content
stringlengths
5.02k
20.7k
title
stringlengths
7
76
Ayah bilang ibu pergi ke laut. Waktu aku tanya kenapa ibu tidak pulang, ayah menjawab, ibu mungkin tidak pulang. Tentu saja kemudian aku bertanya apakah ibu tidak kangen padaku? Dan ayah menjawab, tentu saja ibu kangen dan tetap sayang padaku. Tapi kenapa ia tidak pulang? Apakah ada seorang anak sepertiku yang ada di laut sehingga ibu tidak mau lagi pulang ke rumah ini? Sepasang mata ayah kemudian berair. Ibu, seperti juga ayah, sering sekali pergi. Mereka bisa pergi berhari-hari. Terakhir yang kuingat, malam sebelum ibu pergi, aku melihat ia mengepak barang di dalam tas besar. Enak jadi orang yang sudah besar, pakaiannya banyak. Pagi sebelum ibu pergi, ia masih sempat mencium pipiku, lalu seperti biasanya, ia juga mencium ayah, kemudian ayah mengantar ibu. Enak jadi orang yang sudah besar, bisa pergi ke mana-mana dan tidak harus terus berada di rumah. Sewaktu ibu mengepak barang, seperti biasanya aku bertanya apakah ia akan pergi ke Jakarta? Ibu menggeleng. Apakah ke Surabaya? Apakah akan ke Medan? Apakah akan ke Bali? Ibu juga menggelengkan kepala. Lalu aku bertanya, terus pergi ke mana? Ibu bilang pergi agak jauh, ibu mau pergi ke Aceh. Aku bingung. Di manakah Aceh itu? Lalu ibu menjelaskan bahwa untuk pergi ke sana kita harus meyeberangi laut. Ibu akan naik kapal? Ibu kembali menggelengkan kepala. Ia menjawab akan naik pesawat terbang. Wah, kenapa tidak naik kapal? Kan enak, bisa melihat banyak air. Ibu hanya tersenyum dan mencium pipiku. Ada saatnya aku tidak suka dicium, apalagi jika ciuman itu meninggalkan rasa panas di pipi. Kenapa banyak orang mencium pipiku, tetapi terasa sangat panas? Tapi lama ibu tidak juga pulang, setiap kali aku bertanya di mana ibu, ayah menjawab, ibu pergi ke laut. Enak jadi orang yang sudah besar, setelah pergi ke sebuah tempat bisa langsung pergi ke tempat yang lain. Setelah pergi ke Aceh, bisa pergi ke laut. Semua orang tiba-tiba terlihat semakin sayang sama aku. Tetangga-tetanggaku, tante-tanteku, semua terlihat semakin sayang. Nenek dan kakekku bahkan perlu tinggal berminggu-minggu di rumahku setelah ibu pergi ke laut. Bergantian mereka mengelus-elus rambut dan memelukku, apalagi ketika menonton televisi. Di televisi, aku melihat banyak bangunan yang rusak. Aku melihat air yang berlimpah menghanyutkan banyak orang dan barang. Aku senang sekali dengan air. Aku bertanya dari mana air sebanyak itu? Nenek bilang air itu datang dari laut. Lalu aku teringat ibu. Bukankah ibu ada di laut? Nenek dan kakekku lalu terdiam. Mata mereka berair. Ibu tahu aku lebih senang air daripada udara. Aku lebih senang ikan daripada burung. Dulu ibu sempat bertanya mengapa? Aku menjawab, habis enak kalau main air. Dan ikan-ikan itu terlihat lebih segar dibanding burung. Lagi pula, bukankah burung bisa terjatuh ketika terbang? Sedangkan ikan tidak mungkin jatuh. Aku pernah beberapa kali jatuh. Dan jatuh itu sakit. Ibu pintar berenang. Aku sering diajaknya pergi ke kolam renang. Di kolam renang, ibu bisa seperti seekor ikan yang besar. Ia berenang ke sana kemari. Sering pula aku menumpang di punggungnya. Dan aku tahu alangkah enaknya menjadi ikan. Aku ingin cepat bisa berenang. Aku ingin seperti ibuku. Aku ingin menjadi ikan. Aku pernah bertanya pada ayah, apakah di laut ibu menjadi ikan? Ayah bilang tidak. Ibu tetap menjadi ibu. Tapi berenang terus dan hidup di air bukankah akan membuat ibu capek? Ayah bilang tidak sebab ibu orang hebat. Aku senang sekali. Ibu memang hebat. Dan di laut, tentu ibu akan seperti yang pernah diceritakannya. Ibu pernah bercerita kalau ada ikan-ikan besar yang baik hati di laut. Ikan-ikan itu banyak menolong kapal-kapal yang akan tenggelam. Ibu tentu akan banyak menolong kapal-kapal yang akan tenggelam. Mungkin ia menjadi pemimpin para ikan yang senang menolong itu. Kalau aku sudah bilang seperti itu ke ayah, ia kelihatan bangga, tapi bibirnya gemetar dan matanya kembali berair. Ayah kemudian bilang, makanya aku tidak usah menunggu ibu pulang sebab di laut ibu sedang menunaikan tugas- tugas mulia menyelamatkan kapal- kapal yang akan tenggelam. Aku mengangguk mengerti, dan ayah memelukku. Ada saatnya aku tidak suka dipeluk, apalagi jika pelukan itu membuat tubuhku terasa sakit. Sebetulnya aku sangat rindu pada ibu. Aku rindu cerita-ceritanya, aku rindu diajak pergi ke kolam renang, aku pengin dibuatkan kue-kue yang enak. Tapi kalau kemudian aku ingat bahwa ibu harus memimpin ikan-ikan yang baik hati, aku hanya bisa diam. Pasti ibu kasihan melihat kapal-kapal yang akan tenggelam. Di dalam kapal-kapal itu pasti banyak anak kecil seusiaku yang belum bisa berenang. Ya, ibu harus menyelamatkan mereka. Tapi, setidaknya aku berharap ibu akan meneleponku seperti yang dulu-dulu jika ia pergi dalam waktu yang cukup lama. Mungkin di laut tidak ada telepon. Kalau tidak ada telepon, setidaknya ibuku bisa menitip surat untukku lewat kapal-kapal yang telah diselamatkannya. Atau jangan-jangan ibu terlalu sibuk? Mungkin aku yang harus mengiriminya surat terlebih dahulu. Tapi aku tidak bisa menulis surat. Lalu aku teringat Mbak Memi. Siang itu aku menunggu Mbak Memi pulang dari sekolah. Ia tinggal di depan rumah kami. Ia sudah sekolah SD dan temannya banyak. Aku sudah sering bilang ke ibu kalau aku pengin juga sekolah. Ibu selalu tersenyum jika aku bilang seperti itu. Katanya, sebentar lagi aku pasti akan sekolah. Ketika dari jauh aku melihat Mbak Memi pulang sekolah, aku langsung bilang ke Bi Nah kalau aku akan main dengan Mbak Memi. Mbak Memi orangnya baik. Ia sering mengajak dan menemaniku bermain. Dulu, ibu juga sering mengajak Mbak Memi pergi ke kolam renang. Kalau ibu habis bepergian, ia juga sering memberi oleh-oleh untuk Mbak Memi. Tapi Mbak Memi terlihat bingung ketika aku bilang bahwa aku ingin dia menuliskan surat untuk ibuku. Ia bilang, kalau aku ingin menulis surat untuk ibu, aku harus tahu alamatnya. Aku tidak tahu apa yang dimaksud dengan alamat. Kemudian ia bertanya, di mana sekarang ibuku berada? Aku bilang ibu ada di laut. Mbak Memi diam. Tak lama kemudian ia terlihat tersenyum. “Dinda, aku tahu bagaimana cara mengirim surat untuk ibumu.” Ia kemudian mengambil sehelai kertas, dan bertanya kepadaku apa yang ingin kusampaikan pada ibuku. Aku hanya ingin mengatakan bahwa aku sangat rindu pada ibu, tapi aku tahu kalau ibu mempunyai tugas yang berat, yaitu menyelamatkan kapal-kapal yang akan tenggelam. Mbak Memi menuliskan pesanku. Ia kemudian bertanya, “Ada lagi yang lain?” Aku menggelengkan kepala. Kemudian kulihat Mbak Memi kembali bingung. Ia kemudian bertanya lagi, “Dinda, kamu bisa tanda tangan?” Aku bingung. Aku menggelengkan kepala. “Menurut guruku, kalau kita mengirim surat, lebih baik ada tanda tangannya. Biar ibumu tahu kalau yang mengirim surat ini benar-benar kamu. Bukan surat yang palsu.” Aku kembali menggelengkan kepala. Entah kenapa aku merasa sedih. Enak betul kalau sudah sekolah, diajari membuat surat dan diajari membuat tanda tangan. “Aku tahu!” Tiba-tiba Mbak Memi terlihat senang. Lalu ia mengoleskan penanya ke jempol tanganku dan memintaku untuk menempelkan di kertas surat yang baru saja ditulisnya. “Dinda, ini namanya cap jempol. Itu sama dengan tanda tangan.” Aku senang sekali. “Dinda, menurutku lebih baik kamu juga memberi fotomu untuk ibumu. Mungkin ia membutuhkan fotomu kalau ia kangen sama kamu.” Aku tersentak. Dengan segera aku balik ke rumah dan mengambil beberapa lembar foto yang ada di album foto. Tapi, waktu aku bawa semua ke rumah Mbak Memi, ia bilang cukup satu saja. Lalu kupilih satu foto sewaktu aku digendong ayah. Bukankah ibu juga butuh foto ayah jika ia kangen? Fotoku itu dimasukkan ke amplop dan dilem kuat oleh Mbak Memi. “Dinda, siapa nama lengkap ibumu?” Kali ini aku sangat senang. Aku hafal nama lengkapku, nama lengkap ayahku, juga nama lengkap ibuku. Aku juga bisa menuliskan nama-nama itu. Lalu aku minta kepada Mbak Memi agar aku saja yang menulis nama lengkap ibuku. Selesai menulis nama lengkap ibuku, aku mengembalikan amplop itu ke Mbak Memi karena ia yang harus menulis alamat ibuku. Selesai menuliskannya, Mbak Memi memberikannya lagi ke aku sambil menunjukkan di mana aku harus menuliskan namaku sendiri. Selesai sudah. Kini Mbak Memi membacakannya untukku. “Untuk Ibu Maya Sophia di laut. Dari Dinda Sophia Zaki.” Aku senang sekali. Apalagi sewaktu Mbak Memi membaca nama lengkapku. Namaku Dinda, Sophia nama ibuku, dan Zaki nama ayahku. Mbak Memi kemudian membungkus lagi amplop itu dengan sebuah plastik bening. Ia bilang supaya tidak basah. Aku bertanya, kenapa takut basah? Bukankah akan diantar Pak Pos? Mbak Memi menggelengkan kepala. Ia bilang tidak mungkin lewat Pak Pos. Aku kembali merasa sedih. Lalu lewat siapa? Mbak Memi menjawab lewat kapal-kapalan. Lewat kapal-kapalan? Kenapa begitu? Mbak Memi lalu menjelaskan. Menurut gurunya, semua sungai itu mengalir ke laut. Jadi, nanti kami akan membuat sebuah kapal dari kertas yang dilapisi plastik untuk membawa suratku pada ibu. Aku lega. Dan tidak lama kemudian Mbak Memi sudah sibuk membuat kapal kertas yang cukup besar dari bahan kertas kalender. Ia melapisi kapal-kapalan itu dengan plastik, lalu merekatkan amplop yang berisi suratku di dalamnya. Enak sekali menjadi anak sekolah, bisa membuat apa saja dan tahu banyak hal. Mbak Memi mengeluarkan sepeda mininya. Ia kemudian menemui Bi Nah untuk meminta izin pergi bersamaku naik sepeda. Dengan membawa kapal kertas yang berisi suratku, aku membonceng Mbak Memi menuju sungai. Di dekat gapura yang akan menuju rumahku, ada sungai kecil. Sekalipun aku senang sekali melihat sungai itu, tapi aku tidak pernah main di sungai. Kali ini, aku merasa semakin senang dengan sungai kecil ini. Lewat sungai ini aku bisa berhubungan dengan ibuku. Sebelum kapal kami luncurkan di air, Mbak Memi memintaku berdoa agar kapal itu bisa selamat membawa suratku untuk ibu. “Doanya apa ya, Mbak?” “Kamu bisa Al Fatihah?” Aku mengangguk ragu. Ibuku sering mengajari aku menghafal Al Fatihah, tapi aku sering lupa. Al Fatihah terlalu panjang. Lebih panjang dibanding doa sebelum tidur atau doa sebelum makan. Lalu aku berusaha mengingatnya. Dengan malu, akhirnya aku bertanya ke Mbak Memi, “Mbak, sebelum iyyakana’budu, apa ya?” “Malikiyaumiddin, Dinda….” Mbak Memi kemudian mengajakku sama-sama membaca Al Fatihah. Setelah selesai, kapal kami turunkan ke air. Kapal melaju dengan tenang. Aku yakin kapal itu akan sampai ke laut, dan ibuku pasti senang menerimanya. Sebelum kami pergi, aku berkata kepada Mbak Memi. “Mbak, kalau ibu membalas suratku lewat apa?” Mbak Memi diam. Kemudian ia menjawab, “Lewat hujan, Dinda.” “Kenapa lewat hujan?” “Kata bu guru, hujan itu berasal dari air yang menguap. Air di laut, di danau, di sungai menguap karena panas matahari. Uap itu lalu berkumpul menjadi awan, dan kemudian turun menjadi hujan.” Aku bingung. Tapi itu tidak penting. “Lalu surat dari ibuku ikut turun bersama hujan, ya?” Mbak Memi kembali diam. “Mungkin, Dinda. Tapi coba kamu tanya pada ayahmu nanti.” Aku tersenyum lega. Aku membayangkan alangkah indahnya. Surat dari ibuku naik ke langit, lalu ada di dalam awan, dan kemudian turun bersama hujan ke rumahku. Mungkin akan tertempel di daun, mungkin akan tertempel di jendela, mungkin juga ada di pagar rumah. Sesampai di rumah Mbak Memi, sebelum aku pulang, aku sempat bilang padanya. “Mbak, kalau hujannya besok turun waktu ayah kerja di kantor, aku dibacakan suratnya, ya?” Mbak Memi tersenyum dan mengangguk. Aku senang sekali. Sehabis makan malam dengan ayah, tak sabar aku menceritakan apa yang telah kulakukan tadi siang bersama Mbak Memi. Ayah mendengarkanku. Dan seperti biasanya, bibirnya terlihat gemetar, kedua matanya berair, sebelum kemudian memelukku erat. “Ayah, apakah ibu akan membalas suratku lewat hujan?” Ayah diam. Lalu ia mengangguk pelan. Aku lega. Aku mulai membayangkan ketika hujan turun ada sehelai amplop terbungkus plastik bening yang hinggap di jendela. Ayah lalu mengantarkanku ke tempat tidur. Seperti biasanya, ayah kemudian bertanya kepadaku, aku mau diceritai apa malam ini? Semenjak ibu pergi, aku selalu meminta agar ayah bercerita kepadaku tentang laut. Ayah kemudian bercerita tentang sebuah kerajaan di bawah laut. Kerajaan itu indah sekali. “Ibu ada di istana itu?” Ayah mengiyakan. Lalu ia melanjutkan ceritanya, hingga kemudian suaranya melambat. Cerita ayah masuk ke dalam mimpiku. Di sana aku melihat ibu sedang bercanda dengan ikan-ikan besar yang baik hati. Dan aku ikut bermain bersama mereka. Ibuku, seperti biasanya, membawaku berenang di atas punggungnya. Aku terjaga ketika wajahku terasa basah. Aku hanya bermimpi. Aku merasa ayahku sedang menciumi wajahku. Samar kudengar ia berkata, “Maya… kamu tahu aku dan Dinda tidak pernah baik- baik saja tanpa kamu….” Lalu kurasakan suara ayah beralih menjadi suara tangis. Air matanya jatuh ke wajahku. Ia mengelap wajahku dengan rasa sayang. Aku tetap terdiam tanpa membuka mata. Tempat tidurku terguncang hebat. Tangis ayah terasa semakin kencang, dan lamat pula aku mendengar, “Maya, apa yang harus kukatakan kepada Dinda?” Lalu kulihat lagi ibu bersama ikan-ikan sedang menyelamatkan sebuah kapal. Di kapal itu, aku melihat ayah. Pagi harinya, ketika aku bangun tidur, aku kaget dan berteriak girang. Ada amplop dibungkus plastik bening di jendela kamarku. Dengan segera aku keluar rumah dan mengambil amplop itu, lalu sibuk mencari ayah, semoga ia belum berangkat kerja. Ternyata ayah masih mandi. “Ayah, cepat! Ada surat balasan dari ibu! Semalam hujan ya?!” Begitu keluar dari kamar mandi, ayah tersenyum. “Iya, Dinda, semalam hujan. Sekarang kamu harus mandi dulu, sarapan pagi bersama ayah, lalu kita akan baca bareng-bareng surat dari ibu.” Selesai memandikan dan menyuapiku, ayah membacakan surat dari ibu. Dalam surat itu, ibu bilang bahwa ia telah menerima suratku. Dan ia berpesan agar aku tidak usah mengirim lagi surat karena ibu bisa melihatku dengan baik dari laut. Aku senang sekaligus merasa sedih. Senang karena ibu membalas suratku. Sedih karena ibuku tidak ingin aku mengirim lagi surat. Ayah kemudian mencium pipiku. “Dinda jangan sedih. Hari ini kita akan pergi ke laut. Kamu masih boleh mengirim sekali lagi surat ke laut. Dan kita akan bawakan bunga untuk ibu. Sekarang kamu pilih dan ambil bunga di halaman untuk ibu, biar ayah yang menulis surat. Kamu ingin menulis apa, Sayang?” Aku melonjak girang. Aku bilang ke ayah kalau aku ingin memberi tahu ibu supaya aku masih boleh mengiriminya surat, dan aku ingin bilang bahwa aku ingin cepat sekolah supaya nanti aku bisa menulis surat sendiri. Dengan cepat aku pergi ke halaman depan, memetik sebanyak mungkin bunga untuk ibu. Aku tahu bunga-bunga yang disukai ibuku. Lalu kami berdua berangkat ke laut. Sesampai di laut, aku senang sekali. Aku yang melempar sendiri surat yang dituliskan ayahku. Aku juga ikut ayahku menaburkan bunga-bunga yang kupilih. Setelah itu, aku bermain air laut dengan ayah. Setelah aku cukup lelah, ayah kemudian mengajakku untuk makan ikan di warung-warung makan yang ada di pantai. “Dinda mau makan ikan apa?” Aku menggelengkan kepala. Ayah heran, kemudian ia bertanya, “Kenapa, Dinda?” “Kasihan ibu kalau ikan-ikan diambil terus. Nanti ibu kehilangan banyak teman di laut.” Kulihat ayah diam. Matanya berair. Ia menangis sambil memelukku. Aku heran sekali. Ayah sekarang gampang menangis!
""Ibu Pergi ke Laut""
Sebenarnya ini bukan sesuatu yang luar biasa bagiku, karena aku tahu kebiasaan suamiku yang tidak biasa. Sebagai suami, sebenarnya ia tak beda banyak dengan lelaki lain, atau suami lain yang pernah kudengar. Dan menurut penilaianku ia termasuk suami yang baik: suami yang mencintai, bertanggung jawab, dan kadang tidak setia. Ia mencintaiku dan itu kurasakan. Ia bertanggung jawab sebagaimana suami dalam tata nilai tradisi: bertanggung jawab atas semua kebutuhan dengan sukarela. Kalau ia mengaku tidak setia, karena memiliki ukuran berbeda. Katanya: “Bahwa sebenarnya kesetiaan itu bukan diukur apakah seseorang berkhianat atau tidak, melainkan apakah ia kembali lagi atau tidak.” Kata-kata itu mungkin menghibur, tapi tak mengubah bahwa hati seorang istri hancur karenanya. Siapa yang tidak meledak kalau mendengar penjelasan berikutnya. “Sebagaimana kematian adalah bagian dari kehidupan, demikian juga patah hati atau sakit hati adalah bagian yang sama dengan jatuh cinta. Kalau kamu pernah mengalami sakit hati, cintamu akan menjadi sempurna.” Mungkin akan sempurna kalau aku patah hati dengan lelaki lain, misalnya. Bukan dengan suami sendiri. “Sebetulnya sama saja. Hanya saja sebutan suamiku, menunjukkan kepemilikanmu, jadinya terasa lebih menyakitkan.” Saat itu merupakan masa-masa yang berat bagiku. Sama beratnya ketika nafsu seksualnya begitu menggebu dan aku makin menggerutu. Sampai pada titik jenuh, sehingga sakit walau hanya disentuh. “Dalam pikiran lelaki, hubungan seks adalah bentuk cinta. Makin perkasa dia, membuktikan ia makin mencintai.” Jelas itu omong kosong. “Akan ada waktunya nanti ketika daya seksual melemah atau habis, cinta memisahkan diri dengan nafsu seksual. Ketika itu cinta tak perlu dibuktikan dengan hubungan seksual. Nafsu seks bisa mati dan berhenti, tapi cinta bisa terus jalan sendiri.” Artinya kalau setelah daya seks melemah, tapi masih bisa betah bersama-sama, itu artinya masih cinta. “Saat seperti akan datang dengan sendirinya, tak perlu dipaksa, sebagaimana usia. Tanpa kecuali semua bertambah tua, juga dunia.” Dan kini, ia jatuh cinta kepada jam dinding. Aku bisa merasakan, karena aku sangat mengenalnya sekian lama, dan juga karena ia tak menutup-nutupinya. “Bagaimana kamu bisa jatuh cinta kepada jam dinding itu?” “Seperti yang selama ini terjadi,” katanya menjelaskan. “Aku melihat jam dinding itu, tertarik, dan terjadi dramatisasi dalam seluruh kesadaranku. Karena kita membelinya bersama-sama, kamu ingat hari-hari yang kita lalui bersama jam dinding. Itu yang menjadi berharga.” Jam dinding itu memang dibeli pertama kali kami pindah ke Jakarta. Di sebuah rumah kontrakan yang hanya satu kamar-dan satu pintu untuk keluar masuk, kamar tidur hanya ditutup tirai, sehingga jam dinding itu kelihatan terlalu besar. Sebenarnya sebutan jam dinding itu tak sepenuhnya tepat. Karena kamar kontrakan yang kami tempati tidak memiliki dinding. Hanya ada papan yang ditempeli kertas semen berlapis, lalu dicat. Jam itu bisa jatuh setiap saat. Bentuknya agak bujur sangkar dengan angka yang jelas, mulai dari 1 sampai angka 12. Ini kesepakatan bersama sebelum membeli, karena kalau tidak memakai angka, atau angka Romawi, kami sering salah lihat. Agak modern, karena di bagian bawah ada lubang yang menunjukkan tanggal serta nama hari-walau dalam bahasa Inggris. Ada tombol manual untuk menyesuaikan hari di sebelah kanan atau bawah, juga untuk membetulkan tanggal, entah sebelah kanan atau bawah. Yang akan berubah sendiri dan mengeluarkan suara jeglek keras tengah malam saat berganti. Warna dasarnya coklat, ada kontur putih. Ini model yang agak mewah, walau harganya paling murah dibandingkan dengan yang ada di toko waktu itu. Dengan satu baterai tanggung, jam itu bisa menunjukkan waktu untuk jangka lumayan lama, sebelum akhirnya batu baterainya harus diganti. Di rumah kontrakan yang sempit, satu-satunya tempat ya di ruang tamu, merangkap ruang keluarga, ruang bermain. Kalau tidak salah-mestinya tidak, jam dinding itu dibeli bersamaan dengan pembelian kursi yang memakai roda di bawahnya, yang ditawarkan dengan nama kursi direktur. Praktis roda itu tak bisa bergerak ke mana-mana karena ruangan sempit. Ketika akhirnya kami bisa pindah ke rumah yang bisa dicicil selama 20 tahun, kursi direktur dan jam dinding ikut pindah. Hanya karena rodanya sering macet-atau sebenarnya takut terlindas roda ketika anak-anak mulai merangkak-kursi itu diistirahatkan. Aku lupa bagaimana nasibnya: jelas tak mungkin dijual ke tukang loak. Walau tak ada sisanya, juga dalam ingatan. Sedangkan jam dinding itu, kini menempati posisi utama di ruang keluarga. Sampai kemudian kami pindah lagi ke rumah yang lebih besar, dengan garasi lebih lebar, dengan ruang keluarga yang menganga, jam dinding itu tetap menguasai. Ditempel di atas pintu yang menghubungkan ruang keluarga dengan ruang lain yang sering dilewati. Sehingga semua orang bisa melihati. Ini menjadi masalah karena kemudian jam dinding itu berubah semaunya. Perubahan tanggal dan hari tidak terjadi tengah malam, melainkan suka-suka jam dinding itu sendiri. Bisa pagi, tahu-tahu ada suara jeglek. Sering kali lebih dari 24 jam. Beberapa kali diganti batu baterai, jadi baik lagi. Tapi yang terakhir ini, biarpun diganti batu baterai, kadang ngadat. Artinya putarannya betul-betul sesukanya. Karena mengganggu-terutama mengganggu mereka yang baru melihatnya, tempatnya berpindah ke kamar tidur. Di kamar tidur pun kelakuan jam dinding itu sama. Baginya sehari bukan 24 jam. Mungkin 20 jam, atau lama-lama malah berhenti di pukul lima kurang lima. Sebulan lebih begitu terus. Tahu-tahu berubah sendiri. Terbersit suamiku yang menyesuaikan untuk suatu ketika, tapi terhapus dengan sendirinya karena itu tak mungkin dilakukan suamiku yang pemalas. Sedemikian malasnya ia, sehingga ketika makan dan sendoknya jatuh, ia melanjutkan dengan tangan telanjang. “Jam itu tak ada gunanya,” kataku. “Salah, Di kamar tidur ini kita tak membutuhkan waktu. Menunjuk ke angka berapa pun, apa bedanya.” Mengganti dengan batu baterai yang baru pun tak ada gunanya. Membawa ke tukang reparasi jam tak ada gunanya. Ongkosnya akan mahal. Sementara jam yang sama dan sejenis atau bahkan lebih bagus cukup banyak. Ada masanya banyak perusahaan berpromosi dengan jam dinding. Bahkan juga nama yayasan yang meminta bantuan. Jumlahnya banyak sekali. Artinya jam dinding itu sudah tidak mempunyai fungsi. Selain sebagai hiasan, di mana sebagian kenangan masih bisa diingat-ingat darinya. “Kenangan tak akan pernah bisa dikalahkan oleh waktu. Justru kenangan menang dengan waktu. Makin lama berlalu, kenangan makin bermutu. Ingat itu.” Menjadi indah, walau bikin gundah, adalah contoh yang diberikan kemudian: “Itu sebabnya seorang lelaki yang mempunyai istri lebih satu, selalu yang memberi kenangan lama yang akan menang. Betapa pun lebih hebatnya istri kedua atau ketiga, dalam soal kenangan, selalu lebih banyak istri pertama. Bahkan untuk merasakan lebih baik pun perbandingannya dengan kenangan sebelumnya.” “Berarti aku selalu nomor satu.” “Setelah ibuku.” Sebagaimana lelaki pada umumnya juga, suamiku juga pecinta ibu. Yang tidak malu-malu mengakui, tidak malu dikeloni meskipun saat itu sudah punya istri aku. Sedemikian dekatnya suamiku kepada ibunya, sehingga waktu ibunya meninggal aku sangat ketakutan. “Sekarang yang kamu hormati, dan kau takuti sudah meninggal. Kamu pasti berani kawin lagi.” “Mungkin.” “Mungkin?” “Mungkin, karena semua lelaki mempunyai bakat untuk itu. Tapi secara praktis tak akan menyenangkan. Di dunia, satu-satunya tata krama yang aneh dan disepakati di seluruh dunia adalah tata krama dalam lembaga perkawinan. Bayangkan, seseorang naik becak atau bis kota, ia naik dulu baru bayar kemudian, mungkin di tengah jalan, mungkin di tujuan. Seseorang yang naik kereta api atau naik pesawat terbang membayar di depan, tapi untuk satu atau dua perjalanan. Dalam perkawinan pembayaran dan ikatan berlangsung selamanya. Kontrak ikatan yang paling dungu, tapi dianggap aman bagi lelaki dan perempuan.” “Berarti kamu menyesali perkawinan?” “Satu-satunya yang kusesali dalam hidup ini adalah karena aku tak bisa menyesali apa yang terjadi. Aku bahkan tak mampu menyesali kenapa aku tak dilahirkan di Irian atau Nepal di puncak gunung saja. Atau di tempat yang paling aku sukai, tempat yang ada sungainya, lalu aku bisa bermain sepuasnya, memandangi terus. Menyesal hasil dari pikiran, dari nalar. Dan nalar bahkan tak bisa menjelaskan hal yang paling sederhana dan terjadi pada semua orang: “cinta”. Di kamar tidur jam dinding itu sebenarnya tak terlalu mengganggu, karena letaknya di kepala, agak ke atas. Sehingga ketika berangkat tidur, atau bangun, juga selama berbaring tak perlu melihat ke arahnya. Tapi memang , saat keluar dan masuk kamar, masih saja melihatnya. Dan selalu menemukan jarum jam tidak menunjukkan waktu yang disepakati. Sehingga aku berniat memindahkan. “Bahkan ketika kamu memindahkan, ia tetap ada. Kamu bisa merasakan keberadaannya saat tiada.” Ada benarnya juga, karena ketika kupindahkan ke dapur, aku masih menengok ke tengah jam dinding lama dipasang. Bahkan ketika di tempat itu dipasang jam dinding baru, yang terbayang adalah jam dinding lama. “Lelaki mengenal cinta pertama melalui ibu, demikian juga bayi perempuan. Sampai kemudian merasa perlu kepada pacar atau kekasih, sampai dengan kepada istri. Semua terjadi dengan rasa aman, karena ia tak mungkin menerima cemburu dari ibunya. Atau cemburu yang aman-yang membiarkan kita mencintai orang lain. Seorang istri, juga seorang suami tak bisa benar-benar begitu. Baru kemudian cinta aman berlanjut ketika mencintai binatang kesayangan, ketika mencintai tumbuhan, ketika kemudian mencintai barang. Kamu mungkin berpikir cinta semakin menurun kadarnya, dari seorang ibu ke istri, ke binatang, dan ke barang. Mungkin itu ke kedewasaan, karena kemudian bisa saja jatuh cinta ke suatu yang tak ada.” Aku tak begitu yakin apa yang dikatakan, tapi bisa merasakan. Cinta yang harus terbagi padaku ketika ia menceritakan kemesraan ibunya, jauh berbeda dengan pacarnya, kemudian dengan binatang atau jam dinding. “Benarkah semata-mata karena rasa aman yang membedakan cinta?” “Bisa begitu, bisa rasa-rasa yang lain. Sesungguhnya cinta hanya ada dalam pembesaran di pikiran, di perasaan. Cinta tak akan selesai dirumuskan dengan pemikiran.” Cinta aman bisa terus ke cucu, ke menantu, ke tanah, ke yang sudah tidak ada. Atau bahkan ke yang tak pernah ada. Atau ada, walau tak berguna. “Seseorang hanya memiliki satu cinta. Seperti air sungai, bisa mengalir ke mana-mana, membelok ke selatan atau ke utara, tapi sebenarnya satu arus saja.” Tiba-tiba aku sadar dan menjadi sangat jengkel. Dengan kalimatnya itu berarti perkawinan tak banyak maknanya, toh tak menghalangi cinta mengalir ke jurusan mana saja. Aku lebih jengkel karena jam dinding itu ketika dipasang di dapur bisa bergerak lagi. Memang tidak tepat untuk waktu-entah kenapa selalu lebih maju. “Istriku, ketika kita memutuskan untuk membeli jam dinding itu, itulah keberanian, itulah anugerah yang sama ketika memutuskan menjadi suami-istri dalam suatu pernikahan. Keberanian, karena banyak cinta diutarakan tanpa keberanian menikahi resmi. Anugerah, karena itu hadiah besar. Semua itulah harga yang kita bayar untuk selamanya memiliki, merawat, memanjakan dan dimanjakan. Kita tak akan merasa aman, merasa memiliki, hanya dengan melihat di pajangan toko, atau dipasang di sini karena dipinjamkan. Bahkan ketika kita membelinya dengan mencicil, sejak awal kita merasa memiliki secara resmi ketika memandangi. Pada jam dinding lain kita bisa mengagumi, tapi kita tak mudah jatuh cinta karena kita tak memiliki kenangan yang menjadi berharga dengan berlalunya waktu yang kita lewati bersama.” Jam dinding bermerek Citizen itu masih bergerak-gerak-kini aku tahu jarum yang menunjukkan detik memang bergerak lebih cepat dari jam dinding lain. “Kita tahu bahwa merek itu hanya ditempel oleh penjualnya. Bisa merek yang sama ditempelkan pada jam dinding lain, atau jam dinding itu menjadi merek lain. Itu biasa dalam jual beli jam di toko. Seperti juga namamu, namaku. Bisa dipakai orang lain, atau nama kita ini hasil pinjaman nama orang lain. Kalaupun jarum detik bergegas, kita menerimanya sebagai paket. Sebagaimana aku menerimamu meskipun kamu cerewet, atau aku yang tidak cerewet.” Seharusnya akulah jam dinding itu: menandai waktu berlalu secara bersama, mendetakkan berbagai peristiwa dan karenanya menjadi rangkaian kenangan, yang selalu ada dan bertambah, pun ketika harus berada di dapur atau kamar tidur, pun saat waktu terulur. Sesungguhnyalah suamiku adalah jam dinding, dan aku bahagia jatuh cinta padanya. Akulah sungai yang memiliki keberanian menerimanya sebagai anugerah.* (0305)
""Suamiku Jatuh Cinta pada Jam Dinding""
Hanya untuk satu nama: Demi. Kalimat itu terukir rapi di atas foto Mas Zen berlatar belakang bunga tulip yang tengah mekar. Tentunya foto itu diabadikan saat musim bunga sedang berlangsung di Belanda. Aku menerima kiriman itu dari Mas Zen tiga tahun lalu. Saat Zen kuliah di negeri Kincir Angin itu. Di bawah kalimat itu tertulis dengan tipografi puisi: “Rademi Pratiwi,/bila musim salju tiba seperti sekarang ini,/aku makin rindu padamu./Ingin mendekapmu/sepanjang tidurku/di balik selimut tebal.//Atau dalam mantel tebal menembus salju/sepanjang jalan di Amsterdam ini/kita saling melingkarkan tangan/di pinggang.//Kau tahu,/aku selalu bayangkan/kau ada di dekatku,/dalam dekapanku…” Dan hingga kini kenang-kenangan dari Zen masih dipajang di tembok rumahku. Kalimat indah itu, “Hanya untuk satu nama: Demi”, seperti ingin mengekalkan waktu. Tetap tidak luntur karena usia. Dan, saban hari aku selalu menatap kenangan itu. Membaca kalimat-kalimat puitik yang diukir rapi itu. Aku menerimanya dengan bahagia sekali saat itu. Rasanya aku ingin segera terbang. Segera mendekapnya. Berlari-lari menembus salju. Dan jika gigil menyergap akan kupeluk Mas Zen. Maklum waktu itu kami baru enam bulan menikah. Kata orang, perkawinan kami masih masa bulan madu. Karena itu, masih dipenuhi oleh fantasia dan imajinasi yang indah-indah. Sesungguhnya aku berat membiarkan Zen meninggalkanku sendiri. Kalau saja bukan karena tugas dari tempatnya bekerja dan kesempatan disekolahkan oleh perusahaan amatlah langka-tidak akan terulang oleh orang yang sama, akan kukatakan padanya: “Jangan tinggalkan aku, Mas Zen. Aku tak berani didera rindu…” Waktu itu Zen membujukku, “Tiga tahun tidak lama, sayang. Hanya sekedip mata jika hati kita sama-sama terpaut. Kau bisa meneleponku setiap malam jika rindu. Aku pasti akan menghubungimu bila aku kangen. Kesempatan baik seperti ini tidak akan datang dua kali…” Lalu kujawab, dengan perasaan cemburu, “Gadis-gadis Nederland pasti cantik-cantik ya, Mas? Aku khawatir kau akan jatuh cinta di sana.” “Kau lebih cantik dari mereka, kau adalah segala-galanya bagiku. Lagi pula aku ke sana ingin sekolah, tak ada soal lain,” tegas Zen. “Marilah kita menjaga cinta kita dengan saling percaya dan jujur.” Itulah percakapan saat-saat jelang keberangkatan Zen ke Belanda. Sehari sebelum Zen meninggalkan Indonesia, kami habiskan waktu berdua di sebuah kafe termewah di Kota BL ini. Aku memandangi wajah Zen. Ia pun seakan menembus ke dalam kedua mataku. Kupegang erat kedua tangannya. Ia meremas jari-jemariku. Menyusuri telapak tanganku, hingga mendekati siku tangan kananku. Kubiarkan jemarinya menari-nari di tanganku. Seperti kunikmati gerakan penari di panggung. Tiga tahun bagi orang lain memang hanya sekejap. Tetapi tidak untukku yang kala itu tengah menikmati indahnya awal berumah tangga. Aku ingin menemani Zen, cuma perusahaan tempatnya bekerja tidak membolehkan. Alasannya, karyawan yang disekolahkan tidak boleh diganggu sehingga ia bisa kembali dengan sukses. Selain itu, perusahaan tidak menanggung di luar yang mendapat beasiswa. Artinya, jika aku menyertai Zen aku harus menanggung seluruh biaya transportasi dan segala keperluan selama di Belanda. Bagaimana mungkin bisa? Biaya hidup di sana sangat tinggi dibanding di Indonesia. Selain itu, kalau Zen gagal maka kami harus mengganti seluruh biaya yang telah dikeluarkan. Ini jelas sangatlah berat. Maka aku menanti Zen dengan rindu yang mendalam. Deru kangen karena kesepian bagai ribuan lebah yang mendengung. Meski Zen tak pernah alpa meneleponku setiap malam, jelang aku ke peraduan. Hanya telepon dan suara penuh kerinduan dari Zen itu, seakan dapat menenteramkan hatiku. Aku pun bisa terlelap hingga esok pagi terbangun. Tiga bulan di Belanda, kiriman foto Zen dengan latar belakang bunga tulip yang lagi mekar kuterima. Di foto yang terbingkai rapi itu terukir tulisan Zen: “Hanya untuk satu nama: Demi”. Ya. Aku tahu dan sekaligus aku percaya. Hanya satu nama-namaku, yang terukir di hatinya. Nama perempuan yang sejak lama mencintainya. Perempuan-dan aku tentunya-yang setia menanti, dan kini telah resmi menjadi istrinya dengan setia pula akan menanti ia kembali. Bila rindu memendam, kupandangi foto kiriman Zen itu. Kubayangkan seindah apakah bunga-bunga tulip sesungguhnya? Kuangankan Zen menyusuri taman bunga itu. Atau melintas di bawah kincir angin. Sendiri. Gigil. Sebab salju turun tak kenal waktu. Seandainya, ya seandainya, aku ada di sisinya tak kubiarkan salju menyentuh kulitnya. Aku akan segera menepis agar dia tak merasa kedinginan. “Ah, kau terlalu obsesif. Dingin memang jika salju sedang turun, namun tidak seperti kita bayangkan. Buktinya tak ada orang yang mati di sini tertimbun salju kan? Aku sudah siapkan mantel tebal, dan selalu kubawa jika musim salju…” kata Zen ketika meneleponku suatu malam. “Bener Mas, enggak kedinginan. Demi mengkhawatirkan Mas Zen,” kataku manja. “Benar, sayang. Kalau aku kedinginan, akan kubayangkan kau ada di dalam mantelku. Atau mendekapmu di balik selimut tebalku. Agar gigil hilang, kehangatan datang.” “Aih Mas, bercanda terus!” aku merajuk. “Jangan-jangan sudah ada yang menggantikan aku ya di situ?” “Tu kan cemburu?” Aku malu. Lalu, kujawab, “Tidak kok. Aku tidak cemburu…” “Lalu, apa?” “Kangen…” “Sama.” Kemudian kami tertawa. Aku membayangkan Zen memelukku. Erat sekali. Lalu menggiringku ke kamar. Ah, sedang apa Zen di sana malam ini? Tiba-tiba aku disadarkan oleh dering telepon lagi. Mungkinkah Zen yang meneleponku? Ia memang baru saja lupa mengucapkan selamat tidur, seperti malam-malam sebelumnya. Segera kuraih gagang telepon. “Belum tidur, Tiwi?” Ah! Ternyata Mama yang meneleponku. Keluargaku memang biasa memanggilku Tiwi. Sedangkan teman-temanku acap menyapaku dengan Demi, bahkan kadang ditambah dengan Moore di belakang namaku. Mengingatkan aku pada selebriti dunia. “Belum, Ma. Ada perlu penting Ma?” jawabku segera. Tidak seperti biasa Mama menelepon pada malam hari seperti sekarang: pukul 23.57. “Enggak. Hanya ingin tahu keadaanmu.” “Tiwi sehat-sehat saja, baik-baik saja kok. Mama juga baik-baik saja kan? Papa juga? Rio sudah pulang, Ma?” “Syukurlah,” ujar Mama kemudian. “Zen sudah meneleponmu? Beberapa menit lalu dia menelepon Mama, menanyakan kabar keluarga kita. Katanya, dia sehat-sehat saja di Belanda. Hanya sebentar menelepon Mama, katanya mau meneleponmu….” “Kok, Mas Zen tak bilang kalau habis menelepon Mama? Ya Ma, dia baru meneleponku. Hampir dua jam dia ngobrol dengan Tiwi. Cerita macam-macam deh….” “Mungkin, menurut dia, tak begitu penting,” jawab Mama pendek. Lalu lanjutnya, “Mama sehat, Papa juga baik-baik. Tapi sudah empat hari ini belum pulang. Kau tahu sendirilah kelakuan Papamu. Rio menginap di rumah kawannya….” “Jadi, Mama sendirian sekarang?” “Kan ada Bik Sumi?” “Ya. Tapi, Mama tetap sendirian!” kataku menegaskan. Dalam hati aku membenci Papa yang selalu meninggalkan Mama sendirian di rumah. Menelantarkan Mama di rumah. Sementara dia asyik berjudi sambil ditemani perempuan-perempuan anjing. Jangan-jangan papaku yang sesungguhnya anjing? “Jangan mengkhawatirkan Mama, Tiwi. Mama baik-baik saja kok.…” Mama membuyarkan lamunanku. “Kalau begitu, besok pagi Tiwi pulang. Tiwi mau tidur dengan Mama, menemani Mama.…” “Tak usah Tiwi. Jangan tinggalkan rumah selagi suamimu tidak ada. Apalagi kau belum izin dengan Zen, tidak baik.” “Aku akan menelepon Zen, minta izinnya. Sekarang. Besok pagi aku ke rumah.…” Setelah kumatikan hubungan telepon ke Mama, segera kutelepon Zen. Berkali-kali kuhubungi nomor tempat Zen menginap tak diangkat-angkat. Aku berpikir, mungkinkah Zen tidur lagi setelah meneleponku karena hari libur? Atau, pikiran lainku menyergap, jangan-jangan ia sedang keluar bersama perempuan bule? Aku cemas. Membuatku sulit sekali memejamkan mataku. Pada pukul 02.01 kembali kutelepon. Seorang lelaki, tentulah teman Zen di tempat kosnya itu, yang menyambut. Ia katakan kalau Zen sedang keluar. “Katanya mau cari buku,” jelasnya. Lalu aku menitip pesan: jika Zen pulang segera telepon aku. Sudah lama aku tidak mengunjungi Mama. Kini kurasakan tubuh Mama makin menyusut. Pandangannya tidak seperti dulu lagi, bercahaya. Tersadar bahwa aku sudah lama meninggalkan Mama. Tepatnya sejak aku menikah, Zen memboyongku ke lain kota. Sejak aku jarang menjenguk Mama, selain meneleponnya untuk tahu kabar keluargaku. Aku akan menetap di rumah Mama untuk beberapa hari. Mungkin juga sepekan atau lebih. Zen sudah mengizinkan. “Itu bagus, Demi. Daripada kau kesepian di rumah, lebih baik temani Mama. Kasihan Mama juga sendirian…,” kata Zen. Dan, memang Mama selalu sendirian. Papa tak pernah pulang. Kalaupun pulang hanya mengganti pakaian atau seperti menumpang tidur, lalu pergi lagi untuk beberapa hari kemudian. Tanpa percakapan. Tiada lagi sapa dan menyapa antara Mama dan Papa. Keduanya pun tampak tak bersitatap. Bila Papa mau makan segera ia ke meja makan, dan Bik Sumi sudah menyiapkan hidangan. Aku tahu Mama amat kecewa pada Papa. Mama telah dikhianati. Diam-diam Papa main perempuan saat di luar rumah. Bahkan, ini menurut Mama, Papa sudah menikah. Selain itu, Papa penjudi berat. Hampir ludes harta di rumahku dibawa Papa ke meja judi. Padahal, kekayaan itu ditabung Mama bertahun-tahun dari hasil kerja Papa. Untunglah perusahaan Papa tidak ambruk. Untung pula Mama segera mengambil alih kemudi perusahaan tersebut, kemudian dijalani oleh Om Firman-adik bungsu Mama hingga kini. Om Firman S2 ekonomi lulusan Amerika. Kalau tidak, entah apa jadinya dengan nasib perusahaan Papa. Kini Papa tak lagi diperkenankan menjalani roda perusahaan. Hanya mendapat bagi keuntungan setiap tahunnya. Papa juga tak punya hak atas saham perusahaan tersebut. Kata Mama, sejak ketahuan Papa beristri lagi, Mama langsung menggugat. Tidak tanggung-tanggung, Mama menggugat cerai dan sekaligus menyoal gono-gini. Papa keberatan digugat cerai. Lalu Mama kasih solusi. “Baik kalau kau tak mau menceraikan aku. Cuma aku minta syarat, serahkan saham dan perusahaan itu padaku.” “Untuk apa? Apakah kau sudah tak percaya lagi dengan kemampuanku menjalani perusahaan?” “Dulu aku percaya,” jawab Mama ketus. “Kalau kau masih pegang perusahaan, bisa-bisa kekayaan kita kauhabisi di meja judi dan untuk perempuanmu itu. Aku akan menggaji Firman untuk memajukan kembali perusahaan itu. Sementara soal saham, itu ganti dari pengkhianatanmu padaku.” Papa tak berkutik. Akhirnya Papa keluar dari perusahaan miliknya itu. Meski begitu, Mama tetap menaruh kasihan pada Papa. Mama selalu membuka pintu bagi Papa untuk pulang. Menyilakan Bik Sumi menghidangkan makanan buat Papa. Membelikan pakaian beberapa bulan sekali untuk Papa. Mama juga menyediakan satu kamar tidur buat Papa jika pulang. Dan seterusnya dan seterusnya. Kecuali satu: Mama tak lagi memberikan cintanya. Mama juga tak hendak dicumbui…. Mama senang sekali ditemani aku. Waktu-waktu senggang, kami isi dengan berdialog. Bahkan jelang tidur (kebetulan aku meminta tidur bersama Mama di kamarnya), kami masih mengobrol. Sampai mata kami mengatup sendiri. Begitu pula di meja makan saat sarapan pagi, kami pun mengobrol. Intensitas percakapan kami melebihi ketika aku belum berkeluarga. Entah mengapa tiba-tiba aku merasakan keakraban yang berlebihan justru ketika kami sudah sering tak berjumpa. Mungkin benar, kata orang, sebuah pertemuan akan menjadi indah dan bermakna apabila intensitas pertemuan sebelumnya amat kurang. Kini kurasakan itu. Baik aku atau Mama seperti tak ingin melewatkan waktu tanpa berdua-dua dan berdialog. Suasana itu juga dibarengi dengan tertawa atau tersenyum. Akhirnya aku lupa pada Mas Zen. Lupa kalau sesungguhnya aku sedang kehilangan suasana bulan maduku. Bila di rumah aku selalu menunggu Zen menelepon, namun bersama Mama aku tak begitu lagi berharap-harap. Mungkinkah aku sudah kehilangan rindu? Adakah Zen juga sudah kehabisan kangen, disebabkan kesibukannya? Ah! Aku tak yakin lantaran kesibukan, ia bisa abai meneleponku. Jangan-jangan sudah ada perempuan lain yang merebut kerinduannya padaku? Jangan-jangan karena aku mendapatkan kebahagiaan dan keriangan bersama Mama, membuatku tak berharap lagi perhatian Zen? Teringat ucapan Zen bahwa saling percaya dan jujur akan menjaga cinta, belakangan ini sudah tidak begitu kuyakini. Mama adalah contoh paling dekat bagiku. Betapa tingginya kepercayaan Mama, betapa jujur dan setianya Mama pada Papa. Tetapi, sekali lagi tetapi, Mama terlempar ke tepi paling sepi oleh ketidakjujuran Papa. Terbukti akhirnya Papa mencampakkan kepercayaan Mama dengan bermain perempuan lagi. “Papamu buktinya tidak jujur, diam-diam dia mengkhianati kesetiaan Mama…,” kata Mama yang tampak benci sekali. Kata Mama lagi, “Semua lelaki sama. Bajingan! Pengkhianat. Tidak jujur. Merobek-robek kepercayaan yang diberikan perempuan!” Entah mengapa, Mama berulang mengutuk Papa di depanku. Mungkinkah di balik itu semua, ia ingin mengingatkan aku bahwa jangan terlalu percaya pada bahasa dan janji lelaki. Berkali-kali kubela Zen bahwa suamiku bukan tipe lelaki seperti Papa, tetapi berkali pula Mama membongkar kebejatan Papa. Supaya tak terjadi perdebatan yang berakibat retaknya kebahagiaan kami, aku tak lagi mengimbangi dialog Mama. Aku diam. Mendengarkan keluh kesah Mama. Zen menelepon pada malam kedelapan aku menginap di rumah Mama. Aku santai saja mengambil gagang telepon ketika Mama memanggilku bahwa Zen ingin bicara padaku. Tidak seperti ketika aku di rumahku: mendengar dering telepon sekali saja aku segera menyambar dengan hati berbunga-bunga. “Halo…” “Kau sehat Demi?” “Ya. Mas Zen sendiri, juga sehat kan? Bagaimana dengan pelajaranmu, tak ada masalah kan?” “Aku sehat. Tentang studiku juga sampai hari ini aman- aman saja. Tak ada masalah,” jawab Zen. Entah mengapa aku mendengar suaranya tidak berapi-api seperti dulu, tidak hangat karena penuh oleh kerinduan. Kini dingin. Datar. Bahkan terdengar sumbang dan sember. “Syukurlah. Kalau kau bahagia di sana, aku di sini tentu bahagia juga.” “Ya.” “Kau sudah makan?” “Baru saja. Kebetulan ada teman yang mengajakku makan di luar. Aku ditraktirnya, karena dia berulang tahun,” ujar Zen kemudian. Ketika Zen menyebut “dia”, tiba-tiba kedengarannya terasa asing. Aku ingin sekali tahu siapa “dia” yang disebut Zen. “Siapa temanmu, Mas? Lelakikah?” “Oh, maaf Demi. Aku belum mengenalkan temanku yang mentraktir makan. Dia perempuan, asli dari Leiden. Namanya Juliana Derks. Satu kampus denganku di sini.” “O ya? Aku yakin dia pasti cantik….” “Ya sejujurnya, Juliana memang cantik,” jawab Zen pendek. “Dia menyenangkan, bukan?” “Ya. Orangnya ramah. Mungkin karena ia pernah tinggal beberapa lama di Indonesia. Aku akan kenalkan Juliana padamu, nanti kalau dia ke Indonesia.” “Tak usah Mas. Terima kasih…,” jawabku. Aku seperti enggan melanjutkan dialog soal perempuan Leiden itu. Entah mengapa. “Orangnya familiar, Demi. Kau pasti suka kalau sudah mengobrol dengannya.” “Mudah-mudahan.…” Setelah itu, Zen mengutarakan rencananya ingin berlibur ke beberapa kota: Berlin, Napoli, dan entah kota apa lagi di Eropa. Aku sudah malas mendengarnya. Zen juga mengatakan semua transportasi ditanggung Juliana. “Ini kesempatan yang tak akan datang dua kali. Sayang kan Demi, kalau tak kuambil? Tanpa mengeluarkan uang berapa pun, kita bisa mengelilingi kota-kota besar di Eropa. Daripada di rumah saja waktu liburan bisa-bisa aku bosan, kan lebih baik kuisi dengan jalan-jalan?” Aku sudah kehabisan kalimat lagi, karena selalu kata-kata “langka dan kesempatan yang tak akan datang dua kali” akan meluncur dari mulut Zen. Akhirnya aku hanya berpesan, “Hati-hati di jalan. Ingat orang Eropa berbeda dengan bangsa Timur.” Zen tersenyum. Ia juga mengakui sejujurnya kalau sebenarnya Juliana Derks menyukainya. Tetapi, ia tak mungkin terjebak untuk jatuh cinta. “Cintaku hanya untuk satu nama: kau, Demi….” Cuma aku tak lagi merasa tersanjung dengan pujian seperti itu. Aku bahkan ingin segera menyudahi percakapan ini. Dengan alasan mau tidur karena sudah larut dan aku juga sudah mengantuk, aku meminta Zen menutup gagang telepon. Aku sangat kaget, nyaris tak sadarkan diri ketika teman kos Zen mengabarkan kalau suamiku mengalami kecelakaan di Jerman. Pesawat mereka tak bisa landas dengan baik karena pacuan bandara licin. Akhirnya pesawat itu menabrak pagar pembatas bandara dan terganjal di pemakaman. Sekitar 50 penumpang, termasuk Zen dan Juliana Derks, tewas di tempat kecelakaan. Dibiayai oleh perusahaan tempat Zen bekerja, aku menjemput mayat Zen di Jerman. Lalu membawanya ke Amsterdam terlebih dulu untuk sekalian membawa barang-barang Zen, kemudian terbang ke Tanah Air. Di sepanjang jalan, baik sewaktu di rumah sakit di Jerman, ataupun saat di tempat kos Zen di Amsterdam, tak henti-hentinya aku menangis. Rasanya sudah habis persediaan air mataku. Aku sungguh-sungguh sedih. Entah karena kematian Zen, nasibku yang kini harus menjadi janda tak beranak, atau karena kejujuran dan kepercayaanku pada Zen yang dikhianati. Sebab, seperti kata Ronald Rijkad, perempuan Leiden itu sering mengajak jalan Zen. Bahkan beberapa hari tidak pulang ke kos. “Juliana amat menyukai Zen,” kata Ronald, orang Belanda itu. Dan aku yakin, Zen pasti menyambut. Kalau tidak, bagaimana mungkin terjadi suara jika bertepuk sebelah tangan? Aku kasihan pada Zen, sekaligus membencinya! Hanya untuk satu nama: Demi. Kalimat itu terukir rapi di atas foto Mas Zen berlatar belakang bunga tulip yang tengah mekar. Foto itu masih tetap terpajang di dinding rumahku. Di ruang tamu. Aku akan memandangnya, setiap aku merasa benar-benar rindu pada Zen. Aku belum ingin menurunkannya dari tembok itu untuk kusimpan di lemari atau gudang. “Phuihh!” Aku seperti hendak muntah setiap membaca baris-baris kalimat yang ditulis rapi dengan tangan Zen itu. Cuma sampai kini belum menghasutku untuk menurunkan atau membakarnya….* Lampung, Februari 2005
""Hanya untuk Satu Nama""
Sepatu itu, dengan cara begitu rupa, menginjak seekor trilobite, tertahan dalam bongkah batu. Betapa kekal, pikirmu. Di suatu waktu di zaman lain, seperti yang selalu kami yakin, bongkah itu akhirnya pecah. Dan terbukti: kekal adalah kata keliru untuk menyebut bahwa semua cuma sembunyi. Tetapi trilobite, makhluk yang hidup tak kurang tiga ratus juta tahun lalu, bagaimana bisa dijejak oleh sepatu? Kami lalu membuat kira-cetaknya: panjang 28 cm, lebar 11 cm, lekuk bawah tumit 2 cm. Sepatu lars. Dan itu artinya, sepatu manusia. Adakah manusia pada zaman homo habilis bahkan belum ada? Kenyataan itu, bagi kami, artinya pula tak lain satu kata: gila. Semua akan hancur. Homo habilis, homo erectus, neanderthal, homo sapiens, segera jadi bohong besar. Teori yang kebenarannya telah mendarah daging dalam diri kami tak lebih hanya omong kosong. Tubuh kami pun mendadak seolah menyerpih, menguap. Adakah hal yang lebih buruk kecuali mendapati dirimu, seluruh waktumu, setiap detik dalam hidupmu, ternyata sia- sia? Maka sembunyi itu, tak bisa tidak, harus kami bikin tetap sembunyi. Tak ada siapa pun boleh tahu bahwa di Utah pada musim semi 1968 itu, selain fosil antilope, ditemukan juga jejak sepatu. Jejak sepatu celaka, yang persis sama seperti jejak sepatu masa kini, tetapi kenyataannya menginjak seekor trilobite, makhluk yang hidup saat manusia-menurut teori kami-masih berupa kera. Bisakah seekor kera membuat benda semacam sepatu? Sungguh tak lucu. Betapa kekal jejak itu. Dari satu waktu ke lain waktu, dari satu batu ke lain batu. Dengarlah sepatu berderap, dan waktu melenguh. Jejak melesak di tubuh-tubuh …. Sepatu itu, dengan bertumpu di bagian tumit, melesak di leher, memanjang ke fragmen tengkorak. Walau belum dipastikan fragmen tengkorak apa, tetapi bongkah pembungkusnya segera kami kenali sebagai batu karbon dari zaman Trias, tak kurang dua ratus juta tahun lalu. Jejak celaka! Bagaimana bisa, sepatu serupa, di zaman homo habilis juga belum ada, ditemukan pula dalam sebuah ngarai di lain benua? Tetapi, untunglah, fosil itu ditemukan secara tak sengaja oleh seorang geolog yang langsung menghubungi salah seorang arkeolog rekan kami. Jadi, penemuan itu boleh dikata bisa kami “tangani” tanpa kesulitan. Memang muncul berita di koran lokal, tetapi itu biasa. Dengan satu kali jumpa pers, selesai. Akan lain kalau jejak sepatu lars itu lebih dulu sampai ke tangan tim arkeolog lain. Bisa runyam. Bisa heboh. Mungkin pula bisa kembali muncul di majalah Science. Jejak sepatu di trilobite Utah dulu itu, ketika muncul di Science, membuat kami sungguh kelabakan. Butuh beberapa tulisan dari sejumlah rekan di beberapa edisi sebelum publik yakin jejak itu bukan jejak sepatu, apalagi jejak sepatu yang sama dengan sepatu masa kini. Tulisan yang tentu saja direkayasa, penuh literatur fiktif, dengan foto-foto yang dideformasi. Dan setelah segalanya beres, semua kami musnahkan. Tetapi yang masih mengganggu adalah ucapan seorang rekan yang merasa satu foto asli berkurang. Foto yang dicetak dalam ukuran persis sama dengan si fosil jejak sepatu. Betulkah foto itu hilang? Atau, sebetulnya telah ikut terbakar, tetapi kami lupa? Tetapi toh, telah hampir sepuluh tahun kini, tak ada sesuatu yang mengkhawatirkan muncul berkaitan dengan si foto. Artinya, foto itu tak sepatutnya dipikirkan dan telah pantas kami lupakan. Baiklah. Tetapi lalu, kenyataan buruk berikut yang muncul menyusul, yang membuat kami betul-betul bagai akan gila, adalah ketika fragmen tengkorak itu selesai diidentifikasi. Fragmen tengkorak itu, tak lain tak bukan: tengkorak manusia. Homo sapiens! Manusia sempurna! Oh oh, bagaimana bisa? Jejak melesak di tubuh-tubuh. Menggasak leher, rusuk. Kaudengar pulakah suara seperti mengerang? Lapat-lapat, timbul-hilang, begitu jauh. Menembus ruang, melipat waktu, menjalar lirih ke telingamu…. Sepatu itu, dengan amarah bagai meluah, menerjang, merangsek masuk ke dalam kampus. Mahasiswa berlarian, berhamburan. Pekik, jerit, bertumpang tindih dengan hardik, bentak, gebuk pukulan. Gemuruh derap menggasak koridor, ruang kuliah, perpustakaan. Racau panik, lengking tangis, juga lolongan. Terdengar pula suara seperti letusan. Orang-orang berseragam ini, kenapa mereka menyerbu kampus? Namun tentu, itu bukan urusan kami. Alasan yang membuat kami muncul di sini adalah foto itu. Kekhawatiran seorang rekan tentang selembar foto yang hilang ternyata benar. Butuh uraian panjang menceritakan bagaimana akhirnya kami tahu. Tetapi yang jelas, telah dua puluh tahun ini (bersama satu generasi baru peneliti), seluruh waktu kami, setiap detik dalam hidup kami, kami gunakan untuk mencari. Takkah aneh bahwa foto itu, kemudian, ternyata ada di sini? Memang aneh. Dan butuh cerita panjang pula bagaimana akhirnya kami tahu. Tetapi, di sinilah foto itu kini. Di sebuah negara dengan begitu banyak pulau. Pulau-pulau yang terbujur, bagai tertidur- bermimpi tentang demokrasi. Dan lihatlah itu tadi, demonstrasi. Mahasiswa diburu. Kampus diserbu. Dan setelah segalanya selesai, lihatlah kini: kaca-kaca berserakan, kursi-meja berjumpalitan. Labor-ruang praktikum hancur, pun ruang perpustakaan. Dan lihat pula mahasiswa-mahasiswa itu. Bila sebelumnya tampak heroik, kini menjelma jadi kuyu. Beberapa digelandang digiring ke truk, beberapa dilarikan ambulans. Sungguh situasi yang tak terduga. Dan juga celaka. Di manakah foto itu? Kampus tempat si foto berada telah porak-poranda. Lihatlah seorang dari kami, salah seorang dari generasi baru peneliti (yang juga penduduk negara kepulauan ini), tegak termangu di puncak tangga. Ke arah kiri adalah koridor lantai dua. Ke arah kanan sebuah ruangan luas, entah ruangan apa. Melalui pintu yang ternganga, ruangan itu juga tampak porak-poranda. Dan di lantai, seperti halnya juga tadi di lantai satu, berbaku tindih jejak sepatu. Beberapa tercetak dari darah walau tentu lebih banyak dari lumpur. Dari manakah datangnya lumpur? Padahal, di luar tak ada becek. Tak ada hujan. Tak ada hujan, tetapi terasa seperti hujan. Tak ada becek, tetapi toh tak hanya becek yang mendatangkan lumpur. Mungkinkah hujan lain, dari hari lain. Dan takkah pula lumpur lain, dari waktu lain? Seperti mungkin kaulihat aku. Dalam lembab, dalam basah, aku bagai melayang. Menembus waktu, menembus ruang. Masuk ke halaman yang kukenal. Rumah yang kukenal. Di luar rumah sangat banyak orang. Di dalam juga tak kalah sesak. Dan lihatlah lembab itu, basah itu. Ia ada pada setiap wajah yang tunduk, pada setiap kepala yang tepekur. Merembes dalam bisik, meresap dalam senyap. Menetes. Padahal tak ada hujan, bukan? Sesekali terdengar helaan napas. Juga senggukan tertelan. Beberapa kepala pelan terangkat, seperti berat. Menatap ruyup ke tengah ruangan. Ke sesosok tubuh yang terbujur, bagai tertidur. Begitu tenang. Seperti lelap. Itulah aku. Tubuhku. Kauciumkah bau sesuatu seperti lumpur? Dan bila matamu lebih jeli, atau mencoba melihat menggunakan mataku, akan tampak pula olehmu jejak sepatu. Menghunjam dan melesak, di hampir seluruh bagian tubuh itu. Meremukkan leher, mematahkan rusuk, menggasak setiap tulang yang (pernah) membuat si tubuh tegak. Bagaimana tubuh itu bisa tampak begitu tenang-seperti lelap? Aku terus melayang, masuk ke sebuah ruangan di beranda kanan. Ruang kerja Ayah. Kulihat Ayah duduk di belakang meja dan aku di seberangnya. Ayah bercerita tentang selembar foto yang tersimpan di kampus, memintaku mencarinya. Tetapi itulah, aku selalu lupa. Dan setiap kali Ayah menagih dan kubilang lupa, aku akan duduk di seberang meja seperti itu: serupa terdakwa. Menerima makian. Gebrakan meja. Sedemikian pentingkah foto itu bagi Ayah, sang arkeolog ini, sehingga ia begitu marah? Tetapi, kapankah itu? Pastilah di masa lalu. Tetapi, kenapa seingatku tak pernah? Tetapi ah, pernah atau tidak, tak lagi penting. Kini aku bebas ruang. Bebas waktu. Mungkin juga itu orang lain, bukan aku. Mungkin pula itu di masa depan. Siapa tahu. Betapa kekal jejak itu. Dari satu waktu ke lain waktu, dari satu batu ke lain batu. Dengarlah sepatu berderap, dan waktu melenguh. Jejak melesak di tubuh-tubuh. Menggasak leher, rusuk. Kaudengar pulakah suara seperti mengerang? Lapat-lapat, timbul-hilang, begitu jauh. Menembus ruang, melipat waktu, menjalar lirih ke telingamu. Kembali aku melayang. Menembus dinding, ke lain ruang. Dan inilah ia, kamarku. Kamar yang juga tampak begitu tenang. Begitu lengang. Dan, tahukah engkau? Di salah satu laci di meja belajarku, ada foto itu. Foto yang dengan ganjil bagai tergeletak begitu saja, tak jauh dari tubuhku, ketika aku tengah sekarat di perpustakaan itu. Dan, ganjilnya pula: di atas foto itu, sebuah jejak baru, tepat menimpa si fosil jejak sepatu. Begitu pas. Sangat serupa. Dan, pikirmu, takkah itu jejak yang sama? Payakumbuh, 4 April 2005
""Jejak yang Kekal""
Siapa pun boleh menari, untukmu Gusti. Tapi tak seorang pun boleh menceritakan gerimis-Mu yang menghanyutkan kisah-kisah orang-orang yang teraniaya di penjara-penjara penuh kalajengking dan lipan itu. Maka, dengarkanlah ceritaku, Gusti. Dengarkanlah lengking mataku yang kehabisan sungai dan embun sejuk itu. Ayat-ayat Sunyi Ramli Mengapa masih kau cari Kresna di ujung rambutmu, Ramli? Bukankah teriakan Kumar Kundu dalam lagu-lagu pedih itu tak juga bisa menghentikan kereta perang yang melesat ke ujung malam dan pekat darahmu? Bayangkan saja Kresna telah mati, sehingga kau tak perlu lagi menari di pantai, memedihkan mata dengan getir pasir, mencari surga yang tak pernah diciptakan di telapak kaki, dan membaca sutra-ayat-ayat suci yang perih itu-dengan telinga yang disumbat derita. Memang biola Naranjan Bival telah menidurkan Kuala Lumpur. Namun Kresna tak bisa bermimpi tentang Sungai Buloh tanpa penjara, tanpa cambukan. Kresna akan selalu menghapus jejak cinta dan menatah candi penuh tumbal dan kesengsaraan. Karena itu, dengarlah lengking seruling Abhiram Nanda yang mengembuskan tangis indah Arjuna. Bersekutulah dengan tarianmu sendiri, karena Kresna telah mati dan Kurusetra tak melahirkan pahlawan lagi. “Tapi Tuhan tak pernah mati!” katamu tersedu-sedu. Ya, tapi keretanya telah remuk. Ia tak bisa mengamuk. Tak bisa mengutuk. “Aku hanya ingin mencari jejak-Nya.” Ia tak lagi punya jejak. Jika tak percaya, bertanyalah pada Guru Dhaneswar Swain tentang kaki-kaki yang dipatahkan, kepala yang dilindas truk, dan malam yang kehilangan rembulan. “Kalau begitu aku akan mendengarkan tangis-Nya.” Ia tak bisa lagi menangis. Chakraborty telah menyalib tubuh Kresna di tengah kota. Dengan petikan sitar gaib, dia telah menusukkan segala kepedihan orang-orang miskin ke lambung Kresna yang senantiasa menganga. “O, darah yang terus mengucur, di mana dikuburkan mata kebenaran?” Tak di mana-mana, Ramli. Tak di mana-mana. “Tak di mata yang menyimpan surga.” Tak di mata yang menciptakan surga. Maka, mengapa masih kauburu Kresna sampai di ujung matamu, Ramli? Kopi Terakhir Lukman “Ini mungkin kopi terakhir sebelum cambuk dan nyamuk membunuhku. Ini mungkin senja terakhir setelah mereka merubuhkan bedeng dan menghancurkan keberanianku.’’ Dan kopi atau topi-mungkin dengan sebatang rokok-bisa menerbangkan Lukman ke surga, ke jalanan becek bertabur roti, ke got becek untuk mandi, ke gaji yang terhapus dari catatan yang terbuang di selokan. “Aku hanya minta segelas air dan seembus kemungkinan untuk hidup. Aku hanya berharap mereka mengerti kami juga bisa jadi gelombang yang merubuhkan jembatan dan kondominium.” Kamu cuma budak haram, Lukman. “Ya, aku memang cuma budak haram. Tapi bayangan tubuhku pun tak layak dipenjara hanya karena pasporku hanyut di sungai. Hanya karena pasar tak bisa memajang bekas cambukan pantat di etalase-etalase toko, di keriuhan stasiun kereta pukul delapan. Hanya…” Maka, pulanglah ke negeri ibumu, Lukman. Negeri Ludruk sarat tawa semalaman. Negeri Celurit penuh darah dan pertikaian. Negeri Ilusi tak sepi duri dan impian. “Ya, aku akan pulang. Aku bilang pada Yeni Abdurrahman di desaku sungai menjalar seperti ular. Tapi tunggu dulu! Jevander Sing-tauke Keling itu-masih berutang padaku. Ringgitku masih disimpan di laci busuk para juragan.” Ya, tetapi segera pulanglah. Nanti kamu dipenjara. Nanti kamu didenda. Nanti kamu dicambuk algojo dan para tuan. “Mereka tak akan berani mencambuk aku dan 800.000 budak haram.” Mereka akan berani dan tak peduli kau anak setan atau malaikat Tuhan. “Mereka tak punya algojo. Mereka hanya punya ringgit dan telepon genggam. Mereka hanya berani menggertak orang-orang miskin yang cuma bisa tidur di bedeng-bedeng penuh lipan.” Tentu kau boleh punya keberanian seperti Hang Tuah, Lukman. Tapi di negeri ini kau hanya semut di lubang yang gelap. Kau hanya cacing yang banyak cakap dan tak tahu undang-undang. Ayolah, Lukman, segeralah pulang. “Pulang? Ke mana harus pulang kalau utang masih segudang?” Pulang ke rumah ibumu, Sayang. “Ibu? Ibuku telah mati. Kalaupun masih hidup, ia akan mencekikku karena pulang tak membawa keranjang penuh gobang.” Kalau begitu pulanglah ke matamu sendiri, Sayang. “Ke gua gelap itu?” Ya, ke sungai keruh itu? “Ke harapan yang menghilang pelan-pelan?” Ya, ke kopi terakhirmu. Ke puntung-puntung rokok yang tak habis-habis kauisap itu. “Setelah itu…” Setelah itu Tuhan akan memejamkan matamu, menguburmu dengan bunga mimpi. Menguburmu dalam haribaan ibumu yang senantiasa memaknaimu sebagai nabi sejati. “Kalau begitu aku tak mau pulang.” Kau tak takut pada cambuk itu? “Aku tak takut pada maut itu. Aku tak takut pada kabut yang menghalang pandanganku pada hidup yang carut-marut itu.” Begitulah Cara Waktu Mengaduh, Rahma Begitulah cara Waktu menyembunyikan kilau mata yang bisa membakar masjid-masjid di Kuala Lumpur sekadar menjadi abu sekadar menjadi ngilu, Rahma. Karena itu, ia menyelimuti tubuhmu dengan dedahan asam di Rimbun Dahan. Ia biarkan kau menari di taman penuh Sedap Malam. Ia biarkan kau mengguratkan kata-kata getir di hening anyelir. “Aku tak mengerti mengapa mereka begitu membenci tubuh perempuan? Aku tak mengerti mengapa para perempuan hanya disembunyikan di almari atau dipingit di dapur atau halaman belakang? Mengapa keindahan harus disembunyikan?” katamu sambil mengajakku memahami bahasa hujan dan menyingkirkan cambukan petir dari rambut yang kian menguban. Tentu keindahan tak harus disembunyikan, Rahma. Kau tentu bisa telanjang di tengah hutan, telentang sambil membentangkan sepasang tangan dalam kegaiban hujan, dan mendesahkan doa-doa paling kasmaran. Kau tentu bisa menjelma ikan, menyelam di hijau danau sambil mendesiskan gumam-gumam paling urakan. Tapi tidak di jalan-jalan penuh kosmetik, Rahma. Tidak di jalan-jalan. “Tidak di keriuhan?” Ya. Tidak di benak orang-orang yang menganggap seribu masjid bisa menerbangkan jiwamu ke surga idaman. Tidak di benak orang-orang yang menganggap tak ada surga bagi perempuan yang suka menari dan mendendangkan segala tembang di jalan-jalan. “Aku harus menari di dasar kolam?” Tentu tidak, Rahma. Kau tahu bukan Redana, Pangeran Kelelawar itu, lebih ingin menatapmu menarikan berahi malam di pucuk gunung. “Apakah aku harus ngelindur di ranjang setan?” Tentu tidak, Rahma. Kau tahu bukan Romo Sindu, Padri Minohek itu, tak suka melihatmu tidur sambil menenggak anggur. “Apakah aku harus cuma meniti sepi mencari bayang-bayang matahari yang tak mati-mati?” Tentu tidak, Rahma. Kau tahu bukan Harry Roesli telah pergi dan kita hanya menangkap jejak tanpa bunyi. “Kalau begitu kota ini sungguh sialan.” Ya, kota ini memang sialan. Ia bukan cermin yang memantulkan tarian belantaramu yang penuh siul murai. Ia bukan langit yang menumpahkan hujan cintamu yang penuh salju dan hutan gaib itu. “Jadi mengapa aku tak pergi saja dari kota munafik ini?” Kau tak akan pernah bisa pergi karena kau tak pernah pulang, Rahma. Kau telah menyerupai Waktu yang melampau di batu-batu. Kau telah menyerupai batu yang melesat ke bianglala esok yang kabur dan berdebu. Maka begitulah cara Waktu mengaduh, Rahma. Ia menangis dalam gerimis. Ia ngelindur di Kuala Lumpur yang abai pada tubuhmu yang berlumur anggur. Tetapi, aku tahu, Rahma. Kau tak akan akan peduli amuk waktu atau apa pun yang hendak memelukmu di senja yang getir itu. Kau akan terus menari dan mengguratkan api ke ujung api, ke ujung mati. Bukan di Kurusetra, Kunti, Bukan di Kurusetra Bukan di Kurusetra, Kunti. Tetapi mereka hendak dibunuh juga. Bukan di padang pembantaian, Kunti. Tetapi mereka hendak dijagal juga. “Jangan lari. Kami polisi!” mereka menyalak seperti Rahwana, Kunti, mereka melenguh seperti kerbau api. “Namaku Petro Sale, 37 tahun, aku hanya ingin menegakkan sepasang kaki, aku hanya ingin mereguk gelegak cinta pada ilusi kendi. Aku hanya…” Dor! “Namaku Guspar Hasan, 23 tahun, aku hanya ingin tidur dan menjaring mimpi, aku hanya ingin bersembunyi setelah tak bisa kembali ke rumah sendiri. Aku hanya…” Dor! “Namaku Markus Taji, 25 tahun, aku hanya membawa tikar menuju belukar. Aku tinggalkan bedeng karena takut pada razia yang mengerikan. Aku hanya…” Dor! “Namaku Remi Guis. Aku…” Dor! Lalu kau pun tahu, Kunti, hospital menolak menyembuhkan luka dan sakit hati. Tak ada obat. Tak ada kiblat untuk cari selamat dan harga diri. “Halo, kami polisi dan kalian cuma maling yang tak tahu diri.” Danau Gaduh Hijjaz Kasturi Telah kauciptakan hutan dan danau gaduh untuk Angela, ya Kasturi. Lalu kaulepaskan angsa, buaya, musang, tikus, ular, dan kisah sepasang nabi yang tak henti-henti mempercakapkan mimpi, kuldi, dan keheningan setelah Selangor memolek diri dalam ilusi. “Aku mencintai Hang Tuah, Soekarno, dan pagi yang selalu meneriakkan revolusi,” katamu sambil menawariku mencecap kopi dan kue cina serupa roti komuni. “Dan aku sedang tersesat di rumahmu yang indah sambil sesekali mencari pekerja-pekerja Indonesia yang tersakiti. Sayang, revolusi telah patah, Soekarno kehilangan tuah, dan kita belum menemukan korek api untuk menyalakan lilin ulang tahun Angela,” kataku sambil membaca wajah pengantin Australiamu yang gaib dan sarat tanda itu. “Aku tak pernah menyakiti apa pun yang kauandaikan sebagai budak. Sebab di hadapan Sang Waktu, kita adalah budak yang tak punya malu. Oke, kita juga tak punya korek api dan Angela tetap saja mengaku bahagia.” “Ah, kau keliru, Hijazz, dia tampak bahagia karena memang tak punya kesempatan untuk menangis.” “Ya, kalau dia menangis, danau akan gaduh, burung-burung terbang ke langit entah, dan kita akan kesepian.’’ “Kita kesepian karena kita tak hadir di taman ini sebagai sepasang nabi atas sepasang ikan tanpa sirip. Kita kesepian karena kita cuma hidup seperti kodok,” kataku mengolok-olok, “kita cuma eng-krok, eng-krok, krok, krok, krok.” “Aha! Aku suka metaforamu, kita memang kodok. Melompat dari waktu batu ke waktu yang terpeleset ke liang luka kau dan lukaku. Ya, kita memang bahagia, tua, dan selalu mereguk tuah cinta dari gelas kencana,” tiba-tiba Angela menyela. “Jadi, kenapa harus bersedih?” Hijazz bertanya. “Aku sedih karena tak punya taman dan sepasang nabi bersayap cinta. Aku sedih karena aku cuma musafir kikir yang kehilangan rasa getir. Jadi, bagaimana mungkin aku bisa bahagia?’’ Lalu bayangan menyerupai sepasang nabi mendadak menggaduhkan danau dengan mengepakkan sirip yang menyala. “Lihat Hijazz, itu aku dan engkau. Bukan kisah maya sepasang nabi yang diciptakan secara serampangan dan tergesa-gesa.” Aneh, aku pun tersihir menatap Hijazz-Angela, suami-istri yang kian merenta itu. Mereka sungguh seperti sepasang ikan yang mahir menceritakan kisah sepasang nabi yang tak pernah diasingkan dari surga. Mungkin mereka memang malaikat yang menjelma sebagai sepasang kekasih yang tak pernah bersedih meski gerimis kian mendera. Hikayat Ambalat Kita masih bercinta di hotel penuh vampir ketika kapal-kapal di Karang Unarang saling menggertak dan melepaskan amarah agung, Cintaku. Ciuman memang bikin mata kehilangan mata. Karena itu, liurmu lebih ingin kurampok ketimbang kugenggam lautmu di sela-sela jemari yang bocor. Apakah kau ingin mendesiskan juga desah-desah sampah sebelum kapal-kapal itu saling membakar diri, Kekasihku. Apakah kau ingin kita juga bercinta dengan liar di mercusuar itu? Gusti, semua ternyata hanya lumpur. Lumpur-Mu. Dan Kau tahu, mataku yang lamur tak bisa menceritakan kisah sedih yang membius-Mu itu. Kuala Lumpur-Selangor, 2005
""Lumpur Kuala Lumpur""
Setiap kali aku ketemu istrinya, selalu aku merasa dosa. Setiap kali merasa dosa, selalu aku sangat menyesal. Segala hal yang menyangkut pekerjaan, pindah rumah, lalu utang bank yang tak terlunasi olehnya, semua seolah salahku. Sukar aku menghindar untuk tak ketemu istrinya. Perkenalan kami terjadi di ujung milenium, awal musim gugur terakhir, sekitar lima tahunan sudah. Seingatku ketika itu dia sudah duduk di sofa ketika aku pulang kerja, terheran-heran mendengar uluk salamnya, “Tabik, Tuwan! Namaku Sarma.” “O ya, sudah kudengar dari istrimu ketika dia di sini,” kataku. “Tapi kamu ini asal dari mana, kok bisa tabik tuwan segala?” Terus terang lelaki itu mengaku, “Asalku Suriname. Kakekku Jawa.” “Suriname? Jawa asli?” “Oost Java,” tegasnya. “Sepertinya kita sama-sama turunan Jawa ya? Maafkan kalau aku keliru. Tapi istriku punya kesan yang sama.” Aku segan mengaku. Mama memang Jawa, tetapi Papa Indo Belanda. Aku sendiri entah. Dulu aku pernah membenci teman sekolah, sinyo yang mengejekku anak blasteran, putih tidak, coklat tidak. Mangkak! Aku sering menangis. Di rumah Papa marah, menyebut aku pengecut. “Yang salah dia, bukan kamu. Jangan bikin malu Papa! Kamu mesti berani lawan, hantam saja mukanya!” kata Papa. Aku takut dikeroyok, tetapi aku nekat bekelai lantaran merasa terhina, juga karena takut Papa. Runyam kuhantam muka sinyo-nya. Ternyata tak ada yang membela. Pengecut semua. Kata Papa, sejak itu kulitku berubah warna: tidak mangkak! Tak kusangka, ternyata istriku Miryam Jawa asli kelahiran Moskwa. Aku baru tahu waktu pacaran, dia anak orang pelarian yang sangat terhormat, bapaknya sarjana politologi jebolan Lomonosov. “Instingmu tajam, Sarma!” Kusanjung lelaki itu. Sarma ketawa ngakak: “Ha-ha… Sudah kuterka. Aku banyak ketemu mereka di pasar-pasar pinggiran kota Amsterdam bila kami dolan ke sana. Tabik tuwan! Mereka tertawa kalau kusapa, padahal aku meniru bapakku.” “Tabik itu Melayu, bukan Jawa,” jelasku. “Kamu bisa omong Jawa?” “Tidak banyak. Paling hafal… kowe ki kuli!” “Lho! Siapa ngajari kamu omong begitu?” “Mandor pabrik, Belanda totok. Aku sering dengar kalau dia sedang berang. Godverdom… kowe ki kuli! Bapakku tukang besi di pabrik gula dekat Paramaribo. Aku sering kirim rantangan kalau bapak manjing, artinya kerja malam.” Risi rasanya dengar omongan Sarma. Zaman sudah berubah. Hindia Belanda sudah ditelan masa silam. Tinggal sisa ketiplaknya dalam tatanan kolonial yang gagal bertahan di negeri bekas koloni mereka: Suriname. Miryam tak mau mengerti apa dasarnya aku merasa risi: aku tak pernah rela kehilangan darah Belandaku. Tetapi kusanjung lagi lelaki itu: “Indonesiamu lancar, Sarma.” “Belajar di Paramaribo,” katanya. “Gurunya pejabat konsulat, menyebut kami Janam. Jawa Surinam. Muridnya banyak. Janam semua. Bapakku bilang, suatu saat kami harus pulang ke tanah Jawa. Jadi, perlu sekali belajar bahasa. Tetapi….” “Masih punya ilusi?” “Aku sudah tak punya kerabat di tanah Jawa. Liona, istriku, ngajak pindah ke sini. Beberapa keluarganya sudah menetap di sini.” “Punya izin tinggal?” usutku agak curiga, jangan-jangan pendatang gelap. “Kami semua pilih warga negara sini sejak Suriname berdiri jadi republik sendiri. Dasar sial, sukar cari kerja di Belanda, kecuali jadi kuli, warga negara kelas tiga.” Sarma mengoceh semaunya. Kelas satu Belanda, kelas dua anjing mereka, kelas tiga Sarma!, katanya. Aku sempat terperanjat, mengapa dia bilang begitu. Generasiku sendiri malah tak pernah. Kepada Sarma kucoba menyodorkan realitas baru yang lebih manusiawi, sesuai nalar Eropa sekarang. “Begini, Sarma. Kita punya hak sama. Jadi majikan boleh. Buruh boleh. Kaya tidak dilarang. Miskin dapat bantuan. Semua ada aturannya. Mentalitas kota besar memang tidak pusingan. Di sana kelewat banyak manusia bersaing mati-matian cari kerja dan tempat tinggal. Kamu mesti coba di desa. Aku sendiri sejak awal mulai di desa ini.” “Teoritis bagus,” kata Sarma. “Tetapi kenyataannya istriku sempat kecewa.” Istrinya memang sial. Perempuan itu mengaku barusan melamar kerja di Julianapark. Ada lowongan di sana untuk tenaga wanita, tetapi mendadak ditolak dengan alasan, lowongan itu sudah diisi orang lain. Dia merasa dicampakkan begitu saja, sia-sia mengantongi kartu referensi dari Dinas Penempatan Tenaga. Kartunya amblas bersama tasnya. Dicopet orang. “Tunggu dulu, Sarma,” kataku. “Aku tahu di kantorku ada beberapa mahasiswa mocok kerja jadi pengantar surat, tetapi sebentar lagi vakansi berakhir, mereka pasti mulai kuliah lagi. Artinya PTT masih memerlukan tenaga baru. Ini kesempatan bagus bagimu. Ayo, ajukan lamaran. Nanti aku bantu, kalau kamu mau. Kerjanya relatif ringan.” Sarma mulai pikir-pikir, ragu tak ragu, yakin tak yakin. Tetapi bulan berikutnya dia mulai kerja di desaku, tinggal sementara di rumahku. Bulan berikutnya lagi sudah menyewa rumah sendiri dan memboyong anak-istrinya. Menyilang lahan perhotelan nampak jalan menanjak menuju kaki bukit yang membujur dari utara ke selatan seakan empang raksasa di balik pantai yang landai. Sejak kami menghuni desa tersebut Miryam kerap membayangkan bukit panjang itu bagai ular raksasa, tidur abadi sepanjang masa. Den Helder-12 kilometer sebelah utara-adalah kepalanya, Zandvoort jauh di selatan perutnya, dan Scheveningen lebih selatan lagi, buntutnya. Julianadorp, desa kami sendiri, cuma sebintik sisik yang kadang diremehkan orang. Namun dusun kecil ini punya peran dan arti tersendiri sebagai bagian wilayah pariwisata berkat letaknya yang berdekatan dengan Julianapark, yakni lahan perhotelan yang cukup aman sepanjang sejarahnya, tak pernah terjamah gelombang pasang setinggi kincir angin yang pernah membenam desa-desa pesisir sana. Tetapi pagi itu cuaca mendadak gelap dan kilat menjilat-jilat disusul guntur yang terdengar menggeletar. Naluri perempuan pembawaan sejak lahir membuat Miryam kuatir, jangan-jangan terjadi bencana banjir yang belakangan ini sering jadi bahan perdebatan para geolog dan meteorolog. Mereka bersensasi di televisi seolah negeri Belanda akan terhapus dari peta dunia jika tsunami terjadi dalam skala seukuran Aceh, Phuket, atau Sri Lanka. Hal yang selamanya dianggap mukal. Miryam cepat-cepat menutup pintu teras rumah yang berderak diguncang angin laut yang ribut. Menembus kaca jendela depan Miryam menatap si hitam Sarma melangkah tergesa-gesa dengan jas dinas yang menggelepar terempas angin yang deras. Tukang pos itu barusan menyelipkan surat-surat kiriman untuk beberapa penghuni apartemen dan dengan sigap kembali hinggap di atas sadel sepedanya yang tersandar di pagar. Miryam mengayun tangan dengan sinar mata berbinar ketika Sarma melambai ke arahnya seraya meneriakkan berita gembira: “Surat dari Indonesia, Mevrouw!” Berita gembira! Miryam ikut merasakan, dari hari ke hari, dari tahun ke tahun, lelaki itu telah merebut hati warga Desa Julianadorp karena jasa dan kebiasaan khasnya yang jenaka. Selalu dia serukan satu kata panjang berbunyi namanya sendiri bila dia menyelipkan surat-surat kiriman…: “Sarrrmaaa…!” Suara yang selalu membuat para penerima surat merasa senang, bahkan sebelum tahu dari siapa, apa pula isinya. Sudah pasti ada makna tersendiri bila Sarma melontarkan lebih dari satu kata berirama seperti yang didengar Miryam: “Surat dari Jakarta, Mevrouw!” Serasa nyanyian keakraban yang menggema dari rasa terima kasih di masa silam ketika istri Sarma pertama kali datang di Julianadorp. Kabut gelap mengendap rata di kaki bukit hingga dataran rendah seluas mata memandang ketika Miryam baru saja meninggalkan Zusteran, mengikuti kursus rutin para calon ibu sekali seminggu. Dia tak punya rencana beli apa pun kecuali merasa seolah perlu singgah di Alberthein hanya karena kebiasaan saja. Dilihatnya para pelayan sudah mulai berkemas memindahkan beberapa papan reklame barang-barang dagangan dari luar pintu ke dalam toko mereka pada menit-menit terakhir menjelang pulang. Pembeli yang baru datang agaknya tak lagi dilayani. Mereka segera meninggalkannya. Tetapi Miryam merasa ada tangan-tangan gaib yang sengaja membelokkan setang sepedanya menuju ke toko itu. Dia menurut saja tanpa sengaja. Kehendak Allah? Entahlah. Angin dingin mendesing mengiris daun telinga, mengisyaratkan kedatangan musim gugur ketika Miryam turun dari sepeda dan menuntunnya membelok ke halaman toko Alberthein. Sebuah suara perempuan menghentikan langkahnya. “Maafkan Mevrouw, di mana saya bisa menunggu beberapa jam saja di desa ini?” Dalam gelimang kabut yang menggenang di pedesaan, samar-samar Miryam menatap sosok seorang perempuan kedinginan, menggigil sambil mendekap anaknya, berdiri di bawah atap pemberhentian bis. Hari sudah sepi. Beberapa pembeli terakhir yang meninggalkan toko itu lewat dengan sangat tergesa-gesa seperti diburu waktu tanpa peduli perempuan yang barangkali mereka sangka gelandangan dan tak perlu diurusi. Namun di mata Miryam tak ada bedanya apakah dia perempuan gelandangan atau perempuan rumah tangga biasa seperti dirinya. Dia sangat membutuhkan uluran tangan. Miryam mendekatinya. “Di mana Anda tinggal?” “Di Alkmaar, Mevrouw. Mana bisa jalan kaki ke sana. Lima puluh kilometer kira-kira.” “Masih ada bis lagi. Dua jam sekali kalau tak salah.” “Ya Mevrouw, tetapi….” Miryam ragu, apakah dia benar-benar sedang telantar, atau cuma memancing belas kasihan. Miryam mengamati jarum arloji. Tetapi perempuan itu mendahului. “Sekarang hampir jam enam, Mevrouw. Bis jurusan Alkmaar baru datang setengah jam lagi. Tetapi saya kehilangan tas. Baru saja saya letakkan di bangku situ, tahu-tahu sudah tak ada. Dompet dan surat-surat ikut lenyap bersama tasnya.” “Oh! Ada orang lain di sini tadi?” “Cuma beberapa orang. Mereka naik jurusan utara, tentunya Den Helder. Saya terlena waktu menyusui anak saya.” Betapa sial. Tangannya menggenggam botol sedotan susu yang tak lagi berisi. Miryam yakin, pasti bukan penipu atau orang gelandangan. Kentara pada cara dia berbicara, pada pakaian yang melekat di tubuhnya, bahkan pada jam tangannya. Namun tanpa uluran tangan barangkali dia akan telantar bagai segumpal gombal tak berdaya bersama anaknya, sampai seseorang sedia menolongnya. Tetapi siapa? Miryam runtuh belas kasihnya. “O, Anda benar-benar sial. Sayang saya tidak bawa cukup uang. Tapi rumah saya dekat saja. Kalau Anda mau….” “Terima kasih Mevrouw, tetapi bukan itu maksud saya. Saya cuma perlu menelepon suami saya, mungkin bisa jemput, asal tahu saya di mana.” “Ayolah, Anda bisa menelepon dari rumah saya,” saran Miryam. “Lupakan saja tas itu. Copet tak mudah dicegah kecuali tertangkap basah. Tetapi Anda perlu lapor polisi supaya diberi surat tanda kehilangan. Bisa saya antar ke sana. Saya saksinya.” “Terima kasih, Mevrouw. Semoga Allah Sang Pengasih sudi membalas budi hamba sahaya-Nya.” Perempuan itu cepat-cepat merapatkan kain penutup kepala anaknya, beranjak meninggalkan halte bis bersama juru selamatnya. AKU kaget waktu membuka pintu. Baru saja pulang kerja, kulihat perempuan tak dikenal sedang menelepon, anaknya merengek di gendongan tetapi mendadak diam karena takut dan terkejut. “Maafkan, saya datang bersama Mevrouw,” hormatnya. “O, silakan teruskan,” saranku seraya melangkah ke belakang. Miryam sedang menjerang susu di dapur ketika kutegur, “Ada tamu rupanya ya? Siapa?” “Ssst. Aku sendiri baru kenal. Kebetulan ketemu di Alberthein.” “Lho, kok lantas ada di sini?” “Aku yang ngajak. Kasihan tak bisa pulang. Rumahnya di Alkmaar, kehilangan tas waktu menunggu bis.” Aku membelalak, menandaskan kecurigaan. “Miryam!” bisikku. “Kaukira bisa dipercaya? Kebetulan aku segera datang. Kalau tidak, barangkali kamu terjebak. Siapa tahu….” “Albert!” cetus istriku. “Kamu mesti percaya. Dia sudah lapor polisi. Aku sukarela jadi saksinya. Dia cuma perlu menelepon, mungkin bisa dijemput suaminya malam ini.” “Kok cuma mungkin. Kalau tak bisa bagaimana?” “Menurutmu bagaimana? Kalau niatnya menolong, apa salahnya jika dia terpaksa menginap?” “Yang repot kamu sendiri. Perlu masak, menyiapkan makan malam, mengatur tempat tidur. Belum lagi sarapan pagi. Banyak kerja kan?” “Soal kecil, ah! Mengapa diperdebatkan?” “Aku mengingat tenagamu, Miryam. Zuster Lammers bilang, jangan terlalu lelah. Sekarang sudah lima bulan. Mesti hati-hati.” “Masih ada yang kaulupa, Albert!” “Apa?” “Sudah beberapa kali kita hadir bersama dalam kursus bimbingan para calon ibu. Zuster bilang, kita perlu mendidik anak sejak dini, jauh sebelum lahir. Bertuturkatalah seramahnya. Bernyanyi selembutnya. Bersikap sejujurnya. Berbuat seadilnya. Berkasih sayang sesamanya. Anakmu sudah mulai belajar apa saja dari ibunya, justru saat dia masih berada dalam kandungan. Pitutur berharga yang kini sudah jarang digubris orang.” Aku mendebat sekenanya, “Jangan lupa Miryam, anak pun perlu mengerti kesulitan orangtuanya bukan?” Aku merasa lega, perempuan itu ternyata tak berniat menginap, padahal suaminya gagal pinjam mobil ipar buat menjemputnya. Aku mengantarnya mengejar bis terakhir jurusan Alkmaar. Tetapi aku tetap tidak percaya. Di rumah kubilang pada istriku, “Kukira kamu sudah tertipu, Miryam. Dua puluh lima gulden! Belum tentu dia kembalikan.” Miryam diam. Namun malam itu juga perempuan itu menelepon, mengucapkan terima kasih. Suaminya berjanji mengunjungi kami di akhir minggu. Dialah Sarma, tukang pos kesayangan warga Desa Julianadorp. “SURAT dari Jakarta, Albert!” Aku masih berdiri di depan jendela, menatap pucuk-pucuk pepohonan yang meliuk-liuk kena terjang angin kencang. Alangkah setia lelaki itu memikul tugasnya sejak enam tahun dibenum. Rumah tangganya lumayan, mulai mapan. Anaknya sudah sekolah, setahun di atas kelas Johanna, anakku. Namun sewa rumahnya mahal. Aku memberi saran pada Sarma, sebaiknya pindah saja, lebih baik lagi kalau bisa beli rumah sendiri. Kredit uang di bank bisa diurus, syaratnya mudah yaitu punya penghasilan tetap. Utang bisa dilunaskan dengan angsuran paling lama 15 tahun, angsuran bersama bunganya tiap bulan tak lebih tinggi dari sewa rumahnya sekarang. Dibanding jumlah uang sewa selama 15 tahun, jatuhnya kira-kira sama, sedang rumah itu jadi milik sendiri. Itu untungnya. Itu pula pengalamanku ketika beli rumah di desa. Sarma agak lama berpikir. Tetapi tiga bulan kemudian benar-benar beli rumah sendiri. Suara Sarma masih menggema di telingaku. Kujentik pipi Johanna anak gadisku yang bergoyang di atas punggung kuda kayunya, “Mama bilang ke mana, sayang?” “Mama pergi beli susu sama mentega.” “Bawa payung ya?” “Eemmm… ” Aku cuma geleng kepala, menggapai gorden sepen. Beberapa buah payung tersandar pada jagragnya. Lengkap. Miryam pasti terlupa. Satu jam lebih aku menunggu istriku. Selama itu sudah dua kali kudengar bel ponsel menyentak-nyentak di atas rak. Lagi-lagi bos kantor pos mencari Sarma. Untuk apa, aku segan tanya. Aku cukup paham dari pengalaman, panggilan mendadak selalu berarti overwerk, kerja lembur di hari libur. Untuk urusan satu ini aku tahu, Sarma segan menolak, tak pernah bisa bilang tidak. Tapi mengapa bosnya tidak langsung saja menelepon rumahnya! Dengan segala akal, majikan tak pernah segan-segan memanfaatkan kelemahannya: si A sakit kek, si B perlop kek. Aku lontarkan alasan singkat, cukup hormat, sopan dan juga apa adanya, “Ik weet het niet, Meneer!””: aku tak tahu. Aku enggan menelepon istrinya. Sebagai istri dia sungguh tak suka suaminya kerja lembur di hari libur. Sekali dituruti, bisa dipastikan sang majikan bakal mengulang dan mengulang lagi, mendesak-desak orang bawahan supaya kerja lembur, karena jauh lebih murah ketimbang mengangkat tenaga baru buat sekian banyak pekerjaan yang menumpuk. Ujung-ujungnya terang menggaruk laba dengan cara merampas hak orang bawahan memenuhi tugas keluarganya di waktu senggang. Lain tidak. Hujan lebat. Kilat-kilat api melecut-lecut bagai cemeti. Cuaca yang selalu sukar diramal. Dua buah truk pompa dengan belalai pipa melintas laju dengan keloneng bertalu-talu menuju Julianapark. Aku kuatir ada bencana banjir, padahal Miryam sudah satu jam belum pulang. Kukejar bunyi telepon ketika terdengar tiba-tiba. Miryam di seberang sana. “Albert! Aku masih di sini, dekat kantormu.” “Miryam! Kamu lupa payungmu. Tunggu hingga hujan reda!” “Tentu saja, Albert. Tetapi Sarma….” “Lho! Nglembur lagi dia ya?” “Aku tak tahu. Tapi ada kecelakaan di sini.” “Situ banjir?” “Dengar dulu, Albert! Ada tukang pos ketabrak truk pompa. Aku kuatir Sarma, siapa lagi? Tapi jangan dulu nelepon istrinya. Orangnya belum jelas.” “O God! Masak tak nampak? Lihat dululah.” “Orangnya sedang dirawat dalam mobil ambulans, banyak yang lihat. Aku cuma lihat kantong surat dan sepeda yang berantakan di jalan. Oh oh, Albert! Sekarang dia dilarikan, ya ya… mobilnya jalan. Kukira arah utara, tentunya rumah sakit Den Helder.” “Miryam! Tanyakan kiri-kanan.” Setiap kali aku ketemu istrimya, selalu aku merasa dosa. Setiap kali merasa dosa, selalu aku sangat menyesal. Seolah semua salah. Karena akulah Sarma kerja di desa. Karena akulah dia pindah rumah. Karena aku pula dia beli rumah dengan utang bank. Sekarang istrinya janda, ditinggal Sarma yang meninggal di rumah sakit Den Helder. Utangnya tak pernah lunas. Rumahnya akan dilelang. * Paran, April 2005
""Sarma""
Kekasihku berasal dari laut. Kami berkenalan di suatu sore yang terang di pinggir laut yang kala itu mendamparkan air tawar. Ia terbungkus kemeja lengan pendek warna biru terang. Hampir sewarna dengan celana jeansnya. Bagian pantatnya terkena pasir saat berdiri menyalamiku. “Kekasih” katanya sambil tersenyum. Tersungging sebaris gigi putih bak mutiara di balik bibirnya yang merah menggayut. Senyumnya kubalas dengan senyumku yang termanis. Namun tetap kalah. Sore itu, ia memenangkan kontes senyum termanis di antara kami berdua. Aku tak yakin namanya Kekasih. Namun saat kutanyakan kembali siapa dirinya, ia kembali memberikan kata itu, Kekasih. “Itu bukan nama,” kataku kepadanya. Namun ia hanya mengangguk dan kembali tersenyum. “Tak mengapa. Aku toh menjadi kekasihmu,” ujarnya. Tetap tersenyum, tapi kali ini ditambah kedipan mata. Kami menunggu matahari tenggelam senja itu. Warnanya ungu dengan tepian oranye. Burung-burung camar yang melewati matahari tampak membiaskan warna ungu di kedua sayapnya. Aku ternganga. Baru sekali ini aku melihat matahari berwarna ungu. “Bukankah ungu warna kaum janda?” kataku pada Kekasih. “Ya. Karena hari ini matahari ditinggal mati suaminya.” “Berarti matahari perempuan?” “Ya, untuk hari ini saja,” gumam Kekasih. Aku terdiam dan membiarkan dingin mulai merambati bumi. Tanganku hangat di genggaman Kekasih. Kami menatap matahari ungu menghilang menyisakan selarik garis oranye di awan hitam. Saat garis oranye itu menghilang, ia mengajakku pergi. Aku mengikutinya. Setelah meninggalkan pantai, Kekasih tinggal di Jakarta. Ia menyewa satu ruangan di lantai dua sebuah rumah milik karyawan Pertamina. Di ruangan itu, ia menata rapi sebuah kasur yang selalu berseprai biru, menghampari lantai dengan karpet berwarna tanah. Di salah satu sudut, Kekasih menempatkan sebuah televisi dan player DVD. Ia sangat suka menonton film. Baginya, film merupakan dunia yang memiliki batas yang jelas. “Sudah pasti, akan ada akhir di sebuah film, lengkap dengan kalimat The End. Sementara aku dan kamu tak pernah tahu batas dunia,” ujarnya sambil memencet tombol power di remote control. Saat itu kami baru saja usai menonton The Notebook, film cinta tentang pasangan muda yang tak direstui orangtuanya. Alasan klasik. Orangtua si gadis menginginkan pasangan sederajat untuk anak gadisnya. Film itu terlalu klise. Namun kupilih untuk menu malam minggu bersamanya karena banyak adegan mesra di dalamnya. Aku menginginkan kemesraan Noah dan Allie di film itu. Setidaknya, aku berharap menghabiskan masa tuaku bersama Kekasih seperti Allie yang mati di pelukan Noah. Aku bertanya pada Kekasih, apakah ia akan tetap mengingatku meski ia mendadak pikun atau terserang Alzheimer seperti Allie tua. Ia hanya tersenyum dan menyuruhku tidur. Mataku terpejam, masih kurasakan tangan Kekasih membelai rambut dan pipiku. Tiba-tiba aku berada di laut. Aku melihat Kekasih berenang di sela-sela terumbu karang, mengecup kepala kuda laut, membelai sirip ikan pari. Aku menghampirinya, namun aku tak bisa. Ada sesuatu yang menahanku. Aku berontak, aku ingin mengikuti Kekasih, meliuk-liuk di kedalaman laut, namun aku hanya bisa memandangnya dari permukaan air. Tubuhku mengambang dalam keadaan tengkurap. Aku merasa langit menghitam di balik punggungku. Air menetes deras dari langit menghujam tajam bagian belakang tubuhku. Aku berteriak namun Kekasih tak mendengar. Ia terus berkelok menyusuri karang, menghilang di kedalaman laut yang menghitam sewarna langit. AKU tak bisa berenang. Meski mencobanya berkali-kali sejak berusia lima tahun. Aku masih ingat saat pertama kali menceburkan tubuhku ke air. Saat itu musim kemarau. Orangtuaku membawaku ke kolam renang umum yang ada di kompleks perumahan kami. Saat itu sore hari. Aku melihat anak-anak seusiaku berteriak dan memukul-mukul air dengan kedua tangan dan kaki mereka di kolam sedalam 50 sentimeter. Aku memohon pada ayahku untuk berenang bersama mereka di kolam untuk orang dewasa. “Mengapa?” Ayahku yang hanya menghabiskan waktu tiga jam sehari bersamaku terlihat sangat heran. “Aku terlalu cantik.” Kusibakkan rambutku yang hitam ikal ke belakang. Hari itu aku memakai baju renang warna kuning yang terlihat pucat menyatu dengan kulitku. Ayah dan ibuku terdiam. Mereka memandangku yang duduk tegak di bangku kolam renang memandangi anak-anak yang tak henti-hentinya tertawa dan berteriak-teriak tak jelas. Ayah ibuku tak banyak bicara. Mereka menggandeng kedua tanganku dan menuntunku ke dalam air di kolam untuk orang dewasa. Ajaib. Aku mengambang dengan mudah saat kucelupkan badanku ke dalam air. Aku mulai menggerak-gerakkan kedua tangan dan kakiku. Aku bergerak dengan cepat di permukaan air. Ayah ibuku takjub. Mereka bertepuk tangan dan tertawa. Aku lihat mereka mengikuti gerakanku. Tiba-tiba kulihat mereka menghilang dari permukaan air. Aku masih sempat menangkap ujung telapak kaki mereka masuk ke dalam air. Kumasukkan wajahku ke air dan kulihat mereka melambaikan tangan ke arahku. Aku mulai menggerakkan badanku mengikuti mereka. Namun sia-sia. Semakin keras usahaku, aku tak bisa menyelam. Aku hanya bisa memandang mereka dari permukaan air. Aku panik. Aku ingin bersama orangtuaku. Aku berteriak memanggil mereka, namun hanya gelembung udara yang keluar dari mulutku. Aku kehabisan nafas dan wajah riang orangtuaku yang tengah tersenyum di dalam air tiba-tiba menghilang. Sejak itu aku tak pernah berenang. Aku membenci air. Aku menganggap air memusuhiku. Aku terlalu tinggi hati untuk mencoba berkawan dengan air. Aku hanya memandang dengan iri tak terperi, wajah riang orangtuaku atau kawan-kawanku saat mereka berenang berjam-jam di dalam air. Ketika di sekolahku ada pelajaran berenang, orangtuaku mencoba menjelaskan dengan hati-hati pada guru olahragaku bahwa aku lebih berbakat di bidang atletik. Aku pernah membuktikan sendiri pada guruku bagaimana tubuhku hanya mengambang sia-sia di atas air. Mereka menyerah dan membiarkan aku memilih olahraga apa saja yang kusukai. Aku memilih balet yang baru saja dimasukkan dalam mata pelajaran olahraga saat aku kelas tiga SD. Ternyata aku dianggap berbakat oleh guruku, seorang nona Indo cantik yang lulus dari sekolah balet di Inggris. Namanya Isabel. Ia mengajariku bagaimana menahan kaki cukup lama saat melakukan plié. Saat kelas enam, aku sudah bisa melakukan pirouette. Keberhasilanku ini membuatku dipercaya menjadi pemeran utama Petrouchka karya Igor Stravinsky. Aku menjadi sesosok boneka balerina cantik milik seorang penyihir. Pertunjukan itu sukses meski keinginanku untuk sekolah balet secara serius tak diperbolehkan orangtuaku. Meski dilarang, aku tetap menari. Orangtuaku tahu. Namun mereka tak bisa melarangku karena aku selalu menyodorkan nilai-nilai akademik yang bagus kepada mereka. Aku tak dapat menyalahkan mereka yang masih berpikir bahwa balet tak dapat menjamin hidup manusia. Aku menyetujuinya. Karena memang aku tak ingin mencari uang dari balet. Aku melakukannya karena aku menyukainya. Lulus SMA, aku mengambil kuliah kedokteran. Setidaknya dengan ilmu ini aku bisa tahu bagian-bagian mana dari tubuhku yang bisa cedera jika melakukan gerakan tertentu. Hampir semua lakon balet telah kumainkan. Namun aku hanya merindukan Petrouchka. Bagiku, tak ada yang lebih indah memerankan seorang perempuan yang diperebutkan dua lelaki. Apalagi ketika salah satu di antaranya mati terbunuh karena duel. Bagiku, hal itu sangat fatalis. Aku suka sesuatu yang fatal. Ketika kita menginginkan sesuatu yang juga diinginkan orang lain, tak ada cara lain selain menyingkirkan saingan kita. Duel Petrouchka dan Moor sangat logis bagiku. Dan aku-Ballerina yang diperebutkan-tinggal melihat siapa yang menang. Seperti halnya seleksi alam, akulah hal terbaik yang pantas dimiliki sang pemenang. AKU tetap menari hingga bertemu Kekasih. Meski tak sesering dulu ketika belum bertemu dengannya. Aku lebih suka menghabiskan waktu bersamanya. Hingga pada suatu malam, tepat setengah tahun aku berpacaran dengan Kekasih, ia memintaku untuk menari. “Aku tak pernah melihatmu menari,” ujarnya sambil membelai rambut ikal panjangku. “Kau ingin melihatku menari?” Kekasih mengangguk. Ia menciumi rambutku yang menguarkan wangi zaitun. “Aku akan menari untukmu tepat setahun kita pacaran. Aku ingin memberikannya sebagai hadiah peringatan kita berdua. Bagaimana?” “Aku tak sabar melihatnya,” bisik kekasihku. Ia tersenyum. Sepertinya bahagia. Setidaknya karena malam itu kami mengakhiri malam dengan bercinta untuk pertama kalinya. Tiga bulan sudah aku mempersiapkan pertunjukanku. Rencananya, aku akan tampil di sebuah galeri yang terletak di Kemang. Kebetulan ruangan galeri tersebut memiliki batas terbuka dengan halaman. Sesuai dengan keinginanku. Pertunjukanku bukan sesuatu yang resmi. Setelah aku menari, aku ingin semuanya berpesta di pinggir kolam renang yang terletak di halaman. Sebenarnya aku belum yakin dengan pertunjukanku. Namun aku memikirkan Petrouchka. Aku ingin memainkannya di depan Kekasih. Namun bukan Petrouchka hasil koreografi Michel Fokine yang kumainkan dulu. Aku memikirkan sesuatu yang kontemporer. Sesuatu yang lebih pribadi. Yang muncul dari diriku sendiri. Tentang kegelisahanku, dan kondisi diriku sebenarnya yang tak pernah diketahui siapa pun. Keinginan itu muncul seminggu setelah aku memulai latihanku. Tiba-tiba kudapati tubuhku berbunyi saat bergerak. Ada suara derak aneh yang muncul dari bagian engsel sendiku. Sempat aku merasa takut tubuhku terbelah. Anehnya, aku tak merasa sakit. Padahal, saat melakukan arabesque yang paling dasar sekalipun, aku mendengar bunyi berderak di sekujur tubuhku. Bunyi ini memunculkan ide di benakku untuk menghilangkan kelenturan tubuhku. Aku mengikuti setiap bunyi derak tubuhku. Saat melakukannya, tiba-tiba aku teringat Petrouchka. Aku ingat sekali bagaimana Petrouchka bergerak kaku saat mendekati Ballerina. Tak heran jika Ballerina tak meliriknya. Petrouchka sama sekali tak tampan. Ia kikuk dan layak kalah. Kini, dengan semua bunyi derak di tubuhku, aku juga tak menarik. Sehari sebelum pertunjukan, aku menelepon Kekasih. Aku kangen berat dengannya. Sudah tiga bulan sejak aku mempersiapkan karyaku, Kekasih tak pernah menemuiku. Alasannya, ingin membiarkanku berkonsentrasi dengan pertunjukanku. “Lagi pula aku ingin mendapat kejutan saat pertunjukanmu,” katanya waktu itu. Aku menyetujui alasannya. Kini persiapan karyaku telah usai. Aku ingin mendengar suaranya. Namun aku hanya mendengar voice mail. Kutinggalkan pesan bahwa pertunjukanku dimulai besok. “Kutunggu kau di sana, Kekasih.” Suaraku terdengar ragu saat mengakhiri pesan. MALAM pertunjukanku dimulai. Tak banyak yang datang. Sebagian besar teman-temanku yang datang karena tahu malam itu ada pesta kecil-kecilan seusai aku menari. Aku tak tahu apakah Kekasih datang. Aku sibuk berdandan di lantai dua galeri. Aku merias wajahku dengan sentuhan warna coklat. Kuikat rambutku ke belakang memperlihatkan wajahku yang tampak pias meski kutaburkan rouge warna tembaga di wajahku. Kutatap diriku yang tampak kurus mengenakan rok satin warna coklat transparan. Aku siap tampil. Namun aku tak siap dengan akhir pertunjukanku. Aku tampil sendiri. Tanpa musik. Kubiarkan tubuhku berderak mengiringi setiap gerakku. Aku tak ingin melihat tatapan penontonku. Namun aku tak dapat menipu mataku betapa mereka tampak tercengang. Gerakanku tidak bisa disebut bagus. Bahkan jauh dari gerakan manusia. Aku seperti zombie. Kaku. Penuh patahan yang menghasilkan derak. Bunyi itu semakin bertambah dengan beberapa usahaku melompat. Aku membiarkan tubuhku jatuh berdebam ke lantai. Berulangkali. Bunyi tubuhku semakin mengerikan. Beberapa penonton tampak menutup mata. Sepertinya mereka ngeri membayangkan tubuhku terpisah. Aku terus jatuh, merangkak. Jatuh, merangkak. Saat berdiri, kurasakan tulang tubuhku bergeser. Tubuhku miring. Salah satu kakiku tertekuk. Namun aku tak merasakan sakit. Aku tersenyum kepada penonton. Kulihat Kekasih berdiri di belakang. Di tepian kolam renang. Tulang rahangnya tampak mengeras. Pipinya basah penuh airmata berwarna ungu. Tubuhku oleng. Sebelum terjatuh, aku berseru. “Aku harap kalian suka. Karyaku tadi berjudul Marionette.” Lantas semuanya gelap. AKU terbangun di tepi pantai. Matahari tampak ungu. Seperti saat pertama aku bertemu Kekasih. Tak hanya matahari yang terlihat sama. Semuanya tampak seperti kembali ke saat itu. Saat di mana aku tersenyum menggenggam tangannya. Aku mencoba berdiri. Namun tubuhku seperti melekat di pasir. Kurasakan sebuah benda di telapak tanganku. Ada secarik kertas di sana. Aku mendapati tulisan Kekasih tergores dengan tinta biru. Nadia, Aku ingin bersamamu. Jika kau mau, susullah aku. Aku akan selalu menunggumu. Sampai kau bisa. Love Kekasih Aku menangis. Kucoba berdiri. Namun usahaku gagal. Aku berteriak keras. Memanggil Kekasih. Namun hanya suara camar yang memantulkan semburat ungu matahari di sayapnya, menyahut teriakanku dengan suara parau. Aku menangis. Namun air tak mengalir dari mataku. Aku ingin menyusul Kekasih. Aku ingin menatap kembali matanya. Aku ingin memeluknya, mencium bau pasir di tubuhnya. Perlahan, aku menggulingkan tubuhku di atas pasir. Usahaku berhasil. Aku mulai merasakan air laut mendamparkan air tawar ke tubuhku. Kurasakan ombak mulai menggerakkan tubuhku menjauhi pantai. Aku mengambang. Kulihat awan mulai menghitam. Aku mulai ketakutan. Suasana ini sama dengan mimpiku. Ombak yang semakin besar mulai membalikkan tubuhku. Tiba-tiba aku melihat Kekasih di sela-sela terumbu karang. Aku memanggilnya. Namun suaraku hilang menjadi gelembung. Aku terombang-ambing di permukaan laut. Kucoba menggerakkan tubuhku memasuki laut. Aku ingin menyusul Kekasih. Namun semakin keras usahaku, aku malah mendapati tubuhku bergerak bersama ombak, menjauhi terumbu karang tempat aku melihat Kekasih. Langit semakin menghitam. Aku hanya bisa melihat Kekasih mulai menghilang dari pandanganku. Kututup mataku. Dan kubiarkan laut membawa tubuhku entah ke mana. Aku tahu, aku tak dapat bersama Kekasih. Karena aku Marionette. Catatan Plié: Posisi berdiri dasar dalam balet ketika lutut tampak membengkok Pirouette: Gerakan berputar secara penuh di atas satu kaki. Arabesque: Posisi berdiri dengan satu tangan menjulur ke depan dan salah satu kaki dibentangkan ke belakang. Petrouchka : Ditampilkan pertama kali oleh Ballet Russes pada 1 Januari 1911 Marionette : Salah satu jenis boneka kayu di Eropa
""Marionette""
Sembilan belas hari sebelum kematian Gumortap. ”Tangkap!” teriak seorang kenek kapal Makmur yang melemparkan tali kapal ke arah orang-orang yang berkerumum di tepi pelabuhan Onansait. Langit pagi sebagian masih memerah. Angin bertiup ringan. Dua orang pemuda dengan agak berebutan menerima tali itu, dan salah seorang yang berhasil menangkapnya segera mengikatkannya ke tiang tambatan kapal Penjelajah yang sedang berlabuh. Ikat yang kencang!” teriak si kenek ke arah si pemuda yang mengikatkan tali itu, seraya menahan gerak kapal Makmur dengan menjolokkan galah bambu ke geladak kapal Penjelajah. Sisi kedua kapal itu kemudian berendeng, dan kapal Makmur mendekati dermaga searah kapal Penjelajah. Kecuali melayani para penumpang borongan secara bebas, setiap pekan atau pasar mingguan maupun ke pelabuhan pemberangkatan ke kota-kota besar, ada pembagian jadwal antara kapal Makmur dan kapal Penjelajah dari kampung Onansait. Dan pagi itu adalah giliran kapal Makmur dari kampung sebelah membawa penumpang ke pasar Pangru, ibu kota kecamatan di seberang danau. Dua kenek kapal Makmur lainnya menyusul turun ke dermaga, memastikan anjungan kapal Makmur bersandar aman ke dinding dermaga. Meskipun mesin kapal sudah dinetralkan, sisa kecepatannya tetap membuat kapal bergerak cukup kencang, hingga kedua kenek itu berusaha menahan dengan pundak mereka. Mereka sempat juga terdorong mundur di antara orang-orang ramai di dermaga itu, sebelum kapal sepenuhnya berhenti. (Masa itu tidak semua mesin kapal memiliki fasilitas mundur. Sehingga yang bisa dilakukan kapal bermesin jenis ini saat berlabuh adalah mematikan mesin atau menetralkannya agak jauh dari pantai, kemudian menahan sisa lajunya dengan menjolok-jolokkan galah bambu, ke dasar danau atau ke geladak kapal lain yang sedang berlabuh di kiri atau kanannya). Kini orang-orang yang sejak pagi sudah memenuhi dermaga dan mau berangkat ke pekan pun berebutan naik. Banyak dari mereka membawa peralatan belanja atau barang dagangan. Para pedagang bawang harus berkali-kali turun-naik dibantu para kenek memundak bergoni-goni bawang yang akan mereka jual, demikian juga para pedagang beras. Sementara para pemilik warung dari atas bukit, seperti biasa mengangkati beberapa jeriken minyak tanah yang kini masih kosong ke atas kapal. Sedangkan anak-anak selalu saja memandang semua itu dengan penuh minat. Beberapa anak yang akan pergi ke pekan dengan orangtua mereka, sengaja memandang tertawa ke arah teman-teman mereka yang hanya menatap iri dari dermaga. ”Ke mana?” orang-orang masih juga bertanya. Semua sudah tahu jawabannya. ”Mau beli apa?” Semua kembali mendengarkan apa yang mau dibeli. Maka perbincangan yang sama pun berlanjut dan berulang dengan orang yang berlainan. Dan selalu saja suasana mau berangkat ke pekan menjadi peristiwa yang jarang dilewatkan untuk membahas apa saja di perkampungan tepi danau itu. Onansait termasuk pelabuhan yang ramai dan pantainya landai berpasir putih. Pada saat itu, di antara keramaian orang-orang di dermaga dan bias-bias cahaya matahari pagi yang dipantulkan hamparan pasir putih—Horas, 13 tahun, si bungsu dari tiga bersaudara anak pemilik kapal Penjelajah—melihat si pemuda Gumortap. Mungkin semuanya akan berlangsung biasa saja dalam kehidupan Horas yang baru saja menyelesaikan pendidikan dasar itu—seandainya ia tidak melihat ”tanpa sengaja” sebilah belati tanpa sarung—yang terselip di pinggang Gumortap. Kedua bola mata Horas terbelalak dan dadanya tiba-tiba berdegup kencang. Orang-orang ramai dan hamparan pasir putih kini mengabur dari pandangannya. Dalam kibasan kesan dan perasaan gentarnya yang bergemuruh, sampai kapan pun ia akan dapat membayangkan wujud belati tajam dari baja di balik kemeja Gumortap yang tersibak angin pagi, saat Gumortap melompat naik ke kapal Makmur. Horas kini membuktikan sendiri bahwa Gumortap memang membawa-bawa belati tak bersarung di pinggangnya. Belum lama berselang, Gumortap adalah seorang montir dan juru mudi kapal Penjelajah. Gumortap adalah seorang pemuda bertubuh tinggi dan tegap, yang keberaniannya membawa kapal Penjelajah membelah danau penuh ombak suatu malam, menjadi perbincangan anak-anak di tepi danau itu. Karena kisah keberanian Gumortap yang sudah didengarnya berkali-kali, Horas terkadang membayangkan Gumortap adalah jelmaan ombak malam itu sendiri. Mungkin beberapa bulan lalu atau barangkali setahun lalu, tak ada anak-anak yang tahu pasti kapan peristiwanya. Yang jelas, keberanian Gumortap menyelamatkan kapal Penjelajah bersama penumpang dan barang yang dibawanya mengarungi amukan ombak, telah menjadi buah bibir anak-anak di Onansait dan kampung-kampung tepi danau itu. Tiga belas hari sebelum kematian Gumortap ”Anak-anak burung itu tidak bodoh. Mereka memahami gerak-gerik kita.” ”Mereka belum bisa melihat penuh. Cuma asal terbang, makanya sering saling tubruk.” ”Tapi, setiap kali aku mau menghalau, mereka sudah terbang duluan.” Anggi dan Olan berbincang di tepi sawah mereka, ketika Horas meneruskan langkah menuju rumah Gumortap. ”Heh, Horas? Mau ke mana?” ”Kau tidak belajar mesin?” Horas menggeleng. Berlalu dari samping Anggi dan Olan. Pematang sawah cukup untuk kaki-kaki mereka yang kecil berselisih jalan. Meskipun mereka harus saling merapatkan badan agar tidak terjatuh ke sawah di kiri kanan mereka. ”Mau ke mana?” ulang Anggi. ”Ke rumah Gumortap,” kata Horas. Ketiganya memandang beberapa rumah di pojok danau, di ujung persawahan luas yang sedang menguning subur di sekitar mereka. ”Ada enggak?” tanya Horas. ”Mau apa?” tanya Olan. ”Paling-paling masih di sawahnya di bukit,” kata Anggi. ”Dia dipanggil ayahku,” kata Horas melihat sekilas ke arah Olan. ”Mau membawa kapal?” tanya Anggi. ”Mesinnya kan sedang rusak,” kata Horas. ”Coba dia membawa kapal sekarang. Nanti malam musim ombak besar. Dia bisa menunjukkan lagi kemampuannya menaklukkan ombak,” kata Anggi. ”Tapi semua sudah tahu, Gumortap sekarang membenci ayahmu,” ungkap Olan. ”Bahkan dia membawa belati ke mana-mana, siap berkelahi dengan ayahmu.” Horas merasa kurang nyaman dengan kata-kata Olan itu. Ia ingin cepat berlalu dan segera melangkah. ”Aku jalan dulu,” katanya. ”Aku ikut,” kata Anggi. ”Heh, kita harus mengusir burung,” kata Olan. ”Mereka masih anak-anak burung,” kata Anggi. ”Biarkan saja mereka makan padinya, tak akan banyak!” Olan memandang kesal ke arah Horas dan Anggi yang melangkah cepat menuju rumah Gumortap di pojok danau. Dari sana kini sayup-sayup mulai terdengar suara gondang bertalu-talu. Agaknya Gumortap memang sedang di rumah tapi mulai berlatih main gondang. Gumortap adalah seorang pekerja sawah yang tekun, pemain gondang yang baik, dan tentu saja, juru mesin dan juru mudi yang baik. Dan karena Gumortap ternyata sedang berlatih gondang, Horas dan Anggi pun pulang hampa tangan. Anggi kembali menemani Olan mengusir burung-burung dari sawah mereka, sementara Horas meminta bantuan abangnya untuk sama-sama menyampaikan kabar kepada ayah mereka, bahwa Gumortap tidak bisa datang. Gumortap sedang berlatih gondang karena tiga hari lagi akan disewa main gondang untuk pesta adat di seberang danau. Ayah Horas mengarahkan tatapannya ke luar rumah, melalui jendela, ketika Horas dan abangnya melaporkan hasil perjalanan Horas itu. ”Kau saja yang memanggil lagi,” kata Ayah Horas. ”Bilang sangat penting, karena kapal akan membawa penumpang borongan nanti malam,” kata Ayah Horas kepada abang Horas. Abang Horas menoleh ke arah Horas dengan kesal, seolah menyalahkan Horas yang gagal memanggil Gumortap dan ikut merepotkannya. Padahal semua orang sudah tahu sedang terjadi ketidakcocokan antara Gumortap dan Ayah mereka. Ketidakcocokan itu konon hanya sebagai pertengkaran mulut, tapi kemudian berlanjut saling pukul, sebelum keduanya dipisahkan orang ramai di dermaga suatu sore. Dan sejak itu, semua orang pun tahu bahwa Gumortap kemudian membawa-bawa belati di pinggangnya, siap menikam ayah Horas yang dulu adalah majikannya. Apa penyebab pertengkaran mereka sesungguhnya, tak banyak yang tahu. Sebagian kecil menduga-duga dan mulai percaya bahwa penyebabnya adalah Gumortap yang menggelapkan uang hasil sewa kapal ke sebuah pekan di seberang. Paling tidak itulah yang tergambar dari pertengkaran mulut mereka. Gumortap tidak melaporkan seluruh uang masuk yang diperolehnya karena kebetulan ia membawa kapal Penjelajah tidak disertai ayah Horas yang sedang mengikuti pesta adat ke kota. Begitulah, karena Gumortap masih juga menolak ketika abang Horas kembali memanggil, ayah Horas terpaksa turun sendiri dan sesorean bekerja keras membetulkan mesin kapal Penjelajah itu. Dan mesin kapal tersebut kemudian dapat dijalankan saat para penumpang borongan berdatangan. Ayah Horas dibantu dua kenek kemudian membawa kapal Penjelajah mengarungi malam berombak, tanpa dukungan juru mudi Gumortap. Tapi yang mengesan kuat bagi Horas tentang hari itu bukanlah penolakan Gumortap membantu ayahnya. Yang terus membayang adalah—belati tanpa sarung yang telah dilihatnya terselip di pinggang Gumortap—di balik bajunya yang berkibar suatu pagi di dermaga. Enam hari sebelum kematian Gumortap Kini Horas sedang berdiri di tengah kegelapan kamar. Dia baru saja menutupkan jendela. Ia dapat merasakan tajamnya belati di tangannya ketika ia menggesekkan bagian belati yang tajam itu ke jari telunjuknya. Karena merasa sakit dan khawatir berdarah, Horas menarik belati itu dan kini mengelusnya dari gagang hingga ke hulu. Licin dan halus. Belati yang terbuat dari baja itu menyebarkan hawa dingin yang meresap ke sekujur tubuhnya. Di benaknya melintas sebuah bayangan mengerikan: saat belati tajam dan dingin itu berkali-kali menembusi perut seseorang. Dan seseorang itu bisa saja…ayahnya! Horas segera menyembunyikan belati milik ayahnya itu ke bawah bantal. Lamat-lamat telinganya menangkap suara-suara memasuki ruang depan. Suara ayahnya dan beberapa orang lain. Entah siapa yang datang bertamu. Horas mendengarkan dari balik pintu. Ayahnya akan marah bila mengetahui Horas masih di rumah, tidak mengikuti para kenek untuk belajar menguasai mesin kapal. Ayahnya sangat tidak senang bila anak lelakinya mengendap-endap di rumah dan mendengarkan perbincangan orangtua. ”Kami mendengar lagi Pak,” kata salah seorang tamu itu. ”Banyak yang marah,” kata yang lain. ”Saya malah membentaknya!” kata salah seorang yang kelihatannya lebih tua, barangkali seusia ayahnya. ”Dia kurang ajar. Berani mengumbar ancaman kepada orang tua,” kata yang lain. ”Bapak harus menegurnya, kalau tidak langsung ya melalui orangtuanya.” ”Bila perlu mendatangi rumahnya.” ”Jangan mendatanginya.” ”Ya, jangan mendatanginya. Perintahkan, akan saya panggil ia ke sini.” ”Kita paksa saja!” ”Bawa belati ke mana-mana, dan menyebut-nyebut nama Bapak dengan kurang ajar.” ””Katanya Bapak menghinanya.” ”Mana mungkin!” ”Bapak juga bawa belati, berjaga-jaga.” ”Jangan!” Belum terdengar suara ayah Horas. Sementara keempat orang tamu ayahnya itu terus mendesakkan kabar dan keinginan mereka. ”Eh, ada tamu,” kata ibu Horas yang tiba-tiba memasuki ruang depan itu dengan kakak perempuan Horas. “Baru dari pekan, Inang?” tanya salah seorang tamu itu. Ibu Horas dan kakak perempuannya memang baru pulang dari pekan di desa sebelah. Horas ingin keluar menjumpai ibunya dan menanyakan apakah sang ibu membelikan jajanan pesanannya. Tapi kalau ia keluar, maka semua orang akan mengetahui keberadaannya yang sedang mengintip mereka. Dan Horas juga tak sanggup berpura-pura, bahwa ia sedang baru keluar dari ruang dalam dan muncul di ruang depan itu. Yang dapat dilakukannya adalah, segera mundur dari balik pintu ke ruang tengah itu. Ia khawatir ibu dan kakak perempuannya akan memergokinya. Horas pun masuk ke ruang dalam dengan langkah mengendap-endap. Kemudian ia bergegas ke pintu samping dan keluar ke halaman. Saat itu ia mencemaskan belati yang tersembunyi di bawah bantalnya. Belati itu adalah milik ayahnya yang selama ini tergantung di dinding kamar. Belati itu sama bentuknya dengan belati yang terselip di pinggang Gumortap. Belati telanjang dan berbahaya. Mudah-mudahan ayahnya tidak segera memerlukannya! Hari kematian Gumortap ”Apa maumu?” tanya Gumortap ke arahnya. Langit sore sebagian memerah. Horas memandang tajam dan menghampiri Gumortap. Napasnya menderu dan wajahnya panas terbakar kebencian. Beberapa orang tua sempat ingin memegangi tangannya, tapi Horas berhasil mengibaskan. Di sebelahnya, di kakinya, tampak ayahnya terkapar dengan perut berlumuran darah. Beberapa orangtua berusaha menolong. Horas melihat sekilas, sang ayah baru menyadari bahwa Horas juga berada di dermaga itu. Sang ayah memandang khawatir ke arahnya, seraya mengatakan sesuatu. Namun Horas tak mendengar. Tatapannya nyalang ke arah Gumortap yang sedang melap belatinya yang berlumuran darah dengan handuk kecil. ”Apa yang mau kau lakukan heh?” Gumortap mendelik ke arahnya. Horas tak menjawab. Ia kini menghunus belati telanjang yang dicabutnya dari pinggangnya, dan sekarang ia tusukkan ke arah perut Gumortap. Gumortap tertawa sinis dan mundur selangkah. ”Anak gila!” umpatnya. Beberapa orang terdengar menjerit khawatir, entah mengkhawatirkan siapa. Horas terus merangsek, menusuk, menusuk, menusuk, hingga belatinya tertahan sesuatu yang lunak seperti ombak. Ombak itu bergulung-gulung dan memercikkan sesuatu yang hangat dan berdebur sampai ke telinganya. Tangan Horas kini berlepotan darah, darah seharum ombak malam. Lalu Horas menangkap suara kaget dan rasa takut yang memancar bagai kilat dari sepasang mata Gumortap yang terbelalak tak percaya. Belati dan handuk kecil terlepas dari tangannya. Ia kini memegangi perutnya yang sudah sobek dan berlubang berdarah-darah. Horas terus memandangi Gumortap dengan nafas menderu. Tangannya gemetar menggenggam belati. Ia masih ingin menusukkan lagi belati tersebut ke perut Gumortap yang lunak seperti ombak. Tapi Gumortap sudah terkapar mengerang-erang memegangi perutnya, di antara sebagian orang tua yang kini berusaha pula menolongnya. Sesaat, Horas pun merasa baru saja menunaikan tugasnya sebagai anak, seperti halnya melaksanakan perintah ayahnya mempelajari mesin kapal Penjelajah, yang suatu saat akan dibawanya mengalahkan ombak.*
""Kematian Gumortap (Ombak dan Belati Tanpa Sarung)""
Usamah adalah seorang keturunan Arab Pakalongan, tapi kawin dengan seorang keturunan Arab juga asal Solo. Karena itu ia bergaul dengan teman-temannya, dari kampung Pasar Kliwon, daerah permukiman keturunan Arab di Solo. Ia juga mengikuti sejumlah orang yang hijrah ke Jakarta. Teman-temannya itu, termasuk ia sendiri, semuanya telah lulus perguruan tinggi, tapi tak semuanya jadi pegawai, sebagian memilih jadi pengusaha. Tapi semuanya sukses, seorang di antaranya berhasil menjadi Direktur Kredit Deutsche Bank, Bank Jerman, dan seorang lagi menjadi direktur sebuah hotel berbintang tiga. Usamah sendiri memilih jadi wartawan sebuah majalah berita terkemuka. Hampir semuanya mula-mula tinggal di rumah sewa. Tapi suatu ketika mereka sepakat untuk membeli tanah di sepanjang jalan kecil di bilangan Ciputat. Mereka mendirikan rumah berderetan. Usamah juga ikut membeli tanah, tapi ia terpisah, karena ingin memberi tanah yang lebih murah di bagian yang agak dalam, bahkan dekat sawah yang hanya dibatasi oleh sebuah kali kecil. Di situ ia mampu membangun rumah sederhana tapi berhalaman luas. Sebagian pekarangannya dipakai untuk memelihhara ayam. Peternakan ayam yang hanya 100 ekor itu memang cukup berkembang. Tapi pada suatu hari, beberapa ekor dicuri orang. Karena itu seorang sahabatnya menganjurkan agar ia memelihara seekor anjing. Memelihara anjing di kampung Betawi itu memang sangat riskan, yang memelihara bisa tidak disukai orang sekampung. Teman-temannya dari Solo pun ikut manyarankan agar Usamah tidak memelihara Anjing. Tapi sahabatnya yang mengusulkan itu memberi tahu bahwa memelihara anjing itu diperbolehkan agama. Kebetulan ia mengikuti aliran modern, al Irsyad. Tapi sebelum memutuskan memelihara anjing itu Usamah pernah sowan ke Buya Hamka di Kabayoran Baru, dekat Masjid al Azhar. “Boleh tidak Buya, seorang Muslim memelihara anjing?” tanyanya, memberanikan diri, maklum bertanya kepada ulama besar. “Tengok ke halaman rumah. Itu ada anjing besar,” jawab Buya. “Di Minangkabau, memelihara anjing sudah biasa. Bahkan ulama-ulama juga memelihara anjing. Sebagian orang kampung memelihara anjing untuk berburu babi di hutan. Bahkan Pesantren Putri Pandang Panjang, Rahmah el Yunusiyah, itu separuh penghuninya adalah anjing,” jelas ulama asal Minang itu. “Di Mekkah, banyak penduduk yang memelihara anjing,” jelasnya lagi. “Orang Muslim dianjurkan untuk menyayangi binatang, termasuk anjing. Nabi sendiri suka dengan kucing. Nabi Daud suka burung dan Nabi Sulaiman bersahabat dengan semua binatang. Pernah ada hadist yang menceritakan. Adanya seorang pelacur yang dinyatakan Nabi akan masuk surga, hanya karena ia memberi minuman kepada anjing yang mau mati kehausan. Bahkan ada pula anjing yang masuk surga, yaitu anjing yang menemani pemuda-pemuda Askhabul Kahfi yang melarikan diri dari tirani raja kafir dan mengungsi di gua dan atas izin Allah, tertidur selama 300 tahun itu,” jelas ulama pengarang Tafsir al Azhar itu, yang menceriterakan kisah para pemuda beriman dan seekor anjingnya dalam Al Quran. Dengan keterangan Buya Hamka itu Usamah, dengan persetujuan seluruh keluarga, memutuskan untuk memelihara seokor anjing. Tak tanggung-tanggung, ia memelihara jenis herder yang disebut German Sheppard yang diberinya nama Nero. Tapi baru berjalan satu setengah tahun, anjing itu pun mati. Menurut dugaan Usamah sendiri yang mendapat informasi dari orang kampung, anjing yang masih muda usianya itu mati diracun, mungkin oleh tetangga yang tak suka. Ia dan keluarga, terutama anak kecilnya, Najib, sangat sedih kehilangan Nero. Tapi kemudian ia bertekad untuk memelihara lagi. Kali ini ia memelihara jenis Gaberman yang diberinya nama Hector. Sehari-hari Hector menemani anaknya yang terkecil, Faris, bersama pengasuhnya, Minah, bermain-main di rerumputan pinggir kali, dekat sawah. Hector selalu menggonggong keras, jika Faris ingin bermain-main di kali. Jika istri Usamah pergi ke pasar, Hector selalu dibawanya, tapi ia selalu disuruh menunggu di jalan di luar pasar, karena jika ikut masuk, akan mengganggu orang yang takut atau jijik pada anjing. Pada suatu hari, setelah selesai belanja, barang-barang belanjaannya ditaruh di dekat mobil, sedangkan ia kembali ke pasar membeli barang yang kelupaan dibeli. Hector disuruh menunggu. Namun ternyata ada juga oramg yang berusaha mengambil barang belanjaan itu. Ketika mau mengambil kompor, rupanya pencuri itu tidak sadar bahwa ada seekor anjing yang menjaganya. Maka meloncatlah Hector menerkam pencuri itu sambil menggonggong keras-keras. Mendengar gonggongan anjingnya, maka istri Usamah kembali ke mobilnya. Pencuri itu tidak mengaku mau mencuri, bahkan marah-marah kepada Hector dan istri Usamah. “Kenapa kamu mau mencuri ?” tanya Bu Usamah. “Tidak, tidak, saya tidak mencuri,” jawab si pencuri. “Tidak mungkin kamu diterkam oleh anjing saya, jika tidak mau mengambil barang saya.” “Ibu percaya pada saya atau percaya kepada binatang najis itu?” Ibu Usamah merasa glagepan mendengar tangkisan pencuri itu. Orang-orang yang berkerumun sepertinya memahami pertanyaan si pencuri. “Walaupun seekor anjing, ia tak pernah berbohong. Anjing juga tidak pernah mencuri. Hanya manusia yang suka berbohong dan mencuri,” jawab Bu Usamah. Tapi karena tak ada bukti bahwa barangnya telah dicuri, maka pencuri itu pun bebas. Pernah suatu pagi hari, ada seorang yang rupanya pemuda sekampung sendiri, berusaha mencuri ayam. Ia sempat membawa lari seekor ayam, tapi orang itu keburu lari melompat pagar tanaman, karena mendapat gonggongan Hector. Ketika lari terbirit-birit, Hector mengejarnya sampai tertangkap. Pencuri itu pun, setelah melapas ayam curiannya, teriak-teriak minta tolong. Penduduk kampung pun berusaha menolong si pencuri dengan melepaskan gigitan anjing di bajunya, dan seorang di antaranya mengambil sepotong kayu untuk memukul Hector. Untung Usamah sempat datang mencegah pemukulan. Tapi penduduk malah memarahi Usamah. “Jaga dong anjingnya. Kalau Bapak tidak datang, anjing itu pasti mati kami hajar.” “Lho Pak, mana mungkin anjing saya ini mengejar orang ini tanpa alasan sepagi hari ini? Ayam saya di kandang ramai berkotek, tanda ada yang mengganggu. Dulu saya pernah kecurian ayam, sebelum punya anjing.” “Apa Bapak tidak tahu, menyentuh anjing saja itu najis hukumnya? Apalagi memelihara. Haram.” “Yang najis itu air liur anjing gila. Anjing ini sehat dan bersih, setia menjaga rumah dan majikannya. Tak pernah mencuri dan berbohong, karena tidak bisa. Anjing itu seperti malaikat. Hanya bisa menjalankan tugas menurut kodratnya,” jawab Usamah. “Masya Allah, Pak Usamah ini termasuk orang yang sesat. Minta ampun pada Tuhan dong karena melanggar ketentuan agama. Benar tidak pak haji?” tanya orang kampung itu kepada seorang yang pakai kopiah putih di sampingnya. Orang yang ditanya itu tidak berkata apa-apa, cuma mengangguk. Usamah tidak mau terlibat dalam perdebatan agama dengan orang kampung yang menurutnya tidak ada gunanya sama sekali. Sejak peristiwa yang tersebar di seluruh kampung itu, tidak ada lagi orang yang mencoba mencuri ayam. Cuma, ada yang takut bertamu ke rumah Pak Usamah. Padahal Hector tidak menggonggong jika ada tamu. Pernah ada seorang kiai di kampung itu yang menasihati Usamah bahwa rumah yang ada anjingnya tidak dimasuki oleh malaikat. Teman-temannya dari Solo pun menjadi enggan bertamu. Tapi Usamah sendiri percaya bahwa Hector itu sendiri adalah malaikat yang hanya bisa mengabdi tanpa sedikit pun niat untuk berkhianat atau bersikap munafik. Hector tidak pernah menimbulkan masalah bagi Usamah dan keluarganya dan bahkan merupakan teman baik seluruh anggota keluarga. Kalau siang, Hector sering masuk rumah dan bersama-sama anggota keluarga yang nonton TV. Ia terutama dekat sekali dengan Faris, anaknya yang terkecil. Dan Faris sangat menyayanginya, sering mengelus-elusnya dan mengajaknya bicara. Tapi kalau malam, Hector rela dan biasa tidur di luar rumah, maksudnya mungkin mau menjaga rumah itu dari pencuri yang suka datang malam-malam. Kalau ada yang dicurigainya, baru Hector menggonggong. Karena itu orang yang berniat jahat, mengurungkan niatnya. Pada suatu sore di hari Sabtu, Usamah sekeluarga menonton TV. Faris sudah berangkat besar, sudah masuk SMP. Ia masih akrab saja dengan Hector. Ketika Usamah sekeluarga sedang santai nonton TV, tiba-tiba Hector masuk ke ruangan. Ia pun dengan santai nongkrong seolah-olah ikut menonton TV. Setelah sejenak duduk, tiba-tiba kepala Hector lunglai kemudian seolah-olah tertidur. Tapi lama benar ia tidur sampai waktunya ia seharusnya keluar rumah. Faris pun menggoyang-goyangkannya, tapi Hector tidak bangun juga. Rupanya, Hector sudah berhenti bernapas. Melihat Hector tak bangun lagi, seluruh keluarga gempar. Ibu Usamah menangis menjerit-jerit yang diikuti oleh anak-anaknya, terutama Faris. Melihat keadaan itu maka Usamah pun, dengan suara tersendat-sendat berkata: “Anak-anak, manusia pun akan mati, apalagi binatang yang umurnya lebih pendek dari manusia. Hector sudah berumur hampir lima belas tahun, padahal anjing-anjing yang lain hanya berumur sekitar tujuh atau delapan tahun. Inna lillahi wa inna lilahi rojiun. Semuanya berasal dari Allah. Ia dan kelak kita semua juga akan kembali kepadaNya. Abah yakin, Hector akan masuk surga, seperti anjing para pemuda Ashabul Kahfi.” Keesokan harinya, pagi-pagi benar, Hector dimandikan dan dibungkus dengan kain kafan putih, seperti manusia. Ia pun dikuburkan. Pak Usamah sempat membaca doa, sambil menitikkan air matanya. Ia kehilangan malaikat penjaga keluarganya. Sebenarnya, tanpa doa pun, malaikat akan masuk surga. Tapi Hector lebih menyerupai manusia, bagian dari keluarga Usamah.*
""Anjing yang Masuk Surga""
Sudah hampir empat puluh tahun mata Sultani menatapku. Tempo-tempo mata kawan masa kecil itu memang tak tampak, seolah sudah bosan lalu raib entah ke mana, namun kemudian muncul lagi dan kembali menatap. Hanya menatap. Tidak sekalipun berkedip, seperti tidak kenal lelah. Padahal tahun demi tahun terus berganti dan kini telah mendekati tahun keempat puluh. Berbagai peristiwa timbun-bertimbun, memurukkan yang lama ke lipatan bawah dan juga menguap ke luar ingatan. Aku dan kawan-kawan pun sudah cerai-berai, tak pernah bersua kecuali dengan dua-tiga kawan yang setia menghuni kota kelahiran kami. Kepada mereka, bila aku pulang ke kota kami selalu kutanyakan kawan-kawan masa kecil itu, tetapi tak banyak lagi kabar gembira aku peroleh. Kawan-kawan lama kami jarang pulang, bahkan banyak yang tidak pulang sejak merantau-belasan atau puluhan tahun yang silam. “Seperti ada dan tiada, Nius,” jawab Tum menampakkan senyum yang ganjil. “Seperti orang-orang di dalam mimpi.” “Hanya si Cudik, si Talib dan si Tunik yang acap pulang. Paling tidak dua atau tiga tahun sekali ada mereka pulang,” tambah Amril, yang meneruskan usaha keluarga membuka kedai kopi di simpang jalan dekat pasar. Kalau aku pulang, di kedai kopi itu kami bercakap-cakap mengenang kawan lama serta kota kami yang setelempap tetapi menyimpan sifat-sifat aneh tak terduga. Bahkan mengerikan. “Si Cudik kini di Lubuk Sikaping,” Biju menerangkan dengan gembira. “Tak lama lagi pensiun. Si Talib di Dumai, sudah bercucu satu. Si Tunik buka lepau nasi di Muaro Bungo. Dua lepau nasinya sekarang, Nius. Satu di Palembang. Hebat dia!” “Ingat si Bun Kay?” tiba-tiba Tum menyela, setelah mengamati wajah-wajah tak kukenal yang lalu lalang di luar kedai kopi Tum. Waktu terus berjalan dan orang-orang lahir, dewasa atau jadi tua, kendati kota kami tetap saja setelempap. “Tentu!” kubilang. “Di mana dia?” tanyaku antusias. Bun satu-satunya sahabat Cina kami di waktu kecil. Dia dan keluarganya tergolong aneh, akrab dengan pribumi. Ayah Bun tukang gigi, ibunya berjualan kue mohok alias bakpau. Di kota kami orang Cina tidak mampu bersaing di pasar dengan pedagang pribumi tetapi tidak tertandingi membuat kue, sebagai grosir roti dan permen, lebih-lebih tukang gigi. Mereka pemilik satu-satunya bioskop dan dua studio foto yang ada di kota kami. “Bun di Medan jadi dokter,” jawab Tum. “Pernah sekali datang waktu mau ke Padang melihat kakaknya. Berubah sekarang, Nius. Kami ajak bermalam tidak mau. Mungkin karena bersama istri dan anak-anaknya. Tapi kami kawani dia melihat bekas rumah orangtuanya.” Dalam peristiwa dahsyat pertengahan 1960-an rumah orangtua Bun di Kebun Sikolos diobrak-abrik massa, diduduki hingga kini. Mereka bilang ayah Bun menjual gigi dari Peking. Dulu kami sering bermalam di rumah itu. Pagi-pagi terdengar sandal ibu Bun berlosoh-losoh mendekati paviliun tempat kami tidur, mengantar kue mohok hangat-hangat. “Tidak halam, tidak halam! Enak laaa, tak pake babi laaa,” ia sodorkan nampan berisi mohok serta teh manis. Begitu sandalnya berlosoh pergi kue dan teh itu amblas ke perut kami. “Jelas enak, dan tak pakai babi!” komentar anak-anak yang iri. “Di dalamnya ada kerak gigi!” Kalera! Sultani meradang dan hampir menghadiahi mereka “ketupat Bengkulu”. Tapi kami cegah. “Percuma,” bilang Tum. “Didiamkan berhenti sendiri!” Bagiku, lebih menyenangkan kalau yang mengantar kue adalah Sui Lin, adik Bun. Pagi-pagi Lin terlihat segar. Pipinya putih kemerahan serupa jambu air. Matanya tak terlalu sipit. Rambut ekor kuda. Suara Lin halus: “Ko Bun! Engko Bun!” Dadaku berdebar mendengar suara itu, juga ketukan jari-jarinya yang mungil di pintu. Kelas 6 SD kurasakan gejolak cinta monyet mengalir deras terhadap Lin, adik kelas kami. Itu pula sebabnya dendamku pada Sultani pernah seperti tidak berujung. “Bagaimana kabar Sultani? Di mana dia?” tanyaku pada kawan-kawan di kota kelahiran. Mereka menggeleng. “Itulah,” sahut Tum, kembali menampakkan senyum yang ganjil. “Banyak kawan kita serasa ada dan tiada, Nius. Bak orang-orang dalam mimpi. Tidak kecuali Sultani.” KAWAN masa kecil itu lincah, lucu, pintar di sekolah. Dia kapten sepak bola. Juga pandai menjahit, mencukur, menyogok portir bioskop sehingga kami bisa nonton film 17 tahun ke atas yang dibintangi Sophia Loren. Kami diselundupkan portir ketika lampu bioskop padam. Membungkuk-bungkuk mencari kursi kelas 3 yang kosong, atau menjelepak duduk di lantai, berdebar-debar sekitar dua jam menyaksikan aksi Sophia Loren yang menggairahkan. Seperti di rumah Bun, kami kerap nginap di rumah Sultani. Ibunya baik seperti ibu Bun. Kalau di rumah Bun kami disuguhi kue mohok, ibu Sultani pagi-pagi menghidangkan nasi goreng serta roti lapis mentega. Suka-suka kami mau makan apa. Minumnya teh hangat, kadang susu. Keluarga itu memang kaya dan terpandang. Ayah Sultani kepala terminal sekaligus ketua organisasi buruh. “Makan, makan! Tidak halam! Tak pake gigi babi laaa!” Sultani cengar-cengir menyindir, mengajak makan. Bun tertawa-tawa menyikat nasi goreng. Lalu ia sambar roti. Biju dan Tunik juga. Kami berebut. Sultani menarik piring roti ke dalam sarung, mencangkunginya seperti buang hajat. Saat dia letakkan ke meja tak seorang pun yang berselera menyentuh kecuali dia. Tempo-tempo kawan itu memang cingkahak, alias usil plus kurang ajar. Portir bioskop juga dia ulahi. Di antara lipatan uang sogokan dia selipkan duit buntung atau uang zaman Jepang sehingga untuk beberapa waktu kami terpaksa puasa nonton film orang dewasa. Sultani malah tertawa-tawa makan uang haram itu. Dan pernah pula Buya Makruf, guru mengaji kami, terbungkuk-bungkuk keluar tempat wudu bercelana kolor dan dada bugil. Baju, kopiah, serta sarung beliau “terbang; ke halaman masjid. Ulah Sultani! Suatu kali, ketika mandi-mandi di batang air yang mengalir di kota kami Bun tiba-tiba terpekik. Ada yang menyentak ujung kulupnya dari bawah air. “Ular! Ular!” Bun berteriak panik. Berenang kalang kabut ke tepi. Mukanya pucat serupa mayat. Kepala Sultani menyembul di tengah sungai. Terbahak-bahak seperti hantu air. “Sunat Bun! Potong Bun! Terlalu panjang Bun!” Saat liburan tiba Bun pun lalu minta disunat. Ayah dan ibunya setuju. “Ayaaa, Bun mau potong bulung bole potong, laaa. Asal Bun tidak nangis kalu sakit laaa.” “Tidak sakit, Bah!” Sultani meyakinkan bak tukang obat. “Malah, tidak terasa. Babah mau coba? Sret, selesai!” Ayah Bun terkekeh. Ibunya tersipu. Dan Bun disunat. “Sebetulnya telat Bun. Kelas enam disunat, jadi keras. Mestinya waktu kita kelas tiga,” ujar Sultani saat Bun meringis dan kami mendampingi kawan itu setiap malam. “Tapi tak apa-apa terlambat daripada tidak. Iya kan, Bun?” Bun mengangguk lemah. Setelah sembuh, dan suatu petang Bun termangu di halaman Masjid Jambatan Basi menanti kami usai mengaji, Sultani berkata: “Sudah Bun, ikut mengaji saja. Biar aku yang ngajar. Sebulan ditanggung fasih, Bun!” Sultani memang pandai mengaji dan ditunjuk Buya Makruf sebagai guru kecil. Kepandaian itu turun dari ibunya. Ibunya selalu mengaji tiap subuh. Suaranya merdu, tajwid dan kiraahnya elok. Tapi aku merasa, ajakan Sultani pada Bun karena dia ingin mengamangkan rotan di depan kawan itu. Dan sesekali, tentu saja, melecutkan ke kaki-seperti dia lakukan pada kami selaku guru kecil yang cingkahak. Bukan saja Bun, banyak kawan merasakan ulah Sultani. Aku malah tak sekali. Namun yang membuat dendamku membara ketika semua bulu di kepalaku dia babat. Jangan pula licin tandas bak kelapa, potong pendek bak rambut tentara saja aku bosan. Sudah lama aku dambakan model rambut orang dewasa atau rambut abangku, Rustam. Tetapi, setiap usai dicukur kepalaku tetap mirip tentara atau anak kecil. Padahal selalu kuminta Mak Hasan mencukur seperti yang kuinginkan, dan tukang cukur langganan ayah itu pun ber-hm-hm sambil mendorong kepalaku kian kemari. “Cukur sama Sultani!” Biju menyarankan. “Rambutku dia cukur. Tunik juga. Rancak, kan?” Seperti rambut Biju itu yang kuinginkan. Tak licin di sekeliling kepala, tetap ditumbuhi rambut dua-tiga senti yang melingkar manis rapi di sekitar telinga. Aku serahkan kepalaku pada Sultani. Mulanya sungguh-sungguh juga dia. Uang yang sedianya diterima Mak Hasan kujanjikan kami bagi dua. “Seperti model rambut Bang Rustam, kan?” Aku mengangguk. Pelan-pelan disentuh Sultani kepalaku. Suara gunting tak berdencing-dencing ganas. Mendesis-desis lunak. Mataku merem melek, tidur-tidur ayam. Tetapi lama-lama kepalaku semakin dingin. Ketika kuraba, sebagian kepalaku sudah terkelupas bak ayam hendak digulai! “Tak ada jalan lain, terpaksa begitu!” Ditekan Sultani kepalaku dengan ujung telunjuk. “Tadi di sini terlampau pendek, kuratakan. Eh, malah sebelah sini terlampau pendek. Sudahlah, sepekan rambutmu panjang lagi. Bagus juga kau gundul, seperti Yull Bryner kau!” Sejak hari itu kami tak berteguran. Tepatnya, aku tidak mau bicara atau dekat-dekat dengan manusia cingkahak itu. Dia mendekat, aku menghindar. Atau pergi. Dia cerita begini-begitu aku buang muka. Lupa aku pada sifat baiknya yang setia kawan dan suka memberi. Dendamku laksana sumur tanpa dasar. Lebih-lebih waktu Sui Lin, suatu pagi, tersenyum melihat kepalaku yang plontos bak kelapa ketika aku nginap di rumah Bun. “Kepala Ko Nius kenapa?” Alamak, mati awak rasanya menanggung aib! “KEPADA kawan-kawan yang tiba dari rantau kami juga bertanya kalau-kalau mereka mendengar di mana Sultani, Nius. Tetapi mereka pun tidak tahu,” kata Amril, melihat aku tak henti menanyakan kawan masa kecil itu tiap pulang ke kota kelahiran. “Sejak peristiwa itu tak ada yang tahu di mana Sultani dan keluarganya, Nius,” sambung Biju lesu. “Sanak famili ayahnya di kampung juga tidak. Pernah kami tanya ke situ, hasilnya nihil. Berkabar pun mereka tak pernah sejak kejadian itu.” Tum diam saja mendengarkan sunyi. Dan aku merasa ketika itu Sultani tengah menatapku dengan mata tidak berkedip seperti biasanya. Sewaktu prahara dahsyat pertengahan 1960-an melanda kota kami, dan orang bergegas lewat bergelombang-gelombang di muka rumah sambil berteriak-teriak, aku menghambur ke jalan. Tidak kuhiraukan imbauan ibu dan ayah. “Jangan ikut! Jangan ikut kau!” Aku terus berjalan di belakang gelombang-gelombang manusia yang riuh. Mereka menuju rumah Sultani, berteriak-teriak. Suara mereka teramat gaduh. Mereka melempar rumah itu dengan batu. Tahi kambing, tahi kuda dan entah dengan apa lagi. Sejumlah orang menerabas masuk. Menyepak pintu hingga rubuh. Kaca-kaca pecah berderai. Mereka terus berteriak. Buas sekali. Aneh sekali. Seakan-akan bukan warga kota kami yang sehari-harinya tenang dan saling menyapa. Aku menyeruak di sela-sela orang dewasa. Kusaksikan ayah Sultani diseret. Mukanya berdarah. Lututku menggigil. Ibu Sultani berlari mengejar, meraung-raung. Perempuan itu terjerembap di halaman. Kakak perempuan Sultani mendekapnya erat-erat. Dia juga menangis. Sultani juga. Menangis, tegak kaku di ambang pintu. Lalu ia terpana ketika matanya bersirobok dengan mataku, melihat aku di tengah kerumunan. Orang-orang masih berteriak. Menyeret serta mengarak ayah Sultani entah ke mana. Bergelombang-gelombang manusia. Tanganku dicekal, diseret abangku pulang. “Mulai kurang ajar ya, tak mendengar orangtua!” Cudik bilang mereka membawanya ke Singgalang Kariang. Menghabisinya. Membuang mayat orang tua itu ke Batang Anai. “Seperti mencampakkan bangkai anjing!” cerita Cudik. “Bagaimana kau tahu? Ikut kau ke situ?” kami tanyai Cudik ramai-ramai. “Semua orang bilang begitu. Kalian tidak tahu? Mereka menghabisinya petang itu juga!” Cudik berkeras. “Dan, kemarin pagi, ada yang menemukan sepasang mata di Batang Anai waktu menjala ikan. Hanya mata saja, dua buah. Tubuhnya tidak ada!” Kami bertatapan. Diam-diam terbayang olehku mata Sultani, yang menatapku tanpa berkedip. Bahkan sampai kini, seolah-olah tidak pernah lelah, walaupun tahun demi tahun berlalu menghanyutkan zaman dan usia ke muara.* Jakarta, 2 April 2005
""Mata Sultani""
Subuh itu saya dikejutkan oleh suara-suara orang ramai di pekarangan. Istri saya memberi tahu, banyak sekali orang berkerumun di halaman depan rumah dan di jalanan. Istri saya belum menemui mereka. Anak-anak yang bersiap ke sekolah, setelah sarapan, menjenguk lewat jendela. Saya acuh tak acuh. Sudah sering datang orang, satu dua, untuk mengajak ngobrol pelbagai masalah. Saya rasa kali ini juga begitu. Karena istri saya gelisah, saya penasaran mendengar dengung orang-orang gremeneng semakin ramai. Dengan menyingkap kain gorden jendela sedikit, saya melihat orang-orang berderet-deret seperti ngantre minyak tanah, mengular sampai jalanan. Ada apa? Saya acuh tak acuh. Sudah sering datang orang, satu dua, untuk mengajak ngobrol pelbagai masalah. Selama ini saya memang dekat dengan para tetangga. Sering saya diajak ngobrol tentang berbagai masalah yang dihadapi para tetangga. Di samping para tetangga, juga kenalan-kenalan jauh yang datang dengan kendaraan khusus. Kadang datang berbondong. Tamu pun bisa mencapai sepuluh sampai lima belas orang sehingga rumah jadi regeng, ramai. Kami ngobrol sekitar persoalan yang menyangkut rumah tangga dengan segala nuansanya. Juga tentang hubungan suami istri, menantu dengan mertua, bawahan dengan atasan, persoalan anak dengan orangtuanya, juga masalah percintaan antaranak-anak remaja. Jika ditanya, saya menjawab sekenanya, sekadar yang saya tahu. Saya tak pernah mengutip kata-kata bijak dari para cendekiawan. Masalah-masalah itu menjadi obrolan yang berkepanjangan. Sungguh menghabiskan waktu. Tapi asyik juga karena hidup di dusun yang sepi sekali-kali perlu mengadakan pertemuan supaya merasakan kemeriahan. Kadang-kadang saya juga diundang camat, bupati, maupun wali kota, diajak berbincang mengenai berbagai hal yang pelik, yang sama sekali tidak saya ketahui. Misalnya, soal usaha tambak udang, perbankan, perburuhan, pengairan sawah, bibit tanaman, dan banyak lagi sejumlah persoalan yang lagi hangat atau panas di masyarakat yang sebenarnya membuat saya tidak nyaman. Rasanya camat, bupati, dan wali kota, tidak benar-benar membutuhkan saya. Rasa saya mereka sekadar butuh teman ngobrol. Setelah dua jam pembicaraan ke sana-kemari, lalu kami pindah tempat duduk dan lebih santai sambil ngopi. Dan pembicaraan beralih ke olahraga, misalnya, juga tayangan televisi. Selama pertemuan-pertemuan dengan para tetangga, teman-teman, ataupun dengan para pembesar itu sebenarnya saya banyak diam. Untuk sikap saya itu, saya dijuluki “pendengar yang baik”. Selama ini saya dikenal sebagai penulis obituari (berita tentang kematian seseorang berikut riwayat hidupnya) di surat kabar setempat. Sebagai penulis lepas, mula-mula saya menulis obituari hanya sambil lalu. Karena kematian seorang teman baik yang menjadi tetangga dekat, menyadarkan saya, mengenang lewat tulisan obituari itu mengesankan. Lama-lama saya menulis obituari menjadi semacam panggilan. Cukup menyenangkan. Orang-orang kebanyakan yang mungkin pernah lalu-lalang di depan rumah saya, di sebuah desa yang lengang, yang beberapa hari kemudian dikabarkan meninggal, lalu saya cari alamatnya. Saya interviu keluarganya. Saya catat riwayat hidupnya, pekerjaan terakhirnya, dan berapa orang saudaranya. Obituari yang meliputi orang-orang biasa itu bisa saudara, keluarga, teman, sampai kenalan baru. Saya bisa memanfaatkan rubrik khusus obituari setiap saat atas kebaikan redaksi koran lokal yang memberi saya kebebasan. Dengan enak saya bisa menulis obituari setiap hari. Pernah kejadian dalam seminggu sepuluh orang. Selama ini tulisan obituari saya sudah mencapai 5.000 orang. Seluruhnya orang- orang biasa, lewat mesin ketik manual yang kemudian berubah ke mesin ketik komputer. Saya menolak ketika diminta menulis obituari orang-orang ternama. Alasan saya, orang-orang terkenal itu sudah banyak penulisnya, sedangkan untuk orang-orang biasa, agaknya hanya saya seorang. Tulisan obituari itu tidak panjang, sekitar 5.000 karakter. Kadang sampai 8.000 karakter jika orangnya kocak atau punya pekerjaan yang unik. Misalnya, ada seorang tukang becak yang menyerahkan becaknya kepada seorang kepala tibum (penertiban umum) dengan tujuan supaya becaknya dijual untuk mengongkosi sekolah anaknya. Si kepala tibum menolak dengan mengembalikan becaknya sambil mengirim beras 5 kilogram kepada si tukang becak. Ketika beberapa waktu kemudian tukang becak itu meninggal karena faktor usia, saya menulis obituarinya dengan memasukkan wawancara kepala tibum itu. Ada seorang pegawai negeri yang tidak mau dipensiun karena uang pensiunnya kecil, sementara beban keluarganya besar. Kepala kantor orang itu kebingungan, lalu mencari akal agar bawahannya itu sadar. Masa pensiun pasti datang, sebagaimana kematian itu pasti tiba. Lalu si kepala kantor meminta jasa seorang tukang sulap yang pandai menghipnotis orang. Begitulah. Bawahannya itu lalu dihipnotis hingga tertidur di mejanya. Lalu ia dinaikkan ke dalam mobil, dibawa pulang ke rumahnya. Begitu siuman, ia kaget, kenapa tidur di rumah. Keluarganya memberi tahu, ia seharian di rumah saja, tidak ke mana-mana. Sejauh ini saya tidak tahu dan tidak berusaha mencari tahu, apa ada yang tertarik membaca obituari saya. Saya yang terus beredar di banyak keluarga yang kematian saudaranya, menyebabkan banyak orang mengenal saya. Barangkali mereka juga membaca obituarinya. Dipasang pula fotonya yang bisa menyebabkan keluarganya tertambat kenangannya. Lelucon-lelucon pun menyebar dengan semarak di pasar, kompleks pertokoan, ataupun di stasiun bus, yang berkenaan dengan tulisan obituari itu. Banyak komentar. Banyak usulan. Yang jail maupun pelesetan. Dan sebagainya. “Kenapa kamu tidak lekas mati supaya Pak Jurnalis bisa menulismu sekarang!” “Biar kamu mati, tak ada yang menulis, meski kamu membayar Pak Jurnalis!” “Kamu tidak akan mati, sampai kamu menulis riwayatmu sendiri!” Saya terbahak mendengar lelucon-lelucon itu. Itu semua menyebabkan saya akrab dengan semua orang. Setiap saya lewat atau mampir membeli rokok di kios, selalu saja orang nyeletuk: “Pak Jurnalis. Saya nggak mau ditulis sekarang.” Atau ada yang berteriak: “Pak Jurnalis. Ntar saya yang menulis Bapak.” Tapi, ada saja orang yang enggan bertemu atau lebih-lebih ngobrol dengan saya. Ada yang bilang, seseorang yang ngobrol dengan saya, ada yang mengartikan, saya sedang mewawancarainya. Sementara itu ada pula yang bilang, jika seseorang ngobrol dengan saya, itu tanda-tanda orang tersebut mau meninggal. Wah, ini bahaya. Memang ada seorang yang sehabis ngobrol dengan saya, ia meninggal. Tapi ini kebetulan saja. Dari kejadian itu, saya mendapat sebutan yang aneh-aneh, yang saya malas menuliskan sebutan-sebutan itu di sini. Maka ada saja orang yang anti-saya. Ini benar-benar klenik. “Pak, tinggal di mana?” tanya saya kepada seseorang yang saya pinjami korek api untuk menyalakan rokok saya. “Maaf, Pak Jurnalis. Saya tak bisa menjawab,” jawabnya. “Lho, kenapa?” “Maaf, Pak. Tidak kenapa-kenapa.” “Baiklah, Pak.” “Saya permisi, Pak.” “Jangan ditinggal korek apinya ini.” “Biar untuk Bapak saja.” “Lho, kenapa?” “Maaf, Pak. Tidak kenapa-kenapa.” Inilah sepenggal dialog di pasar sepeda motor dengan seseorang yang enggan bertegur sapa dengan saya karena keyakinan-keyakinan klenik itu. Keterlaluan. Jadinya lama-kelamaan saya enggan menyapa orang. Saya jadi pendiam dan menyendiri. Di pertemuan-pertemuan desa, saya juga diam dan menyendiri supaya orang nyaman dengan saya. Ketika orang menanyakan pendapat saya, sedikit saja saya ngomong. Lalu malah terjadi serba-salah. Banyak ngomong dianggap meramal, sedikit ngomong dianggap mengetahui peristiwa yang bakal terjadi. Ketika di sebuah toko saya menghindar supaya tidak bertemu dengan seseorang, orang tersebut malah mengejar saya sambil menyapa: “Bapak menghindar dari saya. Apa yang akan terjadi dengan saya, Pak?” Istri dan anak-anak saya juga merasakan perubahan itu. Ada yang berubah dengan tingkah-laku saya, katanya. Apa ada gejala sesuatu? Tentu saja saya merasa tidak berubah dengan tingkah-laku saya. Saya juga tidak tahu adanya gejala sesuatu. Memangnya saya cenayang. Anak-anak saya, lima orang, terutama si sulung yang duduk di SMA kelas 2, dan si bungsu di SD kelas 5, yang paling kritis. Keduanya cencala (lancang mulut) terhadap sikap saya dalam menulis obituari. Kritiknya tidak berdasar. Menurut mereka, tulisan saya tidak adil terhadap seseorang dan berlebihan bagi yang lain. Jika sampai di sini hal itu masih baik. Tetapi jika sudah menyangkut masalah dosa dan pahala, wah, anak-anak ini sok tahu. Seolah-olah anak-anak ini cukup rajin membaca buku-buku agama. Pernah saya menyergah anak-anak saya itu: “Dari mana kalian tahu, sebuah tulisan berdosa dan tulisan yang lain berpahala?” “Dari Ayah,” jawab anak-anak itu. “Kalian ngawur.” “Ayah marah kena keritik.” “Karena keritik kalian membawa-bawa dosa dan pahala.” “Boleh saja, kan.” “Tidak bisa seenaknya begitu.” “Semua orang bicara dosa dan pahala.” “Dalam hubungan apa orang bicara seperti itu.” “Semuanya.” “Nah, kalian ngawur.” “Begini. Ayah pernah menulis obituari. Boleh jadi Allah sudah membuatkan rumah baginya di surga. Nah, ini dosa, karena Ayah memaksa Allah membuatkan rumah baginya di surga.” “Itu harapan saya. Itu doa saya. Itulah usaha sebaik-baiknya seorang penulis obituari,” jawab saya. “Ayah juga pernah menulis obituari seorang pengusaha. Ia meninggalkan seorang istri dengan empat orang anak. Nah, ini pahala bagi Ayah karena Ayah menyembunyikan tiga istrinya dan anak-anaknya yang lain.” “Nah, itu justru kesalahan saya dan saya bisa berdosa karena tidak menulis tiga istri dan anak-anaknya yang lain. Hal itu berarti saya tidak menganggap ada dan penting keberadaan mereka. Mereka bisa tersinggung dan bukan tidak mungkin merasa saya lecehkan.” Mendengar keterangan saya, anak-anak saya itu diam. Saya sering lelah berdebat dengan anak- anak saya tersebut. Mereka suka ngotot dan merasa selalu benar. Padahal saya selalu bilang, kekuatan itu ada batasnya sehingga kita tidak selalu benar. Sebagai ayah, saya mendidik anak-anak saya itu dengan keras. Barangkali karena beban keluarga yang terlalu berat. Lima anak semuanya sekolah, sedang rakus-rakusnya makan, itu semua yang menyebabkan saya sering stres dan mengalami depresi yang tajam. Kami sebenarnya keluarga bahagia. Penghasilan saya tentu saja jauh dari cukup. Istri saya guru SMP, sedangkan saya sejak remaja penulis lepas, yang untuk makan sehari-harinya saja suka empot-empotan. Saya menulis apa saja, termasuk menulis berita. Di Jogja itulah sejarah saya bermula ketika saya kecantol putri Aceh yang kuliah di UGM. Kami menikah dan pindah ke Aceh dengan gagah berani karena cuma berbekal baju yang kami pakai. Anak-anak mewarisi sifat-sifat ibunya, cerdas dan berani. Subuh itu saya dikejutkan oleh suara-suara orang ramai di pekarangan. Istri saya memberi tahu, banyak sekali orang berkerumun di halaman depan rumah dan di jalanan. Istri saya belum menemui mereka. Anak-anak yang bersiap ke sekolah, setelah sarapan, menjenguk lewat jendela. Saya acuh tak acuh. Sudah sering datang orang, satu dua, untuk mengajak ngobrol pelbagai masalah. Saya rasa kali ini juga begitu. Karena istri saya gelisah, saya penasaran mendengar dengung orang-orang gremeneng semakin ramai. Dengan menyingkap kain gorden jendela sedikit, saya melihat orang-orang berderet-deret seperti ngantre minyak tanah, mengular sampai jalanan. Ada apa? Setelah sarapan, dengan malas saya keluar rumah dan duduk di beranda. Barangkali seperti agen minyak tanah yang siap menyambut para pembeli, saya menyiapkan kertas dan alat tulis. Hari baru membuka matanya. Bahkan matahari masih bergelut dengan kasurnya. Jam baru menunjukkan pukul 05.00. Orang-orang yang antre tidak sabar seperti mendengar aum macan, merangsek ke depan meja saya. Orang sekian banyak mau ngajak ngobrol apa? Tentang kesulitan hidup? Beras habis dan anak-anak menangis kelaparan? Orang sebanyak ini mau ngobrol sekaligus? Mata mereka nanar. Gerakan bola mata yang cepat tanpa disengaja, di luar kemauan, nistagmus, mereka menatap kebenaran, mencecap pencerahan. Alhamdulillah. Mereka berebut duluan menyerahkan selembar kertas di atas meja sehingga sekejap bertumpuk, berserak, lalu semuanya bergegas pergi meninggalkan saya tanpa sepatah kata diucapkan. Lembaran-lembaran apakah ini? Ternyata riwayat hidup dengan tanggal lahir dan masya Allah…tanggal akhir hayat, Ahad, 26 Desember 2004. Ketika saya menuruni bukit dengan sempoyongan penuh lumpur, entah bagaimana saya bisa sampai di bukit ini, terlihat pemandangan yang menyebabkan saya pingsan. Entah berapa lama saya pingsan. Waktu saya siuman, seluruh kota telah hancur-lebur rata dengan tanah. Mayat-mayat berkaparan di seluruh kawasan. Mayat-mayat itu lebih mengesankan sedang tidur pulas. Seluruh mayat itu, laki-laki, perempuan, tua, muda, anak-anak, bayi, diselimuti lumpur, berserakan memenuhi ruang dan udara, di reruntuhan rumah, di pekarangan, di kebun, di jalan, di atas pohon. Tak ada tanda-tanda kehidupan secuil pun. Bahkan burung-burung, tak seekor pun tampak terbang. Saya tak tahu lagi di mana rumah saya. Cuaca cerah. Sinar matahari memancar, panas. Awan putih berarak dengan latar langit biru meneduhkan. Saya berdiri sendirian di samping sebuah kapal yang terdampar di tengah kota. Tangerang, 20 Januari 2005.
