content
stringlengths
5.02k
20.7k
title
stringlengths
7
76
Malam selalu memberi ketenangan. Banyak kenangan yang begitu mudah dikais dalam ruang-ruang kegelapan. Kenangan yang memang hanya layak mendekam dalam gelap itu seolah mengacung-ngacungkan telunjuknya meminta waktu untuk diingat setiap kali malam bergulir, di atas pembaringan tanpa kekasih yang tak akan hadir. Banyak orang yang begitu takut pada malam. Pada gelap. Pada sesuatu yang membuat mata kita seolah buta dan mau tak mau harus meraba-raba. Membuat jantung mereka berdegup lebih kencang. Membuat mereka tak tenang. Membuat mereka rela menukar ketidak-tenangan itu dengan harga listrik walaupun harganya semakin tinggi menjulang. Tapi saya selalu merasa malam memberi ketenangan. Semakin gelap semakin ramai. Hampir menyerupai pasar malam yang ingar bingar namun tanpa penerangan. Sehingga saya tak pernah merasa ketakutan. Tak pernah merasa tak tenang. Sepanjang mata memandang, hanyalah kegelapan. Tubuh kelihatan amat samar. Namun, suara-suara begitu jelas terdengar. Begitu dekat. Sedemikian dekat sehingga aroma napas si empunya suara itu di hidung terasa melekat. Mata saya mulai merapat, semakin gelap, semakin semuanya akhirnya begitu terang terlihat. Mungkin karena itulah saya begitu membutuhkan cinta. Seperti malam. Seperti gelap. Cinta pun membutakan. Saya tidak butuh kacamata matahari demi mendapatkan gelap di kala siang menyala. Saya tidak perlu menutup semua tirai dan pintu serta menyumbat sela-sela terbuka yang membiarkan cahaya menerobos masuk supaya kegelapan yang saya inginkan sempurna. Saya hanya perlu mencinta dan dengan seketika butalah mata saya. Saya menamakan kebutaan itu gerhana mata. Orang-orang menamakannya cinta buta. Apa pun namanya saya tidak peduli. Saya hanya ingin mendengar apa yang ingin saya dengar. Saya hanya ingin melihat apa yang ingin saya lihat. Dan hanya ialah yang saya ingin lihat, sang kekasih bak lentera benderang dalam kegulitaan pandangan mata saya. Dari sinarnyalah saya mendapatkan siang yang kami habiskan di ranjang-ranjang pondok penginapan. Saling menatap seakan hanya siang itu hari terakhir kami bisa saling bertatapan. Saling menyentuh seakan hanya siang itu hari terakhir kami bisa saling bersentuhan. Dan melenguh seakan hanya siang itu hari terakhir kami bisa saling mengeluarkan lenguhan. Di saat-saat seperti itu, di kebutaan seperti itu, saya tak perlu meraba-raba. Tak pernah ada waktu untuk berpikir apa yang akan terjadi di hari esok. Apakah benar masih ada hari esok. Atau apakah masih perlu akan hari esok. Walaupun tidak jarang kebutaan yang memabukkan itu terganggu oleh suara-suara dari luar dunia, seperti suara-suara ponsel yang berdering tak henti-hentinya, namun dengan seketika gerhana mata bekerja. Suara-suara ponsel yang mengganggu itu berubah menjadi suara lagu. Lembut mendayu-dayu. Tak saya sadari lagi ketika tubuhnya pelan-pelan memisah dan menjauh. Tak terdengar suaranya yang sengaja dibuat lirih ketika menjawab panggilan telepon dan mengatakan kalau ia sedang tidak ingin diganggu dengan alasan penyakit lambungnya tengah kambuh. Saya tetap merasakan tubuhnya melekat. Saya tetap mendengar suaranya melantunkan senandung yang membuat saya merasa itulah saat terindah untuk sekarat. Saya masih melihat matanya sedang menatap. Mata yang seperti mengatakan bahwa tidak ada siapa pun di dunia ini yang berarti kecuali saya. Tidak ada apa pun di dunia ini yang lebih penting dari saya. Mata saya pun semakin buta. Dicengkeram gerhana. Semakin kabur. Semakin dalam ke muara cinta tubuh ini tercebur. Kami hanya bertemu kala siang. Kala api rindu sudah semalaman memanggang. Kala segala garis maupun lekukan amat nyata terlihat dengan mata telanjang. Segala garis maupun lekukan itu selalu diikuti bayang-bayang. Dan dalam bayang-bayang itulah kami betemu dan bersatu. Di sanalah kami saling menjamu keinginan antara satu dengan yang satu. Banyak yang mempertanyakan. Kenapa saya bertemu hanya kala siang? Kenapa tidak pagi atau malam? Karena buta, saya bilang. Dalam kebutaan saya bisa mengadakan apa pun yang saya inginkan. Tak terkecuali pagi. Tak terkecuali malam. Banyak yang tambah mempertanyakan. Kenapa harus buta? Kenapa tidak menggunakan mata asli demi melihat pagi asli atau malam asli. Kenapa harus menciptakan buta yang tak asli? Karena cinta, saya bilang. Dalam cinta saya bisa merasakan segala sesuatunya asli, walaupun di kala pagi dan malam yang tak asli. Terus terang, saya tidak pernah dapat memastikan apakah pertanyaan-pertanyaan itu asli. Kadang saya merasa pertanyaan-pertanyaan itu tidak datang dari orang-orang, melainkan datang dari diri saya sendiri. Sehingga saya pun tak dapat memastikan apakah jawaban saya asli. Karena tidak mungkin sesuatu yang asli lahir dari yang tak asli. Namun lagi-lagi perasaan ini terasa asli. Walaupun kami hanya bertemu kala siang, atau kala pagi dan malam yang tak asli. Kalimat di bungkus kondom “ASLI, SERATUS PERSEN ANTI BOCOR” yang kami robek sebelum bercinta pun asli. Hangat kulitnya yang tak berjarak. Gerakan tubuhnya yang sebentar menarik sebentar menghentak. Bunyi ranjang berderak. Jantung keras berdetak. Suara yang semakin lama semakin serak, adalah asli. Membuat saya selalu merasa tak pernah cukup dan ingin mengulanginya kembali. Saya tahu, saya akan bisa mengulanginya lagi. Tapi dengan satu konsekuensi. Harus mengerti statusnya sebagai laki-laki beristri. Bertemu kala siang, bukan kala pagi atau malam hari. Kala siang dengan durasi waktu yang amat sempit. Bukan kala pagi atau malam hari yang terasa amat panjang dalam penantian dan rindu yang mengimpit. Membuat saya kerap merasa terjepit. Antara lelah dan lelah. Antara pasrah dan pasrah. Saya terjebak dan berputar-putar pada dua pilihan yang sama. Saya jatuh cinta. Andai saja saya bisa mendepak cinta dan menghadirkan logika, mungkin tak akan seperti ini saya tak berdaya. Mungkin suara-suara yang kerap menghantui dengan pertanyaan dan jawaban akan lain bunyinya. Mungkin malam akan membuat saya takut. Dan dengan tubuh lain ke dalam selimut saya akan beringsut. Juga tak akan ada siang di mana saya meradang dan menggelepar atas tubuh yang menyentuh di atas seprai kusut lantas terhenti oleh dering panggilan ponsel yang membuat satu-satunya fungsi pada tubuhnya yang mempersatukan tubuh kami jadi menciut. Mungkin… Mungkin satu saat nanti ia akan mengalami gerhana mata seperti saya. Dan kami bisa tinggal dalam satu dunia yang sama. Tak bertemu hanya kala siang. Tak menunggu kala pagi dan malam. Tak ada pertanyaan mengapa hanya bertemu kala siang. Bukan kala pagi atau malam. Tak ada jawaban karena cinta membutakan saya. Diganti dengan jawaban, karena cinta telah membutakan kami berdua. Mungkin… Enam tahun sudah waktu bergulir. Sejak kemarin, di jari manis kanan saya telah melingkar cincin dengan namanya terukir. Dalam kegelapan malam kedua mata ini menumpahkan air. Di atas pembaringan tanpa suami yang tetap tak akan hadir. Jakarta, 2 Oktober 2006 11:06 AM
""Gerhana Mata""
Wajah Ulfa jernih, tenang, dan penuh percaya diri. Sepasang lengkung alisnya serupa mantra. Menenteramkan siapa pun yang menatapnya. Ia keluar dari rumah kayu. Menampakkan sosok samar di kebun anggrek. Hangat matahari menyingkap kabut di rambutnya. Dari celah-celah bunga anggrek, ia menatapi Ismail, lelaki muda di seberang jalan. Lelaki itu menyusuri kesunyian ke kantor. Sepasang kupu-kupu mengitari kepalanya. Cahaya matanya serupa cermin jiwa: memantulkan hangat semesta yang membuka cakrawala Ulfa. Di kebun anggrek itu Ulfa memantulkan kesegaran bunga-bunga mekar. Gadis itu sengaja berada di kebun anggrek. Ia bisa mencium aroma asap jerami dibakar. Menghirup bau tanah basah sawah sehabis dibajak. Mencuri pandang pada Ismail, lelaki kurus, dengan hidung mencuat, bibir tipis dan jarang berbincang. Ketampanan lelaki itu terselubung sepi. Tinggal di rumah kayu yang luas dan terpelihara, lelaki kurus itu terlambat menikah. Ulfa selalu menatap matanya yang memantulkan keteduhan tanah yang ditumbuhi rumput, perdu, dan bunga-bunga liar. Tatapan Ulfa pada Ismail sering kali dilakukannya dengan diam-diam, menakik rasa gundah yang nyeri di hati. Ismail seperti hidup sendirian, setelah ibunya meninggalkannya, pergi begitu saja, pada umurnya yang sepuluh tahun. Ulfa selalu memandangi lelaki itu sejak kecil. Lelaki itu terus saja bekerja, mengaji ke surau, tanpa senyum, tanpa berbincang-bincang. Ayah Ismail sungguh aneh. Lelaki tua itu selalu keluyuran malam. Rambutnya memutih seluruhnya. Separuh wajah bagian kanan, menghitam arang memendam bara. Ia selalu bepergian tiap malam, mencari lawan berjudi, dan kata orang, sesekali mencuri sarang burung walet di tebing terjal pantai. Ia merambati tebing-tebing karang selengket cicak. Lewat larut malam ia pulang. Mabuk. Meracau. Teriak-teriak. Lantang. Menembus kabut dini hari. Lambat laun Ulfa mulai paham, dan ia takjub, melihat Ismail tumbuh dengan dirinya sendiri, di rumah kayu yang luas, peninggalan kakeknya. Pada gerimis yang rapuh, menjelang senja, burung-burung sriti menghambur di atas pohon randu alas, di belakang surau. Bercericit gaduh. Ayah Ismail mengetuk pintu rumah Ulfa, teratur dan sopan. Suaranya berat dan patah-patah. Ulfa berlarian membukakan pintu. Meminta lelaki berambut putih itu duduk di ruang tamu. Gugup. “Tolong panggilkan ayah dan ibumu,” pinta ayah Ismail. Sungguh gemetar Ulfa memandangi ayah Ismail. Tatapan lelaki tua itu liar, beringas, dan menyerang. Abah Lutfi, ayah Ulfa, tersenyum tenang. “Aku ingin bicara juga dengan istrimu,” kata ayah Ismail, dengan permohonan yang lembut. Tapi Umi, ibu Ulfa, menahan rasa takut, getar dalam dada. Guncangan tertahan itu diredakannya. “Begini, Abah Lutfi. Saya datang sore ini untuk meminang Ulfa bagi Ismail. Saya sudah tua, tak bisa memberikan apa pun bagi anak saya itu, kecuali mencarikannya jodoh.” Terdiam. Lama. Belahan wajah hitam ayah Ismail seperti bara terhembus angin. Lelaki tua itu mengambil napas, dan meredakan rasa murka. Dipandanginya Abah Lutfi yang tersenyum. “Aku serahkan pinangan ini pada Ulfa,” sahut Abah Lutfi, teduh dan lembut. Buru-buru Umi menyambut. “Aku minta waktu agar anak gadisku cukup matang.” Lelaki berambut memutih dengan belahan wajah hitam itu tampak teduh dan tenteram. Memandangi Abah Lutfi dan Umi, bergantian, mencari kepastian. Tiap saat ia menatap wajah Abah Lutfi yang tersenyum, bara dalam belahan wajahnya padam. Tiap saat ia menatap wajah Umi yang menegang, bara dalam belahan wajahnya menyala. Terhenti ia pada segaris senyum Abah Lutfi, yang tulus, dan tak dibuat-buat. Lelaki tua itu menunduk. Terus tersenyum. Ayah Ismail berdiam diri. Memandangi lagi Abah Lutfi. Mencari keyakinan. Ayah Ismail mengangguk-angguk. Bangkit. Mohon diri. Mengulurkan tangan. Menyalami Abah Lutfi. Berpamitan. Bukan sekadar bersalaman. Ayah Ismail mencium tangan Abah Lutfi. Tertetes sepercik air mata di punggung tangan Abah Lutfi. Burung-burung sriti tak lagi gaduh bercericit. Hinggap di dahan pohon randu alas. Seketika sepi, seketika pekat merambat. Di surau, di belakang rumah kayu Abah Lutfi, samar terdengar suara anak-anak mengaji. Abah Lutfi berdiam diri di meja makan. Menelantarkan pepes ikan mas kesukaannya. Tak berselera. Dipandanginya Ulfa dan Umi bergantian, kehilangan suara. Telah mengering sepercik air mata di punggung tangan Abah Lutfi. Tapi tangan itu tak segera dicucinya. Tak digerakkannya untuk menuang nasi dalam piring. Tak melahap pepes ikan mas. Terdiam. Menampakkan rautan renungan dalam wajahnya, terutama di sekitar mata. “Apa yang Abah risaukan?” tegur Ulfa, pelan, teduh. “Bagaimana aku menampik lamaran ayah Ismail?” “Kenapa mesti ditampik?” Terbatuk, Abah Lutfi menukas, “Kau menerimanya?” “Kalau Abah amati sisi wajah ayah Ismail yang bersih, tentu tak perlu bimbang macam ini.” “Kau menerima Ismail?” “Saya hanya meminta Abah melihat sisi terang pada wajah ayah Ismail.” “Ho-ho, kau selalu begitu!” Seketika, tersenyum dan cairlah rautan renungan dalam wajah Abah Lutfi. Lelaki itu mengambil nasi, makan dengan lahap. Pepes ikan mas itu tinggal duri-duri. Pada bagian kepala ikan pun dicecapnya. Terserak remah-remah tulang belulang dan duri ikan di piring. Tak ada lagi percakapan. Terdengar sendawa Abah Lutfi. Berkali-kali. Sesuatu yang tak lazim, Ismail memandang ayahnya bersarung, berpeci, dan buru-buru melangkah ke surau Abah Lutfi menjelang magrib. Belum pernah Ismail melihat wajah ayahnya sebening itu. Belahan wajah menghitam itu tak lagi membara. Belahan wajah itu seteduh lumpur sawah musim tanam padi. Malam hari ayah Ismail memasuki rumah, pelan-pelan, diam-diam, tanpa suara. Duduk di ruang tengah. Terbatuk. Menghirup kopi. Merokok. Termenung. Sesekali mencuri-curi pandang ke arah anak lelakinya. “Telah kulamar Ulfa untukmu,” kata ayah Ismail, berat, dan menunduk. Tak tampak kerisauan pada wajah Ismail. Tetap tenang. Melakukan segala hal sendirian. Diam-diam. Melihat ayah Ismail bergegas ke surau, Umi cemberut. Sesekali ia mengerling ke arah lelaki tua itu. Tiap kali dilihatnya belahan hitam wajah lelaki itu, Umi—tanpa disadarinya—bergidik. Buru-buru ia meninggalkan surau. Tak dilihatnya dalam kelam puncak pohon randu alas, cericit burung-burung sriti beterbangan. Sesaat. Kembali sunyi. Tiap kali datang orang baru ke surau, Umi selalu menyambut dengan mata bercahaya. Kali ini lain. Dadanya berdegup. Meletup-letup. Tak bisa dibayangkannya, Ulfa, anak gadisnya, hidup serumah dengan lelaki beringas, yang selalu membawa ceracau mabuk dan murka ke rumah. “Ayah Ismail itu, uh, mengapa selalu datang ke surau?” gerutu Umi. “Mestinya Umi merasa senang. Dia datang ke surau kita. Bukannya mabuk,” tukas Ulfa, mencengangkan. “Dia berbuat begitu lantaran ingin meminangmu.” “Ini lebih baik, daripada dia keluyuran malam, dan mencuri sarang burung walet.” Subuh keempat puluh ayah Ismail berkunjung ke surau Abah Lutfi. Tak seorang pun menatap langit di atas pohon randu alas, di belakang surau. Burung-burung sriti berkitar-kitar, bercericit, hinggap-terbang, hinggap dan terbang lagi di pohon randu alas itu. Langit masih gelap, dan burung-burung sriti itu luput dari perhatian orang-orang yang bergegas ke surau. Tak sekali pun ayah Ismail bertanya kepada Abah Lutfi mengenai pernikahan anak lelakinya dengan Ulfa. Dalam diam bersimpuh, dia biasa terisak-isak, dengan mata terpejam memanjatkan doa. Tatkala orang-orang sudah meninggalkan surau, dia masih bersimpuh sendirian. Lama, hingga matahari berkilau menghangati hamparan tikar surau. Lelaki tua itu beringsut, pelan, bangkit. Kali ini, dalam dingin kabut dini hari, ayah Ismail telah menyempurnakan ketenteraman wajahnya dari pergolakan. Belahan hitam wajahnya tak menyeramkan, serupa lumpur sawah yang digenangi air: rata, datar, menyimpan anugerah alam. Orang-orang di surau mulai menerima kehadiran lelaki tua itu. Tak lagi menatap dengan selidik dan tatapan curiga. Di tengah-tengah suara orang berdoa, sehabis shalat subuh, ayah Ismail tak dapat menahan tubuh. Tersungkur. Tiada lagi napas mengembus dari hidungnya. Ia rebah dengan tangan masih menggenggam tasbih. Tubuhnya terjerembap. Tidak menggelepar. Tidak berkelejatan. Tubuh itu terburu, kehilangan napas pelan-pelan, di antara orang- orang yang bersimpuh doa. Mula-mula orang-orang tak menduga lelaki tua itu direnggut ajal. Tapi kemudian orang-orang terperanjat, gugup dan memekik tertahan. Kini orang-orang mulai melihat cericit burung-burung sriti yang tak terhitung banyaknya, berkitar-kitar terbang di puncak pohon randu alas, di belakang surau Abah Lufti. Dalam sekejap, sangat cepat, burung-burung sriti itu hinggap di dahan dan ranting pohon randu alas. Tak lagi mengepakkan sayap. Tak lagi bercericit gaduh. Sepasang kupu-kupu kuning terbang di atas kepala Ismail. Ulfa sangat gemas, ingin menangkap sepasang kupu-kupu itu. Selalu dilihatnya tiap pagi, diam-diam di kebun anggrek yang menyembunyikan wajah dan tubuhnya, kupu-kupu di atas kepala Ismail. Lelaki itu berangkat ke kantor. Berjalan kaki. Selalu berjalan kaki ke mana pun pergi. Dan sepasang kupu-kupu itu mengantarkannya menyusuri jalan berumput pada pagi berkabut, saat embun meraup tersengat matahari. Abah Lufti diam-diam memperhatikan perilaku anak gadisnya. Sambil minum teh, menghisap pipa rokok, saat matahari menghangat, dia menemukan anak gadisnya turun ke kebun anggrek samping rumah, hanya untuk melihat Ismail. meninggalkan rumah, berjalan kaki, diiringi kupu-kupu. Mengapa sepasang kupu-kupu? Dalam jarak yang begitu jauh, sepasang kupu-kupu itu terus mengitari kepala Ismail. Kepergok Abah Lutfi memasuki rumah, Ulfa tersipu-sipu. Terhenti. Menanti teguran. “Apa Abah mesti menegur Ismail, bagaimana kelanjutan lamaran ayahnya dulu?” “Biar Ismail sendiri yang menentukan,” tukas Ulfa tenang. “Abah jangan salah sangka. Aku cuma suka memandangi sepasang matanya. Sungguh aneh mata itu, selalu memancarkan alam yang lembut dan tanpa dendam. Aku suka memandanginya.” Pandana Merdeka, Februari 2007
""Cermin Jiwa""
Melihat mulut Iza yang terus cembetut, Neal tahu kalau anaknya itu masih kesal karena tak diperbolehkan membeli permen yang tadi sore dilihatnya dijajakan di perempatan jalan. Bukannya Neal tak memperbolehkan Iza makan permen. Anak-anak suka permen, itu biasa. Neal sendiri, sewaktu kanak-kanak, suka sekali permen. Neal tak akan pernah lupa: di ruang tengah, tempat biasanya Papa, Mama, dan kakak adiknya berkumpul menonton televisi, selalu tersedia sekotak aneka permen. Permen dalam bungkus warna-warni. Seperti bantal-bantal mungil milik peri. Permen toffee, fudge, lollipop, juga permen cokelat dan caramel yang meleleh lembut di lidahnya. “Permen akan selalu mengingatkanmu bahwa hidup ini manis dan patut kamu nikmati,” kata Mamanya. “Karenanya kamu harus bersyukur bila hidup memberimu nasib yang manis, penuh warna dan menyenangkan seperti permen.” Ah, permen. Bantal mungil warna-warni milik peri. Neal tak akan pernah lupa dongeng masa kecilnya itu. Saat kehidupan ini masih ranum, peri-peri yang selalu beterbangan seperti capung begitu riang memetik biji-biji buah selembut getah yang bergelantungan di pepohonan mastic dan spruce—sejenis karet dan cemara—yang menjulang menyentuh kelembutan cahaya. Sepanjang hari yang riang, ketika peri-peri mungil itu memetiki biji-biji buah yang matang dan manis, hutan yang berkilauan menjadi penuh nyanyian. Dan pada malam hari, saat peri-peri mungil itu kelelahan dan berbaring tertidur di dahan-dahan, bibi-biji buah yang lembut itu mereka gunakan sebagai bantal. Saat peri-peri mungil lelap itulah, seorang nenek sihir mengambili bantal-bantal itu dengan teramat hati-hati dan pelan agar peri-peri mungil itu tak terbangun, kemudian mengumpulkannya dalam keranjang. Saat terbangun pagi hari, peri-peri mungil itu akan terkejut mendapati bantal mereka sudah hilang. Mereka sedih, dan kembali beterbangan memetiki biji-biji buah yang bergelantungan, sementara nenek sihir itu telah jauh keluar hutan dan melintas jalanan desa dengan menyaru sebagai penjaja manisan. “Ini bantal yang dipakai tidur para peri,” kata nenek sihir itu merayu anak-anak yang terpesona pada biji-biji mungil itu. Anak-anak begitu bergembira ketika nenek sihir itu membagikan biji-biji yang rasanya manis dan lembut saat mereka kulum. Beberapa anak yang rakus dan terlalu banyak makan biji-bijian itu, di malam hari menjadi bengkak mulutnya. Neal ingat bagaimana Mamanya mengakhiri kisah itu dengan suara yang penuh senyuman, “Begitulah, Nak, sebermula permen muncul di dunia manusia. Ia manis dan lembut karena dipakai sebagai bantal para peri. Tapi ia juga bisa membuat gigi-gigimu rusak dan bengkak karena ia dibawa oleh nenek sihir jahat.” Neal mengingat itu sebagai sebuah nasihat agar jangan terlalu berlebihan menikmati apa pun. Karena yang manis pun bisa membuat sakit dan menderita. Sampai ia berumur sembilan tahun, Neal suka meletakkan kotak dari kayu berisi beberapa permen di dekat jendela kamar tidurnya. Permen-permen dalam kotak itu ia tata menyerupai bantal di atas kasur kecil. Ia membayangkan, pastilah ada peri yang sedih dan tersesat ketika mencari bantal-bantal yang dicuri oleh nenek sihir itu. Maka, bila peri itu masuk ke dalam kamarnya, peri itu bisa nyaman beristirahat di kotak yang ia sediakan itu. Sampai sekarang pun, setelah ia menikah dan punya anak—cukup satu anak, ia tak mau repot hamil dan melahirkan lagi—Neal sering bermimpi ada peri masuk ke dalam kamarnya menenteng biji-biji permen. Ia ingat, seminggu sebelum ia melahirkan Iza, ia bermimpi puluhan peri mungil mendatangi kamarnya dan menjatuhkan biji-bijian permen ke dalam keranjang bayi. Mimpi yang selalu ia percaya sebagai isyarat baik. Tapi, permen yang banyak dijajakan di perempatan jalan itu rasanya bukanlah isyarat yang baik. Mestikah ia menjelaskan pada Iza, kalau permen-permen yang dijajakan di perempatan jalan itu bukan biji-biji ranum yang dipetik para peri dari dahan-dahan pohon spruce? “Permen itu akan membuatmu mules dan mual,” bujuk Neal sembari memberikan permen mint yang ia beli di supermarket. “Lebih enak permen ini, membuat mulut dan tenggorokanmu jadi segar.” Tapi, wajah Iza terus cemberut. Dia tetap ingin permen yang dijajakan di perempatan jalan itu. Sekarang ini, hampir di tiap perempatan jalan memang banyak pengasong menjual permen. Permen berwarna merah keruh yang mirip manisan dalam bungkus-bungkus plastik kecil. Selintasan, permen itu memang mengundang selera. Tetapi, Neal tak suka dengan para pengasong itu, yang sering menawarkan dengan cara setengah memaksa: menyorongkan bungkus itu ke dekat mobil sambil mengetuk-ngetuk—malah kadang mengedor—kaca jendela. Neal sering panik berhadapan dengan para pengasong itu. Takut, bila ia tak membeli, mereka akan memecah kaca mobilnya. Lagi pula Neal memang tak suka dengan permen yang dijajakan itu. Ia sering mendengar bagaimana permen itu dibuat. Orang-orang miskin yang hidup di kampung-kampung kumuh pinggiran kota membuat permen itu dengan cara menampung kesedihan mereka. Mungkin proses pembuatan permen itu sudah berlangsung lama. Kesedihan dan kegetiran hidup yang mereka rasakan sehari-hari, mereka peras menjadi keringat yang ditampung ke dalam panci-panci rongsokan, kemudian diolah dan dimasak di atas tungku-tungku penderitaan. Mencampurnya dengan gelatin agar kental, memberinya sedikit gula, pewarna dan pengawet. Malah kabarnya mereka menggunakan sorbitol—sebagai pengganti gula yang mahal—dan kayu manis sebagai penyedap aroma. Para perempuan tua yang kelelahan dan terkantuk-kantuk sepanjang malam mengaduk-aduk adonan itu. Sementara bau got mampet dan bangkai celurut mengapung di lorong-lorong muram perkampungan itu, para anak yang matanya nanar tanpa harapan membungkusi butir-butir permen yang sudah selesai dimasak dan dicetak itu ke dalam kantung-kantung plastik. Neal membayangkan, tidak seperti tangan-tangan peri yang lentik ketika memetiki biji-biji permen ranum yang bergelantungan, tangan anak-anak itu pastilah kotor dan menjijikkan; kuku-kuku jari tangannya penuh bekas daki ketika mereka menggaruk pantat mereka yang korengan. Dan tangan itu tak pernah dibersihkan ketika membungkusi biji-biji permen yang kemudian dijajakan di perempatan jalan. “Bagaimana mungkin aku memberikan permen seperti itu pada Iza!” ujar Neal, setengah menggerutu, pada Samuel. “Lho, apa salahnya?” “Tidak. Iza tak boleh makan permen seperti itu. Tidak baik.” Selama ini Neal begitu hati-hati memilihkan semua yang tak terbaik bagi anaknya. Ia ingin Iza menikmati masa kanak yang membahagiakan. Dan Neal takut Iza akan tergoda oleh permen itu. Bagaimana kalau tanpa sepengetahuannya, Iza membeli permen itu ketika jajan di sekolah? “Aku kira, permen itu sebuah gagasan yang cerdas,” kata Samuel, setengah tertawa, menatap Neal yang tengah memakai kembali g-string-nya. “Maksud, lo?” Mata Neal melotot. “Dengar,” Samuel menatap serius. “Bukankah mengubah kesedihan menjadi permen itu cara yang luar biasa? Mungkin itulah cara terbaik bertahan di tengah hidup yang penuh penderitaan. Membuat yang pahit jadi manis. Kamu jangan meremehkan hanya karena permen itu terlihat murahan. Ini hanya soal kemasan. Aku kira, kalau dikemas dalam kotak-kotak yang bagus dan dipasarkan dengan baik, permen itu akan menarik juga. Mungkin akan jadi komoditi yang menguntungkan. Bukankah ini peluang pasar? Kita bisa mengembangkan permen itu untuk diekspor. Bayangkan! Kita bisa mengekspor permen penderitaan itu ke banyak negara. Saya kira itu jauh lebih baik ketimbang kita melulu mengekspor TKI.” Samuel tertawa—mungkin karena merasa lucu. Tapi Neal tak menanggapi. “Lagi pula, permen-permen itu telah membuat banyak orang jadi punya kerjaan. Yah, meskipun cuma jadi asongan di perempatan jalan, tapi itu lebih baik daripada mereka jadi penjahat kapak merah, kan?” Dari jendela hotel Neal memandang ke bawah, ke arah jalanan yang macet. Ia lihat puluhan pengasong yang berjalan dari satu mobil ke mobil di belakangnya, menawarkan bungkusan permen itu. Rasanya, dari hari ke hari semakin banyak saja jumlah penjaja permen itu memenuhi jalanan. Jalanan yang macet jadi makin semrawut oleh mereka. Samuel memeluknya dari belakang, mengecup tengkuknya pelan. “Mestinya kamu tak usah terlalu gelisah. Toh itu hanya permen.” Tidak. Ini bukan hanya soal permen baginya. Permen bukan hanya sekadar sesuatu yang manis di lidahnya. Bukankah ia mencintai Samuel karena laki-laki ini memberinya sekotak permen ketika pertama kali mereka bertemu? Bagi Neal permen lebih menggoda daripada buah apel. Bila dulu ia adalah Hawa, dan Tuhan menggodanya dengan buah apel, pasti ia tak tertarik untuk menikmatinya. Ia akan lebih suka membayangkan bila di surga penuh bergelantungan biji-biji permen warna-warni yang memancarkan cahaya. Ia pasti tergoda untuk memetiknya. Samuel memberinya permen. Permen yang selama setahun ini ia nikmati bersama Samuel. Hidup memang seperti permen karet, meskipun lembut dan manis, kita harus berhenti menikmatinya sebelum terasa asam dan hambar. Makanya Neal menahan lidah Samuel dengan jarinya ketika laki-laki itu mulai menciumnya lagi. Lagi pula ini sudah jam tiga sore. Jam di mana Neal harus menelepon suaminya. Pras menutup handphone-nya. “Siapa?” tanya Melly. “Neal.” “Kamu mesti jemput istrimu?” Pras menggeleng. Ia memandangi Melly yang bersandar di sofa dan belum juga memakai blazernya. “Cuma ngomong soal permen…” “Permen?” “Ya. Permen. Dia belakangan ini selalu gelisah soal permen yang dijajakan di perempatan jalan itu.” “Permen ini maksudmu?” Melly mengeluarkan sebiji permen dari tas Louis Vuitton-nya. Pras memandangi permen itu. Benar. Itu permen yang sering ia lihat dijajakan di perempatan jalan. Pras sama sekali tak menyangka kalau Melly menyimpan permen itu. “Kok kamu beli?” “Itung-itung ngasih rezekilah. Lagi pula bosan kan terus-terusan menikmati permen rumahan. Sesekali perlu juga nyoba bagaimana rasanya permen pinggir jalan….” Pras merasa wajahnya memerah. Omongan Melly terdengar seperti sindiran. “Kamu mungkin menganggap permen ini tak enak, hanya karena dibuat dari adonan penderitaan. Tak ada yang salah kan kalau ada permen yang dibuat dari penderitaan? Apa kamu pernah dengar ada permen yang dibuat dari rayap kayu?” Pras menganggap Melly bercanda. “Bener! Nggak tanggung-tanggung, yang mengembangkan permen dari rayap kayu itu seorang profesor di Institut Pertanian Bogor. Mungkin kamu nggak mengira kalau rayap kayu kering jenis cryptotermes cynocephalus light mengandung karbohidrat 10,2 persen dan lemak 25,2 persen, dan ini cocok buat bahan dasar permen jelly yang kaya dengan nutrisi berupa protein rayap. Tinggal dicampur dengan sirup fruktosa tinggi, dimasak pada suhu70-100 derajatCelsius, udahdeh, jadipermen…” “Tahu dari mana?” “Baca dong!” Melly sedikit mendengus. Ia tak suka dengan ekspresi Pras yang tampak tak mau percaya kalau ia tahu soal permen rayap itu. Apa dikira sekretaris tidak suka baca?! Pras diam. Melly mendekat ke ranjang dan berbaring di atas tubuhnya, lalu menyodorkan permen itu tepat ke wajah Pras yang tengadah. “Coba, deh…” Pras tanpa sadar langsung mengatupkan mulutnya. “Sesekali kamu makan permen ini kan ya tak apa-apa,” kata Melly sambil memandang mata Pras dengan lembut. “Mungkin ada gunanya juga sesekali kamu sedikit merasakan penderitaan…” Pras memejam. Permen itu mengingatkannya pada kecemasan istrinya. Tapi apa salahnya mencoba? Toh ia juga suka permen. Rasa permen yang beraneka macam selalu membuatnya merasakan sensasi petualangan rasa di lidahnya. Apalagi sejak ia menikah dengan Neal. Ia selalu membawa permen di sakunya. Setiap kali hendak masuk rumah, ia pasti mengunyah permen terlebih dahulu. Permen bisa menghapus bau bekas ciuman di mulutnya. Warna-warni cahaya kota terlihat bagaikan bermacam bungkus permen yang bertebaran di udara. Barangkali kota memang seperti permen yang menggoda siapa pun untuk datang menikmatinya. Kota adalah pabrik gula-gula. Gedung-gedung yang menjulang itu adalah kotak cokelat raksasa. Neal melihat barisan orang-orang yang berbondong-bondong ingin menikmati cokelat raksasa itu, yang tampak seolah meleleh di bawah cahaya. Lalu muncul serombongan orang-orang kumuh yang keluar dari dalam lorong dan gorong-gorong. Neal panik ketika orang-orang itu mulai mengepung mobilnya. Tangan mereka yang hitam dan kotor seperti cakar yang hendak menggaruki mobilnya. Neal mendengar suara jeritan yang melengking bersahut-sahutan… Ia tergeragap. Ternyata itu suara puluhan klakson mobil-mobil yang berderet di belakangnya. Lampu sudah menyala hijau. Dan ia masih melamun. Seorang pengasong menyodorkan sebungkus permen ke dekat kaca mobilnya, tetapi Neal segera tancap gas. Neal masih gemetaran saat sampai rumah, dan mendapati Iza sudah tertidur. Pembantunya bilang, sejak sore anak itu terus nangis. Tak mau les piano—padahal biasanya ini yang paling disukai anak itu—dan bahkan juga tak mau makan. Hanya karena kecapean ia kemudian tertidur. Neal memandangi anaknya yang lelap. Wajahnya seperti roti gandum yang diolesi susu. Tiba-tiba Neal merasa takut, betapa wajah anaknya kelak menjadi keruh oleh penderitaan. Di dalam rumah ini, ia bisa melindungi anaknya. Tapi bagaimana di luar sana? Sungguh, ia ingin anaknya terus merasakan hidup yang nyaman dan tenteram. Ia tak ingin pengaruh buruk dari jalanan merusak hidup anaknya. Menjelang jam sepuluh Pras pulang, dan seperti biasanya, suaminya itu masuk ke dalam rumah sambil mengunyah permen. Kebiasaan yang Neal perhatikan mulai dilakukan Pras sejak mereka menikah. “Sudah tidur Iza?” Neal mengangguk. Pelan Pras mencium bibir istrinya. Neal merasakan sisa aroma permen yang lengket di sudut bibir suaminya. “Bagaimana kalau besok Iza masih ngambek dan terus minta permen itu?” tanya Neal menjelang mereka tidur. “Sesekali Iza kamu perbolehkan makan permen itu kan ya tak apa-apa,” jawab Pras sambil memandang mata Neal dengan lembut. “Mungkin ada gunanya juga sesekali anak itu sedikit merasakan penderitaan…” Jakarta, 2007
""Permen""
Melihat mulut Iza yang terus cembetut, Neal tahu kalau anaknya itu masih kesal karena tak diperbolehkan membeli permen yang tadi sore dilihatnya dijajakan di perempatan jalan. Bukannya Neal tak memperbolehkan Iza makan permen. Anak-anak suka permen, itu biasa. Neal sendiri, sewaktu kanak-kanak, suka sekali permen. Neal tak akan pernah lupa: di ruang tengah, tempat biasanya Papa, Mama, dan kakak adiknya berkumpul menonton televisi, selalu tersedia sekotak aneka permen. Permen dalam bungkus warna-warni. Seperti bantal-bantal mungil milik peri. Permen toffee, fudge, lollipop, juga permen cokelat dan caramel yang meleleh lembut di lidahnya. “Permen akan selalu mengingatkanmu bahwa hidup ini manis dan patut kamu nikmati,” kata Mamanya. “Karenanya kamu harus bersyukur bila hidup memberimu nasib yang manis, penuh warna dan menyenangkan seperti permen.” Ah, permen. Bantal mungil warna-warni milik peri. Neal tak akan pernah lupa dongeng masa kecilnya itu. Saat kehidupan ini masih ranum, peri-peri yang selalu beterbangan seperti capung begitu riang memetik biji-biji buah selembut getah yang bergelantungan di pepohonan mastic dan spruce—sejenis karet dan cemara—yang menjulang menyentuh kelembutan cahaya. Sepanjang hari yang riang, ketika peri-peri mungil itu memetiki biji-biji buah yang matang dan manis, hutan yang berkilauan menjadi penuh nyanyian. Dan pada malam hari, saat peri-peri mungil itu kelelahan dan berbaring tertidur di dahan-dahan, bibi-biji buah yang lembut itu mereka gunakan sebagai bantal. Saat peri-peri mungil lelap itulah, seorang nenek sihir mengambili bantal-bantal itu dengan teramat hati-hati dan pelan agar peri-peri mungil itu tak terbangun, kemudian mengumpulkannya dalam keranjang. Saat terbangun pagi hari, peri-peri mungil itu akan terkejut mendapati bantal mereka sudah hilang. Mereka sedih, dan kembali beterbangan memetiki biji-biji buah yang bergelantungan, sementara nenek sihir itu telah jauh keluar hutan dan melintas jalanan desa dengan menyaru sebagai penjaja manisan. “Ini bantal yang dipakai tidur para peri,” kata nenek sihir itu merayu anak-anak yang terpesona pada biji-biji mungil itu. Anak-anak begitu bergembira ketika nenek sihir itu membagikan biji-biji yang rasanya manis dan lembut saat mereka kulum. Beberapa anak yang rakus dan terlalu banyak makan biji-bijian itu, di malam hari menjadi bengkak mulutnya. Neal ingat bagaimana Mamanya mengakhiri kisah itu dengan suara yang penuh senyuman, “Begitulah, Nak, sebermula permen muncul di dunia manusia. Ia manis dan lembut karena dipakai sebagai bantal para peri. Tapi ia juga bisa membuat gigi-gigimu rusak dan bengkak karena ia dibawa oleh nenek sihir jahat.” Neal mengingat itu sebagai sebuah nasihat agar jangan terlalu berlebihan menikmati apa pun. Karena yang manis pun bisa membuat sakit dan menderita. Sampai ia berumur sembilan tahun, Neal suka meletakkan kotak dari kayu berisi beberapa permen di dekat jendela kamar tidurnya. Permen-permen dalam kotak itu ia tata menyerupai bantal di atas kasur kecil. Ia membayangkan, pastilah ada peri yang sedih dan tersesat ketika mencari bantal-bantal yang dicuri oleh nenek sihir itu. Maka, bila peri itu masuk ke dalam kamarnya, peri itu bisa nyaman beristirahat di kotak yang ia sediakan itu. Sampai sekarang pun, setelah ia menikah dan punya anak—cukup satu anak, ia tak mau repot hamil dan melahirkan lagi—Neal sering bermimpi ada peri masuk ke dalam kamarnya menenteng biji-biji permen. Ia ingat, seminggu sebelum ia melahirkan Iza, ia bermimpi puluhan peri mungil mendatangi kamarnya dan menjatuhkan biji-bijian permen ke dalam keranjang bayi. Mimpi yang selalu ia percaya sebagai isyarat baik. Tapi, permen yang banyak dijajakan di perempatan jalan itu rasanya bukanlah isyarat yang baik. Mestikah ia menjelaskan pada Iza, kalau permen-permen yang dijajakan di perempatan jalan itu bukan biji-biji ranum yang dipetik para peri dari dahan-dahan pohon spruce? “Permen itu akan membuatmu mules dan mual,” bujuk Neal sembari memberikan permen mint yang ia beli di supermarket. “Lebih enak permen ini, membuat mulut dan tenggorokanmu jadi segar.” Tapi, wajah Iza terus cemberut. Dia tetap ingin permen yang dijajakan di perempatan jalan itu. Sekarang ini, hampir di tiap perempatan jalan memang banyak pengasong menjual permen. Permen berwarna merah keruh yang mirip manisan dalam bungkus-bungkus plastik kecil. Selintasan, permen itu memang mengundang selera. Tetapi, Neal tak suka dengan para pengasong itu, yang sering menawarkan dengan cara setengah memaksa: menyorongkan bungkus itu ke dekat mobil sambil mengetuk-ngetuk—malah kadang mengedor—kaca jendela. Neal sering panik berhadapan dengan para pengasong itu. Takut, bila ia tak membeli, mereka akan memecah kaca mobilnya. Lagi pula Neal memang tak suka dengan permen yang dijajakan itu. Ia sering mendengar bagaimana permen itu dibuat. Orang-orang miskin yang hidup di kampung-kampung kumuh pinggiran kota membuat permen itu dengan cara menampung kesedihan mereka. Mungkin proses pembuatan permen itu sudah berlangsung lama. Kesedihan dan kegetiran hidup yang mereka rasakan sehari-hari, mereka peras menjadi keringat yang ditampung ke dalam panci-panci rongsokan, kemudian diolah dan dimasak di atas tungku-tungku penderitaan. Mencampurnya dengan gelatin agar kental, memberinya sedikit gula, pewarna dan pengawet. Malah kabarnya mereka menggunakan sorbitol—sebagai pengganti gula yang mahal—dan kayu manis sebagai penyedap aroma. Para perempuan tua yang kelelahan dan terkantuk-kantuk sepanjang malam mengaduk-aduk adonan itu. Sementara bau got mampet dan bangkai celurut mengapung di lorong-lorong muram perkampungan itu, para anak yang matanya nanar tanpa harapan membungkusi butir-butir permen yang sudah selesai dimasak dan dicetak itu ke dalam kantung-kantung plastik. Neal membayangkan, tidak seperti tangan-tangan peri yang lentik ketika memetiki biji-biji permen ranum yang bergelantungan, tangan anak-anak itu pastilah kotor dan menjijikkan; kuku-kuku jari tangannya penuh bekas daki ketika mereka menggaruk pantat mereka yang korengan. Dan tangan itu tak pernah dibersihkan ketika membungkusi biji-biji permen yang kemudian dijajakan di perempatan jalan. “Bagaimana mungkin aku memberikan permen seperti itu pada Iza!” ujar Neal, setengah menggerutu, pada Samuel. “Lho, apa salahnya?” “Tidak. Iza tak boleh makan permen seperti itu. Tidak baik.” Selama ini Neal begitu hati-hati memilihkan semua yang tak terbaik bagi anaknya. Ia ingin Iza menikmati masa kanak yang membahagiakan. Dan Neal takut Iza akan tergoda oleh permen itu. Bagaimana kalau tanpa sepengetahuannya, Iza membeli permen itu ketika jajan di sekolah? “Aku kira, permen itu sebuah gagasan yang cerdas,” kata Samuel, setengah tertawa, menatap Neal yang tengah memakai kembali g-string-nya. “Maksud, lo?” Mata Neal melotot. “Dengar,” Samuel menatap serius. “Bukankah mengubah kesedihan menjadi permen itu cara yang luar biasa? Mungkin itulah cara terbaik bertahan di tengah hidup yang penuh penderitaan. Membuat yang pahit jadi manis. Kamu jangan meremehkan hanya karena permen itu terlihat murahan. Ini hanya soal kemasan. Aku kira, kalau dikemas dalam kotak-kotak yang bagus dan dipasarkan dengan baik, permen itu akan menarik juga. Mungkin akan jadi komoditi yang menguntungkan. Bukankah ini peluang pasar? Kita bisa mengembangkan permen itu untuk diekspor. Bayangkan! Kita bisa mengekspor permen penderitaan itu ke banyak negara. Saya kira itu jauh lebih baik ketimbang kita melulu mengekspor TKI.” Samuel tertawa—mungkin karena merasa lucu. Tapi Neal tak menanggapi. “Lagi pula, permen-permen itu telah membuat banyak orang jadi punya kerjaan. Yah, meskipun cuma jadi asongan di perempatan jalan, tapi itu lebih baik daripada mereka jadi penjahat kapak merah, kan?” Dari jendela hotel Neal memandang ke bawah, ke arah jalanan yang macet. Ia lihat puluhan pengasong yang berjalan dari satu mobil ke mobil di belakangnya, menawarkan bungkusan permen itu. Rasanya, dari hari ke hari semakin banyak saja jumlah penjaja permen itu memenuhi jalanan. Jalanan yang macet jadi makin semrawut oleh mereka. Samuel memeluknya dari belakang, mengecup tengkuknya pelan. “Mestinya kamu tak usah terlalu gelisah. Toh itu hanya permen.” Tidak. Ini bukan hanya soal permen baginya. Permen bukan hanya sekadar sesuatu yang manis di lidahnya. Bukankah ia mencintai Samuel karena laki-laki ini memberinya sekotak permen ketika pertama kali mereka bertemu? Bagi Neal permen lebih menggoda daripada buah apel. Bila dulu ia adalah Hawa, dan Tuhan menggodanya dengan buah apel, pasti ia tak tertarik untuk menikmatinya. Ia akan lebih suka membayangkan bila di surga penuh bergelantungan biji-biji permen warna-warni yang memancarkan cahaya. Ia pasti tergoda untuk memetiknya. Samuel memberinya permen. Permen yang selama setahun ini ia nikmati bersama Samuel. Hidup memang seperti permen karet, meskipun lembut dan manis, kita harus berhenti menikmatinya sebelum terasa asam dan hambar. Makanya Neal menahan lidah Samuel dengan jarinya ketika laki-laki itu mulai menciumnya lagi. Lagi pula ini sudah jam tiga sore. Jam di mana Neal harus menelepon suaminya. Pras menutup handphone-nya. “Siapa?” tanya Melly. “Neal.” “Kamu mesti jemput istrimu?” Pras menggeleng. Ia memandangi Melly yang bersandar di sofa dan belum juga memakai blazernya. “Cuma ngomong soal permen…” “Permen?” “Ya. Permen. Dia belakangan ini selalu gelisah soal permen yang dijajakan di perempatan jalan itu.” “Permen ini maksudmu?” Melly mengeluarkan sebiji permen dari tas Louis Vuitton-nya. Pras memandangi permen itu. Benar. Itu permen yang sering ia lihat dijajakan di perempatan jalan. Pras sama sekali tak menyangka kalau Melly menyimpan permen itu. “Kok kamu beli?” “Itung-itung ngasih rezekilah. Lagi pula bosan kan terus-terusan menikmati permen rumahan. Sesekali perlu juga nyoba bagaimana rasanya permen pinggir jalan….” Pras merasa wajahnya memerah. Omongan Melly terdengar seperti sindiran. “Kamu mungkin menganggap permen ini tak enak, hanya karena dibuat dari adonan penderitaan. Tak ada yang salah kan kalau ada permen yang dibuat dari penderitaan? Apa kamu pernah dengar ada permen yang dibuat dari rayap kayu?” Pras menganggap Melly bercanda. “Bener! Nggak tanggung-tanggung, yang mengembangkan permen dari rayap kayu itu seorang profesor di Institut Pertanian Bogor. Mungkin kamu nggak mengira kalau rayap kayu kering jenis cryptotermes cynocephalus light mengandung karbohidrat 10,2 persen dan lemak 25,2 persen, dan ini cocok buat bahan dasar permen jelly yang kaya dengan nutrisi berupa protein rayap. Tinggal dicampur dengan sirup fruktosa tinggi, dimasak pada suhu70-100 derajatCelsius, udahdeh, jadipermen…” “Tahu dari mana?” “Baca dong!” Melly sedikit mendengus. Ia tak suka dengan ekspresi Pras yang tampak tak mau percaya kalau ia tahu soal permen rayap itu. Apa dikira sekretaris tidak suka baca?! Pras diam. Melly mendekat ke ranjang dan berbaring di atas tubuhnya, lalu menyodorkan permen itu tepat ke wajah Pras yang tengadah. “Coba, deh…” Pras tanpa sadar langsung mengatupkan mulutnya. “Sesekali kamu makan permen ini kan ya tak apa-apa,” kata Melly sambil memandang mata Pras dengan lembut. “Mungkin ada gunanya juga sesekali kamu sedikit merasakan penderitaan…” Pras memejam. Permen itu mengingatkannya pada kecemasan istrinya. Tapi apa salahnya mencoba? Toh ia juga suka permen. Rasa permen yang beraneka macam selalu membuatnya merasakan sensasi petualangan rasa di lidahnya. Apalagi sejak ia menikah dengan Neal. Ia selalu membawa permen di sakunya. Setiap kali hendak masuk rumah, ia pasti mengunyah permen terlebih dahulu. Permen bisa menghapus bau bekas ciuman di mulutnya. Warna-warni cahaya kota terlihat bagaikan bermacam bungkus permen yang bertebaran di udara. Barangkali kota memang seperti permen yang menggoda siapa pun untuk datang menikmatinya. Kota adalah pabrik gula-gula. Gedung-gedung yang menjulang itu adalah kotak cokelat raksasa. Neal melihat barisan orang-orang yang berbondong-bondong ingin menikmati cokelat raksasa itu, yang tampak seolah meleleh di bawah cahaya. Lalu muncul serombongan orang-orang kumuh yang keluar dari dalam lorong dan gorong-gorong. Neal panik ketika orang-orang itu mulai mengepung mobilnya. Tangan mereka yang hitam dan kotor seperti cakar yang hendak menggaruki mobilnya. Neal mendengar suara jeritan yang melengking bersahut-sahutan… Ia tergeragap. Ternyata itu suara puluhan klakson mobil-mobil yang berderet di belakangnya. Lampu sudah menyala hijau. Dan ia masih melamun. Seorang pengasong menyodorkan sebungkus permen ke dekat kaca mobilnya, tetapi Neal segera tancap gas. Neal masih gemetaran saat sampai rumah, dan mendapati Iza sudah tertidur. Pembantunya bilang, sejak sore anak itu terus nangis. Tak mau les piano—padahal biasanya ini yang paling disukai anak itu—dan bahkan juga tak mau makan. Hanya karena kecapean ia kemudian tertidur. Neal memandangi anaknya yang lelap. Wajahnya seperti roti gandum yang diolesi susu. Tiba-tiba Neal merasa takut, betapa wajah anaknya kelak menjadi keruh oleh penderitaan. Di dalam rumah ini, ia bisa melindungi anaknya. Tapi bagaimana di luar sana? Sungguh, ia ingin anaknya terus merasakan hidup yang nyaman dan tenteram. Ia tak ingin pengaruh buruk dari jalanan merusak hidup anaknya. Menjelang jam sepuluh Pras pulang, dan seperti biasanya, suaminya itu masuk ke dalam rumah sambil mengunyah permen. Kebiasaan yang Neal perhatikan mulai dilakukan Pras sejak mereka menikah. “Sudah tidur Iza?” Neal mengangguk. Pelan Pras mencium bibir istrinya. Neal merasakan sisa aroma permen yang lengket di sudut bibir suaminya. “Bagaimana kalau besok Iza masih ngambek dan terus minta permen itu?” tanya Neal menjelang mereka tidur. “Sesekali Iza kamu perbolehkan makan permen itu kan ya tak apa-apa,” jawab Pras sambil memandang mata Neal dengan lembut. “Mungkin ada gunanya juga sesekali anak itu sedikit merasakan penderitaan…” Jakarta, 2007
""Permen""
Ketika kaum kerabat, handai tolan, kenalan, dan tetangga satu per satu meninggalkan rumah duka, tahulah Sumarti bahwa ia akan sendirian. Sumarti akan menjalani sisa hidupnya seorang diri. Ditemani pembantu rumah tangga, tukang kebun, dan penjaga malam. Itu pun sepanjang Sumarti mampu membayar mereka setiap bulan. Sesekali putri, menantu, dan cucunya akan datang berkunjung. “Nuwun sewu…,” terdengar suara pembantu Sumarti. Sumarti menoleh. “Makan malam sudah siap, Nyonya.” “Ya, sebentar. Saya mandi dulu.” Sumarti menuju kamar mandi. Ingin mengguyur badannya yang sedari tadi terasa gerah dan berkeringat. Mumpung malam belum larut. Sumarti mulai memereteli baju luarnya yang berwarna hitam. Tatkala sampai pada penutup dada, Sumarti terkesiap. Ternyata secarik kertas bertengger di dadanya. Bagusnya kursi empuk itu…. Lha, kursi empuk? Kursi empuk mana? Yang di kantor atau yang di rumah? Di rumah Sumarti banyak kursi empuk. Ada di ruang baca. Ada di ruang tamu. Ada di ruang makan. Belum lagi di teras depan dan teras belakang. Kalau kursi empuk di kantor, bagaimana pula prosedurnya? Bagaimana mungkin kursi parlemen dibeli? Oalah…! Serampung mandi malam, Sumarti ingin sekali menelepon seseorang. Sekadar berbagi rasa. Sumarti ingin menceritakan keinginan almarhum yang tercantum dalam wasiat itu. Sumarti bergegas ke tempat telepon di ruang keluarga. Di tempat telepon itu Sumarti bergeming. Hendak diraihnya gagang telepon, tetapi tangannya serasa diikat. Sumarti pikir, kalau ia menelepon orang itu, mungkin kabar itu akan menyebar ke mana-mana bak air bah dari gunung. Sumarti pindah ke sofa. Ditimang-timangnya kertas kecil yang berasal dari dadanya itu. Ia kenal betul tulisan itu. Itu pasti goresan serta tanda tangan almarhum suaminya. Bagusnya kursi empuk itu dimasukkan ke dalam tanah…. Sumarti menyandarkan bahunya di sofa. Ditatapnya tulisan tangan almarhum dalam-dalam. Ia paham maksudnya, namun tak tahu cara mewujudkannya. Ada satu hal yang mengherankan Sumarti. Kenapa secarik kertas itu baru diketahuinya ketika acara penguburan telah usai? Kenapa wasiat itu baru ditemukan Sumarti setelah kembali dari pemakaman, padahal almarhum ingin, surat ini dibaca begitu aku mengembuskan napas terakhir, jangan setelah aku di dalam tanah? Sumarti menjadi serba salah. Ia merasa kesiangan membaca pesan almarhum. Ia baru memergoki wasiat almarhum setelah kaum kerabat, handai tolan, dan kedua putrinya serta kedua menantunya kembali ke rumah masing-masing. Duh, Gusti! Kepala Sumarti serasa mau pecah. Sumarti ingin mengabari kaum kerabatnya. Ingin memberi tahu mereka perihal permintaan almarhum. Lantas ingin mendengar nasihat mereka. Sumarti mendekati telepon yang ada di meja kecil. Dia raih gagang telepon, namun Sumarti terpana sejenak. Bukankah ia akan dibilang bodoh kalau mengungkapkan keteledorannya pada kaum kerabat? Bukankah kaum kerabat akan menertawakan kealpaannya? Sumarti bimbang. Dijauhinya telepon dan kembali ke sofa. Sumarti merasa pusing tujuh keliling. Mestinya dari tadi dia menemukan wasiat itu dan membicarakannya dengan kaum kerabat, ketika belum berlangsung upacara penguburan. Kini semua orang sudah berlalu. Memang Sumarti sering mengamini kata orang bijak, lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali. Namun, Sumarti pun sadar, mengumpulkan kaum kerabat, handai tolan, dan keluarga dekat bukanlah sekadar membalik telapak tangan. Sumarti melonjorkan kakinya. Sumarti mengatupkan matanya sembari menyesali diri. Ia coba melupakan wasiat itu, tetapi yang muncul adalah wajah almarhum. Kalau bisa, kursi empukku ditaruh di samping jasadku. Setahu Sumarti, surat wasiat lazimnya berisi pembagian harta untuk orang yang masih hidup. Ini malah mengenai kursi empuk segala yang harus dibawa ke dalam kubur. Namun, Sumarti terpaksa mengurut dada karena yang menulis surat wasiat adalah almarhum suaminya. Sumarti ingin menghubungi kedua putrinya. Siapa tahu mereka bisa berbagi rasa. Sumarti yakin, anak-anaknya pasti akan menolongnya. Paling tidak meringankan bebannya. Meski Endang Setianingrum dan Esti Setianingsih sudah membelikan telepon genggam, Sumarti tak pernah mau menggunakannya. Kedua telgam itu hanya menjadi penghuni lemari Sumarti. “Ibu kuno,” kata kedua putrinya. Sumarti tak sakit hati dicap kuno. Bagi Sumarti lebih sreg menerima dan menelepon secara tradisional. Tidak perlu beli pulsa. “Boros,” katanya, “mendingan uangnya aku tabung.” Jadilah Sumarti tetap lebih asyik dengan telepon-rumah. Sumarti tetaplah “orang kuno”, menurut istilah kedua putrinya. “Lagi pula, aku tak mau diganggu telepon genggam pada waktu tidur,” kata Sumarti. Sumarti kembali mendekati telepon-rumah. Sumarti ingin menelepon putri sulungnya, Endang Setianingrum. Ingin menceritakan permintaan terakhir almarhum, lantas apa yang harus diperbuat. Diraihnya gagang telepon, namun ditaruhnya kembali. Jangan-jangan putrinya malah mencecarnya dengan macam-macam pertanyaan. “Kok Ibu baru menemukannya sekarang? Kok tidak dari tadi menemukan wasiat Bapak itu? Kok Ibu tidak dari tadi-tadi menyadari adanya wasiat itu?” Sejumlah kok lainnya pun meluncur dari mulut putri sulungnya. Sumarti tak mau disalahkan. Sebaliknya, Sumarti justru mengharapkan dukungan dari orang-orang terdekat. >diaC< Sumarti mengurungkan niatnya dan kembali bernadra di sofa. Kemudian terpikir oleh Sumarti mengontak putri bungsunya, Esti Setianingsih. Putri keduanya ini mungkin bisa memberi jalan keluar. Sumarti tahu watak putrinya ini. Tidak seketus kakaknya, Endang Setianingrum. Didekatinya kembali telepon. Diraihnya gagang telepon. Diputarnya nomor Esti Setianingsih. Ketika tinggal satu angka lagi, Sumarti serta-merta bergeming. Sayup-sayup, ia mendengar suara putri bungsunya di seberang sana. “Lha, kok Ibu baru tahu wasiat Bapak sekarang. Piye toh, Bu? Piye? Oalah, Ibu ….Ibu.” Bla… bla… bla…. Sumarti pusing mendengarnya. Ditaruhnya gagang telepon. Sumarti kembali ke sofa. Ia tak mau jadi bulan-bulanan putri bungsunya. Lebih baik tak mengabari dia daripada mendengar kata-kata tak senonoh. Tebersit pula di benak Sumarti untuk mendiamkan wasiat almarhum itu. Tak perlu memberitahukannya kepada siapa pun, termasuk kaum kerabat. Tak perlu menyampaikannya kepada kedua putri dan kedua menantunya. Toh yang tahu cuma aku dan… Tuhan! Entah kenapa, Sumarti merasa tak enak. Sumarti khawatir terjadi apa-apa pada dirinya. Sumarti pernah mendengar kerabatnya berkata, “Kalau kita tak turuti permintaan orang meninggal, rohnya akan mengikuti kita terus ke mana pun kita pergi.” Sumarti tak mau diikuti roh suaminya. Sumarti ingin hidup normal. Tak ingin diganggu siapa pun. Sumarti ingin hidup dengan tenang, setenang kehidupan di desanya sebelum ia bertolak ke Jakarta. Tak mengherankan, kebiasaan-kebiasaan dari desa masih terbawa-bawa hingga ke kota metropolis. Salah satu kebiasaan itu adalah menyelitkan sesuatu di dadanya. “Biar tak lupa,” kata Sumarti mengenai kebiasaan itu. “Biar tak diambil orang.” Sumarti lupa, kapan wasiat itu disisipkan ke dadanya. Ajaibnya, Sumarti pun tak ingat siapa yang menyelipkan ke dadanya: dia sendiri atau almarhum? Setelah usianya berkepala lima, Sumarti memang menjadi pelupa. Ia pernah mencari kacamatanya, padahal kacamata itu bertengger di kepalanya. Ia pun pernah mencari-cari kunci lemari, padahal kunci itu sedang dipegangnya. Tidak tertutup kemungkinan, almarhumlah yang menyelipkan wasiat itu ke dadanya dalam perjalanan ke rumah sakit—saat almarhum merasa sesak napas dan dadanya sakit? Atau siapa tahu, ketika sedang sekarat di rumah sakit, suaminya lantas buru-buru menyisipkan kertas itu ke dada Sumarti. Tak ingat Sumarti sama sekali. Sumarti hanya ingat, sejenak sebelum sekarat, almarhum merangkulnya sekelebatan. Sumarti lupa-lupa ingat, apakah almarhum menyelitkan sesuatu atau tidak ke dadanya. Setelah itu, suami tercintanya pun kaku dan rebah di pangkuannya. Singgah juga pikiran buruk di kepala Sumarti. Sumarti ingin merobek-robek wasiat almarhum dan mencampakkannya ke tempat sampah. Atau membakarnya sekalian agar tak berbekas. Toh tak ada yang tahu. Namun, Sumarti ketir-ketir juga. Kenalannya pernah berkata, “Tak baik menolak permintaan orang yang sudah mati, nanti hidup kita tak tenang.” “Nuwun sewu…,” suara pembantu Sumarti terdengar dari arah belakang. “Makan malamnya tambah dingin, Nyonya.” Sumarti menoleh ke belakang. “Ya, ya, saya akan makan….” Malam pun kian merambat di ruang keluarga Sumarti. Jakarta, 5 Juni 2007
""Kursi Empuk di Dada Sumarti""
Sinai melintas di depanku. Ia terlihat menawan hari ini. Tubuhnya beraroma wangi chamomile dan apricot. Rambutnya dikepang dua. Mantel panjang warna coklat tua membungkus tubuh semampainya dari dinginnya malam. Parasnya yang bulat tampak berias. Mata gemintangnya dibingkai warna ungu pucat. Maskara melentikkan bulu matanya yang panjang. Bibir tipisnya berulas warna shocking pink berkilat tersapu lipgloss. Ia sangat siap untuk tampil di depan umum. Oya, ini Jumat malam. Sudah pasti ia akan pergi ke kelab malam. Menggoyangkan tubuh indahnya di tengah desakan manusia yang berpeluh. Ia memberiku seulas senyum. Aku begitu terpana melihat garis bibirnya yang menukik ke atas menyerupai bulan sabit. Ingin kuberikan balasan senyum setulus hati, namun ia sudah terburu berlalu. Tak menungguku untuk menanggapi salam senyumnya. Dalam sekejap, Sinai sudah membuka pintu gedung apartemen ini dan menembus angin beku di luar sana. Dari jauh, kulihat ia berhenti sejenak. Mengeluarkan handphone mungil warna merah darah di dalam genggaman tangannya. Ia tampak mengangguk-angguk sejenak. Kemudian ia memasukkan handphone itu ke dalam tasnya. Lantas segera berjalan cepat setengah menunduk. Sesekali ia tampak menaikkan tudung kepala yang menaungi rambut hitam lurus yang jatuh hingga di atas bahu. Ingin kupeluk dan kubentengi tubuhnya dari tiupan angin. Kubayangkan kepalanya berlindung di dadaku. Oh… betapa indahnya. Namun Sinai tetap berlalu. Ia berjalan menyusuri 7th Avenue, melintasi 16th Street, 17th Street, kemudian menyeberang menyusuri 19th Street, menuju 6th Avenue. Ia langsung berbelok menuju 20th Street begitu tiba di jalan besar 6th Avenue dan terus melangkah memasuki Avalon, diskotek yang mengambil tempat bekas gereja tua berarsitektur gothic yang terletak tepat di sudut jalan 20th Street dan 6th Avenue. Tampak antrean panjang di pintu masuk. Ia melewati antrean itu dan langsung mendekati seorang penjaga pintu. Sinai tampak sedikit jinjit dan berbisik di telinga penjaga bersosok gempal itu. Wajah lelaki itu tampak tersenyum. Sinai langsung melintas di depannya dan masuk ke bangunan itu. Di dalam, dentuman lagu hip hop, latin, dan rap berbaur menjadi satu. Wajah-wajah sarat hasrat hidup meliukkan tubuh mengikuti irama. Sebagian besar berpelukan dan saling mencabik bibir dalam ciuman. Sinai tampak tersenyum. Wajahnya berbinar cerah. Ia tampak tak sabar menunggu giliran penitipan mantel. Barulah aku tahu pakaian yang dikenakannya di balik mantel panjang. Rok pendek warna coklat beludru dan atasan tanpa lengan berkerah shanghai warna lavender. Ia mengenakan sepatu boot yang menutupi betis. Legging hitam tampak membalut kakinya. Sinai bergegas melintasi lorong yang mengantarkannya menuju ruang balkon. Di bawahnya, ia melihat kerumunan orang-orang yang mengentakkan tubuh seiring dengan detak jantung yang menggema mengikuti suara musik. Kaki jenjang Sinai melangkah menuruni tangga. Dalam beberapa detik, ia sudah membaurkan diri dengan lautan manusia di bawah sana. Aku hanya bisa memandanginya dari balkon. Mengeratkan genggaman tanganku ke pinggiran terali. Dari atas, kulihat Sinai tampak mencium seorang lelaki yang menggamit pinggangnya dan segera menariknya ke dalam pelukannya. Gerahamku mengeras. DJ memutar lagu My Love dari album terbaru Justin Timberlake. Dentuman beat mengantarkan tubuh Sinai meliuk dalam rengkuhan lelaki itu yang memeluk pinggangnya dari belakang. Tubuh mereka menyatu erat. Mereka bergerak seirama. Kulihat tangan lelaki itu menyusuri perut Sinai dan menyelipkan jemarinya di balik baju lavendernya. Kedua mataku berair melihat Sinai tampak terpejam dan menyunggingkan senyum. Kepalanya mendongak, disandarkan di bahu lelaki itu yang langsung mencium bibir Sinai dari arah belakang. Tubuh mereka terdiam. Yang kini bergerak hanya kedua tangan lelaki itu yang menjelajahi tubuh Sinai. Tubuhku melorot bersujud di lantai. Kepalaku kusandarkan di jeruji terali. Air di kedua mataku mengalir deras. Membasahi pipi dan memasuki mulutku. Terasa asin. Menyadarkanku kembali untuk membuka mataku yang sedari tadi terpejam. Aku panik saat menyadari Sinai dan lelaki itu tak lagi ada di antara kerumunan orang di bawah sana. Tubuhku bergegas bangkit meski kusadari tak lagi ada tenaga. Namun aku harus mencari Sinai. Menyelamatkannya dari tangan kotor lelaki itu. Kuturuni tangga setengah berlari dan kini kusibak kerumunan orang-orang di lantai dansa yang meloncat-loncat mengangkat tangan mereka seolah ingin menggapai siraman cahaya kerlap-kerlip dari langit di atas sana. Tak lagi kulihat Sinai di antara mereka. Bergegas kularikan tubuhku memasuki ruangan bar di ujung sana. Kulewati lorong gelap yang dulunya mungkin sebuah koridor menuju tempat perjamuan. Saat itu aku mendengar suara desahan di salah satu sudut yang mengarah menuju bilik kecil bertuliskan restroom. Cahaya remang di dalam ruangan itu tak dapat menyembunyikan sosok tubuh Sinai yang sangat kukenali. Tubuhnya yang kini tampak bergerak dalam desahan panjang yang membuatku mematung. Ia dan lelaki itu telah berdosa. Aku mengenal Sinai dua tahun silam saat ia memasuki apartemen ini. Tentu saja ia langsung menyita perhatianku. Mungkin karena ia cantik. Tapi banyak penghuni apartemen lainnya yang juga cantik. Bahkan melebihi dirinya. Namun ia berbeda. Sekilas ia terlihat memiliki keraguan akan apa pun yang dilakukannya. Ia sering sekali menggigit bibir bawahnya saat berpikir. Senyum manisnya juga sering diberikannya kepada orang-orang yang kebetulan satu lift dengannya atau berpapasan. Namun dari semua sikapnya yang menurutku cukup unik bagi orang Manhattan pada umumnya, sisi menarik Sinai adalah namanya. Ia langsung tersenyum melihat ketertegunanku saat ia menyebut namanya. “Oh, nama itu diambil ayahku dari Injil. Sebuah gunung suci tempat Nabi Musa mendapatkan 10 perintah Allah,” ujarnya pelan setengah berbisik. Seolah ia malu menyebutkan sejarah namanya. Aku hanya mengangguk dan tersenyum menenangkan dirinya. Agaknya ketenanganku mendorongnya untuk bercerita lebih lanjut tentang dirinya. Di pertemuan kami selanjutnya, Sinai mengisahkan betapa ayahnya teramat sangat fanatik untuk menjadikannya suci. Nama telah menjadi kutukan baginya. Beberapa kali ia memohon kepada ayahnya untuk mengganti namanya. Namun ayahnya tetap bergeming. Ia malah diberi jam malam yang mengharuskannya untuk berdoa dan membaca Injil setiap jam 6 sore. Pergantian waktu siang ke malam menurut ayahnya menandai dimulainya pencobaan bagi hidup manusia untuk lebih mempersiapkan diri menghadapi kegelapan. Semua itu tak terbantahkan Sinai hingga kematian ayahnya dua tahun silam. Saat itulah Sinai memutuskan pergi ke Manhattan dan memilih malam sebagai hidupnya. Kini Sinai di depan mataku. Memperlihatkan kegelapan yang menjadi pilihan hidupnya. Melihatnya, aku menjadi teryakinkan akan panggilan hidupku yang sebenarnya. Sesuatu yang kucari selama ini namun tak pernah dapat terdefinisikan hingga aku bertemu Sinai. Gunung suci tempat aku akan menemukan kekudusanku. Kusiapkan penyambutan yang akan membasuh kesesatannya. Kutaburkan kelopak-kelopak mawar di lantai kamarnya. Kupasang lilin beraroma di setiap sudut ruangan. Dalam gelap, aku menghitung waktu untuk mengantarkannya kepadaku. Suara kunci diputar. Langkah kaki setengah goyah. Mantel yang tergantung asal di kapstok. Sarung tangan yang terlempar di meja. Tanpa nyala lampu, Sinai mencopot sepatunya. Umpatan kasar menyalak dari bibirnya saat ia menginjakkan kaki telanjang di atas kelopak-kelopak mawar. Ia pasti menginjak duri mawar yang kutebar di antara kelopak. Tubuh berdebam, goyah karena nyeri dan alkohol di kepala. Kupapah tubuh kurusnya ke sofa. Kujilati telapak kakinya yang berdarah. Kusentuhkan ke pipiku yang dingin. Tubuhnya menggigil. Ketimbang marah, sorot matanya justru terlihat ngeri. Ia terdiam saat kubuka satu per satu baju yang dikenakannya. Aku mengambil handuk dan kucelupkan ke baskom air hangat yang kuletakkan di dekat kakinya. Kubasuh seluruh tubuhnya. Wajahnya yang pias, leher, bahu, kedua payudaranya, perut, paha, hingga kakinya yang tak lagi berdarah. “Kini kamu sudah bersih, meski tak seluruhnya.” Aku berbisik pelan di telinganya sambil menghirup aroma tubuhnya. Kudesakkan kuat-kuat memasuki rongga hidungku untuk tetap berdiam di setiap relung otakku. Sambil memandangnya menggigil, aku mengingatkannya kembali akan arti penting dirinya. Bukan bagiku. Tapi untuk dunia. Ini salahku. Seharusnya sejak dulu aku menyadarkannya. Sudah cukup waktu bermain-main bagi Sinai. Kini waktunya Sinai untuk kembali ke jalan yang sudah disiapkan Tuhan untuknya. “Tentunya kamu ingat Sinai, sejak awal Tuhan telah menyucikanmu. Ada tertulis saat Tuhan berfirman kepada Musa untuk menguduskanmu,” ujarku sambil membuka Injil. Jari-jariku gemetar, tergesa ingin segera menemukan apa yang kucari. Gerakan jemariku terhenti di Kitab Keluaran Bab 19 Ayat 10. Sambil berlutut di sofa, kubisikkan sejumlah ayat dalam kitab yang mengisahkan perjuangan Musa membawa umat Israel keluar dari Mesir. “Pergilah kepada bangsa itu dan suruhlah mereka menguduskan diri hari ini dan besok, sebab pada hari ketiga Tuhan akan turun di depan mata seluruh bangsa itu di Gunung Sinai. Sebab itu haruslah engkau memasang batas bagi bangsa itu berkeliling sambil berkata: Jagalah baik-baik, jangan kamu mendaki gunung itu atau kena kepada kakinya, sebab siapa pun yang kena kepada gunung itu, pastilah ia dilempari dengan batu atau dipanahi sampai mati; baik binatang baik manusia, ia tidak akan dibiarkan hidup. Hanya apabila sangkakala berbunyi panjang, barulah mereka boleh mendaki gunung itu.” Aku mengakhiri pembacaanku, menutup Injil dengan bunyi berdebam, kemudian mengelus rambut Sinai. “Kau tahu artinya itu, Sinai? Tidak sembarangan orang bisa menyentuhmu. Untuk itulah ayahmu menamai dirimu. Dalam dirimulah seharusnya bertakhta kekudusan Tuhan.” Sinai menggigil. Ia menggigit bibir bawahnya. Kuletakkan Injil dengan takzim di meja dekat sofa tempat tubuh Sinai terbaring. Kulintasi ruangan tanpa menghiraukan duri mawar yang juga menusuk telapak kakiku. Aku menuju dapur. Segalanya harus dibersihkan. Sinai harus kembali dikuduskan. Kutarik sebilah pisau yang tertancap di penahan kayu di atas meja dapur. Pisau itu tampak mengkilat di genggamanku. Meski di kegelapan tanpa cahaya di kamar ini. Sinai tergetar di sofa saat melihatku menghampiri dirinya sambil membawa pisau. “Tenang Sinai, aku tak akan membunuhmu. Aku hanya akan menguduskanmu. Menyadarkanmu ke dirimu yang dulu. Dirimu yang sebenarnya. Kau terlupa dengan panggilan hidupmu.” Kulihat Sinai meronta. Tubuhnya berpeluh. Terpaksa aku harus menahan tubuhnya. Kedua kakiku menjepit pinggangnya. Kini aku setengah duduk di atas tubuhnya. Tangan kiriku menahan dadanya yang terus bergerak. Tak ada pilihan lain. Aku harus segera melakukan penyucian ini. Tangan kananku bergerak cepat, menghunjamkan pisau ke dada kirinya. Kurobek cepat dan di sanalah terletak pencarianku. Kugerakkan pisauku memotong urat-urat tak perlu dan kuambil jantungnya dengan tangan kiriku. Kini sepotong jantung berdenyut di telapak kiriku. Merah kehitaman. Ini jantung Sinai. Juga jantungku. Lubang di dada Sinai menganga. Pun dadaku. New York, Maret 2007
""Sinai""
Bersama dengan datangnya pagi maka air laut di tepi pantai itu segera menjadi hijau. Hayati yang biasa memikul air sejak subuh, sambil menuruni tebing bisa melihat bebatuan di dasar pantai yang tampak kabur di bawah permukaan air laut yang hijau itu. Cahaya keemasan matahari pagi menyapu pantai, membuat pasir yang basah berkilat keemasan setiap kali lidah ombak kembali surut ke laut. Onggokan batu karang yang kadang-kadang menyerupai perahu tetap teronggok sejak semalam, sejak bertahun, sejak beribu-ribu tahun yang lalu. Bukankah memang perlu waktu jutaan tahun bagi angin untuk membentuk dinding karang menjadi onggokan batu yang mirip dengan sebuah perahu. Para nelayan memang hanya tahu perahu. Bulan sabit mereka hubungkan dengan perahu, gugusan bintang mereka hubung-hubungkan dengan cadik penyeimbang perahu, seolah-olah angkasa raya adalah ruang pelayaran bagi perahu-perahu seperti yang mereka miliki, bahkan atap rumah-rumah mereka dibuat seperti ujung-ujung perahu. Tentu, bagaimana mungkin kehidupan para nelayan dilepaskan dari perahu? Hayati masih terus menuruni tebing setengah berlari dengan pikulan air pada bahunya. Kakinya yang telanjang bagaikan mempunyai alat perekat, melangkah di atas batu-batu hitam berlumut tanpa pernah terpeleset sama sekali, sekaligus bagaikan terlapis karet atau plastik alas sepatu karena seolah tidak berasa sedikit pun juga ketika menapak di atas batu-batu karang yang tajam tiada berperi. “Sukab! Tunggu aku!” Di pantai, tiba-tiba terdengar derum suara mesin. “Cepatlah!” ujar lelaki bernama Sukab itu. Ternyata Hayati tidak langsung menuju ke perahu bermesin tempel tersebut, melainkan berlari dengan pikulan air yang berat di bahunya itu. Hayati berlari begitu cepat, seolah-olah beban di bahunya tiada mempunyai arti sama sekali. Ia meletakkannya begitu saja di samping gubuknya, lantas berlari kembali ke arah perahu Sukab. “Hayati! Mau ke mana?” Seorang nenek tua muncul di pintu gubuk. Terlihat Hayati mengangkat kainnya dan berlari cepat sekali. Lidah-lidah ombak berkecipak dalam laju lari Hayati. Wajahnya begitu cerah menembus angin yang selalu ribut, yang selalu memberi kesan betapa sesuatu sedang terjadi. Seekor anjing bangkit dari lamunannya yang panjang, lantas melangkah ringan sepanjang pantai yang pada pagi itu baru memperlihatkan jejak-jejak kaki Sukab dan Hayati. Perahu Sukab melaju ke tengah laut. Seorang lelaki muncul dari dalam gubuk. “Ke mana Hayati, Mak?” Nenek tua itu menoleh dengan kesal. “Pergi bersama Sukab tentunya! Kejar sana ke tengah laut! Lelaki apa kau ini! Sudah tahu istri dibawa orang, bukannya mengamuk malah merestui!” Lelaki itu menggeleng-gelengkan kepala. “Hayati dan Sukab saling mencintai, kami akan bercerai dan biarlah dia bahagia menikahi Sukab, aku juga sudah bicara kepadanya.” Nenek yang sudah bungkuk itu mengibaskan tangan. “Dullaaaaah! Dullah! Suami lain sudah mencabut badik dan mengeluarkan usus Sukab jahanam itu!” Lelaki yang agaknya bernama Dullah itu masuk kembali, masih terdengar suaranya sambil tertawa dari dalam gubuk. “Cabut badik? Heheheh. Itu sudah tidak musim lagi Mak! Lebih baik cari istri lain! Tapi aku lebih suka nonton tivi!” Angin bertiup kencang, sangat kencang, dan memang selalu kencang di pantai itu. Perahu Sukab yang juga bercadik melaju bersama cinta membara di atasnya. Pada akhir hari setelah senja menggelap, burung-burung camar menghilang, dan perahu-perahu lain telah berjajar-jajar kembali di pantai sepanjang kampung nelayan itu, perahu Sukab belum juga kelihatan. Menjelang tengah malam, nenek tua itu pergi dari satu gubuk ke gubuk lain, menanyakan apakah mereka melihat perahu Sukab yang membawa Hayati di atasnya. Jawaban mereka bermacam-macam, tetapi membentuk suatu rangkaian. “Ya, kulihat perahu Sukab menyalipku dengan Hayati di atasnya. Kulihat mereka tertawa-tawa.” “Perahu Sukab menyalipku, kulihat Hayati menyuapi Sukab dengan nasi kuning dan mereka tampaknya sangat bahagia.” “Oh, ya, jadi itu perahu Sukab! Kulihat perahu berlayar kumal itu menuruti angin, mesinnya sudah mati, tetapi tidak tampak seorang pun di atasnya.” Nenek itu memaki. “Istri orang di perahu suami orang! Keterlaluan!” Namun ia masih mengetuk pintu gubuk-gubuk yang lain. “Aku lihat perahunya, tetapi tidak seorang pun di atasnya. Bukankah memang selalu begitu jika Hayati berada di perahu Sukab?” “Ya, tidakkah selalu begitu? Kalau Hayati naik perahu Sukab, bukannya tambah penumpang, tetapi orangnya malah berkurang?” Melangkah sepanjang pantai sembari menghindari air pasang, nenek tua itu menggerundal sendirian. “Bermain cinta di atas perahu! Perbuatan yang mengundang kutukan!” Ia menuju gubuk Sukab. Seorang anak perempuan yang rambutnya merah membuka pintu itu, di dalam terlihat istri Sukab terkapar meriang karena malaria. “Waleh! Apa kau tahu Sukab pergi dengan Hayati?” Perempuan bernama Waleh itu menggigil di dalam kain batik yang lusuh, mulutnya bergemeletuk seperti sebuah mesin. Wajahnya pucat, berkeringat, dan di dahinya tertempel sebuah koyo. Ia hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala. Nenek tua itu melihat ke sekeliling. Isinya sama saja dengan isi semua gubuk nelayan yang lain. Dipan yang buruk, lemari kayu yang buruk, pakaian yang buruk tergantung di sana-sini, meja buruk, kursi buruk, dan jala di dinding kayu, berikut pancing dan bubu. Ada juga pesawat televisi, tetapi tampaknya sudah mati. Alas kaki yang serba buruk, tentu saja tidak ada sepatu, hanya sandal jepit yang jebol. Sebuah foto pasangan bintang film India, lelaki dan perempuan yang sedang tertawa dengan mata genit, dari sebuah penanggalan yang sudah bertahun-tahun lewat. Ia tidak melihat sesuatu pun yang aneh, tapi mungkin ada juga yang lain. Sebuah foto Bung Karno yang usang dan tampak terlalu besar untuk rumah gubuk ini, di dalam sebuah bingkai kaca yang juga kotor. Nyamuk berterbangan masuk karena pintu dibuka. Pandangan nenek tua itu tertumbuk kepada anak perempuan yang menatapnya. “Mana Bapakmu?” Anak itu hanya menunjuk ke arah suara laut, ombak yang berdebur dan mengempas dengan ganas. Nenek itu lagi-lagi menggelengkan kepala. “Anak apa ini? Umur lima tahun belum juga bisa bicara!” Waleh hanya menggigil di balik kain batik lusuh bergambar kupu-kupu dan burung hong. Giginya tambah gemeletuk dalam perputaran roda-roda mesin malaria. Nenek itu sudah mau melangkah keluar dengan putus asa, ketika terdengar suara lemah dari balik gigi yang gemeletuk itu. “Aku sudah tahu…” “Apa yang kamu sudah tahu, Waleh?” “Tentang mereka…” Nenek itu mendengus. “Ya, kamu tahu dan tidak berbuat apa-apa! Dulu suamiku pergi ke kota dengan Wiji, begitu pulang kujambak rambutnya dan kuseret dia sepanjang pantai, dan suamiku masuk rumah sakit karena badik suami Wiji. Masih juga mereka berlayar dan tidak pulang kembali! Semua orang yang melaut bilang tidak melihat sesuatu pun di atas perahu ketika melewati mereka, tapi ada yang hanya melihat perempuan jalang itu tidak memakai apa-apa meski suamiku tidak kelihatan di bawahnya! Mengerti kamu?” Waleh yang menggigil hanya memandangnya, seperti sudah tidak sanggup berpikir lagi. “Aku hanya mau bukti bahwa menantuku mati karena pergi dengan lelaki bukan suaminya dan bermain cinta di atas perahu! Alam tidak akan pernah keliru! Hanya para pendosa akan menjadi korban kutukannya! Tapi kamu rugi belum menghukum si jalang Hayati!” Mendengar ucapan itu, Waleh tampak berusaha keras melawan malarianya agar bisa berbicara. “Aku memang hanya orang kampung, Ibu, tetapi aku tidak mau menjadi orang kampungan yang mengumbar amarah menggebu-gebu. Kudoakan suamiku pulang dengan selamat—dan jika dia bahagia bersama Hayati, melalui perceraian, agama kita telah memberi jalan agar mereka bisa dikukuhkan.” Waleh yang seperti telah mengeluarkan segenap daya hidupnya untuk mengeluarkan kata-kata seperti itu, langsung menggigil dan mulutnya bergemeletukan kembali, matanya terpejam tak dibuka-bukanya lagi. Nenek tua itu terdiam. Hari pertama, kedua, dan ketiga setelah perahu Sukab tidak juga kembali, orang-orang di kampung nelayan itu masih membayangkan, bahwa jika bukan perahu Sukab muncul kembali di cakrawala, maka tentu mayat Sukab atau Hayati akan tiba-tiba menggelinding dilemparkan ombak ke pantai. Namun karena tidak satu pun dari ketiganya muncul kembali, mereka percaya perahu Sukab terseret ombak ke seberang benua. Hal itu selalu mungkin dan sangat mungkin, karena memang sering terjadi. Mereka bisa terseret ombak ke sebuah negeri lain dan kembali dengan pesawat terbang, atau memang hilang selama-lamanya tanpa kejelasan lagi. “Aku orang terakhir yang melihat Sukab dan Hayati di kejauhan, perahu mereka jauh melewati batas pencarian ikan kita,” kata seseorang. “Sukab penombak ikan paling ahli di kampung ini, sejak dulu ia selalu berlayar sendiri, mana mau ia mencari ikan bersama kita,” sahut yang lain, “apalagi jika di perahunya ada Hayati.” “Apakah mereka bercinta di atas perahu?” “Saat kulihat tentu tidak, banyak lumba-lumba melompat di samping perahu mereka.” Segalanya mungkin terjadi. Juga mereka percaya bahwa mungkin juga Sukab dan Hayati telah bermain cinta di atas perahu dan seharusnya tahu pasti apa yang akan mereka alami. Di pantai, kadang-kadang tampak Waleh menggandeng anak perempuannya yang bisu, menyusuri pantulan senja yang menguasai langit pada pasir basah. Kadang-kadang pula tampak Dullah yang menyusuri pantai saat para nelayan kembali, mereka seperti masih berharap dan menanti siapa tahu perahu cadik yang berisi Sukab dan Hayati itu kembali. Namun setelah hari keempat, tidak seorang pun dari para nelayan di kampung itu mengharapkan Sukab dan Hayati akan kembali. “Kukira mereka tidak akan kembali, mungkin bukan mati, tetapi kawin lari ke sebuah pulau entah di mana. Kalian tahu seperti apa orang yang dimabuk cinta…” Namun pada suatu malam, pada hari ketujuh, di tengah angin yang selalu ribut terlihat perahu Sukab mendarat juga, Hayati melompat turun begitu lunas perahu menggeser bibir pantai dan mendorong perahu itu sendirian ke atas pasir sebelum membuang jangkar kecilnya. Sukab tampak lemas di atas perahu. Di tubuh perahu itu terikat seekor ikan besar yang lebih besar dari perahu mereka, yang tentu saja sudah mati dan bau amisnya menyengat sekali. Tombak ikan bertali milik Sukab tampak menancap di punggungnya yang berdarah—tentu ikan besar ini yang telah menyeret mereka berdua selama ini, setelah bahan bakar untuk mesinnya habis. Hayati tampak lebih kurus dari biasa dan keadaan mereka berdua memang lusuh sekali. Kulit terbakar, pakaian basah kuyup, dan gigi keduanya jika terlihat tentu sudah kuning sekali—tetapi mata keduanya menyala-nyala karena semangat hidup yang kuat serta api cinta yang membara. Keduanya terdiam saling memandang. Keduanya mengerti, cerita tentang ikan besar ini akan berujung kepada perceraian mereka masing-masing, yang dengan ini tak bisa dihindari lagi. Namun keduanya juga mengerti, betapa bukan urusan siapa pun bahwa mereka telah bercinta di atas perahu cadik ini. Sabang, Desember 2006/ Merauke, April 2007.
""Cinta di Atas Perahu Cadik""
Amang oi! Kontan ia melonjak setengah berteriak. Induk jarinya pecah bercucur darah. Sambil menggendong tangan kirinya yang kebas, ia bergegas turun ke bawah. Mencari daun pagapaga untuk dikunyah, sesegera mungkin dilumurkan ke jarinya yang terbelah. Biasanya, pagapaga yang sudah bercampur ludah itu ampuh menyumpal luka yang merekah. Nian berhenti pula semburan darah. Tinggal menanggungkan denyutnya saja, seperti menahankan desakan puluhan jarum yang datang bergelombang menusuk ulu luka. Tentu perihnya yang meletup-letup itu akan mengombang-ambingkan tidurnya malam ini. “Istirahatlah kau dulu!” Boru Pohan memberi anjuran. “Iya, nanti tambah parah pulak luka kakak,” ujar Togu sambil mengelebatkan martil ke bongkahan batu. Tiurmiada baru saja memulai pekerjaan. Karungnya pun baru berisi sepertiga. Padahal, matahari yang melesat dari timur, sejengkal lagi melintasi kepala. Sesiang ini, Tiurmaida semestinya sudah menyelesaikan empat karung batu. Tapi satu karung belum genap, di jarinya seliang luka malah datang menyergap. Ia memang telat naik ke bukit. Tadi pagi Marsius mengamuk lagi. Baru beberapa langkah beranjak dari pintu, Tiurmaida mendengar lesatan umpat-serapah suaminya. Tiurmaida lalu berpaling langkah, menyurut sepasang kaki kembali ke rumah. Tadi, sebelum berangkat, ia sudah menyuapi Marsius. Bahkan selepas subuh Tiurmaida sudah memandikan suaminya, membersihkan kotoran Marsius yang basalemak di pisak celana, bahkan bercecer di sebagian badan. Lalu ia mengganti pakaian Marsius, juga menukar tikar tidurnya. Ya, Tiurmaida harus hati-hati melaksanakan rutinitas itu. Ia tidak boleh serampangan membuka-pasang gembok pasung. Ketika hendak memakaikan baju, ia cukup melepas kekangan di gelang tangan Marsius. Pun sebaliknya, melepas kaki yang terkunci jika hendak mengenakan celana. Tiurmaida begitu tekun mengurus Marsius. Meski Marsius tak tentu waktu melampiaskan gerutu, ia tak pernah sanggup membiarkan suaminya dalam keadaan kacau. Ia setia menghalau setiap amuk yang menyuruk ke tubuh Marsius. Kadang tengah malam ia harus beranjak dari tidur yang nyenyak demi mendiamkan Marsius yang berteriak-teriak. Marsius memang tidak leluasa bergerak, tapi sering gigitan Marsius hinggap di tangannya. Bahkan, selebam luka gigitan pernah mendidih di dada kiri Tiurmaida. Ketika itu, ia sedang menenangkan Marsius. Tiurmaida berupaya mendekap, tapi rahang suaminya lebih dulu meretap. Demi Tuhan! Sebetulnya Tiurmaida tak tega menyaksikan Marsius terlentang di atas dipan lapuk tak berkapuk dan dikekang beberapa balok dan rantai. Marsius tambah kurus. Matanya cekung, melengkung seperti sepasang sabit yang mencabik-cabik hati. Benar, terkadang tatapannya kosong bagai lorong teramat sepi. Tapi terkadang lorong itu menjadi dua tungku yang menyemburkan api. Dagu dan rahangnya seperti tebing curam, rapuh, dan penuh belukar. Tulang-tulang Marsius menonjol, membuat bagian tubuh yang lain seperti liang-liang kecil yang menganga. Punggungnya terkelupas karena sudah tergeletak kurang lebih tujuh bulan lamanya. Tapi apa hendak dikata, perangai suaminya tambah parah saja. Memasung Marsius adalah pilihan terbaik sekaligus menyesakkan bagi Tiurmaida. Ia sudah mendatangi banyak datu, orang pintar yang dianggap sakti di kampung itu. Namun, hasilnya nol beku. Beberapa datu di kampung tetangga juga sudah dikunjungi. Lagi, harapan sembuh belum terpenuhi. Tapi selalu ada kekuatan lain yang membikin Tiurmaida bertahan. Selagi bersama Marsius, dadanya ibarat danau lapang yang siap menampung segala kepedasan hidup. Ia memilih tetap merawat suaminya meski akhir-akhir ini keluarga Baginda Paruhuman sering membujuknya agar meninggalkan Marsius. Dua hari lalu—entah yang keberapa kali—ibunya kembali datang. “Apalah salahnya kalau kau menikah lagi.” “Keputusan itu sudah kupikirkan masak-masak, Bu.” “Masih muda kau itu, Tiur.” “Iya. Tapi tak mau aku mangidolong!” “Pikirkanlah sekali lagi.” Tapi Tiurmaida menjawab dengan gelengan yang tegas. Ia tidak mau mangidolong meskipun itu diperkenankan hukum kampung. Berdasarkan isyarat adat, istri pantang meminta cerai. Andai terpaksa, mangidolong adalah satu-satunya jalan agar keinginan istri untuk berpisah dapat terwujud. Biasanya istri lari ke rumah orangtuanya. Dengan begitu, keluarga pihak suami akan mendatangi keluarga pihak istri. Maka, digelarlah mufakat, mengalirlah nasihat-nasihat agar suami istri yang bertikai kembali seangguk sepakat. Tapi jika istri menolak, terpaksa pihak suami menyodorkan talak. Namun, Tiurmaida kukuh pada pendiriannya, tidak untuk mangidolong! Sebab itu hanya memuluskan perjodohannya dengan anak namboru, anak dari saudara perempuan Baginda Paruhuman. Tiurmaida menolak rencana itu bukan karena lelaki bernama Ali Tukma itu duda beranak tiga, tapi karena ia masih tulus mencintai Marsius. Lagi pula, ia tidak sedang bertengkar dengan Marsius. Iya, terus terang keinginan untuk menikah lagi sering memercik di keruh pikirannya. Ia masih muda! Usianya tiga puluh dua. Tapi setiap mengenang segala pahit-manis kebersamaannya dengan Marsius, keinginan yang hinggap itu seketika lenyap. Tentu Tiurmaida tahu segala risikonya dan ia siap menanggung itu. Ia sudah terbiasa menahankan beling perih sebuah risiko. Bukankah risiko yang mengintai ketika ia memutuskan menikah dengan Marsius. Ah, berkait kepedihan masa lalu masih menancap di sembab ingatannya. Orangtuanya terang-terangan menentang Marsius sebagai calon menantu. Ketika itu, serapah apa lagi yang belum limpah? Padahal, menurut Tiurmaida, alasan penolakan keluarganya terlampau mengada-ada. Ya, hanya bersebab dendam lampau ketika lamaran ayahnya pernah ditolak mendiang ibu Marsius. Namun, meski kelak tercampak dari keluarga, Tiurmaida tetap berkeras memilih Marsius. Tekad sudah demikian padat. Marsius dan Tiurmaida nekat marlojong, kawin lari! Dan keluarga Baginda Paruhuman murka ketika mengetahui anak gadisnya raib. Apalagi ketika mereka menemukan abit partading di bawah bantal Tiurmaida. Itulah seperangkat bakal baju, sepucuk surat, dan sejumlah uang sebagai pemberitahuan bahwa seorang gadis telah berketetapan hati menikah dengan pilihannya. Lazimnya, selang beberapa hari, utusan keluarga laki-laki akan mendatangi keluarga perempuan. Mereka bertamu untuk memberi tahu ulang peristiwa marlojong, selanjutnya merembukkan rencana pernikahan secara adat dan agama. Tapi Baginda Paruhuman tak memberi kesempatan kepada utusan keluarga Marsius untuk duduk bersila di dalam rumahnya. Berarti ia tetap tak merestui Tiurmaida. Namun, apa boleh buat, pernikahan harus dilaksanakan meski tanpa kehadiran ayah dan ibu Tiurmaida. Soal izin dan wali nikah, peraturan adat melimpahkannya kepada uda Tiurmaida—adik laki-laki ayahnya. Marsius dan Tiurmaida pun sah menjadi suami istri. Mereka menyusun cita-cita dan mimpi, pengin punya anak sebagai pelipur hati. Penuh harap pula mereka, kelak kehadiran anak akan melunakkan hati ayah dan ibunya. Tapi keinginan itu layaknya selengkuk busur yang memuntahkan ribuan panah ke tengkuk Tiurmaida. Bayangkan, sembilan tahun berumah tangga, mereka tak juga dikaruniai anak. Maka, harapan untuk mengait simpati keluarga adalah mimpi yang terbengkalai. Malah orangtua dan sanak famili terus menghunus cibiran: “Lihatlah, kutukan telah berlaku bagi Tiurmaida anak durhaka. Ia tak melahirkan anak meski seorang saja!” Ois, dengan susah payah Tiurmaida dan suaminya mengasah kesabaran. Tak patah arang mereka pergi kian kemari. Harta warisan milik Marsius: sawah dan ternak, habis digadai demi keinginan memangku anak. Berobat kampung sudah dijalani, tak terbilang bidan yang mereka datangi. Mereka berulangkali pulang pergi ke rumah sakit di Sidimpuan—dari kampung sekitar satu setengah jam naik mobil sewa. Tapi hasilnya berbuah hampa, bahkan belakangan dokter menyatakan rahim Tiurmaida bermasalah! Itulah vonis yang mengiris. Namun, Tiurmaida harus tahu diri. Ia menyilakan Marsius memberi talak demi menikahi perempuan lain dan punya anak. Namun, mentah-mentah suaminya menolak sembari bersumpah tidak akan meninggalkannya. Tiurmaida terharu, tapi juga resah. Ia pasrah, hampir menyerah. Tapi ketika hasrat mulai terkulai, saat gontai kaki hendak menjejak nganga ngarai, bertiuplah sebuah anugerah ke perut Tiurmaida. Tuhan Maha Besar, ia hamil! Betapa luar biasa kegembiraan Tiurmaida dan Marsius menyambut hadiah Tuhan itu. Apalagi setelah anak tersebut lahir dengan sehat. Anak laki-laki, namanya Maramuda. Memang, pancaran kebahagiaan tetap mengguratkan keperihan. Mengapa? Karena keluarga besar Baginda Paruhuman tak ambil bagian dalam bingar kegembiraan itu. Malah, bukan ucapan sukacita yang mengalir ke telinga Tiurmaida, melainkan gumpal kalimat berbalut pecahan kaca. Begitu legam kiranya dendam ayah dan ibunya. O, semudah itukah memutuskan tali darah antara orangtua dan anak? Berpekik-pekik ia dalam hati. Tapi ampun, hantaman yang lain kembali meremukkan dada Tiurmaida. Maramuda meninggal ketika usianya baru dua tahun tiga bulan! Pusaran air yang menyintak Maramuda dari lengan Marsius saat mereka mandi ke sungai. Oihda, mengapa selekas itu Maramuda pergi? Tiurmaida pun lelap dalam ratap. Pedih! Tapi inilah alur takdir yang musti diarungi Tiurmaida. Ia berupaya percaya, bahwa segala peristiwa senantiasa merindangkan pohon hikmah. Meski ia tak tahu kelezatan apa yang kelak dicecapnya. Ia hanya tahu, kalau kematian Maramuda membikin Marsius terpukul. Itukah yang menyebabkan suaminya sering menangis sendiri, bicara sendiri, dan tertawa sendiri? Marsius pun mulai lupa dengan dirinya sendiri, lupa istri sendiri, lupa pula bahwa ia sudah tak punya anak lagi. Rasa cemas selalu mendebarkan Tiurmaida. Mengapa tidak? Tabiat Marsius makin tak terkendali. Ia sering merampas anak-anak kecil—seumur Maramuda—dari gendongan para ibu di kampung itu. Karena ulahnya, tak jarang Marsius harus terperosok ke dalam kekalapan warga kampung. Marsius dilempar, dihajar, dan terkapar. Ia direndam ke lumpur sawah, lalu dipulangkan sambil memanggul luka yang parah. Peristiwa itu tidak sekali dua kali terjadi, dan akhirnya menuntun Marsius menikung ke sebalik pasung. Tapi Tiurmaida harus tabah, apalagi ketika seketip harapan datang menyelip. Iya, belakangan ini keluarganya—terkhusus ibunya—sering berbelok ke rumahnya. Meski baginya itu terlambat, ia tetap bersyukur. Ia sedikit lega dan berusaha untuk tidak tersungkur ke kolong kesumat. Apalagi ketika ibunya tak pernah penat bernasihat, juga tak henti meniupkan bergumpal semangat ke rompal hidupnya. Namun, seiring itu, kekecewaan berjuntai pula di ranggas pikirannya. Rupanya, kebaikan keluarga Baginda Paruhuman berhilir kepada perjodohannya dengan Ali Tukma. Kini karung keenam. Paling tidak ia bisa menuntaskan satu dua karung lagi, sebelum hari benar-benar terjerembap ke kubang gelap. Di sekitarnya, batu-batu—sepangkal paha—hasil longsoran terbaru masih tersisa beberapa onggok lagi. Berarti sepekan ke depan, ia masih mempunyai kesempatan menukarkan tenaganya dengan uang. Tiurmaida tersenyum, lalu menatap cahaya buram yang menyala di rumah Marolop. Itulah satu-satunya rumah di kawasan pinggang bukit itu. Marolop mandor para pemecah batu. Ia yang menampung serpihan batu-batu, sebelum mengirimnya dengan truk kepada para pemesan di Sipirok atau di Sidimpuan. Lelaki itu pulalah yang membayarkan upah sesuai jumlah karung yang diselesaikan. Seusai magrib, biasanya Marolop turun ke kampung, menghabiskan dua pertiga malam di kedai kopi sambil berjudi. Maka, Tiurmaida harus lekas menyelesaikan pekerjaannya, lalu menyeret karung-karung itu ke hadapan Marolop. Kalau tidak, ia akan kehilangan Marolop. Dan Tiurmaida mesti menunggu besok untuk memperoleh upah hari ini. Padahal, upahnya bakal lebih sedikit dari hari sebelumnya. Biasanya Tiurmaida sanggup mengerjakan dua belas karung batu dalam sehari. Sekarung batu imbalannya sembilan ratus rupiah, berarti ia akan mengantongi upah hampir sebelas ribu per hari. Namun tidak untuk kali ini. Sebab, sepetang ini baru lima karung yang berisi. Itu pun dikerjakan sambil menahankan sayatan-sayatan kecil di induk jarinya yang anyir. Teman-teman Tiurmaida, satu-satu berangsur pulang ketika mendung mengapung dari celah bukit. Beberapa malam terakhir, lebat hujan dan kesiur angin berjam-jam mengepung kawasan bukit dan kampung. Tapi malam ini Tiurmaida sepertinya akan terus mengayunkan martil, terus memecah batu-batu dengan sisa kekuatan. Sesekali ia betulkan letak tudung kain di kepalanya. Angin yang meluncur deras dari pundak bukit yang koyak kadang menggigilkan tulangnya. Tapi wajah Marsius yang memintas-mintas di serambi kenangan, mengembuskan kehangatan baru ke tubuhnya. Sesekali Tiurmaida menghela napas, meluruskan lengkung punggung sambil mendongak ke atas. Perlahan ia perhatikan langit membentuk payung raksasa berwarna pekat. Petir menggelegar, kilat membelah udara. Segeliat lagi terompah waktu akan menginjak pangkal malam. Ia menoleh ke belakang, menyaksikan barisan bukit tandus seperti berpenggal kepala yang berantakan. Sorot mata Tiurmaida berpindah ke arah depan, ia pandangi sembul cahaya dari rumah- rumah penduduk di kaki bukit. Ah, indah! Dari jauh semacam kilau danau. Apalagi ketika hujan terburai dari perut langit, bilah-bilah air yang dipantuli cahaya seperti percik kembang api. Entah karena keindahan itu, hujan yang berkelebat dalam gelap tak menciutkan nyali Tiurmaida. Padahal, tubuhnya berkelambu hujan. Tangannya menebal, tapi ou, mengapa tak mampu memental kengiluan yang menerobos luka induk jarinya. Tiurmaida menggeletar, tapi kian erat genggamannya pada martil. Rahangnya berdetap, tapi ayun tangannya tetap menetak batu. Deru hujan, desir angin, sentak petir, juga denting batu-batu ibarat lagu-lagu yang meneguhkan semangatnya. Tapi dari arah bukit, samar-samar terdengar lagu aneh yang menyusup ke telinga Tiurmaida. Ia tidak paham kalau lagu itu bernada gemuruh. Aduh! Medan, 2005-2006
""Tiurmaida""
Jalan setapak di tepi Alas Tua terus mendaki, licin, rimbun, dan sunyi. Salma menelusuri jalan setapak, sehabis diguyur hujan siang tadi. Ia melintasi tepian Alas Tua, hutan di tepi kota. Kandungannya membesar. Tinggal hitungan hari ia melahirkan. Perjalanan ke makam kedua orangtuanya kali ini didorong keinginan yang aneh tiap jengkal tanah. Dinikmatinya debur dada penuh harap. Ia ingin melahirkan anak lelaki yang tampan, yang memiliki rekah senyum menawan. Ia terus melangkah di antara jalan setapak, di bawah pohon-pohon mangga yang merimbun, dengan kuncup-kuncup daunnya yang hijau muda kemerahan. Perempuan bunting itu tak mengenal rasa takut, malah memancarkan daya pikat yang kuat, pada senja berkabut. Senja melarutkan kesenyapan jadi detak harapan bagi perempuan bunting itu. Senyap senja menelannya jadi perempuan terselubung bayang-bayang pengharapannya sendiri. Ia takjub terhadap bayi yang diangankan lahir sebagai lelaki tampan. Seorang lelaki muda, betapa tenang, memandangi Salma. Lelaki muda itu duduk di sebuah batu besar, di bawah pohon mangga. Di tangannya tergenggam buah mangga yang ranum jingga. “Boleh kuminta buah mangga itu?” pinta Salma. Tergiur. “Ini satu-satunya buah mangga yang berbuah di hutan ini. Kalau kau minta, aku tak punya lagi.” “Demi bayi yang kukandung, berikan buah mangga itu.” “Kalau kau makan buah mangga ini dan bayimu lahir lelaki, pasti tampan dan memikat!” “O, aku suka anak lelaki yang tampan dan memikat.” “Tapi kau tak kan bisa melupakanku.” Termangu, lama terdiam, Salma menerima buah mangga itu dan bergegas memasukkannya dalam tas. Ia buru-buru meninggalkan lelaki muda yang tak pernah dikenalnya. Saat ia menoleh, lelaki muda itu sudah raib. Ia tak lagi bisa lupa wajah lelaki muda yang menjulurkan buah mangga padanya. Hari keburu berkabut, dan ia harus segera mencapai makam orangtuanya sebelum gelap. Ia mesti menabur bunga di makam ayah ibunya. Di kuburan itu peziarah sesekali datang dan pergi, dan lenyap dalam pekat pohon-pohon kamboja. Sungguh aneh, bagi Salim, saat memandangi Salma, istrinya, yang memancarkan cahaya pada wajahnya. Ia tak berani menatap wajah bercahaya itu terlalu lama. Sebelumnya, ia selalu memandangi wajah itu dengan teduh. Wajah Salma memang selalu tampak bening. Menyejukkan, tapi kini tampak serupa bintang yang memancar dari langit tanpa tepi, jauh, tak terjangkau. Ada keangkuhan yang menyelubungi wajah perempuan itu. Tiap kali memandangi wajah istrinya, ia merasa teraniaya. Ia bukan lagi menjadi bagian dari kecemerlangan cahaya wajah Salma. Cahaya wajah itu mengasingkannya. Cahaya wajah yang membenamkannya dalam lumpur. Aneh. Sepulang Salma dari makam orangtuanya, dan makan buah mangga pemberian lelaki di Alas Tua, selalu saja ia memancarkan cahaya wajah secerah matahari rekah. “Dari mana kau dapat buah mangga itu, Salma? Ini belum musim,” tegur Salim. “Seseorang telah memberiku. Kalau anak kita lahir lelaki, dan ganteng, katanya.” “Bagaimana mungkin?” “Wajahnya akan selalu bercahaya.” Salim tak bisa memahami perilaku istrinya yang senantiasa memandangi cermin, mengusapi wajahnya, dan seakan wajah itu kian bercahaya setiap pagi. Wajah yang memancarkan harapan. Salim cemburu dengan harapan yang memancar dari wajah istrinya. Tapi kenapa ia makin merasa asing dengan perempuan bunting itu? Ia merasa telah terhalang tabir yang menjauhkannya dari perempuan itu. Salma kian cantik, kian rekah senyum terpendam dalam bibirnya. Keringat yang mengucur dari pori-pori perempuan itu harum. Ia merindukan pekat bau keringat istrinya selama ini, juga kecantikan yang ramah, pandangan mata yang teduh. Ia kian merasa bila Salma bukan lagi menjadi miliknya. Salma telah menjelma pribadi yang asing, yang sama sekali tak dikenali sebelumnya. Takjub dan hampir tak percaya, ketika Salim memandangi wajah anak lelakinya: tampan dan bercahaya. Sewaktu pertama kali ia menimangnya, usai subuh, ia tak menduga, inikah anak lelakinya? Anaknya yang pertama, yang dinanti kelahirannya dengan dada yang berdegup cemas. Bayi itu berkulit bersih, halus, dan lembut. Salma senantiasa berbincang-bincang dengan bayinya. Tak sekejap pun bayi lelaki itu berpisah dari Salma. Pada saat bayi itu bisa membuka mata, tampak sepasang matanya jenaka. Mata yang jernih. Bila pagi ia berceloteh. Berdua, Salma dan bayi itu, bercengkerama. Salim merasa tersia-siakan. Kehilangan perhatian Salma. Lambat-laun Salim merasa sendirian, meski mereka bertiga di rumah. Salma tak lagi mengajaknya berbincang-bincang. Salma begitu asyik dengan bayi lelakinya. Terkesan tak memerlukan siapa pun. Pada saat Salma mengemasi seluruh pakaiannya, barulah Salim tersentak. Ia tak paham, apa yang bakal dilakukan istrinya. Kopor-kopor pakaian itu dimasukkan dalam bagasi mobil. “Kamu mau ke mana?” tegur Salim, tak paham. Ia tak pernah menemukan perilaku Salma yang aneh serupa ini. “Aku mau menempati rumah peninggalan orangtuaku. Hidup berdua dengan anakku.” Tertegun, Salim memandangi Salma yang sibuk. Dia tak pernah menduga, Salma benar-benar berniat meninggalkannya. “Aku tak mungkin hidup bersama lelaki yang berwajah murung.” “Jadi, karena wajahku murung, kau meninggalkanku?” “Wajahmu begitu beku, tanpa gairah!” Salim merenung: wajah yang murung—seperti yang selalu dikatakan Salma dulu—telah menjadi tabir penghalang. Dulu, sebelum mereka menikah, Salma memang pernah mengeluh, wajah Salim terlalu murung, muram, tanpa gairah. Tapi bukankah Salma tak pernah mempersoalkannya? Salma menerima segala hal yang ada pada dirinya, sampai perempuan itu hamil tua, dan pergi ke makam orangtuanya. Dia pulang dengan ketakjuban memakan buah mangga, seiris demi seiris, dan sangat enggan membuang bijinya ke tempat sampah. Salma menolak, saat Salim ingin mengantarkannya. Perempuan itu menampakkan kegairahan saat meninggalkan rumah Salim yang kusam dan melapuk. Ini rumah yang dibeli Salim dengan susah payah, dengan berhutang, dan masih bertahun-tahun akan lunas. Memang sejak awal mula Salma menempati rumah ini, ia tampak bimbang. Ia kelihatan tertekan, dan Salim tahu, istrinya memaksakan diri untuk tinggal di rumah tua, di perkampungan pinggir kota. Salma sempat mengajukan permohonan pada Salim, agar mereka tinggal di rumah warisan orangtuanya—sebagai anak tunggal yang kini yatim piatu. Rumah itu dikosongkan, sungguh sayang karena luas, dengan empat kamar besar, ruang tamu, ruang makan, dapur, dan halaman tempat bocah-bocah bermain. Tiba di rumah warisannya, Salma turun dari mobil, menggendong bayi mungil dan menciuminya. Yang paling menggetarkan, bagi Salma, saat ia berada di ruang tamu, memandang lukisan (mengenai) ayah dan ibunya. Lukisan dengan pancaran wajah yang menakjubkan. Selalu saja ia memandangi wajah ayahnya yang cemerlang, penuh harap. Dan wajah ibunya yang bijak. Di rumah inilah Salma mencari masa lalunya. Semenjak bayi hingga ibunya meninggal, pada umurnya yang remaja, ia hidup dengan Ayah—yang kelak ia tahu, ayahnya menolak untuk menikah lagi. “Kau tak usah cemas, aku tak akan menikah lagi.” Memang ayahnya tak lagi menikah, meski sempat sangat dekat dengan seorang gadis belia. Dari keseluruhan sosok gadis itu, yang paling memikat—menurut Ayah—wajahnya yang bersih, wajah yang memantulkan ketulusan hati. Tapi ayah memenuhi janjinya: tidak menikah dengan siapa pun hingga meninggal. Salma menikah dengan Salim, lelaki berwajah kuyu—seorang pegawai kecil, dengan gaji pas-pasan. Tinggal di rumah kecil, kusam, dan berhimpit-himpit dengan rumah tetangga. Betapa susah payah ia harus meletakkan mobil kesayangannya, karena pelataran yang sangat sempit. Belum juga Salma bersua lelaki tampan, dengan wajah jernih, bercahaya, yang berdiam di Alas Tua. Salma tak lagi melihat kekuatan yang lain, yang bisa meruntuhkan hatinya untuk bersua lelaki tampan itu. Tiap sore ia melintas tepian Alas Tua, berziarah ke makam orangtuanya. Tapi, sungguh, tak sekejap pun ia bersua lelaki itu, meski cuma bayangan. Bahkan bertemu lelaki itu dalam mimpi pun, ia tak pernah. Sungguh aneh, Salma tak bisa membebaskan diri dari wajah lelaki tampan pemberi buah mangga. Wajah yang jernih, tulus. Ia takjub dan terjerat pada wajah lelaki itu. Salma tak peduli, orang-orang yang memandanginya saat ia berdiam lama-lama menjelang gelap malam di tepi Alas Tua. Mengharap seorang lelaki tampan bakal muncul, mendekatinya. Di batu besar di bawah pohon mangga itu, Salma tak menemukan siapa pun. Hanya sebongkah batu. Orang-orang itu memandangi Salma yang berdiri terpaku di depan sebongkah batu. Mata mereka mencemooh. Tapi Salma tak peduli. Haruskah, pikir Salim, Salma meninggalkannya dan tak kembali, hanya untuk mengikat seorang lelaki dengan wajah jernih, memancarkan pesona, yang lenyap dalam pekat Alas Tua? Benarkah pencaran wajah lelaki tampan pemberi buah mangga itu telah mengalahkan segala hal, termasuk kesetiaan dan harapan? Salim cemas, bahkan gemas, lantaran wajahnya yang mengeruh, dan bukannya semakin jernih. Malah kian kotor dan belakangan mulai berkerut samar. Ia malas bercermin, melihat sendiri wajah letih yang memantul di hadapannya. Ia tak lagi bisa menatap wajahnya dengan kerelaan. Tiap kali ia menatap cermin, tampak wajahnya yang serupa abu dalam tungku mati, yang luruh. Ia makin membenci lelaki tampan dengan wajah indah yang dicari Salma. Ia ingin menemukan kembali jalan hidup bersama istrinya. Tapi bagaimana caranya? Sesuatu tumbuh di tempat sampah, rekah dari biji mangga yang mengering. Batang menjulur dari rekah biji mangga, puncaknya diteduhi dua lembar daun yang terjuntai, hijau muda kemerahan. Salim tertegun, memandangi rintik gerimis yang mengayun-ayunkan daun itu. Masih rembang pagi, dan tunas pohon mangga itu menjadi daya pikat yang menggetarkan hati lelaki itu. Ia merasakan kegugupan yang penuh harap. Pohon mangga yang tumbuh itu, bukankah dari biji mangga yang dimakan Salma? Salim menanam pohon mangga itu di sudut pelataran, dengan harapan, Salma bakal kembali suatu ketika kelak. Pohon mangga itu bakal menjadi besar, dan rimbun—entah berapa tahun lagi, kelak, dan tentu akan berbuah. Ia merasakan desir harapan dari dalam dadanya. Dorongan hati yang aneh, menggugupkan, saat Salma menapaki jalan berumput ke makam orangtuanya. Lewat tepian Alas Tua, Salma berharap bertemu dengan lelaki muda pemberi buah mangga ranum saat ia mengandung. Ia melewati jalan setapak, di bawah batang-batang pohon yang meranggas—yang terbakar semalam—dan suara gergaji mesin, truk-truk, traktor, begu, dan lelaki-lelaki kekar penebang pohon. Alas Tua lenyap dalam sekejap. Akankah tumbuh sebuah kota dan pusat perbelanjaan? Salma menggigil, mencari-cari dalam kabut basah, di mana lelaki tampan dengan senyum rekah menawan itu. Salma melihat samar bayangan tubuh lelaki tampan itu, di bawah kilau bulan, berdiri di antara batang-batang pohon ranggas terbakar, tersenyum. “Kalau kau ingin menemuiku, carilah di rumah suamimu. Di sana tumbuh pohon mangga, dari biji yang kau makan dulu.” Kilau bulan tersangkut di pucuk-pucuk ranting pepohonan hutan ranggas. Salma tergetar. Memandangi lelaki tampan yang menghilang, lenyap dalam semak-semak perdu terbakar. Kilau rembulan begitu tajam menerawang gaun Salma, dan ia melangkah bimbang: akankah segera kembali pada suami? Pandana Merdeka, Mei 2007
""Pohon Mangga Alas Tua""
Tak ada kepak gagak di Compton yang selalu menguarkan bau sampah busuk, anggur murahan, dan bangkai manusia yang disembunyikan di ghettos atau rumah-rumah besar yang mengonggok tanpa lampu. Juga tak ada salju atau angin santer yang membekukan tiang listrik atau menggigilkan para negro yang sedang menari acakadut atau menyanyikan rap keras-keras di sembarang trotoar malam itu. Tetapi di kota yang seakan-akan tak pernah disentuh tangan Kristus itu, aku justru senantiasa mendengarkan jerit burung kematian memekik tak henti-henti sepanjang hari. Selalu terdengar berondongan peluru dan siapa pun menganggap letusan-letusan itu hanya sebagai derit mobil yang direm mendadak oleh pembalap kampungan. Selalu ada bisik-bisik transaksi kokain, morfin, ganja atau hasis, tetapi segala desis hanya terdengar sebagai siulan rahasia kanak-kanak untuk mengajak geng kecil mereka mengintip percumbuan sepasang kekasih di kegelapan taman. Tentu pada Mei yang dipenuhi perkelahian-perkelahian sia-sia antara para petarung Meksiko dengan orang-orang negro, seharusnya aku tak perlu menggigil kedinginan, tetapi selalu saja kurasakan salju seperti membungkus tubuhku saat melakukan patroli di kawasan kumuh yang tak pernah dilewati mobil Paris Hilton atau jejak kaki Pamela Anderson ini. Dan musim semi yang tak menebarkan jutaan ulat juga kerap membuatku gatal saat aku mulai menyuruk-nyuruk ke gang-gang gelap penuh grafiti. Aku jadi mengidap psikosomatik akut dan setengah lumpuh sebelum menembakkan pistolku kepada siapa pun yang ingin mengacau keamanan dan ketertiban Los Angeles County. Celakanya, sebagai deputy sheriff atau dulu saat masih menjadi polisi, aku tak mungkin menghindar dari jerat celaka kota tanpa malaikat ini. Andai saja Grace, kucing jelita bergaun biru yang kerap mencakar punggung saat bercinta denganku, tak tinggal di salah satu apartemen kumuh di pusat Compton, tak sudi aku menginjak neraka yang mengingatkan aku pada carut-marut pinggiran Jakarta yang dihuni ribuan zombi berwajah celeng atau babi. Juga andai kata J Morgan—raja geng berkulit hitam arang yang senantiasa mengejekku sebagai herder busuk—tak bersembunyi di labirin membingungkan yang bertebaran di sini, tak akan mau aku kelayapan malam-malam di tengah-tengah berondongan peluru, dengus orang mabuk, dan celometan orang-orang yang tak lagi menganggap sinar bulan di pucuk katedral sebagai aurora harapan. “Ayolah, Grace, tinggalah di apartemenku. Keluarlah dari neraka busuk ini,” kataku setelah yakin hendak meminang perempuan blasteran Afrika-Meksiko itu tiga tahun lalu. “O, Tito, Sayang, kota ini memang tak indah bagimu. Tapi di jalanannya yang riuh dengan rap dan gedebuk para penari, aku menulis grafiti jorok dan meneriakkan keinginan-keinginan kaumku yang melarat dan tak punya harapan,” desis Grace mirip para politikus saat berpidato. Tak ingin mendebat omelan instruktur penari nudis yang kukenal di Sunset Boulevard itu, aku justru terkenang pada masa kecilku di Alas. Sampai seusia Sinchan, aku memang tinggal di kota kecil penuh sungai yang menghubungkan Semarang dan Solo itu. Di tengah-tengah hutan karet yang tak bisa kau lihat dalam peta Indonesia, aku bahkan pernah jadi gali kecil yang suka mencekik kucing di hadapan teman-temanku. “Kalau saja tidak diungsikan ke Los Angeles oleh Oma-mu, aku yakin kau juga tak akan meninggalkan kota kelahiranmu, Tito. Kau mungkin tak jadi polisi. Kau mungkin akan jadi penjahat paling busuk di kotamu.” Meskipun segala yang dicelotehkan Grace setengah ngawur akibat martini yang ditenggak tak kunjung henti, sekali lagi aku tak berusaha mendebat. Pada saat-saat semacam itu Grace seperti menjelma cermin yang bisa memantulkan segala yang pernah kulakukan di sungai yang mengalir di belakang rumah. Aku ingat pada perahu-perahu kertas yang kuhanyutkan. Aku terkenang pada rakit-rakit pohon pisang yang meluncur tak keruan. Aku juga tak lupa pada setiap Sabtu sore dari berbagai lubang di sepanjang sungai muncul ular-ular yang melesat cepat ke gerojokan. Tapi tak ada sungai ular di Los Angeles. Tak ada juga hutan karet di tengah-tengah gedung tinggi. Bahkan dari apartemen Oma, aku nyaris tidak pernah melihat bulan. Meskipun demikian, Oma berusaha memberikan segala yang kuinginkan lewat televisi. Di televisi, aku bisa melihat salju yang mulai meleleh di bukit-bukit atau bulan yang tampak sebagai tampah kecil di ujung langit. Di televisi pula aku bisa menyaksikan para polisi atau sheriff dihajar oleh para penjahat di Compton, tetapi selalu menang setelah bala bantuan dari markas besar muncul menggasak bandit-bandit yang kadang-kadang hanya bersenjata pisau berkarat atau pentungan. Aha! Televisi pula yang menjadi ibu sejati yang selalu berbisik di telingaku menjelang tidur, “Ayo, Tito, jadilah polisi. Gasak setiap maling. Pukul kepala bodoh mereka dengan pentungan baseball. Tembak punggung mereka kalau terbirit-birit melarikan diri saat kau kejar.” Tetapi Grace selalu tak membiarkan aku menerawang jauh ke kota kelahiran, tempat ayah dan ibuku diculik tentara pada 1979 yang perih hanya karena mereka dianggap bersekongkol dengan para pejuang prodemokrasi dan neokomunis yang sedang bergerilya di Jakarta. Selalu pada saat-saat aku begitu ingin menikmati kesunyian—yang celakanya hanya bisa kuciptakan di kepalaku—ia selalu memelukku dari belakang, memberi gigitan kecil di telinga yang memabukkan, dan membisikkan kata-kata cinta serupa mantera serupa doa Kristus sebelum serdadu menusukkan lembing di lambung ringkih, sebelum langit tersaput awan hitam. “Ayolah, Sayang, tak usah kau paksa aku meninggalkan kota yang selalu kau bayangkan sebagai neraka ini. Anggap saja aku ini bidadari busuk atau kucing biru dari ghetto Compton. Anggap saja aku bulan yang kau rindukan di sela-sela kegelapan gedung-gedung rusak yang ditinggalkan oleh orang-orang kaya yang kini melesat ke mana-mana dengan limosine di jalanan Los Angeles yang serba tertib dan beku…. O, kenapa kau diam saja, Sayang? Bukankah kau menyusup ke kamarku hanya untuk bercinta sambil bersama-sama mengintip orang-orang yang berkasak-kusuk di gang-gang sempit dari jendela? Bukankah sambil menggasak telingaku, kau akan selalu mengatakan padaku salju akan turun di Compton saat kau meminangku? Mengapa kau menipuku, Tito? Mengapa tak kau pindahkan saja musim dan bukit-bukit di sekitar Danau Tahoe ke ghettos busukku agar kita benar-benar merasakan keindahan salju?” Aku menyesal selalu tak menjawab berondongan pertanyaan Grace dengan baik atau sedikit serius. Selalu saja kurespons kalimat-kalimat yang kuanggap konyol itu dengan ciuman panjang dan bisikan-bisikan gombal tentang sepasang malaikat yang bakal hidup sepanjang zaman tanpa perlu katedral tanpa perlu nabi atau Tuhan. Kau pun akhirnya tahu itulah dengus cinta terakhir Grace yang diucapkan padaku sebelum tubuhnya diberondong tembakan membabi buta oleh penembak misterius yang menganggap penari ringkihku itu sebagai mata-mata polisi. Rupa-rupanya para anggota geng yang kerap mengklaim sebagai juru selamat atau Robinhood bagi orang miskin tak bisa menerima warga Compton mana pun bercinta dengan polisi. Polisi—lebih-lebih berkulit bewarna—bagi mereka adalah iblis yang harus dilenyapkan dengan cara-cara yang paling tidak terhormat. Menurut mereka, di luar orang- orang kulit putih, seharusnya setiap orang bersaudara dan tak perlu saling mengancam. Dan dalam kasusku, karena dianggap sebagai pengkhianat, mereka menyiksaku dengan cara membunuh kekasihku terlebih dulu. Lebih brengsek lagi Grace tidak punya kesempatan mengungkapkan dying declaration saat aku bersama Gabriel Lee, rekan kerjaku, menyusup ke kamarnya yang berantakan oleh berondongan peluru. Dengan tubuh penuh kucuran darah, dia memang masih bisa merangkul dan menggerak-gerakkan jari jemarinya di punggungku, tetapi saat kutanya siapa yang melakukan perbuatan biadab itu, mulut Grace seperti terkunci. “Ayo, katakan kepadaku, siapa yang menembakmu, Sayang?” teriakku setengah menangis. “O, my God, please, jangan keburu melihat surga, Grace! Katakan pada kami siapa yang melukaimu?” pekik Lee—yang sering kuanggap sebagai malaikat pelindungku—kesetanan. Tetap tak ada jawaban. Lima belas detik yang berharga lenyap begitu saja. Ya, dying declaration, ungkapan 15 detik Grace menjelang kematian yang bisa dipakai untuk menangkap atau melakukan penggeledahan tanpa warrant itu benar-benar hanya tersangkut di tenggorokan. Coba kalau saja ia mengatakan bahwa Morgan-lah yang menghabisi nyawanya, saat itu pula aku akan mengobrak-abrik setiap labirin Compton dan menangkap bajingan tengik itu dan menembak kepalanya berkali-kali. Tidak! Tidak! Mungkin lebih baik aku akan membawa bajingan tengik itu ke Penjara San Quentin agar dia bisa merasakan bagaimana membeku di sel yang sempit. Kalau perlu aku akan minta izin menyuntik mati atau memberlakukan kembali hukuman tabung gas kepada bandit busuk itu. O, ancaman death row, sel-sel dingin mematikan yang berjalur-jalur itu, pun rasanya kurang kejam untuk mengganjar perbuatan Morgan, belut sialan yang selalu lepas dari tembakan dan kejaran polisi itu. Mendadak Lee terpekik. “Lihat, Tito, di punggungmu ada tulisan Jesus dari darah Grace. Tidakkah ini bisa kita gunakan sebagai dying declaration?” Hmm…darah Yesus memang berguna untuk para pendosa. Tapi tulisan “Jesus” di punggungku mungkin hanyalah ungkapan sia-sia Grace untuk menghadapi maut yang mencengkeram. Hanyalah grafiti tanpa arti di pakaian yang tentu tak akan kukenakan lagi saat mengejar Morgan atau penjahat-penjahat kambuhan di jalan-jalan. Meski begitu, kau tahu, Yesus di punggungku, akhirnya lebih kumaknai sebagai salib yang harus kupanggul dengan langkah yang terseok-seok saat kususuri trotoar Compton yang tak pernah bersih meski musim semi hinggap di pohon-pohon anggur atau murbei. Dan tiga tahun setelah penembakan itu, tentu aku belum mampu melupakan malam-malam indah di Compton. Okelah aku memang berkali-kali memutar film komedi A Night in Compton, tetapi setelah itu aku justru teringat tawa renyah Grace saat mengguyur tubuhnya di shower. Aku justru teringat gerakan-gerakan tarian baru yang ia ciptakan menjelang kematiannya yang bagai kucing dicincang itu. Saat meratapi kematian Grace, aku kadang-kadang memang menyimpulkan telah mencari cinta di tempat yang salah. Jika saja aku bisa menulis puisi, mungkin aku akan memberi tajuk teks itu Looking for Love in the Wrong Place. Tapi aku polisi dan tak suka puisi. Jadi, caraku mengenang Grace cukuplah memutar No Woman No Cry keras-keras dan kuucapkan janji-janji untuk tak mati-mati sebelum bisa membunuh penembak misterius yang kini menghilang dari labirin Compton yang telah kususuri inci demi inci. Anehnya, setelah melewati malam-malam panjang melelahkan dan setiap saat menjalani pekerjaan menjenuhkan sebagai pengantar para penjahat yang akan dieksekusi mati di Penjara San Quentin, aku kian yakin salju tetap akan turun di Compton sekali waktu. Meskipun demikian, semua berjalan seperti biasa. Cuap-cuap rap terus mengalir. Bisik-bisik mesum terus menguar. Berondongan peluru tetap ngawur dilesatkan di sembarang mobil polisi yang melintas pelan-pelan. Ternyata aku keliru. Dari pesawat radio di mobil kudengar pemberitahuan terjadi kejar-kejaran antara polisi dengan geng Morgan di sepanjang jalan. Aku dan Lee yang baru saja membereskan urusan pembunuhan mutilasi tak jauh dari apartemen Grace, pasti mudah menangkap musuh bebuyutan para polisi dan sheriff itu. Dan benar iring-iringan mobil yang menderu itu mengarah ke jalan yang telah kukuasai. Aku dan Lee tak akan kesulitan menembak ban mobil bobrok Morgan, setelah itu setan gila dan para anak buahnya dengan tubuh bersimbah darah tak mungkin tidak merangkak-rangkak memohon ampun dengan bahasa aneh tak keruan. Edan! Khayalan tinggal khayalan. Mobil sableng—yang astaga jelas-jelas dilukisi gambar pria dari Nazareth dan tulisan Jesus itu—berhasil meloloskan diri dari kejaran dan menyerempet mobil kami setelah berhasil menghindar dari tembakan-tembakan Lee maupun berondongan peluruku. Menatap grafiti itu ingatanku melenting-lenting ke tulisan berdarah Grace di pakaianku. Itu membuatku kesetanan meloncat ke mobil dan segera mengejar sedan penuh warna itu. Ya, percayalah tak lama lagi aku akan berhasil memborgol Jesus yang memberondong tubuh Grace tiga tahun lalu. Tak lama lagi aku akan memenjara atau menyalib dia di San Quentin atau jika perlu menembak jidatnya dengan beberapa peluru. Setelah itu, aku berharap salju akan turun di Compton dalam warna serba biru. Serba biru, ya, serba biru. Apakah kau masih tetap mengatakan salju tak akan pernah turun di Compton sepanjang waktu, kucing jelitaku? Grace tentu tak bisa menjawab pertanyaanku. Dalam riuh desing peluru, setelah menabrak patung malaikat di kelokan jalan, lewat mikrofon kemrusek Morgan justru menirukan gonggong herder menyerupai Pangeran Srigala yang tak bisa dibunuh dengan sepuluh atau seratus peluru. Apakah salju benar-benar tak akan pernah turun di Compton, kekasihku? Tetap tak ada jawaban. Kini kurasakan labirin jalanan melahap mobil kami dan sedan Morgan yang terus-menerus meraung-raung membelah malam. Los Angeles-San Francisco, 2007
""Belenggu Salju""
Kamu akan berangkat lewat Denpasar atau Surabaya atau Kupangkah? Bolehkah aku titip diriku karena ini baru pertama aku datang ke Larantuka. Benarkah nama kota di Flores tempat Samanasanta itu Larantuka? Bolehkah? Aku meninggalkan Paris sudah seminggu lalu, tetapi terlalu lama aku tertahan di Bangkok. Ditambah lagi ketika Jakarta, yang juga sama macet dengan Bangkok, telah menyita banyak sekali waktu. Tetapi aku senang karena bertemu dengan sangat banyak teman, juga musuh. Tetapi mereka yang dulu menganggap aku musuh, sekarang sudah tidak perlu dianggap musuh lagi. Aku disuruh Pastor Boli menginap di wisma, tetapi aku lebih suka tinggal di hotel. Maka, tiap malam Pastor Flores itu harus mengantarku kembali ke hotel dengan sepeda motornya yang sangat besar. Bagaimana? Kata Pastor Boli, namanya Maria. Ini mengingatkan aku pada Maria dan Martha, kakak adik yang disebut-sebut Injil. Di Jawa, aku kira masih banyak nama-nama Wati, Nani, Iyem, Minah, tetapi nama-nama itu sudah diganti Anne, Betty, Dona, Fifi, dan Maria yang kausebut-sebut itu, Jawakah atau Flores? Ternyata dia Indonesia sebab kakek dari ibunya Ambon, nenek dari ibunya Jawa, kakek dari bapaknya Batak, dan nenek dari bapaknya Manado. Katanya kakek buyut dan nenek buyutnya, ada Belanda-nya, ada China-nya, ada Jerman-nya, ada Arab-nya juga. Kapan saya bisa menemuinya? Menurut Pastor Boli, Maria adalah wartawati yang baik, tetapi orang yang pernah dikritik lewat tulisannya yang sangat tajam, banyak yang memusuhinya. Dia berumur hampir lima puluhan, tetapi ingin tetap lajang seumur hidup dan ini membuat bapak dan ibunya dan juga saudara-saudaranya bertanya-tanya, tetapi mereka tidak bisa apa-apa. Sebab, kata Pastor Boli, Maria tidak menikah bukan karena tidak ada yang mengajak menikah, melainkan karena dia tetap ingin hidup bebas sendirian hingga bisa terus terbang seperti burung-burung di langit. Apakah Maria cantik? Ternyata Maria sangat cantik. Dia juga cerdas dan semangatnya tinggi. Meski sudah mendengar suaranya di telepon, tetapi ketika aku mendengar dia berbicara berhadap-hadapan denganku, aku merasakan suara menjadi lebih berat dan tajam. Dia menyebutku sebagai orang yang terbuang dan terkalahkan, dan aku menerima saja sebutan itu. Aku ingin dia banyak bercerita tentang Samanasanta, tetapi dia malah senang menceritakan suasana politik Indonesia, juga politik Amerika di Iran, dan dia ternyata banyak sekali tahu tentang Perancis. Aku senang melihat dia bersemangat. Dia mengatakan bahwa pesawat akan berhenti di Denpasar, lalu ganti pesawat lain ke Maumere sebab tiket ke Larantuka sudah habis sejak sebulan lalu. Di Maumere akan ada Bruder SVD yang menjemput dengan jip, lalu kami harus berjalan darat ke Larantuka. Apakah Larantuka dekat dengan danau warna-warni yang di atas gunung itu? Ya, Kelimutu itu? Ternyata Kelimutu jauh. Di Ende, ya? Dan, kami juga harus bermalam di Maumere. Di sini kami akan bertemu Uskup yang baru saja ditahbiskan, tetapi tiba-tiba uskup itu harus ke Jakarta, hingga kami malah bertemu dia di Airport Ngurah Rai di Denpasar. Sudah berapa puluh tahun aku tidak melihat Denpasar? Apalagi Denpasar, bahkan Jakarta pun hanya tiga kali aku kunjungi selama 40 tahun terakhir ini. Itu pun baru mungkin setelah ada reformasi, ada kerusuhan, tapi bukan. Kerusuhan 98 beda dengan 65. Capekkah kamu Maria? Indonesiamu ini sebenarnya indah sekali, tetapi, ya, aku tidak perlu melanjutkan kata tetapi ini kepadamu. Tetapi kamu yang kemudian memprotesku bahwa ini juga Indonesiaku. Itu dulu bukan? Itu dulu sekali. Sekarang aku tidak punya apa-apa. Aku tidak punya Jawa, tidak punya Sumatera, tidak punya Indonesia, tidak punya China, tidak punya Perancis. Kalau Uni Soviet memang sudah bubar bukan? Lalu berkali-kali kamu bertanya aku punya apa sekarang? Aku bilang tidak punya apa-apa lagi. Kamu lalu bertanya lagi, bukankah aku ini komunis? Aku bilang dari kecil aku ini Katolik. Kalau begitu masih punya Katolik kan, tanyamu, di pesawat yang menderu-deru di atas pulau-pulau yang jauh di bawah sana. Tanya apa kamu Maria? Aku bahkan sudah tidak punya kehidupan ini. Tidak usah kaget. Apakah kamu belum tahu bahwa aku ingin datang ke Samanasanta karena sudah tidak terkesan dengan Lourdes dan Fatima, sudah capek dengan Sungai Yordan dan Laut Mati, sebab di sana sudah tidak kudapatkan apa-apa. Juga di Vatikan. Bukan, bukan kesembuhan dari penyakit ini. Bukan itu Maria. Aku mati memang sudah pas bukan? Karena umur memang sudah cukup. Tetapi aku ingin menjadi orang yang sungguh manusia, dengan mendapatkan pengalaman spiritual yang juga sungguh manusiawi. Lalu, aku disuruh banyak kawan agar datang ke Samanasanta. Apa itu Samanasanta? Dulu ketika di Yogya aku memang banyak kawan dari Flores. Tetapi tidak pernah aku mendengar tentang Arak-arakan Paskah itu. Maria, apakah kamu Katolik sejak kecil, atau, o ya, bukankah orangtuamu campuran macam- macam, hingga kamu pasti sudah Katolik sejak belum dilahirkan. Yang aku heran, sebenarnya aku tidak pernah tahu-menahu tentang Komunis, aku tidak tahu-menahu apa yang pernah terjadi di negeri ini pada tahun 1965 karena ketika itu aku sedang ada di Bucharest, lalu apa salahku? Benar kamu Maria, salahku justru karena berada di Bucharest itu. Tetapi, itu tidak terlalu penting lagi. Jadi arak- arakan Samanasanta itu akan terjadi tepat pada hari Jumat Agung dan itu sudah dilakukan sejak ratusan tahun silam? Maaf Maria karena aku hanya mendengar dari kawan-kawan bahwa arak- arakan itu pada hari Paskah. Jadi, salah ya? Aku sebenarnya agak takut naik pesawat di negeri seperti ini. Negaraku juga kan dulu? Ya, benar. Ini dulu negaraku. Sekarang pun juga masih tetap negaraku. Sebab orang-orang Paris, orang- orang Berlin, orang-orang Amsterdam, mereka selalu mengatakan bahwa aku ini Indonesian. Meskipun pasporku paspor Perancis. Itu tidak penting. Apalah artinya buku kecil yang ada foto, ada sidik jari, ada alamat, dan selalu distempel tiap aku datang dan pergi di gerbang imigrasi di negeri sendiri. Aku tetap Indonesia karena rambutku hitam. Tapi sekarang sudah putih, ya? Kulitku coklat bahkan agak hitam. Jadi, tidak mungkin aku bilang aku ini Perancis atau Belanda atau Jerman. Berapa jamkah kita akan berada di dalam pesawat ini Maria? Agak lega juga aku, ketika pesawat mulai turun, lalu pramugari mengumumkan bahwa sebentar lagi pesawat akan mendarat di Bandara Waloti di Maumere. Kamu ada bagasi banyak sekali kan? Aku hanya ada satu, tetapi itu isinya macam-macam dan mahal. Ada kamera, ada laptop, ada telepon satelit. Mengapa tidak dibawa ke kabin? Ya, apa akan hilang atau rusak? Aku kira tidak. Dan, ternyata benar, koper logam itu masih utuh dan terkunci rapat dan isinya juga tidak ada yang hilang. Aku merasa bahwa Pulau Flores ini juga pulauku, pohon-pohon yang meranggas di sepanjang jalan di pantai itu, yang katamu pohon reo itu, juga pohonku. Apalagi lontar-lontar itu, pelepah bunganya, katanya, selalu disadap dan meneteskan nira seperti halnya kelapa dan enau. O, kalau di Perancis sana yang disadap pohon chery. Airnya juga manis sekali. Nira lontar itu di sini dibuat minuman keras? Seperti tuakkah? Captikus? Moke? Ya, pasti saya akan mencicipi, meskipun tidak boleh terlalu banyak. Jadi, Bruder juga membawa moke di dalam jip ini? Aduh, tetapi nanti sajalah di Larantuka sana. Maria? Kamu juga doyan mokekah? Ah, itu jawaban yang klise. Yang jelas kawan-kawan Muslim, yang katamu ateis itu, sampai detik ini tetap tidak pernah mau menyentuh minuman itu. Mereka itu mengagumkan sekali imannya. Tetapi, mengapa kamu bilang mereka ateis? Padahal, mereka sangat patuh pada syariat. Mereka shalat lima waktu, juga puasa. Dan, kalau saya makan ham, minum wine, mereka tetap tidak mau ikut mencicipi. Katamu, aku juga akan diterima Uskup Larantuka? Katamu dia senang bisa bertemu denganku, apakah pentingnya aku? Baiklah Maria, o, ternyata aku memang pasti akan bertemu uskup karena tempat menginapku di wisma keuskupan. Kamu menginap di mana Maria? Ya, di mana-mana memang penuh manusia. Katamu ada berapa? Lima belas ribu orang? Wah, itu banyak sekali Maria. Pantaslah di mana-mana penuh dengan orang. Kapela Tuan Ma yang keramat itu juga banyak didatangi orang, meski belum waktunya dibuka. Dari kapela itu bukit tampak dekat sekali. Bagaimana kalau bukit itu longsor lalu menimbun kapela ini? Kata orang-orang Larantuka, itu tidak akan pernah terjadi. Benarkah bukit itu pernah longsor menyapu kota, tetapi kapela ini tetap utuh? Terus terang Maria, aku sudah tidak sabar lagi menunggu Samanasanta. Sekarang ini hari apa? Rabu? Jadi, masih dua hari lagi? Kamu mau mengajakku ke Lamalera dan melihat orang-orang menangkap ikan paus? Aku tidak mau. Aku tidak mau melihat paus dibunuh. Paus ikan pun tidak, terlebih Paus yang di Vatikan. Kalau melihat-lihat kampung bolehlah. Wah, matahari di sini benar-benar panas, dan itu sangat menyenangkan. Di Paris, Maria, bisa berminggu-minggu aku tidak melihat matahari itu. Ya, di Jawa juga begitu kalau sedang mendung. Tetapi, Jawa beda dengan Perancis bukan? Maria, mengapa orang-orang di sekitar Larantuka ini miskin? Apa karena sibuk berdoa lalu mereka lupa bekerja hingga jadi miskin? Atau karena miskin mereka hanya bisa berdoa agar lupa pada kemiskinan itu? Maria, apakah uskup dan bupati, juga pastor dan pegawai-pegawainya, juga ikut miskin? Mereka tampak baik-baik saja bukan? Bukan urusanku? Ya, memang benar. Saya kemari hanya untuk ikut arak-arakan Samanasanta yang kata kawan-kawan di Paris sana, masih terasa spiritualitasnya. Maria, tolong kalau Pastor Boli menelepon tidak usah diberitahu, kapan aku akan ke kembali ke Jakarta. Sebab sudah sejak kemarin HP aku matikan. Juga HP satelit untuk mengirim gambar ke Paris itu belum aku aktifkan. Cimanggis, Mei 2007
""Samanasanta""
Ada senapan serang AKA, dengan magasin penuh, di belakang lemari pakaian kamar tidur utama. Sederetan paku di dinding menahannya agar tidak jatuh dan tetap tersembunyi. Tersamarkan, meski dengan gampang kita meraih dan mengokang membuka kuncinya, dan dengan tekanan ringan dari telunjuk—dengan memakai popor lipat atau tidak—kita memuntahkan 52 tembakan beruntun. Dan bila kurang, ada magasin cadangan di atas lemari. Tapi sasaran tunggal apa yang bisa lolos dari berondongan sejauh lima meter? Sejak SD aku sudah tahu ada simpanan senapan serang buatan Rusia di situ. Sejak kelas VI aku sudah dilatih membongkar, membersihkan, dan memasangkannya lagi. Dan tiga tahun sebelumnya aku sudah dibiasakan membongkar, membersihkan, dan memasang lagi pistol FN, yang genggamannya terasa berat itu, terutama ketika magasinnya penuh. Kalau disuruh memilih, rasanya lebih enak memegang pistol polisi, colt—yang mekanisme penembakannya sangat sederhana itu. Dengan itu aku mimpi jadi cowboy perempuan. Bergerak menarik pasak dan membiarkan silinder tersampir dan bebas diputar, lalu ditangkupkan untuk dipasak. Atau menarik picu agar bisa menggesekputarkan silinder itu di lengan, atau dalam putaran gila sisi kepala—sebelum dikembalikan, diungkit, dan mengentak pantat peluru atau kekosongan oleh pelatuk—seperti dalam film. Dan kami, di kamar anak petinggi polisi, sering mempraktikkannya dengan silinder kosong. Siapa mau mati? Aku dipaksa belajar nembak saat kelas II SD. Mula-mula hanya dengan pistol, langsung ke tanah. Letusan dan entakan membuatku kaget. Tanah lembek berumput membuat peluru itu tembus ke kedalaman. Mencacah akar flamboyan yang marong berbunga dengan daun hijau yang amat jarang. Ayah terbahak-bahak melihatku ketakutan. Ia menggenggam tangan dan telunjukku yang masih lunglai oleh kejutan, lalu mendiagonalkannya ke tanah dan memaksaku menembak lagi. Sebuah letusan lagi. Sangit mesiu melulur lengan dan wajah. Ibu muncul dan menarik aku sambil mengomeli ayah—”Dia anak perempuan, Pa!” katanya. Setahun kemudian aku menguasai FN. Tiga tahun kemudian aku menguasai AKA. Sekali, ketika kelas II SMP, banyak teman yang mengadu—selalu diperas preman di pangkalan angkot dekat sekolahan—aku bersekolah dengan membawa pistol. Lalu mendatangi pangkalan itu dan mengokang serta menodongkannya pada si jagoan yang kurang ajar itu. Mereka gemetar dan segera semburat ketika diusir. Keesokan harinya aku dipanggil guru BP. Tapi sebelum dia banyak bicara, aku mengeluarkan FN di hadapannya, meloloskan magasin dan satu peluru paling atas. Memasukkannya lagi ke magasin, mendorong ke genggaman dan mengokangnya. “Sebaiknya semua itu jadi rahasia berdua,” kataku. Guru itu mengangguk. Sejak saat itu aku didaulat untuk jadi kepala keamanan dalam segala acara yang diadakan di sekolah. Dan ketika lulus ujian sepertinya mereka lega karena aku sudah tak ada di sana lagi. Tapi apa peduliku? Di SMA aku malah mempunyai kawan, anak petinggi polisi, yang memberi kenikmatan main-main dengan colt. Sebuah mekanisme ledak dan lesat peluru yang telanjang dan gampang, sekaligus memberi kesadaran, kalau maut sangat dekat, hanya setipis sentakan jari telunjuk yang mengentakkan picu. Lantas apa makna hidup? Lantas apa makna bertahan untuk hidup dengan semacam dukungan ilahiah nasib, kalau nyawa seseorang hanya bergantung pada satu sentuhan ringan dari jarak dua meter? Dan pada saat itu aku pun belajar mengintai dengan teleskop—membidik sasaran vital dengan satu peluru. Mulanya di Perbakin, lama-lama aku kecanduan mengintai apa pun dengan teleskop dan bimbingan sinar laser. Kini aku bisa berada sekitar lima puluh meteran untuk membidik seseorang dan mengirimnya ke kematian tanpa si bersangkutan mengerti bagaimana ia mati. Ayah yang mengajari—membimbingku dengan fasilitas latihan komando, ketika jadi danyon. Mungkin ia menginginkan aku jadi tentara, seperti dua kakakku—setelah tiga kakak perempuan cuma jadi istri tentara. Tapi ibu mengharapkan aku jadi dokter, seperti cita-cita ketika ia kuliah kedokteran dulu. Ayah menertawakan cita-cita lembek itu, dan karenanya mendidikku dengan tradisi militer–mengharapkan aku memilih karier militer. Ia membiarkan aku kuliah kedokteran bukan karena ibu ngotot tapi lebih karena aku tak bisa masuk Akabri. “OK!” katanya, “setelah lulus kau daftar dokter tentara. Kau tak boleh jadi anak Mama,” katanya. Ibu menggerutu tapi tidak berdaya. Dan karenanya aku bebas bergaul di luar kompleks—selama terus berlatih menembak. Aku tak pernah membunuh orang. Sekali aku pernah menembak aspal jalan di sisi kaki preman yang menghadang. Aku ambil FN dari tas, aku kokang, lantas menodong wajahnya dari jarak tiga meter. Menurunkannya, dan menembak. “Macam-macam kepalamu yang bolong,” kataku. Letusan itu keras. Peluru itu menghantam aspal, membuat lubang dan kekerasan lapisan batuan di bawahnya membuat peluru naik ke atas, membikin sudut naik pantulan dengan menjebol lapisan aspal. Menghambur jadi dua lesatan logam yang menghunjam di pohon mahoni dan ban sepeda motor. Mereka beku—pipa jeans preman itu kotor oleh serpihan. Aku beranjak. Naik ke boncengan dan melesat. Di boncengan aku gemetar. Kalau salah bidik dan kena kaki preman urusannya bisa jadi lain. Polisi akan masuk dan ayah akan menghajarku. Terlebih kalau keendus wartawan jadi berita. Akan lain. Ayah terpaksa berurusan dengan panglima. Akan dapat konduite dan segala risikonya. Padahal, kata ajudan, ayah ingin pensiun dan bisa jadi bupati atau wali kota dua masa jabatan. “Kita harus kejar setoran,” kata ajudan baru lulus Akabri, yang senang diajak mengeluyur itu. Dan karenanya memberi aku kebebasan main pistol dan senapan. Bahkan berlatih menembak tidak dalam posisi klasik berdiri. Kini aku terhibur dengan posisi jongkok menyamping, atau berbaring di balik batu—dan menjadikan tonjolan batu sebagai bantalan. “Kau seharusnya jadi sniper, Dik,” katanya. Aku tertawa. Aku bisa menembak bola tenis atau bola golf dari jarak tujuh puluh lima meter dengan satu tembakan. Ya! Tapi aku sangsi bisa jitu menembak kepala botak profesor sebesar bola sepak, atau punggung pelarian selebar papan pantul ring basket, atau kaki penyusup yang segede tiang gawang. Aku tak yakin mampu menembaknya dengan dingin, seperti menembak kaleng atau cecurut. Manusia itu bernyawa, dan denyaran roh pasti menimbulkan sugesti yang menyentakkan—seperti yang aku rasakan ketika menembak aspal di sisi kaki preman. Ada aura yang membuat kita harus mengeraskan hati dan membaca doa—lebih dahulu—meski itu hanya untuk menyayat tungkai, perut, dada, atau kepala mayat dalam praktik kedokteran. Ya! Aku yakin tentang hal itu. Dan ajudan ayah juga yakin akan itu, karena dia sendiri belum pernah menembak orang—atau berperang. “Aku kan cuma cari kerja, Dik,” katanya— tertawa. Ternyata jadi tentara bisa bersifat sangat administrasi. Aku lulus kedokteran dan masuk tentara. Enak. Ditempatkan di kota, ngantor seperti orang kebanyakan—meski tetap dibimbing insting militer yang terus diasah. Tiga tahun kemudian ayah pensiun dan jadi bupati di C. Dua tahun kemudian ibu sakit, kena kanker payudara yang baru ketahuan setelah stadium IV. Ia minta agar aku merawatnya, terutama karena ayah harus tetap sibuk bekerja dan—seperti yang dikeluhkan ibu—terpikat pemborong yang jadi rekanan pemda. “Ayahmu mendapat kesenangan baru sebagai orang sipil yang pergaulannya menembus segala lapisan masyarakat,” katanya, seperti merindukan kehidupan eksklusif di kompleks. Tapi bisakah kita membalik laju waktu? Aku menelepon ayah. Memprotes tiadanya perhatian pada ibu. Ayah tertawa. “Kau tahu apa?” katanya, “Kau orang militer yang hanya hidup dalam lingkungan eksklusif dengan rutin-rutin yang terkontrol. Aku kini sipil, bergaul dengan banyak hal yang harus diselesaikan tanpa ada panduan jelas.” Aku memprotes tapi telepon segera dimatikan. Aku menelepon lagi tapi ajudan yang mengangkat, yang mengatakan Pak Bupati harus ke daerah untuk menggalakkan intensifikasi pangan. Dua jam kemudian aku menelepon lagi tapi tak ada yang mengangkat. Dua jam kemudian aku menelepon ke rumah dinas. Pelayan yang mengangkat. Dua jam kemudian aku menelepon rumah gendakan-nya, dan dapat jawaban pelayan—Pak Bupati baru ke luar. Ke mana? Entah! Sejak saat itu aku tidak pernah menghubungi ayah lagi. Aku ikut ibu yang bungkam pada ayah, dan cuma basa-basi kalau ayah menelepon menanyakan kondisi ibu. Dan terkadang pergi bila sesekali ayah datang menjenguk ibu. Hal yang membuat suami yang ajudan itu, kakak-kakak dan ipar-ipar marah dan mengadiliku. Aku diam saja. Aku cuma bilang tak tega mengatakan kondisi ibu yang sebenarnya—maksudku, tak ingin menceritakan kelakuan ayah kepada mereka, meski aku yakin mereka mengetahui perbuatan ayah. Dan kebisuan itu berlangsung tiga tahun, sampai ibu meninggal—menyeringai, sia-sia melepas senyum di tengah deraan sakit. Mungkin ia ingin memperlihatkan secercah bahagia karena berhasil menjadikan aku dokter, yang telaten merawatnya. Apa jadinya kalau tentara? Ketika ibu meninggal ayah masih di C. Aku tak mengabarinya. Bahkan aku sengaja tidak memberitahukan kondisi kritis ibu sampai saat penghabisan mendekat, dengan mengumpulkan suami, kakak, ipar, anak, dan seluruh keponakan. “Kau tidak mengabari ayah?” kata Samsidar. Aku mengangkat bahu. Ia bergegas menelepon ayah, yang langsung marah dan memaki-maki lewat telepon. Aku mematikan telepon. Ibu menatap. Aku mendekat. Tanganku digenggam. Aku, dalam kurang tidur, seperti mendengar bisikannya, agar memberi pelajaran kepada ayah yang sok sibuk itu—yang barusan memaki-maki aku, karena merasa dipermalukan sebagai Bupati, yang tak peduli akan derita istrinya yang sekarat. Tapi apa kepentingan ia di luar citra bupati teladan? Ibu meninggal. Kami membawanya pulang setelah dimandikan—siap disembahyangkan dan dikubur. Aku masuk kamar utama. Mengunci pintu. Mengambil AKA. Mengokang dan meletakkannya di dada sambil terlentang. Aku menunggu ayah. Berjam-jam menunggu ayah, yang pasti datang dengan langkah lebar dan teriakan amarahnya yang khas. Ya—sepuluh menit lagi. Pasti. Sepuluh menit lagi. Biar ia merasakan sakit di dada seperti yang dirasakan ibu selama lima tahun. Sakit dari cacahan peluru satu magasin—dengan lima dua lubang luka. Ya! Ya!
""Salvo""
Seorang perempuan dengan gincu serupa cahaya lampion melangkah menuju pintu bar Beranda. Di saat yang sama lima buah pick-up berhenti tepat di depan gerbang. Di masa lalu, hal seperti ini biasanya lebih dulu diketahui sehingga gadis-gadis yang bekerja di bar memiliki waktu lebih luang untuk bersembunyi atau pulang. Para petugas menyerbu masuk dan seketika terdengar jeritan gadis-gadis, serta para pelanggan yang lari berhamburan. Yang tak diduga Marni, nama perempuan bergincu itu, lima petugas tiba-tiba menghampiri dirinya, sebelum menangkap dan membawanya ke pick-up. Aku hanya seorang ibu rumah tangga,” katanya, setelah keterkejutannya reda. “Katakan itu nanti kepada suamimu,” seorang petugas menjawab. Ini pasti malam yang buruk, pikirnya. Para petugas itu bicara mengenai peraturan daerah tentang pelacuran dan memperlakukannya seolah-olah ia pelacur. Dalam hatinya, ia mengakui pernah menjadi pelacur, tapi malam ini ia berani bersumpah bahwa dirinya hanya seorang ibu rumah tangga. Ia belum punya anak memang, Tuhan belum memberinya, tapi ia punya suami. Para petugas tak menggubris soal itu. Menurut mereka, semua pelacur selalu merasa punya suami dan mengaku hanya seorang ibu rumah tangga. Bersama gadis-gadis dari bar, mereka membawanya ke kantor polisi dan memperoleh interogasi sepanjang malam. Ia meminta gadis-gadis itu membantunya meyakinkan para petugas bahwa dirinya bukan bagian dari mereka. Tapi tiga tahun berlalu dan ia tak lagi mengenali gadis-gadis itu, demikian pula mereka tak mengenalinya. Semuanya gadis baru dan ia tak menemukan teman-teman lamanya di antara mereka. Gadis-gadis itu tak punya gagasan tentang siapa perempuan itu dan apa yang dilakukannya di pintu Beranda pada pukul setengah dua malam. Menjelang subuh, tanpa tertahankan Marni akhirnya menangis. Ia kembali memohon minta dibebaskan, berkata bahwa suaminya pasti akan merasa kehilangan dan barangkali kini tengah mencari-carinya. Seorang petugas, dengan mulut yang sinis, berkata, “Jika benar kamu punya suami, besok pagi ia akan menjemputmu.” “Tetapi, suamiku tak tahu aku ada di sini,” katanya. “Jadi, kamu jual dirimu tanpa suamimu tahu, heh?” Sejujurnya ia sungguh tersinggung dengan ucapan tersebut. Ia kembali berpikir, barangkali ini memang malam buruknya. Beruntunglah menjelang pagi seorang perempuan dari dinas sosial berbaik hati menghubungi suaminya. Setelah bicara dengan Rohmat Nurjaman, suami Marni, perempuan dari dinas sosial itu kemudian berbaik hati mengantarkan Marni pulang. Penuh rasa syukur Marni mencuci muka, menaburkan bedak yang dipinjam dari seorang gadis bar ke mukanya, dan memoleskan gincu ke bibirnya. Ia akan pulang dan bertemu kembali dengan suaminya. Namun, sesampainya di rumah, selepas kepergian perempuan yang mengantarnya, Marni dihadapkan pada keadaan yang tidak lebih baik. Di atas sofa, tergeletak koper berisi barang-barangnya. Rohmat Nurjaman berdiri di pintu kamar, memandang wajah istrinya, terutama gincu di bibir Marni dengan sejenis tatapan kau-laksana-perempuan-binal, berkata pendek, “Sebaiknya kita bercerai saja.” Marni ingin menjelaskan, tetapi tak tahu apa yang harus dijelaskan. Dan, Rohmat Nurjaman tampaknya tak menginginkan penjelasan. Sebenarnya Rohmat Nurjaman tak suka melihat istrinya mempergunakan gincu. Tapi jika ia melarangnya, dan kemudian mengemukakan alasannya, ia khawatir itu akan menyinggung perasaan istrinya. Marni pasti tak suka jika kepadanya ia berkata, “Dengan gincu itu kau tampak serupa pelacur.” Masalahnya, ia memang menemukan istrinya di satu tempat remang-remang beberapa tahun lalu. Tentu saja itu masa lampau dan mereka telah bersepakat melupakannya. Itu masa-masa ketika Rohmat Nurjaman bersama tiga temannya menghabiskan malam-malam di beberapa bar dangdut yang berserakan di sepanjang Jalan Daan Mogot. Di sanalah Rohmat Nurjaman berkenalan dengan Marni. Awalnya hubungan mereka merupakan pertemuan ganjil antara pelanggan dan pelayan. Seperti semua orang tahu, gadis-gadis yang bekerja di tempat serupa itu selalu akan mempertahankan pelanggannya agar tidak diambil gadis lain. Ini menyangkut penghasilan tambahan mereka yang kenyataannya lebih besar daripada upah yang dibayarkan pemilik bar. Tak jarang timbul cekcok di antara gadis-gadis itu jika seorang dari mereka menyerobot pelanggan milik gadis lain. Biasanya ini terjadi dengan gadis baru atau pelanggan yang lama tak muncul. Bagi pelanggan sendiri, paling tidak bagi Rohmat Nurjaman kala itu, kecenderungan gadis-gadis tersebut juga menguntungkannya. Ini memberinya jaminan setiap kali datang ke bar tersebut, ia akan memperoleh seorang gadis. Percayalah, tak menyenangkan berada di tempat serupa itu, dengan biduan bernyanyi di atas panggung kecil dan bir di atas meja, tanpa seorang gadis bergelayut di sampingmu. Begitulah, setiap kali ia datang ke Beranda, salah satu bar dangdut di daerah tersebut, Rohmat Nurjaman akan ditemani Marni. Bisa dihitung dengan jari kunjungan Rohmat Nurjaman tak membuatnya bertemu dengan Marni. Biasanya itu terjadi saat jatuh hari libur si gadis, atau si gadis meriang, atau pulang kampung ke Banyumas. Hubungan ini berkembang menjadi sejenis keseriusan yang menjadi candu. Di siang hari yang penat, dengan udara yang membosankan, sekonyong Rohmat Nurjaman menemukan dirinya mengirimkan pesan pendek kepada gadis itu, “Kamu sedang apa? Nanti malam jangan sama yang lain, aku akan datang.” Dan suatu pagi, Rohmat Nurjaman menemukan pesan dari si gadis di layar telepon genggamnya, “Mas, nanti malam datang tidak? Aku kangen.” Tentu saja bukan waktu yang singkat dalam hubungan mereka yang semacam itu, jika kemudian Rohmat Nurjaman memutuskan mengeluarkan gadis itu dari bar Beranda sekaligus meminangnya. Rohmat Nurjaman pergi ke pedalaman Banyumas ditemani ketiga temannya. Di sana ia menikahi Marni, sebelum membawanya kembali ke Jakarta dan tinggal di sebuah rumah mungil agak di luar kota. Ternyata itu bukan perkawinan yang mudah. Pada hari-hari pertama perkawinan mereka, Rohmat Nurjaman sering didera mimpi melihat istrinya ditiduri para pelanggan lain di kamar-kamar Beranda. Karena Rohmat Nurjaman tahu di suatu masa mimpinya merupakan kebenaran, ia sering dilanda kecemburuan begitu terbangun dari tidur. Marni juga didera khayalan yang mengganggu, membayangkan suaminya pergi ke Beranda dan meniduri gadis lain. Ini pun pernah terjadi dan mereka berdua tahu. Kecemburuan itu membawa mereka pada pertengkaran kecil, yang lalu diselamatkan oleh cinta. Suatu hari, di bulan ketujuh belas pernikahan mereka, keduanya berjanji untuk tak lagi mengenang masa lalu dan mengubur habis semua kecemburuan. Setelah itu segalanya berjalan lebih baik. Kecuali gincu di bibir Marni. Ia belajar mempergunakan gincu dari Maridah, perempuan yang saat itu paling tua di bar. Maridah pulalah yang membawanya dari Cibolang, sebuah nama yang tak ada di peta dan hanya akan disebut sebagai “di pedalaman Banyumas”. Banyak gadis-gadis di awal belasan tahun telah dibawa Maridah ke Jakarta dari tempat itu. Sejak awal mereka tahu akan bekerja di bar-bar semacam Beranda, tetapi Maridah meyakinkan mereka dengan berkata, “Kamu tak perlu jadi pelacur di sana, cukup melayani pelanggan minum bir.” Awalnya memang begitu, tetapi tidak benar-benar begitu. Para pelanggan itu tak hanya ingin dilayani menuangkan bir ke gelas mereka, tetapi minta didampingi. “Temani saja,” kata Maridah. Jadi, ia duduk di samping mereka, ikut minum dan makan cemilan, dan sesekali ikut nimbrung dalam obrolan mereka. Itu tak seberapa jika tangan para lelaki pelanggan itu bisa diam. Jemari mereka cenderung bergerak, awalnya hanya menyentuh tangan, lama-lama merayap ke segala arah. Belakangan ia mulai belajar dengan cara itulah ia bisa memperoleh uang lebih banyak. Dan, kemudian tahu, jika ingin memperoleh lebih banyak lagi, ia mesti tidur dengan mereka. Lima bulan selepas itu Marni kehilangan keperawanannya dan hidupnya terus berjalan dari malam ke malam hingga ia berjumpa dengan Rohmat Nurjaman. Dalam hal-hal tertentu, Rohmat Nurjaman tak berbeda dengan pelanggan lain yang gemar menjamah. Bahkan, lebih buruk karena kadang membayar lebih sedikit. Tetapi, dalam perkara lain, ada hal-hal berbeda yang disukai Marni. Tidak seperti pelanggan lain yang buru-buru mengajak ke lantai atas menjelang pukul lima, di mana terdapat kamar-kamar untuk telanjang, Rohmat Nurjaman lebih suka membawanya keluar selepas bar tutup. Mereka akan mencari motel dan itu berarti Marni tak perlu berbagi penghasilannya dengan pemilik bar. Itu bukan satu-satunya yang menyenangkan buat Marni. Di motel mereka tak merasa perlu buru-buru, mereka bisa bermalas-malasan hingga pukul dua belas siang. Mereka juga bisa berjalan-jalan di siang hari selepas itu, mencari sarapan yang terlambat. Apa boleh buat, itu membuat mereka lambat-laun mulai jatuh cinta satu sama lain. Sejarah kecil itu diketahui sepenuhnya oleh Rohmat Nurjaman. Tiga tahun usia perkawinan mereka, namun Rohmat Nurjaman masih merasa sesuatu mengganjal dalam kehidupannya. Itu adalah gincu di bibir istrinya. Gincu yang sama sebagaimana ia pernah melihatnya di keremangan bar Beranda. Memang ketika mereka mengikrarkan pernikahan, keduanya telah berjanji untuk menjalani hidup baru sebagai suami dan istri, bukan pelayan bersama pelanggannya. Tetapi, Marni masih mempergunakan gincu yang sama dan dengan cara yang sama. Rohmat Nurjaman ingin melarangnya, tapi berpikir jika ia melakukannya, itu hanya akan mengingatkan kepada masa-masa mereka di bar. Dari pagi ke pagi, dari senja ke senja, gincu itu semakin mengganggunya. Hingga akhirnya Rohmat Nurjaman mulai bertanya-tanya apa yang dilakukan istrinya sementara ia pergi bekerja. Rohmat Nurjaman tak pernah berhasil membuktikan kecurigaan atas istrinya. Bahkan, meskipun beberapa kali ia sengaja mendadak pulang, ia selalu menemukan istrinya ada di rumah, menunggunya. Hingga suatu pagi seorang perempuan dari dinas sosial meneleponnya dan ia merasa memperoleh bukti untuk kemudian menghukumnya tanpa ampun dengan sebaris kalimat pendek: “Sebaiknya kita bercerai saja.” Tak ada tempat untuk pergi kecuali ke Beranda. Pemilik bar masih mengenalinya dan memperbolehkan Marni untuk kembali bekerja di sana. Di tempat itu ingatannya kepada Rohmat Nurjaman malah menjadi-jadi. Saat menemani seorang pelanggan, ia akan mengenang masa ketika mereka bicara tentang banyak hal. Kebanyakan tak dimengertinya, tapi dengan senang hati ia mendengarkan, dan Rohmat Nurjaman tak pernah menuntutnya untuk mengerti. Suatu ketika Rohmat Nurjaman berkata kepadanya, “Banyak perempuan di luar sana, beberapa pernah jadi pacarku, gemar bicara padahal mereka tak mengerti apa pun.” Ia merasa itu pujian untuknya. Tetapi, saat paling membahagiakan dalam hidupnya adalah malam ketika Rohmat Nurjaman berkata: “Rasanya aku mencintaimu.” Sejak itu ia mulai sering berdandan setiap tahu akan bertemu Rohmat Nurjaman. Ia tak tahu banyak hal untuk diberikan kepada kekasihnya, kecuali memamerkan senyum yang tulus berhias gincu. Hingga tiga tahun perkawinan mereka dan Marni mendapati suaminya berubah. Rohmat Nurjaman sering tak pulang dan tak lagi mencumbunya dengan kegairahan seorang lelaki cabul. Barangkali aku tak lagi cantik, pikirnya. Barangkali karena tak juga kami punya anak, katanya kepada diri sendiri. Atau barangkali suaminya pergi kembali ke Beranda dan menemukan gadis yang lebih manis di sana? Barangkali gadis itu masih empat belas tahun dan mengoleskan gincu lebih tebal di bibirnya? Marni merasa panas namun mencoba membuang kecurigaan tersebut. Meski begitu, suatu malam ketika suaminya tak juga muncul selewat pukul dua belas dan pertanyaan-pertanyaan di kepalanya tak pula menemukan jawaban, perempuan itu memutuskan keluar rumah. Marni memoleskan gincu ke bibirnya, percaya itu akan membuat Rohmat Nurjaman kembali ke pelukannya. Ia menghentikan sebuah taksi dan minta diantar ke Beranda. Di sana, atas nama peraturan daerah tentang pelacuran, lima orang petugas menangkap Marni. Sejujurnya ia mulai menganggap semua itu hukuman untuknya, yang telah berburuk sangka suaminya pergi ke Beranda untuk meniduri perempuan lain. Menurut dia, itu malam buruk yang diawali pikiran buruk dan ia sungguh menyesal. Kini, kembali bekerja di bar tersebut, Marni terus memelihara keyakinan bahwa suatu malam suaminya akan muncul, lalu mereka akan memulai semuanya dari awal. Dalam penantiannya, ia masih kukuh pada janji yang tak pernah diucapkannya. Ia tak mengenakan gincu. Seorang gadis dua belas tahun yang baru bekerja di sana pernah menanyakan mengapa ia tak bergincu, dan Marni menjawab: “Gincu ini merah, Sayang, dan itu hanya untuk suamiku.” Memang sejak ia jatuh cinta kepada Rohmat Nurjaman, apalagi setelah mereka menikah, ia tak pernah membuat merah bibirnya untuk lelaki lain.
