input
stringlengths 912
558k
| output
stringlengths 234
2.18k
|
---|---|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 14/
4 /PBI/2012
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 13/15/PBI/2011
TENTANG PEMANTAUAN KEGIATAN LALU LINTAS DEVISA
LEMBAGA BUKAN BANK
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang:
a. bahwa dalam rangka meningkatkan kualitas data
dan informasi yang dihasilkan dari kegiatan
pelaporan lalu lintas devisa oleh lembaga bukan
bank, diperlukan waktu yang cukup bagi lembaga
bukan bank untuk mempersiapkan pelaporan
dalam setiap periode laporan;
b. bahwa dalam rangka lebih meningkatkan kesiapan
lembaga bukan bank dalam memenuhi ketentuan
kewajiban pelaporan lalu lintas devisa, diperlukan
penundaan pemberlakuan sanksi administratif
atas kewajiban pelaporan lalu lintas devisa;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu
dilakukan perubahan atas Peraturan Bank
Indonesia Nomor 13/15/PBI/2011 tentang
Pemantauan Kegiatan Lalu Lintas Devisa Lembaga
Bukan Bank;
Mengingat …
- 2 -
Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang
Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3843) sebagaimana telah
diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-
Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua
Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999
tentang Bank Indonesia Menjadi Undang-Undang
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4962);
2. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang
Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999
Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3844);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN
ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR
13/15/PBI/2011 TENTANG PEMANTAUAN KEGIATAN
LALU LINTAS DEVISA LEMBAGA BUKAN BANK.
Pasal I …
- 3 -
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor
13/15/PBI/2011 tanggal 23 Juni 2011 tentang Pemantauan Kegiatan
Lalu Lintas Devisa Lembaga Bukan Bank (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2011 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5222) diubah sebagai berikut:
1. Ketentuan Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2) diubah sehingga Pasal 3
berbunyi sebagai berikut:
Pasal 3
(1) LBB wajib menyampaikan Laporan LLD sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 secara bulanan paling lama tanggal
15 bulan berikutnya secara online.
(2) Dalam hal terdapat kesalahan Laporan LLD yang telah
disampaikan oleh LBB kepada Bank Indonesia sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), LBB harus menyampaikan koreksi
atas kesalahan Laporan LLD paling lama tanggal 20 bulan
berikutnya secara online.
(3) Dalam hal pada hari terakhir penyampaian Laporan LLD
dan/atau koreksi Laporan LLD sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2) terjadi gangguan teknis yang
mengakibatkan LBB tidak dapat menyampaikan Laporan LLD
dan/atau koreksi Laporan LLD secara online, maka Laporan
LLD dan/atau koreksi Laporan LLD disampaikan secara offline
pada hari kerja berikutnya.
(4) Dalam hal pada hari kerja berikutnya gangguan teknis
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) telah dapat diatasi, maka
Laporan LLD dan/atau koreksi Laporan LLD disampaikan
secara online.
(5) LBB …
- 4 -
(5) LBB dinyatakan terlambat menyampaikan Laporan LLD
apabila Laporan LLD disampaikan melampaui batas waktu
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan akhir
bulan.
(6) LBB dinyatakan tidak menyampaikan Laporan LLD apabila
Laporan LLD tidak disampaikan sampai dengan akhir bulan
sebagaimana dimaksud pada ayat (5).
(7) Dalam hal LBB dinyatakan tidak menyampaikan Laporan LLD
sebagaimana dimaksud pada ayat (6), hal tersebut tidak
meniadakan kewajiban LBB untuk menyampaikan Laporan
LLD kepada Bank Indonesia.
2. Ketentuan Pasal 11 ayat (1) diubah dan ayat (2) dihapus, sehingga
Pasal 11 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 11
(1) Ketentuan mengenai sanksi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6 mulai berlaku untuk data bulan Juli 2012 yang
disampaikan pada bulan Agustus 2012.
(2) Dihapus.
Pasal II
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan
dan berlaku surut sejak tanggal 2 Januari 2012.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan …
- 5 -
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 7 Juni 2012
GUBERNUR BANK INDONESIA,
DARMIN NASUTION
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 7 Juni 2012
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
AMIR SYAMSUDDIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2012 NOMOR 128
DSM
- 6 -
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 14/
4 /PBI/2012
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 13/15/PBI/2011
TENTANG PEMANTAUAN KEGIATAN LALU LINTAS DEVISA
LEMBAGA BUKAN BANK
I. UMUM
Dalam rangka meningkatkan kualitas data dan informasi yang
dihasilkan dari kegiatan pelaporan lalu lintas devisa oleh lembaga
bukan bank serta untuk memberikan waktu yang cukup bagi
lembaga bukan bank untuk mempersiapkan pelaporan dalam
setiap periode laporan, maka batas waktu penyampaian laporan
lalu lintas devisa lembaga bukan bank perlu disesuaikan.
Selain itu, untuk lebih meningkatkan kesiapan lembaga bukan
bank dalam melaksanakan sistem pelaporan yang baru, diperlukan
penundaan pemberlakuan sanksi administratif berupa denda atas
kewajiban pelaporan lalu lintas devisa.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal I
Angka 1
Pasal 3
Ayat (1)
Yang …
- 7 -
Yang dimaksud dengan “secara online” adalah
dengan menggunakan media internet pada
website pelaporan LLD di Bank Indonesia.
Laporan LLD secara online dapat disampaikan
pada hari Sabtu, Minggu, hari libur dan cuti
bersama yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Ayat (2)
Koreksi Laporan LLD secara online dapat
disampaikan pada hari Sabtu, Minggu, hari
libur dan cuti bersama yang ditetapkan oleh
Bank Indonesia.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “gangguan teknis”
adalah gangguan yang terjadi di Bank
Indonesia yang meliputi antara lain gangguan
jaringan dan/atau komunikasi.
Yang dimaksud dengan “secara offline” adalah
dengan menggunakan media antara lain
attachment email, compact disk (CD), flash disk,
dan/atau media perekaman data elektronik
lainnya yang disampaikan pada jam kerja Bank
Indonesia setempat.
Kriteria bahwa Laporan LLD dan koreksi
Laporan LLD telah disampaikan akan diatur
lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank
Indonesia.
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5) …
- 8 -
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
Ayat (7)
Cukup jelas
Angka 2
Pasal 11
Cukup jelas
Pasal II
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5320
DSM
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 14/4/PBI/2012 </reg_id>
<reg_title> PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 13/15/PBI/2011 TENTANG PEMANTAUAN KEGIATAN LALU LINTAS DEVISA LEMBAGA BUKAN BANK </reg_title>
<set_date> 7 Juni 2012 </set_date>
<effective_date> 2 Januari 2012 </effective_date>
<issued_date> 7 Juni 2012 </issued_date>
<changed_reg> '13/15/PBI/2011' </changed_reg>
<related_reg> '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '24/UU/1999' </related_reg>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR :3/18/PBI/2001
TENTANG
PERSYARATAN DAN TATA CARA MEMBAWA UANG RUPIAH
KELUAR ATAU MASUK
WILAYAH REPUBLIK INDONESIA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang :
a. bahwa dalam rangka mengatur, menjaga
dan memelihara
kestabilan nilai Uang Rupiah serta dalam rangka pengawasan
terhadap lalu lintas peredaran uang
termasuk
pengawasan
terhadap uang palsu, maka dipandang perlu mengatur
persyaratan dan tata cara membawa Uang Rupiah keluar atau
masuk wilayah Republik Indonesia;
b. bahwa ketentuan-ketentuan yang ada mengenai persyaratan dan
tata cara membawa Uang Rupiah keluar atau masuk wilayah
Republik Indonesia perlu disempurnakan sesuai dengan kondisi
perkembangan ekonomi;
c. bahwa sehubungan dengan butir a dan butir b, dipandang perlu
menyusun Peraturan Bank Indonesia tentang Persyaratan dan
Tata Cara Membawa Uang Rupiah Keluar atau Masuk Wilayah
Republik Indonesia;
Mengingat . . .
- 2 -
Mengingat :
1. Undang-undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 75,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3612 );
2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3843);
3. Undang-undang Nomor 24 Tahun 1999 Tentang Lalu Lintas
Devisa dan Sistem Nilai Tukar
(Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3844);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG
PERSYARATAN DAN TATA CARA MEMBAWA UANG
RUPIAH KELUAR ATAU MASUK WILAYAH REPUBLIK
INDONESIA.
BAB I . . .
- 3 -
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Uang Rupiah adalah uang kertas maupun uang logam yang merupakan alat
pembayaran yang sah di wilayah Republik Indonesia.
2. Membawa Uang Rupiah keluar atau masuk wilayah Republik Indonesia adalah
mengeluarkan atau memasukkan Uang Rupiah yang dilakukan dengan cara
membawa sendiri atau melalui pihak lain, dengan atau tanpa menggunakan
sarana pengangkut.
3. Wilayah Republik Indonesia adalah daerah pabean yang meliputi wilayah darat,
perairan dan ruang udara di atasnya, serta tempat-tempat
tertentu di Zona
Ekonomi Eksklusif dan landas kontinen.
4. Mendeklarasikan pembawaan Uang Rupiah keluar adalah mengisi
formulir
pemberitahuan Pembawaan Uang Rupiah keluar wilayah Republik Indonesia
sebagaimana tercantum dalam Lampiran 1 dan menyerahkan kepada petugas Bea
dan Cukai.
5. Mendeklarasikan pembawaan Uang Rupiah masuk adalah mengisi
formulir
pemberitahuan Pembawaan Uang Rupiah masuk wilayah Republik Indonesia dan
menyerahkan kepada petugas Bea dan Cukai.
BAB II . . .
- 4 -
BAB II
PERSYARATAN DAN TATA CARA MEMBAWA UANG RUPIAH
Pasal 2
(1) Setiap orang yang membawa Uang Rupiah keluar wilayah Republik Indonesia
sampai dengan Rp.5.000.000,00 (lima juta Rupiah), tidak perlu memperoleh
izin dan atau mendeklarasikan pembawaan Uang Rupiah keluar wilayah
Republik Indonesia di tempat keberangkatan.
(2) Setiap orang yang membawa Uang Rupiah keluar wilayah Republik Indonesia
lebih dari
Rp.10.000.000,00
Rp.5.000.000,00 (lima
(sepuluh juta
juta
Rupiah),
Rupiah)
wajib
sampai
terlebih
dengan
dahulu
mendeklarasikan pembawaan Uang Rupiah keluar wilayah Republik Indonesia
di tempat keberangkatan.
(3) Setiap orang yang membawa Uang Rupiah keluar wilayah Republik Indonesia
lebih dari Rp.10.000.000,00 (sepuluh juta Rupiah), wajib terlebih dahulu
memperoleh izin secara tertulis
pembawaan Uang Rupiah keluar wilayah Republik Indonesia
keberangkatan.
Pasal 3
(1) Setiap orang yang membawa Uang Rupiah masuk wilayah Republik Indonesia
sampai dengan Rp.50.000.000,00 (lima puluh juta Rupiah), tidak perlu
mendeklarasikan . . .
dari Bank Indonesia serta mendeklarasikan
di tempat
- 5 -
mendeklarasikan pembawaan
Indonesia di tempat kedatangan.
Uang
Rupiah masuk wilayah Republik
(2) Setiap orang yang membawa Uang Rupiah masuk wilayah Republik Indonesia
lebih dari
Rp.100.000.000,00 (seratus juta Rupiah), wajib terlebih dahulu
mendeklarasikan pembawaan
Indonesia di tempat kedatangan.
Rp.50.000.000,00 (lima puluh juta Rupiah) sampai dengan
Uang Rupiah masuk wilayah Republik
(3) Setiap orang yang membawa Uang Rupiah masuk wilayah Republik Indonesia
lebih dari Rp.100.000.000,00 (seratus juta Rupiah), wajib terlebih dahulu
mendeklarasikan pembawaan
Indonesia dan memeriksakan keaslian uangnya di tempat kedatangan.
Pasal 4
(1) Izin Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) hanya
dapat diberikan untuk kepentingan :
a. Penyediaan uang untuk kebutuhan negara;
b. Uji coba mesin uang;
c. Kegiatan pameran di luar negeri.
(2) Izin Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat
diberikan untuk 1 (satu) kali penggunaan dengan persyaratan :
(i) masa berlaku izin selama-lamanya 30 (tiga puluh) hari terhitung dari
tanggal pemberian izin.
(ii) surat izin . . .
Uang Rupiah masuk wilayah Republik
- 6 -
(ii) surat izin wajib diserahkan kepada petugas Bea dan Cukai
keberangkatan.
ditempat
(3) Izin pembawaan Uang Rupiah berlaku untuk jumlah maksimal sama dengan
jumlah uang yang tercantum dalam surat izin.
Pasal 5
(1) Untuk memperoleh izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) yang
bersangkutan harus mengajukan permohonan secara tertulis kepada Bank
Indonesia selambat-lambatnya 15 (lima belas) hari kerja sebelum tanggal
keberangkatan.
(2) Permohonan izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dilengkapi
dengan identitas diri bagi perorangan, nama dan alamat perusahaan bagi
perusahaan, jumlah Uang Rupiah yang akan dibawa, tujuan penggunaan,
tempat keberangkatan dan tanggal keberangkatan sebagaimana contoh surat
permohonan pada Lampiran 2.
(3) Permohonan izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disampaikan kepada :
a. Direktorat Luar Negeri - Kantor Pusat Bank Indonesia, bagi pemohon yang
berdomisili di wilayah Jakarta, Bogor, Tangerang, Bekasi (JABOTABEK);
b. Kantor Bank Indonesia terdekat dengan alamat pemohon sebagaimana
dalam Lampiran 3, bagi pemohon yang berdomisili di luar wilayah Jakarta,
Bogor, Tangerang, Bekasi (JABOTABEK).
(4) Bank Indonesia . . .
- 7 -
(4) Bank Indonesia akan memberikan jawaban atas permohonan izin sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dalam waktu 10 (sepuluh) hari kerja setelah surat
permohonan
diterima secara
lengkap dan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2).
BAB III
SANKSI ADMINISTRATIF
Pasal 6
(1) Setiap pelanggaran terhadap ketentuan pembawaan Uang Rupiah keluar atau
masuk wilayah Republik Indonesia dikenakan sanksi administratif berupa
denda sebesar 10% (sepuluh per seratus) dari jumlah Uang Rupiah yang
dibawa, dalam hal:
a. tidak mendeklarasikan pembawaan Uang Rupiah keluar wilayah Republik
Indonesia di tempat keberangkatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
2 ayat (2) atau tidak mendeklarasikan pembawaan Uang Rupiah masuk
wilayah Republik Indonesia di tempat kedatangan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 ayat (2); atau
b. mendeklarasikan pembawaan Uang Rupiah keluar wilayah Republik
Indonesia di tempat keberangkatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (2) atau mendeklarasikan pembawaan Uang Rupiah masuk wilayah
Republik Indonesia di tempat kedatangan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 . . .
benar oleh Bank
Indonesia
- 8 -
Pasal 3 ayat (2), tetapi dengan keterangan yang tidak benar dan atau
jumlah yang tidak sesuai dengan jumlah Uang yang dibawa; atau
c. mendeklarasikan pembawaan Uang Rupiah keluar wilayah Republik
Indonesia di tempat keberangkatan
tetapi
tidak memperoleh
pembawaan Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3); atau
d. mendeklarasikan pembawaan Uang Rupiah keluar wilayah Republik
Indonesia di tempat keberangkatan
tetapi dengan keterangan yang tidak
benar dan atau jumlah yang tidak sesuai dengan jumlah Uang yang dibawa
dan tidak memperoleh izin pembawaan Rupiah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (3); atau
e. tidak mendeklarasikan pembawaan Uang Rupiah keluar wilayah Republik
Indonesia ditempat keberangkatan dan tidak memperoleh izin pembawaan
Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3).
(2) Setiap pelanggaran terhadap ketentuan pembawaan Uang Rupiah keluar
wilayah Republik Indonesia melebihi jumlah Uang Rupiah yang diberikan izin
atau melebihi jumlah yang dideklarasikan atas dasar izin, dikenakan sanksi
administratif berupa denda sebesar 10% (sepuluh per seratus) dari jumlah
yang dibawa setelah dikurangi dengan jumlah yang diberikan izin.
(3) Pengenaan sanksi administratif berupa denda dilakukan dengan memotong
dari Uang Rupiah yang akan dibawa keluar atau masuk wilayah Republik
Indonesia.
(4) Sisa . . .
izin
- 9 -
(4) Sisa Uang Rupiah setelah dikenakan sanksi administratif berupa denda
sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dikembalikan kepada pihak yang
dikenakan sanksi.
(5) Uang Rupiah yang dikembalikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) hanya
dapat dibawa keluar wilayah Republik Indonesia setelah memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 atau dapat dibawa masuk wilayah
Republik Indonesia setelah memenuhi ketentuan sebagaimana dalam Pasal 3.
Pasal 7
Sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 merupakan
penerimaan negara.
Pasal 8
Pengawasan
dilakukan
atas
pelaksanaan
oleh Direktorat
Jenderal Bea
ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia ini
dan Cukai
sesuai
perundang-undangan yang berlaku di bidang kepabeanan.
dengan
ketentuan
BAB IV . . .
- 10 -
BAB IV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 9
Dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini maka :
1. Surat Keputusan Direksi Bank
Indonesia Nomor
30/191A/KEP/DIR
tanggal 2 Februari 1998 tentang Pengeluaran atau Pemasukan Mata Uang Rupiah
Dari atau Ke Dalam Wilayah Republik Indonesia;
2. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 30/271A/KEP/DIR tanggal 6
Maret 1998 tentang Perubahan SK DIR BI Nomor 30/191A/KEP/DIR tentang
Pengeluaran atau Pemasukan Mata Uang Rupiah Dari Atau Ke Dalam Wilayah
Republik Indonesia;
3. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 30/278/KEP/DIR tanggal
23 Maret 1998 sebagaimana tercantum dalam Surat Keputusan Bersama Direktur
Bank Indonesia dan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Departemen Keuangan
No.30/278/KEP/DIR dan No. KEP –24/BC/1998 tanggal 23 Maret 1998 tentang
Tata Cara Pengeluaran atau Pemasukan Mata Uang Republik Indonesia dari atau
ke Dalam Wilayah Republik Indonesia.
dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 10 . . .
- 11 -
Pasal 10
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di JAKARTA
Pada tanggal 17 Oktober 2001
GUBERNUR BANK INDONESIA
SYAHRIL SABIRIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2001 NOMOR 130
DLN.
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 3/18/PBI/2001
TENTANG
PERSYARATAN DAN TATA CARA MEMBAWA UANG RUPIAH
KELUAR ATAU MASUK
WILAYAH REPUBLIK INDONESIA
UMUM
Gejolak moneter di
Indonesia dalam beberapa tahun terakhir
ini
telah
menyebabkan ketidakstabilan nilai Uang Rupiah. Keadaan tersebut membuka
peluang bagi pihak-pihak tertentu untuk meraih keuntungan yang sebesar-besarnya
dengan memperdagangkan Uang Rupiah melalui pembawaan fisik secara lintas
batas
negara
yang
berdampak
perekonomian secara keseluruhan.
kurang menguntungkan
bagi
perkembangan
Sementara itu dengan meningkatnya kegiatan
perekonomian dan jumlah uang palsu di masyarakat, perlu ditingkatkan pengawasan
terhadap lalu lintas peredaran Uang Rupiah.
Sejalan dengan kondisi tersebut Undang-undang No. 23 Tahun 1999 tentang
Bank Indonesia, khususnya Pasal 3 ayat (1) mengatur bahwa Uang Rupiah dalam
jumlah tertentu dilarang dibawa keluar atau masuk wilayah Republik Indonesia
kecuali dengan izin Bank Indonesia. Mengingat Undang-undang No.23 tahun 1999
tersebut mengamanatkan kepada Bank Indonesia
untuk mengatur pelaksanaan
ketentuan . . .
- 2 -
ketentuan tersebut dan bahwa ketentuan tentang tata cara pembawaan Uang Rupiah
keluar atau masuk wilayah Republik Indonesia yang saat ini berlaku tidak sesuai
lagi dengan kondisi perekonomian, maka disusunlah Peraturan Bank Indonesia ini.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Formulir Pemberitahuan Pembawaan Rupiah dapat diperoleh di Bank
Indonesia dan tempat-tempat keberangkatan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 3
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2) . . .
- 3 -
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Apabila pada saat dilakukannya pemeriksaan keaslian Uang Rupiah,
dijumpai adanya uang Rupiah yang diragukan keasliannya, petugas Bea
dan Cukai dapat meminta klarifikasi kepada Bank Indonesia.
Pasal 4
ayat (1)
a. Cukup jelas
b. Yang dimaksud dengan mesin uang adalah
berhubungan dengan Uang
peralatan
yang
antara lain mesin sortir uang, mesin
racik uang, mesin hitung uang, mesin tukar uang, vanding machine
dan mesin Anjungan Tunai Mandiri (ATM).
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan 1 (satu) kali penggunaan adalah digunakan
untuk 1 (satu) kali perjalanan.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 5
Ayat (1)
Izin dari Bank Indonesia adalah persetujuan tertulis yang dikeluarkan
oleh . . .
- 4 -
oleh Direktorat Luar Negeri (DLN) Kantor Pusat Bank Indonesia, atau
Kantor Bank Indonesia, untuk membawa Uang Rupiah dalam jumlah
tertentu keluar wilayah Republik Indonesia.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Jawaban Bank Indonesia dapat berupa pemberian izin atau penolakan
atas permohonan izin.
Pasal 6
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5) . . .
- 5 -
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas
Pasal 8
Cukup jelas
Pasal 9
Cukup jelas
Pasal 10
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4147
Lampiran 1
BANK INDONESIA
BANK INDONESIA
PEMBERITAHUAN PEMBAWAAN MATA UANG RUPIAH
LEBIH DARI RP.5.000.000,00
RUPIAH BANK NOTES DECLARATION
MORE THAN RP.5.000.000,00
Diisi oleh Setiap Pemegang Paspor dan Disampaikan Kepada Pejabat Bea dan Cukai di Bandara
Keberangkatan/Pelabuhan/Tapal Batas
To Anyone Holding Passport And Give To
The Customs And Excise Official at Port/Airport/Border Area
1. No. Penerbangan/Pelayaran/Kendaraan:
Flight/Voyage/VehicleNumber
3. Nama Penumpang:
Passenger Name (full name)
5. Kebangsaan:
Nationality
7.
Pekerjaan:
Occupation
2.
4.
6.
8.
Tanggal Keberangkatan:
Date of Departure
Tempat Keberangkatan:
Place of Departure
Nomor Paspor:
Passport Number
Negara Tujuan:
Country of Destination
9. Harap menyebutkan jumlah mata uang Rupiah yang anda bawa:
Please specify the amount of Rupiah Bank Notes that you bring
10. a. Jika anda membawa mata uang Rupiah lebih dari Rp.10.000.000,00 apakah anda memiliki surat
izin dari Bank Indonesia?
If you bring Rupiah Bank Notes more than Rp.10.000.000,00 do you have letter of approval from
Bank Indonesia?
Tidak / No
Nomor / Number:
Ya / yes
c. Jika ya, harap menyebutkan Nomor dan Tanggal izin yang dikeluarkan Bank Indonesia.
If yes, please mention the Number and the Date of approval letter issued by Bank Indnesia.
Tgl. / date:
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa yang saya beritahukan adalah benar.
I declare that the information given is true and correct.
Untuk Pejabat Bea dan Cukai
Tanda tangan :
Nama
NIP
:
:
Tgl.
:
Date
Tanda tangan
Signature
:
Lampiran 2
No.
*)Kepada Yth:
Direktur Direktorat Luar Negeri
Bank Indonesia Kantor Pusat
Jl. M.H. Thamrin No.2
Kotak Pos 1035
J A K A R T A 10010
**)Kepada Yth:
Pemimpin Bank Indonesia ……………………
Jl. …………………………***)
Perihal : Permohonan Izin Untuk Membawa Uang Rupiah
Keluar Wilayah Republik Indonesia
------------------------------------------------------------
Dengan hormat,
Dengan ini kami ……………………………………..(nama perusahaan dan alamat ),
mengajukan permohonan izin untuk membawa Rupiah Keluar Wilayah Republik Indonesia
menuju ……………………………… dengan rincian sebagai berikut:
Nama
Perusahaan
Alamat
Jumlah Rupiah
Tujuan penggunaan
Tempat Keberangkatan
Tanggal Keberangkatan
:
:
:
:
:
:
:
Perlu kami tambahkan bahwa penggunaan pembawaan Rupiah untuk
………………………. Dimaksud karena ………………………………………………….
(beri alasan perlunya pembawaan Rupiah).
Demikian permohonan kami, atas perhatiannya kami sampaikan terimakasih.
……………………………………
*) Alamat surat permohonan bagi pemohon yang bermisili di JABOTABEK
**) Alamat surat permohonan bagi pemohon yang bermisili di luar JABOTABEK
***) Sesuai lampiran 4 PBI Pembawaan Rupiah ini.
Jakarta,
Lampiran 3
DAFTAR ALAMAT KANTOR BANK INDONESIA
1. KBI Ambon
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
Jl. Raya Pattimura No.7, Ambon
Balikpapan
Banda Aceh
Bandar Lampung
Bandung
Banjarmasin
Batam
Bengkulu
Cirebon
Denpasar
Jambi
Jayapura
Jember
Kediri
Kendari
Kupang
Lhokseumawe
18. Malang
19. Mataram
20. Medan
21. Menado
22.
23.
24.
25.
26.
27.
28.
29.
30.
31.
32.
33.
34.
35.
Padang
Palangka Raya
Palembang
Palu
Pekanbaru
Pontianak
Purwokerto
Samarinda
Semarang
Sibolga
Solo
Surabaya
Tasikmalaya
Ternate
36. Makasar
37.
Yogyakarta
Jl. Jend. Sudirman No.20, Balikpapan 76111
Jl. Cut Meutia No.15 Banda Aceh
Jl. Hasanuddin No.38, Bandar Lampung
Jl. Braga No.108, Bandung 40111
Jl. Lambung Mangkurat No.15, Banjarmasin 70111
Jl. Engku Putri Batam Centre, Batam 29432
Jl. Jend. Ahmad Yani, Bengkulu
Jl. Yos Sudarso No. 5 – 7, Cirebon
Jl. WR. Supratman 1, Denpasar
Jl. Jend. Ahmad Yani, Lelanaipura, Jambi
Jl. Dr. Sam Ratulangi No.9, Jayapura
Jl. Gajah Mada No.224, Jember
Jl. Brawijaya No.2, Kediri
Jl. Sultan Hasanuddin No.150, Kendari 93122
Jl. Tom Pello No.2, Kupang
Jl. Merdeka No.1, Lhokseumawe 24312
Jl. Merdeka Utara No.7/Jl.Merdeka Timur o.1, Malang
Jl. Pejanggik No.2, Mataram
Jl. Balai Kota No.4, Medan
Jl. 17 Agustus, Menado
Jl. Jend. Sudirman No.22, Padang
Jl. Diponegoro No.17, Palangkaraya 73111
Jl. Jend. Sudirman No.510, Palembang
Jl. Sam Ratulangi No.23, Palu
Jl. Jend. Sudirman No.464, Pekanbaru
Jl. Rahadi Usman No.3, Pontianak 78111
Jl. Jend. Gatot Subroto No.98, Purwokerto 53116
Jl Gajah Mada No.1, Samarinda 75122
Jl. Imam Bardjo SH No.4, Semarang
Jl. Kapten Maruli Sitorus No.8, Sibolga 22513
Jl. Jend. Sudirman No.4, Solo
Jl. Pahlawan No.105, Surabaya
Jl. Sutisna Senjaya No.19, Tasikmalaya 46112
Jl. Yos Sudarso, Ternate
Jl. Jend. Sudirman No.3, Makasar
Jl. Panembahan Senopati No.4 – 6, Yogyakarta 55121
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 3/18/PBI/2001 </reg_id>
<reg_title> PERSYARATAN DAN TATA CARA MEMBAWA UANG RUPIAH KELUAR ATAU MASUK WILAYAH REPUBLIK INDONESIA </reg_title>
<set_date> 17 Oktober 2001 </set_date>
<effective_date> 17 Oktober 2001 </effective_date>
<replaced_reg> '30/191A/KEP/DIR|SKDIR-BI/1998', '30/271A/KEP/DIR|SKDIR-BI/1998', '30/278/KEP/DIR|KEPBER-BI-DIRJEN-BC-DEPKEU/1998|1' </replaced_reg>
<related_reg> '10/UU/1995', '23/UU/1999', '24/UU/1999' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB III' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 2/ 15
/PBI/2000
TENTANG
PERUBAHAN SURAT KEPUTUSAN DIREKSI BANK INDONESIA NOMOR
31/150/KEP/DIR TANGGAL 12 NOVEMBER 1998 TENTANG
RESTRUKTURISASI KREDIT
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang :
a. bahwa dalam upaya pemulihan perekonomian nasional,
program restrukturisasi perusahaan yang dilaksanakan pada
saat ini perlu didorong agar dapat mencapai sasaran yang
diinginkan;
b. bahwa untuk mencapai hal-hal tersebut perlu dilakukan
penyesuaian terhadap ketentuan kehati-hatian dibidang
perbankan, khususnya mengenai batas waktu penyertaan
modal sementara bank dalam rangka restrukturisasi kredit;
c. bahwa sehubungan dengan itu dipandang perlu untuk
menetapkan Perubahan Surat Keputusan Direksi Bank
Indonesia Nomor 31/150/KEP/DIR tanggal 12 November
1998 tentang Restrukturisasi Kredit dalam Peraturan Bank
Indonesia;
Mengingat :
1. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan Mengingat …
-2-
(Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3472) sebagaimana telah diubah
dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran
Negara Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3790);
2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 66,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3843);
3. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor
31/150/KEP/DIR tanggal 12 November 1998 tentang
Restrukturisasi Kredit;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN
SURAT KEPUTUSAN DIREKSI BANK INDONESIA NOMOR
31/150/KEP/DIR TANGGAL 12 NOVEMBER 1998
TENTANG RESTRUKTURISASI KREDIT
Pasal I …
-3-
Pasal I
Mengubah ketentuan Pasal 12 dalam Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia
Nomor 31/150/KEP/DIR tanggal 12 November 1998 tentang Restrukturisasi
Kredit, sehingga Pasal 12 seluruhnya berbunyi sebagai berikut:
“Pasal 12
(1) Penyertaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) wajib ditarik
kembali apabila:
a. telah melebihi jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun; atau
b. perusahaan debitur tempat Penyertaan telah memperoleh laba
kumulatif:
(2) Penyertaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) wajib
dihapusbukukan dari neraca Bank apabila telah melebihi jangka waktu 5
(lima) tahun.”
Pasal II …
Pasal II
-4-
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 12 Juni 2000
GUBERNUR BANK INDONESIA
SYAHRIL SABIRIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2000 NOMOR 89
DPNP
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
-5-
NOMOR: 2/ 15 /PBI/2000
TENTANG
PERUBAHAN SURAT KEPUTUSAN DIREKSI BANK INDONESIA NOMOR
31/150/KEP/DIR TANGGAL 12 NOVEMBER 1998 TENTANG
RESTRUKTURISASI KREDIT
I. UMUM
Pelaksanaan program pemulihan perekonomian nasional dimulai dengan
penerapan berbagai langkah-langkah dalam rangka restrukturisasi perbankan
nasional yang antara lain dilaksanakan melalui program penjaminan pemerintah,
program rekapitalisasi perbankan dan pelaksanaan restrukturisasi kredit
perbankan. Langkah selanjutnya dalam program pemulihan perekonomian nasional
tersebut adalah melalui restrukturisasi perusahaan. Program restrukturisasi
perusahaan sangat erat kaitannya untuk mendukung perbaikan sisi aktiva perbankan
melalui program restrukturisasi kredit.
Dalam pelaksanaannya, program restrukturisasi kredit dan restrukturisasi
perusahaan yang dilaksanakan selama ini mengalami berbagai kendala dan salah
satunya adalah berupa adanya ketentuan yang berkaitan dengan prinsip kehati-
hatian dalam pengelolaan Bank.
Sehubungan dengan permasalahan tersebut serta dengan
mempertimbangkan bahwa restrukturisasi kredit dan restrukturisasi perusahaan
pada …
manusia …
-6-
pada gilirannya dapat memperbaiki sisi aktiva perbankan dan mendorong
pergerakan sektor riil maka perlu dilakukan penyesuaian ketentuan kehati-hatian
khususnya mengenai batas waktu penarikan Penyertaan Bank dalam rangka
restrukturisasi kredit.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal I
Pasal 12
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Yang dimaksud dengan laba kumulatif adalah laba perusahaan
setelah diperhitungkan dengan kerugian tahun-tahun
sebelumnya.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal II
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3972
-7-
DPNP
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 2/15/PBI/2000 </reg_id>
<reg_title> PERUBAHAN SURAT KEPUTUSAN DIREKSI BANK INDONESIA NOMOR 31/150/KEP/DIR TANGGAL 12 NOVEMBER 1998 TENTANG RESTRUKTURISASI KREDIT </reg_title>
<set_date> 12 Juni 2000 </set_date>
<effective_date> 12 Juni 2000 </effective_date>
<changed_reg> '31/150/KEP/DIR|SKDIR-BI/1998' </changed_reg>
<related_reg> '23/UU/1999', '7/UU/1992', '31/150/KEP/DIR|SKDIR-BI/1998', '10/UU/1998' </related_reg>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 8/25/PBI/2006
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR
6/17/PBI/2004 TENTANG BANK PERKREDITAN RAKYAT
BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang: a. bahwa dalam rangka mendorong
pertumbuhan
Bank
Perkreditan Rakyat Berdasarkan Prinsip Syariah agar dapat
melayani masyarakat yang lebih luas, maka diperlukan
penyesuaian kebijakan yang berkaitan dengan perluasan
jaringan kantor dan permodalan;
b. bahwa untuk dapat beroperasi dengan baik Bank Perkreditan
Rakyat Berdasarkan Prinsip Syariah selain membutuhkan
permodalan yang kuat juga membutuhkan pengelolaan yang
profesional;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a dan huruf b, maka dipandang perlu untuk
melakukan perubahan terhadap Peraturan Bank Indonesia
Nomor
Berdasarkan Prinsip Syariah;
Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor
31 …
6/17/PBI/2004 tentang Bank Perkreditan Rakyat
-2 -
31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor
10
Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3790);
2. Undang-Undang Nomor
23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999
Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3843) sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4357);
M E M U T U S K A N:
Menetapkan:
PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 6/17/PBI/2004
TENTANG BANK
PERKREDITAN RAKYAT BERDASARKAN PRINSIP
SYARIAH.
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/17/PBI/2004
tentang Bank Perkreditan Rakyat Berdasarkan Prinsip Syariah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 58, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4392) diubah sebagai berikut:
1. Ketentuan …
-3 -
1. Ketentuan Pasal 22 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 22
(1) Jumlah anggota Direksi BPRS paling sedikit 2 (dua) orang.
(2) Paling sedikit 50% (lima puluh perseratus) dari anggota Direksi
termasuk Direktur Utama wajib berpengalaman operasional paling
sedikit:
a. 1 (satu) tahun sebagai pejabat di bidang pendanaan dan atau
pembiayaan di perbankan syariah;
b. 4 (empat) tahun sebagai pegawai di bidang pendanaan dan
pembiayaan di perbankan syariah;
c. 2 (dua) tahun sebagai pejabat di bidang pendanaan dan atau
perkreditan
di
perbankan konvensional
pengetahuan di bidang perbankan syariah; atau
d. 3 (tiga) tahun sebagai direksi atau setingkat dengan direksi di
lembaga keuangan syariah yang telah mendapat izin dari instansi
yang berwenang.
(3) Bagi anggota Direksi
lain yang belum berpengalaman perbankan
syariah wajib mengikuti pelatihan perbankan syariah.
(4) Anggota Direksi paling sedikit
setingkat Diploma III atau Sarjana Muda.
(5) Anggota Direksi wajib memiliki sertifikat kelulusan dari lembaga
sertifikasi.
(6) Direktur Utama BPRS wajib berasal dari pihak yang independen
terhadap pemegang saham pengendali.
berpendidikan formal minimal
dan memiliki
2. Pasal 35 …
-4 -
2. Pasal 35 ayat (1) Penjelasan diubah dan ayat (2) dihapus sehingga Pasal
35 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 35
(1) Produk dan jasa baru yang akan dikeluarkan oleh BPRS wajib
memperoleh persetujuan terlebih dahulu dari Bank Indonesia.
(2) Dihapus.
3. Diantara Pasal 35 dan Pasal 36 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 35A
sehingga berbunyi sebagai berikut :
Pasal 35A
BPRS wajib menjaga Aktiva Tetap dan Inventaris BPRS paling tinggi
50% (lima puluh perseratus) dari modal disetor BPRS.
4. Ketentuan Pasal 37 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 37
(1) Pembukaan Kantor Cabang BPRS hanya dapat dilakukan dengan
izin Bank Indonesia.
(2) BPRS dapat membuka Kantor Cabang dalam 1 (satu) wilayah
propinsi yang sama dengan kantor pusatnya.
(3) BPRS yang kantor pusatnya berada di wilayah Daerah Khusus
Ibukota Jakarta Raya dan Kabupaten/Kota Tangerang, Bogor,
Depok, dan Bekasi dapat membuka Kantor Cabang dalam wilayah
tersebut.
(4) Rencana pembukaan Kantor Cabang sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) wajib dicantumkan dalam rencana kerja tahunan BPRS.
(5) Pembukaan …
-5 -
(5) Pembukaan Kantor Cabang wajib memenuhi persyaratan tingkat
kesehatan selama 6 (enam) bulan terakhir tergolong sehat.
(6) Dalam setiap pembukaan Kantor Cabang berlaku ketentuan sebagai
berikut:
a. BPRS dengan modal disetor kurang dari Rp5.000.000.000,00
(lima milyar rupiah) wajib menambah modal disetor sekurang-
kurangnya 25% (dua puluh lima perseratus) dari persyaratan
pendirian BPRS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4;
b. BPRS dengan modal disetor Rp5.000.000.000,00 (lima milyar
rupiah) atau lebih tidak wajib menambah modal disetor.
5. Ketentuan Pasal 41 ayat (2) huruf b diubah, sehingga Pasal 41 berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 41
(1) Rencana pembukaan Kantor Kas dan Kegiatan Kas di Luar Kantor
wajib dicantumkan dalam rencana kerja tahunan BPRS.
(2) Pembukaan Kantor Kas dan Kegiatan Kas di Luar Kantor hanya
dapat dilakukan dalam:
a. Satu wilayah Kabupaten/Kota yang sama dengan kantor BPRS
yang menjadi induknya; dan atau
b. Satu wilayah Kabupaten/ Kota yang berbatasan langsung dengan
kantor BPRS yang menjadi induknya baik dalam propinsi yang
sama maupun propinsi yang berbeda.
(3) BPRS yang akan membuka Kantor Kas wajib memenuhi persyaratan
tingkat kesehatan selama 6 (enam) bulan terakhir paling kurang
tergolong cukup sehat.
(4) Pembukaan …
-6 -
(4) Pembukaan Kantor Kas hanya dapat dilakukan setelah mendapatkan
surat penegasan dari Bank Indonesia.
(5) Surat penegasan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diberikan
paling lambat 30 (tiga puluh) hari setelah dokumen diterima secara
lengkap.
6. Ketentuan Pasal 54 ayat (3) dihapus sehingga Pasal 54 berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 54
(1) Perubahan kegiatan usaha BPR yang melaksanakan kegiatan usaha
secara konvensional menjadi BPR yang melaksanakan kegiatan
usaha berdasarkan prinsip syariah hanya dapat dilakukan dengan izin
perubahan kegiatan usaha Dewan Gubernur Bank Indonesia.
(2) Perubahan kegiatan usaha BPR sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) hanya dapat dilakukan apabila telah dicantumkan dalam rencana
kerja tahunan BPR.
(3) Dihapus.
7. Ketentuan Pasal 55, Pasal 56, dan Pasal 57 dihapus.
8. Ketentuan Pasal 58 diubah dan ditambah 1 (satu) ayat yakni ayat (2)
sehingga Pasal 58 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 58
(1) Permohonan untuk mendapatkan izin perubahan kegiatan usaha
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 diajukan oleh Direksi BPR
kepada …
-7 -
kepada Dewan Gubernur Bank Indonesia dan wajib dilampiri
dengan:
a. Anggaran dasar bank;
b. Rancangan akta perubahan anggaran dasar yang secara tegas
mencantumkan bahwa BPR melaksanakan kegiatan
usaha
berdasarkan prinsip syariah serta penempatan dan tugas-tugas
Dewan Pengawas Syariah, yang telah disetujui oleh rapat umum
pemegang saham dan dibuat dihadapan notaris dalam bahasa
Indonesia;
c. Rencana struktur organisasi dan susunan personalia;
d. Rencana penyelesaian seluruh hak dan kewajiban BPR terhadap
nasabah yang tidak bersedia menjadi nasabah BPRS;
e. Rencana kerja tahunan BPR yang termasuk didalamnya rencana
kerja tahun pertama yang sekurang-kurangnya memuat:
i. Rencana kegiatan usaha yang mencakup penghimpunan dan
penyaluran dana serta langkah-langkah kegiatan yang akan
dilakukan dalam mewujudkan rencana dimaksud;
ii. Rencana kebutuhan pegawai;
iii. Proyeksi arus kas bulanan selama 36 (tiga puluh enam)
bulan yang
dimulai
sejak BPRS melakukan kegiatan
operasionalnya serta proyeksi neraca dan perhitungan laba
rugi;
f. Studi kelayakan pendirian BPRS yang antara lain memuat hasil
penelaahan mengenai peluang pasar dan potensi ekonomi di
wilayah Kabupaten/Kota tempat kedudukan
operasional BPRS;
dan wilayah
g. Data …
-8 -
g. Data kepemilikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1)
huruf b dalam hal
terjadi penggantian dan atau penambahan
pemilik, disertai dengan dokumen sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6 ayat (2);
h. Daftar anggota direksi dan dewan komisaris, dan atau calon
anggota Direksi
dan
dewan komisaris dalam hal terjadi
penggantian, yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 21, 22, 23, dan 24, disertai dengan dokumen
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf h,
huruf i, huruf j dan huruf k;
i. Daftar Dewan Pengawas Syariah yang memenuhi persyaratan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 dan 30, disertai dengan
dokumen Pasal 9 ayat (1) huruf c;
j. Surat pernyataan dari Direksi dan dewan Komisaris sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 huruf h, huruf i, dan huruf k;
k. Bukti kesiapan operasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9
huruf f.
(2) BPRS yang mengajukan permohonan izin perubahan kegiatan usaha
wajib melakukan presentasi kepada Bank Indonesia mengenai
keseluruhan rencana perubahan kegiatan usaha.
9. Ketentuan Pasal 59 ayat (2) diubah dan ayat (3) dihapus sehingga
berbunyi sebagai berikut:
Pasal 59
(1) Persetujuan atau penolakan atas permohonan perubahan kegiatan
usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 diberikan paling
lambat …
-9 -
lambat 60 (enam puluh) hari setelah dokumen permohonan diterima
secara lengkap.
(2) Dalam rangka memberikan persetujuan atau penolakan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia melakukan:
a. Penelitian atas kelengkapan dan kebenaran dokumen;
b. Wawancara terhadap pemilik,
anggota Direksi
Komisaris serta Dewan Pengawas Syariah;
c. Analisis yang mencakup antara lain tingkat kesehatan,
tingkat
persaingan yang sehat dan tingkat kejenuhan antar bank yang
melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah dan
BPRS.
(3) Dihapus.
10. Diantara Pasal 59 dan Pasal 60 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 59 A
dan Pasal 59 B sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 59 A
Dalam hal perubahan anggaran dasar BPR memerlukan persetujuan dari
instansi berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (1) huruf
b, permohonan persetujuan atas perubahan anggaran dasar kepada instansi
berwenang diajukan bersamaan dengan pengajuan permohonan izin
perubahan kegiatan usaha.
Pasal 59 B
(1) Izin perubahan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal
54 ayat (1) berlaku sejak :
a. tanggal …
dan Dewan
-10 -
a. tanggal
persetujuan
perubahan
anggaran dasar
atau
akta
pendirian termasuk anggaran dasar dari instansi berwenang; atau
b. tanggal pendaftaran akta perubahan anggaran dasar dalam daftar
perusahaan apabila perubahan anggaran dasar tidak memerlukan
persetujuan instansi yang berwenang.
(2) BPR yang telah mendapatkan izin perubahan kegiatan usaha dari
Dewan Gubernur Bank Indonesia wajib melaksanakan kegiatan
usaha berdasarkan prinsip syariah paling lambat 60 (enam puluh)
hari sejak izin perubahan kegiatan usaha diberlakukan.
11. Diantara BAB XI dan BAB XII disisipkan 1 (satu) bab yakni BAB XI A,
sehingga berbunyi sebagai berikut:
BAB XI A
LEMBAGA SERTIFIKASI
Pasal 65A
(1) Lembaga sertifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (5)
merupakan lembaga yang mengatur
dan menetapkan sistem
sertifikasi bagi anggota dan calon anggota Direksi yang memenuhi
persyaratan minimum yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
(2) Persyaratan minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah
sebagai berikut:
a. Mempunyai visi dan misi, terutama untuk pengembangan sumber
daya manusia BPRS dengan tujuan akhir untuk tercapainya
industri BPRS yang sehat kuat dan efisien.
b. Mempunyai organ terdiri
dari dewan sertifikasi,
kurikulum nasional, dan manajemen.
c. Memiliki …
komite
-11 -
c. Memiliki kompetensi
dan komitmen untuk melaksanakan
kebijakan pengembangan sumber daya manusia BPRS; dan
d. Tidak berorientasi pada keuntungan.
(3) Lembaga sertifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya
dapat menjalankan kegiatannya setelah memperoleh izin
instansi yang berwenang, berdasarkan rekomendasi Bank Indonesia.
sebagaimana
(4) Bank
Indonesia tidak memberikan
rekomendasi
dimaksud pada ayat (3) dalam hal keberadaan lembaga sertifikasi
telah dianggap cukup.
(5) Ketentuan pelaksanaan tentang sertifikasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
12. Ketentuan Pasal 66 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 66
(1) BPRS yang tidak menaati ketentuan dalam Pasal 4, Pasal 12, Pasal
13, Pasal 14, Pasal 15, Pasal 16, Pasal 17 ayat (2), Pasal 20, Pasal
21, Pasal 22, Pasal 23, Pasal 24, Pasal 26, Pasal 27, Pasal 28, Pasal
29 ayat (1), Pasal 30, Pasal 31 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 33 ayat
(1), Pasal 34, Pasal 35, Pasal 35A, Pasal 36 ayat (2), Pasal 41 ayat
(4), Pasal 43, Pasal 45, Pasal 49 ayat (2), Pasal 50 ayat (1), Pasal 53
ayat (1), Pasal 54 ayat (1), Pasal 59 B ayat (2), Pasal 60 ayat (2) dan
ayat (3), Pasal 61, Pasal 62 ayat (1), Pasal 64 ayat (1), Pasal 65,
dapat
dikenakan sanksi administratif sesuai dengan Pasal 52
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun
1998.
(2) BPRS …
dari
-12 -
(2) BPRS yang tidak menaati ketentuan dalam Pasal 11 ayat (2), Pasal
17 ayat (1) dan ayat (4), Pasal 18 ayat (1), Pasal 19, Pasal 25, Pasal
33 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 40 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 42 ayat
(2), Pasal 44, Pasal 48 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 49 ayat (3) dan
ayat (5), Pasal 53 ayat (2), Pasal 60 ayat (1), Pasal 62 ayat (4) dan
ayat (5), Pasal 63 ayat (2), Pasal 64 ayat (4) dapat dikenakan sanksi
administratif sesuai Pasal 52 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992
tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 1998, berupa:
a. Teguran tertulis dan denda sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu
rupiah) untuk setiap keterlambatan laporan;
(3) BPRS
b. Teguran tertulis dan denda sebesar Rp250.000,00 (dua ratus lima
puluh ribu rupiah) apabila BPRS tidak menyampaikan laporan.
dinyatakan tidak menyampaikan laporan sebagaimana
dalam ayat (2) huruf b apabila BPRS belum
dimaksud
menyampaikan laporan dimaksud setelah 30 (tiga puluh) hari sejak
batas akhir penyampaian laporan.
(4) Setiap pihak yang tidak menaati ketentuan dalam Pasal 3 ayat (1),
Pasal 8 ayat (2), serta Pasal 37 ayat (1), dapat dikenakan sanksi
pidana sesuai Pasal 46 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992
tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 1998.
13. Ketentuan Pasal 68 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) diubah dan ditambah 1
(satu) ayat yakni ayat (4) sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 68 …
-13 -
Pasal 68
(1) BPRS yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud
Pasal 35A wajib menyesuaikan dengan ketentuan tersebut dalam
waktu paling lambat tanggal 31 Desember 2007.
Syariah yang
(2) Anggota Dewan
Pengawas
persyaratan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal
menyesuaikan dengan ketentuan tersebut dalam waktu paling lambat
tanggal 1 Juli 2007.
(3) BPRS yang belum memenuhi persyaratan modal disetor minimum
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, wajib memenuhi persyaratan
modal disetor minimum dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Paling sedikit 50% (lima puluh perseratus) dari modal disetor
minimum pada tanggal 31 Desember 2008;
b. Paling sedikit 70% (tujuh puluh perseratus) dari modal disetor
minimum pada tanggal 31 Desember 2010;
c. 100% (seratus perseratus) dari modal disetor minimum pada
tanggal 31 Desember 2012;
(4) Pemenuhan kewajiban bagi
anggota Direksi
untuk memiliki
sertifikat kelulusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (5)
diatur sebagai berikut:
a. Paling sedikit 1 (satu) orang anggota Direksi wajib memiliki
sertifikat kelulusan paling lambat pada tanggal 31 Desember
2007;
b. Anggota Direksi lainnya wajib memiliki sertifikat kelulusan
paling lambat pada tanggal 31 Desember 2008.
Pasal II …
tidak memenuhi
30 wajib
-14 -
Pasal II
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 5 Oktober 2006
GUBERNUR BANK INDONESIA,
BURHANUDDIN ABDULLAH
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2006 NOMOR 82
DPbS
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 8/25/PBI/2006
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR
6/17/PBI/2004 TENTANG BANK PERKREDITAN RAKYAT
BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH
UMUM
Untuk dapat meningkatkan jangkauan pelayanan Bank Perkreditan
Rakyat Berdasarkan Prinsip Syariah kepada masyarakat luas yang
membutuhkan
diperlukan kemudahan dari segi perizinan dan persyaratan
pembukaan kantor Bank Perkreditan Rakyat Berdasarkan Prinsip Syariah dan
konversi Bank Perkreditan Rakyat yang melaksanakan kegiatan usaha secara
konvensional menjadi Bank Perkreditan Rakyat Berdasarkan Prinsip Syariah.
Kemudahan dalam pembukaan jaringan kantor tersebut hanya dapat dilakukan
dengan mempertimbangkan faktor permodalan yang cukup dan pengelolaan
yang didukung oleh pengurus yang kompeten.
Berdasarkan pertimbangan tersebut maka dirasa perlu ketentuan yang
saat ini berlaku untuk disesuaikan khususnya yang terkait dengan pengaturan
konversi, persyaratan permodalan pembukaan kantor, persyaratan pengurus
dan beberapa ketentuan lainnya.
PASAL …
-2 -
PASAL DEMI PASAL
Pasal I
Angka 1
Pasal 22
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a sampai dengan huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Yang dimaksud dengan lembaga keuangan
syariah antara lain adalah koperasi simpan
pinjam syariah, dan Baitul Maal wa Tamwil
(BMT).
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud setingkat Diploma III atau Sarjana
Muda harus dibuktikan dengan surat keterangan
tertulis dari perguruan tinggi yang bersangkutan.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Penilaian independensi didasarkan pada keterkaitan
yang bersangkutan
pada kepengurusan,
kepemilikan dan atau hubungan keuangan dengan
seluruh …
-3 -
seluruh kelompok
Pengendali.
Angka 2
Pasal 35
Bank Indonesia
akan menilai produk dan jasa
baru
tersebut antara lain dari sisi kehati-hatian, kesesuaian
aspek syariah dan ketentuan perbankan yang berlaku.
Yang dimaksud produk dan jasa baru adalah:
a. Produk dan jasa baru yang belum ada izin pada saat
izin usaha BPRS diberikan oleh Bank Indonesia.
b. Produk dan jasa baru yang sudah ada sebelumnya di
BPRS lain, namun terdapat perbedaan karakteristik
terhadap produk yang sudah ada; atau
c. Produk dan jasa baru yang merupakan turunan dari
produk dan jasa yang sudah ada.
Angka 3
Pasal 35A
Yang dimaksud dengan Aktiva tetap dan inventaris adalah
aktiva berwujud yang diperoleh dalam bentuk siap pakai
atau dengan dibangun terlebih dahulu, yang digunakan
dalam kegiatan operasi BPRS, tidak dimaksudkan untuk
dijual/disewakan dalam rangka kegiatan usaha BPRS.
Angka 4
Pasal 37
Ayat (1)
Cukup jelas …
usaha Pemegang Saham
-4 -
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Angka 5
Pasal 41
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Contoh: BPRS yang berlokasi
di Depok
(termasuk ke dalam wilayah propinsi Jawa
Barat) dapat membuka Kantor Kas/Kegiatan
Kas di Luar Kantor di Ciputat (termasuk ke
dalam wilayah
Depok
berbatasan langsung
Tangerang, Banten.
Ayat (3)
Cukup jelas …
propinsi Banten), karena
dengan
-5 -
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Angka 6
Pasal 54
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Angka 7
Cukup jelas.
Angka 8
Pasal 58
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Angka 9
Pasal 59
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Apabila …
-6 -
Apabila diperlukan, dalam rangka penelitian
atas kebenaran dokumen, Bank Indonesia
dapat melakukan pemeriksaan.
Huruf b
Materi wawancara
antara
lain meliputi
masalah integritas dan atau kompetensi.
Wawancara dilakukan terhadap pihak-pihak:
a. yang belum pernah bekerja dan atau
menjadi Pemegang Saham Pengendali di
lembaga perbankan; atau
b. pihak-pihak yang pernah bekerja dan
atau menjadi Pemegang Saham
Pengendali di lembaga perbankan yang
masih diperlukan keterangan lebih lanjut
mengenai integritas dan atau kompetensi
yang bersangkutan.
Dalam hal calon
Pemegang
Saham
Pengendali BPRS berbentuk badan hukum
atau yayasan maka wawancara dilakukan
terhadap anggota pengurus badan hukum
atau yayasan, atau pejabat yang diberikan
kewenangan mewakili badan hukum atau
yayasan yang bersangkutan.
Dalam hal BPRS merupakan bagian dari
kepemilikan suatu kelompok usaha maka
wawancara terhadap calon Pemegang Saham
Pengendali dilakukan terhadap pihak-pihak
Cukup jelas …
-7 -
yang berdasarkan penilaian Bank Indonesia
mengendalikan
maupun tidak langsung atas seluruh
kelompok usaha.
Dalam hal calon
Pemegang
Pengendali
adalah Pemerintah atau
Pemerintah Daerah maka tidak dilakukan
wawancara terhadap calon Pemegang Saham
Pengendali.
Dalam hal tidak terdapat Pemegang Saham
Pengendali maka wawancara dilakukan
terhadap calon pemegang saham pendiri
tertentu berdasarkan penilaian Bank
Indonesia.
Huruf c
Apabila diperlukan, dalam rangka penelitian
atas kebenaran dokumen, Bank Indonesia
dapat melakukan pemeriksaan.
Angka 10
Pasal 59A
Cukup jelas
Pasal 59B
Cukup jelas.
Angka 11
Pasal 65A
Ayat (1) …
baik secara langsung
Saham
-8 -
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Angka 12
Pasal 66
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Angka 13 …
-9 -
Angka 13
Pasal 68
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal II
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4651
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 8/25/PBI/2006 </reg_id>
<reg_title> PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 6/17/PBI/2004 TENTANG BANK PERKREDITAN RAKYAT BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH </reg_title>
<set_date> 5 Oktober 2006 </set_date>
<effective_date> 5 Oktober 2006 </effective_date>
<changed_reg> '6/17/PBI/2004' </changed_reg>
<related_reg> '23/UU/1999', '3/UU/2004', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg>
<penalty_list> 'Pasal I Angka 12 Pasal 66' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 17/ 14 /PBI/2015
TENTANG
PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR
16/17/PBI/2014 TENTANG TRANSAKSI VALUTA ASING TERHADAP
RUPIAH ANTARA BANK DENGAN PIHAK ASING
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang :
a. bahwa tujuan Bank Indonesia adalah mencapai dan
memelihara kestabilan nilai Rupiah;
b. bahwa dalam rangka mendukung kestabilan nilai
Rupiah diperlukan pasar valuta asing domestik yang
memiliki daya tahan terhadap gejolak eksternal;
c. bahwa perkembangan terkini kondisi pasar valuta
asing domestik menyebabkan diperlukannya
kebijakan untuk mewujudkan pasar valuta asing
domestik yang sehat, dengan tetap memenuhi
kebutuhan masyarakat untuk mendukung aktivitas
ekonomi;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c,
perlu melakukan perubahan kedua atas Peraturan
Bank Indonesia Nomor 16/17/PBI/2014 tentang
Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah Antara
Bank Dengan Pihak Asing;
Mengingat :
1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang
Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843)
sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir
dengan…
- 2 -
dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009
tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23
Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi
Undang-Undang (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962);
2. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu
Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 67,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3844);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN
KEDUA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR
16/17/PBI/2014 TENTANG TRANSAKSI VALUTA
ASING TERHADAP RUPIAH ANTARA BANK DENGAN
PIHAK ASING.
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor
16/17/PBI/2014 tentang Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah Antara
Bank Dengan Pihak Asing (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2014 Nomor 213, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5582) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor
17/7/PBI/2015 tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor
16/17/PBI/2014 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015
Nomor 117, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5702)
diubah sebagai berikut:
1. Ketentuan…
- 3 -
1. Ketentuan Pasal 4 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 4
(1) Jumlah tertentu (threshold) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
ayat (1) untuk pembelian valuta asing terhadap Rupiah oleh Pihak
Asing kepada Bank melalui Transaksi Spot adalah USD25,000.00
(dua puluh lima ribu dolar Amerika Serikat) atau ekuivalennya per
bulan per Pihak Asing.
(2) Pembelian valuta asing terhadap Rupiah oleh Pihak Asing kepada
Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang melebihi nilai
nominal Underlying Transaksi.
(3) Dalam hal nilai nominal Underlying Transaksi sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) tidak dalam kelipatan USD5,000.00 (lima
ribu dolar Amerika Serikat) maka terhadap nilai nominal
Underlying Transaksi dimaksud dapat dilakukan pembulatan ke
atas dalam kelipatan USD5,000.00 (lima ribu dolar Amerika
Serikat).
2. Ketentuan Pasal 6 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 6
(1) Kewajiban memiliki Underlying Transaksi untuk pembelian valuta
asing terhadap Rupiah oleh Pihak Asing kepada Bank melalui
Transaksi Spot di atas jumlah tertentu (threshold) sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) tidak berlaku untuk
penyelesaian Transaksi Derivatif awal yang dilakukan melalui:
a. perpanjangan transaksi (roll over), sepanjang jangka waktu
perpanjangan transaksi (roll over) paling lama sama dengan
jangka waktu Underlying Transaksi awal;
b. percepatan penyelesaian transaksi (early termination); atau
c. pengakhiran transaksi (unwind).
(2) Kewajiban memiliki Underlying Transaksi untuk Transaksi
Derivatif antara Bank dengan Pihak Asing di atas jumlah tertentu
(threshold) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) tidak
berlaku…
- 4 -
berlaku untuk penyelesaian Transaksi Derivatif awal yang
dilakukan melalui:
a. perpanjangan transaksi (roll over), sepanjang jangka waktu
perpanjangan transaksi (roll over) paling lama sama dengan
jangka waktu Underlying Transaksi awal;
b. percepatan penyelesaian transaksi (early termination); atau
c. pengakhiran transaksi (unwind).
3. Ketentuan Pasal 22 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 22
(1) Dalam hal Pihak Asing melakukan pembelian valuta asing
terhadap Rupiah kepada Bank melalui Transaksi Spot dengan
nilai nominal di atas jumlah tertentu (threshold) sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), Bank wajib memastikan Pihak
Asing untuk menyampaikan dokumen sebagai berikut:
a. dokumen
Underlying
Transaksi
yang dapat
dipertanggungjawabkan, baik yang bersifat final maupun yang
berupa perkiraan; dan
b. dokumen pendukung berupa pernyataan tertulis yang
authenticated dari Pihak Asing yang berisi informasi
mengenai:
1. keaslian dan kebenaran dokumen Underlying Transaksi
sebagaimana dimaksud pada huruf a; dan
2. penggunaan dokumen Underlying Transaksi untuk
pembelian valuta asing terhadap Rupiah paling banyak
sebesar nominal Underlying Transaksi dalam sistem
perbankan di Indonesia.
3. jumlah kebutuhan, tujuan penggunaan, dan tanggal
penggunaan valuta asing, dalam hal dokumen Underlying
Transaksi sebagaimana dimaksud pada huruf a berupa
perkiraan.
(2) Dalam…
- 5 -
(2) Dalam hal Pihak Asing melakukan pembelian valuta asing
terhadap Rupiah kepada Bank melalui Transaksi Spot paling
banyak sebesar jumlah tertentu (threshold) sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), Bank wajib memastikan Pihak
Asing untuk menyampaikan dokumen pendukung berupa
pernyataan tertulis yang authenticated yang menyatakan bahwa
pembelian valuta asing terhadap Rupiah tidak lebih dari
USD25,000.00 (dua puluh lima ribu dolar Amerika Serikat) atau
ekuivalennya per bulan per Pihak Asing dalam sistem perbankan
di Indonesia.
4. Ketentuan Pasal 26 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 26
(1) Bank dapat menerima dokumen pendukung Transaksi Valuta
Asing Terhadap Rupiah yang disampaikan oleh Pihak Asing
secara berkala dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Dokumen Underlying Transaksi bersifat final; dan
b. Bank telah mengetahui track record Pihak Asing dengan baik.
(2) Dalam hal Bank melakukan fungsi kustodian dan memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dokumen
pendukung dapat diterima dari Pihak Asing paling kurang 1
(satu) kali dalam 1 (satu) tahun kalender.
(3) Dalam hal Bank tidak melakukan fungsi kustodian dan Pihak
Asing memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), dokumen pendukung dapat diterima paling kurang 1 (satu)
kali dalam 1 (satu) bulan kalender.
(4) Bank dapat menerima dokumen pendukung yang disampaikan
oleh Pihak Asing atas pembelian valuta asing terhadap Rupiah
melalui Transaksi Spot paling banyak sebesar USD25,000.00
(dua puluh lima ribu dolar Amerika Serikat) atau ekuivalennya
per bulan per Pihak Asing paling kurang 1 (satu) kali dalam 1
(satu) bulan.
Pasal II…
- 6 -
Pasal II
1. Transaksi pembelian valuta asing terhadap Rupiah oleh Nasabah
kepada Bank yang telah dilakukan sebelum berlakunya Peraturan
Bank Indonesia ini tetap tunduk pada ketentuan sebagaimana diatur
dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 16/17/PBI/2014 tentang
Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah Antara Bank Dengan Pihak
Asing sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia
Nomor 17/7/PBI/2015.
2. Ketentuan mengenai sanksi kewajiban membayar sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 30 Peraturan Bank Indonesia Nomor
16/17/PBI/2014 tentang Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah
Antara Bank Dengan Pihak Asing sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Bank Indonesia Nomor 17/7/PBI/2015 untuk pelanggaran
atas ketentuan mengenai pembelian valuta asing terhadap Rupiah
sebagaimana dimaksud dalam:
a. Pasal 3 ayat (1) Peraturan Bank Indonesia Nomor
16/17/PBI/2014 tentang Transaksi Valuta Asing Terhadap
Rupiah Antara Bank Dengan Pihak Asing sebagaimana telah
diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor
17/7/PBI/2015; dan
b. Pasal 4 ayat (2) dan Pasal 22 ayat (1) Peraturan Bank Indonesia
ini,
mulai berlaku pada tanggal 1 Oktober 2015, khusus untuk pembelian
valuta asing terhadap Rupiah melalui Transaksi Spot dengan jumlah
di atas USD25,000.00 (dua puluh lima ribu dolar Amerika Serikat)
sampai dengan USD100.000,00 (seratus ribu dolar Amerika Serikat).
3. Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
Agar…
- 7 -
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 25 Agustus 2015
GUBERNUR BANK INDONESIA,
AGUS D. W. MARTOWARDOJO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 25 Agustus 2015
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2015 NOMOR 202
DPM
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 17/14/PBI/2015
TENTANG
PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR
16/17/PBI/2014 TENTANG TRANSAKSI VALUTA ASING TERHADAP
RUPIAH ANTARA BANK DENGAN PIHAK ASING
I. UMUM
Perkembangan terkini kondisi pasar valuta asing domestik
menimbulkan tantangan terhadap upaya mencapai dan memelihara
kestabilan nilai rupiah. Salah satu tantangan yang muncul adalah
tingginya permintaan masyarakat terhadap valuta asing untuk
kegiatan yang tidak terkait secara langsung dengan kegiatan
perdagangan dan investasi. Tantangan ini menyebabkan
diperlukannya kebijakan di pasar valuta asing domestik yang
bersifat proaktif, untuk mendorong permintaan valuta asing yang
sehat dan meningkatkan pasokan valuta asing di pasar domestik
dengan tetap memenuhi kebutuhan masyarakat untuk mendukung
aktivitas ekonomi. Sehubungan dengan itu, Bank Indonesia perlu
melakukan penyempurnaan terhadap ketentuan terkait dengan
Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah Antara Bank dengan Pihak
Asing.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal I
Angka 1
Pasal 4
Cukup jelas.
Angka 2…
- 2 -
Angka 2
Pasal 6
Cukup jelas.
Angka 3
Pasal 22
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan ”dokumen Underlying
Transaksi yang bersifat final” adalah dokumen yang
tidak akan mengalami perubahan dalam hal jumlah
dan/atau waktu pemenuhan kebutuhannya.
Huruf b
Yang dimaksud dengan ”pernyataan yang
authenticated” adalah pernyataan yang telah
diverifikasi atau dibuktikan kebenarannya secara
sistem.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan ”pernyataan yang authenticated”
adalah pernyataan yang telah diverifikasi atau dibuktikan
kebenarannya secara sistem.
Angka 4
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal II
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5737
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 17/14/PBI/2015 </reg_id>
<reg_title> PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 16/17/PBI/2014 TENTANG TRANSAKSI VALUTA ASING TERHADAP RUPIAH ANTARA BANK DENGAN PIHAK ASING </reg_title>
<set_date> 25 Agustus 2015 </set_date>
<effective_date> 25 Agustus 2015 </effective_date>
<issued_date> 25 Agustus 2015 </issued_date>
<changed_reg> '16/17/PBI/2014' </changed_reg>
<extension_of> '17/7/PBI/2015' </extension_of>
<related_reg> '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '24/UU/1999' </related_reg>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 2 / 10 /PBI/2000
TENTANG
PERUBAHAN PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 1/10/PBI/1999
TENTANG PORTOFOLIO OBLIGASI PEMERINTAH BAGI BANK
UMUM PESERTA PROGRAM REKAPITALISASI
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang :
a. bahwa dalam rangka pengembangan pasar sekunder obligasi
pemerintah serta untuk memberikan ruang gerak bagi bank dalam
mengatur kebutuhan likuiditasnya, perlu dilakukan upaya-upaya
untuk meningkatkan portofolio perdagangan obligasi pemerintah
yang telah dimiliki bank-bank umum peserta program rekapitalisasi;
b. bahwa sehubungan dengan itu dipandang perlu untuk mengubah
Peraturan Bank Indonesia Nomor 1/10/PBI/1999 tentang
Portofolio Obligasi Pemerintah Bagi Bank Umum Peserta Program
Rekapitalisasi;
Mengingat
:
1. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-
undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Tahun 1998
Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3790);
dengan...
-2-
2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia
(Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3843);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 84 Tahun 1998 tentang Program
Rekapitalisasi Bank Umum (Lembaran Negara Tahun 1998 Nomor
197, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3799);
4. Peraturan Bank Indonesia Nomor 1/10/PBI/1999 tentang
Portofolio Obligasi Pemerintah Bagi Bank Umum Peserta Program
Rekapitalisasi (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 211,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3917);
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG
PERUBAHAN PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR
1/10/PBI/1999 TENTANG PORTOFOLIO OBLIGASI
PEMERINTAH BAGI BANK UMUM PESERTA
PROGRAM REKAPITALISASI.
Pasal I...
-3-
Pasal I
Mengubah beberapa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 1/10/PBI/1999
tentang Portofolio Obligasi Pemerintah Bagi Bank Umum Peserta Program Rekapitalisasi
sebagai berikut:
1. Ketentuan Pasal 3 diubah, sehingga Pasal 3 seluruhnya menjadi berbunyi sebagai
berikut:
“Pasal 3
(1) Bank dapat memperdagangkan Obligasi sejak 1 Februari 2000, setinggi-tingginya
10% (sepuluh perseratus) dari nilai keseluruhan Obligasi yang dibeli pada saat Bank
menerima penyertaan tunai dari Pemerintah sehubungan dengan Program
Rekapitalisasi Bank Umum.
(2) Bank Indonesia menetapkan dan mengumumkan jenis dan seri Obligasi yang dapat
diperdagangkan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dengan Surat Edaran Bank
Indonesia.
(3) Bank wajib melaporkan kepada Bank Indonesia jumlah, jenis dan seri Obligasi
yang akan diperdagangkan setiap waktu sesuai dengan ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2).
(4) Jumlah, jenis dan seri Obligasi yang dapat diperdagangkan oleh Bank sebagaimana
dimaksud dalam ayat (3) berlaku efektif 1 (satu) hari kerja sejak Bank Indonesia
menerima laporan Bank.”
2. Menambah ketentuan baru pada Pasal 4 yang dijadikan Pasal 4 ayat (3), yang berbunyi
sebagai berikut:
“Pasal 4...
-4-
“Pasal 4
(3) Dalam hal Bank Indonesia menetapkan peningkatan prosentase Obligasi yang
dapat diperdagangkan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), berlaku ketentuan
sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat (2), ayat (3) dan ayat (4).”
3. Ketentuan Pasal 5 diubah sehingga Pasal 5 seluruhnya menjadi berbunyi sebagai berikut:
“Pasal 5
Bank yang memiliki Obligasi yang diterbitkan Pemerintah setelah 31 Januari 2000
sebagai penyertaan tunai Pemerintah dalam rangka Program Rekapitalisasi Bank Umum
dapat memperdagangkan Obligasi setinggi-tingginya sebesar prosentase yang berlaku
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan Pasal 4.”
4. Ketentuan Pasal 6 ayat (1) diubah sehingga Pasal 6 ayat (1) seluruhnya menjadi
berbunyi sebagai berikut :
“ Pasal 6
(1) Bank wajib memindahbukukan Obligasi yang dapat diperdagangkan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) dan Pasal 4 ayat (3) dari Portofolio Investasi ke
dalam Portofolio Perdagangan.”
5. Ketentuan Pasal 10 ayat (1) diubah sehingga Pasal 10 ayat (1) seluruhnya menjadi
berbunyi sebagai berikut:
“Pasal 10...
-5-
“Pasal 10
(1) Bank yang tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2,
Pasal 3 ayat (3), Pasal 4 ayat (3), Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8 ayat (2), Pasal 9 ayat
(1), ayat (4) dan ayat (6) dikenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 52 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah
dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998.”
Pasal II
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 29 Maret 2000
GUBERNUR BANK INDONESIA
SYAHRIL SABIRIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2000 NOMOR 39
-6-
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 2 / 10 /PBI/2000
TENTANG
PERUBAHAN PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 1/10/PBI/1999
TENTANG PORTOFOLIO OBLIGASI PEMERINTAH BAGI BANK
UMUM PESERTA PROGRAM REKAPITALISASI
I. UMUM
Sebagaimana diketahui bahwa sebagai tindak lanjut dari program rekapitalisasi
perbankan, telah ditetapkan bahwa obligasi pemerintah yang dimiliki oleh bank umum
peserta program rekapitalisasi dapat diperdagangkan sesuai dengan batasan portofolio
obligasi yang dapat diperdagangkan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Selanjutnya bank
umum menetapkan dan melaporkan kepada Bank Indonesia jumlah obligasi yang
diperdagangkan. Jumlah yang dilaporkan tersebut merupakan batas dari portofolio obligasi
yang dapat diperdagangkan meskipun jumlahnya masih berada dibawah prosentase atau
batasan maksimum yang ditetapkan Bank Indonesia.
Dalam rangka mendorong perdagangan obligasi pemerintah di pasar sekunder dan
sekaligus memberi ruang gerak bagi bank umum dalam mengatur kebutuhan likuiditasnya
maka perlu diupayakan langkah-langkah untuk mendorong peningkatan jumlah portofolio
perdagangan obligasi pemerintah yang dimiliki bank umum sepanjang tidak melebihi batasan
atau prosentase yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
II. Pasal...
-7-
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal I
Angka 1
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Dalam hal Bank ingin meningkatkan jumlah, jenis dan seri Obligasi
yang dapat diperdagangkan dari jumlah, jenis dan seri yang telah
dilaporkan sebelumnya, maka peningkatan tersebut dilaporkan
kepada Bank Indonesia sepanjang masih dalam batasan jumlah
maksimum yang diperkenankan sesuai dengan ketentuan dalam ayat
(1) serta batasan jenis dan seri yang ditetapkan sesuai dengan
ketentuan dalam ayat (2).
Ayat (4)
Cukup jelas
Angka 2
Ayat (3)
Cukup jelas
Angka 3...
-8-
Angka 3
Pasal 5
Yang dimaksud dengan Bank yang memiliki Obligasi yang
diterbitkan Pemerintah setelah 31 Januari 2000 adalah Bank-Bank
yang menerima penyertaan tunai Pemerintah dalam rangka Program
Rekapitalisasi Bank Umum setelah tanggal tersebut.
Angka 4
Pasal 6
Ayat (1)
Obligasi yang dipindahbukukan harus sesuai dengan jenis
dan seri yang ditetapkan Bank Indonesia.
Angka 5
Pasal 10
Ayat (1)
Cukup jelas
Pasal II
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3945
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 2/10/PBI/2000 </reg_id>
<reg_title> PERUBAHAN PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 1/10/PBI/1999 TENTANG PORTOFOLIO OBLIGASI PEMERINTAH BAGI BANK UMUM PESERTA PROGRAM REKAPITALISASI </reg_title>
<set_date> 29 Maret 2000 </set_date>
<effective_date> 29 Maret 2000 </effective_date>
<changed_reg> '1/10/PBI/1999' </changed_reg>
<related_reg> '1/10/PBI/1999', '23/UU/1999', '84/PP/1998', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg>
<penalty_list> 'Pasal I Angka 5 Pasal 10' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 6/25/PBI/2004
TENTANG
RENCANA BISNIS BANK UMUM
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa dalam rangka meningkatkan good corporate
governance, bank perlu menetapkan sasaran strategis dan
seperangkat nilai perusahaan (corporate values) yang
mengarahkan kegiatan operasional bank;
b. bahwa dalam rangka mengarahkan kegiatan bank agar
senantiasa beroperasi berlandaskan pada suatu perencanaan
yang matang berdasarkan prinsip kehati-hatian dan azas
perbankan yang sehat, maka bank harus menyusun rencana
bisnis yang realistis;
c. bahwa penyusunan rencana bisnis yang matang harus
memperhatikan faktor eksternal dan faktor internal, dan
dimaksudkan sebagai sarana bank dalam mengendalikan
risiko khususnya risiko strategik yang mungkin timbul pada
tahap implementasi rencana dimaksud;
d. bahwa sehubungan dengan hal tersebut dipandang perlu
untuk mengatur kembali rencana bisnis bank dalam suatu
Peraturan Bank Indonesia;
Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara
Republik
Indonesia Tahun
1992
Nomor …
- 2 -
Nomor
31, Tambahan Lembaran
Negara Republik
Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan
Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790);
2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah dengan
Undang-undang Nomor 3 Tahun 2004 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG RENCANA
BISNIS BANK UMUM.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998, termasuk kantor cabang bank asing.
2. Rencana Bisnis adalah dokumen tertulis yang menggambarkan rencana
kegiatan usaha Bank jangka pendek (satu tahun) dan jangka menengah (tiga
tahun …
- 3 -
tahun), termasuk strategi untuk merealisasikan rencana tersebut, rencana
untuk memperbaiki kinerja usaha, dan rencana pemenuhan ketentuan kehati-
hatian sesuai dengan target dan waktu yang ditetapkan.
3. Laporan Realisasi Rencana Bisnis adalah laporan dari direksi Bank
mengenai realisasi Rencana Bisnis sampai dengan periode tertentu.
4. Laporan Pengawasan Rencana Bisnis adalah laporan dari komisaris Bank
mengenai
hasil pengawasan yang
5. Direksi:
a. bagi Bank
bersangkutan terhadap pelaksanaan
Rencana Bisnis sampai dengan periode tertentu.
berbentuk hukum Perseroan Terbatas adalah direksi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 4 Undang-undang Nomor 1
Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas;
b. bagi Bank berbentuk Perusahaan Daerah adalah direksi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 11 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1962 tentang
Perusahaan Daerah;
c. bagi Bank berbentuk hukum Koperasi adalah pengurus sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 29 Undang-undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang
Perkoperasian,
termasuk pimpinan kantor cabang bank asing.
6. Komisaris:
a. bagi Bank berbentuk hukum Perseroan Terbatas adalah komisaris
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 5 Undang-undang Nomor 1
Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas;
b. bagi Bank berbentuk Perusahaan Daerah adalah pengawas sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 19 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1962 tentang
Perusahaan Daerah;
c. bagi …
- 4 -
c. bagi Bank berbentuk hukum Koperasi adalah pengawas sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 38 Undang-undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang
Perkoperasian,
termasuk pejabat yang ditunjuk kantor pusat bank asing untuk melakukan
fungsi pengawasan pelaksanaan Rencana Bisnis.
Pasal 2
(1) Bank wajib menyusun Rencana Bisnis secara realistis dengan memperhatikan
faktor eksternal dan faktor internal yang mempengaruhi kelangsungan usaha
Bank serta tetap memperhatikan prinsip kehati-hatian dan azas perbankan
yang sehat.
(2) Rencana Bisnis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disusun oleh
Direksi dan disetujui oleh Komisaris.
Pasal 3
(1) Direksi wajib melaksanakan Rencana Bisnis sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 secara efektif dalam pengelolaan usaha Bank.
(2) Direksi wajib mengkomunikasikan Rencana Bisnis sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 kepada:
a. pemegang saham Bank;
b. seluruh jenjang organisasi yang ada pada Bank.
Pasal 4
Komisaris wajib melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan Rencana
Bisnis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3.
BAB II …
- 5 -
BAB II
CAKUPAN RENCANA BISNIS
Pasal 5
Rencana Bisnis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 sekurang-kurangnya
meliputi:
a. ringkasan eksekutif;
b. kinerja Bank saat ini;
c. penerapan manajemen risiko;
d. kebijakan dan strategi manajemen;
e. proyeksi keuangan;
f. rencana penghimpunan dana;
g. rencana penyaluran dana;
h. rencana permodalan;
i. proyeksi rasio dan pos-pos tertentu;
j. rencana pengembangan organisasi dan sumber daya manusia;
k. rencana pengembangan produk dan aktivitas baru;
l. rencana perubahan jaringan kantor;
m. lain-lain.
Pasal 6
Ringkasan eksekutif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a sekurang-
kurangnya meliputi:
a. indikator keuangan utama;
b. target jangka pendek;
c. target jangka menengah;
d. asumsi makro dan mikro.
Pasal 7 …
- 6 -
Pasal 7
Kinerja Bank saat ini sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b sekurang-
kurangnya meliputi:
a. permodalan;
b. kualitas aset;
c. manajemen;
d. rentabilitas;
e. likuiditas;
f. sensitivitas terhadap risiko pasar;
g. realisasi pemberian kredit kepada usaha mikro, kecil dan menengah.
Pasal 8
Penerapan manajemen risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf c
sekurang-kurangnya meliputi:
a. faktor-faktor risiko (risk factors);
b. proses manajemen risiko;
c. profil risiko.
Pasal 9
Kebijakan dan strategi manajemen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf d
sekurang-kurangnya meliputi:
a. kebijakan manajemen (policy statements);
b. strategi bisnis;
c. kebijakan remunerasi (remuneration policies).
Pasal 10 …
- 7 -
Pasal 10
Proyeksi keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf e sekurang-
kurangnya meliputi:
a. neraca;
b. komitmen, kontinjensi dan transaksi derivatif;
c. laba rugi;
d. kewajiban penyediaan modal minimum.
Pasal 11
Rencana penghimpunan dana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf f
sekurang-kurangnya meliputi:
a. rencana penghimpunan dana pihak ketiga;
b. rencana penerbitan surat berharga.
Pasal 12
Rencana penyaluran dana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf g
sekurang-kurangnya meliputi:
a. rencana penyediaan dana kepada pihak terkait;
b. rencana pemberian kredit kepada debitur inti;
c. rencana pemberian kredit menurut kegiatan usaha utama Bank;
d. rencana pemberian dan pelimpahan kredit menurut sektor ekonomi;
e. rencana pemberian dan pelimpahan kredit menurut jenis penggunaan;
f. rencana pemberian dan pelimpahan kredit menurut propinsi;
g. rencana penyaluran dana dalam bentuk surat berharga;
h. rencana penyaluran dana dalam bentuk penyertaan modal.
Pasal 13 …
- 8 -
Pasal 13
Rencana permodalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf h sekurang-
kurangnya meliputi rencana penambahan modal.
Pasal 14
Proyeksi rasio dan pos-pos tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf i
sekurang-kurangnya meliputi:
a. permodalan;
b. kualitas aset;
c. manajemen;
d. rentabilitas;
e. likuiditas;
f. lainnya.
Pasal 15
Rencana pengembangan organisasi dan sumber daya manusia sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 huruf j sekurang-kurangnya meliputi:
a. rencana pengembangan organisasi;
b. rencana pengembangan sumber daya manusia.
Pasal 16
Rencana pengembangan produk dan aktivitas baru sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 huruf k sekurang-kurangnya meliputi:
a. rencana produk dan aktivitas baru;
b. rencana pengembangan pelayanan.
Pasal 17 …
- 9 -
Pasal 17
Rencana perubahan jaringan kantor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf l
sekurang-kurangnya meliputi rencana pembukaan jaringan kantor cabang, kantor
di bawah kantor cabang, kegiatan kas di luar kantor, dan kantor di luar negeri.
Pasal 18
Informasi lain-lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf m sekurang-
kurangnya meliputi langkah-langkah penyelesaian dari agunan yang diambil alih
dan aktiva tetap yang tidak digunakan dalam operasional Bank.
BAB III
PENYAMPAIAN, PERUBAHAN, DAN PELAPORAN RENCANA BISNIS
Pasal 19
(1) Bank wajib menyampaikan Rencana Bisnis sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 kepada Bank Indonesia selambat-lambatnya 1 (satu) bulan setelah
tahun takwim dimulai.
(2) Bank Indonesia dapat meminta Bank untuk melakukan penyesuaian terhadap
Rencana Bisnis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) apabila Rencana Bisnis
yang
disampaikan dinilai belum sepenuhnya memenuhi ketentuan
sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini.
(3) Bank
wajib menyampaikan penyesuaian terhadap Rencana Bisnis
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada Bank Indonesia selambat-
lambatnya 15 (lima belas) hari kerja setelah tanggal surat pemberitahuan dari
Bank Indonesia.
Pasal 20 …
- 10 -
Pasal 20
(1) Bank hanya dapat melakukan perubahan Rencana Bisnis sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 apabila terdapat faktor eksternal dan internal yang
mempengaruhi kondisi keuangan Bank secara signifikan, dengan
menyampaikan alasan perubahan secara tertulis.
(2) Perubahan Rencana Bisnis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat
dilakukan selambat-lambatnya pada akhir semester pertama tahun berjalan
dan hanya dapat dilakukan 1 (satu) kali.
(3) Bank Indonesia dapat mempertimbangkan perubahan Rencana Bisnis selain
sebagaimana diatur pada ayat (2) apabila terdapat faktor yang mempengaruhi
kondisi keuangan Bank yang sangat signifikan.
(4) Perubahan Rencana Bisnis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
disampaikan selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja sebelum
pelaksanaan perubahan Rencana Bisnis.
(5) Bank Indonesia dapat meminta Bank untuk melakukan penyesuaian terhadap
perubahan Rencana Bisnis sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 21
(1) Bank wajib menyampaikan Laporan Realisasi Rencana Bisnis secara
triwulanan.
(2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disampaikan kepada
Bank Indonesia sebagai berikut:
a. selambat-lambatnya 45 (empat puluh lima) hari setelah triwulan yang
bersangkutan berakhir;
b. selambat-lambatnya 2 (dua) bulan setelah triwulan yang bersangkutan
berakhir, bagi Bank yang sistem antar kantornya belum on line dan
memiliki lebih dari 100 (seratus) kantor cabang.
(3) Laporan …
- 11 -
(3) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya meliputi:
a. perbandingan antara Rencana Bisnis dengan realisasi Rencana Bisnis;
b. penjelasan mengenai deviasi atas realisasi Rencana Bisnis;
c. tindak lanjut atas pencapaian Rencana Bisnis.
Pasal 22
(1) Bank wajib menyampaikan Laporan Pengawasan Rencana Bisnis secara
semesteran.
(2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disampaikan kepada
Bank Indonesia selambat-lambatnya 2 (dua) bulan setelah semester
dimaksud berakhir.
(3) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya meliputi:
a. pendapat Komisaris tentang pelaksanaan Rencana Bisnis;
b. penilaian atas faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja Bank;
c. pendapat Komisaris mengenai upaya memperbaiki kinerja Bank.
Pasal 23
(1) Bank dinyatakan terlambat menyampaikan Rencana Bisnis sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) apabila dalam jangka waktu paling lama
30 (tiga puluh) hari kerja setelah batas akhir waktu penyampaian, Bank
belum menyampaikan Rencana Bisnis tersebut.
(2) Bank dinyatakan terlambat menyampaikan penyesuaian Rencana Bisnis
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (3) apabila dalam jangka waktu
paling
lama 15 (lima belas) hari kerja setelah batas akhir waktu
penyampaian, Bank belum menyampaikan penyesuaian Rencana Bisnis
tersebut.
(3) Bank …
- 12 -
(3) Bank
dinyatakan tidak menyampaikan Rencana Bisnis sebagaimana
(4) Bank
dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) atau penyesuaian Rencana Bisnis
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (3) apabila sampai dengan
berakhirnya batas waktu keterlambatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
atau ayat (2), Bank
penyesuaiannya tersebut.
yang
belum menyampaikan Rencana Bisnis atau
dinyatakan tidak menyampaikan Rencana Bisnis atau
penyesuaiannya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tetap wajib
menyampaikan Rencana Bisnis atau penyesuaiannya kepada Bank Indonesia.
Pasal 24
(1) Bank dinyatakan terlambat menyampaikan Laporan Realisasi Rencana Bisnis
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) apabila dalam jangka waktu
paling
lama 30 (tiga puluh) hari kerja setelah batas akhir waktu
penyampaian, Bank belum menyampaikan laporan tersebut.
(2) Bank dinyatakan terlambat menyampaikan Laporan Pengawasan Rencana
Bisnis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) apabila dalam jangka
waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja setelah batas akhir waktu
penyampaian, Bank belum menyampaikan laporan tersebut.
(3) Bank dinyatakan tidak menyampaikan Laporan Realisasi Rencana Bisnis
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) atau Laporan Pengawasan
Rencana Bisnis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) apabila
sampai dengan berakhirnya batas waktu keterlambatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) atau ayat (2), Bank belum menyampaikan laporan
tersebut.
(4) Bank …
- 13 -
(4) Bank yang dinyatakan tidak menyampaikan Laporan Realisasi Rencana
Bisnis atau Laporan Pengawasan Rencana Bisnis sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) tetap wajib menyampaikan laporan tersebut kepada Bank
Indonesia.
Pasal 25
Dalam hal batas akhir penyampaian Rencana Bisnis sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 19 ayat (1) serta penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 21 ayat (2) dan Pasal 22 ayat (2) jatuh pada hari Sabtu, hari Minggu, dan
hari libur maka Rencana Bisnis serta laporan disampaikan pada hari kerja
berikutnya.
Pasal 26
Rencana Bisnis dan penyesuaiannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat
(1) dan ayat (3) serta laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) dan
Pasal 22 ayat (2) disampaikan kepada Bank Indonesia dengan alamat:
a. Direktorat Pengawasan Bank terkait, Jl. MH. Thamrin No. 2, Jakarta 10110,
bagi Bank yang berkantor pusat di wilayah kerja kantor pusat Bank
Indonesia;
b. Kantor Bank Indonesia setempat, bagi Bank yang berkantor pusat di luar
wilayah kerja kantor pusat Bank Indonesia.
BAB IV …
- 14 -
BAB IV
LAIN-LAIN
Pasal 27
Bank yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah wajib
menerapkan ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini
sesuai dengan karakteristik usaha Bank dimaksud dan Prinsip Syariah.
BAB V
SANKSI
Pasal 28
(1) Bank yang terlambat menyampaikan Rencana Bisnis atau penyesuaiannya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) atau ayat (2), atau laporan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) atau ayat (2) dikenakan
sanksi kewajiban membayar sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) per
hari kerja keterlambatan.
(2) Bank yang tidak menyampaikan Rencana Bisnis atau laporan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 23 ayat (3) atau Pasal 24 ayat (3) dikenakan sanksi
kewajiban membayar sebesar Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
(3) Bank yang menyampaikan penyesuaian Rencana Bisnis sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 19 ayat (3) namun dinilai tidak lengkap secara
signifikan atau tidak dilampiri dokumen dan infomasi yang material sesuai
dengan cakupan yang ditetapkan dalam Peraturan Bank Indonesia ini dan
ketentuan pelaksanaan terkait lainnya, dikenakan sanksi kewajiban
membayar sebesar Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) setelah Bank
diberikan 2 (dua) kali surat teguran oleh Bank Indonesia dengan tenggang
waktu …
- 15 -
waktu 7 (tujuh) hari kerja untuk setiap surat teguran dan Bank tidak
memperbaiki penyesuaian Rencana Bisnis dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari
kerja setelah surat teguran terakhir.
Pasal 29
(1) Bank yang tidak mematuhi ketentuan sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 2,
Pasal 3, Pasal 4, dan atau Pasal 24 ayat (4) dapat dikenakan sanksi
administratif antara lain berupa:
a. teguran tertulis;
b. pembekuan kegiatan usaha tertentu;
c. pencantuman pengurus dan atau pemegang saham Bank dalam daftar
pihak-pihak yang mendapat predikat Tidak Lulus dalam penilaian
kemampuan dan kepatutan.