""Nistagmus""
Sekitar jam empat sore mereka mengetuk pintu. Istriku yang menyambutnya. Suara seorang laki-laki aku dengar menanyakan apakah aku ada di rumah. Kudengar juga suara istriku mengatakan, ya aku ada di rumah. Dan suara berikutnya, istriku menyilakan tamu tersebut duduk, sementara istri memberitahukan kedatangannya kepadaku. Aku pun keluar kamar. Orang yang tak kukenal sudah duduk dan melemparkan senyum kepadaku. Ternyata ia ditemani oleh Pak Marjan, seorang ketua RT dari wilayah yang berbeda. Ketua RT tersebut dikenal sebagai kepala keamanan di tingkat rukun warga. Pak Memet, ketua RT di wilayahku, juga ikut. Tapi ia tidak berbicara. ”Saya mengantarkan karena takut keliru,” kata Pak Marjan. ”Pak Bagus, ini ada surat undangan.” Demikian tamu itu menyodorkan surat ukuran setengah folio, stensilan. Aku membaca surat tersebut. Aku sudah tahu roh surat itu. Tulisannya sudah tidak begitu penting bagiku sebab tulisan itu bisa berbohong dan mengandung kebohongan yang merupakan watak dari pengundangnya. Aku sudah cukup lama menelan pengalaman memaknai secara lahiriah bentuk dan bunyi huruf yang ternyata sangat berlawanan dengan roh yang menghidupinya. ”Boleh membawa perlengkapan?” tanyaku tenang. ”Tidak usah. Cuma sebentar saja,” jawab tamu itu. ”Kalau begitu, saya ganti baju saja. Tidak sopan pakai pakaian begini.” Aku memakai kaus oblong dan celana panjang yang lusuh, yang warnanya sudah pudar. Tanpa menunggu jawabannya aku pun masuk kamar dan mengganti baju dengan baju tangan panjang, kaus singlet diganti dengan kaus oblong, pakai kaus kaki, celana dalam baru, sapu tangan tidak lupa. Dan semua isi dompet kutinggalkan, kecuali uang beberapa ribu saja. Kartu SIM kutinggalkan, takut hilang di tengah jalan, atau di tempat tujuan. ”Surat ini dibawa?” tanyaku kepada penjemput sambil menunjukkan surat undangan tersebut. ”Ya dibawa sebagai bukti,” jawabnya. Aku pamitan kepada istri yang sedang menggendong anak kami yang baru berumur empat bulan. Mukanya pucat dan matanya kosong. Aku mencium dahinya. ”Sabar Mam.” Tamu itu, dan kedua pak RT, berpamitan bersamaan. Sesampai di halaman, ternyata ada tiga orang lainnya. Seorang baru keluar dari mulut gang di tepi rumahku, seorang berada di depan rumah, dan yang seorang lagi datang berlari-lari dari ujung jalan di depan rumah kami. Rupanya ketiga orang lainnya itu memencar. Salah seorang kemudian menghidupkan mesin mobil Kijang dan menyilakan aku duduk di bangku kedua, diapit oleh dua orang dari mereka. ”Ke mana kita Pak?” tanyaku sebab dalam surat undangan itu tidak ada alamatnya. ”Nanti juga tahu,” jawabnya singkat. Aku pun diam sambil mengenali jalan yang sedang ditempuh. Dengan jawaban itu, tersirat peradaban dan budaya yang dianutnya. Tersirat posisinya dan posisiku, serta posisi perangkat masyarakat yang lainnya. Peradaban dan budaya seperti ini sudah berlangsung puluhan tahun di negeri ini, yang perangkat pemerintahan dan masyarakatnya lengkap. Ada kejaksaan. Ada Mahkamah Agung. Ada polisi. Ada lembaga-lembaga masyarakat yang pretensius membela masyarakat. Ada tumpukan buku perundang-undangan yang nafasnya melindungi masyarakat tetapi di dalam praktiknya memperdayakan masyarakat. Jawaban itu sudah cukup bagiku. Akhirnya sampailah aku di tujuan. Aku diantarkan ke sebuah ruangan kosong. ”Bagus, tunggu di situ,” kata salah seorang dari mereka yang mengantar. Dengan sopan aku duduk di sebuah kursi di ruangan yang kosong. Ada tiga meja dan masing-masing meja mempunyai dua kursi saling berhadapan yang dipisahkan oleh mejanya. Pukul 16.35. Jam di dinding juga menunjukkan waktu yang sama. Kudengar suara langkah orang di ruang sebelah. Suara banyak sepatu melangkah. Tapi tidak terdengar suara manusia. Juga tidak ada suara radio atau televisi. Suara mobil di jalanan sesekali terdengar. Suara mobil masuk atau keluar halaman sesekali terdengar juga. Tiba-tiba suara orang tertawa memecah kesepian. Suaranya agak jauh, yang jelas bukan dari kamar sebelah. Lampu yang bergayut dari langit-langit ruangan belum menyala. Detik ke menit, menit ke jam, terus berjalan. Aku tetap duduk. Tidak ada yang datang. Suara sepatu pun sudah tidak terdengar. Juga suara mobil. Juga suara orang tertawa sirna. Kutempelkan sebelah tangan menutup kuping, jari-jari dipukul suara detak jantung dan aku mendengarkannya, berdetak besar dan cepat. Tak ada suara lain. Sepi mencekam. Tetapi tidak lama kemudian terdengar suara ramai langkah sepatu. Disusul suara orang memberi perintah mengatur barisan. Disambung suara memberi komando. Kemudian suara sepatu ramai. Aku masih duduk sendiri di ruang kosong. Aku tidak mau melihat jam. Keringat membasahi tubuh. Tidak ada AC juga tidak ada kipas angin yang hidup. Remang malam turun menambah senyap. Sementara aku duduk sendirian, aku teringat dengan mahasiswa-mahasiswi di Flinders University yang pernah berakrab-akrab dengan aku ketika mengunjungi Adelaide. Aku teringat teman-teman yang menyambutku di Melbourne. Pada malam harinya diadakan pesta di taman. Daun kemerisik kuinjak, bulan sepertinya membukakan kedua tangannya untuk menyambutku dengan pelukan hangat. Langit biru dan angin segar musim gugur. Aku juga teringat dengan peneliti perempuan yang menerimaku di Canberra, mengajakku menginap di rumahnya. Anak perempuannya suka menggesek biola dan aku mendengarkannya dengan tekun. Seorang jurnalis perempuan yang pernah gentayangan di Indonesia menyediakan tumpangan di rumahnya di Sydney. Ketika ia bekerja, aku mengasuh anaknya yang diperoleh dari lelaki Vietnam. Muncul juga wajah-wajah gelap pekak berdaki kaum Harijan, kasta paria tak tersentuh di Madras yang sempat aku ajari akupresur. Aku teringat dengan petani tanpa tanah di Koita di selatan Dhaka, Banglades, yang kukunjungi beberapa hari, untuk latihan teater dan membantu mengobati lututnya yang bengkak dengan akupunktur. Aku teringat kawan dari Singapura yang meringkuk masuk tahanan sesudah pulang dari Banglades, demikian juga seorang pemain teater dari Filipina, yang langsung dijemput di bandara dan tak ketahuan rimbanya. Hidup kembali wajah-wajah teman sekelas yang berasal dari berbagai negeri ketika berada di Berlin. Nonton musik klasik beramai-ramai dan juga ikut merobohkan Tembok Berlin. Pohon-pohon ligir, bulan telanjang dan dingin tengah malam tidak membuat aku kelelahan. Gigil segar menyemangati, yang tak pernah kurasakan di negeri ini. Kebebasan. Terasa jengkelku bangkit kembali terhadap tingkah laku orang di Taiwan dan juga di Hongkong. Aku tidak senang di kedua negeri itu. Aku teringat dengan pengarang tersohor dari Malaysia yang sangat ramah, di Kuala Lumpur mendampingiku membahas bukuku yang tak bisa terbit di tanah air. Tanpa kusadari muncul wajah kawan perempuan di Amsterdam yang memboncengku dengan sepedanya pada malam gerimis untuk mengunjungi seorang temannya ”manusia perahu”. Terbayang etalase perempuan pekerja seks di Hamburg dan Amsterdam, bibirnya senyum tapi mungkin hatinya perih. Banyak lagi yang hidup menyeruak di dalam otakku selama aku menunggu di ruangan kosong yang lampunya belum menyala meskipun remang-remang sudah menyelimuti alam. Mengapa mereka hidup kembali di dalam kesunyianku ini? Mereka hadir menyaksikan, apa yang akan aku jalani di sini? Rasa haus kuobati dengan menelan air liur. Tiba-tiba seorang laki-laki masuk. Ia menyalakan lampu. ”Selamat malam Pak.” Aku mendahului. Ia tidak menyahut. Ia menyeret kursi dan duduk di hadapanku. Ia merogoh sesuatu di pinggang dari balik bajunya. Ia meletakkan pistol di atas meja. ”Kalau Pak Bagus mati di sini tak ada artinya,” suaranya tajam menukik bagai bayonet ke jantungku. Aku mengangguk. ”Di sini tidak ada Pancasila.” Suaranya menggelegar mengagetkan. Aku mengangguk terlebih karena terkejut. ”Ini Blitz-krieg.” Suaranya lagi. Aku melihat ludahnya yang meleleh di tepi bibirnya sudah berubah menjadi darah. Aku mengangguk sambil mendoyongkan tubuh ke belakang. ”Apa yang bisa saya bantu?” tanyaku pelan dan sopan, sambil menahan napas. Aku ingat bahasa Inggris, ”What can I do for you?” ”Kamu jangan mengajari aku.” Suaranya menyobek malam sekeras tangannya memukul meja. Aku terperanjat tetapi tetap duduk tenang di kursi. Kupingku mendengar teriakannya seperti gonggong anjing. Mataku yang memandangnya dengan ketakutan melihat tubuhnya yang kekar dengan baju safari warna polos berubah menjadi herder. Giginya tampak memanjang dan mulutnya menyerupai moncong. Aku mengusap mataku. Tapi apa yang kulihat tidak berubah. Suaranya yang terus-menerus terdengar sudah berubah, bukan lagi suara manusia. Aku mengusap kupingku, tetapi tetap yang kudengar gonggong anjing. ”Kenapa ia berubah?” aku bertanya sendiri Tidak berapa lama terdengar suara langkah sepatu datang. Entah berapa orang, atau berapa ekor, aku tidak tahu lagi. Sejak malam itu, aku berada di kebun binatang tanpa kerangkeng. Ketika aku tidur, tikus besar-besar berlarian di tubuhku. Terkadang sewaktu terlena ujung jariku digigitnya sehingga tikus dapat mencicipi rasa darahku. Aku bermain silat mengusir nyamuk yang tidak tahu di mana keberadaannya sebab gelap gulita. Kecoak lalu lalang juga di atas tubuhku. Terkadang di tengah malam ada siluman berujud ular-ular mematukku sehingga aku menggeliat-geliat, membuat sesak napas, tersengal-sengal dan batuk tak berkesudahan. Patukan ular itu menyengat dan mengalirkan bisanya ke sekujur tubuhku sehingga aku menggeliat-geliat tanpa kendali. Pada saat bersamaan dengan muncratnya raung dan gonggongan anjing, terasa darahku diisap lintah. Aku tidak bisa lagi membedakan mana anjing, mana ular, mana kecoak, lintah, dan tikus. Mereka muncul terkadang bersamaan, terkadang sendiri-sendiri, menggeledah seluruh organ tubuhku, tulang-belulangku, tengkorak, pancaindraku, sampai ke rambut dan kukuku. Alhasil, setelah hampir dua minggu, pintu keluar barak itu dibuka. Aku boleh pulang setelah anjing-anjing, tikus dan kecoak, nyamuk, lintah dan semut menggerayangi tubuh, menciumi bau keringatku, ingus, kencing ludah, bahkan mencicipi darahku untuk mencari jejak hantu yang diduga telah menyelusup ke tubuhku, ke organ-organ tubuh dan mengalir di cairan darah, sperma, getah bening, yang telah menjadi kekuatan yang memboyongku, menerbangkanku berkeliling dunia. Perangai, tindak tanduk hantu itu telah melanggar semua tatanan keamanan, dan menerobos lingkaran-lingkaran kawat berduri yang berlapis-lapis di nusantara. Mereka mencari hantu komunis itu pada diriku, tetapi tidak menemukannya. Sebab cucu cicit hantu itu sebagian bersemayam dan tertawa terkekeh-kekeh di dalam batok kepalanya sendiri, sedangkan induknya bertelur terus di dalam sarangnya di Senayan. Aku melangkah meninggalkan barak kecil itu, masuk dan mengembara di dalam barak yang lebih luas, dengan kawat berduri berlapis-lapis, di tanah airku.
""Surat Undangan""
Aku seperti kupu-kupu di ruang ini. Kupu-kupu dengan sayap yang butut dan rapuh. Kupu-kupu yang kadang kala berlagak bisa terbang jauh. Seekor kupu-kupu yang berharap bisa mendekati fakta tetapi malah terperangkap di kaca jendela. Lingsut, lelah, dan menggelepar di sana. Mungkin selamanya. Ruang teduh, ruang nyaman. Ruang tunggu dengan warna pastel. Lubang-lubang ventilasi kecil di dekat langit-langit tinggi itu membawa bocoran harum yang mungkin berasal dari beranda surga. Ratusan kepala bocah yang ada di dalamnya menekuri lantai, ratusan yang lain terlentang menatap langit-langit ruang. Aku mengitari mereka perlahan-lahan, sebagaimana seekor kupu-kupu mencari hinggapan. Kepala-kepala itu masih penuh cerita. Kepala-kepala itu masih penuh derita. Yang membuat lega hanyalah ketika malaikat penjaga neraka menolak mereka. ”Tempat ini bukan untuk anak-anak manis seperti kalian. Pergilah ke ruang tunggu yang nyaman itu. Tunggulah sejenak, sebentar lagi surga akan dibuka tepat pada saat di mana kalian merasa mengantuk.” Bocah-bocah itu berseragam biru laut. Dari tubuh mereka menguar bau harum taman di pagi hari. Tapi jangan bayangkan bahwa kulit mereka lembut dan bantat seperti donat. Mereka belum sempat bermimpi mempunyai rambut lurus di tengah kewajaran rambut bergelombang, mereka belum sempat bermimpi mempunyai kulit putih di tengah kegaliban warna kulit coklat matang. Kepala mereka memancarkan warna ungu yang sedih. Sebagian dari kepala mereka menunduk, menekuni lantai, mungkin ingin kembali membaca masa lalu, sebuah masa di mana kisah sedih digelar oleh waktu. Sebagian menatap kosong langit-langit ruang, mungkin ingin membaca masa lalu, sebuah masa di mana rasa sakit berpilin dengan nelangsa. Ada masa memang, seluruh anak diciptakan hanya untuk bersedih dan menderita. Ada kurun waktu di mana kelak akan tercatat, anak-anak terlahir untuk menangis sepanjang waktu. Aku masih mengitari mereka seperti kupu-kupu. Aku ingin hinggap dan menyadap kisah. Tapi selalu dan selalu, ada jarak yang terentang jauh antara si penyadap dan yang disadap. Senantiasa ada pintu-pintu terkunci, halaman-halaman tak terbaca, antara aku yang hanya membaca dan mendengar, dengan mereka yang mengalami sendiri. Tubuh mereka seperti dilindungi oleh arus deras yang tidak terlihat. Ada semacam badai lembut yang membalut tubuh mereka. Sehingga setiap kali aku mencoba hinggap, aku terlempar. Percobaan yang selalu aku ulang. Sekali dua, sempat aku hinggap, sebelum kemudian kembali terlempar jauh, dengan hanya membawa sari-sari kisah yang tidak cukup sah untuk kurangkai. Lalu aku akan terbang agak tinggi, mendekati lubang ventilasi, mencoba bernapas lebih lapang dengan bocoran harum yang bertiup dari beranda surga. Setelah cukup tenaga, kembali aku mengitari mereka, mendaratkan diri di antara ratusan bocah yang menekuri lantai. Tapi seperti mata yang menghadang cahaya matahari, seperti laron yang mencoba mendekati unggunan api, aku lebih sering terpelanting. Hanya sesekali, ada sari-sari kisah yang cacat peristiwa, bisa kubawa pergi. Dan aku terus mencoba lagi, setelah mendapatkan tenaga dari lubang ventilasi. Demikianlah, setelah beribu kali aku melalukan percobaan tolol itu, kuberanikan diri untuk merangkainya. Dan aku seperti kupu-kupu yang terjerembab di tanah berdebu. Mengepak pelan, melemparkan rangkaian kisah yang cacat peristiwa. Hanya bermodal harap dan cita, siapa tahu memang ada suatu masa di mana seluruh bocah datang hanya untuk berbahagia. *** Dua bocah itu berpelukan di sebuah sudut. Dua kakak beradik, beradu kepala, dan saling melingkarkan lengan, berpelukan. Aku mencium sari kisah yang terbakar. Mereka mati dibalut api. Ibu mereka terlalu bersedih. Kemiskinan mungkin masih berani dihadapinya. Tapi satu di antara mereka, menderita sakit yang tak mungkin ditanggulangi. Uang mereka tidak cukup untuk membiayai. Si ibu mengambil seliter minyak tanah. Dua orang yang masih lelap, mencoba diselamatkan oleh sepasang tangan yang menggigil. Tangan ibu mereka sendiri. ”Nak, penderitaan ini tidak akan sanggup kita hadapi. Hanya kematian yang bisa menyelamatkan kita.” Dan api berkobar. Mereka bertiga meregang. Mereka bertiga berpelukan, seakan masih ada janji yang belum selesai ditunaikan, berharap ada dunia di seberang yang bisa membuat mereka berkumpul untuk makan bersama di pagi yang cerah. Aku mampir pada segerombol bocah yang lain. Bocah-bocah itu seperti berjongkok, membuat lingkaran besar dengan posisi saling berhadapan. Tangan-tangan mereka terkait satu sama lain, membuat rantai lingkaran yang kokoh. Kaki-kaki mereka mengecil. Kaki-kaki mereka bengkok. ”Ada yang salah dengan tubuh kami. Kami tidak ingin berjalan empat kaki seperti sapi. Mereka membangun rumah sakit bergedung tinggi. Mereka menganggap rumah sakit adalah hiasan kota yang membuat para pelancong merasa nyaman dan senang. Mereka ingin mengatakan pada dunia, inilah kota kami yang indah dan makmur. Mereka seperti sepasang keluarga yang memajang potret pernikahan di ruang tamu, untuk memastikan pada seluruh orang yang berkunjung bahwa pernikahan dan rumah tangga mereka baik-baik saja. Tapi mereka membiarkan kami seperti ini.” Di samping lingkaran besar itu, tubuh-tubuh kecil berbaring. Tubuh mereka mengecil dengan mata terbelalak membesar. Mulut mereka sangat lemah. Bumi seperti menyedot seluruh daya mereka lewat punggung yang tertempel di lantai. Satu di antaranya berkata, ”Ibu membawaku pulang dari rumah sakit. Ibuku tahu aku akan mati. Ibuku sudah tidak punya air mata. Ibuku kalah dalam menagih janji. Mereka bilang biaya perawatan gratis. Mereka bohong. Mereka membiarkan aku mati, dan membiarkan perasaan ibuku bolong. Mereka mencoba membunuhku dua kali. Pertama membiarkanku tidak punya gizi, kedua membiarkanku pulang karena ingkar terhadap janji.” ”Aku pulang ketika bel istirahat pertama berbunyi.” Si anak yang berkata, bermata alum. Suaranya serak. ”Orangtuaku tidak ada di rumah. Aku pergi ke lemari pakaian ibuku yang sudah tidak ada kuncinya lagi. Aku mengambil selendang milik ibu, selendang yang baunya selalu membuatku rindu padanya dan pada masa ketika aku sering digendongnya. Sudah dua bulan SPP-ku tidak terbayar. Aku juga masih belum membayar uang Lembar Kegiatan Siswa. Aku tidak enak dengan ibu guru, aku malu dengan teman-temanku. Aku membuat tali menggantung dari selendang ibuku. Aku tahu ibu sangat menyayangiku. Tapi di hari itu, aku ingin mengatakan kepadanya bahwa di luar sana, uang tidak bisa diganti dengan rasa sayang.” Pintu masuk ruang tunggu itu terbuka, sebaris anak-anak berseragam biru laut masuk. Sebagian dari mereka mengambil posisi duduk melingkar, sebagian lagi terlentang menatap langit-langit ruang tunggu yang begitu tinggi. Seluruhnya anak-anak yang seharusnya berpakaian putih dan merah. Aku mengitari sesosok tubuh yang menyandarkan tubuhnya di dinding. Kepalanya menyorotkan sinar ungu. Arus kuat menderas ketika aku hendak hinggap. Kembali aku hampir terpelanting, kembali aku harus menuju ke lubang ventilasi, lalu pada kali ketiga aku berhasil hinggap di kepalanya, menyadap sari ce- rita, sebelum kembali terlempar jauh. ”Kami belum ingin surga. Kami ingin dunia. Kami ingin belajar menjadi manusia. Tapi kami tidak sanggup berada di dunia yang dulu. Dunia yang pahit. Dunia yang tidak kunjung kami mengerti. Kami ingin bermain layang-layang dan bersepeda. Kami ingin bernyanyi dan berlari. Kami ingin bermain air dan bermain api. Kami tidak ingin di sini. Kami belum ingin ke sini. Tapi mereka memaksa kami. Mereka mendorong kami. Kami tahu dunia adalah tempat orang bersedih, tapi kami tahu dunia adalah tempat orang bergembira. Hanya kami sungguh tidak mengerti, ada celah di dunia sana, begitu bayi terlahirkan, dia harus menanggung nista dan sengsara. Mereka tahu kami akan mati. Mereka tahu kami mati. Mereka tahu, dan mereka diam saja!” Seorang gadis kecil di sampingnya ikut berkata, ”Aku telah jadi mayat ketika bapak menggendongku naik kereta. Aku mati karena muntaber. Mati karena tidak cepat mendapat pertolongan. Bapakku tidak kuat menyewa ambulans untuk mengangkut mayatku. Aku digendong naik kereta. Bahkan, bapakku sempat bingung dan tidak tahu di mana bisa memakamkan mayatku. Bagi orang miskin seperti kami, mati pun masih menyisakan masalah.” Aku hinggap lagi. Aku terlempar lagi. Kembali, hanya serpih sari-sari kisah yang bisa kusadap. Dan tibalah satu sentakan besar. Sangat besar dan kuat. Aku ditabrak warna hitam. Aku ditabrak warna putih. Aku seperti hancur. Seperti hilang. *** Aku masih seperti kupu-kupu di dunia ini. Dengan sepasang mata yang rabun dan perih. Kupu-kupu yang berharap bisa terbang mendekati fiksi, tapi malah terperangkap dalam kawat-kawat besi. Mungkin sampai mati. Aku hanya seperti kupu-kupu. Hanya seperti. Tidak lebih. Karena aku melewati masa kecil tanpa ancaman busung lapar, tanpa takut terserang polio, tak pernah berpikir jika sakit dipulangkan oleh petugas rumah sakit. Aku memang pernah berpikir untuk bunuh diri di waktu kecil, tapi itu karena uang jajanku tidak ditambah. Aku hanya seperti kupu-kupu. Berharap mendekati dan mengerti penderitaan mereka hanya lewat kabar dari koran dan berita dari televisi. Seekor kupu-kupu yang berlagak bisa memilin fakta dan fiksi, namun yang terjadi selalu masuk dalam dua jebakan besar. Kalau tidak malu-malu dan salah tingkah, pasti masuk ke jebakan serampangan dan genit. Sementara barisan bocah-bocah berseragam biru laut terus mengalir ke ruang tunggu. Mereka datang dari mana-mana. Sementara banyak orang yang seperti kupu-kupu, beterbangan, berharap menyadap dan menghadirkan kisah, sambil terus menyimpan kenangan tentang masa kecil yang riang sekaligus menyimpan harapan akan masa depan yang nyaman, di tengah- tengah barisan bocah-bocah berseragam biru laut menuju ke ruang tunggu. ”Ah, itu hanya kabar yang berlebihan. Lihatlah, akan selalu lahir generasi-generasi yang lebih baik dari kita.” Mereka berkata sambil terus menggali lubang-lubang utang, meracuni laut, membobol gunung, menebangi hutan. Ya, generasi yang lebih baik. Dengan wajah dan kulit plastik, dengan tangan penuh tombol, dengan tubuh terlilit kabel. Sambil terus mengunyah berita-berita penuh kebohongan, sambil menyeringai dan berkata, ”Hari gini, gitu loogh…”. Mereka benar. Ada perbedaan memang, bocah-bocah berseragam biru laut mati dengan cepat, kurang gizi, kelaparan, bunuh diri. Sedangkan yang lain mati dengan cara lebih lambat, disorientasi, depresi, keracunan kabar bohong dan bahan makanan. Mereka benar, dan mungkin sekaligus mereka tolol. Sedangkan aku seperti seekor kupu-kupu yang tidak kalah tololnya. Hari itu, sebuah koran mengabarkan seorang bocah mati bunuh diri karena tidak bisa membeli buku, dan televisi memberi tahu ada seorang bocah mati bunuh diri karena ia merasa terlalu gemuk dan tidak secantik dulu. Mereka berdua sama-sama bertemu di ruang tunggu, memakai seragam biru laut dengan kepala memancarkan warna ungu.
""Bocah-bocah Berseragam Biru Laut""
Ke mana-mana Mbah Gimun selalu tampak dengan rokok lintingan, yang terus menempel di antara dua bibirnya yang tebal dan hitam. Rokok itu sangat besar dan hanya terbuat dari tembakau kasar dengan kertas lintingan yang juga kasar. Mbah Gimun tidak pernah tampak mengisap rokok yang ada di mulutnya itu. Rokok itu hanya dibiarkannya di sana dan terbakar begitu saja sampai habis di salah satu sisinya. Di sisi yang lain, tembakau dan kertas lintingan itu hanya hangus dengan warna hitam. Hingga bagian yang terbakar itu, selalu bengkok dengan bentuk yang sangat tidak beraturan. Sambil tetap membiarkan rokok lintingan mengepul di mulutnya, Mbah Gimun mengiris helaian daun kelapa satu demi satu. Helaian itu terkulai begitu terpisah dari lidinya. Lidi yang kekar dia serut beberapa kali dengan pisaunya, hingga tampak putih dan halus. Kalau bibirnya mulai merasakan panas api rokoknya, atau kalau kepulan asap itu mulai mengganggu mata dan hidungnya, maka dia pun berhenti sejenak, membuang puntung yang masih menyala itu ke mana saja, lalu melinting lagi dan menyalakannya dengan bara api. Setelah itu dia kembali mengiris helaian daun kelapa, sampai lidinya terkumpul cukup banyak untuk diikat menjadi sapu. Sehari-hari Mbah Gimun hanya membuat sapu lidi. Tiap hari juga selalu ada anak-anak yang mengantar pelepah daun kelapa segar, atau helaian daun yang telah disisir dan diikat. Lalu seminggu sekali pedagang datang mengambil sapu lidi yang sudah terkumpul. Kalau pedagang itu tidak datang, maka Mbah Gimun sendirilah yang akan mengantar ikatan-ikatan sapu lidi itu ke kota. Dalam sehari, Mbah gimun bisa membuat lima sampai enam ikat sapu lidi. Kalau dia bekerja dari pagi sekali sampai larut malam, maka bisa sepuluh sapu lidi yang diselesaikannya. Bagi Mbah Gimun, pendapatan dari membuat sapu lidi itu lumayan. Dengan uang itu dia bisa membeli beras, minyak tanah, gula, garam, dan yang paling penting adalah tembakau serta kertas lintingan. Mbah Gimun tinggal sendirian saja di rumahnya yang terletak di ujung kampung. Sejak istrinya meninggal beberapa tahun silam, anak-anak dan menantunya sebenarnya ingin sekali memboyongnya. Tetapi Mbah Gimun selalu menolak. ”Kalau aku ikut kalian, cucu-cucuku itu akan batuk semua. Mereka akan mabok asap rokokku yang sangit ini. Apa kalian ingin cucu-cucuku itu sakit batuk?” Begitu selalu yang dikatakannya kalau anak-anak dan menantu itu memintanya untuk tinggal bersama mereka. Padahal selama ini tidak pernah ada seorang cucu pun protes. ”Ya memang rokoknya Embah itu baunya seperti itu,” begitu selalu cucu-cucu itu menjawabnya. Pada suatu pagi yang mulai agak kering pada bulan Juli, Mbah Gimun kedatangan tiga orang tamu yang tidak dikenalnya. Mereka berpakaian bagus-bagus, bersepatu bagus, membawa tas bagus, dan naik mobil yang juga sangat bagus. Mereka tampak mendatangi rumah-rumah lain di kampung itu, sebelum akhirnya masuk ke halaman rumah Mbah Gimun. Ketika Mbah Gimun mempersilakan mereka masuk, orang-orang itu menolak. Mereka malah mengajak Mbah Gimun duduk di lincak bambu di bawah pohon jambu di halamam rumah. Salah satu di antara tiga tamu itu memperkenalkan diri mereka. Nama-nama mereka sulit untuk diingat apalagi diucapkan oleh Mbah Gimun. Tamu yang satu lagi mengeluarkan bungkusan tembakau dan kertas lintingan, lalu menyerahkannya kepada Mbah Gimun. ”Minggu depan ini kita akan memilih pak bupati baru Mbah!” kata salah satu tamu itu. ”Iya, saya sudah diberi tahu Pak RT dan sudah diberi kartunya. Apa Mas-mas ini juga petugas pencoblosan?” tanya Mbah Gimun. ”Benar Mbah, ini gambar calon pak bupati itu, nanti ditempel di sana ya Mbah?” ”Tetapi kok saya diberi tembakau banyak sekali?” ”Tidak apa-apa Mbah, sebab kami tahu Mbah Gimun suka merokok lintingan. Bukan hanya itu Mbah, ini juga ada sedikit uang untuk tambahan belanja Mbah Gimun.” ”Kok sampeyan ini sudah tahu nama saya to?” ”Kan ada daftarnya Mbah. Tadi bapak yang rumahnya di depan sana itu yang memberitahu bahwa inilah rumah Mbah Gimun.” ”O, ya terima kasih sekali, saya diberi tembakau, diberi uang lagi.” ”Tapi begini Mbah, nanti Mbah harus mencoblos gambar yang ini lo Mbah. Jangan yang lain ya!” ”Pasti Mas, pasti, kan Pak Bupati yang ini yang telah memberi saya tembakau dan uang.” Setelah para tamu itu pergi, Mbah Gimun membuka amplop putih itu dan di dalamnya ada lembaran uang limapuluh ribu rupiah. Mbah Gimun kaget tetapi senang. Limapuluh ribu itu berarti pendapatannya selama seminggu. Lumayan. Uang itu disimpannya di antara tumpukan surat-surat dan kartu-kartu. Mbah Gimun lalu membuka besek. Di dalamnya tampak tembakau yang cokelat kehitaman dengan aromanya yang harum. Mbah Gimun menarik satu lembar kertas lintingan, mencomot tembakaunya, melintingnya, menyalakannya dengan bara api dan menaruhnya di antara dua bibirnya. Aroma harum tembakau mahal itu terasa menyentuh bagian paling dalam di hidungnya. Baru kali ini Mbah Gimun merasakan ada tembakau seenak ini. Baru sebentar dia menaruh lintingan di bibirnya, salah satu cucu laki-lakinya datang dengan berlari sangat kencang hingga hampir menabraknya. Cucu itu memberi tahu, bahwa baru saja ada tiga orang tamu datang ke rumahnya. Mereka memberi beras dan uang kepada bapaknya. Cucu itu lalu memamerkan dua butir permen di telapak tangan dan satu yang sudah berada di mulutnya. Katanya, permen itu juga berasal dari tamu yang datang ke rumahnya baru saja. Belum sempat Mbah Gimun bertanya lebih lanjut, cucu itu sudah berlari dengan cepat meninggalkannya. Mbah Gimun lalu melanjutkan pekerjaannya, sambil tetap membiarkan aroma asap tembakau yang harum menyentuh bagian terdalam dari indera penciumannya. Beberapa hari kemudian, Pak RT dan Tukijan juga datang. Mereka mengantar beras, gula, teh dan lembaran uang duapuluh ribu rupiah. Tetapi yang dibawa Pak RT dan Tukijan gambar calon bupati yang lain lagi. Kertas gambar itu tebal dan kaku, lebarnya seperti sajadah. Mbah Gimun diminta mereka untuk menempelkannya di dinding, supaya ingat bahwa gambar itulah yang harus dicoblos. ”Tetapi calon bupatinya kok ada dua Jan?” tanya Mbah Gimun heran. ”Bukan dua tetapi satu Mbah. Yang ini yang kiri ini bupatinya. Yang kanan wakilnya.” jawab Tukijan dan Pak RT hampir berbarengan. ”Lalu yang harus saya coblos yang mana Pak RT?” tanya Mbah Gimun lagi. ”Salah satu saja Mbah. Mau dicoblos wakilnya boleh, bupatinya juga boleh. Tetapi jangan mencoblos gambar yang lain!” jelas Pak RT. ”Iya Pak RT, tetapi yang dicoblos matanya atau mulutnya?” tanya Mbah Gimun lebih terinci. ”Terserah Embah, tetapi yang paling sopan ya dicoblos baju jasnya saja. Kalau yang dicoblos mata atau mulutnya kan kasihan Pak Bupatinya.” ”Ya kalau begitu saya akan coblos bajunya saja. Kalau yang bolong bajunya kan bisa ditambal ya Pak RT?” kata Mbah Gimun. ”Lalu minggu depan ini Mbah, kita semua harus datang ke lapangan bola.” ”Ada apa lagi Jan?” ”Ada pembagian sembako lagi dan mudah-mudahan juga ada uangnya. Ada dang-dutnya lo Mbah!” ”Ya, ya, saya akan datang nanti. Jam berapa Pak RT?” ”Sore, sekitar jam empat. Sebab pagi dan siangnya Pak Calon Bupati itu akan keliling-keliling dulu untuk pidato. Kampung kita ini dapat bagian yang terakhir.” Enam calon bupati dan wakilnya, semua membagi-bagikan uang dan barang. Mbah Gimun menerima semuanya. Ada yang limapuluh ribu, duapuluh ribu, sepuluh ribu, tetapi ada pula yang sampai seratus ribu. Tetapi yang seratus ribu ini kelihatannya hanya dikhususkan untuk Mbah Gimun. ”Pak Calon Bupati itu sendiri yang memberikannya langsung. Diselipkan di kantong saya ini waktu salaman.” kata Mbah Gimun senang. Mbah Gimun juga menerima banyak rokok tetapi langsung dibagikannya kepada anak-anaknya. ”Saya tidak suka mengisap rokok pabrik. Sebab baunya seperti minyak wangi. Bau tembakaunya sudah tidak ada,” begitu alasan Mbah Gimun. Menjelang hari pencoblosan, Mbah Gimun tetap menyisir lidi dengan pisaunya. Rokok lintingan itu juga tetap menempel di bibirnya. Hanya dia berpesan kepada anak-anak, agar menjelang pencoblosan mereka tidak mengantar daun kelapa terlalu banyak. ”Nanti kalau pas coblosan tidak bisa diirat semua, akan layu. Kalau layu mengiratnya alot,” katanya pada anak-anak itu. ”Mau nyoblos siapa Mbah nanti?” tanya anak-anak. ”Ya siapa saja. Sebab saya tidak tahu nama-namanya, dan tidak hapal wajahnya. Baju dan pecinya juga sama kan?” jawab Mbah Gimun. ”Bukan nyoblos yang paling banyak ngasih uang Mbah?” ”Saya juga sudah lupa yang mana yang pernah ngasih uang paling banyak.” ”Nyoblos Pak Dipo saja Mbah. Dia kan pengusaha, jadi nanti kita semua makmur.” ”Yang pasti makmur ya bupatinya itu, bukan kita. Selamanya kita ini tidak akan pernah jadi makmur meskipun bupatinya ganti-ganti.” Sampai dengan berangkat ke tempat pencoblosan, sebenarnya Mbah Gimun masih tetap bingung. Enam calon semuanya memberi uang, memberi beras, memberi tembakau, memberi teh, memberi gula. Mbah Gimun berjalan beriring-iringan dengan tetangga-tetangganya, dengan anak-anaknya, dengan menantu-menantunya. Mereka menyusuri jalan desa yang hanya dikeraskan dengan batu. Pagi itu pohon-pohon tampak diam saja karena tidak ada angin. Di langit juga tidak kelihatan ada awan. Karena masih pagi, udara terasa tidak terlalu panas. Di tempat pencoblosan sudah ada banyak orang. Semuanya memakai baju bagus-bagus dan warna-warni. Mbah Gimun memakai kain sarung, baju surjan hitam, sandal jepit, dan kepalanya ditutup udeng. Dia mencari tempat duduk yang pas. Sebab hampir seluruh warga kampung yang melihatnya, menawarinya tempat duduk. Dia lalu memilih duduk di kursi plastik di pojok belakang. Dari saku surjannya, Mbah Gimun mengeluarkan kantong plastik berisi tembakau dan kertas lintingan. Dia lalu melolos satu lembar kertas, mencomot gumpalan tembakau dan melintingnya. Tetapi ketika lintingan itu ditaruh di mulutnya, dia kebingungan. Di rumah, biasanya Mbah Gimun menyalakan rokok lintingannya dengan bara api dari dapur. Melihat Mbah Gimun kebingungan, banyak warga kampung yang menyodorkan korek api gas. Rokok Mbah Gimun lalu mengepulkan asap yang segera menyebar ke mana-mana. Baunya sangit dan keras. Setelah panitia mengumumkan hal-ihwal pencoblosan, satu-per satu warga kampung dipanggil. Tidak lama kemudian Mbah Gimun juga dipanggil, dilihat kartunya, dicatat, dan diberi kertas suara. Mbah Gimun sudah tahu bagaimana caranya mencoblos. Sebab tahun lalu dia juga ikut tiga kali pencoblosan seperti ini. Tetapi ketika itu yang dipilih pak presiden dan DPR. Bukan pak bupati. Di bilik pencoblosan, Mbah Gimun menggelar lipatan kertas suara yang baru saja diterimanya. Di sana ada 12 wajah manusia yang sama-sama mengenakan jas dan kepalanya ditutup peci. Ada yang tersenyum, ada yang tertawa, ada pula yang tegang dan cemberut. Beberapa kali Mbah Gimun menyedot rokok lintingannya. Asap mengepul deras sampai menyembul ke luar bilik pencoblosan. Mbah Gimun memungut rokok lintingan dari bibirnya. Bara api di ujung rokok itu memerah. Dengan mengucap Bismillah, Mbah Gimun mencoblos 12 wajah dengan api rokoknya. Ada yang dicoblos di jidat, ada yang di pipi, ada yang di mulut, di mata, di hidung. Mbah Gimun tidak jadi mencoblos baju jas yang dikenakan oleh para calon itu. ”Sayang, baju bagus-bagus begitu kalau dicoblos api rokok.” Cimanggis, 2005.
""Rokok Mbah Gimun""
(1) Anakku, Mengharapkan kepulanganmu sama saja dengan mengharap abu dari tungku-tungku pembakaran yang tak pernah menyala! Tapi, entah kenapa masih saja ibu bersetia menyia-nyiakan waktu menunggumu. Masih saja sesak dada ibu karena denyut rindu. Masih saja jemari tangan ibu hendak menulis surat untukmu, meski kau tak pernah lagi membalasnya. Ya, masih saja terkenang tentang sekeping waktu saat bayi laki-laki menyembul dari rahim ibu. Terkenang pula saat ngeyak dan rengekmu memecah sunyi di ujung malam. Saat itu, ibu tersentak bangun dan bergegas mengelus-elus kepala culunmu, hingga kau terlelap pulas dalam dekapan ibu. ”Ibu restui kepergianmu, Nak! Tapi, jangan sampai perantauanmu seperti Anak Peluru!” ”Anak Peluru? Maksud ibu?” ”Peluru jika sudah ditembakkan, tak akan kembali ke moncong senapan, bukan?” ”Ibaratkan peluru itu seorang anak, dan moncong senapan itu seorang ibu. Mana ada peluru yang kembali ke moncong senapan setelah ditembakkan? Hengkang dan tak pernah kembali pulang.” Tiga orang anak yang terpacak dari perut ibu, dan pada setiap prosesi kelahiran itu nyaris sebesar biji Jagung peluh mengucur dari sekujur tubuh ibu karena menanggung rasa sakit, namun hasrat ibu ingin menimang bayi perempuan tak kunjung terwujud. Tiga bayi itu semuanya laki-laki. Abangmu, Rehan, setelah tamat SMU di Payakumbuh, merengek-rengek minta izin untuk merantau. Hendak mengadu nasib ke Jakarta. Ibu gadaikan sebidang sawah untuk modalnya berjualan kaki lima. Berkat kegigihan dan kerja kerasnya, lambat laun ia sukses. Khabar terakhir yang ibu dengar tentang Rehan, ia sudah punya lima toko dan dua puluh orang karyawan. Tapi, sejak menikah dengan perempuan rantau, berkembang biak dan lalu beranak pinak seperti kucing, tak pernah lagi Rehan pulang menjenguk ibu. Lupa jalan pulang atau memang sudah tak berniat pulang? Lain lagi ceritanya dengan Acin, abangmu yang satu lagi. Setelah lulus jadi polisi, hanya dua tahun sejak berdinas di Aceh, ia berkirim surat minta restu untuk mempersunting gadis kelahiran Takengon. Pada surat itu, Acin berjanji, setelah masa tugasnya berakhir, ia akan mengajukan permohonan agar bisa ditempatkan di Payakumbuh. Acin akan pulang membawa istrinya, dan tinggal bersama ibu. ”Kasihan, ibu sendiri saja di rumah!” katanya. Tapi, seingat ibu itulah surat pertama dan sekaligus surat terakhir Acin untuk ibu. Sejak itu, tak terdengar lagi khabar Acin. Acin tak pernah pulang menjenguk ibu. Lupa jalan pulang atau memang sudah tak berniat pulang? ”Jangan cemas, Bu! Ruz tidak akan menjadi Anak Peluru.” Rumah kita makin lengang. Hanya kau yang tersisa, Nak! Bapakmu tak bisa diharapkan. Sejak enam tahun lalu, nyaris setiap malam ia bersetia merawat nenek yang sakit-sakitan, sekaligus menjaganya. Delapan orang anak nenek. Dua perempuan dan selebihnya laki-laki, termasuk bapakmu. Kecuali bapakmu, tak satu pun anak-anak nenek yang menyimpan kerinduan pulang menjenguknya, apalagi kerinduan ingin merawatnya. Umurnya sudah berkepala delapan. Bapakmu rela di-perempuan-kan. Mencuci pakaian, menimba air mandi, menyuapkan makan, melayani segala tetek bengek kebutuhan perempuan setua nenek. Jika kau sudah pergi, tentu ibu akan bersendiri. Tanpa bapakmu. Tanpa Rehan, Acin dan juga kau. ”Ruz ingin jadi anak ibu, bukan Anak Peluru!” (2) Perempuan itu, Wafa Sulastri. Pelukis yang sedang bergiat di sanggar seni I Nyoman Gunarsa. Lukisan-lukisan karyanya sering dipamerkan di beberapa kota di Pulau Jawa. Selain bergiat sebagai pelukis, ia bekerja sebagai mediator antara buyer-buyer asing yang tertarik untuk membeli produk-produk handycraft khas Jogja dengan para pengrajin sebagai produsen. Saat itu, Wafa sedang bekerja untuk Mrs Palloma, bule perempuan berkebangsaan Spanyol. Wafa tidak hanya cantik, tapi juga cerdas seperti terlihat dari cara dan gaya bicaranya. Tampak seperti perempuan yang kenyang pengalaman. Bukan perempuan kebanyakan. Pertemanan mereka berlanjut, makin dekat. Makin akrab. Pada sebuah janji makan malam yang mengesankan, Ruz tergoda pada ajakan Wafa untuk menginap di apartemen tempat tinggalnya. Wafa tinggal di apartemen mewah yang tidak jauh dari pusat kota bersama bos bulenya, Palloma. Semula Ruz memang berhasrat hendak menikmati kencan pertamanya itu bersama Wafa. Namun, hasrat lelaki itu padam seketika. Ia gemetar dan setengah menggigil. Saat Wafa melucuti dasternya, Ruz melihat bekas jahitan panjang membelah bagian perutnya. Lebih kurang enam puluh jahitan. Juga bekas cetakan setrika panas di punggungnya, bekas cambukan di pinggangnya, bekas tusukan benda-benda tajam di paha dan kedua betisnya. ”Siapa pelaku penganiayaan ini?” ”Siapa? Katakan!” Wafa diam. Perlahan-lahan, gerimis merintik dari bola mata coklatnya. Terisak-isak. Tersedu-sedu. ”Aku akan menjadi pendengar yang baik, jika kau mau berbagi.” ”Kau mempercayaiku, bukan? Ceritakanlah!” ”Panjang ceritanya, Mas!” Wafa adalah korban kesadisan seorang lelaki yang tidak lain adalah suaminya sendiri. Indra Setiawan, begitu ia menyebut namanya. Setahun lalu, mereka tinggal di Denpasar, Bali, dan mengelola beberapa bidang usaha. Entah kenapa, Indra menjadi paranoid, setengah gila dan nyaris mengakhiri hidup Wafa. Tentang Indra, Wafa tidak mau bercerita panjang. ”Belum saatnya!” kata Wafa. Yang jelas, Wafa meninggalkan Bali dan melarikan diri ke kota ini, karena sudah tak tahan lagi menanggung perlakuan kasar suaminya. ”Sejak kapan mulai merokok?” ”Sejak telapak tanganku sering disulut api rokok!” jawab Wafa. ”Mulai minum?” ”Sejak aku sering teler karena setiap hari pangkal telingaku dihantam pukulan keras.” Begitulah! Wafa sedang rapuh, goyah, dan kadang-kadang sulit dikendalikan. Beberapa kali Ruz menyelamatkan nyawanya dari tindakan konyol melakukan uji coba bunuh diri. Menenggak sebotol sprite dingin yang sebelumnya sudah dicampur bubuk racun tikus. Mengiris-iris urat nadi, bahkan dengan sengaja menabrakkan mobil yang sedang disetirnya. Wafa ingin menyudahi riwayat lukanya dengan cara; Mati. Ruz pernah membawanya ke psikiater. Setelah mempelajari gejala ganjil pada kondisi kejiwaan Wafa, psikiater itu geleng-geleng kepala sembari berbisik kepada Ruz, ”Istri Anda?” Ruz terperangah sambil menelan ludah. Sejak kedekatannya dengan Wafa, konsentrasi kerja Ruz agak terganggu. Buyar, karena sewaktu-waktu ia mesti bergegas ke rumah sakit setelah mendengar khabar Wafa melakukan uji coba bunuh diri lagi. Tak terhitung lagi berapa kali Wafa diusung ke ruang gawat darurat akibat ulah konyolnya yang selalu ingin mati. ”Kenapa Tuhan enggan merenggut hidupku?” ”Hus… Jangan mengumpati Tuhan! Barangkali kau sedang diuji!” ”Aku sudah tak sanggup menghadapi ujian-Nya!” ”Aku ingin bebas dari ujian-Nya!” ”Dengan cara; Mati?” ”Berarti aku sudah tidak berarti lagi?” ”Kau akan berarti jika mau memberitahuku bagaimana cara mati yang paling cepat!” Ruz berupaya menyembuhkan sakit Wafa dengan caranya sendiri. Memberikan perhatian penuh. Membujuk agar ia menghentikan kegemarannya mencelakai diri. Ruz tidak perlu mencintai Wafa waktu itu. Barangkali yang ia perlukan hanyalah bagaimana cara agar Wafa bisa sembuh dan situasi mentalnya pulih seperti sediakala. Tapi, demi kesembuhannya, Ruz akan melakukan apa saja. Tanpa sepengatahuan Wafa, diam-diam Ruz menghubungi suami Wafa via email. Meminta dan bermohon agar lelaki itu berkenan melepaskan istrinya. Dasar lelaki bajingan, (tanpa tersinggung sedikit pun) dengan senang hati ia menyerahkan istrinya pada Ruz, bahkan bersedia pula menulis surat pernyataan tidak akan menuntut jika Ruz telah menikahi Wafa, mantan istrinya itu. ”Kualat kau!” batin Ruz. (3) Bersusah payah Ruz memohon restu untuk menikahi Wafa. Berkali-kali ia menyurati ibu, juga menyurati sanak famili yang dipercayainya dapat melunakkan sikap keras ibu, namun Ruz gagal. Alih-alih memperoleh restu, justru yang diterimanya caci maki, umpat dan sumpah serapah. ”Ibu tidak melarang kau menikah, tapi tidak dengan perempuan rantau itu!” ”Jangan kuatir, Bu! Ruz tidak akan menjadi Anak Peluru.” ”Mungkin kau tidak akan menjadi Anak Peluru. Tapi, menikah dengan perempuan itu, kau akan jadi Anak Durhaka!’ ”Ruz tidak akan melupakan ibu. Kelak, Wafa akan Ruz ajak pulang. Kami akan tinggal di kampung, menjaga dan merawat ibu. Ruz ingin jadi anak ibu!” ”Tidak, Nak! Kau bukan anak ibu lagi, jika tetap menikahi perempuan itu!” Ruz mengurut dada membaca cercaan dan makian yang tertulis di setiap lembar surat ibu. Ia heran, tak disangka-sangka ibu yang sejak ia balita dikenalnya sebagai perempuan santun, bijak dan amat penyayang, tiba-tiba saja berubah menjadi sangat kasar, tidak penyabar, dan sulit diberi pengertian. Ibu tidak menjelaskan alasan penolakannya pada Wafa. Mencak-mencak, marah-marah, memaki dan mencela tanpa sebab musabab yang jelas. Sentimen hanya karena Wafa perempuan rantau. Ya, Wafa memang perempuan rantau, tapi apa bedanya perempuan rantau dengan perempuan-perempuan lain di ranah ibu? Bukankah Wafa juga seorang perempuan? Dan tentulah juga seorang manusia? Hari ini entah bilangan tahun yang ke berapa sejak Ruz menikahi Wafa tanpa sepengetahuan ibu. Sejak itu pula, Ruz tak pernah pulang ke ranah ibu. Sama seperti tak pulangnya Rehan dan Acin. Tiga laki-laki itu seperti anak-anak peluru, sekali ditembakkan dari moncong senapan, tak pernah kembali pulang. Sekadar menanyakan keadaaan ibu yang kian lama kian ringkih dan sering sakit-sakitan pun tidak juga. Lupa jalan pulang atau memang sudah tak berniat pulang? Entahlah! (4) Anak-anakku; Rehan, Acin dan Ruz…! Menunggu kepulangan kalian sama saja dengan menunggu sekawanan Kelinci di kandang Macan! Namun, di usia yang sudah berkepala tujuh ini, (entah kenapa) masih saja ibu bersetia menyia-nyiakan waktu menunggu kalian. Masih saja sesak dada ibu karena denyut rindu ingin bertemu kalian. Masih saja jemari tangan ibu hendak menulis surat untuk kalian, meski kalian tak pernah lagi membalasnya. Ya, masih saja terkenang tentang tiga bayi laki-laki yang menyembul dari rahim ibu. ”Sampai kapan ibu harus menunggu kalian?” ”Sampai ibu menemukan alasan untuk tak menunggu kami lagi!” ”Apa alasan paling tepat untuk melupakan kalian, Nak?” ”Kematian! Hanya kematian kami yang mampu memadamkan api rindu ibu!” Benarkah ibu sungguh-sungguh sedang menunggu? Jangan-jangan ibu tak sedang menunggu kepulangan kalian, tapi menunggu khabar kematian kalian! Bilamana kalian sudah jadi mayat, mungkin saat itu ibu akan berhenti menunggu. Kalau pun ibu masih juga menunggu, itu hanya sekedar membunuh waktu sambil menunggu ajal datang menjemput ibu. ”Bukankah ibu hanyalah moncong senapan dan kalian adalah anak-anak peluru yang telah dimuntahkan?” Kelapa dua, 2005
""Anak-anak Peluru""
Taksi berhenti. Rita menyerahkan ongkos, membuka pintu, beranjak turun. Ayu mengikutinya. Kedua perempuan itu berjalan mendekati sebuah rumah yang cukup mentereng. Sudah tidak nampak tanda-tanda dukacita, setelah dua minggu lalu kepala keluarga di rumah itu, Rahardjo, meninggal dunia. Ma, apa ini benar-benar perlu kita lakukan sih?” tanya Ayu. ”Sudahlah. Jangan ragu begitu….” ”Aku malu, Ma,” kata Ayu. ”Kita pasti dipandang rendah oleh perempuan itu.” ”Tidak perlu malu. Dia juga perempuan. Mama perempuan. Kamu juga perempuan. Ingat lho, kamu sudah delapan belas tahun.” ”Nyonya Rahardjo mungkin bisa bijaksana seperti Mama. Tetapi anak-anaknya bagaimana? Bisa-bisa aku dicibir sama mereka.” ”Papa mereka kan Papa kamu juga, buat apa mereka mencibir,” kata Rita. ”Dua anak Nyonya Rahardjo juga perempuan, hanya satu yang lelaki.” ”Ah, jadi repot. Amit-amit deh, tidak bakal aku nanti mau menjadi istri kedua seperti Mama,” kata Ayu. Rita memandang tajam ke arah Ayu. Kemudian menghela napas panjang. Selanjutnya mencari-cari bel untuk dipencet. Dua puluh tahun lalu, Rita dinikahi oleh Rahardjo. ”Kamu tidak menuntut agar aku menceraikan istriku kan?” tanya Rahardjo ketika itu. ”Aku sungguh tidak bermaksud main-main menikah denganmu, namun aku tidak ingin rumah tangga yang sudah kubina lebih dulu jadi rusak akibat pernikahan kita.” ”Masalah itu sudah sering kita bicarakan,” jawab Rita. ”Kalau kita menikah, kamu tentunya menjadi istri serta ibu rumah tangga sebagaimana umumnya perempuan punya suami kan?” ”Itu pun telah berulang kali aku sanggupi.” ”Yah, aku percaya kepadamu.” ”Aku sudah pertimbangkan masak-masak semua konsekuensinya,” kata Rita. ”Aku menghormati semua itu,” kata Rahardjo. Ketika itu Rita berusia 25 tahun, terpaut dua puluh puluh tahun lebih muda dibanding usia Rahardjo. Kesegaran dan kemudaan Rita tentu menjadi faktor penting yang membuat Rahardjo menyukai Rita, di saat dirinya sudah punya istri dan tiga orang anak. Rita memberikan semangat, tenaga, juga keyakinan bahwa dirinya memiliki kekuatan, kemampuan, mungkin semacam keperkasaan. Rita dianggap telah membawakan dan menyediakan diri untuk memberi keindahan-keindahan dan kenikmatan-kenikmatan yang dibutuhkan Rahardjo. Sore-sore yang senggang seusai jam kantor, Rahardjo bisa bertemu dengan Rita di rumah kontrakan perempuan itu, menikmati suasana romantis, berhubungan seks seperti dalam fantasi-fantasi. Semua berlangsung dalam komitmen yang aman, saling menjaga, saling menghargai, saling menghormati, saling menyadari posisi dan kondisi masing-masing. ”Maaf kalau aku tidak pernah mengajak kamu jalan-jalan di mal, atau menghadiri undangan pesta,” kata Rahardjo suatu ketika. ”Kadang aku merasa tidak enak terhadapmu, namun sungguh aku tak bermaksud tidak menghargaimu.” ”Sudahlah. Aku tahu, dan itu sudah berkali-kali Mas kemukakan,” jawab Rita. ”Aku berterima kasih kok. Kan Mas juga memberi hal-hal yang aku butuhkan.” Bagi Rita, menjalin hubungan dengan Rahardjo adalah sebuah pilihan. Setelah memasuki usia 25 tahun, banyak hal dia jalani lebih rasional. Dia semakin terlatih mengelola perasaannya ke dalam bingkai rasionalitas itu. Terhadap hubungannya dengan lelaki, ketika usianya memasuki 25 tahun, dia sanggup mengarahkan perasaan-perasaan yang semula dominan menjadi lebih mendekat kepada perhitungan akal. Pasang-surut hidup berikut kemudahan dan kesulitannya mengajarkan kepada Rita tentang bagaimana secara bijaksana membawakan diri. Kenyataannya, selama dua puluh tahun ini dia tidak merasa menderita. Rita bersama Ayu bisa menempati rumah cukup bagus di komplek pemukiman yang baik serta sanggup membiayai hidup lebih dari memadai. Sekarang Rita akan melakukan perjumpaan dengan Nyonya Rahardjo, setelah dua minggu yang lalu Rahardjo meninggal dunia. Menyimpan rahasia merupakan ganjalan tersendiri, kini saatnya ganjalan itu dilepaskan. Rita tidak berharap ganjalan itu terwariskan kepada Ayu, putrinya. Maka Ayu diajaknya serta. Diusirnya rasa khawatir, waswas, takut. Toh Rita punya keberanian tatkala dulu menikah dengan Rahardjo untuk menjadi istri kedua. Itu keputusan yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Waktu di SMA atau semasa kuliah dulu, mana mungkin membayangkan menjadi pacar atau selingkuhan dari lelaki beristri dan beranak tiga, lalu menjadi istri kedua yang dirahasiakan. Kiranya seperti sikap Ayu sekarang, amit-amit deh…. Tapi cinta yang seperti dalam novel cukuplah untuk masa remaja. Waktu SMA Rita punya pacar, kakak kelas. Bermula kakak kelas itu memberi perhatian, berlanjut kirim surat-surat cinta, akhirnya sering mengajak jalan-jalan. Tidak ada lelaki yang lebih baik dibanding kakak kelasnya itu. Rita merasa terhibur, punya tempat berlindung, juga punya gairah. Maka dirinya tidak keberatan dan menyesal ketika pada suatu hari kakak kelasnya itu mencium bibirnya, pada hari yang lain meraba tubuhnya, hari yang lain lagi menyuruh Rita memegangi kelaminnya, dan pada hari lainnya lagi mengajak Rita melakukan hubungan seks. Semasa kuliah, Rita juga berhubungan dengan beberapa lelaki. Semuanya dihayati dan dinikmati. Rita bukan orang egois, apalagi merasa diri berharga mahal. Namun Rita juga bukan orang yang rela tergiring pada nasib pasrah untuk direndahkan atau dihargai murah oleh orang lain. ”Aku memang bukan bintang di langit, tetapi aku juga bukan debu jalanan,” tulisnya mengutip sepenggal syair lagu, ketika membalas SMS cinta dari seorang mahasiswa satu kampus yang merayunya. ”I love you, Say.. Swear..” tulis mahasiswa itu melalui SMS. ”What is love, Say?” balas Rita. ”Yah, kangen, sayang, pokoknya gitu deh.” ”Aku juga selalu kangen dan sayang sama orangtuaku di kampung.” ”Itu lain, Say. Itu cinta kepada orangtua. Ini cinta antara lelaki dan perempuan.” ”Lalu aku harus bagaimana?” ”Please, Say, ucapkan bahwa kamu juga mencintaiku…” Mengingatnya, Rita sering tertawa sendiri. Rita memang pernah mengucapkan cinta karena menurutnya hal itu sepadan untuk ucapan cinta yang ditujukan kepada dirinya. Ketika mahasiswa itu sering mengajak jalan-jalan, berdiskusi, merencanakan masa depan, atau memadu kasih, melakukan hubungan seks, Rita menilainya sebagai sesuatu yang sepadan pula. Dirinya juga menikmati pengalaman-pengalaman itu dan mendapatkan keuntungan darinya. Setelahnya Rita masih punya beberapa pengalaman menjalin hubungan dengan lelaki, termasuk tatkala dia bekerja di perusahaan biro jasa pariwisata. Banyak lelaki mendekatinya. ”Lelaki menawarkan cinta untuk mendapatkan seks, sedangkan perempuan menawarkan seks untuk mendapatkan cinta,” kata Rita selalu kepada lelaki-lelaki yang mendekatinya. Kalimat itu dia kutip dari sebuah puisi yang pernah dibacanya. Kalimat itu pula yang pernah diucapkan di depan Rahardjo, yang dikenalnya setelah Rita sering mengurus kebutuhan-kebutuhan perjalanan tugas lelaki itu. ”What is love?. Apa sih cinta? Sejak SMA dulu aku sering menanyakan hal itu kepada para lelaki. Katanya sih perasaan kangen, sayang, pokoknya gitu deh.” ”Sederhananya memang begitu. Itulah juga perasaanku kepadamu. Tetapi terserah kamu bilang apa. Pokoknya kita saling suka, saling senang, saling tidak menyakiti,” kata Rahardjo. ”Bapak bisa saja deh. Aku jadi tergoda.” ”Jangan panggil Bapak lagi, panggil aku Mas, biar merasa muda lagi gitu lho.” Maka bercintalah Rita dengan Rahardjo. Hubungan itu makin bersifat permanen, walau tetap di dalam komitmen kerahasiaan. Beberapa kali Rita sempat mengikuti perjalanan dinas Rahardjo ke luar kota dan ke luar negeri, namun mereka mengaturnya sedemikian rupa supaya kerahasiaan itu tetap terjaga. Tatkala Rahardjo dan Rita mengikat diri dalam pernikahan bawah tangan dua puluh tahun yang lalu, komitmen kerahasiaan itu tetap berlaku. Semula Ayu bersikeras tidak bersedia ikut. Namun Rita dengan sabar memberi pengertian. Akhirnya Ayu mau berangkat. Sebenarnya bukan hanya Ayu yang di kepalanya berkecamuk rasa khawatir. Rita juga terpikir, bagaimana kalau Nyonya Rahardjo menyambutnya sinis dan penuh cercaan. Rita memahami, hampir sulit bagi perempuan bisa menerima kehadiran perempuan lain sebagai sesama istri suaminya. Pintu gerbang terbuka. Seorang pembantu perempuan mempersilakan Rita dan Ayu agar langsung masuk. ”Bu Rita ya? Silakan. Nyonya Rahardjo sudah menunggu,” kata pembantu perempuan itu. Sejenak Rita dan Ayu berpandangan. Kemudian mereka melangkah memasuki pintu gerbang. Terbentang halaman cukup luas dan asri, rumput dan tanaman tertata rapi. Ada dua mobil terlihat di garasi, salah satunya mobil di mana Rita pernah menaikinya. Rita dan Ayu kakinya dirasakan bergetar ketika mendekati pintu rumah. Di depan pintu rumah yang terbuka, berdiri Nyonya Rahardjo. Berusia 60-an tahun, rambut sudah memutih namun berpenampilan anggun. Dia mengenakan kain batik, baju kebaya warna coklat bermotif bunga-bunga. Nampak kalau perempuan itu benar-benar menyiapkan diri untuk menerima tamu istimewa. Rita melangkah menapaki teras dan tersenyum kepada Nyonya Rahardjo. Ayu hampir tidak berani mengangkat muka. ”Silakan-silakan, sini masuk,” suara Nyonya Rahardjo terdengar ramah. ”Sini Jeng Rita, dan ini siapa namanya?” Keramahan itu memupus semua kekhawatiran. Rita menyalami Nyonya Rahardjo, dan Nyonya Rahardjo membalas salam itu, seraya memeluk Rita. Ayu menyebutkan namanya, menyalami Nyonya Rahardjo dan mencium telapak tangan perempuan itu. ”Aduh, sudah tua begini, jalan jadi tertatih-tatih. Ayo masuk ke dalam,” ajak Nyonya Rahardjo. Rita dan Ayu masuk ke ruang tamu. Sesaat kemudian muncul dua orang perempuan, yang langsung diperkenalkan oleh Nyonya Rahardjo. ”Ini anak-anakku, Si Eva dan Leila,” kata Nyonya Rahardjo. ”Satu lagi, yang lelaki, namanya Ramadian. Malu ikut pertemuan ini. Katanya, ini perjumpaan khusus kaum perempuan….” Tidak sesulit dan serepot yang dibayangkan Ayu. Perjumpaan itu berjalan dengan baik, ramah, akrab, penuh silaturahim. Mereka ngobrol, makan bersama, bercanda-canda. Nyonya Rahardjo menceritakan kenangan-kenangan manisnya bersuamikan almarhum Rahardjo, begitu pula Rita. Kalau cerita menyangkut kenangan hubungan intim, anak-anak mereka mengingatkan ibunya masing-masing agar tidak ngelantur. ”Jeng Rita, Ayu, juga Eva dan Leila, kita ini kaum perempuan. Hidup dalam kenyataan. Bukan hanya dalam perasaan dan impian-impian,” kata Nyonya Rahardjo. ”Saya sudah tahu Mas Rahardjo menikah dengan Jeng Rita, sejak awal pernikahan itu berlangsung. Begitu juga anak-anak, semua mengetahui sejak awal.” ”Maafkan, selama ini saya dan Mas Rahardjo merahasiakannya,” sahut Rita. ”Tidak apa-apa. Kami di sini juga merahasiakan. Karena itulah yang terbaik buat kita semua. Dengan tetap menjadi rahasia, Mas Rahardjo semakin baik dan hati-hati memperlakukan kami, bahkan apa pun keinginan kami dipenuhi. Tentu karena Mas Rahardjo takut rahasianya kami ketahui. Buat apa saya marah, apalagi sampai minta cerai? Apa yang akan kami dapatkan, selain rusaknya rumah tangga? Usia saya waktu itu 40 tahun, punya tiga anak, kalau cerai sulit cari suami lagi, he…he…he.” Saat meninggalkan rumah Nyonya Rahardjo, perasaan Rita dan Ayu benar-benar lega. Sebuah perjumpaan yang indah bagi para perempuan telah dijalaninya. Nyonya Rahardjo dan kedua anak perempuannya menemani Rita dan Ayu sampai taksi yang menjemput tiba. Di dalam taksi, Rita dan Ayu berpelukan. Mata mereka tiba-tiba sama-sama basah. ”Mama, maafkan kata-kataku tadi,” kata Ayu. ”Aku tidak seharusnya menyinggung perasaan Mama karena Mama menjadi istri kedua. Dan aku tidak perlu menyesali diri karena aku terlahir dari istri kedua.
""Perjumpaan Perempuan""
Di ketinggian kamar di lantai delapan hotel berbintang lima, Firda menyibak vitrage, memandang ke luar jendela kaca yang sebagian permukaan luarnya berembun. Nampak di bawah sana lidah-lidah air laut menghantam garis pantai, berdebur-debur keras, tapi suaranya tak mampu menyusup ke dalam kamar, hingga kesunyian suite room ini sama sekali tak terusik. Sampai suatu saat terdengar suara seorang pria bertanya dengan nada lembut. Nggak suka ya, menginap di sini?” Firda menoleh sesaat, tersenyum tipis dan kembali melihat ke luar. ”Suka juga,” jawabnya datar. ”Suasana di sini hampir sama dengan yang di pantai Kuta.” ”Ya.” ”Bedanya waktu itu kamu enjoy sekali….” Firda terdiam sesaat. Ia merasa bahwa Ferdi telah membaca suasana hatinya secara tepat. Sementara Ferdi sendiri lalu bangkit dari tempat tidur, mengencangkan tali kimono dan berjalan menghampiri Firda. Memeluknya dari belakang. Di luar penglihatan Ferdi, Firda memejamkan mata dan menghela napas panjang. Dan Ferdi ternyata merasakannya. ”Ada apa, Firda?” Firda tidak segera menjawab. ”… Kenapa kamu mengajak aku ke sini?” ”Kamu sendiri pernah bilang bosan terus-terusan ke motel murahan.” ”Tapi kata orang hotel, kamar ini biasa disewa pasangan pengantin baru untuk berbulan madu.” ”So what ?” ”… Bukan berarti kamu mau mengajak aku berbulan madu, kan?” Ferdi tersenyum lebar. ”Setiap ketemu kita berbulan madu.” ”Aku serius.” Senyum Ferdi memudar. Perasaannya lembut berdesir. Dan dalam pikirannya pun muncul berbagai dugaan dan kecurigaan. ”Kamu bosan ya, kita begini-begini aja ?” Firda menggeleng. ”Jadi kenapa…?” ”… Bulan depan aku mau nikah.” Tangan Ferdi perlahan merenggang, melepaskan pelukan pada pinggang Firda. Dan Firda tak berusaha mencegahnya. Juga ketika Ferdi perlahan berjalan menjauh, duduk di sofa depan pesawat televisi yang menyiarkan CNN dengan volume suara rendah, nyaris tak terdengar. Rangkaian berita pengeboman kereta bawah tanah di London, berikut bursa saham yang terguncang, berlalu begitu saja tanpa perhatian. Di luar penglihatan Firda ia mengambil sebuah amplop coklat dari dalam laci, yang sesungguhnya akan diberikannya kepada Firda sebagai kejutan tengah malam. Hati-hati isi amplop itu dikeluarkannya sebagian. Dan nampaklah sebuah sertifikat rumah atas nama Firda. ”Sudah lama kamu pacaran sama calon suamimu?” ”Nggak pernah pacaran. Tapi sudah lama kenal. Tetangga dekat.” ”Kerja apa dia?” ”Guru SMP.” ”Oh…. Guru yang beruntung.” ”Kenapa beruntung?” ”Karena bisa mendapatkan istri secantik kamu.” Firda terdiam. ”Mungkin aku yang beruntung masih ada laki-laki yang mau jadi suamiku,” bisiknya dalam hati. ”Setelah kamu kawin kita masih bisa ketemu lagi?” Firda tak menjawab. Karena ia begitu takut memberikan jawaban yang salah. Ferdi lalu hati-hati mengembalikan sertifikat tadi ke dalam laci. Ia tak berminat mengulangi pertanyaannya, sebab ia tak ingin memojokkan Firda untuk harus mengungkap sebuah janji. Sebuah janji yang pada gilirannya akan membelenggu diri Ferdi pula. Maka pertanyaan itu pun dibiarkannya mengambang dan tak pernah terjawab. Sampai Firda mengajak pulang meski kamar sudah telanjur di-booking untuk dua malam. Sampai keduanya berada di satu mobil dalam perjalanan pulang. Sedan Mercy warna abu-abu metalik bermesin 3.600 cc berhenti di tempat gelap, beberapa belas meter menjelang sebuah halte bus yang sepi. Di dalam mobil ini Firda hendak membuka pintu, tapi tertahan oleh sentuhan tangan Ferdi berikut pertanyaan yang diucapkannya. ”Kali ini boleh aku antar kamu sampai rumah?” ”Jangan…!” ”Aku ingin berkenalan dengan orangtua kamu.” ”Kita sudah sepakat untuk membatasi hubungan hanya antara kita saja.” ”Meskipun ada kemungkinan setelah ini kita… akan lebih jarang bertemu?” ”Apalagi.” Ferdi terdiam. Ia agak menyesal telah mengucap pertanyaan yang salah. Sementara itu Firda lalu mencium pipi Ferdi dan berbisik lembut. ”Maafin aku, ya….” Ferdi merasa ada sesuatu yang tertahan di kerongkongannya. Sampai ia tak mampu berkata apa-apa dan membiarkan Firda keluar dari mobil. Baru setelah Firda menjauh dan nyaris tiba di ujung sebuah gang kecil, Ferdi seperti tersadar dari keterpukauannya, buru-buru membuka laci dashboard, mengambil amplop kecil berisi selembar cek dan lari ke luar mengejar Firda. ”Tunggu!” Firda menahan langkah dan menoleh. Ferdi menghampirinya dan menyerahkan amplop kecil itu kepada Firda. ”Tolong kamu terima. Kemarin aku sudah janji mau ngasih ini ke kamu.” ”Nggak usah…. Kontrak rumah sudah lunas sampai tahun depan.” ”Kalau begitu bisa kamu pakai buat apa saja. Cetak undangan, sewa gedung, biaya katering…. Semuanya pasti perlu biaya yang nggak sedikit.” Firda terdiam. Dan tetap terdiam ketika Ferdi memasukkan amplop itu langsung ke saku belakang celana hipster-nya. ”Jangan segan-segan kontak aku kalau masih perlu bantuan.” Firda menjawab dengan pelukan erat. Dan Ferdi menyambutnya sepenuh hati. Mungkin hanya Tuhan dan mereka berdua yang tahu berapa lama mereka berpelukan seperti itu. Sampai kemudian keduanya berpisah, saling melambaikan tangan, dan Firda berjalan lunglai meninggalkan Ferdi, berbelok memasuki gang, dan akhirnya lenyap selepas tikungan. Beberapa saat kemudian mobil yang dibawa Ferdi pun perlahan bergerak menjauh dan menjauh…. Malam itu suasana di rumah Firda tidak seperti biasanya. Beberapa sepatu dan sandal bertebaran di teras, sementara pintu ruang tamu masih terbuka meski jam sudah menunjuk pukul sebelas. Rupanya ada beberapa paman dan bibi Firda datang dari kampung bersama anak-anak mereka, ingin mengikuti acara lamaran keluarga calon suami Firda yang rencananya akan berlangsung lusa. ”Firda biasa pulang kerja jam berapa?” si paman bertanya. ”Minggu ini dia dapet giliran masuk sore, pulangnya antara jam dua belas jam satu,” jawab ibu Firda. ”Malam sekali, ya.” ”Namanya juga kerja di restoran. Restoran di hotel berbintang lagi, yang bukanya dua puluh empat jam.” ”Yang penting gajinya lumayan,” si bibi menimpali. ”Bukan lumayan lagi,” kata ibu Firda. ”Dia sudah mampu jadi pengganti ayahnya. Semua keperluan sehari-hari dia yang biayain. Termasuk kontrak rumah dan uang sekolah adik-adiknya.” ”Memang gajinya berapa?” ”Gajinya mah sekitar delapan ratus. Tapi uang lemburnya tinggi, katanya. Waktu baru dua bulan kerja saja saya lihat tabungannya sudah lima juta lebih. Jauh betul dengan ayahnya yang sampai pensiun nggak pernah bisa nabung.” ”Jangan-jangan dia sudah jadi manajer.” ”Ah, belum. Karyawati biasa. Tapi kelihatannya dia memang sedang dipersiapkan atasannya untuk naik pangkat buat pegang jabatan. Tiga bulan terakhir ini dia sering ikut macam-macam training. Manajemen, bahasa Inggris, komputer, kepribadian…. Kadang di Jakarta, tapi lebih seringnya di Bandung.” ”Berat juga ya, sampai harus ke Bandung segala.” ”Berat sekali juga enggak. Soalnya kalau training di Bandung pasti menginap barang semalam. Jadi masih ada waktu buat rekreasi, belanja-belanja, beli oleh-oleh buat yang di Jakarta. Bulan lalu malah di Bali sampai seminggu.” ”Semuanya dibiayai kantor?” ”Bukan cuma dibiayai, tapi juga dikasih uang saku!” ”Hebat sekali!!?” ”Makanya saya sendiri suka terharu, nggak mengira Firda sekarang sudah jadi tulang punggung keluarga. Saya cuma bisa bersyukur dan bersyukur pada Yang Mahakuasa, ’Ya, Alloh… terima kasih atas segala kemudahan yang sudah Kau berikan kepada kami…’.” Pagi hari Ferdi membuka mata dan kecewa menemukan dirinya tergolek di ranjang di kamar rumahnya. Jam dinding menunjuk setengah tujuh, yang berarti sebentar lagi istrinya akan memanggilnya untuk sarapan. Ia pun bangkit hendak keluar kamar, tapi lalu tertahan oleh dering telepon yang terletak di meja lampu. ”Halo?” ”Bisa bicala sama eyang Feldianto?” Ferdi tersenyum. ”Ini siapa, sih, pagi-pagi sudah nelpon pakai suara genit?” ”Aku Icha, cucunya eyang Feldi.” Ferdi tertawa. ”Ada apa, sayang?” ”Ental siang jangan lupa, ya, dateng ke lumahku. Aku kan ulang tahun.” ”Oh, ya. Pasti. Eyang nggak mungkin lupa.” ”Dah, eyaaang.” ”Dadaah.” Ferdi menutup gagang telepon. Senyumnya seketika memudar. ”Hampir lupa…!” katanya dalam hati. ”Siapa yang nelpon?” Ferdi kaget dan menoleh, melihat istrinya yang baru saja muncul di pintu kamar. ”Icha. Ngundang ke ulang tahunnya nanti siang.” ”Icha sendiri yang nelpon???” ”Iya.” ”Ya, ampun! Baru mau tiga tahun sudah pinter banget.” ”Anak sekarang….” ”Eh, Astrid sudah nemuin Papa?” ”Belum. Ada apa?” Belum lagi ibunya menjawab, seorang gadis cantik berumur dua puluh lima tahun muncul dan langsung masuk ke kamar. ”Hai, Pa!” Si ibu tersenyum penuh arti dan pergi meninggalkan ayah-anak ini. ”Minta sendiri gih sama Papa.” Ferdi bertanya-tanya. ”Mau minta apa, sih?” ”Mmm…. kado perkawinan.” ”Kado kok minta. Tergantung papa dong, mau ngasih apa.” ”Soalnya gini, Pa. Mathias sudah pasti mau dikasih kado mobil sama orangtuanya. Maksudku, Papa jangan ngasih aku mobil juga.” ”Terus, kamu pengin dikasih kado apa?” ”Mmm… rumah.” Ferdi tertegun. ”Rumah…?” ”Soalnya aku sama Mathias sudah sepakat setelah kawin nanti nggak mau tinggal di pondok mertua indah.” Setelah berpikir beberapa saat, berangsur wajah Ferdi kembali cerah dan bahkan kemudian tertawa. ”Tenang aja. Sudah papa siapin.” ”Ah yang bener, Pa.” ”Kamu suka, kan, rumah di Bukit Kayangan?” ”Suka banget! Memang papa sudah beli???” ”Sudah.” Astrid sesaat terkesima, lalu menghambur mendekati ayahnya dan mencium pipinya berkali-kali. ”Thanks, Pa! Makasih banget!!!” ”Buat kamu, apa sih yang nggak papa kasih.” ”Tapi rumahnya sudah ada atau kita harus nunggu dibangun dulu?” ”Sudah ada. Tinggal masukin furniture sama ngurus balik nama.” Astrid heran. ”Kok pakai balik nama segala…?” Jakarta, 26 Juli 2005
""Balada Cinta Ferdi dan Firda""
Tiga kali Ny Laila tak sadarkan diri. Yang pertama pukul sembilan pagi ketika ia mendapat kabar Mansur, anaknya, meninggal dunia. Dunia tiba-tiba terasa jadi begitu gelap. Tak pernah terbayangkan anak keduanya akan pergi begitu cepat. Karena itu, begitu mendengar kabar duka itu, seluruh persendian tubuhnya terasa lunglai. Ia seperti kehilangan seluruh darah dan tenaganya. Ny Laila pingsan untuk kedua kalinya pukul sebelas siang begitu ia akhirnya tahu orang kasak-kusuk membicarakan soal penyebab kematian Mansur. Putranya yang baru berusia 18 tahun itu meninggal bukan karena komplikasi penyakit yang selama ini ia derita dan membuatnya harus dirawat di rumah sakit. Mansur meninggal karena bunuh diri. Ia dikabarkan melompat dari lantai empat rumah sakit tempatnya dirawat selama ini. Untuk pertama kalinya Ny Laila berteriak histeris. Ia tak ingin percaya dengan apa yang ia dengar. Untuk ketiga kalinya Ny Laila pingsan setelah jasad Mansur dibawa pulang dari rumah sakit. Ia pingsan setelah melolong-lolong sambil mendekap tubuh lunglai Mansur. Sisa-sisa darah masih tampak di beberapa bagian tubuh putranya. Dua petugas kepolisian baru saja pulang. Keduanya gagal membujuk Mahmud, suaminya, untuk menuntut pihak rumah sakit yang telah mengabaikan unsur pengamanan bagi para pasien. Kematian Mansur tak lepas dari lemahnya hal itu. Mahmud tak ingin lagi direpotkan untuk urusan-urusan seperti itu. Ia ingin menerima kematian anaknya sebagai suratan takdir. Kecuali kalau tuntutan itu bisa menghidupkan lagi anaknya. Kini Ny Laila duduk bersimpuh di salah satu sudut ruangan tak jauh dari jasad Mansur dibaringkan. Ia merasa seluruh tubuhnya kian lemah. Tatapan matanya kosong. Ia seperti tak lagi mendengar orang-orang yang berganti-ganti mendekatinya dan menghiburnya. Sesekali air matanya meleleh. Matanya sembab. Mahfud, kakak Mansur, duduk bersimpuh di samping jenazah adiknya sembari tak henti-henti membacakan Surat Yasin. Suaranya patah-patah. Di sebelahnya, Mahmud, ayahnya, juga membacakan Surat Yasin. Suaranya terputus-putus dalam isak yang tertahan. Sesekali ia menyeka air mata. Sesekali ia juga berhenti membaca ayat-ayat suci itu untuk menerima uluran tangan atau dekapan para tamu yang datang untuk menyatakan ikut berbelasungkawa. Di mata Ny Laila terus-menerus melintas bayangan Mansur yang ceria. Pada usia 16 dua tahun lalu, Mansur adalah anak yang sangat sehat. Meskipun badannya gemuk, ia adalah anak yang lincah. Suka bermain sepak bola. Ia juga rajin mengikuti kegiatan remaja masjid dan aktif sebagai anggota kelompok marawis. Mansur adalah anak yang disukai teman-temannya karena perangai santunnya. Ia tak pernah menyakiti perasaan teman-temannya. Memasuki usia 17, Mansur memang mulai mengeluhkan tubuh tambunnya. Cinta membuatnya ingin tampil lebih menarik. Mona, gadis temannya di kelompok remaja masjid yang ditaksirnya, kata Mansur kepada ibunya, menolak cintanya. Mona ingin punya pacar yang tubuhnya langsing. Mengikuti nasihat ibunya, Mansur kemudian mencoba berpuasa tiap hari Senin dan Kamis. Tetapi, baru berjalan satu bulan, ia berhenti karena tak tahan godaan. Upaya mengurangi makan pun tidak berhasil karena Mansur juga tak bisa menahan rasa lapar. Ny Laila tahu bagaimana Mansur secara sembunyi-sembunyi makan atau jajan. Ayahnya yang kemudian menyarankan Mansur meminum minuman suplemen pelangsing tubuh yang banyak diiklankan dan dijual di toko-toko. Dan, ternyata, hasilnya sangat manjur. Bobot badan Mansur turun secara menakjubkan karena ia memang seperti kehilangan nafsu makan. Tetapi, empat bulan kemudian Mansur jatuh sakit. Dokter yang memeriksa meminta Mansur menjalani rawat inap karena ususnya mengalami luka serius. Mahmud yang kemudian tak henti menyesali dirinya. Kenapa ia sendiri yang justru menyarankan anaknya meminum suplemen pelangsing tubuh itu? Mengapa ia tak membiarkan saja Mansur memiliki tubuh tambun tapi sehat? Apalagi setelah dua pekan dirawat di rumah sakit, Mansur kemudian jadi langganan. Ia bolak-balik menjalani perawatan karena penyakitnya kerap kali kambuh. Yang terakhir, kata dokter, ia mengalami komplikasi. Selain luka di usus yang kembali kumat, ginjalnya juga terganggu. Karena itu, ia kembali harus dirawat untuk waktu yang tak jelas sampai kapan. Lima malam sebelum kematian Mansur, Mahmud bersimpuh di atas sajadah di kamarnya di tengah malam. Kepada Tuhan ia panjatkan doa agar putranya segera disembuhkan. Kepada Tuhan pula ia mengadu bahwa ia tak lagi punya uang untuk membayar biaya-biaya perawatan dan pengobatan anaknya. Hampir semua benda berharga di rumahnya telah dijualnya. Ia kini hampir tak memiliki apa-apa lagi. Empat malam sebelumnya, Ny Laila membesuk putranya. Dan menginap di rumah sakit. Tengah malam ia terbangun dan terkesima melihat sesosok wanita berpakaian serba putih berdiri di sudut ruangan. Sorot mata perempuan berambut panjang itu begitu tajamnya sampai-sampai mulut Ny Laila ternganga dan napasnya terengah-engah ketakutan. Keringat dingin mengucur dari sekujur tubuhnya. Sorot mata itu seolah mengatakan ia tak boleh berada di situ. Sorot mata itu melukiskan betapa perempuan itu membencinya. Ketika akhirnya bayangan itu lenyap, Ny Laila merasa tubuhnya panas dingin. Ia tak mampu lagi memejamkan mata sampai pagi tiba. Sesampainya di rumah, panas dinginnya tak kunjung hilang. Sorot tajam tatapan mata perempuan misterius itu seolah terus mengikutinya. Karena itu, ia tak lagi berani membesuk putranya. Juga kemarin, sehari sebelum Mansur dikabarkan meninggal dunia. Kata Mahmud, suaminya, Mansur ingin segera dibawa pulang. Tetapi, sebelum itu, ia ingin sekali ibunya datang membesuk. Amat merindukan ibunya. Dengan alasan tubuhnya masih lemah, Ny Laila menolak pergi ke rumah sakit. Sampai kemudian ia mendengar kabar itu dan kini ia cuma bisa menyesali semuanya. Ny Laila masih bersimpuh di tempatnya. Tiba-tiba ia menangis lagi. Ia ingat ucapan seorang guru ngajinya. Bahwa orang yang meninggal karena bunuh diri, arwahnya tak bisa diterima Tuhan. Tuhan bahkan memurkai makhluk-Nya yang membunuh dirinya hanya karena ingin melepaskan diri dari segala belitan persoalan hidup. Duka mendalam menderanya. Dalam tangis ia berdoa semoga Tuhan mau memaafkan segala kesalahan anaknya. Sebagai tetangga, aku datang melayat sesaat sebelum jenazah Mansur dimandikan. Kuucapkan rasa belasungkawa mendalam kepada Mahmud yang tampak tegar. Matanya tampak lelah dan marah. Ia tersenyum getir. Kuucapkan juga rasa belasungkawa kepada Ny Laila. Air matanya meleleh. Tak ada senyum. Tatapannya kosong. Menembus relung-relung gelap di antah berantah. Kusingkap kain penutup wajah Mansur. Di pipi kirinya ada sisa-sisa darah yang telah mengering. Tetapi, ia tampak damai. Pejam matanya seperti bocah remaja yang tengah tertidur pulas sekali. Bahkan bibirnya seperti tengah tersenyum. Jauh dari gambaran-gambaran menyeramkan yang secara liar melintas dalam benakku. Sebelum pulang, dengan tulus kuucapkan pula doa. Allahummaghfirlahu warhamhu waafihi wa’fu anhu. Setelah itu kubacakan Surat Alfatihah. Semoga arwahnya diterima di sisi Tuhan. Apa pun penyebab kematiannya. Ocha, putriku, baru saja bangun dari tidur siangnya ketika aku tiba di rumah. Ada segaris putih di sudut bibirnya tanda ia ngiler waktu tidur. ”Ayah habis dari mana?” ia bertanya. Suaranya serak. ”Habis melayat.” Gadis berusia enam tahun itu menyibak rambut yang menutupi matanya. ”Melayat Bang Acung?” ia bertanya lagi. ”Bang Acung? Bukan. Bang Mansur,” kataku. ”Iya, Yah. Bang Acung itu Bang Mansur,” istriku menimpali sambil lewat. ”O, gitu. Memangnya kenapa, Ocha?” aku bertanya melihat ia seperti sangat tertarik. ”Yah, Bang Acung kata orang mati karena bunuh diri,” gadisku bersila di hadapanku. ”Ocha dengar dari siapa?” ”Kata orang-orang, Yah. Bunuh diri itu kan enggak boleh ya, Yah. Tetapi, orang-orang enggak tahu sih. Bang Acung itu bukan bunuh diri, Yah.” ”Kenapa Ocha bilang begitu?” ”Tadi Ocha mimpi, Yah,” jawabnya. Gadis kecilku itu kemudian menceritakan mimpinya. Katanya, Bang Acung mula-mula sedang tidur di rumah sakit. Tiba-tiba ia terbangun karena mendengar ada yang memanggil-manggil namanya. Suaranya datang dari samping kamarnya. Bang Acung lalu membuka jendela kamarnya. Tak jauh dari tempatnya berdiri, ia melihat seekor cecak. Kepalanya dua. Lalu Bang Acung mendengar bisikan. Kata suara itu, kalau mau sembuh dari penyakitnya, Bang Acung harus memakan cecak berkepala dua itu. Bang Acung, cerita putriku selanjutnya, menyambar cecak itu untuk dimakan. Saat itulah ia terpeleset dan terpelanting jatuh ke bawah. ”Jadi begitu ceritanya, Yah. Jadi, Bang Acung itu bukan mati karena bunuh diri. Dia jatuh. Orang-orang tidak pada tahu sih, Yah. Coba kalau mereka tahu seperti Ocha, orang-orang pasti tidak akan bilang Bang Acung bunuh diri.” Aku agak tertegun. Lalu terbayang wajah damai Mansur. Dengan bibirnya yang seolah tersenyum. Diam-diam aku pun berharap mimpi putriku tak sekadar bunga tidur. Tanah Kusir, Juli 2005
""Bang Acung Tidak Bunuh Diri, Yah""
Rumah baru kami menghadap ke timur. Ketika pintu dibuka, setelah melewati pekarangan kecil dan teras, cahaya matahari masih bisa menjalar ke lantai dalam rumah. Suatu sore, seorang tak dikenal mendatangi saya. Tubuhnya padat, tinggi besar. Kulit hitam, matanya memerah. Diam-diam saya perhatikan seluruh tangannya penuh tato. Tangan kiri tato ular naga yang menggeliat ke arah pangkal lengan, sedangkan di tangan kanan bergambar perempuan telanjang. Pipi kirinya, ada bekas luka sepanjang telunjuk, yang di pinggir-pinggirnya direnda dengan tato menyerupai kelabang. Saya amati tamu ini hati-hati. Berkumis tebal. Kancing baju bagian atasnya ternganga. Dadanya bertato gunting menganga dan tengkorak kepala di tengahnya. Garis bibirnya yang tebal melengkung ke bawah. Sangar sekali kesannya. ”Mau ketemu siapa?” tanya saya lunak, kurang nyaman. ”Baru pindah, ya!” terdengar suaranya berat, sedikit parau, tanpa ada senyum. Dari mulutnya tercium bau alkohol. ”Iyya, ya saya baru pindah! Ada yang bisa saya bantu?” ”Di dapurmu ada berapa pisau?” Pisau? Pertanyaan yang sangat tidak biasa. Saya merasa, ada sesuatu yang ganjil. ”Ada berapa, hei!” ia sedikit membentak karena melihat saya mengernyitkan kening dan tidak segera menjawab. ”Ada dua. Pisau dapur biasa, Bang….” ”Kamu ingin pisau dapurmu bermanfaat bagi orang lain?” dengan kasar ia mengajukan pertanyaan yang aneh dan bernada kasar. Rautnya bengis, garis bibir seperti menikam ke hulu hati saya. Kami masih berdiri di teras, saling berhadapan. Di kepala saya mengira-ngira seperti apa yang dimaksud ”pisau bermanfaat bagi orang lain” itu. ”Bagaimana?” ”Maksudnya?” saya ingin mencairkan keraguan saya. ”Bodoh! Mau atau tidak?” ia membentak. Saya kaget. ”Iyyya, iya. Mau?” Setelah itu, saya, merasakan betapa sore ini hidup mulai tidak nyaman. Bagaimana seandainya laki-laki sangar ini datang setiap sore, untuk pertanyaan yang sama. ”Mulai besok pagi, sekali setiap bulan pada tanggal yang sama, pisaumu letakkan di dekat pintu pagar. Jangan lupa, masukkan dalam amplop uang Rp 10.000. Kalau tidak, berarti kamu tidak ingin menjadikan pisaumu bermanfaat bagi orang lain…. Itu artinya cari masalah!” katanya dengan raut muka yang tegang. Saya menarik napas. Jantung saya bagai mengecil oleh remasan tatapan mata dan suaranya yang berat. Saya tidak ingin banyak tanya soal meletakkan pisau dan uang dalam amplop besok pagi, setiap bulan pada tanggal yang sama di dekat pintu pagar. Saya takut, pertanyaan yang salah berakibat ”bencana” bagi saya dan keluarga. ”Saya bersedia, Bang!” Ia menatap sembari mengangguk-angguk. Dengan sedikit terkekeh ia balik badan, pergi begitu saja. Saya lepas ia dengan tatapan yang menyimpan rasa cemas. Tampaknya, ia orang paling ditakuti di daerah kompleks kami ini. Kemudian, di dalam saya mendapatkan istri sedang ketakutan di sudut kamar. Pucat membias di wajahnya. Pasti tadi ia mengintip atau nguping dari dalam. ”Kita pindah saja. Salah-salah, orang itu bisa bunuh kita! Aku takut! Orang seperti dia itu tidak takut polisi, tidak takut mati. Nekat!” Memelas suara istri saya. Saya mencoba menenangkannya. Tiba-tiba ada yang mengetuk pintu dengan kasar di luar. Saya dan istri terkejut. Si sangar itu pasti. Gedoran pintu terdengar makin kasar. Ketika pintu saya buka, memang si sangar adanya. Dengan keramahan yang sangat berlebihan, badan sedikit dibungkukkan, saya bertanya, ”Maaf, Bang, ada yang terlupa?” ”Istrimu, mana? Aku belum lihat!” Oh! Pertanyaan yang mempertebal kecemasan saya. ”Lagi kurang sehat, Bang. Tiduran.” ”Suruh dia keluar! ”Tapi, Bang?” ”Panggil istrimu!” suaranya meninggi, membuat saya tergagap. Dengan perut terasa mulas, saya masuk menemui istri di kamar. Tampaknya ia mendengar apa yang diminta si sangar. Saya tatap istri yang mengerut saking cemasnya. Akhirnya dengan menguatkan diri, saya tuntun istri menemui si sangar dalam keadaan pucat. Tangan istri saya terasa dingin. Mungkin inilah hari paling mencekam dalam hidupnya. Di hadapan si sangar, istri saya mencoba tersenyum. Bibirnya saya lihat seperti sedang beku. ”Ini istri saya, Bang….” Si sangar tertawa terbahak-bahak. ”Cantik…, cantik juga istrimu,” katanya di sela sisa tawanya. Setelah menatap istri saya beberapa jenak, ia terlihat cengengesan. Sebelum jauh melangkah dari pagar, si sangar menoleh dan berkata, ”Istrimu cantik, tapi wajahnya pucat sekali, ha-ha-ha….” >diaC< Matahari dari arah timur kembali mendatangi rumah saya. Saya meletakkan dua pisau dapur dan sebuah amplop berisi uang Rp 10.000 di tempat yang ditunjukkan si sangar. Setelah itu, pintu saya tutup. Diam-diam saya mengintip di balik gorden kamar depan yang sengaja tidak dibuka lebar-lebar. Saya menunggu, kira-kira apa yang dilakukannya pada benda itu. Akhirnya si sangar datang. Pintu pagar dibukanya, lalu masuk dan mengambil dua pisau serta sebuah amplop. Pisau dimasukkannya ke dalam karung, amplop ke kantong celananya yang besar. Saya amati, ternyata karung yang dibawanya itu terlihat berat sekali. Jangan-jangan itu semua pisau beberapa warga kompleks? Empat hari kemudian, pukul sebelas malam, pintu rumah terdengar digedor kasar. Pasti si sangar itu. Istri saya yang sudah mulai terlayang tidur, terduduk dengan napas sesak. ”Jangan dibuka!” gemetar istri saya berkata. ”Nanti makin kasar!” ”Telepon polisi saja!” ”Biar kubuka saja!” Saya setengah berlari ke ruang depan. Pintu dibukakan perlahan. Huffft! Ternyata si sangar berdiri dengan seringaiannya yang tidak sedap dipandang. Saya lihat di tangannya ada dua pisau, ya pisau kami. Tapi, pisau itu tampak mengilap di bawah sinar lampu teras. Mata pisau pun terlihat lebih tajam. Pisau itu kini terlihat berada di masing-masing tangannya. ”Ada apa, Bang. Maaf, Bang, apa yang bisa saya bantu!” ”Pisau ini,” katanya sambil memperlihatkan kedua pisau di pegangannya. ”Sudah sangat tajam, kan? Berbeda dengan ketika kamu letakkan di dekat pagar empat hari lalu. Kalau sebelum ke tanganku, pisau ini digorokkan ke leher kita, akan sangat sakiiiit sekali. Pisau tumpul, dipakai menyembelih, termasuk menyembelih kambing atau ayam, sama artinya sebuah penyiksaan,” ia berkata dengan sangat dingin. Menyembelih! Kata-kata itu bermuara pada imajinasi paling buruk dalam kepala saya. ”Kalau setajam ini, rasa sakit disembelihnya tidak begitu menyiksa, ha-ha-ha….” Ia akan menyembelih. Siapa? Saya? Istri saya? Jangan. Jangan ya Tuhan. Lihatlah, pandangilah saya saat ini, nyaris tidak mampu berdiri. Keringat dingin mengalir begitu deras dari pori-pori saya yang melebar. ”Mmmaaf, Bang! Saya tidak tahu maksud, Abang….” Ia terbahak. Kemudian, ”Kamu memang tidak perlu cepat mengerti, ha-ha-ha-ha….” Langit malam bertaburan bintang. Bermandikan cahaya. Rumah-rumah orang sudah tutup. Tak ada suara siapa-siapa di kompleks ini kalau sudah lewat pukul 20.00. Sunyi. ”Pisau tajam ketika digunakan dengan baik, tidak menyakitkan! Termasuk, untuk melukai kulit ini,” ia melayangkan segoresan garis dengan salah satu mata pisau di tangan kanannya. Terlihat, darah meleleh kecil dari kulit bertato yang dilukainya sendiri. ”Darah manis, karena luka oleh mata pisau yang tajam, bagai dicubit saja….” Saya merasakan tenggorokkan ini menyempit. Tegang! ”Kamu mau mencoba betapa tajamnya pisau ini?” Mungkin karena perasaan mencekam—yang saya bayangkan leher saya disembelih—saya tiba-tiba terduduk. Kemudian seperti sujud di kaki si sangar, ”Bang, mohon Bang! Jangan. Saya takut!” Saya rasakan kuduk saya dipegangnya, dingin. Ya, Tuhan, ia akan menyembelih saya. Tapi, salah saya apa? Sesaat kemudian, ia raba leher saya, kemudian dipegangnya lambat-lambat, diangkatnya sehingga saya terduduk berhadapan dengannya. ”Berikan pisau ini ke istrimu,” ia menyerahkan dua pisau ke saya, kemudian berdiri lalu balik badan dan pergi begitu saja. Kami bangun agak kesiangan. Saya membuka pintu depan, berharap matahari bisa menyemangati hati dan hari-hari kami. Semoga semalam akhir dari kenyataan buruk. Baru saja pintu dingangakan, di kursi teras terlihat si sangar duduk sambil merokok menghadap ke jalan. Kaki kanannya menyilang di atas paha kiri. Santai sekali tampaknya. Saya gelagapan. Si sangar menyadari pintu terbuka, ia menoleh! Mata kami bersirobok pandang. ”Kesiangan, ya!” sapa si sangar, dengan seringaiannya. ”Eh, Abang. Apa kabar, Bang?” ”Duduklah sejenak!” Ia menunjuk kursi di sebelahnya, mempersilakan saya. Sepertinya ia tuan rumah bagi saya di teras. Saya pun duduk di kursi sebelahnya, berusaha tenang. ”Kamu tahu siapa saya?” tanyanya dengan suara datar. Saya menggeleng. ”Saya baru setahun keluar penjara, membunuh orang. Kamu tahu bagaimana seorang mantan pembunuh seperti saya ini hidup setelah menghirup udara bebas?” Saya hanya diam. ”Dengan mengasah pisau!” terangnya. Saya hanya melayani dengan tatapan mata. Sesekali mengangguk. Kalau dia tersenyum, saya ikuti senyumnya. Kalau dia tertawa, saya cobakan tertawa sebisanya. ”Aku mahir mengasah pisau. Dan, dulu, musuh-musuhku kusayat sampai menjerit dengan pisau yang tajam. Dan terakhir, kusembelih, mati. Dan aku pun dipenjara,” paparnya. ”Ketika dipenjara, aku berpikir tobat. Terbayang tanah keluarga yang luas, bisa kugarap jadi ladang. Ternyata, oleh mereka, tanah dijual kemudian tahu-tahu aku hanya melihat kompleks perumahan ini sudah ada. Karena keluarga dan saudara-saudaraku ingin aku baik, sebidang tanah dan rumah kecil dibangunkan untukku dan keluarga. Karena ingin hidup normal, aku perlu uang untuk kebutuhan hari-hari. Uang dari keringat sendiri. Aku tidak punya keterampilan kecuali mengasah pisau, golok atau merampok dan membunuh,” suaranya agak lunak. ”Aku ingin anak dan istriku hidup tenang. Karena itulah, setiap rumah di kompleks ini, yang jumlahnya lebih seratus rumah, harus mengasah pisaunya sekali sebulan denganku. Bayarannya Rp 10.000. Kalau tidak mau, orang itu sama artinya menyuruhku ke penjara lagi….” Saya mencoba belajar memahaminya. Saya mulai tahu caranya yang aneh dan kasar karena tuntutan hidup. Kalau seratus rumah wajib mengasahkan pisau kepadanya berarti ia bergaji minimal Rp 1.000.000 sebulan. Tapi, apakah ia tahu, bahwa harga pisau dapur kadang tidak sampai Rp 10.000. Lagi pula bukankah ini pemaksaan. Jangan-jangan ini teori marketing si sangar. ”Pisau tajam itu penting kita miliki. Istrimu, sebagai ibu rumah tangga, misalnya. Memotong sayur, kalau pisaunya tajam, tentu sayur tidak merasa sakit ketika dipotong atau disayat-sayat. Kacang panjang, buncis, kangkung, wortel, ketimun, ketika dipotong menggunakan pisau tajam, ia mungkin akan tersenyum. Karena tidak menyakitkan baginya. Begitu juga kentang, bawang, dan sebagainya. Dalam hal ini, kasih sayang perlu dimiliki oleh pisau. Bentuknya dengan menyiapkan mata pisau yang tajam. Iya, toh?” Saya cepat mengangguk. ”Begitu juga memperlakukan ikan, menyembelih ayam, kalau dengan pisau yang tajam, akan lebih baik. Terasa lebih penyayang. Kita yang menggunakannya, juga enak. Paham, kan?” Ia menerangkan alasan-alasan yang mendukung pekerjaannya. Mengasah pisau? Pekerjaan yang aneh. Jika orang kompleks tidak ada yang menantang, yah barangkali saja Rp 10.000 per bulan tidak terlalu memberatkan jika dibanding teror yang nanti diakibatkan penolakan kesediaan mengasah pisau. ”Terima kasih. Kamu telah mendengarkan aku. Percayalah, tidak ada yang berani mengganggumu. Jika ada orang yang mengganggumu, katakan padaku. Dan anak buahku, atau bisa jadi pisaumulah yang akan kupakai menyelesaikannya,” kata si sangar sambil melintangkan telunjuknya di tengah lehernya. Dia berdiri, saya pun ikut berdiri. Menjelang sampai di pintu pagar, ia merangkul bahu saya dengan hangat. Saya mulai merasakan ia mencoba ramah dan bersahabat. Ia seakan mulai menganggap saya pelanggan bulanannya yang harus dijaga. ”Kamu telah membantu saya. Saya terima uangmu tidak dengan berpangku tangan, tetapi menjual jasa keterampilan mengasah pisau. Itu artinya, kamu bersama warga kompleks ini bersama-sama menutup pintu kejahatan bagiku. Iya, kan?” Saya mengangguk, ”Benar, Bang!” ”Itu artinya, kalau kamu tidak lagi berminat mengasahkan pisau kepadaku,” ia berhenti sejenak, mempererat rangkulannya. Saya rasakan ketiaknya melekat di bahu, dan lipatan sikunya mengetat di leher saya. Kemudian ia lanjut kalimatnya dengan suara yang berat dan perlahan, ”Itu artinya kamu siap saya sembelih….” Saya yang sedikit mulai nyaman oleh rangkulan awalnya, kembali mengalami gaduh yang tak terlukiskan cemasnya di dalam hati. Ia kemudian melepaskan rangkulannya, melangkah dengan lebih dulu menoleh ke saya di balik pagar, sembari berkata, ”Ingat, rezekiku ada pada pisaumu. Juga nyawamu!” Sejak saat itu, saya sering berkhayal membunuhnya! Padang, 20 Juni 2004
""Pisau""
Jika lelaki itu pulang ke kota kami, tidak akan dilihatnya lagi kakak duduk termenung di muka jendela, memandang gunung ataupun kejauhan tiada batas. Paman Jafar telah membawa kakak ke Pakanbaru bulan lalu dan ibu melepasnya dengan lega berurai air mata. ”Elok-elok di sana,” pesan ibu. ”Paman dan bibi akan menjagamu. Kau akan dimasukkan kerja. Engkau akan mengajar lagi nanti, Nak. Kau senang dapat mengajar lagi, bukan?” Kakak diam saja. Hanya memandang. Lurus. Kosong, jauh. Lebih-lebih kalau duduk depan jendela. Angin kadang memburai-burai rambutnya sampai masai, namun kakak bergeming. Matanya terus menerawang ke cakrawala. Wajahnya tambah putih, kian lesi. Tidak jarang air matanya merambat sepanjang pipi. ”Kakak! Kakak!” adik-adik mengimbau, berlari mendekati, memeluk, serta menarik-narik tangannya. Kakak tak hirau. Tetapi ibu terus bicara. Ibu bilang kami juga harus sering bicara dengan kakak, menyeru namanya. ”Tapi kakak diam saja,” kata adik-adik. ”Seperti tak mendengar.” ”Kakak mendengar,” ujar ibu. ”Dia sayang sekali kepada kalian.” ”Mengapa kakak tidak menyahut?” adik terkecil bertanya kepada Kak Lela. ”Kakak sedang malas bicara,” jawab Kak Lela. ”Ajaklah terus berkata-kata.” ”Malas bicara, seperti kalau aku ngambek?” ”Ya. Begitu.” Sambil lambat-lambat menyisir rambut kakak yang sepinggang ibu berucap, ”Ai, ai, harum dan bagus sekali rambutmu, Mariani. Ikal. Legam. Ah, tidak elok kita terus mengenang yang sudah-sudah sampai rambut tak terurus. Itu, paman dan bibimu tiba, Nak. Salamilah paman dan bibimu.” Kakak tetap tidak beringsut. Sudah lama kakak serupa patung hidup. Sejak dia tidak jadi mengajar, disusul perginya lelaki itu sembari mengembalikan cincin belah-rotan, tanda pertunangan—tak lama sesudah ayah ditangkap kemudian lenyap entah di mana dan di tangan siapa. Orang terlalu banyak saat itu mengurung rumah. Membawa ayah. Seolah-olah beliau orang penting, padahal hanya masinis kereta api. Bukan kepala stasiun. Apalagi pengurus ataupun ketua organisasi buruh DKA. Sedang kami hanya bisa memandang, bertangisan. ”Ayaaah! Ayaaah!” kakak meraung-raung mengimbau, tetapi ayah tidak terjangkau. Raib dalam kerumunan manusia yang gemuruh. Paman Jafar yang pulang setelah kejadian itu juga mencari, namun ayah tetap tidak dapat dicari. Sampai kini. ”Baru pekan lalu kuterima surat Kakak,” kata Paman Jafar seperti minta maaf. ”Payah hubungan pos sekarang. Lambat. Aku tidak dapat pula cepat-cepat berangkat, izin dulu ke komandan.” ”Jalan pun buruk, Kak. Berlubang-lubang,” istri paman menambahkan. ”Paham aku itu,” balas ibu mengangguk, lalu menoleh kepada kakak. ”Begitu keadaannya, lihatlah.” Istri Paman Jafar menghampiri kakak. ”Tapi mau dia makan, Kak?” ”Mau. Disuapi.” ”Disuapi?” Bibi senyum memeluk bahu kakak. ”Disuapi engkau Mariani, anak rancak? Eh, kenapa keningnya ini?” Senyum bibi tiba-tiba lenyap. ”Anak-anak nakal itu,” sahut ibu. ”Tapi tidak dalam. Sudah kering sekarang.” ”Terlalu! Tengoklah, Bang!” Mendengar ibu menjerit melihat darah muncrat di jidat kakak, aku melesat ke luar rumah. Kuburu anak-anak itu. Ada empat orang, sama besar denganku. Langsung kutumbuk hidung anak terdekat. Dia melengking, berdarah-darah. Yang lain siap-siap menyergap. Tapi seorang terjerembab saat lututnya kusepak. Lantas ku-nyanyah pula mukanya hingga lumat. ”Kalian lukai kakakku! Kalian lukai kakakku!” Orang-orang berhamburan memisahkan. Ibu-ibu menceracau, berteriak-teriak. ”Dasar kurang ajar! Anak tidak tahu diuntung! Tukang berkelahi!” ”Maling mangga! Pembuat onar! Pembawa sial!” ”Mereka yang salah,” kubilang. ”Mereka lempar kakakku dengan batu.” ”Bohong! Dasar pencuri jambu! Anak Gestapu!” Melihat puting susu perempuan itu terjuntai panjang dan hitam belum dibenahi sehabis menyusui, kubalas berteriak, ”Kau ibu anjing!” Plak! Tubuhku terhuyung ke belakang. Hampir terjengkang. Kepalaku nanar. Kuping mendenging. Seorang lelaki membelalak garang di depanku, mengibaskan tangan bagai mengusir anjing. ”Pergi!” Bibi merebahkan kepala kakak di dadanya. Membelai-belai rambut dekat luka. ”Masih rajin engkau mengaji, Mariani? Nanti mengaji, ya. Bibi ingin mendengarmu mengaji. Pamanmu juga.” Tidak berjawab. Hanya bulu mata lentik kakak mengerjap-ngerjap. Kemudian air matanya membersit lambat-lambat, bagai rembesan pada panci rusak. ”Lepaskan, Nak. Tumpahkan terus. Menangislah keras-keras!” ujar bibi masih tersenyum. Kakak terisak. Bahunya bergerak-gerak. Adik-adik dan Kak Lela berlarian mendekat. ”Kakak! Kakak!” Mereka rangkul tangan dan tubuh kakak. Kakak tersedu-sedu dalam pelukan bibi. ”Maulud Nabi kemarin sudah tak disuruh orang dia mengaji,” kata ibu seperti berbisik kepada Paman Jafar. ”Buya Nawawi juga tidak menyuruh?” ”Dia tetap. Sengaja buya tua itu kemari. ’Siapa pula anak gadis sefasih engkau mengaji Mariani, ia bilang. Mengajilah saat maulud, sebagai biasa’. Tapi yang muda-muda menolak. Sekarang orang-orang muda berkuasa di surau. Katanya, ingin bersih-lingkungan.” Paman Jafar melempar pandang ke luar rumah. Sebuah bendi lewat di muka rumah, penumpangnya tak menengok. Paman kembali melihat ibu. ”Sebaiknya Kakak ikut denganku ke Pakanbaru,” dia bilang. ”Bagaimana aku bisa pindah, Jafar,” jawab ibu. ”Rumah ini bagaimana.” ”Jual.” ”Ei, siapa bersedia membeli rumah yang penghuninya dianggap serupa hama!” Ibu tersenyum masam. ”Diberi cuma-cuma atau ingin merampas, banyak, Jafar. Tapi aku yang tak rela!” Adik ibu itu terdiam. Menyulut rokok. Melihat pula ke luar. Orang-orang tetap lewat di muka rumah, tak menengok. Hanya melirik jip hijau Paman Jafar di halaman. ”Sstt!” ucap bibi perlahan. ”Tidur.” Berbisik pula pada adik-adik, ”Ambil bantal, selimut!” Lalu dia rebahkan kepala kakak hati-hati. Dia luruskan kakinya. Diselimuti. Saat tidur begitu muka kakak persis bayi. Bersih. Polos. Tak sedikit pun tersisa galau yang mendera: ayah yang lenyap, diputus tunangan, ditolak jadi guru. Padahal, sudah tiga bulan ia mengajar, menanti pengangkatan. Berangkat gembira di pagi hari. Juga siang, sewaktu pulang. Dan terkadang terdengar riang menyanyi di kamar mandi: tak ’kan lari gunung dikejar/ hasrat hati rasa berdebar…. Atau diajaknya adik-adik, aku, Kak Lela berdoa, supaya ayah lekas kembali—entah dari mana. Lalu, penolakan jadi guru itu tiba suatu hari, serupa badai. Karena status ayah. Dan laki-laki itu muncul di suatu petang, berwajah dingin memulangkan cincin belah-rotan. Juga karena status ayah, meski tak diucapkan. Tetapi, dia maupun keluarganya selalu lewat di depan rumah dengan dagu terangkat pongah, saat kakak mulai terbiasa duduk di muka jendela. Kemudian lelaki itu memang tidak terlihat lagi. Kata orang ia sudah merantau ke Jakarta. Sementara kakak semakin betah di muka jendela, menatap kejauhan tak berbatas. ”Sudah ke mana-mana kuobati,” kata ibu, memandang paman serta bibi penuh harap. ”Belum juga ia berubah. Ada kira-kira dokter di Pakanbaru dapat menangani?” ”Ada!” Paman dan bibi menjawab serempak. ”Tenanglah Kakak,” lanjut bibi. ”Kalau perlu kami bawa ke dokter Caltex. Sesekali kubawa pula ke sekolah. Kawanku membuka sekolah taman kanak-kanak.” ”Kukhawatirkan justru Kakak,” ulang Paman Jafar. ”Ikutlah ke Pakanbaru!” ”Tak perlu khawatir, Jafar,” balas ibu. ”Tidak semua orang jahat atau bernafsu mengucilkan. Lagi pula, bila aku pindah, bagaimana kalau abangmu pulang? Ke mana dia cari kami? Walaupun sudah setahun lebih, belum pupus harapanku abangmu bakal pulang. Paling tidak, tahu keberadaannya. Bagaimana keadaannya. Bila mati di mana berkubur….” Kakak terus tidur di beranda, tak bergerak-gerak seperti bayi. Napasnya lunak. Kulitnya bersih. Putih. Apa gerangan terlintas di pikirannya sehingga mukanya begitu bersih dan tenang? Apakah dalam tidurnya dia bertemu ayah? Di antara kami kakak paling dekat dengan ayah. Barangkali karena perempuan, putri sulung; tapi tangannya campin pula, terampil-cekatan menangani rumah. Ayah bangga dengannya, berharap kakak jadi guru tamat SGA. Sedangkan Kak Lela diharapkan menjadi perawat, kalau cukup biaya. ”Kakek-nenek kalian guru. Mestinya ayah juga. Tetapi malah juru-api kereta api.” Ayah tertawa suatu ketika. ”Syukur ada kakak kalian, ya?” Kami mengangguk, turut bangga walaupun kakak waktu itu baru kelas satu Sekolah Guru Atas. ”Rencanaku besok kembali,” ucap Paman Jafar. ”Kubawa Mariani sekalian. Tugasku menunggu. Di Pakanbaru juga kacau keadaan.” Ibu mengangguk-angguk. ”Terpikir olehku, Dik,” ujarnya kemudian. ”Apa tak berbahaya buatmu kalau orang tahu status ayah Mariani?” ”Tidak!” Paman menggeleng keras-keras. ”Komandanku tahu. Dia kawanku, Kak. Anak Ampek Angkek.” Ibu bernapas lega. Besoknya, kakak dibawa paman dan istrinya. Ibu menangis. Kami juga. Rumah jadi lengang—lengang sekali. Kakak telah pergi. Tidak lagi berada di tengah-tengah kami. Dekat kami. Tapi, kalau laki-laki itu pulang suatu hari, dia pun takkan melihat kakak lagi termenung di depan jendela, memandang gunung ataupun kejauhan tiada batas. Tidak dapat lagi dia atau keluarganya mengangkat dagu dengan pongah bila lewat di muka rumah. Sekali waktu lelaki itu pasti pulang ke kota kami; tak mungkin tidak. Juga lalu di muka rumah. Tidak ada jalan dapat dia lalui untuk tiba di rumah ibunya, kecuali dia buat jalan sendiri dengan meruntuhkan Bukit Tambun Tulang serta menimbun Lurah Situngka Banang—sesuatu yang amat mustahil. Tetapi, mungkin juga bukan mustahil bila hatinya semakin dingin serupa penguasa-penguasa lalim yang dengan telunjuknya dapat membelok-belokkan apa saja. Termasuk jalan hidup anak manusia, seperti ayah, kakak, atau kami yang kehilangan mereka. Jakarta, 30 Juli 2005
""Kalau Lelaki Itu Pulang…""
Jangan lupa kirim tiket buat Cik Giok biar bisa ke Jakarta, lalu di pelabuhan. Jangan lupa baju buat Cik Giok. Di rapat persiapan perkawinanku, mengapa Pa justru sibuk mengurusi Cik Giok? Mengapa Cik Giok begitu penting, mengalahkan aku, anak tunggal yang akan kawin? Lebih hebat lagi, setiap kali Pa bersuara, Ma, yang biasanya tidak pernah rela menerima usul apa pun dari Pa, diam. Emak, yang selalu mendukung semua kehendak Ma, bisu. Cik Giok sudah lama tinggal bersama kami. Malah sejak aku belum lahir. Kalau mengikuti urutan keluarga, aku harus memanggilnya A’i—bibi—Giok. Karena kata Pa, Cik Giok itu anak angkat Emak—nenekku. Tetapi karena semua memanggilnya Cik Giok, aku mengikut saja. Dan tak seorang pun merasa keberatan dan punya niat memperbaiki kesalahan itu. Emak dan orangtua Cik Giok tinggal sekampung, di Pontianak. Pa bilang, orangtua Cik Giok kurang mampu. Hidup mereka susah, apalagi dengan jumlah anak yang banyak. Waktu Cik Giok lahir—ia anak terakhir dari 11 bersaudara—hingga umur setahun, ibunya sakit-sakitan. Supaya anak dan ibu selamat, Cik Giok ditawarkan kepada Emak untuk diambil anak. Emak mau. Di rumah kami, Cik Giok menempati kamar belakang, dekat dapur, di sebelah gudang. Kalau tak boleh dibilang paling jelek, kamar itu amat sangat sederhana. Sempit. Separuh dindingnya dari tembok. Sisanya dari kawat ayam yang dilapis kawat nyamuk, diberi tirai kain belacu yang selalu dicuci setiap Sabtu pagi. Aku pernah bertanya, mengapa Sabtu. Itu hari yang paling tepat, katanya. Supaya di hari Minggu, saat bisa sedikit bersantai di kamar, ia bisa berbaring dengan tenang tanpa perlu merasa jengkel memandangi tirai yang kotor, berdebu. Emak—ibu Ma—melarang aku main ke kamar Cik Giok. Katanya kamar itu sumpek dan lembab. Tidak bagus untuk aku yang punya asma. Sayangnya aku malah tergila-gila memasuki kamar itu, menemuinya. Terutama siang hari, ketika kamarku terasa begitu panas: tirai jendela kamar Cik Giok yang menari-nari ditiup angin, memanggil, mengajakku merasakan kesejukan di sana. Kalau sedang tak banyak tugas (ia membantu Ma memasak, mencuci, menggosok, membereskan rumah, dan mengurusi segala keperluan Emak), Cik Giok pasti menemaniku membuat pe-er. Tetapi yang paling sering kami lakukan adalah bertukar cerita. Aku paling sering mengeluhkan pelajaran—terutama berhitung, dia melepas cerita tentang kampungnya yang jauh atau mengulang cerita tentang aku waktu masih bayi. Katanya, aku bayi yang cengeng, yang cuma diam kalau digendong Cik Giok. Sering di tengah cerita, aku mengantuk. Kalau sudah begitu, Cik Giok langsung menyodorkan bantalnya yang tipis dan lembek itu. Lalu jarinya mengelus-elus alis mataku, hingga aku terlelap. Sore hari, sebelum Emak bangun, Cik Giok sudah mengusir aku keluar kamarnya Aku baru menyadari kedekatanku dengan Cik Giok ketika ia mendadak pergi dari rumah. Aku kelas enam, waktu itu. Sudah dekat ujian. Sehari sebelumnya, Cik Giok menangis seharian. Emak dan Ma melarang aku masuk kamarnya. Ketika aku ingin mencari tahu sebabnya, dia cuma menggeleng sambil mengusap-usap kepalaku. Tidak apa-apa, katanya, berusaha mengeluarkan senyum. Esok harinya, ketika pulang sekolah, kudapati kamar itu sudah kosong. Emak bilang Cik Giok pulang kampung. Ma bilang, ibunya Cik Giok sakit keras. Malam itu aku tak bisa tidur. Juga beberapa malam setelah itu. Lewat seminggu, kangen pada Cik Giok membuat dadaku mau pecah saja. Pulang sekolah, aku masuk kamarnya. Memeluk bantalnya yang tipis. Tiba-tiba aku menangis. Emak, yang kebetulan tidak tidur siang, tahu. Aku ditariknya keluar. Katanya, buat apa menangisi Cik Giok? Percuma! Dia juga tidak ingat kamu. Buktinya sampai sekarang tidak balik-balik! Aku ingin berteriak, bilang pada Emak, bahwa ia bohong. Tetapi aku diam saja. Setengah mati menahan air mata agar tak menetes lagi. Takut Emak tambah marah dan nanti memukulku dengan rotan. Sebulan. Satu kuartal. Enam bulan. Lewat. Lalu setahun: aku berhenti mengharap Cik Giok kembali. Bahkan kemudian lupa kalau di ujung rumah kami ada kamar yang pernah amat sering kukunjungi. Cik Giok seakan terhapus dari catatan keluarga kami. Hingga seminggu lalu, ketika mendadak namanya disebut-sebut dalam rapat persiapan perkawinanku. Cik Giok harus dipanggil, dibuatkan baju…. Jadi Cik Giok akan datang. Setelah empat belas tahun pergi, ia kembali ke rumah ini lagi. Kembali ke kamar dekat gudang itu yang sedang dibersihkan oleh pembantu, atas perintah Ma. Ia akan tinggal terus bersama kita, aku bertanya pada Ma. Tidak. Habis pesta kawinmu dia balik ke kampung lagi, kata Ma. Dan Cik Giok benar-benar datang. Pa menjemputnya di Tanjung Priok. Aku sedang menyirami bunga kamboja Jepang milik Ma ketika Cik Giok dan Pa turun dari bajaj. Aku berlari menyambutnya. Kami berpelukan erat. Mau kawin kamu, Lin? katanya sambil mengusap dahiku. Aku menyeringai saja. Tenggorokanku kering. Wajahnya lebih tirus sekarang. Matanya, kelihatan sedih. Ubannya sudah banyak sekali. Kurebut tas kain dari tangannya. Ia kutarik masuk. Di ruang tamu, dengan dahi berkerut, Ma menanyakan kabar Cik Giok. Baik. Semua baik, selamat, kata Cik Giok. Emak, yang tak beranjak dari meja makan, mendengus. Keras. Cik Giok menangkupkan tangannya, memberi hormat pada Emak, lalu mendahului aku menuju kamarnya yang lama. Aku mengikutinya dari belakang. Persis seperti dulu. Pagi-pagi, Cik Giok sudah sibuk di dapur. Menyiapkan sarapan untuk Emak, Pa, Ma, dan aku. Bubur encer dengan tung cai, suwiran ikan asin bakar, acar ketimun dan telur asin yang berminyak bagian kuningnya. Semua dari kampung. Kami menyantapnya dengan lahap. Cik Giok mengawasi saja dari pintu dapur. Makan, Cik, kataku. Sudah, katanya. Ketika Emak mengangkat mukanya dari mangkuk bubur, Cik Giok bergegas pergi ke belakang. Aku sudah berdiri, siap menyusulnya. Tetapi melihat wajah Emak, aku putuskan kembali duduk. Menghabiskan bubur di mangkukku. Siangnya, aku harus mengepas baju pengantin. Aku bilang, mau mengajak Cik Giok. Ma kelihatan kurang senang, tetapi suaranya nyaring memanggil Cik Giok. Ayo ikut, Cik, kata Ma. Cik Giok tampak bingung. Antar Alin mengepas baju pengantinnya, Ma menjelaskan. Kulihat wajah Cik Giok bersemu merah. Senyum mencuat dari sudut-sudut bibirnya. Tetapi langsung hilang ketika aku menggodanya. Aku bilang mungkin ia ingin beli baju pengantin juga. Ma mencubit lenganku. Sakit. Ma menggeret Cik Giok keluar. Kami berjalan beriring, menuju jalan besar. Mencari bajaj. Sepanjang perjalanan kami tak saling bicara. Baju sudah hampir selesai. Meski masih agak longgar di pinggang, bagiku gaun satin putih penuh payet serta sulaman bunga ini sudah sangat sempurna. Aku berputar-putar di depan cermin. Cik Giok tetap diam. Tak berkomentar, tak tersenyum. Lalu kami mampir ke tempat tukang kue basah untuk upacara minum teh dan tempat memesan undangan. Menuju pulang, kami singgah ke tukang jahit khusus untuk baju keluarga. Model baju untuk Cik Giok sudah ditentukan. Sama persis dengan Ma, hanya beda warna. Sedikit lebih gelap. Cik Giok tetap diam sampai kami tiba di rumah. Sudah tiga malam aku tak bisa tidur. Ma bilang itu biasa. Apalagi kalau hari perkawinan makin dekat. Katanya lagi, setiap calon pengantin selalu begitu. Itu karena terlalu senang. Mungkin. Tubuhku lelah. Mataku berat. Aku keluar kamar, mencari makanan di dapur. Tetapi begitu melihat lemari es penuh sesak dengan makanan, perutku terasa sangat penuh. Kulihat kamar lampu di kamar Cik Giok masih menyala. Dia belum tidur. Aku masuk tanpa mengetuk pintu. Kudapati ia sedang menulis sesuatu. Terkejut dia melihatku. Ada apa? Ia bertanya. Tidak bisa tidur, Cik, kataku. Ia membereskan kertas suratnya. Apa tidak mengantuk? Ia bertanya lagi. Aku hanya mengangkat bahu. Lalu aku naik ke tempat tidurnya. Kakiku menjuntai tak tertampung lagi oleh tempat tidurnya yang dulu terasa begitu lapang untukku. Tulis surat buat siapa, Cik? Keluarga di kampung. Mereka khawatir. Aku sudah tua, sudah lama tidak jalan jauh. Aku harus kasih kabar kalau sudah sampai Jakarta. Sehat dan selamat. Hanya itu yang kuingat dari percakapan kami. Aku tertidur. Entah untuk berapa lama. Lalu aku terbangun oleh suara Cik. Cepat bangun. Dicari Emak, katanya. Aku melompat, menuju kamar mandi. Terlambat, Emak sudah berdiri di depan pintu kamar Cik Giok. Ia marah besar! Sampai sore Emak mendiamkan aku. Ma ikut bersungut-sungut. Malamnya, Kuku—kakak perempuan Papa—datang. Di ruang tamu kami membahas acara minum teh bersama keluarga calon suamiku, dua belas hari lagi. Entah dari mana, tiba-tiba Cik Giok sudah berdiri di ambang pintu ruang makan. Di tangannya ada kursi plastik. Wajahnya tegang. Kuku menyuruhnya masuk. Tetapi ajakan itu justru membuat gusar Ma dan Emak. Dengan suara keras, Mama menyuruh Cik Giok tak perlu ikut duduk bersama kami. Emak menangis. Pa tiba-tiba menghilang. Padahal tadi duduk manis di samping Emak. Aku berlari ke kamar tidurnya. Kosong. Ketika aku kembali ke ruang tamu, Cik Giok sudah pergi. Ma sibuk mendiamkan Emak yang menangis makin keras. Aku bersiap menyusul Cik Giok, tetapi Kuku menahanku. Urus Emak, katanya. Ada apa ini? Aku bertanya pada Kuku. Dia cuma bilang, nanti aku akan mengerti. Nanti semua akan jelas. Nanti. Kapan? Dia ikut-ikutan memeluk Emak. Meninggalkanku. Ada apa dengan mereka? Ada apa dengan perkawinanku? Ada apa dengan Cik Giok? Dengan kepala pening dan hati gusar, aku masuk kamar. Menguncinya dari dalam. Keesokan harinya aku bangun terlambat. Cik Giok sudah pergi. Ma bilang Cik Giok ada keperluan mendadak di Bandung. Dia akan segera kembali menjelang pesta. Terserah apa kata Ma, aku yakin Cik Giok tak akan kembali ke rumah kami. Tidak juga untuk pesta perkawinanku. Sebulan lewat pesta perkawinanku yang berlangsung meriah itu, Ma minta aku pulang. Penting, katanya. Ketika aku tiba, Emak, Pa, Ma, dan Kuku telah menunggu di ruang makan. Kau harus berangkat ke Pontianak. Temani Pa, kata Ma. Cik Giok kena stroke. Aku tak ingin pergi. Malas. Tetapi suami malah mendesak. Katanya, siapa tahu ini kesempatan terakhir aku menemuinya. Dua hari kemudian Pa dan aku berangkat. Ketika itu Cik Giok sudah masuk ICU. Perutku mulas. Cik Giok tak menunggu aku tiba. Ia pergi satu jam sebelum pesawat kami mendarat. Kakak perempuan Cik Giok, yang wajahnya amat mirip dengannya, menjemput kami. Ia memelukku. Tangisnya membasahi wajah dan rambutku. Pa, diam-diam, membuang muka, menyeka matanya. Di rumah duka, barisan perempuan tukang menangis sudah membanting-banting badan, genta-genta kecil bertalu-talu. Cik Giok begitu cantik dengan baju cheong sam-nya. Aku menangis. Pa menangis lebih keras lagi. Tangannya mencoba memeluk tubuh kaku Cik Giok. Maafkan aku, katanya berulang-ulang. Semua yang ada di sana menangis, menjerit sambil berebut mendekati aku, memelukku. Erat, hingga aku sulit bernapas. Dengan muka basah, kakak Cik Giok mencium pipiku. Beri hormat pada Mamamu, ia berbisik. Rawamangun, Juli 2005
""Cik Giok""
Lempeng tektonik adalah batuan pegunungan yang padat, besar, dan kaku melakukan proses pembentukan corak topografi yang besar di muka Bumi. Bumi yang tampak padat ini sebenarnya terdiri dari beberapa lempeng tektonik membalut planet Bumi layaknya cangkang telur rebus yang merekah. Lempeng-lempeng tektonik ini secara berkesinambungan bergerak tanpa henti, mengalami proses perusakan dan pembangunan secara silih berganti, mendorong, menggilas, saling menindih. Gerakan tunjaman dalam jarak waktu 200 tahun mencapai klimaksnya dan mendapat reaksi dari lempeng yang ditunjam. Itulah yang terjadi pada Minggu, 26 Desember 2004, pukul 07:58:53 di ujung Pulau Sumatera, tempat di mana dua lempeng tektonik bertemu, di dasar kerak samudra. Patahan (sesar) naik ditambah dengan kemungkinan gerakan bukaan atau rekahan lantai samudra menimbulkan gempa berkekuatan 9 skala Richter. Lantai samudra yang patah menyebabkan kestabilan air laut terganggu secara vertikal maupun horizontal. Serapan ruang kosong yang tercipta menyurutkan air di pantai. Kedua lempeng tektonik yang bergeser dalam prosesnya menyesuaikan keberadaannya kembali. Air samudra yang masuk ke dalam celah disemburkan kembali saat ruang menutup. Terciptalah gelombang besar setinggi puluhan meter menuju pantai, secepat pesawat B747, di saat orang masih banyak terlelap setelah melewatkan malam Minggu yang panjang. Gelombang itu bernama tsunami. Gelombang yang berlabuh. Pembunuh yang tak pernah gagal. Cut Putri dari lantai dua rumah pamannya, Said Huseini, di Nanggroe Aceh Darussalam, mengabadikan detik-detik datangnya gelombang. Hasyim menyambung pemandangan duka itu melintas di depan Masjid Baiturrahman, mengabadikan lidah ombak mengusung puing bangunan, kendaraan roda empat, dan jasad manusia. Kedua pemberani itu memungkinkan aku bisa melihat peristiwa itu di Depok. Pencapaian yang luar biasa. Dan itu bukanlah unsur kebetulan. Ketika surut, gelombang itu menyemai ratapan. Hampir 300.000 jiwa melayang. Jumlah yang kemudian membikin duka dunia. Bantuan dan pertolongan berdatangan dari pelosok dunia. Televisi memperlihatkan semua itu kepadaku, kepada seorang pengarang cerita pendek yang tak bisa berbuat apa-apa, kecuali menyimak tragedi bencana alam itu, dari waktu ke waktu, dari hari ke hari. Banyak yang bisa dituai di sana. Tergantung kau dari jenis yang mana? Pengisi Surga, atau Pengisi Neraka. Apakah negarawan, politikus, pengusaha, penganjur kebaikan, penyair, pengarang, bermunculan di sana mengusung misi mulia. Walau tak jarang ada pula yang sekadar cengengesan melakukan tamasya duka. Dan: Menjarah! Menjarah harta. Menjarah perhatian. Menjarah popularitas. Kulihat semua itu ditayangkan mereka di televisi. Aku sempat menangis melihat ada orang tertangkap basah dengan muka lebam dihajar petugas. Ya Allah, kataku dengan titik air mata, manusia macam apa yang Engkau tinggalkan di zaman kami ini, di negeri yang aku cintai ini. Maling pun Engkau kirim ke tempat duka semacam itu. Engkau biarkan mereka memasukkan tangan ke dalam baskom, menyurukkannya ke bawah serbet penutup, meraup uang selawat, di Nanggroe Aceh Darussalam. Ini adalah gambaran nasib bangsa kami. Maling-maling Engkau biarkan mengurus bangsa kami. Aku selalu bertanya kepada-Mu, dalam doaku: Kalau ini juga tidak benar, kapan lagi Engkau beri kami pemimpin-pemimpin yang benar? Jangan azab kami menunggu lima tahun yang melelahkan. Aku duduk di halaman kedai kopi. Angin berembus membawa sejuk pagi. Merbah terbang di ujung ranting, mencari buah pohon seri yang ranum. Celah daun tersibak. Matahari terlindung di balik puncak menara Baiturrahman. Inilah sarapan pagi di luar hotel. Secangkir kopi, tiga potong pisang goreng, sepiring kecil ketan hitam dengan taburan parutan kelapa. Kututup sarapan pagi itu dengan sebatang rokok. Seperti menuju masjid, subuh tadi, aku kembali ke hotel berjalan kaki. Kunjungan singkat di Banda Aceh. Inilah saat yang bisa kudapat dalam sejarah hidupku, shalat subuh berjemaah di Baiturrahman dan sarapan pagi di luar hotel. Setelah itu, kurasa sulit datang ke Banda Aceh. Pertikaian bersenjata tak kunjung selesai. Di lobi, seorang lelaki berdiri dari sofa, menyongsong kedatanganku. Dia adalah penyair besar dari ujung Pulau Sumatera. ”Penyair besar yang tak pernah gemuk! Ke mana saja kekayaan bumi kalian?” Dia senyum dan menyampaikan maksud: mengundang makan siang ke rumahnya, di Kajhu, Aceh Besar. Aku disambut banyak pemuda dan gadis remaja. Istrinya masih muda, menggendong anak perempuan berkepang dua, memakai pita. Kami masuk ke ruang tamu. Tak ada hiasan di dinding, kecuali ayunan rotan tersangkut. Tali ayunan menjuntai di kaso. Di bawahnya hidangan santap siang sudah tersedia. Kami diajak ke belakang rumah. Berjalan di atas dua keping papan. Di bawah langkah kami berkeliaran kepiting pantai. Kami menuju tempat berangin-angin. ”Aku suka laut. Aku suka deburan ombak. Itu yang menimbulkan inspirasi bagiku. Angin samudra mengabarkan pesan untuk ditulis. Terkadang aku melempar pancing dari sini, bila pasang.” ”Abang tak suka laut. Gelombangnya menelan perahu Ayah. Mak menunggu berhari-hari di pantai. Ayah tak pernah pulang.” ”Bacakan puisimu untuk Abang,” teriak seseorang. Kami bertepuk dan bergeser membentuk ruang. Dia berdiri. Kami melihat dia, juga melihat laut di belakangnya. ”Aku heran, bagaimana engkau melewatkan malam-malam di sepanjang hidupmu dengan suara semacam itu?” Perempuan itu mendengar ucapan itu sambil berbaring di tempat tidur, meletakkan tubuhnya yang lelah. Dia tidak tanggalkan pakaian pengantin dari tubuhnya. Si lelaki yang sekarang telah menjadi suaminya memandang perempuan itu. ”Suara apa yang engkau maksud?” ”Deburan ombak di karang.” ”Aku tidak terganggu. Deburan itu sudah menjadi senandung pengantar tidur, bagiku.” ”Aku terganggu!” ”Engkau hanya belum terbiasa. Malam ini, malam pertama engkau menginap di sini. Di rumah kekasihmu. Di rumah istrimu sekarang.” ”Aku sangat terganggu. Mau rasanya aku mengambil kapas, menyumbat telinga ini. Malam pengantin kita dirusak terpaan golombang itu. Tak ada sunyi di sini.” ”Engkau tak bisa menjadi orang pantai. Engkau pernah dengar, orang dilahirkan di perahu, dibesarkan di perahu. Dalam kampung terapung.” Lelaki itu tidak hiraukan perkataan istrinya. Dia mungkin sedang tertarik pada sampulnya, atau mungkin pada judulnya. ”Sampah Bulan Desember. Sudah engkau baca buku ini?” ”Bagaimana aku sempat membacanya? Buku itu saja baru kita keluarkan dari kertas kadonya.” ”Maksudku, engkau sudah pernah membacanya di perpustakaan kampus?” ”Pengarang buku itu, kata Ayah, pernah datang kemari ketika aku masih dalam ayunan. Kata Mak, aku menyambut kunjungannya dengan garis air di bawah ayunan. Mak menggendongku. Menyangkutkan ayunan di dinding dan mengepel garis air itu dengan karbol. Mak mengembangkan tikar rotan dan meletakkan hidangan santap siang di situ. Ayah gembira dan puas. Pengarang itu makan dengan lahap. ’Gulai pakis dan santan durian. Orang Jakarta. Mereka tak pernah bisa melupakan lidah masa lalunya.’ Ayah dan Mak mengenang semuanya, saat Pak Pos mengantar sebuah paket. ’Mala menyambut pengarang itu dengan garis air di bawah ayunan’. ’Apa maksudnya, Mak ?’ tanyaku. Mak menjelaskannya. Dan aku tertawa.” Lelaki itu tidak tertarik dengan cerita istrinya. Dia berdiri dari tempat tidur. Dia pergi ke jendela. Mungkin dia ingin melihat laut. Tetapi dia tidak melihat apa-apa, kecuali kegelapan. Angin masuk membawa bau garam. Buru-buru daun jendela dia tutup. ”Kalau adat membolehkan, malam pengantin ini ingin kupindahkan ke tempat yang sepi, jauh dari deburan itu.” Tak ada jawaban. Dia alihkan perhatian ke buku itu. Mengapa dia tiba-tiba begitu tertarik. ”Sampah Bulan Desember. Mengapa Desember?” Dia tersenyum. ”Mengapa ia ditulis? Mengapa tidak Mei? Juni? Atau Agustus?” Seakan diganggu judul buku itu, dia meneruskan ocehannya. ”Tapi mungkin, itulah istimewanya Desember. Bulan yang ditunggu-tunggu orang di seluruh dunia. Bulan yang bisa mengubah tahun setelah angka 31 di kalender.” Dia senyum. Mungkin dia senyum karena dia berpikir begitu. ”Semisal pementasan,” katanya ditujukan kepada si istri, ”tahun adalah lakon. Desember adalah aktor terakhir dalam sebuah pertunjukan waktu. Dan, sebentar lagi layar akan ditutup. Akan muncul lakon baru penghias dinding. Hanya tinggal beberapa hari lagi. Desember akan digantikan Januari. 2004 akan digantikan 2005.” Dia tampak seperti menghitung dengan jari. ”Tinggal enam hari lagi, Mala.” Dia melihat jam tangannya: ”Oh, tidak. Usia Desember sudah tinggal lima hari lagi. Sekarang sudah pukul 01:45. Berarti ini sudah Minggu. Minggu, 26 Desember 2004.” Dia menoleh kepada istrinya. ”Engkau sudah tidur rupanya, Malahayati.” Dia angkat kaki istrinya yang terjuntai. Disempurnakannya letak berbaring perempuan itu. Dipandangnya istrinya yang sudah lama terlelap karena lelah. Dibiarkannya perempuan itu tidur pulas. Sehari penuh menyambut tamu. Dia tidak ingin mengganggunya. Malam-malam lain masih ada. Masih panjang kehidupan bersamanya. Barangkali dia berpikir seperti itu. Dia senyum memandang istrinya yang tidur pulas masih dalam pakaian pengantin. Dia perhatikan dari kepala hingga ke kaki. Baru kali ini dalam masa bergaul menjalin cinta dia melihat wanita itu tidur lelap di atas ranjang. Apalagi malam ini, kekasihnya itu, tidur dengan pakaian pengantin adat negerinya. Sanggul masih tertata rapi dengan hiasan emas murni tiga tusuk konde bungong keupula. Kerabu bungong matauroe di kedua daun telinga. Kalung lhee lapeh limong suson dengan mainan bungong meulu dan taloe gulee. Gelang pucok reubong di kiri dan kanan tangan yang seluruh ujung jarinya berwarna merah inai. Semula ada gerak ingin membuka semua itu, tetapi gerak itu tidak berlanjut. Barangkali dia tak ingin wanita itu terbangun. Melihat semua itu, masih juga dia tersenyum. Perempuan Aceh tidur dengan pulasnya mengenakan pakaian pengantin dan perhiasan begitu lengkap. Dia beranjak ke dekat pintu. Ditekannya alat pemadam lampu. Kamar pengantin itu menjadi gelap. Pelan-pelan dia rebahkan dirinya di samping wanita itu, sambil berusaha melupakan suara gelombang yang terus-menerus menghantam karang. Akhirnya dia tertidur juga dengan pulas. Kamar pengantin itu hanya diterangi lampu meja. Cahayanya yang redup tersekap kap penutupnya. Di dinding ruang tengah, jam berdentang dua kali.
""Gelombang yang Berlabuh""
Detak yang lamban. Seperti kemarin juga. Serupa sebelum-sebelumnya jua. Pukul dua belas tengah malam. Angin menusuk gigil. Mencucuk sumsum dan tulang. Aku memasang jaket dan beranjak meninggalkan rumah. Menuju jantung kota kecilku, sekaligus menceburkan diri ke dalam malam. Berjalan di atas lintasan trotoar yang menenggelamkanku ke ruang-ruang lengang melenakan. Kuingat kata-kata Ibu sore tadi. Di beranda tempat kami bisa minum teh seraya menyaksikan kelopak-kelopak mawar. Bercerita dan bersenda sambil menunggu senja tiba. Namun, sore kali ini menjadi lain. Setelah aku bercerita panjang, akhirnya Ibu berkata keras kepadaku seolah- olah saja ia sedang disengat kalajengking. ”Anak dendang? 1) Kau mau menikahi anak dendang? Apakah Ibu tidak salah dengar?” Aku menatap bola mata Ibu dalam-dalam. Sebuah danau tenang. Telaga yang tidak pernah kehilangan kasih. Semenjak usia lima tahun, sejak Ayah meninggal karena penyakit yang dideritanya, sejak saat itu pulalah Ibu hanya sendirian membesarkan aku. Anak satu-satunya. Ibu yang kemudiannya melanjutkan bisnis Ayah di bidang konfeksi, memang tidak pernah membiarkan aku hidup kekurangan. Sampai aku besar. Sampai aku menyelesaikan kuliah di fakultas ekonomi. Sampai Ibu lebih mengharapkan aku membantu bisnis konfeksinya daripada melamar pekerjaan lain. Ah, bola mata itu serasa tak kuat untuk kulawan. bola mata tempat biasanya aku berteduh. Tempat menimba kebahagiaan yang tak pernah kering. Tetapi, bagaimanapun aku harus mencoba untuk menjelaskan. ”Ibu, anak dendang itu juga manusia. Aku telah menyelidiki segala sesuatu tentang dirinya,” ucapku pelan, hati-hati, agar Ibu mengerti. ”Apa yang telah kau ketahui? Tentang ia yang selalu pulang subuh? Pulang dengan lelaki yang selalu bertukar-tukar? Atau kegenitannya merayu laki-laki di pagurawan? 2) ”balas Ibu sengit. Mulai sinis. Tak biasanya Ibu seperti itu. Telingaku mendadak panas mendengar kalimat Ibu yang amat menyudutkan profesi anak dendang. Hatiku terbakar. Namun, sepuncak upaya aku berusaha untuk bertenang diri dalam kesabaran. ”Cobalah mengerti aku. Tidak semua anak dendang seperti itu. Ibu. Aku telah menyelaminya. Percayalah. Rabina itu perempuan yang baik.” ”O, jadi namanya Rabina?” Ibu memotong. ”Ya. Aku telah selami pribadinya, keluarganya, bahkan latar belakang apa pun saja dari dirinya. Tidak ada yang menggoreskan cela, Ibu. Barangkali kenyataanlah atau keterdesakan kerasnya kehidupan yang memaksanya memilih menjadi anak dendang. Karena hanya kepandaian berdendang itu yang dimilikinya, dan kesempatan seperti itulah yang dapat diraihnya.” ”Ibu tetap tidak setuju!” jawab Ibu betapa kaku. Banyak lagi yang kucoba jelaskan, tetapi Ibu tetap pada pendiriannya. Bahkan, semakin banyak aku berbicara, kian pedas kalimat-kalimat yang keluar dari mulut Ibu. ”Perempuan pulang pagi!” ”Hidup tiada ubah bagai musang!” ”Mana ada waktunya mengurus keluarga!” ”Ibu tidak akan pernah setuju!” Kalimat-kalimat yang terus mengiang. Bersipongang. Menyisik bersama angin malam yang tajam. Menusuk sudut hatiku yang paling lemah. Aku terpojok. Bayangan-bayangan itu membuatku tanpa terasa telah sampai di jantung kota. Aku duduk di tepi trotoar, dekat sebuah lampu taman. Sebatang rokok kuselai. Asapnya membaur dengan cuaca. Lelapat kudengar tiupan saluang 3) yang ditingkahi dendang 4). Berbuai-buai. Lapik gurau 5) tidak jauh lagi dari trotoar itu. Di sebuah lorong toko yang sudah bertutup. Beralaskan tikar pandan dan dengan sebuah pengeras suara sederhana. Di sanalah saluang tiap malam digelar. Dan suara itu. Pastilah Rabina yang tengah mendendangkannya. Suara yang sudah teramat kukenal. Akrab. Lekat di kedua belah anak telingaku. Suara yang tiap menit kini mulai menggerayangi kegelisahan. Mengimbau. Lirih. Sayup. Seolah berpitunang. Membentur-bentur pikiran yang kini sulit lepas. Samar-samar kudengar lagu Palayaran 6) yang sangat kusukai. Bergema melantuni malam. Seolah berlari menjauh menembus cakrawala. Bergendang-gendang. Memukul. Dan berulang- ulang datang. Aku ingin ke sana. Ingin melihat senyum Rabina. Ingin menikmati rambut panjangnya, bulu matanya, bibirnya. Aku ingin mendengar suaranya lebih dekat. Tetapi, kalimat-kalimat Ibu tadi sore seolah-olah menahan gerak langkahku. ”Tak adakah pilihan yang lebih baik bagi seorang sarjana ekonomi? Untuk menjaga martabat keluarga dari pandangan- pandangan sebelah mata?” Selalu. Dan masih saja kalimat Ibu menghunjam bagai pisau-pisau yang berlepasan dari udara, berburu ke arahku. ”Mengertilah, Ibu. Apa Ibu percaya bahwa perempuan-perempuan lain pun akan selalu lebih baik daripada anak dendang? Ibu tentu lebih paham sesungguhnya,” jawabku tenang. ”Di samping berdendang, mereka adalah perempuan-perempuan yang berusaha melestarikan kebudayaan. Pewaris, penjaga, dan penerus kesenian nenek moyang kita. Mengapa mereka harus kita sisihkan, kita lecehkan dalam keseharian. Haruskah kita membunuhnya, Ibu? Membiarkan mereka mati di saat mereka berusaha untuk tetap tumbuh. Kurasa Ibu tidak sepicik itu,” terangku lebih panjang. Berharap Ibu tidak tersinggung dengan uraianku. Tetapi, Ibu tidak lagi menjawab dan meninggalkanku tanpa berkata-kata. Namun, jelas kutangkap dari gelagatnya, Ibu tetap tak sependapat denganku. Suara itu masih sangat jelas. Dendang yang melirih. Kadang terkesan merintih. Meratapi malam. Dari lagu yang satu ke lagu lain dialunkan untuk memenuhi permintaan demi permintaan rang pagurau 7). Ratok Bonjo 8), Pariaman Panjang 9), Sirompak Taeh 10), Sawah Rawang 11), Tigo Giriak 12), semua bergantian berlayangan menembus udara dan cuaca. Suara Rabina terdengar seolah gambaran sebuah perahu yang terombang-ambing gelombang. Kuingat pertama kali berkenalan dengan Rabina. Saat mula aku datang ke pagurawan. Sudut matanya yang melirik ke arahku membuatku terpukau. Tiba-tiba serasa ada sesuatu yang tengah datang menyerbu. Memburu dan mengepungku. Kemudian pada malam-malam berikutnya, aku mulai mengikutinya berdendang. Kalau tidak di lorong toko yang sudah bertutup itu, tentulah ia sedang memenuhi undangan di tempat lain. Tidak jarang, sejak singgalang 13) didaki, sampai jalu-jalu 14) dipuhunkan, aku setia menungguinya. Pandangan-pandangan mata kami yang diam-diam saling mencuri seakan telah bercerita banyak dan seperti ingin mengakui bahwa kami telah saling menyukai. Setelahnya kami mulai terjebak percakapan-percakapan yang hangat. Setiap berdendang pun Rabina mulai menyapaku dalam pantun-pantunnya. Kadang aku merasa malu. Di saat lain aku justru merasa bahagia. ”Ayah dan Ibuku sudah tua. Sudah tidak bisa berbuat apa- apa lagi. Sedangkan ketiga adikku masih sekolah. Untuk itulah aku terpaksa berdendang tiap malam. Hidup memang keras bagi kami. Aku tahu, banyak orang-orang yang punya pandangan miring terhadap pekerjaanku. Tetapi, bagaimana lagi, aku harus membiayai keluargaku. Dan lagi, aku sama sekali tidak pernah berbuat hal-hal yang melanggar norma-norma. Ah, biar sajalah. Bukankah kita punya nasib masing-masing!” demikian bagian dari cerita Rabina kepadaku. Banyak yang kuketahui ketika aku pun menjadi terbiasa berkunjung ke rumahnya. Sebuah rumah kecil. Nyaris tak mempunyai kelebihan. Hanya gambaran dari keberantakan. Ruang- ruang centang-perenang dan sudut-sudut yang tak rapi. Sebuah keprihatinan dari waktu-waktu yang tak tersisa. Karena setiap malam Rabina berdendang, dan siangnya adalah waktu yang lewat saja di atas ranjang. Istirahat. Untuk bersiap berangkat lagi malam harinya. ”Aku mencintaimu, Rabina. Bolehkah aku mencintaimu?” ucapku ketika satu kali aku mengantarnya pulang setelah selesai berdendang. Jam empat subuh saat itu. Dan Rabina seolah tak percaya. Diam. Menatapku lama-lama. Lalu menunduk. ”Mungkin kamu tak percaya. Tetapi, aku telah mengatakan yang sesungguhnya,” ucapku lagi meyakinkan dirinya. Rabina mengangkat wajahnya, mencoba menatapku lagi. ”Pulanglah. Sudah hampir pagi. Terima kasih sudah mengantarku pulang,” katanya pelan. ”Aku istirahat dulu ya.” Berat rasanya. Tetapi, aku mengangguk juga. Lalu pulang meninggalkan rumah Rabina. Meninggalkan sekeping keinginan yang belum tuntas. Namun, pada malam-malam selanjutnya pantun-pantun Rabina semakin gencar menyerangku. Tentang rindu. Rasa cinta yang cemas. Sebuah kegelisahan terhadap hasrat yang takut bakal tidak sampai. Atau tentang perbedaan-perbedaan status yang membuatnya seolah ragu untuk melangkah. ”Cobalah berpikir kembali. Ukur timbang matang-matang. Kamu akan menyesal memilih orang seperti kami. Anak dendang. Perempuan yang mengekas hidup di tengah malam. Kamu juga tak akan sanggup menepis ocehan orang-orang,” ucap Rabina di pertemuan kami berikutnya. ”Kamu berada di anjungan berukir megah. Sedangkan kami hanya orang kecil yang bermimpi di kaki lima.” ”Jangan berkata seperti itu, Rabina. Aku juga hanya seorang laki-laki biasa yang kini mencintaimu. Mencintaimu, Rabina!” ucapku memegang kedua tangannya. Menatap bola matanya dan berusaha meyakinkannya. Wajah Rabina mengeruh. Memendung. Tak kuduga, dua garis air bening tetes dari sudut matanya. Bergulir. Jatuh menimpa jemariku. Aku mengusap rambutnya. Membenahi anak-anaknya yang berserakan. Lalu aku mencium keningnya. Lembut. Sepenuh rasa cinta. ”Aku sayang kamu, Rabina!” Sejak saat itu, Rabina selalu menunggu kedatanganku di setiap ia berdendang. Kegelisahan tak dapat disembunyikannya bila aku belum datang ke pagurawan. Sejak saat itu pula kami mulai melewati hari-hari bersama, tidak hanya ketika ia berdendang saja. Tetapi, pada waktu-waktu tersisa, saat-saat senggang ia tidak ada jadwal undangan, kami akan menikmatinya berdua. ”Pinanglah. Pinanglah aku secepatnya!” ucapnya meminta. Malam melilit. Aku masih di trotoar itu. Menyelai rokok lagi. Menikmati saluang yang masih berkumandang. Mendengar suara Rabina. Aku ingin ke sana. Ke lapik gurau tempat Rabina berada. Aku ingin mengatakan kepadanya, ”Aku mencintaimu, Rabina. Aku mencintaimu!” Namun, kalimat-kalimat Ibu sore tadi terus memburuku. Membelenggu. Aku ingin memberontak. Ingin berteriak. Di langit malam, awan-awan diam. Cahaya bintang berkilauan memendar bias. Aku menatapnya. Lama. Lalu aku berjalan. Meninggalkan trotoar itu. Adakah yang lebih berkuasa daripada takdir Tuhan? Payakumbuh, Agustus 2005 Catatan: 1) Orang-orang yang melagukan pantun-pantun dalam kesenian musik saluang. Biasanya dilakukan oleh perempuan. 2) Istilah bagi tempat kesenian musik saluang berlangsung. 3) Alat musik tiup terbuat dari bambu (kesenian musik tradisi Minangkabau). 4) Pantun-pantun yang dilagukan. 5) Istilah, tempat kesenian musik sedang digelar. 6), 8), 9), 10), 11), 12) Judul-judul lagu dalam kesenian musik saluang. 7) Para pencandu atau penikmat kesenian saluang. 13) Lagu pembuka dalam kesenian musik saluang. 14) Lagu penutup dalam kesenian musik saluang.