""Gincu Ini Merah, Sayang""
Ketika aku turun dari angkutan, orang-orang yang mengantar jenazah Bido baru saja pulang dari kuburan. Sepintas aku melihat, di depan warung kopi Bido, masih ada tenda kecil dan jajaran kursi, juga ceceran bunga. Aku terus saja berjalan menuju rumah. Sore ini, ibuku tidak banyak bicara. Ia hanya membuatkanku kopi, memasukkan tasku ke kamar, dan membiarkanku sendirian di teras samping. Ia tahu untuk apa aku pulang, tapi tidak bertanya mengapa aku terlambat mengikuti pemakaman. Aku juga tidak sempat bertanya, mengapa di dapur ada banyak orang, tikar tergelar di ruang tamu dan beranda depan. Mungkin akan ada arisan. Aku bahkan tidak tahu persis apakah aku benar-benar kenal Bido dengan baik atau tidak. Aku jarang berbicara dengannya, semakin jarang ketika aku sudah tidak tinggal di kampung lagi. Tapi tidak bisa kumungkiri, ada beberapa peristiwa di masa laluku yang membuatku merasa mempunyai hubungan khusus dengannya. Dua puluhan tahun yang lalu, untuk pertama kalinya aku merasa dikhianati teman-teman sepermainanku. Saat itu, aku baru duduk di kelas lima sekolah dasar. Jauh hari, aku dan teman-teman sebayaku merancang untuk menonton wayang kulit di kota lain yang jaraknya 60-an kilometer dari kampungku. Dalangnya, Ki Manteb Sudarsono. Semua rencana sudah matang. Tapi tepat di sore hari saat kami seharusnya berkumpul di pertigaan jalan besar untuk bersama mencegat angkutan, tidak ada seorang pun yang datang. Padahal aku telah membayar mahal rencana itu karena sore sebelumnya, aku merengek meminta izin orangtuaku untuk tidak ikut piknik bareng mereka ke Bali. Sore itu, aku bertekad untuk berangkat sendirian dengan rasa marah. Tepat di saat aku hampir melambaikan tangan ke sebuah angkutan yang terlihat dari jauh, seseorang menyapaku. Aku menoleh. Orang itu bernama Bido. Umurnya jauh lebih tua dari umurku. Tahu kalau aku akan berangkat sendirian dan tahu kalau aku tidak mungkin membatalkan rencanaku, ia langsung ikut nangkring di atas angkutan. Saat aku tanya ia hendak ke mana, ia menjawab ingin menemaniku. Rasa ragu bepergian jauh dan sendirian, tidak punya famili dan teman di kota tujuan, mendadak rampung jadi pikiran begitu Bido menemaniku. Malam itu akhirnya aku menonton sampai tuntas pagelaran wayang yang sudah kutunggu- tunggu. Malam itu pula, aku merasa seperti laki-laki yang sudah dewasa. Tidak jauh dari si dalang, aku kelepas-kelepus merokok, bahkan Bido memberiku segelas kopi yang sudah dicampur dengan sedikit arak, supaya aku tidak masuk angin karena pagelaran itu diadakan tepat di bibir pantai. Itulah kali pertama aku minum arak. Tapi saat itu bukan kali pertama aku merasa ditolong oleh Bido. Beberapa tahun sebelumnya, Bido juga mengulurkan tangannya, memberi jalan kepadaku untuk melakukan sesuatu. Saat itu ada lomba catur menjelang tujuh belasan di kampung. Malam itu aku masuk babak final. Musuhku bernama Anton, anak seorang mantri suntik yang baru saja pindah ke kampungku. Ia kelas enam dan aku baru kelas tiga kalau tidak kelas dua. Aku yakin aku pasti menang di pertandingan itu. Tapi malam itu, orang-orang berpihak kepada Anton. Mereka itu ada Pak Camat, Pak Lurah, beberapa polisi dan tentara, ada juga guru ngajiku, semua memihak Anton. Aku menduga karena bapak Anton juga menonton. Berkali-kali, Anton mengulang langkah. Kalau aku berpikir lama, mereka menyuruhku cepat-cepat melangkah, kalau Anton berpikir lama, mereka sibuk mengajarinya. Aku kalah. Aku hanya bisa membalas ketika di malam resepsi para pemenang diundang naik ke panggung, aku malah pergi. Ibu yang mengambilkan hadiahku. Begitu sampai di rumah, ketika hadiah itu diulungkan kepadaku, aku membantingnya. Ibuku hanya diam dan mengelus-elus rambutku, lalu membuatkanku mi goreng dan telor gulung kesukaanku. Kemarahanku kepada Anton mereda ketika suatu saat, sepulang sekolah, Bido mencegatku. Ia membisiki sesuatu. Segera aku berlari ke rumah. Malamnya, aku tidak bisa tidur. Pagi harinya, kampung kami geger. Di halaman depan rumah yang disewa keluarga Anton terdapat pohon nangka yang sedang berbuah. Dan di pohon itu ada buah nangka besar yang terpotong separuh. Di dekat buah yang terpotong itu, ada kertas tertempel dengan bunyi: Njaluk nangkamu separo, ya! Bukan pencurian nangka yang membuat geger, tapi pencurian nangka dengan tulisan di pohonlah yang membuat geger. Peristiwa seperti itu baru terjadi pertama kali di kampungku. Aku semestinya merasa aman. Pohon itu terlalu tinggi untuk kunaiki. Buah yang hilang separuh itu juga terlalu besar untuk dibawa oleh anak seumuranku. Lagi pula, malam itu, ibu dan bapakku tahu aku berada di rumah. Tapi yang tidak pernah kupikirkan adalah, tulisan di kertas itu memakai spidol besar. Di kampungku saat itu, spidol besar tidak dijual di toko-toko. Tidak sembarang orang memilikinya. Aku baru sadar kalau aku melakukan kebodohan ketika siang sepulang sekolah, ibu merapikan spidol besar dari laci dan menyimpannya di lemari, lalu dikunci. Saat itu, ibu menatapku tajam sekali. Aku bahkan lupa nama asli Bido. Ia tinggal dengan emaknya di pinggir kampung, dekat sungai. Rumahnya kecil dan reyot. Mbok Nah, emak Bido, menafkahi diri dengan mencari kayu bakar dan daun jati yang dicari di hutan. Awalnya, aku tidak begitu tahu kenapa Bido terlihat begitu perhatian kepadaku. Barulah ketika aku beranjak besar, aku mengumpulkan kabar-kabar yang bisa menyusun alasan itu. Dulu, ibuku adalah wali kelas Bido di sekolah dasar. Tiba-tiba suatu saat, ibuku diberi tahu kalau Bido ditangkap karena dituduh mencuri kayu dari hutan. Ibuku marah sekali. Ia lalu ngeluruk pergi seorang diri ke kantor Perhutani untuk mengeluarkan Bido. Ibuku sangat yakin, Bido tidak bersalah. Bido hanya membantu emaknya mencari rencek, kayu bakar yang dipunguti dari dahan-dahan yang sudah jatuh ke tanah. Konon terjadi pertengkaran hebat di kantor Perhutani. Mungkin karena ibuku menangis, mungkin juga karena ibuku perempuan dan seorang guru sehingga para petugas Perhutani merasa malu, atau mungkin karena saat itu ibuku sedang hamil, hari itu juga Bido dikeluarkan dari tahanan polisi hutan yang terletak di kompleks kantor Perhutani. Aku adalah bayi yang dikandung ibuku saat ia ngeluruk ke kantor Perhutani itu. Selepas peristiwa itu, Bido tidak lagi mau meneruskan sekolah. Ia keluar. Dan semenjak itu, ia tumbuh nyaris menghabiskan waktu di hutan membantu emaknya. Konon nama Bido diberikan kepadanya karena suatu saat, ia menangis di sepanjang jalan kampung, melempari dua pemburu yang datang dari kota karena menembak seekor bido, sejenis elang kecil, yang kerap bertengger di atas pohon sukun di belakang rumahnya. Bido menangis, melempar kedua pemburu itu dengan batu sambil berteriak, “Bidoku! Bidoku! Bidoku!” Jauh di dalam hatiku, aku ingin sekali membalas pertolongan Bido. Dan itu terjadi ketika aku duduk di bangku sekolah menengah atas. Saat itu, aku harus sekolah di luar kampung, dan setiap akhir pekan aku pulang. Suatu saat, aku membawa pulang beberapa kaset film biru. Aku menontonnya dengan beberapa orang di kampung, termasuk Bido. Setelah itu, Bido sering bertanya kepadaku kapan lagi aku membawa film ohyes, begitu Bido menyebut film biru karena ada banyak kata ’oh yes’ di film itu. Beberapa kali aku menyewa film-film ohyes agar Bido senang. Tetapi balas budi kepada Bido kurasa impas ketika suatu saat ia tertimpa masalah. Aku mendengar Bido digelandang ke kantor polisi karena dilaporkan oleh Haji Munawir. Bido dituduh mencuri rokok di toko kelontong Haji Munawir. Orang-orang kampung kemudian bisa meyakinkan pihak kepolisian kalau Bido tidak melakukannya sebab di malam kejadian, Bido tengah berjudi di desa sebelah. Tapi pengakuan dari orang-orang itu terlambat, Bido sudah telanjur dimasukkan ke sel berhari-hari, dan ia sudah telanjur malu. Begitu keluar dari sel, Bido mengasah parang, hampir melabrak Haji Munawir, tapi untunglah ada banyak orang yang melarang dan menghentikannya di tengah jalan. Yang membuatku tersentuh dan tiba-tiba merasa ikut terlibat adalah, ketika tengah mabuk arak di warung, Bido mengatakan betapa menderita emaknya yang sudah tua karena tuduhan itu. Berminggu-minggu aku berpikir keras, sering pulang ke kampung walaupun tidak akhir pekan, mengamati sesuatu, membuat perhitungan di secarik kertas, dan menunggu. Hingga kemudian suatu malam, kupaparkan rencanaku kepada Bido. Aku bilang, baru saja Haji Munawir menebar benih di kolam ikannya. Jika habis magrib Bido menutup saluran air yang menuju ke kolam, lalu membobol tanggulnya dengan lubang dua kepal tangan, maka tepat di tengah malam, kolam itu akan asat. Dan kalau ia menutup lubang itu lalu membuka lagi saluran air, maka menjelang pagi, kolam itu akan kembali tergenang air seperti sedia kala. Tapi kolam itu sudah kosong, tidak ada benih ikan lagi. Hanya selang beberapa hari, Bido melakukan aksi itu dengan sukses. Butuh waktu lebih dari sebulan bagi Haji Munawir untuk menyadari bahwa kolamnya sudah tidak berisi ikan lagi. Tiap sore ia masih ke kolam menebarkan pakan ikan. Baru sebulan lebih kemudian, seluruh orang kampung melihat Haji Munawir meraung di sepanjang jalan, menangis, mengumpat dan berdoa. Setelah kejadian itu, setiap aku bertemu Bido kami saling tersenyum penuh arti. Tetapi lagi-lagi aku melakukan kesalahan. Saat aku duduk di meja kamarku, ibu melempar kertas yang berisi coretan-coretan strategi menguras kolam itu. Coretan itu kusimpan di saku tas sekolahku, dan kali itu aku melemparkan tas itu di bak pakaian kotor. Seperti biasa, sebelum dicuci, ibu selalu memeriksa ulang adakah sesuatu yang tertinggal di pakaian-pakaian kotor. Kali itu, ibu bukan hanya memandangku tajam sekali, tetapi ada air yang berlinang di kedua pelupuk matanya. Setelah aku kuliah dan bekerja, hanya sesekali saja aku bertemu Bido, terutama saat pulang kampung menjelang Lebaran. Beginilah kisah yang kudengar dan kuamati sepintas, terutama saat aku pulang. Ketika emak Bido meninggal dunia, Bido menjual tanah dan rumah warisannya, lalu mendirikan warung kopi di dekat lapangan sepak bola. Ia menyekat warung kopinya menjadi dua, satu ruang untuk jualan kopi, satu ruang untuk berjudi. Segera warung kopi itu menjadi warung paling ramai di kampungku. Semua orang datang ke sana, juga para aparat keamanan. Dan beginilah yang khas dari Bido, ia duduk-duduk di atas lincak yang terletak di depan warungnya, dengan tenang menemui polisi atau tentara yang datang. Sementara itu, dua pekerja meladeni para pengunjung warung kopi dan mereka yang sedang berjudi. Saat itu, Bido selalu mengenakan sarung, berkopiah, dan memakai pakaian Korpri lengan panjang yang sudah mangkak, entah lungsuran dari siapa. Tidak lama kemudian, di warung Bido tersedia arak. Warung itu semakin ramai saja oleh pembeli dan para penjudi. Bido tetap seperti biasa, menunggu warung dengan duduk-duduk di depan, tapi saat itu ia sudah mengganti ’seragamnya’ dengan kaus kepolisian berlengan panjang. Dan satu lagi, sebuah jam tangan melingkar di pergelangan tangannya. Hanya yang aneh, jam yang dikenakannya tidak jalan lagi alias mati. Tak lama kemudian, desas-desus berkecamuk. Seusai reformasi, konon Bido ikut terlibat dalam pencurian kayu di hutan. Ketika nama-nama yang sering disebut berada di belakang aksi itu membangun rumah mewah dan membeli mobil, tidak ada yang berubah di diri Bido. Dan saat banyak pencuri tertangkap, para makelar kayu kehilangan rumah dan mobil mereka, para aparat yang terlibat dipecat dan dipindah, Bido masih tetap tenang di warung kopinya. Bido juga disebut-sebut berada di belakang maraknya bisnis judi togel. Tapi ketika orang-orang penjaga togel berseliweran dengan memakai sepeda motor baru dan memegang telepon genggam, Bido masih anteng saja, tetap menunggu warung dan duduk tenang di atas lincak. Hanya lagi-lagi ’seragamnya’ yang berubah, ia memakai jaket doreng ala tentara. Saat para penjaga togel lari ketakutan karena operasi judi besar-besaran terjadi, Bido hanya cukup menutup bilik judinya. Selentingan terakhir yang kudengar tentang Bido adalah saat ia diduga terlibat mensponsori seorang calon bupati dalam pemilihan langsung di daerahku. Siapa pun yang tidak mengikuti Bido secara langsung, mungkin akan menepis tudingan itu, termasuk aku. Bagaimana mungkin seorang yang hanya memiliki warung kopi dan arak bisa ikut mensponsori pencalonan seorang bupati? Tapi banyak orang yang bilang, bahwa tandonan uang Bido sejak terlibat pencurian kayu sampai togel menumpuk, dan semua dipakai untuk urusan pencalonan itu. Jago Bido kalah. Konon karena kekalahan itulah Bido gampang uring-uringan. Warung kopinya mulai sepi, dua orang yang membantunya di warung kopi keluar karena tidak tahan diomeli Bido. Warung kopi Bido semakin sepi ketika bermunculan warung-warung kopi lain yang memadukan antara warung kopi dengan meja biliar dan playstation. Bido kemudian jatuh sakit lalu meninggal dunia. Menjelang magrib, ibu menghampiriku. Ia menyorongkan handuk dan kain sarung, sambil berpesan singkat, “Cepat mandi. Nanti kamu ya yang mimpin tahlilan untuk Bido….” Aku terkejut. Tapi kemudian aku teringat sesuatu. Bido tidak punya istri dan kerabat. Aku melupakan rasa terkejutku dan segera bertanya ke ibu, di mana tahlilan akan dilaksanakan? “Di sini,” jawab ibu singkat. Sepasang mata ibu menatapku, tapi kali ini tidak tajam lagi….
""Ibu Tahu Rahasiaku""
Apa pun jenis kupu-kupu, siklus kehidupannya seperti ini: telur, ulat, kepompong dan akhirnya bermetamorfosa, menjadi kupu-kupu! Meski banyak orang jijik melihat ulat, tapi mereka menyukai kupu-kupu. Nuke ingin mendirikan home stay, setelah merasa jenuh bekerja selama hampir 15 tahun di perusahaan asing. Di meja makan ini, Nuke bilang kepada suami, anak-anak dan semua handai taulan, “Rumah peninggalan Mami ini akan kubuat home stay saja. Dengan begitu, aku bisa tetap bekerja dan sekaligus mengawasi anak-anak.” Semua mengangguk-angguk. Memang rumah tua ini cocok untuk home stay, karena halamannya luas dan asri (rumah semodel ini sudah jarang ada di kota Malang). Dari studi banding yang dilakukannya di beberapa home stay yang semodel dengan rumahnya, sekarang punya daya tarik tersendiri bagi wisatawan mancanegara dari negeri Belanda yang ingin melihat bangunan di zaman Hindia–Belanda yang digarap oleh Thomas Krasen pada tahun 1914. Namun, setelah berminggu-minggu, dibukanya home stay ini tak ada seorang pun tamu yang menginap di home stay itu. Padahal, dia sudah mengiklankan di koran lokal, internet, dan radio-radio swasta. Apa yang menjadi keistimewaan dari home stay ini, yaitu suasana Hindia-Belanda tampak terpancar di setiap sudut rumah ini. Suatu malam, ketika duduk sendirian di teras, dengan perasaan senyap, tiba-tiba Nuke teringat ucapan almarhum Mami, “Hari ini ada banyak sekali kupu-kupu di halaman kita. Pertanda akan banyak tamu ke rumah. Bisa jadi saudaraku atau saudara Papimu akan datang.” Kemudian secara bergegas, Mami menanak nasi lebih banyak dari biasanya dan menyuruhnya (pada waktu itu dia sudah berusia 12 tahun dan duduk di kelas satu SMP), ke warung sebelah untuk membeli telor, tempe, minyak, lombok. Dan Mami selalu bilang, “Kalau saudara-saudara kita datang, mereka kan dari luar kota, kita harus menjamu mereka dengan makanan. Namun, hari ini aku malas ke pasar, lauknya ditambahi telor yang dilomboki saja.” Waktu itu, dia merasa Mami bahagia sekali…. Konon, ketika dia berusia delapan tahun, Papi pergi, tak pernah kembali! Menurut Mami, Papi-nya menderita amnesia. Bisa jadi tidak tahu jalan pulang ke rumah atau Papi sudah meninggal! Masih menurut Mami, Papi kadang-kadang datang dalam bentuk lain, menjadi kupu-kupu dan mengisyaratkan cintanya pada dia dan Mami. Mami juga bercerita, kalau ada sepasang kupu-kupu, mereka dahulunya adalah sepasang kekasih. Ketika Nuke menanyakan, “Apakah Mami dan Papi akan menjadi sepasang kupu-kupu?” “Nduk, sekalipun pada waktu itu, kami sudah menikah selama 10 tahun, tetap seperti sepasang kekasih. Bisa jadi, aku dan Papimu akan menjadi sepasang kupu-kupu, atau mungkin juga tidak. Yang penting hari ini, aku harus bekerja keras, agar kau bisa sekolah dengan nyaman.” Waktu itu, dia merasa kecewa, terpikirkan olehnya, Mami tidak pernah memiliki cinta itu lagi. Dia selalu ingat ucapan Mami itu. Namun, dia berpikir apakah dengan isyarat kupu-kupu itu, para tamu akan berdatangan ke home stay-nya, seperti ketika dia masih kecil. Yah di halaman rumahnya hampir tidak ada kupu-kupu lagi yang beterbangan seperti di masa kecilnya! Banyak orang bilang, itu karena polusi udara atau mungkin Mami dan Papi-nya merasa tidak perlu datang lagi untuk mengirim cintanya, karena dia sangat mencintai suami dan anak-anaknya. Dia menceritakan itu di meja makan kepada anak-anak dan suaminya. “Ma, kalau begitu kita harus mendatangkan kupu-kupu di kebun kita, agar kupu-kupu itu berdatangan lagi bersama cinta Kakek dan Nenek dan para tamu home stay. Coba saya carikan di internet, bagaimana mendatangkan kupu-kupu di kebun kita.” Kemudian, Nuke membaca dari internet, bagaimana caranya membudidayakan kupu-kupu. Kamu dapat mendatangkan kupu-kupu di kebunmu dengan umpan, makanan, tumbuhan (tumbuhan dan bunga), air, perlindungan dan tempat untuk meletakkan telur. Kupu-kupu itu akan mengisap sari pati madu dari bunga, kemudian setelah bertelur akan menjadi ulat yang sangat rakus memakan daun-daunan. Dan ulat-ulat itu menjadi kepompong, kemudian menjadi kupu-kupu. Yang betina akan betah bertelur di kebunmu. Nuke mencoba mengikuti apa yang tertera dalam tulisan itu, melakukan hal-hal yang disarankan. Tiba-tiba Nuke ingat masa kecilnya, kala bermain-main di halaman rumahnya ini, sendirian saja. Karena merasa harus pergi jauh. Ketika Mami memarahinya atas kesalahan yang sampai sekarang tidak pernah dimengertinya. Ada kupu-kupu bagus hinggap di pundaknya, Nuke merasa yang datang itu Papi-nya yang sedang menghibur dirinya. Melihat kupu-kupu itu, sering sekali dia memimpikan terbang dan bersayap seperti kupu-kupu. Di kerajaan kupu-kupu, dia bertemu lagi dengan Papi yang dirasanya waktu itu bisa melindunginya dari kemarahan Mami. Papi mengajarkan kepadanya bagaimana memberi dan menerima isyarat cinta itu. “Kalau kau sudah dewasa, jadilah orang yang bisa mencintai. Yah, seperti sepasang kupu-kupu yang berputar-putar di halaman ini.” Sesungguhnya, baru sekarang dia tahu bahwa kupu-kupu itu berimigrasi jauh sekali. Dari satu benua ke benua yang lain. Jenis luar biasa ini (kupu-kupu raja) hidup di Kanada bagian selatan. Mereka bisa berimigrasi ke California atau lebih ke selatan lagi yaitu Meksiko. Semua kupu-kupu jenis raja ini bertemu satu sama lain di sepanjang perjalanan. Mereka tidak memulai perjalanan dalam sembarang hari. Tapi pada satu hari tertentu di musim gugur, yaitu ketika siang dan malam memiliki panjang waktu yang sama. Setelah membaca artikel ini, keinginannya agar kupu-kupu berdatangan semakin lebar. Karena setiap kali dia bermimpi dia bisa pergi terbang jauh, bersama kedua orangtuanya. Nuke kemudian menanam bunga-bunga yang di rasanya penuh madu, agar kupu-kupu itu segera berdatangan dan betah di kebunnya. Hari-hari selanjutnya, home stay Nuke tidak juga didatangi oleh seorang tamu pun dan bahkan tidak juga oleh kupu-kupu. Padahal, kalau dibanding dengan home stay lain, tempatnya tidak kalah menarik. Rumah tuanya, menjadi sangat artistik dengan ditata sana-sini, persis seperti zaman kolonial Belanda. Suaminya mengusulkan untuk membuat iklan di mana-mana lagi. Dan Nuke punya ide untuk menangkar kupu-kupu saja di halaman rumahnya. Dia mendapat sepasang kupu-kupu yang menurut penjualnya, adalah jantan dan betina. Dia ingin mengawinkan kupu-kupu itu. Ketika itu juga dibacanya dengan penuh semangat pendapat ahli biologi di universitas Buffalo (AS). Kupu-kupu betina lebih memilih pasangan kawinnya yang memiliki pupil atau titik putih pada sayapnya. Sebaliknya, bentuk ornamen sayap, warna dan ukurannya tidak terlalu dipedulikan oleh kupu-kupu betina. Nuke, menaruh kedua kupu-kupu itu di sangkar, tapi kelihatan kedua kupu-kupu itu tidak melakukan apa pun. Sehingga, Nuke memutuskan untuk membuka sangkar itu dan membiarkan mereka secara alamiah saja, meletakkan kedua kupu-kupu itu pada bunga yang di rasanya penuh sari pati madu. Berhari-hari kedua kupu-kupu itu masih berada di sana, pada hari ketiga pagi ini, dia melihat kedua ekor kupu-kupu itu tiba-tiba sudah terbang tinggi di atas kepala Nuke, terbangnya jauh sekali meninggalkan Nuke, rumah dan kebun ini. Untuk sesaat, Nuke merasa sedih dan suaminya bilang begini, “Kau tahu yang memberi rezeki itu Tuhan, bukan kupu-kupu. Jika kau suka pada kupu-kupu terserahlah, untuk menghilangkan stres agar kau tidak memarahi aku dan anak-anak.” “Apakah, aku harus balik kerja? Perusahaan itu masih memberikan peluang padaku, karena mereka tidak cocok dengan penggantiku yang baru.” “Kau kan sudah setengah jalan mengapa harus mundur, itu bukan watak seorang Nuke. Kau sendiri bilang, Mamimu mulai dengan sebuah toko kecil di rumah, sebelum ada toko lain di pusat kota. Dan kamu kan sudah berniat menjadikan kebun ini menjadi rumah bagi kupu-kupu.” Nuke kembali membaca beberapa artikel yang didapatnya dari browsing. Sekali lagi, dibacanya bagaimana beternak kupu-kupu di kebunnya. Dia merasa sudah melakukan petunjuk-petunjuk yang ada dalam artikel tersebut. Namun, belum juga tampak hasilnya. Kemudian Nuke merasa memiliki ide yang cemerlang lagi. Kalau belum juga kupu-kupu datang di kebunnya, dia ingin menghiasi kebunnya dengan kupu-kupu buatan. Oleh karena itu, dia meminta tolong temannya yang perajin kayu, untuk membuatkan kupu-kupu dari kayu. Nuke memberi contoh dari 150.000 jenis kupu-kupu, hanya yang pernah dilihatnya, di kebun waktu masa kecilnya, itu saja yang ingin dibuat tiruannya. Di mana kupu-kupu itu, pasti Papi dan Maminya yang mencintainya dan datang hanya untuk mengucapkan perasaan cintanya. Perajin itu membuat beraneka spesies kupu-kupu dengan sangat memuaskan Nuke. Pagi itu juga dia memasang seluruh kupu-kupu dari kayu di halaman home stay-nya. Suami dan anak-anaknya menganggap kupu-kupu buatan itu, kalau dari jauh sangat mirip dengan yang asli. Besoknya ada tamu pertama yang datang. Tamu itu sekeluarga dengan dua anak laki-laki yang mungkin masih duduk di sekolah dasar. Kegembiraan Nuke menjadi lenyap, ketika dia tahu setelah tamu itu pulang. Kupu-kupu buatan itu hampir semuanya rusak karena ulah kedua anak tamu itu. Nuke kemudian meminta kepada perajin kayu untuk membuatkan lagi kupu-kupu kayu yang sudah dirusak oleh anak-anak tamu itu. Menurut perajin itu, bahan baku kayu semakin sulit, sehingga tidak bisa memenuhi permintaan Nuke secepatnya. Dengan kesal, Nuke mencoba mencari kupu-kupu yang masih utuh. Dari sekian puluh kupu-kupu itu, Nuke hanya menemukan sepuluh kupu-kupu yang masih utuh. Dengan sedih ia menaruh kupu-kupu itu di setiap sudut rumahnya. Namun setelah itu, ia melupakan ide-idenya tentang kupu-kupu itu. Karena, tiba-tiba tamunya begitu banyak. Dan suaminya bilang, “Nuk, ini bukan karena kupu-kupu, rezeki ini dari Tuhan.” Nuke, mengangguk-anggukkan kepala, dia merasa menjadi sesuatu lagi, ketika kamar-kamar home stay-nya dipenuhi banyak tamu. Kali ini, dia merasa harus memeriksa kebun-kebunnya yang sudah dipenuhi lagi oleh kupu-kupu buatan perajin itu. Nuke tercengang, pagi ini dia merasa orang yang paling bahagia. Di seputar pohonnya, banyak sekali kepompong yang bergantungan dengan sebuah tali. Kupu-kupu yang berwarna-warni itu, beterbangan di kebunnya dan ketika isyarat cinta itu datang lewat kupu-kupu, Nuke sedang sibuk melayani tamu-tamunya! Malang, 25 Juli 2007
""Bersama Kupu-kupu, Nuke Terbang""
Semenjak usianya genap 80 tahun, orang-orang Kampung Lekung berkeyakinan, ajal Kurai sudah dekat. Melihat tubuh ringkihnya terkulai letai di atas dipan usang tanpa selimut, barangkali tak akan habis baju sehelai, ia sudah mengembuskan napas penghabisan. Rimba persilatan tentu berkabung sebab kehilangan pendekar paling licin yang pernah ada di Kampung Lekung. Mungkin sudah tiba saatnya, lelaki yang seluruh bagian tubuhnya tahan bacok dan tak mempan peluru itu mewariskan ilmu silat tua, lebih-lebih mewariskan Rantai Celeng yang telah tertanam selama bertahun-tahun di dalam daging paha sebelah kirinya. Sebelum terlambat, sebelum mayatnya dibenam ke liang lahat, sebaiknya Kurai segera menentukan siapa yang pantas menjawab hak waris barang keramat itu. “Harganya lebih mahal dari harga diri Kurai sendiri,” begitu luapan kekesalan seorang cukong barang antik yang datang ke Kampung Lekung tapi ditolak mentah-mentah oleh Kurai. “Bujuk tua bangka itu, agar mau mewariskannya pada salah seorang di antara kalian! Itu bila kalian tidak ingin melarat seumur-umur.” “Jaga mulutmu, kau bisa mati berdiri sepulang dari sini. Enyahlah! Itu kalau kau masih ingin melihat matahari besok pagi,” gertak Candung, anak muda kampung Lekung, penguasa lahan parkir di kota kabupaten. Ia pulang menjenguk Kurai yang dikabarkan mulai sakit-sakitan. “Sekali lagi kau meremehkan Kurai, kujamin kau pulang dengan hidung disumpal kapas.” Kurang tepat bila benda itu dinamai rantai, karena bentuknya bulat melingkar, hampir menyerupai cincin. Tapi, tidak patut pula disebut cincin, sebab diameternya terlalu besar untuk ukuran jari tangan manusia. Disebut rantai, mungkin karena orang-orang membayangkan bila logam menyerupai ring itu dihubungkaitkan dengan logam sejenis, dalam jumlah banyak tentu akan membentuk seutas rantai. Menurut para tetua kampung, Kurai berhasil menggondol Rantai Celeng seusai menyabung nyawa dalam pertarungan melawan celeng berbulu putih sebesar anak kerbau jantan yang keganasannya sudah menjadi kisah turun temurun. Binatang yang dipercaya sebagai raja celeng itu berkali-kali menubruk rusuk Kurai dengan kecepatan melebihi kemampuan celeng biasa. Bila kurang awas, taring sepanjang satu setengah jengkal itu tentu sudah menikam ulu hati dan membuat usus-usus Kurai berhamburan keluar. Semua jurus tangkis dikerahkan Kurai, sesekali tubuhnya terloncat ke atas dahan pohon jirak saat posisinya terdesak, kali lain ia berayun serupa siamang, lalu dalam sekejap mata sudah berdiri di atas punggung celeng tua yang tengah mengamuk itu. Kurai sengaja membuat bermacam-macam gerak tipu, memancing agar celeng terus menyerang, hingga tiba saatnya kehabisan tenaga. Dan benar, begitu serudukannya mulai melemah, sigap tangan Kurai merenggut logam kuning gelap berbentuk bulat melingkar yang tersangkut di salah satu taringnya. Ia berhasil merebut Rantai Celeng yang konon di situlah letak kekuatan celeng itu. Ini hanya satu serpihan cerita perihal kehebatan Kurai tatkala merobohkan raja celeng dan membuat pendekar itu tersohor sampai ke pelosok-pelosok. Riwayat lain menuturkan, setelah Kurai menumbangkan binatang itu, ia belum sepenuhnya menguasai Rantai Celeng, karena tiba-tiba ia dihadang makhluk berperawakan ganjil. Meski masih menyerupai manusia, tapi tinggi badan makhluk itu hanya sepinggang Kurai dan kedua tumitnya menghadap ke depan, sedang jari-jari kakinya menghadap ke belakang, berkebalikan dengan bentuk kaki manusia biasa. Orang-orang menamainya; Bigau, makhluk jadi-jadian, penjaga babi-babi liar di hutan Kampung Lekung. Suatu masa di musim berburu, tak seekor babi pun ditemukan, ketajaman pengendusan anjing-anjing pemburu tak mempan melacak jejak. Tapi kegagalan itu dianggap lazim, para pemburu akan mempercayai bahwa gerombolan babi tengah disembunyikan oleh Bigau. Jadi, masuk akal bila seusai pertarungan paling melelahkan itu, Kurai dihadang Bigau, meski tak ada yang tahu apa yang terjadi setelah keduanya saling bersiap, pasang kuda-kuda. Orang-orang tergesa mengambil langkah seribu, ketakutan melihat rupa buruk Bigau yang sebelumnya hanya didengar dari cerita di kedai-kedai kopi. Jangan dibayangkan Kurai membedah paha kirinya dengan pisau, lalu menanam Rantai Celeng di dalamnya, kemudian menjahit belahan itu kembali sebagaimana pekerjaan dokter bedah. Tidak! Kurai melakukannya tanpa mengeluarkan darah, lebih kurang seperti orang menanam susuk di salah satu bagian tubuh perempuan, tanpa harus merasakan perih dan sakit. Mereka yang ingin memiliki Rantai Celeng tak mau pusing dengan urusan nama, apakah benda ajaib yang bikin Kurai jadi kebal itu layak disebut cincin ataukah rantai? Yang pasti, telah ada kesepakatan diam-diam, bahwa barang keramat yang kini bersarang di tubuh pendekar itu adalah benar Rantai Celeng. Kurai tidak hanya masyhur sebagai satu-satunya pewaris silat tua, tak hanya tangkas menangkis serangan musuh, lelaki yang tahan membujang sampai gaek itu juga kebal senjata, dan karena itu jurus-jurus tangkisnya tidak terlalu berguna lagi. Untuk apa menangkis serangan lawan, tiada senjata yang mempan lukai tubuhnya. Suatu hari di musim petai, seorang anggota tim buru sergap melepas tembakan saat mengejar peladang ganja yang diduga bersembunyi di hutan tempat Kurai biasa mencari petai rimba. Kurai yang sedang terbungkuk-bungkuk mengumpulkan buah petai yang baru saja dipanjatinya dikira peladang ganja yang akan mereka ringkus, timah panas bersarang di kuduk lelaki itu. Tapi Kurai hanya merasa ditimpa kencing tupai, perlahan ada sesuatu yang terasa dingin di punggungnya, karena geli Kurai menyentuhnya. Ternyata cairan itu bukan kencing tupai, tapi peluru yang sudah leleh. Polisi berpangkat sersan mayor itu terbirit-birit seperti dikejar hantu, meremang semua bulu di badannya setelah menyaksikan peluru meleleh di punggung lelaki pemetik buah petai. Saat masih terengah-engah ia bersumpah tak bakal menginjakkan kaki di hutan celaka itu lagi. Sejak itu, orang-orang Kampung Lekung bebas membuka ladang ganja, sebebas menanam jagung atau tembakau. Para peladang membiarkan Kurai memetik daun ganja sepuasnya. Ia mau menggelek hingga mabuk tiga hari tiga malam pun mereka tak peduli. Nyatanya, seberapa pun banyaknya lintingan ganja digasak Kurai, tak sekalipun ia mabuk dibuatnya. Rupanya Kurai tak hanya kebal senjata, tapi juga kebal dari mabuk ganja. “Rantai itu mau dibawa mati?” kelakar Candung, centeng lahan parkir yang selalu mengaku cucu Kurai lantaran kerap mengirimkan pendekar itu minuman keras murahan merek T.K.W, meski Kurai tak pernah teler dibuatnya. Menenggak minuman keras sama dengan berkumur-kumur tiap bangun pagi bagi Kurai. Rupanya ia tak hanya kebal senjata dan kebal mabuk ganja, tapi juga kebal dari mabuk minuman beralkohol, jangan-jangan juga kebal dari mabuk buah kecubung. “Siapa yang bakal mewarisinya? Sebaiknya lekas diputuskan, agar kelak tidak jadi sengketa.” bujuk Candung lagi. “Aku masih menunggu!” “Menunggu? Menunggu mati? Tidakkah cucumu ini orang yang beruntung itu?” Kurai tak bergairah menjawab pertanyaan bodoh si cucu gadungan itu. Sejak mula ia mencium gelagat jahat Candung. Penguasa lahan parkir yang kabarnya sedang terancam oleh musuh-musuh bersengat itu tidak tertarik hendak berguru ilmu silat tua pada Kurai. Ia ingin mentahnya saja; kebal senjata, tahan celurit, tak mempan pistol. Selain akan membuat musuh-musuhnya bertekuk lutut, Candung hendak memperlebar sayap kekuasaan, bila perlu hengkang dari kota kabupaten, mencaplok lahan parkir di kota-kota besar. Tak perlu gamang bila Rantai Celeng sudah dalam genggaman. Para kolektor barang antik belum sepenuhnya percaya kalau pendekar pemetik petai benar- benar memiliki Rantai Celeng, sebab rantai itu bukan sembarang peliharaan. Dalam setahun, sekurang-kurangnya tiga kali benda itu mesti didarahi dengan menyembelih kambing jantan di malam terang bulan. Penyembelihan dipersembahkan untuk Bigau, si penjaga celeng. Sekali syarat itu diabaikan, Rantai Celeng tiada bakal ampuh lagi, kekuatannya akan diisap Bigau. Bagaimana mungkin Kurai mampu melakukan tirakat penyembelihan tiga ekor kambing dalam setahun, sementara hidupnya hanya mengandalkan petai rimba yang kadang berbuah, kadang tak bersisa dimakan beruk. Kalaupun ia masih menyimpan Rantai Celeng, tentu keampuhannya sudah hilang, atau pendekar itu sudah menyerahkannya kembali pada Bigau. Tapi, dugaan itu tidak sepenuhnya benar. Mereka tidak pernah tahu betapa berterima kasihnya para peladang ganja pada Kurai. Selagi ia masih hidup, tak bakal ada yang berani membakar ladang-ladang mereka. Itu sebabnya, secara bergilir mereka menyediakan seekor kambing jantan bila tiba saatnya Rantai Celeng harus didarahi. Apa pun sanggup mereka lakukan demi kedigdayaan Kurai, orang yang telah membuat mereka seperti kejatuhan durian runtuh. Jangankan kambing jantan, kerbau jantan pun mereka sanggupi, asal ladang-ladang ganja aman dari kejaran. Kurai mulai resah, bukan karena sesak napasnya kambuh, tapi karena teringat perjanjian dengan Bigau selepas perkelahian mati-matian puluhan tahun silam. Makhluk jadi-jadian itu memang tidak mampu merebut Rantai Celeng di genggaman Kurai, tapi Bigau mengancam, bila Kurai nekat menggondol Rantai Celeng, sawah-sawah di wilayah Kampung Lekung tidak akan bisa dipanen. Bila sawah-sawah mulai menguning, Bigau akan menghalau gerombolan babi liar guna mengobrak-abrik dan membucuti setiap rumpunnya. Buah padi akan ludes sebelum sempat dituai. Paceklik bakal menimpa Kampung Lekung dan tidak akan berhenti selama Rantai Celeng masih bersarang di tubuh Kurai. Itu sebabnya, para petani tidak bersemangat lagi menggarap sawah, mereka membuka lahan baru dalam hutan, menggarap ladang-ladang terlarang. “Jadi, siapa orang yang beruntung itu?” tanya Candung lagi, kali ini penuh harap. “Bigau!” balas pendekar gaek itu, dan tak lama kemudian sesak napasnya kambuh. Kelapa Dua, 2007
""Bigau""
Debu jalanan yang pekat menyesakkan napas. Sebuah truk pengangkut tanah timbun mengepulkan debu itu sehingga menggelapkan pandangan. Panas terik memang telah berlangsung terlalu lama. Aku sendiri tak sanggup lagi membilang karena sudah terlalu lama didera derita. Pohon-pohon meranggas. Dedaunannya berguguran. Entah kapan lagi sang pohon akan berbunga dan berputik kembali. Setiap hari kusaksikan lalu lintas truk proyek dari gubuk yang kutempati bersama Maryam dan ketiga anak kami yang masih kecil. Wajah mereka terlihat penuh belas dan pasi karena jarang mendapatkan makan bergizi. Kemarau panjang tahun ini makin memperburuk keadaan kami sekeluarga. Tanaman padi di sawah yang luasnya kira-kira sepiring boleh dikatakan tak menghasilkan apa-apa. Hama pianggang mudah sekali menyerang saat panas berkepanjangan. “Kapan lagi Abang ke Kantor Desa?” tanya Maryam membangunkan kesadaranku akan persoalan mendasar yang sedang kami hadapi. Bukan hanya kami, melainkan hampir semua orang-orang kampungku tak lepas dari kemelut persoalan yang sama. “Untuk apa ke sana? Kata Pak Kades, belum ada tanda-tanda penyelesaian masalah ganti rugi itu dalam waktu dekat ini,” jawabku. Memang kemarin aku baru saja menjumpai Pak Kades menanyakan persoalan yang sedang hangat dibicarakan orang-orang kampung sini. “Bukankah persoalannya sudah terlalu lama terkatung-katung? Apa penduduk di sini akan dibiarkan mati kelaparan karena tak ada kepastian itu?” desak istriku mulai naik darah. “Menurut Pak Kades, inilah akibatnya bila penduduk tak mau menerima uang ganti rugi yang sudah ditetapkan.” “Ganti rugi itu terlalu murah, Bang. Terlalu murah!” sergah Maryam. Aku malas bertekak 1) dengan istriku sendiri hanya gara-gara adu pendapat soal yang sudah lama diapungkan. Bukankah aku pada hakikatnya sependapat dengan Maryam. Kami berada di pihak yang sama. Ganti rugi yang layak juga akan kami terima dan pergunakan bersama-sama. Aku terpancing juga akhirnya. Kuambil fotokopi daftar ganti rugi harta benda dan tanah yang dicanang oleh pemerintah. Daftar ini ditandatangani oleh Bupati dan Pimpinan Proyek Listrik yang akan melaksanakan pembangunan PLTA di kampung kami dan beberapa kampung yang bertetangga dengan kami. Kami hanya merasa hanya menerima akibat buruk saja dari pembangunan itu. Soalnya, sungai Turip kini pun airnya sudah sangat dangkal karena didera oleh kemarau dan akan dibendung pula. Oleh sebab itu, bila pembendungan itu berjalan, maka kampung-kampung di kawasan aliran sungai itu akan ditenggelamkan. Siapa pun bisa membayangkan bagaimana sebuah—eh, tidak hanya sebuah melainkan banyak kampung ditenggelamkan. Tidak hanya harta benda beserta tanah leluhur yang dikorbankan, melainkan juga kenang-kenangan dan catatan sejarah yang sudah menjadi sebutan orang kampung secara turun-temurun. Di kampung kami justru terdapat sebuah tanah perkuburan pejuang yang menjadi korban bala tentara Jepun.2) Kuburan itu boleh saja dipindahkan. Tapi, alam sekitar yang menjadi saksi selama berpuluh-puluh tahun tak mungkin tergantikan oleh tanah perkuburan baru. Sewaktu masih hidup dulu, Emakku yang paling pandai bergurau selalu bilang begini: ’sedangkan tempat jatuh lagi dikenang, apalagi tempat bermain’. Ya, kampung halaman bagiku dan juga bagi orang-orang kampung di sini tentulah lebih dari sekadar sebagai tempat bermain itu. Aku mafhum bahwa penderitaan orang-orang kampung tak akan lebih baik dari kami. Apalagi yang diharapkan di saat segala usaha pertanian tak menjadi karena kemarau panjang ini. Lebih tersiksa lagi, akibat rencana penenggelaman kampung kami, maka kegiatan pembangunan nyaris berhenti sama sekali. Jalan dari ibu kota kecamatan yang dulunya pernah diaspal kasar, sekarang penuh lubang dan dunggul.3) Sungguh kasihan para petani yang mengangkuti sisa-sisa hasil kebun dengan hanya menaiki sepeda melintasi jalan penuh lubang itu. Lebih menyakitkan lagi begitu truk-truk pengangkut tanah timbun macam dikejar setan untuk memburu trip. Debu-debu pun berkepulan tanpa terkendali. Tampaknya, sebagian anak-anak kecil di kampung kami sudah ketularan batuk karena terhirup debu kotor jalanan itu. Usaha penduduk hampir mati begitu ada larangan dari orang kabupaten supaya tidak bertanam tanaman. Meskipun yang dimaksudkan peraturan itu hanyalah untuk tanaman keras saja. Tapi, aparat Kantor Kepala Desa kadang-kadang melarang penduduk bertanam apa saja. Perekonomian rakyat tersendat. Lagi pula, mau bertanam apa-apa pun di musim kemarau ini tak ada gunanya. Tanah rengkah-rengkah. Rumput pun enggan bertumbuh sehingga terlihat mersik.4) Kerbau ternak pun kuyu 5) dan pucat dengan tubuh kerempeng. Terasa kini bahwa kemarau bagaikan mewakili sosok jiwa kami dari kampung ini. Ya, hati kami pun tersaput kemarau. Hati kami kini sangat butuh setitik air penyejuk pikiran. Rasanya kami tak kuat bertahan bila kemarau di luar diri kami sebagaimana sedang berlangsung bersepadu dengan kemarau yang ada di batin kami. Bila kemarau sepanjang bulan-bulan lalu mampu mengeringkan sumur-sumur dan sumber air lainnya. Justru kemarau batin telah lama mengeringkan air mata kami. Sunggung, kami tidak bisa lagi menangis. Air mata kami tak cukup mewakili nasib kami yang sedang dikoyak oleh sebuah rencana besar. Oh ya, sejak dulu—10 tahun silam—sebenarnya orang-orang kampung di sini tak pernah menolak pembangunan PLTA berskala besar itu. Proyek itu bagus untuk pembangunan. Pembangunan itu bagus untuk rakyat. Rakyat itu bagus bila menerima hasil-hasil pembangunan itu sebagai buah pengorbanan yang sudah diberikan lebih dulu. Siapa bilang kami tak berkorban dengan membiarkan kampung halaman kami ditenggelamkan. Siapa bilang tak? Apa namanya kalau bukan pengorbanan bila semua kami menyerahkan harta benda yang sudah kami pelihara selama ini untuk sebuah pembangunan PLTA raksasa? Tapi, ganti rugi yang terlalu rendah itu benar-benar akan menimbulkan kemarau perasaan yang lain di hati kami. Jangan perpanjang lagi kemarau-kemarau ini, air mata kami telah lama mengering disadap oleh kemarau batin bertahun-tahun. Aku memang selalu bersikap bagai mewakili orang kebanyakan. Itulah sebabnya bayangan pikiranku selalu mangatasnamakan penduduk di sini. Aku lebih senang berbicara dengan menyebut ’kami’ daripada ’aku’. Sebab, ke’aku’anku memang ada di dalam ke’kami’an kami. Aku larut di dalamnya. Lain halnya bila aku berbicara dengan anak dan istri. Aku harus mendahulukan ke’aku’anku sendiri. Tak ada orang lain yang lebih bertanggung jawab atas diri anak dan istri selain diriku sendiri. Rasanya dalam usia setua ini, aku masih punya keberanian untuk menyampaikan hal-hal yang bertentangan dengan hati nuraniku sendiri. Barangkali, aku termasuk salah satu pensiunan pegawai negeri di mana pada masa masih bertugas dulu aku juga pernah disebut sebagai orang terpandang. Aku dulunya memang tokoh. Tapi begitu masa pensiun menggerogotiku, keberanian itu pudar tiba-tiba. Aku tak punya kekuasaan lagi meski sedikit. Aku telah lebur menjadi orang kebanyakan. Oleh karenanya, sisa-sisa keberanian itu saja yang selalu membuatku bangkit untuk memupuskan kesewenangan. Termasuk soal ganti rugi itu yang menurutku sudah termasuk kesewenangan baru. Kadang-kadang aku jadi sulit berbicara soal kemarau yang sedang melanda kini. Sebab, kemarau batin makin garang mengeringkan impian-impian dan harapan. Oleh karenanya, aku tak begitu mempedulikan bagaimana orang-orang kampung berjejal mengambil air minum di sungai Turip yang makin dangkal itu. Sebab, mata air di dalam hati kami jauh lebih dangkal lagi. Wabah kolera dan muntaber mulai merajalela. Musibah baru pun muncul. Ada kematian yang tiba-tiba datangnya. Aku pun merasakan deraan kematian itu ketika Hasyim, anak bungsu kami, juga meninggal dunia setelah muntah mencret selama sehari semalam. Puskesmas memang ada di kota kecamatan. Tapi jaraknya cukup jauh. Maryam memang tidak sanggup lagi menangis. Oleh sebab itu, sekarang kemarau juga ikut mengeringkan air mata semua penduduk. Kemarau batin pula yang tiba-tiba mengubah sikap Maryam, istriku. Ia tampak lelah menahan derita. Lelah menatap kenestapaan dua anak kami yang tersisa. “Bang, lebih baik kita terima saja ganti rugi itu. Walaupun rendah sekalipun,” pinta Maryam beriba-iba. Dia tampaknya tak kuat lagi menyaksikan dan mengalami deraan kemarau demi kemarau ini. Kepergian Hasyim baginya suatu pukulan yang besar. Dia tak ingin maut akan ikut merenggut dua anak kami yang lain, Yunus dan Maksum. Hanya mereka berdua yang menjadi pewaris kami kelak. “Maumu, kita terima perlakuan yang tidak adil itu?” balasku menyangkal. “Apa lagi yang harus kita tunggu di sini. Hanya ada wabah, debu, maut, dan tanah yang rengkah. Bagaimana kalau kita ikut terenggut maut dalam selimut kemarau ini?” ungkap Maryam lagi. “Jangan putus asa. Aku melihat ada gelagat lain yang bisa-bisa di luar dugaan sama sekali. Kemarau ini begitu panjang. Lihatlah air sungai Turip itu. Hanya tinggal sebatas lutut. Bila sungai itu pun kering, bendungan apa lagi hendak dibuat di kampung kita?” aku memang mulai menemukan keraguan baru sehubungan dengan rencana PLTA itu. Orang-orang ahli seperti perencanaan proyek PLTA itu boleh saja membuat perkiraan-perkiraan tentang jumlah air sungai yang siap menopang pembangkit listrik itu. Tapi, kekuasaan Tuhan? Tak seorang pun dapat mendahuluinya. Inilah keyakinanku. “Jadi menurut Abang, proyek PLTA itu bisa saja batal?” tanya Maryam penuh kebimbangan. Aku mengangguk. “Ya, kenapa tidak? Bila alam sendiri yang hendak membatalkannya. Siapa yang akan menghalangi?” balasku makin berani. Maryam terdiam. Pikirannya memang tidak akan lebih kencang dari pikiranku. Namun, ia bisa memahami ramalan-ramalan yang kubuat. Kemarau telah berlangsung setahun lebih beberapa bulan. Air sungai Turip benar-benar telah mengering. Ini di luar dugaan banyak orang. Seiring dengan itu, di kalangan pelaksana proyek PLTA terjadi sebuah kejutan yang tak pernah dibayangkan. Pimpinan proyek tersebut tiba-tiba tersiar bunuh diri. Alasannya malu hati karena perkiraan yang dibuatnya bersama perencana dan konsultan yang lain meleset sama sekali. Kadangkala, rasa malu bisa mengalahkan arti sebuah hidup. Kampung kami dan beberapa kampung yang dicadangkan akan tenggelam benar-benar heboh. Sebagian penduduk mulai terbakar semangatnya untuk unjuk rasa. Aku pun diajak untuk meramaikan unjuk rasa itu. Sekadar mengingatkan pihak yang berkehendak bahwa semestinya pembangunan jangan sampai merugikan rakyat kecil seperti kami dan penduduk di sini. Tapi, sungguh, dengan kesadaran penuh, aku menolak untuk ikut unjuk rasa itu. Bagiku itu tak akan menyelesaikan masalah. Kemarau panjang selama ini sudah menjadi persoalan besar bagi kami sekeluarga. Ditambah pula kemarau yang ada di batin kami sendiri. Kami tak ingin akan bertambah lagi kemarau-kemarau baru dalam kehidupan kami. Biarlah air mata kami mengering, tapi kami tak akan meratapi apa yang terjadi. Pekanbaru, 9107 1) bertengkar 2) Jepang 3) gundukan kecil 4) kering menguning 5) kurus dan pucat lesu
""Kemarau Air Mata""
Setelah matahari tengah hari tergelincir, langit berangsur berubah berwarna kuning. Sinar menyilaukan berpendar-pendar membiaskan kabut kuning menerpa seisi alam. Cuaca seperti inilah yang oleh ibu disebut sore “candik ala”. Suatu sore yang jelek. Suatu sore yang membawa malapetaka dan penyakit. Dalam cuaca seperti ini, kami diharuskan masuk ke dalam rumah. Aku tidak lagi mau bertanya kepada ibu, perihal kenapa kita mesti takut kepada cuaca seperti itu. Karena kalau aku bertanya hal-hal aneh, seperti misalnya larangan untuk duduk di depan pintu yang nanti akan dimakan Batara Kala, akan selalu dijawab dengan nada agak marah, dengan kata yang tak kupahami maksudnya: “Ora ilok!” kata ibu. Tapi kali itu, setelah beberapa kali mengalami sore candik ala, aku tak tahan lagi untuk tidak bertanya tentang ayah, yang sudah berbulan-bulan tidak pulang. Ibu seperti menghindar, memalingkan muka menyembunyikan wajahnya, sambil jawabnya: “Nanti juga kalau saatnya pulang, pasti pulang.” “Apa nggak kena penyakit karena candik ala, Bu?” tanyaku tak sabar. Ibu diam saja. Memang, kadang-kadang setengahnya aku kurang percaya dengan hal-hal aneh demikian, tapi kadang kala pula hati dibuat ciut dengan kejadian seperti yang pernah kami alami tahun lalu. Menjelang tengah malam kudengar suara kentongan bertalu-talu, seperti jutaan kentongan dipukul bersamaan. Semula terdengar samar-samar, seperti dari kejauhan, semakin lama semakin keras seperti semakin mendekat. Ibu segera berdiri di balik pintu depan, sambil komat kamit membaca doa. Kudengar sepotong doanya: “Ngalor, ngalor, aja ngetan aja ngulon.” Kupeluk kaki ibu karena ketakutan oleh sesuatu yang tidak kumengerti. “Ada gejog,” kata ibu, “Nyai Roro Kidul bersama bala tentaranya sedang berarak menuju istananya di gunung Merapi. Orang yang tinggal dekat Segara Kidul, yang pertama kali melihat ombak laut besar dan suara gemuruh, mulai memukul kentongan. Itu pertanda Nyai Roro Kidul keluar, naik kereta kencana, diiringi para serdadu jin. Kemudian orang desa yang akan dilewati rombongan itu beramai-ramai memukul kentongan supaya beliau tidak singgah ke desanya. Karena setiap beliau singgah, beliau akan mengambi abdi dalem baru.” Aku tetap kurang paham akan keterangan ibu. Yang aku tahu ibu telah berdoa supaya rombongan itu tidak singgah ke sebelah timur Gunung Merapi, letak desa kami. Beberapa hari kemudian, malamnya, dua lelaki berseragam loreng datang ke rumah dan mengajak ayah pergi, sepertinya dengan cara paksa. Ibu mengejar sampai halaman depan sambil memohon supaya ayah jangan dibawa dengan penuh iba. “Ayah dibawa Nyai Roro Kidul ya Bu?” tanyaku. “Hush!” jawab ibu sambil bergegas langsung masuk kamar tidur. Kudengar tangisan ibu menyayat hati. Berita tentang perginya ayah merebak ke seluruh desa. Meskipun tak begitu aku pahami artinya, kudengar dari Lik Kasdi, pamanku, bahwa ayahku terlibat. Terlibat apa aku kurang jelas, hanya yang kuketahui juga dari tetangga bahwa ayahku adalah seorang pegawai negeri yang suka memberi penyuluhan kepada para petani. Sejak itu, ibu kerap pergi dengan menjinjing rantang berisi nasi dengan lauk ikan asin dan sayur daun singkong kesukaan ayah. Kami, anak-anak, tidak diperkenankan ikut serta. Beberapa kali, aku yang merasa anak terkecil suka merengek minta ikut. Dengan sedikit marah ibu menjawab: “Ibu akan nengok ayahmu yang sedang kerja, kamu jangan ganggu dia!” Pasti ayah sedang kerja lembur, pikirku. Tetapi beberapa bulan kemudian, ibu tidak bisa lagi berbohong, karena kemarin aku dengar dari Lik Kasdi, bahwa ayah ditahan di kota. Dan dia bercerita panjang lebar, tentang pemberontakan besar. Waktu itu yang tertangkap dalam otak kecilku adalah tentang para jenderal yang dikorbankan dimakan buaya di sebuah lobang. “Ayahmu sedang berjuang,” ujar ibu dengan wajah keruh ketika aku tanya soal tahanan ayah. Tanpa tahu apakah yang dimaksud dengan berjuang, yang pasti aku kerap kali menangis sendirian bila malam waktu tidur tiba. Setiap bangun pagi, ibu melihat mataku sembab. Rupanya ibu pun tahu akan kerinduanku pada ayah. Kulihat air matanya mengembang. Kemudian memelukku erat-erat, dan tangisnya tertahan meskipun air matanya deras membasahi pundakku. Jadinya aku ikut menangis tanpa kutahu sebabnya. Sore itu, cahaya candik ala menyelinap lewat jendela menerpa lemari kaca tempat memajang foto ayah dalam bingkai. Mungkin karena rinduku pada ayah, kulihat seakan foto ayah bergerak, tangannya melambai kepadaku. Terasa di dalam dadaku ada yang menggelepar-gelepar. Kudengar pula dari Lik Kasdi, ayah bersama para tahanan beberapa lama ini sedang dipekerjakan membuat tanggul sepanjang rawa besar di daerah tak jauh dari rumah kami. Katanya tanggul yang sepanjang tiga kilometer ini sekaligus untuk jalan penghubung antardesa yang terpisah oleh rawa. Karena rinduku tak tertahankan lagi, dengan mengendap-endap lewat pintu dapur, tanpa sepengetahuan ibu dan tanpa takut dengan cuaca candik ala, sambil membawa pancing bambu, kugenjot sepedaku lari kencang ke rawa, dengan harapan ayah masih di sana. Setiba di sana, nampak banyak orang berseragam loreng dengan menyandang senjata laras panjang. Mereka berjaga di sebelah timur rawa, di mana kulihat ratusan orang sedang bekerja menggali tanah dan mengangkat batu. Dalam terpaan cahaya kuning, wajah-wajah kurus semakin mempertegas cekungan mata bagai mayat hidup. Dadaku berdebar-debar, tak sabar untuk bisa cepat-cepat bertemu ayah, yang mungkin ada di sana. Beberapa meter sebelum mencapai tempat mereka, seorang petugas mengusirku, dan menyuruhku mancing agak jauh dari situ. Kutaruh sepeda di pinggir jalan, kemudian duduk mencangkung di atas batu padas di pinggir rawa. Dengan berpura-pura memancing, terus kutajamkan mataku mencari ayah di antara ratusan orang yang sedang bekerja. Langit yang membiaskan warna kuning agak menyilaukan mataku, sehingga sulit mencari di mana ayah berada. Ketika langit berubah warna memerah, pertanda magrib menjelang tiba, dan ketika aku nyaris putus asa, kulihat di kejauhan seseorang berdiri tegak memandang ke arahku, sementara yang lain masih bekerja…. Itulah ayah! Kulempar pancing, tanpa menghiraukan para petugas, aku pun berlari, menangis sambil berteriak keras-keras memanggil ayah. Ayah seperti tertegun melihat kedatanganku. Tetapi kemudian wajahnya berubah gembira, meskipun kulihat seperti dipaksakan. Lengannya terentang menyambutku. Kujatuhkan diriku memeluk lututnya dan menangis sejadi-jadinya. Kulihat ayahku sangat kurus dan lusuh, tapi nampak diusahakan selalu tubuhnya ditegap-tegapkan. “Kapan ayah pulang? Kapan, yah, kapan?” tanyaku berulang-ulang Ayah tersenyum lebar sambil jawabnya: “Nanti kalau kerja besar ini selesai, cah bagus.” Beberapa petugas mendekati kami. Ayah bicara kepada mereka beberapa saat, kemudian kami dibiarkan berdua. Kami hanya berpelukan sampai terdengar peluit tanda usai kerja. Kami bergerak bersama para tahanan menuju truk-truk yang sudah tersedia, sambil kupeluk pinggang ayah. “Ayah tidak kena penyakit karena candik ala?” tanyaku. Ayah tertawa. Sambil mengelus rambutku ayah bekata: “Tidak mungkin ayah kena. Ayah sehat karena banyak makan sayur.” Kemudian ayah membopongku, menciumiku sambil tawanya yang nampak dipaksakan pula. “Ayah nanti tidur di p..p..penjara?” tanyaku terbata-bata menahan tangis. “Siapa bilang, he..he..he, bukan di penjara, tapi di hotel!” “Ayah sedang berjuang?” tanyaku kemudian. Ayah nampak kaget. “Ibu yang bilang…,” kataku menjelaskan. Ayah tertawa mendengar ini. Menjelang dekat truk, ayah berjalan dengan tegak sambil menyanyikan sebaris lagu Indonesia Raya. Para petugas dan para tahanan terheran-heran, memandang kami. Setelah menurunkan aku dari gendongannya, ayah melompat ke bak truk. Sambil menoleh kepadaku, ayah mengacungkan tinju ke atas, dan katanya keras-keras: “Ingat Aryo, kamu harus selalu berjalan tegak, menghadapi nasib apa pun. Termasuk kalau ada candik ala…. Dan jangan lupa lagu Indonesia Raya!” Barisan truk pelan-pelan semakin jauh meninggalkanku sendirian di pinggir rawa. Tak terasa air mata membanjir membasahi pipi. “Ayaaaaaaaaah!!” teriakku keras-keras muncul sendiri tanpa kusadari. Saat usia sekolahku tiba, suatu malam Lik Kasdi, yang sudah menjadi carik desa, datang mengunjungi rumah kami. Di ruang depan dia bicara setengah berbisik kepada ibuku. Dari balik pintu kamarku, kutangkap pembicaraan mereka, bahwa ayah sudah menyambut maut dengan gagah sambil menyanyikan Indonesia Raya, katanya. “Saya sudah berusaha keras menolongnya, Mbakyu,” ujar Lik Kasdi, “Sudah kuberi bukti bahwa Mas Kasman tidak terlibat, melainkan karena fitnah bekas bawahannya yang sakit hati karena dia pecat.” Aku mau menangis keras, tapi terasa tenggorokanku tercekik. Semalam suntuk aku terduduk di balik pintu kamar, sambil mendengar isakan ibu dan Yu Rini, berkepanjangan di kamarnya. Tiga tahun kemudian, ibuku pun menyusul ayah. Bukan karena diambil Nyai Roro Kidul, melainkan oleh sakit batuk yang diidapnya sekian lama. Yu Rini pun menikah dengan seorang aparat desa dan aku ikut dengannya. Berpuluh tahun kemudian, setelah melewati berapa puluh sore candik ala, setiap cuaca demikian, ada sesuatu yang pedih, seakan ada yang pecah berkeping-keping di dalam dadaku. Dan telah sekian puluh tahun pula aku mencoba benar-benar berjalan tegak, tapi sangatlah sulit. Hanya karena aku adalah anak kandung ayah. Dan semua orang masih saja mengingat ayah adalah ayah kandungku. Sekarang ini, aku masih juga mencoba berjalan tegak, meskipun sudah sambil menyanyikan lagu Indonesia Raya, tapi hanya baru bisa melata di tanah! Klaten, 2005 Catatan: Candik ala: pertanda buruk dengan cuaca sore yang membiaskan warna kuning Ora ilok: pamali, larangan Gejog: barisan roh halus Nyai Roro Kidul: Ratu Laut Selatan Ngalor, ngalor, aja ngetan, aja ngulon: ke utara, ke utara, jangan ke timur jangan ke barat Segara Kidul: Laut Selatan Kali Woro: sungai besar di lereng gunung Merapi yang dipenuhi pasir dan lahar dingin GM Sudarta (30 September 2007)
""Candik Ala""
Dalam remang, dari jendela yang daunnya disentak diempas-empaskan badai, ia lihat semua: ombak yang menjulang, laut yang seakan terangkat—menganga bagai rahang, bergemulung menelan pantai. Suaranya gemuruh. Bergederam. Jadi inilah “lak-uk kam”, badai musim utara itu, yang menjadikan sebagian pulau porak-poranda, penuh genangan, dan membuat para penduduk pindah-sementara ke balik bukit pulau bagian selatan. Senja. Lalu malam. Gelisahnya dihantam debar saat lampu suar tiba-tiba menyala. Dia masih ada? Ia julurkan kepala—dingin bagai mengiris muka!—melayangkan pandang ke puncak menara. Tak tampak apa-apa, kecuali lesat cahaya yang bagai terentang sedapat-dapatnya. Ia rasakan juga, saat matanya menyapu menyusur muka laut, lesat cahaya itu seolah ikut bergolak, berkecamuk, mengempas-empas menerpa-nerpa. Sesaat ia tertegun. Lalu, bagai gugup, mengembalikan pandang ke puncak menara. Dia masih ada. Ditariknya kepala. Ditutupnya jendela. Kecamuk di luar bagai tertahan, teredam. Tetapi kecamuk lain bergolak bangkit dari dalam dirinya. Beberapa saat ia diam, tegak terpaku di balik jendela, kemudian bergerak melangkah ke bilik. Cahaya lampu semprong—kadang meredup kadang meletup—membuat bayang tubuhnya tampak aneh, bagai makhluk lain di dinding. Di kegelapan bilik, tangannya meraba-raba dipan, meraih senter dari samping bantal, kemudian kembali melangkah ke luar. Ia sudah akan menarik daun pintu ketika terpikir pada lampu semprong—berbahaya ditinggal hidup, berbalik, lalu meniup memadamkannya. Seketika gelap. Jarinya memencet. Cahaya senter menyorot. Begitu pintu ia buka, gemuruh gederam kembali menghenyak telinga. Angin menampar, dingin mengiris itu, lalu ia terkejut menyadari air bergemilat berkecipak di bawah tangga. Air lautnya, dia benar, sampai ke sini. Percakapan itu, dialog pertama mereka, kembali terngiang. Betapa ia tak menyangka. Dalam kosong, sepi pantai, debur ombak lengang. Lelaki itu—entah sejak kapan—ada di belakangnya, mencangkung di batu karang. Sunyi sekali ya? Ia tak menyahut. Masih tercengang, merasa heran. Akan amat beda bulan depan. Badai musim utara, sangat gila. Mereka menyebutnya lak-uk kam. Ia akan menyahut, atau setidaknya bersuara, tapi urung. Kata itu, “mereka”. Mendadak ia sadar satu hal: si lelaki juga bukan penduduk pulau ini. Dan tiba-tiba ada rasa lega, rasa bahagia, dan—entah, seperti debar. Mereka akan mengungsi. Kau akan libur, mmm, mungkin satu bulan. Air akan menggenangi sekolah, pondok-pondok mereka. Tentu juga rumah dinasmu. Dan segera pula ia sadar: laki-laki ini tahu siapa dirinya. Dan pulau kecil terpencil ini tampaknya bukan tempat yang asing bagi si lelaki. Siapa dia? Bagaimana dia bisa tahu siapa dirinya sementara ia, telah hampir dua bulan di sini, belum pernah bertemu dengan si lelaki? Ingatannya dikejutkan oleh empasan—bukan lagi kecipak—air menerpa tangga. Dan tangga yang dibuat dari ruyung pohon kelapa itu terasa bergerak, bergeser, membuatnya serta-merta melompat, melangkah ke gundukan batu yang sehari-hari ia gunakan sebagai bangku. Sorot senter, kecamuk lidah air—cahaya mengempas-empas itu, kembali mengantarkannya ke perasaan ganjil. Kembali ia bagai gugup. Tertegun-tegun. Cahaya mengempas menerpa-nerpa, seolah dari suatu tempat di masa lalu, menggeliat, bergolak bangkit meringkus benaknya. Tetapi tentu, ia tak bisa melangkah tanpa menyorotkan senter. Maka setiap kali cahaya senter melesat menerpa kecamuk-kecipak lidah air, ia bagai terlambung ke waktu lain. Dan ia jadi gemetar, bahkan serasa berpeluh, saat menapak-meniti batu-batu sepanjang seratusan meter ke arah tanjung. Di kaki tanjung, setelah menaiki batu bercowak bagai berjenjang, ia akan sampai di jalan setapak bercecabang. Ada tiga cabang turun di jalan setapak itu, salah satunya menuju sekolah. Ada dua cabang mendaki, satu mengarah ke balik bukit tempat para penduduk sejak kemarin berangsur-angsur mengungsi, sedang satunya lagi, setelah mendaki seratusan meter juga, akan berbelok, turun, lalu mendaki lagi menuju tanjung lain yang menjorok lebih jauh ke laut, tempat menara suar itu tegak menjulang. Menara suar? Ah, dia masih ada. Gelisah itu. Debar. Gemetarnya bertambah-tambah. Kenapa dia masih ada? … Tapi kali ini aku takkan sempat melihat lak-uk kam. Kenapa? Minggu depan aku tak lagi di sini. Begitulah kami, penjaga mercusuar. Sekali tiga bulan dijemput, dipindahkan ke menara lain. Ke pulau lain. Ke kesepian lain … ia membatin. Ya, ke kesepian lain … si lelaki bagai mendengar kata hatinya. Salah tingkah, ia lemparkan pandang ke laut. Saat itu mereka berada di atas menara. Dan itu entah salah tingkah keberapa setelah sebelumnya juga terjadi di “tangga tikus” ke lantai 2. Mereka bersentuhan, dan reaksinya yang berlebihan saat menarik tubuh membuat si lelaki menoleh. Mereka sangat dekat. Sangat rapat. Dengus itu, napas si lelaki dan napasnya. Segera ia alihkan pandang. Mencari-cari. Dan matanya ia hentikan pada tulisan—seperti prasasti—di dinding: Onder De Regeering van ZM Willem III Koning Der Nederlanden, opgericht voor Draailicht Vierde Grootte 1886. Oh, itu artinya ’Pada masa pemerintahan Yang Mulia Raja Belanda Willem III, menara suar keempat terbesar ini dibangun pada tahun 1886’. Kau bisa bahasa Belanda? Tentu tidak. Kami diberi tahu. Ada 20 menara suar dibangun Belanda sejak tahun 1868 hingga 1891. Dan menara ini salah satunya. Dilepaskannya “o” panjang, berharap gugupnya ikut lepas dalam “o” itu. Tetapi ternyata tidak. Betapa sukar. Betapa debar. Mereka: dua orang asing, di pulau kecil asing terpencil yang penduduknya hanya 142 jiwa, betapa— Tetapi entah, mungkin cuma dirinya yang merasa asing. Karena, bukankah lelaki itu sudah terbiasa. Sekali tiga bulan kapal Dinas Perhubungan akan datang menjemput si lelaki dari sebuah pulau terpencil entah di mana, untuk diantarkan ke pulau terpencil lain yang juga entah di mana. Begitulah penjaga mercusuar selalu dirotasi. Dan sering tanpa jadwal yang pasti. Bahkan kata si lelaki, ada menara suar yang sama sekali tak terletak di sebuah pulau, melainkan cuma di sebungkah karang. Sebungkah karang? Kalau laut sedang pasang, lantai 1-nya akan tenggelam. Aku hanya akan di atas menara, tak bisa ke mana-mana. Oh… seperti dipenjara. Ya, seperti penjara… dan ia ingat, waktu itu ia jadi malu. Ia bercerita betapa merasa asingnya ia. Telah lebih dua bulan, belum bisa melakukan apa-apa. Jangankan mengajar, ia malah harus belajar. Harus belajar? Bahasa mereka, aku belum mengerti. Ikan memang mereka sebut ikan, tetapi kupu-kupu mereka sebut kelembak. Kelapa mereka bilang nyio, dan kera mereka bilang ke-e. Untuk cepat belajar, aku harus punya foto atau gambar. Tapi, di tempat ini, bagaimana cara mendapatkan semua gambar? Oh, memang sulit. Lima atau enam kali tugas di sini, aku hanya tahu: mereka tak biasa melafalkan r, dan a kadang mereka sebut e. Eh, bagaimana mereka memanggilmu? Memanggil Pak Guru maksudmu? Ya. Pak Guk-o. Dan lelaki itu tertawa. Ia senang tawa itu: nyaris tak bersuara, hanya guncang bungkah pundak, bibir yang tertarik lebar, dan garis melengkung dalam dari ujung bibir ke sudut mata, bagai dipahat sempurna. Ah. Desah. Gelisah. Gemetarnya kian bertambah-tambah. Menaiki batu bercowak, sampai di jalan setapak, debar itu menjelma jadi beduk, berdentum-dentum. Ada lima cabang di depannya, dan tiba-tiba, ya Tuhan, ia mengubahnya. Ia tak memilih cabang mendaki menuju ke balik bukit tempat para penduduk sejak kemarin berangsur-angsur mengungsi itu, melainkan cabang mendaki lainnya, yang setelah mendaki seratusan meter akan berbelok, turun, lalu mendaki lagi menuju tanjung lain yang menjorok lebih jauh ke laut, tempat si menara suar tegak menjulang. Dalam gelap, dari 3-4 jenjang terakhir “tangga tikus” ke lantai 2, ia melihatnya. Lelaki itu tegak di tengah ruangan, tepat menghadap ke arahnya seperti hendak melangkah ke mulut pintu lantai 1—ataukah memang tengah sengaja menunggunya? Senter masih di tangannya, dan jarinya tak memencet, tetapi cahaya mengempas-empas itu bagai menerobos dari masa lalu. Seorang lelaki menindih. Seorang bocah ketakutan. Orang-orang berteriak, menggedor-gedor pintu atau entah apa, lalu cahaya senter menyorot menerpa-nerpa. Oh…. Ia telah di lantai 2. Jarak mereka dua depa. “Kau masih di sini….” “Mereka terlambat. Tak mungkin menempuh badai.” Lelaki itu mendekat. Lalu semua menjadi lenguh. Gemuruh. Bergederam. Lak-uk kam. *** Gus tf Sakai (23 September 2007)
""Lak-uk Kam""
Pikirnya anak-anak itu menjual jatah mereka kepada seorang lelaki setengah baya yang memperkenalkan dirinya bernama Markum. Lelaki itu muncul begitu saja di satu sore, masuk serta duduk di sofa sambil menenteng koper kecil. Siti membayangkan salah satu dari anak-anak itu juga meminjamkan kunci apartemen kepadanya. Mendengar seseorang masuk, Siti segera keluar dari kamar dan menyambutnya: Selamat sore.” Markum terkejut dan memandang ke arah Siti. Namun Siti segera berlalu menuju lemari es, bertanya ia mau minum apa. Markum agak tergeragap dan meminta sekaleng minuman soda. Siti membuka sekaleng minuman dan menyodorkannya kepada Markum. Dibukanya jendela, membiarkan angin lembut California menyibak tirai. Setelah minum, Markum tampak lebih tenang dan bertanya: “Sejak kapan Jimmi membawamu ke sini?” “Sudah hampir enam bulan.” Markum mengangguk-angguk kecil, mengelus dagunya sendiri, lalu agak ragu kembali bertanya, “Berapa Jimmi bayar kamu?” “Ah, berapalah gaji pembantu?” tanya Siti dengan senyum genit. Jadi kamu pembantu, pikir Markum. Ia tak pernah membayangkan dirinya bakal pergi ke Amerika. Ia hanya pernah membayangkan bisa pergi ke Arab, atau Hongkong, untuk bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Kini Amerika memberinya visa selama enam bulan. “Lihatlah sisi baiknya: kamu bisa liburan selama enam bulan di Amerika. Melihat salju dan kalau beruntung, berkenalan dengan Julia Roberts,” kata pemuda itu, terus terngiang-ngiang seperti bujukan setan. Nama pemuda itu Jimmi. Tipikal anak orang kaya yang dikirim bapaknya untuk sekolah ke Amerika, tapi tak ada tanda-tanda ia bakal menyelesaikan pendidikan apa pun. Tawaran Jimmi terdengar agak sinting, namun sekaligus memberinya sejenis pengharapan: ia diminta menjadi teman tidur enam mahasiswa, enam hari dalam satu minggu, dan bebas di hari terakhir. Untuk semua itu ia tak perlu memikirkan visa, tiket, tempat tinggal, makan, dan bahkan memperoleh bayaran sebulan sekali. Tentu saja awalnya ia melihat ada sejenis muslihat dalam tawaran tersebut dan menatap Jimmi dengan sedikit ragu-ragu. Jimmi meyakinkannya bahwa ini hanya bisnis biasa. Ada untung, ada risiko. “Bapakku ngamuk karena sekolahku tak juga rampung, aku butuh tambahan duit. Ini bisnis. Lima orang temanku akan membayarku untuk apa yang bakal kamu lakukan, kamu dapat tiket, visa, tempat tinggal, makan dan jajan. Itu saja.” Ia masih tak yakin dan kembali bertanya, “Untuk itu kenapa kalian, enam orang pemuda sinting ini, harus membawa perempuan dari Jakarta?” Jimmi mengembuskan napas dan berkata sejujurnya, “Pelacur Amerika, hmm, kamu tahu, mahal.” “Jadi itu alasannya. Mahal dan murah.” “Itu kalau kamu mau,” kata Jimmi buru-buru. Otak bisnisnya boleh juga, pikirnya. Itu malam pertama mereka bertemu. Jimmi bukan salah satu pelanggan. Meskipun begitu, ketika Jimmi muncul ditemani seorang temannya, seolah ia sudah mengetahui tempat tersebut. Barangkali pelanggan lama, pikirnya. Mungkin tiga atau empat tahun lalu, sebelum ke Amerika, sering mampir ke tempat ini. Saat itu Jimmi memilih-milih di antara perempuan-perempuan yang menunggu di sofa, dan sekonyong menunjuk dirinya. Lalu di dalam kamar, Jimmi tak langsung mengajaknya bercumbu, malahan mengajukan tawaran untuk pergi ke Amerika tersebut. “Gimana?” tanya Jimmi. “Kupikirkan dulu satu malam.” “Baiklah. Jadi, siapa namamu?” “Lucy.” “Kita sedang berbisnis, beri tahu aku nama aslimu.” “Siti.” Jimmi naik ke tempat tidur dan mulai membayangkan Siti tinggal di apartemennya, serta uang yang akan disetorkan teman-temannya, empat kali dalam sebulan. Jika ia membutuhkan lebih banyak uang, ia bisa menjual jatahnya sendiri ke mahasiswa lain, di malam Jumat. Tanpa tertahan ia tersenyum sendiri. “Aku mau ke Tahoe, main ski,” kata Jimmi kepada Siti. Meskipun ia nyaris tak pernah pergi sekolah, ia merasa berhak untuk menghabiskan liburan musim dingin dengan pergi main ski, seperti mahasiswa lainnya. “Kamu jaga rumah. Kamu tetap dibayar, tak peduli mereka mau pakai atau tidak. Tak peduli mereka pergi liburan atau tidak.” Itu artinya aku harus tetap siap sedia dari Senin sampai Sabtu, pikir Siti. Itu tak masalah buat Siti. Setelah memutuskan untuk menerima tawaran Jimmi dan berangkat ke Amerika, ia menemukan pekerjaan yang harus dilakoninya tak seberat yang pernah dibayangkannya. Bahkan ini lebih ringan daripada yang pernah dijalaninya di Jakarta. Jimmi benar, di sini ia memperoleh bonus melihat salju (satu kali akhir pekan menjelang musim dingin ini, mereka mengajaknya ke Seattle untuk membuatnya melihat salju), meskipun belum juga bisa berkenalan dengan Julia Roberts. Tak apa. Di Jakarta hidupnya tak lebih baik. Tiga tahun ia habiskan di satu tempat pelacuran di daerah Kota, dan tampaknya akan terus begitu hingga tiga atau empat tahun ke depan. Ia belum tahu pasti apa yang akan menghentikannya dari pekerjaan tersebut. Menjadi penjahit di industri garmen seperti dua temannya, hanya akan membuatnya bertahan hidup lima belas hari setiap bulan. Pergi ke Arab, ia takut pulang babak belur dipukul majikan, seperti di koran. Jadi apa salahnya ia memperoleh selingan selama enam bulan ke Amerika? Jimmi bilang, jika bisnis mereka lancar, ia akan memperpanjang visa Siti untuk enam bulan seterusnya. “Tapi jika teman-temanmu, atau bahkan kamu, mulai bosan denganku?” tanya Siti. “Gampang mencari lima pelanggan baru. Ada ribuan mahasiswa Indonesia di sini. Dan jutaan lelaki,” kata Jimmi. “Lagi pula, kalau seorang suami betah meniduri istrinya selama lima puluh tahun, kenapa kami harus bosan menidurimu selama enam bulan?” Siti tahu, meskipun Jimmi bukan anak genius, dalam perkara begini ia sangat pintar. Di apartemen tersebut mereka hanya tinggal berdua, masing-masing memperoleh sebuah kamar. Jika teman-teman Jimmi datang, mereka akan langsung tinggal di kamar Siti. Mereka punya malamnya sendiri, hanya boleh ditukar atas kesepakatan di antara mereka. Demikian aturannya. Jimmi sendiri akan merayap ke kamar Siti di malam Jumat. Kadang-kadang memang Jimmi merayap pula di siang hari lain. Karena Siti merasa Jimmi memperlakukannya dengan baik, ia tak terlalu keberatan. Lain waktu, ada juga anak lelaki lain muncul di malam tertentu, di luar Jimmi dan teman-temannya. Ini bisa terjadi jika salah satu dari keenam anak itu menjual jatahnya ke teman yang lain. Itu boleh dan itu aturan yang sudah disepakati sejak awal. “Mungkin mereka pergi berlibur, tapi tak ada yang menjamin mereka tak menjual jatahnya ke anak-anak lain, atau bapak-bapak lain. Jadi selama aku pergi ke Tahoe, kamu tetap di rumah. Siapa tahu ada yang datang. Nanti kubawakan oleh-oleh,” kata Jimmi. Siti hanya mengangguk dan segera membantu Jimmi memasukkan papan ski Rossignol ke dalam bagasi mobil. Sesaat setelah Jimmi pergi ke Tahoe, Siti menyadari ia kebobolan. Ia hamil. Ia tak perlu pergi ke dokter untuk tahu dirinya hamil. Dengan agak panik ia mencoba menghubungi telepon genggam Jimmi, tapi tak tersambung. Setan kecil itu barangkali mematikan telepon genggamnya. Ia semakin panik menyadari bahwa ia tak bisa menentukan, siapa bapak anak itu. Satu dari enam anak, ia tak tahu yang mana. Mereka akan saling melempar, dan tak seorang pun akan mengakuinya. Jimmi pernah bilang, “Jaga dirimu, jangan sampai bunting. Menggugurkan kandungan atau melahirkan hanya membuat bisnis kita berantakan, masih untung kalau enggak ditahan polisi federal.” Ia pernah menggugurkan kandungan dua kali di Jakarta, tapi tak tahu harus berbuat apa di Amerika. Saat itulah Markum kemudian muncul. Dalam keadaan kalut, gagasan jahat selalu berada di puncak seluruh pikiran. Jika selama liburan ini hanya ada seorang lelaki yang menidurinya, akan lebih mudah buat Siti untuk menentukan siapa ayah untuk bayi di dalam perutnya. Bahkan meskipun tidak untuk dilahirkan, paling tidak ia bisa menuntut seseorang untuk mengembalikannya ke Jakarta dan menggugurkan kandungan di sana. “Kalau mau istirahat dulu, berbaring saja di kamar Siti,” katanya memulai langkah pertama. Para pelanggan baru, orang-orang yang menggantikan jatah teman-teman Jimmi, cenderung lambat dan tak mengerti aturan mainnya. Siti juga harus agak sabar menghadapi orang macam begini. “Ah, aku istirahat di kamar Jimmi saja,” kata Markum gelagapan. “Enggak bisa. Jimmi bisa marah-marah. Lagian kamar Jimmi selalu terkunci.” “Kalau begitu, di sofa saja.” Markum mencoba tidak memandang Siti. “Mana bisa? Apa kata Jimmi dan teman-temannya? Ayolah.” Saat itu juga Siti menarik tangan Markum dengan lembut. Dengan roman dungu yang tak dimengertinya sendiri, Markum membiarkan dirinya digiring ke kamar Siti. Markum duduk di pojok tempat parkiran, tak jauh dari Jimmi yang masih memegangi lebam di bibirnya. Pipi Jimmi agak pecah dan berdarah. Markum tak memerhatikan Jimmi, menerawang ke langit, dan bergumam seperti bicara sendiri. “Kamu tahu, telah lama aku tak berhubungan dengan perempuan.” Jimmi tahu dan tak membantah maupun mengomentarinya. “Entah kenapa, ketika sore itu ia menyentuh tanganku, aku mengikutinya. Tiba-tiba aku sudah berada di kamarnya, berbaring bugil di sampingnya.” Markum tampak berkaca-kaca, Jimmi masih menutup mulut. “Tadinya aku mau tinggal di Four Seasons, sudah booking jauh-jauh hari. Aku datang ke apartemen hanya untuk menengokmu. Akhirnya aku malah memutuskan untuk tinggal di kamar Siti. Jangan tertawakan aku. Meskipun ia hanya seorang pembantu, ia cantik dan tidak bodoh. Aku nyaris tak pernah keluar kamar maupun apartemen selama sepuluh hari itu. Ia memperlakukanku dengan sangat baik dan penuh kasih.” Tentu saja, gumam Jimmi dalam hati, ia dibayar untuk itu. “Lalu kemarin ia bilang hamil…” “Apa?” Jimmi terpekik, mencoba berdiri dan memandang Markum. “Hamil?” “Ya, hamil. Dan aku bilang akan bertanggung jawab. Aku akan menikahinya.” “Enggak bisa. Papa enggak boleh mengawininya. Papa enggak tahu itu anak siapa,” kata Jimmi sambil berdiri di depan Markum. “Saat itu aku tak tahu kalau perempuan itu simpanan kalian, sampai aku kembali dari 7 Eleven dan menemukanmu tengah bugil di atas tubuh Siti.” Saat itu Jimmi baru pulang dari Tahoe. Saat itu Jimmi benar-benar sedang merindukan tubuh Siti. Meskipun hari masih sore, Jimmi membujuk Siti untuk mau bercumbu dengannya. Akhirnya mereka masuk ke kamar Siti. Markum sedang membeli satu pak rokok ke 7 Eleven di depan apartemen, dan saat pulang menemukan anaknya bergumul dengan perempuan yang baru saja dalam rencana hendak dinikahinya. Markum langsung menggiring Jimmi ke tempat parkir dan menonjoknya. Selebihnya adalah apa yang kemudian ditulis oleh San Francisco Chronicle mengenai kelakuan orang-orang Indonesia di satu sudut Los Angeles ini dalam sebuah artikel berjudul Interpreter of Happiness. Penafsir Kebahagiaan. Entah kenapa judulnya begitu, kenyataannya tak ada yang benar-benar bahagia di akhir kisah tersebut. Dalam keadaan kalut, Jimmi dan Markum membuang Siti dalam perjalanan dari Los Angeles ke Las Vegas. Di keterpencilan Mojave Desert, Siti nyaris mati terpanggang dan kedinginan di sana, sebelum ditemukan polisi patroli delapan hari kemudian. Lima hari setelah itu, Markum dan Jimmi ditangkap di bandara setelah mencoba melarikan diri. Bersama lima mahasiswa lainnya, mereka menjadi tahanan polisi federal. Siti ditampung oleh Konsulat Indonesia, dan entah saran siapa, Siti mempertahankan bayi itu. Markum akhirnya bersedia bertanggung jawab secara finansial atas bayi tersebut, untuk mengurangi hukumannya. Namun ketika dilahirkan, semua orang sepakat, bayi itu ternyata mirip Jimmi. “Aku tak tahu apakah harus memanggilnya anak atau cucu,” gumam Markum, masih agak kesal. “Aku tak keberatan menganggapnya adik,” kata Jimmi. Saat itu Markum benar-benar ingin menonjok Jimmi untuk kedua kalinya. Eka Kurniawan (16 September 2007)
""Penafsir Kebahagiaan""
Sebuah truk berhenti jauh di depan sana. Truk dengan atap terpal. Semula Nawar, mengira truk itu hendak berhenti di halte, karena itu ia terjaga. Ia mencurigai cara perhentian kendaraan itu. Maka ia pun bersiap-siap melarikan diri. Namun Nawar terlambat kabur. Tak terduga olehnya, dua lelaki berseragam sudah berada di sebelahnya. Mereka memegang tangannya kuat-kuat. Mereka menggiringnya. ”Hayo Cepat!” bentak salah seorang sambil menghentakkan lengan Nawar. Nawar menatap mereka dengan rasa takut. Meskipun tidak jelas benar terlihat olehnya. Seorang di kiri dan seorang lagi di kanannya. Ia tak tahu hendak berkata apa. ”Apa yang kau lihat, goblok!” Yang di kiri mementung kepalanya. Nawar meringis. Kedua tangannya meregang. Dalam hati ia berdoa semoga mereka lengah, sehingga ia bisa melarikan diri. Ya, untuk menyembunyikan diri entah di mana saja. Meskipun sebenarnya, ia tak mengenal daerah ini. ”Kau kira ada hakmu untuk mengenali kami, hah…?” Nawar menatap lelaki di kanannya. Lelaki itu melihat lurus ke depan. Namun, lelaki di sebelah kiri mementung kepalanya lagi. ”Apa, heh?… Kau pikir kau ini siapa…?” tantangnya. ”Barangkali dia pikir dia dapat menuntut kita, Pak Kadim. Dasar anak gelandangan…!” Anak gelandangan? Nawar membatin. Aku anak gelandangan?… ”Ayo, cepat! Kami bisa dipecat kalau sampai tamu-tamu negara sempat melihat orang-orang seperti kau!… Dan, aku tak sabar lagi untuk menemani Marni, Pak Kadim…!” ”Tapi, Pak Bobi! Giliran kau menyetir sekarang…!” ”Begitu…?” ”Ya, pembagian tugas tetap berjalan, kawan. Jangan ketika kita mendapat kembang kau lupa. Ha, ha… Sekarang aku yang menemani Marni, Pak Bobi…!” Pak Kadim memasangkan borgol di kedua pergelangan tangan Nawar. Lalu lelaki berseragam itu menarik remaja kencur itu ke dalam truk. Pak Kadim menyenteri muka Nawar, lalu muka setiap orang dalam truk. Namun ketika sinar senter menerpa muka seorang lelaki tua, ia menyuruhnya mendekat. Lelaki berseragam itu membuka satu borgol di pergelangan Nawar, lalu memasangkannya ke pergelangan tangan si tua itu. Ia pun turun dengan tenang tanpa berkata apa-apa. Ia cuma bersiul. Truk pun melaju. Dalam truk, ada enam lelaki. Tiga di antaranya anak-anak, tapi ada lebih banyak perempuan. Anak-anak, remaja dan perempuan dewasa. Nawar sebisanya melihati muka mereka. Samar-samar. Marni, di mana kau berada? Kaukah yang mereka percakapkan? Bisik hatinya. ”Kau mencari siapa, Nak…?” tanya lelaki tua—teman satu borgolan, pelan. ”Marni….” Remaja kencur itu mengangguk. Angin malam mencubit-cubit kulit. Truk tiba-tiba direm, orang-orang yang berdiri ada yang terjerembab. Dua perempuan terjatuh bagai batang tebu ditebas golok tajam. Si lelaki tua terkekeh-kekeh. Kedua perempuan itu secara spontan melontarkan sumpah serapah berkali-kali kepada dua lelaki berseragam di jok depan. ”Kau mencari siapa, Nak…?” Si lelaki tua kembali menanya Nawar. ”Marni, Pak, eh, Kek..,” ”Marni yang mana…?” Nawar menghela nafas, meragu. Marni yang mana?… Ada berpuluh-puluh Marni di kota ini… Atau mungkin ada beratus-ratus Marni di kota ini?… Kota apakah ini sehingga mengumpulkan berpuluh-puluh, beratus-ratus orang bernama Marni?… Si lelaki tua menatap Nawar dekat-dekat. Si lelaki tua lainnya dan istrinya mendekatinya. Sementara yang lainnya larut dalam diam, seolah bisu, buta dan tuli. ”Tak usah takut, Nak…,” kata lelaki tua itu. ”Kita ini dibawa ke rumah penampungan. Biasalah…. Dikasih—apa istilahnya?—pengarahan…. Dipulangkan…. Ya…. Beberapa hari berikutnya, kita datang lagi….” Si lelaki tua beristri mendekatkan muka ke muka Nawar. ”Sepertinya aku pernah bertemu kau…. Dari tadi aku mengingat-ingat… sejak mukamu disenteri petugas itu…!” ”Bapak… eh, Kakek pernah bertemu saya…?” tanya Nawar. ”Ii-iya. Di tanah lapang!… Aku tak tahu nama tempat itu, tapi…. Waktu itu, di tempat itu ada orang bermain bola kaki…. Aku dan istriku ada di situ…!” Waktu itu? Nawar menggigit bibir. Ia tak mengingatnya. ”Aku membawa kantong plastik hitam besar. Kami diberi orang nasi kotak berisi ayam goreng. Kami mengajak kau makan. Tapi kau menolak…. Iya kan…?” Sungguh. Nawar tak pernah melihat pasangan orangtua ini sebelumnya. Namun, ia pun tak jelas ingat sejak kapan di kota ini…. Dua hari lalukah? Seminggu lalukan?… Oh! Ia bahkan merasa sudah berbulan-bulan meninggalkan kampung di Brebes sana. ”Kenapa? Belum ingat…?” kata si lelaki tua beristri. ”Tidak apa-apa….” ”Ti-dak pernah, Pak, eh Kek….” Truk melalui jalan yang terang benderang. Di kiri dan kanan jalan gedung-gedung perbelanjaan bermandikan cahaya lampu. Terang benderang, seperti pada siang hari. Nawar bersama si lelaki tua dan beberapa orang lainnya bergeser ke tepi bak truk untuk melihat ke luar: gedung-gedung, bermacam-macam billboard, mobil-mobil dan orang-orang yang berjalan kaki. Ada bapak dan ibu menggandeng dua anaknya menyeberang jalan di sebelah sana. Ada anak-anak kecil mengamen di jalan sebelah sini ketika lampu lalu lintas berwarna merah. Namun, anak-anak itu berlarian sesaat melihat truk itu. Kemudian truk itu berbelok ke kiri. Kira-kira sejauh satu kilometer, berbelok ke kanan lagi. Memasuki jalan yang sepi. Ada tiang-tiang lampu jalan, tapi lampunya tak menyala. Dan truk pun berhenti. Dan beberapa menit kemudian Nawar mendengar suara-suara perempuan. Terdengar pula besi palang truk dilepas. ”Aku tak mau, Pak…” ”Akan dibawa kemana kami, Pak..?” Nawar melihat empat perempuan dipaksa naik ke truk. Bau parfum mereka yang khas seperti menyambut penciuman Nawar. Setelah mereka naik, si lelaki berseragam itu memasang borgol di tangan mereka. Bagai domba yang dibawa ke pembantaian, perempuan-perempuan itu tak melawan. Lelaki berseragam itu turun, lalu memasang besi palang truk. Dan truk melaju lagi. Keempat perempuan itu saling berpegangan. ”Marni yang mana yang kau maksud, Nak? Aku bisa memberitahumu…?” suara si lelaki tua, lagi. ”Ya, mungkin aku kenal juga…” tambah lelaki tua beristri, melihat istrinya. ”Kami…,” ralat istrinya seraya mencubit lengannya. ”Ya, ya. ka-mi….” Nawar mendekatkan muka ke sisi lelaki tua dan perempuan tua itu. ”Kakak saya…. Dimana dia kini, Kek? Saya mau ber….” ”Kakak kau, Nak…?” tanya ketiga orang tua itu, bersamaan. ”Ya…,” Lelaki tua itu menggeleng. Lelaki tua beristri menggeleng, diikuti istrinya. ”Aku ini Marni…!” terdengar tiba-tiba. Nawar, si lelaki tua, lelaki tua beristri dan istrinya dan orang-orang lainnya melihat seorang perempuan mendekat dengan mendekapkan tangan ke dadanya. Samar-samar. ”Tapi, aku Marni dari Kemakmuran…!” katanya dengan suara berat. ”Dari Jalan Kemakmuran, Sayang!” ralat temannya dengan suara berat juga. ”Ya, ya, Sayang….” Bencong? Nawar sering menonton bencong di tv, entah dalam acara lawak ataupun sinetron. Dan sekarang, ada di hadapannya. Mereka persis perempuan. Tapi suara yang berat itu jelas milik lelaki!…. ”Kau ini perempuan apa laki-laki?” tanya lelaki tua itu. ”Ai, ai, kota lontong!…. Sudah truk larinya tak karuan, ditanya macam-macam lagi, ya, Sayang,” ujar seorang dari bencong itu. Dia memeluk temannya karena hampir terjerembab. Lalu kedua bencong itu berpegangan ke tepi bak truk. Berlompatan sumpah serapah dari mulut mereka. Si lelaki tua mengajak Nawar duduk. Nawar menaruh matanya ke langit sana. Namun kemudian, setelah menaikkan kedua lututnya dan menaruh kepalanya di situ, Nawar memejamkan mata. Lambat-laun, Nawar merasa ada air mata yang keluar dari sudut-sudut kelopak matanya. Seingat Nawar, seturun dari bus, ia dan Marni ke luar terminal. Marni mengirim SMS ke majikannya yang perempuan. Di luar terminal itu, mereka menunggu sang majikan yang akan datang menjemput. Tapi kemudian seorang lelaki mendekati Marni. Marni bercakap-cakap girang dengan lelaki itu. Marni memperkenalkan pacarnya itu kepada Nawar sebagai sopir yang khusus mengantar jemput anak-anak majikan mereka ke dan dari sekolah, serta ke mana pun. Ya, Marni pernah cerita pada Nawar tentang lelaki itu yang mengirim SMS menanyakan kepulangannya. Lalu, lelaki itu mengajak Marni dan Nawar masuk mobil. ”Supaya kita jangan kemalaman tiba di rumah,” kata lelaki itu. Seingat Nawar, Marni sempat menanyakan mobil yang dikemudikan lelaki itu. Karena mobil itu bukan mobil yang biasa dikemudikan lelaki itu. ”Mobil sedang di bengkel,” demikian jawab si lelaki. Mereka pun meninggalkan terminal. Di tengah jalan agak sepi, mobil berhenti, dan naik dua lelaki lagi. Nawar mendengar Marni menanyakan sang pacar tentang dua lelaki yang baru naik itu. ”Teman. Mereka numpang karena searah,” jawab lelaki itu. Kira-kira lima menit berlalu, mobil itu mengambil jalan ke pinggir dan dengan kecepatan lambat. Marni yang duduk di jok depan diajak si pacar bercakap-cakap terus. Nawar yang semula duduk di sebelah dalam di jok tengah, disuruh pindah oleh dua lelaki yang duduk bersamanya itu ke pintu kiri. Kemudian seorang dari mereka membuka pintu pelan-pelan. ”Aku kegerahan,” katanya. Dan semakin lebar. Dan tiba-tiba, dua lelaki itu mendorong Nawar keluar. Seingat Nawar, ia menjerit-jerit minta tolong, tapi ia pun tak berhasil mengenali mobil yang mereka tumpangi itu. Nawar terbayang bagaimana Marni membujuknya agar ikut ke kota besar ini selepas lebaran. Majikan Marni telah menyetujui Nawar dibawa serta. Mendengar cerita Marni tentang kebaikan majikannya, sebenarnya Nawar merasa biasa saja. Walaupun tak bisa ia pungkiri ada keinginan terpendam untuk melihat kota besar ini. Karena selama ini, ia hanya melihat lewat siaran tv milik tetangga. Bapak membujuk, Nawar bergeming. Namun ijin ibu-lah yang membuat Nawar luluh. Ibu yang berjanji akan menggembalakan tiga ekor kambingnya itu. Bapak yang akan menggantikan Ibu bila Ibu mendapat kerja upahan. Bapak akan membagi waktunya untuk menarik becak dan menggembalakan ternak itu. ”Sampai lebaran tahun depan tak lama, Nak. Asal rajin dan tekun, kau akan pulang bawa uang. Bisa buat biaya adikmu Agus menyambung SD nya dan biaya Tini masuk SD. Kalau kau rindu kami, kan ada kakakmu…. Bila matahari di ufuk barat, ingatlah bahwa Ibu atau Bapakmu sedang membawa kambingmu ke kandang….!” kata ibu malam itu…. Cikarang Selatan, Juni 2006 Palti R Tamba (9 September 2007)
""Marni! Oh, Marni!""
Ini bulan yang kesepuluh itu, Puti. Maka kini kau kutunggu di Sungai Batang Kuranji. Seperti janji kita. Kita akan bertemu di sini, bukan? Sambil menunggumu, aku mencelupkan jari-jari kakiku ke dalam sungai ini. Memain-mainkannya. Dingin yang menjalar ke seluruh tubuh kujadikan perisai kegundahan ini. Di sini, di sungai ini, kuharap tidak ada yang melihatku, Puti. Kemarin, kudapatkan dirimu termenung di depan jendela kamarmu ketika aku lewat hendak mencangkul sawah bersama abak. Kau menatapku dengan raut sendu. Aku tahu apa yang ada dalam hatimu. Aku iba. Aku ingin menyabarkanmu kala itu, tapi itu tak mungkin, Puti, sebab ada abak. Aku tak ingin hari itu diceramahi abak dan kemudian kami bertengkar. Kamu tahu? Semalam kami telah melakukan itu. Puti, aku sudah tak sabar membawamu, seperti janji kita berdua. Membawamu ke kota jauh. Puti, di awal cerita, kuingat, kita tumbuh beriring bersama kanak-kanak. Seperti mencabuti bunga-bunga di halaman rumah. Berlarian sepanjang kampung dengan dada telanjang. Membakar diri di sawah di samping rumah. Atau mengerjakan pekerjaan sekolah bersama-sama. Ah, masa lalu itu Puti, tak bisa aku lupakan. Ia seperti kenangan yang selalu menggaris seluruh ingatan. Kau juga begitu, bukan? Kini kita tidak lagi menjadi putik itu Puti. Kita telah menjelma dua kupu-kupu dewasa yang sering menghabiskan senja di tepi Sungai Batang Kuranji ini. Atau bila malam, kita sering mencurinya sambil memandangi bulan yang sepotong. Seperti dirimu, aku juga tidak tahu bermula dari mana rasa itu menyembul hingga kita terjebak pada lingkaran kasih yang tak mau terpisahkan. Berulangkali aku mengingatkan diri bahwa kita berada dalam satu kaum yang tabu untuk disatukan. Kau juga paham itu, bukan? Tapi seperti dirimu juga, aku tak punya daya. Rasa itu lebih kuat dari keinginan kita. Juga atas keinginan mereka semua: sanak saudara. Keinginan itu telah terbentur oleh tembok yang sudah dibangun oleh orang tetua kita, Puti. Tapi jika mereka mau jujur, jarak pertalian itu sangatlah jauh. Mereka sendiri saja tidak tahu lagi dari mana kekerabatan itu berawal. Bahkan mereka pun tak punya ranji yang dapat menguraikan, lalu menyatakan bahwa kita berkaum. Ah, nasib hanya terjebak karena kita sama-sama dua tanjung. Tak lebih. Kuingat, puluhan tahun lampau, kau dan kedua orangtuamu datang ke kampung kami. Kedua orangtuamu yang ditugaskan berdinas sebagai guru di kampungku akhirnya membeli sebuah tanah tidak jauh dari rumahku. Dan itu pulalah akhirnya membuat kita begitu dekat, bukan? Bukan kita saja, Puti, tapi kedua orangtua kita juga, karena kedua ibu kita ternyata mempunyai suku yang sama. Mereka lalu terlihat begitu akrab. Seperti kita yang selalu menghabiskan masa kanak-kanak. Tidak. Tidak hanya sampai kanak-kanak. Tapi sampai remaja. Sampai perasaan itu tumbuh. Setelah itu aku seperti kupu-kupu yang tidak boleh memasuki taman rumahmu. Akhirnya kau mengaduh. Dan aku mengeluh. Oleh hidup yang seperti dicabut. Seperti terjajah. Maka saat itu kita mulai mencuri malam. Mencuri detik demi detik dan melarikannya ke tempat yang sunyi. Tapi, tak ada yang bisa disembunyikan apabila ia itu bernama kebohongan, bukan? Lalu aku dirajam, oleh kata-kata yang berbaur pituah. Aku diceramah abak. Tapi aku, lelaki si kepala batu. Dan kau juga begitu, bukan? “Anak mada. Tak mau mendengar kata orangtua. Jangan kau mencoreng kening di kepala kami,” begitu hardik abak suatu malam, Puti. “Tapi, abak, coba uraikan, dari mana ranji itu bisa menghubungkan kekerabatan kita dengan mereka.” “Tak mesti dengan ranji, kesamaan itu sudah menjadi halangannya. Jangan kau keras kepala anak durhaka,” bentak amak pula. Begitulah abak dan amak Puti, bila aku tak mendengar kata-katanya, beliau akan melemparku dengan kata anak durhaka. Itu semenjak dulu, ketika aku masih kanak-kanak. Ah, begitulah selanjutnya, kita merajut rindu dalam hari-hari belenggu. Dalam sebuah kampung yang seperti mengurung kita. Tapi dasar kita, dua manusia yang diciptakan dari dua kepala batu. Tak mau tahu apa kehendak orangtua. Kita terus saja mencuri malam. Sampai pada suatu sore, kau menjumpaiku di sawah dengan wajah basah. Rambutmu acak-acakan. Kutahu kau habis menangis. “Aku akan disunting orang,” begitu erangmu. Lalu kau rebahkan tubuhmu di pematang. Kau tahu kala itu Puti, aku seperti seekor burung yang terkena anak panah. Terkapar. Hatiku perih. Terbakar. Langit seperti menimba tubuhku. Nafasku sesak. Sungguh, aku tak ingin kau disunting orang. Tapi ayah dan ibumu melakukan itu. Menerima pinangan orang kampung seberang. Begitu sedih kau jelaskan laki-laki itu: seorang laki-laki mapan yang berprofesi sebagai guru seperti ayahmu. Kau katakan juga bahwa dia pilihan ayahmu. Mengingat itu, antara aku dengannya memang begitu jauh. Aku laki-laki yang hanya tamat es-em-a dan tidak punya pekerjaan tetap kecuali hanya membantu abak mencangkul di sawah. Musnah. Gairah hidupku begitu musnah. Karena kau disunting orang. Kuyakin kau merasakan deritaku. “Aku tak ingin dinikahkan,” begitu katamu selanjutnya, dengan mata berlinang tentunya. “Aku juga tak ingin,” jawabku pula. “Tapi ayahmu telah menerima lamarannya. Lalu bagaimana caranya?” “Ayah dan Ibu memang keras kepala. Beliau selalu menjadikan kita sesuku untuk melarang hubungan kita.” “Jadi bagaimana caranya,” kataku lagi dengan kepala terasa berat. Juga dengan pikiran buntu. “Kita lari saja.” “Lari?” “Ya. Lari.” Aku tatap wajahmu beberapa lama. Mencari kesungguhan di kedua bola matamu. “Apa yang kau ragukan?” katamu. “Bukan ragu,” jawabku. “Tapi….” “Tak ada kata tetapi, bawalah aku lari jika kau sungguh-sungguh,” kalimat itu begitu bergemuruh. Mendebarkan jantung. Memacu semangatku. Dan beginilah kini, di Sungai Batang Kuranji ini, aku menunggumu. Tepat pada hari akad nikahmu…. Ini memang bulan yang ke sepuluh itu, Uda. Di sini orang-orang bergemuruh. Hiruk-pikuk. Sibuk mempersiapkan akad nikahku yang begitu tergesa tanpa kurencanakan. Dua orang sumando di rumahku dan beberapa tetangga dekat telah diutus pihak ibu untuk menjemput calon pengantinku ke kampung seberang. Kini aku di kamar dengan kebaya kuning lengkap dengan riasan yang terasa meresahkan. Akad nikahku akan dilangsungkan hari ini, Uda. Hanya menunggu sang pengantin laki-laki itu saja. Sedari tadi pintu kamar di awasi oleh suruhan ayah. Ayah memang telah mewanti-wanti jika aku lari. Tapi memang aku ingin lari. Menemui Uda Kalidin di tepi Sungai Batang Kuranji. Sebab kita memang telah berjanji akan meninggalkan kampung menuju kota jauh sebelum acara akad nikah ini bukan? Kulirik arloji di tangan, sudah menunjukkan pukul sebelas. Beberapa saat lagi tentu si pengantin laki-laki itu akan datang. Di luar, suara si penghulu juga sudah sibuk menanyakan pengantin laki-laki. Bertanda dia juga sudah tidak sabar akan menikahkanku. Ah, tak ada celah. Tapi aku tak ingin pasrah. Aku harus menembus kamar ini. Kulihat hanya ventilasi di kamar ini yang bisa diharapkan. Kayu-kayunya bisa aku buka. Meski tinggi. Meja dan kursi bisalah aku gunakan sebagai peninggi. Aku ingat ketika ayah dulu melarangku keluar rumah. Ventilasi itu juga pernah aku buka. Bergegas kututup pintu kamar. Kukunci. Namun suara hiruk-pikuk masih terdengar menembus kamar: suara tawa, cekikan (tentu sebagian memperbincangkan kelangsungan acara akad nikahku). Kugeser meja di bawah ventilasi itu, kutambahkan kursi di atasnya. Perlahan kubuka satu-satu kayu yang melintang. Satu demi satu akhirnya terbuka. Hingga ventilasi itu kini menjelma seperti sebuah petakan. Kujulurkan kepala. Memperhatikan ke sekeliling. Tapi beginilah, di belakang kamar ini memang kosong, sengaja sebagai kebun kecil ayah. Akhirnya aku melompat. Dan terjerembab pada rumput. Pinggangku terasa sakit. Tak kupedulikan. Dengan kebaya kuning rias pengantin aku bergegas meninggalkan belakang rumah. Tentu dengan mengendap-endap. Menghindari orang-orang, dengan tatapan penuh selidik. Kini, kami saling berdekapan pada siang yang panjang di tepi Sungai Batang Kuranji. Menembus sekat-sekat adat yang mengekang. Menembus kampung menuju kota yang jauh seperti yang kami idamkan. Sungai ini, yang airnya bergemuruh, jernih seperti kristal menjadi saksi kepergian kami. Kemudian kami melangkah meninggalkan tepi Sungai Batang Kuranji. Tapi di kejauhan kami dengar suara-suara “Cari pengantinnya. Cari pengantinnya.” “Di sana! “Di sana!” Ah, suara itu terasa begitu menggelegar. Dan kami terus berjalan. Berjalan. Tapi tiba-tiba di tepi kaki kami ada jurang yang menanti. Sejenak kami terpaku, sedangkan suara-suara itu terus menyeru. Menyeru! Padang 2007 Farizal Sikumbang (2 September 2007)
""Dua Tanjung""
Sekuriti kompleks perumahan mewah menghambat masuk orang tua dengan beban sepikul hasil bumi. Pintu gerbang tidak dia buka. Orang tua itu mengatakan dia berjalan dari stasiun kereta api mencari kompleks perumahan itu. Setandan pisang, dua ikat jagung, satu buah nangka masak, dan seekor ayam. Polisi lalu lintas melihat peristiwa itu dan menghentikan kendaraan roda duanya. Dia ingin tahu walau sebenarnya hal semacam itu bukanlah tugasnya. Ada apa ini?” katanya sambil mendekat. Dia lihat orang tua itu meletakkan barang bawaannya di sekitar dirinya yang sangat letih. Ayam jantan itu menjulurkan kepalanya dari dalam sangkar anyaman daun kelapa menghirup udara segar. Orang tua ini mau masuk ke dalam. Dia berkeras kalau salah seorang penghuni rumah mewah yang kujaga ini adalah anaknya. Aku tak percaya. Apalagi dia hanya bisa menyebut nama anaknya. Sedang yang lain, yang dibutuhkan untuk mencari sebuah rumah tidak dapat dia sebutkan. Maka aku tidak mempercayainya.” “Bapak tentu datang dari kampung. Barang bawaan ini menunjukkannya.” Polisi itu memerhatikan kepala ayam yang terjulur dari dalam anyaman daun kelapa tidak jauh dari dia berdiri. Dia lihat mata ayam itu merah. Paruh ayam ternganga. Kerongkongan bergerak-gerak mengatur napas. Lidahnya terjulur meneteskan liur. “Ayam ini tidak boleh dibiarkan hidup di sekitar kita. Kulihat tanda-tanda pembawa virus dimilikinya.” Dicabutnya pistol. “Mengorbankan sebutir peluru lebih baik daripada membiarkan virus yang dibawanya menyebar di kompleks perumahan ini.” Dia arahkan moncong pistol ke kepala ayam itu. Dia lihat ulang mata ayam itu. Paruhnya yang menganga, kerongkongan yang bergerak terus mengatur napas. Lidah menjulur mengeluarkan liur. “Maaf Pak. Ayam ini harus dimusnahkan. Satu butir peluru…,” dia mulai menimbang-nimbang, “sayang juga.” Dia balikkan arah pistol. Moncong pistol dia pegang. Dia sangat berbakat dalam hal tak berperasaan. Dia tetak kepala ayam itu dengan gagang pistol. Ayam menggelupur dalam anyaman daun kelapa. Dia menoleh ke sekuriti, “Bawa ke sana. Gali lubang. Bakar!” Sekuriti rumah mewah itu mengambil ayam yang masih menggelepar-gelepar di dalam anyaman daun kelapa. Dia pun menggali lubang, memasukkan ayam yang masih terus menggelepar ke dalam lubang, dan membakarnya dengan ranting-ranting kering dan daun-daun kering. Orang tua itu ternganga melihat semua itu. “Maaf Bapak. Ini terpaksa saya lakukan.” Katanya sambil menggosokkan gagang pistol ke rumput. “Coba Bapak katakan apa yang ingin Bapak lakukan bila kami izinkan Bapak masuk ke dalam kompleks perumahan mewah ini?” “Aku akan mendatangi rumah anakku di dalam kompleks perumahan yang Engkau katakan mewah ini.” “O, begitu. Tapi itu tidak mungkin. Tidak masuk akal kami. Kami tidak yakin Bapak adalah ayah dari salah seorang penghuni rumah mewah ini.” “Jadi Engkau juga tidak percaya kalau aku adalah ayah dari salah seorang penghuni kompleks perumahan ini? Aku tidak boleh masuk mencari rumah anakku. Aku tidak boleh mengetuk dari pintu ke pintu sampai aku menemukan pintu rumah anakku.” “Tidak boleh.” Polisi lalu lintas itu sekarang telah mengambil alih menangani orang tua itu. Dia lupa pada tugasnya sebagi polisi lalu lintas. Dia telah mengambil alih tugas sekuriti rumah mewah itu. Sekarang dia merasa dialah yang harus menangani orang tua itu. “Di sini tinggal orang-orang kaya. Tidak mungkin dan tidak masuk akal, ayah dari salah seorang penghuni rumah mewah ini adalah Bapak. Pakaian Bapak adalah pakaian orang yang tak berpunya. Hampir sama dengan pakaian fakir miskin. Apa lagi ini.” “Jadi Engkau tidak percaya kalau aku adalah orangtua salah seorang penghuni rumah mewah yang kalian katakan itu? Kalian adalah masyarakat Malin Kundang. Engkau mewakili masyarakat itu! Engkau akan menjadi batu.” Orang tua itu menunjuk ke polisi lalu lintas itu. Polisi lalu lintas itu terkejut: Apa maksud orang tua ini? Aku mewakili masyarakat Malin Kundang? Legenda itu menceritakan orang-orang tidak percaya kalau wanita tua yang mengenakan pakaian yang dia punya adalah ibu si Malin Kundang. Tidaklah mungkin wanita tua terlunta-lunta di tepi pantai menunggu kedatangan anaknya adalah ibu seorang kaya raya. Ibu orang yang bepergian dengan kapal miliknya dari pulau ke pulau, menjalankan usaha di jalur perdagangannya. Dia datang ke pulau itu rindu akan kampung halamannya. Ibunya mendengar kabar kedatangan anaknya. Dia datang menyambut, tetapi orang-orang menertawakannya dan mengejeknya. Malin Kundang tidak mengakuinya sebagai ibu. Jadi, orang tua ini merasa diperlakukan seperti yang dilakukan Malin Kundang terhadap ibunya. “Ya, betul. Kami tidak percaya. Bapak tidak mungkin ayah dari salah seorang pemilik rumah mewah ini.” “Apa Engkau mau menjadi batu?” Polisi lalu lintas itu tersenyum. Dia merasa ucapan orang tua itu sebuah lelucon. Sebuah mobil kelas termahal berbelok ke arah pintu gerbang perumahan mewah itu. Lelaki yang duduk di bangku belakang menyentuh pundak sopir dan meminta kendaraan itu dihentikan. Lelaki itu bersama istrinya sedang pulang dari bepergian. “Tunggu sebentar,” katanya. Dia perhatikan orang tua yang duduk di bendul jalan. Dia menoleh kepada istrinya. “Orang tua itu seperti ayah. Coba kau lihat. Ya…, seperti ayah. Ya! Itu Ayah! Lihat, apa yang dia bawa? Setandan pisang. Dua ikat jagung, dan sebuah nangka.” “Ya, betul. Itu ayahmu. Ayahku juga. Mertuaku!” “Ya, itu adalah ayah!” Lelaki itu membuka pintu mobil. Dia turun. Langkahnya diikuti istrinya. “Ayah!” Kata lelaki itu. Orang tua itu melihat ke lelaki itu. Dia berdiri dan air matanya menetes. Lelaki itu menerkam tubuh orang tua itu dan memasukkannya ke dalam dekapannya. Si istri mencium tangan laki-laki tua itu. “Ayah!” Katanya. Si Polisi lalu lintas tercengang menyaksikan peristiwa itu. Penjaga kompleks perumahan mewah itu juga tercengang. Buru-buru dia membuka pintu gerbang. “Ayo, Ayah!” Kata laki-laki itu membimbing ayahnya masuk ke dalam mobil. Si wanita memeluk ayah suaminya itu dan mendudukkannya di bangku depan. Sebelum pintu tertutup, orang tua itu masih sempat menoleh ke polisi lalu lintas itu. “Malin Kundang,” katanya. Anak dan menantunya tidak mendengar jelas kata-kata itu. Pintu ditutup si anak. Dia masuk menyusul istrinya di kursi belakang. Si sopir membuka pintu dan turun mengambil satu per satu bawaan lelaki tua itu. Mula-mula dia angkat satu tandan pisang, lalu dua ikat jagung, dan kemudian satu buah nangka. Semua dia masukkan ke tempat barang di buntut mobil. “Ayah juga membawa ayam, tapi ayam itu mereka bunuh dan mereka bakar di dalam lubang.” “Maafkan mereka ayah. Ayam hidup tidak boleh dibawa masuk ke dalam kompleks.” Penjaga kompleks perumahan mewah itu membuka pintu gerbang selebar-lebarnya dan tampak dia terbingung-bingung. Polisi lalu lintas itu terpaku memerhatikan semua kejadian itu. Dia setengah tak percaya dengan apa yang dia lihat. Polisi lalu lintas itu masih juga terbingung-bingung. Keterpukauannya disentakkan bunyi gerbang yang ditutup. Dia jadi teringat apa yang diucapkan orang tua itu. Malin Kundang. Apa hubungannya dengan aku. Malin Kundang memang menjadi batu dalam lagenda itu. Dia sentakkan kepalanya dari keterpukauannya untuk mengembalikan kesadarannya. Dia naik ke atas kendaraan roda duanya, menghidupkan mesin, dan meneruskan perjalanannya menuju markas kepolisian tempat dia bekerja. Dia terus memacu kendaraannya, lalu membelok ke dalam halaman markas. Dia sampai ke ruang markas. Masuk ke salah satu ruang dan melepas helm. Dia duduk sebentar lalu seperti teringat sesuatu. Dia beranjak dan pergi ke kamar kecil, membasuh popor pistol dari darah ayam yang sudah mengering. Kemudian dia kembali ke ruang tempat dia tadi duduk. Waktu melintas di depan gudang penyimpanan barang-barang, dia lihat pintu gudang tidak tertutup rapat. Lewat pintu yang sedikit renggang dia lihat patung dari bahan semen tersimpan di dalam. Selama ini dia tidak tertarik untuk masuk ke dalam dan memerhatikan patung-patung itu dari dekat. Sekarang tiba-tiba dia tertarik. Apakah setelah mendengar ucapan orang tua itu dia lalu tertarik masuk ke dalam untuk melihat patung-patung itu lebih dekat. Dia tersenyum, lalu dia buka pintu gudang itu lebih lebar. Tampak patung-patung memberi hormat kepadanya. Dia senyum membalas hormat patung-patung itu. “Mirip betul. Mirip betul dengan diriku kalau aku mengenakan pakaian dinas. Pematung yang terampil. Dia berhasil memindahkan profesi polisi lalu lintas ke dalam diri patung-patung ini.” Dia kembali senyum memandang satu per satu patung-patung itu. Patung-patung polisi lalu lintas itu belum semua terpasang di tempat-tempat strategis di jalan-jalan kota. Dia tersenyum. Mungkin dia teringat satu pengalaman waktu dia naik taksi bersama keluarga. Waktu itu hujan lebat. Lampu lalu lintas di perempatan jalan dari arah taksi yang dia naiki sedang berwarna merah. Dia coba uji ketaatan si sopir. “Tidak ada kendaraan yang melintas. Aman. Kebut saja, Pak.” “Jangan. Saya patuh pada peraturan. Tidak Bapak lihat polisi di bawah hujan lebat itu. Dia memberi hormat kepada kita di bawah guyuran hujan. Lihat di sebelah kiri di depan kita.” “Aku lihat. Langgar saja! Itu kan sebuah patung.” “Jangan. Tunggu hijau. Hormati Polisi Patung itu. Dia diletakkan untuk mengingatkan para pengguna jalan agar disiplin di jalan raya.” Dia sebagai polisi yang sedang tidak mengenakan pakaian dinas puas mendengar apa yang dikatakan sopir taksi itu. “Ada satu lagi Polisi yang berisiko kalau kita tidak mengindahkannya walau sebenarnya dia tidak terjaga. “Polisi apa itu?” “Polisi Tidur.” Lelaki yang didatangi ayahnya itu ingin membawa ayahnya berjalan-jalan melihat-lihat kota. Kali ini lelaki itu membawa langsung mobil mewahnya bersama istrinya yang duduk di sampingnya. Dia puas bisa menyenang-nyenangkan ayahnya. Waktu itu hujan lebat. Lampu lalu lintas tiba-tiba berwarna merah waktu mobil itu sampai di perempatan. Mobil dia hentikan. Setelah menunggu agak lama, si istri berpaling ke kiri dan ke kanan, lalu berkata. “Aman Pa. Jalan saja.” “Jangan. Kita harus patuh pada peraturan lalu lintas. Coba lihat polisi itu. Dia hormat kepada kita di bawah guyuran hujan lebat.” “Di sebelah mana? Aku tidak melihat ada polisi.” “Sebelah kiri di depan kita.” “O, itu. Itu kan patung.” Orang tua itu mendengar apa yang dibicarakan anak dan menantunya. Dia melihat ke depan, ke arah yang dikatakan anak dan menantunya. Tampak olehnya Polisi Patung di bawah guyuran hujan lebat dalam posisi memberi hormat kepada mereka. Mobil pun berjalan karena lampu telah hijau. Dari jendela orang tua itu melihat ke luar. Dia perhatikan patung polisi itu dalam guyuran hujan. Dia iba melihat Polisi Patung itu. Dia tiba-tiba tersentak. “Ya Allah. Polisi itu…, menjadi batu….” *** Hamsad Rangkuti (28 Oktober 2007)
""Si Lugu dan Si Malin Kundang""
Setiap pagi, bila langit sedang bahagia, kalangkang gunung menyerung kota kecil itu. Warnanya lebih tua dari langit, meski sama-sama biru. Saat matahari menggeliat, raut pegunungan ikut merona. Lekuk-lekuk ngarai ditutup rerimbun hijau bagai pinggang dan pinggul gadis-gadis menari. Tatkala cahaya pagi menyentuh bumi, sungai-sungai keperakan, berkerlip menyilaukan. Seperti air sungai yang membelah kota kecil itu. Ada jembatan di atasnya, jalan raya tepatnya. Trotoar menjepit kiri kanan jalan. Dulu, setiap hari jalan itu dilewati Arum dan Nining. Tiap pagi mereka berangkat sekolah berjalan kaki, dua setengah kilometer dari rumah. Sangat pagi. Waktu membuka pintu, kabut berebut kecup pipi mereka. Satu dua kunang-kunang masih bermain di sela langkah. Embun basahi sepatu sekolah. Arum paling senang saat melintas di atas jembatan. Di bawah, air mengalir tenang meski dicumbu fajar. Gairah sungai hanya tersirat dari kilau berlian di riak air di antara bebatuan. Sungai itu selalu mengalun perlahan. Tapi semua orang tahu, sungai itu juga bisa mendidih. Beberapa kali ada penduduk hanyut. Sebab air tanpa beri tanda bergulung-gulung dari arah hulu, menggerus apa saja. Itu bisa terjadi meski di siang terik. Kalau sudah begitu orang-orang di tepi sungai, orang-orang di atas jembatan akan berteriak, “caah caah caah!” September. Tak ada yang berubah dari kota kecil itu. Pada bulan yang sama, tiap tahun, langit kadang biru, kadang kelabu. Hujan malas berkunjung. Paling seminggu sekali. Itu pun bila awan sudah terlalu letih menggendong air. Air yang dicurahkan langit sudah pasti akan susuri sungai itu. Bertahun-tahun selalu begitu. Bahkan saat Arum dan Nining tak lagi melintas di jembatan yang sama. Tak ada yang beda. Rumah kedua gadis itu yang berubah. Ada resah menggayut di tiap hati penghuninya. Tak ada lagi berita dari Nining. Surat terakhir dikirim empat bulan lalu. Ada fotonya, lebih kurus dibanding saat ia tinggalkan rumah. Bayang hitam di bawah mata menggurat keletihan di wajah. Namun ia tetap berusaha tersenyum. Kepergian Nining memang mengubah banyak hal. Rumah tak lagi setengah bilik, semua diganti tembok. Cat tak lagi kusam. Lantai semen sudah ditambal keramik. Seng yang dulu berisik dan bocor kala hujan, diganti genting Jatiwangi. Pagar tak lagi pohon teh-tehan, akarnya direnggut lalu diganti pondasi beton. Dahan dan batangnya dari besi tempa. Memang masih ada sedikit daun-daun yang lingkari pagar. Tapi lagi-lagi terbuat dari besi tempa, meski warnanya juga hijau. Masih terpatri dalam ingatan Arum peristiwa yang menuntun Nining tinggalkan rumah. Abah tergolek lemah di dipan ruang tengah. Sudah seminggu tak mampu bangun. Untuk balikkan badan pun harus dibantu ambu. Saat itu seisi rumah ketakutan, apalagi waktu seekor burung berkicau di pucuk daun kersen, halaman depan. Orang-orang menyebutnya siit uncuwing. Suara siit uncuwing terus menggigit hati siapa saja yang mendengar. Tak akan berhenti sampai kematian menyusup ke setiap liang angin. Menyusup ke setiap inci pori-pori kusen jendela dan pintu. Siit uncuwing pembawa kabar duka, begitu kepercayaan Enin. Maka perempuan tua itu sibuk kibas-kibaskan sapu lidi. “Sieuh, sieuh, halig siah, pergi sana, pergi!” Kali ini Enin melempari dengan kerikil. “Belum waktunya anakku kau jemput. Sieuh, sieuh, ka sabrang ka Palembang! Saguru saelmu teu meunang ganggu!” Tetap saja burung itu tak mau pergi. Malah tampak riang. Lompat dari satu dahan ke dahan lain. “Arum, Nining! Bantu Enin. Naik sana ke pohon kersen!” perintah Ambu, panik. Siit uncuwing kepakkan sayap sedetik sebelum Nining menyambarnya. Ia terbang menuju lembayung. Entah kebetulan atau bukan, esoknya Abah mulai bisa duduk. Enin peluk buah hatinya dengan haru. “Komar, cepat sehat, Komar.” Ambu di pintu dapur usap sebulir bening yang meluncur dari sudut mata. Ada seurai doa di sudut bibir Ambu dalam lengkung yang mendamaikan Arum dan Nining. Tapi, tiga hari kemudian siit uncuwing datang lagi. Mula-mula hinggap di pohon arumanis tetangga sebelah. Waktu melihat Ambu dengan sapu lidinya, siit uncuwing menikam rumpun bambu di ujung jalan. Lalu sorenya siit uncuwing kembali. Tak menapak di mana pun. Berputar-putar mengelilingi atap rumah. Menjerit memanggil kematian. Lepas magrib burung itu menjauh dengan senyap. Tapi tangis ledakkan rumah. Sebab siit uncuwing pergi sambil membawa abah. Enin dan Ambu berhari-hari, bahkan hingga tahlil seribu hari, tetap salahkan siit uncuwing atas duka yang menancap di hati mereka. Sebetulnya Arum dan Nining tak sependapat dengan dua perempuan itu, terutama Nining. Baginya penyebab kematian Abah bukan siit uncuwing, tapi karena sakit. Sakit, tapi tak diobati. Tak diobati karena mereka tak punya uang, walau sekadar untuk membayar Mantri Abas. Mantri yang menerima bayaran sukarela. Sekadar sukarela pun mereka tak sanggup. Pendapat itu tentu tak disampaikan Nining pada Enin dan Ambu. Ia hanya katakan pada Arum. Dibisikkan saat para pelayat satu-satu tinggalkan rumah. “Teteh sakit hati, Rum. Kita musti bisa berubah.” Kata-katanya pelan sentuh telinga, namun tegas sebagai janji. Pasti. Arum percaya Nining. Tapi Enin tidak sepakat, terlebih Ambu. “Jangan pergi, anaking. Apa kamu lupa banyak yang tak bisa pulang? Kalaupun pulang tanpa daksa. Malah ada yang sudah tak bernyawa.” “Geulis,” Enin menambahkan sambil mengunyah sirih dan pinang, “biar susah lebih enak di kampung sorangan. Geulis, incu enin, cari kerja di sini saja. Jadi buruh tani, atau melamar ke pabrik dodol di Ciledug, ke pabrik tenun dekat kerkhoff, atau ke pabrik coklat jalan Cimanuk, atau jadi pelayan toko di Pengkolan.” Nining tahu, kerja dengan ijazah SMP dan rapor sampai kelas satu SMA tak akan berarti. Gaji yang diterima hanya akan cukup untuk makan sebulan. Itu juga belum tentu cukup. Sepuluh hari Nining baru bisa yakinkan Enin dan Ambu. Bahkan Ambu rela menjual sawah peninggalan Abah untuk membayar penyalur dan surat-surat keberangkatan, sekaligus ongkos ke Bandung. Lima bulan pertama Nining tak terima gaji. Katanya harus diserahkan pada agen sebagai ganti biaya perjalanan. Tengah tahun baru bisa kirim uang. Tahun kedua Nining pulang untuk renovasi rumah dan membeli tiga petak sawah. Pengganti sawah Abah, katanya. Tiga bulan kemudian berangkat lagi setelah membantu Ambu buka warung sembako di samping rumah. “Teteh jangan pergi lagi, teh. Apa lagi yang teteh cari?” “Teteh pengin kamu jadi dokteranda, Rum. Biar teteh yang cari duit, pokoknya kamu belajar yang rajin.” “Mendingan Arum cuma tamat SMA daripada teteh pergi lagi.” Entah mengapa kali ini Arum yang tak setuju Nining pergi. Tapi lagi-lagi tak ada yang bisa menahan tekad itu. Selama setahun, sebulan sekali Nining masih rajin beri kabar. Begitu pula dengan kiriman uang. Tapi tahun berikutnya bukan hanya uang yang tak dikirim. Yang lebih mencemaskan tak ada kabar berita darinya. Awal Mei. Sepucuk surat tiba di beranda. Arum membaca keras-keras supaya bisa didengar Enin dan Ambu. “Arum, bilang sama Enin dan Ambu, Insya Allah September teteh pulang. Teteh maunya bisa munggah sama-sama. Teteh mau lebaran di rumah. Teteh kangen sama kalian bertiga. Doakan teteh supaya bisa pulang.” Itu kabar terakhir yang mereka terima. Surat terakhir. Lecek. Sebab dibaca berulang-ulang, sampai Arum hafal isinya. September berjingkat tinggalkan kalender. Oktober siap menyambut. Tapi tetap hambar. Huruf seakan mati tak tergores dalam secuil kertas sekalipun. Arum sudah mencoba hubungi agen yang berangkatkan Nining. Petugas yang menemui hanya menjawab, “Nanti akan kami beri tahu, kalau sudah tahu keberadaannya. Kalau sudah tahu!” Hanya itu yang bisa jadi pengharapan. Surat Arum untuk Nining tak pernah berbalas. Tak ada alamat lain yang bisa ditelusuri. Khawatir menusuk kepala. Cemas menjadi bola besar, menggerus perasaan. Apalagi sejak dua hari terakhir Ramadhan siit uncuwing kembali menjejak pucuk kersen di halaman depan. “Awas, indit, ka ditu, ka ditu, sieuh, sieuh!” Ambu tergopoh, Enin menyusul di belakangnya. “Ka sabrang ka Palembang, sieuh, sieuh!” teriak keduanya bersahutan. “Ka sabrang ka Palembang, saguru saelmu teu meunang ganggu!” Kali ini Arum langsung memanjat pohon kersen, tanpa tunggu perintah Ambu. Ketika siit uncuwing terbang, Arum setengah melompat turun dari pohon. Tak sekejap mata ia biarkan pandangan lepas dari burung itu. Arum mengejarnya, berlari. Tanpa sadar Arum sudah jauh tinggalkan rumah. Berlari menuju jembatan di atas sungai, sungai yang membelah kota kecil itu. Terus mengejar, bahkan ketika burung itu terbang di atas jalan setapak di pinggir jembatan. Menuju sungai. Ya, siit uncuwing menuju sungai. Burung itu hinggap di batu besar di tengah sungai. Arum mengendap. Tinggal sejengkal dari siit uncuwing ketika orang-orang di atas jembatan berteriak, “caah!” Caah!Caah!” Arum lompat berusaha menangkap siit uncuwing. Namun badannya limbung. Semua buram. Sesak menghimpit dada. Arum hampir tak mampu bertahan saat sayup seiris suara memberi kekuatan, “Arum, ka dieu, ulurkan tanganmu.” Arum terkejut. Arum tahu pasti, itu suara Nining. Seolah mendapat tenaga, Arum berenang ke arah bayangan di tepi sungai. “Hayu pulang, geulis.” Sekali lagi Arum mendengar suara Nining. Arum berhasil genggam tangan Nining, dan semua jadi gelap. “Teteh, teteh!” teriak Arum saat pertama kali membuka mata. Tapi Nining tak ada, padahal Arum yakin Nining yang menolongnya. Nining yang memapah mengantar pulang. Arum terobos setiap ruang di rumah itu. Tetap saja, Nining tak ada. Hanya ada Anin dan Ambu yang sedang menangis. Arum lari ke luar. Di langit ada bulan sepotong. Di langit ada tiga belas siit uncuwing tanpa suara membawa bingkisan dari negeri berpasir: sekotak peti mati. Di dalamnya ada perempuan dengan bayang hitam di bawah mata dan lebam di sekujur tubuh. Tetap berusaha tersenyum. Di surau-surau takbir pertama berkumandang… Depok, 160907 Rieke Diah Pitaloka ( 21 Oktober 2007)
""Siit Uncuwing""
Tukang jahit itu selalu muncul setiap kali menjelang Lebaran. Seolah muncul begitu saja ke kota ini. Kata orang, ia tak hanya bisa menjahit pakaian. Ia juga bisa menjahit kebahagiaan. Tukang jahit itu punya jarum dan benang ajaib yang bisa menjahit hatimu yang sakit. Jarum dan benang, yang konon, diberikan Nabi Khidir dalam mimpinya. Ibu pernah bercerita, betapa dulu, setiap menjelang Lebaran, kota ini selalu didatangi banyak sekali tukang jahit. Kemunculan mereka selalu menjadi pemandangan yang menakjubkan, Nak. Ketika cahaya matahari pagi yang masih lembut kekuningan menyepuh perbukitan dan halimun perlahan-lahan menyingkap, kau bisa menyaksikan serombongan tukang jahit yang masing-masing memikul dua kotak kayu berbaris muncul dari balik lekuk bukit. Kanak-kanak akan berlarian senang menyambut kemunculan mereka, “Tukang jahit datang! Asyiik! Lebaran jadi datang!” Seakan-akan bila para tukang jahit itu tak muncul, maka Lebaran tidak jadi datang ke kota ini. Di hari-hari menjelang Lebaran itulah, Nak, kota akan terlihat penuh tukang jahit yang berkeliling menawarkan menjahitkan pakaian. Mereka menggelar dasaran di trotoar, di pojokan jalan, di keteduhan pepohonan, di emper pertokoan. Mereka mengeluarkan mesin jahit lipat dari dalam kotak yang dibawanya; menata bundelan-bundelan benang, jarum dondom dan jarum pentul, gunting, silet, mangkuk-mangkuk berisi kancing warna-warni, meletakkannya di atas kotak kayu yang digunakan sebagai meja. Para penduduk antre menjahitkan pakaian dan hiruk dalam keramaian menyambut Lebaran. Anak-anak berceloteh riang tentang baju baru yang akan mereka kenakan. Selalu menyenangkan memperhatikan tukang jahit itu bekerja, Nak. Seperti menyaksikan tukang sulap, yang mampu mengubah kain-kain warna-warni menjadi baju-baju indah dalam sekejap. Mereka duduk bersila menggerakkan engkol mesin jahit dengan tangan kanannya, sementara tangan kirinya lincah dan cepat mengarahkan pola potongan kain yang dijahit. Kau akan mendengar gema mesin jahit yang terus bergemeretak hingga larut malam. Serasa ada gema burung pelatuk di mana-mana. Karena para tukang jahit itu mesti menyelesaikan semua jahitan sebelum hari Lebaran. Dan di malam takbiran, para tukang jahit itu tampak bergegas keluar kota. Seperti kemunculannya yang entah dari mana, para tukang jahit itu pun menghilang entah ke mana. Begitulah, Nak, selalu, dari tahun ke tahun, para tukang jahit itu muncul setiap kali menjelang Lebaran dan menghilang di malam takbiran. Tapi semakin lama kian menyusut tukang jahit yang muncul ke kota ini. Entahlah, Nak. Mungkin banyak dari tukang jahit itu yang mati. Mungkin juga mereka memilih berhenti jadi tukang jahit. Atau mereka tak mau lagi datang, karena makin lama makin banyak warga yang malas menjahitkan pakaian pada tukang jahit-tukang jahit itu. Sejak banyak toko fashion, factory outlet, butik dan pusat perbelanjaan di kota ini, orang-orang lebih suka membeli pakaian jadi. Tak ada lagi keriuhan suara mesin jahit di kota ini setiap menjelang lebaran. Zaman, barangkali, memang mengubah selera, Nak. Maka, para tukang jahit yang masih muncul pun lebih banyak menghabiskan waktu mereka dengan melinting dan mengisap tembakau. Mereka hanya duduk-duduk tanpa mengerjakan jahitan, memandangi orang-orang yang lalu lalang keluar masuk pusat perbelanjaan menenteng tas-tas belanjaan berisi pakaian. Mungkin para tukang jahit itu merasa betapa kota ini tak lagi membutuhkan mereka, lalu mereka memilih mendatangi kota-kota lain yang masih mau menerima kedatangannya. Entahlah, Nak. Yang jelas sudah sejak lama, setiap menjelang Lebaran, tak ada lagi pemandangan menakjubkan arak-arakan serombongan tukang jahit yang muncul di kota ini. Tinggal tukang jahit itu, satu-satunya tukang jahit, yang masih muncul di kota ini. Ia seperti laskar terakhir prajurit yang terusir. Berjalan keliling kota menawarkan jahitan. Tapi ia lebih sering terlihat di sudut dekat gang kecil agak di pinggiran kota. Menisik dan menjahit. Perawakannya kurus, kulitnya seperti kulit mahoni yang menua, tak banyak bicara, dan wajahnya seperti rahasia yang tak mau dibuka. Memang tak banyak lagi orang yang mau menjahitkan pakaian padanya, Nak, tapi kau lihat, selalu saja ada orang yang datang padanya. Dan itu karena ia tak hanya pintar menjahit pakaian, tetapi juga kebahagiaan. Orang tak hanya menginginkan baju baru saat Lebaran, Nak. Tapi juga ingin bahagia di saat Lebaran. Bila ada orang sedih yang datang padanya, maka tukang jahit itu akan menjahit hati orang yang lagi sedih itu. Kau tahu, Nak, di tangan tukang jahit itu, kebahagiaan yang robek dan koyak menjadi seperti selembar kain lembut yang bisa dijahit kembali. Ia menjahitnya dengan rapi, halus, dan membuat orang-orang itu merasa tenteram. Ibu pernah menggendongmu datang ke tukang jahit itu, Nak. Delapan Lebaran lampau. Kau masih empat tahun saat itu. Mungkin kau tak ingat. Saat itu Ayahmu baru meninggal, tiga bulan sebelum Lebaran. Ibu merasa kesepian dan sedih membayangkan Lebaran tanpa Ayahmu. Lalu diantar Pamanmu, Ibu mendatangi tukang jahit itu. Ia sempat mengelus rambutmu. Ia menjahit luka hati ibu, Nak. Di dada sebelah sini. Rabalah, begitu halus. Tak bertilas. Tak berbekas. Lalu Ibu bercerita tentang jarum dan benang yang dimiliki tukang jahit itu. Kau tahu, Nak, Nabi Khidir muncul dalam mimpinya suatu kali. Memberi tukang jahit itu segulung benang dan jarum. Benang itu tipis dan bening, seperti senar, tetapi lebih lembut dan halus. Kau bisa melihatnya, tetapi tak bisa menyentuhnya. Benang yang tak akan habis bila dipakai untuk menjahit seluruh pakaian yang ada di dunia ini. Dan jarum itu, Nak, kadang tampak memancarkan cahaya lembut ketika dipegangi tukang jahit itu. Dengan jarum dan benang itulah tukang jahit itu menjahit kembali kebahagiaan orang-orang…. Begitulah, dari tahun ke tahun, selalu kulihat tukang jahit itu muncul di kota ini setiap kali menjelang lebaran. Cerita Ibu hanyalah salah satu cerita dari banyak cerita yang kudengar tentang tukang jahit itu. Ada yang mengatakan, ia sebenarnya tinggal di balik bukit itu. Tapi cerita lain membantahnya. Kisah tentang kampung para penjahit juga pernah aku dengar. Sebuah kampung, yang seluruh penghuninya adalah tukang jahit. Di kampung itulah ia tinggal. Namun sudah berpuluh tahun lalu kampung itu lenyap. Seluruh tukang jahit yang tinggal di kampung itu mati oleh wabah yang tak pernah diketahui apa. Hanya ia, tukang jahit itu, satu-satunya yang selamat. Itulah sebabnya, kini ia satu-satunya tukang jahit yang masih muncul ke kota ini. Yang lain bilang kalau ia memang sempat bertemu Nabi Khidir dan menjadi muridnya. Ia tinggal di sebalik cakrawala, di sebuah perbatasan antara hidup dan kematian. Ia tinggal di sana, sepanjang hari memintal benang kesabaran. Benang yang dipintal dari bulu-bulu sayap malaikat. Dengan benang itulah ia ditugaskan oleh Nabi Khidir untuk menjahit hati orang-orang yang sedih menjelang Lebaran. Semua cerita itu sesungguhnya tak pernah menjelaskan tentang tukang jahit itu, malah makin menyelimutinya dengan misteri. Ia sendiri tak pernah mau bercerita tentang dirinya. Kemunculannya selalu dalam diam. Nyaris tanpa suara berkeliling memikul dua kotak kayu yang membuat jalanya jadi agak membungkuk. Aku ingat, sewaktu kanak, aku dan kawan-kawan sepermainan kerap mengikuti di belakangnya sambil berteriak-teriak, seakan meledek tukang topeng monyet keliling. Dan tukang jahit itu tetap saja diam. Agak di pinggiran kota ada gang buntu kecil yang letaknya di tikungan jalan. Gang yang rindang dan lengang meski ada juga beberapa lapak penjual barang loakan. Di pojokan gang itulah tukang jahit itu selalu menggelar dasaran dan istirahat. Menjahit dan tidur di situ selama hari-hari menjelang Lebaran. Tak pernah bercakap ia dengan para penjual loakan di situ. Tak banyak juga orang yang mendatanginya. Tapi dari Lebaran ke Lebaran semakin banyak saja orang-orang yang datang ke tukang jahit itu. Cerita tentang jarum dan benang ajaib itu mungkin membuat banyak orang penasaran. Tapi barangkali pula karena dari Lebaran ke Lebaran memang semakin banyak orang yang kian tenggelam dalam kekecewaan. Mereka ingin menjahitkan kekecewaan mereka pada tukang jahit itu. Mereka antre agar bisa menikmati kebahagiaan Lebaran. Menjelang Lebaran ini, kulihat antrean itu sudah sedemikian mengular panjang memacetkan jalanan. Rasanya, inilah antrean terpanjang yang pernah kulihat di kota ini. Padahal tukang jahit itu belum lagi muncul! Mereka tampak sudah tak sabar menunggu kemunculan tukang jahit itu. Mereka sudah menunggu sejak dini hari, bahkan ada yang sudah menunggu berhari-hari. Saat melintas sepulang belanja kue penganan dan pakaian buat Lebaran, anakku memandang heran antrean itu. Karena banyaknya antrean yang meluber hingga ke tengah jalan, aku menjalankan mobil pelan-pelan. Dari radio terdengar nyanyian riang: Lebaran sebentar lagi…. “Sedang antre apakah orang-orang itu, Ayah?” “Mau menjahitkan…” “Menjahitkan pakaian?” “Bukan. Menjahitkan kebahagiaan.” “Kok kayak mau ngantre minyak tanah?” Barangkali, sekarang ini kebahagiaan memang seperti minyak tanah. Tidak semua orang dengan gampang mendapatkannya. Bahkan untuk sekadar bisa menikmati kebahagiaan di hari Lebaran pun kini orang mesti antre berdesak-desakan. “Kenapa menjelang Lebaran begini mereka kok tidak bahagia, Ayah?” “Mungkin mereka tak punya uang buat pulang kampung. Tak bisa membelikan baju baru. Bingung karena masih nganggur. Pusing karena semuanya makin mahal. Mungkin juga mereka hanya merasa makin sedih saja….” Lalu kuceritakan apa yang dulu pernah diceritakan Ibu padaku. Kuceritakan tentang tukang jahit itu. Tentang jarum dan benang yang bisa menjahit kesedihan. “Jadi mereka menunggu tukang jahit itu, Ayah?” “Ya.” “Bagaimana kalau tukang jahit itu tak muncul, Ayah?” Aku menatap matanya yang menunggu jawaban, kemudian memandang gamang ke arah orang-orang yang antre itu. Kulihat antrean itu sudah sedemikian panjangnya, hingga menyentuh ujung terjauh cakrawala yang mulai menggelap. Brisbane-Yogyakarta, 2007 Agus Noor (7 Oktober 2007)
""Tukang Jahit""
Apa yang bisa kukatakan kepadamu tentang orang-orang ini. Atau lebih baik begini. Jika kau bermaksud mengukur, atau menakar, atau mengira-ira bagaimana watak mereka, kau mungkin akan kesulitan. Tak ada ukuran yang bisa kau gunakan. Kesulitanmu itu bisa jadi karena apa yang kau saksikan adalah sesuatu yang baru dan belum pernah melintas dalam mimpimu sekalipun. Atau, bisa jadi, kau kurang “alat” untuk menentukannya. Maaf, jangan tersinggung. Ini memang sulit. Jangankan kau, aku sendiri yang lahir dan besar di sini pun tak paham benar apa yang terjadi dengan mereka. Aku yang meminum air tanah daerah ini pun masih tak paham mengapa semua ini begitu membingungkanku. Begini. Kebingunganku berawal ketika aku sudah mengerti apa artinya sekolah. Seingatku, setiap pagi, Ibulah yang memakaikan pakaianku yang berwarna merah dan putih itu. Dia pula yang menyisir rambutku, mengenakan topiku—yang juga berwarna merah—dan akhirnya memelukku erat sebagai bekal hariku bersekolah. Hari masih terang tanah ketika sepeda Bapak terangguk-angguk menyusuri jalanan desa dan diriku masih terkantuk-kantuk di boncengan menuju sekolah. Ketika sudah kudengar kicau burung dan kabut mulai menyibak, kami sampai di mulut desa. Sepeda tua Bapak, dengan karat di sana-sininya, masih mengerit-gerit, menuju sekolahku. “Di sana nanti kamu akan tahu, mengapa kita seperti ini. Dan kuharap Bapak masih sempat menyaksikan kamu tidak seperti kami….” Itu ucapannya yang masih kuingat pada hari pertamaku sekolah. Yang kuingat juga adalah pada suatu kali, aku disuruh pulang oleh Bu Guru. Katanya, aku dihukum. Sesampai di rumah, Bapak melolos ikat pinggangnya dan tanpa kata-kata segera menghajarku. Setelah puas menghantamkan ikat pinggangnya, baru kemudian dia bertanya mengapa aku pulang lebih awal. Aku pun menceritakan tadi aku mengerjakan soal Bahasa Indonesia dan diminta menjawab pertanyaan dengan mengisi titik-titik yang kosong. “Apa pertanyaannya?” bentak Ayah geram. Kusaksikan Ibu terisak dalam diam. Kubaca tulisan di buku tulisku, “Ayah Tono adalah orang baik, pekerjaannya …titik-titik-titik…” “Apa jawabmu?” Setelah ragu, aku menjawab, “Pencuri….” Aku membayangkan ikat pinggang Ayah membelah punggungku. Tetapi tidak. Aku heran menyaksikan Ayah yang pergi dengan langkah gontai. Entah apa yang terjadi. Malamnya aku bertanya kepada Ibu. Ibu pun diam. Aku bertanya tentang mengapa “mencuri” tidak diperbolehkan di sekolah. Bahkan, ketika aku menuliskan jawaban itu, aku dihukum. Juga ketika kutanyakan mengapa sikap Ayah seperti itu setelah mendengar jawabanku, Ibu pun hanya diam. Kusaksikan wajahnya tampak kian tua, tatapannya memberat. Sepertinya di atas kepalanya ada berpuluh-puluh batang kayu gelondongan yang menindihnya. Ayah saja tak mampu mengangkat gelondongan kayu jati itu seorang diri, apalagi Ibu yang cuma seorang perempuan. Sejak peristiwa itu, aku tak boleh sekolah oleh Ayah. Meskipun kutanyakan, bukankah dulu dia yang bersemangat menyuruhku sekolah, dia bersikeras. Kau bisa membayangkan apa yang kumaksud dengan “bersikeras”, kan? Tetapi, selang seminggu kemudian, Ibu rupanya berhasil membujuk ayah agar aku kembali bersekolah. Dan memang akhirnya aku sekolah kembali hingga selesai. Anehnya, sejak tugas yang membuatku dihukum, guruku menjadi sangat tak acuh padaku, padahal, tak sebatang pensil pun hilang dari kelasku. “Ini kita muatkan ke truk itu. Dapat bayar. Selesai.” “Berdua?” tanyaku tak percaya. “Kau jauh lebih muda. Lebih kuat. Apa kau sudah jadi perempuan?” bisik ayahku dingin. Kudengar deram mesin truk di ujung sana. Maka, tanpa banyak kata, kami pun bersimbah peluh, menggelondongkan batang-batang besar, memikul, dan memuatkannya pada truk. Hanya berdua. Dan hanya berdua pula uang yang kami terima: lumayan. “Dengan ini, kita bisa makan,” ucap Ayah tenang. Dia sudah tua, tetapi tenaganya seakan tak pernah surut. “Sebagian lagi kau bagikan kepada Tewel.” “Berapa?” “Lebihkan sedikit dari yang lalu….” “Mengapa?” “Katanya, untuk membayar uang pangkal anaknya….” “Enak betul….” “Sudahlah.., daripada nanti kita dapat masalah.” Dan sore itu aku ke perbatasan hutan jati menemui seorang polisi—entah apa pangkatnya—dan menyerahkan sejumlah uang seperti yang dipesankan ayahku. Seperti biasanya, dia memintaku untuk meletakkan amplop itu di suatu tempat yang ditentukan dan begitu aku melangkah jauh, dia akan segera mengambilnya. Itu dilakukannya agar tak ada orang lain yang tahu. Jujur saja, aku ingin membelah kepalanya, mengeluarkan otaknya, dan membakarnya sampai jadi abu. Aku tak tahu mengapa niat itu belum kulaksanakan, padahal dia selalu menyulitkan kami. Tanpa dia pun kami akan baik-baik saja, sebetulnya. Bayangkan, di sini siapa yang akan melaporkan kami? Melaporkan apa? Pencurian? Jangan-jangan jika kau, misalnya, melaporkan kepada polisi, kau malah ditanyai habis-habisan: mencuri itu apa? Di wilayah kami hanya ada kerja bakti, saling menghormati, hidup bahagia, tetapi tidak untuk “mencuri”. Tak ada itu dalam hidup kami. Jadi, Saudara jangan mengada-ada, bisa-bisa kena pasal fitnah. Itu jawaban yang akan kau terima. Tak percaya, coba saja. Kami semua lahir dan hidup di gunung ini, yang seluruh lembahnya ditumbuhi pohon jati. Sejak moyang kami, kami memang hidup dengan pohon-pohon ini. Dan hutan-hutan ini seakan tak habis-habisnya, jadi memang inilah yang bisa kami lakukan untuk hidup. Apa ini salah? Percayalah, tak ada sesuatu yang kau sebut “mencuri” itu di desa kami. Ini milik kami dan kami menjualnya. Jadi, apa yang kami lakukan, yang menurut kalian adalah perbuatan tidak baik, bagi kami malah mulia. Entah sejak kapan, tiba-tiba entah dari mana ada peraturan pelarangan menebang pohon jati. Ini hutan kami. Ini pohon jati kami. Kami yang merawatnya, menjaganya, dan memanfaatkannya. Mengapa kami tak boleh menebangnya? Bagaimana memanfaatkan pohon jati, tanpa menebangnya? Ini aneh. Peraturan aneh. Dan sejak peraturan aneh itu, kami jadi terpaksa berhubungan dengan para polisi itu. Kami jadi harus menyetorkan jerih payah kami kepada mereka, yang bahkan tak ikut memegang kapak sekalipun. Aneh! Seusai sekolah menengah pertama, yang kulalui hampir seluruhnya dengan berkelahi, aku tak melanjutkan pendidikanku lagi. Pertama, karena Ayah kian banyak berurusan dengan para polisi; kedua, karena guru-guruku tak menyarankan aku untuk sekolah lagi. Aneh. Maka, sejak saat itu aku menjadi pembantu Ayah. Mempersiapkan peralatan, bekal, dan tentu saja tenaga. Meskipun begitu, tidak setiap hari kami melakukan penebangan. Benar bahwa dulu pun tidak setiap hari kami menebang. Ayah akan melihat dan menentukan pohon mana yang cocok untuk ditebang, wilayah mana yang merupakan “larangan” bagi semua penduduk, dan seterusnya. Tetapi, kejarangan menebang kami kali ini lebih dikarenakan begitu banyaknya “musuh”. Istilah ini aku dengar justru dari Pak Tewel, polisi tambun yang dulu ingin kujadikan santapan kapakku. Ya, dia masih saja berkumpul bersama kami, padahal dia bukan kelahiran sini. Entah pangkatnya apa, yang jelas mobilnya selalu berganti-ganti dan jumlahnya tidak hanya sebuah. Aku, dan mungkin juga Ayah, serta orang-orang sini, tak paham benar apa yang dimaksud dengan “musuh”. Yang jelas, sekarang kami berada dalam kendali Pak Tewel dan konco-konconya. Jika mereka bilang “jangan”, maka kami tak bisa menebang. Sebaliknya, jika dia diam saja, berarti hari itu kami dapat uang. Masalahnya, Pak Tewel lebih banyak berkata “jangan”. Celaka! Suatu malam, ketika kami: aku, ayah, Pak Min, Pak Mus, dan Pak So tengah berkumpul membicarakan situasi yang “diciptakan” Tewel, tiba-tiba kami dikejutkan oleh teriakan seseorang. Ternyata istri si Kam yang melolong, suaminya mati. Kam, terbaring selama tujuh hari. Tubuhnya lebam-lebam, sering muntah darah, dan merintih terus. Dia sempat cerita—sebelum akhirnya pingsan berkepanjangan dan akhirnya mati—bahwa Tewel ternyata menerima uang dari “musuh” yang sering didengung-dengungkannya. Ketika mendengar itu, kapakku mendesis. Malam itu, ketika kusaksikan sendiri Kam mati, tak ada lagi maaf untuk manusia yang satu itu. Aku sendiri sudah tak bisa lagi menahan diri. Bapak kulihat menyetujui, tentu saja hanya lewat pandangannya yang dingin. Kam mati lantaran tahu rahasia Tewel. Tewel harus mati karena dia membunuh kami. Hanya kami yang punya hutan jati, dan jati adalah kami, tak boleh orang lain mengusai kami. Malam itu juga, Kam kami makamkan. Sepulang dari makam, malam itu juga, kami berlima puluh laki-laki mulai menebang jati. Tak ada lagi uang. Tak ada lagi makanan. Perut lapar, kami punya jati dan jati memberi kami hidup. Tak ada lagi yang bisa menghalangi. Berani menghalangi, berani mati. Pak Mo, yang ternyata diam-diam berhasil memiliki gergaji buaya, begitu kami menyebutnya—karena gigi-giginya sepanjang moncong buaya—membuat pekerjaan jadi lebih mudah. Begitu gergaji Pak Mo menggeram, sebentar kemudian pohon pun tumbang, kemudian kami kumpulkan ke suatu tempat yang sudah kami persiapkan. Besok, pasti ada truk yang akan membayar dan mengangkutnya. Pada pohon yang kelima puluh, menjelang subuh, kudengar suara tembakan. Aku hafal betul, itu senjata Tewel. Kami sudah menduga, dia akan marah karena saat ini dia tengah melarang kami menebang. Apa peduliku? Siapa dia? Pengemis hina tak tahu diri, berani-beraninya melarang kami. Sekarang, apakah kau mengerti yang kumaksudkan? Ketika kutuliskan ini semua, peristiwanya sudah lama berlalu. Setelah hari-hariku di balik jeruji kutuntaskan, semuanya mungkin sudah punah di sana. Aku tak tahu lagi bagaimana nasib ibu. Ayah yang terobek peluru dan dua puluh lagi laki-laki kami yang mati menjadi saksi bahwa kami memang pernah ada. Tewel, sebagaimana yang kucita-citakan, mampus terbelah kapakku. Puas aku. Puas, karena seperti kuduga, tengkoraknya kosong melompong tak ada otaknya. Aneh! Kau pasti tak percaya. Coba saja. Amati orang-orang seperti Tewel, lalu ajak bicara, pasti tak bisa. Nah, orang seperti itu, pasti tak punya otak. Kalau tak percaya, ambil kapak, belah kepalanya. Maaf, mungkin bicaraku terlalu kasar untuk ukuranmu. Jujur saja, aku tak tahu ke mana harus belajar sopan santun. Hanya usia yang membuatku kian luruh. Aku hanya mampu begini, menuliskan apa yang mampu kutulis. Mungkin menjadi sebuah cerita. Mungkin hanya coretan tak berarti—bagimu, tetapi ini semua memiliki arti penting bagiku. Aku bukan saja kehilangan jatiku, tetapi kedua orangtuaku dan mereka yang kukenal benar sebagai sahabatku. Di luar gunung itu aku tak mengenal siapa pun. Juga selama hampir 15 tahun aku mendekam di penjara ini, aku tak mengenal siapa pun. Oh, sebentar, maksudku, tubuhku memang berada di balik jeruji itu, tetapi aku… aku melayang menuju gunung berhutan jati itu, menziarahi makam orang-orang yang kucintai—seandainya memang mereka dimakamkan. Selama di penjara, aku selalu berusaha menemukan kembali topi merahku yang kecil itu. Di sana, ada kecupan Bunda yang mengantarku ke sekolah. Aku selalu berusaha, namun sampai sekarang tak bisa kutemukan di mana. Kembali kukenang lagu masa kanak-kanakku, yang selalu kami nyanyikan manakala kami berkumpul atau membantu ibu-ibu kami mengumpulkan klaras: …pring reketeg gunung gamping jebol… yang jujur saja tak kuketahui sama sekali apa maknanya. Jangankan maknanya, selengkapnya pun aku sudah tak ingat lagi. Tetapi, semua peristiwa yang terjadi di desaku, mendekam, membatu dalam sudut kenanganku. Sebetulnya aku ingin menceritakan selembar daun jati yang kami sebut klaras. Konon, itulah sebabnya si Cindelaras dinamai demikian karena ketika bayi merah dan diketemukan orang dia tengah ditutupi klaras oleh yang meninggalkannya. Dan asal tahu saja, Cindelaras lahir di desa kami: hutan jati. Hutan jati yang kini entah ada di mana…. Pinang, 982 yanusa nugroho (25 November 2007)
""Nyanyian Klaras…""