(2) Bank yang tidak mematuhi ketentuan sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 23
ayat (4) dapat dikenakan sanksi administratif antara lain berupa:
a. pembekuan kegiatan usaha tertentu;
b. pencantuman pengurus dan atau pemegang saham Bank dalam daftar
pihak-pihak yang mendapat predikat Tidak Lulus dalam penilaian
kemampuan dan kepatutan.
BAB VI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 30
Ketentuan lebih lanjut dari Peraturan Bank Indonesia ini akan ditetapkan dalam
Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 31 …
- 16 -
Pasal 31
Dengan diberlakukannya Peraturan Bank Indonesia ini maka Surat Keputusan
Direksi Bank Indonesia Nomor 27/117/KEP/DIR tanggal 25 Januari 1995
tentang Penyampaian Rencana Kerja Bank dan Laporan Pelaksanaannya dicabut
dan dinyatakan tidak berlaku, kecuali ketentuan Pasal 6, Pasal 7, dan Pasal 8
tetap berlaku sampai dengan
berakhirnya masa pelaporan
pelaksanaan Rencana Kerja Tahunan tahun 2004.
Pasal 32
(1) Ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia ini mulai diberlakukan untuk
Rencana Bisnis tahun 2005.
(2) Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 22 Oktober 2004
GUBERNUR BANK INDONESIA,
realisasi dan
BURHANUDDIN ABDULLAH
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2004 NOMOR 157
DPNP
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 6/25/PBI/2004
TENTANG
RENCANA BISNIS BANK UMUM
UMUM
Bank
Bahwa dalam upaya memelihara ketahanan sistem perbankan yang sehat,
perlu mengambil
langkah-langkah
peningkatan good corporate
governance. Dalam rangka menerapkan prinsip good corporate governance
dimaksud, Bank menyusun dan menetapkan sasaran strategis dan seperangkat
nilai-nilai perusahaan (corporate values) yang merupakan arahan visi dan misi
kegiatan operasional Bank.
Dalam rangka mencapai tujuan usaha Bank yang berpedoman kepada visi
dan misi tersebut, maka Bank perlu menyusun suatu perencanaan yang matang
dengan tetap memperhatikan prinsip kehati-hatian dan azas perbankan yang sehat
serta responsif terhadap perubahan eksternal. Untuk menghasilkan perencanaan
yang matang tersebut, Bank harus menyusun Rencana Bisnis yang realistis dan
komprehensif dengan cakupan Rencana Bisnis yang diperluas sehingga lebih
mencerminkan kompleksitas usaha Bank yang semakin meningkat.
Sementara itu dalam penyusunan Rencana Bisnis tersebut Bank harus
mempertimbangkan faktor eksternal dan faktor internal yang secara langsung
atau tidak langsung dapat mempengaruhi kelangsungan usaha Bank. Dengan
Rencana Bisnis yang matang diharapkan Bank mampu menerapkan manajemen
risiko …
- 2 -
risiko khususnya risiko strategik secara efektif terutama pada tahap implementasi
Rencana Bisnis tersebut.
Secara operasional Rencana Bisnis adalah
dokumen tertulis yang
menggambarkan rencana kegiatan usaha Bank jangka pendek dan jangka
menengah, termasuk strategi untuk merealisasikan rencana tersebut, rencana
untuk memperbaiki kinerja usaha, dan rencana pemenuhan ketentuan kehati-
hatian sesuai dengan target dan waktu yang ditetapkan. Selanjutnya, dalam
rangka mengimplementasikan Rencana Bisnis secara efektif maka Direksi wajib
mengkomunikasikan rencana tersebut kepada pemegang saham dan seluruh
jenjang organisasi yang ada pada Bank.
Bagi perbankan, Rencana Bisnis dapat digunakan sebagai salah satu sarana
dalam rangka melaksanakan pencapaian visi dan misi Bank, sedangkan bagi
Bank Indonesia Rencana Bisnis yang disampaikan digunakan sebagai sarana
penetapan dan implementasi strategi pengawasan Bank.
Dalam rangka pemantauan yang efektif oleh Bank Indonesia terhadap
efektivitas dan konsistensi pelaksanaan Rencana Bisnis, Bank
harus
menyampaikan laporan pelaksanaan rencana tersebut secara berkala termasuk
langkah-langkah perbaikan yang diperlukan apabila terdapat penyimpangan yang
secara signifikan mempengaruhi kondisi keuangan Bank.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2 …
- 3 -
Pasal 2
Ayat (1)
Yang
dimaksud
dengan
faktor eksternal antara lain faktor
perekonomian, perkembangan sosial dan politik, serta teknologi.
Yang dimaksud dengan faktor internal antara lain kondisi keuangan,
manajemen, dan kemampuan infrastruktur lainnya.
Ayat (2)
Penyusunan Rencana Bisnis sepenuhnya merupakan tanggung jawab
Bank.
Pasal 3
Ayat (1)
Realisasi Rencana Bisnis dan pengawasannya sepenuhnya merupakan
tanggung jawab Bank.
Direksi dianggap tidak melaksanakan Rencana Bisnis secara efektif
apabila terdapat deviasi yang cukup material antara realisasi dan
Rencana Bisnis tanpa disertai dengan upaya yang maksimal dan
penjelasan yang memadai.
Ayat (2)
Huruf a
Komunikasi dengan pemegang saham dapat dilakukan antara
lain melalui Rapat Umum Pemegang Saham.
Huruf b
Komunikasi Rencana Bisnis kepada seluruh jenjang organisasi
yang
ada
pada
Bank dimaksudkan agar kebijakan dan
pelaksanaan …
- 4 -
pelaksanaan oleh setiap pihak
yang
terlibat dalam
operasionalisasi Rencana Bisnis tersebut dapat sejalan dengan
visi dan misi Bank.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Huruf a
Indikator keuangan utama antara lain memuat kinerja Bank akhir
tahun berjalan dan proyeksi dari permodalan, aktiva produktif, dana
pihak ketiga, rentabilitas, likuiditas, dan rasio keuangan lainnya.
Huruf b
Yang dimaksud dengan target jangka pendek adalah target kegiatan
usaha Bank selama 1 (satu) tahun ke depan.
Huruf c
Yang dimaksud dengan target jangka menengah adalah target
kegiatan usaha Bank selama 3 (tiga) tahun ke depan.
Huruf d
Yang dimaksud dengan asumsi makro antara lain pertumbuhan
ekonomi dan
tingkat inflasi, sedangkan yang dimaksud
dengan
asumsi …
- 5 -
asumsi mikro antara lain tingkat persaingan antar bank
dan
pertumbuhan kredit industri perbankan yang digunakan dalam
menyusun Rencana Bisnis Bank.
Pasal 7
Huruf a sampai dengan huruf f
Termasuk dalam uraian kinerja Bank sebagaimana dimaksud dalam
Pasal ini meliputi hasil pelaksanaan action plan dalam rangka
memperbaiki kinerja Bank sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank
Indonesia
yang mengatur mengenai Sistem Penilaian
Kesehatan Bank Umum.
Huruf g
Uraian mengenai realisasi pemberian kredit ini mencerminkan
peranan Bank dalam mendukung perkembangan sektor atau usaha
mikro, kecil, dan menengah.
Pasal 8
Huruf a
Uraian mengenai faktor-faktor risiko meliputi
faktor-faktor yang
mempengaruhi strategi usaha Bank termasuk yang secara langsung
mempengaruhi rentabilitas dan masalah-masalah hukum yang sedang
dan akan dihadapi Bank.
Huruf b
Uraian mengenai proses manajemen risiko meliputi hasil penerapan
manajemen risiko untuk periode awal tahun sampai dengan akhir
tahun.
Huruf c …
Tingkat
- 6 -
Huruf c
Uraian mengenai profil risiko meliputi informasi yang dihasilkan
berdasarkan penilaian Bank mengenai tingkat dan trend seluruh
eksposur risiko.
Tata cara penyusunan profil risiko berpedoman kepada ketentuan
Bank Indonesia yang mengatur mengenai Penerapan Manajemen
Risiko bagi Bank Umum.
Pasal 9
Huruf a
Uraian mengenai kebijakan manajemen meliputi informasi umum
kebijakan Bank dalam menjalankan strategi usaha.
Termasuk di dalamnya adalah kebijakan manajemen risiko yang
disusun berdasarkan evaluasi atas penerapan manajemen risiko
sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 8.
Huruf b
Uraian mengenai strategi
bisnis antara lain meliputi informasi
langkah-langkah strategis untuk mencapai tujuan usaha Bank yang
telah ditetapkan, strategi untuk mengantisipasi perubahan kondisi
eksternal, dan strategi pengembangan teknologi informasi.
Termasuk di
disusun berdasarkan evaluasi atas penerapan manajemen risiko
sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 8.
Huruf c
Uraian mengenai kebijakan remunerasi meliputi informasi kebijakan
umum yang mengatur pemberian gaji, bonus (benefits), dan fasilitas
lain kepada Komisaris dan Direksi Bank.
dalamnya adalah strategi manajemen risiko yang
Pasal 10 …
- 7 -
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Huruf a
Rencana penghimpunan dana pihak ketiga meliputi rencana
penghimpunan giro, tabungan, deposito, dan bentuk lainnya yang
dipersamakan dengan itu serta informasi mengenai pangsa deposan
inti.
Huruf b
Rencana penerbitan surat berharga meliputi rencana penerbitan surat
berharga seperti convertible bonds, medium term notes, dan obligasi.
Pasal 12
Huruf a
Pihak terkait adalah pihak terkait sebagaimana diatur dalam ketentuan
Bank Indonesia
yang mengatur mengenai
Pemberian Kredit.
Huruf b
Debitur inti merupakan debitur/grup inti (one obligor concept) di luar
pihak terkait. Jumlah debitur inti yang dicantumkan dalam Rencana
Bisnis disesuaikan dengan total aset Bank.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e …
Batas Maksimum
- 8 -
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Penyaluran dana dalam bentuk surat berharga digolongkan sesuai dengan
tujuan pembeliannya yaitu untuk diperdagangkan, tersedia untuk dijual,
atau dimiliki hingga jatuh tempo.
Huruf h
Dalam menyusun rencana ini, Bank harus memperhatikan persyaratan
dan tata cara penyertaan modal sebagaimana diatur dalam ketentuan
Bank Indonesia yang mengatur mengenai Prinsip Kehati-hatian Dalam
Kegiatan Penyertaan Modal.
Pasal 13
Termasuk dalam rencana penambahan modal adalah rencana penambahan
modal dari pemegang saham lama (existing share holders), rencana initial
public offering (IPO), right issue, dan rencana penambahan modal lainnya.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Huruf a
Termasuk dalam rencana pengembangan organisasi adalah rencana
pembentukan/perubahan satuan kerja dan atau komite, yang disesuaikan
dengan ukuran dan kompleksitas usaha Bank.
Huruf b …
- 9 -
Huruf b
Termasuk dalam rencana pengembangan sumber daya manusia adalah
rencana kebutuhan, pendidikan, dan pelatihan sumber daya manusia
termasuk rencana biaya/anggaran pendidikan dan pelatihan sebagaimana
diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku.
Pasal 16
Huruf a
Hal-hal yang
dimuat dalam rencana produk
dan aktivitas baru
berpedoman pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
Penerapan Manajemen Risiko bagi Bank Umum.
Huruf b
Rencana pengembangan pelayanan antara lain rencana pengembangan
sarana atau media informasi kepada nasabah, pengembangan sarana
elektronik untuk kebutuhan nasabah, pengembangan produk yang sudah
ada, standarisasi sistem antrian nasabah, dan pelayanan pengaduan
nasabah.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Yang dimaksud dengan agunan yang diambil alih (AYDA) adalah aktiva
yang diserahkan secara sukarela oleh pemilik agunan atau berdasarkan surat
kuasa untuk menjual di luar pelelangan dalam hal debitur tidak memenuhi
kewajibannya kepada Bank.
Pasal 19 …
- 10 -
Pasal 19
Ayat (1)
Rencana Bisnis disampaikan dalam bentuk hard copy dan soft copy.
Ayat (2)
Belum dipenuhinya Rencana Bisnis yang disampaikan sebagaimana
dimaksud pada ayat ini, antara lain disebabkan:
1. Rencana Bisnis belum sepenuhnya disusun secara realistis;
2. Rencana Bisnis kurang memperhatikan faktor eksternal dan faktor
internal yang mempengaruhi kelangsungan usaha Bank;
3. Rencana Bisnis tidak memperhatikan prinsip kehati-hatian dan azas
perbankan yang sehat,
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 2 dan atau belum lengkapnya
cakupan Rencana Bisnis sebagaimana ditentukan dalam Pasal 5.
Apabila diperlukan, Bank Indonesia meminta Bank untuk melakukan
presentasi atau penjelasan yang menyeluruh mengenai penyesuaian
Rencana Bisnis.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 20
Ayat (1)
Apabila diperlukan Bank Indonesia meminta Bank untuk melakukan
presentasi atau penjelasan yang menyeluruh mengenai perubahan
Rencana Bisnis.
Indikasi penyebab signifikan antara lain faktor-faktor solvabilitas dan
likuiditas yang secara langsung berdampak pada kondisi keuangan
sehingga mempengaruhi kelangsungan usaha Bank.
Ayat (2) …
- 11 -
Ayat (2)
Penetapan batas waktu dan frekuensi pada ayat ini dimaksudkan agar
Bank lebih akurat dalam menyusun Rencana Bisnis.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Apabila diperlukan Bank Indonesia meminta Bank untuk melakukan
presentasi atau penjelasan yang menyeluruh mengenai penyesuaian
perubahan Rencana Bisnis.
Pasal 21
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan triwulanan adalah posisi bulan Maret, Juni,
September dan Desember.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan hari adalah hari kalender.
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Uraian penjelasan pada huruf ini meliputi penjelasan mengenai
kendala yang dihadapi, fokus, dan prioritas pencapaian Rencana
Bisnis.
Bisnis …
- 12 -
Huruf c
Uraian tindak
lanjut pada huruf ini meliputi upaya untuk
memperbaiki pencapaian realisasi Rencana Bisnis.
Pasal 22
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan semesteran adalah posisi bulan Juni dan
Desember.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Pendapat Komisaris meliputi penilaian terhadap pelaksanaan
Rencana Bisnis termasuk penilaian aspek kuantitatif dan aspek
kualitatif kinerja Bank.
Huruf b
Faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja Bank antara lain meliputi
faktor permodalan, kualitas aset, manajemen, rentabilitas, likuiditas,
dan sensitivitas terhadap risiko pasar.
Huruf c
Upaya memperbaiki kinerja merupakan perbaikan terhadap faktor-
faktor sebagaimana dimaksud pada huruf b.
Pasal 23
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2) …
- 13 -
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 24
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 25
Yang dimaksud dengan hari libur adalah hari libur nasional dan atau hari
libur lokal yang ditetapkan oleh pemerintah daerah setempat.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28 …
- 14 -
Pasal 28
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Bank yang telah dikenakan sanksi kewajiban membayar dalam ayat ini
tidak dikenakan sanksi keterlambatan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1).
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR
4457
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 6/25/PBI/2004 </reg_id>
<reg_title> RENCANA BISNIS BANK UMUM </reg_title>
<set_date> 22 Oktober 2004 </set_date>
<effective_date> 22 Oktober 2004 </effective_date>
<replaced_reg> '27/117/KEP/DIR|SKDIR-BI/1995' </replaced_reg>
<related_reg> '23/UU/1999', '3/UU/2004', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB V' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 10/ 15 /PBI/2008
TENTANG
KEWAJIBAN PENYEDIAAN MODAL MINIMUM BANK UMUM
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang: a. bahwa dalam rangka menciptakan sistem perbankan yang
sehat, dan mampu berkembang serta bersaing secara nasional
maupun internasional, struktur, persyaratan, dan perhitungan
kecukupan modal bank perlu disesuaikan dengan standar
internasional yang berlaku;
b. bahwa sejalan dengan standar internasional yang berlaku,
perhitungan kecukupan modal yang berfungsi sebagai
penyangga untuk menyerap kerugian yang timbul dari
berbagai risiko, perlu disesuaikan dengan profil risiko yang
mencakup risiko kredit, risiko pasar, risiko operasional, dan
risiko lainnya yang bersifat material;
c. bahwa sejalan dengan perkembangan pasar keuangan, tersedia
berbagai inovasi instrumen keuangan yang dapat
diperhitungkan sebagai modal;
d. bahwa …
- 2 -
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
pada huruf a, huruf b, dan huruf c, diperlukan pengaturan
kembali terhadap ketentuan tentang Kewajiban Penyediaan
Modal Minimum Bank Umum dalam Peraturan Bank
Indonesia;
Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor
31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1998 Nomor 182 Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3790);
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999
Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3843) sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4357);
M E M U T U S K A N:
Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG KEWAJIBAN
PENYEDIAAN MODAL MINIMUM BANK UMUM.
BAB I …
- 3 -
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, termasuk kantor cabang bank
asing, yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional.
2. Perusahaan Anak adalah badan hukum atau perusahaan yang dimiliki
dan/atau dikendalikan oleh Bank secara langsung maupun tidak langsung,
baik di dalam maupun di luar negeri, yang melakukan kegiatan usaha di
bidang keuangan, yang terdiri dari:
a. Perusahaan Subsidiari (subsidiary company) yaitu Perusahaan Anak
dengan kepemilikan Bank lebih dari 50% (lima puluh persen);
b. Perusahaan Partisipasi (participation company) adalah Perusahaan
Anak dengan kepemilikan Bank 50% (lima puluh persen) atau kurang,
namun Bank memiliki pengendalian terhadap perusahaan;
c. Perusahaan dengan kepemilikan Bank lebih dari 20% (dua puluh
persen) sampai dengan 50% (lima puluh persen) yang memenuhi
persyaratan yaitu:
1) kepemilikan Bank dan para pihak lainnya pada Perusahaan Anak
adalah masing-masing sama besar; dan
2) masing-masing pemilik melakukan pengendalian secara bersama
terhadap Perusahaan Anak;
d. Entitas lain yang berdasarkan standar akuntansi keuangan yang berlaku
wajib dikonsolidasikan,
namun …
- 4 -
namun tidak termasuk perusahaan asuransi dan perusahaan yang dimiliki
dalam rangka restrukturisasi kredit.
3. Pengendalian adalah Pengendalian sebagaimana diatur dalam ketentuan
Bank Indonesia mengenai transparansi kondisi keuangan Bank.
4. Risiko Kredit adalah risiko kerugian akibat kegagalan pihak lawan
(counterparty) memenuhi kewajibannya.
5. Risiko Pasar adalah risiko kerugian pada posisi neraca dan rekening
administratif termasuk transaksi derivatif akibat perubahan secara
keseluruhan dari kondisi pasar, termasuk risiko perubahan harga option.
6. Risiko Operasional adalah risiko kerugian yang diakibatkan oleh proses
internal yang kurang memadai, kegagalan proses internal, kesalahan
manusia, kegagalan sistem, dan/atau adanya kejadian-kejadian eksternal
yang mempengaruhi operasional Bank.
7. Trading Book adalah seluruh posisi instrumen keuangan dalam neraca dan
rekening administratif termasuk transaksi derivatif yang dimiliki untuk:
a.
tujuan diperdagangkan dan dapat dipindahtangankan dengan bebas atau
dapat dilindung nilai secara keseluruhan, baik dari transaksi untuk
kepentingan sendiri (proprietary positions), atas permintaan nasabah
maupun kegiatan perantaraan (brokering), dan dalam rangka
pembentukan pasar (market making), yang meliputi:
1) posisi yang dimiliki untuk dijual kembali dalam jangka pendek;
2) posisi yang dimiliki untuk tujuan memperoleh keuntungan jangka
pendek secara aktual dan/atau potensial dari pergerakan harga
(price movement); atau
3) posisi yang dimiliki untuk tujuan mempertahankan keuntungan
arbitrase (locking in arbitrage profits);
b. tujuan …
- 5 -
b. tujuan lindung nilai atas posisi lainnya dalam Trading Book.
8. Banking Book adalah semua posisi lainnya yang tidak termasuk dalam
Trading Book.
Pasal 2
(1) Bank wajib menyediakan modal minimum sebesar 8% (delapan persen) dari
aset tertimbang menurut risiko (ATMR).
(2) Bagi Bank yang memiliki dan/atau melakukan Pengendalian terhadap
Perusahaan Anak, kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku
bagi Bank secara individual dan Bank secara konsolidasi dengan
Perusahaan Anak.
(3) Untuk mengantisipasi potensi kerugian sesuai profil risiko Bank, Bank
Indonesia dapat mewajibkan Bank untuk menyediakan modal minimum
lebih besar dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2).
(4) Potensi kerugian Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (3) bersumber
dari:
a. Risiko Kredit, Risiko Pasar, dan Risiko Operasional yang belum dapat
sepenuhnya diukur secara akurat dalam melakukan perhitungan ATMR
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2);
b. Risiko lainnya yang bersifat material antara lain risiko suku bunga di
Banking Book, risiko likuiditas, dan risiko konsentrasi;
c. Dampak penerapan stress testing terhadap kecukupan modal Bank;
dan/atau
d. Berbagai faktor terkait lainnya.
(5) Penyediaan …
- 6 -
(5) Penyediaan modal minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung
dengan menggunakan persentase rasio kewajiban penyediaan modal
minimum (KPMM).
Pasal 3
Bank dilarang melakukan distribusi laba apabila distribusi laba dimaksud
mengakibatkan kondisi permodalan Bank tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2).
BAB II
MODAL
Bagian Pertama
Umum
Pasal 4
(1) Modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) bagi
Bank yang berkantor pusat di Indonesia terdiri dari:
a. modal inti (tier 1);
b. modal pelengkap (tier 2); dan
c. modal pelengkap tambahan (tier 3).
setelah memperhitungkan faktor-faktor tertentu yang menjadi pengurang
modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan Pasal 20.
(2) Dalam perhitungan modal secara konsolidasi, komponen modal Perusahaan
Anak yang dapat diperhitungkan sebagai modal inti, modal pelengkap, dan
modal pelengkap tambahan harus memenuhi persyaratan yang berlaku
untuk masing-masing komponen modal sebagaimana diterapkan bagi Bank
secara individual.
Pasal 5 …
- 7 -
Pasal 5
(1) Modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) bagi kantor cabang
dari bank yang kantor pusatnya berkedudukan di luar negeri adalah dana
bersih kantor pusat (Net Head Office Fund) yang terdiri dari:
a. Dana Usaha (Net Inter Office Fund);
b. laba ditahan dan laba tahun lalu setelah dikeluarkan pengaruh
faktor-faktor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2);
c.
laba tahun berjalan sebesar 50% (lima puluh persen) setelah
dikeluarkan pengaruh faktor-faktor sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 10 ayat (2);
d. cadangan umum modal;
e. cadangan tujuan modal;
f.
revaluasi aset tetap dengan cakupan dan perhitungan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf c; dan
g. cadangan umum penyisihan penghapusan aset (PPA) atas aset produktif
dengan perhitungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1)
huruf d,
setelah memperhitungkan faktor-faktor tertentu yang menjadi pengurang
komponen modal sebagaimana diatur dalam Pasal 10 ayat (1) huruf b, Pasal
13, dan Pasal 20.
(2) Perhitungan Dana Usaha sebagai komponen modal sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a dilakukan sebagai berikut:
a. Dalam hal posisi Dana Usaha yang sebenarnya (actual Dana Usaha)
lebih besar dari Dana Usaha yang dinyatakan (declared Dana Usaha),
maka yang diperhitungkan adalah Dana Usaha yang dinyatakan.
b. Dalam …
- 8 -
b. Dalam hal posisi Dana Usaha yang sebenarnya lebih kecil dari Dana
Usaha yang dinyatakan, maka yang diperhitungkan adalah Dana Usaha
yang sebenarnya.
c. Dalam hal posisi Dana Usaha yang sebenarnya negatif, maka jumlah
tersebut merupakan faktor pengurang komponen modal sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
Bagian Kedua
Modal Inti
Pasal 6
(1) Bank wajib menyediakan modal inti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
ayat (1) huruf a paling kurang 5% (lima persen) dari ATMR baik secara
individual maupun secara konsolidasi dengan Perusahaan Anak.
(2) Modal inti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari:
a. modal disetor;
b. cadangan tambahan modal (disclosed reserve); dan
c. modal inovatif (innovative capital instrument).
Pasal 7
Modal disetor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) huruf a harus
memenuhi seluruh persyaratan sebagai berikut:
a. diterbitkan dan telah dibayar penuh;
b. bersifat permanen;
c.
tersedia untuk menyerap kerugian yang terjadi sebelum likuidasi maupun
pada saat likuidasi;
d. perolehan …
- 9 -
d. perolehan imbal hasil tidak dapat dipastikan dan tidak dapat
diakumulasikan antar periode; dan
e.
tidak diproteksi maupun dijamin oleh Bank atau Perusahaan Anak.
Pasal 8
Saham preferen non kumulatif yang diterbitkan untuk tujuan khusus dan
memiliki fitur opsi beli (call option), dapat diakui sebagai komponen modal
disetor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) huruf a apabila:
a. memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf a, huruf
c, huruf d, huruf e; dan
b. opsi beli tersebut dapat dieksekusi dengan memenuhi persyaratan sebagai
berikut:
1. hanya atas inisiatif Bank;
2. setelah jangka waktu 5 (lima) tahun sejak penerbitan atau tujuan
penerbitan batal dilaksanakan;
3. telah memperoleh persetujuan Bank Indonesia; dan
4. tidak menyebabkan penurunan modal dibawah persyaratan minimum
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2).
Pasal 9
Pembelian kembali saham (treasury stock) yang telah diakui sebagai komponen
modal disetor hanya dapat dilakukan dengan memenuhi persyaratan sebagai
berikut:
a.
setelah jangka waktu 5 (lima) tahun sejak penerbitan;
b. untuk tujuan tertentu;
c. wajib mengacu pada peraturan perundang-undangan yang berlaku;
d. telah …
- 10 -
d.
e.
telah memperoleh persetujuan Bank Indonesia; dan
tidak menyebabkan penurunan modal dibawah persyaratan minimum
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2).
Pasal 10
(1) Cadangan tambahan modal (disclosed reserve) sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6 ayat (2) huruf b terdiri dari:
a. faktor penambah, yaitu:
1. agio;
2. modal sumbangan;
3. cadangan umum modal;
4. cadangan tujuan modal;
5. laba tahun-tahun lalu;
6. laba tahun berjalan sebesar 50% (lima puluh persen);
7. selisih lebih penjabaran laporan keuangan;
8. dana setoran modal, yang memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a) telah disetor penuh untuk tujuan penambahan modal, namun
belum didukung dengan kelengkapan persyaratan untuk dapat
digolongkan sebagai modal disetor seperti pelaksanaan rapat
umum pemegang saham maupun pengesahan anggaran dasar
dari instansi yang berwenang;
b) ditempatkan pada rekening khusus (escrow account) yang tidak
diberikan imbal hasil;
c) tidak boleh ditarik kembali oleh pemegang saham/calon
pemegang saham dan tersedia untuk menyerap kerugian; dan
d) penggunaan …
- 11 -
d) penggunaan dana harus dengan persetujuan Bank Indonesia.
9. Waran yang diterbitkan sebagai insentif kepada pemegang saham
Bank sebesar 50% (lima puluh persen), dengan memenuhi
persyaratan sebagai berikut:
a) instrumen yang mendasari adalah saham biasa;
b) tidak dapat dikonversi ke dalam bentuk selain saham; dan
c) nilai yang diperhitungkan adalah nilai wajar dari waran pada
tanggal penerbitannya;
10. Opsi saham (stock option) yang diterbitkan melalui program
kompensasi pegawai/manajemen berbasis saham (employee/
management stock option) sebesar 50% (lima puluh persen),
dengan memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a) instrumen yang mendasari adalah saham biasa;
b) tidak dapat dikonversi ke dalam bentuk selain saham; dan
c) nilai yang diperhitungkan adalah nilai wajar dari stock option
pada tanggal pemberian kompensasi;
b. faktor pengurang, yaitu:
1. disagio;
2. rugi tahun-tahun lalu;
3. rugi tahun berjalan;
4. selisih kurang penjabaran laporan keuangan;
5. pendapatan komprehensif lainnya yang negatif, yang mencakup
kerugian yang belum terealisasi yang timbul dari penurunan nilai
wajar penyertaan yang diklasifikasikan dalam kelompok tersedia
untuk dijual;
6. selisih …
- 12 -
6. selisih kurang antara penyisihan penghapusan aset atas aset
produktif dan cadangan kerugian penurunan nilai aset keuangan
atas aset produktif;
7. selisih kurang antara jumlah penyesuaian terhadap hasil valuasi dari
instrumen keuangan dalam Trading Book dan jumlah penyesuaian
berdasarkan standar akuntansi keuangan yang berlaku.
(2) Dalam perhitungan laba rugi tahun-tahun lalu dan/atau tahun berjalan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a angka 5 dan 6 harus
dikeluarkan dari pengaruh:
a. perhitungan pajak tangguhan (deferred tax);
b. selisih nilai revaluasi aset tetap;
c. peningkatan nilai wajar aset tetap;
d. peningkatan atau penurunan nilai wajar atas kewajiban keuangan; dan/
atau
e. keuntungan atas penjualan aset dalam transaksi sekuritisasi (gain
on sale).
Pasal 11
(1) Modal inovatif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) huruf c yang
dapat diperhitungkan sebagai komponen modal inti paling tinggi sebesar
10% (sepuluh persen) dari modal inti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
ayat (1) huruf a.
(2) Modal inovatif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi
seluruh persyaratan sebagai berikut:
a. diterbitkan dan telah dibayar penuh;
b. tidak memiliki jangka waktu dan tidak ada persyaratan yang
mewajibkan pelunasan oleh Bank di masa mendatang;
c. tersedia …
- 13 -
c.
tersedia untuk menyerap kerugian yang terjadi sebelum likuidasi
maupun pada saat likuidasi dan bersifat subordinasi, yang secara jelas
dinyatakan dalam dokumentasi penerbitan/perjanjian;
d. perolehan imbal hasil tidak dapat dipastikan dan tidak dapat
diakumulasikan antar periode;
e.
tidak diproteksi maupun dijamin oleh Bank atau Perusahaan Anak;
f. apabila disertai dengan fitur opsi beli (call option), harus memenuhi
persyaratan sebagai berikut:
1. hanya dapat dieksekusi paling kurang 10 (sepuluh) tahun setelah
instrumen modal diterbitkan;
2. dokumentasi penerbitan harus menyatakan bahwa opsi hanya dapat
dieksekusi atas persetujuan Bank Indonesia; dan
3. dalam hal instrumen modal inovatif mengandung fitur step-up,
maka fitur step-up harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a) fitur step-up dibatasi, ditetapkan, dan dinyatakan secara jelas
dalam perjanjian penerbitan instrumen;
b) hanya dapat direalisasi satu kali selama periode instrumen,
yaitu setelah jangka waktu paling kurang 10 (sepuluh) tahun
sejak diterbitkan; dan
c) besarnya fitur step-up relevan dan sejalan dengan kondisi pasar
serta tidak lebih besar dari salah satu batasan berikut:
1) 100 (seratus) basis points; atau
2) 50% (lima puluh persen) dari marjin (credit spread) awal;
g. telah memperoleh persetujuan Bank Indonesia untuk diperhitungkan
sebagai komponen modal.
(3) Eksekusi opsi beli (call option) sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf f
angka 1 dan angka 2 hanya dapat dilakukan oleh Bank sepanjang:
a. telah …
- 14 -
a.
telah memperoleh persetujuan Bank Indonesia;
b. tidak menyebabkan penurunan modal dibawah persyaratan minimum
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2); dan
c. digantikan dengan instrumen modal yang mempunyai:
1. kualitas sama atau lebih baik; dan
2. jumlah yang sama atau jumlah yang berbeda sepanjang tidak
melebihi 10% (sepuluh persen) dari modal inti sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a.
Pasal 12
(1) Dalam perhitungan KPMM secara konsolidasi, kepentingan minoritas
(minority interest) diperhitungkan sebagai modal inti sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a kecuali terdapat bagian dari
kepentingan minoritas yang tidak sesuai dengan persyaratan komponen
modal inti.
(2) Kepentingan minoritas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
diperhitungkan dalam modal inti secara konsolidasi apabila kepemilikan
Bank pada Perusahaan Anak 50% (lima puluh persen) atau kurang dan
memenuhi kondisi sebagai berikut:
a.
tidak terdapat keterkaitan/afiliasi antara pemegang saham lain (minority
interest) dengan Bank; atau
b. tidak terdapat surat pernyataan atau keputusan rapat umum pemegang
saham (RUPS) Perusahaan Anak yang menyatakan kesediaan dari
pemegang saham lain (minority interest) untuk mendukung modal
kelompok usaha Bank.
Pasal 13 …
- 15 -
Pasal 13
Modal inti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a diperhitungkan
dengan faktor pengurang berupa:
a. Goodwill;
b. Aset tidak berwujud lainnya; dan/atau
c. Faktor pengurang modal inti lainnya sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 20.
Bagian Ketiga
Modal Pelengkap
Pasal 14
(1) Modal pelengkap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf b
hanya dapat diperhitungkan paling tinggi sebesar 100% (seratus persen)
dari modal inti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a.
(2) Modal pelengkap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari:
a. Modal pelengkap level atas (upper tier 2); dan
b. Modal pelengkap level bawah (lower tier 2).
Pasal 15
(1) Modal pelengkap level atas (upper tier 2) sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 14 ayat (2) huruf a yang berupa instrumen modal sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf a harus memenuhi seluruh
persyaratan sebagai berikut:
a. diterbitkan dan telah dibayar penuh;
b. tidak memiliki jangka waktu dan tidak ada persyaratan yang
mewajibkan pelunasan oleh Bank di masa mendatang;
c. tersedia …
- 16 -
c.
tersedia untuk menyerap kerugian dalam hal jumlah kerugian Bank
melebihi laba yang ditahan dan cadangan-cadangan yang termasuk
modal inti meskipun Bank belum dilikuidasi dan bersifat subordinasi,
yang secara jelas dinyatakan dalam dokumentasi penerbitan/perjanjian;
d. pembayaran pokok dan/atau imbal hasil ditangguhkan dan
diakumulasikan antar periode (cummulative) apabila:
1. pembayaran dimaksud dapat menyebabkan KPMM secara
individual atau KPMM secara konsolidasi tidak memenuhi
ketentuan yang berlaku;
2. Bank dalam keadaan rugi; atau
3. kondisi profitabilitas Bank tidak memungkinkan untuk membayar
imbal hasil tersebut;
e.
tidak diproteksi maupun dijamin oleh Bank atau Perusahaan Anak;
f. apabila disertai dengan fitur opsi beli (call option), harus memenuhi
persyaratan sebagai berikut:
1. hanya dapat dieksekusi paling kurang 10 (sepuluh) tahun setelah
instrumen modal diterbitkan;
2. dokumentasi penerbitan harus menyatakan bahwa opsi hanya dapat
dieksekusi atas persetujuan Bank Indonesia; dan
3. dalam hal instrumen modal mengandung fitur step-up, maka fitur
step-up harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a) fitur step-up dibatasi, ditetapkan, dan dinyatakan secara jelas
dalam perjanjian penerbitan instrumen;
b) hanya dapat direalisasi satu kali selama periode instrumen,
yaitu setelah jangka waktu paling kurang 10 (sepuluh) tahun
sejak diterbitkan; dan
c) besarnya …
- 17 -
c) besarnya fitur step-up relevan dan sejalan dengan kondisi pasar
serta tidak lebih besar dari salah satu batasan berikut:
1) 100 (seratus) basis points; atau
2) 50% (lima puluh persen) dari marjin (credit spread) awal;
g. telah memperoleh persetujuan Bank Indonesia untuk diperhitungkan
sebagai komponen modal kecuali pelimpahan dari modal inovatif yang
melebihi batasan modal inovatif.
(2) Eksekusi opsi beli (call option) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f
angka 1 dan angka 2 hanya dapat dilakukan oleh Bank sepanjang:
a.
telah memperoleh persetujuan Bank Indonesia;
b. tidak menyebabkan penurunan modal dibawah persyaratan minimum
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2); atau
c. digantikan dengan instrumen modal yang mempunyai:
1. kualitas sama atau lebih baik; dan
2. dalam jumlah yang sama atau jumlah yang berbeda sepanjang tidak
melebihi batasan modal pelengkap sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 14 ayat (1).
Pasal 16
(1) Modal pelengkap level atas (upper tier 2) meliputi:
a.
instrumen modal dalam bentuk saham atau instrumen modal lainnya
yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15;
b. bagian dari modal inovatif yang tidak dapat diperhitungkan dalam
modal inti;
c. revaluasi aset tetap, yang mencakup:
1. selisih …
- 18 -
1. selisih nilai revaluasi aset tetap yang sebelumnya telah
diklasifikasikan ke saldo laba, sebesar 45% (empat puluh lima
persen); dan
2. peningkatan nilai wajar atas aset tetap yang belum direalisasi yang
sebelumnya telah diklasifikasikan ke saldo laba, sebesar 45%
(empat puluh lima persen);
d. cadangan umum penyisihan penghapusan aset atas aset produktif yang
wajib dibentuk dengan jumlah paling tinggi sebesar 1,25% (satu koma
dua puluh lima persen) dari ATMR untuk Risiko Kredit;
e. pendapatan komprehensif lainnya paling tinggi sebesar 45% (empat
puluh lima persen), yaitu berupa keuntungan yang belum terealisasi
yang timbul dari peningkatan nilai wajar penyertaan yang
diklasifikasikan dalam kelompok tersedia untuk dijual.
(2) Selisih lebih cadangan umum yang wajib dibentuk dari batasan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dapat diperhitungkan sebagai
faktor pengurang perhitungan ATMR untuk Risiko Kredit.
Pasal 17
(1) Modal pelengkap level bawah (lower tier 2) sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 14 ayat (2) huruf b hanya dapat diperhitungkan paling tinggi sebesar
50% (lima puluh persen) dari modal inti sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 ayat (1) huruf a.
(2) Modal pelengkap level bawah (lower tier 2) sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) harus memenuhi seluruh persyaratan sebagai berikut:
a. diterbitkan dan telah dibayar penuh;
b. memiliki …
- 19 -
b. memiliki jangka waktu perjanjian paling kurang 5 (lima) tahun dan
hanya dapat dilunasi setelah memperoleh persetujuan Bank Indonesia;
c.
tersedia untuk menyerap kerugian pada saat likuidasi dan bersifat
subordinasi, yang secara jelas dinyatakan dalam dokumentasi
penerbitan/perjanjian;
d. pembayaran pokok dan/atau imbal hasil ditangguhkan dan
diakumulasikan antar periode (cummulative), termasuk pembayaran
pada saat jatuh tempo, apabila:
1. pembayaran dimaksud dapat menyebabkan KPMM secara
individual atau KPMM secara konsolidasi tidak memenuhi
ketentuan yang berlaku;
2. Bank dalam keadaan rugi; atau
3. kondisi profitabilitas Bank tidak memungkinkan untuk membayar
imbal hasil tersebut;
e.
tidak diproteksi maupun dijamin oleh Bank atau Perusahaan Anak;
f. apabila disertai dengan fitur opsi beli (call option), harus memenuhi
persyaratan berikut:
1. hanya dapat dieksekusi paling kurang 5 (lima) tahun setelah
instrumen modal diterbitkan;
2. dokumentasi penerbitan harus menyatakan bahwa opsi hanya dapat
dieksekusi atas persetujuan Bank Indonesia; dan
3. dalam hal instrumen modal mengandung fitur step-up, maka fitur
step-up harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a) fitur step-up dibatasi, ditetapkan, dan dinyatakan secara jelas
dalam perjanjian penerbitan instrumen;
b) hanya …
- 20 -
b) hanya dapat direalisasi satu kali selama periode instrumen,
yaitu setelah jangka waktu paling kurang 5 (lima) tahun sejak
diterbitkan; dan
c) besarnya fitur step-up relevan dan sejalan dengan kondisi pasar
serta tidak lebih besar dari salah satu batasan berikut:
1) 100 (seratus) basis points; atau
2) 50% (lima puluh persen) dari marjin (credit spread) awal;
g. telah memperoleh persetujuan Bank Indonesia untuk diperhitungkan
sebagai komponen modal.
(3) Eksekusi opsi beli (call option) sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf f
angka 1 dan angka 2 hanya dapat dilakukan oleh Bank sepanjang:
a.
telah memperoleh persetujuan Bank Indonesia;
b. tidak menyebabkan penurunan modal dibawah persyaratan minimum
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2); atau
c. digantikan dengan instrumen modal yang mempunyai:
1. kualitas sama atau lebih baik; dan
2. dalam jumlah yang sama atau jumlah yang berbeda sepanjang tidak
melebihi batasan modal pelengkap level bawah (lower tier 2)
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1).
(4) Jumlah yang dapat diperhitungkan sebagai modal pelengkap level bawah
(lower tier 2) adalah jumlah modal pelengkap level bawah (lower tier 2)
dikurangi amortisasi yang dihitung dengan menggunakan metode garis
lurus.
(5) Amortisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan untuk sisa
jangka waktu instrumen 5 (lima) tahun terakhir.
(6) Dalam …
- 21 -
(6) Dalam hal terdapat opsi, maka jangka waktu sampai Bank dapat
mengeksekusi opsi tersebut merupakan sisa jangka waktu dari instrumen
tersebut.
Pasal 18
Penempatan dana pada pinjaman subordinasi atau obligasi subordinasi atau yang
memenuhi kriteria modal pelengkap pada Bank lain diperhitungkan sebagai
faktor pengurang atas pinjaman subordinasi atau obligasi subordinasi yang
menjadi komponen modal pelengkap Bank penerima/ penerbit.
Pasal 19
Bagian dari modal pelengkap yang telah dibentuk cadangan pelunasan (sinking
fund) tidak diperhitungkan sebagai komponen modal pelengkap, apabila Bank:
a.
telah menetapkan untuk menyisihkan dan mengelola dana cadangan
pelunasan (sinking fund) tersebut secara khusus; dan
b.
telah mempublikasikan pembentukan cadangan pelunasan (sinking fund)
tersebut, termasuk dalam Rapat Umum Pemegang Obligasi (RUPO).
Pasal 20
(1) Faktor-faktor tertentu yang menjadi pengurang komponen modal
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) mencakup:
a. penyertaan Bank yang meliputi:
1. seluruh penyertaan Bank kepada Perusahaan Anak kecuali
penyertaan modal sementara dalam rangka restrukturisasi kredit;
2. seluruh …
- 22 -
2. seluruh penyertaan kepada perusahaan atau badan hukum dengan
kepemilikan Bank lebih dari 20% (dua puluh persen) sampai
dengan 50% (lima puluh persen) namun Bank tidak memiliki
Pengendalian;
3. seluruh penyertaan kepada perusahaan asuransi;
b. kekurangan modal (shortfall) dari pemenuhan tingkat rasio solvabilitas
minimum (Risk Based Capital/RBC minimum) pada perusahaan
asuransi yang dimiliki dan dikendalikan oleh Bank;
c. eksposur sekuritisasi.
(2) Pengurangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b
diperhitungkan sebesar 50% (lima puluh persen) dari modal inti
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a dan 50% (lima puluh
persen) dari modal pelengkap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat
(1) huruf b.
(3) Seluruh faktor pengurang modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
a dan huruf b tidak diperhitungkan lagi dalam ATMR untuk Risiko Kredit.
Bagian Keempat
Modal Pelengkap Tambahan
Pasal 21
(1) Modal pelengkap tambahan sebagaimana dimaksud pada Pasal 4 ayat (1)
huruf c dapat digunakan sepanjang memenuhi kriteria sebagai berikut:
a) hanya digunakan untuk memperhitungkan Risiko Pasar;
b) tidak melebihi 250% (dua ratus lima puluh persen) dari bagian modal
inti yang dialokasikan untuk memperhitungkan Risiko Pasar; dan
c) jumlah …
- 23 -
c) jumlah modal pelengkap dan modal pelengkap tambahan paling tinggi
sebesar 100% (seratus persen) dari modal inti sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a.
(2) Modal pelengkap tambahan (tier 3) sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
harus memenuhi seluruh persyaratan sebagai berikut:
a. diterbitkan dan telah dibayar penuh;
b. memiliki jangka waktu perjanjian paling kurang 2 (dua) tahun dan
hanya dapat dilunasi setelah memperoleh persetujuan Bank Indonesia;
c.
tersedia untuk menyerap kerugian pada saat likuidasi dan bersifat
subordinasi, yang secara jelas dinyatakan dalam dokumentasi
penerbitan/perjanjian;
d. pembayaran pokok dan/atau imbal hasil ditangguhkan dan
diakumulasikan antar periode (cummulative), termasuk pembayaran
pada saat jatuh tempo, apabila:
1. pembayaran dimaksud dapat menyebabkan KPMM secara
individual atau KPMM secara konsolidasi tidak memenuhi
ketentuan yang berlaku;
2. Bank dalam keadaan rugi; atau
3. kondisi profitabilitas Bank tidak memungkinkan untuk membayar
imbal hasil tersebut;
e.
tidak diproteksi maupun dijamin oleh Bank atau Perusahaan Anak;
f. apabila disertai dengan fitur opsi beli (call option), harus memenuhi
persyaratan berikut:
1. hanya dapat dieksekusi paling kurang 2 (dua) tahun setelah
instrumen modal diterbitkan;
2. dokumentasi penerbitan harus menyatakan bahwa opsi hanya dapat
dieksekusi atas persetujuan Bank Indonesia; dan
3. dalam …
- 24 -
3. dalam hal instrumen modal mengandung fitur step-up, maka fitur
step-up harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a) fitur step-up dibatasi, ditetapkan, dan dinyatakan secara jelas
dalam perjanjian penerbitan instrumen;
b) hanya dapat direalisasi satu kali selama periode instrumen,
yaitu setelah jangka waktu paling kurang 2 (dua) tahun sejak
diterbitkan; dan
c) besarnya fitur step-up relevan dan sejalan dengan kondisi pasar
serta tidak lebih besar dari salah satu batasan berikut:
1) 100 (seratus) basis points; atau
2) 50% (lima puluh persen) dari marjin (credit spread) awal;
g. telah memperoleh persetujuan Bank Indonesia untuk diperhitungkan
sebagai komponen modal kecuali komponen modal pelengkap
tambahan (tier 3) sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b dan
huruf c.
(3) Eksekusi opsi beli (call option) sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf f
angka 1 dan angka 2 hanya dapat dilakukan oleh Bank sepanjang:
a.
telah memperoleh persetujuan Bank Indonesia; dan
b. tidak menyebabkan penurunan modal dibawah persyaratan minimum
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2).
(4) Modal pelengkap tambahan (tier 3) meliputi:
a. Pinjaman subordinasi atau obligasi subordinasi jangka pendek;
b. Modal pelengkap yang tidak dialokasikan untuk menutup beban modal
untuk Risiko Kredit dan/atau beban modal untuk Risiko Operasional
namun memenuhi syarat sebagai modal pelengkap (unused but eligible
tier 2); dan
c. bagian …
- 25 -
c. bagian dari modal pelengkap level bawah (lower tier 2) yang melebihi
batasan modal pelengkap level bawah (lower tier 2).
Pasal 22
Dalam perhitungan KPMM secara konsolidasi, untuk komponen modal inovatif,
modal pelengkap level atas (upper tier 2), modal pelengkap level bawah
(lower tier 2), dan modal pelengkap tambahan (tier 3), Bank wajib
menyampaikan data pendukung yang menunjukkan bahwa komponen modal
Perusahaan Anak yang diperhitungkan telah memenuhi seluruh persyaratan
sebagai komponen modal.
BAB III
ASET TERTIMBANG MENURUT RISIKO
Bagian Pertama
Umum
Pasal 23
ATMR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) terdiri dari:
a. ATMR untuk Risiko Kredit;
b. ATMR untuk Risiko Operasional;
c. ATMR untuk Risiko Pasar.
Pasal 24
(1) Setiap Bank wajib memperhitungkan ATMR untuk Risiko Kredit dan
ATMR untuk Risiko Operasional.
(2) ATMR untuk Risiko Pasar hanya wajib diperhitungkan oleh Bank yang
memenuhi kriteria tertentu.
Pasal 25 …
- 26 -
Pasal 25
Kriteria tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2) adalah:
a. Bank yang secara individual memenuhi salah satu kriteria sebagai berikut:
1. Bank dengan total aset sebesar Rp10.000.000.000.000,00 (sepuluh
triliun rupiah) atau lebih;
2. Bank devisa dengan posisi instrumen keuangan berupa surat berharga
dan/atau transaksi derivatif dalam Trading Book sebesar
Rp20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah) atau lebih;
3. Bank bukan Bank devisa dengan posisi instrumen keuangan berupa
surat berharga dan/atau transaksi derivatif suku bunga dalam Trading
Book sebesar Rp25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah) atau
lebih;
dan/atau;
b. Bank yang secara konsolidasi dengan Perusahaan Anak memenuhi salah
satu kriteria sebagai berikut:
1. Bank devisa yang secara konsolidasi dengan Perusahaan Anak memiliki
posisi instrumen keuangan berupa surat berharga termasuk instrumen
keuangan yang terekspos Risiko Ekuitas dan/atau transaksi derivatif
dalam Trading Book dan/atau instrumen keuangan yang terekspos
Risiko Komoditas dalam Trading Book dan Banking Book sebesar
Rp20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah) atau lebih;
2. Bank bukan Bank devisa yang secara konsolidasi dengan Perusahaan
Anak memiliki posisi instrumen keuangan berupa surat berharga
termasuk instrumen keuangan yang terekspos Risiko Ekuitas dan/atau
transaksi derivatif dalam Trading Book dan/atau instrumen keuangan
yang terekspos Risiko Komoditas dalam Trading Book dan Banking
Book …
- 27 -
Book sebesar Rp25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah)
atau lebih.
c. Kewajiban untuk memperhitungkan Risiko Pasar sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 24 ayat (2) berlaku pula untuk Bank yang memiliki jaringan
kantor dan/atau Perusahaan Anak di negara lain maupun kantor cabang dari
Bank yang kantor pusatnya berkedudukan di luar negeri.
Pasal 26
Aset keuangan yang pada saat pengakuan awal ditetapkan sebagai aset keuangan
yang diukur pada nilai wajar melalui laporan laba rugi dan kredit yang
diklasifikasikan dalam kelompok diperdagangkan dikecualikan dari cakupan
Trading Book.
Pasal 27
Surat berharga dalam Trading Book sebagaimana dimaksud pada Pasal 25 huruf
a angka 2 dan angka 3, huruf b angka 1 dan angka 2 hanya mencakup surat
berharga yang diklasifikasikan dalam kelompok diperdagangkan.
Pasal 28
Bank yang setelah merger, konsolidasi, atau mengakuisisi memenuhi kriteria
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25, paling kurang pada 3 (tiga) periode
pelaporan bulanan dalam 6 (enam) bulan pertama setelah merger, konsolidasi,
atau mengakuisisi dinyatakan efektif wajib memperhitungkan Risiko Pasar dalam
perhitungan KPMM sejak bulan ke 7 (tujuh) setelah merger, konsolidasi, atau
mengakuisisi dinyatakan efektif.
Pasal 29 …
- 28 -
Pasal 29
Bank yang telah memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 dan
Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 wajib tetap memperhitungkan
Risiko Pasar dalam kewajiban penyediaan modal minimum walaupun Bank
selanjutnya tidak lagi memenuhi kriteria dimaksud.
Bagian Kedua
Risiko Kredit
Pasal 30
(1) Dalam perhitungan ATMR untuk Risiko Kredit, Bank menggunakan:
a. Pendekatan Standar (Standardized Approach); dan/atau
b. Pendekatan berdasarkan Internal Rating (Internal Rating based
Approach).
(2) Bank yang menggunakan pendekatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b wajib memperoleh persetujuan terlebih dahulu dari Bank Indonesia.
(3) Pengaturan lebih lanjut mengenai penggunaan masing-masing pendekatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dalam
Surat Edaran Bank Indonesia.
Bagian Ketiga
Risiko Operasional
Pasal 31
(1) Dalam perhitungan ATMR untuk Risiko Operasional, Bank menggunakan:
a. Pendekatan Indikator Dasar (Basic Indicator Approach);
b. Pendekatan …
- 29 -
b. Pendekatan Standar (Standardized Approach); dan/atau
c. Pendekatan yang lebih kompleks (Advanced Measurement Approach).
(2) Bank yang menggunakan pendekatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b dan huruf c wajib memperoleh persetujuan terlebih dahulu dari
Bank Indonesia.
(3) Pengaturan lebih lanjut mengenai penggunaan masing-masing pendekatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dalam
Surat Edaran Bank Indonesia.
Bagian Keempat
Risiko Pasar
Pasal 32
(1) Risiko Pasar yang wajib diperhitungkan oleh Bank secara individual dan
secara konsolidasi dengan Perusahaan Anak adalah:
a. risiko suku bunga; dan/atau
b. risiko nilai tukar.
(2) Bank secara konsolidasi wajib memperhitungkan risiko ekuitas dan/atau
risiko komoditas selain Risiko Pasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
apabila memenuhi kriteria sebagai berikut:
a. memiliki Perusahaan Anak yang terekspos risiko ekuitas dan/atau risiko
komoditas; dan
b. secara konsolidasi dengan Perusahaan Anak memenuhi kriteria
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 huruf b.
Pasal 33 …
- 30 -
Pasal 33
(1) Dalam perhitungan ATMR untuk Risiko Pasar, Bank menggunakan:
a. Metode Standar (Standard Method); dan/atau
b. Model Internal (Internal Model).
(2) Bank yang memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25, wajib
terlebih dahulu menggunakan Metode Standar dalam memperhitungkan
Risiko Pasar.
(3) Bank yang menggunakan pendekatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b wajib memperoleh persetujuan terlebih dahulu dari Bank Indonesia.
(4) Pengaturan lebih lanjut mengenai penggunaan masing-masing metode
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Surat Edaran
Bank Indonesia.
BAB IV
PELAPORAN
Pasal 34
(1) Bank yang memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 wajib
menyampaikan laporan perhitungan KPMM dengan memperhitungkan
Risiko Pasar.
(2) Penyusunan dan penyampaian laporan perhitungan KPMM dengan
memperhitungkan Risiko Pasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
mengacu kepada ketentuan tentang Laporan Berkala Bank Umum.
(3) Laporan yang terkait dengan Model Internal secara triwulanan untuk
pertama kali disusun pada akhir triwulan setelah Model Internal digunakan
untuk perhitungan KPMM.
BAB V …
- 31 -
BAB V
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 35
Instrumen modal yang telah disetujui oleh Bank Indonesia sebagai komponen
modal pelengkap dan atau komponen modal pelengkap tambahan sebelum
berlakunya ketentuan ini tetap diperhitungkan sebagai komponen modal sampai
dengan berakhirnya jangka waktu instrumen tersebut.
BAB VI
SANKSI
Pasal 36
Bank yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana diatur dalam
Pasal 3, Pasal 6 ayat (1), Pasal 9, Pasal 11 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 15 ayat (2),
Pasal 14 ayat (1), Pasal 17 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 21 ayat (1) dan ayat (3),
Pasal 22, Pasal 24, Pasal 28, Pasal 29, Pasal 30, Pasal 31, Pasal 32, dan Pasal 33
dikenakan sanksi administratif berupa:
a.
teguran tertulis;
b. pembekuan kegiatan usaha tertentu;
c. penurunan tingkat kesehatan Bank; dan/atau
d. pencantuman pengurus dan atau pemegang saham Bank dalam daftar orang
yang dilarang menjadi pemegang saham dan pengurus Bank,
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992
tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10
Tahun 1998.
Pasal 37 …
- 32 -
Pasal 37
Bank yang tidak dapat memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
2 ayat (1) dan ayat (2) ditempatkan dalam pengawasan khusus sebagaimana
diatur dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai tindak lanjut pengawasan dan
penetapan status Bank.
Pasal 38
Bank yang melanggar ketentuan pelaporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
34 dikenakan sanksi sebagaimana diatur dalam ketentuan yang berlaku tentang
Laporan Berkala Bank Umum.
Pasal 39
Bank yang melakukan perdagangan atas aset keuangan dalam kelompok tersedia
untuk dijual, yang dilakukan dengan pola menyerupai perdagangan atas aset
keuangan dalam kelompok diperdagangkan:
a. dalam jumlah yang signifikan; dan/atau
b. dalam frekuensi yang tinggi,
dikenakan sanksi berupa tidak diperkenankan untuk mengelompokkan pembelian
aset keuangan berikutnya dalam kelompok tersedia untuk dijual, selama 6 (enam)
bulan terhitung sejak tanggal dikeluarkan surat pembinaan oleh Bank Indonesia.
Pasal 40
Dalam hal Bank melakukan tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39
untuk kedua kalinya, maka Bank dikenakan sanksi berupa tidak diperkenankan
untuk …
- 33 -
untuk mengelompokkan pembelian aset keuangan berikutnya dalam kelompok
tersedia untuk dijual selama 1 (satu) tahun terhitung sejak tanggal dikeluarkan
surat pembinaan oleh Bank Indonesia.
Pasal 41
Dalam hal Bank melakukan tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39
lebih dari dua kali, maka Bank dikenakan sanksi berupa tidak diperkenankan
untuk mengelompokkan pembelian aset keuangan berikutnya dalam kelompok
tersedia untuk dijual selama 2 (dua) tahun terhitung sejak tanggal dikeluarkan
surat pembinaan oleh Bank Indonesia.
BAB VII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 42
Ketentuan mengenai perlakuan penempatan antar Bank dalam bentuk pinjaman
subordinasi atau obligasi subordinasi sebagai faktor pengurang atas pinjaman
subordinasi atau obligasi subordinasi bagi Bank yang juga menjadi penerbit
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18, berlaku untuk penempatan yang
dilakukan setelah ketentuan ini berlaku.
Pasal 43
Dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini, maka:
a. Peraturan Bank Indonesia Nomor 3/21/PBI/2001 tanggal 13 Desember
2001 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum;
b. Pasal 6 …
- 34 -
b. Pasal 6 dan Pasal 7 Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/6/PBI/2006 tanggal
30 Januari 2006 tentang Penerapan Manajemen Risiko secara Konsolidasi
bagi Bank yang Melakukan Pengendalian terhadap Perusahaan Anak;
c. Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 10, Pasal 18, Pasal
31, Pasal 34, Pasal 35, Pasal 36, dan Pasal 37 Peraturan Bank Indonesia
Nomor 9/13/PBI/2007 tanggal 1 November 2007 tentang Kewajiban
Penyediaan Modal Minimum Bank Umum dengan Memperhitungkan
Risiko Pasar;
d. Angka III Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 26/1/BPPP tanggal 29 Mei
1993 perihal Kewajiban Penyediaan Modal Minimum bagi Bank Umum,
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 44
Dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini maka:
a. ketentuan pelaksanaan Peraturan Bank Indonesia Nomor 9/13/PBI/2007
tanggal 1 November 2007 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum
Bank Umum dengan memperhitungkan Risiko Pasar;
b. ketentuan pelaksanaan Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/6/PBI/2006
tanggal 30 Januari 2006 tentang Penerapan Manajemen Risiko secara
Konsolidasi bagi Bank yang Melakukan Pengendalian terhadap Perusahaan
Anak;
dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan
Bank Indonesia ini.
Pasal 45
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2009.
Agar …
- 35 -
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan
Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 24 September 2008.
GUBERNUR BANK INDONESIA,
BOEDIONO
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 24 September 2008
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA
ANDI MATTALATTA
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2008 NOMOR 135
DPNP
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 10/ 15 /PBI/2008
TENTANG
KEWAJIBAN PENYEDIAAN MODAL MINIMUM BANK UMUM
UMUM
Dalam rangka menciptakan sistem perbankan yang sehat dan mampu
berkembang serta bersaing secara nasional maupun internasional, struktur,
persyaratan, dan perhitungan kecukupan modal bank perlu disesuaikan dengan
standar internasional yang berlaku. Standar internasional yang menjadi acuan
dalam penyesuaian ini adalah “International convergence of Capital
Measurement and Capital Standards: A Revised Framework” atau yang lebih
dikenal Basel II dan International Accounting Standard (IAS) yang diadopsi
dalam Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) yaitu antara lain IAS 39
yang diadopsi dalam PSAK No. 55.
Perhitungan kecukupan modal merupakan salah satu aspek yang mendasar
dalam pelaksanaan prinsip kehati-hatian. Modal berfungsi sebagai penyangga
untuk menyerap kerugian yang timbul dari berbagai risiko. Oleh karena itu,
dalam perhitungan kecukupan modal sesuai standar internasional, Bank perlu
menyesuaikan kecukupan modal tersebut dengan profil risiko Bank yang
mencakup risiko kredit, risiko pasar, risiko operasional, dan risiko lainnya yang
bersifat material baik yang terukur secara kuantitatif maupun berdasarkan
penilaian secara kualitatif.
Selain …
- 2 -
Selain itu, pasar keuangan di dunia semakin mengalami perkembangan
yang pesat. Perkembangan pasar keuangan menyebabkan tersedianya berbagai
inovasi instrumen keuangan yang dapat diperhitungkan sebagai modal.
Di sisi lain, ketentuan yang berlaku saat ini terkait dengan kecukupan
modal masih tersebar pada beberapa ketentuan yang terpisah, sehingga untuk
mempermudah pengguna dalam memahaminya perlu dilakukan penggabungan
pengaturan tersebut menjadi satu ketentuan.
Sehubungan dengan hal-hal tersebut, maka perlu pengaturan kembali
terhadap ketentuan tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank
Umum dalam suatu Peraturan Bank Indonesia.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Ayat (1)
Aset tertimbang menurut risiko (ATMR) mencakup ATMR untuk
Risiko Kredit, ATMR untuk Risiko Pasar, dan ATMR untuk Risiko
Operasional.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4) …
- 3 -
Ayat (4)
Huruf a
Risiko belum dapat sepenuhnya diukur secara akurat antara lain
disebabkan oleh kelemahan sistem pengendalian risiko untuk
Risiko Kredit, Risiko Pasar, dan Risiko Operasional.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (5)
Rasio KPMM merupakan perbandingan antara modal dengan ATMR.
Rasio KPMM secara konsolidasi dilakukan dengan cara
membandingkan modal secara konsolidasi dengan ATMR secara
konsolidasi.
Pasal 3
Yang dimaksud dengan distribusi laba antara lain pembayaran dividen,
pembayaran bonus kepada pengurus (management fee).
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5 …
- 4 -
Pasal 5
Ayat (1)
Huruf a
Dana Usaha mengacu pada ketentuan Bank Indonesia mengenai
persyaratan dan tata cara pembukaan kantor cabang, kantor
cabang pembantu, dan kantor perwakilan dari bank yang
berkedudukan di luar negeri.
Dana Usaha merupakan dana bersih yang berasal dari kantor
pusat Bank pada kantor cabang bank asing setelah dikurangi
penempatan kantor cabang bank asing pada kantor-kantor Bank
yang bersangkutan di luar negeri, yang harus selalu tercatat
selama kantor cabang bank asing beroperasi di Indonesia dan
telah dinyatakan (declared Dana Usaha).
Huruf b
Yang dimaksud dengan ”laba ditahan” adalah saldo laba bersih
setelah dikurangi pajak yang oleh kantor pusatnya diputuskan
untuk ditahan di kantor cabangnya di Indonesia.
Yang dimaksud dengan ”laba tahun lalu” adalah seluruh laba
bersih tahun-tahun yang lalu setelah dikurangi pajak, dan belum
ditetapkan penggunaannya oleh kantor pusat.
Dalam hal Bank mempunyai saldo rugi tahun-tahun lalu, maka
seluruh kerugian tersebut menjadi faktor pengurang modal.
Huruf c
Yang dimaksud dengan ”laba tahun berjalan” adalah laba yang
diperoleh dalam tahun buku berjalan setelah dikurangi taksiran
pajak.
Dalam …
- 5 -
Dalam hal pada tahun buku berjalan Bank mengalami kerugian,
maka seluruh kerugian tersebut menjadi faktor pengurang modal.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “cadangan umum modal” adalah
cadangan yang dibentuk dari penyisihan laba yang ditahan atau
dari laba tahun lalu setelah dikurangi pajak, dan mendapat
persetujuan kantor pusatnya sebagai cadangan umum modal.
Huruf e
Yang dimaksud dengan “cadangan tujuan modal” adalah
cadangan yang dibentuk dari penyisihan laba yang ditahan atau
dari laba tahun lalu setelah dikurangi pajak yang disisihkan
untuk tujuan tertentu dan telah mendapat persetujuan kantor
pusatnya.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Ayat (2)
Penetapan jumlah Dana Usaha yang dinyatakan mengacu kepada
ketentuan Bank Indonesia yang berlaku mengenai pinjaman luar
negeri.
Pasal 6
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2) …
- 6 -
Ayat (2)
Huruf a
Perlakuan sebagai komponen modal disetor mengacu kepada
ketentuan perundang-undangan yang berlaku dan standar
akuntansi keuangan yang berlaku mengenai akuntansi ekuitas.
Yang termasuk modal disetor antara lain:
1. saham biasa;
2. saham preferen (yang memberikan hak kepada pemegangnya
untuk menerima dividen lebih dahulu dari pemegang saham
klasifikasi lain) non kumulatif (Perpetual non cummulative
preference share); atau
3. saham preferen non kumulatif yang diterbitkan untuk tujuan
khusus dengan fitur call option.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “modal inovatif” adalah instrumen utang
yang memiliki karakteristik modal (instrumen hybrid).
Modal inovatif meliputi :
1. Instrumen utang yang memiliki karakteristik modal, bersifat
subordinasi, tidak memiliki jangka waktu, dan pembayaran
imbal hasil tidak dapat diakumulasikan (Perpetual non
cummulative subordinated debt).
2. Instrumen hybrid lainnya yang tidak memiliki jangka waktu
dan pembayaran imbal hasil tidak dapat diakumulasikan
(perpetual dan non cummulative).
Pasal 7 …
- 7 -
Pasal 7
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Termasuk dalam kategori diproteksi maupun dijamin oleh Bank atau
Perusahaan Anak yaitu proteksi maupun jaminan yang diterima dari
pihak lain tetapi dilakukan melalui Bank atau Perusahaan Anak,
misalnya premi/fee dalam rangka penjaminan dibayar oleh Bank atau
Perusahaan Anak.
Pasal 8
Termasuk sebagai tujuan khusus yaitu untuk tujuan merger, akuisisi, atau
konsolidasi.
Pasal 9
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b …
- 8 -
Huruf b
Tujuan tertentu untuk melakukan pembelian kembali saham yang
telah diakui sebagai komponen modal disetor yaitu sebagai persediaan
saham dalam rangka program employee/management stock option atau
menghindari upaya take over.
Huruf c
Sesuai Undang-Undang No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
yang berlaku saat ini dinyatakan bahwa jumlah nilai nominal seluruh
saham yang dibeli kembali oleh perseroan tidak melebihi 10%
(sepuluh persen) dari modal yang ditempatkan. Saham yang dibeli
kembali hanya boleh dikuasai perseroan paling lama 3 (tiga) tahun.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Pasal 10
Ayat (1)
Huruf a
Angka 1
Yang dimaksud dengan “agio” adalah selisih lebih setoran
modal yang diterima oleh Bank pada saat penerbitan saham
karena harga pasar saham lebih tinggi dari nilai nominal.
Angka 2
Yang dimaksud dengan “modal sumbangan” adalah modal
yang diperoleh kembali dari sumbangan saham Bank
tersebut termasuk selisih antara nilai yang tercatat dengan
harga jual apabila saham tersebut dijual.
Angka 3 …
- 9 -
Angka 3
Yang dimaksud dengan “cadangan umum modal” adalah
cadangan yang dibentuk dari penyisihan laba yang ditahan
atau dari laba tahun lalu setelah dikurangi pajak, dan
mendapat persetujuan rapat umum pemegang saham
(RUPS) atau rapat anggota sebagai cadangan umum modal.
Angka 4
Yang dimaksud dengan “cadangan tujuan modal” adalah
cadangan yang dibentuk dari penyisihan laba yang ditahan
atau dari laba tahun lalu setelah dikurangi pajak yang
disisihkan untuk tujuan tertentu dan telah mendapat
persetujuan RUPS atau rapat anggota.
Angka 5
Laba tahun-tahun lalu setelah diperhitungkan pajak
mencakup:
a.
laba tahun lalu, yaitu seluruh laba bersih tahun-tahun
yang lalu setelah dikurangi pajak, dan belum ditetapkan
penggunaannya oleh RUPS atau rapat anggota;
b. laba ditahan (retained earnings) yaitu saldo laba bersih
setelah dikurangi pajak yang oleh RUPS atau rapat
anggota diputuskan untuk tidak dibagikan.
Angka 6
Yang dimaksud dengan ”laba tahun berjalan” adalah laba
yang diperoleh dalam tahun buku berjalan setelah dikurangi
taksiran pajak.
Angka 7 …
- 10 -
Angka 7
Yang dimaksud dengan “selisih lebih penjabaran laporan
keuangan” adalah selisih kurs yang timbul dari penjabaran
laporan keuangan kantor cabang Bank dan/atau Perusahaan
Anak di luar negeri sebagaimana diatur dalam standar
akuntansi keuangan yang berlaku mengenai penjabaran
laporan keuangan dalam mata uang asing.
Angka 8
Apabila berdasarkan penelitian Bank Indonesia, calon
pemegang saham Bank atau dana setoran modal diketahui
tidak memenuhi syarat sebagai pemegang saham atau
sebagai modal maka dana tersebut tidak dapat diakui
sebagai komponen modal.
Angka 9
Mengacu pada definisi yang umum berlaku di pasar modal,
yang dimaksud dengan “waran” adalah efek yang
diterbitkan oleh suatu perusahaan yang memberi hak
kepada pemegang efek untuk memesan saham dari
perusahaan tersebut pada harga dan jangka waktu tertentu.
Angka 10
Cukup jelas.
Huruf b
Angka 1
Yang dimaksud dengan “disagio” adalah selisih kurang
setoran modal yang diterima oleh Bank pada saat
penerbitan saham karena harga pasar saham lebih rendah
dari nilai nominal.
Angka 2 …
- 11 -
Angka 2
Yang dimaksud dengan “rugi tahun-tahun lalu” adalah
seluruh rugi yang dibukukan Bank pada tahun-tahun yang
lalu.
Angka 3
Yang dimaksud dengan “rugi tahun berjalan” adalah rugi
yang dibukukan Bank dalam tahun buku berjalan.
Angka 4
Yang dimaksud dengan “selisih kurang penjabaran laporan
keuangan” adalah selisih kurs yang timbul dari penjabaran
laporan keuangan kantor cabang Bank dan/atau Perusahaan
Anak di luar negeri sebagaimana diatur dalam standar
akuntansi keuangan yang berlaku mengenai penjabaran
laporan keuangan dalam mata uang asing.
Angka 5
Pendapatan komprehensif lainnya yang negatif merupakan
pos dalam ekuitas yang bertujuan untuk menampung
penurunan nilai wajar atas penyertaan dalam kelompok
tersedia untuk dijual.
Yang dimaksud dengan “penyertaan yang diklasifikasikan
dalam kelompok tersedia untuk dijual” adalah penyertaan
saham yang memenuhi kriteria penggunaan metode biaya
dan memiliki nilai wajar.
Angka 6
Yang dimaksud dengan “selisih kurang antara penyisihan
penghapusan aset atas aset produktif dan cadangan
kerugian …
- 12 -
kerugian penurunan nilai aset keuangan atas aset produktif”
adalah selisih kurang antara total penyisihan penghapusan
aset (cadangan umum dan cadangan khusus atas seluruh
aset produktif) yang wajib dibentuk sesuai ketentuan Bank
Indonesia yang berlaku dengan total cadangan kerugian
penurunan nilai aset keuangan (impairment) atas seluruh
aset produktif (secara individu dan secara kolektif) sesuai
standar akuntansi keuangan yang berlaku.
Angka 7
Selisih kurang ini timbul karena jumlah penyesuaian
terhadap hasil valuasi (mark to market) dari instrumen
keuangan dalam Trading Book yang mempertimbangkan
berbagai faktor-faktor tertentu antara lain karena posisi
yang kurang likuid, melebihi jumlah penyesuaian yang
dipersyaratkan sesuai standar akuntansi keuangan yang
berlaku mengenai pengukuran instrumen keuangan,
khususnya instrumen keuangan yang diukur berdasarkan
nilai wajar.
Sesuai Pedoman Akuntansi Perbankan Indonesia (PAPI)
yang berlaku, penyesuaian terhadap hasil valuasi instrumen
keuangan akan langsung mengurangi atau menambah nilai
tercatat instrumen keuangan.
Ayat (2)
Huruf a
Pajak tangguhan (deferred tax) merupakan transaksi yang timbul
sebagai akibat penerapan PSAK mengenai akuntansi pajak
penghasilan.
Dalam …
- 13 -
Dalam perhitungan KPMM secara individual pengaruh pajak
tangguhan yang dikeluarkan sebesar selisih bersih aset pajak
tangguhan dikurangi kewajiban pajak tangguhan.
Dalam hal kewajiban pajak tangguhan melampaui aset pajak
tangguhan, maka pengaruh perhitungan pajak tangguhan yang
akan dikeluarkan dari laba/rugi tahun lalu atau tahun berjalan
adalah sebesar nol.
Dalam perhitungan KPMM secara konsolidasi, aset pajak
tangguhan satu perusahaan tidak boleh saling hapus dengan
kewajiban pajak tangguhan perusahaan lain dalam kelompok
usaha Bank.
Oleh karena itu, pengaruh pajak tangguhan dalam perhitungan
KPMM secara konsolidasi harus dihitung dan dikeluarkan secara
terpisah untuk masing-masing entitas.
Dengan dikeluarkannya dampak pajak tangguhan dari
perhitungan laba atau rugi, maka aset pajak tangguhan tidak
diperhitungkan dalam perhitungan ATMR.
Huruf b
Yang dimaksud dengan ”selisih nilai revaluasi aset tetap” adalah
selisih nilai revaluasi aset tetap yang diklasifikasikan ke saldo
laba dalam hal Bank melakukan revaluasi aset tetap sebelum
PSAK 16 diberlakukan dan selanjutnya menggunakan metode
biaya dalam pengukuran aset tetap.
Termasuk dalam komponen ini adalah selisih lebih revaluasi aset
tetap yang tersisa dalam pelaksanaan kuasi reorganisasi.
Huruf c …
- 14 -
Huruf c
Perlakuan ini diperuntukkan bagi Bank yang menggunakan
model revaluasi aset tetap sebagaimana diatur dalam PSAK 16
tentang Aset Tetap.
Perhitungan nilai wajar aset tetap mengacu pada standar
akuntansi keuangan yang berlaku mengenai aset tetap.
Huruf d
Hal ini terjadi apabila Bank menetapkan untuk mengukur
kewajiban keuangan pada nilai wajar melalui laba rugi (fair
value option) sesuai standar akuntansi keuangan yang berlaku.
Huruf e
Yang dimaksud dengan “keuntungan atas penjualan aset dalam
transaksi sekuritisasi (gain on sale)” adalah keuntungan yang
diperoleh Bank sebagai kreditur asal (originator) atas penjualan
aset dalam transaksi sekuritisasi (gain on sale) yang bersumber
dari kapitalisasi pendapatan masa mendatang (expected future
margin) atau kapitalisasi pendapatan dari penyediaan jasa
(servicing income).
Pasal 11
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b …
- 15 -
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Termasuk dalam kategori diproteksi maupun dijamin oleh Bank
atau Perusahaan Anak yaitu proteksi maupun jaminan yang
diterima dari pihak lain tetapi dilakukan melalui Bank atau
Perusahaan Anak, misalnya premi/fee dalam rangka penjaminan
dibayar oleh Bank atau Perusahaan Anak.
Huruf f
Angka 1
Cukup jelas.
Angka 2
Cukup jelas.
Angka 3
Yang dimaksud dengan fitur step-up adalah fitur yang
menjanjikan kenaikan tingkat suku bunga apabila opsi beli
tidak dieksekusi pada jangka waktu yang telah ditetapkan.
Huruf a)
Cukup jelas.
Huruf b)
Cukup jelas.
Huruf c) …
- 16 -
Huruf c)
Yang dimaksud dengan “marjin (credit spread)”
adalah selisih antara tingkat imbal hasil/bunga
instrumen dimaksud dengan tingkat bunga instrumen
yang tidak berisiko (risk free).
Ilustrasi penetapan batas
step-up berdasarkan
perjanjian step-up adalah sebagai berikut:
1. Step-up atas suku bunga tetap (fixed interest
rates)
Contoh:
a. step-up yang dapat direalisasi setelah 10
tahun penerbitan tidak melebih 100 bp (100
bp = 1%)
Suku bunga sebelumnya (tahun 1 – 10) =
7% fixed interest rate
Suku bunga baru (sejak tahun 11) =
7% + 1 % = 8% fixed interest rate
b. step-up yang dapat direalisasi setelah 10
tahun penerbitan tidak melebih 50% (lima
puluh persen) dari marjin (credit spread) awal
Suku bunga sebelumnya (tahun 1 – 10 ) =
7% fixed interest rate
Misalnya pada saat penerbitan, tingkat
bunga instrumen yang tidak berisiko (risk
free) = 6%, maka 50% (lima puluh
persen) dari marjin (credit spread) awal
adalah 50% x (7% - 6%) = 0.5%
• Suku …
- 17 -
Suku bunga baru (sejak tahun 11) =
7% + 0.5% =7.5% fixed interest rate
2. Step-up atas suku bunga mengambang (floating
interest rates)
Terdapat 2 contoh:
a. Jika reference rate tidak berubah
1) step-up yang dapat direalisasi setelah
10 tahun penerbitan tidak melebih 100 bp
Suku bunga sebelumnya (tahun
1 – 10) = 10 year Govt’ Bond +
spread 1,5% (spread pada saat
penerbitan instrumen)
Suku bunga baru (sejak tahun 11) =
10 year Govt’ Bond + spread 2,5%
(spread awal 1,5% + 1%)
2) step-up yang dapat direalisasi setelah 10
tahun penerbitan tidak melebih 50% (lima
puluh persen) dari marjin (credit spread)
awal
Suku bunga sebelumnya (tahun
1 – 10) = 10 year Govt’ Bond +
spread 1,5% (spread pada saat
penerbitan instrumen) = 7%
Misalnya dengan tingkat bunga
instrumen yang tidak berisiko
(risk free) = 6%, maka 50% (lima
puluh …
- 18 -
puluh persen) dari marjin (credit
spread) awal adalah 50% x
(7% - 6%) = 0.5%
Suku bunga baru (sejak tahun 11) =
10 year Govt’ Bond + spread 2%
(spread awal 1,5% + 0.5%)
b. Jika reference rate berubah
1) step-up yang dapat direalisasi setelah 10
tahun penerbitan tidak melebihi 100 bp
Peningkatan suku bunga tidak boleh
melebihi 1% (satu persen) dari spread
awal (pada saat penerbitan instrumen)
dengan menggunakan reference rate baru
dibandingkan dengan reference rate pada
saat penerbitan instrumen.
Misalnya, reference rate dari 10-year
Gov’t Bond berubah menjadi LIBOR
• Suku bunga sebelumnya (tahun
1 – 10)
Asumsi pada saat penerbitan
instrumen suku bunga adalah 7% (10
year Gov’t Bond 5% plus spread
2%). Sementara pada saat yang sama,
LIBOR 5,5%. Dengan demikian,
spread LIBOR pada saat suku bunga
7% adalah 1.5% (7% - 5.5%).
• Suku …
- 19 -
• Suku bunga baru (sejak tahun 11) =
LIBOR + spread 2.5% (spread awal
1,5% + 1%)
2) step-up yang dapat direalisasi setelah 10
tahun penerbitan tidak melebihi 50%
(lima puluh persen) dari marjin (credit
spread) awal
Peningkatan suku bunga tidak boleh
melebihi 50% (lima puluh persen) marjin
(credit spread) awal dari spread awal
(pada saat penerbitan instrumen) dengan
reference rate baru dibandingkan dengan
reference rate pada saat penerbitan
instrumen.
Misalnya,
reference rate dari
10-year Gov’t Bond berubah menjadi
LIBOR
• Suku bunga sebelumnya (tahun
1 – 10)
Asumsi pada saat penerbitan
instrumen suku bunga adalah 7%
(10 year Gov’t Bond 5% plus spread
2%). Sementara pada saat yang sama,
LIBOR 5,5%. Dengan demikian,
spread LIBOR pada saat suku bunga
7% adalah 1.5% (7% - 5.5%).
Misalnya …
- 20 -
Misalnya dengan tingkat bunga
instrumen yang tidak berisiko (risk
free)= 6%, maka 50% (lima puluh
persen) dari marjin (credit spread)
awal adalah 50% x (7% - 6%) =
0.5%.
• Suku bunga baru (sejak tahun 11) =
LIBOR + spread 2 % (spread awal
1,5% + 0.5%)
3) Step-up dengan perubahan dari suku
bunga tetap menjadi suku bunga
mengambang
a. step-up yang dapat direalisasi setelah
10 tahun penerbitan tidak melebihi
100 bp
Peningkatan suku bunga tidak boleh
melebihi 1% (satu persen) dari spread
awal (pada saat penerbitan instrumen)
dengan floating interest rates yang
digunakan setelah tahun ke 10
dibandingkan dengan suku bunga
pada saat penerbitan instrumen.
Misalnya, perubahan dari fixed rate
menjadi
floating
(LIBOR+Spread)
rate
• Suku …
- 21 -
• Suku bunga sebelumnya (tahun
1 – 10) = 7% fixed rate
Asumsi LIBOR 5,5% pada saat
penerbitan instrumen. Dengan
demikian, pada suku bunga 7%
maka spread atas LIBOR adalah
1,5 %.
• Suku bunga baru (sejak tahun 11)
= LIBOR + spread 2,5%
(spread awal 1,5% + 1 %).
b. step-up yang dapat direalisasi setelah
10 tahun penerbitan tidak melebihi
50% (lima puluh persen) dari marjin
(credit spread) awal
Peningkatan suku bunga tidak boleh
melebihi 50% (lima puluh persen)
marjin (credit spread) awal (pada saat
penerbitan instrumen) dengan
floating interest rates yang digunakan
setelah tahun ke 10 dibandingkan
dengan suku bunga pada saat
penerbitan instrumen.
Misalnya, perubahan dari fixed rate
menjadi
floating
(LIBOR+Spread)
rate
• Suku …
- 22 -
• Suku bunga sebelumnya (tahun
1 – 10) = 7% fixed rate
Asumsi LIBOR 5,5% pada saat
penerbitan instrumen. Dengan
demikian, pada suku bunga
7% maka spread atas LIBOR
adalah 1,5 %.
Misalnya dengan tingkat bunga
instrumen yang tidak berisiko
(risk free)= 6%, maka 50%
(lima puluh persen) dari marjin
(credit spread) awal adalah 50%
x (7% - 6%) = 0.5%
• Suku bunga baru (sejak tahun 11)
= LIBOR + spread 2 %
(spread awal 1,5% + 0.5 %).
Huruf g
Cukup jelas
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c …
- 23 -
Huruf c
Angka 1
Yang dimaksud dengan kualitas sama atau lebih baik
adalah instrumen modal yang paling kurang memenuhi
persyaratan sebagai komponen modal inovatif.
Angka 2
Modal inti adalah modal inti pada saat penggantian.
Batasan 10% (sepuluh persen) dari modal inti
diperhitungkan dengan memperhatikan seluruh instrumen
modal inovatif yang tersedia.
Contoh ”jumlah yang berbeda” adalah sebagai berikut:
Misalnya modal inovatif yang dieksekusi adalah
Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah), namun pada saat
penggantian, modal inti Bank mengalami perubahan
sehingga batasan modal inovatif misalnya menjadi paling
tinggi sebesar Rp. 150.000.000,- (seratus lima puluh lima
juta rupiah).
Dengan kondisi ini, maka Bank dapat menggantikan modal
inovatif sebesar Rp. 150.000.000,- (seratus lima puluh juta
rupiah).
Pasal 12
Ayat (1)
Persyaratan komponen modal inti mengacu pada persyaratan
mengenai modal disetor dan cadangan tambahan modal (laba ditahan
dan laba tahun berjalan).
Ayat (2) …
- 24 -
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 13
Huruf a
Sesuai standar akuntansi keuangan yang berlaku, goodwill merupakan
selisih lebih antara biaya perolehan dan bagian perusahaan
pengakuisisi atas nilai wajar aset dan kewajiban yang dapat
diidentifikasi pada tanggal transaksi pertukaran.
Goodwill diperhitungkan sebagai faktor pengurang hanya dalam
perhitungan KPMM Bank secara konsolidasi.
Huruf b
Termasuk sebagai aset tidak berwujud lainnya antara lain copy right,
hak paten, dan hak milik intelektual (intellectual property right)
lainnya.
Huruf c
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b …
- 25 -
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Termasuk dalam kategori diproteksi maupun dijamin oleh Bank
atau Perusahaan Anak yaitu proteksi maupun jaminan yang
diterima dari pihak lain tetapi dilakukan melalui Bank atau
Perusahaan Anak, misalnya premi/fee dalam rangka penjaminan
dibayar oleh Bank atau Perusahaan Anak.
Huruf f
Angka 1
Cukup jelas.
Angka 2
Cukup jelas.
Angka 3
Yang dimaksud dengan fitur step-up adalah fitur yang
menjanjikan kenaikan tingkat suku bunga apabila opsi beli
tidak dieksekusi pada jangka waktu yang telah ditetapkan.
Huruf a)
Cukup jelas.
Huruf b)
Cukup jelas.
Huruf c) …
- 26 -
Huruf c)
Yang dimaksud dengan “marjin (credit spread)”
adalah selisih antara tingkat imbal hasil/bunga
instrumen dimaksud dengan tingkat bunga instrumen
yang tidak berisiko (risk free).
Penetapan besar step-up mengacu pada ilustrasi yang
dikemukakan pada penjelasan Pasal 11 ayat (2) huruf
f angka 3 huruf c).
Huruf g
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Angka 1
Yang dimaksud dengan kualitas sama atau lebih baik
adalah instrumen modal yang paling kurang memenuhi
persyaratan sebagai komponen modal pelengkap level atas
(upper tier 2).
Angka 2
Batasan modal pelengkap diperhitungkan dengan
memperhatikan seluruh instrumen modal pelengkap yang
tersedia baik modal pelengkap level atas (upper tier 2)
maupun modal pelengkap level bawah (lower tier 2).
Contoh …
- 27 -
Contoh ”jumlah yang berbeda” adalah sebagai berikut:
Misalnya modal pelengkap yang dieksekusi adalah
Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah), namun pada saat
penggantian, modal inti Bank mengalami perubahan
sehingga batasan modal pelengkap misalnya menjadi
paling tinggi sebesar Rp. 400.000.000,- (empat ratus juta
rupiah).
Dengan kondisi ini, maka Bank dapat menggantikan modal
pelengkap sebesar Rp. 400.000.000,- (empat ratus juta
rupiah).
Pasal 16
Ayat (1)
Huruf a
Contoh “instrumen modal dalam bentuk saham atau instrumen
modal lainnya yang memenuhi persyaratan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 15” adalah:
1. Saham preferen (yang memberikan hak kepada
pemegangnya untuk menerima dividen lebih dahulu dari
pemegang saham klasifikasi lain) secara kumulatif
(Perpetual cummulative preference share);
2. Instrumen utang yang memiliki karakteristik modal, bersifat
subordinasi, tidak memiliki jangka waktu, bersifat kumulatif
dan memenuhi seluruh persyaratan untuk dapat
diperhitungkan sebagai komponen modal pelengkap level
atas (Perpetual cummulative subordinated debt);
3. Instrumen …
- 28 -
3. Instrumen utang yang memiliki karakteristik seperti modal
yang secara otomatis tanpa persyaratan dapat dikonversi
menjadi saham dan setelah memperoleh persetujuan Bank
Indonesia (Mandatory convertible bond).
Kondisi dan nilai konversi harus ditetapkan pada saat
penerbitan yang besarnya sejalan dengan kondisi pasar.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “bagian dari modal inovatif yang tidak
dapat diperhitungkan dalam modal inti” adalah selisih lebih
instrumen modal yang memenuhi persyaratan sebagai komponen
modal inovatif dari batasan 10% (sepuluh persen) dari modal
inti.
Huruf c
Angka 1
Selisih nilai revaluasi aset tetap pada angka ini sebelumnya
telah dikeluarkan dari perhitungan laba/rugi tahun lalu yang
merupakan komponen modal inti.
Perlakuan ini diperuntukkan bagi Bank yang melakukan
revaluasi aset tetap sebelum PSAK 16 (Revisi) tentang
Aset Tetap berlaku efektif dan selanjutnya menggunakan
metode biaya dalam pengukuran aset tetap.
Selisih nilai revaluasi aset tetap adalah setelah
diperhitungkan pajak.
Angka 2
Peningkatan nilai wajar atas aset tetap pada angka ini
sebelumnya telah dikeluarkan dari perhitungan laba/rugi
tahun …
- 29 -
tahun lalu dan/atau laba/rugi tahun berjalan yang
merupakan komponen modal inti.
Perlakuan ini diperuntukkan bagi Bank yang menggunakan
model revaluasi aset tetap sebagaimana diatur dalam PSAK
16 tentang Aset Tetap.
Huruf d
Pembentukan cadangan umum penyisihan penghapusan aset atas
aset produktif yang wajib dibentuk mengacu pada ketentuan
Bank Indonesia mengenai kualitas aset.
Contoh:
Cadangan umum penyisihan penghapusan aset atas aset
produktif yang wajib dibentuk sebesar Rp15.000.000,-
(lima belas juta rupiah) dan ATMR Bank untuk Risiko Kredit
sebesar Rp1.000.000.000,- (satu milyar rupiah).
Cadangan umum yang dapat diperhitungkan sebagai komponen
modal pelengkap level atas paling tinggi 1,25% x
Rp. 1.000.000.000,- = Rp12.500.000,- (dua belas juta lima ratus
ribu rupiah).
Dalam hal ini terdapat kelebihan cadangan umum sebesar
Rp2.500.000, - (dua juta lima ratus ribu rupiah) yang tidak dapat
diperhitungkan sebagai komponen modal pelengkap level atas
(upper tier 2).
Huruf e
Yang dimaksud penyertaan yang diklasifikasikan dalam
kelompok tersedia untuk dijual adalah penyertaan saham yang
memenuhi kriteria metode biaya dan memiliki nilai wajar.
Ayat (2) …
- 30 -
Ayat (2)
Kelebihan cadangan umum penyisihan penghapusan aset atas aset
produktif sesuai contoh pada penjelasan ayat (1) huruf d yaitu sebesar
Rp2.500.000,- (dua juta lima ratus ribu rupiah) menjadi faktor
pengurang perhitungan ATMR untuk Risiko Kredit.