""Langit Malam""
Pensiun dari pekerjaannya di perusahaan surat kabar, lelaki itu pindah ke desa di ketinggian ke rumah yang dirancangnya sejak lama di antara gunung-gunung dan lembah. Didasari pertimbangan yang dibuat tak kalah lamanya, ia bersama istri ingin melewatkan hari tua usai pensiun di tempat yang tenang, mengonsumsi waktu sehari-hari dengan bebas merdeka. Pekerjaan menulis konon tak mengenal kata pensiun. Sebagai penulis, dia malah membayangkan produktivitasnya nanti, di tengah waktu yang dibayangkannya luas tak terhingga seperti samudra. Jajaran pohon bambu di belakang rumah hanya kelihatan pucuk-pucuknya dari ruang kerja yang dibuat di lantai dua. Ini untuk melukiskan, bagaimana rumah mereka berada di atas tanah dengan tekstur berbukit, di mana beberapa sisi kemudian terlihat sebagai pemandangan yang letaknya di bawah. Di seberang sana, lembah dan gunung-gunung. Tempat tinggal mereka seolah mengapung di udara—dan memang begitulah rancangan sahabatnya, lulusan sekolah arsitektur terkemuka di Inggris. Sahabat itu sebelumnya sampai mendesak, ingin tahu lebih tegas lagi segi-segi hubungan dia dengan sang istri (karena itu segi paling penting untuk mengonfigurasi tempat tinggal katanya), kebiasaan serta irama keseharian mereka, sampai impian bahkan impian yang boleh jadi berada di balik kehidupan yang nyata, fana. ”Kamu ini psikolog, pendeta, atau arsitek?” tanya si lelaki menjelang pensiun waktu itu kepada sahabatnya tadi. ”Sudahlah, kamu jawab semua pertanyaanku. Jerussalem juga dibangun dengan gagasan spiritual, bukan teknis,” tukas sang teman. ”Wah, aku lupa, pekerjaanmu urban planner. Setahuku kamu memang belum pernah membangun rumah meski kamu arsitek, ha-ha-ha…,” sahutnya berseloroh. Manusia menjelang pensiun malah menuliskan puisi untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan sahabatnya itu. Sang sahabat garuk-garuk kepala. ”Baru kali ini aku disuruh membangun rumah acuannya puisi,” ujarnya dengan tetap menggaruk-garuk kepala sehingga rambutnya yang agak kemerahan menjadi kian berantakan. ”Aku memang belum pernah membangun rumah. Kali ini aku mau, karena ini rumah wong edan…,” tambahnya getas. Ketika hari pensiun tiba, teman-teman menyelenggarakan pesta perpisahan untuknya di kantor. Istrinya yang puluhan tahun kawin dengannya tak pernah menginjak kantor diajaknya serta. ”Masih cantik ya…,” kata beberapa teman wanita di kantor mengomentari istrinya—entah basa-basi atau sungguhan. Terus terang, ia terbiasa mendapati komentar orang seperti itu. Dia disuruh pidato, menyatakan kesan-kesannya selama 25 tahun bekerja di situ. Beberapa teman ada yang mengusap air mata. Pimpinan perusahaan, orang sangat bijak yang telah membuatnya betah kerja di tempat tersebut, mengingatkan agar dia tetap menganggap kantor ini sebagai ”rumah kedua”. Begitulah, sejak hari itu irama kerjanya sebagai orang kantoran berhenti. Dia menjadi navigator untuk dirinya sendiri, untuk seluruh waktu yang berada di bawah kekuasaannya sendiri, terserah mau dia manfaatkan untuk kegiatan apa. Kebiasaannya bangun siang menjadi-jadi. Terasalah, waktu tidak seluas dibayangkannya. Setelah bangun tidur tengah hari—atau kadang lewat tengah hari—tak ada sesuatu yang menggerakkannya untuk mengerjakan sesuatu. Dia duduk bermalas-malasan minum kopi atau entah apa. Setelah itu sore tiba. Muncul alasan untuk memanjakan kemalasan yang lain, dengan menikmati matahari turun di balik lekukan gunung-gunung. ”Kalau ingin menulis, ya mustinya bangun pagi,” komentar istrinya. Dia cuma tertawa. ”Benar juga,” ujarnya dalam hati. Pertama berat, tapi perlahan-lahan dia mulai bisa bangun pagi. Perkembangan berikut bahkan mengagetkan sang istri. Ia mulai bangun saat subuh, sebelum matahari terbit. ”Kenapa bangun sepagi itu, Pa?” tanyanya. Dilihatnya sang suami juga tidak melakukan sesuatu di atas keyboard komputernya. Yang dilakukan adalah mengerjakan pekerjaan-pekerjaan rumah, bersih-bersih, merapikan barang-barang, dan lain-lain. ”Ooh, barangkali memang begitu kebiasaan semua pensiunan,” pikir sang istri. Kebiasaan itu berkembang menjadi-jadi. Pagi-pagi dia sudah memegang gunting tanaman, memangkas dan merapikan daun-daun bambu, menggunting cabang dan ranting-ranting tanaman bunga-bungaan, sesekali merawat dengan memberinya pupuk, memindahkan dan menata ulang tanam-tanaman, sampai-sampai, dia seolah seperti landscaper. Buku-buku filsafat politik sastra contemporary studies ditinggalkannya. Dia lebih tertarik pada tanaman. Kepada semua temannya ia hanya memesan buku yang berkisar soal tanaman, gardening, lanscaping, space planning, dan semacamnya. Dari silaturahmi dengan teman-teman lama yang masih terjaga, orang-orang di kantor hampir semua tahu bahwa ia kini menjadi petani. ”Mas Daru kini jadi petani lho…,” celoteh orang di kantor. ”Ah masak?” yang lain menimpali tidak percaya. ”Apa dia bisa pegang cangkul?” ”Hu… kalian tidak tahu. Coba tanya beberapa teman. Tanah di sebelah yang kosong dia tanami singkong. Waktu saya ke sana, kebun singkongnya itu sudah seperti hutan. Katanya dia sampai diprotes tetangga, takut kebun singkongnya untuk sembunyi maling….” Begitulah kehidupan pensiunan ini. Dia menjadi petani. Soal menulis, jangan-jangan dia bahkan sudah lupa…. Sampai suatu ketika berita mengejutkan tiba (hal seperti ini sebenarnya seperti pengulangan, selalu terjadi pada para pensiunan. Hanya saja, ketika kejadian yang tampaknya bisa menimpa siapa saja itu terjadi, kaget juga banyak orang). Apa yang terjadi di tempat tinggalnya di desa menyebar: dia ditemukan pingsan di kebun singkong. Ia dilarikan ke rumah sakit. Beberapa teman lama berbondong-bondong datang membesuk selama dia dalam perawatan. ”Stroke ya?” ”Jantung ya? Bagaimana keadaannya?” ”Stres karena pensiun, kali….” Beberapa orang menyimpulkan sendiri apa penyakitnya. Hanya istrinya—orang terdekatnya—yang benar-benar tahu apa yang menimpanya. Sang istri percaya, tidak ada sesuatu yang terlalu perlu dikhawatirkan. Selain sikap berserah kepada Yang Kuasa, dari berbagai penjelasan dokter, si istri ini percaya suaminya akan segera pulih. Memang kekurangan oksigen beberapa saat waktu itu sempat memengaruhi ingatan atau memorinya. Ada beberapa hal menjadi tidak bisa diingat lagi oleh suaminya. Akan tetapi, ia percaya, kemukjizatan akan mengembalikan segala-galanya kalau Yang Kuasa menghendaki. Yang dijalani di rumah sekarang adalah proses pemulihan. Kegembiraan sang istri berangsung-angsur timbul kembali, melihat kemajuan suaminya. Ia merasa benar dengan feeling-nya. Sudah beberapa pagi dia melihat suaminya melakukan stretching di taman belakang rumah di dekat kolam. Bukan hanya stretching, tetapi bahkan mulai gerakan-gerakan lembut yang dia kenal sangat diakrabi suaminya. ”Liong bun…,” ucap sang istri dalam hati sambil menarik napas gembira. ”Dia bisa mengingat rangkaian gerakan Pintu Naga….” Perkembangan berikutnya lagi, sang suami terlihat selalu nyenyak tidurnya, dan bangun dalam waktu yang nyaris tetap sebelum matahari terbit. Ketika si istri keluar dari tempat tidur beberapa waktu kemudian, dia sering menjumpai suaminya sudah dalam keadaan rapi, berada di ruang kerja menghadap komputer. Dia baru menyadari, bahkan meja kerja itu pun sudah diubah posisinya, langsung menghadap ruang terbuka menghadap arah gunung-gunung. ”Papa sudah sehat benar ya? Diam-diam sudah menulis lagi ya?” godanya. Sang suami diam, duduk dengan punggung tegak dan mata menatap ke kejauhan. Di balik gunung ada gunung, di balik cakrawala ada cakrawala…. Si istri kaget. Suaminya telah pulih kembali. Itu tadi ucapan suaminya, penggalan sajak penyair besar teman mereka yang kini tinggal menyepi di Citayam. Didekatinya suaminya dari belakang. Ia ingin menguji memori suaminya. ”Itu gunung apa Bib…,” tanyanya, dengan menggunakan nama panggilan suaminya, semasa mereka pacaran puluhan tahun lalu. ”Indrakila!” jawabnya. Sang istri memerhatikan suaminya dengan saksama. Ini main-main atau sungguhan? Di seberang itu jelas Gunung Gede-Pangrango. ”Raja Dharmawangsa menuju kayangan dengan mendaki Gunung Indrakila. Semua saudaranya tumbang di jalan. Hanya dia selamat sampai ke pintu kayangan, diiringi anjing kita, Patman…,” suaminya melanjutkan kata-katanya. Ah, realitas hidupnya yang berupa kenyataan sehari-hari dan fiksi telah menyatu kembali. Wanita ini tersenyum. Itu Gunung Gede-Pangrango, bukan Gunung Indrakila. Sedangkan Patman benar-benar jenis anjing rottwiller peliharaan mereka. Sang istri kian penasaran. ”Kita sekarang berada di mana?” ”Mertasari!” Tersenyum sang istri. Dia tahu, suaminya pasti sadar bahwa ini Banjarsari, bukan Mertasari. ”Ingat di mana kita mendapatkan pohon kemboja itu?” sang istri bicara sambil jarinya menunjuk pohon kemboja dengan batangnya yang berbentuk arkaik, di pinggir kolam. Si suami diam sesaat, sebelum berucap, ”Lihat bunga putih yang jatuh di air kolam. Dia bicara mengenai riwayatnya sendiri, tentang asal-usulnya, tentang Banjar Suwung Kangin yang mempertemukan kita….” Terhenyaklah sang istri. Itu peristiwa puluhan tahun lalu, pertemuan mereka, episode-episode manis yang pernah mereka lewati. Mata sang istri menjadi berkaca-kaca. Dia peluk suaminya dari belakang. ”Bibib telah benar-benar sehat, siap menulis lagi…,” katanya tersedu sambil makin mengencangkan pelukannya. Langit semburat merah. Pagi benar-benar datang. Ciawi Junction, 2005
""Indrakila""
Betapa menyenangkan bila ia mati di bulan Ramadhan ini. Ia tak ingin kecewa lagi. Ramadhan berlalu, tapi ia masih saja hidup. Rasanya seperti seorang anak yang kecewa karena ditolak permintaannya saat lebaran. Ramadhan kali ini, ia berharap maut benar-benar akan datang. Saat ia berbaring di ranjang, hingga ia bisa mati tenang… Alangkah menenteramkan membayangkan kematian yang nyaman seperti itu. Tak ada darah membuncah dari kepala pecah. Atau erang kesakitan leher digorok. Ia memejam, mengusir bayangan buruk itu. Bayangan kematian penuh darah. Ah, ia bisa mencium bau amis darah itu, seperti lengket di hidungnya! Segera ia mandi, keramas. Menyisir rambut dan memotong kuku, sembari bersiul-siul kecil. Rasanya segar mendapati suasana yang sudah serba bersih, rapi, dan wangi. Tak ada lagi serakan puntung rokok atau tumpukan pakaian kotor mengonggok di pojok. Setiap menjelang Ramadhan, ia selalu membersihkan kamar kontrakannya. Saat Ramadhan kemarin, ia malah mengecat ulang dinding-dindingnya. Dan tadi, ia sudah menjemur kasur bantal yang lembab apak berjamur. Melipat selimut. Merapikan pakaian. Menyemprotkan pewangi ruangan. Ia lakukan itu setiap kali menyambut Ramadhan—seakan ia menyiapkan upacara kecil menyambut kematian… Ia berdiri di ambang pintu, memandang langit siang yang terang, sembari terus bersiul- siul ringan. >diaC< Beberapa tetangga—yang tengah duduk menggerombol— memandang ke arah laki-laki yang bersiul-siul itu, dan segera saling bisik. Anak-anak yang sedang bermain seketika berhenti, mengerut menatap laki-laki itu. Langsung, seorang perempuan tergopoh menarik anak-anak itu menjauh. Kemunculan laki-laki itu selalu menimbulkan ketidaknyamanan. Ia jarang berada di kamarnya. Seperti selalu menghilang. Berhari-hari. Kadang berbulan-bulan. Bila pulang, ia mendekam dalam kamarnya yang selalu tertutup. Sesekali, beberapa tetangga melihatnya keluar tengah malam. Bergegas. Memakai jaket kulit hitam. Menenteng koper besar, seperti kotak tempat menyimpan gitar. Ada yang bilang ia seorang pemusik yang main di sebuah bar. Entahlah. Sebab, banyak yang sering melihatnya duduk-duduk menenggak tuak di pelacuran bawah jembatan. Mungkin ia rampok. Lihat saja tampang seramnya. Tato di lengan kanan. Parut luka seputar pundak, seperti bekas bacokan. Tapi ada yang pernah melihatnya jualan es cendol saat ada demonstrasi menentang kenaikan harga BBM—matanya jelalatan, seperti mengawasi. Mungkin intel. Dan seseorang yang sering ikut demonstrasi bayaran beberapa kali melihat laki-laki itu ikut teriak-teriak menuntut pembebasan mantan menteri yang didakwa korupsi. Tetangga yang jadi tukang ojek pernah secara tak sengaja berpapasan dengannya: rapi berdasi mirip sales obat kuat. Para tetangga penasaran menyimpan dugaan. Sikapnya yang dingin membuat para penghuni rumah petak tak pernah berani bertanya. Ia seperti tak mau dikenali. Menutup diri. Misterius. Aneh. Seperti kebiasaannya itu: berdiri membisu, memandang entah apa. Rutin yang ganjil. Menjelang Ramadhan ia muncul. Beres-beres kamar. Pintu jendela yang biasanya tertutup dibuka lebar. Sepanjang malam mondar-mandir dalam kamar. Mungkin sedang menyiapkan makanan buat sahur. Tapi mereka tak yakin kalau laki-laki itu puasa. Sering, ia terlihat merokok siang hari. Tiap sore ia keluar. Bukan ke masjid mendengarkan pengajian dan buka puasa bersama, tapi pergi ke kuburan. Ini yang membuat kian penasaran. Sampai kemudian beberapa orang tahu: laki- laki itu ternyata sudah membeli kapling kuburan buat dirinya! Juru kunci bercerita, betapa ia sering melihat laki-laki itu mencabuti rumput, menyapu, atau berdiri termangu memandangi kapling makam itu. Seperti seorang yang tengah menziarahi kubur sendiri. Dan orang-orang merinding mendengarnya. Para tetangga jadi gelisah. Barangkali ia dukun. Bisa-bisa ia mencabuli gadis di sini. Atau ia lagi menyempurnakan ilmu hitam? Kuduk mereka meremang. Sering mereka mendengar erang panjang dari kamar laki-laki itu… >diaC< Mayat-mayat yang melepuh gosong terbakar itu muncul dari liang kelam. Seperti iblis yang marah karena diusir dari neraka, mereka mendengis bengis. Mengepungnya. Kulit wajah mayat- mayat itu meleleh, seperti lilin panas mencair. Ia mengerang, mengenali beberapa wajah remuk rusak itu. Wajah-wajah orang yang pernah dibunuhnya. Wajah mahasiswa yang ketakutan ketika ia pelan-pelan mengerat ibu jarinya. Wajah pucat perempuan simpanan yang lehernya ia sayat. Wajah tirus gadis kecil berpita merah yang seketika bersimbah darah ketika ia membantai keluarganya. Wajah- wajah yang membuatnya mengerang panjang. Ia tergeragap bangun. Mimpi terkutuk! Mimpi yang membuatnya ingin mati. Mati dengan tenang, di bulan Ramadhan. Meski ia tahu, sebagai seorang pembunuh bayaran, ia bisa saja menghadapi kematian yang paling buruk. Mungkin, seorang pembunuh bayaran lain pada suatu malam akan menyergapnya—dan ia meronta melawan tapi tak berdaya. Ia terkapar, memandang pembunuh itu berdiri menyeringai menikmati saat-saat paling mengasyikkan ketika seorang korban mengejang mati pelan-pelan. Ia pun suka menikmati saat- saat seperti itu. Itulah kenapa ia paling suka membunuh pakai pisau belati. Membuatnya bisa lebih dekat dengan wajah sekarat orang yang mesti dihabisinya. Ada kenikmatan yang membius setiap kali menyaksikan urat-urat di leher korban pelan-pelan berubah menjadi lebih lembut kehijauan. Seperti menyaksikan kematian mengecup pelan-pelan… Sejak kecil ia suka menikmati saat-saat merasakan aroma maut seperti itu. Ia selalu ingin berada sangat dekat, setiap kali kakeknya menyembelih ayam. Ia tak suka bila ibunya bercerita putri-putri jelita dan para pangeran yang hanya sibuk berpesta. Ia lebih menyukai dongeng makhluk-makhluk seram penghuni hutan. Kisah para raksasa penyantap manusia. Ia senang membayangkan memenggal kepala para raksasa itu. Umur tujuh tahun, diam-diam ia membunuh kucing pamannya. Saat SMP ia berkali-kali berkelahi, membuat lawan-lawannya bonyok nyaris mati. Ia terkenal sebagai bocah tangguh jago kelahi. Kamu pantas jadi tentara, kata teman-temannya. Dan ia membusung bangga. Memang, ia suka membayangkan diri jadi tentara. Di kampungnya, orang yang jadi tentara sangat ditakuti. Ia pernah melihat seorang tentara mengajar tukang parkir, saat ada keramaian pasar malam di alun-alun kecamatan. Orang- orang mengerubung, tak ada yang berani menghentikan. Alangkah hebatnya jadi tentara, bisa memukuli orang sepuasnya. Ia pun mendaftar jadi tentara. Dikirim ke medan perang. Ia paling senang ketika harus menyiksa para pemberontak. Ia melaksanakan penyiksaan dengan tenang, tertib, dan disiplin. Dan itu disukai komandannya. ”Kamu punya bakat bagus. Percuma kalo cuma jadi tentara. Paling mentok jadi sersan,” kata komandannya. Lalu sepulang perang, ia diberinya pekerjaan. Pekerjaan yang tak terlalu sulit: cuma menghabisi istri seorang pejabat, karena pejabat itu pingin kawin lagi. Lalu beberapa order ringan lainnya. Membunuh seorang pengusaha. Menghabisi seorang wartawan. Seorang hakim. Ia menikmati bayaran yang lumayan. Benar kata komandannya. Penghasilan pembunuh bayaran lebih baik ketimbang gaji sersan. Rezekinya lancar sebagai pembunuh bayaran. Ia sudah membeli rumah buat hari tua. Tapi selama ini ia lebih memilih tinggal di sepetak kamar kontrakan. Tempat menyembunyikan diri. Sumpek bau comberan. Tapi membuatnya merasa aman. Lagi pula ia bisa mengatasi kecurigaan tetangga. Ia akan tinggal di rumahnya, nanti bila sudah berhenti. Selalu ia mengangankan usia tua yang tenang. Ia kenal beberapa mantan pembunuh bayaran yang menderita di masa tuanya. Beberapa mati dalam penjara. Beberapa menderita sakit jiwa. >diaC< Sampai satu peristiwa membuat segalanya jadi tak seperti yang ia angankan. Pesan itu singkat dan jelas: bunuh Kiai Karnawi. Dan ia mulai mengawasi. Beberapa kali ia menguntit ketika kiai itu memberi pengajian. Ia amati raut tua Kiai Karnawi. Kulitnya yang coklat resik. Rahang terkesan pipih, membuatnya makin terlihat tua dengan jenggot panjang putih bersih. Sorot matanya tenang. Bicaranya santun. Ia heran, kenapa orang seperti itu dianggap membahayakan negara dan mesti dilenyapkan? Dianggap memimpin para militan? Tapi itu bukan urusannya. Tugasnya hanya membunuh. Tanpa jejak. Biar nanti bisa direkayasa: Kiai Karnawi mati kecelakaan… Ia menunggu Kiai Karnawi selesai memberi pengajian. Ia tak terlalu menyimak. Sepotong- sepotong mendengar kiai itu bicara soal kemuliaan bulan Ramadhan. Beruntunglah orang yang mati di bulan Ramadhan. Mati di bulan Ramadhan ialah mati yang mulia. Dan ia tersenyum. Mencibir. Getir. Apakah seorang pembunuh bayaran juga akan mendapatkan kemuliaan bila mati di bulan Ramadhan? Semua sudah sesuai rencana. Ia berhasil menyamar sebagai sopir colt omprengan yang akan membawa pulang Kiai Karnawi. Ia merasa segalanya akan berjalan lebih mudah ketika Kiai Karnawi menolak tiga orang panitia pengajian yang hendak ikut mengantar Kiai Karnawi pulang. Itu lebih menggampangkan rencananya: menyekap kiai itu di tengah jalan, lalu mendorong mobil ke jurang. Semua berjalan sebagaimana sudah ia perhitungkan. Sampai Kiai Karnawi kemudian bicara tenang, ”Aku tahu, kamu mau membunuhku. Aku ingin mempermudah pekerjaanmu. Karena itulah, aku tadi tak mau ada orang lain yang ikut mengantar. Biar tak banyak korban. Kamu cukup membunuhku, tak perlu repot-repot membunuh yang lain…” Ia tak tahu, kenapa mobil perlahan berhenti. Ia tak mengeremnya! ”Mari kita turun,” ajak Kiai Karnawi. ”Kamu bisa membunuhku di sini. Tak usah membuangku ke jurang dengan mobil itu. Sayang kan, itu mobil mahal. Nanti bisa dipakai ngompreng bila sampeyan memang berniat pensiun jadi pembunuh bayaran.” Baru kali ini ia gemetar. Kiai Karnawi minta izin untuk sholat terlebih dulu. ”Setelah itu kamu bisa membunuhku. Tapi tolong, yang pelan. Jangan sampai aku kesakitan ya, hehehe…” Kiai Karnawi terkekeh. Lalu menggelar sajadah. Ia meraba belati. Gemetar tak yakin. Lalu meraba pistol yang ia siapkan sebagai cadangan. Ia bisa menembaknya. Tapi sampai Kiai Karnawi selesai sholat, ia hanya berdiri gamang. ”Sekarang, lakukan tugasmu. Mungkin Allah memang memilihku mati di bulan Ramadhan. Alhamdulillah. Kalau boleh memilih, aku sih inginnya mati dengan cara enak dan nyaman di bulan Ramadhan. Enggak usah merepotkan sampeyan…,” lalu kembali Kiai Karnawi tertawa ringan. Ia merasa senja meremang. Yang terjadi kemudian lebih serupa bayang-bayang suram. Terdengar letusan. Senyap. Kelebat bayang burung menyambar. Kemeresek daun jati jatuh. Pelan. Lengking gagak di kejauhan. Dengung jutaan serangga mengepung. Singup. Seperti ada jutaan pasang mata yang mengawasinya dari balik rembang petang. Jutaan pasang mata yang sejak itu terus mengintainya. Berpasang-pasang mata yang mengingatkan pada orang-orang yang telah dibunuhnya, dan kini memburu kematiannya. Ia mulai diusik gelisah. Ia jadi suka membayangkan kematiannya sendiri. Membuatnya mulai menginginkan kematian yang tenang. Kematian di bulan Ramadhan. Rasanya tak ada yang lebih membahagiakan, kecuali mati di bulan Ramadhan. Ia pun kemudian selalu berharap, diperkenankan mati di bulan Ramadhan. Dan semoga saja, ia benar-benar mati di bulan Ramadhan ini. Amin. Yogyakarta, 2005
""Ia Ingin Mati di Bulan Ramadhan Ini""
Hal yang paling kutakuti ialah sakit. Berulang-ulang istriku menganjurkan supaya aku memeriksakan diri ke dokter. Rasa sehat bukan berarti tidak sakit, katanya. Nah, justru itulah yang kukatakan kataku, kalau-kalau dokter mengetahui penyakitku. Lebih baik tidak usah mengada-adalah! Pernah sekali aku pergi ke rumah sakit dan memeriksakan kepalaku yang ada benjolan. Kurasa benjolan itu mengganggu, bukan karena sakit, tetapi karena kalau tidur, benjolan itu sering pindah-pindah. Segera saja dokter menyuruh perawat menggunduli separuh kepalaku dan kemudian menyuruhku berbaring di atas meja operasi. Sayatan di kulit kepala membuat darah mengalir lewat tanganku menuju baskom di bawah meja. Gumpalan lemak sebesar setengah gelas dikeluarkan dan menunjukkannya kepadaku. Ada rasa ngeri dalam diriku. Mudah-mudahan itu bukan tumor ganas, kataku dalam hati. Sebulan kemudian aku diberitahu bahwa lemak itu bukanlah tumor ganas. Sejak itu, aku menjadi takut ke rumah sakit. Sampai akhirnya, suatu ketika aku terjatuh di kamar mandi. Entah berapa lama, aku tidak tahu. Setelah sadar, aku bangkit dengan pandangan yang berkunang-kunang. Ada rasa nyeri yang menyayat-nyayat di usus. Terpaksa kuperiksakan ke dokter, dan aku disuruh harus menginap di rumah sakit. Untuk pertama kalinya aku mengenal jarum suntik yang membuatku ngeri. Perawat tanpa perasaan kurasa menancapkan jarum ke pantatku. Setelah pulang dari rumah sakit, bertahun-tahun, bahkan puluhan tahun aku tidak pernah lagi ke dokter. Dengan mobil VW Kodok putih aku berangkat subuh ke Ibu Kota untuk menghadiri rapat dinas sekali sebulan. Biasanya aku tiba setengah delapan dan rapat di mulai pukul delapan, berakhir pukul satu siang. Seperti biasa, kalau pulang, aku selalu mencari teman untuk pulang. Supaya ada teman berbicara sepanjang jalan. Tetapi tidak ada yang kebetulan ke Bandung. Sendiri aku kembali. Panas Ibu Kota ditambah debu dan gas yang beterbangan, membuatku tidak betah. Rasanya udara dan kemacetan lalu lintas seperti mencekik leher. Berbeda dengan udara di luar kota yang terasa segar dengan pemandangan pepohonan yang hijau. Entah berapa jam aku menyaksikan pemandangan yang indah, aku tidak tahu. Ketika aku membuka mata, orang yang berpakaian putih-putih kulihat mondar-mandir di kamar. Seorang perawat memegang pergelangan tanganku. Sebuah botol infus meneteskan cairan yang dingin ke tubuhku. Suster, di mana aku? tanyaku. Dengan tersenyum ia menjawab, Bapak perlu istirahat banyak. Jangan terlalu banyak bergerak. Aku sadar bahwa aku terbaring di rumah sakit. Kuraba kepalaku yang nyeri, ternyata dibalut dengan perban. Ada rasa sakit di kaki dan tangan. Pasien sebelah kudengar merintih-rintih. Menjelang tengah malam aku dinaikkan ke atas tempat tidur dorong. Dengan lift aku tahu belakangan bahwa aku dibawa ke tingkat IV dan dibaringkan di atas tempat tidur yang rapat ke dinding. Nyeri di kepala dan bagian kaki. Perlahan-lahan rasa sakit merambat ke seluruh tubuh. Aku merintih-rintih. Seorang perawat datang dengan membawa obat dan alat suntik. Ia mengatakan kepadaku bahwa tablet yang di dalam kantong plastik kecil itu harus kuminum sesuai dengan petunjuk dokter. Kulihat perawat itu memasukkan kepala jarum ke tabung obat dan kemudian menyingkapkan pakaianku bagian bawah. Persis di pantat, jarum itu menancap. Aku mengaduh karena memang aku takut disuntik. Sejak lama aku menghindari suntikan, kalau boleh dengan menelan obat saja. Bekas suntikan itu kemudian dilap dengan kapas basah. Entah berapa lama aku tidur dengan lelap, rasa sakit tidak lagi terasa sampai pagi sudah tiba. Dokter menerangkan bahwa cedera yang kualami tidaklah terlalu parah. Dibutuhkan waktu beberapa hari untuk memulihkan luka di kepala dan bagian kaki. Tidak ada tulang yang patah, hanya luka memar dan benturan di kepala. Aku bertanya kepada dokter apakah aku menderita gegar kepala? Dokter menerangkan bahwa lukaku tidak begitu serius. Beberapa kali aku disuntik, setiap kali hendak disuntik tubuhku menegang dan perawat mengatakan kepadaku supaya santai saja agar tubuh jangan kejang. Beberapa kali ia menanamkan jarum itu, tetapi tidak berhasil. Kucoba menguasai perasaanku dan memikirkan hal-hal yang lain, sampai akhirnya perawat itu berhasil menyuntikkan obat yang membuatku tertidur beberapa jam. Petang hari kedua aku mendapat kawan sekamar yang ditempatkan di tempat tidur yang menghadap jendela. Dengan menggeser kepala sedikit aku menoleh kepadanya. Kami saling menyapa. Rupanya ia pasien pindahan dari rumah sakit lain. Kulihat kondisinya tidak begitu parah karena ia masih dapat menggerakkan tubuhnya, menarik bantal ke bagian dinding dan menyandarkan tubuh bertopang bantal itu. Ia lancar berbicara dan bercerita panjang lebar mengenai penyakitnya bahwa ia menderita komplikasi yang mengakibatkan gagal ginjal. Setiap minggu ia harus mendapat transfusi darah. Cerita berikutnya tidak bisa lagi kutangkap karena suaranya bagaikan kata-kata yang samar-samar karena mungkin suntikan obat yang masuk ke dalam tubuhku sudah mulai bekerja. Ketika makan siang usai, kawan yang di sebelahku, yang berbaring dekat jendela menyapaku. Kali ini kukira ia mengoceh lagi. Sambil menaruh dua bantal di belakang punggungnya yang bersandar ke dinding ia bercerita dengan lancar. Aku sangat beruntung tidur di kamar ini, dekat jendela pula. Udara segar dan pemandangan sangat menyenangkan. Tadi malam, tengah malam, aku terbangun dan mengiraikan gorden jendela dan aku melihat ke luar. Di luar pemandangan yang amat mengasyikkan. Ada bintang-bintang yang bertebaran di langit. Aku melihat cahaya yang indah. Sepertinya aku bertemu dengan anakku yang telah lebih dahulu pergi ke surga empat tahun yang lalu. Ia menyapaku dengan lembut. Ia mengendarai selimut malam yang putih. Tangannya melambat memanggil-manggilku: Ayah, ayah! Ke marilah! Di sini hidup tenang dan sejahtera, damai. Datanglah! Tiba-tiba kulihat tubuhnya melesat ke udara, menuju bintang-bintang yang gemerlapan. Ia melayang jauh, muncul lagi, dan kemudian lenyap di dalam selimut malam. Oh, indahnya. Sungguh sangat menyenangkan tidur dekat jendela ini… Mungkin maag-ku yang kumat sehingga cairan milanta kurang memadai untuk menenteramkan lambungku dan suntikan itu sangat efektif untuk meneduhkan rasa perih yang menyayat-nyayat ususku selain cedera yang menimpa kepalaku dan kakiku. Suara kawan di sebelah segera bagaikan suara sayup-sayup di kejauhan yang kemudian lenyap di telan angin. Petang harinya aku membuka mata. Kawan di sebelah tersenyum dan menyapaku seperti biasa. Tidur dekat jendela ini amat nyaman, kawan. Segala derita berlalu, apalagi kalau silir malam yang lembut mulai menyentuh tubuh dari celah-celah gorden. Seperti lembutnya belaian kasih tangan malaikat menyentuh tubuh. Alangkah indahnya pertemuan dengan anakku itu. Dan belum lama berselang, ketika Anda tertidur, seseorang menyapa aku. Melalui semilir angin yang lembut ia berbisik kepadaku, Pak, tidak usah takut. Berjalanlah bersama kami, dengan sayap kehidupan yang abadi kita menjelajahi angkasa dan tiba di sebuah tempat yang tiada lagi derita. Kawan-kawanmu seperjuangan dahulu ada bersama kami, mereka rindu bertemu dengan Anda. Lalu aku menyaksikan sebuah pertunjukkan, sebuah pesta yang meriah. Semua orang berpakaian yang indah-indah. Semua tampan dan cantik jelita. Bidadari-bidadari dari kayangan menari, ada suara menarik, ada suara musik yang mendayu-dayu dengan berbagai melodi yang menggairahkan tubuh. Lentiknya tangan mereka, ayunannya yang menggoda, hidangan anggur merah yang meriah, oh, nikmatnya. Taman di sebelah ini memang dirancang untuk memberikan inspirasi tentang masa mendatang. Sepanjang hari penghuni taman ini mengadakan pesta yang tidak ada putus-putusnya, seolah-olah hidup ini hanya untuk pesta meriah saja. Para pelayan yang sopan, persediaan yang tidak habis-habisnya, sungguh menyejukkan hati… Aku tidak dapat memberi komentar karena sesekali rasa nyeri di lambungku mengentak-entak. Hal itu terjadi mungkin sesudah pengaruh obat penenang itu hilang. Hanya kadang-kadang tebersit dalam benakku, apakah pemandangan kawan sekamar ini benar-benar indah, ataukah itu hanya bayang-bayang di dalam lubuk impian hatinya yang terdalam. Ketika suster menutupkan gorden pembatas karena hendak menyuntikku kembali, aku bertanya, Suster, mengapa pasien sebelah belum pulang? Kukira kesehatannya membaik karena ia lancar berbicara. Suster itu tersenyum. Ia harus mendapat tambahan darah, tapi keluarganya belum berhasil mendapatkannya. HB-nya sedang menurun. Tengah malam aku terbangun mendengarkan beberapa kaki yang bergegas dan tempat tidur yang didorong. Aku tidak tahu apa yang terjadi, tapi pintu segera ditutup dan kembali senyap. Paginya, saat matahari mulai menyusup dari celah gordenku aku menyapa suster yang membawa obat untukku. Tadi malam seperti ada sesuatu yang terjadi di kamar ini. Ah, tidak apa-apa. Hanya teman sekamar Bapak dipindahkan ke ruang penantian di bawah. Ruang penantian? Apa itu? Kamar paling akhir, jawab suster itu tenang. Mungkin peristiwa seperti itu sudah terlalu sering dialaminya. Maksud suster? tanyaku penasaran. Ruang perjalanan akhir, katanya perlahan. Pak, minumlah obatnya! katanya sambil meninggalkan ruangan. Setelah minum obat aku menekan bel untuk memanggil dokter. Bapak memanggil saya? tanyanya dengan terengah-engah. Rupanya ia sedang terburu-buru. Ya. Bolehkah suster memindahkan tempat tidur saya ke dekat jendela itu? Mengapa? Bapak kurang enak tidur di sini? Ingin udara yang segar. Baiklah, katanya sambil melangkah ke pintu, Saya akan minta bantuan kawan yang lain. Mereka menggeser tempat tidur yang dekat jendela itu dan menarik tempat tidurku ke tempat itu. Setelah suster pergi, aku mencoba menarik bantal dan menyandarkan tubuhku ke dinding, disangga bantal. Kudorong daun jendela, membukanya lebar-lebar. Aku terkejut melihat pemandangan di luar. Wou! Aku menjerit tak sengaja karena melihat di bawah pohon kamboja yang meranggas, tersebarlah nisan di atas lahan kubur yang tua. Buru-buru kutekan bel. Suster berdatangan ke ruanganku. Ada apa, Pak? Suster, tolong pindahkan aku dari ruangan ini! Tolong segera… Kurasa lebih lima belas menit kemudian, aku dipindahkan ke ruang sebelah, di bangsal yang lain. Bandung, 19 Agustus 2005
""Di Balik Jendela""
Aku lupa, kapan aku kenal temanku yang satu ini. Namanya Roni. Dengan tiba-tiba aku sangat akrab dengannya. Semula pada suatu sore dia datang, tanpa mengenalkan diri, dia mengucapkan salam dengan menyebut nama panggilan akrabku: Mas Sudar. Dan kami langsung ngobrol ngalor-ngidul tentang dunia gaib. Soal tuyul, genderuwo, jin, sampai segala macam pesugihan. Seakan dia sudah tahu benar bahwa aku paling suka cerita-cerita begituan sampai paling getol nonton televisi yang menayangkan tentang dunia hantu dan alam gaib. Di kompleks rumah Mas Sudar ini ada yang pelihara tuyul lho,” katanya. ”Ah yang benar!” sahutku. ”Benar! Mas Sudar kerap kali kehilangan uang kan?” Memang benar. Aku kerap dan bahkan sangat kerap kehilangan uang. Uang ”laki-laki” yang aku simpan di tas kerjaku kerap berkurang. Tapi aku tak menyangka itu pekerjaan tuyul, paling-paling kerjaan istriku yang tahu nomor kode kunci tas kerjaku. Karena dia pun suka ngerjain kartu ATM saya. ”Kok tahu?” tanyaku tertawa. Kemudian dengan serius dia mengatakan bahwa pekerjaannya adalah sebagai mediator untuk orang-orang yang perlu bantuan untuk bisa memelihara tuyul, genderuwo atau jin. ”Di kota ini sudah banyak pengusaha toko sepeda motor, mobil, atau restoran yang memerlukan penjaga usahanya dengan memelihara makhluk seperti itu berkat bantuan saya. Bahkan beberapa pejabat negara pun minta dicarikan jin.” Saya terdiam bengong. ”Betul kok Mas, saya biasa melihat siapa saja yang memelihara tuyul atau sebangsanya. Kalau Mas Sudar mau bisa saya carikan.” ”Ah musyrik,” jawabku. ”Anda sendiri gimana. Berprofesi makelar tuyul, apa tidak dosa?” ”Ah ya tidak. Wong saya hanya perantara. Meskipun saya mendapat bayaran untuk itu, aku tidak mau dibayar dengan uang sesudah dapat tuyul. Harus dengan uang sebelumnya. Dan saya sudah serahkan tanggung jawab kepada mereka, bahwa mereka akan selamanya sampai hari kiamat menjadi budak setan.” Beberapa hari kemudian, ada peristiwa aneh di rumahku. Kami sekeluarga sedang menghitung uang belanja dan memisah-misahkan mana untuk belanja harian, mana untuk uang sekolah anak-anak, dan lain-lain. Uang kami atur menurut nilainya, lima puluhan ribu ditumpuk jadi satu, ratusan ribu dengan ratusan ribu. Dan baru sedetik istriku menaruh selembar ratusan ribu, detik itu pula raib di depan mata kami. Kami bingung mencarinya. ”Diambil tuyul kali Yah!” kata anakku. ”Tuyul?… Tuyul kepala hitam!” jawabku. Istriku merengut, rupanya tersinggung karena saya selalu menyebut diambil oleh tuyul kepala hitam, setiap uang di tas kerjaku hilang. Lebih mengherankan lagi tak lama kemudian Roni datang. ”Betul kan Mas, ada tuyul di sekitar sini,” katanya. ”Mau tahu siapa yang punya.” Kemudian dia minta disediakan baskom berisi air. Dia minta memerhatikan air. Nanti akan terlihat siapa orangnya. Tapi sampai mata saya hampir lepas tak kulihat siapa-siapa, kecuali bayang-bayang wajahku sendiri. ”Lihat Mas. Itu orangnya. Perempuan berambut ikal. Nah itu nomor rumahnya kelihatan.” ”Saya tidak melihat apa-apa,” jawabku. ”Ah memang, perlu tirakat dan ritus tertentu untuk bisa melihat penampakan…. Nanti kalau mau saya ajari. Tapi sekarang kalau Mas Sudar melihat seorang perempuan jalan sore dengan kedua tangan di belakang, itu dia sedang menggendong tuyul. Coba nanti dari belakang kita cibiri dia, maka dia akan menoleh karena tuyulnya memberi tahu bosnya.” Ternyata betul dengan apa yang Roni katakan. Dan sekarang saya tidak pernah lagi kehilangan uang. Mungkin tuyulnya malu karena sudah ketahuan. Rupanya perkenalanku dengan alam gaib semakin jauh. Kami sekeluarga baru saja menikmati honor cerpenku yang telah dimuat di sebuah majalah dengan makan-makan di warung lesehan, Roni mengunjungi kami lagi di rumah. ”Cerpenmu bagus Mas,” katanya. ”Saya dengar mau bikin novel ya?” Aku baru saja membuat cerita pendek dengan latar belakang peristiwa G30S, dengan mengumpulkan referensi dan data dari para saksi mata dan pelaku yang masih hidup. ”Harusnya Mas Sudar melengkapinya dengan menambahkan dari narasumber yang menjadi korban pembantaian!” Ah gila. Mana mungkin, pikirku. ”Bisa lho Mas,” ujarnya. ”Mereka ini masih penasaran jadi arwah yang masih gentayangan karena merasa tidak rela akan nasibnya. Kuburan massalnya ada di daerah Luwengombo, Pandansimping, atau di Desa Tempuran. Dengan cara tertentu kita bisa menemui mereka. Dan nanti akan membuat novel Mas benar-benar hebat.” Benar-benar gila orang ini, pikirku. ”Benar-benar biasa lho Mas! Dengan ritual tertentu kita bisa berhadapan dengan mereka di tempat mereka dibunuh. Cuma kita harus tabah dan siap mental karena mereka akan hadir dengan bentuk keadaan terakhirnya. Saya sendiri kurang berani menghadapinya. Sungguh mengerikan mereka menampakkan diri dengan kepala terbelah atau usus terburai atau tanpa kepala.” Bulu kudukku meremang. ”Tapi kalau Mas hanya ingin mengenal dunia alam gaib mereka, ini saya beri tahu ritualnya.” Dia menulis kelengkapan ritual dengan laku, rapal, dan amalan di atas sesobek kertas dan diberikan kepadaku. Ya Allah, ampunilah dosa hambamu ini…! Oleh kekuatan rasa ingin tahuku, tanpa setahu istriku aku laksanakan ritual itu. Ah, ini pasti perbuatan iseng si Roni, pikirku. Hingga pada suatu sore, sewaktu aku mengunjungi sahabat di sebuah pesantren di Desa Tempuran, agak di luar kota. Ketika melintasi jembatan sungai berpagar tembok di ujung desa, terasa bulu kudukku meremang. Di sepanjang pinggiran sungai penuh pohon pisang sehingga memberi kesan gelap. Pulangnya sehabis magrib, menjelang melintasi jembatan, tiba-tiba saja ada seorang lelaki tua melambaikan tangannya ke arahku. Aku tidak tahu dari arah mana dia muncul. Kupinggirkan sepeda motorku di samping pagar jembatan. ”Monggo Pak,” sapaku. ”Kalau mau ke kota, saya boncengkan.” ”Tidak kok Nak Mas,” jawabnya lirih. ”Saya hanya mau minta tolong untuk menyampaikan pesan saya kepada anak saya, supaya kerap mengirimi saya makanan.” ”Alamat anak Bapak di mana?” Dia sebutkan sebuah nama dengan alamat jalan nomor rumah di luar kota. ”Lha, Bapak tinggal di mana?” ”Tidak jauh dari sini kok, Nak,” jawabnya sambil menunjuk searah dengan rumpun pisang. Mungkin tinggal di desa seberang sawah sana, pikirku. Saat kunyalakan sepeda motor dan berpamitan, dia mengucapkan terima kasih sambil tersenyum. Tapi… senyum itu… ya Allah, senyuman seperti orang menahan sakit itu, telah membuatku tidak bisa tidur semalaman. Paginya kusempatkan waktuku untuk mencari alamat anaknya. Ternyata tidak mudah. Setelah bertanya kesana-kemari, kebanyakan orang mengatakan tidak tahu, bahkan ada yang kelihatan enggan menjawab. Ataupun kalau menjawab pasti ditambah kata: oooh…, eks tapol Pulau Buru itu? Akhirnya kutemukan juga. Seorang lelaki paruh baya, air mukanya nampak bagai orang yang telah mengalami tempaan hidup yang keras, menyambut kedatanganku dengan pandangan penuh curiga. ”Dari mana Bapak tahu alamat saya, dan tujuan Bapak mencari saya?” tanyanya menyelidik. Kusampaikan kepadanya bahwa aku telah bertemu ayahnya yang tinggal di Desa Tempuran, serta kusampaikan pula pesan ayahnya. Dia tertegun beberapa saat. ”Ayah saya? Seperti apa dia?” ”Rambut sudah beruban, alis tebal, berjanggut yang sudah sebagian memutih, berbaju lurik dan memakai sarung pelekat hijau,” jawabku seingatnya. Tiba-tiba dia benamkan wajahnya di kedua telapak tangannya. Katanya di sela sedu sedannya: ”Ya Allah, dalam pakaian itulah sewaktu ayah dibantai bersama orang-orang yang dianggap melakukan gerakan makar. Ternyata benar kata orang mereka telah dikubur di bantaran sungai yang kemudian ditanami pohon pisang di atasnya.” Jantungku serasa berhenti berdetak! (Belakangan aku sarankan kepadanya untuk mengirim doa kepada ayahnya setiap kali dia shalat. Mungkin itu yang dipesankan ayahnya untuk dikirimi makanan. Dan selama ini aku tidak lagi berjumpa dengan Roni, kabarnya dia telah menjadi salah satu penasihat spiritual pejabat tinggi di Jakarta.) Klaten 2004 Catatan: Ngalor-ngidul: Utara Selatan, tak terarah Laku: Melakukan ritual fisik, seperti puasa, tidak tidur malam, dsb. Rapal: Mantra Amalan: Bacaan Doa Monggo: Mari, silakan
""Kirimi Aku Makanan""
Keng Hong terkulai lemah di depan jasad anaknya. Tubuh dan pikirannya sangat letih setelah melakukan perjalanan jauh selama dua hari dua malam. Dari balik kain penutup jasad, dilihatnya darah masih merembes membasahi bawah dipan. Ada tujuh tusukan yang bersarang di tubuh anaknya. Remaja tanggung itu telah meninggal sejak semalam. Istrinya, Ling-Ling, sedari semalam terus menangisi jasad anaknya yang membujur di atas dipan. Kedua anaknya yang masih hidup, A Cong dan Beng Sin, ikut-ikutan menjerit di samping ibunya. Tak ada seorang pun tetangga yang melayatnya. Ia baru saja menjejakkan kaki di Kembang Jepun2 ini setelah selama hampir dua hari merangkak-rangkak di antara desingan peluru dan menyelinap menghindari laskar-laskar perjuangan yang anti-orang-orang kuning dan bermata sipit seperti dirinya. Revolusi kemerdekaan benar-benar membara di seluruh pelosok negeri. Korban berjatuhan. Tak jarang di antaranya adalah korban-korban kesalahpahaman belaka. Ia tak tahu kapan situasi perang akan berhenti. Keng Hong mengembuskan napas panas dari hidungnya berulang-ulang. Asap hio menyengat. Ada dua saudara iparnya yang ikut menunggui rumah sejak kejadian semalam di samping istri dan anak-anaknya. Didekatinya Ling-Ling yang berurai air mata. Tangannya gemetar mengelus kepala istrinya. Rambutnya kusut, sebagian menutupi wajahnya. ”Sudahlah, Ling. Jangan menangis terus-menerus. Relakan kepergian Siong. Tuhan akan menerimanya di surga,” katanya. ”Kenapa kau tega membiarkan ia mati, Suamiku? Siong, gantunganku bila kau tak ada, mati di tangan bajingan-bajingan yang mengaku laskar perjuangan itu,” teriaknya sambil menggerung-gerung. Sin Liong masuk ke ruangan bersama Hong San. Muka mereka pun pucat karena sejak semalam belum memejamkan mata barang sedikit pun. Keng Hong melirik kedua adik iparnya. ”Kita harus menguburkan Siong secepatnya sekalipun perlengkapan penguburan tidak lengkap. Situasi darurat harus dihadapi dengan cara-cara darurat,” kata Keng Hong. ”Lalu apa yang harus kita lakukan kemudian?” tanya Sin Liong. ”Orang-orang yang berkedok membela Republik itu sampai sekarang belum diketahui laskar mana. Kita terjepit di antara dua kekuatan besar.” ”Sudahlah, kita pikirkan nanti saja. Sekarang kita harus menguburkan A Siong cepat-cepat. Aku tak mau Ling-Ling terus-terusan menangisinya. Bagaimana kalau kita kuburkan di halaman belakang rumah,” kata Keng Hong. ”A Cong, kau pergi ke tempat Paman Cia. Suruh dia membungkus mayat dan mendoakan arwah A Siong agar diterima di surga. Dia orang baik, tentu mau menolong kita. Jangan menangis terus. Kau sekarang menjadi anak tertua. Jangan cengeng!” Ketiga orang itu kemudian pergi mengambil cangkul dan mulai mencari tempat yang tepat untuk menguburkan jenazah. Matahari bulan Desember hilang entah ke mana. Hujan terus turun sejak semalam. Sekarang, meskipun tinggal rintik-rintik, air masih menggenangi halaman belakang. Keng Hong mencangkul tanah basah, seolah lupa kalau kepenatan telah menghajar sejak dua hari yang lalu. Setelah empat jam menggali tanpa henti, akhirnya lubang sedalam lebih dari satu meter itu berhasil dibuat. Sin Liong terpaksa memindahkan air dari lubang terus-menerus untuk memudahkan penggalian. Paman Cia menggotong mayat A Siong keluar diiringi tangisan Ling-Ling. Akhirnya tubuh remaja tanggung itu dibenamkan ke tanah dalam suasana hujan rintik-rintik. Malam. Empat orang duduk di atas meja bundar setelah tadi berdoa bersama di depan altar sederhana yang dipersiapkan Keng Hong. Wajah-wajah mereka muram. Sedangkan Ling-Ling terus mengusap kelopak matanya yang bengkak. Pelupuk mata yang sipit semakin menyembunyikan bola matanya yang kecil. Dengan kalimat terbata-bata, ia bercerita tentang kematian A Siong lebih detail. Kadangkala dibantu oleh Hong San yang datang satu jam setelah terbunuhnya A Siong. Semalam, hampir lima orang tak dikenal mendatangi rumah Keng Hong, menanyakan apakah lelaki itu ada di rumahnya atau tidak. A Siong yang pertama kali membukakan pintu. Di belakangnya Ling-Ling mengikuti dengan tubuh gemetaran. Ia selalu ketakutan bila ada orang asing datang ke rumahnya. Tapi A Siong mewarisi keberanian ayahnya. Ia menjawab ayahnya tidak ada. Kalau ada apa-apa, ia bisa mewakili ayahnya. Kelima orang itu bertanya apakah ayahnya terlibat Pao An Tui atau tidak, apakah ia pergi untuk membela Republik atau KNIL. Sayangnya A Siong yang pemberani itu berkata sedikit ketus kepada kelima orang itu. ”Ayahku selamanya membela Republik. Ia lahir di sini. Dan mati pun di sini. Tak sudi ia membela orang-orang Belanda itu. Ayahku teman baik Oei Kim Sin, pendiri Pao An Tui,” kata Ling-Ling menirukan suara A Siong. Setelah A Siong mengucapkan kalimat terakhirnya, tiba-tiba salah satu dari kelima orang itu menarik dan menusukkan parang yang disembunyikan di selangkangannya. Ling-Ling melolong-lolong. Lebih enam kali orang itu menusuk A Siong, sampai remaja tanggung itu menjelempah di lantai. Setelah korbannya ambruk, mereka kabur dari tempat itu. Ling-Ling pingsan melihat darah berceceran melumuri tubuh anaknya. Kedua adik A Siong keluar dari kamar, ikut melolong-lolong melihat tubuh A Siong. ”Aku datang terlambat. Entah kenapa aku ingin datang ke rumah Kakak Ling sejak sore. Tapi teman-teman di pos penerimaan bantuan ransum untuk Republik menahanku. Aku datang satu jam setelah pembunuhan itu,” kata Hong San dengan wajah penuh sesal. ”Kita memang serba sulit. Orang-orang di Jakarta dan kota besar lain ramai-ramai membicarakan nasib babah-babah kaya yang rumahnya terus dijarah. Dan kita merelakan diri menjadi kacung Pao An Tui. Sementara mereka, babah-babah kaya itu, yang menyandarkan nasib hartanya pada Pao An Tui tak pernah memikirkan nasib orang- orang miskin seperti kita, walaupun kita loyal terhadap Republik. Menjengkelkan kalau dipikir-pikir,” kata Sin Liong dengan nada menyesal. ”Aku masih heran kenapa laskar-laskar itu menyerang kita, kaum peranakan Cina miskin. Lagi pula mereka mestinya tahu siapa aku,” kata Keng Hong sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Berkali-kali ia duduk dan berdiri, resah. Matanya menyelundup keluar, menembus dinding dan menerawang ke angkasa yang gelap. ”Puh, kau tidak tahu, Kakak. Sudah tersebar desas-desus Pao An Tui membela Jenderal Spoor3. Lihat saja buktinya, orang-orang seperti Babah Can itu setiap hari hilir mudik bersama-sama KNIL. Padahal ia menyatakan dirinya di depan banyak orang membiayai Pao An Tui,” jawab Sin Liong kesal. Keng Hong mengangguk. Memang benar, bukan hanya di Surabaya isu itu berembus. Di Semarang dan Jakarta isu itu pun lebih santer. Kabarnya KNIL memaksa beberapa orang petinggi Pao An Tui untuk memihak Belanda. Dan ia memang tahu sendiri iblis-iblis bermuka dua di organisasi keamanan kota itu. Ia mengenal baik Oei Kim Sin, teman masa kecilnya yang telah berjasa besar menyelamatkan orang-orang China seperti dirinya, baik yang kaya maupun yang miskin. Mereka berteman baik sejak kecil, meskipun ayah Keng Hong bekerja menjadi pembantu di rumah keluarga Oei yang kaya raya. Ia tahu seperti apa kesetiaan Oei pada Republik. ”Kabarnya rumah Babah Can dan beberapa orang kaya di Kembang Jepun ini dijaga orang-orang bayaran KNIL.” ”Benar, aku tahu sendiri ada opsir KNIL bertandang ke rumah Babah Can tiga hari yang lalu,” kata Hong San yang dari tadi diam saja. ”Lalu bagaimana kunjunganmu di Thay Kak Sie4? Apakah keluarga kita di sana baik-baik saja?” tanya Sin Liong. ”Orang-orang kita di Semarang lebih beruntung. Mereka jumlahnya lebih banyak daripada Surabaya, dan tidak banyak terpencar-pencar. Penjagaan keselamatan hidup mereka lebih mudah.” ”Kabarnya tuan Perdana Menteri Syahrir berkunjung ke tempat kediaman Seng Kun, kepala Pao An Tui Semarang?” ”Benar. Yang Mulia Perdana Menteri teman baik Seng Kun selama gerakan bawah tanah. Ia malahan memberikan bantuan untuk gerakan kita.” ”Tak ada musuh dalam selimut? Orang-orang bermuka dua itu yang menyebabkan bencana orang kecil macam kita ini. Akibatnya pembunuhan besar-besaran seperti yang terjadi di Karawang dan Surakarta. Kita selalu menjadi kambing hitam dalam segala hal,” kata Hong San. Seseorang mengetuk pintu. Keempat orang yang sedang terlibat pembicaraan tersebut saling pandang satu sama lain. Sin Liong yang berdiri dekat pintu hendak meraih selot pintu, tapi ditahan Keng Hong. ”Siapa?!” bentak Keng Hong. ”Aku, Mei Lan, Kakak Hong. Bukalah pintunya,” jerit perempuan di luar pintu. Sin Liong langsung meraih selot pintu dan membukanya. ”Untuk apa kau kemari? Bukankah sudah kupesan sebaiknya kau tidur saja malam ini?!” kata Sin Liong gusar melihat istrinya yang basah kuyup menerobos hujan. ”Aku takut di rumah sendirian. Semua cahaya di rumah kumatikan. Tadi baru saja ada orang mengintip,” kata istrinya sambil menggigil. Anaknya yang berusia sepuluh tahun kelihatan menggigil. Ling-Ling masuk ke rumahnya dan mengambil pakaian Tian-Tian yang seusia dengan anak Sin Liong. ”Kau gantilah pakaianmu. Masuklah, tidur di sini, temani kami,” katanya dengan suara parau. ”Sekarang apa yang harus kita lakukan, Kakak Hong?” tanya Hong San. ”Kita mesti menyelidik siapa yang membunuh A Siong. Nyawa harus dibayar dengan nyawa.” Keng Hong tertawa samar dan kecut. Ia teringat dengan korban-korban seperti A Siong di Surakarta dan Karawang5. Tidak hanya puluhan, tapi ratusan, terbunuh sia-sia. Apakah ia harus menuntut nyawa anaknya? Revolusi memang makan banyak korban. Ia telah tercebur ke dalamnya. Dan sekarang revolusi yang diceburinya telah meminta nyawa anaknya. Ia tak akan menuntut balas dendam tak bermata seperti itu. ”Tidak, aku tak mau melakukan pengusutan lebih lanjut,” katanya pelan. ”Kau memang terlalu baik hati terhadap orang-orang Republik. Anakmu sendiri menjadi korban, dan kau diam saja,” kata istrinya sambil terisak, meninggalkan mereka. Suara tangisannya pecah, meresahkan malam yang basah. ”Ketua Pao An Tui di Surabaya telah memberikan perintah pada kita. Menurut mata-mata yang kita selundupkan ke rumah Babah Can, dan menguping pembicaraan opsir KNIL itu, dalam hitungan beberapa hari ke depan akan ada operasi militer besar-besaran oleh Belanda. Jenderal Spoor ingin Republik hancur secepatnya,” kata Hong San. ”Aku juga sudah tahu desas-desus itu. Tapi orang-orang Republik menganggap berita itu angin lalu saja. Di Semarang, kita telah membagi dua kekuatan. Sebagian untuk melindungi orang-orang kita dan yang sebagian lagi mempersiapkan logistik Republik untuk pertempuran kota dan mempermudah jalur pengiriman logistik ke desa-desa dalam perang gerilya,” kata Keng Hong. ”Sebenarnya hari ini aku diperintahkan oleh Ketua Pao An Tui Semarang menyampaikan surat untuk Ketua Pao An Tui Surabaya. Tapi aku sangat lelah. Lebih baik kutangguhkan besok pagi.” ”Kakak beristirahatlah. Aku akan di sini sampai pagi. Besok kutemani Kakak ke rumah ketua,” kata Hong San. Ia melonjorkan kaki di atas dipan. Sementara Sin Liong menggelar tikar, lalu menelentangkan tubuhnya di lantai. Malam turun semakin sunyi. Entah kenapa Keng Hong tak langsung memejamkan matanya. Padahal selama dua hari tiga malam ini ia tidur ayam. Firasatnya tak enak. Hong San telah mematikan semua lampu untuk memudahkan penglihatannya ke luar rumah. Bayangan wajah A Siong bermain-main di kepalanya. ”Kau telah menjadi tumbal untukku, Siong. Dan tumbal kaum kita. Tumbal revolusi kemerdekaan Republik. Mimpi orang-orang kecil macam kita. Aku bangga memiliki anak sepertimu. Sayang Tuhan memanggilmu sangat cepat,” katanya dalam hati. Pikirannya terus mengembara ketika ia merasakan tangan Hong San menyentuh tubuhnya. ”Kakak, ada seseorang mengendap-endap di luar. Apa yang harus kita lakukan,” bisik Hong San. Keng Hong menghunus pedang yang selalu menemani tidurnya. ”Bangunkan Sin Liong,” katanya. ”Sudah. Dia menunggu di samping pintu,” jawab Hong San. ”Mereka benar-benar meneror kita.” Keng Hong mendekati pintu depan. Sin Liong membungkuk mengamati orang di luar rumah. ”Cuma ada satu orang. Kita sergap saja dia,” katanya. ”Jangan terjebak. Bisa saja mereka cuma memancing kita keluar,” kata Keng Hong. Keng Hong tak melanjutkan kata-katanya karena dari kegelapan terdengar letusan bedil memecah malam. Ketiga laki-laki itu bertiarap di lantai. Papan-papan kayu di rumah Keng Hong bergemeletak tertembus peluru. Suara rentetan senjata api itu semakin membuat orang-orang tak berani keluar rumah, tercekam ketakutan. Di antara rentetan senjata api, Keng Hong mendengar gerakan orang berlari mendekat ke rumahnya, sebat. Bulu kuduknya berdiri karena orang itu berdiri tepat di depan pintu. Dalam hitungan detik, orang itu kembali berlari menjauh dari pintu. Ketiga orang itu mendengar suara pintu seperti diketuk. Lama mereka tiarap. Setelah keadaan sepi selama hampir seperempat jam, Keng Hong memberi tanda pada Sin Liong untuk berjaga-jaga. Perlahan-lahan, ia membuka selot pintu, lalu membukanya. Sebuah kertas tertusuk pisau kecil di di pintu rumahnya. Ia mengambilnya dan menutup pintu lagi. Diambilnya korek dari kantong celananya. Ia membaca tulisan itu. ”Antek-antek Pao An Tui kalau berani bersekutu dengan Belanda akan dimusnahkan.” Mereka berpandangan satu sama lain. Keng Hong menggeleng-gelengkan kepalanya. ”Kita benar-benar berada di tempat yang sulit. Kedua belah pihak mencurigai kita,” katanya sambil meremas kertas itu sampai hancur. Kedua adik iparnya memandang bingung, tak tahu mesti berbuat apa. Yogyakarta, 13 Januari 2005 Catatan: 1. Barisan Polisi Keamanan Kota, suatu penjaga keamanan sipil yang dibentuk etnis China di tahun 1947 guna menjaga keselamatan orang-orang China baik karena ancaman Belanda maupun pihak-pihak Republik yang tidak menyukainya. 2. Nama daerah di Surabaya tempat bermukim komunitas China. 3. Panglima Tentara Belanda, NICA, di Hindia Belanda yang ditugaskan untuk mempertahankan kekuasaan Hindia Belanda. Ia mati bunuh diri tahun 1949, begitu posisi Belanda di dunia internasional terjepit. 4. Nama salah satu kuil atau kelenteng di Semarang. Kuil ini diperkirakan dibangun ketika Panglima Cheng Hoo datang ke Sam Poo Toa Lang atau Semarang pada abad ke-15. 5. Antara tahun 1946 sampai tahun 1949, komunitas China di nusantara mengalami banyak sekali pembunuhan tanpa sebab. Peristiwa di Surakarta dan Karawang adalah dua contoh dari pembunuhan mengerikan terhadap orang-orang etnis China.
""Pao An Tui *1""
Jangan bertanya padaku si anak durhaka mengenai Ibu, perempun yang disapa dengan sepenuh keagungan jiwa, pemujaan, permohonan doa dan restu. Aku tak mau mengenal Ibu. Aku telah dititipkan Ibu pada saudara sepupunya, perempuan bawel yang mempekerjakanku serupa budak. Aku lari dari keluarga perempuan bawel itu, dan menemukan duniaku sendiri, bekerja, hingga membeli rumah tua yang kini kutempati. Aku terperanjat ketika datang ke rumahku seorang gadis dengan pandangan yang berkaca-kaca. Ia mencari ibu kandungnya. Perempuan dalam lukisan di ruang tamuku, dikatakan sebagai sosok Ibu yang dicarinya. Ditatapnya lekat-lekat lukisan itu. Sebuah lukisan perempuan berbaju hijau lumut, berkain, duduk menyamping di kursi ukir. Lukisan itu telah dipakukan di dinding ruang tamu, barangkali setua bangunan ini. Tak kutemukan keterangan apa pun mengenai lukisan itu, hingga datang seorang gadis, yang bertanya, di mana perempuan dalam lukisan itu. Sama sekali aku tak mengerti, di mana sekarang perempuan dalam lukisan itu tinggal. Apa peduliku dengan perempuan itu? Pada Ibu yang melahirkanku, ketika ia sakit dan meninggal dunia, tak kutengok sekejap pun. Ia dimakamkan, tanpa kehadiranku. Dua adik perempuanku yang tak pernah disia-siakan Ibu sepertiku berkali-kali meneleponku. Tak kubalas. Lalu, apa artinya kini, melacak seorang ibu dari sebuah lukisan? Lukisan itu telah menjadi satu dengan dinding, semenjak rumah tua itu kubeli. Sama sekali aku tak terganggu dengan lukisan itu, sampai datang seorang perempuan muda itu dari kota yang jauh. Ia mencari pemilik rumah, seorang ibu yang dilukis dan terpasang di dinding ruang tamu. Melacak wanita dalam lukisan, yang lengkung alisnya tergores lembut, dengan sepasang mata memendam perhatian. Garis bibir dan dagu menampakkan kesepian yang panjang dan tertahan. Lukisan itu selalu bergetar pada saat angin berembus lewat pintu ruang tamu yang terbentang. Lukisan itu tepat berhadap-hadapan dengan pintu, dan setiap saat angin menggetarkannya. Perempuan dalam lukisan itu seperti bergerak dari bingkainya. Perempuan muda itu memandangi lukisan yang bergetar dengan mata yang berkejap. Sepasang mata yang penuh harap. Antarkan aku ke rumah Ibu! Aku masih tergagap. Merasa asing dengan permintaannya. Tak pernah aku mendatangi Ibu. Apalagi mencarinya. Hingga Ibu jatuh sakit, terbaring koma lebih dari sepuluh hari, dan pada akhirnya meninggal di hari kesebelas, aku tak menengoknya. Telepon rumah berdering berkali- kali. Tak berhenti berdering. Kututup kembali. Kubiarkan mereka dua adik perempuanku  menelepon dan mencaci-maki. Aku tak peduli. Maaf, aku tak bisa menemanimu. Kalau begitu, beri aku alamat Ibu. Perempuan muda itu memendam sorot mata yang penuh harap dan cemas. Hari sudah larut. Ia belum beranjak dari rumahku, wajahnya tampak ragu. Tapi aku tak mau jatuh iba padanya. Aku tak ingin melihat dia bertemu dengan ibunya—wanita yang telah melahirkannya. Telah kuputuskan mencari Ibu. Tak kusangka akan sesulit ini. Sekalipun Ibu telah membuangku, tak akan kucemooh dia. Aku ingin bertemu dengannya. Di pelataran rumah, dia masih membujukku untuk menemani mencari ibunya. Kutolak. Kali ini suaraku dingin. Mungkin ketus. Aku memang harus memperlihatkan pendirianku padanya. Aku tak suka melihat raut wajahnya yang cengeng. Lelaki pemilik rumah itu sungguh menjengkelkan. Dia tak mau mengantarkanku mencari alamat Ibu. Baru pertama kali aku menginjakkan kaki di kota kecil kelahiranku ini. Dua puluh tiga tahun orangtua angkatku membawaku meninggalkan kota kecil yang sepi ini. Baru seminggu yang lalu, ketika aku hendak dilamar calon suami, kedua orangtua angkatku berterus terang. Kau masih memiliki seorang ibu ya, perempuan yang mengandung dan melahirkanmu. Ia tinggal di sebuah rumah tua, dengan arsitektur lama. Kulacak. Kutemukan rumah yang kokoh, tinggi, dan kusam. Tapi aku tak menemukan Ibu. Rumah itu sudah dijualnya. Dan lelaki muda yang telah membeli rumah Ibu, alangkah tolol dia. Sama sekali tak mau menolongku. Hanya lukisan tua itu yang menghiburku. Setidaknya, aku sudah melihat wajah Ibu semasa muda. Bermata teduh, dan sekelam lumpur yang dalam. Mungkin lumpur itu menenggelamkan seseorang. Aku tak paham, barangkali lelaki-lelaki terperosok ke dalam lumpur mata itu. Orangtua angkatku tak memberi tahu siapa ayahku. Aku hanya diberi tahu tentang Ibu. Dan Ayah, bahkan namanya pun tak disebutkan. Apalagi wajahnya, sungguh tak kukenal. Ketika kutemukan rumah tua, sesuai dengan alamat yang diberikan orangtua angkatku, aku merasa lega. Apalagi di dinding ruang tamu pemuda itu terpasang wajah Ibu. Wajah wanita yang menanggung kesepian yang terpendam. Kurasa aku sudah dekat bersua Ibu. Tapi aku cuma menemukan lukisannya. Sama sekali tak kutemukan jejaknya. Mungkin aku masih jauh bersua dengannya. Mestinya pemuda pemilik rumah itu bisa membantuku. Dia memilih tak mau tahu persoalanku. Ia menutup diri, dan aku telah gagal membuka hatinya. Ia tenggelam ke dalam dirinya sendiri. Dan aneh, bagiku, bagaimana mungkin seorang lelaki yang mencapai usia tiga puluh seperti dia, tanpa istri dan anak, malah berhasrat memenjarakan diri? Larut malam, tak ada taksi yang bisa kusewa untuk melacak rumah Ibu. Kota kecil ini sungguh sunyi. Kutemui beberapa becak yang diparkir di tepi jalan raya dengan pengayuh yang tertidur di dalamnya. Mereka tak memerlukan penumpang. Ini kota tua. Kota yang mati pada malam hari. Orang tak berani melintas di jalanan. Lampu-lampu pun remang-remang, dan kelelawar berseliweran dengan kepak sayap yang memperpekat sunyi. Langit di atas kota serupa selubung kain yang mudah koyak. Kudapatkan sebuah hotel kecil, tua, dengan kamar yang melapuk pintunya, aus catnya, dan berdebu. Kecoa berseliweran. Nyamuk berdenging merubung tubuhku. Bagaimana aku bisa tidur di kamar serupa ini? Segelas teh dan sepotong kue yang dihidangkan pun terasa basi. Tak mungkin aku beristirahat dengan suasana jorok macam ini. Berjalan-jalan meninggalkan kamar hotel, aku ingin menghirup udara malam kota tua ini. Barangkali aku akan menemukan rumah Ibu. Ingin kutebus kehinaanku sebagai perempuan tak beribu, yang hanya mengenal orangtua angkat. Getir rasa hatiku tak mengenal ibu kandung. Aku ingin sebagaimana layaknya seorang gadis yang dipinang calon suami, bisa mempertemukan dengan ibu kandung. Bahkan mungkin bisa mempertemukan dengan kerabatku. Tak hanya orangtua angkat yang bisa kutunjukkan pada keluarga mempelai lelaki. Tapi kini, di kota tua ini, aku mesti berjalan sendirian mencari Ibu. Kalaupun calon suamiku memutuskan untuk meninggalkanku, karena aku tak memiliki ibu kandung yang bisa kupertemukan dengannya, aku harus rela. Aku tak berhak mencegahnya. Terus melangkah dalam sunyi malam yang gelisah, sampailah aku di alun-alun, di bawah pohon beringin, di dekat penjual wedang ronde. Seorang lelaki tengah duduk mencangkung. Menikmati kesunyiannya. Aku merasa sangat mengenal lelaki itu. Memang betul. Dialah pemilik rumah tua, yang baru saja kutinggalkan. Duduk seorang diri. Terperanjat sebentar menatapku. Kutemukan lelaki muda itu tengah menyendoki wedang ronde. Hati-hati, pelan sekali, ia meletakkan minumannya, seperti tak pernah mengenalku. Mungkin ia tak mau bertemu dengan siapa pun. Lelaki itu terasing dan memilih jalan sunyi. Ia memang berpura-pura tak mengenalku. Sepasang matanya mengusir, menolak, bahkan memusuhiku. Aku masih berharap kau mau menemaniku mencari Ibu, pintaku. Larut malam begini? Bila tak kuantar, aku tak tahu jalan. Memandangiku dengan mata yang keropos, lelaki itu mencairkan kebenciannya padaku. Mata itu berkabut. Aku menatapnya dengan hangat. Dan kabut dalam mata itu lenyap. Lama. Lambat-lambat. Matanya mulai bersahabat. Dia tak lagi menyembunyikan muka dariku. Kami berjalan bersama dalam samar cahaya bulan, tanpa tegur sapa. Dia melangkah dengan suara kaki yang pasti. Tak seorang pun kami temui di jalan. Hanya anjing-anjing buduk yang mengais-ngais sampah, sesekali melintas. Kami melangkah dalam diam. Menyusur jalan lengang, berkelok-kelok, kian jauh dari jantung kota, dan memasuki perkampungan. Langkah kakiku sudah penat ketika kami mencapai sebuah rumah yang diduga pemuda itu ditempati Ibu. Tengah malam lewat, kami memasuki pelataran rumah tua dengan tembok mengelupas dan berlumut. Gelap. Kusentuh pintunya. Berderit terbuka. Di dalam pun tak terlihat seseorang. Tanpa cahaya. Kelelawar terbang menerobos celah pintu. Laba-laba bergerak menggetarkan jaring-jaringnya. Dengan cahaya korek api kami menjelajahi seluruh ruangan. Rumah tua ini memang sudah ditinggalkan penghuninya. Debu, lumut, dan lembab udara, menyesakkan dada. Aku berhenti lama di depan pintu sebuah kamar. Barangkali di sinilah Ibu tidur. Kupandangi. Dan kubayangkan Ibu tergolek. Sendiri. Tatapannya menerawang. Kalau Ibu tengah terbaring di kamar ini, tentu aku akan menyempatkan diri bertanya. Kenapa Ibu memberikanku pada orang lain? Barangkali pertanyaan ini akan menyakitkan Ibu. Tapi ini akan meruntuhkan beban yang menekan bergelayut dalam kepalaku. Toh Ibu kata orangtua angkatku tak memiliki anak selain aku. Apa lagi yang dirahasiakannya dariku? Mari kita pulang! ajak pemuda itu, pelan. Pulang? Ya. Menginaplah di rumahku. Membayangkan perempuan muda itu, sambil memandangi lukisan yang bergantung di ruang tamu, aku mulai sadar kini, mereka memang mirip. Malam itu ketika perempuan muda itu tidur di kamar depan, aku sempat memandanginya. Aku tersihir. Terkesima. Dialah perempuan dalam lukisan itu. Tubuhnya bergeletar. Aku seperti terisap untuk mendekatinya, lebih lekat, lebih lekat, menyatu ke dalam kesunyian yang mula-mula lembut, dan lambat laun bergelora, mengempas-empaskanku. Tak kutemukan perempuan muda itu saat aku terbangun. Dia sudah menghilang. Mungkin sudah kembali pulang. Mungkin ia mencari ibu kandungnya. Aku tak berselera melakukan apa pun. Cuma memandangi perempuan dalam lukisan itu. Tiap kali angin berhembus, lukisan itu bergetar. Tapi kali ini dadaku pun bergetar. Tak bisa kuredakan. Malam ketiga setelah perempuan muda itu menghilang, aku tak kuasa menahan diri. Aku menanti fajar untuk melakukan perjalanan. Telah kuputuskan untuk melacak perempuan muda itu. Tak mungkin kutunda lagi. Aku merasa keropos. Tak ingin kurasakan kekeroposan hati kian menjalar melapukkan seluruh persendianku. Ingin kutemukan rumah tempat tinggal perempuan itu. Ini sungguh mendebarkan, serupa memasuki permainan masa kanak-kanak bersama teman-temanku—sebelum aku direnggut dari dunia itu untuk mengikuti saudara sepupu Ibu. Akan kucari perempuan titisan lukisan di ruang tamu. Biar kuajak dia ke rumahku, dan kutemani mencari ibu kandungnya ke mana pun, sampai ketemu. Pandana Merdeka, Agustus 2005
""Lukisan Bergetar""
Pernahkah kaulihat matahari begitu banyak? Atau turun merendah seolah mencecah? Dalam lapar, dalam nanar, matahari membelah, menjelma kerumun bulatan pijar. Dan gedung-gedung, dinding-dinding kaca, menggandakan semakin banyak lalu memantulkan. Begitulah terik, siang memanggang meringkus dirinya. Tetapi bukan itu. Di sana, di puncak monumen, ada sebuah titik, amat terang, seperti bintang. Mungkin tak tepat disebut ”amat terang” karena titik cahaya itu benar-benar menyilaukan, tak tertahan oleh tatap. Tentu pula tak bisa disebut ”seperti bintang” karena titik cahaya itu sama sekali tak bekerlip, melainkan melesat berupa garis putih tajam yang langsung menghunjam memedihkan mata begitu seseorang mencoba bertahan. Dan, itulah yang dilakukan olehnya. Dan dari mata tuanya yang buram, kuning kelabu, selintas tampak seperti mata kayu, segera merembes air, menggenang, bergulir jatuh ke kumisnya yang menyatu dengan jenggot, jambang, yang semuanya kotor, putih pirang, meranggas tak teratur panjang dan jarang. Tetapi takkan lama. Pedih ini akan hilang. Dan, memang. Begitu air mata menyelusup di helaian kumis lalu terasa mencapai bibir, seperti kemarin-kemarin, ribuan lingkaran hitam bagai menghambur menyemaki ruang pandangnya. Dan lalu, dengan ganjil, lelaki tua itu merasa nyaman. Lingkaran hitam yang berputar-putar, sebentar memusat sebentar menebar, seolah seperti tameng—menahan hunjam cahaya. Tetapi bukan. Bukan hanya tameng. Setelah berputar memusat-menebar memusat-menebar, lingkaran hitam itu lalu menyatu, lantas mengembang, terus mengembang. Begitulah hitam jadi kelabu, kelabu jadi samar, samar jadi terang. Begitulah semua datang, semua terbentang. Bagai melayang…. Begitulah semua datang, semua terbentang. Bagai melayang… tidak. Mungkin lebih tampak seolah rebah, seperti angin menyapu ilalang. Atau menyibak. Atau mungkin membelah. Dan lihatlah, di belahan itu rel kereta masuk bagai menusuk. Menerobos hutan, pohon-pohon dengan akar yang bergelayutan. Akar-akar yang juga bagai bersembulan, merayap turun seakan ingin menjangkau rel dari dinding-dinding bukit di kiri kanan. Dan ah, dadanya, tidakkah amat berdebar? Semuda ini. Si remaja ini. Ia akan bekerja di sebuah tambang. Tambang emas! Bagaimana semua bisa tiba-tiba berubah? Ia sendiri tak begitu tahu. Ia hanya mendengar bom besak (bom besar, orang-orang kemudian menyebutnya bom atom) dijatuhkan di Hiroshima dan Nagasaki, Jepang menyerah, lalu proklamasi. Kata Pak Daud, segala yang dulu dikuasai Jepang kini kita yang memiliki. Begitu juga tambang emas di Lebong. Dan seperti mimpi, Pak Daud, orang kampungnya yang juru tulis gudang (mereka menyebutnya magazyn schrijver) di tambang, pun mengajaknya. Maka, di atas kereta itulah ia. Kereta api kecil (mereka menyebutnya lori) dengan empat wagon yang dibelintangi papan-papan. Di atas papan itulah ia duduk. Memandang ke luar. Berdebar…. Ia pun tiba di tambang itu: Lebong Tandai. Huah! Orang- orang dengan helm, sepatu boot, beberapa dengan lampu dan baterai di pinggang, berlalu lalang. Tampak amat sibuk, tak peduli pada apa pun kecuali pada goa-goa, yang beberapa di antaranya menjulurkan rel dengan lori-lori lebih kecil (memuat bongkah-bongkah batu—batu-batu berurat emas!) meluncur ke luar tak henti-henti. Maka, mulailah hari-hari itu. Lorong-lorong, gema lori, lift ke atas ke bawah, tangga-tangga besi. Derek (pos) I, Derek II, ledakan dinamit, langit goa yang runtuh… semua terbentang, bagai melayang… tidak. Seperti hamburan. Berlompatan. Letusan? Belanda kembali datang. Menyerang tambang…. Bagaimana mereka bisa bertahan? Heran. Tetapi memang, pasokan senjata berdatangan. Kata kawannya konon karena dibeli dengan emas tambang. Bahkan Gubernur Militer pun (siapa namanya? Ia lupa) bergabung dengan mereka. Dan Belanda pergi. Masa berganti. Melayang… tidak. Kini tertahan, bagai mengambang. Dan wajah-wajah itu muncul. Makin jelas. Wajah-wajah yang datang dari keresidenan. Membujuk, meyakinkan mereka: emas dibutuhkan Jakarta. Di masa damai—untuk apa? ”Untuk Monas,” kata mereka. Monumen Nasional. ”Pusat juga perlu tahu bahwa di tanah kita, Bengkulu, ada banyak emas….” Pernahkah kaulihat matahari begitu banyak? Atau turun merendah seolah mencecah? Dalam lapar, dalam nanar, matahari membelah, menjelma kerumun bulatan pijar. Dan gedung-gedung, dinding-dinding kaca, menggandakan semakin banyak lalu memantulkan. Tetapi ya, bukan itu. Di sana, di puncak Monas, ada sebuah titik. Titik putih, tajam pedih, menghunjam mata. Apakah hanya matanya? Karena hari ini, lihat, ada seseorang yang juga mendongak menatap ke sana. Orang itu masih muda, berkacamata, menyandang tas di bahu kirinya. Apakah mahasiswa? Karena tegak di tempat yang tak mencolok, di sebelah dua orang yang berlindung ke gerobak penjual rokok, ia tak tahu sejak kapan si pemuda ada di sana. Sejak kapan pulakah pemuda itu menatap ke puncak Monas? Apakah sesuatu juga terbentang, bagai melayang, dalam kepalanya? Tentu tidak. Yang pemuda itu tahu—seperti juga orang-orang tahu—ada 30 kilogram emas di sana, disepuh ke 77 bentuk berupa lidah. Tujuh puluh tujuh lidah yang dipesan dari Jepang. Dibuat di Jepang, dipasangkan di sini juga oleh orang-orang Jepang. Tiba-tiba si pemuda menoleh, menatap ke arahnya. Tak enak ketahuan mengamati, ia mengalihkan pandang. Tetapi hei, tatapan itu. Kacamata itu. Refleks, kembali ia palingkan muka. Kacamata itu. Tatapan di balik kacamata. Bingkai kacamata dari plastik keras coklat tebal. Cuping hidung besar…. Tatapan di balik kacamata. Bingkai kacamata dari plastik keras coklat tebal. Cuping hidung besar berkilat yang melengkung naik… apakah memang diciptakan untuk menyangga bingkai kacamata yang tampak seperti berat? Dan mulut itu, mulut dengan bibir tipis melipat hingga terkesan bagai diisap dari dalam, kini tersenyum. ”Begitulah yang orang-orang dengar, Dik Najir, emas Monas itu didatangkan dari Jepang.” Yang orang-orang dengar. Ia tak suka kalimat tak jelas itu. Dari jauh ia datang karena yakin Nur, anak Pak Daud, tak mungkin menyampaikan hal yang tak pasti. ”Ma-maaf, Pak Jusuf,” katanya. ”Tapi, yang ingin saya tahu yaa… itu, emas yang kita sumbangkan dulu.” Pak Jusuf inilah, setelah Pak Daud meninggal, yang diangkat jadi juru tulis gudang. Jabatan terakhirnya selaku pembantu kepala bagian mesin tumbuk (mereka menyebutnya molen assistant), memungkinkan Pak Jusuf tahu aliran sumbangan emas untuk Monas itu. Wajah bulat berkacamata dengan bingkai plastik keras coklat tebal ini, seingatnya, dulu merupakan sosok sederhana, apa adanya. Tetapi, kenapa kini berbeda? Senyum itu… terasa ganjil. Ia tak suka. Agaknya ia harus terus-terang. ”Saya membutuhkannya. Untuk modal, coba berdagang.” Senyum itu masih, tapi mata di balik bingkai besar itu berubah. Setelah merenggangkan tubuh dari sandaran kursi, mendehem beberapa kali, Pak Jusuf berkata, ”Saya paham, Dik Najir, saya mengerti. Tetapi,” senyum itu kembali, ”saya punya usul. Jalan yang lebih baik.” ”Jalan yang lebih baik? Maksud Pak…,” ”Begini,” mendehem lagi. ”Dulu, di tambang itu, kita berjuang. Lihatlah kini diri Dik Najir. Maaf… cacat. Satu kaki tak ada. Saya akan membantu, membuat usulan agar Dik Najir dapat tunjangan veteran.” ”Ah tidak! Mana bisa. Kaki saya putus bukan karena berperang. Tapi karena dinamit itu, langit goa yang runtuh….” ”Tenang, Dik Najir. Itu gampang. Saya…” ”Tidak, Pak Jusuf. Saya tak mau. Saya… maaf, saya kemari hanya untuk hal itu, soal sumbangan emas Monas yang dipulangkan. Dari anak Pak Daud saya tahu bahwa emas itu dikembalikan melalui Pak Jusuf.” Lelaki berwajah bulat (dengan tubuh yang kini juga tak kalah bulat) itu menarik napas, seperti kecewa. Kembali disandarkannya tubuh ke kursi, mendengus, lalu berkata, ”Sebetulnya bukan dikembalikan, melainkan disalurkan.” ”Maksud Pak Jusuf?” ”Yah, disalurkan. Jadi, begini, baiklah saya terangkan.” Diperbaikinya duduk, seperti mencari lagi posisi yang tepat. ”Emas itu memang ada pada saya, tapi jumlahnya tak lagi sama. Ketika saya tanyakan kenapa tak sama, mereka bilang ada yang digunakan. Ketika saya tanyakan digunakan untuk apa karena toh kita dengar emas Monas didatangkan dari Jepang, mereka katakan bahwa begitulah keterangan dari atas, mereka hanya meneruskan. Dan karena jumlahnya sedikit, emas itu tak usah dibagikan. Sumbangkan saja, kata mereka, ke masjid atau ke sekolah atau ke apa di Lebong sini. Tidakkah itu berarti disalurkan?” Mata di balik bingkai besar itu menatap ke matanya, bagai mencari persetujuan. Lalu, ”Nah, Dik Najir tentu bertanya-tanya, sesedikit apakah emas yang mereka pulangkan hingga tak pantas buat dibagikan.” Ragu, ia mengangguk. Pak Jusuf mengeruk saku celananya, mengeluarkan dompet. Jemarinya merogoh, menjepit sesuatu ke luar dari dalam dompet lalu mengacungkan ke muka: uang logam satu rupiah. Kemudian katanya, ”Bila saya bagikan kepada seluruh buruh dan karyawan yang bekerja waktu itu, Dik Najir, maka masing-masingnya cuma akan dapat segini. Tak lebih.” Satu rupiah? Ia ternganga. Hanya satu rupiah? Seperti tahu keheranannya, Pak Jusuf mengangguk. Lalu, iseng, Pak Jusuf melambungkan koin satu rupiah itu tinggi, nyaris menyentuh loteng. Ketika koin itu bergerak turun, ketika berada pada satu titik antara loteng dan tangan Pak Jusuf yang siap menyambut, ketika itulah… terjadi peristiwa itu! Peristiwa yang takkan bisa ia lupakan: koin itu berhenti, tertahan bagai mengambang. Semua tak bergerak, diam…. Koin itu berhenti, tertahan bagai mengambang. Semua tak bergerak, diam. Meja, kursi, taplak, gorden, semua perabot di ruang tamu Pak Jusuf tampak seperti beku. Senyap. Bahkan udara pun seperti mati. Waktukah… yang berhenti? Dan Pak Jusuf, astaga, kelihatan seperti patung. Wajah bulatnya tengadah. Mata di balik bingkai besar itu menganga, menatap ke arah koin, tak berkedip. Mulutnya terbuka, hingga bibir tipis yang melipat itu benar-benar tampak. Tangannya yang terangkat, yang siap menyambut koin, kaku tergantung. Sepuluh, dua puluh, atau mungkin tiga puluh detik. Saat koin itu bergerak turun, bersamaan dengan gerak tangan Pak Jusuf menyongsong, semua kembali seperti biasa. Tapi ajaib, koin satu rupiah itu tak tersambut. Ia terus meluncur, jatuh menimpa lantai: ”Triiingngng…!” ”Triiingngng…!” Lelaki tua itu terkejut, tersentak. Bukan koin satu rupiah 40 tahun lalu itu, tetapi koin 1.000 rupiah yang barusan berdenting masuk ke kalengnya. Siapa yang menjatuhkan? Tak kalah terkejut, matanya segera menangkap sosok itu: si pemuda. Pemuda kacamata yang kini telah menjauh beberapa langkah. Betulkah? Betul. Sepertiku, tidakkah tadi pengemis tua itu juga menatap ke puncak Monas? Buntung, teronggok di trotoar, kulitnya merah menghitam bagai terpanggang. Dan, mata itu, sekilas tampak seperti mata kayu, tidakkah berair bagai menangis? Pusing, lapar, di puncak sana berkilauan 77 lidah emas, aku tahu yang ia rasakan…. Tetapi mendadak, langkah si pemuda terhenti. Koin itu! Ribuan kedua! Ribuan kedua terakhir yang dipunyainya. Dengan hanya seribu, bagaimana aku bisa pulang ke tempat kos? Refleks, si pemuda membalikkan tubuh. Diayunnya kaki, tapi kembali tertegun. Apa yang ia lakukan? Meminta 1.000 rupiah itu kembali? Konyol. Dungu. Tiba-tiba ia merasa letih. Muak. Mencari kerja terus. Memasukkan lamaran terus. Tetapi ia telah di sini, di hadapan si pengemis. Dan mata itu, mata habis menangis kuning kelabu bagai mata kayu, menatap heran ke matanya seolah bertanya: Kenapa kembali? Ada apa? Salah tingkah, asalan ia berkata, ”Maaf, berapa umur Bapak?” ”Oh…” Si pengemis seperti lega. ”Tujuh puluh tujuh.” Tujuh puluh tujuh? Bagai bukan angka yang asing. Tujuh puluh tujuh? Eh, tujuh puluh tujuh lidah emas….*** Payakumbuh, 17 Agustus 2005
""Tujuh Puluh Tujuh Lidah Emas""
Ya, kau juga tahu, hari itu, Minggu 28 Maret 1830, Ramadhan telah berlalu. Karena itu, dalam lukisanku, aku yakin kabut lembut dan matahari susut saja yang mengepung Rumah Karesidenan itu. Tak ada gerimis riwis yang menghardik tiang-tiang tua. Tak ada pula petir mendera Merapi yang samar mengonggok di bumi fana. Jadi, sangat tak keliru jika kutorehkan warna terang di sekujur kanvas. Tak salah jika kukesankan Allah menebarkan cahaya cokelat keemasan di wajah siapa pun yang menyaksikan de Kock menghardik sang Pangeran. Bau wangi tanah masih mengepul saat terjadi keributan. Jejak suara unggas juga belum terhapus dari ingatan. Dan orang-orang, terutama aku, percaya tak akan ada pertempuran selama dan sehabis Ramadhan. Karena itu, sekalipun de Kock membentangkan tangan memerintah Pangeran menuju kereta yang akan membawa ke pengasingan, aku tetap tak ingin mengubah kegentingan itu menjadi Lebaran sedih berwarna muram. Memang keheningan dan kebeningan menguar dari pagi yang baru mekar, tetapi aku tak mungkin menorehkan kabut dan dingin Magelang terlalu dalam di kanvas. Jadi, sekalipun dikepung wajah-wajah tegang staf de Kock dan disaksikan rakyat dalam sedu-sedan, Pangeran harus kulukis tegak menantang. Hanya aku saja yang boleh sedih. Hanya aku—yang kausangka telah belajar teknik melukis dari Horace Varnet dan Eugene Delacroix—boleh menyusupkan diriku pada wajah prajurit yang takzim membungkuk di hadapan Pangeran dan pasukan cemas yang mewaswaskan nasib sang Junjungan. 1 Andaikata Raden Saleh hadir di Rumah Karesidenan bersama Pangeran Dipanegara Muda, Raden Mas Joned, dan Raden Mas Raib2 pada 28 Maret 1830 yang ajaib itu, mungkin dia tak akan melukiskan Sultan Ngamid sebagai pangeran bersorban saja. Ya, jika dia berdiri di dekat Haji Ngisa dan Haji Badarudin—penasihat-penasihat agama terkasih Pangeran—pasti lukisannya tak akan sekadar menggambarkan Sultan Ngamid sebagai manusia biasa. Sebab dalam pandangan Haji Ngisa yang masih sangat awas, ketika ketegangan terjadi dan Jenderal de Kock mengharap Pangeran agar segera naik kereta, di kedua bahu Sultan tumbuh sayap Rajawali ungu yang menyilaukan mata. Sayap-sayap itu seakan tak sabar menerbangkan sang Junjungan ke langit suci, ke langit sarat sriti. Namun di luar dugaan, Sultan Ngamid menanggalkan bulu-bulu indah yang barangkali diberikan oleh Malaikat Jibril itu. Bahkan dia memberi isyarat pada Haji Ngisa agar tak terpesona pada setiap keajaiban yang mengucur setelah seseorang khusyuk berpuasa. Lewat bisikan batin, Sultan juga meminta agar Haji Ngisa tak perlu takjub pada segala peristiwa tak masuk akal yang menyelimuti Rumah Karesidenan yang telah dikepung para serdadu itu. Haji Ngisa yang telah mengerti betapa kegaiban bisa menghunjam kepada siapa pun yang dipilih Allah hanya mengangguk. Sambil menempelkan jari telunjuk ke bibir, dia juga memberi isyarat kepada panakawan Banthengwareng dan Jayasutra agar tak memekik. Haji Ngisa tak ingin pekikan ketakjuban itu akan mengganggu takdir Allah yang telah ginaris. Dia tak ingin de Kock atau Valck, Residen Kedu berwajah batu itu, terkejut dan kemudian lari tunggang langgang. ”Segalanya sudah diatur,” desis Haji Ngisa, ”bahkan mungkin Jibril pun dititahkan tidur dan tak mencampuri segala yang terjadi dalam silaturahmi indah ini.” Haji Ngisa tahu benar jika Sultan Ngamid tak menanggalkan sayap atau menyemburkan kelabang beracun kepada lawan, Roest, de Stuers, atau Perie akan menganggap Sultan menciptakan sihir dan menghina para perwira yang mengajak berunding menghentikan Perang Jawa itu. ”Kalau mau Sultan Ngamid bisa menghilang. Kalau mau segala yang ada di Rumah Karesidenan ini bisa dikutuk menjadi batu. Nah, apakah Sampean mau dikutuk jadi tengu?” Karena itu, Haji Ngisa lebih memilih memandang kilau senapan dan pakaian para serdadu yang dipimpin du Peron di anjungan dalam ketimbang menatap wajah Sultan Ngamid yang karena terlalu benderang tak lagi bisa dipandang. ”Sampean juga jangan menatap wajah Sultan, Jenderal. Kalau berani menatap, hati Sampean bisa terbakar,” desis pria yang senantiasa berzikir itu teramat pelan. Tentu de Kock tak mendengarkan isyarat halus itu. Tentu dia tak terlatih menangkap pertanda yang hanya berupa gelengan kepala Haji Ngisa itu. Ya, memang tak semua tanda bisa diraba dan membuncahkan makna. Tetapi, mengapa sejak pemandangan menakjubkan itu terjadi, de Kock tidak peka? Mengapa dia tak membiarkan Sultan Ngamid pulang setelah selesai bersilaturahmi? ”Mengapa saya tidak diperkenankan pulang, Jenderal? Apa yang harus saya lakukan di sini? Saya datang dengan bersahabat semata-mata untuk kunjungan singkat sebagaimana yang diadatkan oleh orang Jawa setelah mereka selesai berpuasa selama sebulan.3 Saya datang tidak dengan keris terhunus dan pedang meradang.” ”Saya ingin menyelesaikan persoalan kita hari ini juga,” kata de Kock. ”Jadi, Anda ingin mengadili saya? Anda ingin mengajak berkelahi? Jika itu yang Jenderal inginkan, saya tak membutuhkan keadilan dari tangan Sampean. Jika ingin berkelahi, saya pun tak mau berkelahi dengan Sampean.” Ya, saat mendengarkan semburan kata-kata semacam itu Haji Ngisa berharap de Kock segera mengurungkan niat menangkap dan mengasingkan Pangeran. Namun, de Kock tak punya alasan untuk tak segera melakukan perintah Johannes van den Bosch. Telinganya bahkan lebih berisi instruksi-instruksi sang Gubernur Jenderal ketimbang luapan amarah Sultan Ngamid. Bahkan jika tak mungkin menangkap atau membunuh Sultan Ngamid, de Kock pun sudah punya cara untuk menaklukkan Pangeran. ”Saya akan mempreteli kekuasaan Sampean dengan cara apa pun, Pangeran. Kalau perlu saya akan menggorok leher perempuan-perempuan terkasih Anda pada Lebaran hari ketiga. Setelah itu, saya tembak putra-putra Sampean. Dan, jangan lupa Haji Ngisa dan para panakawan juga kami jebloskan ke sumur tua.” Sultan Ngamid bisa membaca pikiran de Kock. Karena itu, sambil mendongakkan kepala, dia menyemburkan amarah terakhir kepada Jenderal yang kini telah dia anggap sebagai penjahat paling hina itu. ”Hei, Jenderal, ketahuilah, saya yang sejak dulu Sampean panggil sebagai Pangeran Dipanegara4 tidak takut mati. Saya siap dibunuh kapan pun. Kematian toh hanya kabut halus. Kematian toh hanya tirai yang memungkinkan saya menyatu dengan istri saya di Imogiri. Sekarang, silakan bunuh saya. Saya yakin inilah puncak kemenangan yang saya peroleh setelah sebulan berpuasa.” Haji Ngisa kian tak tahan mendengarkan semburan kata Sultan Ngamid yang menguarkan bau berbagai wangi-wangian itu. Karena itu, dia berjingkat mendekati Ali Basah Gandakusuma dan membisikkan pertanyaan-pertanyaan tak terduga. ”Apakah Sultan tak mengerti akan terjadi peristiwa seperti ini, Kisanak?” Gandakusma mengangguk. Saat itu dia justru melihat Sultan Ngamid mulai memungut sayap Rajawali ungu yang semula ditanggalkan. Dengan hati-hati dia mengenakan sayap itu. Dengan hati-hati pula, dia berseru, ”Allahu! Allahu! Allahu! Segalanya telah rampung, Gusti. Segalanya telah kukembalikan pada-Mu!” Setelah itu, kau tahu, seperti Isa yang tersalib, dia membentangkan tangan dan mengibas-ibaskan sayap, moksa ke langit, membumbung menembus kabut, menghilang dari pandangan Haji Ngisa yang tak lagi takjub. Mengapa tak Sampean lagi takjub, wahai Kiai waskita? Karena memang tak semua hal harus ditakjubi. Takjublah pada mengapa Sultan Ngamid berani mati pada saat ruang dan waktu memberi kesempatan untuk hidup. Takjublah mengapa dia tak menunjukkan sayap-sayap ungu itu kepada de Kock dan serdadu-serdadu yang juga dibutakan. Ketahuilah, Tuan, andaikata de Kock dan para serdadu tahu, seluruh Rumah Karesidenan akan terbakar. De Kock akan tinggal arang. Serdadu akan jadi abu tanpa jejak kehidupan. Apakah Sampean tak cemas? Aku tak bisa cemas lagi sejak de Kock kehilangan kepekaan. Jadi, Sampean tahu segalanya berakhir mengenaskan? Mengenaskan? Apa yang mengenaskan? Keajaiban sayap-sayap Jibril di tubuh Pangeran, Sampean anggap peristiwa mengenaskan? O, jadi Sultan Ngamid memang benar-benar punya sayap? Punya sayap atau tidak, bukan urusan Sampean. Urusan siapa? Urusan saya, urusan Haji Ngisa. Apakah Allah telah mengirimkan jutaan malaikat untuk mengarak Sultan Ngamid ke surga? Mengapa bertanya seperti itu? Mengapa tak boleh bertanya seperti itu? Saya kira bukan hanya saya yang melihat jutaan malaikat mengarak Sultan Ngamid ke surga. Ada orang lain yang tahu peristiwa sulapan itu? Bertanyalah pada Gandakusuma. Bertanyalah kepada pria yang setiap subuh shalat berjamaah dengan Sultan Ngamid itu. Apakah saya boleh bertanya pada de Kock? Kenapa tidak? Apakah dia akan menganggap Sultan Ngamid sebagai dajjal tak aturan? Apakah dia menangkap Sultan Ngamid karena membayangkan diri sebagai mesias yang mampu menghentikan perang? Haji Ngisa tak mau menjawab pertanyaan itu. Sambil menggamit tangan Ali Basah Gandakusuma, dia menyingkir dari Rumah Karesidenan yang kian tampak sebagai hantu rakus itu. ”Jangan katakan kepada siapa pun apa yang Sampean lihat. Saya percaya Sampean tak akan menyebarkan sesuatu yang mungkin bisa menyesatkan umat. Ketakjuban, Sampean tahu, kadang-kadang bisa menjauhkan kita dari Sang Penabur Keajaiban!” Ya, > 0<Ali Basah Gandakusumalah yang sebenarnya sejak subuh pada 28 Maret 1830 itu sudah memergoki di kedua bahu Sultan Ngamid tumbuh sayap. ”Sayap kematian,” pikir dia, ”sayap yang akan menghentikan perang.” Meski demikian, Gandakusuma tak berani mempertanyakan segala sesuatu yang berkait dengan perang dan kematian. Tak baik pada Lebaran yang baru mekar mempersoalkan amis darah, wangi bunga kubur, dan Matesih menjelang Sultan Ngamid berunding di Rumah Karesidenan. ”Saya kira semua prajurit harus menyertai Panjenengan, Sultan.” ”Allah tak menghendaki seperti itu, Gandakusuma.” ”Maaf, Sultan, saya khawatir Jenderal de Kock akan…” ”Ya, ya, Sampean boleh khawatir. Namun, saya lebih khawatir jika prajurit kita akan mengejutkan mereka.” ”Jadi, kita hanya akan bersilaturahmi, berlebaran pada Jenderal de Kock, Sultan?” ”Ya. Jangan kaukenakan tanda pangkat atau jabatan. Kenakan saja pakaian santai sebagaimana kita hendak pelesir atau berjalan-jalan.” Sampai pada percakapan yang kian tak terpahami itu, Gandakusma melihat sayap Rajawali ungu di bahu Sultan Ngamid kian melebar. Sayap itu kian menelan tiang-tiang dan segala yang bisa teraba dan terjamah tangan. Karena itu, sekali lagi, Gandakusuma menyangkal. ”Kita memang akan bersilaturahmi, Sultan, tetapi de Kock telah menjelma iblis. Dan sebagai iblis, dia akan membunuh siapa pun yang tak takluk pada dirinya.” ”Iblis? Kitalah yang iblis kalau tak bisa memaafkan orang-orang yang hendak membunuh dan memperdaya kita.” Kali ini Gandakusuma tak berani menatap wajah sang Sultan. Dia tahu sebentar lagi, setelah pada pukul 08.00 Sultan berangkat ke Rumah Karesidenan, de Kock akan mengerahkan ratusan iblis untuk membekuk Junjungan yang kian tak peduli pada pekik kemenangan di medan perang itu. Dia yakin benar sayap-sayap Sultan akan rontok pada saat de Kock menghardik dan memerintahkan Pangeran beranjak menuju kereta pengasingan. ”Segalanya sudah diatur oleh sang Jenderal sialan, tetapi mengapa Sultan percaya bahwa apa pun yang terjadi telah diatur oleh Tuhan dan tak lagi bisa dihindarkan?” desis Gandakusuma dalam kecamuk pikiran tak keruan. ”Sudahlah, Gandakusuma,” kata Sultan seperti mengerti segala yang dipikirkan oleh panglima utamanya itu, ”pada saat berperang pikirkanlah peperangan. Namun pada saat Lebaran pikirkanlah Lebaran. Ayolah, bersenang-senanglah bersama Jenderal de Kock dan para perwira. Nanti kuberi kuda baru. Nanti kuberi sajadah dan sorban baru. Nanti….” Gandakusma tahu nanti dia hanya akan mendapatkan sayap yang rontok, mata yang kehilangan keperkasaan, dan jiwa yang tak lagi terpesona pada kabut Merapi. O, mengapa kekalahan begitu wangi? Mengapa ia muncul ketika puncak kemenangan hadir telanjang serupa bidadari? Kini kau tahu bukan mengapa aku tak mau melukiskan Sultan Ngamid mengenakan sayap Rajawali ungu. Digambarkan bersayap atau tak bersayap, Sultan Ngamid adalah Sultan Ngamid. Ia akan menanggalkan apa pun yang bukan miliknya. Juga sayap dan kemegahan dunia. Juga sayap dan segala yang dicinta. Ya, namaku Saleh, kau telah melihat Sultan Ngamid dalam lukisanku5 pada senja yang hampir kehilangan doa-doamu. Aku bahagia karena tak menganggap dia sebagai malaikat atau dewa bermata ungu. Semarang, 19 Oktober 2005 Catatan: 1. Bagian ini bertolak dari reproduksi lukisan Raden Saleh yang terdapat dalam gambar sampul buku Dr Peter Carey, ”Asal Usul Perang Jawa; Pemberontakan Sepoy & Lukisan Raden Saleh” yang diterbitkan oleh LKiS, Juli 2004. Saya perlu berterima kasih kepada Sutanto Mendut yang mengingatkan saya betapa Dipanegara diperdaya Jenderal de Kock pada Lebaran hari kedua. Reproduksi lukisan itu pula yang digunakan koreografer Sardono sebagai pancatan lakon ”Opera Diponegoro”. 2. Anak-anak Sultan Ngamid. 3. Kata-kata Sultan Ngamid dalam ”Babad Dipanegara”. 4. Sultan Ngamid adalah nama tua Pangeran Dipanegara. Begitu memosisikan diri sebagai Ratu Pangageng Panatagama ing Tanah Jawi, nama Dipanegara dia berikan kepada putranya. 5. ”Historische Tableau, die Gefangennahmen des Javasnischen Hauptling Diepo Negoro”.
""Sayap Kabut Sultan Ngamid""
Langit merah jambu menyelubung Hanoi. Malam merangkak begitu lamban di antara deru terbang burung layang-layang. Hening mengepung diriku yang terkurung di sebuah kamar hotel berbintang. Hampir sepekan aku berada di negeri yang kini berbenah. Aku jadi teringat Vietkong, Rambo, penjara bambu dan granat tangan atau anak-anak terluka dengan tangan yang buntung dan buta terpercik mesiu perang Vietnam yang mengenaskan. Tapi ada yang lebih kurindukan dari semua itu. Aku mencari dan menunggu Nguyen Vet Tienh, gadis molek yang pernah menikamkan jejak rindu di jantung pelupuk mataku semasa di Pulau Galang dulu. Aku tahu, Nguyen sudah bersuami dan punya anak dua saat pertemuan terakhir beberapa tahun silam. Tapi, surat-suratnya yang sempat mengalir deras menyela perpisahan kami, penuh cerita pilu. Nguyen ternyata tak bahagia bersama suaminya. Antara suka dan tiada, aku mengeja tiap kata-kata yang mengantarkan duka-lara dirinya. Semestinya aku tak harus suka sebab perkawinan mestilah jadi selubung bagi seorang perempuan santun seperti Nguyen agar ia punya masa depan bersama anak-anak yang lincah. Tapi, di bilik hatiku yang lain berucap gemulai, kalaupun aku menyukai prahara perkawinan Nguyen tentulah semata akibat kecintaanku yang teramat-sangat untuk memadu kasih yang tak pernah terlerai. Nguyen telanjur segalanya bagiku. Aku jadi ragu berterus terang, kedatanganku di Hanoi untuk apa dan buat sesiapa? Aku begitu bersemangat ketika misi perdagangan negeriku memilih Hanoi untuk berpromosi dan bertukar-pandang soal perdagangan lintas-negara. Padahal ada juga pilihan untuk berkunjung ke Seoul atau Shanghai. Apalagi bagi pengusaha yang baru merangkak naik dalam tiga-empat tahun berselang. Siapa duga, aku tiba-tiba diberi peluang berputar haluan dari pekerja makan gaji di sebuah industri elektronika di Muka Kuning, Batam, menjadi pengusaha kecil yang mengekspor arang bakau di pasar Asia dan Eropa. Ini semua serba tak terduga setelah pertemuanku dengan seorang pengusaha Singapura yang secara tak sengaja saat menyeberang di atas ferry melintasi Selat Melaka. Tuan Chew Song Kit, pemilik sebuah grup usaha sukses di Negeri Singa itu hendak mencari mitra usaha di Indonesia. Aku diberi peluang yang luas setelah dibina berbulan-bulan untuk berbisnis. Aku bisa jadi pengusaha yang tegak sendiri. Atas nama kemandirian itu pula, aku sampai di Hanoi bersama belasan pengusaha Melayu lainnya. Sekali lagi, bila ditanya, manakah yang lebih besar hasrat untuk berniaga ataukah menjemput kerinduan Nguyen yang melambai-lambai sejak lama di jiwa yang hampa? Jujur harus kujawab, aku berbelah-pihak pada Nguyen. Mitra niaga dapat kucari bilamana dan di mana saja. Tapi, menjemput Nguyen saat rindu dan kasih yang tak pernah terkubur, pasti tak ada duanya di belahan bumi ini. Lebih-lebih aku hendak mendedahkan pada Nguyen bahwa budak Melayu yang dulu makan gaji sebagai pekerja kontrak di Kawasan Industri Muka Kuning kini sudah jadi pengusaha pula. Pameran Dagang dan Industri yang digelar di tengah kota Hanoi ini memang sudah berlangsung hampir sepekan. Tapi aku tak begitu hirau. Aku lebih banyak menekan angka-angka di panel handphone-ku atau membolak-balik buku telepon untuk mencari nama dan alamat Nguyen Vet Tienh. Atau aku lebih tertarik menyusuri kawasan permukiman yang disebutkan Nguyen dalam surat-surat terakhirnya. Tapi semua ihwal ikhtiarku hampir tak membuahkan hasil. Aku bagaikan mencari sebatang jarum di setumpukan jerami kota Hanoi yang terus menggeliat dan berbenah. Padahal, beberapa perempuan Vietnam yang terbilang pengusaha sukses dan masih lajang, bukannya kurang molek dibanding Nguyen saat kami bertemu-muka sejak beberapa tahun terakhir. Tapi, tak hendak sedikit pun aku melunturkan kadar rindu-kasih pada Nguyen. Aku benar-benar telah terperangkap dalam jeruji asmara yang dibentangkan Nguyen penuh ketulusan. Atas keteguhan sikapku ini, sampai-sampai sahabat karibku sesama pengusaha serumpun, Wan Syariful, telah menghakimi sebagai budak sengau yang kehilangan arah. Aku merasa punya kedaulatan sepenuh jiwa tanpa terusik oleh sesiapa. Aku kehilangan jejak Nguyen. Alamat yang disebutkannya di surat-suratnya sudah ditinggalkannya tanpa tanda-tanda. Langit Hanoi benar-benar merah jambu. Dan di bayang-bayang langit itu bertabur sosok Nguyen yang lembut. Senyuman dan pipi ranumnya sulit kulupa saat kusentuh pertamakali di Pulau Galang dulu. Tangis dan derai airmatanya tak lekang dalam pintu ingatanku saat ia terburu-buru menyerahkan diri di dormitori yang selalu menjadi saksi kesendirianku. Lalu-lalang ratusan pengunjung Pameran Dagang dan Industri di Gedung Hanoi Trade Center malam itu nyaris tak kuhirau. Tapi mataku selalu saja mengintip kerumunan itu mana tahu terjadi keajaiban tak terduga. Mana tahu, Nguyen muncul tiba-tiba. Wan Syariful, teman sesama pengusaha Melayu yang selalu menjadi tempat curahan hati, mulai melihat isyarat buruk dalam diriku. Dari mana asalnya kapas, dari benang menjadi kain. Sesiapa yang sudah dilepas, dah menjadi hak orang lain Wan menyindirku dengan pantun pendek itu. Ini memang sudah jadi tradisi orang Melayu di kampungku untuk berkias dalam menyampaikan sesuatu. Tapi, jujur, aku tetap merasa tertampar hingga wajahku terasa bersemu merah. Tak usahlah dicari barang yang tak jelas, sambung Wan berhujjah. Aku tertunduk lemas. Tapi, di sudut pikiranku yang terdalam masih kutemukan kemungkinan-kemungkinan tak terduga. Sebagai Muslim sejati yang memegang teguh ajaran agama, aku sangat percaya bahwa bantuan Tuhan bisa datang tanpa disangka-sangka. Apalagi, doaku usai shalat tahajjud di tengah malam sunyi, tak lain memohon agar aku bisa bertemu dengan Nguyen kembali. Meski, terus terang, aku harus malu karena beberapa kali menyapa sejumlah perempuan di arena pameran atau di lorong-lorong jalan yang kuduga Nguyen ternyata sama sekali bukan. Malam terakhir Pameran Dagang dan Industri itu terasa bergerak lamban. Sejumlah stand perusahaan dari berbagai negara Asia sudah ada yang tutup. Aku masih betah duduk berlama-lama ditemani Wan Syariful, teman setiaku sejak dulu. Di bawah cahaya lampu yang menyala ribuan watt di hall raksasa itu, seorang perempuan berwajah molek dan manis bersama sepasang anaknya yang berusia di bawah sepuluh tahun, lewat di depan stand kami. Matanya bercahaya mengeja tulisan Indonesia di blok stand. Pelan-pelan aku mengurai jejaring kenangan di bion-bion otakku. I love Indonesia sapa perempuan itu pada pramu stand yang menjaga stand kami. Pramu stand menyilakan perempuan itu menuliskan namanya di buku tamuku dan mempersilakan melihat-lihat pajangan komiditi perdagangan. Sungguh, hati kecilku kembali ingin berteriak begitu kulihat wajah perempuan itu benar-benar mirip Nguyen. Tapi aku tak mau malu dan kecewa bila menegur orang yang keliru. What do you think about Indonesia? giliran pramu stand kami yang balik bertanya. I have ever became a refugee in Galang Island sahut perempuan itu sambil tersenyum manja. Begitu pengunjung yang satu itu melangkah berkeliling di dalam stand kami, aku bagai melompat menuju buku tamu. Tak salah lagi, nama yang tertulis di situ: Nguyen Vet Tienh. Aku memburu perempuan itu yang membuat kedua anaknya menjadi ketakutan. Nguyen.remember me? ucapku langsung meraih tangannya. Perempuan berhidung mangir itu benar-benar terperanjat sambil menatapku penuh keanehan pada mulanya. Kami bersitatap tegang. Pelan-pelan sama-sama tersenyum. Danperempuan itu langsung memelukku. Bang Rajab suara Nguyen tersekat di kerongkongan sambil berbisik di telingaku. Kedua anaknya benar-benar bingung menatap perilaku kami. Saat itu, sejenak kami tak peduli sesiapa di sekitar. Hanya kurasakan hangatnya airmata Nguyen yang jatuh di bahu kananku. Suasana benar-benar hening beberapa lama. Semua bisu. Hanya suara rindu yang berbicara di lubuk hati kami berdua. Bola mata Nguyen masih berkaca-kaca saat melepas pelukan. Aku tak hentinya tersenyum haru dengan mata yang sembab. Seketika Nguyen mengenalkan kedua anaknya dalam bahasa Vietnam yang fasih. Lelaki yang sulung bernama Van Thrang dan adiknya, perempuan molek pula laksana emaknya sendiri selalu dipanggil San Minh. Seketika itu juga aku perkenalkan temanku, Wan Syariful yang sedari tadi berdiri mematung menatap ulah kami. Pantaslah Rajab tergila-gila datang ke Hanoi ini. Ada putri yang molek bertakhta di sini suara Wan makin meranumkan suasana penuh haru itu. Mana suamimu? tanyaku tiba-tiba. Nguyen menatapku dengan mata yang makin berkaca-kaca. Berulang-ulang perempuan lembut dan manja itu menjatuhkan diri di bahuku. Aku memeluknya sepenuh-mesra. Hampir setahun ini, kami sudah pisah ranjang. Aku telah keliru memilih jodoh, sahut Nguyen pelan. Aku makin memperkuat pelukan. Nguyen pasrah. Pertemuan itu benar-benar mengalirkan semangat yang luar biasa di dalam jiwaku. Darahku mengaliri seluruh pembuluh penuh tenaga. Setiap helaan napasku hanya ada rasa syukur yang dalam kepada Allah. Semua ini berlaku tak lain atas kehendak-Nya jua. Malam itu aku mohon pamit pada Wan Syariful untuk mengantarkan Nguyen beserta kedua anaknya. Dalam perjalanan naik taksi itu, Nguyen bercerita soal emaknya yang sudah meninggal akibat sakit paru-paru dua tahun silam. Dua adiknya, San Nam dan San Nangh, sudah berkeluarga dan tinggal terpisah jauh di bagian utara. Mereka sudah jarang bertemu. Begitu pula kampung halamannya, Sing Anh, yang berjarak puluhan kilometer dari Hanoi sudah jarang dikunjunginya. Meskipun ayahnya terkasih terkubur bersama sejarah getir kekejaman tentara Vietkong di sana. Ketika Nguyen bercerita ihwal suaminya yang berperilaku kasar padanya, airmatanya tak henti mengalir. Sampai-sampai Van Thrang dan San Minh yang kecik-belia itu turut pula bersedih. Sebab, setiap ucapan Nguyen dalam bahasa Indonesia terbata-bata berbancuh bahasa Inggris yang memadai, selalu diulanginya dalam bahasa Vietnam kepada kedua anaknya. Suasana malam benar-benar menghanyutkan perasaan hingga meluluhkan segala derita dan lara yang menyelimuti hidup mereka. Untunglah Nguyen tegar menerima kenyataan harus berpisah dari suaminya yang dirasakan lebih banyak menyakiti hidupnya. Nguyen harus bekerja sebagai pelayan di sebuah restoran. Larut malam mendera rasa kantuk Van Trangh dan San Minh sehingga keduanya tertidur pulas di kamar. Pembantunya, seorang perempuan baya setelah menghidangkan teh hangat buat kami, sudah kembali beristirahat di kamarnya. Hening benar-benar mencekam di ruang tamu itu. Nguyen masih duduk menyandar didadaku. Layar TV yang bergantikan menyajikan siaran berita dan hiburan malam dalam bahasa Vietnam yang tak bisa kumengerti nyaris tak kami hiraukan lagi. Sungguh, tak ada kata-kata yang lebih manja dari kehangatan tubuh Nguyen sambil membilang getar jantungku yang tak pernah reda. Nguyen meraih jemariku. Mengisyaratkan ajakannya padaku untuk melangkah ke kamar. Terus terang aku sempat terhanyut saat berduaan di kamar yang wangi. Lampu temaram. Napas kami bersahutan saat berdekapan di bawah selimut malam. Inilah saatnya, Bang Rajab. Percintaan kita telah tertunda beberapa kali suara lirih Nguyen mendayu-dayu. Tapi seketika aku tersadar dan bangkit mengejutkan Nguyen. Maaf, Nguyen, aku tak bisa. Masih ada pagar di antara kita ucapku mengiringi alam sadarku. Maksudmu?, suara Nguyen terdengar kecewa dengan bolamata yang penuh harap. Aku terdiam dan ternganga. Kamu tidak mencintaiku lagi. Memang, aku sudah tak layak kamu cintai karena aku  Suara Nguyen terhenti saat jemariku menyentuh bibirnya. Iya… kamu masih menjadi istri orang lain. Aku tak akan merobek tirai perkawinanmu ucapku dengan suara pilu. Tapi, kami sudah pisah ranjang cukup lama. Pisah ranjang bukan bermakna bercerai, bukan? Tapi aku sudah menganggapnya bercerai. Dia tak pernah mempedulikan kami lagi. Menelepon pun tidak. Lagi pula, kudengar dia sudah menikah dengan perempauan lain.. Aku duduk di bibir ranjang. Nguyen terus saja menangis sesegukan. Kekecewaannya yang tergurat di wajahnya yang merah jambu. Selalu, dan selalu kutemukan kemolekan dirinya yang tiada tara. Andai saja, dia sudah tak punya ikatan tali perkawinan lagi dengan suaminya akan kujadikan dirinya menjadi ratu dalam hidupku mulai malam itu. Malam yang terbalut rindu itu berlalu tanpa banyak makna bagi Nguyen. Tapi, bagiku, pelukan kasih dan rindu pada Nguyen justru makin melipat-gandakan rasa cintaku. Mataku nyaris tak terpejam sepicing pun. Begitu pula Nguyen yang pasrah sepanjang malam hingga pagi. Kepergianku pagi itu meninggalkan Nguyen dan kedua anaknya, memang bukan akhir segalanya. Aku berpesan pada Nguyen agar mengurus perceraiannya di pengadilan. Tak mungkin aku mempersunting istri orang. Aku adalah anak jati Melayu yang menjunjung tuah dan marwah. Setiap langkah yang salah kulewati tak sudi jadi arang yang mencoreng muka keluarga dan karib-kerabatku di kampung halaman. Langit masih bertabur Nguyen, saat aku sudah kembali ke Tanah Air. Puluhan burung sore yang terbang di atas Selat Melaka bagai mengantarkan pesan-pesan rindu dan kasih Nguyen yang tak terlerai. Dan riak ombak di lautan saat kutatap dari tingkap apartemen tempat tinggalku di Batam Center, selalu mengalunkan derai tawa Nguyen dan anak-anaknya. Sungguh, aku tak kuasa terpisah jauh dari mereka. Aku dan Nguyen terus berkirim kamar lewat handphone dan e-mail. Nguyen bercerita soal proses gugatan perceraiannya yang ternyata tak mudah. Aku selalu memberi ruh semangat dalam dirinya agar tak pernah putus asa. Tapi e-mail terakhir Nguyen yang kini terdedah di layar maya di kamar kerjaku benar-benar membuatku terkesima dan tak pernah bisa menutup mata. Nguyen tanpa kutahu merekam kisah kasih kami sepanjang malam di bawah temaram lampu di bawah langit Hanoi yang tak pernah berhenti tersenyum. Nguyen, langit terus bertabur dirimu di mana pun aku menumpahkan rindu yang tak berujung. Jangan biarkan langit mendung sekejap pun. Jangan biarkan hujan membasuh semua kenangan yang terdedah di lembaran sejarah hidup kita. Langit Hanoi terasa merah jambu, Nguyen, pulaskah tidurmu malam ini*** Pangkalan Kerinci, Oktober 2005.
""Langit Bertabur Nguyen""
Sebelum mati, aku masih ingat tubuhku melenting: kakiku berkelejotan mencari tumpuan, sedangkan kepalaku menjadi tumpuan di ujung lainnya. Lalu seluruh tubuhku meregang, seolah menolak kehendak malaikat maut yang membetot nyawaku. Waktu itu, samar masih kudengar tik-tak jam di dinding kamar. Suaranya seperti sebuah requiem. Kemudian secara perlahan-lahan aku melihat kaki, tangan, kepala, dan seluruh tubuhku melayang… Ketika berhasil berdiri, istriku tampak sibuk memencet-mencet tombol telepon. Aku juga masih ingat ketika kemudian keponakanku membopong tubuhku sendirian menuju mobil yang dipinjam dari tetangga. Ia bergegas memanggil Magenta, istriku, untuk memangku kepalaku di jok belakang. Dalam 30 menit, mobil sudah sampai di ruang ICU sebuah rumah sakit. Waktu aku dibaringkan di tempat tidur dan selang-selang dipasang di tangan serta mulutku, aku sebenarnya tak berharap untuk hidup kembali. Magenta mungkin tak tahu bahwa aku menangis di bahunya, ketika ia hampir-hampir histeris meminta agar dokter segera memberi pertolongan. Air mataku bahkan membasahi sebagian baju tidur yang dikenakannya malam itu. Mungkin ia mengira itu keringatnya sendiri yang keluar karena tegang dan putus harapan menyaksikan penderitaanku. Dokter aku lihat geleng-geleng kepala. Hanya mungkin karena gelengannya perlahan, Magenta tak begitu memerhatikannya. Tetapi ketika ia berucap, ”Ibu yang tabah ya…. Ini mungkin hanya cobaan awal,” istriku mulai meraung. Selain menuding-nuding para medis yang dinilainya tak becus memberi pertolongan, Magenta juga membentak-bentak keponakanku. Ia menuduh keponakanku sengaja melambat-lambatkan laju mobil agar nyawaku tidak tertolong. Padahal aku tahu, keponakanku itu sudah menginjak pedal gas sedalam-dalamnya. Tetapi karena jalanan yang berlubang, maka mobil terpaksa dizig-zag. Zig-zag itulah menurut Magenta sebagai cara keponakanku untuk memperlambat waktu tiba di rumah sakit. Ketika Magenta mulai agak tenang, kudengar dokter berbisik di telingaku, ”Kamu mesti temukan jalanmu. Kalau ketemu persimpangan, lurus terus, terus, nanti di depan ada gerbang besar dengan seorang berambut aneh yang menjaganya.” Lalu ia minta bicara berdua dengan Magenta di ruangan sebelah yang hanya dibatasi tirai putih. Tiba-tiba tik-tak jam dinding lagi-lagi terdengar seperti requiem yang dikomposisi khusus buatku. Nada-nada yang mengalir perlahan mencopoti tubuhku bagian demi bagian. Dengan latar awan dan langit yang beku, aku seperti benda yang tak memiliki gravitasi. Cuaca di sini begitu dingin. Matahari hanya sebentuk benda lembut yang beku. Sinarnya adalah selang-selang yang meneteskan serpihan es. Ketika kurasakan angin perlahan berembus, tubuhku malah terseret makin jauh… dan tersedot ke dalam lubang hitam yang dalam. Terakhir aku dengar dokter berkata kepada Magenta bahwa aku telah mati karena gula darah yang anjlok. ”Ibu terlambat membawa dia kemari. Tubuh suami Ibu meregang karena gula darahnya anjlok. Ia pingsan sudah terlalu lama…. Kami tidak bisa berbuat apa-apa lagi, kecuali berharap Ibu tetap tabah. Suami Ibu hanya pulang….” ”Apakah seorang dokter harus mengucapkan kata yang sama dengan seorang pendeta di saat-saat seperti ini?” teriak Magenta. Ah, perempuan itu memang jarang memikirkan kata-katanya sebelum diucapkan. Ia tak berpikir bisa saja dokter marah kepadanya. Dan jasadku akan terkatung-katung di rumah sakit ini. Mereka bisa saja berpura-pura ingin tahu penyakit apa sebenarnya yang membunuhku. Lalu melakukan otopsi dengan mengiris-iris bagian demi bagian jasadku yang sudah kurus ini. Ah, pastilah sangat mengerikan menyaksikan tubuh sendiri diiris-iris dengan pisau-pisau yang besar…. ”Seorang dokter atau pendeta bukankah hanya dibedakan oleh jenis pekerjaannya,” jawab dokter kemudian dengan maksud menenangkan. Magenta tercenung. Ia menghentikan teriakannya, kemudian lunglai menggelesot di lantai…. Aku kasihan padanya. Kata-kata dokter itu benar juga. Ketika tadi aku berjalan lurus setelah bertemu dengan persimpangan, aku kini sampai di sebuah pintu besar berukir dengan motif dedaunan dan bunga. Tak jelas benar berfungsi sebagai apa gerbang itu, karena ia seperti digantungkan begitu saja di serpih awan. Sedekat ini, aku hanya melihat seorang tua renta dengan tongkat kepala naga. Ia berdiri tepat di tengah belahan kedua daun pintu. Lelaki tua itu tak menegur dan hanya berucap pelan, ”Dosamu terlalu banyak, kembalilah.” Aku tak mengerti, yang kuingat kemudian aku mungkin sudah bertahun-tahun berjalan untuk menggapai gerbang itu. Kulintasi segala gurun, lembah, hutan dan hujan, segala terik dan batu-batu, belum juga aku mampu melewatinya. Bahkan aku pernah terombang-ambing dalam amukan badai petir dan kilat yang berkecamuk seperti menerkamku. Toh aku masih di sini, tetap berada di depan pintu. Tetapi apakah dokter itu pernah mati? Kalau begitu aku makin paham sekarang, bahwa benar belaka kematian bukan akhir dari segala kehidupan. Sekarang ketika aku kembali di sini menjadi seekor anjing, segalanya masih kuingat. Aku masih ingat perempuan tua yang menjadi majikan besarku sekarang tak lain adalah Magenta. Mungkin usianya sudah mencapai 80 tahun, tetapi ia masih bersikeras tak mau menggunakan kursi roda. Hari Minggu lalu, ketika ia jatuh di kamar mandi dan aku berteriak-teriak mengabarkannya kepada seluruh penghuni rumah, Marjolin, cucu perempuan kesayangan Magenta, sudah mengusulkan agar ia memakai kursi roda pemberian kakek. Entah mengapa Marjolin punya kepedulian yang begitu dalam terhadap kursi roda itu. Kursi roda itulah yang pernah kuhadiahkan kepada Magenta ketika ulang tahun perkawinan kami yang ketujuh. Aku ingat, ia marah-marah dan menuduhku mengada-ada. Kursi itu, katanya, semacam doa pengharapanku agar ia lumpuh. Kemudian aku bisa bebas bersenang-senang dengan perempuan lain. ”Kamu ini suami aneh, kok justru mengharapkan istrinya duduk di kursi roda. Kalau maksudnya agar kamu lebih bebas bermain-main dengan perempuan lain, tak perlu pakai cara-cara halus seperti ini,” kata Magenta. Ketika melihat aku tak bereaksi dan tenang saja menggosok gigi di wastafel dekat kamar mandi, setengah berteriak Magenta bilang, ”Potong saja kakiku, kalau itu maumu…!” Sekarang aku menyesal karena waktu itu berpura-pura tak mendengar. Mestinya aku tahu perkataan Magenta itu, sebagai bukti betapa dalam cintanya kepadaku. Seharusnya aku berusaha menjelaskan bahwa hadiah kursi roda itu pun juga sebagai bentuk pernyataan cinta sejatiku kepadanya. Kursi roda hanya simbol bahwa aku ingin hidup dengannya sampai tua nanti. Sampai kami berdua benar-benar tak bisa berjalan dengan kaki kami sendiri. Rasa penyesalan yang dalam serta keinginan kuat untuk menebus kesalahan kepada Magenta itulah, barangkali yang membuat aku tetap bisa bersamanya sampai kini. Usia kami jauh berbeda. Magenta sekarang sudah 80 tahun, sementara aku belum genap lima tahun. Kehadiranku dalam keluarga ini berkat rasa belas kasihan Marjolin yang memungut aku dari got di depan rumahnya. Ketika usiaku baru satu hari, majikanku pertama, yang tinggal di sebuah gang sempit di belakang rumah Magenta, membuangku ke dalam got. Aku dengar dia bilang, anjing betina tidak terlalu berguna, paling-paling hanya bikin rusuh kampung. Ketika musim kawin tiba, anjing-anjing jantan akan berkeliaran di sekitar gang. Belum lagi, katanya, kalau aku kawin dengan cara berenteng-renteng, akan menambah heboh seluruh kampung. Ketika Magenta jatuh untuk ketiga kalinya, ia benar-benar tak bisa menolak saran Marjolin. Kursi roda yang selama ini diletakkan di samping kursi lainnya, di mana Magenta biasanya menonton televisi, terpaksa ia pakai. Dan itulah puncak kebahagiaanku. Magenta tampak mencoba menggeser-geser roda kursi beberapa kali. Ia bahkan beberapa lama sempat berkeliling ruangan. Diam-diam aku mendekat dan menjilati kakinya. Mudah-mudahan ia ingat, hal yang sama pernah kulakukan ketika malam pertama pernikahan kami. Aku masih ingat benar bagaimana Magenta menjerit-jerit manja sembari mengatakan geli. Kami lantas bergumul semalaman sampai matahari benar-benar menembus celah gorden warna cerah kesukaannya. Sekarang Magenta hanya mengelus kepalaku. Itu pun kuperhatikan tidak sungguh-sungguh karena tangannya yang lain sibuk memencet-mencet tombol remote control televisi. Tetapi aku ingat, gerakan jarinya persis seperti ketika ia memencet-mencet tombol handphone sesaat sebelum aku mati. Ketika ia menemukan channel yang menurutnya pantas dilihat oleh seluruh anggota keluarga, Magenta berteriak-teriak panik. Berkali-kali ia memanggil Marjolin, yang kebetulan saat itu sedang di kamar mandi. Aku lihat di televisi orang-orang panik, sementara sebuah gedung tampak terbakar. Asap hitam mengepul di antara puing-puing kaca serta mobil-mobil yang terbakar. ”Jolin, cepat… aku sudah jemu jadi saksi atas semua ketidakadilan ini. Bom meledak lagi. Ah, Tuhan, mengapa sejak dulu aku hanya jadi saksi dari kematian demi kematian. Jolin, besok pesankan saja peti mati dan sepetak tanah kuburan. Aku sudah lelah disuguhi kiamat semacam ini…,” Karena Marjolin tak juga keluar, aku menggedor-gedor pintu kamar mandi dengan kakiku. ”Jolin… cepatlah. Jangan biarkan aku sendirian menjadi saksi…,” teriak Magenta histeris. Ia tampak tak berdaya, bahkan sekadar mengganti channel televisi pun ia tak sanggup. ”Ada apa, Oma?” buru-buru tanya Marjolin sesaat kemudian. ”Aku tak sanggup lagi disuguhi kematian demi kematian. Sejak kakekmu mati mendadak dulu, seperti tak ada harapan lagi buatku untuk hidup. Besok kamu pergi ke pasar, pesankan aku peti mati dan bunga dukacita atas namaku sendiri….” Sebelum Marjolin berkata aku meraung di kaki Magenta, persis sewaktu ia mendengar rintihanku saat-saat menghadapi maut. Mungkin ia tak pernah sadar kalau aku benar-benar menangis seperti bayi yang kaget melihat dunia. Aku juga kaget, mengapa secepat itu harus mati dengan cara yang menyakitkan banyak hati. ”Oma? Oma… sadar Oma…,” Marjolin histeris melihat Magenta lunglai di atas kursi roda. Secepat kilat aku berlari keliling rumah dengan maksud mengabarkan keadaan Magenta. Setelah melihat seluruh ruangan kosong, aku berlari ke depan rumah mencari pertolongan. Tetapi tak seorang pun tampak. Aku malah berjumpa seorang tua dengan tongkat kepala naga yang kutemui dulu di gerbang yang besar itu. ”Ia sudah lelah, sudah saatnya kembali. Relakan saja…. Kamu harus di sini, sampai benar-benar terbebas dari ikatan duniawi,” katanya. ”Apakah Anda malaikat?” tanyaku. ”Bukan, aku seseorang yang selalu membawa buku besar tentang segala perbuatan manusia, termasuk segala prilakumu saat kau terlahir seperti sekarang?” ”Terlalu besarkah dosaku di masa lalu sehingga terlahir sebagai anjing?” tanyaku mengambil kesempatan. Lelaki tua itu tak menjawab. Ia tiba-tiba melayang memasuki rumah kami. Di ruang dalam, Marjolin menangis sejadi-jadinya, saat yakin Magenta telah tiada. Ia tak tahu kalau lelaki tua bertongkat kepala naga itu telah membawanya melayang, melewati kisi-kisi jendela. Aku paham sekarang mengapa Derida, suamiku, meregangkan tubuhnya ketika menghadapi maut dulu. Itulah rupanya cara dia melawan kehendak waktu. Sewaktu ruhku meloncat dari tubuhku, aku dengar tik-tak jam yang kupajang di atas televisi, menjadi requiem yang mengantar kepergianku. Aku juga tahu, Derida berlari-lari ke setiap kamar dan ke halaman untuk mencari pertolongan. Itu juga cara dia untuk melawan malaikat maut yang hendak menjemputku. Mungkin karena kehendak untuk terus melawan tanpa henti itu, ia terlahir sebagai anjing. Padahal aku tahu, selama ini ia begitu setia, lelaki yang memendam merahnya cinta seumur-umur sampai harus mengada dalam wujud yang sangat terlambat kukenali.
""“Requiem”""
Hujan sore tadi masih menyisakan genangan di jalan becek yang memotong kampung di pinggiran sungai pada kaki bukit. Selain perahu penyeberangan yang ditarik tambang antara kedua sisi sungai, tak ada penduduk yang berani menyeberang dengan perahu kecil lainnya terutama pada musim seperti saat ini. Hari ini bulan ketujuh sejak Hamid hilang tertelan arus sungai yang membelah kampung itu. Sejak sebuah perusahaan milik orang kota menebang pohon di gunung tepat ke arah matahari terbenam itu, arus sungai menjadi sangat deras. Paling berbahaya sebab batangan pohon sering ikut menerjang apa saja yang menghalanginya. Iman desa Basari pernah ditemukan pingsan dihantam batangan pohon yang hanyut itu saat berak di pinggir sungai. Beruntung ia tidak terbawa arus dan menjadi mangsa buaya putih yang dipercaya penduduk kampung sebagai penjaga sungai itu entah sejak kapan. Beberapa kali terdengar suara gedebuk dari kebun belakang. Buah kelapa yang matang tak kuat lagi bergelantungan di pohonnya sehingga harus rela jatuh ke bumi menimbulkan bumi gedebuk tadi. Tak ada yang peduli. Selain pohon cokelat yang tumbuh serampangan, pohon kelapa menjadi penghasil kopra dan menjadi pendapatan lain selain padi dan jagung bagi penduduk kampung itu. Beberapa keluarga menanam ubi jalar dan ketela di antara pohon cokelat. Beberapa ratus meter ke arah bukit, terdapat pekuburan yang berbatasan langsung dengan hutan lebat. Tak banyak penduduk yang suka datang ke pekuburan itu, selain untuk memakamkan warga kampung yang meninggal. Terlalu angker, kata mereka. Kampung sebenarnya telah mati bersamaan saat matahari jatuh ke ufuk barat. Surau yang lebih banyak kosong berdiri rapuh di ujung jalan menghadap ke timur. Beberapa rumah terlihat masih menyisakan aktivitas. Terdengar suara bercakap dari penghuninya diselingi gerakan lampu minyak kemiri yang sering-sering hampir padam terkena angin dari sela-sela dinding rumah. Dinding rumah penduduk yang bisa dihitung dengan jari tangan dan kaki memang jarang-jarang. Itulah mengapa angin malam yang dingin menggigit bisa dengan leluasa memainkan api lampu kemiri yang menjadi penerang utama rumah-rumah penduduk. Aktivitas pemilik rumah juga dengan mudah terlihat dari luar. Hampir-hampir tak ada privacy. Bahkan, aktivitas di atas tempat tidur pun bisa terlihat dari sela-sela dinding rumah yang tak pernah tersentuh alat serut kayu. Nenek Lido masih merapikan jagung-jagung kering sisa kebun yang dipetiknya tiga hari lalu. Rencananya, jagung yang telah mengeras itu akan ditumbuk di lesung kayu miliknya tepat di bawah pohon samping kandang dua ekor kambing miliknya di belakang rumah. Kakek Lido, suaminya, sangat gemar menyantap nasi campur jagung meskipun hanya berlauk ikan asin dan sayur daun berbumbu segenggam garam kasar. Dua anak gadisnya, Jona dan Warni, berusaha menggotong pisang yang masih basah sisa hujan ke loteng darurat, tepat di atas ranjang keduanya. Jona yang lebih tua memanjat loteng terlebih dahulu untuk menarik ke atas sementara Warni adiknya mengusung pisang dari bawah. Dua orang gadis tangguh. Tak hanya secara fisik, tapi juga ketegaran menghadapi kemiskinan. Sesekali Nenek Lido memandang kedua anak gadisnya dari arah belakang. Ia masih sering memendam keinginan menggendong mereka dalam buaian kasihnya seperti ketika ia melahirkan mereka berdua. Nenek Lido melahirkan Jona ketika usianya telah mendekati masa menopause. Puluhan tahun ia menunggu kehadiran anak- anaknya. Tak terhitung dukun yang didatanginya. Ia telah hampir putus asa ketika Jona mulai ia hamilkan. Nenek sangat mencintai kedua putrinya itu meskipun orang-orang kampung sering kali menggunjingkan usianya yang tidak lagi muda. Tak lama, upaya Jona dan Warni berhasil dan pisang bisa digantung di sebilah bambu yang dipasang melintang di loteng. Jona sempat berbalik ke belakang sebelum turun ke lantai bawah. Ujung telinganya seakan mendengar tarikan nafas di balik timbunan daun jagung yang menjadi dinding penahan angin di loteng bagian belakang. Tak ada apa-apa. Gelap. Kakek Lido tak pernah beranjak dari tempatnya, kursi kayu sekaligus ranjang tempat tidurnya. Sudah tiga belas tahun dia menikmati hari-harinya di situ. Saat istrinya membopong pisang, jagung atau hasil bumi kebun mereka ke pasar untuk di jual dengan berjalan kaki sejauh empat kilometer setiap Rabu, Kakek Lido tak pernah jauh beranjak dari tempatnya. Ia hanya gelisah jika suara radio transistor yang menjadi temannya sejak lama sekali mulai suak. Kakek Lido tak akan bisa tidur tanpa radio itu di samping kepalanya. Tak peduli apakah siaran di radio transistornya ia mengerti maksudnya. Tapi dunia seakan menjadi miliknya jika suara Elia Khadam melantun meskipun sesekali suara radio melengking akibat gelombang radio lagi jelek. Nenek Lido bertubuh subur. Meskipun giginya hanya tersisa tiga buah di bagian kanan atas dan kiri bawah, senyum tak pernah hilang dari wajahnya. Konon, nenek Lido dulu cantik. Banyak jawara kampung dulu mencoba mendapatkan cintanya. Tapi ia dengan tulus menerima pinangan kakek Lido sesuai keinginan ayahnya. Kata ayahnya, terlalu bodoh untuk menolak pinangan Lido muda. Rajin shalat dan punya empat ekor sapi gemuk. Lagipula, mana ada anak gadis di kampungnya yang berani melawan keinginan orangtuanya. Cerita tentang kecantikan itu mungkin saja benar sebab dua anak gadisnya manis, segar, dan kuat seperti ibunya. Malam semakin dingin dan Nenek Lido berusaha menegakkan badannya untuk menuju ke ranjangnya. Dari kamar bagian tengah yang hanya dibatasi selembar kain bekas seprei yang tak lagi terpakai, dua anak gadisnya tak lagi terdengar suaranya kecuali derit ranjang kriaak… kriuuuk setiap ada pergerakan di atasnya. Kakek Lido tenggelam dalam buaian lagu entah siapa dari radio transistornya. Tapi kakek belum tertidur. Batuknya masih bersahut-sahutan pada beberapa jeda waktu. ”Kamu pinjam alu Puang Daha’ besok pagi. Alu kita patah,” Nenek Lido mematikan nyala lampu minyak kemiri yang terselip di tiang rumah. Tak jelas ia berbicara dengan siapa. ”Kata Nisa, kambing yang hitam kemarin makan bangkai di dekat kuburan. Coba kamu periksa apa dia terkena racun dari bangkai itu,” kata Nenek Lido lagi. Kakek Lido hanya menggerakkan tubuhnya di ranjang mininya pertanda mengerti perintah Nenek. Nenek Lido adalah kepala keluarga yang sebenarnya. Ia roh bagi keluarganya sekaligus pencari nafkah. Tak pernah ia mengeluh dalam hidupnya. Tidak juga ketika Kakek Lido memutuskan menjual dua petak sawah warisannya beberapa tahun lalu untuk selanjutnya membeli radio transistor dan sedikit diserahkan kepada istrinya untuk selanjutnya menikmati hari-harinya dengan radio transistornya. Tak pernah pula ada protes dari kedua anak gadisnya atas semua beban dan peran yang diemban ibunya. Mana berani keduanya masuk ke wilayah peran kedua orangtuanya? Semuanya seperti berjalan alamiah. Malam merangkak jauh dan dingin semakin menggigit. Hujan mulai turun lagi meski tak sederas sore tadi. Nenek Lido agak gelisah tidurnya. Ia sempat ke dapur dalam gulita untuk mencari sesuatu. Tapi kedua anak gadisnya telah lelap. Terdengan pelan suara krek… krreek… krreeek dari loteng. Sekelebat bayangan melompat ke tiang tengah rumah tepat di atas kamar Jona dan Warni. Rumah panggung itu bergerak. Nenek Lido menggerakkan kepala di atas bantal kusamnya seakan mendengar atau merasakan sesuatu. Akh, angin semakin kencang, pikirnya. Anjing melolong bersahut-sahutan di ujung kampung tepat dari arah kuburan. Tak terdengar suara apa-apa kecuali hujan yang jatuh ke atap rumbia, namun tak cukup keras untuk mengalahkan suara radio transistor Kakek Lido. Tiba-tiba. ”Siapa kamu? Aaakkhh… Kindo,” Jona dan Warni menjerit. Seseorang bertubuh besar bersarung dan berbaju kaus hitam berusaha menindih tubuh Jona. Warni melompat ke luar kamar dan berlari ke ranjang ibunya di dekat dapur. Jona berusaha melepaskan diri dari bekapan lelaki yang mendengus keras. Baju Jona telah robek di bagian depan. Nenek Lido melompat dari tempat tidurnya. Rambutnya yang telah memutih di sana-sini berurai panjang kusut. Tak dihiraukan sarungnya melorot dan menyisakan celana pendek besarnya menggelantung tak beraturan di perutnya yang bergelambir. ”Siapaa…?” teriaknya setengah melompat. ”Siapa yang berani memegang anakku?” Nenek Lido telah sadar apa yang terjadi. Warni meringkuk di dekat ranjang ibunya sambil menangis. Dengan keras, Nenek Lido menarik baju lelaki besar yang hampir berhasil memeloroti pakaian Jona. Lelaki itu tersentak keras. Kini ia menghadapi Nenek Lido dengan marah. Matanya berkilat menahan nafsu dan amarah. Nenek Lido mengenalinya: Rappe. Dengan sekali mengayunkan tangan, Rappe, jawara kampung sebelah, menempeleng wajah Nenek Lido dengan keras hingga terhuyung ke atas onggokan daun jagung sisa pekerjaannya tadi sore. Tapi Nenek Lido bisa bangun dan berhasil mencengkeram baju lelaki itu. Sebuah tendangan di bagian muka merontokkan gigi terakhir Nenek Lido. Dari arah belakang, Jona berteriak marah sambil memukulkan bambu obor yang selalu terselip di dinding kamarnya. Rappe semakin marah. Jona tertampar keras di bagian wajah sebelah kiri hingga terjengkang ke belakang. Nenek Lido melengking marah. Ia melompat menghalangi Rappe yang akan menarik Jona. Rumah panggung itu bergoyang keras. Dalam gelap, Nenek Lido sedang bertarung mempertahankan permata hatinya. Rappe mundur. Wajahnya mengilat bengis dalam gelap malam. Ia tiba-tiba menarik sesuatu dari balik bajunya. Sebilah pedang pendek. Nenek Lido tetap berdiri membelakangi Jona yang menangis ketakutan. Dalam gelap, sekelebat Rappe bergerak ke depan dengan tangan teracung dengan pedang di tangannya. Tak ada ruang bagi Nenek Lido untuk menghindar atau Jona tertebas di belakangan. Maka, dengan secepat kilat, nenek melompat ke depan menyambut tubuh Rappe. Terjadi tubrukan keras dan keduanya jatuh ke lantai. Dengan cepat Nenek Lido memegang tangan kanan Rappe dan membalikkan tubuhnya ke depan pintu kamar. Rappe kini terdesak dan berusaha menarik tangannya dari pegangan Nenek Lido. Cresss… Berhasil. Secepat kilat Rappe melompat ke pintu belakang dan menghilang ke dalam gelap dan hujan yang semakin deras. Jona melompat memeluk ibunya sambil meraung tangis, ”Kindo…..”. Warni tetap menangis di kamar ibunya dengan penuh ketakutan. ”Dia sudah pergi. Nyalakan lampu,” Nenek Lido menyuruh Jona. Tapi Jona semakin keras memeluk ibunya. Nenek membelai rambut putrinya yang merasakan tangan ibunya basah. Dengan susah payah, Nenek Lido melepaskan diri dari pelukan anaknya dan berusaha menyalakan lampu minyak kemiri. Tangannya gemetar dan nyeri. Lampu berhasil dinyalakan dan Jona menjerit lalu pingsan. Tangan dan baju ibunya yang lusuh penuh darah, kepalanya juga. Nenek Lido jatuh menyandar ke dinding. Ia memegang tangannya yang bersimbah darah. Tiga jari tangan kanannya telah hilang dari tempatnya tersayat pedang saat bergubung dengan Rappe tadi. Tapi Nenek Lido tidak menangis. Tidak juga ia marah kepada Kakek Lido yang tak pernah beranjak dari tempat tidur dan radio transistornya saat pergumulan dengan mautnya tadi. Kakek bahkan tak pernah merasa perlu untuk menanyakan atau ikut nimbrung pembicaraan kampung ketika Rappe ditemukan mati dengan leher tertebas saat di pinggiran kampung sepulang dari minum tuak di kampung sebelah. Ia hanya sempat bertanya kepada beberapa orang yang melintas di depan apa bertemu dengan Nenek Lido yang belum juga pulang sejak sore hari, bertepatan dengan malam ditemukannya Rappe terkapar mandi darah di pinggir jalan tanah kampung. Kakek bermaksud menyuruh istrinya membeli baterai radionya yang mulai melemah. Tapi Kakek Lido sadar bahwa kedua anak gadisnya marah kepadanya sebab tak pernah lagi menyapanya sejak kejadian malam itu. Toh ia juga tak terlalu peduli bahkan ketika kedua anak gadisnya menolak duduk di dekat pembaringannya beberapa saat sebelum ia mengembuskan nafas terakhirnya beberapa bulan sejak peristiwa malam itu. Hanya Nenek Lido yang setia menemani Kakek di dekat kepalanya yang mulai melemah. Saat mendekati sakratul maut, Nenek Lido mendekatkan mulutnya ke telinga kakek dan membisikkan sesuatu. Entah apa. Tak ada yang tahu. Kakek tak bereaksi apa-apa. Hanya satu permintaan Kakek Lido saat akan meninggal: Dimakamkan bersama radio transistor miliknya dalam satu liang. Hanya itu. Jakarta, 4 November 2005
""Radio Transistor""
Laksana gagak lapar, sudah sejak lama aku menunggu kematiannya, untuk mengobati kepedihan hatiku. Dendamku takkan pernah kehilangan isi, meskipun dia masih punya hubungan darah dengan kami. Dia adik Ayah kami semua. Namun, aku ingin melihat jasad Pakde Suto tak bisa dimasukkan ke dalam keranda. Peti matinya beberapa kali harus dibongkar-pasang karena kurang panjang. Dan, di pemakaman, aku ingin menyaksikan kutuk terhadap dia yang merampas tanah keluarga kami yang tak berayah, dengan menggeser pematang secara licik. Kejahatan itu berlangsung sangat perlahan, seperti tak pernah terjadi. Namun, pematang sawah tak pernah lupa mencatat kelakuan busuknya itu. Pakde Suto telah mencaplok sawah Ibuku dua kali seratus meter bujur sangkar dalam masa hampir empat puluh tahun. Empat puluh tahun! Dia menelan kekayaan Ibu satu-satunya separtikel lumpur demi separtikel lumpur. Saat menyiangi sawah, dengan liciknya Pakde membiarkan lumpur yang dia lemparkan ke atas pematang melimpah ke sawah Ibu. Diganggang matahari, limpahan lumpur itu lantas mengering, dan dengan begitu menggeser pematang. Ibu tak mau mengadukan penjarahan itu dalam rapat desa. Juga tak pernah mau mengungkit-ungkitnya dalam percakapan di rumah. Dia selalu berusaha menenteramkan perasaan kehilangan yang bergejolak di dalam hati anak-anaknya. Juga di dalam hatinya sendiri. Dia memilih diam untuk menghindari pertikaian, karena dia tahu, kematian suaminya, Ayah kami, masih saja dianggap sebagai keniscayaan, karena keterlibatan Ayah dalam pematokan tanah para tuan tanah dengan berlindung di balik undang-undang pokok agraria yang berlaku ketika itu. Ketika aku berusia belasan. Gerimis menyudahi dirinya. Membuat malam membeku sendiri. Emprit ganthil, yang sejak subuh menyayat-nyayatkan isyarat kemalangan, sudah terbang meninggalkan bubungan rumah Pakde Suto. Kudengar suara seperti daun yang gemersik di pekarangan. Kemudian isak tangis yang mengalun dari mereka yang tak kuasa menampik kematian. ”Mengucaplah Suto…!” kata-kata itu diulang berkali-kali, diiringi sedu-sedan, dilantunkan ke kuping Pakde yang meregang dikepung maut. Raung kematian kemudian menggunung dari rumah Pakde. ”Oh, Gusti….” Para pelayat menyelinap ke ruang tengah, tempat jasad Pakde terkapar. Di jalan terdengar langkah yang tergopoh menuju rumah kematian. Kentongan titir di persimpangan jalan ditalu satu-satu. Dia sudah mati. Tapi, apakah nasib Ibu kami akan berubah? Kalaupun nanti pematang yang menjarah sawah Ibu sudah digempur, dan Ibu bisa menuai panen di sawah seluas ketika dia baru menikah dengan Ayah, namun sakit hati ini tetap tak terdamaikan. Sakit hatiku, hati kami semua, tidak hanya sebatas pematang itu. Karena Pakde Suto-lah Ayah kami mati bukan dengan jalan sebagaimana halnya dia sendiri menemui maut di ruang tengah rumahnya, tetapi dengan kepala dipenggal dan dicampakkan seperti bangkai tikus. Takkan terkikis dari ingatanku. Di akhir tahun kekacauan, kebingungan, dan penuh ketakutan, 1965, Ayah tinggal berpindah-pindah, menghindar dari kejaran benggolan-benggolan yang dikirimkan kaum tuan tanah, yang tanahnya dipatok dan dibagi-bagikan Ayah kepada petani tak bertanah. Tentara, dengan diiringi gerombolan pemuda, tiada terhitung berapa kali menggeledah rumah kami seraya membentak dan mengancam Ibu. Penampungan kotoran yang baru dibuat Ayah, dituduhkan tentara sebagai lubang penguburan manusia. Suatu malam, Ayah menginap di rumah Pakde Samin. Paginya, setelah Ayah berangkat entah ke mana, Pakde Suto mendatangi rumah adiknya itu dan mengancam, ”Kalau koé lain kali berani menyimpan Paijan, koé akan kubunuh!” Siangnya, tentara menggedor rumah Pakde Samin, dan dia digelandang ke dalam jip. Di markas tentara dia disiksa hingga beberapa kali tak sadarkan diri. Dia selamat dari maut setelah menceritakan bahwa dari rumahnya Ayah berangkat ke Semarang, berjualan kacang tanah di salah satu pasar di kota itu. Selang beberapa hari kemudian, dua jip tentara datang membawa ketakutan yang mencekam. Dengan cara yang sangat menghinakan, mereka mendorongkan Ayah yang matanya tertutup kain merah, turun dari jip. Ayah dipertontonkan di depan rumah Pakde Samin, dan orang sedesa diperingatkan tentara yang mengacungkan pistol, ”Barangsiapa yang berani menyimpan orang macam ini, mati!” Ayah diarak ke rumah kami. Kesembilan penghuni rumah dipaksa keluar. Ah, betapa pedih melihat Ayah dengan tangan terikat ke belakang, mata tertutup. Ibu, sambil menggendong adikku yang terkecil, dan kami anak- anak yang lain, hanya merunduk menatap kerikil-kerikil kecil di pekarangan, mencari kekuatan di situ, tak kuasa melihat orang yang kami cintai diperlakukan sebagai seorang yang bejat. Berminggu-minggu kemudian, sampailah berita yang tak bisa dipastikan kebenarannya, tapi karena Ayah tak pernah kami lihat lagi, maka kami memercayai kabar burung itu. Konon, Ayah digiring ke atas jembatan yang menghubungkan kedua tebing Bengawan Solo. Di bawah todongan pistol, Ayah diperintahkan bersujud, mata tertutup. Begitu dia dibentak supaya duduk kembali, dan manakala dadanya belum tegak benar, seorang pemuda melayangkan sebilah parang panjang ke tengkuknya, dan kepala Ayah, (Oh, Tuhan… aku takkan bisa memberikan ampun kepada mereka yang terlibat dalam pembantaian tiada tara dosanya itu!) kepala Ayah terpelanting ke bawah, dan dengan cepat tubuhnya ditendang menyusul kepalanya yang lebih dulu mencebur…. Ah, pantaskah sebuah peradaban memberikan ajal serupa itu kepada Ayah kami?! Ibu, kami anak-anak, sembunyi-sembunyi membeli bunga ke pasar, supaya tak ada orang desa yang melihat, dan kami pergi ke jembatan di mana Ayah kami yakini menemukan kematiannya. Kami larungkanlah bunga yang kami bawa agar aromanya membuat semerbak dunia di mana Ayah sekarang berada. Bunga-bunga itu mengambang, cepat dilarikan arus, mencari Ayah, kami kira. Tak pernah kubayangkan ziarah akan mencambuk hidupku. Setelah menikah, suamiku mengajak aku ke kampung kelahirannya di Sumatera. Dituntunnya aku berziarah ke makam orangtuanya. Sepulangnya dari ziarah di pulau seberang itu, dia mendesak, mengapa aku tak pernah bertanya, bukankah dia juga ingin berziarah, meminta berkah, ke makam Ayahku. Bukannya tak kuberitahukan kepadanya bahwa Ayahku mati terbunuh pada tahun yang membingungkan, menakutkan. Tak punya kuburan, tak punya nisan. Suamiku menjawab dengan kata-kata bersayap, mengharukan. Dia, katanya, takkan pernah menyesal memperistri aku bagaimana hina pun Ayahku menemukan ajal. Begitulah. Dia kuajak menemui Ibuku di desa. Sebelum menuju bengawan, kami terlebih dulu berziarah ke makam kakek-nenekku. Dia terpesona menyaksikan kuburan di pinggir desa itu, di mana salib dan nisan berbaur. Sesuatu, yang katanya, tidak bakal ditemukan di Aceh sana. Katanya, sepantasnyalah nisan Ayahku berada di tengah pemakaman itu, makam yang mempersatukan manakala orang memaknai agama untuk memecah belah. Ketika tiba di jembatan tempat Ayah dipancung, suamiku berjalan dengan teguh di sampingku. Cuma, ketika kami menuruni tebing, menghampiri bengawan, beberapa kali dia tertegun. Mengikuti aku, dengan tangan gemetar, dia taburkan bunga ke permukaan bengawan. Setelah itu, kami pulang, dan, Oh Tuhan, itulah akhir perkawinan kami. Walaupun tidak dikatakannya, aku tahu nisan bagi suku bangsanya adalah tanda bagi pokok kehidupan satu keturunan. Tanpa itu, ada semacam nista yang akan selalu melekat. Diperparah lagi dengan kenyataan bahwa setelah perkawinan kami yang memasuki tahun kelima, dan aku belum hamil juga, maka lengkaplah alasan suamiku untuk dengan baik-baik meminta maaf, karena dia terpaksa pergi meninggalkanku. Pukul dua siang sekarang. Sama seperti ketika menjemput maut, maka pada saat jasad Pakde Suto diberangkatkan ke pemakaman pun, gerimis mendesah dari langit. Peti matinya diusung menuju pemakaman, dua ratus meter ke arah bengawan. Angin yang menerabas gerimis membisikkan ke kupingku tentang awal dari keributan di antara penggali liang kubur. Suara-suara itu kemudian semakin nyata. ”Turunkan dulu. Letakkan di tanah. Gali lagi tanah di sebelah kepala…” Pacul, linggis, bertubi-tubi ditancapkan ke tanah. ”Coba angkat! Letakkan! Cukup…?” kaki-kaki berkecipak di tanah liat. Bagian kaki dari liang lahat itu sekarang dapat giliran digali, diperlebar, membukakan gerbang petala bumi bagi sesosok jasad yang sedang menelan sumpah. Kedua sisi, dari mana mayat akan diluncurkan, juga dicangkuli, diperlebar nganganya. Setelah berkali-kali liang itu diperbesar, dan peti mati tetap saja tak bisa diturunkan, maka mendengunglah keputusasaan: ”Gusti… Engkau yang maha pengampun, maafkanlah umatmu ini. Tunjukkan apa yang harus kami lakukan. Tolong, terimalah saudara kami ini….” Keranda diangkat dan diamangkan lagi di mulut liang lahat yang sudah diperlebar. Sia-sia. ”Sudah berapa kali kami menggali, tapi tak bisa juga, Gusti…! Ingin berapa kali lagi Gusti? Ampun… ” Bingung, juga panik, sarat di wajah para pengantar, terutama mereka yang menggali berlumur tanah. Dua orang pengantar jenazah melepaskan diri dari kebingungan dan kecemasan yang mengerubung di mulut liang lahat. Mereka bergegas ke perempatan jalan desa. Seperti mengutuk diri sendiri, mereka berbicara dengan keras ke arah sekeliling. ”Ampun…. Barangsiapa yang pernah dirugikan Pakde Suto, sudilah kiranya memaafkan. Ampunilah, biar Gusti mau menerimanya.” Kuhela nafas. Dari celah dinding tepas, kulihat sekelompok perempuan merapat ke rumah. Ibu keluar menemui mereka di beranda. Kudengar kata-kata permohonan yang mereka ucapkan dengan nada begitu rendah, seperti berbisik, mengiba-iba, diiringi isak-tangis. Dengan kepala tertunduk, perempuan-perempuan itu kemudian menarik diri. ”Las…,” bujuk Ibu lunglai di bendul pintu kamarku. ”Orang-orang menunggumu di pekuburan,” katanya menunduk. Aku tahu dia ingin aku yang datang ke tengah kerumunan orang yang kebingungan untuk membukakan pintu maaf buat mayat seorang musuh yang masih sedarah dengan Ayah. ”Kami pasrah. Kau yang jadi kunci. Kalau kau maafkan, orang sedesa akan tahu siapa kita.” Kata-kata Ibu itu membuatku melangkah menyibak gerimis. Laki-laki yang memonopoli kehormatan tunggal dalam mengantar jenazah, terpaksa mendobrak adat kebiasaan, menguak membukakan jalan untukku. Aku maju dengan dada tegak, mendekati peti mati, meminta pengusung jenazah membukakan tutup keranda. Dengan jijik kucabik kafan penutup muka Pakde Suto, dan dengan sebal, ”cuih…,” kusemburkan ludahku ke mulutnya. Kain kafan kubebat kembali menutup wajahnya yang pucat kehitaman, beku. Aku membalik, meninggalkan jejak di tanah basah. Beberapa saat kemudian, kudengar lenguh nafas lega serta gemuruh gumpalan tanah menghujani peti mati yang sudah tertidur di dasar kubur. ”Jeng, atas nama jenazah dan keluarganya, kami minta maaf kepadamu.” Itu diucapkan beberapa orang dari keruman manusia yang kupapasi. Aku cuma membatu, terus menjauh. Terlalu pendek waktu untuk mempertimbangkan sebuah maaf. Karena terlalu lama aku memendam dendam ini….
""Dendang Perempuan Pendendam""
Patek dan Jali adalah dua orang yang bersahabat dalam pola hubungan yang mungkin bisa dianggap aneh. Jali, panggilan akrab Gazali, mulai tinggal di Dusun nCuni, Desa Kwangko, sebuah permukiman nelayan di Kabupaten Dompu, sejak ia ditugaskan memimpin base-camp proyek budidaya ikan kerapu dengan sistem keramba milik PT Solar Sahara Mina atau sering disebut SSM yang berkantor pusat di Jakarta. Tapi Patek, seorang warga dusun di tepi pantai Teluk Dompu itu sudah lebih lama menjadi warga dusun yang dikenal banyak orang. Berbeda dengan Jali yang dikenal sebagai manajer perusahaan, Patek dikenal sebagai seorang gila, karena perilakunya yang aneh. Sebagian warga yang lain menganggapnya orang yang terbelakang mentalnya, seorang idiot. Namun sebaliknya, ada juga sebagian kecil orang yang menganggapnya pula sebagai semacam orang suci karena ia sangat rajin beribadah, hampir tidak pernah ketinggalan shalat lima waktu berjamaah, di masjid yang berbeda-beda, dengan wirid yang lama. Paling tidak Patek dianggap sebagai seorang yang penuh misteri. Ia dianggap gila karena sangat pendiam dan tidak bergaul dengan orang dan tidak banyak celoteh. Tidak pernah ia berkata-kata kalau tidak karena orang memulainya mengajak bicara atau bertanya. Itu pun ia tidak banyak omong. Jika bicara, ia tidak menatap wajah orang yang mengajaknya berbicara. Ia selalu menundukkan kepala. Agaknya ia tidak bisa menjawab pertanyaan orang mengenai hal-hal yang sulit, misalnya mengenai kepercayaan atau imannya. Walaupun ia menyadari dirinya seorang Muslim, tetapi tidak bisa menjelaskan rukun iman dan rukun Islam umpamanya, padahal ia tahu dan percaya pada nabi. Kitab suci Al Quran atau bahkan kehidupan akhirat yang ia percayai adanya. Asal-usul Patek juga tidak banyak diketahui. Namanya pun aneh, tidak mengandung arti apa pun. Ia tidak pernah menjelaskan kepada orang lain siapa keluarganya. Hanya saja ia mengatakan dari mana ia sebenarnya berasal sebelum pindah ke Dusun nCuni, yaitu dari Desa Labuhan Jambu, sebelah barat Desa Kwangko, kira-kira delapan puluh kilometer. Namun, ia tidak menjelaskan mengapa ia meninggalkan kampung halaman, tempat tumpah darahnya itu. Ia hanya mengaku sudah tidak punya sanak saudara lagi, hidup sebatang kara. Ia tidak pula punya istri dan tidak punya cita-cita untuk kawin karena ia mengira tidak seorang perempuan pun yang mau ia kawini. Walaupun tidak kawin, ia tidak pernah berbuat zina karena tahu zina adalah perbuatan dosa. Boleh dibilang, ia tidak pernah menginjak bangku sekolah. Ia hanya belajar mengaji saja dari seorang ustadz di kampung. Ia sebenarnya baru ditinggal mati kedua orangtuanya ketika menjelang dewasa. Mungkin karena sedihnya, dan selalu dihantui kenangan kepada kedua orangtuanya, ia meninggalkan kampung kelahirannya untuk mengembara dan akhirnya terdampar di Dusun nCuni. Rumah warisan orangtuanya dijualnya dan dibelikan sebidang tanah di nCuni yang didirikannya bangunan baru. Di dusun itu ia tinggal di sebuah gubuk yang sangat sederhana yang dibangunnya di tepi pantai teluk yang panjangnya sekitar seratus kilometer menjorok ke darat dari lautan Hindia itu. Teluk itu begitu tenang karena hampir tak ada gelombang, sebagaimana di Laut Hindia. Hanya riak air kecil ditiup angin. Gubuknya itu agak terpisah dari perumahan penduduk, tetapi dekat dengan sebuah masjid kecil, barangkali lebih tepat disebut surau, yang didirikan oleh Jali sebagai pimpinan base-camp. Walaupun kecil, surau yang sebenarnya cukup luas itu banyak dikunjungi orang, baik karyawan maupun orang kampung. Di samping surau itu ada beberapa ledeng, tempat orang mengambil air wudu. Masjid atau surau itu tampak bersih. Tak ada debu, walaupun terbuka tak berdinding. Tapi surau itu cukup makmur karena sering dipakai untuk pengajian, laki-laki dan perempuan bercampur, tanpa hijab. Yang memberi pengajian di surau itu adalah ustadz-ustadz muda dari Desa Kwangko. Kadang kala Jali ikut memberi ceramah berdasar pengetahuan agama yang ia miliki. Tekanan ceramahnya adalah soal-soal akhlak dan muamalat, maklum, Jali adalah seorang profesional pimpinan perusahaan yang sangat berkepentingan dengan masalah-masalah perilaku mencari nafkah di sebuah kampung nelayan. Mereka itu walaupun menjalankan shalat dan pergi ke masjid, namun sulit meninggalkan kebiasaan berjudi dan minum minuman keras buatan lokal. Perilaku itu menurut Jali bisa mengganggu kegiatan ekonomi desa, misalnya merangsang kejahatan dan yang terang menimbulkan perilaku boros. Kebersihan surau itu, tak ragu lagi, adalah berkat peranan Patek, yang rajin membersihkan masjid. Untuk membersihkan masjid itu, ia tak mau dibayar, walaupun Jali pernah memaksa Patek untuk menerima uang jasa. Patek tentu saja bukan orang kaya, bahkan dapat disebut orang miskin. Tapi ia pantang meminta-minta. Tak ada orang kampung yang punya pengalaman dimintai uang. Bahkan ia tidak mau menerima uang zakat karena ia merasa bukan fakir miskin dan masih sanggup bekerja mencari nafkah. Penghasilannya dari memungut sampah cukup untuk menghidupi dirinya seorang. Bahkan ia sempat menabung di suatu bank di Dompu. Ketika Jali mendirikan koperasi syariah al Amin, Patek mengalihkan dana tabungannya ke koperasi itu. Jali tahu jumlah uang simpanan Patek, tapi ia tidak pernah memberi tahu kepada orang lain karena koperasi harus bisa menjaga rahasia nasabah. Pekerjaannya sebenarnya adalah pemulung, yaitu memungut botol-botol kosong bekas aqua. Untuk mencari botol-botol itu ia seminggu tiga kali pergi ke Dompu, sebuah kota kabupaten yang jaraknya sekitar seratus kilometer, di sebelah timur. Biasanya subuh-subuh ia sudah berangkat sehingga bisa memungut sampah di pagi hari. Di samping ke masjid-masjid, ia juga pergi ke gereja-gereja, tentu saja dengan izin penjaganya. Kebiasaan yang dilakukannya adalah membersihkan masjid dan bahkan juga gereja, misalnya Gereja Katolik Santa Maria dan St-Joseph, Gereja Masehi Injil atau Gereja Jemaat Syaloon, semuanya di kota Dompu. Botol-botol yang dipungutnya itu ditampungnya pada sebuah karung dan kemudian disandang di punggungnya untuk di bawa ke tempat-tempat lain guna dijual. Patek menjual botol-botol aqua itu kepada nelayan-nelayan yang memelihara rumput laut di sepanjang pantai teluk itu. Para nelayan memakai botol-botol itu sebagai pelampung yang diikat dengan tali tempat bersandar rumput laut. Jali juga membina nelayan memelihara rumput laut melalui koperasi. Karena itu, Jali selalu membeli botol-botol aqua itu dari Patek. Sering kali Jali mengajar Patek makan sehingga hubungan kedua insan itu sangat akrab. Hanya Jalilah yang mampu menggali pikiran Patek melalui percakapan, walaupun Patek tetap tidak banyak bicara. Jika pergi ke kota Dompu, Patek tidak pernah naik kendaraan apa pun, walaupun jaraknya cukup jauh. Ia hanya berjalan kaki tanpa istirahat. Suatu ketika ada orang dari Dusun nCuni yang juga hendak pergi ke Dompu, tapi naik kendaraan umum. Dalam pagi yang temaram ia melihat di muka Patek berjalan kaki. Tapi anehnya, ketika orang itu sampai di kota, ia heran melihat Patek telah sampai terlebih dahulu. Pengalaman itu memang sulit dipercaya. Tapi beberapa orang mempunyai pengalaman yang sama. Cerita itulah yang membuat orang desa percaya bahwa nCuni adalah semacam Nabi Khidhir, walaupun ia sama sekali bukan ahli agama. Ternyata nama Patek juga dikenal luas di kalangan gereja, di samping kalangan masjid di kota Dompu itu, tak lain karena peranannya sebagai pembersih masjid dan gereja, tanpa mau menerima upah. Ia menganggap, peranannya itu sebagai ibadah kepada Tuhan. Pastor Dhakidae, dari Gereja Katolik Santa Maria, pernah tertarik pada Patek dan karena simpatinya, menanyakan apa agamanya dan bahkan menawarinya untuk dibaptis. Tapi Patek tidak mau karena merasa sudah beragama Islam. Namun, Patek minta diizinkan mengikuti misa di geraja di hari Minggu. Ternyata, dengan kemampuannya yang terbatas untuk memahami suatu ajaran agama, ia suka juga mendengarkan khotbah yang disampaikan oleh Pastor Dhakidae yang berasal dari Flores itu. Pastor itu sering berkhotbah tentang kasih sayang yang dicontohkan oleh Yesus Kristus sendiri. Misalnya Yesus sering menghibur orang yang lagi susah, mencintai anak-anak, bahkan juga menyembuhkan orang sakit. Ia bisa menerima khotbah-khotbah itu karena ia mungkin adalah seorang yang haus kasih sayang. Karena cukup rajin mengikuti misa di gereja-gereja, nama Patek cukup dikenal di kalangan jemaat. Akhirnya cerita mengenai Patek itu terdengar pula hingga ke Desa Kwangko termasuk oleh Jali. Karena sering mendengar cerita itu, maka Ustadz Abdul Rasyid tidak bisa menahan kesalnya. Ia menanyakan kepada Patek, apakah benar ia sering ikut misa di gereja-gereja. Patek yang jujur, hanya menjawab dengan anggukan, tanpa pembelaan diri. ”Tahukah kamu itu perbuatan syirik, Patek?” tanya ustadz yang memelihara janggut itu. ”Jangan lagi pergi ke gereja ya?” Patek hanya diam, tidak mengiyakan dan tidak pula menolak. Tapi dalam kenyataannya, Patek tetap saja sering pergi ke gereja walaupun setiap kali shalat ia pergi ke masjid untuk bisa memelihara kebiasaan berjamaah lima waktu. Akhirnya Ustadz Abdul Rasyid pun tahu juga kelakuan Patek, sehingga ia mengadu kepada Jali. Ia meminta agar Jali mengambil tindakan tegas dengan melarang Patek membersihkan masjid dan ikut shalat berjamaah. Jali yang akrab dengan Patek tidak bisa mengabulkan desakan Ustadz Abdul Rasyid. Sang ustadz pun menyiar-nyiarkan sikap Jali itu kepada penduduk desa. Di samping itu ia pun mengancam Jali, jika tidak melarang Patek seperti yang ia inginkan, ia akan menghimpun massa untuk membakar masjid dan kalau perlu menyiksa Patek untuk meluruskan akidahnya, demi keselamatannya di akhirat nanti. Tapi Jali tetap tegar melindungi Patek yang rajin shalat itu walaupun Patek dianggap gila. Sebagai akibatnya, Jali dituding sebagai pelindung orang sesat. ”Patek itu sesat, karena berlaku musyrik dan munafik sekaligus,” kata Ustadz Abdul Rasyid. ”Sebagai pemimpin di Dusun nCuni ini, Pak Jali harus bisa memelihara akidah” kata sang ustadz lantang. ”Kalau Pak Jali tetap melindungi orang sesat dan murtad, maka saya akan mengusulkan kepada Pak Iryanto untuk memecat Anda,” kata ustadz yang sering memakai topi putih itu mengancam Jali. Pak Iryanto adalah bos Jali di Jakarta. ”Saya juga tidak bertanggung jawab jika umat yang resah mengambil tindakan sendiri,” ancamnya. ”Lho kalau dia dilarang pergi ke masjid, malahan ia akan sembahyang di gereja?” jawab Jali. ”Ya itu lebih baik, sekalian pindah agama. Islam tidak memerlukan orang musyrik dan munafik,” sahut sang ustadz. ”Pak Jali,” lanjut sang ustadz, ”Ini bukan hanya pandangan saya, tetapi telah menjadi kesepakatan bersama dari para ustadz di Desa Kwanglo di sini. Saya tidak perlu fatwa Majelis Ulama di Dompu untuk mengadili si Patek yang jelas sesatnya itu.” Jali sebenarnya juga memahami pandangan Ustadz Abdul Rasyid dan ustadz-ustadz lainnya itu. Cuma ia tidak bisa memaksa Jali. Malah Jali memandang Patek memendam kecerdasan rohani yang tinggi karena bisa menghargai kebenaran atau kebaikan pada agama lain. Karena itu, Jali merasa bangga bisa tidak mencampuri kepercayaan orang lain. Tapi, karena ancaman dan sekaligus kasih sayang pada sahabatnya itu, Jali terpaksa berbicara dengan Patek dan memberanikan diri menanyakan perilaku teman dekatnya yang dianggap sesat itu. Tapi Patek tidak banyak bicara. Ia cuma bilang bahwa ia ingin memelihara hubungan dengan pimpinan gereja agar ia dapat terus bisa memungut sampah yang merupakan sumber penghasilannya itu. Lagi pula ia telah telanjur memelihara hubungan baik dengan para pastor dan pendeta. Ia tidak hanya mengunjungi gereja Katolik, tetapi juga Protestan. Tapi ia tidak menjadi anggota gereja. Terhadap keterangan itu Jali menjawab, ”Tapi kamu tak usah menjual agama hanya untuk sesuap nasi dong.” Yang diajak berbicara tidak bisa menjawab. Sulit ia mempertanggungjawabkan perilakunya yang mungkin tidak ia pahami sendiri karena cuma mengikuti perasaan. Melihat Patek bersikap lugu dan jujur itu, Jali tidak bisa berbuat apa-apa. Malah ia kasihan kepada Patek dan berdoa semoga Patek diberi petunjuk dan diampuni dosanya oleh Tuhan Yang Maha Tahu luar dalam iman, ibadah, dan akhlak seseorang. Karena keteguhan sikap Jali, ustadz yang menyala-nyala jika sedang berbicara mengenai akidah itu juga tidak bisa berbuat apa-apa. Ia juga tidak berhasil menghasut masyarakat untuk membakar masjid atau menganiaya Patek, walaupun orang yang dinilai tidak normal itu telah dianggap merusak akidah dan meresahkan masyarakat. Pada suatu hari terdengar suatu berita yang menggemparkan seluruh penduduk kampung. Patek telah mendaftarkan diri sebagai calon haji dan membayar ONH. Bagi orang Sumbawa, khususnya orang suku Sasak, naik haji adalah puncak cita-cita beribadah di tengah-tengah kemiskinan. Orang yang telah naik haji mendapatkan martabat dan penghormatan yang sangat tinggi. Uang pembayaran ONH Patek sesungguhnya berasal dari tabungannya di Koperasi al Amin. Orang-orang pada umumnya tidak percaya terhadap hal itu dan karena itu menyangka dan menuduh Jali berdiri di belakang Patek dengan telah membiayai Patek membayar ONH. Tapi Jali mengetahui betul berapa uang simpanan Patek di Koperasi al Amin. Ia telah bertahun-tahun menabung sebagian penghasilannya. Ia tidak merasa perlu membantah tuduhan atau kecurigaan orang. Karena Tuhan Yang Maha Tahu. Akhirnya dalam suatu ceramahnya, Jali mengusulkan suatu program baru Koperasi al Amin, yaitu program Tabung Haji untuk kaum nelayan. Patek seorang pemulung sampah saja mampu menabung, apalagi nelayan yang mampu menangkap ikan kerapu atau ikut dalam program pembudidayaan ikan kerapu yang diorganisasikan oleh SSM. Ia menjadikan Patek sebagai tokoh teladan, sekalipun masyarakat menganggapnya penuh misteri dan tokoh kontroversial.
