jalan sesat seperti dirinya. Ia tidak bermaksud membunuh anjing kesayangannya, karena ia hanya sedang membuktikan kedahsyatan ilmu yang telah sempurna dikuasainya. Sembari menunggu jasad anjing tanpa kepala benar-benar tergeletak sebagai bangkai, dengan pisau yang sama, ia menyembelih leher sendiri. Juga putus, dan sebutir kepala menggelinding tak jauh dari kepala anjingnya. Dengan tangan bergelimang darah, ia memungut masing-masing kepala untuk dipasang ke masing-masing badan. Celakanya, tuan itu keliru. Ia menancapkan kepalanya ke leher anjing. Sebaliknya, melekatkan kepala anjing ke batang lehernya, hingga pada malam itu terwujudlah seekor anjing berkepala manusia, dan seorang manusia berkepala anjing. Seketika, kedua makhluk ganjil yang tak direncanakan itu melesat lari menuju arah yang berlawanan. Dan, selama bermusim-musim mereka tidak pernah bertemu. Puluhan tahun kemudian, di malam gelap-bulan orang-orang kampung Lubuktusuk mendengar bunyi gemerincing rantai akibat gesekan-gesekan dengan kerikil jalan. Anjing berkepala manusia dipercayai sedang berkeliling kampung, mencari kepalanya yang telah berpindah ke lain tubuh. Gemerincing itu mengerikan. Orang yang terbilang paling berani berhadapan dengan jinaku atau hantu-belau sekalipun, bila mendengarnya tetap saja gamang. Ketimbang turun, dan memeriksa asal bunyi ke halaman, ia lebih memilih merapatkan selimut kain sarung. Bagi yang terbangun, akan berupaya tidur kembali hingga terbebas dari mendengar bunyi itu. ”Hantu pemburu”, begitu mereka menamainya. Bukan pemburu babi, sebagaimana anjing-anjing biasa, tapi pemburu kepala sendiri, yang sudah hilang selama berpuluh-puluh tahun. *** Kenapa mereka hanya memercayai bahwa yang beralih-rupa menjadi hantu adalah anjing berkepala manusia? Ke mana perginya tuan pemilik anjing yang sudah pula beralih-wujud menjadi manusia berkepala anjing? Bukankah beberapa saat menjelang subuh, di kampung itu juga terdengar suara lolongan yang meremangkan segala macam bulu? Lolongan yang tersimak bagai rintihan kesakitan, dan sekali waktu terdengar bagai isyarat meminta pertolongan. Apakah tidak ada kemungkinan bahwa suara itu datang dari mulut manusia berkepala anjing? Tak ada yang berpikir sejauh itu. Mereka menganggap tuan pemilik anjing telah raib sejak peristiwa malam keramat. Perihal kehilangan itu, ada dua riwayat yang tertanam di Lubuktusuk. Pertama, selepas malam celaka itu, tuan yang setelah diurai silsilahnya ternyata bernama Tungkirang, hengkang dari Lubuktusuk. Mustahil ia bertahan di kampung dengan gelar ”anjing” di belakang namanya, dan lebih tak mungkin lagi, mempertontonkan tabiat anjing di tengah-tengah kampung. Ia bertolak ke selatan, menuju rimba Puncak Sicupak, hutan pekat yang pada masa itu belum terjamah. Di sana ia membuat sarang yang tersuruk di kedalaman belukar. Dimangsainya segala macam hewan berdaging, mulai dari babi, kijang, hingga ular dan biawak. Tatkala rimba Puncak Sicupak mulai dijejaki orang, beberapa pencari kayu gaharu dikabarkan hilang di sana. Konon, mereka telah diterkam oleh Tungkirang, manusia berkepala anjing. Itu sebabnya, di masa kini, orang-orang yang bepergian melewati Puncak Sicupak, melepaskan seekor anak ayam ke dalam rimbun semak, sebagai penghormatan pada Tungkirang. Kedua, Tungkirang bertolak ke kota. Zaman itu, jalan belum diaspal, dan setiap perjalanan masih ditempuh dengan pedati, atau berjalan kaki. Namun, Tungkirang menapakinya dengan berlari secepat mungkin. Siang ia bersembunyi di tempat-tempat sepi, dan bila malam tiba ia kembali berlari, dan berlari. Begitulah pengembaraannya dari satu kota ke kota lain, dari tahun ke tahun, hingga tibalah ia di sebuah kota besar yang kini menjadi kiblat para perantau. Di kota itu Tungkirang diselamatkan oleh seorang lelaki yang kelak ditakdirkan menjadi penguasa. Lantaran budi-baiknya, Tungkirang menghamba sebagai anjing istana. Dengan ketajaman penciuman yang menakjubkan, ia mengendus setiap muslihat yang hendak menjatuhkan kuasa tuannya. Suatu ketika, tuannya tertuduh sebagai otak di balik skandal penggelapan uang negara, yang bila terbukti bakal menggulingkan kekuasaannya. Di sinilah kehebatan Tungkirang diperlukan. Setiap gelagat yang mengungkit-ungkit keterlibatan tuan itu sudah diendusnya lebih dulu, dan lekas dilaporkannya. Tak ada yang luput dari pengendusan manusia berkepala anjing, hingga tuannya nyaris tak tersentuh. Ia berlumur dosa, namun tampak suci, bagai tanpa noda. Tanpa Tungkirang, tentu ia sudah meringkuk di penjara. Itu sebabnya, musuh-musuh tuan besar terus bersiasat guna menaklukkan Tungkirang, atau sekalian melenyapkannya bila perlu. Seorang peramal yang dipekerjakan oleh salah satu musuh tuan besar menyarankan: ”Satu-satunya cara melumpuhkan anjing itu adalah mengembalikannya menjadi manusia.” ”Bagaimana caranya?” ”Bius. Lalu, culik!” ”Tuan baru berpikir akan mencelakainya, Tungkirang sudah tahu. Ia lebih licin dari intel paling lihai sekalipun.” Dengan kemampuan gaib tingkat tinggi, peramal dapat menjelaskan asal mula anjing istana itu. Tersebutlah sebuah kampung bernama Lubuktusuk. Banyak yang ragu, banyak pula yang bersetuju. Tapi demi tegaknya keadilan, dikirimlah utusan guna mencari makhluk berwujud anjing berkepala manusia. *** Orang-orang Lubuktusuk tidak perlu takut lagi pada gemerincing rantai yang dulu mengancam di malam gelap-bulan. Sebab, anjing berkepala manusia sudah tertangkap. Rantai itu kini berada di genggaman lelaki pencari madu-lebah bernama Tembiluk. Orang-orang Lubuktusuk menamainya ”manusia rimba” karena lebih kerap tinggal di hutan ketimbang menghuni rumahnya di kampung Lubuktusuk. Ia hanya akan turun ke kampung bila madu-lebah hasil panjatannya sudah cukup untuk dijual ke pasar. Atau bila ada panggilan darurat dari tetua kampung karena ada persoalan genting yang tak terselesaikan. Misalnya, ada jagoan yang memeras petani-petani karet, atau sekadar menggertak orang-orang yang diam-diam menjual getah karet ke luar Lubuktusuk ketimbang pada tengkulak induk-semang mereka. Para jagoan itu sukar ditaklukkan lantaran rata-rata mereka adalah para pengguna ilmu sesat yang sudah pasti kebal senjata. Orang yang sanggup meladeni ancaman itu hanya Tembiluk. Sudah tak terhitung begundal yang ia patahkan tiada ampun. Baginya, tidak ada orang yang benar-benar kebal. Tak bisa ditikam dengan pisau atau lading, dengan ilalang atau butiran padi ia menusuknya. Bila tak mempan, ia akan mengerahkan kesaktian paling ampuh; meneriakkan sebuah mantra di pangkal telinga musuh. Keparat pengacau seketika akan menggigil ketakutan dan lari terkangkang-kangkang. ”Seumur-umur ia tidak akan berani lagi menginjakkan kaki di kampung ini,” begitu biasanya Tembiluk menegaskan. Ini pula yang terjadi pada suatu musim kemarau, semasa sapi dan kambing peliharaan orang kampung kerap menjadi santapan harimau lapar. Tembiluk memaklumatkan teriakan di mulut rimba pada suatu petang. ”Huaaaaaaaa, uwiwua, uwiwua, huaaaaaa,” begitu kira-kira bunyinya. Menurut para tetua, alamat teriakan Tembiluk mendengar mantra itu bagai sambaran petir yang mematikan. Sejak itu, di musim kering paling ganas sekalipun, tiada seekor harimau pun yang masuk kampung. Begitulah sepak-terjang Tembiluk yang telah meringkus anjing berkepala manusia. Setelah mendengar teriakan maut Tembiluk, makhluk itu berubah jinak dan menurut saja ketika Tembiluk menggiringnya ke rimba Bukit Kecubung. Ia mengatakan bahwa tuan yang dicari-cari anjing itu telah enyah dari Lubuktusuk, hingga percumalah segala upayanya selama ini. Anjing berkepala manusia sudah punya tuan baru. Sebagai balasan atas kebaikan Tembiluk, ia mengabdi sebagai anjing peliharaan yang saban petang berkeliling rimba guna mengendus sarang lebah siap-panjat. Tembiluk merawat anjing itu seperti merawat telapak kakinya sendiri. Pertemanan mereka berlangsung lama, hingga pada suatu hari rimba Bukit Kecubung dikunjungi gerombolan orang berpenampilan necis. Mereka memohon kesediaan Tembiluk untuk menyerahkan anjing berkepala manusia itu. ”Masa depan negeri ini sangat bergantung pada hewan milik Bapak,” bujuk salah seorang dari mereka. ”Menyerahkan makhluk itu sama artinya dengan menyelamatkan bangsa.” Jauh sebelum kedatangan mereka, Tembiluk sudah tahu bahwa manusia berkepala anjing telah menjadi biang kebangkrutan. Uang rakyat terus- terusan dirampok, pejabat bersekongkol dengan aparat, hukum tajam ke bawah. Pemimpin terpucuk yang telah menyengsarakan rakyat harus segera diseret ke meja hijau. Tapi, Tungkirang terus menghadang. Ia akan berhenti bila sudah dipertemukan dengan anjing peliharaannya, bila mendapatkan wajah asalinya. Anjing berkepala manusia menghentak-hentak, lantas lari terengah-engah. Ia menolak dibawa pergi meski akan bertemu dengan tuan masa silamnya, dan akan kembali menjadi anjing biasa. ”Hanya Bapak yang bisa menangkapnya,” harap ketua gerombolan. Mudah bagi Tembiluk mengembalikan hewan itu. Ia tidak lari, hanya bersembunyi dari orang-orang yang tampak begitu bernafsu. Tembiluk tak bisa melihat kejernihan di raut wajah mereka. Keruh sempurna. Alih-alih itikad baik untuk menyelamatkan negeri itu, Tembiluk justru menangkap isyarat tentang watak kemaruk. Ketajaman penciuman anjingku juga ajaib, sebagaimana Tungkirang. Dengan hewan itu, mereka bisa memancangkan kuasa baru yang jauh lebih rakus, batin Tembiluk, sebelum ia menghilang di kedalaman rimba. Tanah Baru, 2012
""Tembiluk""
Masalahnya banyak sekali yang berhubungan dengan Bu Geni. Semua penduduk yang ingin mengawinkan anaknya, pilihannya hanya satu: Bu Geni, juru rias pengantin. Banyak perias pengantin lain, tapi tak bisa menyamai Bu Geni. Bahkan setelah banyak salon, pilihan tetap pada Bu Geni. Menurut yang sudah-sudah, Bu Geni bukan perias biasa. Beliau mampu mengubah calon pengantin perempuan menjadi sedemikian cantiknya sehingga benar-benar manglingi, tak dikenali lagi. Salah satu keistimewaan beliau adalah menyemburkan asap rokok ke wajah calon pengantin. Menurut tradisi, katanya ini disembagani, dijadikan seperti kulit tembaga. Bukan emas. Hampir semua perias pengantin memakai cara yang sama, namun tak ada yang menyamai kelebihannya. Pernah dalam satu hajatan, tuan rumah pingsan karena disangka anak perempuan yang dinikahkan kabur. Ibu calon pengantin pingsan, bapak calon pengantin malu, dan sanak saudara mulai mencari ke teman-temannya. Padahal, sang calon pengantin ada di rumah. Bahkan setelah ditemukan, ibu calon pengantin masih menolak: ”Itu bukan anak saya. Itu bukan anak saya.” ”Ya sudah kalau bukan anakmu, berarti anakku. Ayo kita pulang.” Baru kemudian ibu calon pengantin sadar, dan mengatakan: ”Bagaimana mungkin anakku bisa secantik ini?” Padahal Bu Geni tidak selalu menyenangkan. Suara keras, dan membuat pendengarnya panas. ”Ini anak sudah hamil. Kenapa kamu sembunyikan. Kenapa malu? Mempunyai anak, bisa hamil itu anugerah. Bukan ditutup-tutupi, bukan dipencet-pencet dengan kain. Itu kan anak kamu sendiri.” Kalau tak salah, kejadian itu berlangsung di rumah Pak Bupati. Sehingga, kabar menyebar dan masih tergema, jauh setelah peristiwa itu usai. Pernah pula nyaris menggagalkan upacara perkawinan hanya karena Bu Geni melihat wajah calon pengantin suram. Biasanya dua atau tiga hari sebelumnya, Bu Geni memerlukan bertemu langsung dengan calon pengantin perempuan. Kenapa bukan dengan calon pengantin laki-laki? ”Lho kan nasib dia berasal dari sini.” Sewaktu ketemu calon yang dianggap berwajah muram, Bu Geni berkata: ”Tak bisa, kamu harus ceria dulu.” Padahal, undangan sudah disebar. Tempat resepsi sudah diberi uang muka. Yang lebih penting lagi, makanan sudah dipersiapkan. Kisah ini menjadi biasa kalau berakhir dengan pembatalan. Yang tak biasa adalah dua hari kemudian ada bis terjun ke jurang. Menurut perhitungan, kalau benar perkawinan diadakan tanpa pembatalan, kemungkinan besar calon pengantin pria masuk jurang, karena memang rencananya naik bis itu pada jam itu. Kisah Bu Geni bersambung ketika diminta merias anak menteri—mungkin menteri koordinator, tapi menjawab: ”Anaknya suruh ke sini saja. Kalau saya tinggalkan yang di sini, banyak yang dirugikan.” Pada tanggal 17 Agustus kemarin, warga sekitar kediamannya menunggu, apakah Bu Geni akan memasang bendera merah putih di rumahnya. Karena dalam perhitungan Bu Geni itu sama dengan 17 Agustus. Ternyata Bu Geni menyuruh pasang. ”Apa salah kalau mengibarkan bendera tanggal 17 Desember?” Para pejabat di desa ikut gembira, karena kalau Bu Geni tidak mengibarkan bendera pada peringatan kemerdekaan bisa jadi masalah. Tanggal 31 Desember berikutnya Bu Geni tidak berkeberatan ada pesta di rumahnya. Namun esok harinya tidak berarti tahun baru, melainkan 1 Desember lagi. Banyak yang mengatakan itu ngelmu Bu Geni sehingga selalu tampak muda. Dan Bu Geni memang selalu nampak sama, ketika seorang tetangga dirias, sampai anaknya dirias juga. Wajah dan penampilannya tetap sama. Ini bisa dibuktikan dengan potret yang diambil saat itu, dan 20 tahun berikutnya. Atau mungkin juga 20 tahun sebelumnya. ”Perkawinan adalah upacara yang paling tidak masuk akal, sangat merepotkan. Kalian semua ribut memperhitungkan hari baik, pakaian seragam apa, dan itu tak ada hubungannya dengan perkawinan itu sendiri. Lihat saja mereka yang pidato saat perkawinan, yang memberi wejangan, itu yang paling membosankan, paling tidak didengarkan. Tapi selalu diadakan. Begitulah perkawinan.” Agak aneh juga perkataan itu keluar dari Bu Geni, yang hidupnya justru dari adanya upacara perkawinan. ”Ya memang aneh, perkawinan kan keanehan. Karena yang aneh dianggap wajar, maka yang tidak menikah, yang janda atau duda, malah dianggap aneh.” Pada kesempatan berbeda, Bu Geni berkata: ”Jodoh adalah kata yang aneh untuk menyembunyikan ketakutan atau hal yang tak berani kita jawab. O, itu jodoh saya, biasanya orang bilang begitu. Atau kalau gagal, o, itu bukan jodoh saya.” Lalu Bu Geni tertawa lama sekali. ”Memangnya jodoh saya Pak Geni? Karena saya menikah dengan Pak Geni, itu jadi jodoh saya. Bukan karena jodoh saya Pak Geni kemudian saya menikah dengan dia. Lain kalau saya tidak jadi menikah dengan Pak Geni dulunya. Itu bukan jodoh saya.” Kenapa dulu kawin dengan Pak Geni? ”Ya karena sudah waktunya kawin, seperti yang lain.” Berarti tidak atas dasar cinta ketika menikah dengan Pak Geni? ”Seperti halnya jodoh, begitu kamu nikah ya itu harus diterima sebagai cinta. Itu lebih penting. Karena kalau mengandalkan cinta sebelumnya, bisa tidak langgeng. Yang kamu miliki itulah yang kamu cintai, dengan cinta sebelumnya atau tidak.” Pertanyaan itu terlontar, karena ada kabar Pak Geni akan menikah lagi. ”Ya biar saja, nanti aku akan merias pengantinnya.” Kalimatnya enteng, datar, nyaris tanpa emosi. ”Dilarang juga susah, dan tak ada gunanya. Boleh saja.” Mungkin itu sebabnya Bu Geni tetap bersedia merias calon pengantin yang akan menjadi istri kedua, atau ketiga. ”Biarlah orang merasakan kegembiraan sekali dalam hidupnya.” Bagi Bu Geni perkawinan adalah kegembiraan, sukacita. ”Kalau saat kawin saja kamu tidak merasa gembira, kamu tak akan menemukan kegembiraan yang lain.” Menurut Bu Geni, tak ada perkawinan yang gagal, karena perkawinan sendiri bukanlah keberhasilan. ”Yang diperlukan hanya sedikit keberanian, dan banyak kebodohan, itulah modal kawin. Untuk bercerai, diperlukan banyak keberanian dan sedikit kebodohan.” Apakah Bu Geni pernah berpikir bercerai dengan Pak Geni. ”Saya tak pernah memikirkan bercerai. Kalau ingin membunuhnya, sering.” Begitulah Bu Geni yang juru rias pengantin, telah merias semua perempuan di desanya. Boleh dikatakan semuanya yang kawin dan yang tidak. Yang terakhir ini dilakukan Bu Geni pada mayat perempuan yang meninggal sebelum menikah. Sebelum dikuburkan, Bu Geni merias dengan komplet. Banyak yang tidak setuju, banyak yang menyayangkan, banyak yang menjadi takut dirias. ”Ketakutan terwujud pada perkawinan. Takut terlalu bahagia, terlalu bebas, terlalu nikmat, makanya kita mengikatkan diri pada perkawinan yang banyak mengatur tanggung jawab, mengatur kewajiban. Termasuk memberi nafkah, membesarkan anak-anak. Aneh saja, tapi pada dasarnya kita takut dengan kebahagiaan diri kita sendiri, dan membatasi dengan adanya kuasa Tuhan.” Meskipun mengatakan bahwa penemuan manusia yang paling membelenggu dan menakutkan adalah perkawinan, Bu Geni masih terus merias dengan mengepulkan asap rokok. Bagi seorang yang mampu menciptakan waktu untuk diri sendiri—meskipun masih terikat pada bulan Desember, Bu Geni bisa merias manusia, mayat, juga pernah merias patung pengantin dan pepohonan juga kerbau. Bu Geni juga memberi sembaga, sama seriusnya dengan berpuasa sebelum merias. ”Biarkan kerbau merasakan kegembiraan. Sebagaimana yang kita percayai selama ini bahwa perkawinan adalah kegembiraan.” Semua ini, untunglah hanya terjadi pada bulan Desember.