Pasal 17
Ayat (1)
Yang termasuk komponen modal pelengkap level bawah (lower tier 2)
antara lain:
a. saham preferen yang dapat ditarik kembali setelah jangka waktu
tertentu (Redeemable Preference Shares);
b. pinjaman subordinasi atau obligasi subordinasi.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Termasuk dalam kategori diproteksi maupun dijamin oleh Bank
atau Perusahaan Anak yaitu proteksi maupun jaminan yang
diterima …
- 31 -
diterima dari pihak lain tetapi dilakukan melalui Bank atau
Perusahaan Anak, misalnya premi/fee dalam rangka penjaminan
dibayar oleh Bank atau Perusahaan Anak.
Huruf f
Angka 1
Cukup jelas.
Angka 2
Cukup jelas.
Angka 3
Yang dimaksud dengan “fitur step-up” adalah fitur yang
menjanjikan kenaikan tingkat suku bunga apabila opsi beli
tidak dieksekusi pada jangka waktu yang telah ditetapkan.
Huruf a)
Cukup jelas.
Huruf b)
Cukup jelas.
Huruf c)
Yang dimaksud dengan “marjin (credit spread)”
adalah selisih antara tingkat imbal hasil/bunga
instrumen dimaksud dengan tingkat bunga instrumen
yang tidak berisiko (risk free).
Perhitungan penetapan batas step-up mengacu pada
ilustrasi dalam penjelasan Pasal 11 ayat (2) huruf f
angka 3 huruf c).
Huruf g
Cukup jelas
Ayat (3) …
- 32 -
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Angka 1
Yang dimaksud dengan kualitas sama atau lebih baik
adalah instrumen modal yang paling kurang memenuhi
persyaratan sebagai komponen modal pelengkap level
bawah (lower tier 2).
Angka 2
Batasan modal pelengkap level bawah (lower tier 2)
diperhitungkan dengan memperhatikan seluruh instrumen
modal pelengkap level bawah (lower tier 2) yang tersedia.
Contoh ”jumlah yang berbeda” adalah sebagai berikut:
Misalnya modal pelengkap yang dieksekusi adalah
Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah), namun pada saat
penggantian, modal inti Bank mengalami perubahan
sehingga batasan modal pelengkap level bawah (lower
tier 2) misalnya menjadi paling tinggi sebesar
Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah).
Dengan kondisi ini, maka Bank dapat menggantikan modal
pelengkap level bawah (lower tier 2) hanya sebesar
Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah).
Ayat (4) …
- 33 -
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan amortisasi menggunakan metode garis lurus
adalah amortisasi secara prorata.
Ayat (5)
Amortisasi dihitung berdasarkan nilai instrumen modal yang telah
memperhitungkan pengurangan dari cadangan pelunasan (sinking
fund).
Ayat (6)
Ilustrasi pelaksanaan amortisasi:
Contoh 1:
Bank menerbitkan obligasi subordinasi yang memiliki jangka waktu
10 (sepuluh) tahun dan memiliki opsi beli pada akhir tahun ke 5.
Dalam kondisi ini, Bank wajib mulai menghitung amortisasi sejak
tahun pertama.
Apabila pada akhir tahun ke 5, Bank tidak mengeksekusi opsi beli
tersebut maka mulai awal tahun ke 6 obligasi subordinasi tersebut
dapat diperhitungkan kembali dalam perhitungan KPMM dengan
memperhatikan batasan yang dipersyaratkan termasuk kewajiban
untuk memperhitungkan amortisasi.
Contoh 2:
Bank menerbitkan obligasi subordinasi yang memiliki jangka waktu
10 (sepuluh) tahun dan memiliki opsi beli setelah akhir tahun ke 5.
Dalam kondisi ini maka sisa jangka waktu instrumen tersebut pada
awal penerbitan adalah 5 (lima) tahun. Amortisasi wajib mulai
diperhitungkan oleh Bank sejak tahun pertama.
Setelah …
- 34 -
Setelah akhir tahun ke 5 sampai dengan jatuh tempo, Bank tidak dapat
memperhitungkan kembali obligasi subordinasi tersebut sebagai
modal pelengkap level bawah (lower tier 2) meskipun Bank belum
mengeksekusi opsi beli tersebut.
Pasal 18
Nilai pinjaman subordinasi atau obligasi subordinasi dari Bank penerbit
yang dikurangi adalah setelah memperhitungkan cadangan pelunasan
(sinking fund).
Contoh:
Bank A menerbitkan instrumen yang termasuk sebagai komponen modal
pelengkap level bawah (lower tier 2) berupa obligasi subordinasi sebesar
Rp 100 milyar.
Bank A juga membeli instrumen modal pelengkap berupa obligasi
subordinasi (baik yang termasuk modal pelengkap level atas maupun modal
pelengkap level bawah) yang diterbitkan Bank B sebesar Rp 20 milyar.
Dalam kondisi ini, maka obligasi subordinasi yang dapat diperhitungkan
sebagai komponen modal pelengkap level bawah (lower tier 2) oleh Bank A
hanya sebesar Rp 100 milyar – Rp 20 milyar = Rp 80 milyar, yang
selanjutnya disesuaikan dengan batasan modal pelengkap level bawah
(lower tier 2) yang diperkenankan.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20 …
- 35 -
Pasal 20
Ayat (1)
Huruf a
Nilai penyertaan yang diperhitungkan adalah nilai buku yang
tercatat di neraca.
Huruf b
Kekurangan modal (shortfall) diperhitungkan sebagai faktor
pengurang hanya dalam perhitungan KPMM secara konsolidasi.
Kekurangan modal (shortfall) perusahaan yang melakukan
kegiatan usaha asuransi dari RBC minimum diperhitungkan
apabila perusahaan dimaksud tidak dapat memenuhi RBC
minimum sampai dengan jangka waktu yang ditetapkan oleh
otoritas pengawas yang berwenang.
Perusahaan asuransi yang dikendalikan Bank mengacu
pada definisi Pengendalian sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan ini.
Huruf c
Perlakuan terhadap eksposur sekuritisasi sebagai pengurang
modal mengacu pada ketentuan Bank Indonesia mengenai
sekuritisasi aset.
Yang dimaksud dengan “eksposur sekuritisasi” adalah kredit
pendukung (credit enhancement), fasilitas likuiditas (liquidity
support), dan efek beragun aset (asset backed securities).
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3) …
- 36 -
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 21
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Dengan pengaturan ini maka modal inti yang harus dialokasikan
untuk Risiko Pasar paling kurang sebesar 28,5% (dua puluh
delapan koma lima persen) dari beban modal untuk Risiko Pasar.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Termasuk dalam kategori diproteksi maupun dijamin oleh Bank
atau Perusahaan Anak yaitu proteksi maupun jaminan yang
diterima …
- 37 -
diterima dari pihak lain tetapi dilakukan melalui Bank atau
Perusahaan Anak, misalnya premi/fee dalam rangka penjaminan
dibayar oleh Bank atau Perusahaan Anak.
Huruf f
Angka 1
Cukup jelas.
Angka 2
Cukup jelas.
Angka 3
Yang dimaksud dengan fitur step-up adalah fitur yang
menjanjikan kenaikan tingkat suku bunga apabila opsi beli
tidak dieksekusi pada jangka waktu yang telah ditetapkan.
Huruf a)
Cukup jelas.
Huruf b)
Cukup jelas.
Huruf c)
Yang dimaksud dengan “marjin (credit spread)”
adalah selisih antara tingkat imbal hasil/bunga
instrumen dimaksud dengan tingkat bunga instrumen
yang tidak berisiko (risk free).
Perhitungan penetapan batas step-up mengacu pada
ilustrasi dalam penjelasan Pasal 11 ayat (2) huruf f
angka 3 huruf c).
Huruf g
Cukup jelas.
Ayat (3) …
- 38 -
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Pemanfaatan modal pelengkap (tier 2) sebagai komponen modal
pelengkap tambahan (tier 3) tetap memperhatikan batasan
jumlah modal pelengkap (tier 2) dan modal pelengkap tambahan
(tier 3).
Huruf c
Yang dimaksud dengan “bagian dari modal pelengkap level
bawah (lower tier 2) yang melebihi batasan modal pelengkap
level bawah (lower tier 2)” adalah selisih lebih instrumen modal
yang memenuhi persyaratan sebagai komponen modal pelengkap
level bawah (lower tier 2) dari batasan 50% (lima puluh persen)
dari modal inti.
Pasal 22
Dokumen pendukung merupakan kelengkapan untuk menunjukkan bahwa
persyaratan sebagaimana diatur dalam ketentuan ini telah terpenuhi.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25 …
- 39 -
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Perlakuan pengakuan dan pengukuran mengacu pada Pernyataan Standar
Akuntansi Keuangan (PSAK) No. 55 (Revisi 2006) mengenai Instrumen
Keuangan: Pengakuan dan Pengukuran.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Contoh 1:
Sebelum melakukan merger atau konsolidasi, Bank A dan Bank B tidak
memenuhi kriteria untuk memperhitungkan Risiko Pasar.
Selama 6 (enam) bulan setelah merger atau konsolidasi dinyatakan efektif,
pada bulan ke 1 (satu), ke 3 (tiga), dan ke 4 (empat), Bank hasil merger
atau konsolidasi tersebut memenuhi kriteria untuk memperhitungkan
Risiko Pasar.
Dengan demikian, Bank hasil merger atau konsolidasi tersebut wajib
memperhitungkan Risiko Pasar sejak bulan ke 7 (tujuh).
Contoh 2:
Bank A tidak memenuhi kriteria untuk memperhitungkan Risiko Pasar.
Selanjutnya, Bank A mengakuisisi perusahaan keuangan X sehingga
Bank A melakukan konsolidasi terhadap perusahaan X.
Selama …
- 40 -
Selama 6 (enam) bulan setelah melakukan akuisisi perusahaan X
dinyatakan efektif, pada bulan ke 2 (dua), ke 4 (empat), dan ke 6 (enam),
Bank secara konsolidasi dengan perusahaan X tersebut memenuhi kriteria
untuk memperhitungkan Risiko Pasar.
Dengan demikian, Bank secara konsolidasi dengan Perusahaan Anak “X”
tersebut wajib memperhitungkan Risiko Pasar sejak bulan ke 7 (tujuh).
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan ”risiko suku bunga” adalah risiko
kerugian akibat perubahan harga instrumen keuangan dari posisi
Trading Book yang disebabkan oleh perubahan suku bunga.
Huruf b …
- 41 -
Huruf b
Yang dimaksud dengan ”risiko nilai tukar” adalah risiko
kerugian akibat perubahan nilai posisi Trading Book dan
Banking Book yang disebabkan oleh perubahan nilai tukar valuta
asing termasuk perubahan harga emas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan ”risiko ekuitas” adalah risiko kerugian akibat
perubahan harga instrumen keuangan dari posisi Trading Book yang
disebabkan oleh perubahan harga saham.
Yang dimaksud dengan ”risiko komoditas” adalah risiko kerugian
akibat perubahan harga instrumen keuangan dari posisi Trading Book
dan Banking Book yang disebabkan oleh perubahan harga komoditas.
Pasal 33
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Bank yang baru memenuhi kriteria untuk memperhitungkan Risiko
Pasar, maka perhitungan Risiko Pasar wajib dimulai dengan
menggunakan Metode Standar.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 34 …
- 42 -
Pasal 34
Ayat (1)
Laporan perhitungan KPMM dengan memperhitungkan Risiko Pasar
antara lain mencakup laporan posisi yang diperhitungkan dalam
Risiko Pasar, laporan perhitungan rasio KPMM, laporan perhitungan
value at risk dan beban modal, laporan back testing, serta laporan
stress testing.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Contoh:
Apabila Bank A telah memperoleh persetujuan untuk menggunakan
Model Internal untuk memperhitungkan Risiko Pasar pada bulan
Februari 2009, maka laporan yang terkait dengan Model Internal
wajib disusun untuk pertama kalinya pada akhir bulan Maret 2009.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Cukup jelas.
Pasal 37
Cukup jelas.
Pasal 38 …
- 43 -
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
Yang dimaksud dengan ”jumlah yang signifikan” adalah signifikan
terhadap total aset keuangan dalam kelompok tersedia untuk dijual.
Pasal 40
Cukup jelas.
Pasal 41
Cukup jelas.
Pasal 42
Cukup jelas.
Pasal 43
Cukup jelas.
Pasal 44
Cukup jelas.
Pasal 45 …
- 44 -
Pasal 45
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR
4895
- 45 -
DPNP
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 10/15/PBI/2008 </reg_id>
<reg_title> KEWAJIBAN PENYEDIAAN MODAL MINIMUM BANK UMUM </reg_title>
<set_date> 24 September 2008 </set_date>
<effective_date> 1 Januari 2009 </effective_date>
<issued_date> 24 September 2008 </issued_date>
<replaced_reg> '9/13/PBI/2007 | Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 10, Pasal 18, Pasal 31, Pasal 34, Pasal 35, Pasal 36, dan Pasal 37', '3/21/PBI/2001', '26/1/BPPP|SE-BI/1993 | Angka III', '8/6/PBI/2006' </replaced_reg>
<related_reg> '23/UU/1999', '3/UU/2004', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB VI' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 3/25/PBI/2001
TENTANG
PENETAPAN STATUS BANK DAN PENYERAHAN BANK KEPADA
BADAN PENYEHATAN PERBANKAN NASIONAL
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang: a. bahwa dalam rangka menciptakan sistem perbankan yang
sehat dan mampu bersaing secara nasional dan internasional,
maka diperlukan program restrukturisasi perbankan nasional;
b. bahwa dalam rangka pelaksanaan program restrukturisasi
perbankan nasional tersebut, dilakukan
pengawasan terhadap bank yang dinilai memiliki
langkah-langkah
potensi
kesulitan dalam kegiatan usahanya dengan langkah-langkah
pengawasan intensif, terhadap bank yang dinilai mengalami
kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya
dengan pengawasan khusus, dan penyerahan bank kepada
Badan Penyehatan Perbankan Nasional;
c. bahwa sehubungan dengan hal tersebut diperlukan
penyesuaian terhadap ketentuan tentang Penetapan Status
Bank dan Penyerahan Bank kepada Badan
Perbankan Nasional dalam Peraturan Bank Indonesia;
Penyehatan
Mengingat: 1. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor
31, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3472) sebagaimana
telah …
- 2 -
telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor
182, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3790);
2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999
Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3843);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1999 tentang Badan
Penyehatan Perbankan Nasional (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 30, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3814) sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2001
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor
71, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4102);
4. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 1999 tentang
Pencabutan Izin Usaha, Pembubaran dan Likuidasi Bank
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor
52, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3831);
5. Peraturan Bank Indonesia Nomor 3/21/PBI/2001 tanggal 13
Desember 2001 tentang Kewajiban Penyediaan Modal
Minimum Bank (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2001 Nomor 149, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4158);
6. Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1998 tentang Jaminan
terhadap Kewajiban Pembayaran Bank Umum (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 29);
MEMUTUSKAN …
- 3 -
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PENETAPAN
STATUS BANK DAN PENYERAHAN BANK KEPADA
BADAN PENYEHATAN PERBANKAN NASIONAL.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 yang ikut serta dalam Program
Penjaminan Pemerintah;
2. Badan Penyehatan Perbankan Nasional yang untuk selanjutnya disebut
dengan BPPN adalah badan khusus yang dibentuk berdasarkan Peraturan
Pemerintah Nomor 17 Tahun 1999 tentang Badan Penyehatan Perbankan
Nasional sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah
Nomor 47 Tahun 2001;
3. Program Penjaminan Pemerintah adalah program penjaminan
terhadap
kewajiban pembayaran Bank sebagaimana dimaksud dalam Keputusan
Presiden Nomor 26 Tahun 1998 tentang Jaminan terhadap Kewajiban
Pembayaran Bank Umum;
4. Bank …
- 4 -
4. Bank Dalam Penyehatan yang untuk selanjutnya disebut dengan BDP adalah
Bank yang diserahkan oleh Bank Indonesia kepada BPPN untuk tujuan
penyehatan Bank;
5. Bank Beku Kegiatan Usaha yang untuk selanjutnya disebut dengan BBKU
adalah Bank yang dibekukan kegiatan usahanya oleh Bank Indonesia dan
selanjutnya diserahkan kepada BPPN untuk tujuan penyelesaian kewajiban
Bank melalui Program
Penjaminan Pemerintah,
karyawan, dan upaya pengembalian uang negara.
BAB II
BANK DALAM PENGAWASAN INTENSIF
(INTENSIVE SUPERVISION)
Pasal 2
(1) Dalam hal Bank Indonesia menilai kondisi suatu Bank memiliki potensi
kesulitan yang dapat membahayakan kelangsungan usahanya, maka Bank
tersebut ditempatkan dalam pengawasan intensif Bank Indonesia.
(2) Bank yang dinilai memiliki potensi kesulitan yang dapat membahayakan
kelangsungan usahanya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah Bank
yang memenuhi satu atau lebih kriteria sebagai berikut:
a. memiliki predikat kurang sehat atau tidak sehat dalam penilaian tingkat
kesehatan Bank;
b. memiliki permasalahan aktual dan atau potensial di bidang likuiditas,
profitabilitas dan solvabilitas berdasarkan penilaian terhadap
keseluruhan risiko (composite risk);
nilai
c. terdapat …
penyelesaian
hak-hak
- 5 -
c. terdapat pelampauan dan atau pelanggaran Batas Maksimum Pemberian
Kredit dan langkah-langkah penyelesaian yang diusulkan Bank menurut
penilaian Bank Indonesia dinilai tidak dapat diterima atau tidak mungkin
dicapai;
d. terdapat pelanggaran Posisi Devisa Neto dan menurut penilaian Bank
Indonesia langkah-langkah penyelesaian yang diusulkan Bank dinilai
tidak dapat diterima atau tidak mungkin dicapai;
e. memiliki rasio Giro Wajib Minimum dalam rupiah lebih besar dari 5%
(lima perseratus) namun Bank dinilai mengalami permasalahan likuiditas
yang mendasar;
f. dinilai memiliki permasalahan profitabilitas yang mendasar;
g. memiliki kredit bermasalah (non-performing loan) secara neto lebih dari
5% (lima perseratus) dari total kredit.
(3) Dalam rangka pengawasan intensif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
Bank Indonesia dapat melakukan tindakan-tindakan antara lain:
a. meminta Bank untuk melaporkan hal-hal tertentu kepada Bank Indonesia;
b. melakukan peningkatkan frekuensi pengkinian dan penilaian rencana
kerja (business plan) dengan penyesuaian terhadap sasaran yang akan
dicapai;
c. meminta Bank untuk menyusun rencana tindakan (action plan) sesuai
dengan permasalahan yang dihadapi;
d. menempatkan pengawas dan atau pemeriksa Bank Indonesia pada Bank
(on-site supervisory presence), apabila diperlukan.
(4) Bank …
- 6 -
(4) Bank Indonesia juga dapat menempatkan Bank dalam pengawasan intensif
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), apabila berdasarkan penilaian Bank
Indonesia kondisi dan aktivitas bank berperan cukup signifikan terhadap
risiko sistemik dalam sistem perbankan dan/atau memiliki pengaruh yang
cukup besar bagi perekonomian nasional.
(5) Dalam rangka pengawasan intensif sebagaimana dimaksud dalam ayat (4),
Bank Indonesia dapat melakukan tindakan-tindakan antara lain menempatkan
pengawas dan atau pemeriksa Bank Indonesia pada
supervisory presence) sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) huruf d.
Bank (on-site
(6) Bagi Bank yang ditempatkan dalam pengawasan intensif sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), Bank Indonesia akan memberitahukan kepada
Bank yang bersangkutan, beserta dengan alasan penempatan dan langkah-
langkah yang perlu segera dilakukan Bank.
(7) Dalam hal penetapan Bank dalam pengawasan intensif memerlukan langkah-
langkah perbaikan tertentu, Bank Indonesia dapat melakukan tindakan-
tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3).
BAB III
BANK DALAM PENGAWASAN KHUSUS
(SPECIAL SURVEILLANCE)
Pasal 3
(1) Dalam hal Bank Indonesia menilai suatu Bank mengalami kesulitan yang
membahayakan kelangsungan usahanya maka Bank tersebut ditempatkan
dalam pengawasan khusus Bank Indonesia.
(2) Bank …
- 7 -
(2) Bank yang dinilai mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan
usahanya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah Bank yang
memenuhi satu atau lebih kriteria sebagai berikut:
a. rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum kurang dari 8% (delapan
perseratus);
b. rasio Giro Wajib Minimum dalam rupiah kurang dari 5% (lima per
seratus), dengan perkembangan yang memburuk dalam waktu singkat
atau berdasarkan penilaian Bank Indonesia mengalami permasalahan
likuiditas yang mendasar.
(3) Dalam rangka pengawasan khusus sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
Bank Indonesia:
a. memerintahkan Bank dan atau pemegang saham Bank untuk mengajukan
rencana perbaikan permodalan (capital restoration plan) secara tertulis
kepada Bank Indonesia selambat-lambatnya 15 (lima belas) hari sejak
diterimanya surat pemberitahuan dari Bank Indonesia yang menyatakan
rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum kurang dari 8% (delapan
per seratus);
b. memerintahkan Bank untuk memenuhi
kewajiban melaksanakan
tindakan perbaikan (mandatory supervisory actions) segera setelah
diterimanya surat pemberitahuan dari Bank Indonesia yang menyatakan
rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum mencapai sama dengan
atau kurang dari 6% (enam per seratus);
c. dapat memerintahkan Bank dan atau pemegang saham Bank untuk
melakukan tindakan antara lain:
1) mengganti dewan komisaris dan atau direksi Bank;
2) menghapusbukukan …
- 8 -
2) menghapusbukukan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip
Syariah yang tergolong macet dan memperhitungkan kerugian Bank
dengan modal Bank;
3) melakukan merger atau konsolidasi dengan bank lain;
4) menjual Bank kepada pembeli yang bersedia mengambil alih seluruh
kewajiban Bank;
5) menyerahkan pengelolaan seluruh atau sebagian kegiatan Bank
kepada pihak lain;
6) menjual sebagian atau seluruh harta dan atau kewajiban Bank kepada
bank atau pihak lain; dan atau
7) membekukan kegiatan usaha tertentu Bank.
(4) Bagi Bank yang memiliki rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum
lebih dari 6% (enam) perseratus dan kurang dari 8% (delapan perseratus),
selain memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) huruf a,
Bank wajib:
a. melaksanakan tindakan perbaikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
ayat (1) huruf a, huruf b, huruf d, huruf e, huruf f, huruf g, dan huruf h;
b. menyampaikan laporan skedul likuiditas untuk jangka waktu 3 bulan
mendatang, yang terinci secara harian pada bulan pertama dan secara
mingguan pada bulan kedua dan bulan ketiga;
c. menyampaikan laporan bulanan mengenai realisasi pelaksanaan tindakan
sebagaimana diatur dalam huruf a dan realisasi pelaksanaan rencana
perbaikan modal (capital restoration plan) sebagaimana dimaksud
dalam ayat (3) huruf a.
(5) Apabila …
- 9 -
(5) Apabila diperlukan terhadap Bank yang memiliki rasio Kewajiban
Penyediaan Modal Minimum lebih dari 6% (enam perseratus) dan kurang
dari 8% (delapan perseratus), Bank Indonesia dapat menempatkan pengawas
dan atau pemeriksa Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
ayat (3).
Pasal 4
(1) Rencana perbaikan permodalan Bank secara tertulis sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 ayat (3) huruf a wajib menggambarkan kemampuan Bank
untuk mencapai dan memelihara rasio Kewajiban Penyediaan Modal
Minimum sebesar 8% (delapan perseratus) atau lebih, dalam jangka waktu
yang ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6.
(2) Dalam rangka mengevaluasi rencana perbaikan permodalan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), Bank Indonesia akan menilai rencana dimaksud
dalam jangka waktu selambat-lambatnya 15 (lima belas) hari sejak dokumen
diterima secara lengkap dan memberitahukan secara tertulis kepada Bank
mengenai persetujuan atau penolakannya.
(3) Dalam hal rencana perbaikan permodalan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2) ditolak oleh Bank Indonesia, Bank wajib mengajukan revisi rencana
perbaikan permodalan dalam jangka waktu selambat-lambatnya 10 (sepuluh)
hari sejak tanggal pemberitahuan penolakan.
(4) Dalam rangka mengevaluasi revisi rencana perbaikan permodalan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), Bank Indonesia akan menilai rencana
dimaksud dalam jangka waktu selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari sejak
dokumen diterima secara lengkap dan memberitahukan secara tertulis
kepada Bank mengenai persetujuan atau penolakannya.
(5) Bank …
- 10 -
(5) Bank yang memiliki rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum kurang
dari 8% (delapan perseratus) dan tidak mengajukan rencana perbaikan
permodalan sampai dengan jangka waktu yang ditetapkan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) huruf a wajib memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dan Pasal 7 ayat (1).
(6) Bank yang tidak mengajukan revisi rencana perbaikan permodalan dan Bank
yang ditolak revisi rencana perbaikan permodalannya oleh Bank Indonesia
wajib memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5.
(7) Bank yang secara material tidak dapat melaksanakan rencana perbaikan
permodalan yang telah diajukan kepada Bank Indonesia wajib memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5.
(8) Bank yang telah mengajukan rencana perbaikan permodalan
dapat
melaksanakan perubahan rencana setelah mendapat persetujuan terlebih
dahulu dari Bank Indonesia.
Pasal 5
(1) Selain memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3)
huruf a, bagi Bank dalam pengawasan khusus dan memiliki rasio Kewajiban
Penyediaan Modal Minimum sama dengan atau kurang dari 6% (enam
perseratus) segera setelah memperoleh pemberitahuan dari Bank Indonesia,
wajib melakukan tindakan perbaikan yang diperintahkan Bank Indonesia
(mandatory supervisory action), yang meliputi namun tidak terbatas pada:
a. Bank dilarang melakukan pembayaran distribusi modal;
b. Bank dilarang melakukan transaksi dengan pihak terkait dan atau pihak-
pihak lain yang ditetapkan Bank Indonesia, kecuali telah memperoleh
persetujuan Bank Indonesia;
c. Bank …
- 11 -
c. Bank dikenakan pembatasan pertumbuhan aset, melakukan penyertaan
dan pemberian kredit baru, kecuali telah memperoleh persetujuan Bank
Indonesia;
d. Bank dikenakan pembatasan untuk melaksanakan rencana ekspansi
usaha atau kegiatan baru yang sebelumnya tidak dilakukan oleh Bank,
kecuali telah memperoleh persetujuan Bank Indonesia;
e. Bank dikenakan pembatasan untuk membayar gaji, kompensasi, atau
bentuk lain yang dipersamakan dengan itu kepada Pengurus Bank, atau
kompensasi kepada pihak terkait yang terjadi satu tahun sebelum
kondisi Bank memiliki rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum
dibawah 8% (delapan perseratus), kecuali telah memperoleh persetujuan
Bank Indonesia;
f. Bank dilarang melakukan pembayaran terhadap pinjaman subordinasi;
g. Bank wajib melaporkan setiap perubahan kepemilikan saham dalam
jumlah kurang dari 10% (sepuluh perseratus);
h. Bank dilarang melakukan perubahan kepemilikan dari:
1) pemegang saham yang memiliki saham sama atau lebih dari 10%
(sepuluh perseratus); atau
2) kelompok pemegang saham yang terkait atau pemegang saham yang
bertindak atas nama pemegang saham lain (shareholder acting in
concert) dengan kepemilikan sama atau lebih dari 10% (sepuluh
perseratus);
i. Bank dilarang untuk menjual atau menurunkan jumlah asset atau
meningkatan komitmen dan kontinjensi tanpa persetujuan dari Bank
Indonesia, kecuali untuk Sertifikat Bank Indonesia, Giro pada Bank
Indonesia, Tagihan Antar Bank, dan Obligasi Pemerintah.
j. Bank …
- 12 -
j. Bank wajib menyampaikan kepada Bank Indonesia:
1) informasi dan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18
huruf a, huruf b, dan huruf c;
2)
laporan keuangan terakhir dari perusahaan yang memperoleh
penyertaan Bank selain penyertaan modal sementara dalam rangka
restrukturisasi kredit;
3) struktur organisasi perusahaan induk,
dalam jangka waktu paling lambat 10 (sepuluh) hari sejak
pemberitahuan Bank Indonesia kepada Bank mengenai
kewajiban
melaksanakan tindakan perbaikan yang diperintahkan Bank Indonesia
(mandatory supervisory actions).
(2) Bank Indonesia akan memantau kondisi Bank yang wajib memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat
pengawas dan atau pemeriksa Bank Indonesia pada Bank (on-site
supervisory presence).
(3) Bank Indonesia akan memberitahukan kepada otoritas pengawas yang
berwenang terhadap perusahaan induk dan atau perusahaan anak Bank
mengenai tindakan yang dilakukan Bank Indonesia terhadap Bank.
Pasal 6
(1) Bank dan atau pemegang saham wajib melakukan tindakan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) untuk pencapaian rasio Kewajiban
Penyediaan …
(1) melalui penempatan
- 13 -
Penyediaan Modal Minimum dan atau rasio Giro Wajib Minimum sesuai
ketentuan yang berlaku dalam jangka waktu:
a. paling lama 6 (enam) bulan untuk Bank yang telah terdaftar di Pasar
Modal;
b. paling lama 3 (tiga) bulan untuk Bank yang tidak terdaftar di Pasar
Modal,
sejak tanggal dikeluarkannya perintah tertulis dari Bank Indonesia.
(2) Jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat
diperpanjang 1 (satu) kali dengan jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan.
Pasal 7
(1) Bank Indonesia mengumumkan Bank yang:
a. memiliki rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum sama dengan
atau kurang dari 6% (enam perseratus);
b. memiliki rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum di antara 6%
(enam perseratus) dan 8% (delapan perseratus) dan tidak mengajukan
rencana perbaikan permodalan;
c. memiliki rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum di antara 6%
(enam perseratus) dan 8% (delapan perseratus) dan tidak melaksanakan
rencana perbaikan permodalan;
d. memiliki Kewajiban Penyediaan Modal Minimum di antara 6% (enam
perseratus) dan 8% (delapan perseratus) dan Bank Indonesia tidak
menyetujui revisi rencana perbaikan permodalan;
e. diberikan perpanjangan jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6 ayat (2).
(2) Pengumuman …
- 14 -
(2) Pengumuman sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) termasuk pengumuman
tindakan perbaikan yang wajib dilakukan Bank sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 dan Pasal 5.
(3) Bank Indonesia mengumumkan juga:
a. Bank sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c,
dan huruf d yang telah melaksanakan tindakan-tindakan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 dan Pasal 5; dan atau
b. Bank yang telah melewati perpanjangan jangka waktu sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) huruf e,
yang memenuhi kriteria memiliki rasio Kewajiban Penyediaan Modal
Minimum sama dengan 8% (delapan perseratus) atau lebih, dan atau
memiliki rasio Giro Wajib Minimum dalam rupiah 5% (lima perseratus)
atau lebih.
BAB IV
PENETAPAN BANK DENGAN STATUS BANK DALAM PENYEHATAN
(BDP) DAN PENYERAHAN KEPADA BPPN
Pasal 8
Bank Indonesia menetapkan Bank dengan status BDP dan menyerahkan Bank
tersebut kepada BPPN apabila:
a. jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 terlampaui, dan Bank
memiliki rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum kurang dari 8%
(delapan perseratus) namun dinilai mampu ditingkatkan menjadi sama atau
lebih besar dari 8% (delapan perseratus) pada akhir program penyehatan oleh
BPPN …
- 15 -
BPPN dan memiliki pengaruh yang cukup besar bagi perekonomian nasional
atau daerah; atau
b. jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 belum terlampaui, dan
Bank memiliki rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum kurang dari
8% (delapan perseratus) namun BPPN mengajukan permintaan yang dinilai
mampu meningkatkan rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum
menjadi sama atau lebih besar dari 8% (delapan perseratus) pada akhir
program penyehatan oleh BPPN.
Pasal 9
(1) Pelaksanaan penyehatan Bank dengan status BDP sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 8 dinyatakan telah selesai apabila Bank telah memenuhi
persyaratan:
a. memiliki rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum 8% (delapan
perseratus) atau lebih;
b. memiliki rasio Giro Wajib Minimum dalam rupiah 5% (lima perseratus)
atau lebih;
c. memiliki kredit bermasalah secara neto dengan perkembangan yang
membaik;
d. tidak terdapat pelanggaran ketentuan
Batas Maksimum Pemberian
Kredit, Posisi Devisa Neto dan Penyisihan Penghapusan Aktiva
Produktif;
e. Rencana kerja (business plan) Bank mengindikasikan bahwa pencapaian
rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum sebesar 8% atau lebih
akan berkelanjutan; dan
f. kriteria lain yang ditetapkan Ketua BPPN.
(2) Bank …
- 16 -
(2) Bank Indonesia mencabut status BDP apabila Bank Indonesia telah
menerima surat penetapan dari BPPN yang menyatakan
program
penyehatan terhadap Bank yang bersangkutan telah selesai dilaksanakan
sesuai dengan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
BAB V
PENETAPAN BANK DENGAN STATUS BANK BEKU KEGIATAN
USAHA (BBKU) DAN PENYERAHAN KEPADA BPPN
Pasal 10
Bank Indonesia menetapkan Bank dengan status BBKU dan menyerahkan Bank
tersebut kepada BPPN apabila memenuhi persyaratan:
a. jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 belum terlampaui, dan
kondisi Bank menurun dengan cepat yaitu :
1) memiliki rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum kurang dari 2%
(dua perseratus) dan dinilai tidak dapat ditingkatkan menjadi 8% (delapan
perseratus); atau
2) memiliki rasio Giro Wajib Minimum dalam rupiah kurang dari 0% (nol
perseratus) dan tidak dapat diselesaikan sesuai peraturan yang berlaku;
atau
b. jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 telah terlampaui, rasio
Kewajiban Penyediaan Modal Minimum kurang dari 8% (delapan perseratus)
dan kondisi Bank tidak mengalami
perbaikan
serta
tidak memenuhi
persyaratan untuk ditetapkan sebagai Bank dengan status BDP.
Pasal 11 …
- 17 -
Pasal 11
Bank Indonesia mengubah Bank dengan status BDP sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 8 menjadi Bank dengan status BBKU apabila memenuhi
persyaratan:
a. program penyehatan oleh BPPN tidak dapat diselesaikan dalam jangka waktu
yang disepakati; atau
b. berdasarkan pertimbangan BPPN, program
penyehatan tidak dapat
dilaksanakan meskipun jangka waktu yang disepakati belum terlampaui.
Pasal 12
Dalam hal BPPN telah selesai melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan
untuk penyelesaian Bank dengan status BBKU, penyelesaian
selanjutnya
dilakukan berdasarkan ketentuan yang berlaku mengenai pencabutan izin usaha,
pembubaran badan hukum dan likuidasi Bank.
BAB VI
KRITERIA DAN PROSEDUR PENYEHATAN BANK YANG TIDAK IKUT
SERTA DALAM PROGRAM PENJAMINAN PEMERINTAH
Pasal 13
(1) Bank yang tidak mengikuti Program Penjaminan Pemerintah dan memenuhi
kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2), ditempatkan oleh
Bank Indonesia dalam pengawasan khusus Bank Indonesia.
(2) Bank …
- 18 -
(2) Bank Indonesia memerintahkan bank dan atau pemegang saham bank
sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) untuk melakukan tindakan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) dan Pasal 5 dengan ketentuan
dan jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6.
Pasal 14
Bagi bank yang sebagian besar sahamnya dimiliki oleh bank asing atau Kantor
Cabang Bank Asing, dan ditetapkan berada dalam pengawasan khusus (special
surveillance) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Bank Indonesia akan:
a. memerintahkan pemegang saham bank yang merupakan pihak asing atau
pimpinan Kantor Cabang Bank Asing untuk meningkatkan rasio Kewajiban
Penyediaan Modal Minimum sebagaimana diatur dalam ketentuan yang
berlaku, dalam jangka waktu selambat-lambatnya 15 (lima belas) hari sejak
surat pemberitahuan dari Bank Indonesia;
b. mengumumkan penetapan bank dalam pengawasan khusus serta tindakan
yang diperintahkan oleh Bank Indonesia untuk dilaksanakan;
c. memberitahukan kepada kantor pusat dari Kantor Cabang Bank Asing,
kepada bank di luar negeri bagi Bank yang sebagian besar sahamnya
dimiliki oleh bank asing, dan kepada otoritas pengawasan di luar negeri
(home country supervisor).
Pasal 15 …
- 19 -
Pasal 15
(1) Dalam hal tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 tidak berhasil
memperbaiki kondisi bank, Bank Indonesia melakukan langkah-langkah
untuk tujuan pencabutan izin usaha, dan memerintahkan direksi bank untuk
segera menyelenggarakan Rapat Umum
Pemegang Saham
guna
membubarkan badan hukum bank dan membentuk tim likuidasi sesuai
ketentuan yang berlaku, apabila:
a. jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 belum terlampaui
dan kondisi bank menurun dengan cepat sesuai persyaratan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 10 huruf a; atau
b. jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 telah terlampaui
namun rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum tidak
ditingkatkan menjadi 8% (delapan perseratus) atau lebih.
dapat
(2) Dalam hal tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 tidak berhasil
memperbaiki kondisi bank yang kepemilikannya sebagian besar dimiliki
oleh bank asing, Bank Indonesia melakukan langkah-langkah untuk tujuan
pencabutan izin usaha, dan memerintahkan direksi bank untuk segera
menyelenggarakan Rapat Umum Pemegang Saham guna membubarkan
badan hukum bank dan membentuk tim likuidasi sesuai ketentuan yang
berlaku, apabila:
a. jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf a belum
terlampaui dan kondisi bank menurun dengan cepat sesuai persyaratan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf a; atau
b. jangka …
- 20 -
b. jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf a telah
terlampaui namun rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum tidak
dapat ditingkatkan menjadi 8% (delapan perseratus) atau lebih.
(3) Dalam hal tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 tidak berhasil
memperbaiki kondisi Kantor Cabang Bank Asing, Bank Indonesia
melakukan langkah-langkah untuk tujuan pencabutan izin usaha dan
memerintahkan pimpinan Kantor Cabang Bank Asing untuk membentuk tim
penyelesai sesuai ketentuan yang berlaku, apabila:
a. jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf a belum
terlampaui dan kondisi Kantor Cabang Bank Asing menurun dengan
cepat sesuai persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf a;
atau
b. jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf a telah
terlampaui namun rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum tidak
dapat ditingkatkan menjadi 8% (delapan perseratus) atau lebih.
BAB VII
LAIN-LAIN
Pasal 16
(1) Selain ketentuan dalam Pasal 8 dan Pasal 10 Bank Indonesia dapat
menyerahkan Bank kepada BPPN apabila:
a. Bank memiliki aktiva produktif bermasalah yang akan diselesaikan
melalui pengalihan kepada BPPN; dan
b. terdapat …
- 21 -
b. terdapat kesepakatan antara Bank Indonesia, BPPN dan pemegang saham
Bank untuk mengalihkan aktiva produktif bermasalah sebagaimana
dimaksud dalam huruf a.
(2) Pelaksanaan penyerahan Bank sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan
penyerahan kembali Bank dari BPPN kepada Bank Indonesia dinyatakan
telah selesai dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) hari kerja.
Pasal 17
(1) Bank Indonesia tetap melakukan pengaturan dan pengawasan terhadap Bank
yang diserahkan kepada BPPN dengan status BDP.
(2) Bank Indonesia dapat meminta data dan informasi yang diperlukan
mengenai Bank yang diserahkan kepada BPPN dengan status BBKU baik
secara langsung dari Bank yang bersangkutan maupun dari BPPN.
Pasal 18
Dalam rangka penyerahan Bank dengan status BDP atau status BBKU kepada
BPPN, Bank Indonesia menyampaikan informasi dan dokumen yang
menyangkut:
a. susunan direksi dan komisaris selama 3 (tiga) tahun terakhir;
b. struktur permodalan dan susunan pemegang saham selama 3 (tiga) tahun
terakhir;
c. informasi mengenai data nasabah penyimpan dana;
d. informasi terakhir mengenai hasil pengawasan dan pemeriksaan yang telah
dilakukan oleh Bank Indonesia terhadap Bank; dan
e. informasi lainnya yang diperlukan oleh BPPN sepanjang tersedia di Bank
Indonesia.
Pasal 19 …
- 22 -
Pasal 19
Bank Indonesia mengumumkan pada 2 (dua) surat kabar harian nasional yang
mempunyai peredaran luas, terhadap Bank yang:
a. diserahkan kepada BPPN dengan status BDP atau status BBKU;
b. dinyatakan telah selesai dilakukan penyehatan oleh BPPN.
Pasal 20
Perubahan terhadap kriteria dan persyaratan:
a. Bank yang dinilai memiliki potensi kesulitan yang dapat membahayakan
kelangsungan usahanya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2;
b. Bank yang dinilai mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan
usahanya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2);
c. Bank yang ditetapkan memiliki status BDP dan diserahkan kepada BPPN
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8;
d. Bank dengan status BDP yang telah selesai dilaksanakan penyehatan oleh
BPPN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9;
e. Bank yang ditetapkan memiliki status BBKU dan diserahkan kepada BPPN
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 dan Pasal 11; dan atau
f. bank atau Kantor Cabang Bank Asing yang tidak berhasil memperbaiki
kondisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15,
dan ketentuan lebih lanjut yang diperlukan dari Peraturan Bank Indonesia ini
ditetapkan dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 21 …
- 23 -
Pasal 21
Penyampaian laporan dan informasi yang wajib dilakukan oleh Bank
sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini disampaikan kepada
Bank Indonesia dengan alamat:
a. Direktorat Pengawasan Bank yang terkait, Jl. M.H. Thamrin No. 2 Jakarta
10110, bagi Bank yang berkantor pusat di wilayah kerja kantor pusat Bank
Indonesia; atau
b. Kantor Bank Indonesia setempat bagi Bank yang berkantor pusat di luar
wilayah kerja kantor pusat Bank Indonesia.
BAB VIII
SANKSI
Pasal 22
Bank Indonesia dapat mengenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 52 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998, antara
lain berupa pemberhentian pengurus bank dan atau larangan turut serta dalam
kegiatan kliring bagi bank yang:
a. tidak melaksanakan kewajiban sesuai perintah Bank Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3), Pasal 3 ayat (3), ayat (4), Pasal 13 ayat (2),
dan Pasal 14 huruf a; dan atau
b. telah ditetapkan oleh Bank Indonesia memiliki status BBKU.
BAB IX …
- 24 -
BAB IX
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 23
Jangka waktu perpanjangan paling lama 3 (tiga) bulan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6 dapat diberlakukan bagi Bank yang telah ditetapkan status dalam
pengawasan khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) pada saat
berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini.
BAB X
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 24
Dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini maka Peraturan Bank
Indonesia Nomor 2/11/PBI/2000 tanggal 31 Maret 2000 tentang Penetapan
Status Bank dan Penyerahan Bank Kepada Badan Penyehatan Perbankan
Nasional, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi.
Pasal 25 …
- 25 -
Pasal 25
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 31 Desember 2001.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal
GUBERNUR BANK INDONESIA
SYAHRIL SABIRIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2001 NOMOR
DPNP.
- 26 -
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 3/25/PBI/2001
TENTANG
PENETAPAN STATUS BANK DAN PENYERAHAN BANK KEPADA
BADAN PENYEHATAN PERBANKAN NASIONAL
UMUM
Program restrukturisasi perbankan nasional telah dilaksanakan melalui
langkah-langkah antara lain pembentukan Badan
Penyehatan
Perbankan
Nasional (BPPN), program penjaminan Pemerintah, dan program rekapitalisasi
perbankan. Dalam perkembangannya masih terdapat Bank yang dinilai
mengalami kesulitan yang dapat membahayakan kelangsungan usahanya dan
atau sistem perbankan nasional.
Sehubungan dengan itu terhadap Bank dimaksud perlu dilakukan langkah-
langkah tertentu seperti pengawasan intensif dan pengawasan khusus, agar
sistem perbankan yang sehat dapat tercipta secara efektif. Bagi Bank yang masih
mempunyai prospek untuk menjadi sehat perlu dilakukan langkah-langkah
perbaikan dan penyehatan atau bagi Bank yang tidak mungkin lagi dapat
disehatkan perlu dilakukan langkah-langkah penyelesaian. Oleh karena itu perlu
ditetapkan persyaratan dan kriteria yang jelas serta transparan mengenai tingkat
kesulitan Bank dalam kegiatan usahanya, serta langkah-langkah koordinasi dan
mekanisme yang diperlukan dalam rangka pelaksanaan restrukturisasi perbankan
nasional. Langkah-langkah koordinasi antara Bank Indonesia dengan BPPN
dalam …
- 27 -
dalam rangka restrukturisasi perbankan nasional antara lain dituangkan dalam
Kesepakatan Bersama antara Gubernur Bank Indonesia dan Ketua BPPN.
Sesuai dengan program rekapitalisasi perbankan, maka pada akhir tahun 2001
perbankan diwajibkan untuk memenuhi rasio kewajiban penyediaan modal
minimum sama dengan atau lebih besar dari 8% (delapan perseratus).
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Angka 1 sampai dengan angka 5
Cukup jelas.
Pasal 2
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan pengawasan intensif yaitu suatu peningkatan
proses pengawasan terhadap Bank dengan tujuan untuk mencegah Bank
ditempatkan dalam
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3.
Upaya pencegahan tersebut memerlukan berbagai langkah perbaikan
secara tepat waktu untuk segera memulihkan kondisi kesehatan Bank.
Analisis terhadap potensi kesulitan yang membahayakan kelangsungan
usaha Bank didasarkan pada kondisi keuangan Bank untuk jangka waktu
3 (tiga) bulan sampai dengan 12 (dua belas) bulan ke depan.
Ayat (2)
Huruf a
Ketentuan mengenai tingkat kesehatan Bank didasarkan pada
ketentuan Bank Indonesia yang berlaku tentang Tata Cara Penilaian
Tingkat Kesehatan Bank Umum.
Huruf b …
pengawasan khusus (special surveillance)
- 28 -
Huruf b
Yang dimaksud dengan penilaian terhadap nilai keseluruhan risiko
(composite risk) adalah penilaian yang didasarkan atas penilaian
profil risiko secara triwulanan (quarterly risk profile assessment)
dengan hasil penilaian memiliki risiko tinggi dengan arah
(direction) stabil atau meningkat.
Yang dimaksud dengan memiliki permasalahan aktual dan atau
potensial di bidang likuiditas, profitabilitas dan solvabilitas antara
lain adalah penurunan kondisi secara
signifikan atau memiliki
potensi untuk menurun secara signifikan di masa yang akan datang
jika tidak dilakukan langkah-langkah perbaikan (corrective action).
Huruf c
Ketentuan mengenai pelampauan atau pelanggaran Batas
Maksimum Pemberian Kredit didasarkan pada ketentuan Bank
Indonesia tentang Batas Maksimum Pemberian Kredit yang berlaku.
Penetapan Bank dengan status dalam pengawasan intensif tidak
menghilangkan sanksi atas pelanggaran dan atau pelampauan Batas
Maksimum Pemberian Kredit sebagaimana diatur dalam ketentuan
yang berlaku.
Huruf d
Ketentuan mengenai Posisi Devisa Neto didasarkan pada ketentuan
Bank Indonesia tentang Posisi Devisa Neto yang berlaku.
Huruf e
Yang dimaksud dengan permasalahan likuiditas mendasar antara
lain adalah terjadinya penurunan pemberian komitmen (line) dari
bank lain, perubahan posisi Bank di pasar uang dari posisi yang
memberi …
- 29 -
memberi pinjaman (net-lender) menjadi posisi yang menerima
pinjaman (net-borrower), peminjaman di pasar uang dengan tingkat
bunga yang lebih tinggi dari nilai wajar (pasar), ketergantungan
pada agunan untuk memperoleh dana, peningkatan ketergantungan
dari pasar uang antar bank dan strategi penyaluran kredit yang
berlebihan.
Ketentuan mengenai rasio Giro Wajib Minimum dalam rupiah
didasarkan pada ketentuan Bank Indonesia tentang Giro Wajib
Minimum Bank yang berlaku.
Huruf f
Permasalahan profitabilitas yang mendasar dapat timbul dari kondisi
efisiensi Bank dalam
pencapaian titik impas (break-even),
peningkatan biaya risiko yang dapat mempengaruhi kondisi
solvabilitas Bank, pendapatan yang didasarkan pada pengakuan
kembali Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif (PPAP) atau
sebagian besar pendapatan didasarkan atas pendapatan non
operasional.
Huruf g
Yang dimaksud dengan kredit bermasalah (non-performing loan)
adalah kredit dengan kualitas kurang lancar, diragukan dan macet
berdasarkan ketentuan Bank Indonesia tentang Kualitas Aktiva
Produktif yang berlaku.
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b …
- 30 -
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Penempatan pengawas atau pemeriksa Bank Indonesia antara lain
untuk memantau tindakan Bank dalam menyelesaikan permasalahan
yang dihadapi khususnya terhadap tindakan yang dilakukan untuk
mengantisipasi risiko yang sangat cepat berubah seperti likuiditas
dan penurunan kualitas aktiva produktif.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan kondisi dan aktivitas bank berperan cukup
signifikan terhadap risiko sistemik dalam sistem perbankan antara lain
adalah Bank yang memiliki total aktiva yang cukup besar dibandingkan
dengan seluruh total aktiva perbankan dan Bank peserta program
rekapitalisasi.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 3
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2) …
- 31 -
Ayat (2)
Huruf a
Ketentuan mengenai rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum
(KPMM) didasarkan atas ketentuan Bank Indonesia tentang
Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum yang berlaku.
Huruf b
Ketentuan mengenai rasio Giro Wajib Minimum dalam rupiah
didasarkan atas ketentuan Bank Indonesia tentang Giro Wajib
Minimum Bank yang berlaku.
Termasuk dalam pengertian perkembangan yang memburuk dalam
waktu singkat atau permasalahan likuiditas mendasar antara lain
adalah upaya Bank untuk memperoleh pinjaman dana dengan suku
bunga jauh diatas suku bunga wajar (pasar), tingginya tingkat
ketergantungan Bank terhadap dana pasar uang berjangka waktu
pendek untuk menutup kekurangan Giro Wajib Minimum,
terjadinya penurunan pemberian komitmen (line) dari bank lain,
perubahan posisi Bank di pasar uang dari posisi yang memberi
pinjaman (net-lender) menjadi posisi yang menerima pinjaman (net-
borrower), ketergantungan pada agunan untuk memperoleh dana,
dan strategi penyediaan dana yang berlebihan.
Ayat (3)
Pelaksanaan perintah Bank Indonesia dalam ayat ini didasarkan atas
penelitian yang mendalam terhadap kondisi Bank antara lain melalui
pemeriksaan khusus.
Penelitian mendalam dan perintah yang dilakukan Bank Indonesia
termasuk melakukan pemantauan secara
langsung
atas
kegiatan
operasional …
- 32 -
operasional Bank tidak menghilangkan tanggung jawab pemegang
saham maupun pengurus terhadap operasional bank serta kewajiban-
kewajiban Bank, baik sebelum maupun setelah dilakukan perintah atau
penelitian mendalam. Pelaksanaan perintah Bank Indonesia dalam ayat
ini didasarkan atas ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 37 dan
Pasal 52 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun
1998.
Pengenaan sanksi administratif sesuai ketentuan dalam Pasal 52
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana
telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 disebabkan
pelanggaran ketentuan kehati-hatian oleh Bank dan atau pelanggaran
komitmen sesuai kewajiban Bank kepada Bank Indonesia.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 4
Ayat (1)
Cakupan rencana perbaikan permodalan Bank dalam ayat
ini lebih
diutamakan yang berasal dari akumulasi modal dibandingkan dengan
hasil divestasi penyertaan atau hasil merger dengan bank lain.
Rencana perbaikan permodalan Bank juga harus menjelaskan cara Bank
untuk mencapai laba, jika Bank melakukan
tindakan
divestasi,
menurunkan jumlah aktiva, atau melakukan tindakan lainnya dalam
rangka memenuhi rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum.
Ayat (2) …
- 33 -
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Bank tetap melaksanakan rencana perbaikan permodalan yang belum
diubah sampai dengan pengajuan perubahan rencana perbaikan
permodalan disetujui oleh Bank Indonesia.
Pasal 5
Ayat (1)
Pelaksanaan ketentuan dalam ayat ini juga dikaitkan dengan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (5), ayat (6), dan ayat (7).
Huruf a
Yang dimaksud dengan distribusi modal antara lain pembelian
kembali saham Bank, pembayaran dividen, dan atau pembayaran
bonus kepada pengurus Bank (management fee).
Huruf b …
- 34 -
Huruf b
Pengurus Bank wajib menyediakan informasi yang lengkap
mengenai daftar pihak terkait dalam jangka waktu 10 (sepuluh) hari
sejak pemberitahuan dari Bank Indonesia.
Bank Indonesia juga dapat membatasi pelaksanaan transaksi dengan
perorangan dan atau badan hukum yang digolongkan bukan pihak
terkait sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) huruf c angka
(7).
Huruf c sampai dengan huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Pemegang saham yang bertindak atas nama pemegang saham lain
adalah pemegang saham perorangan atau perusahaan yang memiliki
tujuan bersama untuk mengendalikan Bank yang didasarkan atau
tidak didasarkan atas suatu perjanjian.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Cukup jelas.
Ayat (2)
Penempatan pengawas dan atau pemeriksa
dalam
ayat
ini
lebih
difokuskan pada usaha perbaikan kondisi Bank atau langkah-langkah
antisipatif yang diperlukan apabila kondisi Bank tidak membaik dalam
batas waktu yang ditentukan dengan tujuan utama untuk mengurangi
biaya yang mungkin timbul bagi Pemerintah dan atau Bank Indonesia.
Ayat (3) …
- 35 -
Ayat (3)
Pemberitahuan oleh Bank Indonesia kepada otoritas pengawas yang
berwenang terhadap perusahaan induk dan atau perusahaan anak Bank
dimaksudkan agar otoritas pengawasan yang
berwenang
terhadap
perusahaan induk dan atau perusahaan anak Bank mendapatkan
informasi mengenai tindakan Bank Indonesia dan dapat melakukan
langkah-langkah antisipasi yang diperlukan.
Pasal 6
Ayat (1)
Jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat ini tidak termasuk
jangka waktu yang dibutuhkan untuk memenuhi persyaratan dalam
proses hukum sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Proses hukum yang diperlukan tersebut antara lain penyesuaian terhadap
perubahan anggaran dasar, pengalihan hak kepemilikan dan proses
perizinan.
Ayat (2)
Mengingat perpanjangan jangka waktu dapat menimbulkan dampak bagi
peningkatan biaya likuidasi maka perpanjangan tersebut hanya dapat
dilakukan apabila terdapat alasan yang cukup bahwa realisasi perbaikan
kondisi Bank dapat dilakukan dalam jangka waktu perpanjangan paling
lama 3 (tiga) bulan sejak akhir jangka waktu sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1).
Pasal 7
Ayat (1)
Pengumuman ini merupakan transparansi dari kebijakan Bank Indonesia
sebagai bagian dari akuntabilitas publik terhadap pelaksanaan tugas
mengatur …
- 36 -
mengatur dan mengawasi Bank yang dilakukan oleh Bank Indonesia
sebagaimana diamanatkan dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun
1999 tentang Bank Indonesia.
Pengumuman dilakukan pada home page Bank Indonesia dengan alamat
http://www.bi.go.id
Ayat (2)
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pengumuman dilakukan pada home page Bank Indonesia dengan alamat
http://www.bi.go.id
Pasal 8
Penilaian kondisi keuangan sebagaimana dimaksud
dalam
Pasal
ini
didasarkan atas penilaian terhadap kelayakan rencana kerja (business plan)
dan/atau komitmen tertentu yang diajukan Bank kepada Bank Indonesia.
Komitmen tertentu dapat berupa rencana penyelesaian (action plan) yang
diajukan maupun dokumen tertulis lainya seperti risalah rapat dan surat-
menyurat antara Bank dengan Bank Indonesia dan atau Pemerintah.
Huruf a
Bank yang dinilai mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap
perekonomian daerah adalah Bank yang mempunyai peranan khusus
dalam rangka kelancaran perekonomian dan pelaksanaan pemerintahan
di suatu daerah.
Bank yang dinilai mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap
perekonomian nasional adalah Bank yang memiliki
rekening
berpengaruh
giro,
tabungan, deposito sama dengan atau lebih dari 150.000 (seratus lima
puluh ribu) rekening sehingga Bank tersebut
pelaksanaan fungsi intermediasi perbankan.
Huruf b …
dalam
- 37 -
Huruf b
Cukup jelas.
Pasal 9
Ayat (1)
Jangka waktu penyehatan Bank dengan status BDP didasarkan atas
Kesepakatan Bersama antara Gubernur Bank Indonesia dengan Ketua
BPPN.
Penilaian kondisi keuangan sebagaimana dimaksud dalam ayat ini
didasarkan atas penilaian terhadap kelayakan rencana kerja (business
plan) dan atau komitmen tertentu yang diajukan Bank kepada Bank
Indonesia. Untuk menilai perbaikan kondisi Bank bersifat berkelanjutan
maka penilaian dilakukan terhadap rencana kerja (business plan) Bank
untuk periode sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun.
Komitmen tertentu dapat berupa rencana penyelesaian (action plan)
yang diajukan maupun dokumen tertulis lainya seperti risalah rapat dan
surat-menyurat antara Bank dengan Bank Indonesia dan Pemerintah.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 10
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan kondisi Bank tidak mengalami perbaikan adalah
Bank tetap mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan
usahanya sesuai dengan kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
ayat (2).
Yang …
- 38 -
Yang dimaksud dengan persyaratan penetapan Bank dengan status BDP
adalah persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8.
Pasal 11
Kesepakatan jangka waktu pada ayat ini didasarkan atas Kesepakatan
Bersama antara Gubernur Bank Indonesia dan Ketua BPPN.
Dalam hal ini jangka waktu yang disepakati
telah
terlampaui, BPPN
menyampaikan rekomendasi kepada Bank Indonesia untuk:
2. perpanjangan jangka waktu penyehatan disertai penjelasan atas
terjadinya penundaan penyelesaian program penyehatan terhadap Bank;
atau
3.
perubahan status Bank dari status BDP menjadi status BBKU
disertai penjelasan mengenai permasalahan yang dihadapi.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 14
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Pengumuman dilakukan pada home page Bank Indonesia dengan alamat
http://www.bi.go.id
Huruf c …
- 39 -
Huruf c
Cukup jelas.
Pasal 15
Ayat (1)
Langkah-langkah untuk pencabutan izin usaha, pembubaran badan
hukum dan likuidasi bank dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang
berlaku tentang Pencabutan Izin Usaha, Pembubaran Badan Hukum dan
Likuidasi Bank.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 16
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 17
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20 …
- 40 -
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Yang dimaksud dengan bank pada Pasal ini adalah bank yang ikut serta
maupun yang tidak ikut serta dalam Program Penjaminan Pemerintah.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2001 NOMOR
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 3/25/PBI/2001 </reg_id>
<reg_title> PENETAPAN STATUS BANK DAN PENYERAHAN BANK KEPADA BADAN PENYEHATAN PERBANKAN NASIONAL </reg_title>
<effective_date> 31 Desember 2001 </effective_date>
<replaced_reg> '2/11/PBI/2000' </replaced_reg>
<related_reg> '25/PP/1999', '23/UU/1999', '26/KEPPRES/1998', '7/UU/1992', '47/PP/2001', '17/PP/1999', '10/UU/1998', '3/21/PBI/2001' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB VIII' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 11/14/PBI/2009
TENTANG
PERUBAHAN ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 10/37/PBI/2008
TENTANG TRANSAKSI VALUTA ASING TERHADAP RUPIAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang: a. bahwa tujuan Bank Indonesia adalah mencapai
memelihara kestabilan nilai rupiah;
dan
b. bahwa salah satu upaya untuk mencapai kestabilan nilai
rupiah adalah dengan mengurangi tekanan terhadap nilai
tukar rupiah yang disebabkan oleh upaya penyelesaian
transaksi valuta asing terhadap rupiah yang telah terjadi;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a dan huruf b, dipandang perlu untuk
melakukan perubahan terhadap Peraturan Bank Indonesia
Nomor 10/37/PBI/2008 tentang Transaksi Valuta Asing
Terhadap Rupiah;
Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Republik
Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara
Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan
Undang …
Indonesia Tahun 1992
Republik
-2-
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3790);
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua
Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999
Bank Indonesia Menjadi Undang-Undang (Lembaran
Negara Republik
tentang
Indonesia Tahun 2009 Nomor 7,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4962);
3. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu
Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 67, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3844);
4. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4867);
M E M U T U S K A N …
-3-
M E M U T U S K A N
Menetapkan
:
PERUBAHAN ATAS PERATURAN
BANK
INDONESIA NOMOR 10/37/PBI/2008 TENTANG
TRANSAKSI VALUTA ASING TERHADAP RUPIAH.
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/37/PBI/2008
tentang Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 198, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4945) diubah sebagai berikut:
1. Ketentuan Pasal 13 diubah sehingga Pasal 13 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 13
(1) Setiap Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah yang dilakukan sebelum
berlakunya Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/37/PBI/2008 tentang
Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah dapat diteruskan sampai dengan
jatuh waktu kontrak.
(2) Transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang masih outstanding
dalam suatu kontrak yang jatuh waktu setelah berlakunya Peraturan Bank
Indonesia Nomor 10/37/PBI/2008 tentang Transaksi Valuta Asing
Terhadap Rupiah dapat diselesaikan tanpa pergerakan dana pokok antara
lain melalui:
a. percepatan penyelesaian (early termination) atau penghentian (unwind)
Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah;
b. penyelesaian transaksi melalui restrukturisasi kontrak Transaksi Valuta
Asing Terhadap Rupiah; dan/atau
c. penyelesaian transaksi dengan menggunakan dana pinjaman dari Bank.
(3) Penyelesaian …
-4-
(3) Penyelesaian transaksi dengan cara sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dapat dilakukan sepanjang terdapat kesepakatan tertulis antara pihak yang
melakukan Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah.
(4) Penyelesaian transaksi dengan cara sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
sedapat mungkin menggunakan rupiah.
2. Ketentuan Pasal 14 diubah sehingga Pasal 14 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 14
Ketentuan yang mengatur mengenai sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal
11 berlaku pula terhadap Bank yang melakukan penyelesaian Transaksi Valuta
Asing Terhadap Rupiah yang tidak didukung dengan dokumen kesepakatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3).
3. Penjelasan Pasal 12 diubah sehingga Penjelasan Pasal 12 berbunyi sebagai
berikut :
Pasal 12
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Kurs tengah Bank Indonesia dihitung dengan cara kurs jual transaksi
ditambah kurs beli transaksi dibagi 2 (dua).
Pasal II …
-5-
Pasal II
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank
Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta,
Pada tanggal 17 April 2009.
GUBERNUR BANK INDONESIA,
BOEDIONO
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 17 April 2009.
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ANDI MATTALATTA
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR
67
DPD
-6-
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 11/14/PBI/2009 </reg_id>
<reg_title> PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 10/37/PBI/2008 TENTANG TRANSAKSI VALUTA ASING TERHADAP RUPIAH </reg_title>
<set_date> 17 April 2009 </set_date>
<effective_date> 17 April 2009 </effective_date>
<issued_date> 17 April 2009 </issued_date>
<changed_reg> '10/37/PBI/2008|PBI/2008' </changed_reg>
<related_reg> '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '24/UU/1999', '7/UU/1992', '10/UU/1998', '21/UU/2008' </related_reg>
|
Diubah dengan PBI No. 3/4/PBI/2001 tanggal 12 Maret 2001
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 2/13/PBI/2000
TENTANG
JAMINAN PEMBIAYAAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa dalam rangka meningkatkan kegiatan ekonomi nasional
khususnya kegiatan perdagangan internasional, Bank Indonesia untuk
dan atas nama Pemerintah menerbitkan Letter of Guaranty untuk
menjamin pembiayaan perdagangan internasional yang dilakukan oleh
bank;
b. bahwa Letter of Guaranty tersebut diberikan agar perbankan
internasional bersedia memberikan credit line kepada perbankan di
Indonesia;
c. bahwa berhubung dengan itu dipandang perlu untuk menetapkan
ketentuan lebih lanjut tentang pelaksanaan jaminan pembiayaan
perdagangan internasional dalam Peraturan Bank Indonesia.
Mengingat
: 1. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472),
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun
1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor
182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790);
2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843);
3. Undang …….
- 2 -
3. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem
Nilai Tukar (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 67,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3844);
4. Peraturan Bank Indonesia Nomor 1/3/PBI/1999 tentang Penyelenggaraan
Kliring Lokal dan Penyelesaian Akhir Transaksi Pembayaran Antar Bank Atas
Hasil Kliring Lokal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor
139, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 139),
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor
2/4/PBI/2000 tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor
1/3/PBI/1999 tentang Penyelenggaraan Kliring Lokal Dan Penyelesaian Akhir
Transaksi Pembayaran Antar Bank Atas Hasil Kliring Lokal (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 9, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3927);
5. Peraturan Bank Indonesia Nomor 1/9/PBI/1999 tanggal 28 Oktober 1999
tentang Pemantauan Kegiatan Lalu Lintas Devisa Bank dan Lembaga
Keuangan Non Bank (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999
Nomor 27, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3915).
Memperhatikan :
Kesepakatan Bersama Menteri Keuangan dengan Gubernur Bank
Indonesia tanggal 3 Mei 2000 tentang Jaminan Atas Pembiayaan
Perdagangan Internasional dan Pinjaman Luar Negeri Antar Bank.
M E M U T U S K A N :
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG JAMINAN
PEMBIAYAAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL.
BAB I …
- 3 -
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan :
1. Bank adalah Bank Umum yang masih beroperasi sebagaimana dimaksud dalam
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998, yang telah diizinkan melakukan
kegiatan dalam valuta asing, kecuali kantor cabang dari suatu bank yang kantor pusatnya
berkedudukan di luar negeri, bank umum yang mayoritas sahamnya dimiliki oleh pihak
asing dan bank yang sudah berstatus Bank Beku Operasi (BBO) atau Bank Beku
Kegiatan Usaha (BBKU).
2. Pembiayaan Perdagangan Internasional adalah semua bentuk pembiayaan yang
berkaitan dengan perdagangan internasional, termasuk Letter of Credit (L/C) yang
dikonfirmasi atas dasar transaksi perdagangan internasional, akseptasi atas dasar
transaksi
perdagangan internasional, pembiayaan pra-pengapalan, pembiayaan atas
akseptasi Bank, pembiayaan atas dasar clean banker’s acceptances, pembiayaan L/C
dan pembiayaan tanpa L/C, Standby L/C dan Garansi atas dasar transaksi perdagangan
internasional.
3. Eligible Bank adalah :
(i)
kantor pusat bank beserta kantor cabangnya berkedudukan di luar negeri;
(ii) kantor cabang bank di Indonesia dari suatu bank yang kantor pusatnya
berkedudukan di luar negeri; dan
(iii) bank umum yang mayoritas sahamnya dimiliki oleh pihak asing;
yang menyediakan credit line dalam rangka Pembiayaan Perdagangan Internasional.
4. Confirmation …….
- 4 -
4. Confirmation Letter adalah surat yang disampaikan oleh Eligible Bank yang memuat
konfirmasi mengenai besarnya komitmen credit line yang diberikan kepada Bank sesuai
daftar Bank yang menerima credit line (list of obligor).
5. Credit Line adalah fasilitas Pembiayaan Perdagangan Internasional yang disediakan
oleh Eligible Bank kepada Bank.
6. Letter of Guaranty (LOG) adalah surat jaminan yang diterbitkan oleh Bank Indonesia
untuk menjamin transaksi Pembiayaan Perdagangan Internasional yang dilakukan oleh
Bank, dan diberikan kepada Eligible Bank.
7. Letter of Guaranty (LOG) Pertama adalah surat jaminan yang diterbitkan oleh
Bank Indonesia pada tanggal 25 Juni 1998 untuk menjamin transaksi Pembiayaan
Perdagangan Internasional selama 364 (tiga ratus enam puluh empat) hari sejak tanggal
disetujuinya Confirmation Letter oleh Bank Indonesia.
8. Tanggal Efektif Penjaminan (Effective Date) adalah mulai berlakunya jaminan sesuai
LOG yang diterbitkan oleh Bank Indonesia.
9. Counter Guaranty adalah jaminan yang diberikan oleh Menteri Keuangan kepada
Gubernur Bank Indonesia untuk menjamin penerbitan LOG dengan menyediakan
sejumlah dana di Rekening Pemerintah di Bank Indonesia, dan memberikan kuasa
pendebetan terhadap rekening tersebut.
10. Rekening Pemerintah adalah rekening Menteri Keuangan yang dibuka guna memberikan
Counter Guaranty atas LOG Bank Indonesia, dalam Rupiah nomor 519.000110
dengan nama rekening “Trade Maintenance Facility dan Exchange Offer”.
Pasal 2
Bank Indonesia setelah memperoleh Counter Guaranty dari Menteri Keuangan, menjamin
transaksi Pembiayaan Perdagangan Internasional yang dilakukan oleh Bank dengan cara
menerbitkan LOG untuk dan atas nama Pemerintah.
Pasal 3 …….
- 5 -
Pasal 3
Transaksi Pembiayaan Perdagangan Internasional yang dijamin sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2, sebesar realisasi dari Credit Line yang disediakan oleh Eligible Bank kepada Bank
sebagaimana tercantum dalam Confirmation Letter yang telah disetujui oleh Bank Indonesia.
BAB II
PENJAMINAN DALAM RANGKA
PEMBIAYAAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL
Pasal 4
(1) LOG sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 diterbitkan 1 (satu) kali oleh Bank
Indonesia kepada Eligible Bank dan berlaku untuk seluruh transaksi Pembiayaan
Perdagangan Internasional yang dilakukan oleh Bank dengan Eligible Bank.
(2) Tanggal efektif LOG berlaku :
a. Sehari
setelah berakhirnya LOG Pertama sampai dengan 31 Desember
2000, untuk Eligible Bank yang telah mengikuti program penjaminan sebelumnya;
b. Sejak Bank Indonesia menandatangani Confirmation Letter yang disampaikan
oleh Eligible Bank, sampai dengan 31 Desember 2000, untuk Eligible Bank yang
baru mengikuti program penjaminan.
Pasal 5 …….
- 6 -
Pasal 5
(1) Pembiayaan Perdagangan Internasional yang dijamin oleh Bank Indonesia adalah meliputi
transaksi pembiayaan yang :
a. Diterbitkan dan jatuh tempo pembayarannya dalam masa berlaku LOG;
b. Diterbitkan dalam masa berlaku LOG dan jatuh tempo pembayarannya melampaui
masa berlaku LOG tetapi tidak melebihi tanggal 30 Juni 2001;
c. Diterbitkan dan jatuh tempo pembayarannya dalam masa berlaku LOG, dan
diperpanjang melampaui masa berlaku LOG tetapi tidak melebihi tanggal 30 Juni
2001.
(2) Transaksi Pembiayaan Perdagangan Internasional yang telah dilakukan oleh Bank
dengan Eligible Bank yang menerima LOG Pertama, masih tetap dijamin sepanjang
jatuh tempo pembayarannya tidak melebihi tanggal 30 Juni 2001.
Pasal 6
(1) Bank wajib memberitahukan secara tertulis mengenai keikutsertaan sebagai obligor untuk
memperoleh persetujuan Bank Indonesia dalam program Penjaminan Pembiayaan
Perdagangan Internasional.
(2) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan paling lambat 5
(lima) hari kerja setelah menerima pemberitahuan tertulis sebagai obligor dari Eligible
Bank dan atau dari Bank Indonesia.
(3) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), disampaikan oleh Bank kepada
Bank Indonesia cq. :
a. Direktorat Perizinan dan Informasi Perbankan (DPIP), Gedung Tipikal Lt. 6, Jl.
M.H. Thamrin No. 2, Jakarta 10010 Telpon 381-7405/7775, Facsimili 2311672;
b. Direktorat …….
- 7 -
b. Direktorat Luar Negeri (DLN) Gedung B Lt. 6, Jl. M.H. Thamrin No. 2 Jakarta
10010 Telpon 381-8263/8261, Facsimili 3857358/2311315, sebagai tembusan.
BAB III
PROSEDUR PERMOHONAN PEMBAYARAN
Pasal 7
(1) Permohonan pembayaran penjaminan diajukan oleh Bank kepada Bank Indonesia cq.
Direktorat Perizinan dan Informasi Perbankan (DPIP).
(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilampiri:
a. Surat Pernyataan tidak sanggup bayar (contoh lampiran 1);
b. Akta Pengakuan Utang kepada Pemerintah (contoh lampiran 2);
c. Surat Sanggup yang nilainya setara dengan nilai utang Bank (contoh lampiran 3).
(3) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disampaikan secara tertulis
kepada Bank Indonesia paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja setelah jatuh tempo
pembayaran.
Pasal 8
(1) Jangka waktu Surat Sanggup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf c
ditetapkan selama 90 (sembilan puluh) hari sejak tanggal pembayaran kepada Eligible
Bank, dengan suku bunga sebesar 125% (seratus dua puluh lima per seratus) dari suku
bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) 3 (tiga) bulan yang berlaku pada saat
pembayaran kepada Eligible Bank, per tahun flat.
(2) Biaya …….
- 8 -
(2) Biaya pembuatan Akta Pengakuan Utang dan biaya-biaya lainnya yang timbul menjadi
beban Bank.
BAB IV
PROSEDUR PEMBAYARAN KEPADA
ELIGIBLE BANK
Pasal 9
(1) Bank Indonesia melakukan pembayaran kepada Eligible Bank dalam valuta sesuai
dengan kewajiban Bank selambat-lambatnya 20 (dua puluh) hari kerja setelah:
a. Bank menyerahkan secara lengkap dokumen yang dimaksud dalam Pasal 7 ayat
(2), dan
b. Bank Indonesia melakukan verifikasi terhadap kelayakan transaksi Pembiayaan
Perdagangan Internasional yang dilakukan Bank.
(2) Verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan dengan pengecekan
administratif yang meliputi hal-hal sebagai berikut :
a. Kelengkapan dokumen yang dipersyaratkan dalam permohonan pembayaran;
b. Jatuh tempo transaksi yang diajukan termasuk dalam masa berlakunya penjaminan;
c. Bank dan Eligible Bank tercatat di Bank Indonesia.
(3) Setiap hasil
verifikasi yang dilakukan oleh Bank Indonesia sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b dianggap disetujui oleh Menteri Keuangan dan tidak
perlu dilakukan verifikasi ulang oleh Departemen Keuangan.
(4) Dalam hal saldo rekening giro dalam US Dollar dan atau Rupiah kantor pusat Bank di
Bank Indonesia mencukupi, pembayaran sebagaimana dimaksud pada
ayat …….
- 9 -
ayat (1) akan dilaksanakan Bank Indonesia dengan membebani rekening giro dalam US
Dollar dan atau Rupiah kantor pusat Bank tersebut.
(5) Atas pembayaran dengan membebani rekening giro US Dollar dan atau Rupiah kantor
pusat Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Bank Indonesia mengembalikan
dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) kepada Bank.
(6) Dalam hal saldo rekening giro dalam US Dollar dan atau Rupiah kantor pusat Bank di
Bank Indonesia tidak mencukupi, Bank Indonesia melakukan pembayaran kepada
Eligible Bank dengan cara membebani Rekening Pemerintah.
(7) Pembayaran dengan cara membebani Rekening Pemerintah sebagaimana dimaksud
pada ayat (6) menjadi utang Bank dalam valuta Rupiah kepada Pemerintah.
(8) Pembayaran dengan membebani rekening giro Rupiah kantor pusat Bank
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) atau pembayaran dengan membebani Rekening
Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dilakukan dengan menggunakan kurs
jual – Kurs Transaksi Bank Indonesia 2 (dua) hari kerja sebelum tanggal valuta
pembayaran.
BAB V
PROSEDUR PEMBAYARAN BANK KEPADA PEMERINTAH
Pasal 10
Pada saat jatuh tempo Surat Sanggup Bank wajib melakukan pembayaran dengan menyetor
ke Rekening Pemerintah di Bank Indonesia.
BAB VI …….
- 10 -
BAB VI
PROSEDUR PERMOHONAN PEMBAYARAN
UNTUK BANK YANG DIBEKUKAN KEGIATAN USAHANYA
Pasal 11
(1) Bagi Bank yang dibekukan kegiatan usahanya (BBKU) dalam masa penjaminan, maka
permohonan untuk melakukan pembayaran kepada Eligible Bank diajukan oleh
Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) kepada Bank Indonesia cq.
Direktorat Perizinan dan Informasi Perbankan dengan menyebutkan rekening yang akan
dibebankan.
(2) Permohonan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan selambat-
lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja setelah jatuh tempo pembayaran tanpa
melampirkan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) dan Pasal 8
ayat (1).
(3) Permohonan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada
Bank Indonesia setelah dilakukan verifikasi oleh BPPN.
(4) Bank Indonesia tidak perlu melakukan verifikasi ulang atas hasil verifikasi yang
dilakukan oleh BPPN sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan setiap hasil verifikasi
BPPN dianggap disetujui oleh Menteri Keuangan.
BAB VII
PELAPORAN BANK KEPADA BANK INDONESIA
Pasal 12
(1) Setiap bulan Bank wajib menyampaikan Laporan Pelaksanaan Pembiayaan
Perdagangan Internasional kepada :
a. Bank …….
- 11 -
a. Bank Indonesia cq. Direktorat Perizinan dan Informasi Perbankan;
b. Bank Indonesia cq. Direktorat Luar Negeri, sebagai tembusan;
c. Departemen Keuangan cq. Direktorat Jenderal Lembaga Keuangan, Gedung A
Lt.3, Jl.Wahidin No.2, Jakarta, sebagai tembusan;
d. Departemen Keuangan cq. Direktorat Jenderal Anggaran, Jl. Lapangan Banteng
Timur No. 2 – 4, Jakarta Pusat, sebagai tembusan.
(2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tetap disampaikan oleh Bank meskipun
pelaksanaan Pembiayaan Perdagangan Internasional pada bulan laporan adalah nihil.
(3) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterima selambat-lambatnya 7 (tujuh)
hari kerja setelah akhir bulan laporan, dengan format sebagaimana contoh pada
lampiran 4.
BAB VIII
SANKSI
Pasal 13
(1) Untuk setiap kelambatan penyerahan laporan dan atau tidak menyampaikan Laporan
Pelaksanaan Pembiayaan Perdagangan Internasional yang melampaui batas waktu
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, Bank dikenakan sanksi kewajiban membayar
sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu Rupiah) per hari yang dihitung sejak hari
keterlambatan sampai dengan diterimanya laporan oleh Bank Indonesia.
(2) Apabila …….
- 12 -
(2) Apabila laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) diketahui tidak benar
dan atau tidak lengkap, maka Bank dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar
Rp1.000.000,00 (satu juta Rupiah) untuk setiap laporan yang tidak benar dan atau
tidak lengkap.
Pasal 14
(1) Apabila pada saat jatuh tempo Surat Sanggup, Bank tidak melakukan penyetoran ke
Rekening Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, maka setelah tanggal
jatuh tempo Surat Sanggup, Bank Indonesia akan mengenakan sanksi berupa :
a. Peningkatan suku bunga sehingga menjadi 300% (tiga ratus per seratus) dari suku
bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) 3 (tiga) bulan yang berlaku pada saat jatuh
tempo Surat Sanggup, per tahun flat dan dihitung sejak tanggal jatuh tempo Surat
Sanggup sampai dengan dilakukannya pembayaran oleh Bank, dan
b. Penghentian kegiatan transaksi Pembiayaan Perdagangan Internasional.
(2) Apabila dalam waktu 3 (tiga) bulan setelah pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) Bank belum juga melakukan penyetoran ke Rekening Pemerintah, maka
Bank dikenakan:
a. Sanksi berupa pencabutan penunjukan Bank sebagai bank devisa; dan
b. Pendebetan saldo rekening giro Rupiah Bank di Bank Indonesia; serta
c. Ketentuan sesuai dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 1/3/PBI/1999 tentang
Penyelenggaraan Kliring Lokal dan Penyelesaian Akhir Transaksi Pembayaran
Antar Bank Atas Hasil Kliring Lokal sebagaimana telah diubah dengan Peraturan
Bank Indonesia Nomor 2/4/PBI/2000 tentang Perubahan Atas Peraturan Bank
Indonesia Nomor 1/3/PBI/1999 tentang Penyelenggaraan Kliring Lokal dan
Penyelesaian Akhir Transaksi Pembayaran Antar Bank Atas Hasil Kliring Lokal,
apabila terjadi saldo negatif.
- 13 -
Pasal 15
Apabila Bank menyalahgunakan fasilitas penjaminan Pembiayaan Perdagangan Internasional,
Bank dapat dikenakan sanksi berupa pencabutan penunjukan Bank sebagai bank devisa
beserta pencantuman dalam Daftar Orang Tercela (DOT) terhadap pemilik dan atau
pengurus Bank yang bertanggung jawab atas terjadinya pelanggaran.
Pasal 16
(1) Pembayaran sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) dan (2)
dilaksanakan Bank Indonesia dengan membebani rekening giro Rupiah kantor
pusat Bank di Bank Indonesia dan untuk untung Bank Indonesia.
(2) Pembayaran sanksi sebagaimana dimaksud dalam pasal 14 ayat (1) dan (2)
dilaksanakan Bank Indonesia atas beban Bank untuk untung rekening nomor
502.000000 “Bendahara Umum Negara”.
Pasal 15 …
BAB IX
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 17
Dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini, maka Surat Keputusan Direksi Bank
Indonesia No. 31/89/KEP/DIR tanggal 7 September 1998 tentang Jaminan Pembiayaan
Perdagangan Internasional dan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No.
31/174/KEP/DIR tanggal 22 Desember 1998 tentang Perubahan Surat Keputusan Direksi
Bank Indonesia Nomor 31/89/KEP/DIR tentang Jaminan Pembiayaan Perdagangan
Internasional dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi.
Pasal 18 …
- 14 -
Pasal 18
Peraturan Bank Indonesia ini berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 16 Mei 2000
GUBERNUR BANK INDONESIA
SYAHRIL SABIRIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2000 NOMOR 58
DLN
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 2/13/PBI/2000 </reg_id>
<reg_title> JAMINAN PEMBIAYAAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL </reg_title>
<set_date> 16 Mei 2000 </set_date>
<effective_date> 16 Mei 2000 </effective_date>
<replaced_reg> '31/174/KEP/DIR|SKDIR-BI/1998', '31/89/KEP/DIR|SKDIR-BI/1998' </replaced_reg>
<related_reg> '1/3/PBI/1999', '23/UU/1999', '1/9/PBI/1999', '2/4/PBI/2000', '7/UU/1992', '10/UU/1998', '24/UU/1999' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB VIII' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 8/11/PBI/2006
TENTANG
PENCABUTAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR
2/12/PBI/2000 TENTANG JAMINAN PINJAMAN LUAR NEGERI ANTAR
BANK SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN PERATURAN BANK
INDONESIA NOMOR 3/14/PBI/2001
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa dalam rangka meningkatkan kegiatan ekonomi nasional
khususnya kegiatan restrukturisasi pinjaman luar negeri, Bank
Indonesia untuk dan atas nama Pemerintah telah memberikan
jaminan terhadap pinjaman luar negeri antar bank;
b. bahwa fasilitas jaminan terhadap pinjaman luar negeri antar
bank tersebut telah berakhir sehubungan dengan berakhirnya
program Interbank Debt Exchange Offer pada tanggal 1 Juni
2005;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a dan huruf b, dipandang perlu untuk melakukan
pencabutan Peraturan Bank Indonesia Nomor 2/12/PBI/2000
tentang Jaminan Pinjaman Luar Negeri
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia
Nomor 3/14/PBI/2001;
Mengingat : ...
Antar Bank
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor
31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3472), sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3790);
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999
Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3843) sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 7; Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4357);
3. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas
Devisa dan Sistem Nilai Tukar (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 67, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3844);
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PENCABUTAN
ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR
2/12/PBI/2000 TENTANG JAMINAN PINJAMAN LUAR
NEGERI ...
NEGERI ANTAR BANK SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH
DENGAN PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR
3/14/PBI/2001
Pasal 1
Peraturan Bank Indonesia Nomor 2/12/PBI/2000 tentang Jaminan Pinjaman Luar
Negeri Antar Bank (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 57,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3953) sebagaimana telah
diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 3/14/PBI/2001 (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 121, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4140) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 2
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 29 Juni 2006
GUBERNUR BANK INDONESIA
BURHANUDDIN ABDULLAH
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2006 NOMOR 55
DInt
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 8/11/PBI/2006 </reg_id>
<reg_title> PENCABUTAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 2/12/PBI/2000 TENTANG JAMINAN PINJAMAN LUAR NEGERI ANTAR BANK SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 3/14/PBI/2001 </reg_title>
<set_date> 29 Juni 2006 </set_date>
<effective_date> 29 Juni 2006 </effective_date>
<replaced_reg> '2/12/PBI/2000', '3/14/PBI/2001' </replaced_reg>
<related_reg> '7/UU/1992', '10/UU/1998', '23/UU/1999', '3/UU/2004', '24/UU/1999' </related_reg>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 3/24/PBI/2001
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 3/15/PBI/2001 TENTANG PENETAPAN STATUS
BANK PERKREDITAN RAKYAT DALAM PENGAWASAN KHUSUS
DAN PEMBEKUAN KEGIATAN USAHA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang :
bahwa dalam
rangka mempercepat penyelesaian BPR
bermasalah sebagai upaya penyehatan industri BPR dipandang
perlu dilakukan penyesuaian terhadap Peraturan Bank Indonesia
Nomor 3/15/PBI/2001 tentang Penetapan Status
Perkreditan Rakyat Dalam Pengawasan Khusus dan Pembekuan
Kegiatan Usaha dalam suatu Peraturan Bank Indonesia;
Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor
31; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3472) sebagaimana
telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor
182; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3790);
2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66; Tambahan Lembaran Negara Nomor
3843);
3. Peraturan…
Bank
-2-
3. Peraturan Pemerintah Nomor 25 tahun
1999
tentang
Pencabutan Izin Usaha, Pembubaran dan Likuidasi Bank
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor
52; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3831);
4. Peraturan Bank Indonesia Nomor 3/15/PBI/2001 tentang
Penetapan Status Bank Perkreditan Rakyat Dalam
Pengawasan Khusus dan Pembekuan
Kegiatan
Usaha
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor
122; Tambahan Lembaran Negara Nomor 4141);
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 3/15/PBI/2001 TENTANG PENETAPAN STATUS
BANK PERKREDITAN RAKYAT DALAM PENGAWASAN
KHUSUS DAN PEMBEKUAN KEGIATAN USAHA.
Pasal I
Mengubah ketentuan dalam Pasal 9 Peraturan Bank Indonesia, sehingga
seluruhnya berbunyi sebagai berikut:
“Pasal 9
1. Pada saat ditetapkannya Peraturan Bank Indonesia ini, terhadap:
a. BPR yang sudah tidak melakukan kegiatan usaha dan atau pengurus dan
atau pemiliknya sudah tidak diketahui keberadaannya, atau
b. BPR…
-3-
b. BPR yang memiliki Rasio KPMM sama dengan atau kurang dari 0%
(nol perseratus), dan atau CR rata-rata selama 6 (enam) bulan terakhir
kurang dari 1 % (satu perseratus), serta merupakan peserta Program
Penjaminan Pemerintah
ditetapkan status BBKU
2. Penetapan status BBKU terhadap BPR sebagaimana dimaksud dalam angka
1 tidak berlaku apabila BPR sedang dalam proses merger, konsolidasi,
akuisisi yang diikuti dengan penambahan modal disetor, penambahan modal
disetor oleh pemilik atau masuknya investor baru.
3. BPR yang sedang dalam proses sebagaimana dimaksud dalam angka 2
diberikan waktu penyelesaian selambat-lambatnya 6 (enam) bulan sejak
ditetapkannya Peraturan Bank Indonesia ini.
4. Dalam hal BPR tidak dapat menyelesaikan proses sebagaimana dimaksud
dalam angka 2 dalam batas waktu sebagaimana dimaksud dalam angka 3,
maka Bank Indonesia menetapkan BPR tersebut dalam status BBKU
5. BPR yang memiliki Rasio KPMM sama dengan atau kurang dari 0% (nol
perseratus), dan atau CR rata-rata selama 6 (enam) bulan terakhir kurang
dari 1 % (satu perseratus), tetapi tidak merupakan
peserta Program
Penjaminan Pemerintah, maka Bank Indonesia dapat mencabut izin usaha
BPR yang bersangkutan.”
Pasal II …
-4-
Pasal II
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 24 Desember 2001
GUBERNUR BANK INDONESIA
SYAHRIL SABIRIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2001 NOMOR 155
DPBPR
-5-
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 3/ 24 /PBI/2001
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 3/15/PBI/2001 TENTANG PENETAPAN STATUS BANK
PERKREDITAN RAKYAT DALAM PENGAWASAN KHUSUS
DAN PEMBEKUAN KEGIATAN USAHA
I. UMUM
Dalam rangka mempercepat penyelesaian BPR bermasalah sebagai upaya
penyehatan industri BPR perlu dilakukan penyesuaian terhadap Peraturan
Bank Indonesia Nomor 3/15/PBI/2001 tentang Penetapan Status Bank
Perkreditan Rakyat Dalam Pengawasan Khusus dan Pembekuan Kegiatan
Usaha dalam suatu Peraturan Bank Indonesia.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal I
Pasal 9
Angka 1
Huruf a
BPR yang sudah tidak melakukan kegiatan
usaha antara lain dibuktikan dengan:
-6-
1. BPR tidak menyampaikan
bulanan kepada Bank Indonesia
12 (dua belas) bulan terakhir;
laporan
selama
2. Laporan bulanan yang disampaikan oleh
BPR kepada Bank Indonesia selama 12
(dua belas) bulan terakhir tidak memiliki
perubahan dalam pos-pos neraca;
3. Adanya laporan dari pengurus atau
pemilik BPR bahwa BPR
melakukan kegiatan usaha;
Huruf b
Cukup jelas
Angka 2
Pengecualian dimaksudkan untuk memberikan
kesempatan kepada BPR guna menyelesaikan proses
merger, konsolidasi, akuisisi atau penambahan modal
disetor oleh pemilik atau investor baru.
BPR yang sedang dalam proses merger, konsolidasi
atau akuisisi termasuk di dalamnya BPR yang telah
mengajukan permohonan izin merger,
konsolidasi
atau akuisisi kepada Bank Indonesia atau BPR telah
menyampaikan pernyataan untuk menambah modal
disetor.