""Si Gila dari Dusun nCuni""
Sorga itu ada di sini. Kalau kau tak percaya, sesekali datanglah ke mari. Kau akan melihat dan merasakannya sendiri. Aku yakin, kau akan mengatakannya sebagaimana aku mengatakannya padamu. Ya, sorga itu ada di sini. Di pinggiran kali berwarna cokelat, dengan rumah-rumah kardus atau tripleks, dihiasi jemuran pakaian lusuh di sana-sini, melambai-lambai ditiup angin. Aku sendiri tak mengerti, bagaimana mungkin bisa sampai di tempat ini. Hampir tiga hari aku berjalan, mengendap-endap, melirik kalau-kalau ada sepasang mata yang mengikutiku. Hampir tiga hari ini semua kulakukan dan … ya, sebagaimana yang kukatakan tadi, aku menemukan sorga itu di sini. Hidup inilah yang memilih kita. Jangan dibalik, kita tak pernah bisa memilih hidup kita. Jangankan hidup, lahir di rahim siapa pun, kita tak pernah bisa memilih. Kita ditentukan, dan manakala kau mengeluh, atas apa yang kau dapatkan, itu pun tak sepenuhnya salah. Tapi, siapakah yang akan membelamu jika kau mengeluh dan mempertanyakan keadilan? Tidak ada. Tak seorang pun. Oleh karenanya, kawan, lebih baik nikmati sebatang rokok kehidupan ini, tanpa mempersalahkan siapa pun. Hujan yang turun, di tengah panas terik, sudah biasa terjadi. Tak ada yang aneh di sana. Mungkin dulu sebagai pertanda akan adanya musibah, tetapi saat ini, apakah yang tak bisa kita sebut musibah? Perintah itu datang begitu saja. Dan dengan enaknya, perintah itu bertengger di pundakku. Begitu saja. Dialah yang memilihku. Apakah aku bisa mengelak? Tidak. Aku tidak bisa mengelak, karena semua sudah ada yang mengatur. Mengelak berarti melompat dari rel, dan melompat dari rel berarti hancur. Aku tak mau hancur. Usiaku masih belum tiga puluh tahun. Aku masih bisa membangun hidupku. Aku tak mau mati sia-sia, konyol dan tak sempat melakukan sesuatu; menziarahi kubur ibuku, misalnya. Aku harus menjalankan semua yang diperintahkan, persis sama dengan instruksi yang tertulis di lembaran kertas bersegel itu. Jika tugasku selesai, maka 50 persen fee yang disebutkan di kontrak itu langsung diguyurkan ke rekeningku. Ah, mudah sekali mendapatkan uang banyak. Ikuti perintah, dan semuanya beres. Tunggu dulu, jangan kau pikir aku akan membunuh seseorang. Tidak. Itu pekerjaan kotor. Aku tak akan membiarkan tanganku berlumuran darah. Menjijikkan. Maaf, mungkin aku memang kau kenal sebagai bajingan, tetapi… aku bukan pembunuh. Jangan salah, aku bisa membunuh, kalau aku mau, tetapi, tidak kali ini. Tugasku sederhana saja: mengikuti ke mana perginya seorang bayi. Gampang, bukan? Ha-ha-ha… kau salah sama sekali. Sekali ini, kukatakan padamu bahwa kau sedikit bodoh. Ah, maaf terlalu kasar kalimatku. Begini saja, kau sedikit lebih pintar daripada keledai… ha-ha-ha-ha…. Bayi. Bayi merah. Bayi merah yang baru saja dilahirkan di rumah besar itu (maaf, aku harus merahasiakan orang yang memberiku kehidupan). Bayi itu, sebagaimana mungkin yang kau duga—kali ini kau jenius—adalah hasil madu gelap antara nyonya rumah dan kekasihnya. Jangan kau tanyakan siapa mereka—tak penting, dan aku tak bernafsu menceritakan aib orang lain. Yang penting bayi itu lahir dan harus menyingkir, karena si tuan rumah yang sudah lebih dari setahun tak pulang-pulang itu, mendadak akan pulang. Bayi yang cantik, bersih dan menawan hati, tetapi tak diinginkan kehadirannya di rumah besar itu. Beberapa orang kepercayaan si nyonya rumah yang umurnya baru 23 tahun itu, menasihati agar anak itu diberikan pada orang lain saja. Tetapi nyonya rumah hanya menggeleng. Tentu saja dia tak ingin aibnya ketahuan suaminya, karena dia bisa saja dicerai dan kembali hidup sebagai orang miskin. Hmm… pandangan yang wajar saja, kurasa. Salah seorang, entah siapa, tiba-tiba teringat akan kisah Musa—ah, terlalu religius kurasa, dia. Belum selesai dia berkata, seorang yang lain menyambungnya dengan kisah Karna—anak Kunti di Mahabarata itu. Jujur saja, aku muak, tetapi bukan urusanku mempertimbangkan semua itu. Maka, demikianlah. Bayi itu kubungkus dengan kotak kayu yang lumayan jelek, tentu saja aku selimuti, kuberikan sebotol susu, lalu aku letakkan di sudut jalan. Dari jarak tertentu aku mengawasinya. Aku khawatir bayi itu dimakan anjing. Kalau aku mau, bayi itu bisa saja kulempar ke sungai dan mengatakan pada nyonya sialan itu bahwa anaknya sudah dipungut orang, dan semoga saja dia berbahagia selamanya. Tetapi, entah mengapa aku tidak bisa melakukan itu. Ada sesuatu yang mencegahku melakukan pembunuhan. Sesaat sebelum kutinggalkan dia di sudut jalan itu, aku sempat mengamati wajahnya yang jernih. Tidur lelap tanpa perasaan apa-apa. Sepi sekali di sekitarku. Hening sekali perasaanku. Siapakah aku, jika mau melakukan perbuatan sejahat itu pada bayi yang bahkan belum bisa melihat apa-apa itu? Kau tentu berpikir, mengapa tak kupelihara saja bayi itu—Ooo… tidak, tidak.. aku tak ingin menjadi juru rawat. Umurku masih belum tiga puluh, bayangkan jika itu terjadi dan … ah, sudahlah, jangan pernah berpikir tentang itu padaku. Begitulah, baru saja rokok hendak kunyalakan, ekor mataku menangkap seseorang dengan keranjang di punggung, jongkok di kotak bayi itu. Kuhentikan semua kegiatanku dan mulai menyimak apa yang akan terjadi. Bisa jadi dia orang gila, yang akan membunuh bayi tak berdosa itu. Bisa jadi dia merasa menemukan daging gratis dan akan membuat bayi itu sepotong daging rebus untuk makan malam. Semua itu mungkin bagiku. Aku tahu apa yang akan kuhadapi. Kalau itu yang akan terjadi, maka sebutir timah panas ini akan membuatnya gelap selama-lamanya. Bayi itu dipungutnya. Digendongnya dengan sukacita. Dia menoleh ke kanan-ke kiri dan rupanya tak melihat siapa-siapa, kecuali gelandangan mabok yang bersandar di bangku taman. Dari sana, dibawanya bayi itu ke sarangnya. Dan aku—mau tak mau, mengikutinya dari jarak tertentu. Dengan pakaian kumuh dan wig sialan ini (bikin gatal kepalaku), juga kantung-kantung plastik yang kujadikan hiasan tubuhku ini, lengkaplah kegilaanku mengikuti ke mana si bayi dibawa. Si bodoh itu tak menyadari juga kehadiranku. Dia tiba di gubuknya, di pinggiran kali ini, tepat ketika matahari tenggelam. Aku duduk di antara sampah dan bau busuk, hanya untuk menyelidiki apa yang akan terjadi di gubuk kardus dan tripleks itu. Kubayangkan, besok pagi dia akan digendong oleh istri gembel busuk itu, lalu dibawanya ke perempatan jalan untuk memeras belas kasihan manusia-manusia bermobil itu. Atau, lebih buruk lagi, bayi itu akan disewakannya kepada perempuan lain, untuk pemerasan yang sama. Tidak, sebaiknya mereka tidak merencanakan itu, karena jika sampai itu terjadi—bila malam ini kudengar kata-kata itu, akan kuhabisi mereka semuanya. Aku tersentak oleh gelak tawa dari gubuk itu. Tidak hanya laki-laki, tetapi juga perempuan… dan anak-anak. Mereka gembira. Mereka bahagia, bahkan kudengar mereka berebutan memberi nama pada si mungil. Tangisan si kecil membuat mereka kian bahagia. Sempat kudengar ada suara anak kecil, bahkan lidahnya belum fasih mengucapkan ”r”, mencoba menguasai keadaan dengan teriakannya yang lantang, bahwa dialah yang paling berhak memberi nama si adik kecil. Adik? Aku tersenyum di tengah sampah. Bulan di atas sana membulat putih, bagai piring perak, membentuk garus-garis cahaya di permukaan daun, air, gedung, bahkan sampah. Sejenak terlintas ingin melongok ke gubuk itu, penasaran apa yang terjadi di sana. Tetapi, tentu saja kuurungkan, karena itu akan mengganggu kegembiraan mereka. Pagi itu, aku duduk di ruang tunggu. Lantai marmer menelanku dalam kesendirian. Kopi sudah separo kuhirup. Aku hanya melaporkan apa yang terjadi dan selesailah semuanya. Detak sepatu mengisi sunyiku. Asisten si nyonya datang. Tanpa bicara dia menatapku. Aku pun tahu, lalu menyebut siapa dan di mana bayi itu kini berada. Ada senyum tersudut di bibir. Begitu tajam rasanya di mataku. Entah mengapa aku muak melihatnya begitu. Siapakah dia yang mampu tersenyum setajam itu. Aku beranjak, setelah menerima sesuatu. ”… semoga sudah masuk hari ini,” ucapnya dingin tentang sisa fee yang akan kuterima. Aku tak peduli. Aku mulai gelisah karena amplop itu berarti tugas lagi. Malam ini, masih bisa kusaksikan bulan purnama. Bulat penuh. Bercahaya penuh. Langit tanpa awan, bersih. Aku membayangkan bayi itu tengah disusui ibu angkatnya—seorang perempuan yang mungkin sudah punya anak tiga atau empat. Seorang perempuan yang bersuamikan gelandangan. Seorang perempuan yang tak mampu menentukan nasib, dan tergilas zaman, teronggok di balik gubuk tripleks di tengah sampah. Tetapi, dengan semuanya, dia masih memiliki kasih sayang, yang saat ini digelimangkan kepada si bayi merah itu. Siapakah orang-orang itu? Aku bahkan tak mengenalnya. Hidupku membuatku harus tak mengenal wajah siapa pun, karena memang tak penting. Hidupku membuatku harus terbebas dari segala ikatan. Kubayangkan, betapa bahagianya si kecil itu. Dia memiliki keluarga. Dia dilahirkan dari rahim yang tak menghendakinya, yang menganggapnya ancaman, kesialan, namun dia akan dibesarkan oleh kegembiraan yang tulus dari penghuni rumah tripleks itu. Yang aneh, mengapa semuanya harus kusaksikan? Tak pernah terbayangkan bahwa ini adalah sebuah kisah yang harus kujalani. Kujalani? Bukankah ini sebetulnya kisah si bayi? Mengapa aku merasa terlibat? Mengapa dia mampu membagi dan aku sanggup merasakan kebahagiaan bayi itu? Aku belum pernah mengalami hal semacam ini. Tidak. Tidak mungkin. Ruang apartemenku harum. Lampu penerangnya kuatur dengan komputer. Aku mampu menikmati apa pun yang kuinginkan, jadi tak mungkin—seharusnya—aku menyisakan ruang untuk orang lain. Tetapi, ah, wajahnya, tangisnya, dan tiba-tiba aku menilai bahwa nasibnya sunguh aneh. Ini aneh, karena aku bisa menilai keanehan yang menimpa orang lain. Aku terbangun oleh dering telepon. Kepalaku masih berat. Sekilas kulihat beberapa botol minuman menganga, tergeletak di meja dan di karpet. Alkohol menebar. Aku tak bisa melupakan hantu yang mulai menerjang hidupku. Apalagi ketika pembicaraan dari telepon terdengar, kepalaku rasanya mau pecah. Aku banting telepon itu. Masih terngiang sisa ucapan seseorang dari seberang sana. Dia tertawa penuh kemenangan, karena meskipun aku menolaknya—ini aneh sekali, aku bisa menolak permintaan, kali ini—orang lain tetap melakukan tugas itu. Dan sudah terlaksana. Sudahlah, kau tak akan mengerti apa yang terjadi dengan hidupku. Maafkan, mungkin aku memang tak bisa menguraikannya secara detail, karena mungkin memang tak ada gunanya bagimu. Aku duduk di tengah sampah ini, di pinggiran kali ini. Sunyi. Gelap. Dan seperti kataku, ini adalah sorga. Di tempat ini melimpah kebahagiaan. Di tempat ini, bergelimang kasih sayang dan gelak tawa yang tulus. Aku pernah menyaksikannya, merasakannya dan karenanya aku berani mengatakan padamu bahwa inilah sorga itu. Kurebahkan diriku di sisa sampah yang harum ini. Aroma sangit pembakaran. Kubayangkan bulan. Kutanyakan apa yang disaksikannya di sini, kemarin malam. Kurasa dia tak akan sanggup menceritakannya. Ya, kemarin malam, di sini, di pinggiran kali ini, semua penghuni gubuk merayakan pesta. Mereka menyaksikan bunga api yang sangat besar, menjilat dan menari-nari di rumah-rumah mereka. Bantaran kali ini akan dijadikan taman rekreasi yang indah. Semua sampah harus dibersihkan. Semua sampah harus dibersihkan, dan kini menyisakan kesepian yang menusukku. Kapan-kapan, jika kau ada waktu, cobalah ke tempat ini. Ini sorga, dulu. Bukit Nusa Indah, 982
""Garis Cahaya Bulan…""
Kapan ikan tidur dan istirahat? Tidak ada yang tahu. Tidak juga Wali Kota yang memelihara ikan arwana di dalam rumah dinasnya. Ikan itu terus saja berenang dalam akuarium kaca berukuran cukup besar, berputar-putar dengan gagahnya. Sesekali melesat menyambar serangga yang mendekat di luar akuarium. Usaha ikan arwana itu kelihatan bodoh, tapi meyakinkan keganasannya. Siripnya yang mengilap keperakan kadang-kadang memantulkan sinar lampu yang menyilaukan mata tamu-tamu yang terpesona melihatnya. Tamu-tamu yang menunggu giliran dipanggil ajudan untuk segera menghadap Wali Kota di ruang penerimaan tamu di sebelah ruang duduk itu, seperti tak henti-hentinya terpesona menyaksikan gerakan akrobatik ikan cantik yang garang itu. Jam dinding yang tiap seperempat jam bermusik nyaring untuk kesekian kalinya bernyanyi menjelang tengah malam. Engku Nawar yang di atas tujuh puluh tahun itu hanya bisa menduga bahwa seperempat jam lagi pukul nol-nol. Rasa capai dan mengantuk sengaja diusirnya dengan paksa, dan tiap sebentar ia membangunkan cucu perempuannya yang berkali-kali tertidur sambil duduk di kursi tamu yang lebar itu. Di kursi-kursi berhadap-hadapan dengan Engku Nawar, duduk enam orang tamu pria dan satu perempuan menunggu panggilan. Tak lama, terdengar bunyi bel dari ruang tamu sebelah. Ajudan setengah berlari membuka pintu, masuk, dan menutup kembali. Beberapa detik, ajudan yang lincah seperti arwana itu muncul lagi sambil tersenyum yang kelihatannya palsu. ”Pak Muis, SH dan rombongan, dipersilakan,” kata ajudan itu sambil tergopoh membuka pintu menuju ruang tamu utama. Ketujuh orang yang duduk di hadapan Engku Nawar tadi ternyata satu rombongan yang melangkah dengan bergegas menuju ruang tamu utama Wali Kota. Engku Nawar menarik nafas panjang. Diikutinya langkah-langkah rombongan terakhir yang menghadap Wali Kota itu dengan rasa cemburu dan sebal. Cemburu pada tamu-tamu yang telah mendahuluinya menemui Wali Kota, dan sebal dengan perlakukan ajudan yang mirip arwana itu. Dengan bahasa kasarnya, ajudan itu tidak saja menyebalkan, tapi sangat kurang ajar terhadap orang tua seperti dirinya yang merasa bukan sembarang orang. Sehabis magrib, Engku Nawar telah siap bersama cucunya, Sarini, yang lulusan kursus komputer berijazah itu, menuju kediaman Wali Kota yang jauhnya lima belas kilo dari warungnya. Ia memeluk erat Sarini, cucu kesayangannya itu, ketika dibonceng Sarini naik sepeda motor. Dialah yang paling awal datang ke rumah dinas itu dan langsung melapor pada ajudan yang berambut cepak. Dengan rasa bangga ia menyatakan bahwa ia keluarga dekat, bahkan Wali Kota itu sendiri bagaikan anaknya. Oleh karena itu, ia minta izin menemui Wali Kota sebentar saja untuk urusan keluarga. Ajudan hanya mendengar dengan wajah datar sambil berkata: ”Isi formulir ini, nama, alamat, keperluan, nanti saya sampaikan.” Lelaki tua itu merasa tak mampu lagi menulis, tapi cucunya, Sarini, yang dari tadi memegang map berisi surat-surat penting itu cepat-cepat mengisi formulir itu dan memberikan pena pada kakeknya untuk menandatanganinya. Tak lama, tamu-tamu rombongan dan perorangan silih berganti datang berkendaraan mobil, motor, dan jalan kaki. Semua mengisi formulir yang sama. Seseorang berpakaian hansip mempersilakan tamu-tamu itu duduk di ruang sebelah rumah jaga di samping rumah gedung kediaman resmi Wali Kota itu. Dari ruang tamu yang terbuka itu, Engku Nawar terpesona dengan pemandangan yang menakjubkannya. Lampu-lampu taman yang besar dan terang, pohon dan tanaman hias serta halaman parkir di belakang yang luas. Semua seperti bermandikan cahaya listrik yang melimpah ruah. Dari percakapan orang-orang, terdengar seseorang berkata: ”Pak Wali lagi makan malam dengan tamu-tamunya dari Jakarta. Sebentar lagi selesai.” Mendengar pernyataan itu, Engku Nawar berdiri dan mendekati orang yang bicara barusan sambil berbisik. ”Boleh saya menemuinya sebentar saja, habis itu saya pulang. Saya cuma sebentar, barangkali lima menit.” ”Sabar, Pak. Sebentar lagi Bapak juga dipanggil. Tadi sudah isi formulir bukan? Nah, ajudan sudah membawa formulir Bapak itu ke dalam. Tunggu saja. Minum dulu, tuh, minuman datang.” Seseorang berpakaian seragam datang membawa sekardus air minum kemasan dalam gelas-gelas plastik. ”Silakan Pak, Ibu, yang sudah merasa haus. Ambil saja airnya di sini.” Engku Nawar mencoba bersabar. Baginya waktu terasa berjalan lambat. Ia merasa sesak duduk beramai-ramai di ruang tamu yang sempit itu. Ia lalu berdiri, keluar dan mencari bangku-bangku beton di taman halaman samping rumah dinas Wali Kota itu bersama Sarini yang mengikutinya dari belakang. Ia amat berharap Wali Kota yang muda dan gagah itu muncul menemuinya di tempat terpisah dari tamu-tamu lain. Meski batuk-batuk dan dilarang cucunya, ia masih mencoba merokok, menghilangkan rasa jenuh. Baju koko terbaik yang dipakainya terasa sangat tipis dari sentuhan angin malam terhadap tubuhnya yang telah ringkih. Ia mempererat belitan sarung di lehernya. Diam dengan pikirannya yang menerawang. Dan, Sarini hanya bisa mengunyah permen karet di samping kakeknya sambil mengasuh harapan-harapannya untuk diterima Wali Kota menjadi pegawai honorer. Hampir dua tahun lalu, ketika Wali Kota ini terpilih dengan cara demokratis, Engku Nawar merasa sangat bahagia. Wali Kota baru itu adalah putra Kapten Tulus, komandan pasukan PRRI di garis depan yang bermarkas di kaki bukit, tak jauh dari Kampung Padangilalang. Hanya ada satu kincir penggilingan gabah di kampung itu, yakni milik Wali Kampung muda, Engku Nawar, yang dikenal berani. Pada masa itu, tak ada yang mau menjabat sebagai Wali Kampung karena posisinya terjepit di antara dua kekuatan yang sedang berperang, antara pasukan TNI atau yang disebut dengan Tentara Soekarno dan pasukan PRRI yang memberontak. Mau tidak mau, Engku Nawar harus bermuka dua, meski sangat berbahaya. Nyawa tantangannya. Dialah yang menjabat sebagai Wali Kampung yang dipercaya oleh TNI dan Tentara PRRI. Bagian depan kincir penggilingan gabah itu berfungsi sebagai warung kopi dan sekaligus tempat tinggal Engku Nawar sekeluarga. Kantor Wali Kampung adalah warung itu juga, tempat masyarakat mengurus surat-surat dan KTP. Kalau pasukan TNI patroli ke perbatasan, biasanya mampir di warung kincir itu. Komandan patroli selalu berbincang-bincang dan saling bertukar informasi dengan Engku Nawar. Lain halnya kalau malam telah larut, Kapten Tulus, komandan pasukan PRRI, dan beberapa orang anak buahnya sering menyusup ke warung kincir itu melalui sungai kecil yang mengalir dengan deras di belakang kincir. Air sungai itulah yang memutar roda kincir penggiling gabah dengan tujuh balok tegak yang menjadi alu penumbuknya. Beras yang dihasilkan kincir itu biasanya diangkut ke kota dengan pedati yang ditarik oleh sapi benggala jantan yang kuat. Tapi, sebagian beras itu dipasok untuk kebutuhan pasukan PRRI di kaki bukit. Hal itu telah berlangsung sejak perang dimulai 15 April 1958, di bulan puasa. Perjanjian rahasia antara Kapten Tulus dan Engku Nawar itu pada tahun pertama belum tercium oleh pihak Tentara Soekarno. Akan tetapi, di mana ada perang, di situ ada pengkhianat yang menyediakan diri untuk jadi mata-mata. Rahasia Engku Nawar akhirnya terbongkar juga oleh pihak Tentara Soekarno. Suatu malam bergerimis, ketika Engku Nawar dan Kapten Tulus menikmati kopi tubruk di gudang gabah, warung kincir itu dikepung dan ditembaki oleh Tentara Soekarno. Kapten Tulus dan Engku Nawar lolos dari kepungan melalui lubang sumbu roda air penggerak gilingan gabah. Mereka selamat ke kaki bukit melalui sungai kecil yang berhulu di kaki bukit itu. Akan tetapi, dari kejauhan, kedua lelaki itu menyaksikan warung kincir itu terbakar. Istri dan dua anak Engku Nawar yang masih balita ikut jadi abu. Sejak peristiwa itu, tak ada jalan lain bagi Engku Nawar, kecuali bergabung menjadi tentara pemberontak bersama Kapten Tulus. Esok malamnya, dengan ganas Engku Nawar ikut membumihanguskan pos Brimob yang berjarak tiga kilo dari Kampung Padangilalang bersama pasukan Kapten Tulus. Tak seorang pun anggota Brimob yang lolos di hujan lebat dekat subuh itu. Untunglah perang cepat selesai. Engku Nawar dicarikan jodoh oleh Kapten Tulus, seorang gadis masih sepupu dekat Kapten itu. Beberapa bulan setelah menjadi Wali Kota putra Kapten Tulus itu, datang menjumpai Engku Nawar. ”Engku Nawar, kalau Engkau sayang sama almarhum bapak saya, juallah tanah kosong di kaki bukit itu kepada pemerintah kota. Tanah itu tidak subur, lebih baik dijadikan uang untuk modal Engku naik haji dan anak cucu.” ”Untuk apa tanah buruk itu sama kamu Indober, anakku?” ”Untuk dijadikan TPA. Tempat pembuangan akhir sampah kota.” Ketika orang tua itu mengiyakan, Wali Kota bertepuk tangan dan mengumumkan kepada stafnya: ”Orang tua ini adalah orangtua saya juga. Ia bagaikan sepasang sejoli dengan ayah saya dulunya sewaktu masih menjadi tentara pemberontak PRRI. Di mana ada bapak saya, di situ ada Engku Nawar. Semua orang tahu….” Engku Nawar bangga campur terharu ketika Wali Kota mengumumkan hubungan dan persahabatan almarhum Kapten Tulus dengan dirinya. ”Kapan Engku ada perlu dengan saya, datang saja ke rumah sehabis magrib,” bisik Wali Kota sebelum meninggalkan gubuk Engku Nawar. Sejak itu, Engku Nawar berubah nasibnya sebagai pemilik warung di depan jalan masuk ke TPA. Sebelumnya, ia hanya jadi pengrajin lidi daun kelapa untuk bahan sapu. Tapi, sejak tanahnya yang di kaki bukit itu dijadikan TPA, ia bisa hidup lebih baik. Warung itu dikelola oleh anak perempuan satu-satunya dengan suaminya yang dulunya jadi sopir oplet. Satu-satunya warung di mulut jalan ke TPA milik Engku Nawar itu makin hari makin ramai. Sopir-sopir truk sampah, para pemulung dan calo-calo tanah, mampir minum kopi di warung itu. Karena ekonomi mulai membaik itulah cucu Engku Nawar dapat menamatkan SMA dan melanjutkan ke kursus komputer di pusat kota. Bahkan, cucunya itu sudah dibelikan sepeda motor. Tapi, itulah yang membuat Engku Nawar gelisah. Sudah setahun lamanya Sarini tamat kursus komputer, tak satu pun kantor yang mau menerima lamarannya. Padahal, Engku Nawar ingin benar salah seorang keturunannya jadi pegawai pemerintah. Tiap kali ikut tes, Sarini tidak lulus. Orang-orang bilang, mesti pakai uang jutaan. Engku Nawar tidak setuju. Ia mau mengadukan nasib cucunya itu kepada Wali Kota Indober Tulus. Orang-orang bilang, lebih baik menemuinya di rumah. Kalau ke kantor, hampir tidak dapat layanan kalau masalah keluarga. ”Bapak Engku Nawar, dipersilakan menunggu di ruang tunggu dalam,” kata ajudan berambut cepak tadi. Semula, Engku Nawar mengira hanya dia saja yang dipanggil, ternyata semua tamu yang telah terdaftar masuk ke ruang itu. Tapi ia masih berharap, ia akan mendapat giliran pertama, sesuai urutan mendaftar. Dengan sedikit lega, ia masuk bersama puluhan tamu yang hendak bertemu Wali Kota dengan berbagai kepentingan itu. Jam dinding bernyanyi untuk pukul sembilan malam. Ruang tamu di bagian tengah rumah dinas itu, besar sekali. Tamu sebanyak itu, cukup dapat tempat duduk di sofa yang empuk. Tamu-tamu itu pun disambut oleh pelayan yang menghidangkan semangkuk teh panas untuk masing-masing tamu. Semua seperti diatur oleh ajudan yang berpakaian rapi itu sambil terus memegang kertas-kertas formulir yang telah diisi tamu-tamu. Tiap sebentar ajudan itu keluar masuk ke ruang tamu depan, dengan tanda bel listrik. Sebentar-sebentar menjawab telepon. Kadang-kadang tergopoh-gopoh masuk menerobos pintu yang membatasi ruang itu dengan ruang tamu utama karena telepon itu penting dan dari orang penting untuk Wali Kota. Di ruang yang terbatas itu, sang ajudan mondar-mandir dengan sikap sigap dan tegas, tanpa banyak senyum. Orang-orang yang sabar menunggu lebih banyak mencurahkan perhatian pada ikan arwana di dalam akuarium, kemudian pada ajudan itu. Keduanya sama-sama lincah. Dan, setiap orang yang dipanggil dan diantar ke ruang tamu utama menghadap Wali Kota, yang lain seperti protes, tapi tidak dinyatakan, kecuali Engku Nawar. ”Sabar, Pak. Ini bukan kemauan saya. Pak Wali yang minta.” Meski tidak dibantahnya, Engku Nawar tidak percaya. Itu pasti pandai-pandainya ajudan arwana itu. Buktinya? Nomor satu, nomor dua, nomor tiga, dan selanjutnya, Engku Nawar belum juga dipersilakan menghadap. Kalau saja ia tidak tua, ia akan menerobos masuk. Tapi, niat itu ditekannya. Engku Nawar sadar, tugas ajudan itu berat, dan itu pernah dialaminya sewaktu menjadi ajudan Kapten Tulus, orangtua Wali Kota itu. Ikan arwana yang tetap mondar mandir di dalam akuarium itu kelihatan semakin besar dan terasa makin mendekat ke tempat Engku Nawar duduk sambil berselonjor kaki karena telah penat menunggu. Dan, akuarium itu kelihatan semakin miring ke depan, seperti hendak jatuh dari kedudukannya. Air di dalam akuarium itu berguncang hebat. Engku Nawar merasa pusing dan hendak jatuh ke lantai. Merasa hendak muntah. Ia menoleh dan memegang bahu Sarini kuat-kuat. Tapi Sarini seperti menghindar dan terlempar ke lantai. ”Pak, Pak. Giliran Bapak…” ajudan menggoyang-goyang Engku Nawar yang tertidur di kursi sofa itu. ”Gempa susulan?” Ajudan tersenyum, meski matanya juga sudah merah. Engku Nawar mengucek-ucek matanya. Menguap dan cepat tersadar. Wali Kota telah berada di depannya. Wali Kota juga sudah kelihatan lelah dan bermata merah. ”Maaf Engku. Saya hari ini banyak tamu. Kalau Engku ada perlu, tulis saja surat, nanti kasi sama ajudan saya ini di kantor, besok atau lusa lewat pukul dua. Sekarang pulanglah dulu, sudah malam. Atau saya suruh antar pakai sopir?” ”Tidak usah Pak Wali. Saya pulang dibonceng cucu saya ini.” Wali Kota dan ajudan arwana itu mengantar Engku Nawar yang berjalan tertatih-tatih dibimbing cucunya ke depan pintu. Angin malam menggigilkan Engku Nawar di atas sepeda motor cucunya. Di perjalanan, perutnya terasa mulas hingga ia tak mampu menahan berak di celananya. Rawamangun, 5 Januari 2006
""Arwana""
Perempuan remaja ini sedang berdiri di muka Dita (sang psikiater). Keterangan yang dibaca oleh Dita, ”Gadis ini tidak bisa ngomong. Padahal, menurut dokter neurolog, tidak ada yang salah dalam diri gadis ini.” Perempuan remaja ini, tidak berbicara, tidak ingin bicara! Dita yang mulai berbicara, ”Tina, aku mendengar dari Mamamu, kau tidak bisa bicara atau tidak mampu berbicara. Kalau kau mau, bisa curhat kepadaku. Apa yang jadi masalahmu sayang?” Perempuan muda itu, sekali lagi cuma diam, diam saja. Ini pertemuan pertamanya dengan gadis itu. Dita merasa lega, Tina tidak mencanangkan permusuhan terhadap dirinya. Hal ini akan memudahkan Dita untuk menganalisa dan membuat diagnosis. Dita menghela nafasnya. Dia capek sekali, pekerjaannya tidak semudah yang dia pikirkan. Ada banyak kasus yang sangat pelik, sehingga penyelesaiannya tidak selalu bisa tuntas. Untungnya, Bram selalu bisa memberinya semangat saat dia merasa capek dan tidak paham, apakah analisanya benar atau tidak? Dita kemudian memencet nomor HP suaminya dan mengirim SMS sangat singkat! ”Sori, siang ini aku tidak bisa makan siang bersamamu, ada banyak kasus yang harus aku tuntaskan hari ini juga.” Pada jam ini, Bram, yang adik suaminya itu, meneleponnya. ”Kasus Tina membuat kamu bersemangat menggali ilmumu lebih dalam, mengapa gadis remaja itu ingin mengundurkan diri dari dunia ini, dengan membisu?” ”Aku menelepon wali kelasnya, yang menyatakan selama ini Tina perempuan yang baik, punya kemampuan berbahasa yang baik. Wali muridnya menyangka, Tina akan bisa menyelesaikan S1 bahasa dengan baik, sekalipun Tina bukan seorang gadis yang pandai bergaul. Masih menurut wali muridnya kedua orangtua Tina kelihatan cukup memerhatikan anaknya itu!” ”Sudah kuduga, sebuah kasus yang menarik bukan?” kata Bram menutup teleponnya. Setelah bertemu beberapa kali, Dita berhasil membujuk Tina menceritakan sesuatu lewat tulisan. Tulisan itu terbaca demikian, ”Waktu umurku baru menginjak tujuh tahun, aku melihat Mama dicium oleh Om (Adik Papa) dan Mama berkata kepadaku, ’Ini bukan kejahatan, hanyalah rasa kasih antara kakak dan adik, kau harus percaya itu! Sekarang katakan terima kasih kepada Om, dia tadi membelikan boneka, yang sudah lama kau inginkan.’ Aku mengangguk dengan cepat, bukan karena apa-apa, aku kepingin pipis, takut melihat kemarahan di mata Mama.” Dita berkata sungguh-sungguh, ”Sayang, ini sangat menyakitkan perasaanmu kan? Tapi solusi yang terbaik, keluar dari masalah ini. Menjadi ahli bahasa yang sangat hebat di masa depan, seperti yang kau pernah ceritakan kepada gurumu bahwa bahasa Indonesia bisa kehilangan akarnya. Sebuah analisis yang sangat luar biasa dari seorang pelajar SMA, padahal aku sendiri setiap hari baca koran tidak pernah kulihat yang akan punah dari bahasa kita.” Tina, meneruskan tulisannya. Tiga bulan yang lampau, orangtuaku merayakan ulang tahunku yang ke tujuh belas dengan sangat istimewa, aku seperti Cinderella yang tanpa kehilangan sepatu kaca (sekalipun kadang-kadang kubayangkan enak juga kalau sepatuku ketinggalan dan ditemukan oleh seorang Pangeran). Setelah pesta yang luar biasa itu, aku tertidur dengan nyenyak! Aku terbangun dari tidur nyenyakku dan kulihat Mama mencium Om! Kukatakan kepadanya, ”Mama, apakah ini kasih sayang antara kakak dan adik?” Mama melihatku dengan tatapan kebencian di matanya, aku merasa dia memang tidak pernah menyayangiku. Bisa jadi karena aku dianggap lancang. Aku pastikan, kakakku, Windy, tahu hal itu, tapi diam saja. Dita memegang tangan Tina dan berkata, ”Ini masalah mereka, karena tidak mungkin bisa diperbaiki lagi, yang penting belajarlah dari masalah ini. Dengarlah, sayang, di zaman ini akan sangat sulit mencari ibu yang seperti malaikat, apalagi Mamamu punya pergaulan yang luas dan kita tidak tahu pasti apakah dia bahagia dalam perkawinannya, sekalipun Papa menurut kamu orang yang baik sekali? Seharusnya yang kamu lakukan terapi agar bisa ngomong lagi dan jadilah perempuan muda yang bahagia dan penuh cita-cita.” Seandainya kau Mamaku, tulis Tina. Dita tersenyum gelisah, ”Anak perempuanku memang tidak akan pernah sepaham denganku, tapi kami saling menyayangi.” ”Tina, tetaplah melakukan terapi bicara, dokter neurolog menganggap kau bisa melakukan hal itu sebaik dulu.” Tina menuliskan di atas kertas yang dibaca oleh Dita. ”Dokter Dita, saya sejak lama ingin sekali bisa bicara lagi, dan saya kepingin menyanyi atau membaca puisi untuk anak-anak yang ditelantarkan oleh orangtuanya, di seantero dunia ini.” ”Kamu pasti bisa, karena saya yakin kamu tidak akan menghancurkan dirimu sendiri. O ya, kalau pusingmu semakin bertambah, katakan kepadaku ya….” Kemudian setelah Tina pergi dari ruangan ini, Dita menelepon, Bram-nya. ”Kau tahu kasus yang sangat klasik, perselingkuhan di antara orangtuanya.” Bram menyambar cepat, ”Kita saling membutuhkan, aku tidak tahu, apakah itu cinta, suamimu yang kakakku itu, pasti tidak akan bisa mendefinisikan arti cinta itu.” Dita tertawa dan sebetulnya banyak kasus yang sedang ditanganinya. Buat Dita, kasus Tina sangat istimewa, dia sepertinya menemukan kembali keingintahuannya yang lebar tentang manusia. Sehingga ketika orangtuanya menganjurkan memilih fakultas teknik, dia lebih merasa pas di fakultas kedokteran, hal ini pernah diceritakan kepada Bram berulang-ulang. ”Aku merasa, dengan menjadi psikiater, memasuki laboratorium yang besar, yaitu manusia! Sekalipun orangtuaku menganggap aku lebih cocok meneruskan cita-citaku di masa kecil, menjadi ahli kimia yang terkenal itu, yang aku tidak bisa dengan tepat menyebut namanya.” Bram mendengarkan ceritanya, yang sudah diulang-ulang beberapa kali, tanpa mengedipkan matanya. Sungguh, ia tidak ingin membandingkan Bram dengan, ”Papa dari anaknya”. Barangkali perasaan sayang mereka muncul dari sini. Pada suatu senja, setelah sekian kali bertemu dengan adik iparnya itu, Dita merasa nyaman ngobrol dengan Bram. Kemudian, apakah dia tidak menyukai suaminya? Rasanya tidak! Dia tetap menghormati suami sebagai kepala keluarga, yang menyayanginya. Hari ini, Tina datang lagi, ”Sayang, aku akan bahagia kalau kamu mau terapi bicara. Mas Ledret telaten sekali lo kalau terapi orang, ha-ha-ha-ha, siapa bilang bujangan muda itu tidak cakep!” Tina melihatnya. ”Jadi, ini diary-mu yang boleh aku baca? Tentu saja aku akan merasa menjadi orang yang paling pinter sejagat kalau kamu mau percaya kepadaku dan mau ngomong lagi.” Dear, dokter Dita yang baik. Ketika dokter menganjurkan aku untuk menulis pengalamanku ini, setiap selesai tulisan, kurobek-robek, terus aku ingin sekali bunuh diri. Aku merasa jijik kepada Mama dan Papa yang telah melahirkan aku dan terkutuklah mereka karena tak bisa aku ceritakan ini kepada Eyang, Bude, sahabat-sahabatku, juga pada pacarku. Aku merasa kalau bercerita hal itu lebih memalukan daripada aku kepergok dalam keadaan telanjang di mukanya. Sebab, aku tahu di dalam tubuhku ada sebuah keindahan. Tapi kalau aku menceritakan hal yang sebenar-benarnya dari aib keluargaku, aku seperti sudah menebarkan bau busuk, sehingga mereka harus menutup hidungnya. Yaa Tuhan, aku seperti anak pelacur di jalanan! Aku sudah merencanakan bunuh diri, namun Eyang bilang, malam itu ingin tidur di kamarku. Aku dulu senang, kalau Eyang tidur di kamarku. Ini berarti sangat spesial, ada dongeng, kue kesukaanku, dan uang jajan yang diselipkan agar kakak tidak tahu. Kecurangan ini kami nikmati dengan tertawa bersama. Kemudian surat ini tidak dilanjutkan dan Dita berkata, ”Ayolah, hari ini kau pasienku yang terakhir, anakku sedang bersama neneknya. Aku kepingin mengajakmu makan. Kau suka makan di mana?” Tina tersenyum dan Dita tahu ajakannya disambut dengan riang sekali. Di restoran ini Tina tidak begitu lahap, namun dia menulis untuk Dita (dia menulis di atas kertas tisu restoran ini). Dokter Dita yang baik. Aku senang sekali Dokter mengajakku makan di sini, aku tiba-tiba merasa iri terhadap anakmu, pasti sangat bahagiaaaaaaa sekali. Tolong, tolonglah aku. Dita memeluk Tina. Sore ini mereka merasa sangat bahagia, kebahagiaan itu membuat suaminya tercengang. ”Kau habis dapat undian kah?” Dita masuk ke kamarnya dan merasa tidak perlu untuk menceritakan hal ini kepada suaminya. Menyimpan kebahagiaannya itu untuk diceritakan kepada Bram kalau besok mereka makan siang bersama. Sesungguhnya, seperti semua dokter, dia seharusnya cuma berempati kepada pasien. Tapi entahlah, untuk Tina? Dia sudah tidak bisa membatasi dirinya lagi, sepertinya larut. Padahal, pada kasus-kasus lainnya, bahkan kasus seorang laki-laki yang berkali-kali ingin bunuh diri, dia menanganinya seperti kebanyakan dokter yang lain, ilmiah, netral, dan bisa jadi sangat dingin. Hal ini dibicarakannya dengan Bram, dan Bram berkata, ”Rasa sayang itu, tanpa rencana dan pagar, seperti rasa sayang di antara kita.” Dita menganggap omongan Bram benar sekali. Oleh karena itu, Dita mencari orang-orang yang mencintai Tina. Orangtuanya, Eyang, sahabat-sahabatnya, bahkan pacar Tina. Wawancara dilakukannya secara maraton, hampir seharian penuh! Karena, dia merasa harus menuntaskan tugasnya sebelum seminar yang akan datang. Hasil wawancaranya menunjukkan bahwa Tina adalah perempuan pendiam, sulit bergaul, bisa jadi benar-benar tidak punya sahabat karib. Tina menulis lagi. Dokter Dita yang baik. Apa yang saya pikirkan tentang masa kecil saya, rasanya sangat menyakitkan. Ketika saya main ke rumah seorang teman, sampai senja hari, sebagai hukuman Mama memasukkan saya ke gudang. Tidak seorang pun yang menolong, sampai Om membukakan pintu gudang itu, dan aku benci! Sampai hari ini aku tidak akan pernah membayangkan diriku yang terkurung di menara dan ditolong oleh seorang lelaki (kak Windy selalu membayangkan hal itu). Sebab, kalau kukhayalkan hal itu, tiba-tiba laki-laki itu berubah seperti wajah Omku! Aku jijik! Aku pikir kalau aku boleh memilih ibu, aku kepingin memilih seorang perempuan sederhana yang selalu menjaga kesuciannya agar aku bangga menjadi anaknya. Tapi terasa tidak adil, orangtuaku bekerja keras karena ingin menyekolahkan aku dan Kak Windy ke mancanegara. Mama bilang, ”Dengan sekolah ke mancanegara, kalian akan terseleksi dari ribuan penganggur muda di negeri ini.” Aku tidak merasa lagi cita-cita Mama mulia, karena aku benci perselingkuhan itu. Sebetulnya, ketidakinginanku ngomong hanya untuk menyakiti Mama. Tapi, keterusan hingga lidahku jadi kelu dan telingaku tidak mendengar apa-apa lagi. Padahal, aku suka sekali pada musik, kalau kulihat koleksi kaset, DVD dan CD-ku yang berhamburan di kamar, aku merasa sangat tersakiti. Dulu aku sangat rajin mengoleksi musik apa pun dan mencampurkan musik yang satu dengan musik yang lain, sehingga menjadi musik yang baru. Dokter, tolong, tolonglah aku. Apakah tidak sebaiknya aku bunuh diri saja? Karena setiap melihatku, Eyang kini menangis! Dia pasti lebih suka melihatku mati daripada tidak bisa ngobrol dengannya. Aku sudah mulai terapi bicara dengan mas Ledret. Tapi, aku tidak mempunyai kemampuan untuk bisa lebih baik dari kemarin. Padahal setiap aku latihan, Eyang mengantarku. Eyang berharap banyak untuk kesembuhanku. Di sudut sebuah restoran, satu senja yang bagus, sambil menikmati makanan ini, Dita berkata, ”Kamu tidak boleh terus-menerus begini sayang. Keluarlah dari lingkaran kesedihanmu, mulailah dengan hidup yang paling baru. Itu yang selalu aku impikan untukmu. Dari hasil wawancaraku dengan orang terdekatmu, mereka semua prihatin dengan kondisimu. Sekarang, jangan menghukum dirimu sendiri! Itu tidak adil bagimu, barangkali kamu bisa pindah dari kota ini ke rumah salah satu Budemu, dan menganggap masa lampaumu sudah mati. Yang ada hanyalah kekinianmu. Kau tanyakan, apakah aku tidak punya problem? Tentu saja aku punya. ”Sungguh, aku tidak pernah mencintai suamiku!” kata Dita telak. Tina melihat, tetap dalam diamnya. Malang, 22 Januari 2006
""Tina Diam Saja""
Malam sebelum ia mengukir nisan, Tan Kim Hok bermimpi bertemu dengan seorang lelaki jangkung. Dilihat dari warna kulitnya, ia tentu bukan Belanda totok. Tapi bola matanya biru tajam dan pakaiannya seperti orang Eropa umumnya, kecuali kakinya yang tak bersepatu. Lelaki itu mengajaknya ke salah satu kanal. Berhenti di tepi kanal, ia tudingkan jari telunjuknya ke arah tumpukan sampah dan lumpur menggunung, lalat-lalat yang beterbangan di sekitar sampah dan aroma busuk yang memualkan perut. Kiranya matamu terbuka. Dia tidak meninggal karena lumpur dan sampah kanal ini, penyakit malaria, kolera atau sampar. Tidak! Sungguh, dia seorang perempuan halus dan religius. Penyakit tak akan tega mendatanginya, tak mau menyentuh kulit dan bagian dalam tubuhnya. Kiranya matamu terbuka,” katanya berulang-ulang bagai orang linglung. Tan Kim Hok tak mengerti apa maksud lelaki itu. Ia yakin belum pernah sekalipun bertemu dengannya. Tapi ajakan lelaki itu bagai tarikan magnet, ia terbawa tanpa perlawanan sedikit pun. Belum pula pikiran menguasai dirinya, tanpa pamit lelaki itu pergi. Tan Kim Hok terbengong memandang punggung laki-laki itu, dan seolah melihat dua sayap mengembang, berkepak-kepak lembut, makin mempercepat langkahnya. Kesiur angin menampar mukanya. Dari tempatnya berdiri, hidungnya mencium aroma aneh, semacam uap amis dari racun binatang mati atau upas tetumbuhan. Dalam ketakjuban semacam itu, Kim Hok lupa ia sedang berdiri di tepian kanal penyebar penyakit yang telah makan banyak korban. Ia mengikuti bayangan lelaki itu sampai hilang sebelum akhirnya tergeragap bangun. Dipandangnya kini bakal nisan untuk perempuan saleh yang beberapa hari lalu telah mangkat itu. Joff Judit Barra Van Amsteldam, sebuah nama cantik, seanggun penyandangnya. Seluruh Batavia mengenalnya karena setiap minggu ia rajin ke gereja, menjadi anggota paduan suara dan terkenal karena rendanya yang amat bagus dan halus. Leher panjangnya banyak dikagumi orang, mirip angsa putih berhiaskan kalung mutiara dari Banda. Kim Hok menyentuh ukiran huruf-huruf pada nisan itu, dan membaca sekali lagi, mencermati apakah sudah tepat ia mengukirkannya ataukah masih perlu dirubah. ”Cristus is mijn opstanding.” Setelah sempat sepi pemesanan nisan sejak lima tahun lalu, sekarang kembali ia menangguk untung besar. Kanal-kanal dipenuhi lumpur dan sampah, menciptakan pemandangan dan aroma tak sedap. Wabah penyakit menyerang seperti amukan setan, menumbangkan orang-orang ke liang kubur. Beberapa bulan ini orang-orang mulai menyebut- nyebut Batavia dengan julukan aneh, Het graf der Hollanders, kuburan orang-orang Belanda. Tuan Gubernur sampai-sampai membuat lokasi pemakaman tambahan di Nieuw Hollandsche Kerk dan Jassenskerk. Istri Tuan Gubernur sendiri kini menjadi korban berikutnya, meskipun ia ragu apakah kematiannya karena air dan kanal-kanal sungai di Batavia atau oleh sebab lain. ”Barangkali suatu saat kau akan bangkit untuk menjelaskan sebab kematianmu, Nyonya,” pikirnya. Sore hampir turun. Sebentar lagi Agustus akan benar-benar mengeringkan kanal-kanal di Batavia. Udara terasa sejuk. Ia duduk di depan rumahnya, menunggu pesuruh Gubernur jenderal datang mengambil pesanannya. Ia telah bersiap-siap seandainya ditanya kenapa ada gambar tengkorak dan tulang bersilang pada nisan. Bukankah dia sendiri yang mengabarkan ke seluruh Batavia bahwa istrinya meninggal akibat wabah penyakit yang diakibatkan oleh kanal-kanal yang biasa dilewati istrinya ketika sedang ke gereja? Dan siapa yang tak mengenalnya sebagai pengukir nisan paling bagus di Batavia ini. Sembarang alasan yang dibuatnya akan dipercaya orang. Lagipula Tuan Gubernur tak mungkin menanyakannya. Pikiran lelaki tinggi besar dan berkumis tebal itu sedang terarah ke wilayah Celebes Utara, persiapan besar-besaran pertempuran anak buahnya dengan Spanyol. Sementara itu, Mooi-mooi Belanda kesukaannya akan lebih menyibukkan dia. Apalagi setelah istrinya meninggal. ”Ia akan berpikir perang dan perang, dan para perempuan berpaha lembut serta berpayudara besar. Tak akan lagi dia peduli apakah nisan istrinya diberi gambar tengkorak kepala ataukah binatang simbol kesetiaan.” Orang-orang di Batavia tahu benar keahliannya. Dialah satu- satunya pembuat nisan yang paham ilmu Heraldik. Keluar dari garis keluarganya yang kebanyakan menjadi tabib, ia hidup dari kematian orang lain. Ia sadar kenapa Thian memberikan keahlian mengukir nisan. ”Untuk menjelaskan harapan orang-orang mati dan memberikan petunjuk bagi anak cucunya seperti apakah keturunan mereka di masa lalu,” kata Ban Sing Hwat, lelaki kurus yang mengajarinya mengukir nisan. Kini ia tidak sekadar mengikuti pakem Heraldik, karena tersembul sedikit keinginan dalam hatinya agar suatu saat orang ingin tahu sebab musabab kematian Nyonya Gubernur ini, misteri yang diberitahukan oleh lelaki aneh dalam mimpinya. Suatu hari, setelah musim hujan panjang di Batavia yang membuat kanal-kanal meluap, ia bertemu dengan Nyonya Judith Barra. Ia bertabik hormat padanya. Jika tidak berbuat demikian, opsir-opsir pengawal akan menendangnya ke air di bawah kanal. ”Kebahagiaan untukmu Nyonya. Apakah Anda akan ke gereja di pagi cerah ini?” ”Kaukah pembuat nisan tersohor itu? Belum tua benar seperti yang kubayangkan sebelumnya.” ”Berkat doa Nyonya di gereja.” ”Kau pemeluk Kristen sepertiku?” ”Tidak, Nyonya. Saya pemeluk Tao.” Ia tidak berkomentar apa-apa. Seluruh Batavia ini tahu suaminya menerapkan peraturan aneh tentang peribadatan. Pelaksanaan ibadah agama selain Kristen Calvinis di ”Kerajaan Batavia” dilarang, paling tidak akan dihukum dengan menyita alat-alat peribadatannya. Orang-orang Cina dan pemeluk Islam dipersulit dalam beribadah. Satu tahun lalu, dipimpin Letnan Coa Sin Cu, teman-temannya diam-diam membangun kelenteng di luar kota. Namun, beberapa di antara mereka malah dimasukkan ke dalam penjara dan meninggal terjangkit penyakit kolera. Bangunannya dihancurkan dan tanahnya disita. ”Tapi kau bisa mengukirkan kalimat-kalimat dari kitab suci dalam nisan. Apakah kau juga belajar Injil?” tanyanya dengan senyum santun. “Tentu saja Nyonya. Saya menyukai semua kitab suci. Semuanya memberikan saya kedamaian.” Ia mengangguk. ”Tapi Injillah yang paling benar menyuarakan kebenaran,” gumamnya sembari pergi. Sepotong percakapan pendek di bulan April itu membuatnya terkesan. Setelah Batavia diserang tentara Agung 16 tahun lalu, tak ada lagi masa-masa damai seperti sekarang. Sayang wabah penyakit bergentayangan tak mengenal mata. Ia memang tak lagi dipenuhi pesanan sebanyak lima tahun lalu, ketika para pembesar VOC beramai-ramai memesan nisan berukir yang meninggal akibat perang ataupun sakit. Kebanyakan di antara mereka meminta ukiran sepasang senapan, topi baja, dan gambar binatang seperti merpati, anjing, babi, dan elang. Kaum perempuan biasanya meminta digambar burung merpati sebagai lambang kesetiaan. Bila sekarang ia tak menggambari nisan Nyonya Gubernur dengan sepasang burung merpati, ia pun bingung kenapa tak berhasrat menggambarkan sepasang merpati di nisan itu. Ia ingat gumaman Nyonya Gubernur itu sebelum meninggalkannya, ”Jesus is mijn opstanding.” Di tengah kelesuan dan lamunannya, Kim Hok teringat kembali dengan mimpinya semalam. Kesadaran baru merasuk ke alam pikirannya yang tengah mengembara ke mana-mana. Benarkah Nyonya itu diracun? Ia tak melihat jelas tubuhnya sebelum dikuburkan. Namun, kenapa ia begitu berhasrat menggambar simbol racun itu di nisan? Kepalanya berdenyut-denyut memikirkan kemungkinan buruk itu. Dari jauh ia melihat opsir Kompeni tergesa-gesa berjalan ke arahnya. ”Apakah pesanan tuan Gubernur sudah jadi?” tanya opsir itu tanpa memberikan salam terlebih dahulu. Ia mengarahkan pandangan ke nisan yang disandarkan di dinding rumah. Opsir itu mendekat dan mengamatinya dengan lagak seorang seniman. ”Kenapa tak beri gambar binatang pada nisannya? Bukankah sudah menjadi kebiasaan perempuan bermartabat mendapatkan penghormatan dengan simbol merpati sebagai tanda kesetiaan? Dan apakah ini? Kenapa kau beri gambar begini mengerikan?” Kim Hok tergelak dalam hati melihat polah tingkah opsir muda itu. Ia mendekat dan menerangkan isi hatinya. ”Tuan Gubernur sendiri telah menyerahkan seluruh keputusan pembuatan nisan itu padaku. Harap Tuan mengerti, aku telah memberikan tanda-tanda lebih terhormat berupa hiasan monumental seperti inskripsi kesukaan Mevrouw, hiasan perang layaknya kaum ksatria. Inilah gambaran kaum bermartabat, Tuan. Adapun gambar tengkorak itu, mohonlah kiranya Tuan pahami sebagai tanda perhatian seluruh penduduk Batavia pada penyakit yang kini banyak menyerang. Dia meninggal karena penyakit dari kanal-kanal itu bukan?” Opsir itu mengangguk-angguk. Kini dipandangnya Kim Hok dengan saksama dan menyelidik. ”Apakah kau mencurigai perihal meninggalnya Mevrouw Gubernur?” Kim Hok menggeleng. Dalam kepalanya melintas bayangan lelaki yang membawanya ke tepian kanal. Potongan tubuhnya hampir mirip dengan opsir muda ini. ”Dia seorang perempuan saleh dan baik hati. Sayang, meninggal terlalu cepat. Barangkali itulah yang diinginkan Tuhan, mengambil lebih cepat orang-orang baik dan saleh di dunia ini agar mereka tidak dikotori oleh banyak dosa,” gumam opsir itu seperti berbicara dengan dirinya sendiri. ”Tentu saja, Tuan. Tidak ada perempuan yang paling baik selain Mevrouw-Mevrouw Belanda. Mereka ditakdirkan menjadi kaum yang sangat bahagia, saleh, dan mencintai seni dan kerajinan. Saya sering terheran-heran bagaimana mereka bisa membuat renda amat bagus, menyiapkan tempat tidur nyaman dan beraroma wangi, menghiasi dinding- dinding rumah dengan lukisan-lukisan indah. Kabarnya anak kecil tak boleh bermain di dalam rumah, Tuan. Dan Mevrouw Gubernur, adalah yang utama di antara perempuan Belanda,” kata Kim Hok memuji. ”Begitulah kami bangsa Belanda. Lain dengan kaum pribumi dan bangsa kuning macam kalian. Sayang Tuan, ah, apa harus kubilang untuk Nyonya itu. Dia terlalu menderita. Tuan Carel terlalu lemah pada mooi-mooi cantik di Batavia ini. Meskipun tetap menunjukkan diri sebagai perempuan bermartabat, ia sangat menderita.” ”Bagaimana Tuan bisa berkata demikian?” tanya Kim Hok ingin tahu. ”Tidak, Tuan. Saya tidak akan mengatakannya. Aku seorang opsir biasa, aku tak ingin menghancurkan martabat Tuan Gubernur. Sungguh, gambar tengkorak dan dua tulang ini membuatku takut. Aku harap Tuan Gubernur tidak akan murka. Akan kubawa pulang, Tuan. Selamat jalan,” katanya sembari memanggul nisan itu ke arah kereta yang ia bawa. Tan Kim Hok memandangi punggung lelaki itu sampai jauh, membayangkan apakah dari punggungnya keluar sayap seperti kejadian dalam mimpi semalam. Ia mengelus bulu kuduknya. Di antara sampah dan lumpur menggunung di salah satu kanal, sebuah tubuh teronggok penuh luka, dirubung lalat-lalat hijau yang berbiak setiap musim kemarau. Seorang anak lelaki Belanda yang pertama melihatnya berlari sambil menjerit-jerit seperti dikejar hantu. Tak lama kemudian, seluruh penduduk sekitar permukiman itu geger oleh mayat yang dibuang di kanal tersebut. ”Orang Tionghoa dibunuh, dan dilempar ke kanal, menjadi makanan lalat dan serangga,” orang- orang menyebarkan berita itu dari mulut ke mulut ke seluruh Batavia. Beberapa lelaki Tionghoa segera turun tangan dan memeriksa siapa gerangan orang yang meninggal itu. ”Dia si pengukir nisan, Tan Kim Hok,” kata salah seorang yang mengenalnya. Kabar kematian Kim Hok menjadi buah bibir kaum Batavia selama berminggu-minggu. Mereka bertanya-tanya apa gerangan yang menyebabkan sang pengukir nisan meninggal, mengapa ia dibunuh dan oleh siapa ia dibunuh. Sayangnya, teka-teki pembunuhan itu tetap tak terjawab. ”Ia tak akan bangkit dari kuburnya, untuk menjelaskan kematiannya sendiri,” gumam orang-orang ketika memungkasi teka-teki pembunuhan si pengukir nisan itu. Yogyakarta, akhir Desember 2005
""Pengukir Nisan""
Pulang dari rantau tanpa harta adalah semacam aib. Tanpa keluarga adalah hidup yang sia-sia. Keluarga mana yang mau mengaku? Semua mata orang kampung memandang dengan curiga. Lelaki tua ini, apa yang dikehendakinya? Siapa dia sebenarnya? Hanya dengan sebuah koper kecil, ia melenggang masuk desa dan mampir di warung menanyakan seseorang, ya, nama-nama seseorang. Banyak nama yang disebutkan, tetapi orang-orang yang di warung geleng kepala, tidak kenal. ”Tanya saja kepada kepala desa,” kata pemilik warung itu, seorang perempuan usia kira-kira tiga puluh lima tahun. Lelaki tua yang nyaris berusia enam puluh tahun itu, walaupun rambutnya belum penuh uban, berjalan menuju desa di atas bukit. Belum beberapa langkah ia berjalan, seseorang berseru dari dalam warung, ”He, bayar dulu!” ”Lho, saya toh tidak makan apa-apa,” kata lelaki tua itu sambil menoleh ke belakang. Melangkah kembali ke warung itu. ”Kalau Bapak dari desa ini, pulang dari rantau pula, mampir di warung ini, ya, Bapak wajib dong mentraktir kita semua yang ada di sini,” kata seseorang yang kemudian mereguk minuman yang berbuih dari gelasnya. ”Oh, ya,” jawab lelaki tua sambil merogoh kantongnya. ”Berapa semua?” Pemilik warung menyebut jumlah harga makanan dan minuman yang dimakan lima orang yang duduk di warung itu. Lelaki tua itu membayarnya semua. ”Nah, begitu dong. Itu baru namanya orang rantau!” celetuk seorang anak muda. ”Terima kasih,” kata mereka sambil terus mereguk cairan berbuih, putih, dari gelas. Hari masih siang ketika ia tiba di Desa Bukit, begitu nama desa yang terletak di atas bukit itu. Kepala desa yang ditemuinya, kebetulan baru saja pulang dari kota yang tidak jauh dari bukit itu. Usianya sekitar empat puluhan. Lelaki tua memperkenalkan diri, bahwa ia dahulu lahir dan tinggal di desa ini. Meninggalkan desa ini ketika usia dua belas tahun dan baru sekali ini pulang kampung. Ia menyebutkan nama-nama keluarganya, ladang dan rumah orangtuanya, dan nama tetangga yang pernah tinggal di dekat rumah mereka. Lama ia bertutur tentang kampung dan peristiwa masa kecil yang pernah dialaminya, sekadar meyakinkan kepala desa bahwa dia memang orang sini. Betapapun, ia menyadari bahwa logatnya asing bagi penduduk desa ini, terlalu lembut. Kepala desa lebih banyak mendengar. Sebelum ia memberi komentar, seorang ibu dengan kapur sirih di tangan, sambil mengunyah sesuatu, muncul di pintu. Rupanya dari kamar sebelah ia mendengar percakapan mereka. ”Ibu saya,” kata kepala desa. Lelaki tua itu mengulurkan tangan dan menyebut nama kecilnya. Ibu yang sudah berambut putih semua menatapnya dengan tajam. Ia memegang dahinya yang sudah mengerut, mencoba mengingat-ingat masa lalu. ”Dari ceritamu,” kata ibu berambut putih itu, ”aku mengingat sesuatu. Masa lalu. Sebagian dari mereka yang kau ceritakan sudah berlalu, sebagian lagi sudah pergi ke rantau. Kaukah salah satu dari mereka itu? Coba sebut namamu sekali lagi, pendengaranku kurang baik.” ”Namaku Barita.” Hening sejenak. Kepala desa mengamati wajah ibunya, silih berganti dengan wajah lelaki tua. ”Ya, ya. Aku ingat. Ayahmu si anu, bukan?” ”Ya,” jawab Barita, lelaki tua itu. ”Ayah dan ibumu sudah tidak ada. Lama mereka tidak mendengar berita darimu. Saudara-saudaramu yang lain menyusul mereka, dan katanya, ada yang seorang lagi, adikmu, pergi entah ke mana. Merantau ke seberang lautan. Setelah menjual tanah kalian. Ya, ya, aku ingat kau. Masa sulit waktu itu, masa gerilya. Banyak anak muda yang hilang jejaknya, entah di mana kubur mereka. Dan kau, seorang dari antaranya. Aku ingat, ayahmu sering menyebut-nyebut namamu, nama yang terekam dalam lubuk hatinya, sampai kepada kematian yang menimpanya…” Tutur nenek berambut putih itu meluncur begitu saja. Kepala desa, anaknya, semakin larut dalam kisah masa lalu itu. Ada bayang-bayang air mata di pelupuk mata lelaki tua yang duduk di hadapannya. ”Lalu, kau mau apa Barita?” ”Aku mau tinggal di desa ini. Menghabiskan masa tua,” jawabnya pelahan. ”Dengan siapa?” tanya nenek tua, ibu kepala desa itu. ”Sendiri. Tak punya keluarga lagi.” ”Sendiri,” nenek tua itu mengulangi dengan suara lemah. ”Tanahmu?” ”Aku akan menebusnya,” jawab Barita. ”Harus ada saksi, Pak,” kata kepala desa. ”Selain bukti bahwa Bapak ahli waris.” ”Semua sudah berlalu, Nak. Tinggal aku saksi hidup. Biar ibu yang menjadi saksi.” Barita sangat berterima kasih. Masih ada orang yang berbaik hati kepadanya. Atas bantuan kepala desa, ia menebus sebidang tanah, ladang peninggalan orangtuanya. Sebuah rumah di hari tuakah? Tak lebih dari sebuah pondok yang reyot di tengah ladang itu. Tapi ia masih melihat perapian, tempat ibunya memasak. Sudut rumah bagian barat tempat dia berbaring dahulu. Di situlah ia dilahirkan. Itu yang penting. Pondok yang reyot itu bagian dari hidupnya. Ia memerlukan waktu untuk membersihkan kuburan keluarga di batas ladang. Ada nisan bertuliskan nama ayahnya, sedangkan kubur yang lain tak bernama, batu-batu berserakan di atasnya. Sebuah gereja tua masih berdiri di atas bukit, tidak begitu jauh dari pondok lelaki itu. Dulu, ia rajin belajar nyanyi di sana. Berdoa dalam kebaktian yang khusyuk. Dan kini, ia kembali ke sana. Tidak satu wajah pun yang dikenalinya. Minggu pertama, orang-orang bertanya tentang dia. Sesudah itu, tidak seorang pun yang memedulikannya. Kalau berjumpa di jalan, orang- orang melihatnya sekilas, kemudian berlalu tanpa membalas sapaan. Hanya anak-anak SD yang suka mampir ke pondoknya yang reyot. Barangkali anak-anak itu mendengar dari orangtua mereka bahwa lelaki tua yang baru pulang dari rantau itu lama tinggal di seberang. Mereka ingin mendengarkan kisah-kisah dari seberang. Dan Barita, senang bercerita. Banyak cerita dari berbagai kota Pulau Jawa yang diceritakannya. Kisah-kisah menarik dari adat-istiadat suku bangsa yang hidup di Pulau Jawa. Sekali, anak- anak terkejut melihat sebuah sedan parkir di samping gereja tua. Seorang lelaki diikuti lelaki lain, ia belakang sedang menuju tempat mereka yang sedang mendengar kisah dari kakek Barita. ”Sebentar, anak-anak. Ada tamu datang,” katanya sambil berdiri dan menyongsong kedua orang itu. Mereka segera berpelukan. ”Bagaimana kau tahu aku di sini?” tanya Barita dalam bahasa Jawa. ”Cerita selintas dari kepala desa, tentang seorang lelaki tua yang pulang dari perantauan, dan kini tinggal di sini.” ”Kau cerita siapa aku?” ”Tidak! Aku ingin lihat sendiri dan berjumpa denganmu. Ajaib, kau ada di sini!” ”Itulah kehidupan.” ”Kau baik-baik saja?” ”Ya.” ”Syukurlah.” Kurang lebih setengah jam mereka berbincang-bincang di halaman rumah, dalam bahasa Jawa, sehingga anak-anak terbengong-bengong. Menanam ubi kayu hanya sekali. Sesudah itu ia tumbuh sendiri. Tidak merepotkan. Karena itu, ia mau menambah kegiatan dari waktu ke waktu. Ia melamar menjadi koster gereja. Penatua jemaat agak terkejut, tapi tidak lama kemudian mereka menerima lamaran itu, tanpa upah. Barita mengatakan tidak apa-apa. Hanya ada sebuah permohonannya, ingin menghidupkan kembali lonceng gereja dan membunyikannya setiap jam, dari pukul enam pagi sampai pukul enam petang. Pengurus gereja setuju dengan komentar, ”Tapi itu sudah karatan. Puluhan tahun tidak dibunyikan.” ”Tidak apa-apa. Akan saya bersihkan.” Dan lonceng gereja di bukit berdentang setiap jam. Setiap pukulan menunjuk kepada jam. Dua belas kali berarti pukul dua belas. Satu kali berarti pukul satu. Dan itu telah berjalan enam bulan. Suatu hari, seorang anak yang suka mendengar cerita Barita, bersama ayahnya duduk di dangau di kebun, di lembah. Mereka hendak menyantap makanan siang ketika mendengar sipongang lonceng gereja. Mereka menghitung dentangan itu, yang memantul dengan jelas, gema di lembah. ”Kau menghitung?” tanya sang ayah kepada anaknya. ”Ya,” jawab anaknya. ”Berapa kali?” tanya ayahnya. ”Tiga belas kali dan disusul dentangan kecil.” Anak itu berlari ke atas bukit. Ia ingin tahu apa yang terjadi. Sesampai di gereja itu, ia melihat telah banyak juga orang berkerumun. Mereka menggotong tubuh lelaki tua menuruni bukit dan menaikkan ke atas mobil terbuka. Tiba di rumah sakit, perawat memeriksa denyut jantungnya. Tiada. Tidak banyak orang yang menunggui jenazahnya di pondok yang reyot itu. Lazimnya, sebelum upacara penguburan, banyak orang yang menunggui. Beberapa orang pengurus gereja membuat peti dan memasukkan tubuh yang sudah kaku itu ke dalamnya. Upacara pemakaman akan segera dilakukan. Anak-anak banyak yang hadir, beberapa orang tua dan orang muda. Upacara singkat diadakan di halaman. Sebelum jenazah diusung ke pekuburan keluarga, tampak ada beberapa bus yang berhenti dekat gereja. Berpuluh-puluh orang berpakaian seragam kantor dan satu pasukan tentara dengan sikap militer berbaris menuju pondok reyot itu. Orang-orang terkejut ketika bupati berjalan di depan diikuti sepasukan tentara yang membawa sebuah potret berbingkai. Bupati berbicara dengan penatua jemaat dan kemudian menceritakan riwayat almarhum Barita di depan khalayak. ”Saudara-saudara sekalian. Hari ini kita memberangkatkan seorang prajurit pejuang bangsa. Prajurit yang telah mempersembahkan seluruh jiwa raganya untuk nusa dan bangsa. Almarhum Barita mengembuskan napas terakhir kemarin. Telah kutelepon anaknya di Amerika, tetapi mereka mengatakan bahwa mereka tidak bisa hadir hari ini. Pak Barita tidak mau ikut anaknya ke Amerika karena ia telah berjuang untuk negara ini dan ingin mati di sini, di kampung halamannya, di sisi ayah bundanya dan kerabat dekatnya. Sauara-saudara, rakyatku di Desa Bukit, Kalian harus berbahagia karena seorang pejuang lahir dari desa ini, walaupun ia berjuang di palagan Ambarawa dan sekitarnya. Ia komandanku, saudara- saudara… Seorang komandan yang tidak pernah gentar dan selalu berada di garis depan. Dalam sebuah pertempuran, sebutir peluru bersarang di dadanya. Dokter mengatakan bahwa peluru itu tidak dapat dikeluarkan tanpa membahayakan nyawanya. Ia kembali sehat, dengan peluru di dada. Ia pensiun dari kemiliteran dengan pangkat kolonel. Beberapa waktu yang lalu, ia menitipkan surat-surat penghargaan pemerintah yang diberikan kepadanya. Dan hari ini, kita akan makamkan dia sesuai dengan permintaannya, di makam keluarga. Ia menampik dimakamkan di makam pahlawan. Ia amat mengasihi desa ini. ”Kolonel Barita, terima kasih atas perjuanganmu…” Bupati menghapus air mata dari pipinya. Ia mendekatkan wajah ke peti dan kemudian undur ketika prajurit membungkus peti itu dengan bendera. Tembakan penghormatan terakhir bergema di udara dari laras senjata prajurit, suara tembakan itu bergema kembali di lembah. Angin malam yang dingin menyentuh nisan almarhum Kolonel Barita. Bandung, 31 Oktober 2005
""Lonceng""
Pemandangan panggung malam itu dipenuhi puluhan ekor angsa putih menyebar memenuhi telaga. Kaki-kaki jenjang putih para balerina meluncur ke sana kemari. Membentuk komposisi yang senantiasa berubah. Angsa-angsa putih menyelam, menyembul, dan mengepak beberapa saat di atas permukaan air, lalu mendarat kembali. Mereka saling memagut dan bercinta. Asmara angsa, adakah yang lebih indah waktu tubuh bergetar, bulu-bulu bergetar ketika mencapai puncak. Annisa Zahra disadarkan oleh zefir, angin sepoi-sepoi, yang mengelus rambutnya. Gadis ini masih mengenang adegan-adegan dalam pertunjukan balet ”Swan Lake” yang baru saja usai. Zahra, balerina 21 tahun, tidak minum wine, yang putih maupun yang merah. Dia memilih minum air jeruk nipis, kegemarannya. Dalam pesta yang disuguhkan oleh Yayasan Jantung Indonesia, sebagai sponsor pertunjukan, Zahra menemani para pebalet dari Negeri Tirai Besi itu. Begitu pula para pebalet teman Zahra, tampak berseliweran di antara para pebalet yang tinggi-tinggi dan besar-besar itu, ayu dan ganteng. Mereka tidak menunjukkan kelelahan sedikit pun meski pertunjukan dua jam itu mengalir terus. Maya Ivanova, Natalya Ashikhmina, Irina Ablitsova, Andrei Joukov, Maxim Fomin, para pebalet pemeran utama dalam lakon itu di antaranya, ngobrol dengan para pejabat bank Indonesia, gubernur, menteri, dan pembesar negara lainnya. Tampak Viatcheslav Gordeev, Direktur Artistik Russian State Ballet of Moscow pertunjukan ”Swan Lake” itu, yang ditemani balerina Masami Chino, ngobrol dengan gubernur. Dengan meminta maaf karena gedung pertunjukan tidak representatif bagi tontonan segigantik balet Rusia, gubernur berjanji, insya Allah, dalam waktu dekat akan membangun panggung balet semegah Moscow. Sementara itu Zahra getol bercerita macam-macam kepada para tamunya. Di antaranya di tempat ini, pernah berpentas Martha Graham, Alvin Nikolai, juga grup dari Perancis, Jerman, dan modern dance dari Eropa lainnya yang memainkan repertoar ”Le Sacre du Printemps” karya Igor Stravinsky. Zahra juga banyak mendulang informasi dari Maya Ivanova dan Natalya Ashikhmina, pemeran Odette secara bergantian dan Andrei Joukov dan Maxim Fomin pemeran Siegfried bergantian, tentang balet di Rusia. Sebaliknya, para pebalet Rusia itu mengagumi kecantikan dan rambut panjang Zahra dan apa saja perannya dalam balet di Indonesia. Lalu bergabung ikut ngobrol pula, Irma Ablitsova pemeran Odille dan Dmitry Protsenko serta Vladimir Mineev, pemeran Rothbart bergantian. Mereka rame-rame menikmati salad, sup ikan tuna, plain croissant, buah-buahan, dan jus jambu kelutuk. Dengan 1.500 penonton, Russian State Ballet of Moscow memainkan ”Swan Lake” karya Tchaikovsky yang sudah melegenda, sangat populer di seluruh dunia. Lakon ”Swan Lake” menceritakan dayang-dayang istana dan ratunya, Odette, yang disihir Rothbart menjadi angsa. Siang hari mereka adalah angsa yang merenangi telaga. Baru pada malam hari mereka menjelma manusia kembali. Hanya cinta sejati yang mampu mengalahkan sihir itu. Pangeran Siegfried, pemilik istana dan telaga, jatuh cinta kepada Odette. Namun cinta mereka terhalang oleh sihir Rothbart yang ampuh. Di samping mencoba menggagalkan percintaan Siegfried dengan Odette, Rothbart sang penyihir, memamerkan putrinya, Odille, yang secantik Odette, untuk merebut cinta Siegfried. Usaha Rothbart berhasil. Pangeran Siegfried langsung terpikat pada Odille. Mendengar kabar ini, Odette dan dayang-dayangnya jatuh sedih. Siegfried sadar. Secepatnya Siegfried menyatakan pilihan cinta sejatinya hanya pada Odette. Seketika, angsa itu menjelma Odette, begitu juga puluhan ekor angsa yang lain. Rothbart marah besar. Namun Siegfried mampu menewaskan Rothbart dan pasukan angsa hitamnya. Begitulah, seluruh istana bergembira. Dan pesta pernikahan Siegfried-Odette selama tujuh hari tujuh malam pun digelar dengan meriah. Pesta para pebalet Rusia dan para pebalet Indonesia malam itu seperti menandai suksesnya pertunjukan ”Swan Lake”. Sekalipun dengan mata terpejam, siapa pun tak bakal salah memilih, semua balerina itu elok: Tatiana Protsenko, Eugenia Singur, Tatiana Chungunkina, dan Anastasia Baranova, adalah para pemeran angsa kecil. Sedang para pemeran angsa gede adalah Svetlana Ustyuszhaninova, Oxana Gasnikova, Olga Ivachenko, dan Anna Vakina. Zahra menonton pertunjukan itu bersama keluarga, ayah, ibu, kedua adiknya, kakek dan neneknya, juga tante dan oomnya. Pagi harinya kakek berdiri lalu meliuk-liuk menirukan gerakan balet yang membuat semuanya tertawa. ”Awas. Eyang bisa kesleo, lho,” celetuk Zahra sambil memasukkan potongan roti lapis kacang dan cokelatnya ke dalam mulutnya. ”Eyangmu ini tadi malam kan kepincut sama si Maya,” celetuk Nenek. Semuanya tertawa, sampai Kakek terbatuk-batuk. ”Terpikat boleh terpikat, asal encoknya tidak ketahuan sang balerina,” sambung Oom sambil menyenggol Tante. Semuanya tertawa. Kakek terbatuk-batuk lagi. ”Odette atau Odille, saya sih, cocok-cocok saja,” tukas Kakek. ”Apa, sih, yang ndak cocok bagi kamu,” tukas Nenek. Semua tertawa. ”Tapi, saya tidak setuju dengan kostum para penarinya,” kata Kakek. ”Lho, memangnya kenapa?” tanya Zahra. ”Itu kan mengumbar aurat,” sambung Kakek. ”Aurat yang mana?” tukas Zahra. ”Semuanya kan tertutup rapat.” ”Tapi kesan telanjangnya kan jelas.” ”Kesan. Kesan. Aduh, Eyang. Jika kita bicara soal kesan, semuanya terkesan jelek.” ”Jangan begitu,” sanggah Kakek. ”Saya sungguh risi dengan kostumnya.” ”Rasa risi tidak relevan dengan Swan Lake, Eyang.” ”Jangan begitu,” sergah Kakek lagi. ”Saya serius. Melihat kostumnya, pertunjukan itu harusnya disensor.” ”Eyang kok tiba-tiba jadi diktator,” tukas Zahra. ”Itulah kostum yang paling pas untuk lakon ”Swan Lake”.” ”Wah, bubar, deh, peradaban.” ”Wah, wah, wah, Eyang ini gimana, sih. Habis jadi diktator, mendadak berubah jadi filosof.” ”Eyang yang kasmaran, kok yang disalahin balerinanya.” Semuanya tertawa, kecuali Kakek. Ruang makan itu berubah jadi ruang pesta pagi hari. Meriah. Obrolan berubah jadi perdebatan. Grup balet Rusia ini sudah melanglang buana. Ini kali pertama kakek dan nenek nonton balet. Zahra melanjutkan obrolannya: ”Waktu grup balet Zahra memainkan Swan Lake, kostum Zahra ya seperti itu.” ”Mati orang kuburan!” potong Kakek kaget. Semuanya tertawa kecuali Kakek. ”Kok Eyang jadi sewot?” ”Mempertimbangkan kostum itu, Swan Lake dapat dikategorikan sebagai pertunjukan pornografi dan pornoaksi,” sambung Kakek. ”Mati orang kuburan!” potong Zahra. Semuanya tertawa kecuali Kakek. ”Bagaimana parameternya?” ”Bagian-bagian tubuh tampak disengaja sangat menonjol.” ”Saya heran, kok Eyang sampai segitunya. Ada yang jauh lebih subtil yaitu bentuk tubuh secara utuh. Jenjang kaki yang panjang dengan bentuk yang indah—laki-laki maupun perempuan—dalam menopang torso yang sepadan yang melahirkan kelenturan gerak bagai kijang.” ”Harus dicari kostum yang lebih cocok dengan budaya setempat,” sambung Kakek. ”Eyang benar-benar lowbrow, ” sergah Tante. ”Apa?” tanya Kakek. ”Eyang dianggap tak menghargai kebudayaan,” kata Oom. ”Justru karena saya sangat menghargai kebudayaan, maka saya marah menyaksikan penampilan para pebalet Rusia itu.” Zahra menukas, ”Kalau pendapat Eyang dilaksanakan, runtuhlah kebudayaan.” ”Omong kosong!” sergah Kakek. ”Kalian keras kepala!” Semuanya tertawa kecuali Kakek. ”Kita harus mempertahankan adat ketimuran kita,” cetus Kakek. ”Adat ketimuran kita adalah KKN,” sewot Zahra. ”Dalam KKN ada tradisi, pesakitan KKN selalu jatuh sakit kalau mau diadili.” Semuanya tertawa kecuali Kakek. ”Jangan melecehkan negeri sendiri,” sela Kakek. Mendengar kata Kakek ini, semuanya menyanyi kecuali Kakek: ”Bagimu negeri, jiwa raga kami…” Oleh orangtuanya, Zahra diperkenalkan pada balet sejak balita. Puluhan kali dia berpentas balet di kota-kota besar. ”Kostum ketat itu, Eyang,” kata Zahra. ”Adalah tradisi balet. Seperti para perenang yang hampir-hampir telanjang ketika bertanding di kolam renang, begitu pula kostum ketat balet memudahkan untuk bergerak menari.” ”Jadi tanpa mempertimbangkan moral dan agama?” tukas Kakek. ”Moral dan agama ada pada keindahan kesenian itu. Kalau Eyang puas atas pertunjukan balet Rusia itu, ini artinya balet Rusia itu telah berdakwah tentang kebenaran.” ”Sekalipun mereka ateis?” ”Sekalipun mereka ateis.” ”Sungguh saya tidak paham jalan pikiranmu, Cucuku.” ”Hati orang siapa tahu, Eyang. Kita bisa menuduh mereka ateis, tapi dari mana kita tahu bahwa mereka ateis? Obrolan kita ini sudah melenceng. Harus dipisahkan antara rakyat dan negaranya. Betapa luhurnya seseorang yang tidak percaya akan Tuhan, namun tariannya memberikan pencerahan kepada kita yang shalat lima kali sehari, bukankah itu artinya mereka telah berdakwah tentang keluhuran? Seandainya benar mereka ateis, mereka itu hanya belum sempat mendapat hidayah dari Allah saja. Barangkali besok, atau lusa, atau setahun lagi?” ”Seorang ateis bagaimana mungkin mendapat hidayah Allah?” ”Jiwa manusia itu seluas alam semesta, Eyang. Janganlah berputus asa akan belas kasihKu, kata Allah.” ”Tapi omongan kamu itu kan cuma teori.” ”Mereka telah menari dengan anggunnya, Eyang. Dan itu bukan teori. Mereka telah berbakti kepada Dewi Keindahan. Dalam hidup para balerina dan balerino itu, setiap hari yang dipikirkannya hanya keindahan. Alangkah juwitanya pandangan hidup mereka.” ”Mereka hanya berbakti kepada Dewi Keindahan. Bukan kepada Tuhan.” ”Eyang kok selalu curigesyen terhadap iman orang lain yang tidak dikenal.” Semuanya tertawa kecuali Kakek. ”Kita harus membedakan antara iman warga negara dan iman negaranya,” kata si Oom. ”Banyak negara yang busuk, sedang warga negaranya mudah lolos ke surga,” tambah Tante. ”Coba, saya dikasih contoh,” sergah Kakek. ”Contohnya tidak usah harus beli tiket pesawat,” jawab Tante. Semuanya tertawa kecuali Kakek. ”Apa yang sedang terjadi atas Eyangmu ini, saya cuci tangan,” tambah Nenek. ”Kok sekarang berubah jadi one dimensional man.” Semuanya tertawa kecuali Kakek. ”Saya pusing mendengar pikiran-pikiran anak muda sekarang,” tukas Kakek. Kecuali Kakek, semuanya membaca puisi Gibran Khalil Gibran: ”Anakmu bukanlah anakmu. Anakmu bukan milikmu. Mereka putra-putri Sang Hidup yang rindu pada diri sendiri…..” ”Eyangmu itu pantas jadi polisi moral, Zahra,” tukas Nenek. Lengang sejenak. Seperti tercium setan lewat. Zahra melanjutkan obrolannya: ”Wajah Allah itu memancar memenuhi alam semesta dan kita makhluk ciptaannya dapat menatap Wajah itu secara gamblang. Ada api yang menyala-nyala. Ada air yang mudah mematikan api. Ada tanah yang bisa menumbuhkan padi sehingga kita tidak kelaparan. Ada angin yang tidak kelihatan yang membuat kita bernapas hidup puluhan tahun. Ada zat yang mendorong kita beranak-pinak. Dan ternyata Allah itu indah, Allah mencintai keindahan.” ”Kita juga memiliki keindahan tradisi. Kita wajib memeliharanya.” ”Saya setuju, Eyang. Cobalah nikmati tari bedoyo. Dalam dandanan kebaya pinjungan, menyembulkan semburat merah jambu gunung kembar yang menjenguk lewat dada yang lebar terbuka. Para pujangga menyebutnya ”Glatik Nginguk” artinya ”Burung Gelatik yang Menjenguk” yang membuat dada para raja dan pangeran ”mak-sir”, tergetar. Mendorong keanggunan sembilan penari yang gemulai dalam balutan kain yang ketat. Dalam balet, seorang penari harus lebar-lebar merentangkan kakinya supaya bisa terbang, sedang dalam bedoyo para penari bahkan untuk berjalan biasa saja, cukup sulit, itulah keunikan tiap tradisi yang mewariskan budaya dunia. Suatu dakwah keindahan tiada tara.” Tukas Kakek: ”Tidak ada pornografi dan pornoaksi dalam tari bedoyo.” ”Sebagaimana balet, tidak ada pornografi dan pornoaksi,” sambung Zahra. Tangerang, 14 Februari 2006
""Telaga Angsa""
Aku bisa mengerti, tidak mudah baginya untuk mengingat. Tidak mudah baginya untuk memanggil masa lalu. Mengingat adalah kerja masa kini yang mungkin melelahkannya, sedangkan masa lalu adalah belukar lampau yang terus hidup, tumbuh, dengan cara rumit dan sedih, di sebuah tempat yang sulit dijangkau. Mengingat dan masa lalu adalah dua hal yang terpilin dan sama-sama berdebu. Dengan apa dan bagaimana ia memanggil, apa saja yang masih bisa dipanggil, apa saja yang masih bisa tapi tidak ingin ia panggil, untuk apa, dan bagaimana mengisahkannya, adalah sederet hal yang penuh dengan kerumitan masing-masing. Ia lalu lebih sering diam. Diam, kemudian menjadi sebuah tenggang yang sangat bermakna, sebuah jeda yang sesungguhnya tegang. Bagiku sendiri, mendengarkannya, juga tidak kurang bermasalah. Jarak psikologi yang jauh, tafsir yang berkerumun, bahasa yang kabur, strategi bercerita yang sering menimbulkan tanda tanya: apakah ia sedang melakukan sebuah strategi tertentu untuk menghadapi masa lalunya, ataukah karena ia sedang berhadapan dengan orang-orang di luar dirinya? Di awal percakapan, kalimat yang lebih banyak muncul adalah, ”Saya sudah tidak mampu lagi mengingat”. Kalimat itu terus menimbulkan tanda tanya di kepalaku. Apakah kalimat itu berarti bahwa ia memang benar-benar tidak mampu mengingat, ataukah karena ia tidak mau menceritakan satu kejadian karena takut risiko tertentu, ataukah karena sebetulnya bukan itu yang ingin ia ceritakan. Lalu aku tepis seluruh syak yang muncul. Dengan sabar aku menunggu sulur-sulur cerita yang keluar dari rekahan waktu yang gelap dan dalam. Tugasku adalah belajar untuk diam, mendengarkan, menyimak, lalu menyodorkan ke hadapan orang banyak tentang suara yang lirih. Ada suara yang mungkin dari dulu hanya dianggap dengungan, sayup dan lamat-lamat. Dan banyak telinga sudah diproteksi, siap menyeleksi apa saja yang boleh didengar, dan apa saja yang tidak boleh didengar. Tapi suara-suara seperti ini tidak akan bisa ditahan, karena sudah banyak yang mulai bersuara dan sudah banyak yang mulai mau mendengar. Rekahan waktu lambat laun mulai mengeluarkan sulurnya dari wilayah yang paling gelap. Suara lirih mulai terdengar. Dan suara seperti ini akan membuat perhitungan sendiri. >diaC< Hampir semua hal yang mengelilinginya terlihat muram. Sepasang mataku butuh waktu yang agak lama untuk menyesuaikan dari terik yang memanggang di luar, dengan cahaya lamat yang ada di dalam rumahnya. Ruangan ini berisi seperabot kursi-meja yang sudah tua dan tidak jelas warnanya, sebuah tempat tidur yang tergeletak di lantai, dan hanya ada dua hiasan yang menempel di dinding: potret seorang laki-laki, dan sebuah lukisan kaca. Seluruh warna yang ada di dirinya adalah warna yang luntur dan kusam, seperti warna jarik dan kebaya yang dikenakannya. Mata yang menyempit, berkaca sekaligus berkapur. Suara yang groyok, kadang lirih, kadang membesar tanpa irama. Juga tubuh yang gampang gemetar, tubuh yang jauh lebih tua dari usianya yang sesungguhnya. Apalagi, kalau bukan karena penderitaan? Tapi, ia terlihat cukup tenang. Memperhatikan baik-baik ketika dua temanku mempersiapkan alat rekam audiovisual. Mengeluarkan sendiri tiga gelas teh dan satu gelas air putih. ”Pagi itu, saya masih belum selesai menyapu halaman rumah….” Ia diam. Kembali matanya temlawung jauh. Seekor cicak menjerit dan jatuh tidak jauh dari tempatnya duduk, disusul oleh seekor yang lain, lalu mereka segera melesat pergi. Beberapa ekor ayam muncul di pintu, lalu juga pergi dengan meninggalkan suara kokok yang terus bergema. Suara lalu lintas dari jalan raya yang tidak jauh dari rumah ini mencoba mengingatkan bahwa hanya di sini, sepi itu begitu menjadi-jadi. ”Mereka sudah datang. Saya sudah tahu apa maksud kedatangan mereka. Lalu saya bilang: Pak, saya ini seorang guru. Beri saya kesempatan untuk pamitan dulu ke murid-murid saya…. ”Tanpa menunggu jawaban mereka, saya pergi mandi, berdandan, lalu keluar rumah menuju ke tempatku mengajar. Rombongan itu mengikuti dari belakang. ”Sesampai di sekolah, saya langsung masuk ke kelas: Anak-anak, hari ini Ibu akan rapat dengan bapak-bapak tentara. Rapatnya mungkin akan lama. Nanti, kalau ada guru lain yang menggantikan, belajarlah dengan baik, dan jangan nakal. ”Satu per satu, saya menciumi wajah murid-murid. Lalu ketika keluar menemui rombongan tentara, salah seorang berkata: Ke kantor kecamatan!” Kembali ia diam. Seorang pedagang es melintas di jalan depan rumahnya, diikuti suara anak-anak yang menyanyikan lagu Peterpan. Sesekali aku menengok ke arah pintu, mencari cara agar mataku tidak silau karena cahaya di luar begitu tajam hinggap di pandanganku. ”Saya benar-benar tidak tahu, Mbak, apa salah saya. Saya ini dari kecil miskin, hanya anak seorang janda. Waktu saya kecil, saya hanya ingin menjadi guru. Ya karena melihat guru-guru saya. Rasanya kok hidup saya bisa berguna kalau saya menjadi guru. Lalu saya sekolah di Sekolah Guru Taman Kanak-kanak di Yogya. Lulus sekolah, ya saya langsung mengajar TK di kampung saya. Di luar kegiatan mengajar, saya aktif di organisasi itu. Saya juga tidak mengerti, mengapa orang-orang sering menganggap organisasi itu jahat. Wong saya tahunya, di organisasi itu kami diajari untuk ikut mendamaikan suami-istri yang tidak akur. Kami diajari bahwa laki-laki dan perempuan itu sama, tidak ada yang lebih tinggi dan lebih rendah, makanya tidak adil kalau seorang suami beristrikan lebih dari satu orang. Kami juga diajari bahwa tidak benar kalau istri itu seperti suwarga nunut, neraka katut.” Seorang anak kecil tiba-tiba menangis di depan rumah. Ia dengan segera keluar, lalu mencoba mendiamkan si bocah, memanggil-manggil nama seorang perempuan yang kupikir adalah ibu si bocah. Tangisan itu menjauh, si bocah digendong ibunya. Ibu itu masuk kembali ke dalam rumah, kembali duduk di sampingku, dan mataku kembali silau karena cahaya yang masuk dari arah pintu. ”Maaf, ya… sampai mana tadi?” ”Sampai menuju ke kantor kecamatan, Bu….” ”Sampai ke suwarga nunut, neraka katut, Bu….” Kedua temanku mengeluarkan kalimat yang berbeda, dan aku tidak tahu mana yang tepat. ”Ya…. Di depan kantor kecamatan sudah berderet orang yang menunggu pemeriksaan. Ketika tiba giliran saya diperiksa, saya ditanya pertanyaan-pertanyaan yang saya tidak tahu. Ya saya jawab kalau saya tidak tahu, wong saya memang tidak tahu. Lalu saya disuruh pulang dan tidak boleh mengajar lagi, dan tidak boleh pergi-pergi dari kampung. Saya sedih sekali. Tapi saya juga lega karena tidak dibawa pergi seperti yang lain-lain. Saya mengira bahwa saya selamat, Mbak…. Tapi…, ternyata tidak….” Tiba-tiba suara ibu itu mengecil, mirip suara kanak-kanak. Tubuh tuanya gemetar, matanya semakin berkeruh, dengan nada yang seperti berteriak, namun lirih, ia berkata, ”Dua tahun kemudian, saya diambil lagi….” Ibu itu lalu menyandarkan tubuhnya di sandaran kursi. Tiba-tiba di luar mendung. Mataku selamat dari rasa silau. ”Yang kedua itu, saya tidak diberi kesempatan untuk mandi apalagi berdandan. Saya langsung diangkut begitu saja. Saya dibawa ke pabrik tebu. Saya baru masuk saja, sudah dikerumuni orang untuk meludahi saya ramai-ramai sambil mengumpati saya dengan kata-kata yang tidak senonoh…. ”Lalu saya diseret beberapa orang menuju ke sebuah kamar. Sesampai di kamar, tanpa basa-basi, saya ditelanjangi…. Saya menyebut nama Tuhan keras-keras supaya mereka eling bahwa ada Tuhan. Tapi tidak ada yang menggubris. Saya memohon berkali-kali, tapi saya tetap ditelanjangi….” Aku melirik ke arah dua temanku yang lain. Sepasang mata Mirna mulai memerah dan Andre sudah mulai mencari-cari rokok di sakunya. ”Saya lalu menyahut bantal untuk menutupi kemaluan saya. Lalu orang-orang itu pergi, tinggal satu orang yang sepertinya pemimpin mereka. Ia menutup pintu kamar. Lalu membuka celananya…. Saya menjerit waktu melihat kemaluannya yang membesar. Ia mendekati saya. Saya memohon ampun berkali-kali. Saya bilang: Pak, saya ini belum bersuami, saya orang miskin dan tidak punya apa-apa. Kalau Bapak punya istri, ingatlah istri Bapak, kalau Bapak punya anak perempuan, ingatlah anak perempuan Bapak…. ”Eh…, setelah saya bilang seperti itu, kemaluan bapak itu mengkeret, Mbak. Tapi dia tetap mendekati saya, lalu… mengencingi saya….” Ibu itu terdiam. Aku tidak tahu apakah ia menangis atau tidak. Sepasang matanya dari pertama kulihat sudah seperti selalu berair. Hanya warna suaranya semakin lama semakin mengecil, membuatku harus terus mewaspadai alat rekam yang kuletakkan di sebelah atas kebayanya, di dekat leher. Sepintas aku melihat mata Mirna sudah berair, sedangkan Andre hanya menggigit-gigit sebatang rokok tanpa pernah menyalakannya. ”Tiga hari saya tidak diberi makan dan tidak boleh ke kamar mandi. Tubuh saya penuh dengan kutu.” Lagi-lagi, Ibu itu diam. Aku menawarinya minum, dan mengambilkan segelas air putih di meja. ”Maturnuwun, Mas…. ”Saya satu-satunya perempuan yang ditahan di pabrik tebu itu. Pabrik itu dipisahkan oleh jalan raya. Saya tidur di sebelah utara, lalu kalau diperiksa, saya dibawa ke sebelah selatan, menyeberangi jalan raya. Nanti kalau Mbak dan Mas ada waktu, saya tunjukkan tempatnya. ”Setiap hari saya disiksa. Saya diberi pertanyaan yang sama, yang saya benar-benar tidak tahu harus menjawab apa. Kalau tidak dijawab, muka saya dipukuli pakai sepatu. Kalau saya jawab, saya juga dipukuli pakai sepatu. Muka saya sampai bengkak-bengkak penuh darah. Semua serba salah. Kalau ditanya dan saya melihat mata yang bertanya, saya juga dipukuli, padahal maksud saya menghormati orang yang bertanya, tapi katanya saya dianggap menentang. Tapi, kalau tidak saya lihat matanya, saya juga dipukuli. Saya ini manusia, kok diperlakukan seperti itu, apa ya layak…. ”Pernah juga saya dibawa keluar dari tempat itu, ke kantor polisi. Dulu, rambut saya itu panjang, hampir sampai lutut. Di kantor polisi itu, saya juga dipukuli. Lalu ada yang membawa gunting terus kras-kres-kras-kres, mengguntingi rambut saya. Waktu saya mau dibawa pulang ke pabrik tebu lagi, saya minta rambut saya. Eh, polisi yang menggunting itu bilang: Tidak, itu untuk istriku! ”Kok tidak malu, mereka itu. Menyiksa perempuan yang tidak tahu apa salahnya, memperlakukan saya seperti bukan manusia, kok masih mau menghadiahkan rambut saya untuk istrinya….” Andre mengambil minuman di meja. Dengan segera Ibu itu mempersilakan kami untuk minum. Kami meminum minuman hangat yang telah dingin. ”Suatu kali, saya disuruh masuk ke sebuah ruangan yang penuh dengan tahanan laki-laki. Tahanan-tahanan itu begitu saya datang langsung disuruh memeluk dan menciumi saya. Yang tidak mau dipukuli. Dan itu semua dipotret cekrak-cekrek, Mbak. Lalu petugas-petugas yang ada di situ menyoraki sambil meneriaki dengan kata-kata yang tidak senonoh. Setelah itu….” Ibu itu terdiam lagi. Kedua tangannya semakin terlihat gemetar. Kami bertiga menunggu. ”Setelah itu… para tahanan laki-laki itu disuruh membuka celana mereka. Lalu….” Ibu itu suaranya mengecil, semakin lirih penuh dengan tekanan. Mirna memberi isyarat kepadaku untuk mengambilkan minuman. Hampir saja aku mengambilkan minuman ketika Si Ibu meneruskan kelimatnya, ”Saya disuruh menciumi kemaluan merekaaaa!” Gelas yang sudah kupegang hampir jatuh. Tubuh Si Ibu terguncang. Sepasang mata Mirna bobol, wajahnya yang putih segera memerah. Andre membuang muka. ”Sebelum melakukan itu, saya minta waktu untuk berdoa. Petugas-petugas itu malah tertawa. Lalu saya menciumi kemaluan tahanan-tahanan itu satu per satu, dan itu dipotret, Mbak. Dipotret, cekrak-cekrek-cekrak-cekrek! Para tahanan itu juga menangis…. Kok ada yang dinistakan seperti ini….” Semua diam. Gerimis turun di luar. Di dalam ruangan lembap ini, hanya terdengar isak Mirna yang tertahan. Sepasang mata ibu itu kembali melihat ke arah pintu dan berkata, ”Dan rupanya itu belum cukup…. Sebelum saya memakai pakaian, semua petugas beramai-ramai memelintir puting payudara saya. Saya menjerit, teriak kesakitan dan tidak didengarkan. Selesai kejadian itu, saya langsung menstruasi empat bulan tanpa pernah berhenti….” Ibu itu kembali diam. Saya mengulurkan gelas air minumnya. Ia minum dengan pelan. Lalu menghirup napas agak panjang, ”Sampai sekarang hanya satu yang saya tunggu, janji Tuhan tentang keadilan. Saya tidak apa-apa menunggu sampai hari pembalasan yang dilakukan oleh Tuhan. Saya ingin tahu, seperti apa itu, dan apa yang akan dilakukan Tuhan pada orang-orang itu….” Ruangan hening. Tintrim. Tidak ada suara apa pun sampai beberapa saat setelah Si Ibu mengucapkan kalimat itu. Tidak ada suara cicak, tidak terdengar suara lalu lintas yang menderu di luar sana, isak Mirna pun lenyap. Tiba-tiba seorang perempuan menyembulkan mukanya di pintu. Ibu itu bangkit lalu keluar. Sepintas yang sempat kudengar, Si Tamu memberi tahu bahwa ada tetangga mereka yang meninggal dunia. Ibu itu masuk sambil berkata, ”Mbak, Mas, saya harus ke tempat kesripahan. Ada tetangga yang meninggal dunia.” Kami mengiyakan. Mirna lalu mendekati Si Ibu, berbincang pelan, mungkin memastikan jadwal, kapan kami bisa kembali lagi. Andre merapikan alat- alat audiovisualnya, semen- tara aku keluar rumah mencari taksi. Hari masih gerimis. Di dalam taksi, kami bertiga menelepon ibu kami masing-masing. Ketika ibuku menyapa, aku bahkan tidak tahu harus berkata apa, dan hanya bisa bertanya, ”Ibu baik-baik saja?”
""Retakan Kisah""
Selalu. Setiap pagi. Setiap Gustaf berangkat kerja dan terjebak rutin kemacetan perempatan jalan menjelang kantornya, ia selalu melihat bocah itu tengah bermain-main di kolong jalan layang. Kadang berloncatan, seperti menjolok sesuatu. Kadang hanya merunduk jongkok memandangi trotoar, seolah ada yang perlahan tumbuh dari celah conblock. Karena kaca mobil yang selalu tertutup rapat, Gustaf tak tak bisa mendengarkan teriakan-teriakan bocah itu, saat dia mengibaskan kedua tangannya bagai menghalau sesuatu yang beterbangan. Gustaf hanya melihat mulut bocah itu seperti berteriak dan tertawa-tawa. Kadang Gustaf ingin menurunkan kaca mobil, agar ia bisa mendengar apa yang diteriakkan bocah itu. Tapi Gustaf malas menghadapi puluhan pengemis yang pasti akan menyerbu begitu kaca mobilnya terbuka. Maka Gustaf hanya memandangi bocah itu dari dalam mobilnya yang merayap pelan dalam kemacetan. Usianya paling 12 tahunan. Rambutnya kusam kecoklatan karena panas matahari. Selalu bercelana pendek kucel. Berkoreng di lutut kirinya. Dia tak banyak beda dengan para anak jalanan yang sepertinya dari hari ke hari makin banyak saja jumlahnya. Hanya saja Gustaf sering merasa ada yang berbeda dari bocah itu. Dan itu kian Gustaf rasakan setiap kali bersitatap dengannya. Seperti ada cahaya yang perlahan berkeredapan dalam mata bocah itu. Sering Gustaf memperlambat laju mobilnya, agar ia bisa berlama-lama menatap sepasang mata itu. Memandang mata itu, Gustaf seperti menjenguk sebuah dunia yang menyegarkan. Hingga ia merasa segala di sekeliling bocah itu perlahan-lahan berubah. Tiang listrik dan lampu jalan menjelma menjadi barisan pepohonan rindang. Tak ada keruwetan, karena jalanan telah menjadi sungai dengan gemericik air di sela bebatuan hitam. Jembatan penyeberangan di atas sana menjelma titian bambu yang menghubungkan gedung-gedung yang telah berubah perbukitan hijau. Dari retakan trotoar perlahan tumbuh bunga mawar, akar dedaunan hijau merambat melilit tiang lampu dan pagar pembatas jalan, kerakap tumbuh di dinding penyangga jalan tol. Gustaf terkejut ketika tiba-tiba ia melihat seekor bangau bertengger di atas kotak pos yang kini tampak seperti terbuat dari gula-gula. Air yang jernih dan bening mengalir perlahan, seakan-akan ada mata air yang muncul dari dalam selokan. Kicau burung terdengar dari pohon jambu berbuah lebat yang bagai dicangkok di tiang traffic light. Gustaf terpesona menyaksikan itu semua. Ia menurunkan kaca mobilnya, menghirup lembab angin yang berembus lembut dari pegunungan. Tapi pada saat itulah ia terkejut oleh bising pekikan klakson mobil-mobil di belakangnya. Beberapa pengendara sepeda motor yang menyalip lewat trotoar melotot ke arahnya. Seorang polisi lalu lintas bergegas mendekatinya. Buru-buru Gustaf menghidupkan mobilnya dan melaju. Gustaf jadi selalu terkenang mata bocah itu. Ia tak pernah menyangka betapa di dunia ini ada mata yang begitu indah. Sejak kecil Gustaf suka pada mata. Itu sebabnya ketika kanak-kanak ia menyukai boneka. Ia menyukai bermacam warna dan bentuk mata boneka-boneka koleksinya. Ia suka menatapnya berlama-lama. Dan itu rupanya membuat Mama cemas—waktu itu Mama takut ia akan jadi homoseks seperti Oom Ridwan, yang kata Mama, sewaktu kanak-kanak juga menyukai boneka—lantas segera membawanya ke psikolog. Berminggu-minggu mengikuti terapi, ia selalu disuruh menggambar. Dan ia selalu menggambar mata. Sering ia menggambar mata yang bagai liang hitam. Sesekali ia menggambar bunga mawar tumbuh dari dalam mata itu; mata dengan sebilah pisau yang menancap; atau binatang-binatang yang berloncatan dari dalam mata berwarna hijau toska. Ia senang ketika Oma memuji gambar-gambarnya itu. Oma seperti bisa memahami apa yang ia rasakan. Ia ingat perkataan Oma, saat ia berusia tujuh tahun, ”Mata itu seperti jendela hati. Kamu bisa menjenguk perasaan seseorang lewat matanya….” Sejak itu Gustaf suka memandang mata setiap orang yang dijumpainya. Tapi Papa kerap menghardik, ”Tak sopan menatap mata orang seperti itu!” Papa menyuruhnya agar selalu menundukkan pandang bila berbicara dengan seseorang. Saat remaja ia tak lagi menyukai boneka, tapi ia suka diam-diam memperhatikan mata orang-orang yang dijumpainya. Kadang—tanpa sadar_ia sering mendapati dirinya tengah memandangi mata seseorang cukup lama, hingga orang itu merasa risi dan cepat-cepat menyingkir. Setiap menatap mata seseorang, Gustaf seperti melihat bermacam keajaiban yang tak terduga. Kadang ia melihat api berkobar dalam mata itu. Kadang ia melihat ribuan kelelawar terbang berhamburan. Sering pula ia melihat lelehan tomat merembes dari sudut mata seseorang yang tengah dipandanginya. Atau dalam mata itu ada bangkai bayi yang terapung-apung, pecahan kaca yang menancap di kornea, kawat berduri yang terjulur panjang, padang gersang ilalang, pusaran kabut kelabu dengan kesedihan dan kesepian yang menggantung. Di mana-mana Gustaf hanya melihat mata yang keruh menanggung beban hidup. Mata yang penuh kemarahan. Mata yang berkilat licik. Mata yang tertutup jelaga kebencian. Karena itu, Gustaf jadi begitu terkesan dengan sepasang mata bocah itu. Rasanya, itulah mata paling indah yang pernah Gustaf tatap. Begitu bening begitu jernih. Mata yang mungil tapi bagai menyimpan dunia. Alangkah menyenangkan bila memiliki mata seperti itu. Mata itu membuat dunia jadi terlihat berbeda. Barangkali seperti mata burung seriwang yang bisa menangkap lebih banyak warna. Setiap kali terkenang mata itu, setiap kali itu pula Gustaf kian ingin memilikinya. Sembari menikmati secangkir cappucino di coffee shop sebuah mal, Gustaf memperhatikan mata orang-orang yang lalu lalang. Mungkin ia akan menemukan mata yang indah, seperti mata bocah itu. Tapi Gustaf tak menemukan mata seperti itu. Membuat Gustaf berpikir, bisa jadi mata bocah itu memang satu-satunya mata paling indah di dunia. Dan ia makin ingin memiliki mata itu. Agar ia bisa memandang semua yang kini dilihatnya dengan berbeda…. Gustaf kini bisa mengerti, kenapa bocah itu terlihat selalu berlarian riang—karena ia tengah berlarian mengejar capung yang hanya bisa dilihat matanya. Bocah itu sering berloncatan—sebab itu tengah menjoloki buah jambu yang terlihat begitu segar di matanya. Mata bocah itu pastilah melihat sekawanan burung gelatik terbang merendah bagai hendak hinggap kepalanya, hingga ia mengibas-kibaskan tangan menghalau agar burung-burung itu kembali terbang. Ketika berjongkok, pastilah bocah itu sedang begitu senang memandangi seekor kumbang tanah yang muncul dari celah conblock. Semua itu hanya mungkin, karena mata mungil indah bocah itu bisa melihat dunia yang berbeda. Atau karena mata mungil itu memang menyimpan sebuah dunia. Tentulah menyenangkan bila punya mata seperti itu, batin Gustaf. Apa yang kini ia pandangi akan terlihat beda. Ice cream di tangan anak kecil itu mungkin akan meleleh menjadi madu. Pita gadis yang digandeng ibunya itu akan menjadi bunga lilly. Di lengkung selendang sutra yang dikenakan manequin di etalase itu akan terlihat kepompong mungil yang bergeletaran pelan ketika perlahan-lahan retak terbuka dan muncul seekor kupu-kupu. Seekor kepik bersayap merah berbintik hitam tampak merayap di atas meja. Eceng gondok tumbuh di lantai yang digenangi air bening. Elevator itu menjadi tangga yang menuju rumah pohon di mana anak-anak berebutan ingin menaikinya. Ada rimpang menjalar di kaki-kaki kursi, bambu apus tumbuh di dekat pakaian yang dipajang. Cahaya jadi terlihat seperti sulur-sulur benang berjuntaian…. Betapa menyenangkan bila ia bisa menyaksikan itu semua karena ia memiliki mata bocah itu. Bila ia bisa memiliki mata itu, ia akan bisa melihat segalanya dengan berbeda sekaligus akan memiliki mata paling indah di dunia! Mungkin ia bisa menemui orang tua bocah itu baik-baik, menawarinya segepok uang agar mereka mau mendonorkan mata bocah itu buatnya. Atau ia bisa saja merayu bocah itu dengan sekotak cokelat. Apa pun akan Gustaf lakukan agar ia bisa memiliki mata itu. Bila perlu ia menculiknya. Terlalu banyak anak jalanan berkeliaran, dan pastilah tak seorang pun yang peduli bila salah satu dari mereka hilang. Gustaf tersenyum. Ia sering mendengar cerita soal operasi ganti mata. Ia tinggal datang ke Medical Eyes Centre untuk mengganti matanya dengan mata bocah itu! Gustaf hanya perlu menghilang sekitar dua bulan untuk menjalani operasi dan perawatan penggantian matanya. Ia ingin ketika ia muncul kembali, semuanya sudah tampak sempurna. Tentu lebih menyenangkan bila tak seorang pun tahu kalau aku baru saja ganti mata, pikirnya. Orang-orang pasti akan terpesona begitu memandangi matanya. Semua orang akan memujinya memiliki mata paling indah yang bagai menyimpan dunia. Pagi ketika Gustaf berangkat kerja dan terjebak rutin kemacetan perempatan jalan menjelang kantornya, ia melihat seorang bocah duduk bersimpuh di trotoar dengan tangan terjulur ke arah jalan. Kedua mata bocah itu kosong buta! Gustaf hanya memandangi bocah itu. Ia ingin membuka jendela, dan melemparkan recehan, tapi segera ia urungkan karena merasa percuma. Ia melangkah melewati lobby perkantoran dengan langkah penuh kegembiraan ketika melihat setiap orang memandang ke arahnya. Beberapa orang malah terlihat melotot tak percaya. Gustaf yakin mereka kagum pada sepasang matanya. Gustaf terkesima memandang sekelilingnya…. Dengan gaya anggun Gustaf menuju lift. Begitu lift itu tertutup, seorang perempuan yang tadi gemetaran memandangi Gustaf terlihat menghela napas, sambil berbicara kepada temannya. ”Kamu lihat mata tadi?” ”Ya.” ”Persis mata iblis!” Jakarta, 2006
""Mata Mungil yang Menyimpan Dunia""
Setiap hari lelaki itu berbaring di ranjang, makan di ranjang, baca koran di ranjang, apa pun di ranjang. Setiap hari pula seorang perawat yang rajin datang memberi layanan kemanusiaan: menata kamarnya, menyeka tubuhnya, mengantar sarapan, meletakkan selembar koran. Di pengujung musim rontok itu ketika angin laut yang dingin berembus menembus tingkap-tingkap jendela, datang perawat baru—seorang pemuda yang ramah dan belum pernah dikenalnya. Pasti bukan sekadar basa-basi bila si pemuda mencoba tanya ini-itu tentang kesehatannya, asal kota tempat tinggalnya, pekerjaannya, dan beberapa hal yang ingin diketahuinya sebagai perawat baru di sanatorium kaum penderita cacat itu. Sambil tak lupa mengingat-ingat ajaran Zuster Kepala dalam kursus singkat beberapa waktu sebelumnya, ia ingin menjalin keakraban ketika memperkenalkan diri, justru pada hari pertama masa dinas sipilnya. Seperti ia lakukan pada penghuni kamar-kamar lainnya, ia memberi salam, membuka percakapan dengan maksud merebut hati lelaki itu agar dirinya dihargai sebagai perawat yang berwibawa dan tidak diremehken kecakapannya. Dengan takzimnya, ia menyapa, ”Selamat pagi, Meneer.” ”Pagi!” lelaki itu menjawab singkat dengan suara berat tanpa beranjak dari ranjang. Si pemuda merasa kurang dihiraukan dan tak ingin diperlakukan begitu dingin pada hari-hari berikutnya. ”Sekali Anda membiarkannya, seterusnya akan diremehkan,” pesan Zuster Kepala kepada setiap perawat baru yang ditempatkan di bawah pengawasannya. Sejumlah pasien lain di kamar-kamar lain yang ia layani di sanatorium itu selalu menyambut salamnya dengan santun, lalu bangun, dan segera bangkit untuk berbenah diri menjelang jam sarapan. Tetapi, tidak demikian halnya dengan lelaki itu. Dan ia teringat nasihat Zuster Kepala agar tak membiarkan pasien bermalas-malas. Namun, tata tertib yang berlaku harus ditaatinya: ia tak diperbolehkan bersikap kasar, apalagi gusar, meskipun ada pasien yang rewel dan malas bangun pagi sebelum jam sarapan. Ia lantas coba mengajaknya berbicara sambil membenahi tempat sampah di pojok kamarnya. ”Musim rontok hampir berakhir Meneer, angin laut masih terus berembus dengan kencang, tetapi tiap pagi jendela mesti dibuka supaya udara di kamar menjadi segar.” >1<”Ya,” jawab lelaki itu, masih saja tidur membujur dengan muka menghadap ke atap. Si perawat muda merasa tak cukup puas dengan sikap lelaki itu lantas coba mendesaknya, ”Pagi sekali saya sudah harus bangun, menggenjot sepeda dari rumah, empat kilometer jauhnya. Sampai di sini Anda masih enak-enakan meringkuk di bawah selimut. Ayo bangun, Meneer!” ”Ya,” mulut lelaki itu menyahut, tetapi tak sedikit pun membuka selimutnya. Karena ruangan dalam kamar agak gelap lantaran gorden jendela belum dibuka, pemuda itu menyalakan lampu, menatap wajah si lelaki yang terlihat pucat di bawah sinar lampu kamar yang mendadak menyilaukan matanya. ”Sebenarnya ini bukan lapangan kerja yang cocok buat saya, Meneer. Tetapi, apa boleh buat, saya terpaksa melakukannya,” kata si pemuda. ”Ya,” sahut lelaki itu singkat. ”Kalau tidak, saya akan dipaksa menjalani dinas wajib militer.” ”Hhmm,” lelaki itu mulai beringsut dari balik selimut seakan-akan menaruh perhatian untuk menuruti perintahnya. ”Coba, Anda renungkan,” kata perawatnya, ”…perang dingin sudah berakhir, Pakta Warsawa sudah lama bubar dan kita hidup di zaman damai, tidak memerlukan rekrut serdadu baru. Lantas buat apa orang dipaksa menjalani wajib dinas militer? Cukup dilakukan oleh mereka yang sudah profi saja, bukan?” >d 1<”Mmmm,” lelaki itu mengerinyutkan muka, mungkin tak senang mendengar obrolan seorang anak muda yang merasa sok tahu dan lebih tahu daripada dirinya. Kendati bukan jawaban yang memuaskan, si pemuda terus saja mengobrol, lebih banyak tentang kisah dan keluh kesahnya sendiri sambil menata meja untuk menyiapkan sarapan setelah membenahi kamar lelaki itu. ”Delapan belas bulan saya harus melayani Anda di sini! Ini dinas sipil, gajinya kecil Meneer, tetapi bagi saya lebih manusiawi daripada jadi tentara!” ”Ya….” ”Nah, bayangkanlah, saya akan kehilangan satu setengah tahun. Saya terpaksa menunda studi saya di universitas!” bual pemuda itu semata-mata bermaksud mengangkat derajat dirinya sendiri sebagai pemuda yang berpendidikan dan bukan perawat yang sembarangan. ”Yaaa….” ”Anda tahu sekarang, kenapa saya berada di sini, kerja kasar seperti ini. Sebabnya, saya menentang perang dan menolak dinas wajib militer karena keyakinan agama saya.” Lama ditunggunya reaksi lelaki itu atas kalimat-kalimat yang terus saja mengalir lewat bibirnya. Tetapi, tak ada juga tanggapan yang didengarnya, kecuali ya, ya, dan ya yang sangat menjemukan. Maka, dilontarkannya pertanyaan, ”Mungkin Anda pun pernah menjalani dinas militer?” ”Ya.” ”Ya? Tetapi, sebagai profesi, bukan?” terka si pemuda sambil menaksir usia lelaki itu: sekitar empat puluh. ”Ya.” ”Itu lain dengan wajib dinas militer seperti yang saya maksudkan.” ”Mmmm.” Jawaban yang meragukan tentu saja. Dan ia mendapat kesan, lelaki itu tidak tuna telinga seperti ia duga dan dengan jelas dapat menangkap pembicaraan orang, tetapi ada kesulitan dalam hal bercakap-cakap. Ia lantas mengira lelaki itu pernah mengalami stroke dan sekarang sedang dalam proses penyembuhan. Aku bisa terus mengobrol tanpa mengharapkan jawaban dari dia, pikirnya. ”Perang memang mengerikan, Meneer. Saya tak tahu, Anda pernah berdinas di mana, dalam satuan apa. Tetapi, perang selalu berarti membunuh atau dibunuh. Itu saya tidak bisa. Membunuh lalat saja saya tidak tega. Tragisnya, perang masih juga terjadi sesudah Pakta Warsawa bubar. Di Serbia, Bosnia, Kroasia, Irak, misalnya….” ”Mmmm.” Suara lelaki itu terdengar datar, hanya seperti gumam dan tetap tidak tanggap pada segala omongannya. Pemuda itu lantas benar-benar yakin lelaki itu belum mampu berbicara secara normal setelah mengalami stroke sebelum dirawat di sanatorium. Ia agak kecewa mengapa Zuster Kepala tidak memberi informasi tentang diri lelaki yang satu ini. Segera ia memalingkan muka dan mulai sibuk mengelap meja, memindahkan piring dan cangkir kotor bekas sajian makan kemarin malam ke atas nampan. Seekor lalat hijau yang kebingungan lantaran tersekap sepanjang malam di kamar itu tiba-tiba terbang melesat sangat cepat, mendesing di sekeliling lampu. Ia mengejarnya hingga ke setiap penjuru kamar, tidak untuk membunuhnya, melainkan menangkapnya untuk dilempar keluar. Tetapi, akhirnya ia gagal menemukannya. Ia lantas beranjak ke jendela, tangannya merenggut-renggut sejalur tali yang menjulur di dekat kepala lelaki itu hingga gorden jendela tergeser ke satu sisi. Hati-hati dibukanya kedua daun jendela, matanya nanar mengedari seluruh ruangan, tetapi si lalat sudah minggat dan ia tak tahu binatang itu bersembunyi di mana. ”Anda tentu bisa melakukannya sendiri,” ujarnya. ”Tiap pagi jendela perlu dibuka supaya ada pergantian udara di kamar Anda. Tidak terlalu sukar, bukan? Cukup sambil berbaring saja.” ”Ya.” ”Terima kasih, Meneer! Lakukanlah mulai esok, buka jendela setiap pagi demi kesehatan Anda sendiri. Cukup beberapa menit saja, lalu ditutup lagi bila udara dingin.” ”Ya.” ”Ayo Meneer, bangun! Saya harus menyeka tubuh Anda, lantas mengganti seprai,” desak si pemuda yang mulai kehilangan kesabaran. ”Ya.” Akhirnya berhasil juga perawat muda itu menyuruhnya bangun. Lelaki itu buru-buru mengangkat selimut dan beringsut, lalu duduk dengan kaki ongkang-ongkang di pinggiran ranjang. Si perawat mendadak terkesiap ketika matanya menatap kedua tangan lelaki itu. Ia merasa diguncang perasaan iba yang menggetarkan dadanya. Belum pernah ia melihat seorang manusia tanpa telapak tangan. Kedua ujung lengan lelaki itu tampak bulat dan mengilat dengan goresan-goresan bekas jahitan. Naluri kemanusiaan tiba-tiba memaksa si pemuda membatalkan sederet pertanyaan dalam hatinya: apa yang terjadi pada kedua telapak tangannya, kapan itu terjadi, di mana? Ia tahu bekas-bekas jahitan itu telah menjawab sendiri: bukan pembawaan sejak lelaki itu dilahirkan. Namun, pemandangan apa pun yang membuat hatinya kecut mendenyut-denyut, si perawat segera menyadari bahwa tugasnya harus segera diselesaikan. Diletakkannya sebuah ember berisi air hangat yang sudah disiapkannya di kamar mandi. Lantas memeras handuk yang berada dalam rendaman. Sambil menyeka muka dan dada lelaki itu, ia mulai bicara lagi, ”Meneer, saya rada neuwsgierig sebenarnya, apakah Anda pernah berdinas di Bosnia?” ”Ya.” ”Ya? Saya sendiri menentang perang, Meneer. Perang adalah cara paling gila dalam memecahkan perselisihan antarmanusia. Kakek saya tukang perang Meneer sampai akhir hayatnya masih mengharap saya berangkat ke medan perang di Maluku Selatan. Konon, tentara Ambon memang tukang perang, Meneer. Tetapi, kakek saya lupa, di zaman dia dulu, mereka berada di bawah perintah penjajah. Suku Ambon sendiri adalah pemeluk agama yang kusuk. Mereka adalah rakyat yang melarat tetapi berjiwa damai.” ”Ya.” ”Saya menentang perang Meneer, apalagi melawan bangsa sendiri. Saya ingat gambar kuburan massal yang baru kemarin dulu dibongkar di Kosovo. Delapan ribu orang Bosnia dibantai tentara Serbia! Tetapi Anda tidak berada di front Bosnia, bukan?” ”Mmmm….” ”Mereka memerkosa wanita, Meneer. Mereka bahkan melakukannya di depan suami dan anak-anak. Ribuan orang yang tidak berdosa juga dibantai. Sering kali korbannya malah bekas kawan sekolah atau sesama tetangga. Bagaimana bisa manusia sekejam itu!” ”Mmmm….” ”Saya kira bukan hanya Slobodan Milosevic yang bertanggung jawab. Sekarang dia berada dalam tahanan Mahkamah Internasional di Den Haag. Tetapi, Karazic dan Jenderal Mladic masih terus buron, belum tertangkap sampai sekarang. Pasukan Uni Eropa ikut bertanggung jawab untuk terjadinya masaker itu. Tragisnya, di Sebreniza pasukan itu justru tentara Belanda, Meneer….” ”Mmm…, ya.” ”Mereka kelewat percaya pada budi baik Karazic dan Mladic. Lantas menyerahkan nasib warga Sebreniza kepada tukang-tukang jagal itu. Delapan ribu orang Islam, Meneer! Mereka menjagalnya hanya karena perbedaan ras dan agama. Kebodohan yang keterlaluan di pihak pasukan Belanda, bukan?” ”Ahh.” Tentu saja perawat muda itu terkejut mendengar reaksi singkat dari mulut lelaki itu. Ia lantas bungkam, seperti baru sadar, lelaki itu membiarkan dirinya membual terus tanpa dijawab dengan serius kecuali dengan suara ahh yang berarti membantah. Ia lantas jadi malas untuk mengajak lelaki itu berbicara berlama-lama. Untuk itu ia sendiri tak punya cukup waktu. Beberapa jompo lainnya mesti juga didatanginya satu demi satu, kamar demi kamar. Cepat-cepat ia rampungkan menyeka tubuh lelaki itu, menukar piyamanya, dan mengganti seprai. ”Maafkan saya,” katanya sambil meletakkan koran de Telegraaf terbitan hari itu di atas ranjang. ”Saya terkadang lupa, tidak semua orang di negeri ini suka bicara tentang kekejaman. Tapi lihatlah gambar kuburan massal yang dibongkar itu di halaman dua.” Lelaki itu menatapnya sambil kembali menelentang di ranjang. Si perawat belum juga merasa puas dengan sindiran yang ia lontarkan. Dengan menenteng sekantong sampah dan nampan berisi cangkir dan piring kotor, ia melangkah keluar dari kamar. Tiba-tiba didengarnya suara pukulan-pukulan di meja. Ketika ia berpaling, dilihatnya kedua ujung lengan lelaki itu menjepit lempitan koran dan dengan cekatan memukul-mukul meja. ”Lihat ini lalat!” kata lelaki itu. ”Saya sudah membunuhnya karena Anda tidak tega melakukannya. Tidak terlalu sukar, bukan? Cukup sambil berbaring saja.” ”Oh! Saya tidak mengira Anda mampu melakukannya,” si pemuda nyengir karena merasa disindir. Ia melangkah balik ke dalam, merenggut kertas tisu dari saku, dan membersihkan bangkai lalat yang muncrat di atas meja. ”Ah, Anda tak tahu apa yang terjadi di Sebreniza,” ujar lelaki itu. ”Tiap jengkal tanah berisi ranjau, tak semuanya berhasil dijinakkan. Saya kehilangan dua tangan. Tetapi, perang perlu dilanjutkan.” ”Apa? Anda bilang apa, Meneer?” ”Perang mesti dilanjutkan! Hanya dengan perang kita bisa melawan kebiadaban. Anda kira Milosevic dan pengikutnya akan berhenti melakukan masaker tanpa dilawan dengan perang?” ”Ya, tetapi….” ”Tetapi, kerja sipil gajinya kecil, bukan? Lebih manusiawi daripada jadi tentara, kata Anda.” ”Ya.” ”Nah, tolonglah Anda ambilkan sarapan saya. Siapa sebenarnya nama Anda?” ”Patti Sahetapi Meneer, cucu tukang perang. Panggil saja Patti.” Pemuda itu melangkah keluar, mulutnya diam, tetapi menggumam dalam hati, ”Dinas sipil gajinya kecil!” ** Paran, 7206
""Cucu Tukang Perang""
Bulan, selaksa celurit menggantung di dinding, bilik-bilik kandang. Segaris cahaya menelusup, rebah di halaman. Bayang-bayang pohon siwalan memanjang. Terang, di belakang rumah serupa gubuk, tempat tinggal Madrusin, sepetak ladang rimbun ilalang pucuknya turut bergoyang diayun angin. Cericit tikus, decak cicak, krik-jangkrik, kecipak air dari padasan. Lenguh sapi menggaung, kemerisik angin menyisir pelepah janur pohon berayun, melambai menimbulkan komposisi bunyi dan gerak; saling berpaut. Serupa tarian rombongan seronen; beriringan, menuju arena kerapan sapi. Bulan sabit sepadan celurit itu kian susut, bergerak diarak angin mengantarkan lelaki yang sedang duduk di sisi lincak pada serajut pertalian kenangan manis yang tanggal. Bulan, perlahan redup, menepikan bayang. Garis-garis cahaya kian menipis di seruas jalan hingga pematang. serupa pengembara letih; tak sanggup melanjutkan perjalanannya hingga tujuan. Begitu pun, Madrusin. Tatap matanya lelap. Ia terdiam. Diam-diam arakan awan yang terus bergerak, bulan yang terus redup dan menepi mengantarkannya pada sebuah kenangan yang kadang menyakitkan. Pada Asnain, calon istrinya yang telah raib. Pada Gani, yang belum lama ini, hampir memisahkan kepala dan tubuhnya. Beruntung, Madrusin bisa mengelak, sabetan celurit Gani disebuah pematang sawah selepas lotreng[1] sapi senja hari. Ya, ketika itu, Madrusin, baru saja pulang dari lotreng kerapan sapi. Sengaja, waktu itu, ia tidak langsung menuju rumahnya. Memang tidak pulang. Ia tunggui Asnain calon istrinya yang ikut nonton lotrengan. Namun entah. Nasib tak bisa ditimang, jodoh pun tak bisa ditebak datang dan pulang. Di benaknya, terus terngiang kalimat-kalimat yang diucapkan Gani, di tempat yang sama, di pematang sawah tak jauh dari tempat tinggalnya. Gani, bersama Luki, Mail, Musdar, kala itu, tanpa sebab-musabab jelas, Gani langsung memutuskan hubungan pertunangan Asnain dan Madrusin. ”Kamu, tidak pantas jadi suami Asnain. Eppak-Embukmu[2]…” Madrusin tergagap, atas keputusan Gani. ”Bagaimana mungkin. Cobalah sedikit sopan. Hubunganku dengan Asnain. Tak ada hubungannya dengan kekalahan sapi kerapan, Paman. Hubungan kami berdua tak bisa begitu saja Paman, campuri. Kami tak ada masalah. Kok, tiba-tiba…” Gani seperti dipecundangi oleh ponakannya. ”Dulu, paman, merebut dan merampas tanah dari Eppak-Embuk, yang sudah jelas-jelas oleh kae[3] diwariskan kepada, eppak-embuk. Dan sekarang, Paman, mau merampas hak kami, mencintai dan dicintai. Kalau, Paman, kecewa kepada eppak-embuk. Kenapa mesti dihubung-hubungkan dengan hubungan kami berdua, yang tidak bersalah apa-apa?!” Beberapa kanca Gani, hanya bergidik menyaksikan pertengkaran dua lelaki sefamili itu. ”Lancang benar mulutmu.” Gani mengeluarkan sebilah celurit dari balik pinggang yang sungging, menyabitkannya ke arah perut Madrusin. Madrusin segera menghindar, tak menyia-nyiakan kesempatan, dilepaslah baju hitam Madrusin. Beruntung, beberapa kanca Gani, memegang tangan, merampas dan segera menyeret keduanya. Lalu, masing-masing dibawa pulang. ”Bilang sama eppakmu, Gani belum kalah.” Gani geram, berontak. Langit tampak lebih cerah. Madrusin pun gairah. Ia nikmati secangkir kopi, sebelum akhirnya berangkat menyabit rumput untuk pakan sapi kerapannya. Bahkan, bisa dibilang, baginya pagi tanpa kopi kurang lengkap. Entahlah, apa maksud dari semua itu. Yang jelas baginya dan bagi warga kampung kami, secangkir kopi tak ubahnya sebuah spirit untuk bekerja, menyabit rumput sebagai pakan sapi. (Tapi tidak.) Sepagi ini, Madrusin tidaklah segairah seperti hari-hari kemarin. Madrusin benar-benar gelisah. Raut wajahnya yang hitam legam seperti sedang dihinggapi sesuatu yang membuatnya tak nyaman untuk tidak terus menggerakkan jemarinya; mengusap, menggaruk. Sesekali, berjalan mengitari sekitar halaman panjang rumahnya. Terasa, sepanjang ruas jalan kampung menuju ladang, kandang dan pematang, lengang. Hijau daun-daun, ilalang bagi Madrusin, sepagi ini, tak ubahnya seperti seseorang yang hendak berkabar tentang sesuatu yang mesteri. Samar terdengar kicau burung dari sela rerimbun pelepah pohon siwalan. Madrusin terpaku, ingatannya kembali pada beberapa tempo lalu; di sela rerimbun pelepah pohon dan ilalang itu pernah tercipta sebuah tali ikat kasih asmara. Pertengkaran. Keputusan sepihak. Ya, sebuah tali ikat kasih bersama seorang gadis yang kini raib tak bisa diharap lagi untuk dirajut kembali sebagaimana dulu. Asnainkah, yang membuatnya gelisah sepagi ini? Angin pagi menyisir rambutnya yang tidak tertata, mengantarkannya pada masa kanak-kanak, bersama seorang gadis yang telah menjadi tunangannya, semenjak ia berusia sepuluh tahun. Asnain, bunga desa yang pernah menjadi calon istrinya? Kini, raib dari harap untuk dijadikan seorang istri. (sebagaimana kebanyakan orang- orang kampung kami; tunangan adalah hal pasti untuk menjadi seorang istri). Atau, Madrusin, sepagi ini gelisah lantaran pesan dari Paman Asnain, yang mesti disampaikan kepada Eppaknya; perihal kerapan sapi? Pagi yang cerah. Madrusin yang gelisah. Ia mengernyitkan dahi, mengingat pesan dari Gani, beberapa tempo lalu yang harus disampaikan kepada bapaknya: Bilang, kepada Eppakmu. Kalau Gani, belum kalah! Gani memalingkan muka. Kita bertemu beberapa bulan lagi. Siapkan sapi-sapi andalannya, kalau perlu sekalian dengan dukun-dukunnya! Kenapa Gani sekasar itu? Eppak, salah apakah Eppak? Tak puaskah ia menyakiti, eppak-embuk, aku? Madrusin duduk terpaku tak beranjak. Ya, seumur hidup baru kali ini, bapak Madrusin dipanggil untuk menemui Gani, di belakang kandang yang penuh rerimbun ilalang, tepat pada tanggal lima belas saat bulan purnama. Atau jangan-jangan Gani berkehendak menyambung kembali pertunangan kami yang telah putus? Madrusin tersenyum simpul. Tapi benarkah? Bukankah bapak ibu Madrusin dengan keluarga Gani tidak begitu rukun lantaran sengketa tanah. Hubungan Madrusin? Pertunangan Madrusin dengan Asnain yang diputus lantaran Gani kecewa perihal kekalahan sapinya. Masih dendamkah Madrusin sebagaimana peristiwa dipetang sawah hingga kedua pihak terjadi pertengkaran hebat. Terang, Gani kala itu berang. Dikeluarkannya sebilah celurit yang diselinapkan di balik pinggang yang sungging lalu disabitkan celurit yang keperakan itu hingga merunduklah serimbunan ilalang. Untunglah, Madrusin, cepat menghindar. Karuan celurit itu luput sasaran, segeralah Madrusin melepas bajunya yang berwarna hitam lalu dikibaskan ke arah tangan Gani. Baju itu menggulung celurit Gani hingga celurit lepas dari tangan Gani. Kontan Madrusin tak menyiakan kesempatan, dijemputlah celurit. Madrusin duduk terpaku di sisi lincak, apa gerangan yang membuat Gani, memanggil Eppak? Menemuinya saat bulan purnama? Bisik, Madrusin penuh tanya. Almanak di pojok dinding yang tak jauh berjejer dengan sebilah celurit lekat ditatap. Madrusin mendesis di antara kebingungannya, ingatannya menerawang pada ibunda tercinta yang mati sebab ditabrak sepasang sapi Gani, ketika hendak dikerap di lapangan Trunojoyo. Pada Asnain mantan tunangannya. Sementara, kegetiran menemui Gani lebah di antara pori-pori, menjalar pada saluran darah yang berkejaran dengan angka almanak: tanggal lima belas bulan purnama. Kapan? Madrusin seperti diburu rasa takut. Tidak. Bukannya ia takut dibunuh, tapi Madrusin khawatir ikatan kekeluargaan antara Gani dan keluarganya yang sudah tidak rukun lagi selama bertahun-tahun sejak duel, akan lebih berkepanjangan dan tak kunjung usai untuk berukun kembali sebagaimana tahun-tahun silam. Ia gugup bagaimana nanti kalau Gani, Paman Asnain akan menyambung kembali hubungannya. Ah, kenapa musti tanggal lima belas dan saat bulan purnama tiba? Bukankah tanggal lima belas adalah waktu yang tepat untuk berkumpul dengan keluarga, saling meminta maaf, mengadakan acara ritual sekeluarga? Bisik, Madrusin. Selang beberapa saat, tiba-tiba, di sela kegelisahannya, terdengar suara Imron yang fals dari luar pagar: ”Sin, cepat ditunggu kakek.” Madrusin tergagap. ”Asytaga,” desisnya. ”Waktunya sekarang?” teriak Madrusin dari dalam. ”Ya,” imbuh Imron. Tentu saja Madrusin tak ingin, Gani menunggu terlalu lama, apalagi sampai ia kecewa, meski sebenarnya ia ragu dan curiga, namun tak membuatnya menyalakan api dendamnya untuk membalas kekecewaannya kepada Gani. Madrusin segera mengambil celurit yang menggantung di dinding, lalu ia selipkan ke balik pinggangnya. Sebagaimana tradisi di kampung kami. Ia kenakan peci dan baju hitam, celana komprang berlapis sarung. Senja beringsut dari bibir awan yang menawan, langsat warnanya keemasan, orang-orang berjalan bersama, beriringan menuntun sapi, ada pula yang memasukkan anggas dan jerami ke dalam karung, di antara mereka sudah akrab dengan alam. Beberapa ekor sapi dari dalam kandang Luki melenguh. Kunang-kunang berkelabat hanya sesaat, bulan menancapkan cahayanya pada hamparan ilalang, pada batang pohon dan buah siwalan, sesaat terdengar lenguh sapi dari sebrang yang tak jauh dari sekitar. Anak-anak seusia sepuluh tahunan berjalan bersama, berjejer sepanjang jalan dengan sangat rapi tanpa ada yang memandu. Sebagian di antara mereka membawa obor, ditangan kirinya sebuah kitab didekap dan pada barisan belakang terlihat bapak ibunya mengiring mengantarnya ngaji ke langgar. Lampu teplok menyala remang, menggantung pada batang bambu atap kandang. Terlihat seorang lelaki seperti tengah menunggu sesuatu, ia duduk, tubuhnya agak bungkuk, separuh wajahnya yang keriput terkipas cahaya bulan. ”Itu, Kakek, menunggumu,” ujar Imron. Sesaat tubuh Madrusin tersentak, melihat Gani, barangkali sudah lama menunggu. Tentu ia akan marah-marah. Beribu tanya berdesak dalam benak Madrusin. ”Sebenarnya, ada apa, Ron?” ”Barangkali, ada yang perlu dibicarakan denganmu.” ”Tentang, Asnain?” ”Tidak mungkin, Asnain sudah ada yang meminang.” Mendadak, Madrusin tergagap. Sepoi angin menyisir luka masa lalunya. Ranting-ranting pohon menggantung, tak kunjung jatuh. ”Tapi, tenang, Sin. Asnain tak suka kepada tunangannya. Ia masih ingin kamu jadi suaminya,” imbuh, Imron. Mata Madrusin nanar, wajahnya berkerut, menampakkan seseorang yang sedang patah hati. Tidak, ia harus tenang. Tenang menghadapi seseorang menyebabkan hubungannya bersama Asnain putus. Pelan, Madrusin mendekati Gani, yang tengah duduk menunggu. Terbesit dalam benak Madrusin: Tanggal lima belas saat bulan purnama? Bimbang; benarkah Asnain sudah ditunangkan kembali? Bisiknya dalam hati. Ah, tidak. Madrusin, seraya meminta maaf didekatinya Gani. ”Maaf, terlambat,” suara Madrusin ramah. ”Tak apa-apa.” jawabnya. ”Ada yang perlu kubantu, Man?” ”Ya, sapi kita.” ”Ada apa dengan sapi, kita?” ”Bulan depan, tanggal lima belas akan ada pertandingan besar-besaran.” ”O, ya?” ”Kita nego, saya berharap, kau dapat membujuk Eppakmu, agar tidak mengikutkan sapinya dalam pertandingan kerapan bulan depan,” Sejenak Madrusin, bernafas lega. Diliriknya Gani yang sedang menggulung kelobot. ”O, kalau soal itu maaf, Man.” ”Memang kenapa?” ”Asnain.” desis Gani. Madrusin tergagap. ”Kenapa dengan, Asnain?” ”Taruhannya.” ”Eppak, tak bakal mau. Beliau, sangat kuat dengan prinsipnya, dia tak ingin dalam pertandingan ada kongkalikong dikhawatirkan akan terjadi pertandingan yang tidak sehat. Apa artinya sebuah permainan?” Gani menatap Madrusin, tajam. ”Naif benar. Kalau Asnain harus menjadi taruhan permainan.” ”Bukankah sekarang setiap permainan harus dinegosiasi? Apalagi sekedar kerapan sapi, yang hanya sisa tradisi.” Madrusin, naik pitam, ingin menampar mulut Gani. Namun, Madrusin terus menjaga dirinya, mengendalikan emosi. Tak seperti biasa, Madrusin yang selalu bersikap ramah: ”Maaf, Man.” ”Sin. Lancang benar kamu. Dasar tidak tahu tata krama” ”Siapa yang mengajari?!” Mendengar jawaban Madrusin yang singkat, Gani pun naik pitam. dikeluarkan sebilah celurit dari pinggangnya yang sungging, lalu ditodongkan kearah perut Madrusin, untung saja Madrusin segera menghindar. Secepat kilat ia segera menangkap tangan Gani, dan merubuhkannya ke tanah sembari ia mengucapkan satu kalimat. Asnain tetaplah akan menjadi istriku, Paman. Percayalah. Jogja 2004-2006 Catatan [1] Lotreng sapi, uji coba pertandingan kerapan sapi. [2] Eppak Embuk. Bapak Ibu. [3] Kae. Kakek
""Selaksa Celurit Menggantung di Sebalik Dinding""
Tersiar kabar perihal bupati yang mati mendadak berselang beberapa saat setelah meresmikan peletakan batu pertama proyek pembangunan masjid di kecamatan Bulukasap. Saat ditemukan, mayatnya terkapar di lantai kamar dalam keadaan mulut berbusa, seperti korban overdosis, lidah terjulur hingga dagu dan mata terbelalak serupa orang mati setelah gantung diri. Amat menakutkan. Para sesepuh adat, alim ulama, dan karib kerabat yang berdatangan dari nagari Sungai Emas (kampung kelahiran almarhum bupati) baru saja menginjakkan kaki di rumah duka. Kehadiran mereka langsung disambut ratap haru dan isak sedu istri almarhum yang tampak sangat terpukul karena kematian suaminya yang begitu tiba-tiba. Tanpa firasat, juga tanpa wasiat. Tadi pagi masih segar bugar, kini sudah terbujur kaku jadi mayat….” “Istighfar kak, istighfar! Ikhlaskan saja kepergian beliau!” begitu bujuk seorang tokoh masyarakat membendung kesedihan. “Salah apa yang telah diperbuat suami saya? Tidak adil! Sungguh tidak adil! Ini perbuatan biadab….” “Sudahlah kak! Mungkin ini sudah jalannya” Lusianna datang agak terlambat. Jenazah ayahnya sudah rampung dikafani, tak lama lagi akan segera disembahyangkan, sebelum diusung ke pemakaman. Raut muka perempuan itu tampak murung dan kecewa. Sebab, sudah tak mungkin lagi ia melepaskan tali pengebat kain kafan sekadar memberi kecupan di kening ayahnya, sebagai ciuman yang terakhir sebelum jenazah itu dikuburkan. “Jadi pejabat ndak usah terlalu jujur, yah!” begitu kelakar Lusi kepada almarhum dua tahun lalu. Sesaat sebelum ia berangkat ke Mellbourne, menyelesaikan program doktor, bidang ilmu politik. “Maksudmu?” “Lihatlah jalan umum kampung kita! Persis seperti kubangan kerbau. Rusak parah dan sudah tak layak tempuh. Nah, mumpung ayah sedang memegang jabatan bupati, ndak ada salahnya ayah membuat proyek pelebaran jalan. Bila perlu diaspal beton sekalian!” jelas Lusi, “Hitung-hitung proyek itu dapat menunjukkan rasa terima kasih ayah pada kampung kelahiran sendiri” “Tapi, tidak segampang itu, Lusi! masih banyak daerah lain yang jauh lebih parah kondisinya” “Utamakan dulu pembangunan di nagari Sungai Emas, kampung kita. Jangan lupa! ayah bisa memenangi pemilihan bupati berkat dukungan masyarakat di sana bukan?” “Wah, jika ayah tidak ’pandai-pandai’. Masih saja ’lurus tabung’ seperti ini, Lusi khawatir ayah bakal diumpat warga nagari Sungai Emas. Tapi, semuanya terserah ayah…,” ketus Lusi, agak sinis. Sejak dilantik menjadi orang nomor satu di Kabupaten Puding Bertuah, tak satu pun permintaan orang-orang nagari Sungai Emas dikabulkan almarhum. Marajo Kapunduang pernah datang menghadap ke rumah dinasnya. Bermohon kepada pak bupati, agar si Bujang Paik, anak laki-lakinya yang tamatan es te em (STM) itu dapat diterima bekerja sebagai satpam honorer. Permintaan yang sebenarnya tidaklah terlalu berlebihan. “Daripada menganggur saja, boleh ndak anak saya bekerja di sini pak? Jadi satpam saja cukup lah!” mohon Marajo waktu itu. “Tentu saja boleh Nduang, tapi anakmu harus mengikuti testing sesuai prosedur yang telah ditetapkan,” jawab bupati, sedikit berdiplomasi. “Iya pak, tapi saya berharap bapak dapat membantu” “Jika ia lulus seleksi, pasti akan diterima. Kalau saya bantu, itu artinya kita berkolusi, mentang-mentang kita sekampung. Tidak bisa begitu Nduang!” tegas bupati, seperti hendak mengelak. Marajo Kapunduang amat kecewa setelah mendengar jawaban pak bupati yang kurang mengenakkan. “Rasanya mau saya tinju saja ulu hatinya, biar mampus!” umpatnya. Betapa tidak? Sikap pak bupati keterlaluan. Seolah-olah Marajo Kapunduang sama sekali tidak punya andil memenangkannya dalam pemilihan. Seakan-akan ia berhasil menduduki kursi empuk bupati semata-mata karena reputasi sendiri. Padahal, tanpa dukungan Marajo Kapunduang dan orang- orang nagari Sungai Emas, ceritanya akan lain. Marajolah orang yang paling sibuk sebelum pemilihan berlangsung, ia pontang-panting mencari bantuan dana kampanye pada orang- orang nagari Sungai Emas yang sukses di perantauan. Sedikit demi sedikit ia kumpulkan, lalu disumbangkan untuk pelbagai keperluan dalam rangka mengangkat seorang putra kelahiran nagari Sungai Emas, sebagai kepala daerah kabupaten Puding Bertuah. Tapi, apa balasan yang telah diberikan bupati pada Marajo? Marajo tidak menuntut yang macam-macam. Hanya meminta agar anak laki-lakinya dipekerjakan sebagai satpam honorer di rumah dinas. Itu saja tidak dikabulkan bupati. Ah, memalukan sekali…! Almarhum memang sangat berbeda dengan pejabat bupati terdahulu. Warga nagari Taeh (desa kelahirannya) amat membanggakan beliau. Selama menjabat, nagari Taeh yang dulunya udik itu (lebih udik dari Sungai Emas), tiba-tiba saja berubah menjadi kota. Di sana dibangun masjid agung dengan biaya ratusan juta. Tak ada jalan umum yang tidak diaspal beton, jaringan telepon dipasang, jalur transportasi dari dan ke Taeh lancar. Anak-anak muda yang menganggur direkrut menjadi anggota polisi pamong praja, guru-guru yang sudah puluhan tahun menjadi tenaga honorer diluluskan dalam seleksi calon pegawai negeri sipil. Hingga kini, meski tidak menjabat bupati lagi, masyarakat tetap saja mengingat jasa-jasa dan pengabdian beliau, menghormati beliau. Meski sudah pensiun, beliau tetap bupati di hati warga nagari Taeh. Sayang sekali, almarhum tidak mau bercermin pada bupati sebelumnya. Semestinya beliau memperjuangkan guru-guru honorer di kampung Sungai Emas agar lulus menjadi pegawai negeri sipil. Warga nagari Sungai Emas tentu saja tidak akan melihat bantuan tersebut sebagai praktik nepotisme yang memalukan. Lagi pula, mana ada bupati yang diturunkan dari jabatan hanya gara-gara meluluskan guru-guru honorer dalam seleksi calon pegawai negeri? Tapi, dasar orang jujur, putra daerah Sungai Emas itu tidak mau memperjuangkan orang-orang kampungnya sendiri. Sejak itulah, bupati mulai dimusuhi. Tak dihormati lagi. Bupati dibenci karena ia terlalu jujur. Terlalu lurus, seperti tabung. Apa boleh buat! Kini, bupati sudah tiada, hanya tinggal nama. Nagari Sungai Emas tetap saja udik dan makin terbelakang. Jalur transportasi dari dan ke Sungai Emas sulit. Jalan-jalan kampung dibiarkan saja rusak parah, tak layak tempuh. Guru-guru tetap saja menjadi tenaga honorer, entah sampai kapan. Anak-anak muda menganggur, tak jelas juntrungan. Judi sabung ayam menjadi permainan undi nasib yang amat menggiurkan. Ironis! Namanya Sungai Emas, seolah-olah ada sungai yang berlimpah-ruah kandungan emasnya. Seolah-olah negeri yang kaya sumber daya alam, padahal setiap hari orang-orang berkeluh kesah karena hidup susah. Banyak anak-anak cerdas terlahir di sana, tapi tak mampu melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Tak ada biaya. Maka, jalan satu-satunya adalah; pergi merantau, mengadu peruntungan ke Jakarta. Ada yang menjadi pedagang kaki lima, tukang jahit, petugas parkir, satpam, kuli bangunan, sebagian ada pula yang mencopet (jika itu dapat disebut pekerjaan). Genap tujuh hari kematian bupati. Namun, penyelidikan aparat kepolisian belum kunjung berhasil menemukan titik terang tentang sebab-musabab kematian tragis yang meresahkan itu. Tidak ditemukan bekas-bekas penyiksaan di tubuh almarhum, tidak pula penyakit kronis. Kematian yang misterius. Sementara itu, kedai-kedai kopi di seluruh penjuru perkampungan Sungai Emas tak pernah reda dari perbincangan tentang sosok bupati yang sok suci, sok jujur, lurus tabung, tapi kini sudah mati. “Mestinya ndak usah dibunuh! Diberi penyakit saja sudah cukup lah…,” kata Sutan Pagarah sembari mengaduk-aduk kopi pekat yang baru saja tersuguh untuknya. “Penyakit apa pula yang sutan maksud?” tanya kak Pi’ah, janda tua pemilik kedai kopi, pura-pura tidak paham. “Ditambah saja lubang lancirit*)-nya. Ua-ha-ha-ha….” “Ah, kasar benar kelakar sutan,” balas kak Pi’ah, agak kesal. Sebenarnya, orang-orang nagari Sungai Emas tidak perlu menunggu penjelasan polisi menyangkut sebab-sebab kematian almarhum bupati. Percuma saja aparat hukum mampu mengusut dan menuntaskan kasus itu. Tak bakal berhasil. Sebab, tabi’at pembunuhan keji itu tidak kasat mata. Lagi pula, di nagari Sungai Emas, musibah kematian macam itu sudah lumrah dan kerap terjadi. Meski diam-diam, hampir semua warga sepakat berkesimpulan bahwa bupati mati karena di-tuba. Dibunuh secara halus melalui kekuatan gaib. Namun, tidak mungkin disebutkan siapa pelakunya. Bila ada yang berani menyebutkan nama pembunuh bupati, itu sama saja artinya dengan bunuh diri. Kenekatan macam itu, hanya akan mengundang musibah baru, kematian selanjutnya, bisa saja jauh lebih mengerikan. “Siapa lagi yang bakal kita calonkan untuk pemilihan tahun depan, Tuk?” tanya Marajo Kapunduang pada Datuk Rangkayo, sesepuh adat paling disegani di nagari Sungai Emas. Sejenak si Datuk menerawang, seperti mengingat-ingat seseorang sembari mengepul-ngepulkan asap rokok yang hampir memuntung. “Oh, ada Nduang! Namanya Drs Mustajir Adimin. Putra tertua mendiang haji Adimin Ar-Raji. Kabarnya, kini ia pejabat eselon di Jakarta. Bagaimana menurutmu?” balas Datuk Rangkayo, ganti bertanya. “O, Iya. Lupa saya. Tapi, orangnya tidak ’lurus tabung’ seperti almarhum bukan?” “Hmn … kalau yang ini agak lain Nduang. Bila kelak ia memenangi pemilihan, hutan-hutan milik nagari Sungai Emas ini pun bisa dilelangnya. Bagaimana menurutmu?” “Nah, itu dia yang kita cari selama ini,” jawab Marajo Kapunduang, mulai bersemangat. “Tapi, bila nanti ia hanya menumpuk kekayaan untuk kepentingan diri sendiri, apa yang akan kita lakukan?” lagi-lagi Datuk bertanya, kali ini sambil bergurau. “Putuskan saja tali jantungnya….” Kelapa Dua, 2006 Catatan: *) Dubur
""Tuba""
Lima tahun setelah hari ini, gadis itu akan sering berada di depan televisi. Menatap kosong ke layar kaca yang hampir semua siarannya lima tahun lalu sangat ia benci. Tentu ia tak ingat nama-nama siarannya. Tetapi itulah tayangan yang saat ia lihat langsung membuatnya mual di detik pertama: darah, darah, selalu darah. Mengalir, dari perut yang belah. Menggenang dari kepala yang rengkah. Lalu meluncur, masuk ke dalam sumur. Lima tahun setelah hari ini, tentu pula, ia tak ingat bagaimana sumur itu ada. Kenapa sumur bisa nyembul dari televisi? Tetapi ah, saat itu semua tak penting lagi. Ia toh juga telah tak percaya kepada mata, sang khianat yang tak lebih tipu-tipu belaka. Ayahnya sendiri bukankah juga. Dan kalaupun sumur itu memang muncul-melesak dari televisi, ia pikir itu bisa saja. Lihatlah semua ditelan dan masuk ke dalamnya: bual kosong, janji palsu, omong sok tahu. Tangis dibuat-buat, tawa diejan, akting murahan. Tidakkah mereka memang menggali, rakus, jadi budak rating dan iklan? Tetapi, entah kenapa (dan juga entah bagaimana awalnya), ia percaya suatu ketika akan melihat tayangan berbeda. Dan, saat itu, temannya akan berkata, “Itu ayahmu, duh tampannya.” Timpal teman lain, “Gagah, awet muda, kaya.” Masih akan ia dengar berbagai decak kagum, “Dermawan,” “Terkenal,” sebelum kemudian ditutup, “Betapa beruntungnya kamu ….” Beruntung? Hmh, tentu saja, kalau memang demikian adanya. Karena, entah sampai kapan, yang terjadi adalah sebaliknya: lelaki itu, si ayah, tak lebih seorang dungu. Digelandang dari ruang sidang melambai-lambaikan tangan seperti itu. Mengangguk-angguk, melempar senyum kiri-kanan, cengengesan. Di depan kamera, sodoran mike, julur perekam, oh sungguh tak tahu malu. “Dua belas tahun putusan ringan, kenapa Anda naik banding?!” “Betulkah Anda punya slip transfer ke rekening sejumlah hakim?!” Tak ada jawaban, tentu. Senyum, angguk sopan—keramahan itu, kalau saja wartawan tahu. Bahkan kepadanya, kepada dirinya, si ayah … ah, sumur, sumur itu, mungkin memang tak nyembul hanya dari televisi. Mungkin ia memang harus percaya sejumlah sumur, walau samar (bagai dari alam bawah sadar), pernah muncul dalam hidupnya. Ketika bocah … beberapa wajah tak jelas, lelaki, entah meneriakkan apa dengan tangan memegang entah cambuk entah ikat pinggang, di awal remaja … wajah seseorang yang kadang bersalin rupa jadi wajah ibunya yang seolah merintih, mengerang-erang, ataupun ketika ibu-ibu tetangga mulai berisik menyebut-nyebut kata itu … korupsi, sebuah lubang seperti sumur bagai muncul, nyembul-melesak, berputar-putar bagai melayang. Melayang? Adakah sumur bisa muncul, menjelma ada, dengan melayang? Ah, peduli apa. Begitu Anda tak lagi percaya kepada mata, keganjilan seperti apa pun segera jadi biasa. Dan begitulah ia, lama-lama, kadang ingat kadang tiada, mendapati sumur di mana-mana: nyembul-melesak, berputar-berpusing (sehingga juga tampak seperti gasing), lantas melesat. Melesat? Ya. Terangkat, lenyap tiba-tiba, ke angkasa. Ke angkasa? Bagaimana, atau seperti apakah, sebuah sumur melesat berpusing berputar-putar melayang di angkasa? Membuat ia kadang juga berpikir, ke manakah sumur-sumur itu sebenarnya pergi? Dan kadang pula, entah kenapa, ia teringat black-hole, lubang hitam di jagat raya. Black-hole. Black-hole. Dan suatu hari, saat gadis itu kian sering berpikir tentang black-hole, ia pun memutuskan untuk terjun—masuk ke sumur itu. Lima puluh tahun lalu, di tempat berbeda—ribuan mil jaraknya—sebuah sumur nyembul-melesak dari lubang geronggang mata. Aaa! Tanak (sihir)! Begitulah perempuan itu terkejut, berteriak, serta-merta duduk, beringsut menjauh menarik tubuh dari si tengkorak. Tengkorak suaminya. Tengkorak yang sampai kapan pun kelak akan menjadi bantal, pengganjal kepala: tanda kasih dan cinta. Betulkah itu sumur (mereka menyebutnya mbede)—melesak membesar, meruang merongga, dalam cangkang geronggang mata? Masih membayang geletir air, samar pantul wajah, dan tubuhnya yang gamang mau jatuh. Serasa disedot. Disedot? Hati-hati, takut-takut, perempuan itu kembali beringsut mendekati si tengkorak. Merangkak (rambut keriting, kulit hitam, tubuh membuncit dengan tetek terjulai, membuat sosoknya tampak seperti induk hewan entah apa dalam remang sore yang terkepung hutan), menjulurkan leher lambat-lambat, dan kembali terkejut: burung hitam! Lambang pengayau kepala! Aaaa…. Ia berdiri, membalikkan tubuh dan berlari, tetapi mendadak segera terhenti: tengkorak itu, tengkorak suaminya, akan ia tinggalkan? O, tidak. Damero (dukun) telah mengatakan hal-hal ganjil bakal terjadi. Maka semua ini, sumur melesak dari rongga mata, burung hitam (mereka menyebutnya keluwang) melesat terbang dari dalamnya, tentu bukanlah tanak, melainkan—seperti kata damero—dunia arwah (mereka menyebutnya demir ow) yang terganggu. Beginilah kiranya: untuk tengkorak orang-orang dicinta yang tak diperoleh dari musuh melalui perang; melainkan dengan mencuri, ia akan menanggungkan dunia tak nyata. Tetapi itu, seperti kata damero juga, akan hilang sendiri setelah ia berkelana di hutan, tak boleh bertemu dengan siapa pun, tak muncul atau pulang ke kampung dalam jangka waktu tertentu. Berkelana di hutan, jelas tak masalah. Itu biasa bagi mereka. Apalagi ia putri cesema cowut (perempuan ketua adat) yang sejak kecil telah terlatih. Kadal, ular, tikus hutan, ia tahu cara mendapatkan. Juga berbagai buah, dedaun, umbi-umbian yang bisa dimakan, semua akan ia peroleh dengan mudah; bahkan saat bekalnya—ulat dan bola-bola sagu—masih bersisa. Tetapi … itu, yang disebut jangka waktu tertentu, sampai kapankah? Sebuah pertanyaan yang sejak awal selalu mengganggu benaknya. Dan yang kini, dengan muncul melesaknya sumur dalam rongga mata, juga burung hitam—hal ganjil dan tak nyata, telah menemukan jawab. Tidakkah mestinya ia gembira? Gembira? Ya. Maka, dengan menegarkan dada, ia kembali melangkah, mendekati tengkorak suaminya. Merendahkan tubuh, lalu merangkak, pelan-pelan menjulurkan leher. Sumur, sumur itu … tampak begitu jelas, lebar dan luas, di kedalaman geronggang mata. Riak kecil, geletir air, goyang pantul wajah. Manakah ia si burung hitam? Mungkin telah pergi. Tubuh yang seakan disedot? Juga tak lagi terasa. Tapi hanya sebentar. Beberapa saat sesudahnya, mulanya samar dan kemudian jelas, semakin jelas, ia lihat pemandangan itu: seseorang, di dalam rumah panjang (mereka menyebutnya je), khusuk menabuh tifa. Di sekelilingnya berserakan patung-patung kayu. Tabuhan yang ganjil. Tak pernah ia melihat jenis pukulan seperti itu. Suaranya tak hanya mengentak, tetapi juga mendayu. Bagaimana bisa pukulan tifa terdengar jadi mendayu? Dan hei, patung-patung itu, patung-patung kayu yang berserakan rebah, duduk, dan tersandar ke dinding, pelan-pelan bergerak. Hidup? Ya, tiba-tiba hidup, lalu menari—mengikuti irama tetabuhan tifa. Oh, apakah … apakah ia Fumeripits? Fumeripits! Sang Pencipta! Perempuan itu terbelalak, dan tubuhnya bergetar. Jadi inilah ia: Fumeripits, Sang Pencipta, yang menjadikan nenek moyang mereka dari pohon, dari kayu-kayu. Dijulurkannya kepala lebih dalam ke mulut sumur, ingin melihat sosok Fumeripits lebih jelas. Tetapi pemandangan di dalam sumur tiba-tiba mengabur, pelan menghilang, lalu berganti dengan pemandangan lain. Pemandangan yang mulanya juga samar, dan kemudian menjelas. Semakin jelas. Dua sosok? Dua orang? Ya, yang seorang seperti memberi isyarat agar seorang yang lain melakukan sesuatu. Orang yang diberi isyarat tampak seperti menolak dan seolah ragu. Tetapi si pemberi isyarat kelihatan memaksa, dan si penerima isyarat—meski tampak enggan—akhirnya melakukan. Oh, apa yang ia lakukan? Mengayau kepala! Mengayau kepala si pemberi isyarat! Tetapi oh, walau kepala si pemberi isyarat telah terpisah dari badan, ia masih bisa bicara dan seperti minta agar si penerima isyarat kembali menebas bagian tubuhnya yang lain. Oh! Apakah, apakah mereka … Desoipits dan Biwiripits? Ya, Desoipits dan Biwiripits, dua orang kakak beradik yang menurut cerita orang-orangtua mengawali tradisi pengayauan kepala. Dan kini, di dalam sumur yang melesak dari geronggang mata tengkorak suaminya, kejadian yang entah kapan itu terpampang jelas di depan mata. Ayun tangan, kelebat kapak, cras, leher tertebas. Lagi, crass, pundak lepas. Lagi, crass, dada. Crass, perut … oh, darah, darah menyembur, menyembur-nyembur memualkannya. Tetapi, pemandangan ini tentu juga akan hilang. Tetapi ternyata tidak. Sampai lama. Darah, darah, oh …. tanpa sadar, dijulurkannya kaki ke dalam sumur. O, nyata! Sumur ini nyata! Kakinya bisa terjulur masuk ke dalam sumur. Kenapa bisa? Bukankah damero mengatakan semua hal ganjil yang akan ia alami adalah tak nyata? Desoipits, Biwiripits, nyata? Darah, darah yang memancur, menyembur-nyembur, nyata? Dan tiba-tiba, rasa mual itu, pusing yang kemudian menyusul, membuat ia limbung, lalu rebah, jatuh meluncur (ataukah disedot?) ke dalam sumur. Lima hari sebelum Selasa Kliwon, seperti nasihat gurunya, lelaki empat puluhan tahun itu kembali datang ke lokasi. Tak berbeda dengan tiga hari lalu saat ia datang pertama kali, walau sudah senja, orang masih berseliweran di sana-sini. Dengan hari Kamis ini, tepat sudah dua minggu sejak 3 guci berisi emas-perak 13 kg yang menghebohkan itu ditemukan oleh seorang petani dan dua hari sesudahnya Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala provinsi melakukan ekskavasi. Ia lewat di belakang bekas penggalian yang sudah semakin lebar yang masih dijaga beberapa orang entah siapa itu dengan tolehan sekilas. Juga ada sekilas senyum di bibirnya yang tersembunyi, yang akan sukar tertangkap oleh siapa pun karena ditutupi kumis tebal lebat yang nyaris mencapai bilah bibir bagian bawah. Senyum seperti mencemooh, seperti meremehkan, karena ia dan gurunya tahu—sang guru telah mendapat wangsit—bukan di tanah gimbal (angker yang tandus) itu peninggalan lainnya terbenam, melainkan di bawah pohon awer-awer di pinggir sawah kira-kira tigapuluhan meter dari situ. Ada perasaan lega ketika ia sampai di pohon awer-awer itu dan tak menemukan seorang pun tengah nenepi (semedi). Telah didengarnya kabar kian hari kian banyak orang-orang datang untuk nenepi, tirakatan semalam suntuk nglakoni, bahkan beberapa penepi konon ada yang sudah mendapatkan akik, batu merah delima, atau jarum emas. Ah, itu bohong. Kecuali 3 guci yang tak sengaja ditemukan si petani, ia dan gurunya kini tahu tak ada benda lain di lokasi selain sebuah guci besar—4 kali lebih besar—di dalam tanah di bawah pohon awer-awer berisikan tak hanya emas-perak berupa manik-manik, cincin, mata rantai, mangkok, hiasan mahkota atau entah apa, tetapi yang lebih penting adalah beberapa “kiai” (keris) yang bagi dirinya dan Sang Guru lebih berharga dibanding apa pun itu semua. Hari telah malam, dan dingin, ketika waktunya tiba. Disiapkannya semua sesaji: kembang telon, rujak degan, minyak bondet, dupa china. Ia pun dedekep, mulai nenepi. Sepuluh menit, 30 menit, 1 jam. Dua jam, 3 jam, ujung dini hari. Dan ketika waktu beranjak mendekati subuh, saat itulah: di dalam keterpejaman mata, dalam rongga luas yang bagai semesta, sesosok benda cemerlang bagai melayang kian mendekat. Semakin dekat. Guci itu! Berada dalam semacam lubang seperti sumur. Guci yang persis seperti digambarkan sang guru: tutupnya berhias stiliran binatang, dan dindingnya—melingkar searah jarum jam—berhiaskan relief berupa cerita. Tubuh lelaki itu bergetar, sejenak. Lalu pelan, dibukanya mata. Hela napas lega. Senyum lebar yang bagai tertawa. Lalu gumam, “Aku berhasil, Guru. Lima hari lagi, Selasa Kliwon….” Ya, Selasa Kliwon, lima hari lagi. Itulah hari yang menurut Sang Guru merupakan waktu tepat untuk mengambil, “mengangkat” si guci dari sumur, tentu saja dengan syarat dalam nenepi malam ini ia berhasil melihatnya, tanda si guci mau (tak menolak) ber-“jodoh” dengan mereka. “Selasa Kliwon. Lima hari lagi….” Ya, lima hari lagi. Tetapi nanti, Selasa Kliwon itu, akankah ia juga selega ini? Lubang seperti sumur memang akan tetap nyembul. Tetapi, yang namanya guci, takkan tampak sama sekali. Apa yang ia dan gurunya lihat: seorang gadis termangu, menatap kosong ke televisi. Dan seorang lagi, perempuan juga, berambut keriting berkulit hitam tetek terjulai, berteriak-teriak ke suatu arah seperti gila. Menajamkan mata, mereka ikuti arah teriakan perempuan kedua. Dan di sana, jauh dan kecil, mereka lihat pemandangan lain: dua orang pemuda, suku terasing juga. Sedang mengapa? Tentu saja mereka tak tahu. Desoipits-Biwiripits. Crass, leher putus. Crass, pundak lepas. Crass .… Darah. Darah. Darah. Memancur-mancur. Menyembur-nyembur…. Payakumbuh, Maret 2006
""Sumur""
Desa Kalidoso yang terletak sepuluh kilometer dari jalan raya antara Solo dan Purwodadi itu bagaikan sebuah oase yang cukup luas. Sekelilingnya adalah perbukitan kapur yang tandus, tetapi subur bagi pohon jati, sehingga desa itu dilingkari oleh hutan jati. Seperti oase, karena hanya desa itulah yang rimbun dengan berbagai tanaman tahunan, terutama buah-buahan seperti mangga, jambu, nangka, belimbing, dan paling banyak tumbuh pohon melinjo yang menjadi bahan baku kerajinan emping melinjo di daerah itu. Rumput pun bisa tumbuh di daerah itu sehingga penduduknya bisa memelihara sapi dan kambing. Berbeda dengan desa-desa lain di sekitarnya, yang penduduknya beragama Islam santri, desa Kalidoso itu berpenduduk abangan dan masih percaya pada adanya roh yang menghuni benda-benda. Namun, di antara penduduk desa ini terdapat pula pemeluk Islam yang taat, bahkan bisa dibilang fanatik. Walaupun demikian, tak sebuah masjid atau langgar pun telah didirikan di desa yang terkebelakang perkembangan agamanya itu. Kaum santri Solo yang telah maju menyebut penduduk desa itu sebagai mengidap penyakit TBC, singkatan dari takhayul, bidah, dan churafat. Di desa itu terdapat pula sebuah kebun buah-buahan milik desa. Di pinggiran pohon-pohon itu tumbuh sebuah pohon trembesi besar yang telah tua, barangkali ratusan tahun umurnya dan karena itu sangat rimbun. Saking besarnya, pohon itu dipercaya sebagai angker yang dihuni oleh roh-roh. Hanya saja tanah di bawah pohon itu sering kotor karena daun-daun yang gugur dan karena itu setiap kali perlu dibersihkan. Di dekat pohon itu terdapat mata air yang jernih airnya sehingga dipakai oleh penduduk sebagai air minum. Pemerintah desa telah membuat sebuah kolam sederhana yang menampung air itu dan penduduk desa bebas mengambilnya. Bahkan, di dekat kolam air itu didirikan kamar mandi dan kakus sederhana tak beratap, terbuat hanya dari anyaman batang bambu dan kayu. Tetapi, para perempuan suka mandi langsung di dekat kolam itu dengan hanya mengenakan kain saja sehingga merupakan pemandangan menarik bagi lelaki. Pagi dan sore selalu ramai dengan orang mandi. Biasanya perempuan lebih awal mandinya ketika pagi masih agak gelap. Baru agak siangnya datang para lelaki untuk mandi. Guna menjaga tempat mandi, cuci, dan kakus, pak Lurah Samidjo menugaskan Partorejo, seorang yang berusia setengah baya. Untuk praktisnya, Pak Parto, demikian panggilan akrabnya, dan keluarganya ditugasi pula menjaga kebun itu. Sebagai penjaga kebun, ia atas nama kepala desa melarang penduduk untuk memetik buah sendiri. Setiap akhir musim buah dilakukan panen. Buah-buahan hasil panen itu dijual dan hasilnya masuk kas desa dan dibelanjakan untuk meningkatkan kesejahteraan seluruh penduduk desa. Ketika telah berumur empat puluh tahunan, Parto melakukan kegiatan yang mengundang perhatian seluruh penduduk desa. Ia setiap malam melakukan semadi atau bertapa, dengan cara duduk bersimpuh di antara dua batu besar yang menonjol di bawah pohon itu, walaupun agak jauh dari batangnya. Pada waktu siang, setelah memeriksa dan membersihkan kebun, yang dibantu oleh istrinya, Pak Parto melakukan praktik pijat. Rupanya ia pernah belajar pijat-memijat pada seorang tukang pijat terkenal di daerah hutan jati antara Purwodadi dan Pati yang terkenal dengan kegiatan kebatinan dan perdukunannya itu. Rupanya kegiatan pijat yang dilakukan di atas tikar pandan di bawah pohon trembesi yang rindang sejuk dan nyaman itu makin ramai. Istrinya ikut pula memijat. Banyak orang dengan berbagai penyakit meminta terapi pada Parto. Mungkin untuk memberi sugesti kepada langganan pijatnya, ia selalu memberikan sebotol kecil air yang diambil dari mata air itu setelah diberi mantra olehnya. Inilah yang menyebabkan maka Parto akhirnya disebut sebagai dukun, dan ia tidak keberatan dengan sebutan magis itu. Tentu saja dengan mengatakan bahwa air dari mata air itu berkhasiat tinggi, bukan sembarang air. Namun dengan tidak diketahui dari mana asal-usulnya, penduduk desa mulai memberikan sesajen yang diletakkan di sekeliling pohon trembesi itu. Asal-usulnya mungkin dari kegiatan bertapa yang dilakukan oleh Pak Parto di bawah pohon itu dan ucapan yang pernah terdengar dari mulut Parto bahwa pohon besar itu ada penjaganya yang disebut orang Jawa sebagai Sing mBau Rekso, yaitu Sang Penjaga. Penduduk desa harus ramah kepada Sing mBau Rekso agar desa itu diberkati, dengan menyediakan sesajen kepada raja pohon di antara pohon-pohon di daerah itu. Parto sendiri sering mengajarkan kepada penduduk desa agar mereka memelihara pohon trembesi dan pohon-pohon yang lain di desa itu. Pohon dianggap sebagai makhluk hidup juga dan karena itu mereka harus berteman dengan sesama makhluk hidup. Gejala itulah yang menggelisahkan batin seorang ustad yang dipandang paling ahli agama di desa itu. “Itu syrik. Dan syrik adalah dosa yang paling besar di hadapan Allah,” kata Kyai Fauzan Saleh. “Tapi Kyai, orang-orang desa sulit diberi tahu. Mereka percaya kepada dukun Parto itu. Apalagi ia sering dianggap telah banyak menolong orang sakit dengan pijat dan jampi-jampinya.” “Kalau orang sakit itu perginya ke puskesmas, bukan ke dukun syrik,” kata Kyai Fauzan, orang yang memang dikenal punya pengetahuan luas. “Di sini ’kan belum ada puskesmas pak Kyai. Tak mungkin desa ini mendapat proyek puskesmas sebelum penduduk di sini meninggalkan partai yang tidak berkuasa dan masuk partai yang berkuasa saat ini.” Desa di daerah perbukitan kapur ini dulu memang dikenal sebagai basis PKI. Bahkan pada masa pemberontakan PKI-Madiun, penduduk di sini banyak yang terlibat dalam gerakan komunis dan ikut dalam pembunuhan kaum santri dan pejabat pemerintahan. “Wah, bagaimana caranya memberantas takhayul, bidah, dan khurafat di sini?” tanya Kyai Fauzan kepada rekan bicaranya, yang dikenal kaya karena bekerja sebagai pemborong jalan dan bangunan di daerah-daerah lain yang banyak proyeknya. Pak Thohir, demikian nama pemborong itu, diam termenung cukup lama tak memberikan jawaban. Tapi akhirnya ia keluar dengan sebuah usul. “Cara memberantas TBC satu-satunya adalah menebang pohon trembesi itu. Kalau tak ada pohon yang dianggap keramat, si Parto itu tak akan melanjutkan praktik perdukunannya,” kata Thohir dengan nada ketus. “Tapi, apa alasannya menebang pohon itu? Kita akan melawan si Parto dan pengikut-pengikutnya.” “Begini Pak Kyai, saya kan kenal dengan Sekda dan orang-orang DPRD dari partai yang berkuasa. Saya akan katakan kepada mereka agar penduduk desa mau mencoblos partai itu, rakyat harus dibuat simpati dulu,” kata Thohir menjelaskan usulnya. “Bagaimana menarik simpati penduduk desa?” tanya Kyai Fauzan ingin tahu. “Saya akan mengusulkan proyek terpadu pembangunan prasarana desa. Pertama, masjid. Kedua, MCK menggantikan kolam yang sekarang. Di situ akan kita pasang pompa Sanyo menggantikan mata air. Kemudian jangan lupa puskesmas agar orang tak lagi datang ke dukun,” jelas Thohir lebih lanjut. “Lalu apa hubungannya dengan pohon itu?” tanya Kyai Fauzan kurang tahu. “Pohon itu kita tebang ramai-ramai. Di atasnya persis kita dirikan masjid. Kemusyrikan dan TBC kita ganti dengan tauhid yang semurni-murninya,” jawab Thohir memakai bahasa santri. Kyai Fauzan pun tersenyum mengangguk-angguk tanda setuju dengan gagasan cemerlang itu. “Jaal khaqqo wa zahaqol baatil. Innal Batila kaan zahuko,” kata Kyai Fauzon menirukan seruan kaum Muslim di Mekah ketika menghancurlan berhala-berhala di sekitar Ka’bah, yang artinya “telah datang Kebenaran dan jika datang Kebenaran maka hancurlah kebathilan”. Tapi Thohir masih menambah keterangan: “Tapi masih ada tugas kita semua sekarang ini.” “Apa tugas itu?” tanya Kyai Fauzan lagi. “Kita harus berdakwah untuk menyerukan penghancuran TBC dengan menumbangkan sumber TBC itu sendiri. Pohon trembesi terkutuk itu. Pak Kyai yang memimpin dakwah itu. Sedangkan saya mengusahakan proyek itu. Saya sendiri yang akan membangun prasarana desa itu?” kata Thohir penuh percaya diri. Kesepakatan pun tercapai antara ulama dan pemborong itu untuk melaksanakan proyek yang mulia itu. Keduanya pun melaksanakan tugasnya masing-masing. Keduanya juga bersama-sama menemui Pak Lurah dan kemudian Pak Camat mengutarakan usul mereka. Karena proyek itu menyangkut pembangunan desa dan mencakup pembangunan fisik maupun rohani, maka dengan tidak sulit kedua tokoh desa itu bisa diyakinkan. Rencana itu pun terdengar oleh Parto dan pengikut-pengikutnya. Mereka pun marah, namun sulit menolak gagasan pembangunan yang telah disetujui oleh Pak Lurah dan Pak Camat. Parto berkata kepada para pengikutnya, “Pohon kita itu adalah pohon keramat yang memberi berkah kepada penduduk desa. Jika pohon itu ditebang, maka Sing mBau Rekso akan marah besar,” kata Parto keras sebagai seorang yang dianggap suci karena pertapaannya dan perannya sebagai dukun yang terkenal sampai ke desa-desa lain itu. “Bagaimana marahnya Pak?” tanya orang desa tak mengetahui bagaimana caranya roh marah itu. “Wah saya juga tidak tahu. Tapi pokoknya penduduk desa ini akan ditimpa bencana. Tanah longsor mungkin gempa bumi, penyakit menular, atau kelaparan.” Penduduk desa cukup ketakutan mendengar peringatan Parto yang berapi-api itu. Kyai Fauzan yang mendengar aksi penolakan itu menjawab, “Lagi-lagi takhayul. Justru TBC itulah yang bisa menimbulkan bencana karena menyimpang dari akidah. Dengan kembali kepada yang benar, al ruju’ ilal haq, kita pasti akan mendapatkan rahmat dan pengampunan,” tangkis Kyai Fauzan. Dua pandangan itu tentu membuat penduduk kebingungan. Mana yang akan diikuti? Tapi yang jelas, mereka tidak bisa berbuat apa-apa melawan rencana pemerintah desa yang disetujui oleh Pemerintah Kabupaten Sragen itu. Maka hari yang ditunggu-tunggu pun tiba. Pemborong Thohir berhasil memperoleh proyek pembangunan prasarana. Pada suatu hari Jumat, datanglah penduduk desa yang diikuti dengan penduduk dari daerah lain, ramai-ramai menebang pohon trembesi raksasa itu sambil meneriakkan “Allahu Akbar”. Mereka merasa telah menumbangkan kebatilan. Dengan rubuhnya pohon itu dan akar-akarnya pun dicabut dan dibawa dengan sebuah truk oleh pemborong. Pemborong Thohir pada gilirannya melaksanakan tugasnya, mula-mula membangun masjid, kemudian MCK, dan gedung puskesmas. Masjid didirikan persis di atas tempat yang dulu ditumbuhi pohon trembesi itu. Dalam tempo hanya enam bulan, seluruh bangunan itu selesai. Walaupun sebagian penduduk yang abangan protes, penduduk desa Kalidoso itu tak bisa berbuat apa-apa. Tapi kesedihan mereka seolah-olah tersiram oleh air yang deras memencar dari pompa Sanyo. Mula-mula kebutuhan air tiga bangunan itu terpenuhi tanpa masalah. Kemarahan Sing mBau Rekso yang dikatakan oleh Parto tidak terbukti datang. Parto sendiri agar tidak marah tetap diberi tugas oleh Pak Lurah untuk menjaga tiga bangunan itu, terutama bangunan masjid. Tugas itu pun dijalankan oleh Parto. Hanya saja ia berhenti bertapa dan menjadi dukun. Kyai Fauzan mengajarinya sholat sehingga ia berubah menjadi santri yang taat sholat di masjid. Setahun kemudian, timbul suatu gejala yang aneh. Air yang dinaikkan dengan pompa Sanyo itu tak mengalir lagi. Bak penampung air kosong dan ketiga bangunan itu kekurangan air. Tapi yang lebih menyedihkan adalah bahwa penduduk desa tidak lagi bisa menikmati mata air yang dulu pernah memancar dari bawah pohon keramat itu. Apakah itu bencana yang dulu pernah diingatkan oleh dukun Parto? Penduduk desa tidak menghubungkan gejala baru itu dengan peringatan Partorejo. Bahkan hal itu pun juga tidak terpikirkan oleh Parto sendiri. Tidak saja air tidak lagi mengalir, yang lebih mengherankan penduduk desa adalah tiga bangunan itu, terutama masjid mulai retak-retak. Mungkin suatu hari masjid itu bisa runtuh sebab di dekat MCK sudah terjadi tanah longsor karena air hujan yang cukup deras sudah tidak ada yang menahan sehingga menimbulkan erosi. Guna menahan kemarahan Sing mBau Rekso, penduduk tidak lagi bisa memberikan sesajen kepada pohon keramat yang sudah hilang dari muka bumi itu. Beberapa orang desa datang kepada Partorejo yang sudah jadi santri itu dan bertanya: “Pak, apakah ini semua tanda-tanda kemarahan Sing mBau Rekso?” tanya mereka benar-benar ingin tahu. “Wah jangan tanya soal ini kepada saya. Tanya saja pada Pak Kyai Fauzan,” jawab Parto. Maka mereka pun datang kepada Kyai Fauzan “Pak Kyai, bukankah masjid kita ini dibangun atas dasar taqwa?” tanya mereka. “Ya betul, memangnya kenapa?” tanya balik sang kyai. “Tapi kok masjid kita itu terak-retak dan sebentar lagi bisa rubuh?” tanya mereka lebih lanjut. “Waduh, bangunan rubuh bukan soal agama,” jawab Kyai Fauzan. “Tanya saja pada Pak Thohir yang membangun semua ini. Mungkin semennya dikurangi atau pondasinya kurang kuat.” Ketika pada gilirannya penduduk menanyakan hal itu pada Thohir, pemborong itu merasa tersinggung. “Lho kok malah saya yang dituduh korupsi. Tanya saja pada pak insinyur, apakah ia mengurangi jatah semennya?” Tapi insinyur yang dimaksud tinggal di kota sehingga pertanyaan itu dijawab sendiri oleh pemborong Thohir seolah-olah mewakili insinyur dimaksud. “Jangan menuduh atau menghina saya tidak becus membangun ya. Mungkin saja roh-roh jahat telah menyabot bangunan saya,” jawabnya sambil tertawa keras. Penduduk hanya bengong saja mendengar jawaban-jawaban yang mereka terima. Kenyataannya, bencana memang sedang mengancam setelah pohon keramat itu ditebang. Jakarta, 13 Februari 2005
""Pohon Keramat""
Hampir dua minggu ini bayanganku sibuk dengan rumah kontrakan kami yang baru. Hampir tak ada waktu untuk istirahat. Memperbaiki talang yang bocor, menggali lubang untuk resapan, membuat pagar bambu, mengecat kamar mandi, memperbaiki engsel pintu dan jendela, memasang kabel-kabel listrik. Tapi kapasitas listrik di rumah itu hanya 460 watt. Tidak cukup untukku hidup. Aku biasa hidup paling sedikit dengan listrik yang berkapasitas 900 watt. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana bisa hidup dengan 460 watt. Tapi aku akan mencobanya, hidup dengan 460 watt. Mungkin tanganku yang kanan tidak harus mendapatkan listrik. Biarkan tanganku yang kiri saja yang mendapatkan listrik, karena tanganku yang kanan lebih biasa kerja dengan tenaga alamiah, tidak terlalu membutuhkan listrik. Kepalaku yang botak selalu membutuhkan listrik yang lebih besar. Kadang aku sebel, karena kepalaku mengambil listrik terlalu banyak dibandingkan dengan tubuhku yang lain. Kalau listrik tiba-tiba mati, karena pemakaian yang berlebihan, aku langsung bisa menduga pasti itu karena kepalaku yang botak yang terlalu rakus dengan listrik. Karena sebel, kadang aku biarkan listrik tetap mati, lalu kepalaku mulai berwarna keabu-abuan seperti gusi pada kedua ekor anjingku. Uang yang dikeluarkan menjadi sangat besar untuk perbaikan rumah itu. Padahal aku mengontraknya hanya satu juta setahun. Sebagai seorang penulis, aku menjadi sangat kerepotan. Tak ada honor untuk kontrak rumah. Beberapa teman membantuku. Ah… Han, Boi, Katon, Wianta… tengkeyu. Jewe yang baru kukenal bersama istrinya yang sedang hamil ikut membantu sibuk-sibuk. He-he… tengkeyu. Tengkeyu, man. Tubuh bayanganku seperti awan gelap yang menyimpan hujan. Aku kadang cemas melihatnya bekerja berlebihan. Khawatir hujan tumpah dari tubuhnya. Dan aku tak tahu bagaimana mencegahnya bila terjadi banjir, walau sudah dibuatkan lubang resapan air sedalam enam buah bis beton. Hanya sekitar tiga meter dalamnya di halaman depan. Dan sebuah galian terbuka di halaman belakang. Rumah itu sebuah kubangan besar memang. Satu-satunya rumah yang berdiri sekitar tiga meter di bawah jalan raya. Kubangan terjadi karena tanah di atas rumah itu sebelumnya pernah disewakan untuk pembuatan batu bata. Tanah untuk pembuatan batu bata diambil langsung dari tanah yang disewakan itu. Terus dikeduk, sehingga terjadi sebuah kubangan besar. Di sebelah rumah, ada bilik sederhana berdiri, tempat seorang petani biasa beristirahat. Kadang aku seperti melihat bayangan hitam mirip binatang menyelinap ke dalam gubuk itu. Kadang aku ragu, apakah bayangan itu bayanganku sendiri yang melompat dari tubuhku untuk menyendiri dalam gubuk itu. Tapi tak ada siapa-siapa dalam gubuk itu, hanya sebuah bale tua terbuat dari bambu untuk tidur. Rumah ini sudah dua tahun kosong. Tak ada orang yang mengontrak. Sebelumnya pernah ditinggali sekelompok seniman musik dan perupa. Kehidupan mereka mirip dengan kaum yang berusaha mengusir negara dan agama dari tubuh mereka, termasuk mengusir rezim kesenian. Membiarkan tubuh mereka bebas tanpa rezim yang mendiktekan moralitas bikinan yang tidak sesuai dengan kodrati mereka sebagai manusia. Aku melihat mereka seperti sufi tanpa negara dan tanpa agama. Mereka tidak membuat garis perbedaan yang memisahkan antara rumah dan jalan raya. Maka rumah ini penuh dengan mural karya mereka, dari teras depan hingga kamar mandi; beberapa lukisan berjamur, timbunan pasir yang mengotorinya, dan sebuah tempat pembakaran dari tanah untuk memasak di tengah-tengah ruang. Dapur memang bisa berada di mana saja dalam rumah ini. Seorang teman bercerita, di antara lukisan itu terdapat lukisan seorang pelukis perempuan yang mengendarai motor menjelang pagi dalam keadaan mabuk, lalu mengalami kecelakaan dan mati. Pelukis perempuan itu sudah mati, tapi lukisannya masih ada. Ada di depanku. Lukisan tentang seorang penari balet yang terperangkap dalam panggung akrobat. Aku seperti melayang dalam ruang yang bersayap. Waktu yang membuat sebuah pintu, tapi aku tak tahu apakah pintu itu untuk ke luar atau untuk ke dalam. Mereka juga mungkin tidak membuat garis perbedaan yang memisahkan antara kehidupan dan kematian. Mungkin tubuh mereka seperti angin. Tidak sama dengan bayanganku yang seperti awan gelap dan menyimpan hujan. Sepasang anjing kami, Kopi dan Kremi, langsung kawin di rumah ini dan langsung hamil. Kadang mereka menggonggongi bayanganku. Kalau mereka menggonggong sedemikian rupa, kecemasanku muncul lagi. Aku khawatir awan hitam pada bayanganku menumpahkan hujan seperti langit yang berlubang. Lembab. Tembok seperti mengeluarkan keringat bukan karena panas, tetapi karena lembab. Beberapa genteng kaca dan bambu-bambu tua pada atapnya. Aku bisa melihat gerimis lewat genteng kaca itu, kadang kilatan-kilatan petir. Kalau hampir satu jam aku memandangi genteng-genteng kaca itu, aku mulai lupa apakah tubuhku terbaring di bawah memandang genteng-genteng kaca itu, atau tubuhku terbaring di atas dan genteng-genteng kaca itulah yang memandangiku. Antara aku dan genteng kaca, seperti sepasang mata yang hidup dalam sebuah boks. Sepasang mata itu saling berganti posisi memandang satu sama lainnya. Mata memandang mata. Mata memandang mata. Mata memandang mata. Dan mereka tidak bisa saling mendusta. Rasanya aku tak ingin punya kamar mandi. Dan mandi di ruang terbuka di halaman belakang. Orang lain mungkin akan melihatku telanjang, tapi aku melihat tubuhku sedang mandi, membersihkan diri dari kotoran. Rumah tanpa kamar mandi seperti sebuah legenda-legenda tua tentang bidadari yang mandi di sungai. Aku tak tahu apakah bidadari itu sungguh-sungguh mandi di sungai, atau sungai yang justru sedang mandi dalam tubuh bidadari-bidadari itu. Kira-kira 10 tahun yang lalu, aku pernah datang ke rumah ini. Rumah yang pernah dihuni Dadang Christanto, seorang perupa yang kini menetap di Australia sejak meletusnya reformasi. Dan banyak orang yang meninggalkan Jakarta atau meninggalkan Indonesia setelah itu. Dadang menyewa tanah ini selama 15 tahun, dan memasang dua buah rumah Jawa dalam ukuran kecil. Ong cerita bahwa Dadang membeli rumah Jawa itu harganya masih 650 ribu. Harga yang kini tidak cukup untuk hidup seminggu. Aku merasa betapa kian terpisahnya nilai uang dengan nilai barang. Uang dan barang kian tidak memiliki hubungan untuk mengukur hubungan antarmanusia. Rasanya hidup semakin sunyi dalam hubungan seperti ini. Kesunyian yang membuat kawat berduri dari leher kita hingga saat kita menyalakan kompor untuk memasak air. Air yang mendidih dalam panci sama dengan ketakutan yang berkeliaran di jalan raya. Betapa malangnya hidup ini, kalau kita hidup hanya untuk terus-terusan berhadapan dengan ketakutan. Bayang-bayangku mulai memasang pagar bambu. Menanam tanaman-tanaman liar yang aku ambil dari kebun sebelah. Kebun yang juga ketakutan setiap saat akan tergusur, lalu berdiri sebuah bangunan baru, entah untuk rumah atau untuk ruko. Dan rumah untuk air dan tanaman kian berkurang lagi, diambil oleh beton-beton. Lalu bayang-bayangku begitu sibuk membongkari setiap halaman yang sudah tertutup semen. Membongkari dengan rasa panik yang berlebihan, agar rumah tempat kami tinggal bisa berbagi halaman dengan air. Rasa panik agar kalau air datang tidak ikut tidur bersama kami dengan kasur dan bantal yang sama. Rasa panik kalau-kalau rumah kami berubah menjadi sebuah telaga kecil. “Dang, apakah rumah ini pernah mengalami banjir?” tanyaku kepada Dadang. Dadang ternyata juga sedang mencari rumah di Australia dalam waktu yang bersamaan dengan saat aku pindah ke rumahnya, karena dia harus pindah ke kota lain. “Ya, kalau hujan besar, air akan datang dari halaman depan dan halaman belakang. Rumah dari halaman sebelah juga ikut mengirim air ke halaman belakang,” jawab Dadang. Aku teringat 1.000 patung-patung Dadang yang dipasang dengan sebagian tubuh-tubuh patung itu tenggelam di laut, di Ancol, mungkin sekitar 15 tahun yang lalu. Sebuah instalasi yang mengingatkanku tentang manusia-manusia yang hidupnya dalam keadaan setengah tenggelam. Setengah tubuhnya ada di dalam air dan setengahnya lagi ada di luar. Manusia yang oleh keadaan tertentu harus hidup di antara sebagai ikan dan sebagai kodok. Sebagian tubuhnya yang berada di dalam air tidak bisa berenang seperti ikan. Dan sebagian lagi yang berada di luar air tidak bisa melompat seperti kodok. Aku tak tahu apakah patung-patung itu sekarang berada di dasar laut atau di sebuah museum di luar negeri. Tapi aku tak yakin ada museum yang terbuat dari laut, dan kita bisa melihat hempasan-hempasan ombaknya lewat kaca jendela museum. 1.000 patung Dadang ada di dalamnya, mungkin diberi judul: “Instalasi Manusia Pengungsi”. Rumah yang aku tempati kini mungkin juga sebuah museum. Museum untuk berbagai cerita dari para penghuni sebelumnya. Di antaranya seorang manajer untuk furnitur di Jepara. Manajer itu orang asing. Ketika dia meninggalkan rumah ini, dia juga meninggalkan sejumlah perabot antik yang kini raib entah ke mana. Aku jadi ikut ketakutan pompa listrikku akan hilang dicuri. Kalau ada yang mencuri pompa listrikku, aku harus kembali menimba air dari sumur. Rumah itu memang terus bercerita. Hampir setiap hari selalu ada tema baru yang muncul. Dan aku mulai kehabisan uang. Aku harus punya uang agar rumah itu terus bercerita. Ketika aku tak punya uang, rumah itu mirip dengan peti mati. Rumah itu memang hampir tak ada bedanya dengan peti mati. Kalau aku mati, pintu dan jendela-jendelanya tinggal ditutup, maka rumah itu pun telah berubah menjadi peti mati. Peti mati tidak memerlukan pintu dan jendela-jendela, bukan? Karena itu pintu dan jendela-jendelanya memang harus ditutup. Hmmm… Hmmm… He-he-he. Fit, sayangku, hari ini Petrus akan datang bersama Miko. Dia akan datang dengan sepeda yang stangnya tinggi melebihi kepalanya sendiri. Dia akan datang dengan sebotol Vodka, saxophon, dan sebuah harmonika. Dia akan bernyanyi tentang post-realisme. Bayang-bayangku mulai berubah jadi hujan. Hujan yang berjalan-jalan hingga ke kamar tidur kami. Air seperti tamu agung yang datang dari halaman depan dan halaman belakang. Air tak berdinding seperti makhluk buta memasuki rumah kami. Aku menyambutnya dengan ember-ember. Aku terus menggali setiap halaman yang masih bisa digali untuk tempat duduk air. Aku terus menggali. Dan rumah itu semakin dalam seperti sebuah sumur. Waktu terasa dingin, bergerak dari punggungku hingga jari-jari tanganku yang terus mengangkut tanah dengan ember. Perutku seperti tertekuk ke dalam, menahan beratnya tanah dalam ember yang telah bercampur dengan air. Aku sangat terkejut ketika tiba-tiba aku melihat bayang-bayang mataku sendiri yang dipantulkan cahaya di permukaan air sumur. Mata menatap mata. Aku yakin itu adalah bayangan mataku sendiri, dan bukan bayangan mata air. Kalau itu juga adalah bayangan mata air, maka aku harus menerima kenyataan bahwa air memiliki mata. Hujan mulai berhenti. Langit mulai terang, biru yang tipis dan warna yang masih keabu-abuan. Perlahan-lahan aku mulai melihat bayang-bayang timba sumur menggantung di atas. Talinya yang terbuat dari karet ban menjulur hingga permukaan sumur. …… Aku melihat hidup.