""Bu Geni di Bulan Desember""
Aku mengerti perasaanmu. Begitu bernafsukah kau ingin datang ke kotaku? Begitulah yang aku rasakan dalam setiap detak nadimu. Tetapi aku tahu, kau hanya ingin mengembara lepas dalam batin kami yang menderita. Aku pun tak berharap kau datang ke kotaku. Cukuplah kau saksikan dengan mata hatimu, aku sudah gembira. Aku gembira membaca bait-bait resahmu, yang kau tuliskan dengan tinta yang ragu-ragu keluar dari penanya. Tetapi tak apalah. Kau salah satu yang aku kagumi. Penderitaan memang tak perlu dibaitkan dalam kata-kata terang. Karena kata-kata terang sering menjadi pelipur lara belaka. Dan kau tahu, kotaku perlahan-lahan tenggelam tidak hanya dalam lumpur tetapi dalam timbunan retorika. Ketahuilah, kami yang kini tinggal di kota lumpur, telah banyak mereka-reka dan mengais-ngais kata-kata terang tetapi gelap maknanya. Aku tahu, kau menuliskan dengan bahasa bersayap, tetapi aku merasakan irisan-irisan makna yang kau hujamkan ke ulu hati. Karena itu, aku tak ingin kau datang ke kotaku. Mata hatimu mungkin akan lebih tajam melihat derita kami, daripada kau ingin bermetamorfosis menjadi guru bahasa, guru pengocok moral atau menjadi pengabar yang sok pintar. ”Tidak! Aku cukup lega membaca isi hatimu!” Bertapalah di gunung batinmu. Jangan datang ke kotaku. Kotaku, kini hilang. Kini yang tertinggal hanya kenangan dan harapan-harapan. Tak ada yang tersisa, selain kata sesal. Dan sepucuk atap rumah yang gentingnya menyumbul di antara hamparan lumpur kering dan pucuk-pucuk pohon yang meranggas. Tak ada yang tersisa. ”Kini semuanya telah ditelan waktu. Kotaku hilang tak terkenang!” Tapi kalau kau ingin datang ke kotaku, gantilah hatimu dengan batu. Kantongilah sekarung nyawa. Ke kotaku kini hanya ada satu jalan, jalan maut! Di jalan itu akan kau jumpai monster-monster kecil penghisap darah. Di jalan kau akan jumpai pohon-pohon hidup, yang bisa menjerat lehermu hingga putus. Jebakan demi jebakan harus kau waspadai. Orang-orang yang berniat baik bisa berbalik menjadi perampok yang ganas. Di setiap tikungan, kau harus waspada, karena di situ banyak pengemis bersenjata tajam akan menghunuskan arit ke lehermu bila kau tidak memberi uang barang satu perak pun. Bila kau lolos di jalan maut, kau tak perlu bergembira. Karena setelah itu kau akan menemukan jalan yang bercabang-cabang, mirip labirin. Kau harus pandai memilih jalan yang tepat. Bila salah pilih, jangan harap kau bisa kembali menjadi manusia. Kau pasti akan menjadi lintah, atau semacam belut yang hidup di rawa-rawa, yang kini dikuasai oleh monster-monster berwarna-warni. ”Kau tahu, jalan yang bercabang-cabang itu sebenarnya tak akan sampai ke kotaku!” Karena itu, ketika kau memutuskan untuk datang ke kotaku, siapkan dirimu menjadi pahlawan kesiangan atau kalau mau hidup jadilah monster. Kotaku, seperti yang kau tulis, ”Maka lumpur pun datang, dan penduduk kota hilang,” tidaklah salah. Untuk mencari rumahku, kau harus menjadi superhero yang gagah berani. Kau harus menjadi manusia tak terkalahkan. Kau harus menjadi seperti Gatutkaca atau Antareja yang mampu terbang dan menembus perut bumi. Tetapi kau bisa juga menjadi Sangkuni yang pandai bersilat lidah dan tipu muslihat. Atau kau bisa menjadi badut. Kau akan mudah masuk dengan gaya leluconmu. Kau akan dikerumuni anak-anak kecil yang haus hiburan. Mereka anak-anak yang tak lagi mengenal masa depannya. Hanya dengan leluconlah kau bakal hidup panjang. Meski begitu, kau jangan berharap telah sampai ke kotaku. Mungkin kau masih menempuh separuh jalan. Atau barangkali kau masih jalan di tempat. Tak ada yang tahu berapa jauh jalan yang harus ditempuh hingga sampai ke kotaku. Tak ada yang tahu. Kotaku telah hilang dalam peta. Barangkali, kotaku telah berada dalam perut paus atau terkubur dalam perut bumi, atau masih dalam genggaman monster warna-warni, juga tak ada yang tahu. Bagi kami, jalan kota kami telah tertutup rapat dari dunia. Tak ada jalan lain, selain jalan ke langit. Tak ada kata-kata, selain doa. Tak ada harapan, selain harapan untuk mati. ”Apakah kau siap, kawan?!” Memasuki kota kami, melalui jalan labirin itu, tajamkan mata dan hati. Bersiaplah kau menerima jebakan-jebakan yang lebih maut dari jalan maut. Jangan asal melangkah, karena di setiap jengkal, arti langkahmu sangat menentukan nasibmu. Dan kau tahu, orang-orang di kotaku telah banyak yang menjadi lintah, belut, dan bahkan ubur-ubur, karena salah melangkah. Atau memang mereka ingin menjadi monster jalan labirin daripada hidup dalam kubangan lumpur. ”Aku menyesal sebenarnya, tak bisa menuliskan kabar ini secara benar!” Tak ada kebenaran di kota kami. Kebenaran telah dirampok. Kebenaran menjadi bahasa yang berbelit-belit dan sulit dipahami maknanya. Kebenaran dan kepalsuan menjadi tipis jaraknya. Dan kau tahu, banyak di antara kami yang silau oleh kepalsuan yang berlapis kebenaran. Kami tidak salah. Kami dijebak oleh monster-monster penguasa jalan-jalan labirin. Meski demikian, banyak yang memilih menjadi dan hidup dalam lumpur daripada menjadi lintah atau menjadi budak para monster. Dan kau tahu, dalam bait suratmu yang kau suarakan melalui hatimu, kau tulis dengan gamblang: ”Semula ada yang mengira mereka memilih jadi ikan, memasang semacam insang di leher dan sejak itu menjadi bisu….” Pada mulanya memang itulah yang kami tempuh. Kami diam dan pasrah ketika air bercampur lumpur perlahan-lahan menggenangi kota. Ketika air meninggi dan lumpur semakin mengendap, kami harus mengambil pilihan. Bertahan hidup menjadi ikan atau menjadi monster di daratan? Kamu tahu, kami banyak yang memilih menjadi ikan meski air begitu keruh. Tapi setidaknya aku dan orang-orang di kota masih bisa bernapas sambil mengikuti arus, ke mana mengalir. Tetapi tidak tahulah, lama-lama arus air dan lumpur begitu deras dan pekat. Kami yang dulunya bisa bernapas, tiba-tiba terasa sesak. Dan tiba-tiba kami seperti hidup dalam pekat gelap. Dalam gelap pekat itu muncul sekelompok ikan dengan gigi dan sisik tajam, yang dipimpin ikan berkepala besar berbelalai banyak. Ikan yang kami sebut sebagai gurita itu, belalainya begitu terampil menangkapi ikan-ikan kecil untuk dijadikan makanannya. Kau harus tahu, gurita itu begitu cengeng. Setiap kali ia ingin menghisap darah kami, ia merajuk pada ibunya. Dan ibunya selalu muncul dalam bayang-bayang masa lalunya yang kelam, berkata, ”Hisaplah nak, demi hidupmu?” Kamu tahu, kau tulis dalam degup jantungmu yang paling keras, ”Lalu sejak itu muncullah sekelompok ubur-ubur sebesar kepingan uang recehan yang berbiak dan nyaris memenuhi genangan.” Apakah kau masih ingin ke kotaku? Lewat suara hatiku ini, kusarankan, lebih baik urungkan saja niatmu. Meski kotaku kini telah berdiri papan nama bertuliskan: ”Wisata Kota Lumpur”, lebih baik kau jangan percaya dengan bahasa terang itu. Itu bahasa jebakan untuk mengais simpati. Bila kau tak tahu, kau akan jadi ikan-ikan dalam kekuasaan ikan berkepala besar berbelalai banyak. Kalaupun kini banyak orang melihat dan mencari-cari sisa kota kami, mereka tidak tahu, kota kami telah digondol ikan berkepala besar berbelalai banyak, menghilang dalam lautan lepas. Kau tahu, mereka yang mencari sisa-sisa kota kami berdiri di atas bukit yang membentang sampai cakrawala, seperti benteng, yang membentengi lautan lumpur. Orang-orang itu mencoba mencari kegembiraan kecil, atau mencoba menyelami penderitaan kami. Tak ada yang tahu. Kami benar-benar jauh dalam genggaman ikan berkepala besar berbelalai banyak. Dan kau sangat tahu, dalam teriakan bahasa hatimu yang aku tangkap samar-samar, kau menulis: ”Ada kapal-kapal tanker besar menanti. Para nakhodanya bertubuh besar dan bertangan banyak sekali. Sebagian dari tangan-tangan itu memegang senapan. Sebagian lagi terus-menerus menekan angka-angka di mesin hitung dan pencatat waktu. Para kelasinya tak pernah menginjak bumi dan tak pernah berdiam, kerja siang malam….” Kini apakah pantas kotaku, rumahku, namaku, kau cari-cari dalam timbunan lumpur yang semakin menggunung itu? Apalah arti kotaku, apalah arti rumahku, apalah arti namaku, sedangkan Marsinah saja telah menjadi purba! Tugu kuning tempat Marsinah diculik juga telah musnah. Sia-sia! ”Amnesia! Udara pengap kota kami menjadi virus lupa ingatan!” Tak perlulah kau ingat. Tak perlulah kau kenang. Tunggulah, pada suatu saat nanti kotaku akan kau temukan dalam pesta pora para monster menyambut kemenangan dewa ikan berkepala besar berbelalai banyak. Dalam mesin hitung, kami telah dipurbakan. Kami diendapkan dalam waktu dan pada suatu saatnya nanti, kota kami digali dari kuburnya. Nama-nama kami dicatat, bendera-bendera berkibaran dalam pesta dewa ikan berkepala besar berbelalai banyak. Kota baruku akan ditemukan dengan nama yang ditulis dengan huruf Palawa: Kahuripan. ”Apakah kau tahu arti Kahuripan?” Sebenarnya kotaku tak bisa dimatikan, karena sikap teguh kami untuk tidak kompromi. Kotaku tak bisa dihilangkan begitu saja. Ia akan lahir kembali dalam kenangan yang mengekal dan banal. Pesanku, kalaupun pada suatu saat nanti kotaku tak ditemukan, maka kenanglah kotaku seperti dalam suara keras hatimu di bait terakhir: ”Dulu di sana, para petinggi agama berkhotbah tak henti-hentinya”. Itulah semulia-mulianya kenangan. Sidoarjo, 2011 Catatan: 1. Cerita ini terinspirasi dari puisi: Kisah Kota Lumpur, Hasan Aspahani, 2006. 2. Semua kutipan berasal dari bait puisi: Kisah Kota Lumpur, Hasan Aspahani, 2006.
""Mengenang Kota Hilang""
Idang memang tak seperti kebanyakan perempuan lainnya yang hidup di pegunungan Meratus. Ia suka memanjat pohon, hal yang hanya pantas dan perlu kekuatan seperti dimiliki anak laki-laki. Ia juga kerap melakukan perjalanan sendiri ke hutan-hutan terdalam, hutan-hutan terlarang. ”Aku banyak menemukan makhluk-makhluk aneh di sana. Mereka bersahabat,” ceritanya kepada teman-teman sebaya, yang karena cerita semacam itu pula menyebabkan ia perlahan-lahan dijauhi teman-temannya. Namun ia mengaku tak pernah merasa kesepian. ”Teman-temanku di dunia lain jauh lebih banyak,” seseorang bercerita kepadaku menirukan ucapannya. Tabiat ini kemudian dikait-kaitkan orang dengan almarhum ayahnya yang seorang balian, seorang dukun kesohor. Ayahnya dikenal sebagai panggalung, dukun sakti yang karena karismanya sanggup memanggil, mengikat, dan mendatangkan orang-orang dari kampung-kampung jauh. Ayahnya meninggal kala ia usia 12 tahun. Ibunya lebih dulu tiada, tak tertolong saat melahirkannya. Entah dari mana mulanya, kenyataan itu membuat Idang dianggap sebagai pembawa kemalangan dalam hidup. Dengan hidup hanya ditemani nenek dari ibunya, Idang tumbuh menjadi perempuan pendiam, penyendiri. Dan bila pun ia bicara dan bercerita kepada anak-anak sebayanya, maka itu adalah cerita tentang mimpi-mimpi, tak jauh dari cerita tentang ular dan ayahnya. *** Balai Atiran terang benderang. Orang-orang mulai berdatangan memasuki rumah besar panggung itu. Enam keluarga yang berdiam di dalam balai, sudah sejak gelap pertama duduk di depan pintu bilik masing-masing yang tampak gelap seperti goa, hingga pintu yang terbuka itu layaknya kain hitam yang menempel di dinding balai. Mereka menjamu, menjadi tuan rumah aruh yang dihelat di tengah-tengah ruang balai yang malam itu berbilas cahaya dari lima lampu petromaks. Barisan-barisan tamu dari bukit-bukit jauh silih bergantian datang. Arak-arakan kecil itu sebagian datang dengan berpenerang obor, sinter, atau hanya mengandalkan terang langit di atas jalan yang membelah hutan pegunungan Meratus. Malam tak berbulan. Kaki-kaki tak beralas menapaki jalan-jalan basah dibasuh sebelum menaiki tangga balai sepuluh undakan. Tua muda, laki perempuan, dan anak-anak. Di antara mereka ada yang membawa hasil kebun: kemiri, keminting, atau sayuran yang diberikan kepada ibu-ibu dan dara-dara yang bekerja di dapur mempersiapkan jamuan. Ada dua ekor babi yang telah dikorbankan untuk upacara, dan setengah karung beras dimasak di dalam sebuah kuali besar. Para undangan sudah mulai memenuhi ruangan balai. Duduk berlapis-lapis membentuk segi empat sepanjangan ruang balai yang polos, hingga mempertegas tiang-tiang kurus ulin balai yang menjangkau langit-langit tinggi. Hanya ruang segi empat kecil di tengah-tengah balai yang dibiarkan terbuka, dengan segenap syarat-syarat upacara: menyan dan sebilah keris tua telanjang jangkung kehitaman. Seorang lelaki tua namun terlihat penuh wibawa duduk bersila. Kepalanya dibebat kain. Sementara mulutnya tak henti mengembuskan asap tembakau yang dilinting kulit jagung kering. Dialah damang, yang konon usianya sudah lebih satu abad. Wajahnya yang penuh kerutan waktu mengingatkan pada rekahan-rekahan batang pohon tua dalam hutan terdalam. Damang Itat, begitulah orang-orang Meratus memanggilnya, yang malam itu akan menjadi pemimpin upacara aruh. Segala berpusat pada lingkaran tari di tengah. Berputar-putar. Bergelombang. Menyedot seperti kitaran angin limbubu. Diam yang mengalir dalam mantra-mantra dan tarian purba. Pada apa kata menjadi sakti. Tiga lelaki terus bergerak. Kadang seperti melayang, membayang, tak berpijak tanah, tak berpijak bumi, mengambung dalam kisaran waktu yang terus beringsut susut. Tiga tubuh terus berputar-putar dalam tarian. Madah-madah dinyanyikan merasuk dalam rampak tabuh gendang dan denting gelang. Seperti suara alam yang tak pernah terduga. Mengentak. Melenting tajam menembus langit-langit balai. Menggetarkan udara yang berkibar-kibar dalam satu ruang. Tubuh-tubuh liat lepas, tak mengenal jeda, tak mengenal kantuk, tak mengenal tanah pijak. Mereka para balian yang menjalankan ritual pengobatan untuk seonggok tubuh yang terkulai layu di tengah-tengah balai, tempat segala sesembahan diluahkan. Balai itulah cahaya benderang satu-satunya di belahan hitam hutan Kalimantan Selatan yang sebenarnya tak lagi perawan. Sebuah kampung kecil, yang malam itu menghelat upacara ritual untuk si sakit. Tubuh kecil kurus anak usia empat tahun itu seperti kehilangan daging dan air. Hanya tulang-tulang berbalut kulit kering layaknya kulit kayu tua mengerut keras, yang cepat meretas seperti ilalang terbakar di musim kemarau yang mengerontangkan ceruk kehidupan. Warna kulitnya kuning serupa kunyit. Hanya matanya masih menyimpan kilat hidup, meski juga sudah meredup dalam napas yang beringsut ingin melepaskan rongga dadanya yang tipis, membayangkan keretak kayu lapuk. Jari-jari sapu lidinya menjentik pelan pada lantai beralas lampit, mengikuti irama tari tiga balian. Diisap buyu, penyakit menakutkan yang mengakrabi tubuh kecil tergolek di tengah-tengah balai. Tubuh yang diisap buyu adalah seperti merentangkan hidup di antara kematian. Darah, daging, dan air yang menjadi sumber tubuh menjadi tercemar dan kering, serupa hutan kehilangan keperawanannya menjadi ranggas dimakan hantu-hantu besi bernama buldoser dan gergaji dengan sang kendali pemakan segala; manusia. Sudah satu bulan tubuh kecil itu tak berdaya dalam pagutan buyu. Sudah tiga hari tiga malam tiga balian seolah terbang menari-nari mengusir sang buyu yang betah menghuni tubuhnya. Sebuah pengobatan yang dipercaya turun-temurun dapat mengusir roh jahat dalam tubuh si sakit. Namun, sudah tiga hari tiga malam ritual pengobatan dijalankan, roh jahat di tubuh si anak tak jua pergi. Segala permohonan dan doa telah dihaturkan para balian kepada sang ilah. Segala syarat: gula, beras, ayam, bubur, kopi, menyan, telah dipersembahkan. Si sakit tetap terkulai. Dingin tubuhnya, terkatup matanya. Tinggal jari sapu lidinya menjentik-jentik lantai. Tiga balian masih menari beriringan, berputar-putar dalam rampak gendang dan denting gelang yang tiada sepi. Seorang ibu muda yang telah kehabisan air mata terduduk lemas di sudut belakang balai. Kantung matanya menebal, rambut terbiarkan tergerai kusut berhari-hari tak tersisir tangan dan dilembutkan minyak jelantah. Ialah ibu si anak yang kini nyawanya tengah di awang-awang dalam pertolongan para balian yang terus menari dan merapalkan mantra-mantra. Kepala perempuan itu terkulai miring ke kiri bersandar pada bahu seorang ibu yang menjaganya. Sang ayah, yang duduk di antara para pria di dekat lingkaran upacara, sesekali menengok kepadanya. Hanya karena ia seorang ayahlah yang membuat lelaki itu tetap tegar mendampingi anak semata wayang mereka didera penyakit tak berampunan. Walau jauh di lubuk hati, ia sebenarnya telah mulai memupuk kerelaan bila sewaktu-waktu sang anak diambil sang ilah. Seperti