Seorang sersan muda sedang mencegah tersangka merebut tas kecil dari meja ketika Letnan Sardi masuk. Wibawa yang bergelantungan di pundak Sang Letnan menghentikan keriuhan kecil di ruang interogasi tanpa sedikit pun tenaga tersia-sia. Si Sersan melepaskan genggamannya, membiarkan tersangka merebut dan memeluk tas itu erat-erat. Keadaan terkendali. Letnan Sardi duduk dengan tenang dan menatap tajam ke depan. Sepotong masa lalunya kini menggumpal di seberang meja, duduk di kursi sebagai tubuh rikuh si tersangka. Sardi ingat. Tersangka itu sahabatnya. Dulu. Sahabat sekaligus, diam-diam, seteru. Dalam setiap permainan, mereka biasa saling bahu-membahu. Orang-orang mengenal keduanya sebagai ujung tombak kembar PS. Gunung Terang. Ujung tombak kembar yang tajam. Sersan itu melaporkan keadaan. Mengeluhkan, lebih tepatnya. Tersangka tak mau bicara. Segala cara sepertinya percuma. Sardi menatap penuh selidik pernyataan anak buahnya, mencari maksud di balik pernyataan “segala cara”. Ditatap seperti itu, Si Sersan merasa jengah. Ia beranikan diri minta pamit. Sardi hanya bertanya, “ke mana?” untuk menyatakan sikapnya. Intonasi pertanyaan itu terang artinya bagi Si Sersan. Permohonannya ditolak. “Pelajari caraku menyelesaikan kasus ini.” Sersan mematung tak jauh dari pinggir meja, menyembunyikan sikap meremehkan yang memenuhi lambungnya. Sersan itu percaya, perbedaan keduanya sebagai polisi hanya soal di mana pangkat tersemat. Lengan dan pundak bagaimanapun hanya dipisahkan ketiak, tak perlulah bersikap congkak. Letnan Sardi bukan tak dapat merasakan sikap meremehkan ini, sebagaimana seluruh bawahannya menyimpan sikap serupa. Pagi itu, ia tak peduli, memilih tenggelam di berkas catatan di depannya. Asan. Laki-laki. Menikah. Wiraswasta. 29 tahun. 32, ralat Sardi diam-diam. 3 tahun itu diambil untuk sebuah pertandingan tarkam sekota, 13 tahun yang lalu. Waktu itu, setiap peserta harus berumur kurang dari 18. Ia tahu, sebab 3 tahun itu juga diambil darinya. Sardi melihat ke arah cermin di sisi ruangan, ke arah bayangannya sendiri, sebelum kembali ke Asan. Mungkin usia bekerja dua kali lebih kejam pada Asan, ia tampak ringkih dan kering. Kebanyakan orang tentu heran bagaimana orang seringkih ini bisa mempunyai kekuatan untuk melakukan kekejian. Asan diduga keras adalah pelaku pembunuhan Raman Jereng, bandar judi besar kota ini. Tangan kecilnya telah menghantamkan batu ke tengkuk Raman, menyiramkan bensin, lalu membakar korbannya. Visum percaya bahwa korban belum tewas ketika api menyala. Sardi menoleh ke arah Sersan, bertanya apa isi tas tersangka. “Sepatu bola, Pak.” Sardi menatap Sersan lekat-lekat. Sersan sempat mengira atasannya terheran-heran, sebagaimana dirinya tadi. Tapi mengapa Letnan Sardi tersenyum? Apakah akademi mengajarkan untuk menutupi perasaan heran dengan tersenyum? Sardi ingat sepatu itu. 13 tahun yang lalu, sebelum kenal tentara, Raman Jereng cuma bandar kelas kampung. Ia masih mengotori tangannya untuk menggosok-gosok pemilu kades atau pertandingan sepak bola. Sore itu, seusai pertandingan pertama kompetisi tarkam sekota, Raman datang membawa dua pasang sepatu. Sepatu pertama, yang kemudian dipakai Sardi, sebenarnya cukup baik. Kulitnya nomor satu, jahitannya kuat, tiga garis putih membuatnya tampak gagah. Sepatu Kaisar Bekenbewer, kata Raman. “Sepatu ini bikin Jerman juara 74,” kata Raman. “Lu mau?” Sardi muda mengangguk. Nantinya, keputusan ini ia sesali seumur hidup. Raman Jereng selalu punya cerita untuk apa saja. Termasuk untuk sepatu-sepatunya. Sepatu kedua, yang dihadiahkannya pada Asan, punya cerita lebih seru. “Pernah dengar tangan Tuhan?” Raman menyodorkan sepatu kedua ke tangan Asan. Kulitnya sama nomor satu, jahitannya sama kuat. Bedanya, sepatu itu bergambar macan kumbang sedang menerkam. “Sedang terbang,” ralat Raman. Ceritanya belum selesai, masih akan lebih seru. Raman mengulangi pertanyaan yang sebenarnya tak perlu. “Pernah dengar tangan Tuhan?” Asan berbinar-binar, tak sadar mulutnya menganga. Sardi mengangguk berkali-kali. “Itu sepatunya.” Asan memandangi sepatu itu tak percaya. Sepatu yang biasa dipakainya adalah sepatu sobek pinjaman Sardi. Salah satu sepatu terburuk dari koleksi anak sulung juragan kopi itu. Kini ia punya sepatunya sendiri. Tak tanggung-tanggung, sepatu Tuhan. Sardi mengulangi kalimat yang ia dengar dari bapaknya. Komentar mengenai betapa musyriknya julukan Tangan Tuhan. “Hensbol itu tangan Setan.” Sardi bicara sendiri. Asan sibuk menatapi sepatu, Raman sibuk menatapi Asan. Sepanjang kompetisi tarkam sekota, sepasang ujung tombak kembar Gunung Terang mengamuk, demi membentang cita-cita tinggi-tinggi. 7 gol untuk sepatu Kaisar, 13 untuk sepatu Tuhan. Begitu pun, Asan sebenarnya cukup membuat satu gol saja. Satu yang mengatasi gabungan seluruh gol di kompetisi ini. Di perempat final, Gunung Terang tidak mengendurkan serangan sekalipun sudah memimpin 1-0. Dalam satu skema serangan, posisi para pemain tiba-tiba meniru skema gol kedua Argentina di gawang Inggris, sebulan sebelumnya. Dari tengah, Asan lepas sendirian. Dua rekan termasuk Sardi mengikuti dari sayap. Asan terus menggempur. Satu pemain terlewati, lalu satunya lagi. Pemain ketiga mengira cukup dengan bermain posisi, tapi malah kalah lari. Pemain keempat memapasi, mengincar kaki, tapi Asan meliukkan tubuhnya dengan ajaib. Pemain keempat ini bermaksud meniru meliuk tapi malah kehilangan keseimbangan, terpelanting. Pemain kelima menghadang dengan emosi tinggi, sudah terkalahkan jauh sebelum berhadapan dengan Asan. Di depan kiper, Asan, dengan macan di sepatunya yang entah menerkam atau terbang, menyontekkan bola ke sudut kiri. Diego Asando Maradona, 2-0, legenda kampung kami. Setahun setelah gol itu, Sardi mengutuk diri. 7 gol dan 5 umpan matang, tak seorang pun akan ingat. Bagaimana mungkin? Orang-orang cuma ingat bahwa di partai semifinal, Gunung Terang dihajar Tunas Harapan 3-0. Kalau saja Asan main di partai semifinal, ceritanya pasti lain. Kalau saja di malam sebelumnya tak ada pengendara motor krosboi melintas, kalau saja bukan Asan yang tersuruk di kolam Haji Sanusi. Sardi tak mungkin bisa memaafkan kekalahan ini. Pencari bakat dari dua tim galatama, memasang wajah bosan di partai semifinal, mencoret sepasang nama tombak kembar Gunung Terang dari catatan mereka. Suatu keputusan buruk yang mengakibatkan Indonesia gagal juara dunia. Mengubur cita-cita, Sardi mendaftar akademi polisi. Begitu pun, ini gagal mengubur sepotong curiga. Curiga ini terlalu meyakinkan. Di sore sehabis gol istimewa Asan diciptakan, Raman datang, khusus mencari Asan. Keduanya bercakap di pojokan, sembunyi-sembunyi. Dalam percakapan itu, wajah Asan cepat berubah dari senang menjadi tegang, lalu cemas dan ketakutan. Malam harinya, jendela kamar Sardi diketuk dari luar. Itu ketukan Asan. Sebentar kemudian mereka mengendap melintasi malam menuju rumah Raman Jereng. Di akhir perjalanan pulang, alasan Asan mengembalikan sepatu Tuhan tak juga terang. Sepanjang jalan Asan tak bersuara. Sekali-kalinya ia bicara, hanyalah ketika mereka berpisah. Itu pun semakin tak menerangkan apa-apa. “Aku tak punya sepatu lagi.” Sardi berjanji meminjamkan salah satu sepatunya. “Yang biasanya saja.” Sardi mengangguk. Sepatu itu tak jadi dipinjamkan, sebab besok malamnya Asan ditabrak lari. Penanganan rumah sakit yang buruk menghentikan karier sepak bolanya. Persahabatan kedua ujung tombak itu juga turut surut. Asan selalu menghindar. Tak lama sesudah sembuh dan menerima takdir kakinya pincang, Asan bekerja untuk Raman. Lebih tepat, Raman datang menawarkan pekerjaan. Setelah itu, 13 tahun jalan bergegas, tentara mengubah Raman menjadi bandar kaya, tapi tentu tidak jongos-jongosnya. Asan menikah, sebentar. Istrinya kabur dengan seorang penyanyi dangdut, bukan dari Asan yang sudah mengecewakan sejak minggu pertama, tapi dari seorang anak laki-laki hiperaktif hasil pernikahan mereka. Anak laki-laki itu kini seusia putra Sardi. Keduanya kini sudah tergila-gila bermain bola. 13 tahun, pikir Letnan Sardi. Kenapa terlalu lama? Seperti 13 tahun terakhir, kini pun Asan menghindarinya. Ia menunduk. Mereka berdua duduk berhadapan, namun tak akan ada seorang pun yang mampu mengendus gelagat lembut bahwa keduanya saling mengenal. Apalagi mengendus bahwa keduanya sempat berpapasan dalam kesempatan yang lain, sebelum ini. Seminggu lalu, di pinggir suatu lapangan sepak bola, menonton pertandingan dua kelompok bocah, keduanya duduk berdekatan. Tidak, tidak seorang pun bisa menduga. Tak seorang pun akan mengetahui, sebab bahkan Sardi dan Asan telah berjanji untuk melupakan perjumpaan ini. Kesempatan, cetus Sardi dalam hati, menjawab pertanyaannya sendiri. Itulah alasannya. Setiap dendam butuh waktu. Tentu, tak salah lagi. Sardi telah bergumul dengan para kriminal, ia paham watak dasar mereka. Keliru jika memandang mereka sekadar mengandalkan urat nekat. Kriminal tertangguh adalah mereka yang paling bisa menciptakan kesempatan. Bukan, bukan sekadar kesempatan untuk melakukan kejahatan. Paling penting adalah kesempatan untuk merancangnya. Raman Jereng sadar benar tentang ini. Bandar judi itu cukup licik untuk merawat Asan, terutama karena ia tahu pada gilirannya kejahatannya akan terungkap. Raman bersiasat, jika akhirnya Asan mendapati bahwa kecelakaan di kolam Haji Sanusi terjadi atas perintahnya, pengawasan ketat akan mencegah Asan membalas dendam. Berada dalam kendali berarti mempersempit kesempatan Asan merancang apa pun bagi diri sendiri. Sempit kesempatan sempit pula keberanian. Itulah resepnya. Resep yang baik, pikir Letnan Sardi, tapi belum tentu manjur. Bagaimana jika ada orang lain, peristiwa lain, yang memungkinkan suatu kesempatan tercipta. Raman Jereng bisa saja terus mengawasi Asan, tapi ia tidak bisa mengawasi semua hal. Ia tidak bisa memasukkan semua orang ke dalam kantongnya. Ia bisa berusaha, tapi luas kantong ada batasnya. Sardi membayangkan wajah Raman ketika terkejut mendapati api menjalar di atas kulitnya. Apakah ia mempunyai kesempatan berteriak? Asan duduk dengan kepala terus menunduk. Apakah sahabat kecilnya itu sempat ragu? Apa kini ia menyesal? Ia tampak resah. Ya, seharusnya ia menyesal. Penyesalanlah yang membedakan antara dirinya dan kriminal semacam Raman. Yang membedakan kita dengan dia, kata Sardi diam-diam. Menjalankan kesempatan bisa berarti berkhianat pada hati kecil. Hati kecil, ia tahu banyak tentang hal ini. Usaha kopi bapaknya tidak begitu baik ketika ia didaftarkan ke akademi polisi. Padahal, harga sogok menyogok begitu tinggi. Semenjak itu, hidupnya tergadai. Mungkin bahkan sejak sebelumnya. Sejak sepatu Kaisar diterimanya. Raman Jereng tak merasa cukup dengan bekingan tentara, ia ciptakan pula kesempatan antara dirinya dan seorang calon polisi muda dari Gunung Terang. Raman Jereng dan seluruh kesempatan-kesempatan yang diciptakannya, semua pantas mati. Sardi tak bisa membayangkan berapa banyak orang terselamatkan, berapa banyak kesempatan kejahatan terbungkam. Sardi tersenyum, menyimpulkan. Tak ada akhir yang paling tepat bagi seorang penjahat selain mati di tangan senjatanya sendiri. Dua buah senjata yang memakan tuannya sendiri. Adapun jika orang lain menyangka satu, itu tak lain karena kebanyakan orang cenderung lebih mengingat siapa yang bikin gol. Sardi telah berdamai dengan dirinya sendiri. Tak ada buruknya memberi umpan matang. Lagipula Kaisar memang dikalahkan Tuhan di Meksiko 86. Letnan Sardi bersiap mengenyahkan kasus ini dari hadapannya. Ia menoleh ke arah sersan, bertanya “Sudah paham?” Sersan menggeleng, terheran-heran. Apa yang bisa dipahaminya, dipelajarinya? Sejak tadi Letnan Sardi hanya membaca. “Itulah yang membuat kau sersan dan aku letnan. Motif, buruh yang tertindas, majikan yang kejam, buruh balas dendam. Sederhana. Bukan pembunuhan berencana. Laki-laki ini terlalu pengecut untuk itu.” “Bensinnya, Pak?” “Baca lagi arsipnya.” “Sepatunya?” “Ini bukan cerita detektif. Kecuali kalau kau menganggapnya begitu.” Sersan menggeleng, lemah. Letnan Sardi, menenteng tas kecil, berjalan santai ke arah tempat parkir mobilnya. Di dalam mobil, dua orang bocah tersenyum riang menyambutnya. Bocah laki-laki yang duduk di depan, ini putranya. 7-8 tahun lagi ia akan merajalela dengan sepatu Kaisar. Bocah yang duduk di belakang, anggota baru keluarganya, masih sering terselip lidah memanggilnya dengan sebutan Oom, bukannya Ayah. “Ini dari bapakmu.” Putra angkatnya menerima tas itu dengan canggung, tak berani membukanya. “Apa isinya?” Sergah putranya sendiri, penasaran. “Pernah dengar tangan Tuhan?” Keduanya menggeleng. Sepanjang jalan, Letnan Sardi bercerita tentang Piala Dunia 86. Satu gol terkenal Maradona adalah gabungan dari sedikit kerja kepalanya dan sedikit kerja tangan Tuhan, tapi itu belum seberapa. Di perempat final, Asan, sahabatnya, melewati lima pemain sebelum menundukkan Peter Shilton. Di semifinal mereka dikalahkan PS. Tunas Harapan 3-0. Tak apa. Setiap cita-cita berhak mendapatkan kesempatan kedua, sebagaimana Indonesia berhak juara dunia. “Gol kedua itu, ini sepatunya.” ugoran prasad (18 November 2007)
""Sepatu Tuhan""
Dari balik pepohonan dan hamparan belukar kijang kencana muncul seperti asap. Moncongnya sedikit lancip dengan dua bundaran mata bening sipit berputar-putar seperti mengajak berbicara. Tubuhnya emas dengan kaki-kaki ramping berloncatan mengitari Sinta dengan jenaka. Sang jelita tergoda. Rama bagai kilat meloncat menerkam, secepat kilat pula kijang berkelebat menghindar. Keduanya melesat bagai meteor makin lama makin titik dari pelupuk Sinta. Jerit semayup-sayup terdengar bagai salam perpisahan. Dan Laksmana terusir tersaruk sia-sia… Ooo,bumi bergetar langit berkedip-kedip malam makin menyayat lampus tengah malam kelabu yang segera beradu jagat menjadi amat hitam, ooo! Ruangan itu sesepi kuburan. Seperangkat gamelan pelog slendro masih saja terbujur di sebelah kanan dengan debu-debu yang tumbuh di atasnya. Juga sekotak wayang kesayangan almarhum Bapak. Sebuah kursi goyang besar (yang hampir tidak ada yang mendudukinya setelah Bapak meninggal), deretan foto keluarga, lampu gantung tua, semuanya tidak ada yang berubah. “Jam berapa kamu dari datang Ut? Kami semua sudah menunggu. Cuci kaki atau mandilah dulu lalu tengoklah Ibu di kamar” Sapaan halus itu cukup mengagetkan lamunanku. Pak Dhe muncul dari ruang tengah. Segera kucium tangan Pak Dhe, kakak satu-satunya dari Ibu. Lalu bergegas ke belakang. Ketika sampai di kamar aku terkejut. Wajah Ibu demikian kurus, pucat dan sayu. Ibu memang sudah berusia 65 tahun, tapi beliau selama ini sangat pandai merawat tubuhnya sehingga selalu tampak lebih muda dan segar, tapi kini Ibu tampak jauh lebih tua dari seseorang yang berumur tujuh puluhan. Padahal baru tiga bulan lalu aku menengoknya dan waktu itu beliau tampak baik dan sehat-sehat saja. Tangannya terasa dingin dan gemetaran ketika aku menciumnya. Beliau tak menjawab salamku. Air mata mengambang di pelupuknya dan tangannya tak henti mengelus-elus sebuah pigura kaca di pangkuannya. Sudah lima tahun pigura kaca bercat keemasan dengan sebuah dasi dengan warna dasar biru berleret-leret merah hati di dalamya itu terpampang di dinding kamar Ibu. Saban tahun setiap lebaran, dasi dalam pigura kaca itu dikeluarkan dari kamar dan dipasang di ruang tengah tepat di bawah foto keluarga yang berjejer di tembok. Di bawah dasi dan foto-foto itu kami sekeluarga berkumpul di malam-malam menjelang lebaran sampai lebaran ketupat, sepasar setelah hari raya. Di dasi itu tersimpan pusat segala kebanggaan ibu terhadap anak-anaknya. Putra Ibu tiga. Yang pertama Mbak Tutik—Wulan Widiastuti—menjadi dosen di sebuah PTN di Surabaya dan suaminya seorang dokter. Yang kedua Mas Prasetya Utama, lulusan magister manajemen, tinggal di Semarang dan menjadi pengusaha sukses. Dan yang ragil, Mas Wahyu, lengkapnya Wahyu Kusuma Wibawa, jebolan Sarjana Hukum universitas terkemuka di Indonesia dan menjadi pengacara di Jakarta. Sedangkan aku sendiri, Wiji Utami, sejak umur sembilan tahun ikut Ibu, beruntung dikuliahkan Ibu di IKIP swasta di kota kecil ini sambil menemani Ibu yang menjanda. Beruntung lagi karena setahun lalu bertemu dengan seorang laki-laki yang menjadi suamiku, seorang pegawai di kejaksaan di ibu kota. Meski bukan anak kandung aku adalah kepercayaan Ibu dan seluruh keluarga karena sebelum bersuami akulah yang menemani dan melayani Ibu, sementara ketiga putra Ibu sejak remaja sudah meninggalkan rumah untuk sekolah, kuliah dan kemudian bekerja. Tiba-tiba aku dikagetkan dengan pertanyaan lirih, “Nduk, apakah berita-berita santer tentang kakakmu Wahyu itu benar? Benarkah Wahyu sedang dicari-cari polisi nduk?” Aku tak sanggup menjawab pertanyaan Ibu justru karena aku tahu siapa Mas Wahyu di mata Ibu. Dari ketiga putra-putrinya, Mas Wahyulah yang paling disayangi dan paling membetot perhatian Ibu. Kalau dua kakaknya lancar-lancar saja hidupnya. Sekolah tertib, kuliah juga selesai tepat waktu dan lancar memperoleh pekerjaan, Mas Wahyu lain. Ia jarang pulang dan hampir tak pernah berkirim surat bahkan jarang minta jatah bulanannya. Kuliahnya delapan tahun baru selesai karena lebih banyak beraktivitas daripada menekuni diktat-diktatnya. Suatu kali beliau berkata dengan penuh bangga, “Nduk, Masmu Wahyu itu persis bapaknya. Tidak gampang menyerah dan keras memegang prinsip. Kamu tahu, Bapak dulu pegawai negeri, bahkan Kepala Bagian lho, tetapi Bapak memilih pensiun karena tidak mau berbuat neko-neko dan tidak tahan melihat kebobrokan atasan-atasannya. Jadinya Bapak lebih suka ndalang wayang kulit dan nunggu tanggapan”. Ibu memang sangat bangga dengan suaminya, karena itu selalu berupaya keras mendidik putra-putranya agar seperti bapak, Hardja Prawira. Beliau menasihati putra-putranya termasuk aku dengan cara menceritakan lakon-lakon wayang. Ibu selalu mendongeng sebelum kami tidur. Selalu ada saja kisah yang diceritakan setiap malam, kami semua dibawanya mengembara ke alam yang indah dan menakjubkan. Gaya berceritanya begitu hidup dan memesona bagaikan kereta kencana yang membawa kami dalam berbagai gairah petualangan. Dalam cerita Ibu kami bertemu dengan tokoh-tokoh yang begitu beragam wataknya. Ada yang jujur, pemberani, namun ada juga yang culas, serakah, dan licik. Kami tersugesti menjadi tokoh satria perwira yang rela menderita agar orang lain bahagia. Dari semua kisah-kisah wayang itu Ibu paling suka dan paling sering mendongeng penggalan kisah Ramayana, saat Sinta istri Rama tergoda rayuan kijang kencana penjelmaan Kala Marica suruhan dari Rahwana. Lewat cerita itu Ibu menegaskan agar kami tidak gampang hanyut oleh godaan-godaan hidup. Ibu mewanti-wanti kami untuk selalu eling bahwa Kala Marica akan selalu menggoda setiap waktu. Hampir empat tahun Mas Wahyu seperti lenyap ditelan bumi. Lalu sampailah pada hari yang tidak akan mungkin dilupakan oleh kami semua keluarga besar Hardja Prawira. Waktu itu hari Minggu, matahari belum lagi terang ketika sebuah mobil warna metalik masuk begitu saja di halaman rumah. Aku yang kebetulan sedang menyapu halaman hampir berteriak saat melihat sesosok tubuh turun dari mobil. Mas Wahyu pulang. Rambutnya masih saja dibiarkan gondrong sampai bahu. Tubuhnya yang dulu kurus sekarang agak gemuk dan bersih dibalut hem biru lengan panjang dengan sepotong dasi dengan warna dasar juga biru dengan leret-leret merah hati. Di belakangnya menguntit seorang perempuan cantik menggendong bayi yang kira-kira tiga bulan umurnya. Perempuan itu dipanggilnya dengan nama Desy. Hari itu menjadi hari yang paling membahagiakan Ibu. Mas Wahyu pulang dengan membawa anak istrinya. Ibu tak henti-hentinya mengusap air mata sambil mengelus-elus rambut cucunya. Hari itu juga Mbak Tutik dan Mas Pras dipanggil pulang, demikian juga seluruh famili. Ibu jadi seperti punya hajat. Di depan seluruh keluarga Mas Wahyu bercerita bahwa ia telah mempunyai kedudukan di sebuah departemen pemerintah di ibu kota. Aktivitasnya sebagai mahasiswa yang kritis membuat ia dikenal oleh seorang tokoh partai politik yang selepas jatuhnya rezim lama menjadi pejabat pemerintahan yang kemudian menawarinya jabatan di departemen yang dipimpinnya. Ia juga mendirikan kantor pengacara dan sebuah LSM. Jadilah Mas Wahyu seperti sekarang. Wahyu yang tak lagi kurus dan kumal, tapi Wahyu yang rapi dengan dasi warna biru leret-leret merah dan bagasi mobil penuh oleh-oleh buat keluarga dan tetangga-tetangga. Semenjak itu dasi biru leret-leret merah hati yang dikenakan Mas Wahyu seakan-akan menjadi pusaka keramat keluarga kami. Dasi itu diminta Ibu dan dimasukkan pada pigura kaca berbingkai emas lalu diletakkan di dinding kamar Ibu. Setiap tahun menjelang lebaran tiba, dasi dalam pigura kaca itu dikeluarkan dari kamar dan dipajang di ruang tengah tempat seluruh keluarga biasa berkumpul. Saat-saat itu pula Ibu selalu mengadakan tirakatan keluarga dengan mengundang para tetangga dan pemuda-pemuda desa kami, dan dengan bangga bercerita tentang pemilik dasi itu sambil tak lupa menasehati agar meneladani keberhasilan si empunya dasi dalam mengangkat martabat dan nama baik keluarga dan desa kami. Mas Wahyu sendiri tetap saja jarang pulang hanya bingkisan-bingkisan hadiahnya tiap tahun tak pernah absen dinikmati para tetangga, juga sumbangan ini itu untuk masjid desa, aspal jalan, irigasi sawah dan sumbangan-sumbangan lainnya. Aku mematung menatap Ibu, bibirku gemetar wajahku kualihkan dari tatapan Ibu. Tiba-tiba Ibu menggigil dan menangis tersengal-sengal dengan hebatnya. “O Allah Gusti….kenapa ada maling di trah Hardja Prawira?! Mengapa kamu malah jadi Marica, jadi raksasa ta ngger, ngger..?!” Kurangkul tubuh kurus yang terbaring itu dan dengan susah payah akhirnya aku berhasil meredam gejolak perasaan dan emosinya. Kubiarkan beliau menangis hebat dalam pelukanku sampai tertidur kelelahan. Kami semua, Aku, Pak Dhe, Mbak Tutik dan Mas Pras berkumpul di ruang tengah. Pak Dhe bercerita bahwa sebulan yang lalu, menjelang magrib Mas Wahyu tiba-tiba pulang sendirian. Ibu tergopoh-gopoh menyambutnya dengan rentetan pertanyaan tapi Mas Wahyu hanya menjawab pendek-pendek seperti malas bicara. Wahyu hanya berkata bahwa ia naik bus, sangat payah serta mengantuk. Ia langsung mandi, makan, dan tanpa berkata-kata masuk ke kamar tidur. Seminggu Mas Wahyu di rumah, seminggu pula Ibu digempur teka-teki. Mas Wahyu nyaris tak pernah ke luar kamar dan berbicara. Wajahnya selalu kusut. Usaha Ibu mengajaknya berbicara gagal, ia hanya berkata bahwa sangat lelah dan tak enak badan. Tawaran Ibu untuk memanggil dokter ditolaknya. Genap seminggu, pagi-pagi benar Mas Wahyu balik ke Jakarta. Matahari sepenggalah ketika Ibu membersihkan kamar Mas Wahyu. Tiba-tiba pembantu mendengar jeritan Ibu dan menemukannya tergeletak pingsan di kamar Mas Wahyu. Pak Dhe yang segera dipanggil ke rumah menemukan sobekan koran di tangan Ibu yang rupa-rupanya milik Mas Wahyu yang ketinggalan. Terbaca berita dalam sepotong koran yang tak utuh itu: Petugas kemarin menyegel rumah seorang pejabat berinisial WKW sebagai tersangka yang menggelapkan uang negara sebesar 650 M…. Malamnya Ibu pingsan lagi ketika dalam berita di televisi melihat Mas Wahyu dalam kawalan petugas dikerumuni wartawan seusai pemeriksaan. Semenjak itu Ibu tak mampu bangkit dari tempat tidurnya, tidak pernah berbicara, hanya menangis dan menangis. Kami semua terdiam mendengar cerita Pak Dhe. Dalam minggu-minggu terakhir ini kami memang sering melihat Mas Wahyu muncul di banyak koran dan televisi sebelum Ibu mengetahuinya. Kami dengan mata kepala sendiri melihat di televisi bagaimana dengan wajah pucat Mas Wahyu berteriak no comment, no comment! kepada para wartawan yang mengerubutinya. Berita di televisi dan di koran-koran itu telah menjadi bambu runcing yang menusuk-nusuk jantung kami sekeluarga. Tiba-tiba suara Mas Pras memecahkan keheningan, “Lalu bagaimana sekarang? Apakah tidak ada di antara kita yang dapat mengusahakan agar Wahyu tidak ditahan? Apakah tidak ada di antara kalian yang mempunyai koneksi yang dapat menolong mengeluarkan Wahyu minimal mencegah penahanannya? Aku sanggup menyediakan berapa pun biayanya!” Semua mata terangkat dan memandang wajahku. Leher dan wajahku terasa dingin dan basah mendadak. Kulihat mata Mbak Tutik, mata Mas Pras dan mata Pak Dhe begitu berharap padaku. “Ut, bukankah suamimu kerja di Kejaksaan? Tentu suamimu punya kenalan atau dapat mencarikan seseorang yang dapat membantu Wahyu, kasihan Ibu, Ut?” Pertanyaan Mbak Tutik itu bagaikan bom yang meledak di tenggorokanku. Tiba-tiba aku melihat bayangan kijang kencana berkelebat menyelinap ruangan. Kulihat pula di langit-langit rumah wajah Kala Marica menyeringai mempertontonkan taring-taringnya menertawakan kisah-kisah kepahlawanan yang dulu indah dan mendebarkan. Kulihat pula wajah Bapak, pucat dan dengan suara pilu semayup-sayup melagukan suluk seperti dulu ketika mendalang …… Ooo, suram-suram cahaya matahari mencium mayat satriya telanjang bersama malam makin menggigil lintang kehilangan sinar, bulan lupa berpupur bumi makin ringkih manusia mesra berselingkuh dengan raksasa yang berjoget, ooo Tjahjono Widijanto (11 November 2007)
""Kayon""
Debur ombak sama sekali tidak terdengar. Hanya suara desir air mencapai bibir pantai yang sayup-sayup sampai ke telinga. Laut ramah dan bersahabat. Pagi yang menyenangkan bagi banyak orang yang bermain-main dan mandi di pantai. Ian naik speedboat dua jam untuk sampai ke Teripang,” ujar Lilian kepada ibunya yang duduk di kursi malas di sampingnya di halaman hotel di pinggir pantai itu. Teripang adalah nama sebuah mercusuar di sebuah pulau kecil yang jaraknya puluhan mil laut dari tempat mereka duduk. “Lalu kamu masih ingin pergi ke merkecusuar itu lagi?” Moira bertanya kepada anaknya Lilian. “Ya, Mama. Ada kenikmatan tersendiri ketika berada di sana, di tengah laut, di sebuah pulau kecil dan jauh dari aktivitas manusia lain.” “Mmm.” “Pelayaran dua jam dengan speedboat itu saja telah menenggelamkan Ian ke dalam suasana yang sangat lain. Apalagi berdua saja dengan pengemudi boat. Ian tidak dapat menggambarkan bagaimana suasana lain itu.” “Mmm.” “Begitu sampai ke pulau kecil itu, Ian menyaksikan demikian banyak anak tangga yang harus didaki untuk sampai ke dataran mercusuar. Ian seorang diri menapaki anak tangga yang telah berlumut karena jarang didaki itu. Pada saat Ian menginjak anak tangga ke sepuluh dan menoleh ke arah laut, pengemudi speedboat itu melambaikan tangannya dan kemudian melaju menuju ke tengah laut.” “Ia tidak menunggu kamu?” “Kalau Ian hanya dua atau tiga jam di sana, ia masih mau menunggu, tapi kalau pengemudi boat itu harus menunggu sampai dua hari, Ian harus membayar biaya tambahan yang lumayan besar.” “Lalu kamu pulang bagaimana?” “Saya memintanya menjemput Ian. Karena itu Ian harus membayar biaya pulang pergi dari mercusuar ke pantai.” “Mmm.” “Barangkali Ian harus mendaki lebih dari seratus anak tangga untuk sampai di dataran mercusuar. Para petugas mercusuar yang telah mendapat pemberitahuan dari kantor cabang mereka di daratan telah siap menyambut kedatangan Ian. Para petugas yang jumlahnya lima orang itu, satu persatu menjabat tangan Ian dan menyebutkan nama mereka. Bapak-bapak yang semuanya kelihatan berusia di atas empat puluh tahun itu menerima kedatangan Ian dengan akrab dan bersahabat.” “Mmmm.” “Mereka membawa Ian ke rumah tempat mereka tinggal dan menyilakan Ian duduk. Mereka memohon maaf tidak dapat menghidangkan apa-apa, karena ketika itu bulan Ramadhan. Kelima petugas penjaga mercusuar itu berpuasa. Ian sendiri juga berpuasa. Menunggu saat berbuka puasa tidak terlalu lama, karena Ian tiba di Teripang sekitar pukul lima sore. Begitu suara beduk terdengar berbunyi dari radio, kami berbuka puasa hanya dengan meminum air teh. Setelah itu Ian dan bapak-bapak yang lima itu shalat magrib berjamaah. Selesai shalat kami langsung makan malam. Nasi dan lauk-pauk itu dipersiapkan Pak Tomo Pendek, satu-satunya orang yang paling rajin memasak dan yang masakannya cukup enak, menurut keempat bapak-bapak rekannya. Mereka benar, karena Ian pun dapat menikmati masakan Pak Tomo Pendek itu. Pukul sepuluh malam kami pergi ke kamar masing-masing untuk tidur. Hanya Pak Karim yang bertugas menjaga lampu suar hingga pukul empat pagi. Setelah itu ia digantikan Pak Hamzah hingga pukul sepuluh siang. Begitulah setiap hari. Petugas yang menjaga lampu suar, berganti setiap enam jam.” Melihat ibunya tidak memberikan reaksi apa pun terhadap ceritanya, Lilian menyentuh lengan ibunya. “Mama tidak tertarik pada cerita Ian, ya?” Mendengar pertanyaan putrinya, Moira tersenyum. “Mama tertarik. Justru karena itu Mama diam dan tekun mendengarkan. Rasanya Mama dapat memahami bagaimana perasaanmu ketika berada dalam lingkungan seperti itu.” Lilian setengah percaya kepada jawaban ibunya, tetapi ia tetap melanjutkan ceritanya yang belum selesai. “Pada saat tiba makan sahur, Pak Tomo Pendek mengetuk kamar Ian yang sangat sederhana itu. Kami makan sahur bersama menikmati masakan Pak Tomo Pendek yang tampak senang sekali dengan kehadiran Ian. Setiap kali ia menatap Ian, ia teringat kepada putrinya, yang usianya sebaya dengan Ian, katanya. Kamar yang Ian huni itu sebenarnya milik Pak Hamzah. Kamar ini mereka persiapkan untuk menyambut Ian. Karena itu Pak Hamzah harus menumpang sementara di kamar Pak Tomo Pendek. Di kamar yang Ian huni itu terdapat sebuah ranjang dengan kasur busa yang sudah kempes. Kasur busa itu dilapisi dengan seprai berwarna putih bersih. Selain ranjang itu, di kamar Pak Hamzah ini tersedia pula sebuah meja kecil tempat Pak Hamzah meletakkan jam beker, air dalam gelas, rokok, sisir, dan foto keluarganya. Ian tidak melihat lemari pakaian, sehingga Ian tidak tahu di mana Pak Hamzah menyimpan pakaiannya.” Moira tampaknya serius mendengarkan cerita anaknya. Ia mendengarkan cerita itu sambil menikmati angin laut yang mengelus tubuhnya. “Dua hari bersama mereka di pulau yang sangat kecil di tengah laut itu, rasanya terlalu singkat. Tapi, kantor Ian hanya memberikan waktu dua hari untuk membuat laporan tentang mercusuar di pulau itu. Setelah digarap menjadi sebuah feature yang menarik, laporan tersebut segera diudarakan ke seluruh Tanah Air.” “Mmmm.” “Ian merasa berat sekali ketika harus meminta diri kepada mereka, pada saat akan meninggalkan pulau itu. Malam sebelumnya Ian juga tidak dapat tidur. Berada di tengah-tengah mereka selama dua hari dua malam telah membuat Ian merasa dekat sekali dengan mereka. Ketika menjabat tangan mereka satu per satu, Ian berusaha keras memperlihatkan wajah gembira. Berkali-kali Ian ucapkan terima kasih atas pelayanan yang mereka berikan sewaktu Ian berada di tengah-tengah mereka. Mereka juga gembira melepas Ian di samping berharap suatu ketika nanti Ian akan datang lagi menemui mereka. Tetapi ketika menuruni tangga menuju tempat speedboat menunggu, Ian menangis tersedu. Tangis itu lenyap ditelan angin laut yang menderu.” “Mengapa mereka menyambutmu begitu hangat?” “Sebelumnya tidak ada orang yang datang ke pulau itu. Enam bulan sekali baru mereka bertemu dengan orang lain di luar lingkungan mereka. Jadwal kerja mereka memang begitu. Mereka baru kembali ke tengah-tengah keluarga setelah enam bulan bertugas di pulau itu. Mereka kemudian libur satu bulan dan saat itulah mereka berada di tengah-tengah keluarga. Setelah masa libur selesai, mereka bertugas lagi selama enam hulan. Terkadang mereka kembali ke mercusuar semula, tetapi tidak jarang pula mereka ditugaskan ke mercusuar lain.” Lilian berhenti bercerita. Ia menatap ibunya yang tampak serius mendengarkan ceritanya. “Alangkah menjemukan hidup seperti itu. Jauh dari keluarga dan jauh pula dari kesenangan duniawi. Mereka lebih lama bermain-main dengan rasa sepi.” “Mereka tidak sendiri, Lilian. Orang-orang yang bekerja di oil-rig, termasuk pamanmu yang dokter itu, juga seperti itu. Mereka hidup di lepas pantai selama dua minggu, dan baru kembali ke darat untuk berlibur selama dua minggu pula. Saat itulah mereka bercengkerama bersama keluarga. Bahkan, di Pulau Sakhalin, Rusia, para petugas perminyakan itu tinggal lebih lama. Tiga bulan. Setelah itu mereka berlibur pula selama tiga bulan. Begitulah menurut cerita pamanmu.” “Bedanya mencolok, Mama. Para pekerja yang bertugas di oil-rig itu jumlahnya banyak. Selain itu, fasilitas yang mereka perlukan lengkap. Di mercusuar, jumlah petugas hanya lima orang dan fasilitas yang mereka perlukan sangat tidak memadai. Karena itu sebuah radio transistor dan sebuah telepon genggam sangat berarti bagi mereka. Bahkan, jika mereka membutuhkan pertolongan, bantuan yang diberikan sangat terlambat. Tahun lalu, ketika Pak Hamzah bertugas di sebuah mercusuar lain, ia jatuh sakit. Seorang temannya segera menghubungi kantor mereka di pantai. Pertolongan baru datang dua hari kemudian. Untunglah Pak Hamzah yang membutuhkan operasi usus buntu masih dapat diselamatkan. Kondisi petugas di mercusuar sangat berbeda dengan petugas perminyakan di oil-rig mana pun, Mama, termasuk di Pulau Sakhalin itu.” Moira menarik anaknya lebih dekat kepadanya. Pelan-pelan ia melingkarkan tangan kanannya ke leher Lilian. Ia mengelus-elus anak itu dalam pelukannya. Lalu terdengar suaranya lirih dalam sebuah nyanyian. Tidur, tidurlah tidur, tidur dalam ayunan, pejam-pejam matamu pejam nanti bangun kembali. Lilian membiarkan dirinya diperlakukan seperti anak kecil itu. Selama dua tahun terakhir Moira sangat sering menyanyikan lagu ciptaan Gordon Tobing itu sambil membelai rambut putrinya. Semua ini bermula dari sebuah tragedi yang menimpa keluarga mereka. Tujuh tahun lalu, Bachtiar, abang Lilian, bersama empat rekannya sesama aktivis mahasiswa tiba-tiba hilang entah ke mana. Belakangan beredar kabar bahwa mereka diculik oleh tangan-tangan kekuasaan, dibunuh lalu dikubur di sebuah pulau kecil tidak bernama di lepas pantai. Mengapa mereka diculik, dibunuh, dan dimakamkan di pulau kecil itu tidak seorang pun tahu. Apakah benar mereka diculik, juga tidak seorang pun yang tahu. Yang beredar hanyalah dugaan-dugaan. Moira, suaminya, dan Lilian tak jemu-jemunya mencari Bachtiar ke berbagai penjuru. Polisi yang berupaya membantu para orangtua kelima pemuda itu juga angkat tangan, menyerah. Lilian tumbuh dalam suasana pencarian seperti itu. Di luar keinginannya, perkembangan kejiwaannya berlangsung dalam ketidakstabilan. Setelah lima tahun mencari, Moira, suaminya, dan Lilian akhirnya menyerah. Moira dan suaminya mengikhlaskan kepergian Bachtiar. Tidak demikian halnya dengan Lilian. Ia sangat terpukul. Ia sangat kehilangan seorang abang yang sangat menyayanginya. Ketidakrelaan menerima kenyataan ini mengantarkannya kepada berbagai ilusi. Salah satu di antaranya adalah cerita yang baru saja dikisahkannya kepada Moira di halaman hotel di pinggir pantai itu. Yang dikisahkannya kepada Moira adalah kejadian yang hidup hanya dalam kepalanya. Pada waktu-waktu sebelumnya, Lilian bercerita tentang sebuah pulau kecil yang sangat sukses sebagai tourist resort, pada ketika lain ia berkisah tentang sebuah pulau kecil yang dilanda ombak besar dan membunuh semua penghuninya. Kisahnya tidak pernah beranjak dari sebuah pulau kecil yang diduganya telah menjadi rumah terakhir Bachtiar. Sokartara, ayah Lilian, memerhatikan anaknya yang berada dalam pelukan istrinya dari jendela kamar hotel. Air matanya menitik. Bachtiar hilang tujuh tahun lalu. Pencarian dilakukan selama lima tahun. Dan, dua tahun terakhir sejak pencarian dihentikan, Lilian tidak berdaya menghadapi berbagai ilusi yang menjadi sahabatnya. Juga ayah dan ibunya. Lilian berada di mana-mana dan selalu menciptakan kisah-kisah sempurna dan meyakinkan tentang berbagai peristiwa. Namun, kisah itu tidak pernah berada jauh dari sebuah pulau kecil, entah di mana yang senantiasa menjadi lokasi ceritanya. “Mama,” Lilian bersuara lirih. “Ya.” “Bolehkah Ian pergi lagi ke mercusuar Teripang minggu depan untuk bertemu dengan Pak Tomo Pendek dan keempat temannya?” Moira mencium kening putrinya. “Boleh, anakku, Boleh. Kalau perlu Mama juga akan ikut.”*** Sori Siregar (4 November 2007)
""Mercusuar""
“Ompu Gabe?” sergap seorang anak muda pada sebuah petang yang basah. Belum sempurna angguk Ompu Gabe, anak muda itu sudah mengeluarkan sebilah perintah dan gumaman aneh, “…ke lapo tuak terdekat! Mmh, aku suka naik becak siantar….” Meski dilanda kecengangan, Ompu Gabe mengengkol sepeda motor peninggalan Perang Dunia II itu. Lantas dengan suara yang gederubum tak ubah letupan meriam, Ompu Gabe mengantar penumpangnya dengan becak khas kota Siantar kepunyaannya. Tapi rupanya kecengangan lain menyongsong. Tiba di tujuan, anak muda itu memang bergegas turun. Tapi ia tidak menyodorkan ongkos, hanya menjulurkan tangan, “Marihot….” katanya sambil menggeser senyum ke pipi kiri. Ompu Gabe terkesima, lidahnya terkepang. Pun ketika anak muda bernama Marihot itu mengajaknya minum, ia patuh. Ompu Gabe begitu saja mendapatkan dirinya menghadap deretan botol tuak. Lalu, tanpa basa-basi. Marihot leluasa saja merubuhkan kegelisahan—entah kegeraman? Dan ketika Ompu Gabe masih dijerat peranjat, tiba-tiba Marihot membentangkan cita-cita dengan istilah—yang kedengaran asing bagi Ompu Gabe: Revitalisasi Opera Batak! Marihot tertantang untuk menggempitakan kembali kesenian leluhurnya, opera batak. Bukankah sudah bertahun-tahun ia terlibat pertunjukan teater di Medan, bahkan keliling Sumatera dan Jawa? Maka, dengan air muka yang berkeciak, Marihot membeberkan liuk-lekuk rencana. Ia hendak mengawinkan keluguan opera dengan kilau pertunjukan modern. Marihot juga hendak mendaur torsa-torsa (dongeng), turi-turian (legenda), serta mitos- mitos batak menjadi naskah-naskah yang mujarab untuk ditampilkan. Maklum, opera batak tempo dulu cuma mengandalkan kekuatan bertutur dan improvisasi. Maka, sudah sejak lama ia, katanya, mencicil semangat, merajut referensi, juga menggalah dukungan—motivasi dan tentu materi. Lantas, ketika semuanya rangkum, ia pun mengokang tekad: ini saatnya! Pusat Pengembangan Opera Batak layak deklarasi. Maka, Marihot mendesak Ompu Gabe pulang ke tahun-tahun lampau. Dengan harapan Ompu Gabe terlibat, tentu. Tapi, meski takjub, Ompu Gabe mengelak, tidak! Ia mengaku telah lama menebas segala kenangan tentang opera batak. Namun, Marihot terus menggeledah, mengintai, menggoda, dan menyodokkan pertanyaan yang mesti dijawab Ompu Gabe: ya. Marihot berpekik, opera batak jangan mati, tak boleh jadi mumi! Bah, luar biasa gairah anak muda ini, puji Ompu Gabe di sudut hati. Demi Tuhan, ia pun pernah ditabuh gairah semacam itu, mungkin jauh lebih dahsyat. Aku akan bermain opera sampai batas napas, begitu ia pernah bersumpah. Ketika itu, siapa yang sanggup meninggalkan gelora opera? Ou, dulu, opera batak adalah primadona, selalu ditunggu-tunggu. Maklum, jangankan tivi, listrik pun masih langka. Selain pasar malam, hiburan warga, ya, opera batak yang tur dari kampung ke kampung. Mereka bertahan di sebuah kampung berhari-hari, bahkan dalam hitungan minggu. Eit, jangan khawatir jika tak ada uang. Tiket bisa dibeli dengan beras atau hasil ladang. Monis pe dijalo do (beras yang terbuang dari hasil menampih pun diterima), seloroh orang kampung. Maka, orang-orang berbondong menonton ke tanah lapang sambil margobar, berselubung selimut tebal. Tentu demi mematahkan angin yang mencengkeram tulang. Tapi iyalah, kelebat tepukan dan jengking siutan pun cukup ampuh menjerang tubuh. Mmh, darah Ompu Gabe kerap bergeriap setiap melawat kemeriahan opera. Maklum, sejak usia 18 tahun ia sudah menunggang panggung; berlakon, menari, memainkan musik, dan bernyanyi. Ia pemain opera yang dielu-elukan penonton. Puja-puji apalagi yang tidak digemuruhkan ke telinganya. Ia jaya, ternama! Meski pada suatu kesempatan tur, ia pernah kehilangan daya. Diam- diam, seorang penonton setia selalu membikin dadanya berdegup. Setiap malam hadir dan tidak segan menonton di barisan depan. Oi, ialah gadis bernama Teresia. Katakan, lelaki mana yang tidak hendak meminang pucuk bunga pesohor kampung? Maka tiada yang dapat menghadang kibasan bendera cinta. Pun ketika mereka saling bersulang kasih sayang. Maka, pada kesempatan tur yang ke sekian kali, mereka sepakat berangkat ke pelaminan. Menjadi suami istri muda! Kehadiran Teresia kian membongkahkan tekad Ompu Gabe untuk tetap berlakon di panggung. Di mana cerita digelar, di situ Teresia bersandar. Ia senantiasa mendampingi, menyemangati—juga memberi dua anak lelaki untuk Ompu Gabe. Teresia adalah mata air kekuatan dan ketabahan. Suatu waktu, ketika zaman berganti gaun dan masyarakat halal menukar selera, grup-grup opera memilih tumbang, termasuk grup tempat Ompu Gabe bernaung. Pemilik opera angkat tangan, bangkrut dan bubar! Awak grup tercecer. Ompu Gabe meronta: opera tidak boleh mati di tanah Toba! Lalu, Teresia tak tega. Ia pun berjuang keras menimba semangat Ompu Gabe yang amblas ke lubang yang gulita. Ia himpun serpihan kepercayaan Ompu Gabe yang berantakan. Dan ya, berhasil. Ompu Gabe perlahan bangkit, membentuk grup baru, serta menampung kembali pemain dan pemusik grup lama. Tur opera pun kembali berdebur, mengedar lakon demi lakon. Iya, kian berkelang memang jejeran penonton. Pun hasil keuntungan dangkal dan keruh. Tapi Teresia menolak beranjak dari gebyar panggung. Tentu, Ompu Gabe bangga kepada istrinya. Teresia bahkan pernah didaulat pahlawan oleh awak grup. Saat itu, seorang pemain, tokoh inang, mendadak sakit. Lantas penonton nyaris mengamuk karena pertunjukan lalai dimulai. “Aku yang main!” Teresia menghadap suaminya, lalu segera mendaki panggung. Ia berhasil mengupas rasa canggung sekaligus menghipnotis penonton. Hasilnya? Lumayan, sanjung Ompu Gabe. Maka, tak heran jika Teresia menjadi pesona baru. Dari opera ke opera, dia memikat hati penonton—juga mendulang pujian dari awak grup. Tapi sumpah, Ompu Gabe tidak pernah menghasut Teresia memikat hati siapa pun di luar lakon. Terlebih itu lelaki, apalagi lelaki itu adalah lawan main Teresia di panggung? Dasar tak beradat! Semula, baginya Teresia adalah kebahagian sempurna! Tapi kebahagiaan apa lahir yang dari sebuah pengkhianatan? Togu, sahabat Ompu Gabe, bermain opera sejak belia bersekutu cinta dengan Teresia. Mereka raib meninggalkan sekerat surat. Hanya sembilan tahunkah usia kesetiaan? Ompu Gabe pun bersemak isak sembari mendekap kedua anaknya: ah, sudah berumur tujuh dan lima tahun. Ompu Gabe berkubang luka! Puih! Tapi apalagi, selain pasrah? Siapa hendak menampung lampiasan amuk? Lagi pula, Ompu Gabe tak berniat mengampuni pengkhianat. Luka memang berkibar, dendam, ya, menggelepar. Namun tidak untuk menagih Teresia dari pangkuan Togu. Iya, pikiran Ompu Gabe lintang-pukang. Ia bubarkan grup. Tak ada opera, tiada lagi tur. Ia lipat hasrat untuk mengusung panggung ke kampung-kampung. Sambil menangkis tangis, Ompu Gabe pun menjual seluruh perangkat musik dan segala aset opera. Lalu, janji pun ditancapkannya ke udara: tidak untuk opera dan tidak untuk perempuan! Nah, ketika sebagian teman— mantan pemain opera—masih tetap berkesenian meski berprofesi pengamen, Ompu Gabe malah membelot menjadi penarik becak siantar. Entahlah, ia serasi sebagai penarik becak antik itu. Kalau tidak, mana mungkin Ompu Gabe setia menarik becak sampai 22 tahun lebih. Ia bahkan sudah bercucu. Tapi belum mampu juga menumpas masa lalu? Kemudian, seorang anak muda bernama Marihot tiba-tiba mengelebatkan hujan cuka, tepat ke ladang luka. Ah, tidak! Sebelum Marihot datang, Ompu Gabe sudah sejak lama gagal menjemur luka dan membunuh sisa cinta terhadap Teresia dan opera? Ia pun sebenarnya paham jika Marihot tidak berniat mencongkel bekas luka. Memang, Marihot mahir menjangkau geriak kehidupan Ompu Gabe yang hanyut ke muara waktu. Benar, Marihot lihai menyeret Ompu Gabe menelusuri kembali ladang kenangan: riang-gempita dan luka-cita! Tapi ia tidak pantas menuding Marihot sebagai pengobrak lemari kenangannya—bukankah sejak lalu tak terkunci? Lagi pula, Ompu Gabe pun sadar atas kegagalannya menggenapkan kesumat. Bayangan Teresia sering timbul tenggelam di laut lamunannya. Lalu, ke mana pun angannya berpaling, terperosok juga ke semarak opera; lakon, musik, nyanyian, dan hiruk penonton. Tengoklah, di bawah jok becak tersimpan hasapi. Iseng Ompu Gabe membelinya, tapi tekun memainkannya, bersanding lagu-lagu sampai lalai waktu. Pernah, ketika Marihot menjumpai Ompu Gabe pada kesempatan yang lain, mereka menempuh malam sambil menenggak tuak, bercerita, dan bernyanyi sampai serak. “He, jariku masih mahir memetik senarnya,” Ompu Gabe mengumbang diri. “Lebih paten kalau dipetik di panggung,” Marihot berdesis. Lalu kembali meniup sulim. “Mmh, tidak…” Ompu Gabe menggeleng, tapi matanya bimbang. Marihot memang anak muda yang gigih. Sabar dan pintar. Apalagi ketika mengetahui pendirian Ompu Gabe mulai oleng. Ia belum mau menyerah. Apalah sulitnya menggedor pintu yang mulai goyah? Maka, pada malam yang lebih menggigilkan, Ompu Gabe akhirnya kehilangan kekuatan. “Baiklah. Aku bersedia, Marihot…” Teriak Ompu Gabe menaklukkan suara mesin becak. Saat itu Ompu Gabe dan Marihot sedang berputar-putar di kota Siantar, “Aku juga akan membujuk kawan-kawan untuk berlatih dan main.” Marihot menyelidik wajah Ompu Gabe. O, mata Ompu Gabe berkilau, memendar buncahan gairah. Mantap! “Tapi ada syaratnya, Marihot…” sesabit senyum mengait di bibir Ompu Gabe. Pangkal hidung Marihot mengerucut, “Aku yang menjadi anak mudanya, heh!” Ompu Gabe mengerling, Marihot terbahak sambil menahan kencing. Malam ini penampilan perdana: Lakon Guru Saman! Penonton tidak melimpah dalam gedung. Mungkin pekan depan lebih meriah saat mereka tampil di Lapangan Sisingamangaraja, Balige. Menurut rencana, lakon Sipurba Goringgoring yang digelar di sana. Tapi Ompu Gabe tidak peduli dengan jumlah hadirin. Ia cuma menanti kedatangan seseorang untuk menyaksikan kehebatannya ketika berlakon. Ia kembali merasa muda. Matanya menyala. Ompu Gabe berperan sebagai Guru Saman, jagoan asal Lau Balang-Tanah Karo. Berilmu kebal dan lihai main silat. Nah, cerita punya cerita, tokoh ini membunuh seorang hamba Tuhan— vorhanger, juga istri korban yang sedang hamil. Memang, Guru Saman mendapat ilmu dari seorang guru yang membolehkannya membunuh, tapi ibu hamil jangan! Tapi, petuah itu telah dilanggar Guru Saman. Kesudahannya, Guru Saman berhasil ditangkap komandan intel. Lalu, ya, dihukum gantung…. Ompu Gabe bergelimang peluh. Ia sibuk memompa napas ke dada. Sesekali, Ompu Gabe membidikkan pandangan ke jantung panggung. Hujan cahaya. Tortor Sawan, selingan sekaligus bagian pertunjukan sedang berlangsung. Para penari bersimbah aksi. Musik bertabur, saling menyalip. Suara taganing berkulitak-dung, bunyi garantung bergedatuk- tang. Meski masih berada di luar panggung—wing kanan, Ompu Gabe turut dirasuk musik. Tapi ia masih harus kembali ke panggung. Adegan penangkapan Guru Saman menunggunya. “Lihat, aku masih bermain mantap. Tapi di mana kau…?” Ompu Gabe bergumam. Dari tadi, dalam kekhusyukan berlakon, sungguh, sepasang mata Ompu Gabe begitu telaten mengedar pandangan ke barisan penonton. Tempias cahaya panggung memang samar,tetapi cukuplah untuk menyenter wajah hadirin di barisan depan. “Biasanya kau duduk di depan itu….” Namun ia tidak menemukan sosok yang diharapkannya. Ia pastikan berkali-kali. Hasilnya serupa, “Mmh, kau tidak datang…?” bisiknya ke telinga sendiri. Harapannya terjungkal! Adegan pengujung lakon Guru Saman tetap berlanjut. Ompu Gabe sedang tertunduk ditodong tiang gantungan. Ia tegak ditopang bangku kayu. Alunan sarune menyayat, sesaat. Lantas, setelah pembacaan pledoi hukuman, adegan eksekusi pun dimulai. Lengkung tali dikalungkan ke leher Guru Saman. Algojo eksekusi bersiap menebas bangku tumpuan Guru Saman berdiri. Lampu panggung pun seketika padam diiringi jerembab bangku dan bunyi derak tali. Nyawa Guru Saman tamat. Lantas tetabuhan meletup, susul-menyusul. Suara sarune meliuk, mengoyak. Penonton bertepuk merayakan akhir pertunjukan. Riuh sorak- sorai. Tak ada yang tahu ajal sudah tercerabut dari mulut yang berceracau: “Ah, di mana kau, Teresia? Di mana? Mampuslah…!” Medan, Bulan Puasa 2007 Hasan Al Banna (30 Desember 2007)
""Ceracau Ompu Gabe""
Pada malam Natal tahun 3026, aku terlahir kembali ke dunia ini sebagai seekor ular. Aku keluar dari cangkang kesunyianku. Mendesis pelan dan muncul lewat gorong-gorong. Kusaksikan cahaya terang kota yang gemerlapan. Tak ada bintang, dan langit hanya basah. Di kulitku yang licin, udara terasa seperti permukaan piring keramik yang dingin. Sayup kudengar gemerincing lonceng mekanik Jingle Bells mengalun dari juke box di etalase hypermarket, seperti rintihan kesepian. Mobil-mobil silver metalik bertenaga magnetik mendesing lalu lalang di jalanan. Orang-orang bergegas membawa keranjang belanjaan dan kado-kado Natal berbungkus kertas warna-warni. Seorang Sinterklas terkantuk-kantuk di trotoar. Aku benar-benar tak lagi mengenali kota ini. Kota di mana bertahun-tahun lampau, dalam kehidupanku yang lain, aku pernah begitu mencintainya. Dulu aku memang berharap, aku ingin dilahirkan kembali di kota ini, tidak lagi sebagai bocah idiot yang sering diganggu dilempari kerikil atau tomat busuk. Aku tak pernah mengerti, kenapa dulu orang-orang di kota ini begitu senang menggangguku. Mungkin mereka hanya menggodaku. Mungkin mereka butuh hiburan. Mungkin mereka merasa bahagia bila bisa menggangguku. Apabila melihat aku lagi berjalan, orang-orang akan menghentikanku. Memberiku moke, yang membuat kepalaku berdenyut-denyut lembut. Lalu mereka menyuruhku menyanyi dan menari. Mereka tertawa-tawa melihat aku menari-nari. Pasti aku tampak lucu di mata mereka. Aku ikut tertawa saat mereka tertawa. Biasanya, mereka kemudian akan bertanya hal-hal yang terdengar aneh di telingaku. ”Berapa dua ditambah dua?” ”Tujuh,” jawabku, sambil menunjukkan empat jariku. Mereka tertawa. ”Kalau tiga ditambah empat?” ”Tujuh,” jawabku, sambil menunjukkan empat jariku. Dan mereka kembali tertawa. ”Dasar idiot!” Aku tak pernah mengerti kenapa mereka mengatakan aku idiot. Mungkin karena mulutku yang peyot. Mungkin karena celanaku yang selalu melorot. Mungkin karena tampangku yang terlihat dungu dengan liur kental yang terus menetes. Mungkin karena itulah orang-orang melihatku dengan jijik. Aku ingat, bagaimana orang-orang selalu mengusirku bila melihatku memasuki halaman rumah mereka. Aku tak mengerti, kenapa orang-orang tak memperbolehkan aku masuk rumah mereka. Padahal, bila ada ular masuk ke pekarangan, mereka tak pernah mengusirnya. Mereka selalu membiarkan ular masuk ke rumah mereka. Bila ada ular masuk ke rumah, mereka selalu memberi telur atau sejumput beras buat ular itu. Alangkah menyenangkan jadi ular. Begitu aku selalu merasa iri pada ular-ular yang banyak berkeliaran di kota ini. Aku sering bertemu ular-ular itu. Di ladang, di pinggir jalan, di pepohonan. Kadang kulihat seekor ular melintas menyeberang jalan, dan semua kendaraan yang lewat berhenti. Kurasakan, betapa orang-orang lebih menyukai ular ketimbang diriku. Dari omongan orang-orang, yang kudengar sepotong-sepotong dan tak gampang aku pahami, aku mulai tahu kenapa orang-orang di kota ini suka pada ular. Mereka percaya ular-ular itulah leluhur mereka. Ketika mula dunia tercipta, ketika Bumi masih rapuh, kabut bagaikan putih telur, ketika batu masih berupa buah muda, saat tanah masih serupa kuntum yang ranum, ular-ular itulah muasal leluhur yang mendiami pulau. Leluhur yang selalu membawa rezeki dan nasib baik bagi siapa pun yang didatanginya. Sejak itulah aku mulai berkhayal, betapa enaknya jadi ular. Aku ingin suatu hari nanti bisa berubah menjadi ular. Aku ingin Tuhan akan melahirkanku kembali ke kota ini sebagai seekor ular. Aku mendesis, takjub sekaligus merasa asing memandangi kota yang gemerlapan. Kerlap-kerlip pohon Natal menjulang di tengah-tengah plaza. Lampu-lampu aneka warna menerangi pertokoan yang berderet sepanjang jalan. Aku benar-benar bingung dengan kota ini. Seingatku, sepanjang jalan ini hanya berderet pepohonan, juga beberapa rumah kayu sederhana. Dulu, setiap hari, aku selalu berjalan sepanjang jalanan ini, yang berkelok turun menuju bukit kecil. Kini terentang jalan layang dan jembatan penyeberangan yang bagai digantungkan begitu saja di udara. Mestinya, di pojokan itu ada sebuah gereja. Tapi di situ, kini aku melihat sebuah mal yang megah. Gerbangnya yang menjulang bagai mulut raksasa menganga mengisap orang-orang yang lalu lalang. Cahaya seperti telah menyihir kota ini dan membuatku tak mengenalinya lagi. Kudengar lonceng gereja. Seperti sayup ingatan yang membuatku merasa tak tersesat. Bunyi lonceng seperti itulah yang dulu selalu menuntun perjalananku. Aku suka berjalan mengelilingi kota karena aku suka mendengarkan lonceng gereja. Aku tiba-tiba terkenang pada gereja-gereja yang dulu sering aku singgahi. Aku senang dan merasa tenang bila mendengar suara lonceng gereja yang mengapung menggetarkan udara senja. Dulu, kota ini penuh dengan gereja. Kota dengan seribu gereja. Kudengar kembali gema lonceng itu, seperti memanggilku. Aku merayap menyeberangi jalan. Tiba-tiba kudengar suara jeritan. ”Ular! Ular!” Kulihat orang-orang beringsut ketakutan, menatapku yang mendesis merayap pelan menyeberangi trotoar. Meski terkejut dengan reaksi mereka, aku mencoba tak panik. Aku teringat bagaimana dulu orang-orang memberi makanan menyambut kedatangan ular leluhur mereka. Tapi kudengar seseorang berteriak, ”Cepat bunuh ular itu! Usir! Pukul” Dan dengan gerakan cepat seseorang mengacungkan tongkat. Instingku merasakan bahaya dan dengan cepat aku melesat menyelusup tumpukan tong sampah. Kenapa mereka ingin membunuhku? Kudengar teriakan-teriakan mengejarku. Terdengar suara-suara tong ditendang. Aku begitu ketakutan, menghilang dalam kegelapan. Saat itulah kudengar suara mendesis pelan. ”Ssttt…. Cepat sini….” Kulihat gadis cilik meringkuk di pojok gelap. ”Cepat sembunyi sini….” Aku memandanginya ragu. Sepasang matanya yang bening membuatku pelan-pelan merasa tenang. Ia mengulurkan tangan, memberiku cuilan roti yang dipungutnya dari tumpukan sampah. ”Kamu bandel sekali berani keluar gorong-gorong.” Ia berkata sambil mengelus kepalaku. Kupandangi mata gadis itu, seperti kupandangi sepasang bintang yang menandai kelahiranku kembali ke dunia ini. Dengan tangannya yang mungil, gadis itu memungutku. Aku merasa nyaman dalam dekapannya. Kemudian ia berjalan mengendap-endap, menjauhkan aku dari orang-orang yang kudengar masih memburuku. Suara-suara itu perlahan lenyap dalam gelap. Di belakangku, cahaya kota yang gemerlapan kulihat meredup perlahan ketika gadis ini terus memasuki lorong kelam. Ketika gelap dan sepi terasa lengket seperti ampas kopi, kulihat gadis cilik yang mendekapku ini mengeluarkan rosario dari kantung roknya. Kulihat rosario itu menyala kemerahan, memancarkan sulfur cahaya. Ditentengnya rosario itu seperti ia menenteng lentera. Cahaya pucat kemerahan menerangi lorong yang kami lalui, lorong yang berkelok-kelok, membuatku merasa seperti menyusuri labirin kesunyian yang pastilah akan membuatku tersesat bila sendirian. Sampai kemudian aku melihat bayangan deretan rumah yang rapuh, berdesakan dan bau tengik. ”Kita sampai,” kata gadis cilik, sambil menurunkanku dari dekapannya. Saat itulah kudengar suara-suara mendesis pelan keluar dari reruntuhan tembok dan tumpukan kayu lapuk. Kulihat puluhan ular, ratusan ular, mendesis-desis menatapku. >diaC< Kudengar lonceng gereja yang layu dari kejauhan. Aku diam melingkar di pojokan, menyaksikan bayangan rumah-rumah kumuh yang bagai mengapung dalam kegelapan. Sungguh kota ganjil yang serba temaram. Aku merasa asing, meski aku bisa segera mengenali jajaran pepohonan di sepanjang jalan kota ini. Aku langsung teringat pada kelokan jalan itu, reruntuhan gereja yang kini hanya terlihat sebagai tetumpukan batu bata, juga bayangan bukit-bukit di kejauhan, di mana matahari terlihat menyandarkan cahayanya. Inilah kota yang pada kehidupanku yang dulu selalu kususuri jalan-jalannya. Aku merasa ini tak lebih dari kota lama yang ingin dikekalkan dalam ingatan. Dan seperti menyusuri ingatan, aku merayapi jalanan kota ini, belajar memahami apa yang sesungguhnya telah terjadi. Aku kemudian tahu bahwa kota ini sesungguhnya tak terlalu jauh jaraknya dengan kota yang kulihat saat malam Natal sebulan lalu. Kota ini terletak di pinggiran kota yang gemerlapan itu, hanya dipisahkan oleh kenangan. Lorong di mana dulu gadis cilik itu membawaku adalah jalan menuju ke kota yang penuh cahaya itu. Tapi ular-ular yang kutemui selalu mengingatkan agar aku jangan pernah berani-berani lagi muncul di kota itu. Cara mereka mengingatkanku, seperti tengah meyakinkan betapa tempat terbaik bagi ular macam kami adalah di kota ini Di kota ini, kami—ular-ular—memang dibiarkan berkeliaran. Para penduduk memberi kami sisa makanan mereka meski kadang busuk dan berjamur. Sering kami duduk-duduk dekat anak-anak, saat mereka berkumpul mendengarkan orangtua mereka mendongeng. Aku sangat senang mendengarkan dongeng-dongeng itu dituturkan, terdengar seperti tengah menyanyikan kesedihan. Dongeng tentang kehidupan mereka yang perlahan-lahan terpinggirkan dari kota. Ketika kota mempercantik diri. Ketika bangunan-bangunan bertingkat mulai dibangun. Ketika banyak gereja diruntuhkan, untuk diganti dengan mal-mal. Pada saat itulah, sebagian orang yang mencoba bertahan memunguti sisa bangunan gereja itu, membawanya masuk ke dalam kabut kesunyian. Berusaha membangunnya kembali sebagai tumpukan-tumpukan kenangan. Mereka memunguti puing kota lama yang dihancurkan kemajuan. Pelan-pelan mereka kembali membangun kota mereka, dengan nyanyian dan upacara yang penuh ratapan pada leluhur. Dan ular-ular mengikuti mereka karena di kota yang baru mereka diburu dan tak lagi dituahkan. Di kota yang remang dalam ingatan inilah para ibu mencoba bertahan hidup dengan memetik embun di daun-daun, menampungnya dalam gelas, dan menghidangkannya buat sarapan pagi anak-anak mereka. Dan pada malam hari mereka memeras air mata, menyimpannya dalam botol, dan meminumkannya saat anak-anak mereka sakit. Aku belajar mencintai kota ini. Apalagi gadis cilik itu selalu mengajakku jalan-jalan, seakan-akan ia ingin agar aku mengenal setiap cuil kota ini. Kami belajar saling mengerti kesepian masing-masing. Kami bercakap-kacap dengan bahasa leluhur yang hanya bisa kami mengerti. Ia bercerita bahwa sebenarnya ada jalan tembus melalui gorong-gorong untuk mencapai kota di seberang sana. Aku menemukannya tak sengaja, katanya. Dulu aku sering pergi lewat jalan itu, kalau aku mau menjual rosario. Dulu, bila menjelang Natal, kami memang sering berjualan rosario. Kami mesti menjualnya diam-diam. Sebab bila ketahuan, kami bisa ditangkap petugas keamanan. Dulu banyak warga kota ini yang setiap hari pergi ke kota itu, berjualan biji-biji embun dan bermacam daun, rempah-rempah dan artefak kenangan, menjualnya di lapak trotoar, tetapi selalu diusir. Ia kemudian mengatakan kalau sekarang ia makin sulit menjual rosario. Tak hanya karena dikejar-kejar petugas, tetapi karena sekarang ini sudah jarang yang mau membeli rosario. Sudah lama, anak-anak di kota itu lebih suka dapat hadiah Natal boneka Barbie atau nitendo daripada rosario. Padahal rosario buatan kami luar biasa. Kamu sudah melihatnya, kan? Aku mendesis mengangguk. Kuingat rosario yang memancarkan cahaya itu. Aku pernah melihat bagaimana rosario itu dibuat. Ada salib di tengah reruntuhan gereja di kota ini. Salib itu menjulang, tapi terlihat rapuh, dan Kristus tampak murung dan sengsara dalam lindap cahaya. Pada tubuh Kristus terlilit selang kecil, dengan mangkuk perak berbentuk piala di ujung selang itu. Itulah selang yang dipakai untuk menampung air mata Kristus. Dalam keremangan, salib itu seperti pokok pohon karet yang tengah disadap. Para penduduk di kota ini menampung air mata Kristus, yang mereka percaya, pada waktu-waktu tertentu akan mengalir. Kadang air mata itu menetes bening. Kadang merah serupa darah. Butiran air mata itulah yang kemudian mereka kumpulkan untuk diuntai jadi rosario. Kemudian dijual. Aku ingat, gadis cilik itu pernah berkata kepadaku. ”Begitulah, dulu kami bertahan: dengan menyadap air mata Tuhan…” Kepada gadis cilik itu pun aku bercerita tenang kehidupanku dulu. Ia begitu senang saat mendengar kalau pada kehidupanku yang dulu, aku juga penduduk kota ini. ”Wow, siapa tahu aku ini salah satu keturunanmu,” teriaknya riang. Tidak. Aku tidak menikah, kataku. ”Kamu Pater?” Aku mendesis tersenyum. Dulu aku idiot. Tak ada seorang pun perempuan suka dengan orang idiot. ”Tapi aku suka kamu!” Aku menggeliat-geliat dalam dekapannya. Ia menyimak ceritaku dengan mata berkejap-kejap. Ia mendadak terbelalak saat aku bercerita tentang Gereja St Paulus yang sering kudatangi dulu. ”Kau tahu,” katanya, ”Itu satu-satunya gereja yang masih berdiri!” Mungkin tepatnya: itulah satu-satunya gereja yang sengaja dibiarkan berdiri, boleh jadi sebagai tugu kenangan. Ada perasaan sendu ketika kudengar itu. Kukatakan betapa aku ingin melihat gereja itu. Ah, ia memang gadis yang usil dan nakal, tapi setidaknya ia memahami kerinduanku. ”Kita bisa diam-diam ke sana,” katanya. Maka pada malam Natal beberapa bulan kemudian, gadis itu memasukkanku ke dalam keranjang kecil. Ia hendak membawaku mendatangi gereja yang kurindukan itu. Jangan sampai orang-orang di kota itu melihatmu, katanya. Ketika ia berjalan, ia seperti tengah membawa keranjang makanan dan hendak pergi tamasya. Aku melingkar tenang dalam keranjang. Kenangan-kenangan dalam kehidupanku yang dulu seperti bermunculan menenteramkanku. Kami menuju kota itu melalui gorong-gorong rahasia. Kami keluar dari gorong-gorong, tepat di belakang gereja. Dari dalam keranjang anyaman, samar-samar bisa kurasakan cahaya kota yang gemerlapan. Aku takut ada penduduk yang memergoki gadis cilik ini. Pasti mereka mengusir kami…. Puji Tuhan, kudengar gadis itu berbisik pelan mengatakan kalau kami sudah sampai dalam gereja. Pelan aku dikeluarkan dari dalam keranjang. Kusaksikan ruangan yang remang, seperti rongga semesta. Kudengar koor Malam Kudus dinyanyikan. Terdengar syahdu dan megah. Cahaya terasa ultim dan kusaksikan fresko katakombe di atas altar itu bagai bergetar. Sampai kemudian aku menyadari, betapa sunyi gereja ini. Tak ada seorang pun mengikuti misa Natal, ternyata. Di dekat altar, kulihat stereo set diputar untuk mengumandangkan nyanyian puji-pujian. Kulihat gadis kecil di sampingku yang hanya menunduk. Mataku nanar melihat tubuh Kristus yang tersalib memandangi bangku-bangku kosong. Ledalero, 2006 Catatan: 1. Nama tuak/minuman keras lokal di Maumere, Nusa Tenggara Timur. 2. Disitir dan ditulis ulang dari syair tradisi yang mengisahkan penciptaan alam semesta, versi Krowe-Sika. 3. Dikutip dan ditulis ulang dari puisi ”Ibu yang Tabah” karya Joko Pinurbo. Agus Noor (23 Desember 2007)
""Parousia""
Kenapa pula aku tak mengajaknya bertemu di China Town, pikir Mei. Ia masih berada di belakang kemudi mobil yang disewanya dari Budget di sekitar bandara seharga 30 dollar sehari. Biasanya ia pergi dengan meminjam mobil milik sepupu atau bibinya, tetapi hari ini kedua mobil tersebut tengah dipakai, dan mereka hanya bisa mengantarnya ke penyewaan. Telah lama ia sebenarnya berpikir untuk memiliki mobil sendiri, harganya sepertiga dari harga di Jakarta, tetapi dia masih punya persoalan dengan keterbatasan garasi. Mei belum juga berhenti. Ia sudah dua kali mengelilingi Jack in the Box dan dari kaca jendela ia bisa melihat Efendi duduk menantinya. Ia juga bisa melihat seorang pengemis berkeliling di antara pengunjung restoran. Ia hanya memperlambat laju mobil tanpa menghentikannya, bersiap mengelilingi Jack in the Box untuk ketiga kalinya. Mencoba menepis kebosanan menunggu, ia mencoba mendengarkan Bad Day yang dinyanyikan Daniel Powter dari salah satu radio FM. Lalu ia memandangi wajahnya di kaca spion tengah. Ia terlihat agak gugup. Setelah 1998, pikirnya, ini kali pertama aku akan bertemu orang dari Jakarta. Kata sepupunya, kini wajahnya terlihat lebih terang daripada saat pertama kali datang ke Amerika. Ia tak terlalu menyadarinya. Barangkali karena ia terlalu sering melihat wajahnya, tak melihat perubahan apa pun. Ada sejumput rambut keluar dari topi Los Angeles Dodgers-nya, yang dipasang agak miring. Mei menyibakkan rambutnya ke balik telinga. Ia kembali melintasi bagian depan restoran tersebut, dan melihat Efendi masih di sana melahap burgernya. Begitu pula pengemis tersebut. Saat itulah telepon genggamnya sekonyong berbunyi. Mei menoleh, ternyata itu dari sepupunya. Ia mengangkat telepon. “Gimana? Udah ketemu cowok itu?” Mei tak langsung menjawab. Ujung matanya melirik ke arah Efendi di kejauhan. “Belum,” gumamnya. Sebelum sepupunya mengatakan apa pun, ia segera menambahkan, “Tetapi, aku sudah melihatnya. Ia ada di dalam restoran, sedang melahap burger. Aku masih di mobil, mungkin menunggu ia selesai makan dan keluar dari sana.” “Kenapa kamu enggak menghampirinya?” Lagi-lagi Mei tak langsung menjawab, malah terdengar suara desah napasnya. Ia menggigit bibirnya, menimbang apakah ia akan menjawab sejujurnya kenapa ia tidak juga menemui lelaki itu, atau mencoba berdalih dengan mengatakan hal lain. Di ujung sana, juga terdengar desah napas menunggu, seolah tahu Mei akan mengatakan sesuatu. Akhirnya Mei membuka mulut kembali. “Ada pengemis di restoran.” “Apa?” “Ada pengemis di ….” “Ya ampun, Mei. Ini Amerika. Pengemis di sini enggak sama de ….” Suara di sana tak melanjutkan kalimat tersebut, seolah disadarkan kepada sesuatu. Setelah bisu sejenak, sepupunya kemudian menambahkan, “Maaf.” “It’s OK,” kata Mei. Meskipun begitu, sepupunya tampak tak yakin dengan ucapan Mei. Ia tak bicara, tetapi tak juga ada tanda-tanda akan mengakhiri pembicaraan. Namun, akhirnya kembali bertanya, “Mei, kamu sungguh baik-baik aja?” “Ya, aku baik-baik aja.” Untuk kali pertama, Efendi melihat seorang pengemis masuk restoran. Saat itu ia hendak makan siang di Jack in the Box, tempat ia akan bertemu seorang perempuan yang diperkenalkan oleh temannya. Sambil mengapit Los Angeles Times yang dibelinya seharga 25 sen dari kotak koran, ia duduk menunggu burger pesanannya tersedia. Saat itulah si pengemis membuka pintu dan masuk. Pengemis itu meracaukan sesuatu, dalam bahasa Inggris yang terdengar aneh bagi Efendi. Restoran cepat saji tersebut tengah penuh oleh para pekerja serta anak-anak sekolah bersama para pengantar mereka. Yang mengejutkannya, tak seorang pun di antara pengunjung merasa terganggu oleh kehadiran seorang pengemis. Tidak pula pelayan dan petugas kasir restoran. Pengemis itu akan diseret petugas keamanan jika melakukannya di satu restoran cepat saji di Jakarta, pikirnya. Bahkan di warung tegal pinggir jalan, pemilik warung akan buru-buru memberinya receh, bukan sebab kehendak berderma, tetapi sejenis perintah untuk segera meninggalkan warung. Tetapi, di sini, di satu sudut Los Angeles, ia melihat seorang pengemis berkeliaran bebas di dalam restoran. Efendi mencoba mengacuhkan kehadiran pengemis tersebut dan berpikir tentang seperti apa perempuan kenalan yang akan ditemuinya. Ia mencoba memikirkan apa yang akan dikatakannya jika perempuan itu muncul, “Hai, apa kabar?” Atau, “Sudah lama tinggal di Los Angeles?” Ia masih memikirkan cara-cara membuka percakapan, barangkali bertanya hal-hal praktis menjalani kehidupan sehari-hari yang harus diperhatikannya. Ia berharap perjumpaan mereka akan terjadi sesederhana mungkin. Pengemis itu menggendong buntalan gendut yang tampaknya berisi seluruh kekayaannya. Rambutnya coklat terbakar, menggumpal, dan di sana-sini tampaknya sudah menempel dengan kulit kepalanya. Si pengemis mengenakan mantel Adidas yang tak lagi jelas warnanya, mungkin sumbangan dari dinas sosial atau sejenisnya. Kakinya dilindungi sepatu boot yang masuk ke dalam celananya. Sejenak dipandanginya seluruh isi restoran sebelum menghampiri dua orang sopir truk yang tengah melahap burger sambil berbincang di meja dekat pintu. “Receh, Tuan?” Pengemis itu menyodorkan telapak tangannya. Kali ini bahasa Inggrisnya jelas terdengar. Semua pengemis menadahkan tangan, pikir Efendi. Ia sedang melamun ketika nomor antreannya diteriakkan pelayan, membuatnya tergeragap dan segera berdiri, berjalan menuju konter. Sambil menenteng nampan, ia mengisi gelasnya dengan minuman soda sampai buihnya tumpah, dan kembali ke meja. Ia tak lagi memerhatikan pengemis itu, matanya memandang ke kaca jendela, berharap melihat perempuan yang ditunggunya menyeberangi jalan. Tetapi, perempuan itu belum juga muncul. Efendi segera melahap burgernya sambil membuka lipatan koran. Tiba-tiba pengemis itu telah berada di sampingnya, dengan telapak tangan terjulur ke arahnya. Ceracau di mulutnya yang pertama-tama membuat Efendi mendongak. Segera Efendi merogoh saku celana, mengeluarkan recehan. Ia ingat di sana ada penny, dime, quarter. Ia menyerahkan semua recehnya ke telapak tangan si pengemis, setelah sebelumnya menyelipkan dua quarter ke sakunya yang lain, persediaan untuknya membeli koran besok pagi. “Kuharap Tuan berjumpa perempuan manis,” kata si pengemis. Ya, ya, doakan perempuan yang akan datang ini memang manis, gumam Efendi. Bukankah Tuhan selalu mengabulkan doa orang-orang yang teraniaya? Efendi kembali melahap burgernya dan tak lagi peduli dengan pengemis tersebut. Mei mengajaknya ke daerah Downtown. Berbelok dari Freeway, mereka melaju menuju First Street dan Mei menunjukkan letak Music Center, juga menunjukkan Dorothy Chandler Pavilion. Kata Mei, selain di Shrine Auditorium, penghargaan Oscar kadang dilaksanakan juga di sana. Mereka terus melaju melewati gedung-gedung teater yang berderet. Sepanjang perjalanan tersebut, entah kenapa, justru Mei yang banyak bicara. Mei sendiri sebenarnya agak terkejut menemukan dirinya secerewet itu. Mungkin itu cara bawah sadar menanggulangi kegugupan. Mungkin aku begitu girang bertemu makhluk dari Jakarta. Efendi hanya memandangi tamasya melalui kaca jendela. Dari First Street mereka berbelok ke Grand Avenue, berbelok lagi hingga mereka tiba di Little Tokyo, dan Efendi tak juga bicara. Little Tokyo tampak lebih seperti mal daripada sebuah permukiman orang-orang Jepang. Di sepanjang jalan berderet toko-toko suvenir, berselang-seling dengan toko buku, toko obat serta toko kelontong aneka barang khas Jepang. Di salah satu sisi East First Street tampak gedung cantik yang ternyata Kuil Budhis Koyosan. Saat itulah tiba-tiba Efendi berkata, “Tadi ada pengemis.” “Mana?” tanya Mei agak terkejut, sambil menoleh ke pinggir jalan. “Tadi, di Jack in the Box.” Terdengar Mei mendesah lega. Ia hanya menoleh sekilas ke arah Efendi sebelum kembali memerhatikan jalan di depan yang agak padat. Mei berpikir barangkali lelaki itu sama gugupnya, hingga sekonyong bicara tentang pengemis yang ditemuinya. Seakan- akan tak ada hal penting lainnya di dunia ini, gumamnya dalam hati. Ia sedang berancang-ancang untuk membicarakan keadaan di Indonesia atau mengenai rencana program kuliah yang akan diambil Efendi, sebelum tiba-tiba ia berpikir barangkali melanjutkan perbincangan mengenai pengemis bisa mencairkan keadaan. “Aku juga melihatnya, pengemis itu,” kata Mei setelah lama terdiam. “Pengemis yang pakai mantel Adidas?” “Ya.” “Ayo kita cari pengemis it….” “Tidak. Tidak.” Mei memotong dengan cepat. Penolakan Mei demikian tiba-tiba, membuat Efendi terdiam dengan mulut terkatup. Ia kembali memandang tamasya di luar kaca jendela mobil, kali ini dengan tatapan gelisah, memandang orang-orang yang berlalu-lalang di trotoar. Menghindari daerah Skid Row yang tak terlalu nyaman, mereka kembali berbalik arah. Efendi menoleh ke arah Mei dengan sudut matanya, harus mengakui bahwa perempuan itu tampak cantik, dengan rambut ekor kudanya menyembul dari bagian belakang topi. Namun, sejujurnya ia sedang tidak bisa memikirkan perempuan cantik saat ini. Yang ada di kepalanya hanyalah pengemis dengan buntalan gombal di Jack in the Box. “Maaf soal tadi,” kata Mei tiba-tiba. “Aku agak trauma dengan pengemis.” “Oh ….” Efendi tak tahu harus berkomentar apa. Yang jelas, harapannya untuk mencari pengemis tadi serasa sirna. Paling tidak, sangat jelas ia tak mungkin mengajak atau meminta bantuan Mei untuk mencarinya. Itu membuat Efendi kembali terdiam. Meski kali ini matanya tak melayap ke pinggiran trotoar, Efendi tampak tenggelam dalam pikirannya sendiri. “Pengemis tadi penting, ya?” tanya Mei dengan hati-hati. “Eh, enggak,” Efendi agak tergeragap. “Aku cuma heran ada pengemis di sini.” Mei tertawa, namun mencoba menahan diri untuk tidak menerangkan betapa salahnya apa yang dipikirkan kebanyakan orang mengenai Amerika. Setelah tawanya reda, dengan suara nyaris berbisik, Mei berkata, “Tahun 1998 di Jakarta, seorang pengemis nyaris me …,” Mei tak melanjutkan kata-katanya, kebingungan. “Gimana ya, aku mengatakannya?” “Maaf.” Efendi nyaris terperanjat, mengerti apa yang tidak dikatakan Mei. “Maaf.” “Tak apa. Aku sudah jauh lebih baik.” Seperti anak belasan tahun, Mei mengacungkan jari telunjuk dan tengahnya membentuk huruf “V” sambil tersenyum. Efendi membalas senyum tanpa suara itu. Kali ini mereka sudah kembali ke Fifth Street dan melintasi Perpustakaan Pusat Los Angeles. Gedungnya tampak aneh, sejenis percampuran gaya art deco murni dengan struktur kaca yang menjulang ke langit. Kedua sayapnya dihiasi ornamen-ornamen yang eksentrik. “Boleh aku menceritakan sesuatu?” tanya Efendi tiba-tiba. “Ya, ya?” “Aku memberi pengemis itu semua recehanku, hanya menyisakan dua quarter.” Mei menoleh dan tersenyum. Menunggu Efendi melanjutkan ceritanya. Efendi menahan napas dan membuangnya perlahan. Ia berkata tanpa menoleh ke arah Mei, “Aku tak sadar cincin kawinku ada di saku celana, sekarang lenyap bersama receh-receh itu.” Mei kembali menoleh dan berseru, “Apa? Bercanda, kan? Cincin kawin?” “Ya, cincin kawin.” Efendi mengangguk sambil tersenyum kecut. “Bagaimana bisa cincin kawin disimpan di saku celana?” tanya Mei sambil melirik ke jari-jemari tangan Efendi. Jari-jari itu memang polos belaka, tanpa cincin kawin, hanya ada bekas coretan bolpen di jempol, serta tahi lalat di jari telunjuk kiri. Efendi tak mengatakan apa pun, bahkan tidak menoleh ke Mei, hanya memandang ke depan. Sisa senyum kecutnya masih membayang di bibirnya. Sekonyong Mei mengerti situasinya. Perempuan itu tertawa tak tertahankan, seolah inilah hari paling lucu dalam hidupnya. Ia mengguncang bahu Efendi dan menghentikan mobilnya di sisi kanan. “Ya, ya, aku tahu,” kata Mei sambil menahan tawanya. “Aku juga pernah kenal seorang lelaki yang selalu mencopot cincin kawinnya setiap bertemu perempuan baru.” Efendi segera menghindari tatapan Mei, menahan senyumnya sendiri. Mei mengambil tisu dan mengusap ujung matanya. Sambil membetulkan topi di kepalanya, serta masih tertawa kecil, ia berkata, “Baiklah. Ayo kita cari pengemis itu.” Ia menoleh ke belakang, berancang-ancang untuk memutar mobil yang dikendarainya. Lagi-lagi kemudian Mei tertawa, sambil memukuli kemudi dan berkata, “Hampir sepuluh tahun dan aku belum pernah ketawa serupa ini. Lelaki memang tolol sekali, ya?” Mei masih tertawa, sepanjang jalan terdengar serupa gerimis yang sederhana. Eka Kurniawan (16 Desember 2007)
""Gerimis yang Sederhana""
Sudah tiga tahun Yulius hidup menjadi bagian dari rumah kos yang posisinya berhadapan dengan sebuah terminal kecil. Pukul empat pagi terminal kecil itu mulai hidup dengan deru-deru mesin berbagai angkutan kota dan derap kaki para penumpang yang naik dan turun, berganti kendaraan sesuai jurusan yang dikehendaki, atau datang dan pergi ke tempat yang dijadikan tujuan. Masih di dalam kota, atau bahkan ke luar kota. Ke sekolah, ke tempat-tempat kerja, atau ke pasar. Dan bersamaan dengan itu, rumah kos Yulius pun ikut menggeliat dan hidup dengan keluarnya para penghuni kos, satu demi satu dari kamar yang berpenghuni satu orang atau dua orang, pria maupun wanita, lalu antre di enam kamar mandi yang ada di lantai satu. Sepuluh kamar lantai satu dan empat belas kamar lantai dua, masing-masing penghuninya sudah saling mengetahui jam penggunaan kamar mandi masing-masing. Yulius termasuk penghuni yang konsisten menggunakan kamar mandi. Ia selalu memakai kamar mandi paling pojok kanan, kamar mandi nomor enam, selama lima menit pagi hari, dan lima menit pula sore hari. Ia selalu menyiapkan perlengkapan mandinya, hingga tak perlu meminjam sabun, odol, atau sikat gigi dari penghuni lainnya. Ia selalu membiarkan air dalam keadaan mengalir saat mandi, hingga ketika ia selesai mandi, air bak akan tetap penuh seperti belum digunakan sama sekali. Dan orang yang antre sesudahnya pun akan memulai mandinya dengan senang hati. Yulius juga termasuk penghuni yang pendiam bagi penghuni lainnya. Bila para penghuni lain masih meluangkan waktu untuk bergaul dengan sesama penghuni, misalnya, saling mengobrol dari depan pintu kamar masing-masing, atau dilanjutkan dengan mengobrol di kamar lainnya sepulang kerja, maka Yulius lebih memilih hanya mengangguk, atau menyapa “apa kabar?”, “politik ramai lagi”, “si pejabat anu berbohong di televisi”, atau “ada film baru, sudah nonton?”, lalu menutupkan pintu kamar, menonton televisi sendirian, atau membaca buku dan koran-koran yang selalu rajin dibelinya sepulang kerja. Bila pada akhir pekan para penghuni rumah kos itu terkadang sengaja keluar bersama, jalan-jalan ke luar kota dengan menyewa mobil, maka Yulius juga terkadang pergi ke luar kota sendirian saja. Teman-teman penghuni kos akan mengetahui bahwa Yulius baru pulang dari luar kota karena Yulius adakalanya membawa oleh-oleh beberapa plastik keripik goreng, atau dodol, atau sagu, atau wajik yang menjadi produk khas daerah wisata di pinggiran-pinggiran kota. Yulius akan memberikan oleh-oleh tersebut kepada penghuni kamar sebelahnya, dengan pesan, agar oleh-oleh itu dibagi secukupnya kepada teman-teman kos lainnya. Seraya minta maaf, ia tak bisa membeli oleh-oleh yang berharga mahal dan banyak, karena keuangannya terbatas, dan ia harus menentengnya di bus antarkota. “Terima kasih, terima kasih,” begitulah selalu ucapan si penghuni sebelah dengan tatapan penuh pengertian ke arah Yulius. Hingga Yulius menunjukkan kelegaan ketika kembali ke kamarnya, yang terkadang tampak aneh bagi si penghuni sebelah. Dan tentu saja, oleh-oleh itu tak pernah sampai ke lantai dua. Karena penghuni sebelah Yulius itu, dan juga para penghuni lantai satu yang kebagian oleh-oleh itu berkesimpulan, para penghuni lantai dua tak akan ada yang keberatan bila tidak kebagian oleh-oleh dari Yulius yang jarang berbincang dengan mereka. Maka, oleh-oleh itu pun hanya sampai di lantai satu saja, bersamaan dengan keberadaan Yulius pun hanya diketahui para penghuni lantai satu itu. Dan hal tersebut sudah berlangsung selama tiga tahun. Sampai suatu hari, para penghuni lantai dua dikagetkan oleh berita bahwa salah seorang penghuni lantai satu, yakni Yulius, sedang berteriak-teriak dari kamar mandi, ketika orang-orang sedang mengantre mau mandi. “Penghuni yang mana, sih?” “Orangnya seperti apa?” Begitulah sebagian pertanyaan terlontar dari para penghuni lantai dua itu. Sementara dari kamar mandi terdengar teriakan-teriakan Yulius. “Kerawang Bekasi…! Di masa pembangunan ini… tuan hidup kembali! Ngiau, ngiau, kucingku lapar, mitos-mitos kecemasan, indandut, karena luka, hahahaha…! Kata siapa hidup ini punya arti, siapa kata arti ini hidup…!” Begitulah, kali ini para penghuni rumah kos yang belum sempat berangkat kerja dan masih antre mandi itu mendengarkan potongan-potongan puisi yang sedang diteriak-teriakkan Yulius dari kamar mandi. Sementara mereka merasa terganggu dan mulai tak sabar. “Hei, cepat mandinya!” “Penghuni kos bukan cuma kamu!” “Ngawur, sudah jam berapa ini?!” “Kalau mau baca puisi, sana, ke TIM!” “Iya, atau ke TMII. Biar lebih luas dan banyak pendengar!” “Cepat, heh! Jangan bikin telat yang lain!” Para penghuni yang antre itu menyeletuk, lalu menggerutu, dan kemudian ikut berteriak sebagaimana Yulius dari kamar mandi. Suara-suara pun saling tumpang tindih yang selanjutnya diikuti ketukan dan dilanjutkan dengan gedoran. Tetapi, Yulius masih berteriak-teriak. “Tuhanku, dalam termangu, aku masih menyebut nama-Mu! Aku ini binatang jalang! Aku dan bayang-bayang, siapa yang duluan! Kita membuat abadi…, Siti Nurbaya berlari-lari…, bertukar tangkap dengan lepas…!” “Gila…!” desis salah seorang penghuni rumah kos itu. Ia seorang penghuni lantai satu yang sudah selesai mandi dan kini sudah berpakaian rapi. Dan ikut berjejal di antara orang-orang yang berkerumun di depan kamar mandi nomor enam itu, membuatnya merasa solider. “Jangan sembarangan!” kata yang lain. “Kalau bukan gila, apalagi. Hanya orang gila yang teriak-teriak sendirian…!” “Paling bercanda sendirian, lalu keasyikan!” kata yang lainnya. “Bisa saja sedang stres, karena dia memang tak pernah kelihatan bercanda,” kata penghuni sebelah Yulius yang baru keluar dari kamar mandi nomor lima. “Bagaimana dong?” “Iya, kita mau mandi, nih.” “Di sini saja, kan kosong?” “Et, tidak bisa. Ini giliran saya!” “Bagaimana, dong?” “Iya, bagaimana ini.” “Dobrak saja!” “Laporkan ke pemilik rumah kos!” Maka, pagi itu si pemilik yang tinggal di sebelah rumah kos itu pun harus merelakan pintu kamar mandi nomor enam itu didobrak. Dan semuanya kemudian dapat menyaksikan: Yulius yang tidak mengenakan apa-apa, tampak mengguyuri tubuhnya dengan air, seraya meneriakkan potongan-potongan puisi, “Kembalikan Indonesia padaku! Pulanglah si anak hilang! Ikan terbang sendirian. Hehe, kupacu kudaku kupacu kudaku menujumu…!” Yulius langsung menghentikan teriakannya saat memandang linglung ke arah daun pintu yang roboh hampir menimpanya, dan ia pun tercekat ketika menyadari situasi sekelilingnya. Ia menampak berpasang-pasang mata teman-teman kosnya, pria dan wanita, di luar kamar mandi itu, menyorotkan beragam rasa: khawatir, takut, ingin tahu, tawa, mengejek, atau dingin-dingin saja ke arahnya. Dan, yang segera dilakukannya adalah menyambar handuk, dan menutupi bagian bawah tubuhnya. “Maaf, maaf, ma-aaf!” ia terbata-bata dengan wajah pucat dan malu. “Anda ini kelewatan! Kira-kira dong kalau mau senang-senang. Jangan merepotkan yang lain. Sekarang, pintu ini pun sudah rusak!” tegur si pemilik rumah kos. “Maaf, maaf,” wajah Yulius semakin pucat, dan dengan tergesa ia mengambil perlengkapan mandinya, lalu menerobos kerubungan manusia di depan pintu kamar mandi nomor enam itu. “Maaf, maaf…,” desisnya berulang-ulang. Orang-orang memberikan jalan kepada Yulius, yang dengan bergegas kembali ke kamarnya, membuka pintu, masuk, lalu menutupkan pintu. Meninggalkan para penghuni kos lain segera berebutan mandi dan kembali memikirkan urusan masing-masing sebab peristiwa aneh pagi itu telah mencemaskan sebagian dari mereka yang kemungkinan besar akan terlambat ke tempat kerja mereka. Dan keterlambatan sama saja dengan terpotongnya uang makan atau uang transpor. Namun, satu hal yang pasti, semua penghuni rumah kos kemudian sudah mengenal Yulius. Dan bahkan selama beberapa minggu selanjutnya menjadikannya bahan obrolan di kantor, bersama teman-teman dekat, dan terutama di rumah kos itu sendiri. Yulius, yang tadinya tidak diketahui kehadirannya, khususnya oleh beberapa orang penghuni rumah kos lantai dua, kini menjadi penghuni paling dikenal dan selalu dibicarakan dengan penuh hasrat bergunjing. Biodata Yulius versi rumah kos pun menjadi bahan dan bahasan yang terus dilengkapi selama berminggu-minggu. Yulius berasal dari sebuah ibu kota provinsi di pulau seberang yang sudah ditinggalkannya lima tahun lalu; dan belum pernah dijenguknya hingga kini. Di daerah asalnya ia menyelesaikan pendidikan dan mendapat gelar sarjana bidang komunikasi dari sebuah perguruan tinggi swasta. Setelah dua tahun menganggur dan berpindah-pindah dari rumah keluarga yang satu ke rumah keluarga lain, dari rumah teman yang satu ke rumah teman lain, dengan pertolongan seorang pejabat yang juga masih keluarga jauh Yulius, sekarang Yulius dapat bekerja sebagai pegawai bagian administrasi di sebuah departemen pemerintah. Usia Yulius hampir tiga puluh tahun. Selama tiga tahun menjadi penghuni rumah kos itu, Yulius selalu sarapan pagi di warung bubur kacang hijau di pojok terminal. Makan siang kemungkinan besar di kantin kantornya, sementara makan malam di warteg yang bersebelahan dengan warung bubur kacang hijau, dilakukan sekitar jam sembilan malam. Yulius selalu pulang ke rumah kos membawa bermacam-macam koran baru dan majalah bekas. Para penghuni kos sebelahnya terkadang meminjam koran atau majalah dan tak pernah dipulangkan, sedangkan Yulius juga tak meminta kembali. Yulius tak pernah telat membayar uang kos dan juga tak pernah lupa memberikan tips kepada buruh cuci yang selalu mengambil pakaian kotor penghuni kos pada Jumat sore dan mengantarkan pakaian bersihnya Sabtu sore. Sesekali Yulius pergi menonton bioskop dan jalan-jalan ke mal, tetapi tak seorang pun penghuni rumah kos pernah melihat Yulius bersama seorang gadis. Sebagian besar penghuni rumah kos, terutama pria, yakin bahwa Yulius sekali atau dua kali sebulan pasti pergi ke tempat pelacuran. Sementara penghuni wanita yakin, Yulius hanyalah seorang pria dari pulau seberang, yang pemalu dan kebetulan senang membaca sastra. Dan yang pasti juga adalah sejak pagi mengerikan itu (ya, mengerikan bagi Yulius!), lebih dari biasanya, Yulius mulai mempertimbangkan bermacam hal dalam kehidupannya. Ia segera mengkaji ulang alasan-alasannya membeli koran, membaca buku-buku sastra, menonton film-film baru, jalan-jalan ke luar kota sendirian, dan sesekali mengunjungi kompleks pelacuran. Ia kini sering memutar ulang hari-harinya, seraya mempertimbangkan, apakah ia tidak terlalu berlebihan dalam berperilaku kepada siapa saja yang dikenalnya. Apakah ia tidak terlalu kasar, atau malah terlampau baik; sementara ia sebenarnya tidak mengharapkannya? Ia pun mulai menimbang-nimbang perasaannya, apakah ia benar-benar telah cukup puas dengan penghasilannya selama ini. Ia seorang pegawai negeri dengan gaji pas-pasan, ditambah komisi-komisi yang selalu disampaikan di dalam amplop coklat ke dalam lacinya, oleh sekretaris kepala divisi. “Pembagian minggu ini,” selalu begitulah kata-kata yang disampaikan si sekretaris itu. Dan ia mengantonginya dengan perasaan berterima kasih, karena mendapat tambahan biaya hidup sehari-hari yang lumayan jumlahnya. Mulanya Yulius memang merasa terganggu dan bertanya-tanya, karena ia sudah pernah mendengar istilah “uang sabetan” yang sudah umum di lingkungan kantornya. Perasaannya terganggu. Tapi, ia tidak tahu persis dari mana asal uang tersebut. Hanya saja, ia melihat semua staf di ruangan kerjanya juga mendapatkan pembagian amplop coklat yang sama. Kelihatannya, mereka sama dengan Yulius: sama-sama membutuhkan dan mendapatkan banyak manfaat dari uang di amplop coklat tersebut. Perasaan Yulius pun kemudian tidak begitu terganggu lagi, meski ia tetap penasaran tentang asal-usul uang tersebut. “Jangan dipikirkan. Itu pembagian dari atasan. Makanya kita beruntung kalau memiliki atasan yang tahu mengupayakan uang masuk selain gaji, dan membagi-baginya dengan anak buah,” kata seorang rekannya yang lebih tua. “Tetapi, dari mana?” “Divisi kita berhasil diperjuangkan oleh Kepala agar ikut mengeluarkan izin tambahan untuk tender-tender di bidang pembangunan jalan itu. Meskipun hanya persyaratan kesekian, dengan imbalan kecil, ya, lumayan. Tidak terlalu basah seperti di divisi-divisi lain, tetapi bila dikumpulkan, ya bisa lebih besar dari gaji. Jadi, baik-baiklah melakukan perintah Kepala,” kata si pegawai senior itu. Yulius tak lagi bertanya dan selanjutnya gembira setiap kali menemukan amplop coklat sudah berada di lacinya, setiap kali secara kebetulan ia di luar ruangan, saat si sekretaris membagi-bagikan komisi bersama itu. Tetapi, dengan semua penghasilannya, Yulius ternyata tetap saja hanya bisa membeli pakaian sekadarnya, makan sekadarnya, dan bergaul dengan teman kantor serta teman dari seberang, seadanya pula. Hal yang tidak terlalu merisaukannya. Karena ia sendiri bukanlah seseorang yang terlalu menuntut berlebihan untuk dirinya. Ia bukan tipe manusia kuliner yang doyan makan itu makan ini. Ia juga bukan pesolek yang senang belanja pakaian, sepatu, dan parfum serba bermerek. Ia justru malah lebih senang menampilkan diri, sebagai pria sederhana. Lain halnya bila menyangkut buku-buku, film, atau koran-koran dan majalah. Ia akan membelinya, sekalipun untuk itu ia harus menunda rencananya untuk makan kwetiau goreng kesukaannya. Akibatnya, kamar kosnya kemudian memang ditumpuki buku. Karena koran serta majalah bekas, kalau tidak hilang dipinjam teman-teman kosnya, terkadang sengaja ia berikan secara cuma-cuma kepada si pemilik warung bubur kacang hijau dan pemilik warteg langganannya. Dan beberapa hari setelah pagi yang mengerikan itu, Yulius pun dapat mengenangkan kembali apa yang telah terjadi pada dirinya. 1. Pagi itu ia terbangun dari tidur pukul 05.30 pagi seperti biasanya. 2. Selama 15 menit ia habiskan dengan berolahraga ringan di kamar kosnya sambil mempersiapkan peralatan mandi dan pakaian kantor. 3. Untuk keamanan, seperti biasanya, ia mewanti-wanti dirinya agar jangan lupa mengunci pintu kamar saat ia nanti pergi mandi. 4. Dengan hanya melilitkan handuk membungkus tubuh bagian bawahnya, lalu menenteng tas perlengkapan mandi, ia keluar dari kamar kosnya pukul 05.46. Ia sudah memperhitungkan akan selesai mandi pada pukul 05.50 dan berangkat sarapan ke warung kacang hijau di pojok terminal pukul 05.57. 5. Tetapi, saat mandi ia tiba-tiba saja tergoda untuk membayangkan kenikmatan hidup para penyair Indonesia yang menjalani kehidupan bohemian. Bebas. Bebas dari kejaran waktu jam kantor, bebas dari keharusan-keharusan cara berpikir dan cara hidup yang sudah ada di tengah masyarakat. Para penyair, para seniman, dengan begitu merdekanya mampu menjalani peluang-peluang kehidupan yang terbuka luas bagi siapa saja yang mau menempuhnya. Lalu, begitu saja ia mengguyuri tubuhnya dengan air bak yang sejuk itu, dengan sepuas-puasnya, seraya meneriakkan baris-baris puisi yang masih terekam di dalam ingatannya. 6. Yulius membayangkan dirinya menjadi seorang penyair yang bebas merdeka, membacakan puisi-puisinya di hadapan orang ramai. 7. Yulius terus mengguyuri tubuhnya. Membayangkan dirinya sebagai Chairil Anwar, Rendra, Sutardji Calzoum Bachri, Afrizal Malna, Warih Wisatsana, dan banyak lagi…. 8. Yulius membayangkan dirinya menjadi seorang penyair terkenal yang diundang ke berbagai negara untuk membacakan puisi-puisinya. 9. Yulius terus mengguyuri tubuhnya dengan air seraya meneriakkan baris-baris puisi yang teringat olehnya. 10. Yulius pun diwawancarai oleh beberapa wartawan seusai pembacaan puisi di sebuah gedung kesenian, mungkin saja di wilayah Taman Ismail Marzuki, Jakarta. 11. Yulius terdiam dan tersadar ketika merasakan bahunya ditimpa pintu kamar mandi yang didobrak dari luar, dan ia merasakan, pagi itu, para penghuni rumah kosnya sedang bersatu dengan dunia, sama-sama mengejek dan menertawakannya. Sungguh mengerikan. Karena kenangan itu kini terus mengikutinya! Arie MP Tamba (9 Desember 2007)
""Yulius""
Ketika aku belum benar-benar sadar dari kantuk yang luar biasa, tiba-tiba kulihat bayangan tubuh lelaki berdiri di atas meja. Dalam busana lengkap seperti terlihat di plakat-plakat, aku tak ragu dia adalah figur pemimpin besar yang dijunjung tinggi dan dipuja seperti dewa di negerinya hingga menjelma seperti wujudnya sekarang: sebuah patung. Dia sedang menatapku dengan wajah tidak ramah seolah apa yang kubayangkan tentang dirinya telah terbaca olehnya: “Engkau bukan milikku, aku bukan punyamu.” Tetapi, yang mengherankan, pada lehernya melingkar sebuah arloji tangan! Bagaimana bisa? Arloji itu milik istriku pemberian Mei Lan kemarin malam: “Untuk istri Bung sendiri!” Dan aku telah meletakkannya di atas meja, bukan di lehernya. Siapa memindahkannya? Mei Lan? Dengan mata setengah terbuka setengah terpejam kuedari seluruh ruangan, tetapi interpreter yang ramah itu tak kulihat batang hidungnya. Namun, pesan yang diucapkannya masih terdengar hingga ke dasar kesadaranku yang mendadak mulai menjadi tuli. Aku tak mampu memikirkannya karena prostata kronis yang kuderita selama ini membuatku terbirit kencing dan ini kualami empat sampai lima kali setiap malam. Tak ada sandal tersedia di muka sofa hingga kurasakan telapak kakiku menapaki lantai yang mengilat dan dingin ketika melangkah ke arah pisoar. Dan alangkah susah bagiku membuka mata di pagi buta! Semalaman ketika pulang dari pertunjukan opera di aula hotel, barangkali hanya beberapa jam aku tertidur, ternyata bukan di kasur, tetapi di atas sofa. Agaknya seseorang, barangkali Mei Lan sendiri, malam tadi telah memapahku melangkah pulang ke kamar karena aku terlalu banyak menenggak Mothai pada acara terakhir bersama para penari opera. Dan dia telah memasang arloji itu melingkar di leher guru besarnya sebelum meninggalkan kamarku. Keluar dari kamar mandi setelah cuci muka aku mulai sadar apa yang kualami malam tadi. Sebelum lupa aku sempat mencatatnya. Baru setengah halaman aku menulis surat buat istriku di Tanah Air ketika dengar seseorang mengetuk pintu kamarku. Ternyata Mei Lan, tampak menggigil sambil meremas-remas jari-jemari kedua tangannya. Kedatangannya sangat mengejutkanku. Sebenarnya jika ada sesuatu yang penting dan mendesak untuk disampaikan, Mei cukup menelepon saja dari kamar interpreter. Tetapi, mengapa dalam cuaca seburuk itu dia nekat bersijingkat lari menyeberangi dua lapangan bola basket di sebelah kiri hotel hanya untuk menemuiku? Badai salju menempias wajah Mei Lan. Dengan napas terputus-putus gadis itu memberi tahu, “Satu jam lagi opera… opera… akan dimulai, Bung….” “Masih cukup waktu Zus, mengapa tergesa-gesa?” kataku. “Ada yang perlu kusampaikan sebelum pertunjukan dimulai.” Setiap kali seorang interpreter datang, selalu saja muncul prasangka di hati ini, mereka tak pernah lupa akan tugas rangkapnya sebagai penerjemah sekaligus propagandis partai: menggiring semua kawan agar mengikuti semua program. Bagiku sangat sukar buat menghindar. Hanya demi kesopanan saja biasanya aku menindas rasa bosan dalam hati untuk menuruti imbauan interpreter. Namun, aku tak tahu mengapa terhadap Mei Lan aku tak pernah bosan, padahal kedatangannya pasti mengemban tugas yang sama: menggiring semua kawan agar malam itu ikut hadir dalam sajian seni berupa opera di pentas aula. Kulihat asap kecil-kecil keluar dari mulut Mei ketika dia berbicara. Gadis itu sedang kedinginan. Butir-butir salju seperti pasir berguguran dari leher mantelnya bila dia menggerak-gerakkan pundak. “Ayo duduk, Zus.” Kusilakan dia masuk ke kamar. “Sebentar saja ya, Bung … Ada yang perlu kusampaikan.” “Tentang Dewi Uban itu? Aku sudah pernah baca resensinya di Beijing Review,” kataku saat melihat lembaran-lembaran kertas di tangan Mei Lan. “Itu memang versi terbaru, tetapi pasti bukan yang terakhir,” katanya. Mei Lan memberiku selembar kertas stensilan. Sebenarnya aku tak memerlukannya karena sudah hafal jalan ceritanya setelah beberapa kali menonton, meskipun itu versi sebelum Revolusi Besar Kebudayaan Proletar. Tetapi, kurang sopan rasanya jika aku menolak untuk menerima dan membaca sinopsisnya. “Ada lagi yang penting selain ini, Zus?” tanyaku. “Terus terang ya, Bung, justru untuk itu aku datang ke sini. Tetapi, persoalannya bersifat sangat pribadi.” Sangat pribadi? Kaget juga aku mendengarnya. Kehadirannya di kamarku pada malam ketika di luar sana salju berhamburan, itu saja sudah membuatku bertanya-tanya. “Panas benar kamar Bung ini,” kata Mei tiba-tiba. Brengsek. Itu saja rupanya apa yang disebutnya sangat pribadi! Namun, kalimat Mei sempat membuatku melangkah menghampiri termometer di atas heater, memastikan jawaban dari skala air raksa. “Delapan belas derajat, Zus. Normalnya berapa di hotel ini?” “Sudah maksimal itu Bung, maafkan, kecilkan sedikit.” Ya, aku masih saja sejenis makhluk manja di negerinya, teledor dan lupa buat menghemat penggunaan energi, padahal saban hari dengar propaganda penghematan yang selalu didengungkan. Bahkan sebatang paku di pinggir jalan adalah harta berharga yang perlu dan harus diselamatkan. Di asrama penampungan kami dulu, anak-anak dengan rajin dan penuh disiplin keluar-masuk gedung hanya untuk menegur paman-paman dan bibi-bibi yang kelupaan mengecilkan atau mematikan lampu yang dibiarkan menyala sepanjang lorong di antara deretan kamar-kamar. Salah seorang sasaran mereka adalah aku: penghuni kamar paling depan di gedung kami. Dengan lantang mereka berbarengan mengutip Mao Tjusi Ilu, kata-kata Ketua Mao, entah halaman berapa dari buku saku warna merah yang mereka bawa ke mana-mana. “Kita harus menghemat setiap sen demi membantu rakyat-rakyat tertindas seluruh dunia melawan…” dan sebagainya dan selanjutnya. Begitu hafal anak-anak ini mengutip kata-kata sang Ketua. Tetapi, Mei barangkali lupa, peringatan seperti itu hanya perlu diulang-ulang kepada seluruh rakyat negerinya, tetapi tidak kepadaku: si makhluk manja yang keras kepala. Sambil lalu aku tanyakan, “Berapa derajat di kamar Zus sana?” “Heater jarang kupasang,” jawab Mei ringan. Aku tak tahu apakah dia bermaksud memberi saran supaya aku memutar pengatur temperatur sampai titik nol. Namun, waktu tanganku menjamah barang berharga itu Mei Lan menarik lenganku. “Jangan Bung! Maafkan, aku tidak bermaksud menegur. Hanya merasa kepanasan di kamar Bung ini.” “Sudah kuputar sampai minimal. Memang agak kepanasan.” “Jangan lebih rendah, bisa kedinginan….” “Mari Zus, mantelnya,” kualihkan pembicaraan. Kurenggut kerah mantel Mei dari belakang punggungnya dan dia melepaskan diri dari belenggu mantel birunya. Paling tidak tiga kilogram beratnya, kusangkutkan pada kapstok di sisi lemari. Entah barang apa berada dalam gembolan saku mantelnya. “Bung sudah makan?” tanyanya. “Kantin sudah dibuka.” “Belum lapar, Zus, sebentar lagi.” “Tetapi, satu jam lagi opera akan dimulai.” “Ya, setengah jam lagilah. Sekarang katakan saja, apa yang bersifat sangat pribadi itu?” “Hanya jika Bung tidak keberatan. Memang soal pribadi saja.” “Bukan urusan hengkang?” Tidak dengan sengaja aku menyindir Mei. Terlontar begitu saja dari mulutku. Terkadang aku lupa, semua interpreter bersikap netral dalam urusan intern organisasi partai sebagai satu-satunya instansi yang dianggap bertanggung jawab atas semua urusan orang Indonesia yang masih berada di negerinya karena terhalang pulang. “Boyong ke desa itu maksud, Bung?” peras Mei Lan. “Ya. Tetapi, Zus tahu bukan, tak bakalan aku bersedia pindah ke desa!” “Bung juga tahu, itu bukan urusanku sebagai interpreter.” “Nah baiklah, katakan saja urusan pribadi apa yang Zus maksudkan.” “Tak terlalu penting sebenarnya.” “Bagiku soal pribadi juga penting, Zus… Pribadi siapa? Pribadiku? Pribadi Zus sendiri?” Senyum Mei serasa isyarat bagiku agar tak mengajaknya ikut berdebat perihal hengkang ke proyek baru pimpinan organisasi partai. Tak ada niat bagiku menentang proyek mereka yang sebenarnya bukan proyeknya. Mereka tinggal mengamini seniornya: Partai Komunis Tiongkok. Asas sama derajat di antara partai-partai sekawan sudah lama terkubur. Begitulah nasib orang kalah, dan aku sendiri bukan orang yang menang. Tetapi, siapa menyebar kebohongan demi pelaksanaan program pindah ke desa itu? Entah siapa akhir-akhir ini menyebar rumor seolah sekarang sudah mulai ada usaha pendekatan antara RI dan RRT buat merintis pemulihan hubungan diplomatik! Sungguh absurd. Biasanya itu berasal dari sumber berita VOA >sup<1)>res<>res<, tetapi tak tertutup kemungkinan berasal dari kawan sendiri. Bila itu benar, akan tiba saatnya, entah kapan, dan itu tak akan lama lagi, kami akan tinggal onggokan sampah yang dicampakkan orang ke jurang sejarah. Konon yang absurd itu adalah syarat utama yang dituntut menteri luar negeri RI: jangan lagi melindungi sisa-sisa Gestapu-PKI. Dan tampaknya proyek pindah ke desa merupakan persiapan menuju pemulihan hubungan diplomatik. Huh! Kulihat Mei Lan agak lama terdiam dan akhirnya: “Aku datang ke sini bukan untuk urusan pribadiku sendiri. Bukan juga pribadi Bung.” “Pribadi siapa?” “Pribadi kita berdua…,” tegas Mei. Pribadi kita? Terkejut aku mendengar cetusan Mei Lan! Kalau begitu, ini sudah berarti skandal yang melibatkan dia dengan diriku. Apakah selama ini aku salah langkah dalam memperlakukan interpreter yang satu ini? Bagiku keakraban hubungan kami selama ini biasa saja, tidak berlebihan. Mei cuma seorang interpreter, bertugas membantu kawan-kawan Indonesia yang jumlahnya tak banyak lagi di ibu kota. Tetapi, dia juga bekas warga negara Indonesia atau malah masih memiliki kewarganegaraan rangkap selama studi di negeri leluhurnya. Kondisi khusus Mei telah lama membuat aku biasa memanggilnya “Zus”, bukan “Kawan”. Celakanya, kawan-kawan lain lebih sering pergi sendirian dan aku paling sering meminta bantuan Mei Lan selaku penerjemah dalam rangka persiapan berangkat untuk meninggalkan negerinya. Urusan exit-permit dan health certificate saja sudah memaksa kami sering berdua-dua pergi bersama, terkadang sampai malam. “Katakan terus-terang Zus,” kudesak Mei. “Aku punya anak-istri di Indonesia.” “Dan aku sendirian di sini, Bung. Kita harus berhati-hati.” Gemetar seluruh sendi tubuhku. Baru sekarang aku merasa, mungkin sudah lama tersiar fitnah tentang persahabatanku dengan Mei Lan. “Zus,” tiba-tiba saja aku menegurnya. “Jangan lama-lama menemui aku di kamar ini.” “Tetapi, ini kesempatan terakhir. Tak lama lagi Bung berangkat pulang, bukan?” “Tergantung tiket pesawat.” “Aku tahu. Tetapi, bukan itu maksudku. Bung ingat titipan Ven Lan dari Surabaya itu? Sepatu Bata, sepasang kaus kaki, satu sweater, satu arloji tangan.” “Tentu saja ingat, tetapi lupa isinya. Ven Lan itu muridku di Surabaya dan Zus sendiri sepupunya. Tugasku cuma bawa titipan itu buat Zus. Dan itu sudah empat tahun yang lalu ketika Zus masih studi di Beida >sup<2)>res<>res<.” “Maafkan Bung, baru sekarang aku mau bilang. Aku tidak bisa menggunakannya. Aku tidak memerlukan itu.” “Sudah selama itu? Dan baru sekarang bilang? Mengapa tidak bisa menggunakannya? Kebesaran atau bagaimana?” “Semua pas-pasan saja, termasuk sepatu dan kaus kakinya. Ven Lan tahu benar ukuran sepatuku.” “Lantas apa soalnya?” “Situasinya yang tidak pas. Terlalu mewah bagiku. Bung tahu sebabnya. Seluruh rakyat Tiongkok hidup sederhana dan aku disuruh bermewah-mewah di depan mata mereka? Ketua Mao bilang….” “Cukup, Zus, cukup.” Sengaja kupotong kalimat Mei Lan. “Cukup jelas bagiku, tetapi ada soal apa lagi dengan titipan itu?” “Tak ada soal selama aku tidak menggunakannya. Aku cuma berharap Bung sudi membawa titipanku juga. Sekali lagi ini bersifat sangat pribadi.” “Terlalu pribadi?” “Bung segera pulang ke Indonesia, bukan? Tidak keberatan bawa titipanku?” “Zus percaya aku segera bisa pulang ke Indonesia?” “Tidak. Tetapi, itu semboyan dan tekad Bung sendiri bukan?” “Selalu ada jarak antara tekad dan kenyataan, mungkin pendek tetapi bisa sangat panjang.” “Bung belum yakin?” “Tentu saja aku yakin, tetapi masih banyak rintangan. Dari kawan sendiri, misalnya.” Mei Lan tak menanggapi dan aku tidak bermaksud melibatkannya dengan urusan intern kami sendiri. Tetapi, dia mendesak juga. “Kira-kira saja kapan?” Tiba-tiba aku curiga, jangan-jangan Mei Lan sudah sejak awal menjadi alat organisasi partai atau bahkan pemerintah Tiongkok untuk menggiring kami berangkat, bukan ke Eropa Barat tetapi ke desa! Belum aku menjawab pertanyaannya, dan Mei tiba-tiba merenggut tanganku. Betapa lembut. Betapa hangat. “Katakan kapan!” desaknya. “Belum jelas, Zus,” kataku. “Meskipun begitu sebaiknya titipan itu kuserahkan sekarang. Bagaimana?” “Baiklah, berikan sekarang. Tetapi, kalau aku gagal pulang ke Indonesia bagaimana?” “Enggak soal. Simpan saja. Titipan ini buat istri Bung sendiri.” Aku geleng kepala. Mei Lan beranjak dari kursi, melangkah mengambil mantelnya di cantolan. Dari sakunya dia keluarkan sebuah bungkusan karton. “Arloji itu Bung, lebih baik dipakai istri Bung.” “Arloji? Jangan, Zus, jangan. Lantas apa yang berat ini?” “Itu untuk Bung sendiri. Patung Ketua Mao.” Aku terdiam. Mei memelukku. Aku memeluk Mei. Aku tidak sedang bermimpi. Kulihat sepasang mata menggelimang di wajah Mei Lan ketika dia melangkah keluar dari kamar. >diaC< Surat kepada istriku masih telantar di meja di bawah kaki Ketua Mao. Semalam aku belum sempat merampungkan. Hanya beberapa jam aku tertidur di atas sofa. Seseorang pasti telah memapahku balik ke kamar, barangkali Mei Lan sendiri, karena aku terlalu banyak menenggak Mothai dalam acara bersama pada penutupan opera. Dan pagi itu aku tak tahu, akan kukemanakan benda keramat itu. Kubawa pulang ke negeriku? Ia lebih berguna bagi rakyatnya. Barangkali. Tetapi, di mana Mei Lan? Malam itu ternyata hari terakhir aku melihatnya. Gadis yang lembut dan jujur itu sudah pada esok harinya menghilang. Dia memikul tugas barunya di ladang-ladang pertanian jauh di luar ibu kota. Laudung kata orang. Kerja badan. Pendidikan ideologi. Seperti rumor yang mulai beredar di Hotel Druzhba: pangkalan terakhir kami di negerinya. Paran, awal September 2007 ________ 1) VOA – Voice Of America 2) Beida – Beijing Daxue, Universitas Beijing Soeprijadi Tomodihardjo (2 Desember 2007)
""Hari Terakhir Mei Lan""
Dia menguakkan daun jendela keluar dan mempersilakan angin pagi menyongsong masuk dengan leluasa. Hati-hati disingkapkannya kain putih yang menutupi laptop di atas meja kecil, yang berdiri begitu rapat seperti hendak mencium bibir jendela. Beberapa saat dia berdiam diri dengan wajah cemas, seakan-akan benda yang tertutup di bawah kain putih itu cuma pembawa bencana. Dia meninggalkan tempatnya berdiri, kemudian datang lagi menenteng kemoceng. Kain penutup dia singkapkan dan debu yang tertidur di atas perangkat komputer itu dia kebutkan. Saban hari dia begitu, semacam ritus, selama hampir setengah tahun belakangan ini. Baru sekali komputer itu dipakai, yaitu ketika putranya, yang datang menghadiahkannya, memberi petunjuk bagaimana cara kerja peranti terbaru itu. Sejak itu, komputer itu hanya terbaring di meja, di mana dia diletakkan dengan hati-hati dan rapi. Pernah suatu hari perempuan itu diam-diam melepaskan katup laptop. Dia gugup untuk menenteramkan jantungnya yang tiba-tiba berdegup cepat begitu terlihat penampang keyboard, yang memuat begitu banyak tuts dan tanda-tanda serta petunjuk lain, yang tak pernah dia jumpai selama hidup. Dia kuatkan hatinya untuk melawan rasa enggan berhadapan dengan perangkat mesin paling dipuja zaman sekarang, dan mendorong dirinya untuk mencoba mengetik di situ. Dia menarik napas. Berdoa. Namun, tekanan ujung jari-jemarinya, yang terbiasa mengentak-entak di atas tuts mesin tik, membuat tiap huruf yang tampil di monitor berjejal-jejal tak bermakna. Dia mengeluh dalam. Dengan segera komputer itu dia matikan, kabel-kabel dia lepaskan, dan dia tebarkan kain seputih kafan menutupinya. Dia memejamkan mata dan menarik napas, membuat daun jendela di dekatnya seperti hendak turut berkeluh kesah. Pagi ini, setelah membuka jendela, perempuan itu tak langsung menjauh. Dia memandang ke luar, melintasi daun belimbing, juga kersen, sementara bola matanya, yang sudah berbalut selaput keabuan, nanap memandangi papan nama bertuliskan Kursus Bahasa Inggris Rainbow, hitam di atas kuning, yang tegak di dekat pagar. Rainbow, pelangi. Dia suka kata itu, karena dia pernah memberikan harapan begitu melambung—walau akhirnya harapan itu sirna dan dirinya lumat dan hina oleh kekuasaan—pada satu organisasi yang menggunakan perkakas berbentuk melengkung seperti pelangi sebagai lambangnya. Dia juga ingin menuliskan nama itu dalam bahasa Indonesia, tetapi kehendak pasar lebih kuat. Dan dia menyerah. Di seberang bendul jendela, angin Desember mematahkan setangkai daun kersen kering. Patahan daun melayang melintasi mulut jendela dan menyelip di antara kerah kebaya perempuan yang berdiri memaku. Matanya menyelisik di antara daun-daun kering yang beterbangan di luar. Bukan daun kersen dan belimbing itu benar yang merenggut pandangnya, melainkan huruf-huruf di papan merek. Dia mengernyitkan dahi seraya menatap tajam huruf-huruf hitam yang menjentang. Hatinya terasa digulung duka. Sebersit air mata yang terasa hangat sesuam kuku menggenang di tapuk. Dia melihat huruf-huruf di papan itu sedang berguguran satu per satu. Buat dia, itu adalah alamat terakhir yang menandakan bahwa usahanya, yang berusia lebih dari duapuluh tahun, sudah membentur jalan buntu, dan tak siapa pun yang memerlukannya lagi. Ia mengusap bulir air mata dengan ujung kebaya. Andra adalah murid terakhir yang datang menemuinya. Tanpa didahului basa-basi, murid kelas satu sekolah menengah atas itu, dengan tangan bergetar, jongkok memegangi lutut perempuan itu. ”Ibu, aku tahu aku akan kehilangan. Aku tahu, sulit bagiku menemukan kursus sebaik di sini, guru sehangat Ibu,” kata gadis itu terbata. ”Bahasa adalah soal perasaan dan hati, bukan masalah alat peraga.” ”Tidak. Takkan pernah. Aku sadar, dunia berubah begitu cepat, membuat aku jauh tertinggal. Percayalah, kau, juga teman-temanmu, akan menemukan yang lebih bagus. Orang setua aku ini sudah tak berguna. Sebuah komputer jauh lebih berfaedah,” kata perempuan itu menghibur. Dan dia teringat ketika anaknya menunjukkan jadwal pelajaran, lesson plan, dan bahan-bahan bacaan berhias gambar warna-warni, seperti pelangi, yang dikumpulkannya dari tempat kursus lain. Di sini, kertas pelajaran tampil dengan huruf yang majal, tintanya merekah pecah-pecah, karena karbon yang tidak rata. ”Ayah yang menginginkan aku berhenti, pindah. Dia ngotot betul pada kursus yang mengandalkan komputer, dan bukan pada manusia,” kata gadis itu lagi seraya memeluk gurunya. ”Kalau tergantung padaku, aku ingin tetap di sini. Tapi…, maafkan aku, Ibu.” Untuk pertama kali gadis itu merasakan pahitnya perpisahan. Dia tersedu dibuatnya. Dua hari lalu, Karsih, Ambiya, dan Kerton datang berbarengan minta diri sambil bersungut-sungut mencerca kemauan orangtua mereka. Sebelumnya, Tami, murid yang lafal ”r”-nya begitu sempurna, terdengar lidahnya seperti bergulung dengan ujungnya yang nyaris menyentuh langit-langit rongga mulutnya. Juga Fajrul dan Fatma. Pokoknya, semua muridnya yang sepuluh orang, sudah datang hanya untuk mengucapkan selamat tinggal. Laptop tak bisa berbuat apa-apa. Lantaran orang yang berada di belakangnya berpatah-arang dengan zaman. Dia merasa telah dilahirkan di satu kurun waktu yang tidak dia inginkan. Waktu yang telah merenggut harapan hidupnya. Tidak hanya cita-cita dan harapannya, juga kemuliaan tubuhnya. Begitu menyengsarakan hidup yang dia tempuh, sehingga ketika ada kesempatan bangkit, dia bukannya berdamai dengan waktu, tetapi malah melampiaskan dendam pada tanda-tanda kemajuan zaman. Dia bersikukuh tetap menggunakan mesin tik manual. Terdengar aneh, tentu, tetapi buat dia itulah kesetiaan. Sebegitu getirnyakah zaman, sampai dia harus berkata tidak pada pencapaian peradaban? Cuma dia yang tahu. Kata tak pernah bisa menjadi cermin yang pas untuk jalan hidupnya. Camkanlah kisahnya ini: Akhir Oktober 1965, suaminya, seorang aktivis, dicari-cari tentara. Apakah sang suami turut membantai para jenderal di Jakarta, sehingga sang istri harus dijadikan sandera sampai suaminya tertangkap kelak? Dia tak pernah jumpa dengan suaminya itu lagi—yang seperti dia juga—adalah guru. Bagaikan pelacur gudikan tak tahu malu dan tak laku, bokongnya ditendang sepatu larsa, dan dia dijorokkan bagai sampah ke dalam kamp konsentrasi—pusat penahanan yang tiba-tiba menjamur di kotanya menyusul peristiwa berdarah di Jakarta. Ditanya dengan membentak, di mana suaminya, dia menjawab tak tahu. Guru, mengapa berbohong?! pekik tentara memaksa. ”Saya memang tak tahu, Pak. Kami menikah baru beberapa bulan, mengapa saya harus berbohong,” jawabnya, membuat berahi si tentara terbakar. Kejujuran yang dititahkan kepada setiap guru yang baik, selalu menjadi pelita hatinya. Tetapi, di depan interogator yang haus darah, juga nyawa, pengakuan apa adanya hanya memancing bencana. Dia disiksa, diperkosa, untuk memperoleh pengakuan yang, demi Tuhan, memang mustahil. Suatu hari, seorang kapten mendatanginya. Untuk seseorang yang baru disiksa habis-habisan, sikap perwira itu luar biasa. Dibelainya rambut perempuan kita itu. ”Kau bukan PKI. Kau aku bebaskan. Ikut aku,” katanya. Dia dinaikkan ke jeep, dan diturunkan di sebuah rumah di luar kota. ”Bantulah aku, cuma berdua kita di sini,” rayu sang kapten. Dia mulai mencuci pakaian kotor yang dibiarkan tentara itu berantakan di bawah tempat tidur. Dia juga menyediakan makanan untuk paduka tuannya itu. Ketika luka siksaan yang dia tanggungkan berangsur sembuh, sang kapten merapat, merayu, dan menggiringnya ke dalam kamar, mencumbunya habis-habisan, hingga perwira jelmaan musang berbulu ayam itu, terkulai di puncaknya. Hari-hari dilalui perempuan kita itu tak lebih dari sekadar seorang budak gratisan, malam-malam dia lewati tak lebih dari sekadar segumpal daging simpanan. Ketika dia sudah hamil dan melahirkan anak laki-laki, kapten itu mengabarkan dia dipindahkan ke pulau seberang, dan akan kembali menjemputnya. Kata-kata itu cuma janji kosong. Bagi seorang perempuan, anak yang lahir dari rahimnya tak pernah menjadi anak haram. Hanya lelaki keji yang mengantarkan anak jadah. Bertungkus lumus dia membesarkan jabang bayinya dengan kemuliaan. Dia bekerja sebagai pelayan di sebuah toko busana. Sebelum berangkat kerja, dia mencari penghasilan tambahan, berjualan kue di sekolah. Malamnya, barang satu-dua jam, dia sempatkan berdagang bandrek di pangkalan becak. Ketika merasa sudah cukup modal untuk mendirikan kursus, dia mengundurkan diri dari toko itu. Dulu, sewaktu duduk dengan damai di fakultas sastra Inggris, dia mahasiswi paling cemerlang. Kalau dia ditempatkan di dalam kamar, dan diminta berkata-kata dalam bahasa Inggris, orang di luar mengira yang berbicara itu native. Dengan penghasilan dari kursus itulah dia membesarkan anaknya jadi manusia. Anak yang memberikan kebahagiaan, kecuali matanya yang tak kuasa dia tatap. Itu adalah mata laki-laki yang terus-menerus dipertanyakan hutan-rimbanya oleh anaknya itu sampai usianya sudah sedewasa sekarang. Pintu pagar berderik. Saadatun Alimah adalah murid terakhir yang muncul dan minta berhenti. ”Siapa pula gerangan yang masuk itu?” tanya perempuan itu dalam hati. Dijulurkannya kepala dari mulut jendela. ”Ma…,” mengalun manja. Suara yang sangat dia kenal. Anaknya, yang dulu menghadiahkan laptop, masuk menjinjing satu kotak besar, satu lagi agak kecil memanjang. ”Mama…, ini Ma, peralatan in focus, ada screen-nya juga, layarnya seputih perak! Lihatlah, Ma! Pelajaran jadi lebih menarik, kabarnya. Cobalah, Ma,” suara anak muda itu riang. Perempuan kita itu menyongsong dengan gairah. Dia tepuk bahunya, dia rangkul, dia cium pipinya, tetapi tidak untuk perangkat yang dibawa anaknya itu. Selama anaknya memperagakan in focus, mencatat kabel yang mana yang harus dicolokkan ke socket yang mana, hati perempuan itu sedingin es. Kalau tidak akan menyakiti perasaan anaknya, dia sudah melengos pergi. Tetapi, anak adalah buah hati semua Mama, kepada siapa mereka selalu mengalah, menyembunyikan perasaan, lantaran kasih. Matanya menyimak apa-apa yang dikatakan anaknya, tetapi pikirannya terbang entah ke mana. Dia mendekat dan menyampirkan kedua tangannya yang layu di kedua bahu anaknya yang kokoh. ”Aku tak bisa menguasai semua ini. Aku kuno. Dan kau tahu, anak yang terakhir sudah pamit, minta berhenti. Siapa lagi yang akan kuajari?” katanya. ”Ma, Mama harus mencoba, akan kubantu. Cobalah, Ma, apa salahnya mencoba?” ”Ah…” Ruangan itu diam. Perempuan kita itu yang mencairkan kebekuan. Katanya sambil menghindari tatapan anaknya: ”Coba, kau bacalah kartu nama yang kuselipkan di jepitan mesin tik itu.” Yang disuruh melangkah menghampiri mesin tulis di dekat jendela, di seberang ruangan. Sambil memegangi kartu itu, dia merapat ke dada ibunya. ”Siapa ini?” Selayang, perempuan itu menjenguk mata anaknya. Cuma selayang. ”Kau ingat Lusiana, yang matanya mirip benar dengan matamu? Seminggu yang lalu, dia datang bersama ayahnya untuk pamit. Waktu akan meninggalkan aku, ayahnya berpesan, ’Siapa tahu, suatu ketika Ibu memerlukan saya, simpanlah ini,’ sambil menyodorkan kartu nama itu.” Entah mengapa, tiba-tiba dia merunduk di bahu anaknya. Tak bangkit-bangkit juga matanya dari lantai, takut bersitatap. Katanya teguh: ”Darahku berdesir, tubuhku terasa dingin, menggigil, ketika melihat mata ayah Lusiana. Jidatnya! Oh…, aku pasti, dialah yang menghamili aku, meninggalkan aku dan kau, membuangbalaikan kita berdua sesudah dia puas mencicipi. Waktu itu, dia kapten. Dan kalau kau baca kartu nama itu, dia pensiun dengan pangkat jenderal. Diam seribu bahasa. Tak pernah dia bayangkan pengakuan itu akan memecut anaknya untuk mengejar sang ayah sampai pun ke balik dunia. Bukan untuk melampiaskan dendam, tentu, cuma mencari pengakuan. Dendam bisa kehilangan isi, ingatan tak pernah sirna. Ruangan senyap. Mesin tik di satu sisi diam terduduk, sementara laptop di sisi lain mengendap terdiam. Kabel berseliweran. Pintu pagar terdengar dikuakkan tergesa. Si anak muda meninggalkan rumah ibunya, mencari ayah, dengan menjinjing penanda sepasang bola mata dan selembar kartu nama…*** ”Suara Perempuan Korban Tragedi ’65,” Ita F. Nadia Martin Aleida (27 januari 2008)
""Bertungkus Lumus""
Ketika ia bersandar pada pagar kapal yang akan membawanya pergi dari Tanah Merah, seluruh peristiwa yang telah dialaminya hampir setahun sebelumnya bagai berputar kembali di pelupuk matanya. Hidupnya sendiri adalah rangkaian petualangan demi petualangan yang tak berkesudahan. Semula ia adalah seorang pahlawan untuk negerinya, negeri Belanda yang telah menguasai bumi Hindia Belanda selama ratusan tahun. Semua orang yang tahu atau pernah mendengar tentang peristiwa Banten yang menggegerkan itu sudah barang tentu telah mendengar keharuman namanya. Oleh tindakan kepahlawanan itu Pemerintah Hindia Belanda telah menganugerahkan sebuah bintang kehormatan kepadanya. Orang-orang mengelu-elukannya. Ia mendapatkan undangan pesta dari para pejabat militer Batavia dan orang-orang yang ingin mendengarkan kisah pertempuran yang telah ia alami, bunyi letusan senapan dan jerit mengerikan ketika tubuh meregang nyawa. Sungguh, memabukkan. Beberapa bulan setelah ia berhasil menumpas pemberontakan kaum merah di Banten, Pemerintah Batavia menunjuknya sebagai komandan ekspedisi yang pertama-tama untuk masuk ke Digul dan mempersiapkan kamp pembuangan bagi kaum interniran yang telah memenuhi penjara-penjara di Jawa dan Sumatera. “Apakah Gubernur Jenderal sudah gila? Digul adalah daerah terpencil, hutan-hutan lebat yang belum dijamah kecuali oleh penduduk rimba setempat dan para petualang Tionghoa. Aku mendengar dari orang-orang yang melakukan ekspedisi ke sana untuk mencari emas bahwa Digul adalah belantara yang dipenuhi para pengayau. Bagaimana kaum interniran bisa hidup di sana?” tanyanya kepada Letnan Drejer, opsir yang juga mendapatkan perintah untuk menemaninya masuk belantara Digul. “Tampaknya tuan Gubernur Jenderal de Graeff ingin meniru bangsa Rusia. Bukankah di Rusia terdapat pembuangan yang terkenal di seluruh dunia? Siapa tak mengenal Siberia, neraka bagi siapa pun warga Rusia yang berontak atau menjadi bajingan!” ujar Letnan Drejer sambil tersenyum kecut. “Kita bukan bangsa Rusia dan Siberia lain dengan Digul, Letnan. Digul hutan lebat. Apa yang bisa diharapkan dari daerah seterpencil itu? Kalau kita membuka hutannya, masalah mengerikan lain telah menunggu: malaria! Bukankah itu sama saja dengan mengirimkan kaum interniran itu ke lembah kematian?” “Saya tak takut dengan malaria, Kapten. Tapi tinggal di hutan lebat semacam Digul sama saja dengan menyerahkan kepala kita kepada para pengayau atau para kanibal hitam di sana. Itulah yang saya takutkan,” ujar Letnan Drejer dengan kepala bergidik. “Hehm, benar. Dan kita, kaum terhormat yang baru saja mendapatkan bintang kehormatan dari tindakan militer, harus mengotorkan tangan dengan tindakan memalukan. Sungguh keterlaluan orang-orang Batavia!” “Yang lebih mengherankan, bukankah Gubernur Jenderal de Graeff itu terkenal berbudi baik, Kapten? Bagaimana ia bisa membuat keputusan-keputusan yang mengerikan seperti membuka kamp pembuangan?” ujar Letnan Drejer tak mengerti. “Apalah artinya seorang gubernur jenderal berbudi baik bila sistemnya telah diracuni oleh para pejabat berhati kotor? Merekalah yang tak ingin kedudukannya terancam dengan ulah para pemberontak yang ingin menjatuhkan kekuasaan. Dan, untuk menangkal ancaman tersebut, tindakan kotor pun buat mereka tak apa-apa dan tak ada salahnya dilakukan.” Letnan Drejer mengangkat bahu. Dipandangnya punggung Kapten Becking yang jangkung itu. Rasa hormatnya yang tinggi tak pernah lenyap terhadap lelaki ksatria yang beranjak tua ini. Di luar dinas militernya, opsir berambut putih itu sungguh terpelajar. Satu minggu sebelumnya Kapten Becking telah meminta bawahannya untuk mencari segala pengetahuan yang ada hubungannya dengan Digul dan bumi hitam di ujung timur Hindia itu. Sementara para prajurit dan opsir bawahannya membual dan membayangkan petualangan di tanah mereka yang akan mereka lakukan, ia justru tenggelam dengan buku-buku dan tumpukan laporan tentang Digul dan wilayah New Guinea secara umum. Ia gemar sekali membicarakan suku-suku pedalaman yang tinggal di hutan belantara itu dan di sepanjang Sungai Digul, kebaikan-kebaikan mereka dan kesukaan mereka dalam mengayau. Tak jarang ia mengingatkan Letnan Drejer akan kebuasan alam tempat baru itu dan berujar ia akan menundukkannya secepat mungkin. Satu minggu sebelum bulan Januari 1927 berakhir kapalnya yang membawa 120 serdadu dan 60 kuli paksa dengan kaki dirantai memasuki Sungai Digul dan membuang sauhnya pada jarak ratusan kilometer dari pantai. Hujan tipis tak menghalanginya untuk keluar dari kapal, memandang ke arah hutan lebat maha luas dan tampak buas dalam bayangannya. Dari tabir tipis gerimis ia masih bisa menangkap keluasan hijau yang terbentang di depan matanya, daerah sunyi yang oleh Gubernur Jenderal de Graeff telah dipilih sebagai kamp pembuangan kaum interniran merah yang memberontak itu. Tubuhnya yang jangkung dan rambutnya yang memutih bergoyang-goyang oleh kapal dan angin yang bertiup cukup keras. Ia menggelengkan kepala dan menarik napas dalam-dalam. “Di sinikah tahanan politik itu disembunyikan dari masyarakatnya, ataukah justru dikuburkan untuk selama-lamanya?” Lama ia berdiri di pagar kapal, mengamati hutan belantara dan buaya-buaya yang berjemur dengan moncong terkatup di pinggir sungai. Ia membayangkan suku-suku pedalaman yang nanti akan terganggu oleh pekerjaan barunya. Sayang ia tak bisa mundur lagi. Dengan seluruh perasaan bersalah mengeram di dalam dadanya, ia menekan hasrat kemanusiaannya yang terus menggemakan pertanyaan demi pertanyaan. Ia menggenggam bintang kehormatan yang tersemat di dadanya dengan perasaan terhina dan masuk kembali ke kapal menemui Letnan Drejer dan segenap prajurit bawahannya. Setelah berunding beberapa saat, mereka menurunkan seluruh keperluan pembukaan hutan dan perbekalan hidup mereka untuk masa tiga bulan. Kecuali pakaian dan perlengkapan anak buahnya, terdapat alat-alat duduk dan tidur, barang pecah belah, alat pertanian dan persediaan benih, lalu kaleng minyak tanah yang isinya tidak lain bahan-bahan makanan. Para kuli paksa dan sebagian besar serdadu membuka hutan dengan model setengah lingkaran terlebih dahulu sebagai tempat untuk mendirikan kemah dan tenda mereka. Sementara sebagian kecil serdadu menjaga bahan persediaan makanan dan segala barang perlengkapan yang telah diturunkan dari kapal. Ketika kegelapan menyelimuti mereka, di tengah-tengah tenda dan kemah baru diletakkan lampu stormking. Kapten Backing dan seluruh pengikutnya bersiap-siap dengan serbuan pertama-tama manusia hutan Digul. Pada tengah malam, ketika keletihan telah merayapi tubuh mereka, tiba-tiba terdengar jeritan panjang yang datang dari berbagai jurusan sekalipun tak ada satu pun dari mereka yang menunjukkan dirinya di bawah penerangan lampu. Beberapa kuli paksa gemetaran dan membaca doa keras-keras, mengira suara-suara jeritan dari balik hutan sebagai kemarahan hantu-hantu hutan yang pepohonannya telah mereka babat. Namun, Kapten Becking dan sebagian besar serdadu yang dibawanya yakin itu adalah suara-suara para penghuni hutan yang telah menyaksikan aktivitas mereka sejak pagi. Setelah ditunggu-tunggu dan mereka tak juga muncul atau menyerang, seluruh serdadu dan kuli paksa menarik napas lega. “Aku yakin mereka tidak buas, sebab kalau mereka buas sudah sejak semalam mereka akan menyerang kita,” ujar Kapten Becking keesokan harinya. “Aku harap juga demikian. Kalau mereka buas, pekerjaan kita bakalan lebih payah lagi,” letnan Drejer menimpali dengan kecut. “Benar. Bagaimanapun tugas berat ini harus cepat selesai, paling tidak sebelum satu bulan. Di samping tenda-tenda, kita harus mempersiapkan dua gudang untuk menyimpan seluruh barang-barang yang telah kita bawa, sebuah rumah sakit, satu stasiun radio dan sebuah kantor pos. Itu belum termasuk menyiapkan lahan-lahan permukiman bagi kaum interniran dan lahan pertanian mereka kelak.” “Kantor pos? Sungguh aneh, di sebuah hutan belantara seperti Digul bagaimana mungkin ada kantor pos? Sungguh konyol gagasan orang-orang Batavia itu,” ujar Letnan Drejer mengejek. “Sekarang mungkin kita tak membutuhkannya. Namun, nanti, ketika seluruh kaum interniran itu diangkut ke sini, mereka akan membutuhkannya. Apakah mereka akan dibiarkan betul-betul merana tanpa berkirim kabar pada saudaranya di tempat lain. Mereka orang beradab dan harus tetap berhubungan dengan peradaban.” “Mereka dibuang di sini saja bukan tindakan beradab, Kapten. Jadi sia-sia saja mereka mencari hubungan dengan orang-orang beradab.” “Itulah yang sebenarnya melukai kehormatanku, Letnan. Aku lebih terhormat meregang nyawa dalam sebuah pertempuran daripada membuat tempat penyiksaan semacam ini. Tapi kita mengabdi kepada Gubernur Jenderal, bukan kepada nurani kita,” ujar Kapten Becking sambil menguap. Tak lama kemudian ia jatuh tertidur. Begitu terang tanah telah sempurna, mereka kembali bekerja membabat hutan dan mempersiapkan tanah lapang untuk keperluan tempat tinggal dan segala bangunan yang akan diperlukan nanti. Serdadu yang berjaga dan ingin melepas kejenuhan menyusuri sungai dan berburu buaya. Pada hari kelima, ketika mereka tengah siap memulai pekerjaan setelah istirahat tengah hari, mereka dikagetkan oleh suara jeritan seperti empat malam sebelumnya. Dari berbagai arah, dengan hanya berpakaian bulu burung cenderawasih dan membawa sebuah pepaya di tangan, manusia-manusia hitam bertubuh atletis itu menampakkan diri di hadapan para serdadu dan kuli paksa, mencoba menarik perhatian mereka lalu mendekat selangkah demi selangkah dengan sangat hati-hati. Kapten Becking, yang telah melakukan studi lama tentang daerah sekitar hutan ini beserta kebiasaan para penduduknya mendekati mereka dengan dada berdebar-debar. Busur, panah dan lembing mereka siap bergerak. Namun, buah pepaya yang ada di tangan para manusia hitam itu yang membuat Kapten Becking yakin mereka tak akan membuat keonaran. Dengan tangan gemetar ia mengeluarkan tembakau dari saku celanya dan dengan bahasa isyarat dari tangan dan wajahnya ia mengajak mereka menukar tembakau terebut dengan pepaya yang mereka bawa. Begitu mereka menerima tembakau dan Kapten Becking menerima pepaya, orang-orang hitam itu bersorak melegakan seluruh pendatang baru itu. Kapten Becking meminta kepada Letnan Drejer untuk mengambilkan sekantong garam dan barang-barang perhiasan kecil yang ada di gudang. Ketika benda-benda itu diberikan kepada pemimpin penghuni hutan, mereka membalasnya dengan memberikan bulu burung cenderawasih, burung-burung yang cantik, dan binatang-binatang buruan yang berhasil mereka tangkap dengan sumpit. Namun, yang paling membuat geli para pendatang baru itu adalah sikap para penghuni hutan itu kepada gramofon yang mereka bawa. Benda yang piringan hitamnya sedang berputar itu diangkat, diselidiki, dan dilihat-lihat dari segala sudut dengan penuh keheranan. “Mungkin mereka heran bagaimana suara manusia bisa muncul dari gramofon itu, Kapten,” kata anak buahnya sambil tersenyum dan tertawa terpingkal-pingkal. “Tentu. Mereka mencari bagaimana benda sekecil itu menyembunyikan manusia,” kata Letnan Drejer sambil tersenyum lebar. Setelah beberapa minggu segala persiapan awal penyambutan kedatangan para internitan yang pertama-tama di bekas hutan Digul itu selesai, secara bergelombang datanglah kaum merah yang telah gagal memberontak itu, dipisahkan dari bangsanya sendiri dan dikubur di tengah belantara untuk selamanya. Pada pendatang baru ia memperkenalkannya sebagai Tanah Merah. Siapa sangka jika pekerjaan meletihkan dan memalukan itu kemudian memaksanya berhenti dari dinas militer? Semuanya berawal ketika ia mengizinkan seorang wartawan berkebangsaan Denmark masuk ke kamp interniran dan melihat dari dekat segala hasil kerjanya. Kabarnya, wartawan itu mengambil gambar para interniran selama di dalam kapal dari Surabaya hingga sampai di Digul. Komandan kapal yang tak ingin dosa-dosa para pejabat Batavia diketahui secara luas oleh seluruh dunia merampas kamera dan menghancurkan foto-foto yang telah dibuatnya selama di kapal. Alangkah murkanya ia ketika Kapten Becking justru mengizinkan wartawan itu masuk ke kamp pembuangan. Ia juga tahu para pejabat Belanda di Merauke tak menyukai keberhasilannya membangun kamp pembuangan itu. Mereka membuat rencana busuk untuk menyingkirkanya. Suatu kali Letnan Drejer memberitahu bahwa Opsir Mon Joulah yang mengatur semua itu. “Ia sangat gila kekuasaan, Kapten,” ujar Letnan Drejer muak. Foto dari wartawan Denmark itu rupanya telah melukai kehormatan para pejabat Batavia. Mereka makin menyudutkannya atas tindakan ceroboh memasukkan wartawan ke kamp pembuangan sehingga kabar tentang kamp pembuangan itu meluas ke seluruh dunia. Saat itulah ia memutuskan untuk mengirimkan kawat ke Batavia dan mengundurkan diri dari dinas militer! Tak akan terlupakan hari keberangkatannya meninggalkan Digul. Ia berdiri di pagar kapal api, bukan lagi memandang hutan yang hijau sunyi, namun permukiman yang dibangunnya belum setahun yang lalu sembari merenungkan nasibnya. Hujan tipis membasahi baju dan rambutnya yang putih. Sokawangi, Oktober 07 Dwicipta (13 Januari 2008)
""Tanah Merah""
Aku seperti seonggok batu yang bisu di malam hari. Diam dan kaku. Tubuhku disepuh cahaya bulan. Aku duduk di gubuk sawah milik abak yang tak berdinding dan beratap daun rumbia. Udara dingin menyergap dari berbagai arah. Entah sampai berapa lama aku akan mampu bertahan dari udara malam ini. Udara malam yang mengilu kulit sampai ke semua rusuk tulang. Juga sampai ke hati, karena hati membuka diri untuk membunuh rasa sepi dan pedih tak terperi ini. Sebab bukankah kesedihan hati juga akan membuat suasana akan terkondisi? Iya. Seperti malam ini rasanya entah apa. Kesedihan menyergap dari berbagai arah. Luka serasa semakin menyiksa karena malam yang sunyi seperti sembilu yang turut melukai hati. Tapi hanya malam dan di gubuk ini aku bisa merenung diri. Menimbang-bimbang nasib. Menyesali diri, mengapa dulu pindah ke kampung halaman ini. Menyepelekan saran sahabat dan kerabat. Kini aku terperangkap dalam keputusan yang digulung adat. Mengunyah harapan dan mematikan keinginan. Di bawah langit yang berbintang, berkali-kali berkelebat wajahmu sambil menusuk sepi ini. Wahai Faraswati, adakah engkau rasakan deritaku ini ? Semua berawal dari enam bulan yang lalu. Pada sebuah perkenalan yang tak disengaja. Di atas bus ANS pertama kali aku melihatmu. Kala itu aku pulang ke Padang setelah pengajuan surat pindah tugasku dikabulkan. Kutahu engkau naik dari Bukittinggi pada pagi hari. Di kala kedua mataku masih mengantuk dan tubuh terasa penat setelah satu hari aku duduk di kursi bus itu. Entah sebuah kebetulan atau tidak. Kamu menghempaskan tubuh di tempat duduk di sebelahku. Di antara kantukku yang masih menggantung, aroma tubuhmu berputar-putar menusuk hidungku. Buru-buru aku cepat memperbaiki duduk. Merapikan pakaian yang terlihat kusut. Meraba rambut supaya tidak terlihat semrawut. Faraswati, kau tahu, di masa itu aku sebenarnya begitu gugup. Betapa tidak. Engkau muncul di sisiku seperti bidadari di pagi hari. Tubuhmu ramping. Kulitmu kuning bersih. Pakaian yang kau kenakan memperlihat lekuk tubuhmu. Maka ketika bus melaju meninggalkan terminal Bukittingi yang sempit itu, aku mulai mencari kata untuk mengenalmu. Di dalam bus yang melaju. Berlari gegas menyusuri jalan berkelok. Kuperhatikan wajahmu. Kamu seperti memikirkan sesuatu. Tatapanmu lurus ke depan memperhatikan ujung-ujung jalan yang akan dilewati bus itu. Tepat pada jalan yang agak meluncur, kamu terlihat agak susah payah mengeluarkan handphone di saku celana jeans-mu yang ketat. Lalu kamu mengutak-atik handphone-mu itu. Sepertinya kamu ingin mengirimkan pesan singkat buat seseorang. Setelah selesai kembali kau sorongkan handphone ke dalam celana jeans-mu. Dan di saat itulah, siku tanganmu menyentuh bahuku. “Maaf,” katamu pelan sambil sedikit tersenyum. “Tak apa,” jawabku pula. Lalu kamu kembali duduk seperti semula. Menatap ke depan. “Mau ke mana,” tanyaku. “Ke Padang,” jawabmu. Aku terdiam. Mencoba mencari kembali kata untuk mengajakmu berbicara. “Ke Padang tempat siapa,” begitu kataku selanjutnya. Sejenak engkau diam. Seperti mencari sebuah jawaban. “Ke rumah orangtua,” jawabmu. “Lalu di Bukittingi tempat siapa?” “Tempat kakak.” “O.” “Kalau uda dari mana?” “Dari Medan,” jawabku “Dari Medan,” katamu pelan. Lalu selanjutnya kita terus berbicara berbagai hal. Menghabiskan jam demi jam. Sampai kau ceritakan tentang dirimu yang akan segera diwisuda di Universitas Negeri Padang. Di atas bus yang menderu, kita bagai dua orang yang sudah lama cukup kenal. Aku pun tak mengerti, mengapa kita lekas begitu akrab. Ketika kamu akan turun di tempat tujuan, tidak lupa kuminta nomor handphone-mu. Esok harinya aku mencari rumahmu lewat SMS yang kau kirim. Seperti seekor kumbang dengan sayap penuh bunga aku terbang menyusuri kampungmu. Kutahu kampungmu masih dipenuhi sawah-sawah membentang. Ada jalan setapak dari simpang tiga yang menuju ke rumahmu seperti yang kau tulis lewat SMS. Setelah terbang cukup lama akhirnya aku menemukan rumahmu. Rumahmu berupa rumah panggung. Dipagari bilah-bilah bambu yang melingkar. Bunga-bunga mekar di dalamnya. Setumpuk bunga mawar yang tumbuh di dekat anak tangga memperlihatkan bunga-bunganya yang merah hati. Sewaktu kuinjak anak tangga pertama, jantungku berdebar kencang membayangkan kamu akan membukakan pintu dengan tersenyum. Tapi, ternyata tidak. Setelah pintu kuketuk, rupanya bukan kamu yang membukakan pintu. Akhirnya kutahu dia ayahmu. Badannya kekar. Berkumis tebal. Faraswati, di saat itu aku merasa sangat penakut. Namun setelah berbicara dengan ayahmu, nyatanya dia sangat baik. Kebaikannya itu pulalah yang membuat aku di hari-hari berikutnya kembali ke rumahmu. Menemuimu di setiap aku merasa seekor kumbang yang ingin hinggap pada sekuntum bunga. Hari dan bulan berlalu. Aku seekor kumbang yang semakin mabuk harum bunga. Akhirnya pada suatu malam, kita memutuskan untuk menikah. “Menikah? Dengan Siapa? Anak siapa dia, ha. Di mana rumahnya,” tanya abak setelah kunyatakan keinginanku itu. “Rumahnya di Air Dingin,” jawabku “Di Air Dingin? Ham. Bagus, berarti masih orang Minang juga. Kutakut, kau bawa pula gadis Batak itu kemari,” jawab amak. “Tidak-lah mak. Sewaktu bertugas di Medan. Sudah kutanamkan bahwa aku tak akan kawin di sana.” “Kalau memang sudah begitu, kau suruhlah orangtuanya ke mari. Biar kita buat kesepakatan.” “Iya bak.” Lalu dua hari selanjutnya kedua orangtuamu datang. Kuingat itu pada suatu malam. Di dalam kamar, di antara hati yang berbunga-bunga aku berusaha mencuri percakapan mereka. Ternyata, di malam itu, semuanya berubah. Semuanya seperti yang tidak kita duga. “Apa? Sepuluh juta?” “Ya.” “Bagaimana kalau tiga juta. Karena kami tidak punya uang sebanyak itu. Belum lagi uang untuk pesta dan membeli perlengkapan lain.” “Itu sudah sepantasnya. Kalau tiga juta itu-kan, untuk laki-laki yang tidak mempunyai pekerjaan tetap. Tapi anak kami seorang guru pegawai negeri. Kami rasa sepuluh juta itu sudah sepadan.” “Terus terang kami tidak bisa memenuhi uang jemputan sebanyak itu. Untuk saat ini kami mengalah. Uang itu terlalu besar buat kami.” Lalu tidak berapa lama kemudian kudengar kedua orangtuamu minta pamit diri. “Abak, mengapa jadi begitu. Mengapa harus ada uang jemputan sebanyak itu,” tanyaku. “Sepuluh juta itu sudah biasa buyung. Kau tahu, si Husen anak Apak Kahar yang bekerja sebagai montir Honda dijemput lima juta. Apalagi kau, seorang pegawai negeri.” “Tapi abak, aku tak butuh uang sebanyak itu. Aku punya uang untuk pesta pernikahanku.” “Ini soal adat dan harga diri buyung. Apa kata orang nanti. Masa anak seorang pegawai negeri tidak ada uang jemputan.” “Itu kan lebih bagus abak.” “Tidak. Tidak ada uang jemputan itu lebih tidak bagus. Pokoknya uang jemputannya sebanyak itu. Jika tidak, jangan harap kau bisa menikah dengannya. Kau sudah susah payah aku sekolahkan. Biayamu besar. Kau tahu.” Malam itu aku tidak bisa tidur. Aku mondar-mandir di kamar seperti orang kesurupan. Hatiku gelisah. Ruangan kamar itu berubah seperti sebuah petakan yang siap hendak menjepit tubuhku. Setelah lelah berputar, aku akhirnya menghempaskan tubuh di atas kasur. Tidak lama kemudian kuterima kiriman SMS-mu. “Uda, ayah sudah pulang dari rumah uda. Ayah sudah menceritakan semuanya. Katanya ayah tidak punya sebanyak itu. Itu memang benar. Ayah beberapa bulan yang lalu sudah menjual satu ekor sapinya untuk uang wisudaku yang lalu. Kami bukan orang kaya uda. Jadi bagaimana kami bisa memenuhi uang sebanyak itu? Aku bingung uda. Apakah kasih kita akan patah sampai di sini? Aku tunggu jawaban uda” Begitu bunyi SMS-mu yang semakin membuat mataku tak bisa dipejamkan malam itu. Kini, di malam ini aku belum juga bisa membalas SMS-mu itu. Aku tidak bisa memutuskan apa-apa. Aku tak bisa menentang abak. Aku benar-benar menjelma seperti batu. Diam dan kaku. Oh Faraswati, di bawah cahaya bulan, di dalam gubuk tak berdinding ini, kuharap kau mengerti deritaku ini. Padang 2007 Farizal Sikumbang (6 Januari 2008)
""Uang Jemputan""
Di Bandara Cedar Rapids ia tenggelam dalam kebingungan. Ke mana? Jadi bekerja sebagai asisten manajer makanan siap saji restoran Roy Rogers di Des Moines atau membantu radio pendidikan di Dubuque? Mengapa tidak pulang saja ke Tanah Air dan mencoba mengadu nasib di sana? Agel masih memiliki banyak waktu untuk mengambil keputusan karena tiket pesawat terbang belum dimilikinya. Namun, keputusan itu yang sukar diambil. Ia ingin pulang dengan alasan sederhana, home sick. Tetapi, sebagai permanent resident yang telah dua belas tahun di negeri ini, keinginannya untuk pulang hanya dengan alasan home sick adalah keinginan yang kekanak-kanakan, karena status sebagai permanent resident-nya bukanlah status yang diperoleh dengan mudah. Sayang, apabila status itu dilepas begitu saja. Membujang selama tiga tahun setelah bercerai dengan istrinya, Shelley, yang membawa kedua anaknya, telah membuat Agel kehilangan arah yang dituju. Ia berhenti sebagai supervisor di toko pakaian JC Penney tempatnya bekerja selama lima tahun. Kemudian ia berkeliling ke beberapa kota untuk membuang kekecewaan yang terus melilitnya. Perceraian itu sangat berat baginya. Akhirnya, ia kembali ke Iowa City tempatnya bermukim sebelum berkeliling ke beberapa kota itu. Hanya satu minggu ia betah di sana, kota kecil yang pernah menjadi tempat tinggalnya selama sepuluh tahun. Ia memutuskan pindah ke kota lain di negara bagian itu. Lalu, mengapa ia ke Bandara Cedar Rapids. Bukankah untuk pergi ke Des Moines atau Dubuque ia dapat menggunakan jalan darat? Lalu, benarkah masih tersedia lowongan di radio pendidikan di Dubuque atau posisi asisten manajer di Roy Rogers? Agel tidak mengetahuinya dengan pasti. Ini yang membuatnya didera rasa bingung di Bandara Cedar Rapids. Akhirnya, keputusan itu diambilnya setelah dua jam terombang-ambing. Ia harus pulang ke Jakarta. ”Sebenarnya aku terkejut sekali mendengar kau bercerai dengan Shelley setelah enam tahun menikah,” Mangasa menyadarkan Agel dari lamunannya. Mangasa memang menyesal karena dialah yang memperkenalkan Agel dengan Shelley, teman kuliahnya. Ketika hubungan kedua makhluk Tuhan tersebut semakin erat, Mangasa juga mendorong mereka untuk mengabadikan hubungan erat itu dalam ikatan perkawinan. Ketika Mangasa kembali ke Tanah Air, Agel masih harus kuliah satu tahun lagi untuk menyelesaikan pendidikannya. Satu tahun setelah pendidikannya selesai, pada saat Agel menikahi Shelley, Mangasa tidak berada di dekat mereka. ”Tak ada yang perlu disesali, Mangasa,” ujar Agel tenang dengan suara datar. Hawa sejuk menusuk mereka yang duduk di atas tumpukan papan di depan Stasiun Sasaksaat itu. Ratusan orang di sekitar mereka dengan tenang menunggu kedatangan bus yang akan mengangkut mereka ke stasiun berikutnya. Karena deretan gerbong kereta api dari Jakarta anjlok antara Sasaksaat dan stasiun berikutnya, kereta api yang baru mereka tumpangi tidak dapat melanjutkan perjalanan dan akan kembali ke Bandung. Untuk mengangkut penumpang yang menunggu di Stasiun Sasaksaat menuju stasiun berikutnya, perusahaan kereta api menyediakan beberapa bus. Itulah yang mereka tunggu. Tiga puluh menit telah berlalu dan bus yang ditunggu belum juga muncul. ”Aku juga sangat menyesal memintamu pulang, karena pulang itu sendiri tidak ada manfaatnya bagimu. Semula aku mengharapkan kau dapat memuaskan rasa rindumu akan kampung halaman di samping melupakan perceraian yang tidak pernah kau inginkan itu.” Agel menarik napas. Suara Mangasa terdengar aneh di telinganya. Suara itu seakan datang dari jauh, dari suatu tempat yang tidak dikenalnya. Lalu, mengapa kata-kata Mangasa itu didengarnya di Sasaksaat, sebuah kota atau desa kecil yang terletak antara Bandung dan Jakarta. Mengapa ia menyatakan penyesalannya di Sasaksaat, bukan di Jakarta atau Bandung? Lalu mengapa Mangasa mengatakan begitu, setelah satu bulan Agel berada di kampung halaman, bukan ketika mereka pertama kali bertemu setelah beberapa tahun berpisah? Ah, di mana pun ia boleh mengungkapkan penyesalannya itu. Bahkan, sebenarnya ia tidak perlu mengemukakan penyesalannya, hanya karena dia yang memperkenalkanku dengan Shelley. Agel menggumamkan itu kepada dirinya sendiri. Karena itu pula Agel tidak ingin jika Mangasa terus dibebani dengan perasaan berdosa yang sebenarnya bukan miliknya itu. Itulah sebabnya Agel mencoba mengalihkan pembicaraan. ”Setelah Obama menang di kaukus Iowa, apakah kau pikir jalannya akan mulus menuju Gedung Putih?” Agel bertanya kepada Mangasa. ”Wah, aku tidak tahu. Berita surat kabar tentang pemilu presiden Amerika itu jarang aku baca. Kita harus melihat dulu apakah Obama akan terus memperoleh nilai baik di negara-negara bagian lain.” ”Aku tidak yakin ia dapat begitu saja masuk ke Gedung Putih. Ia berkulit hitam. Masalah warna kulit ini tidak dapat disepelekan karena ini salah satu faktor penentu.” ”Masih belum berubah pendapatmu tentang warna kulit ini, Agel?” ”Belum. Semakin lama aku di sana semakin kuat keyakinanku akan hal itu. Obama akhirnya akan menjadi pecundang. Orang kulit hitam jangan berharap terlalu banyak dalam pemilu kali ini.” ”Kau yakin?” ”Tiga ratus persen.” Pembicaraan tentang pemilu presiden Amerika berhenti setelah kalimat itu. Mangasa mengembalikan Agel ke benua berempat musim itu. ”Seandainya kau harus memilih, ke mana pilihan kau jatuhkan. Menjadi asisten manajer di Roy Rogers atau menjadi pengantar acara di radio pendidikan di Dubuque?” ”Keputusan tentang itu yang sangat sukar kuambil. Mungkin aku memilih Roy Rogers, mungkin radio pendidikan atau mungkin pula tidak kedua-duanya.” Setelah itu Agel memberi isyarat agar Mangasa jangan bertanya dulu karena telepon selulernya berdering. Ia mengambil telepon seluler itu dari saku celananya, melangkah menjauhi Mangasa dan memulai pembicaraan dengan seseorang di ujung sana. Pembicaraan berlangsung serius lebih kurang sepuluh menit. Setelah selesai bertelepon, Agel tidak langsung kembali ke tempatnya semula, walaupun Mangasa masih tetap berada di sana. Agel lebih dulu berjalan pelan-pelan di antara para penumpang yang sedang menunggu bus, sambil sesekali memandang ke arah perbukitan di sekitar mereka. Ketika Agel menghampiri Mangasa, wajahnya kelihatan cerah. Bersamaan dengan itu, lima buah bus datang beriringan. Semua penumpang kereta api naik ke atas bus dengan tenang, tidak berebutan, karena kelima bus tersebut dapat menampung semua penumpang tanpa harus duduk berdesakan. Mangasa membaca e-mail tersebut dengan tenang. ”Dalam penerbangan dari Bandara Soekarno-Hatta ke Cedar Rapids, aku benar-benar tidak dapat tidur sepicing pun. Aku ingin segera tiba di Dubuque dan memeluk kedua anakku, setelah tiga tahun tidak pernah bertemu dengan mereka. Selama ini kontakku dengan Shelley terputus dan aku tidak tahu di mana mereka. Tetapi, setelah Shelley meneleponku di Sasaksaat itu, barulah aku tahu di mana mereka.” Mangasa tidak percaya pada yang tertulis di depan matanya. Ia mengulangi kalimat terakhir yang baru dibacanya. Tidak salah lagi, Agel menyebut Sasaksaat. ”Memang aku keterlaluan. Seharusnya aku bercerita kepadamu bahwa yang meneleponku di Sasaksaat itu adalah Shelley, bekas istriku. Begitu ia tiba di Jakarta, ia segera menghubungi adikku dan menanyakan nomor telepon selulerku, kemudian mengontakku just to say hello. Ia juga ingin bertemu denganku di Jakarta.” Agel akhirnya memang bertemu dengan bekas istrinya itu. Shelley yang bekerja di sebuah Savings and Loan Association di Dubuque kebetulan bertugas dua bulan di Jakarta. Ia meninggalkan Michael dan Ciko di Dubuque bersama nenek dan kakek mereka. Semula Shelley berupaya menelepon Agel sebelum meninggalkan Dubuque. Kontak tidak terjadi karena Agel telah mengubah nomor telepon selulernya. Bahkan, Shelley sebenarnya tidak tahu bahwa Agel sedang berada di Jakarta. Pertemuan di Jakarta itu berlangsung seperti pertemuan dua teman lama. Shelley menanyakan kabar Agel, begitu pula sebaliknya. Shelley bercerita tentang anak-anak mereka yang telah berusia 6 dan 5 tahun. Kedua anak itu bandel, lucu, dan sehat. Mendengar itu Agel mengemukakan hasratnya untuk bertemu dengan Michael dan Ciko. ”Kapan kau pulang?” tanya Shelley ”Minggu depan,” sahut Agel. Shelley memberikan alamat kedua orangtuanya di Dubuque dan ia berjanji akan menelepon kedua orangtuanya tentang rencana kedatangan Agel itu. Semua ini dikisahkan Agel dalam surat elektroniknya kepada Mangasa. ”Betapa menyenangkan, Mangasa. Setelah tiga tahun kehilangan kontak akhirnya aku menemukan kembali Shelley dan kedua anakkku. Michael yang ketika kutinggalkan berusia 3 tahun dan Ciko 2 tahun segera memelukku ketika bekas ibu mertuaku menjelaskan siapa aku. Kedua bekas mertuaku juga menyambutku dengan hangat sekali. Shelley benar, kedua anakku sejak lama menanyakan keberadaanku dan sejak lama pula Shelley berusaha mencari alamatku.” Sampai pada kalimat tersebut Mangasa tersenyum. Ia turut berbahagia mendengar kisah yang dirangkum Agel dalam kalimat- kalimatnya itu. ”Semula, dengan isyarat yang diberikan Shelley ini, aku berharap kami akan bersatu kembali untuk untuk menempuh kehidupan yang baru. Tetapi harapanku itu sirna ketika kedua bekas mertuaku mengatakan, Shelley akan menikah dengan Burt Tennison, orang paling kaya di Dubuque yang juga pemilik stasiun radio pendidikan yang dulu membuka lowongan untukku. Aku bahagia bertemu dengan kedua anakku dan kedua bekas mertuaku, tetapi aku sangat kecewa dengan kabar yang mereka sampaikan.” Mangasa berhenti membaca surat itu. Ia juga kecewa dan bersimpati kepada Agel. Apalagi ia tahu, perceraian Agel dan Shelley terjadi karena dipicu oleh hal yang sangat sepele. Agel ingin memberikan nama Mangasa, namaku, kepada anaknya yang pertama yang kini bernama Michael itu. Shelley merasa tersindir dan prasangka muncul. Ia merasa Agel mencurigai hubungannya denganku sebagai hubungan yang lebih jauh daripada sekadar hubungan biasa sesama teman kuliah. Agel berusaha meyakinkan Shelley bahwa ia sama sekali tidak mencurigai hubungan kami, apalagi aku adalah sahabatnya tempatnya berutang nyawa. Ia berkali-kali menjelaskan kepada Shelley bahwa aku telah menyelamatkan nyawanya ketika ia terbawa arus di Sungai Asahan di Sumatera, ketika sebagai pelajar SMA kami melakukan ekspedisi ke sana. Agel memberikan nama Mangasa kepada anaknya semata-mata karena persahabatan kami yang tulus. Namun, Shelley tidak dapat menerima penjelasan itu dan perceraian akhirnya tak terelakkan. Karena itu Mangasa tidak dapat memahami mengapa ketika Shelley di Jakarta ia menelepon Agel dan ingin sekali bertemu dengan bekas suaminya itu. Mungkin, akhirnya ia sadar dan merasa menyesal. ”Mangasa, aku benar-benar telah memutuskan tidak akan bermukim di Dubuque. Aku akan pulang ke kampung halaman. Tapi bukan ke Jakarta atau Bandung. Mungkin ke sebuah kota atau desa kecil seperti Sasaksaat. Aku tidak tahu mengapa aku mengambil keputusan seperti itu.” Kalimat-kalimat dalam surat elektronik tersebut berakhir di sana. Jakarta, 30 Januari 2008 Sori Siregar  24 Februari 2008