""Rumah Bercerita 460 Watt""
Aku sempat melihat ekor gerakan sesosok bayangan melintas di samping rumah. Tempias cahaya lampu taman membantu mataku untuk melihat sosok itu melompat pagar rumah tuanku. Namun, hujan yang turun deras membuat malam makin kelam, hingga aku kehilangan jejak orang yang mencurigakan itu. Kuedarkan pandanganku. Tapi, orang itu terlalu sigap menyelinap. Aku mencoba menakutinya dengan menggonggong sangat keras. Kuharap orang itu panik, dan kabur dengan sendirinya. Tapi aku kecewa. Beberapa gonggongan panjang yang kulepas tak mendapatkan reaksi apa-apa. Malam tetap terbungkus kesunyian. Dan aku merasa menggigil sendirian. Jejak bedebah itu tak kulihat lagi. Aku pun bergidik. Bayangan kengerian mengepungku: orang itu menjeratku dengan kawat baja dan mengantarkan tubuhku di penjual tongseng, seperti ratusan bahkan ribuan kawan-kawanku. Kantuk yang menggelayut di mataku keempaskan. Tatapan mataku terus kebelalakkan. Begitu orang itu tampak, akan langsung kuterkam. Gigi dan taringku rasanya sudah tidak sabar mengoyak urat nadi di lehernya. Awas! Waspadalah hei bedebah! Aku menggonggong lagi. Sangat keras. Kukatakan, aku sangat tidak senang kepada tamu yang tidak sopan, yang datang malam-malam dan menambah pekerjaaanku. Semestinya aku sudah tidur, bermimpi bisa bertemu dengan Moli, anjing tetangga yang lama kutaksir itu. Aku sangat ingin bercinta dengannya, dalam mimpiku malam ini. Tapi cita-cita itu telah digugurkan oleh orang yang tidak tahu diri itu. Dasar tidak manusiawi! Mendadak kudengar sebuah benda jatuh di depanku. Kuamati. Ternyata segumpal daging sapi segar. Aku sangat hafal baunya. Tuanku setiap pagi dan sore memberiku daging seperti itu. Si pelempar itu mungkin menduga aku langsung menyantap daging itu. Aku tersenyum masam. Daging itu hanya kulihat lalu kutinggalkan. Aku bukan anjing bodoh yang tidak bisa membedakan mana daging segar dan mana daging penuh racun. Orang itu juga terlalu meremehkan. Dia mengira aku bisa diakali hanya dengan segumpal daging. Bukannya sombong. Pengalamanku menjadi anjing belasan tahun membuat aku sangat terlatih untuk membedakan mana pemberian yang tulus dan mana pemberian yang basa-basi, penuh pamrih bahkan ancaman. Melihat caranya memberikan daging saja aku sudah sangat tersinggung. Betapa orang itu tak punya sopan santun. Aku memang sangat mengharap pemberian orang, tapi aku bukan pengemis. Meskipun anjing, aku tetap punya harga diri. Martabat anjing harus kujunjung tinggi. Mungkin orang itu kecewa, melihat aku acuh tak acuh. Tapi dia tidak menyerah. Ini usaha yang sangat kuhargai. Ia melemparkan lagi segumpal daging. Kali ini lebih besar. Namun, aku hanya menatapnya sebentar, lalu berlalu. Aku memang sengaja mengaduk-aduk perasaannya, biar dia kecewa dan mengurungkan niat buruknya untuk mencuri. Sengaja kupakai cara yang lebih manusiawi agar tidak jatuh korban. Aku tak ingin lagi melihat ada maling babak belur bahkan mati dihajar massa gara-gara tertangkap. Aku sangat sedih dengan nasib manusia yang celaka itu, meskipun hal itu membuat aku bersyukur: ternyata menjadi anjing seperti aku jauh lebih beruntung daripada menjadi orang miskin. Sungguh, aku mensyukuri rahmat ini. Lama tak ada reaksi. Aku menduga orang itu kecewa, lalu pergi begitu saja. Diam-diam aku pun bersyukur, malam ini ada orang telah mengurungkan niat jahatnya. Bagiku ini sebuah prestasi. Meskipun aku ini hanya anjing, binatang yang sering dicerca dan dinistakan, aku toh masih punya niat baik. Namun, kebanggaan yang diam-diam menggumpal dalam rongga dadaku itu, akhirnya pudar. Ketika aku mengitari rumah tuanku, aku melihat orang itu duduk di pojok halaman di bawah pohon rambutan. Aku mundur beberapa langkah, siap-siap melawan jika orang itu menyerangku. Kepada sesama anjing, aku bisa menduga niatnya. Tapi kepada manusia? Ah, hati manusia tak bisa dijajaki. Penuh misteri. Mereka bisa saja menyimpan rapi kekejaman di balik senyum ramahnya. Aku harus waspada. Awas! Orang itu tetap saja diam. Aku mencoba mendekat. Ia tetap diam. Kuberikan gonggongan lirih, seperti berbisik. Tapi dia memberikan isyarat agar aku diam. Aku pun menurut. Kudekati dia. Kuamati orang itu. Dari tempias cahaya lampu, tampak wajahnya lebih tua dari usianya, penuh kerut-merut. Melihat urat-uratnya, ini pasti orang susah! Urat orang susah sangat tidak teratur dan membentuk garis yang serba melengkung. Aku tahu itu, karena dulu, aku cukup lama bergaul dengan para gelandangan yang mendiami gubuk-gubuk di pinggir sungai, sebelum aku dipungut sebagai anjing piaraan tuanku. Ya, Tuhan, dia menangis. Baru kali ini kulihat ada calon maling begitu cengeng. Tapi sebentar… tangisnya sangat dalam. Ya sangat dalam. Dan tanpa sadar aku jadi terharu (baru kali ini ada anjing yang terharu). Tapi, aku selalu waspada. Siapa tahu itu tangis buaya. Bisa saja diam-diam ia menyimpan pisau, dan siap dihunjamkan di perutku. Maka, kuambil jarak beberapa depa. Kulihat apa reaksi selanjutnya. Orang itu tetap asyik dengan tangisnya. Ia menyebut empat anaknya yang tidak bisa bayar sekolah dan hendak dikeluarkan gurunya. Ia menyebut anak gadisnya yang kini harus dirawat di rumah sakit karena diperkosa oleh tetangganya. Ia menyebut nama istrinya yang hamil lagi (untuk yang terakhir ini aku terpaksa tidak bisa terharu). Semula kupikir dia sengaja menjual iba kepadaku. Bukankah kebanyakan manusia itu tukang main drama yang ujung-ujungnya hanya menelikung pihak lain? Tapi, sebagai anjing yang terbiasa membedakan mana yang tulus dan mana yang basa-basi, aku berani menyimpukan bahwa kesedihan orang ini cukup meyakinkan. Entah kenapa, naluriku memaksaku berpikiran begitu. Aku pun mulai menimbang-nimbang untuk memberikan kebebasan orang ini bisa masuk rumah tuanku, mengambil sedikit barang-barang agar tangis anak istrinya berhenti. Kukibaskan ekorku, mengenai kakinya. Dia memandangku. Kulihat sumur penderitaan yang begitu dalam dan gelap. Tangannya mengelus-elus kepalaku. Kubalas sentuhan itu dengan kibasan ekorku yang menyentuh kakinya. Rupanya ia tanggap. Ia pelan-pelan bangkit, menyiapkan berbagai peralatan, ada besi pengungkit, drei, pukul besi, alat pemotong besi, alat pemotong kaca, linggis kecil dan masih banyak yang lain. Ternyata perlengkapan maling jauh lebih lengkap dan canggih daripada bengkel. Aku terharu sekaligus bangga dengan usahanya untuk menjadi maling beneran. Maling pun tetap harus serius, agar tidak konyol dicincang massa. Pelan-pelan ia menyelinap pepohonan. Hujan turun makin deras. Aku terpejam dan tidak ingin membayangkan apa yang dilakukan orang itu di rumah tuanku. Diam-diam aku merasa berdosa atas pengkhianatanku, namun aku juga berdoa semoga orang itu selamat. Yang kubayangkan hanyalah tangis anak istrinya di rumahnya Tidak lebih dari lima menit, orang itu telah keluar membawa bungkusan. Aku hanya berdoa semoga saja dia bukan maling yang rakus dan hanya mencuri arloji, hand phone, atau benda lainnya. Dengan langkah yang gagah, ia menjumpaiku. Tangannya mengelus-elus kepalaku. Segaris senyuman kini terpahat di bibirnya. Aku menunduk. Perasaanku campur aduk. Tiba-tiba kesedihanku pun jebol. Aku menangis dengan suara ringkikan kecil. Orang itu merasa serba salah. Ia merengkuh tubuhku dan hendak memangku aku. Tapi aku menolak dengan halus. Ia mencoba memberiku segumpal daging. Dengan bahasa isyarat, ia meyakinkan bahwa daging itu murni, bukan seperti yang dilemparkannya sebelumnya. Tapi aku merasa kehilangan selera makan. Tiba-tiba kudengar kegaduhan dari dalam rumah tuanku. Istri tuanku menjerit-jerit histeris, sambil menyebut kalung berliannya yang hilang. Suaminya berteriak-teriak sambil berlari keluar, diiringi letusan senapan yang membabi buta. Kata “maling” diteriakkan berulang-ulang. Aku memukul kaki orang itu dengan ekorku, dan berharap ia segera berlari. Ia tampak panik, dan canggung. Mungkin ia merasa berat berpisah denganku. Tapi aku terus memaksanya untuk segera lari. Aku sangat panik. Kulihat tuanku berlari makin mendekati tempat pertemuan kami. Senapannya terus menyalak. Aneh, maling itu tetap diam. Aku memaksanya lari. Tapi ia hanya berlindung di balik pohon rambutan. Sial, muncul kilat. Tempat kami mendadak terang dalam sekejap. Kontan tuanku langsung melepas timah panas. Orang itu tumbang, rebah ke tanah. Muncrat darah merah dari dadanya. Aku menggonggong sangat keras. Aku marah kepada tuanku yang sangat kejam. Tapi tuanku justru mengelus-elus kepalaku. Dia merasa bangga punya anjing piaraan yang telah menyelamatkan hartanya dari jarahan maling malang itu. Aku menggonggong makin keras. Makin keras, hingga orang-orang pun keluar rumah. Mereka mengelu-elukan aku. Hampir tak ada yang peduli dengan mayat maling malang itu yang membujur kaku… Mata maling itu tetap saja melotot, seperti menatapku. Terus menatapku. Aku masih mendengar tangisnya, tangis anak dan istrinya. Tangis itu sangat panjang dan dalam, penuh kesunyian. Yogyakarta 2006
""Lagu Malam Seekor Anjing""
Malam itu, wajah ibu hadir di ruang mata Monang. Tiba-tiba saja. Melihat mata ibu, Monang seperti menyusuri sungai yang kering yang dipenuhi batu-batu. Entah kenapa. Lambat laun kecekatan tangan Monang memilah-milah koran-koran dan tabloid yang hendak diretur besok, makin berkurang. Bahkan, akhirnya, ia menghentikan kegiatan itu. Ia tersedu-sedu. Isteri Monang dan dua anaknya sudah lama tidur, di ruang dalam. Seumur-umur Monang jarang menangis. Ketika kanak-kanak, kalau kalah berkelahi dengan hidung berdarah-darah dan muka babak belur—ia tidak menangis. Bila ayah maupun kakak-kakaknya memukul atau menamparnya karena satu kesalahan yang diperbuatnya, ia juga tak menangis. Waktu ayah meninggal, ia pun tidak menangis. Meski sampai Namboru Tiur memeluknya sambil menatap menceritakan betapa sedihnya ditinggal seorang ayah, ia tetap bergeming. Tapi, masih jelas dalam ingatannya sebuah peristiwa yang membuatnya menangis hebat. Kala itu Monang melihat bagaimana ayah—tiba-tiba masuk rumah, mengejar dan memukuli ibu dengan sepotong bambu sebesar jempol hingga ke kamar. Ibu menjerit-jerit sambil menyembah-nyembah ayah, “Ampun, ampun pak,” katanya. Pakaian kebaya yang dikenakan ibu hendak mengikuti ibadah di gereja menjadi acak-acakan. Monang—ketika itu sembilan tahun—tak bisa membenarkan perlakuan ayah itu. Namun ia takut pada ayah. Namun, mungkin didorong rasa kasihan dan sayang pada ibu serta rasa marah kepada ayah, Monang memanggil ayah sekuat-kuatnya. Beberapa kali. Tubuhnya sampai gemetaran. Tiba-tiba ayah melihat Monang dan seperti tersadar karena Monang telah menyaksikan perbuatannya itu. Dan lebih lagi, karena Monang—katakanlah—telah memanggilnya dengan cara menghardik. (Mungkin pula, dalam pikiran ayah, Monang belum pulang dari ibadah sekolah minggu. Dan memang semestinya demikian. Pastor dari paroki datang, yang berarti ada perjamuan Misa Ekaristi. Dan Monang—salah satunya—selalu menjadi putera altar. Tapi, Monang minta digantikan. Ia minta ijin pulang. Karena Monang ingin secepatnya tiba di rumah, supaya punya waktu yang cukup untuk mengetam bawang hasil ladangnya, agar bisa dijualkan ibu ke pekan di pulau, besok. Ibu memberikan sepetak tanah seluas 20 meter persegi kepada anak-anaknya untuk diusahakan sendiri). Ayah berhenti memukul ibu. Mereka bertiga—di tempat dan dengan posisi masing-masing, seperti baru saja kena sihir menjelma patung. Tapi, tak lama berselang, ayah mendengus, lalu memukuli ibu lagi. Dan ibu menjerit-jerit lagi. Dan jeritan-jeritan itu menyesakkan dada Monang. Monang berlari ke dapur. Monang mencari-cari pisau. Namun ia tak menemukan benda itu di tempatnya. Ia pun mencari-cari benda lain yang bisa dipergunakannya melawan ayah. Batu penggilingan? … Tidak. Ayahnya pasti bisa menghindar! … Kayu bakar? … Ah, seberapa sakitlah ayah oleh kekuatan pukulannya? Tidak, tidak! Tapi ayah mesti dilawan! Karena seingatnya, inilah yang keempat kalinya ia menyaksikan si ayah memukuli si ibu. Tujuh kakaknya pun (perempuan semua) pernah merasakan pukulan tangan si ayah. Ia memang selalu dimanjakan. Namun, ia pernah juga jatuh sakit akibat ditampar si ayah! Lalu, apa? … Matanya tertumpu pada jeriken minyak tanah. Ya! Ia cepat-cepat membuka tutup jeriken, lalu mendekat hidungnya untuk membaui apa isi jeriken itu. Minyak tanah, minyak tanah! Akhirnya ia membawa jeriken itu dan korek api ke kamar. “Ayah…!” panggil Monang, seusai menyiramkan minyak tanah ke tempat tidur dinding kamar dan pintu. Ayah menoleh. Lalu berbalik, menghadap Monang menatap mata sang ayah. Ia bagai melihat samudera luas yang tengah diterjang badai di sana. Di tengah samudera itu, di malam pekat, ada sebuah perahu yang terombang-ambing. Di dalam perahu itu ada seorang perempuan: Ibu!… “Apa yang ayah lihat di tanganku?” Ayah mendengus. Ia merasa diajari seperti anak kecil. Ia tak menjawab. Meskipun demikian si ayah berhenti memukuli ibu. Tapi tangis ibu yang lirih itu, Monang rasakan seperti sayatan-sayatan belati—oleh ayah—di tubuhnya. “Apakah ayah mencium bau minyak tanah di kamar ini?” Ayah benar-benar marah dibuatnya, tapi menahan diri. Dan tetap tak menjawab. Namun, ia memikir-mikirkan cara menundukkan sang anak. Sebab, ia takut juga kalau-kalau anaknya itu bertindak nekat. “Mo-nang…?” suara si ayah pelan. Monang melihat si ayah sambil menyalakan korek api. Berkelebat di pelupuk matanya cerita Malin Kundang yang pernah dibacanya. Malin Kundang dikutuk karena mendurhakai ibunya! Mengiang-ngiang di telinganya cerita Sampuraga yang pernah di dengarnya. Sampuraga dikutuk karena mendurhakai ibunya! Lalu? Oh! Monang terisak-isak. “Maafkanlah anakmu ini, ayah…. Kalau ayah berjanji tak memukuli ibu lagi, maka aku tidak membakar kamar ini, ayah…!” “Kau…?” ayah bergerak pelan mendekati Monang. “Ya, ayah,” Monang bergerak pelan mundur. “Jangan, Nak…!” tangis ibu. “Berhenti di situ, ayah…! Ya, tetap di situ…!” Monang mencomot (lima batang) korek api dan secepat mungkin menggantikan batang korek api yang beberapa saat lagi akan tinggal puntung. “Ayah, berjanjilah dengan sungguh-sungguh untuk tidak memukuli ibu lagi. Mulai hari ini…!” “Kau…?” Monang mengangguk sembari menghapus ingus dan air matanya cepat-cepat. Dan ia tetap waspada terhadap segala kemungkinan yang akan dilakukan ayah terhadap ibu mau pun terhadap dirinya. Ayah menggelengkan kepala, lalu menghela napas panjang. “Ya, Tuhan… bukankah aku pernah mengucapkan kalimat seperti itu kepada ayah karena ayah suka main judi sampai berminggu-minggu dengan para toke di pulau?” katanya seperti berbisik kepada dirinya sendiri. Monang terkejut mendengarnya. Ibu pun demikian. Kemudian ayah tertegun. Lama. Sepotong bambu di tangannya terjatuh begitu saja ke lantai. Berikutnya, Monang melihat mata ayah berkaca-kaca. Serasa sekejap, ayah berlutut dengan punggung tegak. Ayah mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi. Monang tak paham apa kira-kira yang akan diperbuat ayahnya dengan sikap demikian. Berdoa?… Tentu tidak! Yang diketahui Monang bahwa sikap berdoa adalah dengan melipat tangan dan mata terpejam. Jadi bisa saja cara yang dilakukan ayah itu dalam upaya menggagalkan niat Monang! Karena itu, ia mencomot (tiba batang) korek api lagi untuk menyambung nyala api dari batang korek api terakhir. “Ya, Allah…. Aku berjanji tidak memukuli istriku lagi….” Sungguh. Monang terkesiap mendengar janji ayah, waktu itu. Hingga kini, Monang tak tahu kejadian sebenarnya yang membuat ayah mengejar dan memukuli ibu. Tapi menurut Monang, pastilah terkait tabiat ayah yang suka main judi. Dan ia pun tak berniat menanyakan pada ibu di mana peristiwa itu berawal…. >diaC< Telepon genggam berbunyi. Monang membersihkan kelopak matanya, meskipun kelopak mata itu sudah kering dari tadi. Tangan angin yang mengusapnya perlahan-lahan. Monang meraih telepon genggamnya dari meja. Nama kak Nurma tersurat di layarnya dengan nomor telepon rumah. Berita apakah gerangan di ujung malam begini? “H-h-hallo…?” Monang menenangkan hati. Namun, pikirannya menduga-duga hal buruk yang mungkin terjadi pada keluarga besar mereka. Bukankah berita duka cita sering datang di malam hari?… Ia mendapat berita kematian ayah pada sekitar pukul 10 malam ketika ia duduk di bangku SMP di Pangururan. Bruder Marsianus—kepala asrama—yang membangunkan dan memberitahukan kepadanya. “Engkau harus pulang sekarang, Monang. Kerabatmu datang menjemput. Ayahmu sakit keras,” katanya. Dan akhirnya, Monang tahu bahwa sebenarnya saat kerabatnya datang menjemputnya, waktu itu, ayahnya sudah meninggal. Bruder Marsianus terpaksa berbohong supaya Monang tidak langsung terguncang dengan kematian ayahnya…. “I-ibu…,” suara kak Nurma terputus. “I-i-ibu kenapa, Kak…?” “Nah…,” “Ibu kenapa, Kak…?” “Mo-nang…?” “Mmm… I-i-ibuu…?” Monang mengangguk dan lega. “Kau belum tidur, Nak?” “Beginilah tukang koran, Bu. Kadang sampai larut malam mengerjakan koran-koran atau tabloid yang mesti dikembalikan…. Tapi, Ibu pun kenapa belum tidur? Besok pagi kan bisa bertelepon? Atau aku yang menelepon besok…? “Ya, tapi ini penting, Monang! Aku takut lupa menyampaikannya besok. Karena itu aku bangunkan Nurma untuk menelepon kau… Aku ingin kau mengabulkan permintaanku ini, Nak…!” Oo, permintaan! Monang terdiam. Jantungnya berdetak lebih cepat. Ia menebak-nebak apa kira-kira permintaan ibu. Pakaian? Kaca mata? Keliling Jakarta? Atau tiket pesawat untuk pulang ke Medan?… Atau ibu hendak ditemani ke rumah paman di Surabaya?… Rasanya tidak mungkin! Empat kakaknya (secara ekonomi, berkecukupan) tinggal di Jakarta selalu siap memenuhi semua permintaan ibu…. Bahkan kakak-kakaknya itu sering meminta tolong kepadanya supaya membujuk ibu agar mau menerima apa yang mereka berikan dan lakukan untuk ibu. Kak Sondang pernah memohonnya supaya membujuk ibu mau ikut ke Bali bersama keluarga kak Sondang. “Aku tukang mabuk, nanti aku merepotkan mereka,” jawab ibu waktu itu. Namun, ibu mau juga ikut…. “Mo-nang? Kau mendengar aku…?” “Mm…i-i-iya, Bu….” “Lusa Ibu pulang, Nak…. Maafkanlah, Ibu tak bisa menginap di rumahmu. Tak ada yang sempat mengantarkan. Kaupun tentu sangat kesusahan bila harus menjemput dan mengantarkan aku lagi. Nanti terganggu usaha koranmu. Tak apa-apa, ya, Nak…. Pertemuan kita hari Sabtu lalu di rumah Kakakmu Pintanauli sudah memuaskan rinduku pada kalian semua—anak-anak, menantu dan cucu-cucuku…!” “Mm… iya, Bu….” Ah, ah! Lalu apa permintaan ibu?… Monang tak berani menanyakannya lebih dulu. Ia takut kalau-kalau permintaan itu mustahil ia penuhi. Tapi alangkah bahagianya kalau ia dapat memenuhi permintaan sang ibu. Betapa. Sejak ia menyaksikan ayah memukuli ibu, ia bertekad membahagiakan ibu. Namun, sampai sekarang ia merasa belum bisa melakukannya. Ya, sebagai anak lelakinya! Pernah ia dan istrinya menabung duit untuk membeli kalung emas. Mereka memberikan kalung itu kepada si ibu saat kelahiran anak pertama mereka. Tapi lima bulan kemudian, anak mereka sakit dan mesti dioperasi. Monang dan istrinya kekurangan biaya. Monang tak mau meminta bantuan kepada kakak-kakaknya. Si ibu menyuruh jual kalung itu untuk menambahi biaya operasi anak mereka. Monang menerima kalung itu dengan mata berkaca-kaca. Si ibu menguatkan hatinya. “Aku tahu keadaanmu, Nak. Aku tahu hatimu!” katanya. Peringatan dari telepon genggam Monang: battery low! “Mon….” Terputus. Monang cepat-cepat mengambil charger dan melakukan pengisian. Dan beberapa saat kemudian ia menghidupkannya. “Hallo,” kata ibu dari seberang sana. “Kenapa putus?” “Habis baterei, Bu,” “Oo…” “Ibu…! Katakanlah apa permintaanmu itu…,” kata Monang akhirnya. “Permintaanku?” “Ya, Bu.” Monang menghela nafas. “Tapi, ada kak Nurma di situ…?” “Sejak tadi dia terlelap di sofa, di sebelahku….” Monang memasang pendengaran baik-baik. Ia seolah-olah takut salah mendengar apa yang dikatakan ibunya. Dan, ia sambil berdoa dalam hati semoga bisa memenuhi permintaan sang ibu tersayang. “Di kampung Silotom banyak pohon johar di situ…. Kau ingat tempat itu, Monang….?” Monang mengiyakan. Ia ingat. Teman sebangkunya sampai tamat SD dari Silotom. Pinus Situmorang! Lalu ia mengernyitkan kening. Adalah jalan mendaki menuju kampung itu. Lantas?… Monang memikir-mikirkan kemana ujung perkataan ibu. Tapi juga mengira-ngira makna apa di balik ucapannya. Karena si ibu pandai bertutur dengan kiasan-kiasan. Berpantun pun. Mataniari manogot di Habissaran/dung botari di Hasrundutan/Sai mangoluma marhapistaran/gabe jolma naboi pangihutan—matahari terbit di Timur/ketika sore ada di Barat/selama hiduplah jadi pintar/menjadi panutan semua orang. “Monang? Kau mendengarku kan…?” “Iiya. Teruskanlah, Bu…,” “Ada dua batang yang besar lurus tinggi kulihat di situ, dua hari sebelum aku berangkat ke sini. Pemiliknya Ompung Ojak. Aku sudah katakan supaya jangan dijual ke orang lain….” Monang ingat, di kampungnya ada pohon mangga, pohon johar, dan pohon-pohon bambu memagari kampung. Bila kayu bakar di rumah habis, ayah selalu menyuruh pak Joh menebang secukupnya. Sepeninggal ayah, ibulah yang selalu menyuruhnya. Kalau pohon mangga yang hendak ditebang, maka dipilih pohon atau dahan yang tak menghasilkan buah lagi. Kalau pohon johar, maka ditebang yang tidak lurus. Sesekali pohon bambu yang sudah tua dijadikan kayu bakar. “Lagi pula, tinggal Ibu, kak Rita dan keluarganya serta Nai Haposan di kampung kita kan?… Nai Manjur sudah meninggal… tak ada anak-anaknya yang di kampung. Keluarga Amani Hobas merantau ke Sumatera Timur. Siapa lagi? Keluarga Amani Gonggom merantau juga… Apakah di kampung kita tak ada lagi pohon yang bisa ditebang, Bu…?” “Ada, Nak…,” “Terus…?” “Berjanjilah dulu kau akan membeli dua pohon itu untuk Ibu. Sepulang dari sini, aku akan beritahu Ompung Ojak…. Bagaimana, Nak…?” Oh, Ibu! Monang menarik nafas. Diam beberapa saat. “Baiklah, Bu…!” “Bagus, Nak,” jawab ibu cepat. “Sekarang dengarlah baik-baik…!” Monang mengangguk. Monang seperti melihat ibu menanami bibit-bibit johar di sekujur tubuhnya. “Dua pohon itu akan menjadi rumahku kelak, Nak….” “Apa, Bu? Ibu kan masih sehat….” “Satu batang digunakan sebagai peti, Nak….” “Ibu masih kuat. Jangan memikirkan yang tidak-tidak, Bu….!” “Sebatang lagi sebagai tutupnya…. Aku ingin ada kacanya juga, Nak….” “Ibu…!” Tut-tut-tut…. Monang menelepon. Menelepon. Menelepon. Tapi ia hanya mendengar nada sibuk di seberang sana. Aku ingin menyenangkan hatimu, Ibu, seperti yang kakak-kakak lakukan. Tetapi kenapa meminta rumah kematian dariku?***
""Monang? Kau Mendengar Aku?""
Diangkatnya lengannya perlahan-lahan. Lengkung-lekuk lengan dengan jari meruncing itu membentuk bayangan di tembok. Pergelangan tangan itu ngukel1, lalu telunjuknya menjentik. Dia tersenyum. Keindahan memang tak bisa diam, selalu ingin keluar dan mempertontonkan dirinya. Sekali lagi dia tersenyum, sambil tetap memandangi bayangannya sendiri di tembok. Dibayangkannya, nanti dia akan mengurai rambutnya yang panjang, yang oleh Mas Ondi—penata busana, akan diberi untaian melati. Jadi, nantinya, di sela-sela rambut panjangnya itu akan ada untaian melati yang bukan saja indah, tetapi menebarkan harum yang samar- samar. Ah, di tangan Mas Ondi dia akan menjelma Drupadi. Seandainya saja Bang Irfan bisa memahami ini, tentu akan lain ceritanya. Waktu terlipat oleh kecepatan, entah siapa yang menjadi biang keladinya. Semua tiba-tiba saja menggumpal di kenangannya. Dia berada di tandu, yang alas duduk maupun atapnya berpaku-paku. Berdiri luka, duduk luka. Memilih “ya” dia akan melukai jiwanya, menolak untuk “ya” pun dia melukai orangtua dan seluruh keluarganya. Tetapi, siapakah yang akan menjalani hidupnya jika bukan dirinya sendiri? Sepi sekali malam ini. Anak- anaknya entah ke mana. Sony, si sulung, mungkin pergi dengan pacarnya. Neny, si ABG-itu, katanya tadi nonton “Berbagi Suami” ah, anak kecil yang selalu ingin tahu urusan orangtua. Bang Irfan sendiri, entah ada di ufuk mana saat ini. Sejak hampir sebulan ini, suaminya itu hilang-hilang timbul di rumah ini. Kadang muncul hanya untuk ganti baju, mengeluarkan baju-baju dari koper, mencium kening istrinya, lalu pamit lagi dengan gumaman tak jelas. Kadang begitu datang, mandi, makan, lalu menghilang di kamar kerjanya, seakan dia hidup sendirian tanpa istri dan anak-anak. Dia memang memilih untuk “ya” waktu itu dan bersiap kecewa menelan luka itu dengan ketegaran. Maka hidupnya berubah menjadi Bu Irfan, yang harus selalu menjaga penampilan, siap senyum, tak banyak gerak, tak banyak bicara, dan dia bukan lagi Si Wening. Wening si prenjak telah musnah. Wening si bunga matahari, sudah punah. Wening si walet, harus masuk sangkar; sesuatu yang mustahil sebetulnya, tetapi inilah hidupnya, sejak 25 tahun yang lalu. “Aku ingin menari, boleh ya, Bang?” bisiknya suatu malam, seusai badai kerinduan suaminya tumpah di seluruh sel tubuh Wening. Barangkali saja, setelah mereguk kenikmatan, Bang Irfan akan memberinya kesempatan. Tetapi, suaminya tak menjawab apa-apa, sudah mendengkur kelelahan. Wening hanya diam. Airmatanya beku, mengkristal di dinginnya malam. Sepi kian runcing, dan menusuknya tanpa kata. Dan sejak itu, hampir dua puluh tahun lalu, Wening tak ingin mendapat tusukan sepi lagi. Malam ini, sebetulnya adalah hari ulang tahunnya. Di meja telah tersaji tumpeng kuning, kering tempe, abon, rajangan dadar, ketimun, cabe yang dibelah-belah lalu direndam di air sehingga ujung-ujung belahan itu melengkung indah, seperti tangan penari. Diamatinya tumpeng kecil yang ditatanya sendiri sesore tadi. Hanya kecupan dan ucapan “Happy birthday, Mom…” dari Neny sebelum pergi. Ciuman kecil di pipi dari Sony pun diterimanya, juga sebelum nggeblas dengan Escape-nya. Tetapi tak ada dari Bang Irfan, bahkan sms. Hidupnya memang menjadi barang taruhan. Dia dipertaruhkan agar suaminya berhasil menduduki jabatan, atau apa pun impiannya. Dia dipertaruhkan agar anak-anaknya berhasil menjadi “anak idaman” orangtua. Dia dipertaruhkan agar keluarganya menjadi contoh, cermin, dan tolok ukur keluarga bahagia-sejahtera. Dia ingin menari. Dia ingin menjelma Drupadi. Tumpeng dan lauk-pauk itu ingin menjelma bedaya. Mereka bergerak dalam diam. Mereka membentuk pola-pola lantai yang rancak, rapi, hening, namun memancarkan kesungguhan mempersembahkan keindahan. Keindahan yang hanya bisa dilihat oleh keheningan jiwa. Dan jiwa itu, mengapa hanya ada pada dirinya? “Cobalah kau mengerti. Aku memberimu semuanya, segalanya, dan hanya memintamu untuk tidak melakukan satu hal: menari. Itu saja. Apa susahnya?” ucap Bang Irfan, entah kapan. “Kenapa, Bang?” “Tidak boleh.” “Aku hanya ingin menunjukkan keindahan….” “Keindahan tubuhmu hanya untuk aku … karena kau istriku.” “Kalau begitu, biar aku menari untuk Abang saja….” “Aku enggak suka tarian…,” bisik suaminya, “… Aku lebih suka kau … enggak pakai ini…” dan tangan suaminya melolosi pakaiannya. Wening beku, dirinya menjelma Drupadi di kepungan Kurawa. Maka pembicaraan itu terkunci di situ. Wening sekali lagi menelan rasa sakit itu. Dia seakan meninggalkan tubuhnya yang menjadi bulan-bulanan suaminya beberapa saat kemudian. Dibukanya album kecil yang masih disimpannya. Album foto pentas terakhirnya. Saat itu dia bersama teman-temannya memang mementaskan “Drupadi Mulat” sebuah koreografi indah karya Mbak Yudi—sahabat sekaligus guru tarinya. Dialah Drupadi berambut panjang itu. Dialah dengan kain panjang putih—yang terlalu panjang untuk sebuah samparan—dengan lampu minyak tanah kecil di tangan kanannya, berjalan dari pelataran GKJ, menaiki tangga, membelah kerumunan penonton yang masih di luar, memasuki pintu, membiarkan dengung gong pertama bergema, melintas perlahan di karpet merah, membiarkan berpuluh, mungkin beratus pasang mata menatapnya kagum. Dialah yang membiarkan kain panjangnya terjulur jauh beberapa meter di belakangnya, memberikan keheningan, menyedot seluruh pancaindera penonton, dan memaksanya untuk memasuki sebuah alam yang bernama kesepian. Dialah yang terus bergerak dengan iringan nafas-nafas tertahan para penontonnya, melangkah hati-hati, menapaki tangga tengah menuju panggung gelap gulita. Cahaya lampu berkebit, tertiup pendingin udara. Dalam gemulai geraknya, Drupadi ingin meneriakkan sesuatu yang lama dipendamnya. Akulah keindahan. Akan kuajarkan kepada kalian, wahai makhluk bumi, bahwa inilah jiwa kalian. Biarkan matamu menangkapnya, namun jangan biarkan dia menilainya karena matamu tak akan mampu menyampaikannya. Jiwamu lebih halus, dan karenanya, ajaklah dia berbicara. Dan malam ini aku mengundang jiwamu untuk bercengkerama bersamaku. Izinkan dia bersamaku malam ini, maka kau akan dilimpahi cahaya. Itulah yang menggerakkan Drupadi, menghidupkannya dalam sebuah lakon. Dan penonton memang tak bisa membedakan, manakah Wening dan manakah Drupadi. Tepuk tangan berkepanjangan, berulang, menggema. GKJ pecah, malam itu. Tetapi, itulah yang menggemakan sepi berkepanjangan hingga malam ini. Wening ingat, di masa kanak-kanak dulu jika ditanya tentang cita-citanya, dia selalu lantang menjawab, “jadi penari..!” dan disambut gelak tawa siapa pun yang bertanya. Dan ketika diwawancara wartawan seusai “Drupadi Mulat”, Wening remaja 18 tahun itu menjawab, “Semoga suami saya kelak memanjakan saya dengan membolehkan saya menari…” jawabnya agak polos dan kekanakan. Wening tersenyum pahit mengenang semuanya. Langkah kaki tergesa menyeberangi ruangan. Wening bangkit dari tempat duduknya. Langkah yang sudah dihafalnya benar. Bang Irfan pulang. Mereka terhenti di suatu ruang, yang menciptakan jarak sepi. Bang Irfan melihat tumpeng dan album yang belum tertutup. “Masih saja … dasar.” Wening tercambuk, darah mengalir. Begitu kasar ucapan bang Irfan. Belum cukup rupanya kelembutan yang diberikannya selama ini. “Abang pulang? Sudah makan, Bang?” sapanya. Suaminya diam dan melanjutkan langkah ke kamar. Wening terpaku. Pintu terbanting. Pasti bisnisnya gagal. Belum lagi Wening duduk, Irfan keluar dengan langkah besar. Bagai kesetanan dia cengkeram Wening. Ucapan kasar, runcing, dan berbisa berhamburan dari mulut suaminya. “Kapan kau mau mendengar ucapanku. Jangan menari dan jangan pernah lagi berpikir kamu bisa menari lagi. Aku tidak suka. Aku suamimu, mengapa kau tak mau mendengar suamimu?” “Apa salahku punya keinginan menari?” “Itu kesalahanmu!” “Baik…. Lakukan keinginan abang. Silakan larang aku, tapi kali ini, maaf aku akan menjadi mimpi buruk abang.” Berkata demikian, Wening masuk kamar. Suaminya terdiam, tak punya gambaran apa pun mengapa istrinya yang selalu mengalah itu kini berani melawan. Sesaat kemudian, api kemarahannya menggelegak. Diserbunya kamar Wening. Didobraknya pintu. Pintu rusak, terbuka dengan paksa. Sunyi. Wening melepas bajunya, telanjang. Mengurai rambutnya yang masih panjang melebihi pinggang, yang selama ini disembunyikan atas perintah suami. Dikenakannya kemben kain panjang putih, yang dulu dikenakannya ketika “Drupadi Mulat”. Dibiarkannya sebagian kain itu menebar di lantai. Iringan rebab menyayat malam, Wening bergerak sangat lambat. Sepasang telinganya menangkap gumaman jender; mengapa harus gadhung mlati>jmp -2008m<>h 7028m,0<>w 7028m<2>jmp 0m<>h 9738m,0<>w 9738m<? Wening menari dengan keheningannya. Dia merasa membawa lampu minyak kecil yang apinya berkebit oleh kepedihan. Dia menapaki lantai sebagaimana dia jalani hidupnya yang dingin dan datar. Sesekali dia kengser, sesekali dia ukel, sesekali pula dia tawing, selebihnya dia melangkah perlahan, dengan tatapan tertuju pada bumi. Bumi yang halus, bumi yang sempurna menerima kenyataan paling buruk sekalipun, yang diberikan manusia. Dilaluinya pintu yang rusak itu. Dan baginya, pintu hidupnya, yang menjaganya dari campur tangan orang lain, memang telah rusak—lama sebelum malam ini. Mengapa suaminya tega merusak sesuatu yang menjadi miliknya? Benarkah perkawinan membuat Wening harus melebur dan menghancurkan dirinya, kemudian menjelma menjadi Bu Irfan? Tidak untuk malam ini. Tidak, sejak malam ini. Dia adalah Wening. Dia akan menari, membawa keindahan yang dikaruniakan Tuhan kepadanya, dan membagikannya kepada dunia. Mengapa keindahan harus ditakar dengan kaleng bekas mentega? Dengan tatapan pada bumi, dilewatinya Irfan yang terpasak di tempatnya berdiri. Dia ingin mengatakan kepada Irfan bahwa leher jenjangnya adalah keindahan yang seharusnya membuat manusia kian bercahaya. Namun, yang anehnya, malah membuat suaminya terbenam dan terbakar berahi. Mengapa keindahan selalu dimakan api? Tak adakah sepercik rasa syukur, melalui kekaguman atas keindahan ciptaan-Nya? Sesekali pula Wening mengubah posisi tubuhnya, condong ke depan, menariknya perlahan, miring ke kanan, menoleh ke sudut. Wening yakin sekali, dari tempatnya berdiri, Irfan akan menyaksikan sebuah bangun indah, sebuah bangun menakjubkan, yang berhasil diciptakannya. Perlahan langkahnya menjauh, dan dibiarkannya samparan itu menjulur panjang, terseret gerak tubuhnya. Sengaja dibiarkannya Irfan menjadi begitu bodoh, dungu, bebal dengan tatapan matanya yang entah mempertanyakan apa. Dibiarkannya, kali ini, laki-laki itu tersuruk-suruk ketidakpahamannya akan apa yang disaksikan kedua matanya; ah, laki-laki memang tak pernah dewasa, tak paham akan keindahan. Dirimu hanya dikuasai sesuatu yang bahkan hanya kau sembunyikan di balik celana dalammu. Langkahnya terus mengalir, entah sudah berapa lama. Wening hanya melihat, anak-anaknya berdatangan dalam bisu, kemudian sanak saudaranya, ibu dan ayahnya yang renta, juga mertua, bahkan kerabat jauh dan para tetangganya. Mereka semua membisu. Mereka berubah menjadi batu. Hanya Wening di dunia ini yang mengalir, berenang dalam cahaya keindahan geraknya. “Mama… please…,” bisik Neny setengah menangis, mencoba mengingatkan ibunya. Tetapi Wening telah menari, dan tak ada yang bisa menghentikannya. Kain samparannya terlalu panjang. Seakan ingin mengatakan bahwa penderitaan Wening jauh lebih panjang dari kain yang bisa disaksikan berpasang-pasang mata itu. Irfan mencoba meringkus istrinya, dibantu sanak saudara yang ada di situ. Entah ceracau apa yang keluar dari mulut Irfan mencoba menyadarkan istrinya, tak terdengar sama sekali oleh Wening. Wening bahkan tak melawan. Dia hanya tersenyum, karena bahkan tubuhnya pun bukan lagi miliknya. Karena saat ini, dia tengah menari dengan jiwanya. Bahkan ketika mobil dari RSJ datang dan membawanya pergi, Wening tetap menari, menyampaikan gerak-gerak lembut untuk melembutkan nurani manusia. Gerak-gerak gemulai yang membangkitkan kekuatan manusia untuk mengetahui dirinya sendiri…. Bukit Nusa Indah, 982 1 Gerak tari Jawa, khususnya pada bagian tangan. 2 Sebuah komposisi gending yang oleh sebagian orang dianggap sakral.
""Wening""
Di masa pemerintahan Gubernur Jenderal Idenburg, di Batavia beredar kisah konyol tentang Raden Sukmakarto, seorang bangsawan Jawa anak Bupati Blora, mahasiswa STOVIA yang tak menyelesaikan studinya karena asyik berpesiar ke Eropa. Bakatnya dalam bidang kesenian telah menggemparkan seluruh Hindia Belanda. Namun peristiwa di gedung Nederlandsch-Indie Kunstkring-lah yang membuat ia menjadi lelaki paling terkenal di Batavia di masa itu. Ketika lagu Wilhelmus van Nassau mulai mengumandang di gedung Nederlandsch-Indie Kunstkring, seorang lelaki pribumi berdestar dan berterompah malah menyanyikan lagu aneh berbahasa Jawa meskipun nada-nadanya selaras dengan lagu kebangsaan Belanda tersebut. Sontak saja beberapa hadirin dalam ruangan bersuasana khidmat itu menoleh ke arahnya. Belangkon yang dikenakannya dipakai terbalik sejak irama lagu kebangsaan Belanda mulai mengalir. Tubuhnya yang pendek dengan kulit coklat seperti memberi warna tersendiri dari kumpulan bangsa-bangsa kulit putih yang berdandan anggun malam itu. Sekalipun ia merasa beda di antara sebagian besar pengunjung, tak sedikit pun terpancar kerendah-dirian pada dirinya. Seorang opsir dan dua pembantunya, setelah mendapat laporan dari seorang kacung, meninggalkan tempatnya berdiri di belakang Gubernur Jenderal Idenburg yang sedang berbahagia meresmikan gedung kesenian itu dan melangkah menuju pada lelaki berpakaian Jawa itu. Mereka menggelandang lelaki ganjil itu ke ruang pemeriksaan sementara. “Apa yang kau nyanyikan? Apakah kau menghina ratu kami?” tanya opsir itu setelah menggelandang lelaki aneh itu ke ruang keamanan. Laki-laki itu memandang sang opsir dengan raut muka tiada salah. Wajahnya tak membersitkan apa pun selain ketidaktahuan ketika ia digelandang begitu saja dari ruang peresmian dan melewati lorong-lorong yang dindingnya dipenuhi oleh lukisan-lukisan Rembrandt. Justru sepanjang digelandang, mulutnya berdecak-decak kagum mengamati lukisan pelukis Belanda itu walaupun hanya mengamatinya sambil lalu. Dan ketika sudah berada di kantor keamanan di lantai dua itu, ia tak henti-hentinya memandangi potret seorang Jenderal di masa perang Jawa, penakluk pemberontakan Diponegoro dan Bonjol. “Ia kurang hidup dengan memegang tongkat komando seperti itu, sementara sorot matanya tak membersitkan kekejaman dan keculasan seperti yang ia praktikkan di masa perang,” katanya bak seorang kampiun kurator lukisan. Opsir itu murka dan menampar mukanya. “Dasar Inlander! Apakah kau tak mendengar pertanyaanku?! Perbuatanmu di ruang peresmian sudah cukup mengantarkanmu di tiang gantungan. Sekarang kau menghina tuan Jenderal De Kock yang terhormat,” katanya dengan gusar. “Aku seorang seniman, apakah aku salah kalau berpendapat? Bukankah gedung ini dibangun untuk keagungan kesenian Hindia Belanda?” kata lelaki berkulit sawo matang itu dengan mimik menuntut. “Bahkan seorang seniman sekalipun harus punya aturan, bukan seperti pemberontak macam kamu,” jawab sang opsir. “Apa yang kau nyanyikan di ruang peresmian itu?” “Wilhelmus van Nassau.” “Itu bukan lagu kebangsaan bangsa kami. Itu lagu Jawa.” “Karena kunyanyikan dalam bahasa Jawa. Kalau tuan sekiranya tahu bahasa Jawa, tentu tuan akan mengerti lagu itu,” jawabnya dengan enteng. Pukulan tangan beberapa kali dari opsir tinggi besar itu membuat darah meleleh dari mulut dan hidungnya. Barangkali bibir dan tulang rawannya pecah dipukuli oleh opsir itu dan dua pengawalnya. “Kau mau menipu kami?!” “Saya tidak menipu, Tuan. Saya bicara sesungguhnya.” Opsir itu meninggalkan ruang keamanan yang disulap menjadi ruang interogasi dalam waktu singkat. Tak lama setelah meninggalkan ruangan itu, ia kembali lagi dengan membawa seorang Belanda lain yang berpakaian indah dan pesolek. “Coba kau nyanyikan lagi lagu yang tadi kau lantunkan di ruang peresmian,” Opsir itu memerintahnya. Lelaki itu memandang sang opsir yang tak sedikit pun memiliki senyum. Ketika ia beralih memandang orang Belanda berpakaian sipil dan pesolek itu, ia mendapati kesan bersahabat pada dirinya. Sinar matanya menunjukkan rasa belas kasihan melihat hidung dan mulutnya mengeluarkan darah. “Saya tidak pernah melihat tuan sebelumnya,” katanya tanpa mengindahkan perintah Opsir itu. Sang Opsir murka dan berniat melayangkan pukulan padanya, namun Belanda pesolek itu memberikan isyarat supaya ia menghentikan perbuatannya. “Saya baru datang dari Surabaya. Saya tinggal di sana selama tiga tahun. Tentu saja tuan tak mengenal saya,” katanya dengan bahasa Jawa yang halus. “Oh, tuan bisa berbahasa Jawa? Ah, tuan sungguh berbudaya, tahu di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung. Siapa nama tuan?” “Nama saya Hooykaas. Katanya tuan menyanyikan Wilhelmus van Nassau dalam bahasa Jawa. Apakah benar tuan telah menyanyikannya dalam bahasa Jawa?” “Benar.” “Bagaimana tuan menerjemahkan lagu itu ke dalam bahasa Jawa? Ingin rasanya saya mendengarkannya dari mulut tuan sendiri,” katanya. “Apakah tuan benar-benar mau mendengarkan? Saya kira semua orang Belanda berbudaya. Tapi saya malah mendapatkan pukulan.” “Pukulan dan kekerasan fisik adalah tata cara interogasi, tuan. Tata cara sesama orang berbudaya lain lagi bukan? Ayolah, saya ingin mendengarkan tuan menggubah lagu kebangsaan negeri kami,” kata Belanda pesolek itu dengan suara halus. Lelaki itu kemudian menyanyikan lagu Jawa yang terdengar aneh di telinga opsir dan dua pengawalnya itu. Sementara Belanda pesolek bernama Hooykaas mendengarkan nyanyiannya dengan saksama. Wajahnya yang berdahi lebar sedang memikirkan sesuatu. Setelah lelaki itu selesai menyanyikan lagunya, bola mata Hooykaas bersinar-sinar gembira. “Aha, tuan bisa menggubah liriknya ke dalam bahasa Jawa yang indah. Tak pernah kudengarkan lagu kebangsaan kami dinyanyikan dalam bahasa selain bahasa Belanda. Tuan benar-benar memiliki darah seni yang kuat,” katanya. Opsir yang mendengarkan komentar Belanda pesolek itu tertegun mendengar komentarnya. “Tapi ia menghina ratu karena menyanyikan lagu kebangsaan dengan cara yang aneh. Tuan Gubernur Jenderal tentu akan murka dan menjatuhkan hukuman mati padanya. Tubuhnya akan dicerai-beraikan dengan empat kuda yang lari ke empat penjuru mata angin. Tuan tahu Peter Elberfeld? Nasib tuan tidak akan jauh seperti dia dahulu,” katanya. Tuan Hooykaas memandang opsir yang tadi menyiksa lelaki itu. Tiba-tiba cahaya terang seperti melintas dari dahi lebarnya dan merasuk ke dalam kepalanya. Ia memalingkan muka ke arah lelaki itu. Tangannya bergerak ke arah kantong saku dan mengambil sapu tangannya. Diserahkannya benda putih persegi empat terbuat dari bahan sutra halus dan berkilat kepada lelaki itu. “Hapuslah darah tuan. Nasib hidup tuan barangkali tidak lama lagi. Pertama tuan menghina bangsa kami dengan menyanyikan lagu Wilhelmus van Nassau dalam bahasa Jawa. Kedua, menurut pengakuan opsir kami, tuan membalikkan belangkon yang tuan pakai ketika lagu kebangsaan kami mulai berkumandang. Itu perbuatan menghina bangsa tuan sendiri. Dan yang ketiga, masih menurut opsir kami, tuan menghina lukisan potret salah satu pahlawan perang kami di tanah Hindia ini, seorang strateeg yang andal seperti Jenderal De Kock,” katanya dengan senyum simpul. Sambil menghapus darah yang masih menetes dari mulut dan hidungnya, ia melirik sebentar ke arah lukisan itu. “Ah, aku yakin tuan tahu belaka letak kesalahan lukisan ini. Bagaimana Jenderal besar semacam De Kock tak memiliki syarat-syarat seperti yang saya katakan pada opsir tuan ini. Dia seorang strateeg seperti kata tuan tadi, tapi di mana tuan dapati kesan itu pada lukisan ini,” katanya sambil menunjuk lukisan yang ada di sisi kirinya. “Bisa tuan bandingkan ketika pelukis kami yang tersohor di daratan Eropa melukis Pangeran Diponegoro, musuh Jenderal De Kock pahlawan tuan itu. Padahal bangsa tuan memiliki pelukis-pelukis yang tersohor di seluruh dunia. Bangsa kami hanya memiliki Raden Saleh.” “Ah, saya kagum pada tuan. Rupanya tuan memiliki pandangan yang luas. Apakah tuan pernah melihat lukisan Raden Saleh?” tanyanya dengan penuh rasa ingin tahu. “Ya, tuan. Saya pernah merantau ke negeri tuan, dan tinggal di Paris selama dua tahun. Telah saya cari seluruh lukisan raden Saleh di seluruh Eropa. Saya datang ke bekas rumahnya di Belanda. Apa pekerjaan tuan kalau saya boleh tahu?” tanyanya dengan raut muka acuh tak acuh. “Saya seorang penulis. Saya datang dari negeri Belanda dan tinggal di Hindia Belanda karena tertarik dengan alam khatulistiwa yang dituliskan sastrawan besar kami, Multatuli. Sastrawan Agung Goethe dari negeri Jerman saja kagum dengan Hindia Belanda. Itulah sebabnya saya sampai di sini. Sedangkan tuan Gubernur Jenderal Idenburg adalah teman saya semasa menyelesaikan studi di Belanda. Itulah sebabnya saya dipanggil dalam peresmian gedung ini,” katanya. “Kabarnya tuan Gubernur Jenderal sangat menghormati kesenian dan para intelektual. Itulah sebabnya saya berani menyanyikan lagu kebangsaan tuan dalam bahasa bangsa kami,” sergahnya. “Tentu saja, Tuan. Dia amat menghormati kesenian. Tapi dia juga penguasa politik di negeri ini.” “Oh, benarkah? Tapi seorang penguasa negeri sekalipun tak akan dengan mudah menjatuhkan hukuman bukan? Saya dengar dia banyak memanggil kaum intelektual dan seniman Hindia Belanda ke kantornya dan untuk acara-acara resmi. Ia memang keras terhadap aktivitas politik kaum pribumi seperti Dr Cipto dan Suwardi dan orang dari negeri tuan sendiri seperti Douwes Dekker. Tapi orang seperti saya apakah menghina bangsa tuan?” Belanda pesolek itu terpukau dengan ketenangan dan wajah tiada bersalah dari lelaki itu. Ucapannya tajam, namun apa yang keluar dari mulutnya amat menarik hatinya. Rencananya berjalan mulus. Opsir yang menginterogasi lelaki itu duduk gelisah di atas kursinya, mengetukkan jemarinya pada meja. Opsir itu silih berganti dengan tuan Hooykaas menanyai Raden Sukmakarto perihal perilaku-perilakunya di gedung itu. Yang satu dengan upaya menyudutkannya ke arah hukuman, sedangkan pihak yang lain berusaha mengarahkan pembicaraan ke arah kesenian. Keduanya bersitegang dan hampir adu mulut untuk menentukan apakah inlander yang kini mereka interogasi itu bersalah. Akhirnya mereka bersepakat menyerahkan persoalan itu kepada tuan Gubernur Jenderal setelah acara berlangsung. Desas-desus perilaku Raden Sukmakarto menyebar di seluruh Batavia. Orang-orang mulai bertaruh tentang berapa banyak waktu bagi lelaki nyentrik itu untuk menghirup napas bebas di muka bumi. Sampai pada saat ia dipanggil Tuan Gubernur Jenderal Idenburg ke kantornya di Weltevreden, orang-orang di seluruh Batavia diam-diam menunggu-nunggu dengan tidak sabar. Entah bagaimana kejadiannya ketika bertemu dengan tuan Gubernur Jenderal Idenburg, Raden Sukmakarto keluar dari kantor Gubernur Jenderal itu dengan wajah berbinar-binar gembira. Orang-orang bertanya padanya kenapa ia tak dihukum mati seperti perkiraan sebagian besar orang. Tapi lelaki berkulit sawo matang dengan penampilan ganjil itu tak memberikan jawaban memuaskan. Ia hanya bercerita di dalam kantor tuan Gubernur Jenderal, ia menyanyikan banyak lagu-lagu Eropa dan memainkan musik klasik kesukaan tuan Gubernur Jenderal sampai lelaki yang paling berkuasa di Batavia itu tertidur. “Setelah bangun dari tidurnya ia menyuruhku pergi, dan selamatlah aku dari hukuman mati,” katanya dengan raut muka tiada bersalahnya. Kisah Raden Sukmakarto itu menyebar menjadi berita heboh di Batavia, mengalahkan kedatangan rombongan pentas musik dan para pelukis negeri Belanda yang datang dan mengadakan pameran di Gedung yang baru diresmikan itu. Muncul pula desas-desus lain bahwa lelaki berkulit sawo matang itu telah membohongi tuan Hooykaas dengan mengganti lirik lagu yang dinyanyikannya di dalam gedung peresmian dan di depan tuan Hooykaas sendiri. Sejak itu para intel melayu selalu mengikutinya. Namun mereka tak kunjung memiliki alasan kuat untuk membongkar desas-desus yang beredar itu. Yogyakarta, Akhir Februari 2006
""Tambo Raden Sukmakarto""
Air putih kental itu saya terima di dalam tubuh saya. Mengalir deras sepanjang rongga vagina hingga lengket, liat sudah di indung telur yang tengah terjaga. Menerima. Membuahinya. Ada perubahan di tubuh saya selanjutnya. Rasa mual merajalela. Pun mulai membukit perut saya. Ketika saya ke dokter kandungan untuk memeriksakannya, sudah satu bulan setengah usia janinnya. Akan kita apakan calon bayi ini? Kita masih terlalu muda,” kata ayahnya. Saya akan menjaganya. Air kental itu seperti bom yang meledak di dalam tubuh saya. Mengalir deras sepanjang rongga vagina hingga keluar mendesak celana dalam yang tak kuat membendungnya. Terus menyeruak dan mendarat lengket, liat, di atas seprai motif beruang teddy berwarna merah muda. Ketuban sudah pecah. Rasa takut seketika membuncah. Tapi segera mentah berganti dengan haru memanah. Sembilan bulan sudah. Lewati mual tiap kali mencium bau parfum keluaran baru eternity. Rasa waswas setiap kali belum waktunya namun sudah kontraksi. Tidak mengambil cuti, mencari uang demi mengonsumsi makanan bergizi yang konon bisa membuahkan kecanggihan otak maupun fisiknya nanti. Tapi… “Kami mengerti, tapi perutmu sudah kelihatan tambah besar. Kami tidak bisa mempekerjakan SPG yang kelihatan sedang hamil,” kata supervisor saya. Saya akan menjaganya. Air ketuban sudah hampir kering. Baru pembukaan delapan, masih harus menunggu dua pembukaan lagi. Harus operasi. Tapi saya ngotot persalinan alami. Uang yang terkumpul tidak cukup untuk operasi. Dan jika operasi, saya khawatir tidak bisa langsung mengurusnya sendiri. Untuk keperluan sehari-hari saja pas-pasan. Membayar pembantu, apalagi suster, jelas belum mapan. Materi yang ada, belum cukup untuk hidup sebagai majikan. Memikirkan itu tenggorokan saya jadi ikut kering. Erang kesakitan sudah tidak lagi melengking. Kepala saya pening. Dokter yang baik itu menatap saya dengan prihatin. Tapi saya berkata dengan yakin. “Robek saja, Dok. Gunting saja supaya tuntas pembukaannya.” Saya akan menjaganya Air hangat itu membasuh kulit tubuhnya yang bening. Suara tangisnya seisi ruangan melengking. Saya jentikkan jari kelingking di pipinya yang merah. Mengecup kedua matanya yang masih lengket. Masih tak percaya. Makhluk manis tak berdaya itu pernah tinggal di dalam rahim saya. Masih tak percaya. Makhluk mungil itu keluar dari dalam tubuh saya. Lantas suster membawanya. Pergi ke kamar bayi jauh dari ibunya. Saya ingin protes, tapi tak bisa. Saya hanya bisa berjanji dalam hati, setelah ini tak akan ada yang memisahkan kami lagi, ketika suster itu berkata, “Ibu butuh istirahat untuk mempersiapkan ASI. Sekarang kami akan membawanya ke kamar bayi.” Saya akan menjaganya. Air putih cair itu keluar berupa jentik-jentik yang ajaib di ke dua puting saya. Suster yang sedari tadi memijat payudara saya terlihat puas. Tidak terlalu sulit mengeluarkannya. Selama sembilan bulan setiap harinya saya sudah memijat payudara saya dengan minyak kelapa. Lucu, sekarang ke dua payudara kecil ini pun gemuk membungkah seperti kelapa. Penuh dengan air susu yang sebentar lagi akan ada pengisapnya. Di mana makhluk mungil itu? Saya begitu tak sabar menunggu. Begitu ingin segera menimang dan menatapnya menyusu. Saya sudah tidak butuh rehat. Air susu saya sudah sarat. Payudara sudah terasa berat. “Benar Ibu sudah siap?” Saya akan menjaganya Air mata meleleh di pipinya, tak ingin begitu saja melepas kepergian saya. Cukup lama saya harus menenangkannya. Berusaha memberikan pengertian. Berusaha memberikan rasa aman. Dan harapan. Harapan akan segera pulang. Harapan akan segera pulang membawa uang. Harapan akan segera pulang membawa uang untuk suatu hari nanti tak perlu pergi kerja dan tinggal angkat kaki ongkang-ongkang. Jika saat itu tiba, kami akan menjelajah dunia. Mengunjungi semua Disneyland di tiap negara yang memilikinya. Bermain dengan penguin-penguin di Cape Town selatan Afrika. Menyeruput pinacolada di Hawaii sambil menyaksikan tarian bora-bora. Kalau perlu, kalau ia mau, saya akan membeli rumah berikut taman bermain milik raja pop Michael Jackson yang tengah bangkrut. Membeli apa pun yang ia inginkan semudah orang membuang kentut. Tapi tidak mudah memberikan sejuta harapan. Apalagi jika harapan-harapan itu kerap diulang-ulang dan tak pernah mewujud jadi kenyataan. Karena sudah beribu-ribu kali saya hanya pulang membawa sedikit uang. Hanya cukup untuk makan sekadar, membayar listrik, air, telepon, kontrakan, dan sekolah yang semakin hari harganya semakin tinggi menjulang. Dan saya tetap akan pergi. Tetap akan pulang. Ia akan tetap tak membiarkan saya pergi. Tetap menunggu saya pulang. Saya tetap akan pergi. Tetap akan pulang. Ia membiarkan saya pergi. Tak menunggu saya pulang. “Capek ah nunggu, aku udah mau tidur!” semprotnya. Saya akan menjaganya. Air asin itu mendarat di bibir saya lagi. Lampu-lampu besar seperti makhluk pemeras keringat yang tak berperikemanusiaan. Sudah jam delapan. Baru akan dimulai merekam adegan. Saya harus segera menghayati peran. Tapi kepala saya masih dipenuhi pikiran. Apakah makhluk kecil yang sudah beranjak remaja itu sudah makan? Apakah ia kesepian? Atau jangan-jangan di rumah ia sedang asyik masyuk pacaran? Saya menjadi ketakutan. Ingin menelepon tapi sutradara memberi instruksi jika ponsel mutlak dimatikan. Tak ada yang mungkin saya lakukan untuk menjangkaunya sekarang. Padahal saya sudah begitu ingin cepat-cepat menjangkaunya dan terbang pulang. Melayang seperti burung tanpa harus terhambat kemacetan. Melayang bersamanya menikmati indahnya kelap kelip lampu jalan seperti dongeng anak-anak Peter Pan. Lampaui semua beban. Lampaui semua luka dan penderitaan. Kadang saya juga ingin melayang jauh ke masa lampau. Tidak membiarkan air putih kental itu lengket di indung telur hingga tumbuh menjadi janin yang kini terlahir sebagai manusia yang merasa disia-siakan. Melayang lebih jauh lagi ke masa lampau. Tak bertemu dengan ayahnya yang dengan mudahnya lepas tangan. “Action!” teriak sutradara. Saya akan menjaganya. Air jernih di dalam gelas yang dulu ada di atas meja samping tempat tidurnya, kini telah berganti dengan air berbusa kekuning-kuningan. Di gelas itu berdiri sebotol bir merek bintang. Entah disengaja untuk menarik perhatian. Entah ia sudah teler dan lupa menyimpan. Yang sudah pasti telah terjadi perubahan yang membuat saya tertekan. Tapi lebih pasti lagi ia tak kurang tertekan. Apakah yang sudah saya lakukan? Atau justru apakah yang tidak saya lakukan? Sudahkah karenanya ia menjadi korban? Di balik selimutnya ia tertidur dengan amat tenang. Saya jentikkan kelingking di pipinya yang bening. Saya kecup kedua matanya yang merapat, persis seperti ketika ia baru lahir dengan kedua mata yang masih lengket. Tapi ia menggeliat. Lantas meronta, menghalau saya supaya tak dekat-dekat. Semakin terkumpul segala lelah segala penat. “Bangsaaaaaaaat!” Saya tak kuasa menjaganya Air kuning kental itu meluap dari mulut saya. Lima puluh pil penenang saya tenggak. Harusnya seratus pil seperti yang dikonsumsi Maryln Monroe hingga ajal menjemputnya. Ada cahaya di ujung lorong, igau saya. Ternyata datang dari tubuhnya yang berbalut cahaya kemilau dengan tangan terbuka. Siap menerima saya dalam pelukan bahagia. Saya menengok ke arah ujung lorong yang berlawanan. Ada kegelapan, igau saya. Ternyata datang dari tubuhnya yang sama sekali tak berbalut cahaya kecuali melulu kegelapan dan luka. Terkulai lemah seakan menunggu saya menerima ia dalam pelukan saya. Menunggu. Seperti semasa ia bayi menunggu saya membersihkan puting payudara sebelum menyerahkan untuknya menyusu. Menunggu. Seperti semasa ia balita menunggu saya pulang selepas kerja membawa sedikit uang dan satu kantung plastik berisi sepatu baru. Menunggu. Seperti saya sekarang menunggunya dengan ilusi dirinya berkilauan merentangkan tangan atau terkulai lemah membutuhkan pegangan setelah menemukan mulut saya berbusa akibat menenggak obat penenang. Menunggu. Seperti sekarang saya menunggu emosi saya pergi. Menunggu kesadaran saya kembali. Menunggu. Seperti saya sekarang menunggu satu saat nanti ia mengerti. Satu saat nanti ia kembali. Saya kembali ke kamarnya. Duduk di samping tempat tidurnya dan memerhatikannya yang sudah kembali pulas tidur. Ada buku di sampingnya menarik perhatian saya. Pelan-pelan saya ambil dan buka. Ada puisi di dalamnya. Air dapat memelukmu tapi tak akan membelenggumu Air dapat pantulkan cahayamu tapi tak dapat jadikanmu nyata(*) Saya akan menjaganya. Jakarta, 13 Mei 2006 12:24:00 PM Untuk Banyu Bening (*) Cuplikan puisi Air karya Banyu Bening
""Air""
Sungguh, aku tak dapat menolak—bahkan secara halus—ketika Linda memintaku agar mengantarnya ke rumah ibuku. Tetapi, aku tetap mengulur-ulur waktu…. Aku hanya mau silaturahmi,” ujarnya kemudian. Ringan. Aku bimbang. Sulit sekali untuk menyatakan tidak atau ya. Justru yang terbayang adalah wajah ibuku. Meskipun ibuku sudah tak lagi dapat melihat sejak lima tahun karena diabetes, ibu pasti tahu kalau yang kubawa bukan Mirna, istriku. Kemudian ia akan bertanya macam-macam tentang Linda. Perasaan seorang ibu yang sudah 60 tahun lebih hidup pastilah akan berkata lain. Setidaknya, dia akan berkata dalam hatinya bahwa aku sudah berani bermain api. Atau kebiasaan ibu yang selalu berterus terang akan bertanya: “Kamu sudah beristri lagi, ya? Jangan lukai hati perempuan. Jangan sekali-kali menipu istri, Rud.” Kata Linda hanya mau silaturahmi. Benarkah tanpa maksud lain di baliknya? Aku ragu. Soalnya, Linda belum kenal dengan ibuku. Ibu juga tak mengenal perempuan lain bahkan sebagai temanku sekalipun, kecuali Mirna yang sudah menjadi istriku selama 23 tahun. Ibu juga amat tahu dengan pribadiku selama ini yang tak suka bermain-main api, tak pernah berkhianat. Bahkan sewaktu aku berpacaran dengan Mirna, aku tak pernah membawa perempuan lain ke rumah. Selalu Mirna yang kuajak. Senantiasa Mirna yang datang dan menemui ibu. Kalau kini aku membawa Linda? Apa kata ibu? Kepercayaan ibu selama ini padaku pastilah segera tercoreng. Ia tak akan mempercayaiku lagi untuk selama-lamanya. Ibu akau menudingku sudah berkhianat pada Mirna, pada kaum perempuan. Dan, aku yakin, ibu pun akan terluka hatinya. Sebagai sesama perempuan, hati ibu akan sama seperti yang dirasakan Mirna. Apalagi, aku tahu benar, ayah selama hidup perkawinannya dengan ibu tidak kudengar berselingkuh. Secuil pun tak melukai hati ibu. Tidak juga bermain mata dengan perempuan lain. Maka bukan mustahil ibu akan berang kalau tahu yang kubawa ke hadapannya adalah perempuan lain, meski hanya teman biasa. Kalau tidak berbisik, ia akan terang-terangan berujar: “Jangan bawa perempuan lain ke sini, apa jadinya kalau Mirna tahu? Ibu tak enak, dikiranya ibu menyetujui hubungan kalian!” Atau dengan cara lain: ibu menunjukkan sikap tak sukanya. Ada hubungan? Benarkah aku memiliki hubungan khusus dengan Linda? Sungguh, sulit aku menjawabnya. Linda adalah perempuan yang kukenal enam bulan lalu pada malam pembacaan puisi di Gedung Kesenian. Ia menemuiku sesudah acara, dan seperti dia katakan bahwa ia kerap membaca tulisanku di berbagai media massa nasional. Terutama cerpen-cerpenku yang dimuat tabloid wanita dan di sebuah harian terbesar di Jakarta. “Tapi, saya juga menyukai puisi-puisi Mas Rudi. Bahkan saya amat menyukai puisi Mas yang untuk ibu, saya hafal di luar kepala. Puisi itu sungguh-sungguh menggugah saya, membuat saya teringat pada ibu saya yang sudah meninggal. Kapan-kapan boleh saya bertemu dengan ibu Mas Rudi?” Waktu itu aku hanya mengangguk. Mungkin basa-basi. Karena pikirku, tak mungkin Linda akan datang ke kotaku. Lagi pula pertemuan di suatu tempat seperti di Gedung Kesenian, seperti sebuah perjumpaan yang terjadi di halte, terminal, pelabuhan, ataupun di dalam perjalanan. Hanya saling “”hello” untuk kemudian berjalan masing-masing atau dilupakan. Tapi, meleset. Ternyata tidak setiap pertemuan yang tak sengaja dan sekejap lalu tak berkesan. Sebab, bagi Linda, perjumpaan yang sekejap itu amat berkesan. Ia datang ke kotaku. Sepertinya hendak menagih janjiku untuk mempertemukannya dengan ibuku yang terabadi dalam puisiku: “Kembali Ziarah”. Ia bahkan memujiku. Aku dinilainya sebagai anak yang berbakti pada ibu, yang memiliki kesejarahan yang sangat dekat dan kuat pada ibu. “Dari puisi Mas Rudi itu, saya bisa merasakan bahwa pengarangnya memiliki kedekatan amat khusus dengan ibu. Padahal banyak pengarang yang menulis tentang ibu, tapi tak sedalam makna yang ada dalam puisi Mas Rudi. Itulah sebabnya, aku ingin sekali bertemu dengan ibu. Bagaimana sih sesungguhnya perempuan yang ada dalam puisi mas Rudi itu?” katanya memberi alasan saat kutanya mengapa ia ingin sekali bertemu dengan ibuku, sehingga jauh-jauh datang ke kotaku. Linda kujemput di Bandara Radin Intan dengan pesawat pertama. Ia sempat kaget ketika ia kugiring ke motorku begitu keluar dari pintu bandara. Mungkin dalam benaknya, aku akan menjemputnya dengan mobil pribadi. Namun kekagetan itu hanya sesaat, wajahnya segera berganti ceria. “Wah, asyik sekali berkendaraan motor. Saya bisa leluasa melihat keindahan kotamu,” ucapnya segera melompat ke jok motor. “Kamu benar-benar heroik!” pujiku. “Aneh?” “Tidak sih. Cuma aku benar-benar tak memperkirakan kalau kau akan datang. Kukira malam itu, kau hanya basa-basi….” “Saya tak pernah main-main dengan ucapanku. Aku tak suka kepura-puraan,” katanya tegas. “Apa kau melihat wajahku seperti yang orang yang selalu pura-pura?” “Tidak juga!” “Nah, buang jauh-jauh kalau begitu pikiran negatifmu sejak sekarang tentang diriku….” “Oke. Maafkan aku,” kataku kemudian. “Sekarang kita mampir dulu ke rumah makan. Aku yakin kau pasti sudah lapar. Iya kan?” “Wah, tawaran yang bagus itu.” Ini sudah hari ketiga Linda berada di kotaku. Ia sudah bertekad akan menetap agak lama, itu sebabnya, siang tadi ia memintaku mencarikan sewaan rumah. Ia tertarik dengan rumah itu, tinggal lagi kesepakatan harga. Sebenarnya aku sudah berulang menasihatinya agar segera pulang ke suaminya, tetap ia bersikukuh. Keputusannya sudah bulat: meninggalkan suaminya. Ia sudah mengajukan mutasi kerja ke bank cabang di kotaku. “Tak ada yang bisa memengaruhi untuk kembali padanya. Aku sudah bosan dengan janji-janji palsunya!” tegasnya. Yang jelas, menurut Linda, akhirnya ini sejak suaminya pengangguran memang kerap ringan tangan. Padahal yang menutupi kebutuhan rumah tangganya dari gajinya. Lalu ia meminta masukan perihal tata cara perceraian. Sekadarnya kujelaskan sejauh yang kutahu, tanpa ingin aku masuk ke persoalan rumah tangganya. Aku selalu berada di antara keduanya. Aku katakan padanya, biasanya yang menggugat perceraian bukan dari pihak istri. Oleh sebab itu, sulit jika pihak laki tak mau menceraikan. “Kalau begitu masalahnya, ya sudah aku tak mau mengurus perceraian kami. Tapi juga aku tak ingin kembali menemuinya! Titik. Beres kan?” “Jelas tak semudah itu,” kataku. “Kalau, misalnya, nasib menentukan kau mencintai seseorang dan lelaki itu juga ingin menikahimu. Bagaimana kalau suamimu tahu dan karena merasa kalian belum bercerai, ia pun menuntut?” “Ah, itu urusan nanti. Sebuah masalah yang belum terbayang dalam benakku!” Linda menepis kemungkinan itu. Dan, ia memang tipe orang yang selalu realistis. Ia lakoni apa yang ada pada hari ini dan yang di hadapannya. Setelah itu diam. Beberapa lama. Motorku melaju menembus kilapan cahaya lampu sepanjang Jalan Diponegoro—menuju Kota Telukbetung. Ketika melintasi perempatan Jalan Dr Susilo, Linda menunjuk sepasang patung—Muli dan Menganai—yang masih berselimut kain putih. “Mengapa patung itu diselimuti. Patung apa itu?” ia bertanya. Deru motor membuat suaranya sayup-sayup sampai ke telingaku. “Itu patung Muli-Menganai. Bahasa Lampung artinya ’gadis dan bujang’. Karena belum sesuai adat dan kalau tak salah banyak yang protes, akhirnya patung yang baru dibuat oleh Wali Kota yang baru dilantik terpaksa ditunda peresmiannya,” aku menjelaskan. Linda tak lagi bertanya. Aku memacu motorku menuruni Jalan Diponegoro. Berhenti di sebuah warung khusus penjual pempek. Aku yakin Linda pasti ingin mencicipi pempek Palembang yang banyak disediakan di kawasan ini. Benar, ia bersemangat. Apalagi, setelah tahu harganya pun jauh lebih murah jika dibanding di Jakarta. Entah berapa puluh pempek disantapnya. Aku khawatir akan mengganggu perutnya. “Kau keberatan mengantarku ke rumah ibu?” Linda kembali mengajukan pertanyaan, seusai pempek ke 15 dimakannya. Aku menghidupkan sebatang rokok. “Ya sudah kalau kau tak ingin, aku maklum. Berarti kau menganggapku hanya sebatas teman, tidak lebih dari itu,” lanjutnya. “Maksudmu, Linda?” Aku tak mengerti. “Bukan karena aku keberatan, cuma belum saatnya.” Linda tak menyahut. Ia kesampingkan pandangannya. “Maafkan aku, Linda. Bukan aku tak ingin mengenalkanmu dengan ibu. Hanya tidak sekarang,” kataku membuka percakapan sambil memasukkan makanan ke mulut. Hening. Kutatap wajah Linda dalam-dalam. Aku menginginkan pengertiannya, sekali lagi, agar ia membatalkan untuk bertemu ibu. Aku hendak menjaga perasaan ibu yang selama hidupnya mendampingi ayah tanpa dikhianati. Aku juga mau menenggang rasa Mirna. Tetapi, bukankah Linda juga perempuan? Ia juga punya perasaan, setidaknya memiliki kerinduan pada figur ibu sejak orangtuanya meninggalkan empat tahun lalu. “Katamu kemarin, mau mengantarku sekarang?” “Tapi, sudah malam, Linda?” “Sudahlah, tak usah beralasan. Kau memang tak ingin menemukan aku dengan ibumu. Aku jadi meragukan tentang puisimu itu…” “Oke, oke. Ayo, malam ini aku antar kau menemui ibuku,” kataku sudah kehabisan cara untuk menolak keinginannya. “Tapi, sepertinya kau terpaksa? Aku tak mau kau merasa dipaksa olehku, lalu mengantarku pun karena terpaksa. Aku tak suka itu…” “Tidak, tidak. Aku mau mengantarmu sekarang, ayo…” >diaC< Ibu ternyata belum tidur. Kulihat mukena belum dilipatnya. Pastilah ibu baru selesai shalat sunah usai Isa menjelang tidur. Aku mengambil tangan ibu dan mencium sedalam-dalamnya. “Ada apa Rud, malam-malam datang?” Adikku yang sudah berkeluarga dan menemani ibu mendekati telinga ibu dan berbisik: “Rudi datang membawa teman perempuan. Katanya ingin bertemu ibu…” “Siapa?” ibu bertanya. Entah lantaran tak mendengar atau pertanyaan yang menyimpan kecurigaan. Adikku mengulang. Ia menuntun ibu ke luar kamar. Linda segera menghampiri dan mengambil tangan ibuku untuk kemudian menciumnya. “Saya Linda Bu dari Jakarta. Saya tertarik dengan puisi Mas Rudi yang sangat menyanjung dan memuji Ibu. Karena itu, saya ingin sekali bertemu Ibu, hendak bersilaturahmi.” Ibu hanya diam. Rona wajah ibu tak sedikit pun berubah. Ia mencari kursi di tempat biasa ibu duduk. Linda mendekat. Menyerahkan kue ke tangan ibu. Setelah itu merogoh isi tas dan mengeluarkan sesuatu. “Siang tadi saya membeli kacamata, saya pikir Ibu tak bisa melihat hanya karena tak punya kacamata. Tapi…” ujar Linda sambil menyerahkan kacamata yang aku yakin harganya amat mahal. “Maaf, Nak. Mata Ibu sudah tak butuh kacamata lagi. Sudah tak berfungsi lagi….” “Bagaimana kalau dioperasi saja, Bu? Biar saya yang menanggung semua biayanya.” “Ah, tak perlu repot-repot, Nak. Biarlah, toh Ibu juga sudah tua. Umur Ibu sudah tak lama lagi.” “Jangan berkata begitu, Bu…,” aku mencegah ucapan ibu yang menjurus pesimistis dan pasrah. “Ya, Bu. Soal usia manusia, hanya Tuhan yang lebih tahu. Bagaimana, Bu, kalau mau dioperasi segera besok dibawa ke rumah sakit,” lanjut Linda. “Tak usah, Nak, tak usah repot-repot,” kata ibu lembut. “Mata Ibu juga sudah tak mungkin bisa kembali, sudah lima tahun. Lagi pula, Ibu juga sudah diberi kesempatan oleh Allah melihat dunia cukup lama. Ibu juga tak jalan ke mana-mana lagi, hanya di rumah…” “Tapi, Bu…,” sosor Linda. “Jangan sampai Ibu merepotkan Anak.” “Tidak, Bu…” “Jangan. Ibu berterima kasih dengan niat Nak Linda. Ibu juga berterima kasih Anak mau menjenguk Ibu, hanya karena membaca puisi Rudi. Ah, Ibu sendiri tak tahu apa puisinya itu, Rudi tak pernah membacakannya di depan Ibu…” “Bacakan….” Linda berbisik. Aku segera membacakan puisi “Kembali Ziarah”, tentu tidak seperti ketika aku membacakannya di panggung kesenian. Namun dengan interpretasi yang dalam, suaraku pelan dan bergetar. Kulihat tetesan yang menjelma anak sungai yang keluar dari sumber mata ibu membasahi kedua pipinya. “Walau Ibu tak mengerti, puisimu menyentuh…,” komentar ibu, usai kubacakan seluruh larik puisiku itu. “Sebagaimana meskipun mata Ibu sudah tak berfungsi, tapi Ibu tetap merasakan melihat dunia. Ibu bisa merasakan getar yang ada di dalam dirimu Rudi, juga yang ada padamu Nak Linda…” Kuperhatikan Linda serba salah mendengar ucapan ibu. Mata ibu lebih tajam. Perasaan ibu sangatlah dalam. Betapa dalam sehingga mampu menembus segala rahasia. “Jangan khianati istri dan anakmu. Menantu Ibu masih tetap Mirna…” bisik ibu sesampai di tempat tidur. Suaranya terbata dan pelan, tapi terdengar amat bergetar. Lampung, April-Mei 2006
""Mata Ibu""
Djoko Santoso adalah seorang profesional lulusan Fakultas Ekonomi UGM. Ia adalah pengikut aliran keagamaan yang disebut Komunitas Salamullah, yang walaupun ajarannya terutama bersumber pada Islam, tetapi anggota komunitas ini bisa orang dari berbagai agama, seperti Kristen, Katolik, Buddha, Hindu atau Konghucu. Beberapa pengikut aliran yang didirikan oleh Ibu Lia Aminuddin ini bahkan adalah suster-suster dan pastor-pastor Katolik. Tapi Mas Djoko, demikian panggilan akrabnya, sebelum masuk komunitas ini, bukanlah seorang Muslim melainkan pengikut aliran kebatinan Jawa yang namanya Pangestu. “Saya dulu makan sembarang makanan, daging babi, kodok, tengkleng, dan saren, minum ciu dan apa saja yang diharamkan,” katanya. Saren adalah makanan yang dibuat dari darah kambing dan ciu adalah minuman khas tradisional Jawa. Dulu saya tidak menjalankan shalat,” katanya. “Setelah masuk Salamullah, saya belajar shalat dan kemudian rajin menjalankan ibadah shalat,” katanya mengaku. “Sebab Bunda Lia mengatakan bahwa pengikut Salamullah harus taat menjalankan ajaran agama masing-masing. Ini memang sesuai dengan ajaran Pangestu yang saya anut dulu,” kata Djoko yang berasal dari kabupaten Sukoharjo, dekat kota Solo, pusat aliran kebatinan itu. “Saya tertarik kepada Salamullah, karena aliran ini adalah semacam aliran spiritual atau tasawuf yang mengajarkan kesucian hidup dan perilaku yang bersih dan jujur,” katanya kepada sorang kawan rekan kerjanya di PT Welco. Di perusahaan itu ia berhasil mencapai posisi manajer keuangan di perusahaan induk atau holding-nya. Sebagai seorang akuntan yang diakui kecermatannya di bidang manajemen keuangan, ia pernah ditugaskan untuk melakukan inspeksi kepada anak-anak perusahaan di daerah. Induk perusahaan pada waktu itu merasa perlu melakukan inspeksi karena melihat gejala meningkatnya biaya produksi dan jumlah pajak yang harus dibayar. Dalam inspeksinya, ia menemukan bahwa nilai pajak yang dibayarkan sangat tinggi, yang tak masuk akal, Rp 53 miliar. Setelah dinegosiasikan, perusahaan masih harus membayar sekitar separuhnya, yaitu Rp 25 miliar. Tetapi ketika diteliti olehnya, ternyata kewajiban pembayaran pajak perusahaan seharusnya hanya Rp 450 juta saja. Induk perusahaan mengambil kesimpulan, tentu ada main mata antara petugas pajak dengan orang dalam. Atas dasar penemuan Mas Djoko itu, perusahaan induk mengambil keputusan perombakan pimpinan unit usaha dan Djoko ditugaskan sebagai direktur cabang perusahaan itu yang merupakan orang pertama yang pangkatnya sejajar dengan manajer di induk perusahaan. Ketika baru saja bertugas di Pandaan, yaitu lokasi pabrik mi instan yang bermerek dagang “Mie Lezat” itu, ia tinggal di penginapan di dekat pabrik, dengan janji akan disewakan sebuah rumah dinas. Tetapi ketika tinggal di penginapan itu, ia melihat sebuah rumah besar yang berarsitektur kolonial Belanda. Rumah besar itu terletak di sebelah pabrik, menghadap ke Barat-Utara, ke Gunung Wilis, yang di pagarnya dipasang tulisan “Dijual atau disewakan”. Ternyata rumah itu adalah milik salah seorang anggota direksi Welco yang berasal dari Surabaya. “Kalau Mas Djoko mau tinggal di rumah itu, monggo, nanti kita rehab dulu,” kata salah seorang manajer yang mengurus kepegawaian. “Cuma Mas, tak ada seorang pun yang berani menempatinya.” “Mengapa?” tanya Djoko bernada heran. “Kata orang, rumah itu angker.” “Pernah keluarga direktur yang dulu datang dan ingin mencoba tinggal di rumah itu, karena tertarik seperti Mas.” “Lalu bagaimana?” tanya Djoko. “Anak istrinya masuk mengamati rumah itu ke dalam. Tapi, tiba-tiba anak lelakinya yang kira-kira masih berumur sepuluh tahun, lari terbirit-birit keluar dan di luar ia berteriak sambil menuding rumah itu: ’rumah hantu’. Semua orang yang ikut mengantar terkejut benar, ikut ngeri melihat rumah yang memang tampak sangar itu. Sejak itu semua orang pabrik di sini menyebutnya rumah hantu,” jelas Wahyono, manajer personalia itu. “Wah, saya tidak takut pada hantu, kok, walaupun kami penganut Salamullah percaya bahwa hantu itu memang ada, dan mungkin saja rumah itu ada hantunya.” “Tapi walaupun banyak yang tidak percaya pada hantu, nyatanya tak ada orang yang berminat membeli atau menyewa rumah itu, takut,” lanjutnya. “Padahal rumah itu dijual sangat murah. Kalau Pak Djoko tidak takut, kami siapkan untuk ditempati,” kata Wahyono. “Begini. Saya mau shalat dulu di rumah itu. Saya mau minta petunjuk malaikat Jibril,” kata Djoko. Wahyono tampak bengong mendengar kata Djoko menyebut malaikat Jibril itu. Djoko yang mengetahui keterkejutan itu menjelaskan kepada Wahyono bahwa penganut Salamullah percaya bisa berkomunikasi dengan malaikat Jibril yang merupakan Roh Kudus. Atas kehendak Allah, malaikat Jibril bisa memberi petunjuk kepada manusia, diminta atau tidak. Kami biasanya menyebutnya, disapa oleh malaikat Jibril alaihissalam. Sapaan itu bisa berupa petunjuk atau peringatan, terutama jika kita berbuat salah atau dosa. Malamnya Djoko Santoso, sebelum memutuskan tinggal di rumah yang memang tampak angker itu, melakukan shalat. Tidak diketahui maupun diceritakan apakah Djoko memang disapa oleh malaikat Jibril. Tapi keesokan harinya ia mengambil keputusan untuk menempati rumah itu. Katanya, “Begini mas. Rumah itu tampaknya memang ada hantunya. Tapi hantu itu tidak mampu mengganggu orang yang beriman.” “Oh ya, Pak Djoko. Salah seorang manajer keuangan kita dulu memang pernah mencoba menginap di rumah itu. Ternyata seorang hantu menampakkan diri kepadanya di waktu tidur.” “Hantunya seperti apa?” tanya Djoko. “Katanya, seorang Belanda, tinggi kurus. Ia hanya menampakkan diri di depan pintu kamar. Kemudian ia tersenyum menyeringai. Saking kagetnya, Pak Rudi bulu romanya berdiri sehingga terbangun dan langsung lari dari rumah itu malam-malam dan tidur di kantornya di pabrik, sebab rumahnya agak jauh. Di pabrik pun ia minta ditemani Satpam tidur hingga pagi.” Keterangan itu tak bisa dicek langsung kepada Pak Rudi, karena ia termasuk orang yang diberhentikan sebagai manajer keuangan. Merasa diri beriman dan berusaha berkehidupan suci—ia sendiri dikenal di kalangan PT Welco sebagai pegawai yang sangat jujur dan bersih—dengan tegarnya akhirnya Djoko memutuskan menempati rumah itu setelah direnovasi. Rumah itu terdiri dari tujuh kamar berukuran besar, bertingkat dua, beberapa kamar utamanya ada kamar mandinya. Di belakang ada patio. Tanaman rambat dimuka telah dirapikan. Setiap Sabtu ia mengundang makan pagi para stafnya dalam sorotan matahari terbit yang lembut-hangat. Peserta rapat bisa menikmati kopi jahe dengan aneka makanan tradisional Jawa yang tradisinya ia bawa dari Sukoharjo, tentu tak lupa singkong goreng yang gurih- renyah. Pada bulan Juni, ketika itu tahun 1998, ada program Salamullah yang agak istimewa. Program itu adalah mengirim suatu tim dakwah ke Jawa Timur. Programnya adalah mendatangi dukun-dukun dan pesantren-pesantren, dengan pesan utama, agar mereka meninggalkan segala perbuatan yang berbau syirik dan dosa, termasuk menjalankan santet. Rombongan itu memilih rumah Djoko sebagai pangkalan, karena cukup luas dan nyaman. Setiap orang yang menginap di situ, terutama yang perempuan, diberi tahu terlebih dahulu bahwa rumah yang arsitekturnya indah itu sebenarnya dijaga hantu. Tapi mereka juga diberi tahu untuk tidak usah takut, selama mereka tidak melakukan perbuatan dosa, umpamanya meninggalkan shalat. Selama program itu berlangsung, rumah hantu itu menjadi sangat ramai. Mereka juga melakukan pengajian di waktu malam dan banyak dikunjungi oleh para karyawan pabrik. Dengan peringatan itu, maka setiap orang anggota rombongan dakwah terus-menerus berusaha menjaga perilaku dan sikap hatinya agar selalu diliputi kesucian. Djoko sendiri, dengan meninggali rumah besar itu sekeluarga, juga justru merasa dijaga oleh rumah itu. Sebab, jika ia bekerja tidak jujur sebagai direktur, ia akan menjadi mempan oleh gangguan hantu. Ternyata ia tidak pernah melihat hantu berupa seorang Belanda yang senyumnya saja mengerikan itu. Dengan pengalaman bahwa Djoko tidak pernah diganggu oleh hantu, maka kepercayaan para karyawan pabrik mengenai kejujurannya sangat meningkat dan menguat. Namun, hal ini justru menimbulkan keresahan beberapa stafnya yang tak lagi bisa berbuat korupsi. Manajer keuangannya tidak berani lagi bermain mata dengan petugas pajak. Ia memang berhasil menurunkan beban pajak secara mencolok. Namun, ia menghadapi kesulitan dengan pemasaran perusahaan yang dipimpinnya. Sebelum ia menjabat sebagai direktur, induk perusahaan sudah menetapkan kebijaksanaan bekerja sama dengan pesantren-pesantren untuk menyalurkan produk mi instan itu melalui jaringan koperasi pesantren. Perusahaan bahkan juga memakai jasa seorang kiai kondang nasional untuk melakukan promosi pemasaran. Pada mulanya karja sama itu tampak lancar. Tetapi kemudian, ternyata koperasi-koperasi itu banyak yang menunggak pembayarannya. Menurut keterangan manajer koperasi, banyak santri yang mengambil mi dengan mengutang, tetapi kemudian mengalami kesulitan membayar ketika utang sudah menumpuk. Persoalan inilah yang diwarisi oleh Djoko dari manajemen sebelumnya. Oleh karena itu, ia membonceng program Salamullah untuk bisa mengumpulkan tagihan, dengan berhubungan langsung dengan para kiai pengasuh pesantren. Tapi tidak semua kiai menerima ajakan untuk meninggalkan syirik. Malah sebagian mereka tidak mengaku telah melakukan syirik. Karena itu sebagian pesantren justru merasa tersinggung dan marah dengan dakwah itu. Mereka mengaku merasa resah, apalagi setelah membaca dari berbagai koran Ibu Kota maupun daerah bahwa Salamullah dinilai sebuah aliran sesat dan menyesatkan. Sebagian dukun juga ikut marah karena dituduh syirik, ada pula dukun asal Madura yang mengancam akan menyantet pengikut Salamullah. Dari akumulasi keresahan dan kemarahan itu, maka sebagian pesantren, kebanyakan pesantren yang tidak bisa membayar utang kepada perusahaan Mie Lezat itu, berkumpul untuk menolak kehadiran Salamullah. Dari pesantren yang mempunyai utang kepada perusahaan Mie Lezat diperoleh informasi bahwa rombongan Salamullah itu bermarkas di rumah direktur perusahaan yang namanya Djoko Santoso. Dari situlah sekelompok umat di bawah pengaruh pesantren-pesantren itu melakukan kampanye penolakan Salamullah lewat khotbah-khotbah Jumat. Sebuah pesantren yang tergolong besar malahan menyelenggarakan Dakwah Akbar yang menolak kehadiran Salamullah. Dengan bantuan informasi dari orang dalam perusahaan Mie Lezat, kelompok itu menuntut dua hal. Pertama, agar perusahaan mengusir rombongan dakwah Salamullah dari lingkungan pabrik. Kedua, memecat Djoko Santoso, direktur perusahaan, dari pabrik, sebab ia adalah salah seorang pengikut komunitas Salamullah yang sesat. Tuntutan itu disampaikan kepada Bupati, dengan tembusan pimpinan pabrik. Tuntutan pemecatan terhadap Djoko Santoso itu kemudian disampaikan kepada pimpinan induk perusahaan di Jakarta, dengan mengutus beberapa staf yang rupanya tidak suka dengan kepemimpinan Djoko Santoso, justru karena kejujurannya. Paling tidak mereka itu adalah orang-orang yang punya maksud menyingkirkan Djoko Santoso. Pimpinan Melco sebenarnya mengetahui reputasi Djoko sebagai seorang pimpinan perusahaan yang berhasil menyelamatkan perusahaan dan sedang bekerja keras untuk menertibkan tagihan, sebuah upaya yang tidak mudah karena berhadapan dengan para kiai pimpinan pesantren. Namun mengingat bahaya yang mengancam pabrik dengan ancaman penyerangan massa, maka pimpinan induk dengan berat hati memanggil Djoko Santoso dan meminta memilih, keluar dari Salamullah atau keluar dari perusahaan. Ternyata Djoko memilih keluar dari perusahaan dan tetap menjadi pengikut Salamullah. Setelah memilih keluar, Djoko meninggalkan rumah hantu itu. Tak seorang pun dari manajemen baru yang berani tinggal di rumah hantu itu. Maka, rumah yang sudah kehilangan keangkerannya itu kembali menjadi rumah hantu. Gunung Wilis yang menatapnya dengan siraman cahaya matahari setiap pagi, seolah-olah sedih melihat orang jujur itu pergi dari Pandaan. Jakarta, 3 Maret 2006
""Rumah Hantu""
Saat kanak-kanak, ketika hari pasaran Wage, kami selalu waswas bertemu Pak Timbil. Sebanding dengan ketakutan kami akan “montor pelet”, mobil bergambar gunting yang diisukan mengambil mata anak-anak untuk dibuat cendol. Pak Timbil terkenal sebagai penjual nyawa, yang harus kulakan nyawa dengan cara menculik anak-anak sebagai tumbal. Sebagai belantik kambing, dia berputar mengikuti rotasi hari pasaran. Bila Wage dia ke Pedan, Kliwon ke Klembon, Pon ke Jatinom, Paing ke Prambanan, dan Legi ke Delanggu. Tak ada hari istirahat kecuali baru tidak enak badan. Sebetulnya, bukan hanya kambing saja yang diperjualbelikannya. Tapi bila tak ada uang, atau kantongnya terlalu tipis, dia melenggang kangkung saja tanpa membawa apa-apa. Tabiat itu jadi rahasia umum sehingga sering ada yang berceloteh: “Uang Pak Timbil sedang banyak!” atau “Pak Timbil sedang tidak punya uang!” Dia menanggapi dengan senyum atau menjawab sambil tertawa: “Ya!” Tidak pernah memakai alas kaki walau tanah jalan becek atau terbakar kemarau. Tetapi setelah jalan desa banyak yang diaspal dia memakai sandal jepit. “Tak tahan kakiku kena panas aspal!” katanya setiap kali disapa orang. Seolah minta dimaklumi kalau dia keluar dari pakemnya. Pak Timbil juga keluar dari tabiatnya yang lain. Dia tidak pernah lagi melenggang tanpa barang dagangan, walau mungkin yang dibawanya hanya anak bebek, anak kelinci, bahkan pernah membawa anak tupai. Bila ada yang menanyakan perubahannya itu, dia menjawab, “Biar tidak tergantung nasib pada ternak besar saja!” Setelah berlangsung cukup lama, orang jadi biasa, tidak menganggap perubahan itu sebagai hal yang aneh lagi. Lalu gelar penjual nyawa didapat dari mana? Bermula ketika lahir tabiat barunya, yang suka mengunjungi orang sekarat. Suatu hari ada yang sedang sekarat di Desa Jambukidul, desa yang selalu dilaluinya bila ke Pasar Pedan. Kerabat si sakit sudah pasrah kalau akan diambil-Nya. Pak Timbil singgah, mendoakan agar calon almarhum diberi jalan lapang dan bersih. Pak Timbil memijit jari kakinya agar sedikit memberi rasa nyaman. Saat dipijit tangannya itulah, si sekarat bergerak, menyalangkan mata, tersenyum, dan bangun dari sekaratnya. Kerabatnya gembira, lalu ayam yang dibawa Pak Timbil dibeli untuk dipelihara. Anehnya, ketika ayam yang dibeli itu mati terlindas motor, si sekarat yang sembuh itu tiba-tiba mati. Mungkin itu hanya sebuah kebetulan semata dan segera dilupakan orang. Di lain waktu, ketika dia sedang menuntun seekor kambing, ada yang sekarat karena usianya memang sudah uzur. Pak Timbil mampir memijitnya. Aneh, nyawa yang sudah sampai di ujung tenggorokan kembali ke tempat semula. Laki-laki uzur itu bangkit lagi. Orang-orang jadi gempar. Lalu, kambing Pak Timbil dibeli untuk syukuran. Ketika kambing mati disembelih, si uzur yang sehat kembali itu tiba-tiba terjengkang dan mati. Acara syukuran pun berubah jadi duka. Orang teringat dengan kejadian pertama. Ada lagi, yaitu ketika ada bocah sekarat dari keluarga kaya yang sembuh oleh sentuhannya. Anak bebek betinanya dibeli lalu dipelihara dengan manja. Ketika saatnya bertelur tidak diizinkan lewat jalur resmi, tapi dengan operasi cesar supaya saluran kloakanya tidak rusak. Dengan harapan umur si bebek jadi lebih panjang. Bebek itu mati tua dan ternyata seumuran bebek itu pula tambahan usia si bocah. Sejak itu Pak Timbil dianggap sebagai orang orang keramat dan jadi perbincangan di mana-mana. Ternyata perpanjangan nyawa itu sebanding dengan umur binatang yang dibeli dari Pak Timbil. Tapi Pak Timbil tetap seperti dulu, berjalan kaki ke pasar dengan membawa ternak atau dagangan lainnya, tergantung berapa banyak uangnya. Dia juga tidak pernah menjual dagangannya di atas harga pasar. Tapi orang tak ada yang berani sembrono layaknya dulu, sekalipun hanya membawa kupu-kupu, wangwung, katimumul, atau belalang ke pasar. Dia sudah dianggap seorang wali yang menyamar, sekelas sunan atau wali era Demak Bintoro dulu. “Dia seorang wali masa kini!” “Seharusnya demikianlah ’wong pinter’, bukannya iklan di koran atau televisi dengan kemampuan yang mengada-ada!” “Pak Timbil punya ilmu laduni! Kekasih Allah!” “Tapi katanya dia tak pernah berlama-lama di surau!” “Apa hubungannya? Kamu sendiri suka berlama-lama zikir, tetapi hatimu seperti pasir, tak ada gunanya!” “Penjual nyawa!” komentar seseorang di majelis taklim. Lalu, istilah penjual nyawa jadi populer. Hampir saja sebutan penjual nyawa itu luntur. Ada keluarga si sembuh yang membeli anak sapinya dan dipelihara baik-baik. Sayangnya, anak sapi itu hilang dicuri. Keluarga itu sudah ketar-ketir. Tapi sampai terhitung bulan dan tahun tidak terjadi apa-apa. Tapi pada suatu hari, tepatnya jam tiga pagi, orang yang disembuhkan dari sekarat itu tiba-tiba ditemukan mati. “Tampaknya sapi yang hilang itu dipotong jam tiga tadi!” kata salah satu pelayat. Pelayat lain menimpali, “Oleh malingnya, sapi itu tak segera dijual, tapi digemukkan dulu biar harganya lebih mahal saat dibawa ke penjagalan!” Keanehan Pak Timbil mengusik sebuah pesantren, yang lantas menyuruh santrinya menyelidiki Pak Timbil secara diam-diam. Tapi litsus amatiran itu mendapati hasil bila Pak Timbil orang bersih dari hal kotor atau keji lainnya. Kecuali satu, di ka-te-pe-nya ada tanda ’c’. “Apakah dia bekas pe-ka-i?” “Apa hubungan pe-ka-i dengan kebersihan hati. Mungkin dulu itu hanya salah tunjuk saja, korban fitnah!” “Bukankah saat itu anaknya yang guru es-te-em dibunuh?” “Anak dan bapak jangan kamu seragamkan! Semua juga tahu siapa yang mendalangi pembunuhan itu, yang lantas mengawani pacar anaknya!” Tentu saja sebutan penjual nyawa tak berani diucapkan terang-terangan di depan Pak Timbil. Pernah ada yang menanyakan perihal kemampuannya itu, tapi dengan gigih Pak Timbil menyangkalnya. “Menghidupkan orang mati? Kalian sangka aku ini Tuhan!” kata Pak Timbil tak suka. Tetapi semakin banyak yang penasaran sehingga kalau ada orang sekarat dipanggillah Pak Timbil. Begitu disentuh tangannya, si sekarat selamat. “Bagaimana, apakah kalian sudah bertemu Pak Timbil?” tanya Seruni kepada orang-orang suaminya di bangsal RS Tegalyoso. “Belum!” jawab Lurah Jingklong mewakili mulut anak buahnya. Dia sendiri ogah-ogahan pergi ke belantik itu. Berat rasanya, lebih baik masuk penjara andai saja dia bisa memilih. “Mengapa tidak dicari sendiri?” desak Seruni, penuh kecurigaan akan keseriusan suaminya. “Ya, akan kucari sendiri!” kata Lurah Jingklong setengah hati dan beranjak pergi. Dengan mobil tuanya, dia menuju desa Pak Timbil. Tapi niat itu diurungkan. Mobilnya dibelokkan ke arah lain. Dengan muka merah berhenti di tepi jalan tengah sawah. Turun dari mobil, lalu melorotkan celananya. Sudah dua hari dia anyang-anyangen, kencing sedikit-sedikit dan membuat nyeri lutut. Kadang dia harus bergetar saat airnya tidak jadi keluar. Dia berpikir, Seruni sengaja mempermalukannya supaya mengemis-ngemis perpanjangan nyawa anaknya. Tapi bukankah anaknya betul-betul sekarat karena kecelakaan. Sangat berat hatinya. Tatapan mata Pak Timbil dulu belum bisa dilupakannya. Tatapan yang menghunjam jantungnya, apalagi ketika kepala anaknya itu terkulai lemah di pangkuannya. Lurah Jingklong berbalik arah, kembali ke rumah sakit. “Berangkatlah, Pakne! Kasihan Seruni…!” bujuk istrinya. “Aku tidak suka disebut penjual nyawa!” jawabnya. Dia menyembunyikan hatinya. Luka lama terhadap Lurah Jingklong masih sangat terasa. Saat itu ketika dia sedang memangku anak laki-laki tunggalnya yang sekarat dengan leher tergorok, Jingklong muda meludahi mukanya layaknya binatang najis. Bukan itu saja, pemuda itu juga mengayunkan golok ke lehernya. Untung saja beberapa orang berhasil mencegah sehingga dia masih hidup sampai sekarang. “Berangkatlah, Pakne! Kasihan anak Seruni…,” ulang istrinya. Perempuan itu lebih lapang dada daripada dirinya. Belantik kambing itu diam saja. Tetapi dalam hatinya jadi menimbang-nimbang. Karma itu akan datang pada Lurah Jingklong, anaknya sekarat di depan matanya. Mungkin akan segera mati di dekapannya. “Tidak kutemukan!” kata Lurah Jingklong kepada istrinya dengan nada sedih, menyembunyikan kebohongannya. Beberapa orang ikut kecewa. Dokter dan perawat sangat sibuk, ruang ICU jadi sunyi senyap. Hanya ada suara anak Seruni yang megap-megap ingin memisah dunia. “Itu istri Pak Timbil!” seru beberapa orang ketika melihat istri Pak Timbil menuju arah mereka. Tak lama kemudian tergopoh Pak Timbil datang. Lurah Jingklong terpana seakan tak percaya, lalu menyambut dan menjatuhkan diri mendekap kaki Pak Timbil sambil menangis sesenggukan. “Sudahlah!” kata Pak Timbil lirih sambil mengelus rambut Lurah Jingklong layaknya mengelus anaknya dulu. Dengan tergesa, beberapa orang masuk ke ruang intensif, dokter dan suster segera keluar ruangan. Pak Timbil masuk disertai Lurah Jingklong dan istrinya. Dipijitnya kaki anak Seruni. Tak berapa lama tubuh anak muda itu mulai memerah, tanda kehidupannya mulai mengalir. Setelah itu mata anak Seruni terbuka, menguap dan tersenyum. Pak Timbil keluar ruangan, Lurah Jingklong mengikutinya layaknya takut ditinggalkan bapaknya. “Apa yang Bapak bawa?” tanya Lurah Jingklong. “Ada di luar sana. Kutambatkan di pohon palem depan rumah sakit!” jawab Pak Timbil. Lurah Jingklong meraih tangannya, menciuminya, lalu bergegas keluar rumah sakit hendak memastikan jenis binatang sambungan nyawa anaknya. Sampai di luar dilihatnya seekor anak kerbau yang sempoyongan, lehernya terluka, dan mengucurkan darah. Gemparlah rumah sakit dan sejak itu Pak Timbil menghilang bersama istrinya, tidak pernah terlacak sampai sekarang. (*) Jakarta, 22 April 2006
""Penjual Nyawa""
Lorong itu sangat sunyi. Tidak ada satu pun yang lewat, sore itu. Bahkan tiap sore, sangat jarang yang lewat di lorong sepanjang 700 meter itu. Semua rumah dan gedung di sana membelakangi lorong itu dengan temboknya yang tinggi. Semua seolah tidak mau membuatnya sebagai jalan untuk dilewati. Sebetulnya, lorong itu terlalu besar untuk disebut lorong. Sebab, lorong itu lebih dari cukup untuk dilewati sebuah truk besar. Tapi karena dipunggungi oleh rumah-rumah dan sebuah gedung hotel, jalan itu disebut lorong. Tak ada yang tahu apa nama jalan itu, karena tidak ada lagi plang nama di sana. Hanya aku dan Pol yang kerap melewati lorong itu, berjalan kaki, sebagai jalan memotong menuju ke Taman Budaya. Nyaris tiap sore kami lewati jalan itu, sesekali dengan suasana sungguh sunyi: seperti berada di sebuah tempat asing, tanpa orang melintas, suara bercakap-cakap, deru kendaraan dan desir angin. Sesekali, bulu kuduk kami pun berdiri melewati salah satu bagiannya, yakni di belakang sebuah rumah besar peninggalan zaman Belanda yang menjadi tempat tinggal salah satu pejabat di kota itu. Terkadang, seperti ada sesuatu yang memperhatikan kami dari balik jendela lantai dua rumah itu. Tapi kami tidak melihat siapa-siapa di sana. Rumah itu selalu tampak sunyi, sebagaimana jalan yang dipunggunginya. Seperti tidak ada berpenghuni. Kalau malam, di belakang rumah itu hanya menyala tiga buah lampu sepuluh watt, yang dipasang berjejer di bagian belakang, dan jelas itu tidak bisa memberi cahaya sampai ke lorong. Lorong itu sendiri tidak punya lampu jalan, hanya mengandalkan cahaya dari bagian belakang rumah-rumah yang memunggunginya. Juga tidak ada orang lewat malam-malam di lorong itu, seperti tidak ada kehidupan di sana. Cahaya temaram yang menerangi aspalnya mengesankan sebuah tempat yang begitu malas dan diam. Kami pun memilih tak lewat jalan itu bila kami pulang malam-malam dari Taman Budaya. Kami lebih memilih jalan yang jauh sedikit. Siang saja ada perasaan asing, apalagi malam. Tapi aku dan Pol tidak pernah secara lebih lama membicarakan rasa terasing berada di lorong itu. “Kayak di film-film horor saja,” kata Pol suatu kali. “Seperti sebuah jalan di tengah kota tua, yang ditinggal pergi penghuninya, hanya diapit gedung dan rumah- rumah tua yang berdebu, kusam, dengan sarang laba-laba di mana-mana. Jalan ini cukup bagus untuk setting film horor, cukup mencekam, atau film-film yang menampilkan ketegangan,” Pol menambahkan. “Dasar pengarang. Semua bisa dijadikan setting cerita,” balasku. Kami lalu tertawa, terus melangkah, dan pembicaraan beralih ke hal-hal lain, atau melebar ke mana-mana dan melupakan tentang suasana jalan itu. Begitulah pembicaraan kami sepanjang jalan dengan Pol, penulis novel yang suka menggunakan nama samaran Micros, yang juga pejabat muda di sebuah kantor pemerintah di kota itu. Aku bersahabat baik dengan Pol, salah satunya karena sama- sama menyukai humor. Segala hal yang kami bicarakan, selalu ada sudut humor yang kami kedepankan, termasuk soal lorong sepi itu. “Karena tidak ada yang lewat di jalan itu, bagaimana kalau jalan itu kita beli dan di atasnya kita bikin kamar kontrakan. Sayang kan kalau ada tanah yang menganggur,” tuturnya suatu kali saat melintas di sana. “Boleh juga. Tapi siapa yang mau tinggal di kontrakan itu. Untuk lewat saja orang enggan. Bisa-bisa kontrakan itu jadi rumah hantu. Mungkin yang lebih tepat di atas jalan ini tiap malam kita bikin pentas musik. Pasti jalan ini akan ramai,” kataku. Kami lalu tertawa lepas. Ha-ha…. Tidak ada yang tahu mengapa lorong itu sepi dan tidak pernah dilewati. Bahkan, sebagian orang di kota itu tidak pernah tahu ada sebuah lorong cukup besar, yang menghubungkan dua jalan penting: Jalan Mohammad Jamin dan Jalan Teuku Umar. Sejumlah orang mengira jalan itu buntu. Memang, jalan itu tidak terlalu menonjol. Di pinggir kedua ujungnya, berdiri tegak pohon asam tua yang cukup besar dan rindang. Sehingga, dari jauh mulut lorong itu tak tampak, tertutup rimbunnya pohon asam. Boleh jadi jika pohon asam itu ditebang, jalan itu akan tampak dari jauh. Entah mengapa, wali kota tidak melakukan itu. Oh ya, soal pohon asam di mulut lorong itu ada ceritanya. Tiga puluh tahun lalu, pohon asam itu pernah dicoba ditebang dengan menggunakan mesin pemotong kayu. Tapi batang pohon asam itu tidak mempan ditembus mesin pemotong. Kulitnya pun tidak terkelupas. Orang yang diupahkan untuk memotong pohon itu kemudian justru sakit. Terus, pejabat yang memerintahkan supaya pohon asam itu dipotong dipecat dari jabatannya. Pohon itu ada penunggunya, kata orang. Penunggunya seorang gadis Belanda. Konon, gadis Belanda itu dulu gantung diri di pohon asam itu karena dilarang berhubungan seorang pemuda pribumi. Cerita itu beredar dari mulut ke mulut. Tapi tak begitu jelas kebenarannya, karena tidak ada yang bisa ditanyai. Tak jelas, apakah sepinya lorong itu ada kaitannya dengan pohon asam tersebut. Tak ada cerita apa pun yang beredar tentang lorong itu, setidaknya dalam sepuluh tahun terakhir aku tinggal di kota itu. Pol pun, yang asli penduduk kota itu, tidak pernah menceritakan ada cerita-cerita tertentu tentang lorong itu. Bahkan, cerita tentang pohon asam di mulut lorong itu pun Pol hanya tahu berdasarkan cerita “kata orang”. Anehnya, suasana sunyi senyap justru di sepanjang lorong, bukan di sekitar pohon asam yang disebut ada penghuninya. Meski begitu, kami tetap melewatinya untuk mendapatkan jalan tercepat menuju Taman Budaya, tempat kami nongkrong tiap sore. Suatu malam, tanpa sadar kami melintasi jalan itu. Perasaan kami aneh begitu menyadari kami telah berada di sana, tepatnya di belakang rumah besar peninggalan Belanda yang ditinggali pejabat itu. Aku tiba-tiba merasa ada seseorang yang sedang mengawasi kami dari balik jendela rumah yang lampunya menyala temaram itu. “Mengapa kita lewat sini?” tanyaku kepada Pol, yang tiba-tiba berhenti berjalan seperti merasa- rasa ada sesuatu yang aneh. “Entah,” katanya. “Mungkin karena kita keasyikan ngobrol dan tanpa sadar langkah kita menuju ke sini,” ia melanjutkan. “Tapi tunggu dulu, ada sesuatu di jendela itu.” Kami berhenti dan memandang ke jendela itu. Tapi sepi. Lampunya yang temaram, di balik gorden putih transparan, tidak menampakkan apa-apa. Kosong. Tapi ketika pandangan kami alihkan dan kami mulai berjalan lagi, lagi-lagi aku merasa seperti ada sesuatu di jendela rumah itu. Aku dan Pol serentak berhenti. “Ada yang aneh,” kataku. “Ya, aneh sekali di jendela itu. Jendela itu seperti hendak bicara sesuatu kepada kita,” Pol menimpali. Lagi-lagi memandangi lekat-lekat jendela itu. “Mau ngasih uang ke kita kali,” kataku mencoba bergurau. “Iya, buat bikin kontrakan di jalan ini,” Pol menambahkan. Pol tersenyum tipis, mau tertawa tapi ditahan. Aku sendiri tidak bisa menahan tawa. Tapi tiba-tiba tawaku terhenti melihat ada bayangan putih melintas di balik gorden transparan jendela rumah itu. Seperti sesosok tubuh perempuan, berambut panjang perak kemerah-merahan, memakai pakaian tidur. “Mungkin putri pejabat yang tinggal di rumah itu,” kataku. Pol tidak merespon. Ia terus memandang ke jendela itu. Tiba- tiba lampu mati, dan gelap merayap di dalam kamar itu, lalu jendela kamar itu dibuka. Cahaya bulan masuk. Tak lama, terdengar sebuah tangis kecil perempuan. Dalam tangis, terdengar keluh: “Aku tidak mau terus-menerus dikurung di sini. Aku capek. Kalau Bapak sayang sama aku, kawini saja aku. Aku tak kuat terus bersembunyi begini.” Aku dan Pol menahan napas berusaha mendengar apa yang terjadi di kamar itu. Suara seorang lelaki kemudian terdengar menanggapi keluh perempuan tadi. “Sabar. Belum saatnya sekarang. Aku bisa kehilangan segala- galanya, jabatan dan keluarga yang sangat menyayangiku. Istri dan anak-anakku pasti akan marah besar kalau aku mengawinimu. Aku sedang mencari cara untuk memindahkanmu ke sebuah rumah di pinggir kota, agar bisa tenang.” Pol memandangiku. “Aku hafal suara itu,” katanya. “Suara siapa?” tanyaku. “Sabar dulu. Kita dengar dulu,” Pol berbisik. Suara perempuan kemudian terdengar lagi, kali ini dengan sedikit nada emosi. “Apa karena aku seorang pembantu, sehingga Bapak tidak berani menyatakan bahwa aku istri sahmu, meskipun kita kawin tanpa diketahui orang- orang dan tanpa surat-surat. Kalau cinta padaku, seharusnya Bapak berani terbuka.” Tapi lelaki itu tidak menjawab. Sunyi. Juga tidak ada tangis lagi. Sejenak, kami saling memandang. “Siapa lelaki itu,” aku kembali bertanya. “Pejabat yang tinggal di rumah itu.” Aku mengangguk-angguk. Gila juga dia. Padahal pejabat itu dikenal alim dan santun. “Pasti pembantunya cantik sekali sehingga ia tergoda,” kataku. “Mungkin.” Ketika kami melewati lorong itu beberapa hari kemudian, kami kembali terkesiap sesampai di belakang rumah itu. Ada sosok tubuh di balik kaca dan gorden jendela seperti mengawasi kami. Aku dan Pol berhenti, memandang rumah itu. Tiba-tiba gorden terkuak, dan jendela kaca itu terbuka. Sesosok perempuan muda, berhidung mancung, berkulit putih, dan berambut panjang kemerahan memandang ke kami. Tapi senyumnya kecut, wajahnya pucat. Bibirnya lalu bergerak-gerak, seperti ingin mengatakan sesuatu, namun tidak ada suara. Tangannya melambai-lambai kepada kami. Kami hanya terdiam menatap perempuan itu. Kami tidak bisa mendekat, karena ada tembok setinggi 1,5 meter dengan kawat berduri di atasnya. Aku dan Pol lalu saling memandang. “Mungkin perempuan itu butuh pertolongan kita untuk bisa keluar dari rumah itu,” kataku. “Iya,” Pol menimpali. Kami kembali memandang ke jendela itu. Tapi jendela itu telah sunyi. Daun jendela telah tertutup rapat, gorden yang tadi tersibak kembali rapi. Tidak ada perempuan itu. Seperti tidak terjadi apa-apa barusan. Aku dan Pol kembali saling memandang. Lalu, kembali melangkah buru-buru meninggalkan punggung rumah besar itu. Aku dan Pol tidak pernah lagi melewati lorong sepi itu setelah sehari kemudian koran lokal memberitakan penemuan sesosok tubuh perempuan muda tergantung di kamar bagian belakang rumah besar peninggalan Belanda yang ditempati seorang pejabat kota itu. Kami mencari jalan memotong lain untuk berjalan kaki ke Taman Budaya. Lorong itu menjadi sangat-sangat sepi. Belakangan, kalau malam lorong itu kerap menjadi tempat transaksi narkotika dan sejenisnya. Beberapa kali kasus pemerkosaan juga terjadi di lorong itu. Bahkan, belum lama ini, seorang perempuan muda pekerja seks ditemukan mati terbunuh di sana. Kami merinding membayangkannya…. Depok, 14 Juni 2006
""Lorong""
Tak ada lagi yang bisa dilacak Saridin. Ia pulang dengan hampa harapan. Tak ditemukan siapa pun di rumah. Telah beberapa hari ini ia ditinggalkan istri. Untuk masuk ke dalam rumah, ia tak dapat. Rumahnya sudah disita bank. Ia termangu di pelataran. Langit memutih. Burung-burung sriti menyambar-nyambar. Gerimis tipis menerpa puncak hidungnya. Tubuhnya menggigil. Sendirian, tanpa cahaya, Saridin terdiam sebeku tugu. Ia kehilangan istrinya, yang memilih lari dengan lelaki lain. Ia kehilangan rumah—yang selama ini menjadi tempat bernaung. Perusahaan pun telah bangkrut, dan seluruh karyawan meninggalkannya dengan raut wajah yang murung, sedih dan tak berdaya. Tetangga sebelah rumah—yang biasanya menaburkan kecemburuan—memandanginya dengan cahaya mata yang sinis, cahaya mata yang bersorak. Dada Saridin terberangus. Ia tak meladeni ejekan tetangga sebelah rumah. Saat gerimis turun mulailah ia meninggalkan pelataran rumah, dan tak berpikir untuk membawa apa pun, kecuali dirinya sendiri. Hingga gerimis reda, langit terang, dan matahari bercahaya, Saridin terus melangkah. Ia merasakan tubuhnya keropos. Tak lagi bisa mengingat apa pun, kecuali berjalan kaki. Meninggalkan kota, merambah desa, dan memasuki hutan belantara. Hutan yang basah, gelap, dipenuhi binatang melata, dan burung-burung berkicau yang tak tampak. Dia duduk di tepi danau. Memandangi air yang tenang. Langit meredup. Matahari semerah ludah pengunyah sirih. Sebundar penampi. Mengendap perlahan-lahan. Cahayanya memantul di atas danau, dan perlahan-lahan lenyap di balik rerimbunan pohon-pohon yang gelap. Kelambit-kelambit dan kelelawar meninggalkan gua persembunyiannya, memenuhi langit. Pada saat matahari tak lagi memerah di lengkung langit, Saridin belum menyadari akan dirinya sendiri. Dia duduk berlama-lama di tepi telaga, di sebuah hutan yang tak dikenalinya. Memang sesekali berkelebat wajah Savitri, istrinya, yang suka mengajaknya duduk berdua di pantai, berdiam diri, saat matahari tenggelam, dan langit meredup perlahan-lahan. Mereka menanti langit timur memunculkan rembulan bundar, dan cahayanya jatuh di atas laut tanpa gelombang, membias di ujung tiang-tiang perahu nelayan yang menembus batas cakrawala. “Aku ingin punya rumah di tepi pantai,” kata Savitri, si penari yang sering memerankan tarian bertopeng di hotel. Savitri memancarkan daya pikat di mata lelaki yang memandanginya. Perempuan itu begitu banyak menggoda lelaki, luwes dan pandai berdandan. Memancarkan pesona sekalipun di luar panggung. “Kelak kalau perusahaan kita semakin besar, kita dapat membuat rumah di tepi pantai, yang akan kita kunjungi pada waktu berlibur seperti saat ini,” kata Saridin, meyakinkan Savitri. Duduk, berdiam diri, dalam gelap hutan, Saridin kembali merenungkan keanehan kebiasaan kepergian Savitri yang berganti-ganti lelaki menjemput. Berganti-gantian mobil datang pada sore hari dan mengantar kembali keesokan harinya. Ia kehilangan akal untuk melacak apakah istrinya benar-benar menari di hotel, atau hanya sekadar pergi kencan dengan lelaki lain. Ia tak dapat menandai harum tubuh istrinya, apakah sehabis menari, atau sehabis berkencan dengan lelaki lain. Hingga ia selalu menemukan seorang lelaki yang sama, yang terus-menerus datang menjemput dan mengantar pulang keesokan harinya. Savitri biasa menari dengan dua topeng. Topeng yang terpasang di wajah, dan topeng yang terpasang di belakang kepala 1), yang menampakkan dua watak, dua gerakan tari, dan dua ruh yang merasuk ke dalam tubuhnya. Savitri bisa menari dengan posisi tubuh membelakangi penonton. Topeng yang terpasang di belakang kepalanya memberi kesan dia menari berhadap-hadapan dengan penonton. Kini Saridin mulai bisa memahami makna dua topeng yang terpasang di wajah dan di belakang kepala Savitri. Di wajah terpasang topeng wanita yang lembut, yang memberinya gerakan lamban, ningrat, dan perenungan maha dalam. Di belakang kepala terpasang topeng wanita muda penuh daya pikat, yang memberinya gerakan yang terbuka, cepat, dan menyentak-nyentak berirama. Merenungi diri sendiri, di tepi telaga, dalam pantulan rembulan, Saridin seperti melihat bayangan Savitri menari, terus menari, dan menggerakkan nalurinya. Saridin cuma memandang samar-sama, tak pernah bisa menangkap wajah Savitri yang sesungguhnya. Wajah itu bertopeng ganda. Ia tak pernah bisa dimiliki salah satu di antara dua perangai itu. “Aku bersedia menikah denganmu. Tapi kau tak akan pernah bisa memilikiku,” kata Savitri bercanda, sebelum mereka menikah. Di permukaan air telaga, dalam bayangan cahaya bulan, Saridin merasa memandang wajah Savitri yang menari, bergantian dalam dua perangai topeng. Tarian itu seperti meledek. Tarian yang menggoda. Tarian dengan gerakan tangan mengibaskan kain yang dapat melemparkannya. Ia terpelanting, dan tersungkur kibasan kain itu. Saridin bangkit, tanpa arah terus melangkah, dan teringat akan bekas sekretaris perusahaannya. Seorang gadis—yang lebih banyak memendam perasaan—senantiasa bersikap santun. Senyuman selalu dipendam, dengan pipi tertakik lesung pipit, samar, tak pernah jelas benar. Sepasang matanya yang cemerlang itu tak pernah mau memandangnya berhadap-hadapan. Mukanya selalu disembunyikan, dan memendam aura kekaguman. Tanjung, gadis itu, selalu menjaga diri. Tak pernah menjengkelkannya. Ia hadir paling pagi. Pulang paling akhir. Yang menarik dari Tanjung adalah matanya. Mata itu menjadi surga bagi lelaki. Teduh. Memancarkan rasa nyaman. Tapi gadis itu selalu menyembunyikan matanya. Saridin tak pernah melihat mata itu terbuka menatapnya. Mata itu tersembunyi di balik wajah yang menunduk, dagu yang merapat ke dada. Bayangan wajah Tanjung samar-samar singgah di benak Saridin. Ia tak pernah mengagumi wanita yang menyembunyikan wajahnya. Ia mengagumi wanita yang menampakkan aura wajahnya dalam denyar cahaya yang menyergap lelaki dalam pesona yang melumpuhkan. Ia berhadapan dengan Savitri dalam kelumpuhan yang penuh pemujaan. Tapi Tanjung, gadis itu serupa dara di balik tirai 2), yang malu-malu menampakkan diri. Tirai itu telah menjelma selubung rahasia. Saridin melangkah di bawah bayang-bayang bulan purnama, menyusuri jalan mendaki. Ia tak pernah tahu, bila ia sedang mendaki sebuah gunung. Samar-samar kabut mulai menyelubungi hutan. Dingin. Menggigilkan. Tapi Saridin sudah tak peduli. Ia terus melangkah. Terus mendaki. Lelaki itu hanya memperturutkan langkah kaki. Hingga hutan yang didakinya mulai jarang pepohonan. Tak lagi pekat batang-batang pohon dan sulur-sulur daun yang menjerat lehernya. Ia leluasa melihat bulan di langit. Pohon-pohon rimbun yang meneteskan embun mulai menghilang. Hembusan kabut alangkah menggigilkannya. Ia tetap mengikuti jalan setapak yang dilaluinya. Tak diketahuinya jalan itu mengantarkannya ke mana. Ia merambah daerah berbatu, berlumut, dan dingin perdu. Fajar mulai menampakkan biasnya di langit. Ia bersua seorang lelaki tua yang sepasang matanya menyimpan ketenteraman semesta. Lelaki kurus itu duduk di atas batu besar. Bercelana hitam komprang. Berikat kepala. Berdiam diri. Memandangi Saridin dalam diam, dengan mata sedingin kabut. “Bagaimana kau bisa tersesat kemari?” tanya Mbah Sarijan, lelaku tua itu, dengan lembut dan membuka kesadaran Saridin. “Aku hanya ingin berjalan kaki. Lain tidak.” “Barangkali memang takdir kita untuk bersua di sini. Kau serupa layang-layang putus.” “Boleh aku terus berjalan, mencari cahaya fajar?” “Kembalilah. Di bumi ini selalu ada cahaya matahari. Hatimu selama ini tertutup kabut. Kembalilah! Di puncak gunung hanya semburan awan panas.” Saridin memandangi Mbah Sarijan. Lekat. Dalam. Ia belum pernah menemukan lelaki setenang itu. Lelaki yang duduk di batu, di lereng gunung, dan tak memerlukan teman. Saridin menjadi sangat penurut. Berhadapan dengan lelaki tua itu, ia tak ingin membantah. Tak ingin menentang. Ia takluk. Dan betapa ketenangan dalam kesendirian lelaki tua itu telah menyatu dengan gunung. Saridin membalikkan tubuh. Melangkah turun gunung. Tak berani menoleh ke arah Mbah Sarijan. Ia memperturutkan langkah kaki, sebagaimana ia memasuki hutan, duduk di telaga, dan mendaki gunung hingga bertemu Mbah Sarijan—lelaki tua yang tak pernah dibayangkan sebelumnya. Lelaki tua itu menghentikan langkah kakinya. Bahkan lelaki tua itu memintanya kembali ke kota. Aneh. Ia begitu saja memperturutkan kemauan Mbah Sarijan, menemukan harapan baru, yang mungkin akan mengejutkannya. Tapi ia masih berharap bahwa yang akan ditemuinya adalah Savitri, perempuan dengan tarian topeng, membawakan gerakan-gerakan lembut, penuh perenungan, dalam kesantunan yang menghanyutkan. Langit telah menjadi terang. Tapi Saridin sedang memasuki hutan yang pekat. Hutan yang menyesatkannya dalam pengembaraan. Kini ia turun dari lereng gunung setelah bertemu Mbah Sarijan. Sesekali mendengar suara gamelan di kejauhan. Membayangkan Savitri menari dengan topeng perempuan santun—bukan perempuan penggoda. Kembali lagi suara gamelan itu hilang. Juga bayangan topeng Savitri lenyap dari pandangan matanya. Tubuh Saridin terhuyung-huyung. Letih, lapar, dan sehari-semalam tak memejamkan mata. Melewati telaga, dia tertatih-tatih. Hutan sudah jauh di belakang punggungnya, dan dia memasuki desa. Gerimis turun. Hari sudah menjelang petang. Dia berharap pada saat pertama bertemu manusia, semoga Savitri yang menjemputnya. Menghampiri dengan suara gamelan dan tarian lembut. Langkah Saridin bergoyang-goyang. Langkahnya kadang tersandung batu. Jari kakinya mengelupas dan berdarah. Dibiarkan saja darah itu menetes, tercecer-cecer di atas rerumputan. Dia ingin bertemu Savitri, yang menari dengan topeng di wajahnya. Lembut. Hangat. Penuh penerimaan. Tatapan Saridin buram, dan bahkan mengabur. Ia tak lagi jelas melihat wajah manusia. Ia menatap setiap wajah bertopeng. Dan setiap orang menari. Dia jadi bimbang. Tapi terus berjalan. Tak lagi bisa membedakan orang itu lelaki atau perempuan, tua atau muda. Orang-orang itu bertopeng. Semua bertopeng. Semua menari. Semua menghampirinya. Samar. Mirip bayangan. Menghitam. Seorang perempuan muda mengikuti Saridin. Dalam pandangan Saridin, perempuan itu menari. Mengikuti suara gamelan. Senja mulai surut. Saat Saridin tak lagi kuat melangkah, terantuk batu dan tersungkur, perempuan itu memekik. Saridin tak mendengar suara apa pun. Pada saat pertama kali Saridin membuka mata, dia memandang langit-langit kamar yang asing. Mendengar suara yang lirih di dekatnya. Kali ini suara itu sangat dikenalnya. Seorang perempuan muda berada di dekatnya. Ia tak lagi memiliki harapan pada siapa pun. Ia sadar, dirinya sedang tak dihadapkan pada suatu pilihan. Malam telah sangat pekat di luar rumah. Dan perempuan itu tersenyum. Sekali ini perempuan itu menebarkan cahaya mata dengan begitu dekat begitu hangat di wajahnya. Mata itu memerangkap jiwa Saridin. Mata seorang gadis yang selama ini menghindar memandanginya. Kini mata itu terbuka dan melenyapkan tabir yang menyelubunginya. “Kau tentu berharap Savitri ada di sisimu sekarang,” tegur Tanjung, gadis itu, menyingkap rahasia hati Saridin. Saridin menggeleng. “Tidak lagi.” Ia merasa aneh. Cahaya mata perempuan itu hangat dan membuka aura telaga. Tubuh Saridin begitu kotor, begitu letih, ingin mencebur ke dalam telaga cahaya mata itu. Dalam hati Saridin tersimpan rahasia mengenai topeng-topeng yang dikenakan Savitri. Topeng-topeng itulah yang menyembunyikan Savitri dalam kegelapan. Malam hari, ketika lakon dimainkan, ia mencari wajahnya sendiri di antara topeng-topeng yang mendesah, yang berteriak, yang mengaduh: tapi tak ada. Ternyata ia masih harus mengupas wajahnya sendiri satu demi satu. 3) Pandana Merdeka, Juni 2006 1) Tarian yang biasa dibawakan Didik Nini Thowok. 2) Penggalan sajak “Pada-Mu Jua”, Amir Hamzah. 3) Larik sajak Sapardi Djoko Damono, “Topeng”, termuat dalam Hujan Bulan Juni, Grasindo, 1994.