Angka 3
Cukup jelas
Angka 4
1. BPR…
tidak
-7-
Cukup jelas
Angka 5
Cukup jelas
Pasal II
Cukup Jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA NOMOR 4163
DPBPR
Angka 5…
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 3/24/PBI/2001 </reg_id>
<reg_title> PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 3/15/PBI/2001 TENTANG PENETAPAN STATUS BANK PERKREDITAN RAKYAT DALAM PENGAWASAN KHUSUS DAN PEMBEKUAN KEGIATAN USAHA </reg_title>
<set_date> 24 Desember 2001 </set_date>
<effective_date> 24 Desember 2001 </effective_date>
<changed_reg> '3/15/PBI/2001' </changed_reg>
<related_reg> '25/PP/1999', '23/UU/1999', '7/UU/1992', '10/UU/1998', '3/15/PBI/2001' </related_reg>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 8/20/PBI/2006
TENTANG
TRANSPARANSI KONDISI KEUANGAN
BANK PERKREDITAN RAKYAT
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992
tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 1998, Bank Perkreditan Rakyat
wajib mengumumkan laporan keuangan dalam waktu dan
bentuk yang ditetapkan oleh Bank Indonesia;
b. bahwa dalam rangka transparansi kondisi keuangan dan
kinerja Bank
Perkreditan Rakyat, diperlukan informasi
keadaan keuangan dan informasi lainnya kepada publik
secara berkala, akurat dan benar;
c. bahwa Laporan Keuangan Tahunan dan Laporan Keuangan
Publikasi Bank Perkreditan Rakyat yang berlaku belum
sepenuhnya disusun berdasarkan Pernyataan Standar
Akuntansi Keuangan yang berlaku;
d. bahwa …
-2-
d. bahwa berhubung
dengan itu, dipandang
menyempurnakan ketentuan
tentang Laporan
perlu untuk
Keuangan
Tahunan dan Laporan Keuangan Publikasi bagi
Bank
Perkreditan Rakyat dalam Peraturan Bank Indonesia tentang
Transparansi Kondisi Keuangan Bank Perkreditan Rakyat;
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor
31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3790);
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999
Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3843) sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4357);
MEMUTUSKAN: …
-3-
MEMUTUSKAN:
Menetapkan:
PERATURAN BANK INDONESIA
TRANSPARANSI
KONDISI
PERKREDITAN RAKYAT.
TENTANG
KEUANGAN BANK
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Bank Perkreditan Rakyat, selanjutnya disebut BPR, adalah Bank Perkreditan
Rakyat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992
tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor
10 Tahun 1998, yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional.
2. Laporan Tahunan adalah laporan lengkap mengenai kinerja suatu BPR dalam
kurun waktu satu tahun yang berisi Laporan Keuangan Tahunan dan
informasi umum.
3. Laporan Keuangan Tahunan adalah laporan keuangan akhir tahun BPR yang
disusun berdasarkan standar akuntansi keuangan yang berlaku.
4. Laporan Keuangan Publikasi adalah laporan keuangan BPR yang disusun
berdasarkan standar akuntansi keuangan yang berlaku dan dipublikasikan
setiap triwulan sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia.
5. Akuntan …
-4-
5. Akuntan Publik adalah akuntan yang memiliki izin usaha dari Menteri
Keuangan untuk melakukan kegiatan pemberian jasa audit.
6. Tahun Buku adalah tahun takwim atau tahun yang dimulai dari bulan Januari
sampai dengan bulan Desember.
7. Surat Komentar (Management Letter) adalah komentar tertulis dari Akuntan
Publik kepada manajemen bank mengenai hasil kaji ulang terhadap struktur
pengendalian intern, pelaksanaan standar akuntansi keuangan atau masalah
lain yang ditemui dalam pelaksanaan audit, beserta saran-saran perbaikannya.
Pasal 2
Dalam rangka transparansi kondisi
keuangan, BPR wajib membuat dan
menyajikan laporan keuangan dengan bentuk dan cakupan sebagaimana
ditetapkan dalam Peraturan Bank Indonesia ini, yang terdiri dari:
a. Laporan Tahunan; dan
b. Laporan Keuangan Publikasi.
BAB II
LAPORAN TAHUNAN DAN LAPORAN KEUANGAN TAHUNAN
Pasal 3
(1) BPR wajib menyampaikan kepada Bank Indonesia Laporan Tahunan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a.
(2) Laporan …
-5-
(2) Laporan Keuangan Tahunan yang disampaikan dalam Laporan Tahunan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dibuat untuk 1 (satu) tahun buku
dan disajikan dengan perbandingan 1 (satu) tahun buku sebelumnya.
Pasal 4
(1) Bagi BPR yang mempunyai total aset Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar
rupiah) atau lebih, Laporan Keuangan Tahunan yang disampaikan dalam
Laporan Tahunan wajib diaudit oleh Akuntan Publik.
(2) Bagi BPR yang mempunyai total aset kurang dari Rp10.000.000.000,00
(sepuluh miliar rupiah), Laporan Keuangan Tahunan yang disampaikan
dalam Laporan Tahunan adalah Laporan Keuangan Tahunan yang telah
dipertanggungjawabkan oleh Direksi atau Pengurus kepada Rapat Umum
Pemegang Saham atau Rapat Anggota.
(3) Dalam hal Laporan Keuangan Tahunan BPR sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) diaudit oleh Akuntan Publik, maka Laporan Keuangan Tahunan
yang disampaikan adalah Laporan Keuangan Tahunan yang diaudit.
Pasal 5
(1) Laporan Tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dan ayat
(3), wajib disampaikan kepada Bank Indonesia paling lambat akhir bulan
April tahun berikutnya.
(2) Laporan …
-6-
(2) Laporan Tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) wajib
disampaikan kepada Bank Indonesia paling lambat akhir bulan Februari
tahun berikutnya.
Pasal 6
(1) BPR dinyatakan terlambat menyampaikan Laporan Tahunan, apabila
menyampaikan Laporan Tahunan kepada Bank Indonesia melampaui batas
akhir waktu penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
tetapi belum melampaui 1 (satu) bulan sejak batas akhir penyampaian
laporan.
(2) BPR dinyatakan tidak menyampaikan Laporan Tahunan, apabila belum
menyampaikan Laporan Tahunan dalam kurun waktu keterlambatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) BPR yang telah menyampaikan Laporan Tahunan namun tidak sesuai
dengan bentuk dan tata cara sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Bank
Indonesia ini dinyatakan belum menyampaikan Laporan Tahunan.
BAB III
LAPORAN KEUANGAN PUBLIKASI
Pasal 7
(1) BPR wajib mengumumkan Laporan Keuangan Publikasi secara triwulanan
untuk posisi pelaporan akhir bulan Maret, Juni, September dan Desember
sesuai dengan bentuk dan tata cara yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
(2) Laporan …
-7-
(2) Laporan Keuangan Publikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri
dari laporan keuangan dan informasi lainnya.
(3) Laporan Keuangan Publikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
disajikan dalam bentuk perbandingan dengan laporan posisi yang sama
tahun sebelumnya.
Pasal 8
(1) Laporan Keuangan Publikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1)
diumumkan pada surat kabar lokal atau ditempelkan pada papan
pengumuman di kantor BPR yang bersangkutan.
(2) Pengumuman Laporan Keuangan Publikasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan paling lambat:
a. 1 (satu) bulan setelah berakhirnya bulan laporan untuk laporan keuangan
posisi akhir bulan Maret, Juni dan September;
b. 2 (dua) bulan setelah berakhirnya bulan laporan untuk laporan keuangan
posisi akhir bulan Desember yang tidak diaudit oleh Akuntan Publik;
c. 4 (empat) bulan setelah berakhirnya bulan laporan untuk laporan
keuangan posisi akhir bulan Desember yang diaudit oleh Akuntan
Publik.
Pasal 9 …
-8-
Pasal 9
(1) BPR dinyatakan terlambat mengumumkan Laporan Keuangan Publikasi,
apabila mengumumkan Laporan Keuangan Publikasi melampaui batas akhir
pengumuman laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2), tetapi
tidak melampaui 1 (satu) bulan setelah batas akhir pengumuman laporan.
(2) BPR dinyatakan tidak mengumumkan Laporan Keuangan Publikasi, apabila
belum mengumumkan Laporan Keuangan Publikasi dalam kurun waktu
keterlambatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) BPR yang telah mengumumkan Laporan Keuangan Publikasi namun tidak
sesuai dengan bentuk dan tata cara sebagaimana dimaksud dalam Peraturan
Bank Indonesia ini dinyatakan belum mengumumkan Laporan Keuangan
Publikasi.
Pasal 10
(1) Laporan Keuangan Publikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 wajib
ditandatangani oleh salah satu anggota Direksi BPR dengan mencantumkan
nama secara jelas.
(2) Dalam hal Direksi berhalangan, Laporan Keuangan Publikasi
ditandatangani oleh pejabat yang diberi wewenang oleh Direksi dengan
mencantumkan nama secara jelas.
(3) Bagi …
-9-
(3) Bagi BPR yang laporan keuangannya diaudit oleh Akuntan Publik, untuk
Laporan Keuangan Publikasi posisi akhir bulan Desember, selain wajib
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga wajib
mencantumkan nama Akuntan Publik yang bertanggung jawab dalam audit
(partner in charge) dan nama Kantor Akuntan Publik yang mengaudit
Laporan Keuangan Tahunan.
Pasal 11
(1) BPR wajib menyampaikan kepada Bank Indonesia:
a. guntingan surat kabar yang berisi Laporan Keuangan Publikasi atau
fotokopi Laporan Keuangan Publikasi yang ditempelkan pada papan
pengumuman, paling lambat tanggal 14 (empat belas) setelah batas akhir
pengumuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2); dan
b. rekaman data Laporan Keuangan Publikasi secara on-line melalui
fasilitas ekstranet Bank Indonesia atau sarana teknologi lainnya atau
secara off-line dalam bentuk disket atau compact disk, paling lambat
tanggal 14 (empat belas) setelah batas akhir pengumuman sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2).
(2) Pemenuhan kewajiban penyampaian rekaman data Laporan Keuangan
Publikasi BPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b tunduk kepada
ketentuan Bank Indonesia yang berlaku tentang Laporan Bulanan BPR.
Pasal 12 …
-10-
Pasal 12
(1) BPR dinyatakan terlambat menyampaikan guntingan surat kabar atau
fotokopi Laporan Keuangan Publikasi dan/atau rekaman data Laporan
Keuangan
Publikasi kepada Bank Indonesia, apabila menyampaikan
guntingan surat kabar atau fotokopi Laporan Keuangan Publikasi dan/atau
rekaman data Laporan Keuangan Publikasi melampaui batas akhir
penyampaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1), tetapi tidak
melampaui 1 (satu) bulan sejak batas akhir penyampaian.
(2) BPR dinyatakan tidak menyampaikan guntingan surat kabar atau fotokopi
Laporan Keuangan Publikasi dan/atau rekaman data Laporan Keuangan
Publikasi, apabila belum menyampaikan guntingan surat kabar atau
fotokopi Laporan Keuangan Publikasi dan/atau rekaman data Laporan
Keuangan
Publikasi dalam kurun waktu keterlambatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
(3) BPR yang telah menyampaikan guntingan surat kabar
atau
fotokopi
Laporan Keuangan Publikasi dan/atau rekaman data Laporan Keuangan
Publikasi namun tidak sesuai dengan bentuk dan tata cara sebagaimana
dimaksud dalam Peraturan Bank Indonesia ini dinyatakan belum
menyampaikan guntingan surat kabar atau fotokopi Laporan Keuangan
Publikasi dan/atau rekaman data Laporan Keuangan Publikasi.
BAB IV …
-11-
BAB IV
HUBUNGAN ANTARA BPR, AKUNTAN PUBLIK
DAN BANK INDONESIA
Pasal 13
(1) BPR dalam memberikan penugasan audit terhadap Laporan Keuangan
Tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, BPR wajib menunjuk
Akuntan Publik dan Kantor Akuntan Publik yang terdaftar di Bank
Indonesia.
(2) Akuntan Publik dan Kantor Akuntan Publik sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) tidak diperkenankan memiliki keterkaitan dengan BPR.
(3) Penugasan atau Penunjukan Akuntan Publik dan Kantor Akuntan Publik
yang sama oleh BPR paling lama dilakukan untuk periode audit 3 (tiga)
tahun buku berturut-turut.
(4) Perhitungan jangka waktu 3 (tiga) tahun buku berturut-turut sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) dimulai sejak berlakunya Peraturan Bank Indonesia
ini.
Pasal 14
(1) Penunjukan Akuntan Publik dan Kantor Akuntan Publik dalam rangka audit
Laporan Keuangan Tahunan BPR wajib didasarkan pada perjanjian kerja.
(2) Perjanjian kerja antara BPR dan Kantor Akuntan Publik sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) paling sedikit mencakup:
a. nama …
-12-
a. nama Kantor Akuntan Publik;
b. Akuntan Publik yang bertanggung jawab terhadap audit (partner in
charge);
c. kewajiban Akuntan Publik untuk melaksanakan audit sesuai Standar
Profesional Akuntan Publik;
d. ruang lingkup audit;
e. jangka waktu penyelesaian audit;
f. pernyataan dari BPR mengenai izin kepada Kantor Akuntan Publik dan
kewajiban Kantor Akuntan Publik untuk menyampaikan secara langsung
kepada Bank Indonesia:
1) laporan hasil audit;
2) Surat Komentar (Management Letter);
3) informasi yang dibutuhkan oleh Bank Indonesia dari Akuntan Publik
yang dilakukan setiap saat apabila diperlukan; dan
4) informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 huruf b.
g. kewajiban Akuntan
Publik
untuk memberitahukan
Indonesia sebelum pelaksanaan audit.
(3) Laporan hasil audit dan Surat Komentar (Management Letter) sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf f angka 1 dan angka 2 wajib disampaikan
kepada Bank Indonesia paling lambat 4 (empat) bulan setelah tahun buku
yang bersangkutan.
(4) Ruang …
kepada
Bank
-13-
(4) Ruang lingkup audit sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d paling
sedikit mencakup:
a. penggolongan kualitas aktiva produktif dan kecukupan penyisihan
penghapusan aktiva produktif yang dibentuk BPR;
b. penilaian terhadap rupa-rupa aktiva termasuk, namun tidak terbatas
pada, agunan yang diambil alih BPR;
c. pendapat terhadap kewajaran atas transaksi dengan pihak-pihak yang
mempunyai hubungan istimewa maupun transaksi yang dilakukan
dengan perlakuan khusus;
d. jumlah dan kualitas penyediaan dana kepada pihak terkait;
e. rincian pelanggaran batas maksimum pemberian kredit yang meliputi
nama nasabah, kualitas penyediaan dana, persentase dan jumlah
pelanggaran batas maksimum pemberian kredit;
f. perhitungan kewajiban penyediaan modal minimum;
g. keandalan sistem pelaporan BPR kepada Bank Indonesia dan pengujian
terhadap keandalan laporan-laporan yang disampaikan oleh BPR kepada
Bank Indonesia; dan
h. hal-hal lain yang diatur dalam standar akuntansi keuangan yang berlaku
dan Pedoman Akuntansi Perbankan Indonesia, termasuk catatan atas
Laporan Keuangan.
Pasal 15 …
-14-
Pasal 15
(1) Bank Indonesia dapat menyatakan keberatan atas penunjukan Akuntan
Publik dan/atau Kantor Akuntan Publik tertentu oleh BPR.
(2) Bank Indonesia memiliki akses informasi kepada Akuntan Publik dan/atau
Kantor Akuntan Publik meskipun perjanjian kerja sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 14 ayat (1) telah berakhir.
Pasal 16
Akuntan Publik yang melakukan audit terhadap Laporan Keuangan Tahunan
BPR wajib:
a. melakukan audit sesuai dengan standar profesional Akuntan Publik, serta
perjanjian kerja dan ruang lingkup audit sebagaimana dimaksud dalam Pasal
14;
b. memberitahukan ke Bank Indonesia paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak
ditemukannya:
1) pelanggaran peraturan perundang-undangan yang berlaku di bidang
keuangan dan perbankan; dan
2) keadaan dan perkiraan keadaan yang dapat membahayakan kelangsungan
usaha BPR.
c. menyampaikan laporan hasil audit dan Surat Komentar (Management Letter)
kepada Bank Indonesia; dan
d. memenuhi …
-15-
d. memenuhi ketentuan rahasia Bank sebagaimana diatur dalam Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998.
BAB V
TANGGUNG JAWAB LAPORAN KEUANGAN
Pasal 17
Laporan Keuangan Tahunan dan Laporan Keuangan Publikasi sepenuhnya
menjadi tanggung jawab Direksi BPR.
BAB VI
SANKSI
Pasal 18
Laporan Tahunan
1) BPR yang
terlambat menyampaikan Laporan Tahunan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1), dikenakan sanksi kewajiban membayar
sebesar Rp50.000,00 (lima puluh ribu rupiah) per hari kerja keterlambatan.
2) BPR yang tidak menyampaikan Laporan Tahunan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6 ayat (2), dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar
Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah).
Pasal 19 …
-16-
Pasal 19
(1) Apabila isi Laporan Tahunan secara material tidak sesuai dengan keadaan
sebenarnya dan/atau tidak disajikan sesuai ketentuan dalam Peraturan Bank
Indonesia ini dan/atau Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan yang
berlaku maka:
a. setelah diberi peringatan 2 (dua) kali surat teguran oleh Bank Indonesia
dengan tenggang waktu 2 (dua) minggu untuk setiap teguran, BPR tidak
memperbaiki laporan dimaksud, dikenakan sanksi kewajiban membayar
sebesar Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah); dan
b. dikenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, berupa:
1) penurunan nilai kredit dalam perhitungan tingkat kesehatan; dan/atau
2) pencantuman pengurus dan/atau pemegang saham dalam daftar
pihak-pihak yang memperoleh predikat tidak lulus dalam penilaian
kemampuan dan kepatutan BPR sebagaimana diatur dalam ketentuan
Bank Indonesia yang berlaku.
(2) Apabila berdasarkan penilaian Bank Indonesia, Laporan Tahunan BPR
secara material tidak sesuai dengan keadaan sebenarnya dan/atau tidak
disajikan sesuai ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia ini dan/atau
Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku, selain dikenai sanksi
administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terhadap Dewan
Komisaris, Direksi, pegawai BPR maupun pihak terafiliasi lainnya dapat
dikenakan …
-17-
dikenakan sanksi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (1)
dan Pasal 50 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998.
Pasal 20
Laporan Keuangan Publikasi
(1) BPR yang
terlambat mengumumkan Laporan Keuangan
Publikasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1), dikenakan sanksi kewajiban
membayar sebesar Rp50.000,00 (lima puluh ribu rupiah) per hari kerja
keterlambatan.
(2) BPR yang tidak mengumumkan Laporan Keuangan Publikasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2), dikenakan sanksi kewajiban membayar
sebesar Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah).
Pasal 21
(1) BPR yang terlambat menyampaikan guntingan surat kabar atau fotokopi
Laporan Keuangan Publikasi dan/atau rekaman data Laporan Keuangan
Publikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1), dikenakan sanksi
kewajiban membayar sebesar Rp50.000,00 (lima puluh ribu rupiah) per hari
kerja keterlambatan.
(2) BPR …
-18-
(2) BPR yang tidak menyampaikan guntingan surat kabar atau fotokopi
Laporan Keuangan Publikasi dan/atau rekaman data Laporan Keuangan
Publikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2), dikenakan sanksi
kewajiban membayar sebesar Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah).
Pasal 22
(1) Apabila berdasarkan penilaian Bank Indonesia Laporan Keuangan Publikasi
secara material tidak sesuai dengan keadaan sebenarnya dan/atau Penyataan
Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku, maka:
a. setelah diberi peringatan 2 (dua) kali surat teguran oleh Bank Indonesia
dengan tenggang waktu 2 (dua) minggu untuk setiap teguran, BPR tidak
memperbaiki
dan/atau mengumumkan kembali
laporan dimaksud,
dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp5.000.000,00 (lima
juta rupiah); dan
b. dikenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, berupa:
1) penurunan nilai kredit dalam perhitungan tingkat kesehatan; dan atau
2) pencantuman pengurus dan/atau pemegang saham dalam daftar
pihak-pihak yang memperoleh predikat tidak lulus dalam penilaian
kemampuan dan kepatutan BPR sebagaimana diatur dalam ketentuan
Bank Indonesia yang berlaku.
(2) Apabila …
-19-
(2) Apabila berdasarkan penilaian Bank Indonesia, Laporan Keuangan
Publikasi secara material tidak sesuai dengan keadaan sebenarnya dan/atau
tidak disajikan sesuai ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia ini
dan/atau Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku, selain
dikenai sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terhadap
Dewan Komisaris, Direksi, pegawai BPR maupun pihak terafiliasi lainnya
dapat dikenakan sanksi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat
(1) dan Pasal 50 Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998.
Pasal 23
Akuntan Publik dan Kantor Akuntan Publik
(1) Akuntan Publik dan/atau Kantor Akuntan Publik yang secara material
melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 dikenakan
sanksi administratif sebagaimana tercantum dalam Pasal 53 Undang-
Undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, berupa:
a. penghapusan nama Akuntan Publik dari daftar Akuntan Publik di Bank
Indonesia;
b. penghapusan Kantor Akuntan Publik dari daftar Kantor Akuntan Publik
di Bank Indonesia, apabila pelanggaran dilakukan oleh 2 (dua) orang
Akuntan Publik yang bertanggung jawab (partner in charge) dalam
audit BPR dari Kantor Akuntan Publik yang sama; dan/atau
c. penyampaian …
-20-
c. penyampaian usulan kepada instansi yang berwenang untuk mencabut
atau membatalkan izin usaha sebagai pemberi jasa bagi bank sesuai
dengan ketentuan atau kode etik yang berlaku.
(2) Akuntan Publik yang tidak memenuhi ketentuan rahasia bank sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 16 huruf d, selain dikenakan sanksi administratif
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), juga dapat dikenakan sanksi pidana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 1998.
BAB VII
LAIN – LAIN
Pasal 24
BPR yang telah dikenakan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18, Pasal
19, Pasal 20 dan Pasal 21 tetap diwajibkan untuk menyampaikan laporan
dimaksud sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia ini.
Pasal 25
Pembebanan sanksi kewajiban membayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal
18, Pasal 19 ayat (1) huruf a, Pasal 20, Pasal 21 dan Pasal 22 ayat (1) huruf a,
dilakukan dengan cara transfer atau tunai kepada Bank Indonesia.
BAB VIII …
-21-
BAB VIII
KEADAAN MEMAKSA (FORCE MAJEURE)
Pasal 26
(1) BPR yang mengalami keadaan memaksa (force majeure) selama lebih dari
satu bulan dalam periode di bulan yang terakhir seharusnya mengumumkan
dan/atau menyampaikan
laporan,
dikecualikan dari kewajiban
mengumumkan dan/atau menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 7 ayat (1) dan Pasal 11 ayat (1).
(2) Untuk memperoleh pengecualian sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
BPR harus menyampaikan permohonan secara tertulis kepada Bank
Indonesia disertai penjelasan mengenai keadaan memaksa yang dialami.
(3) BPR yang memperoleh pengecualian sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
wajib mengumumkan dan/atau menyampaikan laporan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 7 ayat (1) dan Pasal 11
ayat (1), setelah BPR kembali melakukan kegiatan operasional secara
normal.
BAB IX …
-22-
BAB IX
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 27
Ketentuan lebih lanjut mengenai Transparansi Kondisi Keuangan BPR akan
diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 28
Dengan diberlakukannya Peraturan Bank Indonesia ini maka:
a. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 27/119/KEP/DIR tanggal 25
Januari 1995 tentang Laporan Keuangan Tahunan dan Laporan Keuangan
Publikasi; dan
b. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 27/5/UPPB tanggal 25 Januari 1995
tentang Laporan Keuangan Tahunan dan Laporan Keuangan Publikasi,
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku bagi BPR.
Pasal 29
Peraturan Bank Indonesia ini tidak diberlakukan bagi Bank Perkreditan Rakyat
eks Badan Kredit Desa (BKD) yang didirikan berdasarkan Staatsblad Tahun
1929 Nomor 357 dan Rijksblad Tahun 1937 Nomor 9.
Pasal 30 …
-23-
Pasal 30
Peraturan Bank Indonesia ini berlaku sejak Laporan Keuangan Publikasi bulan
Desember 2006 dan Laporan Tahunan tahun 2006.
Ditetapkan di: Jakarta
Pada tanggal : 5 Oktober 2006
GUBERNUR BANK INDONESIA,
BURHANUDDIN ABDULLAH
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2006 NOMOR 77
DPBPR
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 8/20/PBI/2006
TENTANG
TRANSPARANSI KONDISI KEUANGAN
BANK PERKREDITAN RAKYAT
UMUM
Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, Bank
Perkreditan Rakyat wajib mengumumkan laporan keuangan dalam bentuk
neraca, perhitungan laba rugi dan bentuk lain yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia.
Dalam rangka melindungi kepentingan masyarakat melalui penerapan
good corporate governance, yang mana salah satu aspek pentingnya adalah
transparansi kondisi keuangan kepada publik, maka laporan keuangan yang
diumumkan tersebut diharapkan dapat melindungi kepentingan masyarakat
penyimpan dana, investor dan/atau pengguna lainnya sehingga akhirnya dapat
meningkatkan kepercayaan publik terhadap perbankan nasional.
Agar …
-2-
Agar informasi yang disampaikan dapat memberikan informasi yang
akurat dan benar maka diperlukan suatu standar akuntansi dan pedoman dalam
pencatatan dan pelaporan serta diperlukan audit terhadap laporan keuangan yang
memenuhi kriteria untuk diaudit oleh akuntan publik.
Dalam kaitan dengan kewajiban untuk diaudit oleh akuntan publik, perlu
diatur antara lain mengenai persyaratan akuntan publik yang dapat mengaudit,
ruang lingkup audit dan komunikasi dengan Bank Indonesia.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6 …
-3-
Pasal 6
Ayat (1)
Contoh:
Laporan Tahunan 2006 yang wajib diaudit dinyatakan terlambat
disampaikan apabila disampaikan dalam kurun waktu 1 Mei sampai
dengan 31 Mei 2007.
Ayat (2)
Contoh:
Laporan Tahunan 2006 yang wajib diaudit dinyatakan tidak
disampaikan apabila disampaikan setelah tanggal 31 Mei 2007.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan surat kabar lokal adalah surat kabar yang
mempunyai peredaran di wilayah kedudukan BPR.
Papan pengumuman diletakkan pada tempat yang mudah dilihat
dan dibaca.
Dalam …
-4-
Dalam hal pengumuman dilakukan dengan cara menempelkan pada
papan pengumuman, pengumuman dimaksud tetap dilakukan
sampai dengan
berikutnya.
pengumuman Laporan Keuangan
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 9
Ayat (1)
Contoh:
Untuk Laporan Keuangan Publikasi bulan Maret 2007, BPR
dinyatakan terlambat mengumumkan Laporan Keuangan Publikasi
jika diumumkan setelah tanggal 30 April sampai dengan 31 Mei
2007.
Ayat (2)
Contoh:
Untuk Laporan Keuangan Publikasi bulan Maret 2007, BPR
dinyatakan tidak mengumumkan Laporan Keuangan Publikasi jika
diumumkan setelah tanggal 31 Mei 2007.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 10 …
Publikasi
-5-
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Ayat (1)
Contoh:
Laporan Keuangan Publikasi bulan Maret 2007 wajib diumumkan
paling lambat tanggal 30 April 2007.
Selanjutnya, BPR wajib menyampaikan guntingan surat kabar atau
fotokopi Laporan Keuangan Publikasi dan rekaman data Laporan
Publikasi paling lambat tanggal 14 Mei 2007.
Ayat (2)
Termasuk dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku tentang
Laporan Bulanan BPR adalah kewajiban BPR untuk
menyampaikan Laporan Bulanan secara on-line kecuali bagi BPR
yang memenuhi kriteria tertentu untuk dikecualikan menyampaikan
Laporan Bulanan secara on-line
Pasal 12
Ayat (1)
Contoh:
Untuk Laporan Keuangan Publikasi bulan Maret 2007, BPR
dinyatakan terlambat menyampaikan guntingan surat kabar atau
fotokopi …
-6-
fotokopi Laporan Keuangan Publikasi dan/atau rekaman data
Laporan Keuangan Publikasi, jika disampaikan setelah tanggal 14
Mei sampai dengan tanggal 14 Juni 2007.
Ayat (2)
Contoh:
Untuk Laporan Keuangan Publikasi bulan Maret 2007, BPR
dinyatakan tidak menyampaikan guntingan surat kabar atau
fotokopi Laporan Keuangan Publikasi dan/atau rekaman data
Laporan Keuangan Publikasi, jika disampaikan setelah tanggal 14
Juni 2007.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 13
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan keterkaitan adalah keterkaitan kepemilikan,
kepengurusan dan/atau keuangan sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan Bank Indonesia tentang Batas Maksimum Pemberian
Kredit BPR.
Ayat (3) …
-7-
Ayat (3)
Pengaturan ini dimaksudkan agar terdapat penilaian dari pihak
yang berbeda dalam rangka meningkatkan independensi profesi
Akuntan Publik.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 14
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c …
-8-
Huruf c
Pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa adalah
pihak-pihak
sebagaimana dimaksud dalam Pernyataan
Standar Akuntansi Keuangan.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Pengujian terhadap keandalan laporan termasuk penilaian
Akuntan Publik mengenai laporan yang disampaikan ke
Bank Indonesia telah disusun dan sesuai dengan data yang
ada di BPR.
Laporan sebagaimana dimaksud dalam huruf ini termasuk,
laporan bulanan BPR dan laporan batas maksimum
pemberian kredit.
Huruf h
Cukup jelas.
Pasal 15 …
-9-
Pasal 15
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “keberatan” pada ayat ini, apabila selama
penugasan audit Bank Indonesia memiliki informasi tentang
Akuntan Publik yang bersangkutan yang mempengaruhi kelancaran
pelaksanaan tugasnya, seperti track record yang tidak baik dan/atau
memiliki keterkaitan dengan BPR.
Ayat (2)
Pengaturan ini dimaksudkan untuk melindungi integritas keuangan
BPR dalam rangka pengawasan oleh Bank Indonesia.
Pasal 16
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan keadaan dan/atau perkiraan yang dapat
membahayakan kelangsungan usaha BPR, antara lain:
a. kekurangan kewajiban penyediaan modal minimum;
b. kekurangan pembentukan penyisihan penghapusan
aktiva
produktif yang material;
c. pelanggaran batas maksimum pemberian kredit;
d. kecurangan (fraud) yang bernilai material.
Huruf c …
-10-
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Ayat (1)
Dalam hal materi kesalahan yang sama telah dikenakan sanksi
dalam Laporan Keuangan Publikasi maka BPR tidak dikenakan
sanksi dalam ayat ini.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22 …
-11-
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan keadaan memaksa (force majeure) adalah
keadaan yang secara nyata-nyata menyebabkan BPR tidak dapat
mengumumkan dan/atau menyampaikan laporan, antara lain
kebakaran, kerusuhan massa, perang, sabotase, serta bencana alam
seperti gempa bumi dan banjir, yang dibenarkan oleh penguasa atau
pejabat dari instansi terkait di daerah setempat.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 27 …
-12-
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4646
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 8/20/PBI/2006 </reg_id>
<reg_title> TRANSPARANSI KONDISI KEUANGAN BANK PERKREDITAN RAKYAT </reg_title>
<set_date> 5 Oktober 2006 </set_date>
<effective_date> sejak Laporan Keuangan Publikasi bulan Desember 2006 dan Laporan Tahunan tahun 2006. </effective_date>
<replaced_reg> '27/119/KEP/DIR|SKDIR-BI/1995', '27/5/UPPB|SE-BI/1995' </replaced_reg>
<related_reg> '23/UU/1999', '3/UU/2004', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB VI' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 15/17/ PBI/ 2013
TENTANG
TRANSAKSI SWAP LINDUNG NILAI KEPADA BANK INDONESIA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang :
a. bahwa tujuan Bank Indonesia adalah mencapai dan
memelihara kestabilan nilai Rupiah;
b. bahwa kestabilan nilai Rupiah yang salah satunya
dipengaruhi oleh kestabilan nilai tukar Rupiah
memerlukan dukungan pasar keuangan yang dalam
dan sehat dengan tersedianya likuiditas di pasar
keuangan domestik antara lain melalui aktivitas lindung
nilai dalam upaya untuk memitigasi risiko pergerakan
nilai tukar Rupiah;
c. bahwa dalam rangka mendorong pendalaman pasar
keuangan, Bank Indonesia mengembangkan aktivitas
lindung nilai yang terkait dengan kegiatan ekonomi;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu
mengatur kembali Peraturan Bank Indonesia tentang
Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia;
Mengingat :
1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah
beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor
6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008
tentang …
- 2 -
tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor
23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi
Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4962);
2. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu
Lintas Devisa Dan Sistem Nilai Tukar (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 67, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3844);
M E M U T U S K A N:
Menetapkan :
PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG TRANSAKSI
SWAP LINDUNG NILAI KEPADA BANK INDONESIA.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Bank adalah bank umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 termasuk kantor cabang
bank asing di Indonesia, namun tidak termasuk kantor bank berbadan
hukum Indonesia yang beroperasi di luar negeri.
2. Transaksi Swap adalah transaksi pertukaran dua valuta melalui
pembelian atau penjualan tunai (spot) dengan penjualan atau pembelian
kembali secara berjangka yang dilakukan secara simultan dengan Bank
yang sama dan pada tingkat premi atau diskon dan kurs yang dibuat dan
disepakati pada tanggal transaksi dilakukan.
3. Transaksi Swap Beli Bank kepada Bank Indonesia adalah transaksi
pertukaran dua valuta melalui penjualan tunai (spot) dengan pembelian
kembali …
- 3 -
kembali secara berjangka yang dilakukan secara simultan dengan Bank
Indonesia dan pada tingkat premi atau diskon dan kurs yang dibuat dan
disepakati pada tanggal transaksi dilakukan.
4. Lindung Nilai adalah cara atau teknik untuk mengurangi risiko yang
timbul maupun yang diperkirakan akan timbul akibat adanya fluktuasi
harga di pasar keuangan.
5. Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia adalah Transaksi
Swap Beli Bank dalam valuta asing terhadap Rupiah, dalam rangka
Lindung Nilai yang dilakukan antara Bank dengan Bank Indonesia.
6. Underlying Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia yang
selanjutnya disebut Underlying Transaksi adalah kegiatan yang mendasari
Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia.
7. Pinjaman Luar Negeri adalah kewajiban Penduduk kepada bukan
Penduduk dalam valuta asing.
8. Penduduk adalah orang, badan hukum, atau badan lainnya yang
berdomisili atau berencana berdomisili di Indonesia sekurang-kurangnya 1
(satu) tahun, termasuk perwakilan dan staf diplomatik Republik Indonesia
di luar negeri.
9. Investasi Langsung di Indonesia yang selanjutnya disebut Investasi
Langsung adalah investasi jangka panjang secara langsung, yang tidak
melalui pasar modal, dilakukan oleh investor asing untuk melakukan
kegiatan usaha di wilayah Republik Indonesia.
10. Kontrak Lindung Nilai adalah informasi dari Bank yang disampaikan
kepada Bank Indonesia berisi rencana jangka waktu dan jumlah
Underlying Transaksi yang digunakan sebagai dasar Transaksi Swap
Lindung Nilai kepada Bank Indonesia, melalui media komunikasi yang
ditetapkan oleh Bank Indonesia.
BAB II
TRANSAKSI SWAP LINDUNG NILAI KEPADA BANK INDONESIA
Pasal 2
(1) Bank dapat melakukan Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank
Indonesia.
(2) Transaksi …
- 4 -
(2) Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. dilakukan berdasarkan Underlying Transaksi yang dimiliki oleh Bank
atau nasabah;
b. jangka waktu Underlying Transaksi sama dengan atau lebih panjang
dari jangka waktu Kontrak Lindung Nilai Bank kepada Bank Indonesia;
dan
c. nilai nominal Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia
paling banyak sebesar nilai nominal Underlying Transaksi.
(3) Dalam hal Underlying Transaksi dimiliki oleh Bank sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), ruang lingkup Underlying Transaksi meliputi Pinjaman Luar
Negeri Bank dalam bentuk perjanjian kredit dan/atau penerbitan surat
utang.
(4) Dalam hal Underlying Transaksi dimiliki oleh nasabah sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), ruang lingkup Underlying Transaksi meliputi
transaksi swap jual antara Bank dengan nasabah yang terkait dengan
lindung nilai atas:
a. Pinjaman Luar Negeri dalam bentuk perjanjian kredit dan/atau
penerbitan surat utang;
b. Investasi Langsung;
c. Devisa Hasil Ekspor;
d. investasi pada infrastruktur pembangunan sarana umum dan produksi;
e. investasi pada surat berharga yang diterbitkan oleh Pemerintah
Republik Indonesia; dan/atau
f. investasi pada kegiatan ekonomi lainnya.
Pasal 3
Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) harus termasuk dalam
klasifikasi Bank yang melakukan kegiatan dalam valuta asing dengan
Peringkat Komposit paling rendah 3 (tiga).
Pasal …
- 5 -
Pasal 4
(1) Bank dapat menyampaikan Kontrak Lindung Nilai dengan jangka waktu
paling lama 3 (tiga) tahun.
(2) Pelaksanaan Kontrak Lindung Nilai sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan melalui Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia
dengan jangka waktu 3 (tiga) bulan, 6 (enam) bulan, atau 12 (dua belas)
bulan.
(3) Penyampaian Kontrak Lindung Nilai kepada Bank Indonesia dilakukan
bersamaan dengan Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia.
Pasal 5
Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia ditetapkan paling
sedikit sebesar USD10,000,000.00 (sepuluh juta dolar Amerika Serikat) dan
paling banyak sebesar nilai Underlying Transaksi, dengan kelipatan
USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika Serikat).
Pasal 6
(1) Bank dapat mengajukan perpanjangan Transaksi Swap Lindung Nilai
kepada Bank Indonesia.
(2) Bank Indonesia menerima perpanjangan Transaksi Swap Lindung Nilai
kepada Bank Indonesia yang diajukan oleh Bank.
(3) Jangka waktu perpanjangan Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank
Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah 3 (tiga) bulan, 6
(enam) bulan, atau 12 (dua belas) bulan.
(4) Bank wajib memenuhi persyaratan perpanjangan Transaksi Swap Lindung
Nilai kepada Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang
diatur sebagai berikut:
a. menggunakan Kontrak Lindung Nilai yang masih berlaku;
b. menggunakan jenis Underlying Transaksi yang sama sesuai dengan
nomor referensi yang tercantum dalam Kontrak Lindung Nilai;
c. dalam hal jenis Underlying Transaksi sebagaimana dimaksud pada
huruf b dimiliki oleh Bank maka nilai nominal perpanjangan Transaksi
Swap …
- 6 -
Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia paling banyak sebesar nilai
outstanding Pinjaman Luar Negeri Bank; dan
d. jangka waktu perpanjangan Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank
Indonesia paling lama sebesar sisa jangka waktu Kontrak Lindung Nilai.
(5) Setelmen perpanjangan Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank
Indonesia dapat dilakukan secara netting.
Pasal 7
Bank dilarang menggunakan Underlying Transaksi yang sama untuk lebih dari
satu Kontrak Lindung Nilai dan satu Transaksi Swap Lindung Nilai kepada
Bank Indonesia.
Pasal 8
Bank Indonesia menetapkan dan mengumumkan tingkat premi atau diskon
dari Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia.
Pasal 9
(1) Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia dilakukan dalam
valuta Dolar Amerika Serikat terhadap Rupiah.
(2) Kurs spot Dolar Amerika Serikat terhadap Rupiah yang digunakan dalam
Transaksi Swap Lindung Nilai Kepada Bank Indonesia adalah kurs Jakarta
Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR).
BAB III
PELAKSANAAN TRANSAKSI
Pasal 10
(1) Bank Indonesia mengumumkan Transaksi Swap Lindung Nilai kepada
Bank Indonesia pada setiap hari kerja melalui sarana informasi yang
ditetapkan oleh Bank Indonesia.
(2) Bank Indonesia dapat meniadakan Transaksi Swap Lindung Nilai kepada
Bank Indonesia, kecuali dalam rangka perpanjangan Transaksi Swap
Lindung Nilai kepada Bank Indonesia.
Pasal …
- 7 -
Pasal 11
Pelaksanaan Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia diatur
sebagai berikut:
a. Bank Indonesia mengumumkan tingkat premi atau diskon Transaksi Swap
Lindung Nilai pada hari pelaksanaan Transaksi Swap Lindung Nilai,
melalui sarana informasi yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
b. Bank dapat melakukan Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank
Indonesia melalui media komunikasi yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
c. Pada setiap perpanjangan Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank
Indonesia, Bank wajib mencantumkan pada deal conversation nomor
referensi Kontrak Lindung Nilai yang sesuai.
BAB IV
DOKUMEN TRANSAKSI
Pasal 12
(1) Bank wajib bertanggung jawab atas kelengkapan dokumen asli Underlying
Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia dan dokumen
fotokopi Underlying Transaksi swap jual antara Bank dengan nasabah.
(2) Dalam hal Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia
didasarkan atas Underlying Transaksi yang dimiliki oleh nasabah maka
dokumen Underlying Transaksi berupa kontrak swap jual antara Bank
dengan nasabah.
(3) Dalam hal Transaksi Swap Lindung Nilai Kepada Bank Indonesia
didasarkan atas Underlying Transaksi yang dimiliki oleh Bank maka
dokumen Underlying Transaksi berupa dokumen Pinjaman Luar Negeri.
BAB …
- 8 -
BAB V
SETELMEN TRANSAKSI
Pasal 13
(1) Bank bertanggung jawab atas setelmen Transaksi Swap Lindung Nilai
kepada Bank Indonesia.
(2) Bank wajib menyerahkan dana Dolar Amerika Serikat pada first leg dari
Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia pada tanggal valuta.
(3) Bank wajib menyediakan dana Rupiah pada tanggal valuta di rekening giro
Bank pada Bank Indonesia pada second leg dari Transaksi Swap Lindung
Nilai kepada Bank Indonesia.
Pasal 14
Setelmen secara netting sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (5) untuk
perpanjangan Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia, meliputi:
a. netting untuk nilai nominal yang sama pada setiap perpanjangan;
b. netting untuk nilai nominal yang lebih kecil pada setiap perpanjangan;
atau
c. netting untuk nilai nominal yang sesuai dengan nilai outstanding Pinjaman
Luar Negeri Bank pada setiap periode perpanjangan.
BAB VI
SANKSI
Pasal 15
(1) Setiap pelanggaran Bank pada setiap Transaksi Swap Lindung Nilai kepada
Bank Indonesia terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (2), Pasal 6 ayat (4), Pasal 7, Pasal 11 huruf c, Pasal 12 ayat (1),
dikenakan sanksi:
a. teguran tertulis; dan/atau
b. kewajiban membayar sebesar 1‰ (satu perseribu) dari nilai Transaksi
Swap Lindung Nilai Kepada Bank Indonesia dalam denominasi Rupiah
dengan menggunakan kurs JISDOR pada tanggal transaksi dan paling
banyak …
- 9 -
banyak sebesar Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) per Transaksi
Swap Lindung Nilai Kepada Bank Indonesia.
(2) Bank yang tidak memenuhi kewajiban setelmen transaksi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) dan ayat (3) dikenakan sanksi:
a. teguran tertulis; dan
b. kewajiban membayar yang dihitung atas dasar :
1. rata-rata suku bunga Fed Fund yang berlaku selama periode
keterlambatan ditambah 200 (dua ratus) basis point dikalikan
nominal transaksi dikalikan hari keterlambatan dibagi dengan 360
(tiga ratus enam puluh) untuk penyelesaian kewajiban pembayaran
dalam valuta Dolar Amerika Serikat; dan
2. suku bunga kebijakan Bank Indonesia (BI rate) yang berlaku
ditambah 200 (dua ratus) basis point dikalikan nominal transaksi
dikalikan hari keterlambatan dibagi dengan 360 (tiga ratus enam
puluh) untuk penyelesaian kewajiban pembayaran dalam Rupiah.
(3) Penyelesaian sanksi kewajiban membayar sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf b dilakukan melalui pendebetan rekening giro Rupiah Bank
yang bersangkutan pada Bank Indonesia.
(4) Penyelesaian sanksi kewajiban membayar sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) huruf b dilakukan melalui pendebetan rekening giro valuta asing
atau Rupiah Bank yang bersangkutan pada Bank Indonesia.
Pasal 16
Dalam hal ditemukan pelanggaran atas Pasal 2 ayat (2), Pasal 6 ayat (4), Pasal
7, dan Pasal 12 ayat (1) pada periode Kontrak Lindung Nilai maka Transaksi
Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia tidak dapat diperpanjang.
BAB VII
PENUTUP
Pasal 17
Ketentuan pelaksanaan Peraturan Bank Indonesia ini diatur lebih lanjut
dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal …
- 10 -
Pasal 18
Pada saat Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku maka Peraturan Bank
Indonesia Nomor 7/36/PBI/2005 tentang Transaksi Swap Lindung Nilai
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 91, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4537) dicabut dan dinyatakan
tidak berlaku.
Pasal 19
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 3 Februari 2014.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan
Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 24 Desember 2013
GUBERNUR BANK INDONESIA,
AGUS D. W. MARTOWARDOJO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 24 Desember 2013
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
AMIR SYAMSUDIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2013 NOMOR 237
DPM
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 15/17/ PBI/ 2013
TENTANG
TRANSAKSI SWAP LINDUNG NILAI KEPADA BANK INDONESIA
I. UMUM
Sistem keuangan internasional yang semakin kompetitif dan
terintegrasi telah membentuk suatu perekonomian global yang
memudahkan pergerakan arus modal yang berpengaruh terhadap kondisi
likuiditas dan pergerakan nilai tukar Rupiah. Sebagai bagian dari
pengelolaan likuiditas dan upaya untuk meminimalkan risiko nilai tukar
perlu dikembangkan aktivitas Lindung Nilai antara lain melalui
penggunaan instrumen swap.
Dalam kondisi masih terbatasnya instrumen swap di pasar keuangan
dengan jangka waktu menengah panjang, Bank Indonesia menyediakan
instrumen swap Lindung Nilai bagi pelaku pasar domestik. Hal tersebut
merupakan bagian dari upaya pendalaman pasar keuangan yang
selanjutnya diharapkan dapat menjaga stabilitas harga dan meningkatkan
kegiatan investasi ekonomi di Indonesia.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat …
- 2 -
Ayat (4)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Yang dimaksud dengan investasi pada kegiatan
ekonomi lainnya antara lain investasi untuk modal kerja
pada perusahaan di Indonesia.
Pasal 3
Peringkat Komposit mengacu kepada ketentuan mengenai sistem
penilaian tingkat kesehatan Bank yang berlaku.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal …
- 3 -
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Bank Indonesia akan mengumumkan ketiadaan Transaksi
Swap Lindung Nilai Kepada Bank Indonesia 3 (tiga) hari kerja
sebelum pelaksanaan transaksi antara lain melalui sarana
informasi yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Pasal 11
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Bank Indonesia memberikan nomor referensi Kontrak Lindung
Nilai kepada Bank setelah Bank Indonesia menerima Kontrak
Lindung Nilai dari Bank. Nomor referensi Kontrak Lindung
Nilai digunakan untuk mengidentifikasikan Transaksi Swap
Lindung Nilai kepada Bank Indonesia dan kaitannya dengan
dokumen Underlying Transaksi yang ditatausahakan oleh
Bank maupun sebagai dasar bagi perpanjangan Transaksi
Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia.
Pasal 12
Cukup Jelas.
Pasal …
- 4 -
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5480
DPM
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 15/17/PBI/2013 </reg_id>
<reg_title> TRANSAKSI SWAP LINDUNG NILAI KEPADA BANK INDONESIA </reg_title>
<set_date> 24 Desember 2013 </set_date>
<effective_date> 3 Februari 2014 </effective_date>
<issued_date> 24 Desember 2013 </issued_date>
<replaced_reg> '7/36/PBI/2005' </replaced_reg>
<related_reg> '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '24/UU/1999' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB VI' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 10/ 20 /PBI/2008
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR
7/1/PBI/2005 TENTANG PINJAMAN LUAR NEGERI BANK
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa dengan memperhatikan kondisi perekonomian
global yang berdampak terhadap kondisi pasar keuangan
domestik;
b. bahwa berbagai perkembangan di pasar keuangan domestik
tersebut perlu disikapi secara tepat oleh semua pihak agar
tetap memberikan suasana kondusif bagi perekenomian;
c. bahwa ketentuan tentang pinjaman luar negeri perlu
disesuaikan dengan perkembangan perbankan dan pasar
keuangan domestik dengan tetap memperhatikan prinsip
kehati-hatian;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, huruf b dan huruf c, dipandang perlu untuk
melakukan perubahan atas Peraturan Bank Indonesia
tentang Pinjaman Luar Negeri Bank dalam suatu Peraturan
Bank Indonesia;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992
Nomor…
- 2 -
Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790);
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357);
3. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu
Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 67, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3844);
M E M U T U S K A N:
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK
INDONESIA NOMOR 7/1/PBI/2005 TENTANG
PINJAMAN LUAR NEGERI BANK.
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/1/PBI/2005
tentang Pinjaman Luar Negeri Bank (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2005 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4467)…
- 3 -
4467) diubah sebagai berikut :
1. Pasal 4 dihapus.
2. Pasal 5 dihapus.
3. Pasal 14 ayat (1) dihapus sehingga Pasal 14 berbunyi sebagai berikut :
Pasal 14
(1) Dihapus.
(2) Bank yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6
ayat (2) dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar 1% (satu
per seratus) per tahun dari jumlah kekurangan per hari.
(3) Bank yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8
ayat (1) dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar 2%0
per seribu) dari jumlah pinjaman yang diterima.
(dua
(4) Bank yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8
ayat (2) dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar 2%0
(dua
per seribu) dari kelebihan jumlah yang telah disetujui oleh Bank
Indonesia.
(5) Bank yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12
ayat (1) dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp100.000,00
(seratus ribu rupiah) per hari kerja dan setinggi-tingginya
Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah).
(6) Apabila menurut Bank Indonesia terdapat perubahan yang mendasar
berkaitan dengan terms and conditions sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 12 ayat (2) dan Bank tidak dapat memberikan penjelasan yang
memadai, maka Bank Indonesia dapat mengenakan sanksi administratif
berupa :
a. surat teguran; dan/atau
b. larangan melakukan PLN untuk jangka waktu tertentu.
Pasal II…
- 4 -
Pasal II
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan dan berlaku
surut sejak tanggal 13 Oktober 2008.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan
Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 14 Oktober 2008
GUBERNUR BANK INDONESIA,
BOEDIONO
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 14 Oktober 2008
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA
ANDI MATTALATTA
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2008 NOMOR 146
DPNP/DInt
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 10/ 20 /PBI/2008
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 7/1/PBI/2005 TENTANG PINJAMAN LUAR NEGERI BANK
UMUM
Kondisi perekonomian global belakangan ini yang berdampak terhadap
kondisi pasar keuangan domestik, perlu disikapi secara tepat oleh semua pihak
agar tetap memberikan suasana kondusif bagi perekonomian nasional.
Oleh karena itu, ketentuan tentang pinjaman luar negeri perlu disesuaikan
dengan perkembangan perbankan dan pasar keuangan domestik dengan tetap
memperhatikan prinsip kehati-hatian.
Untuk itu, dalam upaya menjaga stabilitas nilai tukar secara lebih efisien
dan memberikan kelonggaran bagi perbankan dalam menerima PLN Jangka
Pendeknya untuk kepentingan likuiditas, maka ketentuan batasan saldo harian
PLN Jangka Pendek perlu disesuaikan.
PASAL DEMI PASAL
Pasal I
Angka 1
Pasal 4
Dihapus
Angka 2
Pasal 5 …
- 2 -
Pasal 5
Dihapus
Angka 3
Pasal 14
Cukup jelas
Pasal II
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4905
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 10/20/PBI/2008 </reg_id>
<reg_title> PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 7/1/PBI/2005 TENTANG PINJAMAN LUAR NEGERI BANK </reg_title>
<set_date> 14 Oktober 2008 </set_date>
<effective_date> 13 Oktober 2008 </effective_date>
<issued_date> 14 Oktober 2008 </issued_date>
<changed_reg> '7/1/PBI/2005' </changed_reg>
<related_reg> '23/UU/1999', '3/UU/2004', '24/UU/1999', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg>
<penalty_list> 'Pasal I Angka 3 Pasal 14 Ayat 2', 'Pasal I Angka 3 Pasal 14 Ayat 3', 'Pasal I Angka 3 Pasal 14 Ayat 4', 'Pasal I Angka 3 Pasal 14 Ayat 5', 'Pasal I Angka 3 Pasal 14 Ayat 6' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 8/6/PBI/2006
TENTANG
PENERAPAN MANAJEMEN RISIKO
SECARA KONSOLIDASI BAGI BANK YANG MELAKUKAN
PENGENDALIAN TERHADAP PERUSAHAAN ANAK
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang: a. bahwa kelangsungan usaha bank dipengaruhi oleh eksposur
risiko yang timbul baik secara langsung dari kegiatan
usahanya maupun secara tidak langsung dari kegiatan usaha
perusahaan anak;
b. bahwa untuk mengelola eksposur risiko tersebut bank wajib
menerapkan manajemen risiko secara konsolidasi;
dalam menerapkan manajemen risiko
c.
bahwa
secara
konsolidasi, bank harus dapat mengidentifikasi, mengukur,
memantau, dan mengendalikan risiko yang timbul dari
kegiatan usaha bank dan perusahaan anak;
d.
bahwa
dalam menerapkan manajemen risiko
secara
konsolidasi bank harus pula memastikan prinsip kehati-
hatian yang diterapkan pada kegiatan usaha bank diterapkan
pula pada perusahaan anak;
e. bahwa penerapan manajemen risiko secara konsolidasi bagi
bank yang melakukan pengendalian terhadap perusahaan
anak …
- 2 -
anak merupakan salah satu prinsip dari standar
internasional;
f. bahwa sehubungan dengan hal-hal sebagaimana dimaksud
pada huruf a sampai dengan huruf e, maka dipandang perlu
untuk mengatur penerapan manajemen risiko secara
konsolidasi bagi bank yang melakukan pengendalian
terhadap perusahaan anak dalam suatu Peraturan Bank
Indonesia;
Mengingat:
1. Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor
31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790);
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357);
MEMUTUSKAN …
- 3 -
M E M U T U S K A N:
Menetapkan:
PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG
PENERAPAN MANAJEMEN RISIKO SECARA
KONSOLIDASI BAGI BANK YANG MELAKUKAN
PENGENDALIAN TERHADAP PERUSAHAAN ANAK.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, termasuk kantor cabang bank
asing.
2.
Perusahaan Anak adalah badan hukum atau perusahaan yang dimiliki dan
atau dikendalikan oleh Bank secara langsung maupun tidak langsung, baik
di dalam maupun di luar negeri, yang memenuhi kriteria sebagaimana
diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini.
3.
Pengendalian adalah Pengendalian sebagaimana diatur dalam ketentuan
Bank Indonesia yang berlaku tentang Transparansi Kondisi Keuangan
Bank.
4. Kewajiban Penyediaan Modal Minimum yang untuk selanjutnya disebut
KPMM adalah KPMM sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank
Indonesia yang berlaku tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum
Bank …
- 4 -
Bank Umum dan Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum
Berdasarkan Prinsip Syariah.
5. Batas Maksimum Pemberian Kredit yang untuk selanjutnya disebut BMPK
adalah BMPK sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang
berlaku tentang Batas Maksimum Pemberian Kredit Bank Umum.
Pasal 2
(1) Bank yang memiliki dan atau melakukan Pengendalian terhadap
Perusahaan Anak wajib melakukan penerapan manajemen risiko secara
konsolidasi.
(2) Penerapan manajemen risiko secara konsolidasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) tidak berlaku bagi Perusahaan Anak yang dimiliki dan atau
dikendalikan oleh Bank karena adanya penyertaan modal sementara dalam
rangka restrukturisasi kredit.
Pasal 3
Perusahaan Anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) adalah
perusahaan yang melakukan kegiatan usaha di bidang keuangan, yang
terdiri dari:
a.
b.
Perusahaan Subsidiari (subsidiary company) yaitu Perusahaan Anak dengan
kepemilikan Bank lebih dari 50% (lima puluh perseratus);
Perusahaan Partisipasi
dengan kepemilikan Bank 50% (lima puluh perseratus) atau kurang, namun
Bank memiliki Pengendalian terhadap perusahaan;
(participation company) adalah Perusahaan Anak
c. Perusahaan …
- 5 -
c.
Perusahaan dengan kepemilikan
Bank
lebih dari 20% (dua puluh
perseratus) sampai dengan 50% (lima puluh perseratus) yang memenuhi
persyaratan yaitu:
i. kepemilikan Bank dan para pihak lainnya pada Perusahaan Anak adalah
masing-masing sama besar; dan
ii. masing-masing pemilik melakukan Pengendalian
terhadap Perusahaan Anak;
d.
secara bersama
Entitas lain yang berdasarkan Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku
wajib dikonsolidasikan.
Pasal 4
Dalam hal Bank memiliki dan atau mengendalikan Perusahaan Anak yang
melakukan kegiatan usaha asuransi, maka:
a.
penerapan manajemen risiko secara konsolidasi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (1) dilakukan melalui penilaian dan penyampaian
laporan penerapan manajemen risiko pada perusahaan asuransi secara
tersendiri;
b.
ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal
10, Pasal 12, Pasal 13, Pasal 16 dan Pasal 18 tidak diterapkan.
BAB II
SISTEM INFORMASI DAN PELAPORAN
Pasal 5
(1) Bank wajib memiliki
sistem yang dapat mengidentifikasi, mengukur,
memantau dan mengendalikan risiko usaha dari Bank dan Perusahaan Anak
agar dapat menerapkan manajemen risiko secara konsolidasi dengan efektif.
(2) Sistem …
- 6 -
(2) Sistem yang wajib dimiliki Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
paling kurang mencakup:
a. Sistem informasi akuntansi; dan
b. Sistem informasi manajemen risiko.
BAB III
PERHITUNGAN KPMM
Pasal 6
Bank wajib memenuhi ketentuan KPMM baik untuk Bank secara individual
maupun untuk Bank dan Perusahaan Anak secara konsolidasi.
Pasal 7
Bank wajib melakukan perhitungan aktiva tertimbang menurut risiko untuk
eksposur risiko Perusahaan Anak sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia yang
berlaku.
BAB IV
PENILAIAN KUALITAS AKTIVA
Pasal 8
Untuk kepentingan penyusunan laporan keuangan konsolidasi dan perhitungan
KPMM, Bank wajib melakukan penilaian kualitas aktiva dan membentuk
penyisihan penghapusan aktiva untuk seluruh aktiva Perusahaan Anak paling
kurang sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia yang berlaku.
BAB V …
- 7 -
BAB V
PERHITUNGAN BMPK
Pasal 9
(1) Bank wajib memenuhi ketentuan BMPK baik untuk penyediaan dana Bank
secara individual maupun untuk penyediaan dana Bank dan Perusahaan
Anak secara konsolidasi.
(2) Dalam perhitungan BMPK untuk penyediaan dana Bank dan Perusahaan
Anak secara konsolidasi, maka:
a. penyediaan dana dari Perusahaan Anak kepada debitur Bank wajib
diperhitungkan sebagai satu kesatuan dengan penyediaan dana Bank;
b. komponen modal menggunakan modal secara konsolidasi.
Pasal 10
Penyertaan Bank pada Perusahaan Anak dimana Bank melakukan penerapan
manajemen risiko secara konsolidasi, tidak diperhitungkan sebagai penyediaan
dana dalam perhitungan BMPK.
BAB VI
PENGELOLAAN PERUSAHAAN ANAK
Pasal 11
(1) Bank wajib memastikan pengurus yang mengelola Perusahaan Anak
memiliki integritas yang baik.
(2) Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) tidak berlaku untuk
pengurus yang mengelola Perusahaan Anak sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 huruf c.
(3) Dalam …
- 8 -
(3) Dalam rangka memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Bank wajib menyampaikan daftar calon pengurus yang mengelola
Perusahaan Anak yang diusulkan dalam Rapat Umum Pemegang Saham
(RUPS) kepada Bank Indonesia.
(4) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib disampaikan paling
lambat 10 (sepuluh) hari kerja sebelum pelaksanaan RUPS.
(5) Selain memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Bank
wajib menyampaikan daftar nama yang menjabat sebagai pengurus yang
mengelola Perusahaan Anak pada akhir bulan Desember 2006.
BAB VII
PENILAIAN TINGKAT KESEHATAN DAN PROFIL RISIKO BANK
Pasal 12
(1) Bank wajib melakukan penilaian tingkat kesehatan baik secara individual
maupun secara konsolidasi.
(2) Dalam hal terdapat perbedaan karakteristik usaha Perusahaan Anak dengan
Bank, maka komponen-komponen tertentu
dalam
penilaian tingkat
kesehatan Bank dapat disesuaikan untuk penilaian tingkat kesehatan secara
konsolidasi.
Pasal 13
(1) Bank wajib menyusun dan menyampaikan laporan profil risiko baik secara
individual maupun secara konsolidasi.
(2) Dalam hal terdapat perbedaan karakteristik usaha Perusahaan Anak dengan
Bank maka parameter-parameter pengukuran risiko tertentu dalam
penyusunan profil risiko Bank dapat disesuaikan untuk penyusunan profil
risiko secara konsolidasi.
BAB VIII …
- 9 -
BAB VIII
TINDAK LANJUT PENGAWASAN DAN PENETAPAN STATUS BANK
Pasal 14
Ketentuan Bank Indonesia yang berlaku tentang Tindak Lanjut Pengawasan dan
Penetapan Status Bank yang diterapkan bagi Bank secara individual diterapkan
juga bagi Bank secara konsolidasi.
Pasal 15
Dalam penerapan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14, bagi Bank
yang secara konsolidasi telah memenuhi kriteria untuk dapat dicabut izin
usahanya maka dalam pelaksanaannya Bank Indonesia akan berkoordinasi
dengan otoritas pengawas terkait.
BAB IX
PELAPORAN
Pasal 16
(1) Bank wajib menyampaikan laporan keuangan Perusahaan Anak secara
online sesuai format dan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
(2) Pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengacu pada ketentuan
Bank Indonesia yang berlaku tentang Laporan Bulanan Bank Umum atau
Laporan Berkala Bank Umum.
(3) Selama belum dimungkinkan pelaporan secara online sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) maka Bank wajib menyampaikan
laporan secara offline setiap triwulan untuk periode bulan Maret, Juni,
September dan Desember yang mencakup:
a. Laporan …
- 10 -
a. Laporan keuangan setiap Perusahaan Anak.
b. Laporan keuangan konsolidasi
c. Laporan perhitungan KPMM dan rincian aktiva tertimbang menurut
risiko secara konsolidasi.
d. Laporan perhitungan BMPK secara konsolidasi.
(4) Pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan paling lambat
pada tanggal 15 (lima belas) bulan kedua setelah berakhirnya bulan laporan
yang bersangkutan.
(5) Dalam hal tanggal 15 (lima belas) jatuh pada hari Sabtu/Minggu/Libur,
maka laporan disampaikan pada hari kerja sebelumnya.
(6) Laporan profil risiko secara konsolidasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal
13 dan laporan penilaian terhadap penerapan manajemen risiko pada
perusahaan asuransi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 wajib
disampaikan secara triwulanan untuk posisi bulan Maret, Juni, September
dan Desember.
(7) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) wajib disampaikan paling
lambat 30 (tiga puluh) hari setelah akhir bulan laporan.
(8) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat
(6) wajib
disampaikan oleh Bank kepada Bank Indonesia dengan alamat:
a. Direktorat Pengawasan Bank terkait, Jl. M.H. Thamrin No.2 Jakarta
10110, bagi Bank yang berkantor pusat di wilayah kerja kantor pusat
Bank Indonesia; atau
b. Kantor Bank Indonesia, bagi Bank yang berkantor pusat di luar wilayah
kerja kantor pusat Bank Indonesia.
BAB X …
- 11 -
BAB X
SANKSI
Pasal 17
(1) Bank yang tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal
2, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 11, Pasal 12, dan Pasal
13 dikenakan sanksi sesuai ketentuan terkait yang berlaku dan dapat
dikenakan sanksi administratif, antara lain berupa:
a. teguran tertulis;
b. pembekuan kegiatan usaha tertentu;
c. pencantuman pengurus dan atau pemegang saham Bank dalam daftar
orang yang terlarang menjadi pemegang saham dan pengurus Bank,
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 1998.
(2) Bank yang menyampaikan laporan setelah batas akhir waktu penyampaian
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (4) dan ayat (7) sampai dengan
14 (empat belas) hari kerja setelah batas akhir waktu tersebut, dikenakan
sanksi kewajiban membayar sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) per
hari kerja keterlambatan.
(3) Bank yang belum menyampaikan atau menyampaikan laporan setelah batas
akhir waktu penyampaian sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dikenakan
sanksi kewajiban membayar sebesar Rp50.000.000,00 (lima puluh juta
rupiah).
(4) Bank yang belum menyampaikan laporan setelah batas akhir waktu
penyampaian sebagaimana dimaksud pada ayat
menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16.
BAB XI …
(2), tetap diwajibkan
- 12 -
BAB XI
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 18
Peningkatan penyertaan Bank karena akumulasi laba Perusahaan Anak dimana
Bank melakukan penerapan manajemen risiko secara konsolidasi, tidak
diperhitungkan dalam batasan portofolio penyertaan Bank.
Pasal 19
Ketentuan lebih lanjut dari Peraturan Bank Indonesia ini akan diatur dalam Surat
Edaran Bank Indonesia.
BAB XII
PENUTUP
Pasal 20
(1) Kewajiban Bank untuk menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 11 ayat (3) dan Pasal 16 diberlakukan sejak pelaporan posisi
akhir bulan Desember 2006.
(2) Kewajiban Bank
untuk melakukan penilaian tingkat kesehatan dan
menyusun profil risiko secara konsolidasi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 12 dan Pasal 13 serta kewajiban pelaporan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 16 ayat (6), diberlakukan sejak pelaporan posisi akhir bulan
Desember 2008.
(3) Selain pemenuhan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
penerapan sanksi pemenuhan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 17 ayat (1) dan penerapan ketentuan dalam Pasal 10, Pasal 14, Pasal
15 dan Pasal 18, mulai diterapkan sejak laporan posisi akhir bulan
Desember 2007.
Pasal 21 …
- 13 -
Pasal 21
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 30 Januari 2006
GUBERNUR BANK INDONESIA,
BURHANUDDIN ABDULLAH
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2006 NOMOR 8
DPNP
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 8/6/PBI/2006
TENTANG
PENERAPAN MANAJEMEN RISIKO
SECARA KONSOLIDASI BAGI BANK YANG MELAKUKAN
PENGENDALIAN TERHADAP PERUSAHAAN ANAK
UMUM
Bank senantiasa dihadapkan pada risiko-risiko yang melekat dalam setiap
kegiatan usaha. Risiko-risiko yang melekat tersebut dapat berasal dari kegiatan
Bank itu sendiri maupun dari perusahaan yang terkait dengan Bank.
Sementara itu perkembangan transaksi keuangan dalam era globalisasi
menyebabkan semakin terintegrasinya produk dan jasa keuangan yang dilakukan
oleh Bank. Produk dan jasa keuangan yang semakin terintegrasi menyebabkan
eksposur risiko yang harus dihadapi bank menjadi semakin kompleks dan
meningkat.
yang
Menghadapi kondisi tersebut, Bank perlu memperhatikan seluruh risiko
dapat mempengaruhi kelangsungan usahanya. Risiko
yang
harus
diperhatikan mencakup seluruh risiko yang secara langsung maupun tidak
langsung dapat mempengaruhi kelangsungan usaha Bank, baik yang berasal dari
Perusahaan Anak maupun dari kelompok usahanya.
Sebagai …
- 2 -
Sebagai langkah awal untuk mengukur risiko secara lebih menyeluruh,
Bank diminta untuk menerapkan manajemen risiko secara konsolidasi pada
Perusahaan Anak yang dikendalikannya. Penerapan manajemen risiko pada
Perusahaan Anak juga dimaksudkan untuk meningkatkan daya saing perbankan
Indonesia di dunia internasional, mengingat hal ini merupakan salah satu
pemenuhan tingkat kepatuhan Bank terhadap standar internasional.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Ayat (1)
Penerapan manajemen risiko secara konsolidasi dilakukan dengan
mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang berlaku tentang
Penerapan Manajemen Risiko bagi Bank Umum, yang mencakup:
a. pengawasan aktif Dewan Komisaris dan Direksi;
b. kecukupan kebijakan, prosedur dan penetapan limit;
c. kecukupan proses identifikasi, pengukuran, pemantauan
pengendalian risiko serta sistem informasi manajemen risiko; dan
d. sistem pengendalian intern yang menyeluruh.
dan
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 3 …
- 3 -
Pasal 3
Termasuk dalam kegiatan usaha di bidang keuangan antara lain jasa
perbankan, sewa guna usaha, modal ventura, perusahaan efek, asuransi,
perusahaan pembiayaan serta lembaga kliring penyelesaian dan
penyimpanan.
huruf a
Cukup jelas.
huruf b
Cukup jelas.
huruf c
angka i
Cukup jelas.
angka ii
Yang dimaksud dengan Pengendalian secara bersama adalah
pengendalian bersama oleh para pemilik atas Perusahaan Anak
yang didasarkan pada perjanjian kontraktual.
Pengendalian bersama harus dibuktikan dengan adanya
kesepakatan atau komitmen secara tertulis dari para pemilik
untuk memberikan dukungan baik finansial maupun non
finansial sesuai kepemilikannya masing-masing.
huruf d
Cukup jelas.
Pasal 4 …
- 4 -
Pasal 4
Asuransi memiliki karakteristik risiko yang sangat berbeda dengan Bank
sehingga tidak diterapkan penilaian manajemen risiko secara konsolidasi
terutama untuk hal-hal yang bersifat kuantitatif.
Huruf a
Penilaian dilakukan dengan mengacu pada ketentuan dari otoritas
yang berwenang.
Huruf b
Cukup jelas.
Pasal 5
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Sistem informasi akuntansi antara lain meliputi sistem yang
dapat menghasilkan laporan keuangan, perhitungan KPMM,
penilaian kualitas aktiva dan pembentukan penyisihan
penghapusan aktiva, perhitungan BMPK yang menghitung
seluruh eksposur bank dan eksposur Perusahaan Anak secara
konsolidasi serta penilaian tingkat kesehatan secara konsolidasi.
Penyusunan laporan keuangan konsolidasi mengacu pada
Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku.
Huruf b …
- 5 -
Huruf b
Sistem informasi manajemen risiko mengacu pada ketentuan
Bank Indonesia yang berlaku tentang Penerapan Manajemen
Risiko bagi Bank Umum.
Pasal 6
Perhitungan KPMM secara konsolidasi dilakukan dengan menghitung
modal dan aktiva tertimbang menurut risiko dari laporan keuangan
konsolidasi.
Berdasarkan ketentuan dalam ayat ini, maka persentase KPMM untuk Bank
sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku tentang
KPMM Bank Umum dan KPMM Bank Umum Berdasarkan Prinsip
Syariah, juga diberlakukan secara konsolidasi.
Penyertaan pada perusahaan yang tidak diwajibkan untuk memenuhi
ketentuan KPMM secara konsolidasi, tetap diperhitungkan sebagai faktor
pengurang modal dalam perhitungan KPMM secara konsolidasi.
Untuk perhitungan KPMM Bank secara individual, penyertaan pada
Perusahaan Anak yang dikonsolidasikan tetap diperhitungkan sebagai
faktor pengurang modal sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank
Indonesia yang berlaku tentang KPMM Bank Umum dan KPMM Bank
Umum Berdasarkan Prinsip Syariah.
Pasal 7
Sebagai contoh, bagi Bank yang telah diwajibkan untuk menghitung
risiko pasar dan memiliki Perusahaan Anak berupa perusahaan efek, maka
perhitungan aktiva tertimbang menurut risiko secara konsolidasi untuk
risiko…
- 6 -
risiko pasar juga mencakup perhitungan risiko ekuitas (equity risk) dari
perusahaan efek tersebut.
Pasal 8
Ketentuan dalam ayat ini dimaksudkan agar laporan keuangan konsolidasi
dan perhitungan KPMM dapat dilakukan secara lebih tepat, sesuai dengan
risiko yang telah dapat diperkirakan (expected risk).
Pasal 9
Ayat (1)
Berdasarkan ketentuan dalam ayat ini, maka persentase BMPK untuk
Bank secara individual sebagaimana diatur dalam ketentuan yang
berlaku tentang Batas Maksimum Pemberian Kredit Bank Umum
juga diberlakukan secara konsolidasi.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Ayat (1)
Integritas yang baik antara lain dibuktikan dengan pengurus
Perusahaan Anak tidak berasal dari pihak-pihak yang terdapat dalam
Daftar Tidak Lulus Bank Indonesia atau Daftar Kredit Macet.
Yang …
- 7 -
Yang dimaksud dengan pengurus yang mengelola Perusahaan Anak
adalah komisaris dan direksi bagi badan hukum Perseroan Terbatas
atau jabatan lain yang setara pada badan hukum lainnya.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 12
Ayat (1)
Penilaian tingkat kesehatan secara konsolidasi mengacu pada
ketentuan Bank Indonesia yang berlaku tentang Penilaian Tingkat
Kesehatan Bank Umum.
Penilaian tingkat kesehatan meliputi penilaian kuantitatif dan
kualitatif.
Penilaian kuantitatif adalah penilaian terhadap posisi, perkembangan
dan proyeksi rasio-rasio keuangan.
Penilaian kualitatif adalah penilaian terhadap faktor-faktor yang
mendukung hasil penilaian kuantitatif, penerapan manajemen risiko,
dan kepatuhan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 13 …
- 8 -
Pasal 13
Ayat (1)
Penyusunan laporan profil risiko secara konsolidasi mengacu pada
ketentuan Bank Indonesia yang
Manajemen Risiko bagi Bank Umum.
berlaku tentang Penerapan
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 14
Parameter yang digunakan dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku
tentang Tindak Lanjut Pengawasan dan Penetapan Status Bank antara lain
rasio KPMM dan rasio kredit bermasalah adalah yang dihitung secara
konsolidasi.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3) …
- 9 -
Ayat (3)
Huruf a
Laporan keuangan Perusahaan Anak yang disampaikan telah
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Penyampaian laporan profil risiko Bank secara individual tetap
mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang berlaku tentang
Penerapan Manajemen Risiko bagi Bank Umum.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Pasal 17
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2) …
- 10 -
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Bank yang telah dikenakan sanksi kewajiban membayar dalam ayat
ini tidak dikenakan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 18
Batasan portofolio penyertaan Bank mengacu pada ketentuan Bank
Indonesia yang berlaku tentang Prinsip Kehati-hatian dalam Kegiatan
Penyertaan Modal.
Akumulasi laba Perusahaan Anak yang tidak diperhitungkan dalam batasan
portofolio penyertaan Bank tidak dibatasi jangka waktunya.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 21 …
- 11 -
Pasal 21
Cukup Jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR
4602
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 8/6/PBI/2006 </reg_id>
<reg_title> PENERAPAN MANAJEMEN RISIKO SECARA KONSOLIDASI BAGI BANK YANG MELAKUKAN PENGENDALIAN TERHADAP PERUSAHAAN ANAK </reg_title>
<set_date> 30 Januari 2006 </set_date>
<effective_date> 30 Januari 2006 </effective_date>
<related_reg> '3/UU/2004', '7/UU/1992', '23/UU/1999', '10/UU/1998' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB X', 'BAB XII Pasal 20 Ayat 3' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 10/ 36 /PBI/2008
TENTANG
OPERASI MONETER SYARIAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa dalam rangka memenuhi tujuan untuk mencapai dan
memelihara kestabilan nilai rupiah, Bank Indonesia memiliki
tugas menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter;
b. bahwa dalam rangka mendukung tugas dalam menetapkan
dan melaksanakan kebijakan moneter, Bank Indonesia dapat
melakukan pengendalian moneter berdasarkan prinsip
syariah;
c. bahwa dalam rangka pengendalian moneter berdasarkan
prinsip syariah, Bank Indonesia melakukan operasi moneter
syariah untuk mempengaruhi kecukupan likuiditas
perbankan syariah;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, huruf b, dan huruf c tersebut di atas,
dipandang perlu mengatur ketentuan mengenai operasi
moneter syariah dalam suatu Peraturan Bank Indonesia;
Mengingat...
- 2 -
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66; Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah terakhir
dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2008 Nomor 142; Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4901);
2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008
Nomor 94; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4867);
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG OPERASI
MONETER SYARIAH.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Bank adalah Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah.
2. Bank Umum Syariah adalah Bank Umum Syariah sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
3. Unit…
- 3 -
3. Unit Usaha Syariah adalah Unit Usaha Syariah sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
4. Operasi Moneter Syariah yang selanjutnya disebut OMS adalah pelaksanaan
kebijakan moneter oleh Bank Indonesia dalam rangka pengendalian moneter
melalui kegiatan operasi pasar terbuka dan penyediaan standing facilities
berdasarkan prinsip syariah.
5. Operasi Pasar Terbuka Syariah yang selanjutnya disebut OPT Syariah adalah
kegiatan transaksi pasar uang berdasarkan prinsip syariah yang dilakukan
oleh Bank Indonesia dengan Bank dan pihak lain dalam rangka OMS.
6. Standing Facilities Syariah adalah fasilitas yang disediakan oleh Bank
Indonesia kepada Bank dalam rangka OMS.
7. Sertifikat Bank Indonesia Syariah yang selanjutnya disebut SBIS adalah
surat berharga berdasarkan prinsip syariah berjangka waktu pendek dalam
mata uang rupiah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia.
8. Surat Berharga Syariah Negara yang selanjutnya disebut SBSN adalah surat
berharga negara yang diterbitkan berdasarkan prinsip syariah, sebagai bukti
atas bagian penyertaan terhadap aset SBSN dalam mata uang rupiah.
BAB II
TUJUAN OPERASI MONETER SYARIAH
Pasal 2
(1) OMS bertujuan mencapai target operasional pengendalian moneter syariah
dalam rangka mendukung pencapaian sasaran akhir kebijakan moneter Bank
Indonesia.
(2) Target…
- 4 -
(2) Target operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa
kecukupan likuiditas perbankan syariah atau variabel lain yang ditetapkan
oleh Bank Indonesia.
Pasal 3
Pencapaian target operasional kebijakan moneter sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2, dilakukan dengan cara mempengaruhi likuiditas perbankan syariah
melalui kontraksi moneter atau ekspansi moneter.
BAB III
KEGIATAN OPERASI MONETER SYARIAH
Pasal 4
(1) Kegiatan OMS harus memenuhi prinsip syariah
(2) Pemenuhan prinsip syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan
dalam bentuk pemberian fatwa dan/atau opini syariah oleh otoritas fatwa
yang berwenang.
Pasal 5
Kegiatan OMS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dilakukan dalam bentuk
antara lain:
a. OPT Syariah; dan
b. Standing Facilities Syariah.
BAB IV…
- 5 -
BAB IV
OPT SYARIAH
Pasal 6
OPT Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a dilakukan dengan
cara antara lain :
a. penerbitan SBIS;
b.
jual beli surat berharga dalam rupiah yang memenuhi prinsip syariah yang
meliputi SBIS, SBSN, dan surat berharga lain yang berkualitas tinggi dan
mudah dicairkan; dan/atau
c. penyerapan dana tanpa penerbitan surat berharga.
Pasal 7
Jual beli surat berharga dalam rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat
(1) huruf b dapat dilakukan dengan cara antara lain:
a. pembelian secara lepas (outright buying);
b. penjualan secara lepas (outright selling);
c. penjualan secara bersyarat (repurchase agreement/repo); dan/atau
d. pembelian secara bersyarat (reverse repo).
Pasal 8
(1) OPT Syariah dilaksanakan secara berkala.
(2) Dalam hal diperlukan, OPT Syariah dapat dilakukan sewaktu-waktu.
Pasal 9
OPT Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dilakukan melalui
mekanisme lelang dan/atau non-lelang.
BAB V…
- 6 -
BAB V
STANDING FACILITIES SYARIAH
Pasal 10
Standing Facilities Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b
dilakukan dengan cara :
a. penyediaan fasilitas simpanan (deposit facility); dan
b. penyediaan fasilitas pembiayaan (financing facility).
Pasal 11
(1) Fasilitas simpanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf a antara
lain dilakukan dalam bentuk Fasilitas Simpanan Bank Indonesia Syariah
(FASBIS).
(2) Fasilitas pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf b antara
lain dilakukan dalam bentuk repo surat berharga dalam rupiah.
Pasal 12
Standing Facilities Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 dilakukan
melalui mekanisme non-lelang.
BAB VI
PESERTA OMS
Pasal 13
(1) Peserta OMS terdiri dari Bank dan pihak lain yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia.
(2) Bank dan/atau pihak lain dapat mengikuti kegiatan OMS secara langsung
maupun tidak langsung melalui lembaga perantara.
Pasal 14…
- 7 -
Pasal 14
Bank Indonesia menetapkan persyaratan bagi peserta OMS.
Pasal 15
(1) Peserta OMS bertanggung jawab atas kebenaran penawaran yang diajukan.
(2) Peserta OMS yang telah mengajukan penawaran dilarang membatalkan
penawarannya.
(3) Peserta OMS harus memenuhi tata cara pengajuan penawaran dan
persyaratan dalam transaksi OMS yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
(4) Dalam hal Peserta OMS tidak memenuhi tata cara pengajuan penawaran dan
persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), penawaran yang telah
diajukan dinyatakan batal.
Pasal 16
Dalam mengikuti kegiatan OMS, lembaga perantara sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 13 ayat (2) dilarang mengajukan penawaran untuk kepentingan diri
sendiri.
Pasal 17
(1) Bank dan/atau pihak lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1)
yang mengikuti kegiatan OMS secara langsung maupun tidak langsung,
wajib menyediakan dana pada rekening giro rupiah dan/atau surat berharga
dalam rupiah yang memenuhi prinsip syariah di Bank Indonesia yang cukup
untuk penyelesaian kewajiban pembayaran dan/atau surat berharga pada
waktu penyelesaian transaksi.
(2) Dalam…
- 8 -
(2) Dalam hal pada waktu penyelesaian transaksi, Bank atau pihak lain tidak
memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), transaksi OMS
yang bersangkutan dinyatakan batal.
BAB VII
SANKSI
Pasal 18
(1) Dalam hal transaksi OMS dinyatakan batal sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 17 ayat (2), Peserta OMS yang bersangkutan dikenakan sanksi berupa:
a. teguran tertulis; dan
b. kewajiban membayar sebesar 10/00 (satu per seribu) dari nilai transaksi
yang dinyatakan batal atau paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu
miliar rupiah);
(2) Dengan tidak mengurangi sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), atas
batalnya transaksi yang ketiga kali dalam kurun waktu 6 (enam) bulan, juga
dikenakan sanksi berupa penghentian sementara untuk mengikuti kegiatan
OMS selama 5 (lima) hari kerja berturut-turut.
BAB VIII
PENUTUP
Pasal 19
Ketentuan pelaksanaan dari Peraturan Bank Indonesia ini diatur lebih lanjut
dengan Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 20…
- 9 -
Pasal 20
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan
Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 10 Desember 2008.
Maret 2008
GUBERNUR BANK INDONESIA
31
BOEDIONO
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 10 Desember 2008.
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA
ANDI MATTALATTA
AD INTERIM
ANDI MATTALATTA
WIDODO A. S.
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2008 NOMOR 197
DPM
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 10/ 36 /PBI/2008
TENTANG
OPERASI MONETER SYARIAH
I. UMUM
Dalam rangka mendukung tujuan Bank Indonesia untuk mencapai dan memelihara
kestabilan nilai rupiah, Bank Indonesia dapat melaksanakan pengendalian moneter
berdasarkan prinsip syariah sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 10 ayat (2) Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah
terakhir dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008.
Salah satu ukuran keberhasilan pencapaian tujuan dimaksud adalah laju inflasi tahunan
yang terkendali yang ditetapkan sebagai sasaran akhir dari pelaksanaan tugas Bank
Indonesia di bidang moneter.
Dalam rangka mencapai sasaran akhir kebijakan moneter, salah satu cara
pengendalian moneter berdasarkan prinsip syariah adalah dengan pelaksanaan operasi
moneter syariah untuk mempengaruhi kecukupan likuiditas perbankan syariah. Dalam
pelaksanaannya, Bank Indonesia dapat melakukan operasi moneter syariah yang bersifat
kontraksi atau ekspansi.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas
Pasal 2…
-2-
Pasal 2
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Kecukupan likuiditas dapat berupa target uang primer atau komponennya
yang terdiri dari:
a. uang kartal yang ada di Bank dan masyarakat; dan
b. saldo giro Bank dalam rupiah di Bank Indonesia.
Yang dimaksud dengan “variabel lain” adalah variabel selain kecukupan
likuiditas, yang ditetapkan sebagai target operasional moneter syariah yang
antara lain berupa tingkat imbalan pasar uang antar bank berdasarkan prinsip
syariah.
Pasal 3
Yang dimaksud dengan “kontraksi moneter” adalah pengurangan likuiditas Bank
melalui kegiatan OMS.
Yang dimaksud dengan “ekspansi moneter” adalah penambahan likuiditas Bank
melalui kegiatan OMS.
Pasal 4
Cukup jelas
Pasal 5
Cukup jelas
Pasal 6
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b…
-3-
Huruf b
Yang dimaksud dengan “surat berharga lain yang berkualitas tinggi dan
mudah dicairkan” adalah surat berharga dalam mata uang rupiah yang
diterbitkan oleh badan hukum lain yang mempunyai peringkat tinggi
berdasarkan hasil penilaian lembaga pemeringkat yang diakui Bank
Indonesia sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai
lembaga pemeringkat dan peringkat yang diakui Bank Indonesia, dan
sewaktu-waktu dengan mudah dapat dijual ke pasar untuk dijadikan uang
tunai.
Huruf c
Cukup jelas
Pasal 7
Huruf a
Yang dimaksud dengan “pembelian secara lepas (outright buying)” adalah
transaksi pembelian surat berharga oleh Bank Indonesia tanpa kewajiban
untuk menjual kembali.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “penjualan secara lepas (outright selling)” adalah
transaksi penjualan surat berharga oleh Bank Indonesia tanpa kewajiban
untuk membeli kembali.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “penjualan secara bersyarat (repurchase
agreement/repo )” adalah transaksi penjualan bersyarat surat berharga oleh
Bank kepada Bank Indonesia dengan kewajiban pembelian kembali sesuai
dengan harga dan jangka waktu yang disepakati.
Huruf d …
-4-
Huruf d
Yang dimaksud dengan “pembelian secara bersyarat (reverse repo)” adalah
transaksi pembelian bersyarat surat berharga oleh Bank dari Bank Indonesia
dengan kewajiban penjualan kembali sesuai dengan harga dan jangka waktu
yang disepakati.
Pasal 8
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Pelaksanaan OPT Syariah sewaktu-waktu antara lain dalam bentuk Fine
Tune Operation (FTO).
Pasal 9
Cukup jelas
Pasal 10
Cukup jelas
Pasal 11
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “repo surat berharga” adalah transaksi penjualan
bersyarat surat berharga oleh Bank kepada Bank Indonesia dengan
kewajiban pembelian kembali sesuai dengan harga dan jangka waktu yang
disepakati (sell and buy back) dan pemberian pinjaman oleh Bank Indonesia
kepada Bank dengan agunan surat berharga (collateralized borrowing).
Pasal 12 …
-5-
Pasal 12
Cukup jelas
Pasal 13
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “pihak lain” antara lain badan hukum non bank,
badan lainnya dan perorangan yang memiliki keterkaitan dengan pelaksanaan
tugas Bank Indonesia di bidang pengendalian moneter.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “lembaga perantara” antara lain pialang pasar uang
dan pialang pasar modal.
Pasal 14
Cukup jelas
Pasal 15
Cukup jelas
Pasal 16
Cukup jelas
Pasal 17
Ayat (1)
Bank dan/atau pihak lain yang mengikuti kegiatan OMS secara langsung
dapat bertindak untuk kepentingannya sendiri maupun kepentingan pihak
lain.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 18 …
-6-
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Pokok-pokok ketentuan yang diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia antara lain:
a. pelaksanaan OPT Syariah;
b. pelaksanaan Standing Facilities Syariah;
c.
jangka waktu kegiatan OMS;
d. persyaratan bagi peserta OMS;
e. sifat kepesertaan dalam OMS; dan
f. tata cara pengenaan sanksi.
Pasal 20
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2008
NOMOR 4944
DPM
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 10/36/PBI/2008 </reg_id>
<reg_title> OPERASI MONETER SYARIAH </reg_title>
<set_date> 10 Desember 2008 </set_date>
<effective_date> 10 Desember 2008 </effective_date>
<issued_date> 10 Desember 2008 </issued_date>
<related_reg> '21/UU/2008', '2/PERPPU/2008', '23/UU/1999' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB VII' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 21/ 16 /PBI/2019
TENTANG
STANDARDISASI KOMPETENSI DI BIDANG SISTEM PEMBAYARAN DAN
PENGELOLAAN UANG RUPIAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa perkembangan teknologi dan sistem informasi terus
melahirkan berbagai inovasi di bidang sistem pembayaran
dan pengelolaan uang rupiah;
b. bahwa inovasi di bidang sistem pembayaran dan
pengelolaan uang rupiah harus diimbangi dengan
peningkatan kompetensi sumber daya manusia pelaku
industri agar dapat mendukung terciptanya sistem
pembayaran yang lancar, aman, efisien, dan andal, serta
pengelolaan uang rupiah yang mampu memenuhi
kebutuhan uang rupiah di masyarakat dalam jumlah
nominal yang cukup, jenis pecahan yang sesuai, tepat
waktu, dan dalam kondisi yang layak edar serta aman dari
upaya pemalsuan di seluruh wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia, dengan memperhatikan aspek
perluasan akses, perlindungan konsumen, dan
kepentingan nasional;
- 2 -
c. bahwa untuk meningkatkan kompetensi sumber daya
manusia pelaku industri, diperlukan standardisasi
kompetensi sumber daya manusia di bidang sistem
pembayaran dan pengelolaan uang rupiah;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan
Peraturan Bank Indonesia tentang Standardisasi
Kompetensi di Bidang Sistem Pembayaran dan Pengelolaan
Uang Rupiah;
Mengingat
: Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843)
sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-
Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4962);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG STANDARDISASI
KOMPETENSI DI BIDANG SISTEM PEMBAYARAN DAN
PENGELOLAAN UANG RUPIAH.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Standardisasi Kompetensi Sistem Pembayaran dan
Pengelolaan Uang Rupiah yang selanjutnya disebut
Standardisasi Kompetensi SPPUR adalah penerapan
standar kompetensi kerja nasional Indonesia bidang sistem
pembayaran dan pengelolaan uang rupiah dan jenjang
- 3 -
kualifikasi nasional Indonesia bidang sistem pembayaran
dan pengelolaan uang rupiah.
2. Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia Bidang
Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang Rupiah yang
selanjutnya disebut SKKNI Bidang SPPUR adalah rumusan
kemampuan kerja di bidang sistem pembayaran dan
pengelolaan uang rupiah yang mencakup aspek
pengetahuan, keterampilan dan/atau keahlian, serta sikap
kerja.