menyibak kegelapan malam, meredam guruh gemuruh suara gelang dan mantra tiga balian, seorang perempuan muda tiba-tiba menghambur ke tengah upacara, menari-menari. Mulutnya merapal mantra-mantra yang tak pernah terbaca oleh balian mana pun juga, dengan diiringi denting gelang di kedua tangannya. Tiga balian lelaki terhenti. Orang-orang tersihir, terpaku menatap dalam keheningan. Hanya perempuan itu, ya, hanya perempuan itu yang menjadi pusat segala gerak, segala hidup. Ia terus berputar-putar, menari, merapalkan mantra dan mendentangkan gelang-gelang berat di kedua tangannya yang kurus panjang. Aduhai, Naik Kuda Sawang, sayang Dibelai angin *) Tak ada seorang pun yang tergerak menghentikan perempuan itu. Hingga akhirnya perempuan muda berambut panjang itu tersungkur ke lantai balai. Seluruh tubuhnya kuyup oleh peluh. Bersamaan itu pula, anak lelaki yang menjadi pusat pengobatan di tengah balai pelan-pelan bergerak seolah ingin bangkit. Orang-orang menyaksikan, kulit sang anak yang semula kering layaknya kulit kayu tua berubah seolah di bawahnya telah mengalir air kehidupan. Butir-butir peluh membasahi wajah dan seluruh tubuhnya. Kuning kunyit kulitnya pun memudar. Perlahan matanya terbuka, bercahaya. Bibirnya, yang meski masih tampak kering, perlahan berucap, ”Ayah….” Panggilannya pelan namun jelas. Seketika saja, orang-orang menghambur ke depan, mendekati tubuh kecil itu. Sang ayah dan ibu langsung memeluk dan menciuminya. ”Anakku… anakku… anakku..,” ucap keduanya sembari menangis dalam kegembiraan mendapati sang anak telah terlepas dari maut. Seolah tersadar, orang-orang kemudian mengalihkan perhatian kepada sosok perempuan muda yang masih tersungkur tak sadarkan diri di lantai. Sekejap saja mulut-mulut bergeremeng seperti sekumpulan laron terperangkap dalam botol. ”Siapakah dia?” ”Dari mana asalnya?” Tubuh itu tetap sepi, tertelungkup dengan rambut panjang tergerai masai. Satu dua orang kemudian tergerak menghampiri, lantas diikuti yang lain, lalu mengangkat tubuh perempuan itu ke salah satu bilik balai dan merebahkannya ke atas kasur tipis. *** Orang sekampung tidak pernah melupakan malam itu. Seorang perempuan terbilang muda tiba-tiba menjadi balian, menjadi dukun. Tidak pernah sebelumnya, sejak nenek moyang, seorang perempuan menjadi balian. Paling tinggi ia hanya menjadi pinjulang, pembantu dukun laki-laki. Tapi malam itu, Idang, seorang perempuan muda yang dianggap gila, menyeruak ke tengah-tengah upacara. Menari-nari, menyanyi, merapalkan mantra-mantra yang sebelumnya tidak pernah dibaca para balian. ”Ini menyalahi adat. Tidak pernah ada seorang perempuan, apalagi perempuan itu dianggap gila, bisa menjadi seorang balian. Ini alamat mendatangkan bencana,” ucap seorang lelaki tua di warung kepada dua lelaki yang lebih muda. Aku, yang meski berseberangan meja dengan mereka, masih dapat mendengarkan ucapan itu. ”Tapi ia telah berhasil menyembuhkan anak itu,” sahut salah satu lelaki muda sembari mengisap rokok. ”Betul, Pak. Saya ikut menyaksikan malam itu,” timpal yang seorang lagi setelah meneguk kopi hitamnya. Dengan wajah agak memerah, orang tua itu berucap, ”Kalian anak muda ini, tahu apa kalian tentang balian. Kalian lihat saja nanti, hutan dan kampung kita ini nantinya akan ditimpa bencana. Dan itu karena perempuan gila yang hendak menjadi balian.” Setelah membayar kopinya, lelaki tua itu pun pergi meninggalkan warung sambil menggerutu, ”Celaka… celaka… celaka.” Setelah lelaki tua itu agak jauh, seorang dari lelaki di warung berucap, ”Mungkin ia kecewa dan malu karena tak mampu menyembuhkan anak itu, meski diupacarai selama tiga malam.” Aku melakukan hirupan terakhir kopiku sebelum bersiap pergi meninggalkan warung. Aku harus segera memulai perjalanan sebelum matahari meninggi. Tugasku selama dua minggu melakukan penelitian, termasuk menyaksikan upacara balian, sudah berakhir. Selama perjalanan meninggalkan kampung di pinggiran hutan pegunungan Meratus itu, benakku terus dihantui cerita tentang Idang perempuan balian, dan lelaki tua di warung yang mengabarkan akan datang bencana di kampung dan hutan mereka. Entah, makna apa yang harus aku pahami. Namun aku tahu, sebentar lagi hutan tak jauh dari kampung itu akan dibongkar oleh sebuah perusahaan besar untuk mengeruk emas hitam dari perutnya. *) Kutipan ”Syair Induang Hiling” dalam buku ”Di Bawah Bayang-bayang Ratu Intan” karya Anna Lowenhaupt Tsing, yang sekaligus mengilhami cerpen ini.
""Perempuan Balian""
Musim dingin sudah datang. Tapi di kota ini tidak ada salju. Di Eropa, sungai dan laut menjelma daratan es. Puluhan orang mati kedinginan. Kereta membeku. Bandara membeku. Dua hari lalu televisi menyiarkan Pangeran Belanda, Johan Frisco, tertimbun longsoran salju waktu main ski di Austria. Dia masih koma. Saya dan Bidadari sering bertengkar, di musim apa pun, tentang apa pun. Dia sering menampar saya, tapi saya tidak pernah membalas tamparannya. Sebenarnya saya ingin membalas. Tapi yang terjadi saya hanya bertahan, tidak melawan. Dia juga melempari saya dengan barang-barang, yang kebetulan ada di dekatnya. Botol saus, gelas, piring, bantal, buku, jambangan bunga, lampu meja, sepatu, kursi…. Dia juga suka mencakar. Bidadari seharusnya tidak mencakar dan tidak punya cakar. Tapi dia mencakar. Memang bidadari yang langka. Sekarang saya bisa tersenyum membicarakannya. Tapi di saat kejadian, dunia ini seperti teraduk-aduk, berantakan sekali. Benda-benda bertaburan di sana dan di sini, seperti telur-telur ayam pecah. Di dinding rumah saya dulu ada lukisan pastel yang bagus. Abstrak. Komposisi warnanya hitam dan putih. Lukisan itu saya beli dari pelukisnya langsung, tetangga saya sendiri. Rumahnya merangkap galeri. Pengunjung mondar-mandir dalam rumah itu. Kami bisa melihat botol-botol selai di meja makan atau piring-piring bekas sarapan yang bertumpuk di bak cucian di dapurnya, atau melewati kamar tidur si pelukis atau kamar tidur anak-anaknya yang terbuka. Lukisan itu sekarang penuh bercak merah saus tomat, berada di gudang. Saya suka sekali lukisan itu. Saya kecewa, tapi Bidadari tidak minta maaf. Kuku-kukunya panjang. Goresannya membuat wajah saya terasa perih. Dia juga pernah meninju mata saya, sehingga saya seperti melihat ada benang-benang hitam kait-mengait, bergumpal-gumpal, melayang-layang di udara sesudahnya, selama beberapa hari. Saya pergi ke kantor dengan mata kiri diperban untuk menyembunyikan bekas ulahnya. Sewaktu rekan kerja saya memandang heran dan ada yang bertanya, ”Kenapa mata kamu, Jack?”, saya menjawab bahwa mata saya dicium bola basket waktu saya main basket. Ciuman panas. Mereka tertawa. Saya tidak melaporkan kejadian ini ke polisi. Bidadari bisa masuk penjara kalau saya melapor. Di lain waktu, saya bertahan dengan melindungi wajah saya dari serangannya dengan kedua tangan saya ini, tapi dia justru makin kalap. Kalau saya diam atau bertahan, dia tambah kalap. Kalau saya belum luka atau lebam, dia belum berhenti. Di hari yang membuat penampilan saya sangat buruk dan perasaan saya lebih kacau dibanding kejadian sebelumnya, saya memutuskan tidak datang ke kantor. Saya seharian di rumah dan kalau bosan, di sore hari saya mampir ke rumah sahabat saya, Tom. Ketika saya katakan bahwa saya seharian di rumah, dia langsung tahu apa yang terjadi. Kadang-kadang Tom bekerja sampai malam. Saya akan pergi ke rumahnya setelah jam makan malam, kemudian kami ngobrol sampai larut. Setelah bertengkar hebat, Bidadari akan mengangkuti semua barangnya ke mobil, membanting pintu depan dan pergi dari rumah saya, seolah-olah dia tidak akan kembali lagi. Setiap selesai bertengkar dengannya, saya benci sekali pada dia, sangat benci. Andaikata mobilnya terguling di jalan dan meledak, saya lebih senang. Artinya, hubungan kami benar-benar selesai. Tapi beberapa hari kemudian dia akan menghubungi saya dan saya menerimanya lagi. Dia membawa barang-barangnya lagi ke rumah, lalu menata semuanya di tempat semula, seperti pegawai museum memajang kembali koleksi yang sempat dicuri. Rumah Tom hanya 10 menit bermobil dari rumah saya. Dia berkali-kali meminta saya tidak lagi berhubungan dengan Bidadari. Kata Tom, sebenarnya Iblis adalah nama yang lebih sesuai untuk pasangan saya. Dia mengkhawatirkan keselamatan saya. Tapi saya tidak tahu cara yang tepat untuk menjauhi Bidadari. Dengan cara seperti menjauhi rokok, Tom memberi usul. Orang yang berhenti merokok kurang dari setengah tahun biasanya masih gampang tergoda untuk kembali merokok dan akan mencandu lebih parah. Orang bisa disebut bebas dari rokok setelah setahun tidak mengisapnya sama sekali. Setelah satu tahun itu berlalu, kamu bahkan tidak berselera lagi melihat rokok, tidak tertarik mencoba sedikit pun. Saya tidak tahu dari mana Tom memperoleh teori semacam itu. Saya dan Bidadari paling lama tidak saling menyapa hanya satu minggu. Kadang-kadang saya membawa Garcia, anjing kecil saya, ke rumah Tom. Garcia senang berada di luar rumah. Dia paling suka taman. Dia selalu menunggu saya pulang dari kantor untuk mengajaknya berjalan-jalan sebentar di halaman belakang atau ke taman dekat rumah. Sekarang dia sengaja saya kunci dalam kamar di lantai atas. Pagi ini saya tidak ingin dia berkeliaran di lantai bawah. Kalau saya dan Bidadari bertengkar di akhir pekan dan itu berkali-kali terjadi, saya memutuskan tidak menjemput putri saya, Anna, untuk menginap di rumah. Saya tidak ingin anak saya melihat ayahnya dalam keadaan berantakan. Anak saya harus mengenang saya sebagai ayah yang menyenangkan, membuatnya tenang dan gembira, bukan membuatnya khawatir dan sedih. Setelah itu saya akan menelepon Sue dan mengatakan bahwa saya sangat sibuk. Saya akan minta tolong kepadanya untuk membiarkan putri kami tinggal dengannya di akhir pekan itu. Seringkali Sue kesal pada saya dan wajar saja dia kesal, karena dia sudah ada janji dengan teman. Dia ingin saya yang menghabiskan waktu akhir pekan dengan Anna, karena akhir pekan adalah giliran saya bersama putri kami. Sue tidak pernah bercerita tentang pacarnya. Saya pikir, dia memang tidak punya pacar. Tapi saya sebetulnya tidak peduli dia punya pacar atau tidak. Sue juga tidak peduli pada saya. Sudah lama dia tidak peduli, sebelum kami akhirnya berpisah. Botol-botol minuman memenuhi tong sampah di dapur. Bir, Vodka, Tequilla….. Bidadari suka minum dan mabuk. Dulu saya jarang minum, tapi sejak saya berhubungan dengannya saya minum makin banyak. Umur saya 50 tahun. Putri saya, Anna, masih belajar di sekolah menengah atas. Sejak saya dan Sue berpisah tiga tahun lalu, putri kami harus membagi waktu untuk tinggal di dua rumah. Di hari Sabtu dan Minggu, Anna menginap di rumah saya. Senin sampai Jumat, dia tinggal bersama ibunya. Saya kesepian dan karena itu, saya memelihara Garcia. Sebelum Bidadari datang, saya sudah memelihara Garcia. Anna menyukai Garcia. Anjing saya mudah akrab dengan orang, sehingga siapa saja yang berkenalan dengannya langsung suka. Tom sebenarnya tidak suka anjing, tapi dia suka Garcia. Kadang-kadang saya mengajak Anna ke rumah Tom. Dulu saya dan Tom bertetangga. Rumah kami bersebelahan waktu saya baru menikah dengan Sue. Persahabatan kami ternyata langgeng, hampir 20 tahun. Tom berpisah dari Lizzy waktu anak mereka, Ricky, berumur delapan tahun. Lizzy menikahi pacarnya sebulan kemudian sesudah mereka bercerai. Tom sempat jadi peminum berat. Dia hancur-hancuran selama setengah tahun. Lizzy kehilangan selera terhadapnya. Tom terlalu suka bahaya. Dia pernah terancam hukuman mati dua kali, disandera pemberontak satu kali dan kena tembak tiga kali. Keuangan saya cukup kacau, setelah Bidadari hadir dalam hidup saya. Tapi saya memang bukan orang pelit. Teman-teman saya menganggap Bidadari hanya mengincar uang saya saja. Saya punya karier yang baik dan pemasukan yang lumayan. Saya merintis karier saya di kantor pemerintah kota. Bidadari kerja di sebuah klab malam. Gajinya tidak banyak. Kami sudah berhubungan selama dua tahun. Di tahun kedua kami berhubungan, dia pindah ke rumah saya. Sebab saya membutuhkan teman. Sejak Bidadari tinggal di rumah, saya jarang mengundang teman-teman saya untuk makan malam di rumah atau mampir di akhir pekan. Bidadari merasa tidak nyaman dengan kehadiran teman-teman saya. Dia merasa mereka mengejeknya di belakang punggungnya. Dia merasa dikucilkan tiap kali kami berkumpul. Itu tidak benar. Tom, meski kesal, justru paling ramah pada Bidadari. Dia senang membantunya menyiapkan makanan. Bidadari jauh lebih muda dari saya. Umurnya baru 30-an. Cantik? Bagi saya, dia menarik. Tapi dia memang tidak pernah keluar rumah tanpa riasan. Lagipula dia bekerja di tempat yang mengharuskannya berpenampilan begitu. Secara fisik, dia laki-laki, sama seperti saya. Tapi dia merasa perempuan. Sebenarnya orang-orang di kota ini ramah, bahkan kepada orang asing seperti kamu. Tidak seharusnya saya kesepian. Saya juga punya teman-teman baik. Tom sering menemani saya sarapan pagi di kedai kopi kesukaan kami atau menemui saya di jam makan siang, tapi bagaimana pun dia punya kehidupan sendiri. Kedai kopi favorit saya dan Tom, itu asyik sekali. Kedai Mexico. Makanan di sana murah. Saya dan Tom biasa memesan kopi, roti, dan tortilla isi telur dan keju. Tidak sampai enam dollar. Hari ini saya sengaja tidak sarapan di kedai kopi yang sama. Aneh rasanya Tom tidak akan sarapan lagi bersama saya di sana. Dua minggu lalu dia meninggal di Suriah, karena bom meledak. Dia sedang mewawancarai orang waktu itu. Di kedai ini makanan juga enak. Saya pernah makan di sini satu kali, dengan Tom dan anaknya, Ricky. Kalau Ricky lebih suka kedai kopi yang ini. Dia menawari saya untuk memesan eggs benedict waktu itu. Sekarang saya memesan eggs benedict lagi. Ricky anak yang baik dan perasa. Dia juga pintar masak. Saya suka beef brisket buatannya. Dia pasti sangat kehilangan ayahnya. Saya ingin panjang umur untuk putri saya, Anna. Besok saya ada janji dengan Ricky untuk menemaninya di rumah. Saya benar-benar berantakan. Tapi saya harus menemaninya. Apakah blueberry pancake kamu enak? Tidak terlalu manis? Saya tidak suka makanan manis. Kalau sudah berumur seperti saya, sebaiknya kamu mengurangi makanan yang manis-manis. Kamu sering sarapan di sini? Kamu beruntung kuliah di kota ini. Orang-orangnya ramah pada orang asing. Terhadap orang-orang Asia, tidak ada masalah. Tapi orang hitam dan Hispanik mengalami diskriminasi. Mereka dianggap sering membuat masalah. Kemiskinan dan kejahatan sering dalam satu paket. Tapi siapa yang tidak mudah naik pitam, kalau lapar? Saya tidak bisa berpikir di saat lapar. Eggs benedict ini porsinya terlalu besar. Dua telur. Kolesterol saya bisa naik. Kamu mau satu? Dulu saya mengira Bali itu satu negara tersendiri. Ternyata itu bagian dari Indonesia juga ya? Mudah-mudahan saya bisa ke sana. Saya tahu wajah saya berantakan sekali. Mata saya bengkak? Saya hanya tidur dua jam tadi malam, kemudian tidak tidur lagi sampai pagi. Hari ini saya tidak akan masuk kantor. Saya benar-benar pusing. Menurut kamu, apa yang harus saya lakukan kalau kejadiannya seperti ini. Semalam, setelah Bidadari pergi, saya sempat tertidur dua jam. Tiba-tiba telepon seluler saya berbunyi keras. Bidadari datang lagi. Dia sudah di pintu depan, dia mengatakannya dengan nada datar. Saya pikir, ada barang yang ketinggalan. Dia minta saya segera membuka pintu. Saya turun ke lantai bawah, membuka pintu. Dia langsung menerobos masuk, lalu menodongkan pistol ke arah saya. Wajah Anna terbayang. Saya tidak mau mati. Saya membujuk Bidadari untuk meletakkan pistol di meja, lalu kami bicara. Dia tidak mau. Dia menarik pelatuk, membidik ke arah saya. Meleset. Kena dinding. Pistolnya berperedam. Dia berancang-ancang untuk menembak lagi. Saya secepat kilat melempar jambangan perunggu ke arahnya. Dia terjatuh. Kepalanya menghantam meja marmer. Dia pingsan. Saya tidak berpikir panjang lagi, langsung mengikat kaki dan tangannya. Mulutnya saya sumpal dengan beberapa serbet. Dia sekarang di rumah, di ruang tamu. Pistolnya saya masukkan ke dalam kantong plastik yang biasa dipakai untuk menyimpan makanan di kulkas. Setelah itu saya mengendarai mobil keliling kota, sampai pagi, sampai kedai kopi ini buka. Saya akan menelepon polisi sesudah sarapan. Nama saya, Jack. Kamu? Rati? Rati-h? Di bioskop, film Almodovar yang baru sedang diputar. Kamu mau menonton nanti malam? Ajak teman-teman kamu juga. Saya traktir. Huuuhh…. Udara di luar dingin sekali.