""Dubuque""
”Mas, ayo, sudah setengah delapan, lho…,” suara itu terdengar lembut meskipun ada nada khawatir ketika mengucapkan ajakan itu. Laki-laki yang masih mencangkung dengan sebatang kereteknya itu menoleh sesaat. Sepasang matanya menatap perempuan yang menyapanya. Yang ditatap merasakan kekosongan. Sepasang mata itu seperti lorong panjang dan gelap tak berlampu; seperti jalan yang dulu sering dilaluinya. ”Sampean sakit?” tanya perempuan itu. Si lelaki menjawab dengan gelengan kecil. Tak lama kemudian dia membuang rokoknya, bangkit dan berjalan masuk. Di dalam ruangan sempit itu bau bedak menusuk hidung. Celoteh di sana-sini menebar. ”Lho, Prabu Danaraja kok masih pakai sarung…,” mungkin itu suara Kemit yang malam itu sudah siap dengan kostum Bilung. Perempuan yang tadi memanggil si lelaki, dan mengikuti langkahnya tepat di belakangnya, memberi isyarat kepada orang yang nyeletuk tadi agar ’jangan mengganggu’. Beberapa pasang mata yang sempat menyaksikan ’kode’ itu bertanya-tanya dalam hati. Kemudian ada bisik-bisik dalam bisu. Ada gerak-gerik tanya jawab lewat tatapan mata. Di luar panggung, Yu Marni sudah nembang. Gamelan sudah berbunyi, dan satu dua penonton sudah duduk manis di kursi masing-masing; tentu saja dengan sebungkus kacang rebus atau rokok yang mengepul di antara jari. Kang Siman, si pengendang dengan nikmatnya ’ciblon’ riang membangkitkan semangat. Penonton mengalir dan memilih kursi-kursi yang masih kosong. Laki-laki itu kini sudah selesai memoles wajahnya. Sejenak ditatapnya wajah di cermin itu. Dada, lengan hingga leher, menguning oleh lulur, menutupi beberapa bercak panu yang mengembang di sekitar tengkuk. Dia tinggal mengenakan mahkota. Seharusnya, malam ini aku Rahwana, bukan Danapati, begitu pikirnya. Ada gerakan melumat di gerahamnya. Apakah karena dia lebih tinggi besar, kemudian terpilih menjadi Rahwana? Laki-laki itu seperti mengutuki malam. Tanpa disadarinya, Rahwana sudah berdiri di sampingnya. ”Mas?” Teguran itu membuat Danaraja terkejut. Matanya menatap, seperti mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa yang di depan matanya adalah sosok yang nyata. ”Mas? Masih mumet?” tegur Rahwana dan itu membuat Danaraja yakin bahwa dirinya tidak bermimpi. Benar, beberapa hari ini sakit kepalanya serasa meremukkan tengkorak. Kemarin malam, dia bahkan tak mampu membuka kelopak matanya. Setiap denyut jantung, seperti dentuman mesin pemasang tiang-tiang pancang gedung. Sesaat kemudian Danaraja tersenyum. Tampak pahit di mata Rahwana. ”Kalau sampean mau, masih ada waktu….” Apa maksudnya? Tukar peran? Ah, bukankah kau kini raja yang berkuasa? Bagaimana mungkin kau mau bertukar peran dengan orang yang bakal mati? ”Sudah. Kita jalani saja peran kita masing-masing…,” ucapnya mencoba meredam gejolak batinnya. ”Jujur saja, saya kurang pas dengan peran ini…,” tambah Rahwana sambil meraih bangku kecil, kemudian duduk di samping Danaraja. ”Biar nanti penonton yang menilai….” ”Biasanya, kan, Mas Kadi, penonton menunggu Rahwana yang itu, bukan yang ini,” ujar Rahwana sambil menatap bayangan di cermin. Meski remang-remang, kedua orang itu bisa menyaksikan dua wajah hampa memantul di cermin retak yang sudah entah berapa lama menemani mereka. ”Bener, lho, Mas, kalau sampean mau, saya masih bisa jadi Danaraja.” ”Dik, ini sudah talu. Adegan pertama, kan bukan wilayah Lokapala, tetapi justru Ngalengka. Kamu harus kiprahan di adegan awal dan ini tinggal beberapa menit lagi. Sudah. Kita jalani apa yang sudah jadi bagian masing-masing.” Rahwana menghela napas. Danaraja mengenakan mahkotanya, sedikit mematut diri, lalu beranjak pergi. Gending bertalu-talu, mengiringi gerak tari para raksasa kerajaan Alengka. Namun semuanya seperti jauh terbawa angin kemarau, di telinga Mas Kadi. Dia di halaman belakang panggung, yang hanya satu meter dari bibir kali mampet. Mata Mas Kadi menatap langit hitam berbintang. Bau busuk kali mampet menusuk hidungnya. Haruskah dia menyalahkan Ki Purwo, dalang dan pemilik rombongan Wayang Wong ”Ngudi Budhaya” yang kini sekarat, setelah hampir 30 tahun mendenyutkan kesenian? Tidak. Orang tua itu sudah seperti bapak baginya, juga bagi hampir 100 orang anggota rombongan itu. Tentu Ki Purwo punya pertimbangan. Tetapi mengapa, pertimbangan yang selama ini bisa diterimanya, kali ini begitu menyakitkan? Mungkinkah sebetulnya dia mengetahui sesuatu yang tidak diketahui oleh orang lain? Mas Kadi mengeluarkan sebatang keretek. Dua puluh lima tahun dia menjadi Rahwana, jika itu mengambil pakem Ramayana, atau Baladewa, jika mereka mementaskan pakem Mahabarata. Dua peran yang sangat dikuasainya dengan baik. Dan malam ini adalah malam pertama dia tak berperan sebagai Rahwana. Lakon Kembang Dewaretna, yang disajikan malam ini, menuntutnya berperan sebagai Prabu Danaraja, yang akan berperang melawan Rahwana dan mati di tangannya. Rohnya diangkat ke suralaya dan mendapat tugas khusus sebagai penjaga Kembang Dewaretna; bunga bagi kelangsungan hidup para kera di dunia. Mas Kadi menghela napas. Mengapa dia harus mau ’kalah’ dalam hidupnya malam ini. Bukankah pembunuhan atas Wisrawa lantaran pertapa tua itu (yang adalah ayahnya sendiri) menikmati ranumnya Dewi Sukesi—dara yang seharusnya menjadi istri Danaraja? Sebagai raja besar, Danaraja ’kalah’ oleh kehebatan ayahnya sendiri. Mengapa dia tak berani melamar Sukesi dengan kekuatannya sendiri? Mengapa dia masih meminta bantuan ayahnya yang renta? Ketika Rahwana lahir dari rahim Sukesi dan menuntut balas atas kematian ayahnya, Danaraja harus berperang melawan Rahwana dan …ah, petaka seperti sudah dirangkaikan kepadanya. Selalu kalah. Tetapi kapankah dirinya pernah menang dalam hidup ini? Mungkin ada, mungkin ada…. Rahwana merangsek kerajaan Lokapala. Pasukannya menggempur habis kerajaan besar itu. Raksasa Alengka melawan raksasa Lokapala. Kematian di kedua pihak tak terhitung. Giman jadi raksasa pikun, ketika perang lupa, mana musuh mana kawan. Penonton terbahak, bahkan ada yang terkentut-kentut. Penonton tak peduli apakah Giman sedang berperan atau benar-benar lupa. Yang disajikan menuntut gelak tawa, itu saja. Danaraja terpaku di belakang pengerek layar. Disaksikannya Begawan Wisnungkara, seorang pertapa raksasa dari Lokapala, mati ditebas pedang Rahwana. Wisnungkara, raksasa hitam, kerabat Batara Wisnu yang membimbing bangsa Asura dalam hal kemanusiaan, telah mati. Kemanusiaan telah mati. Apakah Danaraja membiarkan keadaan ini? Kerajaan Lokapala diselimuti kabut. Gesekan rebab mengalunkan tlutur membalur suasana hati Danaraja. Penonton terdiam. Mereka seakan menyaksikan sosok manusia menghadapi sakaratul maut, yang sesaat lagi akan merenggut nyawa. ”Danaraja, kakakku, tentu kau tahu kedatanganku?” ”Rahwana, apakah kau pikir aku akan menyerahkan begitu saja nyawaku kepadamu?” ”Lokapala hancur. Buka matamu, Danaraja.” ”Pandang aku baik-baik, Rahwana. Danaraja adalah raja besar, bahkan jauh sebelum kau dilahirkan. Ingatlah, kau dilahirkan oleh keserakahan dan nafsu manusia ….” Mas Kadi tersengal-sengal, kepalanya mendenyut. Danaraja tak boleh mati. Rahwana harus mati. Tak boleh ada orang lain yang menggantikan Rahwana. ”Akulah raja besar itu, Rahwana. Kau hanyalah anak dari seorang perempuan yang gampang telanjang di hadapan laki-laki. Kau adalah anak yang tak seharusnya lahir. Kau….” Rahwana terbengong-bengong. Penonton gelisah. Ki Purwo tercekat, dan belum lagi dia memukul kotak sebagai tanda dimulainya iringan sampak, Danaraja sudah menyerang Rahwana. Penabuh gamelan sesaat bingung, namun segera membunyikan gamelan tanpa komando sang dalang. Seharusnya, perang tanding itu diiringi Kembang Kapas; sebuah gending mencekam dan terasa pedih. Karena bukankah mereka adalah saudara seayah? Tetapi semua menjadi lain. Tak ada yang mampu mengubah apa yang begitu saja terjadi di panggung. Tak ada yang bisa mengulangi adegan di panggung yang sedang berlangsung. Maka, bahkan sang dalang sendiri tak tahu ke mana alur cerita berjalan. Danaraja berhasil merebut pedang Rahwana dan bahkan nyaris menikamkannya ke tubuh raja Alengka itu. Rahwana berkelit dan melompat ke dalam. Layar turun. Gamelan bertalu-talu. Layar dibuka buru-buru, para dewa berkumpul. Seharusnya mereka membicarakan sukma Danaraja yang akan diberi tugas menjaga Kembang Dewaretna. Akan tetapi, mereka bingung, karena yang berlari melintas dengan tiba-tiba tanpa iringan gamelan adalah Rahwana. Lebih terkejut lagi, karena mereka menyaksikan Danaraja mengejar dengan pedang terhunus. ”Akan kau sembunyikan di mana dia? Dia harus mati di tanganku. Akulah yang paling berkuasa saat ini!” Narada bingung, bisik-bisik kepada Batara Guru bahwa itu adalah dialog yang seharusnya diucapkan Rahwana, bukan Danaraja. Namun penonton bersorak girang, bersuit-suit menandakan senang. Danaraja menjadi Rahwana. Mereka mendapatkan tokoh idola mereka muncul sebagai Rahwana yang berpakaian Danaraja. Siapa peduli Mas Kadi adalah Rahwana sejati meski dia mengenakan pakaian Danaraja. ”Aku Danaraja, tak menghendaki Rahwana. Dia harus mati di tanganku. Yang Mulia Batara Guru, aku ingin mendengar sabdamu,” tantang Danaraja. Penonton terdiam. Semua beku, tak terkecuali Batara Guru. ”Kalian hanya diam ketika menyaksikan kelaliman merajalela. Kalian bersembunyi di balik nasib lakon manusia, sementara kalian menuntut kepatuhan manusia. Aku Danaraja. Aku Danapati, menuntut kalian untuk turun takhta.” Penonton bersorak, seakan baru menyadari telah menemukan sesuatu yang selama ini mereka cari. Sunyi sekali malam ini. Hanya bau busuk kali mampet di belakang panggung, menebar mengisi kelengangan malam. Mas Kadi masih duduk, dengan pakaian Danaraja namun tanpa mahkota, dengan sebatang keretek di tangannya. Dia tak bisa lagi merasakan apa-apa. Dia menjadi Danaraja yang Rahwana dan memenangi peperangan. Dia sendiri tak tahu mengapa keinginannya menjadi Rahwana, yang tadi meluap-luap, ketika di hadapan ’para dewa’ berubah menjadi sesuatu yang tak dia kehendaki. Entah mengapa dia hanya merasakan kesunyian kian menganga. Inikah perasaan menang yang selama ini diimpikannya? Tepuk tangan dan kepuasan penonton memang sempat membuatnya terlambung, namun setelah itu hanya kesunyian yang setia menemaninya. Mungkin saat ini dia sudah menjelma menjadi penjaga Kembang Dewaretna, kuntum bunga yang menjaga kehidupan para kera. Mungkinkah ini lakon yang harus dilakoninya? Pinang, 982 Yanusa Nugroho (17 Februari 2008)
""Kembang Dewaretna""
Di bingkai jendela rumah gadang, Kalan menatap jauh ke halaman. Gelap yang terpampang. Sebuah panorama kelam dari malam yang menerjang. Segelap hatinya yang berselimut gundah. Getir. Ngilu. Dan serasa ada sayat yang tak putus-putus membuat dadanya tak henti dari kecamuk. Pikirannya kusut. Sebulan yang lalu, setelah percintaannya yang panjang dengan Darti, perempuan berambut lebat yang bekerja sebagai pelayan toko dengan gaji yang teramat minim, akhirnya mereka memutuskan untuk menikah. Tak ada yang dapat mereka janjikan, sebagaimana mereka tidak bisa membuat komitmen apa-apa selain hidup yang sederhana. ”Setelah menikah, kita bisa tinggal di rumah kecil milik ibu,” ucap Kalan pada Darti satu ketika. ”Karena mengontrak rumah adalah sebuah beban yang sulit kita tanggung. Belum lagi tagihan listrik. Beli beras. Minyak. Sambal. Sabun. Iuran keamanan. Iuran ini. Iuran itu. Banyak lagi. Aku sudah bicarakan semua itu pada ibu, dan ibu sangat mengerti dengan keadaan kita,” terang Kalan sejelas mungkin, berusaha untuk meyakinkan Darti dengan pendapatnya. Darti hanya menurut waktu itu. Mengikuti kehendak calon suaminya yang hanya tukang ojek. Karena bagaimanapun, angsuran motor yang harus dibayar tiap bulan tentu sebuah kondisi yang amat rumit untuk hidup lebih sejahtera, apalagi bila mengontrak rumah. Darti memahami semua itu. Sebab itu pulalah ia tak menuntut apa-apa, selain getar cinta yang telah lama mereka pertahankan, serta sedikit kebahagiaan yang diimpikan. ”Tidak masalah. Kalau kalian mau tinggal di rumah kecil tersebut, silakan. Toh, rumah itu milik ibu,” jawab ibu ketika kuutarakan keinginan untuk tinggal di rumah kecil tersebut. ”Tapi bagaimanapun, kalian tentu harus membenahinya agar layak untuk dipakai. Karena orang yang dulu mengontrak rumah itu membiarkan saja rumah berantakan. Atapnya sudah banyak yang bocor. Dinding-dinding juga bolong. Dapur kotor. Catnya sudah kusam. Dan lagi rumah tersebut belum ada kamar mandi,” tambah ibu menjelaskan keadaan rumah kecil tersebut. Tapi Kalan dan Darti telah sepakat untuk menempati rumah kecil itu. Daripada mengontrak, itu pikiran mereka. Mencari rumah sewa sangat susah. Dan lagi tak ada sewa rumah yang murah saat ini. Belum lagi jarak Darti dari tempatnya bekerja dan jarak Kalan dari tempat mangkal ojeknya adalah hal yang mesti dipertimbangkan. Belum lagi kerukunan bertetangga dengan lingkungan baru. Pada kesimpulannya, rumah kecil ibu adalah sebuah pilihan yang strategis bagi mereka. Tekad Kalan dan Darti sudah bulat. Setelah pernikahan yang tanpa pesta perkawinan, mereka pun pindah ke rumah kecil itu. Meski ada beberapa barang-barang rumah tangga yang masih bisa dipakai yang tertinggal di rumah itu, seperti dipan tua, tikar pandan, rak piring yang sudah reyot dan sebuah lemari usang, tapi tentulah tidak mencukupi untuk sebuah keluarga baru yang belum memiliki apa-apa. ”Kita harus beli piring dan gelas.” ”Kita harus buat kamar mandi.” ”Kita harus ganti atap yang bocor.” ”Kita harus tambal dinding-dinding yang bolong.” ”Cat.” ”Loteng.” ”Oya, periuk dan kuali. Sekaligus sendok.” Ada saja yang diucapkan Kalan setiap malam, setiap mereka akan menjelang tidur setelah keletihan bekerja. Darti setuju. Sangat setuju. Bukankah yang akan diperbaiki dan dibenahi adalah rumah yang sekarang milik mereka. Maka mulailah setiap hari mereka menyisihkan uang untuk mengangsur membenahi rumah kecil itu. Kalan menyisakan waktunya. Pulang ngojek lebih cepat dari waktu biasa. Mengerjakan sendiri semua perbaikan rumah daripada mengeluarkan upah. Atap yang bocor mulai diperbaiki. Dinding-dinding yang bolong ditutup. Dapur diperlayak. Kamar mandi sederhana dibuat. Semua perlahan-lahan berjalan sesuai kemampuan mereka hingga rumah kecil itu mulai terlihat sebagai sebuah rumah. Apalagi ketika mereka mulai mengecat rumah dan pagar yang terbuat dari belahan-belahan bambu, serta Darti yang pada hari-hari libur mulai bertanam bunga. ”Rumah masa depan,” begitu kata Kalan bercanda karena puasnya. ”Rumah mungil yang lucu,” balas Darti girang. ”Wah, ibu tidak menyangka rumah kecil ini akan menjadi bagus dan mungil seperti ini,” ucap ibu ketika diajak Kalan berkunjung. ”Dulunya rumah ini tidak lebih dari sebuah gubuk tua yang suram. Seram bagai hantu. Tapi sekarang, ibu pun seolah ingin menempatinya,” tutur ibu tidak kalah riangnya. Wajah Kalan dan Darti sumringah dengan pujian ibu. Tidak sia-sia mereka bekerja keras untuk mewujudkan impian melihat rumah yang pantas untuk sebuah keluarga. Kalan menjelaskan pada ibu, bahwa masih banyak yang akan ia tambah agar rumah kecil itu lebih sempurna. Kalan akan melotengnya. Membeli karpet plastik yang murah. Mengganti pintu yang keropos. Dan banyak lagi yang akan dilakukannya sebagai target ke depan. Kalan tak bisa menyembunyikan kegembiraan menceritakan semua rencananya pada ibu. Tapi di bingkai jendela rumah gadang, Kalan menatap jauh ke halaman. Gelap yang terpampang. Sebuah panorama kelam dari malam yang menerjang. Segelap hatinya yang berselimut gundah. Getir. Ngilu. Dan serasa ada sayat yang tak putus-putus membuat dadanya tak henti dari kecamuk. Pikirannya kusut. Tadi siang mamak (paman laki-laki) berpesan pada ibu agar Kalan menemaninya nanti malam di rumah gadang (rumah induk kaum tempat segala permasalahan dirundingkan). Kalan tidak mengerti apa yang akan dibicarakan mamak kepadanya. ”Duduklah,” kata mamak begitu Kalan sampai di atas rumah gadang. Kalan tidak sabar menunggu apa yang akan diutarakan mamak kepadanya, karena tidak biasanya wajah mamak seserius itu setiap bertemu. ”Ada apa, Mak?” tanya Kalan berusaha untuk tenang, meski ia tidak bisa berdusta bahwa sesungguhnya hatinya berdebar-debar. Sebab yang Kalan tahu, bila mamak memanggil salah seorang dari anggota kaum, tentu ada perihal yang penting untuk dibicarakan. ”Mamak berharap kamu tidak salah paham, Kalan. Tapi bagaimanapun kamu harus mengerti, sebab ini juga menyangkut adat kita.” Tiba-tiba ibu datang dari dapur membawa dua gelas kopi panas, lalu duduk di sebelah Kalan. Mamak berhenti sejenak. Kalan semakin tidak sabar. Sebatang rokok keretek yang ia selai tak cukup mampu untuk menghilangkan gundahnya. ”Maksud Mamak?” Kalan mengembuskan asap ke udara. Mamak memperbaiki sila. Mengeluarkan daun enau dari kantong baju, memasukkan tembakau ke dalamnya, lalu menggulungnya. Sebatang korek api pun ia cetuskan. Asapnya mengepul di seputar ruangan rumah gadang bercampur dengan asap rokok keretek Kalan. Bergulung. Membentuk lukisan-lukisan samar. ”Tentang rumah kecil milik ibumu, Kalan.” Kalan menaikkan alis tidak mengerti. Ia menoleh ke arah ibu yang duduk di sampingnya. Tapi ibu diam saja. ”Rumah tersebut memang milik ibumu. Ibumu yang membangunnya dulu. Tapi rumah itu didirikan di atas tanah pusaka, tanah milik kaum kita. Ah, kamu tentu paham maksud Mamak,” kata mamak melanjutkan. ”Jelaskan saja, Mak,” Kalan menyerobot penasaran. Mamak menghela napas. ”Kalan, tidak biasa anak laki-laki di kampung kita ini menempati tanah kaumnya. Setiap laki-laki yang sudah punya istri akan pergi ke rumahnya yang baru, atau tinggal di rumah istrinya. Nah, bila kamu menempati rumah kecil milik ibumu itu, apa kata orang nanti. Apa kamu tidak malu digunjingkan orang sekampung?” ”Tapi, Mak?” ”Iya, Mamak mengerti. Makanya Mamak katakan, kamu jangan salah paham. Dan satu hal lagi yang perlu kamu ketahui, kemenakanmu banyak yang perempuan. Mereka lebih punya hak untuk menempati rumah itu. Ini sudah kewajiban Mamak untuk mengatakan. Kamu pikirkan dan pertimbangkanlah baik-baik,” ucap mamak akhirnya memutus pembicaraan. Meninggalkan Kalan yang terpana tanpa berkata apa-apa. Meninggalkan rumah gadang dalam keheningan. Juga ibu yang tak mampu bersuara. Di bingkai jendela rumah gadang, Kalan menatap jauh ke halaman. Gelap yang terpampang. Sebuah panorama kelam dari malam yang menerjang. Segelap hatinya yang berselimut gundah. Getir. Ngilu. Dan serasa ada sayat yang tak putus-putus membuat dadanya tak henti dari kecamuk. Pikirannya kusut. Kalan merasa tidak mampu menemukan kalimat yang tepat, sungguh tidak bisa, apa yang akan dikatakannya nanti pada Darti tentang semua itu? Payakumbuh, Januari 2008 Iyut Fitra (10 Februari 2008)
""Rumah untuk Kemenakan""
Ya, jika pada malam yang liar dan panas, kekasihmu tiba-tiba menusukkan moncong pistol ke lambungmu, sebaiknya dengarlah kisah brengsekku ini Segalanya begitu cepat berubah setelah Khun Sa meninggal. Aku, boneka kencana Raja Opium Segitiga Emas yang disembunyikan dan kelak kau kenal sebagai Zita, memang tidak mungkin mengikuti upacara kremasi bersama-sama gerilyawan Shan. Aku tak mungkin mencium harum abu kekasih atau sekadar membayangkan mati perkasa dalam amuk api percintaan. Aku juga tak mungkin berjalan tertatih-tatih di belakang keranda dan mencoba menembakkan pistol di jidat sebelum kekasih lain mempertontonkan kesetiaan hanya dengan menangis sesenggukan. Sejak 1996 yang menyakitkan, Pangeran Kematian memang menyuruhku menghilang ke Prancis. Ia yakin benar Mong Thay Army, serdadu kepercayaannya, tak mungkin bisa melindungiku dari kekejaman para petinggi junta, sehingga memintaku menyingkir ke negeri yang tak terjangkau oleh bedil dan penjara Burma. ”Bukankah kau ingin sekali bertemu dengan Maria di Lourdes? Bukankah kau ingin mendapatkan tuah Bernadette Soubirous?” Tak memilih tanah indah bagi para peziarah itu, sambil memanggul kekecewaan yang teramat sangat, aku terbang ke Lyon. Di kota penuh katedral itu, ia membelikan aku rumah kuno dan segera kusulap bangunan mirip kastil seram milik Pangeran Kelelawar itu menjadi hotel sederhana. Jika suatu saat tersesat di Jalan Saint Michel, percayalah, kau akan menemukan aku dan Anjeli, adik perempuanku, mengelola hotel untuk para turis miskin itu. ”Di negeri Napoleon, kau tak perlu berbisnis heroin lagi, Zita. Percayalah, sampai aku mati, hotel itu akan tetap berdiri.” Tanpa ia berkata semacam itu, aku memang berniat membebaskan diri dari apa pun yang mengingatkan aku pada segala yang kulakukan bersama 25.000 serdadu di hutan perbatasan Thailand, Laos, dan Burma. Aku tak ingin lagi dikejar-kejar oleh para cecunguk sialan yang mau dibayar murah untuk memenggal kepalaku. Jika harus membela bangsa Shan, aku tak ingin lagi mengirimkan serbuk iblis ke berbagai penjuru dunia. Ya, ya, aku toh bisa menggunakan cara lain untuk menghabisi para serdadu bengis itu Kerling mata, jari lentik, dan gairah yang meletup-letup saat aku menari, kurasa cukup menjadi senjata. Hanya, aku heran mengapa ia tak mengembalikan aku ke Dhaka. Ke kota kali pertama ia memungutku saat aku bermain-main dengan Anjeli di Sungai Buriganga setelah banjir muson reda. Aku masih ingat pada 1971—saat kotaku menjadi ibu kota Banglades—Khun Sa meminta ayahku, Ghuslan, agar mengurus bisnis heroin di perbatasan Thailand-Burma. Karena tak ingin berpisah dari keluarga, ayah mengajak ibu dan kedua anak perempuan bergabung. ”Masa depan kita bukan di negeri ini,” kata ayah kepada ibuku, Katra. Aku yang waktu itu masih berusia tujuh tahun sama sekali tak mengerti maksud ayah. Yang kutahu setahun sebelum peristiwa itu ayah dan ibu tak pernah lagi mengajak aku dan Anjeli ke gereja, tak suka lagi mempercakapkan sayap malaikat, dan juga tak mengenakan kalung salib di leher. ”Cepat atau lambat, kita akan terusir,” kata ayah, ”Karena itu, ada baiknya kita terima saja tawaran Khun Sa. Percayalah, ini hanya sementara, Katra. Setelah punya cukup bekal, kita akan berimigrasi ke Prancis. Bukankah kau ingin hidup berlumur kasih Maria di Lourdes?” Antara lupa dan ingat, setahuku ibu tak menjawab. Hanya, malam itu juga dijemput sebuah jip, kami kemudian meninggalkan Dhaka. Meninggalkan alunan musik Gombhira-Bhatiali-Bhawaiya dan Delta Gangga-Brahmaputra yang subur. Belakangan aku baru tahu, kami juga harus menghapus kenangan pada angin tropis dengan musim dingin yang sejuk pada Oktober-Maret dan musim panas Maret-Juni. Dan yang tak mungkin kulupakan tentu saja musim monsun yang hangat dan lembab serta Kota Chittagong yang memiliki pantai terpanjang di dunia. Andai saat itu boleh memilih, aku tentu tak ingin jauh dari Kuil Dakeshwari, Istana Bara Katra, Hoseni Dalan, dan Benteng Lal Bagh yang membuatku bangga sebagai putri Banglades. Rupa-rupanya ayah tak menduga setelah malam itu kami hanya akan hidup di hutan bersama pasukan bangsa Shan. Akan tetapi, jangan membayangkan dikepung pepohonan kami tak mengenal dunia. Khun Sa tak membiarkan putri-putri indah seperti kami tak bisa menghitung jumlah bintang di langit. Dengan mengundang guru privat dari Inggris dan legiun asing dari Prancis, ia juga tak membuat kami asing dari peta, kata-kata, dan bahkan senjata dari berbagai bangsa. Dan yang tak terduga, para istri pangeran pendiam itu, mengajari kami menari, mengenal bahasa tubuh, erang dahsyat percumbuan, serta memahami keindahan melawan kekejaman para junta. Karena itu, tak perlu heran pada usiaku yang kedua puluh, aku telah mahir membunuh apa pun yang berkelebat dengan pistol andalan. Juga tak perlu kaget pada usiaku yang kedua puluh lima, Khun Sa memintaku menjadi kekasih tersembunyi. ”Siapa pun tak akan pernah tahu bahwa kau telah menjadi pewaris tunggal kekuasaanku. Kelak junta boleh menghabisiku, tapi kau tak akan pernah tersentuh. Kelak aku mungkin akan pura-pura menyerah, tetapi kau akan menyelamatkan bangsa Shan dari penindasan,” desis Khun Sa sambil terus-menerus mencakar punggungku. Ah, menjadi kekasih tersembunyi, sangat makan hati. Dengan cara apa pun, kau akan kesulitan mengekspresikan rasa cinta. Hanya memandang takjub keperkasaan kekasih pujaan di hadapan serdadu lain, kau akan kesulitan. Hanya mencuri-curi pandang saat pria yang seharusnya lebih pas jadi ayahku memberikan maklumat kepada pasukan, mata-mata lain akan memelototimu. Karena itu, aku hanya hidup dalam rahasia sedih sang kekasih. Hanya ketika ia mengajakku—juga secara sembunyi-sembunyi—ke negeri-negeri yang jauh aku bisa merebahkan tubuh di dadanya. Hanya ketika ia meninggalkan puluhan kekasih di Burma aku bisa mengukuhkan diriku sebagai sisihan. ”Pada akhirnya aku akan tua, Zita. Pada akhirnya hanya kau yang bisa meneruskan perjuangan bangsa Shan,” kata dia sesaat sebelum memintaku berimigrasi ke Prancis, ”Dan aku tak memintamu kembali ke Dhaka karena kau tak mungkin bisa memimpin pergerakan di negeri yang hanya memberimu keindahan…” Keindahan? Ah, aku telah melupakan keindahan sejak hanya kukenal pertempuran dengan para polisi yang mengejar-ngejar kami dari hutan ke hutan. Aku telah melupakan keindahan sejak para junta memaksa kami untuk segera menyerah dan memaksa tinggal di Rangoon tanpa kebanggaan sebagai pejuang. Aku tak lagi mengenal keindahan sejak cintaku kepada sang Pangeran Kematian hanya bisa disembunyikan di rerimbun dahan. Keindahan, kau tahu, hanya muncul, sesaat ketika bulan seiris jeruk memancarkan sinar tepat di pucuk Katedral Saint Jean. Dan sayang, sebagai orang yang terpenjara oleh pekerjaan rutin sebagai pengelola hotel, sungguh tak mudah dan butuh perjuangan panjang agar sampai ke situs peribadatan tak jauh dari Fourviere itu. Paling tidak aku harus berjalan kaki dengan tertatih-tatih ke Stasiun Saxe Gambetta, berganti-ganti kereta bawah tanah yang disesaki para imigran, untuk pada akhirnya merangkak ke tebing yang nyaris tegak lurus dengan langit dengan funicular, dengan kereta yang lebih mirip sebagai ular melata menembus lorong-lorong gedung sunyi selalu kubayangkan penuh kelelawar itu. Kau mungkin menyangka setelah riwayat Khun Sa habis, berakhir pula nasib hotel tua dan sepasang perempuan yang kesepian. Oo, justru kini kehidupan yang sebenarnya sedang dimulai. Tak terikat pada siapa pun, aku justru berani berbisnis serbuk iblis kembali. Tak mungkin menggerakkan perjuangan melawan kekejaman junta hanya dengan mengandalkan doa para biksu dan duit keropos dari tabungan para pejuang Shan. Aku juga mulai tak suka pada kelembekan Aung San Suu Kyi yang tidak segera habis-habisan menghajar para junta dengan bayonet atau sekadar cakar. Karena itu, ketika bercermin, aku kerap membayangkan diri sebagai serdadu lagi, dan mencoreng-coreng wajah dengan water colour warna hijau. Aku juga mulai berkhayal menganggap semua gedung kuno di Lyon sebagai pohon-pohon raksasa di perbatasan Thailand-Burma. Serba hitam, magis, dan penuh ular yang bisa memangsa musuh yang terjebak dan kehilangan cara untuk menemukan sinar matahari kembali. Tentu aku masih sangat mencintai Khun Sa, meskipun kurir heroin keturunan Aljazair-Spanyol, Aljir Duarte, yang memang bermata nakal, mulai berani meremas pantat dan mengajakku mandi bersama dalam kucuran shower yang sering macet, atau memelukku dari belakang ketika aku sedang berdandan di depan cermin buram, di kamar pribadiku yang berdekatan dengan gudang. Dan mencintai Khun Sa, kau tahu, haruslah selalu menganggap diri sebagai pisau atau pistol mematikan bagi para musuh almarhum. Karena itu, kepada siapa pun aku tak pernah bercerita mengenai burung-burung dan ratusan angsa Khun Sa yang ribut tak keruan setiap mendengar derap kaki kuda kami beradu dengan tanah berdebu atau saat melihat kami bercumbu di rerimbun pohon penuh benalu. Juga kepada Duarte, aku selalu waspada dan tak pernah kukatakan mengapa aku tak pernah mau tinggal di Paris atau sekadar berdoa di Katedral Notre Dame dan menikmati panas matahari musim dingin dari Sungai Seine. ”Paris adalah neraka. Iblis manis akan membunuhmu jika kau bermimpi tinggal di kota brengsek itu. Ketahuilah, Zita, sejak salah seorang kepercayaanku mengetahui aku mencintaimu, saat itu pula ia berniat membunuhmu. Kau dianggap akan melemahkan perjuangan. Karena itu, begitu tahu kau akan berimigrasi ke Prancis, saat itu pula ia mengirim pembunuhmu ke Prancis. Jadi, percayalah kepadaku, Zita, jangan pernah ke Paris. Dan jika aku sudah mati, jangan juga pernah bercinta dengan laki-laki dari kota penuh iblis itu.” Dulu aku tertawa keras-keras saat Khun Sa mendesiskan kata-kata busuk itu ke telingaku. Dan kini aku juga tertawa terpingkal-pingkal ketika Duarte memamerkan rumah mungil di kawasan bekas biara di Jalan Notre Dame yang di foto terlihat seperti gang penuh reptil, kodok, pengemis, dan sepeda bobrok itu. ”Ayolah, Zita, aku akan mengubah segala yang tampak seperti neraka sebagai surga. Setiap hari akan kuajak kau bercinta dalam boat putih sebelum badai tiba,” dengus Duarte sambil menyeretku ke gudang penuh debu. Hmm, pada mulanya aku memang agak tergoda untuk meninggalkan Lyon. Aku juga mulai berpikir untuk mengakhiri segala urusanku dengan bangsa Shan. Namun, selalu saja ketika dengus napas Duarte mulai memburu, aku selalu membayangkan lelaki kencana itu berubah menjadi iblis bersayap merah dengan moncong anjing yang melelehkan air liur bacin. Selalu saja aku tak sanggup memeluk atau sekadar mencium kening lelaki indah yang telah malih rupa jadi hewan berbulu runcing itu. Kalau sudah begitu, Khun Sa akan muncul dari cermin dan membisikkan kata-kata aneh serupa mantra dari Negeri Kematian dan menyuruhku mengusir Duarte. ”Kau yakin, dia yang akan membunuhku?” desisku sambil berharap Khun Sa akan menggeleng. Khun Sa bergeming. Ia tidak menggeleng, tetapi juga tidak mengangguk. ”Kau yakin, dia musuh terakhir yang harus kubunuh?” kataku sambil merogoh pistol yang selalu kusimpan di pinggang. Dan karena dengan sangat cepat aku mengacungkan pistol ke kening Duarte, lelaki yang hendak mencumbuku dengan berahi yang meluap-luap itu kulihat menggigil ketakutan. Menggigil ketakutan? Tidak! Tidak! Matakulah yang lamur. Dengan gerakan yang sangat cepat dan tak terduga, ia merebut pistol yang siap kuletuskan. Kini ganti Duartelah yang menusukkan ujung pistol itu ke perutku. ”Ya, sudah lama aku menguntitmu, Zita. Sudah lama aku akan membunuhmu. Tapi Khun Sa telah mati. Jenderal-jenderal lain juga sudah kabur ke negeri tetangga, apalagi yang akan kita bela?” Tak kujawab pertanyaan Duarte. Kupejamkan mataku dan di layar serbahitam itu, kulihat Khun Sa bersama ratusan serdadu berkuda meletuskan seluruh senapan ke jantung Duarte yang tak terlindung oleh apa pun. Dan karena peristiwa itu terjadi berulang-ulang—juga ketika Duarte serius meminangku—kini aku kian yakin, di Paris, aku tak akan pernah meninggalkan sepasang sandal, sehelai gaun, dan cincin pengantin. Di Paris, kau tahu, hanya ada iblis yang tergesa-gesa mengetuk pintu dan menusukkan pistol di lambungku yang ringkih tanpa kendhit pengaman. Sudah mati jugakah Thian? Paris September 2007- Sydney Januari 2008 Triyanto Triwikromo (3 Februari 2008)
""Iblis Paris""
Hidupku sebatang kara. Akan tetapi, aku masih bisa hidup berkecukupan dalam arti tidak tergantung pada siapa-siapa, bisa makan tiga kali sehari dan bisa tinggal di sebuah kamar sewaan. Di kamar itu ada sebuah dipan dan kamar mandi dan dapur. Di emperan belakang atapnya agak menonjol jauh dari tembok sehingga kompor dan rak piring, ember dan sepeda bisa ditaruh di situ. Di kamarku ada sebuah televisi bekas yang menghiburku setiap hari. Kalau saja anak perempuanku tidak kawin dengan seorang pria yang bekerja di Timur Tengah mungkin aku tidak sendiri karena anakku bisa mengurusku dan dua cucuku bisa menghibur aku. Akan tetapi syukurlah anakku bisa membantu kehidupan ekonomiku. Sejak lama ketika istriku masih ada, hidup kami pas-pasan. Istriku masak di emperan belakang untuk dijual. Ada ikan pepes, ada nasi uduk, sambal goreng tempe, ada ikan bakar, terung bakar, dan sambal yang kuberi nama ”Sambal Inul Cili-cili”. Setiap hari aku berkeliling menjual makanan dengan sepeda. Aku mendayung sepedaku mulai dari pagi subuh sampai kadang siang kadang sore. Target penjualanku adalah pasar tradisional dan proyek-proyek bertingkat di mana para buruh sedang bekerja. Akan tetapi, setelah istriku meninggal, semuanya berantakan. Anak gadisku terpaksa putus sekolah di kelas satu SMA karena harus membantu aku. Setiap malam aku harus masak meneruskan apa yang sudah dididik oleh istriku. Akan tetapi, sehabis masak aku harus beristirahat setengah hari sehingga makanan tidak utuh dijual dalam sehari penuh. Untunglah anakku berkenalan dengan seorang gadis Madura penjual kue cucur. ”Pak, aku ingin seperti gadis Madura itu,” kata anakku. ”Dia putus sekolah di SD, tetapi bisa menjadi direktris,” kata anakku. ”Ah, jangan bercanda,” kataku. ”Modalnya cuma satu kompor kecil dan satu panci adonan tepung beras. Dia pengusaha kue cucur. Laris sekali, Pak,” kata anakku. ”Aku ingin berdagang kue cucur seperti dia,” sambungnya. ”Tetapi bagaimana dengan usaha makanan warisan ibumu? Harus ditinggalkan? Apakah penghasilannya cukup untuk makan minum kita berdua?” tanyaku. ”Gampang. Modalnya cuma satu meja. Di atas meja itu makanan masakan Bapak sebagian ditaruh di atasnya dan sebagian Bapak bawa keliling dengan sepeda. Setuju?” Maka, tiga hari kemudian ada sebuah lapak meja berisi makanan di pasar tradisional dan di pinggir meja ada sebuah kompor yang mendesir-desir menghamburkan aroma kue cucur. Gadis Madura, ”dosen” kue cucur anakku berjualan tidak jauh di samping lapak anakku. Setiap pagi dini hari anakku berjualan sendiri di pasar tradisional itu tanpa aku temani. Setelah tidur sampai jam sebelas siang aku menggenjot sepedaku menuju pasar dan mengambil sebagian dari makanan yang anakku jual itu. Aku berkeliling ke bangunan yang sedang sibuk, ke pagar di luar pabrik dan sebagainya. Pada suatu dini hari seorang wartawan muda dari tabloid Suara Pasar, raja begadang malam, jongkok di depan kompor kue cucur anakku. Wartawan muda itu jatuh cinta kepada anakku. Dia memuat foto anakku dan foto gadis Madura itu, besar-besar di tabloidnya. Ceritanya panjang lebar dan menyinggung program candak kulak, yaitu kemudahan memperoleh modal kecil di masa Orde Baru, program yang tenggelam tak tentu rimbanya. Selanjutnya anakku menikah dengan wartawan Suara Pasar itu, pasar tradisional itu. Temannya gadis Madura itu murung sampai dengan suatu saat beberapa bulan kemudian sopir angkot melamarnya. Tidak lama kemudian menantuku pindah ke Timur Tengah dan bekerja sebagai wartawan majalah OIL, yang bekerja di perusahaan minyak pula. Namun, keduanya tak banyak membantu aku karena di sana mereka bekerja sambil belajar. Menantuku kuliah dan anakku melanjutkan pendidikan SMA kemudian ikut kuliah. Akan tetapi, keduanya tidak lupa memikirkan kehidupan ekonomiku. Anakku mengirimkan uang kepadaku untuk modal membeli kipas cendana dan gahara untuk dijual di Timur Tengah. Selain kipas cendana juga kalung yang terdiri dari butir-butir kayu cendana dan gahara. Kemudian mereka juga meminta tetelan kayu cendana dan gahara untuk dibakar di anglo para hartawan timur tengah. Dengan demikian aku sibuk dengan usaha baru sebagai pedagang kipas cendana. Setiap bulan aku mengirim komoditas dagang yang harum itu. Untuk kegiatan itu aku menyewa sebuah kotak pos. Semuanya serba kecil. Kotak pos kecil, sebuah kamar tidur yang kecil, tetapi dengan yang kecil itu aku berhubungan dengan dunia yang luas dan besar! Walaupun penjualan kipas cendana itu cukup lancar sehingga aku bisa membeli sebidang tanah kapling di Jakarta, anakku suami istri melarang aku membeli tanah untuk membangun rumah di kota, yang menurut anakku akan musnah oleh banjir air dan banjir manusia. Cukup aneh pikiran mereka, buatku. Setiap kali aku ke kantor pos untuk mengirim barang, aku mampir ke sebuah warung kecil yang terletak di halaman depan kantor itu. Untuk minum kopi atau makan. Ibu Agus, pemilik warung itu, dibantu oleh anak gadisnya yang mempunyai adik lelaki yang belum disunat. Mula-mula aku hanya sarapan kemudian aku datang setiap hari untuk makan siang dan makan malam. Si Agus anak lelaki yang belum disunat itu sangat gembira kalau aku datang. Biasanya kalau ada uang receh aku hadiahkan kepadanya. Tiba-tiba pada suatu hari ia memperlihatkan sebuah celengan yang berat karena penuh dengan uang logam. Sungguh suatu kejutan bagiku melihat seorang anak yang ternyata ditinggal meninggal oleh ayahnya. Si Juli, kakak perempuan Agus adalah seorang gadis yang cukup berbakti kepada ibunya. Hampir setiap hari ia bekerja di warung kecil itu, kecuali kalau ia harus mencuci pakaian di rumah, menyapu, dan menjemur. ”Bapak bekerja di mana?” tanya Juli pada suatu hari. ”Sibuk benar selalu kirim bungkusan karton lewat kantor pos.” ”Saya bekerja di rumah,” jawabku. ”Kantornya di mana?” tanya Juli. ”Kantornya kecil sebesar kotak, kotak pos!” Juli tertawa, ”Kalau masuk kantor, bapak jadi semut dulu ya!” ”Ah, bisa saja Juli,” kataku. ”Eh jangan anggap enteng, semut itu guru bagi manusia. Bergotong royong tanpa marah-marah, darah tinggi seperti….” ”Lu nyindir gue, ya!” kata ibunya, ”Oh Ibu darah tinggi?” tanyaku. ”Tidak ibu saya berdarah bangsawan tinggi dari Jawa, tetapi sekarang merendah di warung kotak ini,” kata Juli. ”Tidak apa–apa biar kotak asal uang bisa berputar meraup sedikit keuntungan. Untuk mengembangkan kotak ini menjadi gedung. Warung ini lebih besar daripada kotak pos saya. Itulah warung saya. Hasilnya sedikit, tetapi untunglah saya semut sehingga makannya sedikit saja,” kataku. ”Orang kecil seperti kita harus mulai dari kotak.” ”Kotak pos tidak bisa digusur tetapi warung ini biar ada setorannya, terancam gusur. Orang bilang usaha kaki lima akan digusur dan direlokasi, tetapi nyatanya hanya barang-barang yang diangkut dengan truk dan ditumpuk di halaman wali kota,” kata sang ibu. Pada suatu hari ketika aku datang ke kantor pos di pagi hari, aku melihat warung Ibu Agus berantakan. Ada dua lelaki kekar mengangkat piring, panci, kuali, dandang dan sebagainya ke atas pikap. Tanya punya tanya, Ibu Agus punya utang pada bank liar. Ibu Agus hanya duduk diam dengan mata balalak, merah menyala. Darah tingginya kumat. Juli tak dapat berbuat banyak, hanya memegang tangan memantau urat nadinya yang dikuatirkan pecah. Pecah saraf mata pecah saraf otak. Walaupun bukan urusanku tetapi terasa ada perintah dalam diri untuk bertanya, ”Berapa utangnya?” ”Cuma tiga ratus ribu kok, sampai hati orang itu. Lagi pula persetujuannya tiap hari bayar seribu. Tiba-tiba dia minta dilunasi semua karena rumahnya kebanjiran,” kata Juli. ”Mana duitnya….” ”Sebenarnya ada tetapi kemarin bayar dokter dan obat darah tinggi,” kata Ibu Agus. Aku tidak lagi rasional. Tiba-tiba aku memanggil, ”Bang! Masukkan kembali barang-barang itu ke warung. Ini saya bayar utangnya Ibu Agus,” lalu aku mengeluarkan tiga ratus ribu dari dompet. ”Lha, tiga ratus, cuma, mana bunganya? Sudah tiga tahun uang kami terpendam di warung ini. Lima ratus dah….” ”Tidak….” ”Mengapa tidak?” ”Tidak ada uang lagi. Cuma tiga ratus.” ”Yaaa, oke, sini uangnya.” ”Ya, sini kembalikan barang -barang Ibu,” kataku. Setelah penagih utang itu pergi, beberapa lama kemudian si Agus pulang dari sekolah. Anak yang baru duduk di kelas satu itu heran, terutama karena tidak ada makanan. Aku menyuruh dia membeli nasi bungkus untuk empat orang, lalu ikut membereskan warung agar tidak seperti kapal pecah. Semenjak itu, Juli selalu datang ke kamar sewaanku membawa makanan, membersihkan segala yang kotor, mencuci pakaianku, dan menolongku mengepak kipas cendana, gaharu dan memotong kayu gahari menjadi tetelan. Lalu setelah rapi, dalam kardus ia menulis alamat si penerima dan si pengirim, lalu membawanya ke kantor pos. Ia juga selalu membuka kotak pos untuk mengambil surat-surat dari anakku. Juli telah menjadi asistenku. Walau ia hanya tamatan SMP, tulisannya bagus, otaknya cerdas dalam perkara hitung-menghitung. Setelah enam bulan datang bencana. Juli yang tidak mempunyai ayah tiba-tiba menemukan ayah dalam diriku sekaligus mencintai aku. Aku pun terapung dalam konflik. Umurku sudah lima puluh lima tahun. Juli baru dua puluh tahun. Ah, tidak, tidak kasihan Juli, tetapi Juli tetap ngotot mau menjadi istriku. Bagiku ini bukan cinta yang normal, ini gara-gara kipas cendana, kipas gaharu yang aromanya adalah uang. Kalau aku tak punya uang, maka seorang gadis tak akan mau. Ah, kipas cendana, kipas gaharu yang aromanya harum telah mengawetkan seorang lelaki tua yang telah berbau tanah. Juli tidak pantas menikah dengan mumi Fir’aun Jakarta ini! Juli memeluk aku, bergelantung di dadaku sambil berkata, ”Saya akan mengurus Bapak sampai sudah memakai tongkat. Bapak akan hidup kembali, muda kembali melalui anak kita.” Aku jadi lemas, terpelanting ke kasur. Tiba-tiba pintu diketuk karena tidak dikunci ia menerobos masuk. Matanya merah. Penyakit darah tingginya mungkin kumat. Tetapi, dia tampak telah bersolek dan merasa dirinya cantik akan tetapi karena bibirnya telah jadi merah karena gincu, aku merasa kedatangan harimau. ”Juli tidak pantas menjadi istrimu,” katanya. ”Aku yang pantas,” sambungnya lalu bergerak ke arah Juli dan menamparnya. Setelah Juli berlari keluar, aku segera lari ke pintu belakang lalu masuk ke kamar mandi, bersembunyi sampai satu jam. Ketika aku kembali ke kamarku, Ibu Agus telah tiada. Syukur. Semenjak itu aku tidak muncul di warung Ibu Agus. Nomor kotak posku aku hanguskan dan pindah ke kantor pos lain. Kira-kira tiga bulan kemudian, Juli datang ke kamarku, duduk sambil menyorong dot botol susu ke bibir bayinya. Aku agak tertegun. Jangan-jangan akan dimulai suatu pemerasan. Jangan-jangan ia akan ke kantor polisi melaporkan bahwa bayi ini anakku, anak seorang pedagang kipas cendana. ”Saya sudah kumpul kebo dengan seorang sopir angkot,” kata Juli. ”Lalu langsung punya anak?” tanyaku. ”Tidak istrinya minggat, menyerahkan bayi ini kepadaku. Terima saja. Habis, mau ke mana lagi. Punya ibu darah tinggi. Yang penting punya suami,” kata Juli sambil menggendong bayinya. Aku terdiam. Bola mataku basah. Setahun kemudian ketika aku sedang mendayung sepedaku, aku melihat Ibu Agus berjalan kaki terseok-seok dengan sebuah karung yang setengah berisi. Aku berhenti, ia lupa padaku sehingga batinku terpukul. Ketika aku memeriksa karungnya, oh, hanya berisi botol akua dan koran bekas. Ibu Agus telah menjadi pemulung. Jakarta hanya memberinya sampah. ”Di mana Juli sekarang?” tanyaku. ”Juli sudah meninggal,” katanya. ”Agus di mana?” tanyaku lagi ”Di perempatan, jual akua botol,” jawabnya. ”Ibu tinggal di mana?” ”Di emperan. Banyak emperan, tinggal tidur saja.” Aku terpukul ”Bapak siapa?” ”Saya pedagang kipas cendana.” ”Oo, mantu saya, mantu saya. Sudah, bonceng saya!” Aku segera memboncengnya ke kamarku setelah membuang karung pemulungnya. Aku menyuruh dia mandi dan membelikan dia makanan. Besoknya aku bawa dia ke rumah sakit jiwa kemudian memasukkannya ke sebuah panti jompo. Depok, 10 Februari 2008
""Kipas Cendana""
Sungguh saya tak juga mengerti kenapa cuaca menjadi sekacau ini padahal matahari tetap terbit di timur dan tenggelam di barat. Banjir masih juga melanda Pati, Jawa Tengah, meski sudah dua minggu, air tak juga surut. Sementara di Riau dan Jambi, hutan terbakar. Tapi apa peduliku, sedang cuaca juga tak mau tahu apa keinginan-keinginanku. Sebaiknya saya terus mengayuh rakit batang pisang ini, dari Pati ke Rembang, untuk menemui Kiai Zaim Zaman, barangkali beliau mau menolong kami mengatasi kesurupan massal yang melanda pesantren di desa kami. Saya melewati antrean kendaraan yang macet sepanjang 24 km yang terdiri dari truk, mobil-mobil pribadi, kontainer, bus, maupun motor karena tak mampu menembus banjir. Air banjir setinggi satu setengah sampai dua meter mengganyang seluruh kawasan yang sangat luas, sawah-sawah yang siap panen, perumahan, perkebunan, tambak, kolam ikan, dan pertokoan, meliputi kota-kota Demak, Kudus, Rembang, Pati, Jepara, Juwana, Tuban. Tapi, apa Kiai Zaman sendiri tidak repot? Beliau tentu juga sangat dibutuhkan oleh pesantrennya yang juga dilanda banjir. Saya mengayuh rakit menerjang sawah siap panen yang tenggelam yang airnya semakin tinggi. Sejumlah rakit dari batang pisang maupun bambu tampak berseliweran. Para penumpangnya yang saling kenal berteriak-teriak bertegur sapa. Terdengar gelak-tawa seolah tak peduli akan kesulitan hidup yang sedang dirundung. Mendadak mendung datang menyergap disusul hujan lebat. Subhanallah. Saya yang satu minggu kehujanan terus, rasanya badan bertambah ringan tapi dinginnya minta ampun. Tubuh saya menggigil dan saya sudah tak tahu jalan. Gelap gulita. Apa kiamat seperti ini? Geledek bersahutan seperti dihamburkan dari langit yang membuat saya tiarap gemetaran. Rasanya tubuh ini beku. Halilintar menyilet langit memberi jalan rasa bersalah pada rakit saya. Mendadak laju rakit ini terhenti. Agaknya tersangkut sesuatu. Saya menunggu halilintar untuk mengirim sinar, namun tak kunjung muncul. Wahai, cahaya perak, cahaya perak. Saya meraba-raba apa gerangan yang menyebabkan rakit saya terhenti. Masya Allah, saya meraba tubuh orang. Cepat-cepat saya singkirkan tubuh itu dengan galah lalu saya menghindar dari tempat itu. Saya semakin menggigil. Tentu ada saja yang menjadi korban dari bencana yang besar ini mungkin tidak sedikit jumlahnya. Sawah siap panen yang tenggelam tentu menelan lebih banyak lagi korban. Ibu, ayah, dan anak-anak, juga nenek-kakek, cucu, cicit, ke mana mengungsi jika seluruh kawasan yang sangat luas ditelan banjir yang rasanya semakin tinggi ditambah oleh deras hujan. Di dusun tak ada bangunan yang tinggi tempat mengungsi. Hanya bukit yang cukup sulit didaki karena licin dan terjal. Kebanyakan warga tetap di rumah masing-masing dengan bertengger di atap dengan payung atau lembaran plastik untuk menahan hujan. ”Kalau ibumu ini mati,” kata ibu yang duduk di atap rumah dengan memegangi payung dalam hujan lebat, ”Cepat kuburkan.” ”Ah, ibu kok ngomong begitu,” sergah saya sambil memeluk tubuhnya yang gemetaran kedinginan. ”Jaga adik-adikmu.” ”Ibu saja yang menjaga adik-adik. Saya mau cari nafkah di Jakarta.” ”Tega kamu meninggalkan adik-adikmu.” ”Saya mau cari duit yang banyak untuk ibu dan sekolah adik-adik.” Di atas atap dapur, ayah memeluk kedua adik saya yang basah kuyup karena tak terlindung dari hujan. Yang saya takutkan kalau tiba-tiba ibu atau ayah meninggal. Maka ketika banjir surut, kakak yang menetap di Jakarta memboyong ibu, ayah, dan kedua adik ke Jakarta. Ditinggalkannya saya sendirian di dusun untuk menjaga rumah. Tapi mereka tak betah di Jakarta. Terlalu bising, katanya. Lalu boyongan kembali ke desa, meski selalu kekurangan tapi cukup bahagia, katanya. Kemudian kakak membangun rumah bertingkat untuk kami menghadapi banjir. Benar saja. Banjir yang lebih besar kali ini datang, ditambah 25 santri putri yang kesurupan diungsikan di rumah bertingkat kami. Alhamdulillah. Banyak jalan yang Allah bimbing supaya bangunan itu bermanfaat bagi sesama. Masalahnya kini adalah bagaimana bisa menemui Kiai Zaim Zaman dan di mana beliau berada jika di pesantrennya tak dijumpai sementara di mana-mana, sejauh mata memandang, air, air, air melulu yang tampak. Tiba-tiba rakit mentok, sampai saya terjatuh. Kembali saya meraba-raba apa gerangan yang menyebabkan rakit ini berhenti. Ternyata tangan saya menyentuh tembok. Bangunan apa gerangan? Kembali kilat merobek udara. Sekilas terlihat bangunan putih ini masjid. Barangkali saya bisa mencapai atapnya supaya saya bisa tidur dan tidak terlalu kedinginan. Pagi harinya masjid itu terkatung-katung di danau yang luas dengan saya satu-satunya berada di atapnya. Kadang gelombang menerpa karena digelontor angin puyuh yang juga mempertajam tetes hujan bagai jarum. Kadang batang-batang padi muncul di permukaan air lalu kembali tenggelam. Apa yang terjadi sesungguhnya? Siang harinya panas sangat teriknya. Sambil berayun-ayun dimainkan oleh kantuk, di atap masjid itu tidak hanya baju, tubuh saya juga mengering. Di tengah sawah yang sudah jadi danau ini, alur mana (?) saya tak lagi mengenal peta. Di mana Pati, di mana Rembang, kedua kota itu mengingatkan saya akan hubungan rumah saya dengan rumah Kiai Zaim Zaman yang berada di tengah pesantrennya, di mana para santri, putra maupun putri, berseliweran berlarian, bermain maupun berdebat soal jodoh, juga Tuhan, yang membuat saya selalu kangen untuk mengunjunginya. Rumah tertutup pohon mangga yang sangat rindang, manalagi, nama yang mengingatkan orang sehabis menikmati sebuah lalu minta lagi, manis dari akarnya. Seorang kiai dengan pohon mangga yang lebat buahnya, merupakan perpaduan yang elok, dalam ukuran apa pun. Karena panas tak tertahankan, saya mencari jalan turun ke dalam masjid. Meski sangat kesukaran, saya berhasil masuk ke ruang salat. Dua rakaat saya selesaikan setelah berwudu air banjir, saya tertidur tanpa diawali kantuk. Cukup lelap dan tak terganggu oleh mimpi. Waktu bangun, saya kaget bukan alang kepalang, Kiai Zaim Zaman berzikir di sisi saya. Saya bangun dengan sigap, mencium tangannya, menanyakan kesehatannya, meminta doa, berusaha sebaik mungkin untuk tidak kentara baru bangun dari tidur. ”Saya mendengar panggilanmu bertalu-talu,” kata Kiai Zaman hampir-hampir berbisik, ”Maka cepat-cepat saya menemuimu.” ”Subhanallah,” seru saya. ”Saya sudah bertemu dengan dua puluh lima orang santri putri yang kesurupan itu di rumahmu dan mereka sudah baik kembali.” ”Subhanallah.” ”Orang-orang modern bisa juga kesurupan, ya.” ”Subhanallah.” ”Salamualaikum,“ kata Kiai sambil ngeloyor pergi. ”Pak Kiai,” seru saya sambil mengejar beliau, ada hal-hal yang perlu saya tanyakan. Di luar, Kiai Zaman berjalan di atas air tanpa mempedulikan panggilan saya, menjauh. Di dalam hati saya mengucapkan terima kasih sedalam-dalamnya atas semua kebaikan Kiai yang mumpuni ini. Kapan seorang awam seperti saya bisa membalas kebaikannya dan jasa-jasanya dengan segala kemampuan yang tulus seperti selembar sajadah kepada sebongkah kepala yang sujud di atasnya. Semoga berkah Allah selalu mengayomi Kiai Zaim Zaman sekeluarga turun-temurun. Betapa seandainya kita punya banyak kiai seperti beliau, tangan yang dua lengan itu, kaki yang dua jenjang itu, sementara di luar sana, orang-orang berteriak meminta tolong, banyak sekali, ya, banyak sekali. Ketika saya kembali ke dalam, di depan mihrab saya jumpai bertumpuk-tumpuk uang yang banyak sekali. Rasanya saya semakin banyak utang kepada Kiai ini, dari imbalan yang bisa disentuh tangan sampai berkah yang tidak kasatmata, orang-orang pernah berduyun-duyun menemui saya dengan seluruh permintaan yang bisa diucapkan mulut: ”Saya bukan Kiai Zaim Zaman,” teriak saya ketika itu kepada orang-orang itu, ”Saya hanya orang yang kepengin seperti beliau.” Pagi hari ketika matahari kencar-kencar dan mendung hitam sedang mengincar, saya mendayung rakit batang pisang ini meninggalkan masjid yang sudah memberi pelajaran banyak kepada saya dengan bertumpuk-tumpuk lembaran uang di atasnya. Saya mendayung kembali ke Pati dengan arah apa pun, ke sebuah dusun yang sunyi, kepada ibu, ayah, dan kedua adik saya, yang boleh jadi terus menunggu dengan harap-harap cemas. Kembali rakit saya terhadang oleh antrean truk yang sangat panjang dalam kemacetan oleh banjir yang masih setinggi dada orang dewasa. Tetap betah juga sopir-sopir dan kenek-kenek itu melantunkan potongan-potongan lagu meningkahi irama dangdut yang tak kunjung padam. Bahkan yang beradu bidak-bidak catur sambil berendam dengan papan caturnya yang berayun-ayun oleh riak air yang dihembus angin atau sengaja diaduk-aduk oleh sejawatnya yang selalu mengganggu, diiringi ha ha ha he he he dan olok-olok yang diuleg sepedas mungkin sehingga banjir itu tambah sempurna mengharu-biru. Ketika para sopir dan kenek itu melihat gepokan lembaran uang yang bertumpuk-tumpuk di atas rakit saya itu, saya pasrah setulus mungkin. ”Ya, Allah, semuanya ini milik-Mu,” doa saya. Seorang sopir mengambil segepok uang itu dan menimpukkannya ke arah temannya sambil mencemooh, ”Lo ambil! Lo yang mata duitan! Ha ha ha!” Teman yang kena timpuk itu melempar uang itu ke teman yang lain sambil berteriak, ”Gue ude konglomerat. Lo aja ambil yang masih kere!” Akhirnya semua sopir dan kenek itu berebut uang di atas rakit saya dan saling timpuk-menimpuk sejadi-jadinya. Keadaan jadi kacau dan meriah. Penuh banyolan dan semprotan kata-kata konyol. Tentu banyak gepokan uang itu yang jatuh ke dalam air dan tenggelam. ”Ya, Allah, bukakan mata mereka. Itu uang beneran dan mereka boleh merebutnya,” doa saya dengan kenceng. Anehnya para sopir dan kenek itu, subhanallah, menyelam dan menyelamatkan seluruh uang yang tenggelam dan mengembalikannya di atas rakit saya. Lalu mereka mendorong rakit supaya saya meneruskan perjalanan. Saya tertegun. Seperti mati berdiri. Bagaimana mungkin mereka tidak menyadari, uang yang saya bawa itu uang sungguhan. Bukan uang mainan. Masya Allah. Tuhan punya rencana. Sesampai di rumah, ibu, ayah, kedua adik saya, dan para santri dengan sejumlah ustadnya yang masih menginap menyambut saya dengan sukacita. Ketika ibu mengetahui saya membawa uang yang bukan main banyaknya itu, menyuruh saya membuang seluruh uang itu dengan mendorong rakit menjauh dari rumah. Menurut ibu, itu uang haram yang belum tentu dari Kiai Zaim Zaman. Dalam hati saya menyesal, kenapa saya tidak menyembunyikan segepok dua di dalam baju saya. Malam harinya saya tidak dapat tidur karena perut keroncongan. Persediaan makanan habis sementara jumlah orang yang menginap di rumah bertambah setiap harinya. Dengan sebungkus mi-instan yang dibagi dua orang, semakin kentara kami butuh bantuan yang tak kunjung datang. Pagi harinya kami dikagetkan oleh teriakan ibu, ”Rakit itu kembali ke rumah!” yang disambut seisi rumah dengan takjub. Ini artinya bergepok-gepok uang itu kembali ke tangan kami. Subhanallah. Tangerang, 14 Februari 2008
""Pantura""
Rumah kayu berhalaman luas ini demikian riuh. Dedaunan kering tersapu angin bergulung di tanah, menghadirkan bau legit setelah gerimis sempat menerpa. Inilah saat putri bungsuku, Wardhani, akan berpamitan untuk pergi ke rumah suaminya. Para tetangga juga semua kerabat berkumpul memberikan ucapan selamat dan salam perpisahan. Suasana begitu riuh namun berlawanan dengan yang kurasakan di hatiku. Entah mengapa jiwaku terasa sangat hampa. Sesak tanpa jelas sumber dan asal-usulnya. Tiga anak perempuan yang kukandung selama sembilan bulan satu per satu sudah meninggalkanku. Luh Wayan, putri pertamaku, sudah menikah dengan seorang bule yang menyukai kemampuan Luh menari. Greg nama menantuku itu memboyong putriku ke Amerika. Negeri yang begitu jauhnya hingga rasanya mustahil dapat kujangkau. Entah bagaimana rupa cucu pertamaku, aku sama sekali tidak tahu. Luh hanya menelepon mengabarkan kelahiran anak pertamanya. Seorang bayi laki-laki bertubuh montok dan berambut pirang. Kemudian putri keduaku, Made Sari, menikah setahun kemudian. Suaminya seorang wartawan asal Jakarta. Putri keduaku itu juga langsung diboyong ke Jakarta. Ia pun telah melahirkan bayi pertamanya, bayi perempuan yang diberi nama Dina. Dan kini giliran Wardhani, putri bungsuku. Hanya ialah yang akan tinggal di Bali setelah menikah. Ia masih akan tinggal satu kampung denganku. Ia menikahi seorang guru sejarah yang baik hati. Sebenarnya aku menyukai semua menantuku, yang selalu hormat dan bersikap baik padaku. Namun tetap saja tidak mengurangi rasa sunyi yang tiba-tiba hadir. Besok, rumah ini akan jauh lebih lengang. Kami, aku dan suamiku, hanya akan tinggal berdua saja. Pikiranku melayang ke masa dua puluh tahunan yang lalu. Saat itu kutinggalkan rumahku untuk menikah dengan Bli Gede. Aku menyalami Meme dan Bapa, yang melepasku dengan linangan air di matanya. Masa itu baru berlalu sekejapan mata rasanya. Ternyata masa itu kini menghadang begitu saja di depanku. Karma terjadi begitu cepat. Anak-anakku telah pergi dengan langkah-langkah panjang dan pandangan mata lurus. Mereka menjauh tanpa niat pun menoleh. Tak lebih tak kurang dengan yang kulakukan dulu. Masa depan bagi mereka adalah sejuta harapan dan cita-cita. Sementara masa belakang bagi mereka hanya ketuaan dan kesia-siaan. Dan di masa itulah kini aku berada. Bli Gede sepertinya tidak peduli. Senyum cerah selalu ia tampakkan tiap kali anak-anaknya kawin. Setelah itu ia akan kembali menekuni kebiasaan lamanya. Mengelus-ngelus dan bercengkerama berlama-lama dengan ayam jago miliknya. Seakan-akan ayam itu menjadi teman yang begitu akrab. Ayam jago yang pernah menjadi bintang di desa itu kini cuma bisa mengais-ngais sisa kenangan tentang kejayaan di masa lalu. Sudah lama ayam itu tak mencium bau taji dan darah lawan yang anyir. Dia hanya meringkuk tenang di pojokan dapur, memerhatikan dengan nanar burung-burung dara yang melenggak-lenggok di halaman berebut butir beras yang tercecer. Bulan demi bulan berlalu, tahun demi tahun lewat. Sisa-sisa tenaga yang kumiliki semakin menipis. Tangan dan kakiku tak lagi cekatan digunakan bekerja sebagai Juru Canang, pekerjaanku selama 20 tahun terakhir. Aku lebih sering sakit daripada cukup sehat untuk bekerja. Sementara Bli Gede mulai kehilangan ketajaman sebagai makelar tanah. Makin hari, makin menipis penghasilan yang ia peroleh. Tabungan yang tadinya kami simpan untuk hari tua, pelan namun pasti mulai kami kuras untuk biaya hidup sehari-hari. Belum lagi bila salah satu dari kami jatuh sakit, bobol sudah simpanan hari tua kami itu. Dengan kondisi keuangan yang demikian pas-pasan, tiba-tiba Bli Gede melontarkan sebuah keinginan. Aku ingin ke Tanah Lot, Iluh. Ingin menikmati es kelapa muda sambil memandang matahari tenggelam di ufuk Barat. Dengan ringan aku menolak keinginan mahal itu. Pergi ke Tanah Lot dan menikmati kemewahan es kelapa muda di restoran ujung tebingnya jelas terlalu mewah buat kami yang sudah renta ini. Umur kita masih panjang Bli, kita harus punya cukup uang untuk terus hidup. Tahanlah keinginan mewahmu itu. Kataku saat itu. Namun rupanya keinginan suamiku bukan keinginan main-main. Ia seperti perempuan hamil yang amat mengidamkan es kelapa muda-Tanah Lot-nya. Berkali-kali ia lontarkan kembali keinginannya itu. Bahkan kadang kala dengan suara yang terdengar memelas. Iluh, Bli ingin sekali berdua bersamamu di sana. Ingin memelukmu seperti pacaran dulu. Tidakkah bisa kau kabulkan keinginanku ini. Ini barangkali keinginan terakhirku sebelum aku mati. Aku tergugu mendengarnya, namun aku tidak berdaya. Dengan mengelus punggungnya yang telah mulai bungkuk, aku mencoba membuatnya mengerti. Hidup dan nyawa kita lebih penting daripada keinginanmu itu. Sabarlah Bli. Kita memang tidak mempunyai banyak pilihan. Ia memandangku dengan tatapan kecewa. Mintalah pada anak-anakmu, Luh. Mereka cukup kaya untuk membantu kita. Meminta bantuan anak-anak Hhh Mungkin belum ada hukum yang mengatur bahwa anak-anak seharusnyalah bertanggung jawab pada orang tua yang telah mengasuh dan membesarkan mereka. Karena itukah anak-anak yang telah kubesarkan dan kuperjuangkan seluruh hidupku lupa bahwa mereka masih memiliki sepasang orang tua yang masih terus melanjutkan hidupnya Kata orang, mendidik anak seharusnya ikhlas, tidak mengharapkan balas budi. Namun benarkah demikian Sungguhkah aku tidak boleh mengharapkan anak-anakku mencintaiku sehingga mereka akan berusaha membahagiakanku seperti aku mencintai mereka sepenuh hatiku. Kenyataan yang menghampar di depan mata membuat aku memutuskan berhenti berharap. Tak seorang pun dari ketiga anakku yang mengirimi kami uang. Tidak juga para menantu yang dulu begitu manis saat melamar anak-anakku. Bukan hanya itu, mereka semakin lama semakin jarang mengunjungiku. Tahun-tahun awal pernikahannya, hampir tiap hari Wardhani mengunjungiku. Lama-lama menjadi seminggu sekali, terus semakin jarang menjadi sebulan sekali, lebih jarang lagi menjadi setiap Galungan yang enam bulan sekali, dan sekarang ia hanya datang setahun sekali. Padahal ia satu kampung denganku dan kami masih sering bertemu secara tidak sengaja di beberapa tempat. Begitu juga Made Sari. Ia awalnya pulang tiga bulan sekali, menjadi enam bulan sekali, kemudian setahun sekali setiap mudik lebaran. Sekarang ia hanya pulang dua tahun sekali dengan alasan mengirit pengeluaran. Dan yang sulung lebih-lebih lagi. Sejak menikah belum sekali pun ia pulang. Awalnya ia sering menelepon memberi kabar tentang cucuku di sana, namun sekarang tidak pernah terdengar lagi kabarnya. Bertahun-tahun tidak sekali pun ia menelepon kami. Lupakan mereka. Kabarnya mereka sendiri sulit memenuhi kebutuhan hidup berumah tangga yang semakin berat dewasa ini. Tentu saja berat untuk mereka yang tidak segan-segan mengeluarkan uang berlebih-lebih demi kepuasan diri dan anak-anak tercinta. Namun tidak untuk kedua orang tua mereka yang telah renta. Pengeluaran untuk ketuaan dan kesia-siaan haruslah dipikirkan matang, kalau bisa dibuat seefisien mungkin, seolah-olah hidup mereka selama ini efisien. Hhh Buat apa aku mengutuki mereka yang lahir dari rahimku sendiri. Biar kuterima kesendirian kami ini sebagai takdir yang tidak memerlukan alasan ataupun sebab musabab. Aku mau menjual si jago Luh, biarlah ia dipotong orang. Aku sangat ingin ke Tanah Lot. Kata suamiku suatu kali. Aku memandangnya lama. Mencari kesungguhan di matanya. Aku tidak menyangka ia akan berkata begitu mengingat ia begitu sayang pada jago tua itu. Si jago adalah ayam kebanggaan suamiku. Ia telah malang-melintang dari satu tajen ke tajen lainnya. Ia memenangkan pertandingan demi pertandingan dengan luka-luka di tubuhnya. Ia harus menang, karena kalah berarti mati. Jago tua itu begitu setia padamu. Kau tega menjualnya Bli Gede hanya terdiam dan memandang nanar pada kepak-kepak sayap si jago yang terlihat di kejauhan. Rupanya keinginan suamiku untuk pergi berjalan-jalan sudah tak tertahankan lagi. Setelah rencananya urung ia lakukan saat itu, suatu kali aku memergoki Bli Gede dengan wajah murung membuka kurungan si jago, mengambil ayam tua itu pelan-pelan, memasukkannya ke dalam anyaman daun kelapa, kemudian bergegas hendak membawanya pergi. Namun entah apa yang membuatnya tiba-tiba mengurungkan niat. Barangkali suamiku itu menjadi tidak tega ketika matanya menumbuk mata si jago yang terlihat lelah dengan kantung matanya yang tebal, dan mata yang me-ungu-sayu. Suamiku mungkin melihat cermin dirinya saat melihat si jago. Jagoan yang ada di pengujung usia. Tanpa digorok pun, ayam itu sebentar lagi akan mati. Saat itu matanya terlihat jengis, mungkin ia jerih juga membayangkan maut yang setiap saat bisa datang menjemput. Maut yang kadang tak merasa perlu memberi alasan atas kedatangannya. Ketuaan, kerentaan kami, telah cukup menjadi alasan yang masuk akal. Perlahan butiran air mengalir di pipinya yang hitam dan keriput. Hai jago, kau sungguh beruntung, tak mati seperti ayam aduan lain. Di mana taji menembus jantung, mencabik-cabik perut. Terkapar sebagai ksatria atau kalah oleh ketidakberdayaan! Tiba-tiba laki-laki tua itu menangis tersedu-sedu. Kadang kala kudengar raungan menyayat. Kali ini air mata bahkan bercucuran deras. Puluhan jago sepertimu mati dalam kalah dan tak berdaya. Tak berdaya menentukan jalan hidupnya sendiri. Terpaksa menjadikan taji satu-satunya cara hidup. Ber-taji atau mati oleh taji. Maafkan aku jago, aku telah membuat hidupmu pun menjadi kalah dan tak berdaya. Mempertaruhkan hidupmu setiap saat untuk alasan yang tidak kau mengerti. Kamu memberi tahu aku rasa kalah tak berdaya itu sekarang. Rasanya amat menyedihkan. Aku telah membuat rasa menyedihkan pada puluhan jago aduan sepertimu ! Kembali dia menangis sesegukan. Terdiam, kemudian kembali meraung-raung menyayat. Aku tak sampai hati melihatnya. Kenapa sampai begitu Bli, tenang saja, besok kita ke Tanah Lot dan beli es kelapa muda yang kamu inginkan itu. Uang depositoku masih ada. Enggak usah nangis seperti itu dong Bli. Kita memang segera akan mati, tapi kita juga tidak tahu pasti kapan waktunya. Kapan harus merasa sedih untuk itu dan berapa lama juga tidak jelas, kenapa tidak tenang saja! Kamu tidak tahu, bukan ajal yang tiang takuti, atau keinginanku yang ke Tanah Lot itu. Tapi tiang betul-betul baru tahu rasanya, saat ajal membuat kita merasa kalah dan tak berdaya. Saat kerentaan membuat kalah dan tak berdaya. Aku telah memilihkan hidup penuh taruhan nyawa, dengan ajal yang setiap saat datang menjemput kepada puluhan jago yang pernah aku adu, kini si jago memberi tahu aku bagaimana rasanya. Suamiku bercerita dengan air mata yang deras mengalir. Aku tak paham dalam tubuh penyabung ayam yang kadang kala amat keras pada anak-anaknya tersimpan perasaan yang demikian dalam. Dari dulu aku tidak suka melihat ia menyabung ayam dan membunuhi ayam-ayam kekar itu, walau akhirnya aku menikmati masakan garang asem yang ia buat. Lupa sudah aku pada ayam-ayam yang mengerang dan berdarah-darah seperti satria di medan laga itu. Ah, semua rasa memang tampaknya muncul saat kerentaan tiba. Semua penyesalan, kelemahan, ketakutan, kegalauan. Untungnya, aku tidak pernah terlalu perasa. Jadi kepergian anak-anakku yang kubesarkan dengan tetesan keringat, tak terlalu menggangguku. Walau aku kian merasa dilupakan dan ditinggalkan. Mengapa setelah tua kita menjadi tak berharga, tak menarik, tak diinginkan. Mungkin dengan rasa yang samalah aku meninggalkan kedua orang tuaku saat menikah. Dengan langkah-langkah panjang, tanpa sekali pun menoleh.
""Senja di Pelupuk Mata""
Bila malam menjejak, memanjang sampai mau beranjak di penghujung lain, seiring dengan pasang naik, dari zona pesisir sebelum jalan membelok ke pedalaman, dari salah satu rumah yang dialingi pohon-pohon bakau dari tangan lautan itu akan bangkit tembang pilu mirip lolong. Mungkin juga bukan tembang, karena hanya ada satu kalimat yang diserukan dan diulang-ulang dari awal malam dan sempurna sampai mau pagi—seperti yang diceritakan Marklopo. Di rentang waktu saat para lelaki pergi melaut, ketika pasang mengapungkan perahu dari rangkulan lumpur, sampai saat terakhir untuk mendarat sebelum laut surut dan meninggalkan satu kilometer pantai berlumpur bau amis. Lelaki rembulan yang berpedati. Lelaki rembulan yang berpedati,” katanya—dilantunkan oleh suara panjang melengking di tengah rintihan dan gerung tangisan. Lalu sunyi, dan suara angin hanya mendesus membuat daun-daun meriap di tengah sedu sedan dan isak kecil. Sebuah jeda emosi sebelum kembali mengeras menyerukan teriakan melengking, tidak ritmik tapi dalam melodi tajam yang diulang-ulang, semacam blues atau pekikan rock yang paling distortif—dan karenanya menyiksa yang mendengar. Tapi apa memang ada perempuan yang dikurung dan dibungkam lelaki, yang diam-diam mencari kesempatan pertolongan rahasia dari para perempuan dan anak-anak? Seperti si putri yang ditawan di menara oleh penyihir dan dijaga naga yang selalu tertidur bila malam tiba? Mau petang di hari ketiga Perdadu mampir di rumah ujung, di dekat jembatan sebelum jalan membelok ke pedalaman menjauhi bibir pantai, pura-pura mencari air buat mengempukkan dedak campur ampas tahu dalam ritus memberi makan kuda dalam tahang. Ia menggulung tembakau mole dalam lembaran daun kawung, sambil menunggu Dojala, nelayan teman akrabnya, mendekat dan menyapa. Perdadu memberi tawaran tembakau dan irisan tiga perempat telapak tangan daun kawung kering, dan sambil duduk di pagar jembatan bercerita tentang panen hui yang berhasil dan musim berburu babi yang direncanakan bulan depan. ”Kamu ikut?” katanya. Angin berembus. Dojala mengisap rokoknya dan menggeleng. Perdadu melirik. ”Apa ada kaitan dengan perempuan yang menangis malam-malam itu?” Dojala tak menjawab. Perdadu tak bertanya lagi. Angin reda. Membuat aroma amis ikan-ikan laut yang didodet dan dijemur tapi belum kering didera sergah panas matahari itu merajalela mengisi kampung, mengundang lalat dan serangga. Lalu angin bangkit, daun meriap dan sesekali ada derit batang yang bergesekan. Disusul bunyi anjing menggonggong, suara ayam berkotek kaget, merentet dan menendang-nendang ketenangan seperti pukulan panik penjaga malam pada lonceng pipa besi digantung dalam irama minta bantuan dari warga kampung. Kemudian segala reda, dan Dojala bercerita tentang Masteri, yang 12 tahun menduda dan sekarang selalu melaut dengan meninggalkan rumah dalam keadaan terkunci. ”Tidak seperti biasanya,” kata Perdadu. ”Tidak seperti biasanya,” kata Dojala, membenarkan. Obrolan itu jadi informasi tak lengkap, meski telah menjelaskan semuanya—tak akan lebih lengkap lagi sampai Masteri mau bercerita. Beredar ke pedalaman, ke sekitar 40 kampung dan lima desa dalam rentangan 50 kilometer. Disebarkan dari orang ke orang di warung, diperkuat oleh pertemuan di Pasar Bayah, 19 kilometer dari jembatan tempat omongan pertama dicetuskan. Lalu orang-orang yang saling bertanya, yang saling melengkapi, yang saling memperkuat dugaan dan khawatir itu tiba pada kesimpulan: Kenapa orang-orang di Kampung Paru itu tak mendobrak rumah Masteri, memintanya melepaskan kurungan dan siksaan pada si perempuan, mengembalikan kepada orangtuanya dan—bila bergairah—melamar dan mengawininya sehingga bisa bebas menyiksanya? Raspulen, yang membuka warung nasi uduk dan jadi jujugan di pasar—selain Nisoto dan Wargepuk—membuat simpul baru. Perempuan itu bukan apa-apanya Masteri, tapi dititipkan Lokrapu di sebelah, yang tak mempunyai kamar untuk menampung karena anaknya lima. ”Tapi kenapa mau?” kata banyak orang. Raspulen mengangkat bahu. Dan ketidaklengkapan itu membuat orang-orang makin penasaran, membuat orang-orang diam-diam melakukan penyelidikan. Hasilnya masih nihil, hasilnya hanya berputar pada misteri informasi pertama yang tak lengkap. Seseorang bercerita pada polisi dan polisi itu mengangkat bahu. ”Itu ada dalam lingkaran keluarga, dan mungkin menyangkut aib keluarga atau kehormatan keluarga yang kudu dijaga sehingga kasusnya setengah disembunyikan,” kata Tokpentung sambil lembut menyeruput kopi. Orang-orang menatap dan membungkam. Apa ia dapat suap? Pada hari kelima Kunpenyu mulai membangun persekongkolan. Ia, yang istrinya asli dari Kampung Paru, menghubungi setiap orang di Lelang Ikan, dan diam-diam minta tolong dan dukungan untuk menyerbu rumah Masteri, karena ia tahu kalau orang-orang—terutama para perempuan dan anak-anak—sudah tak kuat dengan lolong tangis dan lengking minta tolong dari rumah Masteri itu. ”Kenapa si Dojala, Nucumi dan Palkepiting itu hanya diam saja?” kata banyak orang. Kunpenyu celingukan. Seakan-akan takut kalau tiba-tiba Masteri di sana, muncul entah dari mana dan langsung menggampar, karena beranggapan telah menebarkan aib keluarga. Dengan separuh berbisik ia bercerita kalau lolong tangis dan teriakan perempuan itu hanya muncul kalau malam turun dan para lelaki telah melaut, memanjang sampai tiba saat para lelaki mendarat. ”Awalnya tidak ada yang tahu selain para perempuan dan anak-anak, mereka mendatangi rumah Masteri dan menemukan semuanya terkunci—dan begitu didekati suara tangis dan teriakan itu berhenti, tak menjawab meski pintu dan jendela diketuki. Baru tiga hari yang lalu para lelaki mengerti, mau tahu, dan meski rumah ditinggal Masteri melaut tapi para lelaki tidak berani mendobraknya karena begitu didekati suara tangis dan teriakan itu berhenti. Perempuan itu ketakutan.” ”Jadi …?” ”Kita bikin ia berani dengan mengalahkan Masteri.” ”Caranya?” ”Senin depan, setelah lelang ikan, kami akan menyerbu rumah Masteri. Ikut?” Perahu ditambatkan dan terbenam dalam lumpur ketika pasang surut. Bau amis bangkit, menjadi pertanda beristirahat sebelum pasang naik tiba dan perahu itu dibangkitkan seperti zombies dimunculkan dari kubur dan bergerak kaku dituntut si pemilik mantra. Orang-orang mengangkat keranjang-keranjang ikan ke tepian, yang langsung didatangi para pengepul dari Pasar Bayah dan kampung-kampung pedalaman. Transaksi terkadang berlangsung singkat, karena setiap orang hanya bertemu dengan langganannya. Sedangkan ikan-ikan sisa akan diambil ibu-ibu kampung buat dimakan sendiri atau didodet dibuang isi perutnya sebelum dihamparkan dalam rak penjemuran—sehingga bau amis seperti tidak ada habisnya. Orang-orang bercakap. Menunggu Masteri menghabiskan sarapan dan segelas kopi di warung. Mengikutinya diam-diam dan begitu ia masuk rumah, seusai membuka kunci gembok, orang-orang segera mengepung dan melempari rumah itu dengan batu dan potongan kayu. Masteri tersentak. Dengan membawa dayung rompal ia meloncat ke halaman. ”Ini apa? Ada apa?” teriaknya. Atap rumahnya runtuh semua. Cahaya matahari leluasa di seluruh kamar. Dojala mendekat. ”Terus terang saja, Ri,” katanya, ”Kamu menyembunyikan siapa? Kamu apain perempuan itu sehingga hanya bisa menangis sepanjang malam dan mengganggu orang kampung?” Masteri terbelalak. Mengawasi orang satu per satu. Berbalik. ”Tuturkeun …,” katanya, sambil mendahului, membimbing memasuki kamar demi kamar dan membukai jendela demi jendela—bahkan pintu dapur di mana banyak orang menunggu seseorang melarikan diri ke situ. ”Tak ada siapa-siapa di sini. Tidak ada apa-apa di rumah ini meski seminggu ini, tiap ditinggal melaut selalu saja berantakan seperti ada yang muring-muring mengobrak-abrik tempat ini. Aku curiga pada semua orang tapi apa untungnya masuk ke sini? Maka kukunci rumah, dan hasilnya tetap berantakan—malah sekarang hancur lebur,” katanya. ”Maaf.” ”Tapi tahukah kamu kalau dari rumahmu selalu ada perempuan menangis dan berteriak minta tolong semalaman?” Masteri menggeleng. Dan orang-orang tersenyum. Nucumi menggulung rokok kawung, menyulutnya dan memberikannya pada Masteri. Si lelaki yang hanya berkaus kutang, dengan celana bekas melaut yang kedua pipanya basah itu menerima sodoran lintingan itu. Dojala bercerita tentang kegelisahan, ketakutan serta simpati para perempuan dan anak-anak akan perempuan yang disangkanya dikurung di rumah Masteri, sehingga hanya bisa menangis dan berteriak minta tolong—sambil seseorang menirukan teriakan melengking dan melodius yang minimalis diulang-ulang. Mata Masteri berkilau oleh takjub, tidak percaya dan ingin tahu. ”Kenapa kalian nggak mendobrak rumahku?” Mereka menggeleng. Bilang kalau suara itu selalu hilang begitu didekati dan berubah jadi senyap saar jendela dan pintu diketuki dan namanya dipanggili. ”Maafkan kami, Ri. Kami pikir si perempuan itu ketakutan dan tak berani karena kamu kasar…” kata Dojala. Masteri bungkam. Siang itu ia pindah istirahat di rumah Dojala—menunggu janji orang-orang yang akan membangun rumah di ladang di belakang rumah Dojala, seberang jalan selepas jembatan dan belokan di dekat tebing sungai. Tapi ia tak bisa beristirahat, orang-orang sekampung dan yang dari pelelangan ikan berurutan datang, membawa penganan dan minta maaf dengan tulus. Masteri mengiyakannya. Kemudian orang-orang yang dari Pasar Bayah dan akan pulang ke kampung di pedalaman mampir menyimak cerita sambil menunggu sais dokar dan pedati beristirahat dan memberi ransum kuda di dekat jembatan di depan rumah Dojala. ”Sesungguhnya itu apaan? Kenapa bisa tiba-tiba muncul padahal selama 45 tahun dan 12 tahun menduda aku tidak menemukan hal aneh di situ?” kata Masteri. Orang-orang mengangkat bahu. Bertanya tentang jimat, akik atau barang pusaka warisan yang dimiliki Masteri. Yang ditanya menggeleng. Jadi apa? Malam hari tangis dan teriakan itu muncul dan saat didekati senyap. Siangnya seluruh papan dinding dan daun pintu dan jendela dicopoti, dan malamnya mereka mengintip dari jauh saat si perempuan itu muncul sebagai suara tanpa ujud—berteriak minta tolong. Suara tangisan dan teriakan itu muncul dari kolong rumah, merayap naik ke atas dan bergaung di ruang kamar rumah panggung yang malam sebelumnya bersekat. Tapi apa yang ditangisi, siapa yang menangis, dan kenapa terdampar di situ tak pernah jelas. Dan ketika mereka bersiap akan memindahkan kerangka rumah, setelah seluruh papan lantai diangkat, di kolong rumah itu mereka menemukan kepala busuk perempuan berambut ikal yang kuping, hidung, kedua bibir, dan kedua matanya habis dicuil. Itu mungkin diapungkan pasang naik dan kemudian digondol anjing-anjing kampung ke kolong rumah Masteri—yang bilang, di seminggu lalu anjing ramai berebutan makanan di kolong rumah, dan tak mau pergi saat diusur dengan jejakan kuat di lantai papan. Tanpa banyak cakap mereka menyiapkan penguburan sempurna, memakamkannya di tempat di mana kepala itu ditemukan. Sejak saat itu suara tangis dan teriakan minta tolong tak terdengar lagi, meski setahun sekali, tepat semalam sebelum hari pasang naik luar kelaziman yang mendamparkan kepala itu ke Kampung Paru—entah dari mana—perempuan akan menangis dan berteriak minta tolong sepanjang malam. Tapi orang-orang sudah terbiasa dengan tangis dan teriakan itu. Bahkan sebulan setelah seluruh kerangka rumahnya diusung, dipindahkan dan ditegakkan di tebing sungai Masteri nandur bibit bakau di bekas rumahnya, yang tanahnya selalu lembab karena resapan pasang naik, sehingga kuburan itu segera terkurung jajaran bakau yang rapat sepanjang pantai— empat rumah yang tersisa diam-diam dipindahkan ke seberang jalan. Dan seluruh pantai itu kini ditumbuhi bakau, dan anak-anak generasi kemudian lebih percaya kalau semua itu suara angin di batang bakau bila setahun sekali si perempuan itu mulai menangis dan berteriak minta tolong. Catatan: tahang: ember kayu diperkuat beberapa cincin besi mole: tembakau rajangan yang belum diberi bumbu jujugan: tempat yang dijadikan acuan/tujuan datang kudu: harus rompal: sisinya tak lagi rata, rusak karena dipakai muring-muring: uring-uringan
""Kiriman Laut yang Terlambat""
Stasiun Nagoya terlihat sangat sibuk, bahkan di siang hari. Aku melangkah gontai menuju bangunan depannya yang berwarna pualam dengan relief lengkung sebagai pintu masuk utamanya. Aku seperti mengenal tempat ini dengan lebih baik daripada tempatku bekerja. Dan sebulan terakhir ini tampaknya menjadi kenangan yang indah antara aku dan Stasiun Nagoya, yang akan berakhir hari ini. Ketika sudah berada di atas kereta Shinkansen dalam perjalanan kembali ke Tokyo, aku tiba-tiba mengerti arti sebuah kalimat di apartemen kecilku yang lebih merupakan perangkap daripada sekadar tempat tinggal. Kalimat yang ditinggalkan penghuni sebelumnya. Dia mencoret-coret dengan kasar pada pintu toilet sebuah kalimat sederhana tetapi tidak sesederhana itu. ”Tuhan itu Adil, tetapi Dunia Tidak!” pesan singkat dari surga atau dari korban kehidupan Dunia. Iming-iming tangga sukses yang menunjuk langit membuatku melakukan gerakan banting setir yang berbahaya. Kutinggalkan bertahun-tahun latihanku untuk menjadi seorang art director yang hebat dan beralih menjadi seorang penata cahaya pertunjukan. Cahaya yang bernama Tokyo itu sungguh telah menyilaukan mataku. Menutupi perasaanku. Dan sekarang semua kegetiran ini harus kutanggung sendiri. Kutekan mata dengan lenganku, berusaha menghapus ingatan dan impian. Hancur sudah kerja keras selama tiga tahun. Selama itu aku tidak tidur dengan baik, tidak makan dengan baik agar bisa mendapatkan hari seperti hari ini. Tetapi Nagoya tidak berpihak padaku. Hari ini aku dipertunjukkan sebuah citra tersembunyi tentang kehidupan binal para seniman cahaya seperti diriku. Karyaku dibajak, sebuah masterpiece kehidupan yang tercipta dari kepalaku telah dicuri. Aku yang begitu suci, berontak, amarahku meluap, mataku membuta, seingatku kujatuhkan semua orang di hadapanku dengan sumpah serapah dan aku pun menjadi seorang tertuduh. Martabatku yang ganti dijatuhkan dan aku memilih pergi. Mulai sekarang aku harus memasang papan nama ”sumpah serapah” di depan dadaku setiap kali aku ingin tahu ke mana kesempatan dan impian itu pergi. Lalu sesosok bayangan muncul di permukaan Danau Hana-Miya. Dan sejak tiga tahun lalu aku selalu berdiri di sini, berdampingan dengan pohon sakura Hana-Miya. Pohon sakura kesukaan Hagu-chan, sahabat terbaikku di tempat nan asing dan dingin ini Ini hampir akhir bulan Maret. Dan seluruh kota Tokyo sebentar lagi akan menggelar Festival Hanami yang diadakan untuk melihat dan menikmati sakura mekar. Orang akan menggelar tikar di taman-taman yang ditumbuhi pohon sakura jenis Shomei-yoshino yang paling terkenal di Tokyo. Pemerintah Jepang sudah mengumumkan prediksi mereka bahwa tahun ini sakura akan mekar selama 11 hari. Jika sakura mekar, berarti Hagumi akan segera terbang kemari dari mana pun dia berada. Dia adalah contoh gadis pemberani. Dia kabur dari apartemen mahal orangtuanya di Central Park West Manhattan demi mengejar impiannya di negaranya sendiri. Dia juga seorang yang berhasil keluar dari kegetiran stres pascatrauma yang dialaminya akibat ”kesadaran anesthesia” ketika dia masih berusia 10 tahun. Siapa pun pasti bergidik ketika membayangkan kondisi di mana pasien tetap sadar penuh selama operasi berlangsung meski sudah mendapat anesthesia (obat bius). Kisah Hagu berhasil membetotku keluar dari ruang hidupku yang kecil. Dia pernah mengutip sebuah kalimat, ”Jepang itu seperti bubur budaya yang mendidih, yang tak pernah berhenti membakar agar mereka tetap ada”. Lalu dia pun membawaku keluar ke semua tempat itu, ditemani Yuji-san, kekasihnya yang seorang pemain saham yang beruntung. Sebuah pesan singkat muncul di ponselku. Hagu memintaku bertemu di tempat biasa, Ropponggi. Hatiku seakan berbunga, terlupa kalau aku baru saja terhukum, terpojok pada dinding. Aku bergegas menuju subway jalur Hibiya agar bisa secepatnya sampai di Stasiun Ropponggi. Roppongi. Sebuah image hedonisme dunia malam di kota Tokyo. Aku biasa ke sini jika aku rindu sate atau rendang, atau sekadar mengusir penat dengan berjalan-jalan seputar Ropponggi Hills, atau ketika aku mulai bermimpi lagi, sedang menata cahaya sebuah pertunjukan di Suntory Hall, auditorium musik terbaik di dunia, atau ketika kuingin memasuki Vanilla, Gaspanic dan Velfare, klub malam terbaik di Ropponggi untuk sebuah tujuan mahal bernama inspirasi. Velfare adalah tempat tujuanku, kami biasa berkumpul di sini. Klub dengan kapasitas 2.000 orang dan memiliki Superbe– Lighting System. Cahaya indah yang selalu membuatku kagum seakan sedang jatuh cinta. Tapi Velfare sedikit muram malam ini. Aku memilih duduk di bar ketika tak kutemui Hagu atau Yuji di sana. Ken’ichi atau Kenny, bartender yang sudah sangat kukenal, memandangku sejurus lalu mengatakan kalau aku sudah ditunggu sejak tadi. Lalu menunjuk orang yang duduk di sampingku. Aku berusaha mengenalinya, tetapi belum apa-apa, sorot mata tajamnya mencabikku tanpa ampun. Aku pun bergidik. Kenny menjelaskan bahwa dia adalah teman Hagu dan Yuji. Seorang penata cahaya tersohor di Jepang, pernah menerbitkan buku tentang penataan cahaya, dan salah satu karyanya adalah tempat ini. Velfare. ”Apa Anda sedang mengerjakan proyek di Nagoya?” tanyanya begitu tiba-tiba yang kujawab dengan gelengan kepala penuh rasa panik dan bingung. Lantas tanpa sungkan dia bertanya, ”Apa kau menjiplak karya orang lain?!” Aku pun berontak dan berteriak ”Omong kosong apa ini!!” lalu bergegas pergi. Namun dengan cepat orang itu mencengkeram tanganku sambil berujar, ”Aku yang mendiskualifikasi karyamu. Apa kau tidak tahu bedanya membuat karya sendiri dan meniru pekerjaan orang lain?!” Aku tidak bisa bicara hanya bisa berteriak dalam hati lalu berlari, menabrak tubuh-tubuh berpeluh dengan bau parfum yang wanginya lebih memabukkan daripada alkohol. Orang itu masih tetap mengejar. Aku menerobos keluar tak peduli tatapan aneh dari orang-orang. Pria itu menggapai pundakku dan membalikkan tubuhku dengan kasar dan berteriak lagi, ”Haruskah kau kutampar agar bisa sadar!!” Aku lelah dituduh. ”Aku tidak meniru. Orang lainlah yang membajak karyaku. Aku… aku…” Ropponggi yang gelap di malam hari jadi semakin gelap. Sebersit cahaya satu-satu menyentuh kelopak mataku, membangunkan kesadaranku. Ruangan yang dipenuhi jejak cahaya yang ditata indah menyorot seperti lampu mercusuar yang menindas tubuh-tubuh yang tergeletak di sampingku. Hagu dan Yuji, juga sesosok tubuh yang berdiri di depan pintu. Aku mengenalnya, aku membaca bukunya, aku fans terbesarnya. Ryusuke Sekiguchi, sang Maestro Cahaya. Dia menulis bahwa ”Cahaya itu punya sebuah rahasia. Dia akan terlihat lebih indah di kegelapan. Dan sosok yang tersorot cahaya itu akan terlihat seperti bidadari yang terselubung gemerlap bintang”. Dan pria itu baru saja memaksaku memuntahkan sepotong kesalahpahaman pikiran yang telah kutelan bertahun-tahun. Lewat senyumnya dia berusaha memberi tahu kalau Ropponggi hanyalah sebuah kota terselubung cahaya dengan berbagai image-nya yang berkilau, dan tak lebih dari itu.
""Ropponggi""
Desau angin berpusar kencang. Merobohkan pohon-pohon. Berdebam. Merontokkan daun-daun kersen di sekitar pabrik gula yang telah lama mati. Gedung tua berlumut, dengan cerobong asap berkarat itu berderak-derak. Sakri memandangi angin yang terus berpusar, mengangkat genting-genting gedung tua pabrik gula dengan rel membentang tanpa lori melintas di atasnya. Tak pernah dilihatnya sebelum ini angin mematahkan ranting-ranting, menerbangkan genting-genting pabrik gula, yang cerobongnya tak lagi membubungkan asap. Lelaki tua itu menantang desau angin dari langit dan gemeretak dahan patah di Bumi. Rintik hujan tajam meruncing, nyeri menghunjam wajahnya. Makin takjub ia ketika melihat cerobong asap gedung pabrik gula yang senyap itu bergetar dan membubung ke langit. Berpusar. Tinggi. Tak terlihat lagi. Orang-orang menjerit. Meminta Sakri meninggalkan pabrik gula yang seluruh temboknya berlumut dan ditumbuhi rerumputan mengering. Dengan menyungging senyum, Sakri menyambut pusaran angin. Kedua tangannya dibentangkan. Tubuhnya yang keriput kurus, dengan rambut memutih beruban, terangkat. Dipusar angin. Menjelang senja itu, dalam desis gerimis, pusaran angin telah mengangkat Sakri dari tempatnya berdiri di bawah pohon kersen. Lenyap. Arum—anak angkat Sakri—memekik kencang. Ia sedang mencari ayah angkatnya, memintanya pulang. Membawakan payung. Jeritannya terdengar memanjang, memekik kencang. Payung di tangan Arum terangkat. Gadis itu membiarkan payungnya dipusar badai. Ia hanya ingin menyelamatkan ayah angkatnya. Ia ingin lelaki tua itu kembali ke rumah. Memang akan selalu terjadi pertengkaran dahsyat antara Sakri dan istrinya. Pertengkaran dengan teriakan-teriakan, kegaduhan, makian kasar, tanpa rasa malu. Arum merasa takut bila ayah dan ibu angkatnya itu bertengkar. Tapi ia lebih takut melihat ayah angkatnya dipusar angin, membubung ke langit, lenyap dalam cakrawala bumi senja. ”Aku akan moksa,” kata Sakri, tiap kali ia dimurkai istrinya, terutama bila perempuan tua itu dibakar api cemburu, dan mereka berkubang pertengkaran tanpa ujung. ”Akan kutinggalkan kalian, dengan tanpa menyisakan raga.” ”Cobalah moksa! Aku ingin sekali melihatmu lenyap tanpa jasad!” ledek istri Sakri. ”Kau selalu tak memercayaiku. Juga ketika kukatakan, aku akan menjadi orang terhormat di wilayah ini, kau mencibirku. Tiba saatnya nanti aku akan kembali bekerja seperti dulu.” ”Siapa bilang? Kau selalu mengigau!” ”Ayo, kubawa kau pada guruku, Eyang Sabdo Palon, di lereng Gunung Lawu! Biar kau dengar seluruh wasiatnya, aku akan hidup mulia di masa tua.” Tengah malam itu Sakri meninggalkan rumah, berjalan-jalan seorang diri dalam sunyi. Langit terang, menampakkan gebyar bintang-bintang, sesekali menggaris lengkung puncak malam. Ia terus menyusuri sunyi rel menuju pabrik gula yang aus tanpa deru mesin. Melangkah pelan-pelan di sepanjang rel yang ditumbuhi rerumputan liar. Memandangi ladang bekas kebun tebu. Memandangi dengan harapan sebagaimana dulu: ketika pabrik gula itu masih menyuarakan deru mesin musim giling. Pada puncak malam ia memandangi pohon-pohon kersen yang kini tumbuh liar, lebat, dengan daun-daun kekuningan luruh waktu demi waktu. Di sini dulu dia, tengah malam, menemukan bayi perempuan, yang kelak dinamainya Arum. Saat itu Sakri mendengar suara tangis bayi di antara langkah kaki menyusuri rel yang membentang di hadapannya. Ia tergerap dalam senyap malam merapuh. Disibaknya semak belukar yang kian lebat menutup rel. Lembut kepak sayap kelelawar dan cericit burung-burung sriti, membawa kembali ingatan Sakri pada anak angkatnya itu, yang kini sudah menjadi gadis. Langkah Sakri menyusuri jalan setapak menembus ladang jagung, menyeruak padang lalang, dan menuruni tebing. Ia mencapai tepi sungai yang bening. Sejenak ia ragu. Teringat akan wajah teduh Eyang Sabdo Palon. ”Jangan ragu-ragu. Berendamlah pada tengah malam di sungai itu. Cari ketentuan hatimu,” selalu didengarnya bisik eyang bermata cemerlang di Lereng Gunung Lawu. Arum suka menyusuri sunyi rel pabrik gula yang telah mati itu sendirian. Menyelusuri suara bayi. Terdengar jauh. Sangat jauh, dalam ceruk malam. Dalam semak belukar dan sunyi rel yang dulu selalu bergemuruh saat lori pengangkut tebu melintas. Ia berharap bisa bertemu dengan seorang ibu yang dulu meletakkan bayi itu di depan pabrik gula, dalam bungkus kain, dan burung-burung sriti berkelepak di sekitarnya. Hingga Sakri memungutnya, memberi nama Arum. Di dekat bayi yang tergeletak, tumbuh melati yang gersang berdebu, tengah mekar bunga-bunganya. Kebiasaannya berjalan-jalan, menyusuri rel dan pabrik gula itu, tak bisa ditinggalkan Arum. Ia selalu tergoda untuk melangkah di antara rel yang tak lagi dilintasi lori pengangkut tebu. Kali ini ia tergoda untuk menyusuri rel. Ia tergeragap, saat menemukan seorang perempuan tua, kurus, tertatih-tatih mencari pohon kersen—yang tentu saja paling rindang—seperti melacak sesuatu di tempat itu. Perempuan tua itu terus berbincang-bincang sendirian. Arum mendengar desis perempuan tua itu. Ia ingin mendekatinya. Barangkali perempuan tua itu mencari-cari bayi yang dulu pernah dibuangnya di bawah pohon kersen. Barangkali perempuan degil itulah ibu kandungnya. Arum bergetar. Ia ingin segera berlari, merengkuh perempuan tua itu, siapa pun dia. Ingin ia menemukan perempuan yang memberinya citra seorang ibu. Dengan langkah digayuti rasa bimbang, Arum mendekati perempuan itu. ”Apa Ibu mencari seorang bayi?” ”Bayi? O, tidak. Aku mencari tempat yang nyaman untuk tidur.” Dan perempuan tua itu membenahi tempat di sisi pabrik gula yang mati. Menghamparkan kain sarung tua, tidur, dan tak menggubris Arum. Begitu saja perempuan tua itu terlelap. Tak merisaukan apa pun, kecuali pulas tidur. Dengkurnya sangat kencang. Sesekali perempuan tua itu mengigau. Meracau. Memaki. Terdiam lagi. Mendengkur. Tengah malam, ketika Arum memasuki pelataran rumah, ia berpapasan dengan ayah angkatnya. Sakri tampak lelah berjalan-jalan. Suara sandal tersaruk-saruk tanah. Lelaki tua itu memandang ceruk kegelapan dengan tatapan memancarkan tanda tanya. Tapi bibir yang mengepulkan asap rokok itu memaksakan diri untuk tersenyum. ”Dari mana saja Ayah semalam ini?” Arum menandai rambut ayahnya basah. Biasanya lelaki tua itu berendam di air sungai hingga menjelang dini hari. ”Aku mencari wangsit. Kelak kalau aku memang benar mulia di pabrik ini, seperti dikatakan Eyang Sabdo Palon, kita akan hidup makmur, hingga anak cucu.” Ingin Arum memekik. Iba pada ayah angkatnya—yang kini menampakkan ketuaan wajah, yang dulu legam terpanggang matahari di kebun tebu. Hamparan tanah yang dulu ditumbuhi batang-batang tebu kini mulai dipetak-petak. Ditanami sayur-mayur. Dijadikan ladang jagung. Tak ada lagi batang-batang tebu yang ditebang, diangkut dengan lori menyusuri rel ke pabrik gula yang mengepulkan asap dari cerobong besi. Dada Arum kian sesak, dan belum beranjak dari pelataran rumah. Dia baru saja berjalan-jalan mengitari pabrik gula, dekat rel yang ditumbuhi semak lalang. Dia merasa tenteram mencium aroma buah-buah kersen meranum. Dalam kisah ibu angkatnya, di bawah pohon kersen yang menggugurkan buah-buah ranum itu—pada waktu bayi—ia dikerumuni semut. Sinder Sakri membawanya pulang. Menamainya Arum, lantaran ranum buah-buahan kersen yang berserakan di sekelilingnya dan bunga melati liar menyebar bau harum. Semasa kanak-kanak, ketika tebu-tebu ditebang musim panen, Arum bersama teman-teman sepermainan suka mencuri tebu dari lori yang melintasi rel. Batang-batang tebu yang semula gembung, padat, berair dan manis, lama-kelamaan, Arum merasakannya kian kurus, menguning, kering tanpa air. Batang-batang tebu itu kian mengering tiap kali dipanen. Arum paling lincah bergerak, berlari di belakang lori pengangkut tebu, melolos satu batang, dan memakannya di belakang pabrik gula. Sebatang tebu itu dikupas, dipotong-potong, disayat, dikunyah-kunyah dan diisapnya bersama beberapa kawan kecil. Ladang tebu kian susut. Makin jarang lori kereta mengangkut tebu, menyusuri rel, memasuki pabrik. Musim giling tebu cuma sesekali, hingga gemuruh mesin itu tak terdengar lagi. Cerobong asap pabrik tak mengepulkan asap ke langit. Lahan tebu makin lenyap—petani memilih mengolah lahan itu sebagai ladang sayur, ladang jagung dan sawah. Tapi Sinder Sakri senantiasa berdandan gagah setiap pagi, meninggalkan rumah, mendatangi lahan-lahan bekas perkebunan tebu, mendatangi pabrik yang senyap, dan nongkrong di warung kopi. Dia menghabiskan waktu untuk minum kopi, merokok, dan berbincang-bincang dengan bekas mandor dan bekas petani penggarap lahan tebu—yang kini memilih menggarap sawah dan ladang. Tiap pagi istri Sinder Sakri memandangi kepergian suaminya dengan mata terbakar api cemburu. Mata yang menebar jaring kecurigaan. Tajam. Menyengat Menyembunyikan kemesuman di baliknya. Arum senantiasa melihat, ibu angkatnya itu suka main mata dengan anak-anak muda, mandor, atau lelaki-lelaki gagah yang berpapasan dengannya. Mata itu genit dan mesum, yang disembunyikan di balik senyum. Tapi setiap saat, perempuan itu suka mencaci maki suaminya, dengan kecemburuan yang menajam. Membakar rumah dengan api pertengkaran. Mencabik-cabik perasaan Sakri. Ragu-ragu, dalam gelap tengah malam, Sakri dan Arum enggan melangkah memasuki pelataran rumah. Sakri lebih dulu mengetuk pintu. Arum bersembunyi di balik punggungnya. Saat pintu rumah benar-benar dibuka, mata perempuan tua yang dibakar cemburu itu memberangus disertai cercaan, ”Huh! Pasti kau cari perempuan muda! Rambutmu basah, habis mandi keramas, tentu baru berbuat mesum dengan perempuan muda! Memalukan!” Sakri terdiam. Mengepulkan asap rokok. Menerobos masuk. ”Siapa perempuan yang kaukencani malam ini?” Tersenyum, tak menukas, Sakri melangkah ke meja, mencecap sisa kopinya yang dingin, merokok, dan pandangannya menerawang jauh: kosong, tidak lagi bersentuhan dengan benda-benda di depannya. Tubuhnya seperti tak lagi berpijak ke Bumi. Terlontar ke langit. Usai badai yang berpusar menerjang pabrik gula, mengangkat atap, cerobong asap, tampak langit dan daratan tanpa semilir angin. Dedaunan basah, menetaskan sisa hujan badai, dalam diam. Terhampar onggokan genting dan atap pabrik. Terserak. Tumpang tindih. Orang-orang keluar rumah. Sebagian menangis. Sebagian yang lain meraung-raung. Arum tidak menangis. Tidak meratap-ratap. Ia berjalan ke arah kepergian ayah angkatnya. Melacak tempat lelaki tua itu terpukau di sisi pabrik gula berlumut. Tapi pabrik gula kusam itu—selain cerobong asap dan atap yang lenyap—masih tampak utuh. Berhenti di depan reruntuhan atap, Arum mendekat ke bawah pohon-pohon kersen. Dahan-dahannya patah. Getas terlempar badai. Beberapa pohon tinggal batang. Yang lain tumbang. Melangkah gadis itu ke arah ladang di belakang pabrik gula. Telah roboh ladang jagung petani, terserak-serak batangnya. Dan Arum tak menemukan Sinder Sakri di sini. ”Aku tahu di mana Ayah berada,” desis Arum, melangkah ke arah lereng pegunungan. Di sini sebagian atap rumah penduduk teronggok. Pohon-pohon masih berdiri kokoh. Hanya dahan-dahan dan dedaunan yang terserak. Di bawah sebuah pohon beringin tua, rimbun di sisi sendang, Arum terhenti. Ia tengadah. Menatap sesosok tubuh yang tersangkut di rimbun dedaunan pohon beringin tua. Ia segera memekik. Yang dilihatnya bukan lelaki lain. Lelaki tua itu ayah angkatnya. Orang-orang berlari mendekati Arum. Memandangi tubuh Sinder Sakri yang tersangkut pada dahan pohon beringin tua. Beberapa lelaki mencoba memanjat. Berharap mereka dapat menurunkan tubuh Sinder Sakri yang kerempeng itu. Tubuh yang merapuh. Basah. Tak sadarkan diri. Orang-orang menurunkan Sinder Sakri. Arum berharap, ayah angkatnya masih memiliki detak nadi. Terbaring dengan mata terpejam, napas tertahan, Sinder Sakri ditunggui Arum, yang tak mau meninggalkannya, hingga kesadaran dan kekuatan tubuh lelaki tua itu pulih. Arum memberinya makan, meladeni minum, dan menanggapi pembicaraannya yang meracau. Ia tak mau meninggalkan lelaki tua itu. Istri Sinder Sakri memandangi suaminya dari kejauhan. Tak mau bicara. Cuma matanya yang masih mengejek. Mata yang cemburu. Mata yang tak pernah mengenali napas dan nadi suaminya. Mata yang tak putus menebar jaring kecurigaan. Datang pemilik pabrik gula, menengok Sinder Sakri. Memasuki kamar. Berbisik di telinga Sinder Sakri yang memejamkan mata. Sinder Sakri membuka kelopak matanya. Menatap dengan cahaya berselubung rahasia. Tersenyum, usai mendengar bisikan pemilik pabrik gula. Tergagap-gagap. Tubuhnya masih lemah dan ruang kamar berputar-putar dalam kepalanya. Ia merasa dalam pusaran angin, yang membawanya membubung langit, dalam ketaksadaran. Ia sesekali mengigau. Kadang ia merasa terisap pada sebuah lorong waktu yang memusarkannya pada kekosongan berkabut. Desau angin berdesing. Ia mencari cahaya. Kadang cahaya itu menyilaukannya. Kadang gelap pengap serasa dalam sumur beracun. Yang membuat Sakri tenteram, ia masih mendengar suara Arum. Dengan mata terpejam, ia mencari ketenangan. Memang sesekali ia mendengar istrinya yang menggerutu. Mencemoohnya. Mengutukinya, ”Itulah ganjaran lelaki yang suka selingkuh!” Tak sepatah kata pun Sinder Sakri menukas omelan istrinya. Yang ia dengar, pemilik pabrik gula sekali lagi membisik, ”Mari, kita bekerja lagi. Kita bangun kembali pabrik gula. Kau bisa mengelola perkebunan tebu seperti dulu.” ”Oh, ini sungguh menakjubkan!” seru Sinder Sakri. ”Akan kuajak para petani kembali menanam tebu.” Kembali pemilik pabrik berbisik ke telinga Sinder Sakri. Bisikan yang menahan rekah senyum lelaki tua itu, ”Kutitipkan Arum padamu. Ibunya, perempuan simpananku, tak mau membesarkannya. Perempuan itu meletakkan bayinya di bawah pohon kersen depan pabrik gula, dan ia memilih pergi ke kota, menyelamatkan diri. Aku harus berterima kasih padamu. Jangan sampai terbongkar rahasia ini. Biarlah dia tak tahu siapa orangtuanya. Kupikir aku masih akan terus berdekatan dengannya. Ini sungguh sangat berharga. Aku masih memiliki harapan.” Sepasang mata istri Sakri bagai tungku, menghanguskan kecurigaan yang tak pernah terpahami. Mata yang risau, memandang suaminya dengan menghujat. Mata yang kecewa pada Arum, gadis dari bawah pohon kersen pabrik gula yang lembab, kusam, berlumut, dengan cericit lembut burung-burung sriti mengitari rintik gerimis. Sepulang pemilik pabrik gula, Arum merasa seperti dilambungkan ke langit, dengan pusaran rahasia keluarga ini, yang tak pernah dimengerti. Pandana Merdeka, Februari 2008
""Sakri Terangkat ke Langit""
Untuk Bona dan Weni Aku yang ngotot agar kami terbang terpisah. Kubatalkan satu tiket yang telah dipesan suamiku. Tiket murah pula, sehingga aku harus membayar besar untuk perubahan jadwal. Tapi, biar saja. Aku merasa lebih aman begini. Terbang terpisah darinya. Kamu terlalu dramatis, Ari. Katanya. ………Tidak. Aku ini sangat realistis, Jati. Bantahku. Sejak dua anak kami sudah bisa tidak ikut dalam perjalanan, sejak kami telah bisa meninggalkan mereka di rumah, aku memutuskan untuk tak akan terbang bersama suami dalam satu pesawat lagi. Atau terbang pada waktu bersamaan. Salah satu di antara kami harus terbang lebih dulu. Setelah pesawatnya dipastikan mendarat dengan selamat, barulah yang lain boleh berangkat. Ini keputusanku yang harus dilaksanakan. Jika suamiku menelikung tidak menurut—seperti kemarin ia mengurus tiket kami—ia akan tahu rasa. Aku membatalkan tiketku dan memesan sendiri. Statistik mengatakan, moda transportasi pembunuh paling besar adalah lalu lintas darat. Begitu katanya. Kecelakaan maut motor lebih banyak daripada kecelakaan pesawat. Itu statistik. Statistik juga bilang, kalau kepalamu ditaruh di kompor dan kakimu dibekukan di freezer, suhu tubuh di perutmu normal. Bantahku. Bagaimana kita mau mengabaikan fakta: Adam Air terbang tanpa alat navigasi. Adam Air jeblug di laut. Mandala jatuh waktu lepas landas. Garuda meledak ketika mendarat. Semua terjadi dalam satu tahun! Lagian, meski persentase lebih kecil pun, kalau kita kena lotre buruk, meledak ya meledak, nyemplung ke laut ya nyemplung ke laut. Itu namanya sial, kalau bukan takdir. Karena itulah, daripada dua-dua dari kita kena takdir, lebih baik salah satu saja. Paling tidak, dengan begitu anak kita tidak jadi yatim piatu. Tak ada lagi cerita terbang bersama atau bersamaan. Titik. Aku mengunci gesper sabuk pengaman. Mesin pesawat propeler sudah menyala. Derunya seperti makhluk hidup terkena bronkitis, penyakit yang sudah lama tidak disebut-sebut di negeri ini. Kini orang lebih mengenal infeksi saluran pernapasan atas alias ISPA. Kira-kira begitu aku merasa derau mesin baling-baling ini. Setiap saat bisa batuk darah. Lalu kolaps. Aku memandang ke bandara yang kecil, yang lebih pantas disebut rumah besar ketimbang pelabuhan. Suamiku tampak di sana, berdiri kacak pinggang, menunggu saat melambai hingga pesawat lenyap di udara, di atas gunung-gunung yang berkeliling. Aku menelan ludah. Terbang adalah menyetorkan nyawa kepada perusahaan angkutan umum. Kita bisa mengambilnya kembali. Bisa juga tidak. Dan tak ada rente. Kalau untung, hanya ada tiba dengan selamat. Aku sesungguhnya sangat takut. Penyiksaan akan berlangsung tujuh jam, termasuk transit dan ganti pesawat. Tapi selalu ada cara untuk survive. Kusetorkan diriku yang cemas, yang bertanggung jawab, yang berkeringat dingin membayangkan anak-anakku kehilangan ibu yang menghangatkan mereka dalam sayap-sayapku, yang menitikkan air mata atas jerih payah suami bagi kami. Kusetorkan diriku yang itu bersama jiwaku ke kotak hitam di kokpit. Jati, kalau ada apa-apa denganku, aku yang kamu miliki ada di kotak hitam itu, ya. Yang duduk di kursi sekarang adalah aku yang lain. Aku yang kuat untuk menghadapi kengerian. Yaitu, aku yang tak bertanggung jawab. Aku yang tak memiliki suami ataupun anak-anak. Aku yang lajang petualang. Dan lihatlah. Seorang lelaki tergesa-tergesa melewati pramugari yang cemberut karena ia membuat penerbangan telat jadwal. Ia meletakkan bagasi ke dalam kabin di atas kepalaku. Ia mengangguk kepadaku sebelum duduk di kursi sebelahku. Terhidu bau tubuhnya. Bau hangat manusia. Aku membalas ringan dia, lalu mengalihkan pandangan ke jendela. Pesawat mulai ber- gerak. Jati melambai di bawah sana. Aku membalas. Selamat tinggal! Kira-kira dia adalah seorang peneliti. Seorang peneliti lapangan. Seorang peneliti yang biasa di alam bebas. Di hutan. Bukan di lab. Di goa. Di padang rumput berpasir. Ia mengenakan kaca mata. Perawakannya keras. Otot kedang tangannya tegas. Urat- urat pada lengannya mencuat. Itulah yang dapat terlihat jika aku tak mau jelas-jelas menoleh kepadanya. Pada ransel yang diletakkan di bawah kursi depan, tersangkut botol minum aluminium SIGG. Dengan stiker “kurangi plastik”. Ia mengenakan sepatu gunung Eiger. Ataukah dia orang film. Film dokumenter lingkungan. Ah, aku tak bisa melihat lipatan perutnya, meskipun ia mengenakan T-shirt kelabu yang dimasukkan di balik kemeja korduroi hitam yang terbuka. Ia pasti memiliki six-pac yang lumayan. Dari kulit jemarinya, kira-kira ia empat puluhan. Sebetulnya, sudah lama aku tak ingin ngobrol dengan orang seperjalanan. Sia-sia. Lebih baik baca buku daripada menghabiskan waktu dengan makhluk yang tak memberi kita pengetahuan dan tak akan kita ingat lagi. Setidaknya, buku menambah isi kepala. Manusia sering-sering cuma menghabiskan urat kepala. Kukeluarkan buku. Kuletakkan di pangkuan, sebab aku sulit membaca ketika lepas landas dan lampu tanda kenakan sabuk belum mati. Java Man. Garniss Curtis, Carl Swisher & Roger Lewin. Aku ingin memejamkan mata dan berdoa, tapi kulihat lelaki di sebelahku bergerak. Gerakan mencontek judul buku, kutahu dengan sudut mataku. Ah, tebakanku takkan jauh. Ia orang lapangan, bergerak di sekitar soal lingkungan. Aku menyadari pesawat ini tak punya lampu tanda kenakan sabuk pengaman. Sialan. Kuno amat. Setelah burung bronkitis ini terbang mendatar, aku menarik napas lega yang pertama, dan mulai membaca lagi. Kutangkap lagi dengan sudut mataku, ia bereaksi terhadap bacaanku. Ah! Kupergoki saja dia. Sambil bisa kuperhatikan sekalian, seperti apa mukanya. Ia memiliki wajah lelaki baik. Lelaki baik adalah lelaki yang tidak tengil atau sesumbar, tidak sok tahu atau menggurui. Meski tidak berarti lelaki baik-baik. Lelaki baik-baik, yaitu yang setia kepada keluarga, bisa saja sa- ngat menyebalkan dan suka membual demi menegakkan citra kepala keluarga. Lelaki baik adalah lelaki yang menyenangkan untuk diajak ngobrol bersama, meski belum tentu baik untuk hidup bersama. Nah! Ia tertangkap basah sedang mencontek! Aku tersenyum padanya. Toh tadi juga kami sudah saling mengangguk. “Sudah pernah baca?” tanyaku. “Boleh lihat?” Dan tentu saja kami jadi bercakap-cakap. Ia memang lelaki baik. Kebanyakan lelaki punya beban untuk tampak lebih tahu dari perempuan. Tapi dia tidak. Dia banyak bertanya tentang duniaku. (Kebanyakan lelaki lebih suka menjawab tentang diri sendiri. Jika kita tidak bertanya, mereka akan membikin pertanyaannya sendiri dan menjawab sendiri.) Dari cara bertanyanya, ia mirip wartawan dari koran atau majalah yang baik pula. Jadi, apa kerjanya? “Macam-macam sudah saya coba,” katanya. “Saya pernah kerja di pertambangan. Saya pernah kerja di kapal.” “Di kapal?” “Di kapal, jadi juru masak, jadi fotografer….” “Jadi juru masak?” “Iya. Jadi juru masak di kapal. Jadi fotografer di kapal….” Tak bisa tidak aku menyimak dia dari rambut ke sepatu, mencari jejak-jejak pekerjaan itu. Ia memiliki gestur yang rendah hati. Barangkali ia lebih pekerja badan ketimbang peneliti. “Jadi penjahit juga pernah. Beternak ayam juga pernah. Mencoba kebun kelapa sawit kecil-kecilan pernah juga….” Kini aku mencari-cari tanda jika ia berbohong. Atau sedikitnya bercanda. Tapi wajahnya tulus seperti hewan. “Jadi, kenapa ayam-ayam negeri itu bisa bertelur tanpa dijantani? Ayam kampung tidak begitu, kan?” tanyaku, juga tulus, tapi juga mengetes. Ia kelihatan senang dengan kata itu. Dijantani. “Sesungguhnya, buat saya itu juga misterius.” Ia tidak memberi aku jawaban yang memuaskan. Tapi ia menceritakan rincian pengalaman yang membuat aku percaya bahwa ia tidak berbohong. Ia tidak mengaku-ngaku peternak ayam, berkebun kelapa sawit, juru masak, fotografer. Jadi, apa yang dikerjakannya di kepulauan Indonesia timur ini? Memotret perburuan ikan paus? Tebakanku tidak terlalu meleset. “Memotret. Tapi bukan ikan paus. Biar orang lain saja yang mengerjakan itu. Saya… tidaklah saya motret binatang dibunuh.” Oh, berhati haluskan dia. “Jadi motret apa?” “Saya,” ia berdehem, “saya mencari sebanyak-banyaknya orang pendek. Orang katai. Saya potret mereka. Pernah dengar tentang Manusia Liang Bua?” “Untuk siapa? Untuk proyek sendiri?” “Untuk satu majalah luar negeri.” Lalu ia bercerita betapa sarjana asing senang mencari jejak manusia purba di Indonesia. Persis yang saya baca di buku ini, sahutku. Dan kami tenggelam sejenak dalam halaman-halaman dan referensi yang sempat diingat. Tangan kami tanpa sengaja bersentuhan ketika menelusuri spekulasi yang terdedah, lembar demi lembar. Dan pada lembar-lembar berikutnya aku tak tahu apakah persentuhan itu tetap tak sengaja. Ia bercerita tentang dua spesies manusia pada sebuah zaman. Yang lebih purba dan yang lebih baru. Pada sebuah titik, yang lebih purba punah. Dialah manusia neanderthal, dengan ciri-ciri bertulang kepala lebih ceper dan tulang alis lebih menonjol. Tapi, sebelum mereka punah, dua spesies itu ada bercampur pula. Maka, keturunan manusia yang lebih purba masih kadang-kadang ditemukan di kehidupan sekarang. Ciri-cirinya, bertulang kepala lebih ceper dan tulang alis lebih menonjol. “Seperti saya, barangkali.” Ia nyengir lucu. Aku memerhatikan dia. Ah, itukah yang membuat wajahnya tampak tulus seperti hewan? Penerbangan berganti di Surabaya. Mendung menggantung. “Sekarang semua fotografer pakai digital, ya?” “Kalau dari segi kualitas, film tetap lebih sensitif. Tapi, dari segi kepraktisan, digital memang tak terkalahkan.” “Saya tidak suka teknologi. Teknologi membuat yang tua tidak dihargai. Semua barang elektronik cepat jadi tua dan tak berguna. Tidak adil.” Kenapa kukeluhkan ini? Adakah diriku yang cemas dan menyadari bahwa aku tak terlalu muda lagi untuk bergenit-genit dengan lelaki? “Kenapa,” kataku agak grogi, mencari tema baru. “kenapa kamera digital semakin tahun semakin biru pucat gambarnya?” Tapi ini bukan tema baru. Ini tema yang sama. Tentang kecemasan menjadi tua. “Itu jeleknya kamera digital. Setiap kamera digital memang hanya untuk memotret sejumlah kali tertentu. Setelah sekian kali, kemampuannya turun sama sekali. Biasanya, sekitar seratus ribu kali. Sebetulnya, itu tertulis di buku keterangan. Tapi tidak ada yang mau baca.” “Jadi, setiap kamera digital lahir dengan kapasitas sekitar seratus ribu kali memotret?” “Iya. Tertulis. Cuma orang enggak mau baca.” “Ada yang bilang, setiap lelaki juga begitu. Lahir dengan sejumlah tertentu kapasitas orgasme.” Ia diam sebentar. Lalu tawanya meledak. “Kalau jumlah itu sudah terlewati, berarti jatahnya habis,” kataku lagi. Ia tertawa lagi. Tapi, sesungguhnya aku tidak melucu. Aku sendiri tak tahu apa motifku. Apakah aku ingin tahu adakah teori itu benar. Ataukah, aku sesungguhnya sudah merasa intim dengan lelaki berbau manusia ini. Aku tak tahu apa yang kukatakan. Kutemukan ia menatapku lebih lama. Dan lebih dalam. Kubalas ia sebentar. Setelah itu aku merasa wajahku hangat. Kubu- ang pandangan ke jendela. Aku lebih muda dari dia. Tapi tetap aku tak muda lagi. Dan aku beranak dua. Meskipun diriku yang bertanggung jawab telah kutitipkan bersama nyawaku di kotak hitam. Aku ingin bertanya padanya. Jatahmu sudah diboroskan belum? Pesawat melonjak. Bagai ada lubang besar di jalanannya. Lampu tanda kenakan sabuk pengaman menyala. Aku merasa berayun ke kiri ke kanan. Seperti dalam bis malam yang mencicit di jalan licin berbatu. Aku mencoba tidak mencengkeram dahan kursi. Tapi keringat dinginku merembes sedikit di dahi. Tiba-tiba ia menangkupkan tangannya pada tanganku di tangkai kursi. Seperti seorang suami. Kalau ada apa-apa, kita mengalaminya bersama-sama. Aku memejamkan mata. Aku tak tahu, apakah dalam sisa perjalanan aku bersandar di bahunya. Tapi, pesawat mendarat juga di Soekarno-Hatta. Ia membantuku mengemasi bagasi. Aku telah di tanah lagi. Aku harus pergi ke kokpit mengambil kembali nyawa dan diriku dari kotak hitam. Nyawa dan diriku yang lebih peka dan penakut ketimbang yang duduk tadi. Ingin rasanya aku meminta lelaki berwajah baik itu menemaniku terus sampai sepotong jiwaku bergabung kembali. Sepotong yang dibawa Jati…. 13 Maret 2008
""Terbang""
Tak usahlah kusebut nama gadis yang aku cintai itu. Ia sudah pergi dan semua ini hanya kenangan. Cukup aku jelaskan serba sedikit: ia sangat cantik, tetapi kecantikannya pudar tersebabkan suatu hal yang tidak bisa diubahnya; disebabkan karena ia hatoban. Seribu tahun lalu leluhur margaku, panusunan bulung, menaklukkan leluhur marganya dalam sebuah drama pertempuran yang kolosal. Leluhur margaku berhasil menggiring leluhur marganya ke tepi Aek Lappesong yang deras dan berbatu-batu di mana sebuah jurang menganga dan mengaum garang. Hanya ada dua pilihan bagi leluhur marganya, meloncat ke mulut jurang dengan risiko berkeping-keping dicabik batu cadas, atau takluk kepada leluhur margaku dengan risiko hidup sebagai hatoban. Pilihan kedua yang dipilih leluhur marganya, entah apa alasannya. Aku meyesalkan pilihan leluhur marganya itu. Kalau saja ia memilih pilihan pertama, tak akan kualami kisah ini. Tapi tidak, ia pilih pilihan kedua. Sejak itulah cerita ini bermula dan hingga hari ini keturunan leluhur marganya tetap menjadi hatoban. Dengan sendirinya dirinya pun menjadi hatoban. ”Kau tak bisa mengubah itu,” kata Inang ketika aku cerita betapa ia, gadis yang aku cintai itu, telah merebut hatiku dengan cara yang sangat lembut. ”Bagaimana mungkin keluarga panusunan bulung menikahi hatoban.” Alamak! Vonis Inang betul-betul meruntuhkan hatiku. Kenapa Inang membuat semuanya menjadi begitu berat. Padahal Inang tinggal merestui hubungan kami. Habis perkara. Tetapi aku tak berani mendebat Inang. Bisa kualat aku. Aku diam saja ketika Inang mewanti-wanti agar aku jangan pernah lagi memikirkannya. ”Kau mau semua hatobangon di kampong ini memusuhi kita,” ancam Inang. Amang seperti biasa tak banyak cakap. Ia menatapku dengan cara yang sangat aneh. Tak kutanggapi kemarahan Inang, tak kumasukkan ke hati tatapan Amang. Aku diam saja meskipun dalam hati aku merencanakan akan menemui gadis yang aku cintai itu secara sembunyi-sembunyi. Maka aku temuilah ia secara sembunyi-sembunyi. Kami berkasih-kasihan secara sembunyi-sembunyi, sehingga hubungan kami menjadi sangat akrab dan kami berencana akan menikah. Lalu rencana itu pun tebersit; kami akan marlojong. Tetapi ketika tiba hari yang kami rencanakan untuk marlojong, tiba-tiba Amanguda, adik kedua Amang, mencegat kami saat melewati jalan setapak menuju kota kecamatan. Tidak banyak cakap ia dan langsung menghantam hidungku dengan tinjunya. Sakitnya minta ampun. Kepalaku pusing bukan main, tetapi aku diam saja. ”Dasar kau tak tahu adat. Kau mau merusak paradaton. Kau itu anak raja.” Amangudaku diam. ”Kau ditunggu Mangaraja Marulam di rumah. Habislah kau kali ini!!!” Amangudaku menyebut nama Amang, lalu berbalik kepada perempuan yang aku cintai. Ia terlipat ketakutan. Ia menyembunyikan wajahnya pada lututnya. Aku kasihan sekali padanya. Amangudaku menyemprotnya dengan makian-makian yang memerihkan hatiku. ”Dasar hatoban. Tak tahu diri kau. Anjing kau. Babi kau….” ”Amanguda!” Aku melawan. ”Dia sama seperti aku, kami sama-sama manusia.” Sesungguhnya hubungan kami sudah berlangsung sangat lama, sejak kami kecil. Kami lahir pada hari yang sama, tetapi jamnya yang berbeda. Aku lebih tua tiga jam. Perbedaan yang lain, aku lahir dibantu seorang bidan. Ia lahir dibantu Ompu Erna, seorang datu beranak. Aku lahir di puskesmas, sedang ia lahir pada salah satu kamar di belakang rumahku. Di kamar itu Inang dan Amangnya tinggal sebagai pembantu kami. Entah sejak kapan mereka tinggal bersama kami. Kedua orangtuanya sangat baik kepadaku. Mereka memperlakukan aku seperti kepada anaknya sendiri, apalagi aku sangat akrab dengan putri mereka. Keakrabanku tak pernah dipersoalkan siapa pun, termasuk Inang maupun Amang. Barangkali karena mereka mengira kami masih anak-anak dan semua keakraban kami hanya sebatas hubungan anak-anak. Tetapi mereka keliru. Itulah hubungan yang menumbuhkan perasaan membahagiakan. Setiap kali bersama perempuan yang aku cintai itu, aku merasa sangat hidup. Aku menjadi seorang laki-laki dewasa yang dirongrong oleh perasaan ingin selalu melindunginya. Rupanya ia tahu aku sangat menyayanginya dan begitu melindunginya. Ia bangga sekali mendapat perlakuan seperti itu dariku. Aku menyadarinya karena ia selalu berusaha memberi peran besar kepadaku agar aku tetap berusaha melindunginya. Begitulah kami selalu bersama sejak kecil. Ketika beranjak dewasa, aku mulai memiliki perasaan yang luar biasa ketika berdekatan dengannya. Ada debar dalam jantung aku setiap kali kami bersitatap. Matanya yang bulat dan bercahaya itu betul-betul meruntuhkan jiwaku. Ketika itulah aku susah payah menata kata untuk menyatakan perasaanku kepadanya. Aku juga kepayahan menyusun keberanian untuk mengungkapkan kata-kata cintaku. Setelah bertahun-tahun, setelah kami sama-sama bersekolah di SMA, barulah kata-kata itu tersusun rapi bersama dengan menguatnya keberanianku. Maka, sepulang dari sekolah, saat kami berjalan berdua di bukit padang lalang menuju perkampungan—satu-satunya SMA hanya ada di kota kecamatan—aku minta ia berhenti karena ada hal penting yang ingin aku sampaikan. Saat itu kami berada di puncak bukit, dan dari tempat itu kami bisa melihat matahari menggeser tubuhnya ke barat secara perlahan-lahan. Aku bilang padanya bahwa aku jatuh cinta dan tidak akan bisa menjalani kehidupan ini tanpa dirinya. Aku berdebar-debar menunggu jawabannya. Aku sangat takut ia menolak. Tetapi ia tak menolak, hanya mengangguk pelan. Aku lihat kulit pipinya yang putih bersih itu memerah seperti bunga kincung. Sore itu aku melihatnya seperti bidadari yang baru keluar dari dongengngan. Lalu aku peluk tubuhnya, aku cium keningnya dengan keriangan yang luar biasa. Sejak itu kami berkasih-kasihan. Semakin hari, semakin dalam aku masuk ke hatinya. Semakin dalam pula ia menyusup ke hatiku, mengendap sari-sari jiwanya di darahku. Karena keriangan yang luar biasa, aku pun mengungkapkannya kepada Inang. Dengan kening berkerut, Inang berkata, ”Dia hatoban dan sampai kapan pun tetap hatoban. Kau tidak bisa dekat dengannya.” Seharusnya tak kusampaikan kepada Inang tentang perasaanku kepada gadis yang aku cintai itu. Tetapi aku terlalu bahagia dan sangat ingin agar orang lain ikut menikmati kebahagiaanku. Tetapi keputusan aku itu ternyata jadi petaka. Sejak Inang tahu, ia melarangku berdekatan dengan gadis yang aku cintai itu. Malah, suatu hari Inang menghardik orangtua gadis yang aku cintai itu dengan sangat kasar. Aku tak tahu bagaimana dan kapan kejadiannya. Mungkin saat kami sedang berkasih-kasihan secara sembunyi-sembunyi di pinggir Aek Lappesong, atau saat kami sedang di sekolah. Yang jelas, orangtua gadis yang aku cintai itu meminta dengan sangat kepadaku agar menjauhi putri mereka. Aku bilang tidak bisa. ”Aku mencintainya, sangat mencintainya,” kataku. Orangtua gadis yang aku cintai itu menangis. Mereka memohon. Aku bersikeras. Saat itulah muncul gagasan itu. ”Kalau begitu, kami akan marlojong,” kataku. Mereka kaget. ”Jangan!” Aku tak peduli. Malam itu pun aku mengajak gadis yang kucintai itu marlojong. Ia mengangguk. Kami pun membuat rencana. Dan ketika rencana itu final, kami pun bergerak. Sayang, Amangudaku mengetahuinya. Lalu…. Semua harapanku kandas. Dengan cara yang sangat kasar Amang mengusir aku dari kampong. ”Kau tak bisa menjaga adat,” katanya. ”Inang sudah mengingatkanmu,” timpal Inang. Aku diam saja. Ada kemarahan meledak, tetapi aku tahankan. Juga ketika aku melangkah meninggalkan kampong mengikuti perintah Amang. Ia seorang yang keras, kaku, dan tidak boleh dibantah. Maklum, ia seorang raja, raja dalam trah marga kami, panusunan bulung. Apa pun yang ia katakan adalah titah. Panusunan bulung itu turunan langsung dari mulajadi nabolon. Aku, anak tunggalnya yang juga pewaris panusunan bulung, hanya bisa menunduk meninggalkan kampong. Aku diwajibkan ke Jakarta, ke rumah Inangboruku, adik perempuan Amang. Ketika aku tiba di rumah Inangboruku yang luas dan megah di Jakarta Selatan, ia langsung mewanti-wanti dengan sekian banyak peraturan dalam rumah yang tak boleh aku langgar. Aku sudah membayangkan akan menjalani hidup yang kerontang, setidaknya mirip kehidupan yang dijalani Inangboruku. Inangboruku menikah dengan orang dari Mandailing, tetapi aku belum pernah bertemu langsung dengannya. Orang Mandailing itu, Amangboruku, konon kabarnya tidak terlalu peduli dengan situasi Inangboruku dan lebih banyak menghabiskan waktunya di luar rumah. Ia seorang polisi laut, bekerja di Pelabuhan Tanjung Priok, dan banyak menghabiskan waktunya di sejumlah hotel dan bar bersama para pengusaha pengiriman barang. Mereka sengaja menjamu Amangboruku dan membuatnya merasa dihargai agar Amangboruku tidak perlu memeriksa jenis-jenis barang yang mau keluar maupun yang masuk ke Pelabuhan Tanjung Priok. Amangboruku memang tidak memeriksanya, tetapi dengan syarat para pengusaha itu menyisakan saham di perusahaan mereka masing-masing 20% untuk dimilikinya. Itu sebabnya Amangboruku sangat kaya, sangat kaya. Tetapi aku yakin, suatu saat ia akan jadi sasaran petugas yang bekerja di Komisi Pemberantasan Korupsi. Suatu saat pasti. Karena hidup Amangbaruku dengan mobil yang selalu baru dan Inangboruku selalu mempertontonkannya kepada setiap orang dalam acara arisan yang penuh percikan ludah basi, sangat terkesan seolah-olah mereka punya saham juga di PT Perusahaan Uang Republik Indonesia (Peruri). Aku tak terlalu memusingkan itu. Aku cuma pusing oleh bayangan gadis yang aku cintai itu. Ia tidak pernah redup. Seperti bola lampu yang terbuat dari cahaya keabadian, ia berpijar-pijar dalam diriku. Ia menyala-nyala dalam hatiku. Tetapi entah di mana ia saat ini. Sejak Amangudaku menangkap tangan kami saat mau marlojong, ia mendapat perlakuan yang tidak baik dari setiap orang di kampong. Perlakuan yang lebih kurang seperti diberikan Amangudaku saat menangkap tangan kami. Dan, karena kasihan pada dirinya, orangtuanya mengajaknya pindah ke tempat lain tanpa memberitahuku ke mana. Itulah salah satu alasan aku menerima perintah Amang agar pergi ke Jakarta. Namun, aku selalu memikirkan gadis yang aku cintai itu selama bertahun-tahun. Ia tak tergantikan oleh apa pun, oleh siapa pun. Semakin tahun ia semakin berpijar-pijar. Nyalanya lebih terang dari matahari, lebih indah dari rembulan. Sampai bertahun-tahun kemudian aku kembali ke kampong saat tidak muda lagi. Tapi aku tetap saja seorang pemuda dengan jantung yang berdebar-debar seperti dulu sembari membayangkan aku akan bertemu dengannya. Meskipun aku tak yakin ia akan ada di sana mengingat bagaimana ia sangat disakiti orang kampong sehingga memutuskan pergi. Entahlah, dadaku berdebar-debar sepanjang perjalanan pulang. Aku menata kata-kata yang pas untuk disampaikan kepadanya. Situasi ini sama persis seperti bertahun-tahun lalu ketika aku akan mengatakan cinta kepadanya. Dan tiba-tiba semua seperti baru dimulai, seperti tidak pernah ada yang berubah. Tak usahlah kusebut nama gadis yang aku cintai itu. Cukup aku jelaskan serba sedikit: ia sangat cantik, tetapi kecantikannya pudar tersebabkan suatu hal yang tidak bisa diubahnya. Juga saat aku temui ia kembali, beberapa tahun kemudian. Ia berdiri di tempat kami sering berkasih-kasihan, di pinggir Aek Lappesong yang tak dialiri air lagi. Di sana tak ada batu-batu cadas karena orang-orang menambangnya. Tetapi yang sangat menarik bagiku adalah sosoknya. Ia tidak berubah sama sekali, juga kecantikannya. Waktu tak membuatnya lebih tua. ”Kau?” kataku. Ia tersenyum. ”Ya, aku. Aku menunggumu di sini bertahun-tahun. Aku yakin suatu saat kau akan menepati janjimu.” Catatan: Hatoban: Budak. Sebagian masyarakat adat Batak Angkola Sipirok menyebut mereka jappurut. Ini status sosial yang diterima seseorang sebagai bagian dari garis darah ayah, dan tidak ada situasi apa pun yang bisa mengubahnya. Status ini didapat sekelompok marga karena warisan, di mana leluhur mereka kalah dalam perang marga yang menjadi tradisi di lingkungan masyarakat adat Batak Angkola Sipirok untuk memperluas daerah kekuasaan. Hatobangon: para tetua adat. Panusunan bulung: pembuka perkampungan masyarakat Batak Angkola Sipirok.
""“Hatoban”""
Begitu pantai Batavia nampak di pelupuk mata, Henze tak beranjak lagi dari tempatnya berdiri. Dari geladak, ia bisa melihat beberapa kapal melepas sauh di pelabuhan. Ia ingin lekas-lekas menjejakkan kaki di pantai, minum bir dan mengisi perutnya dengan makanan lezat. Sudah sejak berbulan-bulan lalu ia kehilangan selera dengan masakan juru masak kapal. Delapan bulan lalu seorang utusan VOC dari kantor pusat Amsterdam datang ke Sachsen dan meminta para penambang bekerja untuk VOC di Sumatera Barat. Henze bersama ketujuh belas kawannya diminta mencari emas di sana. Meski emas adalah penyebab dirinya terlibat dalam pelayaran itu, tapi itu bukan satu-satunya alasan kenapa dirinya mau pergi ke Hindia. Telah lama ia memendam hasrat untuk menyaksikan dengan mata kepala sendiri paras Si Cantik Hindia, sebagaimana dikabarkan pula oleh para pelaut dan orang-orang di Tanjung Harapan, Ceylon, dan bandar-bandar lain sewaktu mereka singgah, “Het paradijs op aarde.” Secuil firdaus yang jatuh ke dunia. Kini Huis Te Velsen sudah merapat di Batavia. Henze dan rombongannya harus mengganti kapal di sini. Kapal itu akan segera berangkat ke Ternate untuk mencari cengkeh dan pala. Di meja kerjanya, Tuan van Goens sedang termenung, memikirkan siasat untuk menumpas Banten. Kas telah menipis oleh perang, mustahil memenangkan pertempuran tanpa keluar biaya. Meski sudah delapan tahun kompeni memonopoli peredaran opium, tapi perang demi perang tetap saja menguras pundi-pundi mereka. Kini Banten yang tak pernah ikhlas melepaskan Sunda Kelapa, mencoba membikin kapal-kapal besar yang dilengkapi baterijj, barisan meriam, untuk menandingi kapal-kapal VOC. Untung saja, pikirnya menghibur diri, Mataram bukan lagi ancaman. Juga Trunajaya. Lelaki itu telah tewas di tangan para pembesar Mataram. Kini ancaman satu-satunya yang paling dekat tinggal Banten. Seorang opsir tiba-tiba mengetuk pintu. “Tuan Gubernur, para penambang telah tiba di pelabuhan,” katanya setelah memberi tabik. Mata Tuan van Goens sekonyong berbinar. Kerutan-kerutan di dahinya yang membikin dirinya tampak lebih tua, tiba-tiba hilang. Sejak ia tahu bahwa emas adalah jalan keluar dari masalahnya, ia meminta para penambang dari Sachsen untuk mencari emas di Hindia. Kedatangan mereka memberi angin untuk mengobarkan perang dengan Sultan Ageng. Seperti kebiasaannya ketika bertemu orang baru di Batavia, Heinrich Schumann selalu bercerita panjang lebar, membangga-banggakan keberaniannya bertualang di Hindia selama belasan tahun. Kepada Henze dan kawan-kawan, ia mengaku berasal dari Duesseldorf. Kehidupan yang sulit memaksanya mengadu nasib di Hindia, bertempur di banyak medan bersama Mayor Isaac de Saint-Martin, lelaki Perancis penggemar lukisan yang tersohor piawai menyusun siasat. Tapi sebuah sabetan parang saat pertempuran di Ternate membikin kaki kirinya invalid seumur hidup. Kompeni tak mau lagi memakainya. Setahun lalu, dengan meminjam uang dari rentenir ia membikin restoran Rhine. Henze dan kelima kawannya makan dengan lahap. Schumann senang melihat piring tetamu licin. Menu restoran ini tak terlampau mewah, tapi masakannya cocok di lidah tetamu. “Adakah perempuan Eropa di kapal kalian?” tanya Schumann dengan bahasa Jermannya yang sudah kaku. “Istri atasan kami, Nyonya Olitzsch,” sahut seorang penambang. “Sial!” “Kau bisa mengambilnya jadi istri setelah Olitzsch mati,” kata yang lain. “Lelaki itu sedang menunggu ajal di klinik.” Sudah lama ia mendambakan seorang istri Eropa. Perempuan Eropa yang tinggal di Batavia terlampau sedikit. Setiap kali mereka turun dari kapal, para lelaki Eropa yang kesepian selalu berebut menyunting mereka. “Dari semua lelaki di Hindia, Tuan Gubernurlah yang paling beruntung,” kata Schumann kemudian. “Meski ada istri, ia bisa dengan mudah mendapatkan perempuan lain.” Perawakannya tegap, hanya berbalut kain putih di antara selangkangannya. Rambutnya yang panjang tersembunyi di balik destar yang melilit kepalanya. Seandainya tubuhnya dibalut pakaian yang lebih layak, orang-orang tak akan mengiranya seorang budak. Para mevrouw memuja wajah tampannya. Nyonya-nyonya gembrot yang mulai tidak diacuhkan para suami itu akan mengelilinginya seumpama mereka ada bertamu ke rumah Tuan Mossel. Nyonya Matje, istri Tuan Mossel, ada merasa cemburu. Juga jengkel. Tetamu lebih asyik mengagumi budaknya yang gagah ketimbang kalung mutiara yang melingkar di lehernya. Bila sudah demikian, nyonya rumah itu akan cemberut dan marah-marah tidak jelas. Siang ini Wiraguna, nama budak itu, disuruh memijatnya di beranda. Nyonya Belanda itu duduk di kursi malas dengan hati masih dongkol atas kejadian sore kemarin. Wiraguna mestinya ada di sampingnya sepanjang sore itu atau, paling tidak, mengumpet di dapur. Tapi budak itu malah melayani tetamu yang minta ini-itu dan sesekali meraba wajah dan dadanya. Ia dihukum memijat betis sebab menyiksanya dengan hukuman yang lebih berat lagi sesungguhnya menghukum hati Nyonya Matje sendiri. “Andai Pieter tak menemukan anak malang itu dahulu…,” katanya dalam hati. Ia terkenang saat Wiraguna pertama kali menginjakkan kaki di rumah itu. Bocah itu seumuran Cornelis, anak lelakinya, yang meninggal sebelas tahun lalu oleh malaria. Nyonya Matje sendiri yang memberinya nama Wiraguna, untuk mengenang seorang pangeran Jawa yang pernah menyelamatkan nyawanya dari sergapan harimau saat ia dan suaminya mengunjungi daerah pedalaman Jawa. Suaminya menemukannya di Makassar, terselip di antara budak dewasa. Pieter pikir Wiraguna kecil cocok sebagai teman bermain Cornelis yang kesepian. Ia memang sering berpesiar ke pelabuhan-pelabuhan di Timur untuk berbisnis, meninggalkan Matje dan Cornelis di Batavia. “Aku ingin jalan-jalan,” tiba-tiba Nyonya Matje buka mulut. Suaranya masih ketus. Sejak semalam ia memang mendiamkan budaknya. Bagi Wiraguna, kata-kata itu berarti perintah untuk mengantarnya berkeliling, termasuk ke pasar, memborong bahan makanan kesukaan Nyonya Matje. Hari masih gelap saat A San membenahi sayur-mayur di keranjangnya. Sebentar lagi ia akan berangkat ke pasar untuk membuka lapak. Tinggal daging babi yang telah ia cincang di dalam berbungkus-bungkus daun pisang, yang belum ia masukkan ke keranjang. Hari ini ia membungkus daging lebih banyak. Seorang juragan daging memberinya jatah daging lebih banyak kemarin. Belakangan ini orang-orang di Batavia sedang menggemari sup babi. Seorang mevrouw beberapa hari lalu mengumpatnya dalam bahasa Belanda yang tak ia pahami sebab tak kebagian. Nyonya Belanda itu bersama budak laki-lakinya datang terlampau siang. Usai berbenah, A San menghampiri istrinya yang juga sudah terjaga dan kini tengah meniup-niup pipa bambu untuk menyalakan tungku. “Biar aku saja,” kata lelaki itu, melihat tungku belum mau menyala. “Tak usah,” timpal istrinya. “Kau sudah membereskan dagangan. Biar aku yang menjerang air.” A San tersenyum kecil melihat istrinya yang keras kepala. Perempuan itu sudah begitu sejak ia pertama kali mengenalnya di kampung dulu di Tiongkok. Ia jarang mau ditolong orang lain, bahkan oleh A San suaminya sendiri. Barangkali karena ia yatim piatu sejak kecil, sudah jadi kebiasaannya melakukan apa-apa sendiri. Tapi sesungguhnya ia berhati lembut. “Andai saja aku bisa memberinya seorang putra,” A San berkata dalam hati. Henze tengah celingukan di depan sebuah rumah saat seorang lelaki bersuara berat menegurnya dari balik pagar. Ia rada menyesal karena tadi memilih jalan-jalan sendiri, meninggalkan kawan-kawannya di klinik. “Kau orang baru?” tegur lelaki itu. Henze tak lantas menjawab. Ia menoleh kanan-kiri, takut-takut teguran itu bukan buat dirinya. Tahu tak ada orang lain di dekatnya, ia lalu menunjuk ke arah dadanya sendiri. “Aku?” “Iya. Betul kau,” kata orang di balik pagar. “Kau orang baru? Kulihat kau seperti kebingungan.” “Betul, Tuan. Baru seminggu aku tinggal di kota ini. Aku sedang mencari jalan pulang.” Henze mendekat ke arah pagar. “Ah kau bukan orang Belanda. Logat Belandamu buruk sekali.” “Aku orang Sachsen. Baru sebentar belajar bahasa Belanda.” “Sachsen?” Kemudian keduanya mengenalkan diri. Pieter Mossel, nama lelaki itu, pedagang budak yang cukup makmur di Batavia. Ia mengajak Henze untuk mampir. Tak biasanya ia mengajak orang asing mampir ke rumahnya. Kali ini tiba-tiba saja ia ingin mendengar kabar Eropa yang telah ditinggalkannya lebih dari dua puluh tahun silam. “Jadi apa pendapatmu tentang kota ini? Tak terlampau buruk, bukan?” Mossel berkata setelah Henze menceritakan Eropa yang dilihatnya terakhir kali. “Entahlah…. Sudah dua minggu kapal ke Sumatera belum datang. Belum ada kabar kapan kami berangkat.” Ia menundukkan wajah. Sejurus kemudian ia meneruskan, “Beberapa kawanku meringkuk di klinik. Mereka telah sakit sejak di kapal. Di sini, cuaca tropis malah memperburuk sakit mereka.” “Hanya yang kuat yang bertahan,” Mossel menyela. “Kudengar di sini juga sulit mencari perempuan.” Mossel tak menjawab. Air muka lelaki itu berubah murung. Seorang opsir datang terengah-engah masuk ke Rhine. Ia membuka topinya dan lekas memesan minuman. Pelayan restoran segera menghampirinya dengan membawa bir dalam gelas besar. Seperti orang kehausan, opsir berwajah pucat itu lantas menandaskan bir di gelasnya dalam dua tegukan. Ia lekas meminta minuman yang sama kepada si pelayan. Sang pemilik restoran yang mengintip dari sejarak segera menghampirinya. “Opsir,” sapa Schumann, “siang-siang sudah minum. Gadis yang kau incar pasti jatuh ke pelukan lelaki lain.” Opsir itu mendongak. Ia tertawa pelan sebelum menanggapi omongan Schumann. “Bukan perempuanku, tapi istrinya Tuan Mossel.” “Mossel? Pengusaha budak?” “Ya,” jawab opsir itu. “Dan yang lebih memalukan, istrinya jatuh ke pelukan budak laki-lakinya.” Schuman terbahak. Ia menarik kursi di hadapan opsir itu, lantas duduk di situ. “Sudah lama aku tak mendengar cerita menggelikan. Lantas bagaimana nasib Mossel?” “Ia mati gantung diri.” “Semoga Tuhan menerimanya di surga,” kata Schumann seraya membikin tanda salib. “Perempuan adalah sumber bencana.” Schumann tak menyahut. Ia tak begitu setuju dengan kata-kata lelaki muda di hadapannya. “Kisah menggelikan ini menyeretku ke dalam masalah,” ujar opsir itu lagi. “Aku harus mencari di mana budak itu bersembunyi.” “Bersembunyi?” “Ia kabur dari pelukan janda Tuan Mossel dengan menggondol perhiasan dan uang tak sedikit. Kau tahu uang itu untuk apa? Untuk membebaskan para budak.” “Lalu apa masalahnya?” Opsir itu tak langsung menjawab. Ia meneguk bir yang baru saja diantarkan ke mejanya. Schumann mengernyitkan dahi. “Ada kabar para budak akan membuat pemberontakan,” kata opsir itu meneruskan. Di tengah samudra, sebuah kapal berbendera Belanda terapung-apung menuju Sumatera Barat. Berdiri di geladak seraya menatap hamparan air yang biru, Henze membiarkan angin laut menampar-nampar wajahnya. Seseorang akan melihat kepedihan pada matanya yang remang-remang. Masih terngiang Schumann mengucapkan belasungkawanya delapan hari lalu. Henze datang ke Rhine mengabarkan kematian seorang penambang di klinik. Lebih dari enam minggu mereka singgah di Batavia dan mereka yang sakit, termasuk Olitzsch dan istrinya, berturut-turut tumbang ke liang kubur tanpa sempat memelototi bongkahan-bongkahan emas di Sumatera. Kini tersisa sembilan penambang, termasuk dirinya, yang akan mencari emas tanpa semangat. “Semestinya kalian tak datang kemari. Tempat ini seperti neraka,” kata Schuman waktu itu. Dari geladak, lamat-lamat Henze melihat daratan nun jauh di seberang lautan. Ia berharap itu tanah Eropa.