3. Jenjang Kualifikasi Nasional Indonesia Bidang Sistem
Pembayaran dan Pengelolaan Uang Rupiah yang
selanjutnya disebut Jenjang Kualifikasi SPPUR adalah
jenjang pencapaian pembelajaran di bidang sistem
pembayaran dan pengelolaan uang rupiah yang
kedudukannya disetarakan dengan jenjang tertentu dalam
kerangka kualifikasi nasional Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-
undangan mengenai kerangka kualifikasi nasional
Indonesia.
4.
Pelatihan Berbasis Kompetensi Sistem Pembayaran dan
Pengelolaan Uang Rupiah yang selanjutnya disingkat PBK
SPPUR adalah pelatihan kerja yang menitikberatkan pada
penguasaan kemampuan kerja sesuai dengan SKKNI
Bidang SPPUR dan persyaratan di tempat kerja.
5.
Sertifikasi Kompetensi Sistem Pembayaran dan Pengelolaan
Uang Rupiah yang selanjutnya disebut Sertifikasi
Kompetensi SPPUR adalah proses pemberian sertifikat
kompetensi sistem pembayaran dan pengelolaan uang
rupiah yang dilakukan secara sistematis dan objektif
melalui uji kompetensi sesuai dengan SKKNI Bidang
SPPUR.
6.
Sertifikat Pelatihan Berbasis Kompetensi Sistem
Pembayaran dan Pengelolaan Uang Rupiah yang
selanjutnya disebut Sertifikat PBK SPPUR adalah bukti
tertulis yang diterbitkan oleh lembaga pelatihan kerja
sistem pembayaran dan pengelolaan uang rupiah yang
- 4 -
menyatakan bahwa seseorang telah kompeten sesuai
dengan PBK SPPUR yang diikuti.
7.
Sertifikat Kompetensi Sistem Pembayaran dan Pengelolaan
Uang Rupiah yang selanjutnya disebut Sertifikat
Kompetensi SPPUR adalah bukti tertulis yang diterbitkan
oleh lembaga sertifikasi profesi sistem pembayaran dan
pengelolaan uang rupiah yang menerangkan bahwa
seseorang telah menguasai kompetensi kerja tertentu di
bidang sistem pembayaran dan pengelolaan uang rupiah.
8.
Sertifikat Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang
Rupiah yang selanjutnya disebut Sertifikat SPPUR adalah
Sertifikat PBK SPPUR dan Sertifikat Kompetensi SPPUR.
9. Pelaku Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang Rupiah
yang selanjutnya disebut Pelaku SPPUR adalah bank dan
lembaga selain bank yang menyelenggarakan jasa sistem
pembayaran dan pengelolaan uang rupiah.
10. Bank adalah bank umum sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang mengenai perbankan termasuk kantor
cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri serta
bank umum syariah dan unit usaha syariah sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang mengenai perbankan
syariah.
11. Lembaga Selain Bank yang selanjutnya disingkat LSB
adalah badan usaha bukan Bank yang berbadan hukum
dan didirikan berdasarkan hukum Indonesia.
12. Kegiatan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang Rupiah
yang selanjutnya disebut Kegiatan SPPUR adalah kegiatan
operasional di bidang sistem pembayaran dan pengelolaan
uang rupiah.
13. Satuan Kerja Operasional adalah unit kerja atau fungsi
operasional pada struktur organisasi Pelaku SPPUR yang
melaksanakan Kegiatan SPPUR.
14. Pegawai Pelaku SPPUR yang selanjutnya disebut Pegawai
adalah orang dalam kelompok jenjang jabatan tertentu
pada Satuan Kerja Operasional yang melaksanakan
Kegiatan SPPUR.
- 5 -
15. Lembaga Pelatihan Kerja Sistem Pembayaran dan
Pengelolaan Uang Rupiah yang selanjutnya disingkat LPK
SPPUR adalah lembaga pelatihan kerja yang telah
memperoleh izin atau tanda daftar dari lembaga yang
berwenang untuk menyelenggarakan PBK SPPUR.
16. Lembaga Sertifikasi Profesi Sistem Pembayaran dan
Pengelolaan Uang Rupiah yang selanjutnya disingkat LSP
SPPUR adalah lembaga sertifikasi profesi yang memperoleh
lisensi dari lembaga yang berwenang untuk
menyelenggarakan Sertifikasi Kompetensi SPPUR.
17. Penyelenggara Standardisasi Kompetensi SPPUR yang
selanjutnya disebut Penyelenggara adalah LPK SPPUR yang
diakui oleh Bank Indonesia dan LSP SPPUR yang diakui
oleh Bank Indonesia.
18. Program Pelatihan Berbasis Kompetensi Sistem
Pembayaran dan Pengelolaan Uang Rupiah yang
selanjutnya disebut Program PBK SPPUR adalah program
pelatihan Kegiatan SPPUR bagi Pegawai yang disusun
secara sistematis yang digunakan sebagai acuan dalam
melaksanakan PBK SPPUR.
19. Skema Sertifikasi Kompetensi Sistem Pembayaran dan
Pengelolaan Uang Rupiah yang selanjutnya disebut Skema
Sertifikasi Kompetensi SPPUR adalah paket kompetensi
dan persyaratan spesifik sesuai dengan jenjang jabatan
tertentu dalam Kegiatan SPPUR yang digunakan sebagai
acuan dalam melaksanakan Sertifikasi Kompetensi SPPUR.
20. Pemeliharaan Kompetensi Sistem Pembayaran dan
Pengelolaan Uang Rupiah yang selanjutnya disebut
Pemeliharaan Kompetensi SPPUR adalah proses
pengkinian kompetensi Pegawai pemilik Sertifikat SPPUR.
Pasal 2
Bank Indonesia melakukan pengaturan Standardisasi
Kompetensi SPPUR dengan tujuan:
a. membangun dan memastikan kompetensi Pegawai;
b. meningkatkan integritas Pegawai;
- 6 -
c. mewujudkan penyelenggaraan PBK SPPUR dan Sertifikasi
Kompetensi SPPUR yang kredibel; dan
d. meningkatkan perlindungan bagi konsumen pengguna
produk atau jasa sistem pembayaran dan pengelolaan uang
rupiah.
Pasal 3
Pengaturan Standardisasi Kompetensi SPPUR sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 berlaku bagi Pelaku SPPUR.
BAB II
STANDARDISASI KOMPETENSI SPPUR
Pasal 4
Standardisasi Kompetensi SPPUR mencakup Kegiatan SPPUR
yang terdiri atas:
a. kegiatan operasional sistem pembayaran tunai;
b. kegiatan operasional sistem pembayaran nontunai;
c.
kegiatan operasional sistem setelmen transaksi tresuri dan
pembiayaan perdagangan;
d. kegiatan operasional sistem penatausahaan surat
berharga; dan
e. Kegiatan SPPUR lainnya yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia.
Pasal 5
(1) Standardisasi Kompetensi SPPUR terdiri atas penerapan:
a. SKKNI Bidang SPPUR; dan
b. Jenjang Kualifikasi SPPUR.
(2) SKKNI Bidang SPPUR sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a ditetapkan oleh Menteri Ketenagakerjaan Republik
Indonesia.
(3) Jenjang Kualifikasi SPPUR sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf b ditetapkan oleh Bank Indonesia.
- 7 -
Pasal 6
(1) Standardisasi Kompetensi SPPUR sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 ayat (1) dilakukan melalui:
a. PBK SPPUR; dan
b.
Sertifikasi Kompetensi SPPUR.
(2) PBK SPPUR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
diselenggarakan oleh LPK SPPUR yang diakui oleh Bank
Indonesia.
(3) Sertifikasi Kompetensi SPPUR sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf b diselenggarakan oleh LSP SPPUR yang
diakui oleh Bank Indonesia.
(4) Ruang lingkup penyelenggaraan PBK SPPUR sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dan penyelenggaraan Sertifikasi
Kompetensi SPPUR sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
dapat mencakup seluruh atau sebagian:
a. SKKNI Bidang SPPUR sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 ayat (1) huruf a; dan
b. Jenjang Kualifikasi SPPUR sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b.
Pasal 7
(1) Pelaku SPPUR wajib memastikan Pegawai yang
melaksanakan Kegiatan SPPUR sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 memiliki Sertifikat SPPUR.
(2) Pegawai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a. pejabat eksekutif;
b. penyelia; dan
c. pelaksana.
(3) Pejabat eksekutif sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf a terdiri atas:
a. anggota direksi dan dewan komisaris LSB yang
menyelenggarakan kegiatan usaha penukaran valuta
asing dan LSB lainnya yang ditetapkan Bank
Indonesia; atau
- 8 -
b. kelompok jenjang jabatan pada Pelaku SPPUR selain
sebagaimana dimaksud pada huruf a yang berada
paling banyak 2 (dua) level di bawah direksi yang
bertanggung jawab atas Kegiatan SPPUR.
(4) Penyelia sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b
merupakan kelompok jenjang jabatan pada Satuan Kerja
Operasional yang berada di bawah pejabat eksekutif yang
melakukan supervisi atas Kegiatan SPPUR yang dilakukan
oleh pelaksana.
(5) Pelaksana sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c
merupakan kelompok jenjang jabatan pada Satuan Kerja
Operasional yang berada di bawah penyelia yang
melaksanakan Kegiatan SPPUR.
(6) Kepemilikan Sertifikat SPPUR bagi Pegawai sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan:
a. Jenjang Kualifikasi SPPUR;
b. Kegiatan SPPUR sebagaimana dimaksud dalam Pasal
4; dan
c. skala usaha Pelaku SPPUR.
(7) Kepemilikan Sertifikat SPPUR sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) harus dipenuhi paling lambat 6 (enam) bulan
terhitung sejak tanggal efektif menduduki jabatan.
(8) Pelaku SPPUR yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi administratif
berupa:
a. teguran tertulis;
b. penundaan pemberian
persetujuan atas
pengembangan produk, kerja sama, dan kegiatan
lainnya di bidang sistem pembayaran dan pengelolaan
uang rupiah; dan/atau
c. pencabutan izin sebagai penyelenggara jasa sistem
pembayaran dan pengelolaan uang rupiah.
- 9 -
Pasal 8
(1) Sertifikat Kompetensi SPPUR berlaku untuk jangka waktu
tertentu dan dapat diperpanjang.
(2) Perpanjangan Sertifikat Kompetensi SPPUR sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan apabila Pegawai pemilik
Sertifikat Kompetensi SPPUR telah melakukan
Pemeliharaan Kompetensi SPPUR sebelum jangka waktu
Sertifikat Kompetensi SPPUR berakhir.
(3) Dalam hal Pegawai pemilik Sertifikat Kompetensi SPPUR
tidak melakukan Pemeliharaan Kompetensi SPPUR sampai
dengan jangka waktu Sertifikat Kompetensi SPPUR
berakhir maka Sertifikat Kompetensi SPPUR dinyatakan
tidak berlaku.
Pasal 9
(1) Sertifikat profesi yang diterbitkan oleh lembaga sertifikasi
di luar negeri dapat diakui oleh LSP SPPUR yang diakui oleh
Bank Indonesia.
(2) Pengakuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
berdasarkan persetujuan Bank Indonesia dengan
persyaratan sebagai berikut:
a.
terkait dengan Kegiatan SPPUR sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4;
b. masih berlaku; dan
c. mendapatkan rekomendasi dari asosiasi profesi
dan/atau asosiasi industri.
(3) Pengakuan sertifikat profesi yang diterbitkan oleh lembaga
sertifikasi di luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan melalui penerbitan Sertifikat Kompetensi
SPPUR.
(4) LSP SPPUR yang diakui oleh Bank Indonesia menetapkan
penyetaraan Sertifikat Kompetensi SPPUR sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) sesuai dengan Jenjang Kualifikasi
SPPUR.
- 10 -
Pasal 10
(1) Pelaku SPPUR wajib menatausahakan data Pegawai pemilik
Sertifikat SPPUR.
(2) Pelaku SPPUR yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi administratif
berupa:
a. teguran tertulis;
b. penundaan pemberian
persetujuan atas
pengembangan produk, kerja sama, dan kegiatan
lainnya di bidang sistem pembayaran dan pengelolaan
uang rupiah; dan/atau
c. pencabutan izin sebagai penyelenggara jasa sistem
pembayaran dan pengelolaan uang rupiah.
Pasal 11
Ketentuan lebih lanjut mengenai Standardisasi Kompetensi
SPPUR diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
BAB III
PENYELENGGARA
Bagian Kesatu
LPK SPPUR yang Diakui oleh Bank Indonesia
Pasal 12
(1) LPK SPPUR dapat dibentuk oleh:
a. Pelaku SPPUR;
b.
asosiasi profesi dan/atau asosiasi industri; dan
c. pihak lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
(2) Calon LPK SPPUR harus memperoleh rekomendasi dari
Bank Indonesia untuk mengajukan permohonan:
a.
izin atau pendaftaran sebagai LPK SPPUR; dan/atau
b. penambahan Program PBK SPPUR,
kepada lembaga yang berwenang.
- 11 -
(3) Rekomendasi dari Bank Indonesia sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) diberikan kepada calon LPK SPPUR yang
memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. memperoleh rekomendasi dari asosiasi profesi
dan/atau asosiasi industri, khusus untuk calon LPK
SPPUR yang dibentuk oleh asosiasi profesi dan/atau
asosiasi industri dan pihak lainnya;
b. memiliki perangkat organisasi;
c. memiliki Program PBK SPPUR;
d. memiliki instruktur dan mentor yang berpengalaman
di bidang sistem pembayaran dan pengelolaan uang
rupiah; dan
e. persyaratan lainnya yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia.
(4) Dalam memberikan rekomendasi kepada calon LPK SPPUR
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Bank Indonesia
dapat melakukan pemeriksaan lokasi kepada calon LPK
SPPUR.
(5) Penyusunan Program PBK SPPUR oleh calon LPK SPPUR
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c harus
mengacu pada pedoman penyelenggaraan PBK SPPUR yang
ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Pasal 13
(1) Calon LPK SPPUR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12
ayat (2) yang telah memperoleh:
a. izin atau tanda daftar sebagai LPK SPPUR; dan/atau
b.
izin penambahan Program PBK SPPUR,
harus mengajukan permohonan kepada Bank Indonesia
untuk memperoleh pengakuan sebagai LPK SPPUR yang
diakui oleh Bank Indonesia.
(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disampaikan secara tertulis dengan dilengkapi fotokopi
bukti izin atau tanda daftar sebagai LPK SPPUR dan/atau
izin penambahan Program PBK SPPUR dari lembaga yang
berwenang.
(3) Bank Indonesia menetapkan LPK SPPUR yang diakui oleh
Bank Indonesia.
- 12 -
(4) Bank Indonesia melakukan publikasi daftar LPK SPPUR
yang diakui oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) melalui sarana yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia.
Pasal 14
(1) LPK SPPUR yang diakui oleh Bank Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3) wajib terakreditasi oleh
lembaga yang berwenang sesuai dengan jangka waktu yang
ditetapkan oleh Bank Indonesia.
(2) LPK SPPUR yang diakui oleh Bank Indonesia yang
melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dikenai sanksi administratif berupa:
a. teguran tertulis;
b. pembekuan dari daftar LPK SPPUR yang diakui oleh
Bank Indonesia; dan/atau
c. pencabutan dari daftar LPK SPPUR yang diakui oleh
Bank Indonesia.
Pasal 15
Bank Indonesia dapat menetapkan kebijakan tertentu dalam
pemberian rekomendasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12
ayat (2) berdasarkan pertimbangan:
a. menjaga efektivitas pelaksanaan PBK SPPUR; dan/atau
b. pertimbangan lainnya yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia.
Pasal 16
(1) LPK SPPUR yang diakui oleh Bank Indonesia memiliki
tugas:
a. menyelenggarakan PBK SPPUR dengan mengacu pada
Program PBK SPPUR;
b. melakukan evaluasi atas Program PBK SPPUR secara
berkala; dan
c. menatausahakan data Sertifikat PBK SPPUR yang
diterbitkan dan data Pemeliharaan Kompetensi SPPUR
yang diselenggarakan oleh LPK SPPUR.
- 13 -
(2) LPK SPPUR yang diakui oleh Bank Indonesia memiliki
wewenang menerbitkan Sertifikat PBK SPPUR.
(3) Selain memiliki tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (2), LPK
SPPUR yang diakui oleh Bank Indonesia juga memiliki
tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai
pedoman penyelenggaraan pelatihan berbasis kompetensi.
Pasal 17
(1) Perubahan Program PBK SPPUR wajib memperoleh
persetujuan dari Bank Indonesia.
(2) LPK SPPUR yang diakui oleh Bank Indonesia yang
melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dikenai sanksi administratif berupa:
a. teguran tertulis;
b. pembekuan dari daftar LPK SPPUR yang diakui oleh
Bank Indonesia; dan/atau
c. pencabutan dari daftar LPK SPPUR yang diakui oleh
Bank Indonesia.
Pasal 18
(1) Bank Indonesia dapat melakukan kerja sama dengan LPK
SPPUR yang diakui oleh Bank Indonesia untuk
melaksanakan PBK SPPUR bagi Pegawai dari Pelaku SPPUR
yang memenuhi kriteria yang ditetapkan Bank Indonesia.
(2) Bank Indonesia dapat membantu pembiayaan
penyelenggaraan PBK SPPUR sebagaimana dimaksud pada
ayat (1).
Pasal 19
Ketentuan lebih lanjut mengenai LPK SPPUR yang diakui oleh
Bank Indonesia diatur dalam Peraturan Anggota Dewan
Gubernur.
- 14 -
Bagian Kedua
LSP SPPUR yang Diakui oleh Bank Indonesia
Pasal 20
(1) LSP SPPUR dibentuk oleh asosiasi profesi dan/atau
asosiasi industri.
(2) Calon LSP SPPUR harus memperoleh rekomendasi dari
Bank Indonesia untuk mengajukan permohonan:
a. pembentukan LSP SPPUR; dan/atau
b.
lisensi sebagai LSP SPPUR,
kepada lembaga yang berwenang.
(3) Rekomendasi dari Bank Indonesia sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) diberikan kepada calon LSP SPPUR yang
memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. memiliki rekomendasi dari asosiasi profesi dan/atau
asosiasi industri;
b. memiliki perangkat organisasi;
c. memiliki asesor di bidang sistem pembayaran dan
pengelolaan uang rupiah;
d. memiliki Skema Sertifikasi Kompetensi SPPUR; dan
e. persyaratan lainnya yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia.
(4) Dalam memberikan rekomendasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (3), Bank Indonesia dapat melakukan
pemeriksaan lokasi kepada calon LSP SPPUR.
(5) Skema Sertifikasi Kompetensi SPPUR yang disusun oleh
calon LSP SPPUR sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
huruf d harus mengacu pada skema sertifikasi kerangka
kualifikasi nasional Indonesia bidang sistem pembayaran
dan pengelolaan uang rupiah yang ditetapkan oleh komite
skema sertifikasi kompetensi.
- 15 -
Pasal 21
(1) Calon LSP SPPUR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20
ayat (2) yang telah memperoleh lisensi sebagai LSP SPPUR
harus mengajukan permohonan kepada Bank Indonesia
untuk memperoleh pengakuan sebagai LSP SPPUR yang
diakui oleh Bank Indonesia.
(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disampaikan secara tertulis dengan dilengkapi dokumen
pendukung.
(3) Bank Indonesia menetapkan LSP SPPUR yang diakui oleh
Bank Indonesia.
(4) Bank Indonesia melakukan publikasi daftar LSP SPPUR
yang diakui oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) melalui sarana yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia.
Pasal 22
Bank Indonesia dapat menetapkan kebijakan tertentu dalam
pemberian rekomendasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20
ayat (2) berdasarkan pertimbangan:
a. menjaga efektivitas pelaksanaan Sertifikasi Kompetensi
SPPUR; dan/atau
b. pertimbangan lainnya yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia.
Pasal 23
(1) LSP SPPUR yang diakui oleh Bank Indonesia memiliki
tugas:
a. menyelenggarakan Sertifikasi Kompetensi SPPUR
dengan mengacu pada Skema Sertifikasi Kompetensi
SPPUR;
b. melakukan evaluasi Skema Sertifikasi Kompetensi
SPPUR secara berkala;
c. menyusun dan melakukan evaluasi materi uji
kompetensi secara berkala; dan
- 16 -
d. menatausahakan data Sertifikat Kompetensi SPPUR
yang telah diterbitkan dan data Pemeliharaan
Kompetensi SPPUR pemilik Sertifikat Kompetensi
SPPUR.
(2) LSP SPPUR yang diakui oleh Bank Indonesia memiliki
wewenang:
a. menerbitkan Sertifikat Kompetensi SPPUR; dan
b. menunda, mencabut, atau membatalkan penerbitan
Sertifikat Kompetensi SPPUR.
(3) Selain memiliki tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (2), LSP
SPPUR yang diakui oleh Bank Indonesia juga memiliki
tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai
lembaga sertifikasi profesi.
Pasal 24
(1) Perubahan Skema Sertifikasi Kompetensi SPPUR wajib
memperoleh persetujuan dari Bank Indonesia.
(2) LSP SPPUR yang diakui oleh Bank Indonesia yang
melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dikenai sanksi administratif berupa:
a. teguran tertulis;
b. pembekuan dari daftar LSP SPPUR yang diakui oleh
Bank Indonesia; dan/atau
c. pencabutan dari daftar LSP SPPUR yang diakui oleh
Bank Indonesia.
Pasal 25
Ketentuan lebih lanjut mengenai LSP SPPUR yang diakui oleh
Bank Indonesia diatur dalam Peraturan Anggota Dewan
Gubernur.
- 17 -
BAB IV
PEMELIHARAAN KOMPETENSI SPPUR
Pasal 26
(1) Pelaku SPPUR wajib memastikan Pegawai yang memiliki
Sertifikat SPPUR melakukan Pemeliharaan Kompetensi
SPPUR secara berkala.
(2) Dalam memastikan Pemeliharaan Kompetensi SPPUR
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Pegawai pemilik
Sertifikat PBK SPPUR, Pelaku SPPUR wajib mengacu pada
pedoman penyelenggaraan PBK SPPUR yang ditetapkan
oleh Bank Indonesia.
(3) Dalam memastikan Pemeliharaan Kompetensi SPPUR
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Pegawai pemilik
Sertifikat Kompetensi SPPUR, Pelaku SPPUR wajib
mengacu pada Skema Sertifikasi Kompetensi SPPUR.
(4) Pelaku SPPUR yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan/atau ayat (3) dikenai
sanksi administratif berupa:
a. teguran tertulis;
b. penundaan pemberian persetujuan pengembangan
produk, kerja sama, dan kegiatan lainnya di bidang
sistem pembayaran dan pengelolaan uang rupiah;
dan/atau
c. pencabutan izin sebagai penyelenggara jasa sistem
pembayaran dan pengelolaan uang rupiah.
Pasal 27
(1) Pemeliharaan Kompetensi SPPUR sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 26 ayat (1) diselenggarakan oleh:
a. lembaga pendidikan;
b.
c.
asosiasi profesi;
asosiasi industri;
d. Pelaku SPPUR;
e. LPK SPPUR yang diakui oleh Bank Indonesia;
f. LSP SPPUR yang diakui oleh Bank Indonesia;
- 18 -
g.
otoritas terkait; dan
h. pihak lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
(2) Dalam menyelenggarakan Pemeliharaan Kompetensi
SPPUR bagi pemilik Sertifikat PBK SPPUR, pihak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mengacu pada
pedoman penyelenggaraan PBK SPPUR yang ditetapkan
oleh Bank Indonesia.
(3) Dalam menyelenggarakan Pemeliharaan Kompetensi
SPPUR bagi pemilik Sertifikat Kompetensi SPPUR, pihak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mengacu pada
Skema Sertifikasi Kompetensi SPPUR.
Pasal 28
(1) Pelaku SPPUR wajib menatausahakan data Pegawai pemilik
Sertifikat SPPUR yang telah melakukan Pemeliharaan
Kompetensi SPPUR.
(2) Pelaku SPPUR yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi administratif
berupa:
a. teguran tertulis;
b. penundaan pemberian persetujuan pengembangan
produk, kerja sama, dan kegiatan lainnya di bidang
sistem pembayaran dan pengelolaan uang rupiah;
dan/atau
c. pencabutan izin sebagai penyelenggara jasa sistem
pembayaran dan pengelolaan uang rupiah.
Pasal 29
Ketentuan lebih lanjut mengenai Pemeliharaan Kompetensi
SPPUR diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
- 19 -
BAB V
PELAPORAN DAN PENGAWASAN
Bagian Kesatu
Pelaporan
Paragraf 1
Pelaporan bagi Pelaku SPPUR
Pasal 30
(1) Pelaku SPPUR wajib menyampaikan laporan berkala dan
laporan insidental kepada Bank Indonesia secara benar dan
lengkap.
(2) Dalam hal laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
tidak benar dan/atau tidak lengkap, Pelaku SPPUR wajib
menyampaikan koreksi laporan.
(3) Pelaku SPPUR yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan/atau ayat (2) dikenai sanksi
administratif berupa:
a. teguran tertulis;
b. penundaan pemberian persetujuan pengembangan
produk, kerja sama, dan kegiatan lainnya di bidang
sistem pembayaran dan pengelolaan uang rupiah;
dan/atau
c. pencabutan izin sebagai penyelenggara jasa sistem
pembayaran dan pengelolaan uang rupiah.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaporan bagi Pelaku
SPPUR diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
Paragraf 2
Pelaporan bagi LPK SPPUR yang Diakui oleh Bank Indonesia
Pasal 31
(1) LPK SPPUR yang diakui oleh Bank Indonesia wajib
menyampaikan laporan berkala dan laporan insidental
kepada Bank Indonesia secara benar dan lengkap.
- 20 -
(2) Dalam hal laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
tidak benar dan/atau tidak lengkap, LPK SPPUR yang
diakui oleh Bank Indonesia wajib menyampaikan koreksi
laporan.
(3) LPK SPPUR yang diakui oleh Bank Indonesia yang
melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan/atau ayat (2) dikenai sanksi administratif berupa:
a. teguran tertulis;
b. pembekuan dari daftar LPK SPPUR yang diakui oleh
Bank Indonesia; dan/atau
c. pencabutan dari daftar LPK SPPUR yang diakui oleh
Bank Indonesia.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaporan bagi LPK
SPPUR yang diakui oleh Bank Indonesia diatur dalam
Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
Paragraf 3
Pelaporan bagi LSP SPPUR yang Diakui oleh Bank Indonesia
Pasal 32
(1) LSP SPPUR yang diakui oleh Bank Indonesia wajib
menyampaikan laporan berkala dan laporan insidental
kepada Bank Indonesia secara benar dan lengkap.
(2) Dalam hal laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
tidak benar dan/atau tidak lengkap, LSP SPPUR yang
diakui oleh Bank Indonesia wajib menyampaikan koreksi
laporan.
(3) LSP SPPUR yang diakui oleh Bank Indonesia yang
melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan/atau ayat (2) dikenai sanksi administratif berupa:
a. teguran tertulis;
b. pembekuan dari daftar LSP SPPUR yang diakui oleh
Bank Indonesia; dan/atau
c. pencabutan dari daftar LSP SPPUR yang diakui oleh
Bank Indonesia.
- 21 -
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaporan bagi LSP SPPUR
yang diakui oleh Bank Indonesia diatur dalam Peraturan
Anggota Dewan Gubernur.
Bagian Kedua
Pengawasan
Pasal 33
(1) Bank Indonesia melakukan pengawasan kepada:
a. Pelaku SPPUR; dan
b. Penyelenggara,
terhadap pemenuhan ketentuan dalam Peraturan Bank
Indonesia ini.
(2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. pengawasan tidak langsung; dan
b. pengawasan langsung.
(3) Pengawasan tidak langsung sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) huruf a dilakukan terhadap laporan berkala dan
laporan insidental yang disampaikan oleh:
a. Pelaku SPPUR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30
ayat (1);
b. LPK SPPUR yang diakui oleh Bank Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1); dan
c. LSP SPPUR yang diakui oleh Bank Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1).
(4) Pengawasan langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf b dilakukan melalui pemeriksaan terhadap Pelaku
SPPUR dan Penyelenggara.
(5) Pelaku SPPUR dan Penyelenggara wajib memberikan
keterangan, penjelasan, rekaman, dan/atau dokumen yang
dibutuhkan dalam pemeriksaan oleh Bank Indonesia
sebagaimana dimaksud pada ayat (4).
(6) Pelaku SPPUR dan Penyelenggara wajib menindaklanjuti
hasil pengawasan yang dilakukan oleh Bank Indonesia.
- 22 -
(7) Pelaku SPPUR yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (5) dan/atau ayat (6) dikenai sanksi
administratif berupa:
a. teguran tertulis;
b. penundaan pemberian persetujuan pengembangan
produk, kerja sama, dan kegiatan lainnya di bidang
sistem pembayaran dan pengelolaan uang rupiah;
dan/atau
c. pencabutan izin sebagai penyelenggara jasa sistem
pembayaran dan pengelolaan uang rupiah.
(8) Penyelenggara yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (5) dan/atau ayat (6) dikenai sanksi
administratif berupa:
a. teguran tertulis;
b. pembekuan dari daftar Penyelenggara yang diakui oleh
Bank Indonesia; dan/atau
c. pencabutan dari daftar Penyelenggara yang diakui oleh
Bank Indonesia.
Pasal 34
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengawasan diatur dalam
Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
BAB VI
KOORDINASI
Pasal 35
(1) Dalam melaksanakan ketentuan dalam Peraturan Bank
Indonesia ini, Bank Indonesia dapat berkoordinasi dengan
otoritas terkait, lembaga yang berwenang, asosiasi profesi,
dan/atau asosiasi industri.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai koordinasi diatur dalam
Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
- 23 -
BAB VII
TAHAPAN IMPLEMENTASI
Pasal 36
Implementasi ketentuan mengenai kewajiban Pelaku SPPUR
untuk memastikan kepemilikan Sertifikat SPPUR sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) dilakukan dalam 3 (tiga) tahap:
a. tahap 1;
b. tahap 2; dan
c. tahap 3.
Pasal 37
(1) Implementasi tahap 1 sebagaimana dimaksud dalam Pasal
36 huruf a diberlakukan bagi Pelaku SPPUR berupa:
a. Bank dengan kategori Bank Umum Kegiatan Usaha 4
dan kategori Bank Umum Kegiatan Usaha 3; dan
b. LSB.
(2) Bank dan LSB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri
atas Bank dan LSB yang melaksanakan:
a. kegiatan operasional sistem pembayaran tunai;
b. kegiatan operasional sistem pembayaran nontunai
sebagai penyelenggara transfer dana;
c. kegiatan operasional sistem setelmen transaksi tresuri
dan pembiayaan perdagangan; dan
d. kegiatan operasional sistem penatausahaan surat
berharga.
(3) Kegiatan operasional sistem pembayaran tunai oleh LSB
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a berupa:
a. kegiatan usaha penukaran valuta asing; dan
b. kegiatan pembawaan uang kertas asing ke dalam
dan/atau ke luar daerah pabean Indonesia,
dengan rata-rata nilai transaksi lebih besar dari
Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) per bulan
dan memiliki risiko menengah sampai dengan tinggi.
- 24 -
(4) Kegiatan operasional sistem pembayaran nontunai sebagai
penyelenggara transfer dana oleh LSB sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf b berupa kegiatan dengan
rata-rata transaksi lebih besar dari Rp50.000.000.000,00
(lima puluh miliar rupiah) per bulan dan risiko menengah
sampai dengan tinggi.
Pasal 38
(1) Implementasi tahap 2 sebagaimana dimaksud dalam Pasal
36 huruf b diberlakukan bagi Pelaku SPPUR berupa:
a. Bank dengan kategori Bank Umum Kegiatan Usaha 2
dan kategori Bank Umum Kegiatan Usaha 1; dan
b. LSB.
(2) Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri
atas Bank yang melaksanakan:
a. kegiatan operasional sistem pembayaran tunai;
b. kegiatan operasional sistem pembayaran nontunai
sebagai penyelenggara transfer dana;
c. kegiatan operasional sistem setelmen transaksi tresuri
dan pembiayaan perdagangan; dan
d. kegiatan operasional sistem penatausahaan surat
berharga.
(3) LSB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b terdiri
atas LSB yang melaksanakan:
a. kegiatan operasional sistem pembayaran tunai; dan
b. kegiatan operasional sistem pembayaran nontunai
sebagai penyelenggara transfer dana.
(4) Kegiatan operasional sistem pembayaran tunai oleh LSB
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a berupa
kegiatan usaha penukaran valuta asing dan kegiatan
pembawaan uang kertas asing ke dalam dan/atau ke luar
daerah pabean Indonesia, dengan rata-rata nilai transaksi:
a.
lebih besar dari Rp50.000.000.000,00 (lima puluh
miliar rupiah) per bulan yang memiliki risiko rendah;
dan
- 25 -
b.
lebih kecil sama dengan Rp50.000.000.000,00 (lima
puluh miliar rupiah) per bulan yang memiliki risiko
rendah sampai dengan tinggi.
(5) Kegiatan operasional sistem pembayaran nontunai sebagai
penyelenggara transfer dana oleh LSB sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) huruf b berupa kegiatan dengan
rata-rata nilai transaksi:
a.
lebih besar dari Rp50.000.000.000,00 (lima puluh
miliar rupiah) per bulan yang memiliki risiko rendah;
dan
b.
lebih kecil sama dengan Rp50.000.000.000,00 (lima
puluh miliar rupiah) per bulan yang memiliki risiko
rendah sampai dengan tinggi.
Pasal 39
(1) Implementasi tahap 3 sebagaimana dimaksud dalam Pasal
36 huruf c diberlakukan bagi Pelaku SPPUR berupa:
a. Bank; dan
b. LSB.
(2) Pelaku SPPUR sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
merupakan Pelaku SPPUR yang melaksanakan kegiatan
operasional sistem pembayaran nontunai sebagai:
a. prinsipal;
b. penyelenggara switching;
c.
penerbit;
d. acquirer;
e. penyelenggara payment gateway;
f.
penyelenggara kliring;
g. penyelenggara penyelesaian akhir; dan
h. penyelenggara dompet elektronik.
(3) LSB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
merupakan LSB yang melaksanakan kegiatan operasional
sistem pembayaran tunai berupa kegiatan layanan kas.
- 26 -
Pasal 40
(1) Penetapan Bank yang masuk dalam kategori Bank Umum
Kegiatan Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37
ayat (1) huruf a dan Pasal 38 ayat (1) huruf a menggunakan
data terakhir pada saat Peraturan Bank Indonesia ini mulai
berlaku.
(2) Penetapan implementasi pada LSB sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 37 ayat (2) dan Pasal 38 ayat (3) menggunakan
data sebagai berikut:
a. data rata-rata transaksi 12 (dua belas) bulan terakhir
pada saat Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku;
dan
b. data national risk assessment dan sectoral risk
assessment posisi terakhir pada saat Peraturan Bank
Indonesia ini mulai berlaku.
Pasal 41
Ketentuan lebih lanjut mengenai tahapan implementasi diatur
dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
BAB VIII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 42
(1) Untuk implementasi tahap 1 sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 37, kewajiban Pelaku SPPUR untuk memastikan
kepemilikan Sertifikat SPPUR bagi Pegawai sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) dilaksanakan dengan
ketentuan sebagai berikut:
a. bagi pelaksana yang telah menduduki jabatannya
sebelum tanggal 1 Januari 2023 dilakukan mulai:
1. tanggal 1 Juli 2020 sampai dengan tanggal 30
Juni 2021, paling sedikit 30% (tiga puluh persen)
dari jumlah pelaksana;
2. tanggal 1 Juli 2021 sampai dengan tanggal 30
Juni 2022, paling sedikit 70% (tujuh puluh
persen) dari jumlah pelaksana;
- 27 -
3. tanggal 1 Juli 2022 sampai dengan tanggal 30
Juni 2023, untuk seluruh pelaksana; dan
b. bagi penyelia dan pejabat eksekutif yang telah
menduduki jabatannya sebelum tanggal 1 Januari
2024 dilakukan mulai:
1. tanggal 1 Juli 2021 sampai dengan tanggal 30
Juni 2022, paling sedikit 30% (tiga puluh persen)
dari jumlah penyelia dan pejabat eksekutif;
2. tanggal 1 Juli 2022 sampai dengan tanggal 30
Juni 2023, paling sedikit 70% (tujuh puluh
persen) dari jumlah penyelia dan pejabat
eksekutif; dan
3. tanggal 1 Juli 2023 sampai dengan tanggal 30
Juni 2024, untuk seluruh penyelia dan pejabat
eksekutif.
(2) Untuk implementasi tahap 2 sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 38, kewajiban Pelaku SPPUR untuk
memastikan kepemilikan Sertifikat SPPUR bagi Pegawai
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) yang telah
menduduki jabatannya sebelum tanggal 1 Juli 2023
dilakukan mulai:
a. tanggal 1 Januari 2022 sampai dengan tanggal 31
Desember 2022, paling sedikit 40% (empat puluh
persen) dari jumlah Pegawai; dan
b. tanggal 1 Januari 2023 sampai dengan tanggal 31
Desember 2023, untuk seluruh Pegawai.
(3) Untuk implementasi tahap 3 sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 39, kewajiban Pelaku SPPUR untuk
memastikan kepemilikan Sertifikat SPPUR bagi Pegawai
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) yang telah
menduduki jabatannya sebelum tanggal 1 Juli 2024
dilakukan mulai:
a. tanggal 1 Januari 2023 sampai dengan tanggal 31
Desember 2023, paling sedikit 40% (empat puluh
persen) dari jumlah Pegawai; dan
b. tanggal 1 Januari 2024 sampai dengan tanggal 31
Desember 2024, untuk seluruh Pegawai.
- 28 -
BAB IX
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 43
Kewajiban Pelaku SPPUR untuk memastikan kepemilikan
Sertifikat SPPUR setelah berakhirnya tahapan implementasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 dilaksanakan sesuai
dengan ketentuan Pasal 7 ayat (7), dengan pengaturan sebagai
berikut:
a. bagi pelaksana dalam implementasi tahap 1 sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 37, mulai berlaku sejak tanggal 1
Juli 2023;
b. bagi penyelia dan pejabat eksekutif dalam implementasi
tahap 1 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37, mulai
berlaku sejak tanggal 1 Juli 2024;
c. bagi Pegawai dalam implementasi tahap 2 sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 38, mulai berlaku sejak tanggal 1
Januari 2024; dan
d. bagi Pegawai dalam implementasi tahap 3 sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 39, mulai berlaku sejak tanggal 1
Januari 2025.
Pasal 44
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
- 29 -
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 30 Desember 2019
GUBERNUR BANK INDONESIA,
TTD
PERRY WARJIYO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 31 Desember 2019
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
TTD
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2019 NOMOR 260
- 1 -
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 21/ 16 /PBI/2019
TENTANG
STANDARDISASI KOMPETENSI DI BIDANG SISTEM PEMBAYARAN DAN
PENGELOLAAN UANG RUPIAH
I. UMUM
Perkembangan teknologi dan sistem informasi mendorong
berkembangnya sistem pembayaran dan pengelolaan uang rupiah sehingga
memunculkan berbagai inovasi yang mencakup antara lain instrumen
pembayaran, mekanisme pembayaran, dan infrastruktur sistem
pembayaran.
Untuk mengimbangi perkembangan tersebut, perlu didukung dengan
sumber daya manusia yang memiliki kompetensi di bidang sistem
pembayaran dan pengelolaan uang rupiah yang terstandar sehingga
mendukung terciptanya sistem pembayaran yang lancar, aman, efisien, dan
andal, serta pengelolaan uang rupiah yang mampu memenuhi kebutuhan
uang rupiah di masyarakat dalam jumlah nominal yang cukup, jenis
pecahan yang sesuai, tepat waktu, dan dalam kondisi yang layak edar serta
aman dari upaya pemalsuan di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia, sehingga berkontribusi terhadap perekonomian nasional dengan
memperhatikan aspek perluasan akses, perlindungan konsumen, dan
kepentingan nasional.
Sebagai salah satu upaya untuk menciptakan sumber daya manusia
yang memiliki kompetensi di bidang sistem pembayaran dan pengelolaan
uang rupiah, Bank Indonesia perlu mengatur Standardisasi Kompetensi
SPPUR. Dalam mengembangkan Standardisasi Kompetensi SPPUR, Bank
- 2 -
Indonesia mempertimbangkan ketentuan mengenai sistem standardisasi
kompetensi kerja nasional dengan mengikutsertakan otoritas atau lembaga
yang berwenang, asosiasi profesi, asosiasi industri, perwakilan Pelaku
SPPUR, dan akademisi.
Pengaturan standardisasi kompetensi di bidang sistem pembayaran
dan pengelolaan uang rupiah diwujudkan dalam bentuk kewajiban Pelaku
SPPUR untuk memastikan pelaksana, penyelia, dan pejabat eksekutif
memiliki kompetensi di bidang sistem pembayaran dan pengelolaan uang
rupiah yang dibuktikan dengan kepemilikan Sertifikat SPPUR.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Huruf a
Yang termasuk kegiatan operasional sistem pembayaran tunai
antara lain kegiatan layanan kas, kegiatan usaha penukaran
valuta asing, dan kegiatan pembawaan uang kertas asing ke
dalam dan/atau ke luar daerah pabean Indonesia.
Huruf b
Yang termasuk kegiatan operasional sistem pembayaran
nontunai antara lain kegiatan pemrosesan transaksi pembayaran
yang dilakukan oleh Pelaku SPPUR.
Pelaku SPPUR yang melakukan kegiatan pemrosesan transaksi
pembayaran nontunai antara lain sebagai prinsipal,
penyelenggara switching, penerbit, acquirer, penyelenggara
payment gateway, penyelenggara kliring, penyelenggara
penyelesaian akhir, penyelenggara transfer dana, dan
penyelenggara dompet elektronik.
- 3 -
Huruf c
Yang dimaksud dengan “kegiatan operasional sistem setelmen
transaksi tresuri” adalah kegiatan setelmen atas transaksi tresuri
antara lain transaksi money market, transaksi fixed income,
transaksi foreign exchange, dan transaksi derivatif.
Yang dimaksud dengan “kegiatan operasional sistem setelmen
transaksi pembiayaan perdagangan” adalah kegiatan setelmen
pembayaran atas transaksi pembelian dan penjualan barang dan
jasa dalam perdagangan internasional maupun dalam negeri
(trade finance) antara lain documentary credit dan documentary
collection seperti letter of credit, surat kredit berdokumen dalam
negeri, open account, bank garansi, standby letter of credit,
demand guarantee, dan bank payment obligation.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “kegiatan operasional sistem
penatausahaan surat berharga” adalah kegiatan penatausahaan
surat berharga milik nasabah yang dilakukan oleh Pelaku SPPUR
sebagai sub-registry yang dilakukan melalui Bank Indonesia
Scripless Securities Settlement System, meliputi kegiatan
pencatatan kepemilikan, penyelesaian transaksi, dan aksi
korporasi.
Huruf e
Cukup jelas.
Pasal 5
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
SKKNI Bidang SPPUR yang ditetapkan oleh Menteri
Ketenagakerjaan Republik Indonesia merupakan hasil
kesepakatan dalam konvensi nasional.
Ayat (3)
Jenjang Kualifikasi SPPUR yang ditetapkan oleh Bank Indonesia
merupakan hasil kesepakatan dalam konvensi nasional.
Pasal 6
Cukup jelas.
- 4 -
Pasal 7
Ayat (1)
Pelaku SPPUR memastikan Pegawai yang melaksanakan Kegiatan
SPPUR memiliki Sertifikat SPPUR antara lain dengan
mengidentifikasi Pegawai yang harus memiliki Sertifikat SPPUR
dan mengikutsertakan Pegawai dalam PBK SPPUR atau Sertifikasi
Kompetensi SPPUR.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Skala usaha ditetapkan berdasarkan antara lain rata-rata
transaksi Pelaku SPPUR.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Ayat (1)
Cukup jelas.
- 5 -
Ayat (2)
Dalam memberikan persetujuan, Bank Indonesia dapat
melibatkan antara lain otoritas terkait, lembaga yang berwenang,
asosiasi profesi, dan/atau asosiasi industri.
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “asosiasi profesi” antara lain
asosiasi profesi di bidang jasa keuangan yang telah
tercatat dalam Kementerian Hukum dan Hak Asasi
Manusia Republik Indonesia.
Yang dimaksud dengan “asosiasi industri” antara lain
Asosiasi Bank Kustodian Indonesia, Afiliasi Pedagang
Valuta Asing, Asosiasi Bank Pembangunan Daerah,
Asosiasi Bank Syariah Indonesia, Asosiasi Sistem
Pembayaran Indonesia, Himpunan Bank Milik Negara,
International Chamber of Commerce Indonesia,
Indonesia Foreign Exchange Market Committee,
Perhimpunan Bank Nasional, dan Perhimpunan Bank-
Bank Internasional Indonesia.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
- 6 -
Huruf b
Termasuk asosiasi profesi antara lain asosiasi profesi di
bidang jasa keuangan yang telah tercatat dalam Kementerian
Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia.
Termasuk asosiasi industri antara lain Asosiasi Bank
Kustodian Indonesia, Afiliasi Pedagang Valuta Asing, Asosiasi
Bank Pembangunan Daerah, Asosiasi Bank Syariah
Indonesia, Asosiasi Sistem Pembayaran Indonesia,
Himpunan Bank Milik Negara, International Chamber of
Commerce Indonesia, Indonesia Foreign Exchange Market
Committee, Perhimpunan Bank Nasional, dan Perhimpunan
Bank-Bank Internasional Indonesia.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “lembaga yang berwenang” adalah
lembaga yang berwenang memberikan izin dan tanda daftar
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-
undangan mengenai tata cara perizinan dan pendaftaran lembaga
pelatihan kerja.
Ayat (3)
Huruf a
Termasuk asosiasi profesi antara lain asosiasi profesi di
bidang jasa keuangan yang telah tercatat dalam Kementerian
Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia.
Termasuk asosiasi industri antara lain Asosiasi Bank
Kustodian Indonesia, Afiliasi Pedagang Valuta Asing, Asosiasi
Bank Pembangunan Daerah, Asosiasi Bank Syariah
Indonesia, Asosiasi Sistem Pembayaran Indonesia,
Himpunan Bank Milik Negara, International Chamber of
Commerce Indonesia, Indonesia Foreign Exchange Market
Committee, Perhimpunan Bank Nasional, dan Perhimpunan
Bank-Bank Internasional Indonesia.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
- 7 -
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 13
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “lembaga yang berwenang” adalah
lembaga yang berwenang memberikan izin dan tanda daftar
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-
undangan mengenai tata cara perizinan dan pendaftaran lembaga
pelatihan kerja.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Sarana yang ditetapkan oleh Bank Indonesia antara lain laman
resmi Bank Indonesia dan/atau media publikasi lainnya.
Pasal 14
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “akreditasi” adalah proses pemberian
pengakuan formal yang menyatakan bahwa suatu lembaga telah
memenuhi persyaratan untuk melakukan kegiatan pelatihan
kerja sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan mengenai akreditasi lembaga pelatihan
kerja.
Yang dimaksud dengan “lembaga yang berwenang” adalah
lembaga yang melakukan akreditasi lembaga pelatihan kerja
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-
undangan mengenai akreditasi lembaga pelatihan kerja.
- 8 -
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Ayat (1)
Pelaku SPPUR yang memenuhi kriteria yang ditetapkan Bank
Indonesia antara lain Pelaku SPPUR yang mengalami kesulitan
pembiayaan dan Pelaku SPPUR merupakan industri yang baru
berdiri atau kegiatannya masih berkembang.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Ayat (1)
Termasuk asosiasi profesi antara lain asosiasi profesi di bidang
jasa keuangan yang telah tercatat dalam Kementerian Hukum
dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia.
Termasuk asosiasi industri antara lain Asosiasi Bank Kustodian
Indonesia, Afiliasi Pedagang Valuta Asing, Asosiasi Bank
Pembangunan Daerah, Asosiasi Bank Syariah Indonesia, Asosiasi
Sistem Pembayaran Indonesia, Himpunan Bank Milik Negara,
International Chamber of Commerce Indonesia, Indonesia Foreign
Exchange Market Committee, Perhimpunan Bank Nasional, dan
Perhimpunan Bank-Bank Internasional Indonesia.
- 9 -
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “lembaga yang berwenang” adalah
lembaga yang berwenang melaksanakan sertifikasi kompetensi
kerja sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan mengenai badan nasional sertifikasi
profesi.
Ayat (3)
Huruf a
Termasuk asosiasi profesi antara lain asosiasi profesi di
bidang jasa keuangan yang telah tercatat dalam Kementerian
Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia.
Termasuk asosiasi industri antara lain Asosiasi Bank
Kustodian Indonesia, Afiliasi Pedagang Valuta Asing, Asosiasi
Bank Pembangunan Daerah, Asosiasi Bank Syariah
Indonesia, Asosiasi Sistem Pembayaran Indonesia,
Himpunan Bank Milik Negara, International Chamber of
Commerce Indonesia, Indonesia Foreign Exchange Market
Committee, Perhimpunan Bank Nasional, dan Perhimpunan
Bank-Bank Internasional Indonesia.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Yang dimaksud dengan “komite skema sertifikasi kompetensi”
adalah komite sebagaimana dimaksud dalam ketentuan
peraturan perundang-undangan
mengenai pedoman
pengembangan dan pemeliharaan skema sertifikasi profesi.
Pasal 21
Ayat (1)
Cukup jelas.
- 10 -
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Sarana yang ditetapkan oleh Bank Indonesia antara lain laman
resmi Bank Indonesia dan/atau media publikasi lainnya.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “memastikan Pegawai yang memiliki
Sertifikat SPPUR melakukan Pemeliharaan Kompetensi SPPUR”
antara lain mengikutsertakan Pegawai pemilik Sertifikat SPPUR
dalam Pemeliharaan Kompetensi SPPUR.
Pemeliharaan Kompetensi SPPUR dilakukan antara lain melalui
ujian tertulis, in-house training, seminar, workshop, lokakarya,
dan/atau e-learning dengan topik yang sejalan dengan Sertifikat
SPPUR yang dimiliki.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
- 11 -
Pasal 27
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “lembaga pendidikan” antara lain
lembaga pendidikan formal dan lembaga pendidikan
nonformal.
Huruf b
Termasuk asosiasi profesi antara lain asosiasi profesi di
bidang jasa keuangan yang telah tercatat dalam Kementerian
Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia.
Huruf c
Termasuk asosiasi industri antara lain Asosiasi Bank
Kustodian Indonesia, Afiliasi Pedagang Valuta Asing, Asosiasi
Bank Pembangunan Daerah, Asosiasi Bank Syariah
Indonesia, Asosiasi Sistem Pembayaran Indonesia,
Himpunan Bank Milik Negara, International Chamber of
Commerce Indonesia, Indonesia Foreign Exchange Market
Committee, Perhimpunan Bank Nasional, dan Perhimpunan
Bank-Bank Internasional Indonesia.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
- 12 -
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “laporan berkala” adalah laporan dengan
periode waktu yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 31
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “laporan berkala” adalah laporan dengan
periode waktu yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 32
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “laporan berkala” adalah laporan dengan
periode waktu yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
- 13 -
Pasal 33
Ayat (1)
Huruf a
Pengawasan terhadap Pelaku SPPUR berupa pemenuhan
ketentuan Bank Indonesia mengenai standardisasi
kompetensi di bidang sistem pembayaran dan pengelolaan
uang rupiah terkait pemenuhan kewajiban Pelaku SPPUR
dalam penerapan SKKNI Bidang SPPUR dan Jenjang
Kualifikasi SPPUR.
Huruf b
Pengawasan terhadap Penyelenggara berupa pemenuhan
ketentuan Bank Indonesia mengenai standardisasi
kompetensi di bidang sistem pembayaran dan pengelolaan
uang rupiah terkait penyelenggaraan PBK SPPUR dan
Sertifikasi Kompetensi SPPUR.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Ayat (1)
Otoritas terkait antara lain Otoritas Jasa Keuangan dan
Kementerian Ketenagakerjaan Republik Indonesia.
- 14 -
Yang dimaksud dengan “lembaga yang berwenang” adalah:
a. lembaga yang berwenang memberikan izin dan tanda daftar
lembaga pelatihan kerja sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai tata
cara perizinan dan pendaftaran lembaga pelatihan kerja; dan
b. lembaga yang berwenang melaksanakan sertifikasi
kompetensi kerja sebagaimana dimaksud dalam ketentuan
peraturan perundang-undangan mengenai badan nasional
sertifikasi profesi.
Termasuk asosiasi profesi antara lain asosiasi profesi di bidang
jasa keuangan yang telah tercatat dalam Kementerian Hukum
dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia.
Termasuk asosiasi industri antara lain Asosiasi Bank Kustodian
Indonesia, Afiliasi Pedagang Valuta Asing, Asosiasi Bank
Pembangunan Daerah, Asosiasi Bank Syariah Indonesia, Asosiasi
Sistem Pembayaran Indonesia, Himpunan Bank Milik Negara,
International Chamber of Commerce Indonesia, Indonesia Foreign
Exchange Market Committee, Perhimpunan Bank Nasional, dan
Perhimpunan Bank-Bank Internasional Indonesia.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 36
Cukup jelas.
Pasal 37
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “Bank dengan kategori Bank Umum
Kegiatan Usaha 4 dan Bank Umum Kegiatan Usaha 3” adalah
Bank kategori Bank Umum Kegiatan Usaha 4 dan Bank
Umum Kegiatan Usaha 3 sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai
kegiatan usaha dan jaringan kantor berdasarkan modal inti
bank.
Huruf b
Cukup jelas.
- 15 -
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Risiko menengah sampai dengan tinggi ditetapkan berdasarkan
national risk assessment dan sectoral risk assessment
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-
undangan mengenai penerapan anti pencucian uang dan
pencegahan pendanaan terorisme bagi penyelenggara jasa sistem
pembayaran selain bank dan penyelenggara kegiatan usaha
penukaran valuta asing bukan bank.
Ayat (4)
Risiko menengah sampai dengan tinggi ditetapkan berdasarkan
national risk assessment dan sectoral risk assessment
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-
undangan mengenai penerapan anti pencucian uang dan
pencegahan pendanaan terorisme bagi penyelenggara jasa sistem
pembayaran selain bank dan penyelenggara kegiatan usaha
penukaran valuta asing bukan bank.
Pasal 38
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “Bank dengan kategori Bank Umum
Kegiatan Usaha 2 dan Bank Umum Kegiatan Usaha 1” adalah
Bank kategori Bank Umum Kegiatan Usaha 2 dan Bank
Umum Kegiatan Usaha 1 sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai
kegiatan usaha dan jaringan kantor berdasarkan modal inti
bank.
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
- 16 -
Ayat (4)
Risiko rendah sampai dengan tinggi ditetapkan berdasarkan
national risk assessment dan sectoral risk assessment
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan perundang-undangan
mengenai penerapan anti pencucian uang dan pencegahan
pendanaan terorisme bagi penyelenggara jasa sistem pembayaran
selain bank dan penyelenggara kegiatan usaha penukaran valuta
asing bukan bank.
Ayat (5)
Risiko rendah sampai dengan tinggi ditetapkan berdasarkan
national risk assessment dan sectoral risk assessment
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan perundang-undangan
mengenai penerapan anti pencucian uang dan pencegahan
pendanaan terorisme bagi penyelenggara jasa sistem pembayaran
selain bank dan penyelenggara kegiatan usaha penukaran valuta
asing bukan bank.
Pasal 39
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “prinsipal” adalah prinsipal
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia
mengenai penyelenggaraan kegiatan alat pembayaran
dengan menggunakan kartu dan ketentuan Bank Indonesia
mengenai uang elektronik.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “penyelenggara switching” adalah
penyelenggara switching sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan Bank Indonesia mengenai penyelenggaraan
pemrosesan transaksi pembayaran.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “penerbit” adalah penerbit
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia
mengenai penyelenggaraan kegiatan alat pembayaran
- 17 -
dengan menggunakan kartu dan ketentuan Bank Indonesia
mengenai uang elektronik.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “acquirer” adalah acquirer
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia
mengenai penyelenggaraan kegiatan alat pembayaran
dengan menggunakan kartu dan ketentuan Bank Indonesia
mengenai uang elektronik.
Huruf e
Yang dimaksud dengan “penyelenggara payment gateway”
adalah penyelenggara payment gateway sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai
penyelenggaraan pemrosesan transaksi pembayaran.
Huruf f
Yang dimaksud dengan “penyelenggara kliring” adalah
penyelenggara kliring sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan Bank Indonesia mengenai penyelenggaraan
kegiatan alat pembayaran dengan menggunakan kartu dan
ketentuan Bank Indonesia mengenai uang elektronik.
Huruf g
Yang dimaksud dengan “penyelenggara penyelesaian akhir”
adalah penyelenggara penyelesaian akhir sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai
penyelenggaraan kegiatan alat pembayaran dengan
menggunakan kartu dan ketentuan Bank Indonesia
mengenai uang elektronik.
Huruf h
Yang dimaksud dengan “penyelenggara dompet elektronik”
adalah penyelenggara dompet elektronik sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai
penyelenggaraan pemrosesan transaksi pembayaran.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 40
Cukup jelas.
- 18 -
Pasal 41
Cukup jelas.
Pasal 42
Cukup jelas.
Pasal 43
Cukup jelas.
Pasal 44
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6448
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 21/16/PBI/2019 </reg_id>
<reg_title> STANDARDISASI KOMPETENSI DI BIDANG SISTEM PEMBAYARAN DAN PENGELOLAAN UANG RUPIAH </reg_title>
<set_date> 30 Desember 2019 </set_date>
<effective_date> 31 Desember 2019 </effective_date>
<issued_date> 31 Desember 2019 </issued_date>
<related_reg> '2/PERPPU/2008', '6/UU/2009', '23/UU/1999' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB II Pasal 7 Ayat (8)', 'BAB II Pasal 10 Ayat (2)', 'BAB III Bagian Kesatu Pasal 14 Ayat (2)', 'BAB III Bagian Kesatu Pasal 17 Ayat (2)', 'BAB III Bagian Kedua Pasal 24 Ayat (2)', 'BAB IV Pasal 26 Ayat (4)', 'BAB IV Pasal 28 Ayat (2)', 'BAB V Bagian Kesatu Paragraf 1 Pasal 30 Ayat (3)', 'BAB V Bagian Kesatu Paragraf 2 Pasal 31 Ayat (3)', 'BAB V Bagian Kesatu Paragraf 3 Pasal 32 Ayat (3)', 'BAB V Bagian Kedua Pasal 33 Ayat (7)', 'BAB V Bagian Kedua Pasal 33 Ayat (8)' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 7/2/PBI/2005
TENTANG
PENILAIAN KUALITAS AKTIVA
BANK UMUM
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang: a. bahwa kelangsungan usaha bank antara lain tergantung
dari kemampuan dan efektifitas bank dalam mengelola
risiko kredit dan meminimalkan potensi kerugian;
rangka mengelola
b. bahwa dalam
risiko
kredit
dan
meminimalkan potensi kerugian, bank wajib menjaga
kualitas aktiva dan wajib membentuk penyisihan
penghapusan aktiva;
c. bahwa kewajiban pembentukan penyisihan penghapusan
aktiva perlu diberlakukan terhadap aktiva produktif dan
aktiva non produktif;
d. bahwa sebagai salah satu upaya untuk meminimalkan
potensi kerugian dari debitur bermasalah, bank dapat
melakukan restrukturisasi kredit atas debitur yang masih
memiliki prospek usaha dan kemampuan membayar;
e. bahwa …
- 2 -
e. bahwa ketentuan mengenai kualitas aktiva, pembentukan
penyisihan penghapusan aktiva dan restrukturisasi kredit
merupakan ketentuan yang
saling
terkait sehingga
dipandang perlu untuk menyatukan ketentuan tersebut
dalam satu pengaturan;
f. bahwa sehubungan dengan hal tersebut dipandang perlu
untuk mengatur kembali penilaian kualitas aktiva bank
umum dalam suatu Peraturan Bank Indonesia;
Mengingat:
1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 1998
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998
Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3790);
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004
Nomor 7, Tambahan Lembaga Negara Republik
Indonesia Nomor 4357);
MEMUTUSKAN …
- 3 -
M E M U T U S K A N:
Menetapkan:
PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG
PENILAIAN KUALITAS AKTIVA BANK UMUM.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 termasuk kantor cabang bank
asing, yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional.
2. Aktiva adalah aktiva produktif dan aktiva non produktif.
3. Aktiva Produktif adalah penyediaan dana Bank untuk memperoleh
penghasilan, dalam bentuk kredit, surat berharga, penempatan dana antar
bank, tagihan akseptasi, tagihan atas surat berharga yang dibeli dengan janji
dijual kembali (reverse repurchase agreement), tagihan derivatif,
penyertaan, transaksi rekening administratif serta bentuk penyediaan dana
lainnya yang dapat dipersamakan dengan itu.
4. Aktiva Non Produktif adalah aset Bank selain Aktiva Produktif yang
memiliki potensi kerugian, antara lain dalam bentuk agunan yang diambil
alih, properti terbengkalai (abandoned property), rekening antar kantor dan
suspense account.
5. Kredit …
- 4 -
5.
Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan
dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam
antara Bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk
melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga,
termasuk:
a. cerukan (overdraft), yaitu saldo negatif pada rekening giro nasabah
yang tidak dapat dibayar lunas pada akhir hari;
b. pengambilalihan tagihan dalam rangka kegiatan anjak piutang;
c. pengambilalihan atau pembelian kredit dari pihak lain.
6. Surat Berharga adalah surat pengakuan utang, wesel, obligasi, sekuritas
kredit, atau setiap derivatifnya, atau kepentingan lain, atau suatu kewajiban
dari penerbit, dalam bentuk yang lazim diperdagangkan dalam pasar modal
dan pasar uang.
7. Penempatan adalah penanaman dana Bank pada bank lain dalam bentuk
giro, interbank call money, deposito berjangka, sertifikat deposito, kredit
dan penanaman dana lainnya yang sejenis.
8.
9.
Tagihan Akseptasi adalah tagihan yang timbul sebagai akibat akseptasi
yang dilakukan terhadap wesel berjangka.
Tagihan Derivatif adalah tagihan karena potensi keuntungan dari suatu
perjanjian/kontrak transaksi derivatif (selisih positif antara nilai kontrak
dengan nilai wajar transaksi derivatif pada tanggal laporan), termasuk
potensi keuntungan karena mark to market dari transaksi spot yang masih
berjalan.
10. Penyertaan Modal adalah penanaman dana Bank dalam bentuk saham pada
bank dan perusahaan di bidang keuangan lainnya sebagaimana diatur dalam
peraturan perundang-undangan
yang berlaku, seperti
perusahaan sewa
guna …
- 5 -
guna usaha, modal ventura, perusahaan efek, asuransi, serta lembaga kliring
penyelesaian dan penyimpanan, termasuk penanaman dalam bentuk surat
utang konversi (convertible bonds) dengan opsi saham (equity options) atau
jenis transaksi tertentu yang berakibat Bank memiliki atau akan memiliki
saham pada bank dan atau perusahaan yang bergerak di bidang keuangan
lainnya.
11. Penyertaan Modal Sementara adalah penyertaan modal oleh Bank pada
perusahaan debitur untuk mengatasi kegagalan Kredit (debt to equity
swap), termasuk
penanaman dalam bentuk surat utang konversi
(convertible bonds) dengan opsi saham (equity options) atau jenis transaksi
tertentu yang berakibat Bank memiliki atau akan memiliki saham pada
perusahaan debitur.
12. Transaksi Rekening Administratif adalah kewajiban komitmen dan
kontinjensi yang antara lain meliputi penerbitan jaminan, letter of credit,
standby letter of credit, fasilitas Kredit yang belum ditarik dan atau
kewajiban komitmen dan kontinjensi lain.
13. Sertifikat Bank Indonesia yang untuk selanjutnya disebut SBI adalah surat
berharga dalam mata uang Rupiah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia
sebagai pengakuan utang berjangka waktu pendek.
14. Surat Utang Negara yang untuk selanjutnya disebut SUN adalah
surat
berharga yang berupa surat pengakuan utang dalam mata uang Rupiah
maupun valuta asing yang diterbitkan dan dijamin pembayaran bunga dan
pokoknya oleh Negara Republik Indonesia, sesuai dengan masa
berlakunya.
15. Agunan yang Diambil Alih yang untuk selanjutnya disebut AYDA adalah
aktiva yang diperoleh Bank, baik melalui pelelangan maupun diluar
pelelangan …
- 6 -
pelelangan berdasarkan penyerahan secara sukarela oleh pemilik agunan
atau berdasarkan kuasa untuk menjual di luar lelang dari pemilik agunan
dalam hal debitur tidak memenuhi kewajibannya kepada Bank.
16. Properti Terbengkalai (abandoned property) adalah aktiva tetap dalam
bentuk properti yang dimiliki Bank tetapi tidak digunakan untuk kegiatan
usaha Bank yang lazim.
17. Rekening Antar Kantor adalah tagihan yang timbul dari transaksi antar
kantor yang belum diselesaikan dalam jangka waktu tertentu.
18. Suspense Account adalah akun yang
tujuan pencatatannya tidak
teridentifikasi atau tidak didukung dengan dokumentasi pencatatan yang
memadai sehingga tidak dapat direklasifikasi dalam akun yang seharusnya.
19. Penyisihan Penghapusan Aktiva yang untuk selanjutnya disebut PPA
adalah cadangan yang
harus dibentuk
berdasarkan kualitas Aktiva.
20. Pihak Terkait adalah pihak terkait sebagaimana diatur dalam ketentuan
Bank Indonesia mengenai Batas Maksimum Pemberian Kredit.
21. Kelompok Peminjam adalah kelompok peminjam sebagaimana diatur
dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai Batas Maksimum Pemberian
Kredit.
22. Kewajiban Penyediaan Modal Minimum yang untuk selanjutnya disebut
KPMM adalah Kewajiban Penyediaan Modal Minimum sebagaimana
diatur dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai Kewajiban Penyediaan
Modal Minimum Bank Umum.
23. Direksi:
a. bagi
Bank
berbentuk
hukum perseroan terbatas adalah direksi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor
1 tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas;
b. bagi …
sebesar persentase tertentu
- 7 -
b. bagi Bank berbentuk hukum perusahaan daerah adalah direksi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 Undang-Undang Nomor 5
tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah;
c. bagi Bank berbentuk hukum koperasi adalah pengurus sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 29 Undang-Undang Nomor 25 tahun 1992
tentang Perkoperasian,
termasuk pimpinan kantor cabang bank asing.
24. Komisaris:
a. bagi Bank berbentuk hukum perseroan terbatas adalah komisaris
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor
1 tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas;
b. bagi Bank berbentuk hukum perusahaan daerah adalah pengawas
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19
tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah;
Undang-Undang Nomor 5
c. bagi Bank berbentuk hukum koperasi adalah pengawas sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 38 Undang-Undang Nomor 25 tahun 1992
tentang Perkoperasian,
termasuk pejabat yang ditunjuk kantor pusat bank asing untuk melakukan
fungsi pengawasan.
25. Restrukturisasi Kredit adalah upaya perbaikan yang dilakukan Bank dalam
kegiatan perkreditan terhadap debitur yang mengalami kesulitan untuk
memenuhi kewajibannya, yang dilakukan antara lain melalui:
a. penurunan suku bunga Kredit;
b. perpanjangan jangka waktu Kredit;
c. pengurangan tunggakan bunga Kredit;
d. pengurangan tunggakan pokok Kredit;
e. penambahan …
- 8 -
e. penambahan fasilitas Kredit; dan atau
f. konversi Kredit menjadi Penyertaan Modal Sementara.
BAB II
KUALITAS AKTIVA
Pasal 2
(1) Penyediaan dana oleh Bank wajib dilaksanakan berdasarkan prinsip kehati-
hatian.
(2) Dalam rangka pelaksanaan prinsip kehati-hatian sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Direksi wajib menilai, memantau dan mengambil langkah-
langkah yang diperlukan agar kualitas Aktiva senantiasa baik.
Pasal 3
Penilaian kualitas dilakukan terhadap Aktiva Produktif dan Aktiva Non
Produktif.
Pasal 4
(1) Bank wajib melakukan penilaian dan penetapan kualitas Aktiva sesuai
dengan Peraturan Bank Indonesia ini.
(2) Dalam hal terjadi perbedaan penilaian kualitas Aktiva antara Bank dan
Bank Indonesia, kualitas Aktiva yang diberlakukan adalah kualitas yang
ditetapkan oleh Bank Indonesia.
(3) Bank …
- 9 -
(3) Bank wajib menyesuaikan kualitas Aktiva sesuai dengan penilaian kualitas
yang ditetapkan oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dalam laporan-laporan yang disampaikan kepada Bank Indonesia dan atau
laporan publikasi sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia
yang berlaku, paling lambat pada periode laporan berikutnya setelah
pemberitahuan dari Bank Indonesia.
BAB III
AKTIVA PRODUKTIF
Bagian Pertama
Umum
Pasal 5
(1) Bank wajib menetapkan kualitas yang sama terhadap beberapa rekening
Aktiva Produktif yang digunakan untuk membiayai 1 (satu) debitur.
(2) Penetapan kualitas yang sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku
pula untuk Aktiva Produktif yang diberikan oleh lebih dari 1 (satu) Bank.
(3) Dalam hal terdapat penetapan kualitas Aktiva Produktif yang berbeda untuk
1 (satu) debitur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), kualitas
masing-masing Aktiva Produktif mengikuti kualitas Aktiva Produktif yang
paling rendah.
Pasal 6
(1) Bank wajib menetapkan kualitas yang sama terhadap Aktiva Produktif
yang digunakan untuk membiayai proyek yang sama.
(2) Penetapan …
- 10 -
(2) Penetapan kualitas yang sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku
pula untuk Aktiva Produktif yang diberikan oleh lebih dari 1 (satu) Bank.
(3) Dalam hal terdapat penetapan kualitas Aktiva Produktif yang berbeda untuk
proyek yang sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2),
kualitas masing-masing Aktiva
Produktif yang paling rendah.
Produktif mengikuti kualitas Aktiva
Pasal 7
Bank wajib menyesuaikan penilaian kualitas Aktiva Produktif sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) dan Pasal 6 ayat (2) paling kurang setiap 3 (tiga)
bulan, yaitu untuk posisi akhir bulan Maret, Juni, September dan Desember.
Pasal 8
Penetapan kualitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) dan Pasal 6
ayat (2) tidak diberlakukan untuk Aktiva Produktif yang diberikan oleh setiap
Bank sampai dengan jumlah Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) kepada
setiap debitur atau proyek yang sama.
Pasal 9
(1) Bank wajib memiliki
ketentuan
intern
yang mengatur kriteria
dan
persyaratan debitur yang wajib menyampaikan laporan keuangan yang
telah diaudit Akuntan Publik kepada Bank, termasuk aturan mengenai batas
waktu penyampaian laporan tersebut.
(2) Kewajiban …
- 11 -
(2) Kewajiban debitur untuk menyampaikan laporan keuangan yang telah
diaudit Akuntan Publik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
dicantumkan dalam perjanjian antara Bank dan debitur.
(3) Ketentuan intern sebagaimana dimaksud
memperhatikan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(4) Kualitas Aktiva Produktif dari debitur yang tidak menyampaikan laporan
keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diturunkan satu tingkat dan
dinilai paling tinggi Kurang Lancar.
Bagian Kedua
Kredit
Pasal 10
Kualitas Kredit ditetapkan berdasarkan faktor penilaian sebagai berikut:
a.
prospek usaha;
b.
c.
kinerja (performance) debitur; dan
kemampuan membayar.
Pasal 11
(1) Penilaian terhadap prospek usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10
huruf a meliputi penilaian terhadap komponen-komponen sebagai berikut:
a. potensi pertumbuhan usaha;
b. kondisi pasar dan posisi debitur dalam persaingan;
c. kualitas manajemen dan permasalahan tenaga kerja;
d. dukungan dari grup atau afiliasi; dan
e. upaya yang dilakukan debitur dalam rangka memelihara lingkungan
hidup.
(2) Penilaian …
pada ayat (1) wajib
- 12 -
(2) Penilaian terhadap kinerja debitur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10
huruf b meliputi penilaian terhadap komponen-komponen sebagai berikut:
a. perolehan laba;
b. struktur permodalan;
c. arus kas; dan
d. sensitivitas terhadap risiko pasar.
(3) Penilaian terhadap kemampuan membayar sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 10 huruf c meliputi penilaian terhadap komponen-komponen sebagai
berikut:
a. ketepatan pembayaran pokok dan bunga;
b. ketersediaan dan keakuratan informasi keuangan debitur;
c. kelengkapan dokumentasi Kredit;
d. kepatuhan terhadap perjanjian Kredit;
e. kesesuaian penggunaan dana; dan
f. kewajaran sumber pembayaran kewajiban.
Pasal 12
(1) Penetapan kualitas Kredit dilakukan dengan melakukan analisis terhadap
faktor penilaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 dengan
mempertimbangkan komponen-komponen sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 11.
(2) Penetapan kualitas Kredit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
dengan mempertimbangkan:
a. signifikansi dan materialitas dari setiap faktor penilaian dan
komponen; serta
b. relevansi …
- 13 -
b. relevansi dari faktor penilaian dan komponen terhadap debitur yang
bersangkutan.
(3) Berdasarkan penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2),
kualitas Kredit ditetapkan menjadi:
a. Lancar;
b. Dalam Perhatian Khusus;
c. Kurang Lancar;
d. Diragukan; atau
e. Macet.
Bagian Ketiga
Surat Berharga
Pasal 13
(1) Bank wajib memiliki kebijakan dan prosedur tertulis mengenai Aktiva
Produktif dalam bentuk Surat Berharga.
(2) Kebijakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disetujui oleh
Komisaris.
(3) Prosedur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disetujui paling
kurang oleh Direksi.
(4) Komisaris wajib melakukan pengawasan secara aktif terhadap pelaksanaan
kebijakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(5) Kebijakan dan prosedur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dari kebijakan manajemen risiko Bank
sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku.
Pasal 14 …
- 14 -
Pasal 14
(1) Kualitas Surat Berharga yang diakui berdasarkan nilai pasar ditetapkan
memiliki kualitas Lancar sepanjang memenuhi persyaratan:
a. aktif diperdagangkan di bursa efek di Indonesia;
b. terdapat informasi nilai pasar secara transparan;
c. kupon atau kewajiban lain yang sejenis dibayar dalam jumlah dan
waktu yang tepat, sesuai perjanjian; dan
d. belum jatuh tempo.
(2) Kualitas Surat Berharga yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a dan atau huruf b atau Surat Berharga yang
diakui berdasarkan harga perolehan ditetapkan sebagai berikut:
a. Lancar, apabila:
1) memiliki peringkat investasi atau lebih tinggi;
2) kupon atau kewajiban lain yang sejenis dibayar dalam jumlah dan
waktu yang tepat, sesuai perjanjian; dan
3) belum jatuh tempo.
b. Kurang Lancar, apabila:
1) memiliki peringkat investasi atau lebih tinggi;
2) terdapat penundaan pembayaran kupon atau kewajiban lain yang
sejenis; dan
3) belum jatuh tempo,
atau
1) memiliki peringkat paling kurang 1 (satu) tingkat dibawah
peringkat investasi;
2) tidak terdapat penundaan pembayaran penundaan pembayaran
kupon atau kewajiban lain yang sejenis; dan
3) belum jatuh tempo.
c. Macet …
- 15 -
c. Macet, apabila Surat Berharga tidak memenuhi kriteria sebagaimana
dimaksud pada huruf a dan b.
Pasal 15
(1) Peringkat Surat Berharga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2)
didasarkan pada peringkat yang diterbitkan oleh lembaga pemeringkat
dalam satu tahun terakhir, sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia yang
berlaku.
(2) Dalam hal peringkat yang diterbitkan oleh lembaga pemeringkat dalam satu
tahun terakhir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak tersedia maka
Surat Berharga dianggap tidak memiliki peringkat.
Pasal 16
SBI dan SUN ditetapkan memiliki kualitas Lancar.
Pasal 17
Bank dilarang memiliki Aktiva Produktif dalam bentuk saham dan atau Surat
Berharga yang dihubungkan atau dijamin dengan aset tertentu yang mendasari
(underlying reference asset) yang berbentuk saham.
Pasal 18
Bank hanya dapat memiliki Surat Berharga yang dihubungkan atau dijamin
dengan aset tertentu yang mendasari sepanjang:
a.
aset yang mendasari dapat diyakini keberadaannya;
b. Bank …
- 16 -
b. Bank memiliki hak atas aset yang mendasari atau hak atas nilai dari aset
yang mendasari;
c.
Bank memiliki informasi yang jelas, tepat dan akurat mengenai rincian aset
yang mendasari, yang mencakup penerbit dan nilai dari masing-masing aset
dasar, termasuk setiap perubahannya; dan
d. Bank menatausahakan rincian komposisi dan penerbit aset yang mendasari
serta menyesuaikan penatausahaan dalam hal terjadi perubahan komposisi
aset.
Pasal 19
(1) Kualitas Surat Berharga yang dihubungkan atau dijamin dengan aset
tertentu yang mendasari sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ditetapkan
sebagai berikut:
a. untuk Surat Berharga yang pembayaran kewajibannya terkait langsung
dengan aset yang mendasari (pass through) dan tidak dapat dibeli
kembali (non redemption) oleh penerbit, penetapan kualitas didasarkan
pada:
1) kualitas Surat Berharga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14;
atau
2) kualitas aset yang mendasari Surat Berharga apabila Surat Berharga
tidak memiliki peringkat.
b. untuk Surat Berharga yang tidak memenuhi kriteria sebagaimana
dimaksud pada huruf a, penetapan kualitas didasarkan pada kualitas
Surat Berharga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14.
(2) Kualitas …
- 17 -
(2) Kualitas aset yang mendasari Surat Berharga sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a.2) ditetapkan berdasarkan kualitas setiap jenis aset yang
mendasari sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini.
(3) Untuk Surat Berharga dalam bentuk sertifikat reksadana, penetapan kualitas
didasarkan pada:
a. kualitas sertifikat reksadana sesuai dengan penilaian kualitas Surat
Berharga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14; atau
b. kualitas aset yang mendasari sertifikat reksadana dan kualitas penerbit
sertifikat reksadana, apabila sertifikat reksadana tidak memiliki
peringkat.
Pasal 20
(1) Kualitas Surat Berharga yang diterbitkan atau diendos oleh bank lain
ditetapkan sebagai berikut:
a. untuk Surat Berharga yang memiliki
peringkat dan atau aktif
diperdagangkan di bursa efek di Indonesia, ditetapkan berdasarkan
kualitas yang terendah antara:
1) hasil
penilaian
berdasarkan ketentuan kualitas Surat Berharga
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14; atau
2) hasil penilaian berdasarkan ketentuan kualitas Penempatan pada
bank
penerbit
atau bank
dimaksud dalam Pasal 23 dan Pasal 24.
b. untuk Surat Berharga yang berdasarkan karakteristiknya tidak aktif
diperdagangkan di bursa efek dan tidak memiliki peringkat, ditetapkan
berdasarkan ketentuan kualitas Penempatan pada bank penerbit atau
bank pemberi endosemen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 dan
Pasal 24.
(2) Dalam …
pemberi endosemen sebagaimana
- 18 -
(2) Dalam hal Surat Berharga yang diterbitkan oleh bank lain berbentuk Surat
Berharga yang dihubungkan atau dijamin dengan aset tertentu yang
mendasari maka Bank tetap harus memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 18.
Pasal 21
Kualitas pengambilalihan (negosiasi) wesel yang tidak diaksep oleh bank lain
ditetapkan berdasarkan ketentuan kualitas Kredit sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 10.
Bagian Keempat
Penempatan
Pasal 22
(1) Bank wajib memiliki kebijakan dan prosedur tertulis mengenai Aktiva
Produktif dalam bentuk Penempatan.
(2) Kebijakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disetujui oleh
Komisaris.
(3) Prosedur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disetujui paling
kurang oleh Direksi.
(4) Komisaris wajib melakukan pengawasan secara aktif terhadap pelaksanaan
kebijakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(5) Kebijakan dan prosedur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dari kebijakan manajemen risiko Bank
sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku.
Pasal 23 …
- 19 -
Pasal 23
Kualitas Penempatan ditetapkan Lancar sepanjang
Pemerintah untuk
program penjaminan
Penempatan berlaku dan transaksi Penempatan yang
bersangkutan serta Bank yang menerima Penempatan memenuhi persyaratan
program penjaminan Pemerintah.
Pasal 24
Dalam hal program penjaminan Pemerintah tidak meliputi Penempatan atau
transaksi Penempatan tidak memenuhi persyaratan program penjaminan
Pemerintah atau bank yang menerima Penempatan bukan merupakan peserta
program penjaminan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23, kualitas
Penempatan ditetapkan sebagai berikut:
a. Lancar, apabila:
1) bank yang menerima Penempatan memiliki rasio KPMM paling kurang
sama dengan ketentuan yang berlaku; dan
2) tidak terdapat tunggakan pembayaran pokok dan atau bunga.
b.
Kurang Lancar, apabila:
1) bank yang menerima Penempatan memiliki rasio KPMM paling kurang
sama dengan ketentuan yang berlaku; dan
2) terdapat tunggakan pembayaran pokok dan atau bunga sampai dengan 5
(lima) hari kerja.
c.
Macet, apabila:
1) bank yang menerima Penempatan memiliki rasio KPMM kurang dari
ketentuan yang berlaku;
2) bank …
- 20 -
2) bank yang menerima Penempatan telah ditetapkan dan diumumkan
sebagai bank
surveillance) atau bank telah dikenakan sanksi pembekuan seluruh
kegiatan usaha;
3) bank yang menerima Penempatan ditetapkan sebagai bank dalam
likuidasi; dan atau
4) terdapat tunggakan pembayaran pokok dan atau bunga lebih dari 5
(lima) hari kerja.
Bagian Kelima
Tagihan Akseptasi, Tagihan atas Surat Berharga yang dibeli dengan janji dijual
kembali dan Tagihan Derivatif
Pasal 25
Kualitas Tagihan Akseptasi ditetapkan berdasarkan:
a.
b.
ketentuan kualitas Penempatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 dan
Pasal 24 apabila pihak yang wajib melunasi tagihan adalah bank lain;
ketentuan kualitas Kredit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 apabila
pihak yang wajib melunasi tagihan adalah debitur.
Pasal 26
(1) Tagihan atas Surat Berharga yang dibeli dengan janji dijual kembali
ditetapkan berdasarkan kualitas dari pihak yang menjual Surat Berharga
dengan janji dibeli kembali.
(2) Kualitas dari pihak yang menjual Surat Berharga dengan janji dibeli
kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan:
a. ketentuan …
dengan status dalam pengawasan khusus (special
- 21 -
a. ketentuan kualitas Penempatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23
dan Pasal 24 apabila pihak yang menjual Surat Berharga adalah bank
lain; atau
b. ketentuan kualitas Kredit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10
apabila pihak yang menjual Surat Berharga adalah bukan bank.
(3) Tagihan atas Surat Berharga yang dibeli dengan janji dijual kembali dengan
aset yang mendasari berupa SBI dan atau SUN ditetapkan memiliki kualitas
Lancar.
Pasal 27
Kualitas Tagihan Derivatif ditetapkan berdasarkan:
a.
ketentuan penetapan kualitas Penempatan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 23 dan Pasal 24 apabila pihak lawan transaksi (counterparty) adalah
bank lain; atau
b.
ketentuan kualitas Kredit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 apabila
pihak lawan transaksi (counterparty) adalah bukan bank.
Bagian Keenam
Penyertaan Modal
Pasal 28
Kualitas Penyertaan Modal yang dinilai berdasarkan metode biaya (cost method)
ditetapkan sebagai berikut:
a. Lancar, apabila Perusahaan tempat Bank melakukan Penyertaan Modal
(investee) memperoleh laba dan tidak mengalami kerugian kumulatif
berdasarkan laporan keuangan tahun buku terakhir yang telah diaudit;
b. Kurang …
- 22 -
b.
Kurang Lancar, apabila investee mengalami kerugian kumulatif sampai
dengan 25% (dua puluh lima perseratus) dari modal investee berdasarkan
laporan keuangan tahun buku terakhir yang telah diaudit;
c.
Diragukan, apabila investee mengalami kerugian kumulatif lebih dari 25%
(dua puluh lima perseratus) sampai dengan 50% (lima puluh perseratus)
dari modal investee berdasarkan laporan keuangan tahun buku terakhir
yang telah diaudit;
d.
Macet, apabila investee mengalami kerugian kumulatif lebih dari 50%
(lima puluh perseratus) dari modal investee berdasarkan laporan keuangan
tahun buku terakhir yang telah diaudit.
Pasal 29
Kualitas Penyertaan Modal yang dinilai berdasarkan metode ekuitas (equity
method) ditetapkan Lancar.
Bagian Ketujuh
Penyertaan Modal Sementara
Pasal 30
(1) Kualitas Penyertaan Modal Sementara ditetapkan sebagai berikut:
a. Lancar, apabila belum melampaui jangka waktu 1 (satu) tahun;
b. Kurang Lancar, apabila telah melampaui jangka waktu 1 (satu) tahun
namun belum melampaui jangka waktu 4 (empat) tahun;
c. Diragukan, apabila telah melampaui jangka waktu 4 (empat) tahun
namun belum melampaui jangka waktu 5 (lima) tahun;
d. Macet …
- 23 -
d. Macet, apabila telah melampaui jangka waktu 5 (lima) tahun atau
belum ditarik kembali meskipun perusahaan debitur telah memiliki
laba kumulatif.
(2) Bank Indonesia dapat menurunkan kualitas Penyertaan Modal Sementara
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) apabila terdapat bukti yang memadai
bahwa:
a. penjualan Penyertaan Modal Sementara diperkirakan akan dilakukan
dengan harga yang lebih rendah dari nilai buku; dan atau
b. penjualan Penyertaan Modal Sementara dalam jangka waktu 5 (lima)
tahun diperkirakan sulit untuk dilakukan.
Bagian Kedelapan
Transaksi Rekening Administratif
Pasal 31
Kualitas Transaksi Rekening Administratif ditetapkan berdasarkan:
a.
ketentuan penetapan kualitas Penempatan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 23 dan Pasal 24 apabila pihak lawan transaksi (counterparty)
Transaksi Rekening Administratif tersebut adalah bank lain;
b.
ketentuan penetapan kualitas Kredit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10
apabila pihak lawan transaksi (counterparty) Transaksi Rekening
Administratif tersebut adalah debitur.
Pasal 32
(1) Penetapan kualitas Transaksi
Rekening Administratif
sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 31 tidak berlaku untuk kewajiban komitmen dan
kontinjensi yang:
a. dapat …
- 24 -
a.
b.
dapat dibatalkan sewaktu-waktu tanpa syarat (unconditionally
cancelled at any time) oleh Bank; atau
dibatalkan secara otomatis oleh Bank
apabila kondisi debitur
menurun menjadi Kurang Lancar, Diragukan atau Macet.
(2) Bank yang memiliki kewajiban komitmen dan kontinjensi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib mencantumkan klausula dimaksud dalam
perjanjian antara Bank dengan debitur.
Bagian Kesembilan
Aktiva Produktif yang Dijamin dengan Agunan Tunai
Pasal 33
(1) Bagian dari Aktiva Produktif yang dijamin dengan agunan tunai ditetapkan
memiliki kualitas Lancar.
(2) Agunan tunai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah agunan berupa:
a. giro, deposito, tabungan, setoran jaminan dan atau emas;
b. SBI dan atau SUN;
c. jaminan Pemerintah Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku; dan atau
d. standby letter of credit dari prime bank, yang diterbitkan sesuai dengan
Uniform Customs and Practice for Documentary Credits (UCP) atau
International Standby Practices (ISP) yang berlaku.
(3) Agunan tunai sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan huruf b
wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. agunan diblokir dan
dilengkapi dengan surat kuasa pencairan dari
pemilik agunan untuk keuntungan Bank penerima agunan, termasuk
pencairan sebagian untuk membayar tunggakan angsuran pokok atau
bunga;
b. jangka …
- 25 -
b. jangka waktu pemblokiran sebagaimana dimaksud pada huruf a paling
kurang sama dengan jangka waktu Aktiva Produktif;
c. memiliki pengikatan hukum yang kuat (legally enforceable) sebagai
agunan, bebas dari segala bentuk perikatan lain, bebas dari sengketa,
tidak
sedang dijaminkan kepada pihak lain, termasuk
penjaminan yang jelas; dan
d. untuk agunan tunai sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a
disimpan pada Bank penyedia dana atau pada prime bank.
(4) Agunan tunai sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c dan huruf d
wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. bersifat tanpa syarat (unconditional) dan tidak dapat dibatalkan
(irrevocable);
b. harus dapat dicairkan selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak
diajukannya klaim, termasuk pencairan sebagian untuk membayar
tunggakan angsuran pokok atau bunga;
c. mempunyai jangka waktu paling kurang sama dengan jangka waktu
Aktiva Produktif; dan
d. tidak dijamin kembali (counter guarantee) oleh Bank penyedia dana
atau bank yang bukan prime bank.
(5) Prime bank sebagaimana dimaksud ayat (2) huruf d dan ayat (3) huruf d
wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. memiliki peringkat investasi yang diberikan oleh lembaga pemeringkat
paling kurang:
tujuan
1) BBB- …
- 26 -
1) BBB- berdasarkan penilaian Standard & Poors;
2) Baa3 berdasarkan penilaian Moody’s;
3) BBB- berdasarkan penilaian Fitch; atau
4) Peringkat setara dengan angka 1), angka 2), dan atau angka 3)
berdasarkan penilaian lembaga pemeringkat terkemuka lain yang
ditetapkan oleh Bank Indonesia,
berdasarkan penilaian terhadap prospek usaha jangka panjang (long
term outlook) bank tersebut; dan
b. memiliki total aset yang termasuk dalam 200 besar dunia berdasarkan
informasi yang tercantum dalam banker’s almanac.
Pasal 34
(1) Bank wajib mengajukan klaim pencairan agunan tunai sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 33 selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah
debitur wanprestasi (event of default).
(2) Debitur dinyatakan wanprestasi apabila:
a. terjadi tunggakan pokok dan atau bunga dan atau tagihan lainnya
selama 90 (sembilan puluh) hari walaupun Aktiva Produktif belum
jatuh tempo;
b. tidak diterimanya pembayaran pokok dan atau bunga dan atau tagihan
lainnya pada saat Aktiva Produktif jatuh tempo; atau
c. tidak dipenuhinya persyaratan lainnya selain pembayaran pokok dan
atau bunga yang dapat mengakibatkan terjadinya wanprestasi.
Bagian …
- 27 -
Bagian Kesepuluh
Kredit dan Penyediaan Dana dalam Jumlah Kecil serta Kredit dan Penyediaan
Dana di Daerah Tertentu
Pasal 35
Penetapan kualitas untuk:
a.
b.
c.
Kredit dan penyediaan dana lain sampai dengan jumlah Rp500.000.000,00
(lima ratus juta rupiah);
Kredit usaha kecil sesuai ketentuan Bank Indonesia yang berlaku; dan
Kredit dan penyediaan dana lain kepada debitur dengan lokasi kegiatan
usaha berada di daerah tertentu sampai dengan jumlah Rp1.000.000.000,00
(satu milyar rupiah),
didasarkan atas ketepatan pembayaran pokok dan atau bunga.