""Jack dan Bidadari""
Aku masih meringkuk dibalut selimut. Tapi tiba-tiba, kulihat segumpal warna serupa sisa badai yang menggumpal di sudut matanya. Mata yang membuatku bergidik menatapnya lebih lama. Tak sampai semenit, dia mematikan handphone, kemudian berjalan ke arahku. ”Aku harus pulang,” suaranya datar tidak terlalu mengejutkanku. Seperti hari-hari yang lain, dia tidak selalu mengungkapkan satu alasan pun sebelum pergi dari rumahku. ”Apakah istrimu tahu kalau malam ini kau di rumahku?” Dia menggeleng. Sorot matanya kelabu dan ganjil serasa meninggalkan bekas luka pedih bagai timbunan kardus kumal yang teronggok di tempat sampah. Lama, kami bersitatap pandang. Matanya mendidih, serupa air yang dijerang di atas tungku. Aku ingin bertanya…, tetapi genangan hitam di sudut matanya itu membuatku beringsut. Dan, malam itu, dia benar-benar seperti orang asing yang baru kukenal. Dia buru-buru berpakaian. Aku hanya menatapnya dengan diam, bahkan ketika ia pergi dengan tergesa dan meninggalkanku yang masih meringkuk setengah telanjang dalam balutan selimut. *** IA tidak tahu, betapa aku bergidik takut tatkala istriku meneleponku. Meski itu bukan kali pertama istriku tiba-tiba meneleponku saat aku tidur di rumahnya, tetapi malam itu aku serasa digulung ombak berlipat-lipat: hanyut dalam gelombang yang hampir menenggelamkanku. Setelah aku mengangkat telepon, istriku langsung menangis tersedu. Tangisnya pecah, membuat telingaku serasa basah. Kutunggu lama, hingga tangisnya reda. Hening sejenak, sebelum kemudian istriku memintaku pulang. Anakku sakit. Kabar itu, sebenarnya bukan sesuatu yang mengejutkan. Tapi, aku merasakan tiba-tiba menggigil. Tangis istriku bagai gerimis yang turun seketika meninggalkan kepekatan yang membentang di cakrawala serupa kerlip lampu di sepanjang jalan yang mati tiba-tiba dan membuat seluruh kota tergeragap. Seberkas cahaya memudar, berganti gelap. Kesunyian meruncing. Dalam perjalanan pulang, hawa dingin terus menjalar ke seluruh tubuhku. Setibaku di rumah, aku membuka pintu rumah dengan gugup, seraya mencium aroma parfum yang masih tertinggal di tubuhku—sekadar menepis kecurigaan istriku sebelum aku menerabas masuk ke kamar. Tatapan istriku tak menaruh curiga, ketika aku berdiri di ambang pintu kecuali ia terlihat gugup. ”Sejak satu jam yang lalu, panasnya tak kunjung turun,” tukas istriku. ”Kenapa kau tak langsung membawanya ke dokter…” ujarku tak sedikit pun merasa bersalah Kupegang kepala anakku. Panasnya cukup tinggi. Tetapi, istriku tak segera menjawab. Lama, ia menatapku dengan heran. ”Tapi, anak ini butuh ayahnya. Ia tidak hanya membutuhkanku di saat sakit seperti ini. Sayangnya, ayahnya seperti tidak pernah tahu.” ”Jika kau tahu aku sibuk, kau seharusnya tak perlu menungguku sampai pulang untuk sekadar membawanya ke dokter,” tukasku, sambil membopong buah hatiku, bocah mungil yang baru menginjak 1 tahun itu. ”Ayo kita berangkat, sebelum semuanya terlambat dan tambah parah!” Dalam dekapanku, anakku menggeliat. Kemudian, ia membuka mata. Mata itu, entah kenapa, tidak lagi dingin meneduhkan, melainkan berubah seperti nyala api unggun mata seorang hakim yang mendakwaku dengan tuduhan berat…. *** MATA lelaki itu kemerahan, bagai hamparan jalan di malam hari yang diterpa gemerlap lampu. Dan, sejak kali pertama bertemu laki-laki itu, aku seperti ditelungkupkan pada seraut kenangan. Aku tak tahu, mengapa aku tiba-tiba seperti direnggut perasaan aneh dan ganjil. Aku seketika jatuh cinta. Apa yang kusuka dari lelaki itu? Jujur, ia mengingatkanku akan masa laluku—dua tahun lalu—tatkala aku lulus dari kuliah. Aku masih luntang-lantung, belum mendapatkan pekerjaan layak, dan kerap tidur di rumah teman. Hingga akhirnya, kehidupanku berubah setelah aku bertemu dengan seorang lelaki yang benar-benar asing bagiku—lelaki yang kemudian menjadikanku istri simpanan. Ia hampir memberiku apa yang aku butuhkan kecuali kepastian…. Ia bisa datang satu minggu sekali, kadang bisa satu bulan sekali, atau bahkan dua bulan sekali. Ia datang ketika butuh, dan ia tidak pernah datang ketika aku sedang membutuhkan kehadirannya pada satu malam tertentu. Hingga semua itu berakhir ketika istrinya tahu keberadaanku. Dan lelaki ini, tiba-tiba datang dari balik keheningan. Aku tak tahu, bagaimana semua itu bermula. Ia tiba-tiba duduk di sebelahku, ketika aku sedang berpangku tangan di sudut cafe. Ia tersenyum, lalu mengajakku bercengkerama. Di hadapannya, aku seperti hilang…. Ia lelaki biasa, tapi tatapan matanya membuatku luruh. Dalam sekejap, persendianku seperti dialiri getaran aneh yang menjalar ke setiap pori-pori. Mata lelaki itu seperti hamparan laut, tenang dan meneduhkan. Setiap kali aku melihatnya, aku serasa ingin menyelam ke dalamnya…. Aku tidak bisa berkata-kata dan ketika lelaki itu menawarkan kebaikan untuk mengantarku pulang, aku tak kuasa menolak. Sejak itulah, aku sering jatuh sakit ketika ia lama tidak mengunjungiku…. *** SETELAH mengantar perempuan itu, aku pulang ke rumah dengan raut penuh tanda tanya. Istriku—yang biasanya anggun—menyambut kedatanganku dengan cemberut. Tidak seperti biasanya. Ia kali ini tidak tersenyum, tak membawakan tasku—apalagi mau melepaskan dasiku. Sejak ia membuka pintu, ia hanya diam—menatapku dengan mata yang aneh. Aku sudah hafal. Pasti ada peristiwa yang tak ia sukai dan ia memprotesku dengan diam. Aku meninggalkan istriku yang masih berdiri kaku di balik pintu. Ia menutup pintu, menguncinya dan mengikuti langkahku. ”Noura sakit…,” akhirnya ia buka suara. Aku berbalik, menatapnya dengan raut tak percaya. ”Sakit apa?” ”Demam… Tadi, badannya panas. Aku sudah membawanya ke dokter…” ”Gimana sekarang?” tanyaku penasaran, seraya merangsek ke kamar. Putriku tertidur, meringkuk dalam balutan selimut. Entah kenapa, aku selalu menemukan setangkup ketenangan yang selalu menelusup dalam hatiku, ketika mataku menatap bola mata mungilnya. Tapi, kali ini putriku terpejam. Aku menempelkan tangan di keningnya. Kening putriku tidak lagi panas. ”Aku tadi menghubungimu berkali-kali…. Tapi sia-sia! Handphone-mu tidak aktif,” ucap istriku. Aku tidak menanggapinya. Ia semakin cemberut bahkan kesal. Aku menciumnya putriku pelan-pelan, tak ingin bangun. Tapi, harapanku kandas. Putriku terjaga. Matanya biru, menatapku. Aku merasa tatapan mata putriku… entah kenapa, tidak lagi dingin meneduhkan, tetapi berubah seperti nyala api unggun yang membuatku bergidik takut…. Dan beberapa saat kemudian, ia menangis. *** DI mataku, tak ada yang istimewa pada lelaki itu. Ia biasa saja—seperti umumnya lelaki lain. Hanya saja, mata lelaki itu selalu memukau dan membuatku serasa di tepi danau. Setiap aku menatapnya, aku seperti melihat hamparan air yang tenang. Bahkan, ketika aku sudah lama tidak bertemu dengannya, aku…. entah kenapa bisa jatuh sakit. Aku tidak tahu, kenapa semua bisa tak masuk akal. Dan ketika ia menjengukku, perlahan sakitku pulih. Meski ia datang hanya diam, tak pernah banyak bercerita dan bersenda gurau. Tetapi, kedatangannya telah membuatku bisa tersenyum. Ah, lelaki ini benar-benar aneh. ”Aku ingin pergi ke sebuah danau…,” ucapku memecah keheningan. Lelaki itu diam, dan seperti tidak mau mendengar apa yang aku katakan. Dan aku tahu, dia tak sanggup untuk memenuhi permintaanku. Aku, entah kenapa, merasakan telah meminta sesuatu yang tidak mungkin bisa ia penuhi. Selama ini, memang tidak pernah ada kesepakatan antara kami. Apalagi, setelah aku tahu ia lelaki yang sudah beristri. Itulah yang membuatku tak pernah menuntut apa pun… Tapi, dia tiba-tiba membuatku melambung. ”Besok jika kamu sudah sembuh, aku akan mengantarmu ke pantai…” ucapnya pelan, seraya mencium keningku. ”Sekarang aku sudah sembuh.” Lelaki itu terbaring tepat di sisiku, kemudian menyibak selimut dan meringkuk bagai sepotong daging dalam kulkas. Tubuhnya dingin dan hampa. Tetapi semua berjalan cepat. Lelaki itu selalu mengerjakannya dengan kilat, sekejap kemudian ia sudah tersengal. Aku mendengar lenguhan panjang dan setelah itu, ia berbaring lemas di balik selimut. Hingga kemudian, seperti yang sudah-sudah, dering telepon selalu membangunkan tidur nyenyaknya. Ia terbangun, buru-buru menyibak selimut, meraih handphone dan berjalan dengan gugup ke arah jendela. Kulihat sisa embun meruapkan basah di sebagian lempeng kaca jendela saat ia mendengarkan dengan syahdu suara di seberang. Aku tahu, dia sedang mengangkat telepon dari istrinya. Tapi aku tidak mendengar jelas: suaranya pelan setengah berbisik. Setelah hening, lelaki itu berkata pendek, ”Aku harus segera pulang.” Aku tak mungkin mencegahnya pergi. Aku tahu, pasti ia pulang lantaran anaknya sakit. Ia pernah bercerita, setiap kali habis menemuiku, pasti anaknya jatuh sakit… *** Dalam perjalanan pulang, aku benar-benar merasa bergidik dan disesap rasa takut. Itu karena, aku tidak ingin kehilangan anakku. Kalau kulanjutkan hubunganku dengan perempuan itu, aku tak tahu apa yang terjadi dengan anakku. Lama-lama, anakku bisa sakit menahun…. Tiba di rumah, kubuka pintu dengan gugup. Lebih gugup lagi tatkala yang menyambutku bukan istriku, tapi ibu mertuaku. Aku mencium tangan wanita yang telah melahirkan istriku itu dengan takzim, ”Kamu boleh sibuk bahkan kerja mati-matian, tapi jika karena kesibukanmu, justru anak-istrimu sakit, rasanya kesibukanmu akan membuat hidupmu hampa.” ”Ya, Bu…,” jawabku. Hening sejenak. ”Tapi, bagaimana dengan Noura?” tanyaku gugup. ”Noura tak apa-apa, justru sekarang yang sakit istrimu.” Aku tercekat. Jadi ia berbohong ketika tadi meneleponku? Ah, kenapa aku sekarang ini tidak peka? Aku langsung menerabas masuk kamar dan menemukan istriku terbaring dengan tubuh lemas. Aku duduk di tepi ranjang. Kulihat istriku menggeliat, menatapku dengan aneh. ”Kenapa tadi kau meneleponku mengatakan Noura yang sakit?” Istriku diam. ”Kenapa kau berbohong?” Lagi-lagi, istriku diam. Setelah itu, ia menatapku tajam. Dan mata istriku… entah kenapa tak lagi dingin meneduhkan tapi berubah seperti nyala api unggun yang membuatku bergidik. Mata istriku, kulihat seperti sepasang mata malaikat yang tak henti-henti menuduhku; bahwa akulah yang sebenarnya berbohong. Jakarta, 2012
""Sepasang Mata Malaikat""
Selama beberapa hari terakhir, sementara itu, semua gerakan baik di dalam negeri maupun di luar negeri mendesak, agar Nirdawat segera disyahkan sebagai presiden baru. Karena Nirdawat tidak bersedia, maka akhirnya, pada suatu hari yang cerah, ketika suhu udara sejuk dan langit kebetulan sedang biru tanpa ditutupi oleh awan, ribuan rakyat mengelilingi rumah Nirdawat, dan berteriak-teriak dengan nada memohon, agar untuk kepentingan bangsa dan negara, Nirdawat bersedia menjadi presiden. Akhirnya beberapa di antara mereka masuk ke dalam rumah Nirdawat, lalu dengan sikap hormat mereka memanggul Nirdawat beramai-ramai menuju ke Gedung M.P.R. Sementara itu, teriakan-teriakan ”Hidup Presiden Nirdawat,” terus-menerus berkumandang dengan nada penuh semangat, namun sangat syahdu. Demikianlah, semua anggota M.P.R. menyambut kedatangan Nirdawat, dan segera menggelandang Nirdawat dengan halus dan penuh hormat untuk tampil di mimbar. Ketua M.P.R. pun berpidato, singkat tapi padat. Inti pidato: rakyat sangat merindukan pemimpin yang baik, dan pemimpin yang baik itu tidak lain dan tidak bukan adalah Nirdawat. Maka Jaksa Agung dengan khidmat melantik Nirdawat sebagai Presiden Republik Demokratik Nirdawat (bukan salah cetak, memang presidennya bernama Nirdawat, dan nama negaranya diambil dari nama presidennya). Setelah menyampaikan pidato pelantikannya sebagai Presiden, dalam hati Nirdawat berkata kepada dirinya sendiri, bahwa dia akan bekerja dengan sebaik-baiknya, dan sebelum masa jabatannya berjalan satu tahun, dia tidak akan pergi ke luar negeri dengan alasan apa pun. Banyak persoalan dalam negeri harus dia hadapi, dan semuanya itu akan diselesaikannya dengan sebaik-baiknya. Namun karena Nirdawat dikenal sebagai pribadi sederhana dan pekerja keras serta tidak mementingkan diri sendiri, maka begitu banyak pemimpin negara berkunjung ke Republik Demokratik Nirdawat, tentu saja khusus untuk menemui Presiden Nirdawat. Hasil pembicaraan dengan sekian banyak pimpinan negara itu mudah diterka: kesepakatan kerja sama dalam perdagangan, pendidikan, kesehatan, industri, dan kebudayaan. Ujung dari semua kesepakatan juga mudah diterka: dengan tulus tapi bersifat mendesak, semua pemimpin negara mengundang Presiden Nirdawat untuk mengadakan kunjungan balasan. Semua kunjungan balasan akan berlangsung paling sedikit tiga hari, karena dalam setiap kunjungan balasan, masing-masing pemimpin negara dengan bersungguh-sungguh menunjukkan kemajuan-kemajuan negaranya, dan juga kekurangan-kekurangan negaranya. Demi kepentingan semua negara, kerja sama harus segera dilaksanakan, juga dengan sungguh-sungguh. Begitu sebuah kunjungan pemimpin asing usai, berita mengenai keengganan Presiden Nirdawat untuk melawat ke luar negeri muncul sebagai berita-berita besar, dan menarik perhatian hampir semua warga negara Republik Demokratik Nirdawat. Akhirnya, dengan berbagai cara, tokoh-tokoh masyarakat sekuler, tokoh-tokoh agama, dan tokoh-tokoh pemuda menyuarakan hati nurani mereka yang tulus, bahwa untuk kepentingan negara dan bangsa, Presiden Nirdawat benar-benar diharapkan untuk memenuhi undangan sekian banyak pimpinan negara-negara asing itu. Desakan demi desakan terus berlangsung. Terceritalah, setelah malam tiba, dalam keadaan lelah Presiden Nirdawat masuk ke kamar tidur, dipeluk oleh isterinya, kemudian digelandang ke dekat tempat tidur. Dengan lembut isterinya memberinya beberapa ciuman, kemudian melepas baju Nirdawat, lalu melepas kaos dalam Nirdawat, dan akhirnya menelungkupkan tubuh Nirdawat di tempat tidur. Kemudian, dengan lembut pula isterinya memijit-mijit punggung Nirdawat. ”Nirdawat, cobalah kita kenang kembali masa-masa pacaran kita dulu. Kita berjalan-jalan di kampus, duduk-duduk di rumput, kemudian berjalan lagi ke bawah pohon jejawi, dan berbincang mengenai keinginan-keinginan kita. Bagi kita itulah keinginan biasa, tapi bagi teman-teman, keinginan itu merupakan cita-cita mulia.” ”Cobalah kita tengok peta dunia ini,” kata Nirdawat dalam sebuah pertemuan dengan teman-temannya setelah membentangkan sebuah peta dan menggantungkannya di dinding. Bagi mereka yang tidak pernah menghadiri pertemuan itu, amat-amatilah nama sekian banyak negara dalam peta, maka tampaklah sebuah negara yang namanya beberapa kali berubah. Setelah sekian lama nama ini berubah, akhirnya negara ini punya nama baru, yaitu Republik Demokratik Dobol, lalu berubah menjadi Republik Demokratik Abdul Jedul, lalu disusul oleh nama baru lain, yaitu Republik Demokratik Jiglong. Bukan hanya itu. Ternyata bendera negara ini juga berubah-ubah sesuai dengan nama negaranya. Maka pernah ada bendera dengan gambar seseorang berwajah beringas bernama Dobol, lalu ada bendera dengan gambar Abdul Jedul dengan wajah garang, disusul oleh bendera bergambarkan wajah tolol Jiglong. Mengapa nama negara dan benderanya berubah-ubah, padahal negaranya sama? Tidak lain, jawabannya terletak pada kebiasaan di negara itu: dahulu, ketika bentuk negara ini masih kerajaan dan tidak mempunyai