""Cerita dari Rantau""
Sebuah rumah mungil di pinggiran timur Jakarta. Sebuah pagi berjalan sebagaimana lazimnya. Asti berkubang dalam banyak pekerjaan rumah. Arnando, seperti biasa, berkutat merampungkan lukisan di studionya. Daster Asti tak mampu menutup seluruh kulit putih bersihnya. Tapi, daster itu tetap bisa menyembunyikan banyak tahi lalat di tempat-tempat tertutup. Hanya Arnando yang tahu persis letak-letaknya. Rambut lebat Asti dibiarkan memanjang menjuntai di punggungnya hingga nyaris ke pinggul. Hidungnya yang tak mancung kerap mengundang godaan Arnando. ”Tak apa-apa hidungmu pesek. Lebih baik berhidung pesek tapi dengan dua bukit mancung dan terurus di bawahnya,” kata Arnando sambil menyentuh lembut salah satu bukit yang menjulang di dada Asti, pada sebuah pagi yang lain. ”Lebih baik daripada apa…?” sela Asti merajuk. ”Ya…, lebih baik daripada berhidung mancung dengan dua bukit pesek tak terurus di bawahnya.” Arnando tergelak. Asti hanya tersenyum. Senyum tertahan. Adegan tersipu seperti inilah yang sangat disukai Arnando. Karena itu, ia gemar menggoda Asti terutama pada setiap pagi yang jadi milik mereka. Kadang-kadang Arnando berpikir bahwa mereka memang ditakdirkan sebagai pasangan yang saling melengkapi. Tergelak dan tersipu. Keliaran seorang penyerang dan kelembutan sang penenang. Keberingasan seorang pemburu dan kepasrahan korban buruan. Asti adalah perempuan bersahaja. Selalu nrimo. Dalam banyak hal ia bahkan cenderung naif. Yang pasti, ia sungguh rajin mengerjakan setiap pekerjaan yang tersedia di rumah. Tak ada bagian rumah yang tak terjamah olehnya. Setiap hari. Sepanjang minggu. Sepanjang tahun. Arnando membayangkan. Seperti itulah ibunya dulu selagi muda bekerja di rumah masa kecilnya di Yogyakarta. Menyelesaikan semua pekerjaan rumah dengan tertata. Mengurus suami, ayah Arnando, yang lumayan banyak urusan. Dan mendidik enam orang anak laki-laki yang sungguh susah diatur. Tanpa pernah mengeluh. Satu kali pun. Asti pun tak banyak menuntut. Menyangkut materi, permintaannya selalu sederhana. Minta daster baru. Minta dicarikan sepatu tali yang lebih kuat. Ketika butuh tas, ia tak minta tas kulit mahal, tapi tas dari plastik atau kulit imitasi, asal cukup kuat untuk bepergian. Benda sedikit berharga yang pernah dimintanya adalah radio-tape untuk di kamar. Pernah ia minta dibelikan gelang emas 10 gram. Itu pun dimintanya dengan tersipu. Bukannya dipakai dan dipamerkan, Asti malah menyembunyikan gelang itu di dalam laci lemarinya yang selalu terkunci. Untuk banyak alasan, yang tentu saja disetujui Arnando, Asti memang tak pernah memamerkan berlebihan barang-barang berharga pemberian Arnando. Ia menyimpan dengan rapi barang-barang itu serapi menyimpan cintanya untuk satu-satunya lelaki yang pernah menjamah tubuhnya itu. Arnando adalah burung hantu yang setia hinggap di dahan yang sama di tiap malam. Lelaki rumahan. Inilah pula yang disukai Asti. Arnando selalu tersedia baginya. Setiap saat. Dengan Arnando yang selalu tersedia, Asti tak pernah merasa tertimbun dalam tumpukan pekerjaan. Baginya, hari-hari di rumah adalah saat-saat menyenangkan. Ia tak merasa terpenjara. Ia merasa seperti berdiam di sebuah istana. Melukis adalah satu-satunya pekerjaan yang Arnando lakukan. Ia menghabiskan sebagian besar hari-harinya di studio. Hidupnya seperti lalu lintas di antara studionya yang berantakan, ruang makan, dan tempat tidur. Uang memang kadang-kadang jadi persoalan. Arnando tak punya penghasilan rutin seperti orang kantoran. Ia sendiri tak pernah mau mengurus keuangan. Ia tak terlalu peduli apakah uang mereka sedang melimpah atau mereka sedang bangkrut. Untunglah, di rumah ia tak pernah mendapat keluhan-keluhan berarti soal uang. Untunglah pula, Arnando termasuk produktif. Berpameran setidaknya dua kali setiap setahun. Satu pameran tunggal dan satu lagi bersama koleganya, satu atau beberapa pelukis lain. Dari penjualan lukisan di setiap pameran itulah ia mendapatkan uang yang lumayan. Setidaknya, cukup untuk hidup bersahaja sepanjang tahun. Belakangan, ketika lukisannya mulai dilirik kolektor, kadang-kadang uang datang sendiri bersama para pemburu lukisannya. Ketika namanya makin banyak disebut oleh para kurator dan peresensi seni rupa, ia sendiri jadi makin tak yakin apakah yang diburu lukisannya atau guratan tegas namanya, ”Arnando Mahoni”, di sudut kanan atau kiri bawah tiap lukisan itu. Arnando merasa hidupnya lebih dari cukup. Memiliki sebuah rumah mungil di pinggiran Jakarta adalah sebuah kemewahan. Terlebih-lebih, buat Asti, ternyata rumah mungil itu adalah sebuah istana besar yang megah. Bisa mengatur sendiri hidupnya, tanpa terikat oleh jam kerja atau jadwal-jadwal rutin lain, adalah kemewahan lain milik Arnando. Ia merasa hidupnya sudah selesai dengan dua kemewahan yang sudah digenggamnya itu. Pagi ini, Arnando masih berkutat dengan lukisan yang tak juga usai itu. Lukisan 1 x 1 meter yang kelihatannya akan dicengkeram warna biru muram. ”Nggak sarapan dulu?” Tiba-tiba suara Asti menyereruput punggung telinganya. Dua bilah tangan putih melingkari pinggang Arnando. Asti merapatkan badannya di punggung Arnando. Wangi-pagi-hari tubuh berkeringat Asti yang khas membuat Arnando segera berbalik. Asti dan Arnando saling merapat dalam balutan ”pakaian dinas pagi” masing-masing. Asti dalam dasternya. Arnando dengan kaus oblong dan sarungnya. Keduanya seperti sepasang merpati yang saling mencari pagutan di tengah puncak musim kawin. Seperti pada pagi-pagi lainnya, setelah sebuah ciuman panjang yang tak terputus, mereka beringsut dari studio menuju kamar di sebelahnya. Tanpa banyak bicara. Pada pagi yang masih belia, Asti dan Arnando bercinta. Seperti pada hampir setiap pagi lainnya. Kecuali pada akhir pekan atau liburan. Tentu saja. Ketukan di pintu itulah yang akhirnya membangunkan Asti dan Arnando dari letih yang nyaris melelapkan. Jumlah dan nada ketukan itu sudah memberi tahu keduanya siapa yang datang pagi itu. Asti dengan sigap membereskan tempat tidurnya. Lalu, menyelinap keluar kamar sambil meninggalkan senyum penuh arti untuk Arnando. Semacam terima kasih yang tak terucap untuk tiap kenikmatan yang baru saja mereka reguk. Sosoknya hilang ditelan daun pintu, melangkah sedikit tergesa ke pintu depan. Arnando mengenakan sarung sekenanya. Lalu, kembali ke studio di sisi kamar itu. Sepi menyergap sesaat hingga pecah oleh suara kesibukan Asti di dapur. Rupanya, Asti sudah melanjutkan pekerjaannya yang tertunda. Samar-samar, Arnando mendengar langkah yang sudah sangat dikenalnya. ”Mas, berkas-berkasku tertinggal. Selalu saja begini kalo aku terburu-buru. Ini aku belikan sarapan kesukaanmu….” Suara lembut Ratih terdengar persis di punggung Arnando. ”Makasih sayang.” Arnando mengambil kotak makanan dari tangan Ratih dan membiarkan perempuan itu segera berbalik pergi setelah mencium bibirnya sekelebatan. ”Aku langsung buru-buru balik ke kantor lagi ya… Love you!” Suara Ratih dan tubuh rampingnya berkelebat. Lalu menghilang. ”Love you too…” Pagi sudah tak lagi belia ketika Arnando mendengar suara mesin cuci mulai dinyalakan Asti. Sementara ia masih mematung, berdiri di depan sang calon lukisan biru muram yang tak juga usai. Pagi masih belum beranjak, ketika suara mobil Ratih mulai terdengar. Lalu, melamat makin menjauh. Arnando tahu persis, suara mobil istrinya itu akan kembali datang kala malam bertandang kelak. Bintaro Jaya, 3 April 2008
""Cinta pada Sebuah Pagi""
Aku suka matanya, seperti langit hampir malam yang dipenuhi kunang-kunang. Kau akan melihat hamparan kesenduan dalam mata itu. Mata yang terlalu melankolis untuk seorang laki-laki yang selalu gugup dan tergesa-gesa ketika berciuman. Tapi, sepasang mata itulah yang membuatku jatuh cinta. Sisa hujan masih terasa dingin di kaca saat aku bertemu dengannya di toko ikan hias. Aku tengah memandangi ikan-ikan dalam akuarium, ketika sepasang mata itu muncul dari sebalik kaca—membuatku terkejut. Di antara ikan-ikan kecil warna-warni, sepasang mata itu bagai mengambang. Sementara gelembung-gelembung udara dan serakan batu koral membuat wajahnya seperti terpahat di air. Dan saat sepasang matanya mengerdip, aku teringat pada sepasang kunang-kunang yang melayang di atas kolam. Aku tak tahu bagaimana persisnya aku mulai mengajaknya bicara. Tetapi ketika ia menyebutkan namanya, aku seperti mendengar denting genta, bergemerincing dalam hatiku. Barangkali, seperti katamu, aku memang mengindap gangguan jiwa karena terlalu gampang jatuh cinta. ”Atau jangan-jangan kamu hanya maniak seks yang takut kesepian. Kamu takut tidur sendirian…” Kamu mungkin tak percaya, kalau kukatakan betapa semua ini bukan semata-mata urusan ranjang. Memang, berganti pacar bagiku tak lebih seperti ganti baju: tinggal pilih mana yang cocok buat ke pesta, mana yang pantas buat dipakai makan malam, mana yang pas buat jalan-jalan, dan mana yang nyaman buat sekadar menghabiskan malam di ranjang. ”Dan yang ini?” Seperti kukatakan, aku suka matanya yang selalu mengingatkanku pada langit hampir malam yang dipenuhi kunang-kunang. Menatap matanya menjadi kehangatan tersendiri, seperti ketika kamu merasa rindu pada masa kanak-kanakmu yang paling menenteramkan. Itulah yang membuatku betah berada di dekatnya. Aku suka ketika mendengar ia berbicara. Terdengar seperti lagu pop yang tak terlalu merdu tetapi dinyanyikan dengan sentimentil… ”Laki-laki yang romantis rupanya!” Tidak. Ia tak pernah mengucapkan rayuan, yang paling gombal sekali pun, untuk sekadar membuatku tersenyum. Ia malah cenderung selalu gugup bila aku bermanja-manja memeluknya. Aku ingat, betapa jari-jari tangannya begitu gemetar ketika pertama kali menyentuh putingku yang ungu. Ia bercinta nyaris tanpa suara. Bahkan aku tak mendengar desah apa pun ketika ia orgasme. Kau tahu, bercinta dengannya seperti menikmati nasi goreng: rasanya standar dan bisa didapat di mana saja. Tapi—entah kenapa—aku selalu menyukainya. Mungkin karena aku merasa nyaman saja. Bersamanya aku tidak terobsesi untuk melakukan bermacam adegan dan posisi. Dan kupikir, kalau memang kepingin yang aneh-aneh begitu, aku kan bisa melakukannya dengan pacar-pacarku yang lain. ”Busyet!!” Mungkinkah, kali ini, aku sungguh-sungguh jatuh cinta? ”Gatal telingaku dengar kamu ngomong soal cinta.” Bila aku kangen, bayangannya seperti ketukan ganjil pada pintu saat tengah malam. Membuatku tergeragap. Lalu kuingat kunang-kunang di matanya, yang membuatku menyukai kemurungan dan kesenduannya. Dia bukan laki-laki seperti yang sering kamu lihat di iklan deodoran, yang membuatmu rela melakukan apa saja untuk sekadar mendapatkan perhatiannya. Sungguh, penampilannya lebih mirip salesman yang baru saja ditolak masuk rumah, dengan dasi yang selalu terlihat tak serasi dengan warna sweater-nya yang kelabu. Ada beberapa jerawat di wajahnya yang coklat. Sedikit berkumis, tipis, tak rapi. Dia agak pendek untuk ukuran kebayakan laki-laki. Keringatnya meruapkan aroma kamper yang akan membuatmu teringat pada baju yang menjadi apak karena terlalu lama disimpan. ”Bukan baju yang pantas buat ke pesta, kukira!” Lebih mirip seperti baju yang ingin selalu kamu sembunyikan dalam lemari. Bukan karena kamu tak suka, tapi karena kamu tak ingin orang lain tahu kamu memilikinya. Tapi—entahlah, aku begitu menyukainya. Seperti menyukai baju yang selalu ingin kukenakan diam-diam. ”Anggap saja ini cinta sejatimu. Dan ini kisah cintamu yang akan jadi dongeng menakjubkan! Ha-ha-ha…” Tidakkah kau tahu, terkadang sebuah kisah cinta bisa saja menakjubkan meskipun tidak seindah kisah cinta Cinderella dengan Pangeran tampannya? Sampai saat ini aku sendiri masih heran, kenapa aku jatuh cinta kepadanya. Kadang aku menganggap semua ini tiada lebih dari kisah cinta yang ganjil dan bermasalah. Tapi, bukankah cinta memang ganjil dan penuh masalah?! Tapi… Maaf, aku mesti pergi. ”Mau ke mana?” Kau lihat kunang-kunang itu? Setiap melihat kunang-kunang, aku selalu merasa dia tengah memikirkanku. Setiap melihat kunang-kunang, aku jadi ingin ketemu dia. ”Kau suka kunang-kunang?” ”Hmm.” ”Aku suka kunang-kunang…” ”Hmm.” ”Aku suka matamu…” ”Hmm” “Seperti ada kunang-kunang dalam matamu.” ”Hmm…” Ah, selalu tak mudah mengajaknya bercakap. Padahal, pada saat-saat seperti ini aku ingin sekali mengajaknya bercakap-cakap tentang kunang-kunang itu. Itulah kenapa aku mengajaknya kemari. Aku ingin ia melihat sendiri bagaimana setiap bulan purnama ribuan kunang-kunang itu muncul dari bawah lembah sana, bagai gugusan cahaya kekuningan yang bangkit. Kemudian terbang mengikuti aliran sungai. Ribuan kunang-kunang itu terlihat bagaikan selendang kuning yang melayang-layang hanyut di riak air. Itulah pemandangan yang selalu kusaksikan sejak kecil di tempat ini. Ibu selalu mengajakku kemari, setiap kali aku merasa rindu dengan ayah. Ibu selalu bercerita bahwa ayah telah menjelma kunang-kunang. Salah satu dari ribuan kunang-kunang itu adalah ayahmu, kata ibu. Selalu, dengan mata yang layu, ibu bercerita bagaimana suatu malam ayahku diseret keluar rumah, di zaman gestapu dulu. Aku masih dalam kandungan ibu, saat itu. Ibu mendengar tubuh ayah dibuang ke lembah itu, bersama ribuan tubuh lainnya. Seminggu setelah pembantaian, dari lembah itu muncul ribuan kunang-kunang. Membuat lembah itu menjadi berkilauan. Kunang-kunang itu adalah jelmaan roh-roh yang penasaran. Dan setiap malam purnama, ketika lembah itu menjadi bisu, dan angin yang membeku membuat pepohonan tertugur kelu, ribuan kunang-kunang itu selalu bangkit dan terbang melayang-layang menyusuri aliran sungai, kemudian gaib begitu saja dalam kesunyian yang mengelabu. Kuajak ia kemari, agar ia menyaksikan kemunculan ribuan kunang-kunang itu. Agar ia mengerti kenapa aku suka kunang-kunang. Kenapa aku suka pada matanya yang bagai menyimpan kunang-kunang. Sejak kecil aku kerap bermimpi ayahku muncul dengan mata yang bagai sepasang kunang-kunang. ”Kau lihat kunang-kunang itu?!” ”Hmm…” Ini pertemuan ke-43. Seperti yang sudah-sudah, ia langsung tidur setelah bercinta. Dia meringkuk dalam selimut, seperti sosis dalam setangkup roti. Bahkan kemurungan tak juga menguap dari wajahnya ketika ia terlelap. Dari jendela apartemen lantai sebelas, kota terlihat gemerlap ditangkup gelap yang pucat. Aku jadi teringat pada cerita seribu kunang-kunang yang menautkan kesepian dan kenangan. Rasanya aku pernah membaca cerita seperti itu—mungkin sewaktu SMA, aku lupa. Aku membayangkan jutaan kunang-kunang muncul dari kegelapan malam dan terbang berhamburan memenuhi kota… ”Enggak tidur?” Ia menggeliat, memandangku yang duduk telanjang di sofa. Ia sungkan dan jengah. Ia masih saja tak terbiasa melihatku telanjang. Kemudian ia bangkit, meraih celana dan kemeja di sisi ranjang. Membelakangiku, dan tergesa mengenakan pakaian. Kurasakan kemurungan yang ganjil ketika ia mendekatiku. Tak ada pelukan untuk saat-saat seperti ini. Tak ada percakapan. Seolah ia menginginkan semua ini berlangsung tanpa percakapan yang akan menjadi terlalu sarat kenangan. Seperti jeritan yang teredam, handphone di atas meja bergetar tanpa suara. Ia meraih handphone itu, dan dengan gerakan pelan menjauhiku, berbicara setengah berbisik. Aku hanya memandang keluar jendela. Sampai ia mematikan handphone dan mendekatiku. ”Aku mesti pergi…” suaranya pelan dan datar. ”Anakku sakit …” Bukan sesuatu yang mengagetkan. Tapi, aku tetap saja merasakan kemurungan yang makin membentang, seperti langit yang bertambah memucat di atas kota yang di penuhi kunang-kunang. Cahaya perlahan susut dan aus. Desah napas waktu meruapkan basah pada kaca jendela. Kesunyian tak terpermanai. Dan dingin, seperti dalam sebuah puisi, tak tercatat pada termometer. Barangkali, seperti kerap kau katakan, aku memang wanita paling menyedihkan yang pernah kau kenal. Karena, selalu saja, aku selalu saja gampang jatuh cinta pada laki-laki yang sudah beristri…. Jakarta, 2005-2008
""Serenade Kunang-kunang""
Kenangan serupa lumpur yang mengendap di dasar sungai. Mengeras menjadi kerak menunggu hujan turun untuk mengangkatnya kembali menjadi satu dengan aliran air. Begitulah kenanganku tentang rumah benteng. Telah lama sosok rumah yang terletak di atas bukit di belakang rumahku, menjadi kerak di ingatanku. Telepon dari ibuku siang ini seolah hujan deras yang kembali melarutkan kerak itu. “Yasmin, minggu ini kamu bisa pulang? Ada pertemuan keluarga. Tepat seribu harinya kakek. Surat wasiatnya akan dibuka. Ibu harap kamu pulang.” Suara ibuku terdengar mendesak. Intonasi yang terakhir kali digunakannya saat menyuruhku kawin. Sayangnya tak mempan hingga kini. Toh untuk permintaannya kali ini, aku berniat mempertimbangkannya. Demi kenanganku akan kakek. Dulu hampir seminggu sekali aku menginap di rumah kakek. Ibuku menitipkanku di sana karena aku tak bisa bicara meski sudah berumur dua tahun. Mereka berharap kakekku yang seorang psikolog bisa menyadarkanku. Aku yakin istilah yang tepat saat itu: menyembuhkanku. Aku sendiri tak pernah merasa sakit atau bahkan disembuhkan. Di rumahnya, kakek hanya memberiku kertas dan pensil warna. Lalu mengajakku jalan-jalan ke sekeliling rumahnya yang ketika itu tak banyak memiliki tetangga. Jika ada obyek yang menarik, aku biasanya menarik tangan kakek, sebagai tanda aku ingin berhenti di tempat itu. Sambil menggambar benda yang membuatku tertarik, kakek biasanya menjelaskan nama dan seluk-beluknya. Semakin hari benda-benda yang kugambar bertambah. Begitu pula cerita dari kakek. Hanya satu benda yang kisahnya tak pernah diceritakannya. Yaitu rumah benteng. Dari rumah kakek, rumah benteng terlihat seperti menara di ujung bukit. Tak sepenuhnya bukit. Dari mata kanak-kanakku, aku merasa rumah itu tinggi karena jalan menuju ke sana menanjak. Meski tak mau bercerita, kakekku membiarkanku berhenti di pintu gerbang rumah benteng. Ia hanya terdiam sambil menungguiku menggambar. Saat aku selesai menggambar, kutarik tangannya mengajak masuk. Namun, kakek menolak. “Rumah ini kosong, Yasmin. Kita pulang saja,” ujarnya pelan. Saat itulah aku mengucapkan kata pertamaku. “Rumah”. Sejak mengucapkan kata pertama itu, aku tak lagi dititipkan ibuku ke rumah kakek. Meski aku merengek sekalipun, ibu tak pernah menurutiku untuk pergi ke sana. Sebagai gantinya, kakek yang sesekali datang ke rumah. Ia membawakanku banyak buku bergambar dengan cerita di bawahnya. Tetap saja semua gambar dan kisah dari buku-buku itu tak bisa menggantikan ingatanku tentang rumah benteng. Kenapa selalu kusebut rumah benteng? Ketika terus kutanya tentang rumah itu di setiap kunjungannya, akhirnya kakek berkisah. Rumah itu sudah ada di daerah itu jauh sebelum kakek membangun rumahnya. Karena bentuk dindingnya yang membulat seperti benteng, penduduk sekitar menjulukinya rumah benteng. Tak ada yang tahu kapan tepatnya rumah itu berdiri. Bahkan sebelum penghuni pertama daerah itu datang, rumah itu sudah ada di puncak bukit. Kata kakek, dari dulu kondisi rumah itu tak pernah berubah. Dindingnya terbuat dari batu warna abu-abu. Pintu rumah itu berwarna cokelat tua dari kayu jati. Ada bandul besi berbentuk kura-kura yang berfungsi untuk pengetuk pintu. Pernah ada orang yang memberanikan diri mengetuk pintu itu. Tentu saja, ia tak sendirian. Ditemani lima orang yang dengan waswas menunggu seseorang muncul dari pintu. Namun, ditunggu hingga satu jam, tak ada seorang pun yang membuka pintu, bahkan sedesis suara pun tak terdengar. Percobaan untuk berkomunikasi dengan rumah itu sudah dilakukan berkali-kali oleh penduduk desa itu. Berkali-kali mereka mencoba mengetuk pintu depan. Mengelilingi rumah untuk mencari pintu belakang, tetapi tak ada. Begitu pula melempari jendela kaca besar yang berjumlah tujuh. Dua yang besar di bagian depan, tiga di bagian belakang, dan dua masing-masing di samping kiri dan kanan. Meski tak ada jawaban, sebagian penduduk tetap meneruskan usaha mereka untuk memancing siapa pun atau apa pun yang ada di dalam rumah itu untuk keluar. Pasalnya, mereka pernah melihat seberkas cahaya muncul dari dalam rumah itu menembus kaca jendela. Kadang dari depan, samping, atau depan. Cahaya yang muncul berwarna ungu. Membuat penduduk heran, lilin macam apakah yang bisa memunculkan warna ungu. Akhirnya mereka memutuskan rumah itu menyimpan misteri. Ada yang beranggapan berhantu. Sebagian lagi meyakini rumah itu dijadikan persembunyian penjahat. Golongan ini biasanya berusaha memasuki rumah itu dengan paksa untuk membuktikan asumsinya. Namun, alih-alih terbukti, untuk mendobrak pintu atau memecahkan kaca jendela pun gagal dilakukan. Sisanya memilih menganggap rumah itu sebagai pelindung daerah itu. Semacam sesepuh. Peninggalan leluhur yang mungkin pertama kali tiba di daerah itu. Kepercayaan ini dianggap paling masuk akal melihat bentuk rumah itu yang seperti benteng. Mungkin untuk berlindung dari serangan musuh. Keberadaan misteri yang melingkupi rumah itu menjadikannya semakin terkucil. Para lelaki dewasa membuat rute ronda malam hari menjauhi rumah itu. Tak ada pedagang yang melewatinya. Meski jalan berbatu dan sedikit menanjak bagus untuk olahraga, orang-orang tua mencari jalan lainnya saat lari pagi. Apalagi anak-anak. Mereka paling gampang ditakut-takuti orangtuanya untuk menghindari rumah itu. Dari hantu berbentuk siluman, jin, hingga peri, ampuh untuk membuat mereka tak selangkah pun berani mendekatinya. Kakek berbeda dengan penduduk lainnya. Ia tak pernah melarangku pergi ke rumah benteng. Ia hanya mengingatkanku untuk tak melewati pagar yang mengelilingi rumah itu. Aku mematuhi perintah kakekku walau ada godaan besar dalam diriku untuk memetik bunga mawar beragam jenis yang entah mengapa tumbuh begitu indah dan teratur di halaman rumah itu. Seperti ada tangan yang tak tampak telah dengan sengaja menanam bunga-bunga itu. Aku kembali diajak ibu ke rumah kakek saat berusia lima tahun. Kakek tak lagi sering menemaniku berjalan-jalan. Selain karena kembali mengajar di sebuah universitas swasta, aku sudah mulai bisa berbicara. Suatu hari aku memberanikan diri mengunjungi rumah benteng. Tentu saja tanpa sepengetahuan kakek. Saat itulah aku bertemu Dante. Ketika aku tengah ragu menimbang apakah aku sebaiknya nekat saja masuk ke halaman rumah benteng itu untuk mengambil beberapa kuntum mawar atau menuruti petuah kakek, aku dikagetkan sosok seorang bocah lelaki berambut ikal cokelat kemerahan yang berdiri di sebelahku. “Kamu takut?” Aku mengangguk. “Kenapa?” “Tak tahu. Aku hanya takut dimarahi kakek.” “Ia tidak di sini. Tak mungkin ia tahu. Atau mau aku yang memetikkan mawar untukmu?” Aku menggeleng. Tubuhku tetap mematung. Ia kemudian menggandeng tanganku dan mengajakku masuk. Bersamanya, aku memetik tiga kuntum mawar. Kuning, putih, dan pink. “Aku harus pulang. Terima kasih sudah menemaniku memetik bunga.” Ia tersenyum. “Namaku Dante. Kembalilah ke sini kalau kamu menginginkannya lagi. Ini khusus untukmu,” ujarnya sambil mengulurkan setangkai mawar berwarna merah pekat. Aku menerimanya dengan tangan kananku yang sudah penuh dengan tiga tangkai mawar. Tangan kecilku yang tak mampu menggenggam sebanyak itu pun tertusuk duri tepat di jari tengah. Dengan sigap, Dante mengambil jariku dan mengisapnya pelan. Aku termangu melihat pipi pucatnya perlahan bersemu merah. “Nah, sekarang darahmu sudah berhenti menetes. Begitu sampai rumah jangan lupa diobati, ya.” Kami masih bergandengan tangan sampai keluar pintu gerbang. Meski hanya diam, aku yakin ia memahami senyuman di hatiku. Aku berlari menyusuri jalan menurun menuju rumah kakek. Saat aku berbalik, tak lagi kulihat sosoknya. Itulah saat terakhir aku melihatnya. Karena seminggu kemudian, ibu mengajakku pindah mengikuti suami barunya. Tak banyak hal yang tersampaikan di surat wasiat kakek. Ia menginginkan rumahnya dibagi secara adil untuk ibu dan tante. Akhirnya mereka berdua memilih untuk menjual dan membagi uangnya. Aku sama sekali tak berminat dengan pembicara soal harta. Aku sendiri memutuskan datang demi kenanganku akan kakek dan rumah benteng. Selagi seluruh keluarga membicarakan warisan, kuputuskan untuk mengunjungi rumah benteng. Senja mulai membentangkan cahaya pucat matahari. Baru kusadari, jalanan menanjak tak seberapa berat dibanding tubuh kecilku di masa lalu. Napasku tak sampai terengah saat aku sudah tiba tepat di depan gerbang rumah yang tetap sama saat terakhir kali kulihat di usiaku yang kelima. Mawar aneka rupa masih rimbun bersemak di halaman. Hampir tak percaya ketika aku melihat Dante berdiri di sebelah semak mawar berwarna merah pekat. Warna yang sama dengan mawar yang ia berikan 20 tahun lalu. Sosok Dante pun masih sama. Bocah kecil seperti diriku 20 tahun silam dengan rambut keriting cokelat menaungi wajah pucatnya. Ia melambai. Mengajakku masuk. Aku terdiam. Otakku sempat memerintahkan tubuhku untuk berbalik dan berlari menjauhi rumah ini. Namun, mata bening Dante mengembalikanku pada kenangan akan ayah dan kakek. Seolah dua sosok yang selama ini menambal kekosongan di dadaku itu kembali hadir. Nyata teraih mata. Kusambut tangan Dante yang terulur. Berdua dengannya, aku melangkah menuju rumah benteng. Aku mendapati pintu rumah itu terbuka lebar. Di ambang pintu, kulihat ayah dan kakekku berdiri. Mereka mengulaskan senyum yang selalu kukenali di setiap mimpi. Langkahku setengah bergegas, tetapi kecepatan langkahku tak bisa kutambah. Kurasakan genggaman Dante memberat. Menahan tubuhku untuk segera menghampiri kakek dan ayahku. “Kamu tak bisa ke sana. Mereka berbeda denganmu,” ujar Dante sambil menghentikan langkahku. “Aku tak melihat bedanya.” “Mereka malam. Kamu siang.” “Tak bisakah keduanya?” “Manusia harus memilih. Begitu pula dirimu.” Aku terdiam. Kuarahkan pandanganku kembali ke ayah dan kakek. Mereka tetap mengulaskan senyum yang menghangatkan dadaku. Bimbang hati, kualihkan pandanganku ke Dante. Semburat jingga di cakrawala berada di belakang punggungnya. Sisa sinar senja sore hari di balik tubuhnya membuat Dante serupa gambar malaikat kecil yang mencahayakan kesucian. Perwujudannya mendorongku membulatkan keputusan yang selama ini menjadi mimpi-mimpiku yang tak pernah lagi kuingat saat terbangun. “Aku memilih malam.” Dante mengulurkan mawar merah pekat di genggamannya. Saat aku menerimanya, kusadari tubuhku mengecil. Aku gadis kecil 20 tahun silam. Sebaya dengannya, setinggi tubuhnya. Seiring redupnya matahari, yang tinggal menyisakan bayang abu-abu di tanah, kurasakan nafas Dante kini mendekat di telingaku. Ia menyibakkan rambutku. Tanpa sempat menentukan rasa di indera perabaku, kurasakan bibirnya mencecap leherku. Kurasakan darahku mengalir deras menuju ke satu titik di leherku yang tengah dikecupnya. Alih-alih merasakan darahku terisap, di balik mataku yang terpejam, kulihat semua kenangan tentang apa pun yang pernah kulalui sebagai manusia, terbang berhamburan meninggalkan diriku. Mendesis, menguap, menghilang. Aku serupa kotak yang kembali kosong. Dalam hitungan beberapa menit, malam menjadi terang di mataku. Bisa kulihat jelas ribuan kelelawar menggantung di ketinggian teritisan atap rumah benteng. Bahkan, bisa kutangkap gerakan semut yang bergerak pelan di sebatang pohon yang berjarak dua meter dariku. Ketimbang merayakan perubahan yang kualami, aku memilih untuk menghambur ke pelukan ayah dan kakek yang masih berdiri di ambang pintu rumah benteng. Mereka menyambutku dengan kehangatan yang kukenal. Kami melangkah masuk, diikuti Dante yang berjalan tanpa suara. Sejak malam itu, aku berdiam di rumah benteng dalam hitungan waktu tak bertepi. Tentunya mereka yang mencariku hanya akan menemukan setangkai mawar merah pekat di depan pintu yang tertutup tanpa bisa dibuka oleh tangan manusia. Mawar itu tak pernah layu. Selamanya merah pekat. Seperti darah yang memikat.
""Merah Pekat""
Mangku tak sudi mati di tanah tumpah darahnya, Bali. Tidak! Hidup terlalu menyesakkan, hingga dia bersumpah lebih baik mati di daratan yang jauh. Tak pernah dia bayangkan jasadnya akan diantar ke kayangan bersama api ngaben yang meliuk. Suatu kematian terhormat yang buatnya adalah angan-angan yang jauh. Tetapi, dia yakin, mati sekadar diantar selantun doa tentulah mungkin. Dan, itu sudah jauh lebih mulia daripada kematian ayahnya. Orang tua itu dibunuh karena menerima tanah cuma-cuma dari organisasi tani yang dituduh merampas tanah tuan tanah dan membagikannya kepada petani tak bertanah seperti dia. Huru-hara politik pun menggelegar. Bali berdarah. Hukum rimba direbut orang-orang yang dirasuki roh leak. Tuan tanah, yang menjadi korban landreform, melihat matahari baru menyingsing untuk merebut kembali tanah mereka. Begitulah, suatu pagi, ayah Mangku diseret ke tepi lubang, tengkuknya dihantam linggis, dan bersama jasad petani senasib, dia ditimbuni, tanpa doa, konon pula air mata. Di tempat lain, dalam huru-hara paling bengis itu, anak-anak menyertai ayah mereka ke dalam lubang. Mangku mujur. Air mata kanak-kanaknya jadi juru selamat. Pemilik tanah membiarkannya menempati gubuk orangtuanya. Dia jadi pembantu di rumah tuan tanah itu. Siang seterik ini, duduk beristirahat di lindung bayang sulur-sulur daun, Mangku menebar pandang ke daratan menghampar. Dia melihat bayang-bayang masa kecilnya, bermain di tegalan, sementara Ayah dan Ibunya menggarap lahan dengan gairah seorang petani sejati. Bayang-bayang itu kemudian mengabur jadi kenangan hitam yang ingin dia tanam dalam-dalam. Dia mimpi tentang hari tuanya di daratan yang jauh dan pulang ke kayangan dengan sebuah doa. Meski tak selesai sekolah dasar, dia tahu ada daratan bernama Lampung, di mana orang Bali membangun hidup baru tanpa meninggalkan adat dan kebiasaan. Dia ingin mati di sana diiringi doa sederhana oleh orang Bali sejati. Sejak lama dia kumpulkan keterangan tentang Sumatera, yang menjadi kembang impiannya, termasuk peta jalan raya yang lumayan lengkap. Peta itu dia peroleh dari seorang kernet bus jarak jauh. Dia juga menyimpan kliping berita dari koran bekas yang dia pulung di pasar. Tetapi, peta itulah yang menyita minatnya. Saban malam, menjelang tidur, dia membentangkannya di lantai, selebar-lebarnya. Seperti seekor semut dia menyusuri jalan darat yang menghubungkan tempat tinggalnya dengan Lampung. Menggunakan mistar, entah berapa kali sudah dia menarik garis lurus dari desanya ke Pelabuhan Bakauheuni. Seribu dua ratus kilometer! Ah…! Biasanya, dia lantas ditenggelamkan angan-angan penuh tanya, berapa lama jarak itu akan dia tempuh dengan merayap dari satu titik perhentian ke titik yang lain. Angan-angan yang biasanya berkesudahan dengan tidur yang lelap. Sering pula dia bayangkan betapa gentar hatinya nanti di atas feri yang akan membawanya menyeberangi Selat Bali. Kemudian, seribu kilometer sesudah itu, dia akan menjelajah hamparan air yang memisahkan Sumatera dan Jawa. Dia gentar karena yang akan dia arungi anak samudra, bukan secercah air seluas kali di belakang rumah tuannya. Tetapi, sebuah doa lebih dahsyat dari gelombang. Jarak daratan dan laut apalah artinya untuk tekad siap mati. Mangku berbulat hati berangkat berbekal tabungan bertahun-tahun: seekor anjing Kintamani jantan dan seekor kera. Jantan pula. Uang kontan ala kadarnya. Tas kulit imitasi berisi pakaian dan sarung. Dua caping kepala. Dua pasang sandal jepit. Sebesar apa, setinggi mana pun menyundul langit, dalam kegelapan malam begini, Gunung Agung bukan apa-apa. Lereng, apa lagi puncaknya, tak tampak. Selepas berdoa bagi keselamatan dirinya dan kedua sahabatnya, perlahan Mangku menguakkan pintu. Dia persilakan anjing Kintamani melangkahi bendul lebih dulu. Sesudah itu, dia keluar menggendong kera, dengan tas jinjing di tangannya. Angin menyapu punggung mereka. Begitulah pengembaraan itu dimulai, tanpa pamit kepada siapa pun. Ini bukan pelampiasan dendam terhadap tuan tanah yang telah merebut kembali tanah yang beberapa tahun dikuasai ayahnya. Buat Mangku, yang ingin mati terhormat, risi rasanya tinggal di rumah tuan tanah itu. Terasa seperti beribu mata yang terus mengawasi kalau-kalau dia membalas dendam atas kematian ayahnya. Badai perasaan itu lebih baik diakhiri dengan diam-diam, tanpa basa-basi, pikirnya. Malam pekat dan dingin mengarak Mangku, anjing, dan keranya mengendap-endap meninggalkan desa. Manakala kunang-kunang terakhir membungkamkan pancaran fosfor dari tubuhnya untuk menyambut terang tanah, Mangku dan teman sepengembaraan tiba di tepi jalan beraspal. Kilau lampu mobil membuat jantungnya berdentam. Itulah bus yang dia tunggu. Sedikit gugup, dia mengacungkan tangan. Bus mendekat, berhenti beberapa depa dari tempatnya berdiri. Bali tempat dewa bersemayam. Apa pun yang keluar dari sini, berhak atas kayangan. Anjing Kintamani dan kera jantan itu melenggang saja masuk ke feri di Gilimanuk. Tak perlu dikarantina. Mereka suci seperti Hindu. Penyakit hewan hanya berjangkit di luar pulau. Juga penyakit manusia yang bernama kekejian! Mangku pernah membaca laporan, hanya setelah masuknya tentara dari luar Bali, menjelang penutupan 1965, berjangkitlah pembantaian terhadap mereka yang begitu saja dituduh makar dan cuma pantas untuk dibunuh seketika, bagai binatang penyakitan, termasuk ayahnya. Tiba di Banyuwangi, Mangku mencari pangkalan bahan bangunan. Dia beli sebatang dolken. Sulit mencari ember kaleng. Tetapi, akhirnya dia temukan kaleng bekas pada seorang pedagang loak. Kaleng itu dia lilit karet dan jadilah tambur. Sementara batang dolken dia takik tiap jarak sejengkal. Dengan alat itu, bersama anjing dan kera, Mangku membentuk “topeng monyet”. Tapi, ini bukan rombongan sembarangan. Ini seniman dari kayangan. Maka rantai tak diperlukan. Kedua hewan itu dibiarkan menikmati kebebasan untuk bermain, melompat, menari, jumpalitan, menggonggong, dan mengaing. Si kera bergerak dan menari karena dia suka, bukan karena dipaksa. Juga anjing Kintamani itu, yang berlari-lari dengan anggun mengibas-ngibaskan bulu ekornya yang halus, berjingkat sambil melompat-lompat memanjat dolken. Gerakan itu semata ungkapan cinta mereka kepada tuannya. Selain menabuh tambur, Mangku ikut menari, mulutnya berdecak-decak, tangannya berkibar-kibar, bagai penari kecak. Kalau rombongan ini tampil di alun-alun kota yang mereka lalui, penonton berjejal seperti kerupuk. Pengembaraan Mangku bersama kedua hewan itu tak selalu menyenangkan. Menjelang Semarang, beberapa kali dia ditahan aparat. Mereka meminta surat jalan. Mangku tak punya. Dari perjalanan panjangnya inilah dia tahu bahwa kesalahan–yang dibuat-buat penguasa, termasuk polisi, banpol, babinsa, hansip, dan tentara–bisa ditebus dengan uang. Di Pemalang, dekat pantai Widuri, dia merinding, juga tersenyum kecut. Ceritanya, ketika dia akan menggelar pertunjukan, adalah kru film Austria yang sedang mengambil gambar di semak-semak, tak jauh dari bibir pantai. Diyakini, di situ dikuburkan sejumlah guru, lurah, dan pamong lain yang dituduh komunis. Mangku tergoda bergabung dengan kerumunan manusia di semak-semak itu. Di depan kamera, seorang saksi mata menceritakan bahwa suatu malam, akhir Oktober 1965, ketika dia berusia 13, dia dengar rentetan tembakan dari arah laut. Esok paginya, dia pergi ke pantai menemui teman-temannya. Kaget, di situ dia jumpai sekelompok orang dewasa sedang menyeret-nyeret mayat yang tergeletak dingin di pantai. Anak-anak tanggung yang mengerubung disuruh ikut menyeret mayat yang sudah tak berdarah, dan melemparkannya ke lubang. Mangku merunduk, hatinya meraung. Tampil pula saksi lain. Orang ini, berusia di atas 60, mengaku disekap di Nusakambangan, sebelum dipencilkan ke Pulau Buru. “Mereka yang terbaring di sini,” kata orang itu, “adalah orang-orang yang sangat disegani, dihormati. Mereka guru, pamong terbaik di daerah ini.” Saksi itu berkisah, sepulang dari Buru dia menganggur. Pekerjaan satu-satunya adalah togel. Untuk mendapat nomor jitu, berbagai cara ditempuh para penjudi. Meminta nomor di kuburan, mereka lakoni. Dia sendiri pernah meminta nomor di kuburan massal itu. “Malam-malam, saya letakkan kertas polio putih bersih. Di atasnya saya baringkan pensil,” katanya bersungguh-sungguh. “Besok paginya, saya datang. Dua kali saya dapat nomor. Dua kali bandar jebol,” dia tersenyum simpul, kerumunan orang bergoyang. Sambungnya: “Saya yakin, roh Pak Machdum, guru paling jempolan, yang menuliskan nomor itu. Orang lain juga pernah mencoba, tapi tak dapat apa-apa, kecuali kertas putih tok. Sebab, roh Pak Machdum cuma mau kasi nomor kepada mereka yang seideologi…,” tukasnya. Perasaan Mangku diaduk-aduk. Hatinya diiris-iris, juga terasa dikilik-kilik. Dia tunduk, menyembunyikan senyum getir. Ketika kata-kata saksi mata itu diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, kru film terpingkal-pingkal. Tegal dia temui baik-baik saja. Juga Indramayu, Krawang, dan Cikampek. Mangku tak mengira, Jakarta cuma sebuah bencana. Siang itu, ketika dia melintasi daerah Menteng, terdengar sirene meraung. Dari mobil kap, orang berpakaian seragam berlompatan mengejarnya. Seseorang, yang membawa tangguk, menyauk anjingnya, dan melemparkan hewan itu ke mobil. “Anjing rabies, jangan macam-macam, lu, ya…!” terdengar teriakan dari dalam mobil yang meluncur kencang. Mangku termangu. Keranya menjerit-jerit, tak rela kawannya diperkosa. Hanya itu yang bisa diperbuat kera itu. Kota sebesar ini cuma berisi penjahat, pikir Mangku. Beberapa hari kemudian, setelah lelah berlari-lari kecil, melompat, menari-nari dalam satu penampilan bersama keranya di satu persimpangan, Mangku ingin melihat-lihat rumah yang besar-besar dan mentereng di selatan kota. Kera yang melenggang di sampingnya mendadak menyentak-nyentak tangannya. Terdengar gonggongan anjing dari pekarangan rumah. Mangku kenal betul gonggongan itu. Dia menghampiri pagar. “Kaukah itu Jonggi…!?” teriak Mangku. Dia lihat anjing Kintamaninya dituntun seseorang dengan rantai metal yang melilit lehernya. Anjing itu mendekati pagar, ingin mencium lutut Mangku. Yang memegang rantai menyentakkannya. Penjepit di rantai itu mencubit leher anjing itu. Jonggi terkaing. “Mau apa kamu, ha…?!” “Itu anjing saya.” “Bohong! Mau maling lu! Awas ya, saya lapor…” orang itu ngacir. Ditunggu berjam-jam, orang itu tak keluar juga. Dari arah dalam, Jonggi terus menggonggong. Mangku tahu betapa gelisahnya anjingnya itu. Lama-kelamaan gonggongan semakin menghilang, diredam rantai pencekik. Satpam datang mengusir Mangku. Anak Bali dan sahabatnya menyingkir. Hati mereka laksana dua serangkai, sama-sama terluka. Jakarta cuma memberi bekal kekecewaan tak terbayar. Menumpang truk, Mangku menuju Merak. Dia ingat, dari kota pelabuhan ini, sekali lompat dia sudah akan menginjak daratan idaman. Tempat di mana dia ingin mati secara wajar, diiringi doa, tentu. Tidak seperti Ayahnya. Di Merak, matahari menggigit melumatkan kulit. Mangku memutuskan istirahat di emper gudang. Duduk mencangkung, dia belai teman semata wayang. Luka hatinya, karena anjingnya yang dirampok dan diperkosa di Jakarta, belum sembuh. Namun, udara lembab bergaram dan deburan ombak agak menawarkan perasaannya. Selagi dia menerawang, tiba-tiba seekor anjing menerjang dari bawah truk yang sedang parkir dan menyerang kera di sebelah Mangku. Kera itu menjerit, melompat, dan secepat kilat bergantung di kaso emper. Darah menetes dari pahanya. Selang beberapa detik, diiringi raung pertanda siap membunuh, segerombolan anjing menyerbu dan berkerumun sambil menggonggong kera terluka yang bertengger. Mangku lari ke lapangan, menggenggam pasir, dan melemparkannya ke gerombolan anjing tadi. Mereka berlarian menyingkir. Malamnya, Mangku meratap tertahan-tahan isak tangis. Di hadapannya, sahabatnya terkapar di tikar. Kera itu kejang. Mulutnya berbuih. Paginya, para pemancing menemukan bangkai anjing mengapung. Rupanya, anjing pembawa rabies, yang menyerang kera Mangku, mati, dan orang membuangnya ke laut. Mangku takkan memperlakukan sahabatnya seperti itu. Dia membungkus jasad sahabatnya dengan hormat, membawanya menyeberangi selat. Sesampai di daratan Sumatera, Mangku membopong tubuh kaku kera itu menuju daratan yang agak tinggi, menatap selat. Mangku tegak di atas lutut menghadap lubang. Berdoa beberapa saat, lantas dia menimbuni kuburan itu dengan tanah. Juga air mata. “Persis sebagaimana kau dikuburkan ini, begitulah kematian yang kuinginkan. Mati baik-baik, kawan. Diiringi doa….”
""Mangku Mencari Doa di Daratan Jauh""
Batara alias Batre gemar menyelenggarakan smokol secara cermat dan meriah sebulan sekali, atau dua kali—tergantung ilham yang didapatnya dari kunjungan sesekali Peri Smokol. Menurut Batara, peri yang berasal dari Manado ini adalah penguasa dan pelindung smokol (makan tanggung di antara sarapan pagi dan makan siang), pemasak smokol (Batara sendiri), dan kelompensmokol (kelompok penikmat smokol; beranggotakan Batara, Syam, si kembar Anya dan Ale). Tapi ketiga temannya curiga peri ini cuma hasil rekaannya. Ale yang pernah ke Manado, melaporkan sesungguhnya orang Minahasa menyantap tinutuan (bubur Manado) beserta pisang goreng dan teri goreng yang ditaruh di tepi piring dan dicelup-celupkan ke dalam dabu-dabu (sambal yang pedas bukan main hingga bisa bikin orang menangis diam-diam, kuping berdenging, dan untuk beberapa yang rentan, niscaya berhalusinasi). Tapi bagi Batara, smokol tidaklah sesederhana itu. Dengan imajinasi yang berlebih dan gelora bagi kesempurnaan segala sesuatu, Batara selalu muncul dengan smokol bertema aneh dengan makanan aneh-aneh. Ketiga temannya tak pernah bisa menduga apa yang akan terhidang di meja. Suatu hari, misalnya, ia merekonstruksi menu ’Santap Malam dengan Trimalchio’, dan memulai dengan apologia. ”Sori, teman-teman, secara keseluruhan, ini lebih bersahaja, tidak seambisius Petronius.” Tak hanya terilhami novel atau buku masakan, juga esai—padahal pada paragraf pertama, sang esais telah memperingatkan bahwa resep anak domba sepanjang 13 halaman itu tak pernah sukses dicoba. Di kali lain, ia menghidangkan makanan warna kuning dan hijau saja, atau hanya menyuguhkan rebusan teh putih langka dalam teko dan cawan keramik rompal. Suatu kali ia sibuk menggelar tikar di halaman belakang, tema hari itu adalah piknik makan patita ala Ambon di pinggir pantai imajiner. Ketiga temannya juga bisa terkecoh dengan judul makanan yang terdengar megah, semisal ’Gnocchi di patate alla crema delicata di Gorgonzola’, yang ternyata cuma kentang rebus bentuk bola-bola. Begitulah, Batara menyapu berbagai waktu dan negeri: dari Zaman Pertengahan hingga Nouvelle Cuisine tahun ’80-an, dari Raja Richard II sampai Oma Sjanne yang tinggal di Tomohon. Seingat ketiga temannya, hanya satu kali Batara menyajikan smokol betulan. Bagi mereka, santap smokol adalah hari ideal yang penuh kebahagiaan. Mereka selalu menanti-nantikan hari Sabtu terjadinya peristiwa makan besar ini. Biasanya di malam sebelumnya mereka tidak terlalu banyak makan, tidak berulah macam-macam yang bisa mengakibatkan sakit gigi atau gangguan pencernaan, dan berangkat tidur lebih awal. Mereka tiba di rumah Batara pada pukul sembilan pagi, smokol terhidang pada pukul sepuluh, lalu sedikit minum-minum pukul satu-dua siang sambil menunggu hidangan kue-kue kecil dan kopi pada pukul empat sore, makan malam pasca-smokol pukul enam, minum-minum dengan camilan sekadarnya pada pukul 10 malam, lalu makan pasca-pasca-smokol di tengah malam. Di saat smokol inilah Batara tampil dalam kebesaran dan kemegahan kuasa kedewaannya. Tak hanya seperti dewa koki, ia juga menjelma seorang oma bawel bercelemek yang repot betul dengan berbagai-bagai masakan yang telah dipersiapkannya sedari pagi secara teliti, murah hati dan penuh cinta kasih. Ia bisa nyinyir menyuruh-nyuruh ketiga temannya seakan mereka adalah anak cucu menantu miliknya seorang; mereka mesti mengaduk, menuang makanan dari panci kuali dandang, bergiliran membawa piring mangkuk lodor ke meja makan. Dan, ketika semua makanan telah datang terhidang, Batara akan mundur selangkah untuk mengagumi tampilan mejanya. Ia berdiri tegak memandang semestanya yang lezat selayaknya para dewa, berkacak pinggang dengan telunjuk terangkat menitahkan ketiga temannya untuk menaklukkan seisi meja. Lalu dengan penuh kuasa ia memerintahkan mereka untuk makan, tambah, makan lagi… secukupnya. Kalau sudah begini, mereka bagai tenggelam dalam dunia fantasmagoria ciptaan Batara. Bentang alamnya kira-kira tampak seperti ini: pepohonan makanan yang berbuah bola-bola ghoulash yang gemuk-gemuk, berbunga pai gelatin stroberi yang berembun merah berkilat-kilat, berdaun piterseli dan kemangi, rerantingannya pasta bermentega yang menjulur-julur panjang. Danaunya adalah kuah tempat potongan daging wortel kentang paprika berenang-renang, ampela bebek bersampan irisan roti garing. Air terjunnya curahan deras sari buah, anggur, kopi, cinta kasih Batara…. Dan, di antara semua ini, ketiga temannya terhenyak kekenyangan, merasa seperti akan meledak, bunyi-bunyian aneh yang tak terjelaskan akan keluar dari mulut-mulut mereka. Kerap kali sang dewa kesedapan beterbangan di antara meja makan dan dapur untuk mengambil tambahan ini ekstra itu, sambil berceramah, ”Tanda sesungguhnya dari seorang gastronom sejati, teman-temanku, adalah absennya keperluan dan keinginan untuk sok berhati-hati dengan semua makanan berkah Tuhan, sebab dirinya telah sarat pemahaman yang terasah secara cerdas dan halus. Rahasianya cuma satu: tak berlebih. Ingat ini, segala sesuatu mesti berkadar secukupnya, selayaknya satu masakan sempurna. Niscaya dia sehat-walafiat dan kelak meninggal dalam tidur dengan senyum damai di wajah, seperti mendiang omaku—Tuhan memberkatinya. Dan, ketika seorang gastronom telah mampu memahami hakikat alur kulit nanas, misalnya, atau makna keteflonan penggorengan, niscaya saat itulah dia menjelma seorang gastrosof.” Dengan iba ia bicara tentang ’cewek-cewek kurus kering yang tampak kelaparan itu, selalu membangkitkan naluri kekokianku untuk memberi mereka makan’. Ia mencibiri ’kalkulasi asupan kalori, lemak-kolesterol-karbohidrat, berat badan dan segala macam tetek-bengek gaya hidup—cuma obsesi orang-orang yang khawatir dengan berat badan dan penampilan, mereka yang memandang berkah serupa racun, begitu takut akan maut. Maka, makanan pun menjelma energi buruk di badan mereka, penyakit segala macam itu.’ Batara bersendawa, menghardik, membujuk-rayu, atau tertawa senang dengan mata berbinar jika ketiga teman menghujani semesta masakannya dengan puja-puji. Mereka juga mencela secara semena-mena dan keji, khususnya perkara estetika meja makan. Gara-gara ia punya semacam estetika ideal dalam setiap perjamuan yang meliputi jenis makanan, tampilan meja dan atmosfer keseluruhan. Hal ini kerap menimbulkan insiden kecil-kecilan di antara mereka. Seperti hari ketika ia meletakkan jambangan mahabesar berisi bunga-bunga yang tak bisa dinamai, menjulang tinggi dalam rangkaian agak rumit. Mereka belum lagi mulai bersantap. Batara muncul dari dapur dengan tergopoh-gopoh dan mengepul-ngepul dengan mangkuk besar di tangan, diletakkan di sepetak lahan kosong yang tersisa di meja. Ia lalu mundur selangkah, berkacak pinggang menatap senang tampilan mejanya, telunjuk mengangkat dalam gestur dan titah wajib: ”Kelompensmokol, ayo taklukkan makanan di depan kalian!” Lagaknya seperti gembala menghalau ternak, atau mungkin itulah gaya Columbus di atas geladak ketika menemukan Amerika. Ale. ”Aku nggak bisa lihat muka Anya.” Anya. ”Aku nggak bisa lihat muka Ale.” Syam. ”Gara-gara jambanganmu yang terlalu besar dan megah ini.” Batara. ”Terus kenapa? Kalian nggak harus bertatap-tatapan.” Ale. ”Kami harus bertatapan.” Anya. ”Sudah dari dulu begitu. Orang tua mengajarkan kami menatap orang yang sedang bicara.” Batara. ”Nggak bisa. Seandainya kalian bisa menebak apa-apa gerangan yang sudah kulakukan untuk mencapai komposisi, morfologi dan harmoni meja setaraf ini.” Syam. ”Kamu jual jiwa kepada setan. Atau jual diri?” Ale. ”Singkirkan deh, supaya makanan bisa lebih lancar ditelan sambil bertatap-tatapan, tak ada yang tersedak.” Anya. ”Dan para orang tua berbahagia anak-anaknya makan pengajaran.” Batara. ”Aku sendiri yang merangkai bunga semalaman, setelah sesiangan ke Rawabelong. Heh, pantat panci, kuping kuali, paham tidak sih, kemarin itu macet, panas pula berkeliling seantero tukang bunga.” Ale. ”Sudahlah, gentong bunga angkat saja. Kami sudah dari tadi menangkap realisme magis meja ini.” Anya. ”Angkat, Batre, gentong atau bunga. Pilih salah satu.” Batara. ”Repot amat. Tidak bisa dan tidak mau.” Batara mulai berwajah bengis. Ini gelagat yang tidaklah baik bagi semua pihak. Apalagi jika badannya yang gempal mulai bergumpal-gumpal, niscaya sebagai manusia ia tampak berbahaya. Lalu sepanjang hari ia akan terus memasang tampang tukang jagal seram, masam seperti cuka apel, diam membisu seperti talenan, menghunus pandangan tajam yang mengiris-iris seperti pisau daging. Lalu sambil menggumamkan berulang-ulang mantra Sancho Panza, ’All ills are good when attended with food’, Batara tetap saja menghidangkan yang perlu dihidangkan, dengan garnis desisan dan geraman pertobatan, ’Ini smokol terakhir, sungguh terakhir….’ Maka, kompromi mesti ditempuh; ketiga temannya rela membolehkan yang biasanya tidak dibolehkan dalam situasi normal. Batara boleh menyanyi berpura-pura menjadi siapalah, atau main akordeon lagu apalah, dan mereka akan mendengarkan dengan tertib. Sontak saja senyum dan energi Batara pun kembali, dirinya baterai ceria penuh terisi. Ia mondar-mandir lagi tanpa henti, seperti anak kelinci bintang iklan baterai. Konon, ia beroleh nama panggilan Batre karena sedari bocah telah begitu lincah. Teman-temannya pernah terlibat diskusi panjang yang kira-kira mirip dialektika ayam dan telur: apakah Batre menghidupi namanya, ataukah justru nama itulah yang menghidupinya; bukankah melelahkan sekali menghidupi nama? Tapi mereka sepakat, Batre memang baterai nomor satu, sumber energi infiniti bagi dirinya sendiri: terus, terus dan terus…. Mereka tahu bahwa di balik aksi-aksi ngambek sok bengis itu, sesungguhnya Bataralah orang yang paling tulus dalam cinta kasihnya, tanpa tahu mengapa atau untuk apa, bahkan tak hendak bertanya. Tak ada sesuatu apa di balik cintanya; tanpa pretensi, kalkulasi, atau imbal balik. Semacam cinta yang hanya bisa dipunyai anak-anak. Ia manusia paling riang gembira sekelompok ini, bahkan sekota Jakarta. Sesekali saja ia jatuh berduka. Seusai smokol, sambil menunggui mereka mencuci piring, Batara duduk memangku akordeon merah bernama Patchouli dan memainkan lagu dengan khusyuk. Sang dewa smokol duduk megah menutup-buka akordeonnya, menebar nada dewata di udara, di antara ketiga manusia jelata pencuci piring dan pemberes meja makan yang cuma mendencing-dencingkan porselen dan penggorengan teflon. Di malam-malam larut, kelompensmokol menyambangi halaman belakang rumah Batara. Keempatnya duduk bersandar kekenyangan, mengangkat kaki menatap bintang. Mereka berbicara tentang apa saja; mengkhayalkan dapur hidup fantasi dalam kosmologi Fourier, definisi tengik, cita rasa akhirat. ”Akhirat…. Aku curiga cita rasa akhirat akan seperti ini. Kenyang dan bahagia. Di surga kita akan kenyang, terlalu kenyang untuk menginginkan. Buah zaitun dan anggur yang sejangkauan tangan, para bidadari yang duduk bertelekan—terbuang percuma. Sedang Tuhan YME menyaksikan kita, manusia-manusia yang terkesima, yang bergumam-gumam heran, lho, tak kepingin lagi. Maka Tuhan bersabda, kenapa tak dari dulu, wahai manusia.” Batre bergumam. Di malam-malam larut seperti ini, ada cita rasa pulang yang mengalir dalam udara pelan. Salah seorang akan berucap dan semua seakan percaya pada apa yang terdengar. Tak ada yang mengatakan, tapi semua memahami yang terasa: sececap cita rasa yang tak ternamai, tertinggal manis di lidah. Dan cahaya bintang, meski hanya seberkas, namun cukup. Maka, suatu hari Batara sungguh-sungguh jatuh berduka. Duka paling nadir yang pernah dirasanya. Batara menangis tersedu-sedu sambil memeluk satu pak tisu ukuran jumbo di depan ketiga temannya. Ia berbicara terpatah tentang sekampung orang yang meninggal karena kelaparan, tentang anak-anak berperut buncit dan bermata hampa yang berjalan menyeret-nyeret kaki telanjang dan busung lapar mereka—adegan-adegan yang akhir-akhir ini kian sering muncul di TV. Ia tercenung membayangkan apa rasanya lapar berhari-hari. Ia mengenang meja makan Oma Sjanne di Tomohon yang penuh sesak dengan makanan, tak satu pun tamu atau musafir yang keluar dari rumah mereka dalam keadaan lapar. Ia merenungkan betapa tampilan mejanya selama ini adalah aspirasi penciptaan kembali meja makan mendiang omanya. Batara tak mengerti mengapa Oma Sjanne luput menyelipkan satu saja bau kelaparan di antara sejuta bebauan sedap masakan di dapur, mengapa meja makan Oma Sjanne tak pernah menampakkan realisme meja-meja makan lain yang kosong belaka. Kini bayang-bayang lapar yang telah selalu tercegat di bawah meja makan itu datang menerjang di depan mata Batara. Berdiam di dalam pelupuk matanya yang sembab, namun nyalang, menatap negeri ini. Negeri yang penjuru-penjurunya tak pernah didatangi peri smokol. Negeri yang tak kenyang dan tak bahagia, tak pernah surga. Batara tampak agak kurus akhir-akhir ini.***
""Smokol""
Badan saya masih meriang ketika polisi itu datang. Semalam, saya berkelahi melawan Pak Darkin memperebutkan Nining dan saya kena swing kepalan kirinya. Saya terjerembab tak sadarkan diri. Anak-anak mengangkat tubuh saya ke atas dipan. Ada yang sibuk mencarikan minuman panas. Ada yang mau memanggil dokter. Ada yang memijit. Malam itu, karena peristiwa itu, penghuni Rumah Kita jadi rame sekali. Rupanya ada yang lapor polisi tentang perkelahian itu. Polisi itu kembali ke pos ketika saya katakan bahwa kejadian semalam perkelahian biasa, tidak penting untuk dipersoalkan. Tapi, apa pun yang terjadi, kami, penghuni Rumah Kita dengan para pedagang di Pasar Kliwon, telah kehilangan Nining yang digelandang Pak Darkin secara paksa kembali ke rumahnya. Nining, gadis kecil hitam manis tujuh tahun, memang milik Pak Darkin, meski hanya sebagai ayah tirinya. Nining sering ditempeleng ketika marah Pak Darkin kumat. Ibunya, yang selalu membela putri kandungnya itu, sering tubuhnya dilempar sampai membentur dinding. Untung dinding rumahnya dari anyaman bambu sehingga cukup lentur. Pada suatu malam, dengan tersengal-sengal Nining menghambur ke perkumpulan Rumah Kita untuk bersembunyi. Kami menyambutnya dengan sukacita. Di dalam gerombolan kami itulah, Nining merasa aman dan nyaman. Di sepetak ruang yang merebut ruang milik pasar itulah, saya hidup. Sehari-harinya saya pura-pura berbenah dengan perabotan dari potongan-potongan sisa-sisa kayu yang berserakan di mana-mana. Saya ditemani kompor minyak tanah, teko, panci, gelas, piring, sendok garpu, ember, dan di atas dipan dengan tikar plastik itulah saya bisa beristirahat dengan nyenyak. Kemudian satu-dua anak datang dan pergi, mereka belajar apa saja, juga memasak, rame-rame makan, dan tidur. Akhirnya Rumah Kita resmi menjadi tempat mangkal anak-anak gelandangan, pengamen, pengemis, pemulung, anak baik-baik yang tidak betah di rumah karena berbagai alasan. Saya sebagai tukang sapu bagian kebersihan pasar merasa dituakan lalu mengatur mereka dengan marah-marah, lelah, dan sedih, sejak tahun 1997. Sebagai tukang sapu pasar, saya tak punya kebisaan apa-apa untuk mengajar anak-anak itu. Untung, beberapa guru dan mahasiswa datang secara sukarela mengajar anak-anak itu menulis, menyanyi, membaca, dan bercocok tanam. Setiap minggu, anak-anak diminta membaca puisi karangannya sendiri, juga cerpen, esai, dan menyanyikan lagu yang ditulisnya sendiri. Ketika anak-anak dibawa ke kebun untuk belajar bercocok taman itulah, Pak Darkin memergoki Nining ada di antara anak-anak itu dan mencengkeram tangannya dan menggelandangnya. Serta-merta saya menubruk tubuh Pak Darkin dan kami bergumul, tindih-menindih. Saya yang boleh dikata tak pernah berkelahi begitu saja terkapar. Sayup-sayup terdengar orang-orang sibuk menolong saya. Gaji saya yang tak seberapa harus cukup cekatan dalam berkelit menghidupi anak-anak itu. Sekitar 15 anak setiap hari paling tidak makan dua kali. Setiap habis gajian, tak ada sisa sama sekali, bahkan digayuti utang di sejumlah warung. Syukurlah ada anak yang bisa menyumbang dari pendapatannya mengamen atau memulung. Tapi, yang sangat membantu adalah sumbangan para pedagang pasar. Pedagang beras menyumbang beras. Pedagang sayur menyumbang sayur. Pedagang ikan menyumbang ikan. Bumbu-bumbu dapur rasanya tak pernah kehabisan. Di malam yang sunyi ketika anak-anak sudah tidur, tiba-tiba datang beberapa orang memanggul beberapa karung beras yang diperuntukkan Rumah Kita. Orang-orang itu menaruhkan begitu saja karung-karung itu tanpa ada sepatah pun kata pengantar. Ternyata tidak hanya beras, juga minyak goreng beberapa botol, telor beberapa kilo, gula, kopi, teh, beberapa ekor daging ayam segar. Tak ketinggalan banyak sekali kain sarung, kaus oblong, dan peralatan mandi. Saya tidak tahu dari mana semua sumbangan itu. Pagi harinya semua sumbangan itu dibagi rata untuk anak-anak. Saya sempat kebagian sarung dan kaus oblong. Anak-anak bertanya dari siapa semua sedekah itu. Hari itu kami masak rame-rame dengan mengundang siapa saja yang mau makan bersama kami. Anak-anak pengamen memeriahkan pesta hari itu dengan mementil gitar dan menyanyi. Aduh, meriahnya. Aduh, bahagianya. Sayang sekali, Nining tidak bersama kami. Tapi, kami sisihkan sarung dan kaus oblong untuknya. Satu saat kami harus merebutnya kembali atau kami akan bersedih sepanjang masa. Malam yang tenteram tidak selamanya dapat dipertahankan. Saya bangun tersentak tak bisa bernapas karena dicekik Pak Darkin yang bisa mulus menyelinap ke gerombolan kami. Ia meradang. ”Kamu sembunyikan Nining di mana!” Saya tak bisa menjawab. Bernapas saja sangat sulit. Pak Darkin paham lalu mengendorkan cekikannya. ”Saya tidak tahu,” jawab saya. ”Mau kamu saya bikin modar!” ”Sungguh mati saya tak tahu di mana Nining.” ”Bohong!” ”Kalau memang Nining hilang, saya bisa membantu mencarinya.” ”Sontoloyo!” Saya terbatuk-batuk. Saya diseretnya keluar. Saya heran, tak seorang pun anak yang terbangun. Saya digelandang terus. Sesampai di jalan raya, saya dinaikkan ke becak. Pak Darkin duduk di samping sambil terus nyerocos yang tak jelas. Rupanya saya dibawa ke sebuah pekuburan yang gelap gulita. Dua orang yang sigap membekuk tubuh saya, membanting dan membalut dengan kain kafan. ”Kamu harus sumpah pocong!” geram Pak Darkin lalu pergi bersama kedua kawannya. Saya tak bisa bergerak, ketat sekali balutannya, membujur kaku bagai jenazah. Tiba-tiba: ”Pak Totok,” suara seorang gadis membisik, ”Saya Nining.” ”Mengapa kamu di sini?” sergah saya. ”Saya menunggu Bapak,” jawabnya sambil melepaskan belitan kain kafan dari tubuh saya. ”Dari mana kamu tahu saya di sini?” ”Kiai Kintir baru saja mengantar saya kemari.” ”Sekarang beliau di mana?” ”Sedang bersiap-siap hanyut di Bengawan Solo.” ”Wah, gawat!” Maka kami berdua bergegas ke Jurug tempat Kiai Kintir biasa memulai kegiatannya menghanyutkan tubuhnya. Kiai Kintir alias Kiai Hanyut adalah kiai—tak seorang pun tahu nama aslinya—yang punya kebiasaan menghanyutkan tubuhnya di Bengawan Solo. Itulah jalan spiritualnya. Sejumlah warga Solo ada yang mengolok-oloknya sebagai Kiai Kenthir alias Kiai Sinting. Beliau tidak peduli atas cemoohan itu karena hidup beliau sehari-harinya sangat serius. Bahkan yang melecehkannya dikiriminya segepok uang yang dicomotnya dari udara. Maka semakin bertambah banyak orang-orang yang meledeknya dengan pamrih Kiai itu mengiriminya duit. Saya sendiri pernah melihat beliau mencomot uang dari udara dan diberikannya kepada saya. Beliau pernah menyitir sabda Kanjeng Rasul Muhammad SAW bahwa seandainya kalian tahu apa yang terjadi di dunia ini, kalian akan menangis terus-menerus sepanjang hidup kalian. Sepanjang hayat Kiai Kintir mengasingkan diri. Tidak bergaul, tidak menerima santri, tidak mengajar, tidak mau diwawancara, tidak mau diundang makan. Pokoknya serba tidak. Saya sadar, semua kiriman beras dan kebutuhan dapur yang mendorong kami bisa berpesta itu, merupakan sumbangan Kiai Kintir. Beliau selalu bisa membahagiakan orang, sedang untuk dirinya sendiri, beliau tidak berniat sedikit pun. Cerita lainnya adalah, pernah sejumlah wartawan elektronik diam-diam mengambil gambarnya. Ternyata wajah beliau tidak terekam, yang muncul hanya gelap gulita. Jika beliau mulai menghanyutkan diri di Bengawan Solo, itu pertanda di Solo akan terjadi sesuatu. Sejak dini hari, ratusan orang dengan obor memenuhi kedua sisi bantaran Bengawan Solo menyaksikan tubuh Kiai Kintir yang telentang mengambang di sungai, hanyut dibawa arus. Orang-orang terus bergerak mengikuti tubuh beliau yang dibalut pakaian, diam mengambang hanyut seperti mayat. Saya dan Nining harus waspada supaya tidak kepergok Pak Darkin yang barangkali saja ikut nonton. Sampai fajar merekah, rasanya orang-orang yang menyaksikan tontonan aneh ini bertambah banyak. Tak ada seorang pun yang berucap. Semuanya diam. Jika satu orang pun yang berbicara memberi komentar, bisa-bisa Kiai Kintir tenggelam, begitulah kepercayaan yang menyebar yang boleh jadi cuma dibikin-bikin oleh orang-orang yang suka mengolok-olok. Dari jauh, Kiai Kintir cukup meyakinkan sebagai perenang yang kebanyakan mampu diam telentang mengambang. Hari belum panas benar ketika air Bengawan Solo mulai naik. Tak terdengar geledek. Tak terjadi gerimis. Cuaca cerah dengan langit biru seperti undangan untuk keluar rumah menikmati keramaian kota. Ratusan orang-orang yang berada di seberang menyeberang Bengawan Solo merasakan air bengawan mulai mencium lutut. Tampak tubuh Kiai Kintir telentang tenang hanyut semakin menjauh dari pendangan kami. Satu-dua orang penonton terseret ke tengah bengawan. Puluhan orang lainnya berlarian menyingkir dari bantaran sungai. Saya tarik Nining untuk menghindar dari bantaran bersama puluhan orang yang kacau berlarian. Sesampai di jalan raya, banjir sudah melahap seluruh kota Solo. Mobil, motor, andong, becak ditinggalkan pemiliknya. Sejauh mata memandang, cuma air yang berkilau-kilau yang tampak dengan orag-orang yang kebingungan menyelamatkan diri. Tangerang, 17 Maret 2008 Banjir di Pasar Kliwon, Solo Baru, Semanggi, Joyontakan.
""Bengawan Solo""
Ia mengekori bapaknya yang berjalan beriring dengan Nurdin. Tangan kiri bapaknya menenteng sejumlah bubu bambu perangkap ikan, juga beberapa bubu nilon penjerat kepiting. Tangan kanannya menggenggam sepasang dayung. Nurdin, meski usianya kurang sepuluh tahun, enteng saja menggendong segulung jala dan menjinjing bekal. Maklum, sejak usia tujuh tahun, adik laki-lakinya itu sudah melaut bersama bapaknya. Zulaiha iri. Ia juga kepingin melaut. Tapi keinginan itu ibarat ikan hendak berenang di genangan langit! Angannya sering berkelana; menunggang sampan, menghirup wangi laut, dan membiarkan pias laut menyerpih di wajahnya. Nikmat! Sampan masih tertambat, tapi terkulai-kulai diayun putik ombak. Bapaknya menyulut rokok, dan Nurdin begitu sigap menguras air dari lengkung sampan. Diam-diam Zulaiha menggeliat ke sisi Nurdin. Sampan berguncang! Lalu terdengar dengus yang rakus, disusul suara gedebab, semacam pelepah kelapa menimpa sesuatu. Zulaiha terjerembab! Di punggungnya, bukan tanggung rasa panas yang menjalar. Kepala dayung yang dihantamkan bapaknya ke tubuh Zulaiha. ”Berapa kali Bapak katakan, kau tu tak boleh melaut. Anak jadah!” Zulaiha bangkit ditopang derit sakit. Tapi ia tidak meringis, apalagi menangis. Sudah berulang kali ia mengalami kejadian semacam itu. Benar, sesaat matanya nanar, merah, dan pedih. Kepalanya sempat tersungkur ke dangkal laut. Hidung dan mulutnya berlumpur. Tapi dengan napas tertahan, ia remas bajunya yang terbasuh laut. Ia kibaskan lumut yang bergayut di lutut. Dan kemudian, sorot matanya tak berkedip, begitu saksama melepas sampan membawa Nurdin dan Bapaknya berarung ke jantung laut. Nasib belum mujur. Tempo hari, sebenarnya Zulaiha lihai memasang akal. Ia terlebih dulu menuju sampan. Lalu, ia benamkan tubuhnya di setumpuk jala bekas yang tertinggal di sampan. Tentu buah dari harapan Zulaiha, bapaknya luput mengetahui keberadaannya. Maka, ia akan turut melaut. Tapi kandas. Sebelum sampan beranjak ke lenguh ombak, bapaknya menyuruh Nurdin mengembalikan jala koyak itu ke rumah. Dan ketahuan. Maka tak ada keraguan, setelah Zulaiha dijinjing, sebuah tendangan membikin Zulaiha terlentang, berlalu pulang. Nun, di dadanya membuncah cita-cita—atau kesumat sejati yang mengilat? Suatu hari nanti, aku akan melaut. Sendiri! Mesti sendiri! Zulaiha betapa mencintai laut. Lumrah itu. Bukankah ia tumbuh di lingkungan laut? Bahkan, konon, kata kerabatnya, Zulaiha lahir saat laut pasang menyeruduk rumah mereka. Maklum, rumah rapuh mereka teronggok dekat paloh, rendam rawa di sekitar bengkalai bakau. Nek Sakdiah, dukun beranak Mak-nya saat itu, malah sempat memandikan Zulaiha dengan air asin. ”Baru lahir saja sudah minum laut,” seloroh mereka. Memang, sejak kecil, tabiat Zulaiha memperlakukan laut sering dianggap tak lazim. Iya pula, ketika beranjak tidur, Zulaiha mesti mendekap botol bir berisi air laut. ”Mm, ada-ada saja,” geleng tetangga berbalut geli. Selain itu, setiap kali hatinya dicengkram kuku taring kepiluan, atau sedang bertabur kembang sukacita, Zulaiha pun bersegera ke tepian laut. Tak siang tak malam. Adalah bangkai dermaga kayu, tak jauh dari rumah mereka, lapak kegemarannya. Sering ia kedapatan duduk sebatang diri di situ. Betapa lapang Zulaiha melempar pandang ke hampar laut. Sorot matanya menyeruakkan tangan, hendak merangkul kaki langit yang sembunyi di balik punggung laut? Sambil lalu, ia biarkan julur ombak menggeli-geli kakinya. Baginya, lidah laut seperti belaian beludru. Lautkah gemulai rahim yang mendamparkanku ke dunia? Pada lain waktu, Zulaiha sebenarnya tekun tegak dengan tubuh yang oleng. Ia songsong geriap laut, ia hirup napas ombak, lalu rentanglah tangannya, semacam mendekap angin beraroma garam. Erat. Rambutnya yang sebahu—berwarna senja, kusam, dan camping—tak pernah terikat. Tergerai, berkibar diangguk-geleng angin. Mungkin bagi Zulaiha, laut adalah pangkuan kaki yang tak pernah menendang tangkai hidungnya. Atau laut taklah tangan yang berkali-kali mengempaskan kepal ke dagunya yang rompal. Lautku, lautku, ayunanku! Zulaiha, dua belas tahun! Mengharapkan percik wajahnya mengisyaratkan suasana hatinya adalah pekerjaan petaka. Tawanya langka, air mata tiada. Paling, untuk menandai debar perasaan Zulaiha, tataplah lekat-lekat bundar matanya. Andai ia sedang berbuai ria, saksikan, ada kerlip sinar di antara kedipan. Sepasang bola matanya adalah kebeningan laut kecil yang menggelinjangkan sekawanan ikan. Dan sebaliknya, dua matanya bak laut menanggal cahaya, berkabut pekat, jika ia sedang diombang-ambing buih luka. Begitulah, lain kadang, matanya menyaru mata hiu. Mata yang mati. Namun, di ngarai dadanya, dendam senantiasa sepitam arang, bergulung, dan bersipompa. Bernama dendam apa? Ke alamat mana? Entahlah, Zulaiha pun lalai ingatannya, bila ia terakhir kali mengulum senyum atau menyedak durja? Serupa dengan ketakpahamannya, mengapa sejak lahir ia terpental dari rimbun peluk-cium orangtua, terutama bapaknya? Ia anak sulung. Tapi itu bukan penghalang bapaknya untuk tidak menyeru Zulaiha: anak pembawa sial! ”Sudahlah perempuan, cacat pulak!” Tidak iqamat, tapi umpatan yang menyayat telinga Zulaiha selepas lahir. Bapaknya kepingin anak laki-laki. ”Biar bisalah kubawa melaut,” begitu alasannya. Ah, Zulaiha, lahir sebagai anak perempuan yang ranum, kecuali kaki kanannya yang lebih pipih dari kaki kiri. Pun telapaknya mendongak. Maka kaki kanannya cuma bertumpu pada tumit. Cecah langkahnya pun tak sempurna. Namun sumpah, Zulaiha tumbuh sebagai anak yang percaya diri, cekatan. Lincah ia kian kemari meski kadang terjungkal-terbanting. Tapi bersebab perlakuan bapaknya yang terlampau, ia berubah menjadi pendiam. Hobi bersendiri! Gemar berendam di paloh. Pernah pun, saat berusia lima tahun, Zulaiha nyaris tertanam perdani, pasang besar yang rutin melanda dua tahun sekali. Hendak memetik tunas piye ia saat itu. Piye banyak tumbuh di sekitar paloh. Anak-anak perempuan sering memetiknya untuk main masak-masakan. Beruntung ada Dempol. Lajang sebelah rumah Zulaiha itu kebetulan sedang membubu kepiting. Lelaki pengangguran (juga lemah mental) itulah yang susah-upaya merebut Zulaiha dari rahang perdani. Ia juga yang membopong tubuh Zulaiha—yang pingsan—ke rumah bidan Rasidah. Tapi jerih payah berbuah serapah. Bukan ucapan terima kasih upah jasanya, melainkan terjang makian. ”Hah, mengapa tak kau biarkan saja anak sialan ini hanyut, Dempol! Biar mati sekalian!” Hardikan berkarat itu membikin Dempol terpelongo. Lajang malang itu menunduk, tak bernyali menantang dua biji saga yang bertengger di bawah dahi bapak Zulaiha. Tajam sekaligus mengerikan. Tapi kengerian itu tidak lagi menggetarkan nyali Zulaiha. Ia sudah terbiasa. Meski juga dendam tak penat-penat menggeliat, menghasut gedebar lahar yang siap meletus. Iya, tidak sekali dua kali kelebat tangan bapaknya menggempur pipi, dada, dan kepala Zulaiha. Hidungnya pernah meluruhkan darah usai dibentur dengan palang pintu. Bahkan seayun tinju pernah pula menghantam rusuknya, membiru, dan sekian senti lagi menggapai ulu hati. Bermacam-macamlah pasalnya. Maka siapa yang kelak menuai badai dendam? Suatu kali, kepiting rajungan tangkapan bapaknya terlepas seekor ketika Zulaiha hendak merebusnya untuk makan malam. Asli, jangankan kebagian makan malam, Zulaiha hanya merasakan pedas tamparan. Dan seperti biasa, demi menghalau kepedasan, Zulaiha menggegaskan langkah pincangnya ke dermaga. Ia tinggalkan rumah dengan mimik dingin. Lalu, begitu lekat ia menghadap raut laut. Mengadu tanpa sedak sendu. ”Kak Zula! Dipanggil Mak! Lekas pulang!” Mungkin, kalau bukan karena mendengar kuyup teriakan Mukhlis—adiknya yang nomor tiga, tentu ia tahan berselimut angin laut hingga malam larut. Laut, o, laut, pelipurku! Ampun, punah segala kesakitan yang bersarang di tubuh Zulaiha. Bayangkan, gara-gara salah beli rokok saja, Zulaiha harus menebus hukuman. Bapaknya menyulut rokok, lalu memuntungkannya ke daun telinga Zulaiha. ”Bodoh kali kau ni, Zula! Heh, anak jin laut!” Zulaiha terpuruk, menanggungkan hujat begitu saja, dan tidak melawan sama sekali. Mak Zulaiha pun demikian sifatnya. Memilih diam atau menangis kalau sedang menahankan perilaku kasar bapaknya. Ia istri penurut, tak ada keberanian menunjukkan hati yang berkemelut. Tentu ia menyimpan rasa iba buat Zulaiha. Tapi apa daya, tenaga dan nyali menjelma hampa. Sempurna derita, takdir Zulaiha? Lalu di garis laut, lalu pada laut, Zulaiha memulangkan kesumat hati. Tidak, ketiga adik laki-lakinya bukan muara dari kecamuk dendamnya. Meski sejak kelahiran Nurdin, Mukhlis, dan Husen, keberingasan bapaknya kian mengganas. Dan Zulaiha selalu menjadi sasaran. Perlakuan bapaknya kepada Zulaiha berbanding senjang dengan ketiga adiknya. Zulaiha tak pernah merasakan bagaimana bersekolah, seperti halnya Nurdin dan Mukhlis. Meskipun kedua adiknya itu berhenti juga di pangkal jalan, tak sempat naik-naikan kelas. ”Mengapa pulak kau hendak sekolah, Zula! Tak ada otak kau!” Ah, bapaknya, adakah seperti berhadapan dengan binatang? Begitulah, bersebab adik-adiknya, Zulaiha sering pula dipaksa menelan hardik dan tebasan kaki bapaknya. Pernah pada sebuah pagi, hari Minggu, Zulaiha mengajak Husen ke halaman pasar. Itu pun karena Mak-nya menyuruh Zulaiha menjaga adik bungsunya itu. Berusia tiga tahun lebih Husen saat itu. Nah, biasanya, hari itu orang-orang kota datang bergerombol menyandang ransel berisi alat-alat pancing. Mereka hobi memancing. Lumayan, selain untuk menghanyutkan kejenuhan bekerja selama sepekan, untung-untung mereka pulang menggandeng ikan. Sebelum pergi, Zulaiha berhasil menanggok sebaskom udang binje—seukuran kelingking—di paloh. Hasil tanggok-an itulah yang dijajakan Zulaiha kepada gerombolan pemancing. Udang-udang itu untuk umpan ikan. Kalau masih segar dan hidup, harganya tinggi. Penjaja yang lain juga ramai. Mereka menggelar udang, sibuk mengail minat orang-orang yang hilir mudik. Namun, belum seorang pun yang menawar udang, mendadak bapaknya berdiri berkacak pinggang, tepat di depan Zulaiha. Wajah bapaknya bagai laut keruh, disepuh api, dan menggelegak! ”Anak binatang! Kau bawa rupanya si Husen, ya. Mengapa pulak kau di sini, hah! Petentengan!” Lalu, berduyun tempeleng mengena wajah Zulaiha, menerbitkan lemak luka. Tapi ekspresi Zulaiha tetap setenang cuaca. Sebuah tendangan memelantingkan baskom buram. Udang-udang berserak, menggeleparkan sisa nyawa. Ada kelengangan yang melintas sejenak, lantas riuh kembali kelebat cerca. Bapaknya menyeret Zulaiha pulang, tak peduli dengan Husen yang berpekik-pekik tangis di bahunya. Orang-orang terkesima. Lipatan dahi menghimpun, menjuntaikan tanya. Entahlah, cuaca masih cerah, tapi terasa sedang menanak amarah. O, Dendam pun bersiasat. Tak berhenti merajut jerat? Hmm, Zulaiha adalah kepalan baja, atau pualam siksa? Pada sebuah malam, bapaknya sedang menyirat jala dengan cuban, alat penyulam jala. Ia biarkan Husen tertidur pulas di pangkuannya. Ada cahaya liar menyusup dari samar lampu teplok. Di luar, angin menderas. Nurdin dan Mukhlis asyik bergelut, sesekali terdengar rengekan mereka. Zulaiha tergoda, turut pula menghampirkan canda. Tapi canda tak berderai tawa, melainkan mendentangkan suara kaca. Kaki Zulaiha menyenggol gelas kopi bapaknya. Maka tumpah, kopi pun tersisa sepertiga. Padahal baru dihidang. Masih panas dan mengepul. Pun belum sempat diteguk. Sudah terduga, bapaknya kalap luar biasa. Bangkit bapaknya, lalu dengan ringan mengayunkan runcing cuban ke pelipis Zulaiha. Saat itu darah adalah air mancur yang melimpah. Sambil memaki, bapaknya masih sempat melemparkan gelas kopi ke kaki kanan Zulaiha. Kaki yang menanggung lara sejak lama. Zulaiha bermimik tugu beringsut ke pintu. Lalu, ke mana lagi berlari, selain ke beranda dermaga? ”Zula, jangan kau ke dermaga, Nak. Angin kencang, badai!” Suara Mak-nya hanya bunyian yang tumpul. Zulaiha berwajah darah, terus menatihkan langkah. Laut, laut, izinkan aku tidur di bilikmu malam ini. Angin berontak. Ombak berderak. Dermaga usang berguncang. Tapi Zulaiha, sejak lampau tak pernah menabung takut. Langit pekat. Cuaca sekarat. Udara bertumbangan. Aroma garam bercampur anyir darah bertebar di atas kepala Zulaiha. Bunyi petir macam suara nenek sihir. Menakutkan. Tapi Zulaiha tak kecut. Ia tegak menghadap laut. Kilat melesatkan cahaya, seperti cambuk api yang melecut tengkuk laut. Angin mendaki-menghempas. Rambut Zulaiha mengibas, seperti melambai apa, atau menyahut siapa? Laut meninggi ribuan senti. Tempiasnya mencipta hujan air garam, menguyupkan tubuh Zulaiha yang timpang. Lalu ia tadahkan lekuk tangan ke arah laut. Aha, Zulaiha, hendak mendekap siapa? Tidak mendekap siapa-siapa. Malam itu, bukan dendam-kesumat yang Zulaiha tunaikan, melainkan cita-cita: melaut sendiri, sendiri! O, tengoklah, sampan Zulaiha adalah tubuh Zulaiha sendiri! Medan, 05/08
""Sampan Zulaiha""
Sambil menatap ke langit-langit kamar di hotel kecil yang dihuninya di Snag, Fibriliana, yang biasanya dipanggil Fibri oleh teman-temannya, menarik kembali masa lalunya ke hadapannya. Sebuah bencana dahsyat telah merampok semua anggota keluarganya. Ayahnya, ibunya, dan ketiga adiknya, Fitri, Ima, dan Syahrul. Ia tidak mungkin lagi menangis karena air matanya telah terkuras habis. Ratusan ribu orang lainnya juga hilang tak tentu rimbanya dan tidak diketahui di mana makam mereka. Sebuah masa lampau yang sangat menyakitkan dan meninggalkan luka menganga yang sangat lebar. ”Ompung, Fibri tidak mungkin sampai ke Snag, kota kecil di wilayah Yukon, Kanada, ini seandainya gelombang besar bernama tsunami itu tidak menghancurleburkan kota kelahiran Fibri di Aceh itu dan merengggut dengan kejam semua anggota keluarga Fibri. Sejak peristiwa yang sukar dilupakan sejarah itu terjadi, Fibri telah menjadi anak yang harus melakukan segalanya seorang diri. Harus mengambil keputusan sendiri dan siap menanggung risikonya sendiri pula.” Suratnya telah tiga kali diterima ompungnya sejak Fibri bekerja di kapal pesiar Concordia sebagai waitress. Kapal pesiar ini berlayar di Eropa dan sesekali menjelajah ke Amerika Utara. Kontraknya berakhir setelah ia bertugas delapan bulan. Setelah itu, selama delapan bulan pula ia menjalani cuti. Kalau ia ingin bekerja lagi di Concordia, ia dapat mengajukan lamaran baru. Ketika Concordia menjelajah ke Amerika Utara dan Fibri sedang menjalani cuti delapan bulan ia turun di Anchorage, Alaska, pada saat Concordia melego jangkar di sebuah pelabuhan di Samudera Pasifik di dekat kota itu. Dengan menumpang bus ia bertolak ke Snag di wilayah Yukon yang jaraknya sekitar 100 kilometer dari Anchorage untuk berlibur di sana. Ia tertarik ke kota kecil itu karena menurut folder yang dibacanya, suhu udara terendah sering jatuh di sana. Kota itu unik karena tidak sebuah jalan pun yang lurus di sana. Semua jalan berkelok seenaknya seperti ular. Menurut folder promosi yang tersedia di sebuah rak di Concordia, jika orang pergi ke Snag ia pasti akan sangat menghargai apa artinya panas. Semua orang di Snag senantiasa memburu hawa panas. Kini Fibriliana mengalami itu. Di luar kamarnya suhu udara bertengger pada 62 derajat Celsius di bawah nol. Ia merasakan betapa dinginnya suhu udara ketika ia turun dari bus menuju lobi hotel untuk check in. Fibri berupaya keras melupakan bencana yang telah memaksanya menjadi sebatang kara itu. Ia masih beruntung karena ketika musibah itu datang melanda ia tidak berada di kota kelahirannya, Darussalam. Ia sedang kuliah di Jakarta. Kemudian ia pulang. Ia menyaksikan reruntuhan rumah orangtuanya. Lama ia menatap puing-puing tempatnya berteduh dulu. Fibri mencari ke sana kemari. Ia tidak pernah berhasil menemukan ayah, ibu, dan ketiga adiknya. Fibri tidak ingin tenggelam dalam duka yang terlalu lama. Ia merasa harus bangkit menjadi anak yang mandiri dan realistis. Karena itu, begitu ia menyelesaikan pendidikannya dengan memegang ijazah diploma 4 dari sebuah Akademi Pariwisata, ia langsung melamar kerja ke perusahaan pengelola kapal pesiar yang beroperasi di Eropa itu. ”Mengapa harus melamar ke kapal pesiar, bukan ke hotel? Kan hotel banyak di sini,” kata Ompungnya. Lelaki yang disebutnya ompung itu, orang yang selalu diajaknya berdialog jika ia merasa kesepian, adalah paman ayahnya. ”Fibri ingin benar-benar mandiri, Ompung. Lalu, kalau Fibri tetap di sini, Fibri pasti akan sering-sering pulang ke kota tempat Fibri dilahirkan itu. Untuk sementara Fibri ingin menjauh agar dapat melupakan peristiwa tragis di masa lalu itu. Empat tahun bukan waktu yang singkat, tetapi Fibri masih belum dapat melupakan kejadian itu.” Hatinya yang keras dan tekadnya yang bulat membuat ompungnya tidak dapat berbuat apa-apa. Ompungnya cemas karena Fibriliana adalah seorang gadis yang sama sekali belum pernah ke mana pun dan bahasa Inggris-nya masih-masih pas-pasan. Dengan berat hati akhirnya ia melepas cucunya itu. ”Ompung, di Snag yang kecil ini Fibri hanya akan tinggal di hotel beberapa hari sambil menatap salju yang kelihatan dari dinding kaca hotel. Menarik dan nikmat. Kemudian Fibri juga akan keliling kota menyaksikan hal-hal menarik seperti yang tersebut dalam folder wisata yang Fibri terima.” Beberapa hari kemudian ompungnya kembali menerima surat Fibriliana. Gadis yang berkulit hitam manis itu ternyata rajin menulis surat. ”Ompung, saat ini Fibri berada di Inuvik di tepi Sungai Mackenzie, Northwest District, yang jaraknya 150 kilometer dari Snag. Kota ini unik dan Fibri ke kota kecil ini atas saran purser Concordia. Dalam satu tahun matahari hanya memperlihatkan dirinya selama sebelas bulan di kota ini. Setelah itu ia tidur satu bulan. Kota pun gelap. Ini berlangsung sejak awal Desember hingga awal Januari. Fibri masuk ke kota ini pertengahan Desember, berarti selama lima belas hari Fibri ikut bergelap-gelap karena tidak melihat matahari. Anehnya, Ompung, kota yang hanya berpenduduk 4.000 orang ini diberi julukan ’medan laki-laki’. Fibri tidak tahu apa maksudnya. Mungkin kata itu bermakna, mayoritas penduduk kota ini adalah laki-laki.” Bekerja di Concordia membutuhkan kekuatan fisik yang prima. Waktu istirahat hanya sepuluh jam karena 14 jam sisanya adalah waktu bekerja. Fibri merasa beruntung karena dalam pelayarannya ia bertemu dengan dua puluh orang petugas dari Indonesia. Dari dua puluh orang tersebut lima orang bertugas sebagai cabin stewardess, sebagian berfungsi sebagai waitress di restoran dan sisanya bekerja sebagai cook di dapur. Fibri berbagi kamar dengan Magdalena, gadis yang berasal dari Kota Manado. Ia sangat menikmati pekerjaan yang dilakukannya. Apalagi selama bertugas di kapal tersebut ia berkenalan dengan banyak orang yang memperlihatkan berbagai tingkahnya. Sepasang suami istri yang telah renta bahkan telah menganggapnya sebagai anak. Mereka mengajak Fibri untuk tinggal bersama mereka di Indiana, Amerika, jika Fibri berminat. Siapa tahu, setelah kontraknya selesai mungkin Fibri berhasrat untuk tinggal bersama mereka. Di kapal pesiar itu pulalah ia bertemu dan berkenalan dengan Elliot Anderson, pemuda Kanada yang menemani neneknya berpesiar dengan Concordia. Pemuda itu sangat berhasrat untuk memperistrikan Fibri yang disebutnya ”the queen of Indonesia”. Fibri, yang tidak tertarik untuk buru-buru menikah, meminta pemuda itu agar bersabar menunggu hingga ia siap untuk mengikat tali perkawinan. Namun, bersabar hingga kapan, ia tidak dapat mengatakannya. Concordia seakan telah memberikan ketenangan yang sangat didambakannya. Pilihan yang dijatuhkannya untuk bekerja di kapal itu ternyata tepat. Berhari-hari di laut kemudian singgah di sebuah kota, lalu berlayar lagi dan singgah di kota lain memang menyenangkan bagi Fibri. Ia merasa telah membuka matanya untuk melihat dunia yang lebih luas. Ini yang tidak pernah dirasakan ompungnya, yang hidup berkeluarga di sebuah kota dan sepanjang hidupnya tidak pernah ke mana pun. Fibriliana berkisah kepada ompungnya tentang Inuvik yang tenggelam dalam kegelapan selama satu bulan setiap tahun, betapa lazimnya kegelapan bagi penduduk di sana dan betapa ramahnya orang-orang di kota kecil kepada para pendatang. Ketika ia tiba di kota itu, Sungai Mackenzie sedang membeku membentuk daratan. Inuvik benar-benar menyenangkan bagi Fibriliana, begitu juga Snag. Namun, ia tidak pernah bercerita betapa ia merasa kesepian yang luar biasa di kota yang bernama Inuvik ini. Kesendirian memerangkapnya dalam berbagai ilusi. Ia menyaksikan betapa ayahnya berupaya menjangkau tangan Syahrul dengan tangan kanannya sementara tangan kirinya merangkul Fitri. Upaya itu gagal dan Syahrul terbawa arus deras yang datang dengan tiba-tiba itu. Adiknya itu berteriak tertahan karena air berlumpur memenuhi rongga mulutnya. Ia kemudian tidak lagi melihat ayah dan kedua adiknya itu. Di arah lain, ibunya yang berpegangan tangan dengan Ima timbul tenggelam dalam arus deras yang semakin ganas itu. Di sekitar ayah, ibu, dan ketiga adiknya itu, puluhan orang menggapai-gapai mencari pegangan sambil menjerit meminta tolong. Semua orang, tanpa kecuali, membutuhkan pertolongan tetapi tidak seorang pun datang memberikan pertolongan itu, karena semua orang membutuhkan pertolongan. Sebuah pemandangan yang menyedihkan, mengerikan, dan sangat tragis. Fibri tidak tahan menyaksikan semua itu. Ia menutup matanya, memukul-mukul kepalanya, dan berteriak histeris. Baru sekali ini Fibri dilanda ilusi seperti itu. Di Inuvik, di Inuvik, di tengah kegelapan ia merasa dipaksa untuk melihat langsung kejadian yang menimpa keluarganya. Ia tidak pernah mengharapkan semua itu. Fibri justru ingin melupakannya dengan berdiam jauh dari kota kelahirannya itu. Ini yang tidak diungkapkan Fibri kepada ompungya. Ia malu karena ompungnya pernah menasihatinya dan mengatakan kepadanya, ”Kamu tidak akan pernah dapat melupakan peristiwa itu ke mana pun kamu pergi. Ia akan terus mengejarmu. Karena itu, bersikaplah realistis. Terimalah kejadian itu sebagai sesuatu yang tidak dapat ditolak. Pergi jauh tidak akan memecahkan masalah.” Semula, ilusi yang mengerikan itu membuat Fibri ingin segera meninggalkan Inuvik, menjauhi kegelapan, kesepian, dan kesendirian yang tidak menyenangkan itu. Namun, setelah berpikir beberapa saat ia membatalkan keinginannya tersebut. Ia masih ingin bertemu dengan perempuan penjaga minimarket yang senantiasa memeluknya setiap kali ia berbelanja di minimarket itu. Perempuan itu sangat jarang bertemu dengan orang Asia. Fibri berencana naik taksi lagi untuk mendengarkan cerita supir taksi yang ramah tentang kota kecil yang dibanggakannya itu. Di Inuvik, yang penduduknya hanya 4.000 orang itu, hanya terdapat puluhan taksi. Selain berkeliling, ada juga taksi yang menunggu penumpang di depan hotel tempat Fibri menginap. Fibri juga ingin mengobrol lagi dengan guru sekolah menengah pertama yang rumahnya tidak jauh dari hotel. Guru sekolah itu mengenal Indonesia dan tahu di mana letak negeri yang terdiri dari ribuan pulau ini. Ia guru yang menyampaikan mata pelajaran geografi kepada murid-muridnya di setiap kelas. Hampir setiap hari Fibriliana menambah kenalan baru. Ia sangat menyadari apa artinya kenalan atau teman jika berada di suatu tempat yang asing seperti di Snag dan Inuvik. Tetapi, Fibri juga sadar tidak setiap saat orang-orang yang dikenalnya itu dapat berada di sampingnya, di depannya, atau mengobrol dengannya. Ketika tidak berada di sekitar orang-orang yang dikenalnya itu, kesendirian jelas tidak dapat dijauhi Fibri. Berjalan kaki pada siang hari atau malam hari di kota yang penuh dengan lampu-lampu menyala itu ternyata menyenangkan Fibri pada saat-saat seperti itu. Baru di kamar hotel Fibriliana membutuhkan kehadiran seseorang. Di Concordia ada Magdalena, sahabatnya, yang senantiasa membuatnya tertawa dan senang. Di kamar hotel Fibri tidak ditemani siapa pun. Ia berpikir keras. Akhirnya, Fibri memutuskan untuk tetap berada di Inuvik hingga awal Januari, sampai matahari bangkit dari tidurnya dan kegelapan sirna seketika itu juga. Ia merasa membutuhkan kegelapan yang menyungkup sekitarnya, untuk memperoleh sesuatu dengan terang dan jelas. Dinding pembatas antara irasionalitas dan rasionalitas dalam dirinya telah runtuh. Ia meyakini kebenaran ilusi yang merasuk dirinya. Fibriliana ingin lebih lama di kota kecil itu karena ia berhasrat menyaksikan lagi bagaimana menderitanya ayah, ibu, dan ketiga adiknya ketika berupaya menyelamatkan diri dari peristiwa yang mengerikan itu. Ia ingin tahu secara lengkap. Cuma, apa pun yang akan disaksikannya dalam ilusi itu nanti, ini tidak akan pernah diutarakannya kepada ompungnya. Fibri ingin ompungnya senang karena melihatnya pulang. Ia berhasrat menuturkan semua yang menyenangkan dalam tugasnya di kapal pesiar dan liburannya di kedua kota unik yang dipaparkannya dalam suratnya. Jakarta, 28 April 2008.
""Fibriliana""
Sudah kupikir masak-masak; jika aku kelak membuat tato, maka tato itu adalah wajah ibuku. Akan kuukir di kulit punggungku, lebih tepatnya lagi di bagian tengah punggung agar tak kelihatan jika aku memakai baju berpunggung agak rendah, atau kaos yang terlalu tinggi potongan pinggangnya, atau baju renang. Aku tak ingin ibuku melihatnya. Tentu ia akan mengamuk jika tahu aku membuat tato, meskipun itu tato wajahnya. Aku bisa membayangkan ibuku akan berkhotbah; orang yang ada gambar di kulit, shalatnya tidak akan diterima, lalu akan masuk neraka. Sayangnya aku tak percaya neraka itu ada, seperti pesimisnya aku akan keberadaan surga. Yang aku percaya adalah reinkarnasi. Tapi ibuku percaya, dan aku tak mau mengecewakannya. Cita-cita ibuku adalah: kami sekeluarga—Ibu, aku, kedua adikku, dan bapakku— masuk surga bersama-sama. Sedang cita-citaku adalah: di kehidupan yang akan datang, aku ingin dilahirkan sebagai ibu dari ibuku agar aku bisa membalas kasih sayangnya di kehidupan yang sekarang. Ibu pernah muda. Itulah kesimpulan yang kutarik ketika kami membuka-buka kembali album foto lama keluarga. Ia pernah menjadi gadis yang baru berkembang. Meski sekarang Ibu melarangku memakai celana pendek (terutama jika bepergian), toh kutemukan selembar foto Ibu sedang bergaya mengenakan celana pendek yang sekarang populer dengan sebuatan ”hot pants”. Ketika itu, usianya sekitar 13 tahun. Tipikal foto zaman itu, bagian tepinya dipotong dengan cara yang khas, seperti diukir. Kenapa foto-foto sekarang tidak dipotong demikian, ya? Aku tak pernah mendengar cerita Ibu punya pacar ketika berusia ABG (anak baru gede). Aku ingat ketika duduk di bangku SMP, Ibu marah-marah padaku saat seorang teman laki-lakiku mulai rutin menelepon ke rumah. Tentu saja, temanku itu naksir aku. Meski tidak naksir dia, aku tetap menerima teleponnya baik-baik. Ibu mulai rajin angkat telepon. Jika itu ditujukan untukku, Ibu kerap berkata bahwa aku sedang tidur atau sedang belajar. Jika pun disampaikan padaku, Ibu akan menginterogasinya terlebih dahulu. Ibu mulai menghapal suara teman-temanku. ”Ini foto waktu aku sudah lulus kuliah dan mau cari kerja,” komentar Ibu pada selembar foto hitam putih. Di foto itu, rambut Ibu kelihatan tinggi oleh sebab mengenakan wig. Menurut Ibu, pas foto zaman sekarang terlalu kaku. Semua melihat ke arah kamera. Jika kau terlalu menunduk, jidatmu yang lebar akan terlihat semakin jembar. Sedang jika terlalu mendongak, maka bibirmu kelihatan tambah maju. Belum lagi baju yang harus berkerah, semakin menambah kesan kaku. Ibu berfoto demikian baru ketika akan menikah. KUA mengharuskan foto model kaku begitu. Lalu setelah menikah, disusul pas foto kaku lainnya yang sengaja diambil secara massal berbarengan dengan ibu-ibu Dharma Wanita kelompoknya. Tentu saja latar yang dipergunakan berwarna merah, dengan seragam Dharma Wanita berkelir pink keungu-unguan. ”Zaman dulu, semua pas foto lamaran kerja berupa ’profil’ yang kupingnya harus kelihatan dan difoto menyamping,” jelas Ibu. Memang kelihatan lebih anggun. ”Zaman sekarang, kalau aku melamar kerja dengan foto model begitu, pasti tidak diterima. Bisa-bisa disangka genit pula kirim foto model gitu,” ujarku. Ibu ingin aku menjadi pegawai negeri, ”Lebih bagus lagi kalau bisa kerja di bank!” ujar Ibu ketika aku baru lulus kuliah. Sejujurnya, aku tak tertarik bekerja di bank meski ada uang pensiun. Bapakku bekerja di bank. Dulu, ibuku sering bilang, ”Siapa tahu nanti bapakmu bisa memasukkanmu ke bank ini atau ke bank itu.” Suatu hari aku mengantarkan Ibu pergi ke bank untuk mengambil uang (ketika itu ATM belum trend), teller-nya cantik-cantik dengan make-up tebal, seragam necis, ruang kerja ber-AC. Nasabah bergantian dilayani. Tiba-tiba aku melihat mereka mirip robot yang sudah diprogram; caranya memberi salam, melayani, tersenyum, sampai mengucapkan terima kasih. Aku keluar bank dan mendapati diriku muntah-muntah demi melihat itu semua. Sejak itulah aku bersumpah tak mau kerja di bank. Tapi Ibu punya cerita lain lagi soal bank: ”Waktu aku kecil,” Ibu memulai ceritanya, ”Kakekmu itu kerjanya pedagang. Kalau lagi ramai, kami sekeluarga jadi kaya. Tapi kalau lagi sepi, kami bisa kelaparan. Suatu hari, ketika kami sedang kelaparan, aku melihat ada pegawai bank yang makan bakso yang mangkal di depan kantornya. Mereka bisa mengambil sendiri bakso yang mau dibeli. Sejak itu, cita-citaku ingin kerja di bank atau punya suami pegawai bank.” Dan, ternyata Tuhan mengabulkan doa-doa ibuku (ngomong-ngomong cerita ini kerap diulang-ulang dituturkan padaku). Kami membuka-buka kembali album foto yang berserakan. Aneh, begitu banyak gambar Ibu, tetapi kesemua seolah hanya bercerita tentang satu cerita. Jika dipikir-pikir, ibuku itu sebetulnya hobi difoto. Ada banyak gambar dengan kostum yang berbeda-beda. Entah itu sedang duduk di depan kaca, sambil memegang bunga, mengenakan pashmina, duduk di bangku taman, berdiri di dekat sebuah mobil (yang zaman itu) mewah, dan lain-lain. Aku jadi geli sendiri. Bahkan aku pun tidak se-banci-kamera itu. Terakhir aku niat difoto dengan mimik cantik dan pakaian anggun adalah setelah Ibu berhasil memasukkanku untuk kursus pengembangan kepribadian. Menurut Ibu, anak gadis satu-satunya ini terlalu tomboy, kursus itu dianggapnya mampu menyelamatkan masa depanku. Foto pernikahan Ibu yang dicetak besar hanya ada satu, yaitu ketika difoto bersama orangtua dan mertuanya (kakek dan nenekku). Ibu dan bapakku berpakaian adat Jawa, lengkap dengan paes dan blangkonnya. Mereka menikah dengan pakaian adat Yogyakarta. Konde Ibu kempis. Mungkin zaman itu belum musim pengantin dihairspray. Di foto ini, Ibu dan bapakku kelihatan serius dan agak tegang. ”Dulu sebelum bapakmu, pacar Ibu pilot.” Kuingat Ibu pernah bercerita demikian. Dulu…, dulu sekali, waktu aku masih SD. Lalu aku membayangkan punya bapak yang bisa menerbangkan pesawat. Pasti keren. ”Kok tidak menikah sama yang itu saja, Bu?” tanyaku waktu itu. ”Dia meninggal, pesawatnya kecelakaan,” ujar Ibu. Seraya gambar pesawat di kepalaku terlihat njebluk ke tanah. ”Lagi pula, kalau Ibu menikah sama dia, kamu tidak bakalan lahir,” sambung Ibu. Aku tak pernah menanyakan lagi pada Ibu tentang pacarnya yang dulu. Yang kutahu kemudian, Ibu cukup bahagia hidup dengan bapakku. Ada aku dan adik-adikku yang meramaikan hidup mereka. Aku tak pernah membaca kesusahan di wajah Ibu, tak pula membaca kegirangan yang teramat sangat. Hidup ibuku berjalan seperti seharusnya kehidupan seorang perempuan; sekolah, menikah satu kali, membesarkan anak, mengurus rumah, menjahit, menanam bunga, sementara suaminya bekerja. Gagal menikah dengan pilot, cintanya tertambat pada seorang pegawai bank. Baginya, kerja di bank berarti kemapanan; ada gaji tetap, ada tunjangan untuk keluarga, ada uang pensiun. Singkatnya, kehidupan terjamin. Ibuku selalu bilang bahwa seorang istri membawa rezeki sendiri-sendiri bagi suaminya. Setelah menikah dengan Ibu, karier bapakku terbukti menanjak. Mereka memulai hidup dari nol. Hingga kemudian bisa beli tanah, beli mobil, bikin rumah yang bagus. Konon, sampai-sampai kakekku ketika berkunjung ke rumah baru mereka bergumam begini, ”Masya’allah…, anakku bisa bikin rumah sebesar ini!” Tapi aku lalu menemukan kenyataan lain; teman sekolahku, bapaknya kerja jadi tukang becak. Jelas-jelas itu bukan karier yang menanjak. Aku bertanya-tanya, apa dulunya sebelum orangtua temanku menikah, bapaknya itu pengangguran? Sehingga jadi tukang becak saja berarti sudah merupakan kenaikan pangkat. Hingga suatu hari aku membuka-buka sebuah majalah tua, sebuah artikel menarik perhatianku; ’Letak Tahi Lalat dan Artinya’. Aku menemukan satu rahasia! Ibuku punya semacam tahi lalat di ujung jemarinya, tepatnya di salah satu jari manis tangannya. Konon, perempuan dengan tahi lalat di posisi ini, membawa rezeki untuk suaminya! Tiba-tiba aku jatuh kasihan, ibunya temanku pasti tidak punya tahi lalat di ujung jarinya…. Kubandingkan foto-fotoku dengan foto-foto ibuku. Ada gambar aku cemberut, tertawa keras-keras, bergaya ala rapper, sampai foto aku menangis gara-gara rebutan bantal kesayangan dengan adikku. Foto-foto Ibu, tak ada satu pun yang berekspresi berlebihan. Wajahnya selalu dengan senyum tertahan yang tak genap menjadi sunggingan. Ibu bahkan sangat jarang memperlihatkan geliginya di foto. Mimiknya selalu tenang. Ia tahu sudut mana dari wajahnya yang paling apik ketika difoto. Rambutnya pun tak pernah tak rapi. Berbeda denganku, yang bersisir pun malas. Bahkan ada fotoku yang baru bangun tidur dengan rambut acak-acakan. (Taruhan, ibuku pasti tak akan mau difoto ketika bangun tidur). Ibu selalu menganggapku terlalu emosional, mungkin Ibu benar. Buktinya, lihat saja foto-fotoku. Mulai dari menutup pintu yang menurutnya terlalu keras (aku selalu menganggap ini bukan salahku, melainkan salah pintunya yang susah dibuka-tutup), berjalan dengan langkah yang terlalu tergesa, hingga memencet mesin ketik dengan keras sehingga menimbulkan bunyi berisik (dan menurutku ini pun salah mesin ketiknya yang terlalu keras untuk dipencet). Ketika aku marah akan suatu hal yang mengesalkan, ibuku mengingatkan bahwa berdoa lebih baik ketika sedang merasa teraniaya. Sebab Tuhan akan menjamin doamu terkabul. Tentu ini lebih baik ketimbang marah-marah tak jelas juntrungannya. Ketika aku sedang senang dan tertawa cekikian dengan teman-teman pun, Ibu tak alpa mengingatkan, ”Jangan terlalu girang!” Sebab bisa saja setan lewat dan mengubah segala kesenangan jadi musibah. Aku tak pernah mengingat Ibu menangis, tidak sebelum kejadian itu; ketika foto seorang anak ditemukan di dalam dompet Bapak. Ketika itu, aku sudah tahu…, dan Ibu pun sebetulnya tahu…, tapi tak ada dari kami yang berani mengutarakannya. Toh Ibu masih berusaha berpikiran baik perihal kemungkinan-kemungkinan foto seorang anak yang ketinggalan dan dipungut bapakku di pinggir jalan. Ia tak menanyakan langsung pada Bapak. Hingga detik ia tak mampu lagi menahannya; aku bersembunyi di ruang sebelah sambil memasang kuping lebar-lebar. Ibu menangis sambil membanting pot kembang plastik yang tak pecah. Bapak mengaku; foto itu adalah anak Bapak dari perempuan lain. Sementara setelah kejadian itu aku mengeluarkan segala sumpah serapah kebun binatangku pada Bapak, sedang ibuku cuma bilang, ”Bapakmu…, aroma surga pun tak akan pernah diciumnya!” Itu kalimat paling kasar yang pernah diucapkannya. Ibuku terdiam lagi ketika pembantu kami mengelap air dan menyelamatkan nyawa tanaman hias yang tumpah dari pot kembang. Ibuku, seperti foto-fotonya, tahu sisi mana yang paling apik yang harus diperlihatkan kepada orang lain. Kepadaku. Meski itu berarti ia harus menahan diri. Aku tahu Bu, sesekali kau ingin girang menari. Maka, izinkanlah jarum bertinta itu bermain di kulitku, kau boleh berdansa di punggunggku.
""Foto Ibu""
Perempuan itu berjalan mendekatiku sambil tangan kirinya menggenggam pangkal sarung pedang, sedang tangan kanannya mencengkeram tangkai pedang, siap menghunusnya. Pedang yang bersarung kulit itu paling tidak sudah selama 60 tahun tergantung di dinding ruang tamu persis di atas sofa. Seingatku semenjak usiaku lima tahun sudah kulihat terpampang di situ. Bentuknya yang ramping memanjang, dengan hiasan logam keemasan di tangkainya, membuatku terkagum-kagum membayangkan betapa gagahnya orang yang menyandangnya. Almarhum ayah pernah bercerita, pedang itu hadiah dari Seigo-san, seorang serdadu Jepang sahabat ayah di zaman pendudukan Dai Nippon. Mereka bersahabat mungkin karena mempunyai kegemaran sama, yakni minum-minum sampai mabuk dan wanita. “Sewaktu Jepang kalah perang, dia ditarik kembali ke negerinya,” cerita ayah. “Sebelum pergi kami menyanyikan Kimigayo bersama-sama sambil menangis. Kemudian dia menyerahkan pedang sebagai kenangan dengan harapan bisa bertemu lagi. Paling tidak ketemu di akhirat nanti.” “Rawatlah dan hargailah pedang itu dengan baik sebagaimana kau mencintai istrimu kelak. Pedang samurai adalah lambang dari kesetiaan dan harga diri. Jadikanlah hidupmu seperti seorang samurai. Sebagaimana keris, pedang samurai dengan mata pedang yang sangat tajam yang ditempa dari wesi aji, kemudian dilapisi baja di punggungnya sehingga lentur tak mudah patah, adalah lambang ketegaran hidup yang tidak gampang patah dan berwawasan tajam,” pesan ayah menjelang kepergian untuk selamanya. Setiap kali kubersihkan pedang dan kubasuh dengan minyak cendana, seperti yang kulakukan untuk koleksi keris-kerisku. Kekagumanku tak pernah habis menikmati keindahan bilahnya setiap kuhunus. Di depan cermin aku suka berdiri bak samurai menggenggam tangkainya dengan kedua tangan dan membayangkan diriku seperti Musashi. Itu semua rupanya memberikan getaran-getaran benang halus yang menghubungkan hatiku sehingga jatuh cinta kepada Jepang. Dari usia sekolah hingga sekarang aku sangat menyukai gambar-gambar alam Jepang juga lukisan-lukisan ukiyoe karya Utamaro atau Hirosige. Juga nyanyian tradisionil Jepang, Shina No Yoru, hingga lagu-lagu Kenji Sawada. Semua film karya Kurosawa saya lalap habis. Begitu juga film serial Zatoichi. Rupanya pedang itu telah merasuk dalam jiwa ragaku. Mungkin bisa dibilang aku kesurupan pedang, sehingga bagaikan Musashi yang dalam perjalanan hidupnya selalu mencari tantangan. Dan kemudian sang penantang yang datang kepadaku adalah senyuman dari perempuan itu yang badannya semampai, matanya sedikit sipit dan sayu, rambutnya panjang tergerai, kutemukan dia di sebuah diskotek paling liar di Jakarta. “Kita para lelaki itu biasanya, kalau sedang jatuh cinta, jarak antara otak dan ‘senjata’-nya sangat berjauhan, sehingga apa pun akan dilakukannya tanpa pakai otak,” ujar sahabatku memberi peringatan ketika aku nampak tergila-gila pada si mata sayu. “Dimulai dengan mengirim bunga, hadiah-hadiah, harta, sampai sedia menjadi budaknya, bahkan sampai nyawa pun diserahkan,” tambahnya. Ah, enggak percaya pikirku. Masa iya, sampai sebegitu jauhnya, kan aku seorang samurai. Dan jadilah kemudian sebuah kisah cinta bagaikan opera sabun sinetron di televisi kita. Memang dimulai dengan sekuntum bunga mawar. Kemudian bukan hanya bunga saja, melainkan masa depan hidup aku serahkan kepadanya. Meskipun bibir tipisnya suka bicara setajam pedang samurai, dan dia datangnya lewat tajamnya sinar laser lampu-lampu diskotek, serta tajamnya perbedaan usia kami berdua, aku malah semakin mencintainya. Apalagi setelah anak lelaki tampan telah dia lahirkan, melengkapi kebanggaanku sebagai seorang samurai yang habis menang berlaga. Musim gugur di Kyoto ditandai dengan mulainya daun momiji yang hijau berubah menguning yang nantinya akan berubah merah meronai kota indah itu. Kota yang pernah dihadiri Musashi ini, yang telah lama kuimpikan, akhirnya kenyataan telah datang dengan tugasku di negeri matahari terbit ini. Daun momiji yang berakhir dengan menghitam layu di akhir tahun, telah memberikan kerinduan gaib dalam jiwaku. Bermula dari ketika kuhabiskan waktu sore sepulang dari jalan-jalan ke Ginkakuji, dengan menyusuri jalan setapak Tetsugaku no Michi yang dalam buku petunjuk wisata disebut philosophy pathway, jalan untuk merenung sambil menyusuri sungai di sampingnya. Sementara pohon momiji rindang menaungi sepanjang jalan dengan daunnya masih menghijau. Di seberang kanan jalan sebuah restoran kecil meniupkan bahu semerbak, mengundang selera saya. Noren di atas pintu masuk bertuliskan yakitori. “Irashaimase…,” suara halus dari seorang wanita beryukata muncul dari balik noren dengan sikap ojigi, ketika langkahku sampai di depan kedai. Budaya Jepang yang santun ini membuatku tak bisa menolak undangannya. Kuambil kursi dekat jendela yang menghadap rimbunnya daun momiji. “Dozo…,” ucapnya sambil menyerahkan daftar menu dengan sedikit senyum tersungging. “Yakitori to biru ni shimasu,” jawabku. Kuperhatikan langkah-langkah halusnya setelah dia berbalik ke dapur. Yukata dengan obi di punggung serta leher baju bagian belakang agak turun ke bawah ditambah sanggul yang agak ke atas, telah membuatku terkesima. Di mataku terlihat tengkuknya putih bagai salju dengan bulu-bulu halus kebiruan. Benar juga kata sementara teman, bahwa keindahan wanita Solo adalah pada pinggang ramping dan pinggulnya, sedang wanita Jepang pada tengkuknya! Sambil menunggu datangnya pesananku, kubuka buku Ai No Kawaki karya Mishima Yuko yang kupinjam dari koleksi buku Murai shensei. “Omatashe-shimashita…,” ucapnya minta maaf karena telah menunggu agak lama sambil meletakkan sepiring yakitori, segelas bir dan secawan kecil oshiko yang di atasnya ditaruh sehelai daun momiji hijau. “Its okey, domo,” jawabku sekenanya. Kuambil sehelai daun momiji dari cawan acar itu dan kuselipkan ke buku Mishima dengan hati-hati sebagai pembatas buku. Dia perhatikan apa yang aku kerjakan sambil tersenyum. Senyumannya itu… ah!! Dan senyuman itulah yang kemudian memberiku perasaan aneh mulai melilitku. Mungkin kecantikan asli wanita Jepang paruh baya ini sebagaimana digambarkan dalam lukisan Ukiyoe Utamaro dengan mata sipit, hidung mancung dan kulit putih, serta namanya yang indah dan enak didengar. Harumi memaksaku untuk kerap mengunjungi restoran itu, supaya bisa menemuinya setiap sore, menjelang dia pulang kerja. Sepertinya ada kegelisahan penuh rahasia di antara kami berdua. Apalagi bagiku, kalau teringat si mata sayu di rumah yang beberapa tahun terakhir ini suka uring-uringan tidak jelas juntrungannya. Tanpa kami sadari setahun telah berjalan dengan sendirinya, dan aku kerap pula mengantarkannya, dengan kereta subway menuju stasiun terdekat dengan tempat tinggalnya, meskipun apartemenku berlawanan arah. Di kereta, kami lebih banyak berbicara dalam diam. Hanya saling memandang dengan tersenyum. Rupanya dia sadar benar akan keterbatasanku dengan bahasa negerinya. Di peron stasiun pemberhentiannya kami berpisah. Dia ucapkan sayonara sambil menyerahkan setangkai kecil daun momiji tiga helai yang masih hijau, yang dia ambil dari tas jinjingnya, dan kemudian menaiki tangga keluar. Aku pun melanjutkan langkah mencari peron sebaliknya. Getaran-getaran aneh yang selalu menyelinap dalam jalan bersama ini, sepertinya sangat kami nikmati, hampir setiap hari. Sehingga daun momiji yang aku terima dan kemudian menjadi pembatas bukuku ini, telah menjadi catatan mesra selama musim gugur. Dari warna hijau, lalu kuning, merah, hingga coklat dan daun kering menghitam tanda musim gugur usai. Dua musim gugur telah berlalu. Selama itu telah banyak aku dengarkan cerita tentang dirinya sendiri. Rupanya juga tak jauh berbeda denganku. Insan yang menjalani hidup ini dengan perasaan tak jelas arahnya. Perjalananku ke negeri sakura ini sebenarnyalah bagai terhempas ke dunia yang dihimpit sepi, tak bertujuan, karena hanya menyerah pada keadaan. Begitu juga dia. Kesehariannya adalah rutinitas yang baginya bukan lagi kodrat, melainkan nasib. Nasib seorang perempuan yang dijauhkan dari impiannya sebagai ibu dan istri. Anak sudah menikah, jauh dari rasa peduli kepada ibunya. Suami pulang kerja tengah malam dengan bau alkohol, seperti biasanya kaum pekerja di Jepang yang menghabiskan waktu pulangnya dengan minum-minum sesama koleganya. Bahkan harus rela berbesar hati apabila sang suami pulang mabuk, dipapah seorang wanita lain. Pagi hingga malam terjerat kesendirian, setelah menyiapkan makan pagi sang suami, kemudian membereskan rumah, belanja, masak, dan akhirnya hanya ditemani acara televisi yang sangat membosankan. Dan akhirnya terhempas pula di restoran ini untuk bisa berjumpa dengan orang lain. Tiga tahun lebih, aku telah merasa benar-benar bagai samurai sehebat Mushasi. Kami menikmati hari-hari indah ini dengan penuh kerahasiaan yang kami simpan berdua. Menjelang akhir tugasku, kujumpai dia dengan kabut di wajahnya. Matanya agak lebam dan pipi kirinya nampak memar meskipun disaput dengan bedak tebal. Pandangan matanya mengisyaratkan bahwa aku tak usah bertanya. Hampir dua bulan aku tak bisa menemuinya sesudah itu. Bahkan sehari sebelum kepulanganku, tak kujumpai dia di restoran itu. Mama-san, pemilik kedai yang biasa dipanggil, mengatakan bahwa Harumi sudah tidak bekerja di situ lagi. Hampir tiap bulan aku terima suratnya, berhuruf kanji yang kurang aku mengerti. Hanya tempelan daun momiji dari warna hijau hingga merah yang aku ketahui maknanya. Lewat penantian yang panjang, setelah puluhan kali suratku tak terbalas, barulah setahun kemudian kuterima surat tanpa tulisan dengan tempelan daun momiji hitam yang sudah kering kerontang. Perempuan itu semakin mendekat. Pedangnya mulai terhunus. Mata sayunya lenyap. Berubah menjadi tajam berkilat, mulutnya mengatup rapat. “Ada apa yang…?” tanyaku terkesima. Ujung pedangnya telah menyentuh dadaku. “Tidak usah tanya! Ceraikan aku sekarang atau kubunuh kau!” jawabnya sambil menekan ujung pedangnya semakin keras. “Ada apa yang?” tanyaku lagi. “Kau kira aku tidak tahu apa yang terjadi di Jepang? Tua bangka gak tahu diri!” Ujung pedangnya mulai menembus bajuku. Ah aku pikir bukan itu alasannya. Apa yang kurasakan belakangan ini adalah seperti yang telah diperingatkan teman-teman. Penyebabnya adalah setelah akal sehatku hilang, setelah apa yang kupunya kuserahkan atas nama dia, rumah, tanah, mobil, bahkan asuransi jiwaku, tak ada alasan lagi baginya untuk tidak membuka topengnya. “Tidak mungkin aku menceraikan kau dong yang,” ujarku setenang mungkin. “Bagaimana dengan nasib anak kita nanti…?” “Anak kita?! Bukan!! Yang pasti anak itu bukan anak kamu! Dia anak diskotek!” ujarnya sambil mengangkat pedangnya. Sebelum pedangnya menebas leherku, aku sudah keburu hancur berkeping-keping! Kyoto, 2008
""Wanita Berpedang Samurai""
Kereta yang sesaat berhenti di Stasiun Friedenau itu memang semula ingin menumpahkan aku dan 99 pasang malaikat yang ingin merayakan pernikahanmu dengan Ellen Adele, Arok. Dari Apartemen Carstennstr 25 B—tempat kita (sepasang iblis manis pemuja Mozart), menggambar percintaan ribuan kelelawar di kanvas bekas dan menciptakan komposisi kebrengsekan Berlin di gamelan sengau dan piano busuk—aku memang merayu para malaikat itu agar mau mengunjungi makamku di Waldfriedhof Zehlendorf. Tentu aku tak bisa lagi melihat tubuhku yang hingga Agustus yang biru masih disorot kamera dan asyik masyuk dalam pemotretan untuk reklame sabun bagi para perempuan uzur itu. Tentu di bawah langit Berlin yang senantiasa menyerupai bentangan kain tetoron abu-abu aku hanya mendapatkan guci abuku dililit akar dan digerogoti para cacing. Dan setelah kremasi yang indah pada Rabu tersaput salju di kuburku, aku memang tak bisa lagi merasakan teduh cemara zedar perkasa yang kini mungkin dilupakan oleh siapa pun yang berjalan tergesa-gesa mengejar kereta. Namun, sebelum menghadiri pesta pernikahanmu, aku memang perlu merasakan sihir cinta yang pernah kausepuhkan di pohon-pohon dan dedaunan penuh embun itu. Arok, Arok, mein Herz, hingga kini aku tak pernah menyesal mencintaimu. Dan aku kian tahu betapa kematian tak menghapus partitur asmara karena kau tak pernah menganggap aku mati justru saat itu sebentar lagi tubuhku meleleh dilahap api pembakaran. Dan aku paham, ketika memberiku musik menggairahkan pada upacara duka, sesungguhnya kau hendak mengatakan, tak perlu siapa pun takut pada taring maut jika mereka tak pernah menganggap kehidupan sebagai berlian yang harus disimpan di almari besi tanpa kunci dan gembok sembarangan. Ya, saat kau memutar ”La Cathédrale Engloutie” Debussy yang khidmat, agung, dan gaib, aku memang terkenang perkenalan pertama kita. Perkenalan sepasang manusia yang sama- sama diasingkan oleh manusia lain. Kau disingkirkan oleh para serdadu Alas yang tak suka pada komposisi ”Genjer-genjer” yang telah kau dekonstruksi dalam nada-nada gamelan magismu, sedangkan aku harus menyingkir dari ancaman mata bengis tentara yang menganggap para perempuan keturunan Yahudi sepertiku hanya sebagai anjing kudisan yang setiap saat harus menyerahkan batang leher untuk digantung atau diberondong tembakan. Ah, apakah kau mengerti saat itu aku ingin sekali mengajakmu menari serampangan untuk melawan pesona musik yang melenakan itu? Sudah kuduga kau juga akan ingat Chopin. Kau pasti memilih ”Mazurka a-moll, opus 68 nr 2” untuk mengenang masa remajaku sebagai binatang buangan yang bertahun-tahun hidup ilegal di Kota Danzig, ketika aku menyembuyikan diri dari buronan Nazi sekitar 68 tahun silam. Untuk apa kau kenang rasa sakitku itu, Arok? Apakah kau ingin menjadi trubador sinting yang setiap hari mewartakan ketakjuban manusia pada derita orang-orang yang terusir dari kesunyian tanah yang dipuja sepanjang hayat? Tapi terus terang aku terkejut saat kau memutar ”Der Mond im Wassertropfen”2, komposisi ngelangut yang menjeratku. Aku jadi geli sendiri saat kau menghadirkan suaraku yang agak retak melantunkan bait-bait sajak yang kita buat bersama itu. Apakah cinta memang bisa membuat siapa pun jadi sepasang angsa hitam yang cerewet melengkingkan nada-nada kacau di biru kolam, Arok? Tak perlu kau jawab pertanyaan itu. Aku toh tak akan pernah mendengarkan apa pun ketika sedang menikmati ”La mi darem la mano” dari opera Mozart, ”Don Giovanni”. Dan karena kau mempersembahkan aria favoritku itu dalam kesedihan yang agung, itu berarti pada saat yang sama kau ingin meniadakan dirimu. Kau ingin menghilang dari kesunyian pekuburan. Kau ingin moksa bersamaku dalam saputan salju biru, dalam saputan keheningan yang berseteru dengan waktu. Mengenang segala yang kini sering tampak mengabur di langit yang membentang di atas Kanal Landwehr itu, aku jadi malu mengapa pada suatu senja yang pucat aku bilang kepadamu, ”Arok, mein Schatz3, janganlah kamu bicara tentang hari depan. Apakah kamu tak melihat gelagat ini bahwa waktu hidupku bersamamu sudah menjelang habis?” Ya, kau juga tidak menduga pada malam karut-marut seusai mendengarkan Bach, aku mengajakmu membicarakan perihal teknik bunuh diri yang paling indah. Dengan tenang aku bilang bunuh diri ala Eva Braun, istri Hitler, bukanlah strategi mati yang lebih indah daripada cara bunuh diri para perempuan Jepang, jigai. Ya, sangatlah menggetarkan menusukkan jarum rambut atau pisau ke ulu hati, sebagaimana Yukio Mishima melakukan hara-kiri atau seppuku dengan menusukkan wakizashi, pisau kecil yang tajam, itu ke perut. Setelah menulis jisei no ku atau puisi kematian, dengan mudah, mungkin aku bisa menyobek perut sesuai dengan prosedur jumonji-giri dan ususku bakal memburai, tetapi aku yakin benar kau tak akan mau menjadi algojo yang dengan cepat memenggal kepalaku dengan samurai. Kau tak akan bersedia menjadi Kaishaku-Nin karena tak pernah belajar Seiza Nahome Kaishaku. Dan kalaupun kau belajar ilmu memancung kepala dengan cepat dan baik itu, kau tak akan tega melihat darah segar muncrat dari batang leherku. Tentu saja keinginanku untuk mati secara tak lazim, ini membuatmu tegang, waspada, dan akhirnya mendorongmu mengawasi segala gerak-gerikku. Aku juga mengerti hatimu pasti tersobek-sobek saat di ranjang ketika sebagai mayat hidup, aku menangis tersedu-sedu dan mendesis, ”Arok, mein Herz, mari, mari tolonglah diriku kaukeluarkan dari kungkungan hidup yang tak berguna dan tak berharga ini! Selama hidupku, aku mencintai kamu; ayolah Arok, mein Süsser4 , tolonglah diriku ini!” O, mengapa aku begitu cengeng? Bukankah jika aku gigrik pada maut, sudah sejak dulu kuserahkan tubuhku pada amuk gas yang diembuskan para tentara di ghetto? Bukankah jika aku lebih karib pada kematian, sudah sejak dulu kusongsong saja peluru atau runcing bayonet para serdadu? Tidak, Arok, tidak, aku sangat memuja hidup. Dan 90 tahun hidup di dunia—meskipun tak selamanya bersamamu—dengan cinta dari lelaki dari Negeri Kepulauan yang tak tertandingi tentu lebih berharga dari bunuh diri yang paling patriotik sekalipun. Karena itu, aku biarkan Malaikat Maut mencabut nyawaku pelan-pelan. Aku biarkan dia mempermainkan denyut jantungku menyerupai irama dentuman bedhug Kitaro atau gesekan biola ngawur Vanessa Mae. Dan tahu betapa insufisiensi jantungku bakal tak bisa disembuhkan, aku justru bersemangat menjalani hidup. Kau tahu, Arok, menjelang kematianku pun, aku masih bergembira membuat film. Aku juga masih mengendarai mobil, berbelanja, atau bertemu teman-teman mudaku. Malah, ketika titik nadir kehidupan mulai tampak, aku masih punya jadwal kencan dengan para ahli akupunktur. Apakah pada saat itu kau kerap mendengarkan aku bercakap-cakap dengan Claudia Okonek, fotografer yang sangat karib denganku, mengenai keindahan tubuh orang-orang mati? Tubuh orang mati memang tak seindah Kristus tersalib yang melayang- layang di angkasa dalam lukisan Penyaliban Putih March Cagal yang mengerikan. Tubuh orang mati juga tak seburuk dan sesunyi raga Isa yang terbujur kaku, kurus, kering, dan tak berdaya diimpit semacam sarkofagus dalam lukisan Hans Holbein, Tubuh Kristus dalam Makam. Tubuh orang mati, menurutku, menyerupai keagungan badan Yesus saat ia mikraj, saat Raja Orang Yahudi itu melayang-layang menembus awan. Kau tak perlu mencari Salvador Dali atau Kollwitz untuk mempercakapkan keindahan yang tak tepermanai itu. Di setiap rumah orang-orang Eropa yang masih memuja keagungan katedral, kau akan mendapatkan tubuh pualam pria dari Nazareth itu terpajang di sembarang dinding, di sembarang ruang. Tapi, kau sangat tahu, Arok, aku bukanlah pemuja kemolekan tubuh. Juga terhadap tubuhku, tubuh yang kerap kauanggap sebagai boneka asing yang dibentuk oleh penggerabah paling kampiun itu. Karena itu, kubiarkan saja segala yang terjadi pada tubuh. Kubiarkan badanku yang tiba-tiba susut menjadi kecil dan sangat ramping. Kubiarkan juga ketika tubuhku yang kian mengeriput seakan-akan tak bisa lagi menempati cangkang. Aku membayangkan tak sekadar menyusut, tidak lama lagi tubuh itu akan meleleh seperti lilin yang terus-menerus dibakar, seperti plastik yang hangus, seperti cacing berlendir yang baru saja disiram bensin dan menggelepar di semak belukar. Pada saat-saat seperti itu, aku ingin memberimu hadiah terindah, Arok. Ketika usiaku menjelang 90 dan kau baru 70 tahun, rasanya tidak adil jika aku tetap mengharapkan kau hidup dalam dekapan sunyi tubuh yang telah berjingkat-jingkat menjadi mayat. Karena itu, pada saat masih hidup, aku sangat berharap Adele, perempuan pualam 60 tahun dari New Zealand, asisten kita yang memahami nada-nada anehmu, itu bersedia menjadi mempelai barumu. Namun aku yakin benar, sambil memainkan gamelan dengan lengking paling thing, kau akan menolak mentah-mentah permintaan ganjilku itu. ”Apakah kini kau menganggapku sebagai iblis paling rapuh, sehingga perlu memberiku malaikat pelindung? Apakah kau tidak lagi menganggapku memiliki kekudusan cinta, sehingga perlu memberiku kisah percumbuan yang lain?” Tak kugubris teriakan tak keruanmu. Aku yakin segalanya gampang kausangkal. Jika kelak pada akhirnya kau tetap menolak mencintai perempuan yang sejak dulu sangat memujamu itu, tidak ada cara lain, aku yang senantiasa kau anggap kesurupan gairah Eva Braun saat bercumbu, akan menyusup ke dalam jiwanya yang masih ranum. Namun, mengertilah, Arok, aku tidak ingin mencintaimu dengan cara yang sekonyol itu. Karena itu, sebelum mati, aku berusaha menciptakan situasi yang membuat hidup kalian saling bergantung. Kadang-kadang kubiarkan kalian berjalan-jalan sendiri ke hutan-hutan tropis atau kota- kota romantis. Kadang-kadang –ini yang tak kalian sadari—aku telah memengaruhi siapa pun agar memperbolehkan kalian menikah pada saat lampu-lampu di Berlin menguarkan warna hijau, pada saat hujan membentur-bentur kaca jendela apartemen dalam nada yang mengingatkan kita kepada desau angin ketika Adam dan Eva diusir dari Eden, dari taman yang senantiasa kauanggap sebagai surga. Tetapi jangan sekali-kali menganggap Adele hanya sebagai boneka rapuh atau hewan persembahan dalam persekongkolan cinta kita, Arok. Dia, aku tahu, pada saatnya nanti akan menjadi malaikat termanis yang mengembangkan sepasang sayap untuk melindungimu dari hajaran bengek dan encok. Dia pula yang akan menemanimu kembali menikmati harum pohon kelapa, wangi kemangi, dan sedap makanan tanah asal di Negeri Khatulistiwa. Kelak kau akan paham betapa segala yang kaucurahkan padaku, pada tubuh jeruk keriput ini, membuahkan Adele yang mengerti bahwa dalam keindahan cinta, tak perlu lagi sepasang hewan yang senantiasa mendesis di keheningan sofa mempertanyakan mengapa mereka senantiasa menjadi kanak-kanak tanpa dosa. ”Tapi aku beranjak tua dan pikun, sedangkan Adele masih cukup ranum,’’ kubayangkan kau tetap menolak keinginanku. Ya, dulu saat kau mencintaiku, saat kau mencintai hewan uzur yang terusir dari kebun binatang Berlin, aku juga merasa mencintai kanak-kanak yang berwajah serigala. Kadang-kadang aku bahkan merasa menjadi Jocasta bagi Oedipus, sehingga ingin kucungkil bola mataku agar tak kulihat keranuman bocah yang kucinta. Tetapi sudahlah, Arok, hari ini toh akhirnya kau menikahi Adele. Hari ini toh kaubiarkan hujan menerpa neon-neon hijau, sehingga bahkan kereta yang melewati Stasiun Friedenau pun tampak seperti binatang purba serupa anaconda membelah kota. Apakah cinta telah menghijau pula? Tak perlu kita persoalkan apakah warna cinta menyerupai maut atau cemara. Aku hanya ingin kau tahu kereta yang sesaat berhenti di stasiun itu memang semula ingin menumpahkan aku dan 99 pasang malaikat yang ingin merayakan pernikahan indahmu dalam hujan hijau, dalam sihir angin Friedenau. Tetapi tak ingin menjadi hantu pengganggu, mungkin kuurungkan keinginanku mampir di apartemen barumu. Mungkin aku hanya akan menatap sepasang reptil bercinta dari kejauhan. Mungkin aku hanya akan mendengar suara dengus tak keruan berkejaran di keheningan. Mungkin aku hanya akan… Berlin, September 2007-Benhil, April 2008 Catatan: 1 buah hatiku 2  komposisi musik karya Paul Gutama. Saya perlu berterima kasih kepada komponis yang kini tinggal di Berlin ini karena bertolak dari semacam catatan harian bertajuk ”Protokol Sebuah Kedukaan” yang ia tulis untuk para kerabat dan saudara, cerita ini terlahir. 3 kekayaanku 4 manisku
""Dalam Hujan Hijau Friedenau""
Hal pertama yang muncul di kepala saat laki-lakiku menamatkan sisa nyawanya adalah; mungkin perempuan itulah yang lebih kehilangan dibanding aku, istri sahnya. Ketika itu jarum jam menggenapkan pukul tiga pagi. Anak perempuanku menangis berteriak memanggil-manggil nama papahnya, gema suaranya menyayat ke sudut-sudut koridor rumah sakit. Aku menangis tertahan. Sedang anak laki-lakiku menjadi bisu dan dingin. Entah siapa yang mewartakan, tahu-tahu perempuan itu muncul di depan kamar rumah sakit ini. Wajahnya menghitam karena duka. Ia hendak masuk ke kamar ini, mendekati mayat suamiku. Tapi aku tak membiarkannya. ”Tolong…, hormati keluarga kami yang sedang berduka,” desisku. Ia menghentikan langkah, menatapku sebentar, lantas berbalik dan berlalu. Mungkin sambil menangis. Kami segera mengurus segala hal untuk kremasi. Rumah duka kami booking. Rangkaian bunga duka cita dari kolega-kolega suamiku mulai berdatangan. Hari ini, mayatnya dirias, sebelum diistirahatkan. Tujuh belas tahun! Tujuh belas tahun! Perempuan itu mencuri tujuh belas tahun dari tiga puluh empat tahun pernikahan kami. Aku mengumpat sambil memilih jas terbaik untuk suamiku. Aku selalu tahu, suamiku suka mencicipi banyak perempuan. Seperti kesukaannya mencicip makanan di banyak restauran (kami tak punya restauran favorit keluarga, acara makan malam di luar rumah selalu berpindah lokasi). Aku tahu, dan diam-diam aku tak keberatan, dengan syarat; perempuan-perempuan itu tetap sebagai ’makanan’ dan bukan sebagai ’anjing’. Ya, sebab jika sudah menjadi ’anjing’, berarti dia dipelihara. Kadang jika ketahuan baru ’jajan’, aku akan marah-marah. Tapi toh, diam-diam aku tak keberatan, selama jajanan tak dibawa ke rumah. Aku punya alasan sendiri untuk ini. Ia biasa beralasan tugas di luar kota, atau pulang pagi karena lembur, dan sampai di kamar ini, tanpa melepaskan kemejanya ia langsung tidur mendekap guling mirip udang. Tapi ia tetap milikku, pulang ke padaku. Hingga si jalang itu datang ke kehidupan kami. Penyanyi kafe jazz bersuara berat, berusia pertengahan dua puluh, berkulit agak gelap, dan (tentu saja) lebih langsing dariku. Aku mengobrak-abrik lemari, mencari sebuah dasi sebagai pelengkap pakaian suamiku. Ada banyak dasi, tapi yang kumaksud belum juga ketemu. Dasi yang kubelikan di Singapura. Suamiku sejak kecil berlatih saksofon. Ada masa ia ingin menjadi seorang musisi, tetapi orangtuanya tak setuju. Ia mengubur impiannya. Menahan saksofon untuk sekadar hobi. Kupandangi kotak saksofon yang ditinggal empunyanya. Kubuka, warnanya masih mengkilat. Beberapa hari sebelum masuk rumah sakit, suamiku sempat membersihkan saksofon ini. Kini ia teronggok bisu di dalam kotak. Jazz adalah musik sejati suamiku. Aku pun penyuka musik, tapi sungguh… sampai ajal suamiku, aku tetap tak bisa menikmati jazz. Aku lebih suka pop dengan nada-nada slow. Musik-musik orang kebanyakan. Musik yang bisa dinikmati semua orang. Musik yang tidak eksklusif. Perhatianku teralih ke lemari lagi, masih mencari dasi yang kumaksud. Mungkin, awalnya perempuan itu hanya ’makanan’, tapi ia makanan yang diramu oleh chef yang andal, jadilah suamiku ketagihan. Lama kelamaan, ’makanan’ itu menjelma jadi ’anjing’ peliharaan. Entah kenapa, aku jadi malah membongkar seisi lemari, bahkan lemari bagian pakaianku pun isinya sudah bertebaran di lantai kamar kami. Ranjang di kamarku serasa hangat, seperti tuntas ditiduri sosok manusia malam itu. Malam ketika Bim meninggal dunia. Dari pukul sembilan aku berusaha memejamkan mata, tapi tak bisa. Sudah satu minggu Bim masuk rumah sakit, dan aku (tentu saja) tak bisa menengoknya. Siapalah aku, orang luar perusuh rumah tangga orang. Meski aku cinta setinggi langit sedalam lautan, itu tak mengubah apa pun. Apalagi statusku. Tujuh belas tahun lalu, Bim muncul dalam hidupku. Saat malam-malam aku masih menyanyi di sebuah kafe jazz. Dia datang bersama sekelompok teman. Salah satu dari mereka diperkenalkan sebagai istrinya, yang naga-naganya tak terlalu menikmati musik jazz. Tapi Bim kulihat sangat menghayati lagu-lagu yang kami suguhkan. Lalu, ketika ben kami istirahat sejenak, dan panggung kosong, Bim tiba-tiba maju. Dengan percaya diri ia mengeluarkan saksofon milik pribadi dan meminta ijin untuk memainkannya. Smoke Gets in Your Eyes mengalun. Aku yang tadinya hendak mengistirahatkan suara, jadi tertarik untuk bernyanyi dengan iringan tiupan saksofon Bim. Aku langsung menyambar mikrofon. Pengunjung kafe bersorak dengan penampilan kami. Bim mulai jadi pengunjung setia kafe jazz. Awalnya, masih bergerombol dengan teman-temannya (kadang pula dengan istri). Lama kelamaan, teman yang ikut makin sedikit, dan akhirnya, ia lebih sering datang sendiri. Setelah ketujuh kalinya datang solo, ia menunggu hingga kafe tutup jam dua pagi. Lantas menawariku untuk diantar pulang. Ketika itu, aku sudah sangat tahu bahwa ia kerap datang hanya untuk melihatku. Kami tak langsung pulang, ia menawariku makan tengah malam. Satu-satunya tempat makan yang masih buka jam segitu, yang nyaman untuk ngobrol, adalah restauran di hotel berbintang. Kami berbincang tentang musik. Dari situ aku tahu, ia adalah pengagum Louis Armstrong. Betapa selera kami sama, dan itu adalah pemantik. Sebab hari itu berakhir dengan check-in. ”Istrimu…, apa dia tidak mencarimu?” ”Dia tahu, aku sering kerja sampai pagi.” Jam lima pagi, kami check-out. Ia mengantarku pulang ke kos. Aku melanjutkan tidur dalam damai. Seks yang hebat, pikirku, habis ini ia tak akan pernah muncul lagi karena yang diinginkan sudah ia dapat. Tak pernah terpikir, bahwa malam itu hanya awal dari tujuh belas tahun hubungan kami berikutnya. Hingga ia diambil Tuhan. Aku terbiasa tidur dengan ranjang yang dingin. Ia pulang ke tempat istrinya, dan hanya datang kalau sedang alasan tugas ke luar kota. Atau mampir ketika waktu makan siang. Tak sekadar untuk sex after lunch, lebih dari itu… ia bahkan datang hanya untuk makan masakanku. Ya, kami kucing-kucingan macam ini. Tapi malam itu, malam ketika ia diambil Tuhan, ranjangku hangat. Aku bisa mencium odornya di bantal, di selimut, di guling. Ia selalu tidur mirip keluwing, dengan guling didekap erat. Bahkan aku bisa merasakan aroma sisa percintaan kami. Kupandangi parfumnya di meja riasku, dan selembar celana pendeknya yang tergantung di pintu. Sedikit barang yang sengaja ditinggalkannya di sini. Aku tahu ia di rumah sakit mana, meski aku tak pernah mengunjunginya. Aku harus menemuinya! Harus! Aku tak pernah menyangka bahwa suamiku akan mati terlebih dahulu. Gagal ginjal sudah lama mengancamku di sudut jalan dengan belatinya. Aku selalu bersiap ia menggorok leherku, dan mencongkel nyawaku. Bertahun-tahun aku harus menjalani cuci darah. Bertahun-tahun pula aku mencari donor ginjal. Meski kedua anakku menawarkan satu ginjal mereka untukku, aku tak mau menerimanya. Lebih baik aku cuci darah seumur hidup, ketimbang menerima ginjal itu. Sebab itu berarti aku merampas masa depan mereka. Tak sia-sia, aku menemukan ginjal di India. Malah suamiku yang tiba-tiba anfal. Maut memang suka bergurau dengan hidup. Inilah kenapa, aku diam-diam tak keberatan suamiku ’jajan’. Rumah duka mulai penuh. Aku tak berhasil menemukan dasi yang kumaksud. Ia terlihat tampan dengan setelan jas Armani miliknya. Ah, harusnya kuminta ia dipakaikan kaos panjang model turtle neck saja. Dipadu dengan jas ini, tentu keren dan lebih terlihat muda. Kenapa pula aku harus memilih kemeja, kalau dasi yang kumaksud tak ketemu. Perempuan itu, si jalang itu… aku tahu, ketika lama aku dirawat di rumah sakit, atau berobat ke luar negeri, pasti suamiku pergi ke rumahnya. Pembantuku yang lapor. Katanya, ”selama Nyonya pergi, Tuan juga tidak pulang.” Anak-anak lebih menjaga perasaanku, tak mau mengadukan perihal macam ini. Hal yang menyebabkan aku sedih Aku tahu, suamiku masih sayang padaku. Cinta mungkin sudah tidak. Tapi sayang, masih. Dia terlihat sedih ketika lama aku sakit. Kadang membawakan makanan yang kusuka. Aku tak memakannya, karena dokter melarangku. Toh, aku cukup senang dengan perhatiannya. Maka ketika pembantuku lapor demikian, meski marah (dan sejatinya aku tak punya kekuatan untuk marah), diam-diam aku bersyukur; ada orang lain yang mengurus suamiku, melayaninya dengan baik. Bahkan bisa diajaknya perempuan itu bertukar pikiran tentang jazz yang tak pernah kupahami. Kupikir, masakkah perempuan itu cuma mau mengeruk harta suamiku? Sebab jika ya, tak mungkin usia hubungan mereka sampai belasan tahun. Sehari setelah suamiku meninggal, aku baru bisa memahami air mataku. Bahwa ia mengalir untuk ’bapak dari anak-anakku’ yang kini jadi yatim (meski semua telah dewasa dan mandiri), dan bukan mengalir untuk ’suamiku’. Senyatanya aku tak merasa sekehilangan itu. Sebab meski aku memilikinya, aku tak pernah benar-benar bisa menggenggamnya. Lihat saja daftar perempuannya. Mungkin juga aku bukan istri yang baik, jika ya, tentu ia tak akan ’jajan’ di luar. Bahkan diam-diam memelihara ’anjing’. Aku pernah menemui perempuan itu. Meminta dia untuk tak mengganggu rumah tangga kami. Untuk sejenak, memang suamiku kelihatan lebih banyak di rumah. Sehabis ngantor, langsung pulang. Tapi itu tak bertahan lama. Meski aku tak melihat dengan mata kepala sendiri, tapi aku tahu makin dekat. Malah kemudian, aku juga tahu suamiku diam-diam membelikannya rumah dan mobil. Ketika aku mencoba mencarinya di kafe jazz, hendak melabrak dengan murka, mereka bilang dia sudah tak bekerja di situ lagi. Aku tak berhasil menemui kekasihku malam itu, malam ketika Bim dipanggil Tuhan. Aku pulang dengan hati kosong, menangis di ranjang kosong yang sudah berubah dingin. Kupeluk guling Bim, mencari sisa aroma tubuhnya di situ. Ah…, Bim… apa kau tak tahu, aku lebih kehilangan dirimu ketimbang istrimu itu? Kau milikku yang tak pernah benar-benar kugenggam. Sial kau! Gara-gara kau, aku melewati usia pernikahanku! Gara-gara kau juga, aku menahan diri untuk tidak hamil. Aku tak mau memberimu masalah, sebab kau bilang, jika aku hamil berarti itu masalah. Gara-gara kau, aku sekarang kesepian. Sial kau, Bim! Terkutuklah kau di neraka jahanam sana! Aku pernah menuntut Bim untuk memilih, antara aku dan istrinya. Ia selalu bilang, tak akan menceraikan istrinya, sebab agamanya melarang. Mengajarinya untuk menikah satu kali, dan hanya sekali. Tak boleh bercerai. Aku pun tak mau dijadikan istri kedua, meski agamaku memperbolehkan poligami. ”Kan bisa pembatalan pernikahan!” protesku. ”Prosesnya tak gampang. Tahunan.” Alasannya. Biarpun tahunan, akan kutunggu kau! Toh Bim tak pernah mengajukan pembatalan pernikahan. Menurutku, bukan agama yang menjadi alasannya. Ia masih cinta. Ya, ia masih cinta perempuan itu. Ini terlihat jelas ketika istrinya sakit keras. Kata Bim, seminggu dua kali istrinya musti cuci darah. Aku sempat mengangankan, sebentar lagi kami akan jadi suami-istri. Sebentar lagi perempuan itu game over. Tapi aku keliru. Meski ketika perempuan itu berobat ke luar negeri Bim tinggal di tempatku, toh ia tak berhenti membicarakan istrinya. Kenangan mereka, awal-awal pernikahan mereka dan bagaimana mereka berjuang bersama dari nol (yang tak pernah kualami), serta ketakutan karena istrinya sekarat. Aku cemburu. Sangat cemburu. Terlebih ketika tema musik jazz tak lagi menarik baginya. Lalu suatu hari, ketika telah dua minggu Bim tinggal di rumahku selama istrinya berobat, dan aku mulai merasa ia milikku sepenuhnya, tanpa harus pulang ke rumah sana, Bim menerima telepon. Ia girang bukan kepalang, dengan semangat ia bilang padaku, ”ginjalnya dapat! Ginjalnya dapat!” lalu diciumnya pipiku, saking gembiranya. Diam-diam aku menyumpah, aku marah pada Tuhan. Kenapa Ia mempermainkan perasaanku. Impian-impianku, rasa nyaman adanya Bim di rumahku, tercerabut kasar. Aku sadar lagi; Bim belum jadi milikku, dan memang tak pernah jadi milikku. Obituari Bim muncul di koran pagi ini, memberitahuku ia disemayamkan di rumah duka mana. Dia masih kekasihku, meski sudah tak bernyawa. Dan aku merasa, meski tak satu hal mampu mengubah keadaan apa pun—apalagi statusku—aku tetap mencintai Bim. Setinggi langit sedalam lautan. Aku akan menyetir pelan-pelan, sambil mengisi penuh tangki keberanianku. Aku harus menemui Bim, memberinya penghormatan terakhir sebelum dia dibakar jadi abu. Ia datang lagi, perempuan jalang itu. Pasti ia baca obituari di koran. Ini resikonya. Ia jadi tahu. Beberapa orang memandangi kedatangannya, beberapa berbisik-bisik. Tentu mereka tahu siapa perempuan itu dan bagaimana statusnya. Ia mendekatiku. Apa ia tak sadar, aku bisa jadi harimau yang tiba-tiba menerkam anjing buduk. ”Maaf, ini dasi kesayangan Bim. Mungkin dia mau memakainya.” ”….” Kupandangi dasi yang dilipat rapi itu. Dasi yang dua hari terakhir ini kucari-cari. Tak terpikir bahwa suamiku akan menyimpan di rumahnya. Tentu ada barang lainnya di sana. Barang-barang pribadi suamiku yang tiba-tiba hilang. Aku mengerti sekarang, rumah perempuan itu, bagi suamiku adalah rumahnya juga. Atau mungkin aku sudah tahu, tapi coba mengelak. Kuterima dasi itu. ”Bolehkan saya…,” ”Silakan.” Potongku. ”Terima kasih.” Entah kenapa, aku seraya lega. Meski kulihat perempuan itu mencium suamiku. Suamiku yang semakin tampan dengan dasi ini.