BAB IV
AKTIVA NON PRODUKTIF
Bagian Pertama
Umum
Pasal 36
Aktiva Non Produktif yang wajib dinilai kualitasnya meliputi AYDA, Properti
Terbengkalai, Rekening Antar Kantor dan Suspense Account.
Bagian Kedua
AYDA
Pasal 37
(1) Bank wajib melakukan upaya penyelesaian terhadap AYDA yang dimiliki.
(2) Bank …
- 28 -
(2) Bank wajib mendokumentasikan upaya penyelesaian AYDA sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
Pasal 38
(1) Bank
wajib melakukan penilaian kembali terhadap AYDA untuk
menetapkan net realizable value dari AYDA.
(2) Penilaian kembali terhadap AYDA sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan pada saat pengambilalihan agunan.
(3) Tunggakan bunga yang diselesaikan dengan AYDA tidak dapat diakui
sebagai pendapatan sampai dengan adanya realisasi.
(4) Penetapan net realizable value sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
dilakukan oleh penilai independen, untuk AYDA dengan nilai
Rp5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah) atau lebih.
(5) Penetapan net realizable value sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dilakukan oleh penilai intern Bank, untuk nilai AYDA yang kurang dari
Rp5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).
(6) Bank wajib menggunakan nilai yang terendah apabila terdapat beberapa
nilai dari penilai independen sebagaimana dimaksud pada ayat (4) atau
penilai intern sebagaimana dimaksud pada ayat (5).
(7) Penilai independen sebagaimana dimaksud pada ayat (4) adalah perusahaan
penilai yang:
a. tidak merupakan Pihak Terkait dengan Bank;
b. tidak merupakan Kelompok Peminjam dengan debitur Bank;
c. melakukan kegiatan penilaian berdasarkan kode etik profesi dan
ketentuan-ketentuan yang ditetapkan oleh institusi yang berwenang;
d. menggunakan …
- 29 -
d. menggunakan metode penilaian berdasarkan standar profesi penilaian
yang diterbitkan oleh institusi yang berwenang;
e. memiliki izin usaha dari institusi yang berwenang untuk beroperasi
sebagai perusahaan penilai; dan
f. tercatat sebagai anggota asosiasi yang diakui oleh institusi yang
berwenang.
Pasal 39
(1) AYDA yang telah dilakukan upaya penyelesaian sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 37, ditetapkan memiliki kualitas sebagai berikut:
a. Lancar, apabila AYDA dimiliki sampai dengan 1 (satu) tahun;
b. Kurang Lancar, apabila AYDA dimiliki
sampai dengan 3 (tiga) tahun;
lebih dari 1 (satu) tahun
c. Diragukan, apabila AYDA dimiliki lebih dari 3 (tiga) tahun sampai
dengan 5 (lima) tahun;
d. Macet, apabila AYDA dimiliki lebih dari 5 (lima) tahun.
(2) AYDA yang tidak dilakukan upaya penyelesaian sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 37, ditetapkan memiliki kualitas satu tingkat dibawah
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Bagian Ketiga
Properti Terbengkalai
Pasal 40
(1) Bank wajib melakukan identifikasi dan penetapan terhadap Properti
Terbengkalai yang dimiliki.
(2) Penetapan …
- 30 -
(2) Penetapan Properti Terbengkalai sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
wajib disetujui oleh Direksi dan didokumentasikan.
Pasal 41
(1) Bank wajib melakukan upaya penyelesaian terhadap Properti Terbengkalai
yang dimiliki.
(2) Bank wajib mendokumentasikan upaya penyelesaian Properti Terbengkalai
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 42
(1) Properti Terbengkalai yang
telah dilakukan upaya penyelesaian
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41, ditetapkan memiliki kualitas
sebagai berikut:
a. Lancar, apabila Properti Terbengkalai dimiliki sampai dengan 1 (satu)
tahun;
b. Kurang Lancar, apabila Properti Terbengkalai dimiliki lebih dari 1
(satu) tahun sampai dengan 3 (tiga) tahun;
c. Diragukan, apabila Properti Terbengkalai dimiliki lebih dari 3 (tiga)
tahun sampai dengan 5 (lima) tahun;
(2) Properti Terbengkalai yang
d. Macet, apabila Properti Terbengkalai dimiliki lebih dari 5 (lima) tahun.
tidak dilakukan upaya penyelesaian
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41, ditetapkan memiliki kualitas satu
tingkat dibawah ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Bagian …
- 31 -
Bagian Keempat
Rekening Antar Kantor dan Suspense Account
Pasal 43
(1) Bank wajib melakukan upaya penyelesaian Rekening Antar Kantor dan
Suspense Account.
(2) Kualitas Rekening Antar Kantor dan Suspense Account ditetapkan sebagai
berikut:
a. Lancar, apabila Rekening Antar Kantor dan Suspense Account tercatat
dalam pembukuan Bank sampai dengan 180 (seratus delapan puluh)
hari;
b. Macet, apabila Rekening antar kantor dan Suspense Account tercatat
dalam pembukuan Bank lebih dari 180 (seratus delapan puluh) hari.
BAB V
PENYISIHAN PENGHAPUSAN AKTIVA
Bagian Pertama
Umum
Pasal 44
(1) Bank wajib membentuk PPA terhadap Aktiva Produktif dan Aktiva Non
Produktif.
(2) PPA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
a. cadangan umum dan cadangan khusus untuk Aktiva Produktif; dan
b. cadangan khusus untuk Aktiva Non Produktif.
(3) PPA …
- 32 -
(3) PPA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dibentuk paling kurang
sesuai dengan Peraturan Bank Indonesia ini.
Pasal 45
(1) Cadangan umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (2) huruf a
ditetapkan paling kurang sebesar 1% (satu perseratus) dari Aktiva Produktif
yang memiliki kualitas Lancar.
(2) Pembentukan cadangan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dikecualikan untuk Aktiva Produktif dalam bentuk SBI dan SUN serta
bagian Aktiva Produktif yang dijamin dengan agunan tunai sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 33.
(3) Cadangan khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44
ayat (2)
ditetapkan paling kurang sebesar:
a. 5% (lima perseratus) dari Aktiva dengan kualitas Dalam Perhatian
Khusus setelah dikurangi nilai agunan;
b. 15% (lima belas perseratus) dari Aktiva dengan kualitas Kurang
Lancar setelah dikurangi nilai agunan;
c. 50% (lima puluh perseratus) dari Aktiva dengan kualitas Diragukan
setelah dikurangi nilai agunan;
d. 100% (seratus perseratus) dari Aktiva dengan kualitas Macet setelah
dikurangi nilai agunan.
(4) Penggunaan nilai agunan sebagai faktor pengurang dalam perhitungan PPA
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) hanya dapat dilakukan untuk Aktiva
Produktif.
Bagian …
- 33 -
Bagian Kedua
Persyaratan Agunan dan Perhitungan Agunan sebagai Faktor Pengurang PPA
Pasal 46
Agunan yang dapat diperhitungkan sebagai pengurang dalam pembentukan PPA
ditetapkan sebagai berikut:
a. Surat Berharga dan saham yang aktif diperdagangkan di bursa efek di
Indonesia atau memiliki peringkat investasi dan diikat secara gadai;
tanah, rumah tinggal dan gedung yang diikat dengan hak tanggungan;
b.
c.
d.
pesawat udara atau kapal laut dengan ukuran di atas 20 (dua puluh) meter
kubik yang diikat dengan hipotek; dan atau
kendaraan bermotor dan persediaan yang diikat secara fidusia.
Pasal 47
(1) Agunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 wajib:
a. dilengkapi dengan dokumen hukum yang sah;
b. diikat sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku
sehingga memberikan hak preferensi bagi Bank; dan
c. dilindungi
asuransi dengan banker’s clause yaitu klausula yang
memberikan hak kepada Bank untuk menerima uang pertanggungan
dalam hal terjadi pembayaran klaim.
(2) Perusahaan asuransi yang memberikan perlindungan asuransi terhadap
agunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c wajib memenuhi
syarat sebagai berikut:
a. perusahaan asuransi memenuhi ketentuan permodalan sesuai yang
ditetapkan institusi yang berwenang; dan
b. perusahaan …
- 34 -
b. perusahaan asuransi bukan merupakan Pihak Terkait dengan Bank atau
Kelompok Peminjam dengan debitur Bank, kecuali direasuransikan
kepada perusahaan asuransi yang bukan merupakan Pihak Terkait
dengan Bank atau Kelompok Peminjam dengan debitur Bank.
Pasal 48
(1) Nilai agunan yang
dapat diperhitungkan sebagai pengurang
dalam
pembentukan PPA ditetapkan sebagai berikut:
a. Surat Berharga dan saham yang aktif diperdagangkan di bursa efek di
Indonesia atau memiliki peringkat investasi paling tinggi sebesar 50%
(lima puluh perseratus) dari nilai yang tercatat di bursa efek pada akhir
bulan;
b. tanah, gedung, rumah tinggal, pesawat udara, kapal laut, kendaraan
bermotor dan persediaan paling tinggi sebesar:
1) 70% (tujuh puluh perseratus) dari penilaian, apabila penilaian
dilakukan dalam 12 (dua belas) bulan terakhir;
2) 50% (lima puluh perseratus) dari penilaian, apabila penilaian yang
dilakukan telah melampaui jangka waktu 12 (dua belas) bulan
namun belum melampaui 18 (delapan belas) bulan;
3) 30% (tiga puluh perseratus) dari penilaian, apabila penilaian yang
dilakukan telah melampaui jangka waktu 18 (delapan belas) bulan
namun belum melampaui 24 (dua puluh empat) bulan;
4) 0% (nol perseratus) dari penilaian, apabila penilaian yang
dilakukan telah melampaui jangka waktu 24 (dua puluh empat)
bulan.
(2) Penilaian …
- 35 -
(2) Penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan oleh penilai
independen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (7) atau penilai
intern Bank, sesuai ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49.
(3) Bank wajib menggunakan nilai yang terendah apabila terdapat beberapa
nilai dari penilai independen atau penilai intern.
Pasal 49
(1) Dalam hal agunan akan digunakan sebagai pengurang PPA, penilaian
agunan wajib dilakukan oleh penilai independen sebagaimana dimaksud
dalam
Pasal 38 ayat (7) bagi
Aktiva Produktif lebih dari
Rp5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah) kepada debitur atau Kelompok
Peminjam.
(2) Penilaian agunan dapat dilakukan oleh penilai intern Bank, bagi Aktiva
Produktif yang diberikan sampai dengan jumlah Rp 5.000.000.000,00 (lima
milyar rupiah) kepada debitur atau Kelompok Peminjam.
Pasal 50
(1) Bank Indonesia berwenang melakukan perhitungan kembali
atas
nilai
agunan yang telah dikurangkan dalam PPA apabila Bank tidak memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46, Pasal 47, Pasal 48 dan
atau Pasal 49.
(2) Bank wajib menyesuaikan perhitungan PPA sesuai dengan perhitungan
yang ditetapkan oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dalam laporan-laporan yang disampaikan kepada Bank Indonesia dan atau
laporan publikasi yang diatur dalam ketentuan yang berlaku paling lambat
pada …
- 36 -
pada periode laporan berikutnya setelah pemberitahuan dari Bank
Indonesia.
BAB VI
RESTRUKTURISASI KREDIT
Bagian Pertama
Umum
Pasal 51
Bank hanya dapat melakukan Restrukturisasi Kredit terhadap debitur yang
memenuhi kriteria sebagai berikut:
a.
b. debitur memiliki
debitur mengalami kesulitan pembayaran pokok dan atau bunga Kredit; dan
prospek usaha yang
baik
kewajiban setelah Kredit direstrukturisasi.
Pasal 52
Bank dilarang melakukan Restrukturisasi Kredit dengan tujuan hanya untuk
menghindari:
a.
b.
c.
penurunan penggolongan kualitas Kredit;
peningkatan pembentukan PPA; atau
penghentian pengakuan pendapatan bunga secara akrual.
Bagian Kedua
Perlakuan Akuntansi Restrukturisasi Kredit
Pasal 53
Bank wajib menerapkan perlakuan akuntansi Restrukturisasi Kredit, termasuk
namun …
dan mampu memenuhi
- 37 -
namun tidak terbatas pada pengakuan kerugian yang timbul dalam rangka
Restrukturisasi Kredit, sesuai dengan Standar Akuntansi Keuangan dan Prinsip
Akuntansi Perbankan Indonesia yang berlaku.
Bagian Ketiga
Kebijakan dan Prosedur Restrukturisasi Kredit
Pasal 54
(1) Bank
wajib memiliki kebijakan dan prosedur tertulis mengenai
Restrukturisasi Kredit.
(2) Kebijakan Restrukturisasi Kredit sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
wajib disetujui oleh Komisaris.
(3) Prosedur Restrukturisasi Kredit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
disetujui paling kurang oleh Direksi.
(4) Komisaris wajib melakukan pengawasan secara aktif terhadap pelaksanaan
kebijakan Restrukturisasi Kredit sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(5) Kebijakan dan prosedur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dari kebijakan manajemen risiko Bank
sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku.
Pasal 55
(1) Untuk menjaga obyektivitas, Restrukturisasi Kredit wajib dilakukan oleh
pejabat atau pegawai yang tidak terlibat dalam pemberian Kredit yang
direstrukturisasi.
(2) Keputusan Restrukturisasi Kredit harus dilakukan oleh pejabat yang lebih
tinggi dari pejabat yang memutuskan pemberian Kredit.
(3) Dalam …
- 38 -
(3) Dalam hal keputusan pemberian Kredit dilakukan oleh pihak yang
memiliki kewenangan tertinggi sesuai anggaran dasar Bank maka
keputusan Restrukturisasi Kredit dilakukan oleh pejabat yang setingkat
dengan pejabat yang memutuskan pemberian Kredit.
(4) Pembentukan satuan kerja khusus untuk pelaksanaan Restrukturisasi Kredit
disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing
Bank
mengikuti ketentuan Bank Indonesia yang berlaku.
Pasal 56
(1) Kredit yang akan direstrukturisasi wajib dianalisis berdasarkan prospek
usaha debitur dan kemampuan membayar sesuai proyeksi arus kas.
(2) Kredit kepada Pihak Terkait yang akan direstrukturisasi wajib dianalisis
oleh konsultan keuangan independen yang memiliki izin usaha dan reputasi
yang baik.
(3) Analisis yang dilakukan Bank dan konsultan keuangan independen
terhadap Kredit yang
pelaksanaan Restrukturisasi Kredit wajib
lengkap dan jelas.
direstrukturisasi dan setiap tahapan dalam
didokumentasikan secara
(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) juga
diterapkan dalam hal dilakukan restrukturisasi ulang terhadap Kredit.
Bagian Keempat
Penetapan Kualitas Kredit yang Direstrukturisasi
Pasal 57
(1) Kualitas Kredit setelah dilakukan restrukturisasi ditetapkan sebagai berikut:
a. setinggi …
dengan tetap
- 39 -
a. setinggi-tingginya Kurang Lancar untuk
b. kualitas tidak
Kredit yang
dilakukan restrukturisasi tergolong Diragukan atau Macet;
berubah untuk
Kredit yang
sebelum
sebelum dilakukan
restrukturisasi tergolong Lancar, Dalam Perhatian Khusus atau Kurang
Lancar.
(2) Kualitas Kredit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat:
a. menjadi Lancar, apabila tidak terdapat tunggakan selama 3 (tiga) kali
periode pembayaran angsuran pokok dan atau bunga secara berturut-
turut sesuai dengan perjanjian Restrukturisasi Kredit; atau
b. kembali sesuai dengan kualitas Kredit
sebelum
dilakukan
Restrukturisasi Kredit atau kualitas yang sebenarnya apabila lebih
buruk sesuai dengan kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10
jika debitur tidak memenuhi kriteria dan atau syarat-syarat dalam
perjanjian Restrukturisasi Kredit dan atau pelaksanaan Restrukturisasi
Kredit tidak didukung dengan analisis dan dokumentasi yang memadai
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56.
(3) Dalam hal periode pembayaran angsuran pokok dan atau bunga kurang dari
1 (satu) bulan, peningkatan kualitas menjadi Lancar sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) huruf a dapat dilakukan secepat-cepatnya dalam waktu 3
(tiga) bulan sejak dilakukan Restrukturisasi Kredit.
(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2) dan ayat (3)
berlaku juga untuk restrukturisasi ulang terhadap Kredit.
(5) Tambahan
Kredit sebagai bagian dari paket Restrukturisasi Kredit
ditetapkan memiliki kualitas Lancar apabila diberikan sesuai dengan
prosedur yang ketat dan memiliki agunan yang cukup.
Pasal 58 …
- 40 -
Pasal 58
Kredit yang direstrukturisasi dengan pemberian tenggang waktu pembayaran
(grace period) ditetapkan memiliki kualitas sebagai berikut:
a.
selama grace period, kualitas mengikuti kualitas Kredit sebelum dilakukan
restrukturisasi; dan
b.
setelah grace period berakhir, kualitas Kredit mengikuti penetapan kualitas
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57.
Pasal 59
(1) Penilaian kualitas Kredit yang telah direstrukturisasi dan kualitas tambahan
Kredit sebagai bagian dari paket Restrukturisasi Kredit wajib dilakukan
sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 selambat-
lambatnya 1 (satu) tahun sejak penetapan kualitas sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 57 ayat (1) dan Pasal 58 huruf b.
(2) Penilaian kualitas Kredit yang tidak memenuhi kriteria dan atau syarat-
syarat dalam perjanjian Restrukturisasi Kredit sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 57 ayat (2) huruf b wajib dilakukan sesuai dengan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10.
Pasal 60
Penetapan kualitas Aktiva yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dan
Pasal 6 berlaku pula bagi Kredit yang direstrukturisasi.
Bagian …
- 41 -
Bagian Kelima
PPA dan Pengakuan Pendapatan dari Kredit yang Direstrukturisasi
Pasal 61
Pendapatan bunga dan penerimaan lain dari Kredit yang direstrukturisasi hanya
dapat diakui apabila telah diterima secara tunai sebelum kualitas Kredit menjadi
Lancar.
Pasal 62
Bank wajib membentuk PPA terhadap Kredit yang telah direstrukturisasi sesuai
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45.
Pasal 63
(1) Bank wajib membebankan kerugian yang timbul dari Restrukturisasi
Kredit, setelah diperhitungkan dengan kelebihan PPA karena perbaikan
kualitas Kredit setelah dilakukan restrukturisasi.
(2) Kelebihan PPA karena perbaikan kualitas Kredit yang direstrukturisasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), setelah diperhitungkan dengan
kerugian yang timbul dari Restrukturisasi Kredit dimaksud, hanya dapat
diakui sebagai pendapatan apabila telah terdapat penerimaan angsuran
pokok atas Kredit yang direstrukturisasi.
(3) Pengakuan pendapatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan
secara proporsional dengan penerimaan angsuran pokok dari Kredit yang
direstrukturisasi.
Bagian …
- 42 -
Bagian Keenam
Restrukturisasi Kredit melalui Penyertaan Modal Sementara
Pasal 64
(1) Bank dapat melakukan Restrukturisasi Kredit dalam bentuk Penyertaan
Modal Sementara.
(2) Penyertaan Modal Sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya
dapat dilakukan untuk Kredit yang memiliki kualitas Kurang Lancar,
Diragukan atau Macet.
Pasal 65
(1) Penyertaan Modal Sementara wajib ditarik kembali apabila:
a. telah melampaui jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun; atau
b. perusahaan debitur tempat penyertaan telah memperoleh laba
kumulatif.
(2) Penyertaan Modal Sementara wajib dihapusbukukan dari neraca Bank
apabila telah melampaui jangka waktu 5 (lima) tahun.
Bagian Ketujuh
Laporan Restrukturisasi Kredit
Pasal 66
Bank wajib melaporkan kepada Bank Indonesia seluruh Restrukturisasi Kredit
yang telah dilakukan selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja setelah
berakhirnya bulan laporan yang bersangkutan dengan menggunakan formulir
pelaporan Restrukturisasi Kredit.
Pasal 67 …
- 43 -
Pasal 67
Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 disampaikan kepada Bank
Indonesia dengan alamat:
a.
Direktorat Pengawasan Bank
terkait, Jl.M.H. Thamrin Nomor 2 Jakarta
10010, bagi Bank yang berkantor pusat di wilayah kerja kantor pusat Bank
Indonesia;
b. Kantor Bank Indonesia setempat, bagi Bank yang berkantor pusat di luar
wilayah kerja kantor pusat Bank Indonesia.
Bagian Kedelapan
Lain-lain
Pasal 68
Bank Indonesia berwenang melakukan koreksi terhadap penetapan kualitas
Kredit, pembentukan PPA dan pendapatan bunga yang telah diakui secara akrual,
apabila:
a.
Restrukturisasi Kredit menurut
b.
penilaian Bank Indonesia ternyata
dilakukan dengan tujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52;
Restrukturisasi Kredit tidak didukung dokumen yang lengkap dan analisis
yang memadai mengenai kemampuan membayar dan prospek usaha
debitur;
c.
d.
debitur tidak melaksanakan perjanjian atau akad Restrukturisasi Kredit
(cidera janji/wanprestasi);
Restrukturisasi Kredit dilakukan secara berulang dengan tujuan hanya
untuk memperbaiki kualitas Kredit tanpa memperhatikan prospek usaha
debitur;
e. Restrukturisasi …
- 44 -
e.
Restrukturisasi Kredit tidak dilakukan sesuai dengan ketentuan yang diatur
dalam Peraturan Bank Indonesia ini.
BAB VII
HAPUS BUKU DAN HAPUS TAGIH
Pasal 69
(1) Bank wajib memiliki kebijakan dan prosedur tertulis mengenai hapus buku
dan hapus tagih.
(2) Kebijakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disetujui oleh
Komisaris.
(3) Prosedur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disetujui paling
kurang oleh Direksi.
(4) Komisaris wajib melakukan pengawasan secara aktif terhadap pelaksanaan
kebijakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(5) Kebijakan dan prosedur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dari kebijakan manajemen risiko Bank
sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku.
Pasal 70
(1) Hapus buku dan atau hapus tagih hanya dapat dilakukan terhadap
penyediaan dana yang memiliki kualitas Macet.
(2) Hapus buku tidak dapat dilakukan terhadap sebagian penyediaan dana
(partial write off).
(3) Hapus …
- 45 -
(3) Hapus tagih dapat dilakukan baik untuk sebagian atau seluruh penyediaan
dana.
(4) Hapus tagih terhadap sebagian penyediaan dana sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) hanya dapat dilakukan dalam rangka Restrukturisasi Kredit
atau dalam rangka penyelesaian Kredit.
Pasal 71
(1) Hapus buku dan atau hapus tagih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70
hanya dapat dilakukan setelah Bank melakukan berbagai upaya untuk
memperoleh kembali Aktiva Produktif yang diberikan.
(2) Bank wajib mendokumentasikan upaya yang dilakukan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) serta dasar pertimbangan pelaksanaan hapus buku
dan atau hapus tagih.
(3) Bank wajib mengadministrasikan data dan informasi mengenai Aktiva
Produktif yang telah dihapus buku dan atau dihapus tagih.
BAB VIII
LAIN-LAIN
Pasal 72
(1) Bank yang diperkirakan mengalami penurunan rasio KPMM secara
signifikan
dan atau kurang
dari
ketentuan
yang berlaku karena
pemberlakuan Peraturan Bank Indonesia ini wajib menyusun action plan
untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi.
(2) Selain …
- 46 -
(2) Selain penyusunan action plan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
penyusunan action plan juga wajib dilakukan oleh Bank apabila terdapat
perintah dari Bank Indonesia.
(3) Action plan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disampaikan paling
lambat 6 (enam) bulan sejak berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini
kepada Bank Indonesia dengan alamat:
a. Direktorat Pengawasan Bank
terkait, Jl.M.H. Thamrin Nomor 2
Jakarta 10010, bagi Bank yang berkantor pusat di wilayah kerja kantor
pusat Bank Indonesia;
b. Kantor Bank Indonesia setempat, bagi Bank yang berkantor pusat di
luar wilayah kerja kantor pusat Bank Indonesia.
BAB IX
SANKSI
Pasal 73
(1) Bank yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana diatur
dalam Pasal 2, Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 9, Pasal 13, Pasal 17,
Pasal 18, Pasal 22, Pasal 33 ayat (3), Pasal 34, Pasal 37, Pasal 38, Pasal 40,
Pasal 41, Pasal 43, Pasal 44, Pasal 47, Pasal 49, Pasal 50 ayat (2), Pasal 51,
Pasal 52, Pasal 53, Pasal 54, Pasal 55, Pasal 56, Pasal 61, Pasal 62, Pasal
63, Pasal 64 ayat (2), Pasal 65, Pasal 66, Pasal 69, Pasal 70, Pasal 71 dan
Pasal 72 dapat dikenakan sanksi administratif antara lain berupa:
a. teguran tertulis;
b. pembekuan kegiatan usaha tertentu;
c. pencantuman …
- 47 -
c. pencantuman pengurus dan atau pemegang saham Bank dalam daftar
orang yang dilarang menjadi pemegang saham dan pengurus Bank,
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 1998.
(2) Selain sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank yang melakukan
pelanggaran terhadap Pasal 17 dan Pasal 18 wajib membentuk PPA sebesar
100% (seratus perseratus) terhadap Aktiva dimaksud.
BAB X
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 74
(1) Penetapan kualitas untuk AYDA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39,
penetapan kualitas untuk Properti Terbengkalai sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 42 dan penetapan kualitas untuk Rekening Antar Kantor dan
Suspense Account sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 mulai berlaku 12
(dua belas) bulan sejak ditetapkannya Peraturan Bank Indonesia ini.
(2) Penetapan kualitas untuk Transaksi Rekening Administratif berupa fasilitas
Kredit yang belum ditarik mulai berlaku 12 (dua belas) bulan sejak
Peraturan Bank Indonesia ini ditetapkan.
Pasal 75
Ketentuan pelaksanaan tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum akan
diatur lebih lanjut dengan Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 76 …
- 48 -
Pasal 76
(1) Dengan dikeluarkannya Peraturan Bank Indonesia ini maka:
a. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 31/147/KEP/DIR
tanggal 12 November 1998 tentang Kualitas Aktiva Produktif;
b. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 31/148/KEP/DIR
tanggal 12 November 1998 tentang
Penghapusan Aktiva Produktif;
Pembentukan Penyisihan
c. Peraturan Bank Indonesia Nomor 4/6/PBI/2002 tanggal 6 September
2002 tentang Perubahan Atas Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia
Nomor 31/147/KEP/DIR tanggal 12 November 1998 tentang Kualitas
Aktiva Produktif;
d. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 31/150/KEP/DIR
tanggal 12 November 1998 tentang
Restrukturisasi Kredit, khusus
untuk Bank Umum yang melaksanakan kegiatan usaha secara
konvensional;
e. Peraturan Bank Indonesia Nomor 2/15/PBI/2000 tanggal 12 Juni 2000
tentang Perubahan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor
31/150/KEP/DIR tanggal 12 November 1998 tentang Restrukturisasi
Kredit, khusus untuk Bank Umum yang melaksanakan kegiatan usaha
secara konvensional; dan
f. Peraturan Bank Indonesia Nomor 4/11/PBI/2002 tanggal 20 Desember
2002 tentang Perlakuan Khusus terhadap Kredit Bank Umum
Pascatragedi Bali,
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
(2) Seluruh ketentuan Bank Indonesia
yang mengacu kepada ketentuan
mengenai Kualitas Aktiva Produktif, Penyisihan Penghapusan Aktiva
Produktif dan Restrukturisasi Kredit selanjutnya mengacu kepada Peraturan
Bank Indonesia ini, kecuali diatur tersendiri.
Pasal 77 …
- 49 -
Pasal 77
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 20 Januari 2005
GUBERNUR BANK INDONESIA
BURHANUDDIN ABDULLAH
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2005 NOMOR 12
DPNP
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 7/2/PBI/2005
TENTANG
PENILAIAN KUALITAS AKTIVA
BANK UMUM
UMUM
Kondisi dan karakteristik dari aset perbankan nasional, baik pada saat ini
maupun di waktu yang akan datang, masih tetap dipengaruhi oleh risiko kredit,
yang
apabila tidak
dikelola secara efektif akan berpotensi mengganggu
kelangsungan usaha Bank. Pengelolaan risiko kredit yang tidak efektif antara lain
disebabkan kelemahan dalam penerapan kebijakan dan prosedur penyediaan
dana, termasuk penetapan kualitasnya, kelemahan dalam mengelola portofolio
aset Bank, serta kelemahan dalam mengantisipasi perubahan faktor eksternal
yang mempengaruhi kualitas penyediaan dana.
Untuk memelihara kelangsungan usahanya, Bank perlu meminimalkan
potensi kerugian dari penyediaan dana, antara lain dengan memelihara eksposur
risiko kredit pada tingkat yang memadai. Berkaitan dengan hal tersebut,
pengurus Bank wajib menerapkan manajemen risiko kredit secara efektif pada
setiap jenis penyediaan dana serta melaksanakan prinsip kehati-hatian yang
terkait dengan transaksi-transaksi dimaksud.
Dalam ketentuan yang disempurnakan ini, aset yang dinilai kualitasnya
mencakup aktiva produktif dan aktiva non produktif. Perluasan cakupan aset
yang …
- 2 -
yang dinilai tersebut dimaksudkan agar Bank sedini mungkin mengatur kembali
portofolio aset-asetnya terutama pada sisi aktiva non produktif sehingga dapat
mengembalikan fungsi bank sebagai lembaga intermediasi yang menyalurkan
dana kepada sektor usaha yang eligible. Selain itu, untuk menentukan kualitas
penyediaan dana yang lebih mencerminkan tingkat eksposur risiko kredit, perlu
ditata kembali kriteria, persyaratan dan tata cara penilaian kualitas pada setiap
jenis penyediaan dana.
Secara umum, dalam penetapan kualitas aktiva produktif antara lain
digunakan pendekatan uniform classification untuk aktiva produktif yang
digunakan untuk membiayai satu debitur atau satu proyek. Dalam penetapan
kualitas kredit, Bank wajib memperhatikan faktor prospek usaha, kinerja, dan
kemampuan membayar debitur. Mengingat pentingnya upaya memelihara
lingkungan hidup, dalam penilaian prospek usaha, Bank perlu memperhatikan
pula upaya yang dilakukan debitur dalam rangka memelihara lingkungan hidup.
Sejalan dengan semakin berkembangnya jenis Surat Berharga, dalam ketentuan
ini diatur pula penilaian kualitas Surat Berharga yang dijamin atau dihubungkan
dengan aset tertentu (underlying reference assets). Selain itu, dengan akan
berakhirnya program penjaminan pemerintah untuk penempatan kepada Bank
lain maka Bank perlu menilai kualitas penempatan kepada pada bank lain, baik di
dalam negeri maupun di luar negeri.
Dalam rangka meningkatkan kredit perbankan, khusus di daerah-daerah
tertentu yang menurut penilaian Bank Indonesia memerlukan penanganan khusus
untuk mendorong pembangunan ekonomi di daerah yang bersangkutan diberikan
keringanan persyaratan penilaian kualitas penyediaan dana, yakni hanya
berdasarkan ketepatan pembayaran. Keringanan yang sama juga diberikan untuk
Kredit usaha kecil dan penyediaan dana sampai dengan Rp500.000.000,00 (lima
ratus juta rupiah).
Untuk …
- 3 -
membentuk
Untuk mengantisipasi potensi kerugian dari penyediaan dana, Bank wajib
penyisihan penghapusan aktiva berupa cadangan umum dan
cadangan khusus untuk aktiva produktif dengan memperhitungkan agunan yang
memenuhi persyaratan sebagai faktor pengurang cadangan. Selain itu, sejalan
dengan amanat Undang-Undang Perbankan agar Bank segera menyelesaikan
aktiva non produktif yang dimiliki, Bank perlu melakukan langkah-langkah
termasuk melakukan antisipasi potensi kerugian melalui pembentukan cadangan
khusus.
Sebagai salah satu upaya untuk meminimalkan potensi kerugian dari
kredit bermasalah, Bank juga dapat melakukan restrukturisasi kredit untuk
debitur yang masih memiliki prospek usaha dan kemampuan membayar setelah
dilakukan restrukturisasi. Untuk eksposur penyediaan dana yang sudah tidak
memiliki prospek usaha dan kemampuan membayar atau telah dikategorikan
Macet serta Bank telah melakukan berbagai upaya untuk memperoleh kembali
penyediaan dana tersebut, Bank dapat melakukan hapus buku atau hapus tagih.
Mengingat diperlukan ketentuan yang
terintegrasi mengenai hal-hal
tersebut di atas, baik dari sisi operasional maupun prinsip kehati-hatian, maka
pengaturan tentang kualitas aktiva produktif, pembentukan penyisihan
penghapusan aktiva produktif dan restrukturisasi kredit perlu disempurnakan dan
disatukan dalam Peraturan Bank Indonesia ini.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2 …
- 4 -
Pasal 2
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Langkah-langkah yang diperlukan agar kualitas Aktiva senantiasa
baik antara lain dengan cara menerapkan manajemen risiko kredit
secara efektif, termasuk
penyusunan kebijakan dan pedoman
sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Termasuk dalam pengertian pemberitahuan adalah pemberitahuan
yang dilakukan oleh Bank Indonesia kepada Bank dalam pertemuan
terakhir (exit meeting) dalam rangka pemeriksaan Bank.
Pasal 5 …
- 5 -
Pasal 5
Ayat (1)
Debitur dalam ayat ini merupakan perseorangan atau badan usaha
yang merupakan entitas tersendiri yang menghasilkan arus kas
sebagai sumber dalam pembayaran kembali Aktiva Produktif.
Ayat (2)
Termasuk dalam Aktiva Produktif yang diberikan oleh lebih dari 1
(satu) Bank adalah penyediaan dana yang diberikan secara sindikasi.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 6
Ayat (1)
Termasuk dalam proyek yang sama antara lain apabila:
a. terdapat keterkaitan rantai bisnis secara signifikan dalam proses
produksi yang dilakukan oleh beberapa debitur. Keterkaitan
dianggap signifikan antara lain apabila proses produksi di suatu
entitas tergantung kepada proses produksi entitas lain, misalnya
adanya ketergantungan bahan baku dalam proses produksi.
b. kelangsungan cash flow suatu entitas akan terganggu secara
signifikan apabila cash flow entitas lain mengalami gangguan.
Ayat (2)
Termasuk dalam Aktiva Produktif yang diberikan oleh lebih dari 1
(satu) Bank adalah penyediaan dana yang diberikan secara sindikasi.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 7 …
- 6 -
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Debitur dalam Pasal ini merupakan perseorangan atau badan usaha yang
merupakan entitas tersendiri yang menghasilkan arus kas sebagai sumber
dalam pembayaran kembali Aktiva Produktif.
Pasal 9
Ayat (1)
Kewajiban audit laporan keuangan dimaksudkan agar laporan
keuangan debitur akurat dan dapat dipercaya, mengingat kondisi
keuangan debitur merupakan salah satu kriteria dalam penetapan
kualitas Aktiva Produktif.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku
antara lain adalah Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1998
tentang Informasi Keuangan Tahunan Perusahaan sebagaimana telah
diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 64 Tahun 1999.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 10 …
- 7 -
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Yang dimaksud dengan debitur dalam huruf ini adalah debitur
yang wajib melakukan upaya pengelolaan lingkungan hidup
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13 …
- 8 -
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Ayat (1)
Surat Berharga dalam portofolio diperdagangkan (trading) dan
tersedia untuk dijual (available for sale) diakui berdasarkan nilai
pasar sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang
berlaku tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank
Umum dengan memperhitungkan Risiko Pasar (market risk).
Huruf a
Kriteria aktif diperdagangkan di bursa efek adalah terdapat
volume transaksi yang signifikan dan wajar (arms length
transaction) di bursa efek di Indonesia dalam 10 (sepuluh) hari
kerja terakhir.
Huruf b
Informasi nilai pasar secara transparan harus dapat diperoleh
dari media publikasi yang lazim untuk transaksi bursa efek.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (2)
Surat Berharga yang diakui berdasarkan harga perolehan adalah Surat
Berharga dalam portofolio dimiliki hingga jatuh tempo (held to
maturity).
Pasal 15 …
- 9 -
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Kepemilikan Surat Berharga yang dihubungkan atau dijamin dengan aset
tertentu yang mendasari (underlying reference asset) yang berbentuk saham
hanya dapat dilakukan untuk tujuan Penyertaan Modal atau Penyertaan
Modal Sementara dan dilakukan dengan izin Bank Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku.
Pasal 18
Yang dimaksud dengan Surat Berharga yang dihubungkan atau dijamin
dengan aset tertentu yang mendasari antara lain adalah sertifikat reksadana,
credit linked note dan efek beragun aset.
Huruf a
Keberadaan aset dapat diyakini apabila aset dimaksud antara lain
disimpan di bank kustodian, Kustodian Sentral Efek Indonesia
(KSEI) atau Bank Indonesia.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c …
- 10 -
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Pasal 19
Ayat (1)
Huruf a
Pembayaran kewajiban Surat
Berharga dikatakan
terkait
langsung dengan aset yang mendasari (pass through) apabila
pembayaran pokok dan bunga Surat Berharga semata-mata
bersumber dari pembayaran pokok dan bunga dari aset yang
mendasari.
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (2)
Kualitas aset yang mendasari ditetapkan berdasarkan jenis aset dan
kualitas dari aset tersebut. Misalnya, aset dalam bentuk Kredit kepada
debitur dinilai berdasarkan ketentuan kualitas Kredit kepada debitur,
aset dalam bentuk Surat Berharga dinilai berdasarkan kualitas Surat
Berharga dan aset dalam bentuk deposito pada bank lain dinilai
berdasarkan kualitas Penempatan.
Dalam hal aset yang mendasari memiliki kualitas yang berbeda-beda
maka kualitas Surat Berharga ditetapkan berdasarkan kualitas dari
masing-masing aset yang mendasari dan dihitung secara proporsional.
Ayat (3) …
- 11 -
Ayat (3)
Huruf a
Penetapan kualitas sertifikat reksadana berdasarkan ketentuan
penilaian kualitas Surat Berharga dilakukan terhadap sertifikat
reksadana sebagai satu produk dan bukan terhadap setiap jenis
aset yang mendasari sertifikat reksadana dimaksud.
Huruf b
Kualitas sertifikat reksadana ditetapkan berdasarkan kualitas
setiap jenis aset yang mendasari dan kualitas penerbit sertifikat
reksadana sesuai dengan ketentuan kualitas Kredit, dengan
penekanan antara lain terhadap:
a. kinerja, likuiditas dan reputasi penerbit; dan
b. diversifikasi portofolio yang dimiliki penerbit.
Pasal 20
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Surat Berharga yang berdasarkan karakteristiknya
tidak aktif
diperdagangkan di bursa efek dan tidak memiliki peringkat
antara lain adalah medium term notes.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 21 …
- 12 -
Pasal 21
Termasuk dalam pengambilalihan (negosiasi) wesel adalah wesel ekspor
dan Surat Kredit Berdokumen Dalam Negeri (SKBDN).
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Rasio KPMM sesuai dengan ketentuan yang berlaku adalah rasio KPMM
yang ditetapkan oleh otoritas yang berwenang
terhadap bank yang
menerima Penempatan.
Rasio KPMM didasarkan pada laporan keuangan publikasi terakhir sesuai
dengan periode yang ditetapkan oleh otoritas yang berwenang. Apabila
laporan keuangan publikasi terakhir atau data KPMM pada laporan
keuangan publikasi terakhir tidak tersedia, bank dianggap memiliki KPMM
kurang dari ketentuan yang berlaku.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26 …
- 13 -
Pasal 26
Ayat (1)
Surat Berharga yang dibeli dengan janji dijual kembali (reverse
repurchase agreement) adalah pembelian Surat Berharga dari pihak
lain yang dilengkapi dengan perjanjian untuk menjual kembali
kepada pihak lain tersebut pada akhir periode dengan harga atau
imbalan yang telah disepakati sebelumnya.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 27
Sesuai ketentuan yang berlaku, transaksi derivatif yang diperkenankan
adalah yang berkaitan dengan suku bunga atau valuta asing. Transaksi
derivatif yang berkaitan dengan saham hanya dapat dilakukan atas izin
Bank Indonesia atau dalam rangka Penyertaan Modal atau Penyertaan
Modal Sementara sesuai ketentuan Bank Indonesia yang berlaku.
Pasal 28
Penyertaan Modal dinilai berdasarkan metode biaya apabila Penyertaan
Modal kurang dari 20% (dua puluh perseratus) dari modal perusahaan
tempat Bank melakukan Penyertaan Modal (investee) dan tidak memenuhi
kriteria …
- 14 -
kriteria unsur pengendalian. Kriteria pengendalian mengacu kepada
ketentuan Bank Indonesia yang berlaku tentang Transparansi Kondisi
Keuangan Bank.
Pasal 29
Penyertaan Modal dinilai berdasarkan metode ekuitas apabila Penyertaan
Modal mencapai 20% (dua puluh perseratus) atau lebih dari modal investee
dan atau memenuhi kriteria unsur pengendalian. Kriteria pengendalian
mengacu kepada ketentuan Bank Indonesia yang
Transparansi Kondisi Keuangan Bank.
Pasal 30
Ayat (1)
Perhitungan jangka waktu Penyertaan Modal Sementara dihitung
sejak Bank melakukan Penyertaan Modal Sementara.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33 …
berlaku tentang
- 15 -
Pasal 33
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Dalam hal agunan tunai berupa emas maka nilai agunan
ditetapkan berdasarkan nilai pasar (market value).
Huruf b
Dalam hal agunan tunai berupa SUN maka nilai agunan
ditetapkan berdasarkan nilai pasar SUN atau dalam hal tidak
ada nilai pasar ditetapkan berdasarkan nilai wajar (fair value).
Huruf c
Yang dimaksud dengan Pemerintah Indonesia dalam huruf ini
adalah Pemerintah Pusat.
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (3)
Pemblokiran dan pengikatan untuk SBI dan SUN saat ini
diadministrasikan oleh Bank Indonesia.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan tanpa syarat (unconditional) adalah apabila:
a. manfaat yang diperoleh Bank penyedia dana dari jaminan tidak
berkurang secara substansial walaupun terjadi kerugian yang
disebabkan oleh faktor-faktor di luar kendali Bank; dan
tidak memuat persyaratan prosedural, seperti:
b.
1. mempersyaratkan …
- 16 -
1. mempersyaratkan waktu pengajuan pemberitahuan
wanprestasi (notification of default);
2. mempersyaratkan kewajiban pembuktian good faith oleh
Bank penyedia dana; dan atau
3. mempersyaratkan pencairan jaminan dengan cara
dilakukannya saling hapus (set-off) terlebih dahulu dengan
kewajiban Bank penyedia dana kepada pihak penjamin.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Huruf a
Batas pemberian fasilitas Kredit dan penyediaan dana lain akan
diperhitungkan terhadap seluruh fasilitas yang diterima oleh setiap
debitur baik untuk debitur individual maupun Kelompok Peminjam
yang diterima dari satu Bank.
Yang dimaksud dengan penyediaan dana lain adalah penerbitan
jaminan atau pembukaan letter of credit.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Batas pemberian fasilitas Kredit dan penyediaan dana lain akan
diperhitungkan terhadap seluruh fasilitas yang diterima oleh setiap
debitur baik untuk debitur individual maupun Kelompok Peminjam
yang …
- 17 -
yang diterima dari satu Bank
Kredit dan penyediaan dana lain kepada debitur dengan lokasi
kegiatan
usaha
berada
di
daerah
tertentu
adalah Kredit atau
penyediaan dana lain dari Bank untuk investasi dan atau modal kerja
di daerah tertentu yang menurut penilaian Bank Indonesia
memerlukan penanganan khusus untuk mendorong pembangunan
ekonomi di daerah yang bersangkutan.
Yang dimaksud dengan penyediaan dana lain adalah penerbitan
jaminan atau pembukaan letter of credit.
Pasal 36
Cukup jelas.
Pasal 37
Ayat (1)
Pengaturan ini dimaksudkan agar Bank melakukan kegiatan usaha
sesuai fungsinya sebagai penghimpun dan penyalur dana masyarakat.
Upaya penyelesaian antara lain dapat dilakukan dengan secara aktif
memasarkan dan menjual AYDA.
Ayat (2)
Dokumentasi antara lain mencakup bukti data dan informasi
mengenai upaya pemasaran dan penjualan AYDA.
Pasal 38
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan net realizable value adalah nilai wajar agunan
dikurangi …
- 18 -
dikurangi estimasi biaya pelepasan. Maksimum net realizable value
adalah sebesar nilai Aktiva Produktif yang diselesaikan dengan
AYDA.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 39
Cukup jelas.
Pasal 40
Ayat (1)
Termasuk
dalam Properti Terbengkalai adalah properti yang
menghasilkan bukan dalam rangka usaha Bank, seperti gedung atau
bagian gedung yang disewakan.
Dalam …
- 19 -
Dalam hal Bank hanya menggunakan sebagian gedung
untuk
kegiatan usaha, maka bagian gedung yang tidak digunakan untuk
kegiatan usaha digolongkan sebagai Properti Terbengkalai secara
proporsional.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 41
Ayat (1)
Pengaturan ini dimaksudkan agar Bank melakukan kegiatan usaha
sesuai fungsinya sebagai penghimpun dan penyalur dana masyarakat.
Upaya penyelesaian antara lain dapat dilakukan dengan secara aktif
memasarkan dan menjual Properti Terbengkalai.
Ayat (2)
Dokumentasi antara lain mencakup bukti data dan informasi
mengenai upaya pemasaran dan penjualan Properti Terbengkalai.
Pasal 42
Cukup jelas.
Pasal 43
Ayat (1)
Upaya penyelesaian diperlukan agar seluruh transaksi Bank diakui
dan dicatat
berdasarkan karakteristik dari transaksi tersebut dan
mengurangi …
- 20 -
mengurangi kemungkinan terjadinya rekayasa transaksi yang dapat
mengakibatkan kerugian bagi Bank.
Ayat (2)
Rekening Antar Kantor yang dinilai adalah akun Rekening Antar
Kantor di sisi aktiva tanpa dilakukan set off dengan Rekening Antar
Kantor di sisi pasiva, mengingat pihak lawan transaksi belum dapat
dipastikan sebagai pihak atau kantor yang sama.
Pasal 44
Ayat (1)
Pembentukan PPA terhadap Aktiva Non Produktif dimaksudkan
untuk mendorong Bank melakukan upaya penyelesaian dan untuk
antisipasi terhadap potensi kerugian.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 45
Cukup jelas.
Pasal 46
Huruf a
Kriteria aktif diperdagangkan di bursa efek adalah terdapat volume
transaksi yang signifikan dan wajar (arms length transaction) di
bursa …
- 21 -
bursa efek di Indonesia dalam 10 (sepuluh) hari kerja terakhir.
Peringkat investasi didasarkan pada peringkat yang diterbitkan oleh
lembaga pemeringkat dalam satu tahun terakhir. Apabila peringkat
yang diterbitkan oleh lembaga pemeringkat dalam satu tahun
terakhir tidak tersedia maka Surat Berharga dianggap tidak
memiliki peringkat.
Huruf b
Pengikatan agunan secara hak tanggungan dan hipotek harus sesuai
dengan ketentuan dan prosedur dalam peraturan perundang-
undangan yang berlaku, termasuk namun tidak terbatas pada
masalah pendaftaran, sehingga Bank memiliki hak preferensi
terhadap agunan dimaksud.
Huruf c
Pengikatan agunan secara fidusia harus sesuai dengan ketentuan
dan prosedur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku,
termasuk namun tidak terbatas pada masalah pendaftaran, sehingga
Bank memiliki hak preferensi terhadap agunan dimaksud.
Pasal 47
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan pengikatan yang memberikan hak
preferensi adalah pengikatan yang dilakukan dengan gadai,
hipotek, hak tanggungan dan fidusia.
Huruf c …
- 22 -
Huruf c
Jangka waktu perlindungan asuransi untuk agunan paling
kurang sama dengan jangka waktu Aktiva Produktif.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 48
Penilaian adalah pernyataan tertulis dari penilai independen atau penilai
intern Bank mengenai taksiran dan pendapat atas nilai ekonomis dari
agunan berdasarkan analisis terhadap fakta-fakta obyektif dan relevan
menurut metode dan prinsip-prinsip yang berlaku umum yang ditetapkan
oleh asosiasi dan atau institusi yang berwenang.
Pasal 49
Ayat (1)
Batasan Rp5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah) diperhitungkan
terhadap seluruh fasilitas yang
Kelompok Peminjam.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 50
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2) …
diberikan kepada debitur atau
- 23 -
Ayat (2)
Termasuk
dalam pemberitahuan adalah pemberitahuan yang
dilakukan oleh Bank Indonesia kepada Bank dalam pertemuan
terakhir (exit meeting) dalam rangka pemeriksaan Bank.
Pasal 51
Cukup jelas.
Pasal 52
Cukup jelas
Pasal 53
Cukup jelas.
Pasal 54
Cukup jelas.
Pasal 55
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3) …
- 24 -
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan ketentuan Bank Indonesia yang berlaku
antara lain adalah ketentuan tentang Kewajiban Penyusunan dan
Pelaksanaan Kebijaksanaan Perkreditan Bank bagi Bank Umum.
Pasal 56
Cukup jelas.
Pasal 57
Cukup jelas.
Pasal 58
Yang dimaksud dengan grace period dalam ayat ini adalah grace period
untuk pembayaran pokok dan bunga.
Pasal 59
Cukup jelas.
Pasal 60
Cukup jelas.
Pasal 61 …
- 25 -
Pasal 61
Cukup jelas.
Pasal 62
Cukup jelas.
Pasal 63
Cukup jelas.
Pasal 64
Cukup jelas.
Pasal 65
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Laba kumulatif adalah laba perusahaan setelah diperhitungkan
dengan kerugian tahun-tahun sebelumnya.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 66 …
- 26 -
Pasal 66
Cukup jelas.
Pasal 67
Cukup jelas.
Pasal 68
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Termasuk
pengertian tidak
dilakukan sesuai ketentuan dalam
Peraturan Bank Indonesia ini adalah tidak melakukan perhitungan
kerugian restrukturisasi antara lain dengan metode present value.
Huruf e
Cukup jelas.
Pasal 69
Ayat (1)
Hapus buku adalah tindakan administratif Bank untuk menghapus
buku
Kredit
yang memiliki
kualitas
Macet dari neraca sebesar
kewajiban …
- 27 -
kewajiban debitur tanpa menghapus hak tagih Bank kepada debitur.
Hapus tagih adalah tindakan Bank menghapus kewajiban debitur
yang tidak dapat diselesaikan.
Kebijakan dan prosedur hapus buku dan hapus tagih antara lain
memuat kriteria, persyaratan, limit, kewenangan dan tanggung jawab
serta tata cara hapus buku dan hapus tagih.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 70
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Pelaksanaan hapus buku dilakukan terhadap seluruh penyediaan dana
yang diberikan dan diikat dalam satu perjanjian.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Hapus tagih dalam rangka Restrukturisasi Kredit dan penyelesaian
Kredit dimaksudkan untuk kepentingan transparansi kepada debitur.
Penyelesaian …
- 28 -
Penyelesaian Kredit dapat dilakukan melalui pengambilalihan agunan
atau pelunasan oleh debitur.
Pasal 71
Ayat (1)
Upaya yang dapat dilakukan antara lain dalam bentuk penagihan
kepada debitur, Restrukturisasi Kredit, meminta pembayaran dari
pihak yang memberikan garansi atas Aktiva Produktif dimaksud, dan
penyelesaian Kredit melalui pengambilalihan agunan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 72
Ayat (1)
Termasuk dalam penurunan rasio KPMM secara signifikan adalah
penurunan rasio KPMM sehingga mendekati rasio KPMM sesuai
ketentuan yang berlaku.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 73 …
- 29 -
Pasal 73
Cukup jelas.
Pasal 74
Ayat (1)
Berdasarkan ketentuan ayat ini maka perhitungan jangka waktu
kepemilikan AYDA dan Properti Terbengkalai serta perhitungan
jangka waktu pencatatan dalam pembukuan Bank untuk Rekening
Antar Kantor dan Suspense Account dimulai 12 (dua belas) bulan
sejak Peraturan Bank Indonesia ini ditetapkan.
Ketentuan ini juga berlaku untuk AYDA, Properti Terbengkalai,
Rekening Antar Kantor dan Suspense Account yang telah dimiliki
atau tercatat dalam pembukuan Bank sebelum berlakunya Peraturan
Bank Indonesia ini.
Sebagai contoh, untuk AYDA yang telah dimiliki Bank sebelum
Peraturan Bank Indonesia ini ditetapkan dan terhadap AYDA
dimaksud dilakukan upaya penyelesaian maka AYDA akan dinilai
Macet pada Januari 2011.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 75
Cukup jelas.
Pasal 76 …
- 30 -
Pasal 76
Cukup jelas.
Pasal 77
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4471
DPNP
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 7/2/PBI/2005 </reg_id>
<reg_title> PENILAIAN KUALITAS AKTIVA BANK UMUM </reg_title>
<set_date> 20 Januari 2005 </set_date>
<effective_date> 20 Januari 2005 </effective_date>
<replaced_reg> '31/147/KEP/DIR|SKDIR-BI/1998', '2/15/PBI/2000', '31/148/KEP/DIR|SKDIR-BI/1998', '31/150/KEP/DIR|SKDIR-BI/1998', '4/11/PBI/2002', '4/6/PBI/2002' </replaced_reg>
<related_reg> '23/UU/1999', '3/UU/2004', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB IX' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 16/ 13 /PBI/2014
TENTANG
PENGELUARAN DAN PENGEDARAN UANG RUPIAH KERTAS
PECAHAN 100.000 (SERATUS RIBU) TAHUN EMISI 2014
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang
: a. bahwa sesuai amanat dalam Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang, perlu
diberlakukan, dikeluarkan, dan diedarkan uang
Rupiah kertas dengan ciri tertentu;
b. bahwa pengeluaran dan pengedaran uang Rupiah
ditujukan untuk menyediakan uang tunai di
masyarakat sebagai alat pembayaran yang sah
(legal tender) di Negara Kesatuan Republik
Indonesia;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu
menetapkan Peraturan Bank Indonesia tentang
Pengeluaran dan Pengedaran Uang Rupiah Kertas
Pecahan 100.000 (Seratus Ribu) Tahun Emisi 2014;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang
Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843),
sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009
tentang . . .
-2-
tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23
Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi
Undang-Undang (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962);
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata
Uang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2011 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5223);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG
PENGELUARAN DAN PENGEDARAN UANG RUPIAH
KERTAS PECAHAN 100.000 (SERATUS RIBU) TAHUN
EMISI 2014.
Pasal 1
Bank Indonesia mengeluarkan dan mengedarkan uang Rupiah kertas
pecahan 100.000 (seratus ribu) tahun emisi 2014 sebagai alat
pembayaran yang sah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pasal 2
Macam uang Rupiah kertas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1
merupakan jenis uang kertas yang memiliki ciri tertentu pada desain,
bahan, dan teknik cetak.
Pasal 3
Harga uang Rupiah kertas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1
mempunyai nilai nominal Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah).
Pasal 4 . . .
-3-
Pasal 4
Uang Rupiah kertas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 memiliki ciri
sebagai berikut:
a. warna
bagian muka dan bagian belakang dicetak dengan warna dominan
merah;
b. gambar
1. bagian muka
a) gambar utama berupa gambar Proklamator Dr. (H.C.) Ir.
Soekarno dan Dr. (H.C.) Drs. Mohammad Hatta, dan di
bawahnya dicantumkan tulisan “Dr. (H.C.) Ir. SOEKARNO” dan
“Dr. (H.C.) Drs. MOHAMMAD HATTA”;
b) di antara gambar Proklamator terdapat teks Proklamasi;
c) di atas teks Proklamasi terdapat cetakan garis-garis lurus dalam
bidang berbentuk segi empat yang apabila dilihat dari sudut
pandang tertentu akan timbul efek warna pelangi (rainbow
effect);
d) pada sebelah kiri atas gambar utama terdapat angka nominal
“100000” dengan arah horizontal;
e) pada sebelah kanan gambar utama di bawah gambar lambang
negara Garuda Pancasila terdapat angka nominal “100000”
dengan arah vertikal;
f) pada sebelah kiri gambar utama terdapat gambar Gedung
Proklamasi;
g) pada sebelah kiri gambar utama di bawah angka nominal
“100000” terdapat gambar saling isi (rectoverso) yang apabila
diterawangkan ke arah cahaya akan terlihat logo Bank
Indonesia secara utuh;
h) pada sebelah kiri bawah gambar utama terdapat tulisan
“NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA” dan di bawah
tulisan . . .
-4-
tulisan tersebut terdapat tulisan “SERATUS RIBU RUPIAH”;
i) pada sebelah kiri gambar utama di atas tulisan “NEGARA
KESATUAN REPUBLIK INDONESIA” terdapat kode tuna netra
(blind code) berupa 2 (dua) buah lingkaran berwarna merah yang
terasa kasar apabila diraba;
j) pada sebelah kanan atas gambar utama terdapat gambar
tersembunyi (latent image) berupa tulisan “BI” yang dapat dilihat
dari sudut pandang tertentu dalam bingkai persegi panjang
berbentuk ornamen tertentu;
k) pada sebelah kanan atas gambar utama terdapat gambar
lambang negara Garuda Pancasila, dengan latar belakang
berwarna hijau;
l) pada sebelah kanan gambar utama terdapat lingkaran-lingkaran
berwarna jingga yang letaknya tersebar;
m) pada sebelah kanan gambar utama di bawah angka nominal
“100000” terdapat logo Bank Indonesia di dalam bidang
berbentuk perisai yang dicetak dengan tinta khusus yang akan
berubah warna (colour shifting ink) dari kuning keemasan
menjadi hijau apabila dilihat dari sudut pandang tertentu;
n) pada sebelah kanan gambar utama di bawah bidang berbentuk
perisai terdapat bidang persegi panjang berwarna hijau;
o) pada sebelah kanan gambar utama di bawah tanda air terdapat
angka tahun emisi dengan tulisan “TE. 2014”, tanda tangan
Gubernur Bank Indonesia beserta tulisan “GUBERNUR”, dan
tanda tangan Menteri Keuangan beserta tulisan “MENTERI
KEUANGAN”;
p) terdapat
teks mikro (microtext) dengan tulisan
“BANKINDONESIA” atau “BI” dan hanya dapat dibaca dengan
bantuan kaca pembesar pada:
1) tepi . . .
-5-
1) tepi kiri atas, tepi kiri tengah, dan tepi kiri bawah yang
berbentuk pola tertentu dengan warna yang berbeda;
2) bagian tengah dan di bawah teks Proklamasi dengan warna
merah;
3) sebelah kanan gambar utama di bawah gambar tersembunyi
(latent image) yang berbentuk gambar bunga teratai; dan
4) tepi kanan atas, tepi kanan tengah, dan tepi kanan bawah
yang berbentuk pola tertentu dengan warna yang berbeda;
q) pada bagian atas dan bawah tanda air terdapat teks mini
(minitext) dengan tulisan “BANKINDONESIA” berwarna merah
dan berbentuk pola tertentu dengan ukuran teks berbeda yang
dapat dibaca tanpa bantuan kaca pembesar;
2. bagian belakang
a) gambar utama berupa gambar Gedung Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, dan
Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia;
b) pada sebelah bawah gambar utama terdapat tulisan “DENGAN
RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, NEGARA KESATUAN
REPUBLIK INDONESIA MENGELUARKAN UANG SEBAGAI ALAT
PEMBAYARAN YANG SAH DENGAN NILAI SERATUS RIBU
RUPIAH”;
c) pada sebelah atas gambar utama terdapat gambar wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia yang akan memendar
kuning di bawah sinar ultraviolet;
d) pada sebelah kiri atas gambar utama terdapat cetakan tidak
kasat mata berupa bagian gambar Gedung Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, dan
Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia yang akan
memendar merah di bawah sinar ultraviolet;
e) pada sebelah kiri gambar utama, terdapat cetakan tidak kasat
mata berupa angka nominal “100000” yang berada dalam
bidang . . .
-6-
bidang persegi panjang yang akan memendar hijau di bawah
sinar ultraviolet;
f) pada sebelah kiri gambar utama terdapat lingkaran-lingkaran
berwarna jingga yang letaknya tersebar;
g) pada sebelah kanan atas gambar utama terdapat tulisan “BANK
INDONESIA”;
h) pada sebelah kanan gambar utama di bawah tulisan “BANK
INDONESIA” terdapat nomor seri dengan bentuk asimetris yang
terdiri atas 3 (tiga) huruf dan 6 (enam) angka yang dicetak
dengan tinta berwarna hitam yang akan memendar hijau di
bawah sinar ultraviolet;
i) pada sebelah kiri bawah gambar utama terdapat nomor seri
dengan bentuk asimetris yang terdiri atas 3 (tiga) huruf dan
6 (enam) angka yang dicetak dengan tinta berwarna merah yang
akan memendar kuning di bawah sinar ultraviolet;
j) pada sebelah kanan gambar utama di bawah nomor seri
terdapat gambar saling isi (rectoverso) yang apabila
diterawangkan ke arah cahaya akan terlihat logo Bank
Indonesia secara utuh;
k) pada sebelah kanan bawah gambar utama terdapat angka
nominal “100000” dengan arah horizontal;
l) pada sebelah kiri atas gambar utama terdapat angka nominal
“100000” dengan arah vertikal dan latar belakang berwarna
hijau;
m) pada sebelah kiri gambar utama di bawah nomor seri terdapat
bidang persegi panjang berwarna hijau;
n) pada sebelah kanan gambar utama di bawah angka nominal
“100000” terdapat tulisan “PERUM PERCETAKAN UANG RI
IMP.” dan angka tahun cetak;
o) terdapat . . .
-7-
o) terdapat
teks mikro (microtext) dengan tulisan
“BANKINDONESIA” atau “BI” dan hanya dapat dibaca dengan
bantuan kaca pembesar pada:
1) tepi kiri tengah yang berbentuk pola tertentu dengan warna
yang berbeda;
2) sebelah kiri gambar utama yang berbentuk pola tertentu
dengan warna yang berbeda; dan
3) tepi kanan tengah yang berbentuk pola tertentu dengan
warna berbeda;
p) pada bagian atas dan bawah tanda air terdapat teks mini
(minitext) dengan tulisan “BANKINDONESIA” berwarna jingga
dan berbentuk pola tertentu dengan ukuran teks berbeda yang
dapat dibaca tanpa bantuan kaca pembesar;
c. bahan
kertas uang memiliki spesifikasi sebagai berikut:
1. terbuat dari serat kapas;
2. ukuran panjang 151 mm dan lebar 65 mm;
3. warna merah muda;
4. tidak memendar di bawah sinar ultraviolet;
5. tanda air berupa gambar Pahlawan Nasional W.R. Soepratman dan
electrotype berupa logo Bank Indonesia dan ornamen tertentu; dan
6. benang pengaman berbentuk anyaman yang memuat tulisan
“BI 100000” berulang-ulang dan terbaca utuh atau terpotong
sebagian.
Pasal 5
Uang Rupiah kertas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 mulai berlaku,
dikeluarkan, dan diedarkan pada tanggal 17 Agustus 2014.
Pasal 6 . . .
-8-
Pasal 6
Uang Rupiah kertas pecahan 100.000 (seratus ribu) tahun emisi 2004
yang telah dikeluarkan oleh Bank Indonesia dinyatakan masih tetap
berlaku sepanjang belum dicabut dan ditarik dari peredaran.
Pasal 7
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 24 Juli 2014
GUBERNUR BANK INDONESIA,
AGUS D.W. MARTOWARDOJO
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 24 Juli 2014
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
AMIR SYAMSUDIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2014 NOMOR 180
DPU
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 16/13/PBI/2014 </reg_id>
<reg_title> PENGELUARAN DAN PENGEDARAN UANG RUPIAH KERTAS PECAHAN 100.000 (SERATUS RIBU) TAHUN EMISI 2014 </reg_title>
<set_date> 24 Juli 2014 </set_date>
<effective_date> 24 Juli 2014 </effective_date>
<issued_date> 24 Juli 2014 </issued_date>
<related_reg> '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '6/UU/2009', '7/UU/2011' </related_reg>
|
- 1-
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 2/ 27 /PBI/2000
TENTANG
BANK UMUM
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa dalam menghadapi perkembangan perekonomian nasional
yang mengalami perubahan yang cepat dan tantangan yang
semakin berat, serta terintegrasi dengan perekonomian
internasional yang terus berkembang, diperlukan perbankan
nasional yang tangguh;
b. bahwa untuk lebih mendorong terciptanya perbankan nasional
yang tangguh dan efisien, diperlukan pengaturan kegiatan
lembaga bank yang komprehensif, jelas, dan memberikan
kepastian hukum;
c. bahwa sejalan dengan perkembangan dunia perbankan yang
dinamis dan tuntutan masyarakat akan sistem perbankan yang
sehat maka dipandang perlu untuk melakukan penyesuaian
terhadap pengaturan kelembagaan bank;
d. bahwa sehubungan dengan itu dipandang perlu untuk
menyempurnakan ketentuan tentang Bank Umum dalam
Peraturan Bank Indonesia;
Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-
undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Tahun 1998
Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3790);
2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia
(Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3843);
MEMUTUSKAN …
- 2-
MEMUTUSKAN
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG BANK UMUM
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 3
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah
diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998, yang melakukan
kegiatan usaha secara konvensional;
2. Kantor Cabang adalah kantor Bank yang secara langsung bertanggung jawab
kepada kantor pusat Bank yang bersangkutan, dengan alamat tempat usaha
yang jelas dimana Kantor Cabang tersebut melakukan usahanya;
3. Kantor Cabang Pembantu atau Kantor Kas adalah kantor di bawah Kantor
Cabang yang kegiatan usahanya membantu Kantor Cabang induknya;
4. Kegiatan Kas di luar Kantor Bank adalah kegiatan pelayanan kas terhadap
pihak yang telah menjadi nasabah Bank, meliputi antara lain:
a. Kas Mobil atau Kas Terapung yaitu kegiatan kas dengan menggunakan alat
transportasi darat atau air;
b. Payment Point yaitu kegiatan pelayanan pembayaran melalui kerjasama
antara Bank dengan pihak lain yang merupakan nasabah Bank;
c. Anjungan Tunai Mandiri (ATM) yaitu kegiatan kas yang dilakukan secara
elektronis untuk memudahkan nasabah, antara lain dalam rangka menarik
atau menyetor secara tunai, atau melakukan pembayaran melalui
pemindahbukuan, dan memperoleh informasi mengenai saldo/mutasi
rekening nasabah;
5. Kegiatan …
- 3-
5. Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah adalah kegiatan usaha perbankan
yang dilakukan berdasarkan Prinsip Syariah sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 1 angka 13 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998;
6. Prinsip Syariah adalah prinsip syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1
angka 13 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998;
7. Kantor Cabang Syariah adalah Kantor Cabang Bank yang melakukan Kegiatan
Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah;
8. Dewan Syariah Nasional adalah dewan yang dibentuk oleh Majelis Ulama
Indonesia yang bertugas dan memiliki kewenangan untuk memastikan
kesesuaian antara produk, jasa, dan kegiatan usaha bank dengan Prinsip
Syariah;
9. Dewan Pengawas Syariah adalah dewan yang bersifat independen, yang
dibentuk oleh Dewan Syariah Nasional dan ditempatkan pada Bank yang
melakukan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah, dengan tugas yang
diatur oleh Dewan Syariah Nasional;
10. Direksi:
a. bagi Bank berbentuk hukum Perseroan Terbatas adalah direksi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 4 Undang-undang Nomor 1
Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas;
b. bagi Bank berbentuk hukum Perusahaan Daerah adalah direksi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 Undang-undang Nomor 5 Tahun
1962 tentang Perusahaan Daerah;
c. bagi Bank berbentuk hukum Koperasi adalah pengurus sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 29 Undang-undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang
Perkoperasian;
11. Komisaris:
a. bagi Bank berbentuk hukum Perseroan Terbatas adalah komisaris
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 5 Undang-undang Nomor 1
Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas;
b. bagi …
- 4-
b. bagi Bank berbentuk hukum Perusahaan Daerah adalah pengawas
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 Undang-undang Nomor 5 Tahun
1962 tentang Perusahaan Daerah;
c. bagi Bank berbentuk hukum Koperasi adalah pengawas sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 38 Undang-undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang
Perkoperasian;
12. Pejabat Eksekutif adalah pejabat yang mempunyai pengaruh terhadap
kebijakan dan operasional Bank
Direksi;
serta
bertanggungjawab langsung kepada
13. Pemegang Saham Pengendali adalah badan hukum dan atau perorangan dan
atau kelompok usaha yang:
a. memiliki saham Bank sebesar 25% (dua puluh lima perseratus) atau lebih
dari jumlah saham yang dikeluarkan Bank dan mempunyai hak suara; atau
b. memiliki saham Bank kurang dari 25% (dua puluh lima perseratus) dari
jumlah saham yang dikeluarkan Bank dan mempunyai hak suara namun
dapat dibuktikan telah melakukan pengendalian Bank baik secara langsung
maupun tidak langsung.
Pasal 2
Bentuk hukum suatu Bank dapat berupa:
a. Perseroan Terbatas;
b. Koperasi; atau
c. Perusahaan Daerah.
BAB II …
- 5-
BAB II
PERIZINAN
Bagian Pertama
Pendirian Bank
Pasal 3
(1) Bank hanya dapat didirikan dan melakukan kegiatan usaha dengan izin Dewan
Gubernur Bank Indonesia.
(2) Pemberian izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam dua
tahap:
a. persetujuan prinsip, yaitu persetujuan untuk melakukan persiapan pendirian
Bank; dan
b. izin usaha, yaitu izin yang diberikan untuk melakukan kegiatan usaha Bank
setelah persiapan sebagaimana dimaksud dalam huruf a selesai dilakukan.
Pasal 4
Modal disetor untuk
mendirikan Bank ditetapkan sekurang-kurangnya sebesar
Rp3.000.000.000.000,00 (tiga triliun rupiah).
Pasal 5
(1) Bank hanya dapat didirikan oleh:
a. warga negara Indonesia dan atau badan hukum Indonesia; atau
b. warga negara Indonesia dan atau badan hukum Indonesia dengan warga
negara asing dan atau badan hukum asing secara kemitraan.
(2) Kepemilikan yang berasal dari warga negara asing dan atau badan hukum
asing sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b setinggi-tingginya sebesar
99% (sembilan puluh sembilan perseratus) dari modal disetor Bank.
Bagian …
- 6-
Bagian Kedua
Persetujuan Prinsip dan Izin Usaha
Pasal 6
(1) Permohonan untuk mendapatkan persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 ayat (2) huruf a diajukan sekurang-kurangnya oleh salah satu
calon pemilik kepada Dewan Gubernur Bank Indonesia dan wajib disertai
dengan:
a. rancangan akta pendirian badan hukum, termasuk rancangan anggaran
dasar yang sekurang-kurangnya memuat:
1. nama dan tempat kedudukan;
2. kegiatan usaha sebagai Bank;
3. permodalan;
4. kepemilikan;
5. wewenang, tanggung jawab, dan masa jabatan dewan Komisaris serta
Direksi;
b. data kepemilikan berupa:
1. daftar calon pemegang saham berikut rincian
besarnya masing-masing
kepemilikan saham bagi Bank yang berbentuk hukum Perseroan
Terbatas/Perusahaan Daerah;
2. daftar calon anggota berikut rincian jumlah simpanan pokok dan
simpanan wajib, serta daftar hibah bagi Bank yang berbentuk hukum
Koperasi;
c. daftar calon anggota dewan Komisaris dan anggota Direksi, disertai
dengan:
1. pas foto 1 (satu) bulan terakhir ukuran 4 x 6 cm;
2. fotokopi tanda pengenal berupa Kartu Tanda Penduduk (KTP) atau
paspor;
3. riwayat hidup;
4. surat …
- 7-
4. surat pernyataan pribadi yang menyatakan tidak pernah melakukan
tindakan tercela di bidang perbankan, keuangan, dan usaha lainnya,
tidak pernah dihukum karena terbukti melakukan tindak pidana
kejahatan,
dan tidak sedang dalam masa pengenaan sanksi untuk
dilarang menjadi pengurus bank dan atau Bank Perkreditan Rakyat
sebagaimana diatur dalam ketentuan Penilaian Kemampuan dan
Kepatutan (Fit and Proper Test) yang ditetapkan oleh Bank Indonesia;
5. surat pernyataan pribadi yang menyatakan bahwa yang bersangkutan
tidak pernah dinyatakan pailit dan tidak pernah menjadi pemegang
saham, anggota Direksi atau Komisaris yang dinyatakan bersalah
menyebabkan suatu perseroan dinyatakan pailit berdasarkan ketetapan
pengadilan dalam waktu
permohonan; dan
6. surat keterangan atau bukti tertulis dari Bank tempat bekerja
sebelumnya mengenai pengalaman operasional di bidang perbankan
bagi calon anggota Direksi atau bagi calon anggota dewan Komisaris
yang telah berpengalaman;
d. rencana susunan dan struktur organisasi, serta personalia;
e. rencana kerja (business plan) untuk tahun pertama yang sekurang-
kurangnya memuat:
1. studi kelayakan mengenai peluang pasar dan potensi ekonomi;
2. rencana kegiatan usaha yang mencakup penghimpunan dan penyaluran
dana serta langkah-langkah kegiatan yang akan dilakukan dalam
mewujudkan rencana dimaksud; dan
3. proyeksi neraca, laporan laba rugi dan laporan arus kas bulanan selama
12 (dua belas) bulan yang dimulai sejak Bank melakukan kegiatan
operasional;
f. rencana strategis jangka menengah dan panjang (corporate plan);
g. pedoman manajemen risiko, rencana sistem pengendalian intern, rencana
sistem teknologi informasi yang digunakan, dan skala kewenangan;
h. sistem dan prosedur kerja;
i. bukti …
5 (lima) tahun sebelum tanggal pengajuan
- 8-
i. bukti setoran modal sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus) dari
modal disetor minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, dalam bentuk
fotokopi bilyet deposito pada Bank di Indonesia dan atas nama “Dewan
Gubernur Bank Indonesia qq. salah satu calon pemilik untuk pendirian Bank
yang bersangkutan”, dengan mencantumkan keterangan bahwa pencairannya
hanya dapat dilakukan setelah mendapat persetujuan tertulis dari Dewan
Gubernur Bank Indonesia; dan
j. surat pernyataan dari calon pemegang saham bagi Bank yang berbentuk
hukum Perseroan Terbatas/Perusahaan Daerah atau dari calon anggota bagi
Bank yang berbentuk hukum Koperasi, bahwa setoran modal sebagaimana
dimaksud dalam huruf i:
1. tidak berasal dari pinjaman atau fasilitas pembiayaan dalam bentuk
apapun dari Bank dan atau pihak lain di Indonesia; dan atau
2. tidak berasal dari dan untuk tujuan pencucian uang (money laundering).
(2) Daftar calon pemegang saham atau daftar calon anggota sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) huruf b:
a. dalam hal perorangan wajib disertai dengan:
1. dokumen sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf c angka 1, angka 2,
angka 3, dan angka 5;
2. surat pernyataan dari calon Pemegang Saham Pengendali yang menyatakan
kesediaan untuk mengatasi kesulitan permodalan maupun likuiditas yang
dihadapi Bank dalam menjalankan kegiatan usahanya; dan
3. surat pernyataan pribadi yang menyatakan tidak pernah melakukan
tindakan tercela di bidang perbankan, keuangan, dan usaha lainnya, tidak
pernah dihukum karena terbukti melakukan tindak pidana kejahatan, dan
tidak sedang dalam masa pengenaan sanksi untuk dilarang menjadi
pemilik, pemilik dengan kepemilikan di atas 10% (sepuluh perseratus), dan
atau Pemegang Saham Pengendali dari bank dan atau Bank Perkreditan
Rakyat sebagaimana diatur dalam ketentuan Penilaian Kemampuan dan
Kepatutan (Fit and Proper Test) yang ditetapkan oleh Bank Indonesia;
b. dalam …
- 9-
b. dalam hal badan hukum wajib disertai dengan:
1. akta pendirian badan hukum, yang memuat anggaran dasar berikut
perubahan-perubahan yang telah mendapat pengesahan dari instansi
berwenang termasuk bagi badan hukum asing sesuai dengan ketentuan
yang berlaku di negara asal badan hukum tersebut;
2. dokumen sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf c angka 1
sampai dengan angka 5 dari seluruh dewan Komisaris dan Direksi
badan hukum yang bersangkutan;
3. rekomendasi dari instansi berwenang di negara asal bagi badan hukum
asing;
4. daftar pemegang saham berikut rincian besarnya masing-masing
kepemilikan saham bagi badan hukum Perseroan Terbatas/Perusahaan
Daerah, atau daftar anggota berikut rincian jumlah simpanan pokok dan
simpanan wajib, serta daftar hibah bagi badan hukum Koperasi;
5. laporan keuangan badan hukum yang telah diaudit oleh akuntan publik
dengan posisi paling lama 6 (enam) bulan sebelum tanggal pengajuan
permohonan persetujuan prinsip;
6. seluruh struktur kelompok usaha yang terkait dengan Bank dan badan
hukum pemilik Bank sampai dengan pemilik terakhir; dan
7. surat pernyataan dari calon Pemegang Saham Pengendali yang
menyatakan kesediaan untuk mengatasi kesulitan permodalan maupun
likuiditas yang dihadapi Bank dalam menjalankan kegiatan usahanya.
Pasal 7
(1) Persetujuan atau penolakan atas permohonan persetujuan prinsip sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf a diberikan selambat-lambatnya 60
(enam puluh) hari setelah dokumen permohonan diterima secara lengkap.
(2) Dalam rangka memberikan persetujuan atau penolakan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), Bank Indonesia melakukan:
a. penelitian atas kelengkapan dan kebenaran dokumen;
b. analisis …
- 10-
b. analisis yang mencakup antara lain tingkat persaingan yang sehat antar
Bank, tingkat kejenuhan jumlah Bank, dan pemerataan pembangunan
ekonomi nasional; dan
c. wawancara terhadap calon Pemegang Saham Pengendali, calon anggota
dewan Komisaris, dan calon anggota Direksi.
(3) Selain ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) pihak-pihak yang
mengajukan permohonan pendirian Bank wajib melakukan presentasi kepada
Bank Indonesia mengenai keseluruhan rencana pendirian Bank.
Pasal 8
(1) Persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) berlaku
untuk jangka waktu 1 (satu) tahun terhitung sejak tanggal persetujuan prinsip
dikeluarkan.
(2) Pihak yang telah mendapat persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) dilarang melakukan kegiatan usaha perbankan, sebelum mendapat
izin usaha.
(3) Apabila setelah jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pihak
yang telah mendapat persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2) belum mengajukan permohonan izin usaha, Dewan Gubernur Bank
Indonesia membatalkan persetujuan prinsip yang telah dikeluarkan.
Pasal 9
Permohonan untuk mendapatkan izin usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
ayat (2) huruf b diajukan oleh pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2)
kepada Dewan Gubernur Bank Indonesia dan wajib disertai dengan:
a. akta pendirian badan hukum, yang memuat anggaran dasar yang telah disahkan
oleh instansi berwenang;
b. data kepemilikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b yang
masing-masing disertai dengan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6
ayat (2), dalam hal terjadi perubahan;
c. daftar susunan dewan Komisaris dan Direksi, disertai dengan:
1. contoh …
- 11-
1. contoh tanda tangan dan paraf;
2. identitas dan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1)
huruf c, dalam hal terjadi perubahan;
3. fotokopi Kartu Izin Menetap Sementara (KIMS) dan fotokopi surat izin
bekerja dari instansi berwenang, bagi warga negara asing:
i. untuk Direksi; dan atau
ii. untuk anggota dewan Komisaris yang bermaksud menetap di
Indonesia;
d. dokumen sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (1) huruf d, huruf e, huruf f,
huruf g, dan huruf h, dalam hal terjadi perubahan;
e. bukti pelunasan modal disetor minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4,
dalam bentuk fotokopi bilyet deposito pada Bank di Indonesia dan atas nama
“Dewan Gubernur
Bank Indonesia qq. salah satu pemilik Bank yang
bersangkutan”, dengan mencantumkan keterangan bahwa pencairannya hanya
dapat dilakukan setelah mendapat persetujuan tertulis dari Dewan Gubernur
Bank Indonesia;
f. bukti kesiapan operasional sekurang-kurangnya berupa:
1. daftar aktiva tetap dan inventaris;
2. bukti kepemilikan, penguasaan atau perjanjian sewa gedung kantor;
3. foto gedung kantor dan tata letak ruangan;
4. contoh formulir/warkat yang akan digunakan untuk operasional Bank; dan
5. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan Tanda Daftar Perusahaan (TDP);
g. surat pernyataan dari pemegang saham bagi Bank yang berbentuk hukum
Perseroan Terbatas/Perusahaan Daerah atau dari anggota bagi Bank yang
berbentuk hukum Koperasi, bahwa pelunasan modal disetor sebagaimana
dimaksud dalam huruf e:
1. tidak berasal dari pinjaman atau fasilitas pembiayaan dalam bentuk
apapun dari Bank dan atau pihak lain di Indonesia; dan atau
2. tidak berasal dari dan untuk tujuan pencucian uang (money laundering);
h. surat …
- 12-
h. surat pernyataan tidak merangkap jabatan melebihi ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 22 ayat (5) bagi anggota dewan Komisaris;
i. surat pernyataan tidak merangkap jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
24 ayat (2) bagi anggota Direksi;
j. surat pernyataan dari anggota dewan Komisaris bahwa yang bersangkutan
tidak mempunyai hubungan keluarga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22
ayat (6);
k. surat pernyataan dari anggota Direksi bahwa yang bersangkutan tidak
mempunyai hubungan keluarga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat
(1); dan
l. surat pernyataan dari anggota Direksi bahwa yang bersangkutan baik secara
sendiri-sendiri maupun bersama-sama tidak memiliki saham melebihi 25%
(dua puluh lima perseratus) dari modal disetor pada suatu perusahaan lain
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (3).
Pasal 10
(1) Persetujuan atau penolakan atas permohonan izin usaha sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf b diberikan selambat-lambatnya 60
(enam puluh) hari setelah dokumen permohonan diterima secara lengkap.
(2) Dalam rangka memberikan persetujuan atau penolakan atas permohonan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Bank Indonesia melakukan:
a. penelitian atas kelengkapan dan kebenaran dokumen; dan
b. wawancara terhadap Pemegang Saham Pengendali, anggota dewan
Komisaris, dan Direksi dalam hal terdapat penggantian atas calon yang
diajukan sebelumnya.
Pasal 11…
- 13-
Pasal 11
(1) Bank yang telah mendapat izin usaha dari Dewan Gubernur Bank Indonesia
wajib melakukan kegiatan usaha perbankan selambat-lambatnya 60 (enam
puluh) hari terhitung sejak tanggal izin usaha dikeluarkan.
(2) Pelaksanaan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib
dilaporkan oleh Direksi Bank kepada Bank Indonesia selambat-lambatnya 10
(sepuluh) hari setelah tanggal pelaksanaan kegiatan operasional.
(3) Apabila setelah jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Bank
belum melakukan kegiatan usaha, Dewan Gubernur Bank Indonesia
membatalkan izin usaha yang telah dikeluarkan.
Pasal 12
Bank yang telah mendapat izin usaha dari Dewan Gubernur Bank Indonesia wajib
mencantumkan secara jelas kata “Bank” pada penulisan namanya.
BAB III
KEPEMILIKAN DAN PERUBAHAN MODAL BANK
Pasal 13
(1) Kepemilikan Bank oleh badan hukum Indonesia sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 ayat (1) setinggi-tingginya sebesar modal sendiri bersih badan
hukum yang bersangkutan.
(2) Ketentuan modal sendiri bersih sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib
dipenuhi pada saat badan hukum yang bersangkutan melakukan penyetoran
modal untuk pendirian Bank atau pada saat badan hukum yang bersangkutan
melakukan penambahan modal disetor Bank.
Pasal 14 …
- 14-
Pasal 14
Sumber dana yang digunakan dalam rangka kepemilikan Bank dilarang:
a. berasal dari pinjaman atau fasilitas pembiayaan dalam bentuk apapun dari
Bank dan atau pihak lain di Indonesia; dan atau
b. berasal dari dan untuk tujuan pencucian uang (money laundering).
Pasal 15
(1) Yang dapat menjadi pemilik Bank adalah pihak-pihak yang:
a. tidak termasuk dalam daftar orang-orang yang dilarang menjadi pemegang
saham dan atau pengurus bank dan atau Bank Perkreditan Rakyat sesuai
dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia;
b. menurut penilaian Bank Indonesia yang bersangkutan memiliki integritas
yang baik.
(2) Pemilik Bank yang memiliki integritas yang baik sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) huruf b, antara lain adalah pihak-pihak yang:
a. memiliki akhlak dan moral yang baik;
b. mematuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku; dan
c. memiliki komitmen yang tinggi terhadap pengembangan operasional Bank
yang sehat.
(3) Selain ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Pemegang Saham
Pengendali wajib memenuhi persyaratan bahwa yang bersangkutan bersedia
untuk mengatasi kesulitan permodalan dan likuiditas yang dihadapi Bank
dalam menjalankan kegiatan usahanya.
Pasal 16
Penggantian dan atau penambahan pemilik Bank dan atau Pemegang Saham
Pengendali tunduk kepada tata cara penggantian dan atau penambahan pemilik
Bank yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku mengenai
merger, konsolidasi, dan akuisisi Bank serta mengenai pembelian saham bank
umum.
Pasal 17 …
- 15-
Pasal 17
(1) Perubahan komposisi kepemilikan Bank yang tidak mengakibatkan
penggantian dan atau penambahan pemilik wajib dilaporkan oleh Bank
kepada Bank Indonesia selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari setelah
perubahan dilakukan.
(2) Laporan perubahan komposisi kepemilikan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) yang diakibatkan oleh adanya penambahan modal disetor wajib disertai
dengan:
a. bukti penyetoran;
b. notulen rapat umum pemegang saham/rapat anggota;
c. surat pernyataan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf g; dan
d. data kepemilikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf b.
(3) Laporan perubahan komposisi kepemilikan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) yang tidak mengubah jumlah modal disetor wajib disertai dengan
dokumen sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf b, huruf c, dan huruf d
serta fotokopi dokumen pengalihan saham.
Pasal 18
(1) Perubahan modal dasar bagi Bank yang berbentuk hukum Perseroan
Terbatas/Perusahaan Daerah, wajib dilaporkan oleh Bank kepada Bank
Indonesia selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari setelah tanggal diterimanya
persetujuan perubahan anggaran dasar dari instansi berwenang disertai
dengan:
a. notulen rapat umum pemegang saham; dan
b. akta perubahan anggaran dasar yang telah disetujui oleh instansi
berwenang.
(2) Perubahan modal bagi Bank yang berbentuk hukum Koperasi, wajib
dilaporkan oleh Bank kepada Bank Indonesia selambat-lambatnya 10
(sepuluh) hari setelah tanggal perubahan anggaran dasar disertai dengan:
a. notulen rapat anggota; dan
b. akta perubahan anggaran dasar yang telah disetujui oleh rapat anggota.
(3) Pembelian …
- 16-
(3) Pembelian kembali saham yang telah dikeluarkan oleh Bank wajib
memperoleh persetujuan terlebih dahulu dari Bank Indonesia dan dilaksanakan
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
BAB IV
DEWAN KOMISARIS, DIREKSI,
PEJABAT EKSEKUTIF DAN PEMIMPIN KANTOR CABANG
Pasal 19
Dalam hal terjadi benturan kepentingan, anggota dewan Komisaris, anggota
Direksi, Pejabat Eksekutif, dan Pemimpin Kantor Cabang
dilarang mengambil
tindakan yang dapat merugikan Bank dan wajib mengungkapkan benturan
kepentingan dimaksud dalam setiap keputusan.
Pasal 20
(1) Anggota dewan Komisaris dan Direksi wajib memenuhi persyaratan sebagai
berikut:
a. tidak termasuk dalam daftar orang-orang yang dilarang menjadi pemegang
saham dan atau pengurus bank dan atau Bank Perkreditan Rakyat sesuai
dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia; dan
b. menurut penilaian Bank Indonesia yang bersangkutan memiliki kompetensi
dan integritas yang baik.
(2) Anggota dewan Komisaris dan Direksi Bank yang memiliki kompetensi dan
integritas yang baik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, antara lain
adalah pihak-pihak yang:
a. memiliki akhlak dan moral yang baik;
b. mematuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku;
c. memiliki komitmen yang tinggi terhadap pengembangan operasional Bank
yang sehat; dan
d. memiliki kemampuan dalam menjalankan tugas.
Pasal 21 …
- 17-
Pasal 21
(1) Bank yang sebagian sahamnya dimiliki oleh pihak asing dapat menempatkan
warga negara asing sebagai anggota dewan Komisaris dan Direksi.
(2) Diantara anggota dewan Komisaris dan Direksi Bank sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1), sekurang-kurangnya terdapat 1 (satu) orang anggota dewan
Komisaris dan 1 (satu) orang anggota Direksi berkewarganegaraan Indonesia.
Pasal 22
(1) Jumlah anggota dewan Komisaris sekurang-kurangnya 2 (dua) orang.
(2) Sekurang-kurangnya 1 (satu) orang anggota dewan Komisaris wajib
berdomisili di Indonesia.
(3) Sekurang-kurangnya 1 (satu) orang anggota dewan Komisaris wajib berasal
dari pihak yang independen terhadap pemilik.
(4) Anggota dewan Komisaris wajib memiliki pengetahuan dan atau pengalaman
di bidang perbankan.
(5) Anggota dewan Komisaris hanya dapat merangkap jabatan sebagai:
a. anggota dewan Komisaris sebanyak-banyaknya pada 1 (satu) bank lain
atau Bank Perkreditan Rakyat; atau
b. anggota dewan Komisaris, Direksi, atau Pejabat Eksekutif yang
memerlukan tanggung jawab penuh sebanyak-banyaknya pada 2 (dua)
lembaga/perusahaan lain bukan bank atau bukan Bank Perkreditan
Rakyat.
(6) Mayoritas anggota dewan Komisaris dilarang saling memiliki hubungan
keluarga sampai derajat kedua dengan sesama anggota dewan Komisaris.
Pasal 23
(1) Direksi Bank sekurang-kurangnya berjumlah 3 (tiga) orang.
(2) Mayoritas anggota Direksi wajib berpengalaman dalam operasional bank
sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun sebagai Pejabat Eksekutif pada bank.
(3) Direktur …
- 18-
(3) Direktur Utama Bank wajib berasal dari pihak yang independen terhadap
Pemegang Saham Pengendali.