undang-undang dasar, ada kebiasaan untuk menamakan negara itu sesuai dengan nama rajanya. Yang mewakili nama raja, dengan sendirinya adalah wajah raja, dan karena itulah, maka bendera negara juga disesuaikan dengan wajah rajanya. Menurut cerita, seorang jendral kerajaan bernama Dobol berhasil menggulingkan kekuasaan raja terakhir, dan bentuk negara pun berubah menjadi Republik Demokratik. Republik karena negara tidak lagi dipimpin oleh raja tapi oleh presiden, dan demokratik karena siapa pun berhak menjadi presiden asalkan memenuhi syarat. Maka, negara yang dulu diatur oleh kebiasaan tanpa undang-undang, semenjak Dobol menjadi presiden, kebiasaan pun diganti dengan undang-undang dasar. Karena Dobol beranggapan bahwa undang-undang dasar tidak boleh seluruhnya bertentangan dengan kebiasaan lama, maka dalam undang-undang yang kata Dobol bersifat sementara itu pun dengan tegas mencantumkan kata-kata, bahwa nama negara disesuaikan dengan nama presiden. Bendera negara pun, mau tidak mau, harus menampilkan wajah presiden. Karena dalam kebiasaan lama masa jabatan raja tidak ada batasnya, maka, supaya undang-undang dasar tidak sepenuhnya bertentangan dengan kebiasaan lama, dalam undang-undang dasar negara republik demokratik ini, pasal mengenai masa jabatan presiden pun tidak perlu dicantumkan. Demikianlah, Dobol menjadi Presiden Republik Demokratik Dobol, dan karena masa jabatan presiden tidak ada pasalnya dalam undang-undang dasar, maka Dobol pun menjadi presiden sampai lama sekali, sampai akhirnya Sang Takdir menanam sebuah biji bernama tumor ganas dalam otak Dobol. Meskipun akhirnya lumpuh total, semangat Dobol untuk patuh kepada undang-undang dasar masih menyala-nyala dengan semangat penuh. Dalam undang-undang dasar dinyatakan dengan tegas, siapa pun berhak menjadi presiden, asalkan memenuhi syarat. Dan seseorang yang memenuhi syarat, tidak lain adalah Abdul Jedul bukan sebagai anak Dobol, tetapi sebagai warga negara biasa yang kebetulan adalah anak presiden negara republik demokratik ini. Demikianlah, maka Abdul Jedul menjadi Presiden Republik Demokratik Abdul Jedul, sampai akhirnya Sang Takdir mengulangi tugasnya sebagai penguasa hukum alam: sebuah bibit tumor ganas disisipkan ke dalam otak Abdul Jebul, dan tamatlah riwayat Abdul Jebul. Karena, sebagaimana halnya Dobol, Abdul Jedul juga sangat setia dengan undang-undang dasar negara yang kata Dobol dulu bersifat sementara, maka jatuhlah kekuasaan presiden republik demokratik ini ke tangan Jiglong, seseorang yang memenuhi syarat untuk menjadi presiden bukan karena dia anak Presiden Republik Demokratik Abdul Jedul, tapi karena sebagai warga negara biasa dia benar-benar memenuhi syarat untuk menjadi presiden. Kebetulan Jiglong anak manja, malas, suka foya-foya, dan tentu saja suka main perempuan, dan karena merasa kekuasaan dan hartanya tidak mengenal batas, maka berjudi pun dia lakukan dengan penuh semangat. Setelah Jiglong merusak negaranya sendiri selama beberapa tahun, maka Sang Takdir pun mulai melakukan gerilya: kali ini tidak dengan jalan menanamkan bibit tumor ke dalam otak, tapi membuat otak Jiglong sedikit demi sedikit miring. Maka Jiglong pun tidak bisa lagi membedakan siang dan malam, dekat dan jauh, langit dan bumi, dan yang lebih payah lagi, Jiglong tidak bisa membedakan apakah seseorang itu laki-laki atau perempuan. Maka, diam-diam Jiglong suka keluyuran sendiri di kampung, berusaha memperkosa perempuan, tapi ternyata laki-laki. Para pengawal pribadi dia pun sudah agak acuh tak acuh. Akhirnya, penggulingan kekuasaan pun terjadi, tanpa tahu siapa pemimpinnya, dan tanpa pertumpahan darah sama sekali. Tanpa diketahui siapa yang memberi komando, tahu-tahu Jiglong sudah diringkus dan dilemparkan ke rumah sakit jiwa. Juga tanpa diketahui siapa yang memberi komando, sekonyong-konyong serombongan anak muda merebut stasiun televisi dan radio, lalu secara spontan mengumumkan bahwa sejak saat itu nama negara diganti dengan Republik Demokratik Nirdawat, dengan bendera berwajahkan Nirdawat. ”Kau harus melakukan sesuatu, Nirdawat, sekarang juga. Aku selalu mendampingimu,” kata isterinya dengan lembut, lalu menciumi Nirdawat lagi dengan lembut pula. Keesokan harinya keluar Dekrit Presiden, terdiri atas tiga butir, yaitu mulai hari itu nama negara diganti dengan nama baru yang tidak boleh diubah-ubah lagi, yaitu Republik Demokratik Nusantara. Itu butir pertama. Butir kedua, bendera Republik Demokrasi Nusantara harus diciptakan dalam waktu sesingkat-singkatnya, tanpa mencantumkan wajah siapa pun juga. Dan butir ketiga, masa jabatan presiden dibatasi paling banyak dua periode, masing-masing periode lima tahun. Lagu kebangsaan, seperti yang lalu-lalu, tinggal diganti liriknya. Dulu nama raja dipuja-puji, lalu nama Dobol diangkat-angkat setinggi langit, disusul dengan pujian-pujian kepada Abdul Jedul. Terakhir, nama Jiglong dijejalkan ke dalam lagu kebangsaan, tentu saja dengan gaya puja-puji. Sekarang nama orang dihapus, diganti dengan nama negara, yaitu Republik Demokratik Nusantara. Maka, sesuai dengan tugasnya, mau tidak mau Nirdawat sering melawat ke luar negeri. Dalam sebuah perjalanan pulang dari kunjungan ke beberapa negara di Amerika Latin, dalam pesawat Presiden Republik Demokratik Nusantara memberi penjelasan kepada wartawan. ”Sebagaimana kita ketahui bersama, semua kepala negara dan pejabat penting yang kita kunjungi pasti memuji-muji kita. Republik Demokratik Nusantara adalah negara hebat, perkembangan ekonominya luar biasa menakjubkan, dan presidennya pantas menjadi pemimpin dunia. Coba sekarang jelaskan, makna pujian yang sudah sering saya katakan.” ”Pujian hanyalah bunga-bunga diplomasi,” kata sekian banyak wartawan dengan serempak. Mereka ingat, pada masa-masa lalu, semua pujian kepada negara mereka dari mana pun datangnya, dianggap sebagai kebenaran mutlak. Negara mereka memang benar-benar hebat, perkembangan ekonominya sangat mengagumkan, dan presiden negara ini benar-benar pantas menjadi pemimpin dunia. Terceritalah, di bawah pimpinan Presiden Nirdawat, Republik Demokratik Nusantara makin melebarkan sayapnya: sekian banyak duta besar ditebarkan di sekian banyak negara yang dulu sama sekali belum mempunyai hubungan. Presiden Nirdawat, dengan sendirinya, harus hadir tanpa boleh diwakilkan. Namun sayang, masih ada satu negara lagi yang belum terjamah oleh Republik Demokratik Nusantara, padahal negara ini terkenal makmur dan pemimpin-pemimpinnya hebat-hebat, setidaknya berdasarkan catatan-catatan resmi. Para pemimpin sekian banyak negara berkali-kali memuji keramahan penduduk negara itu, keindahan alam negara itu, dan kemakmuran negara itu. Maka, setelah waktunya tiba, datanglah Presiden Nirdawat ke negara itu. Laporan tlisik sandi ternyata benar: di negara yang sangat makmur ini, banyak pemimpin bertangan buntung. Hukum memang tegas: barang siapa mencuri uang rakyat, harus dihukum potong tangan. Dan Presiden Nirdawat dari Republik Demokratik Nusantara pun sempat terkagum-kagum: ternyata, para pemimpin buntung justru bangga. Kendati mereka kena hukuman potong tangan, mereka tetap bisa menjadi pemimpin, dan tetap dihormati.
""Tangan-Tangan Buntung""
Serayu, seindah apakah senja yang kau bilang mengendap perlahan-lahan di permukaan sungai sehingga tampak air yang hijau itu berangsur-angsur tercampuri warna merah kekuningan dan memantulkan cahaya matahari bundar lalu koyak karena aliran yang menabrak batuan besar dasar sungai? O Serayu, sesedih apakah perasaan seorang wanita yang melihat senja itu dari balik jendela kereta ketika melintas di jembatan panjang sebelum stasiun Kebasen? Sepanjang angin akan berembus, selalu ada cerita tentang wanita kesepian, senja yang menunggunya dalam waktu yang serba sebentar, lalu keheningan pun terjadi meski sesungguhnya gemuruh kereta ketika melintasi jembatan itu bisa terdengar hingga ke batas langit, atau ke dasar sungai. ”Aku melihat senja, lalu memikirkanmu.” Ucap seorang wanita pada kekasihnya. Di sore yang cerah, di tepi jembatan kereta. Keduanya duduk menjuntaikan kaki ke bawah, menikmati embusan angin dan melihat kendaraan berlalu-lalang di jalan berkelok ke arah kota Purwokerto. Di Serayu, panggung seperti disiapkan. Lelaki itu masih menunggu senja yang dimaksud si wanita. Seakan ia tak pernah melihat bagaimana bentuk senja semenjak ia lahir, meski tentu senja pernah melihat lelaki itu, entah di mana. ”Kamu tahu kenapa aku memikirkanmu setiap kali melihat senja?” tanya wanita itu. Si lelaki tak menjawab, toh sebentar lagi pasti wanita itu menjawab pertanyaannya sendiri. ”Karena senja seperti dirimu, pendiam, tapi menyenangkan.” Nah. Serayu, serupa apakah kenangan dalam bungkusan senja yang konon lebih luas dari aliran sungai Gunung Slamet menuju pantai selatan itu? ”Aku tetap suka berada di sini meski kau diam saja.” Begitukah? Lelaki itu memang masih diam. ”Kalau tidak ada kamu, pasti senja membuatku merasa ditimbun kenangan.” Sepanjang angin berembus, wanita itu terus berbicara. Tapi hari masih terang, burung-burung terbang rendah di atas mereka, tak beraturan. Belum waktunya pulang, beberapa burung kecil duduk di besi jembatan, kemudian terbang lagi. Senja belum datang, dan kereta juga belum datang. ”Benarkah ada kereta yang selalu datang ketika senja?” tanya lelaki itu. Mungkin ia gusar dengan keheningannya sendiri. ”Tentu saja.” ”Kereta apa? Kereta senja?” ”Ah, bukan. Jangan terlalu klise, Sayang.” ”Lalu?” ”Hanya kereta, dengan gerbong-gerbong penumpang seperti biasa. Itu saja.” ”Pasti ada namanya. Bahkan kereta barang yang mengangkut minyak pun ada namanya.” ”Ketel maksudnya?” ”Ya.” ”Kalau begitu, anggap saja ini kereta kenangan.” Kenangan lagi. Seperti diksi yang luar biasa picisan, namun kadang sepasang kekasih bisa mengorbankan apa saja untuk sesuatu yang picisan, bahkan pembicaraan selanjutnya seperti tak akan menyelamatkan mereka. Kecuali waktu yang terus susut, jam terpojok ke angka lima. Tapi senja belum turun, belum ada kereta yang melintas di belakang mereka. Alangkah dekatnya mereka dengan rel kereta. Sehingga bisa terbayang jika kereta melintas pasti tubuh keduanya ikut bergetar karena roda besi yang bersinggungan dengan rel baja itu. ”Mungkin kita harus pindah tempat, sedikit menjauh.” Ucap lelaki itu ”Tidak. Dari sini kita bisa melihat senja.” ”Tapi ini terlalu dekat.” ”Tapi kalau kau pindah, nanti aku susah memikirkanmu dalam bentuk yang seperti ini.” Tentu saja. *** Serayu. Sungai besar yang teramat sabar, aliran air memanjang sampai ke penjuru ingatan, ke palung kehilangan, ke laut kasmaran. Sesungguhnya, ada banyak cerita di Serayu. Bukan hanya sepasang kekasih yang duduk di besi jembatan untuk menunggu senja, tapi juga kisah-kisah lain manusia, seorang lelaki yang mendayung perahu ke tengah demi mencari ikan, atau awah-sawah di kejauhan yang tampak menghampar dan hanya terlihat topi-topi petani. Semua itu adalah cerita. Tapi pemandangan Serayu, senja, dan sepasang kekasih mungkin akan menjadi cerita yang paling dramatis. Bisa saja sepasang kekasih itu pada akhirnya akan berpisah, tapi masing-masing dari mereka tak bisa menghilangkan kenangan ketika duduk berdua di jembatan Serayu untuk melihat sesuatu yang setengah tak masuk akal. Seakan-akan mereka sedang mengabadikan cinta dalam hitungan detik terbenamnya matahari. Lalu pada suatu waktu si lelaki akan sengaja kembali ke tempat itu, duduk di sana, demi mengenang wanita itu. Meski mungkin si wanita tak kembali, sebab ia merasa tersakiti jika harus melihat senja di sungai itu lagi. Tetapi, kereta akan tetap melintas, tepat ketika senja, ketika matahari bundar di ujung sungai yang luasnya sekitar 300 meter. Ya, sebentar lagi, sebuah kereta penumpang akan melintasi sungai itu. Serayu. Sungguh nama yang romantis, seorang masinis yang bertugas di kereta itu sedang membayangkan kereta yang dikemudikannya sebentar lagi melintasi jembatan, lalu ia akan membunyikan peluit lokomotif keras-keras, nguooongngng, hingga ia pun teringat dengan kekasihnya di masa lau; seorang wanita penggemar kereta dan senja. ”Aku ingin kelak kau menjadi masinis, dan membawa kereta yang melintasi Sungai Serayu tepat ketika senja.” ”Kau ingin aku jadi masinis?” ”Ya.” ”Artinya aku akan selalu pergi.” ”Aku masih bisa memikirkanmu.” ”Jadi, cinta sudah cukup sempurna jika kita masih bebas memikirkan orang lain?” Sepanjang angin akan berembus, pertanyaan seperti itu seolah tak ada gunanya. Kereta terus melaju, sudah jauh meninggalkan stasiun Notog, memasuki terowongan, lalu menebas hutan yang penuh dengan pepohonan pinus. Baru saja kereta melintasi jalan raya, yang artinya semakin dekat dengan Serayu. Masinis itu tak mengurangi kecepatan, sesaat ia menoleh lewat jendela, melihat ke gerbong-gerbong di belakangnya. Bukan gerbong senja, tentu saja, bukan pula kereta kenangan seperti yang dinamai kekasihnya di masa lalu. Ini hanya kereta biasa. Jembatan sudah terlihat di kejauhan. Masinis itu perlahan menarik rem, sedikit mengurangi kecepatan di tikungan terakhir sebelum melintasi sungai Serayu. Dan beberapa saat kemudian, tampaklah hamparan hijau itu, juga perasaan yang tak ada maknanya lagi. ”Sepanjang angin berembus, akankah kau merindukanku?” Ah, rindu memang seperti paksaan. Ketika kereta semakin dekat ke jembatan Serayu, si masinis melihat sepasang kerkasih yang sedang duduk di salah satu sudut jembatan itu, mereka melambai ke arah kereta, seakan tak pedulidengan kebisingan mesin lokomotif dan suara roda yang bergesekan dengan rel serta besi jembatan. Masinis itu membalas lambaian mereka. Sementara di bagian bagian kanan, warna merah pada langit dengan lapisan awan tipis membentuk garis-garis menggumpal yang artistik dengan warna merah saling tindih. Masinis itu tertegun, seperti itukah senja yang dahulu pernah didambakan kekasihnya? Namun belum selesai kekagumannya, tiba-tiba kejadian aneh terjadi, mesin lokomotif kereta itu mendadak mati, tenaga menurun drastis, kereta pun berangsur-angsur mengurangi kecepatan dan akhirnya berhenti tepat di tengah jembatan, tampak dari barisan jendela, para penumpang di dalam gerbong terkejut, penasaran ada apa, mengapa berhenti di tengah jembatan. Apakah kereta tertahan sinyal masuk sebuah stasiun? Atau ada kejadian luar biasa di depan? Tapi kadang kita tak butuh jawaban untuk sebuah kenangan yang magis, bukan? Kereta itu, barangkali pernah memiliki kekasih pula, yaitu kereta lain yang selalu mengingatkannya tentang senja di mana pun ia melaju, agar berhenti sebentar untuk mengingat ucapan kekasihnya: ”Sabarlah, tunggu sampai senja selesai. Dan kau boleh tak mencintaiku lagi setelah ini.” Notog – Kebasen, 2012
""Serayu, Sepanjang Angin Akan Berembus…""