""Pengembaraan Saridin""
Anak laki-laki itu berlari kencang meninggalkan pelabuhan Sunda Kelapa, Jakarta Utara. Udara sangat panas. Angin kencang. Angin berdebu. Keringat kota diperas habis-habisan. Matahari terbahak. Pelabuhan menjerit. Orang-orang pura-pura tak mendengar. Orang-orang tak mau tahu. Orang-orang sibuk dengan tas belanjaannya sendiri-sendiri. Ini Metropolis, Bung! Sejak kapan para sopir angkot itu mendahului para arsitek dengan berteriak, “Ini Metropolis, Bung!” Mengurusi diri-sendiri saja hampir-hampir tak becus, bagaimana mungkin harus menanggulangi kebutuhan orang lain. Kerjakan yang mesti dikerjakan. Tinggalkan yang mesti ditinggalkan. Seperti anak laki-laki 10 tahun yang terus berlari itu. Ia tak mau tahu dengan urusan orang lain. Ia sedang diburu kebutuhannya sendiri. Ia tak mendapatkan bus atau angkot, ia terus berlari. Ia tak peduli. Ia menuju ke arah selatan. Barangkali ke Jakarta Pusat. Alangkah kencang larinya. Apa ia tak punya pusar? Hanya orang-orang yang tak punya pusar bisa berlari sekencang itu. Tak lelah-lelahnya. Ia menyeberang di antara lalu-lintas yang padat. Ia berzigzag di antara kendaraan-kendaraan yang menunggu lampu hijau. Ia menerobos di antara bus, angkot, mikrolet, kopaja, yang macet. Orang-orang menengok kepadanya yang cepat menghilang terhalang di antara pintu dan jendela Bianglala. Mereka saling bertanya. Ada apa anak itu berlari terus, seperti ada sesuatu yang ingin ia temui. Atau kabarkan. Sesuatu apa itu. Tapi setiap pertanyaan belum terjawab, selalu muncul pertanyaan baru. Anak itu agaknya merebut waktu. Merebut tempat. Merebut kesempatan sebelum segalanya terlambat. “Ibu! Ibu!” teriak anak laki-laki itu menyebut ibunya. “Ibu! Ibu! Jangan menari lagi!” ia meminta ibunya untuk tidak menari lagi. O, jadi rupanya ibunya seorang penari. Tapi di mana ibunya? Mengapa ia berteriak-teriak? Apa ibunya mendengar teriakannya? Mengapa ia melarang ibunya menari lagi? Memangnya kenapa kalau ibunya tetap menari? Anak 10 tahun ini boleh jadi anak yang aneh. Beberapa orang yang berpapasan dengannya menanyainya kenapa ia berlari, barangkali orang-orang itu bisa menolongnya jika ia butuh pertolongan namun anak itu acuh tak acuh dan terus berlari. “Ada apa, Nak? Ada apa, Nak? Ngapain lo lari terus? He, lo, dikejar setan, lo?!” Semrawut kota semakin bising. Suasana mendesing bunyi gasing. Kepala berputar kerna pusing. Di jalan-jalan Jakarta tak ada tempat untuk kencing. Dihardik satpam jadi emping, bagai Jacky Chan melenting. Semua pertanyaan lompat bajing, mencari kekal pada dinding. Lonceng kota berdentang dua kali, mengucap salam pada metromini. Lamat-lamat ditelan mall yang bernyanyi. Seolah metropol miliknya sendiri. Hitam kayak pantat kuali. Legam persis malam mati. Lari! Lari! Tekuk dan telan kota, atau kota ditekuk dan ditelan orang lain. Jangan ketinggalan. Jangan pernah mau mengalah. Jangan pernah kalah. Tempeleng orang lain sebelum ditempeleng orang lain. Jakarta sudah lama bilang ogah. Tidak seramah abah dan babah semasa zaman misai jepaprah. “Ibu jangan menari lagi!” teriaknya sepanjang jalan raya itu. Orang-orang yang berpapasan mendesah. “Ini anak apa maunya?!” Orang-orang melengos. Seperti bandit yang dibiarkan lolos. Matahari membantu tapi butuh ongkos. Ada saja yang kejeblos di pasir boblos. Di sekolah anak tak pernah bolos. Ia ingin lolos dari angka-angka tidak polos. Seluruh hamba wet, seluruh penghuni hotel prodeo adu jotos. Saling gertak narkoba oplos. Anak itu melompat pagar tanaman. Supaya jarak lari menjadi aman. Cepat ketemu ibu dirundung sawan. Jangan-jangan sedang menari bersama awan. Anak ini cerdik bagai jengkerik. Mau dicaplok katak, ia mendelik. Sotangnya tajam bagai taring kirik. Tak peduli pada aspal jalan yang panas, telapak kaki tanpa alas. Tak kenal batas. Aduh, anak itu tahan menceker. Kemana sandal jepitnya tadi di emper. Berlari chitah menerkam kijang tercecer. Di ladang luber. Padang darah berember-ember. Aduh, Eyang, otak cucu belum juga encer. Mencari hidup layak seperti pesan bapak. Walau di lapak, mabuk tetap tegak. KTP diinjak-injak, kadaluwarsa dari sepihak. O, aparat James Bond terbahak. Berlari terus, Anakku. Berlari terus, Anakku. Jangan menoleh ke belakang. Hanya lumpur panas dan kalajengking di bawah keset. Jangan terpeleset. Hidup bisa dicicil angket. Muntahkan segala pikiran kotormu. Jeritkan segala raung serigalamu. Ibunya sedang menari di atas jembatan layang. Seonggok jalan layang ke Universitas Indonesia gemilang. Di bawah jalan layang, bertengger gubuk derita malang. Tiga kali kena gusur, termasuk jalur hijau jalang. O, orang yang matanya nyalang. O, Henry Muhammad, agung bagai baja, menghirup angin surga. Pesanlah nisan sekarang, supaya hati tak garang; begitu pemerintah kasih wejangan. Pasrah tanpa curang. Tak pula timpang. Tiba-tiba kesandung maut dari seberang. Tak mati-mati. Tak mati-mati. Apa mau dikata. Nasib orang, Tuhan yang pegang. Lalu kena sabetan keris yang ditempa padepokan Ganggang. Ia musnah. Jasadnya lenyap ditelan udara. Bukan ratu, bukan raja, bukan pula keris patih. Ia keris empu, cucunya cucunya cucunya cucu Empu Gandring. Ia diangkat Allah ke firdaus ketujuh. Perahu malaikat burung puyuh. Tak ada tempat yang jauh. Dalam sehari 50.000 tahun mengayuh. O, Tuhan kendali manusia. O, Tuhan sayang manusia. O, Tuhan tempeleng manusia. Tinggallah putri bersama anak semata wayang. Kedua orang bertahan di bawah jembatan layang, tanah asli ayah bayang. Penari agung bikin keder pemda, putri jelita berbanding Sembadra. Si anak ksatria utara, badai derita kota. Ia anak mama. Baik budi, berbakti, dan pertapa sejati. Ksatria Utara tak mau berkelahi. Ia terlalu sakti. Ia hindar bertengkar kerna pintar. Namanya bikin gentar. Setiap mahasiswa melaju mobilnya ke universitas, mencium bau wangi. Wangi jembatan layang. Itu udara pagi. Itu udara wengi. Lalu berpijar cahaya api. Nyawa yang berbakti. Ibu Pertiwi mengerti. Udara, api, tanah, air, zat, hitungan akurat. Mengambang taat. Mengalir angkasa pesat. Segala tempat. Butiran menjelma hujan. Tumbuh harapan. Dipuja petani. Kemana tanahku. Kemana tanahku. Dengarkan mahasiswa sedang berjuang. Menggaris lurus menerka keadilan. Tanah di bawah jambatan layang UI diberi julukan “O Henry Rudini”, kenangan manis buat Mendagri dan Henry yang tertindas. Namun tak beringas. Ia ksatria tuntas. Berbanding Pandawa pantas. Seluruh menteri melankolis menatap Henry. Alasan Henry minta ganti rugi mahal kerna tiga kali dibohongi. Tiga kali tanah dibeli di berbagai tempat jeli selalu kena jalur hijau pasti. “Ibu! Ibu!” teriak anak lelaki itu dari bawah jembatan layang UI menatap ibunya yang sedang menari di atas pagar jembatan layang. Di dalam kendaraan-kendaraan pribadi di sela lalu-lintas yang selalu padat itu, para mahasiswa melongok-longok lewat jendela mobilnya. Mereka saling bertanya. “Ibu jangan menari!” sambung anak itu. “Dua puluh tiga ekor ikan paus menyeret gunung es. Datang dari kutub utara, mereka sudah sampai Pulau Seribu.” Namun Valeria Daniel dari antv di atas helikopter melaporkan pandangan mata: “Jakarta tenggelam dilanda banjir bandang. Berpuluh ikan paus mengunyah gunung es yang mereka seret dari kutub utara. Laut meluap. Mobil-mobil tinggal atapnya yang muncul. Bagai papan-papan selancar, puluhan, ratusan mobil mengambang. Jakarta musnah!” Keadaan darurat nasional gubernur umumkan. Pasukan antihuru-hara diterjunkan. Di seluruh kawasan. Di pojok-pojok Jakarta rawan. Tanggulangi penjarahan dan perampokan. Korban banjir antara yang hidup dengan yang mati, mengambang dan tenggelam maupun berenang di dataran luas yang dalam. Para relawan penolong bertindak. Dibutuhkan perahu karet mendadak. Dalam jumlah besar membengkak. Helikopter menyigi rendah. Tenaga-tenaga penolong susah. Saking banyaknya korban entah. Daerah Khusus Ibukota payah. Banyak individualis jengah. Dengan sangat meminta para politisi dan wartawan tidak memolitisir musibah “Jakarta Meratap” dengan “pemerintah ditolak alam”. “Itu klenik!” seru jubir pemerintah dalam menanggapi pernyataan bahwa pemerintah dimusuhi alam. Selama ini pemda DKI meyakini bahwa penari jembatan layang UI itu kong kali kong dengan ikan-ikan paus yang segede-gede kapal destroyer dari kutub utara. Berkali-kali banjir besar melanda Jakarta, berkali-kali penari itu diburu, namun dia selalu lenyap tak berbekas. Nah, sikap ini kentara sekali, ternyata pemerintah sendiri sangat doyan klenik. Sebagai ahli waris Henry atas sepetak tanah di bawah jembatan layang UI, dia terus menuntut ganti rugi yang layak. Andai dulu pemda di zaman Orba tidak pelit dan mau membayar ganti rugi satu miliar rupiah, tentu jumlah itu saat ini, di milenium ketiga, tak ada artinya. Tapi itulah jalan hidup. Pemerintah yang dulu, sampai kini tentu semakin dirundung dosa yang kelewat-lewat. Jakarta tenggelam. Kota gelap gulita. Di siang hari jadi kota mati. Perampokan bersimaharajalela. Supermarket, mall-mall, toko-toko, pasar, ATM, restoran, bank-bank, kantor-kantor, departemen keuangan, perumahan mewah, pegadaian, dan seluruh tempat yang menyimpan duit atau pangan, menjadi sasaran penjahat maupun orang baik-baik. Banjir rasanya semakin meninggi. Korban tak dapat dihitung. Bagai monumen, gunung es yang bercokol di utara Pulau Seribu itu dikitari puluhan ekor ikan paus yang berloncatan ke udara ganti-berganti. Mereka dengan gigih menabrak-nabrakkan tubuhnya ke arah gunung es itu yang agaknya untuk secepatnya mencairkannya guna memandikan Jakarta. Satu pasukan khusus diterjunkan dari helikopter di atas jembatan layang UI dan di Pulau Seribu untuk menangkap sang penari dan membunuh ikan-ikan paus itu. Namun penari cantik dan ikan-ikan paus itu tidak peduli. Dia dan ikan-ikan paus itu terus menari. Dan alam sangat membantunya. Angin kencang menyapu pasukan khusus berikut helikopternya sehingga mau tak mau mereka harus menjauh dari penari dan ikan-ikan paus itu. Gelombang menggempur Tanjung Priok, Gunung Sahari, Senen, Cikini, Jalan Thamrin, Jalan Sudirman, Blok M, Cilandak, Cinere, Parung, dan melahap terus ke selatan. Kali Deres berteriak-teriak meminta tolong. Kampung Rambutan memahami musibah itu. Mall-mall dipenuhi para pengungsi. Orang-orang kaya mengungsi ke hotel-hotel. Hotel Sari Pasifik di Jalan Thamrin yang dibangun dengan pondasi yang tinggi, paling laris karena agaknya dibangun untuk mengantisipasi banjir bandang itu. Tapi segala jenis hotel penuh. Keluarga terpisah dengan keluarga lainnya. Sanak terpental dari sanak. Ibu dari anak. Suami dari istri. Paman dari keponakan. Kakek dari nenek. Cucu dari buyut. Canggah dari wareng. Kekasih dari asmara. Benci dari cinta. Cemburu dari buta. Melek dari kantuk. Bola dari Piala Dunia. “Ibu stop menari! Ibu stop menari!” teriak anak itu terus-menerus dari bawah jembatan layang itu. Sang penari tidak menstop tariannya. Beberapa orang mahasiswa memarkir kendaraannya di jembatan layang itu untuk melihat penari itu tetap gemulai dengan gerakannya. Sejumlah sniper membidik penari dan ikan-ikan paus itu dari kejauhan. Namun alam tetap membela penari dan ikan-ikan paus itu. Para sniper itu dibuat kelilipan matanya sehingga membatalkan bidikannya. Hari balas dendam telah terjadi. Anak itu terus melanjutkan teriakannya. Ibu itu terus melanjutkan tariannya. Tangerang, 20 Mei 2006
""Jantung Hati""
Sudah lama Irham tak menerima kiriman oleh-oleh. Rendang Ikan Pawas Bertelur. Gurih dan sedapnya seolah sudah terasa di ujung lidah. Apa Mak sedang susah? Hingga tak mampu lagi beli Ikan Pawas Bertelur dan bumbu-bumbu masaknya? Tak mungkin! Kiriman wesel dari anak-anak Mak, rasanya tak kurang-kurang. Lebih dari cukup. Jangankan Rendang Ikan Pawas Bertelur, bikin Rendang Hati Sapi pun Mak tentu mampu. Tapi, kenapa Mak tak berkirim oleh-oleh lagi? Mak sedang sakit? Kenapa pula tak ada yang berkabar? “Bukan kau saja, saya juga sudah lama tak dikirimi Krupuk Cincang,” keluh Ijal, kakak sulung Irham yang tinggal di Cibinong. Sejak kecil, mereka memang punya selera berbeda-beda. Kepala boleh sama-sama hitam, tapi tabi’at lidah tak serupa. Mak hafal makanan kesukaan masing-masing mereka, anak-anak kesayangannya. Ijal suka Krupuk Cincang. Dulu, hampir tiap pekan ia minta dibuatkan makanan itu. Pernah Ijal mengancam tidak mau ke surau bila Mak belum penuhi permintaannya. Jangan dibayangkan cemilan kampung itu dapat diperoleh di Jakarta. Meski ada satu dua toko yang menjual, tapi tak serenyah bikinan Mak. Entah bumbu apa yang dipakai Mak, hingga bunyi Krupuk Cincang itu berderuk-deruk dalam mulut Ijal. Tapi kini, Mak tak berkirim oleh-oleh lagi. Ketek, kakak laki-laki Irham yang satu lagi (tinggalnya di Ciputat) juga mengeluh. Katanya sudah kepingin sekali makan Lemang Tapai. Memang mudah dicari di Jakarta. Tapi baginya, tak ada Lemang Tapai yang mampu tandingi buatan Mak. “Payah! Ndak ada kiriman Lemang Tapai lagi,” ketusnya suatu kali, saat bertamu ke rumah Irham. “Bukan uwan saja, semua sudah tak dapat,” balas Irham. “Basa bagaimana? Masih sering dikirimi Goreng Belut?” “Ndak ada. Ndak ada lagi oleh-oleh!” “Apa kalian ndak kirim uang lagi buat Mak? Mak sedang susah barangkali?” Tanya-tanya nyinyir mereka terjawab setelah mendengar pengakuan si bungsu, Alida. Adik perempuan mereka satu-satunya. Ternyata, ia masih sering dapat oleh-oleh. Bahkan lebih sering dari biasanya. Berarti Mak masih rajin mengirim oleh-oleh. Cuma saja, datangnya bukan lagi ke rumah keluarga mereka; Ijal, Ketek, Basa dan Irham. Oleh-oleh hanya dikirim Mak ke alamat rumah kontrakan Alida, di daerah Pasar Minggu. Anehnya, kiriman Mak bukan Sambalado Tanak kesukaan Alida, tapi Dendeng Lambok, khusus buat menantu Mak. Suami Alida. “Kenapa kau saja yang dapat oleh-oleh, Alida?” “Bukan saya wan!” “Iya, suamimu itu. Mestinya kami juga dikirimi bukan?” Irham coba menghitung-hitung berapa lama Mak tak mengirim oleh-oleh. Ternyata, persis sejak Alida menikah. Sejak Mak punya menantu baru; Yung. Suami Alida. Ya, sejak itu Mak tak pernah lagi bikin Rendang Ikan Pawas Bertelur, Krupuk Cincang, Lemang Tapai dan Goreng Belut. Mak hanya kirim Dendeng Lambok buat Yung. Menantu kesayangannya. Setahu Irham, sejak menikah dengan Alida, belum sepeser pun Yung kirim uang buat Mak. Lagi pula, apa yang bisa diharapkan dari lelaki yang tak jelas pekerjaannya itu? Sejak awal, Irham tidak setuju Alida menikah dengan Yung. Ia sudah carikan jodoh buat Alida. Firman, namanya. Sarjana teknik. Kini, bekerja di perusahaan pengeboran minyak lepas pantai. Bakal senang hidup Alida bila menikah dengan laki-laki pilihan Irham itu. Ijal juga sudah pilihkan Andra, putera tunggal pemilik perusahaan garmen di Jakarta. Ketek dan Basa memang tak pilihkan siapa-siapa. Alida boleh saja menikah dengan lelaki idamannya. Tapi dengan catatan; tidak dengan Yung. Mereka tak mungkin merelakan Alida dipersunting Yung. Lelaki yang sudah pernah beristri. Sementara Alida masih gadis. Lagi pula, (kabarnya) perkawinan Yung yang pertama bubar karena ulah menggelapkan dana investasi di perusahaan yang dikelolanya. Yung sedang terlibat masalah besar. Perusahaannya bangkrut. Semua asetnya disita. Ia lari dari masalah. Mereka curiga, jangan-jangan Yung sedang dikejar-kejar banyak orang. Setidaknya, dikejar para penagih utang. Ah, jangan-jangan Yung berniat nikahi Alida hanya untuk berlindung, selamatkan diri. Ia terlilit utang. Bukan tak mungkin, kelak mereka juga yang turun tangan selesaikan masalah Yung. Tapi, entah ilmu apa yang dipakai Yung. Mak langsung saja menerima lamarannya. Tanpa pertimbangkan baik buruknya lebih dulu. Mak tak peduli pada keberatan kakak-kakak Alida. “Ndak apa-apa, kalau kalian tak setuju. Mak tetap akan nikahkan Alida dengan Yung,” begitu tekad Mak waktu itu. “Pikir dulu masak-masak, baru ambil keputusan! Mak belum kenal siapa Yung itu.” “Sejak dari nenek moyangnya Mak tahu silsilah dia. Dia dari keluarga baik-baik. Kalian yang belum kenal Yung.” “Sudahlah! Tanpa kalian, pernikahan Alida tetap akan berlangsung. Mereka berjodoh, jangan kalian halangi!” Bila sudah begitu, mereka tak bisa membantah. Suka tak suka, mesti hormati keputusan Mak. Meski berat hati, Ijal, Ketek, Basa dan Irham tetap harus pulang dan bantu penyelenggaraan pesta perkawinan Alida dan Yung. Mereka pun menyumbang sesuai kemampuan masing-masing. Sudahlah! Tak usah kita menganggap Mak pilih kasih! Mak memang sering berkirim oleh-oleh buat Yung. Dendeng Lambok, masakan kesukaan menantunya itu. Barangkali, bukan karena Mak tak ingat lagi makanan kesukaan kita. Adik ipar kita itu baru saja memulai hidup di Jakarta. Pekerjaannya masih serabutan. Luntang-lantung. Belum ada penghasilan tetap. Masih susah. Mungkin jarang ia makan enak-enak seperti kita. Jadi, tak usahlah kita dengki! “Ah, Mak terlalu memanjakan menantu.” “Uang Mak bisa habis karena selalu kirim oleh-oleh buat Yung.” “Makin dimanja, makin malas dia!” Dulu, Yung memang anak baik-baik. Sekolahnya di pesantren. Sering ia memberi pengajian di mesjid kampung. Mak, salah satu jamaah yang suka dengan gayanya berceramah. Menyentuh sekali kata-katanya, begitu puji Mak. Tak jarang, jamaah ibu-ibu yang mendengar wiridannya menangis sesenggukan. Yung amat lihai bersilat lidah. Merangkai kalimat-kalimat jitu menggugah perasaan jamaah. Sejak itu, Mak ingin mengambil Yung jadi menantu. Kelak, setelah sekolahnya tamat. Tapi, harapan Mak tak kesampaian. Sebab, Yung merantau ke Jawa. Melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Inilah yang Mak belum tahu. Selama di Jawa, Yung bukan lagi mubaligh hebat seperti di kampung dulu. Ia sudah tanggalkan jubah ustadznya. Mungkin, Yung sudah lupa cara menyentuh perasaan jamaah, hingga menangis terisak-isak seperti Mak. Konon, Mak pernah datang ke rumah orang tua Yung. Melamar lelaki itu untuk Alida. Tentunya nanti setelah kuliahnya rampung. Tapi, setelah saatnya tiba, Yung tak pulang. Kabarnya, Yung menikah dengan gadis lain di Jawa. Mak juga dengar kabar buruk itu. Tapi, Mak tak kecewa. Berselang beberapa tahun, Yung pulang. Sudah duda. Meski belum punya anak. Orangtuanya datang menemui Mak, hendak menyambung cerita lama. Melamar Alida. Bila telapak tangan kurang lebar, dengan niru saya tampung niat baik itu, jawab Mak. Gayung bersambut, hingga akhirnya Yung menjadi menantu kesayangan Mak. Dan, selalu saja dikirimi oleh-oleh. “Gara-gara menantu Mak itu, kita tak pernah dapat oleh-oleh lagi.” “Mak lebih sayang pada menantu daripada anak-anaknya sendiri.” “Apa yang sudah diberikan Yung pada Mak? Sementara kita tiap bulan kasih jatah buat Mak.” >diaC< Percuma saja Suarni dan Said menyekolahkan mereka tinggi-tinggi. Setelah semuanya jadi orang, bukan makin dekat, malah makin jauh dari kampung. Jauh dari orangtua. Itulah susahnya punya anak laki-laki. Bila sudah besar, mereka akan tinggal di rumah orang. Di rumah anak-bini. Sibuk mengurus keluarga sendiri-sendiri. Wesel kiriman Ijal, Ketek, Basa dan Irham (yang sudah terbang-hambur dari kampung) memang selalu datang tiap bulan. Tapi sebenarnya, Suarni dan Said tak butuh uang. Untuk apa? Tanpa kiriman wesel pun, mereka tidak akan kekurangan. Hasil sawah dan ladang sudah cukup menghidupi mereka berdua. Di usia yang tersisa, Suarni dan Said ingin berkumpul kembali dengan anak-anak. Merasakan kehangatan di tengah-tengah mereka. Seperti dulu, saat mereka masih di kampung. Keduanya tak henti-henti berharap. Mudah-mudahan, ada di antara anak-anak yang mengajak tinggal di Jakarta, menghabiskan hari tua di sana. Aih, betapa menyenangkan bila Suarni masih dapat membuatkan makanan kesukaan Ijal, Ketek, Basa atau Irham. Tapi, setelah sekian lama menunggu dan berharap, ajakan itu tak kunjung tiba. Kalaupun sekali waktu Suarni dan Said datang berkunjung, itu hanya sekedar menjenguk cucu-cucu, sepekan dua pekan. Setelah itu, kembali pulang ke kampung. Tidak untuk tinggal berlama-lama, sebagaimana keinginan mereka. Harapan Suarni dan Said kini beralih pada Alida. Anak perempuan semata wayang, yang juga memilih hidup di Jakarta sejak menikah dengan Yung. “Pandai-pandailah mengambil hati menantu! Sering-seringlah berkirim oleh-oleh!” saran Said pada Suarni. “Oleh-oleh?” “Ya, agar lidah menantu baru kita terbiasa dengan masakanmu!” Mungkin, itu sebabnya Suarni selalu memasak Dendeng Lambok, lalu dikirimkannya buat Yung. Berkali-kali Suarni dilarang anak-anaknya; Ijal, Ketek, Basa, Irham. Jangan terlalu memanjakan menantu! Jangan pilih kasih! Suarni tak peduli. Makin dilarang, makin gencar saja ia berkirim oleh-oleh. Tak bakal berhenti Suarni berkirim Dendeng Lambok buat Yung. Agar lidah menantunya itu terbiasa dengan masakannya. Hingga, suatu waktu (entah kapan) Yung berkenan mengajaknya tinggal, berkumpul-bersama di Jakarta. Di sanalah, Suarni dan Said bakal habiskan umur yang tersisa. Semoga! Kelapa Dua, 2006 Untuk Mak Was…
""Menantu Baru""
Para pelancong mengunjungi kota kami untuk menyaksikan kepedihan. Mereka datang untuk menonton kota kami yang hancur. Kemunculan para pelancong itu membuat kesibukan tersendiri di kota kami. Biasanya kami duduk-duduk di gerbang kota menandangi para pelancong yang selalu muncul berombongan mengendarai kuda, keledai, unta, atau permadani terbang dan juga kuda sembrani. Mereka datang dari segala penjuru dunia. Dari negeri-negeri jauh yang gemerlapan. Di bawah langit senja yang kemerahan kedatangan mereka selalu terlihat bagaikan siluet iring-iringan kafilah melintasi gurun perbatasan, membawa bermacam perbekalan piknik. Berkarung-karung gandum yang diangkut gerobak pedati, daging asap yang digantungkan di punuk unta terlihat bergoyang-goyang, roti kering yang disimpan dalam kaleng, botol-botol cuka dan saus, biskuit dan telor asin, rendang dalam rantang—juga berdus-dus mi instan yang kadang mereka bagikan pada kami. Penampilan para pelancong yang selalu riang membuat kami sedikit merasa terhibur. Kami menduga, para pelancong itu sepertinya telah bosan dengan hidup mereka yang sudah terlampau bahagia. Hidup yang selalu dipenuhi kebahagiaan ternyata bisa membosankan juga. Mungkin para pelancong itu tak tahu lagi bagaimana caranya menikmati hidup yang nyaman tenteram tanpa kecemasan di tempat asal mereka. Karena itulah mereka ramai-ramai piknik ke kota kami: menyaksikan bagaimana perlahan-lahan kota kami menjadi debu. Kami menyukai cara mereka tertawa, saat mereka begitu gembira membangun tenda-tenda dan mengeluarkan perbekalan, lalu berfoto ramai-ramai di antara reruntuhan puing-puing kota kami. Kami seperti menyaksikan rombongan sirkus yang datang untuk menghibur kami. Kadang mereka mengajak kami berfoto. Dan kami harus tampak menyedihkan dalam foto-foto mereka. Karena memang untuk itulah mereka mengajak kami berfoto bersama. Mereka tak suka bila kami terlihat tak menderita. Mereka menyukai wajah kami yang keruh dengan kesedihan. Mata kami yang murung dan sayu. Sementara mereka—sembari berdiri dengan latar belakang puing-puing reruntuhan kota—berpose penuh gaya tersenyum saling peluk atau merentangkan tangan lebar-lebar. Mereka segera mencetak foto-foto itu, dan mengirimkannya dengan merpati-merpati pos ke alamat kerabat mereka yang belum sempat mengunjungi kota kami. Belakangan kami pun tahu, kalau foto-foto itu kemudian dibuat kartu pos dan diperjualbelikan hingga ke negeri-negeri dongeng terjauh yang ada di balik pelangi. Pada kartu pos yang dikirimkannya itu, para pelancong yang sudah mengunjungi kota kami selalu menuliskan kalimat-kalimat penuh ketakjuban yang menyatakan betapa terpesonanya mereka saat menyaksikan kota kami perlahan-lahan runtuh dan lenyap. Mereka begitu gembira ketika melihat tanah yang tiba-tiba bergetar. Bagai ada naga menggeliat di ceruk bumi—atau seperti ketika kau merasakan kereta bawah tanah melintas menggemuruh di bawah kakimu. Betapa menggetarkan melihat pohon- pohon bertumbangan dan rumah-rumah rubuh menjadi abu. Membuat hidup para pelancong yang selalu bahagia itu menjadi lengkap, karena bisa menyaksikan segala sesuatu sirna begitu saja. Bagi para pelancong itu, kota kami adalah kota paling menakjubkan yang pernah mereka saksikan. Mereka telah berkelana ke sudut-sudut dunia, menyaksikan beragam keajaiban di tiap kota. Mereka telah menyaksikan menara-menara gantung yang dibuat dari balok-balok es abadi, candi-candi megah yang disusun serupa tiara; menyaksikan seekor ayam emas bertengger di atas katedral tua sebuah kota yang selalu berkokok setiap pagi. Mereka juga telah melihat kota dengan kanal-kanal yang dialiri cahaya kebiru-biruan. Kepada kami para pelancong itu juga bercerita perihal kota kuno yang berdiri di atas danau bening, dengan rumah-rumah yang beranda-berandanya saling bertumpukan, dan jalan-jalannya yang menyusur dinding-dinding menghadap air, hingga menyerupai kota yang dibangun di atas cermin; kota dengan jalan layang menyerupai jejalin benang laba-laba; sebuah kota yang menyerupai benteng di ujung sebuah teluk, dengan jendela-jendela dan pintu-pintu yang selalu tertutup menyerupai gelapanggur danhanya bisadilihat ketikasenjakala.>jmp-2008m<>h 7028m,0<>w7028m<1)>jmp 0m<>h9738m,0<>w 9738m< Bahkan mereka bersumpah telah mendatangi kota yang hanya bisa ditemui dalam imajinasi seorang penyair. Tapi kota kami, menurut mereka, adalah kota paling ajaib yang pernah mereka kunjungi. Para pelancong menyukai kota kami karena kota kami dibangun untuk menanti keruntuhan. Banyak kota dibangun dengan gagasan untuk sebuah keabadian, tetapi tidak dengan kota kami. Kota kami berdiri di atas lempengan bumi yang selalu bergeser. Kau bisa membayangkan gerumbul awan yang selalu bergerak dan bertabrakan, seperti itulah tanah di mana kota kami berdiri. Membuat semua bangunan di kota kami jadi terlihat selalu berubah letaknya. Barisan pepohonan seakan berjalan pelan. Lorong-lorong, jalanan, dan sungai selalu meliuk-liuk. Dan ketika sewaktu-waktu tanah terguncang, bangunan dan pepohonan di kota kami saling bertubrukan, rubuh dan runtuh menjadi debu—serupa istana pasir yang sering kau buat di pinggir pantai ketika kau berlibur menikmati laut. Rupanya itulah pemandangan paling menakjubkan yang membuat para pelancong itu terpesona. Para pelancong itu segera menghambur berlarian menuju bagian kota kami yang runtuh, begitu mendengar kabar ada bagian kota kami yang tergoncang porak-poranda. Dengan handycam mereka merekam detik-detik keruntuhan itu. Mereka terpesona mendengar jerit ketakutan orang-orang yang berlarian menyelamatkan diri, gemeretak tembok-tembok retak, suara menggemuruh yang merayap dalam tanah. Itulah detik-detik paling menakjubkan bagi para pelancong yang berkunjung ke kota kami; seolah semua itu atraksi paling spektakuler yang beruntung bisa mereka saksikan dalam hidup mereka yang terlampau bahagia. Lalu mereka memotret mayat-mayat yang tertimbun balok-balok dan batu bata. Mengais reruntuhan untuk menemukan barang-barang berharga yang bisa mereka simpan sebagai kenangan. Saat malam tiba, dan bintang- bintang terasa lebih jauh di langit hitam, para pelancong itu bergerombol berdiang di seputar api unggun sembari berbagi cerita. Memetik kecapi dan bernyanyi. Atau rebahan di dalam tenda sembari memainkan harmonika. Dari kejauhan kami menyaksikan mereka, merasa sedikit terhibur dan tak terlalu merasa kesepian. Bagaimanapun kami mesti berterima kasih karena para pelancong itu mau berkunjung ke kota kami. Mereka membuat kami semakin mencintai kota kami. Membuat kami tak hendak pergi mengungsi dari kota kami. Karena bila para pelancong itu menganggap kota kami adalah kota yang penuh keajaiban, kenapa kami mesti menganggap apa yang terjadi di kota kami ini sebagai malapetaka atau bencana? Seperti yang sering dikatakan para pelancong itu pada kami, setiap kota memang memiliki jiwa. Itulah yang membuat setiap kota tumbuh dengan keunikannya sendiri-sendiri. Membuat setiap kota memiliki kisahnya sendiri-sendiri. Keajaiban tersendiri. Setiap kota terdiri dari gedung- gedung, sungai-sungai, kabut dan cahaya serta jiwa para penghuninya; yang mencintai dan mau menerima kota itu menjadi bagian dirinya. Kami sering mendengar kota-kota yang lenyap dari peradaban, runtuh tertimbun waktu. Semua itu terjadi bukan karena semata-mata seluruh bangunan kota itu hancur, tetapi lebih karena kota itu tak lagi hidup dalam jiwa penghuninya. Kami tak ingin kota kami lenyap, meski sebagian demi sebagian dari kota kami perlahan-lahan runtuh menjadi debu. Karena itulah kami selalu membangun kembali bagian-bagian kota kami yang runtuh. Kami mendirikan kembali rumah-rumah, jembatan, sekolah, tower dan menara, rumah sakit-rumah sakit, menanam kembali pohon-pohon, hingga di bekas reruntuhan itu kembali berdiri bagian kota kami yang hancur. Kota kami bagaikan selalu muncul kembali dari reruntuhan, seperti burung phoenix yang hidup kembali dari tumpukan abu tubuhnya. Kesibukan kami membangun kembali bagian kota yang runtuh menjadi tontonan juga bagi para pelancong itu. Sembari menaiki pedati, para pelancong itu berkeliling kota menyaksikan kami yang tengah sibuk menata reruntuhan. Mereka tersenyum dan melambai ke arah kami, seakan dengan begitu mereka telah menunjukkan simpati pada kami. Sesekali para pelancong itu berhenti, membagikan sekerat biskuit, sepotong dendeng, sebotol minuman, atau sesendok madu— kemudian kembali pergi untuk melihat-lihat bagian lain kota kami yang masih bergerak bertabrakan dan hancur. Kemudian para pelancong itu pergi dengan bermacam cerita ajaib yang akan mereka kisahkan pada kebarat dan kenalan mereka yang belum sempat mengunjungi kota kami. Mereka akan bercerita bagaimana sebuah kota perlahan- lahan hancur dan tumbuh kembali. Sebuah kota yang akan mengingatkanmu pada yang rapuh, sementara, dan fana. Sebuah kota yang membuat para pelancong berdatangan ingin menyaksikannya. Bila kau merencanakan liburan akhir pekan—dan kau sudah bosan piknik ke kota-kota besar dunia yang megah dan gemerlap—ada baiknya kau berkunjung ke kota kami. Jangan lupa membawa kamera untuk mengabadikan penderitaan kami. Mungkin itu bisa membuatmu sedikit terhibur dan gembira. Berwisatalah ke kota kami. Jangan khawatir, kami pasti akan menyambut kedatanganmu dengan kalungan bunga-air mata… Yogyakarta, 2006 CATATAN: 1) Deskripsi kota-kota dalam paragraf ini mengacu pada karya Italo Calvino, Invisible Cities—telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia: Kota-kota Imajiner, oleh Erwin Salim (Fresh Book, 2006)
""Piknik""
Kembali rasa pedas itu membikin merah dan menggetarkan kedua matanya. Rasa itu pula yang kemudian menghimpun kesedihannya, lantas butir-butir air—hangat dan berasa garam—menghilir ke pipinya yang letih. Hembus napasnya berderak, dadanya sesak! Macam ada bongkahan bertaring yang kian detak kian membengkak. Oihdah, selalu ada pedih yang tak terkisahkan selain dengan lantak air mata. Semestinya Lamrina layak bersukacita. Bukankah hari ini telah dilangsungkan acara manjagit parompa, juga penabalan nama anaknya yang pertama? Memang sepanjang siang sampai petang menjelang, di bibirnya berpucuk senyum mengembang. Sesekali ia betulkan posisi tidur Uli yang baru berusia dua puluh delapan hari. Pada kesempatan lain ia sibuk membujuk bayinya yang mengoak. Tapi pulas lagi usai bergelayut di lemak dada Lamrina. Acara berlangsung meriah dan hikmat. Dengan senang hati ia sambut kerabat dan tetangga dekat. Para tamu silih berganti datang dan pulang. Mereka menyampaikan kata selamat, mengayunkan salam, memberi pelukan, dan berebut mencium pipi si buah hati. Di antara mereka ada yang meninggalkan bingkisan di sisi Uli. Sebagian lagi menyelipkan amplop berisi uang ke tangan Lamrina. Namun ada alasan mengapa diam-diam Lamrina tak mampu menahan sesak yang berombak di dadanya. Seperti kini, ketika keramaian berganti lengang. Ketika denting piring-sendok hening, ia pun selalu gagal memenggal serbuan peristiwa yang hinggap di kepala. Peristiwa-peristiwa yang bersinggungan mengail-ngail air mata dari sepasang danau keruh di lereng dahinya. Ia pun bersekutu dengan tangis! Pun ketika ia melipat parompa sadun kiriman ibu, buah air yang bening itu meleleh lagi. Berderai di pipi yang pasi. Sungguh Lamrina tak ingin meriakkan air muka kesedihan. Tapi selekas apa pun ia menyeka linangan di pipinya, lebih lekas lagi air mata mencipta telaga. Lalu bergulir membasahi parompa sadun di pangkuannya. Jemarinya memintali rumbai parompa yang menjulur. Tapi tentu itu tak membantu meniup debu keperihan dari mata hatinya. Parompa sadun, sebidang kain tenun adat berbentuk persegi panjang (mirip ulos Batak Toba)! Inilah sumber sebab yang membikin Lamrina dua bulan ini gelisah. Perasaannya bagai kapal pecah, kacau belah. Tak tentu antara gembira, bersalah, atau durhaka pada ibu, dan entahlah! Kalau tidak silap, usia kandungan Lamrina delapan bulan saat paket berisi salendang adat itu datang. Hmm, ia menarik napas, berat. Udara ibarat berserat. Ia pandangi parompa sadun yang batal dimasukkan ke lemari. Bahkan perlahan ia buka lagi lipatannya, dan dihamparkan di atas springbed. Seketika Lamrina terkenang kampung halamannya, Sabatolang, daerah Sipirok-Tapsel. Ia pun terkenang pula dengan riuh sukacita acara manjagit parompa, acara adat Angkola menyambut kelahiran anak sulung. Pada acara itu diserahkanlah parompa oleh ompung—nenek dari pihak perempuan/ibu—kepada cucunya. Jika penyerahannya secara adat, seekor kambing syarat yang penting. Pemuka adat juga mesti hadir. Tapi jika hanya acara sederhana, cukup menyembelih ayam. Sedang undangan terdiri dari kerabat dan tetangga. Do-li Ha-si-an! Lamrina mengeja nama lengkap Uli. Itulah dua kata yang tertera di atas parompa. Tulisan selebar tiga ruas jari telunjuk, melintang di salah satu sisi parompa. Di sisi lain tertera tulisan: Simbur Magodang (Sehat dan lekaslah besar). Tulisan-tulisan itu dirajut dengan manik-manik putih di atas kain yang didominasi warna hitam dan merah hati. Kedua warna itu berpadu dengan motif kuning, hijau, ungu, dan oranye. Tenunan yang kuat, cantik, dan serasi. Teringatnya, untuk kali kedua ia menerima kain yang sejenis. Dulu saat menikah, Lamrina pernah mendapat abit godang. Tapi alah, mengenang abit godang bagi Lamrina seperti sedang merayakan upacara kepedihan yang lain di lumbung ingatannya. Ia berupaya menghalau kenangan tentang abit godang, tapi tak kuasa. Kain adat itu seperti melambai dari lemari, lantas terbang, dan rebah saja di samping parompa. Persis ia seperti parompa, hanya saja ukuran abit godang sedikit lebih besar. Pada sisi lebar yang satu, tertera nama lengkapnya, Lamrina Mintaito. Di sisi seberang ada nama Hadi Rusnandar. Lalu di bagian tengah ada petuah adat: Ulos ni Tondi dohot Badan/Gabe ma Hita Sude na Mamake (Selimut untuk semangat dan Badan/Kesenangan yang Hebatlah bagi Kita yang Memakai). Tapi pada simpang siur lamunan Lamrina, abit godang acap memaksanya berperam mata sambil menikami kelebat sesal. Abit godang seperti sebuah teko berkarat yang mengguyurkan kopi pahit ke gelas hatinya. Sungguh, tidak mudah mendapat abit godang sebagai simbol restu orangtua atas pernikahan anaknya. Tidak mudah merajut kedua nama mereka di atas abit godang. Begini, setahun lalu Lamrina disarankan ibunya pergi ke Jakarta. Ya, untuk menggapai peruntungan yang lebih baik, begitulah. Maklum, ibu Lamrina lumayan berumur. Badan dan semangatnya sudah menyusut. Jalannya saja beringsut karena sudah lama mengidap rematik akut. Ibu Lamrina tak lagi menggarap sawah peninggalan ayah. Sudah lama itu disewa famili dengan harga murah. Beliau hanya berladang-ladang di belakang rumah. Lamrina pun berangkat ke ibu kota. Di sana ia menumpang di rumah amangtua—saudara ayah Lamrina yang tertua. Tapi belum sempat bekerja, Lamrina malah punya kenalan bernama Hadi Rusnandar, yang kemudian berniat melamarnya. Nah, ini pangkal persoalannya. Angan-angan ibunya agar Lamrina bekerja kemungkinan besar pupus. Lalu yang lebih prinsip, ibu Lamrina tak ingin jika Masniari, kakak tertua Lamrina, dilangkahi. Kakak Lamrina itu tinggal di kampung bersama ibu, dan belum menikah. Keberatan ibunya dapat diterima akal, dan Lamrina paham perasaan ibunya. Ia yakin, ketidaksetujuan ibu bukan karena Mas Hadi berasal dari keluarga Jawa. Ibunya bukan orang tua yang kolot soal jodoh. “Pokoknya seagama,” begitu pesan ibunya. Namun pemakluman Lamrina atas keberatan itu akhirnya kalah oleh desakan Mas Hadi. Apalagi secara tersirat, amangtua mendukung keputusan Lamrina. Amangtua pula yang berhasil menekuk hati ibu. Maka setelah tarik ulur yang melelahkan, akhirnya lamaran diterima. Pesta adat pun digelar dengan meriah di Jakarta. Dan ibu Lamrina turut menyaksikan. Demikian pun, tidak sepenuhnya Lamrina berbaring di ranjang ketenangan. Setiap bertelepon ke kampung, ibunya sering mengeluhkan nasib kak Masniari yang belum juga ketemu jodoh. Tak jarang pula ibunya mengait-ngaitkan dengan pernikahannya. Pernikahan yang dianggap sebagai penghalang jodoh kakaknya. Ampun, ia layaknya sedang memangku dosa sebesar bulan. Begitulah, mengenang abit godang senantiasa membuat Lamrina tak pernah tenang. Maka sejak menikah abit godang tersebut dibenamkan Lamrina jauh ke palung lemari. Tapi abit godang sudah tersimpan, parompa sadun pula yang sampai di tangan. Bagi Lamrina, itu kiriman yang tidak lazim. Mengapa? Karena parompa sadun semestinya diberikan jika anak sudah lahir. Lalu, mengapa di atas abit godang sudah tersulam nama: Doli Hasian? Bukankah nama itu berarti: Anak Laki-laki Kesayangan? Padahal hasil USG mengisyaratkan rahim Lamrina sedang mengasuh janin perempuan. Hari itu juga ia menginterlokal tulang Dahler—adik bungsu ibunya. Seperti biasa, Lamrina berpesan jika Kamis lusa ia kepingin bicara sama ibunya. Tulang Dahler tinggal di pasar Sipirok, punya ruko buat usaha Sambal Taruma, keripik pedas khas Sipirok. Setiap Kamis ada pekan besar di Sipirok, dan ibu Lamrina selalu pergi ke sana. Entah hendak menjual hasil ladang, atau belanja untuk keperluan seminggu. Kalaupun tidak, ibunya berangkat ke Sipirok sekadar singgah di ruko tulang. Dan sebelum magrib sudah pulang ke Sabatolang. Tapi harapan Lamrina agar perasaannya damai tak tercapai. Malah di dadanya gelombang rusuh terus bertabuh. Demi Allah, Lamrina sudah hati-hati betul menyampaikan keganjalan hatinya soal parompa itu. Tapi apa? Ibunya tersinggung! “Tak senang-nya kau menerima parompa itu?” Suara ibu Lamrina sedikit tinggi dari percakapan sebelumnya. Pertanyaan itu seperti gelegar halilintar. Jantung Lamrina berdebar, “Iya, Lamrina. Tak senang-nya kau….” “Senang-nya aku, Bu…,” potong Lamrina. “Kau kirimkan lagilah parompa itu ke kampung.” Kini suara ibunya menjurus ketus, “Atau yang tak senang-nya kau kalau cucuku laki-laki, iya?” Pertanyaan ibunya menyeret Lamrina ke pojok serba salah. Napas ibunya yang pendek-pendek dan bercampur isak terdengar di ujung telepon. Lalu berakhir dengan suara: tuut-tuut-tuut! Aduh, Lamrina merasa terlibat mematahkan semangat ibunya mendapat cucu laki-laki. Ia tahu betul mengapa ibunya sekilat itu menyemburkan api amarah. Dulu ibunya, juga almarhum ayahnya, kepingin kali anak pertama mereka laki-laki. Tapi anak perempuan yang lahir, dan diberi nama Masniari. Keinginan yang sama dibebankan kepada kandungan yang kedua. Tapi lagi-lagi yang lahir perempuan. Nama Doli Hasian yang lama dipersiapkan terpaksa berganti dengan nama Lamrina Mintaito. Mintaito merupakan doa yang artinya: Memohon Saudara Laki-laki. Besar harapan ayah-ibu Lamrina, anak ketiga yang lahir semoga laki-laki sebagai penerus marga. Tapi harapan itu pun padam bagai bangkai bara yang hitam. Belum pandai Lamrina berjalan, ayahnya meninggal muda karena kecelakaan. Lalu ibunya tak punya niat untuk menikah lagi. “Ibu bangga menjadi janda karena marsarak tumbilang, cerai karena kematian. Dan ibu pernah berjanji, kalau ditinggal ayahmu karena marsarak tumbilang, ibu tak akan menikah lagi. Sekalipun ibu masih muda.” Tentulah ibunya tidak akan memiliki anak lagi. Maka berpindahlah harapan besar itu ke perut Lamrina. Harapan memiliki cucu laki-laki, juga harapan untuk memakaikan nama Doli Hasian. Nama yang dulu akan diberikan kepada Lamrina, seandainya ia laki-laki. Tapi kini harapan itu nyaris terkubur, karena hasil analisa dokter, anak yang dikandung Lamrina adalah perempuan. Iya, perkiraan itu masih bisa meleset. Namun ibunya telanjur tersinggung. Buktinya, sudah berapa kali Kamis Lamrina bertelepon ke ruko tulang Dahler. Tapi yang terdengar dari seberang bukan suara ibu, melainkan jawaban tulang Dahler: “Tak ada Ibumu kemari. Kudengar-dengar dia kurang sehat.” Berhari-hari panas dingin tubuh Lamrina dibuatnya. Puncaknya, empat hari menjelang melahirkan, ia mendapat berita yang membuat tubuhnya lunglai, seperti baju yang teronggok di lantai. “I…bumu me…ninggal tadi ma…lam, kira-kira pukul sebelas….” Suara parau tulang Dahler yang berkabar singkat lewat telepon menjelang subuh. Maka meletuslah tangis Lamrina. Ingin rasanya ia berangkat ke kampung subuh itu juga. Menyungkurkan kepala ke jenazah ibu demi mempersembahkan permohonan maaf. Tapi itu jauh dari mustahil, karena kehamilannya sudah tiba di penghujung waktu. Kalau bukan karena memikirkan anak yang di dalam perutnya, sudah tentu ia terus meraung. Menenggelamkan diri di lautan murung. Untung ia punya suami yang sabar. Memang hanya kesabaran yang dibutuhkan suaminya. Termasuk untuk membujuk Lamrina agar tidak bersedih menerima kelahiran anak perempuan mereka. Bahkan Mas Hadi dengan lapang dada tetap memberi nama Doli Hasian kepada anak perempuan mereka. Hanya disepakatilah nama panggilannya, Uli. Mas Hadi juga menganjurkan agar acara manjagit parompa tetap dilaksanakan dengan sederhana. “Demi menghormati arwah ibu,” kata suaminya. Tapi Lamrina masih saja hanyut oleh anggapannya sendiri: “Aku gagal menebus kesalahan. Mengapa anakku tidak laki-laki seperti keinginan ibu?” Ah, bagi Lamrina tidak mudah meredam hati yang resah. Tidak gampang menimbang perasaan yang bimbang. Butuh waktu lama meneguh semangat yang rapuh. Entahlah, setiap kali mengajak Uli bercanda, atau setiap kali memanggil nama anaknya, “Uli, Uli, anak sayang,” serta-merta Lamrina seperti berbisik, “Ibu, Ibu, nasibmu, o, betapa malang!” Lantas ia pun akan kehabisan kekuatan membendung kabut basah yang mengapung di matanya. Bahkan matanya yang bersorot menerawang itu seperti dua tadah penuh kuah. Lalu tumpah menggarami luka hatinya yang menganga-merekah. “Ibu, Ibu, maafkan Lamrina…!” Medan, 2006
""Parompa Sadun Kiriman Ibu""
Di keluargaku, ada satu jenis sambal yang nyaris tidak pernah absen dari meja makan kami, terutama saat makan pagi. Sambal itu sangat sederhana, baik bahan maupun cara pembuatannya. Beberapa butir cabai hijau, ditambah sepotong kecil bawang putih dengan garam secukupnya, lalu ditetesi minyak goreng panas sisa menggoreng sesuatu. Setelah diulek, sambal itu dihidangkan begitu saja di atas cobek, berbaur dengan menu lain. Sambal itu bukan menu tambahan atau menu penyempurna. Ia merupakan menu utama. Lauk yang lain seperti tidak ada jika sambal itu tidak hadir, tetapi sambal itu akan tetap menggiurkan dengan iringan lauk yang lain. Sambal itu tetap enak jika disandingkan dengan ayam goreng, telur, atau tempe. Tetap enak sekalipun hanya ada kerupuk atau pete. Masing-masing anggota keluarga kami mempunyai nama sendiri-sendiri untuk menyebut sambal itu. Yu Sumi, orang yang bertahun-tahun membantu memasak di rumah kami, menyebut sambal itu dengan nama sambal korek. Mungkin karena sekalipun sambal itu sudah tandas, kami tetap mengoreknya dari cobek untuk mencari sisa-sisa. Ibuku memberi nama sambal itu dengan nama sambal galak. Alasannya, sambal itu terasa sangat pedas, galak di mulut. Bapakku menyebut sambal itu dengan nama sambal bahagia. Konon kata bapakku, sambal sederhana itu gampang membuatnya bahagia. Ayundaku, satu-satunya saudara kandungku, menyebut sambal itu dengan nama sambal malas. Maksudnya, sambal itu membuatnya malas untuk menyelesaikan sarapan, selalu ingin menambah nasi. Dan aku memberi nama sambal itu dengan nama sambal asal. Siapa pun orangnya, asal sudah bisa memegang cobek dan ulekan, pasti bisa membuatnya. Kalau sambal itu absen dari meja makan kami saat sarapan, masing-masing kami mempunyai kalimat antik untuk meresponsnya. Ibuku akan berkata, Yu Sumi sedang ngambek. Sedangkan bapakku akan mengatakan kalau penjual cabai hijau sedang menikah. Ayundaku lain lagi, jika sambal itu tidak hadir, ia selalu bilang, sidang kabinet batal. Ayundaku memang senang sekali menonton laporan khusus yang ditayangkan TVRI, terutama kalau Pak Harmoko membacakan harga-harga bahan makanan, termasuk harga cabai. Aku sendiri akan bilang, upacara tanpa bendera. Biasanya, sebelum makan, aku akan mengeluarkan aba-aba untuk diri sendiri jika tidak ada sambal tersebut di meja makan, “Upacara tanpa bendera, mulai!” Sarapan pagi bagi kami adalah sebuah prosesi yang khusyuk tapi tetap cair dan ringan. Sambal adalah uba-rampe yang tidak bisa digantikan oleh apa pun. Sambal itu telah menjadi sambal keluarga. Pada saat sarapan, kami juga saling menandai siapa di antara kami yang sedang mempunyai masalah. Kalau ada salah seorang di antara kami tidak antusias berebut sambal dari cobek, pasti ia sedang mempunyai masalah. Pasti. Sampai aku dan ayundaku besar, sambal keluarga itu tetap menduduki rangking teratas di keluarga kami. Jika kami berkumpul di rumah, menu itu selalu dipastikan ada saat sarapan. Hanya ketika aku dan ayundaku sudah tumbuh besar, kami berdua memberi sebutan yang berbeda lagi untuk menu sambal. Beberapa bulan setelah aku kuliah, aku menyebut sambal itu dengan nama sambal proletar. Sedangkan ayundaku menyebutnya dengan nama sambal kenangan. >diaC< Keluarga kami bertemu di meja makan tiga kali dalam sehari. Pagi, ketika ibu-bapakku akan pergi ke kantor dan kami bersiap pergi ke sekolah, lalu siang ketika kami semua sudah tiba dari tempat masing-masing, dan malam hari seusai salat maghrib. Tapi hanya pada pagi hari kami benar-benar seperti “bertemu”. Di siang hari, aku yang satu selera dengan ibuku, lebih memilih santapan sayur asem, sedangkan bapakku dan ayundaku lebih memilih sayur lodeh. Di malam hari, makanan kami lebih sering dibeli dari luar rumah, dan kami pun membentuk konfigurasi selera yang berbeda, aku dan ayundaku lebih suka makan masakan Padang, sementara ibu dan bapakku lebih suka menikmati lontong sayur atau pecel lele. Tidak bisa kumungkiri, menu makan pagi yang tidak tergantikan itu telah berubah menjadi begitu jauh, penuh dengan isyarat dan petanda yang lembut bagi kami sekeluarga. Seperti menenun sebuah jaringan mental yang gaib dan penuh rahasia. Kalau ada tamu menginap di rumah kami, tidak peduli apakah itu saudara dekat seperti nenek atau bude, atau teman-teman ibu dan bapakku, bisa dipastikan menu itu bersembunyi, lenyap dari meja makan kami. Seolah kami saling melempar pesan, “Sekarang sedang ada orang lain.” Hanya ada satu orang saja yang kami percaya untuk mengetahui rahasia lembut itu, Yu Sumi. Dialah yang menguntit proses itu bertahun-tahun, dan ikut menyukseskan ritual sarapan dengan baik. Dan karena itu, ia adalah bagian dari kami. Dengan pelan dan pasti, aku mulai menyadari bahwa itu bukan sekadar perkara jenis sambal tertentu. Itu lebih rumit dari yang kami rasakan di lidah. Pertama aku menandai itu ketika ayundaku pergi kuliah di luar kota. Tetap ada menu itu di sarapan kami bertiga, tapi tetap seperti tidak biasanya. Dan kami butuh waktu untuk menyesuaikan, dan kami tahu, itu adalah cara menyesuaikan, bukan idealnya. Tiga tahun kemudian, ketika aku menyusul ayundaku kuliah di kota yang sama, tidak jarang kami pun sering mencoba membuat kedua menu itu, hasilnya sama, tidak akan pernah sama persis ketika itu kami santap di rumah bersama ibu dan bapak kami. Sambal itu baru kami nikmati kembali sebagai sambal keluarga ketika kami berkumpul. Sambal itu bau benar-benar sambal karena ia berada di sana, di sebuah pagi, di rumah kami, ketika kami semua lengkap mengepung meja. Lalu semua itu berkembang lebih jauh lagi. Aku masih mengingat saat itu, ketika kali pertama ayundaku membawa pacarnya pulang ke rumah, memperkenalkan kekasihnya itu ke kedua orangtua kami. Pagi saat sarapan, ayundaku terlihat sebagai orang yang paling resah. Ia langsung pucat dan tidak berselera, begitu di meja makan, di antara sekian banyak lauk-pauk tidak ada kedua menu itu. Sebuah isyarat telah dilempar ke meja makan. Dan ayundaku begitu lunglai. Kali kedua ia membawa kekasihnya yang lain, ia pun mengalami hal serupa. Dan itu bukan hanya menimpanya, tetapi juga pernah menimpaku. Sekali menimpaku karena hanya sekali pula aku membawa pacarku pulang ke rumah. Semenjak itu, kami berdua harus berpikir berkali-kali kalau ingin membawa pacar kami pulang ke rumah. Setelah mengalami ketiga kejadian itu, aku memberi nama sambal itu dengan nama sambal ujian, sementara ayundaku memberi nama sambal maut. Perubahan penyebutan itu hanya membuat kedua orangtuaku tersenyum ringan dan tetap tenang. Saat kami berdua tidak tinggal serumah lagi dengan kedua orangtua kami, memakan sambal dengan lahap ketika berkumpul bersama keluarga menjadi semacam registrasi ulang untuk mengukuhkan sesuatu yang kami anggap penting. Sarapan pagi adalah ritual validasi atas diri kami berdua, aku dan ayundaku. Suatu kali, ketika hampir dua tahun ayundaku tugas belajar ke luar negeri, begitu pulang ke Indonesia ia langsung mengajakku pulang ke rumah. Paginya, dalam suasana makan pagi yang hangat, ayundaku menyantap sambal keluarga itu dengan cara yang tidak pernah ia lakukan. Kupikir, ia bukan sekadar rindu pada sambal dan suasana di keluarga kami, tapi juga dalam rangka menunjukkan sesuatu yang penting untuk disampaikan. Hasilnya, ia tidak makan siang dan tidak makan malam karena kekenyangan dan perutnya panas. Tapi keesokan harinya, ia tetap menyantap sambal itu dengan antusiasme yang tidak kalah dari pagi sebelumnya. Dua tahun yang lalu, akhirnya, satu orang lagi menjadi bagian dari keluarga kami. Mas Rudi, yang sekarang menjadi suami ayundaku, lolos dari pedas sambal maut. Ketika pagi itu, ayundaku melihat sambal keluarga terhidang di atas cobek saat makan bersama, ia tidak bisa menyembunyikan kegembiraannya. Ia langsung memekik dan mencium ibu-bapakku, dan merangkul Mas Rudi. Tentu saja Mas Rudi yang tidak tahu apa-apa hanya bengong. Kini, mereka berdua telah dikarunia seorang putri yang lucu, dan sekalipun keponakanku itu mempunyai nama panjang yang bagus, toh ayundaku memanggil anaknya dengan panggilan sayang: Mbal…. >diaC< Pagi ini adalah pagi yang paling membuatku salah tingkah. Ayundaku, Mas Rudi, dan putri mereka ramai bermain di beranda depan. Ibuku sedang mempersiapkan sarapan buat kami di dapur. Hanya bapakku yang tidak terlihat. Sementara Dian, kekasihku, masih berada di kamar. Sesekali, ayundaku masuk ke ruang tamu, tempat di mana aku mencoba mengatasi perasaanku yang serba tidak menentu. Beberapa kali ayundaku memberi isyarat supaya aku tenang. Bahkan tidak segan ia menepuk pundakku, seakan memberi semangat dan ketenteraman bahwa pagi ini, semua akan baik-baik saja. Kemarin, ayundaku beserta suami dan putri mereka berkunjung ke rumah orangtua kami. Mereka dipanggil pulang ke rumah oleh ibuku setelah aku dan Dian memastikan bahwa kami berdua akan datang. Ini kali pertama Dian kuajak ke rumahku, dan ini berarti drama sambal keluarga akan dimulai. Setahun lebih aku menjalin hubungan dengan Dian, dan baru kali ini aku memberanikan diri mengajaknya mengunjungi kedua orangtuaku. Hampir semua hal telah kami bicarakan berdua, kecuali satu hal: sambal keluarga. Semalam, kami semua telah berkumpul. Semalam, suasana begitu akrab sehingga seharusnya aku tidak perlu terlalu khawatir akan drama pagi ini. Tapi bukankah seperti itu yang dulu terjadi kepada kedua mantan kekasih ayundaku dan mantan kekasihku? Malam yang nyaman, bukan berarti sebuah tiket yang bisa menentukan apa yang terjadi di pagi harinya. Dian keluar dari kamarnya. Ia menemuiku, dan bilang akan membantu ibu di dapur untuk mempersiapkan sarapan. Tapi sebelum aku mengiyakan, ibu sudah memanggil-manggil kami dari dapur. Perasaanku semakin kocar-kacir, pikiranku semakin kacau. Ayundaku bersama Mas Rudi dan putri mereka segera masuk ke gelanggang pementasan. Dian memberi isyarat agar kami berdua segera menyusul ke dapur. Pelan aku bangkit dan menggandeng tangan Dian. Pada tangan itu, aku ingin memastikan dan memperkuat sesuatu yang serba tidak menentu. Aku mendengar suara ramai di dapur, suara keponakanku ditimpali suara ayunda dan ibuku. Suara yang ringan dan bingar. Beberapa meter dari ruang makan, aku melihat semua sudah menempati kursi masing- masing, hanya Mas Rudi yang masih menggendong putrinya sambil terus bercanda. Bapakku yang dari pagi tidak kulihat juga sudah berada di sana, sementara Yu Sumi masih kulihat sibuk di dapur yang terletak bersebelahan dengan ruang makan. Pelan kami berdua masuk, menuju tempat duduk yang tersisa. Dan mataku menyapu sajian di meja makan…. Jantungku berdetak mengencang dan mengeras. Kusapu berkali-kali dan kuperiksa dengan seluruh perhatianku, tetap saja aku tidak menemukan satu menu yang paling kutunggu-tunggu. Tubuhku terasa ringan. Tapi aku berusaha tetap tenang, dan duduk di kursiku. Yu Sumi masih melakukan sesuatu di dapur, mungkin masih di sana…. Semoga…. Rasa tidak menentu juga kulihat di raut muka ayundaku. Mas Rudi, orang yang akhirnya tahu tentang drama sarapan ini, setelah mengambil makanannya, keluar dari ruang pentas. Ia memberi alasan akan menyuapi putrinya di beranda. Tapi aku memaklumi, ia sedang tidak ingin mencampuri satu peristiwa yang mungkin tidak mengenakkan hatinya. Sarapan dimulai. Tanganku gemetar, aku tidak sanggup mengeluarkan sepatah kata pun. Berkali-kali, aku melihat ayundaku juga berusaha menghilangkan ketegangan dengan cara menarik napas dalam-dalam. Sementara ibu dan bapakku terlihat seperti biasa, tenang dan ramah. Dan Dian…, ia juga tenang. Yu Sumi datang membawa sesuatu. Harapanku bangkit. Tapi setelah tahu apa yang ada di tangannya, yang kemudian diletakkannya di meja, kembali gelombang harapan itu kandas seketika. Kali ini, Dian melihatku dengan heran. Tapi ia meneruskan mengambil lauk yang ada di meja. Percakapan-percakapan ringan mulai hadir. Ibuku bicara, bapakku bicara, Dian menjawab dan menimpali. Ayundaku sesekali ikut ambil bagian. Hanya aku yang belum mengeluarkan sepatah kata pun. Yu Sumi datang lagi, ia membawa sesuatu. Harapanku naik lagi. Tapi lagi-lagi, ia tidak membawa sesuatu yang kuharapkan. Saat tahu itu, aku hanya punya satu pikiran… habis… aku habis! Tapi tepat di saat pikiran buruk itu menguasaiku, ibuku bangkit. Ia menuju dapur. Tidak lama kemudian ia masuk lagi membawa cobek. Aku hampir memekik, tapi aku ingin memastikan sesuatu di dalamnya. Dan apa yang kuharapkan ada di sana, sambal keluarga datang! Ibuku tersenyum. Bapakku tersenyum. Ayundaku bahkan langsung berteriak girang. Sementara aku menahan diri untuk tidak berteriak, tapi mengulum senyum lega. Dian juga tersenyum, aku tidak tahu apa maksud senyumnya. “Mbak Dian, sambal… ini sambal keluarga kami,” ibu mengeluarkan suara. “Iya, Dian. Sambal ini enak sekali,” ayundaku menimpali sambil tangannya mengeruk sambal dengan sendok dan menjatuhkan sambal itu di piringnya. Aku yang begitu girang, masih berusaha menahan semuanya. Dadaku dipenuhi rasa syukur. “Iya, Bu… saya juga suka sambal ini. Saya sering membuatkan sambal ini untuk eyang kakung saya…,” sambil berkata seperti itu, Dian mengambil sesendok sambal. Aku benar-benar lega. Semua terasa lapang dan ringan. Tapi beberapa detik kemudian, aku merasa ada yang berhenti di ruang makan ini. Aku melihat mata ayundaku terhenti pada sesuatu. Aku melihat mata ibuku juga terhenti pada sesuatu. Aku memastikan apa yang terjadi dengan itu semua…. Napasku seperti berhenti. Aku melihat satu adegan ringan tapi tajam. Tangan Dian mengambil sebotol kecap, dengan pelan ia menuangkan kecap itu di atas sambal yang sudah berada di piring makannya. Dengan tenang ia berkata, “Tapi saya paling suka kalau ditambah kecap.” Aku diam. Ayundaku diam. Ibuku diam. Bapakku diam. Semua diam. Ibuku tersenyum. Bapakku tersenyum. Mereka berdua kembali mengeluarkan kalimat-kalimat ringan untuk mencairkan suasana. Dian tetap makan dengan tenang, sambil sesekali menimpali pembicaraan. dian sambal muncul dengan dramatis gembira dian menuangi sambal yang diambilnya dengan kecap!
""Sambal Keluarga""
Untuk yang kesekian kalinya Nyonya Rakusni menanyakan tentang kemajuan studi Agus di Bandung, putra Anisah, ketika Anisah menerima beberapa liter beras untuk jasa mencuci pakaian. Anisah yang kelihatan lebih tua dari usianya itu tampak begitu gelisah. Perasaan, sudah hampir tujuh tahun. Biasanya, empat atau lima tahunan harus sudah lulus. Putri saya si Mira saja yang baru tiga tahun, sudah mulai skripsi tuh,” tutur Nyonya Rakusni dengan lobang hidung mengembang. Anisah hanya menunduk dan pamit segera. Suaminya yang sakit-sakitan sudah lama menanti kedatangannya membawa beras untuk makan siang yang sudah begitu terlambat. Hatinya gundah. Mendung di pelupuk matanya seperti hendak tumpah. Sudah lebih setahun ia tak mampu lagi membeli pulsa untuk hand phone penyambung komunikasi dengan Agus di Bandung. Jangankan untuk beli pulsa, dapat mengirimkan uang bulanan saja untuk Agus ia sudah bersyukur. Belum lagi untuk memenuhi kebutuhan sekolah Gadis yang kini sudah duduk di Tsanawiyah. Tapi, ia juga menyesalkan Agus, mengapa ia tak mengirim surat sekadar mengabarkan bahwa uang kiriman ibunya sudah diterima melalui rekening bank? “Barangkali ia sudah jadi bandit. Tidak usah kau kirim-kirim juga uang. Anak apa itu? Durhaka!” begitu kalau suaminya berkata kalau Anisah mengeluh tentang kekurangan uang untuk dikirim ke Agus. “Janganlah Uda berkata begitu. Ia darah daging kita. Siapa tahu kelak nasibnya baik. Setidaknya, dia bisa hidup mandiri, tidak miskin seperti kita.” Sekitar enam tahun lalu kebahagiaan Anisah sekeluarga seperti berada di puncak. Putra sulungnya Agus Budiman lulus ujian masuk perguruan tinggi negeri terkemuka di Bandung. Tak satu pun waktu itu tamatan SMA di kampung itu yang lulus UMPTN>sup<1>res<, kecuali Agus Budiman, putra Anisah, penjual lontong pecal di pinggir pagar sekolahan Tsanawiyah. Ayahnya hanyalah seorang satpam pabrik kecap di dekat pasar kecamatan yang sering kambuh penyakit asmanya. Orang-orang memuji Anisah. Banyak orang kaya di kampung itu ingin membantu, terutama yang punya anak perempuan sejodohan Agus. Tak ada hari libur bagi Anisah, hari Minggu pun ia bekerja sebagai tukang cuci di beberapa rumah. Ia perlu banyak uang untuk biaya sekolah putra kebanggaannya itu. Ia tak dapat mengharap banyak pada suaminya yang tiap sebentar harus berobat ke puskesmas. Sudah divonis dokter sebagai penderita asma akut, toh suaminya itu tidak mau berhenti merokok. Berapalah gaji satpam yang sering mangkir seperti dia? Untuk uang jajan sekolah Gadis, adik Agus saja, suaminya tak mampu. “Tak usah kau pikirkan berapa ongkos berangkat si Agus ke Bandung itu. Aku yang nanggung, tanda ikut gembira dan bersyukur. Dia kebanggaan kampung itu. Satu-satunya pemuda kampung ini yang bisa masuk ITB,” kata Nyonya Rakusni ketika Minggu itu Anisah mencuci di rumah itu. “Terima kasih, Nyonya. Nanti saya usahakan mengembalikan uang Nyonya.” “Oo, tidak begitu. Itu gratis. Cuma, biaya bulanan, kau pikirkanlah sendiri. Ya? Ngerti ndak?” “Iya, ya. Terima kasih banyak Nyonya. Nyonya baik sekali.” Kampung yang terletak di dataran tinggi subur itu dilatari oleh sawah-sawah luas yang menghasilkan panen melimpah sepanjang tahun. Akan tetapi, peninggalan orangtua Anisah tidaklah seberapa. Itu pun disewakan saja pada petani kacang tiap tahun karena suaminya tak sanggup mengolah sawah. Nyonya Rakusni adalah pemilik sawah terluas di kampung itu. Orang-orang memanggilnya Rangkayo, suatu panggilan kehormatan bagi orang yang dermawan. Meski sebenarnya ia bukanlah dermawan dalam arti yang sesungguhnya, melainkan seorang rentenir. Sudah tiga orang putrinya menikah, semuanya dijodohkan dengan pedagang. Tapi, untuk si bontot Mira, ia ingin bermenantukan orang sekolahan semisal Agus Budiman. Tahun-tahun pun berlalu mengikuti musim. Jejak Agus pun diikuti oleh pemuda-pemuda lulusan SMA di kampung itu, yakni bersekolah di tanah Jawa, terutama di Bandung, meskipun bukan di perguruan tinggi negeri. Di musim libur, mereka pulang ke kampung membawa cerita-cerita dan angin perubahan dari tanah seberang. Kecuali Agus, ia tak pernah pulang libur karena menghemat ongkos. Dari para mahasiswa pulang kampung itulah Anisah tahu bahwa Agus di Bandung begitu sibuk dan menjadi orang penting. “Susah ketemu dia. Dia itu sibuk. Kadang-kadang diskusi, panitia seminar, latihan drama, baca puisi, bahkan kadang-kadang jadi koordinator demo,” kata seseorang. “Kadang-kadang ia juga ke luar kota, ke Jogja, Solo, begitu,” kata yang lain. “Baru-baru ini ia ikut sarasehan para penyair muda di pedalaman Solo,” kata yang lain lagi. “Khabarnya dia dekat dengan penyair Apridjal Malano.” Anisah bingung mendengarkan penjelasan anak-anak muda itu. Ia tidak habis pikir, mengapa mahasiswa begitu banyak kegiatannya? “Apa itu penyair? Tukang ramal gunung meletus?” “Bukan Bu. Itu Mbah Bromo. Penyair itu pujangga yang menulis puisi.” “Apa dia dapat gaji?” “Maksud Ibu?” “Ya, kalau dia sibuk apa tadi? Diskusi, seminar, membuat sair-sair? Itu ada imbalan uangnya?” “Tergantung.” “Tergantung di mana?” “Maksud saya, pandai-pandai Bang Agus. Kalau dia pandai-pandai, tentu ia dapat uang.” “Tapi, Ibu selalu kirim dia uang tiap bulan,” seperti berkata pada dirinya sendiri sambil merenungkan betapa capainya ia bekerja mengumpulkan uang sedikit-sedikit. Ternyata, Agus harus mencari uang tambahan lagi… Itu berarti uang kirimannya tiap bulan tidak mencukupi biaya kuliah Agus. Ia menyalahkan dirinya. Tiba-tiba ia seakan mendapatkan inspirasi untuk bertanya sesuatu yang lebih penting. “Kapan Agus tamat kuliah dan jadi insinyur?” Anak-anak muda itu berpandangan satu sama lain sambil mengangkat bahu. Salah seorang berinisiatif untuk meredakan kegundahan Anisah. Dengan senyum mengambang ia pun berkata. “Bu, sebaiknya ibu datang ke Bandung. Kalau Ibu tidak cukup uang beli tiket pesawat, bisa naik bus Lintas Sumatra. Cuma dua malam, kok. Jadi, Ibu bisa lihat kesibukannya. Sekalian melepas rindu.” “Tapi saya tidak tahu alamatnya. Saya belum pernah ke Jawa.” “Gampang. Nanti kita pergi sama-sama. Dua minggu lagi.” Melalui gang-gang berliku, Anisah sampai di kamar kos putranya Agus Budiman di bilangan perkampungan padat dekat kampus sebuah perguruan tinggi di Bandung. Ia diantar pagi itu setelah lelah dihempas dan dibanting-banting goncangan bus di jalanan buruk Lintas Sumatra dua hari dua malam oleh salah seorang mahasiswa yang bersedia memandunya di perjalanan. Kamar Agus terkunci. Tak ada tanda-tanda kehidupan di kamar itu. Dengan pertolongan pemilik rumah kos, Anisah berhasil masuk ke kamar pengap berukuran dua kali tiga meter itu. Perempuan ringkih itu ingin berbaring, melepas lelah dipukul rindunya yang terpendam. Akan tetapi kamar itu mirip gudang yang sudah lama ditinggal pemiliknya. Semuanya berantakan dan penuh debu. Tumpukan buku, kertas-kertas coretan, bungkus rokok, koran di segala sudut, kasur lecet yang terlipat, gelas-gelas bekas kopi, sendal butut, dan setumpuk pakaian kotor. Poster-poster terkelupas di dinding yang lembab dirangkai jelaga dan jaring laba-laba yang sesekali bergerak lemah ditiup angin dari lubang udara. Di balik pintu, bergelantungan celana jin robek dan jaket bau keringat petualang. Tanpa sempat mengusik kecentangperenangan itu, Anisah terduduk di samping lipatan kasur tanpa alas, merenungkan wajah putra kebanggaannya itu. Dari doanya yang paling dalam, ia berharap Agus tiba-tiba muncul. Diyakin-yakinkannya hatinya, karena tadi salah seorang mahasiswa tetangga kamar kos Agus berjanji mencoba menghubungi Agus lewat sms. Tiba-tiba pintu kamar itu diketuk dari luar. “Bu, maaf Bu. HP Mas Agus agaknya tidak aktif. Saya sudah beberapa kali mengontaknya. Tapi, Ibu jangan khawatir, kadang-kadang larut malam, ia muncul tiba-tiba. Kalau Ibu perlu apa-apa, ketuk saja kamar saya di sebelah,” mahasiswa baik hati itu berkata. Anisah tertidur dalam posisi meringkuk. Ia terlalu lelah setelah menempuh perjalanan yang sangat jauh, yang belum pernah dialaminya seumur hidup. Ia bermimpi Agus datang. Agus langsung bersimpuh mencium kakinya. Lalu bercerita tentang gadis Sunda yang cantik calon istrinya. Tapi, wajah Nyonya Rakusni segera muncul dalam mimpinya dengan setumpuk kalimat yang menyengat. “Kalau Agus sudah tamat insinyur dan mau menikah dengan Mira, ongkos perjalananmu ini gratis. Tapi kalau tidak, cukup kau bayar dengan cicilan. Jangan lupa, bunganya sepuluh persen.” Anisah terbangun ketika tiga orang mahasiswa, teman-teman sekosan Agus datang mengetuk pintunya. Senja turun di Bandung dengan suhu menggigilkan Anisah yang mulai merasa tua. Anak-anak kos yang baik itu bermurah hati membersihkan kamar Agus dan membawakan makanan. Mereka menghibur Anisah dengan keramahan orang-orang terpelajar. “Kalau Mas Agus belum datang juga, Ibu jangan khawatir. Anggaplah kami anak-anak Ibu sendiri,” kata salah seorang. “Mas Agus itu senior kami di sini. Ia orang baik. Sekarang ia sudah jadi penyair. Kalau tidak salah, ia pernah bilang mau ke Bali.” “Ke Bali? Di mana itu? Apa dia punya ongkos?” “Malah ada yang bilang, Mas Agus diundang ke Rotterdam baca puisi,” kata yang lain. “Ibu jangan khawatir, dia punya banyak teman.” “Apa jadi penyair itu berarti dia sudah bekerja? Apa dia sudah insinyur?” “Jadi penyair tidak perlu insinyur dulu, Bu. Penyair itu profesi. Ya, pekerjaan juga.” “Tolong antarkan Ibu ke kantor penyair, mau ya? Ibu perlu ketemu dia. Ibu tidak mungkin lama-lama di sini. Ayahnya Agus sakit-sakitan. Sebentar-sebentar, kambuh asmanya.” Tiga mahasiswa itu terdiam. Mulai mengerti dan paham. Di malam yang ketujuh, cukup sudah jantung Anisah dirobek-robek rindu. Agus tak kunjung muncul. Ia ingin segera pulang esok harinya. Malam itu ia ingin menulis surat untuk ditinggalkan agar dibaca Agus kalau ia pulang ke sarangnya. Ia ingin menulis panjang-panjang, tentang banyak hal, termasuk tentang Mira gadis bungsu Nyonya Rakusni yang menunggunya. Akan tetapi ia tak sanggup menuliskan semuanya, kecuali: “Ibu rindu sekali ketemu, Gus. Sayang kamu entah di mana. Jadilah anak yang saleh, Gus. Doakan ibu dan ayahmu selalu, ya. Sakit ayahmu parah.” Perjalanan panjang menempuh medan berat Lintas Sumatra dihadangnya tanpa persiapan uang makan di jalan. Hanya kasihan oranglah yang membantunya. Anisah hanya banyak minum air di tempat-tempat perhentian yang akhirnya mengantarkan dirinya dengan selamat ke kampungnya, di kaki Gunung Talang. Akan tetapi, ia tidak menjumpai suaminya di rumah. Ayah Agus dirawat inap di rumah sakit kabupaten sepeninggal Anisah. Hari kesepuluh Ayah Agus dirawat di rumah sakit kabupaten, terlihat semakin parah. Anisah dan Gadis tampaknya sudah pasrah. Saat itulah surat Agus datang. Isinya pendek saja dan tak sepenuhnya dimengerti oleh Gadis maupun ibunya Anisah. “Bacakan surat itu, Dis. Apa kata anak durhaka itu?” ujar ayahnya tersendat-sendat. Gadis memandang ibunya, seakan minta persetujuan. Anisah mengangguk. Gadis pun membacanya dengan gaya seorang deklamator. “Anakmu bukanlah anakmu, ia hanya busur panah mesti kau lepaskan. Aku sudah lama bukan kanak lagi. ” Ayahnya terdiam. Anisah bungkam dan air matanya menghujan. Gadis membaca doa dengan hati teriris. Ayah Agus sudah pergi tanpa pesan apa-apa, seperti tidak terjadi apa-apa, setelah jiwanya melesat bagai anak panah yang lepas dari busurnya.
""Anak Panah""
1978 “Berapa?” “Lima setengah.” “Lima?” “Lima setengah, Bu.” “Lima setengah ya lima!” “Tapi bisa jadi enam, Bu.” “Siapa bilang? Kalau lima koma delapan atau sembilan bisa dibulatkan ke atas. Tapi lima setengah, tetap lima! Lima!” “…” “Ulangan yang lalu, empat. Sekarang lima setengah. Berapa angka matematikamu di raport nanti? Mengkhawatirkan sekali ini!” “…” “Ibu sedih. Karena Ibu tahu, sebetulnya kamu bisa dapat lebih dari ini. Delapan, sembilan, juga bisa! Masalahnya cuma satu: kamu malas belajar. Kalau tidak dikejar-kejar, dimarahi, tidak belajar!” “…” “Jaman sekolah dulu, nilai berhitung Ibu tidak pernah kurang dari delapan. Ibu tidak minta kamu dapat delapan. Tujuh saja sudah cukup. Tidak lebih. Ini buat kebaikan kamu! Heran, apa susahnya dapat tujuh? Apa?” “…” 1983 “Aku mau masuk bahasa, Bu.” “Bahasa? Bahasa apa?” “Jurusan Bahasa.” “Ooh, itu. Lho, bagusnya kan IPA?” “Ibu Kepala Sekolah bilang aku lebih cocok masuk bahasa.” “Dia bilang begitu? Ah, tahu apa dia tentang kamu.” “Tapi itu cocok sama hasil tes IQ, Bu.” “Ah, tes IQ kan buatan manusia. Tidak mutlak benar hasilnya! Aku, ibumu, tahu sekali kalau kamu sangat berbakat untuk IPA. Kamu kan suka percobaan kimia, membedah kodok, burung dara… Kamu bisa jadi dokter, insinyur, dokter hewan, semuanya!” “Tapi, Bu…” “Nanti Ibu ketemu Kepala Sekolahmu. Ibu akan bilang kalau kamu bisa masuk IPA.” “Tapi …” “Jurusan bahasa tidak jelek. Tapi tidak masuk hitungan. Sayang otakmu yang bagus. Tersia-sia nanti dengan pelajaran yang remeh-remeh. Usaha sedikit saja kamu pasti bisa! Besok kita datang menghadap. Kamu masuk IPA.” “Bu, tapi …” “Tidak ada tapi-tapian. Ibu yakin kamu bisa. Kamu cuma malas. Terlalu banyak main, mengobrol tak berguna di telepon!” “…” “Ibu tidak minta macam-macam. Ibu cuma ingin di rumah kita nanti ada dokter. Kamu. Itu saja. Heran, apa susahnya masuk IPA? Apa?” “…” 1994 “Bu, aku akan buka klinik bersama teman-teman!” “Puji syukur!” “Ibu jadi penasehatnya, ya?” “Tentu! Kapan? Di mana klinikmu buka?” “Nanti, Bu. Masih lama. Mungkin akhir tahun baru jadi.” “Ooh, praktek bersama? Mungkin bisa di rumah kita. Pakai paviliun samping saja!” “Kami tidak mau di rumah, Bu.” “Lalu, di mana? Gedung perkantoran? Bagus juga itu! Bergengsi sekali!” “Tidak juga.” “Di mana? Di mana?” “Di perkampungan nelayan. Tempat aku dulu kerja praktek.” “Tobat!” “Kenapa, Bu?” “Jadi bukan klinik spesialis?” “Klinik spesialis juga.” “Tapi di…” “Ya di kampung nelayan itu. Kenapa, Bu?” “Tobat! Tobat!” “Ibu tidak setuju?” “Buat apa sekolah tinggi-tinggi kalau mendarat di kampung nelayan? Kapan kayanya kamu?” “Kaya?” “Ya, kaya. Banyak duit! Hidup senang! Seperti Pakde-mu itu! Dokter spesialis kulit, langganannya ibu-ibu cantik dan kuaya ruaya!” “Aku tidak suka yang model begitu, Bu.” “Kamu itu kenapa ya, kok bisa-bisanya mirip dengan bapakmu yang sok sosial itu. Begitu sial betulan, teriak-teriak. Minta tolong sama Ibu!” “Dulu, Ibu bilang di rumah ini harus ada dokter. Sekarang aku sudah jadi dokter, mau mengabdikan ilmu, Ibu larang…” “Pintar omong kamu. Kalau tahu bakal selancar ini omonganmu, lebih baik aku biarkan kamu di rumah. Buta huruf. Tidak usah sekolah. Tidak usah jadi dokter. Buang uang. Buang waktu. Percuma.” “…” “Ibu tahu kamu sudah besar, mau mengatur hidup sendiri. Tapi kamu musti percaya sama Ibu. Aku ini tahu apa yang kamu perlukan. Dan yang kamu perlukan bukan buka klinik di kampung nelayan!” “…” “Ibu hanya ingin kamu bahagia.” “…” “Supaya bahagia, dengarkan ibu. Kamu kan tahu Ibu tidak minta macam-macam. Ibu cuma tidak ingin kamu praktek di kampung itu. Sayang betul, sudah sekolah mahal-mahal, lama-lama, eh ternyata cuma buat mengobati orang-orang yang tidak bisa bayar kamu. Sayang! Bukalah praktek yang normal, yang beres, yang menghasilkan. Seperti dokter-dokter lain itu, lho. Sudah. Tidak macam-macam. Apa susahnya? Tidak ada! Malah bisa bahagia kamu nanti! Banyak uang!” 1999 “Anaknya Bu Sis kawin minggu depan.” “Anak yang mana lagi?” “Yang paling kecil!” “Si Sri?” “Ya.” “Ampun! Umurnya paling baru berapa…” “Eh, jangan ampun-ampun! Umurmu sendiri, berapa? Tahun ini sudah tiga puluh. Yani, anaknya Bu Sis yang paling besar, yang setahun lebih muda dari kamu, sudah tiga anaknya. Kamu? Punya pacar saja belum!” “Nantilah, Bu.” “Nanti kapan? Tiap kali ditanya, nanti-nanti-nanti. Mau tunggu ibumu ini bersatu dengan tanah?” “Ibu!” “Ibu capek menunggu kamu yang keasyikan kerja! Pasienmu itu kan cuma perempuan-perempuan yang jerawatan. Kalau kau tinggal sebentar buat cari pacar, pasti bisa. Paling banter jerawatnya bertambah sedikit. Tidak akan mati.” “Bukan itu masalahnya, Bu.” “Lho justru itu! Pasti! Kamu ini tidak punya waktu buat keluar dari kamar praktek. Tidak sempat bergaul. Kenalan!” “Ya, ya…” “Ya, ya, ya apanya? Kamu musti meluangkan waktu. Ikut Ibu arisan atau kumpul-kumpul sama keluarga besar kita. Ibu yakin, tante-tante dan oom-oom yang datang di sana pasti punya simpanan bagus buat kamu.” “Bu!” “Sudah, mengaku saja kalau kamu tidak bisa dan tidak sempat cari pasangan sendiri. Biar Ibu yang cari.” “Kalau nggak cocok bagaimana?” “Pasti cocok! Masak Ibu bisa salah pilih pasangan buat anaknya sendiri. “Tapi kalau memang nggak sreg, mana bisa dipaksa, Bu?” “Sreg tidak sreg, cocok tidak cocok, semua tergantung kamu sendiri. Hatimu sendiri yang mengatur itu. Percaya sama Ibu. Semua itu diatur dari niatmu sendiri!” “Tapi rasanya pasti susah, Bu.” “Kamu memang keras kepala. Sekali-kali turuti permintaan Ibu, apa salahnya? Ibu tidak minta macam-macam. Ibu itu cuma minta kamu dapat pasangan. Kawin. Punya suami. Ibu cuma ingin lihat kamu bahagia. Itu saja. Apa susahnya, sih?” 2002 “Tante Niek sudah punya cucu lagi. Jadi empat sekarang..” “Aduh, ramainya!” “Bukan ramai, senang! Meriah.” “…” “Ibu juga kepingin punya cucu.” “…” “Umurmu sudah berapa? Mau tunggu kapan lagi? Nanti kebablasan, menyesal kamu.” “Nantilah, Bu. Kalau semuanya sudah beres.” “Oh, tidak akan beres sampai kapan pun. Anak itu bagusnya datang sekarang-sekarang. Mumpung kamu dan suamimu itu masih muda. Kalau ketuaan, kamu sendiri yang repot.” “Nantilah…” “Gusti…. Kamu ini maunya apa sih? Bikin Ibu mati tua tanpa cucu? Tega betul kamu! Ibu tidak minta dibikinkan rumah mewah, jalan-jalan ke luar negeri apalagi berlian. Tidak! Ibu cuma minta cucu. Cucu saja. Mumpung masih dikasih umur sama Yang Di Atas, cepat aku dikasih cucu! Apa susahnya, sih?” “…” 2006 “Jadi kapan cucuku bertambah jadi dua?” “…” “Tahun depan?” “…” “Kalau sepasang kan lucu sekali. Sudah pas! Bagus!” “Mungkin tidak akan ada cucu kedua, Bu.” “Hah? Tidak mungkin? Cuma mau punya satu anak?” “Ya.” “Lho, nanti aku kesepian. Kau juga kesepian!” “Tidak apa-apa, Bu.” “Lho, ya jelas apa-apa! Jangan buru-buru memutuskan! Sudah rapat sama suami, belum?” “Sudah.” “Dia setuju?” “Tak perlu ditanyakan, Bu.” “Kamu itu memang keterlaluan!” “Dia, Bu. Bukan aku.” “Jangan putuskan apa-apa sebelum dia setuju!” “Dia tak akan ambil pusing, Bu. Sudah sebulan ini dia tak pulang.” “Tidak pulang? Tugas luar?” “Ya, tugas di rumah perempuan lain. Buka cabang baru.” “Aduh, Gusti!” “Tidak apa-apa, Bu. Kami akan pisah baik-baik. ” “Jangan! Jangan pisah! Itu sakit musiman laki-laki. Biasa! Bapakmu begitu juga. Pakde Mursid, Paklikmu, Herry… hampir semua laki-laki di dunia suka main sana-sini. Itu biasa. Biasa sekali!” “Maksud Ibu, aku harus tetap bertahan dengan kesukaannya main sana-sini itu?” “Ya! Karena di situlah letak kekuatanmu sebagai istri! Kamu musti belajar menderita. Belajar bertahan! Kuat! Lihat, Ibumu ini. Kuat! Ibu bisa. Bapak boleh ke mana-mana, Ibu tetap di sini.…” “Tapi Bapak tidak pernah kembali.” “Itu bukan urusan Ibu. Yang penting Ibu di sini. Terus di sini. Bersama kamu dan adik-adikmu.” “Tapi aku bukan Ibu.” “Tapi kamu musti seperti aku. Mesti.” “Aku tidak bisa, Bu. ” “Kuat sampai tua. Sampai mati.” “Bu…” “Kamu harus bisa. Ini bukan buat Ibu. Ini buat kebaikan kamu sendiri. Tidak baik melepaskan diri dari suami. Aib itu.” “…” “Ibumu tidak minta macam-macam. Ibu cuma ingin kamu bertahan. Demi Ibu. Kau ini anak Ibu. Kau pasti tidak ingin ibu jadi sedih dan malu karena keputusanmu itu, kan? Sudah, cuma itu. Ibu ndak minta macam-macam… Apa susahnya? Apa?” “…” pustaka jaya, 2006
""Anak Ibu""
Seperti biasa, pagi itu Alun-alun Suryakencana di Taman Nasional Gede Pangrango sangat cerah. Langit begitu biru dan bersih. Tak ada awan, tak ada kabut, tak ada angin. Matahari putih dan silau, tetapi udara masih juga dingin. Semua sepi. Hanya sekali-sekali dipecah tawa, teriakan dan suara misting beradu dari arah tenda. Pagi itu, beberapa tenda pecinta alam tampak bertebaran di sekitar mataair, di tengah alun-alun. Selebihnya kosong sampai jauh. Alam yang senyap itu, tiba-tiba digusur bunyi heli yang gemuruh memekakkan telinga. Heli itu besar, dan tahu-tahu menyembul begitu saja dari gerumbulan santigi. Setelah berputar beberapa kali, ia mendarat di tempat yang lapang dan datar. Rumput, edelweis, dan deretan rododendron, semua meliuk-liuk mengikuti pusaran baling-baling heli. Semua seakan ingin roboh dan tiarap rata dengan tanah. Tetapi setelah baling-baling itu makin pelan dan berhenti, semua jadi biasa lagi. Kemudian pintu heli dibuka dari dalam, lalu empat orang yang gagah-gagah dan gemuk-gemuk melompat turun. Mereka berbaju dan bercelana sangat rapi. Sepatu mereka mengkilap. Beda dengan penampilan pecinta alam, yang bergeletakan di sekitar tenda itu. Salah satu di antara empat penumpang heli itu kelihatan sebagai boss. Dia sangat mengagumi keindahan alun-alun di pagi yang cerah ini. “Ini sungguh hebat John! Luar biasa! Mengapa baru sekarang saya diberitahu kalau ada alun-alun yang namanya apa ini tadi?” tanya si Boss itu pada si John. “Suryakencana Pak! Inilah tempat yang paling eksotis untuk pesta pengantin. Bukan sekadar pesta kebun, tapi pesta alam. Tidak akan pernah ada yang punya gagasan seorisinil Bapak. Orang mantu biasanya kan di Balai Kartini, Hillton, Manggala Wana Bhakti, paling banter Istana dan Kebun Raya Bogor. Atau ke Singapura, Hongkong dan Mekah. Tapi bapak lain. Bapak mendatangkan tamu-tamu pilihan itu ke Suryakencana!” “Sudahlah John, aku sudah melihat dengan mata kepalaku sendiri. Inilah lokasi paling eksotis untuk resepsi pernikahan anakku! Ayo kita pulang dan segera membentuk panitia!” >diaC< Rapat panitia itu, berlangsung di sebuah ruang perkantoran di Jalan Sudirman, Jakarta Pusat. Beberapa mahasiswa pecinta alam diikutkan. Ada seksi perijinan, perlengkapan, dekorasi, transportasi, dokumentasi, protokoler, menu, dan seksi-seksi lainnya. Rencananya di alun-alun itu akan didirikan tenda raksasa seperti tenda sirkus keliling. Hanya tempat duduknya tidak dibuat bertrap-trap, melainkan datar saja, dengan meja-meja untuk menaruh hidangan. Semua peralatan akan diangkut dengan belasan heli carteran. Belasan toilet mobil juga akan dipasang. Rapat panitia sore ini, mendapat kehormatan dihadiri Menteri Kehutanan, Menteri Lingkungan Hidup dan beberapa dirjen. Semua manggut-manggut dan sepakat, bahwa perhelatan Boss Besar ini harus didukung secara politis dan ekonomis. Wartawan yang mengendus berita kontroversial ini, segera mem-blowup-nya di media masing-masing. “Ini sudah sangat keterlaluan. Tidak bisa dibiarkan. Kita harus gerak!” teriak seorang aktivis lingkungan di depan para mahasiswa pecinta alam di Kancut UI. “Gila memang, beberapa temen kita, ternyata ada yang membelot ikut jadi panitia,” kata seorang seniman di Warung Alex di TIM. “Mereka harus kita sikat. Minggu depan kita harus menggelar demo. Menteri-menteri bego itu harus kita beri pelajaran. Kita mesti menggelar happening art.” “Tetapi yang mau mantu itu kan bokap-nya si Bayi. Bayi kan baik sekali sama kita!” “Emangnya yang pengantenan kakaknya Bayi ya? Ah nggak enak dong mendemo bokap-nya Bayi. Dia kan ngegèng sama kité-kité.” “Ya kita tanya ajé diényé. Apa masih mau ngegèng amé kité, atau mau ngebelain bokap-nya. Pokoknya minggu depan kita demo. Gué udah ada sumber dana yang gampang diaturnya.” Demo menentang resepsi pernikahan di Alun-alun Suryakencana itu berlangsung seru. Koran dan tivi gencar mengekspos. Tokoh demonstran tampil dalam wawancara eksklusif. Pengantin laki-laki dan perempuan juga diuber infotaiment. Tetapi keduanya menghilang. Konon mereka berdua dipingit. Wartawan kecewa tetapi mereka tidak kehilangan akal. Menteri Kehutanan dicecar dengan pertanyaan gencar. “Jadi Pak Menteri memang mengijinkan Taman Nasional kita diacak-acak untuk hura-hura?” tanya wartawan. “Yang mau hura-hura siapa? Itu lokasi saya ijinkan untuk resepsi pernikahan. Bukan untuk hura-hura seperti kalian kira,” jawab menteri keras. “Saya dengar Pak Menteri telah terima amplop, hingga ijin keluar dengan lancar?” “Ya memang saya sudah terima amplop. Isinya permohonan ijin dan proposal acara yang kalian ributken ini.” “Berapa èm Pak yang Bapak terima?” “Banyak sekali. Namanya juga surat. Ada a, ada b, ada c. Tentu juga ada èmnya. Tapi saya ya hanya membaca. Tidak perlu menghitung huruf èmnya.” “Maksud saya, Bapak telah terima uang berapa èm dari pengusaha yang akan mantu itu?” “Lo, pasti beberapa èm. Dia memang harus menyewa, dan saya mematok harga tinggi. Kalian cèk saja ke Sekjen.” “Untuk Bapak sendiri?” “Saya juga pernah mau dikasih, tetapi saya tolak. Cukup begitu?” “Anu Pak, katanya…….!” “Sudahlah, nanti diselesaikan saja dengan Pak Dirjen!” >diaC< Pro dan kontra resepsi pernikahan di Alun-alun Suryakencana, makin hari makin ramai. September seharusnya sudah mulai hujan. Tetapi langit masih tetap tak berawan. Di mana-mana kering kerontang. Kebakaran hutan terjadi di mana-mana, dan asapnya terbang sampai ke negeri jiran. Menteri Kehutanan diprotes, didemo, dikejar-kejar wartawan. Isu kebakaran hutan, juga digunakan untuk memojokkan Menteri ini. “Kalau nanti sampai terjadi kebakaran di Taman Nasional bagaimana Pak?” “Kalau sampai terjadi kebakaran, ya dipadamkan. Kebakaran di lokasi sulit seperti di Sumatera dan Kalimantan pun saya urus. Apalagi kebakaran di situ. Apa kalian ingin kalau ada kebakaran saya diem saja?” “Bukan begitu Pak. Ini kan musim kemarau. Kalau nanti ada yang membuang puntung, lalu hutannya terbakar, kita kan makin jadi sorotan internasional. Modal asing akan sulit masuk lo Pak!” “Semua sudah disiapkan. Semua sudah diurus sampai ke detilnya. Saya sudah konsultasi ke Bapak Presiden dan beliau mengatakan bahwa saya harus jalan terus!” “Jadi Presiden juga mengijinkan Taman Nasional itu untuk mantu?” “Beliau malah ingin hadir dalam resepsi itu. Beliau mengatakan bahwa gagasan memanfaatkan Taman Nasional untuk resepsi pernikahan, merupakan sebuah terobosan yang brilyan. Diharapkan para wisatawan asing maupun lokal, akan makin mengenal Taman Nasional kita, lalu mengunjunginya. Itu berarti devisa akan masuk.” Meskipun ditentang pecinta alam dan aktivis lingkungan, meskipun demo-demo jalan terus, rencana resepsi tetap jalan terus. “Kalau presiden sudah merestui, mau apa lagi?” Itulah celetukan yang terdengar di kalangan elite politik. Beberapa LSM lingkungan, lalu sepakat menggugat Boss Besar itu secara perdata. Mereka juga mengajukan Menteri Kehutanan ke Pengadilan Tata Usaha Negara. Beberapa anggota Dewan di Senayan, memanfaatkan isu ini, untuk menggalang kekuatan. Mereka berencana menggunakan hak angket. Wartawan cetak dan terutama wartawan tivi, senang dengan isu seperti ini. Mereka patungan menyewa heli untuk meliput langsung ke alun-alun yang dihebohkan. Sebab hampir semua stasiun tivi, tidak punya stock shot Suryakencana. Bahkan stock shot bunga edelweis pun tidak ada. Tetapi niat mereka ditentang Menteri Kehutanan. “Kalau mereka mau naik, saya sediakan heli gratis. Tetapi bukan selonang-selonong begitu. Coba telepon pemred tivi dan koran-koran itu!” Hari itu langit Jakarta tetap panas, berdebu dan berasap. Matahari kelihatan redup. Padahal tak ada awan. Tetapi ketika heli itu membubung makin tinggi, terkuaklah selubung yang meredupkan langit Jakarta. Nun di atas sana, langit ternyata tetap biru dan bersih. Matahari juga berkilau dan tajam. Para pemimpin redaksi beberapa media di Jakarta, diangkut dengan heli dari Halim, langsung ke Suryakencana. Fotografer, kameraman, semua lengkap. Mereka dipandu langsung Menteri Kehutanan. Hanya dalam waktu beberapa menit, rombongan itu sudah sampai di Suryakencana. “Bagaimana? Apakah Bapak-bapak dan Ibu-ibu masih ragu-ragu?” tanya menteri itu dengan senyum kemenangan. Para pemred masih mencoba mencari-cari titik lemah. “Bukankah suasananya nanti akan berisik Pak? Padahal salah satu ketentuan di Taman Nasional adalah, tidak boleh ada suara gaduh. Sebab akan mengganggu satwa yang di sini?” “Justru, pemrakarsa ide ini, beliau yang akan punya gawe, telah memutuskan bahwa tidak akan ada musik. Jadi nantinya para undangan akan bisa seratus persen menikmati bunyi angin, suara elang, dengung lebah dan lain-lain. Prakarsa itu justru datang dari beliau.” “Tetapi kalau ada sekian banyak manusia, kan berisik pak. Belum lagi bunyi genset yang pasti akan memekakkan telinga.” “Nanti dulu, kalau soal ada orang banyak, tiap harinya Taman Nasional ini juga dikunjungi ratusan orang. Kalau soal genset, beliau akan mendatangkan genset fuel cell berbahan bakar hidrogen cair. Suaranya tidak ada, yang keluar dari knalpotnya hanya uap air. Jadi mau apa lagi? Sudahlah, sekarang mari kita nikmati saja, suasana siang yang nyaman ini. Apakah Anda-anda ini ada yang sudah pernah kemari?” “Ya hampir semuanya belum pernah Pak. Kecuali itu Pemred National Geographic.” “Nah, makanya sekarang kita santai saja. Sekarang waktu akan saya serahkan ke Kepala Taman Nasional, silahken Bapak-bapak dan Ibu-ibu Pemred ini dipandu.” >diaC< Seminggu sebelum hajatan besar berlangsung, kesibukan sudah mulai tampak. Heli besar kecil hilir mudik. Kepala taman nasional telah menutup Gunung Gede Pangrango bagi pendakian umum. Paspampres mulai menyisir tempat-tempat yang mencurigakan. Semua pintu masuk pendakian dijaga ketat. Jalur-jalur yang biasa digunakan pencari kayu bakar, pencari paku-pakuan, semuanya dijaga tentara, polisi, mahasiswa pecinta alam dan warga setempat. Sebuah stasiun tivi telah memenangkan tender hak siaran langsung, dengan sponsor perusahaan rokok. Pers yang akan meliput acara ini diseleksi dengan cermat. Media yang selama ini minir terhadap pemerintah, tidak diberi ijin meliput. Jumlah wartawan, fotografer, kameraman dan presenter tivi juga dibatasi. “Ini demi kenyamanan kita bersama, dan juga demi kelestarian Taman Nasional kita,” jawab Menteri Kehutanan, ketika ada wartawan yang iseng mempertanyakan pembatasan ini. Tenda, toilet portable, meja-meja, kursi, semuanya diangkut dengan heli. Sebuah tower reservoir darurat dipasang. Tangki-tangki yang akan menampung limbah toilet didatangkan. Stasiun tivi yang memenangkan tender tayangan langsung, telah memasang antene darurat di Puncak Gede. Pas hari H, semua penonton tivi di tanah air, akan bisa menyaksikan event langka ini secara langsung. Seorang ustad kondang dan artis kenamaan akan hadir sebagai saksi akad nikah. Hari H itu pun tiba. Cuaca sangat cerah. Tak ada secuil awan pun tampak di langit. Heli demi heli berdengung dari Jakarta menuju Suryakencana. Semua membawa tamu VVIP. Suasana Alun-alun itu sendiri sudah berubah dari hari-hari biasa. Meskipun santigi, rododendron, edelweis dan rumput liar, semua masih tegak menjadi hiasan alami, di antara tenda-tenda. Dan nun di tengah tenda-tenda kecil warna-warni itu, berdirilah sebuah tenda raksasa yang megah. Di tenda besar itulah para tamu agung akan duduk menyaksikan hajatan. Presiden dan wapres, diharapkan hadir tepat pukul 11.00 WIB. Mereka berdua hanya akan datang, memberi selamat kepada mempelai, foto bersama lalu pulang. Sebab kesibukan beliau berdua hari ini, memang luarbiasa. Pukul 09.00 pagi, tamu-tamu sudah mulai datang. Mereka tidak langsung masuk tenda, melainkan berkeliling menikmati pemandangan yang belum pernah mereka saksikan sebelumnya. Pukul 09.30 tamu yang datang makin banyak. Sebab pukul 10.00, akad nikah akan dimulai. Pukul 09.45, mendadak kabut datang. Cuaca yang semula cerah tiba-tiba berubah gelap. Angin juga bertiup sangat kencang. Kabut makin tebal. Angin makin menggila. Hujan turun dengan lebat. Para tamu berlarian. Tenda-tenda kecil roboh dan terbang dibawa angin. Cuaca makin tak karuan. Tenda besar terguncang-guncang keras. Tiba-tiba sebuah tenda kecil terbang menghantam tenda besar itu. Tenda besar itu pun roboh. Sebagian terpalnya melambai-lambai dimainkan angin. Kain tenda itu terus berkibaran, bagai layar kapal yang tiangnya patah diterjang badai. Cimanggis, 2006
""Alun-alun Suryakencana""
Perempuan penyanyi kelab malam itu tak merasakan getar angin yang lamban di atas kuil emas Buddha tidur. Somsri senantiasa mencari makna ajal yang damai di wajah patung keemasan itu. Belum juga dimengertinya, mengapa kedamaian yang menenteramkan terpancar pada wajah Buddha menjelang wafat. Selalu saja ia menatap wajah kekasih gelapnya, Somjai, yang terperangkap kecemasan. Setidaknya, kilau keemasan patung Buddha tidur, yang begitu panjang, dan pertikaian hatinya untuk mengantar lelaki itu ke Kuil Wat Pho telah membuatnya tersadar, ia tak perlu lagi sembunyi-sembunyi mengasihi lelaki muda itu. Ia memiliki ruang yang bebas untuk mengepakkan sayapnya seperti pesona merpati-merpati yang berkeliaran di pelataran candi. Lelaki muda itu, Somjai, pernah mengungkapkan keinginannya pada Somsri akan hasratnya menyempurnakan hidup sebagai biksu, dengan kepala gundul mengilat dan jiwon1) melilit tubuhnya. Somjai bicara dengan kesantunan. Matanya teduh. Mata yang memancarkan kebeningan serupa mata air, yang mengalirkan hidup dengan keikhlasan. Somjai tak banyak berkata-kata. Ia serupa serangga dalam jaring laba-laba. Asmara telah menjerat dan melilitnya. Menjerat langkahnya untuk membebaskan diri dari kubangan lumpur dunia. Meski tempat yang paling disukainya berkunjung ke patung Buddha tidur, tetapi rasa cemas terus meretus hatinya. Ia bercinta dengan perempuan penyanyi kelab malam yang sudah bersuami dan memiliki anak. Anehnya lagi, perempuan itu selalu didera rasa cemas akan ancaman seorang pembunuh bertopeng Buddha, yang sesekali muncul di kejauhan — serupa bayangan — mengarahkan senapan ke keningnya. “Aku semakin takut kha2),” kata Somsri saat berdiri di bawah wajah patung Buddha tidur—perangai damai menjelang wafat—yang sangat disukainya. “Dekat denganmu, sepertinya aku diburu maut.” “Katamu, di sini tempat yang paling damai khrab3).” Tersipu-sipu, Somsri ingin mengelak, tetapi pada saat yang bersamaan, ingin mengiyakan. Ia selalu menikmati ketenteraman setiap saat berkunjung ke kuil ini. Tapi ia terus dibayangi lelaki bertopeng wajah Buddha yang menebar senyum kedamaian, dengan senapan di tangan, mengincar menembak keningnya. Ia dirasuki ketakutan bila mendadak kepalanya ditembus peluru panas. “Aku merasa diuber penembak gelap bertopeng wajah Buddha,” kata Somsri, seperti meretas mimpi buruk, yang menyelubungi tidur resah. Ia merasa telah dihalang-halangi untuk meraih ketenangan hati bersua Somjai. Ketenangan yang merapuhkan perasaannya. Tak seperti ketika ia menyanyi di kelab malam, yang memberinya kegairahan, pesona, dan debur dada yang membangkitkan pelangi—ia melayang dalam cahaya. Tapi ketika kemudian Somsri menyadari tempat tinggalnya di rumah petak, yang kecil, sempit, kumuh di bilangan Klong Toey, ia merasa dihamburkan dari cahaya pelangi itu. Tersuruk dalam lumpur membusuk. Rasanya tak ingin ia kembali ke rumahnya yang berantakan, rumah yang penuh kegaduhan. Berjalan di sisi Somjai, perempuan itu menemukan ketenteraman yang penuh kelembutan. Ia menatap sepasang mata yang teduh, mata yang memancarkan kedalaman bening Danau Lumpini Park—tentu tidak jalang, tidak mesum ingin menelannya. Mata lelaki itu seperti membasuh luka-luka yang mengotori tubuhnya. Bulan purnama di atas Danau Lumpini Park, Somsri di samping calon biksu yang menampakkan ketenangan. Memandang permukaan danau yang memantulkan kebeningan bulan. Tapi ketika di antara celah-celah pepohonan menyembul sosok bayangan lelaki bertopeng Buddha, dengan laras senapan yang benar-benar mendesingkan peluru, Somsri menggigil ketakutan. Peluru tak menembus batok kepala Somsri. Hanya merontokkan rambutnya. Perempuan itu memucat, bergetar, berpeluh dingin, dan tak bisa berkata-kata. Perempuan itu mendekap Somjai, ketat dan menggigil. Ia mencari ketenangan dalam tubuh lelaki itu, seperti ia menemukan ketenangan dalam patung Buddha tidur—yang terbujur, dengan tangan menyangga kepala, menopang wajah memendam senyum di ambang ajal. “Aku tak lagi bisa bersamamu,” ratap Somsri, sambil mendekap tubuh Somjai, ingin melenyapkan diri dalam tubuh lelaki itu. Ia tahu biksu itu sama sekali tak jadi sasaran tembak. Cuma dirinya—penyanyi kelab malam— yang menjadi sasaran bidikan butir peluru. “Kau akan selamat, selama berdua denganku,” kata Somjai. “Justru nyawaku melayang bila berada di sisimu. Mungkin kau sendiri yang mengutus seseorang untuk membunuhku?” Terbelalak Somjai. “Mengapa aku ingin membunuhmu?” “Kau tak ingin dikotori perempuan sepertiku,” kata Somsri, “sementara kau tak bisa lepas dariku.” “Apa aku sejahat itu?” “Kau tidak jahat. Kau hanya memelihara kebimbangan dalam dirimu. Kau ingin terbebas dari pertemuan-pertemuan gelap bersamaku.” Wajah Somjai tidak menampakkan ketersinggungan. Tak menampakkan keterkejutan. Ia masih tampak tenang sebagaimana sediakala—ketenangan permukaan danau yang menyimpan kedalaman lumpur. Mengurung diri di rumahnya, diam-diam Somsri dirajam kegundahan. Ia tinggal di rumah yang kecil, pengap, dengan denging nyamuk yang merisaukan telinga. Anak-anak bermain di kawasan kumuh Khong Toey tanpa kenal waktu. Teriakan-teriakan, kegaduhan, selalu menenggelamkan purnama. Bulan tak lagi memiliki kelembutan cahaya. Telah beberapa hari ini ia tak lagi memiliki kekuatan untuk menyanyi di kelab malam. Tubuhnya seperti lumpuh untuk digerakkan. Mulutnya tak lagi mengeluarkan suara, apalagi menyanyi dengan kemerduan yang menawan para penonton. Ia takut bila saat menyanyi—dan Somjai menungguinya—sebutir peluru melesat bersarang ke dalam tubuhnya, tepat mengenai dada. Apakah Somjai memang benar mengutus seseorang untuk membunuhnya agar ia terbebas dari samsara dan segera menjalani kelahiran baru, dan menjelma dalam kehidupan yang lebih baik? Bukan lagi penyanyi kelab malam. Bukan lagi sebagai penghuni kawasan busuk. Bukan sebagai istri yang dipecundangi suami. Bukan lagi sebagai kekasih gelap seorang calon biksu. “Sampai kapan kamu akan tetap tinggal di rumah?” tegur suami Somsri. “Aku takut. Penembak bertopeng Buddha selalu mengincarku.” “Kenapa mesti takut? Kematian akan mengantarmu pada kehidupan baru yang lebih baik.” “Bagaimana dengan anak kita?” Somsri memandangi anak lelakinya, Wichai, yang belum lagi genap setahun. Masih sembilan bulan. Merangkak-rangkak. Sesekali berdiri. Terjatuh. Berdiri lagi. Terjatuh lagi. Wichai inilah satu-satunya yang membangkitkan semangatnya untuk tetap bertahan hidup. Ia bimbang hingga kemarahan memuncak. Dia memasuki kamar. Mengenakan pakaian panggung. Menampakkan belahan dada yang ranum. Lengannya bening, ramping, bertato bunga teratai. Tanpa menoleh lagi, ia meninggalkan rumahnya. Menghambur ke jalan raya. Naik tuktuk4) memasuki keriuhan kota. Mengarah ke Lumpini Night Bazaar. Ia kembali duduk di bawah panggung. Menangguk pelan-pelan anggur merah Gracia dari Chile. Merokok. Embusan asap yang lembut meredam kegundahan. Aroma anggur merah dan asap rokok berdenyar-denyar, melambungkannya menjadi penyanyi. Kali ini ia mesti merelakan segalanya. Mungkin akan datang padanya tembakan. Akan meluncur sebutir peluru, dua butir, atau bahkan lebih, menembus kening, mungkin dada, dan membuatnya rubuh. Berlumpur darah. Dan menyanyilah Somsri di atas panggung, dengan napas mengembuskan aroma anggur merah Grazia dari Chile. Lengannya terbuka yang sesekali terangkat, menampakkan tato bunga teratai. Saat itulah ia melihat Somjai muncul di kelab malam membawa bayangan pantulan cahaya bulan di atas Danau Lumpini Park. Di kejauhan berkelebat menyelinap di antara penonton pembunuh bertopeng Buddha. Menembakkan pelurunya, melesat dan bersarang di antara kedua ujung alis mata perempuan itu. Ia tergeletak seketika. Panggung kelab malam itu beberapa saat gaduh. Setelah itu sunyi. Orang- orang memandangi tubuh molek yang terbujur dingin. Masih tersisa aroma anggur merah Gracia dari Chile di mulutnya yang belum menyelesaikan larik terakhir lirik lagunya. Gerimis turun di perkampungan Klong Toey. Di rumah Somsri, malam sangat rapuh. Tak terdengar suara pertengkaran sebagaimana biasanya. Tak terdengar teriakan dan bentakan-bentakan suami Somsri. Sejak Somsri meninggal dan diperabukan, lelaki itu larut dalam kemurungan. Sesekali dilihat orang, lelaki itu mengajak Wichai kecil meninggalkan rumah, bermain di gang. Sesekali tampak dia berjalan-jalan seorang diri, linglung, tanpa Wichai di sisinya. Wichai kecil merangkak-rangkak sendirian di rumah kecil yang pengap. Telah beberapa saat bocah itu ditinggalkan ayahnya. Sendirian di rumah. Merangkak. Berdiri. Terjatuh. Merangkak. Menangis. Tak seorang pun mau menolong. Dibiarkan saja bocah itu merangkak-rangkak. Bergegas-gegas menyusup rintik gerimis seorang biksu muda, terlilit jiwon kuning yang membasah. Ia melintas permukiman Klong Toey itu dengan buru-buru. Memasuki rumah Somsri. Heran dan iba ia mendapati Wichai merangkak-rangkak, terisak-isak tangis dalam kesendiriannya. Tubuh bocah itu berlumur air kencing dan kotorannya sendiri. Biksu itulah yang mengangkat Wichai, memandikannya, menggantikan pakaian yang bersih, dan membawanya pergi dengan taksi meninggalkan kota. Taksi itu terus menembus gerimis, menembus kelam yang basah, menuju sebuah kuil tua berlumut di daerah pegunungan. Kuil yang sepi dari keriuhan kota. Patung Buddha tak semewah di Wat Pho. Di kuil tua ini patung buddha berlumut, tidak berwarna keemasan sebagaimana di lingkup keraton dan di pusat kota. Memang sesekali masih terdengar di antara desau angin pegunungan itu suara nyanyian Somsri melintasi padang rerumputan. Di sini Somjai memutuskan untuk menghabiskan hidupnya sebagai biksu, sambil menunggu Somsri lahir dalam kehidupan yang baru. Tetapi, mungkin ia tak kan menemukan siapa pun. Ia sudah merasa tenteram bersama Wichai, yang bening matanya menampakkan ketenangan danau. Telah dibawanya sepertiga abu jenazah Somsri, yang hendak disimpan dalam kuil sunyi di tepi hutan. Biarlah sepertiga abu jenazah Somsri disimpan di kuil tua yang jauh di pedalaman. Di kuil tua tepi hutan ini ketenangan hati Somjai serasa merasuk dalam keheningan. Ia terbebas dari kecemasan, terbebas dari harapan-harapan yang bukan miliknya. Arnoma Hotel, Bangkok, 2006 Catatan: 1) Jiwon = jubah biksu 2) Kha = partikel penghormatan yang diucapkan penutur perempuan 3) Khrab = partikel penghormatan yang diucapkan penutur laki-laki 4) tuktuk = angkutan kota Bangkok, serupa bajaj di Jakarta
""Pembunuh Bertopeng""
Abak kata orang kini seperti telah dibuang. Dibuang oleh mande serta Uni Ida. Memang abak tidak tinggal lagi di rumah kami, semenjak Uni Ida bertengkar dengan abak dua minggu yang lewat, abak kini sudah tidak pulang-pulang. Kata orang-orang di kampung, abak sering tidur di dalam surau, atau kadang kala menumpang di rumah saudaranya. Abak makan terpaksa diberi oleh teman-temannya. Pertengkaran Uni Ida dengan abak dua minggu yang lalu itu mungkin benar-benar telah menghancurkan hati abak, hingga kemudian membuat abak meninggalkan rumah. Selama ini Uni Ida memang selalu menunjukkan sikap yang kurang suka pada abak lewat tingkah lakunya. Pernah Uni Ida membanting piring plastik hingga menimbulkan suara berdebum ketika abak hendak makan siang, tapi waktu itu abak seperti tidak mempedulikannya. Walaupun saya lihat ada nada duka diraut wajah abak. Nampaknya abak seperti tidak dibutuhkan lagi di rumah ini. Abak hanya seperti menanggung beban di rumah. Abak telah dikucilkan. Dan mande, apa bedanya dengan Uni Ida? Mande pun saya lihat seperti tidak acuh pada abak. Beliau bersikap dingin dan kadang melontarkan kata-kata yang agak kasar pada abak. Mande tidak seperti dulu lagi. Tidak ada lagi senyum buat abak. Sudah satu tahun abak memang tidak bekerja, dan tentu semenjak itu pula abak tidak menghasilkan uang untuk keluarga. Dan itulah kunci pertama yang membuat mande bersikap beda pada abak. Dulu abak bekerja sebagai pengangkut barang di pelabuhan Teluk Bayur. Setiap hari abak berangkat sehabis salat subuh dan pulangnya baru pukul tujuh sampai di rumah. Sesampai di rumah abak akan selalu segera membaringkan tubuh, dan mande, pasti selalu akan memijit-mijit kaki abak. Dari situ baru aku tahu bahwa pekerjaan abak memang agak berat: mengangkat barang-barang yang beratnya berkilo-kilo yang harus dipikul abak di pundaknya dari pelabuhan ke dalam gudang tempat penyimpanan barang. Mungkin karena bertahun-tahun abak selalu bekerja terlalu keras itulah yang membuat wajah abak terlihat selalu letih. Dan ketika di umur abak yang katanya telah dijajah angka 48 tahun, abak tidak sanggup lagi bekerja sebagai pengangkat barang di pelabuhan. Belakangan ini abak memang lebih sering terlihat sakit-sakitan, dan dokter Tanjung Duma yang tinggal di samping rumah kami bilang, bahwa abak jangan bekerja terlalu keras lagi. Abak harus banyak istirahat, katanya pada mande suatu hari. Sejak itu otomatis abak lebih sering di rumah. Untuk memenuhi kebutuhan keluarga pada mulanya ditanggung mande. Mande bekerja sebagai penanam padi di sawah orang lain, sedangkan Uni Ida baru saja menamatkan sekolahnya di es-em-pe, dan aku yang paling kecil baru duduk di bangku kelas enam es-de. Namun kini aku sudah es-em-pe, dan Uni Ida sudah satu tahun yang lalu menikah dengan seorang sopir pengangkut pasir di kampung kami. Rumah kami hanyalah terbuat dari kayu. Rumah panggung dengan kamar dua saja. Kamar yang terletak di dekat ruang tamu semenjak dulu dihuni oleh mande serta abak, sedangkan kamar yang satu lagi kini dihuni oleh Uni Ida bersama suaminya. Dan aku, sedari dulu, lebih sering pula tidur di ruang tamu, tanpa kasur, tanpa bantal, hanya beralaskan tikar pandan saja, tapi setelah Uni Ida menikah dengan Uda Bahar, aku nyaris tidak pernah lagi tidur di rumah. Kehadiran Uda Bahar di rumah kami membuat aku tidak betah lagi berlama-lama di rumah, layaknya seperti laki-laki Minang lainnya, ada rasa ketidakenakan bila berkumpul satu rumah dengan suami uni. Apalagi rumah kami sangat sederhana, yang hanya terdiri dari dua kamar saja. Jadi, aku lebih sering berada di luar rumah, dan pulang ketika perut terasa lapar saja. Betapa, betapa sungguh sangat berbeda ketika Uni Ida belum menikah. Di masa itu, aku bebas melakukan aktivitas apa pun di rumah. Buka baju sambil makan, atau tidur sembarangan di lantai rumah misalnya. Tapi kini semua itu tidak bisa lagi aku lakukan. Aku enggan. Aku segan pada Uda Bahar, suaminya Uni Ida itu. Mungkin itu pula yang dirasakan oleh Uni Ida, bahwa keberadaan abak yang selalu di rumah menimbulkan semacam ketidaknyamanan, atau Uni Ida bosan melihat abak yang tidak bekerja. Apalagi, mande pun kini sudah jarang mendapat tawaran untuk menyiang padi di sawah, sebab padi di sawah di kampung kami akhir-akhir ini diserang hama yang mematikan, dan orang-orang yang punya sawah terpaksa banting setir beralih berladang, dan ini tentu membuat mande kehilangan mata pencaharian. Bila mande tidak bekerja, tentu, tentu tempat bergantung hanyalah pada Uni Ida, bukan-bukan pada Uni Ida tepatnya, tapi pada Uda Bahar, sebab bukankah dia yang mencari uang? Dan dalam pikiran Uni Ida, bayangkan, Uda Bahar harus memberi makan mintuo-nya pula. Uni Ida pasti merasa tidak enak pada Uda Bahar. Atau Uda Bahar sendiri yang menegur Uni Ida dengan mengatakan mengapa ia harus memberi makan mintuo-nya pula. Ah, mungkin saja Uda Bahar pernah berkata demikian. Entah kapan. Lagian, Uda Bahar pun, setelah beberapa bulan berada di rumah kami, setelah mande tidak bekerja, Uda Bahar telah bersikap dingin pada kami. Tidak seperti dulu-dulu, waktu pertama kali ia berada di rumah kami, Uda Bahar selalu banyak senyum, banyak bicara, banyak bercerita, tapi kini sudah tak ada, yang ada hanyalah kebisuan di mulut Uda Bahar, dan itu membuat rumah yang kutempati sekarang terasa mati, terasa asing sekali. Dan abak, betapa malang nasibnya kini, abak telah pergi dari rumah kami. Mungkin abak tidak tahan lagi berada di rumah yang telah ditempatinya selama bertahun-tahun itu. Rumah tempat aku digendongnya sewaktu kecil. Abak seperti telah digusur, digusur oleh orang-orang yang dicintainya. Setelah abak bertengkar dengan Uni Ida sore itu, malamnya abak keluar dari rumah. Sebelum abak meninggalkan pekarangan rumah, abak sempat menoleh ke arahku. Kulihat abak meneteskan air mata. Aku memandang abak. Detik kemudian abak terus melangkah pergi menembus malam. Sampai dua minggu kemudian, aku tidak pernah lagi berjumpa dengan abak. Orang-orang di kampung kami yang tahu atas kepergian abak dari rumah menyalahkan mande dan Uni Ida, karena begitu tega menelantarkan abak. Begitu juga dengan Etek Supiah, adik abak. Beliau sangat marah. Dan ketika aku berjumpa dengan beliau, aku diumpatnya. “Jadi sama saja wa-ang dengan amak dan kakak wa-ang-tu. Mau jadi anak durhaka wa-ang,” kata Etek Supiah. “Menteng-mentang dia sudah tua, dan tidak bisa bekerja kalian campakkan dia. Begitu balasan kalian pada orang tua yang telah mengasuh kalian sejak kecil, ha. Tengoklah dia, biar wa-ang baru tahu betapa menderita dirinya,” sambung beliau lagi. Aku hanya terdiam mendengar kata-kata Etek Supiah itu. Hingga suatu hari aku menjengguk abak. Dan ketika aku datang menjenguk abak, beliau seperti terkejut melihat kedatanganku. Beliau cepat-cepat bangkit dari tidurnya. Diusap-usap kedua bola matanya, abak seperti sanksi atas kedatanganku. “Aku bak,” seruku. “Kau.” “Ya,” jawabku lagi. Abak lalu menggeser tubuhnya. Aku kemudian duduk bersila di depan abak. Beliau menatapku berkaca-kaca. “Abak sudah makan?” tanyaku sembari menyodorkan sebuah bungkusan padanya. “Apa ini?” “Nasi bak. Makanlah, aku tahu abak belum makan siang.” “Kau membawa nasi dari rumah?” Aku menganggukkan kepala, mengiyakan kata abak. “Tidak, kau bawa pulang lagi. Tak sudi aku makan nasi mereka.” Aku terdiam menatap abak. “Apa kau tidak sekolah?” tanya Abak. “Sudah pulang bak.” “Bagus, rajin-rajinlah sekolah. Biar kau jangan jadi seperti abak kau ini, menderita di hari tuanya.” Abak kembali menggeser tubuhnya, kali ini beliau menyandarkan tubuhnya itu ke dinding surau yang terbuat dari papan, yang kini seperti sudah dimakan usia. Lalu abak menatapku. Abak seperti ingin bercerita tentang sesuatu hal. Aku hanya menunggu. Abak terus memandangku. “Ada yang harus kau pahami sekarang, buyung,” kata abak pelan. “Dalam adat kita di Minangkabau, kau harus tahu, berada dalam posisi sebagai urang sumando itu sangat lemah. Seperti abak kau ini. Abak tak punya kuasa yang kuat untuk bertahan tinggal di rumah, sebab kau tahu, rumah yang kau huni sekarang itu adalah milik turun temurun dari pihak ibumu.” Lalu abak berhenti berbicara. Dikeluarkannya sebungkus rokok filter dari saku bajunya, dan tidak dihiraukannya sebungkus nasi yang kubawa secara sembunyi dari rumah siang tadi itu. “Apa yang dapat kau tangkap dari maksud ini buyung?” kata abak sambil menyulut rokoknya. Abak ternyata masih seperti dulu, suka sekali membuat aku mengerutkan kening. Suka sekali membuat aku berpikir. Aku menggelengkan kepala, sebagai ungkapan tidak paham akan maksud abak. “Itu artinya, bila kau kawin kelak, kau harus terlepas dari minto-mu. Kau harus punya rumah sendiri. Dengan begitu, kau punya kuasa. Bila anak atau istrimu kelak membencimu karena kau tidak lagi bisa bekerja, kau bisa bilang bahwa ini rumahmu, bahkan kau bisa mengusir mereka,” kata abak dengan setengah tersenyum, dan aku, ah, sudah cukup lama tidak melihat abak tertawa seperti itu. Apakah abak telah bahagia? Ah, tidak, kulihat abak masih tetap berduka. “Oleh sebab itu, kau harus rajin-rajin sekolah. Kau harus punya cita-cita. Abak tak ingin kau nanti menjadi orang miskin.” Setelah kami berbicara cukup lama, abak kemudian menyuruhku pulang, tapi sebenarnya aku masih ingin bersama abak. Mendengarkan terus-menerus cerita beliau. Sedari dulu, abak entah mengapa suka berbicara berbagai hal denganku. Aku merasa bahwa abak seperti sangat sayang padaku. Mande dan Uni Ida kulihat seperti tidak mau peduli pada abak. Padahal sudah satu bulan lebih abak tidak pernah pulang ke rumah. Mereka tidak pernah membujuk abak untuk mau pulang ke rumah. Mereka seperti bahagia bila abak tidak ada. Sungguh malang nasib abak. Betullah apa yang dimaksudkan abak, bahwa sewaktu-waktu kita bisa saja dibuang oleh anak serta istri kita sendiri bila kita tak punya kuasa lagi. Aku tiba-tiba membayangkan akan nasibku sendiri. Dan hari-hari terus bergulir dengan cepatnya. Kehidupan di rumahku itu terus saja terasa asing. Dulu yang berkuasa di rumah kami adalah abak, tapi kini yang berkuasa adalah Uda Bahar. Malah Uda Bahar kini banyak mengambil keputusan terhadap keluarga. Bahkan Uda Bahar sudah mulai merubah tata ruang rumah yang dulu dibentuk abak. Kursi ruang tamu yang dulu ditempatkan di dekat pintu, kini digeser oleh Uda Bahar agak ke tengah. Bahkan tanpa seizin mande, Uda Bahar telah menebang pohon rambutan yang dulu susah payah dirawat abak. Abak kini tidak bisa lagi dijumpai di surau di kampung kami. Beliau tidak pernah lagi di sana. Abak telah kembali bekerja. Entah bekerja apa. Abak kini telah dirawat oleh pihak bako-ku. Mungkin pihak bako-ku tidak rela melihat nasib abak terlunta seperti itu. Semenjak mande dan Uni Ida menelantarkan abak, hubungan dengan pihak bako-ku sudah renggang. Padahal dalam adat di kampungku, hubungan dengan pihak bako-ku harus tetap dijaga. Tali silaturahmi yang tidak boleh terputus. Tempat aku akan diarak bila menikah kelak. “Uni Ida tidak rindu abak?” tanyaku saat hujan turun di kampung kami. “Apa maksud wa-ang, buyung,” tanyanya terheran. “Abak-kan sudah lama tidak pulang.” Uni Ida memandangku. “Kau rindu padanya?” Aku mengangguk. Uni Ida kembali terdiam. Tiba-tiba mande berdehem di balik pintu. Beliau ke luar dan lalu memandangku dengan sendu, entah apa yang ada di dalam pikiran mande. Beliau kemudian mendekatiku. “Kau pernah bertemu dengan abak wa-ang, yung?” tanya mande. “Iya. Tapi abak kini tidak tinggal lagi di surau itu. Abak telah tinggal di rumah bako mande.” Mande terdiam. “Ya. Dia memang telah tinggal di rumah bako-mu, tapi, besok tentu tidak,” kata mande mengundang tanya. “Maksud mande,” tanya Uni Ida. “Dia akan tinggal di rumah istri barunya. Dia akan dikawinkan besok.” “Ha! Apa?” Aku ternganga. Uni Ida juga. Tiba-tiba mande menangis di balik pintu. Dan Uda Bahar keluar dari dalam kamar keheranan. Hujan terus turun. Padang, 2003-2006 Keterangan abak=bapak mande=ibu bako=pihak keluarga bapak wa-ang=kamu
""Abak""
Aku merasa kau menggamit tanganku ketika ombak ketiga menggulung kita. Waktu itu samar-samar kulihat kilau perahu terbalik di arah matahari. Tetapi semuanya sudah jauh sekali dari jangkauan. Karena itu, sudahlah, aku memilih jadi bagian dari laut. Kulepaskan gamitan tanganmu, dan aku meluncur ke dasar serupa terumbu. Kelak jika kau ke laut dan bertemu dengan ikan-ikan kecil yang berenang di antara terumbu karang, mungkin itulah aku, kekasih. Sejak itu aku tak pernah bertemu denganmu. Kadang di antara gerak angin yang mengantarkan riak ke pantai, aku menyusup sekadar melacak jejak tapak kakimu. Tetapi ribuan empasan air dan angin telah lama menghapus jejak itu. Aku cuma ingat di dekat pohon camplung berdaun lebat sebelum gumuk pasir, kita pernah berteduh beberapa saat sebelum memutuskan untuk melaut. Mudah-mudahan kau ingat pula akulah yang bersikeras mengajakmu melaut di musim angin itu. Padahal kau sudah berulang kali memperingatkan, musim ini tak baik berperahu, apalagi sekadar memuaskan keingintahuan tentang seberapa luas lautan. Kekasih, asal kau tahu, aku tak menyesal kalau kini serupa ikan yang berenang ribuan tahun di samudra. Yang kusesali, aku tak tahu bahwa menjadi bagian dari alam bawah air, sama artinya merentangkan jarak begitu jauh hanya untuk bertemu denganmu. Kesempatan yang diberi alam untuk hidup di sela terumbu ternyata memperlebar janji untuk bertemu. Bukankah aku yang berucap, “Kalau laut, angin, dan langit memberkati, kita mesti bertemu di bawah pohon camplung berdaun lebat ini.” Dan kau hanya mengangguk sembari memandang ke cakrawala. Sungguh aku tak tahu, sudah ribuan tahun berenang serupa ikan, belum juga kutemukan daratan yang memendam jejak dan janji kita. Dari sela karang ini, aku bisa mencium harum tubuhmu yang menyusup di hamparan pasir pantai. Tetapi sebagai ikan harum itu ibarat mata kail yang bisa memerangkapku ke daratan yang asing. Bahkan mungkin aku akan binasa di dasar keterasingan itu. Karenanya, dari kedalaman aku cuma mampu mengirimkan isyarat lewat riak yang berbuih. Kalau kau mendengar angin mendesir dan riak berbuih putih, itulah surat-surat yang kutulis di malam-malam yang dingin dan gelap. Cahaya gemintang dari langit hanya menyentuh permukaan, di mana tak mungkin aku mengapung. Kekasih, mungkin terlalu jauh untuk kugapai apalagi kepeluk tubuhmu. Aku hanya serupa ikan yang hidup di sela ganggang. Sementara kau, uh, sungguh tak bisa kulukiskan serupa apa dirimu sekarang. Sewaktu kita berpisah aku pun sebenarnya tak begitu mengingat lekuk-liku wajahmu. Yang kusimpan pada kenanganku sampai kini, kau tak pernah mengucapkan sepatah kata pun saat perpisahan itu. Sebegitu berartikah secarik kata perpisahan di saat tragedi menggulung kita? Dulu kau selalu berujar begitu. Aku selalu membenarkan ucapanmu, “Sempatkah kau mengucapkan sekadar kata perpisahan pada detik tragedi terjadi?” Kau tetap tidak setuju, aku tahu, karena pada dasarnya engkau tidak setuju dengan perpisahan. Kita bagai satu zat, katamu, yang tak mungkin terpisahkan apalagi sekadar oleh tragedi. Karenanya untuk apa mengucapkan kata perpisahan sementara kita tahu takkan terpisahkan? Oh, aku ingat sekarang itulah rupanya mengapa kau tak meninggalkan jejak setapak pun di garis pantai. Inikah yang disebut pertemuan kekal, dalam rentang jarak ruang dan waktu yang jauh? “Bukahkah jarak itu yang memisahkan kita selama ini?” tanyaku. Matahari hampir bersandar di bidak para nelayan. Cahayanya menyepuh laut menyerupai lempeng tembaga raksasa. Kau mengernyitkan dahi sebelum berkata, “Ruang dan waktu hanyalah gumuk pasir, ia akan terkikis oleh angin.” Aku menduga waktu itu, kau hanya mencari cara untuk menyudahi perdebatan kita tentang pertemuan dan perpisahan. Mungkin aku terlalu romantik. Sekali pertemuan terjadi, maka ia akan kekal sampai berkalang tanah nanti. Perpisahan hanya ada apabila jiwamu menolak pertemuan. Oho, di dasar laut ini kini, aku seekor makhluk yang merindukan pertemuan. Muskil berharap berubah wujud menjadi manusia kembali, apabila itu dikehendaki hanya untuk sekadar pertemuan. Dalam kenistaan wujud, setidaknya yang ada dalam pikiranku, hanya kau yang mampu kuingat, kekasih. Aku sudah lupa bahwa daratan pernah bergetar, dan manusia kelimpungan seperti kawanan ikan yang dituba, ketika dasar laut bergolak. Aku juga sudah lupa ketika begitu banyak manusia diseret gelombang lalu mengambang di atas lautan. Tragedi? Kekasih, hidup di dasar laut tak ada tragedi yang lebih dahsyat daripada tergoda mata kail atau diseret jaring para nelayan. Karena dalam sekejap hidupmu bisa berakhir. Bagi kami, kawanan ikan, waktu dan masa tua bukan halangan melanjutkan hidup. Mengapa manusia tidak menjadi ikan seperti diriku? Pertanyaan yang absurd. Semacam gelombang yang coba menghanyutkan langit di kejauhan cakrawala. Konon, menjadi manusia jauh lebih mulia dibanding hidup di dasar laut sebagai ikan. Setidaknya, kau tak pernah berhasil menangkap isyarat serta surat-surat yang kukirimkan lewat angin dan riak ombak. Mungkin karena surat-surat yang kukirimkan tak mudah terpahami dari dunia di mana engkau berdiri sekarang ini. Tetapi, sungguh aku tak memahami bahasa lain selain mengirimkan isyarat lewat gelagat ombak. Hanya saja ketahuilah bahwa surat-suratku berisikan cerita panjang tentang pengembaraan hidup di bawah permukaan. Selain menemukan gugusan terumbu serta palung-palung yang dalam, kawan-kawan yang bersahabat, aku juga merasa bahwa kehidupan di sini jauh lebih damai. Kalau kau bertemu dengan ikan-ikan buas, tinggallah di sekitar siripnya, kau akan merasa aman. Lagi pula ikan-ikan itu hanya menjadi pemburu di saat kebutuhan untuk hidup menuntut. Sesudahnya mereka adalah makhluk jinak yang baik hati. Bayangkan, aku pernah hidup di sekitar mulutnya, toh ia tidak juga memangsaku. Jadi perihal dimangsa atau tidak dimangsa, di kedalaman sini sangat tergantung dari sejauh mana kebutuhan untuk tetap hidup itu menuntut. Aku tidak mengerti duniamu. Dari ingatan yang samar-samar, aku cuma tahu sering kali keserakahan membuat manusia hancur, sering kali kegilaan terhadap kekuasaan membuat makhluk sesamamu lupa daratan. Mereka seakan hidup melayang. Dan ujung-ujungnya mengecilkan keberadaan yang lain. Celakanya, kalau itu kemudian meremehkan dunia di mana harusnya dia hidup dan berpijak. Aku tak tahu apakah orang-orang macam ini mampu bertahan jika diberi pilihan hidup seperti diriku, makhluk rendahan yang tak mampu berpikir apalagi berkata-kata. Ceritaku dalam surat-surat itu sebagian mungkin berisikan kenangan-kenangan ketika aku hidup di daratan dulu. Itu semacam siasat agar aku tak sepenuhnya lupa. Mungkin sekadar latihan ingatan, jika kupikir tak ada sesuatu yang lebih penting untuk dikerjakan di sini. Sesungguhnya kekasih, itulah caraku mengingatmu setiap waktu. Isyarat-isyarat yang kukirim semacam kail untuk merasakan harum daratan. Karena hanya dengan begitu seluruh masa lalu melumuri tubuhku. Ah, indahnya hidup di masa lalu, ketika jalan-jalan kampung belum diaspal, pohon-pohon belum ditebang, sungai-sungai belum tercemar, rumah-rumah belum kumuh, kendaraan-kendaraan belum mengotori udara, dan mal-mal belum menyedot uang kita. Apakah kau masih menyimpan keindahan itu kekasih? Apakah kenyataan sudah jauh dari kenangan? Aku tahu kau pasti tak akan menjawab seluruh pertanyaanku. Karena kau berada jauh dari pikiranku. Tetapi nanti di saat laut surut aku akan ada di laguna-laguna. Mungkin kita bisa bertemu kekasih. Tak usah membawa bunga atau anggur dalam pertemuan kita nanti. Cukup datang dalam kedamaian hati dan perasaan bersahabat yang dalam. Mungkin itulah bekalku nanti mengembara di kedalaman, melintas palung dan celah karang. Salam kepada sanak kerabat yang masih mengingatku, meski dalam wujud yang jauh dari sempurna ini…. Yogyakarta, 2006
""Aku, Ikan yang Berenang""
Laki-laki tua itu berjalan terbungkuk-bungkuk, diiringi derai suara batuk. Dengan tongkatnya, ia menyusuri jalanan desa Tawang Abang. Jas potongan kuno yang riuh dengan hiasan pangkat-pangkat telah lekat di badan karena cucuran keringat. Di dekat gedung sekolah, ia berhenti melepas lelah. Bagi anak-anak, kehadiran laki-laki itu selalu dianggap aneh dan merangsang untuk digoda. “Mbah Jagal… siapa lagi yang mau kamu sembelih?” teriak si Gendut. “Katanya tukang jagal, kok tidak bawa pedang?” sahut si Gundul. “Pembunuh jelek!” teriak si Jegrak. Mbah Jagal mengedarkan pandangan. Lalu pelan-pelan bangkit. Kaki dan tangannya pasang kuda-kuda bak pendekar. Anak-anak itu terus menghajarnya dengan ejekan. Wajah Mbah Jagal tampak mengeras, urat-uratnya menguat. Kulit di pipi dan keningnya terlipat. Beberapa detik ia menarik nafas. Nafas itu lalu dilepas bersama gerakan tongkatnya yang sangat cepat berkelebat. Anak-anak tak menduga, orang tua itu masih cukup tangkas. Mereka pun lari lintang pukang. Mbah Jagal makin meradang. Ia memukul apa saja yang ada di dekatnya: pagar besi sekolah, kaleng minuman ringan yang terserak di tanah. Ada juga terdengar botol minuman pecah. Ia pun berteriak-teriak menumpahkan sumpah serapah, “O… dasar anak-anak komunis!” Di kejauhan, anak-anak itu masih mengejeknya dengan gerakan-gerakan lucu tapi menyakitkan. Ada yang menungging menunjukkan pantatnya. Ada yang berkacak pinggang sambil menantang. Ada yang menjulurkan lidahnya. Tapi Mbah Jagal tak menanggapi. Ia menghilang di tikungan jalan. Mbah Jagal sangat suka mengumpat dengan kata “komunis”. Konon, sejak muda, tepatnya setelah geger 1965, kata-kata itu selalu melekat di mulutnya. Bukan hanya orang lain yang disemprot dengan kata-kata kasar itu. Tapi juga istrinya, anak-anaknya, saudara-saudaranya, menantu-menantunya, bahkan besannya. Banyak orang tersinggung. Tapi potongan badannya yang tinggi besar, wajahnya yang keras, lengannya yang penuh tonjolan otot, jari-jarinya yang sebesar pisang susu, matanya yang selalu melotot, dan watak ringan-tangannya, membuat banyak orang keder. Dia pun punya kebiasaan mengadu gigi-giginya hingga terdengar suara gemeretuk; semacam orang yang selalu gemas melihat orang lain untuk ditaklukkan. Sebutan Mbah Jagal punya riwayat. Nama aslinya Jawad. Ketika di desa Tawang Abang terjadi “pembersihan” orang-orang yang dianggap tersangkut PKI, Jawad ditarik sebagai anggota “tenaga operasional” oleh tentara. Dengan mantap dan bangga, Jawad menjalankan tugas itu. Dia menganggap tugas itu sebagai bela negara. Jika malam tiba, Jawad selalu mengenakan pakaian seragam. Wajahnya selalu dibebat kain hitam. Golok atau parang selalu ada di tangan. Dengan cekatan ia menebas batang-batang leher orang seperti menebas pohon pisang. Bat-bet. Bukan hanya belasan atau puluhan, tapi sudah ratusan orang tewas ditebas Jawad. Pada saat mengayunkan goloknya itu ia selalu mengumpat, “dasar komunis kamu!” Orang-orang yang kebetulan berpapasan atau sedang asyik di warung kopi selalu menyingkir setiap melihat Jawad. Mereka seperti melihat ada ratusan kepala manusia yang bergelantungan di tubuh Jawad. Mereka selalu mencium bau anyir darah dalam setiap tetes keringat pembunuh setengah resmi itu. Kehadiran Jawad selalu menimbulkan aroma kematian. Ketika usia Jawad menginjak lima puluh tiga tahun dan punya beberapa cucu, orang-orang memanggil Jawad dengan sebutan Mbah Jagal, sebuah sebutan yang baginya sangat membanggakan. Dan untuk menunjukkan dirinya “orang terpandang”, Mbah Jagal selalu mengenakan banyak pangkat yang dibuatnya sendiri. Kini usia Mbah Jagal hampir 75 tahun. Keperkasaannya makin rapuh. Pandangannya makin kabur. Omongannya makin ngelantur. Karena sering mengamuk, anak-anaknya pernah memasukkan Mbah Jagal ke rumah sakit jiwa. Tapi dia meronta-ronta. Ia tinggal di rumah sakit itu hanya beberapa malam. Dia lebih senang tinggal di kamarnya, yang dibentuknya mirip rumah tahanan, lengkap dengan ruang penuh jeruji dan ruang interogasi. Di kamar itu ia sering bicara sendiri. Lengkap dengan “baju kebesarannya”, jas kuno penuh hiasan pangkat. “Sarbani, ngaku saja kamu ini orangnya PKI” ucap Mbah Jagal. “Bukan PKI. Tapi BTI. Eh, maaf, saya cuma sering antre pupuk di kantor BTI,” jawab Mbah Jagal yang memerankan Sarbani. Mbah Jagal mengangguk-angguk kepala, mengedarkan senyuman tipis, sinis. “Katanya kamu siap jadi pupuk revolusi?” “Sarbani” gemetar. Mata Mbah Jagal menatap dengan nanar. Dalam sekejap, Mbah Jagal mengayunkan parang. Lalu tersenyum. “Sarbani” pun tumbang. Selesai memerankan Sarbani, Mbah Jagal bangkit kembali, dengan nafas setengah tersengal. Ia melanjutkan permainannya. “Sekarang kamu, Darsiwi. Kamu orang Lekra? Ngaku saja!” tanya Mbah Jagal dengan wajah yang distel sangat seram. “Bukan. Saya cuma pernah ikut menyanyi Genjer-genjer…,” suara Mbah Jagal berubah jadi perempuan. “Cuma ikut menyanyi? Apa tidak ada lagu lain? Kenapa bukan Garuda Pancasila, Indonesia Raya, Maju Tak Gentar, atau Sorak-sorak Bergembira?!” “Darsiwi” terdiam. Peluhnya membasahi tubuhnya (Mbah Jawad memerankan tokoh perempuan itu dengan cukup meyakinkan: ekspresi ketakutan, bibir dan tangan gemetar atau pandangan kosong penuh keputusasaan). “Kenapa diam?” desak Mbah Jagal. “Saya tidak tahu. Saya cuma ikut-ikutan. Waktu itu, saya cuma ingin bisa bergembira saja,” ucap “Darsiwi” gemetar. Ruang sekitar terasa berputar. “Cuma ingin gembira?! Padahal itu kan sangat membahayakan negara!” Mbah Jagal meradang. “Mosok, cuma karena lagu negara jadi berbahaya…?” “Nah ketahuan sekarang. Kamu memang kader komunis. Orang biasa tak ada yang berani membantah! Kamu memang kader. Siapa yang menggembleng kamu?! Siapa? Jangan-jangan kamu ini binaan Aidit atau Nyoto!” “Darsiwi” tak paham. Ia ingin bicara. Tapi, belum sempat mulutnya mengucap kalimat, parang Mbah Jagal kembali berkelebat. Mbah Jagal tertawa. Tubuh “Darsiwi” tumbang. Agak lama Mbah Jagal bangun setelah memerankan Darsiwi. Nafasnya pendek-pendek. Keringatnya mengucur. Tapi ia belum ingin mengakhiri permainan yang baginya sangat mengasyikkan itu. Kini, Mbah Jagal memerankan seorang atasan. “Jawad, aku kagum dengan kehebatanmu. Aku harap kekejamanmu harus dipelihara dan ditingkatken. Hari ini kamu sukses membunuh seratus lima puluh orang. Besok harus ditingkatken jadi dua ratus, tiga ratus, lima ratus. Kejam itu boleh, asal tetap sopan. Negara ini harus bebas dari ancaman daripada orang-orang komunis.” Mbah Jawad tertawa. “Siap! Terima kasih, Pak Komandan. Eee boleh saya tanya. Apa membunuh seperti ini tetap ada hukumnya?” Jawad memerankan dirinya, sambil membungkuk-bungkuk. “Hukum? Tidak ada itu. Orang seperti kita ini, tidak bisa salah. Paham? Kerna kitalah yang menentuken daripada hukum itu. Paham?” “Paham, Pak Komandan. Sangat paham. Eeee, kalau semua tugas ini sudah selesai bagaimana nasib saya?” “Maumu apa Tuan Jawad?” “Titip anak saya. Tidak banyak. Cuma lima. Mereka kepingin jadi pegawai negeri atau pengusaha….” “O itu. Bisa. Bisa. Nanti saya titip-titipken.” “Kalau soal pangkat untuk saya?” “Pangkat? Untuk apa?” Jawad tertawa, setengah malu, “Ya agar saya tampak gagah, Pak.” “Bikin saja sendiri. Terserah kamu.” Jawad tertawa hingga matanya basah. Ruang kamar itu penuh deraian tawa Jawad. Dari lipatan ingatannya berputar seluruh kenangan. Gambar-gambar itu muncul susul-menyusul. Truk yang menderu. Tentara-tentara turun dan masuk kampung. Pintu-pintu rumah yang digedor-gedor. Orang-orang yang digelandang. Ruang tahanan. Padang pembantaian. Jeritan orang meregang nyawa. Dirinya yang berjalan di antara mayat-mayat berserakan. Kali-kali penuh mayat. Lalu sepi. Tawa Jawad terhenti. Mendadak ia menangis. Tangisan itu mengalun panjang. Terbayang di benaknya wajah Sarbani, Darsiwi, Mintoko, Rajul, Ali, Gondes, Menggik, Pardi Gudel, Jamani, Ribut, Warni, Ningsih, Lamido, Harti, Rabejo, Wakidah, Ratmi, dan ratusan orang lainnya yang telah meregang nyawa di ujung parangnya. Wajah-wajah itu menatap tajam dengan bola mata serupa api. Mereka mendekat, makin mendekat. Jawad terkepung. Ia tak bisa meloloskan diri. Wajah-wajah itu terus mendesaknya. Menekannya. Jiwa Jawad menggigil. Sosok-sosok berwajah beku namun dengan tatapan mata bola api itu semakin rapat mengepung Jawad. Jutaan pori-pori tubuh Jawad berpesta peluh dingin. Dengan gemetar ia mencoba bertahan. Ia ayunkan parang dengan gerakan yang tak beraturan. Tapi sabetan parang itu hanya membelah-belah angin. Jawad makin kalap. Parangnya makin berkelebat. Tapi, ia hanya mendapatkan rasa lelah yang makin memuncak. Sosok-sosok itu makin mendesak, menggebrak, dan melabrak. Jawad tak berdaya. “Jangan bunuh saya. Jangan.” Sosok-sosok itu makin mendekat. Jarak wajah mereka dengan wajah Jawad tinggal beberapa inci. “Saya bukan tukang jagal. Saya cuma sekrup. Cuma sekrup!” teriak Jawad melengking, suaranya membentur dinding-dinding. Teriakan itu tak berjawab. Seluruh ruangan tetap senyap. “Saya memang telah menghinakan kalian, merampas hak hidup kalian. Tapi kalian harus paham. Waktu itu yang ada hanya lawan dan kawan. Apakah itu salah, Kawan?” Jawad tergagap. Sosok-sosok itu mulai beringas, mereka menyerang Jawad. Ratusan tangan mencekik leher Jawad. Jawad meronta. “Maaf… maaf… jika kata-kataku menyinggung kalian. Aku hanya ingin mengemukakan alasan. Dan maaf, aku telah bertindak seperti Tuhan atas kematian kalian.” Jawad tertunduk. Ia merasakan keletihan yang sangat. Ia tergeragap ketika kokok ayam mengabarkan pagi telah datang. Ia berjalan sempoyongan. Merebahkan tubuh rentanya di ranjang. Jalanan desa Tawang Abang lengang. Tak ada lagi laki-laki tua yang berjalan terbungkuk-bungkuk diiringi derai batuk. Mbah Jagal dikabarkan hilang sejak ia sering pidato tak karuan di jalan-jalan, mengungkap rasa bersalahnya sebagai tukang jagal manusia. Ia juga sering menyebut beberapa nama di balik aksi penjagalannya. Seorang saksi menemukan jasnya yang penuh pangkat dan tongkatnya di dekat jembatan. Kepergian Mbah Jagal meninggalkan sunyi yang panjang. Sangat panjang. Yogyakarta, 2006
""Jas, Tongkat dan Kesunyian""
Ketika jendela surga dibuka, ketika pintu neraka ditutup, dan setan-setan dibelenggu, seorang malaikat yang lahir dan tumbuh dari doa serampangan perempuan kencur yang dianggap gila, sekali waktu akan merindukan tanah asal yang kabur. Tanpa sayap, dia akan menumpang kereta, menyusuri rel dan pelacur, menatap kabut dan maut, dan menceracau tentang hutan yang gaduh. Lalu setelah sampai di stasiun—biasanya pada akhir Ramadan yang sarat debu—ia akan terbang ke kota sejuk penuh bunga, berhenti di batas desa, dan mencoba menggapai wajah perempuan cilik yang mengabur di sendang bening itu. “Wahai, gadis kecilku, seharusnya kaulah yang lebih berhak menjadi penjaga jagat. Bukan aku atau sesuatu yang menyerupai waktu!” lolong malaikat itu sambil memerintahkan angin menggesek-gesekkan kesedihan di bilah seribu bambu. Tak lama kemudian ia akan memburu wangi rambut gadis kecil itu dan segera menidurkan dalam dekapan sayap halus dan usapan tangan tulus. “Kotamu sungguh indah, manisku, kotamu sungguh seperti sungai yang seluruh tetes kristalnya berasal dari embun atau sisa tangis Isa sesaat sebelum menjemput ajal.” Daerah asal bernama Alas Para pendahulu, babad menyebutnya sebagai pria bersorban yang tersesat dan perempuan yang tidak pernah tepat menunjuk arah kiblat, memberi nama Alas pada kota itu. Alas memang bukan Macondo. Bukan kota yang setiap Rabu dipenuhi daun pisang, badai bangkai, reruntuhan gedung-gedung arsip, dan lumpur panas. Alas juga bukan Firdaus. Bukan taman penuh apel busuk dan ular yang mendesis-desis tak keruan. Namun, di kota kecil itu hujan turun dari langit bagai sulur-sulur benang merah yang menjulur-julur menjerat tanah basah. Kalau beruntung, setiap sore kau juga bisa merasakan angin segar berembus dari gunung, berduyun-duyun serupa tabib berselimut kain serbaputih, menyusup ke ruang-ruang sunyi di sanatorium. Karena itu, tak ada orang mati di pusat perawatan penyakit paru-paru itu ketika senja luruh. Malaikat hanya mencabut nyawa pada malam hari saat tulang-tulang, mata, telinga, dan apa pun dibekukan di ujung waktu. Alas juga bukan kota yang tumbuh setiap Senin. Di Alas, di kawasan yang pada tahun penuh bunyi mortir menjadi rumah indah istri salah satu presiden, setiap hari orang berusaha merancang dan membangun kota. Karena itu, kau tidak perlu terkejut menyaksikan terminal bawah tanah yang eksotik berubah jadi shopping centre acak-acakan. Kau tak perlu sedih menatap kotapraja mengonggok jadi sampah dan gedung bioskop jadi toilet murahan. Alas, kau tahu, justru mirip kota para penjagal. Setiap pagi—selepas subuh—dari Rumah Pemotongan Hewan, berbondong-bondong orang-orang berwajah keras memanggul daging sapi, babi, dan kambing yang masih menetes-neteskan darah segar ke pasar. Karena bertahun-tahun tetesan darah segar itu tak terhapus dari mata, akhirnya terbentuklah selokan merah matang yang membelah kota. Aha! Kau mungkin lebih ingin menyebut Alas sebagai kota para malaikat. Saban tahun, ketika surga tak berdaun pintu, seorang malaikat memang berkunjung ke kota itu. Sebagian yang tersesat akan menyusup ke gereja-gereja dan menjadi patung yang melindungi seonggok batu yang dianggap sebagai penjelmaan bayi Isa. Sebagian lagi—yang tak ingin kembali ke surga—menjelmakan diri sebagai kaligrafi penuh cahaya di masjid-masjid dan mushala. “Dan kini kami memang sedang menunggu kedatangan malaikat. Malaikat yang akan mengajari aku dan Maya terbang. Terbang melintasi gunung. Terbang melintasi hutan,” igau gadis kecil berambut wangi menjelang malam. Seorang malaikat, kau tahu, memang akan datang di kota itu. Tapi tidak sekarang. Seorang malaikat, kau tahu, memang akan tersesat di kota itu. Tapi hanya perempuan kecil yang dianggap gila tahu kapan ia akan datang dan memberi isyarat aneh di keheningan bulan. Sayap halus, sayap tulus “Malaikat itu akan datang tepat ketika ayahku, Abilawa, menjagal sapi paling tambun di kota ini. Itu berarti ia akan menemui aku pada saat ibuku, Gendari, meninggal di sanatorium,” bisik Hayati, perempuan tengil itu, sambil menjilat telinga Maya, kawan sepermainan. “Maksudmu ia akan datang sesaat setelah pintu neraka dibuka lagi, ketika iblis tak dibelenggu, ketika…,” bisik Maya balas menggigit telinga gadis kecil 11 tahun itu. “Ah, kau tak akan pernah tahu kapan malaikat itu memberikan sepasang sayap kepada kita, Nona Kelelawar. Yang kutahu, ihik-ihik, ia akan menebarkan wewangian ke seluruh penjuru kamar dan mendekapku dengan sayap-sayap yang halus dan tulus. Jadi, sebaiknya malam ini kau tidur di rumahku saja. Kau tidak keberatan tidur dengan tikus cantik, bukan?” Tentu, seperti malam-malam sebelumnya, Maya tidak bisa menghindar dari ajakan Hayati. Sebab, kau tahu, sepanjang hidup, setidaknya hingga menjelang usia 11 tahun, Maya memang tidak pernah tidur di rumah sendiri. Di mata orang tua, Maya hanyalah makhluk semu. Ada dan tiada tidak penting. Karena itu, para orang dewasa hanya melihat senyum, rambut ikal, dan tarian Maya, pada siang hari. Begitu malam tiba, Maya tak lagi tinggal di pelupuk mata warga Alas. Begitu matahari menghilang, Maya berlari sekencang mungkin menuju ke rumah Hayati, ke kamar gelap yang lebih meneduhkan hidup. Tak jijik bergaul dengan bocah tengil yang dianggap gila itu? Oo, Maya tak pernah menganggap Hayati sebagai gadis kencur yang harus diseret ke Rumah Sakit Jiwa. Hayati, perempuan kecil berbibir tebal itu memang suka menceracau, membaca isyarat aneh yang dilukiskan oleh gelandangan telanjang di tembok-tembok , dan kadang-kadang seharian bercakap-cakap dengan Minkebo atau Maryuni (orang-orang gila Alas), tetapi warga kota tahu, mereka hanya bercakap tentang malaikat yang tersesat menjelang pintu surga ditutup dan jendela neraka dibuka lebar-lebar. Bahkan belakangan bersama Giuk, perempuan cantik istri tentara yang kurang waras, pun Hayati hanya mempercakapkan berapa jumlah bulu sayap malaikat dan terbuat dari besi apakah tulang-tulang yang bisa dikepak-kepakkan dengan keras itu, sehingga kukuh sepanjang waktu. Karena itulah, tak ada alasan untuk menyebut Hayati gila hanya karena ia tidak memiliki keinginan lain, kecuali menghitung berapa malaikat yang telah tersesat di Alas, berapa yang menjadi kawan karib, dan berapa yang membelot mengikuti Lucifer ke neraka berlumur anggur. “Aku mau tidur di sini asal kau mengajari aku berzikir, Hayati. Kau tahu bukan setiap Ramadan terakhir ada kemungkinan seorang malaikat mencari putri-putri yang paling dikasihi,” tiba-tiba Maya merajuk. “Ihik-ihik, malaikat tidak akan datang seperti kelelawar. Ia akan datang seperti pencuri. Bisa akhir Ramadan. Bisa saat Lebaran. Jadi, kita sebaiknya tidak tidur. Kita jemput saja malaikat itu di batas kota.” “Bukankah kau pernah mengatakan malaikat itu akan muncul dari lubang gelap serupa tikus? Kalau memang begitu, sebaiknya kita temui ia di pekuburan ujung kota. Kau tahu bukan, tak ada tempat yang lebih gelap dari pemakaman orang-orang terhormat itu?” Hayati tak membantah pendapat Maya. Kedua perempuan kecil itu mengenakan selendang serupa sayap melesat menembus lorong, menyibak semak-semak, dan akhirnya sebagaimana burung hitam kelam kelelahan nyekukruk di sebuah makam yang berlubang. “Kau yakin malaikat itu akan muncul dari lubang kuburan? Mengapa tidak dari cahaya lampu yang menerangi taman?” desis Maya dalam desah napas tak keruan. Hayati mengangguk. Tapi takbir penanda Lebaran belum juga datang. Seekor tikus melintas ke utara. Seekor kelelawar melintas ke selatan. Hanya seekor tikus, hanya seekor kelelawar, dan malaikat belum menyembul dari lumpur atau gerowong makam yang kaucemaskan. “Ibuku, Gendari, sebentar lagi mati. Ayahku, Abilawa, akan menjagal sapi yang dagingnya tak habis-habis kaumakan,” Hayati mendesah sambil melemparkan pandangan ke sanatorium dan Rumah Pemotongan Hewan. Kini ganti Maya yang mengangguk. Tapi ia tak berani menatap bayangan anyir bersayap yang melintas dari makam serupa kapal ke nisan serupa pedang. Maya tahu bayangan itu bukan malaikat yang akan memberikan keteduhan sepanjang siang sepanjang malam. Menyembul dari lumpur Ketika seorang malaikat menanggalkan sayap, kau tahu, segala mukjizat yang dimiliki juga harus diluruhkan. Karena itu, saat tiba di Alas, aku tak sanggup menggunakan mataku untuk melacak rumah Hayati atau Maya, dua perempuan kecil yang menciptakan aku dari tangis dan doa serampangan. Karena itu, bergegas ke jalan utama, pada malam seribu takbir, aku bertanya kepada orang-orang yang baru saja keluar dari masjid mengenai dua gadis kecil yang senantiasa menghitung malaikat yang tersesat di Alas. “Jangan berlagak seperti Nabi Khidir. Di Alas hanya ada empat orang gila. Kami menyebutnya sebagai Mbah Nyai, Minkebo, Maryuni, dan Giuk. Dua gadis kecil yang Sampean sebut mungkin tinggal di kota lain,” kata laki-laki berwajah onta sambil mencibir. “Jangan meniru-niru Jibril yang ingin memberi berkah kepada gadis-gadis gila. Kami membenci segala yang dipalsukan,” teriak laki-laki babi seraya melengos. “Oo, kami sangat mengenal Ibrahim yang pengasih itu. Jadi jangan sekali-kali memperkenalkan diri sebagai manusia paling dipercaya hanya karena ingin memungut dua gadis gila dari Alas dan memberi mereka sayap untuk terbang ke surga bertabur menur! Tinggalkan kota ini. Jika tidak mau, kami, para serdadu, akan membakar Sampean di alun-alun,” seru perempuan anjing serupa orang sinting. Wah! Tak mungkin aku bertanya kepada mereka. Kota ini, kau tahu, kian dipenuhi oleh umat Nabi Luth. Mereka memiliki masjid, tetapi tak menggunakan tempat suci itu untuk menaburkan ketakwaan kepada Allah. Mereka bersembahyang di jalan-jalan, tetapi tidak untuk menebarkan rasa cinta kepada Sang Junjungan. Tak bisa bertanya kepada orang-orang waras di kota ini, aku pun menemui orang-orang yang dianggap gila. Aku temui Minkebo dan lelaki yang membalut tubuh dengan kain perca serbahijau itu berkali-kali bilang hanya Hayati dan Maya-lah yang layak kuberkati di kota ini. Aku bercakap-cakap mesra dengan Maryuni dan perempuan yang selalu berdandan menor itu bercerita hanya dua gadis kecil tengil itulah yang kelak menjadi cahaya kota. “Di mana mereka sekarang?” aku bertanya kepada Giuk. Giuk tertawa. Ia menatap sesuatu yang bertengger di kedua bahuku. “Jangan berpura-pura tak tahu. Sampean boleh menyembunyikan sayap dari mata siapa pun. Tapi di mataku, siapa pun tidak bisa bersembunyi. Nabi dan Tuhan Sampean pun ada di genggaman mata sunyiku.” “Sebaiknya Sampean segera ke pekuburan di ujung kota,” kata Mbah Nyai yang juga memergoki segala mukjizat yang kumiliki, “Percayalah, Tuan, dalam sekejap mata Sampean akan membimbing sang sayap untuk segera mendekap dua gadis idaman.” “Jadi, apa yang harus kulakukan?” “Menyembullah dari lubang makam seperti tikus berlepotan lumpur,” kata Maryuni. “Mengapa harus begitu?” “Karena Hayati dan Maya berharap Sampean akan muncul dari kegelapan serupa tikus wangi. Jadi, jangan nodai keinginan mereka. Jangan sekali-kali malaikat tidak memberikan segala yang diharapkan bocah-bocah kecil dalam doa serampangan mereka.” “Baiklah, aku akan menyembul dari lumpur bersama kalian. Dari lubang makam paling besar di pekuburan itu, kita akan menyembul dengan sayap terkepak pelan-pelan.” “Kami tak punya sayap.” “Aku akan memberi kalian masing-masing sepasang sayap yang tak gampang dipatahkan!” “Tak gampang dipatahkan?” “Ya. Tak gampang dipatahkan!” Apakah orang-orang yang dianggap gila itu menyadari di kedua bahu tumbuh sayap yang bisa digunakan untuk terbang dan menyusup ke tanah atau sungai paling dalam? Kau tidak perlu tahu. Yang jelas, mereka akan bersama-sama denganku, melesat menemui sepasang gadis yang nyekukruk bertafakur di lubang makam penuh lumpur anyir itu. Namamu Maya, namaku Wangi Gendari, ibuku, telah mati di sanatorium. Ayahku, Abilawa, telah menjagal sapi paling tambun. Namamu Maya, bukan? Sekarang namaku Wangi. Dulu mereka menyebutku sebagai tikus kota. Malam ini ketika jendela surga dibuka, ketika pintu neraka ditutup, dan setan-setan dibelenggu, seorang malaikat yang lahir dan tumbuh dari doa serampanganku, sekali waktu akan merindukan tanah asal yang kabur. Tanpa sayap, ia akan menumpang kereta, menyusuri rel dan pelacur, menatap kabut dan maut, dan menceracau tentang hutan yang gaduh. Lalu setelah sampai di stasiun—biasanya pada akhir Ramadan yang sarat debu— ia akan terbang ke kota sejuk penuh bunga, berhenti di batas desa, dan mencoba menggapai wajah perempuan cilik yang mengabur di sendang bening itu. Apakah kau juga sudah bertemu dengan malaikat yang mengibas-ngibaskan sayapnya di kubangan lumpur yang anyir itu, Maya? Apakah ia sudah mendekap dan menidurkanmu? Ihik! Ihik! Jangan risau, manisku, kalau kudapat satu malaikat berwajah kelabu, akan kubagi separo lidah ganjilnya untukmu. Maya terdiam; takjub oleh kilau lumpur yang menyala-nyala dari lubang makam yang kian membesar. Ia tahu sebentar lagi seluruh kota akan dililit cahaya. Hingga jendela surga sirna. Hingga pintu neraka tak ada. O, engkau masih menatap para malaikat menari di kubangan lumpur itu, Maya? “Ya, Hayati, malaikat-malaikat itu akan segera mengajak kita belajar terbang ke segala gunung dan hutan pada saat jendela surga ditutup untuk ayah dan ibumu.” Hayati terdiam; teduh oleh takbir lamat-lamat yang mulai dikumandangkan. Semarang, 12 Oktober 2006
""Malaikat Tanah Asal""
Kira-kira sepuluh hari sebelum Lebaran tiba, gerobak-gerobak berwarna putih itu akan muncul di berbagai sudut kota kami, seperti selalu terjadi dalam bulan puasa tahun-tahun belakangan ini. Gerobak itu tidak ada bedanya dengan gerobak pemulung, atau bahkan gerobak sampah lainnya, dengan roda karet dan pegangan kayu untuk dihela kedua lengan di depan. Hanya saja gerobak ini ternyata berisi manusia. Dari balik dinding gerobak berwarna putih itu akan tampak sejumlah kepala yang menumpang gerobak tersebut, biasanya seorang ibu dengan dua atau tiga anak yang masih kecil, dengan seorang bapak bertenaga kuat yang menjadi penghela gerobak tersebut. Karena tidak pernah betul-betul mengamati, aku hanya melihat gerobak-gerobak itu selintas pintas, ketika sedang berjalan merayapi berbagai sudut kota. Dari mana dan mau ke mana? Aku tidak pernah berada di batas kota dan melihat gerobak-gerobak itu masuk kota. Mereka seperti tiba-tiba saja sudah berada di dalam kota, kadang terlihat berhenti di berbagai tanah lapang, memasang tenda plastik, menggelar tikar, dan tidur-tiduran dengan santai. Tidak ketinggalan menanak air dengan kayu bakar dan masak seperlunya. Apabila tanah lapang sudah penuh, mereka menginap di kaki lima, dengan plastik menutup gerobak dan mereka tidur di dalamnya. Tidak jarang mereka memasang juga tenda di depan rumah-rumah gedung bertingkat. Salah satu dari gerobak itu berhenti pula di depan rumah gedung kakekku. “Kakek, siapakah orang-orang yang datang dengan gerobak itu Kek? Dari manakah mereka datang?” Kakek menjawab sambil menghela napas. “Oh, mereka selalu datang selama bulan puasa, dan nanti menghilang setelah Lebaran. Mereka datang dari Negeri Kemiskinan.” “Negeri Kemiskinan?” “Ya, mereka datang untuk mengemis.” Aku tidak bertanya lebih lanjut, karena kakekku adalah orang yang sibuk. Di samping menjadi pejabat tinggi, perusahaannya pun banyak sekali, dan Kakek tidak pernah membagi pekerjaannya yang berat itu dengan orang lain. Semuanya ia tangani sendiri. Dari jendela loteng, kuamati orang-orang di dalam gerobak itu. Anak-anak kecil itu tampaknya seusiaku. Namun kalau aku setiap hari disibukkan oleh tugas-tugas sekolah, anak-anak itu pekerjaannya hanya bermain-main saja. Kadang-kadang aku ingin sekali ikut bermain dengan anak-anak itu, tetapi Kakek tentu saja melarangku. “Jangan sekali-sekali mendekati kere-kere itu,” kata Kakek, “kita tidak pernah tahu apa yang mereka pikirkan tentang kita.” “Apa yang mereka pikirkan Kek?” “Coba saja kamu setiap hari hidup di dalam gerobak di luar sana. Apa yang akan kamu pikir jika dari kegelapan melihat lampu-lampu kristal di balik jendela, dalam kerumunan nyamuk yang berdenging-denging melihat anak kecil berbaju bersih makan es buah dan pudding warna-warni waktu berbuka puasa?” Aku tertegun. Apa maksud Kakek? Apakah mereka akan menculik aku? Ataukah setidaknya mereka akan melompat masuk jendela dan merampas makanan enak-enak untuk berbuka puasa ini? Aku memang selalu mendapat peringatan dari orangtuaku untuk hati-hati, bahkan sebaiknya menjauhi orang yang tidak dikenal. Memang mereka tidak pernah menyebutkan kata-kata semacam, “Hati-hati terhadap orang miskin,” atau “Orang miskin itu jahat,” tetapi kewaspadaan Ibu memang akan selalu meningkat dan segera menggandeng tanganku erat-erat apabila didekati orang-orang yang berbaju compang-camping dan sudah tidak jelas warnanya lagi. Dari balik topi tikar pandan mereka yang sudah jebol tepinya, memang selalu kulihat mata yang menatap, tetapi tak bisa kuketahui apa yang dikatakan mata itu. Sekarang aku tahu gerobak-gerobak berwarna putih itu datang dari Negeri Kemiskinan. Di mana tempatnya, Kakek tidak pernah menjelaskan, tetapi kurasa tentunya dekat-dekat saja, karena bukankah gerobak itu dihela oleh orang yang berjalan kaki? Demikianlah gerobak-gerobak itu dari hari ke hari makin banyak saja tampaknya. Benarkah, seperti kata Kakek, mereka datang untuk mengemis? Aku tidak pernah melihat mereka mengulurkan tangan di depan rumah- rumah orang untuk mengemis. Juga tidak kulihat mereka menengadahkan tangan di tepi jalan dengan batok kelapa atau piring seng di depannya. Jadi kapan mereka mengemis? Ternyata mereka memang tidak perlu mengemis untuk mendapat sedekah. Nenek misalnya selalu mengirimkan makanan yang berlimpah-limpah kepada gerobak yang menggelar tenda di depan rumah. Ketika kemudian gerobak-gerobak itu makin banyak saja berjajar-jajar di depan rumah, gerobak-gerobak yang lain itu juga mendapat limpahan makanan pula. Tampaknya orang-orang yang dianggap berkelebihan diandaikan dengan sendirinya harus tahu, bahwa manusia-manusia dalam gerobak itu perlu mendapat sedekah. Demikian pula manusia-manusia dalam gerobak itu tampaknya merasa, sudah semestinyalah mereka mendapat limpahan pemberian sebanyak-banyaknya tanpa harus mengemis lagi. Mereka cukup hanya harus hadir di kota kami dan mereka akan mendapatkan sedekah yang tampaknya mereka anggap sebagai hak mereka. Begitulah dari hari ke hari gerobak-gerobak putih itu memenuhi kota kami, bahkan mobil Kakek sampai sulit sekali keluar masuk rumah karena gerobak yang berderet-deret di depan pagar. Di jalan-jalan gerobak itu bikin macet, dan di tepi jalan keluarga gerobak yang memasang tenda-tenda plastik seperti berpiknik itu sudah sangat mengganggu pemandangan. Manusia-manusia gerobak ini seperti bersikap dunia adalah milik mereka sendiri. Sepanjang hari mereka hanya bergolek-golek di atas tikar, tidur-tiduran menatap langit dengan santai, dan mereka seperti merasa harus mendapat makanan tepat pada waktunya. Pernah pembantu rumah tangga di rumah Kakek yang terlambat sedikit mengantar kolak untuk berbuka puasa, karena tentu mendahulukan Kakek, mendapat omelan panjang dan pendek. Tetangga-tetangga juga sudah mulai jengkel. “Tenang saja,” kata Kakek, “sehabis Lebaran mereka akan menghilang, biasanya kan begitu.” “Tapi kali ini banyak sekali, mereka seperti mengalir tidak ada habisnya.” “Ya, tapi kapan mereka tidak kembali ke tempat asal mereka? Mereka selalu menghilang sehabis Lebaran, pulang ke Negeri Kemiskinan.” Para tetangga tidak membantah. Mereka juga berharap begitu. Setiap tahun menjelang hari Lebaran gerobak-gerobak memenuhi kota, tetapi setiap tahun itu pula mereka akan selalu menghilang kembali. >diaC< Pada hari Lebaran, gerobak-gerobak itu ternyata tidak semakin berkurang. Meskipun kota kami selalu menjadi sunyi dan sepi setiap kali Lebaran tiba, kali ini kota kami penuh sesak dengan gerobak yang rupanya setiap hari bertambah dengan kelipatan berganda. Gerobak-gerobak itu masih saja berisi anak-anak kecil dan perempuan dekil, dihela seorang lelaki kuat yang melangkah keliling kota. Mereka berkemah di depan rumah-rumah gedung, mereka tidur-tiduran sambil memandang rumah-rumah gedung yang indah, kokoh, kuat, asri, dan mewah dari luar pagar tembok. Pada hari Lebaran, penghuni rumahrumah gedung itu banyak yang pulang kampung, meninggalkan rumah yang kadang-kadang dijaga satpam, dititipkan kepada tetangga, atau ditinggal dan dikunci begitu saja. Lebih dari separuh warga kota mudik ke kampungnya masing-masing pada hari Lebaran, pada saat yang sama gerobak-gerobak masuk kota entah dari mana, pasti tidak lewat jalan tol, entah dari mana, seperti hadir begitu saja di dalam kota. Apabila kemudian warga kota kembali dari kampung, kali ini gerobak-gerobak itu masih tetap di sana. Berkemah dan menggelar tikar di sembarang tempat, bahkan sebagian telah pula masuk, merayapi tembok, melompati pagar, dan hidup di dalam rumah- rumah gedung itu. Warga kota yang memasuki kembali rumah-rumah mereka terkejut, orang-orang yang datang bersama gerobak itu telah menduduki rumah tersebut, makan di meja makan mereka, tidur di tempat tidur mereka, mandi di kamar mandi mereka, dan berenang di kolam renang mereka. Apakah mereka maunya hidup di dalam rumah-rumah gedung yang selalu mereka tatap dari luar pagar dengan pikiran entah apa dan meninggalkan gerobak mereka untuk selama-lamanya? “Mereka masih di sini Kek, padahal hari Lebaran sudah berlalu,” kataku kepada Kakek. Lagi-lagi Kakek menghela napas. “Mereka memang tidak bisa pulang ke mana-mana lagi sekarang.” “Bukankah mereka bisa pulang kembali ke Negeri Kemiskinan?” “Ya, tetapi Negeri Kemiskinan sudah terendam lumpur sekarang, dan tidak ada kepastian kapan banjir lumpur itu akan selesai.” Sekarang aku mengerti kenapa orang-orang itu tampak sangat amat dekil. Rupa-rupanya seluruh tubuh mereka seperti terbalut lumpur, sehingga kadang-kadang mereka tampak seperti patung yang bisa hidup dan bergerak-gerak. Baru kusadari betapa manusia-manusia gerobak ini memang sangat jarang berkata-kata. Seperti mereka betul-betul hanyalah patung dan hanya mata mereka akan menatapmu dengan seribu satu makna yang terpancar dari sana. Mereka yang tiada punya rumah di atas bumi, di manakah mereka mesti tinggal selain tetap di bumi? Kakek merasa gelisah dengan perkembangan ini. “Bagaimana nasib cucu-cucu kita nanti,” katanya kepada Nenek, “apakah mereka harus berbagi tempat tinggal dengan kere unyik itu?” “Siapa pula suruh merendam negeri mereka dengan lumpur,” sahut Nenek, “kita harus menerima segala akibat perbuatan kita. Heran, kenapa manusia tidak pernah cukup puas dengan apa yang sudah mereka miliki.” Aku tidak terlalu paham bagaimana lumpur bisa merendam Negeri Kemiskinan. Apakah maksudnya lumpur kemiskinan? Aku hanya tahu, setelah hari Lebaran berlalu, gerobak-gerobak putih sama sekali tidak pernah berkurang. Sebaliknya semakin lama semakin banyak, muncul di berbagai sudut kota entah dari mana, menduduki setiap tanah yang kosong, bahkan merayapi tembok, melompati pagar, memasuki rumah-rumah gedung bertingkat, tidak bisa diusir dan tidak bisa dibunuh, tinggal di sana entah sampai kapan. Barangkali saja untuk selama-lamanya. Pondok Aren, Minggu, 7 Oktober 2006. 23.30.
""Gerobak""
Mereka berteriak girang, sementara Safrida hanya melongok kepala sekilas dari jendela kamar rumoh inong. Di keudee Tengku Banta Manyang ramai sekali yang tengah menonton televisi. Bangku kayu yang berjejer di luar warung sesak dengan orang kampung. Gaduh. Mulut-mulut beranti-anti berkomentar. Hati Safrida masih perih. Padahal sudah banyak ia membunuh serdadu pemerintahan. Ia dipuji panglima sebagai wanita perkasa. Wanita yang mewarisi semangat baja Cut Nyak Dien, Cut Nyak Meutia, Laksamana Malahayati—wanita yang tidak mau dijajah. Dendam itu belum tergerus. Waktu yang bergulir tak kuasa meredam rupanya. Wanita itu sudah mencoba untuk melupa, tapi tidak bisa! Ingatan itu begitu kuat melekat di otaknya. Bocah kecil ribut di pekarangan rumoh. Buah delima sedang lebat-lebatnya. Bocah bergelantungan demi mencapai buah masak yang ada di ujung. Kaki Safrida terseret ke rumoh-dapu. Masyiknya entah ke mana sudah perginya. Kanot air di tungku api. Safrida turun ke sumur, lalu mengambil baju kotor punya-nya dan masyik. Dimasukkan ke ember hitam besar dan dipikul di atas kepala. Safrida ke meunasah. Bocah-bocah menyapa riang Safrida yang berpapasan lewat. “Ka damai geutanyoe, Da,” tegur istri Tengku Banta kepada melihatnya lewat. Safrida tersenyum dipaksa sambil mata melihat ke arah televisi. Semua berita televisi berkenaan dengan perjanjian damai yang dilakukan antara pemerintah RI dengan kelompok bersenjata Gerakan Aceh Merdeka di Helsinki. Hatinya perih. Bagi orang lain berita damai itu menggembirakan, tapi baginya tidak. Damai itu tak berarti apa-apa untuk Safrida. Dengan langkah lamban Safrida ke meunasah. Lumayan jauh jarak rumohnya dengan meunasah. Suara ngaji terdengar sayup-sayup dari meunasah. Suara mengaji si Suman merdu sekali. Subuh akan menjelang. Safrida sudah terbangun sedari tadi. Dan sayangnya, Safrida sama sekali tidak tahu bahwa sebenarnya hari itu adalah hari kelabu untuk dirinya. Kisah pahitnya bermula dari hari itu. Pukul tujuh pagi. Ayam jantan masih ada yang berkokok satu-satu. Desiran angin menggigil. Langit kurang bersahabat. Safrida sudah siap-siap akan pergi ke sekolah dengan garinya. “Mau ke mana, Da?” tanya itu berasal dari lelaki yang berseberangan di jalan dengan Safrida. Safrida seperti kenal betul dengan yang empunya suara itu. Dan tabuh di dadanya tak tinggal diam. Selalu lain bila ia mendengar suara itu. Bahkan semenjak dahulu. “Mau ke meunasah,” Safrida cepat berlalu. Manan masih saja tampan. Masih seperti dulu. Tapi sayang, lelaki itu sudah beristri. Padahal dulu, Manan pernah minta dirinya kepada Bapak. Dan kata Bapak, tunggu ia tamat SMA dulu. Tapi waktu itu, tak pernah berkunjung. Safrida sebentar lagi sampai ke meunasah. Tiba-tiba saja pagi itu kembali bergejolak. Tembakan membabi buta. Safrida yang sudah turun, lekas merunduk di lantai seulasa. Bapak yang baru saja selesai mandi ikut merunduk di sampingnya. Mak dan Masyik entah di sumur, entah pula di rumoh dapu? Sesekali dikejutkan dengan gelegar suara bom. Dan diikuti rentetan senapan tak berhenti. Memekakkan telinga. Menciutkan nyali. Merasai ajal itu seperti di depan gerbang. Untungnya tak lama reda. Safrida nekad tetap ingin ke sekolah. Tapi Mak melarang. Takutnya ada sweeping di jalan. Gadis itu berpikir keras. Bapak memutuskan tak jadi masuk ke kantor. Safrida tiba di meunasah. Rupanya ada Sakdiah di sumur meunasah yang sedang memandikan anaknya. Harus bersusah payah perempuan itu memandikan anaknya itu. Bandel sekali bocah itu. Begitu melihat Safrida, Sakdiah melempar senyum sekali dan anaknya sudah lepas dari cengkeramnya. “Sudah cukup mandi jih mak…” “Bacut lagi, mantong kalang nyoe,” tangan Sakdiah menggosok-gosok leher anaknya. Si bocah tertawa-tawa sembari mengatakan ’geli…geli…’ Melihat kejadian itu, ada iri yang menyelusup di benak Safrida. Di kampungnya, semua perempuan sudah menjadi ibu, selain dirinya. Tak satu pun pria yang mau memperistri dirinya. Padahal usianya tak muda lagi. Bagaimana pula ia punya anak? Sebagai perempuan normal, ingin sekali ia bersuami dan punya anak. Baru sekarang Safrida merasakan kesepian. Ia butuh suami dan anak-anak yang lucu. “Sudah teken damai Da, ya?” Sakdiah akan pulang. Bocah yang digendong mencium muka Maknya. Safrida mengangguk pelan. Wajah itu beringsut lega. Safrida ke sumur. Tangan itu mulai sibuk menimba air sumur. Pekerjaan itu sungguh muda bagi seorang Safrida yang sering mengangkat senjata berat dahulunya. Safrida tersentak ketika melihat berdatangan tentara-tentara di pekarangan rumohnya. Bapak, Mak, Masyik cepat turun dari atas rumah. Bapak sudah bercelana, tak berhanduk seperti waktu merunduk tadi. Suasana mencekam. Mak, Masyik lekas luruh air mata sebab takut sekali. Salah satu tentara yang berperawakan tinggi dan hitam keling meminta KTP Bapak. “Kau GAM, ya?” bentak tentara itu kasar. “Bukan Pak, saya ini rakyat biasa,” Bapak tampak gentar. “Pasti kamu sembunyikan GAM di rumah kamu?!” sambung kawannya juga dengan tak kalah kasarnya. “Periksa rumah ini!” Dan sekitar sepuluh orang tentara naik ke rumah Aceh tanpa melepas sepatu. Empunya rumah tak berkutik. Pintu rumah disepak-sepak. Ada beberapa yang masuk ke kroong padee. Dan para tentara itu tidak mendapatkan GAM seperti yang mereka tuduhkan. Memang aneh sekali serdadu-serdadu pemerintahan itu, main tuduh saja kerjanya! Lamban sekali kerja Safrida. Sudah lama di sumur, baru dua potong baju yang siap disikat. Lamunannya entahlah ke mana. Sebagian tentara pergi ke rumah samping, ke rumah Wa Ali. Suara mereka keras dan kasar sampai kedengaran ke rumoh Safrida. “Ada GAM di sini…!” Teriakan itu bagai halilintar di telinga Safrida. Dan… “Dor…Dor…” tubuh Bapak bersimbah darah. Dua pelor menembus kepala lelaki itu. Tanpa bertanya terlebih dahulu. “Bapak…Bapak…” Mak histeris. “Dor…Dor….” Mak terkulai tak berdaya. Tembakan di mana-mana. Dua lengan kasar mendekap tubuh Safrida. “Masyik…Masyik….” Ronta Safrida. “Beuk kapeulaku cucoe long….” Masyik berusaha menarik tubuh cucunya itu. Tapi tak daya sama sekali perempuan sepuh itu, sekali dihajar dengan badan senapan, langsung terjungkang ke tanah. “Kamu cantik juga, ya?” tentara itu membabi buta. “Bek…Bek….” Safrida menghiba-hiba. Meronta sejadi-jadinya. Tubuhnya makin jauh diseret ke semak-semak. “Barang bagus, ya?” “Ya nih…Tapi aku duluan ya…Ha…ha…” Setan itu terpingkal-pingkal. “Ayo sayang…” “Jangan….” Safrida menjerit panjang. Tak ada penolongnya. Safrida menimba lagi air di sumur. Air tadi kurang rupanya. Baju kotor baru beberapa pasang yang tersikat. Masih banyak sisanya. Ingin sekali Safrida mengakhiri hidupnya. Tak sanggup hidup dalam tabur derita. Mak dan Bapak dibunuh di depan mata. Gadisnya direnggut beramai-ramai. Tapi, suatu hari datang panglima GAM ke kampung. Berapi-api menerangkan jikalau orang kampung tak boleh tinggal diam. Hati Safrida panas bukan main. Dendamnya membara. Ia ingin menuntut balas. Safrida naik gunung. Bergabung dengan Pasukan Inong Balee. Mendapat latihan militer yang dilatih mualim. Ternyata banyak dara seperti Safrida yang bergabung. Nama pasukan itu diubah. Tak lagi inong balee, tapi Askariyah. Berbulan-bulan Safrida di gunung. Tiap hari latihan berat. Tangannya kasar bukan main. Mengokang senjata bukan hal baru. Sudah mahir menggunakan senjata. Safrida terkenal pemberani di pasukan Askariyah. Paling sering terlibat perang langsung dengan serdadu pemerintah. Bahkan tembakannya jitu. Banyak mematikan pasukan musuh. Safrida begitu terbakar semangat bila ingat wajah Mak dan Bapak. Wanita itu berubah licin dan berbisa. Berbagai cara ditempuh untuk menghabisi nyawa serdadu pemerintahan. Wajahnya yang memikat tak jarang jadi tameng. Digoda dan diajak ke tempat terasing. Lalu diracuni setiba di sana. Bukan sekali-dua kali berhasil menyisipkan bom di pos tanpa dicurigai sedikit pun. Mendadak nama Safrida menjadi tenar. Ia disejajarkan dengan petinggi-petinggi GAM yang sama beracunnya. Penyisiran dilakukan besar-besaran untuk mencari perempuan bernama Safrida. Di pedalaman hutan bakau Manyak Payed, Safrida dilantik oleh panglima menjadi komandan pasukan Askariyah karena berprestasi tinggi. Dendam Safrida masih membuncah. Dendam itu bukannya mengendur. Seolah tangannya gatal bila tak menghabisi nyawa serdadu pemerintahan sehari saja. Ia begitu puas ketika melihat tubuh musuh bersimbah darah. Selesai juga Safrida menyikat semua baju kotor. Pekerjaan selanjutnya membilas baju-baju itu dengan air. Langit kelam pelan-pelan. Mata Safrida menengadah ke langit. Ia waswas bila hujan turun. Keadaan terdesak. Panglima Sagoe Manyak payed, Galinggeng, menyerahkan diri ke pasukan RI. Safrida tak bisa percaya itu! Padahal Safrida lagi semangat-semangatnya. Kata panglima sagoe, perjuangan GAM sudah melencang dari syariat. Ah, benarkah itu? tanya hati Safrida. Safrida dan anak buah Askariyahnya dalam posisi terjepit. Tertangkap tinggal menunggu waktu. Bencana. Galinggeng pasti akan memberitahukan tempat persembunyian mereka. Safrida kalut tak terkira. Akhirnya mereka ikut menyerah. Tapi dendam kesumat tak raib. Bagusnya menyerahkan diri, ia dan anak buahnya itu dibebaskan beberapa minggu kemudian. Dikembalikan ke kampung masing-masing dengan penjagaan ketat. Rosmawati lewat dengan menggamit lengan dua anaknya. Kembali Safrida menyaksikan kejadian itu dengan menelan ludah. Enak sekali bisa menjadi ibu dan punya anak, lirihnya. Nampak Safrida di sumur, Rosmawati berhenti di balik pagar dan menyapa. “Aceh ka damai Da, seunang that hatee long….” Rosmawati melempar senyum dan berlalu karena anaknya merengek minta dibelikan kue. Kepala Safrida terangguk paksa, tapi hati dan jiwa menolak keras. Ini tak damai untuk Safrida! Damai ini tak berarti apa-apa. Damai ini tak bisa membuat gadisnya kembali. Ketakutannya karena diperkosa tak raib. Mak dan Bapak tak juga kembali. Damai ini tak bisa membuatnya bisa peroleh suami dan anak yang diidamkan lama. Enak saja pemerintah mengira, dengan teken janji damai, semua akan kembali laik semula. Bagaimana harus seorang inong balee mengembalikan suaminya? Sang ibu harus berbuat apa untuk menghidupkan tujuh anaknya yang sudah dibunuh? Bagaimana harus menghilangkan memori ketika melihat tubuh orang yang dicintai ternyata sudah tak berkepala lagi dan didapati melayang-layang di krueng? Dara harus bagaimana untuk membuat perawannya kembali setelah direnggut tragis? Damai itu hanya di selembar atau beberapa kertas. Sementara perih jiwa di sekujur tubuh. Sembuhkan luka itu? Safrida bisakah berdamai dengan duka di sekujuran tubuh? Safrida akan menjemur baju di pagar besi meunasah. Terdengar suara-suara tertawa dari keudee Tengku Banta Manyang. Langit kian kelam. Tak lama, butiran menitik satu persatu. Safrida cemas. Bajunya alamat tak kering. Catatan: – Askariyah : Sebutan pasukan perempuan GAM. Pada awalnya dinamakan Inong Balee, tapi belakangan, karena anggota dari pasukan ini bukan berasal dari inong balee saja (janda), tapi juga banyak gadis-gadis, makanya namanya diganti menjadi askariyah. – rumoh inong: Rumoh Inong (rumah induk). Letak ruangan ini adalah di antara serambi depan dan serambi belakang. Posisinya lebih tinggi dibanding kedua serambi tersebut. Rumah induk ini terbagi menjadi dua kamar. Keduanya dipisahkan gang atau disebut juga rambat yang menghubungkan serambi depan dan serambi belakang. – keudee: Kedai. – beranti-anti: saling rebut-rebutan. – kanot: panci. – Ka damai geutanyoe, Da: Sudah damai, kita Da – Bacut lagi, mantong kalang nyoe: Sedikit lagi, masih banyak dakinya. – Rumoh dapu: Rumoh-dapu (dapur). biasanya, letak dapur pada rumah tradisional Aceh itu berdekatan atau tersambung dengan serambi belakang. Lantai dapur sedikit lebih rendah dibanding lantai serambi belakang. – u: ke. – Aceh ka damai Da, seunang that hatee long: Sudah damai Aceh Da, senang sekali hatiku. – Seulasa: Teras. – Krong padee: Lumbung padi—tempat penyimpanan padi dan lazimnya terletak di bagian bawah rumoh Aceh.