Pasal 24
(1) Mayoritas anggota Direksi dilarang saling memiliki hubungan keluarga
sampai derajat kedua termasuk besan dengan sesama anggota Direksi atau
anggota dewan Komisaris.
(2) Anggota Direksi dilarang merangkap jabatan sebagai anggota dewan
Komisaris, Direksi atau Pejabat Eksekutif pada lembaga perbankan,
perusahaan atau lembaga lain.
(3) Anggota Direksi baik secara sendiri-sendiri atau bersama-sama dilarang
memiliki saham melebihi 25% (dua puluh lima perseratus) dari modal disetor
pada suatu perusahaan lain.
(4) Anggota Direksi dilarang memberikan kuasa umum kepada pihak lain yang
mengakibatkan pengalihan tugas dan wewenang tanpa batas.
Pasal 25
(1) Calon anggota dewan Komisaris atau Direksi wajib memperoleh persetujuan
dari Bank Indonesia sebelum diangkat dan menduduki jabatannya.
(2) Sebelum dimintakan persetujuan dari Bank Indonesia, penetapan calon
anggota dewan Komisaris atau Direksi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
wajib dilakukan dengan berpedoman pada ketentuan perundang-undangan
yang berlaku.
(3) Permohonan untuk memperoleh persetujuan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) diajukan oleh Bank kepada Dewan Gubernur Bank Indonesia, dan
wajib disertai dengan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf c,
huruf h, huruf i, huruf j, huruf k, dan huruf l.
(4) Dalam rangka memberikan persetujuan atau penolakan atas permohonan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) Bank Indonesia melakukan:
a. penelitian atas kelengkapan dan kebenaran dokumen; dan
b. wawancara terhadap calon anggota dewan Komisaris atau Direksi.
(5) Persetujuan…
- 19-
(5) Persetujuan atau penolakan atas pengajuan calon anggota dewan Komisaris
atau Direksi diberikan selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sejak dokumen
permohonan diterima secara lengkap.
(6) Dalam hal rapat umum pemegang saham atau rapat anggota telah mengangkat
anggota dewan Komisaris dan atau Direksi sebelum persetujuan Bank
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) dan apabila Bank Indonesia
tidak menyetujui pihak-pihak dimaksud maka Bank wajib mengajukan
kembali calon anggota dewan Komisaris atau Direksi baru sesuai dengan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3);
(7) Dalam hal rapat umum pemegang saham atau rapat anggota membatalkan
pengangkatan calon anggota dewan Komisaris atau calon anggota Direksi
yang telah disetujui oleh Bank Indonesia maka Bank wajib melaporkan
pembatalan tersebut kepada Bank Indonesia, selambat-lambatnya 10 (sepuluh)
hari setelah tanggal pembatalan pengangkatan, disertai dengan notulen rapat
umum pemegang saham atau notulen rapat anggota.
(8) Pengangkatan anggota dewan Komisaris atau Direksi wajib dilaporkan oleh
Bank kepada Bank Indonesia selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari setelah
tanggal pengangkatan efektif, disertai dengan notulen rapat umum pemegang
saham atau notulen rapat anggota.
Pasal 26
(1) Pengangkatan atau penggantian Pejabat Eksekutif atau pemimpin Kantor
Cabang wajib dilaporkan oleh Bank kepada Bank Indonesia selambat-
lambatnya 10 (sepuluh) hari setelah tanggal pengangkatan efektif dan disertai
dengan:
a. surat pengangkatan dan pemberian kuasa sebagai Pejabat Eksekutif atau
pemimpin Kantor Cabang dari Direksi Bank; dan
b. dokumen yang menyatakan identitas Pejabat Eksekutif atau pemimpin
Kantor Cabang Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf
c angka 1, angka 2, angka 3 dan Pasal 9 huruf c angka 1.
(2) Apabila…
- 20-
(2) Apabila berdasarkan penilaian dan penelitian Bank Indonesia, Pejabat
Eksekutif atau pemimpin Kantor Cabang termasuk dalam daftar orang-orang
yang dilarang menjadi pemegang saham, Pemegang Saham Pengendali,
pengurus, Pejabat Eksekutif bank dan atau Bank Perkreditan Rakyat maka
Bank wajib segera memberhentikan yang bersangkutan.
BAB V
PEMBUKAAN KANTOR BANK
Bagian Pertama
Pembukaan Kantor Cabang di Dalam Negeri
Pasal 27
(1) Pembukaan Kantor Cabang Bank di dalam negeri hanya dapat dilakukan
dengan izin Dewan Gubernur Bank Indonesia.
(2) Rencana pembukaan Kantor Cabang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
wajib dicantumkan dalam rencana kerja tahunan Bank.
(3) Permohonan izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diajukan oleh Bank
kepada Dewan Gubernur Bank Indonesia dan wajib disertai dengan:
a. laporan keuangan gabungan dan rincian kualitas aktiva produktif 2 (dua)
bulan terakhir sebelum tanggal surat permohonan;
b. rencana persiapan operasional dalam rangka pembukaan Kantor Cabang;
c. hasil studi kelayakan yang sekurang-kurangnya memuat potensi ekonomi,
peluang pasar, tingkat persaingan yang sehat antar Bank, tingkat
kejenuhan jumlah Bank;
d. proyeksi arus kas bulanan selama 12 (dua belas) bulan; dan
e. rencana kerja Kantor Cabang sekurang-kurangnya selama 12 (dua belas)
bulan.
(4) Dalam …
- 21-
(4) Dalam rangka memberikan persetujuan atau penolakan atas permohonan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), Bank Indonesia melakukan:
a. penelitian atas kelengkapan dan kebenaran dokumen; dan
b. analisis yang mencakup antara lain kemampuan Bank termasuk tingkat
kesehatan, tingkat persaingan yang sehat antar Bank, tingkat kejenuhan
jumlah Bank, dan pemerataan pembangunan ekonomi nasional.
(5) Apabila diperlukan, Bank Indonesia dapat melakukan pemeriksaan untuk
meneliti persiapan pembukaan kantor dan kebenaran dokumen yang
disampaikan.
(6) Persetujuan atau penolakan atas permohonan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (3) diberikan selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah dokumen
permohonan diterima secara lengkap termasuk pemeriksaan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (5).
Pasal 28
(1) Pelaksanaan pembukaan Kantor Cabang sebagaimana dimaksud dalam Pasal
27 wajib dilakukan selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal izin
dari Dewan Gubernur Bank Indonesia dikeluarkan.
(2) Pelaksanaan pembukaan Kantor Cabang sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) wajib dilaporkan oleh Bank kepada Bank Indonesia selambat-lambatnya
10 (sepuluh) hari setelah tanggal pembukaan.
(3) Apabila setelah jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Bank
tidak melaksanakan pembukaan Kantor Cabang, Dewan Gubernur Bank
Indonesia membatalkan izin pembukaan Kantor Cabang yang telah
dikeluarkan.
Bagian …
- 22-
Bagian Kedua
Pembukaan Kantor di bawah Kantor Cabang dan Kegiatan Kas
di luar Kantor Bank di Dalam Negeri
Pasal 29
(1) Rencana pembukaan kantor di bawah Kantor Cabang Bank di dalam negeri
wajib dicantumkan dalam rencana kerja tahunan Bank.
(2) Pembukaan kantor sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dilakukan:
a. hanya dalam satu wilayah kliring dengan Kantor Cabang induknya,
kecuali dengan persetujuan Bank Indonesia; dan
b. dengan memperhatikan hasil studi kelayakan yang memuat tingkat
kejenuhan jumlah Bank.
(3) Laporan keuangan kantor di bawah Kantor Cabang wajib digabungkan dengan
laporan keuangan Kantor Cabang induknya pada hari yang sama.
Pasal 30
(1) Bank wajib menyampaikan rencana pembukaan kantor di bawah Kantor
Cabang kepada Bank Indonesia selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari
sebelum pelaksanaan pembukaan kantor, disertai dengan hasil studi kelayakan
yang memuat tingkat kejenuhan jumlah Bank.
(2) Pelaksanaan pembukaan kantor di bawah Kantor Cabang sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) wajib dilakukan selambat-lambatnya 30 (tiga puluh)
hari setelah tanggal penegasan dari Bank Indonesia.
(3) Pelaksanaan pembukaan kantor di bawah Kantor Cabang wajib dilaporkan
oleh Bank kepada Bank Indonesia selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari
setelah tanggal pelaksanaan pembukaan.
Pasal 31 …
- 23-
Pasal 31
(1) Rencana Kegiatan Kas di luar Kantor Bank wajib dicantumkan dalam rencana
kerja tahunan Bank.
(2) Bank wajib menyampaikan laporan rencana Kegiatan Kas di luar Kantor Bank
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) kepada Bank Indonesia selambat-
lambatnya 30 (tiga puluh) hari sebelum pelaksanaan kegiatan.
(3) Pelaksanaan Kegiatan Kas di luar Kantor Bank sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2) wajib dilakukan selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah
tanggal penegasan dari Bank Indonesia.
(4) Pelaksanaan Kegiatan Kas di luar Kantor Bank wajib dilaporkan oleh Bank
kepada Bank Indonesia selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari setelah tanggal
pelaksanaan kegiatan.
Bagian Ketiga
Pembukaan Kantor di Luar Negeri
Pasal 32
(1) Bank yang akan membuka Kantor Cabang, kantor perwakilan, dan jenis-jenis
kantor lainnya di luar negeri hanya dapat dilakukan dengan izin Dewan
Gubernur Bank Indonesia.
(2) Pemberian izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat diberikan
apabila Bank:
a. telah menjadi Bank devisa sekurang-kurangnya 24 (dua puluh empat)
bulan; dan
b. telah mencantumkan rencana pembukaan Kantor Cabang, kantor
perwakilan, dan jenis-jenis kantor lainnya di luar negeri dalam rencana
kerja tahunan Bank.
(3) Permohonan …
- 24-
(3) Permohonan izin membuka Kantor Cabang dan jenis-jenis kantor lainnya
yang bersifat operasional sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diajukan
oleh Bank kepada Dewan Gubernur Bank Indonesia dan wajib disertai dengan
dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3) huruf a, huruf b,
huruf d dan huruf e serta hasil studi kelayakan yang memuat sekurang-
kurangnya peluang pasar dan potensi ekonomi.
(4) Permohonan izin membuka kantor perwakilan dan jenis-jenis kantor lainnya
yang tidak bersifat operasional sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
diajukan oleh Bank kepada Dewan Gubenur Bank Indonesia, dan wajib
disertai dengan dokumen berupa laporan keuangan gabungan 2 (dua) bulan
terakhir sebelum tanggal surat permohonan serta alasan pembukaan kantor.
(5) Dalam rangka memberikan persetujuan atau penolakan atas permohonan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (4), Bank Indonesia
melakukan:
a. penelitian atas kelengkapan dan kebenaran dokumen; dan
b. analisis yang mencakup antara lain kemampuan Bank termasuk tingkat
kesehatan dan hasil studi kelayakan.
(6) Persetujuan atau penolakan atas permohonan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (5) diberikan selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah dokumen
permohonan diterima secara lengkap.
Pasal 33
(1) Pembukaan kantor di luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32
hanya dapat dilakukan setelah mendapat izin dari otoritas di negara setempat.
(2) Pelaksanaan pembukaan kantor sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib
dilaporkan oleh Bank kepada Bank Indonesia selambat-lambatnya 10
(sepuluh) hari setelah tanggal pelaksanaan pembukaan, dan wajib disertai
dengan salinan/fotokopi izin pembukaan kantor dari otoritas di negara
setempat.
BAB VI …
- 25-
BAB VI
PENINGKATAN DAN PENURUNAN STATUS KANTOR BANK
Pasal 34
(1) Peningkatan status dari kantor di bawah Kantor Cabang menjadi Kantor
Cabang hanya dapat dilakukan dengan cara menutup kantor di bawah Kantor
Cabang dengan memenuhi ketentuan Pasal 43 dan diikuti dengan membuka
Kantor Cabang dengan memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 27 dan Pasal 28.
(2) Peningkatan status dari Kegiatan Kas di luar Kantor Bank menjadi kantor di
bawah Kantor Cabang hanya dapat dilakukan dengan cara menghentikan
Kegiatan Kas di luar Kantor Bank dengan memenuhi ketentuan Pasal 43 dan
diikuti dengan membuka kantor di bawah Kantor Cabang dengan memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 dan Pasal 30.
Pasal 35
(1) Penurunan status dari Kantor Cabang menjadi kantor di bawah Kantor Cabang
hanya dapat dilakukan dengan cara menutup Kantor Cabang dengan memenuhi
ketentuan Pasal 42 dan diikuti dengan membuka kantor di bawah Kantor
Cabang dengan memenuhi ketentuan Pasal 29 ayat (1), ayat (2) huruf a dan
ayat (3) serta Pasal 30 kecuali hasil studi kelayakan yang memuat tingkat
kejenuhan jumlah Bank.
(2) Penurunan status dari kantor di bawah Kantor Cabang menjadi Kegiatan Kas
di luar Kantor Bank hanya dapat dilakukan dengan cara menutup kantor di
bawah Kantor Cabang dengan memenuhi ketentuan Pasal 43 dan diikuti
dengan membuka Kegiatan Kas di luar Kantor Bank dengan memenuhi
ketentuan Pasal 31.
BAB VII…
- 26-
BAB VII
PEMINDAHAN ALAMAT KANTOR BANK
Pasal 36
(1) Pemindahan alamat kantor pusat dan Kantor Cabang hanya dapat dilakukan
dengan izin Dewan Gubernur Bank Indonesia.
(2) Permohonan izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diajukan oleh Bank
kepada Dewan Gubernur Bank Indonesia sebelum pemindahan alamat
dilaksanakan.
(3) Permohonan izin pemindahan alamat kantor pusat dan Kantor Cabang
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib disertai dengan:
a. alasan pemindahan alamat dan rencana persiapan operasional kantor
Bank;
b. rencana penyelesaian atau pengalihan tagihan dan kewajiban Bank; dan
c. hasil studi kelayakan di tempat kedudukan baru yang sekurang-kurangnya
memuat potensi ekonomi, peluang pasar, tingkat persaingan yang sehat
antar Bank, dan tingkat kejenuhan jumlah Bank.
(4) Pemindahan alamat Kantor Cabang yang dilakukan:
a. dalam kotamadya/kabupaten dan wilayah kliring yang sama wajib
memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) huruf a dan
huruf b;
b. di jalan yang sama atau lokasi yang berdekatan wajib memenuhi
persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) huruf a;
c. di luar kotamadya/kabupaten atau wilayah kliring sebelumnya, wajib
memenuhi ketentuan penutupan Kantor Cabang sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 42 dan pembukaan Kantor Cabang sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 27 dan Pasal 28.
(5) Pemindahan alamat kantor pusat wajib memenuhi persyaratan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (3).
(6) Dalam…
- 27-
(6) Dalam rangka memberikan persetujuan atau penolakan atas permohonan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), Bank Indonesia melakukan:
a. penelitian atas kelengkapan dan kebenaran dokumen; dan
b. analisis yang mencakup antara lain tingkat persaingan yang sehat antar
Bank, tingkat kejenuhan jumlah Bank, dan pemerataan pembangunan
ekonomi nasional.
(7) Apabila diperlukan, Bank Indonesia dapat melakukan pemeriksaan untuk
meneliti persiapan pemindahan alamat kantor dan kebenaran dokumen yang
disampaikan.
(8) Persetujuan atau penolakan atas permohonan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (3) diberikan selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah dokumen
permohonan diterima secara lengkap termasuk pemeriksaan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (7).
(9) Pemindahan alamat kantor yang telah mendapat persetujuan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (8) wajib dilaksanakan selambat-lambatnya 30 (tiga
puluh) hari sejak tanggal pemberian izin dari Dewan Gubernur Bank
Indonesia.
(10) Pelaksanaan pemindahan alamat kantor sebagaimana dimaksud dalam ayat (9)
wajib diumumkan oleh Bank dalam:
a. surat kabar yang mempunyai peredaran nasional, bagi pemindahan alamat
kantor pusat; atau
b. surat kabar yang mempunyai peredaran luas di tempat kedudukan Kantor
Cabang, bagi pemindahan alamat Kantor Cabang,
selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari sebelum tanggal pelaksanaan
pemindahan alamat kantor.
(11) Pelaksanaan pemindahan alamat kantor wajib dilaporkan oleh Bank kepada
Bank Indonesia selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari setelah tanggal
pelaksanaan pemindahan alamat.
(12) Apabila setelah jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (9), Bank
tidak melaksanakan pemindahan alamat kantor, Dewan Gubernur Bank
Indonesia membatalkan izin yang telah dikeluarkan.
Pasal 37 …
- 28-
Pasal 37
(1) Rencana pemindahan alamat:
a. kantor di bawah Kantor Cabang dan Kegiatan Kas di luar Kantor Bank di
dalam negeri; atau
b. Kantor Cabang, kantor perwakilan, dan jenis-jenis kantor lainnya di luar
negeri,
wajib dilaporkan oleh Bank kepada Bank Indonesia selambat-lambatnya 30
(tiga puluh) hari sebelum pelaksanaan pemindahan alamat kantor.
(2) Laporan rencana pemindahan alamat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
huruf a wajib disertai dengan:
a. alasan pemindahan alamat dan rencana persiapan operasional kantor Bank;
b. rencana penyelesaian atau pengalihan tagihan dan kewajiban Bank; dan
c. hasil studi kelayakan di tempat kedudukan baru yang sekurang-kurangnya
memuat tingkat kejenuhan jumlah Bank.
(3) Pemindahan alamat kantor di bawah Kantor Cabang di dalam negeri
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a, yang dilakukan:
a. dalam satu kotamadya/kabupaten yang sama wajib memenuhi persyaratan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a dan huruf b;
b. di jalan yang sama atau lokasi yang berdekatan wajib memenuhi
persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a;
c. di luar kotamadya/kabupaten sebelumnya wajib memenuhi ketentuan
penutupan kantor di bawah Kantor Cabang sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 43 dan pembukaan kantor di bawah Kantor Cabang sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 29 dan Pasal 30.
(4) Pemindahan alamat Kegiatan Kas di luar Kantor Bank di dalam negeri
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a, yang dilakukan:
a. dalam satu kotamadya/kabupaten yang sama, di jalan yang sama atau
lokasi yang berdekatan wajib memenuhi persyaratan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) huruf a;
b. diluar …
- 29-
b. di luar kotamadya/kabupaten sebelumnya wajib memenuhi ketentuan
penghentian Kegiatan Kas di luar Kantor Bank sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 43 dan pembukaan Kegiatan Kas di luar Kantor Bank sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 31.
(5) Pemindahan alamat kantor di bawah Kantor Cabang dan Kegiatan Kas di luar
Kantor Bank di dalam negeri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a
wajib dilaksanakan selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah tanggal
penegasan dari Bank Indonesia.
(6) Pelaksanaan pemindahan alamat kantor di bawah Kantor Cabang sebagaimana
dimaksud dalam ayat (3) huruf c wajib diumumkan oleh Bank dalam surat
kabar yang mempunyai peredaran luas di tempat kedudukan Kantor Cabang
induknya selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari sebelum tanggal pelaksanaan
pemindahan alamat kantor.
(7) Pelaksanaan pemindahan alamat kantor di bawah Kantor Cabang dan
Kegiatan Kas di luar Kantor Bank di dalam negeri wajib dilaporkan oleh Bank
kepada Bank Indonesia selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari setelah tanggal
pelaksanaan pemindahan alamat.
(8) Pelaksanaan pemindahan alamat Kantor Cabang, kantor perwakilan, dan jenis-
jenis kantor lainnya di luar negeri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf
b wajib dilaporkan oleh Bank kepada Bank Indonesia selambat-lambatnya 10
(sepuluh) hari setelah tanggal pelaksaanaan pemindahan alamat, disertai
dengan salinan/fotokopi izin dari otoritas di negara setempat.
BAB VIII
PERUBAHAN NAMA DAN BENTUK BADAN HUKUM
Bagian Pertama
Perubahan Nama Bank
Pasal 38
(1) Perubahan nama Bank wajib dilakukan dengan memenuhi ketentuan perundang-
undangan yang berlaku.
(2) Bagi …
- 30-
(2) Bagi Bank yang telah memperoleh persetujuan perubahan nama dari instansi
berwenang wajib mengajukan permohonan kepada Bank Indonesia mengenai
penetapan penggunaan izin usaha yang dimiliki untuk Bank dengan nama yang
baru.
(3) Permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diajukan oleh Bank kepada
Bank Indonesia selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah perubahan nama
dan wajib disertai dengan akta perubahan anggaran dasar yang telah disetujui
oleh instansi berwenang bagi Bank yang berbentuk hukum Perseroan Terbatas/
Perusahaan Daerah atau perubahan anggaran dasar yang telah disahkan oleh rapat
anggota bagi Bank yang berbentuk hukum Koperasi.
(4) Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), Bank
Indonesia menerbitkan Keputusan Dewan Gubernur Bank Indonesia tentang
perubahan nama Bank dalam jangka waktu 15 (lima belas) hari setelah
dokumen permohonan diterima secara lengkap.
(5) Pelaksanaan perubahan nama Bank wajib diumumkan dalam surat kabar yang
mempunyai peredaran nasional selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari setelah
tanggal penerbitan Keputusan Dewan Gubenur Bank Indonesia.
Bagian Kedua
Perubahan Bentuk Badan Hukum Bank
Pasal 39
(1) Perubahan bentuk badan hukum Bank wajib dilakukan dengan persetujuan
Dewan Gubernur Bank Indonesia.
(2) Pemberian persetujuan perubahan bentuk badan hukum Bank sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), dilakukan dalam dua tahap:
a. persetujuan prinsip, yaitu persetujuan untuk melakukan persiapan
perubahan bentuk badan hukum Bank; dan
b. persetujuan pengalihan izin usaha, yaitu persetujuan yang diberikan untuk
mengalihkan izin usaha dari badan hukum lama kepada badan hukum
baru.
Pasal 40…
- 31-
Pasal 40
(1) Permohonan untuk mendapatkan persetujuan prinsip perubahan bentuk badan
hukum Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (2) huruf a diajukan
oleh Bank kepada Dewan Gubernur Bank Indonesia sebelum dilakukan rapat
umum pemegang saham atau rapat anggota untuk memutuskan perubahan
bentuk badan hukum Bank, dan wajib disertai dengan:
a. alasan perubahan bentuk badan hukum;
b. rancangan akta pendirian badan hukum baru termasuk anggaran dasar;
c. rencana pengalihan seluruh hak dan kewajiban dari badan hukum lama
kepada badan hukum baru;
d. daftar anggota dewan Komisaris dan Direksi disertai dengan dokumen
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c dan Pasal 9 huruf c
angka 1 dan angka 3, dalam hal terjadi perubahan; dan
e. data kepemilikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b
disertai dengan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2),
dalam hal terjadi perubahan.
(2) Dalam rangka memberikan persetujuan atau penolakan atas permohonan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Bank Indonesia melakukan:
a. penelitian atas kelengkapan dan kebenaran dokumen; dan
b. wawancara terhadap calon Pemegang Saham Pengendali, calon anggota
dewan Komisaris dan calon anggota Direksi, dalam hal terjadi perubahan.
(3) Persetujuan atau penolakan atas permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2) diberikan selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah dokumen
permohonan diterima secara lengkap.
Pasal 41
(1) Permohonan untuk mengalihkan izin usaha Bank dari badan hukum lama kepada
badan hukum baru sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (2) huruf b,
diajukan oleh Bank kepada Dewan Gubernur Bank Indonesia dan wajib disertai
dengan:
a. akta…
- 32-
a. akta pendirian badan hukum baru termasuk anggaran dasar yang telah
disahkan oleh instansi berwenang;
b. daftar anggota dewan Komisaris dan Direksi disertai dengan dokumen
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c dan Pasal 9 huruf c
angka 1 dan angka 3, dalam hal terjadi perubahan;
c. data kepemilikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b
disertai dengan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2),
dalam hal terjadi perubahan;
d. rancangan berita acara pengalihan seluruh hak dan kewajiban dari badan
hukum lama kepada badan hukum baru; dan
e. notulen rapat umum pemegang saham atau rapat anggota badan hukum lama
yang menyetujui perubahan bentuk hukum dan pembubaran badan hukum
lama.
(2) Dalam rangka memberikan persetujuan atau penolakan atas permohonan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Bank Indonesia melakukan:
a. penelitian atas kelengkapan dan kebenaran dokumen; dan
b. wawancara terhadap Pemegang Saham Pengendali, anggota dewan
Komisaris dan Direksi dalam hal terjadi perubahan.
(3) Persetujuan atau penolakan atas permohonan pengalihan izin usaha dari badan
hukum lama kepada badan hukum baru diberikan selambat-lambatnya 30 (tiga
puluh) hari setelah dokumen permohonan diterima secara lengkap.
(4) Pembubaran badan hukum lama hanya dapat dilakukan setelah:
a. Bank Indonesia memberikan persetujuan pengalihan izin usaha
sebagaimana dimaksud dalam ayat (3); dan
b. pengalihan seluruh hak dan kewajiban dari badan hukum lama kepada
badan hukum baru dilaksanakan sesuai dengan rancangan berita acara
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf d.
(5) Pelaksanaan perubahan bentuk badan hukum Bank wajib diumumkan oleh
Bank dalam surat kabar yang mempunyai peredaran nasional selambat-
lambatnya 10 (sepuluh) hari setelah tanggal dikeluarkannya Keputusan Dewan
Gubenur Bank Indonesia.
BAB IX …
- 33-
BAB IX
PENUTUPAN KANTOR BANK
Pasal 42
(1) Penutupan Kantor Cabang di dalam negeri hanya dapat dilakukan dengan izin
Dewan Gubernur Bank Indonesia.
(2) Pemberian izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam dua
tahap:
a. persetujuan prinsip, yaitu persetujuan untuk melakukan persiapan
penutupan Kantor Cabang; dan
b. persetujuan penutupan, yaitu persetujuan untuk melakukan penutupan
Kantor Cabang.
(3) Permohonan untuk memperoleh persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2) huruf a diajukan oleh Bank kepada Dewan Gubernur Bank
Indonesia dan wajib disertai dengan:
a. alasan penutupan; dan
b. langkah-langkah yang ditempuh dalam rangka penyelesaian seluruh
kewajiban Kantor Cabang kepada nasabah dan pihak lainnya.
(4) Permohonan untuk memperoleh persetujuan penutupan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) huruf b diajukan oleh Bank kepada Dewan Gubernur
Bank Indonesia setelah Bank memperoleh persetujuan prinsip, dan wajib
disertai dengan:
a. bukti penyelesaian kewajiban kepada nasabah serta pihak lainnya; dan
b. surat pernyataan dari Direksi Bank bahwa langkah-langkah penyelesaian
seluruh kewajiban Kantor Cabang kepada nasabah dan pihak lainnya telah
diselesaikan dan apabila terdapat tuntutan di kemudian hari menjadi
tanggung jawab Direksi untuk dan atas nama Bank.
(5) Apabila dipandang perlu, Bank Indonesia melakukan pemeriksaan kepada
Bank dalam rangka meneliti penyelesaian seluruh kewajiban Kantor Cabang
yang akan ditutup.
(6) Persetujuan …
- 34-
(6) Persetujuan atau penolakan permohonan persetujuan prinsip dan persetujuan
penutupan Kantor Cabang sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (4)
masing-masing diberikan dalam batas waktu selambat-lambatnya 15 (lima
belas) hari setelah dokumen permohonan diterima secara lengkap termasuk
pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (5).
(7) Pelaksanaan penutupan kantor yang telah mendapat persetujuan penutupan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (6) wajib dilaksanakan selambat-
lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah tanggal persetujuan penutupan.
(8) Penutupan kantor sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib diumumkan
oleh Bank dalam surat kabar yang mempunyai peredaran luas di tempat
kedudukan kantor Bank selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari setelah tanggal
persetujuan penutupan dari Dewan Gubernur Bank Indonesia.
(9) Pelaksanaan penutupan kantor yang telah mendapat persetujuan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (6) wajib dilaporkan oleh Bank kepada Bank Indonesia
selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari setelah tanggal penutupan.
(10) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (7), Bank
tidak melaksanakan penutupan Kantor Cabang, Dewan Gubernur Bank
Indonesia membatalkan persetujuan penutupan Kantor Cabang yang telah
dikeluarkan.
Pasal 43
(1) Rencana penutupan kantor di bawah Kantor Cabang wajib dilaporkan oleh
Bank kepada Bank Indonesia selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari
sebelum pelaksanaan penutupan kantor dimaksud dan disertai dengan:
a. alasan penutupan; dan
b. langkah-langkah yang ditempuh dalam rangka penyelesaian kewajiban
kantor di bawah Kantor Cabang kepada nasabah dan pihak lainnya.
(2) Rencana penghentian Kegiatan Kas di luar Kantor Bank wajib dilaporkan oleh
Bank kepada Bank Indonesia selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari
sebelum pelaksanaan penghentian Kegiatan Kas di luar Kantor Bank dan
disertai dengan alasan penutupan.
(3) Pelaksanaan …
- 35-
(3) Pelaksanaan penutupan kantor di bawah Kantor Cabang wajib dilaporkan oleh
Bank kepada Bank Indonesia selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari setelah
tanggal penutupan dan wajib disertai dengan:
a. bukti penyelesaian kewajiban kepada nasabah serta pihak lainnya; dan
b. surat pernyataan dari pemimpin Kantor Cabang induknya bahwa langkah-
langkah penyelesaian seluruh kewajiban kantor di bawah Kantor Cabang
kepada nasabah dan pihak lainnya telah diselesaikan dan apabila terdapat
tuntutan di kemudian hari menjadi tanggung jawab pemimpin Kantor
Cabang induk untuk dan atas nama Bank.
(4) Pelaksanaan penghentian Kegiatan Kas di luar Kantor Bank wajib dilaporkan
oleh Bank kepada Bank Indonesia selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari
setelah tanggal penghentian Kegiatan Kas di luar Kantor Bank.
Pasal 44
(1) Penutupan Kantor Cabang, kantor perwakilan dan jenis-jenis kantor lainnya di
luar negeri hanya dapat dilakukan dengan izin Dewan Gubernur Bank
Indonesia.
(2) Permohonan untuk memperoleh izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
bagi Kantor Cabang dan jenis-jenis kantor lainnya yang bersifat operasional
diajukan oleh Bank kepada Dewan Gubernur Bank Indonesia dan wajib
disertai dengan:
a. alasan penutupan;
b. langkah-langkah yang ditempuh dalam rangka penyelesaian seluruh
kewajiban kantor kepada nasabah dan pihak lainnya; dan
c. langkah-langkah yang ditempuh dalam rangka perolehan izin dari otoritas
di negara setempat.
(3) Permohonan untuk memperoleh izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
bagi kantor perwakilan dan jenis-jenis kantor yang tidak bersifat operasional
diajukan oleh Bank kepada Dewan Gubernur Bank Indonesia dan wajib
disertai dengan alasan penutupan dan langkah-langkah yang ditempuh dalam
rangka perolehan izin dari otoritas di negara setempat.
(4) Persetujuan…
- 36-
(4) Persetujuan atau penolakan atas permohonan izin sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2) dan ayat (3) diberikan dalam waktu selambat-lambatnya 30
(tiga puluh) hari setelah dokumen permohonan diterima secara lengkap.
(5) Penutupan kantor di luar negeri sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan
ayat (3) hanya dapat dilakukan setelah mendapat izin dari otoritas di negara
setempat.
(6) Pelaksanaan penutupan Kantor Cabang dan jenis-jenis kantor lainnya yang
bersifat operasional sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) wajib dilaporkan
oleh Bank kepada Bank Indonesia selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari
setelah tanggal pelaksanaan penutupan dan wajib disertai dengan:
a. bukti penyelesaian kewajiban kepada nasabah serta pihak lainnya;
b. surat pernyataan dari Direksi Bank bahwa langkah-langkah penyelesaian
seluruh kewajiban kantor kepada nasabah dan pihak lainnya telah
diselesaikan dan apabila terdapat tuntutan di kemudian hari menjadi
tanggung jawab Direksi untuk dan atas nama Bank; dan
c. salinan/fotokopi izin dari otoritas di negara setempat.
(7) Pelaksanaan penutupan kantor perwakilan dan jenis-jenis kantor lainnya yang
bersifat tidak operasional sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) wajib
dilaporkan oleh Bank kepada Bank Indonesia selambat-lambatnya 10
(sepuluh) hari setelah tanggal pelaksanaan penutupan dan wajib disertai
dengan:
a. surat pernyataan dari Direksi Bank bahwa langkah-langkah penyelesaian
seluruh kewajiban kantor kepada pihak lainnya telah diselesaikan dan
apabila terdapat tuntutan di kemudian hari menjadi tanggung jawab
Direksi untuk dan atas nama Bank; dan
b. salinan/fotokopi izin dari otoritas di negara setempat.
BAB X …
- 37-
BAB X
PERUBAHAN KEGIATAN USAHA DAN
PEMBUKAAN KANTOR CABANG SYARIAH
Bagian Pertama
Perizinan Perubahan Kegiatan Usaha
Pasal 45
(1) Bank yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional hanya dapat
mengubah kegiatan usahanya menjadi Bank yang melakukan Kegiatan Usaha
Berdasarkan Prinsip Syariah dengan izin dari Dewan Gubernur Bank
Indonesia.
(2) Rencana perubahan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
wajib dicantumkan dalam rencana kerja tahunan Bank.
(3) Pemberian izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam dua
tahap:
a. persetujuan prinsip, yaitu persetujuan untuk melakukan persiapan
perubahan kegiatan usaha; dan
b. izin perubahan kegiatan usaha, yaitu izin untuk melakukan Kegiatan
Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah setelah persiapan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a selesai dilakukan.
Pasal 46
Permohonan untuk mendapatkan persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 45 ayat (3) huruf a, diajukan oleh Bank kepada Dewan Gubernur
Bank Indonesia disertai alasan perubahan dan wajib disertai dengan:
a. rancangan perubahan anggaran dasar yang secara tegas mencantumkan bahwa
Bank melakukan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah serta
penempatan dan tugas-tugas Dewan Pengawas Syariah;
b. data …
- 38-
b. data kepemilikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b dan
dokumen serta surat pernyataan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2),
dalam hal terjadi perubahan;
c. daftar calon anggota dewan Komisaris dan Direksi yang memenuhi persyaratan
sebagaimana ditetapkan dalam peraturan Bank Indonesia tentang Bank Umum
berdasarkan Prinsip Syariah, dan disertai dengan:
1. dokumen dan identitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf c; dan
2. surat pernyataan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf h, huruf i,
huruf j, huruf k, dan huruf l,
dalam hal terjadi perubahan;
d. rencana susunan dan struktur organisasi serta personalia;
e. rencana kerja (business plan) tahun pertama yang sekurang-kurangnya
memuat:
1. studi kelayakan mengenai peluang pasar dan potensi ekonomi yang
berkaitan dengan perbankan syariah;
2. rencana kegiatan usaha yang mencakup penghimpunan dan penyaluran
dana serta langkah-langkah kegiatan yang akan dilakukan dalam
mewujudkan rencana dimaksud; dan
3. proyeksi neraca, laporan laba rugi dan laporan arus kas bulanan selama 12
(dua belas) bulan yang dimulai sejak Bank akan melakukan Kegiatan Usaha
Berdasarkan Prinsip Syariah;
f. rencana strategis jangka menengah dan panjang (corporate plan);
g. pedoman manajemen risiko, rencana sistem pengendalian intern, rencana
sistem teknologi informasi yang digunakan, dan skala kewenangan;
h. sistem dan prosedur kerja mengenai Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip
Syariah.
i. rencana penyelesaian seluruh hak dan kewajiban Bank terhadap nasabah yang
tidak bersedia menjadi nasabah Bank berdasarkan Prinsip Syariah;
j. daftar …
- 39-
j. daftar calon anggota Dewan Pengawas Syariah disertai dengan dokumen
identitas berupa fotokopi KTP, pas foto, riwayat hidup, surat keterangan atau
bukti tertulis dari bank tempat bekerja sebelumnya mengenai pengalaman
operasional di bidang perbankan bagi calon anggota Dewan Pengawas Syariah
yang telah berpengalaman;
Pasal 47
(1) Persetujuan atau penolakan atas permohonan persetujuan prinsip sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 46 diberikan selambat-lambatnya 60 (enam puluh) hari
setelah dokumen permohonan diterima secara lengkap.
(2) Dalam rangka memberikan persetujuan atau penolakan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), Bank Indonesia melakukan:
a. penelitian atas kelengkapan dan kebenaran dokumen;
b. analisis yang mencakup antara lain kemampuan Bank termasuk tingkat
kesehatan, tingkat persaingan yang sehat antar Bank yang melakukan
Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah, tingkat kejenuhan jumlah
Bank yang melakukan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah, dan
peluang pasar; dan
c. wawancara terhadap calon Pemegang Saham Pengendali, anggota dewan
Komisaris dan Direksi.
(3) Selain ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), Bank yang
mengajukan permohonan perubahan kegiatan usaha wajib melakukan
presentasi kepada Bank Indonesia mengenai keseluruhan rencana perubahan
kegiatan usaha Bank.
Pasal 48
(1) Persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (1) berlaku
untuk jangka waktu 180 (seratus delapan puluh) hari terhitung sejak tanggal
persetujuan prinsip dikeluarkan.
(2) Bank yang telah mendapat persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) dilarang melakukan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah
sebelum mendapat izin perubahan kegiatan usaha.
(3) Apabila …
- 40-
(3) Apabila setelah jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Bank
belum mengajukan permohonan izin perubahan kegiatan usaha sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 45 ayat (3) huruf b, Dewan Gubernur Bank Indonesia
membatalkan persetujuan prinsip yang telah dikeluarkan.
Pasal 49
Permohonan untuk mendapatkan izin perubahan kegiatan usaha sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 45 ayat (3) huruf b, diajukan oleh Bank kepada Dewan
Gubernur Bank Indonesia, dan wajib disertai dengan:
a. perubahan anggaran dasar, yang secara tegas mencantumkan bahwa Bank
melakukan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah serta penempatan dan
tugas Dewan Pengawas Syariah, yang telah disahkan oleh instansi yang
berwenang;
b. data kepemilikan dan surat pernyataan dari pemegang saham sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 46 huruf b, dalam hal terjadi perubahan;
c. daftar susunan dan surat pernyataan dari dewan Komisaris dan Direksi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 huruf c, dalam hal terjadi perubahan;
d. daftar calon anggota Dewan Pengawas Syariah disertai dengan dokumen
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 huruf j, dalam hal terjadi perubahan;
e. dokumen sebagaimana diatur dalam Pasal 46 huruf d, huruf e, huruf f, huruf g,
dan huruf h, dalam hal terjadi perubahan;
f. bukti kesiapan operasional berupa:
1. daftar sarana dan prasarana pendukung;
2. contoh formulir/warkat yang akan digunakan untuk operasional; dan
3. Nomor Pokok Wajib Pajak dan Tanda Daftar Perusahaan;
g. laporan realisasi dan rencana tindak lanjut penyelesaian hak dan kewajiban
Bank terhadap nasabah yang tidak bersedia menjadi nasabah Bank berdasarkan
Prinsip Syariah.
Pasal 50 …
- 41-
Pasal 50
(1) Persetujuan atau penolakan atas permohonan izin perubahan kegiatan usaha
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 diberikan selambat-lambatnya 30 (tiga
puluh) hari setelah dokumen permohonan diterima secara lengkap.
(2) Dalam rangka memberikan persetujuan atau penolakan atas permohonan izin
perubahan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Bank
Indonesia melakukan:
a. penelitian atas kelengkapan dan kebenaran dokumen; dan
b. wawancara terhadap Pemegang Saham Pengendali, anggota Direksi, dan
anggota dewan Komisaris dalam hal terdapat penggantian atas calon yang
diajukan sebelumnya.
Pasal 51
(1) Bank yang telah mendapat izin perubahan kegiatan usaha dari Dewan
Gubernur Bank Indonesia wajib melakukan Kegiatan Usaha Berdasarkan
Prinsip Syariah selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal izin
perubahan kegiatan usaha dikeluarkan.
(2) Pelaksanaan perubahan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
wajib dilaporkan oleh Bank kepada Bank Indonesia selambat-lambatnya 10
(sepuluh) hari setelah tanggal pelaksanaan Kegiatan Usaha Berdasarkan
Prinsip Syariah.
(3) Apabila dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari setelah tanggal izin
perubahan kegiatan usaha, Bank belum melaksanakan Kegiatan Usaha
Berdasarkan Prinsip Syariah, Dewan Gubernur Bank Indonesia membatalkan
izin perubahan kegiatan usaha yang telah dikeluarkan.
(4) Bank yang telah mendapat izin perubahan kegiatan usaha wajib
menyelesaikan seluruh hak dan kewajiban debitur dan kreditur dari kegiatan
konvensional selambat-lambatnya 360 (tiga ratus enam puluh) hari sejak
tanggal izin perubahan kegiatan usaha dikeluarkan.
(5) Bank Indonesia dapat memperpanjang jangka waktu sebagaimana dimaksud
dalam ayat (4) untuk tujuan penyelesaian aktiva produktif kegiatan usaha
secara konvensional yang telah dihapus buku.
(6) Permohonan …
- 42-
(6) Permohonan perpanjangan jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat
(5) diajukan selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sebelum berakhirnya
jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), disertai dengan alasan
perpanjangan jangka waktu dan bukti-bukti pendukung.
(7) Bank yang telah mendapat izin perubahan kegiatan usaha dilarang melakukan
kegiatan usaha secara konvensional, kecuali dalam rangka penyelesaian
transaksi-transaksi sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) dan ayat (5).
Pasal 52
Bank yang telah mendapat izin perubahan kegiatan usaha dari Dewan Gubernur
Bank Indonesia wajib mencantumkan secara jelas kata “Syariah” sesudah kata
“Bank” pada penulisan namanya.
Pasal 53
Bank yang semula memiliki izin usaha sebagai Bank yang melakukan kegiatan
usaha secara konvensional dan telah memperoleh izin perubahan kegiatan usaha
menjadi Bank yang melakukan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah,
dilarang untuk mengubah Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah menjadi
kegiatan usaha secara konvensional.
Bagian Kedua
Pembukaan Kantor Cabang Syariah oleh
Bank yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional
Pasal 54
(1) Bank yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional dapat membuka
Kantor Cabang Syariah dengan cara:
a. membuka Kantor Cabang Syariah yang baru;
b. mengubah kegiatan usaha Kantor Cabang yang melakukan kegiatan usaha
secara konvensional menjadi Kantor Cabang Syariah; dan atau
c. meningkatkan …
- 43-
c. meningkatkan status kantor di bawah Kantor Cabang yang melakukan
kegiatan usaha secara konvensional menjadi Kantor Cabang Syariah.
(2) Bank hanya dapat membuka Kantor Cabang Syariah sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dengan izin dari Dewan Gubernur Bank Indonesia.
(3) Rencana pembukaan Kantor Cabang Syariah sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) wajib dicantumkan dalam rencana kerja tahunan Bank.
(4) Pemberian izin pembukaan Kantor Cabang Syariah sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2) dilakukan dalam dua tahap:
a. persetujuan prinsip, yaitu persetujuan untuk melakukan persiapan
pembukaan Kantor Cabang Syariah;
b. izin pembukaan Kantor Cabang Syariah, yaitu izin untuk melakukan
kegiatan usaha Kantor Cabang Syariah setelah persiapan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a selesai dilakukan.
Pasal 55
(1) Bank yang akan membuka Kantor Cabang Syariah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 54 ayat (1), wajib membentuk Unit Usaha Syariah di kantor pusat
Bank.
(2) Unit Usaha Syariah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan unit
kerja di kantor pusat Bank yang berfungsi sebagai kantor induk dari Kantor
Cabang Syariah, yang mempunyai tugas:
a. mengatur dan mengawasi seluruh kegiatan Kantor Cabang Syariah;
b. menempatkan dan mengelola dana yang bersumber dari Kantor Cabang
Syariah;
c. menerima dan menatausahakan laporan keuangan dari Kantor Cabang
Syariah; dan
d. melakukan kegiatan lain sebagai kantor induk dari Kantor Cabang
Syariah.
(3) Pada Unit Usaha Syariah sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) wajib
ditempatkan Dewan Pengawas Syariah yang telah disetujui oleh Dewan
Syariah Nasional.
(4) Pemimpin …
- 44-
(4) Pemimpin Unit Usaha Syariah wajib memenuhi persyaratan:
a. sekurang-kurangnya merupakan Pejabat Eksekutif;
b. memiliki komitmen dalam menjalankan operasional Bank berdasarkan
Prinsip Syariah;
c. memiliki integritas dan moral yang baik; dan
d. berpengalaman dalam operasional Bank Syariah dan atau telah mengikuti
pelatihan operasional Bank Syariah baik di dalam maupun di luar negeri.
Pasal 56
Bank yang membuka Kantor Cabang Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal
54 ayat (1) wajib menyediakan modal kerja sekurang-kurangnya sebesar:
a. Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) untuk setiap Kantor Cabang Syariah
yang berkedudukan di wilayah Jabotabek; atau
b. Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) untuk setiap Kantor Cabang Syariah
yang berkedudukan di luar wilayah Jabotabek.
Pasal 57
Kantor Bank yang telah mendapat izin pembukaan Kantor Cabang Syariah wajib
mencantumkan kata “Kantor Cabang Syariah” pada setiap penulisan nama
kantornya.
Pasal 58
Kantor Bank yang telah mendapat izin pembukaan Kantor Cabang Syariah
dilarang untuk mengubah kegiatan Kantor Cabang Syariah menjadi Kantor
Cabang yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional.
Bagian …
- 45-
Bagian Ketiga
Perizinan Pembukaan Kantor Cabang Syariah
Pasal 59
(1) Permohonan untuk mendapatkan persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 54 ayat (4) huruf a, untuk pembukaan Kantor Cabang Syariah
yang baru sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (1) huruf a diajukan
oleh Bank kepada Dewan Gubernur Bank Indonesia dan wajib disertai dengan:
a. dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3) huruf a dan huruf
b serta Pasal 46 huruf a, huruf d dan huruf e;
b. dokumen dan identitas pemimpin Kantor Cabang Syariah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 26, serta:
1. bukti pengalaman dalam operasional Bank Syariah; dan atau
2. surat keterangan dari lembaga pelatihan mengenai pelatihan perbankan
syariah;
c. dokumen mengenai identitas calon anggota Dewan Pengawas Syariah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 huruf j, untuk pembukaan Kantor
Cabang Syariah yang pertama kali;
d. dokumen dan identitas pemimpin Unit Usaha Syariah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 26, serta:
1. bukti pengalaman dalam operasional Bank Syariah; dan atau
2. surat keterangan dari lembaga pelatihan mengenai pelatihan perbankan
syariah yang telah diikuti di dalam maupun di luar negeri,
untuk pembukaan Kantor Cabang Syariah yang pertama kali;
e. bukti setoran modal kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56;
f. hasil studi kelayakan tentang tingkat persaingan yang sehat antar Bank
yang melakukan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah dan tingkat
kejenuhan jumlah Bank yang melakukan Kegiatan Usaha Berdasarkan
Prinsip Syariah.
(2) Permohonan …
- 46-
(2) Permohonan untuk mendapatkan persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 54 ayat (4) huruf a untuk mengubah kegiatan usaha Kantor
Cabang yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional menjadi Kantor
Cabang Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (1) huruf b dan
atau untuk meningkatkan status kantor di bawah Kantor Cabang yang
melakukan kegiatan usaha secara konvensional menjadi Kantor Cabang
Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (1) huruf c, diajukan oleh
Bank kepada Dewan Gubernur Bank Indonesia dan wajib disertai dengan:
a. dokumen sebagaimana dimaksud dalam ayat (1); dan
b. rencana penyelesaian seluruh hak dan kewajiban kantor Bank terhadap
nasabah yang tidak bersedia menjadi nasabah Kantor Cabang Syariah.
Pasal 60
(1) Dalam rangka memberikan persetujuan atau penolakan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 59, Bank Indonesia melakukan:
a. penelitian atas kelengkapan dan kebenaran dokumen; dan
b. analisis yang mencakup antara lain kemampuan Bank termasuk tingkat
kesehatan, tingkat persaingan yang sehat antar Bank yang melakukan
Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah, tingkat kejenuhan jumlah
Bank yang melakukan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah, dan
peluang pasar.
(2) Apabila diperlukan, Bank Indonesia dapat melakukan pemeriksaan untuk
meneliti persiapan pembukaan kantor dan kebenaran dokumen yang
disampaikan.
(3) Persetujuan atau penolakan atas permohonan persetujuan prinsip sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) diberikan selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari
setelah dokumen permohonan diterima secara lengkap termasuk pemeriksaan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2).
Pasal 61 …
- 47-
Pasal 61
(1) Persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1) berlaku
untuk jangka waktu 180 (seratus delapan puluh) hari terhitung sejak tanggal
persetujuan prinsip dikeluarkan.
(2) Bank dan atau kantor Bank yang telah mendapat persetujuan prinsip
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilarang melakukan Kegiatan Usaha
Berdasarkan Prinsip Syariah sebelum mendapat izin pembukaan Kantor
Cabang Syariah.
(3) Apabila setelah jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Bank dan
atau kantor Bank yang telah mendapat persetujuan prinsip sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) belum mengajukan permohonan izin pembukaan
Kantor Cabang Syariah, Dewan Gubernur Bank Indonesia membatalkan
persetujuan prinsip yang telah dikeluarkan.
Pasal 62
Permohonan untuk mendapatkan izin pembukaan Kantor Cabang Syariah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (4) huruf b diajukan oleh Bank kepada
Dewan Gubernur Bank Indonesia dan wajib disertai dengan:
a. dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 huruf a dan huruf f;
b. dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 huruf d, huruf e, huruf f,
huruf g, dan huruf h, dalam hal terjadi perubahan;
c. laporan realisasi penyelesaian seluruh hak dan kewajiban kantor Bank terhadap
nasabah yang tidak bersedia menjadi nasabah Kantor Cabang Syariah.
Pasal 63
(1) Dalam rangka memberikan persetujuan atau penolakan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 62, Bank Indonesia melakukan penelitian atas kelengkapan dan
kebenaran dokumen.
(2) Persetujuan atau penolakan atas permohonan izin pembukaan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) diberikan selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari
setelah dokumen permohonan diterima secara lengkap.
(3) Bank …
- 48-
(3) Bank dan atau kantor Bank yang telah mendapat izin pembukaan Kantor
Cabang Syariah sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), wajib melakukan
Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah selambat-lambatnya 30 (tiga
puluh) hari terhitung sejak tanggal izin pembukaan dikeluarkan.
(4) Pelaksanaan pembukaan Kantor Cabang Syariah sebagaimana dimaksud
dalam ayat (3) wajib dilaporkan oleh Bank kepada Bank Indonesia selambat-
lambatnya 10 (sepuluh) hari setelah tanggal pembukaan.
(5) Apabila setelah jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) Kantor
Cabang Syariah belum melakukan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip
Syariah, Dewan Gubernur Bank Indonesia membatalkan izin pembukaan
Kantor Cabang Syariah yang telah dikeluarkan.
(6) Kantor Cabang Syariah yang berasal dari pembukaan dengan cara
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (1) huruf b dan huruf c wajib
menyelesaikan seluruh hak dan kewajiban debitur dan kreditur dari kegiatan
usaha secara konvensional selambat-lambatnya 360 (tiga ratus enam puluh)
hari sejak tanggal izin pembukaan dikeluarkan.
(7) Kantor Cabang Syariah dilarang melakukan kegiatan usaha perbankan secara
konvensional, kecuali dalam rangka penyelesaian transaksi-transaksi
sebagaimana dimaksud dalam ayat (6).
Bagian Keempat
Pembukaan Kantor Cabang Syariah Berikutnya
Pasal 64
(1) Bank yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional dan telah memiliki
Kantor Cabang Syariah hanya dapat membuka Kantor Cabang Syariah
berikutnya dengan izin Dewan Gubernur Bank Indonesia.
(2) Rencana pembukaan Kantor Cabang Syariah berikutnya sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) wajib dicantumkan dalam rencana kerja tahunan
Bank.
(3) Permohonan …
- 49-
(3) Permohonan izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diajukan oleh Bank
kepada Dewan Gubernur Bank Indonesia dengan ketentuan sebagai berikut:
a. untuk pembukaan Kantor Cabang Syariah berikutnya yang dilakukan
dengan cara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (1) huruf a, wajib
disertai dengan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3)
huruf a dan huruf b, Pasal 46 huruf d dan huruf e, Pasal 56, Pasal 57, Pasal
58 serta Pasal 59 ayat (1) huruf b, huruf e dan huruf f;
b. untuk pembukaan Kantor Cabang Syariah berikutnya yang dilakukan
dengan cara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (1) huruf b dan
huruf c, wajib disertai dengan dokumen sebagaimana dimaksud dalam
huruf a dan Pasal 59 ayat (2) huruf b.
(4) Dalam rangka memberikan persetujuan atau penolakan atas permohonan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), Bank Indonesia melakukan:
a. penelitian atas kelengkapan dan kebenaran dokumen; dan
b. analisis yang mencakup antara lain kemampuan Bank termasuk tingkat
kesehatan, tingkat persaingan yang sehat antar Bank yang melakukan
Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah, tingkat kejenuhan jumlah
Bank yang melakukan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah, dan
peluang pasar.
(5) Apabila diperlukan, Bank Indonesia dapat melakukan pemeriksaan untuk
meneliti persiapan pembukaan kantor dan kebenaran dokumen yang
disampaikan.
(6) Persetujuan atau penolakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diberikan
selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah dokumen permohonan
diterima secara lengkap termasuk pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (5).
(7) Pelaksanaan pembukaan Kantor Cabang Syariah berikutnya sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) wajib dilakukan selambat-lambatnya 30 (tiga puluh)
hari sejak tanggal izin dari Dewan Gubernur Bank Indonesia dikeluarkan.
(8) Pelaksanaan pembukaan Kantor Cabang Syariah berikutnya sebagaimana
dimaksud dalam ayat (7) wajib dilaporkan kepada Bank Indonesia selambat-
lambatnya 10 (sepuluh) hari setelah tanggal pembukaan.
(9) Apabila …
- 50-
(9) Apabila setelah jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (7) Bank
tidak melaksanakan pembukaan Kantor Cabang Syariah, Dewan Gubernur
Bank Indonesia membatalkan izin pembukaan Kantor Cabang Syariah yang
telah dikeluarkan.
Bagian Kelima
Pembukaan Kantor di bawah Kantor Cabang, Pelaksanaan Kegiatan Kas di luar
Kantor Bank, Peningkatan dan Penurunan Status Kantor,
Pemindahan Alamat Kantor, serta Penutupan Kantor
Pasal 65
Bagi Bank yang memiliki Kantor Cabang Syariah hanya dapat melakukan
pembukaan kantor di bawah Kantor Cabang Syariah dengan memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 dan Pasal 30 serta melakukan Kegiatan
Kas di luar Kantor Bank Syariah dengan memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 31.
Pasal 66
(1) Peningkatan status dari kantor di bawah Kantor Cabang Syariah menjadi
Kantor Cabang Syariah hanya dapat dilakukan dengan cara menutup kantor di
bawah Kantor Cabang Syariah dengan memenuhi ketentuan Pasal 43 dan
diikuti dengan membuka Kantor Cabang Syariah dengan memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64.
(2) Peningkatan status dari Kegiatan Kas diluar kantor Bank Syariah menjadi
kantor di bawah Kantor Cabang Syariah hanya dapat dilakukan dengan cara
menghentikan Kegiatan Kas diluar kantor Bank Syariah dengan memenuhi
ketentuan Pasal 43 dan diikuti dengan membuka kantor di bawah Kantor
Cabang Syariah dengan memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 29 dan Pasal 30.
Pasal 67 …
- 51-
Pasal 67
(1) Penurunan status dari Kantor Cabang Syariah menjadi kantor di bawah Kantor
Cabang Syariah hanya dapat dilakukan dengan cara menutup Kantor Cabang
Syariah dengan memenuhi ketentuan Pasal 42 dan diikuti dengan membuka
kantor di bawah Kantor Cabang Syariah dengan memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 dan Pasal 30.
(2) Penurunan status dari kantor di bawah Kantor Cabang Syariah menjadi
Kegiatan Kas di luar Kantor Bank Syariah hanya dapat dilakukan dengan cara
menutup kantor di bawah Kantor Cabang Syariah dengan memenuhi ketentuan
Pasal 43 dan diikuti dengan membuka Kegiatan Kas di luar Kantor Bank
Syariah dengan memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31.
Pasal 68
Pemindahan alamat Kantor Cabang Syariah dan alamat kantor di bawah Kantor
Cabang Syariah hanya dapat dilakukan dengan memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 36 dan Pasal 37.
Pasal 69
Penutupan Kantor Cabang Syariah, kantor dibawah Kantor Cabang Syariah, dan
penghentian Kegiatan Kas di luar Kantor Bank Syariah hanya dapat dilakukan
dengan memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 dan Pasal 43.
Bagian Keenam
Dewan Pengawas Syariah, Pemimpin Unit Usaha Syariah dan
Pemimpin Kantor Cabang Syariah
Pasal 70
Perubahan Dewan Pengawas Syariah wajib dilaporkan secara tertulis kepada Bank
Indonesia selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari setelah tanggal pengangkatan
efektif dan disertai dengan dokumen identitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal
46 huruf j dan surat persetujuan Dewan Syariah Nasional.
Pasal 71 …
- 52-
Pasal 71
Pengangkatan atau penggantian pemimpin Unit Usaha Syariah dan pemimpin
Kantor Cabang Syariah wajib dilaporkan oleh Bank kepada Bank Indonesia
selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari setelah tanggal pengangkatan efektif dan
wajib disertai dengan dokumen dan identitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal
59 ayat (1) huruf b dan atau huruf d.
Bagian Ketujuh
Pencabutan Izin Pembukaan Kantor Cabang Syariah
Pasal 72
Bank Indonesia mencabut izin pembukaan Kantor Cabang Syariah yang terbukti
melakukan kegiatan usaha secara konvensional.
Bagian Kedelapan
Akuntansi Kantor Cabang Syariah
Pasal 73
(1) Sistem akuntansi Kantor Cabang Syariah mengacu kepada Standar Akuntansi
Keuangan (SAK) yang berlaku, sepanjang standar akuntansi tersebut
memenuhi Prinsip Syariah.
(2) Bank yang memiliki Kantor Cabang Syariah wajib:
a. memiliki pencatatan dan pembukuan tersendiri untuk Kegiatan Usaha
Berdasarkan Prinsip Syariah;
b. menyusun laporan keuangan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip
Syariah; dan
c. memasukkan laporan keuangan sebagaimana dimaksud dalam huruf b ke
dalam laporan keuangan konsolidasi.
BAB XI …
- 53-
BAB XI
S A N K S I
Pasal 74
(1) Bank yang tidak menaati ketentuan dalam Pasal 5 ayat (2), Pasal 12, Pasal 13
ayat (1) dan ayat (2), Pasal 14, Pasal 15, Pasal 16, Pasal 18 ayat (3), Pasal 19,
Pasal 20, Pasal 21 ayat (2), Pasal 22, Pasal 23, Pasal 24, Pasal 25 ayat (1), ayat
(2) dan ayat (6), Pasal 26 ayat (2), Pasal 27 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28 ayat
(1), Pasal 29, Pasal 30 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 31 ayat (1), ayat (2) dan
ayat (3), Pasal 32 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 33 ayat (1), Pasal 34, Pasal 35,
Pasal 36 ayat (1), ayat (2), ayat (4), ayat (5) dan ayat (9), Pasal 37 ayat (1),
ayat (3), ayat (4) dan ayat (5), Pasal 38 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 39 ayat (1),
Pasal 41 ayat (4), Pasal 42 ayat (1) dan ayat (7), Pasal 43 ayat (1) dan ayat (2),
Pasal 44 ayat (1) dan ayat (5), Pasal 45 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 48 ayat (2),
Pasal 51 ayat (1), ayat (4) dan ayat (7), Pasal 52, Pasal 53, Pasal 54 ayat (3),
Pasal 55 ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4), Pasal 56, Pasal 57, Pasal 58,
Pasal 61 ayat (2), Pasal 63 ayat (3), ayat (6) dan ayat (7), Pasal 64 ayat (2) dan
ayat (7), Pasal 65, Pasal 66, Pasal 67, Pasal 68, Pasal 69, Pasal 73, Pasal 75,
Pasal 77 ayat (1), Pasal 78, Pasal 81 dan Pasal 82 dapat dikenakan sanksi
administratif sesuai dengan Pasal 52 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992
tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor
10 Tahun 1998.
(2) Bank yang tidak menaati ketentuan dalam Pasal 11 ayat (2), Pasal 17, Pasal 18
ayat (1) dan ayat (2), Pasal 25 ayat (7) dan ayat (8), Pasal 26 ayat (1), Pasal 28
ayat (2), Pasal 30 ayat (3), Pasal 31 ayat (4), Pasal 33 ayat (2), Pasal 36 ayat
(10) dan ayat (11), Pasal 37 ayat (6), ayat (7) dan ayat (8), Pasal 38 ayat (3)
dan ayat (5), Pasal 41 ayat (5), Pasal 42 ayat (8) dan ayat (9), Pasal 43 ayat
(3) dan ayat (4), Pasal 44 ayat (6) dan ayat (7), Pasal 51 ayat (2) dan ayat (6),
Pasal 63 ayat (4), Pasal 64 ayat (8), Pasal 70, Pasal 71, Pasal 77 ayat (2) dan
Pasal 80 dapat dikenakan sanksi administratif sesuai Pasal 52 Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998, berupa:
a. teguran …
- 54-
a. teguran tertulis dan kewajiban membayar sebesar Rp1.000.000,00 (satu
juta rupiah) per hari kelambatan untuk setiap laporan dan atau
pengumuman;
b. teguran tertulis dan kewajiban membayar sebesar Rp30.000.000,00 (tiga
puluh juta rupiah) apabila Bank tidak menyampaikan laporan dan atau
pengumuman.
(3) Bank dinyatakan tidak menyampaikan laporan dan atau pengumuman
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf b apabila Bank belum
menyampaikan laporan dimaksud setelah 30 (tiga puluh) hari sejak batas akhir
penyampaian laporan dan atau pengumuman.
(4) Setiap pihak yang tidak menaati ketentuan Pasal 3 ayat (1), Pasal 8 ayat (2),
Pasal 27 ayat (1), Pasal 54 ayat (2) dan Pasal 64 ayat (1) dapat dikenakan
sanksi pidana sesuai dengan Pasal 46 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992
tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor
10 Tahun 1998.
BAB XII
LAIN-LAIN
Pasal 75
(1) Bank wajib mengadministrasikan dengan tertib:
a. daftar pemegang saham dan perubahannya bagi Bank yang berbentuk
hukum Perseroan Terbatas/ Perusahaan Daerah; atau
b. buku daftar anggota dan perubahannya bagi Bank yang berbentuk hukum
Koperasi.
(2) Bank yang telah terdaftar di pasar modal wajib memperbaharui daftar
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a.
Pasal 76
Bank Indonesia tidak memberikan persetujuan atas permohonan izin yang tidak
sesuai dengan ketentuan, tata cara dan persyaratan yang diatur dalam Peraturan
Pasal 77…
- 55-
Bank Indonesia ini.
Pasal 77
(1) Bank wajib menyampaikan perubahan dokumen sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6 ayat (1) huruf f, huruf g dan huruf h, pada:
a. setiap akhir tahun apabila terjadi perubahan; dan
b. setiap saat apabila terjadi perubahan yang bersifat material.
(2) Penyampaian dokumen sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib
disampaikan kepada Bank Indonesia selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari
sejak jangka waktu yang ditetapkan.
Pasal 78
Bank wajib menjamin kebenaran dokumen atau identitas yang dikeluarkan oleh
instansi terkait atau pihak ketiga yang disampaikan kepada Bank Indonesia.
BAB XIII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 79
Permohonan izin yang diajukan sebelum berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini
wajib disesuaikan dengan persyaratan dan dokumen sebagaimana diatur dalam
Peraturan Bank Indonesia ini.
Pasal 80
Bank yang telah memiliki izin usaha sebelum berlakunya Peraturan Bank
Indonesia ini wajib menyampaikan:
a. dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf f, huruf g dan
huruf h;
b. surat pernyataan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c angka 5
dan ayat (2) huruf a angka 2 dan atau huruf b angka 7;
c. seluruh struktur kelompok usaha dari Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal
kepada …
- 56-
6 ayat (2) huruf b angka 6,
kepada Bank Indonesia selambat-lambatnya 90 (sembilan puluh) hari sejak
berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini.
Pasal 81
Anggota dewan Komisaris dan Direktur Utama Bank yang tidak memenuhi
ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 22 ayat (3) dan Pasal 23 ayat (3), wajib
menyesuaikan dengan ketentuan tersebut dalam waktu selambat-lambatnya pada
tanggal 31 Desember 2002.
Pasal 82
Pejabat Eksekutif yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal
26 ayat (1) , wajib menyesuaikan dengan ketentuan tersebut dalam jangka waktu
selambat-lambatnya 60 (enam puluh) hari sejak berlakunya Peraturan Bank
Indonesia ini.
BAB XIV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 83
Ketentuan lebih lanjut mengenai Bank Umum diatur dalam Surat Edaran Bank
Indonesia.
Pasal 84
Dengan dikeluarkannya Peraturan Bank Indonesia ini maka Surat Keputusan
Direksi Bank Indonesia Nomor 32/33/KEP/DIR tanggal 12 Mei 1999 tentang
Bank Umum, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 85 …
- 57-
Pasal 85
Peraturan Bank Indonesia ini berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di :
Jakarta
Pada tanggal : 15 Desember 2000
GUBERNUR BANK INDONESIA
SYAHRIL SABIRIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2000 NOMOR 234
DPNP
- 58-
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 2/ 27 /PBI/2000
TENTANG
BANK UMUM
UMUM
Dalam rangka menghadapi perkembangan perekonomian nasional yang
mengalami perubahan yang cepat, tantangan yang dinamis dan semakin kompleks,
serta terintegrasi dengan perekonomian internasional, diperlukan berbagai
penyesuaian kebijakan di bidang perbankan yang diharapkan dapat memperbaiki
dan memperkukuh ketahanan perbankan
nasional. Kebijakan perbankan yang
komprehensif, transparan dan mengandung kepastian hukum tersebut diantaranya
yang berkaitan dengan pengaturan kepemilikan dan permodalan, kepengurusan,
perluasan jaringan, serta perubahan kegiatan usaha Bank.
Sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku, Bank Indonesia
dan tanggung jawab untuk menetapkan perizinan,
memiliki kewenangan
pembinaan dan pengawasan bank serta pengenaan sanksi terhadap Bank yang
tidak mematuhi peraturan
menerapkan kewenangan
perbankan yang berlaku. Bank Indonesia dalam
dan tanggung jawab dimaksud, antara lain tetap
mempertimbangkan faktor-faktor kemampuan Bank, prinsip kehati-hatian
operasional Bank, tingkat persaingan yang sehat, tingkat kejenuhan jumlah Bank,
pemerataan pembangunan ekonomi nasional, kelayakan rencana kerja Bank, serta
kemampuan dan atau kepatutan pemilik, pengurus dan pejabat Bank.
Dalam pendirian Bank diperlukan dukungan permodalan yang kuat dan
pemilik Bank yang patut serta memiliki kondisi keuangan yang sehat sehingga
Bank tersebut mampu bersaing dalam dunia perbankan internasional.
Hal ini
sejalan dengan perkembangan globalisasi sistim keuangan dan pembukaan akses
pasar serta perlakuan non-diskriminasi. Sehubungan dengan itu terhadap pihak
asing diberikan juga kesempatan untuk berperan serta dalam kepemilikan dan
kepengurusan Bank dengan tetap memperhatikan aspek kemitraan dengan pihak
nasional.
Selain …
- 59-
Selain permodalan yang kuat, Bank perlu didukung pula oleh pengurus dan
pejabat Bank yang mampu dan kompeten untuk mengelola Bank secara sehat.
Oleh sebab itu persyaratan kepengurusan Bank perlu disempurnakan antara lain
yang berkaitan dengan kualitas dan kuantitas kepengurusan dengan cara seleksi
administratif dan wawancara sebagai salah satu pilar dalam menciptakan good
corporate governance di dunia perbankan. Disamping itu kualitas pengelolaan
Bank perlu didukung oleh pengurus yang independen terhadap pengaruh dari
pihak lain serta benturan kepentingan yang dapat membahayakan kelangsungan
usaha Bank.
Sementara itu penambahan jaringan Bank dimungkinkan untuk memperluas
jangkauan layanan namun dengan tetap memperhatikan rencana kerja Bank dan
kelayakan serta kemampuan keuangan Bank. Hal ini didasarkan pertimbangan
bahwa perluasan jaringan Bank diharapkan tidak akan mengganggu kondisi
keuangan Bank khususnya permodalan di waktu yang akan datang. Selain itu
perluasan jaringan Bank juga harus memperhatikan tingkat kejenuhan jumlah
Bank, tingkat persaingan Bank yang sehat, dan tingkat pemerataan pembangunan
ekonomi nasional.
Disadari bahwa perbankan nasional juga memiliki pasar yang spesifik
dalam kegiatan operasionalnya. Oleh sebab itu peranan Bank yang
menyelenggarakan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah perlu ditingkatkan
untuk menampung kebutuhan masyarakat. Ketentuan ini juga mengatur pendirian
Bank melalui kegiatan usaha konvensionalnya menjadi kegiatan usaha Bank
berdasarkan prinsip Syariah, termasuk pula pemberian kesempatan bagi Bank
untuk membuka kantor Bank yang khusus melakukan kegiatan berdasarkan
Prinsip Syariah.
Dalam rangka mendukung kebijakan yang transparan dan mengandung
kepastian hukum maka pengaturan kelembagaan Bank ini juga antara lain memuat
prosedur perizinan, aspek-aspek penilaian dalam perizinan, dan batas waktu
pemberian izin pembukaan Bank atau kantor, batas waktu dan alasan penolakan
serta batas waktu pelaporan pelaksanaan kegiatan Bank. Sementara itu dalam
rangka kepastian hukum perlu dicantumkan sanksi yang tegas dan transparan
kepada Bank dan atau pihak lain yang melanggar ketentuan ini.
Persyaratan untuk melengkapi dokumen-dokumen administratif antara lain
struktur kelompok usaha, rencana jangka menengah dan jangka panjang, pedoman
kerja dan pedoman pengelolaan risiko serta kesediaan Pemegang Saham
Pengendali …
- 60-
Pengendali untuk mengatasi kesulitan pendanaan Bank, selain diberlakukan
kepada Bank yang akan beroperasi juga diberlakukan kepada Bank yang telah
beroperasi sebelum dikeluarkannya Peraturan Bank Indonesia ini. Hal ini
dimaksudkan sebagai upaya Bank Indonesia untuk mendorong Bank lebih
memperhatikan prinsip kehati-hatian dalam menjalankan kegiatan usahanya dan
untuk kelancaran pelaksanaan tugas pengawasan dan pembinaan Bank oleh Bank
Indonesia.
Dalam hubungan dengan hal-hal tersebut di atas, perlu diperhatikan pula
peraturan perundang-undangan yang mempunyai relevansi dengan ketentuan ini,
antara lain peraturan perundang-undangan yang berlaku tentang Perseroan
Terbatas, Perusahaan Daerah, Perkoperasian, Pasar Modal dan ketentuan lainnya.
Selain itu penyusunan Peraturan Bank Indonesia ini juga mengacu praktek-
praktek yang berlaku secara internasional dan prinsip-prinsip dasar pengawasan
bank sebagaimana direkomendasikan oleh Basle Committee dalam 25’s Core
Principles for Effective Banking Supervision.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Angka 1
Cukup jelas.
Angka 2
Cukup jelas.
Angka 3
Termasuk dalam pengertian Kantor Kas adalah kantor Bank yang
melakukan kegiatan pelayanan kas dengan alamat tempat usaha yang
jelas dan tetap serta memberikan pelayanan terhadap nasabah baru,
selain kegiatan pameran untuk promosi.
Angka 4
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b …
- 61-
Huruf b
Yang dimaksud dengan kegiatan pelayanan pembayaran
adalah kegiatan pembayaran maupun penyetoran transaksi
tertentu antara lain meliputi pembayaran gaji pegawai,
penerimaan setoran biaya listrik, dan biaya telepon.
Huruf c
Termasuk dalam pengertian ATM adalah pembukaan jaringan
ATM yang dilakukan dengan pemanfaatan teknologi melalui
kerjasama dengan Bank lain.
Angka 5
Cukup jelas.
Angka 6
Cukup jelas.
Angka 7
Cukup jelas.
Angka 8
Cukup jelas.
Angka 9
Cukup jelas.
Angka 10
Cukup jelas.
Angka 11
Cukup jelas.
Angka 12
Yang dimaksud Pejabat Eksekutif adalah pejabat satu tingkat di
bawah Direksi.
- 62-
Angka 13
Angka 13…
Termasuk dalam pengertian perorangan adalah beberapa orang
dengan hubungan keluarga sampai dengan derajat kedua, dan besan
yang secara bersama-sama memiliki saham Bank.
Yang dimaksud dengan kelompok usaha adalah:
a. perorangan dan badan hukum;
b. beberapa orang; atau
c. beberapa badan hukum
yang memiliki keterkaitan kepengurusan, kepemilikan atau
hubungan keuangan.
Pasal 2
Huruf a
Termasuk bentuk hukum Perseroan Terbatas adalah Perusahaan
Perseroan (PERSERO) sebagaimana dimaksud dalam peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Huruf b dan huruf c
Cukup jelas.
Pasal 3
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 4
Modal disetor sebesar Rp3.000.000.000.000,00 (tiga triliun rupiah) dalam
Pasal ini adalah setoran yang dilakukan dalam bentuk setoran tunai diluar
setoran dalam bentuk lain yang dimungkinkan oleh peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
- 63-
Modal …
Modal disetor bagi Bank yang berbentuk hukum Koperasi adalah simpanan
pokok, simpanan wajib, dan hibah sebagaimana diatur dalam Undang-
undang tentang Perkoperasian.
Pasal 5
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 6
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Angka 1 sampai dengan angka 4
Cukup jelas.
Angka 5
Yang dimaksud dengan tanggal pengajuan
permohonan adalah tanggal pada saat calon pemilik
mengajukan permohonan pendirian Bank.
Angka 6
Cukup jelas.
Huruf d
Susunan dan struktur organisasi serta personalia antara lain
meliputi organization chart, garis tanggung jawab horisontal
dan vertikal, serta jabatan dan nama-nama personalia
sekurang-kurangnya sampai dengan tingkatan Pejabat
Huruf e …
- 64-
Eksekutif.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Corporate plan antara lain meliputi rencana-rencana strategis
Bank dalam jangka menengah (tiga tahunan) dan jangka
panjang (lima tahunan) dalam rangka pencapaian tujuan
Bank.
Huruf g
Pedoman manajemen risiko antara lain memuat teknik dan
metode yang digunakan Bank untuk mengidentifikasi,
mengukur, memantau dan mengendalikan risiko-risiko yang
timbul sebagai akibat operasional Bank. Pedoman manajemen
risiko tidak hanya didasarkan atas data historis namun
mencakup juga proyeksi risiko yang akan datang (forward
looking).
Huruf h
Termasuk dalam sistem dan prosedur kerja adalah buku
pedoman (manual) yang lengkap dan komprehensif yang
akan digunakan untuk kegiatan operasional Bank.
Huruf i
Dalam hal pendirian Bank dilakukan oleh Pemerintah maka
ketentuan mengenai bukti setoran modal dan tata cara
penyetoran modal dilakukan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Huruf j
Dalam hal calon pemegang saham Bank berbentuk badan
hukum, maka surat pernyataan pribadi dibuat dan
disampaikan oleh pengurus yang mempunyai wewenang
untuk mewakili badan hukum yang bersangkutan.
Angka 1
Yang dimaksud dengan pihak lain antara lain meliputi
lembaga keuangan non-bank, lembaga pembiayaan
Tidak …
- 65-
atau perusahaan.
Tidak termasuk dalam pengertian pihak lain adalah
Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, atau Badan
Khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37A
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-
undang Nomor 10 Tahun 1998.
Angka 2
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Angka 1 sampai dengan angka 5
Cukup jelas.
Angka 6
Yang dimaksud dengan kelompok usaha adalah:
a. perorangan dan badan hukum;
b. beberapa orang; atau
c. beberapa badan hukum,
yang memiliki keterkaitan kepengurusan, kepemilikan
atau hubungan keuangan.
Kewajiban menyampaikan data mengenai struktur
kelompok usaha dikecualikan dalam hal pemilik Bank
adalah Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah atau
Badan Khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal
37A Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-
undang Nomor 10 Tahun 1998.
Apabila terdapat pemilik lain maka kewajiban
menyampaikan struktur kelompok usaha diberlakukan
bagi pemilik lain tersebut.
- 66-
Angka 7
Surat pernyataan Pemegang Saham Pengendali
berbentuk badan hukum dibuat dan disampaikan oleh
pengurus yang mempunyai wewenang untuk mewakili
badan hukum yang bersangkutan.
Angka 7…
Dalam hal Bank merupakan bagian dari kepemilikan
suatu kelompok usaha maka surat pernyataan
disampaikan oleh pihak-pihak yang berdasarkan
penilaian Bank Indonesia mengendalikan baik secara
langsung maupun tidak langsung atas seluruh
kelompok usaha.
Kewajiban menyampaikan surat pernyataan dalam
huruf ini dikecualikan dalam hal Pemegang Saham
Pengendali adalah Pemerintah Pusat, Pemerintah
Daerah atau Badan Khusus sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 37A Undang-undang Nomor 7 Tahun
1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah
dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998.
Pasal 7
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Apabila diperlukan, dalam rangka penelitian atas kebenaran
dokumen, Bank Indonesia dapat melakukan pemeriksaan.
Huruf b
Cukup jelas.
- 67-
Huruf c
Huruf c…
Wawancara dilakukan terhadap pihak-pihak:
a. yang belum pernah bekerja dan atau menjadi Pemegang
Saham Pengendali di lembaga perbankan; atau
b. pihak-pihak yang pernah bekerja dan atau menjadi
Pemegang Saham Pengendali di lembaga perbankan yang
masih diperlukan keterangan lebih lanjut mengenai
integritas dan atau kompetensi yang bersangkutan.
Materi wawancara antara lain meliputi masalah integritas dan
atau kompetensi.
Dalam hal calon Pemegang Saham Pengendali Bank
berbentuk badan hukum atau yayasan maka wawancara
dilakukan terhadap anggota pengurus badan hukum atau
yayasan, atau pejabat yang diberikan wewenang mewakili
badan hukum atau yayasan yang bersangkutan.
Dalam hal Bank merupakan bagian dari kepemilikan suatu
kelompok usaha maka wawancara terhadap calon Pemegang
Saham Pengendali dilakukan terhadap pihak-pihak yang
berdasarkan penilaian Bank Indonesia mengendalikan baik
secara langsung maupun tidak langsung atas seluruh
kelompok usaha.
Dalam hal calon Pemegang Saham Pengendali adalah
Pemerintah atau Pemerintah Daerah maka tidak dilakukan
wawancara terhadap calon Pemegang Saham Pengendali.
Dalam hal tidak terdapat calon Pemegang Saham Pengendali
maka wawancara dilakukan terhadap calon pemegang saham
pendiri tertentu berdasarkan penilaian Bank Indonesia.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 8
Ayat (1)
Ayat (2) …
- 68-
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 9
Huruf a dan huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Angka 1 dan angka 2
Cukup jelas.
Angka 3
Dalam hal KIMS dan surat izin bekerja masih dalam proses
penyelesaian, untuk sementara Bank dapat menyampaikan
surat keterangan atau bukti pengurusan dokumen dari instansi
berwenang. KIMS dan surat izin bekerja yang telah
dikeluarkan oleh instansi berwenang disampaikan pada saat
melaporkan pengangkatan yang bersangkutan.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Dalam hal pendirian Bank dilakukan oleh Pemerintah maka
ketentuan mengenai bukti setoran modal dan tata cara penyetoran
modal dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g …
- 69-
Huruf g
Dalam hal calon pemegang saham Bank berbentuk badan hukum
maka surat pernyataan pribadi dibuat dan disampaikan oleh
pengurus yang mempunyai wewenang untuk mewakili badan hukum
yang bersangkutan.
Angka 1
Yang dimaksud dengan pihak lain antara lain meliputi
lembaga keuangan non-bank, lembaga pembiayaan atau
perusahaan.
Tidak termasuk dalam pengertian pihak lain adalah
Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, atau Badan Khusus
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37A Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah
diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998.
Angka 2
Cukup jelas.
Huruf h sampai dengan huruf l
Cukup jelas.
Pasal 10
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Apabila diperlukan, dalam rangka penelitian atas kebenaran
dokumen, Bank Indonesia dapat melakukan pemeriksaan.
Huruf b
Wawancara dilakukan terhadap:
a. pihak-pihak yang belum pernah bekerja dan atau menjadi
Pemegang Saham Pengendali di lembaga perbankan; atau
- 70-
b. pihak …
b. pihak-pihak yang pernah bekerja dan atau menjadi
Pemegang Saham Pengendali di lembaga perbankan yang
masih diperlukan keterangan lebih lanjut mengenai
integritas dan atau kompetensi yang bersangkutan.
Materi wawancara antara lain meliputi masalah integritas dan
atau kompetensi.
Dalam hal calon Pemegang Saham Pengendali Bank
berbentuk badan hukum atau yayasan maka wawancara
dilakukan terhadap anggota pengurus badan hukum atau
yayasan, atau pejabat yang diberikan wewenang mewakili
badan hukum atau yayasan yang bersangkutan.
Dalam hal Bank merupakan bagian dari kepemilikan suatu
kelompok usaha maka wawancara terhadap calon Pemegang
Saham Pengendali dilakukan terhadap pihak-pihak yang
berdasarkan penilaian Bank Indonesia mengendalikan baik
secara langsung maupun tidak langsung atas seluruh
kelompok usaha.
Dalam hal calon Pemegang Saham Pengendali adalah
Pemerintah atau Pemerintah Daerah maka tidak dilakukan
wawancara terhadap calon Pemegang Saham Pengendali.
Dalam hal tidak terdapat calon Pemegang Saham Pengendali
maka wawancara dilakukan terhadap calon pemegang saham
pendiri tertentu berdasarkan penilaian Bank Indonesia.
Pasal 11
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 12
- 71-
Cukup jelas.
Pasal 13
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan modal sendiri bersih adalah:
a. penjumlahan dari modal disetor,
Pasal 13…
cadangan dan laba, dikurangi
penyertaan dan kerugian, bagi badan hukum Perseroan
Terbatas/Perusahaan Daerah; atau
b. penjumlahan dari simpanan pokok, simpanan wajib, hibah, modal
penyertaan, dana cadangan, dan sisa hasil usaha, dikurangi
penyertaan dan kerugian, bagi badan hukum Koperasi.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 14
Huruf a
Ketentuan dalam huruf ini dikecualikan dalam hal pemilik Bank
adalah Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, atau Badan Khusus
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37A Undang-undang Nomor 7
Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998.
Yang dimaksud dengan pihak lain antara lain meliputi lembaga
keuangan non-bank, lembaga pembiayaan atau perusahaan.
Tidak termasuk dalam pengertian pihak lain adalah Pemerintah
Pusat, Pemerintah Daerah, atau Badan Khusus sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 37A Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992
tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-
undang Nomor 10 Tahun 1998.
Huruf b
Cukup jelas.
Pasal 15 …
- 72-
Pasal 15
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan bank dalam huruf ini adalah bank
umum konvensional dan syariah.
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (2)
Termasuk pihak-pihak yang dianggap memiliki integritas yang baik
adalah pihak-pihak yang mendapat predikat lulus atau lulus
bersyarat dalam penilaian kemampuan dan kepatutan yang telah
dilakukan Bank Indonesia atau pihak-pihak yang mendapat predikat
tidak lulus namun telah disetujui oleh Bank Indonesia untuk kembali
menjadi Pemegang Saham Pengendali, meningkatkan kepemilikan
atau kembali menjadi pemilik, sebagaimana diatur dalam ketentuan
Bank Indonesia yang berlaku tentang Penilaian Kemampuan dan
Kepatutan (Fit and Proper Test).
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Ayat (1)
Dalam hal perubahan komposisi kepemilikan termasuk dalam
kategori akuisisi yang mengakibatkan beralihnya pengendalian Bank
maka perubahan komposisi tersebut mengikuti ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan perubahan komposisi kepemilikan dalam
Ayat (3) …
- 73-
ayat ini adalah perubahan dalam hal nominal dan atau prosentase
kepemilikan.
Ayat (3)
Perubahan komposisi kepemilikan yang tidak mengubah modal
disetor antara lain disebabkan oleh hibah atau warisan saham
diantara pemilik lama.
Pasal 18
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Termasuk dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku
adalah standar akuntansi keuangan yang berlaku untuk transaksi
dimaksud.
Pasal 19
Yang dimaksud dengan benturan kepentingan antara lain adalah perbedaan
antara kepentingan ekonomis Bank dengan kepentingan ekonomis pribadi
pemilik, anggota dewan Komisaris, anggota Direksi, Pejabat Eksekutif,
pemimpin Kantor Cabang, dan atau pihak terkait dengan Bank.
Ketentuan dalam Pasal ini pada dasarnya dimaksudkan agar anggota dewan
Komisaris, anggota Direksi, Pejabat Eksekutif, dan pemimpin Kantor
Cabang menghindarkan diri dari pengambilan suatu keputusan dalam
situasi dan kondisi adanya benturan kepentingan. Namun demikian apabila
keputusan tetap harus diambil maka pihak-pihak dimaksud wajib
mengutamakan kepentingan ekonomis Bank dan menghindarkan Bank dari
kerugian yang mungkin timbul serta wajib mengungkapkan kondisi
benturan kepentingan tersebut dalam setiap keputusan.
Termasuk dalam pengertian kerugian Bank antara lain mengurangi
keuntungan Bank.
- 74-
Dalam …
Dalam kaitan ini pemberian perlakuan istimewa kepada pihak-pihak
tertentu di luar prosedur dan ketentuan yang berlaku termasuk dalam
kategori benturan kepentingan yang menimbulkan kerugian Bank, antara
lain pemberian suku bunga yang ditetapkan tidak berdasarkan prosedur dan
ketentuan yang berlaku.
Pasal 20
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan bank dalam huruf ini adalah bank
umum konvensional dan syariah.
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (2)
Pihak-pihak yang dianggap memiliki integritas yang baik adalah
pihak-pihak yang mendapat predikat lulus atau lulus bersyarat dalam
penilaian kemampuan dan kepatutan yang telah dilakukan Bank
Indonesia atau pihak-pihak yang mendapat predikat tidak lulus
namun telah disetujui oleh Bank Indonesia untuk kembali menjadi
pengurus, sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang
berlaku tentang Penilaian Kemampuan dan Kepatutan (Fit and
Proper Test).
Pasal 21
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan pihak asing dalam ayat ini adalah warga
negara asing dan atau badan hukum asing.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 22
- 75-
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Penilaian independensi didasarkan pada keterkaitan yang
bersangkutan pada kepengurusan, kepemilikan dan atau hubungan
keuangan dengan seluruh kelompok usaha Pemegang Saham
Pengendali.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Tidak termasuk dalam rangkap jabatan bagi anggota dewan
Komisaris apabila:
a. menjalankan tugas fungsional dari pemilik Bank yang berbentuk
badan hukum; atau
b. merangkap jabatan pada organisasi atau lembaga nirlaba,
sepanjang yang bersangkutan tidak mengabaikan pelaksanaan tugas
dan tanggung jawab sebagai anggota dewan Komisaris Bank.
Yang dimaksud dengan bank dalam ayat ini adalah bank umum
konvensional dan syariah.
Ayat (6)
Hubungan keluarga sampai dengan derajat kedua adalah hubungan
baik dalam garis lurus maupun garis ke samping, termasuk mertua,
menantu dan ipar, sehingga yang dimaksud dengan keluarga
meliputi sebagai berikut:
1. orang tua kandung/tiri/angkat;
2. saudara kandung/tiri/angkat;
3. suami/istri;
4. anak kandung/tiri/angkat;
Ayat (2) …
- 76-
5. suami/istri dari anak kandung/tiri/angkat;
6. kakek/nenek kandung/tiri/angkat;
7. cucu kandung/tiri/angkat;
8. saudara kandung/tiri/angkat dari suami/istri
9. suami/istri dari saudara kandung/tiri/angkat;
10. saudara kandung/tiri/angkat dari orang tua;
11. mertua.
Pasal 23
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan mayoritas adalah lebih dari 50% (lima puluh
perseratus) dari seluruh jumlah anggota Direksi.
Yang dimaksud dengan bank dalam ayat ini adalah bank umum
konvensional dan atau syariah.
Ayat (3)
Penilaian independensi didasarkan pada keterkaitan yang
bersangkutan pada kepengurusan, kepemilikan dan atau hubungan
keuangan dengan seluruh kelompok usaha Pemegang Saham
Pengendali.
Termasuk dalam pengertian Direktur Utama antara lain Presiden
Direktur atau jabatan yang dipersamakan dengan itu.
Pasal 24
Ayat (1)
Hubungan keluarga sampai dengan derajat kedua adalah hubungan
baik dalam garis lurus maupun garis ke samping, termasuk mertua,
menantu dan ipar, sehingga yang dimaksud dengan keluarga
meliputi sebagai berikut:
1. orang tua kandung/tiri/angkat;
2. saudara kandung/tiri/angkat;
7. cucu …
Yang dimaksud dengan mayoritas adalah lebih dari 50% (lima puluh
perseratus) dari seluruh jumlah anggota dewan Komisaris.
- 77-
3. suami/istri;
4. anak kandung/tiri/angkat;
5. suami/istri dari anak kandung/tiri/angkat;
6. kakek/nenek kandung/tiri/angkat;
7. cucu kandung/tiri/angkat;
8. saudara kandung/tiri/angkat dari suami/istri
9. suami/istri dari saudara kandung/tiri/angkat;
10. saudara kandung/tiri/angkat dari orang tua;
11. mertua.
Ayat (2)
Ketentuan dalam ayat ini dimaksudkan agar setiap anggota Direksi
tidak melakukan kegiatan yang dapat menganggu pelaksanaan tugas
dan tanggung jawab sebagai Direksi Bank.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan perusahaan lain antara lain meliputi
perusahaan-perusahaan lain di luar Bank yang bersangkutan seperti
lembaga keuangan bank dan non-bank, lembaga pembiayaan atau
perusahaan.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan pihak lain adalah satu orang karyawan atau
lebih, atau orang lain untuk dan atas nama Direksi melakukan
perbuatan hukum tertentu.
Pasal 25
Ayat (1)
Ketentuan ini berlaku juga terhadap peralihan jabatan dari anggota
Direksi menjadi anggota dewan Komisaris atau sebaliknya.