“Kita teman bermain waktu kecil. Di bawah pohon bambu. Tidak jauh dari tepi Danau Toba,” katanya memperkenalkan diri. Wau, kataku dalam hati. Itu enam puluh tahun yang lalu. Ketika itu masih anak kecil, usia empat tahun barangkali. “Ketika sekolah SD kau pernah pulang ke kampung dan kita bersama-sama satu kelas pula,” katanya melanjutkan. Aku tersenyum sambil mengangguk-angguk. Belum juga dapat kutebak siapa mereka. Ia seakan-akan mengetahui siapa mereka sesungguhnya. “Wajahmu masih seperti dulu,” katanya melanjutkan. “Tidakkah engkau peduli kampung halaman?” tanyanya. “Tidakkah engkau peduli kampung halamanmu?” tanyanya membuat aku agak risih. Dulu pernah keinginan timbul di hati untuk membangun kembali rumah di atas tanah adat yang tidak pernah dijual. Pelahan-lahan timbul ingatan di dalam benakku. “Rumah kita dahulu berhadap-hadapan, ya?” kataku. Ia mengangguk. “Kalau begitu, kau si Tunggul?” “Ya,” jawabnya dengan wajah yang mulai cerah. Lalu ia mengatakan perlunya tanah leluhur dipertahankan. “Jangan biarkan orang lain menduduki tanahmu. Suatu saat nanti, keturunanmu akan bertanya-tanya tentang negeri leluhur mereka,” katanya dengan penuh keyakinan. “Kita sudah sama tua. Mungkin tidak lama lagi kita akan berlalu. Kalau kau perlu bantuan, aku akan menolongmu.” “Akan kupikirkan,” kataku. “Nanti kubicarakan dengan adik dan kakak,” jawabku. Pertemuan singkat itu berlalu dalam tahun. Pembicaraan sesama kakak-beradik tidak tiba pada kesimpulan. Masing-masing sibuk dengan urusan sendiri. Dan ketika aku berkunjung ke kampung halaman, kutemukan dia dengan beberapa kerabat dekat lainnya. Kudapati ia terbaring di tempat tidur, di ruangan sempit dua kali dua meter. Beberapa slang oksigen di hidungnya. Ia bernapas dengan bantuan oksigen. Matanya berkaca-kaca sambil mulutnya berkata, “Kudengar kau datang. Beginilah keadaanku. Sudah berbulan-bulan.” Agak sulit baginya berbicara. Dadanya tampak sesak bernapas. Aku tidak mungkin berbicara mengenai tanah itu. Kuserahkan persoalannya kepada keluarga dekat. Dalam kesibukan, waktu jua yang memberi kabar. Seorang kerabat dekat, waktu berjumpa di Jakarta, berbisik padaku, “Tunggul sudah tiada, pada usia yang ke-67.” “Oh, Tuhan,” kataku kepada diriku sendiri. Kami lahir dalam tahun yang sama. Sebelum segala sesuatu rencana terwujud, usia telah ditelan waktu! Giliranku? bisikku pada diriku. *** Rendi selalu datang dalam mimpi. Diam-diam, lalu menghilang. Dahulu ia teman sekantor. Tetapi, karena mungkin ingin memperbaiki nasib, ia mengirim istrinya ke Amerika, justru ingin mengadu nasib. Ia menyusul kemudian, dengan meninggalkan pekerjaan tanpa pemberitahuan. Lewat Bali, Hawaii, ia sampai ke California. Di negeri penuh harapan ini ia memulai kariernya yang baru, bangun subuh dan mengidari bagian kota, melempar-lemparkan koran ke rumah-rumah. Entah apalagi yang dilakukannya, demi kehidupan yang tidak mengenal belas kasihan. Setahun berada di sana, ia kehilangan istrinya, derita yang membawa duka karena kanker payudara. Sepi merundung hidupnya, di tengah keramaian kota dan keheningan pagi dan senja, membuatnya resah. Barangkali hidup tidak mengenal kompromi. Kerja apa pun harus dilakukan dengan patuh. Tetapi usia yang di atas enam puluhan itu cukup melelahkan untuk bertahan hidup. Tiada kawan untuk membantu. Semua bertahan hidup harus berkejaran dengan waktu. Dari agen koran subuh, sampai rumah jompo dari siang sampai senja, lalu pulang ke apartemen, merebahkan diri seorang diri, sampai waktu mengantar subuh dan mengulangi ritual siklus kehidupan. Dari kesunyian hati itu, ia cuti ke tanah air, untuk mencari teman hidup pada usia senja. Tetapi, dalam kesunyian di tanah air, ia mengembara seorang diri, dengan bus dan kereta api. Seperti seorang turis, suatu senja, entah serangan apa yang mendera dadanya, barangkali asmanya kumat. Ia terkulai di ruang hajat. Di sebuah stasiun kereta, petugas mencoba membuka kamar toilet. Menemukan kawan itu dalam keadaan tidak bernyawa. Identitas diketahui dengan alamat di Los Angeles. Petugas stasiun menghubungi nama yang tertera di Los Angeles. Dari Los Angeles datang telepon ke alamat di Bandung. Dari Bandung berita disampaikan kepada anaknya, tetapi kebetulan sedang ke Paris. Jenazah dibawa ke rumah anaknya, dan dimakamkan kerabat dekat yang ada di kota “Y”. Tragis, pada usia ke-64 itu, ia mengembara jauh merajut hidup, tapi ia berhenti dalam kesepian, jauh dari kenalan dan kerabat. Beberapa kenalan saja yang menghantarnya ke tempat istirah. Terlalu sering ia datang di dalam mimpi yang membuatku galau. *** Beberapa waktu kemudian, aku mendapat SMS. Aku berhenti di pinggir jalan ramai dan mencoba membaca berita yang masuk. Lusiana baru saja meninggal dunia. Tutup usia menjelang ulang tahun ke-61. Besok akan dimakamkan. Kalau sempat, hadirlah. Lusiana seorang sekretaris eksekutif yang hidup mati demi kariernya. Ia lupa kapan ia pernah disentuh rasa cinta, sampai cinta itu pun ditampiknya. Menjelang usia renta, ia menyaksikan ayah dan ibunya satu demi satu meninggalkan hidup yang fana. Juga abangnya, pergi mendadak entah menderita penyakit apa. Karier tidak meninggalkan bekas. Tidak ada ahli waris. Kawan-kawan meratapinya, dan melepasnya dalam kesunyian hati. Hening di atas nisannya. Burung pun enggan hinggap dekat pohon yang menaungi makamnya. Tidak biasa aku berlibur dengan keluarga. Kepergian ini hanyalah karena anak yang hidup di tengah keramaian Jakarta, yang berangkat subuh dan pulang menjelang tengah malam dari kantornya. Ada kejenuhan dalam tugasnya yang rutin, membuat ia mengambil keputusan libur ke Bali bersama orang tua. Aku yang terbiasa masuk kantor dan pulang kantor selama puluhan tahun, kerapkali lupa cuti karena tidak tahu apa yang harus dilakukan waktu cuti. Dan kini, aku duduk di tepi laut Hindia, menyaksikan ombak memukul-mukul pantai, dan sebelum senja turun ke tepi laut, matahari memerah dan bundar, cahaya keindahan Tuhan, sangat mengesankan ratusan orang dari pelbagai bangsa terpaku di atas batu-batu. Tiba-tiba ada dering di HP istriku, sebuah SMS dengan tulisan: Tan, Ibu Maria baru saja meninggal dunia. Kasihan dia. Di dalam Kitab Sucinya banyak mata uang asing. Ibu Maria menyusul suaminya yang sudah bertahun-tahun meninggal dunia, dalam usianya yang ke-72. Ia pekerja keras sepeninggal suaminya yang dipensiunkan sebelum waktunya. Suaminya meninggal dalam usia ke-67 saat anaknya berpergian ke luar negeri dan tidak hadir ketika penguburannya. Ibu Maria meninggal mendadak. *** Aku baru saja menerima telepon dari kakakku yang sulung, dalam usianya yang ke-78. Kudengar suaranya gembira, walaupun aku tahu sakitnya tidak kunjung sembuh. Kalimat terakhirnya dalam telepon itu berbunyi: Tetaplah tabah, Dik. Kamu dan anak-anakmu, semua anak cucuku dan buyut, supaya mereka tetap sehat…. Dan tadi pagi, aku teringat. Usia menjelang ke-70, walaupun sebenarnya belum sampai ke situ, aku bertanya-tanya kepada diriku, jejak mana yang sudah kutoreh dalam hidup ini, dan jejak-jejak apakah yang bermakna sebelum tiba giliranku? Aku tepekur. Hening di ujung senja.
""Hening di Ujung Senja""
Awalnya, orang-orang mengira bahwa rumah kami tengah sesak dilalap api. Tapi kian waktu mereka kian bosan membicarakannya, karena mereka tak pernah melihat api sepercik pun menjilati rumah kami. Yang mereka lihat hanya asap tebal yang bergulung-gulung. Kabut. Pada akhirnya, mereka hanya akan saling berbisik, ”Begitulah rumah pengikut setan, rumah tanpa Tuhan, rumah itu pasti sudah dikutuk.” *** Peristiwa itu terjadi berpuluh tahun silam, pada Oktober 1965 yang begitu merah. Seperti warna bendera bergambar senjata yang merebak dan dikibarkan sembunyi-sembunyi. Ketika itu, aku masih sepuluh tahun. Ayah meminta ibu dan aku untuk tetap tenang di kamar belakang. Ibu terus mendekapku ketika itu. Sayup-sayup, di ruang depan ayah tengah berbincang dengan beberapa orang. Entah apa yang mereka perbincangkan, tetapi sepertinya mereka serius sekali. Desing golok yang disarungkan pun terdengar tajam. Bahkan beberapa kali mereka meneriakkan nama Tuhan. Beberapa saat kemudian ayah mendatangi kami yang tengah gemetaran di kamar belakang. Ayah meminta kami untuk segera pergi lewat pintu belakang. Ayah meminta kami untuk pergi ke rumah abah (bapak dari ayah) yang terletak di kota kecamatan, yang jaraknya tidak terlampau jauh. Masih lekat dalam kepalaku, malam itu ibu menuntunku terburu-buru melewati jalan pematang yang licin. Cahaya bulan yang redup malam itu cukup menjadi lentera kami dari laknatnya malam. Beberapa kali aku terpeleset, kakiku menancap dalam kubang lumpur sawah yang becek dan dingin, hingga ibu terpaksa menggendongku. Sesampainya di rumah abah, ibu mengetuk pintu terburu-buru dan melemparkan diri di tikar rami. Napasnya tersengal-sengal, keringatnya bercucuran. Abah mengambilkan segelas air putih untuk ibu, sebelum mengajakku tidur di kamarnya. Malam itu, abah menutup pintu rapat-rapat dan berbaring di sebelahku. Sementara, di luar riuh oleh teriakan-teriakan, suara kentungan, juga desing senjata api sesekali. Abah menyuruhku untuk segera memejamkan mata. Subuh paginya, ketika suara azan terdengar bergetar, abah memanggil-manggil nama ibu sambil menelanjangi seluruh bilik. Abah panik karena ibu sudah tidak ada lagi di kamarnya. Selepas duha, abah mengantarku pulang dengan kereta untanya. Ibumu pasti sudah pulang duluan, begitu kata abah. Sesampainya di depan rumah, tiba-tiba abah menutup kedua mataku dengan telapak tangannya yang bau tembakau. Dari sela-sela jari abah aku bisa menilik kaca jendela dan pintu yang hancur berantakan, terdapat bercak merah di antara dinding dan teras. Warna merah yang teramat pekat, seperti darah yang mengering. Buru-buru abah memutar haluan, membawaku pulang kembali ke rumahnya. Dari kejauhan aku melihat lalu lalang orang di depan rumah kami yang kian mengecil dalam pandanganku. Orang-orang itu tampak terlunta-lunta mengangkat karung keranda. ”Mengapa kita tak jadi pulang, Bah?” tanyaku. ”Rumahmu masih kotor, biar dibersihkan dulu.” Abah tersengal-sengal mengayuh kereta untanya. ”Kotor kenapa, Bah?” Abah terdiam beberapa jenak, ”Ya kotor, mungkin semalam banjir.” ”Banjir? Kan semalam tidak hujan, Bah. Banjir apa?” ”Ya banjir.” ”Banjir darah ya, Bah, kok warnanya merah.” ”Hus!” *** Berselang jam, pada hari yang sama, abah memintaku untuk tinggal sebentar di rumah. Aku tak boleh membuka pintu ataupun keluar rumah sebelum abah datang. ”Jangan ke mana-mana, abah mau bantu-bantu membersihkan rumahmu dulu, sekalian jemput ibumu.” Aku tak tahu apa yang tengah terjadi di luar sana, tapi hawa mencekam itu sampai kini masih membekas. Selagi abah pergi, aku hanya bisa mengintip keadaan di luar dari celah-celah dinding papan. Di luar sepi sekali. Sangat sepi. Kampung ini seperti kampung mati. Lama sekali abah tak kunjung datang. Jauh selepas ashar, baru kudengar decit rem kereta untanya di depan rumah. Aku mengempaskan napas lega. Menyongsong abah. Abah tertatih merangkul ibu. Ibu hanya terdiam lunglai seperti boneka. Matanya kosong tanpa kedipan. Rambutnya acak-acakan, tak karuan. Guritan matanya lebam menghitam. Ketika kutanya abah ada apa dengan ibu, abah hanya menjawab singkat, bahwa ibu sedang sakit. Lalu aku bertanya lagi kepada abah, ayah mana? Dan abah tidak menjawab. Namun, beberapa waktu kemudian, dengan sangat perlahan, abah mulai menjelaskan bahwa hidup dan mati adalah dua hal yang tak bisa dipisahkan. Laki-laki, perempuan, tua, muda, semuanya akan didatangi kematian—lantaran mereka pernah hidup. Maka serta-merta aku paham dengan warna merah yang menggenang di teras rumah tadi pagi. Saat itu aku tak bisa menangis. Namun, dadaku sesak menahan ngeri. *** Semenjak hari yang merah itulah ibu tak pernah sudi keluar kamar, apalagi keluar rumah. Ketika ibu kami paksa untuk menghirup udara luar, ia akan menjerit dan meronta tak karuan. Pada akhirnya, aku dan abah hanya bisa pasrah. Tampaknya ada sesuatu yang rusak dalam kepala ibu. Ada sesuatu yang hilang dari dirinya. Ibu seperti sudah tak peduli lagi pada dunia. Sepanjang hari pekerjaannya hanya diam, sesekali menggedor-gedor meja dan lemari, menghantam-hantamkan bantal ke dinding dan terdiam lagi. Ibu memang benar-benar sakit. Makan dan minum harus kami yang mengantarkan ke kamarnya. Mandi pun harus kami yang menuntunnya. Berganti pakaian, menyisir rambut, melipat selimut, semua aku dan abah yang melakukannya. Hanya satu hal yang kami tidak mengerti: kamar ibu selalu berkabut. Lelah sudah kami mengusir kabut-kabut itu dari sana. Kabut yang selalu muncul tiba-tiba. Kabut yang selalu mengepul, setelah kami menutup kembali pintu dan jendela, mengepul lagi dan lagi. Setelah kami tilik dengan saksama, baru kami menyadari sesuatu, bahwa kabut itu bersumber dari mata ibu. Sejauh ingatanku, ibu tak pernah menitiskan air mata. Namun dari matanya selalu mengepul kabut tebal yang tak pernah kami pahami muasalnya. Mungkinkah kabut itu berasal dari air mata yang menguap lantaran tertahan bertahun-tahun lamanya. Entahlah. *** Pada akhirnya, bagi kami, kabut ibu menjadi hal yang biasa. Kami hanya butuh membuka pintu dan jendela lebar-lebar untuk memecah kabut itu. Namun begitulah, semenjak kami menyadari keberadaan kabut itu, ibu tak lagi sudi membukakan pintu kamarnya untuk kami. Makanan dan minuman kami selipkan melewati jendela kaca luar. Namun sepertinya ia tak lagi peduli dengan makanan. Beberapa kali kami menemukan makanan yang kami selipkan membusuk di tempat yang sama. Tak tersentuh sama sekali. Ketika kami memanggil-manggil nama ibu, tak ada sahutan sama sekali dari dalam, kecuali kepulan kabut yang memudar dan pecah di depan mata kami. Sementara, kian waktu, kamar itu kian buram oleh kabut yang terus mengental. Kami tak bisa melihat jelas ke dalamnya. Hingga suatu ketika, aku dan abah berinisiatif untuk mendobrak pintu kamar ibu. Kami benar-benar berniat melakukan itu. Kami benar-benar khawatir dengan keadaan ibu. Linggis dan congkel kami siapkan. Beberapa kali kami melemparkan hantaman. Pintu itu bergeming. Kami terus menghantamnya, mencongkelnya, mendobraknya, hingga pintu itu benar-benar rebah berdebam di tanah. Aku dan abah mengibaskan kabut itu pelan-pelan. Membuka jendela lebar-lebar. Perlahan kami mendapati kabut itu memudar dan pecah. Beberapa saat kemudian kabut itu benar-benar lenyap. Namun kamar ibu menjadi sangat senyap. Tak ada siapa-siapa di sana. Hanya ada ranjang yang membatu, juga bantal selimut yang tertata rapi. Kami tidak melihat ibu di sana. Aneh, kami juga tidak melihat ibu berkelebat atau berlari keluar kamar. Yang kami saksikan dalam bilik itu hanya kabut yang kian menipis dan hilang. Kami masih belum yakin ibu hilang. Berhari-hari kami mencari ibu sampai ke kantor kecamatan. Kami juga menyebarkan berita kehilangan sampai kantor polisi. Waktu melaju, berbilang pekan dan bulan, tapi ibu tak juga kami temukan. Hingga keganjilan itu muncul dari kamar ibu. Kabut itu. Kabut itu masih terus mengepul dari kamar ibu, entah dari mana muasalnya. Lambat laun kami berani menyimpulkan bahwa ibu tidak benar-benar hilang. Ibu masih ada di rumah ini, di kamarnya. Kabut itu, kabut itu buktinya. Kabut itu adalah kabut ibu. Kabut yang tak pernah ada kikisnya. *** Akhirnya, aku dan abah memutuskan untuk mengunci rapat-rapat kamar ibu. Membiarkan kabut itu terus melata. Berjelanak dari celah bawah pintu. Merangkak memenuhi ruang tengah, ruang tamu, dapur, kamar mandi, hingga merebak ke teras depan. Kami tak perlu lagi memedulikan ocehan orang-orang yang mengatakan bahwa rumah kami adalah rumah setan, rumah tak bertuhan, rumah yang menanggung kutukan. Karena, kami yakin, tak lama lagi, kabut itu pun akan menelan rumah kami, sebagaimana ia menelan ibu. Ketika Kabut Malang, 11-11-11