""Safrida Askariyah""
Hampir selama 30 tahun, sepasang mata yang seakan memancarkan api kebencian itu selalu mengikuti aku pergi. Selama itu pula membuatku nyaris menjadi gila. Dengan mengikuti bimbingan seorang kiai, akhirnya aku bisa menganggap tidak ada kehadiran sepasang mata itu, meskipun masih selalu mengikuti aku. Adanya lintang kemukus yang muncul di langit dini hari adalah benar-benar pertanda alam akan adanya pageblug. Dan 40 hari kemudian, ternyata perang saudara meledak. Tidak hanya di daerah kami, malahan di seluruh negeri, sejak terdengar berita terbantainya para jenderal di sebuah lubang sumur di pinggiran kota Jakarta. Setahun kemudian, suatu malam, aku dan Mulyono, sahabat karibku, bersama regu ronda dengan komandan Mas Parman, seorang pimpinan gerakan pemuda, mendapat tugas rutin dari aparat yang sungguh tidak kami harapkan. Yakni tugas sebagai tukang kubur. Berpuluh-puluh orang diturunkan dari truk di tengah kebun jati, dengan kedua ibu jarinya diikat kawat. Setelah ikatannya dilepas, di bawah ancaman tendangan dan pukulan pistol, setiap empat orang diharapkan menggali sebuah lubang selebar dua meter. Akhirnya mereka diharuskan berjongkok menghadap lubang, dan dentuman-dentuman pistol bergema. Kami memejamkan mata atau melengos ke samping. Hanya Mas Parman yang tampak tegar melihat eksekusi ini. Tugas kami berikutnya adalah mengubur mereka, meratakan gundukan tanah dengan sekop dan cangkul yang sudah tersedia. Satu lubang untuk empat jenazah. Kami kerjakan dengan mulut rapat dan memang harus bungkam meskipun mayat-mayat itu kami ketahui adalah tetangga atau kerabat kami. Kalau tidak, mungkin kami bernasib seperti mereka. “Kalian harus jadi orang tangguh dalam keadaan seperti ini. Bayangkan! Kalau mereka menang, akan jadi apa kita?! Kita pun akan disembelih seperti para jenderal itu,” nasihat Mas Parman kepada kami. Malam-malam seterusnya adalah malam kematian. Kehidupan hanya sebatas jangkauan lampu minyak yang tergantung di gardu ronda. Selebihnya adalah gelap semata. Di gardu jaga, kami lebih banyak diam berselimut sarung, meringkuk dan merapat ke dinding. Binatang malam pun tak terdengar suaranya. Warga kampung juga lebih menyukai mematikan lampu dan bersembunyi dari ketakutan ke dalam kegelapan. Hanya Mas Parman yang selalu siaga mondar-mandir di depan gardu. Suatu kali, kata sandi yang kami terima dari kelurahan adalah rokok-kelembak. Adalah tugas kami para pemuda yang memperoleh giliran jaga untuk mencegat siapa saja yang keluar malam hari dan menegurnya dengan kata sandi rokok. Bila tidak menyahut dengan kata kelembak, kami berhak memukulinya dan menyerahkan ke aparat setempat. Menjelang tengah malam, terlihat seorang berjalan terbungkuk-bungkuk melintas di depan gardu kami sambil membawa upet sebagai penerang jalan. “Stop! Rokok!” teriak Mas Parman. Ternyata orang itu adalah Mbah Warso yang kami kenal sebagai penggali sumur di kampung kami. Dia kaget dan tergagap. Dia keluarkan sebungkus rokok keretek dari sakunya, sambil katanya: “Rokok Man? Nih!” Tapi uluran tangannya ditepis oleh Mas Parman hingga rokoknya terpental. “Dari mana kamu!” tanya Mas Parman garang. “Dari jagong bayen, Man…” jawab Mbah Warso terheran-heran. Tiba-tiba, plak! Mas Parman menampar muka Mbah Warso dan perintahnya kepada kami: “Tangkap! Bawa ke markas!” Kami tidak berani membantah, meskipun kami tahu bahwa mungkin Mbah Warso lupa atau tidak tahu sandi kampung kami. Kami yang tidak tega dengan nasib Mbah Warso, segera meninggalkannya di markas, sementara Mas Parman tampaknya senang menikmati raungan orang kesakitan dan rintihan menyayat orang minta ampun. Beberapa hari kemudian, setengahnya aku protes terhadap penangkapan Mbah Warso terhadap Mas Parman, tapi ujarnya dengan keras, “Dia adalah salah satu saksi mata dan mungkin antek mereka! Berapa banyak dia menerima pesanan menggali sumur dari siapa-siapa yang menggunakan galiannya seperti di Lubang Buaya.” Hatiku berdesir, saya mengetahui bahwa ternyata Pak Hardi, tetangga saya, aktivis partai, juga membuat galian sumur di belakang rumahnya, meskipun sudah memiliki sumur di samping rumah. Bukan tidak mungkin aku pun akan menghuni galian itu apabila mereka menang seperti kata Mas Parman. Malaikat maut tampaknya semakin menebarkan sayapnya. Perlawanan dari pihak yang terburu bermunculan pula, mungkin lantaran terdesak. Suatu malam, rumah Pak Karto, warga desa sebelah, terbakar. Pak Karto adalah sebuah aktivis sebuah partai pula yang gencar memburu dan mendata siapa saja anggota partai terlarang yang harus ditangkap. Dia diketemukan, ya Allah, hangus di bawah reruntuhan rumahnya dengan dua paku besar menancap di kiri kanan pelipisnya seperti tanduk! Konon yang melakukan adalah anaknya sendiri. Hatiku ngilu! “Kamu lihat!” kata Mas Parman kepada kami. “Mereka mau menantang. Darah harus dibayar darah! Utang nyawa dibayar nyawa.” Kemudian dia mengeluarkan secarik kertas dari sakunya. “Dan ini mereka-mereka yang harus diciduk malam ini!” Dari mana Mas Parman mendapatkan daftar itu, kami tidak pernah tahu. Bersama jagabaya, Mas Parman bagaikan panglima perang, bersenjatakan pedang, memimpin kami menggedor pintu rumah dan menyeret para lelakinya. Kalau orang yang dicari sudah terlanjur kabur, yang ada di rumah sebagai gantinya. Para istri atau para kakek pun diciduk pula tanpa ampun. Termasuk Mbak Sri yang sedang hamil tua. “Mereka sangat diperlukan untuk interogasi, ke mana mereka yang masih jadi buronan?!” ujar Mas Parman, sebelum aku berniat protes. Di markas, dalam ruang pemeriksaan yang sempit, tampak di dinding dan di beberapa tempat, ada bekas-bekas cipratan darah. Dengan lampu remang-remang, tempat ini lebih meniupkan aroma ruang siksa daripada ruang pemeriksaan. Mas Parman sibuk menyiapkan alat pembangkit listrik yang kabelnya semrawut dengan ujung telanjang. Bayangan menyeramkan membuat kepalaku berkunang-kunang. Ketika kemudian para tawanan bergiliran dipanggil ke dalam, kemudian terdengar bentakan suara Mas Parman dan kemudian terdengar raungan menyayat orang kesakitan, perutku jadi terasa mual dan aku pun muntah-muntah. (Kudengar beberapa waktu kemudian, Mbak Sri meninggal di tahanan dengan benjolan-benjolan memar di sekujur tubuhnya). Semakin lama tugas kami semakin berat. Kecuali siap siaga siang malam, hampir setiap tengah malam kami harus mengubur berpuluh-puluh mayat. Bahkan kamilah yang menggali kubur apabila yang datang sudah menjadi mayat. Bila sudah begini, kepalaku semakin berkunang-kunang, peluh dingin membuatku menggigil, perut mual, muntah-muntah, dan tidak jarang jatuh tak sadarkan diri. Juga Mulyono, kalau bertugas mengubur mayat, peluh dingin membasahi dahinya, tangannya gemetar, serta suka menggigit bibirnya sampai berdarah-darah. Oleh karena itu, Mas Parman menyuruh aku dan Mulyono istirahat cuti beberapa hari di rumah. Tinggal seharian di rumah inilah, kusempatkan untuk menyadap berita bisik-bisik dari para tetangga bahwa banyak korban tidak bersalah dan tidak tahu apa-apa. Betapa murahnya nyawa, ujar Mulyono. Hanya dengan dendam pribadi, kecemburuan, terlibat utang, atau ingin merebut istri orang, seorang bisa menjadi korban hanya dengan bisikan fitnah. (Jangan-jangan Mbak Sri juga termasuk korban, karena setahuku dia pernah menolak cinta Mas Parman). Rupanya api dendam telah membakar seluruh rakyat. Penangkapan warga terhadap warga sendiri yang dicurigai mempunyai indikasi, mulai merebak. Yang kusaksikan kemudian adalah keadaan tak terkendali. Baku curiga, baku tuduh, baku fitnah, dan baku bantai antara warga sendiri. Rupanya Mulyono juga mempunyai perasaan seperti aku. Kerap kali kami menghindar dari tugas itu dengan berbagai alasan. Bahkan kami pernah sembunyi di dalam hutan beberapa lama karena mencoba berpikir waras untuk melawan kengerian yang juga bisa membuat kami sekarat. Karena itu, aku sempat digelandang Mas Parman ke balai desa. Di depan warga ia berucap dengan berang, “Jangan jadi orang banci! Dasar anak yatim, kalau bukan sepupuku sendiri, sudah aku ciak kamu!” Kutahan perasaan untuk tidak menangis mendengar caciannya. Kulihat Mas Parman semakin garang dengan seragam kesatuan pemuda loreng-loreng seperti tentara dengan sepucuk pistol terselip di pinggang. Rupanya selama kami absen, teman-teman lain mendapat latihan menembak. Sulit kubayangkan bahwa kami juga ditambahi tugas semakin berat sebagai eksekutor, mengingat semakin gawatnya perang saudara. Kemarin ditemukan banyak mayat ditenggelamkan di sebuah rawa sehingga beberapa waktu hasil pertanian kangkung di rawa tersebut tidak laku dijual. Peristiwa itu menyusul setelah adanya penangkapan besar-besaran oleh aparat terhadap ratusan pemuda yang ingin menjarah persenjataan di gudang senjata di pusat pendidikan prajurit di kota kami. Dan malapetaka itu pun terjadi. Setiap malam, berpuluh tahanan dibawa ke sungai pasir di lereng gunung merapi. Mas Parman memaksaku untuk menghabisi Marjo, pemuda tetanggaku yang selalu berseragam hitam dengan sapu tangan merah di lehernya. Dengan tangan terikat, dia harus menghadap lubang galian pasir. Aku siap dengan pistol di belakangnya. Terdengar aba-aba siap. Peluh membasahi telapak tanganku. Badanku menggigil. Kepalaku berkunang-kunang. Perutku mual, mau muntah… “Tembaaak!” teriak aba Mas Parman. Tiba-tiba Marjo berbalik menghadapku bersamaan dengan tekanan pelatuk pistolku. Matanya menatapku tajam. Tepat di dadanya muncrat darah mengenai mukaku. Jantungku seperti terhenti, kemudian hanya kegelapan menerpa pandanganku… Dan kemudian yang tersisa hingga sekian lama adalah tatapan mata Marjo yang selalu mengikutiku. Kartu lebaran yang kuterima dari sahabatku, Mulyono, membuatku menghabiskan masa liburan ini di kota kelahiran bersama keluargaku, setelah hampir tiga puluh tahun ingin kulupakan. Mulyono yang sudah jadi dokter dan baru pulang haji menyambutku dengan pelukan dan tangis. Pengalaman masa lalunya juga tak jauh berbeda denganku. Jiwanya juga pernah terguncang sewaktu menghabisi seorang tawanan. Tidak dengan pistol melainkan dengan parang. “Kamu tahu, Aryo,” ceritanya. “Setelah aku lulus dan mulai praktik, beberapa kali aku kedatangan pasien yang sama. Lelaki kurus, pucat, dan bermata cekung. Setiap kutanya sakit apa, dia buka bajunya dan tampak perutnya robek menganga dengan usus yang terburai. Sesudah itu aku tak tahu dia pergi karena aku pingsan. Hingga aku pun juga hampir jadi gila. Tapi sekarang aku tenang, setelah bisa aku atasi dengan tekun beribadah.” “Sekarang Mas Parman di mana ya?” tanyaku. Cepat dia jawab dengan pandangan aneh seperti mengandung rahasia. “Oh ya, kau harus tengok dia. Dia sempat diangkat jadi camat. Sekarang dia sakit. Beberapa kali dia dibawa kemari. Dia sekarang tinggal di desa kelahirannya sana!” Mas Parman masih segar ingatannya saat kutemui. Dia merangkulku sambil menepuk-nepuk punggungku. Kami mengobrol ke sana kemari tentang Jakarta dan tentang jabatan camat yang dia peroleh setelah kekacauan usai. Ketika aku berbasa-basi mengucapkan terima kasih bagaimana dia dulu telah menggemblengku jadi orang tegar, tiba-tiba dia meringkuk sambil merintih kesakitan. Seluruh tubuhnya mendadak penuh benjolan-benjolan memar seperti habis disengat listrik. Aku pun panik. Akan kugotong dan kubawa ke dokter, tetapi istrinya tampak tenang saja. “Tidak apa-apa, biar saja Mas,” ujarnya, “sejak jadi camat, penyakit aneh ini selalu timbul ketika diingatkan tentang masa lalunya. Tapi saat hendak dibawa ke dokter, penyakitnya selalu hilang dengan sendirinya.” Ah, masa, pikirku. Dengan setengah memaksa, kubawa dia dengan mobil ke tempat Mulyono. Begitu sampai di depan pintu ruang praktiknya, mendadak penyakit Mas Parman hilang dengan sendirinya. Rintihannya berhenti dan wajahnya penuh ketidakmengertian. Mulyono keluar. Senyumannya aneh menyambut kami… Klaten, 2003 Catatan: Lintang kemukus: meteor berekor asap Pageblug: musim kematian manusia Upet: tali bambu kering yang dibakar ujungnya Jagong bayen: menghadiri selamatan kelahiran bayi Jagabaya: aparat keamanan kelurahan Diciduk: ditangkap Ciak: makan Rokok kelembak: rokok berbumbu menyan
""Cerita tentang Orang Mati yang Tidak Mau Masuk Kubur""
Ibu semakin jarang berbicara. Suaranya terbenam entah di mana. Tidak ada lagi dongeng, dan tidak ada lagi candanya. Semua lenyap. Hanya kini, suara-suara keluar dari tangannya. Apa saja yang dipegangnya selalu berisik. Kadang aku mengira, gempa susulan terjadi lagi. Terutama ketika ia sedang berada di dapur. Seperti pagi ini. Aku bangun karena suara berisik dari dapur darurat yang terletak di dekat rumpun pohon pisang. Suara air yang dimuntahkan ke panci. Suara kayu bakar yang sedang dibelah. Suara-suara juga muncul dari tangan ibu ketika memarut kelapa atau memotong sayuran. Dan yang sering sekali membuat tubuhku begitu terasa dingin, ketika air dibiarkan mendidih terlalu lama. Mengeluarkan suara yang sangat menakutkan. Bergemuruh, seperti dulu ketika gempa besar terjadi. Aku segera keluar dari tenda. Bapak sedang merokok dan menikmati kopi di dekat kamar mandi darurat, di dekat pohon mangga. Ia sedang mengantre mandi. Sebentar lagi, bapak akan pergi untuk kerja bakti. Kemarin ikut membangun masjid, kemarinnya lagi membangun sekolah, hari ini akan membangun balai dusun. Begitu terus, bergiliran. Tiga kali dalam seminggu. Di dalam kamar mandi darurat, kakak laki-lakiku sedang mandi. Hari ini, ia akan pergi berdemonstrasi. Kemarin ia sudah membayar lima belas ribu untuk ongkos menyewa truk. Semalam ia tidak tidur di rumah. Ia tidur di posko, latihan pidato dan mengecat spanduk. Sementara kakak perempuanku sedang bersiap-siap akan pergi. Ia sedang becermin di dalam tenda. Pagi ini, ia akan pergi ke kota, ikut pelatihan. Hanya ibu yang ditinggal sendiri. Ia seperti biasa, pagi memasak, siang memasak, sore memasak. Kadang diselingi dengan membakar sampah di kebun. Kadang juga, harus membawa Maisaroh, adik perempuanku, pergi ke posyandu. Seperti biasa, hari ini, aku harus pergi ke sekolah. Sudah beberapa bulan ini, aku sebetulnya malas ke sekolah. Aku harus bersekolah di dalam tenda yang panas. Dan debu selalu beterbangan di dalam ruang kelasku karena berlantai tanah. Tapi aku sedikit gembira karena ingat bahwa sore nanti akan ada kegiatan di posko anak. Pasti ada acara menggambar dan menyanyi. Lalu mendapat permen atau roti. Kadang juga mendapat buku atau topi. Kakak laki-lakiku sudah keluar dari kamar mandi. Ia menyanyi pelan. Suaranya serak. Mungkin karena terlalu banyak demonstrasi dan terlalu sering bernyanyi keras-keras di posko pemuda. Kakak laki-lakiku dan teman-temannya tidak disukai Pak RT dan Pak Dukuh. Ia dan teman-temannya sering mendatangi Pak RT dan Pak Dukuh untuk protes. Setelah itu sering juga mendatangi Pak Lurah dan Pak Camat. Katanya, sebentar lagi, ia dan teman-temannya akan mendemo Pak Bupati. Setiap kali pergi, ia minta uang ke ibu. Kalau tidak ada demonstrasi, ia hanya minta uang lima ribu untuk beli rokok. Tapi kalau ada demonstrasi, ia minta uang dua puluh ribu, untuk ongkos demonstrasi dan uang untuk rokok. Bapakku masuk ke kamar mandi setelah membuang rokok di tangannya yang hampir habis. Ia sering menggerutu. Ia belum bisa bekerja karena bisnis bosnya ambruk gara-gara gempa. Ia ingin membangun rumah tetapi tidak ada biaya. Ia ingin bekerja lagi, tapi tidak tahu kerja apa. Akhirnya setiap tiga hari dalam seminggu, ia harus ikut kerja bakti. Karena itulah, ia semakin sering menggerutu. Kata bapak, enak menjadi orang yang sudah bekerja lagi, sebab tidak perlu ikut kerja bakti. Sementara yang belum bisa bekerja lagi seperti bapakku, tetap harus kerja bakti. Kalau tidak kerja bakti, menjadi omongan tetangga. Tetangga sebelah rumahku datang. Ia istri Pak RT. Beberapa hari yang lalu, ia bercerita sambil menangis kepada ibuku. Ia bilang, tidak enak menjadi ketua RT. Kalau ada apa-apa, warga marah ke suaminya. Padahal menjadi RT tidak ada bayarannya. Bu RT pernah bercerita, dulu suaminya disuruh mendata jumlah rumah yang roboh bersama beberapa petugas dari kabupaten. Mereka harus bekerja cepat, kalau tidak, atasan mereka akan marah. Setelah data terkumpul, bantuan tidak juga datang. Warga mulai marah. Ketika bantuan turun, ternyata bukan bantuan untuk rumah yang roboh. Melainkan bantuan beras dan uang lauk-pauk. Pak RT kena marah lagi. Kata warga, yang tidak bisa makan bukan hanya orang yang rumahnya roboh saja. Bu RT hanya bisa menangis mendengar suaminya dimarahi warga. Anak perempuan tertua Pak Dukuh juga sering datang ke rumahku. Ia juga sering menangis di depan ibuku. Menjadi Pak Dukuh tidak enak, katanya. Saat banyak bantuan datang, orang-orang melihat bantuan itu jumlahnya besar sekali. Tapi Pak Dukuh harus membagi rata ke semua warga. Sampai di warga jumlahnya menjadi tidak seberapa. Warga marah dan mengira Pak Dukuh korupsi. Saat sudah tidak ada lagi bantuan yang datang, warga juga marah. Mereka bilang, Pak Dukuh tidak bertanggung jawab terhadap kehidupan warganya. Saking kesalnya, Pak Dukuh ingin meletakkan jabatannya. Tapi ia dimarahi atasannya. Mendengar cerita seperti itu, ibu hanya diam. Paling-paling ia hanya bilang ke istri Pak RT dan anak perempuan Pak Dukuh supaya bersabar. Bu RT dan anak perempuan Pak Dukuh juga tahu, kakak laki-lakiku ikut mendemo Pak RT dan Pak Dukuh. Tapi mereka tidak pernah membicarakannya. Bapak selesai mandi, dan aku masuk ke kamar mandi. Ketika hampir selesai mandi, aku mendengar Maisaroh menangis. Aku cepat-cepat keluar dari kamar mandi. Maisaroh menangis sambil tersengal. Wajahnya pucat. Tubuhnya dingin sekali. Hampir setiap pagi, Maisaroh selalu menangis. Biasanya ia menangis kalau ada gempa susulan, atau kalau ada mobil lewat di jalan dekat tenda kami. Kali ini Maisaroh menangis karena baru saja ada sebuah truk besar yang lewat. Maisaroh terbangun dari tidurnya dan menangis. Ia mengira ada gempa susulan. Ibu menyusul masuk ke dalam tenda. Kemudian membujuk Maisaroh agar diam. Ibu memintaku agar cepat sarapan dan pergi ke sekolah. Aku ingin bilang ke ibu, aku tidak usah saja pergi ke sekolah pagi ini. Aku ingin menjaga dan menemani Maisaroh bermain. Tapi aku tidak berani bilang seperti itu. Sepulang dari sekolah, aku bertemu dengan bapak di tengah jalan. Ia sedang menurunkan bambu batangan dan gedek bambu dari sebuah truk besar. Mobil itulah yang membuat Maisaroh terbangun dari tidur dan kemudian menangis, pagi tadi. Sambil lewat di sela-sela orang yang sedang menurunkan barang, aku mendengarkan pembicaraan mereka. Orang-orang ribut. Akan ada pembagian gedek dan bambu untuk rumah sementara. Tapi bahan itu tidak cukup untuk seluruh warga. Di tepi jalan yang lain, Pak Dukuh sedang berbicara dengan orang-orang berpakaian necis. Orang-orang kemudian ikut merubung Pak Dukuh dan orang-orang necis itu. Suara-suara semakin terdengar keras. Aku takut. Aku lari ke rumah. Tubuhku terasa dingin sekali. Sesampai di rumah aku melihat Maisaroh bermain sendiri. Aku kangen kepadanya. Ia tersenyum kepadaku. Aku menggendongnya. Sambil menggendong Maisaroh aku mencari-cari ibu. Ibu tidak ada di dalam tenda. Ia juga tidak ada di dapur darurat. Ternyata ibu sedang di kebun belakang. Melihat api yang membakar tumpukan sampah dengan diam. Aku tidak berani menyapanya. Aku balik ke dekat tenda, lalu mencari nasi untuk menyuapi Maisaroh. Siang itu, bapak pulang membawa beberapa batang bambu dan beberapa lembar gedek. Siang itu juga ia mulai memasang tiang-tiang bambu. Menjelang sore, aku siap berangkat ke posko anak. Aku mengajak Maisaroh ke sana. Siapa tahu ia juga bisa mendapat permen. Sesampai di posko suasana masih sepi. Mbak Dane dan Mas Gandung, dua orang kota yang mengajari kami menyanyi dan menggambar, sedang berbincang-bincang di bawah pohon sawo. Lalu ada beberapa anak, termasuk Anto, ketua kelasku, terlihat sedang berkejar-kejaran. Setiap pelajaran menyanyi, Anto tidak mau menyanyi lagu-lagu yang diajarkan oleh Mbak Dane dan Mas Gandung. Anto selalu menyanyi lagu pilihannya sendiri. Ia selalu menyanyi lagu Radja. Setiap pelajaran menggambar, Anto juga tidak mau menggambar sesuai permintaan Mbak Dane dan Mas Gandung. Anto selalu menggambar kupu-kupu yang membentuk kata: Slank. Aku paling tidak suka kalau ada acara menyanyi dengan cara maju satu per satu. Anak yang berani maju lebih dulu, pasti kebagian lagu yang bagus-bagus. Aku yang tidak berani maju lebih dulu, hanya kebagian lagu anak-anak. Aku tidak mau nyanyi lagu anak-anak. Aku sudah kelas tiga SD. Seperti kemarin, ketika aku ingin menyanyi lagu Buaya Darat, tiba-tiba Rina maju dan menyanyikan lagu itu. Aku lalu berpikir untuk menyanyikan lagu lain, setelah ketemu, tiba-tiba Yanti maju dan langsung bernyanyi dengan keras lagu yang sudah kupikirkan, “Bang sms siapa ini, Bang….” Aku lalu berpikir untuk menyanyi lagu Radja. Tapi Anto sudah mulai bernyanyi-nyanyi kecil, bersiap-siap untuk menyanyikan lagu itu. Aku mencari lagu-lagu lain yang kuhafal, lalu aku ingat lagu Peterpan. Baru saja aku merasa lega, Amin sudah maju dan menyanyikan lagu pilihanku. Akhirnya, ketika tiba giliranku, aku hanya punya satu pilihan lagu: Topi Saya Bundar. Dan semua anak menertawaiku. Akhirnya semua anak telah berkumpul. Acara dimulai. Sore ini, aku memberanikan diri untuk maju lebih dulu. Tapi ketika akhirnya aku maju, Maisaroh menangis. Ia tidak mau kutinggal untuk maju ke depan. Akhirnya, aku hanya melihat teman-temanku menyanyi lagu-lagu kesukaan mereka. Tangan ibu semakin sering mengeluarkan suara. Sementara, suara mulutnya semakin lenyap. Hanya kadang-kadang saja ia berbicara kepadaku atau kepada Maisaroh. Selebihnya ia hanya diam. Bahkan semakin jarang pula bicara kepada kakak perempuanku. Ia juga masih sering didatangi Bu RT dan anak tertua Pak Dukuh. Bapak semakin sibuk memasang rumah gedek kami. Sudah berhari-hari tetapi rumah itu tidak juga jadi. Suatu saat, aku mendengar bapak bicara kepada seorang tetangga, kalau cepat selesai membuat rumah nanti disuruh cepat kerja bakti lagi. Kakak laki-lakiku masih sering tidur dan nongkrong di posko pemuda. Ia tetap rajin mengecat spanduk dan pergi demonstrasi. Kadang-kadang saja ia pulang untuk meminta uang kepada ibu. Tapi terakhir kali ia meminta uang, ibu mencopot kalungnya dan memberikan kepada kakak laki-lakiku. Kakak laki-lakiku diam. Ia tidak menerima kalung itu. Ia pergi. Tapi ketika berada di dekat dapur, ia menendang panci masak keras sekali. Sampai Maisaroh menangis lagi. Dan aku segera mendekap dingin tubuh Maisaroh. Kakak perempuanku semakin sering pergi pelatihan. Kalau Pak Dukuh datang, atau ketua karang taruna datang, berarti sebentar lagi pasti kakak perempuanku pergi untuk ikut pelatihan. Setiap pulang dari pelatihan, ia selalu bercerita tentang tempat yang bagus dan makanan yang enak. Ia juga sering berkata kalau bertemu dengan banyak orang-orang pintar dan kaya. Kakak perempuanku ingin seperti mereka. Kalau tidak ada pelatihan, kakak perempuanku pergi keliling kampung sambil membawa spidol besar dan kertas-kertas lebar. Anak laki-laki di kampungku memberi nama baru bagi kakak perempuanku. Nama asli kakakku, Siti Hadijah. Kini, pemuda-pemuda kampung memberi julukan: Siti Partisipasi. Malam ini, aku tidur bertiga di dalam tenda. Tiba-tiba aku mendengar suara sesenggukan. Aku menoleh pelan, mencari sumber tangisan. Ibu menangis. Aku diam. Takut. Tubuhku terasa dingin. Tapi semakin lama, tangisan ibu semakin mengencang. Tubuhnya terguncang hebat mencoba meredam tangis. Aku mendekap Maisaroh. Mencoba menutupi kepalanya dengan selimut agar tidak mendengar suara tangisan ibu. Tapi Maisaroh malah terbangun. Karena takut Maisaroh tahu ibu sedang menangis, aku segera menggendong Maisaroh keluar dari rumah. Beruntung Maisaroh seperti mengerti apa yang sedang kami alami. Ia diam. Ia bahkan terasa ringan di gendonganku. Di depan rumah, bapak duduk diam sambil kemulan sarung. Ia diam ketika melihat aku menggendong Maisaroh. Ia tetap diam melihat aku melangkah ke jalan kampung. Aku bingung hendak ke mana. Kakak perempuanku seperti biasa sedang tidak ada di rumah. Ia sedang ikut pelatihan. Aku menuju ke posko kampung. Di sana penuh dengan pemuda kampung yang sedang bernyanyi. Semakin mendekati posko itu, aku langsung mual dengan bau menyengat, seperti bau bensin. Begitu kakak laki-lakiku tahu aku datang bersama Maisaroh, ia segera berteriak menyuruhku pergi. Matanya merah, suaranya serak. Aku pergi ke posko anak. Di sana sepi sekali. Akhirnya aku memutuskan untuk tidur di sana. Tetapi baru saja mendekati posko anak itu, aku mendengar suara-suara aneh. Suara dengus napas, rintihan dan kecipak mulut. Pelan aku mengintip ke dalam ruangan. Dalam temaram malam, aku melihat dua orang, sedang bertengkar dan saling menggigit. Aku takut sekali. Mbak Dane dan Mas Gandung sedang bertengkar dan saling menggigit. Aku lalu berlari menjauhi posko anak. Akhirnya aku berlari ke arah sawah. Maisaroh tetap diam. Sesampai di pinggir sungai kecil, aku berhenti. Meletakkan Maisaroh ke tanah. Maisaroh diam. Dalam temaram cahaya bulan, aku melihat mata Maisaroh berkedip-kedip pelan. Ia memandangku, aku memandangnya. Tiba-tiba aku ingin menangis. Lalu aku memeluk Maisaroh. Tubuhnya dingin. Tubuhku juga terasa dingin. Semua terasa dingin. Ini kali pertama aku menangis tanpa mengeluarkan suara.
""Di Sini Dingin Sekali""
Seorang petani uzur, di desa kaki gunung, menghabiskan 90 tahun, seluruh hidup, untuk bercocok tanam. Ia lahir di gubuk tengah sawah, di sebelah lenguh sapi dan kotek ayam. Usia sembilan bulan ia diajak ke ladang oleh ibunya memetik cabai. Masa kanak-kanak, remaja, dewasa, kawin, beranak cucu dan bercicit, ia lakoni sebagai petani. Ia sungguh-sungguh petani tulen, nyaris di sawah sepanjang pagi, sore, petang, acap kali malam, kalau menjaga air untuk mengairi sawah yang tengah disemai padi. Suatu pagi, petani itu memetik tomat di ladang. Dengan tangan keriput, napas tersengal, ia angkat sekeranjang tomat ranum itu ke gubuk. Siang nanti cucu perempuannya akan mengambil tomat itu, dijual ke pasar esok pagi. Petani itu merasa nyaman ketika angin bertiup semilir. Ia melepas baju kausnya yang lapuk berlubang-lubang, lalu merebahkan dirinya di balai-balai, dekat sapi yang tengah asyik memamah rumput. Beberapa ekor anak ayam bertengger di pagar bambu dan cabang-cabang pohon kelor. Ia tidur sangat lelap, terlalu lelap, sehingga tak mendengar panggilan cucunya. Ia tidak bangun ketika cucu itu menggoyang-goyangkan tubuhnya yang dingin. “Duh, Kakek meninggal!” seru cucunya tertahan berbalut sedih. Tentu tak ada yang istimewa seorang petani mati. Kentongan pun dipukul di bale banjar mewartakan seorang petani telah menyelesaikan darma baktinya di bumi. Orang-orang desa membuatkan petani itu joli, dari bambu, dengan sedikit hiasan dari kertas minyak warna-warni, untuk mengusung mayatnya ke kuburan. Dengan kesederhanaan, sesaji secukupnya, diiringi gamelan kelentangan, tiga hari kemudian jenazahnya dibakar, diaben, selepas tengah hari. Cicit, cucu, anak-anak, dan keluarga besarnya tenang-tenang saja menerima kenyataan petani itu mati. Sedih, mereka sedih, tapi itu biasa. Bahkan banyak kerabat berkomentar, memang sebaiknya ia meninggal, karena sudah tua renta, sebelum telanjur jadi beban bagi yang lain. Alkisah, roh petani itu dalam perjalanan menghadap Sang Pencipta. Kini ia tiba di tepi sungai yang sangat lebar. Tatkala ia bingung mencari akal untuk menyeberang, seekor buaya merangkak ke arahnya. Petani itu kaget ketakutan, berniat balik berlari, tapi buaya mendongakkan kepalanya, memandang tajam petani itu, seperti hendak bicara. Mata reptil itu berkedip sayu, memberi tanda ia tidak berniat mencaploknya. Si buaya membalikkan badan, bergerak mundur, menyerahkan punggungnya untuk dinaiki si petani. Mereka menyeberangi sungai berair sejuk itu dengan santai. Turun dari punggung buaya ketika sampai di tepi, petani itu komat-kamit mencakupkan tangan di dada menyampaikan terima kasih. Buaya itu berlalu, berenang ke tengah, dan menyelam. Sekarang, petani itu terbengong-bengong menatap hutan lebat di hadapannya. Seekor macan tiba-tiba muncul dari semak belukar, mengibas-ibaskan ekor. Petani itu paham, binatang berkaki empat kalau ekornya bergerak-gerak, pertanda menyampaikan salam bersahabat, seperti tingkah laku anjing-anjing yang pernah dipeliharanya. Macan itu menggerak-gerakkan kepala, membalikkan badan, memberi isyarat agar petani itu mengikuti langkahnya menerobos belukar. Mereka melewati padang ilalang, sebelum akhirnya tiba di depan sebuah gerbang. Burung-burung terbang berseliweran, sesuka hati hinggap di ranting-ranting pohon, setelah lelah terbang bebas berputar-putar. Jogor Manik mengelu-elukan kedatangan petani itu, memeluk dan menepuk-nepuk bahunya. Perjumpaan itu seperti pertemuan dua sahabat lama. “Aku bangga padamu!” ujar penjaga gerbang itu setengah berseru. Dipegangnya kedua pundak petani itu, memandangnya dari ubun-ubun hingga ke jari kaki. “Di bumi makin sedikit yang sudi jadi seperti dirimu, memilih jalan nestapa untuk menunaikan darma bakti.” Petani itu termangu. Rasanya ia pernah bertemu penjaga gerbang ini sekian kali. Rambutnya dikuncir, ceruk matanya jauh ke dalam, tapi bola mata itu besar bulat. Pipinya sedikit gembul, dengan hidung mungil, dagu lancip, dan bibir tipis melebar. O ya, petani itu bisa mengingatnya sekarang. Dalam banyak cerita, laki-laki ini dikenal sebagai penjaga surga yang sangar, gampang marah, suka membentak. Ia tak kenal ampun bagi roh jahat. Kisah-kisah itu ia dapatkan dari ayahnya. Sang ayah memperoleh dari ayahnya juga. Lalu petani itu menceritakan kisah Jogor Manik itu kepada anak dan cucunya. Kelak, mereka akan menceritakan kisah itu pula kepada anak-anak mereka. Kisah tegas dan galak Jogor Manik terus beranak pinak, berbiak dari zaman ke zaman. Tapi terhadap petani itu, Jogor Manik sangat bersahabat. “Mari, kuantar kamu ke surga!” ujarnya membimbing tangan petani itu. Tapi petani itu terpaku ragu. Mengapa begitu gampang masuk surga, kata hatinya. Selama ini orang harus selalu berbuat baik, menjalankan darma, agar bisa mencapai gerbang surga. Dan aku ini, apa keistimewaanku? “Hamba ini hanya seorang petani,” ujar petani itu gemetar. “Kamu berhak masuk surga, justru karena kamu petani.” Petani itu mengikuti langkah Jogor Manik dengan bingung dan bimbang. Menjelang gerbang, ia kaget bertemu seorang pendeta duduk termangu di bawah pohon sentul berbuah bulat kuning lebat. Petani itu kenal betul si pendeta. Dialah pendeta paling baik dan santun yang memberi pelayanan umat di desanya dan desa-desa tetangga. Dua puluh tahun lalu pendeta itu meninggal karena kelelahan terlalu sering memimpin upacara umat. Jika musim dewasa ayu, hari-hari baik melangsungkan upacara adat, sehari pendeta itu bisa memimpin upacara di empat tempat. Ia dijuluki pendeta laris. “Kamu kenal dia?” tanya Jogor Manik. Petani itu mengangguk, langsung menghampiri pendeta itu, bersimpuh, menghaturkan sembah takzim. Jogor Manik segera melarangnya, memaksa petani itu berdiri. “Di sini derajatmu lebih beruntung, tidak lebih rendah. Dia sudah sangat lama menunggu, tak pernah mendapat izin menembus gerbang surga.” Pendeta itu menghampiri Jogor Manik, menghaturkan sembah. “Maafkan kalau hamba lancang. Bagaimana mungkin seorang petani begitu gampang masuk surga, sementara hamba di sini menunggu puluhan tahun?” “Petani ini menyerahkan seluruh hidupnya untuk bercocok tanam, menghamba, dan mengasihi ibu pertiwi. Sejak lahir sampai mati dia petani. Dia bekerja tidak hanya untuk keluarganya, tapi bagi semua orang, termasuk dirimu.” “Hamba juga bekerja untuk banyak orang, menjadi pelayan umat.” “Tidak seluruh hidupmu untuk melayani. Sebelum jadi pendeta kamu guru, lalu berdagang, dan sempat jadi pengurus partai politik. Hidupmu dirasuki keinginan menguasai, tak pernah rela, jauh dari ketulusan. Karena itulah kamu sering mengeluh jika keinginan tak terpenuhi. Tapi petani ini tidak. Jika kemarau panjang, panas terik, ia tetap bekerja, tak pernah memaki. Ketika hujan lebat sehingga panen terhalang, petani ini tidak mengeluh. Jika tanaman rusak karena dirterjang air bah atau diserbu hama, ia tabah. Sama sekali tidak pernah ia menyalahkan alam. Yang ia lakukan adalah tetap berdoa, menghaturkan sesaji, dan tekun bekerja.” Jogor Manik memegang bahu petani itu, yang merunduk terus. Ia malu dipuji di hadapan pendeta yang pernah ia sanjung dan sembah setiap hendak menjemputnya untuk memimpin upacara di rumah-rumah tetangga di desanya. “Kalau begitu, apakah keliru hamba memilih hidup sebagai pendeta?” “Tidak ada pilihan yang salah sepanjang sanggup mempertanggungjawabkan. Tapi keliru jika setiap pilihan berhak masuk surga.” “Terus terang, hamba menjadi pendeta karena ingin masuk surga. Hamba pikir karena setiap hari bergelut dengan yang serba suci, terus-menerus memuja Sang Pencipta, seorang pendeta pasti menemui surga.” “Sudah takdirmu begitu. Tak seorang pun sanggup menolak takdir.” “Tapi hamba tetap ingin masuk surga. Apa harus hamba lakukan?” “Kamu punya pilihan, jadilah petani.” “Hamba bersedia.” Jogor Manik tercengang, nyaris tak percaya. “Sungguh kamu ingin jadi petani?” “Ya, jika itu jalan terbaik untuk masuk surga.” “Kamu harus jadi petani begitu kamu lahir. Hidupmu berlumur duka nestapa, miskin. Bajumu kaus oblong lapuk berlubang-lubang. Jika sakit kamu tak punya cukup uang untuk berobat ke dokter.” “Tapi hamba sering melihat petani kaya, menjual hasil panen mahal, banyak untung, bisa beli mobil, tak usah punya gerobak.” “Mereka itu pedagang, bukan petani. Mereka punya kesenangan dan kebanggaan menguras alam. Menjadi petani, kamu hidup selaras dengan alam, tidur di gubuk, di atas balai bambu, beralas tikar. Sehari-hari kamu berpeluh, kelelahan, sangat jarang bisa menikmati hiburan. Kamu memilih jalan nestapa untuk menuntaskan darma bakti. Jika mati, tidak ada keistimewaan buatmu. Mayatmu dibakar dengan sesaji dan upacara sederhana, jauh dari kemegahan.” “Tidak apa, hamba akan melakoninya.” “Karena keluargamu keturunan pendeta, tentu kamu tak bisa lagi berkumpul bersama mereka. Kamu harus hidup sebagai anak petani, di tengah keluarga petani. Kelak kamu jadi pemuda petani, menjadi suami, ayah, kakek, petani. Turun-temurun kamu tidak lagi pendeta, tapi petani. Ini pilihan berat, pertimbangkanlah dengan cermat dan matang.” “Hamba sanggup,” ujar pendeta itu mantap. “Tak akan ada lagi orang memuliakan dirimu, tak ada yang memberi hormat dan bersimpuh menghaturkan sembah. Hidupmu jauh dari kemewahan.” “Hormat dan sembah yang selama ini hamba terima ternyata fana, tak bisa sebagai bekal masuk surga. Kemewahan membuat hamba merasa hampa di sini.” “Menjadi petani kamu sering diolok-olok, ditipu, diperalat, dijadikan kelinci percobaan, selalu dipaksa untuk tunduk takluk dan menyerah. Disanjung ketika diperlukan, dicampakkan saat tidak berarti. Kamu akan alami pedihnya diremehkan. Sudi kamu seperti itu?” “Hamba bersedia. Semua itu awal. Hamba ingin menuju akhir yang sempurna, masuk surga.” Jogor Manik memandang tajam pendeta itu. Ia tengah berhadapan dengan roh yang gigih. “Baiklah, kalau itu pilihanmu.” Jogor Manik menjulurkan lehernya, menatap ke atas. Langit perlahan bersepuh perak. Sekeliling dingin seperti cuaca di pegunungan sedang berkabut tebal. Dua titik hitam muncul dari kaki langit, mendekat, membesar, menjadi dua ekor elang berparuh panjang, berputar di atas pendeta itu. Jogor Manik sekejap menggerakkan naik turun bola matanya, memerintahkan dua elang itu mencengkeram kedua pundak pendeta itu, mengangkatnya secepat kilat, menerbangkannya tinggi-tinggi, terus tinggi, makin tinggi, sampai menjadi sebuah titik. Bunyi mendesing terdengar ketika titik itu lenyap. Cuaca kembali cerah dan langit benderang. Nun di sana, pada detik sama, di sebuah gubuk tengah sawah, seorang istri petani sedang menghimpun seluruh tenaga untuk menyentak gua garbanya. Seorang dukun bersalin yang merawatnya bergetar ketika seorang bayi bergegas ke luar menghirup cuaca bumi, bersama lengking tangis panjang dari selangkangan ibu muda itu. Sebentar lagi subuh. Kokok ayam, cicit burung, sudah terdengar di lembah itu. Ayah bayi itu buru-buru mengambil lampu teplok di dinding, mendekatkan ke wajah istrinya yang kelelahan terbaring di lantai bambu beralas tikar. “Laki-laki, ia akan jadi petani hebat,” bisik si suami sembari mengusap peluh di dahi perempuan itu. “Kita beruntung, bumi akan punya petani cakap dan cerdas,” ujar Jogor Manik tersenyum. Ia menggamit lengan petani itu, menuntunnya memasuki gerbang surga. “Di tempat ini kamu bukan lagi roh. Sekarang kamu atman.” Sekeliling perlahan berubah lembab keperakan, sejuk, hening. Tak terdengar cicit burung, tidak bunyi serangga. Sekian kali petani itu melangkah ke depan, ia menikmati cuaca cerah kembali, langit benderang, persis seperti ketika pendeta tadi berubah menjadi titik dan lenyap. Jogor Manik menghilang. “Inikah surga?” bisik petani itu. Sukawati, September 2006
""Surga untuk Petani""
“Dul, bawalah aku pulang…,” sekonyong-konyong Ibu merajuk di seberang meja makan. “Kebun kelapaku…,” sambungnya menuai kata-kata. “Sudah sebulan kutinggalkan. Ilalang pasti sudah menyemak.” Bagai daun kekeringan, matanya benar-benar memohon. Perlahan, aku menelentangkan sendok di tengah- tengah piring, menawarkan sekulum senyum, dan menyambut tatapan mata Ibu di seberang meja. Khayalku mengapung seketika. Alangkah senangnya perasaan Ibu kemarin, ketika berjalan kaki seperti beradu bahu denganku mengelilingi kompleks perumahan. Di pekarangan tetangga daun kelapa mendesau di pucuknya. Tentulah kibasan angin pagi yang menenteramkan di pucuk-pucuk daun itu yang telah membuat ingatan Ibu seperti diterbangkan kembali ke kampung halaman. “Bah ..,” cetusnya seraya menghentikan langkah saat itu. “Tak kusangka di Jawa ini ada pohon kelapa. Rendah dan lebat pula…,” katanya dengan mata terpesona. Ibu diterbangkan Abangku ke Jakarta setelah diketahui pengobatan yang dijalaninya di Sumatera tidak menolong. Pembuluh darah di kaki kirinya semakin menyempit, membuat otot di situ kaku dan dia jadi sulit bergerak. Aku segera membawanya kepada seorang dokter kenalan. Tiga puluh tahun lebih aku meninggalkannya. Dan sekarang, terbaring di atas tempat tidur dokter itu, Ibu sudah bukan seorang perempuan yang kokoh, pada haribaan siapa, ketika masih kecil, aku sering merebahkan kepala, menelusuk di bawah teteknya, merengek-rengek uang receh bakal jajan. Waktu telah membuat bahunya ringkih seperti memikul beban abadi. Waktu juga yang telah memahatkan sungai kecil bercabang-cabang seujung rambut di pojok matanya yang redup. Leher di mana aku dulu suka menggelayut, kini dibalut kulit yang menggelambir. Ubannya yang dulu dia minta kucabuti satu-satu dengan menggunakan sebulir padi, sekarang terhampar tipis di sekujur kepalanya. Hubunganku yang begitu rapat dengannya ketika masih kecil sampai pun aku beranjak dewasa, kini seperti terulang kembali. Tak lama setelah dokter kenalanku itu menyuntikkan sejenis obat perangsang pembuluh darah, Ibu melambaikan tangan ke arahku, membujukku supaya lebih mendekat. Dan dia memegangi lenganku. Di ujung senyumnya dia berujar: “Ah…, Dul, sekujur tubuhku terasa gatal. Kakiku ini terutama. Seperti ada yang menggamit-gamit di dalam.” Kupegang, kubelai kaki kirinya. Menenteramkan perasaannya. Membuat dia tidak merasa sendirian menghadapi gejala yang membuatnya seperti kena gelitik itu. Aku senyum memandang matanya, mencium keningnya. “Tenanglah Ibu, itu pertanda baik, kupikir. Menggelitik seperti ketam, karena obatnya mulai bekerja, memperbesar pembuluh darah. Kalau darah bebas mengalir, Ibu akan biasa dengan leluasa bergerak.” “Hm….” Dalam beberapa hari, obat dari dokter kenalan itu membawa kemajuan yang berarti. Ibu mulai menemukan kembali keleluasaan untuk menggerakkan kaki kirinya. Sesuai anjuran dokter, dengan kutemani tentu, saban pagi dia melatih kakinya itu dengan berjalan mengelilingi perumahan. Sampai akhirnya lambaian pucuk kelapa memanggilnya pulang. Dan tak bisa ditahan. Katanya, selama hampir setahun dia mengupah seseorang untuk menebas menyiangi kebun kelapanya. Dari seberang meja makan kembali dia membujuk: “Kau bilang sudah lebih dari sekilo yang kita jalani setiap pagi. Panjang kebunku tak sampai segitu. Aku sudah sehat, kuat, kalau begitu. Aku bersyukur karena kau,” katanya melepaskan tatapan pada mataku. “Tapi, Dul…, tolong, bawalah aku pulang.” Tak ada lagi yang lebih menggugah buatku daripada kata-katanya itu. Tak ada lagi yang lebih penting daripada memuaskan keinginannya itu. Ada gelora yang harus didamaikan. Sehingga perasaannya lapang sedatar laut. Dan kupikir, kalau perasaannya terbebas dari keinginan pulang, yang membuat dia begitu mengharap, maka pada akhirnya pembuluh darah di kakinya itu pun tak akan menyiksanya lagi. “Baiklah, Bu. Besok akan kutemui dokter, dan akan kubilang Ibu rindu kampung. Ingin pulang. Sudah terlalu lama di sini.” Di seberang meja makan kulihat wajah Ibu menjadi tenteram. Keesokan harinya, aku menemui dokter kenalan itu. Dia menuliskan resep yang pernah dituliskannya untuk Ibu beberapa kali. Katanya, kalau masih memerlukannya nanti, dia akan menuliskannya lagi. Minta tolonglah kepada perawat untuk menyuntikkannya, katanya. Inilah yang kemudian menjadi masalah. Abangku tidak punya kenalan perawat yang bersedia menyuntikkan obat itu. Semua orang yang dihubungi, katanya, takut kalau-kalau terjadi apa-apa. Dan belakangan baru aku ketahui penyakit Ibu kambuh lagi. Ia tak bisa bergerak. Hendak dibawa kembali ke Jakarta, dia menolak. Dia memilih bertahan dengan kakinya yang harus dia seret-seret daripada harus meninggalkan kebun kelapanya berbulan-bulan. Dan di tempat jauh dia disiksa pula oleh lambaian pucuk daun kelapa. Pada suatu subuh, setahun kemudian, telepon berdering. Dengan menahan perasaan dan terbata-bata Abangku mengabarkan: Ibu meninggal…. Aku mengepal tinju, menghantamkannya ke meja. Buru-buru aku ke bandar udara, mengejar pesawat terbang dalam kesempatan pertama. Sesampai di kota tujuan, dengan mencarter taksi, satu setengah jam kemudian aku sudah melangkahi bendul pintu rumah yang sedang dirundung duka. Aku membiarkan saja Abang dan keluarga terdekat memeluki aku. Aku terus menyibak, meminta jalan dibukakan untukku menuju jasad Ibu yang sedang dimandikan di ruang belakang. Dia tergolek kaku, kuning membiru. Tidak kusangka tubuhnya menciut seperti itu. Tak peduli basah, aku lantas memeluknya, mencium pipinya, memagut ujung kakinya. Ketika kuangkat, tubuhnya begitu enteng. Di bawah tatapan puluhan pasang mata yang menangis, kuelus-elus kaki kirinya. Sembari tersengguk-sengguk aku memegangi kaki kirinya yang tak bisa diluruskan. Kentara sekali kaki itu lebih kecil dari pasangannya. Kupegang lagi kaki yang malang itu, kucium, dan aku tak kuasa menahan tangis sambil sesenggukan. Di dalam hati, aku menyesali Abangku, dan siapa saja yang tidak becus meminta bantuan pada seseorang, perawat atau dokter, untuk menyuntikkan obat. Aku juga menyesali mengapa Ibu tak mau melunak barang sedikit, meninggalkan kebunnya barang satu atau dua bulan dan tinggal bersamaku sampai kakinya pulih seperti dulu. Setelah dimandikan, jenazah diletakkan di ruang tengah. Sanak saudara, tetangga, handai tolan, mengerubung. Surat Yasin mendengung dengan takzim, dibacakan pelayat bergantian. Pemakaman akan dilangsungkan selepas lohor. Aku menanyakan kepada Abangku, bagaimana prosesi akan berlangsung. Di Jakarta, aku tak habis pikir menyaksikan iring-iringan yang selalu dilarikan seperti dikejar setan oleh para pengiring dengan mengibar-ngibarkan bendera kuning, memaksa orang menyingkir. Mirip sirkus harimau yang hendak lewat. Dan seakan-akan yang akan dimakamkan adalah seseorang yang penuh dosa, yang harus dilarikan cepat-cepat ke liang kubur supaya dosanya, seperti wabah yang mematikan, tidak menulari orang. Ibuku bukan seorang pendosa! Dan aku tidak sudi dia diperlakukan seperti itu. Abang mengatakan Ibu akan dimasukkan ke mobil jenazah yang akan bergerak dengan ligat mengikuti pengendara motor yang mengibas-ngibaskan bendera merah. “Merah?! Apa dia seorang komunis? Aku menyaksikan Marsekal Tito dimakamkan. Tak ada bendera merah. Apa-apaan ini?!” “Itu kebiasaan di sini. Sama seperti kebiasaan di Jakarta, dengan bendera kuning.” “Tapi, yang akan dimakamkan adalah Ibu kita, mengapa kebiasaan itu harus kita turuti. Itu toh bukan anjuran agama?” “Mh….” “Jadi, Ibu akan dilarikan cepat-cepat ke pemakaman? Padahal ini kota kecil, tak ada masalah lalu litas di sini. Mengapa Ibu harus diperlakukan seperti itu? Ibu dikenal banyak orang. Dia punya banyak teman. Perempuan terlarang untuk mengantarnya ke pemakaman. Jadi, mengapa teman-temannya tidak diberi kesempatan untuk membuka pintu atau jendela, untuk mengucapkan selamat jalan kepadanya?” “Ini sudah adat kebiasaan. Tak baik dilanggar….” Uhh…. Aku terdiam. Baiklah. Aku meremas-remas tinju. Ketika jenazah tiba di pemakaman, hatiku yang dari tadi terluka karena kehilangan Ibu tiba-tiba jadi marah meradang. Taman pemakaman ini rupanya sudah sejak lama terendam. Sungai yang mengalir tak jauh dari situ meluap karena pembalakan hutan yang berlangsung bertahun-tahun. Pabrik bubur kertas di hulu meracuni batang sungai. Kota yang dulu tak pernah banjir kini harus menanggungkan rendaman air yang berbau busuk. Tak terkecuali tempat persinggahan terakhir warga yang bernama pekuburan ini. Dan Ibuku akan dimakamkan di sini. Para penggali liang kubur bersimbah lumpur. Dengan menggunakan beberapa ember, mereka berusaha untuk mengeringkan liang lahat. Tetapi, air terus saja menumpahi lubang itu. Lemas lututku, dan sepertinya aku ingin berteriak memprotes ketika Ibu bersama kerandanya dibenamkan ke dalam lubang yang penuh air berbau busuk itu. Dan dengan paksa lagi. Ibu lantas buru-buru ditimbuni. “Pemakaman macam apa ini?!” Aku tidak saja menangis. Juga murka melihat bagaimana jasad Ibu memasuki dunianya yang akan kekal. Aku merasakan betapa hina yang harus dia tanggungkan di kuburan yang tak pantas ini. “Aku tak bisa menerima apa yang kau lakukan terhadap Ibuku ini,” kataku dengan geram kepada Abang ketika pelayat sudah menjauh. “Mengapa Ibu tidak dimakamkan di pemakaman keluarga di seberang sungai? Tempat ayah dimakamkan?” “Sia-sia. Menurut perencanaan kota, pemakaman itu tak lama lagi akan digusur. Kau sendiri tahu, sejak zaman Belanda sudah ada rencana membangun jembatan menghubungkan kota dengan kampung di seberang. Pemakaman keluarga kita itu harus dipindahkan.” Aku gusar dibuat keterangannya itu. “Mengapa kau tak pernah menceritakan semua ini kepadaku?” “Kau jauh.” “Sejauh apa? Kan bisa kau telepon. Aku tak bisa menerima Ibu diperlakukan seperti ini.” “Aku juga,” katanya menantang. Kurenggut kerah bajunya. Dia menggeliat. Sambil menangis, kuhunjamkan tinjuku kuat-kuat ke mulutnya. Dia menangkis dan balik menghajar bagian belakang kepalaku. Aku terjerembab. Mukaku tertelungkup ke dalam kubangan lumpur. Bukan hitam kelam yang kulihat, tetapi kuning membanjir. Aku tenggelam dalam lautan yang kuning. Lantas, dengan cepat kuning yang berayun-ayun dalam penglihatanku itu melenyap, berganti dengan hitam. Sungguh pekat. Ribuan kunang-kunang bersayap putih mengerlap-ngerlip menyongsong dari kejauhan. Bertambah dekat, dalam jumlah ribuan, barangkali, mereka datang seraya mengusung kafan putih. Aku tahu persis itu adalah Ibuku. Aku ingat simpul di ujung kakinya, karena akulah yang diam-diam memegangi pojok kafan dan membelitkannya ketika dia sudah tenggelam dalam balutan putih. Ribuan kunang-kunang itu menghamparkan jenazah Ibu di pangkuanku. “Lakukanlah yang sepantasnya untuk dia,” suara mereka menderu, namun dalam irama yang sejuk membujuk. Aku tegak menyambut dan memegangi Ibu. Ditayangkan angin, aku dan Ibu kembali ke rumah. Dari situ, dengan Ibu dalam gendonganku, sambil terisak-tangis, perlahan kumelangkah menyusuri kota. Dan kulihat Ibu Salmah, guru mengaji Ibuku dulu, membukakan pintu, mengucapkan doa. Jendela-jendela rumah di seluruh kota kecil kami terbuka. Syahdunya perempuan-perempuan berdiri memegangi bendul jendela, menundukkan kepala, bibir bergetar mengalunkan Yasin. Ketika prosesi itu sampai di tepi kota, dadaku terasa seperti dijepit. “Mau ke mana kau makamkan?” Aku tak bisa membalik ke belakang. Yang terasa hanya pelukan yang kuat tetapi lembut melingkari dadaku. “Dengan izinmu, akan kumakamkan di Pucuk Bukit, dari mana Ibu akan selalu bisa memuaskan hati menatap ladang kelapanya,” kujawab dengan bibir gemetar.
""Sebuah Makam di Pucuk Bukit""
“Satu tahun adalah waktu yang cukup untuk mencintai dan melupakan, Nak. Sudah saatnya engkau memikirkan janji pernikahanmu yang dahulu, ’sampai kematian memisahkan’ dan kematian itu sudah terjadi. Kini saatnya bagimu untuk melupakan dia yang sudah pergi dan memikirkan masa depan anak-anakmu. Rita dan Joko memerlukan seorang ibu untuk mengasuh mereka pada masa remaja mereka. Seorang ibu yang mau mengasihi mereka dan mendampingimu.” “Ibu, waktu setahun ter- lalu singkat untuk melupakan.” “Kau tidak boleh larut terus di dalam duka.” “Tidak, Bu. Pekerjaan menuntutku untuk sibuk. Itu pun, upaya untuk melupakannya. Semakin sibuk aku, semakin dalam bayang-bayang wajahnya di dalam lubuk hatiku. Ia telah menjadi bagian dari diriku, dan anak-anakku. Justru aku merasa takut untuk memberi ibu tiri bagi mereka, yang cinta kasihnya tidak sebanding dengan ibunya. Tidak ada yang salah dengan janji pernikahan itu. Kematian bukanlah berarti harus menjadi izin untuk menikah kembali, Bu.” “Edu,” kata Ibu, “usiamu belum tua, Nak. Usia empat puluh adalah usia memulai kehidupan baru. Jika kau masih merindukan masa lalu kau tidak akan pernah lepas dari bayang-bayang duka. Contohnya saja, kau masih menggantung potret itu di dekat jam dinding. Kau masih menaruh kursi goyang itu, di sudut, untuk mengingatkanmu kepada almarhum istrimu.” “Apakah itu salah, Bu?” “Tidak, Edu. Tidak salah. Tetapi itu selalu membuka luka lama.” “Luka lama? Tidak, Bu. Cintaku ada di sana. Wajah itu selalu memberiku dorongan untuk mengasihi dan mencintai anak-anakku. Wajahnya juga ada pada kedua anakku. Kerling Rita dan senyum Joko, merupakan bayang-bayang dirinya, yang selalu membahagiakan aku. Kursi itu, menjadi lambang kesetiaan cintanya kepadaku. Apabila ia letih, ia duduk di situ. Dan menjelang ujung derita karena penyakit kanker itu, ia duduk di situ, menahan keperihan sambil bertutur kepadaku: Kalau ajal telah menjemputku, carilah ibu yang dapat mengasihi anak-anakku…. Kuingat kata-kata itu diucapkan dalam keperihan penyakit yang merundungnya, Bu.” “Nah, ia selalu memikirkan kebahagiaanmu dan anak-anakmu, Nak. Itulah hati seorang ibu. Ia mau berbagi kesetiaan dengan perempuan lain. Hati ibu yang tidak egois, Nak. Hati lapang seorang ibu, kasih sepanjang jalan. Ia pun memikirkan kebahagiaanmu. Apabila ada seorang perempuan yang engkau kasihi mendampingimu yang dapat merawat anak-anakmu, hatinya sangat bahagia. Sampai saat-saat terakhir dari kehidupan ini, seorang ibu selalu memikirkan kebahagiaan orang yang dikasihinya, sekalipun ia sudah tiada.” “Justru kata-katanya yang terakhir itu yang membuatku resah, Bu. Rasanya, ia selalu ada di sampingku. Ia tidak pernah mati di dalam cintaku. Bagian dari hidupnya terekam di dalam sanubariku. Bayang-bayang itu, senantiasa membayangiku.” “Nak, kau harus hidup di dalam realitas. Ia sudah tiada. Kau harus berani menjalani kehidupan ini tanpa bayang-bayangnya yang membiusmu. Misalnya, coba turunkan foto yang di dekat jam dinding itu, masukkan ke dalam album. Itu bagian dari masa lalumu yang indah. Istrimu sudah tiada. Yanti sudah berlalu, Nak.” “Tetapi ia selalu lekat di dalam hatiku.” “Kau memerlukan pendamping yang hidup, yang nyata ada, yang dapat merawat dan mengasihimu dari jam ke jam, dari hari ke hari, dari minggu ke minggu, dari bulan ke bulan. Nanti, anak-anakmu akan membentuk dunia mereka sendiri, dan engkau akan berhadapan dengan kesunyian, dan kesendirian.” “Ibu terlalu memikirkan aku dan anak-anakku.” “Itu sebabnya Ibu ada bersamamu di sini. Tetapi Ibu tidak selamanya ada di sini. Ayahmu perlu diperhatikan walaupun selama berbulan-bulan ia berada di rumah kakakmu. Kami merasa bahagia di tengah-tengah kalian untuk sekian lama, dan kami pun selalu memiliki kerinduan, berkumpul bersama, karena rumah adalah pelabuhan yang paling teduh bagi setiap orangtua.” “Ibu sudah bosan di sini? Aku patut berterima kasih karena Ibu sudah berbulan-bulan di sini, bersama kedua anakku. Terima kasih, Bu.” “Masalahnya bukan di situ, Nak. Bukan soal bosan atau tidak. Ada sesuatu yang lebih penting. Bukan untuk merenggutkan kenangan cinta kasihmu kepada almarhumah istrimu, tetapi untuk membangkitkan perhatianmu kepada masa depan.” “Terlalu pentingkah untuk menikah kembali?” Ibu duduk terhenyak. Ia menatap foto almarhumah yang tepat berada di bawah jam dinding. Aku menaruhnya di situ, untuk mengenangnya setiap waktu. Waktu untuk bangun, waktu untuk makan, waktu untuk berangkat kerja, waktu untuk bersama-sama dengan anak-anak dan istri, dan waktu untuk berangkat ke tempat tidur. “Kita yang mengatur waktu, Nak. Bukan waktu yang mengatur kita. Tuhan memberi waktu bagi kita untuk menabur, waktu untuk memelihara, dan waktu untuk menuai. Tuhan memberi kita waktu untuk mengasihi dan dikasihi….” Ia terdiam sejenak. Dalam usia menjelang tujuh puluhan Ibu masih bijak. Suasana pikun belum tampak. Mungkin karena ia mantan perawat maka makna kehidupan ini sangat berarti baginya. Ia terlalu sering menghadapi orang yang sakit ringan dan parah, bahkan manusia yang sekarat. Petuah-petuahnya masih masuk akal. Berbeda dengan ayah yang lebih banyak diam walaupun dalam diamnya tampak arif karena tidak suka mencampuri masalah keluarga anak-anak. Kemudian ia melanjutkan petuahnya. “Nak, Ibu memiliki sebuah saran untukmu, mungkin saran terbaik bagimu….” “Apakah itu?” tanyaku. “Kau tidak tersinggung kalau Ibu mengatakannya?” “Seorang ibu selalu memikirkan yang terbaik untuk anaknya. Bukankah begitu?” “Baiklah. Langsung saja kepada inti masalah. Dahulu, adik istrimu bersama-sama dengan kalian di sini. Kalian sudah menyekolahkannya ke perguruan tinggi dan kini ia sudah hampir selesai. Bagaimana kalau engkau meminangnya untuk menggantikan posisi almarhumah?” Aku terkejut. Belum pernah timbul di dalam benakku pikiran yang demikian. “Turun ranjang?” tanyaku. “Ya. Itu lazim. Mungkin mertuamu dapat mempertimbangkannya. Kulihat mereka sangat dekat dengan anak-anakmu, dan mereka pun sangat sayang kepadamu.” “Hmm. Aku menyekolahkannya agar ia mampu menciptakan masa depannya. Tentulah ia memiliki cita-cita. Kini hampir tamat. Tetapi sayang sekali, Bu. Itu tidak mungkin.” “Mengapa tidak?” “Satu setengah tahun yang lalu ia memperkenalkan pacarnya kepada kami. Istriku dan mertuaku sangat setuju hubungan mereka. Ibu, biarkanlah Juwita membentuk masa depan rumah tangga mereka….” “Baru pacaran, bukan? Kukira ia sangat sayang kepada anak-anakmu. Pacaran bukan berarti sudah seratus persen untuk menikah. Cobalah utarakan dahulu, mana tahu ada peluang untukmu. Demi anak-anak, itu jalan yang terbaik.” “Bu, kita membicarakan kata hati. Sebelum kita bersinggungan dengan kata hati orang lain, sebaiknya kita berhati-hati. Kita tidak dapat membebankan masalah kita kepada orang lain, sekalipun itu kerabat dekat kita, dengan membenturkannya dengan cinta kasih yang telah dibentuk mereka untuk sekian lama. Sebab dengan demikian kita menimbulkan luka hati baru yang kelak kemungkinan menimbulkan bisul-bisul yang terpendam. Sebaiknya kita jangan mengorbankan orang lain demi kebahagiaan kita sendiri.” “Kau belum mencobanya.” “Tidak mampu melakukannya. Aku melihat mereka begitu serasi. Calon suaminya sudah memiliki pekerjaan yang tetap. Mereka tampaknya sudah siap untuk membentuk rumah tangga mereka sendiri. Aku tidak sampai hati merebutnya, demi beban keluargaku.” “Kau yang menyekolahkannya. Kau berhak.” “Tidak, Bu. Aku hanya membantunya untuk menyiapkan masa depannya. Tidak lebih dari itu. Tak baik menagih apa yang sudah diberikan.” “Kau keras kepala seperti ayahmu.” “Ayah seorang yang baik, bukan?” “Tidak mau menerima pendapat orang lain. Maunya menang sendiri.” “Ibu merasa bahagia?” “Tentu saja.” “Dengan perilaku dan tabiat ayah?” “Itu hanya satu bagian dari wataknya yang lain.” “Kalau begitu, keras kepala dalam satu hal tidak apa-apa, bukan?” “Dalam hal mengasuh anak sebaiknya kau realis saja.” “Tidak mudah menemukan perempuan seperti ibu anak-anakku, Bu. Sulit mencarinya. Biarkanlah waktu lebih lama bagiku, setelah anak-anak dapat menimbang masa depan mereka, dan lebih dewasa untuk menerima perempuan lain di tengah-tengah mereka, sebagai ibu dengan segala kebaikan dan keburukannya.” “Kau merasa itu kesetiaan kepada almarhumah istrimu?” “Barangkali ya, barangkali tidak. Kadang-kadang terhadap diri sendiri kita dapat bimbang.” Ibu geleng-geleng kepala. “Berapa ratus hari lagi kau membiarkan kesunyian dalam hidupmu?” “Anak-anak menjadi pangkal kebahagiaan dan kesibukan bagiku, Bu. Ibu lihat, kami bertiga membagi tugas di rumah ini. Masing-masing mengurusi tanggung jawabnya. Biar mereka belajar mandiri.” “Nak, jika kau tidak keberatan, waktu anak-anakmu libur sekolah, minggu depan, mereka ikut Ibu. Boleh, kan?” “Nanti kutanya mereka, kalau mau.” Minggu berikutnya kedua anakku berlibur di rumah kakek dan neneknya. Ketika segalanya kujalankan sendiri, aku merasa apa yang dikatakan oleh Ibu benar adanya. Belum pernah aku ditinggalkan sendiri di rumah. Di satu pihak, aku merasa bebas pulang dari kerja, atau makan di mana saja. Tetapi di pihak lain, kesunyian dan rasa takut sendiri mulai mencengkam diriku. Pada suatu malam, seusai membaca beberapa bab buku mengenai Perang Dunia II, aku tertidur sambil tersandar di atas bantal yang menggalang tubuhku di kepala tempat tidur. Lampu baca masih menyala ketika aku mengantuk keras dan terlelap. Tidak berapa lama kemudian aku mendengar suara orang yang menangis. Makin lama semakin keras di tambur telingaku, sehingga aku terbangun. Mimpikah? Tanyaku kepada diriku sendiri. Tidak. Suara tangisan itu dari ruang keluarga. Aku membuka mata dan memasang kuping. Ya, ada suara tangisan. Aku bangkit dari tempat tidur dan perlahan membuka pintu. Suara itu semakin jelas. Dari sudut ruangan, dari kursi goyang yang kini menghadap ke dinding. Ada seseorang yang duduk di situ. Aku bingung bagaimana orang itu bisa masuk ke dalam rumah. Bulu romaku berdiri, dan rasa takut itu semakin menguasai diriku. Untuk mengalahkannya, aku berbicara agak keras. “Siapa kau?” Kursi goyang bergerak dan orang itu memandangku. Ya, Tuhan. Mengapa ini bisa terjadi? Perempuan itu merunduk sambil mengucurkan air mata, jatuh di pakaiannya yang putih. Aku bertanya lebih keras lagi, “Siapa engkau?” Perempuan itu mengangkat kepalanya dan menatap mukaku. Oh, Tuhan. Aku berpegang ke pintu. Ia menjawab, “Aku istrimu. Lihatlah pakaian pengantin ini, yang kupakai dahulu. Aku kasihan kepadamu dan kepada anak-anak kita. Aku ingin merawat mereka. Kau seorang suami yang baik,” katanya sambil berlinangan air mata. “Tidak mungkin! Tidak mungkin! Kau bukan istriku!” “Aku istrimu. Kita menikah tanggal anu. Lihatlah pakaianku ini….” Dan kemudian ia menuturkan riwayat pernikahan yang dahulu. “Bukankah betul begitu?” katanya lebih lanjut. “Aku tahu perjuanganmu, kasihmu kepadaku. Itu yang membuat aku datang padamu….” Apa yang dikatakannya, betul. Riwayat pernikahan itu. Dan wajah itu! Pakaian pengantin itu. Serta suara itu! “Tidak! Tidak!” kataku. “Kau bukan istriku. Pergiii! Pergi dari sini!” teriakku sekeras-kerasnya. Ia berdiri dan kemudian menunduk, menghapus air mata. Dengan langkah gemulai ia menuju pintu. Langkah kakinya persis sama dengan langkah kaki istriku. Dengan terisak-isak ia berjalan dan kuteriaki lebih keras lagi, “Pergiii!” Kudengar suara pintu yang terbuka dan tertutup. Beberapa menit kemudian aku memeriksa pintu, semua terkunci. Aku kembali ke tempat tidur. Kuminta Tuhan dalam doa, mengirim malaikat menjagaiku, sepanjang malam. Aku tak lagi berani sendiri. Bandung, 8 September 2006
""Istri""
Natal akan segera tiba. Dada kami berbuncah-buncah dipenuhi kegembiraan. Pada Natal nanti, kakakku yang tinggal di Jakarta beserta istri, anak-anak, bahkan Mama yang tinggal di Bogor akan datang mengunjungi kami. Mereka akan natalan di sini. “Mereka akan tinggal di sini?” tanya Pur, istriku. “Ya pasti tidak, mereka akan tinggal di Indraprasta,” kataku menyebut nama hotel berbintang di ibu kota kabupaten. “Ooo…,” sambut Pur. Ia agak kecewa, tetapi kekecewaan itu sangat kecil, tak ada artinya dibanding kegembiraan, karena kesempatan bisa berkumpul bersama seluruh keluarga untuk bernatalan. Lebih istimewa lagi, itu akan berlangsung di sini, di rumah kami di pelosok. Sangat jarang kakakku—kami hanya dua bersaudara, laki-laki semua—mengunjungi kami. Ia memang sibuk. Dulu ia kemari, ketika mampir karena ada tugas. Istri dan anak-anaknya belum pernah diajak kemari. Kami maklum, tempat tinggal kami terlalu di pelosok, daerah yang dulu dirintis transmigran. “Tapi nanti mereka akan tetap ke gereja sini, kan?” Pur bertanya penuh harap. “Tentu, rencananya begitu. Idenya memang dia sekaligus ingin mengenalkan istri dan anak-anaknya pada kehidupan di desa seperti kita. Ia ingin membawa mereka pada pengalaman, natalan di gereja kecil di daerah pelosok seperti sering aku ceritakan padanya. Mungkin nanti setelah dari gereja, kita siapkan makan pagi di rumah kita. Kita masak ala kampung, pasti mereka senang.” Begitulah memang kehidupan kami. Yang masih sering datang mengunjungi kami adalah teman-teman berteater di kota tempat aku kuliah dulu. Terdamparnya aku di daerah pedalaman ini juga karena berteater itu. Pada waktu itu, ketika situasi politik makin sulit, oleh “suhu” diputuskan, kegiatan kesenian tidak harus di panggung. Berkesenian adalah mengolah kehidupan. Para anggota pun kemudian berpencar. Aku bersama sejumlah teman menuju pulau ini, masuk ke pedalaman yang sebelumnya pernah dirintis oleh para transmigran dari Jawa, dan mulai belajar ikut bertani di situ. Pada perkembangannya, tak semua dari kami terus tinggal di sini. Dengan alasan masing-masing, teman-teman satu per satu mulai cabut, pulang kembali ke Jawa. Beberapa di antaranya tetap berkesenian, bahkan ada yang kulihat sering muncul di sinetron televisi. Itulah perjalanan anak-anak teater ini. Aku sendiri tetap bertahan di sini. Mungkin karena alasan, bahwa kemudian aku mengawini wanita setempat, ya si Pur ini. Kalau kurefleksikan hidupku, aku mendapatkan apa yang kumau di sini. Apa yang kumau itu? Otoritas individu! Aku hidup sebagai manusia merdeka, punya otonomi atas diri sendiri. Pur, meski hanya lulusan SD, bisa mengimbangi hidupku. Aku ajak dia mengolah kehidupan. Ia bisa berjualan apa saja, termasuk membikin jajanan yang dijual di sekolah tak jauh dari rumah kami. Aku sendiri membuka taman bacaan di rumah. Selain sesekali melatih teater atau bahkan silat di rumah yang setengahnya kujadikan sanggar, aku juga mengajar ekstrakurikuler kesenian di beberapa sekolah di kabupaten. Setiap kali ke daerah ini, teman-teman pasti mampir. Mereka itu, selain yang sudah jadi pemain sinetron seperti kuceritakan di atas, ada yang jadi wartawan dari koran terkemuka, jadi dosen, bekerja di perusahaan periklanan asing menjadi creative director, menjadi pengusaha kafe, dan lain-lain. Akan kelihatan kegembiraan dan kebanggaan Pur, kalau teman-teman yang kusebut itu datang. Tak jarang mereka menginap di tempat kami. Sekarang, kami menantikan sebuah hari yang benar-benar besar: Natal, kakak sekeluarga, dan Mama. >diaC< Dua hari sebelum Natal, mereka benar-benar tiba. Sebelum mereka sampai rumah, beberapa tetangga sudah ada yang berlari-lari ke rumah kami, memberi tahu ada mobil bagus datang. Aku tertawa. Beginilah kampung kami. Aku dan Pur keluar rumah. Mobil kakakku datang, berjalan pelan, diikuti anak-anak kecil yang berlari-lari kecil dengan tawa gembira. Kaca mobil dibuka. Kelihatan kepala anak-anak kakakku menyembul keluar, barangkali keheranan melihat anak-anak yang berlari-lari mengejar mobil. Kakakku yang pertama turun. Kami berpelukan hangat. Kemudian Mama. Dia menciumiku, sebelum memeluk dan menciumi Pur. Aku tahu, dia sangat mencintai Pur. Pipi Pur dicubitnya. “Aduh, cantiknya…,” ucap Mama. “Kulit kamu juga bagus, sampai seperti pualam,” lanjut Mama sambil mengamati Pur dari atas sampai bawah, mengomentari kulit Pur yang putih (terus terang, kulit Pur yang bersih, berikut perawakannya yang bahenol itulah yang memikatku, yang juga terus-terusan membangkitkan birahiku…). Pur tertawa senang. Senyumnya mengembang, menampakkan lesung di kedua sudut bibirnya. “Lihat, cantiknya dia…,” kata Mama kepada Liza, istri kakakku. “Udara bersih membikin kalian sehat,” lanjutnya. Liza mendekat, menyalami dan mencium Pur. Beberapa tetangga yang ikut merubung aku kenalkan satu per satu, sebelum kami masuk rumah. “Dulu rencananya kami akan natalan di Singapura…,” kata Liza ketika kami sudah duduk-duduk di dalam rumah. Aku tertawa. “Kalau ke Singapura kan sudah sering, yang begini kan jarang ya Tya…,” sambutku sembari mendekap keponakanku, anak mereka yang paling kecil, Natya. “Tya sekarang kelas berapa? Nol besar ya?” “Dia juara lomba piano,” iparku Liza memotong. “Harusnya dia mempersiapkan diri untuk lomba tingkat nasional, tapi apa boleh buat, harus ikut kemari….” “Waduh hebat. Kalau saja Paklik punya piano bisa latihan di sini…,” kataku melucu, membuat Mama, kakakku, Pur, semua tertawa. Mana mungkin ada piano di pelosok Bandarjo ini…. Mereka juga suka, dengan panggilan Paklik-Bulik untuk diriku dan Pur ini, yang dulu dimulai untuk lucu- lucuan—sebelumnya mereka hendak memanggil Oom dan Tante—dan kemudian menjadi sebutan tetap untuk kami berdua. “Lain kali mainkan untuk Bulik Pur, Bach, biar Bulik tidak hanya mengenal Didi Kempot…,” lanjutku disambut tawa makin ramai. Kehangatan sore itu tak berlangsung lama. “Pa, kita harus segera kembali ke hotel. Bukankah nanti Mathias teman Papa itu dan istrinya akan datang…,” Liza mengingatkan kakakku. “Ya, tapi masih nanti malam…,” jawab kakakku. “Tapi anak-anak kan harus mandi segala dulu. Kita akan makan malam bersama mereka kan…,” kata Liza. Mama sebenarnya masih ingin tinggal lebih lama, tapi aku tidak punya kendaraan untuk bisa menyusulkan Mama ke hotel nanti malam. Akhirnya mereka semua kembali ke hotel. Aku, Pur, beberapa tetangga, mengiringkan sampai mobil bergerak meninggalkan kami. >diaC< Di malam Natal Pur sibuk di dapur. Ia menyiapkan menu andalannya: ayam bumbu rujak. Ayamnya ayam kampung, dengan kelapa yang sangat tua yang sudah disiapkan berhari-hari. Sebelum ini, dia telah menyiapkan rempeyek kacang—andalannya yang lain. Aku gembira menemaninya di dapur sembari menyetel lagu-lagu Natal yang dibawakan dengan orkestra gamelan. “Cocok kan, habis dari gereja, makan dengan ayam bumbu rujak dan rempeyek,” celoteh Pur. “Sengaja kubuat tidak terlalu pedas, biar cocok dengan perut Jakarta.” “Kita pakai beras merah kalau masih ada,” usulku. “Ooh masih, dan memang sudah kusiapkan.” Kami juga menyiapkan piring-piring dan cangkir-cangkir keramik yang tidak pernah kami pakai sehari-hari. Piring dan cangkir itu pemberian Adi, seniman keramik sahabat kami dulu. Pagi hari di gereja usai kebaktian kami bersalam-salaman dengan pendeta, anggota-anggota majelis, serta para jemaat. Kami sekeluarga—maksudku kakakku sekeluarga—menjadi perhatian para jemaat. Penampilan orang Jakarta rupanya lain, dibanding dengan kami di pelosok. “Kita segera kembali ke hotel…,” Liza tiba-tiba menyelak. “Lama-lama panas nih…,” ucapnya. Kulihat Mama menoleh seketika. “Loh, kita ke rumah Pur dulu. Pur sudah menyiapkan makan,” kata Mama. Kami segera meninggalkan halaman gereja menuju rumah. Para jemaat berjalan berendeng-rendeng gembira. Aku dan Pur biasanya seperti mereka. Kali ini, aku dan Pur ikut menumpang mobil kakakku—model minibus yang kuakui nyaman dan mewah. Tiba di rumah segera Pur menyiapkan makan pagi yang sudah dia persiapkan sejak tadi malam. Aku membantunya biar cepat, karena iparku Liza kelihatannya sudah tidak betah. Siapa tahu dia ingin segera kembali ke hotel. Ternyata hampir semuanya tampak menikmati makan pagi ala Pur, ala Bandarjo ini. “Kalau di Jakarta kamu buka restoran seperti ini bisa laris Pur,” komentar Mama. Kakakku sibuk dengan ayam bumbu rujak, dengan setiap saat berucap “hemmm…” untuk menyatakan betapa enak masakannya. Hanya Liza yang kulihat tak terlalu menikmati. Aku berpikir, dia mungkin diet untuk menjaga kelangsingan. Anak-anak tak henti-henti makan rempeyek. “Habiskan saja, Bulik memang bikin untuk kalian…,” kata Pur tertawa senang. Liza melirik anak-anaknya. “Tya, jangan banyak-banyak, nanti kamu batuk!” kata Liza memperingatkan anaknya. “Ah ya biar, sekali-sekali,” Mama memotong. “Tapi kan ada acara brunch di hotel nanti…,” kata Liza entah ditujukan kepada siapa. “Ya, itu nanti, kita makan lagi,” potong kakakku. “Nanti gantian, Paklik dan Bulik yang kalian traktir di sana,” kataku, karena rencananya kami akan diajak ke hotel siang itu. Habis makan, kami segera berangkat ke kota, ke hotel tempat kakakku sekeluarga menginap. >diaC< BRUNCH maksudnya breakfast dan lunch alias makan pagi dan siang digabung jadi satu. Aku menerangkan itu pada Pur. “Atau lebih tepat lagi, makan pagi yang kesiangan…,” tambahku sambil tertawa. Duduk mengitari meja yang tertata rapi, keponakan-keponakanku semua enggan memesan makanan. Mereka sudah kenyang. Begitu pula kakakku, dia sibuk mencari-cari yang disebutnya light meal. “Apa saya makan pasta saja ya? Paklik Bulik saja yang makan, kami menemani,” kata kakakku menyebut kami “Paklik-Bulik” untuk membahasakan anak-anaknya. “Kalian makan steak ya? Oke, saya pesankan steak untuk kalian. Tenderloin enak… Mama apa?” tanyanya pada istrinya. “Apa saja, terserah…,” jawab Liza. “Tenderloin sekalian ya,” kakakku memutuskan. Mama memimpin doa lagi seperti di rumah tadi sebelum makan dimulai. Aku dan Pur gembira menikmati menu pesanan kakakku ini. Kadang aku membantu Pur, bagaimana mengiris daging secara tepat. Kupegang dua tangan Pur baik yang memegangi garpu maupun pisau. “Garpu dipegang lebih stabil. Yang pegang pisau yang bergerak, lembut saja geraknya, dan yang bergerak pergelangan tangan, nah…,” kataku seperti memberi kursus. Pur tertawa-tawa gembira. Begitu pula Mama. “Dagingnya keras, seperti sandal japit,” tiba-tiba Liza berujar. Mama terdiam seketika. Aku sangat mengenal bahasa tubuh Mama. Dia marah. “Maklumlah, sapi sini kebanyakan olahraga jalan-jalan, jadi ototnya kuat, beda dengan sapi Australia yang malas-malasan…,” aku melucu untuk mencairkan suasana. Semua tertawa lagi—kecuali Mama (dan Liza). Pur tetap gembira. >diaC< Acara Natal bersama keluarga itu kukenang, terutama pesan Mama untuk kami, anak-anak dan cucunya (cucu di sini maksudnya anak-anak kakakku. Aku dan Pur belum dikaruniai anak). “Pesan Mama cuma satu, supaya kalian semua rukun…,” kata Mama di depan kami semua waktu itu. Saat itu, ketika mereka semua akan meninggalkan daerah kami, sambil menciumku Mama masih membisikkan sesuatu lagi di telingaku. “Kamu dan Pur jangan tersinggung dengan sikap Liza ya. Sejatinya dia itu ajaib, kita harus sabar mendidik, dan jangan lupa pula mendoakannya…,” bisik Mama. Hampir aku tertawa mendengar bisikan Mama, yang memang kadang memberi cap pada orang seenaknya. Kutahan tawaku, takut ketahuan apa yang diucapkan Mama, dengan sebutan yang tak kalah “ajaib”-nya itu. Dengan atau tanpa pesan Mama, doa memang dikhususkan untuk kebaikan semesta. Untuk keluarga, aku dan Pur selalu mendoakan, yang terbaik bagi mereka semua. Semoga kakakku, Liza, anak-anaknya, semua kerabat dan handai taulan, mendapat yang serba terbaik di Jakarta. Banjarsari, Ciawi, 2006
""Doa Natal""
Pakbitels sedang keluar negeri, kata orang. Pakbitels sedang menyingkir dari hiruk-pikuk kehidupan kota dan kini menyepi ke sebuah desa di lereng gunung, kata yang lain. Pakbitels diamankan yang berwajib, ujar yang lain. Pakbitels mungkin diculik orang tak dikenal, komentar yang lain lagi. Bermacam-macam lagi kata orang mengenai Pakbitels. Sehari sebelum raib, Pakbitels bercerita bahwa istrinya mengomel terus semalaman karena merasa disepelekan. Dianggap sepi. Dicuekin. “Masak kerjamu baca iklan melulu. Ngapain kek! Cari duit kek! Ngojek kek! Ngobjek kek! Cari tambahan penghasilan apa kek! Jangan baca iklan melulu dong! ’Kan Ayah tahu tiap bulan keuangan kita defisit. Aku terpaksa ngutang ke tetangga! Malu ’kan aku ngutang terus!” semprot istrinya. Sebelum itu, istri Pakbitels mengeluh tentang kebiasaan Pakbitels menonton acara televisi. “Lagi serius dengar berita gempa bumi dan tsunami, eh dia malah cari saluran yang ada iklannya. Giliran muncul lagi berita, dia pindah lagi ke saluran lain yang menayangkan iklan. Apa nggak sebal? Padahal, di rumah cuma ada satu televisi.” Sebelum itu, istri Pakbitels pun pernah bercerita pada tetangganya mengenai mulut Pakbitels yang berkicau sewaktu makan. “Aku sering malu kalau makan di arisan keluarga atau pesta adat. Mulut suamiku itu lho. Ramenya minta ampun. Cap-cap-cap, gitu lho. Bayangkan kalau kami makan di hotel berbintang. Bisa ditertawakan orang ’kan?” Bukan itu saja. Malah kebiasaan tidur Pakbitels pun bocor kepada karib istri Pakbitels. “Ngorok-nya itu, lho. Aku tak tahan. Kadang-kadang aku mikir, aku tidur dengan macan atau dengan manusia. Cuma aku bingung, bagaimana cara menyetop ngorok suamiku itu.” Bukan hanya itu. Masih ada lagi. “Aku suka lampu mati kalau tidur. Eh, dia malah suka lampu terang benderang. Apa nggak sewot?” Seorang pegawai di tempat Pakbitels bekerja yakin seyakin-yakinnya (sambil menyebut “Demi Allah…”), Pakbitels raib setelah membaca sebuah iklan koran nasional. “Iklan apa?” “Saya nggak tahu,” jawab si saksi. “Apa Pakbitels meninggalkan kantor buru-buru?” Si saksi menggeleng. “Apa Pakbitels tampak sedih?” “Tidak juga.” “Pakbitels tegang?” “Biasa-biasa saja kok waktu dia pergi.” “Pamit pada Anda nggak?” “Nggak tuh.” Istri Pakbitels pun duduk di hadapanku. Tampak menonjol kerut di bawah matanya. Bola matanya masih memerah, pertanda baru saja berair. “Suamiku hilang, Pak,” katanya tanpa basa-basi. Kata-kata itu meluncur dengan mantap. Matanya seperti mau basah. Tak tahu harus berkata apa, aku hanya berkata, “Sejak kapan?” “Sejak beberapa hari yang lalu, Pak,” katanya. Aku belum juga tahu harus berkomentar apa. “Tolonglah, Pak, temukan suamiku,” sambungnya. “Aku tak tahu lagi ke mana harus mencarinya. Aku sudah cari ke tempat-tempat yang sering dia kunjungi. Hasilnya nihil. Aku sudah cari ke tempat teman-temannya. Hasilnya nol juga.” Sejujurnya, aku sebetulnya tak tahu ke mana Pakbitels pergi. Aku pun tak tahu ke mana harus mencari Pakbitels. Aku tak hafal tempat-tempat favoritnya. “Bapak ’kan orang kepercayaan dia. Dia selalu cerita padaku mengenai Bapak,” tambahnya. “Satu-satunya orang yang mau mengerti dia cuma Bapak kata suamiku. Tolonglah, Pak.” Alamak! Sesudah dia puji, dia pun minta tolong. Sebelum meninggalkanku, istri Pakbitels masih sempat berkata, “Aku heran mengapa suamiku begitu tergila-gila pada iklan. Iklan apa saja dia sikat habis. Pokoknya, membaca iklan apa pun matanya selalu berbinar-binar ….” Sepengakuan Pakbitels, sudah lama istrinya memperlakukannya semena-mena. Seenaknya! Untunglah Pakbitels masih bisa menahan diri. Namun, Pakbitels tersinggung berat ketika istrinya mulai mengutak-atik hobinya: baca iklan. Bayangkan. Pakbitels justru menemukan istrinya lewat iklan. Iklan cari jodoh. “Coba kalau tak ada iklan itu,” kata Pakbitels pada suatu hari, “belum tentu dia punya suami sampai sekarang. Bisa-bisa dia jadi perawan tua. Tak laku!” Aku membisu. “Sekarang dia mencak-mencak tak karuan karena aku suka baca iklan. Coba di mana rasa keadilannya? Di mana rasa hormatnya terhadap suami?” Aku pikir Pakbitels tak perlu komentarku. Jadi, aku biarkan saja dia menumpahkan semua unek-uneknya. Aku jadi keranjang sampahnya. “Bayangkan,” sambungnya, “rumah yang kami tempati aku dapatkan dari iklan juga. Kalau aku tak baca iklan Rumah Dijual, belum tentu kami punya rumah yang sekarang. Tempatnya enak, masih banyak pohon di sekitarnya, dan tidak bising.” Bukan hanya itu. Pakbitels meneruskan lagi. “Ketika kami menikah, aku juga pasang iklan. Biar kenalan dan handai taulan kami tahu semua dan tidak menuduh kami kumpul kebo.” Rupanya masih belum tercurah semua isi kepala Pakbitels. “Ketika anak kami yang pertama dan kedua lahir, aku pasang iklan seperdelapan halaman. Agar semua orang tahu aku tidak mandul. Agar semua orang tahu istriku subur. Agar semua orang tahu kami bahagia.” Lantas Pakbitels bertanya, “Kurang apa lagi aku, coba?” Tampaknya pertanyaan itu untuk Pakbitels sendiri. Bukan untuk aku. Jadi, aku tak perlu buka mulut. “Sekarang dia larang aku baca iklan, padahal aku hidup dari dan untuk iklan….” Kalau aku pikir-pikir lagi sekarang, banyak untungnya Pakbitels bekerja di kantor kami. Dia hafal semua iklan yang dimuat di koran atau majalah yang dia baca tiap hari. Kalau kami perlu rumah, dia hafal di mana rumah yang dijual murah atau rumah yang dijual karena pemiliknya butuh uang alias BU. Orang yang cari mobil akan bertanya kepada Pakbitels. Bukan hanya itu. Pakbitels juga tahu di mana konser atau pertunjukan bagus sedang digelar. Uniknya lagi, dia pun hafal siapa saja yang meninggal dan di mana, dari keluarga siapa serta dimakamkan atau dikremasi di mana. Kalau ada model HP baru, TV baru, atau komputer baru yang diiklankan, kami tinggal bertanya kepada Pakbitels. Dia akan jawab lengkap dengan harga dan telepon yang bisa dihubungi. Pakbitels juga tahu film bagus yang diputar di bioskop-bioskop di kota kami. Tanpa perlu baca iklan, kami tinggal bertanya kepada Pakbitels film apa yang bagus dan diputar di bioskop mana. Dia akan menjawab lengkap dengan nama-nama bintang filmnya. Pendek kata, kita butuh iklan apa saja, Pakbitels akan menjawabnya dengan sempurna. Jadi, Pakbitels itu sangat kami perlukan di kantor meskipun dia cuma seorang pesuruh, seorang office boy. Pakbitels sudah menjadi iklan hidup bagi kami. Sejak beberapa hari yang lalu, kami kehilangan jejak Pakbitels. Dia raib begitu saja. Tanpa pesan pada istri dan anak-anaknya. Tanpa kata-kata terakhir pada teman-teman kantornya. Itulah yang membuatku bingung ketika istri Pakbitels duduk di depanku, padahal aku sendiri tak tahu-menahu mengapa Pakbitels raib dan tak tahu pula ke mana dia pergi. “Tolonglah, Pak, temukan suamiku. Anak-anak menanyakan terus ayah mereka. Aku kewalahan menjawabnya.” Seketika aku merasa didaulat menjadi seorang detektif partikelir yang harus menemukan jejak seseorang. Namun, aku tak merasa besar kepala. Aku tetap bergeming. “Sudah ke orang pintar, Bu?” Istri Pakbitels menggeleng. Lalu menyahut, “Apa ada gunanya, Pak?” Kali ini aku yang tak berkutik sembari angkat bahu. “Sudah dilaporkan ke polisi?” Istri Pakbitels menunduk. Tampak seperti menimbang-nimbang sesuatu. Beberapa jenak kemudian, wanita itu baru angkat bicara lagi. “Ah, tidak usah, Pak. Saya tak punya duit ….” Sampai sekarang aku tak habis pikir, iklan apa gerangan yang membuat Pakbitels tega meninggalkan keluarga dan pekerjaannya. Mungkinkah itu iklan pekerjaan baru yang gajinya lebih tinggi dari gaji Pakbitels sekarang? Barangkali iklan tinggal di luar negeri dengan green card sehingga Pakbitels bisa lepas dari kerusuhan, demonstrasi berkepanjangan, dan karut-marut di negeri sendiri? Atau mungkin iklan pemenang sayembara kecap merek Enak Tenan dengan hadiah berlayar keliling dunia? Siapa tahu Pakbitels mendapat hadiah berlayar dengan kapal pesiar mewah selama dua minggu dan tak sempat memberi tahu keluarga dan teman kantornya karena yakin dua minggu kemudian akan kembali ke rumah dan masuk kerja. Ketika ihwal Pakbitels aku sampaikan kepada istriku, serta-merta dia menimpali, “Itulah …. Kita, para istri, sering sok tahu, menganggap kenal suami kita seratus persen, luar-dalam. Padahal tetap saja ada sisi gelap dari suami kita. Buktinya Bu Pakbitels itu.” “Menurutmu, apa Pakbitels masih mungkin kembali pada istri dan anak-anaknya?” “Mungkin saja. Siapa tahu.” Diam-diam aku berharap, mudah-mudahan Pakbitels membaca tulisan ini dan menganggapnya sebagai iklan. Jakarta, 28 Juli 2006
""Raibnya Seorang Suami""
Tingginya hampir tiga kali tinggiku. Membentang dari utara hingga selatan, selebar kira-kira 700 meter. Tebalnya aku tak tahu persis, karena, bahkan dari celah-celahnya saja, aku tak mampu menembus sisi lain dari bentangan ini. Dan percayalah ini memang sebuah dinding; dinding mawar. Semuanya adalah mawar kampung, mawar yang paling kusukai, karena satu-satunya yang mampu mengharumkan alam sekitarnya. Mawar jenis lain, yang impor atau yang sudah silangan, kurang kusukai. Mengapa? Sederhana saja. Mawar-mawar itu, meskipun kelopaknya lebih besar-besar dan warnanya lebih beragam, lebih sedap dipandang mata, bagiku tak lebih seperti Mona, Ingrid, atau Mely. Cantik, tapi hanya manequin. Sempurna fisiknya, tapi tak memberiku “kehidupan” sama sekali. Maaf bila aku membandingkan bunga dengan perempuan. Bagiku perempuan itu penting, karena dia adalah ruh bagi laki-laki. Mawar yang mampu memberiku ruh adalah mawar kampung ini. Dengan ruh yang kumiliki itu, aku memiliki tenaga luar biasa, sehingga seringkali aku menitikkan air mata, merasuki keindahan alam ini. Percayalah, itu semua karena mawar kampung ini. “Mau diapakan semak-semak itu nanti?” ucap istriku tak acuh, sambil menekan-nekan tombol HP-nya. “Ya,..enggak diapa-apain…,” jawabku menahan dongkol. “Jorok, ah… halaman segini luasnya masak memelihara semak….” “Kamu itu…masak, mawar segini bagusnya kamu bilang….” “Halooo… Eni? hai… lagi ngapain…” dan dia seperti tenggelam dalam pembicaraan dengan karibnya, begitu saja, meninggalkan kalimatku yang menggantung di kekosongan. Kami, dua tahun lalu, membeli tanah ini. Tanah seluas 5.000 meter persegi ini kami beli semata-mata karena aku tertarik pada dinding mawar ini. Waktu itu, begitu aku diajak melihat langsung oleh si pemilik, jiwaku seakan tersedot, terjerat erat oleh daya hidup dinding mawar ini. Dia, dinding mawar ini, seakan cinta pertamaku, yang mampu membuatku tak bernafas belasan detik. Mungkin mulutku ternganga, wajahku seketika tolol, lantaran ruhku melayang entah ke mana. Lalu, dengan begitu saja aku memutuskan untuk membelinya. Sesampai di rumah, ketika kusampaikan ke istriku, hanya senyum yang kuterima. Lalu dengan santainya dia berkata, “Jadi, sekarang mau bisnis tanah, nih… makanya, dari dulu aku bilang apa… begitu tahu enaknya, keranjingan….” Aku diam saja. Biar saja dia punya penafsiran begitu, karena memang beralasan. Baru setahun sebelumnya, kami membeli tanah dengan luas yang sama di daerah Bogor. “Tapi, yang ini, kayaknya, aku enggak mau jual…,” kataku tenang, menanggapi ucapannya yang seakan mengibarkan bendera kemenangannya atas sikapku beberapa waktu lalu. “Lho, terus untuk apa?” “Ya, enggak tahu, tapi yang jelas… yang ini enggak akan kujual….” Istriku terdiam sesaat, lalu, “Lihat saja, nanti…,” ucapnya yakin seolah semua sudah terbayang di matanya. “Jujur saja, aku enggak tahu, kenapa aku memilih ’gubuk di tengah rimba’ dan bukannya hotel bintang 5…,” gerutunya. Itu terjadi ketika dia kuajak menginap di rumah “dinding mawar” ini. Lalu disusul penyesalannya lantaran tak membawa player, karena dengan begitu dia tak bisa menyaksikan “Phantom of the Opera”. “Melankolis…,” ledekku. “Idih, enggak romantis….” Akhirnya, ranjang besar ini kurasakan terlalu dingin dan terlalu luas, bahkan hanya untuk sepasang suami istri. Sambil membayangkan anak-anak kami berlarian atau bersepeda di halaman luas ini, lama-kelamaan aku terlelap. Bayangan yang entah kapan menjadi kenyataan. Pagi buta, aku sudah terjaga. Aku berjalan, tanpa alas kaki, menyaruk-nyaruk kabut tipis putih susu di hamparan ini. Aku berjalan sambil menatap dinding mawar itu. Kian dekat langkahku, kian kuat degup jantungku. Ya, persis seperti ketika kujumpai si “prenjak” istriku itu, dulu, hampir 20 tahun lalu. Dia yang tahu bahwa aku naksir, berlagak tak acuh tapi butuh. Aku tahu, dia pun naksir aku. Dan entah mengapa rasa saling tertarik itu kami biarkan menggantung sampai setahun; sebuah misteri yang nikmat. Aku, dan kurasa dia juga, menikmati saat-saat pandangan kami bertumbuk dalam jarak tertentu, karena kami berkelompok dengan geng kami masing-masing. Detik-detik yang memerangkap, lalu disusul senyum, wajah yang tertunduk, jantung yang berdegup keras, sungguh kenikmatan yang tak bisa dibeli bahkan di surga sekalipun. Dinding mawar ini kian memukauku. Dan akhirnya langkahku terhenti pada jarak pandang yang tak bisa kuperkirakan. Angin pagi, samar-samar menaburkan keharuman mawar-mawar itu ke lubang hidungku. Inderawiku meriap-riap, kuhirup kesegaran yang indah ini. Kalau saja ini kebahagiaan, sungguh tak terkira besarnya. Entah berapa lama aku berdiri dengan mata terpejam, menikmati arus kebahagiaan yang mengalir di setiap sel tubuhku, aku tak tahu. Kurasakan perlahan-lahan kehangatan mengaliri tengkuk, punggung, dan sekujur tubuhku. Aku terbahak-bahak di pagi cerah itu, menertawakan matahari yang merasa kikuk berada di punggungku. Aku tersadar, ketika telingaku menangkap gesekan sapu lidi Pak Kadi yang sedang membersihkan halaman. Dialah yang selama ini merawat tanah dan rumah ini, dan dia orang yang sejak kecil tinggal di wilayah ini. “Pak…,” kataku sambil melambaikan tangan. “Di sebelah sana, di balik mawar ini… tanah siapa?” “Kebon karet, Pak… punya Haji Mandar….” “Kebon karet?” “Iya, tapi sudah enggak terawat….Kosong. Katanya sih, mau dijual… Berminat, Pak?” “Beli tanah lagi?” tiba-tiba istriku sudah berada di antara kami. Pak Kadi tertawa, dan aku merasakan diriku mentah lagi. “Tuh, sarapannya sudah disiapin sama Bik Min…,” potong istriku tak acuh. “Aku penasaran, masak ada kerimbunan mawar tak bisa ditembus pandangan mata?” ucapku sambil menyuapkan nasi goreng. “Buat apa, sih, segitu penasarannya?” “Ya, penasaran aja.” “Enggak masuk akal.” “Emangnya, cinta itu masuk akal? terlalu besar buat diselipkan di akal kita yang sempit…,” godaku sambil mencoel dagunya yang indah itu. Ah, pipinya bersemu merah. “Idih, tua-tua, genit…,” kilahnya, lalu bangkit dan mengambilkan air minumku. “Sebetulnya, aku masa bodoh dengan yang di seberang dinding mawar itu.” Kataku begitu saja, entah suara siapa sebetulnya yang kuucapkan itu. “Terus? … Idih, Mas kok makin aneh, sih?” “Masak begini aja aneh?” “Maunya apa, coba?” “Aku kepingin berada di dalam ’dinding mawar’ itu…,” sekali lagi, kata-kata itu seperti tersusun sendiri, hidup dan terlontar dari mulutku. Tak kusangka, istriku menatapku cukup lama, seakan kedua mata beningnya itu ingin menembus rongga mataku, mencari di mana aku berada. Kemudian dengan lembutnya dia memelukku dengan perasaan sayang luar biasa. Ketika dia menitikkan air mata, aku sadar bahwa batinnya tergores. Dia menafsirkan bahwa kewarasanku sudah mulai rapuh. “Apanya yang aneh?” bisikku lembut. “Aku ingin tahu sesuatu yang belum pernah dilakukan oleh orang lain, dan ingin mencobanya sendiri. Apa yang aneh dengan itu?” “Kelopaknya indah, tapi batangnya, kan penuh duri.” Bisiknya lembut. “Ngerti….” “Durinya, kan, tajam?” “Paham….” “Bisa terluka….” “Percaya….” “Bukan cuma luka, tubuh Mas akan hancur oleh sayatan durinya!” “Nikmatnya….” Wulaningtyas, istriku itu, menjauh dengan wajah “durga”-nya. “Sebaiknya jangan pernah mengucapkan keinginan sinting itu di depanku, karena aku tak mau terseret kegilaanmu….” Lalu dia balik arah dan menghilang di kamar. Aku sendirian lagi, melanjutkan suapanku di pagi itu. Perasaan aneh menggelimangi diriku. Aku seperti disadarkan oleh kalimat istriku, tetapi yang sekaligus menciptakan daya dorong untuk mewujudkan apa yang baru saja kuucapkan padanya. Jika mataku mampu menyerap keindahannya, tentunya kulitku pun mampu menerima kepedihannya. Sesaat aku ragu akan ucapanku, namun ada perasaan lain yang menepiskan keraguanku. Aku berjalan. Baru kali ini aku bisa merasakan bahwa langkah ini milikku. Ketika aku bocah, aku adalah milik impian dan harapan bapak-ibuku. Ketika aku kuliah, aku milik suatu sistem yang ingin membentukku. Ketika aku menikah, aku milik tatanan sosial dan tentu saja menjadi milik istriku. Ketika aku bekerja dan memimpin berbagai perusahaan, aku milik orang banyak, dan segala sesuatunya harus terikat pada logika orang banyak. Seperti sebuah iklan televisi, aku selama ini harus “sempurna” tampil. Baju rapi. Wajah dibedaki. Senyumku diarahkan, makanku harus terlihat nikmat agar semua yang menonton “terpengaruh”. Ah, kedunguan kerbau ini, betapa makin menggelimangi hidupku. Tapi, pagi ini, semuanya yang mencekikku itu sirna dalam sekejap, begitu kuputuskan untuk masuk ke dalam “dinding mawar” ini. Luar biasa. Aku merasakan kerianganku, jiwaku bersorak girang. Gairah hidupku tiba-tiba terpompa kembali. “Nanti Kus jemput aku pulang. Aku ke rumah mama….” ucap istriku dingin. Dia mematung dengan tas pakaiannya. “Sayang sekali, sebetulnya aku ingin menggandengmu ke pelaminan kita di sana itu…,” bisikku, menunjuk rimbunnya dinding mawar. Kulihat tubuhnya yang tegak, bergetar hebat, dia menangis dalam usahanya untuk tegar. Kusentuh batang berduri ini. Kutatapi kelopak yang indah ini. Kuserap kemurnian ini. Perlahan kusibak batang mawar ini dengan telapak tanganku. Duri menciumnya dan bermandi merah darahku. Aku melangkah, dan duri-duri bermanja ria merangkul kakiku, lalu lenganku, wajahku, kepalaku, punggungku…. Kurasakan setiap tusukannya yang pedih, namun sekaligus memijarkan kenikmatan seorang perempuan yang melahirkan kehidupan ke alam ini. Kurasakan sayatan dan robekan di kulitku, sebagaimana kurasakan sobekan tubuh perempuan yang melahirkan. Hidup ini indah dan dibayar dengan kenikmatan luka. Aku terus melesak ke dalam rimba dinding mawar. Kurasakan darah menggelimang di sekitar alisku, kemudian menetes nyaris membasahi bola mata. Kuseka, dan kulihat tanganku merah penuh luka. Batang-batang kusibak, dan tak kulihat ujung sana. Kian kusibak, aku hanya memasuki kedalaman yang lain. Sementara duri-duri kenikmatan ini kian bersukacita menyambutku. Mereka seakan bidadari yang terbakar atau membakar gairahku, dengan ketajamannya. Menggosok-gosokkan dan seringkali menancapkan dengus gairahnya ke jiwaku. Mungkinkah Abimanyu merasakan apa yang kurasakan, ketika tubuhnya dirajam panah Kurawa? Kurasa ya, hanya saja mungkin berbeda dalam memaknainya. Aku tak peduli. Yang kurasakan, tiba-tiba aku menemukan sebuah jawaban yang selama ini kucari. Ketika kubuka mataku, yang kulihat adalah wajah istriku. Matanya sembab. Dia tersenyum penuh perasaan “plong”. Dari penuturannya aku tahu bahwa hampir dua jam aku tenggelam di dinding mawar. Istriku yang cemas, akhirnya tak jadi pulang, dan bersama Pak Kadi, beberapa tetangga, dan akhirnya si Kus, yang telanjur berangkat dari rumah, menemukanku terkulai penuh luka dan pingsan. “Aku enggak peduli apa yang Mas lakukan, yang penting Mas selamat dan tetap sayang sama aku…,” bisiknya penuh kebahagiaan. Aku tersenyum, dan menjawab bahwa yang terpenting justru yang sedang kita lakukan, apa pun hasilnya menjadi nomor sekian. “Yang penting kan mencintaimu, nah apakah cintaku disambut atau di-prek-in, enggak penting buat aku…,” godaku. “Jangan khawatir, mulai sekarang, kalau Mas mau, bisa kapan saja keluar-masuk dinding mawarmu itu…,” bisiknya lembut. Aku tersengat, jangan-jangan…. “Enggak, kok… cuma di bagian tengahnya. Kemarin aku suruh Pak Kadi bikinin lorong, dan dikasih fiber melengkung sedalam dinding mawar itu. Jadi, Mas bisa masuk, jalan- jalan, sampai mentok… tanpa luka-luka lagi…. Persis di Sea World itu… bedanya yang ini melihat duri-duri…” dan senyumnya mekar. Aku tersenyum, entah apa yang kurasakan aku tak tahu. Yang kurasakan hanyalah air mataku menetes hangat. “Aku hebat, ya…,” goda istriku manja. Ya, ya… kamu hebat, bisikku dalam hati. Ya, dan anehnya, perasaan bahagia ketika duri-duri mawar melukaiku itu, kembali menderas dalam jiwaku. Tapi ada yang kurasa aneh, membayangkan dinding mawar itu berlorong fiber! Pinang 982
""Dinding Mawar""
Akhirnya bunda datang juga ke Jakarta, didampingi seorang cucu. Kami tidak bisa lagi menutup mata serta telinga beliau. Kasus dan sakitnya abangku, Palinggam, telah disiarkan koran dan televisi. Tak dapat lagi ditutup-tutupi dari bunda. “Antar aku dulu menengok abangmu,” ujar beliau saat kujemput di SoekarnoHatta. “Besok-besok aku menginap di rumah si Nina.” Ia selalu menyebut rumah anak lelakinya dengan nama menantu, dan memanggil anak-anak kami “cucuku”. “Nina dan cucu-cucuku sehat?” “Sehat,” kubilang. “Baiknya Bunda istirahat dulu. Nanti sore kuantar….” “Tak penat aku!” tukasnya keheng, keras kepala. “Terus sajalah.” Aku lalu diam dan terus menyetir. Kapan pula dia merasa penat? Meski umur 80 dan tubuh makin ciut, stamina dan kegesitannya seolah tak berubah. Masih keliling ke berbagai kota bahkan pulau; melihat anak, cucu, dan cicit. Masih pasang mata dan telinga baik-baik, mengikuti perkembangan mereka. Di hari baik bulan baik bagi yang bersangkutan (ulang tahun, naik kelas, tamat kuliah, naik jabatan), melayang suratnya dengan tulisan halus-tebal model masa lalu. Isinya ucapan selamat, doa, harapan, juga nasihat. Tempo-tempo, jika ia tahu, terlibat pula dia menyelesaikan beragam masalah. Makanya, kadang kubayangkan urat saraf bunda lebih rimbun dan juga lebih canggih dari kami, tujuh anaknya, yang semua sarjana bahkan dua doktor pula. Urat-urat saraf itu tak henti berdenyut, seperti jantung kita, atau kedap-kedip serupa kabel di pusat telepon. Tiap denyut adalah pantauan sekaligus hubungan dengan anak, cucu, dan cicit yang makin banyak. Dengan masalah yang juga tambah banyak. Justru itu, telah lama kami hindarkan kabar buruk dari beliau, menutup-nutupinya, karena belum siap melihat denyut itu tiba-tiba terhenti. Namun abangku, Palinggam…. Aku menarik napas, sambil terus melaju di jalan tol. Apa yang bakal terjadi ketika bunda berjumpa abangku itu nanti? Tanpa sadar aku menggeleng, tidak berani membayangkan. Dan saat kulirik ke samping, mata bunda terpejam. Tapi, pasti beliau tidak tidur. Merenung? Berpikir-pikir? Lewat kaca spion, kulihat keponakanku di jok belakang. Senyam-senyum, manggut-manggut, agaknya melantunkan nyanyian riang dalam hati, laiknya anak muda. “Libur kau, Man?” tanyaku mengalihkan pikiran yang melayang saja ke mana-mana. Ia tergeragap. “Oh. Ya. Libur, Om. Seminggu!” “Kuliahmu lancar?” “Lancar.” Ia cengar-cengir. Tahun lalu, seminggu ia menginap di kantor polisi. Seluruh keluarga heboh, panik. Di kantong celana kawannya ditemukan polisi ekstasi. Mereka semobil, berempat. Semuanya digaruk. Bunda tentu tidak diberi tahu. “Sudah dua hari tidak kulihat cucuku, si Herman. Ke mana dia?” tanya beliau suatu pagi. “Naik gunung,” jawab Kak Leila. “Diajak kawan-kawannya.” “Cuaca buruk, kau biarkan anak naik gunung?” “Ala, tak apa-apa Bunda,” adikku Rosa menyahut. Maksudnya membantu Kak Leila. “Biasa itu, anak laki-laki.” “Eh, sejak kapan alam berubah hanya memperdaya perempuan?” ujar bunda. Rosa langsung diam, ingat suami yang jarang pulang. Kak Leila berpura sibuk. Dan saat Herman pulang, nenek yang risau itu memanggilnya, berucap lunak, “Elok-elok kau jalani umur muda Herman. Pandai-pandai mencari kawan. Kawan yang baik, Nak, tak mengundang datangnya mudarat. Lihat, kurusnya engkau. Pucat pula, serupa mayat!” Herman kabarnya menangis, ingat pengalaman bermalam di kantor polisi. Mata bunda kulihat sudah terbuka lagi, menatap aspal jalanan yang berpendar disinari matahari pagi. Dan kendaraan-kendaraan yang berkilau seliweran di jalan tol. Kami sudah di Jelambar, tak lama lagi Grogol. Lalu Slipi. “Kurang dingin AC-nya Bunda?” “Cukup.” Dan diam lagi, memandang jalanan. Apa gerangan yang terlintas dalam pikirannya? Anak cucu yang tak membawa kabar baik, pada usia senja? Merasa gagal, sebab sendiri saja membesarkan kami? Ah. Betapa ingin kusampaikan bahwa dia ibu yang perkasa, tangguh, dan berhasil. Tujuh anak yang masih sekolah saat suami wafat telah ia bekali, disekolahkan hingga tinggi, dengan uang hasil pensiun serta kedai rempah. Agar mereka jadi manusia. Masalah kami hari ini dengan begitu tak perlu lagi menjadi beban beliau. Pun ulah cucu, anak-anak kami. Atau, baginya tugas ibu tamat seiring perginya hayat dari badan? Sebab di situ beda ibu manusia dengan induk ayam dan kucing, seperti pernah dia ucapkan? “Bagaimana abangmu sekarang?” Bunda melepas pandang dari jalanan. “Baik saja. Tak apa-apa,” kubilang. “Masuk rumah sakit, dituduh korupsi, kau bilang tak apa-apa?” suaranya bagai berasal dari tempat yang jauh. “Apa maksudmu?” “Maksudku, o, pulang dari rumah sakit.” Tiba-tiba aku jadi gugup. Dan bunda menyergap pula, “Sudah pulang abangmu dari rumah sakit? Pura-pura sakit saja dia, seperti orang-orang itu?” Aku makin gugup. Ingin kencing. Dalam hati kembali kumaki-maki abangku, Palinggam. Dan bunda tetap menoleh, menanti jawaban. Syukur, HP-ku lalu berbunyi. Dari istriku. “Sudah, sudah,” kubilang. “Lagi di jalan. Bunda? Sehat. O, bicara sendiri saja.” Kusodorkan HP ke bunda. “Nina, Bunda. Mau bicara.” Mudah-mudahan lama, tambahku tanpa suara. Obrolan panjang. Biar dia lupa bertanya. Lalu, suara bunda: “Nina? O, sehat Nak. Alhamdulillah. Ini, masih kuat aku ke Jakarta. Kalian bagaimana? Syukurlah. Mana cucu-cucuku? Oh. Kau sudah di kantor! Bawa mereka nanti ke rumah kakakmu Andamsari. Ya? Besok-besok, Nak. Aku lihat abang kalian itu dulu….” “Apa kata Nina, Bunda?” Kudului dia bertanya saat pembicaraan itu berakhir. “Biasalah,” ia bilang. “Tanya kesehatanku. Eh, sibuk benar kudengar istrimu.” “Nina manajer pemasaran, Bunda.” “Dan kau sibuk pula. Sering ke luar kota. Ke luar negeri juga. Terpikir olehku, Nak, masih punya waktu kalian buat cucu-cucuku?” Aku tertegun. Kemudian tertawa. Namun boleh jadi berlebihan, karena bunda lantas bertanya, “Mengapa kau ketawa?” “Tentu punya waktu,” kataku. “Buktinya aku kini tak ke mana-mana, Bunda.” “Bukan hanya karena hendak menjemputku?” Aku menggeleng. “Syukurlah,” ujarnya. “Aku cuma khawatir. Cucuku, si Aya, sudah gadis bukan? Sudah SMP. Jangan pula dia alami seperti keponakanmu, Aida.” Aku diam kembali. Anak gadis kakakku, Aida, sekali waktu lenyap dari rumah mereka di Batam. Kakak dan abang iparku kalang kabut. Mereka tahu sehari setelah kejadian, pulang dari Singapura. Dicari serta ditanya ke mana-mana, Aida tak jumpa. Semua saudara dihubungi, termasuk Kak Meinar di Medan dan kami di Jakarta. Aida, siswi SMU kelas dua itu, ditemukan adikku Rafli di pantai Padang, bersama pacarnya. Syukur dua remaja itu sungguh sekadar berjalan-jalan. Tapi, bunda yang tadinya tidak tahu curiga melihat semua orang sibuk kasak-kusuk. “Jangan kalian berahasia lagi. Ceritakan apa yang terjadi!” katanya meradang. Ketika kejadian itu diceritakan setelah diedit dibagusi, alis bunda tetap bertaut. “Kakak-kakak kalian itu yang salah jalan!” ujarnya keras. “Sibuk terus. Harta meruah, tak juga puas. Anak dibiarkan tumbuh sendiri. Tahu kalian, hah, anak ayam saja tidak seburuk itu nasibnya!” Kami sudah tiba di Semanggi. Aku berbelok, meluncur mulus ke Kebayoran, bebas dari sesak kendaraan yang padat-merayap ke arah Thamrin-Kota. Dan, rumah abangku sepi saja di luar. Pagar maupun gerbangnya tertutup, seperti biasanya. Tetapi di halaman dalam terlihat sejumlah orang. Termasuk polisi, tanpa seragam. Mungkin berjaga-jaga dari demonstran, atau khawatir abangku raib tak ketahuan rimbanya. Aku terus melaju ke sayap kanan, berhenti di tempat parkir khusus keluarga. Kakak iparku, Andamsari, sudah menanti di teras. Lalu ia mendekat. Memeluk bunda, menangis tersedu. Pembantu bergegas mengangkut bawaan bunda. Aku tergopoh ke toilet, melepas urine yang hendak meledak. Dan HP-ku kembali bernyanyi. Nina lagi. “Sudah sampai belum?” “Sudah, sudah.” “Bagaimana bunda? Bang Palinggam, Kak Andam?” tanyanya antusias. “Belum tahu. Aku di kakus, kencing.” “Dasar!” “Tapi kayaknya tidak apa-apa. Bunda sekarang tampaknya banyak diam. Nanti saja aku kabari.” Mereka duduk bertiga di ruang keluarga. Acara bertangisan agaknya telah usai sewaktu aku mendekat ke ruangan itu. Suara Bang Palinggam terdengar pelan, sayu, seperti minta dimaafkan. “Namun hingga detik ini, Bunda, aku tetap bersih. Terkutuk aku bila mendustai Bunda,” dia bilang. “Kalau begitu, mengapa kau mengelak diperiksa, Nak? Kenapa berpura sakit? Mengapa tidak kau beberkan saja semuanya?” “Tidak sesederhana itu, Bunda.” “Di mana rumitnya?” Tidak terdengar suara. Aku muncul. Abangku melirik. Menarik napas, melihat bunda lagi. Mukanya kuyu. Loyo. “Aku punya atasan, Bunda,” ujarnya bak mengadu. Suaranya makin lunak, hampir menyerupai bisik. “Aku punya kawan. Aku juga kader partai.…” Bunda diam. Juga aku serta Kak Andam. Dan lapat-lapat kudengar suara sunyi merayap, entah dibawa udara dari bumi yang mana. “Tak paham aku soal-soal begitu, Palinggam,” sahut bunda kemudian. “Tetapi bagiku, Nak, yang benar harus disampaikan sekalipun pahit. Kalaupun akibatnya kau diberhentikan bekerja, dipecat partaimu, bagiku itu lebih baik daripada kau berkhianat pada kebenaran, pada hatimu sendiri. Juga kepada Tuhan. Dan negeri ini, yang sedikit banyak ikut dibela ayahmu dari penjajah.” Bang Palinggam terpana menatap bunda. Matanya perlahan berkaca-kaca. Dia menunduk. Mengangkat muka lagi, memandang bunda. Rasanya, aku tahu sekarang dari mana sunyi itu berasal. “Kalian sekarang memang bukan lagi anakku yang dulu.” Bunda mengedarkan senyum, juga kepadaku. “Apalagi kau, Palinggam, kini sudah bercucu pula. Namun takdir seorang ibu, Nak, selalu terdorong menyalakan lampu hingga akhir hayatnya.” Sampai di situ mataku terasa jadi panas. Mata Bang Palinggam kian berkaca-kaca. Dan aku merasa, itu isyarat dari abangku; bagai kelap-kelip mercu suar di malam gulita penuh badai. Jakarta, 22 November 2006
""Lampu Ibu""
Mencapai pelataran rumah Sekar, termangu di bawah pohon kersen yang berbuah lebat, ranum-ranum kemerahan, mengapa yang kutemui malah wajah pucat perempuan itu? Ia tinggal di lingkungan rumah-rumah tua, yang kebanyakan belum lagi dipugar, dengan Eyang Putri, Ibu, dan adik perempuannya. Rupanya perempuan berumur tiga puluhan itu tak pernah menghiraukan datangnya siang dan malam. Dia melukis hingga larut, dan setelah itu tidur sepanjang siang. Aku datang sore hari, yang kukira dia dalam keadaan rapi sehabis mandi. Tapi perempuan itu, sungguh mengejutkan, baru saja bangun tidur. Belum makan. Belum minum. Terlihat letih. Acak-acakan. Tubuhnya rapuh. Tatapannya menerawang ke kehidupan yang jauh, menembus labirin buram, tabir waktu yang telah diluruhkannya. “Kamu mau membeli lukisanku?” tanya Sekar sinis, seperti tak memerlukan kehadiranku. “Tampaknya kau begitu yakin, aku akan melepaskan lukisan itu.” “Aku masih berharap kau mau melepas lukisan itu.” “Tak akan kulepas, kecuali aku mati.” Tertawa, memandangi Sekar yang lunglai, aku meredakan hasratku menaklukkannya. Kutawarkan padanya untuk makan di sebuah restoran. Dia menolak. Kutawarkan padanya untuk berjalan-jalan. Dia menggeleng. Diambilnya sebatang rokokku. Dan berseru ke warung sebelah untuk mengantarkan dua botol minuman. “Lukisan itu terlalu pribadi. Tak kan dijual. Berkisah tentang keluargaku sendiri,” kata Sekar. “Seumur hidup aku hanya menemukan Eyang Putri, Ibu, diriku, dan seorang adik perempuan. Tanpa lelaki di rumahku.” “Lalu kenapa keempat perempuan itu berada dalam perut babi?” “Kamu sudah tahu, siapa babi itu.” Siapakah yang dimaksud babi dalam lukisan itu. Ayahnya? Lelaki brengsek yang telah merusak kehidupan keluarganya? Dia selalu tertawa sinis bila aku bertanya, siapakah yang dimaksud dengan babi dalam lukisan itu. Tapi sebenarnya aku tak perlu bertanya, siapakah yang dimaksud babi dalam lukisan itu. Lukisan itulah yang memancarkan sapuan kuasnya. Sapuan kuasnya tak bimbang, tak setengah hati. Garis-garis lukisannya cepat dan mendalam. Sekar meninggalkanku. Dia muncul dengan tubuh yang segar, berdandan rapi, dan berucap ringan. “Aku mau pergi.” Aku merasa terusir. Ada juga rupanya seorang perempuan yang begitu saja menelantarkan tamu yang sedang asyik duduk di teras rumahnya, sambil memandangi daun-daun karena luruh di pelataran. Kuajak dia pergi bersama dengan mobilku. Dia menolak. Membayar dua minuman botol ke warung sebelah. Melangkah menyusuri gang. Kuserukan lagi agar dia turut dengan mobilku. Tapi, lagi-lagi, dia menolak. Dengan begitu saja Sekar meninggalkanku di bawah pohon kersen. Seorang diri ia menyusuri lorong gang sempit menuju jalan raya. Aku masih belum ingin beranjak dari bawah pohon kersen. Teringat masa kecil, di rumah Eyang Kakung, bergelayutan memetik buah-buah kersen ranum, mengulumnya dalam mulut. Eyang Kakung dulu selalu mengumpatku dengan kasar, bila mendapatiku meninggalkan pekerjaan, dan memanjat pohon kersen. “Dasar, babi tengik!” Aku tak paham, kenapa aku ditelantarkan Ayah. Ibu menitipkanku pada Eyang Kakung, yang selalu menyuruhku menyapu pelataran, mengepel lantai, menimba air sumur memenuhi bak mandi, mencuci pakaian dan piring. Cucu-cucu lain, yang datang dari keluarga kaya, dibiarkan bersenda gurau, mengotori lantai, menghabiskan air di bak mandi, dan menumpuk piring-piring kotor. Akulah, yang dipanggil babi tengik, yang mesti membersihkan segalanya. Di bawah pohon kersen depan rumah Eyang Kakung itulah aku berayun-ayun menghibur diri, merenung, kenapa diperlakukan buruk dan diumpat sebagai babi tengik. Aku tak pernah mengadu pada Ibu, bila selalu mendapat umpatan babi tengik. Aku menampakkan kegembiraan, bila Ibu menengokku di rumah Eyang Kakung. Dan ketika di galeri lukis, beberapa hari yang lalu, aku tercengang menatap lukisan empat perempuan dalam perut babi. Terpukau. Aku teringat Eyang Kakung, yang selalu memanggilku babi tengik. Ketika beliau meninggal, ketika cucu-cucu lain menangis, aku tak bisa menangis. Seekor babi tengik macam aku, tak pantas menangisi kematian manusia yang dimuliakan anak cucunya. Aku juga selalu menolak berdoa di sisi makamnya. Doa babi tengik, mana mungkin terkabul? Lukisan Sekar telah menggetarkan dadaku. Aku jadi ingin selalu melihatnya. Ketika lukisan itu ingin kubeli, Sekar tak pernah merelakannya. Aku memburunya dalam beberapa pameran, hingga ke rumah Sekar. Tapi aneh. Ia kukuh dalam pendirian: tak mau melepas lukisan itu. Kalau tak diperkenankan membeli lukisan itu, aku ingin melihatnya. Dan di rumah besar yang didiami Sekar, terdapat Eyang Putri, Ibu, adik perempuan Sekar, yang kesemuanya bergerak lamban. Eyang Putri selalu memandangiku dengan lama, penuh perenungan, seperti ingin mendalamiku, ingin memahami perasaanku. Ibunya sedikit lebih terbuka. Tersenyum dan mengajakku berbincang-bindcang. “Kau teman Sekar?” “Betul. Aku ingin membeli lukisannya.” “Sekar tak kan melepas lukisan empat perempuan dalam perut babi. Kalau kau memang ingin membeli lukisannya, belilah yang lain.” “Aku hanya ingin melihat lukisan itu!” Dibawalah aku ke sanggar lukis Sekar. Sebuah ruang yang agak luas di ruang belakang. Berjajar lukisan, kanvas, dan sebuah lukisan yang tak jadi, yang ditinggalkannya begitu saja. Ia pergi, dan tak tahu kapan bakal kembali. Tapi memandangi lukisan empat perempuan dalam perut babi, aku mulai memahami sepi yang merasuki suasana hatinya. Aku memahami betapa ia terhina. Apakah itu lantaran ulah ayahnya sepertiku? Ia tak pernah menyebut-nyebut ayah dalam hidupnya. Berkali-kali ia berbicang denganku, tetapi tidak pernah benar-benar menyingkap endapan perasaannya. Ia sungguh lebih parah dariku. Mungkin ia menanggung penghinaan yang lebih keji dariku. Ia tak memiliki apa pun, kecuali melukis. Kutunggui Sekar melukis. Aku diperkenankannya menunggui ia melukis malam itu. Berkali-kali aku memohon untuk dibiarkan menungguinya melukis. Dia memang memperkenankannya. Dia akan melukis. Ia banyak merokok, menenggak anggur merah, dan beberapa waktu merenung. Hampir tak berkata-kata. Berdiam diri. Aku tak disapanya sama sekali, kecuali dibiarkannya terkesima. Dia sempat berkata lirih, “Kuizinkan kau untuk memiliki lukisanku ini.” Dan mulailah Sekar melukis. Mula-mula pelan, sangat pelan, tipis, dengan guratan-guratan samar. Lambat laun ia bergerak lebih cepat. Lebih capat lagi, tegas, dan goresannya meluapkan perasaan-perasaan yang tak terduga. Sesekali ia menenggak anggur merah itu. Langsung dikulum dari mulut botol. Merokok. Melukis lagi. Membiarkanku terdiam. Memandanginya. Tirai gerimis dan desau angin merapuhkan malam. Ibu Sekar, perempuan setengah baya yang menyisakan gurat wajah keningratannya, menyuguhkan dua cangkir kopi mengepul dan goreng pisang hangat. Lewat tengah malam baru aku tahu, Sekar melukis seekor babi dengan tiga perempuan dalam perutnya. Dan seorang perempuan membebaskan diri dari perut babi itu. Bersayap lembut. Meronta. Tersenyum. Terbang meninggalkan ketiga perempuan yang meringkuk dalam perut babi. Aku tertidur. Bergelung di atas karpet merah. Gelisah. Sesekali terbangun. Menatap Sekar masih melukis. Tubuhnya melemah. Tapi terus saja ia melukis. Tak berhenti. Aku tertidur lagi. Merasakan angin pagi yang dingin, sepi, dan gugus waktu yang luruh. Tercium harum buah-buah kersen ranum. Aneh. Tidur yang sungguh aneh. Aku mencium aroma buah-buah kersen ranum yang terkelupas kulit luarnya. Menyengat, segar, dan manis. Sebuah tangan mengguncang tubuhku. Ibu Sekar membangunkanku. Aku tergeragap. Kabur. Samar. Bergoyang karena kantuk. Tubuh Sekar terbujur di bawah kanvas berlukiskan tiga perempuan bergelung dalam perut babi, dan seorang perempuan yang lain, bersayap, membebaskan diri. “Sekar sudah meninggal,” kata ibu Sekar, parau, tersekap dingin pagi. Ia memintaku mengangkat tubuh Sekar ke meja. Menata tubuhnya. Ia cantik, pucat, dan menampakkan segurat senyum. Kecantikan yang ikhlas. Kecantikan yang tak lagi menampakkan gurat dendam. Langit disepuh hangat fajar yang rekah, pelan, dan merebakkan aroma buah-buah kersen ranum yang terserak di pelataran rumah. Tetangga-tetangga berdatangan. Memandangi jasad Sekar. Memandangi lukisan yang hampir selesai: tiga perempuan di dalam perut babi dan seorang perempuan bersayap yang meninggalkan perut babi itu. Pemakaman di bukit itu hampir-hampir tanpa pelayat. Sekar madi dalam kesepian. Aku menungguinya. Seperti tersihir, aku tertidur. Kini saat dia dimakamkan, hanya terhitung beberapa orang yang hadir. Selain Eyang Putri, Ibu, adik perempuan Sekar dan aku, beberapa teman dekat perempuan itu—dapat dihitung dengan jari tangan—menaburkan bunga di atas pusaranya. Datang seorang lelaki tampan, berambut putih, mendaki makam. Diiringi dua orang ajudan yang berjalan tegap di belakangnya. Semua orang memandanginya. Dia tampak bimbang. Lelaki itu—seorang pejabat negara—datang dengan penampilan penuh harga diri. Enggan mendekat ke arah gundukan makam. Ibu Sekar yang bergegas menyambut. Menyalaminya. Dalam rindu dan duka yang tertahan. Tak memeluk lelaki tampan berambut putih itu. Ia menawarkan sekeranjang kembang untuk ditaburkan. Tapi ditolak. Ia menawarkan kendi berisi air agar dikucurkan di atas makam Sekar, sambil berbisik, “Ini yang terakhir, agar dia tenteram.” Bimbang sesaat, lelaki tampan dengan dagu terangkat—yang terkesan congkak itu—menggenggam leher kendi. Mengucurkan air kendi di atas makam Sekar. Aku berpikir, inikah babi yang dimaksud Sekar? Betapa tampan, ningrat, dan mengambil jarak dengan siapa pun yang hadir dalam pemakaman. Turun dari makam, aku kehilangan selera memiliki lukisan yang diselesaikan Sekar hingga menjemput ajal. Aku tak tega memilikinya. Sekar memendam luka maha dalam. Ia telah mempertaruhkan hidupnya saat menyelesaikan lukisan itu. Aku tak segera pulang. Kembali ke rumah duka. Duduk di bawah pohon kersen. Tercium aroma buah- buah kersen ranum, harum, dan terserak di pelataran rumah tua. Pandana Merdeka, November 19, 2006
""Empat Perempuan dalam Perut Babi""
Menjelang tengah malam. Ponsel dekat “bedlamp” bergetar. Terlalu lama untuk sebuah pesan pendek. Di perbatasan antara terjaga dan bermimpi, Budiman berdecak kesal sekaligus meraih ponselnya. Telepon dari Mbak Lita? Di malam selarut ini? “Halo….” “Budiman? Cepat setel televisi! Laporan khusus!” Lalu, terdengar suara tut pendek-pendek, pertanda telepon seberang ditutup. Budiman malas-malasan meraih remote control dan menghidupkan televisi. Pas di channel yang menayangkan sisa laporan khusus. Tampak seorang pria berumur sekitar enam puluh tahun dalam posisi membelakangi kamera digiring dan dikawal belasan petugas kejaksaan dan kepolisian memasuki sebuah mobil tahanan yang parkir di depan pintu pagar yang terbuka lebar. Puluhan wartawan berbagai media merangsek berusaha mendekati pria tua ini, melontarkan berbagai pertanyaan yang tak begitu jelas terdengar. “Siapa yang menelepon?” Budiman tak menjawab pertanyaan istrinya yang ikut terjaga sebab seluruh konsentrasinya sedang terpusat untuk mengingat- ingat, siapa gerangan sosok pria tua yang serasa begitu dikenalnya itu. Sayang, kamera terus mengikutinya dari belakang hingga wajahnya tak kunjung tampak. Barulah ketika pria tua ini memasuki mobil tahanan, kamera bergerak sedemikian rupa hingga berhasil mengambil closeup-nya. “Pakde Muhargo…!” Budiman cepat-cepat mengambil ponselnya lagi. Menelepon balik ke ponsel Mbak Lita. Tidak aktif. Dicobanya langsung ke rumahnya di Batam. Tak ada yang mengangkat. “Coba saja tanya Mbak Rina.” “Sudah sebulan ini dia tinggal di Amerika. Aku nggak tahu nomor teleponnya.” “Kenapa nggak langsung nelpon ke rumah pakde aja?” Budiman terdiam. Saat ini suasana rumah pakde pastilah sangat tidak kondusif untuk menerima telepon dari luar. Dan sebelum ia memutuskan untuk menelepon atau tidak, ponselnya sudah lebih dulu berbunyi, berturut-turut atas masuknya belasan pesan pendek. Dari saudara-saudara dan teman-teman dekat, yang semuanya bicara tentang penahanan atas diri Pakde Muhargo. Ada yang sekadar mengabarkan yang baru saja tertayang di televisi, ada yang mengajak semua berdoa untuk keselamatan beliau, ada yang mengutuk tindakan kejaksaan yang “biadab”, dan sebagian terbesar mengimbau agar para sanak saudara berkepala dingin dan tetap tenang karena “sekarang ini penahanan memang lagi ngetren dan lebih besar muatan politisnya daripada benar-benar untuk menjunjung supremasi hukum”. Namun, Budiman paling tertarik dengan pesan pendek dari sebuah nomor yang tak dikenalnya, yang menyebutkan bahwa Bude Muhargo dirawat di paviliun VVIP sebuah rumah sakit internasional di Cikarang. “Eh, Budiman…. Sini, sini.” Budiman menghampiri budenya yang segera bangkit dari tempat tidur. “Tidak usah duduk, bude. Tiduran saja.” “Kamu pikir aku sakit?” tanya budenya sambil tersenyum. “Aku menginap di sini atas saran Nak Ustadz Ramadan ini. Supaya terbebas dari kejaran wartawan.” Seorang lelaki muda bersurban putih berwajah bersih yang berdiri tak jauh dari tempat tidur bude tersenyum hormat pada Budiman dan mengulurkan tangan mengajak bersalaman. “Ramadan.” “Budiman.” “Pengasuh pondok pesantren Janturan, yang didirikan pakdemu setahun lalu di Yogya,” kata bude menjelaskan. “Pakde melihat tata susila di kota pelajar itu makin lama makin memprihatinkan, dan terdorong untuk menyumbang karya nyata yang diharapkan minimal bisa menghambat laju kemerosotan moral di kalangan generasi muda. Eh, kok kebetulan ketemu dengan Nak Ramadan yang punya perhatian sama terhadap pembinaan anak-anak di sana. Ya, jadilah pesantren itu.” “Oh….” Budiman mengangguk- angguk, sementara dalam hati ia merasa telah keliru menilai situasi. Semula ia membayangkan bude berbaring dengan jarum infus, pipa oksigen berikut segala macam kabel peralatan kedokteran menempel di bagian tubuhnya. Semula ia mengira akan melihat bude dengan tatapan mata menerawang ke arah langit-langit ruangan, dengan air mata yang diam-diam membasahi pipi, dan bicara dengan suara terbata- bata. Nyatanya, beliau bicara sangat lancar. Kualitas suaranya tetap jernih. Ketenangannya tetap terjaga. Bahkan terlalu tenang untuk situasi yang mestinya sangat depresif ini. Menjelang saat sarapan tiba, Ustadz Ramadan berpamitan dan secara amat hati-hati bicara. “Kalau sekiranya subsidi dari Bapak buat pesantren untuk sementara dikurangi atau bahkan dihentikan, Insya Allah kami siap berswadaya.” “Oh, tidak, tidak. Sejak mulai berurusan dengan kejaksaan, Bapak selalu berpesan bahwa subsidi buat pesantren sudah merupakan komitmen yang tidak bisa ditawar-tawar, dan dengan cara apa pun Bapak akan tetap menjalankan komitmennya. Jadi Nak Ramadan tidak perlu risau oleh kondisi yang sedang dihadapi Bapak saat ini.” Sepeninggal Ustadz Ramadan, barulah bude menghela napas panjang. “Zaman sekarang lebih dari zaman edan, Bud. Semua orang lagi pada mabuk kepingin jadi pahlawan. Tapi karena sudah terlalu lama jadi orang miskin, yang paling gampang dijadikan musuh ya orang-orang yang punya rezeki lebih, seperti pakdemu.” “Boleh tahu, bude, apa yang dituduhkan kejaksaan pada pakde?” “Cerita lama, Bud. Penyalahgunaan yayasan Mangayu Bagyo, pembangunan hotel di Bogor dan Kintamani, yang katanya izin bangunannya tidak sesuai peruntukan, mark-up dana pembelian kapal-kapal patroli buat angkatan laut, dan… apa lagi, gitu, aku malah tidak ingat semuanya. Terlalu banyak, Bud. Terlalu banyak orang yang ingin kebagian rezeki dengan cara-cara yang tak kenal malu hingga segala sesuatu yang sudah semestinya malah diutak- atik, diobok-obok, supaya seolah-olah ada masalah. Lalu, ahli-ahli hukum yang katanya pinter-pinter itu berebut menyumbang kepintarannya dengan cara menafsir-nafsir pasal-pasal hukum hingga yang selama ini dianggap benar bisa jadi salah, yang selama ini tidak melanggar hukum bisa dianggap melanggar hukum. Memalukan, Bud, memalukan sekali orang-orang seperti itu. Sampai hati menistakan diri sendiri demi uang yang tak seberapa nilainya.” Tidak seperti biasanya, selewat tengah malam Budiman terjaga untuk melakukan salat tahajud. Tak kurang dari sejam ia berdoa dan terus berdoa, memohon pada Tuhan agar Pakde Muhargo diberi kekuatan lahir dan batin menghadapi situasi yang absurd ini. Budiman sungguh tak rela kalau pakdenya yang sangat dihormatinya itu sampai benar-benar dimejahijaukan dan dipenjara. Bagi Budiman, Pakde Muhargo memang segala-galanya. Lebih dari sekadar kakak almarhum ayahnya, beliau adalah seorang panutan, sesepuh sekaligus “juru selamat” bagi kehidupan pribadi dan rumah tangganya. Budiman tak akan pernah melupakan masa remajanya, yaitu setelah lulus SMP pindah ke Jakarta dan tinggal di rumah pakdenya ini. Setiap pagi ia bangun jam setengah lima untuk mengepel lantai, mencuci mobil, dan menyapu taman sebelum ia mandi dan bergegas berangkat sekolah dengan mengejar bus kota untuk mencari celah di antara belasan orang yang bergelantungan di pintu belakang. “Jer basuki mawa bea, Bud,” begitu Pakde Muhargo saat itu selalu berucap pada Budiman. Bahwa untuk mencapai kebahagiaan pastilah diperlukan pengorbanan. Budiman sangat mempercayai ucapan itu karena Pakde Muhargo telah membuktikannya sendiri. Bagaimana beliau dengan gagah berani menjalani masa- masa penuh kemiskinan sebagai prajurit di berbagai pertempuran dan tugas-tugas ketentaraan lainnya, terus merangkak naik menjadi perwira tinggi, menjabat sebagai komandan di berbagai kesatuan, sampai dipercaya memegang jabatan-jabatan penting di pemerintahan berikut jabatan komisaris di berbagai perusahaan. “Nasib orang memang sulit diduga, Bud. Kadang bisa di puncak, kadang bisa di bawah. Untuk itu kita harus selalu ingat pada falsafah pohon. Puncak pohon bisa berkibar anggun karena dukungan batang dan kekuatan akar. Jadi selagi kita di puncak, kita tidak boleh melupakan yang di bawah. Tidak boleh melupakan akar yang diam-diam mendukung kita tanpa pernah mau menonjolkan diri.” Dan falsafah tersebut secara konsisten diterapkan Pakde Muhargo dalam kehidupan sehari- hari. Setiap memperoleh pendapatan lebih dari gaji yang diperolehnya tiap bulan, entah itu dari proyek-proyek yang dipercayakan padanya atau dari sumber mana pun, beliau senantiasa membagi rata ke setiap bawahan. Dari tingkat staf sampai karyawan paling rendah. Tak terkecuali. Itulah maka semua bawahannya, atau bahkan yang sudah jadi mantan bawahan, senantiasa loyal dan sangat menghormati pakde. Mereka senantiasa mengenang beliau sebagai atasan yang “sangat penuh pengertian” dan mengenang periode menjadi bawahan beliau sebagai “masa penuh kesejahteraan”. Namun, orang yang sangat dihormati itu kini terkurung di sebuah ruang tahanan yang menghinakan dirinya, yang menistakan martabatnya, yang menafikan segala kebajikan yang pernah diperbuatnya. Maka, Budiman pun merasa harus segera bertindak untuk menghentikan penzaliman terhadap pakdenya ini. Seminggu kemudian…. “Insya Allah semuanya akan terkendali, bude. Saya sudah menghubungi Mas Prawoto. Dia yang akan mengatur susunan hakim di pengadilan tingkat pertama.” “Tetap harus ke pengadilan juga?” “Demi menghormati prosedur hukum saja, bude. Nggak enak juga kalau sudah terlanjur kelihatan digelandang masuk tahanan, tahu-tahu keluar begitu saja. Kasihan Oom Karsono.” “Ah! Karsono itu cari muka. Demi ambisinya untuk bisa naik jadi jaksa agung dia tega mengkhianati pakdemu.” “Sebenarnya tidak seburuk itu, bude. Sebelum malam penjemputan itu, pakde ternyata sudah berkomunikasi dengan Oom Karsono dan bisa memahami posisi Oom Kar yang sangat sulit dalam menghadapi tekanan publik untuk menyeret pakde ke meja hijau. Jadi, ini soal tarik ulur saja. Cuma… itulah, dari dulu pakde tidak punya channel di kalangan media, jadi pemberitaan atas kasus-kasus pakde sama sekali tidak terkontrol.” “Kebebasan…,” Bude bergumam lirih sambil menghela napas panjang. “Semuanya jadi kebablasan.” “Memang, bude. Sehubungan dengan itu pula saya ingin menyarankan bude agar segera pindah dari rumah sakit ini.” “Lho kenapa…??” “Sudah ada wartawan yang tahu bude menginap di rumah sakit ini.” “Oalah, Gusti…. Terus aku harus pindah ke mana?” “Terserah bude memilih mana. Rumah di Pondok Indah saya rasa cukup aman.” “Jangan! Nanti bisa bikin pekewuh Mas Abdul. Masa istri tahanan bertetangga sama Kapolda. Kalau sampai ketahuan, beritanya bisa dipelintir jadi macam- macam.” “Atau di Kota Wisata?” “Memang kita ada rumah di sana?” “Ada, bude. Yang tahun lalu dikasih sama si Tantra. Ideal sebagai tempat nyepi. Tapi kalau bude menghendaki yang di masih di Jakarta, paling sepi ya rumah Kemang.” “Lho, bukannya sudah dijual?” “Nggak jadi, bude. Sama broker dikasih harga sembilan milyar, jadinya malah nggak laku. Cuma kondisinya memang sekarang kurang terawat. Kalau bude mau pindah ke situ harus dibersihkan dulu.” “Padahal harus segera.” “Benar, bude. Yang paling siap huni dan paling aman sebetulnya di apartemen. Terserah bude, mau memilih yang di Paku Buwono atau yang di Menteng. Sampai sekarang dua-duanya belum pernah ada yang menempati.” “Nggak ah. Kalau gempa bumi bisa mati berdiri.” Sebuah Mercy seri 600 meluncur lembut dan berhenti di pelataran parkir VIP bandara. Budiman membantu Bude Muhargo keluar mobil, membawanya ke arah pintu khusus, untuk menunggu penerbangan ke New York. Bude akhirnya memutuskan untuk sekalian menemani Rina, putrinya, yang sedang mengambil S-3 di sana. Di ruang tunggu bude menyerahkan sebuah tas kecil ke Budiman. “Ini kunci-kunci safe deposit box, Bud. Semua aku titipkan ke kamu. Kalau kamu perlu cash US dollar ambil saja dari yang di Citibank. Kalau tidak salah masih ada sisa sekitar satu atau satu setengah juta di situ. Buat bayar uang muka pengacara-pengacara aku rasa lebih dari cukup. Kalau mau rupiah, tadi siang aku sudah transfer lima M ke rekening kamu. Prawoto sama Karsono pasti perlu buat ngasih teman- temannya.” “Eyaaang!” Budiman menoleh mendengar suara Tito, anaknya, yang menyusul datang dengan mobil lain sepulang dari les matematika. Bude Muhargo langsung tersenyum lebar dan menyambut si kecil dengan pelukan hangat. “Eyang! Aku tadi lihat eyang kakung di televisi.” Budiman seketika berpandangan dengan istrinya. “Eyang kakung itu ternyata koruptor, ya?” “Tito!!!” “Bukan, sayang,” buru-buru bude mendahului bicara. “Eyang kakung bukan koruptor. Koruptor itu orang jahat. Eyang bukan orang jahat. Eyang cuma dituduh melakukan kejahatan. Orang-orang yang menuduh itu justru yang jahat.” “Kalau memang nggak salah kenapa eyang mau ditahan?” Bude Muhargo terdiam sesaat. Lalu berbisik dekat telinga Tito. “Kalau sudah besar nanti Tito akan tahu, tidak semua yang tidak kita inginkan itu bisa kita hindari. Seperti halnya musibah. Nah eyang kakung saat ini sedang ditimpa musibah.” *** Jakarta, 10 November 2006
""Musibah""
Mengenang perempuan itu ibarat menonton cukilan-cukilan adegan yang diam-diam menyatu dalam sebuah film. Wajahnya seperti embun, matanya bening. Bibir mungilnya selalu tersenyum membuat setiap orang yang bertemu ingin menyapa. Ia seorang perempuan yang merancang sendiri kehidupannya. Sejak remaja ditentukannya apa yang akan ia lakukan, kapan akan menikah, dengan laki-laki seperti apa, akan punya anak berapa, seperti apa akan membesarkan mereka, itu semua sudah ia pikirkan. Perempuan itu menggoreskan sendiri takdirnya. Saat berusia dua puluh tahun ia jadi ibu dari dua anak, satu perempuan dan satu laki-laki. Sebuah peristiwa telah mengubah impiannya, jadi mimpi menyeramkan. Sekolah tempat ia bekerja dibakar. Ayah dan suaminya menghilang entah ke mana. Tinggallah ia bersama ibu, delapan adik, dan dua anak di rumah masa kecilnya. Tak ada yang mau mendekati rumah itu. Beberapa orang bahkan melempari temboknya dengan tinja. Siang hari hanya mereka yang bersepatu lars sesekali terlihat ke luar masuk. Malam hari rumah itu bagai bayangan besar yang pekat, gelap, tak ada terang setitik pun. Pintu dan jendelanya tetap terbuka. Engsel-engselnya menjerit saat angin menyentuh. Tapi perempuan itu tahu kadang ada nafas-nafas lain selain ia, ibu, adik dan anaknya. Mereka, gerombolan bersarung yang siap menggasak apa saja, termasuk nyawa sekalipun. Menurut kabar, mereka telah penggal beratus, bahkan beribu kepala manusia di sepanjang Kali Brantas. Karena itu, setiap kali mereka datang, malam pun jadi sesak. Perempuan itu bersama ibunya akan berjaga-jaga di balik pintu kamar sambil berdoa. Saat semburat pertama mengembang di ufuk timur, perempuan itu menghitung tubuh-tubuh yang berjejal di kolong dipan. “Delapan, lengkap!” Anak perempuannya lelap di dekapan ibunya yang pulas di sudut kamar. “Lengkap….” Ia pun tertidur sambil memeluk anak laki-lakinya. Tahun hampir berujung, namun satu interogasi ke interogasi lain seolah tiada akhir. Awalnya perempuan itu menggigil saat pertama kali digiring ke markas. Kali ketiga ia mulai terbiasa, bahkan ia sudah bisa tersenyum saat menjawab pertanyaan. Pertanyaan-pertanyaan yang sama, yang ia jawab dengan jawaban yang juga selalu sama: tidak tahu! Ia memang sungguh tak tahu di mana ayah dan suaminya berada. Tapi ia sudah tahu takdir kedua lelaki itu, mereka tak mati, tak boleh mati. Dan, ia putuskan untuk melukis pencarian di setiap jengkal kota. Perempuan itu tahu pasti ayah dan suaminya tak mati. Detak jantung kedua lelaki itu terus memanggil-manggil, mengajaknya melangkah ke penjara Tangerang. Di halamannya yang kering, keduanya hampir tak bisa dibedakan dengan ratusan lelaki lain yang sedang berdiri dalam barisan, kurus dan kumal. Sejak itu, setiap minggu senyum perempuan itu jadi penguat bagi mereka untuk tetap memberi jawaban yang sama pada petugas: tidak tahu! Satu tahun sudah peristiwa itu berlalu. Perempuan itu masih tinggal di rumah masa kecilnya. Tetap saja, hanya mereka yang bersepatu lars yang datang. Satu adik perempuannya memilih kawin dengan kepala gerombolan yang dulu acapkali porak-porandakan rumah. Hal itu sedikit membawa perubahan, tak ada lagi tamu yang merusak malam. Sisanya tak berubah, teman atau kerabat sama saja, membuang muka saat berpapasan. Penghuni rumah itu dianggap petaka. Orang-orang tahu, seribu mata- mata memasang mata dan telinga untuk menangkap siapa pun yang dianggap mengenal mereka. Nyanyian jangkrik mengurai sepi. Sepi pun porak bagai kaca pecah ketika anak perempuannya berteriak dari beranda belakang. “Bapak pulang! Bapak pulang!” “Suruh anakmu diam!” perintah ibunya panik. Perempuan itu setengah berlari menghampiri anaknya yang sedang bermain. “Buu, Bapak pulang!” “Sst, Maya jangan begitu, diam sayang, nanti dikira orang betul Bapakmu pulang….” Sosok tipis menghampiri perempuan itu. Tak percaya ia tatap tubuh di balik caping petani yang tutupi tirus pasi. “Ini aku.” Perempuan itu lepaskan bekapan di mulut anaknya. Ia peluk lelaki di hadapannya. Dua bulir basahi dada kerontang lelaki itu. “Bapak bagaimana?” “Bapak masih di sana. Mereka melepaskanku karena disentri yang semakin parah. Aku disuruh pergi, sebelum mati di penjara.” Tak ada lagi kata-kata, malam pun berlalu dengan lengang yang tak berbeda. Senyum perempuan itu butakan mata, tulikan telinga para mata-mata. Berhari seperti itu, seolah tak ada yang berarti terjadi. Tak ada yang tahu, bahkan ketika mereka tinggalkan rumah itu, tinggalkan Jakarta. “Lintang, ajak Suryo pergi dari sini, Ibu sudah siapkan semuanya. Pergilah kalian ke tempat Mang Golibi. Geura indit, geulis, bawa Maya, biar Ibu yang urus Teguh.” Sebuah kota yang diselimuti kabut menyambut mereka. Tak ada rasa takut sedikit pun di hati perempuan itu. Sekali lagi, ia tentukan takdirnya. Ia akan bertahan bersama suami dan anak perempuannya. Mereka bertiga tak boleh mati! Mang Golibi, saudara jauh ibunnya, mengantar mereka ke sebuah pondok pesantren. Pemiliknya, Kiai Hanafi, memberikan pengharapan. Tak ada tatap menyelidik, tuturnya sisipkan hangat. “Ulah asa-asa, anggap saja di rumah sendiri.” Tapi, Mang Golibi ingatkan mereka untuk tetap tajamkan rasa. “Sama saja, di dieu oge banyak yang dibui, banyak juga yang dibuang ka pulo, yang mati juga banyak, yang hilang komo deui”. Meski dipagari gunung, tak urung kebencian yang sama mengalir sampai ke dusun-dusun terpencil. Perempuan itu tahu, tak ada pilihan, si kecil pun harus dibiasakan dengan panggilan baru, mengingat nama baru ayah dan ibunya, dan tentu saja tak boleh bercerita tentang kakek- neneknya kepada orang lain. Perempuan itu sadar, jika ingin hidup, tak ada pilihan, mereka harus kubur semua riwayat. Tak ada yang berubah dalam diri perempuan itu, walau hari kadang menggigit. Ia tetap berikan senyum pada suaminya yang berubah jadi pemarah, yang sering tanpa sebab, memakinya atau merusak perabotan rumah atau meleleh dalam takut yang sangat. Lelaki itu acapkali terbangun tengah malam ketika sepeda motor melintas di depan rumah. Bukan sekali lelaki itu tiba-tiba lunglai saat mendengar derap kaki orang di dekat rumah. “Mereka datang, mereka datang. Habislah aku, habislah kita!” Kalau sudah begitu, perempuan itu akan berikan dekapan hangat, mengusap-usap punggungnya, menenangkannya, hingga lelaki itu kembali bermimpi di bawah elusan senyumnya. Senyum yang sama yang ia berikan saat bumi menjemput hari. Senyum yang sama yang ia bagikan pada waktu yang terus berjalan. Ia pun terus merajut hari dengan kesabaran. Kesabaran yang membalut nyeri di hati suaminya, hingga lelaki itu perlahan mulai bisa pijakkan kaki di bumi. Begitulah hari merambat. Terkadang hari berjinjit sambil sematkan kabar di pucuk atap. Ibu, dua adik, dan anak lelakinya sudah tak lagi di Jakarta. Adik-adiknya yang lain tinggal berpencar, jadi pembantu di rumah kerabat. Hanya dua adik lelaki dan satu adik perempuan yang masih tinggal di rumah yang sama. Bapak masih ditahan, entah kapan akan pulang, tak tahu kapan bisa bertemu. Surat terakhir mengatakan, Bapak dipindah ke Salemba. Sementara seorang paman menjadi penghuni pulau di timur. Aku tak pernah bisa berhenti mengenang perempuan itu. Semua cerita tentangnya kukumpulkan remah demi remah. Aku bahkan sengaja mewawancarai orang-orang yang pernah kenal, atau sekadar tahu dirinya. Perempuan itu hidup dalam hidupku. Sebagian kisahnya hidup dalam hidupku. Orang pasti berpikir perempuan itu karang yang bergeming saat gelombang pasang, tapi tidak bagiku. Aku tahu pasti saat senyumnya luluh ketika pedih terlalu tajam. Tak jarang ia ingin bunuh hari saat hadapi trauma suaminya. Di saat seperti itu biasanya ia kemasi barang-barangnya. Aku masih ingat bagaimana perempuan itu mengangkat koper tua berwarna coklat muda pudar. Sebungkus air mata disembunyikan di bawah senyumnya. Saat itu aku pikir ia akan tinggalkan suaminya dan akan mengajakku kembali ke rumah masa kecilnya. Tapi ternyata ia hanya ingin titipkan pedih pada sebuah makam yang tak jauh dari rumah. Perempuan itu percaya kematian bisa dengarkan kehidupan. “Aku tak tahu makam siapa ini,” katanya menjawab pertanyaanku, “yang pasti, saat kita mencium wewangian, kita bisa mengadu pada jasad di bawah sana.” Ia punguti kembang kemboja yang berjatuhan di sekitar makam, lalu ditaruhnya di atas makam itu, lalu lanjutkan kata-katanya. “Aku sangat ingin bertemu ayah, ibu, dan adik-adikku. Aku juga ingin menimang anak lelakiku. Putingku masih merasa berdosa karena tinggalkan bibirnya. Kau tahu, aku ingin ada seorang yang bisa dengarkan diriku. Tapi, kepada siapa aku bisa bicara, jika tak seorang pun tahu diriku, tak seorang pun tahu namaku.” Telaga menggenang di kedua matanya, perlahan menetes jadi gerimis yang perih. Saat itu untuk pertama kali aku mengerti arti pedih. Mengenang perempuan itu ibarat menonton cukilan-cukilan adegan. Masih jelas tergambar saat ia menghitung untung barang-barang yang dikreditkannya pada orang-orang kampung. Masih kuingat saat ia ajari masukkan jamu godokan, racikannya sendiri, ke dalam botol-botol bekas sirup. Saat itu satu botol harganya limaratus rupiah. Aku tak akan lupa hari-hari yang dilewati perempuan itu. Hari ketika seorang tamu datang dan menangis sambil memeluknya. “Ternyata Zus masih hidup.” Seperti biasa perempuan itu berikan senyumnya. Senyum yang sama yang diberikannya padaku saat kutanya mengapa aku harus memanggil Kiai Hanafi kakek, padahal aku tahu dia bukan kakekku. Senyum yang sama juga diberikannya padaku saat kutanya mengapa ia tak lagi memanggilku Maya. Senyum perempuan itu memang tak pernah berubah, sama, tetap sama. Senyum yang sama yang diberikannya padaku saat kusibak kafan dan kubisikkan kata: “Akan kutulis di nisanmu namamu, namamu yang sesungguhnya, Lintang, biar mereka tahu siapa dirimu, siapa kita sebenarnya. Selamat jalan, Bunda!” Depok, 021206 ~ 22:22
""Lintang""
I. Jambangan bunga porselen di rumah Pak Amat hilang. Amat ngamuk. “Itu hadiah dari Gubernur. Barang kuno Cina dari dinasti Ming. Kalau dijual sekarang bisa lima milyar harganya!” teriak Amat mencak-mencak. Dari pagi hingga malam Amat uring-uringan dan menyalahkan segala macam sebab yang dianggapnya sudah jadi biang kehilangan. “Teledor! Ibu kamu sih yang kurang menghargai Bapak!” kata Amat pada Ami, “semua koleksi Bapak dibuangin satu per satu. Mula-mula burung perkutut. Katanya perkutut hanya bikin orang malas. Lalu anjing tidak boleh dipelihara, katanya rumah jadi bau. Lalu kursi rotan warisan orang tuaku, dijelek-jelekkan sebagai sarang bangsat, lalu dikasihkan begitu saja sama tetangga yang aku benci, lantas beli kursi yang pakai bantalan, tapi kalau diduduki jadi kempes dan bikin aku sakit pinggang. Kemudian sepeda, jam dinding, radio antik, meja marmar, lemari, kap lampu, bahkan juga pakaian-pakaianku semuanya disumbangkan kepada korban banjir. Padahal di antaranya ada jaket yang aku pakai waktu melamar dia dulu. Ibu kamu memang kurang perasaan. Sekarang jambangan bunga yang kata tetangga bisa laku sepuluh milyar, hilang, hanya karena jambangan itu pernah dipuji oleh wanita yang dicurigai ibu kamu itu bekas pacarku. Padahal … .” “Padahal memang iya kan!” potong Bu Amat yang tiba-tiba muncul membawa pisang goreng. Amat langsung menaikkan suara, mengoper jauh ke soal lain. “Jadi pacaran itu bukan tidak boleh, tapi mesti ada batasnya Ami! Kamu ini bukan perempuan biasa. Kamu ini jadi rebutan. Ke mana saja pergi banyak harimau mau menerkam. Ya kan, Bu? Aduh pisang gorengnya harum sekali, pasti enak ini!” “Sudah tidak usah dipuji, langsung saja dimakan. Dipuji juga tidak akan tambah enak,” kata Bu Amat mengulurkan pisang pada suaminya. Amat meraih pisang dan langsung hendak disodokkannya ke mulut. Tapi kemudian ia tertegun. Pisang itu dipijit-pijitnya, lalu menoleh istrinya sambil melotot. “Pisang apa ini keras?” “Pisang dari porselen. Untuk ganti vas bunga yang hilang itu.” Ami tertawa cekakan lalu mengambil pisang itu dari tangan bapaknya. “Wah ini persis banget. Dapat dari mana Bu?” Bu Amat tersenyum. “Itu hadiah ulang tahun dulu, dari anak bupati yang naksir Ibu.” “Bagus amat.” “Katanya itu buatan Cina dari dinasti Ming.” “Wah sama dengan vas bunga yang hilang ya?” “Sama…” “Harganya juga 10 milyar?” “Ya kalau asli. Itu kan buatan lokal.” “Palsu?!” “Ya itu keahlian kita.. Di pasar Mangga Dua Jakarta apa yang tidak ada.” “Persis sekali.” “Tapi ibu tahu itu barang palsu, makanya ibu menolak sebab dia, karena sudah menipu. Ibu lebih percaya pada orang yang sederhana tetapi jujur seperti bapakmu ini. Hanya saja sekarang lagi kumat darah tingginya.” Amat langsung bela diri. “Bukan begitu. Aku kesal kok jambangan bunga kesayangan bisa hilang.” Bu Amat tertawa. “O masih cinta sama jambangan itu ya? Atau cinta sama yang lain?” “Aku kesel!” “Kesel kenapa?” “Kalau bukan karena keteledoran kita, jambangan itu tidak akan hilang.” “Keteledoran siapa?” “Ya kita semua. Apa susahnya memasukkan jambangan bunga itu kalau sudah malam. Kan biasanya juga begitu. Sandal-sandal juga sekarang tidak berani kita taruh di luar sebab banyak orang mengira apa yang dibiarkan di luar itu boleh dipinjam selamanya. Jadi sebenarnya itu kesalahan kita!” “Kok kesalahan kita, salah pencuri itu dong!” potong Ami. “Salah kita, Ami!” sergah Amat. “Itu kesalahan kita. Maling tetap maling. Apa yang bisa dia maling akan dimalingnya. Kalau ada barang hilang bukan salah maling itu, tapi salah kita. Kenapa kita tidak hati-hati!?” Bu Amat tercengang. “Jadi yang salah aku dan Ami?” “Pokoknya bukan salah maling itu!” “Jadi salah aku dan Ami?” “Ya kita semua!” Bu Amat melengos, menghentakkan kaki karena tak setuju. Sambil merengut dia balik masuk rumah. “Sama dengan kasus Lapindo itu, Bu!” Bu Amat tidak menjawab, sebagai jawabannya pintu digebrakkan keras. “Wah ini alamat buruk,” desis Amat. Ami menghampiri bapaknya. “Kenapa Bapak bilang sama dengan kasus Lapindo?” “Ya sama kan! Orang banyak sudah salah kaprah. Untung ada Lapindo yang bisa dijadikan kambing hitam dan dituding sebagai yang bersalah. Itu kan sial saja. Coba kalau tidak ada penggalian oleh Lapindo, lumpur panas yang memang sudah mau muncrat itu satu ketika pasti akan muncrat juga.” “Jadi bukan salah Lapindo?” “Bukan!” “Lalu yang salah siapa” “Ya kita! Ya pemerintah! Ya semua aparat yang bertanggung jawab, kenapa selalu baru ngeh, baru ribut, baru mencak-mencak selalu sesudah kejadian. Kuno!” Ami tertegun. “Kalau begitu bapak tidak menyalahkan Lapindo?” “Ngapain! Bapak bukan orang latah yang suka cari kambing hitam!!!” Ami hampir saja mau nyemprot, tiba-tiba muncul para tetangga dengan hebohnya sambil mendorong seorang anak tanggung. “Ini dia pencurinya Pak Amat!” teriak tetangga itu sambil mendorong anak itu ke depan Amat. Ami dan Amat terperanjat sebab di tangan anak itu tergenggam jambangan bunga kesayangan Amat. “Ayo ngaku, biar jangan kami yang dicurigai!” bentak salah seorang tetangga. Anak tanggung itu ketakutan. Badannya gementar. Dia mau bicara. Tapi sebelum mulutnya terbuka, tiba-tiba bogem mentah Pak Amat mendarat di mukanya berkali-kali. “Lapindo! Lapindo!” II. Duduk di meja makan, Bu Amat berpidato. “Jadi jambangan bunga kesayangan Bapak itu sebenarnya tidak hilang. Tidak dicuri oleh Nak Kentut ini, tapi memang Ibu berikan baik-baik. Ya kan Nak Kentut?” Kentut, anak tanggung yang duduk di ujung meja mengangguk. Ia memakai baju kaus oblong baru yang diberikan oleh Ami. Mukanya masih benjol-benjol oleh pukulan Amat. Meski pucat, tetapi sudah bersih karena mandi, memakai sabun wangi serta parfum yang diberikan oleh Ami. Amat menatap takjub. “Nak Kentut ini sudah tidak punya ibu dan bapak lagi. Keluarganya juga entah di mana. Dia biasa tidur di dalam pasar. Waktu kita mau membuat selamatan yang terakhir itu, dia menolong Ibu mengangkut belanjaan dari pasar ke rumah. Itu pertama kali Ibu mulai kenal dengan Nak Kentut. Dia sudah hampir dua hari tidak makan. Lalu ibu belikan nasi pecel dan ajak ke rumah. Bapak dan Ami waktu itu tidak ada. Di rumah tanpa Ibu minta dia menyapu dan ngepel. Waktu diberikan uang dia menolak, sebab katanya sudah Ibu belikan makan. Lalu Ibu tawari apa dia mau bekerja membantu-bantu di rumah kita ini, kan lebih baik daripada tinggal di dalam pasar. Di situ pergaulannya keras, bisa-bisa nanti jadi orang sesat. Ibu tawari gaji bulanan dan kalau memang rajin, nanti mau kursus apa begitu, untuk bekal hidup, kita bantu biayanya. Tapi Nak Kentut menolak. Mungkin malu. Yak kan Nak Kentut?” Kentut mengangguk. “Yak kan?” “Ya.” “Ya Bu!” “Ya, Bu.” “Nah, sejak itu, setiap kali ke pasar, Nak Kentut selalu menolong Ibu mengangkut barang-barang. Ibu juga selalu membelikan dia nasi. Kemudian pakaian-pakaian Bapak yang tidak pernah dipakai lagi, Ibu berikan kepadanya, daripada dimakan tikus kan lebih baik dimanfaatkan. Ya kan Nak Kentut.” “Ya.” “Ya, Bu.” “Ya, Bu.” Amat tidak dapat lagi menahan diri. “O, jadi pakaian-pakaianku itu tidak hilang tapi diberikan kepada dia?” “Ya.” “Di mana pakaian itu sekarang?” “Di mana Nak Kentut?” Kentut menundukan kepalanya. “Di mana, Nak?” “Dipakai yang lain.” “Yang lain siapa?” “Orang-orang di dalam pasar yang tidur sama-samaku.” “Kenapa?” “Dibeli.” “Kamu jual?” “Ya.” “Berapa?” “Ya, ada yang ditukar dengan rokok, ada yang membelikan makan. Ada juga yang tukar dengan … .” “Dengan apa?” “Dengan gelek.” Amat seperti disambar geledek. “Apa? Gelek? Jadi kamu tukang ngisep gelek?” “Sabar, Pak.” “Sabar apa, kalau orang sudah ngisep gelek itu sudah kejahatan, bisa dihukum!” “Saya tidak ngisep gelek, Pak.” “Lalu?” “Ya ada saja yang beli.” Amat terbelalak. “Wah-wah! Itu lebih bahaya lagi. Pengedar itu bisa dihukum mati, tahu!” “Sabar, Pak, sabar. Itu kan dulu. Sekarang dia tidak begitu lagi. Ya kan Nak Kentut?!! Sekarang sudah insaf kan? Sekarang Nak Kentut sudah cari nafkah yang halal. Makanya Ibu bilang barangkali dia mau bantu menawarkan jambangan bunga itu kepada juragan-juragan Cina yang kaya-kaya. Siapa tahu barangkali benar laku 10 milyar. Ya kan Nak Kentut?” Kentut menundukkan mukanya. Amat tercengang. “Jadi Ibu yang sudah memberikan jambangan bunga itu pada dia, bukan dia yang mengambilnya?” Bu Amat mengangguk. “Ya Ibu bilang, sewaktu-waktu kalau sempat, nanti tolong tawarkan jambangan bunga itu kepada siapa saja, siapa tahu bisa jadi uang, bukan hanya jadi pajangan kebanggaan. Kita kan perlu uang, bukan kebanggaan. Ya tidak Pak? Makanya Bapak harus minta maaf sekarang karena sudah memukul. Orang mau menolong kok malah dipukuli. Ayo Pak, salaman dan minta maaf.” Amat bingung. Hatinya berontak dan mau protes, tapi kakinya disentuh oleh kaki istrinya, sehingga Amat terpaksa menindas perasaan. Ia berdiri dan mengulurkan tangan kepada Kentut. Kentut bingung dan takut, khawatir kalau tiba-tiba tangan itu mengepal lagi dan melanda mukanya. Ia hampir jatuh dari kursi sebab mau menghindar. Amat cepat menyabarkan dan menjabat tangannya. “Maaf Kentut, anggap saja semua itu adalah kecelakaan. Kita memang sebaiknya bicara baik-baik sebelum bertindak. Maaf !!!” Setelah disalami kemudian Ami mengantarkan Kentut pergi. Tinggal Amat dan Bu Amat di meja makan. “Heran aku, Ibu ini kok keterlaluan!” kata Amat. “Pencuri sudah maling jambangan bunga, malah dirawat, dikasih makan dan pakaian, aku disuruh minta maaf lagi. Nanti apa kata tetangga kita?!!!” “Stttt!” “Sssst apa!” “Lho Bapak sendiri kenapa bengok-bengok, maling itu tidak salah, tapi kita yang salah, hanya karena teledor?” “Lha itu kan taktik, Bu! Taktik! Aduh, Ibu ini bagaimana! Taktik untuk memancing tikusnya keluar. Kalau aku tidak bengok-bengok mengatakan malingnya tidak salah, si Kentut Busuk itu tidak akan keluar liangnya membawa jambangan itu dan menawarkannya pada tetangga. Jadi itu taktik. Strategi! Masak Ibu tidak paham!!!.” Bu Amat tak menjawab. “Makanya belajar politik sedikit, Bu!” Tiba-tiba Ami masuk bergegas. Mukanya berseri-seri. “Ibu pernah kehilangan dompet?” Amat bingung. Lalu ia memandangi istrinya. Bu Amat mula-mula tak menjawab. Tetapi kemudian mengangguk. “Tiga kali.” Amat kaget. Hampir saja ia mau marah, tapi suara Ami sudah memotong. “Ibu pernah kehilangan perhiasan?” “Dua kali.” Amat ternganga. Tetapi Ami tersenyum, lalu membuka tangannya yang semula menyembunyikan sesuatu. Di situ nampak tiga buah dompet, kalung dan gelang emas Bu Amat yang hilang. “Kentut mengembalikannya tadi. Katanya dia malu mengambil barang ini dari Ibu, satu-satunya orang yang masih mau mempercayainya dan Bapak yang bahkan tak segan-segan minta maaf, padahal vas bunga Bapak yang berharga 10 milyar sudah dia maling.” Jakarta, 21 Desember 06
""Maling""
Barang siapa ingin menyaksikan pilot berwajah kocak, tengoklah Pilot Bejo. Kulitnya licin, wajahnya seperti terbuat dari karet, dan apakah dia sedang gemetar ketakutan, sedih, atau gembira, selalu memancarkan suasana sejuk. Karena itu, kendati dia suka menyendiri, dia sering dicari. Kalau dilihat dari ilmu pengetahuan, entah apa, mungkin pula sosiologi, dia masuk dalam kawasan panah naik. Hampir semua neneknya hidup dari mengangkut orang lain dari satu tempat ke tempat lain. Ada leluhurnya yang menjadi kusir, lalu keturunannya menjadi masinis, dan setelah darah nenek moyang mengalir kepada dia, dia menjadi pilot. Karena pekerjaan mengangkut orang dapat memancing bahaya, maka, turun menurun mereka selalu diberi nama yang menyiratkan keselamatan. Dia sendiri diberi nama Bejo, yaitu “selalu beruntung,” ayahnya bernama Slamet dan karena itu selalu selamat, Untung, terus ke atas, ada nama Sugeng, Waluyo, Wilujeng, dan entah apa lagi. Benar, mereka tidak pernah kena musibah. Namun ingat, kendati pilot lebih terhormat daripada masinis, dan masinis lebih dihargai daripada kusir, masing-masing pekerjaan juga mempunyai kelas masing-masing. Ada kusir yang mengangkut orang-orang biasa, ada pula yang dipelihara oleh bangsawan dan khusus mengangkut bangsawan. Slamet, ayah Pilot Bejo, juga mengikuti panah naik: ayahnya, yaitu nenek Pilot Bejo, hanyalah seorang masinis kereta api jarak pendek, mengangkut orang-orang desa dari satu desa ke kota-kota kecil, sementara Waluyo, ayah Pilot Bejo, tidak lain adalah masinis kereta api ekspres jarak jauh. Dibanding dengan ayahnya, kedudukan Pilot Bejo jauh lebih baik, meskipun Pilot Bejo tidak lain hanyalah pilot sebuah maskapai penerbangan AA (Amburadul Airlines), yaitu perusahaan yang dalam banyak hal bekerja asal-asalan. Selama tiga tahun AA berdiri, tiga pesawat telah jatuh dan membunuh semua penumpangnya, dua pesawat telah meledak bannya pada waktu mendarat dan menimbulkan korban- korban luka, dan paling sedikit sudah lima kali pesawat terpaksa berputar-putar di atas untuk menghabiskan bensin sebelum berani mendarat, tidak lain karena rodanya menolak untuk keluar. Kalau masalah keterlambatan terbang, dan pembuatan jadwal terbang asal-asalan, ya, hampir setiap harilah. Perjuangan Bejo untuk menjadi pilot sebetulnya tidak mudah. Setelah lulus SMA dia menganggur, karena dalam zaman seperti ini, dalam mencari pekerjaan lulusan SMA hanyalah diperlakukan sebagai sampah. Untunglah ayahnya mau menolong, tentu saja dengan minta tolong seorang saudara jauh yang sama sekali tidak suka bekerja sebagai kusir, masinis, pilot, atau apa pun yang berhubungan dengan pengangkutan. Orang ini, Paman Bablas, lebih memilih menjadi pedagang, dan memang dia berhasil menjadi pedagang yang tidak tanggung- tanggung. Ketika dengan malu-malu Bejo menemuinya, dengan lagak bijak Paman Bablas berkhotbah: “Bejo? Jadi pilot? Jadilah pedagang. Kalau sudah berhasil seperti aku, heh, dapat menjadi politikus, setiap saat bisa menyogok, dan mendirikan maskapai penerbangan sendiri, kalau perlu kelas bohong-bohongan.” Mungkin karena wajah Bejo kocak, Paman Bablas tidak sampai hati untuk menolak. Maka, semua biaya pendidikan Bejo di Akademi Pilot ditanggung oleh Paman Bablas. Kendati otak Bejo sama sekali tidak cemerlang, akhirnya lulus, dan resmi mempunyai hak untuk menjadi pilot. Namun, resmi mempunyai hak untuk menjadi pilot, tidak selamanya dapat menjadi pilot, bahkan ada juga yang akhirnya menjadi pelayan restoran. Mirip-miriplah dengan para lulusan Akademi Pimpinan Perusahaan. Mereka resmi berhak menjadi pimpinan perusahaan, tapi perusahaan siapakah yang mau mereka pimpin? Andaikata dia minta tolong Paman Bablas lagi, kemungkinan besar dia akan diterima oleh maskapai besar. Namun dia tahu diri, apalagi dia percaya, darah nenek moyang serta namanya pasti akan terus melesatkan panah ke atas. Panah benar-benar melesat ke atas, ketika maskapai penerbangan SA (Sontholoyo Airlines) dibuka. Setelah mengikuti ujian yang sangat mudah sekali, Bejo langsung diterima tanpa perlu latihan-latihan lagi, hanya diajak sebentar ke ruang simulasi, ke hanggar, melihat-lihat pesawat, semua bukan milik Sontholoyo Airlines, lalu diberi brosur. Ujian kesehatan memang dilakukan, oleh seorang dokter, Gemblung namanya, yang mungkin seperti dia sendiri, sudah bertahun-tahun menganggur. Dokter Gemblung bertanya apakah dia pernah operasi dan dia menjawab tidak pernah, meskipun sebenarnya dia pernah operasi usus buntu. Pada hari pertama akan terbang, dia merasa bangga sekali. Dengan pakaian resmi sebagai pilot, dia menunggu jemputan dari kantor. Dia tahu, beberapa hari sebelum terbang dia pasti sudah diberi tahu jadwal penerbangannya, tapi hari itu dia tidak tahu akan terbang ke mana. Melalui berbagai peraturan dia juga tahu, paling lambat satu jam sebelum pesawat mulai terbang, pilot sudah harus tahu keadaan pesawat dengan jelas. Demikianlah, sejak pagi sekali dia sudah menunggu di rumah, dan akhirnya, memang jemputan datang. Sopir ngebut lebih cepat daripada ambulans, menyalip sekian banyak kendaraan di sana dan di sini, karena, katanya, sangat tergesa-gesa. Dia baru tahu dari bos, bahwa hari itu sekonyong-konyong dia harus menjemput Pilot Bejo. Begitu tiba di kantor Sontholoyo di bandara, Pilot Bejo dengan mendadak diberi tahu untuk terbang ke Makassar. Sebagai seorang pilot yang ingin bertanggung jawab, dia bertanya data-data terakhir mengenai pesawat. Dengan nada serampangan bos berkata: “Gitu saja kok ditanyakan. Kan sudah ada yang ngurus. Terbang ya terbang.” Demikianlah, dengan tangan gemetar dan doa-doa pendek, Pilot Bejo mulai menerbangkan pesawatnya. Sebelum masuk pesawat dia sempat melihat sepintas semua ban pesawat sudah gundul, cat di badan pesawat sudah banyak mengelupas, dan setelah penumpang masuk, dia sempat pula mendengar seorang penumpang memaki-maki karena setiap kali bersandar, kursinya selalu rebah ke belakang. Hari pertama disusul hari kedua, lalu disusul hari ketiga, dan demikianlah seterusnya sampai tahun ketiga tiba. Dia tidak berkeberatan lagi untuk dijemput terlambat lalu diajak ngebut ke bandara, merasa tidak perlu lagi bertanya mengenai data-data pesawat, merasa biasa mendengar penumpang memaki-maki, dan tenang-tenang saja dalam menghadapi segala macam cuaca. Darah nenek moyang dan namanya pasti akan menjamin dia, apa pun yang terjadi. Tapi, mengapa manusia menciptakan kata “tapi”? Tentu saja, karena “tapi” mungkin saja datang setiap saat. Dan “tapi” ini datang ketika Pilot Bejo dalam keadaan payah karena terlalu sering diperintah bos untuk terbang dengan jadwal yang sangat sering berubah-ubah dengan mendadak, gaji yang dijanjikan naik tapi tidak pernah naik-naik, mesin pesawat terasa agak terganggu, dan beberapa kali mendapat teguran keras karena beberapa kali melewati jalur yang lebih jauh untuk menghindari badai, dan entah karena apa lagi. Demikianlah, dalam keadaan lelah, dengan mendadak dia mendapat perintah untuk terbang ke Nusa Tenggara Timur. Awan hitam benar-benar pekat. Hujan selama beberapa jam menolak untuk berhenti. Pesawat beberapa kali berguncang-guncang keras, beberapa penumpang berteriak-teriak ketakutan. Semua awak pesawat sudah lama tahan banting, tapi kali ini perasaan mereka berbeda. Dengan suara agak bergetar seorang awak pesawat mengumumkan, bahwa pesawat dikemudikan oleh pilot bernama Bejo, dan nama ini adalah jaminan keselamatan. “Percayalah, Pilot Bejo berwajah kocak, tetap tersenyum, tidak mungkin pesawat menukik.” Pilot Bejo sendiri merasa penerbangan ini berbeda. Hatinya terketar-ketar, demikian pula tangannya. Meskipun wajahnya kocak, hampir saja dia terkencing-kencing. Dia tahu, bahwa seharusnya tadi dia mengambil jalan lain, yang jauh lebih panjang, namun terhindar dari cuaca jahanam. Dia tahu, bahwa dia tahu, dan dia juga tahu, kalau sampai melanggar perintah bos lagi untuk melewati jarak yang sesingkat-singkatnya, dia pasti akan kena pecat. Sepuluh pilot temannya sudah dipecat dengan tidak hormat, dengan kedudukan yang disahkan oleh Departemen Perhubungan, bunyinya, “tidak layak lagi untuk menjadi pilot selama hayat masih di kandung badan,” dengan alasan “membahayakan jiwa penumpang.” Meskipun ketika masih belajar di Akademi Pilot dulu dia tidak pernah menunjukkan keistimewaan, dia tahu bahwa dalam keadaan ini dia harus melakukan akrobat. Kadang-kadang pesawat harus menukik dengan mendadak, kadang-kadang harus melesat ke atas dengan mendadak pula, dan harus gesit membelok ke sana kemari untuk menghindari halilintar. Tapi dia tahu, bos akan marah karena dia akan dituduh memboros-boroskan bensin. Dia juga tahu, dalam keadaan apa pun seburuk apa pun, dia tidak diperkenankan untuk melaporkan kepada tower di mana pun mengenai keadaan yang sebenarnya. Kalau ada pertanyaan dari tower mana pun, dia tahu, dia harus menjawab semuanya berjalan dengan amat baik. Tapi, dalam keadaan telanjur terjebak semacam ini, pikirannya kabur, seolah tidak ingat apa-apa lagi, kecuali keadaan pesawat. Bisa saja dia mendadak melesat ke atas, menukik dengan kecepatan kilat ke bawah, lalu belok kanan belok kiri untuk menghindari kilat-kilat yang amat berbahaya, namun dia tahu, pesawat pasti akan rontok. Dia tahu umur pesawat sudah hampir dua puluh lima tahun dan sudah lama tidak diperiksa, beberapa suku cadangnya seharusnya sudah diganti, radarnya juga sudah beberapa kali melenceng. Perasaannya sekonyong menjerit: “Awas!” Dengan kecepatan kilat pesawat melesat ke atas, dan halilintar jahanam berkelebat ganas di bawahnya. Lalu, dengan sangat mendadak pula pesawat menukik ke bawah, dan halilintar ganas berkelebat di atasnya. Semua penumpang menjerit-jerit, demikian pula semua awak pesawat termasuk kopilot, kecuali dia yang tidak menjerit, tapi berteriak-teriak keras: “Bejo namaku! Bejo hidupku! Bejo penumpangku!” Pesawat berderak-derak keras, terasa benar akan pecah berantakan.