""Rumah Duka""
Meisa berjalan menyusuri pematang-pematang sawah yang membentang. Langkah kakinya sangat hati-hati sekali. Pematang sawah yang dilaluinya itu terlihat agak basah. Dia tidak ingin terpeleset lalu jatuh ke kubangan lumpur seperti tiga hari yang lalu. Jatuh ke kubangan itu akan membuat pakaian putihnya menjadi rusak. Sesekali dia menghapus peluh yang keluar dari keningnya. Dan beberapa lama kemudian, hup! Dia meloncat dengan pelan. Maka sampailah kini dia di samping puskesmas yang dia tuju. Perlahan dia menarik napas. Menarik napas seperti telah terbebas dari perjalanan jauh. Perjalanan jauh? Mungkin memang tepat. Sebab jarak tempat dia tinggal dengan puskesmas itu jika berjalan kaki membutuhkan waktu satu jam penuh. Sedangkan jika ingin menaiki kendaraan, itu teramat susah. Angkutan di sini sangat terbatas. Selain jalan yang terkadang masih sulit dilalui. Meisa mulai membuka pintu puskesmas itu. Dia lalu masuk. Perlahan membuka semua jendela. Di kejahuan, dia melihat atap- atap rumah warga, berjejal, meninggi dan merendah. Tiba-tiba Meisa mengalihkan pandangan ke samping, ketika dia merasakan seperti ada orang yang datang. Orang yang datang itu berbaju kaus putih. Ketika laki-laki itu datang, wajahnya seperti menyiratkan rasa kekhawatiran. “Ada apa?” tanya Meisa. “Anak saya Bu Bidan. Yang kecil. Dia baru berumur dua tahun. Badannya panas. Sering batuk-batuk.” “Kenapa tidak dibawa kemari?” tanya Meisa sambil bergegas menuju ke kotak-kotak obat yang ada di mejanya. “Saya takut ketahuan Bu Bidan.” “Takut? Jadi Bapak takut? Padahal ini menyangkut keselamatan anak Bapak sendiri.” “Tapi, dia masih sering mengancam kami Bu Bidan.” “Dukun kampung itu memang keterlaluan,” ujarnya kemudian. “Nah, berikan obat ini kepada anak Bapak. Lihat resep yang tertera, yang ini dua kali sehari.” “Berapa uangnya Bu Bidan?” “Cukup seribu lima ratus sebagai administrasinya. Kalau Bapak berobat ke dukun itu mungkin biayanya lebih besar,” kata Meisa. “Benar Bu Bidan,” jawabnya mengangguk. “Ini uangnya Bu Bidan. Kalau begitu saya permisi dulu.” “Ya,” jawabnya sambil memandangi kepergian laki-laki itu lewat pintu belakang. Meisa merasa kedatangan laki-laki tadi telah mengusik pikirannya tentang keberadaan dukun kampung yang bernama Manaf Jahir itu. Dia tahu, dukun itu sangat ditakuti. Dan dia sudah merasakan bagaimana keras dan kasarnya laki-laki itu ketika pertama kali bertemu dengannya. “Nama saya Manaf Jahir, semua orang di kampung ini mengenal saya.” “Maaf. Saya baru lima hari di kampung ini. Jadi saya belum tahu banyak warga. Saya menggantikan bidan Neti yang pindah tugas dari desa ini,” katanya ketika itu. “Ya bagus. Bagus. Jadi, jadi juga bidan itu pindah. Ha, ha, ha. Dia mungkin tidak betah rupanya. Begini Bu Bidan. Kedatangan saya kemari, adalah, untuk memberi tahu supaya Bu Bidan jangan menerima orang di kampung sini untuk berobat kemari.” “Kenapa?” tanya Meisa. “Ha, kenapa? Pertanyaan yang bagus. Karena obat yang kuberikan, sampai saat ini masih mampu menyembuhkan setiap orang yang menderita sakit.” “Bagaimana dengan melahirkan?” “Melahirkan? Sudah berpuluh- puluh orang yang melahirkan telah kuselamatkan.” “Tapi yang kudengar, lebih banyak ibu dan bayi yang tak terselamatkan. Dari informasi yang saya dapat dari bidan Neti, Saudara dalam membantu proses persalinan tidak memotong tali pusar sampai plasenta keluar. Saudara masih memandang plasenta sebagai saudara kembar sang janin yang memiliki nyawa. Tali pusar baru dipotong kalau saudara kembarnya sudah keluar. Padahal, Saudara tahu, plasenta itu biasanya tidak langsung keluar setelah janin. Itu salah satu sebab mengapa kematian ibu melahirkan di kampung ini cukup tinggi.” “Itu kepercayaan kami. Plasenta itu masih mempunyai nyawa! Dan saya tidak mau tahu. Pokoknya tidak ada warga kampung di sini yang datang kemari berobat. Bila ada, awas.” Ancam laki-laki itu sambil meninggalkan puskesmas. Tapi Meisa bukanlah bidan Neti. Dia tidak merasa takut seperti temannya itu. Akibat ulahnya itu, Manaf Jahir, si dukun kampung itu, kembali mendatanginya. “Rupanya kau keras kepala ya,” bentaknya. “Bukan saya keras kepala. Mengobati orang sakit adalah tugas saya,” jawab Meisa. “Kau tidak perlu mengobati orang di kampung ini. Sejak nenek moyang saya, hingga menetes sampai ke saya. Saya masih sanggup mengobati siapa saja yang sakit.” Meisa tersenyum. “Mengapa kau tersenyum?” tanya Manaf Jahir. “Saya hanya sedikit kagum pada Saudara.” “Kenapa kau berkata begitu.” “Saya hanya kagum, ternyata masih ada orang yang tetap bertahan dilanda zaman.” “Jangan mempersilat lidah. Aku tak paham maksudmu.” “Lelaki yang masih muda, dan gagah, masih mempunyai keinginan meneruskan tradisi. Biasanya, laki-laki seusia Saudara, akan lebih menyibukkan diri bersama wanita.” “Puih! Jangan singgung-singgung tentang seorang wanita. Aku datang kemari untuk melarangmu mengobati pasien yang sakit.” “Kalau aku tak mau. Kau akan melakukan apa.” “Aku akan memukulmu.” “Anda akan memukul perempuan seperti saya? Kalau begitu Anda tak jantan. “Aku tidak peduli. Biar saja. Sekarang aku akan pergi. Kau camkanlah perkataanku tadi,” ujar Manaf Jahir sambil pergi. Meisa hanya terdiam. Malam harinya, Manaf Jahir duduk di depan rumahnya. Dia menjuntaikan kakinya di lantai rumah itu. Pertemuannya dengan Meisa telah mengganggu pikirannya. Sungguh, dia kagum pada Meisa. Seorang perempuan yang tidak pernah takut padanya. Maka diam-diam, kini, Manaf Jahir pun kagum pada kecantikannya. Ya, di desa ini, baru Meisa-lah perempuan yang sangat cantik di matanya. Tapi, ah, tiba- tiba dia ingat pesan ayahnya sebelum meninggal tentang perempuan. “Ingat Manaf, bila kau menggantikan ayah. Kau tak boleh terpikat terlalu jauh pada perempuan. Kau tak usah mencintainya. Sebab jatuh cinta hanya membuat kita menjadi lemah.” “Tapi bagaimana dengan ayah dan emak. Apakah ayah tidak mencintai emak?” “Manaf, ayah memang tidak mencintai emakmu sepenuh hati. Kau tahu? Karena mencintai hanya membuat kita menjadi lemah. Namun, bukan berarti kau tak boleh menikah. Menikah dalam kuasa ayah hanya untuk memperoleh keturunan. Ayah harap kau paham tentang itu.” “Iya ayah.” Maka sejak itu dia tidak bersungguh-sungguh menaruh minat pada perempuan. Sebab seperti kata ayahnya, perempuan hanya akan membuat kita berada dalam posisi lemah. Dan dia tidak ingin menjadi laki-laki lemah. Tapi malam ini terasa ada yang beda. Pertemuanya dengan Meisa telah melahirkan perasaan yang selama ini tidak dikenalnya. Dia tak bisa mengelak. “Mengapa bisa begini?” Pikirnya. “Apakah ini karena keberaniannya? Ataukah karena dia cantik? Kalau dipikir, ya, dia memang ada benarnya. Sudah lebih sepuluh orang yang selama ini tak bisa kuselamatkan ketika melahirkan. Apalagi pekerjaan itu tak sepenuhnya bisa aku lakukan. Aku dibantu emak. Aku akan bekerja setelah bayinya keluar. Karena aku laki-laki dan belum menikah,” kata hatinya. Dan di saat dia berpikir itulah, tiba-tiba emaknya datang menghampirinya. “Apa yang merisaukan hatimu, Manaf,” sapa perempuan itu. Manaf Jahir terdiam. “Kenapa kau tak menjawab,” tanya emaknya. “Serasa berat, Mak,” jawabnya pelan. “Tentang bidan baru itu?” “Kenapa Mak menduga begitu?” “Rahir, centengmu, menggerutu sore tadi karena bidan itu keras kepala. Iya kan? Kau takut padanya?” “Bukan takut, tapi kagum Mak.” “Kagum? Kenapa?” “Dia seorang perempuan yang pemberani.” “Kau terpikat rupanya. Apakah dia cantik?” “Bukan hanya cantik Mak. Dia juga menarik. Tapi kata ayah, aku tak boleh menyukai sepenuh hati.” “Karena menyukai sepenuh hati hanya akan membuat laki- laki menjadi lemah, begitu? Manaf, lupakanlah semua itu. Menyukai perempuan tidak akan membuat laki-laki menjadi lemah. Bahkan sebaliknya, dia bisa menjadi sebuah kekuatan.” “Sebuah kekuatan?” Emaknya mengangguk. “Manaf, zaman telah berubah. Tidakkah kau tahu, sebenarnya ayahmu terkadang tidak sanggup menyembuhkan penyakit orang kampung. Kau juga begitu, kan?” Manaf Jahir tercenung. Secepat kilat bayangan Meisa bermain di bola matanya. Tiba-tiba dia ingin rasanya bertemu dengan perempuan itu. Hari ini Meisa kembali berjalan menyusuri pematang sawah yang membentang. Langkah kakinya sangat hati-hati sekali. Pematang yang dilaluinya itu masih terlihat agak basah. Dia tidak ingin terpeleset lalu jatuh ke kubangan lumpur itu seperti beberapa hari yang lalu. Jatuh ke kubangan itu akan membuat pakaian putihnya menjadi rusak oleh lumpur. Sesekali dia menghapus peluh yang keluar dari keningnya. Dan tidak berapa lama kemudian, hup! Meisa meloncat dengan pelan. Maka sampailah dia kini di samping puskesmas itu. Tapi Meisa telah melihat seseorang yang terlebih dahulu berada di puskesmas itu. “Ada yang sakit?” Tanya Meisa. Laki-laki itu tersenyum. “Tidak Bu Bidan. Tidak ada yang sakit.” “Lalu ada apa?” “Ada kabar gembira Bu Bidan.” “Kabar gembira?” tanyanya terheran. “Ya Bu Bidan. Manaf Jahir telah memperbolehkan orang kampung berobat ke puskesmas. “Oh ya,” jawab Meisa kaget. “Ya Bu Bidan,” centengnya yang mengabarkan kepada orang sekampung pagi tadi. Ada rona gembira di wajah Meisa. Sungguh dia tidak tahu mengapa Manaf Jahir bisa berubah. Dan dia ingin rasanya segera bertemu dengan laki-laki itu. Ya, segera.
""Meisa""
Di mana ada kematian, di sana ada Raisya, janda beranak satu yang bibir pipihnya masih menyisakan kecantikan masa belia. Ia pasti datang meski tanpa diundang. Di dusun Suayan ini, kabar baik dihimbaukan, kabar buruk berhamburan. Maka, bilamana kabar kematian dimaklumatkan, orang-orang akan bergegas menuju rumah mendiang. Begitu pula Raisya. Tapi ia tidak bakal ikut-ikutan sibuk meramu daun serai, pandan wangi dan minyak kesturi sebelum jenazah dimandikan, tidak pula memetik bunga-bunga guna ditabur di tanah makam seperti kesibukan para pelayat perempuan. Raisya hanya akan mengisi tempat yang telah tersedia, di samping pembaringan mendiang, lalu meratap sejadi-jadinya, sekeras-kerasnya, sepilu-pilunya. Duduk, berdiri, melonjak-lonjak, menghentak-hentakkan kaki, berputar-putar mengelilingi jenazah sambil terus menyebut-nyebut dan memuji tabiat baik mendiang semasa hidup. Ada irama di suara tangisnya, kadang seperti melantunkan sebuah nyanyian yang memiuh-miuh ulu hati. Lagu kematian itu serasi dengan entak kakinya. Ratapan, tarian, nyanyian, bersekutu jadi satu. Remuknya perasaan tuan rumah tidak mampu menandingi dalamnya kepiluan Raisya, tukang ratap yang telah mahir menanak risau itu. Mendengar ratapannya, mungkin Raisya lebih berduka ketimbang keluarga mendiang. Padahal ia bukan siapa-siapa, hanya tukang ratap yang terbiasa mendulang perih rasa kehilangan di setiap kematian yang dijenguknya. Ada dua penyebab yang membuat orang-orang gampang mengingat dusun Suayan. Sebab pertama, perempuan paruh baya bernama Raisya, tukang ratap itu. Namanya masyhur berkat kepiawaian meratap. Kerap ia dijemput-antar oleh karib kerabat yang sedang tertimpa musibah kematian. Mereka datang dari dusun-dusun tak terduga, guna memohon kematian itu diratapi. Bagi mereka, kematian kurang khidmat tanpa ratapan Raisya. Sebab kedua, Suayan gampang dikenang karena dusun itu pabrik jodoh. Bila tuan sedang bimbang untuk menjatuhkan pilihan perihal gadis mana yang bakal tuan persunting, barangkali tak ada salahnya tuan berkunjung ke Suayan. Bisa jadi tuan bakal abai dengan pilihan-pilihan tuan sebelumnya. Sebab, di dusun Suayan, meminang perempuan dalam keadaan mata terpicing pun dijamin tidak salah pilih. Sembilan dari sepuluh laki-laki pencari jodoh yang datang ke Suayan berhasil menggondol pasangan. Kalaupun ada yang gagal, sebabnya pasti bukan pada pihak perempuan, tapi karena pihak laki-laki tidak sanggup membayar uang pinangan yang terbilang mahal. Harga pinangan termurah untuk gadis Suayan cukup untuk menebus empat bidang ladang yang tergadai. Konon, hidup orang-orang Suayan terselamatkan oleh pinangan demi pinangan. Memiliki anak perempuan di dusun Suayan seperti menyimpan celengan gemuk yang sewaktu-waktu bisa dibanting-empaskan, tentu setelah pinangan datang. Dan, celakalah setiap keluarga yang tidak punya anak perempuan. Mereka terpuruk di kerak kemelaratan. Sejak dulu kecantikan gadis-gadis Suayan belum terkalahkan oleh perempuan-perempuan di dusun mana pun. Dusun Suayan memang bukan daerah subur penghasil Damar atau Gambir sebagaimana dusun-dusun lain. Tanahnya gersang, padi tak menjadi, hampa sebelum berbuah. Tapi Tuhan memberi anugerah dari pintu yang tak diduga-duga. Bayi-bayi perempuan selalu terlahir dengan kecantikan yang menakjubkan. Mereka tumbuh dan mendewasa menjadi gadis-gadis yang memiliki bibir pipih seperti bibir Raisya, pipi merah merona, kulit mulus seperti kulit orang Jepang, hidung mancung seperti hidung orang Arab. Postur tubuh tinggi, langsing, sintal seperti bintang film. Bila bintang film yang kerap mereka lihat di layar tivi itu tampak anggun dan molek karena olesan bedak yang berlapis tujuh, maka kecantikan gadis-gadis Suayan mukjizat yang jatuh dari langit, bawaan sejak dari rahim. Tanpa olesan bedak dan lipstik pun wajah mereka sudah memancarkan aura kecantikan yang mencengangkan. Siapa tak tergiur? Dusun Suayan seamsal hamparan ladang luas tempat bersitumbuhnya bunga-bunga anggun segala rupa, tiada pernah langkas, meski kumbang-kumbang datang silih berganti. “Bagaimana Raisya? Sekarang atau tidak sama sekali!” desak Datuk Pucuk, penghulu suku Pilawas, suku Raisya. Seorang lelaki datang hendak meminang Laila, anak gadis Raisya. Satu-satunya. “Tidak! Biarkan dia melanjutkan sekolah,” sangkal Raisya. Tegas. “Sekolah? Kau akan menguliahkan Laila dengan upah meratap? Berapa banyak kematian harus kau tunggu?” “Terimalah pinangan itu! Hidupnya bakal selamat dengan lelaki itu. Juga hidupmu. Tak perlu kau menunggu-nunggu kabar kematian lagi.” “Tak ada kematian pun aku tetap meratap!” Memandang raut wajah Laila serasa menatap Raisya. Ada jernih mata Raisya di jernih matanya. Ada pipih bibir Raisya di pipih bibirnya. Ada alis Raisya di alisnya (tebal, hitam, nyaris bertaut). Tapi, bakal adakah malang nasib Raisya di malang nasibnya? Raisya tidak mau itu terjadi. Laila tak boleh kawin muda. Jangan sampai ia terbujuk godaan para pencari jodoh yang berhamburan ke dusun ini, seperti berhamburannya orang-orang selepas mendengar kabar kematian. Raisya tidak rela Laila hanya menjadi sebatang tebu yang disesap rasa manisnya, setelah jadi ampas, dicampakkan begitu saja, seperti yang dialaminya di masa lalu. Waktu itu Raisya baru lulus tsanawiyah, Nurman meminangnya. Mentah-mentah ia menolak pinangan ganjil itu. Tapi siapa berani melawan kehendak Datuk Pucuk? Satu-satunya keluarga Raisya yang tersisa. Dengan berat hati ia mengubur segala impian. Rela ia diperistri Nurman, lelaki yang sebenarnya lebih patut menjadi ayahnya. Raisya daun muda ketiga yang takluk di tangan tauke Damar itu. Dari gunjing yang berserak di dusun Suayan, ada kabar tak sedap, dengan perjodohan itu Datuk Pucuk sesungguhnya tidak hendak menyelamatkan hidup Raisya, kemenakannya itu, tapi hendak menyelamatkan hidup anak-bininya sendiri. Belakangan Raisya tahu, adik kandung mendiang ibunya itu sedang terlilit utang, dan ia membayarnya dengan menyerahkan Raisya pada Nurman. Hanya berselang beberapa bulan setelah kelahiran Laila, Nurman lagi-lagi memetik daun muda. Dipersuntingnya Bunaiya, sahabat karib Raisya sewaktu bersekolah dulu. Tiada alasan yang absah saat Nurman meninggalkan Raisya. Barangkali hanya karena lelaki itu sudah hilang gairah sebab tubuh Raisya tak montok lagi. Ia sibuk mengurus anak, lupa merawat tubuhnya sendiri. Kabar terakhir yang didengar Raisya, suaminya pergi karena memang begitulah perjanjiannya dengan Datuk Pucuk. Ia sanggup membayar pinangan seharga dua ekor sapi jantan, hanya untuk mencicip ranum tubuh Raisya. Utang-utang Datuk Pucuk lunas, Raisya punya anak, Nurman pergi, dan kawin lagi. Sejak itu Raisya hidup sendiri, menghidupi anak tanpa suami. Laila yatim meski ayahnya belum mati. Semasa bersekolah dulu, Raisya bintang kasidah. Napasnya panjang, suaranya tinggi, nyaring. Bila tampil di panggung, lengking suaranya membuat para penonton melonjak-lonjak girang, lebih-lebih kalau ia menyanyikan ya rabbi barik. Tartilnya benar-benar seperti tartil orang Arab, cengkok suaranya membuat penonton terenyak dan berdecak kagum. Tapi sejak menjadi istri orang, nama Raisya seolah menguap, tak pernah lagi ia tampil di atas panggung, kalah bersaing dengan biduan-biduan muda yang suara dan penampilan mereka lebih cemerlang. Raisya kehilangan banyak hal, empat bidang ladang peninggalan orangtuanya dikuasai Datuk Pucuk, kehilangan suami, dan tentu saja; kehilangan ranum tubuhnya. Mak Sima, sesepuh suku Pilawas merasa terpanggil untuk meringankan beban Raisya. Ia mewariskan kepandaian meratap pada janda muda itu. Setidaknya ia bisa membesarkan Laila dari upah meratap. “Kau sudah punya syarat-rukunnya, Raisya. Akan lekas mahir,” bujuk Mak Sima waktu itu. “Aku sudah tua. Kau penggantiku! Jadilah tukang ratap yang bisa menyelami lubuk kepiluan lebih dalam dari selaman keluarga mendiang.” “Bukankah kau sudah terlatih menanak risau?” Setelah berhari-hari terkapar di tempat tidur akhirnya lelaki itu meninggal juga. Tak ada yang tahu penyakit apa yang dideritanya. Belakangan ini ia kerap batuk-batuk kering. Tiga dari lima kali batuknya disertai muntah. Sebesar jeruk purut gumpalan darah keluar dari mulutnya. Susah ia tidur karena batuk-batuk keras itu tak kunjung reda, hingga tubuhnya terkulai tak bertenaga, kencing dan berak dipacakkannya saja di kasur. Bunaiya, istrinya, sudah berkali-kali membujuk agar ia mau dibawa ke rumah sakit, tapi ia menolak. Ini penyakit tua, tak akan lama, rintihnya. Kini jenazahnya sudah dimandikan, sudah pula diyasinkan, dishalatkan, tinggal menunggu waktu sebelum diusung ke pekuburan. Tapi sebagaimana kebiasaan orang-orang dusun Suayan, kurang sempurna upacara kematian jika belum diratapi. Maka, jenazahnya masih dibaringkan di ruang tengah rumah itu, menunggu kedatangan Raisya, si tukang ratap. “Bagaimana mungkin Raisya meratapi orang yang telah membuat ia meratap seumur-umur?” tanya Bunaiya. “Tak usah cemaskan soal itu. Bila kematian ini tak diratapi, apa kata orang nanti?” bujuk Wan Uncu, kakak laki-laki Bunaiya. “Raisya harus dijemput! Ia satu-satunya tukang ratap di dusun ini. ” Sejatinya Raisya tidak pernah berdoa memohon kematian meski hidupnya sangat bergantung pada kematian. Untunglah hari ini datang juga kabar buruk itu. Ia akan meratap sebagaimana lazimnya, beroleh upah, lalu pulang. Meski yang akan diratapinya mendiang Nurman, bekas suaminya, lelaki yang telah menghancurkan hidupnya. Ada tak ada kematian, Raisya tetap meratap. Itu karena ulah Nurman! Di samping pembaringan mendiang, Raisya meratap sekeras-kerasnya, sepilu-pilunya, sejadi-jadinya. Tak ada yang tahu apakah Raisya benar-benar menyelam di kerak kepiluan, atau dalam ratap itu ia justru menyimpan amarah yang tak terkata. Jakarta, 2008
""Ratap Gadis Suayan""
Terdengar suara pintu digedor dari luar. Darahku mendadak naik ke ubun-ubun. Siapa sih sepagi ini ingin bertamu dengan sapaan yang kasar. Kuintip dari balik gorden jendela nako yang segaris dengan pintu masuk. Seorang bertubuh gemuk, berkopiah, dan menyandang tas kumal melempar senyum. Kubuka pintu. “Ada apa ya, Pak?” “Minta sedekah, Pak!” Aku kaget, bersambung dongkol. Suaranya keras, terdengar kasar. Tapi, ia tampak tetap tersenyum. Melihat tubuhnya, menurutku, tak pantas ia jadi pengemis. Ketika aku ingin mengatakan, “Maaf, lain kali,” tiba-tiba wajah laki-laki kekar peminta sedekah itu menjelmakan wajah ibu di kepalaku. “Ingat, selagi ada rezeki dan usia untuk bersedekah, bersedekahlah. Kepada siapa pun, jika niatnya tulus untuk bersedekah, itu sangat baik bagi kehidupan…,” begitu kata ibu semasa hidup masih terngiang, seakan berwasiat. Dan ibu tak pernah berkata, sebagaimana orang kebanyakan, bahwa bersedekah akan mendapatkan pahala dari Tuhan. Tetapi, ibu selalu berkata, “Baik untuk kehidupan….” Mungkin, aku disuruh menafsirkan makna yang terkandung di dalamnya: kehidupan dunia dan akhirat! “Ayo, Pak. Jangan melamun, berilah saya sedekah!” Suaranya meninggi, barangkali bisa terdengar ke rumah sebelah. Tak pernah aku bertemu pengemis sebengal dan tak rendah hati seperti yang sedang menadahkan tangannya di depanku. Kurogoh saku celana. Ternyata yang tertarik keluar uang Rp 5.000. Ketika aku merogoh saku, mencari-cari kalau ada lembaran seribuan, akan lebih baik lagi receh Rp 500 untuk pengemis sekasar ini. Tetapi, pengemis itu malah berucap, “Sekali-kali lima ribu enggak apa, lho Pak!” Wajah ibu kembali membayang. “Ikhlas pun banyak ujiannya, lho!” Dengan setengah dongkol dan setengah lagi memaksakan diri ikhlas, kuserahkan uang Rp 5.000 itu kepadanya. Dia menepuk pundakku dengan santainya sambil berkata, “Terima kasih, semoga ikhlas! Yuk. Assalamu’alaikum….” Kurang ajar! Baru saja dia melangkah, cepat-cepat kututup pintu. Kali ini kurasakan, betapa untuk ikhlas dengan pengemis itu membutuhkan kelapangan hati, kebesaran jiwa. Tapi, aku merasakan hati dan jiwaku menyempit dan mengecil pagi ini. Rumah yang kutempati saat ini adalah rumah peninggalan almarhum ibu. Sedangkan ayah lebih memilih tinggal di Riau bersama kakak sulungku. Ia merasa tak sanggup tinggal di rumah yang kutempati ini. “Terlalu diusik oleh kenangan bersama ibu. Nanti aku bisa sakit karena rindu ibumu yang berkepanjangan,” begitu alasan ayah, sehingga bersama si sulung ia merasa nyaman. Istriku yang saat ini menunggu kelahiran anak kami yang pertama merasa senang tinggal di rumah, yang sepertinya akan jadi milikku. Kami hanya berdua orang kakak beradik. Kakakku sudah beli rumah di Riau, kota tempat ia mengembangkan kariernya. Sudah setahun kami tinggal di rumah milik dan kebanggaan ibu. Sudah setahun pula ibu meninggalkan kami untuk selama-lamanya. Kami pindah ke rumah ini seminggu sebelum ibu wafat. Ibu wafat setelah kembali dari shalat subuh berjemaah di surau. Tak ada sakit. Ia cuma mendadak mengatakan, dadanya sesak. Lalu tersenyum. Dalam senyum itu, ibu terkulai. Tetapi, sejak kepergian ibu, rumah kami sangat sering didatangi pengemis. Apalagi sejak harga BBM naik. Padahal, rumah kami terlihat sederhana sekali dibanding rumah yang berada di kiri kanan, depan belakang kompleks kami ini. Rumah-rumah lain tampaknya sesekali saja didatangi pengemis dengan berbagai usia, kekumalan pakaian, polah tingkah serta yang cacat anggota tubuh maupun buta. Pekerjaanku sebagai guru honor, yang terpaksa juga nyambi kerja lain, tentulah bukan terbilang banyak uang untuk bisa bersedekah tiap hari. Maaf, hal itu semestinya tak pantas diucapkan. Kadang Bu Mur depan rumah ada benarnya juga. “Pak Copan, dalam sehari itu kadang dua atau tiga pengemis datang. Bahkan hari tertentu bisa sampai lima pengemis. Pak Copan atau istri kasih juga. Maaf-maaf kata nih ya Pak Copan, melihat keadaan Pak Copan yang cuma guru honor, sebenarnya posisinya harus dimengerti pengemis-pengemis itu, bahwa Pak Copan layak mendapat sedekah. Honor sebulan Rp 400.000, dia, pengemis itu kalau sehari saja dapat Rp 50.000, dan itu bukan mustahil, satu setengah juta sebulan.” Aku tertawa mendengar apa yang dikatakan Bu Mur itu. Tidak sedikit pun merasa tersinggung. Apalagi mendengar Pak Kuncut, lelaki sebelah rumahku. “Para pengemis itu sering ke rumahmu, sejak almarhum ibumu dulu, tak pernah ditolak. Pasti dikasih. Kadang ibumu malah kasih buah-buahan, baju bekas dan kalau tak ada uang beri beras. Kalau tak ada sama sekali, ibumu malah janji, insya Allah besok. Akhirnya, ketika ibumu tiada, mereka terbiasa. Lihat, pengemis-pengemis yang selalu datang kan yang sering mengemis semasa ibumu hidup. Mereka yakin, pasti ibumu menyuruh melakukan hal sama kepada anaknya terhadap pengemis….” “Ada pula yang kurang ajar. Waktu ibumu meninggal, banyak pengemis yang datang. Bukan melayat. Tapi minta sedekah kepada para pelayat yang turut berdukacita…,” kuingat itu ucapan Mbak Sri yang rumahnya bersebelahan dengan Bu Mur. “Lihat Pak Piliek. Dia mengaku, tak pernah memberi pengemis yang datang ke rumahnya sepeser pun. Dia merasa lebih tenang, karena para pengemis tahu kalau ke rumah Pak Piliek, dia tak mendapatkan apa-apa, maka mereka tak pernah datang lagi….” Tiba-tiba aku merasa gundah. Kenapa mereka menjadikanku, kebiasaan baik, yang kata ibu “baik untuk kehidupan”, sebagai gunjingan hangat, dan kadang dinilai sebagai bodoh. Kenapa mereka merasa kasihan kepadaku, yang hampir setiap hari ada saja pengemis yang datang dan jika aku atau istri ada di rumah selalu diberi walau lima ratus perak. Bukankah ini yang diamanahkan ibu, agar memelihara sifat berbagi, bersedekah yang kata ibu “baik untuk kehidupan”. Memang, kadang aku merasa tak ikhlas. Hal itu sering kurasakan, ketika aku ingin menolak memberi dengan mengatakan “maaf” kepada pengemis, tiba-tiba perkataan ibu mengiang di telingaku. Aku memberinya, seakan terpaksa. Setelah itu, kurasakan batinku gelisah beberapa saat, dan tenang kembali setelah kuhibur diri dengan ucapan klise yang kudapat dari istriku, “Namanya juga manusia biasa, wajar ada ikhlas ada tidak. Ini bagian dari ujian memuliakan diri….” Mengenang ibu, aku merasa mengenang dirinya dalam mandi cahaya kemuliaan. Ketika dia telah tiada aku baru menyadari, ia betul-betul menjalani hidup ini dengan sederhana. Ibu selalu kulihat seperti dalam senyum. Selalu mengajarkanku agar menjauhi pertengkaran karena berebut uang, jangan memakan uang atau hak orang lain, apalagi korupsi. Kata ibu, masih kuingat, jangan biarkan fakir miskin, para duafa tak membawa apa-apa, dari tangan mereka yang bertadah ada sabun pembersih rezeki kita dari ketakhalalan yang tak sengaja. Bantulah mengurangi rasa lapar mereka. Kalau kita biarkan mereka nestapa, papa berkepanjangan tanpa kepedulian kita, ia kelak bukan tak mungkin membutuhkan nyawa kita, darah kita, dan ingin merampas kenyamanan hidup kita. Ibu bergetar ketika ia berkata, “Kau tak ingin, tangan yang biasa menadah lagi itu menghunuskan pisau dan menghunjamkan ke jantung kita yang merasa berkecukupan ini. Ia kelak bisa saja haus darah, tak butuh uang atau beras dari kaum kaya atau kikir yang ketakutan karena tak seorang pun mau bersedekah….” Mengenang semua yang dipaparkan ibu semasa hidup, kata mirip khotbah, membuat aku bergidik. Tak dapat kubayangkan, kaum-kaum miskin minta darah untuk diminumnya kepada setiap rumah yang dikunjunginya. Kadang aku merasa menggelepar, “Tuhan, kadang aku bersedekah hanya karena takut mereka menjadi beringas oleh kemiskinannya yang panjang….” Kadang, aku pun meragukan apa yang pernah dipaparkan ibu. “Jangan-jangan ini kabar pertakut agar aku rajin bersedekah, berbagi untuk apa yang dikatakan ibu ‘baik untuk kehidupan’….” Kenapa ibu tak pernah berkata seperti ustadz, guru mengaji atau guru agamaku semasa sekolah, bahwa dengan bersedekah kita akan mendapat pahala dari Tuhan? Kalau rajin sedekah, Tuhan akan sayang dan rezeki kita berlipat ganda. Bisa masuk surga, dan sebagainya. Pak Piliek kudengar sakit. Sudah seminggu ternyata. Ia tidak mau dibawa ke rumah sakit. Tak mau ke dukun. Permintaannya aneh: rindu pengemis minta sedekah ke rumahnya. Aku merasa ini aneh. Bukankah selama ini Pak Piliek antipengemis. Para pengemis pun enggan ke rumahnya, karena kalau tak ditolak kadang dihardik dengan kasar. Kini, dia rindu pengemis. Tiba-tiba ada keanehan menyerang diriku. Sejak seminggu lalu, rasanya sejak Pak Piliek sakit, rumah kami tak pernah kedatangan pengemis lagi. Ke mana mereka. Biasanya paling tiga hari atau lima hari paling lama pengemis tak berkunjung ke rumahku. Bu Nini, istri Pak Piliek, menemuiku selepas magrib. “Suamiku ingin sekali bersedekah, ingin ada pengemis menghampirinya. Katanya, setelah itu dia mati pun tak apa…,” kata Bu Nini. Aku menarik napas. Tersenyum. Aneh juga mendengarnya. “Memangnya sakitnya apa, ya Bu?” “Itulah. Aku juga heran. Kalau sudah malam, dia sering berkata, ya silakan masuk, makan dulu, baru mengemis lagi…, ini sedikit uang untuk anak dan keluargamu. Hati-hati di jalan, ya. Mengemis itu halal, kalau tak dikasih kerja oleh pemerintah, tak dikasih modal oleh orang kaya, mengemis halal…. Lalu setelah itu dia tertawa….” Aku mulai bergidik. “Jadi apa yang bisa saya bantu?” “Begini, pengemis kan paling sering ke rumahmu ini. Kalau dia datang, bawa dia ke rumahku, biar suamiku tenteram….” “Baik, baik Bu. Itu mudah!” Tetapi, seminggu, bahkan sebulan kemudian, pengemis tak juga datang-datang. Aneh. Sejak Pak Piliet sakit, pengemis tak pernah datang ke rumahku. Aku baru saja pulang melayat ke rumah Pak Piliek. Kabarnya, dia mengembuskan napas terakhir setelah ia mengatakan merasa bahagia, karena sempat bermimpi bersedekah kepada para pengemis yang tak pernah ia beri ketika berkunjung ke rumahnya. Bu Nini cerita, suaminya itu terjaga dengan mata berbinar, dan bergumam sendiri, “Indah…, indahnya memberi….” Keesokan harinya, sehari setelah Pak Piliek dimakamkan, aku mendengar suara “assalamu’alaikum….” Dari balik pintu depan suara itu kurasakan menghampiri telinga, lalu terasa di dada. Ketika kubuka pintu, aku terkejut. Seorang perempuan dengan bola mata kosong, berbaju compang-camping, tongkat kayu di tangannya. Rambutnya panjang terurai. Ada aroma wangi, memancar dari tubuhnya. Ada desah napas hangat kurasakan di detak jantungku. “Minta sedekah, Pak,” suaranya, oh, merdu. Jangan-jangan pengemis dari surga? “Ya, ya. Tunggu.” Aku bergegas ke dalam, mengambil uang dan kembali, lalu memasukkan ke kalengnya selembar uang seribuan. “Terima kasih, semoga baik untuk kehidupan….” Ah. Itu, itu ungkapan ibu. Aku ternganga, menarik napas. Perempuan pengemis itu membalik badannya, lalu berjalan, tanpa menoleh ke belakang. Ia melampaui pagar, dengan langkah tertatih, menjauh. Kuamati langkahnya, makin lama, kian tampak ia seperti tak buta. Malamnya, aku rindu perempuan bermata bolong tapi terlihat cantik dan menawan. Tubuhnya harum, dan di balik bibirnya yang seakan belum menggariskan senyum, bergetar, “…baik untuk kehidupan….” Dalam tidur, aku bertemu dengannya, “Ibu…, Ibu…, Ibu….”***
""Ngiang Kata Ibu""
Aku dikagetkan oleh suara batu yang dilempar ke pinggir kolam, di samping tempatku duduk mencangkung mengamati ikan-ikan. Aku menoleh ke belakang, dan melihat Mas Burhan tersenyum lebar. Akhirnya, ia bangun juga dari tidurnya. Tanpa basa-basi, bahkan setelah lama tidak jumpa, dari mulutnya keluar kalimat tantangan, “Kamu mau berburu hiu atau berburu beruang?” Aku diam sejenak, lalu menjawab, “Kita berburu beruang saja.” “Ah, kalau gitu, tunggu apa lagi! Bikinlah tombak untuk dua orang, aku mau cuci muka dulu!” Mas Burhan segera pergi ke belakang gubuk, tempat ia tadi terlelap tidur, menuju pancuran air untuk mencuci muka. Aku segera bangkit dengan agak malas, mengambil parang yang terselip di dinding gubuk, lalu mencari dua batang bambu, membuat dua tombak tajam. Begitu tombak jadi, kulempar satu tombak ke arah Mas Burhan. Segera, kami bergerak memasuki rimbun pohon pisang dan gerumbul bambu, berburu beruang. Kaki kami pelan berjingkat, mata kami waspada. Daya penciumanku kupertajam, mencoba mengendus beruang. Tiba-tiba tangan Mas Burhan memberi isyarat, laki-laki berumur hampir enam puluh tahun itu menggerak-gerakkan tangan kirinya, memberi tahu kalau seekor beruang besar sedang akan lewat di balik gerumbul pohon pisang tidak jauh dari tempat kami berada. Kami berdua segera melompat cepat ke arah gerumbul itu. Aku mengintip dari sela-sela batang- batang pisang, dan aku melihat seekor beruang besar sedang asyik makan. Tanganku segera memberi arahan bahwa kami harus berpencar dari arah yang berbeda. Laki-laki dengan rambut sebahu itu melompat dari satu tempat ke tempat lain dengan lincah. Beruang besar itu membelakangi kami. Aku di sebelah belakang agak ke samping kiri, sedangkan Mas Burhan berada di sebelah belakang agak ke sisi kanan. Dadaku bertalu keras. Tangan Mas Burhan memberi isyarat, hitungan maju. Hatiku semakin deg-degan. Tepat di hitungan ketiga, kami melompat bersama dan menghunjamkan tombak-tombak kami ke tubuh beruang besar itu. Tepat di saat itu, kami berteriak keras-keras. Teriakan Mas Burhan keras, melengking, memekakkan telinga seperti ingin mengeluarkan semua beban yang disangganya. Tombakku tepat mengenai lambung sebelah kiri beruang, sedangkan tombak Mas Burhan menancap di tengkuk binatang raksasa dan buas itu. Beruang itu melenguh keras. Tetapi beruang itu segera meliuk, Mas Burhan terpelanting sementara tombaknya tertancap kuat. Aku segera mencabut tombakku, bersiap menghadapi serangan balasan si beruang. Benar, beruang itu segera berbalik dan menghadapiku. Sepasang matanya memerah. Binatang mengerikan itu membuka mulut, mempertontonkan barisan giginya yang tajam, dan sepasang kaki depannya terangkat, menunjukkan tajam deretan cakar. Lalu binatang itu mengeluarkan auman yang menggiriskan. Nyaliku segera ciut. Tahu kalau aku gentar dan kalah mental menghadapi beruang itu, Mas Burhan melompat ke arahku sambil mencopot kausnya. Ia melambai-lambaikan kaus itu, seperti menggoda si binatang. Aku segera berlari menjauhi pantat Mas Burhan, lalu langkah kakiku kubuat sepelan mungkin, berjingkat, menjauh lewat gerumbul bambu, memutar, kemudian berada di belakang beruang besar yang siap menyerang Mas Burhan. Tepat di detik yang menentukan itu, aku melompat dan berteriak kencang, mendahului gerakan si beruang. Tusukanku tepat berada di lambung sebelah kanan, dan aku segera mencabut lagi tombakku. Tapi sayang, tusukan tombakku terlampau kuat, aku gagal mencabutnya, dan beruang itu kembali menggeliat dengan cepat. Aku terjatuh kena kibasan beruang. Mampus ini, batinku. Beruang itu segera menghadap ke arahku lagi. Mas Burhan segera melompat di depanku lagi, sambil terus memutar-mutar kausnya. “Goblok! Mampus kita!” “Terus bagaimana, Mas?!” tanyaku. “Lari, kamu! Bikin tombak lagi! Beruang itu akan mengejarku, dan aku akan naik ke pohon ketapang. Sebelum ia merobohkan ketapang itu atau berhasil menyusulku naik, kamu tombak lehernya. Tepat di lehernya! Jelas kamu?!” “Jelas, Mas!” usai mengucapkan kalimat itu, aku langsung melompat, lari menjauh dari tempat pertempuran itu dengan cepat membuat lagi sebuah tombak. Saat aku balik lagi ke tempat pertempuran itu, Mas Burhan sudah berada di atas pohon ketapang. Sementara itu, si beruang sedang berusaha memanjat pohon itu. Tetapi tampaknya binatang itu tidak berhasil. Namun kemudian binatang yang marah dan terluka itu menemukan cara yang jitu, pohon ketapang yang belum begitu besar itu, ditabraknya berkali-kali, sehingga pohon itu terancam rubuh. “Mati aku!” begitu selalu ucapan yang kudengar, setiap kali tubuh beruang itu menggetarkan pohon ketapang. Mungkin hanya butuh tiga kali benturan lagi, pohon itu pasti tumbang. Dengan agak ragu, aku mendekati pohon ketapang itu, bersembunyi dari balik pohon pisang yang satu ke pohon pisang yang lain. Tepat di saat beruang itu mundur, mengambil ancang-ancang, aku segera berlari menuju pohon ketapang sambil mengacungkan tombakku. Tubuhku gemetar. Tombak yang kupasang juga gemetar. Tahu kalau aku grogi dan pucat berhadapan dengan binatang itu, Mas Burhan berteriak, “Kamu jangan sok pahlawan! Kalau kamu gemetar, kamu pasti kalah! Kamu pasti mati!” “Jadi bagaimana solusinya?” tanyaku semakin panik. “Kamu ingat dan perhatikan nasihatku,” suara Mas Burhan terdengar berbisik, “taruh tombakmu di tanah. Tatap mata binatang itu! Kuatkan hatimu, kamu bisa mengalahkannya. Begitu jahanam itu marah, saat kedua kaki depannya hendak mengerkahmu, saat itulah kamu hunjamkan tombakmu ke lehernya. Jelas?” Aku mengangguk. Tetapi hatiku tetap kacau. Lalu aku mengambil napas dalam-dalam, dan segera melakukan segala sesuatu seperti yang dibilang Mas Burhan. Tombak kuletakkan di atas tanah. Sepasang mata bintang itu menatapku dengan tajam. Sepasang mataku berusaha membalas tajam tatapan beruang itu. Di dalam hati, aku mengatakan kalau aku bisa mengalahkan binatang ini. Beruang itu mengaum. Dengan segera, ia melabrakku. Aku mencoba tidak grogi ketika binatang itu semakin mendekatiku. Dan tetap berusaha tidak grogi ketika beruang itu mulai mengangkat kedua kaki depannya. Di saat yang kupikir tepat, aku membungkuk, menyahut tombakku, kuhunjamkan keras-keras ke arah lehernya. Semua serba cepat. Hunjamanku tepat. Aku segera menyandarkan tombakku ke pohon ketapang. Semakin beruang itu berusaha menjamahku, semakin dalam ujung tombakku menghunjam lehernya. Tahu kalau aku berhasil, Mas Burhan turun cepat. Ia lalu mencabut tombak yang berada di punggung binatang itu, lalu menghunjamkan ke arah leher beruang. Kami menunggu beruang itu sesaat. Ketika sudah tidak ada tenaganya lagi, kami dorong tubuh binatang itu dari arah samping. Rubuhlah tubuh besar beruang itu. Segera tubuh beruang itu kami kuliti, dagingnya kami potong-potong, lalu kami talikan potongan-potongan daging segar itu di tombak kami. Kami keluar dari hutan itu dengan langkah tegap. Begitu keluar dari gerumbul pohon bambu dan pisang, kami disambut oleh Pak Bari dengan tertawa. “Dikubur saja!” kata Pak Bari. “Jangan, untuk makan malam,” tukas Mas Burhan. “Ada cakalang bakar dan ikan asin keropa untuk makan malam,” jawab Pak Bari enteng. “Kamu yang bawa?” tanya Mas Burhan sambil menoleh ke arahku. Aku mengangguk. “Kalau begitu, kita kubur saja binatang ini.” Sambil berkata begitu, Mas Burhan meletakkan pikulannya. Aku mengikuti perkataannya. Lalu ia mengambil cangkul yang berada di dekat gubuk, dan ia mencangkul, kemudian kami berdua menanam potongan- potongan tubuh beruang. Sesungguhnya, yang kami tanam adalah potongan-potongan pohon pisang. Wajah Mas Burhan tampak puas setelah kami usai bermain-main imajinasi ‘berburu beruang’. Keringat berleleran di wajahnya yang memerah. Selesai mengubur ‘daging beruang’ itu, kami melangkah pergi. Sepasang mataku melirik ke arah kolam ikan, dan sebuah rakit kecil yang terbuat dari batangan-batangan bambu. Kalau tadi aku memilih ‘berburu hiu’, kami akan berada di kolam itu. Rakit itu akan kami anggap perahu, dan kolam itu kami anggap samudra. Kami berdua pasti akan basah kuyup. Aku sedang enggan berbasah-basah. Kami langsung menuju gubuk yang lebih besar lagi. Pak Bari segera menata piring. Segera, kami bertiga makan dengan lahap. Aku merasa lega. Misi kedatanganku berhasil dengan memuaskan: Mas Burhan mau makan lagi. Tiga hari yang lalu, aku masih berada di sebuah pulau yang indah untuk mengikuti sebuah kegiatan. Lalu telepon datang dari Mbak Narni, istri Mas Burhan. Ia mengatakan kalau Mas Burhan sedang kumat lagi. Berhari-hari, ia tidak mau pulang dari ladang, dan menurut laporan Pak Bari, Mas Burhan tidak mau makan. “Kalau selesai tugasmu, jenguklah dia,” singkat pesan Mbak Narni. Banyak orang yang melihat Mas Burhan hanya dari satu sisi. Begitu selalu yang kudengar setiap kali ada orang membicarakan Mas Burhan. Ia selalu disemati oleh julukan-julukan yang aduhai, mulai dari dicap sebagai ‘pembangkang sepanjang umur’ sampai dijuluki sebagai ‘pendekar subversif’. Memang julukan itu bukan tanpa alasan. Dari mulai menginjakkan kuliah, ia sudah mencicipi ikut ontran-ontran Malari. Dan semenjak itu, kakinya sudah tertanam kuat di lahan yang disebut sebagai dunia pergerakan. Di belantara dunia aktivis, jarang ada yang tahan uji lebih dari 30 tahun untuk terus melawan. Salah satunya, Mas Burhan. Model perlawanannya pun tidak pernah berubah. Tidak pernah masuk ke dalam sistem, tidak pernah dekat-dekat dengan kekuasaan. Ia berada di banyak tempat, berkeliling, mengajar dan menemani banyak sektor masyarakat. “Aja cedhak kebo gupak…” begitu pesan yang selalu dikatakan kepada orang-orang yang lebih muda, berhubungan dengan kekuasaan. Nyalinya luar biasa, dan staminanya mencengangkan. Ia punya daya hidup yang terus memancar, seperti halnya para pembangkang yang tidak pernah takluk. Banyak orang yang memujinya, dan cenderung memitoskannya. Semua yang berhubungan dengan Mas Burhan, selalu penuh dengan gula-gula. Ia mengidap malaria karena pernah lama di tanah Papua, banyak orang melihat hal itu sebagai sesuatu yang seksi. Ia selalu kekurangan uang karena jika punya uang selalu dipakai untuk kegiatan sosial, orang-orang selalu menyebut hal itu keren. Ia tidak punya rumah dan keluarganya selalu berpindah-pindah kontrakan, dan orang berdecak mengatakan hebat. Hingga kira-kira lima tahun yang lalu, ia memanggil beberapa orang termasuk aku, untuk mendengar keluh kesahnya: ia merasa berdosa dengan keluarganya yang sejak lama jarang ditemaninya. Mendengar keluhan itu, aku hanya punya komentar pendek dan langsung kuutarakan, “Wis wayahe mesanggrah, madeg pandhita, Mas.” Akhirnya Mas Burhan memutuskan untuk mesanggrah dan madeg pandhita beneran. Dengan dibantu teman-teman dekatnya, ia membeli tanah di sebuah kampung, mengelola pertanian. Tidak jauh dari tanahnya yang cukup luas itu, ia mendirikan rumah sederhana. Semenjak itu, ia tidak pernah bepergian lagi. Ia mendampingi warga kampung untuk melakukan pertanian organik. Tetapi setiap kali ada peristiwa yang mengganggu pikirannya, ia kumat lagi. Seperti saat terjadi kenaikan BBM pada tahun 2005. Ia tidak mau makan berhari-hari. Juga ketika terjadi kenaikan BBM di tahun ini. Berhari-hari ia berada di ladang, tidak mau makan dan emoh pulang. Seperti halnya tiga tahun lalu, setelah akhirnya senja ini ia mau makan, sambil duduk-duduk, ia mengeluarkan semua unek- uneknya. Ia nyerocos soal pangan, air, dan BBM. Dan dari dulu, ia selalu menekankan tiga hal: imajinasi, daya hidup, dan daya cipta. “Latihlah terus imajinasimu, perkuat daya hidupmu, dan terus asahlah daya ciptamu. Kamu boleh terdesak, boleh mundur, tapi kalau kamu punya tiga hal itu, kamu tidak akan mudah ditaklukkan!” Suaranya terus bergema, seakan tidak pernah lelah dan tidak butuh jeda. Begitu terus sampai larut, sampai ia terlihat lega. Aku berharap, seperti beberapa tahun yang lalu, ia kemudian tertidur dan keesokan harinya mengajak pulang ke rumah. Tetapi kali ini sepertinya tidak. Karena tiba-tiba ia terdiam, menajamkan telinganya, dan berkata, “Kekasih beruang itu marah dan merusak kampung….” Mampus, batinku. Bakal ada olahraga malam…. “Pak Bari…,” Mas Burhan memanggil nama orang yang menjaga ladangnya. Tetapi dengan cepat Pak Bari menyahut, “Harus dikejar, Pak! Kalau tidak, kasihan orang-orang kampung. Aku akan menanak nasi lagi supaya nanti saat selesai berburu, makanan sudah siap.” Pak Bari melirik dan tersenyum kepadaku. Aku tersenyum kecut, orang tua itu sudah segera mencari posisi aman. “Bagaimana?” tanya Mas Burhan ke arahku. “Harus kita kejar, Mas!” aku tidak punya dalih. “Bagus! Kenapa tidak segera bangkit dan menyiapkan dua tombak yang panjang dan tajam?” Aku segera bangkit, keluar, sambil terus merutuk di dalam hati. Malam itu, seperti dua orang anak kecil, kami menembus malam, mendekati gerumbul bambu dan pisang. Kembali berlarian, berteriak di dalam ladang. Memburu seekor beruang. Malam itu, setiap kali tombak Mas Burhan menancap kuat di tubuh beruang, maksudku batang pisang, ia berteriak keras. Seperti mengeluarkan dendam. Seperti menancapkan serangan maut ke jantung kekuasaan….
""Berburu Beruang""
Arwah Yuang Apuak serta-merta melesat ke langit tinggi dan terkaing di lapis ketiga. Arwah itu meregang dan lepas dari tubuh Yuang Apuak di bilik kumuh kontrakan. Sejenak mengiringi sampai di pusara, dari liang lahat arwah itu pun leluasa menembus lapis langit pertama yang punya kejauhan dan keluasan tak terukur. Jarak menjadi nisbi. Begitu pula ke lapis berikut, ke lapis berapa pun. Orang-orang yang mengantar, mengiring, dan menguburkan jenazah, termasuk istri mutakhir dan dua orang putra Yuang Apuak, belum lagi sampai di rumah mereka. Tetapi jasad tambun Yuang Apuak yang baru dimasukkan, dibaringkan di lahat serta-merta dikerubungi ulat-ulat putih, seputih tiga lapis kafan yang diinfakkan oleh orang yang pernah dihinadinakan Yuang Apuak. Entah dari mana ulat-ulat itu datang, tetapi semua liang dan lubang menjadi penuh. Bibir, gigi-geligi, lidah dan jari-jemari ulat-ulat itu menggerogoti kulit, lamat-lamat menarik dan menelan daging, darah, nanah, urat-urat dan kotoran Yuang Apuak yang, biar sudah mayat, masih segar. Lubang telinga, biji mata, otot-otot pangkal lengan dan paha, pusar, buah zakar Yuang Apuak dikerubungi, dipintir, dijilat, dan dimamah habis. Ulat-ulat itu berbuat ligat seolah tak mengenal kenyang. Mereka, ulat-ulat itu, juga tak mengenal batas. Mereka menembus tanah timbunan dan kain kafan. Mereka dengan lahap mengeroyok tubuh sehingga, sebelum malam, daging-daging dan nyaris semua isi kerangka tubuh Yuang Apuak habis. Terbaring, terbungkus, yang tertinggal tulang-belulang, rangka. Tengkorak kepala seolah menggeleng, dan tungkai kaki bagaikan hendak mengurak langkah seribu, ingin lari dari alam tak berpinggir. Kain kafan itu sendiri menjadi tak beraturan. Apa yang terjadi pada tubuh Yuang Apuak bukan tak diketahui arwahnya yang terkaing-kaing nun di angkasa jauh, amat jauh. Arwah Yuang Apuak merasakan pedih gigitan ulat-ulat putih yang berjumlah alangkah banyak. Arwah mengetahui, bahwa anggota tubuh itu sesungguhnya minta diperhatikan, minta pengertian, minta belas kasihan dan minta pertanggungjawaban. Tetapi kini semua serba tak bisa. Tak ada lagi kamus tolong-menolong ketika arwah dan jasad berpisah. Betapa lagi arwah Yuang Apuak terkaing-kaing, entah mengapa tiba-tiba tak boleh melesat ke lapis langit berikut. Ulat-ulat putih apa yang menyesap bangkai Yuang Apuak? Dan dari mana ulat-ulat itu rubung? Apakah itu barangkali merupakan wujud konkret orang-orang yang selama ini menjadi permainan patgulipat dan kongkalengkongpengkong Yuang Apuak dalam pelbagai peluang dan kesempatan? Orang-orang itu lalu mengambil kembali darah, nanah, dan hak mereka yang selama ini disesap Yuang Apuak ketika masih hidup dengan pelbagai tipu muslihat? Di masa kanak-kanak Yuang Apuak termasuk lebe1 dengan ingus sering meleleh, tak terseka. Namun semasa SD, Yuang Apuak belajar menilep dan tak membayar jajan di kantin sekolah. Kalaupun membayar, itu selalu tak sama dengan jumlah kue onde-onde, sebagai contoh, yang dia makan. Yuang Apuak memakan tiga, tetapi yang dia bayar cuma satu. Dia tak melakukan mark up, tetapi mark down apa yang dia makan. Bila pemilik kantin pica2, Yuang Apuak tak takut untuk tak bayar. Kelakuan itu, kemudian, sambil ngakak diceritakan Yuang Apuak kepada teman-temannya. Lidah, gigi, geraham, dan kerongkongan Yuang Apuak membenarkan, bahwa jajan itu tak dibayar utuh. Kepada arwah, di langit tinggi, ke sanalah pembenaran disampaikan. Apa pun yang dilakukan Yuang Apuak di masa kanak-kanak, dan semasa hidup, mendapat konfirmasi sahih sesahih-sahihnya. Dan itu memedihkan arwah. Rasa pedih itu sungguh-sungguh pedih sepedih-pedihnya. Setamat sekolah menengah, Yuang Apuak tak melanjutkan ke perguruan tinggi. Secara klasikal, keadaan keuangan orangtua tak memadai, menjadi alasan yang masuk akal bagi Yuang Apuak untuk tak kuliah. Ayah Yuang Apuak kuli angkat dan angkut di terminal bus antarkota, lalu lama menjadi tukang dobi. Ibu Yuang Apuak hanya di rumah, setelah tak kuat mencuci pakaian untuk mendapatkan upah. Tak aneh bagi Yuang Apuak sebelum sekolah tak menerima uang jajan. Juga tak aneh bila Yuang Apuak pernah mencuri uang dalam tas teman-temannya. Yuang Apuak tak meraih beasiswa biarpun selama di SMP dan SMA dia menggeluti dunia kesenian. Dari dunia itu pula, melalui beberapa kali lomba, Yuang Apuak dinobatkan menjadi pembaca puisi terbaik. Yuang Apuak pun dianggap aktor teater andal dan kelak, siapa tahu, bisa menjadi sehebat WS Rendra. ”Untuk apa aku sekolah tinggi-tinggi?” Yuang Apuak merenung. Dari ubun-ubun sampai ke empu kaki Yuang Apuak mengalir pengakuan, bahwa orangtua Yuang Apuak miskin. Dan itu tidak keliru. Di sekolah Yuang Apuak termasuk campin dalam mata ajaran seni-budaya. Seperti anak randai3, Yuang Apuak berbakat besar bermain drama. Pembenaran-pembenaran itu tak dilebih-lebihkan dan tak dikurang-kurangkan. Pernah, dalam renungan malam, di masa remaja, berkali-kali Yuang Apuak memikirkan lawan jenis—termasuk seorang perempuan imut berhidung bangir yang dia kenal sejak kecil. Setelah balig, Yuang Apuak menelanjangi dan menggerayangi tubuh perempuan bertubuh mungil itu. Biarpun kemudian menjadi istri Yuang Apuak dan memberinya tiga orang anak, tetapi dia tak membawa perempuan itu meninggalkan Kota P. Merantau dan pindah ke Kota J, Yuang Apuak memperoleh kesempatan berkelana dan berkenalan dengan, dan menyanggamai, banyak perempuan. Kelamin Yuang Apuak mengakui, bahwa vagina perempuan-perempuan itu robek bagai di-suntih4, setelah diterkam harimau lapar menemukan mangsa. Mangsa itu seolah kijang-kijang kehilangan rimba. Kepada arwah diakui, belasan perempuan dibinasakan Yuang Apuak dengan pelbagai rayuan, kelicikan, kecurangan sehingga, kemudian, perempuan-perempuan itu menjadi orang-orang nestapa sepanjang usia. Bagi Yuang Apuak kejantanan merupakan senjata. Dengan kejantanan itu pula Yuang Apuak tak berpikir ulang untuk, kalau perlu, melakukan perang total terhadap betina-betina yang tak mau jinak. Dari satu ke lain malam, di J Yuang Apuak bertualang. Siang dia benar-benar memeluk dinding-dinding beton tinggi untuk menggapai, memangsa apa dan siapa pun. Dia lantas jadi mahir, campin, galir, dan licik menggoda para pedagang seetnik untuk bersatu padu dalam organisasi rumah makan. Dengan itu Yuang Apuak mengutip iuran dari juragan rumah makan tiap bulan. Tak besar pungutan itu, tetapi karena jumlah rumah makan padang banyak, maka uang yang terkumpul berjumlah lumayan. Mulia, sumbangan dikatakan akan dimanfaatkan demi kampung halaman, membaikkan masjid dan juga untuk diberikan kepada fakir miskin. Yuang Apuak pun menggoda sentimen orang-orang beruang, pensiunan pegawai negeri sipil dan militer, urang awak5 dan siapa pun perantau untuk mewujudkan impian mulia, mengembalikan harga diri setelah remuk sebagai akibat pergolakan daerah. Yuang Apuak mendengar bisik-bisik bagaimana pergolakan daerah menghancurleburkan harga diri dan itu harus dipulihkan, dikembalikan ke aras semula. Pengalaman kecil Yuang Apuak membuat proposal ketika sekolah berubah jadi keahlian dan itu semua dia manfaatkan untuk meyakinkan orang-orang terpandang dan para donatur. Dia menekan bel satu dan lain rumah, masuk dari satu ke lain pintu kantor bertingkat-tingkat, duduk di kursi empuk dan berbicara dengan gerak tubuh yang meyakinkan. Yuang Apuak memang tak tanggung-tanggung. Dia menerbitkan sebuah majalah bulanan. Dia merekrut anak-anak muda potensial untuk membantu. Dia meminta penulis-penulis andal mengirim tulisan. Isi utama majalah itu tak lain tak bukan adalah upaya mengembalikan martabat etnik yang hilang. Dan itu dilengkapi dengan foto-foto artistik, statistik akurat, dengan penataan wajah semenawan mungkin. Majalah memang terbit, dan sempat dipasarkan, juga ke kampung halaman. Tapi uang yang terkumpul, terutama dalam bentuk sumbangan, tak dikirimkan ke alamat. Tak pernah! Biarpun atas nama perusahaan, semua masuk ke rekening bank Yuang Apuak. Dan itu berlangsung selama beberapa bulan, bahkan memakai bilangan tahun. Seusai mengeksploitasi sentimen kampung halaman, Yuang Apuak bersengaja menyelenggarakan lomba baca puisi heroik— persis seperti yang pernah dia ikuti ketika di sekolah, untuk mengenang jasa proklamator dan para pahlawan. Untuk itu Yuang Apuak mengajukan proposal permohonan dana kepada anak-anak, cucu-cucu, kerabat proklamator dan pahlawan itu. Yuang Apuak pun minta bantuan ke gubernur, wali kota, dan beberapa kepala dinas. Uang pendaftaran peserta, dalam jumlah yang tak sedikit, pun dipungut. Tetapi, celaka, di akhir lomba, sama sekali tak ada informasi bahwa anak proklamator ikut menyumbang. Juga tak ada penjelasan berapa uang terkumpul. Hanya ada komplain seorang anggota Dewan Juri, honorarium tak memadai. Hadiah yang diberikan kepada pemenang tak layak dan ada yang tak dikirim. Biarpun sempat disurati beberapa kali oleh yang berhak, tetapi Yuang Apuak diam. Uban dan semua bulu yang tumbuh subur di sekujur tubuh Yuang Apuak bersaksi dan membenarkan, bahwa sebagian besar uang sumbangan dan hasil jual majalah digunakan Yuang Apuak untuk menghidupi dirinya sendiri, berfoya-foya dengan perempuan-perempuan yang dia rayu di sembarangan tempat. Semua anggota tubuh Yuang Apuak bersaksi, bahwa dana yang terkumpul untuk kegiatan lomba baca puisi digunakan tak semata untuk lomba itu. Bahkan sampai akhir hayat Yuang Apuak, sesungguhnya masih ada pemenang yang belum menerima hadiah. Lubuk hati Yuang Apuak paling dalam, bernama nurani—paling hebat, juga bersaksi, sewaktu pulang ke kampung halaman, Yuang Apuak sempat menyedekahkan beberapa ratus ribu rupiah uang itu untuk memperbaiki bangunan surau dan untuk belanja anak yatim. Yuang Apuak pun tebar janji, bahwa di masa depan dia benar-benar ingin memerhatikan keperluan surau, termasuk untuk garin6. Namun, dengan alasan apa pun, arwah Yuang Apuak masih tergantung di lapis ketiga. Dan keterkaingan itu tak bisa diselamatkan oleh pengakuan-pengakuan jujur dan benar semua anggota tubuh Yuang Apuak yang berbuat curang selama menyatu dengan arwah. Tak bisa! Tidak! Sekilas keterkaingan arwah Yuang Apuak terpanah ke jantung seorang putra Yuang Apuak dari istrinya yang pertama—gadis imut yang pernah dia tinggalkan begitu saja di kampung halaman. Putra Yuang Apuak tak muda lagi, tetapi sempat mengenyam surau untuk mengaji. Sang putra sama sekali tak mengetahui kalau arwah ayahandanya terhalang, terkaing-kaing, dan menanggung pedih perih, dalam pelesatan ke alam abadi. Tetapi mengetahui ayahnya wafat, si putra merasa wajib melantunkan doa khusyuk, berkali-kali, setiap pagi—siang-malam, setiap hari, semoga arwah ayahandanya, dalam kata-kata klise, selamat sejahtera sampai ke alam akhir. Padang, 17 Agustus 2008 1 lebe = acuh tak acuh 2 pica = abai 3 anak randai = pemain teater tradisional Minangkabau 4 suntih = robek (dengan cakar dan gigi) 5 urang awak = sebutan untuk orang (dari etnik) Minangkabau 6 garin = penjaga surau, masjid
""Yuang Apuak""
Mobil jemputan sekolah belum lagi berhenti, Beningnya langsung meloncat menghambur. “Hati-hati!” teriak sopir. Tapi gadis kecil itu malah mempercepat larinya. Seperti capung ia melintas halaman. Ia ingin segera membuka kotak pos itu. Pasti kartu pos dari Mama telah tiba. Di kelas, tadi, ia sudah sibuk membayang-bayangkan: bergambar apakah kartu pos Mama kali ini? Hingga Bu Guru menegurnya karena terus-terusan melamun. Beningnya tertegun, mendapati kotak itu kosong. Ia melongok, barangkali kartu pos itu terselip di dalamnya. Tapi memang tak ada. Apa Mama begitu sibuk hingga lupa mengirim kartu pos? Mungkin Bi Sari sudah mengambilnya! Beningnya pun segera berlari berteriak, “Biiikkk…, Bibiiikkk….” Ia nyaris kepleset dan menabrak pintu. Bik Sari yang sedang mengepel sampai kaget melihat Beningnya terengah-engah begitu. “Ada apa, Non?” “Kartu posnya udah diambil Bibik, ya?” Tongkat pel yang dipegangnya nyaris terlepas, dan Bik Sari merasa mulutnya langsung kaku. Ia harus menjawab apa? Bik Sari bisa melihat mata kecil yang bening itu seketika meredup, seakan sudah menebak, karna ia terus diam saja. Sungguh, ia selalu tak tahan melihat mata yang kecewa itu. Marwan hanya diam ketika Bik Sari cerita kejadian siang tadi. “Sekarang, setiap pulang, Beningnya selalu nanya kartu pos…” suara pembantunya terdengar serba salah. “Saya ndak tahu mesti jawab apa…” Memang, tak gampang menjelaskan semuanya pada anak itu. Ia masih belum genap enam tahun. Marwan sendiri selalu berusaha menghindari jawaban langsung bila anaknya bertanya, “Kok kartu pos Mama belum datang ya, Pa?” “Mungkin Pak Posnya lagi sakit. Jadi belum sempet ngater kemari…” Lalu ia mengelus lembut anaknya. Ia tak menyangka, betapa soal kartu pos ini akan membuatnya mesti mengarang-ngarang jawaban. Pekerjaan Ren membuatnya sering bepergian. Kadang bisa sebulan tak pulang. Dari kota-kota yang disinggahi, ia selalu mengirimkan kartu pos buat Beningnya. Marwan kadang meledek istrinya, “Hari gini masih pake kartu pos?” Karna Ren sebenarnya bisa telepon atau kirim SMS. Meski baru play group, Beningnya sudah pegang hape. Sekolahnya memang mengharuskan setiap murid punya hand phone agar bisa dicek sewaktu-waktu, terutama saat bubaran sekolah, untuk berjaga-jaga kalau ada penculikan. “Kau memang tak pernah merasakan bagaimana bahagianya dapat kartu pos…” Marwan tak lagi menggoda bila Ren sudah menjawab seperti itu. Sepanjang hidupnya, Marwan tak pernah menerima kartu pos. Bahkan, rasanya, ia pun jarang dapat surat pos yang membuatnya bahagia. Saat SMP, banyak temannya yang punya sahabat pena, yang dikenal lewat rubrik majalah. Mereka akan berteriak senang bila menerima surat balasan atau kartu pos, dan memamerkannya dengan membacanya keras-keras. Karena iri, Marwan pernah diam-diam menulis surat untuk dirinya sendiri, lantas mengeposkannya. Ia pun berusaha tampak gembira ketika surat yang dikirimkannya sendiri itu ia terima. Ren sejak kanak sering menerima kiriman kartu pos dari Ayahnya yang pelaut. “Setiap kali menerima kartu pos darinya, aku selalu merasa Ayahku muncul dari negeri-negeri yang jauh. Negeri yang gambarnya ada dalam kartu pos itu…” ujar Ren. Marwan ingat, bagaimana Ren bercerita, dengan suara penuh kenangan, “Aku selalu mengeluarkan semua kartu pos itu, setiap Ayah pulang.” Ren kecil duduk di pangkuan, sementara Ayahnya berkisah keindahan kota-kota pada kartu pos yang mereka pandangi. “Itulah saat-saat menyenangkan dan membanggakan punya Ayah pelaut.” Ren merawat kartu pos itu seperti merawat kenangan. “Mungkin aku memang jadul. Aku hanya ingin Beningnya punya kebahagiaan yang aku rasakan…” Tak ingin berbantahan, Marwan diam. Meski tetap saja ia merasa aneh, dan yang lucu: pernah suatu kali Ren sudah pulang, tetapi kartu pos yang dikirimkannya dari kota yang disinggahi baru sampai tiga hari kemudian! Ketukan di pintu membuat Marwan bangkit dan ia mendapati Beningnya berdiri sayu menenteng kotak kayu. Itu kotak kayu pemberian Ren. Kotak kayu yang dulu juga dipakai Ren menyimpan kartu pos dari Ayahnya. Marwan melirik jam dinding kamarnya. Pukul 11.20. “Enggak bisa tidur, ya? Mo tidur di kamar Papa?” Marwan menggandeng anaknya masuk. “Besok Papa bisa anter Beningnya enggak?” tiba-tiba anaknya bertanya. “Nganter ke mana? Pizza Hut?” Beningnya menggeleng. “Ke mana?” “Ke rumah Pak Pos…” Marwan merasakan sesuatu mendesir di dadanya. “Kalu emang Pak Posnya sakit biar besok Beningnya aja yang ke rumahnya, ngambil kartu pos dari Mama.” Marwan hanya diam, bahkan ketika anaknya mulai mengeluarkan setumpuk kartu pos dari kotak itu. Ia mencoba menarik perhatian Beningnya dengan memutar DVD Pokoyo, kartun kesukaannya. Tapi Beningnya terus sibuk memandangi gambar-gambar kartu pos itu. Sudut kota tua. Siluet menara dengan burung-burung melintas langit jernih. Sepeda yang berjajar di tepian kanal. Pagoda kuning keemasan. Deretan kafe payung warna sepia. Dermaga dengan deretan yacht tertambat. Air mancur dan patung bocah bersayap. Gambar pada dinding goa. Bukit karang yang menjulang. Semua itu menjadi tampak lebih indah dalam kartu pos. Rasanya, ia kini mulai dapat memahami, kenapa seorang pengarang bisa begitu terobsesi pada senja dan ingin memotongnya menjadi kartu pos buat pacarnya. Andai ada Ren, pasti akan dikisahkannya gambar-gambar di kartu pos itu hingga Beningnya tertidur. Ah, bagaimanakah ia mesti menjelaskan semuanya pada bocah itu? “Bilang saja Mamanya pergi…” kata Ita, teman sekantor, saat Marwan makan siang bersama. Marwan masih ngantuk karena baru tidur menjelang jam lima pagi, setelah Beningnya pulas, “Bagaimana kalau ia malah terus bertanya, kapan pulangnya?” “Ya sudah, kamu jelaskan saja pelan-pelan yang sebenarnya.” Itulah. Ia selalu merasa bingung, dari mana mesti memulainya? Marwan menatap Ita, yang tampak memberi isyarat agar ia melihat ke sebelah. Beberapa rekan sekantornya terlihat tengah memandang mejanya dengan mata penuh gosip. Pasti mereka menduga ia dan Ita…. “Atau kamu bisa saja tulis kartu pos buat dia. Seolah-olah itu dari Ren….” Marwan tersenyum. Merasa lucu karena ingat kisah masa lalunya. Mobil jemputan belum lagi berhenti ketika Marwan melihat Beningnya meloncat turun. Marwan mendengar teriakan sopir yang menyuruh hati-hati, tetapi bocah itu telah melesat menuju kotak pos di pagar rumah. Marwan tersenyum. Ia sengaja tak masuk kantor untuk melihat Beningnya gembira ketika mendapati kartu pos itu. Kartu pos yang diam-diam ia kirim. Dari jendela ia bisa melihat anaknya memandangi kartu pos itu, seperti tercekat, kemudian berlarian tergesa masuk rumah. Marwan menyambut gembira ketika Beningnya menyodorkan kartu pos itu. “Wah, udah datang ya kartu posnya?” Marwan melihat mata Beningnya berkaca-kaca. “Ini bukan kartu pos dari Mama!” Jari mungilnya menunjuk kartu pos itu. “Ini bukan tulisan Mama…” Marwan tak berani menatap mata anaknya, ketika Beningnya terisak dan berlari ke kamarnya. Bahkan membohongi anaknya saja ia tak bisa! Barangkali memang harus berterus terang. Tapi bagaimanakah menjelaskan kematian pada anak seusianya? Rasanya akan lebih mudah bila jenazah Ren terbaring di rumah. Ia bisa membiarkan Beningnya melihat Mamanya terakhir kali. Membiarkannya ikut ke pemakaman. Mungkin ia akan terus-terusan menangis karena merasakan kehilangan. Tetapi rasanya jauh lebih mudah menenangkan Beningnya dari tangisnya ketimbang harus menjelaskan bahwa pesawat Ren jatuh ke laut dan mayatnya tak pernah ditemukan. Ketukan gugup di pintu membuat Marwan bergegas bangun. Dua belas lewat, sekilas ia melihat jam kamarnya. “Ada apa?” Marwan mendapati Bik Sari yang pucat. “Beningnya…” Bergegas Marwan mengikuti Bik Sari. Dan ia tercekat di depan kamar anaknya. Ada cahaya terang keluar dari celah pintu yang bukan cahaya lampu. Cahaya yang terang keperakan. Dan ia mendengar Beningnya yang cekikikan riang, seperti tengah bercakap-cakap dengan seseorang. Hawa dingin bagai merembes dari dinding. Bau wangi yang ganjil mengambang. Dan cahaya itu makin menggenangi lantai. Rasanya ia hendak terserap amblas ke dalam kamar. “Beningnya! Beningnya!” Marwan segera menggedor pintu kamar yang entah kenapa begitu sulit ia buka. Ia melihat ada asap lembut, serupa kabut, keluar dari lubang kunci. Bau sangit membuatnya tersedak. Lebih keras dari bau amoniak. Ia menduga terjadi kebakaran dan makin panik membayangkan api mulai melahap kasur. “Beningnya! Beningnya!” Bik Sari ikut berteriak memanggil. “Buka Beningnya! Cepat buka!” Entahlah berapa lama ia menggedor, ketika akhirnya cahaya keperakan itu seketika lenyap dan pintu terbuka. Beningnya berdiri sambil memegangi selimut. Segera Marwan menyambar mendekapnya. Ia melongok ke dalam kamar, tak ada api, semua rapi. Hanya kartu pos-kartu pos yang berserakan. “Tadi Mama datang,” pelan Beningnya bicara. “Kata Mama tukang posnya emang sakit, jadi Mama mesti nganter kartu posnya sendiri….” Beningnya mengulurkan tangan. Marwan mendapati sepotong kain serupa kartu pos dipegangi anaknya. Marwan menerima dan mengamati kain itu. Kain kafan yang tepiannya kecoklatan bagai bekas terbakar. Singapura-Yogyakarta, 2008
""Kartu Pos dari Surga""
Sebagai seorang perempuan, sekalipun berprofesi dokter, Nana menganggap minggu-minggu ini buat dia dan keluarga besarnya sangat menyedihkan! Tiga hari yang lampau, adik bungsunya sambil menangis mengatakan, anaknya, Tantiana, positif hamil. Padahal, dia baru berusia 17 tahun, kelas dua SMA dan hamilnya dengan teman sekelasnya, Alvin. Adiknya berkata, “Datanglah bersama Dara, kalian berdua kan dokter. Aku lebih suka menggugurkan anak Tantiana daripada menikahkannya!” Nana mengembuskan nafasnya. Dua minggu yang lampau anak bungsunya, Aditya (25 tahun), menikah! Mendahului anak sulungnya, Dara, yang minggu kemarin merayakan ulang tahun ke-30. Mereka bertemu di bandara ini dan seorang perempuan mengumumkan dengan suaranya yang seksi bahwa pesawat yang akan mereka tumpangi delayed selama sejam. Seperti dua sahabat, Nana dan Dara keluar dari kerumunan orang yang mengamuk. Mereka mencari sebuah restoran, memesan jus jeruk dan beberapa makanan kecil. “Ma, saya sedang berpikir untuk mengadopsi anak Tantiana setelah dia melahirkan. Setelah itu, Tantiana bisa balik sekolah dan meneruskan kehidupan remajanya.” Nana mengatupkan bibirnya, “Apakah kau sudah merundingkan hal itu dengan Rizal?” “Ma, Rizal kan cuma teman. Jadi, setiap keputusan hanya ada pada saya.” Nana terenyak. Sesungguhnya, dia menyayangi Rizal dan berharap suatu kali dia bisa berkata kepada adik almarhum suaminya, “Dik, mudah-mudahan volume pekerjaan panjenengan bulan ini tidak padat sehingga panjenengan bisa menikahkan anak kita dengan Rizal!” Kedua perempuan ini bersitatap. “Ma, saya sepertinya sudah dapat firasat. Beberapa hari yang lampau, waktu ke toko buku, saya membeli buku nama-nama calon bayi.” Nana merasa terkunci. Sebelum terjawab, adik bungsunya menelepon HP-nya, “Mbak, sampeyan kok belum datang, jam berapa datangnya? Dari tadi, Tantiana menangis terus. Sudah beberapa hari ini dia tidak mau makan.” Nana melihat Dara. “Tante dan Om-mu, sekarang ada di rumah sakit. Tantiana mencoba bunuh diri dengan menyilet pergelangan nadinya. Mungkin anak itu harus kita konsultasikan ke psikiater.” Dara yang sedang belajar menjadi psikiater mengangguk-anggukkan kepala. Nana meneruskan omongannya, “Kalau tahu begini, lebih baik kita naik kereta saja. Aku bosan menunggu!” Dara tersenyum, tapi kemudian Nana berpikir, barangkali ini karunia yang tersembunyi (blessing in disguise). Kendati mereka masih tinggal serumah, jarang bisa ngobrol. Apalagi, Nana pada usianya ini tidur lebih cepat, sedangkan Dara mungkin sedang sibuk di rumah sakit atau sedang makan-makan bersama temannya. Rasanya mereka memang dua perempuan yang beda dalam menjalani kehidupan sosialnya. Sekalipun Nana merasa, berapa pun umur Dara, dia tetap mamanya! Atau apakah Dara menjadi miliknya hanya kala dia gadis kecil yang belum pandai memasang pita rambutnya dan merengek-rengek untuk meminta sesuatu. Apakah yang dihadapannya ini cuma teman seprofesi yang kebetulan serumah? Dan, sebetulnya mereka dua jagat yang berbeda dan tidak pernah bisa bertemu. Sesungguhnya, sekarang mereka sama-sama punya waktu luang dan duduk semeja. Nana seharusnya berkata begini, “Waktu kau beranjak remaja, aku dan ayahmu sudah sering bersitegang karena banyaknya tamu laki-laki yang datang ke rumah kita. Tapi, kemudian kami heran juga, kau tidak peduli pada mereka. Padahal, banyak temanmu yang sudah mulai pacaran. Kami tidak merisaukan hal itu, kau lagi ingin serius dan sendiri saja. Itu berlanjut sampai kau menjadi mahasiswa. Mulai sejak itu, aku diliputi perasaan gelisah. Apalagi, kau kelihatannya hanya serius dengan pelajaranmu. Teman-temanmu di Fakultas Kedokteran juga serius. Tapi, mereka sekurang-kurangnya pernah membicarakan lelaki atau jalan bareng. Kau kelihatannya cuma akrab dengan Didit (sahabat sejak SMA). Padahal, sejak lulus SMA, Didit tidak meneruskan sekolahnya. Dia menikah dan memiliki dua anak yang kau cintai.” Dara memutuskan lamunannya, “Ma, beri aku dukungan untuk meyakinkan Tante agar anak Tantiana bisa saya adopsi.” “Aku berharap cucu darimu dan anak Tantiana menjadi anak sulung dari anak-anakmu.” Dara tidak menjawab dan Nana merasa harus mengatakan hal ini. “Setelah Aditya menikah, aku berharap di tahun baru menurut kalender Jawa kau menikah dengan siapa yang kau suka. Dokter Rizal juga lelaki yang baik. Sekalipun, dia lebih muda dua tahun darimu. Siapa pun tahu, dia menyukaimu. Aku dan ayahmu pernah membayangkan kau akan menikah pada usia 25 tahun. Yang terjadi di luar mimpi kami, adikmu yang menikah pada usia itu!” “Maaf, saya waktu itu cuma berpura-pura tidak tahu kalau Mama dan keluarga besar kita sedih sekali. Bisik-bisik di luar tentang saya memang buruk. Pastinya mereka menganggap saya perempuan yang berat jodoh. Padahal, di cermin saya tahu tidak jelek-jelek amat. Mereka juga menuduh saya punya kelainan psikologis.” “Dara, aku kepingin jujur kepadamu, apa pun pendapat masyarakat, kata kuncinya cuma satu, kau menikah.” Dara, memegang tangan mamanya. “Ma, saya tidak bisa janjikan itu.” Mereka saling melihat. Dara tahu dia tidak bisa mengatakan ini, tetangga sebelah rumah (15 tahun) mengajaknya bersibadan ketika dia baru saja berusia 13 tahun. Dia merasa jijik! Namun, pada persekian menit, dia menikmati apa yang awalnya dipaksakan kepadanya. Tapi setelah dewasa, ketika mencoba bercinta dengan Rizal, dia merasa tidak lebih seperti boneka seks. Sampai hari ini, dia tak berhasil, Rizal sudah membantunya dan barangkali Rizal sudah mulai jenuh. Padahal, mereka sepakat menerapi problem trauma dari Dara. Jadi, ini bukan sekadar erotis! Di antara dua kekasih. Sesungguhnya untuk melakukan hal ini, banyak hal yang dipikirkan, dibicarakan oleh mereka berdua. Karena, hubungan Rizal dan Dara bukan sekadar dokter dengan pasien, tapi dua orang yang sangat dekat. Dara tidak mau terapi ini jatuh pada erotisme saja, tapi betul-betul sebuah empirisme yang harus dia lakukan. Rizal, seperti semua dokter, harus berempati saja. Sesungguhnya, mereka merasa menggampangkan jika mencari solusinya dengan kawin siri. Lantas, terapi ini tidak berkelanjutan. Sehingga Rizal berkata, “Sebagai seorang dokter, kau harusnya sudah tahu bahwa butuh kemauan keras darimu untuk sembuh.” Dara merasa tak berdaya. Semuanya memang harus diselesaikan. Semuanya berpulang pada dirinya sendiri. Dia tidak pernah ingin membicarakan ini dengan mama, sekalipun mamanya juga dokter. Pastinya, akan sulit bagi mama untuk menerima berita ini karena dia bukan hanya seorang pasien saja di mata mama. Sebagai seorang dokter, memang yang harus dilakukan oleh mamanya adalah berempati, bukan bersimpati. Itu yang sering diucapkan Rizal ketika dia merasa tidak bisa melanjutkan terapi ini. Kali ini mama yang memotong pikirannya, “Dara, kok dari tadi diam saja? Tanyakan ke bagian informasi.” “Mama kan tahu, kalau sudah begini, karyawan penerbangan itu pasti tidak ada di tempat.” Kemudian ada dering telepon lagi, adik bungsunya menangis di telepon dan mengatakan begini, “Tantiana menangis terus dan menjerit-jerit.” “Dik panggillah dokter, pesawatku delayed. Jadi tidak bisa ditunggu jam berapa kami sampai. Tapi, kami pasti datang dan langsung ke rumah sakit.” Dara berbicara lagi, “Ma, saya sebetulnya ingin bercerita banyak sekali, tapi tidak tahu saya harus mulai dari mana?” Kedua perempuan itu saling melihat, mata mereka seperti sebuah lorong yang gelap dan jauh sekali. Nana memegang tangan anak perempuannya. “Saya kira kau bisa menyimpannya untuk dirimu sendiri. Sekalipun, aku sudah siap untuk semua yang terburuk, kalau kau mau cerita.” “Ma, saya kira saya tidak usah bercerita panjang karena tetangga sebelah rumah sudah merusaknya.” Kedua perempuan itu saling berpegangan erat dan mencoba tersenyum, untuk menguatkan satu dengan lainnya. “Sayang, aku tak akan pernah bertanya lagi. Percayalah, aku sudah mencurigai hal itu sejak lama. Aku cuma ingin cerita itu bukan sebenar-benarnya, jadi di mataku kau tetap seorang gadis… Nduk, apakah kau sudah melakukan terapinya dan belum berhasil?” Kali ini, Dara yang menyandarkan diri di bahu mamanya. Tidak ada air mata, tetapi terasa ada pengertian yang lebih baik di antara kedua perempuan itu. Di luar dugaan, Tantiana sedikit tenang, ketika Nana berkata, “Kamu boleh ikut Budhe Nana atau Mbak Dara. Setelah anakmu lahir, kau harus sekolah lagi dan pulang ke Malang. Sedangkan anakmu, biarlah jadi anaknya Mbak Dara. Kami tidak menganggap itu dosa yang tidak bisa diperbaiki.” Tantiana menangis. Beberapa bulan kemudian, lahir anak Tantiana. Enam bulan setelah kelahiran anak Tantiana, dia pulang ke Malang untuk meneruskan sekolah. Dan, ketika anak Tantiana berusia satu tahun, Dara merayakan bersama anak teman-temannya, dihadiri Rizal dan mamanya, “Zal, aku kepingin anakku ini punya dua adik. Lantas siapa ya yang mau jadi bapaknya?” Rizal menggandeng Dara ke ruangan lain. “Apakah sudah siap memulai lagi dengan pernikahan?” “Zal, saya kira ada kalimat Jawa tentang suami-istri. Yaitu garwo (sigare nyawa). Bahasa simbol itu artinya, belahan hati suami dan istri. Jadi, aku memaknainya lebih jauh, bersibadan itu artinya dua jiwa lebur jadi satu. Kalau tidak, yang ada cuma luka dan kesakitan. Aku yakin kau bisa memahami itu, jadi kita bisa membagi, kapan menjadi dokter dan pasien dan kapan menjadi suami-istri.” Tiba-tiba ada perasaan lelah ketika Dara selesai membicarakan itu dengan Rizal. Rizal tersenyum dan memeluknya, “Aku akan belajar kapan aku jadi suamimu dan kapan aku jadi doktermu. Karena untuk kesembuhan ini, butuh proses yang panjang. Bantulah aku!” Rizal dan Dara bersitatap. Ketika memasuki ruangan ini, Nana memeluk Dara. “Aku akan menjadi nenek dari lima cucu, tiga darimu dan dua dari Aditya.” Lantas, senyum ada di antara Dara, Rizal, Nana, dan melebar di ruangan ini. Teman-teman anaknya berteriak-teriak, “Dik, cepat tiup lilinnya dan potong kuenya!” Malang, 10 Juni 2008
""Delayed""
Baru satu hari tiba di Yogya dan bermalam di hotel, kepalaku terasa pusing. Rombongan pertemuan wanita baru saja pergi dan aku tinggal sendiri karena kurasa wajahku sebelah terasa nyeri dibarengi kepala yang berat. Kucoba merendam diri di kamar mandi, tetapi rasa nyeri itu tidak hilang juga. Kukira karena perjalanan jauh naik kereta api dari Jakarta-Yogya. Sebelum malam jauh, aku membeli obat sakit kepala, namun sepanjang malam keadaan tidak bertambah baik. Keesokan harinya kukatakan kepada rombonganku bahwa aku tidak dapat mengikuti pertemuan wanita dan pamit pulang ke Jakarta. Rasa pening kepala makin menjadi-jadi, dan sebagian wajahku, pipi sebelah kanan rasanya seperti kaku, demikian Marice menuturkan awal penderitaannya. Suamiku terkejut melihat aku sudah kembali begitu cepat. Kuceritakan bahwa aku merasa tidak enak badan. Sepanjang dua hari kepalaku nyut-nyutan dan mata sebelah seperti tidak sinkron dengan yang sebelah lagi. Suamiku tampak cemas dan mengajakku pergi ke dokter. Digandengnya aku ke dalam mobil dan sore itu dokter memeriksa wajahku sebelah kanan. Dengan jarinya ia menekan pipiku dan mengatakan adanya pembengkakan. Ia memintaku untuk menceritakan awal mula rasa sakitku. Kututurkan semua gejala yang kurasakan dan kemudian dokter merujuk aku ke rumah sakit. Pelbagai macam obat kutelan yang membuat rasa nyeri menjadi hilang, tetapi suamiku mengatakan bahwa pipi kananku agak membengkak. Secara patologis aku merasa sakit dan dinyatakan oleh dokter memang sakit, namun apa penyakitku belum diketahui dengan jelas. Berbulan-bulan aku menjadi pasien beberapa rumah sakit dan gonta-ganti dokter, namun keadaanku belumlah membaik. Suatu saat, ketika aku merasa agak baikan, aku minta pulang ke rumah. Aku cemas jika suamiku menghiburku, jangan-jangan ia tertarik kepada wanita lain mengingat wajahku yang semakin tidak berbentuk. Kuingat masa pacaran dahulu, ketika aku memutuskan hubungan dengannya sekadar untuk menguji sejauh mana cintanya, membuatnya menderita demam. Mengapa aku ”memutuskan” tali cinta sebagai uji coba, karena kudengar darinya bahwa saudara-saudaranya dan orangtuanya tidak setuju mendengar kami menjalin cinta kasih, karena berbeda suku. Konon, ibunya mengatakan bahwa seorang gadis sedang menunggunya di kampung halaman dan menyuruhnya segera kembali. Nyatanya, ia mencintaiku dan kami menikah. Pesan ibuku kepadaku, juga sebagai nasihat yang kupegang teguh, ialah: Nak, kalau nanti menikah, perlakukan suamimu seperti tuanmu, apa pun pangkat dan jabatanmu. Layani ia di meja makan kalaupun terlambat pulang ke rumah, sediakan makanan untuknya dan duduk di dekatnya. Tunggu ia sampai selesai makan. Perhatikan, jika makan, jangan berikan sisa makanan untuknya. Bila ia belum kembali dan terpaksa kau lebih dahulu makan, atau entah dengan siapa di rumahmu, selalulah pisahkan untuknya. Bila kau bangun tidur, bereskan tempat tidurmu. Jangan sekali-kali biarkan pembantu rumah tangga membenahi tempat tidurmu. Dan itu semua kulakukan dengan penuh perhatian sehingga suamiku merasa selalu diperhatikan. Akankah cintanya akan berkurang karena kini melihat wajahku sangat berbeda? Bengkak sebelah karena daging tumbuh yang nyaris menutupi seluruh kupingku sebelah kanan? Dari hari ke hari suamiku selalu pulang ke rumah tepat waktunya dan selalu duduk di dekatku sambil membelai punggungku. Kuingat, pernah sekali kami berjalan mendaki bukit bersama rombongan. Entah karena licin, aku tergelincir dan segera ditangkap suamiku yang berjalan di belakang dan kemudian membopongku sampai ke atas. Kawan-kawan yang lain yang sesuku dengan suamiku tersenyum-senyum. Kutanyakan kepada suamiku mengapa mereka tersenyum-senyum, seolah-olah ada sesuatu yang menggelikan? Suamiku menjawab bahwa di tengah-tengah suku mereka tidak lazim suami memangku istri di tengah-tengah orang lain. Oh, kalau di tempat sunyi, boleh? jawabku. Untuk menjawab aku, suamiku tidak langsung berkata kepadaku, melainkan kepada kawan serombongan, mengatakan bahwa lebih baik aku menyelamatkan istriku dengan menggendongnya daripada ia cedera dan masuk rumah sakit. Toh saya juga yang rugi, bukan? katanya. Kawan-kawan serombongan tetap saja tersenyum-senyum, sambil mengangguk-angguk. Setahun kemudian aku memeriksakan diri ke rumah sakit khusus kanker dan hasilnya mencengangkan. Menurut pemeriksaan laboratorium, aku divonis stadium tiga. Dokter berulang-ulang memerhatikan gambar hasil potret daging tumbuh di pipiku, hasilnya selalu dinyatakan dengan geleng-geleng kepala. Kami tidak sanggup, katanya. Akarnya telah merambat ke mana-mana. Mereka angkat tangan, padahal dokternya sudah profesor yang terkenal ke mana-mana di bidangnya. Aku bertekad dalam hati, tidak mau mati. Anak-anakku dan suamiku sangat memerlukan kasih sayangku. Aku berdoa dan berdoa kepada Tuhan agar mukjizat diturunkan kepadaku. Dalam keadaan sulit seperti ini, datang surat dari kampung halaman suamiku. Dalam suratnya yang panjang lebar itu, ada sebuah kalimat yang menyentuh hatiku: Barangkali istrimu ada kesalahan kepada Ibunda yang jarang dijenguknya…. Ya, Tuhan! kucoba kutelusuri lubuk hatiku, mungkin ada kesalahan kata, maklum mulutku rica-rica (mengucapkan kata yang pedas), atau kesalahanku kepada saudara-saudara pria dan wanita dari kerabat suamiku. Kurasa tidak ada. Tetapi, apa salahnya kalau aku datang menemui mertua perempuan yang tinggal sendiri dan meminta ampun kepadanya karena jarang kujenguk dan suami selalu terlalu sibuk. Katanya, perilaku demikian juga adalah wujud dari rasa tidak sopan dan tidak tahu ”adat”. Suku suamiku memang keras dengan adatnya. Walaupun dalam keadaan sakit kukatakan kepada suamiku supaya pulang kampung. Ibu mertuaku pun sedang sakit dan pernah kukirim sesuatu kepadanya. Suamiku terharu dan merangkulku sambil bertanya, ”Kau bisa berjalan ke sana?” Kujawab, ya. Apa pun akan kulakukan dengan kesehatan mertua dan kesehatan jiwaku juga. Bahkan, kalau diminta untuk mencium kakinya, aku mau. Sebuah kerinduan yang timbul dalam diriku, kalau aku minta ampun kepada ibu mertua, penyakitnya mungkin akan sembuh dan barangkali Tuhan juga akan mengampuniku dan memberi kesembuhan kepadaku. Dalam keyakinanku, tidak ada yang mustahil bagi-Nya. Dan perjalanan pulang kampung halaman pun dimulai. Di Medan aku terpaksa masuk rumah sakit beberapa hari. Dokter memberikan obat untuk menahan rasa nyeri. Perjalanan pulang ke kampung, seperti kata suamiku, adalah perjalanan sulit yang pertama kali kulakukan. Di kampungku sendiri tidak ada perjalanan sesulit ini. Delapan jam perjalanan! Jalan yang berliku-liku dan menikung, antara gunung dengan lembah, dan jurang yang dalam. Suamiku memelukku sepanjang jalan yang membuat penumpang lain tersipu-sipu, mungkin mereka menganggapku perempuan yang manja. Entahlah. Perjalanan ini benar-benar melelahkan bagiku. Menjelang senja kami tiba. Rumah mertuaku yang cukup besar membuat hatiku lega. Tapi, jangan tanyakan soal kenyamanan untuk mandi dan membuang hajat. Itu di luar pemikiran orang kota. Tetapi, tidak apalah. Aku harus dapat menyesuaikan diri dengan situasi. Ibu mertuaku tersenyum menyambut kedatanganku. Ia tidak bisa berdiri. Duduk pun susah. Segera aku bersimpuh di dekat tempat tidurnya yang beralasan tikar. Kupegang tangannya dan kusapa ia dengan bahasanya (yang kupelajari dari suamiku sebelumnya), yang membuatnya agak kaget. Ia meraba wajahku sambil mengangguk-angguk. Aku memohon maaf kepadanya karena lama tidak pernah menjenguknya. Rupanya, keadaan ibu sudah cukup parah sehingga ia sulit bangun dari tempat tidur. Paginya, aku memasak air panas dan memandikan ibu. Kusuapi ia dengan makanan pagi. Ia mengunyahnya. Wajahnya berseri-seri. Kutanyakan kepada saudara perempuan suamiku apakah selama ini Ibunda mau makan, mereka menjawab, tidak. Rupanya, setiap kali diberi makan, mereka hanya menaruh makanan di dekat ibu dan membiarkannya makan sendiri. Mula-mula ia dapat makan sendiri, tetapi lama-kelamaan ia tidak mampu bangun, dan membiarkan makanan dingin di sampingnya. Kutanyakan mengapa tidak dialas dengan kasur, mereka menjawab bahwa kasurnya sering basah dan akhirnya rusak. Kubeli kasur baru untuknya, dan setiap hari kuberi makan dan kuganti pakaiannya. Seminggu kemudian Ibunda sudah dapat duduk dan nafsu makannya pulih kembali. Pada suatu hari ibu mertuaku mengatakan bahwa ia ingin makan kue dan aku membawakan kue untuknya. Saudara-saudara perempuan suamiku menjadi amat ramah kepadaku, tetapi mereka sering tertawa cekikikan kalau suamiku duduk di sampingku sambil memberi makan ibu. Apalagi kalau suamiku menggandengku di dekat ibu, mereka tertawa tersipu-sipu. Melihat itu, ibuku tidak berkata apa-apa. Kesehatan ibu mertuaku semakin membaik. Sekalipun sibuk, aku dapat tidur dengan nyenyak. Kalau hendak makan, suamiku selalu menungguku, sampai selesai mengurus ibu. Senyum saudara-saudara suamiku, yang lelaki dan perempuan, selalu mengembang setiap kali suamiku duduk di sampingku, atau duduk di tangan kursi yang kududuki. Akhirnya aku memberanikan diri dan bertanya kepada mereka, ”Apa ada yang keliru dengan kami berdua?” Mereka akhirnya menjawab dengan senyum dikulum, ”Kalian suami-istri yang mesra….” Oh, tanpa kami sadari lingkungan kami, kami bersikap seperti di rumah sendiri. Dan itu menggelikan bagi mereka. Tetapi, salah seorang dari saudara perempuan suamiku bercerita di beranda, ketika ibu mertuaku sudah lelah di kamar, katanya: Menurut ayah kita, almarhum, ibu adalah seorang yang keras. Kerasnya bagaikan batu cadas, kata ayah. Kalau ibu mengatakan tidak, ya tidak. Sekalipun gempa bergoyang-goyang, dia tidak akan goyah…. Maksudnya? tanyaku tidak sabaran. Ayah menikah dengan ibu karena dijodohkan orangtua masing-masing. Ibu sendiri tidak menolak pernikahan itu. Pesta meriah diadakan. Semua gembira dan senang. Setelah pernikahan itu, ayahlah yang menjadi tidak senang. Ibu selalu menghindar dari ayah. Bukan satu minggu, dua minggu, bahkan berbulan-bulan. Untung ayah seorang pemuda yang sabar dan penuh dengan pertimbangan. Enam bulan berlalu, ibu selalu menghindari ayah. Lepas bulan keenam, ayah mengajak ibu ke kebun untuk menggarap kebun. Rupanya, di kebun itulah ibu mengenal ayah sebagai suami, dan sejak itu keduanya tidak dapat dipisahkan, siang malam. Dan setiap tahun, anaknya lahir…. Ketika ayah meninggal dunia, bertahun-tahun ibu merasa kehilangan yang amat sangat, yang membuat kesehatannya semakin merosot. Dan, kehadiran kalian berdua membuat semangatnya hidup kembali, kemesraan kalian itulah! Aku menatap suamiku, dan suamiku mengeratkan tangan kirinya di pinggangku, sementara saudara-saudaranya menatap lurus ke depan, entah memandang siapa. Setahun kemudian kuperiksakan penyakitku ke dokter lain di kota lain, sang dokter membaca hasil rontgen, lalu berkata, ”Kita akan operasi,” Dan ternyata, gumpalan daging dan akar-akarnya semua dicabut. Dokter mengatakan semuanya bersih! Wajahku dijahit kembali dengan lapisan dari kulit perutku. Beberapa minggu kemudian suamiku datang dan memelukku. Kutanyakan, ”Apakah kau tetap mencintaiku?” Jawabnya, Tetap! Pelukannya mengingatkan aku kepada Sang Mertua. Bandung, 11 Juni 2008
""Sang Mertua""
Selalu. Pada akhirnya kita akan pulang pada kesendirian. Setelah suami meninggal. Setelah anak-anak memilih rantau sebagai tujuan kehidupan. Dan rumah gadang hanya tinggal sebagai simbol kekokohan yang sebenarnya teramat rapuh dan sunyi. Di sanalah bermukimnya para ibu tua. Dengan kebaya lusuh. Dengan selendang usang. Menyulam waktu yang tak terukur. Menjahit rentang tak terkira. Lengang. Dan sendiri. Tapi hidup, tentu akan terus berjalan. Sebuah jam lama di tonggak rumah gadang menunjukkan pukul delapan malam. Ibu tua itu baru saja selesai berdoa setelah sholat isya. Dengan sedikit tertatih ia berjalan menuju almanak yang tergantung di dinding. Setelah mengamati angka demi angka dalam almanak tersebut, perhatiannya beralih pada sebuah foto keluarga dengan bingkai yang lumayan besar di sisi dinding yang lain. Ibu tua itu mengamati satu persatu foto yang terpampang tersebut. Suaminya. Dan lima orang anaknya. Tiga laki-laki dan dua orang perempuan. Entah mengapa, mereka sama-sama tersenyum saat berfoto. Ibu tua menghela nafas panjang. ”Kesunyian juga akhirnya yang menetaskan rindu. Suara anak-anak. Canda keluarga. Barangkali adalah arus kebahagiaan yang hanyut ke muara. Adakah kesendirian dapat melunasi semua itu?” ibu tua itu bergumam sendiri, lalu berjalan menuju kursi kayu untuk memulai aktivitasnya tiap malam, menjahit. Merenda kain pintu atau taplak meja sebagai perintang waktu sebelum larut mengirimkan kantuk. Sebelum ia benar-benar jenuh dengan rangkak malam yang akhir-akhir ini ia rasa bergerak sangat lamban. Usianya sudah enam puluh lima tahun. Meski wajahnya masih mencerminkan ketegaran, tapi semua itu tidak mampu menghadang tiap lembar rambutnya yang memutih serta kulitnya yang keriput. Semenjak ketiga anaknya yang laki-laki beristri, dan kedua anaknya yang perempuan bersuami dan memilih menetap di rantau, serta semenjak suaminya meninggal, rumah gadang itu mulai sunyi. Hanya Upik, seorang anak perempuan tetangga yang masih kelas enam SD yang menemani kehidupannya menjalani hari-hari. Tak banyak kesulitan memang dalam hidupnya. Selain harta dan tanah pusaka yang banyak menghasilkan seperti kelapa, padi, jagung dan sebagainya, anak-anaknya pun tidak pernah absen untuk mengirimkan uang tiap bulan. Tapi kesunyian dengan apa harus dibayarnya? ”Apa yang dapat dimaknai dari rumah gadang kebesaran. Lengkung luas kelapangan. Tanah, sawah, dan tanaman yang berlimpah. Sementara sekeping jiwa larut dalam lengang…,” sering ia keluhkan itu. Sering perasaan itu mendatangi dan mengganggu ketenangan malam-malamnya. Tiap hari dilalui oleh ibu tua seolah-olah waktu tak ada guna. Bangun pagi-pagi. Setelah sholat subuh dia mulai memasak. Lalu membersihkan rumah. Lalu mencabut-cabut rumput. Lalu menunggu Upik pulang sekolah. Lalu makan. Lalu menjahit. Lalu tidur. Lalu… Sering ia tersenyum sendiri apabila mendengar lantunan tape dari rumah tetangga dengan lirik pantun Minang yang menggelitik: Kalaupun ada batang cumanak. Daunnya banyak yang muda. Kalaupun ada banyak dunsanak. Tapi tak ada tempat beriya. Ya, mereka semua jauh. Rantau lebih memikat mereka ketimbang dusun yang lengang. Gegas kota lebih membuat hidup terasa berdenyut dibanding lengking bangsi  yang merusuh hati. Ibu tua tak sanggup memaksa mereka untuk pulang, untuk menetap di kampung. Apalagi semua anaknya telah memiliki rumah sendiri di rantau. Memiliki keluarga sendiri. ”Mungkin ini yang ibu-ibu lupa. Yang kita lupa. Bahwa suatu saat suami pasti pergi. Anak-anak pergi. Dan kita kembali sendiri!” gumam ibu tua itu kembali tersenyum sendiri. Di jendela, ibu tua menatap jauh ke halaman. Anak-anak bermain lumpur, berlempar-lemparan. Ada yang berkejar layang-layang putus. Di ujungnya, gunung Sago terhampar jelas. Waktu itu pun menyergapnya. Sesuatu yang bernama kenangan. Lembar-lembar di satu kurun yang disebut lampau. Ketika ia mengajak anak-anaknya ke sawah. Berjalan di pematang. Mengantarkan kawa (makanan dan minuman) untuk petani-petani yang mengerjakan sawahnya. Seraya tertawa-tawa mereka akan berebutan menangkap capung-capung merah dan belalang. Mereka bermain ke sungai. Mandi-mandi. Lalu makan bersama-sama dengan para petani. Dengan samba lado dan ikan asin yang dibuatnya di rumah. Lalu mereka pulang setelah senja. Setelah pelangi melengkungi hamparan sawah luas yang menguning. Ah, kenangan! Ibu tua meninggalkan jendela itu. Ia kembali menuju almanak. Matanya tak lepas-lepas dari angka-angka tersebut seolah-olah ada satu harapan yang ingin digenggamnya. Sebentar lagi lebaran. Anak-anaknya akan pulang. Dan tentu bersama suami dan istri mereka serta cucu-cucunya. Kesunyiannya akan pecah. Gumpal lengang yang selama ini menyesak dada akan mencair dan mengalir. Ia harus bersiap untuk menyambut mereka. Ibu tua tersenyum puas. Sangat lepas. ”Upik, seminggu lagi mereka pulang. Tolong peram pisang yang ditebang kemaren. Etek Suni paling suka kolak dicampur lemang!” ”Jangan lupa minta jagung pada Pak Simuh. Pak Adang Kalun pasti minta jagung bakar!” ”Kita nanti akan buat samba lado tanak buat Etek Eti!” ”Oya, Upik. Juga pangek ikan buat Pak Etek Rustam!” ”Pical buat Pak Angah!” Upik kadang bingung. Kadang ucapan-ucapan ibu tua sudah seperti orang meracau. Tapi bocah kecil itu mencoba memahami dengan usianya sendiri, betapa menggunungnya rindu yang menggumpal di diri ibu tua. Dengan patuh ia siapkan apa yang diminta oleh ibu tua. Sementara sang ibu tua, segala sesuatu terhadap tingkah dan lakunya terlihat berlebihan. Beras yang masih ada di tambah. Takut nanti tidak cukup, katanya. Setiap hari ia bersihkan rumah. Debu-debu. Kain pintu ditukar dengan yang baru. Begitu juga dengan gorden dan taplak meja. Halaman dan perkarangan diupahkan untuk membersihkannya. Pagar rumah dicat. Ibu tua terlihat riang dan girang. Sebentar-sebentar ia melihat almanak. Sebentar-sebentar ia tersenyum. Sebentar-sebentar ia beralih melihat foto keluarga. Foto di mana mereka semua sedang tersenyum. ”Sunyi akan pecah dari rumah ini!” ucapnya seakan-akan baru saja memenangkan sebuah pertarungan panjang. Itu terlihat dari wajah keriputnya yang menjelma berseri-seri penuh kesenangan. Jendela rumah gadang. Sebuah bingkai tempat menatap hari dan waktu. Keramain dan kesunyian. Keindahan dan kepahitan. Segala yang bernama masa lampau, hari ini, maupun jelang esok, akan tergambar sebagai sebuah potret. Refleksi dari sebuah perjalanan yang dititahkan oleh Tuhan. Dan setiap pergulirannya akan menjelma menjadi gambar kehidupan. Tapi ibu tua mungkin lupa dengan gerak yang bernama perubahan. Ketika anak-anak, menantu dan cucu-cucu yang ditunggu-tunggunya pulang, ia sama sekali tidak melihat sunyi yang pecah. Tidak menyaksikan lengang yang cair. Tak ada yang mengalir ke muara. Hanya diam yang kejam. Justru yang ditemukannya adalah sebuah siksaan baru yang bernama keasingan. Ia tidak mengerti lagi dengan bahasa anak-anaknya yang telah jauh bertukar. Dengan ucapan-ucapan mereka yang terdengar aneh. Kadang terdengar keras dan tidak sopan. Sikap dan tingkah laku mereka terlihat sangat berjauhan dengan kebiasaan orang-orang di kampung. Mereka telah mengusung kota ke rumah gadang ibu tua. Jantung ibu tua tertusuk. Pedih. Sangat pedih. Ia merasa rindunya telah menghantam kepalanya. Ia ingin menangis. Apalagi ketika mereka lebih memilih makan ke restoran ketimbang mencicipi masakan yang jauh-jauh hari sudah dipersiapkan ibu tua. Ia merasa dirinya limbung dan segera akan rubuh. Matanya berkunang-kunang. Panas. Di jendela, sehari setelah anak-anak, menantu dan cucunya kembali ke kota, ibu tua tertegun menatap jauh ke halaman. Di belakangnya Upik diam tak berkata-kata. Dendang dari tape tetangga tak terasa mengiringi tetes tangis ibu tua yang titik menimpa selendang usangnya: Kalau dipikir-pikir benar. Luka hati jika tambah parah. Rendahlah ngarai dipandangi. Sebab selarut selama ini. Kalian tau apa yang membuat sedih. Dikira kalian datang mengobati. Berharap luka kan sembuh. Mengapa asam kalian siramkan. Tak ada lagi yang sesakit ini. Bila tak ingat Tuhan. Tentu lebih baik memilih mati. Ibu tua mencoba tersenyum mendengar dendang tersebut. Dihapusnya airmata. Lalu menatap ke arah Upik. ”Upik, ketuaan adalah kesunyian. Serupa usia. Atau mungkin waktu yang juga sudah tua. Pada akhirnya kita memang tak akan dapat mengelak dari kesendirian. Rindu hanyalah sebatas keinginan. Apa pun selebihnya adalah milik Tuhan!” ucap ibu tua itu. Lalu menutup jendela. Dan senja pun turun di kampung itu. Payakumbuh, September 2008
""Jendela Tua""
Gelgel meringkuk tak berdaya. Darah terus-menerus mengalir dari paha kiri dan betis kanannya. Seluruh wajahnya memar, bahkan nyaris bonyok. Segerombolan tentara tak berusaha menolong, malah mempermainkannya bagai seonggok sampah bau yang pantas ditinju dan ditendang. Setiap saat kawanan tentara itu mengambil kesempatan untuk menonjok wajahnya. Seorang tentara muda berbadan kurus bahkan memukul kepala Gelgel dengan popor senapan. Seketika darah segar menyembur… Gelgel hanya diam bagai sekerat daging beku. Ini tuduhan dan siksaan kesekian yang ia terima dari para tentara. Dalam setiap sesi interogasi para tentara selalu meneriakkan pertanyaan yang sama, ”Kamu anak PKI tak tahu diri. Bapakmu yang membunuh tentara dan mencuri senjata. Di mana kamu sembunyikan?” Sebelum mulut Gelgel terbuka gagang pistol menghantamnya. Berdarah-darah sudah bukan peristiwa aneh. ”Di mana kamu sembunyikan? Ayo jawab!!” Plok-plok-plok, tiga kali pipi Gelgel ditempeleng. Itu termasuk siksaan fisik paling ringan. Aku membaca peristiwa itu dalam sebuah catatan tulisan tangan yang dibuat Ayah pada masa-masa akhirnya di penjara. Ia berhasil menyelundupkan keluar penjara lewat seorang kerabat yang membesuk sembari mengantarkan pisang goreng kesukaan Ayah. Sayangnya dalam catatan itu sama sekali tidak dituliskan mengapa Ayah sampai dijebloskan ke dalam penjara. Seluruh kerabat sampai kini pun tak mengerti, mengapa Ayah, yang pekerjaannya sewaktu peristiwa pembantaian besar-besaran terjadi bekerja sebagai tukang pos, diciduk. Lewat Ibu aku hanya dapat sepotong penjelasan, bahwa Ayah dibawa orang-orang berseragam militer tengah malam setelah berdoa. Tiga bulan kemudian baru muncul pemberitahuan dari instansi militer, Ayah ditahan di penjara Kota. ”Untuk apa bertanya tentang kepahitan, terima saja, itu sudah 43 tahun seusia kamu sekarang…,” kata Ibu saat aku pulang kampung. Aku memang sudah lama tinggal di Jakarta bersama keluarga. Sementara Ibu hanya tinggal bersama seorang adikku di kampung, tiga adikku yang lain tinggal tersebar di beberapa kota lain. Minggu pagi, aku iseng membuka-buka rak buku yang sudah bubukan di sana-sini, bahkan beberapa buku sudah berbau apak. Di antara lepitan rak, berhasil kutemukan album foto-foto tua keluarga kami. Ayah sekitar awal-awal tahun 1960-an masih ganteng, badannya tegap, meski rona kebotakan sudah mulai tampak di kepalanya. Mungkin karena pekerjaannya setiap hari mengayuh sepeda untuk mengantarkan surat, seluruh tubuh Ayah terlihat kuat, meski ia agak kurus. Ibu selalu berkebaya, bahkan sampai sekarang. Pernah kukirim beberapa pakaian sehari-hari untuk sekadar ganti saat-saat ia jualan di pasar. ”Kebaya saja sudah cukup. Ini luwes. Bisa untuk jualan, kundangan, atau tidur juga,” kata Ibu lewat telepon. Pakaian yang kukirim itu kemudian ia berikan kepada beberapa sepupu perempuanku. Catatan Ayah hanya sedikit menyisakan tanda tentang dirinya, terutama ketika ia menuliskan, ”Saya alami hal yang sama di sini. Ayah Gelgel seseorang yang saya kenal, lantaran setiap pekan saya mengantarkan surat untuknya. Ia bekas orang pergerakan dulu. Penjara Kota, 10 Maret 1966.” Dari buku-buku yang kubaca, pembantaian orang-orang yang dituduh PKI di kota kami dimulai pada akhir bulan November 1965. Itu berarti kira-kira empat bulan setelah dijebloskan ke penjara tanpa diadili, Ayah membuat catatan secara sembunyi-sembunyi. Berbekal keterangan-keterangan itulah aku melacak rumah Gelgel di Desa Mertha Asri, letaknya kira-kira 30 kilometer di tenggara Kota. Meski sudah lebih dari 40 tahun peristiwa itu terjadi, nyaris tak seorang pun berani memberi petunjuk, apalagi mengantarkan aku menuju rumah Gelgel. Beruntung seorang petani yang sedang menghalau burung dari padi-padinya mau sekadar berbagi informasi. ”Sebaiknya Anda tanya Kepala Desa. Rumahnya di tikungan dekat pohon beringin itu,” katanya. ”Apa Bapak kenal Gelgel atau ayahnya?” ”Gelgel seperti sebagian besar anak di sini, semua kehilangan ayah.” ”Maksud Bapak?” ”Bukankah itu yang Anda butuhkan?” Ketika aku mengajukan beberapa pertanyaan lagi, petani tua itu hanya menunjuk ke arah pohon beringin di pinggiran desa. Setelah berpamitan, aku menyusur jalan tanah dan melewati sawah-sawah petani yang hijau. Kupikir begitu asri desa ini, sesuai dengan namanya. Saat melintasi bendungan kecil, seseorang menegurku. Ia berdiri di seberang kali kecil sembari memanggul cangkul. ”Kamu Tri, bukan?” ”Anda siapa?” ”Saya Sutama, teman sekolah dulu. Kok sampai nyasar ke desa?” Jujur aku belum ingat sepenuhnya siapa lelaki yang kelihatan lebih tua dari usianya ini. Melihat gelagatku yang belum yakin sepenuhnya siapa dirinya, lagi-lagi lelaki itu berkata, ”Aku Sutama, teman sekelas bersama Suama, adik tiriku. Waktu SD dulu, ingat ndak? Kamu benar Tri, kan?” ”Ya, saya memang Tri, bagaimana bisa mengenali saya?” ”Luka di jidatmu bekas lima jahitan. Itu cedera saat main bola dekat pelabuhan tua itu kan?” Bukan main orang ini, pikirku. Ia masih saja hafal ciri-ciri di jidatku. ”Musibah itu kan terjadi setelah kamu bertabrakan dengan Gelgel, kan?” Tiba-tiba jantungku berdegup. Darah seperti mengucur deras di kepalaku. ”Gelgel? Apakah yang kamu maksud Gelgel yang di penjara itu?” ”Tentu tidak. Ah, masa lupa dengan kawan sendiri?” Kupikir ini kesempatan yang baik untuk mengutarakan tujuanku datang ke Mertha Asri ini. ”Aku kemari memang mencari rumah Gelgel.” ”Gelgel yang mana Tri? Semua Gelgel di desaku sudah meninggal. Tepatnya tak jelas nasibnya.” ”Maksudmu?” ”Ya tak ada lagi yang bernama Gelgel.” ”Memang ada berapa orang yang bernama Gelgel?” ”Setahuku ada empat.” ”Keluarga mereka?” ”Gelgel yang kamu maksud?” ”Yang rumahnya di tikungan dekat pohon beringin,” ujarku yakin. ”Ayo ke rumahku.” Benar seperti dugaanku, Sutama pun tak beda dengan warga desa lain. Begitu tahu keinginanku serius mengungkit soal orang bernama Gelgel yang rumahnya di dekat pohon beringin ia berusaha mengalihkan persoalan. ”Kudengar kamu tinggal di Jakarta,” ujar Sutama. ”Ya sejak lima tahun terakhir.” ”Sebelumnya di Malang kan?” Aitt, dari mana ia tahu riwayat kepindahanku di beberapa kota. ”Ya, aku tahu dari ibumu. Kami pernah bertemu di pasar desa. Sudah lama. Ah dia guru yang baik,” cepat-cepat kata Sutama. Dengan mudah ia menebak air mukaku. Matahari mulai redup. Sinarnya yang merah berpendar di bulir-bulir padi, yang bagai emas tergantung di antara hijau daun. Di selatan Desa Mertha Asri terlihat gugusan rawa yang dipenuhi pohon buyuk, sejenis rumbia, yang menjulur sampai ke Desa Awen. Di pucuk-pucuk daun buyuk burung pipit biasanya membangun sarangnya yang bergelantungan anggun. Di bawah rerimbunan pohon terdapat kubangan-kubangan yang dipenuhi air jika sedang pasang naik. Aku pernah bersama Sutama, Suama, Wastika, Suri, Korni, Astudi, Yasa, dan beberapa kawan lain semasa sekolah dasar, menjaring udang atau mengorek kerang di kubangan-kubangan itu. Gelgel? Aku tak ingat benar, apakah Gelgel ikut dalam rombongan kami. Desa yang damai, pikirku. Tetapi kata-kata petani tua di ujung desa sungguh-sungguh menghantuiku. Samar-samar aku ingat sewaktu sekolah dasar dahulu, jika kami sedang berolok-olok, kawan-kawan dari Desa Mertha Asri yang letaknya dipisahkan Sungai Ijo Gading dengan sekolah kami selalu diperolok sebagai anak yatim. Setelah beranjak remaja aku baru mengerti kalau Sutama, Suama, Wastika, Suri, Korni, Astudi, dan Yasa, juga Gelgel, serta semua anak seusiaku di desa itu, tidak memiliki ayah. Ayah mereka pada suatu malam pada awal tahun 1966 diculik dan dibawa pergi bersama deru suara truk militer. Tak ada yang kembali. ”Kenapa Gelgel ikut ditahan di tangsi militer,” sergahku beberapa waktu setelah kami duduk di beranda rumah Sutama. Sutama tampak kaget. Mungkin ia heran mengapa baru belakangan ini aku getol mencari tahu seputar pembantaian besar-besaran di Bali Barat, yang justru terjadi berselang beberapa bulan setelah pembunuhan para jenderal di Jakarta. ”Apa pedulimu pada Gelgel? Sudah kubilang semua Gelgel di desaku ini sudah mati!” ”Termasuk Gelgel teman sekolah kita?” ”Ya.” ”Kenapa? Dia kan seusia kita, bukan?” ”Tidak, kamu salah. Ada cerita panjang…,” kata Sutama membuatku penasaran. Tetapi sebelum aku bertanya lagi, ia bergegas melanjutkan, ”Apa yang membuatmu datang kemari, Tri?” ”Aku menemukan catatan Ayahku soal seseorang bernama Gelgel yang disiksa habis oleh militer. Tetapi, Ayah sama sekali tidak menyinggung mengapa ia juga turut ditangkap.” ”Jadi kamu melacak mengapa ayahmu ditangkap? Masih untung ada catatan. Kami di sini kehilangan segala-galanya. Jika aku menjadi yatim karena ayahku mati lantaran digerogoti penyakit, mungkin lebih ikhlas. Tetapi, kami sampai kini terluka. Petani desa seperti ayah kami telah menjadi korban pusaran perebutan kekuasaan yang menjijikkan…” ”Maafkan aku, telah mengingatkanmu soal itu,” kataku dengan maksud mendinginkan percakapan. Namun, Sutama justru semakin mendidih. ”Kamu tahu, ayah Ketut Gelgel mungkin satu-satunya orang yang lolos….” ”Maksudmu ia berhasil kabur dan selamat.” ”Jauh dari itu. Pak Gede, ayah Ketut Gelgel, cerita tetua di sini, memang meloloskan diri saat tentara menggerebek desa kami, tetapi sampai kini tak jelas nasibnya. Justru Ketut Gelgel yang harus menanggung itu semua….” ”Tetapi dia kan seumuran kita? Masih bayi saat peristiwa itu terjadi.” ”Itulah kejahatan sejatinya,” kata Sutama bernada tegas dan geram. ”Itu pula yang membuat kami memilih jadi petani di sini.” ”Jadi Gelgel di mana sekarang?” ”Suatu pagi kami menemukan mayatnya mengambang di Ijo Gading. Lalu polisi datang dan mengatakan ia menceburkan diri saat dikejar aparat karena sudah lama menjadi target operasi. Katanya pula Gelgel residivis alias perampok bersenjata kelas kakap.” ”Gelgel yang kamu maksud?” ”Tentu saja Gelgel sahabat kita.” ”Siapa Gelgel dalam catatan ayahku?” ”Mungkin ayahnya.” ”Maksudmu?” ”Kepala desa kami, Ketut Gelgel.” ”Ayah Gelgel?” ”Ya. Namanya juga Gelgel.” Lalu kubayangkan Ketut Gelgel dalam catatan ayah bagai seonggok daging beku terpuruk di sudut sel yang dingin. Luka menganga di sekujur tubuhnya dikerubuti lalat bangkai. Ia dipaksa mengakui sesuatu yang tak pernah terbayangkan dalam hidupnya. Aku tahu kemudian dari buku, pembunuhan dan pembakaran tangsi tentara dan pencurian senjata hanyalah dalih untuk menebar kebencian. Kematian Gelgel, sahabat masa kecilku, juga penuh ketidakjelasan. Ia pasti korban konspirasi orde yang ingin menghapus jejak kejahatannya sendiri. Diam-diam kubayangkan pula Ayah mengalami nasib tragis seperti orang-orang dari Desa Mertha Asri, meringkuk pasrah karena tak berdaya dan mati bagai seonggok daging busuk di dalam terali besi yang beku. Yogyakarta, Oktober 2008
""Seonggok Daging Beku""
Rekan-rekan sekerjanya menyebut namanya Syahbudin Tip. Syahbudin tidak keberatan dengan nama barunya itu. Bahkan, ia lebih menyukai nama Syahbudin Tip daripada Syahbudin Geming, namanya yang sebenarnya. Rekan-rekannya memberi nama tersebut bukan tanpa alasan. Di restoran tempat mereka bekerja, hanya Syahbudin yang paling sering menerima tip dari para pengunjung. Dalam soal tip ini, Syahbudin-lah yang paling beruntung jika dibandingkan dengan teman-temannya. Mungkin, keberuntungan itu diperolehnya karena para pengunjung restoran terharu melihat wajahnya yang memelas itu. Sejak lahir wajahnya memang seperti itu. Karena hanya Syahbudin yang menerima sebagian besar tip dari pelanggan, pengelola restoran membuat peraturan agar tip yang diterima setiap petugas dimasukkan ke kotak kaca yang tersedia di samping kasir. Setiap hari, pada saat restoran akan ditutup semua uang tip tersebut akan dibagi rata dengan semua petugas restoran. Langkah ini dianggap paling adil untuk setiap karyawan. Syahbudin merasa dirugikan oleh peraturan itu. Ia berpendapat, rezeki setiap orang berbeda, karena itu tidak dapat disamaratakan. Dengan adanya peraturan itu, tip yang dibawa Syahbudin pulang menjadi jauh berkurang daripada sebelumnya. Karena merasa diperlakukan tidak adil, ia berhenti bekerja di restoran itu dan pindah ke restoran lain. Di restoran baru tempatnya bekerja ternyata nasibnya lebih buruk. Ia sama sekali tidak pernah menerima tip dari pengunjung, begitu juga teman-temannya. Karena itu ia bertanya kepada seorang rekan sekerjanya apakah di restoran tersebut tidak boleh menerima tip dari pelanggan. ”Bukan tidak boleh,” ujar temannya. ”Yang dibayar pelanggan kepada restoran sudah termasuk 15% tax and service atau pajak dan pelayanan. Karena itu jarang sekali pelanggan memberikan tip lagi kepada pelayan. Kalaupun ada yang meninggalkan tip di piring pembayaran, paling-paling jumlahnya ratusan rupiah dalam bentuk uang logam.” Mendengar penjelasan tersebut Syahbudin termangu. Bagaimana dengan restoran tempatnya bekerja sebelum di tempat baru ini? Mungkin pajak dan pelayanan tidak termasuk yang harus dibayar pelanggan, sehingga mereka masih dapat bermurah hati memberikan tip kepada pelayan restoran. Sadar bahwa dengan mengandalkan gaji saja, ia tidak akan dapat memenuhi kebutuhan keluarganya Syahbudin kembali berpikir, ia harus mencari pekerjaan lain agar anaknya, Kadir, yang telah duduk di kelas 4 Sekolah Dasar tetap dapat bersekolah dan agar anaknya kedua tetap dapat memperoleh makanan bergizi dan susu formula tambahan. Kebetulan dalam kondisi bingung seperti itu, pamannya bertanya kepadanya apakah ia berani mengelola sebuah hotel kecil. ”Losmen?” Syahbudin bertanya. ”Bisa juga dikatakan begitu,” sahut pamannya. ”Tapi orang sekarang lebih suka menyebutnya hotel kelas Melati. Nah, yang ditawarkan kepadamu ini adalah hotel Melati Satu. Kalau kau sukses, kelas hotelmu akan naik menjadi Melati Dua. Jika kualitas hotelmu semakin baik, kelasnya akan naik menjadi Melati Tiga. Begitulah seterusnya, sehingga bukan tidak mungkin hotelmu akan menjadi hotel berbintang Satu, Dua atau Tiga, bahkan mungkin Empat atau Lima.” ”Hotel ini milik paman sendiri?” ”Bukan, milik mertuaku. Pemilik lama menjualnya karena ingin mengalihkan usahanya ke bisnis lain.” Ini benar-benar menantang, pikir Syahbudin. Kalau saja ia dulu jadi melanjutkan pendidikannya ke Jurusan Manajemen di Akademi Perhotelan, pasti tawaran ini akan segera ditangkapnya. Sayangnya, pendidikan Syahbudin hanya sampai SMIP, Sekolah Menengah Industri Pariwisata. Tapi, mengapa tidak, pikirnya. Tiga tahun di SMIP telah membuatnya banyak tahu tentang perhotelan. Apalagi kelasnya hanya hotel Melati Satu. Karena itu, tanpa menunggu lebih lama ia segera menyambut tawaran pamannya. ”Saya berani, Paman.” ”Sungguh?” ”Sungguh!” ”Oke. Besok temui Paman di kantor.” Mengelola hotel kelas Melati Satu ternyata menyenangkan Syahbudin. Ia merasa martabatnya terangkat, selain kerjanya lebih ringan. Ia tidak perlu lagi membungkuk-bungkuk menghadapi pelanggan. Ia hanya perlu menyapa mereka dengan ramah. Karena jumlah kamarnya hanya 20 dan tarifnya murah, hotelnya selalu penuh dengan penghuni. Setiap hari ia hadir di kantornya yaitu sebuah ruangan berukuran 3 x 3 meter. Sebuah kamar lain berukuran berukuran 4 x 4 meter dihuni petugas house keeping, room service, dan laundry. Semua nama bagian tersebut tertulis dalam bahasa Inggris dan nomor teleponnya ditulis di stiker di rak tempat telepon di sebelah ranjang setiap kamar. Tugas resepsionis, bagian reservasi dan kasir dipegang seorang petugas yang duduk di ruang penerimaan tamu. Tiga karyawan lainnya bekerja di coffee shop yang menyediakan sarapan pagi gratis kepada para tamu, di samping menyediakan makan siang dan makan malam yang tidak gratis Ditambah dengan satpam tiga orang, jumlah seluruh karyawan hotel hanya 13 orang termasuk Syahbudin Tip. Walaupun Angsana (itulah nama hotel itu) hanya sebuah hotel kecil kelas Melati Satu, setiap tamu dapat menggunakan kartu kredit ketika melakukan pembayaran. Bahkan, di mata Syahbudin, tamu yang membayar biaya hotelnya dengan kartu kredit jauh lebih terhormat daripada tamu yang membayar dengan uang tunai. Sebagai manajer hotel Syahbudin hampir setiap saat membuka telinganya lebar-lebar untuk mendapat informasi yang mungkin ada gunanya untuk kepentingan hotelnya. Dari seorang pengusaha yang lebih suka tinggal di hotel kelas Melati daripada di hotel berbintang lima, ia mengetahui bahwa di Amerika, pengelola apartemen tidak mau menyewakan apartemennya kepada orang yang tidak memiliki kartu kredit. Tanpa kartu kredit seseorang dapat dianggap tidak bankable. Dari pengusaha itu pulalah ia mengenal kata Inggris terakhir ini. Sebelum meninggalkan hotelnya pengusaha tersebut memberikan stiker logo kartu kredit Carte Blanche kepada Syahbudin. Menurut si pengusaha, kartu kredit yang satu ini sangat prestisius—kata ini juga baru pertama kali didengar Syahbudin—karena hanya orang-orang kaya yang memilikinya di Amerika. Kelasnya, kira-kira samalah dengan kartu kredit platinum yang kini banyak dimiliki orang Indonesia. Karena itu, untuk memperlihatkan bahwa hotelnya bukan hotel sembarangan, Syahbudin melekatkan stiker logo tersebut di kaca kaunter resepsionis, sehingga setiap tamu dapat melihatnya. ”Ada orang yang menggunakan kartu itu di sini?” seorang tamu yang baru keluar dari coffee shop, bertanya kepada resepsionis. ”Belum, Pak,” sahut resepsionis. Tamu yang dulu kuliah di Amerika dan pernah melihat kartu itu tetapi belum pernah memilikinya menggelengkan kepalanya. Akal sehatnya tidak dapat menerima bahwa pemilik kartu Carte Blanche mau menginap di hotel Melati Satu seperti itu. Dari balik dinding kaca coffee shop Syahbudin menyaksikan percakapan resepsionis dan tamu tersebut, walaupun ia tidak mendengar apa yang mereka bicarakan. Sebenarnya, Syahbudin telah memperhatikan tamu itu sejak berada di coffee shop ketika ia menyantap sarapan pagi. Syahbudin terkejut ketika melihat tamu itu meninggalkan selembar uang kertas di mejanya pada saat ia berdiri dari kursinya dan melangkah keluar. Lembaran lima ribu rupiah itu diambil Syahbudin Tip. Sebelumnya, tidak pernah seorang tamu pun meninggalkan tip seperti itu setelah sarapan pagi, karena sarapan pagi itu diberikan gratis seperti di hotel-hotel lainnya. Pada saat itulah Syahbudin Tip kembali berpikir tentang tip yang dapat diperoleh dari para tamu. Ia sadar petugas room service langsung berurusan dengan tamu hotel, selain laundry yang diantarkan petugas setelah tamu kembali ke kamarnya. Bahkan, petugas house keeping pun dapat memperoleh tip jika bertemu dengan tamu yang kamarnya dibersihkan. Syahbudin yang tetap menggunakan kata-kata Inggris untuk bagian-bagian yang mendukung operasi hotelnya merasa peluangnya untuk mengumpulkan tip dan membaginya setiap hari untuk karyawan hotel bukanlah hal yang mustahil. Bahkan, kelas hotelnya pun mungkin segera akan meningkat menjadi Hotel Melati Dua, karena ia memberikan pelayanan yang memuaskan kepada semua tamunya. Ia merasa senang karena akan dapat memberikan tambahan pendapatan kepada karyawannya. Rasa senang tersebut tak bertahan lama. Syahbudin Tip ternyata malang. Harapannya untuk berbuat baik seperti itu buyar, karena tidak seorang pun dari karyawannya mengaku pernah menerima tip. Dan Syahbudin tidak mungkin memaksa mereka untuk mengaku telah menerima tip, karena buktinya tidak ada. Tetapi Syahbudin yakin, banyak tamunya yang memberikan tip, baik ketika sarapan pagi, makan siang atau makan malam. Juga kepada petugas room service, laundry dan room service. Ia yakin, kedua pelayan coffee shop sering menerima tip ketika melayani tamu, sedangkan kasir mendapat bagian juga dari tip yang diterima kedua pelayan itu. Artinya, uang tip yang seharusnya dinikmati semua karyawan hotel, hanya diperoleh ketiga petugas coffee shop tersebut. Ini jelas tidak adil, ujar Syahbudin dalam hati. Uang tip seharusnya dibagi antara semua karyawan bukan hanya milik ketiga petugas coffee shop saja. Syahbudin mencari akal bagaimana agar itu dapat terwujud. Ketika memikirkan hal itulah masa lalu Syahbudin singgah di kepalanya. Dulu ia berhenti bekerja hanya karena merasa rezekinya dibagi dengan karyawan lain, dan ia sendiri tidak pernah berpikir soal adil dan tidak adil. Yang memikirkan hal itu justru pemilik restoran. Mengapa sekarang ia harus tampil menyuarakan keadilan yang dulu pernah ditolaknya? Sadar akan hal itu Syahbudin tersenyum. Itulah kepentingan, katanya kepada dirinya. Bila kepentingan kita terusik kita marah, bingung, kesal dan memprotes, tetapi kalau kepentingan orang lain terabaikan kita diam saja dan pura-pura tidak tahu. Di luar keinginannya Syahbudin menertawakan dirinya sendiri, karena ia adalah orang yang termasuk ke dalam kelompok kepentingan seperti itu. Ah, aku harus mengubah namaku lagi, pikirnya. Kalau dulu yang memberi kata tambahan Tip kepada namaku adalah teman-temanku, sekarang aku sendirilah yang akan memberi nama tambahan itu. Sejak itu pula, Syahbudin menyebut namanya Syahbudin Adil. Jakarta, 15 September 2008
""Apalah Nama""
Sembilan puluh satu dia sekarang. Yang dia rencanakan untuk hidupnya, semua sudah tercapai. Yang tak pernah dia bayangkan pun malah sudah dia nikmati. Sebuah kuburan sudah dia persiapkan di atas bukit. Dan dia membayangkan, patungnya, patung setengah badan, akan diletakkan hati-hati di atas penampang marmer Italia yang dikirimkan anaknya dari Turino. Patung itu akan ditempatkan hanya selangkah dari gerbang kuburannya. Dirinya, yang diabadikan dalam batu berwarna perak itu, akan kelihatan seperti hidup, melayangkan tatapan abadi mensyukuri lembah, memuliakan teluk, dan seakan-akan tak pernah berhenti memuja pulau yang membentang di mulut teluk, nun di sana. Pulau yang tercipta untuk menjinakkan gempuran obak Samudra Hindia. Setinggi apa pun. Hatta sedahsyat tsunami. Karena itulah, kota kecil yang menyusu di teluk itu akan abadi. Dia hanya akan lebur kalau seluruh daratan sudah binasa. Sehari dalam seminggu, dia menapaki kaki bukit, berdiri dengan kaki terpacak kuat-kuat di atas lahan di mana tubuhnya suatu ketika akan diabadikan. Dia bayangkan dirinya yang sudah jadi batu, dengan mata yang tiada kenal lelah, menatap jauh untuk memastikan kaki langit masih menjadi penyekat samudra, pulau masih berjaga-jaga, gelombang yang membantai pantai masih berdebur, dan kota di bawah sana tetaplah sebuah pusat kehidupan yang merangsang dan heroik, walau kecil. ”Amang oi, Amang,” Emak, aduhai Emak oi.., desis suaranya bertarung dengan angin yang menggerbang-gerbangkan janggutnya. ”Sudah kutatap New York dari Twin Towers. Telah kulihat deretan gunung disaput es yang tak pernah cair dari penginapan tertinggi di Paro, Bhutan. Tapi, yang di bawah hidungku ini… Ah… tiada taranya. Alangkah elok pemandangan dari sini,” Ompung yang berdiri dengan kokoh di atas lututnya, di pucuk bukit kematiannya itu, berkusip meyakinkan bukan siapa-siapa kecuali dirinya sendiri. Perlahan dia menarik napas, tetapi dalam. Bersama tarikan napas itu dia menelan keinginannya yang terakhir. Hatinya begitu menggumpal. Seakan-akan minggu depan dia sudah akan mati. Karena itu, dengan jalan apa pun dia ingin patungnya sudah diletakkan persis di mana dia berdiri sekarang, dengan mata nanap menikmati panorama alam leluhurnya. Di dalam khayalnya, dia bayangkan, kalau dia sudah menemukan ajal, rohnya akan bersemayam di tubuh si patung. Dengan begitu, mata dan hatinya takkan lekang-lekang dari hamparan daratan di bawah, kota kecil di mana dia lahir, teluk dan ombak tempatnya bercengkerama di masa kecil, juga pulau yang jadi juru selamat. Bukan karena matahari sudah sepenggalah, makanya sekarang, dengan gontai dia menyeret langkah menuruni bukit itu. Ada yang mengganjal di hatinya. ”Rosa…,” dia menumpahkan setumpuk kekecewaan pada yang punya nama. ”Kusembah kau, kerjakanlah patungku itu. Tolonglah. Ini permintaanku yang terakhir. Tunjukkanlah bahwa kau memang mencintai aku, Amangmu ini. Aku mau melihat patung buatanmu itu sebelum aku mati. Anakku manis, mengapa tak kau kerjakan juga…?” Bujukan itu dia ulangi, dan ulangi lagi, pada setiap langkah kakinya mengikuti anak tangga menuruni pinggang bukit. Kerasnya batu yang dia pijak, lebih keras lagi hati anaknya itu. Pada pertemuan terakhir, di meja makan, Rosa tetap menolak mengerjakan patung sang ayah. ”Papi tidak adil padaku. Jauh-jauh aku disekolahkan. Apa yang kudapat dari sekolah, dari pengalamanku, juga penghayatanku, hanya disia-siakan.” Orang baik-baik barangkali menganggap kata-kata itu sebagai pemberontakan anak terhadap ayah. Jangan begitu. Lihatlah tadi, bukankah Rosa berdiri dan mengecup pipi ayahnya sebelum menyatakan penolakan. Bibir sang ayah sedikit menyungging dibuat kecupan itu. Rupanya, dia menikmati cinta anak perempuannya itu yang singgah dengan hangat di pipinya. Sehangat air teluk. ”Tidak memaksa, Rosa. Jangan begitu kau. Jangan salah sangka,” pojok bibirnya merekah. ”Aku hanya ingin yang kau kerjakan tak ada yang salah. Begitu melihat patung itu, ’kan kau juga yang akan dipuji orang nanti.” ”Aku tak bisa mengerti, dan tak bisa menerima cara Papi memahami penghargaan orang pada Papi. Bagaimana aku membuat patung itu, bagaimana hasilnya, begitulah aku menghargai Papi. Itu bukan karya Papi. Tapi, begitulah ungkapanku memuji hidup Papi,” Rosa merapat ke pangkuan ayahnya. ”Pujian tak pernah salah, Pi,” mmmh… sekuntum kecupan didaratkan Rosa lagi di pipi ayahnya. ”Maksudku jangan sampai ada raut muka yang keliru. Jangan sampai ada jurai helai janggutku yang dikacaukan angin. ’Kan kau tahu apa arti sebuah garis pada sebuah patung. Sekecil apa pun dia bisa memberikan gambaran buruk pada sifat seseorang.” Rosa bangkit mengambil asbak seraya menenteng sebatang rokok di antara jarinya. Jari yang sama sekali tidak romantis, kehalusannya habis dikikis semen, baja antikarat, perunggu, atau serat gelas. Saat anaknya membelakanginya itulah Ompung, seperti seekor induk ayam melihat cacing, dengan ligat mengais tissue di mana terlukis potret sang ayah dalam guratan spidol. Duduk kembali di kursinya, Rosa sedikit pun tidak menunjukkan gelagat kehilangan kertas di mana dia tadi menarik-narik garis dengan cepat untuk membentuk wajah ayahnya. Dia tahu kertas itu pasti sudah disembunyikan ayahnya. Dijepitnya di antara dua pahanya untuk kemudian nanti dia simpan serapi-rapinya di sebuah brankas di dalam kamar tidurnya. Itu adalah tissue kedua puluh tujuh berisi sketsa sang ayah. Cerita maminya, tengah malam, tissue-tissue itu diterawang si ayah helai demi helai sampai dia tertidur lelap dibuatnya. Ompung seperti mau mencebur ke dalam hati anaknya itu, dia tatap matanya, dan ungkapnya: ”Puluhan sketsa yang sudah kau buat mengenai diriku, tak satu pun yang meleset. Ketekunan, bukan keberanian, itulah aku. Aku melihat itu dalam semua sketsamu. Janggutku hanya diwakili dua garis tipis, tapi justru garis itulah yang memperkuat kepribadianku. Dan, sekalipun tidak ada tarikan garis yang tegas, tahi lalat di daguku terasa selalu hadir,” dia berhenti, mendehem. ”Tapi, itu cuma sketsa. Patung ’kan lain lagi soalnya. Apalah salahnya, kalau kau mulai mengerjakannya sekarang. Aku yang punya badan. Aku yang tahu. Berilah aku kesempatan bersaksi atas diriku sendiri.” Rosa diam seribu bahasa, membiarkan rokok terus menganggur, tetapi berasap di antara dua jarinya. Dia sudah tak mau mengulang, dan mengulang lagi alasannya menolak keinginan sang ayah untuk memberikan otoritas kebenaran pada karyanya. Buat dia penghargaan adalah haknya, dengan cara bagaimanapun. Tidak diperlukan pembenaran atau koreksi. Berulang kali ayahnya meminta supaya patung yang dia kerjakan, sebelum dinyatakan selesai, ditilik dulu olehnya. Tapi, Rosa menampik. Kalau hati anak perempuan itu adalah hati seorang pelaut yang mudah terbakar, maka Rosa akan menutup perdebatan dengan ayahnya itu dengan hentakan, ”Sip babam!” Tutup mulutmu! Tapi, itu tak mungkin dia lakukan. Itu sama saja dengan memenggal air. Mana mungkin memutuskan hubungan lantaran perbedaan pandangan. Apalagi ayah sendiri. Sebutkanlah apa yang tidak dilakukan orangtua itu dalam membesarkan anak perempuannya itu. Sama seperti kesembilan saudaranya, Rosa juga disekolahkan ke Eropa. Sebagai anak paling bungsu, dia diberikan kesempatan menyaksikan mural realis Siqueiros, termasuk lukisan termasyhur ”Kematian dan pemakaman Cain,” yang menggambarkan prosesi kematian petarung yang mendebarkan itu. Juga belajar seni rupa beberapa tahun di Meksiko. Setelah perjalanan terakhir ke puncak bukit hari ini. Setelah membujuk Rosa selama tiga tahun dan gagal. Setelah sketsa di atas tissue yang kedua puluh tujuh itu, si pematung tetap tak terbengkokkan, tibalah saatnya Ompung menempuh jalannya sendiri. Dia temui istrinya. ”Sudah ribuan kali kubujuk si Rosa, dia tetap tak sudi memulai pengerjaan patungku. Aku dapat akal. Tapi, jangan kau bocorkan, da! Kau bantulah aku. Ini permintaanku yang penghabisan.” Istrinya bingung. Apa yang bisa dia lakukan? Enam puluh enam tahun menyertai Ompung, dia tak pernah mengecewakan suaminya itu. ”Berbohong untuk kebaikan. Untukku. Patungku….” ”Bah, berbohong…. Kapan kau pernah mengajari aku berbohong?” ”Ini permintaanku yang terakhir. Kusembah kau, tolonglah.” Keesokan harinya, manakala matahari belum marak di kaki langit, Ompung, menggunakan perahu layarnya sendiri bertolak ke pulau. Ditemani pembantu yang bekerja dengannya sejak puluhan tahun yang silam. Pembantu itu diperintahkannya pulang dan hanya boleh kembali kalau diminta. Kota kecil di mulut teluk itu menggigil. Pada hari kedua menghilangnya Ompung, keluarga yang ditinggalkan benar-benar gempar kehilangan induk. Seluruh pojok kota diselidiki, bukit- bukit dipanjati mencari orangtua yang hilang. Kesetiaan istri Ompung tiada duanya walaupun dia harus menanggungkan penderitaan yang tak pernah dia junjung, yaitu berdusta. Kepada siapa pun yang datang bertanya, sepandai paropera tilhang, dia tetap mengatakan tak tahu. ”Bah, manalah kutahu itu. Dia suamiku. Lebih enam puluh tahun. Akulah yang paling sedih dari semua yang ada di sini,” katanya meyakinkan anak-anaknya yang datang dari berbagai kota besar dari semua penjuru angin. Pada hari kesembilan menghilangnya Ompung, rapat keluarga memutuskan supaya semua naik ke pemakaman di atas bukit, membuka pintu gerbangnya. Siapa tahu Ompung sudah membujur kaku di dalam. Seluruh anggota keluarga dan penduduk kota menyemut menaiki bukit. Pintu gerbang yang terbuat dari batu dikuakkan. Pembaringan jenazah yang ditatah dari pualam tetap kosong. Nama lengkap Ompung diserukan bertalu-talu. Yang menjawab cuma sipongang. Hari kesebelas, datanglah Rosa membawa mukjizat. ”Apa pun yang terjadi pada Papi, aku harus memenuhi permintaannya. Permintaan penghabisan. Sekaranglah saatnya. Sekarang! Aku minta maaf untuk sikapku terhadapnya selama ini. Patung yang sejak bertahun-tahun dia minta supaya kukerjakan sebenarnya sudah kutatah. Sudah jadi. Aku timbun di bukit pasir, kusembunyikan di pulau. Besok aku ke sana, dan akan membawanya kemari. Langsung saja kita tempatkan di pemakaman Papi,” katanya membuat mulut semua yang hadir nan sedarah terdiam tetapi menganga. Istri Ompung tak terkecuali. Tetapi, dengan sigap, diam-diam dia perintahkan pembantu setianya menjemput Ompung ke pulau, saat itu juga. Tengah malam, dengan kelihaian seorang bekas pejuang, Ompung menyelinap ke dalam kamar tidurnya. Di situ, dia ciumi istrinya habis-habisan. Tak pernah dia berterima kasih serupa itu, sampai-sampai istrinya gelagapan. Dia malah ingin mencium lututnya, menyembahnya pula. Sebelum matahari merangkak sepenggalah, dari arah pulau sebuah perahu layar menghunjamkan haluannya ke arah pantai. Tiga perahu lebih besar menguak ombak mengiringi dari belakang. Rosa, dengan mata yang tak lepas dari lunas, duduk di haluan. Di lunas itu, di atas hamparan kain putih, terduduklah patung Ompung. Sementara di pantai berjibun sanak saudara dan penduduk kota yang menanti. Kota kecil itu menggigil. Namun, tak ada tangis. Yang ada adalah hasrat ingin tahu bagaimana nian rupa Ompung dalam batu yang ditatah anaknya sendiri, si Rosa, sang pembangkang. Begitu menginjakkan kaki di pantai, patung langsung di letakkan di atas keranda panjang, terbuka menengadah ke langit. Ada sepuluh orang yang maju mengusung patung yang terduduk di atas keranda itu. Prosesi mengingsut. Menyemut manusia mengikuti patung itu menuju bukit. Kota kecil di mulut teluk itu menggigil. Tak terdengar tangis, yang mengapung cuma gumam ingin tahu di mana gerangan Ompung yang sudah dijadikan batu itu. Berpakaian serba hitam, Rosa, si pematung, berjalan paling depan, dada paling membusung, melangkah seperti ujung tombak menguakkan jalan untuk gelombang manusia di belakangnya. Juga tak ada air mata yang titik ketika patung Ompung didudukkan di penampangnya, selangkah dari pintu kuburannya. Dan, persis seperti kehendak yang punya badan, mata patung itu nanap memandang ke lereng, ke kota di bawah, dan ke ombak di teluk yang tiada henti menghempaskan diri. Terdengar gumam yang berpindah dari mulut yang satu ke mulut yang lain. Pucuk bukit menggigil tak bisa menjawab di manakah Ompung gerangan. Tak dinyana, tak disangka, di pinggang bukit tiba-tiba tampak sosok laki-laki berpakaian serba putih, menapak perlahan. ”Oi… siapa itu?” mengaum suara di pucuk bukit. Sosok berpakaian putih itu tidak peduli. Istri Ompung mendekati bahu Rosa, menempelkan bibirnya di kuping anak bungsunya. ”Papimu!” Disaksikan ribuan pasang mata, Rosa, menuruni tangga, menjemput ayahnya. Diulurkannya jarinya. Yang dia terima adalah penolakan. ”Tak usah, aku kuat. Aku mau lihat seperti apa aku kau buat.” Ompung mengelilingi patung dirinya. Tiga kali menurut arah jarum jam. Tiga kali dari arah berlawanan. Lama dia menyimak lambaian janggutnya. Tersentak dia melihat bayangan tahi lalatnya di balik janggut yang tipis. Tanda lahir itu ada tapi seperti tiada, serupa perempuan pujaan yang menyembunyikan arnal emas di dalam sanggulnya. Lebih merapat, Ompung nyaris menyenggol bahu si patung. Dia melayangkan pandang ke arah mana patungnya mengarahkan mata. ”Amang oi… Amang, indahnya laut kau lihat dari sini,” pujanya di kuping patung. ”Papi, yang mana yang salah?” Rosa menghampiri, menekan. Tak ada jawaban untuk si pematung, kecuali tubuh ayahnya yang mendekat. Di pelupuk mata orangtua itu tersekat air. Ompung memeluk anaknya, mencium ubun-ubunnya berkali-kali, hingga air matanya tetes di situ. Ribuan mata, angin, dan ranting menyaksikan syahdunya pelukan itu. Membangkitkan cemburu. ”Bah, mengapa aku tidak?” protes istri Ompung. ”Padahal aku sudah berbohong.” Ribuan mata, angin, ranting, dan lembah menunggu Ompung merentangkan kedua tangan dan mendekapkannya erat-erat pada tubuh istrinya.