""Kabut Ibu""
Entah darimana asalnya, tiada seorang warga pun yang tahu. Tiba-tiba saja datang ke kampung kami dengan pakaian tampak lusuh. Kami sempat menganggap dia adalah pengemis yang diutus kitab suci. Dia bertubuh jangkung tetapi terkesan membungkuk, barangkali karena usia. Peci melingkar di kepala. Jenggot lebat mengitari wajah. Tanpa mengenakan kacamata, membuat matanya yang hampa terlihat lebih suram, dia menawarkan pijatan dari rumah ke rumah. Kami melihat mata yang bagai selalu ingin memejam, hanya selapis putih yang terlihat. Kami pun penasaran ingin merasakan pijatannya. Maklum, tak ada tukang pijat di kampung kami, apalagi yang keliling. Biasanya kami saling pijat memijat dengan istri di rumah masing- masing, itu pun hanya sekadarnya. Kami harus menuju ke dukun pijat di kampung sebelah bila ingin merasakan pijatan yang sungguh-sungguh atau mengurut tangan kaki kami yang terkilir. Hampir kebanyakan warga di kampung kami ini adalah buruh tani. Hanya beberapa orang yang memiliki sawah, dapat dihitung dengan ingatan. Setiap hari kami harus menumpahkan tenaga di ladang. Dapat dibayangkan keletihan kami bila malam menjelang. Tentulah kehadiran Darko membuat kampung kami lebih menggeliat, makin bergairah. Setiap malam, dengan membawa minyak urut, dia menyusur dari gang ke gang kampung guna menjemput pelanggan. Kakinya bagai digerakkan tanah, dia begitu saja melangkah tanpa bantuan tongkat. Tidak pernah menabrak pohon atau jatuh ke sungai. Memang, tangannya kerap meraba-raba udara ketika melangkah, seperti sedang menatap keadaan. Barangkali penglihatan Darko terletak di telapak tangannya. Dia akan berhenti ketika seseorang memanggilnya. Melayani pelanggannya dengan tulus dan sama rata, tanpa pernah memandang suatu apa pun. Serta yang membuat kami semakin hormat, tidak pernah sekali pun dia mematok harga. Dengan biaya murah, bahkan terkadang hanya dengan mengganti sepiring nasi dan teh panas, kami bisa mendapatkan kenikmatan pijat yang tiada tara. Kami menikmati bagaimana tangannya menekan lembut tiap jengkal tubuh kami. Kami merasakan urat syaraf kami yang perlahan melepaskan kepenatan bagai menemukan kesegaran baru setelah seharian ditimpa kelelahan. Pantaslah bila terkadang ada pelanggan yang tertidur saat sedang dipijat. Selain itu, Darko memiliki pembawaan sikap yang ramah, tidak mengherankan bila orang- orang kampung segera merasa akrab dengan dirinya. Dia suka pula menceritakan kisah lucu di sela pijatannya. Meskipun begitu, kami tetap tidak tahu asal usulnya dengan jelas. Bila kami menanyakannya, dia selalu mengatakan bahwa dirinya berasal dari kampung yang jauh di kaki gunung. Kemudian kami ketahui, bila malam hampir tandas, Darko kembali ke tempat pemakaman di ujung kampung. Di antara sawah-sawah melintang. Sebuah tempat pemakaman yang muram, menegaskan keterasingan. Di sana terdapat sebuah gubuk yang menyimpan keranda, gentong, serta peralatan penguburan lain yang tentu saja kotor sebab hanya diperlukan bila ada warga meninggal. Di keranda itulah Darko tidur, memimpikan apa saja. Dia selalu mensyukuri mimpi, meskipun percaya mimpi tak akan mengubah apa-apa. Sudah berhari-hari dia tinggal di sana. Tak dapat kami bayangkan bagaimana aroma mayit yang membubung ke udara lewat tengah malam, menggenang di dadanya, menyesakkan pernapasan. Kami lantas menyarankan supaya menginap di masjid saja. Namun dia tolak. Katanya kini masjid sedang berada di ujung tanduk. Entahlah, dia lebih memilih tinggal di pemakaman, membersihkan kuburan siapa saja. Seminggu kemudian orang- orang kampung gusar. Pak Lurah mengumumkan bahwa masjid kampung satu-satunya yang berada di jalan utama, akan segera dipindah ke permukiman berimpitan rumah-rumah warga dengan alasan agar kami lebih dekat menjangkaunya. Supaya masjid senantiasa dipenuhi jemaah. Namun, berhamburan kabar Pak Lurah akan mengorbankan tanah masjid dan sekitarnya ini kepada orang kota untuk sebuah proyek pasar masuk kampung. Tentu saja merupakan tempat yang strategis daripada di pelosok permukiman, harus melewati gang yang meliuk- liuk dan becek seperti garis nasib kami. Di saat seperti itu kami justru teringat Darko. Ucapannya terngiang kembali, mengendap ke telinga kami bagai datang dari keterasingan yang kelam. Kami mulai bertanya-tanya. Adakah Darko memang sudah mengetahui segala yang akan terjadi? Sejauh ini kami hanya saling memendam di dalam hati masing- masing tentang dugaan bahwa Darko memiliki kejelian menangkap hari lusa. Namun diam-diam ketika sedang dipijat, Kurit, seorang warga kampung yang terkenal suka ceplas-ceplos, meminta Darko meramalkan nasibnya. Darko hanya tersenyum sambil gelengkan kepala berkali-kali isyarat kerendahan hati, seakan berkata bahwa dia tidak bisa melakukan apa-apa selain memijat. Namun Kurit terus mendesak. Akhirnya seusai memijat, Darko pun menuruti permintaannya. Dengan sikap yang tenang dia mulai mengusap telapak tangan Kurit, menatapnya dengan mata terpejam, kemudian berkata; Telapak tangan adalah pertemuan antara kesedihan dan kebahagiaan. Entahlah apa maksudnya, Kurit kali ini hanya diam saja, mendengarkan dengan takzim. ”Ada kekuatan tersimpan di telapak tanganmu.” Kurit serius menyimaknya masih dalam keadaan berbaring. ”Tetap dirawat pertanianmu, rezeki akan terus membuntuti,” tambahnya. Kurit mengangguk, masih tanpa ucap. Setelah merasa tak ada lagi sesuatu yang harus dikerjakan, Darko permisi. Berjalan kembali menapaki malam yang lengang. Langkahnya begitu jelas terdengar, gesekan telapak kakinya pada tanah menimbulkan bunyi yang gemetar. Sementara Kurit terus menyimpan ucapan Darko, berharap akan menjadi kenyataan. *** Siang hari. Darko selalu duduk berlama-lama di celah gundukan-gundukan tanah yang berjajar. Seperti sedang merasakan udara yang semilir di bawah pohon-pohon tua. Menangkap suara burung-burung yang melengking di kejauhan. Menikmati aroma semak-semak. Mulutnya bergerak, seperti sedang merapalkan doa. Mungkin dia mendoakan mereka yang di alam kubur sana. Dan bila ada warga meninggal, Darko kerap membantu para penggali kubur. Meski sekadar mengambil air dari sumur, supaya tanah lebih mudah digali. Begitulah, saat siang hari kami tak pernah melihat Darko keliling kampung. Barangkali dia lebih memilih menyepi dalam hening pemakaman. Ada saja sesuatu yang dia kerjakan. Bahkan yang mungkin tidak begitu penting sekalipun. Mencabuti rerumputan liar di permukaan tanah makam, mengumpulkan dedaunan yang berserakan dengan sapu lidi lalu membakarnya. Padahal, lihatlah betapa daun-daun tidak akan pernah berhenti menciumi bumi. Dia begitu tangkas melakukan itu semua, seakan memang tak pernah ada masalah dengan penglihatannya. Kurit membenarkan ucapan Darko. Bawang merah yang dipanennya kini lebih besar dan segar daripada hasil panen sebelumnya. Bertepatan dengan naiknya harga bawang yang memang tak menentu. Dengan meluap-luap Kurit menceritakan kejelian Darko membaca nasib seseorang kepada siapa saja yang dijumpainya. Kabar tentang ramalannya pun bagai udara, beredar di perkampungan. Kini hampir setiap malam selalu saja ada yang membutuhkan jasanya. Para perempuan, yang biasanya lebih menyukai pijatan suami, mulai menunggu giliran. Entah karena memang butuh mengendorkan otot yang tegang atau sekadar ingin mengetahui ramalannya. Mungkin dua-duanya. Bila kebetulan kami menjumpainya di jalan dan minta diramal tanpa pijat sebelumnya, Darko tidak akan bersedia melakukannya. Katanya, dia hanya menawarkan jasa pijat, bukan ramalan. Di warung wedang jahe, orang-orang terus membicarakannya. Mereka saling menceritakan ramalan masing-masing. ”Akan datang kepadaku putri kecil pembawa rezeki.” ”Eh, dia juga bilang, sebentar lagi akan habis masa penantianku,” kata perempuan pemilik warung dengan nada berbunga- bunga. Ia hampir layu menunggu lamaran. ”Dia menyarankan supaya aku beternak ayam saja,” seseorang menambahi. Begitulah, dengan sangat berkobar-kobar kami menceritakan ramalan masing-masing. Setiap lamunan kami habiskan untuk berharap. Menunggu dengan keyakinan mengucur seperti curah keringat kami yang terus menetes sepanjang hari. Sungguh tak dapat kami pungkiri. Tak dapat kami sangkal, segalanya benar-benar terjadi. Talim dianugerahi bayi perempuan yang sehat dari rahim istrinya. Tak lama jelang itu, Surtini si perawan tua menerima lamaran seorang duda dari kampung sebelah. Sementara Tasrip bergembira mendapati ternak ayamnya gemuk dan lincah. Disusul dengan kejadian-kejadian serupa. Kejelian Darko dalam meramal semakin diyakini orang- orang kampung. Ketepatannya membaca nasib seperti seorang petani memahami gerak musim-musim. Pak Lurah pun merasa terusik mendengar kabar yang dari hari ke hari semakin meluap itu. Ia sebelumnya memang belum pernah merasakan pijatan Darko. Ia lebih memilih pijat ke kampung sebelah yang bersertifikat, menurutnya lebih pantas dipercayai. Malam itu diam-diam Pak Lurah memanggil Darko ke rumahnya. Seusai dipijat, dengan suara penuh wibawa ia meminta diramalkannya nomer togel yang akan keluar besok malam. Seperti biasa, Darko hanya menggeleng sambil tersenyum. Namun Pak Lurah terus mendesak, bahkan sedikit memohon. Darko diam beberapa jenak. Kemudian, dengan sangat terang dia pun menyebutkan angka sejumlah empat kali diikuti gerak jari- jari tangannya. Kali ini Pak Lurah yang tersenyum, gembira melintasi raut mukanya. Seperti biasa, setelah merasa tidak ada sesuatu yang harus dikerjakan, Darko permisi. Membiarkan tubuhnya diterpa angin malam yang lembab. *** Orang-orang kampung kini mulai gelisah. Sudah dua malam kami tidak menjumpai Darko keliling kampung. Kami hanya bisa menduga dengan kemungkinan-kemungkinan. Sementara Pak Lurah kian geram, merasa dilecehkan. Mendapati nomer togel pemberiannya tak kunjung tembus. Esoknya, di suatu Jumat yang cerah, Pak Lurah mengumpulkan beberapa warga—terutama yang lelaki—guna memindahkan perlengkapan penguburan ke tengah permukiman. Katanya, tanah kuburan semakin sesak, membutuhkan lahan luang yang lebih. Sesampainya di sana, kami tetap tidak menjumpai Darko. Di gubuk itu, kami tidak juga menemukan jejak peninggalannya. Dengan memendam perasaan getir kami merobohkan tempat tinggalnya. Dalam hati kami masih sempat bertanya. Adakah Darko memang sudah mengetahui segala yang akan terjadi? KamarMalas, Januari 2012
""Tukang Pijat Keliling""
Ketika kemudian dengan keramahan yang tidak dibuat-buat dipersilakannya saya untuk masuk, tanpa ragu-ragu saya memilih langsung menuju amben di seberang ruangan. Nikmat rasanya duduk di atas balai-balai bambu beralas tikar pandan itu. Dia pun lalu turut duduk, tapi pandangannya justru diarahkan ke luar jendela, pada pohon-pohon cengkeh yang berderet seperti barisan murid kelas kami dahulu saat mengikuti upacara bendera tiap Isnin. Saya paham, kejutan ini pastilah membuat hatinya diliputi keharuan yang tidak bisa diungkapkannya dengan kata-kata. Dia butuh untuk menetralisirnya sebentar. Dia adalah sahabat masa kecil terbaik saya. Hampir 25 tahun lalu kami berpisah karena keluarga saya harus boyongan ke kota tempat kerja Ayah yang baru di luar pulau hingga kembali beberapa tahun kemudian untuk menetap di kota kabupaten. Itu saya ceritakan padanya, sekaligus mengucapkan maaf karena sama sekali belum pernah menyambanginya sejak itu. ”Jadi, apa yang membawamu kemari?” ”Kenangan.” ”Palsu! Kalau ini hanya soal kenangan, tidak perlu menunggu 10 tahun setelah keluargamu kembali dan menetap 30 kilometer saja dari sini.” Saya tersenyum. Hanya sebentar kecanggungan di antara kami sebelum kata-kata obrolan meluncur seperti peluru-peluru yang berebutan keluar dari magasin. Bertemu dengannya, mau tidak mau mengingatkan kembali pada pengalaman kami dahulu. Pengalaman yang menjadikan dia, walau tidak setiap waktu, selalu lekat di ingatan saya. Tentu dia mengingatnya pula, bahkan saya yakin rasa yang diidapnya lebih besar efeknya. Karena sebagai seorang sahabat, dia jelas jauh lebih tulus dan setia daripada saya. Malam itu saya berada di sini, memperhatikannya belajar. Teplok yang menjadi penerang ruangan diletakkan di atas meja, hampir mendekat sama sekali dengan wajahnya jika dia menunduk untuk menulis. Di atas amben, ayahnya santai merokok. Sesekali menyalakan pemantik jika bara rokok lintingannya soak bertemu potongan besar cengkeh atau kemenyan yang tidak lembut diirisnya. Ibunya, seorang perempuan yang banyak tertawa, berada di sudut sembari bekerja memilin sabut-sabut kelapa menjadi tambang. Saat-saat seperti itu ditambah percakapan-percakapan apa saja yang mungkin berlaku di antara kami hampir setiap malam saya nikmati. Itu yang membuat perasaan saya semakin dekat dengan kesahajaan hidup keluarganya. Selesai belajar, dia menyuruh saya pulang karena hendak pergi mencari jangkrik. Saya langsung menyatakan ingin ikut, tapi dia keberatan. Ayah dan ibunya pun melarang. Sering memang saya mendengar anak-anak beramai- ramai berangkat ke sawah selepas isya untuk mencari jangkrik. Jangkrik-jangkrik yang diperoleh nantinya dapat dijual atau hanya sebagai koleksi, ditempatkan di sebuah kotak, lalu sesekali digelitik dengan lidi atau sehelai ijuk agar berderik lantang. Dari apa yang saya dengar itu, proses mencarinya sangat mengasyikkan. Sayang, Ayah tidak pernah membolehkan saya. Tapi malam itu toh saya nekat dan sahabat saya itu akhirnya tidak kuasa menolak. ”Tidak ganti baju?” tanya saya heran begitu dia langsung memimpin untuk berangkat. Itu hari Jumat. Seragam coklat Pramuka yang dikenakannya sejak pagi masih akan terpakai untuk bersekolah sehari lagi. Saya tahu, dia memang tidak memiliki banyak pakaian hingga seragam sekolah biasa dipakai kapan saja. Tapi memakainya untuk pergi ke sawah mencari jangkrik, rasanya sangat-sangat tidak elok. ”Tanggung,” jawabnya. Sambil menggerutu tidak senang, saya mengambil alih obor dari tangannya. Kami lalu berjalan sepanjang galengan besar di areal persawahan beberapa puluh meter setelah melewati kebun dan kolam gurami di belakang rumahnya. Di kejauhan, terlihat beberapa titik cahaya obor milik para pencari jangkrik selain kami. Rasa hati jadi tenang. Musim kemarau, tanah persawahan yang pecah-pecah, gelap yang nyata ditambah angin bersiuran di areal terbuka memang memberikan sensasi aneh. Saya merasa tidak akan berani berada di sana sendirian. Kami turun menyusuri petak-petak sawah hingga jauh ke barat. Hanya dalam beberapa menit, dua ekor jangkrik telah didapat dan dimasukkan ke dalam bumbung yang terikat tali rafia di pinggang sahabat saya itu. Saya mengikuti dengan antusias, tapi sendal jepit menyulitkan saya karena tanah kering membuatnya berkali-kali terlepas, tersangkut, atau bahkan terjepit masuk di antara retakan-retakannya. Tunggak batang-batang padi yang tersisa pun bisa menelusup dan menyakiti telapak kaki. Tapi melihat dia tenang-tenang saja walaupun tak memakai alas kaki, saya tak mengeluh karena gengsi. Rasanya belum terlalu lama kami berada di sana dan bumbung baru terisi beberapa ekor jangkrik ketika tiba-tiba angin berubah perangai. Lidah api bergoyang menjilat wajah saya yang tengah merunduk. Kaget, pantat obor itu justru saya angkat