""Kisah Pilot Bejo""
Ke mana pun dia pergi, di benaknya terbayang sebuah lubang ancaman. Begitu besar dan menakutkan, siap menelannya, menyusul tumbangnya raja tiranis yang berkuasa lebih dari tiga puluh tahun. Dia sadar, di kalangan teman-teman, dia tak lebih dari seonggok daging yang hanya pantas untuk dirajam. Sekalipun begitu, kalau mati, dia menginginkan tempat yang pas untuk jasadnya. Keinginan itu memuncak ketika kadar gula dalam darahnya mencatat titik yang belum pernah tercapai. Dia semakin sering merenung, dan serempak dengan semakin bertambah ngilunya seluruh persendian tubuhnya semakin dia yakin bahwa maut sudah tak bisa ditampik. Sepetak tanah di kota kita, yang penuh-sesak dan berkembang begini liar, bukanlah komoditi yang bisa menjadi impian semua orang. Kecuali buat dia. Kontaknya dengan penguasa keamanan, kepada siapa dia menjual kepala teman-teman selama ini, memungkinkannya untuk mengosongkan dengan paksa satu areal tanah di tepi kota. Bagian depan lahan itu dia cita-citakan sebagai rumahnya di dunia baka. Setelah lahan itu dia kuasai, boleh dibilang hampir saban hari dia berdiri di situ, memandangi kota yang terhampar di bawah, walau alam terasa tak bersahabat dengannya. Kakinya terasa kebas. Ranting-ranting kemboja mena- tapnya dengan dingin. Seperti mengejek. Sementara angin darat yang lembab berdebu berbisik dengan culas di kakinya. Jatuhnya sang tiran dan perubahan politik yang tak pernah terbayangkan, dari hari ke sehari membuat hatinya semakin ciut, menggigil. Dia sadar akan apa yang telah dia lakukan terhadap teman-temannya selama ini. Dan betapa mencemaskan kemungkinan dendam yang harus dia hadapi. Kecemasan dan ketakutan yang semakin mendesakkannya ke lubang maut. Dan kematian akhirnya datang meringkusnya berbarengan dengan kecemasan yang tak tertahankan. Suatu subuh, batang tubuhnya menggigil hebat, lantas kejang, kaku, dan dia mati bak pisang yang terlalu dalu. Kehendak siapa sehingga rumah duka tetap sepi manakala jenazahnya sudah berjam lamanya menanti pelayat? Masa lalu yang ditinggalkan oleh dia, yang terbaring membatu di ruang tengah itu, benar-benar telah datang membawa dendam. Tiada teman lama yang datang. Orang-orang militer, yang menangguk dari petualangannya, juga tak terlihat batang hidungnya. Pepatah, “Habis manis sepah dibuang”, sungguh menemukan tamsil pada peti mati itu. Kesepian mendidih. Tak ada kematian sesia-sia ini. Selepas lohor, peti berselimut kain hijau itu diantarkan mobil jenazah ke pekuburan. Keranda dibujurkan di tanah, dengan kepala jenazah menghadap ke arah kota. Kemudian, mobil jenazah meninggalkan petak kematian. Sunyi di siang bolong, di pekuburan itu, semakin menekan. Angin kering. Tak tercium bau air mawar. Tak ada karangan bunga. Tak selembar kartu tanda turut berdukacita yang tiba di pemakaman itu. Suasana mengingatkan pada lukisan termasyhur tentang seekor celeng yang mati membusuk, kepala tersungkur, digerayangi gagak dan lalat hijau mengiringi kematiannya yang hina di tepi kota. “Tanpa bunga dan telegram duka,” *) begitu teks lukisan tersebut. Persis di kepala keranda, sang istri, satu-satunya pengantar jenazah, tampak berlutut. Gaunnya mencium tanah. Selembar setangan remuk diremas-remas jemarinya. Sebentar-bentar dia telungkupkan wajah di kepala peti jenazah. Dengan mata merah, dia menatap ke arah kota. Kehilangan memang membuat dia menangis, walau tak sampai membuatnya tersedu. Perilaku suaminya itu semasa hidup menjadi ganjalan, sehingga mata dan hatinya tersendat dalam menumpahkan duka. Dia berdiri dan melangkah beberapa depa ke depan, menatap kota seperti hendak mengadu kepada warga di bawah sana. Kemudian, pelayat tunggal itu mundur kembali mendekati peti mati dan menyebarkan pandang ke sekeliling. Angin siang yang lembab membuat bulir air duka tertahan di tapuk matanya. “Ba, tak kusangka,” bisiknya perlahan, terlalu perlahan, di kepala peti mati suaminya itu. “Oh, siapa yang menyangka bisa jadi begini…?” Peti mati itu tetaplah peti mati. Wanita itu sedang mengadu kepada debu dan angin yang terbang, barangkali. Memang, tak siapa pun menyangka. Dia, sebagai istri, tidak. Suaminya, yang terbujur di dalam peti mati buatan Jepara, itu pun tidak. Lihatlah! Taman pekuburan sungguh sepi. Para penggali kubur, yang biasanya berebut menawarkan jasa, tak seorang pun kelihatan. Siapa yang menduga mereka akan melampiaskan dendam terhadap laki-laki di dalam peti mati itu? Mereka bergerombol di segundukan tanah merah, di balik batang-batang kemboja, beberapa puluh meter dari peti mati. Mereka adalah orang-orang yang tempo hari dengan mudah dilumpuhkan oleh sepasukan besar aparat keamanan bersenjata, yang datang menerjang, menguasai tanah itu untuk memenuhi keinginan lelaki yang kini terkurung di dalam kotak sempit terbuat dari kayu, yang terbengkalai, tak punya siapa-siapa, kecuali istri, yang cuma bisa pasrah menghadapi sebuah dendam. Lelaki di dalam keranda itulah yang membocorkan bahwa lahan yang jadi pekuburan sekarang ini, dulunya adalah milik sebuah komunitas agama yang dipatoki Barisan Tani Indonesia awal 1960-an, ketika gencar-gencarnya “aksi sefihak” yang dilancarkan oleh organisasi tani beraliran merah tersebut untuk melaksanakan landreform. Bahwa tanah siapa pun, yang lebih dari lima hektar, harus dibagikan kepada petani tak bertanah, sesuai fatwa undang-undang pokok agraria Republik. Para penggali kubur yang tak kuasa menahan dendam, yang memandang peti mati dengan mata nanar dari gundukan tanah merah di balik pokok-pokok kemboja, adalah anak-anak dari petani tak bertanah, nan buta huruf, yang dengan sukacita menerima rezeki yang tak pernah mereka impikan. Tetapi, tanah itu jugalah yang membawa malapetaka menyusul pemusnahan “sampai ke akar-akarnya” terhadap mereka yang dituduh, tanpa bukti, membunuh para jenderal. Yang bernasib buruk dicampakkan ke dalam kuburan massal. Banyak yang darahnya memerahkan air sungai begitu kepala mereka yang terkulai, karena bacokan atau terjangan peluru, ditendang ke dalam air. Tahun yang menakutkan itu telah membakar hati para penggali kubur yang membangkang dan tetap berdiam diri di gundukan tanah merah itu. Mereka tahu, lelaki di peti mati itu telah banyak memakan korban di kalangan teman-temannya sendiri. Dan, persekongkolannya dengan mereka yang bersenjata untuk merampas tanah, di mana mereka dilahirkan dan dibesarkan, buat mereka hanya pantas untuk dilawan dengan sebuah pemogokan. Membiarkan jenazahnya tak diterima bumi. Yang telah merampas tanah, tak sepantasnya kembali ke tanah, itulah barangkali sumpah mereka. Di gundukan tanah merah itu semua cuma duduk mencangkung. Mematikan rokok. Diam. Pikiran mereka melayang mengenang ayah mereka yang dipaksa naik ke atas truk di tengah malam, dilarikan entah ke mana. Disiksa untuk mengakui apa yang tak pernah mereka perbuat, atau pikirkan sekalipun. Dalam sebuah buku dilaporkan, karena militer kewalahan harus memberi makan pesakitan yang begitu banyak pada waktu itu, lantas dikeluarkan perintah berdarah dingin: “Kirimkan mereka ke sekolah, ke sukabumi… ya, bunuh mereka!”**) Angin mengebutkan debu di pekuburan yang sepi di atas kota. “Ba…,” lembut sang istri berkata di kepala peti mati suaminya. Sapaan itu cuma sampai di situ. Tak berlanjut. Tertahan. Terlalu banyak yang ingin ditumpahkan. Tapi, bibirnya terkunci. Hatinya berkecamuk, tercabik-cabik, manakala teringat pada tahun-tahun yang tak tertahankan, yang harus dia lalui, lantaran perbuatan lelaki yang kini terpaku di dalam peti mati di ujung kakinya. Mula-mula tersebar kabar suaminya itu menjadi tukang tunjuk militer yang sedang mengejar orang-orang yang terpesona dengan lambang palu-arit, juga banteng ketaton, dan segala simbol yang melambangkan perlawanan terhadap penindasan orang- orang yang dihinakan. Tak pernah sebelumnya hatinya ciut seperti saat itu. Apa mau dikata… Menyusul pula kabar bahwa “Ba” datang sendiri di tengah malam, mengacungkan pistol setelah mendobrak pintu rumah persembunyian teman-temannya di dekat pusat kota. Dua jeep penuh militer, yang mengenakan jaket sipil, menunggu di luar. Dari rumah itu diangkut enam temannya sendiri. Sesampai di markas militer, yang berubah menjadi kamp konsentrasi, dia pulalah yang menginterogasi teman-temannya itu, satu per satu. Tentu, dia mengenal mereka seperti mengenal jari-jarinya sendiri. Kalau ada yang menyembunyikan sesuatu, dia sendirilah yang mengeluarkan perangkat kejut listrik untuk memaksa pengakuan. Pentolan Komunis nomor dua waktu itu, hanya bisa tertangkap karena jasanya. Ketika darah dan daging orang-orang, yang menurut kekuasaan yang sedang merangkak merebut kekuasaan, sudah ditekuk semua, “Ba” terbang ke Paris dan Amsterdam, tempat persembunyian mereka yang tak berani pulang ke negerinya sendiri, karena takut menghadapi kekejaman. Di Paris, dia memata-matai restoran yang diusahakan mereka yang terbuang, yang menyandang nama sebagai eksil. Kepada salah seorang di antara pelayan orang Indonesia di situ, dia memaksa untuk ikut dan menginap di rumahnya. “Hambuslah kau dari depan mataku! Ini negeri bebas dan beradab, Tuan! Pulanglah kau manusia tak tahu diri…!” kata orang buangan itu dengan sengit. Dia ketemu batunya dan pulang menggigit jari. Tak ada yang bisa dilaporkan kepada atasannya untuk kredit yang lebih besar. Tetapi, ketika dia mendengar seorang putra Bali, sastrawan yang pernah bergabung dalam Lekra, berangkat ke Jerman untuk menemui bekas pacarnya di sana, terbukalah celah buatnya untuk menjilat ke atas. Anak Bali itu, yang pernah mendekam hampir sepuluh tahun dalam tahanan, dia interogasi. Dia dituduh membangun jaringan baru di Eropa. Putra dari Bali itu menampik tuduhan, dan memilih untuk membiarkan sekujur tubuhnya dibalut balur-balur darah jejak sabetan ekor pari kering. Kabar tentang pendurhakaan itu datang tumpuk-menumpuk selama tiga puluh tahun lebih, membebani hati wanita yang sekarang berlutut di sisi peti mati suaminya. Dia hidup menyendiri, tersisih dari teman-temannya. Badannya kurus kering menanggung malu. Kering-kerontang cairan dalam tubuhnya tidak memungkinkan untuk mengharapkan datangnya seorang bayi. Karena itulah dia, dan suaminya, memungut anak. Sekarang, dalam dukanya yang penghabisan di pemakaman yang ganjil itu, dia bisa menerima kalau teman-temannya tak mau datang melayat. Tetapi, sama sekali terasa seperti sembilu, manakala dia temukan bahwa setelah menunggu berjam-jam, namun sang anak yang bersekolah di Australia tidak juga tiba. Berkali-kali dia melemparkan pandang dan harap ke jalan masuk pemakaman, tapi gerbang itu cuma dilalui angin yang lembab. Membuat matanya tambah sembab. Dia menyandarkan kening di hulu keranda. Tiba-tiba dia mendongakkan kepala. Ada kerisik langkah kaki di rumput kering. Samar, dilihatnya seorang penggali kubur mendekat. “Kami tak sampai hati melihat Ibu menderita serupa ini. Ibu tak bersalah. Tapi, orang ini,” ujar penggali kubur itu seraya menunjuk-nunjuk peti mati, “bagaimanapun harus dihukum.” Orang itu berkata seperti mengeja kata-katanya. Dia meletakkan sebilah cangkul, beberapa langkah dari kaki wanita itu. “Gunakanlah…,” tukang gali itu membujuk. “Aku tahu apa yang telah dia lakukan. Bisa kurasakan bagaimana penderitaan ayah dan keluarga kalian, dan juga ratusan orang lain. Tapi, dia suami yang tidak pernah berniat meninggalkan aku. Dia juga sering mentraktir makan sesama kawannya seniman. Tiap tujuh belas Agustus, tak pernah lupa dia membawakan tumpeng ke pusat kebudayaan. Akulah yang membuat tumpeng itu. Aku tahu kebaikannya itu tiada sebanding dengan pendurhakaan terhadap teman-temannya. Terhadap kalian. Tetapi…” Belum sempat dia menyempurnakan kalimat, penggali kubur itu menampik: “Kami tak punya pilihan.” Dan orang itu beringsut pergi. Azan, yang tadinya terdengar bergulung-gulung dari kota di bawah, sudah lama lenyap. Tak ada suasana duka di pekuburan itu. Kecuali pada sebentuk hati seorang istri yang harus menggali sendiri liang lahat untuk jenazah suaminya. Bayangan panjang pohon kemboja menghampar sampai ke kota. Matahari, yang segera menyuruk ke ufuk, juga mengoleskan bayangan panjang dari sosok wanita yang sedang berduka itu. Di bumi yang dipijaknya, tampak siluet hitam dari tangannya yang menggenggam pacul dan menghantamkannya ke tanah, membuka secelah gua garba di situ untuk peti mati suaminya. Bayangan gelap tubuhnya, yang terantuk-antuk menguakkan tanah, jatuh membentang ke arah kota di bawah dan sesekali ditingkahi kilap mata pacul yang menyambar-nyambar. *** *) Teks salah satu lukisan trilogi berburu celeng, Joko Pekik. **) Hermawan Sulistyo, “Palu Arit Di Ladang Tebu”.
""Tanpa Pelayat dan Mawar Duka""
Jangan pernah percaya pada apa pun yang kau lihat di bawah matahari Melbourne. Mungkin kau pernah menganggap makhluk bersayap merah-biru yang bertengger di genteng rumah berarsitektur Yunani itu hanya sepasang burung Rosella yang menggigil kedinginan. Namun, bukan tidak mungkin mereka adalah para Kookabbura yang menjerit memekakkan telinga karena memandang wajahmu yang tegang dan tersipu-sipu tak keruan. Jangan pula mudah menebak bau kelelawar yang bergelantungan di pepohonan Cenntenial Avenue sebagai sesuatu yang mengingatkanmu pada mayat-mayat perempuan kuning gading Jakarta yang dibakar para lelaki zombi pada Mei 1998 yang perih. Sebab bisa saja dalam sekejap bekas kibasan sayap vampir jalanan itu memberimu harum bawang sehabis kau iris pelan-pelan atau menyengatmu dengan busuk petai sebelum makan malam. Kau juga tak perlu tersedu-sedan seharian hanya karena bersitatap dengan warna pagi yang seharusnya disapu matahari oranye, tetapi tiba-tiba didera hujan yang muncul dari mata langit yang menghitam. Hari ini winter atau summer? Autumn atau spring? Mana yang harus dipercaya? Tak ada yang harus dipercaya. Segalanya begitu cepat bertukar rupa dan tak ada yang peduli. Kau juga tidak peduli pada perubahan wajah Arendt yang pagi itu dihajar pertanyaan-pertanyaan bodoh Onan, Finley, atau Sandra saat mereka makan roti bakar di beranda, bukan? Wajah Arendt, kau tahu, pada mulanya seperti Stasiun Flinders ditimpa cahaya senja yang melesat dari Federation Square. Begitu menyala, begitu menebarkan bianglala. Namun, paras manis itu begitu cepat menjelma sebagai Sungai Yarra menjelang malam. Keruh. Penuh amarah dan kehilangan pesona. “Kalau tidak berniat membunuh Christ Soros, mengapa waktu itu kau tidak bergabung dengan kami di Open Bar,” serang Onan sambil menenggak jus jeruk. O, andai tahu segala peristiwa yang terjadi malam itu, Onan tidak akan berkata begitu. Di poros perempatan jalan yang menghubungkan Stasiun Flinders dan Federation Square, sehabis menonton pertunjukan Delerium Boulevard bersama Arendt, entah tergerak tenaga gaib dari mantra orang Aborigin atau ingin berakting secara liar, Soros tiba-tiba menelentangkan tubuh mirip orang tersalib di tengah jalan. Mula-mula ia memejamkan mata seperti Siddharta Gautama yang tengah bertapa dan berharap nirwana akan mengecil dan menyusup ke dalam dada. Sejenak kemudian ia bentangkan tangannya sebagaimana patung malaikat-malaikat kecil di gereja-gereja antik mengibaskan sayap. Berulang-ulang seakan-akan dengan gerakan semacam itu Melbourne bisa ditinggal terbang dan ia menjelma burung kecil ke titik langit yang tak tersentuh oleh jari telunjuk yang mengacung tegang. Arendt takjub. Ia tak menduga Soros akan bertingkah ugalan-ugalan di perempatan jalan yang kian ramai oleh mobil-mobil yang hendak melata ke jembatan penuh lampu hias yang melintasi Sungai Yarra. Oo, semua ini harus dicegah. Semua gerak harus dihentikan. Mobil-mobil, sepeda motor, atau trem tak boleh menggilas tubuh ringkih Soros. Karena itu waktu harus dibekukan. Semua benda yang melesat ke arah Soros sebaiknya melambat dan mandek sedepa sebelum kecelakaan terjadi. Bahkan ujung kilatan cahaya-cahaya dari neonsign tak perlu menyentuh kornea dan secara serempak mengerem satu sentimeter dari alis atau selaput mata. Atau sebaiknya waktu berjalan mundur ke saat-saat Arendt dan Soros bercinta habis-habisan dalam guyuran hujan di kebun binatang, di antara koala dan kangguru, di antara ulat-ulat dan belalang sembah. Tidak! Tidak! Sebaiknya waktu melesat melampaui segala yang tak terduga saja. Siapa tahu karena terlalu cepat melaju ke titik tuju penuh salju, Arendt dan Soros dipertemukan di Bukit Golgota, di sepasang tiang yang mengapit salib lelaki suci dari Nazareth. Dalam dingin tak terperi itu, siapa tahu mereka bisa menatap motif tusukan-tusukan lembing serdadu serupa tato daun-daun hijau ungu di sekujur tubuh Kristus yang tertunduk pasrah menerima kehendak Allah, di salib yang tak kelihatan, di tangan yang telah kehilangan paku-pakunya, di kaki yang tak lagi menetes-neteskan darah kental. Tetapi karena tak mungkin menyulap segala peristiwa membeku dalam sebuah bingkai seperti lukisan impresionistik di sebuah kartu pos, Arendt kemudian berusaha setengah mati menghalau segala benda bergerak—mobil, sepeda motor, trem, orang-orang, dan angin santer yang hendak melabrak mereka. Lalu dengan sigap perempuan bergaun motif bunga matahari itu mengangkangi tubuh Soros sambil menggerak-gerakkan tangan dan berusaha menghadang laju kendaraan atau apa pun yang hendak menghimpit mereka. “Apakah kau pernah melihat wajah Kristus yang damai justru pada saat para serdadu bosan menghajar dan menancapkan lembing beracun ke lambung lembut manusia indah dari Nazareth itu, Arendt?” seru Soros, masih dalam posisi telentang. Tak mungkin Arendt menjawab pertanyaan bodoh semacam itu. Mobil-mobil kian mendekat. Orang-orang makin merapat. Angin kian santer menusuk-nusuk tubuh hingga ke sungsum segala tulang. Karena itu akting konyol ini harus diakhiri. Sihir Paul Capsis mesti dihentikan. Ya, bukan tak mungkin aktor kampiun itu telah menginspirasi Soros menampilkan pertunjukan jalanan yang sangat membahayakan dan mendebarkan. “Lihatlah aku! Lihatlah aku! Segala yang yang dirasakan Kristus menjelang ajal telah aku rasakan. Lihatlah wajahku yang damai, Arendt. Kini selesailah semua… dan aku tak perlu bilang, ’Eli Eli Lama Sabakhtani’ lagi.’’ Arendt bergeming. Meskipun demikian, ia tetap tak sanggup menghentikan segala peristiwa yang berpacu begitu cerpat, tak terduga, dan seakan-akan berebutan menyusup ke lorong mata. Sebaliknya Soros justru merasa lembing serdadu bengis kian menancap di lambung dan lama-lama tumbuh sepasang sayap halus di bahu. “Ayolah ikut terbang bersamaku, Arendt. Kita tinggalkan Melbourne yang keruh. Kita tinggalkan kota bising yang segala gedungnya meruncing melukai langit ini,” Soros terus meracau dan kali ini muncul semacam gangguan pada susunan sarafnya yang membuat tubuhnya mengejang. Setelah itu Arendt hanya bisa memanggil ambulans dan menyerahkan segala urusan kepada dokter dan paramedis. Sudah barang tentu ia tak ingin menyerahkan lelaki urakan itu kepada ajal. Jika sampai mati, ajallah yang dengan ganas menancapkan lembing ke lambung lembut atau mengiris urat-urat saraf Soros dengan pisau yang tak kelihatan. Apakah kau bisa mendengar segala yang kukatakan? Dan benar, Onan bukanlah perempuan yang gampang percaya pada bisikan gaib seseorang yang telah terbunuh atau roh Kookabbura yang ditembak secara serampangan. Hanya Arendt dan Soroslah yang mengerti betapa burung, kelelawar, ular, belalang, bahkan tikus-tikus pengerat itu bisa membisikkan kabar dari sesuatu yang tak pernah kau lihat di balik lembut kabut, di dalam basah tanah, atau di luar gurit langit. Karena itu, Onan, Sandra, dan Finley tak pernah bisa memahami mengapa di rumah sewaan mereka yang sempit Arendt memelihara begitu banyak belalang sembah. Mereka juga tidak pernah mengerti menjelang tengah malam belalang-belalang itu terbang ke kamar Arendt. Lalu bergabung dengan belalang-belalang lain yang muncul dari cermin, binatang-binatang cokelat menjijikkan itu membungkus sekujur tubuh Arendt, sehingga mata, hidung, telinga, dan mulut saja yang tersisa. Ya, dari belalang-belalang itulah Arendt mengerti segala tingkah laku mereka. Jadi, aku tidak heran jika pada saat mereka bersitegang mengenai kematian Soros di beranda, Onan terus menyerang Arendt dengan tuduhan-tuduhan konyol. Aku sangat tidak kaget jika hanya karena Arendt bersahabat dengan Pauline Hanson, politikus rasialis itu, mereka menganggap Arendt akan menyingkirkan siapa pun yang rasnya ternoda oleh kotoran-kotoran peradaban dari luar bangsa ini. “Ada yang bilang Soros mati karena dibakar oleh orang-orang suruhanmu di ujung Sungai Yarra. Ada yang bilang kau menganggap dia akan menghalang-halangi keinginanmu. Mengapa tak kau bunuh aku, Finley, dan Sandra sekalian, Arendt?” Mulut Arendt terus terkunci. Meskipun demikian, sebagai teman dekat mereka, Arendt sangat tahu betapa Onan lahir dari pasangan Yunani-Australia dan Finley dari Jepang-Aborigin. Hanya Sandralah yang lahir dari pasangan Australia-Australia. “Orang-orang menemukan tubuh gosong Soros dalam posisi tersalib di tiang yang juga telah terbakar. Ditemukan juga semacam kimia yang menyebabkan tubuh Soros tetap utuh. Mengapa bertindak sekejam itu, Arendt?” Onan mendelik. Arendt memejamkan mata. Ia berharap Onan, Finley, Sandra, atau siapa pun percaya betapa ia sangat mencintai Soros. Kini ia tak lagi bernapsu menyantap roti bakar dan jus jeruk. Menatap hitam kecokelatan arang di roti bakar dan lendir kuning di jus jeruk, ia seperti melihat api menyala-nyala tak keruan dan segala cairan menguar dari semua lubang di tubuh Soros. “Kita memang sudah disumpah untuk membunuh siapa pun yang menghalangi gerakan suci ini, Arendt. Tetapi tidak dengan cara terang-terangan seperti itu,” bisik Sandra. Tentu saja Arend tidak tahu maksud Sandra. Si Schizofrenia ini selalu saja menganggap dirinya sebagai agen rahasia Hanson itu. “Apakah kau juga akan membunuh Eliezer Chang,” Finley mulai membuncahkan amarah. Arendt menggeleng, tapi sejurus kemudian mendelik. Ia tatap mata Finley dan Onan dengan tajam. Ia sama sekali tak menduga mengapa sahabat-sahabat terkasih sejak kuliah Jurusan Arsitektur itu begitu tega menuduh dia sebagai pembunuh. Khawatir Arendt akan membuka rahasia segala kisah yang bersangkut paut dengan pemurnian ras, Sandra segera merebut kendali. “Oke, Onan, segala omong kosong ini harus segera diakhiri. Tak ada waktu lagi untuk bercakap dengan Ratu Belalang. Biarkan ia mengurusi binatang-binatang penunggu rumah ini. Ayo, waktu kita telah habis. Trem sudah menunggu.” Dan aku atau roh Kookabbura, yang setiap cicitnya tidak pernah bisa diterjemahkan dalam bahasa manusia, memang tak sedikit pun ingin membuka segala rahasia alam dan kematian kepada Onan. Aku bisa saja memberi tahu kepada Onan segala yang terjadi pada Soros. Aku bisa saja mengatakan, setelah melewati Jalan Spencer, mobil ambulans yang hendak mengantarkan Soros ke rumah sakit dicegat oleh lima orang berkerudung bersepeda motor besar. Tak ada perlawanan. Para medis, sopir, dan dokter yang tidak bersenjata itu memilih menyerahkan Soros bersama ambulans itu ketimbang dihajar atau ditusuk belati oleh gerombolan berwajah bengis itu. Setelah itu, ada semacam sihir yang ditebar di jalanan yang membuat aku tak bisa mengikuti ke mana para manusia berkerudung itu melesat. Ya, semua itu, bisa kuceritakan kepada Onan tanpa mengurangi satu atau dua kalimat. Tetapi, kau tahu, aku sebenarnya hanya mau bercerita kepada Arendt. Sayang beberapa orang mengenakan jubah berkerudung runcing mirip seragam anggota Ku Klux Klan itu telah jauh-jauh hari menculik dan menembak jidatku saat hendak menyeberang Jalan William menjelang tengah malam. “Yang ini juga ancaman bagi kita,’’ kata salah seorang penculik. Lalu, mereka menebar sihir di jalanan, sehingga aku, Eliezer Chang, tidak dapat mengetahui di mana Soros disembunyikan. Karena itu, jika pada suatu saat kau mendapat kabar tentang siapa yang membunuhku atau menculik Soros, jangan mudah percaya. Sekali lagi, tak ada yang harus dipercaya. Di dunia ini, kau tahu, segalanya begitu cepat bertukar rupa dan tak ada yang peduli. Jika sekarang Finley mati atau Sandra bunuh diri, kau juga tak akan peduli. Jika Onan membunuh Arendt dan membakar seluruh belalang yang disimpan di kotak kaca, kau juga tak akan bertindak apa-apa. Jadi percuma saja kau atau siapa pun berlagak menyelamatkan kemanusiaan atau peradaban di kota ini. Karena itu, hentikan saja waktu saat aku bercinta dengan Finley. Hentikan saja waktu saat Arendt memeluk Soros dari belakang dan membisikkan desis cinta berulang-ulang. “Tidak! Tidak! Biarkan Soros dan Chang mati. Biarkan roh mereka terbang ke negeri tanpa matahari!” Suara Sandra atau Arendt? Kau tetap saja tak peduli. Kau tetap saja membiarkan kota ini menggigil dililit oleh lidah hantu dan kabut teka-teki. Melbourne 2005- Semarang 2006
""Matahari Musim Dingin""
Langit warna-warni berlalu begitu saja. Dari waktu ke waktu selalu saja begitu. Kupetik sehelai awan pagi ini. Lembayung warnanya. Dan setiap burung yang melintasi pagi yang sama, tiba-tiba warnanya jadi lembayung. Hujan turun pun berubah lembayung. Kusaksikan segenap alam yang mengepungku disesaki bayang-bayang lembayung. Perempuan berparas molek itu dalam usia yang amat matang datang padaku membawa hati yang lembayung pula. ”Kau…” desisku tertahan saat menatap perempuan berdarah Melayu itu pertama kali setelah 30 tahun tak bersua. Telunjukku tiba-tiba layu saat sosoknya kian menyergam di antara tiupan angin dan kabut yang menderu. Aku berkaca di bola matanya yang bening. Masih begitu bening. Aku menatap diriku dalam tiupan angin petang bagai alunan gazal yang lembut. Sayatan biola tua yang mendayu-dayu. Aku merasa sudah begitu tua. Tapi sapa lembut perempuan berkulit kuning langsat itu bagai mengelupaskan kerutan-kerutan di keningku. ”Apa yang masih kau ingat?” bisiknya dengan irama rendah. Menyayat-nyayat. Mataku kian terbuka lebar saat menyaksikan banyak lukisan, kata-kata, rekaman, dan irama berloncatan dari bola matanya. Tiap helaan napasku bagai memutar kenangan di sebuah layar seluloid yang usang. Warnanya lembayung kecoklatan. Sudah terlalu lama rekaman-rekaman tersebut mengendap di bola mata itu. Kutatap kedua bola matanya bergantian. Sorot matanya masih nyalang. Berbunga-bunga. ”Kusaksikan di bola matamu, kita ada dalam pergumulan masa lalu yang tak kunjung diam. Kita berangkulan tiba-tiba setelah lama berjauhan. Kita berpelukan tanpa birahi…” ucapku perlahan dan tertahan. Perempuan itu tersenyum. Mengangguk beberapa kali. Bola matanya mengisyaratkan sesuatu yang lebih dari sebuah sapaan mesra. Manja. Penuh pukau dan menyelam ke kedalaman jiwaku. Aku jadi teringat Raja Aisyah dari kebesaran Kesultanan Riau-Lingga di Pulau Penyengat karena maqam keperempuanannya. Perempuan masa laluku ini nyaris setara dengan itu di dalam kerajaan diriku. Tapi, masa lalu itu telah membancuhnya jadi kepingan-kepingan sejarah dan kata-kata yang tersisa. Di lembayung pagi ini, 30 tahun kemudian, kami bersua. Bak seekor burung yang bersayap lembayung pula terbawa angin yang mengantarkan dirinya padaku. Dan aku pun bagaikan sebuah ranting kayu mendedahkan diri tempat berhinggap bagi dirinya. Tentu saja, ia agak lelah karena bertahun-tahun terbang menembus gumpalan awan dan tabir masa silam yang tertinggal jauh. ”Kau begitu tegar menunggu…” sapanya. ”Apa kau datang memintal semua masa lalu itu?” Ia menggeleng. ”Aku hanya membawa sebagian masa lalu itu. Sebagian lagi, aku datang dengan sayap yang menerbangkan aku jauh ke depan…” katanya penuh makna. ”Kepakkanlah sayap-sayap kecil itu,” sambutku bahagia. ”Akankah kita terbang bersama?” ucapnya mengangkat alis kiri yang kian memperlihatkan kemanjaan yang pernah kurasakan di masa-masa yang sudah terlewati. ”Kau masih membawa serta kemanjaan itu…” kataku menunduk. ”Tidak lagi utuh. Bagai burung, sayapku sudah patah sebelah. Bagai awan, sejuknya telah berderai-derai. Bagai angin, terpaannya tak sesakal dulu…” ucap perempuan itu bermadah. Percik Melayu masih membalut hati pualamnya. Tatapan mata kami begitu teduh. Begitu lembayung. Butir-butir air mata perempuan menepi di antara kelopak. Berderai di pipinya yang ranum. Jatuh satu-satu diembuskan angin. Bagai tempias gerimis, butir air mata itu menyelam di genangan bola mataku yang terdedah sedari tadi. Air mata kami bergumul di bola mataku. Hangat dan diam. Apa yang terjadi dalam 30 tahun ini? tanyaku dalam hati. Tatapan matanya yang teduh menangkap tanda-tanya itu. Ia menjawab tanpa ragu-ragu. Segalanya begitu bening. Bagaikan titisan gerimis yang jauh di sebuah telaga jernih yang menguraikan riak-riak kecil menjadi not angka dan nyanyian. ”Kau masih menyukai nyanyian Bahtera Merdeka?” tanya perempuan itu mengusap helai-helai rambutku yang mulai diselingi uban abu-abu. ”Iya… masa lalu dan masa kini, sama saja bagiku….” Giliran ia terpekur. ”Aku masih ingat semuanya. Sebuah kehampaan yang membuat hatimu terluka. Aku tak banyak tahu apa maknanya waktu itu. Aku hanya seorang anak belia yang mudah memalingkan diri dari siapa saja. Aku merasa bagai seekor burung berbulu keemasan yang boleh terbang sesukanya. Dan aku tak pernah hinggap di ranting mana pun. Aku hanya terbang dan terbang…” ”Tentu kau sudah melupakan surat itu…” ”Iya… aku terbang berjuta mil dari sebuah lorong ke lorong yang lain di langit itu…” ”Iya, langit lembayung itu, bukan?” Ia mengangguk. Kemolekannya memukauku kembali. Kemolekan yang bertapis kematangan jiwanya. Ia memang sudah tidak muda lagi. ”Aku pernah jadi pramugari di usia mudaku,” tuturnya mengenang. ”Kau telah terbang begitu jauh. Melintasi awan, langit, gunung, kenangan, batu, hujan, lelaki… dan…” ”Jangan sebut itu…” tiba-tiba suaranya agak keras sambil meletakkan telunjuknya di bibirku. Aku terperanjat. Sentuhan lembut itu bagai menguliti diriku. Kami sama-sama terdiam. Ia bercerita tentang sisa masa lalunya. Ia pernah menikah dengan seorang lelaki kesayangannya. Punya anak lelaki yang selalu mewakili suaminya yang wafat sepuluh tahun lalu. ”Aku kini sendiri…” tuturnya mulai berterus terang. ”Aku amat bersimpati…” sambutku lemah-lembut. ”Ada ribuan ranting membentang di pokok-pokok kayu. Takkah kau ingin berhinggap di salah satu ranting itu?” ucapku agak bersayap. Ia merunduk. Diam. Aku menangkap jemarinya yang masih lembut. Kemudian ia tiba-tiba mengangkat dagunya. Menatapku dengan bola mata yang tetap bening. ”Aku datang ke sini, mencari jejak masa laluku. Banyak kenangan tertanam di sini… di kampung halaman ini…” ”Aku juga meninggalkan jejak di sini. Tapi selalu saja, jejak kecil itu pupus tersiram ombak pantai. Kau masih ingat pantai landai berpasir putih… tempat kita bersama teman-teman sekolah dulu menghabiskan waktu liburan. Ada sejuta jejak di situ yang kini tak berbekas lagi…” ”Aku rindu pantai, jejak kaki dan tiupan angin sakal Selat Malaka itu…” Giliranku bercerita soal perjalanan hidupku di sebuah kampung kecil di tepi pantai itu. Setamat kuliah aku kembali ke kampung halaman. Aku berkebun. Memelihara ternak. Aku ingin jadi peniaga besar, waktu itu. Tapi mimpi itu tak pernah kesampaian. Aku hanya jadi peniaga kampung. Cukup makan. Aku hidup berkeluarga dengan seorang istri dan dua anakku. Keduanya sudah besar-besar. Sama-sama sudah menikah pula. Maklumlah, keduanya anak perempuan. Di sela-sela waktu berkebun dan beternak, aku menyempatkan jadi guru madrasah. Aku mewarisi ilmu agama itu dari emak dan ayah dulunya. ”Sekarang…?” sela perempuan itu. ”Masih seperti itu. Selalu begitu. Aku bagaikan garis datar saja. Tak pernah bisa meninggi. Aku tak bisa terbang seperti dirimu…” ”Setinggi-tinggi burung terbang… akan merendah juga suatu ketika. Seperti diriku kini…” ”Kau bahagia kan?” ucapan perempuan itu benar-benar menusukku. Aku agak terenyak. Sebab, kebahagiaan yang diucapkannya tidaklah sama sebangun dengan kenyataan yang kuhadapi. Sejak kami hanya tinggal berdua di rumah setelah kedua anak perempuan kami menikah dan pindah rumah, kehidupan kami terasa kian hambar saja. Hari-hari kami bagaikan butir air di daun keladi seperti sering jadi nyanyian orang-orang masa dulu. Aku tertunduk. Bayangan-bayangan yang menakutkan itu menyentakkanku. Aku terasa agak terhuyung. Tapi perempuan itu cepat-cepat menangkapku. Aku jadi agak tenang. Kehangatan elus jemarinya di punggungku kian memperderas aliran darah di nadiku. ”Maaf, aku telah merusak perasaanmu…” ucapnya merasa bersalah. Aku cepat-cepat memagutnya. Menumpahkan kehangatan perasaan dan sisa mimpi masa lalu yang tak pernah tertebus. ”Semestinya ini terjadi 30 tahun lalu. Saat lembayung pagi menyergap kita di beranda rumahmu…” kataku bagaikan seorang penyair yang memanggulkan jutaan kata-kata molek di pikirannya. Perempuan itu meremas-remas jemariku. Hangat dan bersahaja. Jantungku berdegup kencang. Sudah lama aku tak merasakan ritma seperti ini. Perjalanan hidupku terasa begitu datar bertahun-tahun. Baru kusadari betapa aku telah lama membenamkan mimpi-mimpi di ceruk jiwa yang terdalam. Betapa jauh aku bisa mengapungkan mimpi-mimpi itu kembali. Perlu 30 tahun bagiku untuk merajutnya. Tak hanya mimpi tapi selaksa kata-kata yang selama ini terhamburkan begitu saja tanpa kendali. Kata-kata ini harus bermakna kembali. Tiba-tiba kami sudah berada di dalam sebuah ruang. Tak ada cahaya. Tak ada angin. Tak ada sesiapa. Perempuan itu menyanyikan sayup-sayup ”Bahtera Merdeka’” yang dulu amat kusukai. Aku selalu merasa hangat di pangkuan emak bila menyanyikan lagu itu secara tak beraturan. Kali ini perempuan itu bagaikan ikut membangkitkan rasa lelap diriku pada emak yang sudah lama pergi. Ia menghitung helai demi helai uban di belantara rambutku yang terasa kian jarang. Jemarinya yang lembut terasa membelai-belai. Walau tak pernah dibisikkannya padaku jumlah uban yang sudah dihitungnya, tapi tatap matanya di kegelapan itu menyiratkan sesungguhnya aku sudah begitu tua. Ya, aku merasakan seperti itu setiap berkaca. ”Aku merasa sudah tua…” ucapku mendesis. Lembut dan manja di pangkuan perempuan itu. ”Aku juga…” balasnya tanpa mimik yang jelas. ”Tapi selalu ada sisa cinta di kedalaman hatiku.” ”Cinta itu tak pernah pupus begitu saja. Ia hanya berubah-ubah bentuk….” Ya, Newton juga selalu mengatakan hal itu dalam pelajaran fisika semasa sekolah dulu, tanggapku dalam hati. Aku ingat pasti soal Hukum Kekekalan Energi Newton itu. Energi memang tak pernah hilang, hanya berubah-ubah bentuk belaka. ”Kau masih mengagumkan…” ucapku lirih. Ia mencubit pipiku. Kami tersenyum. ”Aku benar-benar merasa terbang di awang-awang. Sudah lama aku tak merasakan terbang setinggi ini…” katanya mengalir begitu saja. ”Bukan karena aku sudah tak jadi pramugari lagi…” lanjutnya. ”Apakah semua ini masih bermakna?” balasku. Ia lama terdiam. Bebaskan kata dari makna! Terbayang sepintas di pelupuk mataku Presiden Penyair Indonesia, Sutardji Calzoum Bachri yang duduk perkasa di kursi kredonya. Andai saja semua orang melepas makna dari tiap ucapannya… tak ada lagi cinta dan janji-janji, bisik hatiku. ”Tak ada yang tak bermakna dalam hidup ini. Kata-kata, burung, angin, kesendirian, dan apa saja…” sahutnya berfalsafah. Aku begitu memahami kematangan jiwanya kini. ”Kesendirian, katamu…” ”Iya… tapi aku tak pernah memusuhinya. Kesendirian pun bisa jadi sahabat sejati.” Itulah kata-kata terakhir perjumpaan kami. Perempuan itu bagai burung dengan sayap sebelah terbang jauh. Kembali ke tanah perantauannya. Sedang aku hanya sepotong ranting kayu yang harus tegar berdiri di kampung halaman di bibir pantai. Hari-hariku adalah deru ombak yang pecah di pantai yang keruh. Perjumpaan kami hanya lewat bunyi, keheningan, dan nafiri rindu. Setiap waktu kami saling berkabar lewat batin. Atau, puisi yang mengalir lembut di nadi-nadi perasaan. Hari ini tak ada puisi dan kata-kata bermakna, begitu tulisku suatu ketika kehampaan menyesaki perasaan. Hanya kubayangkan tatap matanya yang teduh. Senyum ranum dan kata-katanya yang tak menyisakan buih di atas di celah-celah ombak nasib. Lembayung pagi, 30 tahun kemudian. ”Andai saja aku semasa sekolah dulu… setiap bisik kata-katamu membuatku terlelap dalam dekap keindahan…. Kau adalah maha-puisi yang selalu menghanyutkan derai makna yang sulit kulupa…” ucap perempuan itu suatu ketika lewat pesawat telepon. ”Tapi, kau pun adalah telaga bening yang sudah lama tak mampu kutimba. Telagamu begitu dalam, dasarnya begitu jauh…” balasku begitu saja. ”Kata-katamu selalu menjelmakan aku jadi puisi tak berbingkai…. Terdedah begitu saja…” ”Napasku adalah kata-kata…” Lembayung pagi ini. Seekor burung jalak yang berwarna kehitaman melintas di antara pepohonan tepi pantai itu. Selat Malaka terus saja mengalunkan ombak yang pecah di tepi pantai. Selalu begitu dan begitu. *** Pekanbaru, Desember 2006
""Lembayung Pagi, 30 Tahun Kemudian""
Langit kelam dan senja lebam dalam guyuran hujan lebat. Kilat menjilat sambung-menyambung seperti ingin membakar langit. Halilintar bersahut-sahutan tiada henti bagai ingin membelah dunia. Kedinginan di halte bus senja itu aku merasa benar-benar kecil. Pasrah oleh jilatan tempias hujan atau sesekali cipratan air yang dilindas ban-ban mobil. Angin berkesiur liar kian kemari. Terlintas dalam benakku bagaimana jadinya jika aku disambar petir. Tubuh terbakar hangus seketika. Gosong. Atau tiba tiba air bah datang dan menghanyutkan tubuhku seperti sepotong kayu. Rasa sesal dan kesal menyeruak dalam dadaku. Betapa bodoh dan tololnya aku. Bukankah aku seharusnya turun di dua halte berikutnya? Kalau tidak melakukan tindakan tolol ini, mungkin aku sudah duduk sembari ngopi ditemani istriku di sebuah gubuk tempat kami mengontrak selama ini. Dalam badai petir seperti ini, mungkin juga aku sudah berada di tempat tidur bersama istriku, seorang perempuan yang tidak cantik tapi juga tak bisa disebut jelek. Dalam dingin apa saja bisa terjadi di tempat tidur. Seorang laki-laki sepantaran aku yang sejak tadi berdiri agak jauh mendekat. Aku bersiaga. Khawatir juga kalau-kalau ia ingin mencari kehangatan bersamaku. Ia tak mungkin merampok aku karena tak ada sesuatu pun yang bisa dirampasnya dari aku. Di dompetku cuma ada tiga lembar uang lima ribuan. “Punya korek?” ia menyergapku sebelum aku sempat menggeser. Sebatang rokok siap dinyalakan. Kurogoh saku celana sebelah kanan untuk mengambil korek api lalu kuberikan kepadanya. Setelah menyulut rokoknya, laki-laki itu menyodorkan bungkus rokoknya kepadaku. Buru-buru kuucapkan terima kasih seraya mengambil bungkus rokok milikku dari saku belakang celana. Masih tersisa dua batang. Kuambil satu. Agak mletot karena terduduki. Sesaat kemudian asap rokok kami sudah berpilin-pilin menjadi satu untuk kemudian hilang menyatu dengan putihnya tempias hujan. “Mau pulang?” laki-laki itu bertanya. Tanpa menoleh ke arahku. Aku berdehem. “Aku salah turun. Seharusnya di dua halte berikutnya. Kalau tidak, mungkin aku sudah sampai di rumah,” kataku sembari menatap ke jalan. Senja makin lebam. Hujan masih saja lebat. Genangan air mulai meninggi. Angin masih berkesiur. Aku bersidakep menahan dingin. “Bekerja di mana?” laki laki itu melanjutkan setelah melepas asap rokoknya untuk kesekian kali. “Dulu. Di sebuah kantor,” aku sengaja berbohong. “Tapi aku dipecat. Perusahaan hampir pailit karena kelebihan karyawan, sementara order menurun. Aku jadi korban. Sekarang nganggur. Kerja serabutan. Apa saja. Yang penting bisa makan.” Laki laki itu tertawa kecil. Suaranya nyaris tak terdengar karena hujan begitu lebat. Tak jelas mengapa ia tertawa. “Kalau mau, aku bisa bantu,” kata laki-laki itu kemudian. “Atau tepatnya mungkin kau bisa membantu aku.” Untuk pertama kali aku menoleh ke arah laki-laki itu. Tubuhnya hampir tak berbeda dengan aku. Agak kurus. Agak tinggi. Hidung mancung. Mata dan pipi cekung. Rambut mulai banyak ditumbuhi uban. Agak gondrong. “Kerja apa?” aku bertanya sembari menggaruk-garuk dahi untuk menyembunyikan perasaan gembiraku. “Kenalkan dulu,” ujarnya seraya menyodorkan tangan. “Namaku Sukra.” “Sukro,” aku menyebut namaku. Laki-laki itu tiba-tiba terbahak. “Nama kita hampir sama ya. Aneh juga. Tapi itu tidak penting. Yang penting kau mau bekerja sama.” Setelah itu kami jadi lebih akrab. Kami ngobrol hingga senja hilang dan sinar merkuri mulai memunculkan siluet. Dan hujan tiris. Ketika aku akhirnya melangkah meninggalkan halte bus itu, terus terngiang ajakan Sukra. “Kita merampok,” katanya getas. Aku kaget. Sukra tertawa. “Kita merampok orang kaya. Karena umumnya orang kaya pun perampok. Uang mereka pun belum tentu uang halal. Ada yang hasil korupsi, ada yang curang dalam berdagang, macam-macamlah. Kita ambil barang sedikit dari mereka. Mereka pasti tidak jadi jatuh miskin. Uang mereka banyak. Banyak sekali.” Tak kuceritakan pertemuan tak terduga dengan Sukra itu kepada istriku. Tak ada gunanya. Lagi pula istriku selama ini tak pernah mau tahu apa pekerjaanku. Baginya yang penting aku pulang membawa uang. Seperti hari ini. Meski cuma lima belas ribuan. Malamnya, meski dingin menyungkup, aku jadi tak bisa tidur. Gelisah saja. Ajakan laki laki itu terus menggodaku. Istriku di sebelahku sudah terlelap. Dalam remang kulihat wajah pasrahnya. Kadang-kadang kasihan juga aku melihat wanita ini. Di antara empat saudaranya, hidupnyalah yang paling susah. Kakaknya, seorang wanita, menikah dengan seorang juragan beras. Adiknya, laki laki, bekerja di sebuah perusahaan cukup besar. Entah di bagian mana. Yang pasti, hidupnya tak pernah kelihatan susah. Ia memiliki sebuah mobil dan dua sepeda motor. Si bungsu, perempuan, menikah dengan seorang polisi. Hidupnya juga tak kelihatan susah. Malah yang paling makmur. Merampok? Ah, tak mungkin kulakukan pekerjaan itu. Aku terlalu pengecut untuk melakukan perbuatan penuh risiko itu. Bagaimana kalau yang punya rumah terbangun? Lalu terjadi perkelahian. Lalu aku terluka. Atau bagaimana kalau aku tertangkap warga? Bisa babak belur. Bisa juga dibakar massa. Esoknya aku bekerja tanpa gairah. Hari itu, tugasku memasang pompa air. Sudir, teman sekerjaku, sampai jengkel karena setiap kali mengangkat pipa yang akan ditancapkan ke perut bumi kulakukan dengan setengah tenaga. Sebentar-sebentar aku juga minta istirahat. Kubilang badanku kurang enak. Sukra tiba-tiba muncul lagi ketika aku sedang duduk berteduh dengan seplastik air dingin di tanganku. “Untuk apa kau bekerja keras kalau sebenarnya ada pekerjaan lain yang jauh lebih ringan dengan penghasilan yang jauh lebih besar,” kata Sukra sembari mengepulkan asap rokoknya. “Merampok itu bukan pekerjaan ringan, Kra,” jawabku sinis. Sukra mengakak. “Kalau kau takut merampok, aku bisa memberimu pekerjaan lainnya. Ada banyak pilihan pekerjaan, Sukro. Itu kalau kau mau. Kalau tidak, selamanya hidupmu susah. Selamanya miskin.” Aku diam saja. Semilir angin membelai dan menyejukkanku. “Kalau kau mau,” Sukra meneruskan kalimatnya. “Jadi pengedar, misalnya. Ada ekstasi, sabu-sabu, ganja, atau apa saja yang dibutuhkan konsumen.” “Pekerjaan itu cuma merusak bangsa sendiri, Sukra!” aku membentak. Sukra mengakak lagi. “Kalau bukan kita yang melakukannya, orang lain yang mengambil alih. Sama saja. Apa salahnya justru kita yang mengambil kesempatan itu.” “Kesempatan merusak orang lain? Merusak bangsa sendiri?” “Sudahlah kalau kau memang tak tertarik,” Sukra membanting rokoknya. Lalu beranjak pergi dengan membawa derai tawanya. Sukra muncul lagi di hari ketiga ketika aku makan siang di sebuah warung Tegal. Ia langsung duduk di sebelahku. Tanpa basa-basi kepadaku, ia ikut memesan makanan. “Diajak merampok enggak mau, jadi pengedar enggak mau. Jadi maumu apa?” Sukra berkata kepadaku. Agak berbisik. Aku diam saja. “Oya, nanti malam, kalau kau mau, aku ada pekerjaan untukmu. Bukan merampok. Bukan jadi pengedar.” “Jadi apa?” “Aku punya tamu. Lima turis Jepang. Mereka mau ke Bali besok sore. Mereka butuh teman wanita. Bisa kau carikan? Bayarannya besar, Kro. Upahmu seratus ribu untuk setiap satu perempuan. Ini tanpa risiko. Kau bisa cari di banyak tempat di Jakarta ini,” kata Sukra. Lalu disebutnya nama sebuah hotel tempat di mana aku bisa menemuinya. “Itu pekerjaan haram,” kataku singkat membuat Sukra tertawa. “Haram? Ya, mungkin kau benar. Tapi, cobalah berpikir sedikit lebih rasional, Sukro. Setiap hari kau bekerja keras. Untuk hasil yang pasti tak sepadan. Hanya cukup untuk makan. Itu pun mungkin pas-pasan. Nah, kalau kau ambil pekerjaan yang kutawarkan ini, dalam beberapa jam saja kau sudah bisa mengantongi uang lima ratus ribu. Apalagi kalau pekerjaanmu bagus. Setiap pekan aku pasti punya tamu orang asing. Dan mereka membutuhkan wanita-wanita penghibur. Jadi, setiap pekan kau bisa membawa pulang lebih banyak dibandingkan apa yang sudah kau peroleh selama ini.” Buru-buru kutinggalkan Sukra di warung Tegal itu. Ia mengakak seperti biasanya seraya meraih tanganku. Menahanku dengan paksa. “Tenang dulu, Kro! Mau ke mana kau? Baiklah kalau kau tak mau menerima tawaranku. Tapi setidaknya kita bisa ngobrol-ngobrol. Tentang apa saja.” Dengan perasaan agak jengkel aku terpaksa duduk lagi. Mendengar celoteh Sukra. Tentang hidup enak dengan jalan pintas. Merampok. Jadi pengedar. Jadi makelar wanita. Kini entah apa lagi yang akan ia tembakkan dan cekokkan kepadaku di warung Tegal yang kecil dan pengap itu, tempat di mana aku bisa menjejalkan makanan ke perutku sampai kenyang hanya dengan uang lima ribuan. Aku mengambil sebatang rokok. Sebelum sempat kunyalakan, seorang perempuan setengah baya duduk di sebelah kiriku. Terpaksa aku menggeser sedikit, memepet Sukra. Rokok tak jadi kunyalakan. Tak enak juga mengepulkan asap rokok di tempat kecil itu dan di sana ada seorang perempuan. “Sudah lama kau bekerja seperti sekarang?” Sukra memulai lagi percakapan. “Sudah kubilang setelah dipecat dari sebuah perusahaan,” sahutku ogah ogahan. Sukra tertawa kecil. “Maaf, aku lupa.” Selepas makan, Sukra membawaku ke sebuah tempat di bawah pohon mahoni di seberang warung Tegal tempat kami barusan makan. Aku sebenarnya ingin buru-buru berpisah darinya. Tapi ia bilang masih ada satu peluang bagiku untuk mengubah hidupku menjadi lebih baik. Ia baru akan membiarkan aku pergi setelah mendengar tawarannya. “Kau tolak pun tak apa. Tapi sebaiknya kau dengarkan dulu. Siapa tahu kau tertarik,” katanya meyakinkanku. Di bawah pohon mahoni yang daunnya meneduhkan dan menyejukkan itu kami kemudian duduk berdua di dua buah batu besar. Berhadap-hadapan. “Aku punya tawaran pekerjaan lain yang sangat menyenangkan. Tak begitu berat. Secara fisik kau juga mungkin akan mendapatkan kenikmatan selain juga menerima bayaran yang sangat sepadan,” Sukra memulai serangannya. Aku cuma terdiam. “Wajahmu cukup ganteng. Apalagi kalau sedikit kau rawat. Dan muda. Sebagai pekerja kasar, kau juga berotot. Kurasa pekerjaan ini cocok untukmu. Lagi pula, kau tak perlu bekerja setiap hari atau setiap malam. Kau hanya bekerja bila tenagamu benar-benar dibutuhkan. Sebelum atau sesudah menunaikan tugasmu, kau bisa tetap berkumpul bersama istrimu.” Aku masih saja bungkam. Tetap belum dapat kutebak ke mana arah bicaranya. “Kau tahu pekerjaan apa yang aku maksud?” Sukra seperti memaksa aku bicara setelah terus-menerus diam mendengarkan. Aku menggeleng. “Aku punya dua klien. Yang pertama seorang wanita setengah baya. Cantik. Janda. Kaya. Kesepian. Kau bisa bekerja untuknya. Mungkin dua kali seminggu. Mungkin juga seminggu sekali. Tergantung kebutuhannya. Tapi gajimu tetap tiap bulan. Tidak tergantung pada seberapa banyak kau bekerja. Kau bahkan tetap menerima gaji andai klienku ini ke luar negeri dan kau tak bekerja dalam sebulan. Atau, bisa juga dia mengajakmu ke luar negeri.” Sebelum aku berkata-kata, Sukra melanjutkan, “yang kedua adalah seorang pria. Usianya mungkin dua atau tiga tahun lebih tua darimu. Ia masih membujang. Ia tak suka wanita. Ia menyukai sesama jenis. Nah, kau juga bisa bekerja untuknya. Tidak setiap hari juga. Dan, kau bisa ambil klienku yang wanita saja, atau yang pria saja. Boleh juga kedua-duanya sekaligus kalau kau mau dan mampu. Gajimu pun jadi dua kali lipat?? “Kedua-duanya pekerjaan haram,” aku berkata ketus. Sukra tertawa. “Mengapa bukan kau saja yang melakoninya?” “Kro, Sukro. Aku mau menolongmu. Aku malaikat penolongmu. Semua pekerjaan yang pernah kutawarkan kepadamu itu sudah kulakoni. Sekarang aku mau berbagi denganmu. Itu saja.” “Aku tidak tertarik,” berkata begitu, aku buru-buru meninggalkan Sukra. Tanpa menoleh. “Sukro!” Sukra berteriak. “Tunggu!” “Tidak! Tidak! Tidak! Kau setan! Bukan malaikat!” aku berteriak. Dan lari. Sampai terengah engah. “Ada apa, Mas?” istriku mengguncang-guncang tubuhku. Aku terbangun. Masih terengah-engah. Kunyalakan lampu kamar. Kuteguk air putih untuk menenangkan diri. Lalu kulihat diriku pada cermin di kamarku. Di cermin itu kulihat wajah Sukro. Perigi, Tanah Kusir, Desember 2006
""Sukro dan Sukra""
Buku kecil bersampul kertas krep warna ungu pucat. Ada tiga nama tertulis di dalamnya. Urutan pertama yang akan kutemui dalam waktu seperempat jam. Kubuka kembali buku di genggamanku. Ingin kupastikan namanya tak tertukar dengan nama lainnya. Ryan, 27 tahun. Layar kecil yang menggantung di langit-langit kereta yang kunaiki menunjukkan tujuan stasiun berikutnya. Union Square Garden. Aku sedikit bergegas keluar dari kereta. Udara tak tertahankan dinginnya. Kunaikkan syal putih di leherku. Pipiku mengeras membeku. Keluar dari stasiun subway, aku segera melintasi taman Union Square dan menuju ke arah 12th Street. Dia menungguku di toko buku Strand. Kami berjanji bertemu di section fotografi. Aku segera naik ke lantai dua. Belum kulihat sesosok manusia pun di sana. Aku memutuskan untuk tetap menunggu di sana, dan membuka sejumlah buku-buku fotografi peperangan. Di sana tampak sejumlah besar foto mayat korban peperangan. Bertumpuk seolah sisa jagalan. “Indah bukan?” terdengar suara yang berdesis di telingaku. Aku berbalik dan mendapati seorang lelaki bermata hazel. Sewarna dengan rambutnya yang setengah ikal. Syal bercorak garis-garis abu-abu dan hitam tampak melingkar di lehernya. “Kamu Ryan?” tanyaku merasa yakin ia mengiyakan. “No… aku Dresden. Ryan tak bisa datang. Ia harus pergi ke Ohio siang ini.” “Oh.” Segala rencanaku langsung terburai. “Kamu belum menjawab pertanyaanku,” tanya Dresden mengembalikan perhatianku pada dirinya. “Tentang apa?” “Tentang foto-foto yang kamu lihat.” “Mengerikan. Disturbing.” “Disturbing itu indah, kan?” “Dari sudut pandang mana?” “Kehancuran.” Dahiku mengerenyit. “Indah karena dalam keadaan hidup, manusia tidak akan bisa memperlihatkan kepasrahan dan ketelanjangan yang mutlak. Dalam keadaan mati, entah terpaksa atau tidak, manusia memperlihatkan pose-pose yang tidak akan bisa dilakukan kehidupan.” Aku menggigil. Entah kenapa. “Aku membuatmu takut?” “Tidak. Aku hanya merasa kamu berusaha membuatku tertarik dengan perkataanmu. Dan itu sedikit memuakkan.” “Hmm… aku menghargai kejujuranmu untuk sebuah pertemuan pertama.” “Yeah… itu aku,” ujarku sambil tersenyum. Aku menjadi merasa sedikit menguasai keadaan. Kami pindah ke sebuah kedai kopi di dekat situ. Sambil melihat orang-orang yang berjalan melintas bergegas melawan angin dingin, kami terlibat pembicaraan tentang pekerjaannya. Pentato dan pelukis tubuh. Sebuah pekerjaan yang menurutnya paling banyak berhubungan dengan kaum perempuan. Ia bercerita suatu kali mendapat pengunjung seorang wanita yang hampir berusia 50 tahun. Wanita itu memintanya merajah seluruh tubuhnya hanya karena ingin merasai sakit. Hidupnya sendiri, hanya ditemani satu pot bunga petunia sepanjang 30 tahun hidupnya. Hampa membuatnya tak lagi bisa mendefinisikan rasa perih. Perbincangan kami sangat menyenangkan. Terutama karena aku tak perlu mengisahkan tentang aku atau tentang dia. Kami mengomentari orang-orang yang lewat di depan kami, hingga mengapa orang-orang New York rata-rata menyebut pekerjaan mereka sebagai seniman. “Sebenarnya itu alasan bahwa mereka itu pengangguran. Tapi tentunya itu tak berlaku untukmu. Aku pernah melihat koreografimu tahun lalu bersama Ryan. Karena itulah ia sangat ingin terlibat dalam produksimu,” katanya sambil menyeruput kopi latte. Waktu serasa menguap saat bersamanya. Kulirik jam tanganku, dan ternyata sudah pukul 11 malam. Harus kuakhiri pertemuan dengannya sangat mengasyikkan. Ia segera menyadari keinginanku untuk beranjak. Sebelum pergi, ia menanyakan apakah aku akan menitip pesan untuk Ryan. “Tak perlu. Aku akan mengirimnya e-mail. Mengabarkan tentang audisi yang akan berlangsung minggu depan. Ia bisa langsung datang ke tempat latihan.” “Ok kalau begitu. Kita masih akan bertemu kan?” “Tergantung usahamu untuk menemuiku,” kataku sambil memberikan senyum tipisku. “We’ll see,” bisiknya di telingaku. Kami bertemu lagi sepekan kemudian. Ia tampak berbeda. Tidak secara fisik. Lebih sebagai ekspresi. Meski ia tersenyum saat melihatku, arah matanya seperti menembus tubuhku. Kubiarkan ia terdiam cukup lama sambil memandangi burung-burung merpati yang berkumpul di dekat kakinya saat kami duduk di sebuah bangku di Central Park. “Kamu pasti heran kenapa aku seperti ini,” cetus Dresden pelan seolah ia masih berada dalam dimensi waktu yang berbeda dengan tubuhnya yang saat ini duduk di sebelahku. Aku hanya mengangkat bahuku. Karena bagiku, ia toh tak akan peduli dengan reaksiku. “Aku ingin bisa bermimpi lagi. Ada yang mencuri mimpiku. Aku baru menyadarinya setelah pertemuan kita. Sampai di rumah, aku ingin mengingatmu dalam mimpiku. Tapi aku tahu, aku tidak memiliki mimpi. Terakhir kali aku memilikinya saat aku berusia sepuluh tahun. Setelah itu aku tak pernah bisa bermimpi.” “Pentingkah mimpimu?” “Aku tak tahu. Mungkin penting. Untuk saat ini. Karena menurutku, hanya itu satu-satunya cara untuk menyimpan dirimu.” Dia akhirnya mengangkat kepalanya yang dari tadi tertunduk memandang ujung sepatunya yang menyaruk-nyaruk tanah. Kini ia memandangku. Kami saling berpandang. Lama. Aku sendiri tak menghitungnya dalam hitungan detik, menit, atau jam. Melihat matanya aku merasakan sunyi yang berkabut. Membutakan namun tak menyesakkan. Terasa dingin, namun tak sampai menggigil. Kami mengalihkan pandang saat setitik salju jatuh di pipiku. Tangannya yang tak berkaus, terasa hangat saat mengambil sebutir salju itu. Kami melewatkan hari itu dengan memandang salju yang berjatuhan. Semua putih. Sesampainya di rumah, aku membuka peralatan audioku. Kusiapkan sekeping CD. Kubongkar semua koleksi lagu-laguku di komputer. Aku klik sepuluh lagu yang kupilih untuk aku simpan dalam CD. Kumulai dengan I Will Follow You in the Dark dari kelompok musik Death Cab for Cutie, Hide and Seek dari Imogen Heap, Maybe Tomorrow dari Stereophonics, The Verve Pipe, beberapa lagu Rufus Wainwright, dan sisanya kucampur Aimee Mann, Cary Brothers, Starsailor. Malam itu juga kukirim e-mail untuk Dresden. Aku mengajaknya bertemu esok malam. Akan kuberikan CD ini kepadanya. Malam itu dari jendela kamarku, aku melihat bintang melintas. Aku memohon untuk menjadi mimpi bagi Dresden. Aku terbangun agak siang. Jam 10. Perutku sangat lapar. Kutengok di dapur, hanya ada dua sisir roti tawar. Kuoleskan selai kacang di atasnya. Di lemari es, masih ada satu kotak susu tanpa lemak. Kutuang isinya yang tinggal seperempat ke dalam mangkuk. Kucabik-cabik roti tawar berselai kacang dan kujatuhkan ke genangan susu. Setelah kutenggelamkan semua cabikan roti itu ke dalam susu, kusendok pelan kumasukkan roti tawar yang sudah kuolesi selai kacang ke dalamnya. Aku menyantapnya sampai tandas. Kubawa tape recorder ke kamar mandi. Kuputar CD yang akan kuberikan kepada Dresden. Sambil mengucurkan air hangat ke dalam bathtub, kulihat tubuh telanjangku di cermin. Noda rokok di perutku belum hilang juga setelah dua hari lalu. Kutepuk-tepuk noda itu. Kubayangkan Dresden menciumku tepat di sana. Air menyentuh telapak kakiku. Aku berpaling dan melihat air di bathtub meluap. Segera kumatikan keran. Kutenggelamkan tubuhku sampai sebatas leher. Sambil terpejam aku mengikuti suara malas Aimee Mann yang menyanyikan Today’s The Day. Aku memasuki apartemen Dresden pada pukul delapan malam kurang seperempat menit. Ia menyambutku dengan pelukan yang menghangatkanku dari dinginnya malam. “Kamu tampak pucat,” bisiknya di telingaku. Aku mencium pipinya sebagai jawab. Dresden memasak ayam panggang dengan sayuran rebus dan kentang tumbuk. Kami makan malam sambil membicarakan salah satu tamu yang datang ke tempat kerja Dresden hari ini. Tamu itu mahasiswi yang berulang tahun ke-19 hari ini. Ia menghadiahi dirinya dengan melukis sekujur tubuhnya sehingga ia tak harus berpakaian. Ia ingin memperlihatkannya di depan orangtuanya. Setelah makan selesai, aku menyerahkan CD yang telah kupersiapkan kemarin malam. Ia segera memutarnya di sebuah tape yang terletak di sudut ruangan. Lagu Ride dari Cary Brothers langsung mengalun. You are everything I wanted The scars of all I’ll ever know Kulihat Dresden berbalik dan memandangku. Ia mendatangiku. Kini ia di hadapanku. Diraihnya kedua tanganku, dan kami berdansa. Aku merasakan hangat napasnya di telingaku. Saat itulah aku yakin akan sesuatu yang paling berharga dalam hidupku. Sebuah akhir yang selama ini tak pernah bisa kuketahui maknanya. Kutuntun Dresden menuju kamarnya. Kami berdua berjalan menuju kasur beralas seprai berwarna abu-abu. Kubaringkan tubuhnya di sisi kanan. Kemudian aku membaringkan tubuhku di sampingnya. Sambil berpegangan tangan, kami berdua memandang langit-langit. Di balik pintu kamar yang terbuka, Bittersweet Symphony yang dinyanyikan The Verve Pipe terdengar sayup. “Kemarin sebuah bintang melintas di langit.” “Jam berapa?” “Aku tak ingat. Saat itu aku memohon sesuatu. Aku ingin menjadi mimpimu.” “Untuk itukah kamu datang malam ini?” “Ya. Apakah kamu keberatan?” “Tidak. Aku hanya tidak yakin.” “Tentang apa?” “Tentang diriku. Aku tidak tahu apa yang kuinginkan.” “Waktu kecil aku pernah berbisik pada langit malam hari. Suatu hari aku hanya akan hidup untuk menjadi mimpi seseorang. Saat itu semua bunga di taman rumahku langsung mengembang. Mereka terbang menuju bulan.” “Itu mimpi terakhirku. Aku bermimpi melihat seorang gadis kecil memandang kelopak-kelopak bunga yang berkejaran ke arah bulan. Sejak itu aku tak lagi bermimpi.” Kami berdua terdiam. Memandang eternit berwarna putih. Kepalaku menoleh ke arahnya. Ternyata Dresden juga menoleh ke arahku. Aku merapatkan tubuhku. Dan kini kami berpelukan. Kutenggelamkan kepalaku di dadanya. “Masih ingatkah saat kita pertama bertemu di toko buku itu?” bisikku perlahan. “Ya.” “Saat itu aku menggigil bukan karena takut terhadapmu. Aku menggigil karena tubuhku merasakan keindahan yang kaukatakan waktu itu. Tujuh tahun lalu, sepupuku meninggal di apartemenku. Ia seperti tertidur di lantai kamar mandiku. Namun bukan itu. Bukan tidur. Aku melihatnya sambil berlutut selama berjam-jam. Hingga darah yang mengalir dari pergelangan tangannya yang diirisnya dengan pisau dapur, mengering di kakiku.” “Aku juga melihat ayahku tampak tampan saat ia menjatuhkan diri dari lantai dua rumahku. Tubuhnya jatuh berdebam di lantai kolam renang rumahku yang saat itu tengah dikeringkan airnya. Ia tak akan bisa menekuk tangan dan kakinya seperti itu saat ia hidup. Malamnya aku bermimpi tentang gadis kecil dengan kelopak-kelopak bunga terbang menuju bulan.” Dari luar kamar terdengar Death Cab for Cutie menyanyikan I Will Follow You Into the Dark. If heaven and hell decide That they both are satisfied Illuminate the no’s on their vacancy signs If there’s no one beside you When your soul embarks Then I’ll follow you into the dark Sambil tetap menyusupkan kepalaku di dadanya, aku berbisik. “Seumur hidupku, aku ingin terlihat indah. Begitu indah untuk menjadi mimpi abadimu.” Malam itu aku menjadi mimpi Dresden untuk selamanya. New York, 2007
""Mimpi untuk Dresden""
Sudahlah! Kita hidup dengan gaji kita saja. Tidak perlu pikirkan macam-macam. Usia kepala tujuh bukanlah saat yang tepat untuk merawat mobil tua. Kuno lagi. Onderdil jip itu pun sukar dicari. Biarlah kami menikmati masa tua, Pak. Kulihat kau selalu risau dengan kendaraan itu. Sebentar-sebentar pergi ke tempat anak kita dan memintanya supaya memperbaikinya. Sayang anak kita menghabiskan waktu untuk memperbaiki mobil itu. Mobil adalah beban. Mengapa kau bebani anak kita untuk membuat jip itu dapat berjalan kembali? Bannya saja begitu besar, mahal lagi. Belum lagi keadaan mesinnya yang harus dibongkar pasang, dari awal. Mimpimu pun selalu tentang jip tua itu. Mengapa sih repot-repot dengan kendaraan yang tidak mungkin digunakan lagi? Tanpa surat dan tanpa nomor polisi. Semua serba membingungkan! Itulah keluhan sang istri mantan Letnan Kolonel Banun. Ketika Banun membeli jip rongsokan buatan tahun empat puluhan itu dengan uang pensiunnya, sang istri amat gemas. Uang pensiun yang tidak seberapa itu harus dibelikan jip tua. “Kita makan dari mana, pak?” “Rezeki itu selalu ada, Ma. Percayalah, Tuhan akan memberi makanan bagi kita.” “Tuhan? Memberi makan dengan cara yang tidak bijaksana?” tanya istrinya yang sudah berusia kepala tujuh. “Memangnya Tuhan itu kasir? Suka-sukamu mengatur Dia?” “Nanti akan kaulihat,” jawab sang suami. “Kau yakin betul?” “Mengapa tidak? Kukira Tuhan yang mengirim jip ini kepada kita.” “Jawab doamu, yang merindukan sebuah kendaraan?” “Ya.” Istrinya geleng-geleng kepala sambil mengusap dadanya yang belakangan ini sering berdebar-debar entah karena apa. “Tetapi bukan mobil seperti ini yang kauminta kepada Tuhan, bukan? Bukankah mobil yang lengkap surat-suratnya, yang dapat digunakan ke mana-mana?” “Ya, memangnya begitu. Tetapi Tuhan mengirim jip ini, dan kauterima. Bukan kehendak kita, bukan? Kehendak Tuhanlah yang jadi, Ma.” Lagi-lagi sang istri mengurut dada dan kebetulan sang suami menengoknya. “Jantungmu jangan sampai kumat gara-gara jip tua ini, Ma. Anggaplah ini hiburan pada masa tua kita. Lihat, itu, mobil Wilys milik anak kita itu. Sudah seratus lima puluh orang yang datang melihat dan menawarnya dengan harga yang tinggi.” “Mengapa tidak dijual saja dan dipakai sebagai modal untuk berdagang?” “Sampai sekarang anak kita masih bertahan dengan harga yang diinginkannya. Lagi pula, ia senang mengutak-atik Wilys tuanya itu. Terserah dialah.” Mantan Letkol Banun yang selalu mengambil pensiun, tetapi tidak diberikan utuh kepada istrinya, alasannya, ada saja onderdil yang harus dibeli. Mungkin ia tidak memerhatikan kesehatan istrinya yang kadang-kadang mendadak sakit karena merasa nyeri di bagian dada. Entah karena sesuatu, istrinya sering menampik apabila dibawa ke rumah sakit. “Nanti akan sembuh sendiri,” jawabnya kepada suaminya. Sebaliknya, kalau sang suami yang sakit, ia cepat sekali masuk ke rumah sakit militer. Setiap kali suster memberi obat, ia membacanya dengan teliti dan kemudian mengatakan kepada suster bahwa ia tidak mau memakan obat itu. “Ini obat yang tidak cocok dengan penyakitku, buat apa? Nanti ada efek sampingan!” komentarnya. Suster tidak dapat berbuat apa-apa karena pasiennya malah menceritakan apa akibat kalau makan obat itu. Hanya obat yang murah dan sederhana yang ditelannya. “Perut saya bukan gudang obat dan bukan pula laboratorium percobaan,” katanya, yang membuat suster keluar dari ruangan tanpa kata-kata. Kalau berminggu-minggu ia terbaring sakit di rumah sakit tentara, orang yang menjenguknya selalu terheran-heran karena ia penuh semangat bercerita tentang masa lalunya yang kaya dengan pengalaman derita. Dokter menasihatkan agar ia tidak terlalu banyak bercerita, tetapi ia tidak peduli. “Ah, saya yang lebih tahu mengenai penyakit saya,” katanya. Sekalipun kadang-kadang ia pincang karena borok yang ada di kakinya, ia selalu tampak gembira. “Penyakit harus dilawan! Obat itu racun! Nanti luka ini akan sembuh sendiri.” Barangkali itulah resep hidup yang diyakininya, yang membuatnya melewati ulang tahun pernikahan emas. Anak-anaknya kadang-kadang cemas juga melihat kondisinya kalau jatuh sakit, tetapi dia sendiri tetap optimis. Ia senang bercerita kepada cucu-cucu dan menantunya, mengenai masa lalu yang penuh dengan pergolakan hidup. Ia seorang penutur masa lampau yang menarik, pencerita yang baik dan detail. Ketika ia bercerita, menantu dan cucu-cucunya asyik mendengarkan. Istrinya yang kadang-kadang mengusiknya dengan berkata, “Sudahlah, Pak. Jangan cerita tentang masa lalu saja. Masa lalu dan masa lalu! Sudah bau tanah pula!” Banun tidak marah. Ia memang kerap kali bertengkar, berbeda pendapat. Bahkan berhari-hari tidak saling menyapa, yang membuat anak-anaknya bertingkah serba salah. Ketika mereka berdamai, ia berkata, “Itulah orang tua. Tinggal menghitung hari-hari tua, dan menerima masa mendatang apa adanya.” Mendengar itu, anak-anak mengangguk dan cucunya dengan ringannya bersenandung, “Perdamaian, perdamaian….” Sang istri mengalah soal jip tuanya. Kalau uang pensiun berkurang, ia bersikap diam. Tampaknya ia tahu bahwa suaminya sering menyurati anak-anak supaya membantu mereka tiap bulan karena uang pensiun tidak cukup untuk kondisi perekonomian sekarang ini. Tentu tanpa menyebut-nyebut jip tua itu. Dan sang istri kenyataannya sering menerima kiriman uang dari anak-anaknya yang sudah bekerja di kota pulau lain. Sekali iparnya datang berkunjung ke rumahnya. Ia menunjukkan jip tua yang sedang diperbaiki secara total. Ia mengandalkan kemahiran anaknya memperbaiki kendaraan. “Mengapa Ipar tertarik dengan jip tua ini?” “Nah, ini pertanyaan yang kusukai. Selama ini istriku selalu ngomel karena aku membelinya. Macam-macam keluhan yang dikatakannya dari hari ke hari, sampai aku menjadi jemu. Dan ia pun berhenti sendiri mengomel. Karena Ipar menanyakan soal ’tertarik’ maka aku akan menceritakannya. Begini.” Mantan Letkol Banun bertutur. Saat itu, sekitar tahun 1947 atau tahun 1948. Ya, persisnya aku tidak tahu. Yang jelas aku berusia kira-kira 17 tahun. Pasukan kami terperangkap di sebuah medan tempur, dekat danau. Kami yang menyergap iring-iringan pasukan Belanda di tikungan, kehabisan peluru. Sebagian lari ke gunung berhutan dan sebagian lagi ada yang tewas tergeletak tanpa ada yang mengangkutnya. Aku sendiri berusaha lari ke kaki bukit. Namun peluru berdesingan di atas kepala sehingga aku tiarap di tanah. Tahu-tahu, sebuah laras senapan sudah diarahkan ke kepalaku sambil terdengar teriakan, “Berdiri! Kalau tidak kutembak!” Aku berdiri sambil menaruh kedua tangan di kepala bagian belakang. Aku digiring ke kendaraan militer yang ada di tikungan. Aku didorong masuk ke dalam truk militer. Sejam kemudian pasukan itu tiba di barak-barak militer yang tidak jauh dari tepi danau. Aku segera dibawa ke tempat interogasi. Serang prajurit yang beringas, berkulit lebih gelap dari kulitku, menampar mukaku dan kemudian mendorongku ke dinding. Kedua tanganku terikat ke belakang. Pukulannya menghunjam di perut membuat aku menjerit dan hampir muntah. Dadaku ditonjoknya dengan keras yang membuatku mengerang dan jatuh terduduk. “Kau ekstremis, ya! Mengaku!” katanya sambil menendang kakiku dengan ujung tumit sepatu larsnya. Aku nyaris rebah. “Jawab! Monyet kamu, ya?” Rasa sakit terasa di sekujur tubuh. Ia menyiram tubuhku dengan air yang membuat luka di kakiku terasa nyeri dan pedih. “Kau teroris! Ekstremis keparat! Ayo, mengaku!” Ditendangnya tubuhku sampai terbujur di lantai. Tubuhku menjadi basah karena air yang menggenang di lantai. “Kalau kau tidak mengaku, tubuhmu akan disetrom. Ia memutar-mutar baterai di depan mataku, mengambil sebuah engkol dan menyambungkannya dengan kabel yang hendak dibelitkan ke tubuhku. Aku menjadi ngeri dan mengaduh. “Ayo, mengaku!” Sebelum arus listrik menyentuh sekujur tubuhku dengan perlahan aku mengaku. “Ya,” jawabku. “Nah, bagus!” katanya sambil menyeringai. “Itu lebih baik bagimu.” Ia membuka tali ikatan tanganku. Menarikku supaya berdiri dengan entakkan yang keras sehingga tubuhku terayun dan lenganku terasa nyeri. Dengan kepala dan tubuh yang basah disuruhnya aku duduk di depan meja tua. Ia duduk di seberang meja dan mulai menulis di atas kertas. Ia menanyakan namaku, asal, nama orangtua, nama saudara, kawan sekampung, nama pasukan, siapa komandan, siapa yang menyuruh memerangi Belanda, dan masih banyak pertanyaan lainnya. Kujawab seadanya. Kepalaku masih pusing. Entahkah nama orang yang kusebut betul atau tidak, aku tidak tahu. Sekadar menyebut nama saja. Lalu ia menyodorkan secarik kertas kepadaku untuk ditandatangani. Aku dimasukkan ke dalam kamar tahanan. Kulihat di sana ada beberapa orang yang babak belur, tergeletak di lantai. Yang lain bersandar di dinding dengan pandang mata yang nanap. Ada yang kukenal dan aku bersikap seperti tidak mengenal. Ia pun bersikap demikian. Aku tidak tahu siapa lawan siapa kawan. Kurasa, di dalam tahanan itu pastilah ada mata-mata, kuduga, mereka yang tidak ada luka di tubuh. Dalam dua minggu di rumah tahanan itu, aku melihat orang yang dibawa dan tidak pernah kembali. Pada suatu hari, aku dipanggil dan kukira itulah akhir hidupku. Aku dibawa ke rumah komandan pasukan Belanda yang baru saja diganti. Ia baru kembali di negeri Belanda setelah negeri itu dibebaskan dari pasukan penjajahan Jerman. Prajurit yang membawaku menghadap komandan itu mengatakan bahwa aku adalah ekstremis yang tertangkap dalam pertempuran beberapa minggu yang lalu. Pak Komandan menerima penyerahanku dan menempatkan aku tidak jauh dari barak tempat pengawalnya berjaga. Akhirnya aku tahu bahwa nama komandan pasukan Belanda itu adalah Kapten Van den Bosch. Setiap hari ia memanggil aku. Hari pertama ia menanyaiku dan yang pertama ditanyakannya bukan siapa namaku, melainkan, “Berapa umurmu.” Kujawab bahwa umurku enam belas tahun. Aku menguranginya satu tahun. Ia mengangguk-anggukkan kepala sambil berkata, “Kau masih anak-anak. Anak-anak tidak baik memegang senjata.” Kutahu kemudian bahwa van den Bosch pernah bertugas di Betawi, Pulau Jawa, sebelum Perang Dunia II meletus, dan paham bahasa Melayu. “Nak,” katanya. “Tugasmu setiap hari adalah membersihkan kendaraan di sini. Semua kendaraan yang ada di sini harus kau bersihkan setiap hari. Khusus jip komandan, kau harus bersihkan sampai mengilap, rapi. Ambil air dari danau. Mengerti? Laksanakan!” Maka tugasku setiap hari mengangkat air dari tepi danau dan mencuci semua kendaraan yang ada. Tentu yang pertama kuurus ialah jip komandan, van den Bosch. Setiap pagi aku ke tepi danau, mengisi ember dan mengikutinya untuk mencuci kendaraan. Kulihat nelayan yang pulang pagi membawa ikan hasil tangkapannya. Sesekali aku ngobrol dengan mereka. Tetapi aku harus hati-hati karena mereka pun pastilah bagian dari kaki tangan Belanda. Tidak ada nelayan yang sebebas mereka bila tidak ada kaitannya dengan tentara Belanda. Pada suatu sore Kapten van den Bosch memanggilku ke kantornya. Hal itu jarang terjadi. Baru kali ini aku dipanggil secara khusus. “Nak, aku kasihan padamu. Usiamu masih amat muda. Tidak pantas kau bertempur di medan perang. Karena itu, begini saja. Nanti sore, menjelang hari gelap, kau kempeskan semua ban kendaraan. Semua saja. Lalu kau lari minta tolong kepada nelayan yang selalu berada di dekat pantai itu. Mengerti?” Aku terkesiap. Apakah ini sebuah jebakan? Van den Bosch mengulang, “Mengerti?” “Ya,” Kataku gugup. “Laksanakan!” Aku keluar dan segera mengangkat ember dan kembali mencuci kendaraan yang ada sampai gelap tiba. Satu demi satu ban kendaraan kukempeskan, juga jip komandan. Kemudian aku menyelinap setelah kurasa situasi aman, bergegas ke tepi danau dan betul di sana ada nelayan yang duduk di atas perahu. Kukatakan kepadanya bahwa komandan menyuruhku lari. “Betul?” Jawab nelayan itu. “Ya,” jawabku. Dan ia membawa aku menjauh dari pantai dan di tengah kegelapan malam, aku tiba di sebuah perkampungan yang aman dari jangkauan tentara Belanda dan aku bergabung kembali dengan induk pasukan. Mantan Letkol Banun berhenti sejenak menarik napas. “Ipar,” katanya meneruskan ceritanya, “jip ini mengingatkan aku selalu kepada van den Bosch. Kalau jip ini sudah selesai dilengkapi maka di bagian belakang ini, di atas nomor pelat, akan kutulis besar-besar dari ujung kiri ke ujung kanan: VAN DEN BOSCH, dan di bagian atas akan kukibarkan bendera Merah Putih yang terbuat dari bahan pelat yang sebesar bendera biasa.” Sang Ipar mengangguk mengerti. Bandung, 9 Februari 2007
""Serdadu Tua dan Jipnya""
Mak Yem meneleponku malam ini, “Tadi siang, Ayah kena serangan jantung lagi, sekarang dirawat di rumah sakit. Nana, sebaiknya kau pulang, tengok ayahmu.” “Saya besok masih ada pekerjaan, mengapa tidak Yu Ning saja?” “Mbakmu bilang, Naya (anaknya) sebulan lagi akan ikut ujian SMP. Jadi, dia akan mengirimi kamu uang, agar bisa pulang melihat ayahmu.” “Bagaimana sakitnya, apa cukup parah?” “Mbak Nana, tanyakan hal itu ke dokter Hariadi.” Ketika telepon dari Mak Yem ditutup, ponselku berdering dari Yu Ning, “Aku sudah mengirim uang untuk tiket pesawat ke rekeningmu. Cek saja dulu. Bilang pada Ayah, aku akan datang setelah Naya selesai ujian.” “Mbak, aku besok ada presentasi, mengapa tidak sampeyan saja?” “Sudah kubilang aku mesti menunggui Naya. Butikku besok akan didatangi pelanggan kami dari Malaysia. Sekarang, carilah tiket untuk keberangkatanmu, besok pagi.” Aku benci mendengar ucapan Yu Ning, dia selalu bisa menyuruhku apa saja. Itu dilakukan sejak kami masih kecil. (Ibu meninggal sejak kami masih sangat kecil). Yu Ning, yang jarak usianya 10 tahun di atasku, diberi keleluasaan oleh ayah, untuk mengatur semua hidupku. Kalau menurut Yu Ning aku harus begitu, aku tidak boleh membantah. Yu Ning jadi narasumber hidupku. Hanya dibantu dengan Mak Yem, dia mengatur segala urusan rumah tangga kami. Aku selalu benci terhadap apa saja yang dia punyai. Yang aku banggakan, cuma tinggi badanku yang lebih darinya. Hanya itu memang! Di sisi lain, aku sekarang cuma dosen di sebuah perguruan tinggi swasta yang bukan unggulan. Begitu pula suamiku, Haryo, teman sejawat di perguruan tinggi swasta ini. Bisa dibayangkan, kami tidak punya hak istimewa di kota metropolis, Jakarta. Pernah suatu kali, Yu Ning sekeluarga mengajak kami ke Singapura. Tetapi, aku tidak nyaman. Karena mereka menganggap, susah bepergian dengan perempuan dusun, yang tidak tahu bagaimana caranya berada di sebuah kota metropolis, Singapura. Sungguh, sejak dulu aku merasa, Ayah lebih mencintai Yu Ning, sekalipun Ayah selalu bilang, “Kalian berdua adalah harta yang tak ternilai bagiku. Aku kasihan dengan Mbakmu, sejak kecil harus berperan sebagai ibu kita.” Aku sekali lagi benci dengan ucapan Ayah. Aku kira baik Yu Ning maupun aku, punya kesempatan yang sama, untuk belajar, bermain, bahkan kurasa Yu Ning lebih punya kesempatan untuk jalan-jalan dengan pacarnya. Sedangkan diriku, mereka menganggap terlampau muda untuk memahami, siapa lelaki yang musang berbulu domba. Sedang Yu Ning bisa berlena-lena dengan pacarnya sampai larut malam. Sering aku merasa Upik Abu, yang diasuh ibu tiri. Tapi, semuanya memang berjalan seperti direncanakan mereka. Setelah lulus dari fakultas teknik arsitektur, Yu Ning menikah dengan dr Tomo. Selang beberapa tahun bekerja di perusahaan asing, Yu Ning membuka butik yang lumayan laku. Aku memang jadi orang yang pas-pasan saja. Karena memang aku dan Haryo, tidak memiliki keterampilan berbisnis. Padahal, Yu Ning sudah menganjurkan Haryo, untuk berbisnis. Hal itu pernah kami lakukan, jangankan menjadi besar, modal yang dipinjamkan Yu Ning, tidak bisa kembali. Sampai sekarang, aku masih berutang sekian juta kepada Yu Ning. Untungnya sampai tahun kedua pernikahan, kami belum dikaruniai anak. Kalau kami punya anak, kami akan semakin repot. Karena Yu Ning bilang, punya anak harus punya uang sekian juta untuk baby sitter yang pintar, susu, dan lain-lainnya. Aku merasa tidak bisa membiayai semua itu. Namun, Haryo bilang, “Kita tidak perlu khawatir, setiap anak punya rezeki sendiri. Apakah tidak sebaiknya sekarang saja kita periksakan diri ke dokter demi seorang bayi, yang kita impikan bersama….” Aku selalu gamang untuk pergi ke dokter spesialis kandungan. Tiba-tiba ada telepon lagi dari Mak Yem. “Nana, hatiku kok tidak enak, apakah kau besok bisa pulang? Sekalipun, ayahmu sudah ketiga kalinya dalam tahun ini, masuk rumah sakit.” Nada suara Mak Yem, sepertinya, aku ini anak yang tidak bisa berbakti. Yah, sampai jam ini aku belum juga mencari tiket untuk pesawat. Padahal, travel pasti sudah tutup jam sembilan malam ini. Seperti yang aku duga, untuk penerbangan paling pagi sudah habis semua. Yang ada dari salah satu biro perjalanan, tiket penerbangan untuk yang paling malam. Aku harus mempertimbangkan secepatnya, karena ada banyak peminat untuk pulang ke Malang, tidak melewati daerah Sidoarjo, yang penuh lumpur Lapindo itu. Aku tidak punya pilihan lain. Aku SMS saja Yu Ning, aku katakan, cuma dapat tiket pesawat dengan penerbangan paling akhir. Yu Ning segera meneleponku, “Sudah kukatakan, mengapa tidak menghubungi biro travel langgananku, pasti kau dapatkan tiket itu. Aku mengkhawatirkan Ayah. Oya, aku sudah transfer ke ATM-mu lagi, uang untuk biaya pengobatan Ayah. Coba kamu hubungi lagi biro perjalanan langgananku itu. Bilang yang pesan tiket ini ibu Ning Tomo.” Dengan malas kuhubungi biro travel langganan Yu Ning. Entah mengapa aku tidak kecewa. Karena yang tinggal cuma satu tiket penerbangan malam. Itu pun dengan harga yang sangat mahal. Sekali lagi aku SMS Yu Ning, dia tidak menjawab. Pasti dia sangat marah. Kalau bertemu Ayah, dia pasti akan bilang begini, “Nana lambat dalam segala hal. Padahal apa sih kerjanya. Masak mengajar saja menghabiskan waktu. Paling-paling sehari cuma dua jam.” Urusan tiket selesai. Aku mencoba menghubungi ketua jurusan. Dia menganjurkan untuk tidak terlampau lama mengambil cuti, karena akan ada pergantian rektor dalam minggu-minggu ini. Setelah menata barang-barangku di koper, aku mencoba tidur. Haryo, di sebelahku sudah tidur sekian jam yang lampau. Tiba-tiba aku merasa marah, sepertinya tidak ada seorang pun yang mau menolongku pada saat ini. Sudah hampir jam satu malam, ketakutan menyerangku, aku ingin menelepon ke rumah, tapi, kupastikan Mak Yem sedang menunggu Ayah di rumah sakit. Tiba-tiba, aku merasa bersalah, ini sebuah egoisme. Aku dan Yu Ning mengejar karier dan selalu lupa kalau masih punya ayah yang harus kami perhatikan. Selalu lupa menelepon beliau hanya untuk mengucapkan, “Hallo”. Padahal, sebelum keberangkatanku ke Jakarta, Ayah bilang, “Kalian berdua memilih karier di Jakarta. Tak seorang pun memang ingin bersama laki-laki tua sepertiku. Aku tahu tidak ada yang harus disalahkan, setiap anak pasti mencari sarangnya yang baru. Tapi, sesekali teleponlah aku. Itu sudah lebih dari cukup.” Waktu itu, aku menangis. Tapi, kemudian kesibukan kerjaku, kesibukanku berkumpul dengan teman-teman, jalan-jalan, dan banyak hal lain yang membuat aku hampir tidak punya waktu untuk berkata, “Hallo”, pada Ayah. Itu bisa dilakukan oleh Yu Ning terhadap Ayah. Aku tidak tahu, sepertinya Yu Ning punya waktu lebih dari 24 jam. Dan sering sekali Yu Ning mengingatkan aku untuk menelepon Ayah. Aku selalu malas untuk berdebat. Jadi, kukatakan saja aku sudah menelepon Ayah. Karena aku begitu yakin, kalau ditanyakan ke Ayah, ia pasti akan mengiyakan omonganku. Kadang-kadang memang Ayah melindungi aku dari kebesaran Yu Ning. Bisa jadi, beliau kasihan pada si bungsu yang ketemu dengan ibunya hanya di tahun pertama dalam kehidupannya. Dan tentang Ibu, aku tidak pernah mendengarkan ceritanya dari Ayah. Mak Yem yang sering bercerita, bahwa sejak kecil memang Ibu sering sakit-sakitan. Ayah sangat mencintainya, lebih dari itu, Ibu lebih mirip Yu Ning daripada aku. Waktu kecil, kalau aku sedih, sering kali tanpa sebab yang jelas, menangis di muka foto Ibu. Aku merasa kalau beliau masih hidup, kita bisa menjadi teman yang baik. Bagaimana hubunganku dengan Ayah? Dia dosen sejarah, pintar, persis seperti Yu Ning. Yu Ning, mengambil semuanya dari sisi Ayah, tanpa sisa. Aku memang harus pulang besok. Bukan untuk diriku sendiri, tapi juga untuk sebuah kewajiban sosial keluarga, yang aku tahu tidak terlampau kusukai. Aku selalu merasa sedih, kalau Ayah dirawat di rumah sakit. Aku merasa bersalah. Sering sekali aku menangis untuk semua kesalahanku itu. Aku selalu bilang pada Haryo, “Bagaimana caranya menjadi anak yang baik untuk seorang ayah?” Haryo selalu bilang, “Kita tidak tahu dengan tepat, kau sendiri pernah bilang kalau tidak begitu dekat dengan beliau. Barangkali ini yang paling baik, menjaga beliau di rumah sakit dan menuruti semua kemauannya.” Aku menganggukkan kepala. Kalau sakit, Ayah bukan seorang yang mudah, cerewetnya luar biasa! Tapi aneh, kalau Yu Ning yang merawatnya, Ayah bisa menjadi anak yang manis dan tidak pernah marah. Berkali-kali beliau akan berkata baik kepada perawat maupun dokter, “Anakku pebisnis perempuan, tapi masih punya waktu untukku.” Dan untukku, perkataan itu tidak pernah disebut-sebutnya. Sekalipun, aku telah berusaha menjadi seorang anak yang baik di depannya. Barangkali, dia menyangka aku toh setengah pengangguran yang tidak punya banyak kerja. Lebih banyak menghabiskan waktu dengan ngobrol yang tidak berguna. Tentu saja aku tidak menyukai kata-kata itu. Kadang-kadang, aku merasa sangat dikecilkan oleh hal itu. Tersakiti entah di mana. Seharusnya aku berpikir jernih saja, aku tidak harus merasa begitu. Mereka tetap tidak akan bermaksud jahat, bukankah mereka berdua keluarga dekatku, Ayah dan Yu Ning. Sering sekali aku merenungkan itu bahkan, aku pernah bertanya dengan seorang sahabatku yang psikolog. Tapi, jawabannya tidak memberi solusi yang memuaskan. Aku tetap merasa bahwa aku dan Yu Ning akan selalu beda prinsip. Sebetulnya aku cuma kasihan sama Ayah, seandainya Ayah tidak dirawat di rumah sakit, aku tidak ingin pulang. Apakah ini sebuah keegoisan, ketika aku merasa lebih nyaman tidak bersama mereka. Tapi dengan pekerjaanku, dengan Haryo, dengan teman-teman yang menurut Yu Ning tidak menghasilkan apa-apa, kecuali menghabiskan waktu. Dan siapa pun tahu, Ayah yang pensiunan dosen itu, biaya hidupnya ditanggung oleh Yu Ning. Sekalipun, aku juga suka membelikan Ayah sebuah kemeja yang cantik dan buku-buku biografi yang disukainya, atau mengobrol lebih lama tentang buku-buku itu di telepon. Bahwa, aku yang lebih banyak membelikan buku, karena kelihatannya Yu Ning tidak merasa perlu membaca biografi. Sedangkan yang pensiunan dosen sejarah itu, masih suka membaca hal-hal, yang menurut Yu Ning, tidak ada sangkut pautnya dengan dinamika bisnis hari ini. Yah memang, sekalipun kami sama-sama di Jakarta, kami jarang bertemu. Sekali-kali, Yu Ning mengajakku ke restoran. Namun, aku selalu merasa tidak nyaman, tapi sejak kecil aku tidak bisa menolaknya. Haryo-lah yang dengan senang hati menerima undangan Yu Ning. Ia bisa meladeni omongan Yu Ning yang menurut perasaanku sangat sombong (dia selalu menceritakan suksesnya). Hal itu sudah sering kukatakan pada Haryo, tapi Haryo dengan enteng menjawab, “Kamu sih, tidak mempunyai sense of humor, kalau kamu punya, pasti cerita Yu Ning, lucu.” Aku pasti tidak sepaham dengan ucapannya. Bisa jadi, aku lebih bisa ngomong dengan Mas Tomo kakak iparku yang pendiam. Namun, betapa jengkelnya aku, kadang-kadang kangen juga kepada Yu Ning. Sering aku ingat, bagaimana, dia merawatku dengan telaten ketika aku kena tipus, memasukkan aku, ke rumah sakit yang mahal di kota ini. Dan kata Mas Tomo, “Yu Ning panik ketika kau sakit.” Kadang-kadang, aku juga mengeluh tentang kesombongan Yu Ning pada Ayah, beliau bilang, “Kau pasti tahu, sebagai dosen sejarah, aku tidak akan pernah mendidik anak-anakku, dengan perasaan sombong. Kalau Yu Ning menjadi begitu, karena aku memberinya tanggung jawab yang sangat luar biasa, untuk seorang gadis kecil. Jadinya, dia memang sedikit superior.” Sesungguhnya, aku dan Yu Ning lebih ingin Ayah pindah ke Jakarta. Tapi, beliau cuma betah tiga hari di rumahku. Dan, tiga hari di rumah Yu Ning, yang sebetulnya penuh fasilitas. Ayah selalu lebih merindukan tanamannya, teman main tenisnya, dan beliau mengatakan, “Rumah adalah istanaku.” Aku sering berpikir, apakah Ayah tidak betah karena rumahku cuma BTN yang jauh dari pusat kota. Untuk hal ini, Ayah menyangkal keras, beliau bilang, “Kalau kau setua aku, baru kau bisa merasakan betapa tidak enaknya menginap di rumah orang lain, sekalipun rumah itu, rumah anakku. Aku juga tidak betah di rumah Yu Ning, yang mewah itu! Tapi, aku sendiri heran, aku merasa lebih nyaman kalau menginap di rumah adik-adikku.” Tiba-tiba, aku merasa bersalah. Ayah sendirian dikala sakit. Seharusnya, aku dan Yu Ning berada di sisinya pada saat ini. Aku seperti anak durhaka, dan aku menangis keras. Haryo terbangun, “Kita bukan si Malin Kundang, Ayah pasti tahu kalau kau dan Yu Ning, sebaik-baiknya anak, maka pulanglah dan rawatlah beliau, sekalipun kau sering bilang, Ayah, kalau sakit, cerewetnya luar biasa.” Sekarang sudah hampir subuh, besok malam aku harus ketemu Ayah. Ketika aku sudah berdiri di depan tempat tidurnya, Ayah berbisik, “Nana, aku senang kau bisa pulang.” Beliau kelihatan senang, padahal aku pulang tidak dengan Yu Ning (anak kesayangannya). Aku merasakan keganjilan itu. Aku menelepon, Yu Ning! Besoknya, kami sudah berdiri di muka Ayah. Beliau membuka matanya pelan-pelan, “Kamu datang berdua? Aku suka kalau kalian berdua bisa datang bersama selalu.” Ayah, tersenyum. Tiga hari setelah itu, Ayah meninggalkan kami berdua! Malang, 26 Januari 2007
""Ayah Pulang""
Harus kuakui, seluruh gambaranku tentang Koh Su ada pada laki-laki itu. Selama hampir setengah jam aku berada di sini, tidak pernah kudengar suaranya. Tidak juga pernah kulihat ia menoleh ke arah para pemesan dan pengantre. Dingin. Suntuk dengan dunianya sendiri. Minyak dituang. Diambilnya sebuah benda dari kotak di dekatnya, digedoknya keras. Remuk. Dilemparkannya ke arah penggorengan. Dilakukannya hal itu beberapa kali. Tidak ada saus tomat di dalam botol, tidak ada juga botol kecap. Hanya ada satu botol yang berisi cairan berwarna coklat di dekatnya. Botol itu dibebat kain, yang dugaanku, dulunya berwarna putih namun sekarang mulai berwarna coklat. Ketika sebulan yang lalu, sebuah kabar merayap di kampung ini, aku termasuk orang yang tidak peduli. Paling-paling hanya desas-desus yang sengaja disebarkan oleh seorang penjual yang sedang akan menggelar dagangannya agar laris. Seingatku, sudah belasan kali sejak aku kecil hal seperti ini terjadi. Dari kecil aku sudah biasa dengan drama-drama kecil ini. Tiba-tiba ada beberapa mulut yang mengatakan bahwa resep nasi goreng ala Koh Su sudah ditemukan. Lalu orang-orang begitu ramai. Tidak lama kemudian, berdiri sebuah warung makan di kota kecil ini, khusus menyediakan menu nasi goreng. Orang-orang mengantre. Begitu ramai. Lalu hanya seminggu atau dua minggu, warung itu akan sepi kembali. Kukut. Tutup untuk selamanya. Begitu berkali-kali. Di kota ini, nasi goreng identik dengan sebuah nama: Koh Su. Begitu dekatnya hubungan antara nasi goreng dan Koh Su, sampai nama Koh Su menjadi kata kerja untuk aktivitas membuat nasi goreng. Kalau ada seseorang yang berkata, ”Tadi pagi saya ngohsu,” itu berarti tadi pagi ia membuat nasi goreng. Atau kalau ada orang yang berkata, ”Ngohsu, yuk…” itu artinya ia mengajak membuat nasi goreng. Di kota kecil ini, hampir semua jenis masakan yang biasa ditemui di kota-kota lain ada. Hanya satu saja yang tidak ada, warung nasi goreng. Kalaupun warung nasi goreng itu muncul, seperti yang aku ceritakan di atas, didahului dengan bumbu-bumbu cerita, tidak berapa lama sebuah warung berdiri, diserbu pembeli, kemudian mati. Hanya menambah deret kekecewaan orang akan penjual nasi goreng, dan semakin mengukuhkan legenda Koh Su. Aku memperhatikan lagi penjual nasi goreng yang sedang khusuk dengan masakannya itu. Semua yang kubayangkan tentang Koh Su, memang benar-benar ada pada laki-laki itu. Rambut penjual itu lurus, panjang, agak jarang, dan dikucir. Di kepalanya bertengger kopiah hitam. Kumisnya jarang-jarang tapi dibiarkan tetap tumbuh, juga jenggotnya. Matanya sipit, dan di sepasang mata itu dikelilingi daging menggelambir. Tubuhnya tinggi dengan perut yang agak buncit. Di mulutnya selalu terselip sebatang rokok kretek. Kutaksir ia berumur empat puluh tahun lebih. ”Dek! Dek!” Laki-laki itu selalu mengakhiri prosesi memasaknya dengan cara yang sama, dua gedokan keras di wajan, sebelum menuangkan ke piring. Pembantunya, seorang anak berusia belasan tahun yang biasa dipanggil ’Mbeng’ lalu mengantar sesuai dengan urutan pemesan. Aku melihat ke sekeliling, masih banyak orang yang belum mendapatkan jatah pesanan mereka. Giliranku masih sangat lama. Dari hulu sampai hilir, cerita tentang Koh Su serba tidak jelas. Ada yang bilang kalau ia bukan orang Tionghoa, melainkan orang Madura. Nama sebenarnya Sukendar. Tapi karena mirip orang Tionghoa maka ia dipanggil Koh Su. Tapi banyak orang yang tidak sependapat. Bagi sebagian orang, Koh Su adalah orang Tionghoa. Ada juga yang bilang kalau Koh Su orang Jawa, hanya ia belajar memasak dari orang Tionghoa di Tuban, lalu pulang kampung dan mendirikan warung nasi goreng yang kemudian sangat tersohor. Nama sebenarnya Surono. Mana yang benar, aku jelas tidak tahu. Lenyapnya Koh Su dari kota ini juga tidak jelas. Sebagian orang bilang Koh Su mati. Sebagian orang yang lain bilang Koh Su melarikan diri entah ke mana. Ada juga yang bilang kalau Koh Su moksa karena ia menganut ilmu kebatinan. Bagi mereka yang percaya bahwa Koh Su mati pun punya versi masing-masing. Ada yang meyakini Koh Su mati dibunuh di warung makannya, jasadnya dibuang di Gunung Genuk. Ada yang bilang Koh Su mati dikubur bersama puluhan orang komunis di sebuah sumur tua di belakang sekolah rakyat setelah berkali-kali ia tidak mempan ditembak dan dagingnya tidak tergores ketika disembelih. Mana yang lebih tepat, tentu saja aku tidak tahu. Konon, tempat berjualan Koh Su terletak di bawah pohon beringin, sebelah barat alun-alun, di dekat masjid. Beringin itu sampai sekarang masih kokoh berdiri. Koh Su dikenal sebagai penjual yang tidak banyak bicara. Ia hanya sibuk memasak. Ia tidak melayani pesanan yang neko-neko. Di resep Koh Su, nasi goreng adalah nasi goreng. Ia tidak pernah meluluskan permintaan nasi goreng pedas, nasi goreng tidak asin, tidak pakai telor atau daging, dan lain-lain. Semua seragam, sama. Anehnya, sekalipun seragam, Koh Su selalu memasak satu per satu masakannya. Sehingga semua yang memesan harus sabar. Selain itu, tidak ada yang boleh membungkus nasi goreng lebih dari dua bungkus. Semua orang tahu Koh Su tidak menggunakan kecap, tomat atau saus tomat. Semua orang juga tahu kalau Koh Su memakai semacam saus berwarna coklat. Tapi apa ramuan saus itu, tidak ada seorang pun yang tahu. Dulu, aku pernah bertanya ke kakekku bagaimana rasanya nasi goreng Koh Su. Kakekku hanya menggelengkan kepala sambil berkata, ”Susah mengatakannya.” Pak Pardiman, penjual kopi yang sangat terkenal di kota ini juga melukiskan hal yang hampir sama, ketika aku dan teman-temanku menanyakan rasa nasi goreng Koh Su saat kami ngopi di warungnya. ”Ini nasi goreng Koh Su. Ini surga. Jaraknya hanya segini…” sambil berkata seperti itu Pak Pardiman mendekatkan jempol tangan kanannya dan telunjuk tangan kanannya. Kedua jari itu hampir menempel, seperti sedang menjimpit sebatang rokok. Beberapa orang kulihat datang, memesan lalu mengantre. Beberapa yang lain harus pulang karena nasi goreng yang belum dimasak sudah habis dipesan. Giliranku masih lama, tapi tetap merasa beruntung, paling tidak aku masih kebagian. Aku tidak tahu persis, apakah gara-gara Koh Su, atau karena hal yang lain, tetapi yang jelas nasi goreng adalah menu spesial penduduk kota ini. Begitu spesialnya sehingga tidak gampang diperjual-belikan. Pelajaran memasak pertama yang diajarkan dan dilakukan oleh anak-anak adalah ngosu alias membuat nasi goreng. Kalau ada peringatan hari tertentu, seperti Hari Kemerdekaan sampai Hari Maulud Nabi, pasti ada lomba ngosu. Begitu tenarnya nasi goreng di kota ini, maka muncullah orang- orang yang memang suka menguji nyali. Pada kali pertama dan kedua, itu cukup menggegerkan. Selebihnya kemudian ditanggapi dengan biasa saja. Saat itu aku masih duduk di sekolah dasar ketika ramai-ramai ada berita bahwa resep nasi goreng Koh Su telah ditemukan. Sama seperti cerita tentang Koh Su sendiri, cerita perihal ditemukannya resep masakan Koh Su serba tidak jelas. Setelah beberapa minggu, di dekat rumah sakit berdiri sebuah warung nasi goreng yang mengaku memiliki resep Koh Su. Selama berhari-hari nasi goreng itu ramai sekali. Antrean begitu panjang. Anak-anak kecil, termasuk aku, hampir setiap hari prembik-prembik, ngambek kepada masing-masing orangtua kami karena tidak juga dapat giliran mencicipi nasi goreng saking banyaknya antrean. Tapi setelah beberapa minggu kemudian, warung itu sepi. Dan ketika akhirnya aku mencicipi nasi goreng itu, tidak ada bedanya dengan bikinanku sendiri saat aku sering ngosu dengan teman-teman sebayaku. Kali kedua, lebih heboh lagi karena warung makan itu berdiri di bekas warung makan Koh Su, di bawah pohon beringin dekat alun-alun. Di kain warung makan itu tertulis jelas: Nasi Goreng Koh Su. Tapi tulisan itu hanya berumur beberapa hari karena polisi melarang tulisan ’Koh Su’ yang dianggap berbau komunis. Tulisan dihapus, tapi yang mengantre tetap banyak, juga para polisi. Namun hampir sama dengan yang pertama, umur warung makan itu hanya beberapa minggu. Setelah semua penduduk mencicipi dan ternyata biasa saja, warung itu sepi kemudian tutup. Kali ketiga dan seterusnya sudah tidak terlalu mengejutkan. Selalu ada desas-desus, lalu muncul warung nasi goreng, disambut dengan harapan dan antrean, dan kemudian kecewa. Aku memperhatikan sekeliling lagi. Orang-orang menunggu tanpa banyak bicara, seakan mereka sedang menunggu saat-saat yang paling menentukan bagi mereka. Orang-orang yang sudah mendapatkan giliran makan menyantap hidangan mereka dengan tenang. Khidmat. Yang sudah selesai juga membayar dan pergi dengan tenang. Mereka seperti selesai menunaikan sebuah ibadah. Masih ada beberapa orang lagi, baru kemudian tiba giliranku. Di kota ini, ngosu atau membuat nasi goreng bukanlah kegiatan yang bisa dilakukan hanya dengan sekian puluh menit. Semua ini karena bocoran resep-resep yang didapat dari Koh Su. Resep dan tatacara ini beredar dari mulut ke mulut. Mempengaruhi tindakan banyak orang dalam ngosu. Kabarnya, nasi yang digoreng oleh Koh Su berasal dari padi di Dusun Ngandang, sebuah dusun di lereng Gunung Genuk. Padi itu ditanak sebagaimana biasa. Setelah matang, ditumpahkan di atas daun pisang lalu dikipasi dengan ipit, kipas yang terbuat dari bambu. Nasi itu dikipasi terus-menerus sampai hampir dingin, setelah itu dibungkus dengan daun pisang rapat-rapat. Nasi inilah yang kelak akan menjadi bahan utama membuat nasi goreng Koh Su. Untuk menghasilkan nasi goreng yang enak, buntalan daun pisang itu paling tidak harus berumur lima jam. Jadi, konon Koh Su selalu menyelesaikan beberapa buntalan nasi setelah selesai Duhur. Habis Magrib, nasi ini dibuka satu per satu, untuk dibuat nasi goreng. Resep lain yang sudah ketahui banyak orang dalam membuat nasi goreng itu adalah dengan memakai kepala udang. Udang ini harus benar-benar udang laut dan harus segar. Kepala udang dipisahkan dari tubuhnya, lalu dikupas kulit luarnya yang keras dan dicuci sampai bersih. Setelah minyak dituang, pertama-tama kepala udang diremuk di atas talenan, kemudian dilempar ke minyak. Kepala udang itu menjadi semacam bumbu dasar. Untuk satu porsi nasi goreng dibutuhkan dua atau tiga kepala udang segar. Tergantung pada besar kecilnya kepala udang. Satu lagi, minyak yang dipakai untuk ngosu selalu minyak goreng dari kelapa. Tiga orang lagi sampai ke giliranku mendapatkan seporsi nasi goreng yang menggegerkan kota ini. Ketika warung ini mulai buka, hanya anak-anak kecil yang antusias menyambutnya. Kami yang sudah beranjak dewasa maupun orang-orang tua yang sudah cukup pengalaman dengan berdirinya warung-warung sejenis hanya merasa biasa saja. Paling-paling sama dengan yang dulu-dulu, begitu pikir kami. Tapi setelah berhari-hari, kabar tentang nasi goreng di warung ini semakin santer saja. ”Benar-benar nasi goreng Koh Su!” kata mereka yang sudah mencicipi. Kemudian kabar tersebut segera meluas. Ditambah dengan hal-hal lain yang memperkuat kabar itu. Penjual baru itu, sampai sekarang kami tidak tahu namanya, sama seperti Koh Su, memasak nasi goreng seporsi demi seporsi. Penjual itu juga tidak melayani membungkus nasi goreng lebih dari dua bungkus. Ia juga hanya menjual kira-kira lima puluh porsi dalam semalam. Dimulai dari sehabis Magrib dan selesai sebelum pukul sebelas malam. Mereka yang mengantre harus menunggu di warung itu, kalau meninggalkan warung sebelum mendapatkan pesanan mereka, dianggap tidak jadi memesan. Lalu kabar-kabar mulai bersayap, menerbangkan hal-hal lain. Ada orang yang bilang kalau penjual itu adalah anak kandung Koh Su. Konon, Koh Su yang pendiam itu mempunyai seorang istri dan anak di kota lain. Anak inilah yang mewarisi keterampilan Koh Su dalam membuat nasi goreng dan sekaligus mewarisi resep masakannya, terutama di dalam meramu saus berwarna coklat itu. Sampai saat ini, tidak ada yang tahu namanya. Ia seperti datang tanpa nama, tinggal dan berjualan tanpa mengobral nama. Ia hanya datang bersama Mbeng dan seperangkat alat memasak, lalu mengontrak kios di dekat pasar yang sekaligus menjadi warung makan. Kini tiba giliran nasi gorengku diracik dan dimasak. Dadaku berdebar. Ketika kakekku penasaran karena orang-orang mulai membicarakan rasa nasi goreng dari warung yang baru berdiri itu, aku masih belum tertarik. Ketika kemudian kakekku menjajal dan membenarkan kelezatannya, aku tidak punya alasan lain untuk tidak penasaran. ”Bumbu dan caranya memasak sudah benar. Hampir mirip buatan Koh Su,” kata kakekku. Bagi orang seusiaku, Koh Su jelas misteri besar. Cerita tentangnya mengambang di seluruh udara kota ini. Orang-orang yang mengalami nasi goreng Koh Su masih wasis bercerita saat aku masih kanak-kanak. Seluruh umurku yang berkaitan dengan nasi goreng adalah ngosu dengan bocoran resep dan tatacara yang tidak lengkap. Berasnya jelas tidak mungkin dari Ngandang, kadang minyaknya tidak menggunakan minyak kelapa. Dan yang pasti, kami tidak memakai saus berwarna coklat karena tidak tahu bagaimana cara membuatnya. Ini sudah kali ketiga aku mencoba mengantre. Dua yang pertama, berakhir dengan lidah kosong. Setiap kali aku datang, antrean selalu penuh, dan Mbeng berkata dengan sopan, ”Maaf Mas, sudah habis.” Kali pertama aku datang jam sembilan malam. Kali kedua jam delapan. Kali ketiga ini, aku datang benar- benar saat Magrib usai. Itupun yang mengantre sudah banyak sekali. ”Dek! Dek!” suara pertanda akhir prosesi memasak terdengar. Piring dilumahkan. Nasi ditumpahkan di atas piring. Mbeng mengantar seporsi nasi goreng ke arahku. Hatiku nratab begitu menerima ulungan sepiring nasi goreng dari tangan Mbeng. Aku memandang baik-baik nasi di depanku. Sempurna. Warnanya begitu menyentuh. Semua nasi berwarna sama, tercampur bumbu dan matang dengan rata. Baunya juga sempurna. Aku menyendok pelan nasi goreng di depanku. Aku memasukkan nasi ke mulutku… Aku mampir di warung kopi Pak Pardiman. Kupikir, malam ini bisa semakin disempurnakan dengan ngopi dan ngobrol bersama banyak orang. Sampai di sana, suasana sudah sangat gayeng. Dari sepintas dengar, obrolan yang terjadi berkisar soal kelezatan warung nasi goreng yang baru kujajal itu. Semua orang bersepakat soal kelezatannya. ”Sudah sama dengan punya Koh Su, Pak?” tanya seorang anak muda. ”Hampir…” jawab Pak Pardiman. ”Kira-kira kurang di bagian mana?” ”Nasinya. Tapi bagaimana bisa dapat beras dari Ngandang?” ”Bukannya di Bangunrejo masih banyak sawah?” Tidak ada jawaban dari mulut Pak Pardiman. Wajahnya tiba-tiba membeku. Dusun Ngandang sudah tidak ada lagi. Menurut cerita orang-orang tua, hampir semua penduduk Ngandang tersangkut peristiwa berdarah yang juga melenyapkan Koh Su. Lalu nama dusun itu diganti dengan nama Bangunrejo. Setelah beberapa saat terdiam, sambil meracik kopi pesananku, Pak Pardiman mendesah, ”Seandainya saja itu hanya soal ganti nama…”
""Koh Su""
Jamal membetulkan sarungnya. Keluar kamar, mengambil senter di meja panjang, membuka pintu belakang, dan menghilang di kegelapan malam. Meninggalkan Imah, istrinya, yang menggigil di kamar sempit pengap. Menjemput Mus. Hanya itu yang bisa dilakukan Jamal jika penyakit Imah kambuh. Mus membuka pintu. Dia telah hafal siapa yang mengetuk pintu dini hari begini, dua tiga jam sebelum beduk subuh ditabuh. Seperti biasa, dua orang itu bergegas menuju rumah Jamal, lima ratus meter dari rumah Mus, melintasi pematang yang memisahkan rumah mereka. “Saya sudah bilang biar mereka mengurus sendiri keperluannya. Mereka kan bukan tamu, Mbah. Ini rumah mereka sendiri,” kata Mus begitu mulai mengoleskan balsam kerik ke punggung Imah. Imah menjawab dengan gumaman yang tak jelas. Ah, pasti juga jawaban yang sama seperti tahun-tahun lalu. Mereka pulang hanya setahun sekali, masak dibiarkan mengurus dirinya sendiri. Dan Mus tidak berkata-kata lagi. Dulu, waktu Mus masih tinggal di sini, dialah yang mengurus rumah, sawah, sampai pengelolaan penggilingan padi keluarga ini. Sejak kecil ia telah dilatih menjadi pengurus rumah tangga sekaligus petani. Emaknya dulu buruh di keluarga Jamal ketika seperempat luas sawah di desa ini masih menjadi miliknya. Jamal pula yang menikahkan emak Mus dengan buruh penggilingan padi. Lalu membuatkan rumah mungil dan memberi pesangon sepetak sawah di selatan desa. Tetapi, kemiskinan yang mendera membuat keluarga itu menyerahkan pengasuhan Mus kecil kepada Imah. Sejak itu Mus menjadi bagian dari keluarga Imah. Imah meringis menahan sakit setiap uang logam di tangan Mus menggerus kulit keriputnya. Pikirannya masih tertuju pada anak-anaknya yang kemarin datang dan sekarang telah pergi lagi. Benar kata orang, tak ada bedanya punya banyak anak atau sedikit. Setelah tiba masanya, anak-anak itu akan pergi mencari hidup mereka sendiri dan meninggalkan orangtuanya. Begitu juga yang dirasakan Imah. Ia telah melahirkan dan membesarkan sembilan orang anak. Toh ia tetap merasa sepi mengisi hari tua hanya bersama Jamal, suaminya. Para tetangga sering berkata, enaknya menjadi orangtua seperti dirinya, punya banyak anak dan sudah jadi orang semua. Tinggal duduk menunggu kiriman. Imah hanya akan menjawab dengan kata: amin. Mungkin memang begitu mestinya, batin Imah. Tetapi, sebentar kemudian pikiran itu diusir pergi. Agamanya mengajarkan bahwa orangtua harus tanpa pamrih mendidik anak-anaknya. Kewajiban itu harus dijalankan semata-mata untuk mencari ridla-Nya karena anak-anak adalah titipan dari-Nya. Mendidik sembilan orang anak hingga menjadi orang seperti sekarang sudah merupakan karunia. Sembilan orang anak! Hingga dulu dia tak punya cukup waktu untuk dirinya sendiri. Memang pada masa itu suaminya anak tuan tanah terkaya di desa ini. Mereka hidup dikelilingi buruh puluhan jumlahnya. Ada buruh yang mengerjakan sawah, ada pula yang mengurus anak-anak dan rumah tangga. Tetapi, tetap saja, mengandung dan menyusui mereka menguras habis tenaganya. Imah hampir tak pernah beristirahat dari tugas reproduksi. Ketika seorang anak belum selesai disusui, dia telah hamil. Begitu seterusnya, hingga sembilan orang anak lahir dari rahimnya. Sekarang, ketika tenaga tuanya tinggal sisa-sisa, tak ada seorang anak pun di sampingnya. Hidup di desa terpencil membuat anak-anaknya harus pergi ke luar desa untuk melanjutkan sekolah mereka. Sebagiannya bahkan ke luar kota, ke Pati, Rembang, atau bahkan lebih jauh lagi, Jombang. Kota-kota yang diyakini sebagai tempat mencari ilmu dunia dan akhirat. Selesai sekolah sebagian anaknya pulang, tinggal beberapa lama di rumah sebelum kembali ke kota mencari kerja. Sebagiannya tak sempat kembali karena segera mendapat pekerjaan. Ketika pulang lagi, anak-anak itu membawa seseorang yang akan dipersunting menjadi istri atau suami. Begitu seterusnya. Hingga sembilan orang anak itu menikah dan meninggalkannya. Mereka baru akan ke desa, ke rumah orangtua ketika lebaran tiba. Itu pun tak lama. Paling dua malam saja. Bahkan sebagian tak pernah bermalam. Sering Imah menghibur diri. Tugasnya sebagai orangtua yang mengasuh, mendidik, hingga menikahkan anak telah dilakukannya. Meski ia dan Jamal tak lagi bisa mempekerjakan banyak orang karena sawahnya semakin berkurang, orang-orang masih tetap menaruh hormat kepadanya. Salah satunya karena ia adalah orangtua yang telah mengantarkan keberhasilan anaknya. Tentu Imah bangga. Apalagi saat lebaran tiba, sembilan orang anaknya datang bergantian atau bersama-sama dengan mobil yang beraneka rupa. Mobil yang bagi orang desa dilihat sebagai lambang kesuksesan. Maka pantas saja orang-orang mengira Imah tinggal ongkang-ongkang kaki karena segala kebutuhan terpenuhi. Kenyataannya, Imah dan Jamal harus tetap membanting tulang mereka yang lapuk dimakan usia. Mereka tak mau menadahkan tangan di depan anak-anak. Apa yang telah dilakukannya bukan untuk meminta balas jasa. Tetapi, apa boleh buat. Kesehatannya tak memungkinkan lagi. Penyakit gula turunan yang diwariskan orangtua Imah membuatnya semakin lemah. Jamal yang dulu tampak lebih sehat dari orang seusianya kini mulai sakit-sakitan juga. Tak ada pilihan kecuali membagi petakan sawah itu untuk sembilan orang anaknya. Dan karena tak ada seorang pun anaknya yang tinggal di desa ini, maka pilihannya adalah menjual atau menjual tahunan sawah itu kepada para tetangga. Kehidupan Imah dan Jamal sepenuhnya menjadi tanggungan sembilan anaknya, begitu hasil rembukan anak-anak mereka saat berkumpul setahun lalu. Maka, berakhirlah kisah Jamal sebagai tuan tanah. “Sudah Mbah,” kata Mus sambil mengemasi perlengkapan kerik. Imah membalikkan tubuh ringkihnya. Telentang memandang Mus di keremangan kamar. “Untung ada kamu, Mus,” bisiknya lirih. Air matanya meleleh dari sudut-sudut mata. “Saya pulang dulu ya, Mbah. Pagi nanti saya ke sini,” Mus berdiri memandang Imah, menunggu anggukan kepala yang akan mengantarnya pulang. Perempuan muda itu pun meninggalkan rumah Jamal, sendirian. Berjalan tenang, perlahan. Benaknya dipenuhi beban. Ia dinikahkan Imah dua tahun lalu. Sampai lima bulan lalu Mus bersama suami dan anaknya masih tinggal bersama Imah. Tetapi, seorang menantu Imah memperkarakan keberadaannya di rumah besar itu, maka ia nekat membangun rumah dengan uang pinjaman. Tak ada pilihan. Rumah orangtuanya terlalu sempit untuk ditumpangi, rumah mertuanya yang juga sedesa pun tak jauh beda. Kemarin sore pemilik uang itu kembali datang. Sepeda motor, harta paling berharga milik suaminya belum laku juga. Siapa mau membeli kendaraan yang BPKB-nya masih jadi agunan. Maka, tawaran Pak Muslih, makelar TKI itu, kembali melintas-lintas dalam pikirannya. Setengah tahun setelah kejadian itu. Ussi, cucu Imah dan Jamal dari anak keduanya Fikri, merayakan pernikahannya dengan pengajian akbar di desa. Sekalian pertemuan keluarga, kata Fikri. Usai pengajian setelah semua tamu pulang, sembilan orang anak itu pun berkumpul di ruang tengah. Malam telah larut, tetapi beberapa orang anak akan kembali ke kota besok pagi sehingga tak ada waktu lagi. “Kita harus selesaikan semuanya malam ini,” Fikri yang mempunyai gagasan pertemuan memulai. “Seperti kesepakatan dulu, Bapak dan Ibu sekarang menjadi tanggung jawab kita.” “Tidak usah sekarang, Mas,” Ilham yang tinggal di kota, tujuh kilometer dari desa itu menyela. “Sebelum kita membicarakan soal ini, aku sudah melakukannya. Siapa yang mengobatkan Ibu selama ini? Siapa yang membayar tunggakan listrik?” “Iya Mas, makanya ini kita bicarakan supaya lebih tertata. Bukan hanya Mas Ilham sendiri yang menanggung kebutuhan Bapak dan Ibu,” Arif, si bungsu, bersuara. “Aku sudah bilang berkali-kali, buatkan Bapak dan Ibu rekening bank. Itu akan mempermudah kita semua,” Rosyad, anak nomor enam yang juga tinggal sekota dengan Ilham berkata. “Itu pun jadi masalah Mas. Rekening itu atas nama siapa dan siapa yang akan mengurusnya? Repot kalau Bapak dan Ibu harus mengurus sendiri,” Alfan giliran berikutnya. Maka, ramailah pertemuan itu membahas cara pengiriman uang bagi Imah dan Jamal. Sampai sejam kemudian tak ada kesepakatan. Memberikan secara langsung sebulan sekali jelas tak mungkin bagi sebagian mereka. Sementara membuka rekening bank dengan alasan kepraktisan memunculkan masalah sendiri. Siapa yang akan mengurusnya? Rosyad sudah bersedia, tetapi banyak saudara tak menyetui karena sifat istrinya yang kurang terpuji. Fikri menawarkan diri. Tetapi, hampir semua anak menolak karena terlalu jauh tinggalnya. Kericuhan terjadi. Masing-masing punya pendapat dan tak mau mempertimbangkan pendapat orang lain. Hingga lewat pukul satu dini hari. Imah dan Jamal sudah terkantuk-kantuk ketika situasi memanas. Fikri menuduh Ilham pamer dengan segala bantuan yang telah diberikan selama ini. Ilham menuduh Rosyad tak paham situasi. Arif mengomentari Fikri tak menimbang kekuatan sendiri…. Tiba-tiba Imah berteriak, “Sudah!” katanya menahan sedu-sedan, “Kalau hanya mau membuat keributan, kalian tak usah pulang! Aku dan bapakmu ini sudah tua. Ingin melihat kalian hidup rukun dengan saudara. Tetapi, setiap bertemu ribut selalu. Sudah, aku tidak mau dengar lagi.” “Tunggu dulu, Bu, kami ini membicarakan kepentingan Ibu dan Bapak,” Fikri coba menenangkan. “Mendengar kalian bertengkar itu bukan kepentinganku!” Imah semakin tersedu. “Tugasku sudah selesai, merawatmu, menyekolahkanmu, menikahkanmu. Aku dan bapakmu ini hanya ingin hidup tenang menunggu mati. Kalau kalian keberatan menanggung hidup orangtua ini, biar kami mencari sendiri. Dulu ibumu ini anak orang melarat,” Imah menunjuk dadanya. “Tidak akan kaget kalau sekarang kembali menjadi melarat.” “Bu, jangan bicara begitu,” Arif berdiri. Namun, Imah sudah tak mampu menguasai diri. Perempuan tua itu terus menceracau di antara sedu sedannya. Hingga tubuhnya melemas dan terjatuh dalam pelukan Rosyad. Para menantu yang sejak tadi duduk di belakang tanpa suara kini merubung Imah yang pingsan. “Bawa ke kamar,” kata salah satu dari mereka. “Panggil Mus,” teriak istri Arif. “Mus di Saudi!” jawab istri Ilham. Semua bingung. Tak ada yang tahu bagaimana mengembalikan kesadaran Imah. Fikri berteriak dalam kepanikan, “Bawa ke rumah sakit.” Alfan menyiapkan mobilnya. Bersama beberapa orang saudara ia antarkan Imah ke rumah sakit di kota. Tetapi hingga beberapa waktu sesudahnya, perempuan tua itu tak sadarkan diri juga.
""Ketika Mereka Pulang""
Delapan obor menyala bersama, sementara wajah-wajah berkeringat duduk membentuk lingkaran, mulut mereka berkeciap bak burung-burung kecil menanti jatah makan dari induknya. Suara gamelan bambu dan tiupan seruling sudah terdengar dan dari tadi pemuda-pemuda kampung mengalir ke arena tajen di banjar itu. Penerangan listrik sengaja dipadamkan dan suasana lebih romantis tumbuh dalam cahaya obor. Dulu, memang tempat itu dikenal sebagai arena tajen, tempat orang mengadakan “metajen”, adu ayam dengan uang taruhan. Dulu, tempat itu tidak pernah sepi. Semenjak pemerintah mengadakan Lotto PON dan Lotto Surya, rakyat terbius oleh judi dan mencoba membangun ekonomi dengan mimpi. Tapi, sejak secara resmi lotto dihentikan, mereka beralih ke judi tradisional yang memang digemari masyarakat, yakni aduan ayam yang sering dikaitkan dengan upacara agama. Pemerintah daerah tak bodoh dan menenderkan acara metajen itu kepada pemilik modal yang kuat. Dialah yang menjadi pemborong dan memberi setoran uang kepada pemerintah, sementara rakyatnya berutang untuk mengejar mimpi menang dalam judi. Waktu berubah, judi secara nasional dilarang dan karenanya metajen yang berupa judi juga dilarang, sedangkan metajen yang bagian dari upacara agama tetap dapat dilangsungkan, tetapi tanpa taruhan. Jadilah arena itu menyandang nama arena metajen walaupun tak pernah lagi diselenggarakn metajen di tempat itu. Bukan berarti orang berhenti metajen, penggemar metajen tetap saja berkumpul di tempat tersembunyi untuk mengembangkan hobi mereka. Ayam-ayam jago masih dipelihara, dijemur pagi hari dalam deretan kurungan. Malam ini arena tajen dipakai untuk menyelenggarakan hiburan joget bumbung, joget khas Bali, joget pergaulan, tapi bukan dansa cara Eropa. Sudah sejak tiga hari disebar pengumuman tentang acara ini di Radio Guntur, juga berita yang berjangkit dari mulut-ke mulut. Joget diselenggarakan atas upaya teruna-teruni banjar untuk menghimpun dana menjelang datangnya hari raya Galungan dan Kuningan. Bila saat hari raya tiba, mereka akan menggelar bazar di balai banjar, bukan semata-mata menghimpun dana, tetapi untuk mempererat pergaulan teruna-teruni di banjar ini. Bapak perbekel selalu memberikan pengarahan kepada muda-mudi untuk bersikap baik, sopan dan santun, serta taat menjalankan ibadah agama. Saat ini, sekehe joget bumbung dari Banjar Asri yang terkenal itu yang diundang datang, lengkap dengan sri panggungnya, Luh Sumaratih, dan juga Komang Tarini. Dua penari andalan kelompok ini sudah dikenal luas di pelosok kabupaten dan hampir tiap malam mereka mendapat pesanan menari di tempat-tempat yang berbeda. Mereka hanya beristirahat saat berhalangan atau saat hari-hari tertentu saat mereka memang tidak boleh menggelar acara hiburan itu. Bukan hanya Luh Sumaratih dan Komang Tarini yang menari. Masih ada dua penari lagi, masih muda belia dan masih belajar. Mereka pada pagi hari malahan masih belajar di kelas satu SMPN IV. Pagi hari mereka tampil sebagai siswa SMP dalam seragam putih biru, malam hari mereka menjelma menjadi dewi-dewi yang turun dari langit. Tak seorang pun yang mengira mereka masih duduk di kelas satu SMP karena dalam kostum penari mereka tampak sebagai gadis dewasa. Lirikan matanya, senyumnya, goyang pinggulnya, semuanya menggoyang hati para penari yang tidak semua pemuda, tetapi juga bapak-bapak yang sudah berusia lebih dari tiga puluh tahun. Justru dari mereka panitia berharap mendapat uang cukup. Empat bidadari sudah siap, ditingkah lagu dari gamelan bambu dan seruling yang alunnya naik turun seperti digoyang angin. Dua penari muda itu turun ke gelanggang seorang demi seorang dan seorang pemuda juga memberanikan diri turun ke gelanggang menerima selendang yang ditawarkan penari. Dari kalangan penonton, dia digaet dengan selendang di pinggangnya, ditarik ke tengah gelanggang dengan menari, dan saat sampai di tengah dia menerima selendang itu dan mengikatkannya melingkari pinggang sendiri. Dia melenggok dalam gaya, kadang segera menubruk penari yang sigap menghindar dengan gerakan menari, diiringi sorak-sorai penonton. Mereka meniru gerak sepasang penari oleg tambulilingan yang mengisahkan gerak cinta lebah yang ingin mengisap sari bunga. Tari itu biasanya dibawakan oleh dua orang penari perempuan, yang seorang menggambarkan lebah madu jantan. Dalam tari aslinya, kedua penari nyaris berciuman sungguhan, tetapi mereka bukan penari oleg. Yang seorang memang penari profesional, tetapi pemuda itu sekadar menggerakkan tubuh dan tangannya. Penonton sudah mulai meneriaki Luh Sumaratih untuk turun ke arena: “Ratih! Ratih! Ratih” “Ratih Dewi Asmara!” teriak seseorang. Dalam cermin, Ratih melihat wajahnya sendiri, masih segar, cantik bergairah, tetapi jauh di dalam matanya dia bisa melihat cahaya kelam, kesedihan, kepedihan yang ditanggungnya. Dia tahankan semuanya demi masa depan keluarganya, orangtuanya yang hanya petani miskin. Hanya dia yang mampu mengentaskan keluarganya dari kemiskinan. Kedua kakak lelakinya entah pergi ke mana, katanya merantau ke Jawa tak tahu bekerja sebagai apa. Mungkin malu tinggal di desa bersama orangtuanya. Ratih sendiri bersekolah di SMP Terbuka sampai tamat, tetapi tidak melanjutkan ke tingkat SMA. Orangtuanya tak punya biaya. Akhirnya Ratih memang meluncur ke arena sejak awal sudah menari. Tak segerak pun yang tak dalam bentuk tarian. Kepalanya bergoyang, matanya bergerak, jari-jari lentiknya, pinggulnya, bahunya, semua bergerak mengundang gairah penonton. Pemuda- pemuda yang ingin digaet dengan selendang berdiri maju, tetapi Sang Dewi bagaikan terbang ke angkasa, menari ke sana-kemari belum menentukan pilihan. Dia bergerak ke barisan belakang, ke tengah, ke samping, dan dia lihat Gede Mangku sudah tersenyum- senyum dari tempatnya. Lelaki itu berkumis tipis, senyumnya menghanyutkan, dan dompetnya tebal. Sumaratih tahu hal itu sebab hampir pada setiap pergelaran tarinya, dia selalu hadir dan membawa uang. Yang diselipkan di sela payudara Sumaratih tak pernah uang receh dan lusuh, selalu bersih dan pecahan Soekarno-Hatta. Sayang, dia sudah beristri. Bagai seekor burung gagak menyambar dari langit, secepat kilat Sumaratih menukik turun dan mengibaskan selendang yang dengan tangkas disambut oleh Gede Mangku. Bagaikan sepasang dewa dewi cinta yang sudah mahir menari, mereka menari berdua ke tengah kalangan, bukan saja ditingkah gamelan, tetapi juga teriakan penonton. Mereka senang sebab gerak mereka berdua demikian indah, tak menggambarkan umbaran nafsu sama sekali. Gede Mangku tak pernah tergesa. Setiap patukan kepada ke arah kepala Sumaratih dilakukan dengan penuh pertimbangan, halus, sehingga keduanya bagaikan sepasang penari oleg yang berpengalaman. Benar-benar menggambarkan keselarasan kasih sayang, benar-benar Dewi Ratih bertemu Kamajaya. Di sini Gede merasa tenteram bersama Ratih yang di matanya lembut, bergelora tetapi terkendali. Emosinya pasti juga terkendali, pikirnya, tak tergesa bila diajak bercinta. Di arena, pasangan ini hiburan sehat dan seolah mereka tak berkeberatan bila keduanya menari sampai pagi. Tetapi, tentu saja hal itu tak mungkin sebab banyak lelaki berduit lain yang menunggu. Walaupun Gede Mangku mampu mengeluarkan uang lagi, toh para lelaki lain yang juga berduit berkeberatan. Panitia juga berkeberatan. Komang Tarini mengganti sementara Ratih beristirahat, mengipas-ngipasi tubuhnya yang berpeluh dengan kipas cendana yang menebarkan harum kayu. Perhatian penonton tak surut. Perawakan Komang Tarini tinggi jangkung, kulitnya terang, matanya besar dan goyang pinggulnya hebat. Agar penari lelaki dapat bergerak menyambar pipinya terpaksa sering dia harus menari dengan posisi tubuh rendah sebab kebanyakan mereka kalah tinggi dengan sang dewi. Sorak-sorai penonton beberapa jam telah mengumpulkan dana cukup untuk teruna-teruni banjar ini menyambut hari raya Galungan dan Kuningan. Sekehe joget bumbung Asri tak dirugikan sebab uang sewa diberikan penuh dan uang hadiah untuk penari dibagi dua, untuk sekehe dan untuk penyelenggara. Saat pertunjukan usai, masih ada empat obor yang menyala, sementara penonton sudah bubar. Kelompok joget juga sudah bersiap-siap pulang dan para penari sudah berganti pakaian. Gede Mangku tampak masih menunggu di sudut arena, bangkit berdiri ketika Ratih mulai bergerak mau pergi. “Boleh kuantar pulang, Ratih?” “Tiyang pulang bersama rombongan, Bli.” “Apa Bli tak boleh mengantar? Bli bawa mobil kok?” “Kami tadi carter colt bak terbuka. Semuanya naik di sana.” “Penari pindah saja ke mobil saya. Kan cukup?” “Tiyang malu sama Pak Sutama. Beliau yang mengatur kami semua.” “Baiklah, Bli yang minta izin.” Berkata demikian Gede langsung bicara dengan Pak Sutama, pemimpin rombongan. Ratih tersipu, tetapi Made Sutama tampaknya bijak: “Maaf, Pak. Saya bertanggung jawab atas keselamatan semua anggota sekehe ini. Saya sudah minta izin kepada orangtua Ratih dan mereka berpesan agar Ratih tak diserahkan siapa-siapa. Saya yang jemput dan saya yang antar. Maaf. Ini peraturan kami.” “Ah, Bapak. Masa gak ada kebijaksanaan? Saya ajak Ratih malam ini saja?” “Baiknya besok Bapak datang ke rumah orangtuanya dan bicara sendiri. Saya tak berani memutuskan lain.” Lelaki peniup suling hanya tersenyum menyaksikan itu semua. Dan, lelaki itu benar-benar datang ke rumah Ratih, bangunan bertembok batako dengan atap seng. Di dalam kamar tamu yang sempit, lelaki itu mengipasi tubuhnya dengan koran yang dibawanya. “Maksud Bapak, Bapak mau mengajak Ratih keluar?” “Begitulah, kalau Bapak tidak berkeberatan.” “Maaf, apa Bapak sudah punya istri?” tanya lelaki itu langsung. Dia mengenakan sarung yang dilingkarkan ke pinggangnya sekenanya. Kaus oblong lusuh bergambar penari Bali dikenakannya. Tak berkutik, dia terpaksa mengatakan: “Ya, saya sudah beristri.” “Jadi, Bapak mau melamar anak kami sebagai istri kedua?” Pertanyaan itu tak terduga pula, namun dijawab dengan segera. Dia tetapkan hatinya. “Ya, kalau boleh.” Lelaki itu tertawa dan memerhatikannya dari kepala sampai ke sepatu. “Bagus, bagus. Bapak memang bersifat ksatria.” Hati Gede mengembang. Ada harapan menyunting kembang joget yang terkenal ke mana-mana, yang senyumnya menjatuhkan benteng lelaki, yang goyangnya menggoyang hati semua lelaki. “Tapi, Ratih sudah dewasa. Dia bisa menetapkan pilihan untuk dirinya sendiri. Terima kasih untuk perhatian Bapak, tetapi adat melamar tidak seperti ini.” Dan Ratih, disaksikan kedua orangtuanya tersenyum mendengar lamaran Gede, namun dengan tegas dia katakan: “Kami ini keluarga miskin, tak sepadan dengan Bli Gede. Jadi biarlah kami tetap seperti ini. Maaf, tiyang tak berani menerima, tak berani menyakiti kurnan Bline.” Ketika Gede berpamitan, diantarkannya lelaki itu sampai ke pintu pagar rumahnya. Ketika pagar ditutupkan kembali, terlihat rumah mereka yang kecil, berdinding batako, dan beratap seng. Di halaman belakang berdiri tiang antena parabola yang berhubungan dengan decoder untuk menangkap siaran TV, sedangkan di belakang rumah masih terbentang tanah yang luas ditanami pohon rambutan yang sedang berbuah dan tanaman-tanaman lain. Semuanya buah dari kerjanya sebagai penari joget. Dan Nyoman Suamba, peniup seruling anggota sekehe dan sahabatnya sejak kecil dengan tekun memelihara kebun ini. Dan memelihara Ratih untuk dijadikan istrinya kelak kalau waktunya sudah tiba.*** Singaraja, 2007
""Luh Sumaratih""
Sudah kusaksikan bagaimana Asikin dibunuh pensiunnya sendiri secara perlahan. Juga Asril. Beberapa bulan sebelum memasuki masa pensiun, mereka mulai berjuang melawan waswas dan perasaan tak berharga, disia-siakan. Perasaan yang terus menyiksa mereka sampai beberapa bulan setelah mereka sudah tidak lagi disambut dengan senang hati di kantor, kalau mereka singgah sekadar melepas rindu. Asikin mengalami gangguan pencernaan. Ambeiennya bertambah parah dan terjadi pendarahan. Setelah konsultasi dengan beberapa dokter, akhirnya dia jatuh ke tangan seorang ahli jantung yang mengirimkannya ke rumah sakit khusus untuk dibedah. Sementara kawanku Asril memutuskan ikut anak dan menantunya ke pulau seberang. Tetapi, perasaan seperti orang yang dicampakkan tetap menghantuinya, sekalipun dia sudah jauh dari kota. Dia kira rokok dan makan enak, berleha-leha tanpa gerak badan, akan mengatasi kecemasan. Dia dihantam stroke, terpenjara di kursi roda. Begitu hebat tantangan hari-hari pensiun itu baginya, angin selat yang sejuk membelai lembut sekalipun tak kuasa meneduhkan hatinya. Pagi itu, jasadnya ditemukan mengapung di pantai, tak jauh dari kursi rodanya yang menunggu dengan hampa di darat. Sungguh aku tak mau mati diantar kesia-siaan seperti itu. Tak sudi didera tekanan kehilangan pekerjaan yang sudah kugeluti lebih dari seperempat abad. Karena itu, aku tak mau menunggu sampai usia pensiun memojokkanku. Mendahului lebih baik. Aku sudah siap. Tiga tahun sebelum usia pensiun aku mengajukan permohonan pensiun dini. Dengan kantorku tak ada masalah. Yang agak runyam, dan tak kusangka, justru reaksi istri. Ketika sambil bergolek-golek di tempat tidur dan dengan berbisik kusampaikan rencana pensiunku ke telinganya, tak kukira dia menjawab begitu cepat: “Ya.” Matanya cemerlang. Dia gembira rupanya. Karena buatnya itu berarti aku akan selalu berada di rumah mendampinginya. Selalu dekat dengannya. Ketika dia lihat aku tetap berangkat juga pada hari pertama pensiunku, dengan bersungut, sebagai protes, kukira, dia bertanya: “Lho… ’kan sudah pensiun? Kok berangkat juga?” Langkahku mantap, walau aku berhenti sejenak dan memandangnya, meminta pengertian. “Hampir tiga puluh tahun saban hari aku berangkat. Tiba-tiba aku tak boleh pergi. Bagaimana mungkin. Perlu waktu, perlu penyesuaian…,” kataku. Aku tahu jawaban itu tak bisa meredam harapannya yang terluka. Perang perasaan antara dia, yang menghendaki aku supaya tidak lagi meninggalkan bendul rumah, dan aku, yang baru baru saja mengalahkan himpitan pensiun, terus berlarut-larut. Ketika aku berangkat, memandang punggungku sekalipun dia tak mau, dan kalau pulang, aku sendiri yang menggeser grendel pagar dan membuka pintu. Dia juga menampik ketika kuajak melihat-lihat apa yang kukerjakan di sebuah ruang besar yang disediakan seorang teman. Ruang itu memiliki pintu sendiri, menghadap ke sebuah danau kecil yang diteduhi pohon-pohon mahoni. Di situlah aku bergelut dengan penggal terakhir dari hidupku. Menjadi tukang urut. Satu kemahiran yang dititiskan oleh kakekku, yang sudah terpendam begitu lama. Karena tak pernah kupraktekkan selama aku bekerja sebagai pegawai. Bukan sebagai jalan untuk menjadi kaya. Kemahiran itu semata-mata untuk membuka pintu kebajikan bagi orang banyak. Kalau menerima imbalan, dalam bentuk apa pun, maka kemustajaban yang melekat di jari-jari dan otot tanganku akan terbang. Itulah syarat titisan yang kuterima. Tak terlalu lama aku menemukan seorang pasien pertama. Suatu siang, sepelemparan batu dari ruang praktekku, seseorang terserempet mobil yang membelok tajam, menyebabkan lututnya terpelintir. Untuk mendapatkan pertolongan pertama, dia dibawa ke ruang praktekku. Hanya dengan urutan tanganku dia tak perlu lagi mendapat bantuan seorang dokter ahli tulang. Pejalan kaki yang malang itulah yang menyebarkan keberadaanku, yang berpraktek tanpa mengharapkan bayaran, dengan ruang yang cukup nyaman menghadap sebuah danau kecil yang teduh. Sampai sekarang tak terhitung berapa orang yang sudah datang meminta bantuanku. Pedagang, pegawai, juga gelandangan, polisi, juga tentara. Tidak hanya itu. Kemahiranku itu juga membawa kebahagiaan kepada mereka yang kurang beruntung. Karena banyaknya pengunjung, banyak pula pedagang kecil yang memperoleh rezeki dari kehadiranku di tepi danau itu. Pasien yang merasa harus memberikan balas jasa kepadaku, sebaliknya membelanjakan uang mereka dengan membeli barang dagangan yang dijajakan para pedagang tersebut. Kue semprong, gandos turi, getuk lindri, keripik singkong, dan macam-macam kue kering. Kalau aku pulang, para pedagang itu mengerumuniku, satu per satu menciumi tanganku dengan bersemangat. Sebagai tanda terima kasih, barangkali. Sesuatu yang tak pernah kuharapkan. Tetapi, menolaknya mentah-mentah juga tak sampai hati. Kurang dari setengah tahun, tempat praktekku itu menjadi pusat keramaian baru. Sepeda motor dan mobil pasien berderet-deret diparkir di tepi jalan. Suasana yang tidak menyenangkanku sebenarnya. Suatu hari, seseorang yang mengaku tetangga langsung masuk menghampiriku tanpa antre terlebih dulu. Kukatakan, supaya dia menghormati orang yang sudah lama menunggu. “Saya tidak memerlukan bantuanmu. Saya datang untuk meminta kau menutup praktek ini. Mengganggu ketenangan. Lagi pula, apakah kau membayar kewajiban di sini?” katanya sengit. Saya cuma diam. “Saya tinggal tiga rumah dari sini. Saya orang pajak. Dan setahu saya kau tidak membayar kewajiban sebagai wajib pajak.” Kutantang matanya. “Kalau mau ditutup silakan saja,” kalem kujawab. Orang itu langsung keluar. Dengan perasaan enteng, keesokan harinya kupasang pengumuman di halaman bahwa praktek ditutup. Orang pajak yang tinggal beberapa rumah dari tempat praktek meminta begitu. Karena aku tidak membayar pajak, kataku dalam pengumuman itu. Banyak yang kecewa. Lebih banyak lagi yang mengumpat kelakuan orang pajak tersebut. Beberapa hari kemudian, kulihat orang-orang berkumpul di tepi danau. Mereka bernyanyi-nyanyi, mengusung spanduk yang bertuliskan, “Orang kerja sukarela kok dipajak?” dan berbaris menuju rumah orang pajak tadi. Polisi sempat datang untuk menenangkan. Tak kuduga, para demonstran itu datang pula ke tempatku. “Pak, beres. Tolong buka kembali. Orang pajak itu sok tahu. Dia kira semua orang seperti dia mata duitan. Buat dia adalah keajaiban kalau ada orang yang mau menolong orang lain tanpa bayar. Seperti Bapak,” bujuk mereka. Aku kembali sibuk. Kecuali Sabtu dan Minggu yang kunyatakan sebagai hari libur. Namun, pada hari Sabtu aku sendiri tetap masuk. Seharian pekerjaanku memintal sabut untuk dijadikan babut. Tumpukan sabut didatangkan oleh sekelompok bekas penderita kusta, dan babut-babut hasil kerajinan tanganku mereka jugalah yang mengambilnya untuk dipasarkan. Aku senang membantu bekas penderita kusta itu, meskipun tanpa bayaran, karena di balik bantuanku terselip sikap perlawanan. Ceritanya, selama bekas para penderita kusta tersebut berada di penampungan, manajemen rumah penampungan mengkorupsi jerih payah mereka. Tahu persis mereka berapa babut yang diproduksi dan berapa imbalan yang mereka terima. Lantas, mereka memutuskan untuk melarikan diri dari rumah penampungan itu, dan membuka usaha sendiri dengan susah payah, termasuk harus berhadapan dengan pengejaran yang dilakukan berbagai petugas keamanan dan kebersihan. Tak jarang babut-babut mereka dirampas. Sabtu pagi itu, aku sedang memilin-milin untaian serat sabut. Terdengar pintu pagar dikuakkan. Aku tak bergerak. Perhatianku tetap pada untaian-untaian serat sabut. ““Pak, ada yang mau minta tolong diurut.” Suara itu mendengung di kupingku. Aku tidak menoleh. Mata tetap pada sabut. “Pak, ada yang mau minta diurut.” Sekarang suara itu kedengaran menekan. Desakan suara itu membuat daun kupingku seperti kena aliran listrik. “Apa tidak lihat papan pengumuman di halaman depan? Sabtu dan Minggu libur?” kataku, tetap tak berpaling ke arah datangnya suara. “Tolong, Pak.” “Apa saya tak boleh istirahat?” Mataku tetap tak bergerak dari sabut di lantai. Kedengaran orang itu melangkah meninggalkanku dengan sebal. Beberapa saat kemudian, tapak kaki yang tadi kedengaran mendekat kembali. Sekarang, tanpa sebut sapa, tangan orang itu tersampir di bahuku. “Pak, saya pengemudi Jenderal (dia menyebutkan satu nama). Jenderal minta diurut. Dia menunggu di mobil.” “Jenderal?” sambutku dengan nada suara agak tinggi. Melirik pun tidak, dan kepada yang punya tangan yang masih tertumpang di bahuku, kutambahkan dengan mantap: “Ah… sudah segudang Jenderal yang kuurut. Yang belum cuma panser!” Aku tak tahu bagaimana kata-kata yang kuucapkan dengan spontan itu mendarat di kuping orang itu. Yang terasa, dia melepaskan tangannya dari bahuku, disusul langkah kakinya meninggalkan ruang di mana aku sedang memintal dan memintal terus untuk membantu para penderita kusta. Terdengar suara pintu pagar dirapatkan dengan setengah hati. Bukan mau melukai hati orang itu benar yang ingin kucapai dengan mengejek seperti itu. Tetapi, lebih karena keinginanku untuk bebas dari kungkungan kekuasaan dan perasaan ingin dihargai. Nilai yang ingin dijunjung seorang pensiunan. Dan aku tak peduli apakah sang Jenderal akan melakukan pembalasan. Tapi, kalau dia datang pada saat aku tidak sedang membaktikan diriku kepada para penderita kusta, tentu aku akan menerimanya dengan tangan terbuka. Hari Minggu keesokan harinya, ketika sedang tekunnya aku merajut serat sabut kelapa, tiba-tiba kudengar langkah yang terseok-seok mendekat. Di bahuku terasa tersampir pegangan yang ganjil. Terasa jari-jari yang tidak lengkap. Ini hari liburku, kupikir. Aku tak menoleh sampai yang punya tangan yang aneh itu memperkenalkan diri. “Pak, ini saya.” Dia kemudian jongkok di belakangku. “Kawan-kawan pada menangis meraung-raung. Tadi malam ada truk yang mendadak sontak merapat ke tempat kami. Orang-orang yang berbadan tegap-tegap berloncatan dari atas. Dengan cepat mereka membongkar ratusan babut dan memindahkannya ke dalam truk itu.” “Lantas?” aku menoleh kepadanya. “Dari atas truk mereka menyergah seperti harimau lapar, ’Bilang sama tukang pijatmu itu, jangan terlalu congkak! Babut-babutnya ini akan kami bakar!’” Cepat dia melingkarkan tangannya yang pengkor ke leherku. “Pak….” “Kalian ingin membalas?” “Tidak. Di sana ada Tuhan,” katanya dengan geram sambil tangannya yang tidak berjari-jari sempurna itu menunjuk-nunjuk ke langit. “Tuhan yang akan menunaikan dendam kami. Tuhan…,” ucapnya lagi, sekarang dengan lebih khidmat. “Bukan karena barang dirampas dan dibakar yang membuat kami meraung. Kami menjerit, tertangis-tangis, karena kebaikan Bapak jadi sia-sia. Mentang-mentang. Sok kuasa mereka.” Aku bangkit sebelum kekesalannya semakin berkobar. Kupegangi tangannya yang berbalut kulit seperti terkelupas dan tak berdarah, dan dia berdiri menatap mataku. Tak ada alis. Sementara kelopak matanya rombeng. Kemarahan yang sempurna tampak tersendat di situ. “Sampir, percayalah, tak ada yang sia-sia. Api babut itu tentu akan menambah deretan dosa mereka.”
""Tukang Urut di Tepi Danau""