""Ompung dan Si Pematung""
Bertiga mereka menapak pematang di tengah sawah yang kering kerontang, berbulan-bulan dibiarkan terbengkalai oleh penggarap dan pemiliknya. Bantiran di depan, disusul Kartaman. Paling belakang seorang serdadu memanggul senapan laras panjang. Dekat sebuah batu datar sebesar gerobak, Bantiran berhenti. Sinar bulan separo bundar membuat batu itu berkilat. Sebatang pohon kamboja tegak di sebelahnya, daun-daunnya gugur oleh kemarau, tapi bunga-bunga bermekaran. Ini sebuah tempat keramat bagi petani dan nelayan Desa Jampi. Tapi, mereka tak berniat mendirikan bangunan suci di situ, karena pasti akan merepotkan untuk membuat sesaji berulang kali di berbagai hari. Sudah ada banyak tempat suci di desa itu harus diurus dan menelan banyak biaya. Penolakan itu menyebabkan desa-desa tetangga menuduh mereka ateis. Mereka dituding sebagai manusia merah, orang-orang komunis, antek-antek PKI. Bantiran menyusupkan tangan ke pinggang, mengeluarkan sebilah keris kecil, cuma sepanjang telapak tangan, menyodorkannya kepada Kartaman. ”Hanya kamu yang bisa mengakhiri, Man!” Kartaman tak bergerak, seperti seonggok kayu usang. Dia menggeleng. ”Aku tak sanggup!” Bantiran menghela napas. Serdadu itu semakin awas, siaga jika sesuatu tak diinginkan terjadi. Ia tak menduga kalau Bantiran menyelipkan sebilah keris. Bagaimana keris itu bisa lolos dalam pemeriksaan tadi di markas? Serdadu itu memegang erat senapannya, mengarahkan moncongnya ke dada Bantiran. ”Kamu sudah berjanji.” ”Aku dipaksa, tak kuasa menolak.” ”Bunuhlah aku, kalau kamu tak ingin diburu sebagai pengecut dan pengkhianat. Tuntaskan tugasmu, kamu pun menolong aku!” Bantiran memegang tangan Kartaman, memindahkan gagang keris alit itu dari tangannya ke genggaman Kartaman. ”Kamu harus melakukannya dengan dua tangan, hanya dengan sedikit dorongan, semua akan selesai dengan tenang.” Dengan tenang? Bagaimana mungkin Kartaman sanggup membunuh dengan tenang anak muda yang dikenalnya teduh dan hidup sebatang kara ini? Ibunya meninggal ketika ia dilahirkan, bapaknya tewas karena jatuh memanjat pohon kelapa. Ia kemudian hidup meneruskan usaha kakeknya, menjadi pandai besi, membuat cangkul, arit, palu, pisau, parang. Bantiran dekat dengan petani dan nelayan dari Desa Jampi yang sering memesan peralatan untuk bertani. Ketika petani-petani itu dituduh komunis, Bantiran pun dicap sebagai bagian penting dari orang-orang merah yang harus ditumpas. Bantiran yakin ia akan diciduk dan dibunuh. Setiap malam ia seperti mendengar gemuruh derap orang berlari menyerbu rumahnya. Begitu kencang, demikian kuat, mengalahkan deru ombak pantai Jampi. Kadang ia membayangkan pintu rumahnya didobrak, lalu lehernya ditebas kelewang, yang lain menusukkan tombak ke dadanya berulang-ulang. Kalaupun dibunuh, ia ingin mati dengan tenang. Tidak seperti Tutbendu yang kepalanya dikepruk dengan batu di perempatan desa sepulang dari sawah. Dia tak ingin senasib dengan Bli Sambrag yang dibunuh dengan dijerat, dan diseret-seret dekat bendungan sepulang melaut. Tidak juga seperti nasib Pak Kelincak yang tubuhnya dirajam dengan arit, kepala dihantam palu, lalu matanya dicungkil, telinganya diiris. Sejak kecemasan dibunuh terus meruyak dan memburu, Bantiran mengungsi ke rumah pamannya, sepupu ayahnya. Orang-orang menganggap Bantiran menyerahkan diri, karena bagian depan rumah pamannya disulap jadi markas. Keluarga diungsikan ke belakang. ”Saya mohon perlindungan, Bapak,” pinta Bantiran kepada pamannya, salah seorang tokoh komando gerakan penumpasan. ”Saya ingin selamat, tetap hidup. Kalaupun harus mati, tolong agar saya dibunuh oleh seseorang, dengan tenang. Saya tak ingin seperti yang lain, dibunuh dengan hiruk-pikuk ramai-ramai.” Berhari-hari Bantiran dicekam gelisah di markas itu. Ia tidak berstatus tahanan, karena ia keluarga seorang tokoh. Tapi, ia dilarang ke luar rumah. Bahkan, selalu saja orang-orang di markas itu curiga berat jika ia ke luar kamar. Teman bicaranya cuma Kartaman, sepupunya, yang acap menemani makan siang dan malam. Mereka kadang bermain catur, menyibukkan waktu. Namun, menit menjadi sangat menyebalkan, detik melangkah sangat lambat, hari seperti mati. Jika Kartaman seharian tak muncul, Bantiran merasa dirinya sudah binasa. Bantiran menjadi tahanan istimewa di markas itu. Tapi, apa arti keistimewaan jika laskar penumpas orang-orang merah itu tetap ingin membunuhnya? Pamannya tak kuasa menyelamatkan. Sebulan setelah ia menyerahkan diri, markas memutuskan menghukum mati Bantiran. Dia diberi kebebasan memilih cara untuk mati, dipenggal atau ditembak. ”Ada satu permintaan lagi, Bapak,” ujarnya pelan ketika Paman menyampaikan berita hukuman mati itu. ”Izinkan saya mati di tangan Kartaman.” Paman terhenyak, tubuhnya terdorong sejenak ke belakang. ”Saya ingin mati dengan tenang, Bapak. Perintahkan Kartaman membunuh saya.” ”Dia pasti menolak!” ”Dia tak akan berani menolak perintah Bapak. Saat ini Bapak tokoh paling berpengaruh dan berwibawa. Tak seorang pun, laskar, kader, kerabat, keponakan, anak, berani menentang Bapak.” Berhari-hari Kartaman tidak muncul di markas ketika ia tahu diberi tugas menghabisi Bantiran. Tapi tak muncul sama sekali juga tidak mungkin. Ia bisa jadi tertuduh merusak jalan gerak penumpasan, dan diburu, karena eksekusi Bantiran bakal tertunda-tunda. Paman akan marah karena dicurigai mengulur-ulur waktu. Ia mempertaruhkan wibawa, dan harus berketetapan hati melaksanakan keputusan markas. Kartaman akhirnya datang ke markas. Ia menuju kamar Bantiran di bagian sudut tenggara pekarangan. ”Tolonglah! Aku ingin dibunuh dengan tenang. Dalam keadaan begini, aku akan mati dengan puas jika kamu yang melakukan.” Bantiran mengeluarkan keris luk tiga sepanjang telapak tangan dari bawah bantal, yang selama ini untuk berjaga-jaga, kalau-kalau ada orang hendak membunuhnya. Ia menarik gagang, melepaskan benda tajam itu dari sarungnya. ”Ini buatan kakek. Ia bilang, sebagai keluarga tukang tempa besi, harus punya benda pusaka. Ia ingin pusaka ini diwariskan turun-temurun. Aku ingin mati oleh keris ini, Man!” Kartaman terpaku, gemetar. Dia muda, hidup jauh dari kekerasan. Meninju orang hanya sekali ia lakukan, ketika berkelahi dengan temannya di sekolah dasar karena pensilnya dirampas. Mana sanggup ia membunuh orang? ”Aku hanya butuh tusukan pelan, semua akan selesai dengan tenang. Racun keris ini pekat, sanggup membunuh dalam hitungan menit. Ini keris sepadan karya seorang empu.” Kartaman menggeleng. ”Aku akan menghadap Paman, bilang aku tak mampu.” ”Markas sudah memutuskan, ini tugasmu. Tolonglah aku! Dalam keadaan begini, alangkah tenteram jika dibunuh oleh sanak saudara. Aku tak mau tewas di tangan orang tak kukenal. Tidak oleh orang-orang yang membenciku.” Kartaman masih yakin bisa mengelak dari tanggung jawab itu. Tapi, ia menggigil ketika Paman memutuskan tugas itu harus dipikulnya. Jika tidak, laskar dan kader-kader partai akan mencurigainya. Orang yang menolak membunuh, harus dicermati, dan menjadi target untuk dibunuh. ”Kita masih punya akal. Kamu pura-pura membunuh, biar Bantiran tenang. Serahkan tugas itu pada serdadu. Ia yang akan mengeksekusi.” ”Bantiran tak mau ditembak, Bapak. Ia ingin dibunuh dengan keris.” ”Kamu bisa berpura-pura membuat keributan kecil, menjauhlah dari Bantiran. Saat itu serdadu akan menembaknya.” Kini Kartaman sedang memikirkan, keributan kecil apa yang sebaiknya ia lakukan. Ia harus menyampaikan siasat ini kepada serdadu itu. Salah sedikit, bisa-bisa ia yang diterjang peluru. Bantiran berseri-seri ketika Kartaman bersedia jadi algojo. ”Kamu itu penyelamatku, Man.” ”Penyelamat?” ”Menyelamatkan aku dari mati dengan sengsara.” Malam itu Bantiran minta disediakan makan malam hanya sepiring tape singkong. Katanya, ”Alkohol tape membuat bau darah menjadi gurih, tidak amis.” Ia makan lahap sekali. Dan yakin Kartaman akan menikamnya lewat tengah malam nanti. Serdadu yang menyertai mereka ia anggap cuma untuk berjaga-jaga kalau-kalau ia melawan dan melarikan diri. Tapi sekarang, setelah tiba di tempat yang ia pilih untuk eksekusi, Bantiran sejenak bimbang. Dari pantulan cahaya bulan ia menyimak keraguan penuh Kartaman dari gerak bola matanya. Ia menatap wajah Kartaman pucat pasi, lengan gemetar, ketika keris itu berpindah tangan. ”Tikam aku! Ayo!” Kartaman menggerakkan tubuh ke belakang, melompat menjauh. Bantiran menggoyang-goyangkan tubuhnya. ”Tikam aku! Bunuh!” teriaknya melengking pilu. Kartaman terpaku. Serdadu itu memberondong Bantiran dengan tiga tembakan di dada. Bantiran terpelanting ke bawah pohon kamboja. Ia mencoba tegak lagi. Serdadu itu kembali memberondongnya. Bantiran terhuyung. Anjing-anjing terkejut oleh bunyi letusan itu, menyalak dari gubuk-gubuk di batas desa, menjeritkan kebencian dan kemarahan. Tak ada darah mengalir dari tubuh Bantiran. Serdadu itu membelalakkan mata, karena baru saat itu ia berhadapan dengan orang kebal tembakan. Selama ini, cerita orang-orang kebal pelor ia anggap sebagai dongeng picisan. Peluru-peluru itu cuma merobek baju, menggores kulit, sebelum menggurat daging. Serdadu melepas dua tembakan ke arah kepala, meleset, peluru itu menghunjam di batang kamboja. Serdadu memberondong lagi, mengenai bahu Bantiran. Tubuhnya bergoyang-goyang. Serdadu itu kini ragu. Ia mulai bimbang bisa menyelesaikan tugas. Ia memandang Kartaman, hendak mengajaknya berbincang mencari jalan ke luar untuk menuntaskan korban. Bantiran terhuyung-huyung mendekati Kartaman yang gemetar. ”Bedil tak akan sanggup mencabut nyawaku, Man. Kakek bilang, seorang pandai besi sejati cuma bisa dibunuh oleh pusakanya sendiri. Hanya kamu yang bisa menolongku, Man!” Suara itu kini pelan sekali, memelas, penuh harap. Napas Bantiran terengah-engah, seperti habis berlari jauh. ”Hanya keris itu yang bisa membebaskan jiwaku. Tolonglah!” Kartaman merinding. Tak ada lagi pilihan untuk membebaskan sepupunya dari derita. Keris di tangan kanannya bergetar dan memanas. Ia bergerak selangkah ke depan. Bantiran menyambut gerakan itu dengan lega. Detik yang ia tunggu sebentar lagi tiba. ”Ayo, jangan bimbang, Man!” Kartaman mengayunkan tangan, menusukkan keris tiga luk itu ke lambung. Keris itu tak sanggup melukai. Bantiran tersenyum. ”Kubilang apa, Man, kau harus melakukannya dengan dua tangan. Genggam lembut gagangnya dengan sepuluh jarimu.” Kartaman mengikuti permintaan itu. ”Ujungnya di dadaku.” Kartaman merasakan gagang keris semakin panas, ketika ujungnya menyentuh ulu hati Bantiran. ”Tekan perlahan, setulus perasaan. Ayo…..!” Kartaman mendorong gagang keris itu, ujungnya menancap selembut menusuk batang pisang, menembus dada, masuk perlahan, seperti ujung telunjuk yang dibenamkan ke pasir. Bantiran memejamkan mata, menikmati penyelesaian itu dengan tenang dan indah. Tubuhnya tersandar di pohon kamboja yang berderak-derak. Serdadu itu membatalkan niatnya melepas tembakan, ketika tubuh Kartaman menyatu dengan Bantiran. Keris itu dingin perlahan, Kartaman menyentaknya dengan halus. Bantiran terkulai, rebah telentang di atas batu. Sarungnya basah oleh darah yang menebarkan aroma gurih. Serdadu bingung mencari-cari, dari mana datangnya bau nyaman seperti rempah-rempah digaring itu. Sekeliling sepi, tak terdengar suara serangga malam. Lolong anjing senyap. Ke mana perginya kunang-kunang yang tadi riuh berkelip-kelip di semak-semak? Serdadu itu duduk di pematang yang basah oleh embun sambil menyulut rokok, menatap langit. Ia tak mengerti apa sesungguhnya barusan terjadi. Dua puluh tahun kemudian Desa Jampi ramai oleh keluarga orang-orang yang dibantai. Mereka mencari tulang belulang untuk diaben. Sesaji diletakkan di tengah sawah yang sebulan lalu panen kedelai. Berpeluh mereka giat menggali gundukan-gundukan selebar parit memanjang yang mereka curigai sebagai kuburan massal. Jika tulang-tulang ditemukan, tentu mereka tak bisa mengenali lagi itu milik siapa. Mereka tak peduli. Menyelenggarakan upacara ngaben, membakar tulang-tulang itu, lebih penting, agar roh tidak gentayangan, atma bisa diajak pulang, disemayamkan di rumah. Kartaman juga hadir di situ. Tentu dengan mudah ia mengenali kubur Bantiran, dekat batu sebesar gerobak. Pohon kamboja itu, yang batangnya masih menyimpan peluru ditembakkan meleset, kian tinggi dan rindang, sehingga batu dan kubur itu tambah teduh. Bersama serdadu, dini hari dua puluh tahun lalu, Kartaman mengubur Bantiran. Menjelang pagi baru usai. Setelah menimbun kubur, serdadu memberi penghormatan militer, karena baru kali itu ia mengenal orang sakti kebal pelor. Sejak kubur Bantiran dibongkar, tulang belulangnya dibakar, petani dan nelayan tak pernah lagi mencium aroma gurih rempah-rempah digaring jika mereka lewat dekat batu keramat itu. Mereka juga tak lagi mendengar suara aneh berdentang-dentang, seperti orang sibuk menempa besi membuat arit atau parang. Denpasar, November 2008
""Bantiran""
Sebatang nyiur itu kini telah mulai menampakkan kecantikannya. Memang belum lagi setinggi anak berusia 10 tahun, namun pelepahnya yang menguning, yang sebagian masih terbungkus tapas, juga sebagian daunnya yang kuncup, mampu menyemarakkan pagi di pekarangan si pemilik. Kelak, entah 10 atau 20 tahun lagi, barulah nyiur itu mampu memberikan manfaat yang sebenarnya bagi si pemilik. Si pemilik adalah seorang petani berkulit hitam, sebagaimana umumnya orang asli Awangga. Sosoknya cukup besar bila dibandingkan manusia biasa, dan memang dia memiliki darah raksasa, yang diperolehnya entah dari bapak, kakek atau kakek buyutnya di masa lalu. Banyak penduduk Awangga yang memiliki ciri-ciri tubuh semacam itu. Kekar, besar, pendiam dan pemalu, namun, sekaligus pekerja keras yang tenaganya seakan tak ada habis-habisnya. Gusala, demikianlah orang memanggilnya. Mengapa dia dipanggil demikian dan siapa yang berhak menamainya demikian, dia tak tahu secara pasti. Memang, Gusala tak mengenal siapa kedua orangtuanya sejak lahir. Dia hanya tahu, tumbuh dan memiliki saudara sebanyak tujuh orang, di tengah sebuah keluarga petani. Semula dia tak mengerti, mengapa dirinya sangat berbeda dari saudara-saudara maupun kedua orangtuanya. Dia hanya sering bertanya dalam hati mengenai perbedaan itu, namun tak pernah terlintas jawaban apa pun di kepalanya. Dan Gusala pun tak pernah mempersoalkan benar, karena semua yang ada di sekelilingnya tak mempersoalkannya. Baru ketika usianya dipandang cukup dewasa, pada saat harus membuka ladang baru sebagai tanda kedewasaannya, kedua orangtuanya menceritakan riwayat hidupnya. Gusala tertegun. Dia bukanlah anak yang dilahirkan dari orang yang selama ini dianggapnya sebagai ibu. ”Apakah kau mengerti, Gusala?” ucap perempuan itu, setelah uraiannya selesai. Gusala hanya mengangguk kecil, tak selintas pun pengertian muncul di kepalanya. ”Apakah kau kecewa, anakku?” Mula-mula ada anggukan kecil, namun segera disusul gelengan. Gusala sendiri tak tahu mengapa dia menggeleng dan mengangguk. Baginya, tak penting dilahirkan oleh siapa. *** Matahari memang sedang terik-teriknya. Sesaat Gusala tegak, menatap alur-alur tanah gembur di kiri-kanan rumpun ubi yang ditanaminya. Menggunduk panjang dan rapi. Sebersit senyum menghiasi bibir Gusala. Dipandanginya jajaran kelapa yang memagari batas tanahnya. Beberapa di antaranya sudah ada yang menjulang tinggi, bahkan satu dua sudah bermanggar. Memang, kelapa-kelapa yang bermanggar itu hanya dipindahkannya dari ladang ayahnya. Itu adalah hadiah sang ayah kepada Gusala. Gusala tak pernah berpikir bahwa perhatian yang agak berlebihan dari kedua orangtuanya itu menunjukkan bahwa ada sesuatu yang kurang dari dirinya dibandingkan dengan saudara-saudaranya yang lain. Tetapi, sekali lagi, Gusala tak peduli. Mungkin lebih tepatnya, dia tak mengerti apa makna tindakan kedua orangtua angkatnya itu. Sampai saat ini, Gusala hanya hidup sendiri. Tak ada seorang gadis dusun pun yang mau dijadikan istrinya. Kaki dan Nyai Guno Brayat sebetulnya sangat prihatin akan kelainan anak angkatnya itu, tetapi mereka tak punya cara untuk membantunya. Mereka hanya berdoa, semoga saja ada seorang perempuan yang suatu kali kelak mau mendampingi Gusala. Gadis manakah yang mau menikahi seorang laki-laki separuh raksasa yang bahkan tak lengkap kecerdasannya itu? Kaki dan Nyai Guno sadar betul akan hal itu. Kepedihan mereka memikirkan nasib Gusala kian pekat manakala dilihatnya, sang anak bahkan tak mengerti apa arti perempuan baginya. *** Maka sore itu, ketika matahari mulai condong ke ufuk barat, Guno Brayat mengunjungi anaknya yang tinggal di ladang dekat hutan itu. Rasa sayangnya pada Gusala memang tak pernah luntur, sejak bayi itu ditemukannya di sebuah goa batu. Rasa ibanya kembali mengental manakala lintasan pemandangan buruk itu kembali memasuki kenangannya. Gusala ditemukan tergeletak menangis di dekat dua mayat, yang bisa jadi adalah orangtuanya. Sebilah tombak dan beberapa anak panah masih tertancap di tubuh yang sudah mulai membusuk itu. Yang satu jelas sekali berujud raksasa, tampak dari sosok dan sepasang taring tersembul di rongga mulutnya yang menganga. Yang seorang lagi, manusia biasa. Perempuan gunung. Mungkin dia adalah ibu Gusala. ”Gusalaa…” teriak Ki Guno dari kejauhan, demi dilihatnya Gusala sedang bersandar di batang melinjo. Gusala seketika berdiri, wajahnya berseri-seri dan berlari, melompati alur-alur tanah menggunduk, menyambut sang ayah. Dan tanpa berkata apa-apa, Gusala mencium kaki ayahnya. Mata Ki Guno berkaca-kaca, terharu oleh ketulusan anaknya. *** ”Ibumu ingin agar kau memilih istri, anakku. Apakah kau sudah punya keinginan untuk berumah tangga?” Hening. Senyap. Uir-uir di kejauhan mendetir-detir. ”Bapak… Gusala tidak tahu.” Jawab Gusala sesaat kemudian. Lama dia terdiam menyusun kata. ”Setiap orang pasti punya keinginan memiliki pasangan… apakah kau tidak memimpikan seorang perempuan?” Gusala diam. Pandangannya menunduk. Gusala tak tahu apa sebenarnya yang akan diucapkannya. Jika memang mimpi, mengapa beberapa kali dia bermimpi bertemu dengan seorang gadis jelita. Tubuhnya mungil, kulitnya hitam manis dengan rambut panjang mengombak menutup pinggang. Gadis itu tersenyum padanya dan itu membuatnya bahagia. Hanya itu. ”Gusala, pernahkah kau bermimpikan seorang perempuan?” Gusala mengangguk. ”Apakah kau mengenalnya?” Gusala menggeleng. ”Jadi kau belum pernah berjumpa dengannya?” Sekali lagi Gusala mengangguk. Ki Guno menarik napas. Lalu, ”…apakah kau menginginkannya, anakku?” Lama Gusala terdiam, seakan kembali mencari kata yang tepat untuk mengungkapkan perasaannya. ”Jika kau menginginkannya, mungkin bapakmu bisa mengupayakannya untukmu…” ”Tapi…,” ucapan Gusala terlontar begitu saja, ”…Gusala tak tahu, siapa dia… apalagi di mana dia tinggal… lalu, seandainya saja bertemu, apakah dia mau melihatku…” ”Anakku, Gusala, bapakmu percaya bahwa setiap orang memiliki jodohnya sendiri-sendiri. Entah bagaimana, kau akan mendapatkan seorang istri yang kau impikan itu…” *** Dan itu adalah doa. Dan doa adalah janji. Dan janji adalah utang. Dan utang memang harus dibayar. Maka dengan segala kemampuan, Ki Guno melakukan apa yang menjadi doa bagi Gusala. Bersama beberapa anak lelakinya yang lain, Ki Guno mencari tahu siapakah dara yang hadir di impian anaknya itu. Semula, semuanya hanya jadi bahan tertawaan anak-anak Ki Guno. Namun, setelah sang ayah mengatakan bahwa impian adalah jalan lain bagi suatu kebenaran, terutama bagi orang seperti Gusala, maka mereka pun terdiam. Ucapan sang ayah terasa memiliki kekuatan bahwa apa yang diimpikan Gusala akan bisa terlaksana. ”Kalau istri Prabu Salya pernah mengalaminya sendiri, mengapa Gusala tak bisa?” begitu kata penutup Ki Guno kepada anak-anaknya. Ya, tuturan yang entah siapa yang menyebarkannya itu, menjadi kepercayaan banyak manusia yang pernah mendengarnya. Mereka percaya bahwa ada yang lebih daripada yang sekadar bisa diraba, didengar, dan dirasakan. Mimpi mampu menyelusup kapan pun dalam diri manusia, dan itu adalah anugerah yang tak terkira. Mereka percaya bahwa mimpi adalah kekuatan di luar diri manusia, yang hadir hanya untuk kebenaran. Hanya saja, hidup manusia sering kali lebih rumit dibandingkan impian, sehingga kebenaran mimpi lebih banyak meleset dari seharusnya. Sebagian manusia melupakan mimpi sebagai jalan kebenaran, bisikan dari Sang Agung, dan hanya menganggap tak lebih daripada bunga tidur belaka. Dewi Setyawati, jelita berayahkan raksasa pertapa itu, suatu kali bermimpi bertemu dengan seorang pemuda tampan bernama Narasoma. Setyawati percaya bahwa pemuda itulah suaminya kelak. Sang ayah mengerti benar makna ucapan anaknya. Maka terjadilah pernikahan itu, dan kini Narasoma menjadi raja, menjadi mertua dari seorang raja—sang Basukarna, raja negeri Awangga. Raja mereka. Hanya dengan bekal keyakinan itu, keluarga Guno Brayat yakin bahwa apa yang diimpikan Gusala akan menjadi kenyataan. ”Tetapi, kita harus memulainya dari mana, Pak?” Tanya si sulung yang kini sudah beranak tiga. ”Bukannya aku mendahului ’Kehendak’, tetapi, apa mungkin… perempuan secantik—seperti yang dikatakan Gusala—itu mau menerima kenyataan?” ”Maksudmu?” ”Yaaa…” ”Maksudmu, Gusala jelek, begitu?” sergah Nyai Guno agak gusar pada anaknya yang nomor dua. ”Ingat, Gasa… dia adikmu. Ada darah yang sama, yang mengalir di tubuhnya dengan apa yang ada di tubuhmu. Kalian semuanya, termasuk Gusala, meminum darah dari tubuhku…” Malam hening. Malam pekat. Nyai Guno beberapa kali menarik napas berat. *** Satu purnama berlalu begitu saja, dan upaya delapan laki-laki itu hanya menuai gelak tawa di sana-sini. Adapun Gusala, tetap menjalani hidupnya sebagaimana biasa. Meskipun sering kali, secara aneh dan tiba-tiba saja dia tertidur dan bermimpi bertemu seorang dara manis, mungil, dan tersenyum kepadanya. Dan setiap kali dia bermimpi, tiba-tiba saja hidupnya seperti berbunga-bunga. Dan setiap kali hidupnya berbunga-bunga, Gusala merasakan arus tenaganya melimpah ruah, memberontak meminta keluar. Maka, setiap kali usai bermimpi, Gusala dengan giat mengayunkan cangkulnya, tak peduli siang atau malam. Tak mengherankan jika ubi-ubi yang ditanam Gusala menjadi istimewa. Dan ketika panen tiba, ubi-ubi Gusala bukan saja besar—karena ditanam di tanah gembur, tetapi juga manis, mempur dan jumlahnya berpuluh-puluh pikul ketika dibawa ke pasar. Dan semuanya dilakukannya sendiri. *** Di pasar itulah, Gusala bertemu dengan gadis yang ada di mimpinya. Di pasar itulah hidup Gusala berubah. Dia tak ingin terjaga dari mimpinya kali ini. Dia tatap sepasang mata berbinar yang lembut. Dia pandangi lengan berjari mungil yang memilih ubi-ubi yang menghampar di depannya. Ah, siapakah engkau wanita cantik? Dan sepasang mata itu pun, ketika sesaat tertangkap mata Gusala, seakan enggan berkedip. Siapakah yang memasang perangkap, dan siapakah yang terperangkap, dia sendiri tak tahu pasti. Sebagaimana Gusala, dia hanya merasakan sesuatu yang aneh. Dia pun merasakan pernah menemukan wajah itu berkali-kali, di suatu tempat atau masa? Mata Gusala dan mata gadis itu seakan bubu dan ikan. Hanya saja keduanya sering kali bertukar peran. Tertangkap atau menangkap, tak lagi penting. Tak ada yang lebih menyenangkan daripada persentuhan yang menggetarkan itu. ”Apakah engkau yang selama ini menemuiku?” bisik Gusala. ”Apakah engkau yang selama ini kutemui?” balas gadis itu. Dan keheningan adalah jawaban. Keduanya hanya terpesona oleh jawaban aneh yang tiba-tiba terbentuk di bentangan jiwa masing-masing. Jawaban yang mendadak berkecambah, membenih dan tumbuh dengan suburnya. Gusala gugup menyadari sesuatu yang merebak tumbuh di sanubarinya, demikian pula si gadis; pipinya merona merah. Tak kuasa menahan kegembiraan, si gadis mendadak tersenyum, dan berlari meninggalkan tempat Gusala berdagang. Sementara Gusala masih melambung oleh perasaan aneh yang menggelimangi jiwa tulusnya. ”Hei.. raksasa, kau apakan gadis itu?” tiba-tiba bentakan kasar membuyarkan keindahan Gusala. Sekelompok laki-laki yang—menilik pakaiannya—agaknya pengawal si gadis, tiba-tiba mengepungnya. Entah di mana mereka selama ini, Gusala tak menyadarinya. Orang-orang yang ada di pasar minggir. Mereka hanya sempat berkomentar dalam hati: ah, raksasa memang selalu begitu kalau diberi hati. ”Hei, kau belum menjawab pertanyaanku… kau apakan gadis itu?” Gusala hanya terlongong-longong bingung menanggapi pertanyaan bertubi-tubi dari mereka yang mengepungnya. Jiwanya masih belum sepenuhnya berpijak pada kenyataan karena masih terbawa kepak sayap keindahan yang baru kali ini dialaminya. Kadang-kadang, sambil menatap wajah-wajah pengepungnya, Gusala tersenyum karena jiwanya masih menikmati keindahan yang entah mengapa tak segera hilang dari dirinya. ”Ah… rupanya kau bukan hanya raksasa, tetapi juga sakit jiwa..” dan gelak tawa pun pecah di pasar itu. Gusala, tanpa paham benar apa yang diucapkan orang yang menghinanya, membalasnya dengan senyum. Begitu Gusala tersenyum, gelak tawa menjadi-jadi. ”Tuan..” tiba-tiba Gusala berucap, ”apakah tuan-tuan mengenal gadis cantik yang baru saja di sini..” Orang-orang itu terhenti sejenak, lalu tergelak-gelak lagi. ”Tentu saja… dia adalah anak tuan kami.” ”Siapakah namanya, aku ingin mengenalnya…” ”Hei raksasa ’miring’, jangan bermimpi..” ”Gusala tak mimpi. Dia memang menemuiku di mimpi, tapi kali ini, tidak mimpi..” ”Hei…, gadis itu adalah anak seorang saudagar yang sangat dekat dengan kalangan istana…. Dan dia sudah dijodohkan dengan anak petinggi Awangga. Jadi, seperti kataku, jangan bermimpi.” ”Gusala hanya ingin tahu namanya.” Dan sebuah pukulan menghantam wajah Gusala. Gusala terkejut, tak sakit sama sekali. Gusala berdiri, orang-orang itu mencabut pedang. ”Apa salah Gusala, sampai tuan…” Ucapannya terpotong pukulan orang kedua. Dan belum lagi sempat bergerak, sisanya segera mengeroyok Gusala. Maka sebagaimana disebutkan dalam hikayat, Gusala pun akhirnya mati di tengah pencariannya. Bahkan seluruh keluarganya dihukum karena didakwa melawan hukum negara, yang melarang manusia menolong makhluk di luar golongannya. Pinang 982
""Hikayat Gusala""
Ibu terkulai di kursi seperti orang mati. Pintu, jendela, televisi, telepon, perabotan, buku, cangkir teh, dan lain-lain masih seperti dulu—tetapi waktu telah berlalu sepuluh tahun. Tinggal Ibu kini di ruang keluarga itu, masih terkulai seperti sepuluh tahun yang lalu. Rambut, wajah, dan busananya bagai menunjuk keberadaan waktu. Telepon berdering. Ibu tersentak bangun dan langsung menyambar telepon. Diangkatnya ke telinga. Ternyata yang berbunyi telepon genggam. Ketika disambarnya pula, deringnya sudah berhenti. Ibu bergumam. ”Hmmh. Ibu Saleha, ibunya Saras yang dulu jadi pacar Satria. Sekarang apapun yang terjadi dengan Saras dibicarakannya sama aku, seperti Saras itu punya dua ibu. Dulu almarhum Bapak suka sinis sama Ibu Saleha, karena seperti memberi tanda kalau Saras itu tentunya tidak bisa terus menerus menunggu Satria. ’Orang hilang diculik kok tidak mendapat simpati,’ kata Bapak. Kenyataannya selama sepuluh tahun Saras tidak pernah bisa pacaran sama siapapun. ’Saya selalu teringat Satria, Ibu, saya tidak bisa’,” katanya. ”Tapi inilah soal yang pernah kubicarakan sama Si Saras. ’Kuhargai cintamu yang besar kepada Satria, sehingga kamu selalu terlibat urusan orang-orang hilang ini,’ kataku, ’tapi cinta adalah soal kata hati, Saras, karena kalau terlalu banyak alasan dan perhitungan dalam percintaan, nanti tidak ada tempat untuk hati lagi…’ Ah, Saras, memang rasanya ia seperti anakku juga. Semenjak Bapak meninggal setahun yang lalu, rasanya semakin peduli dia kepada rumah ini, membantu aku membereskan kamar Satria, seperti tahu betul rasa kehilanganku setelah ditinggal Bapak…” Ibu sudah sampai ke kursi tempatnya duduk tadi, dan duduk lagi di situ. Ibu terdiam, melihat ke kursi tempat Bapak biasanya duduk. Lantas melihat ke sekeliling. ”Bapak… Kursi itu, meja itu, lukisan itu, ruangan ini, ruang dan waktu yang seperti ini, kok semuanya mengingatkan kembali kepada Bapak. Seperti ini juga keadaannya, bahkan aku masih ingat juga pakai daster ini ketika kami berbicara tentang hilangnya Satria. Waktu itu sudah setahun Satria tidak kembali, dan kami masih seperti orang menunggu. Aku waktu itu masih percaya Satria suatu hari akan kembali… Kenapa harus tidak percaya, kalau memang tidak pernah kulihat sesuatu yang membuktikan betapa Satria tidak akan kembali… Apa salahnya punya harapan… Hidup begitu singkat, apa jadinya kalau harapan saja kita tidak punya… ”Jadi dalam setahun itu harapanlah yang membuatku bertahan hidup. Harapan bahwa pada suatu hari Satria pasti pulang kembali… Berharap dan menunggu. Berharap dan menunggu. Berharap dan menunggu. Tapi Bapak memaksa aku untuk percaya bahwa Satria sudah pergi. ’Satria sudah mati,’ katanya!” Ia menggigit bibir, berusaha sangat amat keras untuk menahan tangis. ”Tidak! Aku tidak mau percaya itu! Meski dalam hatiku sudah terlalu sering kuingkari diriku, bahwa kemungkinan besar Satria mestinya sudah mati.” Ibu memandang ke arah kursi Bapak. ”Pak, Bapak, kenapa kamu hancurkan semua harapanku? ’Kita harus menerima kenyataan,’ katamu. Nanti dulu, Pak. Menerima? Menerima? Baik. Aku terima Satria sudah mati sekarang. Tapi aku tidak terima kalau Satria itu boleh diculik, dianiaya, dan akhirnya dibunuh.” Perempuan dengan rambut kelabu itu tampak kuat kembali. ”Bapak sendiri yang bilang, ada teman Satria yang dibebaskan bercerita: Sebelum dilepas tutup matanya dibuka. Di hadapannya, orang-orang yang menculiknya itu menggelar foto-foto di atas meja. Itulah foto-foto keluarga teman Satria yang diculik. Foto orangtuanya, foto saudara-saudaranya. Lantas orang-orang itu berkata, ’Kami tahu siapa saja keluarga Saudara.’ ”Huh! Saudara! Mana mungkin manusia bersaudara dengan monyet-monyet! Apalagi maksudnya kalau bukan mengancam kan? Bapak bilang teman Satria ini juga bercerita, suatu hari salah seorang yang waktu itu mengancam terlihat sedang memandangi dirinya waktu dia baru naik bis kota. Ini apa maksudnya Pak? Supaya teman Satria itu tidak boleh bercerita tentang perbuatan mereka? Teror kelas kambing maksudnya? Apakah ini semua boleh kita terima begitu saja?” Saat Ibu menghela nafas, ruangan itu bagaikan mendadak sunyi. ”Sudah sepuluh tahun. Satria sudah mati. Bapak sudah mati. Munir juga sudah mati.” Dipandangnya kursi Bapak lagi. Sebuah kursi kayu dengan bantalan jalinan rotan. Jalinan yang sudah lepas dan ujungnya menceruat di sana-sini. ”Apa Bapak ketemu sama Satria di sana? Enak bener Bapak ya? Meninggalkan aku sunyi sendiri di sini. Apa Bapak dan Satria tertawa-tawa di atas sana melihat aku membereskan kamar Satria, menata gelas dan piring, sekarang untuk kalian berdua, setiap waktu makan tiba, padahal aku selalu makan sendirian saja. Memang aku tahu Bapak dan Satria tidak ada lagi di muka bumi ini, tapi apa salahnya aku menganggap kalian berdua ada di dalam hatiku? Apakah kalian berdua selalu menertawakan aku dan menganggapku konyol kalau berpikiran seperti itu?” Sejenak Ibu terdiam, hanya untuk menyambungnya dengan suara bergetar. ”Kadang-kadang aku bermimpi tentang kalian berdua, tetapi kalau terbangun, aku masih juga terkenang-kenang kalian berdua, dengan begitu nyata seolah-olah kalian tidak pernah mati. Impian, kenangan, kenyataan sehari-hari tidak bisa kupisahkan lagi. Jiwa terasa memberat, tapi tubuh serasa melayang-layang…” Lantas nada ucapannya berubah sama sekali, seperti Ibu berada di dunia yang lain. ”…. jauh, jauh, ke langit, mengembara dalam kekelaman semesta, bagaikan jiwa dan tubuh telah terpisah, meski setiap kali tersadar tubuh yang melayang terjerembab, menyatu dengan jiwa terluka, luka sayatan yang panjang dan dalam, seperti palung terpanjang dan terdalam, o palung-palung luka setiap jiwa, palung tanpa dasar yang dalam kekelamannya membara, membara dan menyala-nyala, berkobar menantikan saat membakar dunia…” Ibu mendadak berhenti bicara, berbisik tertahan, memegang kepalanya, menutupi wajahnya. ”Ah! Ya ampun! Jauhkan aku dari dendam!” Namun ia segera melepaskan tangannya. ”Tapi…. bagaimana mungkin aku merasa perlu melupakan semuanya, jika kemarahanku belum juga hilang atas perilaku kurangajar semacam itu.” Nada bicaranya menjadi dingin. ”Menculik anak orang dan membunuhnya. Apakah setiap orang harus kehilangan anggota keluarganya sendiri lebih dulu supaya bisa sama marahnya seperti aku?” Hanya Ibu sendiri di ruangan itu, tetapi Ibu bagaikan merasa banyak orang menontonnya, meski semakin disadarinya betapa ia sungguh-sungguh sendiri. ”Bapak… aku yakin dia ada di sana, karena kusaksikan bagaimana dia dengan tenang meninggalkan dunia yang fana; tetapi aku tidak bisa mendapatkan keyakinan yang sama jika teringat kepada Satria. Memang akalku tidak bisa berpikir lain sekarang, bahwa Satria tentu sudah tidak ada. Tetapi Ibu mana yang kehilangan anak tanpa kejelasan bisa tenang dan bahagia hanya dengan akalnya, tanpa membawa-bawa perasaannya? Bagaimana perasaanku bisa membuatku yakin, jika Satria pada suatu hari memang hilang begitu saja? Ya, begitu saja… Bahkan orang mati saja masih bisa kita lihat jenazahnya!” Seperti masih ada yang disebutnya Bapak di kursi itu, tempat seolah-olah ada seseorang diajaknya bicara. ”Pak, Bapak, apakah Bapak melihat Satria di sana Pak? Apakah Bapak ketemu Satria? Apa cerita dia kepada Bapak? Apakah sekarang Bapak sudah tahu semuanya? Apakah Bapak sekarang sudah mendapat jawaban atas semua pertanyaan-pertanyaan kita?” Namun Ibu segera menoleh ke arah lain. ”Ah! Bapak! Dia sudah tahu semuanya! Tapi aku? Aku tentunya juga harus mati lebih dulu kalau ingin tahu semuanya! Tapi aku masih hidup, dan aku masih tidak tahu apa-apa. Hanya bertanya-tanya. Mencoba menjawab sendiri. Lantas bertanya-tanya lagi. Dulu aku bisa bertanya jawab dengan Bapak. Sekarang aku bertanya jawab sendiri…. ”Tapi apa iya aku sendiri? Apa iya aku masih harus merasa sendiri jika begitu banyak orang yang juga kehilangan? Waktu itu, ya waktu yang seperti takpernah dan takperlu berlalu itu, bukankah ratusan ribu orang juga hilang seketika?” Terdengar dentang jam tua. Tidak jelas jam berapa, tetapi malam bagaikan lebih malam dari malam. Ibu masih berbicara sendiri, dan hanya didengarnya sendiri. ”Bapak, kadang aku seperti melihatnya di sana, di kursi itu, membaca koran, menonton televisi, memberi komentar tentang situasi negeri. Seperti masih selalu duduk di situ Bapak itu, pakai kaos oblong dan sarung, menyeruput teh panas, makan pisang goreng yang disediakan Si Mbok, lantas ngomong tentang dunia. Tapi Si Mbok juga sudah meninggal, menyusul Bapak, menyusul teman-temannya pemain ludruk yang semuanya terbantai dan mayat-mayatnya mengambang di Kali Madiun… ”Sebetulnya memang tidak pernah Bapak itu membicarakan Satria, malah seperti lupa, sampai setahun lamanya, sebelum akhirnya mendadak keluar semua ingatannya pada suatu malam entah karena apa. ”Sudah sepuluh tahun, banyak yang sudah berubah, banyak juga yang tidak pernah berubah.” Di luar rumah, tukang bakmi tek-tek yang dulu-dulu juga, tukang bakmi langganan Satria, lewat. Ibu tampak mengenali, tapi tidak memanggilnya. ”Bagiku Satria masih selalu ada. Tidak pernah ketemu lagi memang. Tapi selalu ada. Memang lain sekali Satria dengan kakak-kakaknya. Dua-duanya tidak mau pulang lagi dari luar negeri, datang menengok cuma hari Lebaran. Yang sulung Si Bowo jadi pialang saham, satunya lagi Si Yanti jadi kurator galeri lukisan, kata Bapak dua-duanya pekerjaan ngibulin orang. ’Ya enggaklah kalau ngibul,’ kataku, ’apa semua orang harus ikut aliran kebatinan seperti Bapak?’. Biasanya Bapak ya cuma cengengesan. Dasar Bapak. Ada saja yang dia omongin itu. ”Aku sendiri rasanya juga sudah mulai pelupa sekarang. Susah rasanya mengingat-ingat apapun. Belakangan sebelum meninggal Bapak juga mulai pikun. Lupa ini-itu. Kacamata terpasang saja dicarinya ke mana-mana…” Ibu tersenyum geli sendiri. ”Tapi ia tidak pernah lupa tentang Satria. Ia selalu bertanya, ’Seperti apa Satria kalau masih hidup sekarang?’, atau ’Sedang apa ya Satria di sana?’, atau kadang-kadang keluar amarahnya: ’Para penculik itu pengecut semuanya! Tidak punya nyali berterus terang! Bisanya membunuh orang sipil tidak bersenjata, sembunyi-sembunyi pula!’ Wajah Ibu kini tampak sendu sekali. Bahkan tokek untuk sementara tidak berani berbunyi. ”Bapak, kenapa kamu tidak pernah muncul dalam mimpiku untuk bercerita tentang Satria? Pasti Satria menceritakan semua hal yang tidak diketahui selama ini, bagaimana dia diperlakukan, dan apa sebenarnya yang telah terjadi. ”Kenapa kamu tidak sekali-sekali muncul Bapak. Muncul dong sekali-sekali Bapak. Duduk di kursi itu seperti biasanya. ”Memang kamu selalu muncul dalam kenanganku Pak, bahkan juga dalam mimpi-mimpiku, tetapi kamu hanya muncul sebagai bayangan yang lewat. Hanya lewat, tanpa senyum, seperti baru menyadari betapa kenyataan begitu buruk. ”Duduklah di situ dan ceritakan semuanya tentang Satria. ”Ceritakanlah semua rahasia….” Ibu masih berbicara, kini seperti kepada seseorang yang tidak kelihatan. ”Kursi itu tetap kosong. Seperti segalanya yang akan tetap tinggal kosong. Apakah semua ini hanya akan menjadi rahasia yang tidak akan pernah kita ketahui isinya? ”Rahasia sejarah. Rahasia kehidupan. ”Tapi ini bukan rahasia kehidupan yang agung itu. ”Ini suatu aib, suatu kejahatan, yang seandainya pun tidak akan pernah terbongkar…. Telepon genggam Ibu berdering. Ibu seperti tersadar dari mimpi. Ibu beranjak mengambil telepon genggam. ”Pasti ibunya Saras lagi,” gumamnya. Tapi rupanya bukan. ”Eh, malah Si Saras.” Ibu mengangkat telepon genggamnya di telinga. ”Ya, hallo… “ Setelah mendengarkan apa yang dikatakan Saras, telepon genggam itu terloncat dari tangan Ibu yang terkejut, seolah tiba-tiba telepon genggam itu menyetrum. ”Gila!” Ibu berujar kepada tokek di langit-langit yang tidak tahu menahu. ”Para pembunuh itu sekarang mau jadi presiden!”
""Ibu yang Anaknya Diculik Itu""
Mata yang indah itu lantas memerah setelah segelas penuh Johnnie Walker memantik reaksi pada tubuh Kaushalya, perempuan yang kukenal secara tak sengaja di jantung Yarralumla, di dekat Bentham Butcher, tempat aku biasa membeli potongan daging sapi yang segar dan halal. Jika sudah demikian, maka ruh jahat akan merasuki tubuh perempuan berdarah Sri Lanka namun memegang paspor Kanada itu. Matanya adalah nyala api: ada amarah yang hendak diletupkan, ada dendam yang minta dituntaskan. Tubuhnya yang elok bergetar hebat, menguarkan aura iblis dari empat penjuru dunia. Mulutnya berceracau tentang kebiadaban dan kekejian. Jari-jari tangannya yang lentik dan dihiasi kuku-kuku sepanjang setengah sentimeter dan diberi pewarna merah muda menjelma jari-jari ”zombie” yang baru bangkit dari liang kubur: melempar, membanting, dan mencakar apa saja yang ada di dekatnya. Kali ini ia mencengkeram leherku, lantaran memang tidak ada benda lain yang ada didekatnya. Suaranya lantas memberat. Terkutuklah kau tentara Tutsi1 yang telah mengirimku pada raja setan lewat cara paling jahanam, mencencang ragaku bersama tubuh saudara laki-lakiku dalam keadaan telanjang, membiarkan kami bersetubuh, menjadikan kami tontonan. Masih ingatkah kau, di antara gemuruh sorai, satu dari kalian mengambil galah bambu, lalu beramai-ramai menancapkan satu ujungnya yang lancip pada anus tubuh gerilyawan Hutu itu, menusukkannya, menembus perut, mengoyak paru-paru hingga menerobos kerongkongan dan kemudian mengibar-ngibarkan tubuh saudaraku ke angkasa sembari prajurit-prajurit laknat itu memerkosaku bergantian hingga aku sekarat!” Kaushalya masih mencengkeram leherku, kian kuat. Ia benamkan kuku-kukunya yang tajam. Aku memang tidak hendak melawannya, semakin dilawan iblis yang ada di tubuhnya tambah girang dan berkuasa. Seperti pertama kali terjadi dulu, tepat sebulan setelah kami berkenalan hingga akhirnya kami berteman dekat, ia mengamuk melemparkan kursi-kursi dan meja-meja di Sizzle Café, ketika ia usai menenggak tandas sebotol white rum. Tidak ada yang mampu menghentikan dirinya. Tidak juga para sekuriti yang datang berhamburan, hanya bisa melongo melihat perempuan berkulit coklat dan bertubuh sintal namun tenaganya sebanding dengan tiga beruang jantan, tengah berteriak pekak memecahkan bekunya angkasa. ”Terkutuklah kalian orang-orang kulit putih, kalian tahu bagaimana kejinya nenek moyang kalian membakar hidup-hidup laki-laki Indian Huitoto di Putumayo2, sementara anak dan istri moyang kalian bersorak melihat gelimpang tubuh perempuan dan bocah-bocah Indian yang mati perlahan-lahan dengan badan menyerupai tengkorak lantaran tak tega memakan sesama mereka sendiri usai ladang-ladang gandum di bumi hanguskan leluhur kalian!” Bacakanlah mantra itu, jika sesuatu terjadi padaku, please. Demikian pintanya sebelum ia meneguk white rum. Rapalkan kalimat-kalimat sakti itu setakzim orang Mesir menggumamkan mantra kehidupan pada Shawabti, boneka yang terbuat dari lilin atau kayu, supaya ruh kebajikan menelusupi boneka itu, membuat ia bernyawa dan kemudian menjaga tubuh orang-orang mati yang terbebat balsam, melayaninya sedemikian rupa, menggantikan pekerjaan baka mereka dengan memindahkan pasir-pasir dari sisi barat ke seberang timur sungai Nil, serta menjaga kubur-kubur para moyang demi sekaligus membahagiakan hati Dewa Ra, Sang Maha Perkasa. Tentu aku tak percaya untuk apa membaca kalimat-kalimat tak jelas itu. Bukankah cerita Shawabti sama seperti cerita tentang Jelangkung atau Nini Thowok yang beredar di negeriku, permainan yang menjadi guyonan bagi orang-orang yang tidak percaya keberadaan arwah-arwah gentayangan. Tapi memang iblis telah menguasai Kaushalya. Sejak matahari tepat di atas kepala hingga kemudian mencondong ke barat, membuat sinarnya leluasa menerobos ranting-ranting pepohonan jacaranda yang lagi meranggas di puncak musim dingin Canberra, betapa Kaushalya telah menghancurkan kaca, melempari mobil-mobil, menari-nari tak karuan sembari terus merutuki kaum pendatang kulit putih di Putumayo yang mempekerjakan para Indian selayaknya binatang. Ia terus berceloteh betapa tentara kulit putih tak segan-segan memenggal kepala para budak Indian, lantas menyepaknya ke sana kemari selayaknya bola, sementara gembungnya ditancapkan terbalik pada pagar-pagar kayu yang mengitari gudang penampungan hasil sadapan karet demi menakut-nakuti para Indian yang lain yang hendak menuntut balas atas kekejian itu. Bersamaan sirene mobil polisi yang meraung, walau pikiran berselimut keraguan, mulai kubacakan mantra yang diselipkan oleh Kaushalya di dompetku dulu sewaktu akhirnya ia yang mesti mengalah setelah perdebatan yang panjang, untuk membiarkan aku mentraktirnya makan bebek panggang di sebuah restoran Thailand di pusat jajanan Queanbeyan. Ajaib, lima detik seusai aku mengucap kata terakhir, tubuh Kaushalya ambruk ke tanah, tangannya bersimbah darah lantaran menggenggam beberapa pecahan beling. Dan biji matanya yang indah itu tertutup rapat. Orang-orang hanya bisa bergemeremang. Di saat matahari beranjak angslup sementara angin dari telaga Burley mulai meniupkan udara sedingin es, selangkah demi selangkah kupapah tubuh Kaushalya. Maka sama seperti waktu-waktu sebelumnya, sebelum ia memutus urat-urat nadi leherku, lagi dan lagi, kubacakan mantra itu: sama khidmatnya dengan jampi-jampi yang diucapkan seorang shaman Indian untuk mengusir setan-setan gentayangan yang merasuki budak-budak penderas karet yang didatangkan dari Afrika, supaya mereka tetap taat kepada tuan kulit putih mereka. Tubuh Kaushalya lantas terbanting ke lantai, berbarengan dengan tubuhku yang juga bergedebam di atas tubuhnya. *** Mata yang indah dan sejuk itu, berubah layu dan sendu, lantas berakhir dengan air yang meleleh lewat sudut-sudut mata karena aku melarangnya untuk menenggak sebotol red wine yang memang biasa kuseruput untuk mengusir udara musim dingin. Seperti anak kecil, ia terus merengek: meminta barang setengah gelas dengan dalih tubuhnya mulai disergap beku. Iblis mana lagi yang hendak kau undang, Kaushalya! Aku muak dengan jahanam yang selalu berujar lewat mulutmu itu. ”Aku tak mau lagi melihat kau kerasukan arwah gerilyawan Hutu, atau jiwa kaum Indian, apalagi roh perempuan melarat Haiti yang diperkosa tentara junta yang ternyata mengidap HIV, menulari si perempuan hingga mati perlahan-lahan secara mengenaskan karena digerogoti virus mematikan itu, bersamaan dengan jabang bayi yang dikandungnya. Aku sudah bosan, Kaushalya! Lebih baik kita bercerita tentang Canberra yang kekal dingin meski pucuk-pucuk Kowhai sudah mulai bersemi, atau tentang festival bunga yang sebentar lagi digelar di Commonwealth Park, boleh juga tentang Australia yang makmur yang kita tinggali ini yang mampu menarik imigran-imigran dari seluruh penjuru dunia seperti kita. Atau tentang enam orang kulit putih yang biasa menarikan tarian Aborigin di lapangan Universitas Nasional Australia setiap Sabtu dan Minggu, juga tentang pengamen perempuan yang selalu bersimpuh di dekat pancuran Canberra City dengan gitar elektriknya yang nyaring dan suaranya yang merdu, menyanyikan lagu-lagu John Lennon, yang membuat kita ikhlas merogoh lembaran sepuluh dollar untuknya. Lebih baik kita bercerita tentang keindahan, dibanding bercerita tentang kekejian, kebiadaban! Tentu kau juga boleh bercerita tentang Phillip, laki-laki gagah nan tampan yang selalu berkirim salam kepadamu. Mengapa kau menolaknya? Dan mengapa kau malah memarahiku jika aku selalu menjadi kurir dalam menyampaikan salamnya untukmu. Mengapa kau mengacuhkannya? Bukankah ia seorang laki-laki kulit putih yang baik dengan prospek yang baik pula? Kau tak perlu lagi bersusah payah bekerja mengepel lantai dan membersihkan kamar mandi hanya untuk menghidupi diri. Kau bisa ongkang-ongkang kaki jika kau bersama laki-laki itu, Kaushalya!” Perempuan itu terdiam mendengar mulutku bercerocos, tapi matanya tetap berair. Dan setiap kelopak matanya mengerjap, aku merasa ada lorong panjang nan hitam yang disembunyikan oleh mata itu, serupa lubang hitam yang mempunyai kekuatan mahadahsyat yang mampu menyedot komet, planet, bintang, bahkan galaksi. Mata Kaushalya pula yang selalu mengingatkanku pada sesuatu yang terlupa, semacam kepahitan yang tidak bisa digambarkan, namun samar-samar terngiang di telingaku saat aku tertidur dengan badan meriang: tentang gedebuk kaki-kaki orang berselaput amarah dan dendam, tentang panasnya api, tentang rubuhnya harapan, tentang …, ah, … Mata itu, ya, mata itu: mampu menghipnotisku untuk beberapa lama, mengirimku pada sesuatu yang tidak bisa aku ingat, sesuatu yang lenyap begitu saja dari memori otak: semacam amnesia, sesuatu yang membuat dada sakit dan napas tersengal jika aku berusaha keras mengingatnya. Matanya pula yang mampu menarik perhatianku, betah berlama-lama dengannya. ”Ceritakanlah kepadaku mengapa kau meninggalkan Sri Lanka, pergi ke Kanada, dan sekarang kautinggalkan Kanada pergi ke sini, Kaushalya?” Pertanyaan itu kuajukan kepadanya, meski aku sangat tahu ia bakal menolak menceritakan alasan mengapa ia meninggalkan negerinya. Sama hafalnya dengan jawaban yang selalu keluar dari mulutnya, bahwa ia tak mau kehilangan sebelah biji matanya yang indah itu jika ia bercerita tentang dirinya. Tetapi saat ini, rasanya aku punya posisi tawar yang agak masuk akal, mengingat ia terus merengek memohon red wine barang segelas, untuk mengundang iblis merasuki tubuhnya. Ya, semenjak Kaushalya berkenalan dengan Gretchen, perempuan Aborigin yang kalau bicara layaknya orang berteriak, ia selalu kerasukan ruh-ruh penasaran jika menenggak liquor melebihi kadar normal. Entah mantra apa yang ditiupkan ke ubun-ubun Kaushalya, tetapi ia jelas mengaku sangat bahagia usai pertemuan pertama sekaligus terakhir dengan perempuan misterius itu. Sejak itu pula mata Kaushalya yang indah berkesan lebih indah. Biji mata yang sempurna, bagi perempuan yang sempurna, meski ada satu yang mencoreng kesempurnaanya: tatoo di lengan kanannya. Kau selalu melengos bila aku bertanya mengapa lenganmu yang indah itu mesti dirajah jarum-jarum bertinta yang menghasilkan kepala macan bersilangkan dua senapan3. Kau malah marah jika aku meneruskan bertanya. Lantas kau mengatupkan matamu rapat-rapat. Kau memang sangat tahu kalau menutup mata itu lama, otomatis aku akan berhenti bertanya tentang gambar macan atau alasan imigrasimu. Ah Kaushalya, matamu yang indah itu selalu menyiratkan kenangan kelam yang susah diterka seberapa dalamnya, namun pasti lebih dalam dari palung terdalam yang dimiliki tujuh lautan di dunia. Andai saja aku bisa mencongkel biji matamu satu saja dan mencangkokkannya ke mataku, pastilah aku tidak akan mengalami kegamangan yang selalu menyeret jiwaku ke lembah kesepian yang ngungun dan tak bertuan. ”Bacakanlah kalimat-kalimat ini, berikan sebotol anggur dan aku tak perlu lagi menutupi muasal minggatku dari negeriku,” ia menghancurkan lamunanku. Lalu pada sebuah gelas kosong kutuang hingga meluber anggur merah itu sembari kuajukan lagi pertanyaan yang sama kepada Kaushalya yang matanya mulai membelalak dan berbinar. Menit demi menit selanjutnya hanyalah semacam kebodohan membiarkan sekali lagi arwah penasaran manjing di tubuh Kaushalya. Ia tidak bercerita mengapa ia meninggalkan Sri Lanka, tetapi malah berkoar tentang teror yang membuatku sebal dan mual: kebiadaban tentara Serbia yang beramai-ramai menggagahi perempuan Bosnia yang tak berdaya, di depan mata anaknya yang telah babak belur dihajar sepatu lars dan popor senapan dan suaminya yang wajahnya berleleran darah lantaran satu telinga dikerat paksa. *** “Satu tegukan saja Isabel, dan kau akan merasakan betapa nikmatnya kerasukan arwah korban kekejian para manusia berhati serigala. Satu tegukan lagi Isabel Tsai, maka kenangan hitam tentang kebiadaban yang dilakukan bajingan-bajingan pribumi itu akan sesaat lesap dari ingatanmu!” Itu yang masih dapat aku ingat dari bisikan mesra Kaushalya, sebelum aku tahu bahwa aku ternyata punya sejarah kelam yang sama dengannya, sebelum kami bersetubuh untuk pertama kalinya sambil menenggak berbotol-botol vodka, sebelum kami melayang-layang entah ke mana: mungkin ke neraka! * * * Canberra, 24 September 2008 Catatan: 1. Tutsi dan Hutu adalah dua etnik yang selalu bertikai di Rwanda-Burundi, sejak zaman prakolonialisme hingga kini. Dalam sejarah, keduanya berkuasa bergantian, sembari setiap penguasa membantai yang dikuasai, berulang dan terus berulang. 2. Sebuah wilayah di pedalaman Peru di sepanjang Sungai Putumayo. Pada awal abad ke-20, saat booming karet melanda dunia, pendatang Inggris menguasai daerah itu, mendirikan gudang-gudang penyimpanan karet, mempekerjakan para Indian dan budak Afrika dengan cara-cara yang kejam sehingga antropolog Michael Taussig menyebut habitus Putumayo saat itu sebagai culture of terror–space of death. 3. Simbol gerakan separatis Macan Tamil di Sri Lanka. Dominasi etnis mayoritas atas minoritas Tamil yang ada di wilayah selatan Sri Lanka disinyalir memicu munculnya gerakan yang kemudian dicap teroris oleh sebagian besar negara di dunia.
""Biji Mata Kaushalya""
Dinanti-nanti matinya, Wak Haji Mail malah mulai mengigau. Semula tak seorang pun menangkap apa yang dikatakannya. Kupikir bukan tak bisa. Tak mau, lebih tepatnya. Aku sendiri, begitu diizinkan mendengar langsung segera mencerna, bukan kata, melainkan sepotong nama. Gumam ini berulang di antara tarikan nafasnya yang payah. Saodah. Dua minggu setelah rumah sakit menyerah dan mengembalikannya ke rumah, Wak Haji Mail belum juga dijemput Izrail. Keempat belas anak dari tiga pernikahannya semakin sulit meredam cemas, silih berganti berjaga di luar kamar, siap untuk memberontak dari pembagian harta waris yang tak adil. Tak mungkin adil. Lepas maghrib tadi Haji Mail membuka mata dan mulutnya kembali bersuara. Satu jam kemudian semua orang terus berebutan masuk sehingga Wak Misnah naik pitam. Empat belas anak, beserta cucu-cucu, tentulah membuat keadaan bisa cepat berubah menjadi pasar malam. Itulah saatnya Wak Misnah, istri pertama Haji Mail, mengusir semua orang dan memanggilku masuk. ”Kau dengar?” tanya bibiku setengah membentak. Aku diam sebentar. Di depanku, Wak Haji terbaring seperti sepotong kayu. Lamat-lamat, di antara nafasnya yang berat, bisa kudengar suaranya, rendah dan kesakitan. Ke arah Wak Misnah, aku mengangguk. ”Panggilkan dia.” Suara bibiku agak goyah, mengejutkanku. Apa yang dicemaskannya? Di jalan, kukarang-karang sendiri ihwal sepotong cinta tak sampai Wak Haji Mail pada Mak Saodah. Persis seperti cintaku pada Aminah. Beberapa menit usai kuajukan permintaan keluarga kami, Mak Saodah tetap bergeming. Sebelumnya, kubayangkan ia akan bergegas, merapikan dirinya dan sebentar kemudian duduk di boncengan motorku. Sekalipun Wak Haji Mail mengamalkan ilmu golok dalam perkara sedekah, semua orang kampung tahu kalau Mak Saodah seperti selalu menyimpan obat kikir di sayur dan lauk masakannya. Tak cukup mendirikan kakus dengan tangki septik, Wak Haji Mail mengirim orang untuk membangun lapak setengah permanen, menyemen lantai bagian depan rumah Mak Saodah, memasangkan listrik, dan menyekolahkan kelima anak Mak Saodah sampai SMA. Terakhir ia menghibahkan kulkas bekas istri keduanya supaya Mak Saodah bisa bikin sendiri es batu dan es lilin. Di depanku Mak Saodah masih tak bergerak. Matanya mulai berkaca-kaca dan sempat kukira ia terharu. Aminah, putri sulungnya, mendekat. Sejak tadi ia membisu di pojokan, mendengarkan. Kini ia meraba-raba punggung maknya, menenangkan. Kulihat sesaat, sepertinya rahang Mak Saodah bergemeretak. Aku tak yakin. Aminah menatapku tajam-tajam. Aku mulai gelisah. Tatapannya selalu membuatku merasa telah melakukan kesalahan. Sejak dulu. Mungkin karena pikiran kotor mudah terbaca. Semenjak tiba dari luar negeri, minggu lalu, baru kali ini kulihat dia. Aminah semakin cantik. ”Mak nggak mau. Sebaiknya kamu pulang,” kata Aminah pelan, sungguh-sungguh. Kalimat ini menusuk ulu hatiku. Perutku mulas. Ia pernah mengatakan kalimat serupa ini padaku. Kata-katanya, susunannya, lagunya, hampir sama. Satu-satunya perbedaan, dulu ia ajukan kalimat ini bukan atas nama maknya, melainkan dirinya sendiri. Kupaksakan menatap matanya, berusaha keras tak menyerah pada kecantikannya. Dulu, aku gagal, lalu menundukkan kepala, melangkah pulang dengan gontai, menikahi sepupu yang sudah lama dijodohkan untukku supaya lupa, tapi malah mendapati, sepanjang akad nikah, wajahnya menghantuiku. Kini aku bersumpah, dalam hati, tak lagi. Kubulatkan tekadku. Kali ini, aku tak akan pulang dengan tangan kosong. Sekurang-kurangnya, aku harus mendapatkan alasan. Aminah tersenyum, agak aneh. Sepertinya ia merendahkanku. Ya, ia merendahkanku. Apakah dulu juga ia merendahkanku? ”Alasan, Minah. Sekurang-kurangnya ada alasannya.” Kalimat ini, aku tak yakin sedang kuajukan untuk perkara yang mana. Entah kenapa, ia menunduk. Ia sepertinya berpikir sebentar sebelum kemudian memutuskan untuk memapah maknya bangkit, lalu menuntunnya ke belakang, ke dapur. Sesaat kemudian, dari dapur itu, kudengar suara meraung. Suara Mak Saodah. Kukarang-karang penjelasan di dalam kepalaku. Mak Saodah tak mau datang karena tak bisa menerima orang yang begitu berjasa dalam hidupnya sedang menjelang ajal. Ia tak mau terlihat begitu sedih. Tak mau menambah parah kesedihan yang ditanggung keluarga Haji Mail. Ini pikiran yang aneh, sebenarnya. Semua orang tahu betapa keras Mak Saodah. Keras menghadapi pelanggannya, keras menjaga rahasia dapurnya. Bertahun-tahun membuka warung makan di kampung itu, tak membuatnya pandai beramah tamah. Para pelanggan memanggilnya Mak Galak, tetap kembali ke warungnya semata-mata karena kelezatan masakannya sulit disaingi. Aku mengenalnya hampir seumur hidupku dan tak pernah sekali pun kulihat ia tersenyum. Tidak juga kepada Haji Mail atau orang-orang terpandang di kampung ini. Bocah-bocah kampung kami menjulukinya Nenek Sihir Hutan Larangan karena bila malam datang ia selalu menggerai rambutnya yang panjang dan membuat sosoknya semakin mengerikan. Pikiranku belum terurai baik ketika Aminah keluar. Matanya merah dan sembab. Aku yakin ia turut menangis. Ia duduk di hadapanku, tapi sempat menoleh ketika mendengar teriakan dari arah dapur. Teriakan ini disusul bunyi piring pecah terbanting. Atau dibanting. Aminah kembali memandangku, tapi kali ini tenang, setenang suaranya memenuhi permintaanku. Sepotong alasan, sepenggal cerita. Aku masih akan tak paham bahkan jauh sesudah ia menyelesaikan cerita ini. Entah karena ceritanya begitu sulit dan mengerikan atau karena sepanjang bercerita, ditingkahi bebunyi piring pecah terbanting, suaranya tetap setenang kolam. Ketika aku dipanggil masuk, Wak Misnah sedang duduk di sisi kiri kepala Haji Mail. Itu sisi kuping Haji Mail yang masih mau bekerja. Aku duduk, tapi gagal mengatasi cemas. Haji Mail bergumam panjang, kepayahan. Wak Misnah mendekatkan telinganya ke mulut Haji Mail. Tak yakin, Wak Misnah bertanya di telinga si kikir. Ia kembali bergumam tak terang, tapi Wak Misnah sepertinya paham. Bibiku itu berdehem dan mengangguk-angguk. ”Apa kata si Saodah?” tanyanya, setengah membentak. Pertanyaan ini tak sedikit pun terasa janggal di mulutnya, padahal setengah jam yang lalu jawabannya sudah ia terima. Sekalipun sudah kuceritakan sebelumnya, aku tahu ceritaku akan kembali terbata-bata. Bahkan lebih buruk. Begitu panik, kalimatku jadi berantakan dan tak urut, seperti bocah belajar bicara. Untung, Wak Misnah rajin memperbaiki kekacauanku. Ia menyampaikan ulang ceritaku di telinga si kikir dengan lantang, sebagaimana yang selalu dilakukannya 10 tahun terakhir. ”Ada lagi?” sentak bibiku. Aku tercekat sebentar sebelum menggeleng. Di antara perasaan cekat dan gelengan kepalaku sempat terpikir untuk mengutarakan rahasia yang diceritakan Aminah padaku. Rahasia yang sesungguhnya tak terang karena hanya berupa garis-garis besar. Haji Mail berdosa pada Mak Saodah. Suaminya, ayah Aminah, difitnah murtad, syirik, musyrik, kafir, diasingkan orang sekampung seperti penderita kusta, dibiarkan mati tanpa harga diri. Kuurungkan pikiran ini ketika kudengar Haji Mail mengerang. Erangnya panjang, kesakitan dan menyakitkan. Aku yakin pilihanku tepat. Tak perlu kuceritakan, Haji Mail ingat. Lima belas menit kemudian, sesudah menitipkan sepotong pesan yang hanya bisa didengar istrinya, Haji Mail dan sepenggal ingatannya pergi. Aku melihatnya meregang nafas yang terakhir, satu hembusan nafas pelan seperti menghempas hidup yang melelahkan. Bulu kudukku naik. Aku baru saja sekamar dengan Izrail. Wak Misnah masih berusaha memastikan perintah terakhir suaminya, bertanya dengan lantang di telinga yang baru saja ditinggalkan pemiliknya. Pagi buta, sehabis subuh, aku kembali ke rumah Mak Saodah dengan perasaan tercampur-campur. Menghadapi Mak Saodah membuatku takut, tapi pulang tanpa usaha dan menghadapi Wak Misnah juga sama mengerikannya. Terbata-bata kupaksakan diriku menyampaikan permintaan terakhir Haji Mail. Mak Saodah mendengarkan permintaan ini dengan tenang. Tak bisa kuceritakan perasaan legaku ketika kulihat ia mengangguk. Ia bangkit dari duduknya dan tak kutemukan perempuan tua yang perlu dipapah untuk berjalan ke dapur, tadi malam. Mak Saodah penuh kekuatan. Sampai di dapur, sempat ia sibakkan tirai, menutupi pintu. Bayangannya tampak besar di tirai itu. Aminah masih tinggal bersamaku. Tampaknya Mak Saodah belum mengizinkan Aminah menginjakkan kaki di dapurnya. Bekerja seorang diri untuk memenuhi permintaan almarhum Wak Haji, Mak Saodah harus bergegas menyiapkan masakan untuk ratusan orang yang akan bertahlil malam nanti. Gelas teh di depanku masih setengah penuh sehingga kuputuskan duduk lebih lama. Lagi pula aku tak tahu mau ke mana. Pemakaman baru akan dilakukan sesudah matahari terbit, kembali ke rumah bibiku cuma akan mengotori pikiran ketimbang membersihkannya. Keempat belas sepupuku sudah lepas kendali, pertengkaran tak mungkin ditunda lagi. Suasana hati Aminah, entah bagaimana terasa sedikit cerah. Terpikir untuk bertanya apa benar ia bekerja sebagai juru masak di luar negeri dan benarkah, sebagaimana yang dikatakan orang-orang, bahwa ia tak ingin kembali tinggal di kampung ini. Berdehem-dehem tak pantas, kuputuskan untuk membuka percakapan. ”Kudengar kau suruh Makmu berhenti dagang, Minah?” Aminah menatapku, tampak senang dengan pertanyaanku, lalu mengangguk. ”Ya, tapi Mak nggak mau.” ”Kenapa?” Senyum Aminah hilang, tapi matanya masih bulat bening. Ia tampak berpikir sebentar sebelum kemudian berkata, ”Mak bilang, berdagang itu alasannya hidup.” ”Berdagang?” Aminah tampak memikirkan jawabannya lagi. Sebentar kemudian ia menemukan kata yang lebih tepat. Beberapa kata. ”Bukan, bukan berdagangnya. Memasak untuk orang kampung. Ya, itu yang menyelamatkannya,” kalimat Aminah terputus sebentar. Sorot matanya sempat nyalang ketika dia bergumam, ”itu menyelamatkanku.” Pernyataan ini, membingungkan. Seluruh kampung ini, jika benar cerita Aminah kemarin, bukankah neraka bagi Mak Saodah? Aku duduk diam dan berusaha memecahkan kebingunganku. Lama. Sepuluh menit kemudian, Aminah sepertinya mulai kasihan pada wajahku yang merot-perot karena tak paham. Ia memanggilku mendekat. Aku datang dengan sigap, tapi ia cepat menempelkan jari telunjuk di mulutnya, matanya membeliak nakal mengancam. Aku memperhalus langkahku, mendekatinya tanpa suara. Ia membungkuk di dekat tirai dapur, aku mengikutinya. Sesaat kuingat, kami berdua sebagai bocah berumur delapan tahun, 20 tahun yang lalu, berjingkat mengintip Mak Saodah. Dulu, jauh sebelum mencapai tirai dapur Mak Saodah sudah membentak kami. Kini suara bentakan itu tak kunjung datang. Aku menunduk di belakang Aminah. Kami sangat dekat, aku bisa melihat tengkuk di bawah gelung rambutnya, mencium wangi tubuhnya, rambutnya. Lehernya, siap menenggelamkanku. Aku agak mabuk, tak percaya. Sesaat bahkan kegirangan meluap-luap dan jantungku berdebar. Jari-jari Aminah yang cantik menyibak tirai dapur. Dengan sebelah mata bisa kulihat, Mak Saodah sedang bekerja, memotong-motong bahan masakan, menyiapkan tungku, memasukkan bumbu-bumbu ke dalam panci. Butuh beberapa detik untukku menemukan apa yang ganjil dari semua ini. Mak Saodah terus-menerus meludahi bahan-bahan masakan yang sedang dikerjakannya. Aku sempat tak awas karena Aminah menoleh ke arahku, ia sepertinya merasakan nafasku terlalu dekat, hangat di pipinya. Aku terkejut. Pada saat itulah aku berbisik, kelepasan bertanya. Pertanyaan yang lama kupendam dan kukira sudah tak akan kuajukan lagi. ”Minah, kenapa dulu kau menolak lamaranku?” Aku tak ingat apakah Aminah sempat menjawab, sebab dari dalam dapur maknya membuatku terperangah. Mak Saodah sedang mengangkat kainnya tinggi-tinggi, melewati lutut, lalu berdiri setengah jongkok mengangkangi salah satu panci yang isinya mulai mendidih. Raut wajahnya, gabungan yang ganjil antara mengejan dan kebencian, mengerikan. Sedetik kemudian, dari tempatnya berdiri, kudengar suara desing yang akrab dan gemericik air jatuh ke panci. Mak Saodah meludah lagi ke panci, sekali. Desing dan gemericik itu belum selesai ketika mata Mak Saodah menusuk tajam, menatapku. Sesudah tahlilan bubar, aku duduk di samping Wak Misnah. Sambil membantunya membagikan besek makanan, aku dipaksanya mendengar petuah lama. Petuah ini tak masuk akal dikatakannya saat ini, tapi tampaknya bibiku sedang ingin mengoceh tak karuan agar pikirannya tak dipusingkan persoalan. Dua anaknya baru saja mau saling bunuh, sore tadi. Sungguhpun hapal luar kepala, kudapati bahwa tak pernah dua ajaran ini kupahami seperti sekarang. Pertama, bahwa ada 42 jenis gila manusia. ”Jika hendak kau pahami semuanya, ingat-ingat saja tindak-tanduk uwakmu, Haji Ismail almarhum.” Kedua, bahwa tempat gila manusia sudah lama terpisah-pisah. Laki-laki sinting di jalan, perempuan di dapur. ”Itulah kenapa kalian tak pernah paham. Jangan pula kau kira kau lebih pandai dari bibimu ini. Mati kuracun kau nanti.” Hidup diracun, menurutku, lebih ngeri.
""Perempuan Sinting di Dapur""
Karena pagi buta, tak ada yang tahu bagaimana peristiwa sebenarnya. Tapi seorang wartawan, yang mengutip keterangan polisi, menulis berita begini: ”… Pembunuhan itu terjadi sekitar pukul 05.00. Sadim baru bangun tidur dan tiba-tiba menusuk Rasikun. Dalam berita acara pemeriksaan oleh polisi disebutkan, Sadim kalap dan menusuk si majikan karena persoalan upah. Masih menurut polisi, Sadim, warga Kampung Cibeo, Desa Kanekes, Kabupaten Lebak, itu marah karena Rasikun menolak memberikan upah yang ia minta.” Dan hari ini, enam bulan kemudian, untuk kesekian kalinya Sadim digiring ke ruang sidang. Seperti sidang-sidang lalu, wajah Sadim masih tampak terheran-heran, celingukan mencari-cari, atau kadang bagai termangu. Dan pakaian putih-putihnya yang lusuh—terlihat nyaris cokelat karena bekas-bekas tanah yang tak mau hilang; cara duduknya yang aneh—membungkuk dalam dengan dua tangan jatuh telentang bagai ditampungkan di pangkuan, melengkapkan kesan lelaki 40-an tahun yang menyebut diri urang Rawayan itu seolah tak berada di dalam ruang sidang. Dan memang, sebenarnyalah, Sadim tidak sedang berada di dalam ruang sidang. Ia berada pada suatu tempat dalam pikirannya: Liang Harimau. Liang Harimau, atau dalam bahasa urang Rawayan disebut Liang Maung, terletak di kaki Gunung Rorongocongok. Merupakan hutan lindung yang tak boleh dirambah, tetapi entah bagaimana Rasikun bisa memiliki sebidang tanah sangat luas lalu membuka ladang di sana. Dan Sadim, yang telah dua tahun ini bekerja serabutan di kampung-kampung sekitar, pun menerima kontrak kerja dari Rasikun. Dengan upah empat liter beras perhari, setiap dinihari, dari rumah si majikan, Sadim berangkat ke Liang Harimau. Sebetulnya, berat bagi Sadim menerima pekerjaan itu. Bukan karena luas atau liarnya hutan yang harus dirambah, tetapi karena Liang Harimau bagi mereka urang-urang Rawayan adalah salah satu hutan yang dipercayai sebagai tempat bersemayamnya ruh nenek moyang. Orang-orang luar tangtu (kampung) seperti Rasikun mungkin hanya mengenal lokasi itu sebagai ”angker”, tetapi bagi urang-urang Rawayan Liang Harimau adalah tempat ruh nenek moyang turun bermain setelah hidup abadi di lemah bodas (surga). Tanpa harus ditegur Puun atau Kepala Adat pun, takkan ada urang Rawayan yang berani sembarangan ke—apalagi ”mengganggu” di—Liang Harimau. Tetapi begitulah, betapa sulitnya memperoleh pekerjaan. Sejak tanah humanya mulai tandus dan hasil panennya tak pernah lagi cukup pengisi leuit atau lumbung padi keluarga, Sadim terpaksa mencari kerja ke tangtu atau kampung-kampung luar untuk mendapat tambahan atau upah apa saja. Kadang, melihat sawah atau tanah kampung-kampung luar yang seperti bisa ditanami selamanya, ia berpikir dan kemudian heran, kenapa adatnya tak membolehkan urang-urang Rawayan memakai apa yang disebut orang-orang kampung luar sebagai pupuk? Dan juga, kenapa para leluhur tak membolehkan mereka bertanam padi dengan cara bersawah? Ah, larangan-larangan itu: tak boleh merokok, mandi menggunakan sabun, memiliki alat rumah tangga yang terbuat dari barang pecah-belah; dilarang memelihara hewan berkaki empat kecuali anjing; dilarang tidur berbantal dan bertikar, memakai pici, naik kendaraan…. Tetapi, larangan dari Rasikun, sungguh di luar perkiraan Sadim. Tiga hari sebelum pembunuhan itu, Sadim dikunjungi saudaranya dari Cibeo yang khusus datang ke rumah Rasikun mengabarkan bahwa orang-orang kampungnya akan menggelar upacara Ngasep Serang. Inilah upacara adat sangat penting, upacara membakar lahan sebelum musim tanam, yang harus diikuti oleh segenap warga urang Rawayan. Bagi Sadim, larangan-larangan atau pantangan-pantangan lain yang sangat banyak itu—dengan mencuri-curi—masih bisa dirinya langgar. Tetapi upacara Ngasep Serang, bahkan andai tak diwajibkan hadir pun, sungguh Sadim tak berani. ”Ngasep Serang? Upacara apa itu?” tanya Rasikun, dalam bahasa Sunda bercampur Rawayan, ketika Sadim minta izin tak berangkat kerja ke Liang Harimau, nanti, di hari upacara, karena harus pulang ke Cibeo. Sadim pun menerangkan. Entah karena memang kurang peduli, atau entah karena Sadim menerangkan dengan banyak kata dan istilah dalam bahasa Rawayan, Rasikun tak begitu mengerti. Tapi dengan tahu bahwa Ngasep Serang adalah semacam upacara agar tanaman urang Rawayan nantinya berhasil baik dan diberkati Sahiyang Tunggal (Tuhan), Rasikun merasa cukup. Memang Sadim menyebut-nyebut Girang Puun, puun tertua, Jaro Tangtu, jaro pengurus masalah-masalah adat, Tangkesan, pembantu Puun yang mengurus masalah pertanian, dan Dukun dan Penujum yang mengurus masalah keagamaan dan upacara-upacara adat, tetapi bukankah Sadim tidak salah seorang dari mereka? ”Kalau kau tak ada, Sadim, bukankah upacara itu tetap terselenggara?” tanya Rasikun. Sadim bingung. Diam, tak bisa menjawab. ”Kau tak boleh pulang. Ladang di Liang Harimau sudah harus bisa ditanam sebelum musim hujan.” Dan hari itu, Sadim berangkat kerja ke Liang Harimau dengan hati gundah. Di sepanjang jalan, ia terbayang leuit yang kosong. Juga tanah huma yang tandus. Ketakhadirannya di Ngasep Serang tak hanya akan membuat tanah dan tanaman marah, tetapi, seperti pernah dibilang Penujum, ”Seluruh alam dan isinya bakal melawan, jadi musuh urang, mengincar di kala sempat.” Mengincar? Sebelum pulang, senja itu, Sadim merasa ada sepasang mata mengawasinya. Saat ia menoleh ke seberang sungai—sungai kecil yang meliuk mengalir dari pinggang Gunung Rorongocongok sekaligus pembatas tanah Rasikun, Sadim terkejut: seekor harimau! Seekor harimau menatap nanap ke arahnya! Sadim pulang dengan menggigil. Ketakutan. Saat ia ceritakan kepada Rasikun, si majikan tertawa seraya bilang tentu saja wajar di hutan selebat itu hidup bermacam binatang buas termasuk harimau. ”Kau tahu, mereka tak bakal mengganggu, takkan melakukan apa-apa sepanjang kita juga tak mengganggu mereka,” tambah Rasikun. Tetapi, besoknya, senja juga, Sadim kembali mendapati si harimau ada di sana. Menatap, bukan hanya nanap—tetapi kini bagai mengancam, ke arahnya. Sungai itu … sungai kecil itu, tidakkah bisa saja dilompati olehnya? Saat pulang, Sadim merasa harimau itu mengikutinya. Dan lalu, besoknya, pembunuhan itu terjadi, di pagi buta. Dan begitulah hari ini, enam bulan kemudian, untuk kesekian kalinya Sadim berada di ruang sidang. Dan seperti sidang-sidang lalu, majelis hakim kembali tampak seolah kebingungan, kehilangan akal, mendapati jawaban Sadim yang bagai tak nyambung, tak runut, bahkan tak sesuai dengan berita acara pemeriksaan. ”Nu maneh tempo harita teh saha (dulu, yang kau lihat itu siapa),” tanya Kepala Desa Kanekes menerjemahkan pertanyaan Ketua Majelis Hakim tentang siapa yang ditusuk Sadim sekitar pukul 05.00 enam bulan lalu itu. ”Maung (harimau),” jawab Sadim, lirih …. Payakumbuh,   20 November 2008
""Liang Harimau""
Kuceritakan apa yang kulihat. Tapi kalian mengatakan aku dusta, karena aku buta. Aku memang tak punya mata. Namun berapa kali mesti kukatakan pada kalian, betapa aku bisa melihat langit yang hijau lembut dan halus seperti permukaan agar-agar. Aku bisa melihat pepohonan yang ungu, daun-daunnya yang kemerahan, butiran hujan yang bening keemasan hingga segalanya jadi tampak megah bekilauan setiap kali ia ditumpahkan. Bisa kulihat hamparan rumput yang biru bagai beludru, gugusan awan merah muda, bayang-bayang yang putih dan memanjang, juga angin yang pucat kelabu. Aku bahkan bisa menyentuhnya dengan ujung-ujung jemariku, seperti menyentuh kelembutan sutra yang berkibaran. Aku bisa melihat segala yang tidak mampu kau pandang dengan sepasang matamu. Baiklah, untuk kesekian kali, kuceritakan pada kalian apa yang kusaksikan. Aku melihatnya di pinggir jalan itu. Seperti malam-malam sebelumnya, ia selalu muncul dengan gaun yang mengundang, kakinya jenjang, berdiri menunggu seseorang datang, dan kau menyebutnya pelacur. Saat pertama kali melihatnya, aku langsung tahu. Namanya Mawar. 28 tahun lebih enam hari. Dia lahir saat hujan turun begitu lebat jam sembilan pagi. Sebulan setelah melahirkannya, ibunya gila karena guna-guna istri muda simpanan suaminya. Aku melihat garis pedih dan hitam. Aku bisa melihat semua yang hendak disembunyikannya. Bilur jejak luka di tubuhnya, dua anaknya yang sakit-sakitan di rumah petak kontrakannya di pinggiran kota sana, masa lalunya yang penuh kesedihan, suaminya yang minggat, dua tahi lalat kecil di punggungnya. Sungguh, tak ada yang tak terlihat olehku yang buta. Juga hari paling nestapa dalam hidupnya yang bakal tiba. Itulah sebabnya aku menyukainya sejak pertama. Ia seperti dikutuk kecantikannya. Kuceritakan penglihatanku. Tapi ia hanya tertawa. ”Kenapa mesti takut? Berkali-kali aku kena garuk. Aku tahu bagaimana caranya mengatasi,” katanya. ”Aku cuman perlu memberi sedikit kesenangan pada para petugas itu.” Ia sebenarnya tak terlalu suka bicara. Sementara para pelacur lain berkeliaran sambil cekikikan genit setiap ada laki-laki muncul, ia memilih menyendiri. Kadang tampak ganjil juga melihat sosoknya di jalanan merah remang ini. Tapi itu membuatku jadi bisa sering mengajaknya bercakap. Pernah ia cerita tentang pelacur tua yang matanya menjadi buta karena rajasinga. ”Dan kamu, kenapa buta?” Ia sayu menatapku. ”Aku tak buta. Aku memang memilih tak punya mata.” Lalu aku pun bercerita padanya. Ketika sepasang malaikat membawa ruhku turun dari langit, mereka bergantian membisikkan nasib yang akan kujalani. Kemudian ditiupkan ruhku pada rahim perempuan yang akan menjadi ibuku. Seperti tanah liat yang mulai terbentuk, disematkannya tangan dan kaki pada tubuhku, diberinya aku degup jantung. Aku senang sekali ketika sepasang malaikat itu mulai memberiku telinga mulut dan hidung. Kemudian ditunjukkan padaku sepasang mata yang indah, dan berkata, ”Mata ini akan membuatmu jelita. Tapi kau akan menderita karenanya.” Lalu kukatakan pada malaikat itu, ”Biarlah aku tak punya mata saja.” ”Bila kau tak punya mata, kau akan melihat banyak rahasia.” ”Kalau begitu, buat apa aku punya mata, bila aku bisa melihat tanpanya?” Lalu mereka menyimpan sepasang mata itu. ”Baiklah, kami akan menaruh matamu ini di surga. Kelak, kamu bisa kembali mengambilnya.” Tentu, kau bisa menduga, ketika aku lahir dan menatap dunia, perempuan itu langsung meraung ketika tahu anaknya tak punya mata. Ia begitu membenciku, dan tak pernah mau menatapku. Ia membuangku. Aku bahkan tak pernah tahu namanya. Seorang pemulung menemukanku di tempat pembuangan sampah, kemudian menjualku pada seseorang yang menampung para pengemis. Melihatku yang tak punya mata, ia seperti menemukan barang langka paling berharga. ”Anak ini akan membuat ibu siapa pun yang menatapnya. Anak ini akan membuat orang tak sungkan-sungkan melemparkan receh mereka.” Di rumah itu tinggal banyak anak-anak yang bagai barang rongsokan. Seorang anak kedua kakinya pengkor. Seorang anak tampak begitu idiot dengan air liur kental bacin yang terus berleleran. Ada yang bongkok. Ada yang gagu. Jileng. Perot. Digerogoti kusta. Bahkan seorang bocah yang tampak manis sengaja diiris telinganya dan dibiarkan jadi borok agar terlihat menyedihkan. Tentu, aku menjadi yang paling menyedihkan di antara mereka, dan karenanya bisa menghasilkan banyak uang setiap mengemis. Aku tahu, orang-orang lebih suka cepat-cepat memberi uang recehan mereka dan bergegas pergi ketimbang berlama-lama bersitatap denganku. Siapa yang tahan memandang wajah dengan sepasang liang hitam menganga? Sengaja kubuka kelopak mataku, dan ia bergidik ngeri. ”Lihat, kau pun takut menatapku.” Aku bisa memahami perasaannya. Seorang pelacur cantik duduk bersama perempuan tua buta, kukira memang bukan pemandangan yang menyenangkan. Ia bisa kehilangan pelanggan. ”Bukannya aku tak percaya. Tapi dengan apa kau melihat, kalau kau tak punya mata?” ”Aku melihat dengan mata yang tak kau punyai. Aku bisa melihat seekor kelabang mendekam di balik batu itu. Aku bisa melihat suara kucing yang mengeong di atap rumah ujung jalan itu. Pandanglah ujung gang yang kelabu itu, aku bisa melihatnya mengembang dan mengerut seperti gumpalan kabut. Aku bisa melihat kota ini seperti bola bekel raksasa yang lembek, aku bisa menyentuhnya dengan tanganku, cahaya seperti lumer di sela jariku. Aku bisa melihat menara jam di tengah kota bergumam muram tengah malam, kemudian meliuk merunduk. Aku bisa melihat maneken-maneken yang berkedip, menggeliat bosan terkurung etalase toko-toko sepanjang jalan ini. Mereka seperti pelacur-pelacur kesepian yang menunggu pelanggan dan sentuhan…” Dia tertawa. ”Lihatlah, bahkan aku bisa melihat tawamu yang ungu kebiru-biruan memuai di udara.” Ia kembali tertawa. Kutegaskan padanya, betapa setiap suara punya warna yang berbeda-beda. Kau mendengar suara, aku bisa melihatnya. Ia terus tertawa. Aku tahu ia mulai nyaman di dekatku. ”Kau menyenangkan. Caramu bercerita membuatku tak tertalu kesepian,” katanya. Sejak itu aku sering menemaninya. Ia suka setiap aku menceritakan yang kulihat. Dunia yang kusaksikan membuatnya terpesona. Lalu kukatakan apa yang bakal menimpanya. Ia memang tak menuduhku berdusta, tapi tak percaya. Aku ingat betul malam itu ia terlihat lebih sedih dan gelisah. Barangkali ia pun merasakan firasat itu, tetapi tetap bersikeras tak mempercayainya. Hujan yang biru pekat membuat jalanan menggigil, dan angin yang buruk seperti kaleng rombeng yang bergerompyangan menabrak-nabrak dinding. Lepas 3 dini hari. Sebagian pelacur telah pergi. Ia berteduh di trotoar, rambutnya basah tertempias hujan. Di pojokan toko, aku rebahan di tumpukan kardus memandangi bayangan takdir paling getir. Aku seperti mendengar lecut petir, ketika kulihat beberapa pelacur bergegas menyingkir. Mobil patroli yang mendadak muncul membuat semuanya kocar-kacir. Ia pun hendak lari. Tetapi para petugas sudah mengepungnya. Aku bisa melihat lelehan sisa arak di mulut petugas-petugas itu. Aku tahu mereka barusan menenggak berbotol-botol arak sebelum sampai ke sini. Arak yang memadamkan sepi dan membangkitkan birahi. Itulah sebabnya mereka menjadi lebih beringas dari biasanya. Aku melihat aroma pekat kecoklatan napas mereka ketika menyeringai tertawa. Mungkin saat itu aku berteriak. Mungkin tidak. Semuanya berlangsung begitu cepat. Seorang memukulku yang mencoba menolong Mawar. Aku bahkan nyaris dicekiknya, tapi petugas yang lain segera berteriak, ”Biarkan! Dia cuma perempuan buta itu!” Dan inilah yang kusaksikan malam itu: Mereka menyeret Mawar yang terus meronta. Melemparkannya ke mobil patroli. Membawanya pergi kemudian menyekapnya di gudang. Aku bisa melihat semuanya dengan jelas. Begitu nyata dalam penglihatanku. Wajah Mawar pucat, bibirnya bengkak kena pukul, seekor cicak kaget menyelusup ke celah dinding, ketika Mawar menjerit. Mereka menyumpal mulutnya. Memelorotkan pakaiannya dengan paksa, kemudian bergiliran memperkosanya. Sunyi yang paling hitam membenamkan penglihatanku yang penuh kepedihan. Isak tangis muram menyelubungi gudang itu, bercampur erang yang terdengar bagai muncul dari binatang terluka. Lalu kusaksikan Mawar mendadak bangkit menyerang sambil menjerit panjang. Ia hantam kepala seorang pemerkosanya dengan lonjoran besi yang berhasil diraihnya. Ia mengamuk dengan buas. Dihunjamkannya berkali-kali besi itu ke tubuh yang terkapar… Begitulah kejadiannya. Kuceritakan apa yang kusaksikan, tapi kalian tak pernah percaya pada saksi mata yang buta. Padahal bukan aku yang dusta, tapi mereka. Peristiwa pemerkosaan itu mereka tutup-tutupi dengan pembunuhan itu. Mereka bilang mereka tengah patroli seperti biasa. Mawar mereka bawa dan nasihati baik-baik ketika mendadak ia mengamuk. Rupanya ia mabok berat. Di tasnya ada beberapa butir pil dan pisau lipat—yang sengaja ditaruh petugas untuk menjebaknya. Ada bercak darah di pisau itu. Dan selanjutnya kalian tahu sebagaimana diberitakan koran-koran: dikatakan Mawar baru saja membunuh seorang pelanggan yang tak membayarnya. Bahkan petugas bisa mengembangkan bukti, ternyata dialah psikopat yang selama ini mereka cari. Ia pembunuh yang telah memotong-motong delapan korbannya. Pelacur dan pembunuh. Itu alasan yang cukup untuk menyeretnya ke tiang gantungan. Kalian seketika merasa nyaman karena pembunuh misterius itu telah tertangkap. Dan kalian makin merasa tenang karena kalian memang ingin melenyapkan maksiat dari kota. Pelacur-pelacur mesti disingkirkan. Mereka selama ini membuatmu jengah karena takut dengannya suami-suami dan anak laki-laki kalian berzina. Segala yang cabul mesti dimusnahkah, karena begitulah menurut undang-undang yang baru kalian sahkan. Maka kalian pun hanya diam ketika Mawar diarak ke alun-alun kota, dicambuk dan dirajam, kemudian digantung sebagai tontonan. Kusaksikan senja yang memar, burung gagak merah berkaokan, dan angin yang muram berkesiur pelan membuat tubuh itu terayun di tiang gantungan. Sampai malam. Keesokan harinya kalian gempar. Mayat itu lenyap dari tiang gantungan! Di pasar. Di kantor. Di ruang tunggu rumah sakit. Di warung dan kafe. Di pangkalan ojek. Di seluruh kota. Orang-orang ramai membicarakan. Sampai sekarang pun kalian masih terus kasuk-kusuk. Kalian kebingungan ketika anak-anak kalian bertanya. Karena bagaimanapun tidaklah mungkin mayat itu lenyap begitu saja. Siapa yang membawanya? Baiklah, kuceritakan apa yang telah kusaksikan. Setelah mayat itu digantung, kalian pun bubar. Sebagian kalian tertunduk, seakan ingin menghapus bayangan buruk. Tapi kalian tak ingin terus meneruh disesah kengerian karena saat itu hari Natal. Kalian mesti ke gereja. Ada yang lebih kudus untuk dirayakan. Maka malam itu aku pun menyaksikan langit kota yang dipenuhi nyanyian doa kalian. Hujan rinai turun, malam mengelabu. Aku sendirian di alun-alun itu, memandangi tubuh Mawar yang tergantung dalam bayangan cahaya murung. Kurasakan debu-debu beterbangan diembus angin yang makin jekut ketika kesepian makin membentangkan kelengangan yang menyayatkan keperihan bersama debu dan dingin yang mulai membaluri kota sementara sisa gema lonceng bagai melekat di udara yang makin menggigilkanku dalam kesedihan. Saat itulah, ketika di gereja kalian memadahkan kidung agung Natal penuh sukacita, aku tiba-tiba melihat seseorang muncul dari ketiadaan. Ia berjalan mendekati tiang gantungan. Kalian pasti akan langsung tahu siapa dia begitu melihat wajahnya yang bersih dan indah, seperti ada cahaya mengitari kepalanya. Matanya seperti bintang bening. Senyumnya seperti anggur lembut yang seketika bisa menghapus dahaga. Rambutnya ikal dan panjang. Ia berjalan anggun, seperti seseorang yang berjalan melintasi permukaan air, meski sesekali tampak limbung karena menahan luka di lambungnya. Kulihat tangan dan kakinya berdarah. Kudengar ia berseru, seperti memanggil nama pelacur itu. Aku begitu terkesima menyaksikannya. Langit seakan tiba-tiba benderang penuh cahaya keemasan yang cemerlang. Kulihat ia bersimpuh di bawah tiang gantungan, dan mencium lembut kaki mayat yang tergantung itu, kemudian menurunkannya. Saat itu aku melihat ribuan mawar mengapung di udara menyerbakkan harum yang megah. Kudengar kalian masih menyanyikan doa-doa dan pujian di gereja ketika laki-laki itu membawanya pergi. Seperti pengantin membopong mempelainya. Kuceritakan ini pada kalian, tapi kalian menuduhku pendusta. Yogyakarta, 2008
""Mawar di Tiang Gantungan""
Setelah menumpahkan kegundahan hatinya perihal kebutuhan keuangan dalam keluarganya, istri Safedi lalu beranjak dan duduk di depan pintu rumah. Kedua kakinya diluruskan ke depan. Tatapannya tertekuk ke bawah. Dari atas kursi ruang tamu, beberapa saat kemudian Safedi mendengar tangisan istrinya yang terisak. Berhentilah menangis, Aisia. Jika ada orang lewat, malu kita,” kata Safedi. ”Biar saja. Biar orang tahu,” jawab istrinya. ”Tetapi, itu tidak baik. Apa kata orang nanti. Aku tidak mau kita menjadi buah bibir pembicaraan orang. Bersabarlah Aisia,” sambung Safedi. Kali ini istrinya mencoba menahan tangisannya. Mungkin dia mulai agak paham. Ini entah sudah kali keberapa istri Safedi menumpahkan perasaannya tentang biaya hidup yang tak bisa dipenuhi. Pekerjaan sebagai guru honorer, dengan gaji sekali tiga bulan yang diterima Safedi, membuat dia kewalahan dalam mengatur biaya hidup sehari-hari. Safedi pun paham tentang itu, karena dalam tiga bulan itu dia hanya menerima uang sebanyak seratus delapan puluh ribu rupiah. Dengan uang sebanyak itu, tentu istrinya sangat sulit mengatur biaya hidup mereka. Dulu, sebelum ada dana BOS yang diberikan pemerintah kepada sekolah, Safedi setiap bulan menerima gaji enam puluh ribu rupiah sebulan. Tetapi, karena dana BOS hanya bisa diambil oleh sekolah tiga bulan sekali, Safedi dan guru-guru honor lainnya juga ikut peraturan itu. ”Utang kita sudah banyak di kedai Uni Ami, Da. Itu yang membuat Aisia bingung,” demikian ucapan istrinya beberapa minggu lalu sehingga membuat hati Safedi bagai teriris. Perasaan iba kepada istrinya membuat kulit tubuhnya terasa dingin. Perasaan bersalah karena tidak bisa membahagiakan istri juga menyentak hatinya. ”Ya Uda tahu. Nanti akan kita angsur,” jawab Safedi kemudian. ”Utang kita sudah dua ratus tujuh puluh lima, Da. Bulan esok Uda hanya menerima seratus delapan puluh ribu rupiah. Kalau terus-terus begini, terpaksa Aisia akan tetap berutang ke sana-kemari. Aisia ingin Uda mencari usaha lain. Aisia tidak tahan bila Uni Ami merungut meminta uangnya terus.” Lalu Safedi terdiam. ”Ya, Aisia, Uda akan mencoba mencari usaha lain,” katanya pelan dengan nada iba. Lalu pikirannya menerawang jauh, memikirkan pekerjaan apa yang akan dia lakukan untuk memenuhi tuntutan istrinya itu. Sedangkan dia tahu, mencari pekerjaan itu begitu susah. Mungkin teramat susah. Perkenalkan pembaca, nama tokoh utama dalam cerita ini adalah Safedi, SPd. Dia lahir di Padang tanggal 24, tahun 1972, bulan Juni. Gelar kesarjanaan dia peroleh dari Universitas Negeri Padang, Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia. Dia menyelesaikan kuliah pada tahun 1998. Kini sudah lima tahun mengajar di salah satu sekolah negeri tingkat sekolah menengah pertama di kotanya. Dengan status guru honorer. Gaji per bulan enam puluh ribu rupiah. Itu diterima sekali tiga bulan. Jadi, totalnya berjumlah seratus delapan puluh ribu rupiah. Safedi menikah empat tahun setelah menyelesaikan kuliah. Aisia adalah nama istrinya. Dia hanya tamat sekolah menengah atas. Usianya tiga tahun lebih muda dari Safedi. Tetapi, sampai saat ini, setelah satu tahun menikah dengan Safedi, dia belum juga memberi keturunan buat Safedi. Tetapi, Safedi maklum diri dan tidak menuntut itu dan ini. Safedi adalah tipikal laki-laki yang baik hati. Demikianlah pembaca, perkenalan tokoh utama dalam cerita ini. Pagi ini Safedi datang ke sekolah lebih awal. Murid-murid masih sedikit yang bermunculan. Sebagian asyik bermain riang di taman. Safedi pun tidak mau diam. Sesampai di kantor dewan guru dia mengeluarkan dari dalam laci buku-buku latihan anak muridnya yang kemarin belum tuntas dia periksa. Dia membolak-balik buku itu dengan pelan. Kemarin dia sering kali mengerutkan kening setiap kali memeriksa latihan murid-muridnya itu. ”Tak ada yang baik mengarang. Ini tulisan centang-perenang. Ejaannya pun tak beraturan,” celotehnya, kali ini dalam hati, ketika memeriksa buku latihan salah satu muridnya yang bernama Riski Kurniawan. Dia ingat wajah anak itu. ”Anak pemalas. Sering cabut. Suka bergaya. Ah, mau jadi apa ini anak,” umpatnya lagi. Dia juga tahu anak itu bukanlah anak orang kaya. Bapaknya bernama Ajo Kurik yang kerjanya setiap hari menghela beruk dari satu kampung ke kampung lain untuk memanjat buah kelapa orang. Tetapi, anaknya berlagak seperti anak orang kota. Suka bergaya. Malah pernah, anak itu kedapatan mewarnai rambutnya dengan warna pink. Mengingat itu, betapa Safedi merasa begitu susahnya membina anak-anak remaja zaman sekarang. Tidak seperti dirinya ketika remaja dulu. Begitulah Safedi, dia merasa banyak yang tidak cocok dan tidak sesuai di dalam hati. Mulai dari sikap murid-muridnya, kebijakan kepala sekolah, atau tentang dunia pendidikan itu sendiri secara lebih luas. Karena itu terkadang dia sering dianggap radikal oleh beberapa teman ketika berdiskusi soal pendidikan. ”Tiap sebentar kurikulum diganti-ganti. Kemarin KBK, sekarang KTSP. Tetapi, penerapannya tak ada yang sesuai. Ujian nasional diadakan juga. Yang meluluskan anak murid bukan gurunya. Ini kurikulum macam apa. Bertumpang tindih,” demikian kata Safedi beberapa hari lalu. ”Ini kan demi mencari pendidikan yang ideal,” jawab guru Mahmud yang hampir sebaya dengan dia. ”Tetapi, ini malah mengacaukan sistem pendidikan. Lihat, karena ujian nasional, para guru-guru memberi kunci jawaban kepada murid-muridnya. Bagaimana ini? Dalam kurikulum KBK maupun KTSP itu kan penilaian diberikan tidak hanya pada kemampuan daya pikir anak, tetapi juga tingkah mereka. Nah, sedangkan pada ujian nasional kelulusan berdasarkan nilai yang diperoleh lewat ujian itu. Ini bagaimana bisa dijelaskan dengan akal sehat kita. Iya, kan?” kata Safedi berapi-api. Tepat ketika Safedi menyelesaikan tugas memeriksa latihan murid-muridnya, bel sekolah tanda masuk pun berbunyi. Anak-anak yang sedari tadi sibuk bermain di halaman terlihat berhamburan menuju ke ruang kelas masing-masing. Tawa riang dan suara pekikan anak-anak sekolah itu menggema sampai ke kantor dewan guru. Safedi pun bersiap-siap memasuki kelas. Sejenak dia memeriksa beberapa buku paket yang berada di dalam tas hitamnya yang mulai pudar warna dan retsletingnya rusak. Sudah beberapa bulan ini dia selalu berpikir kapan akan mengganti tas hitamnya itu dengan tas baru. Tetapi begitulah, sampai sat ini dia belum juga bisa melakukannya. Dia pun sudah tidak sabar akan mengajar hari ini. Suara riang anak-anak yang dia dengar sejak tadi membuat semangatnya untuk mengajar begitu menggebu. Dan memang begitu, setiap mendengar suara anak-anak di sekolah semangat mengajarnya begitu tumbuh, melupakan kesulitan hidup yang mengimpit, juga melupakan ceracauan istrinya yang mungkin nanti siang akan kembali dia dengar. Safedi mulai keluar dari kantor dewan guru itu. Dia lihat anak-anak kelas tiga-satu telah berbaris di depan kelas. Lalu satu-satu dari mereka dengan teratur memasuki kelas. Sejenak dia tersenyum. Langkah kakinya terasa ringan menuju ruang kelas itu. ”Assalamualaikum,” sapa Safedi sambil tersenyum. ”Wa’alaikum salam,” jawab murid-murid serempak. Dengan langkah pasti Safedi memasuki kelas itu dan duduk di bangku guru. Dia membuka tasnya. Mengeluarkan buku paket pelajaran Bahasa Indonesia. Safedi akan memerintahkan murid-muridnya untuk memerhatikan kembali pelajaran yang kemarin dia berikan, tetapi anak-anak di baris paling belakang terdengar berisik di telinganya. ”Ya, aku juga memerhatikannya, sudah tiga hari celana bapak itu masih itu-itu juga,” kata Anton Anugrah. ”Ya, ya,” jawab teman sebangkunya. ”Bajunya juga. Kemeja kotak-kotak kuning itu kan sering juga dia pakai.” ”Bosan juga kita, ya, melihat orang berpakaian yang sering kita lihat.” ”Ya iyalah.” ”Mata ini kan selalu ingin melihat yang baru.” ”Hus, jangan keras-keras. Itu Pak Safedi melihat ke arah kita,” kali ini Tina Agus yang duduk di depan mereka menyanggah pembicaraan kedua murid yang terkenal usil di kelas itu. Sebagian mata anak-anak lain memandang ke arah Anton Anugrah dan temannya yang bernama Jamaldi itu. Safedi terdiam sejenak. Kali ini Safedi benar-benar merasa malu. Dia salah tingkah. Semangatnya untuk mengajar hari ini tiba-tiba saja buyar. Tetapi, dia tidak mau marah kepada kedua anak muridnya itu. Dia hanya merasa iba hati, pada nasib, juga pada dunia pendidikan yang tidak berpihak kepada dirinya. Hari itu, Safedi mengajar tidak sepenuh hati. Sindiran yang dilontarkan kedua muridnya itu benar-benar mengena di hatinya. Sepanjang waktu dia hanya ingat kepada istrinya. Juga pada dirinya sendiri yang selama ini tidak bisa membeli pakaian baru untuk mengajar ke sekolah. Ah, hari itu Safedi benar-benar merasa sangat lelah. Melebihi lelahnya pada hari-hari biasa. Safedi pun pulang dengan gontai. Seperti biasa, dia pulang dengan berjalan kaki. Menyusuri jalan yang berkerikil. Tak ada angkutan. Jalan itu hanya bisa dilewati kendaraan roda dua. Dan Safedi tidak memilikinya. Baru berjalan beberapa meter, seorang laki-laki separuh baya menegur Safedi. ”Pak guru,” sapa dia. Dan Safedi berhenti. ”Ada apa?” jawab Safedi mengerutkan kening karena dia tidak mengenal laki-laki itu. ”Saya ingin bertanya. Anak saya kan sekolah di tempat Pak Guru mengajar. Katanya saya dengar sekarang pendidikan itu gratis, tetapi kenapa ada uang juga. Tiap semester katanya kami membayar uang tiga ratus tujuh puluh lima ribu rupiah. Bagaimana itu, Pak Guru?” tanya laki-laki itu. Safedi menyurutkan langkah kaki agak ke belakang. Dia sedang berpikir akan memberikan jawaban apa, sebab itu yang tahu hanya kepala sekolah. Sedangkan dia hanya guru biasa. ”Saya tidak tahu itu, Pak,” jawabnya asal saja. ”Tidak tahu?” ”Ya.” ”Masak guru tidak tahu. Guru macam apa kamu?” ”Benar, Pak. Saya tidak tahu. Permisi, Pak, ya.” Safedi pun berlalu meninggalkan laki-laki itu. Sedangkan laki-laki itu seperti aneh melihat Safedi. Hari ini Safedi semakin bertambah pusing. Kepalanya mulai terasa sakit. Tetapi, dari kejauhan Safedi masih bisa mendengar ketika laki-laki itu berkomentar agak kasar. ”Guru kalera. Mungkin dia juga ikut makan uang dari murid-muridnya.” Sungguh, mendengar kalimat itu, membuat Safedi benar-benar merasa mau pingsan saja. Padang 2008 Keterangan: 1. KBK = kurikulum berbasis kompetensi 2. KTSP = kurikulum tingkat satuan pendidikan 3. kalera = kata makian
""Guru Safedi""
Bada ditinggalkan pinangan hatinya, lelaki paruh baya itu sangat suka mendongeng. Semua dongengannya pun memiliki potongan cerita menarik. Tak heran bila putranya sangat suka menajamkan telinga di sela-sela desauan angin yang memapas kisah dari bibir hitam yang berkerut merut itu. Entah, yang didongengi pun tak tahu mengapa lelaki yang tampak beberapa tahun lebih tua dari usianya tersebut sangat suka melakukannya. Dalam setiap dongengannya, entah itu melankolis, romantis, atau epik; entah itu surealis atau absurd; entah juga itu tentang gadis, bujang, janda, duda, atau manusia-manusia yang hampir berbau liat; lakon-lakon yang baik-baik sifat, perilaku, dan tutur bahasanya, adalah seseorang bernama Jarun. ”Agar hidupmu tidak menggelambir noktah kelam, Nak.” Itulah yang diucapkan lelaki itu ketika anaknya bertanya mengapa ia sangat sering bercerita. Wajar bukan kalau putranya tak pernah mengerti alasan mengapa lelaki itu senang mendongeng. Mana cepat mengerti putranya dengan jawabannya itu. Memang sejatinya tak penting bagi sang putra memahami leliku bahasa-bahasa tingkat tinggi yang kerap dibunyikan lelaki itu. Baginya yang utama adalah setelah mendengarkan dongengan sang ayah ia bisa memintal angan dalam mimpi yang terbilik oleh purnama-purnama yang indah. Yah, ketika angin diam-diam menghembuskan hawa hampanya, manusia-manusia kerap menutup kelopak matanya, maka masing-masing tetiduran pun memekarkan bunga-bunga malamnya. Tak terkecuali untuk seorang bocah delapan tahun yang sangat senang mendengarkan kisah-kisah kehidupan bernuansa merah muda dari ayahnya. Oleh sang putra, semua kerap—dan memang diharapkan—tidak hanya terjelma dalam mimpi belaka, tetapi suatu hari akan menguap menjadi kenyataan yang jelas berupa-rupa. ”Mengapa tidak Jarun saja namaku, Yah?” ”Tak penting nama itu, Nak. Yang penting, segala kebaikan Jarun itu hadir dalam kehidupanmu.” ”Tetapi, aku mau Ayah juga memanggilku seperti itu!” Lelaki legam itu tak memerhatikan, apalagi memedulikan, permintaan putranya barusan. ”Tidurlah, Nak. Besok kau harus sekolah.” Putranya mengangguk. ”Jangan lupa berdoa agar tidur berkat, dan sebangun kau darinya pun juga bisa berkat. Dan yang terpenting adalah semoga doa-doa itu turut membantu agar dirimu tidak diboyong ke pusat kota suatu hari.” Lagi-lagi Jarun tak mengerti kata-kata ayahnya. Lelaki itu memang tak panjang jalan pikirannya. Apa ia kira anaknya itu setua dirinya sampai kata-katanya harus selalu berumpama-umpama dan memilih bahasa-bahasa yang tidak biasa. Putranya sudah menguap. Tidur. Tidur. Mimpi jadi Jarun…. ”Besok tolong Mami ya, Dre? Ambilkan uang yang baru dikirim papimu dari desa.” Andre hanya mengangguk. Lucu, masak tinggal di kota, tetapi dikirimi uang oleh orang yang tinggal di desa. ”Halooo! Kau dengar, kan?!” ”Eeeh iya, Bu… eh salah, Mi.” ”Sekalian kau belilah perlengkapan keelokan fisikmu. Deodorant, parfum, t-shirt, jeans, dan lainnya. Engkau lebih pahamlah apa yang kiranya serasi untukmu. Setelah itu pergilah nge-gym ke tempat fitness-nya Om Andi, biar kau bisa membantu Mami mencari uang kelak.” Apa hubungannya? ”O ya, nanti kalau ada gadis-gadis itu, jangan sedikit pun kau tergoda. Ingat, kau masih 16 tahun, Dre. Mami tak mau kau justru melampiaskan hasrat birahimu kepada mereka. Kau masih mau bermewah-mewah, bukan? Ha ha ha…,” Mami menutup kalimatnya dengan tawa panjang. Tak lama berselang, rumah itu dipenuhi para penjual yang barang bawaannya tak kunjung habis. Berkurang tantangan dan rupa kepuasan saja yang membedakannya dari hari ke hari. Bordir, bordir! Andre menggerutu sebelum meninggalkan rumah yang penuh dengan cekakak-cekikik puluhan pasangan haram itu. ”Aku harus jadi anak baik seperti pesan orangtuaku dulu,” hati kecilnya bertekad. ”Bukankah Mami adalah orangtuamu juga? Lagi pula kalau kau lari, apa kau tak takut dimarahinya?” belahan jiwanya yang lain berujar. ”Mami? Hueekh! Siapa peduli!” hati kecilnya bertahan. Sebagaimana layaknya hari Kamis, Ahmad harus melakukan persiapan ekstra di An-Nur, masjid yang dia huni. Maklum esok salat Zuhur absen dari ritualitas manusia-manusia masjid. Salat dua rakaat yang bernama sama dengan hari dilaksanakannya ibadah tengah hari tersebut memaksa pemuda 25 tahun itu membentangkan sajadah panjang-panjang hingga memenuhi ruangan masjid; memastikan kotak wakaf berjumlah delapan agar ia tak terlalu lama melewati saf-saf yang kian Jumat kian memendek dan berkurang; mengecek soundsystem tua agar suara Kiai Anam tak memarau dan putus-putus olehnya hingga mengganggu jamaah yang hendak tidur siang selama ia membusa mulut dengan khotbahnya; serta mengamplopkan beberapa puluh ribuan untuk Kiai Anam, Wak Jamil, dan Mang Marlis. Uh, Mang Marlis. Jumat lalu lelaki yang menderita radang tenggorokan akut itu mencak-mencak di hadapan Ahmad. Perihalnya sepele-pele rumit, sudah beberapa hari belakangan becaknya sepi. ”Orang lebih suka naik ojek, lebih cepat katanya,” jawab dia waktu itu ketika Ahmad bertanya mengapa tiba-tiba ia mengeluhkan, bahkan terkesan menyalahkan dirinya, setelah salat Jumat hari itu. Yah, wajar kalau Ahmad awalnya bingung dengan tuturan-tuturan Mang Marlis. Baru saja salat Jumat berakhir, lelaki itu langsung menyeracau hingga Ahmad terkejut sejenak sebelum mencoba memahami semuanya. ”Apa hubungannya denganku, Mang?” respons Ahmad saat itu. ”Kau kan garin masjid. Kau sampaikanlah kepada Haji Dullah, ketua pengurus masjid, kalau aku juga pandai berazan. Muazin dapat 25 ribu, kan? Itu lebih besar dari tarikanku sehari. Biar Jumat nanti aku bisa rehat sejenak untuk persiapan enam hari ke depan. Tolong usahakan ya, Mad. Nanti kuberi uang rokok untukmu.” ”Aku tak merokok, Mang,” Ahmad masih belum percaya dengan apa yang dia dengar. Mang Marlis hanya nyengir kuda sebelum menepuk bahu Ahmad dan berlalu dengan penuh harap. Sejak saat itu Ahmad tidak pernah melihat Mang Marlis dengan becaknya lagi. Dan dua hari lalu, tiba-tiba saja lelaki 40 tahun-an tersebut tak henti-hentinya mengumbar terima kasih ketika tahu ia diizinkan menjadi muazin salat Jumat esok. Hari itu juga, Ahmad baru tahu becak lelaki itu ditarik juragan Marwan karena ia sudah satu minggu tidak pernah setor. ”Dooor!” ”Eeh… iya.” Ahmad tersentak mendapati tangan yang baru saja menepuk bahunya. ”Pagi-pagi udah ngelamun, Mad,” Harun tetangganya, sudah berdiri di belakang. ”Tolong umumkan ini di masjid, biar aku yang beduk.” Harun memberikan kepalan kertas lusuh. Ahmad terkesiap melihat tulisan yang tergores di sana. ”Meninggalnya jam dua subuh tadi.” Ahmad masih melongo. ”Entah lucu juga kalau kau dengar musabab kematiannya. Kata Bi Anis, istrinya, dari pagi hingga tengah malam, ia seharian di kamar, membuka-buka buku bacaan salat. Berteriak-teriak sendiri di kamar seperti orang melagu-lagu arab tak jelas rupa bunyinya. Lewat tengah malam tenggorokannya tersekat, tak ada air pula dijerang Bi Anis. Akhirnya mati….” Ahmad menelan air ludah. Ia melangkah menuju mikrofon yang mesti disambungkan dulu kabelnya ke equalizer murahan di balik mimbar. ”Oya aku baru ingat, Mad. Matinya karena belajar berazan….” Sudah kuduga. ”…ada-ada saja cara Tuhan mencabut nyawa orang…,” lanjut Harun. Tak lama berselang. Beduk dipukul dengan ritmis sumbang. Penduduk menajamkan telinga. ”Innalillahi wa innalillahi roji’un. Telah berpulang ke Rahmatullah, Marlis bin Ajip Makmun….” ”Mengapa kau bisa sampai di sini?” ”Untuk apa kau tahu?” ”Banyak yang masuk ke sini hanya karena salah tangkap, tak ada uang, salah paham, dan…” ”Apa peduliku? Penjara ya penjara, tempat orang-orang berwatak dan berperi laku bejat dikandangkan.” ”Tidak denganku, anak muda.” ”Maling mana mau mengaku maling!” Paaak. ”Mengapa kau menamparku?” Paaak. ”Nah kau puaskan? Sekarang kau yang balas menampar wajahku yang memang sudah remuk ini?” Beberapa jam kemudian dua lelaki senjang usia tersebut sudah akrab. Entah api dari mana yang mengasapkan kehangatan hubungan mereka. Tiba-tiba saja, tamparan, rasa skeptis, dan caci-maki yang kerap mewarnai awal jumpa mereka di lembaga pemasyarakatan sore tadi mulai berkurang—bukan hilang sama sekali. ”Itulah leliku hidupku, Pak,” lelaki yang lebih muda menutup cerita hidupnya pada malam yang memekat. ”Sekarang giliranmu.” ”Istriku selalu meminta kiriman uang dariku.” ”Wajar, bukan?” sela yang lebih muda. ”Iya. Sebelum semuanya terungkap bahwa ia berprofesi sama dengan ibumu yang baru kau ceritakan tadi. Aku murka setelah mengetahui semuanya. Aku datangi tempatnya, kuacak-acak sarang setan yang dia buat. Ia pun membawa kasus ini ke meja hijau. Aku tak cukup beruang lagi saat itu. Ia menang. Tetapi, aku tak heran. Seorang mucikari seperti dia pasti memiliki bekingan berlapis, tak mengenal profesi, tanggung jawab, dan sumpah jabatan yang menyertainya. Wajahku saja, seperti kaulihat saat ini, lebam mengungu, sampai hampir tak berupa.” ”Jadi?” ”Jadi, ya aku dipenjara,” lelaki tua itu menerawang, ”salahku juga yang belum sempat menceraikannya. Sakit hatinya aku adalah ketika di pengadilan terungkap bahwa ternyata kirimanku selama ini sudah beberapa tahun belakangan tak pernah dia terima. Entah bagaimana itu bisa terjadi. Katanya anak bujang kami yang melarikannya karena memang atas nama ia buku tabungan tersebut ditandatangani. Kalau penegak hukum itu mau adil, seharusnya mereka berlogika, mana tahu aku perkara diterima atau tidaknya uang itu. Lagi pula wanita iblis itu tak pernah mengabariku.” ”Jadi tepatnya, apa pasal hingga Bapak mendekam di sini?” ”Sangkaan terhadapku sangat berlapis. Selain masalah tak pernah menafkahi istri dan anak, juga tindakan anarkis terhadap rumah pelacuran istriku. Tetapi…” ”Tetapi apa, Pak?” ”…aku tak rela ditangkap, maka melarikan dirilah aku ke suatu daerah yang kuyakini bisa menumpang teduh pada adikku. Walaupun aku tak dapat menemukannya dan akhirnya aku tertangkap juga,” lelaki itu menyebut nama suatu tempat. ”Aku sempat tinggal di sana.” “Hah? Benarkah? Kau kenal adikku?” ”Siapa namanya?” tanya yang lebih muda sok peduli. ”Marlis. Ya hanya Marlis tok! Kau kenal?” Deg! Air muka lelaki yang lebih muda memerah. Tetapi, raut itu belum sempat ditangkap mata tua lelaki di hadapannya. Ah, aku tak mau memanjangkan cerita, cukup membosankan juga nanti berbalas omong dengan lelaki tua ini. Paling ia akan menerorku dengan tanya ini-tanya itu perihal Marlis miskin buta agama itu. Kasihan kalian, dua beradik yang tak mujur dua-duanya! ”Kau kenal?” lelaki tua mendesak. ”Huaaap…,” lelaki yang lebih muda menggeleng sambil pura-pura menguap. ”aku ngantuk, Pak. Tidur dulu, ya. Nanti kalau ada sipir yang mengantar makanan, bangunkan aku!” ”Ya sudah kalu begitu. O ya, tadi kau bercerita panjang lebar tentang dirimu, tetapi kau belum menyebutkan namamu? ”Huh! Banyak bacot pula, kau! Baiklah, biarkan aku istirahat setelah kau dengar semuanya!” Lelaki tua mengangguk ragu. Keder juga dia melihat ekspresi kesal lelaki 27 tahun-an di hadapannya itu. ”Namaku macam-macam. Saat aku dimasukkan ke sini perihal kucuri semua uang wakaf masjid yang telah kutunggui lebih dari lima tahun, namaku Ahmad. Sebelumnya namaku Andre, semasa kecil namaku Amrul.” ”Amrul?” lelaki tua membelalak, serasa tak percaya. ”Iya. Tidak ada pertanyaan lagi, kan?” Ahmad tak memedulikan ekspresi rekan sekamarnya. Ia langsung berbalik, membaringkan tubuhnya Senyap. Hanya angin penjara yang berseliweran mengisi ekspresi murung, sedih, pedih, dan kacau para penghuninya. ”Semasa kecil, kau sangat suka didongengi, bukan?” suara lelaki tua memecah hening. Ia telah membelakangi Ahmad, menghadap ke jeruji, memegangi bilah-bilah besinya. Ahmad membuka kelopak matanya yang baru saja menutup. ”Umur delapan tahun kau dibawa ibumu ke kota. Aku baru tahu beberapa tahun lalu, tepat pada usiamu ke-17 kau akan digigolokannya. Untung kau melarikan diri satu tahun sebelumnya.” Ahmad bangkit dari pembaringannya. Mukanya memerah. ”Jarun… Jarun… kau hanya manusia impian. Percuma saja kisah-kisah rekaan tentangmu kuhembuskan ke telinga putraku. Semua tak membekas. Ia tak jadi jua seperti yang diharapkan.” ”Kau… kau…?” Ahmad terbata-bata. ”Tak usah berharap. Aku sudah lupa dongeng-dongeng tua itu. Aku tak akan mendongeng lagi.” lelaki tua itu menyeringai kecil. ”Lagi pula, pemilik pusat kebugaran itu sudah menjadi papi tirimu.” Ahmad bangun. Perlahan, mendudukkan tubuhnya yang layu di dinding penjara. ”Mungkin sudah takdirnya pula, dua beranak mati di jeruji ini,” lelaki tua itu membalikkan tubuhnya menghadap Ahmad yang meremas-remas rambut kusutnya. Jeruji besi berbunyi seperti dipukul-pukul. Makanan anjing telah datang. Tampaknya malam itu akan menjadi lebih panjang dari biasa.
""Dua Beranak Temurun""
Bila hujan turun dan sedang sendirian, aku terkenang kepada Anatolia. Gadis kecil berusia enam tahun itu adalah putri seorang perempuan muda berwajah cantik. Zaitun namanya. Mereka tinggal di rumah sewaan yang bagus, beberapa meter di depan rumahku. Di rumah itu tidak ada lelaki yang tinggal menetap. Sopir yang mengantar-jemput Anatolia datang pagi, pulang sore. Ayah Si Anatolia tak pernah menampakkan batang hidungnya. Kini, rumah itu sunyi. Sepanjang siang hari Minggu itu Anatolia tidak muncul di rumahku. Sejak pukul sepuluh pagi, dia menghadiri pesta ulang tahun Sofia, teman sebangkunya. Sore Minggu, Anatolia diantar ke rumahku oleh Uun, si pembantu rumah tangga yang telaten dan setia. Seperti tidak sabar, Anatolia meminta kepadaku bercerita tentang hujan. ”Paman, ceritalah tentang hujan,” pintanya sekali lagi. ”Ada apa dengan hujan?” tanyaku sambil memandangi hujan yang semakin deras. Pintu kubuka lebar agar ruangan menjadi terang. Jadi, aku tidak perlu menyalakan lampu. Murid kelas satu sekolah dasar itu berpaling ke arah hujan. Dia mendengarkan nyanyian hujan di atap genting, daun, ranting, dahan, dan pepohonan. Rintik-rintik hujan itu bernada sendu. Suatu elegi, pikirku. Wajah imut Anatolia, sejak bertemu denganku selalu murung. Tatapan matanya pun sayu. Anak perempuan yang sedang tumbuh itu merindukan seseorang. Dia pun sangat membutuhkan kasih sayang. Sering aku membayangkan, butiran-butiran hujan punya kaki kecil. Mereka selalu bersatu dan berbaris rapi. Makanya mereka menjadi sangat kuat. Jutaan butiran hujan menyelinap di antara akar-akar pepohonan di hutan, meresap, kemudian menetap di perut bumi. Tabungan air itu sangat bermanfaat bila tiba musim kemarau panjang. Kaki-kaki kecil hujan yang kuat itu tidak seperti kedua kaki Anatolia. Kaki anak itu tak bebas melangkah, sesuai kemauannya. Zaitun selalu melarangnya meninggalkan rumah. Kata Zaitun, di luar rumah, Ana bisa diculik orang jahat. Tetapi, setelah setahun bertetangga denganku, Zaitun mengizinkan Anatolia bermain di rumahku pada hari libur. Tentu saja, perawan kecil itu harus diantar Uun, bila Zaitun tidak di rumah. Jika agak lama tidak bertemu Anatolia, kurasa ada yang hilang. Gadis kecil berwajah bulat telur dan berkulit kuning itu telah menjadi bagian dari hidupku. Di kantor, aku sering bercerita kepada kawan-kawan akrabku tentang Anatolia. Lantas, teman-temanku terkekeh. Mereka menduga, aku dan Zaitun, si cantik dan pintar itu, ada hubungan khusus. Kubantah: Aku hanya bersahabat dengan Anatolia! Tidak dengan ibunya! Hanya sekali aku bertemu dengan Zaitun, yakni ketika datang untuk berkenalan, awal tahun lalu. ”Ceritalah tentang hujan, Paman,” pinta Anatolia sekali lagi. Dengan senang hati, kuceritakan ihwal terjadinya hujan: Mula-mula, sinar matahari memanaskan air sehingga berubah menjadi uap. Udara lembab yang hangat itu menjulang tinggi dan di atas menjadi dingin. Uap itu berubah menjadi butiran-butiran kecil air, yang dingin mengembun. Kemudian, terbentuklah gumpalan-gumpalan awan di langit. Titik-titik air di dalam awan itu menjadi semakin besar dan berat, lalu jatuh ke bumi sebagai hujan. Tiga perempat bagian hujan itu jatuh kembali ke lautan. Seperempatnya, jatuh di daratan. Anatolia bertanya lagi, ”Paman, apakah hujan baik bagi makhluk hidup?” Kujawab, tentu saja hujan baik bagi semua makhluk hidup. Manusia dan hewan memerlukan air untuk minum dan mandi. Air pun digunakan manusia untuk mencuci pakaian, mobil, motor, sepeda, dan keperluan lain. Air hujan akan menyuburkan tanah. Bila tanah subur, tumbuhan apa pun hidup subur, segar, berseri, dan berguna bagi sesama hidup. Anatolia bertanya pula, jika baik bagi semua makhluk, mengapa hujan menyebabkan banjir bandang dan tanah longsor? Banjir bandang dan tanah longsor menyebabkan manusia dan makhluk lain menderita, dan benda-benda rusak, katanya. Yakinlah, kataku, hujan tidak pernah jahat kepada makhluk hidup. Banjir bandang dan tanah longsor bukanlah kesalahan hujan! Bila hutan-hutan gundul setelah ditebangi secara liar oleh manusia, bisa terjadi banjir bandang dan tanah longsor. Banjir bandang dan tanah longsor pun bisa terjadi bila gedung-gedung jangkung telah berdiri rapat di tanah-tanah kosong, di banyak tempat. Sampah-sampah yang mengotori selokan, danau, sungai, dan laut, pun merupakan penyebab banjir. Jadi, bencana banjir bandang dan tanah longsor adalah kesalahan manusia, kataku tegas. ”Paman, ceritalah tentang teman-teman hujan,” pinta Anatolia pula. Kata Anatolia, Olga, teman sekelasnya pandai bercerita tentang katak yang menyanyi ramai-ramai untuk meminta hujan segera turun. Katak-katak itu menyanyi pada musim kemarau. Anatolia ingin mendengar cerita tentang teman-teman hujan yang lain lagi. Selain katak, kataku, teman-teman hujan adalah manusia, hewan lain, dan tumbuh-tumbuhan. Hutan, belukar, sungai, danau, dan lautan adalah teman-teman hujan juga, lanjutku. ”Apa lagi cerita tentang hujan, Paman?” tanya Anatolia pula. Suku Indian Aztec di Amerika Tengah memuja dewa hujan bernama Tlaloc, ceritaku. Suku-suku Indian di Amerika Utara melakukan tarian khusus agar para roh mengirim hujan ke negeri mereka untuk menyuburkan tanah pertanian. Apabila musim kemarau sangat panjang, biasanya umat Islam shalat sunah Istiqarah berjamaah untuk memohon kepada Allah Swt agar hujan turun ke bumi, sambungku. Umat agama yang lain pun berdoa, memohon kepada Tuhan agar hujan turun di musim kemarau, lanjutku. Suhu adalah panas di udara, di sekeliling kita, lanjutku. Panas itu berasal dari matahari. Nah, ketika suhu sangat rendah, bukan hujan yang turun ke bumi, tetapi badai salju, bongkahan es, atau hujan salju, aku menyambung cerita. ”Apakah hujan salju turun di Jakarta, Paman?” Anatolia bertanya lagi. ”Paman belum pernah melihat hujan salju turun di Jakarta, Sayang,” jawabku. Pada suatu hari Sabtu siang, aku berkunjung ke rumah Anatolia untuk kedua kalinya. Zaitun masih tugas di Korea Selatan. Sopir sedang mengantar Anatolia les piano. Hanya ada Uun di rumah itu. Kutanya Uun, mengapa ayah Anatolia pergi? Uun mau cerita, asal aku janji, tidak akan bilang kepada Zaitun dan Anatolia. Aku berjanji kepadanya, tidak akan cerita kepada siapa-siapa. Uun bercerita, setelah menjenguk ke luar: Ayah Anatolia pergi setelah diusir Zaitun, katanya. Ketika itu, Anatolia akan ulang tahun ke-5, di rumah sewaan lama. Setelah tidak bekerja di perusahaan asing karena diberhentikan, ayah Anatolia menganggur. Akibat menganggur cukup lama, dia mudah tersinggung, pencemburu, suka marah-marah dengan kata-kata kasar. Ketika itu, ayah Anatolia membentak-bentak Zaitun. Lelaki itu minta uang lagi untuk membeli minuman keras. Tetapi, Zaitun menolak permintaan Uto. Ketika Uto hendak menempeleng Zaitun, Anatolia membela ibunya. Anak itu menggigit paha kanan ayahnya. Anak itu pun dibentak sang ayah dengan suara menggelegar. Ayah Anatolia diberhentikan dari pekerjaan karena ketahuan menggunakan uang perusahaan untuk berjudi, pesta-pesta, dan mabuk-mabukan, lanjut Uun. Ayah Anatolia sejak pergi tidak pernah kembali, cerita Uun. Zaitun adalah majikan yang baik hati, Uun melanjutkan ceritanya. Beliau bekerja di perusahaan otomotif milik pengusaha Korea Selatan. Zaitun bergelar sarjana teknik jurusan mesin. Jabatannya tinggi di perusahaan otomotif besar itu. Zaitun selalu pulang malam. Beliau sering pula ditugaskan ke luar negeri. Anatolia menanyakan ibunya, bila Zaitun lama tidak pulang. Sering sekali Anatolia menangis bila terbangun di malam hari, lanjut Uun. Anatolia yang berotak cerdas itu sempat bertanya kepadaku, mengapa Paman sendirian saja di rumah? Kujawab, aku belum punya istri. Apakah Paman enggak merasa sepi? Anatolia bertanya pula. Tentu saja sepi, jawabku. Tapi, Paman senang bikin cerita, membaca, lari pagi, seusai shalat Subuh, memasak, berkebun, dan nonton film bagus, tambahku. Suatu hari Minggu, senja bergerimis. Aku dikejutkan suara perempuan mengucapkan salam di pintu gerbang. Di luar pagar berdiri Zaitun. Dia mengembangkan payung berdaun lebar. Wajah perempuan itu sangat pucat. Matanya sembab dan biru. Aku buru-buru membuka gembok pintu pagar. Kusilakan dia masuk. Zaitun memayungiku ketika aku menarik pintu gerbang. Serempak kami menuju ruang tamu. Ada sedikit oleh-oleh, kata Zaitun sebelum duduk di sofa. Ia menyerahkan satu botol besar terbungkus kertas berkilap warna coklat. Isi botol itu adalah minuman bervitamin untuk penyegar tubuh dari negeri Korea, yakni air ginseng campur madu. Terima kasih, kataku setelah menyambut oleh-olehnya dari Korea Selatan itu. Kusilakan dia duduk. Tak lupa aku menanyakan, mengapa Anatolia tidak diajak? Zaitun terkejut setelah mendengar pertanyaanku. Dia menatapku dengan penuh curiga. ”Aku yakin, Anatolia ada di sini,” kata Zaitun. Wajahnya tiba-tiba menjadi tegang. ”Jadi, anakku tidak di sini?” Dia menyangka, aku menyembunyikan anaknya di rumahku. Zaitun mengatakan, Anatolia pergi dari rumah, ketika dia sedang ke kantor. Anatolia tidak mau diajak pindah ke Korea Selatan, cerita Zaitun. Dia takut kepada Uto Kwon Lee, ayahnya. Hati-hati kubilang kepada Anatolia sebelum tidur tadi malam, aku dan Uto akan memperbaiki rumah tangga yang sempat retak. Uto sudah minta maaf. Dia menyesali semua perbuatan salahnya. Uto telah bertobat kepada Tuhan. Dia berjanji akan menjadi suami yang baik bagiku dan ayah yang pengasih-penyayang bagi Anatolia. Aku merenung selama sebulan, lalu memaafkannya. Anatolia yang selalu patuh kepadaku, tiba-tiba jadi pembangkang, lanjutnya sambil menyeka air mata. Anatolia takut kepada Uto Kwon Lee, kata Zaitun. Anatolia selalu ingat, saat akan merayakan ulang tahunnya yang ke-5, dulu. Ayahnya tidak memberikan hadiah ulang tahun seperti biasanya, tetapi marah dengan suara kasar. Zaitun pamit, tapi terus menangis. Sekujur tubuhnya gemetar. Dia sangat panik. Dia khawatir, gadis kecilnya telah diculik orang jahat. Rasa waswas pun menyelinap dalam hatiku. Malamnya, seiring rintik-rintik gerimis, kudengar orang mengucapkan salam di luar pagar. Segera kuraih payung. Pintu kubuka. Di luar pagar tampak olehku seorang lelaki dewasa dan dua gadis kecil. Buru-buru aku membuka gembok pintu gerbang. ”Eh, Anatolia!” teriakku ketika melihat gadis kecil itu bersama anak perempuan sebayanya di bawah payung lebar. Payung itu dipegang lelaki dewasa. Anatolia mengenalkan Sofia dan ayahnya, Pak Arif. Di ruang tamu, Anatolia bercerita. Dia ke rumah Sofia seusai les piano, tanpa diantar sopir. Pak Sopir lagi sakit. Ibu Sofia melarang Anatolia pulang sendirian. Sepulang dari kantor, seusai shalat Isya, Pak Arif dan Sofia mengantar Anatolia ke rumahku atas permintaan anak itu. Dia takut dimarahi ibunya. Setelah Pak Arif dan Sofia pamit, kuajak Anatolia makan sup telur puyuh hangat, masakanku. Dia menolak karena masih kenyang setelah makan bakso dan minum susu di rumah Sofia. Satu jam lebih aku membujuk Anatolia agar mau pulang ke rumahnya. Kuceritakan tentang kedatangan Zaitun ke rumahku. Ibumu sangat panik dan sedih. ”Tapi, aku tidak mau ikut Ibu ke Korea Selatan!” Anatolia berteriak. ”Aku takut kepada Ayah,” lanjutnya sambil memelukku erat-erat. Cerita Zaitun tentang penyesalan Uto Kwon Lee kuulangi. Lelaki itu akan menyayangi Anatolia. Dia pun berjanji akan menjadi suami yang baik bagi Zaitun. Lalu, kubujuk Anatolia agar segera pulang. Ibumu sangat takut kehilangan kamu, bisikku lembut. Setelah lama terdiam, perlahan muncul senyum samar-samar di wajah cantiknya. Paman mau mengantarkan aku pulang? Dia bertanya. Aku mengangguk. Kalau Ibu marah, bagaimana? Anatolia bertanya lagi. Kamu berkata jujur saja kepada Ibu, kataku. Kalau kamu merasa punya salah, minta maaf, ya? Paman yakin sekali, Ibu tidak marah lagi, kataku. Kudengar petir menggelegar di luar. Hujan semakin deras. Angin bertambah kencang. Televisi memberitakan, badai sedang mengamuk di pantai, malam itu. Pukul delapan malam, kuantar Anatolia dengan mobil kijang tuaku ke rumahnya. Zaitun meraung, memeluk, dan menciumi anaknya. Ketika aku pamit, Anatolia berlari ke arahku. Dia menangis sambil merangkulku. Kubelai rambut lurusnya dan kuyakinkan dia bahwa Uto, ayahnya sangat merindukannya. ”Kalau aku ikut Ibu ke Korea Selatan, siapa menemani Paman?” Anatolia bertanya dengan lugu sambil menatapku. ”Eh, em, di kantor, ada teman-teman Paman,” jawabku gugup, tertahan-tahan. *** Hari Minggu ini, hujan pun turun. Rumah sewaan di seberang sana kosong dan sepi. Aku terkenang kepada Anatolia. Sudah lama dia bersama orangtuanya di Korea Selatan. Bila gadis kecil itu minta cerita tentang hujan, kuharap ayah-ibunya dapat memenuhi keinginannya dengan senang hati…. Pasar Rebo, 16 Desember2008- 12 Januari 2009
""Cerita tentang Hujan""
Setiap kali menyurukkan kepala di dadanya, aku serasa disambar kilatan api? Heran. Ada gemuruh didih di situ. Seketika, aku mau saja jadi anak ikan yang berenang bebas ke dasar danau. Aku ingat, itu subuh yang terakhir. Aku lihat abak menyibakkan selimut dan mencium kening perempuan yang senantiasa tidur di sampingnya. Perempuan itu terbangun lalu berinjit-injit ke sumur melawan gegar tubuh dalam udara yang dingin. Aku tak tahu persis apa yang mereka lakukan. Yang jelas setelahnya, mereka sama-sama berganti pakaian. Perempuan itu memakai kain sarung dan kerudung besar yang sudah dijahit. Mereka mengangkat dan melipat tangan di dada. Sejenak terdengar desis suara mereka. Kemudian abak berkata-kata seperti orang mengaji. Tak lama, mereka menunduk memegang lutut lalu mencium lantai. Biasanya, aku juga ikut dengan mereka. Aku tidak mengenakan kerudung besar seperti perempuan itu. Ia melilitkan kain panjang ke mukaku dengan menyematkan peniti di bawah daguku dan tepi kain sarung kecil ia belitkan di pinggangku. Aku ikuti gerakkan mereka. Bagiku ini permainan yang mengasyikkan. Ketika mereka mencium lantai kuikuti pula. Tapi kepalaku kutolehkan ke arah perempuan yang ada di sampingku seperti membaca sesuatu. Tak jelas mereka membaca apa. Kugerakkan-gerakkan saja mulutku. Mudah-mudahan sama dengan yang mereka baca. Sesekali aku capek, aku duduk saja atau aku beralih tempat berdiri. Sambil menunggu semua gerakan selesai. Tapi, selain karena masih sangat dingin, aku masih merasakan ada yang tak selesai antara aku dan perempuan di belakang abak itu. Aku melihat mereka saja dari tempat aku tidur. Setelah semua gerakan mereka selesai, perempuan itu mencium tangan abak. Ciuman yang ditulus-tuluskan. Aku kembali melihat kilatan api menjilat-jilat tangan abak. Aku tak tahu harus menyebutnya dengan apa. Mataku mengawasi saja apa yang kemudian mereka berdua lakukan. Perempuan itu berjalan ke arahku. Ia tersenyum. Sesuatu yang mirip geliat lidah api itu makin terasa, seakan menyemprot mukaku. Tetapi ketika melihat abak mendekati tempat tidurku, segalanya jadi sejuk dan seperti biasa kembali. “Sudah bangun kau rupanya,” sapa abak sebelum mencium keningku. Aku senyum saja sambil menggosok-gosok mataku yang sedari tadi memang agak kabur dan terasa sedikit gatal. Diulurkannya tangannya padaku. Aku tahu isyarat ini. Pasti ia mengajakku bangun. Kusambut tangannya. Hap! Kini aku ada di pelukannya. Kulingkarkan tanganku ke lehernya. Rasa hangat yang mengalir dari tubuhnya tak sepenuhnya menghilangkan gigilku. “Bak, dingin…” “Tak apa. Kalau sudah mencuci muka, dinginnya pasti hilang,” bibirnya tiba-tiba menancap di pipiku. “Sekarang kita cuci muka dulu ya!?” Aku semakin menyurukkan muka ke dadanya. “Anak gadis tak boleh begitu. Ia harus bangun pagi-pagi, harus berani melawan dingin,” ia menggendongku ke sumur dan mencucikan mukaku sekaligus mengajariku menggunakan penggosok gigi. Di sumur, sudah ada kakakku yang paling tua. Abak menyuruhku mencontoh kakakku itu. Kelak bila dewasa, aku pun pandai melakukannya sendiri. Berikutnya, kakakku yang nomor dua menyusul ke sumur. Diikuti kakakku nomor tiga. Seterusnya, kakak nomor empat. Abak sudah mengajariku soal berapa aku punya saudara. Kami semua ada lima orang, sebanyak jari sebelah tangan. Semua perempuan. Aku paling kecil. Kakak-kakakku sudah sekolah semuanya. Sebentar lagi, aku juga akan sekolah. Tapi, entahlah. Aku lebih suka main ke danau, bersama ikan-ikan. Abak kemudian membimbing tanganku ke depan perempuan itu yang tiba-tiba muncul dari belakang abak. “Mar, aku ke danau dulu,” ucap abak “Iya, Da,” jawab perempuan itu. “Bak, ikut!” aku tak mau ditinggal bersama perempuan itu. Aku mau ikut abak pergi ke danau, membangkit pukat. Aku mau melihat ikan-ikan bergelinjangan di mata pukat. Kata abak, ikan-ikan yang terjerat itu sudah besar dan boleh ditangkap. Sedangkan ikan yang kecil-kecil belum boleh ditangkap. Kalau tertangkap harus dilepas lagi. Biarkan dia bebas bermain hingga besar. “Seperti kamu…” kata abak. (Waktu itu ia mengajakku naik biduk) ”…semasih kecil tak boleh disakiti. Kalau sudah besar siap-siap untuk disakiti. Karena akan ada saja yang akan menyakiti.” “Idah boleh berteman dengan ikan-ikan kecil itu, Bak?” “Boleh. Asal kamu tidak jahat sama mereka.” “Ikan itu juga punya mak, ya, Bak?” “Tentu. Maknya selalu menjaga mereka seperti mak menjaga Idah.” “Tapi mak sering jahat ke Idah.” “Mak jahat ke Idah. Hmm, itu bukan jahat namanya. Itu karena mak sayang sama Idah…” Lalu, kuceritakan pada abak mengenai kilatan api yang membungkus tubuh perempuan itu. Abak malah tertawa, tak percaya. Ia mencubiti pipiku dan melarangku berpikir yang bukan-bukan. Tapi, tak bisa. Ketika tidak dekat abak, kilatan api begitu nyata mengurung tubuh perempuan yang (harus) kupanggil mak itu. Makanya, setiap abak pergi ke danau, aku selalu ingin ikut. “Mau ikut ke mana? Ke danau? Jangan sekarang ya. Kamu masih kecil. Nanti tenggelam dan dimakan ikan,” kata perempuan itu sembari meraihku ke pelukannya. “Iya. Nanti siang abak bawakan ikan kulari, ya. Kita bakar untuk makan siangmu. Dagingnya kita campur dengan samba lado. Hm, anak abak kan sudah belajar makan cabe. Di rumah saja ya, dengan makmu,” bujuk abak. Aku bersikeras melepaskan pelukan perempuan itu dan mengikuti abak. Ia sudah memakai pakaian baju tebal yang sudah sangat lusuh. Celana katun becek. Di sana-sini ada bercak-bercak lumpur. Dan sebuah topi pandan yang juga biasa dibawanya ke ladang. “Saidah! Tak boleh ikut!” abak membentakku. Aku diam saja sambil tetap menatapnya dari belakang. Kalau sudah begitu, aku akan berhenti sampai di situ saja. Layu di tempat aku tadi berdiri. “Nanti siang kalau abak ada waktu akan abak ajak naik biduk ke tengah-tengah danau, ya. Sekarang temani makmu di rumah,” aku mengangguk dengan segala ketidakikhlasan. Abak pergi. Aku masih saja duduk di situ. “Idah, ke sinilah. Bantu mak,” meski masih dikuasai ngeri, aku menurut saja sambil mendengar bujukannya tentang aku yang tak lama lagi akan sekolah menyusul kakakku. Juga ceritanya tentang anak perempuan yang sebaiknya tidak pergi ke danau dan segala celoteh tentang keluh kesah yang akhir-akhir ini terlalu sering ia sampaikan padaku. Mana pula aku paham. Katanya, tak lama lagi aku akan punya adik. Katanya lagi, bersuami seorang nelayan danau tak ubahnya dengan menikahi ikan. Hidup hanya di air. Sementara anak-anak terus lahir. Bagaimana menjelaskan harga barang dapur yang melejit-lejit padanya bila sepanjang hari mengucindani danau. Banyak lagi keluhan yang belum mampu kupahami meloncat-loncat dari mulutnya. Ia memberiku beberapa buah bawang merah dan pisau kecil. Aku tak begitu mendengarkan kata-katanya karena hatiku masih iba sebab tak dibolehkan ikut dengan abak ke danau. Ia tak tahu betapa senangnya aku bila berada dekat abak, melihatnya menarik pukat dari air. Dan pada pukat tersebut menempel beberapa ekor ikan, yang kemudian diletakkan abak di dalam kantong plastik hitam yang sudah disediakannya dari rumah. Waktu aku dibawa abak ke danau, karena perempuan yang (harus) kupanggil amak itu pagi-pagi sekali harus pergi ke suatu tempat yang katanya, sangat tidak mungkin membawaku. Makanya abak yang mengasuhku. Saat itu aku merasakan suasana yang lain. Tubuhku menggeriap melihat ikan-ikan yang menempel di mata pukat abak. Aku acapkali memekik kegirangan. Tanganku ikut menjangkau ikan-ikan yang diambil abak. Ini tentu saja membuat abak juga berteriak-teriak. Bukan teriak kesenangan, tapi teriak kecemasan. Biduk yang dipakai abak terguncang-guncang. Tiap sebentar pula ia memagutku dan didudukkan di pangkuannya dengan tangan kiri. Sementara tangan satunya memegangi pukat agar tak terlepas. Karena jika terlepas akan sulit untuk mengambilnya lagi. Sejak itu, setiap abak akan pergi ke danau, aku selalu mau ikut. Kalau pagi-pagi biasanya tak dibolehkan. Entah karena alasan apa, abak pernah mengatakan kalau ia takut aku akan jatuh ke danau dan ia tak mau gadis kecilnya mati ditelan danau lalu dimakan ikan-ikan. Tapi aku tak pernah menghiraukan alasan abak tersebut. Yang selalu kurengekkan pada abak adalah membolehkan aku ikut naik biduk dan menguncindani riak dan anak-anak ikan yang menyusu ke perut biduk. Aku suka suasana itu, jauh lebih suka dibandingkan diasuh perempuan yang dibungkus lidah api itu. Sesungguhnya, aku ingin mengadu pada abak. Aku tidak betah berlama-lama berada dekat perempuan itu. Tapi, aku tidak sanggup menceritakannya lagi pada abak. Abak pasti tidak percaya dan akan memarahiku kalau tiba-tiba kuceritakan. Ingin kukatakan, bahwa ia hanya baik bila di hadapan abak. Ia terlihat begitu patuh pada abak, tetapi di belakang abak, ia berubah. Ada api yang membungkus tubuhnya. Dari matanya yang memandang sangat kejam padaku juga berpercikan bunga-bunga api. Ingin pula kuadukan keluh kesah yang tak semua kupahami terlalu sering terlontar dari bibir tipis perempuan itu. Aku diasuhnya dengan gerutu dan cubitan yang memerahkan pangkal kakiku. Kadang dengan lecutan lidi kelapa dan jambakan anak rambut dekat telingaku. Yang ini, tentu lebih membuat abak tidak percaya. Apalagi bila kukatakan pada abak, selama abak berada di danau, perempuan itu sering meninggalkanku sendiri di rumah, hingga kakak-kakakku pulang sekolah. Deburan buih, dan anak-anak ikan yang menyusu ke perut biduk, tiap sebentar melambai rindu padaku mengundangku berenang, membenam ke dasar paling dingin. Pagi masih hitam. Kulihat tidur abak begitu nyenyak. Aku ngeri juga membayangkan gelap yang merajai alam. Tapi, kurasakan langkah kaki perempuan yang membimbingku ingin sekali cepat-cepat sampai ke danau. Katanya, abak tidak boleh tahu. Katanya lagi, ia akan mengantarku ke danau pagi-pagi, sebab anak-anak ikan berenang ke tepi danau pada waktu pagi. Kulebar-lebarkan mataku. Sesekali masih tersisa kuap di mulutku. Aku tak sabar, ingin melihat anak-anak ikan itu. Kami kini telah berada di tepi danau. Mata kakiku mulai menyentuh bibir riak. Perempuan itu tetap membimbingku. Ia membawaku ke atas biduk dan mendudukkanku di pangkuannya. Lalu ia kayuh biduk itu ke tengah danau. “Sabar, ya. Sebentar lagi, anak-anak ikan itu akan datang,” ia menciumku. Dari matanya berpercikan bunga api. Kilatan api yang membungkus tubuhnya tak mampu mengusir dingin yang kurasakan. Aku pasrah, menunggu anak-anak ikan itu datang. Ikan-ikan mengajakku berenang ke sana ke mari. Ia mengajakku ke tempat yang lebih dalam dan semakin dalam sampai ke kegelapan. Sesekali aku muncul ke permukaan. Tubuhku kini begitu ringan dan tak lagi merasakan dingin. Tapi, ketika sampai di permukaan, tiba-tiba pandanganku tertuju pada perempuan itu. Ia meraung-raung di tepi danau sana. Ia guling-guling. Lalu, banyak orang yang mengerumuninya. Sebagian orang kelihatan sangat sibuk, berkeliaran di sekitar pinggir danau. Aneh. Aku tak melihat abak. Namun, tidak lama berselang, aku lihat abak mengayuh biduknya ke tengah danau, melihat-lihat ke segala penjuru sambil meneriakkan namaku. Aku balas panggilan abak. Tapi mulutku kini penuh air. Tak ada suara yang keluar. Akhirnya, ibu-ibu ikan yang kini mengasuhku membimbing siripku berenang ke samping biduk abak. Aku lihat mata abak memerah dan sembab seperti orang sedang marah. Bibirnya tak henti menyeru namaku. Pendayung di tangannya menggigil. Kalau saja aku belum benar-benar menjadi anak ikan, tentu aku akan naik ke biduk abak, menemaninya membangkit pukat sambil sesekali berteriak-teriak girang.*** Padang, April 2008
""Anak Ikan""
(Atawa Jakarta in Rap) Di Jakarta—ungkap lik War—jam ada di mana-mana. Di pagar rumah, di pintu halaman, di dinding di samping kiri atau kanan pintu masuk dekat bel, di dinding dan kursi-kursi dan meja di ruang tamu, di ruang tengah yang merangkap ruang keluarga, di layar TV dan monitor komputer, di meja makan dan terutama pada piring dan gelas minum, di pintu, di dinding, di ranjang dan bantal kamar tidur, di dapur, di bak air dan di gayung kamar mandi. Di jalanan, di mobil, di motor, di bundaran lampu lalu lintas, dan di kemengangaan mulut, di juluran lidah dan di untang-unting tenggorokan ketika orang-orang bercakap-cakap dan berteriak. Jam ada di mana-mana. Berdetak-detik di dalam pendengaran, berpendar-pendar di dalam ingatan: memaksa setiap orang untuk bergerak lebih cepat dan semakin cepat sehingga waktu terengah-engah dan menyerah. Bilang, ”lakukan semuanya semaumu, aku hanya akan jadi tanda ketika malaikat mencatat semuanya dalam lembar laporan harian kepada Allah SWT…” Dan karena itulah—kata lik War—Jakarta berubah jadi arena balap, di mana setiap orang berpacu untuk secepatnya masuk garis finish tanpa terlebih dulu memasuki jeda pitstop, masuk kantor dan mulai kerja dengan jam yang berdetik di laci meja tulis, di perut yang hanya diisi kopi, di lembaran kertas, di layar monitor, di HP yang setiap saat sepertinya berbunyi menyatakan ada jalur pacu lain yang harus ditempuh sebagai balapan berikut atau yang terpaksa diabaikan, lalu jeda dengan jam yang terus berdetak di mana-mana, balik ke tengah lautan jam kerja dan dipacu detak ribuan jam kerja di mana-mana, dan begitu lepas dari kungkungan jam kerja semuanya langsung memasuki street race untuk sekali lagi berpacu pulang (cepat) ke rumah dengan berjuta jam yang berdetak dan berpendar di sepanjang jalan, sampai akhirnya tiba di rumah dan disergap jam lagi. Jam di mana-mana. Setiap orang dikepung ratusan jamnya sendiri sehingga terkurung sendirian, tidak bisa memanggil siapa pun, minta bantuan pada siapa pun dan mendapatkan pertolongannya. Gelagapan dikerubuti jam yang bermunculan dan berdatangan dari mana saja dan hinggap di apa saja—yang serentak berpendar dan berdetak menganjurkan semua agar terus berpacu. Jakarta—kata lik War—itu jam besar dengan miliaran jam kecil yang berdetak dan berpendar serentak, sehingga orang-orang tak akan bisa lepas dari kekangan jam, anjuran jam—berpacu agar bisa lebih leluasa tak dijadwal, saat waktu terpaksa hanya jadi patokan gerak dan ulah kerja manusia. ”Tapi bisakah kita bebas dari jam?” kata Anderwedi sambil tersenyum dan tersipu-sipu. Lik War menggeleng. Bisakah manusia bebas dari waktu, dari ukuran yang dibuat manusia untuk menandai yang tidak terlihat dan tidak terasa, yang diam-diam maju terus, agresif melahap segala sambil menyepah yang kalah kehabisan waktu, sambil menyisihkan yang kalah dari satu jalur pacu, dan sambil terus melahap yang ada dan menempatkan semuanya pada jalur pacu yang ada dan senantiasa ada, bersebelahan, saling kontak-sentuh, berbelit dan kusut membentuk gombal kain nasib yang ketika ditelusuri benangnya ternyata masau saling menjerat. Manusia selalu berada dalam titik saling ketergantungan, untuk tolong- menolong atau instinktif tebas-menebas—pikirku. Dan setelah itu, pikirku. Aku menatap lik War: Memakai kaus hitam dengan sablon metalik halus bergambar entah apa—percik cat tumpah—dan tulisan excited, what ever will be will be, deretan kata yang tidak bisa kumengerti dan kayaknya juga tidak dipahami lik War, yang cuma bilang kaus itu diberikan anak bos karena saat dipakai ditertawakan oleh bos yang bilang, ”grammar apa tuh?”; dengan celana jeans hitam ketat yang kata lik War cuma produk tembakan sehingga harganya hanya cukup untuk naik taxi ke Ancol—lik War juga bilang, ia naik Brantas yang karcisnya sebanding dengan harga celana itu, meski di kereta itu ia tak bisa berbuat apa selain duduk dan menggerak-gerakkan jari kaki tokh. Ya! Tapi lik War senantiasa bilang: Jakarta itu jam besar dengan anggota miliar jam kecil, yang memaksa tiap orang menjadi Valentino Rossi, Casey Stoner dan apa lagi yang senantiasa berpacu di jalan, yang lebih memilih sepada motor bukan karena tak punya duit untuk membeli mobil—”barang-barang itu,” kata lik War, ”bisa dibeli secara kredit”—tapi karena jalanan di Jakarta bukan tempat yang tepat untuk berpacu dengan mobil. ”Terlalu banyak kendaraan, hingga ada jalan khusus yang hanya boleh dilalui mobil bila isinya minimal tiga orang, karena itu banyaklah orang menawarkan diri disewa-angkut agar mobil itu bebas berpacu mengejar waktu di jalur 3 in 1 itu di sekian menit nunut—celakanya orang-orang itu malahan diuber dan dikejar Satpol PP karena dianggapnya membuat orang kaya bisa bebas merdeka berpacu di jalur yang tak sembarang orang bisa masuk bila berdua saja,” kata lik War, ”dan kendaraan yang berjibun itu membuat macet di mana-mana, malah sampai jalan tol yang seharusnya lapang dan bebas pacu bagi yang ingin menundukkan jam, karena itu mereka menjadi yang dikalahkan waktu dengan kepeksa jalan merayap dalam kemacetan dan nelangsa menghabiskan BBM percuma saja.” Kami menelan ludah. Terbayang jalanan mulus Jakarta—tidak seperti jalur makadam kampung, yang menembus ladang dan sawah, dan bermuara di jalan antardesa yang bergelombang dan berlubang-lubang, dan yang setelah 5 km baru tiba di jalan kecamatan yang lebih mulus sedikit—terbayang jalan itu penuh deretan mobil yang berjajar dan di sela-selanya motor-motor meliuk seperti dalam atraksi lomba trail semi akrobatik di TV, dan sesekali mandeg dan meraung-raungkan gas sebelum lampu di perempatan itu menyala ijo, sebelum semua meloncat seperti mengawali lomba yang akan menentukan siapakah yang lebih dulu dibanding si pole position yang teledor. ”Aku jadi pengen ke Jakarta,” kata Anderwedi—mewakili pikiran kami, seluruh anak muda ingusan yang saat itu ikut nongkrong di gardu Kamling di ujung kampung, sambil merokok dan meneguk arak oplosan di tengah kesiuran angin dari persawahan yang dipusokan dan hanya sebagian yang bisa ditanami palawija dan semangka. Lik War pun tersenyum. Ia minta kami menghubungi Saman Bakmi—ia berkeliling jual bakmi dengan gerobak dorong, yang disewa dari juragan yang juga menyediakan mi, bumbu dan yang lainnya, serta tempat kos dan pelatihan—agar ikut dengannya dan belajar berkeliling di gang-gang di perkampungan Jakarta di sepanjang malam. Tapi berlomba dengan gerobak dorong sambil memukulkan sutil logam pada cekung wajan dalam pacuan di gang-gang kampung, yang mungkin hanya dihiasi jam yang sudah pada kendur: benar-benar tak menarik minat berpacu kami. Kami menggeleng. Lik War pun mengajukan usul lain, kami ikut dengan Marto Pedrosa—ia sendiri yang menambahkan nama itu karena aslinya ia bernama Joko Martono dan dulu selalu kami panggil dengan sebutan No Tit, yang selalu bergaya dengan sepeda motor siapa saja bila pulang ke kampung, dan yang di Jakarta menjadi tukang ojek. ”OK!” kata Marto Pedrosa, ”tetapi lu kudu apal jalan-jalan di Jakarta dalam seminggu, kudu pinter cari kos-kosan karena aku sendiri hanya punya satu kamar dengan Neti dan dua anak itu, sekaligus kudu punya DP sejuta sebagai jaminan dapat make motore bos. Mungkin lu kudu belajar jadi ojek sepeda dulu. Atau ojek payung?” Kami melengos—apa yang bisa dipacu dengan jadi (tukang) ojek payung? Lik War tertawa. Ia menganjurkan jadi kernet, dan setelah enam bulan baru menjadi ojek’s driver—sambil menjanjikan mempertemukan kami dengan kawan Bataknya. ”Atau ikut Arpan,” katanya, ”macak dan akting pengemis, memenuhi trotoar untuk recehan?” Kami melengos. Itu artinya tak berpacu di Jakarta tapi jadi batu jarak tempat anjing mengangkang dan kencing. Dan miliaran jam yang terangkum dalam sebuah jam raksasa bernama Jakarta terus berpendar di kelam malam, dengan angin deras dari persawahan yang dipusokan dan hanya sebagian kecil di dekat saluran irigasi yang sempat ditanami palawija dan semangka, menyusupkan dingin yang tajam dan menyamak jangat dalam irisan yang menyeluruh di sekujur tubuh: berpendar di langit malam yang penuh bintang, menjadi rembulan gaib di awal Syawal, dan karenanya membimbing kami untuk bangkit dan mempertaruhkan apa saja. Berangkat ke Jakarta, dan menjadi apa saja—tidak hanya berakting macak pengemis tapi benar-benar jadi pengemis dan pemulung, semodel de Grana, yang selama 15 tahun ini tak pernah pulang ke kampung meski setiap Lebaran selalu nitip duit dua atau tiga ratus ribu bagi Mbah Rame, ibunya; atau benar-benar berpacu di jalanan dengan menjadi jambret dan diuber-uber polisi sehingga blingsatan mburon ke mana-mana dan kemudian mati ditembak dengan delapan belasan lubang luka seperti Isa yang jadi gembong dengan tiga orang sekampung lainnya yang masih selamat, dan karenanya (kata lik War, Marto Pedrosa dan Saman Bakmi) di Jakarta tak ada yang berani kurang ajar kepada orang-orang dari kampung sini, dan banyak orang sekabupaten yang mengaku-aku penduduk asli kampung sini. Sambil mengeluh tak segampang para perempuan, yang dengan gampang menjadi pembantu macam Warti, Lania, Santik dan Kuni, atau penghuni kompleks semodel Tri, Sri, Kimi, Nonik, dan Tyas, atau yang terpaksa menggelandang di jalan seperti Nian, Timpah, dan Genduk (dilindungi dari yang lain dalam teror nekat Isa almarhum, Kasim, Koral dan yang masih buron—sehingga para urbanis sekabupaten di Jakarta bikin slametan di Jakarta dan di kampung sini). Dan Jakarta jadi jam raksasa yang melengkung dan mengayomi miliaran jam kecil yang serentak—tak pernah serentak karena selalu ada selisih lebih lambat dan lebih cepat dalam hitungan mikron-sekon atau sekon—berdetak-detuk dan berpendar: semua jam-jam itu seperti memanggil kami untuk meninggalkan ketiadaan harapan di kekeringan yang selalu melanda desa, untuk segera berpacu sebagai apa saja. Berpacu dengan waktu secara baik-baik dan tak baik-baik, menjadi orang kantoran atau hanya suruhan, atau buronan karena terlalu kreatif meletakkan jam di jalur pacu yang miring mencang-mencong demi survive dengan sesuap nasi. ”Jadi akan berangkat apa tidak?”—teriak angin kemarau yang menyusupkan dingin dengan menyamak jangat selepas hamparan persawahan yang terpaksa dipusokan di musim kemarau itu. Bersama-sama sampai di Senen atau Kota—lalu berhamburan ke mana saja dan jadi apa saja, lantas bertemu setahun sekali di kampung, agar bisa bersama-sama pergi ke Jakarta lagi, dan berhamburan lagi di Senen atau Kota, sebagai apa saja di mana saja. Ya! Ya! YA! YA—adakah pilihan lain, selain jadi transmigran yang lebih sara karena harus mbabat alas meski selalu diigaukan Pak Lurah di dalam pidato acara halal bi halal kampung yang penuh kebohongan itu. ” Jakarta, here I am coming!” teriak Anderwedi—mabuk.*** Catatan: untang-unting: yang tergantung dan bergoyang-goyang gombal : kain bekas untuk lap, yang biasa lusuh nunut : ikut, menumpang kepeksa : terpaksa nelangsa, sara : sengsara mandeg : stop, berhenti kudu apal : harus hapal motore : sepeda motornya macak : berdandan blingsatan mburon : panik/kalang kabut melarikan diri gembong : tokoh, pentolan, kepala [penjahat] slametan: ritual membaca doa keselamatan bagi yang meninggal mencang-mencong: meliuk-liuk, berliku-liku mbabat alas: membuka hutan, kolonisasi
""Langgam Urbana""
Sudah tiga hari Nalar demam. Biasanya demamnya cepat hilang begitu dikompres air atau keningnya ditempeli irisan bawang merah. Kemarin neneknya sudah membawa dia ke Mak Moyong—dukun anak. Kata si dukun kena sawan. Tapi demamnya tak juga turun ketika ia dipaksa neneknya minum jamu dari Mak Moyong. Kalau sore ini aku dapat gaji mingguan, Nalar akan langsung kubawa ke Dokter Kiki. Puskesmas sudah tutup saat aku bubaran pabrik. Tidak tega aku jika menunggu sampai besok. Demam Nalar begitu tinggi. Lagi pula penyebabnya aku sendiri. Sebagai ibu dan penyebab sakitnya, aku harus bertanggung jawab. Apalagi sudah setahun ini hubunganku dan Nalar tak begitu hangat. Penyebabnya, ketika setahun lalu, ia melihat aku nopeng dengan Ibu di kampung, Nalar memaksaku untuk mengajarinya nopeng. Aku menolak. Sudah cukup rasanya garis keturunan penari topeng berhenti di tubuhku. Lagi pula tanggapan nopeng sudah tidak sebanyak dulu saat aku remaja. Sejak tak banyak tawaran nari, aku memutuskan jadi buruh rokok. Pemasukan rutin meski sedikit ternyata lebih mampu menyambung hidup kami bertiga: aku, ibu, dan Nalar. Selain soal penghasilan, aku tidak tega jika membiarkan Nalar melalui sejumlah ritual yang harus kujalani dulu. Puasa mutih, ngrowot, Senin-Kamis, belum lagi dalam waktu-waktu tertentu harus tidur di lantai tanpa alas, hingga tapa kungkum. Aku menjalaninya karena tidak ada pilihan lain. Bukannya aku tidak suka menari. Namun, aku harus realistis. Rumah ini sudah kehilangan para lelakinya. Baik ayahku maupun suamiku. Mereka ditakdirkan meninggal mendahului para istrinya. Sungguh tak mungkin jika menjadikan ibuku di usia larutnya harus ikut mencari uang. Cukuplah aku. Melihat kondisi ini, wajar rasanya jika aku tak menginginkan Nalar menjadi penari topeng. Seperti anak-anak lainnya, aku ingin ia sekolah sampai semampuku membiayainya. Setelah lulus, ia bisa kerja di pabrik, penjaga toko, atau sales. Harapanku pupus ketika tiga bulan lalu, Nalar diajak ibu mengunjungi makam Mbah Buyut di Desa Gabusan. Dua jam perjalanan naik bus. Sepulang dari sana, Nalar langsung mengobrak-abrik topeng-topeng yang sudah kusimpan rapi di dalam lemari kamarku. Di depanku, ia langsung memasang sampur yang dibelitkan di pinggang dan memasang topeng di wajahnya dengan cara digigit. Saat kutanya, ibuku membantah telah mengajarinya menari. Nalar sendiri tak mengatakan apa pun. Ia hanya menari menandak-nandak dan baru terdiam saat kucopot paksa topeng di wajahnya. Bukannya meredam keinginan Nalar, ibuku malah semakin bersemangat mengajari Nalar menari. Dengan sisa gamelan di rumah, Ibu mengiringi Nalar menari. Bocah itu paling suka gerakan lerep sambil mengentakkan kaki ke tanah. Jika hanya menari, sebenarnya aku tak terlalu kesal. Aku hanya tak suka ketika Ibu mulai mengajari berbagai tirakat yang pernah diajarkannya kepadaku saat seusia Nalar. Anak itu sudah terlalu kurus untuk ikut-ikutan puasa dan sejenisnya. Sebagai ibunya, aku malu jika Nalar dianggap kurang gizi. Ditaruh ke mana mukaku. Seolah aku tidak cukup memberinya makan. Inilah kenapa aku tak suka berharap. Berkali-kali aku dikhianati harapan. Aku berharap Nalar bisa kerja di pabrik, penjaga toko, atau sales. Setidaknya dengan tetap menjadi buruh nglinting rokok, aku bisa membiayainya sampai SMA. Memang ia baru tujuh tahun. Masih bisa ia berubah mengikuti harapanku. Tapi sekali lagi, aku benci berharap. Sangat membencinya ketika ayahku meninggal karena malaria, dan suamiku tak pernah pulang sejak pamit melaut tiga tahun silam. Hanya tersisa satu lelaki di keluarga kami. Danu, kakak Nalar yang sekarang sudah kelas enam SD. Seharusnya aku seperti kebanyakan keluarga lainnya di kampungku, yang menaruh harapan ke anak lelakinya. Tapi bagiku, Danu tidak bisa diharapkan. Aku tidak bisa memercayai anak yang kulahirkan tanpa kutahu siapa ayahnya. Mungkin karena aku tak menerima kehadirannya, Danu juga tak memedulikan kehadiranku. Ia lebih peduli pada Nalar. Baginya, Nalar lebih dari sekadar adik seibu. Nalar seolah dolanan yang tak pernah kubelikan sejak ia bisa merengek. Dolanan yang bisa membalas setiap sentuhan dan perhatiannya. Sejak Nalar belajar menari, Danu tak lagi sering menghabiskan waktu dengan bocah-bocah lelaki yang kerap nongkrong di warung kopi Pak Gatot. Dulu, ia kupergoki terbatuk-batuk saat mengisap rokok pemberian anak-anak itu. Begitu aku lewat di depan warung, ia langsung klepas klepus berlebihan sambil duduk menekuk salah satu kakinya seperti gaya sopir truk yang suka mangkal di warung itu. Belakangan ini, Danu lebih suka menunggui Nalar belajar joget. Ia menonton sambil menatah kayu randu untuk membuat topeng. Aku tak tahu dari siapa ia belajar. Pasti hanya coba-coba. Dari yang semula hasilnya topeng peyot, Danu mulai bisa menatahnya seukuran wajah Nalar. Sebenarnya aku senang, Danu jadi tak banyak nongkrong di warung. Tapi tetap saja aku memiliki banyak celah untuk memarahinya. Apalagi jika aku pulang dari pabrik dalam keadaan lelah teramat sangat. Teras rumah penuh serpihan kayu, menjadi benda yang cocok sekali untuk kuraup dan kulemparkan ke wajahnya. Sambil kelilipan, biasanya Danu hanya menyimpan marah dan mengambil sapu lidi. Nalar hanya bisa menangis. Kemarahanku pada Danu semakin memuncak dengan sakitnya Nalar. Gara-garanya empat hari lalu ketika aku mendapat tanggapan nari di kampung sebelah. Juragan beras desa sebelah menang jadi lurah. Aku diminta nari tayub dengan Yu Wasis. Ibu sebenarnya sudah tidak setuju aku tayuban. Lebih baik nopeng saja. Katanya, nopeng lebih terhormat ketimbang nayub. Aku sudah persetan dengan alasan itu. Yang penting ada uang beli beras. Sepeninggalku, ternyata Nalar mencariku. Begitu ia dengar dari Danu bahwa aku dapat tanggapan nari, ia merajuk ingin menonton. Pikirnya aku nopeng. Danu berhasil meyakinkan mbahnya jika ia bisa menjaga Nalar. Segera saja keduanya menyusul tanpa sepengetahuanku. Aku tak tahu kapan mereka sampai. Perhatianku lebih tersita ke berapa banyak lelaki berwajah berahi yang bisa kukalungi sampur. Mereka jelas-jelas lebih royal menyisipkan uang kertas ke dalam kembenku. Semakin malam, misiku tak cukup puas dengan puluhan tangan yang merogoh dadaku. Juragan beras yang punya gawe konon penggemar rahasiaku. Dia pasti bakal nyangoni aku duit berlembar-lembar jika bisa mengajaknya tidur. Sayangnya, niatku gagal ketika menjelang tengah malam, kulihat Nalar dan Danu berdiri termangu di deretan belakang penonton. Aku baru menyadari kehadiran mereka ketika hanya tinggal puluhan lelaki dewasa. Garis genit di bibirku mendadak wagu begitu melihat wajah pasi Nalar. Ia terlihat mimbik-mimbik tepat saat Kang Jono menyusup belahan dadaku. Aku langsung berlari turun dari panggung. Kuseret kedua anakku menjauh dari tempat itu. Biarlah malam itu menjadi rezeki Yu Wasis. Sepanjang jalan pulang, kugelandang kedua anakku dengan perasaan kisruh. Di gendonganku, Nalar terus membenamkan wajahnya di cerukan dua buah dadaku. Sementara Danu tak mengeluarkan suara apa pun. Hanya bunyi srak-sruk kedua kaki telanjangnya yang bergegas mengikuti langkah kakiku. Begitu sampai rumah, aku langsung masuk kamar dan membaringkan Nalar yang ternyata sudah tertidur. Setelah itu, aku keluar dan menarik tangan Danu yang sedari tadi berdiri mematung di ruang tengah. Tak kupedulikan teriakan ibuku yang sibuk bertanya ono opo tho iki sambil membenahi rambutnya yang acak-acakan selepas tidur. Aku menuju kamar penyimpanan topeng. Setahuku, Danu sangat takut masuk kamar itu. Setengah kudorong tubuhnya. Tak kupedulikan tangisnya. Tanpa mengeluarkan sepatah kata pun, aku mengunci pintu. Masih sempat kudengar isak Danu dari dalam. Paginya, aku terbangun oleh igauan Nalar dan panas keningnya yang menyengat ketiakku. ”Mas Danu. Mas Danu,” igaunya sambil merem. Lirih suaranya memanggil kakaknya membuatku beranjak dari kasur. Niatku untuk terus mengurung Danu kubatalkan. Setidaknya, jika merasakan kehadiran Danu, Nalar agak tenang. Tak kutemukan Danu di kamar hukuman. Kudapati selot pintu pengunci tak lagi terpasang. Ibu pasti melepaskannya tadi pagi. Tapi saat kutanya, ia menyanggah. ”Tadi pagi saat bangun, pintunya sudah seperti itu,” ujar Ibu sambil memarut kelapa. Sejak saat itu, tak lagi kudapati Danu pulang. Suhu badan Nalar sering naik turun sejak kepergian Danu. Sudah beberapa kali kubawa ke puskesmas dan dokter yang harganya lebih mahal, mereka tidak menemukan penyebab pastinya. Bermacam obat, baik yang resmi maupun alternatif, telah dicoba. Namun, hasilnya tetap sama saja. Nalar hanya terlihat anteng dan membaik kondisinya setiap kali menggenggam topeng yang dibuatkan Danu untuknya. Sejak Nalar tak stabil kondisinya, keuanganku makin memprihatinkan. Sudah beberapa minggu pabrik tutup untuk sementara. Beberapa teman mengabarkan perusahaan rokok keluarga yang sudah berdiri sejak 50 tahun ini akan dijual. Tanggapan tayub pun mulai berkurang. Untunglah dua hari lalu, Pak Saidi, penabuh gamelan yang sering mengiringi aku nari, mengabarkan ada acara kampanye yang menginginkan tari topeng. ”Kok bukan tayub Pak?” tanyaku. ”Tayub memang lebih ramai. Tapi kampanyenya ini katanya pengen pengisi acaranya sopan. Terus karena kampanyenya soal apa sih itu namanya, kepedulian pada seni bangsa sendiri, makanya mereka ngumpulin beberapa kelompok seni di daerah ini,” kata Pak Saidi. ”Tapi yang dipilih yang sopan. Itu namanya enggak adil,” protesku. ”Ndak ngerti lah aku. Manut aja. Terus mereka minta topengnya dicat ijo semua, biar katanya peduli lingkungan.” ”Piye tho, katanya tadi peduli kesenian. Terus sekarang peduli lingkungan.” ”Yah, namanya juga kampanye biar kepilih. Apa saja biar ketok apik tho,” tukas Pak Saidi. Tak kupedulikan tangisan Nalar yang memprotes topeng-topeng di rumah menjadi hijau. Hanya satu topeng yang tak kuganti warnanya. Topeng seukuran wajahnya yang dibuatkan Danu untuknya. Aku tak mau ambil risiko panasnya naik lagi di saat aku menari. Setidaknya setelah aku mendapat uang bayaran pentas, ia bisa kubawa ke dokter di kota. Sore itu kuwanti-wanti ibu untuk menjaga Nalar di rumah. Sejak demam, aku memang tak pernah berani meninggalkannya cukup lama. Nalar masih ngambek saat aku pamitan. Ia menolak kucium pipi gembilnya. Bahkan, Nalar tak mau melihatku. Diselusupkan kepalanya di antara kaki mbahnya. Aku mendapat giliran kedua setelah grup musik angklung yang menjadi hiburan pertama setelah pimpinan partai yang tengah kampanye memberikan kata sambutan. Meski bukan kampanye resmi, pesta rakyat yang diadakan sebuah partai itu dipadati warga desa yang haus akan hiburan. Apalagi sebelum acara dimulai dibagi sembako gratis. Dengan takzim kupasang topeng di wajahku. Perlahan aku beranjak dari duduk bersilaku. Dari posisi yang membelakangi punggung, aku memutar badanku setelah yakin posisi topeng tak goyah. Saat itulah, ketika kuedarkan pandangan dari lubang di bagian mata topengku, aku melihat Nalar dan Danu berdiri di antara para penonton di bagian belakang. Mereka bergandengan tangan. Tarianku terhenti. Tubuhku beku. Di balik topengku, kulihat Nalar tersenyum. Sebelah tangannya menggenggam topeng kesayangannya. Perlahan ia memasang topeng itu di wajahnya. Sambil tetap bergandengan, kedua anakku berbalik. Melangkah menjauh entah ke mana. Itulah kali terakhir kulihat mereka berdua. Jakarta, 15 Desember 2008 Catatan: Mutih : puasa dengan hanya makan nasi Ngrowot : puasa dengan hanya makan umbi-umbian. Tapa kungkum : Bersemedi dengan berendam. Lerep : gerakan mengelus dua jumbai di kiri dan kanan topeng.