tinggi-tinggi sehingga minyak mendorong sumbunya terlepas. Api dengan cepat berpindah membakar punggung saya! ”Berguling! Berguling!” terdengar teriakannya sembari melepaskan seragam coklatnya untuk dipakai menyabet punggung saya. Saya menurut dalam kepanikan. Tidak saya rasakan kerasnya tanah persawahan atau tunggak-tunggak batang padi yang menusuk-nusuk tubuh dan wajah saat bergulingan. Pikiran saya hanya terfokus pada api dan tak sempat untuk berpikir bahwa saat itu saya akan bisa mendapat luka yang lebih banyak karena gerakan itu. Sulit dilukiskan rasa takut yang saya rasakan. Malam yang saya pikir akan menyenangkan justru berubah menjadi teror yang mencekam! Ketika akhirnya api padam, saya rasakan pedih yang luar biasa menjalar dari punggung hingga ke leher. Baju yang saya kenakan habis sepertiganya, sementara sebagian kainnya yang gosong menyatu dengan kulit. Sahabat saya itu tanggap melingkupi tubuh saya dengan seragam coklatnya melihat saya mulai menangis dan menggigil antara kesakitan dan kedinginan. Lalu dengan suara bergetar, dia mencoba membuat isyarat dengan mulutnya. Sayang, tidak ada seorang pun yang mendekat dan dia sendiri kemudian mengakui bahwa kami telah terlalu jauh berjalan. Sadar saya membutuhkan pertolongan secepatnya, dia menggendong saya di atas punggungnya lalu berlari sembari membujuk-bujuk saya untuk tetap tenang. Napasnya memburu kelelahan, tapi rasa tanggung jawab yang besar seperti memberinya kekuatan berlipat. Sayang, sesampai di rumah bukan lain yang didapatnya kecuali caci maki Ayah dan Ibu. Pipinya sempat pula kena tampar Ayah yang murka. Saya langsung dilarikan ke puskesmas kecamatan. Seragam coklat Pramuka yang melingkupi tubuh saya disingkirkan entah ke mana oleh mantri. Tidak pernah terlintas di pikiran saya untuk meminta kepada Ayah agar menggantinya setelah itu. Dari yang saya dengar selama hampir sebulan tidak masuk sekolah, beberapa kali dia terpaksa membolos di hari Jumat dan Sabtu karena belum mampu membeli gantinya. ”Salahmu sendiri, tidak minta ganti,” kata saya selesai kami mengingat kejadian itu. ”Mengajakmu saja sudah sebuah kesalahan. Aku takut ayahmu bertambah marah nantinya. Ayahku tidak mau mempermasalahkan tamparan ayahmu, apalagi seragam itu. Dia lebih memilih membelikan yang baru walaupun harus menunggu beberapa minggu.” Kami tertawa. Tertawa dan tertawa seakan-akan seluruh rentetan kejadian yang akhirnya menjadi pengingat abadi persahabatan kami itu bukanlah sebuah kejadian meloloskan diri dari maut karena waktu telah menghapus semua kengeriannya. Dia lalu mengajak saya ke halaman belakang di mana kami pernah bersama-sama membuat kolam gurami. Kolam itu sudah tiada, diuruk sejak lama berganti menjadi sebuah gudang tempatnya kini berkreasi membuat kerajinan dari bambu. Hasil dari tangan terampilnya itu ditambah pembagian keuntungan sawah garapan milik orang lainlah yang menghidupi istri dan dua anaknya hingga kini. Ayah dan ibunya sudah meninggal, tapi sebuah masalah berat kini menjeratnya. Dia bercerita, sertifikat rumah dan tanah peninggalan orangtua justru tergadaikan. ”Kakakku itu, masih sama sifatnya seperti kau mengenalnya dulu. Hanya kini, semakin tua dia semakin tidak tahu diri.” ”Ulahnya?” Dia mengangguk. ”Kau tahu, rumah dan tanah yang tidak seberapa luas ini adalah milik kami paling berharga. Tapi aku tidak kuasa untuk menolak kemauannya mencari pinjaman modal usaha dengan mengagunkan semuanya. Aku percaya padanya, peduli padanya. Tapi, dia tidak memiliki rasa yang sama terhadapku. Dia mengkhianati kepercayaanku. Usahanya kandas dan kini beban berat ada di pundakku.” Terbayang sosok kakaknya dahulu, seorang remaja putus sekolah yang selalu menyusahkan orangtua dengan kenakalan-kenakalannya. Kini setelah beranjak tua, masih pula dia menyusahkan adik satu-satunya. ”Kami akan bertahan,” katanya tersenyum saat melepas saya setelah hari beranjak sore. Ada kesungguhan dalam suaranya. Sepanjang perjalanan pulang, pikiran saya tidak pernah lepas dari sahabat saya yang baik itu. Saya malu. Sebagai sahabat, saya merasa belum pernah berbuat baik padanya. Tidak pula yakin akan mampu melakukan seperti yang dilakukannya untuk menolong saya di malam itu. Dia telah membuktikan bahwa keberanian dan rasa tanggung jawab yang besar bisa timbul dari sebuah persahabatan yang tulus. Mata saya kemudian melirik seragam dinas yang tersampir di sandaran jok belakang. Sebagai jaksa yang baru saja menangani satu kasus perdata, seragam itu belum bisa membuat saya bangga. Nilainya jelas jauh lebih kecil dibanding nilai persahabatan yang saya dapatkan dari sebuah seragam coklat Pramuka. Tapi dia tidak tahu, dengan seragam dinas itu, sayalah yang akan mengeksekusi pengosongan tanah dan rumahnya.
""Seragam""
Deru burung besi itu kian nyaring begitu melewati tempatnya berjongkok. Ia menghentikan gerakan tangannya. Menggiring burung itu lenyap dari mata lamurnya. Lalu, tangannya kembali menggumuli cucian pakaian yang tak kunjung habis itu. Beberapa detik sekali, tangan keriputnya berhenti, lalu ia menampari pipi dan kaki. Nyamuk di belantara beton ternyata lebih ganas ketimbang nyamuk-nyamuk rimba yang saban pagi menyetubuhi kulitnya saat menyadap karet nun jauh di pedalaman Sumatera-Selatan sana: Tanah Abang. Ia menarik napas, melegakan dada ringkihnya yang terasa kian menyempit. Kicauan televisi tetangga menenggelamkan helaan napasnya. Suara musik, iklan, dan segala hal. Perempuan itu kembali menghela napas. Lalu, bangkit dari jongkoknya, menekan tuas sumur pompa. Irama air mengalir dalam ritme yang kacau. Kadang besar, kadang kecil, seiring tenaganya yang timbul-tenggelam. Air keruh memenuhi bak plastik, menindih-nindih pakaian yang bergelut busa deterjen. Bau karet tercium menyengat begitu air itu jatuh seperti terjun. Ia adalah Mak Inang. Belum genap satu purnama perempuan tua itu terdampar di rimba Jakarta, di antara semak-belukar rumah kontrakan yang berdesak-desakan macam jamur kuping yang mengembang bila musim hujan di kebun karetnya. Hidungnya pun belum akrab dengan bau bacin selokan berair hitam kental yang mengalir di belakang kontrakan berdinding triplek anak lanangnya. Bahkan, Mak Inang masih sering terkaget-kaget bila tikus-tikus got Jakarta yang bertubuh hitam-besar lagi gemuk melebihi kucing betinanya di kampung, tiba-tiba berlarian di depan matanya. Sesungguhnya, ia pun masih tak percaya bila terjaga dari lelapnya yang tak pernah pulas, kalau akhirnya ia menjejakkan kaki di ibu kota Jakarta yang kerap diceritakan orang-orang di kampungnya. Suatu tempat yang sangat asing, aneh, dan begitu menakjubkan dalam cerita Mak Rifah, Mak Sangkut, dan beberapa perempuan kampung karibnya, lepas perempuan-perempuan itu mengunjungi anak bujang atau pun gadis mereka. Sesuatu yang terdengar seperti surganya dunia. Serba mewah, serba manis, serba tak bisa ia bayangkan. ”Kesinilah, Mak. Tengoklah anak lanangku, cucu bujang Emak. Parasnya rupawan mirip almarhum Ebak,” itulah suara Jamal kepadanya beberapa pekan silam. Suara anak lanangnya yang kemerosok seperti radio tua, ia pun melipat kening saat mengetahui suara itu berasal dari benda aneh di genggamannya. ”Dengan siapa Mak ke situ?” lontarnya. Ada keinginan yang menyeruak seketika di dada Mak Inang. Keinginan yang sejatinya sudah lama terpendam. Telah lama ia ingin melihat Jakarta. Ibu kota yang telah dikunjungi karib-karibnya. Tapi, ia selalu tak punya alasan ke sana, walau anak lanangnya, yang cuma satu-satunya ia miliki selain dua gadisnya yang telah diboyong suami mereka di kampung sebelah, merantau ke kota itu. Belum pernah Jamal menawarinya ke sana. Tak heran, ketika petang itu Jamal memintanya datang, ia lekas-lekas menanggapinya. ”Tanyai Kurti, Mak. Kapan ia balik? Masalah ongkos, Mak pakai duit Emak dululah. Nanti, bila aku sudah gajian, Emak kuongkosi pulang dan kukembalikan ongkos Emak ke sini,” itulah janji anak lanangnya sebelum mengakhiri pembicaraan. Suara kemerosok seperti radio tua itu terputus. Mak Inang kembali menghela napas saat ingat percakapan lewat hape dengan anak lanangnya itu. Beberapa pekan sebelum ia merasa telah tersesat di rimba Jakarta, di semak-belukar kontrakan yang bergot bau menyengat. Ia melepas tuas pompa, air berhenti mengalir. Tangannya menjangkau cucian, membilasnya. *** Kota yang panas. Itulah kesan pertama Mak Inang saat mata lamurnya menggerayangi terminal bus Kampung Rambutan. Sedetik kemudian, ia menambahkan kesan pertamanya itu: Kota bacin dan berbau pesing. Hidung tuanya demikian menderita ketika membaui bau tak sedap itu. Hatinya bertanya-tanya heran melihat Kurti demikian menikmati bau itu. Hidung pesek gadis berkulit sawo matang itu tetap saja mengembang-embang, seolah-olah bau yang membuat perut Mak Inang mual itu tercium melati. Belum jua hilang rasa penat dan pusing di kepala Mak Inang, apalagi rasa pedas di bokongnya, karena duduk sehari-semalam di bus reot yang berjalan macam keong, beberapa orang telah berebut mengerubungi dirinya dan Kurti, macam lalat, berdengung-dengung. Mak Inang memijit keningnya. Cupingnya pun ikut pening dengan orang-orang yang berbicara tak jelas pada Kurti, gadis itu diam tak menggubris, hanya menyeret Mak Inang pergi. Mak Inang kembali memeras beberapa popok yang ia cuci, sekaligus. Telapak kaki kanannya yang kapalan cepat-cepat menampari betis kirinya begitu beberapa nyamuk membabi-buta di kulit keringnya. Ia menghempaskan popok yang sudah diperasnya itu ke dalam ember plastik. Jemari tangannya menggaruk-garuk betis kirinya. Bentol-bentol sebesar biji petai berderet-deret di kulit keringnya. Ia menggeram. Hatinya menyumpah-serapah kepada binatang laknat tak tahu diri itu. Dua-tiga hari pertama, Mak Inang cukup senang berada di rumah berdinding batu setengah triplek Jamal. Rasa senangnya itu bersumber dari cucu bujangnya yang masih merah itu. Walau, sesungguhnya Mak Inang terkaget-kaget saat Kurti mengantarnya ke rumah Jamal. Semua di luar otak tuanya. Dalam benaknya yang mulai ringkih, Jamal berada di rumah-rumah beton yang diceritakan Mak Sangkut, bukan di rumah kecil sepengap ini. Keterkejutannya kian bertambah saat perutnya melilit di subuh buta. Hanya ada satu kakus untuk berderet-deret kontrakan itu. Itu pun baunya sangat memualkan. Hampir saja Mak Inang tak mampu menahannya. ”Mak hendak pulang, Mal. Sudah seminggu, nanti pisang Emak ditebang orang, karet pun sayang tak disadap,” lontar Mak Inang di pagi yang tak bisa ia tahan lagi. Ia benar-benar tak ingin berlama-lama di ibu kota yang sungguh aneh baginya. Sesungguhnya, Mak Inang pun aneh dengan orang-orang yang saban hari, saban minggu, saban bulan, dan saban tahun datang mengadu nasib ke kota ini. Apa yang mereka cari di rimba bernyamuk ganas, berbau bacin, bertikus besar melebihi kucing ini? Mak Inang tak bisa menghabiskan pikiran itu pada sebuah jawaban. ”Akhir bulanlah, Mak. Aku gajian saban akhir bulan, sekarang tengah bulan. Tak bisa. Pabrik juga tengah banyak order, belum bisa aku kawani Mak jalan-jalan mutar Jakarta,” ujar Jamal sembari menyeruput kopi hitam dan mengunyah rebusan singkong. Singkong yang Mak Inang bawa seminggu silam. Mak Inang tak bersuara. Hatinya terasa terperas dengan rasa yang kian membuatnya tak nyaman. ”Kurti libur hari ini, Mak. Katanya tengah tak ada lembur di pabriknya. Nanti kuminta ia mengawani Mak jalan-jalan. Ke mal, ke rumah anak Wak Sangkut dan Wak Rifah,” terdengar suara Mai, menantunya, dari arah dapur yang pengap. Mak Inang mengukir senyum semringah mendengar itu. Rasa tak nyaman yang menggiring keinginannya untuk pulang mendadak menguap. Kembali cerita Mak Rifah dan Mak Sangkut tentang Jakarta mengelindap. Gegas sekali perempuan tua itu menyalin baju dan menggedor-gedor pintu kontrakan Kurti. Gadis itu membuka pintu dengan mata merah-sembab, muka awut-awutan dengan rambut yang kusut-masai. Mak Inang tak peduli mata mengantuk Kurti, ia menggiring gadis itu untuk lekas mandi dan menemaninya keliling Jakarta, melihat rupa wajah ibu kota yang selama ini hanya ada dalam cerita karib sebaya dan pikirannya saja. Serupa kali pertama Kurti mengantarnya ke muka kontrakan anak lanangnya, seperti itulah keterkejutan Mak Inang saat menjejakkan kaki di kontrakan anak Mak Sangkut dan Mak Rifah. Tak jauh berupa, tak ada berbeda. Kontrakan anak karib-karibnya itu pun sama-sama pengap dan panas. Hal yang membuat Mak Inang meremangkan kuduknya, gundukan sampah berlalat hijau dengan dengungan keras, bau menyengat, tertumpuk hanya beberapa puluh meter saja. Kepala Mak Inang berdenyut-denyut melihat itu. Lebih-lebih saat menghempaskan pantatnya di lantai semen anaknya Mak Sangkut. Allahurobbi, alangkah banyak cucu Mak Sangkut, menyempal macam rayap. Berteriak, menangis, merengek minta jajan, dan tingkah pola yang membuat Mak Inang hendak mati rasa. Hanya setengah jam Mak Inang dan Kurti di rumah itu, berselang-seling cucunya Mak Sangkut itu menangis. Kebingungan Mak Inang pada orang-orang yang saban waktu datang ke Jakarta untuk mengadu nasib kian besar saja. Apa hal yang membuat mereka tergoda ke kota bacin lagi pesing ini? Segala apa yang ia lihat satu-dua pekan ini, tak ada yang membuat hatinya mengembang penuh bunga. Lebih elok tinggal di kampung, menggarap huma, membajak sawah, mengalirkan getah-getah karet dari pokoknya, batin Mak Inang. *** Tangan Mak Inang kembali menekan-nekan tuas pompa, air keruh dengan bau karet yang menyengat kembali berjatuhan ke dalam bak plastik. Kadang besar, kadang kecil, seiring dengan tenaganya yang timbul tenggelam. Lagi, Mak Inang membilas cucian pakaian cucu, menantu, anak lanang, dan dirinya sendiri. Mendadak Mak Inang telah merasa dirinya serupa babu. Di petang temaram bernyamuk ganas, ia masih berkubang dengan cucian. Di kampung, waktu-waktu serupa ini, ia telah bertelekung dan gegas membawa kakinya ke mushola, mendahului muadzin yang sebentar lagi mengumandangkan adzan. Lampu benderang. Serentak. Seperti telah berkongsi sebelumnya. Berkelip-kelip macam kunang-kunang di malam kelam. Lagi, terdengar suara desingan tajam di atas ubun-ubun Mak Inang. Ia pun kembali mendongakkan wajah, mata lamurnya melihat lampu merah, kuning, hijau berkelip-kelip di langit temaram. Nyamuk-nyamuk pun kian ganas dan membabi-buta menyerang kulit keringnya. Wajah Mak Inang kian mengelap, hatinya menghitung-hitung angka di almanak dalam benak. Berapa hari lagi menuju akhir bulan? Rasa-rasanya, telah seabad Mak Inang melihat muka Jakarta yang di luar dugaannya. Benak Mak Inang pun hendak bertanya: Mengapa kau tak pulang saja, Mal? Ajak anak-binimu di kampung saja. Bersama Emak, menyadap karet, dan merawat limas. Tapi, mulut Mak Inang terkunci rapat. Malam di langit ibu kota merangkak bersama muka Mak Inang yang terkesiap karena seekor tikus got hitam besar mendadak berlari di depannya. Keterkejutan Mak Inang disudahi suara adzan dari televisi. Perempuan itu kembali menekan tuas sumur pompa, air mengalir, jatuh ke dalam ember plastik. Ia membasuh muka tuanya dengan wudhu. Bersamaan dengan itu, mendadak gerimis turun, seolah ibu kota pun hendak mencuci muka kotornya dengan wudhu bersama Mak Inang. Muka tua yang telah keriput, mengkerut, dan carut-marut.
""Dua Wajah Ibu""