""Topeng Nalar""
Pagi-pagi sekali, aku dikejutkan oleh kemunculan seekor kucing belang tiga di depan pintu flatku. Mulanya, ia mengeong-ngeong keras sambil mencakar-cakar pintu hingga membuatku berhenti menggosok gigi demi memastikan apakah benar seekor kucing berada di depan pintu itu. Kulihat, kucing itu kuyu. Sekujur badannya basah, pasti terkena hujan. Di luar memang sedang hujan. Beberapa hari ini, Kyoto tak henti-henti diguyur tumpahan air langit yang begitu derasnya. Meski sesungguhnya tak menyukai kucing, aku tidak tega membiarkannya kedinginan di luar. Lagi pula, dia sepertinya memang memohon pertolongan seseorang untuk melepaskannya dari jerat dingin udara Kyoto saat ini. Aku langsung menggendongnya ke dalam. Sebelum menutup pintu, barulah aku tahu kalau kucing itu terluka setelah tanganku basah oleh nanah yang berbau busuk, mengalir dari sebuah nganga luka yang dalam, pada pinggang sebelah kirinya. Sepertinya itu luka akibat tusukan benda tajam. Aku bergegas memakai jas hujan, meninggalkan kucing itu sebentar demi mendapatkan obat yang pantas untuk luka yang mengerikan itu dari apotek seberang jalan. Nguyen, mahasiswa farmasi asal Vietnam yang nyambi bekerja di apotek tersebut menyarankan aku untuk mengoleskan salep chloramphenicol pada luka si kucing. Aku bergegas membayar, lantas menuju ke minimarket, sekitar lima puluh meter dari apotek. Di sana aku mendapatkan sekaleng susu cair dan Whiskas rasa tuna kemasan 500 gram. Setelah memastikan tidak ada yang terlewatkan, aku kembali berjuang menembus badai hujan demi mencapai flatku. Kucing yang menyedihkan itu masih tergolek lemah di atas sofa, dalam balutan handuk yang kuberikan sebelum meninggalkannya tadi. Ia agak terkejut mendengar pintu yang kututup agak keras. Segera kuambil kapas dari kamar dan kubawa pula baskom berisi air hangat dari dapur. Setelah menuntaskan ritual pengobatan pada kucing itu, aku langsung menyuguhkan padanya semangkuk Whiskas dan semangkuk susu. Ia langsung melahap habis semuanya. Selesai itu, ia langsung tertidur pulas dalam kelelahan. Kuperhatikan benar- benar, sepertinya kucing ini bukanlah kucing liar. Bulu-bulunya terawat. Badannya juga montok. Ah, biarlah dia di sini dulu sampai sembuh. Kalau misalnya dalam beberapa hari ini tidak ada yang mencarinya, akan kuantarkan ke rumah hewan saja. Kucing itu menempati kardus mi instan yang sudah kuatur sedemikian rupa untuk memberinya rasa nyaman dan kehangatan yang layak, agar ia bisa tenang beristirahat dengan harapan berdampak baik pada penyembuhan lukanya. Hari ini Minggu, aku bebas dari kuliah dan pekerjaan. Aku menuju ke depan TV, memutar sepiring DVD yang sudah kusewa dari rental di dekat restoran tempatku bekerja. The Catcher in the Rye judul film itu. Aku menontonnya dalam perhatian yang mendalam. Sejalan dengan mengalirnya kisah dalam film itu, aku mulai menyadari kenyataan bahwa terkadang, banyak hal kecil yang muncul di hadapan kita pada suatu waktu menjadi pemantik ingatan kita akan kenangan yang terjadi pada masa lalu. Film itu membawaku pada kenangan ketika aku terpaksa berhenti kuliah karena orangtua tidak bisa membiayai. Keadaan itu kemudian memacuku untuk merantau jauh, bekerja sambil menuntut ilmu di Jepang dengan menumpang sebuah kapal barang dari Surabaya. Sampai di Jepang, aku mencoba bertahan hidup dengan bekerja berpindah-pindah di restoran-restoran kecil, sampai kemudian aku menjadi salah satu juru masak yang bisa diandalkan di sebuah restoran besar berkat ilmu masak yang kudapatkan dari restoran-restoran kecil tadi. Dari pendapatanku sebagai juru masak di restoran besar itu, aku bisa membiayai kuliah. Kini, aku bisa hidup mandiri dan tiap bulan juga rutin mengirimkan uang ke orangtua di kampung. Hari-hariku kulalui dengan berkutat dalam bumbu masak di sebuah restoran gabungan masakan Jepang dan Eropa, yang terletak di sekitar Imadegawacho selain juga bergelut dengan materi kuliah di Universitas Kyoto dalam bidang kelistrikan. Di sini, aku benar-benar menikmati pengaruh kerja keras, fokus dalam keseriusan yang tidak akan kudapatkan di negeriku sendiri. The Catcher in the Rye usai, kenanganku pada masa lalu usai. Aku beranjak mematikan TV menuju ke meja makan, menyantap dua hamaagu dan teh hijau panas yang masih mengepul asapnya. Sehabis itu, aku pun terjatuh dalam tidur yang panjang di atas sofa. Sementara, hujan di luar tak juga reda, seolah akan turun selamanya. Sebenarnya sudah lama aku tertarik pada gadis yang tinggal di flat seberang jalan itu. Namun, aku tidak bisa menemukan cara untuk bertemu dan berkenalan dengannya. Namun tak kusangka, si kucing belang tiga—yang sudah menjadi bagian dari flatku selama tiga minggu—berjasa mempertemukanku dengan gadis itu pada akhirnya. Kuketahui kemudian namanya sebagai Kiyoko, pemilik si kucing belang tiga. Kiyoko datang pada suatu malam, menanyakan padaku apakah ada seekor kucing belang tiga gemuk yang nyasar masuk ke dalam flatku. Ketika kuperlihatkan kucing itu, tanpa ragu lagi dialah memang yang selama dua minggu ini dicari Kiyoko. ”Ada luka di tubuhnya waktu pertama kali terdampar di sini. Tapi sudah sembuh sekarang….” ”Wah, kasihan sekali… Takeshi….” ”Takeshi?” ”Ya, kuberi dia nama Takeshi.” Dia kemudian bercerita bahwa di lingkungan sekitar situ memang ada gerombolan anak sekolah menengah yang suka menyiksa binatang. Ia berkeyakinan luka itu disebabkan oleh mereka. Di hari Takeshi terluka memang dia sedang tidak berada di flatnya, dia sedang pergi ke Nagoya. Setelah mengobrol sebentar, dia berpamitan dan menawarkan aku untuk berkunjung ke flatnya, sekadar minum teh cha (teh hijau) berdua sebagai ungkapan rasa terima kasihnya karena telah menyelamatkan Takeshi. Aku langsung membayangkan: minum cha waktu hujan sambil nonton Serendipity atau Before Sunset, mengapa menolak? Esok malamnya aku berkunjung. Ia memperlakukan aku dengan baik. Meski tak ada hujan dan tak sempat menonton film bersama, ia menyuguhkan teh hangat dalam sambutan serta percakapan yang juga hangat. Aku juga senang melihat Takeshi yang sudah sembuh lukanya dan yang paling penting, ia sudah berada kembali di rumahnya. Namun, satu hal yang membuatku heran, Takeshi tidak dibiarkan bebas. Ia terkurung dalam sebuah sangkar. ”Mengapa Takeshi di dalam sana?” ”Oh, ya, aku lupa tidak mengeluarkannya dari dalam situ. Tadi aku keluar sebentar, aku tidak bisa membawanya. Makanya kemudian kukurung saja dalam sangkar. Jika kubiarkan bebas sendirian, ia bisa keluar dari sela langit-langit. Aku takut ia menjadi bulan-bulanan anak-anak nakal itu lagi.” Ia kemudian menghampiri Takeshi dan membuka tutup sangkarnya. Takeshi langsung menghambur dalam pelukanku. Sepertinya dia ketakutan, setelah terkurung dalam sangkar itu. Aku berusaha menenangkan Takeshi sambil membelai-belai tengkuknya. Agak lama Takeshi dalam gendonganku bahkan sampai ia tertidur pulas. Kuserahkan Takeshi pada Kiyoko dan Kiyoko membawanya ke kotak tidurnya. Kiyoko bukanlah gadis cantik jelita yang sama sekali berbeda dengan perempuan Jepang yang biasa kulihat. Tampilan fisiknya biasa saja sebenarnya. Yang membuatnya kemudian berbeda adalah dia cerdas, penyayang binatang, dan memiliki perhatian mendalam pada seni tradisional, khususnya yang berhubungan dengan alat musik petik Jepang, shamisen, dan ia pun sangat mahir memainkan alat musik itu. Bukanlah suatu yang aneh kemudian mengetahui fakta bahwa dia ternyata adalah seorang dosen muda yang mengajar seni musik tradisional di Fakultas Seni dan Musik, Universitas Aichi Perfectural di Nagoya. Setiap hari ia menempuh perjalanan sekitar empat puluh menit Kyoto-Nagoya atau sebaliknya dengan menggunakan kereta api supercepat, JR Shinkansen. Begitulah kemudian, di setiap hari minggu ketika dia libur mengajar dan aku libur kuliah dan bekerja, kami sering menghabiskan waktu berdua, bisa di flatku, bisa juga di flatnya dengan tiga aktivitas yang sama-sama kami sukai, yaitu memasak, menonton film, dan bermain samishen. Tanpa kecuali, Takeshi yang semakin menyukaiku, ikut meramaikan pertemuan kami. Petang ini, dari jendela kaca flatku, di bawah sana kulihat Kiyoko sudah tiba dari minimarket membawa bahan-bahan untuk masakannya nanti. Hari ini gilirannya yang memasak dan menjamuku. Aku jadi gelisah menunggu telepon darinya. Dia memang telah mengatakan bahwa jika masakannya sudah selesai, barulah ia meneleponku. Sebenarnya, dari tadi aku sudah bergegas mandi dan berpakaian rapi, mempersiapkan diri sebaik mungkin dalam rencana untuk mengungkapkan keinginan jujurku akan hubungan kami. Tentu, aku mengharapkan dia mau menerimaku sebagai kekasihnya. Bagaimanapun, dari caranya memperlakukanku selama tiga bulan ini aku merasa yakin, ia juga menyukaiku. Acap kali ia jujur dan terbuka menyatakan ketertarikannya padaku sebagai lelaki perantau yang mandiri, disiplin dalam upaya menyelesaikan studi dan bekerja sendiri untuk hidup dan untuk biaya studi itu. Ia juga suka dengan keterampilanku dan takjub dengan rahasia bumbu masak yang membuat lidahnya tak berhenti ingin menyantap semua masakan yang kusajikan meski sebenarnya perutnya sudah kekenyangan. Acap kali dalam pertemuan kami, memang dia selalu membantuku memasak, tapi sesungguhnya masakan-masakan yang disajikan di meja semata-mata lahir dari tanganku. Kali ini kutantang dia untuk memasak dalam janji pertemuan di flatnya. Dua jam kemudian, telepon genggamku berdering. Dari seberang ia mengatakan bahwa masakan sudah siap dan aku sudah boleh bertandang. Sesampaiku di sana, ia langsung mempersilakan aku untuk menikmati masakan yang sudah tersaji di meja. Sebagai juru masak profesional, apa yang ditampilkannya di atas meja, kunilai lumayan menyelerakan. Aku langsung menikmati hidangan sukiyaki. Kenyataannya, sukiyaki bukanlah jenis masakan yang asing bagiku. Namun, sukiyaki ini terasa lebih nikmat dibanding sukiyaki buatanku. Ketika kutanyakan apa rahasia bumbu masakan itu dan bagaimana caranya ia bisa membuat sayuran dan daging dalam sukiyaki itu lebih menyegarkan, ia tak mau mengaku. Menurutnya itu adalah sesuatu yang harus dia rahasiakan. ”Jika kuberi tahu, nanti masakanku tidak akan menjadi spesial lagi.” Sehabis menikmati sajian makan, kami duduk di sofa mendengarkan CD dari album terbaru milik Jason Mraz. Ketika Jason Mraz tengah melantunkan Lucky bersama Colbie Caillat, aku mulai mengutarakan bahwa aku menyukai Kiyoko dan berharap ia mau menjalin hubungan yang serius denganku. Sebagaimana yang kukira sebelumnya, tanpa penolakan, ia menerimaku sebagai kekasihnya sedetik setelah pernyataan keseriusanku. Aku bahagia, begitu juga dia. Lantunan Lucky selesai dan sekonyong aku teringat pada Takeshi. Aku merasa berutang budi padanya sebab dialah yang telah berjasa besar mempertemukan aku dengan Kiyoko. Dialah si kucing belang tiga yang telah menghadirkan keberuntungan di hadapanku. ”Mana Takeshi?” Kiyoko tidak menjawab langsung, ia justru beranjak menuju ke dalam kamar tidurnya dan membawa keluar sebuah shamisen baru. ”Ini…” katanya. ”Maksudmu?” ”Ini Takeshi!” ”Itu shamisen!” ”Ya… shamisen yang terbuat dari Takeshi.” ”Maksudmu?” ”Kulit di bagian kepala shamisen ini adalah kulit Takeshi.” ”???” Kuperhatikan, memang kulit di bagian kepala shamisen itu berwarna belang tiga seperti milik Takeshi. Aku kemudian membayangkan apa yang sudah kami makan dalam sukiyaki tadi. Jangan-jangan itu daging Takeshi. Aku kemudian menebak dan tanpa perasaan bersalah dia mengakui memang itu daging Takeshi dan ia jujur berkata sudah terbiasa menyantap daging kucing yang kulitnya digunakan untuk membuat shamisen. Sebelum mengambil kulit mereka sebagai bahan pembuatan shamisen baru, Kiyoko pasti memeliharanya terlebih dahulu sebab kulit kucing yang sehatlah yang bisa membantu menghasilkan denting shamisen yang cantik. Dia juga jujur mengatakan bahwa luka pada Takeshi ketika kutemukan dulu adalah bekas tusukannya dalam upaya untuk membunuh kucing itu. Usaha itu gagal karena Takeshi berhasil lepas dan terdampar di tempatku. Ia merasa tidak enak mengajukan pengakuan itu di awal pertemuan. Tapi setelah kami sedekat ini, menurutnya tidak ada lagi masalah baginya untuk menuturkan semua pengakuan itu. ”Apalah arti seekor kucing…,” ungkapnya enteng. Kuabaikan dia, langsung bergegas ke kamar mandi dan muntah di sana. Aku berpamitan tanpa memperhatikan reaksinya. Setibaku di flat, aku tidak bisa melakukan hal lain kecuali memikirkan untuk membatalkan hubungan kami karena bagaimanapun, Takeshi adalah bagian terbesar dari dirinya yang kucintai. Tanpa kusadari, kedua mataku basah membayangkan nasib Takeshi. Tarakan, 24-25 Januari 2009
""Kucing Kiyoko""
Langit jadi merah. Seekor naga menukik, menyapu bintang-bintang dan matahari. Pucuk-pucuk sayapnya memercik bara. Api bertebaran. Angin berputing. Ketakutan disemprotkan ke udara seperti tinta gurita. Para satria berbaju zirah itu bergelimpangan. Jerit putus asa menyesaki ruang. Makhluk itu marah luar biasa. Rumah-rumah, pohon-pohon, pucuk gunung di kejauhan, jadi remuk tak jelas bentuk. Rata tanah. Semua. Kecuali satu anak yang berdiri tegak tak bergerak. Tangannya menggenggam busur yang selesai teregang. Wajahnya segelap batu, namun matanya seterang kilat. Dari busurnyalah panah besar yang menghunjam di dada sang naga. Naga itu pasti akan mati, Ibu, bisiknya. Lalu matanya terpejam. Mungkin tertidur. Atau mencoba tidur. Gambar di atas kertas besar itu kini didekap di dadanya. Gambar yang sesak dengan coretan dan garis tebal patah-patah yang diguratkan penuh emosi. Gambar yang cuma punya tiga warna: merah, hitam, dan kelabu. Aku melayang. Mungkin tertidur. Tanpa mimpi, hanya gelap–dan terbangun karena kesunyian, sangat aneh untuk subuh yang biasanya riuh. Tak ada azan. Tak ada kokok ayam atau saling sahut teriakan penjual sayur dan radio tukang susu. Tempat Radian kosong, tapi masih hangat. Ia belum lama bangun. Aku tertatih keluar kamar dan mendapati anak itu di depan pintu kamar mandi yang separuh terbuka. Ia berdiri, terlalu kaku. Seperti sebuah gerakan yang tertahan di udara. Sinar yang sayu menyapu wajah kecilnya. Rasa dingin tiba-tiba merayapi punggungku. Wajah itu terlalu putih, bahkan untuk pagi yang masih biru. Aku segera mendekat. Dan di sana, di balik pintu yang separuh terbuka, tubuh suamiku tergeletak. Sebilah pisau menancap di dada. Darah membual dari lukanya. Lantai yang putih kini berkubang merah. Duniaku seketika hitam. Binatang itu pernah hidup. Sekarang pun terlihat masih sangat hidup. Hanya jika disentuh, terasa kalau dagingnya dingin. Matinya hamster itu mengakibatkan kehebohan di kelas. Radian membunuhnya. Di hadapan teman-temannya yang menjerit-jerit ketakutan, dia mencekik binatang itu hingga kehabisan napas. Anak itu kini tergugu, menolak untuk duduk. Punggungnya menempel ke dinding di sudut ruang guru. Cuma ada kami bertiga: Bu Tina–kepala sekolah—aku, dan Radian. Pelan ia mendekat, memelukku, lalu kembali berdiri dengan punggung menempel ke dinding. Ia kelihatan lebih tenang–tidak takut, cuma sedih. Kami menatapnya, Bu Tina dan aku, lalu kembali ke bangkai hamster di atas meja. Jika nasib berkata lain, pagi ini aku yang tergeletak mati. Masih terasa tangan suamiku mencengkeram leherku kuat-kuat. Seperti hamster itu, aku meronta. Melawan. Tapi lelaki itu lebih kuat. Aku bisa mencium kemarahan lewat napasnya yang berbau alkohol. Kematian menjalari tulang belakangku pelan-pelan. Leherku bergemeletuk. Kepalaku nyaris pecah. Saat kesadaran hampir hilang, tiba-tiba ia mencampakkanku–teronggok di lantai, menggapai-gapai udara yang tak sudi kembali. Dia pergi begitu saja. Dan ketika mataku pulih, hatiku terpuruk. Radian menatap dari sudut yang gelap, tanpa suara. Wajah itu pekat dengan rasa takut. Air mata deras menggambari pipinya. Aku menatapnya lagi. Mungkin ia cuma ingin tahu, apa jadinya jika dicekik kuat-kuat. Hamster itu telah menjelaskan, betapa kematian pernah begitu dekat merengkuh ibunya. Malam itu kami tidur bersisian, tidak berpelukan. Kedekatan ini selalu cukup, tidak pernah berlebih. Bohlam 25 watt itu redup, tapi masih cukup untuk membaca gambar yang dibuat Radian sebelum berbaring. Sebuah pohon besar. Sebuah rumah besar. Semuanya hitam. Seorang lelaki berbaju hitam tergantung-gantung di pohon itu. Seutas tali besar melilit lehernya. Kepalanya terkulai. Terlalu miring, seolah patah. Ada dua paku hitam besar menancap pada tempat yang seharusnya berisi mata. Waktu kutanya siapa dia, Radian hanya bilang: Penjahat. Seorang anak lelaki berdiri di bawahnya, menggendong kantong raksasa. Popcorn, katanya, menunjuk pada gumpalan-gumpalan kecil serupa kapas yang membual dari kantong itu. Dihujani daun-daun yang meluruh, anak itu menyaksikan tubuh lelaki tadi bergoyang-goyang tertiup angin. Pipinya menggembung, mungkin ia sedang mengunyah popcornnya dengan asyik. Sinar lampu menembus kertas yang dipegang Radian, membentuk lingkaran cahaya di kepala anak lelaki dalam gambar, juga di kepala anak lelakiku. Ia tersenyum, tapi matanya tidak. Malam terasa berat, tapi sinar bulan cukup untuk meremangkan ruang. Perempuan dalam cermin itu diam, meski tahun-tahun yang tertoreh di wajahnya, di tubuhnya, bertutur. Aku tidak mengenalinya. Wajah itu bukan wajahku. Mata itu bukan mataku. Tubuh itu terlalu kering untukku. Ia sembab dan biru. Mungkin lelah. Atau putus asa. Tapi jelas ia marah. Kemarahan membayang seperti sayap-sayap hitam seekor gagak, menyambar dan mencakar-cakar wajah itu, meninggalkan kerut-kerut yang dalam. Sebuah tangan kecil menyentuh punggungnya. Perempuan dalam cermin mencoba tersenyum. Ia berbisik lembut, kamu lapar? Anak lelaki itu mengangguk. Mereka bergandengan menuju dapur. Ia membuka lemari pendingin, menerawang sejenak, lalu mulai mengeluarkan isinya satu per satu: telur, jamur, tahu, sosis, daging, bawang, keju, cabai, selada, spageti, susu cair, …. Ia meletakkan semuanya dengan rapi di atas meja. Tanpa bicara ia mengambil panci, mengisinya dengan air, meletakkannya di atas kompor, lalu menyalakan api besar-besar. Tanpa bicara ia memecahkan telur, memasukkan isinya–juga kulitnya–ke dalam panci. Ia mematahkan tongkat-tongkat kecil spageti, dan memasukkannya ke dalam panci. Ia membuka kotak susu, dan menuang seluruh isinya ke dalam panci. Ia mengambil pisau 25 sentimeter, lalu merajang bawang jadi potongan-potongan kecil, selada jadi cacahan-cacahan kecil, sosis jadi patahan-patahan kecil. Uap air mulai memenuhi dapur. Ia memangkas jamur, tahu, daging, cabai. Semakin lama semakin cepat. Keringat menetes berbulir-bulir dari dahinya. Air menetes berbulir-bulir dari matanya. Tak lama, semua tercampur aduk. Tak bersisa satu pun yang bisa dipotong lagi. Tak bersisa satu pun yang masih bisa dikenali. Perempuan itu berhenti. Tersengal-sengal. Tersengguk-sengguk. Ia memandangi pisau di tangannya. Ia memandangi anak lelaki yang berdiri diam di sebelahnya. Anak itu beringsut, menjumput campuran cacahan di atas meja, dan memakannya pelan. Matanya tak lepas menatapi ibunya. Mata yang pilu. Pisau itu jatuh terlepas dari genggaman. Perempuan itu jatuh terduduk di lantai dapur. Tenaga telah dikuras keluar. Habis. Air mata telah dikuras keluar. Habis. Kini ia terlongong kosong. Anak lelaki itu mendekat, lalu duduk merapat padanya. Ia menyandarkan kepalanya di bahu perempuan itu. Ibu, bisiknya. Kalau kita mati, kita pergi ke mana? Aku mengangkat bahu. Tak tahu. Radian kembali menekuri gambarnya. Apakah kamu mencintai ayah? Aku mengangkat bahu lagi. Tak tahu. Yang kutahu, aku mencintaimu. Radian tersenyum tanpa mengangkat kepala. Apakah aku mencintainya? Aku tidak ingat. Yang aku ingat, kami sepasang anak muda yang senang. Aku senang. Dia senang. Kami senang dengan kehadiran satu sama lain. Dengan senang, kami pergi ke sebuah pulau di mana langit dan laut beradu biru. Dengan senang kami saling menjelajahi tubuh di pantai itu. Aku tak tahu mengapa kami melakukannya–bersetubuh di pantai, yang cuma membuat kami lekat dengan bau laut, dan bau dosa–yang tak bisa hilang begitu saja. Dia tidak pernah bilang cinta padaku. Aku tak pernah bilang cinta padanya. Tapi aku mengandung benihnya. Kami harus menikah bagaimanapun juga. Orangtuanya ingin menyelamatkan muka. Orangtuaku ingin menyelamatkan muka. Aku ingin lari. Dia ingin lari. Orangtua kami melarang kami berpisah. Tuhan melarang kami berpisah. Tapi kenapa Tuhan tidak melarangnya memukuliku kapan saja dia mau? Satu kali aku melawan. Kutinju hidungnya hingga berdarah. Tapi binatang itu menyakiti anakku. Aku lari dari rumah. Sebuah serangan jantung melumpuhkan ayahku. Dan mengembalikanku ke suamiku. Tuhan rupanya menghendakiku bertahan. Ini tubuhku, ini darahku, makan dan minumlah. Aku domba korban, entah untuk apa. Apakah aku mencintainya? Senja menjatuhkan sinar ke atas meja. Radian telah selesai menggambar. Ia membalik kertasnya dan menunjukkannya padaku. Sebuah pulau kecil di tengah lautan dan sebuah perahu kecil yang meninggalkan pulau itu. Ada dua orang di dalamnya: perempuan dan anak lelakinya. Mereka tersenyum. Ada satu rumah di atas pulau, berbentuk kotak dengan jendela-jendela kotak. Di baliknya, ada seseorang dengan tangan terentang ke atas. Di atas rumah itu beterbangan burung-burung hitam. Dua belas jumlahnya. Rumah itu diliputi lidah-lidah merah. Terbakar, kata Radian. Orang itu jelas terkurung. Ia berteriak dalam gelembung kecil dan tanda seru yang banyak: tolong!!!! Kalau dia mati, burung-burung itu akan membawanya pergi, katanya. Kenapa dia ditinggal, tanyaku. Karena dia jahat, jawabnya. Aku seperti hidup dalam sinetron bertokohkan perempuan yang menangis mengiba-iba karena disiksa tak berkeputusan. Bedanya, perempuan yang ini tak menangis. Awalnya sederhana. Sebuah pesta barbeque. Langit hijau. Kupu-kupu sebesar payung terbang melayang-layang. Rumput jingga. Rumah besar di atas awan. Gadis-gadis dengan sayap di punggung dan bunga di kepala. Anak-anak lelaki bertanduk warna-warni, berkerumun di sekeliling pemanggang. Ada yang memegang piring, ada yang memegang garpu, juga gelas berisi limun ungu. Semua biasa saja, kecuali barbeque itu. Empat bola mata. Potongan daun telinga dan tiga buah hidung. Telapak kaki dan tangan, lengkap dengan jari-jarinya. Segumpal besar daging merah dengan tanda panah mengarah padanya: jantung. Lalu, sepenggal kepala binatang dengan mata masih membelalak dan lidah terjulur keluar. Radian bilang, itu kepala naga. Perempuan itu menunjukkan gambar tadi pada suaminya saat makan malam. Kepala sekolah menunjukkan gambar itu padanya tadi pagi. Gambar Radian. Lelaki itu tak berkata sepatah pun. Ia hanya menggebrak meja, mengambil piring, dan melemparkannya. Tepat ke muka. Ia tercekat. Rasa sakit nyaris meledakkan kepala. Ia menelannya. Kemarahan menyergap seketika. Ia menelannya. Suara piring yang pecah memekakkan telinga. Anak lelakinya keluar dari kamar dan terdiam di pintu, tidak lagi heran ketika ayahnya pergi. Jendela kaca memantulkan gambar-gambar suram itu. Perempuan ringkih dan anak rapuh. Anak itu masuk ke dalam kamar dan kembali dengan sepotong handuk. Perlahan ia menggeret kursi untuk ibunya. Dengan lembut, diusapnya luka di wajah perempuan itu. Aku berdiri dalam sudut gelap, menyirami kebencian dengan kemarahan. Aku bisa merasakan benihnya mengakar. Cabang-cabangnya yang kuat mencari jalan keluar lewat tiap pembuluh darah. Semakin kuat. Tidak, aku tak sanggup menelannya. Aku tidak lapar, Ibu. Anak lelaki itu ketakutan. Tapi perempuan itu tetap berjalan ke dapur. Ia tidak membuka lemari pendingin, tidak meletakkan panci di atas api. Ia cuma mengambil pisau dan berdiri di depan meja. Begitu saja. Lama sekali. Matanya menatap ke depan. Kosong. Kemudian tangannya mulai bergerak, dengan gerakan memotong-motong sesuatu yang tak terlihat. Sesuatu yang mungkin hanya ada di kepalanya. Pelan awalnya. Lalu makin cepat. Keringat turun berbulir-bulir dari dahinya. Air turun berbulir-bulir dari matanya. Anak lelaki itu tak berani mendekat. Ia cuma menatap punggung ibunya yang berguncang keras. Sesuatu dari dalam telah merusak perempuan itu, sedikit demi sedikit. Ia tak mengenalinya lagi. Aku tak mengenalinya lagi. Siang itu, kami berbaring bersisian di lantai, di depan kamar mandi yang kini berkubang merah, melingkupi tubuh lelaki itu yang pernah hidup. Matahari kuning membanjiri. Terang. Terlalu benderang untuk melihat gambar yang dibuat Radian, dalam menit-menit–entah berapa lama–aku berdiam dalam gelap. Aku menatap matanya, tapi ia menghindar. Direntangkannya gambarnya di depan wajahku. Aku memicing. Hujan. Perempuan dan anak lelaki itu berjalan bergandengan. Mata mereka berkilau. Bibir mereka tersenyum di wajah yang abu-abu. Tak ada matahari. Hanya awan hitam yang bergumpal-gumpal. Satu yang paling besar melayang rendah di atas anak lelaki itu. Di bahunya bertengger seekor burung. Sayapnya terentang, siap terbang. Perempuan itu menggenggam sebilah pisau. Besar. Ujungnya tertutup sesuatu yang menetes merah. Mereka bergandengan di jalan yang berasal dari satu titik hilang yang membesar ke ujung bawah kertas. Di kiri-kanannya, deretan pohon raksasa merunduk ke tengah, menyusun kanopi yang meneduhi jalan dan membuatnya kian kelam. Ada burung-burung hitam bertengger di cabang-cabangnya. Gagak, kata Radian. Di batas paling bawah dari kertas, tertulis dengan huruf-huruf besar yang mencang-mencong : PADA SUATU HARI, ADA IBU DAN RADIAN. Cuma kita berdua, Ibu. Jakarta 13 November 2007
""Pada Suatu Hari, Ada Ibu dan Radian""
Aku terbangun karena daun jatuh. Dengan agak tergeragap, kusingkirkan daun kering itu dari wajahku. Kulihat wajah Mbah Tuhu cerah semringah memandangku. Hehehe… mari pulang, sudah sore…” ucapnya sambil beranjak dari tempat duduknya yang tak jauh dariku berbaring. ”Dari tadi, sebetulnya saya mau membangunkan sampean, tapi… kok kelihatannya pules bener, tidak tega, saya. Eh, malah daun yang membangunkan sampean… heheheheh…” Aku hanya tersenyum. Segar. Belum pernah aku terbangun dari tidur dengan perasaan seperti ini. Tanpa banyak bicara, kami segera menyusuri tegalan. Sepi. Serangga mulai menyanyi. Bumi mendingin dan sebentar lagi, kabut pasti turun. ”Nanti sekalian kita cari blarak untuk masak…” ujarnya beberapa saat kemudian. Sudah dua hari aku berada di sini. Entah tempat apa ini namanya, aku tak begitu paham. Sebelumnya, aku adalah makhluk yang lahir dan besar di ”hutan beton” bernama Jakarta. Mbah Tuhu memang masih tergolong kerabatku, yang—ini anehnya—baru kuketahui beberapa hari belakangan ini. Bayangkan, selama hidupku, kurang lebih 35 tahun, aku tak pernah tahu bahwa punya kerabat berasal dari wilayah ini, tiba-tiba—sangat tidak masuk akal—nama itu muncul dan membuatku ’terseret’ ke dusun kecil ini. Berbulan lalu, kami—maksudku, aku dan istriku, mendapat kabar buruk dari dokter: istriku terkena kanker di rahimnya. Kau pasti sudah tahu reaksi kami, terlebih istriku. Dan sejak berita itu kami dengar, tubuhnya kian layu. Di sela-sela perjalanan bisnis yang harus kulakukan, kuajak Grace ke pelbagai rumah sakit internasional. Tetapi, tak satu pun yang bisa membuatku percaya bahwa kondisi Grace membaik. Kolega, mitra bisnis, kenalan, siapa pun telah memberikan bantuan, entah itu jabat simpati atau rujukan rumah sakit. Semua sia-sia. Sebulan terakhir, Grace pasrah. Aku tak bisa berbuat apa-apa, bahkan bersedih pun aku tak mampu lagi. Minggu pagi itu, ketika kutemani Grace nonton Dreams-nya Kurosawa, teleponku berdering. Sesaat, masih sempat kulihat di layar kaca, tarian peri-peri pohon persik di hadapan seorang anak kecil. Aku kemudian bergegas ke meja telepon sambil menggerutu. ”Haloo? Mas Yos?” dari seberang sana ada suara yang asing di telingaku. Tapi dia tahu namaku. ”Benar.. maaf dengan siapa, ya, Pak?” Setelah kudengar gelak tawanya, kudengar dia menyebutkan namanya, kemudian apa hubungannya denganku. Baru kusadari bahwa dia adalah salah seorang pamanku yang tinggal di Cirebon. Entahlah, kapan terakhir aku berhubungan dengan dia, aku tak tahu. ”Betul, paman… ya, begitulah, kami sudah pasrah…” ucapku, ketika dia menanyakan kondisi Grace. Diam-diam aku berterima kasih, entah kepada siapa harus kusampaikan, bahwa orang yang bahkan tak pernah ada dalam ingatanku, memberikan rasa simpatinya kepadaku. Tiba-tiba saja ada rasa sesal yang menyesakkan dadaku. Entah apalagi yang dia bicarakan, sebenarnya aku tak begitu peduli, karena saat itu aku seperti ditarik ke dalam pusaran rasa sesal yang entah di mana ujungnya. ”Cobalah ke sana… barangkali saja…” ”Maaf, ke mana?” ”Mbah Tuhu.. dia masih kerabat kita…” Maka sampailah aku di sini. Dua hari yang lalu, dengan ojek, kemudian jalan kaki, kami sampai di rumah ini. Sepi, waktu itu, karena si pemilik rumah tak ada di tempat. Sunyi. Hanya angin gunung membawa wangi asap kayu yang terbakar, samar-samar entah dari mana. Grace duduk di dipan bambu depan rumah. Dia tersenyum—dan baru kusadari—itulah senyum pertamanya sejak ’vonis’ itu diberikan. Hampir saja air mataku menetes menyaksikan senyum Grace yang mekar seperti mawar segar. ”Enak, ya, di sini… kecium, nggak bau kayu bakar..?” ucapnya sambil masih mengendus-endus udara beraroma asap kayu bakar. ”Kayu apa yang dibakar, ya..?” ”Weeeeh, hehehe… kalian sudah datang, to? Ayo masuk, masuk…” tiba-tiba seorang laki-laki agak botak muncul entah dari mana, langsung membawa tas kami dengan ringannya dan mendorong pintu. ”Wong ndak dikunci kok… lhooo… hahahahaha.. ayo masuk…” Malam itu, kami bertiga makan malam. Mbah Tuhu sudah menduda selama tiga puluh tahun dan tidak punya anak. Nasi berlauk sayur bening, sambal dan ikan asin, membuat kegembiraanku bangkit. ”Enak, ya? Hahahaha… maaf, mbah ndak pernah masak… ayo, jeng Grace, tambah lagi…” ”Sayurnya enak, mbah… segar…” ucap Grace sambil menyendok sayur bening itu. ”Bagus, bagus…habiskan, itu memang untuk jeng Grace…” ”Sayur apa ini mbah?” ”Wah, apa, ya? Hehehe… kalau di sini, orang menyebutnya lompong. Itu lho, seperti keladi, tapi kecil-kecil, dan tumbuhnya di pinggir kali…” ”Ooo…” ucapku lantaran memang tak tahu mau bereaksi seperti apa. Sesaat kemudian aku teringat bahwa aku harus segera menyampaikan niat kami kemari. Akan tetapi, aku seperti tak pernah mendapat kesempatan mengutarakannya, lantaran Mbah Tuhu terus berceloteh dan setiap celotehannya membuat Grace tersenyum, bahkan tertawa kecil. ”Eyang putrinya dia, dulu adalah teman sepermainanku.” ”Eyang Mimi?” ”Ya, si Mimi… Dia manggil aku, mas, karena aku anak pakdenya. Wah, bandelnya minta ampun… Suatu kali, ya, jeng… dia manjat pohon juwet…” Grace mengernyitkan dahinya, lalu memandangku. ”Mmm, juwet itu…mmm, apa, ya?” ”Wah, kalau bahasa Jakarta, saya ndak ngerti… heheheh…” dan setelah memberi penjelasan secukupnya tentang apa itu juwet, Mbah Tuhu melanjutkan kisahnya tentang Eyang Mimi. Grace tertawa lepas ketika kisah sampai pada Eyang Mimi yang menjerit-jerit di dahan pohon lantaran tak bisa turun: takut sama ulat bulu. Dan hari ini, bahkan sampai hari kedua kami di rumah Mbah Tuhu, belum juga aku bisa menyampaikan maksud kedatangan kami. Hari ini, sebagaimana kemarin, aku ikut Mbah Tuhu ke ladangnya. Dia menyebut ladangnya dengan ’alas’ (hutan). Senang juga mencoba sesuatu yang seumur hidup belum pernah kulakukan—bahkan kuanggap hina ini. Semua teoriku tentang ketekunan, intensitas kerja, yang kupelajari dari buku-buku tebal di kampusku, tak ada seujung kuku kehidupan Mbah Tuhu. Dia dengan penuh kasih sayang, sabar, tahu persis bagaimana memperlakukan ladangnya. Di sana ada kacang tanah, juga beberapa batang kopi, beberapa batang kelapa dan entah apalagi, aku tak tahu. Aku tak bisa membayangkan, bahkan sempat terlintas bahwa Mbah Tuhu pasti salah, ketika dia menyebut bahwa hasil ladangnya, tahun lalu bisa mencapai satu setengah ton kacang tanah. Mana mungkin, tanah yang hanya kurang dari tiga ratus meter, itu pun termasuk lereng di selatan sana, bisa menghasilkan kacang tanah sebanyak itu? Ketika ada daun-daun yang layu, belum kering benar, yang ditumpuk di pinggiran ladang, dan aku bermaksud membakarnya, Mbah Tuhu mencegahnya. ”Ora ilok. Biarkan kering dulu… Jangan pernah membakar daun yang masih kelihatan hijaunya… ora ilok.” Aku terhenti di situ. Entahlah, aku tiba-tiba patuh pada ucapannya. Ke mana daya ’kritisku’ selama ini? Ke mana manusia yang tak mau begitu saja percaya pada sebuah jawaban ini? Mengapa hanya dengan kata sederhana dan sangat tidak logis itu aku jadi terbungkam? Di perjalanan pulang itu, kami melewati beberapa ’alas’ orang lain, yang sebetulnya tak kuketahui batas-batasnya itu, kecuali dari ucapan Mbah Tuhu. Setiap kali dia menyebutkan ini milik si anu atau si anu, aku berusaha keras mencari sesuatu yang disebut ’batas’ itu, tapi sia-sia. Jangankan ’batas’, bahkan sebutir kelapa jatuh yang sudah kering pun, Mbah Tuhu bisa mengenali bahwa itu bukan dari pohon kelapa miliknya. Aneh. ”Ya, dibawa saja, Mbah… kan sudah jatuh, berarti rezeki kita, dong…” Mbah Tuhu tertawa sambil geleng-geleng kepala. Dia tetap melarangku memungut kelapa kering itu. ”Ora ilok…” tambahnya. ”Ya, sudah, itu, dahan kelapa itu saja, yang kering itu… katanya untuk bahan bakar di rumah…” Mbah Tuhu memandangku lembut, lalu…”baik, tapi nanti kita harus memberi tahu pemiliknya…” ”Ya, ya.. ..tapi, nanti mampir dulu di rumahnya Giman…” ”?” “”Lho, ya, minta izin dulu, to.. kan ini punya dia…” jawabnya sambil berjalan mendahuluiku. ”Mbah, ini, kan, cuma daun kelapa kering berikut pelepahnya… sudah jatuh pula…” ”Tetep harus dapet izin dari yang punya…wong ini dulu yang menanam bapaknya Giman, dan Giman juga hidup dari kelapa ini… ini barang berharga, Le…” Sambil menyeret pelepah kelapa kering, aku masih tak habis pikir. Bagaimana mungkin barang yang sudah terbuang pun tak boleh diambil tanpa izin si pemilik? Malam itu, kami makan malam. Kali ini, Grace yang memasak. Meskipun yang dimasak adalah sayur yang sama dengan yang kemarin, tetapi ada perasaan lain yang berkembang, sehingga kurasakan makanku begitu lahap. Di udara dingin pegunungan itu, keringatku meleleh, penuh nikmat sambal buatan istriku. Sebelum kupeluk istriku di pembaringan, sempat kami berbincang tentang hal-hal yang kualami sehari itu, termasuk minta izin soal pelepah kelapa kepada Pak Giman. ”Tahu, nggak jawaban Giman?” bisikku, “…silakan Mbah, ambil saja, kalau kurang nanti saya kirimi lagi…” tambahku sambil menertawakan kejadian yang menurutku menggelikan itu. Grace hanya tersenyum. Lalu terisak dan menatapku lekat. ”Ada apa?” ”Tahu, nggak? Baru dua hari di sini, aku baru tahu rasanya kangen sama kamu…” Dan sampai setahun berikutnya, ketika Grace berulang tahun, peristiwa di rumah Mbah Tuhu itu tak juga menguap dari hidupku. Yang luar biasa adalah penyakit Grace lenyap entah ke mana. Lebih aneh lagi, dokter kami malah terkejut, karena baru kali ini kanker bisa lenyap sampai ke akar-akarnya. Kami sampaikan berita gembira itu kepada keluarga yang hadir, termasuk kepada Eyang Mimi. Semua rentetan peristiwa itu kami sampaikan kepada semuanya yang hadir. ”Hmm…sebentar, aku ingat-ingat…” sela Eyang Mimi. ”Tuhu, Tuhu..? Siapa, ya? Anaknya pakde? Setahuku aku punya pakde yang dekat dengan kami, tapi tidak punya anak… Kamu dari siapa bisa sampai rumahnya?” ”Paman Legawa, yang di Cirebon…” jawabku yakin. ”Sukma Legawa?” ”Iya, eyang.” ”Seingatku, Legawa sudah meninggal hampir sepuluh tahun lalu..terus istrinya pulang ke mana, nggak tahu; karena itu kan rumah dinas…” Sampai di situ aku dan Grace terdiam. Kami hanya mencoba memberanikan diri, menyimpulkan, bahwa ingatan Eyang Mimi memang sudah tak bisa benar-benar diandalkan. Pinang, 982
""Blarak""
Sudah tiga hari Boneng ditempatkan di ruang isolasi. Artinya, hukuman mati yang telah dijatuhkan kepadanya akan segera dilaksanakan setelah semua upaya hukum yang ditempuh tak membuahkan hasil. Hukuman mati memang layak dijatuhkan karena sudah terlalu banyak kejahatan yang dilakukan. Mulai dari sekadar memalak pedagang pinggir jalan, para pengemudi angkot, sampai mencuri, menodong, merampas, merampok, dan bahkan membunuh sudah pernah dilakoninya. Hanya satu kejahatan yang tidak pernah dilakoninya, memerkosa perempuan! Tetapi, sejagoan-jagoannya, sejahat-jahatnya, Boneng adalah manusia juga, yang punya nurani dan pada akhirnya punya rasa takut juga, termasuk takut mati. Pada masa jayanya, ia biasa menyatakan tidak takut mati untuk menunjukkan kejagoannya. Dulu ia merasa dan beranggapan dengan kejagoan dan ’ilmu’ yang dimiliki dapat mengelak dari kematian. Bahkan sebaliknya, dapat dengan mudah menyebabkan kematian orang lain. Dan itu sudah dibuktikan. Berkali-kali ia lolos dari ancaman kematian dan entah sudah berapa nyawa dihabisi dengan tangan kosongnya. Ia pernah dikeroyok beberapa teman sesama preman bersenjata, tetapi bukan dia yang mati, melainkan dua orang pengeroyok mati di tangannya, sebagian babak belur dan sebagian lagi kabur! Ia juga pernah dikejar-kejar petugas keamanan dan diberondong peluru, tetapi berhasil meloloskan diri tanpa luka sedikit pun! Sekali waktu karena kelalaiannya melanggar salah satu pantangan, Boneng tertangkap petugas yang telah lama memburunya. Akibatnya, tubuhnya babak belur menjadi sasaran pelampiasan kejengkelan para petugas yang telah sekian lama terpendam. Tetapi, setelah berada dalam sel, ketika para petugas meninggalkan begitu saja tubuhnya yang sudah hilang bentuk dan nyaris sekarat, ia segera mengambil posisi duduk bersila di pojok sel sembari membaca mantra. Setelah itu, meskipun bekas-bekas memar dan lukanya masih ada, rasa sakit yang menjalar di sekujur tubuhnya sudah sama sekali hilang. Ketika digebuki, ia memang sengaja tidak menggunakan ilmu kebalnya untuk mengelabui petugas. Jadi, pantaslah ia tidak pernah merasa takut mati. Juga ketika vonis mati dijatuhkan, ia tidak terlalu merasa takut karena yakin masih ada peluang untuk menghindarinya melalui upaya hukum atau kalau perlu melarikan diri. Tetapi sekarang, ketika kematian sudah berada di depan hidungnya, tak urung hatinya tergetar juga. Siang tadi petugas kesehatan dan rohaniwan lapas (lembaga pemasyarakatan, sebutan terhormat untuk penjara) sudah melakukan pemeriksaan kesehatannya. Dan dinyatakan sehat baik secara fisik maupun mental! ”Ya… saya sudah siap menjalani hukuman ini…,” ujarnya kepada rohaniwan yang datang memberikan bimbingan. ”Ikhlas?” tanya rohaniwan ingin meyakinkan. ”Insya Allah ikhlas…,” jawab Boneng mantap meski dengan nada gemetar. ”Ya… kamu harus ikhlas dan harus yakin bahwa ini adalah bagian dari takdir yang telah digariskan oleh Allah subhana wa taala.” ”Insya Allah, Pak Haji….” ”Jangan lupa, perbanyaklah zikir dan istigfar untuk memohon ampun kepada Allah subhana wa taala. Dengan demikian, mudah-mudahan kamu diberi kekuatan dalam menghadapi eksekusi yang tinggal beberapa jam lagi. Dan mudah-mudahan kamu dapat mengakhiri hidup dalam keadaan husnulkhatimah!” ”Amiiin….” ”Ingatlah, sesungguhnya kematian itu sudah ditentukan waktu dan tempatnya oleh Allah subhana wa taala yang tidak ada satu kekuatan yang dapat menghambat atau mempercepat walau hanya sedetik pun.” ”Tetapi, bukankah kematian saya sepertinya sudah ditentukan oleh pejabat negara yang adalah manusia akan terjadi pada pukul kosong-kosong malam nanti?” ”Ya, secara lahirnya seolah manusia yang menentukan, tetapi hakikatnya Allah juga yang menentukan. Sebab, kalau Allah menghendaki lain, meskipun sudah ditentukan secara hukum, siapa yang bisa menghalangi?” ”Maksud Pak Haji, bisa saja eksekusinya ditunda atau dibatalkan?” ”Ya… kalau memang belum takdir Allah, selalu akan ada alasan untuk menundanya. Tetapi, bisa juga sebaliknya, bisa saja terjadi sebelum waktu yang ditentukan! Yaah… siapa yang berani menjamin bahwa semua akan berlangsung sesuai rencana? Intinya, kapan pun kematian itu bisa datang dan jangan sekali-kali kamu lengah. Jemputlah maut itu dengan penuh keyakinan.” ”Baik… Pak Haji….” Dalam dunia kriminal, nama Boneng cukup dikenal. Semula hanya preman pasar tukang palak pedagang kecil sekadar untuk memenuhi kebutuhan jajan sehari-hari dan merokok. Namun, berkat kejagoannya ia mampu mengalahkan beberapa preman yang lebih senior dan kemudian menjadi penguasa wilayah di sekitar pasar. Sejak itu ia tidak perlu lagi mendatangi pedagang satu per satu, melainkan tinggal menunggu setoran anak buahnya. Nama Boneng semakin berkibar dan seiring dengan itu semakin sering pula berurusan dengan petugas keamanan dan beberapa kali meringkuk di lapas. Melalui proses pembelajaran yang sangat intensif di lapas inilah, kualitas dan kuantitas kriminalnya semakin meningkat. Terakhir, setelah malang melintang di dunia kriminal dan entah berapa kali meringkuk di sel lapas—beberapa di antaranya sempat kabur—Boneng sebenarnya sudah mulai tobat. Meskipun dengan perasaan berat dan agak malu, ia mulai pekerjaan baru pada sebuah proyek bangunan sebagai kenek tukang batu dengan gaji yang sangat minim. Namun, berbekal kesadaran keimanannya yang mulai terbangun, ia berusaha ikhlas menerima keadaan itu. Sekali waktu, ia merasa gaji yang diterima kurang dari biasa tanpa ada penjelasan dari mandornya. Semula ia berusaha menerima dengan ikhlas, tetapi setelah terjadi beberapa kali dan tahu bahwa bukan ia sendiri yang mengalami, ia tidak dapat menahan amarahnya. ”Bang… saya mau nanya, memang ada penurunan gaji ya?” tanyanya kepada mandor Udin. ”Memang kenapa?” mandor Udin balas tanya dengan sikap angkuh dan nada ketus. ”Yaa… nggak kenapa-napa, cuma pengin tahu saja, berapa kali ini gaji saya kok tidak seperti biasanya?” ”Kalau turun memang kenapa?” ”Ya harus ada penjelasan, kenapa turun.” ”Itu urusan gue, bukan urusan lu. Lu kan cuma kuli! Masih bagus lu gue terima kerja di sini?” ”Ya nggak bisa begitu Baang…,” Boneng mulai meradang, tetapi masih berusaha menahan diri. ”Jadi… lu mau apa? Lu anak baru di sini… jangan belagu….” ”Saya kan cuma nanyain hak saya dan teman-teman Bang….” ”Sudah… jangan banyak bacot lu,” ujar mandor Udin sambil melayangkan tinju ke wajah Boneng. Dengan cekatan, Boneng mengelak dan pukulan Mandor Udin hanya mengenai angin. ”Ooo… rupanya lu jago juga ya, bisa ngindar dari pukulan gue…,” sergah mandor Udin sambil kembali melayangkan tinjunya. ”Tahan Bang!” ujar Boneng kali ini langsung menangkap tangan mandor Udin. ”Saya cuma mau nanya hak saya, bukan mau ngajak ribut.” ”Waaah… hebat juga ya lu, berani ngladenin permainan gue…,” ujar mandor Udin sambil melepaskan cekalan. ”Rupanya lu belum tahu siapa gue ya…,” sambungnya sambil langsung mencabut pisau belati yang terselip di pinggang dan langsung mengacungkan ke arah Boneng. ”Sabar Baang… sabar… kita nggak perlu ribut-ribut begini…,” Boneng berusaha mencegah. ”Nggak bisa… ini soal harga diri! Lu sudah bikin malu gue di depan anak buah…,” teriak mandor Udin sambil langsung menyerang. Beberapa kali serangannya tidak mengenai sasaran membuat mandor Udin kalap dan terus menyerang dengan semakin membabi buta. Semula Boneng berusaha menahan diri dengan terus menghindar dan menghindar. Namun, tatkala rasa harga dirinya mulai berbicara, jiwa premannya pun bangkit kembali. Setelah beberapa kali menghindar, dengan cekatan ditangkapnya tangan mandor Udin dan langsung ditelikung, kemudian dengan sekuat tenaga didorong ke depan. Mandor Udin yang sama sekali tidak menyangka akan menghadapi lawan yang tangguh langsung tersungkur dan kepalanya membentur dinding tembok beton dan kemudian jatuh terkapar dengan kepala bersimbah darah. Boneng tertegun menyaksikan lawannya terkapar tak bernyawa. Dulu kalau menyaksikan lawannya tersungkur dan tak berkutik seperti ini hatinya merasa bangga, tetapi kali ini ia justru menyesalinya. Apalagi manakala disadarinya masih menjalani masa pembebasan bersyarat. Artinya, kalau kejadian ini sampai diketahui oleh aparat hukum, ia harus langsung menjalani masa hukumannya yang lama ditambah tindakan yang baru saja dilakukan! Maka, vonis mati memang layak dijatuhkan kepadanya. Boneng duduk bersila di pojok ruangan sambil terus melafaskan zikir dan istigfar yang sudah dilakukan sejak seusai shalat isya. Namun, tatkala saat-saat eksekusi semakin mendekat perasaannya mulai dilanda kegelisahan. Tiba-tiba air mata membasah di pipinya dan untuk pertama kali menangis sesenggukan manakala terbayang wajah istri dan anak yang akan ditinggalkan selamanya. Zikir dan istigfar yang terus-menerus dilafaskan seolah tak terasa lagi pengaruhnya. Jantungnya terus berdegup seiring detak-detak waktu yang terus bergulir dan keringat dingin mulai membasah di sekujur tubuhnya. Ia berusaha mengatasi kegelisahan dengan sedikit mengeraskan lafas zikirnya yang mulai terbata-bata. Waktu sudah menunjukkan pukul setengah sebelas malam. Boneng menghentikan zikirnya, kemudian bangkit dari sila, merapikan sajadah yang tadi diduduki dan meluruskan arah kiblat dengan niat untuk melaksanakan shalat taubat. Seperti biasa, pada rakaat terakhir ia sengaja melamakan waktu sujudnya untuk berdoa mohon pengampunan atas segala dosa yang telah dilakukan selama hidupnya. Pada saat-saat seperti itulah ia merasa semakin dekat dan dapat berdialog langsung dengan sang Khalik. Sekitar pukul sebelas, petugas eksekutor bersama dokter dan rohaniwan datang ke sel isolasi untuk menjemput tereksekusi. Diiringi oleh penjaga sel, mereka masuk ke dalam ruangan dan mendapati Boneng sedang bersujud. Mereka pun menahan langkahnya menunggu Boneng selesai shalat. Satu menit, dua menit, tiga menit, sampai lima menit ditunggu tetapi tidak terlihat ada satu gerakan pun. Namun, mereka tidak berani mengganggu orang yang sedang shalat dan meminta kepada rohaniwan membangunkannya karena eksekusi tidak boleh ditunda. Petugas rohaniwan bergerak mendekati Boneng yang masih tetap saja bersujud. ”Neeng… Boneeng…,” ujarnya sambil mencolek pinggulnya dan tiba-tiba tubuh Boneng terguling dalam posisi tubuh meringkuk seperti orang sujud. Dengan sangat hati-hati dirabanya tubuh Boneng dan dicoba menarik tangannya, kemudian kakinya. Semuanya kaku! ”Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun…,” ujar petugas rohaniwan sambil membalikkan tubuh ke arah para petugas dari atuan Brimob. Sejenak mereka saling berpandangan seolah tidak percaya. Dokter yang ikut dalam rombongan melakukan pemeriksaan untuk memastikan kematian itu secara medis. Boneng memang sudah mati! Dan kemudian dibuatkan berita acaranya. Mereka menatap tubuh tak bernyawa itu dengan pandangan penuh haru. Beberapa di antaranya ada yang menitikkan air mata.
""Eksekusi""
Tiga puluh satu tahun silam, dari tahun kutulis cerita ini, aku memang ingat, tanpa sengaja, ayah menemukan sebuah peti besi seukuran kardus mi instan. Kala itu ayah menggali tanah di belakang rumah dengan hasrat menanam sebatang pohon pisang batu. Ketika galian telah sedalam betis ayah, kami mendengar bunyi berdentang keras ketika beliau mengayunkan cangkulnya. Dengan penuh heran ayah mengurik tanah berlubang itu dengan sebelah tangannya. Ayah merasakan sebuah benda keras. Di akhir cerita, ayah berhasil mengangkat peti dari tanah yang digalinya itu. Peti besi itu telah berkarat, termasuk gemboknya. Kalau tak salah, usiaku kala itu sebelas tahun. Aku menemani ayah menanam batang pisang batu itu. Tapi ayah tak membolehkan aku melihat di saat beliau membukanya. Hanya beberapa kata yang terlontar dari mulut ayah, yang kuingat, ”Astaga. Tak salah. Benar-benar tak punya perasaan,” demikian kata ayah dengan muka merah dan pucat. ”Jangan kau beri tahukan penemuan ini pada ibumu. Berjanjilah kau buyung? Kau maukan?” kata ayah lagi. ”Tapi apa isinya, Ayah?” ”Tak bisa Ayah jelaskan. Berjanjilah. Berjanjilah!” Ayah mengguncang-guncang bahuku. Dengan cemas, aku mengangguk. ”Iya. Iya,” jawabku gugup. Ayah lalu menggendong peti itu jauh ke luar pekarangan kami. Sekejap tubuhnya lalu hilang di balik rimbun pohon-pohon. Sebelum kutuntaskan isi cerita ini, baiklah, akan aku ceritakan dulu riwayat keluarga kami. Ibu meninggal lima tahun yang lalu akibat sakit di perutnya yang tak kunjung usai selama tiga hari. Sedangkan ayah meninggal dua minggu yang lalu dengan tenang di tempat tidurnya. Aku memiliki seorang kakak laki-laki, yang kelak menjadi masalah dalam cerita ini. Namanya Samsudin. Usianya terpaut empat tahun. Tapi sebenarnya, sebelum Samsudin, sebenarnya aku punya kakak perempuan. Namun sayang, di saat usianya baru sepuluh bulan, dia meninggal karena muntah-muntah. Setelah meninggal, ayah dan ibu baru tahu bahwa dia kena palasik. Ayah dan ibu lalu menyesali kematian kakak perempuanku itu sepanjang hari. Tapi yang sangat terpukul atas kematian kakak perempuanku itu adalah ayah. Sampai beliau meninggal, ayah masih sering menyebut nama kakak perempuanku itu. Aku pun menyesali kematian kakak perempuanku itu. Sebab, dalam adat kami, harta pusaka sebenarnya dicurahkan buat yang perempuan. Dan ayah mewarisi kami sawah dan ladang yang berjumlah sepuluh petak. Tapi, bukan, bukan sawah ayah sebenarnya. Sawah itu milik ibu yang diperolehnya dari pembagian harta dari pihak nenek. Ayah hanya menggarapnya karena tak punya pekerjaan lain. Sebenarnya, tak pernah terlintas di ingatanku kembali akan peristiwa tiga puluh satu tahun yang lampau itu, yakni ketika ayah menemukan sebuah peti sebesar mi instan itu. Tapi, kakakku, Samsudin, satu minggu setelah kepergian ayah, mempertanyakan soal peti itu. Mulanya aku heran, bagaimana ia tahu? Oh ya, sebelum kulanjutkan cerita ini, ada baiknya sedikit kujelaskan dulu perihal kakak laki-lakiku itu. Dia kakakku satu-satunya. Kata ayah, dia laki-laki pendosa. Sebab, sewaktu sekolah es-em-a, kerjanya suka menyabung ayam, main domino, serta suka pulang tengah malam. Dia tidak suka dinasihati. Setelah menikah, ia bekerja menjadi calo tiket bus angkutan kota. Sekarang anaknya sudah lima. Tetapi, kata ayah, bulan-bulan belakangan sebelum beliau meninggal, ia rajin minta uang pada ayah. Kata ayah lagi, yang membuat aku kaget, dan tak pernah kusangka, ia telah menjadi anggota caleg sebuah partai. ”Semakin hari aku mengkhawatirkan keadaannya. Aku takut, jika aku meninggal, akan dijualnya harta ini,” kata ayah. ”Berdoa sajalah, Yah. Mana tahu ia benar-benar dapat kursi di anggota dewan. Itukan juga membuat kita senang, dan otomatis hidupnya akan sejahtera.” ”Tapi setiap ia kemari. Kerjanya minta uang saja. Pusing kepala ayah dibuatnya. Katanya untuk upah poster fotonya biar bisa dipajang di sepanjang jalan. Buat kalender yang ada fotonya untuk dibagikan pada orang sekampung. Stiker. Dan entah apalagi. Aku heran, kenapa partai itu mau menjadikan ia anggota caleg. Apa tak ada orang lain.” ”Entahlah Yah. Aku tak mengerti soal itu. Aku bukan orang partai. Politik pun aku tak mengerti.” ”Ya, ya. Kau memang pantas jadi guru ngaji saja. Politik itu rumit. Ayah harap kau tak mengikuti jejak kakakmu itu. Anak celaka.” Mungkin memang benar kata ayah bahwa politik itu memang rumit, seperti kakakku itu yang tiba-tiba saja seperti orang sakit. Betapa tidak, empat hari setelah kepergian ayah, tanpa minta persetujuan dariku, ia menjual lima petak sawah peninggalan orangtua kami. ”Mengapa Uda tak pernah minta persetujuan dariku,” tanyaku marah usai ia beritahu soal itu. ”Aku rasa itu tak perlu Pak Guru Ngaji,” jawabnya tersenyum seperti mengejek. ”Yang lima petak itu bagianku. Dan lima petak yang masih tersisa itu kini milikmu. Adil bukan?” ”Bukan soal itu. Ini masalah harta pusaka yang dijual.” ”Hei buyung,” katanya meninggi. ”Pasang otakmu. Itu lebih baik dijual. Pikirkan olehmu, apa kita punya saudara perempuan, he. Kalau tidak dijual, kelak jika kita berdua telah mati, siapa yang akan mewarisinya. Anak-anak kita? Ah, itu tak mungkin. Orang sesuku kita tentu akan marah. Kalau tidak dijual tentu anak etek atau cucunya yang nanti mengambilnya. Padahal, mereka kan sudah ada pembagian dari etek. Kau mengerti maksudku?” Mendengar penjelasan kakakku tentang itu, aku tak bisa membalasnya. Kalau dipikir, memang begitulah jadinya. Harta pusaka akan menjadi petaka bila tak punya saudara perempuan di negeri Minang ini. Dan seperti yang telah kujelaskan tadi, satu minggu setelah kepergian ayah, kakak laki-lakiku itu mendatangiku lagi. Ia menanyakan soal peti itu. ”Jadi, di mana peti itu. Kau harus membagi dua denganku. Aku tahu ayah teramat sayang padamu hingga tentang peti itu aku tak diberitahunya.” ”Peti? Peti apa,” tanyaku heran pada mulanya. ”Jangan kau berlagak tak tahu. Kau ingin menguasai sendiri ya. Kau jangan berdusta. Kau tahu sekarang aku butuh uang untuk kampanye. Aku ini anggota caleg. Aku butuh biaya besar.” ”Uda kan baru saja menjual tanah? Apa uang itu sudah habis.” ”Hei uang lima puluh juta itu mana cukup. Aku harus memberi uang untuk tim suksesku. Biaya sumbangan buat orang sekampung. Belum ini dan itu. Kuharap kau pahamlah.” ”Tapi, aku tak tahu soal peti itu.” ”Hei, apa kujual saja rumah peninggalan pusaka itu, ha. Biar habis semuanya. Biar peti itu buatmu dan rumah itu buatku.” ”Tunggu dulu,” kataku. ”Tolong Uda jelaskan, peti apa yang Uda maksud.” ”Kau ingat tiga puluh satu tahun yang lalu? Saat kau dan ayah menemukan sebuah peti sebesar kardus mi instan di belakang rumah?” ”Tiga puluh satu tahun yang lalu?” Aku mengerutkan kening. ”Ya, ya. Aku mulai ingat. Dari mana Uda tahu?” ”Aku melihat ayah melarikan peti itu. Ia bersamamu kan?” ”Lalu, untuk apa Uda tanyakan tentang peti itu?” ”Jangan berlagak tak tahu. Tentu peti itu banyak emasnyakan?” ”Emas?” ”Ya. Bukankah orang tua-tua dulu suka menyimpan emasnya dalam peti?” ”Tapi aku tak tahu soal peti itu,” kataku. Hari itu Uda Samsudin memarahiku. Ia terus berulang kali menanyakan soal peti itu di rumahku. Dan hari itu juga, setelah tiga puluh satu tahun lamanya, aku harus mengingat kembali peristiwa itu. Dengan rasa penasaran, besok paginya aku mendatangi rumah kami. Rumah pusaka peninggalan ayah dan ibu. Aku penasaran tentang peti itu. Sungguh, aku tak tahu di mana ayah menyimpannya. Apakah ayah menanamnya kembali atau disimpannya di tempat lain? Aku memang tidak tahu pasti. Sesampai di rumah, aku memeriksa tempat-tempat penyimpanan barang ayah. Dari almari, tempat penyimpanan foto serta barang-barang kesukaan ayah. Dari semua itu, aku tidak menemukan petunjuk tentang peti itu. Aku putus asa. Tapi sewaktu aku memeriksa di bawah tempat tidur ayah, aku menemukan buku agenda. Usianya mungkin sudah bertahun-tahun. Kertasnya sudah agak menguning. Isinya pertama aku menemukan catatan tentang uang pengeluaran ayah. Uang beli semen, pasir, belanja pupuk. Dan, entah kali ke berapanya aku membolak-balik isi agenda itu, aku akhirnya menemukan petunjuk tentang peti itu. Begini isinya: Sampai usiaku lima puluh tahun, aku masih sering meratapi kematian anak perempuanku itu. Aku sangat menyayanginya. Mungkin karena aku tak punya saudara perempuan. Aku telah menyiapkan barang-barang permainan buatnya, juga baju yang indah. Tapi, Tuhan mengambilnya. Aku lalu mengemasi barang-barang itu dalam sebuah peti. Biar barang itu akan abadi bersamanya. Tapi, istriku memang keterlaluan. Ia membuang peti itu entah di mana. Ia tidak memberitahuku di mana dibuangnya. Tapi suatu hari aku menemukannya, ia menguburnya di belakang rumah rupanya. Aku terus membolak-balik isi buku agenda itu. Tapi aku tak menemukan kalimat lain tentang peti itu kecuali perihal tentang surat-surat uang masuk dan uang pengeluaran ayah. Dengan tersenyum, aku lalu melipat buku agenda ayah itu. Aku berjanji, siang nanti aku akan menemui Uda Samsudin di rumah istrinya. Ya, aku akan memberikan agenda itu padanya. Biar ia tahu tak ada emas di dalamnya. Padang 2009 Keterangan
""Peti Ayah dan Tiga Puluh Satu Tahun Setelah Itu""
Gelap datang menyungkup. Lampu padam tiba-tiba. Sepi di luar rumah karena hanya sesekali kendaraan bermotor lewat. Kegelapan seperti ini merupakan hal biasa bagi kota kecil yang terletak di kaki gunung itu. Timisela memanggil istrinya agar menyalakan lilin. Foto yang sejak tadi dipegangnya dimasukkannya kembali ke dalam map dan diletakkannya di atas meja. Istrinya yang kemudian datang dengan membawa lilin menyala di tatakan gelas, menatap suaminya yang menyandar di kursi. ”Masih menatap foto itu lagi?” istrinya bertanya. Timisela tidak menjawab. Ia memilih berdiam diri karena pertanyaan seperti itu telah puluhan kali didengarnya. ”Kalau foto itu mengganggumu, robek saja dan buang. Sudah lama aku ingin membuang foto itu jauh-jauh, tapi aku takut kau marah”. Timisela hanya menatap istrinya. Istrinya yang segera menangkap makna tatapan itu meninggalkan Timisela dan kembali ke ruang belakang. Upacara pemberian penghargaan itu berlangsung meriah dan dihadiri banyak jurnalis tersohor. Timisela benar-benar merasa tersanjung dengan penghargaan yang diterimanya, hanya beberapa hari sebelum ia pensiun. Istrinya dan ketiga anaknya turut bangga dengan penghargaan yang diterima Timisela. Dalam lima tahun itu hanya Timisela yang mendapat penghargaan seperti ini. ”Penghargaan ini berbeda dengan Pulitzer Prize yang diberikan kepada seseorang di Amerika sana karena prestasi jurnalistik atau sastra seperti yang sering aku ceritakan kepadamu. Yang kuterima ini diberikan karena keteguhan memegang prinsip dan keberanian yang layak mendapat pujian.” Begitu Timisela selesai melepas kata-kata itu kepada istrinya, telepon berdering. Suara Takdir di seberang sana terdengar gembira. ”Selamat Timisela. Aku bangga sekali karena kau menerima penghargaan itu. Mestinya aku meneleponmu kemarin, tapi aku baru tahu dari berita koran hari ini. Kalau menurut pendapatku, penghargaan itu seharusnya diberikan dulu bukan sekarang ini. Keberanianmu memang telah teruji, Timisela.” ”Terima kasih, Takdir.” ”Sekali lagi selamat, Timisela.” Timisela menyandar ke punggung kursi dan menarik napas. ”Dari siapa?” istrinya bertanya. ”Takdir.” Timisela memilih tinggal di kota kelahirannya, sebuah kota kecil di kaki gunung, setelah ia tidak lagi memimpin media cetak tersohor itu. Ia pensiun dini walaupun usianya baru setengah abad. Walaupun telah satu tahun meninggalkan kota besar tempat tinggalnya dulu dan menikmati sisa hidupnya di kota kecil di kaki gunung ini, Takdir dan kata-katanya yang dilepasnya dengan nada gembira tahun lalu itu membuatnya gelisah. Keresahan itu diutarakannya kepada istrinya. Bagi Timisela, kata-kata Takdir itu adalah sindiran telak yang sangat memukulnya. Sambil menengadah ke langit-langit ruang tamunya, ia merajut kembali sekeping masa lalunya dan mencoba untuk lebih memahami bagaimana ia harus menerima pujian itu. Takdir diseret dengan paksa oleh dua orang bertubuh kekar berpakaian seragam ke sebuah mobil jip hard top berwarna hijau yang menunggu di pinggir jalan. Istri Takdir yang tidak menduga akan menyaksikan adegan seperti itu menjerit ketakutan. Jeritan itu berlanjut dengan tangisan yang menyayat. Sambil berjalan cepat mengikuti langkah kedua lelaki berseragam itu, ia memohon agar suaminya dilepaskan. Kedua lelaki berseragam itu tidak memedulikan permohonan dan tangisan istri Takdir. Mereka terus menyeret Takdir dan mendorongnya masuk ke dalam jip. Kemudian jip itu menderu dan melaju meninggalkan istri Takdir. Dalam jip yang dikemudikan lelaki berpakaian preman itu telah menunggu seseorang yang juga mengenakan pakaian seragam dengan tanda pangkat di bahunya. Wajahnya tidak bersahabat. Begitu jip menderu dan melaju, lelaki bertampang sangar itu memulai tugasnya dengan melayangkan tinjunya ke wajah Takdir. Setelah itu menyusul pukulan-pukulan keras ke dada dan perut Takdir. Kedua lelaki yang menyeret Takdir dari rumahnya hanya berdiam diri menyaksikan peristiwa itu. Tampaknya mereka tidak berani berbuat apa pun karena penganiayaan yang berlangsung di depan mata mereka dilakukan oleh atasan mereka berdua. Ketika tinju sang perwira mendarat di matanya, Takdir yang sejak tadi mempertahankan diri dengan menahan rasa sakit, walaupun telah mendapat pukulan bertubi-tubi, terdengar mengaduh. Orang yang menyiksanya ternyata belum puas. Ia terus meninju Takdir hingga darah segar bercucuran dari mulut dan hidung lelaki itu. Sambil bertahan, erangan Takdir sambil menyebut nama Tuhan terdengar beberapa kali. Sang penyiksa baru berhenti melaksanakan tugasnya setelah jip memasuki halaman rumah tahanan. Takdir didorong oleh penyiksanya agar turun dari jip dan melangkah ke ruang tahanan, bergabung dengan para tahanan lainnya. Di dalam tahanan siksaan dilanjutkan petugas yang lain. Semua itu dituturkan istri Takdir kepada Timisela dengan suara terbata-bata. Timisela tidak berkata sepatah pun mendengar kisah yang dipaparkan istri Takdir. Ia hanya menatap perempuan itu dengan wajah yang memperlihatkan simpati. Begitu akan meninggalkan Timisela, istri Takdir memberikan sebuah amplop berisi surat Takdir kepada Timisela. ”Saya yang menulis surat ini berdasarkan cerita Takdir ketika saya menemuinya di tahanan. Sebagian besar isi surat ini didiktekannya kepada saya. Setelah itu ia meminta saya menyampaikan surat ini kepada Anda. Surat ini surat Takdir walaupun saya yang menulisnya.” Timisela menerima surat itu. Lama surat itu dipegangnya. ”Untuk saya?” ”Ya, untuk Anda” ”Terima kasih, sampaikan salam saya kepada Takdir.” ”Saya telah membaca seluruh isi surat ini. Kebrutalan yang diungkapkan di sini benar-benar mencabik-cabik perasaan dan membuat saya marah. Karena itu, saya ingin kemarahan saya ini diketahui orang lain. Itulah sebabnya surat ini saya fotokopi dan saya edarkan kepada Anda semua agar Anda mengetahui mengapa saya marah. Saya juga ingin mendengar pendapat Anda semua tentang apa yang seharusnya saya lakukan atau kita lakukan untuk memperlihatkan rasa simpati kepada teman yang saya kenal sejak di SMA ini.” Kata-kata itu meluncur dengan lancar dari mulut Timisela kepada semua jurnalis yang berkumpul di depannya. Kemudian beberapa lembar fotokopi surat tersebut beredar di kalangan jurnalis yang dipimpinnya itu. Hanya dalam waktu satu jam para jurnalis telah berkumpul kembali dalam ruang rapat untuk memberikan pendapat mereka. ”Ini layak menjadi berita,” kata seorang jurnalis. Pendapat itu didukung sebagian besar jurnalis yang hadir di ruang rapat. Para pendukung pendapat tersebut menyimpulkan, walaupun Takdir adalah aktivis yang sering melontarkan kata-kata kasar yang mengoyak telinga, kebrutalan seperti itu tidak dapat dibenarkan dan didiamkan. Masyarakat harus tahu dan harus ikut marah. Karena mereka adalah jurnalis, alat mereka untuk mengungkapkan hal itu kepada publik adalah memberitakan kejadian tersebut di media tempat mereka bekerja. Hanya sebagian kecil jurnalis berpendapat lain. Mereka merasa surat tersebut lebih layak diberi tempat dalam rubrik ”Surat Pembaca”. Dengan demikian, opini media mereka tidak perlu dikemukakan. ”Ini lebih aman,” ujar jurnalis yang pertama-tama mengemukakan hal itu. Mendengar kata ”lebih aman” Timisela tersentak. Ia tidak peduli lagi dengan hiruk-pikuk perdebatan antara rekan-rekannya yang berbeda pendapat. Mendengar kata ”lebih aman” ia kembali sadar betapa pengap dan busuknya udara di luar sana. Untuk bersikap terhadap udara pengap dan berbau busuk itu, orang harus memilih. Pilihan hanya dua: menolak atau berkompromi. Bagi Timisela keduanya tidak mudah. Karena merasa belum menemukan pemecahan, dengan tatapan kosong dan langkah gontai Timisela meninggalkan ruang rapat. Namun, ia sadar solusi harus ditemukan. Pagi keesokan harinya keputusan Timisela dilontarkannya kepada semua rekan sekerjanya di ruang rapat. ”Surat ini untuk saya pribadi, bukan untuk umum. Kemarahan saya adalah juga kemarahan pribadi, kemarahan seorang manusia yang temannya teraniaya. Teman saya itu juga tidak meminta surat ini dijadikan bahan berita atau kita muat sebagai surat pembaca. Ia hanya ingin saya tahu keadaannya. Karena itu saya putuskan, surat ini tidak akan dipublikasikan dalam bentuk apa pun. Saya mohon maaf karena telah meminta pendapat Anda, tetapi tidak memedulikan pendapat itu. Di samping itu saya juga tidak ingin kepentingan pribadi saya menjadi penyebab ditutupnya mulut kita semua yang bekerja di media ini oleh kekuatan yang menakutkan di luar sana. Karena itu juga berarti ditutupnya pintu rezeki kita sehingga kita tidak dapat memberi makan keluarga. Kita tidak perlu memamerkan keberanian karena kata berani itu sendiri harus diberi makna sesuai dengan kondisi suatu saat. Tidak terdengar reaksi apa pun dari para jurnalis yang memenuhi ruang rapat. Tampaknya mereka paham mengapa pemimpin mereka menjatuhkan pilihan seperti itu. ”Peace of mind” adalah frasa dalam bahasa Inggris yang selalu didengungkan Timisela kepada rekan-rekan sekerjanya. ”Ketenangan diperlukan untuk dapat bekerja dengan baik,” katanya selalu. Timisela juga merasa tenang setelah mengambil keputusan itu karena baginya itu ”lebih aman”. Ucapan selamat yang disampaikan Takdir benar-benar menikamnya. Timisela tenggelam dalam beribu tanya, walaupun semua tanya itu bermuara pada dua pertanyaan yang sulit dijawab. ”Benarkah Takdir mengucapkan selamat itu dengan jujur karena kegembiraan seorang teman, atau ucapan itu benar-benar pukulan telak yang tidak mengenal ampun, karena ia tahu siapa aku?” Timisela juga bertanya kepada dirinya apakah piagam penghargaan yang dihadiahkan sebuah institusi terhormat dari luar negeri itu layak diterimanya. Ini yang belakangan membuatnya berkali-kali mengamati foto saat ia menerima piagam penghargaan dari lembaga yang sangat menghormatinya itu. Foto itu tetap tersimpan di dalam map dan Timisela tidak pernah berencana membingkai foto itu dan memajangnya di ruang tamu. Satu tahun foto itu tersimpan di dalam map dan selama satu tahun pula foto itu ditatapnya berkali-kali. Ada sesuatu yang menyakitkan setiap kali ia menatap foto itu. Setelah lama merenung, Timisela akhirnya mengambil keputusan yang mengejutkan. ”Yola,” katanya memanggil istrinya. ”Buang ini ke tempat sampah,” ujarnya sambil memberikan sobekan-sobekan foto yang baru dirobeknya. Istrinya menerima sobekan-sobekan itu dan tetap berdiri di depannya ”Ada apa?” ia bertanya kepada istrinya. ”Piagamnya bagaimana?” Ia tidak langsung menyahut. Sambil mengambil telepon selulernya dari meja di depannya, Timisela menoleh kepada istrinya. ”Minggu depan kita kan ke Jakarta. Aku ingin bertemu dengan Takdir. Biarlah dia yang merobek piagam itu,” katanya. Jakarta, 31 Januari 2009
""Foto""
”Budiman! Ada kabar gembira! Lamaran kamu diterima! Bulan depan kamu bisa mulai kerja! Dengan gaji pokok per bulan lima-belas juta! Berarti tidak lama lagi kamu bakalan terbebas dari utang-utang kamu. Terbebas dari teror para penagih utang yang selama berbulan-bulan mengejar ke mana pun kamu pergi.” Memang aku diterima kerja di mana?” ”Perusahaan minyak, Bud! Di Dubai, Timur-Tengah!” Budiman seketika terdiam. Temannya yang bekerja di agen tenaga kerja itu dibiarkannya terus bicara di telepon dengan penuh semangat. Tentang gambaran masa depan yang sangat cerah. Tentang jaminan kesejahteraan yang sudah jelas membayang di depan mata. Tentang sekian tahun lagi pulang ke Indonesia sebagai orang kaya…. Tetapi, Budiman tak lagi menyimaknya. Perhatiannya lebih terarah ke sosok pria renta yang berbaring lemah di hadapannya. Dengan selang oksigen menempel di hidung. Dengan cairan infus mengalir lewat jarum yang menancap di pergelangan tangan. Dengan mata mengatup rapat. Dan kulit wajah yang pucat. ”Budiman? Halo? Tolong secepatnya saja kamu bikin paspor. Aku bisa bantu bikin surat pengantar buat mengurus visa…. Halo?” ”Ya, ya. Aku pikir-pikir dulu.” ”Pikir-pikir??? Setelah bertahun-tahun kerja serabutan dengan pendapatan enggak nyampe sejuta sebulan kamu masih pikir-pikir juga untuk menerima pekerjaan yang jelas-jelas cocok buat kamu sebagai sarjana perminyakan?” ”Memang kapan aku harus berangkat?” ”Paling lambat sebulan dari hari ini.” Sebulan…. Berarti ia masih punya waktu tiga puluh hari untuk bisa menemani bapaknya. Setelah itu? Tak terbayang bagaimana bapaknya yang berumur delapan puluh delapan tahun ini tergolek sendirian di rumah sakit tanpa seorang pun sanak-saudara menemaninya. Ya. Tak seorang pun. Karena hanya dia sendiri yang bisa merawat bapaknya selama tiga tahun terakhir ini. Ketiga saudara kandungnya bertempat tinggal jauh dari Jakarta. Kakak sulung bekerja di perkebunan kelapa sawit di Malaysia, yang hanya bisa sekali setahun pulang ke Indonesia. Kakak nomor dua bekerja di kapal pesiar yang menjalani rute Amerika-Eropa, tak pernah berkesempatan pulang kampung sampai kelak masa kontraknya habis. Dan adik perempuannya kawin dengan orang Filipina setelah dua tahun bekerja di sebuah restoran di Manila dan kemudian tinggal di sana. Sedangkan saudara-saudara sepupu yang tinggal di Jakarta hanya kadang saja berkunjung pada waktu lebaran. Dulu, waktu masih bekerja di perusahaan ekspedisi di Tanjung Priok, dan istrinya masih tinggal serumah dengannya, ia bisa menggaji seorang perawat delapan ratus ribu per bulan untuk merawat bapaknya. Tetapi, serangkaian musibah telah mengacaukan segalanya. Tak lama setelah ia meminjam uang perusahaan seratus juta lebih untuk membayar uang muka pembelian rumah, perusahaan itu bangkrut. Mantan bosnya memaksakan pengembalian semua piutang paling lama enam bulan. Tak ayal, dalam kondisi menganggur Budiman pontang-panting membayar sekaligus utang ke mantan bosnya dan cicilan kredit pemilikan rumah. Istrinya tak tahan diteror para preman penagih utang, lalu memilih pulang kampung bersama anak- anak dan melupakan begitu saja mertuanya yang tak berdaya. Sekian bulan kemudian ia terpaksa menyerahkan rumahnya ke bank lalu pindah ke sebuah kontrakan kecil. Sejak itu ia tinggal berdua dengan bapaknya, bertahan hidup dari penghasilan kerja serabutan ditambah kiriman uang dari kedua kakaknya yang datangnya tak menentu dan nilainya tak seberapa. Budiman bisa mempertahankan kondisi ini sampai setahun, dua tahun, tiga tahun…. Sampai sebulan dua puluh tujuh hari yang lalu. Menjelang tengah malam Budiman pulang kerja, menjumpai bapaknya terkapar di lantai kamar mandi dengan sebagian kaki tersandar di dudukan kloset. Banyak yang menduga ayah Budiman terpeleset saat hendak berdiri seusai buang air besar. Dokter menyatakan ayah Budiman mengalami stroke. ”Keluarga pasien Bapak Suharso!” Budiman berdiri dan berjalan menghampiri petugas bagian keuangan. ”Sampai kemarin malam total biaya sembilan juta lima ratus dua puluh tujuh rupiah, di luar obat-obatan yang ditebus langsung ke apotek.” ”Dikurangi deposit tiga juta, berarti harus tersedia dana enam setengah juta lebih,” kata Budiman dalam hati. Itu kalau bapaknya sudah boleh pulang hari ini. Padahal tidak. Perawatan masih harus berjalan entah sampai kapan. Budiman meninggalkan ruang administrasi rumah-sakit dengan langkah lesu. Tetapi, lalu terhenti oleh sebuah panggilan yang serasa sangat dikenalnya. ”Budiman!” Budiman menoleh. Tubuhnya seketika lemas. Si penagih utang itu….! Pria berbadan gempal bernama Sarkawi ini menghampiri Budiman, tersenyum menyeringai dan mengajak bersalaman, tapi lebih seperti mau meremukkan tulang telapak tangan Budiman. ”Dunia ternyata sempit, ya,” katanya sambil terkekeh. ”Selamat, dapet kerjaan bagus di luar negeri.” Budiman terperanjat. ”Tahu dari mana?” ”Enggak penting aku tahu dari mana. Yang penting, enggak lama lagi kamu bisa mulai ngumpulin duit buat bayar utang. Tiap bulan kamu bisa transfer ke istri kamu, jadi aku tinggal nagih sama dia. Jangan mengira aku enggak tahu istri kamu sekarang tinggal di mana.” Budiman mengembuskan napasnya keras-keras. ”Jangan terlalu yakin saya mau menerima kerjaan itu.” ”Kenapa???” ”Saya enggak bisa ninggalin Bapak saya sendirian….” ”Urusan bapakmu bukan urusanku. Urusanku cuma nagih utang. Pokoknya dua bulan dari sekarang aku mau mulai menagih ke istri kamu.” Si penagih utang ngeloyor pergi. Budiman mengejarnya. ”Heh! Jangan ganggu lagi istri saya!” ”Terserah kamu mau mbelain bapakmu atau istrimu. Kalau aku jadi kamu, aku pasti pilih mbelain istri. Urusan Bapak, sewa aja perawat. Tiap bulan tinggal kamu transfer gajinya dari luar negeri. Aku yakin bapakmu enggak peduli mau dirawat sama anaknya atau bukan. Belum tentu juga dia ingat sama kamu. Lha wong sadar aja enggak.” Sepeninggal Sarkawi, lama Budiman terdiam. Hatinya menangis, tetapi bukan karena prihatin terhadap kondisi bapaknya, melainkan menangisi diri sendiri kenapa ia bisa mulai membenarkan omongan Sarkawi. Budiman lalu kembali ke kamar perawatan. Beberapa saat ia menatap wajah bapaknya, menggenggam tangannya, dan berbisik dalam hati…. ”Maaf, Pak. Tidak lama lagi saya mau ke luar negeri. Saya harus kerja, Pak. Akan saya sediakan satu perawat khusus untuk merawat Bapak….” Budiman lalu beranjak pergi. Tetapi, menjelang keluar pintu…. ”Bud….” Budiman terperanjat dan seketika menoleh. Tangan bapaknya bergerak-gerak. Kepalanya sedikit meneleng. Budiman bergegas mendekat. ”Bapak…?” Secara samar dan lirih terdengar kata-kata terucap dari mulut bapaknya. ”Pulang, Bud… Bapak mau pulang….” ”Tapi, Bapak belum sembuh.” ”Penuhi saja keinginan bapakmu, Bud.” Lagi-lagi Budiman terperanjat. Sarkawi seperti tiba-tiba saja sudah ada di belakangnya, lalu berbisik, ”Ini yang namanya tanda-tanda, Bud. Kakekku dulu juga begitu. Masuk rumah sakit, lama dirawat tapi enggak sembuh-sembuh, terus minta pulang, enggak lama kemudian meninggal dunia di rumah sendiri.” ”Jangan sembarangan ngomong!” ”Sssst…. Memang kamu enggak merasa semua ini seperti sudah diatur sama yang di atas? Kalau bapakmu pulang ke rumah terus meninggal, memang begitu kan yang kamu harapkan? Supaya kamu bisa lega berangkat ke luar negeri?” Budiman hendak berteriak marah, tetapi keburu terdengar bapaknya berbisik lagi. ”Pulang, Bud…. Pulang….” Segera setelah sampai rumah, ayah Budiman kembali tak sadarkan diri. Budiman panik dan hendak segera membawanya kembali ke rumah-sakit, tetapi Sarkawi sigap mencegahnya. ”Memang apa yang kamu harapkan dengan membawa bapakmu kembali ke rumah sakit? Supaya sadar lagi? Supaya sembuh? Terus kamu bingung lagi gimana harus berangkat ke luar negeri?” Kali ini Budiman benar-benar marah dan mendorong tubuh Sarkawi. ”Kamu ini memang sama-sekali enggak punya perasaan!!!” ”Kamu yang enggak punya perasaan! Jelas-jelas bapakmu bilang mau pulang, kamu tetap ngotot juga mau mengembalikan ke rumah-sakit.” ”Kita harus berusaha semaksimal mungkin untuk menolong Bapak!” ”Yang kamu maksud ’kita’ itu siapa? Kamu? Dokter-dokter di rumah-sakit? Kalau orang rumah-sakit sih seneng-seneng saja bapakmu terus dirawat. Makin lama dirawat makin banyak duit masuk. Kalau makin parah, mereka tinggal bilang: masuk ICU! Makin banyak lagi duit masuk. Tapi, setelah itu apa sudah pasti bapakmu bakalan sembuh? Enggak, kan? Umpama bapakmu sembuh, apa bukan gantian kamu yang sekarat karena stres harus cari duit buat bayar rumah sakit? Umpama bapakmu meninggal apa rumah-sakit terus mau ngasih diskon? Enggak juga, kan? Paling-paling kita dikasih omongan pelipur-lara: kami sudah berusaha semaksimal mungkin, tetapi ternyata yang di atas berkehendak lain…” ”Diaaaam!!!” Nyatanya Budiman mengikuti saran Sarkawi: membiarkan bapaknya tinggal di rumah. Sehari… dua hari… empat hari… seminggu…. Belum ada yang berubah atas diri bapak Budiman. Dadanya masih bergerak naik-turun meski sangat tipis. Dari hidungnya masih terembus tiupan napas meski sangat lemah…. ”Jangan lupa, Bud. Lima hari lagi kamu berangkat ke Dubai!” Rombongan anggota pengajian berdatangan ke rumah Budiman. Siang malam mereka berdoa, memohon agar ayah Budiman diringankan penderitaannya dan segera dipilihkan jalan terbaik untuknya. ”Kalau Engkau masih ingin memberinya kesembuhan, segera berilah kesembuhan, ya Allah. Kalau Engkau ingin memanggilnya, panggilah dia dalam keadaan bersih jasmani dan rohani.” Tetapi, ayah Budiman tetap saja bergeming. Sampai hari keenam belas… hari ketujuh belas… hari kedelapan belas…. ”Tiket pesawat sudah di-booking, Bud. Besok lusa kamu tinggal berangkat ke bandara!” Sebuah ambulans dengan sirene meraung-raung melesat kencang dan kemudian berhenti di depan rumah Budiman. Saat itu jam menunjukkan pukul sebelas menjelang tengah malam. ”Budiman! Kok enggak diangkat? Sudah tidur? Besok pagi kita ketemu di bandara, ya. Jangan sampai telat Ketua RT berikut belasan warga tergopoh-gopoh menyambut para petugas medis dan mempersilakan mereka masuk ke dalam rumah. Seorang dokter segera mengambil stetoskop dan melakukan pemeriksaan jantung dan lainnya. ”Sudah meninggal,” ucap dokter pelan. Para hadirin serentak bergumam, ”Innalillahi…..” Ketua RT menghampiri ayah Budiman, mendekatkan mulutnya ke telinga pria tua ini, tetapi begitu sulit untuk memulai bicara. ”Budiman, Pak….” Ayah Budiman perlahan membuka matanya. ”Mana Budiman…? Kenapa dia?” Jakarta, 26 Februari 2009
""Menanti Kematian""
Sunyi wajah lelaki tua, lusuh, bersarung dan berpeci. Langkahnya pincang memasuki pelataran rumah Aryo. Lepas asar, dalam gerimis, wajah lelaki tua lusuh itu seperti susut. Menahan kegugupan. Dia menemukan pencariannya pada Aryo — meski mereka belum saling kenal. Matanya juling. Tak tepat membidik wajah Aryo. Aneh, rekah bibirnya kian menakik senyum, “Nah, kaulah yang kucari!” Tangan kanannya terjulur. Menyalami Aryo, erat dan akrab. Menolak duduk di kursi. Lelaki tua bermata juling itu memilih bersila di tantai. Aryo menduga-duga. kenapa lelaki tua itu datang ke rumahnya, begitu rupa rendah hati. “Belilah ladang saya, Nak,” pinta lelaki tua juling itu. “Saya tidak berminat beli ladang” tukas Aryo, lunak, lembut, sambil memandangi sisa gerimis tipis yang membasahi peci lelaki tua lusuh itu. Lelaki tua berpeci itu memohon dengan mata juling yang membersitkan cahaya harapan, sepasang mata yang penuh ketulusan. Tubuh lelaki tua itu kurus berkeriput. Mencari gairah dan luar dirinya. Rupanya Aryolah yang menjadi harapannya. “Coba pikir lagi, Nak. Barangkali kau berminat. Kujual ladangku dengan harga sangat murah. Mungkin kau punya sejumlah uang yang saya perlukan.” lelaki tua lusuh itu menyebut sejumlah harga. Aryo tercengang. Alangkah murah, dan wajah lelaki itu menyiratkan permohonan. “Uang ini untuk biaya berobat istri saya” Tertegun. Aryo surut, merasa diri kerdil. Ditahannya tubuh yang menggigil. Ia tak lagi berani membalas tatapan juling lelaki tua lusuh itu. Liang sunyi sangat legam di dalamnya. “Besok siang. datanglah kembali ke sini. Akan saya bayar lunas ladang itu” Gugup, lelaki tua berpeci itu menyalami Aryo. Menembus rintik genimis tiada henti membasahi pecinya. Langkahnya terpincang-pincang. Tertatih-tatih menjauh. … Menuruni jalan setapak tak jauh dari rumahnya, menjelang senja, Aryo mencapai ladang yang dibelinya dari lelaki tua berpeci. Ladang itu terletak di lembah yang dikitari pegunungan. Berpagar hambu berkeliling, dan didalamnya berdiri surau kayu. Dalam gerimis, surau itu mengekalkan sunyi, tak jauh dari rumah-rumah kampung yang dirobohkan huldoser. Pepohonan bergelimpangan ditebas gergaji mesin. Ladang-ladang diratakan sebagai dataran luas—coklat kemerahan—dengan kupu-kupu senja berpasangan, senyap dan rapuh. Tinggal rumah lelaki tua berpeci, ladang yang dibeli Aryo, dan surau kayu beratus tahun yang masih utub berdiri. Terdengar parau azan magrib, dikumandangkan lelaki tua berpeci. Ia sendirian di surau. Tak seorang pun duduk bersila di tikar aus. Lelaki tua berpeci berdiri dengan kaki kanan mengecil di bawah sarungnya. Tumit kaki kanannya sedikit diangkat, agar ia bisa kokoh berdiri. Menoleh sesaat ia, tatkala mendengar langkah kaki Aryo. Tapi segera tersenyum tulus. “Kini kau tahu, mengapa kujual ladang ini padamu?” tanya lelaki tua itu usai shalat dan berdoa, menyalami Aryo. “Belum sepenuhnya paham.” “Lihat, seluruh warga kampung ini meninggalkan rumahnya. Tanah dan rumah mereka dijual. Di sini akan didirikan perumahan. Tinggal saya yang rnasih bertahan. Ladang ini kujual padamu, karena berdiri surau leluhur kami. Aku percaya, kau akan mempertahankannya.” “Bagaimana Bapak bisa mengenaliku?” “Anakmu, gadis kecil, Salsa, suka bermain di ladangku. Bersama teman-temannya, dia sering menungguiku mumbakar ketela atau jagung di ladang dan memakannya panas-panas. Aku pernah mengantarkannya pulang, ketika hujan, dan bersua denganmu.” “Lalu, kenapa Bapak serahkan ladang ini padaku?” Lelaki tua itu tersenyum, seperti ingin menertawakan Aryo. Dari senyumnya, lelaki tua itu menampakkan kepasrahan yang tenang. “Aku ingin surau ini kaupertahankan. Jangun dijual.” Lelaki itu terdiam. Memandang tajam Aryo. “Ini surau leluhur.” … Seorang lelaki setengah baya berdasi mendatangi rumah Aryo menjelang senja. Sopan. Menunggu lama di ruang tamu. Menunggu Aryo yang baru saja pulang dari luar kota. Ia menampakkan kesegaran senyum. Saat bersua Aryo, lelaki asing itu menampakkan keakraban. “Kami datang untuk menawar ladang di tengah perumahan yang sedang kami bangun,” kata lelaki setengah baya berdasi itu. “Saya tak berniat menjualnya pada siapa pun. Ada surau yang mesti kupertahankan.” “Surau itu sudah ditinggalkan. Semua orang di kampung itu menjual tanahnya.” “Termasuk rumah lelaki tua ilu?” “Dia telah menjual lahan dan rumahnya. Pindah di desa lain,” kata tamu setengah baya berdasi itu, penuh kemenangan. “Tinggal lahan Bapak yang belum dijual. Kami berani menawar dengan harga tinggi. Mungkin ini harga tertinggi yang pernah kami tawarkan.” Tercengang Aryo mendengar harga sangat tinggi yang ditawarkan lelaki setengah baya berdasi itu. Baru beberapa saat dia beli ladang dan lelaki tua pincang itu, kini harganya sudah melambung berlipat kali. Dia merasa berdosa, telah membeli tanah dengan harga yang sangat murah. Kini dia tak bisa mempertahankan surau dan lahan itu. Usai shalat magrib. Kiai Najib memimpin doa di surau yang sepi, hampir-hampir tanpa pengunjung. Hanya empat orang yang mengikuti shalat magrib di surau itu. Kiai Najib yang mulai rapuh tubuhnya, menyalami tiga orang yang mengikuti doanya. Aryo memahami kecemasan dalam cahaya mata kiai. “Jangan pulang dulu,” kata Kiai Najib, “ada hal yang perlu kubicarakan. Surau ini sudah sangat tua. Perlu dibangun kembali surau yang lebih baik, agar orang-orang mau shalat berjamaah ke sini.” “Kiai jangan cemas. Aku akan membangun surau ini dengan uang penjualan ladangku.” Kiai Najib terbelalak. Aryo mengangguk. Meyakinkan kiai. … Meradang pandangan lelaki tua pincang itu. Tajam. Kemarahan membakar sepasang mata juling itu. Aryo tak menyangka, lelaki tua juling itu datang ke rumahnya sore hari. Kemurkaan memperkeruh wajahnya. Aryo tersenyum. Terus tersenyum. Dia tak ingin mengimbangi perangai murka lelaki tua bermata juling. Dia seperti sudah menebak akan ketakrelaan itu. “Kuserahkan ladang itu bukan untuk kaujual pada pengembang perumahan!” kata lelaki tua bermata juling. “Aku tak bisa mempertahankan lahan itu. Ketika seluruh kampung menjual rumah, tak ada lagi yang mendatangi pengembang perumahan untuk membeli lahan itu,” tukas Aryo. “Saya memang sudah menjual ladang itu, tapi semua uang yang kuterima, kuserahkan untuk membangun surau di permukiman ini.” Sepasang mata lelaki juling itu meredup. Dada tipis yang menahan sesak napas itu menguncup. Kedua bahunya jatuh. Wajahnva luruh. Ia menyalami Aryo. Berpamitan. Aryo mengikutinya. Langkah mereka terhenti di tanah lapang yang dibangun surau baru. Lama lelaki tua juling itu memandanginya. Terseyum. Mengangguk-angguk. Tubuhnya kian rapuh tertatih-tatih menjauh. Aryo lupa bertanya, di mana rumah lelaki tua juling itu kini. … Gerimis tengah malam memperpekat surau kecil yang baru selesai dibangun. Gelap seluruh ruangan tatkala seorang lelaki pincang menyusup ke pelataran surau. Mengucurkan air wudu. Desis air memancar lebih keras dari rintik gerimis di dedaunan jambu. Lelaki tua itu memasuki surau. Tahajud. Duduk bersila. Zikir. Lama. Hingga menjelang dini hari lelaki tua pincang itu masih berzikir. Kiai Najib yang memasuki surau terperanjat. Dalam gelap surau, dia melihat lelaki asing di suraunya. “Apa yang kaulakukan di sini?” tegur Kiai Najib, keras, tajam. Lelaki pincang tua itu terdiam. Tenggelam dalam zikirnya. Kecurigaan Kiai Najib pada lelaki asing itu klan memuncak. Tak pernah sebelumnya, dalam suraunya datang seseorang lewat tengah malam, shalat tahajud dan berzikir. “Kau tak bisa semaumu saja di surau ini!” Masih duduk bersila, zikir, lelaki tua lusuh berpeci itu tak menyahut hardikan Kiai Najib. Tersenyum. Tenang sekali. Menyalami kiai. Mencium tangannya. Terpincang-pincang meninggalkan surau. Menghambur dalam rintik gerimis. Tak menoleh. … Usai shalat subuh. Kiai Najib mendekati Aryo, dan membisik. “Semalam aku menemukan seorang lelaki degil berzikir di surau ini. Aku tak mengenalnya. Kuusir dia. Jalannya terpincang-pincang.” “Atas nama dialah kusumbang seluruh uang penjualan ladang untuk mendirikan surau kita” “Oh, aku telah keliru mengusir orang,” tukas Kiai Najib masygul. … Tak lagi kelihatan Kiai Najib menjadi imam shalat di surau. Kiai terbaring sakit. Aryo tak pernah menduga, kiai akan jatuh sakit, justru ketika pengunjung surau tak sesunyi dulu lagi. Menjenguk kiai di kamarnya, Aryo menemui lelaki tua itu terbaring lunglai, suaranya jernih saat berpesan, “Sampaikan maafku pada lelaki tua berpeci itu. Aku berdosa telah berkata kasar padanya.” “Akan saya sampaikan permintaan maaf kiai,” balas Aryo. Tiap tengah malam seseorang melihat lelaki tua pincang memasuki surau dan meninggalkannya menjelang dini hari. Tapi Aryo, yang ingin sekali bersua dengannya, hampir tak punya kesempatan itu. Anehnya, hampir tiap tengah malam seseorang melihat lelaki tua pincang itu memasuki surau dengan wajah yang jernih, pandangan mata juling yang teduh. Berzikir larut dalam sunyi. Pandana Merdeka, Januari 2009
""Penyusup Larut Malam""
Setelah yakin istrinya menghilang dari rumah sakit, tentu bersama bayi mereka yang baru lahir, Mirdad segera menelepon sang istri. ”Artika, di mana kamu? Bagaimana dengan bayi kita?” Suaranya lebih ditujukan untuk kotak suara, yang diawali pesan pendek Artika, ”Suamiku, jika kamu mau melihat anak kita, kembalikan dulu ayahku ke rumah.” Lagi-lagi urusan Lohan, pikir Mirdad. Beberapa minggu terakhir, menjelang melahirkan bayi pertama mereka, keadaan Artika menjadi tak begitu baik. Mirdad sangat khawatir, terutama memikirkan bayi di dalam kandungan istrinya. Dan jika ia bertanya, Artika selalu membawanya kembali ke persoalan itu, ”Aku memikirkan ayahku. Bagaimana aku bisa tenang jika ayahku konon sedang dipasung dan disiksa dan aku tak tahu di mana ia berada.” ”Aku juga tak tahu,” kata Mirdad. ”Tapi ayahmu tahu.” Itu benar. Ia sendiri tak tahu apa yang terjadi antara ayah dan ayah mertuanya. Ia hanya mendengar kabar yang berseliweran, yang tak juga jelas duduk perkaranya. Tentu saja ia pernah menanyakan hal itu kepada ayahnya, tapi sang ayah hanya akan mengatakan bahwa perkara ini lebih rumit dari yang dipikirkan mereka. Namun, secara sederhana ayahnya akan berkata: ”Mertuamu membakar api.” Itu istilah mereka untuk menggelapkan uang organisasi. ”Aku enggak percaya,” kata Artika ketika itu. Ketika kandungannya semakin mendekati masa melahirkan, Mirdad membujuknya untuk pergi ke rumah sakit dan menginap di sana. Artika bergeming, bersumpah hanya akan melahirkan jika ditunggui Lohan, ayahnya. Dengan putus asa, Mirdad kembali menemui ayahnya dan memohon untuk sejenak membebaskan Lohan agar bisa menemani istrinya melahirkan anak mereka. ”Tidak, Nak. Dan kau kelak harus mengerti, organisasi bahkan lebih penting daripada segala romansa keluarga macam begitu.” Hingga satu hari ia tak menemukan istrinya di rumah. Ia menelepon istrinya, tapi telepon itu mati. Bahkan, saat itu belum ada pesan apa pun untuk bicara dengan kotak suara. Mirdad mencoba menelepon dokter mereka, tapi dokter tak tahu apa-apa dan malah bertanya, kenapa istrinya tak juga datang, padahal ini sudah mendekati hari melahirkan. Ia kemudian menelepon semua rumah sakit bersalin, bertanya sekiranya ada pasien bernama Artika Lohan. Tak ada rumah sakit bersalin memiliki pasien bernama itu. Tidak ada juga di rumah sakit umum. Bahkan, telah ia sebar pula beberapa anak buahnya untuk mencari ke tempat-tempat dukun bersalin. Hasilnya nihil. Lalu, ia memperoleh kabar bahwa istrinya melahirkan di sebuah rumah sakit bersalin di luar kota. Sialan, pikirnya, kenapa tak terpikirkan hal itu. Ia segera ngebut ke rumah sakit tersebut. Memang benar istrinya melahirkan di sana, tapi Artika telah pergi kembali. Saat itulah ia kembali menelepon dan memperoleh pesan pendek sebelum tanda untuk bicara kepada kotak suara, ”Suamiku, jika kamu mau melihat anak kita, kembalikan dulu ayahku ke rumah.” Mirdad terduduk di beranda rumah sakit dan bertanya kepada diri sendiri, ”Mana yang harus kupilih, keluarga atau organisasi sialan ini?” Kabar mengenai penangkapan Lohan pertama kali didengar dari Artika. Saat itu Artika baru berkunjung ke rumah ayahnya, lalu tiba-tiba pulang dan memanggil-manggilnya. Mirdad yang tengah tidur siang terbangun dan bertanya, ada apa? ”Ayah ditangkap.” ”Oleh siapa?” Pikirnya, ayah mertuanya ditangkap polisi. Di dunia mereka, itu bukan perkara yang aneh. Ayahnya sendiri telah belasan kali berurusan dengan polisi dan beberapa kali masuk tahanan meskipun pengacara-pengacara organisasi selalu berhasil membuat dalih tidak bersalah untuk dibebaskan. Dan ayah mertuanya, Lohan, merupakan orang lapangan. Ia lebih sering berurusan dengan polisi dan sejauh ini tak pernah ada urusan yang tidak bisa diselesaikannya dengan gampang. ”Oleh Pre.” Itu baru mengejutkannya. Mirdad terbangun dari tempat tidur. Pre merupakan istilah mereka untuk orang lapangan, para preman jalanan yang terlatih. Tidak, tidak sembarang preman jalanan. Tugas mereka adalah melakukan segala tindak kekerasan secara bersih untuk melindungi segala kepentingan organisasi. Preman jalanan hanya malak tukang parkir dan penjual kaki lima. Pre membunuh dan membakar gedung, tanpa diketahui. Lohan sendiri seorang pre, jika ia ditangkap oleh sesama pre, berarti ada masalah serius yang menyangkut internal organisasi. ”Kenapa?” tanya Mirdad. ”Aku tak tahu!” Dan Artika melanjutkannya dengan raungan. Sebab ia tahu, penangkapan oleh pre berarti kematian tanpa jejak. Pre tak hanya membunuh para musuh dan saingan organisasi, ia juga bisa bertindak sama untuk orang dalam yang mereka pikir berkhianat. Dan pengkhianatan merupakan dosa yang tak termaafkan dalam organisasi mereka. Artika tahu betul mengenai ini, maka ia layak untuk menangisi ayahnya. Diikuti Artika, Mirdad segera pergi ke rumah ayahnya, dikenal dengan nama lengkapnya yang panjang: Rustam Satria Juwono. Sang ayah suka sekali jika orang menyebut namanya secara lengkap tiga kata, dan tentu saja benci jika ada yang mencoba menyingkatnya. Beberapa orang yang memang tidak suka kepadanya, diam-diam suka menyingkat nama itu menjadi RSJ, sebagaimana singkatan untuk Rumah Sakit Jiwa. Memang tak ada tempat yang lebih tepat untuk mencari tahu keadaan Lohan selain pergi menemui Rustam Satria Juwono. Rustam Satria Juwono merupakan ketua organisasi. Ia mungkin tak hanya tahu penangkapan Lohan. Bisa jadi penangkapan Lohan oleh pre justru merupakan perintahnya. ”Ayah, kenapa ayah mertua ditangkap pre?” tanya Mirdad. Menghadapi anak dan menantunya, Rustam Satria Juwono mencoba bicara lembut dan bijak, ”Tenangkan diri kalian. Ayah akan mencoba mencari cara terbaik untuk menyelesaikan masalah ini.” ”Kenapa tidak menyuruh para pre itu melepaskan ayahku?” tanya Artika tak sabar. Matanya sudah bengkak dan ia masih terus menangis. ”Tenang, Nak. Ayah akan mencoba semampuku. Meskipun ayah seorang ketua, tapi organisasi memiliki aturan mainnya sendiri. Kalian tahu, sebagai ketua, ayah pun tak bisa bertindak sewenang-wenang.” Bahkan bagi Mirdad sendiri, kata-kata ayahnya terdengar seperti omong kosong. Kejadian itu persis sebulan sebelum Artika melahirkan bayinya. Dengan perut besar, Artika mencoba mencari tahu keberadaan ayahnya. Demikian pula Mirdad. Hasilnya nihil. Mereka melaporkannya kepada polisi sebagai orang hilang, tapi tahu pasti polisi tak akan mudah pula menemukannya. Lagi pula tak mungkin berkata kepada polisi bahwa Lohan diculik gerombolan pre. Pertama, tak ada saksi penculikan itu. Saat penculikan itu, Lohan tinggal sendiri di kamarnya. Seperti biasa, ia selalu mengunci pintu dan jendela kamar dari dalam. Setelah menjelang siang Lohan tak juga keluar kamar, Artika dan ibunya mencoba membuka paksa pintu. Setelah terbuka, mereka menemukan kamar yang kosong. Tapi pintu dan jendela tetap terkunci dari dalam. Tak ada kesimpulan apa pun kecuali yakin, itu hanya bisa dilakukan gerombolan pre. Kedua, menyebut-nyebut pre hanya akan membahayakan mereka berdua. Ketiga, polisi tak kenal apa itu pre. Keempat, jika ada polisi yang mengenal pre, mereka tak akan mau menangani kasus itu. Akhirnya mereka mencari tahu dengan cara sendiri. Meskipun mereka bisa dibilang bukan siapa-siapa di tengah labirin organisasi, mereka juga bisa dibilang punya teman-teman kecil yang menyelinap ke sana kemari dan tahu cukup banyak hal. Dari cecunguk-cecunguk seperti itulah, mereka akhirnya memperoleh serpihan-serpihan cerita di balik penangkapan Lohan. Hari-hari tersebut, sebagaimana banyak orang tahu, organisasi di ambang bangkrut. Itu artinya, perusahaan-perusahaan mereka memiliki terlalu banyak utang dan terlalu sedikit menghasilkan uang. Para tetua organisasi, di dunia luar mereka lebih dikenal sebagai konglomerat-konglomerat pemodal, bertemu untuk mencari jalan keluar menyelamatkan perusahaan-perusahaan milik organisasi. Saat itulah mereka kembali memeriksa pembukuan. Pembukuan besar dan menemukan kebobolan besar. Ada pengeluaran, tetapi tak ada pemasukan. Semua mata kemudian memandang ke satu-satunya orang yang mestinya bertanggung jawab atas hilangnya uang itu: Lohan. ”Aku bisa menjelaskan ke mana uang itu pergi,” kata Lohan mencoba tenang. ”Ya, Tuan-tuan, aku yakin sahabatku ini bisa menjelaskan ke mana uang itu pergi,” kata Rustam Satria Juwono, sang ketua, pada akhir pertemuan tersebut. Rustam Satria Juwono akhirnya memanggil Lohan dan meminta bicara berdua. Ia sendiri yakin Lohan tidak membawa lari uang itu dan pasti ada penjelasan yang masuk akal. Kepada Lohan, Rustam Satria Juwono berkata, ”Para tetua marah.” Itu artinya, Lohan harus menjelaskan segamblang-gamblangnya atau mereka akan memperoleh masalah dengan para tetua. ”Kau tahu, aku memang ketua organisasi ini. Tapi sepertimu, nasibku pun ditentukan para tetua.” ”Aku bisa menjelaskan,” kata Lohan. ”Lakukanlah.” ”Tak ada yang perlu kututupi,” kata Lohan. ”Ini hal yang sudah sangat sering kita lakukan. Tepatnya aku lakukan untuk kita semua. Uang itu kupakai untuk menyogok polisi.” ”Sebesar itu?” ”Sebesar itu. Yang ini polisi besar. Dan kita akan memperoleh hal besar untuk menyelamatkan perusahaan dari masalah besar.” ”Apakah itu?” ”Kita akan memperoleh rumah judi.” Rumah judi itu tidak pernah benar-benar dibikin. Polisi besar yang menjanjikan akan mempermudah segala urusan tidak menepati janjinya, padahal uang sudah berpindah tangan. Para tetua kali ini benar-benar marah. Mereka sungguh tidak suka mengeluarkan uang banyak untuk hal yang tak bisa mereka peroleh. ”Lohan, aku terpaksa membiarkan pre menangkapmu,” kata Rustam Satria Juwono pada pembicaraan telepon terakhir mereka. ”Kenapa? Aku melakukan itu karena kalian menginginkan rumah judi, bukan?” ”Tapi kau mengeluarkan banyak uang.” ”Uang itu untuk suap.” “Suapmu tidak berhasil. Kita sama sekali tak memperoleh izin maupun perlindungan untuk membuat rumah judi itu.” ”Kalau begitu, kita ambil lagi uangnya dari polisi itu.” ”Ia tidak pernah mengaku menerima uang darimu.” ”Apa?” ”Iya tak mengaku menerima uang darimu.” ”Sumpah mati, aku memberikannya langsung, sekoper penuh?” ”Apakah ada saksi?” ”Tidak. Tetapi, semua orang organisasi tahu aku menyuap polisi itu. Kamu juga tahu.” ”Apa kamu punya bukti bahwa polisi itu menerima uangmu? Dia memberimu … em … katakanlah, kuitansi?” Lohan terdiam, sebelum berkata lagi, ”Sejak kapan uang suap ada kuitansi?” ”Jadi jawabanmu, tidak ada bukti?” ”Apakah kamu akan mengorbankanku demi membuat senang para tetua?” Rustam Satrio Juwono menutup telepon. Artinya, ia akan membiarkan pre menangkap Lohan. Sebenarnya malam itu Lohan sudah bersiap-siap. Lohan mengunci pintu dan jendela kamarnya. Lohan pun mempersiapkan pistol di bawah bantal. Tapi sebagaimana semua orang tahu, pre tak pernah terhentikan. Tak ada cara lain, Mirdad berkata kepada istrinya: ”Ayahku tahu uang itu dibawa kabur polisi. Tapi para tetua tidak peduli. Siapa yang melenyapkan uang harus menghadap pre. Maka, itulah yang harus dilakukan Ayahku untuk membuat para tetua senang. Itu satu-satunya cara agar ia bisa tetap mempertahankan tempatnya di dalam organisasi atau panggilan ’ketua’ harus segera diberikan kepada orang lain.” Artika tak menyukai jawaban itu dan memutuskan untuk pergi bersama bayinya. [2009]
""Membakar Api""
Aku telah kehilangan dia mungkin sekitar 30 tahun, sejak kerusuhan di Ibu Kota itu meletus dan nyawa-nyawa membubung bagai gelembung- gelembung busa sabun: pecah di udara, lalu tiada. Waktu itu, di tengah kepungan panser yang siap menggilas siapa saja, doaku sangat sederhana: semoga Tuhan belum berkenan memanggilnya. Dia terlalu muda dan berharga untuk binasa, apalagi dengan cara yang mengenaskan. Aku ingin melanjutkan doa yang terlalu singkat itu, namun mendadak senapan-senapan menyalak dan tubuh-tubuh tumbang, menambah jumlah mayat yang terserak-serak. Jalanan aspal makin menghitam disiram darah. Amis. Aku pun berharap segera turun hujan atau setidaknya gerimis agar jalanan itu sedikit terbasuh dan suasana rusuh itu sedikit luruh. Ketika kerumunan massa bergerak dan merangsek istana, aku masih melihat dia berdiri di atas tembok, mengibas-ngibaskan bendera sambil berteriak-teriak. Kerumunan orang-orang pun makin merangsek: mencoba menumbangkan pagar besi istana. Entah berapa batalyon menghadangnya. Terjadi aksi saling dorong. Lalu, suara senapan menyalak. Lalu tubuh-tubuh tumbang. Aku pun mencoba mendongakkan kepala di tengah tubuh-tubuh yang rubuh menimbun tubuhku. Aku ingin melihatnya kembali, apakah dia masih berdiri di atas tembok. Namun, dia telah tiada. Perasaanku gusar. Hatiku gemetar. Dan, sesudah kerusuhan itu reda, beredar kabar lebih seratus demonstran tewas. Tidak sampai seminggu, gerakan massa itu berhasil memaksa Presiden Clawuz turun dan rakyat pun bisa bernapas kembali. Siang itu, setelah rapat di kantor, sekretarisku memberi tahu ada seorang laki-laki yang mencariku. Katanya, laki-laki itu sekarang tertahan di pos keamanan. Aku menyuruh ajudanku untuk melihatnya. Tiga menit kemudian, ajudanku menghadapku dan bilang, laki-laki itu mengaku bernama Gardaz dan mengaku kawan lamaku. Dengan perasaan bahagia, kusuruh ajudanku menjemputnya. Aku terperanjat. Ya, tamu itu benar-benar Gardaz, kawan lama yang terakhir kulihat di kerusuhan Ibu Kota, 30 tahun lalu. Aku mencoba memeluknya, tapi ia mencegah dengan senyumnya yang kurasakan sangat getir. Ia mundur dua langkah dan memberi isyarat agar aku tidak menyentuhnya. Aku diam mematung, tertegun. Kutatap dia lekat-lekat. Aku masih melihat sorot matanya yang tajam; bola matanya yang dilingkari api. Namun, keindahan dan ketajaman mata itu sangat tidak sebanding dengan tubuhnya yang kurus, hitam, atau dengan wajahnya yang makin tirus dengan tonjolan tulang pipi. Juga, kaus dan celananya yang lusuh. Kuku-kuku jari tangannya panjang dan hitam. Rambut panjangnya hampir seluruhnya memutih. Hatiku terasa menggigil. Perasaanku teraduk-aduk. Aku ingin kembali memeluk. Tapi, ia menolak dengan senyumnya yang lagi-lagi getir. Aku meminta ajudanku meninggalkan kami. Aku mengajak dia masuk ruang tamu. Namun, ia kembali tersenyum, pahit. Ia memintaku untuk tidak repot. Katanya, pertemuan ini sudah sangat membahagiakan dirinya. Membahagiakan? Aku membatin. Aku justru menjadi kurang berbahagia karena ia menolak kupeluk, menolak kupersilakan masuk. Padahal, aku sangat ingin merasakan kehangatan persahabatan yang telah 30 tahun terputus. Aku juga ingin tahu keadaan dirinya, ke mana saja dia dan apa pekerjaannya sekarang. Aku lebih dari sekadar kagum pada dia. Ya, Gardaz, mahasiswa paling cerdas dan paling berani berdemonstrasi melawan tirani. Aku mengenalnya lingkaran diskusi kampus: aku kuliah di fakultas ilmu sosial politik, dia kuliah di filsafat. Diskusi kami selalu mendidih, mencoba menyingkirkan banyak sepatu lars yang berderap-derap di kepala dan rongga dada. Namun, mengenyahkan sepatu lars itu tidak gampang; berulang kali beberapa teman kami digelandang dijebloskan ke sel tahanan. Tentu termasuk Gardaz. Sebenarnya Gardaz tidak perlu ditangkap dan ditahan petugas waktu itu karena hari itu ia tengah sakit dan tidak terlibat diskusi. Namun, ketika ia mendengar kabar bahwa aku ditangkap dan ditahan, ia mendatangi komandan daerah militer di kota Margaz. Dia minta aku dibebaskan, dengan jaminan dirinya. Ia mengaku sebagai penanggung jawab diskusi. Pengorbanan Gardaz sangat sulit kulupakan. Sampai sekarang. Juga pengorbanan lainnya: ketika aku sakit ia merelakan uang kuliahnya untuk menebusku dari rumah sakit, ketika aku terlambat menerima kiriman uang dari desa, dia menanggung hidupku untuk beberapa minggu dan jasa baik lainnya. Ia selalu meminta aku untuk melupakan jasa baiknya, setiap aku ingin membalasnya atau menyahur utang-utangku. Semula aku menyangka orang tua Gardaz kaya. Namun, ternyata ia anak orang biasa seperti aku: anak petani. Dari mana dia mendapat uang? Ternyata dia bekerja sambil kuliah. Dia bekerja di pabrik kecap pada malam hari. Diam-diam di pabrik kecap itu dia membentuk organisasi pekerja dan sering melakukan banyak kegiatan. Para pekerja itu dididiknya untuk memiliki kesadaran hak. Gerakan ini dicium pemilik pabrik. Akhirnya, bersama beberapa temannya dia dipecat. ”Sejak kerusuhan itu meletus, kamu ke mana?” tanyaku. Gardaz tersenyum, pahit. ”Aku pulang ke desa. Tapi ternyata aku tidak berbakat jadi petani….” ”Sekarang?” ”Ya, tetap konsisten jadi … gelandangan.” Kami tertawa. Terlihat gigi-gigi yang hitam dibakar asap rokok. ”Aku senang kamu menjadi gubernur di Margaz, kota yang sangat kita cintai. Tidak sia-sia kamu jadi kader partai…,” ujarnya. Aku kurang senang dengan ucapannya itu. Teman-temanku yang lain sering mengejekku dengan menyebutku ”Baginda Gubernur”. Mereka menganggapku sebagai pejuang yang menyerah kepada kekuasaan yang dulu sama-sama kami lawan. Tapi, aku tidak merasa bersalah dengan pilihanku. Melihat aku terdiam, Gardaz kembali bicara. ”Swear, aku senang kamu bisa jadi Gubernur, jabatan yang sangat terhormat.” Semoga dia tulus, aku membatin. ”Terima kasih. Eee… maaf mungkin aku bisa membantumu, Bung…?” ”Thanks. Aku tidak membutuhkan pertolongan atau pekerjaan. Aku hanya membutuhkan hatimu…. Hatimu,” ujarnya lirih, tapi kurasakan sangat perih. Aku menatapnya. Aku ingin mengucapkan banyak kalimat, tapi lidahku terasa tercekat. ”Kamu tahu yang kuinginkan? Okay, selamat siang.” Dia melangkah pelan, keluar ruangan. Tubuhku terasa aneh, sulit kugerakkan untuk mencegahnya. Apa yang salah dengan hatiku? Pikirku. Kehadiran Gardaz dengan cepat menguap dari kepalaku, ketika banyak urusan dinas mengepungku dan menekanku. Aku tersekap dalam urusan pembangunan mal, apartemen-apartemen mewah, jembatan, rumah sakit kelas internasional, dan proyek lainnya. Aku tersekap dalam angka-angka yang berderet-deret sepanjang bentangan keinginan. Aku terkapar di dalamnya. Aku terbangun dari timbunan angka-angka. Kuedarkan pandangan mataku. Aku sedikit kaget melihat ruangan serba putih, melihat selang-selang infus, melihat orang-orang berpakaian serba putih. Anak dan istriku memelukku. Mereka kularang untuk menangis. Istriku bilang, aku terkena serangan jantung koroner, namun tidak terlalu serius dan sudah teratasi. Dokter pun telah mengizinkan aku pulang. Istriku mencegahku. Dia memintaku untuk bertahan di rumah sakit sehari atau dua hari lagi. Atau kami tinggal di hotel beberapa hari. ”Kenapa?” Istriku tersenyum, ”Ya, agar papa makin sehat saja atau bisa lebih tenang….” Akhirnya kami tidur di hotel paling mewah di kota Margaz. Orang-orang kantor mengunjungiku untuk meminta tanda tangan atau membicarakan urusan lainnya. Ketika kurasakan keadaanku membaik, aku minta segera pulang ke rumah. Aku sudah sangat rindu mencium bau bantal atau memakai sandal rumah yang nyaman. Tapi, istriku mencegahku. Aku memaksa, tapi ia tetap memintaku tinggal di hotel. ”Sudah seminggu ini rumah kita didatangi orang-orang tak dikenal. Pakaian mereka lusuh. Ucapan-ucapan mereka sangat kasar. Katanya, mereka korban penggusuran pembangunan mal di daerah Kraz,” ujar istriku sambil menggenggam tanganku. Mendadak handphone mengisyaratkan ada pesan pendek yang masuk. Langsung kubuka. ”Aku hanya butuh hatimu, kawan.” Begitu pesannya. Napas dalam-dalam kuhela. Jelas itu pesan pendek dari Gradaz. Tapi dari mana Gardaz tahu tahu nomor handphone-ku? ”Benar. Aku Gardaz. Aku tahu nomor HP-mu dari seorang perempuan, katanya sih pacarmu….” Gila. Pacarku yang mana? Gristha? Gretha? Sylha? Deerva? Atau Dumma? Muncul lagi kiriman pesan: ”Salah satu dari mereka”. Bagaimana Gardaz bisa mengenalnya? ”Gadis itu kukenal saat aku mengunjungi ibunya yang rumahnya kamu gusur untuk mal, Bung”. Huruf-huruf di dada handphone itu terasa berdesak-desak di benak. Kepalaku terasa berputar-putar. ”Are you okay, Pa?” istriku menyeka keringat di keningku. Aku mengangguk. Beberapa menit kemudian datang pesan pendek dari Gardaz. ”Aku hanya butuh hatimu. Aku percaya, kamu tetap orang baik….” Kalimat itu terasa meremas jantungku. Aku ingin menjawabnya: diriku sangat tidak layak menjadi teman Gardaz yang mampu bertahan untuk tetap bersih berkilau seperti orang- orang suci atau nabi. ”Kamu ingat diskusi kita tiga puluh tahun lalu, tentang kelas menengah yang selalu berkhianat, kawan?” Jantungku berdebar membaca pesan itu. Tanganku gemetar. Kepalaku terasa berputar-putar. Tubuhku seperti melayang dan akhirnya tumbang. Istriku menjerit. Dokter datang. Tabung oksigen disalurkan di hidungku. Tubuhku sangat lemas, namun sesak dadaku sudah sangat berkurang. Kepalaku juga semakin ringan. Namun, bayangan wajah Gardaz bersama para korban penggusuran itu terus memenuhi benakku. Mereka berjalan berderap-derap, dengan sorot mata nanar, dengan gigi-gigi gemeretak ingin mengerkah kepalaku. Aku berhasil mengempaskan mereka. Tubuh-tubuh mereka seperti terurai, namun dalam beberapa detik menyatu, mengkristal dan menggumpal kembali. Tatapan mata mereka nanar. ”Aku hanya butuh hatimu, kawan.” Huruf-huruf pesan pendek itu timbul-tenggelam di kepala. Dan dari kejauhan, kulihat Gardaz tersenyum. Pahit. Aku mencoba mengejar dan memeluknya, namun dia terus memelesat di antara gumpalan awan menuju cakrawala. Langkahku sangat lamban serupa reptil melata. Dia semakin jauh, semakin jauh. Tak terkejar. Aku merasa kehilangan seorang kawan, sahabat yang sangat kukagumi. Namun, aku tak pernah berharap dia kembali lagi. Aku tak mungkin bisa berkawan dengan orang suci atau manusia yang sangat berbakat jadi nabi. Yogyakarta 2009
""Pesan Pendek dari Sahabat Lama""
Inilah Senin pertamaku benar-benar hidup sebagai pensiunan. Memang resmi bulan lalu aku gantung dasi, tetapi biasanya masih ada telepon berulang kali menanyakan ini-itu dari para mantan bawahan, atasan, dan penggantiku. Hari ini mereka sudah berhenti menghubungi. Ganjil rasanya; empat puluh tahun lebih, awal minggu selalu jadi hari tersibuk. Kukira memang sekarang masanya semua sungguh berlalu. Diam berebahan di pembaringan. Sendirian. Di luar sudah gelap. Belum saatnya tidur, aku tidak mengantuk. Bangkit lagi sedikit limbung, entah berapa lama terpekur; bingung hendak melakukan apa. Akhirnya aku turun dari kasur, memakai sandal jepit, dan berjalan ke jendela. Pemutar audioku memainkan pita lagu lama, sekarang ini Smoke Gets In Your Eyes versi The Platters. Sudah mengayun suaranya, maklum kaset tua. Hampir selesai. Akan segera berganti ke tembang berikutnya. ”Gantilah dengan cakram padat, Yah. Jauh lebih jernih.” Anak pertamaku pernah komentar. ”Ini kubeli semasa muda dulu, Nak. Ada kenangan di dalamnya,” jawabku. ”Nanti akan kubelikan untuk Ayah. Sekaligus dengan pemutar digitalnya,” katanya sambil tertawa waktu itu, bertahun lalu. Aku tersenyum. Ingin meneleponnya, tetapi entah nanti malah mengganggu atau tidak. Lagi pula jam begini setahuku biasanya dia belum pulang. Maklum, awal minggu. ”Ayah kok baru pulang?” tanyanya waktu seusia dengan cucuku—putranya sekarang. ”Tugas menumpuk, Nak,” jawabku waktu itu. Aku lupa saat itu tersenyum atau tidak. ”Kamu sendiri kenapa belum tidur?” Kalau kucoba telepon ke rumah, yang akan menerima mungkin menantuku. Bisa saja bertanya apa kabar, apa kabar anaknya; tetapi sungguh aku bukan orang yang senang basa-basi. Selain menyapa, aku tak tahu apa lagi yang ingin kubicarakan dengan mereka. Dengan anakku? Apa yang hendak kubicarakan? Cerita tentang hari ini? Tentang musik yang sedang kudengar dan kenapa aku jadi ingat dia? Tiba-tiba saja aku jadi terdengar seperti ibunya. Maka, kubatalkan niatku. ”Coba cari kegiatan apalah begitu?” Itu komentar istriku dulu tiap melihat aku begini. ”Jangan diam-diam saja….” Lalu, aku berlalu ke rak buku. Seperti sekarang. Kini sudah tak ada yang baru di sana. Kubuang waktu dengan membacai judul di deretan punggung-punggungnya, baru sadar ternyata sudah lama sekali aku tidak punya bacaan. Surat kabar kian hari kian tipis, tidak ada lagi yang menarik untuk disimak—itu juga aku sudah tak berlangganan lagi; mulai bulan ini. Bisa saja kutarik, kubuka, dan kupaksa ulang membaca salah satunya, tetapi aku tak tega. Tak tega kepada diriku sendiri. Akhirnya kurelakan. Lemari ini sudah tak bisa jadi penyelamat lagi. Kulirik pesawat televisi yang teronggok diam di muka ranjang. Sejak benda itu dibeli, aku tidak pernah menyentuhnya. ”Apa saja kegiatanmu sepanjang hari? Nonton?” Sering kusindir ”mantan” istriku tiap kutemukan dia duduk terpaku di depan sini saat aku pulang kantor. Aku masih ingat betul, ia tak pernah menjawab. Beberapa kali istriku bahkan tidak menoleh seakan tak mendengar suaraku sama sekali. Masih ingat waktu-waktu seperti itu aku sangat marah. Bisa saja kutarik dan kusakiti dia. Tetapi, aku tak pernah sampai hati. Pada tahun-tahun terakhir, benda inilah yang sudah menyelingkuhi dia. Mungkin harusnya kubesituakan saja si satu mata tersebut, biar tak teringat lagi hari-hari dulu. Tetapi, entah kenapa belum juga aku lakukan. Di lemari pakaian, baju-baju lawas istriku sudah bersih terdonasikan pada fakir miskin, tetapi benda satu ini masih saja kubiarkan. Hingga hari ini masih kutatap layar gelas itu dengan pandangan benci. Aku bersumpah tidak akan menyentuhnya. Tidak juga malam ini, seberapa pun sepi. ”Ke mana televisinya, Yah?” Mungkin aku takut anakku yang kedua akan bertanya seperti itu saat berkunjung lebaran tahun depan. Semasa kecilnya dulu, ia paling senang menonton di sini. ”Kamu sudah kerjakan PR belum?” Sering kutegur dia tiap kutemukan dirinya saat aku pulang kerja. ”Sudah dong, Yah,” jawabnya santai. Kadang tanpa menoleh sama sekali. Mungkin karena itu juga foto pernikahanku masih kutinggalkan tergantung di dinding kamar ini. Kutatap gambarnya yang bisu. Di situ kami terlihat sangat muda. Sangat bahagia. Puluhan tahun lalu. Sekali lagi aku tersenyum sendiri. Kali ini timbul keinginan menelepon anak bungsuku. Tetapi, untuk kedua kali kuingatkan diriku: Apa yang hendak dibicarakan? Belum lagi jika ternyata pembantu mereka atau menantuku yang nanti mengangkat; biaya telepon tidak murah. Kuingatkan diriku, mulai bulan ini harus ekstra hemat; mulai bulan ini aku bergantung hidup hanya pada simpanan yang jumlahnya tak seberapa. Kupandang meja tulis yang ada di samping pintu, kukerling lacinya yang teratas; di mana buku tabunganku tersimpan rapi. Sudah hampir setahun tak kukeluarkan dari sana. Terus terang saja: aku takut melihat angkanya. Puluhan tahun berkarier mencari keuntungan perusahaan, setahun terakhir aku baru ingat tak pernah mengkalkulasi keuangan sendiri. Ini bukan lagi permainan yang sama dengan yang kumasuki dahulu. Saat mulai berkarier, tak pernah kubayangkan harga-harga akan setinggi sekarang. Sewaktu anak-anak masih kecil, harga obat dan ongkos rumah sakit rasanya selalu bisa kutanggung. Jika uang tak cukup, aku masih dapat berutang pada kantor. Tetapi, entah kenapa, saat aku menua dan istriku sakit-sakitan, semua jadi tak terjangkau lagi. Tak pernah kuduga satu dekade lalu program pensiun tiba-tiba lenyap. Andai aku masuk sepuluh tahun lebih awal, mungkin semua akan berbeda. Satu hal yang tak bisa kubanggakan, aku pensiun dengan sisa utang biaya pengobatan istriku akhirnya dihapus. Ingin kujual rumah ini untuk melunasi, tetapi atasanku mencegah. Ia tahu aku tak punya apa-apa lagi. Hanya itu penghargaan terakhir yang bisa diberikan perusahaan atas pengabdianku. Setahun terakhir, baru kupikirkan: siapa yang akan menanggung sisa hidupku nanti? Hingga hari ini, aku belum pernah minta bantuan anak-anak. Semoga tidak akan perlu. Tetapi, bagaimana andai aku seperti ibu mereka dulu? Mengobati sesuatu yang ternyata tak bisa disembuhkan? Aku tak pernah menyalahkan ibu mereka. Tak ada yang mau sakit. Aku juga tak pernah menyalahkan Tuhan. Manusia sakit bukan karena Tuhan. Namun, apa yang harus kulakukan bila saja suatu hari nanti nasibku serupa? Siapa yang harus berutang untuk semua biayanya? Apakah anak-anakku juga harus merelakan simpanan mereka habis untuk melawan yang ternyata tak bisa dikalahkan? Aku tak pernah menyalahkan siapa-siapa. Aku selalu berharap agar keluargaku dilimpahi kesejahteraan. Tetapi, bila ternyata mereka punya takdir berbeda, apa itu juga yang akan didoakan anak-anakku nanti? Berpuluh tahun mendatang? Saat mereka mulai bekerja, tak pernah kubayangkan gaji pegawai akan seperti sekarang. Pada masaku dulu, semua cukup. Untuk makan kenyang tiga kali sehari, beli pakaian, sekolah anak, mengoleksi kaset musik dan buku favorit, kredit kendaraan, hingga akhirnya bisa membiayai rumah mungil ini. Ibu mereka cukup tinggal di rumah, tetapi kini anak-anakku dan pasangannya harus bersama cari nafkah hingga jauh malam; seperti halnya yang selama ini aku lakukan. Dan bila ditanya oleh anak-anak mereka: kenapa baru pulang? Jawaban mereka pasti juga akan sama: ”Tugas menumpuk, Nak….” Lantas, apa yang akan terjadi kepada putra-putriku puluhan tahun mendatang, pada hari Senin yang sama seperti hari ini untukku? Merenung seperti aku juga? Lalu setelahnya tiba giliran anak-anak mereka? Cucu-cucuku? Ini bukan jalan yang sama seperti yang kubayangkan akan mereka lalui saat mereka mulai bersekolah dulu. Bagaimana bila puluhan tahun nanti harga dan biaya menjadi ratusan atau ribuan kali lipat dari sekarang? Dan bagaimana, jika pada masa depan, perusahaan tempat mereka bekerja sudah tak mau menghapus utang dan tagihan kesehatan saat pensiun nanti? Siapa yang akan menanggung itu semua? Cucu-cucuku…? Saat itu aku teringat kedua orangtuaku dulu. Sampai di situ, aku tak kuat lagi. Kepalaku terasa sakit. Terhuyung aku kembali duduk di tepian kasur, memejamkan mata, mengurut kening yang seperti mau meletus. Untuk ketiga kalinya malam ini, timbul hasrat untuk menelepon anak-anakku. Ingin sekali kuutarakan semua yang terlintas di pikiranku barusan. Ingin sekali aku berteriak: selamatkan dirimu! Selamatkan anak-cucumu! Tetapi, lantas aku jadi bertanya: siapa yang akan menyelamatkan aku pada sisa hidupku ini…? Dan akhirnya, untuk kali ketiga pula, harus kuurungkan niatku…. Aku limbung. Kutarik napas-napas panjang, berusaha meredakan hantaman badai di dalam tengkorakku. Kulepaskan kedua sandal, dan berbaring menelentang, masih dengan mata terpejam erat. Kembali terdengar alunan lembut suara Tony Williams: ”…Yet today my love has flown away…. I am without my love….” Rupanya kaset C60-ku sudah berputar ke lagu semula. Apakah sudah selama itu…? Rasanya seperti baru sekejap saja…? Rupanya waktu telah berlalu tanpa terasa; hilang begitu saja entah ke mana…. ”Coba cari kegiatan apalah begitu? Jangan diam-diam saja….” Terngiang kembali suara istriku. Aku terdiam, rebah di pembaringan. Sendirian. Di luar semakin gelap, tetapi walau masih belum bisa membuka mata, aku belum mengantuk; belum saatnya tidur. Inilah hari pertamaku hidup benar-benar sebagai pensiunan. Apakah esok akan berbeda?
""Infini""
Akhirnya setelah mencicipi sihir James Bond Martini di balkon The Coogee Bay Hotel yang disaput dingin dan asin angin, Margareth Wilson, yang kupastikan berjalan sambil tidur, membaca juga nubuat tentang perahu kencana dalam Kitab Ular Kembar yang kabur dan penuh bercak darah itu. Kubayangkan ia harus memaknai segala tanda, gambar, simbol-simbol, dan kadang-kadang menyelam ke lautan misteri huruf-huruf Latin yang distilasi menjadi semacam reptil-reptil kecil dari gurun yang purba dan jauh itu. Nubuat itu, kau tahu, agak berbelit-belit, sehingga untuk memahami pesannya, siapa pun akan seperti seekor koala yang kesulitan mencari jalan keluar dari labirin busuk yang mengepung dan membelit. Meskipun demikian seperti seorang penafsir peta harta karun piawai, Margareth tak kesulitan sedikit pun menyusupkan wahyu semesta yang mungkin penting itu ke lorong-lorong otak. Walaupun sudah tiga hari tiga malam aku menemani Margareth menyisir pantai, memandang bintang lama-lama, dan berteriak keras-keras menyemangati orang-orang yang sedang hanyut dalam lomba dayung perahu, tak sedikit pun aku tahu apa isi ramalan itu. Hanya secara tak terduga, saat memandang Bukit Coogee didera sinar bulan kuning keperakan, aku mendengar penari yang kucintai itu mendesiskan semacam ayat yang tak pernah kudengar di kitab-kitab suci mana pun. Pada akhirnya perahu kencana itu menghunjam dari langit kelabu. Setelah amblas ke dasar laut tak jauh dari pantai, seorang penari cantik bakal menyelam mencari bangkai perahu itu dan menemukan patung pria tersalib, lelaki terkulai di pangkuan perempuan tanpa dosa, dan iblis yang tertawa tak kunjung henti. Patung-patung itu kelak akan ditata oleh sang penari di sebuah bukit sehingga membuat Perempuan Suci dari Negeri Suci menampakkan diri di hadapan orang-orang yang dicintai. Pada saat mendesiskan kata-kata aneh di bawah kucuran air dari gagang shower, Margareth kadang-kadang meloncat-loncat seperti kanguru, kadang-kadang melenggak-lenggok bagai Medusa menari di ujung jalan, dan tak jarang berdiri tegak seperti patung gladiator sesaat sebelum berkelahi dengan singa kelaparan. Aku sebenarnya keberatan melihat tingkah sableng Margareth, tetapi cinta telah menyihir perempuan tangguh sepertiku cuma jadi kucing penurut. Aku bahkan tak bisa mencegah Margareth membuktikan betapa pada suatu malam nubuat tentang perahu kencana menjadi kenyataan. ”Dan akulah penari yang akan menemukan patung-patung itu, April. Aku bakal menyelam ke kabin tergelap, setelah sebelumnya melewati ruang mesin penuh ikan warna-warni.” ”Kau tak takut disambar ikan setan?” aku mendengus tak mampu menyembunyikan kepanikan. ”Tak akan ada binatang buas dari samudra paling ganas yang berani memangsaku, Sayang. Hanya binatang rakus sepertimu yang boleh melahapku. Bukan gurita sialan. Bukan hiu urakan.” ”Apakah aku boleh menemanimu menyelam?” Margareth tak segera menjawab pertanyaanku. Ia justru memelukku dari belakang dan mendengus-dengus tak keruan. ”Kecuali Sang Utusan, tidak seorang pun boleh menyusup ke kabin suci, Sayang. Jadi, tunggulah aku di atas bukit agar kelak kau menjadi penyaksi pertama keajaiban semesta yang ditumpahkan dari langit sebagaimana Tuhan mencurahkan cahaya aneh pada kercik hujan.” Tentu aku tak bisa memercayai semua ucapan Margareth yang kadang tertata seperti baris-baris puisi Octavio Paz itu. Margareth, sebagaimana aku, hanyalah penari murahan di teater-teater kecil yang tersebar di Sydney. Ia juga tidak ke gereja atau wihara sehingga kecil kemungkinan kelinci kecil indahku itu dipilih oleh Tuhan dari agama apa pun menjadi nabi atau sekadar orang suci untuk menyembuhkan dunia dari kegilaan dan kiamat yang menyedihkan. Tetapi sekali lagi cinta telah menumpulkan otak sehingga aku terpaksa mendukung apa pun yang dilakukan Margareth. Dan malam itu dalam amuk harum Martini, aku sama sekali tidak bisa menolak ketika Margareth menyeretku ke atas Bukit Coogee. Tidak! Tidak! Mungkin dengan setengah terpejam, ia menyangka menggandengku dengan lembut sebagaimana Bapa Abraham membimbing putra terkasih ke gunung untuk disembelih. Mungkin ia malah membayangkan diri menjadi Musa yang menyeret rasa cinta untuk bertemu dengan Tuhan di Puncak Sinai. ”Dari bukit inilah kita akan melihat perahu kencana menghunjam dari langit, Sayang. Jangan sekali-kali kaupejamkan matamu. Jangan sekali-kali kau berpaling dari pemandangan menakjubkan itu.” Kali ini aku tak memedulikan dengus dan desis Margareth. Saat itu, kau tahu, aku hanya takjub mengapa aku bisa mencintai perempuan bergaun hijau dalam dandanan model Kimora Lee Simmons yang dalam tidur sambil berjalan pun semenawan Ratu Cleopatra. Ketakjuban tanpa kesadaran itulah yang membuat aku tak peduli apakah saat itu bakal muncul perahu kencana atau sekadar desau angin busuk di perbukitan. Apa pun tak lebih penting daripada sihir kekasih yang sedang kasmaran bukan? Apa pun tak lebih berguna ketimbang memuja cinta yang sedang mekar seperti cahaya halilintar yang berpendar di samudra hambar bukan? ”April, tugasmu hanya satu, Sayang. Lindungilah aku dari polisi pantai yang sebenarnya sejak tadi menguntit kita. Lucifer, iblis paling galak, telah menyusup ke otak polisi sialan itu, sehingga membuat ia bisa lebih ganas dari teroris mana pun. Jika kau lengah atau sedetik saja terpejam, ia akan menembak jantungmu dan setelah itu lambungku. Ia akan menjadikan serpihan-serpihan daging kita yang tak berguna sebagai makanan hiu…,” desis Margareth di telingaku sambil memberikan pistol kecil bergagang hijau. Tak kupedulikan setiap kata Margareth yang menjulur-julur dari lidah dan tertatih-tatih menyusup ke telingaku seperti lipan kepanasan itu. Aku justru membayangkan pada saat polisi mengejar Margareth terjun ke laut, aku akan melesatkan peluru-peluru panas ke tubuhnya. Dan karena udara terlalu dingin, mungkin darah tidak akan mengucur dari jantung yang berlubang. Mungkin tetesan darah itu akan mengkristal, melayang pelan-pelan bersama debu, dan akhirnya membentur air laut yang berdebur. Kau tentu tak mendengar bunyi benturan itu. Tapi kau tak mungkin menampik keberadaan swara yang berbaur dengan gesekan sirip-sirip ikan dengan kelembutan air laut yang kian mengkristal dalam beku udara musim dingin itu. Tetapi menunggu perahu kencana menghunjam dari langit tak bisa disetarakan dengan saat Estragon dan Vladimir menanti Godot dalam lakon Samuel Beckett. Godot, menurutku, masih memberikan harapan kepada kedua badut sinting yang menganggap waktu telah berhenti itu. Meskipun kedatangannya tertunda, Godot juga memberikan kepastian penyelamatan, sedangkan perahu kencana bukan tidak mungkin hanya berlayar di kepala Margareth. Dan waktu tak berhenti di Pantai Coogee. Malam kian lingsir. Bayang-bayang gedung yang meruncing ke langit sedikit demi sedikit bergeser. Beberapa pasang kekasih mengakhiri ciuman panjang dan bergegas berjalan ke mobil atau pintu hotel. Semua yang bergerak dalam irama ritmis itu cukup membuktikan tak ada yang dibekukan oleh waktu bukan? Justru karena semua bergerak—juga ingatan saat bersama Margareth tersuruk-suruk menatap dengan takjub bagaimana para serdadu menghajar Kristus dalam patung-patung kencana di Lourdes—aku jadi bosan menghadapi ketidakpastian yang menyiksa. Karena itu dengan bersungut-sungut aku berbisik pada Margareth, ”Tuhan tak akan pernah lagi memberikan keajaiban kepada manusia-manusia busuk seperti kita. Jadi, sudahlah, Sayang, mari kita kembali ke hotel. Kita reguk Martini yang tersisa. Kita percakapkan tentang sepasang tikus putih dan ular-ular hijau yang kita biarkan berkeliaran di kamar. Kita…” Belum sempat merampungkan ajakan yang menggoda itu, mataku dihajar oleh cahaya kencana yang menyilaukan. Sial! Sesiluet perahu begitu cepat menghunjam ke ceruk mata dan tak kulihat apa pun kecuali bias segala benda yang kutatap sebelumnya. Mataku telah buta? Tidak. Begitu bisa membebaskan diri dari pengaruh kilau sinar brengsek itu, aku segera mencari Margareth. Ia ternyata telah berada di bibir bukit dan bersiap terjun ke laut. Kau tentu tahu apa yang bakal kulakukan. Kau tentu paham tidak mungkin aku membiarkan Margareth menyelam ke dasar laut sendirian. Membiarkan Margareth tenggelam sama saja aku seperti ribuan orang bodoh lain yang memperbolehkan Herodes membunuh setiap bayi laki-laki hanya karena keder terhadap keperkasaan Yesus. Membiarkan ia dimangsa hiu atau ikan setan urakan hanya akan membuat aku kehilangan kesempatan menyelamatkan manusia pilihan yang diberi kesempatan membuktikan keajaiban nubuat perahu kencana. Dan sekadar kau tahu, dalam amuk Martini dan situasi antara terjaga dan tidur, kau tidak bisa terus-menerus menggunakan otak. Segala tindakan lebih digerakkan oleh insting dan semacam perintah halus yang menyusup ke kalbu. Karena itu ketimbang tetap menunggu di atas bukit dan berkemungkinan mendapat hajaran dari polisi pantai, aku lebih memilih menyusul Margareth. Aku memilih ikut terjun ke laut. Apa pun risikonya. Baik Margareth maupun aku bukanlah perempuan-perempuan ikan yang bisa leluasa menyelam ke dasar laut. Tetapi dalam pandanganku yang samar, dalam penglihatan yang segalanya berubah menjadi ungu, Margareth tampak seperti ikan duyung yang telah bertahun-tahun mengenal setiap lekuk-liku laut. Ternyata bukan hanya Margareth yang bermetamorfosis. Kian dalam menyelam aku seperti berjalan di keriuhan pasar. Tak diperlukan semacam insang untuk menjadi makhluk laut. Apakah kami benar-benar menemukan bangkai perahu? Apakah kami menemukan patung pria tersalib, lelaki terkulai di pangkuan perempuan tanpa dosa, dan iblis yang tertawa tak kunjung henti? Menyelam ke kabin tergelap, setelah sebelumnya melewati ruang mesin penuh ikan warna-warni, kami tidak menemukan patung-patung itu. Kami justru berhadapan dengan manusia berdarah dan berdaging. Memandang dari jarak tiga meter aku melihat Margareth berusaha mendekat ke arah pria tersalib yang sedang dililit sepasang ular. Kepala sepasang ular itu saling berebut hendak melahap pria menyerupai Kristus. ”Selamatkan Ia!” aku berteriak. Margareth tidak menjawab. Ia malah mendekat ke arah perempuan yang senantiasa membopong pria bermahkota duri yang terkulai dan berusaha meminta mereka menjauhkan diri dari bangkai perahu. ”Selamatkan Ia!” aku berteriak lagi. Margareth masih tidak menjawab. Bersama perempuan yang memancarkan aurora ungu, ia melesat ke arah permukaan laut. Ia meninggalkan aku justru pada saat mataku bertumbukan dengan mata sepasang ular yang kian kuat melilit tubuh pria tersalib. ”Jangan pedulikan aku. Inilah takdirku. Percayalah pada apa yang kaulihat dan segera bantulah Margareth menyelamatkan Ibuku….” Tak kupedulikan suara teduh itu. Aku mencoba mendekat dan berusaha menghalau sepasang ular jahanam yang sangat ingin menelan bulat-bulat pria tersalib di tiang pancang besi itu. ”Pulanglah. Kau atau siapa pun tidak bisa menyelamatkan aku. Bahkan Ia pun akan membiarkan aku terkulai dan mati pada saat tak seorang pun paham mengapa seorang penjahat harus diadili mengapa seorang pahlawan harus mati.” Sekali lagi tak kupedulikan suara teduh itu. Aku kian mendekat dan ingin segera membebaskan pria tersalib dari belitan ular-ular itu dengan berbagai cara. Ah, aku salah duga. Semula kusangka ular-ular itu akan beralih mangsa. Ternyata cukup menyabetkan sepasang ekor, mereka bisa melemparkan tubuhku ke permukaan laut. Tubuhku begitu cepat melesat menembus asin air dan akhirnya kembali berada di balkon hotel tanpa basah sedikit pun. Edan! Bagaimana aku harus menjelaskan peristiwa ini? “Kau telah berjalan sambil tidur, Sayang. Kau telah berjalan mengelilingi bukit dan mengigau tentang Kristus dan penyelamatan. Hmm, jangan-jangan semua itu terjadi karena kau mengenakan kalung Kristus yang kubeli di Afrika Selatan?” Tak kupersoalkan apakah Margareth atau aku yang berjalan sambil tidur. Sambil meremas pria tersalib dililit sepasang ular di kalungku dengan ketakjuban yang tak tertahankan, aku memandang ke arah Bukit Coogee. Aku jadi ingat nubuat yang dibaca Margareth berulang-ulang saat ia mandi saat ia diamuk wangi Martini. ”Apakah aku harus mengajakmu menyelam ke dasar laut lagi agar kau mau memercayai kisah yang tak pernah termaktub dalam segala kitab dan puisi ini, Margareth? Apakah aku harus terus-menerus mengajakmu tersesat ke labirin mimpi yang absurd dan ganjil lagi?” Tak perlu Margareth menjawab pertanyaan itu. Toh pada akhirnya nanti di Bukit Coogee Perempuan Suci dari Negeri Suci menampakkan diri di hadapan orang-orang yang dicintai. Semarang, 13 Maret 2009
""Sepasang Ular di Salib Ungu""
Belakangan, tak mudah bagi Haji Sudung membongkar timbunan peristiwa silam di bilik kenangannya. Peristiwa-peristiwa tak ubah barang rongsokan. Semacam lempengan-lempengan besi tua yang menelungkup dan berkarat. Ya, usia begitu tangguh menyusutkan tubuh, mengangsurkan penyakit demi penyakit, termasuk melumpuhkan ingatan. Kalaupun ada lempengan yang masih berkilau, adalah hal yang kerap membikin cekung mata Haji Sudung basah. Selain kematian istrinya empat tahun lampau, masa meninggalkan tanah kelahiran setahun lalu senantiasa meremas dadanya. Bermula dari desakan anak-menantunya, Haji Sudung akhirnya luluh. Hasil mufakat jarak jauh Marsan dengan kedua kakaknya—Lisna dan Suti yang hidup mapan di Jakarta—sulit dibendung. Meski tinggal di rumah anak baginya serupa dengan menumpang, kesepakatan sudah telanjur masak. Begitulah, dulu anak-anaknya tunduk kepada aturan-aturan yang ia maklumatkan. Tetapi, kini ia harus paham bahwa tiba juga giliran untuk menurutkan kemauan anak. Lisna dan Suti memberi titah agar Ayah tinggal bersama Marsan. Seluruh harta bumi dijual! Untuk apalagi itu, kata mereka. Toh, Ayah kewalahan mengurusnya. Para kerabat, baik dari pihak Ayah maupun Ibu, tak bisa dipercaya, hanya lihai mengintai harta. Maka lebih baik diuangkan, ditabung, dan digunakan Marsan untuk biaya perobatan Ayah. Uang harta yang setara dengan ongkos sepuluh kali naik haji mustahil dibawa mati. Ayah mau naik haji lagi? Ah, empat kali ke Tanah Suci sudah cukup. Lagian, kondisi Ayah semakin mengkhawatirkan. Jalan pun sudah terseok, menanggungkan rematik, paru-paru basah, dan mag akut. Memang, Haji Sudung sudah kehabisan amunisi alasan untuk tidak meninggalkan kampung. Limpahan kekayaan pun tak bisa membeli hasratnya untuk tetap bertahan. Lengan-lengan waktu teramat leluasa menyita kepunyaannya satu per satu. Anak-anak pergi menaklukkan hidupnya masing-masing. Istri pamit ke alam lain. Terus, rimbun ladang kopi, sawah berbidang-bidang, kolam ikan yang luas harus pindah ke tangan orang lain. Tinggal rumah panggung kebanggaannya yang masih dipertahankan. Itu pun sekadar penanda, bahwa Haji Sudung pernah lahir dan menempuh hidup di situ. Ia pernah mengapungkan keinginan untuk menikah. Tentu, keinginan yang jauh dari tunggangan hasrat duniawi. Iyalah, usia Haji Sudung hampir menyentuh angka 78. Manalah ia merisaukan hal yang demikian lagi. Ia ingin menyunting istri hanya untuk menghadapi kenyataan bahwa harus ada yang merawatnya, menemaninya menunggu jemputan maut. Lain tidak. Lagi pula, Haji Sudung menggiring telunjuk keinginan pada Maisa, adik mendiang istrinya. Ganti tikar namanya itu. Namun, belum lagi keinginan ditiup ke pihak perempuan, anak-anaknya langsung menghadang. Terlebih-lebih Risda, istri Marsan. Memang, Risda termasuk paling ngotot melarang Haji Sudung menikah. Juga tak bosan-bosan melunakkan hati Amangboru—sang mertua—untuk tinggal bersamanya. Haji Sudung angkat topi dengan keuletan menantunya itu. Maka Risda adalah salah satu alasan Haji Sudung menganggukkan kepala atas keinginan anak-anaknya. ”Untuk apalah Amangboru menikah lagi. Kalau soal merawat, aku pun bisa. Lagi pula, apa Amangboru yakin akan dirawat setelah nikah? Bukan aku menjelek-jelekkan, cuma khawatir saja, bukannya mengurus Amangboru, eh malah menguras kekayaan. Tengoklah, entah bagaimana caranya, beberapa bulan setelah bou meninggal, sawah sebidang dijual keluarga bou. Pikirkan Amangboru-lah itu.” Beber Risda suatu kali, ketika ia, Marsan, dan kedua anaknya rela menempuh waktu semalam menuju kampung, menyampaikan titah kesepakatan. Haji Sudung tak menyangkal. Apa yang dikatakan menantunya itu kenyataan. Sepeninggal istrinya, bou Risda, sebidang sawah miliknya raib dijual keluarga sang istri. Konon, Maisa ikut andil. Lantas, rasa segan bakal diurus menantu pun tak lagi menjadi pertimbangan bagi Haji Sudung untuk segera menghuni rumah Marsan. ”Apalagi yang dipikirkan. Itu, cucu Amangboru, Andika dan Veri bakal senang kalau opungnya tinggal bersama mereka…,” bujuk Risda pada kunjungan yang lain. Haji Sudung terkekeh mengamati keheranan Veri melihat belut hasil tangkapan Marsan di sawah belakang rumah. Ia bahagia setiap kali dikunjungi cucu-cucunya. Veri, tiga tahun, lagi bijak-bijaknya. Andika yang terpaut dua tahun di atas Veri juga sering membuatnya terhibur. Apalagi, lima cucunya dari Lisna dan Suti baru sekali bersua dengannya. Itu pun ketika istrinya meninggal. Maka, meski berat, Veri dan Andika menjadi alasan lain Haji Sudung meninggalkan kampung halaman…. ”Ini bukan dosa, Pa,” ujar Risda sambil menyetrika di ruang tamu. Marsan asyik menonton tivi. ”Kita pakai saja tabungan Amangboru. Mana tahu-tahu Amangboru itu.” Marsan diam saja mendengar Risda yang berencana membuka usaha salon sekaligus bidan pengantin. ”Coba Papa pikirkan. Meski golongan tiga A, berapalah gaji Papa. Itu pun dua pertiga habis menutupi kredit rumah. Sebentar lagi si Andika sekolah. Pengeluaran lagi, kan?” Marsan masih diam. Tetapi, kini matanya tertumbuk pada foto perkawinan yang tegak di samping tivi. ”Lagi pula, lama-lama tabungan Amangboru habis untuk biaya berobat dan tetek bengek lainnya. Nah, kalau sudah habis, kitalah yang menalanginya. Papa tahu kan, Kak Lisna dan Kak Suti hampir tak pernah mengirim biaya tambahan. Maka itu, kita putar saja uang Amangboru. Ujung-ujungnya untuk mengurus Amangboru juga. Cocok, Pa?” Risda terengah, berbicara sambil menyetrika. Sedang Marsan tetap diam. Kemeja Haji Sudung yang tengah disetrika Risda menyita perhatiannya. ”Aku tinggal kursus tata rias. Menjahit aku sudah mahir. Jangan khawatir, Pa, Amangboru tetap aku urus. Ini kan usaha rumahan. Paling aku keluar kalau lagi merias pengantin.” Marsan menghela napas. Lantas menggeser pandangan ke pintu. ”Ayah mana, ya?” ”Pa, Pa, paling di masjid belakang kompleks. Masjid kompleks kita kan enggak ada sembahyang berjemaahnya….” Ya, kebisaan Haji Sudung sembahyang jemaah di kampung tak bisa ia tanggalkan. Ia semula senang mendapati masjid kompleks yang jauh lebih mewah dari masjid di kampung. Namun ia kecewa karena masjid tersebut hampir-hampir tak pernah dimanfaatkan penghuni kompleks. ”Masjid apa itu?” Adunya kepada Marsan. Maka tidak heran, jika ia rela berjalan jauh—untuk ukuran Haji Sudung—demi menempuh masjid di tengah perkampungan warga di belakang kompleks. Ia bahkan betah berada di masjid itu dari zuhur sampai isya. Marsan dan Risda pernah panik mencari Haji Sudung karena dianggap tersesat lagi. Rupanya, Haji Sudung ikut merayakan acara Maulid Nabi bersama warga di sekitar masjid tersebut. Sebelumnya, Haji Sudung pernah diantar penarik becak. Ia tersesat, bukan berjalan ke arah kompleks, malah membelakangi tujuan yang semestinya. Maklumlah, menjalani hari-hari pertama tinggal di kompleks saja, Haji Sudung sudah linglung. Ia pernah mengetuk pintu rumah penghuni lain di kompleks itu. Sulit baginya membedakan rumah Marsan kalau hanya berdasarkan bentuk. ”Sama semua pula aku tengok,” kata Haji Sudung seakan membela diri. Saat itu, Risda tertawa geli. Namun, seiring waktu, tawa geli Risda berubah kecemasan. Lama-lama ia merasa repot mengurus Haji Sudung. Tambah pikun ia, sudah sering buang hajat di celana. Warga di belakang kompleks pernah memulangkan Haji Sudung karena berak tatkala sembahyang magrib. Sementara itu, salonnya mulai ramai. Panggilan ke acara pesta perkawinan makin banyak. Belum lagi kesibukannya menambah perangkat salon atau merancang pakaian pengantin model baru menyandera banyak waktu. Maka suatu kesempatan usai makan malam, Risda menyarankan Marsan agar menitipkan Haji Sudung ke panti jompo. ”Di panti, makan dan obat Amangboru terjaga, Pa. Ibadahnya pun lebih khusyuk. Orang setua Amangboru tinggal beribadah banyak-banyak. Mau apalagi, coba?” Marsan menjawab dengan diam. ”Terpikir juga memang untuk menyewa pengasuh. Tapi kan sama saja, karena Amangboru tetap di rumah ini. Kalau di panti banyak yang mengurus, ya makannya, ya obatnya, ya ibadahnya.” Risda kembali menguatkan pendapatnya. Sedang Marsan, lagi-lagi diam. ”Soal panti yang biaya bulanannya tak terlalu mahal, aku punya alamatnya. Nanti kita cek.” Marsan seperti hendak berbicara. Tapi kepulangan Haji Sudung selepas isya membuat pembicaraan mereka terhenti. Marsan bergegas menyambut tatih langkah Ayahnya. ”Makan dulu, Ayah. Biar makan obat.” ”Mmh…,” balas Haji Sudung pelan. Tetapi, langkahnya berbelok ke kamar. Ia tak selera makan. Air mukanya kusut. Beberapa hari ini, keinginan untuk balik ke kampung acap menggedor dadanya. Ia tak betah di rumah Marsan. Ia merasa sebagai beban, atau karena tak cocok dengan lingkungan kompleks? Tetapi, di sisi lain, ia tak enak hati pula kepada Marsan dan menantunya. Ia harus menimbang harga diri mereka. Apa nanti cemoohan orang-orang di kampung. ”Tak pandai si Marsan dan si Risda itu menyenangkan orangtua, ya?” Maka hari-hari terakhir ini, Haji Sudung lebih banyak mengurung diri di kamar. Tidur-tiduran. Ya, seperti malam ini. Tadi ia tak pergi ke masjid. Napasnya sesak lagi. Sejak magrib tadi ia hanya berbaring. Tidur-tidur ayam. Dalam persimpangan antara tidur atau tidak, Haji Sudung pun tiba-tiba berada di persimpangan antara mimpi buruk atau tidak. Ia duduk di sofa, berhadap-hadap dengan Marsan dan Risda. Tetapi, Haji Sudung tak berdaya ketika mengetahui rencana Risda terhadapnya. ”Sudahlah, Pa. Kirim saja Amangboru ke panti. Ini demi kebaikan kita dan Amangboru juga,” desak Risda. Marsan diam. Secangkir kopi yang baru disuguhkan istrinya masih terlalu panas untuk diseruput. Haji Sudung tak mempermasalahkan mengapa Risda tak menghidangkan kopi untuknya. Ia memang dilarang dokter minum kopi. Tetapi, ia gusar mendengar deretan kata-kata susulan yang meluncur lancar dari mulut Risda. ”Amangboru sudah uzur, Pa. Dan semua orang bakal mati. Kini kita harus memikirkan yang ada di depan. Masa depan keluarga kita, anak-anak kita.” Ingin rasanya Haji Sudung menempeleng Risda, juga menendang Marsan yang cuma bisa diam. Ia tahu, diam bukan karakter Marsan yang sesungguhnya. Paling tidak, sebelum ia menikah. Tapi bagaimana Haji Sudung hendak menempeleng atau menendang. Bukankah ia sedang berada di lalu lalang mimpi? Entahlah! ”Besok kita antar Amangboru ke panti jompo!” tegas Risda. Darah Haji Sudung mendidih. Ia berharap Marsan membenamkan cangkir kopi ke mulut Risda. Tetapi, mulut Risda malah memberi perintah kepada kedua anaknya. ”Andika, Veri, suruh Opung berkemas-kemas. Bilang, besok kita jalan-jalan ke kampung!” ”Kita pulang kampung, Ma?” Risda menggangguk. ”Hore, hore,” Andika dan Veri melonjak kegirangan. Haji Sudung menyaksikan cucu-cucunya berlari ke arah kamarnya. ”Opung, Opung, besok kita pulang kampung kata Mama. Boleh mandi ke sungai, kan, Pung,” teriak Andika. ”Nangkap belut saja, Pung,” rengek Veri. Haji Sudung tersentak. Ia mendapati kedua cucunya menggoncang-goncang tubuhnya. Ia berusaha bangkit dari tempat tidur. Belum sepenuhnya sadar, berulang-ulang ia mendengar Andika dan Veri berteriak sahut-sahutan. ”Kata Mama besok kita pulang kampung. Ayo, Pung, susun baju,” teriak Andika. ”Iya, Pung. Susun baju,” Veri membeo. Haji Sudung terkesima mendengar kabar itu. Ah, aku tadi cuma mimpi buruk, batinnya. Dengan gerakan gontai, ia mendekap erat kedua cucunya. Dari ufuk matanya terbit mata air kehangatan. Lantas, dengan tangan yang bergetar hebat, Haji Sudung bergegas menyusun pakaiannya ke dalam tas Lee yang kusam. Seperti menyusun bengkalaian peristiwa ke bilik kenangannya yang penuh debu. Andika dan Veri begitu cekatan membantu Opung mereka. Tak satu baju pun yang tertinggal di almari. Seolah-olah Haji Sudung tak akan kembali lagi ke rumah itu. Malam itu, sambil mendekap buntalan tasnya, Haji Sudung tak sabar untuk segera tertidur. Ia ingin berlari memburu pagi. Atau, mana tahu wangi tanah kelahiran lebih dulu hinggap ke dahan mimpi. Bukan mimpi buruk tentunya. Namun, siapa yang bisa mengetahui isi mimpinya? Sebab, dalam kegelisahan tidur, mulut Haji Sudung hanya lumat oleh igau yang berantakan. ”Ini bukan kampungku! Ini bukan rumahku!”
""Rumah Amangboru""