Khusus bagi anggota Direksi Bank yang menjadi direktur kepatuhan
(compliance director), tata cara persetujuan anggota Direksi
dimaksud juga berpedoman pada ketentuan Bank Indonesia tentang
Ayat (2) …
5. suami …
Yang dimaksud dengan mayoritas adalah lebih dari 50% (lima puluh
perseratus) dari seluruh jumlah anggota Direksi.
- 78-
Direktur Kepatuhan dan Standar Pelaksanaan Fungsi Audit Intern
Bank.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan berpedoman pada ketentuan perundang-
undangan yang berlaku antara lain berpedoman pada ketentuan
perundang-undangan tentang Perseroan Terbatas yang mengatur
bahwa setiap penetapan calon anggota dewan Komisaris atau Direksi
dilakukan oleh dan dengan sepengetahuan Rapat Umum Pemegang
Saham atau rapat anggota atau sekurang-kurangnya oleh dan dengan
sepengetahuan Pemegang Saham Pengendali.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Wawancara dilakukan terhadap:
b. pihak-pihak yang belum pernah bekerja di lembaga
perbankan; atau
c. pihak-pihak yang pernah bekerja di lembaga perbankan
namun masih diperlukan keterangan lebih lanjut mengenai
integritas dan atau kompetensi yang bersangkutan.
Materi wawancara antara lain meliputi masalah integritas dan
atau kompetensi.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
- 79-
Ayat (8)
Pasal 26
Ayat (1)
Laporan sebagaimana diatur dalam ayat ini berbeda dengan laporan
yang disampaikan oleh Bank dalam kaitan dengan transaksi
keuangan antara Bank dengan Bank Indonesia.
Yang dimaksud dengan Pejabat Eksekutif dalam Pasal ini adalah
Pejabat Eksekutif yang memiliki peranan dalam pelaksanaan
kebijakan dan operasional Bank antara lain dalam kegiatan kredit,
treasury, penghimpunan dana, dan kegiatan operasional lainnya.
Yang dimaksud dengan tanggal pengangkatan efektif adalah sejak
yang bersangkutan secara efektif memangku jabatannya.
Ayat (2)
Penilaian dan penelitian yang dilakukan oleh Bank Indonesia tidak
dimaksudkan untuk menunda pengangkatan atau penggantian
Pejabat Eksekutif atau pemimpin Kantor Cabang.
Yang dimaksud dengan bank dalam ayat ini adalah bank umum
konvensional dan syariah.
Pasal 27
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Bank hanya dapat melakukan pembukaan Kantor Cabang sesuai
dengan penegasan Bank Indonesia terhadap rencana kerja tahunan
Bank sepanjang tidak terdapat perubahan kondisi keuangan yang
bersifat material antara rencana kerja dengan realisasi rencana kerja
pada saat pembukaan kantor, antara lain seperti terjadi penurunan
permodalan Bank yang material.
Ayat (8) …
Yang dimaksud dengan tanggal pengangkatan efektif adalah sejak
yang bersangkutan secara efektif memangku jabatannya.
- 80-
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Dalam hal Bank akan menggunakan gedung kantor yang
disewa maka untuk sementara dokumen rencana persiapan
operasional gedung kantor dapat berupa nota kesepakatan
sewa menyewa gedung kantor. Perjanjian sewa disampaikan
pada saat Bank melaporkan pelaksanaan pembukaan kantor
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2).
Huruf c sampai dengan huruf e
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 28
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (3)…
- 81-
Pasal 29
Ayat (1)
Kantor di bawah Kantor Cabang Bank meliputi Kantor Cabang
Pembantu, Kantor Kas, atau yang dipersamakan dengan itu.
Bank hanya dapat melakukan pembukaan kantor di bawah Kantor
Cabang sesuai dengan penegasan Bank Indonesia terhadap rencana
kerja tahunan Bank sepanjang tidak terdapat perubahan kondisi
keuangan yang bersifat material antara rencana kerja dengan
realisasi rencana kerja pada saat pembukaan kantor, antara lain
seperti terjadi penurunan permodalan Bank yang material.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 30
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Ketentuan dalam Undang-undang tentang Perbankan yang berlaku
mewajibkan pembukaan kantor di bawah Kantor Cabang dilaporkan
terlebih dahulu kepada Bank Indonesia, namun penegasan dari Bank
Indonesia tetap diperlukan mengingat sesuai dengan Undang-undang
tentang Perbankan tersebut, Bank Indonesia juga akan melakukan
penelitian terhadap tingkat kejenuhan jumlah Bank, tingkat
persaingan antar Bank, dan pemerataan pembangunan ekonomi
nasional.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 29 …
- 82-
Pasal 31
Pasal 31…
Ayat (1)
Tidak termasuk dalam Kegiatan Kas di luar Kantor Bank adalah
kegiatan pameran yang dilakukan dalam rangka promosi, tidak
bersifat permanen dan tidak melakukan kegiatan kas.
Bank hanya dapat melaksanakan Kegiatan Kas di luar Kantor Bank
sesuai dengan penegasan Bank Indonesia terhadap rencana kerja
tahunan Bank sepanjang tidak terdapat perubahan kondisi keuangan
yang bersifat material antara rencana kerja dengan realisasi rencana
kerja pada saat pelaksanaan Kegiatan Kas di luar Kantor Bank,
antara lain seperti terjadi penurunan permodalan Bank yang material.
Ayat (2)
Kewajiban pelaporan hanya dilakukan satu kali pada saat pertama
kali Kegiatan Kas di luar Kantor Bank diajukan di lokasi tersebut.
Ayat (3)
Ketentuan dalam Undang-undang tentang Perbankan yang berlaku
mewajibkan pembukaan kantor di bawah Kantor Cabang dilaporkan
terlebih dahulu kepada Bank Indonesia, namun penegasan dari Bank
Indonesia tetap diperlukan mengingat sesuai dengan Undang-undang
tentang Perbankan tersebut, Bank Indonesia juga akan melakukan
penelitian terhadap tingkat kejenuhan jumlah Bank, tingkat
persaingan antar Bank, dan pemerataan pembangunan ekonomi
nasional.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 32
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
- 83-
Ayat (3)
Ayat (3) …
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 33
Ayat (1)
Pengajuan permohonan izin kepada otoritas di negara setempat
dilakukan setelah adanya persetujuan dari Bank Indonesia.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 34
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Peningkatan status dalam ayat ini antara lain peningkatan status dari
Kas Mobil menjadi kantor di bawah Kantor Cabang.
Pasal 35
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Penurunan status dalam ayat ini antara lain penurunan status dari
kantor di bawah Kantor Cabang menjadi Kas Mobil.
- 84-
Pasal 36
Pasal 36 …
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Dalam hal Bank akan menggunakan gedung kantor yang
disewa maka untuk sementara dokumen rencana persiapan
operasional gedung kantor dapat berupa nota kesepakatan
sewa menyewa gedung kantor. Perjanjian sewa disampaikan
pada saat Bank melaporkan pelaksanaan pemindahan alamat
kantor sebagaimana dimaksud dalam ayat (11).
Huruf b dan huruf c
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Dalam hal Bank akan memindahkan alamat kantor pusat ke lokasi
yang baru dan lokasi yang lama akan digunakan sebagai Kantor
Cabang maka pemindahan alamat kantor pusat memenuhi ketentuan
dalam ayat ini sedangkan untuk Kantor Cabang di lokasi yang lama
memenuhi ketentuan pembukaan Kantor Cabang sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 27 dan Pasal 28.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8) …
- 85-
Ayat (8)
Cukup jelas.
Ayat (9)
Cukup jelas.
Ayat (10)
Cukup jelas.
Ayat (11)
Cukup jelas.
Ayat (12)
Cukup jelas.
Pasal 37
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Dalam hal Bank akan menggunakan gedung kantor yang
disewa maka untuk sementara dokumen rencana persiapan
operasional gedung kantor dapat berupa nota kesepakatan
sewa menyewa gedung kantor. Perjanjian sewa disampaikan
pada saat Bank melaporkan pelaksanaan pemindahan alamat
kantor sebagaimana dimaksud dalam ayat (7).
Huruf b dan huruf c
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
- 86-
Ayat (5)
Ayat (5) …
Ketentuan dalam Undang-undang tentang Perbankan yang berlaku
mewajibkan pembukaan kantor di bawah Kantor Cabang dilaporkan
terlebih dahulu kepada Bank Indonesia, namun penegasan dari Bank
Indonesia tetap diperlukan mengingat sesuai dengan Undang-undang
tentang Perbankan tersebut, Bank Indonesia juga akan melakukan
penelitian terhadap tingkat kejenuhan jumlah Bank, tingkat
persaingan antar Bank, dan pemerataan pembangunan ekonomi
nasional.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Pasal 38
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 39
Ayat (1)
- 87-
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 40
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Apabila diperlukan, dalam rangka penelitian atas kebenaran
dokumen, Bank Indonesia dapat melakukan pemeriksaan.
Huruf b
Wawancara dilakukan terhadap pihak-pihak:
a. yang belum pernah bekerja dan atau menjadi Pemegang
Saham Pengendali di lembaga perbankan; atau
b. pihak-pihak yang pernah bekerja dan atau menjadi
Pemegang Saham Pengendali di lembaga perbankan yang
masih diperlukan keterangan lebih lanjut mengenai
integritas dan atau kompetensi yang bersangkutan.
Materi wawancara antara lain meliputi masalah integritas dan
atau kompetensi.
Dalam hal calon Pemegang Saham Pengendali Bank
berbentuk badan hukum atau yayasan maka wawancara
dilakukan terhadap anggota pengurus badan hukum atau
yayasan, atau pejabat yang diberikan wewenang mewakili
badan hukum atau yayasan yang bersangkutan.
Dalam hal Bank merupakan bagian dari kepemilikan suatu
kelompok usaha maka wawancara terhadap calon Pemegang
Saham Pengendali dilakukan terhadap pihak-pihak yang
berdasarkan penilaian Bank Indonesia mengendalikan baik
secara langsung maupun tidak langsung atas seluruh
kelompok usaha.
Ayat (2) …
- 88-
Dalam …
Dalam hal calon Pemegang Saham Pengendali adalah
Pemerintah atau Pemerintah Daerah maka tidak dilakukan
wawancara terhadap calon Pemegang Saham Pengendali.
Dalam hal tidak terdapat calon Pemegang Saham Pengendali
maka wawancara dilakukan terhadap calon pemegang saham
pendiri tertentu berdasarkan penilaian Bank Indonesia.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 41
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Apabila diperlukan, dalam rangka penelitian atas kebenaran
dokumen, Bank Indonesia dapat melakukan pemeriksaan.
Huruf b
Wawancara dilakukan terhadap pihak-pihak:
a. yang belum pernah bekerja dan atau menjadi Pemegang
Saham Pengendali di lembaga perbankan; atau
b. pihak-pihak yang pernah bekerja dan atau menjadi
Pemegang Saham Pengendali di lembaga perbankan yang
masih diperlukan keterangan lebih lanjut mengenai
integritas dan atau kompetensi yang bersangkutan.
Materi wawancara antara lain meliputi masalah integritas dan
atau kompetensi.
Dalam hal calon Pemegang Saham Pengendali Bank
berbentuk badan hukum atau yayasan maka wawancara
dilakukan terhadap anggota pengurus badan hukum atau
yayasan, atau pejabat yang diberikan wewenang mewakili
badan hukum atau yayasan yang bersangkutan.
Dalam …
- 89-
Dalam hal Bank merupakan bagian dari kepemilikan suatu
kelompok usaha maka wawancara terhadap calon Pemegang
Saham Pengendali dilakukan terhadap pihak-pihak yang
berdasarkan penilaian Bank Indonesia mengendalikan baik
secara langsung maupun tidak langsung atas seluruh
kelompok usaha.
Dalam hal calon Pemegang Saham Pengendali adalah
Pemerintah atau Pemerintah Daerah maka tidak dilakukan
wawancara terhadap calon Pemegang Saham Pengendali.
Dalam hal tidak terdapat calon Pemegang Saham Pengendali
maka wawancara dilakukan terhadap calon pemegang saham
pendiri tertentu berdasarkan penilaian Bank Indonesia.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 42
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Penyelesaian kewajiban kepada nasabah dan pihak lainnya dapat
dilakukan antara lain melalui pengalihan seluruh kewajiban kepada
kantor Bank atau pihak lain dengan persetujuan nasabah atau pihak
Bukti …
- 90-
lain.
Bukti penyelesaian kewajiban kepada nasabah adalah berupa neraca
Kantor Cabang yang menunjukkan seluruh kewajiban Kantor
Cabang kepada nasabah dan pihak lain telah selesai.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Yang dimaksud dengan tanggal persetujuan penutupan dalam ayat
ini adalah tanggal rencana penutupan yang disetujui oleh Bank
Indonesia.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Ayat (9)
Cukup jelas.
Ayat (10)
Cukup jelas.
Pasal 43
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Penyelesaian kewajiban kepada nasabah dan pihak lainnya dapat
dilakukan antara lain melalui pengalihan seluruh kewajiban kepada
kantor Bank atau pihak lain dengan persetujuan nasabah atau pihak
lain.
Bukti penyelesaian kewajiban kepada nasabah adalah berupa neraca
kantor di bawah Kantor Cabang yang menunjukkan seluruh
kewajiban kantor di bawah Kantor Cabang kepada nasabah dan
pihak lain telah selesai.
Ayat (4) …
- 91-
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 44
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Pengajuan permohonan izin kepada otoritas di negera setempat
dilakukan setelah adanya persetujuan dari Bank Indonesia.
Ayat (6)
Penyelesaian kewajiban kepada nasabah dan pihak lainnya dapat
dilakukan antara lain melalui pengalihan seluruh kewajiban kepada
kantor Bank atau pihak lain dengan persetujuan nasabah atau pihak
lain.
Bukti penyelesaian kewajiban kepada nasabah adalah berupa neraca
Kantor Cabang dan jenis-jenis kantor lainnya yang bersifat
operasional yang menunjukkan seluruh kewajiban Kantor Cabang
dan jenis-jenis kantor lainnya yang bersifat operasional kepada
nasabah dan pihak lain telah selesai.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 45 …
- 92-
Pasal 45
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 46
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Susunan dan struktur organisasi serta personalia antara lain meliputi
organization chart, garis tanggung jawab horizontal dan vertikal,
serta jabatan dan nama-nama personalia sekurang-kurangnya sampai
dengan tingkatan Pejabat Eksekutif.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Corporate Plan antara lain meliputi rencana-rencana strategis Bank
jangka menengah (tiga tahunan) dan jangka panjang (lima tahunan)
dalam rangka pencapaian tujuan perubahan kegiatan usaha dari Bank
konvensional menjadi Bank yang melakukan Kegiatan Usaha
Berdasarkan Prinsip Syariah.
- 93-
Huruf g
Huruf g…
Pedoman manajemen risiko antara lain memuat tehnik dan metode
yang digunakan Bank untuk mengidentifikasi, mengukur, memantau
dan mengendalikan risiko-risiko yang timbul sebagai akibat
operasional Bank berdasarkan Prinsip Syariah. Pedoman manajemen
risiko tidak hanya didasarkan atas data historis namun mencakup
juga proyeksi risiko yang akan datang (forward looking).
Huruf h
Termasuk dalam sistem dan prosedur kerja adalah buku pedoman
(manual) yang lengkap dan komprehensif yang akan digunakan
untuk kegiatan operasional Bank berdasarkan Prinsip Syariah.
Huruf i
Penyelesaian kewajiban kepada nasabah yang tidak bersedia menjadi
nasabah Bank berdasrkan Prinsip Syariah dapat dilakukan antara lain
melalui pengalihan seluruh kewajiban kepada Bank lain atau pihak
lain dengan persetujuan nasabah.
Huruf j
Cukup jelas.
Pasal 47
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Apabila diperlukan, dalam rangka penelitian atas kebenaran
dokumen, Bank dapat melakukan pemeriksaan.
Huruf b
Cukup jelas.
- 94-
Huruf c…
Huruf c
Wawancara dilakukan terhadap:
a. pihak-pihak yang belum pernah bekerja dan atau menjadi
Pemegang Saham Pengendali di lembaga perbankan; atau
b. pihak-pihak yang pernah bekerja dan atau menjadi Pemegang
Saham Pengendali di lembaga perbankan yang masih
diperlukan keterangan lebih lanjut mengenai integritas dan
atau kompetensi yang bersangkutan.
Materi wawancara antara lain meliputi masalah integritas dan
atau kompetensi.
Dalam hal calon Pemegang Saham Pengendali Bank yang
melakukan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah
berbentuk badan hukum atau yayasan maka wawancara
dilakukan terhadap anggota pengurus badan hukum atau yayasan
atau pejabat yang diberikan wewenang mewakili badan hukum
atau yayasan yang bersangkutan.
Dalam hal Bank merupakan bagian dari kepemilikan suatu
kelompok usaha maka wawancara terhadap calon Pemegang
Saham Pengendali dilakukan terhadap pihak-pihak yang
berdasarkan penilaian Bank Indonesia mengendalikan baik
secara langsung maupun tidak langsung atas seluruh kelompok
usaha.
Dalam hal calon Pemegang Saham Pengendali adalah Pemerintah
atau Pemerintah Daerah maka tidak dilakukan wawancara
terhadap calon Pemegang Saham Pengendali.
Dalam tidak terdapat calon Pemegang Saham Pengendali maka
wawancara dilakukan terhadap pemegang saham pendiri tertentu
berdasarkan penilaian Bank Indonesia.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 48
- 95-
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 49
Huruf a sampai dengan huruf g
Cukup jelas.
Pasal 50
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Apabila diperlukan, dalam rangka penelitian atas kebenaran
dokumen, Bank Indonesia dapat melakukan pemeriksaan.
Huruf b
Wawancara dilakukan terhadap:
a. pihak-pihak yang belum pernah bekerja dan atau menjadi
Pemegang Saham Pengendali di lembaga perbankan yang
melakukan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah; atau
b. pihak-pihak yang pernah bekerja dan atau menjadi Pemegang
Saham Pengendali di lembaga perbankan yang melakukan
Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah yang masih
diperlukan keterangan lebih lanjut mengenai integritas dan
atau kompetensi yang bersangkutan.
Materi wawancara antara lain meliputi masalah integritas dan
atau kompetensi.
Dalam hal calon Pemegang Saham Pengendali Bank yang
melakukan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah
berbentuk badan hukum atau yayasan maka wawancara
Ayat (2)…
Dalam …
- 96-
dilakukan terhadap anggota pengurus badan hukum atau yayasan
atau pejabat yang diberikan wewenang mewakili badan hukum
atau yayasan yang bersangkutan.
Dalam hal Bank merupakan bagian dari kepemilikan suatu
kelompok usaha maka wawancara terhadap calon Pemegang
Saham Pengendali dilakukan terhadap pihak-pihak yang
berdasarkan penilaian Bank Indonesia mengendalikan baik
secara langsung maupun tidak langsung atas seluruh kelompok
usaha.
Dalam hal calon Pemegang Saham Pengendali adalah Pemerintah
atau Pemerintah Daerah maka tidak dilakukan wawancara
terhadap calon Pemegang Saham Pengendali.
Dalam tidak terdapat calon Pemegang Saham Pengendali maka
wawancara dilakukan terhadap pemegang saham pendiri tertentu
berdasarkan penilaian Bank Indonesia.
Pasal 51
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Dalam rangka memperoleh persetujuan nasabah untuk penyelesaian
seluruh hak dan kewajiban debitur dan kreditur sebagaimana
dimaksud dalam ayat ini Bank dapat melakukan pemberitahuan/
pengumuman kepada kreditur dan debitur secara langsung atau
melalui media massa mengenai konversi hak dan kewajiban dari
kegiatan usaha konvensional menjadi
Prinsip Syariah.
Kegiatan Usaha Berdasarkan
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Bukti pendukung sebagaimana dimaksud dalam ayat ini dapat
berupa bukti kesanggupan pembayaran dari debitur sampai dengan
jangka waktu tertentu.
- 97-
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 52
Cukup jelas.
Pasal 53
Cukup jelas.
Pasal 54
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Bank hanya dapat melakukan pembukaan Kantor Cabang Syariah
sesuai dengan penegasan Bank Indonesia terhadap rencana kerja
tahunan Bank sepanjang tidak terdapat perubahan kondisi keuangan
yang bersifat material antara rencana kerja dengan realisasi rencana
kerja pada saat pembukaan kantor, antara lain seperti terjadi
penurunan permodalan Bank yang material.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 55
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 56
Yang dimaksud dengan modal kerja dalam Pasal ini adalah dana
Pasal 52 …
- 98-
yang disisihkan oleh kantor pusat Bank pada rekening tersendiri atas
nama Unit Usaha Syariah dan yang dipergunakan semata-mata
sebagai modal dalam Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah.
Pada pembukuan kantor pusat Bank, dana yang disisihkan untuk modal
kerja tersebut diperlakukan sebagai penempatan antar kantor.
Pasal 57
Cukup jelas.
Pasal 58
Cukup jelas.
Pasal 59
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Penyelesaian kewajiban kepada nasabah yang tidak bersedia
menjadi nasabah Bank berdasarkan Prinsip Syariah dapat
dilakukan antara lain melalui pengalihan seluruh kewajiban
kepada Bank lain atau pihak lain dengan persetujuan nasabah.
Pasal 60
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 61
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2) …
- 99-
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 62
Cukup jelas.
Pasal 63
Ayat (1)
Apabila diperlukan, dalam rangka penelitian kebenaran dokumen,
Bank Indonesia dapat melakukan pemeriksaan.
Ayat (2)
Dalam hal Kantor Cabang Syariah berasal dari konversi Kantor
Cabang dan atau peningkatan status kantor di bawah Kantor Cabang
yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional maka izin
pembukaan Kantor Cabang Syariah menggantikan izin dan status
keberadaan kantor sebelumnya.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Dalam rangka memperoleh persetujuan nasabah untuk penyelesaian
seluruh hak dan kewajiban debitur dan kreditur sebagaimana
dimaksud dalam ayat ini Bank dapat melakukan pemberitahuan/
pengumuman kepada kreditur dan debitur secara langsung atau
melalui media massa mengenai konversi hak dan kewajiban dari
kegiatan usaha konvensional menjadi
Kegiatan Usaha Berdasarkan
-
100-
Prinsip Syariah.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 64
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Bank hanya dapat melakukan pembukaan Kantor Cabang Syariah
sesuai dengan penegasan Bank Indonesia terhadap rencana kerja
tahunan Bank sepanjang tidak terdapat perubahan kondisi keuangan
yang bersifat material antara rencana kerja dengan realisasi rencana
kerja pada saat pembukaan kantor, antara lain seperti terjadi
penurunan permodalan Bank yang material.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Dalam hal Kantor Cabang Syariah berasal dari konversi Kantor
Cabang dan atau peningkatan status kantor di bawah Kantor Cabang
yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional maka izin
pembukaan Kantor Cabang Syariah menggantikan izin dan status
keberadaan kantor sebelumnya.
Pasal 64 …
-
101-
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Ayat (9)
Cukup jelas.
Pasal 65
Cukup jelas.
Pasal 66
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Peningkatan status dalam ayat ini antara lain peningkatan status dari
Kas Mobil menjadi kantor di bawah Kantor Cabang Syariah.
Pasal 67
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Penurunan status dalam ayat ini antara lain penurunan status dari
kantor di bawah Kantor Cabang Syariah menjadi Kas Mobil.
Pasal 68
Cukup jelas.
Pasal 69
Cukup jelas.
Pasal 70
Cukup jelas.
Pasal 71…
-
102-
Pasal 71
Cukup jelas.
Pasal 72
Cukup jelas.
Pasal 73
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 74
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Jumlah sanksi kewajiban membayar dihitung berdasarkan
keterlambatan laporan.
Huruf b
Jumlah sanksi kewajiban membayar dihitung berdasarkan
laporan yang tidak disampaikan.
Dalam hal Bank dikenakan sanksi tidak menyampaikan
laporan, tidak
penyampaian laporan.
Ayat (3)
Termasuk dalam penyampaian laporan adalah data, informasi dan
dokumen yang dipersyaratkan.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)…
lagi dikenakan sanksi keterlambatan
-
103-
Pasal 75
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 76
Cukup jelas.
Pasal 77
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 78
Cukup jelas.
Pasal 79
Cukup jelas.
Pasal 80
Cukup jelas.
Pasal 81
Cukup jelas.
Pasal 82
Cukup jelas.
Pasal 83
Cukup jelas.
Pasal 84…
-
104-
Pasal 84
Cukup jelas.
Pasal 85
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4037
DPNP
-
105-
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 2/27/PBI/2000 </reg_id>
<reg_title> BANK UMUM </reg_title>
<set_date> 15 Desember 2000 </set_date>
<effective_date> 15 Desember 2000 </effective_date>
<replaced_reg> '32/33/KEP/DIR|SKDIR-BI/1999' </replaced_reg>
<related_reg> '23/UU/1999', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB XI' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 14/25/PBI/2012
TENTANG
PENERIMAAN DEVISA HASIL EKSPOR
DAN
PENARIKAN DEVISA UTANG LUAR NEGERI
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa devisa hasil ekspor dan devisa utang luar
negeri dapat menjadi sumber dana yang
berkesinambungan bagi pembangunan ekonomi
nasional;
b. bahwa devisa hasil ekspor dan devisa utang luar
negeri dapat memberikan kontribusi yang optimal
secara nasional dalam hal penempatannya
dilakukan melalui perbankan di Indonesia;
c. bahwa devisa hasil ekspor dan devisa utang luar
negeri
juga bermanfaat untuk mendukung
terciptanya pasar keuangan yang lebih sehat dan
upaya menjaga kestabilan nilai rupiah;
d. bahwa pemantauan penerimaan devisa hasil ekspor
dan penarikan devisa utang luar negeri melalui
perbankan di Indonesia perlu ditingkatkan
efektivitasnya guna mendukung optimalisasi
pemanfaatan devisa hasil ekspor dan devisa utang
luar negeri;
e. bahwa …
- 2 -
e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan
huruf d, perlu untuk mengatur kembali Peraturan
Bank Indonesia tentang Penerimaan Devisa Hasil
Ekspor dan Penarikan Devisa Utang Luar Negeri;
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang
Kepabeanan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1995 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3612) sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun
2006 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2006 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4661);
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang
Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843)
sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009
tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23
Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi
Undang-Undang (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962);
3. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang
Lalu Lintas Devisa Dan Sistem Nilai Tukar
(Lembaran …
- 3 -
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999
Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3844);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PENERIMAAN
DEVISA HASIL EKSPOR DAN PENARIKAN DEVISA
UTANG LUAR NEGERI.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998,
termasuk kantor cabang bank asing di Indonesia, dan Bank Umum
Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21
Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
2. Bank Devisa adalah Bank yang memperoleh surat penunjukan dari
Bank Indonesia untuk dapat melakukan kegiatan usaha
perbankan dalam valuta asing, termasuk kantor cabang bank
asing di Indonesia, namun tidak termasuk kantor cabang luar
negeri dari Bank yang berkantor pusat di Indonesia.
3. Penduduk adalah orang, badan hukum, atau badan lainnya yang
berdomisili atau berencana berdomisili di Indonesia paling singkat
1 (satu) tahun, termasuk perwakilan dan staf diplomatik Republik
Indonesia …
- 4 -
Indonesia di luar negeri sebagaimana diatur dalam peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
4. Ekspor adalah kegiatan mengeluarkan barang dari daerah pabean
sebagaimana diatur dalam ketentuan kepabeanan.
5. Eksportir adalah orang perseorangan, badan hukum, atau badan
lainnya yang tidak berbadan hukum yang melakukan kegiatan
mengeluarkan barang dari daerah pabean.
6. Perusahaan Jasa Titipan yang selanjutnya disingkat PJT adalah
perusahaan yang menangani layanan kiriman secara ekspres atau
peka waktu, memiliki izin penyelenggaraan jasa titipan dari
instansi terkait, serta mendapatkan persetujuan untuk
melaksanakan kegiatan kepabeanan dari Kepala Kantor Pelayanan
Bea dan Cukai.
7. Pemberitahuan Ekspor Barang yang selanjutnya disingkat PEB
adalah dokumen pabean yang digunakan untuk pemberitahuan
pelaksanaan ekspor barang yang dapat berupa tulisan di atas
formulir atau media elektronik sebagaimana diatur dalam
ketentuan kepabeanan.
8. Devisa Hasil Ekspor yang selanjutnya disingkat DHE adalah devisa
dari hasil kegiatan Ekspor.
9. Nilai PEB adalah nilai Ekspor free on board (FOB) yang tercantum
pada PEB.
10. Hari adalah hari kalender.
11. Hari Kerja adalah hari kerja Bank Indonesia.
12. Utang Luar Negeri yang selanjutnya disingkat ULN adalah utang
Penduduk kepada bukan Penduduk dalam valuta asing.
13. Debitur Utang Luar Negeri yang selanjutnya disebut Debitur ULN
adalah perorangan, badan hukum bukan bank, dan badan
lainnya, yang memiliki ULN.
14. Devisa …
- 5 -
14. Devisa Utang Luar Negeri yang selanjutnya disingkat DULN adalah
devisa yang diperoleh Debitur ULN dari penarikan Utang Luar
Negeri.
BAB II
KEWAJIBAN PENERIMAAN DHE MELALUI BANK DEVISA
Pasal 2
(1) Seluruh DHE wajib diterima melalui Bank Devisa.
(2) Kewajiban penerimaan DHE melalui Bank Devisa sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk:
a. DHE milik pemerintah yang diterima melalui Bank Indonesia;
atau
b. DHE yang diterima secara tunai di dalam negeri sepanjang
dibuktikan dengan penjelasan tertulis yang disertai dokumen
pendukung yang memadai.
Pasal 3
(1) Penerimaan DHE sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1)
dan Pasal 2 ayat (2) huruf b wajib dilakukan paling lambat akhir
bulan ketiga setelah bulan pendaftaran PEB.
(2) Penerimaan DHE sebagaimana dimaksud pada ayat (1), yang
berasal dari cara pembayaran usance L/C, konsinyasi,
pembayaran kemudian, collection, yang jatuh temponya melebihi
atau sama dengan 3 (tiga) bulan setelah bulan pendaftaran PEB,
wajib dilakukan paling lama 14 (empat belas) Hari setelah tanggal
jatuh tempo pembayaran yang bersangkutan.
(3) Dalam …
- 6 -
(3) Dalam hal batas akhir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) jatuh pada hari libur, maka penerimaan DHE dapat
dilakukan pada Hari Kerja berikutnya.
Pasal 4
(1) Eksportir harus menyampaikan informasi yang tercantum pada
PEB terkait DHE yang diterima kepada Bank Devisa.
(2)
Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh
Bank Devisa kepada Bank Indonesia dalam laporan rincian
transaksi Ekspor sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai kewajiban pelaporan lalu
lintas devisa.
(3) Untuk DHE yang diterima secara tunai di dalam negeri
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf b, Eksportir
harus menyampaikan penjelasan tertulis disertai dokumen
pendukung yang memadai kepada Bank Indonesia.
(4) Keharusan menyampaikan informasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan penjelasan tertulis disertai dokumen pendukung
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berlaku untuk PEB dengan
nilai lebih besar dari USD10,000.00 (sepuluh ribu US Dollar) atau
ekuivalennya.
(5) Penyampaian informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan paling lambat tanggal 5 bulan berikutnya setelah DHE
diterima.
(6) Penyampaian penjelasan tertulis disertai dokumen pendukung
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan paling lambat
tanggal 5 bulan berikutnya setelah bulan pendaftaran PEB.
(7) Dalam hal batas akhir penyampaian informasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (5) dan penjelasan tertulis disertai dokumen
pendukung …
- 7 -
pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (6) merupakan hari
libur maka penyampaian informasi dan/atau penjelasan tertulis
disertai dokumen pendukung dapat dilakukan pada Hari Kerja
berikutnya.
Pasal 5
(1) Eksportir yang akan menerima DHE dengan cara pembayaran
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2), harus
menyampaikan penjelasan tertulis disertai dengan dokumen
pendukung kepada Bank Devisa untuk diteruskan kepada Bank
Indonesia.
(2) Penjelasan tertulis disertai dengan dokumen pendukung
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan paling lambat
tanggal 5 bulan berikutnya setelah bulan pendaftaran PEB.
(3) Dalam hal batas akhir penyampaian penjelasan tertulis disertai
dengan dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
merupakan hari libur maka penyampaian penjelasan tertulis
disertai dengan dokumen pendukung dapat dilakukan pada Hari
Kerja berikutnya.
Pasal 6
(1) DHE yang diterima sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1)
dan Pasal 2 ayat (2) huruf b harus sesuai dengan Nilai PEB.
(2) Dalam hal DHE lebih kecil dari Nilai PEB dengan selisih kurang
paling banyak ekuivalen Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah)
maka DHE yang diterima dianggap sesuai dengan Nilai PEB dan
Eksportir tidak perlu menyampaikan penjelasan tertulis dan
dokumen pendukung.
(3) Dalam …
- 8 -
(3) Dalam hal selisih kurang nilai DHE dengan Nilai PEB lebih besar
dari ekuivalen Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) yang
disebabkan oleh:
a. selisih kurs, diskon/rabat, biaya administrasi, dan/atau biaya
lainnya terkait perdagangan internasional, sehingga terdapat
selisih kurang antara DHE dan Nilai PEB paling banyak 10%
(sepuluh per seratus) dari nilai PEB; dan/atau
b. maklon, jasa perbaikan, operational leasing atau financial
leasing, perbedaan penilaian harga barang pada saat
perjanjian ekspor dengan harga pada saat barang diterima,
perbedaan komposisi barang, perbedaan kualitas barang,
dan/atau perbedaan kuantitas barang,
maka DHE yang diterima dianggap sesuai dengan Nilai PEB
apabila Eksportir menyampaikan penjelasan tertulis disertai
dokumen pendukung yang memadai.
(4) Penjelasan tertulis disertai dengan dokumen pendukung
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan kepada Bank
Devisa untuk diteruskan kepada Bank Indonesia paling lambat
tanggal 5 bulan berikutnya setelah DHE diterima oleh Eksportir
melalui Bank Devisa.
(5) Untuk DHE yang diterima secara tunai di dalam negeri, penjelasan
tertulis disertai dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) disampaikan kepada Bank Indonesia paling lambat tanggal
5 bulan berikutnya setelah bulan pendaftaran PEB.
(6) Dalam hal Eksportir tidak menyampaikan penjelasan tertulis
disertai dengan dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) maka DHE yang diterima Eksportir dianggap tidak sesuai
dengan PEB dan Eksportir dianggap tidak memenuhi kewajiban
untuk …
- 9 -
untuk melakukan penerimaan seluruh DHE sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2.
Pasal 7
Dalam hal terdapat perbedaan antara data PEB yang disampaikan
Eksportir dengan data PEB yang diterima Bank Indonesia dari
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) maka Bank Indonesia dapat
memutuskan data PEB yang akan dijadikan acuan pemenuhan
ketentuan DHE.
Pasal 8
(1) Penerimaan DHE yang lebih kecil dari nilai PEB yang disebabkan
netting antara tagihan Ekspor dengan kewajiban Eksportir hanya
diperbolehkan untuk netting dengan pembayaran impor barang
terkait kegiatan Ekspor yang bersangkutan, sepanjang terdapat
kesepakatan netting antara Eksportir yang bersangkutan dengan
importir terkait (counterparty).
(2) Penerimaan DHE yang berasal dari hasil netting sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dianggap sesuai dengan Nilai PEB apabila
Eksportir menyampaikan penjelasan tertulis disertai dokumen
pendukung yang memadai.
Pasal 9
(1) Eksportir yang menerima DHE melalui Bank Devisa lebih kecil dari
Nilai PEB, dengan selisih kurang lebih besar dari ekuivalen
Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) yang disebabkan
importir wanprestasi, pailit, atau mengalami keadaan memaksa
(force majeure), harus menyampaikan penjelasan tertulis disertai
dengan …
- 10 -
dengan dokumen pendukung yang memadai kepada Bank Devisa
untuk diteruskan kepada Bank Indonesia.
(2) Eksportir yang tidak menerima DHE, atau menerima DHE secara
tunai lebih kecil dari Nilai PEB dengan selisih kurang lebih besar
dari ekuivalen Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah), yang
disebabkan importir wanprestasi, pailit, atau mengalami keadaan
memaksa, harus menyampaikan penjelasan tertulis disertai
dengan dokumen pendukung yang memadai kepada Bank
Indonesia.
(3) Penjelasan tertulis disertai dengan dokumen pendukung
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) disampaikan
paling lambat akhir bulan ketiga setelah bulan pendaftaran PEB.
(4) Penjelasan tertulis disertai dengan dokumen pendukung
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) untuk
penerimaan DHE yang berasal dari cara pembayaran usance L/C,
konsinyasi, pembayaran kemudian, dan/atau collection yang jatuh
temponya melebihi atau sama dengan 3 (tiga) bulan setelah bulan
pendaftaran PEB, disampaikan paling lama 14 (empat belas) Hari
setelah tanggal jatuh tempo pembayaran.
Pasal 10
(1) Dalam hal Ekspor dilakukan melalui PJT, kewajiban sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), Pasal 2 ayat (2) huruf b, Pasal 3,
Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, dan Pasal 9 menjadi tanggung jawab
pemilik barang.
(2) PJT harus menyampaikan informasi terkait PEB kepada pemilik
barang.
BAB III …
- 11 -
BAB III
KEWAJIBAN PENARIKAN DULN MELALUI BANK DEVISA
Pasal 11
(1) Setiap DULN wajib ditarik oleh Debitur ULN melalui Bank Devisa.
(2) Kewajiban penarikan DULN oleh Debitur ULN sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) berlaku bagi DULN yang berbentuk dana
tunai yang berasal dari:
a. ULN berdasarkan perjanjian kredit (loan agreement) dalam
bentuk non revolving yang tidak digunakan untuk refinancing;
b. selisih fasilitas refinancing dengan jumlah ULN lama; dan
c. ULN berdasarkan surat utang (debt securities) dalam bentuk
Bonds, Medium Term Notes (MTN), Floating Rate Notes (FRN),
Promissory Notes (PN), dan Commercial Paper (CP).
(3) Penarikan DULN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
dilaporkan kepada Bank Indonesia.
Pasal 12
(1) Nilai akumulasi penarikan DULN harus sama dengan nilai
komitmen.
(2) Dalam hal nilai akumulasi penarikan DULN melalui Bank Devisa
oleh Debitur ULN lebih kecil dari komitmen, Debitur ULN harus
menyampaikan penjelasan tertulis kepada Bank Indonesia.
BAB IV
PENELITIAN KEBENARAN LAPORAN
Pasal 13
(1) Bank Indonesia melakukan penelitian atas kepatuhan terhadap
pemenuhan kewajiban penerimaan DHE sebagaimana dimaksud
dalam …
- 12 -
dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 2 ayat (2) huruf b dan kepatuhan
Debitur ULN terhadap pemenuhan kewajiban penarikan DULN
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1).
(2) Dalam melakukan penelitian kepatuhan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Bank Indonesia dapat meminta bukti, catatan, dan
dokumen pendukung, dengan atau tanpa melibatkan instansi
terkait.
BAB V
PENGENAAN SANKSI
Pasal 14
(1) Eksportir yang melakukan pelanggaran terhadap kewajiban
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), Pasal 2 ayat (2)
huruf b, dan/atau Pasal 3 dikenakan sanksi administratif berupa
denda sebesar 0,5% (nol koma lima persen) dari nilai nominal DHE
yang belum diterima dengan nominal paling banyak sebesar
Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) untuk satu bulan
pendaftaran PEB.
(2) Dalam hal Ekspor dilakukan melalui PJT maka sanksi denda
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan pada pemilik
barang.
(3) Pengenaan sanksi denda dilakukan dalam mata uang rupiah
dengan menggunakan kurs tengah Bank Indonesia pada tanggal
pengenaan sanksi denda.
(4) Dalam hal Eksportir tidak membayar sanksi denda sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), dikenakan sanksi penangguhan atas
pelayanan Ekspor sesuai dengan peraturan perundang-undangan
mengenai kepabeanan dan peraturan perundang-undangan terkait
yang berlaku.
(5) Dalam …
- 13 -
(5) Dalam hal Ekspor dilakukan melalui PJT dimana pemilik barang
tidak membayar sanksi denda sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), sanksi penangguhan sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
dikenakan kepada pemilik barang.
Pasal 15
Debitur ULN yang melakukan pelanggaran terhadap kewajiban
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) dikenakan sanksi
administratif berupa denda sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta
rupiah) pada setiap penarikan DULN.
Pasal 16
(1) Pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1)
dan Pasal 15 tidak menggugurkan kewajiban penerimaan DHE
sesuai ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan
penarikan DULN melalui Bank Devisa sesuai ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11.
(2) Eksportir yang tetap tidak memenuhi kewajiban penerimaan DHE
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan sanksi
penangguhan atas pelayanan Ekspor sesuai dengan peraturan
perundang-undangan mengenai kepabeanan dan peraturan
perundang-undangan terkait yang berlaku.
(3) Dalam hal Ekspor dilakukan melalui PJT, sanksi penangguhan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikenakan kepada pemilik
barang.
Pasal 17 …
- 14 -
Pasal 17
(1) Pembayaran sanksi administratif berupa denda sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 14 dan Pasal 15 disetorkan ke Bank
Indonesia.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembayaran sanksi
denda ke Bank Indonesia diatur dalam Surat Edaran Bank
Indonesia.
Pasal 18
Pembebasan sanksi penangguhan atas pelayanan Ekspor sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 14 ayat (4) dan Pasal 16 ayat (2), dilakukan
setelah Bank Indonesia menerima dan melakukan verifikasi atas bukti
pembayaran sanksi denda dan bukti penerimaan DHE sesuai
ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 2 ayat (2) huruf b.
BAB VI
PENYAMPAIAN INFORMASI DAN LAPORAN
Pasal 19
(1) Untuk penerimaan DHE, prosedur penyampaian informasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, serta penjelasan tertulis
dan dokumen pendukung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5,
Pasal 6, Pasal 8, Pasal 9, dan Pasal 13 dilakukan sesuai dengan
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai kewajiban
pelaporan lalu lintas devisa.
(2) Untuk penarikan DULN, prosedur penyampaian laporan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, serta penjelasan tertulis
dan dokumen pendukung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12
dan …
- 15 -
dan Pasal 13 dilakukan sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia
yang mengatur mengenai kewajiban pelaporan penarikan DULN.
BAB VII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 20
(1) Penerimaan DHE yang dilakukan tidak melalui Bank Devisa
karena telah diperjanjikan pembayarannya melalui trustee yang
berada di luar Indonesia, tidak wajib diterima melalui Bank Devisa
sampai dengan tanggal 30 Juni 2013.
(2) Penerimaan DHE sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
dilaporkan Eksportir kepada Bank Indonesia dilengkapi dengan
penjelasan tertulis disertai dokumen pendukung.
(3) Khusus bagi penerimaan DHE yang berasal dari PEB yang
dikeluarkan tahun 2012, kewajiban penerimaan DHE melalui
Bank Devisa berlaku 6 (enam) bulan setelah bulan pendaftaran
PEB.
(4) Penarikan DULN yang berasal dari perjanjian ULN yang
ditandatangani sebelum tanggal 2 Januari 2012 tidak wajib
dilakukan melalui Bank Devisa, kecuali untuk penarikan DULN
yang berasal dari penambahan plafon ULN karena adanya
perubahan perjanjian (amandemen) yang ditandatangani setelah
tanggal 2 Januari 2012.
BAB VIII …
- 16 -
BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 21
Ketentuan lebih lanjut dari Peraturan Bank Indonesia ini diatur dalam
Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 22
Pada saat Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku:
a. ketentuan Pasal 12 Peraturan Bank Indonesia Nomor
13/22/PBI/2011 tentang Kewajiban Pelaporan Penarikan Devisa
Utang Luar Negeri (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2011 Nomor 95, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5243);
b. Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/20/PBI/2011 tentang
Penerimaan Devisa Hasil Ekspor dan Penarikan Devisa Utang Luar
Negeri (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor
93, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5241);
dan
c. Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/11/PBI/2012 tentang
Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/20/PBI/2011
tentang Penerimaan Devisa Hasil Ekspor dan Penarikan Devisa
Utang Luar Negeri (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2012 Nomor 169, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5338),
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 23 …
- 17 -
Pasal 23
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari
2013.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 27 Desember 2012
GUBERNUR BANK INDONESIA,
DARMIN NASUTION
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 27 Desember 2012
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
AMIR SYAMSUDIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2012 NOMOR 285
DSM/DInt
- 18 -
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 14/25/PBI/2012
TENTANG
PENERIMAAN DEVISA HASIL EKSPOR
DAN
PENARIKAN DEVISA UTANG LUAR NEGERI
I. UMUM
Pasokan valuta asing di pasar domestik saat ini sebagian
besar berasal dari dana asing dalam bentuk investasi portofolio yang
rentan terhadap risiko pembalikan (sudden capital reversal).
Sementara itu pembangunan ekonomi nasional membutuhkan
sumber dana yang memadai dan berkesinambungan.
Salah satu sumber pasokan devisa yang relatif stabil dan
berkesinambungan (sustainable) berasal dari DHE dan DULN yang
juga penting untuk mendukung stabilitas nilai rupiah dan
makroekonomi secara keseluruhan.
Namun demikian, dalam pelaksanaannya tidak seluruh DHE
dan DULN ditempatkan pada perbankan Indonesia atau masuk ke
Indonesia. Oleh karena itu, diperlukan pengaturan yang dapat
memastikan penerimaan DHE dan penarikan DULN dilakukan
melalui perbankan Indonesia atau diterima secara tunai di dalam
negeri.
Pengaturan ini tetap berlandaskan pada sistem devisa bebas
yang berlaku selama ini, dimana setiap penduduk dapat dengan
bebas memiliki dan menggunakan devisa sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang …
- 19 -
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa
dan Sistem Nilai Tukar.
Dalam rangka mendukung kebijakan penerimaan devisa hasil
ekspor, Bank Indonesia, Kementerian Keuangan, dan Badan Pusat
Statistik telah membuat Nota Kesepahaman Nomor
tentang Pertukaran Data terkait Kegiatan Ekspor dan Impor.
PER-2277/MK/2011
13/1/BI/DSM/NK
13/KS/10-VIII/2011
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “wajib diterima melalui Bank
Devisa” tidak termasuk kewajiban menyimpan dalam
jangka waktu tertentu dan/atau mengonversi ke dalam
rupiah.
Contoh:
PT. DN menerima DHE sebesar USD3 juta melalui Bank
Devisa pada tanggal 5 Februari 2013.
Dalam hal ini, PT. DN bebas menggunakan atau
mentransfer seluruh DHE yang diterima melalui Bank
Devisa tersebut tanpa harus dikonversikan terlebih dahulu
ke dalam mata uang rupiah.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “diterima secara tunai”
adalah penerimaan DHE dalam bentuk pembayaran
uang kartal (uang kertas dan/atau uang logam).
DHE …
- 20 -
DHE dikategorikan sebagai DHE yang diterima secara
tunai apabila menurut Bank Indonesia memenuhi
aspek kewajaran untuk dilakukan pembayaran
secara tunai antara lain dari aspek jumlah dan jenis
transaksinya.
Pasal 3
Ayat (1)
Contoh 1:
Untuk Ekspor dengan tanggal PEB 10 April 2013,
penerimaan DHE melalui Bank Devisa paling lambat
tanggal 31 Juli 2013.
Contoh 2:
Untuk Ekspor dengan tanggal PEB 30 Juni 2013,
penerimaan DHE melalui Bank Devisa paling lambat
tanggal 30 September 2013.
Ayat (2)
Contoh:
PT. ZA melakukan Ekspor dengan Usance L/C yang jatuh
tempo pembayarannya 180 (seratus delapan puluh) Hari
setelah tanggal pengiriman barang/Bill of Lading (17 April
2013). Adapun tanggal PEB untuk Ekspor tersebut 15 April
2013.
Berdasarkan contoh di atas, dapat diketahui bahwa jatuh
tempo pembayaran Ekspor melebihi 3 (tiga) bulan setelah
pendaftaran PEB, yaitu terhitung dari bulan Mei sampai
dengan akhir bulan Juli 2013, sehingga penerimaan DHE
melalui Bank Devisa wajib dilakukan paling lama 14
(empat belas) Hari setelah tanggal jatuh tempo pembayaran
Ekspor tersebut. Dengan demikian, penerimaan DHE
melalui …
- 21 -
melalui Bank Devisa paling lambat tanggal 28 Oktober
2013, yaitu 14 Hari setelah tanggal 14 Oktober 2013 (180
(seratus delapan puluh) Hari setelah tanggal pengiriman
barang).
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 4
Ayat (1)
Informasi yang disampaikan paling kurang meliputi tanggal
PEB, sandi kantor pelayanan Bea Cukai, nomor
pendaftaran PEB, dan NPWP Eksportir. Dalam hal DHE
diterima oleh pihak lain selain Eksportir maka informasi
dimaksud dapat disampaikan oleh pihak yang menerima
DHE tersebut. Dalam hal ini, nama dan NPWP yang
disampaikan adalah nama dan NPWP penerima DHE.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Dokumen pendukung dinilai memadai apabila menurut
Bank Indonesia dokumen yang bersangkutan dapat
membuktikan terjadinya penerimaan DHE secara tunai di
dalam negeri.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7) …
- 22 -
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 5
Ayat (1)
Dokumen pendukung meliputi antara lain fotokopi
dokumen PEB, usance L/C, surat keterangan tentang
penangguhan pembayaran dari importir.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 6
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “maklon” adalah pemberian
jasa dalam rangka proses penyelesaian suatu barang
tertentu yang proses pengerjaannya dilakukan oleh
pihak pemberi jasa (disubkontrakkan), dan pengguna
jasa menetapkan spesifikasi, serta menyediakan
bahan baku dan/atau barang setengah jadi dan/atau
bahan penolong/pembantu yang akan diproses
sebagian atau seluruhnya, dengan kepemilikan atas
barang jadi berada pada pengguna jasa.
Penjelasan …
- 23 -
Penjelasan atas perbedaan antara DHE dan Nilai PEB dan
jenis dokumen pendukung mengacu kepada ketentuan
yang mengatur mengenai pelaporan lalu lintas devisa.
Dokumen pendukung dinilai memadai apabila menurut
Bank Indonesia dokumen yang bersangkutan dapat
membuktikan terjadinya selisih kurang antara DHE dan
Nilai PEB.
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Dokumen pendukung meliputi antara lain fotokopi kuitansi
pembayaran terkait penerimaan DHE secara tunai di dalam
negeri.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 7
Bank Indonesia menginformasikan perbedaan antara data PEB
dimaksud kepada DJBC.
Pasal 8
Ayat (1)
Contoh penerimaan DHE yang berasal dari hasil netting
antara tagihan Ekspor dengan kewajiban impor barang
terkait kegiatan Ekspor:
Pada bulan Maret 2013, PT. SY mencatat kewajiban
terhadap perusahaan MQ di Malaysia berupa (1) pinjaman
sebesar USD700,000.00 (tujuh ratus ribu US Dollar); (2)
impor bahan baku untuk keperluan ekspor sebesar
USD1,000,000.00 (satu juta US Dollar). Pada bulan yang
sama PT. SY mencatat tagihan Ekspor kepada perusahaan
tersebut …
- 24 -
tersebut sebesar USD1,250,000.00 (satu juta dua ratus
lima puluh ribu US Dollar). Semua kewajiban dan tagihan
di atas jatuh tempo pada bulan Mei 2013 dan kedua
perusahaan telah menyepakati penyelesaiannya dilakukan
secara netting, dimana hanya selisih dari kewajiban dan
tagihan tersebut yang akan dibayarkan.
Nilai kewajiban yang boleh di-netting-kan dengan tagihan
Ekspor adalah sebesar USD1,000,000.00 (satu juta US
Dollar) dan PT. SY wajib menerima sisa tagihan Ekspor
sebesar USD250,000.00 (dua ratus lima puluh ribu US
Dollar) melalui Bank Devisa.
Ayat (2)
Dokumen pendukung antara lain berupa kesepakatan
penyelesaian tagihan Ekspor dengan kewajiban impor
barang, fotokopi Pemberitahuan Impor Barang (PIB), dan
invoice.
Dokumen pendukung dinilai memadai apabila menurut
Bank Indonesia dokumen yang bersangkutan dapat
membuktikan adanya netting yang diperbolehkan.
Pasal 9
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “keadaan memaksa (force majeure)”
adalah keadaan yang menyebabkan Eksportir menerima
DHE kurang dari nilai PEB atau tidak menerima DHE, yang
disebabkan karena kebakaran, kerusuhan massa,
terorisme, bom, perang, sabotase, pemogokan buruh,
kegagalan sistem yang digunakan dalam bertransaksi serta
bencana alam seperti gempa bumi, banjir, yang dibenarkan
oleh …
- 25 -
oleh penguasa atau pejabat dari instansi terkait di daerah
setempat.
Dokumen pendukung dinilai memadai apabila menurut
Bank Indonesia dokumen yang bersangkutan dapat
membuktikan kondisi importir wanprestasi, pailit, atau
keadaan memaksa.
Ayat (2)
Dokumen pendukung dinilai memadai apabila menurut
Bank Indonesia dokumen yang bersangkutan dapat
membuktikan kondisi importir wanprestasi, pailit, atau
keadaan memaksa.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 10
Ayat (1)
Dalam hal DHE diterima oleh pihak lain selain pemilik
barang maka penyampaian informasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 dapat disampaikan oleh pihak
yang menerima DHE.
Ayat (2)
Informasi yang disampaikan PJT mencakup antara lain
sandi kantor pabean, nomor pendaftaran PEB, tanggal
PEB, dan Nilai PEB.
Pasal 11
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2) …
- 26 -
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan ”perjanjian kredit (loan
agreement) dalam bentuk non revolving” adalah
perjanjian pinjaman yang tidak memperbolehkan
akumulasi realisasi penarikan ULN melebihi
komitmen.
Huruf b
Contoh 1:
PT. SN memperoleh ULN sebesar USD20,000,000.00
(dua puluh juta US Dollar) dari kreditur XY di
Singapura untuk refinancing ULN sebelumnya
dengan jumlah outstanding yang sama yaitu sebesar
USD20,000,000.00 (dua puluh juta US Dollar) yang
diterima dari kreditur Bank AB di Singapura.
Pertimbangan PT. SN melakukan refinancing tersebut
karena adanya tawaran suku bunga yang lebih
rendah dan term & condition yang lebih longgar.
Berhubung refinancing tersebut tidak ada kelebihan
aliran dana valuta asing maka tidak dikenakan
kewajiban menarik DULN melalui Bank Devisa.
Contoh 2:
PT. EW memperoleh ULN sebesar USD30,000,000.00
(tiga puluh juta US Dollar) dari kreditur Bank DE di
Singapura. ULN tersebut dipergunakan untuk
refinancing outstanding ULN sebelumnya yang
tercatat sebesar USD20,000,000.00 (dua puluh juta
US Dollar) yang diterima dari kreditur Bank GH di
Singapura dan selisihnya USD10,000,000.00
(sepuluh …
- 27 -
(sepuluh juta US Dollar) dipergunakan untuk
tambahan modal kerja. Penarikan DULN sebesar
USD10,000,000.00 (sepuluh juta US Dollar) wajib
dilakukan melalui Bank Devisa.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “surat utang (debt securities)”
adalah surat pengakuan utang yang dapat
diperdagangkan di pasar uang atau pasar modal di
dalam maupun di luar negeri.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 12
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Nilai akumulasi penarikan DULN dihitung sampai dengan
penarikan terakhir DULN.
Contoh:
PT. AT memperoleh ULN dalam bentuk loan agreement dari
kreditur KL di Singapura sebesar USD100,000,000.00
(seratus juta US Dollar). Diperjanjikan bahwa penarikan
dilakukan sebanyak 10 (sepuluh) kali selama masa
berlakunya loan agreement. Sampai dengan penarikan yang
terakhir atau ke 10 ternyata jumlah yang ditarik tercatat
sebesar USD80,000,000.00 (delapan puluh juta US Dollar).
Dengan demikian terdapat selisih sebesar
USD20,000,000.00 (dua puluh juta US Dollar) antara nilai
total akumulasi penarikan dengan nilai komitmen yang
diberikan oleh kreditur. Atas perbedaan antara nilai total
akumulasi …
- 28 -
akumulasi penarikan dengan nilai komitmen tersebut maka
debitur harus menyampaikan penjelasan secara tertulis
kepada Bank Indonesia.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan ”nilai nominal DHE yang belum
diterima” adalah Nilai PEB dikurangi dengan nilai DHE
yang telah diterima.
Contoh 1:
Perusahan SY melakukan Ekspor dengan total Nilai PEB
bulan Juni 2013 sebesar USD500,000.00 (lima ratus ribu
US Dollar). DHE yang diterima dari Ekspor tersebut melalui
Bank Devisa sebesar USD100,000.00 (seratus ribu US
Dollar). Sisanya sebesar USD400,000.00 (empat ratus ribu
US Dollar) tidak diterima melalui Bank Devisa sampai
dengan batas waktu yang ditentukan, yaitu akhir bulan
September 2013 (akhir bulan ketiga setelah bulan
pendaftaran PEB) dan Perusahan SY tidak dapat
memberikan dokumen pendukung yang memadai.
Berdasarkan contoh di atas dan dengan kurs
Rp9.700/USD, Eksportir dikenakan denda sebesar 0,5% X
USD400,000.00 X Rp9.700/USD = Rp19.400.000,00
(sembilan belas juta empat ratus ribu rupiah) untuk PEB
bulan Juni 2013.
Contoh 2: …
- 29 -
Contoh 2:
Perusahaan AW melakukan Ekspor pada bulan April 2013
dan menerima DHE-nya melalui Bank Devisa dengan
rincian PEB dan penerimaan DHE sebagai berikut:
Nomor
PEB
Tanggal PEB
Nilai PEB -
FOB (USD)
000012 3 April 2013 500,000.00
000013 9 April 2013 600,000.00
000014 30 April 2013 2,000,000.00
3,100,000.00
Total
Nilai DHE yang
Diterima (USD)
400,000.00
100,000.00
100,000.00
600,000.00
Selisih Kurang
(USD)
100,000.00
500,000.00
1,900,000.00
2,500,000.00
Sampai dengan akhir Juli 2013 (akhir bulan ketiga setelah
bulan pendaftaran PEB) masih terdapat selisih kurang
antara nilai PEB dan Nilai DHE yang telah diterima oleh
Perusahaan AW untuk ketiga PEB dan perusahaan AW
tidak dapat memberikan dokumen pendukung yang
memadai.
Dengan kurs yang sama pada contoh 1, perusahaan AW
akan dikenakan sanksi denda untuk PEB bulan April 2013
dengan perhitungan sebagai berikut:
- untuk Nomor PEB 000012 sebesar 0.5% X
USD100,000.00 X Rp9.700 = Rp4.850.000,00;
- untuk Nomor PEB 000013 sebesar 0.5% X
USD500,000.00 X Rp9.700 = Rp24.250.000,00;
- untuk Nomor PEB 000014 sebesar 0.5% X
USD1,900,000.00 X Rp9.700 = Rp92.150.000,00.
Mengingat perhitungan denda perusahaan AW untuk 1
(satu) bulan pendaftaran PEB sebesar Rp121.250.000,00
(seratus dua puluh satu juta dua ratus lima puluh ribu
rupiah) melebihi nilai denda maksimal maka perusahaan
AW …
- 30 -
AW dikenakan denda maksimal sebesar Rp100.000.000,00
(seratus juta rupiah) untuk PEB bulan April 2013.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan ”kurs tengah Bank Indonesia”
adalah kurs transaksi Bank Indonesia yang dihitung
dengan cara kurs jual transaksi ditambah kurs beli
transaksi, dibagi 2 (dua).
Yang dimaksud dengan “tanggal pengenaan sanksi” adalah
tanggal diterbitkannya surat pemberitahuan secara tertulis
dari Bank Indonesia.
Ayat (4)
Pengenaan sanksi penangguhan atas pelayanan Ekspor
dilakukan oleh otoritas yang berwenang di bidang
kepabeanan atas dasar permintaan Bank Indonesia.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Pembebasan sanksi penangguhan atas pelayanan Ekspor
dilakukan oleh otoritas yang berwenang di bidang kepabeanan
atas dasar permintaan Bank Indonesia.
Bukti …
- 31 -
Bukti pembayaran sanksi denda atau bukti penerimaan DHE
antara lain berupa fotokopi bukti transfer pembayaran sanksi
denda ke Bank Indonesia dan/atau fotokopi SWIFT message
yang disahkan oleh Bank Devisa penerima.
Penyampaian bukti pembayaran sanksi administratif/
penerimaan DHE ditujukan kepada:
Bank Indonesia
Departemen Statistik Ekonomi dan Moneter
Menara Sjafruddin Prawiranegara Lt. 16
Jl. M.H. Thamrin No. 2
Jakarta Pusat 10350
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Ayat (1)
Contoh penerimaan DHE yang dilakukan tidak melalui
Bank Devisa karena telah diperjanjikan pembayarannya
melalui trustee yang berada di luar Indonesia:
Pada bulan Januari 2009, perusahaan FZ memperoleh
pinjaman sindikasi selama 5 (lima) tahun dari beberapa
kreditur di luar negeri sebesar USD500,000,000.00 (lima
ratus juta US Dollar) dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Pembayaran pokok dan bunga sebesar
USD8,540,000.00 (delapan juta lima ratus empat puluh
ribu US Dollar) dilakukan setiap akhir bulan mulai Juli
2009.
b. Penerimaan hasil Ekspor setiap bulan wajib
ditempatkan pada suatu rekening di Bank HK di
Hongkong yang berfungsi sebagai trustee.
c. Bank …
- 32 -
c. Bank HK mendebet rekening tersebut setiap akhir
bulan sebesar USD8,540,000.00 (delapan juta lima
ratus empat puluh ribu US Dollar) untuk pembayaran
pokok dan bunga kepada kreditur.
Mekanisme penerimaan DHE dikaitkan dengan
pembayaran kewajiban perusahaan sebagaimana contoh di
atas hanya diperbolehkan sampai dengan tanggal 30 Juni
2013. Dengan demikian, penerimaan DHE perusahaan
tersebut mulai bulan Juli 2013 wajib dilakukan melalui
Bank Devisa. Adapun pembayaran pokok dan bunga
pinjaman dilakukan setelah seluruh DHE diterima melalui
Bank Devisa.
Ayat (2)
Dokumen pendukung meliputi antara lain fotokopi kontrak
perjanjian terkait dengan penerimaan DHE yang dilakukan
tidak melalui Bank Devisa karena telah diperjanjikan
pembayarannya melalui trustee yang berada di luar
Indonesia.
Penyampaian penjelasan tertulis dan dokumen pendukung
ditujukan kepada:
Bank Indonesia
Departemen Statistik Ekonomi dan Moneter
Menara Sjafruddin Prawiranegara Lt. 16
Jl. M.H. Thamrin No. 2
Jakarta Pusat 10350
Ayat (3) …
- 33 -
Ayat (3)
Contoh 1:
Untuk Ekspor dengan tanggal PEB 2 Januari 2012,
penerimaan DHE melalui Bank Devisa paling lambat
tanggal 31 Juli 2012.
Contoh 2:
Untuk Ekspor dengan tanggal PEB 31 Desember 2012,
penerimaan DHE melalui Bank Devisa paling lambat
tanggal 30 Juni 2013.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal
Pasal
Pasal
21
Cukup jelas.
22
Cukup jelas.
23
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5383
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 14/25/PBI/2012 </reg_id>
<reg_title> PENERIMAAN DEVISA HASIL EKSPOR DAN PENARIKAN DEVISA UTANG LUAR NEGERI </reg_title>
<set_date> 27 Desember 2012 </set_date>
<effective_date> 1 Januari 2013 </effective_date>
<issued_date> 27 Desember 2012 </issued_date>
<replaced_reg> '13/22/PBI/2011 | Pasal 12', '13/20/PBI/2011', '14/11/PBI/2012' </replaced_reg>
<related_reg> '10/UU/1995', '17/UU/2006', '23/UU/1999', '6/UU/2009', '2/PERPPU/2008', '24/UU/1999' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB V' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 13/ 24 /PBI/2011
TENTANG
PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 10/36/PBI/2008
TENTANG OPERASI MONETER SYARIAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa dalam rangka meningkatkan efektifitas
pelaksanaan pengendalian moneter dan pemenuhan
prinsip-prinsip syariah dalam pelaksanaan transaksi
khususnya transaksi yang memiliki second leg,
diperlukan penyesuaian ketentuan pengenaan sanksi
transaksi operasi moneter syariah yang dinyatakan
batal;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, perlu melakukan perubahan
kedua atas Peraturan Bank Indonesia Nomor
10/36/PBI/2008 tentang Operasi Moneter Syariah;
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah
diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-
Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor …
- 2 -
Nomor 2 tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962);
2. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat
Berharga Syariah Negara (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 70, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 4852);
3. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867);
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN
KEDUA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR
10/36/PBI/2008 TENTANG OPERASI MONETER
SYARIAH.
Pasal I
Ketentuan Pasal 18 diubah sehingga Pasal 18 berbunyi sebagai berikut :
Pasal 18
(1) Dalam hal transaksi OMS dinyatakan batal sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 17 ayat (2), peserta OMS dikenakan sanksi berupa :
a. teguran tertulis; dan
b. kewajiban membayar sebesar 0,01% (satu per sepuluh ribu) dari
nilai transaksi OMS yang dinyatakan batal, paling sedikit sebesar
Rp10.000.000,00 …
- 3 -
Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak sebesar
Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
(2) Dengan tidak mengurangi sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), dalam hal peserta OMS melakukan transaksi OMS yang
dinyatakan batal sebanyak 3 (tiga) kali dalam kurun waktu 6 (enam)
bulan, peserta OMS dikenakan sanksi berupa penghentian sementara
untuk mengikuti kegiatan OMS selama 5 (lima) hari kerja berturut-
turut.
(3) Dalam hal terjadi pembatalan transaksi pada saat second leg
transaksi repo sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) dan
dalam hal harga surat berharga pada transaksi second leg lebih
rendah dari harga surat berharga pada transaksi first leg, selain
dikenakan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), peserta OMS
dikenakan sanksi tambahan berupa kewajiban membayar sebesar
selisih antara harga pada transaksi first leg dan harga pada transaksi
second leg setelah dikalikan dengan nominal surat berharga yang di-
repo-kan.
(4) Dalam hal terjadi pembatalan transaksi pada saat second leg
transaksi reverse repo sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2)
dan dalam hal harga pasar SBSN pada transaksi second leg lebih
tinggi dari harga pada transaksi first leg, selain dikenakan sanksi
sebagaimana dimaksud pada angka 1, peserta OMS dikenakan sanksi
tambahan berupa kewajiban membayar sebesar selisih harga pada
transaksi second leg dan harga pada transaksi first leg, setelah
dikalikan dengan nominal SBSN yang di-reverse repo-kan.
Pasal II
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Agar …
- 4 -
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 1 Desember 2011
GUBERNUR BANK INDONESIA,
DARMIN NASUTION
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 1 Desember 2011
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
AMIR SYAMSUDDIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2011 NOMOR 119
DPM
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 13/24/PBI/2011 </reg_id>
<reg_title> PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 10/36/PBI/2008 TENTANG OPERASI MONETER SYARIAH </reg_title>
<set_date> 1 Desember 2011 </set_date>
<effective_date> 1 Desember 2011 </effective_date>
<issued_date> 1 Desember 2011 </issued_date>
<changed_reg> '10/36/PBI/2008' </changed_reg>
<related_reg> '21/UU/2008', '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '19/UU/2008' </related_reg>
<penalty_list> 'Pasal I Pasal 18' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 7/51/PBI/2005
TENTANG
LAPORAN BULANAN BANK PERKREDITAN RAKYAT
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa dalam rangka penyusunan laporan dan informasi untuk
keperluan pemantauan bank, diperlukan informasi mengenai
kondisi keuangan dan kegiatan usaha bank secara individual
yang tepat waktu, akurat dan benar;
b. bahwa dalam rangka memperoleh informasi kondisi keuangan
dan kegiatan usaha Bank Perkreditan Rakyat secara tepat
waktu, akurat dan benar maka bentuk dan tatacara
penyampaian laporan bulanan Bank Perkreditan Rakyat yang
berlaku dewasa ini perlu disempurnakan menjadi secara on-
line agar mampu mendukung efektivitas dan efisiensi
pelaporan;
c. bahwa berhubung dengan itu, dipandang perlu untuk
menyempurnakan ketentuan tentang pedoman penyampaian
laporan bulanan Bank Perkreditan Rakyat dalam Peraturan
Bank Indonesia;
Mengingat ...
-2-
Mengingat
:
1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor
31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara
Republik
Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3790);
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999
Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3843) sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4357);
MEMUTUSKAN :
Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG LAPORAN
BULANAN BANK PERKREDITAN RAKYAT.
BAB I …
-3-
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Bank Perkreditan Rakyat, selanjutnya disebut BPR, adalah
Bank
Perkreditan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 4 Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, yang melaksanakan
kegiatan usaha secara konvensional.
2. BPR Pelapor adalah kantor pusat dan kantor cabang BPR yang
menyampaikan Laporan Bulanan untuk masing-masing kantor.
3. Laporan Bulanan BPR, selanjutnya disebut Laporan Bulanan, adalah
laporan keuangan yang disusun oleh BPR Pelapor untuk kepentingan Bank
Indonesia, yang disajikan menurut sistematika yang ditentukan oleh Bank
Indonesia dalam format dan definisi yang seragam serta dilaporkan dengan
menggunakan sandi dan angka.
4. Penyampaian Laporan Bulanan melalui Jaringan On-Line adalah
penyampaian laporan dengan mengirim atau mentransfer rekaman data
secara langsung kepada Kantor Pusat Bank Indonesia melalui fasilitas
ekstranet Bank Indonesia atau sarana teknologi lainnya.
5. Penyampaian …
-4-
5. Penyampaian Laporan Bulanan secara Off-Line adalah
penyampaian
laporan dengan menyampaikan rekaman data dalam bentuk disket atau
cd-rom disertai hasil validasi kepada Kantor Bank Indonesia setempat.
6. Keadaan Memaksa (force majeure) adalah keadaan yang secara nyata
menyebabkan BPR Pelapor tidak dapat menyusun dan/atau menyampaikan
Laporan Bulanan dan/atau koreksi Laporan Bulanan, antara lain kebakaran,
kerusuhan massa, perang, sabotase, serta bencana alam seperti gempa bumi
dan banjir, yang dibenarkan oleh pejabat instansi yang berwenang dari
daerah setempat.
Pasal 2
(1) BPR Pelapor wajib menyusun dan menyampaikan Laporan Bulanan kepada
Bank Indonesia secara on-line setiap bulan secara benar, lengkap, dan tepat
waktu.
(2) Laporan Bulanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup seluruh
aspek keuangan yaitu :
a.
neraca,
b. rekening administratif,
c. daftar rincian dari pos-pos tertentu neraca.
(3) Laporan Bulanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mengikuti
pedoman penyusunan Laporan Bulanan yang diatur oleh Bank Indonesia.
(4) BPR …
-5-
(4) BPR Pelapor bertanggungjawab atas kebenaran dan kelengkapan isi
Laporan Bulanan serta ketepatan waktu penyampaian Laporan Bulanan
kepada Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(5) Dalam hal terdapat kekeliruan dan/atau kesalahan atas Laporan Bulanan
yang telah disampaikan, BPR Pelapor wajib menyampaikan koreksi atas
Laporan Bulanan dimaksud secara on-line dengan memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4 ).
Pasal 3
(1) Kewajiban penyampaian Laporan Bulanan dan/atau koreksi Laporan
Bulanan secara on-line sebagaimana dimaksud pada Pasal 2 ayat (1) dan (5)
dikecualikan dalam hal:
a. BPR Pelapor berkedudukan di daerah yang belum tersedia fasilitas
komunikasi, sehingga
Laporan Bulanan dan/atau koreksi Laporan Bulanan secara on-line,
b. BPR Pelapor baru beroperasi dengan batas waktu paling lama 2 (dua)
bulan setelah melakukan kegiatan operasional,
c. BPR Pelapor mengalami gangguan teknis, atau
d. Terjadi kerusakan dan/atau gangguan pada database atau jaringan
komunikasi di Bank Indonesia.
(2) BPR …
tidak memungkinkan untuk menyampaikan
-6-
(2) BPR Pelapor memperoleh pengecualian sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf a, huruf b dan huruf c setelah menyampaikan pemberitahuan
tertulis terlebih dahulu kepada Bank Indonesia dengan mengemukakan
alasannya.
Pasal 4
BPR Pelapor wajib memiliki sistem dan prosedur konversi yang dituangkan
dalam pedoman tertulis.
Pasal 5
(1) BPR Pelapor wajib menunjuk
petugas dan penanggungjawab
untuk
menyusun dan menyampaikan Laporan Bulanan dan/atau koreksi Laporan
Bulanan serta menyampaikan nama petugas dan penanggungjawab
dimaksud kepada Bank Indonesia.
(2) Nama petugas dan penanggungjawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
untuk pertama kali disampaikan paling lambat tanggal 31 Januari 2006.
(3) BPR Pelapor wajib melaporkan setiap perubahan nama petugas dan/atau
penanggungjawab kepada Bank Indonesia selambat-lambatnya 10 (sepuluh)
hari sebelum perubahan.
BAB II …
-7-
BAB II
PERIODE PENYAMPAIAN LAPORAN BULANAN DAN KOREKSI
LAPORAN BULANAN
Pasal 6
(1) BPR Pelapor wajib menyampaikan Laporan Bulanan paling lambat tanggal
14 (empat belas) pada bulan berikutnya setelah berakhirnya bulan laporan
yang bersangkutan.
(2) Dalam hal tanggal 14 (empat belas) jatuh pada hari libur atau hari Sabtu
maka BPR Pelapor yang menyampaikan Laporan Bulanan secara off-line
wajib menyampaikan Laporan Bulanan pada hari kerja sebelumnya.
(3) BPR Pelapor dinyatakan telah menyampaikan Laporan Bulanan pada
tanggal diterimanya Laporan Bulanan oleh Bank Indonesia.
Pasal 7
(1) BPR Pelapor wajib menyampaikan koreksi atas kesalahan Laporan Bulanan
sebagaimana dimaksud pada Pasal 2 ayat (5) paling lambat tanggal 20 (dua
puluh) pada bulan berikutnya setelah berakhirnya bulan laporan yang
bersangkutan.
(2) Dalam …
-8-
(2) Dalam hal tanggal 20 (dua puluh) jatuh pada hari libur atau hari Sabtu maka
BPR Pelapor yang menyampaikan koreksi Laporan Bulanan secara off-line
wajib menyampaikan koreksi Laporan Bulanan pada hari kerja sebelumnya.
(3) BPR Pelapor dinyatakan telah menyampaikan koreksi Laporan Bulanan pada
tanggal diterimanya koreksi Laporan Bulanan oleh Bank Indonesia.
Pasal 8
(1) BPR Pelapor dinyatakan terlambat menyampaikan Laporan Bulanan apabila
belum menyampaikan Laporan Bulanan sampai
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) atau ayat (2).
dengan batas waktu
(2) BPR Pelapor dinyatakan terlambat menyampaikan koreksi Laporan Bulanan
apabila belum menyampaikan koreksi Laporan Bulanan sampai dengan batas
waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) atau ayat (2).
(3) BPR Pelapor dinyatakan tidak menyampaikan Laporan Bulanan dan/atau
koreksi Laporan Bulanan apabila belum menyampaikan Laporan Bulanan
dan/atau koreksi Laporan Bulanan sampai dengan akhir bulan berikutnya
setelah berakhirnya bulan laporan yang bersangkutan.
(4) BPR Pelapor yang dinyatakan tidak menyampaikan Laporan Bulanan
dan/atau koreksi Laporan Bulanan sebagaimana dimaksud pada ayat (3),
tetap wajib menyampaikan Laporan Bulanan dan/atau koreksi Laporan
Bulanan.
Pasal 9 …
-9-
Pasal 9
(1) Dalam hal berdasarkan penelitian dan/atau pemeriksaan Bank Indonesia atas
Laporan Bulanan yang telah disampaikan oleh BPR Pelapor ditemukan
adanya kesalahan maka BPR Pelapor wajib menyampaikan koreksi Laporan
Bulanan berdasarkan hasil penelitian dan/atau hasil pemeriksaan dimaksud,
untuk posisi sejak ditemukannya kesalahan.
(2) Koreksi Laporan Bulanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan
paling lambat 14 (empat belas) hari sejak tanggal pemberitahuan oleh Bank
Indonesia atau sejak tanggal pertemuan akhir antara pengurus BPR dengan
Bank Indonesia untuk membahas hasil pemeriksaan (exit meeting).
(3) BPR Pelapor wajib menggunakan hasil penelitian dan/atau hasil
pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk menyusun Laporan
Bulanan.
BAB III
PEDOMAN PENCATATAN
Pasal 10
BPR wajib melakukan pencatatan atas kegiatan usaha berdasarkan Pernyataan
Standar Akuntansi Keuangan yang relevan bagi bank dan Pedoman Akuntansi
Perbankan Indonesia.
BAB IV …
-10-
BAB IV
KEADAAN MEMAKSA (FORCE MAJEURE)
Pasal 11
(1) BPR Pelapor yang mengalami Keadaan Memaksa (force majeure) selama
satu atau lebih periode penyampaian Laporan Bulanan dan/atau koreksi
Laporan Bulanan dikecualikan dari kewajiban menyampaikan Laporan
Bulanan dan/atau koreksi Laporan Bulanan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (1) dan ayat (5) dan Pasal 3.
(2) BPR Pelapor yang mengalami Keadaan Memaksa (force majeure) kurang
dari satu periode penyampaian Laporan Bulanan dan/atau koreksi Laporan
Bulanan dikecualikan dari kewajiban menyampaikan Laporan Bulanan
dan/atau
koreksi
Laporan Bulanan dalam batas waktu
dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) dan Pasal 7 ayat (1) dan ayat
(2).
(3) BPR Pelapor yang mengalami Keadaan Memaksa (force majeure),
menyampaikan pemberitahuan secara tertulis kepada Bank Indonesia,
dengan disertai penjelasan mengenai Keadaan Memaksa yang dialami.
(4) BPR Pelapor wajib menyampaikan Laporan Bulanan dan/atau koreksi
Laporan Bulanan setelah kembali melakukan kegiatan operasional secara
normal.
sebagaimana
BAB V …
-11-
BAB V
SANKSI
Pasal 12
(1) BPR Pelapor yang tidak menyampaikan Laporan Bulanan dan/atau koreksi
Laporan Bulanan secara on-line tanpa memenuhi kondisi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3, dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar
Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah) untuk setiap penyampaian
Laporan Bulanan dan/atau koreksi Laporan Bulanan.
(2) BPR Pelapor yang dinyatakan terlambat menyampaikan Laporan Bulanan
dan/atau koreksi Laporan Bulanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat
(1) dan ayat (2) dan Pasal 9 ayat (2) dikenakan sanksi kewajiban membayar
sebesar Rp50.000,00 (lima puluh ribu rupiah) per hari keterlambatan.
(3) BPR Pelapor yang dinyatakan tidak menyampaikan Laporan Bulanan
dan/atau koreksi Laporan Bulanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat
(3) dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp3.000.000,00 (tiga juta
rupiah).
(4) Terhadap setiap kesalahan Laporan Bulanan yang ditemukan berdasarkan
penelitian dan/atau pemeriksaan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud
Pasal 9 ayat (1), dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp10.000,00
(sepuluh
ribu
rupiah)
Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah).
Pasal 13 …
per item kesalahan atau paling banyak sebesar
-12-
Pasal 13
Pemenuhan sanksi kewajiban membayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12,
dilakukan dengan cara transfer atau tunai kepada Bank Indonesia.
Pasal 14
BPR Pelapor yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (1) dan ayat (5 ), Pasal 4, Pasal 5, Pasal 8 ayat (4), Pasal 9 ayat (1)
dan ayat (3), Pasal 10, Pasal 11 ayat (4) dan Pasal 18 dikenakan sanksi
administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 1998, berupa teguran tertulis dan/atau penurunan
tingkat kesehatan.
Pasal 15
BPR Pelapor yang:
a. tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 6 ayat
(1) dan ayat (2), Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2) dan Pasal 9 ayat (2),
b. tidak menyampaikan Laporan Bulanan dan/atau koreksi Laporan Bulanan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3), dan/atau
c. melakukan kesalahan dalam Laporan Bulanan berdasarkan penelitian
dan/atau pemeriksaan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9
ayat (1),
selain …
-13-
selain dikenakan sanksi kewajiban membayar sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 12 dikenakan pula sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal
52 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, berupa teguran tertulis
dan/atau penurunan tingkat kesehatan.
Pasal 16
Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 dan/atau
rekayasa transaksi yang tidak wajar sehingga menyebabkan terpenuhinya kondisi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 1998, berlaku ketentuan sanksi pidana sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 49 ayat (1) dan Pasal 50 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992
tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10
Tahun 1998.
Pasal 17
Pengenaan sanksi kewajiban membayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12
ayat (2) dan ayat (4) dikecualikan terhadap hasil audit tahunan yang dilakukan
oleh akuntan publik.
BAB VI …
-14-
BAB VI
LAIN-LAIN
Pasal 18
Dalam hal BPR dibubarkan karena merger atau konsolidasi dengan BPR lain
sehingga tidak lagi menjadi BPR Pelapor, BPR tetap wajib menyampaikan
Laporan Bulanan untuk data akhir bulan laporan sebelum berlakunya izin merger
atau konsolidasi, sesuai ketentuan yang berlaku.
Pasal 19
Laporan Bulanan untuk data bulan Maret, April dan Mei 2006 disampaikan
secara on-line disertai dengan rekaman data dalam bentuk disket atau cd-rom
beserta hasil cetakan yang ditandatangani oleh pejabat yang berwenang.
Pasal 20
Ketentuan lebih lanjut tentang pelaksanaan Laporan Bulanan BPR diatur dalam
Surat Edaran Bank Indonesia.
BAB VII …
-15-
BAB VII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 21
Kewajiban penyampaian Laporan Bulanan dan/atau koreksi Laporan Bulanan
sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia ini berlaku sejak
pelaporan data bulan Maret 2006.
Pasal 22
Ketentuan sanksi sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Bank Indonesia ini
berlaku sejak pelaporan data bulan Juni 2006.
Pasal 23
Dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini maka Surat Keputusan Direksi
Bank Indonesia No. 28/58/KEP/DIR dan Surat Edaran Bank Indonesia No.
28/02/UPPB masing-masing tanggal
29 Agustus 1995
tentang Pedoman
Penyusunan Laporan Bulanan Bank Perkreditan Rakyat serta Surat Edaran Bank
Indonesia No. 29/01/UPPB tanggal 19 April 1996 perihal Komputerisasi Laporan
Bulanan Bank Perkreditan Rakyat, dinyatakan tidak berlaku terhitung sejak
pelaporan data bulan Maret 2006.
Pasal 24 …
-16-
Pasal 24
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di: Jakarta
Pada tanggal : 14 Desember 2005
GUBERNUR BANK INDONESIA,
BURHANUDDIN ABDULLAH
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2005 NOMOR 145
DPBPR
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 7/51/PBI/2005
TENTANG
LAPORAN BULANAN BANK PERKREDITAN RAKYAT
UMUM
Dalam Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun
1998 ditetapkan bahwa Bank Perkreditan Rakyat yang melaksanakan kegiatan
usaha secara konvensional wajib menyampaikan kepada Bank Indonesia neraca
dan perhitungan laba/rugi tahunan serta penjelasannya, serta laporan berkala
lainnya, dalam waktu dan bentuk yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Laporan,
keterangan dan penjelasan dimaksud diperlukan oleh Bank Indonesia dalam
rangka penyusunan laporan dan informasi serta statistik perbankan.
Sejalan dengan pesatnya perkembangan teknologi informasi dan
meningkatnya kebutuhan terhadap sistem informasi manajemen dalam rangka
pengawasan terhadap Bank Perkreditan Rakyat maka bentuk dan tatacara
penyampaian Laporan Bulanan Bank Perkreditan Rakyat perlu ditingkatkan
untuk mendorong terciptanya sistem perbankan yang sehat.
Sehubungan …
-2-
Sehubungan dengan hal tersebut, Bank Indonesia telah memperbaiki
ketentuan tentang penyusunan dan penyampaian Laporan Bulanan
Bank
Perkreditan Rakyat agar dapat memberikan informasi tentang keadaan keuangan
dan kondisi usaha Bank Perkreditan Rakyat secara tepat waktu, akurat, dan benar
berdasarkan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan tentang Perbankan dan
Pedoman Akuntansi Perbankan Indonesia dalam mendukung sistem pengawasan
selain untuk memenuhi kepentingan pihak-pihak yang membutuhkan.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4) …
-3-
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Yang dimaksud dengan kekeliruan dan/atau kesalahan laporan
antara lain ketidaksesuaian antara Laporan Bulanan yang
disampaikan dengan pedoman penyusunan Laporan Bulanan.
Pengertian koreksi dalam ayat ini adalah koreksi yang dilakukan
oleh BPR atas inisiatif sendiri.
Pasal 3
Ayat (1)
BPR Pelapor yang tidak dapat menyampaikan Laporan Bulanan
dan/atau koreksi Laporan Bulanan secara on-line, menyampaikan
Laporan Bulanan dimaksud secara off-line
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan gangguan teknis adalah gangguan
yang mengakibatkan BPR
Pelapor
tidak
dapat
menyampaikan …
-4-
menyampaikan laporan secara on-line, antara
lain
gangguan pada jaringan telekomunikasi, kebakaran atau
pemadaman listrik.
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 4
Yang dimaksud dengan
”prosedur konversi” adalah prosedur yang
digunakan oleh BPR Pelapor untuk menyesuaikan penyajian data dari
format pembukuan intern BPR Pelapor ke dalam format Laporan Bulanan
sebagaimana diatur dalam pedoman penyusunan Laporan Bulanan.
Pasal 5
Ayat (1)
Yang dimaksud petugas adalah pegawai BPR Pelapor yang diberi
tugas menyusun dan melakukan verifikasi
Laporan Bulanan
dan/atau koreksi Laporan Bulanan.
Yang dimaksud dengan penanggungjawab adalah pejabat atau
pegawai BPR Pelapor yang bertanggungjawab melakukan verifikasi
ulang dan menyampaikan Laporan Bulanan
dan/atau
Laporan Bulanan kepada Bank Indonesia.
Petugas …
koreksi
-5-
Petugas dan penanggungjawab yang ditunjuk adalah orang yang
berbeda.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 6
Ayat (1)
Laporan Bulanan dapat disampaikan secara on-line pada hari libur
atau hari Sabtu.
Ayat (2)
Contoh :
Laporan Bulanan untuk data bulan April 2006 disampaikan secara
off-line paling lambat pada tanggal 12 Mei 2006 (hari Jumat) untuk
penyampaian secara langsung ke Bank Indonesia atau tanggal 13
Mei 2006 (hari Sabtu) untuk penyampaian melalui pos, mengingat
tanggal 14 Mei 2006 jatuh pada hari Minggu.
Ayat (3) …
-6-
Ayat (3)
Bukti penerimaan untuk Laporan Bulanan yang disampaikan secara
on-line adalah berupa soft copy yang dapat diambil secara on-line
(download). Sedangkan bukti penerimaan untuk Laporan Bulanan
yang disampaikan secara off-line adalah berupa tanda terima apabila
disampaikan langsung kepada Bank Indonesia atau tanggal stempel
pos apabila dikirimkan melalui pos.
Pasal 7
Ayat (1)
Koreksi Laporan Bulanan dapat disampaikan secara on-line pada
hari libur atau hari Sabtu.
Ayat (2)
Contoh :
Koreksi Laporan Bulanan untuk data bulan Juli 2006 disampaikan
secara off-line paling lambat tanggal 18 Agustus 2006 (hari Jumat)
untuk penyampaian secara langsung ke Bank Indonesia atau tanggal
19 Mei 2006 (hari Sabtu) untuk penyampaian melalui pos,
mengingat tanggal 20 Agustus 2006 jatuh pada hari Minggu.
Ayat (3) …
-7-
Ayat (3)
Bukti
penerimaan untuk koreksi
Laporan Bulanan yang
disampaikan secara on-line adalah berupa soft copy yang dapat
diambil secara on-line (download).
Sedangkan bukti penerimaan
untuk koreksi Laporan Bulanan yang disampaikan secara off-line
adalah berupa tanda terima apabila disampaikan langsung kepada
Bank Indonesia atau tanggal stempel pos apabila dikirimkan
melalui pos.
Pasal 8
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Contoh :
BPR Pelapor dinyatakan tidak menyampaikan Laporan Bulanan
dan/atau koreksi Laporan Bulanan untuk data bulan Juli 2006
apabila laporan dimaksud belum diterima Bank Indonesia sampai
dengan tanggal 31 Agustus 2006.
Ayat (4) …
-8-
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 9
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4) …
-9-
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 12
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Dalam hal terdapat kesalahan Laporan Bulanan berdasarkan hasil
pemeriksaan Bank Indonesia,
sanksi hanya dikenakan
kesalahan untuk data bulan laporan pada posisi pemeriksaan.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
atas
Pasal 15…
-10-
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Contoh:
Apabila izin merger antara BPR X dan BPR Y berlaku sejak tanggal 1
Maret 2006 yaitu sejak memperoleh persetujuan perubahan Anggaran
Dasar atau Akta Pendirian BPR dari instansi yang berwenang atau tanggal
pendaftaran Akta Merger dan perubahan Anggaran Dasar dalam Daftar
Perusahaan apabila perubahan Anggaran Dasar
tidak memerlukan
persetujuan dari instansi yang berwenang, maka BPR X dan BPR Y tetap
menyampaikan Laporan Bulanan untuk data bulan Februari 2006.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21 …
-11-
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4580
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 7/51/PBI/2005 </reg_id>
<reg_title> LAPORAN BULANAN BANK PERKREDITAN RAKYAT </reg_title>
<set_date> 14 Desember 2005 </set_date>
<effective_date> 14 Desember 2005 </effective_date>
<replaced_reg> '28/02/UPPB|SE-BI/1995', '28/58/KEP/DIR|SKDIR-BI/1995', '29/01/UPPB|SE-BI/1996' </replaced_reg>
<related_reg> '23/UU/1999', '3/UU/2004', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB V' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 5/2/PBI/2003
TENTANG
PEDAGANG VALUTA ASING
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang :
a. bahwa dalam upaya turut memelihara dan mendukung pencapaian
stabilisasi nilai rupiah, pedagang valuta asing sebagai lembaga
penunjang sektor keuangan memiliki peranan yang cukup strategis,
khususnya dalam perkembangan pasar valuta asing domestik;
b. bahwa dalam upaya mendukung peningkatan penerimaan devisa
nasional melalui pengembangan pariwisata maka pelayanan dan
kemampuan pedagang valuta asing perlu ditingkatkan;
c. bahwa dalam upaya menciptakan iklim usaha yang lebih sehat dan
bertanggung jawab serta kegiatan usaha yang berkesinambungan,
pedagang valuta asing perlu melaksanakan kegiatan usaha dengan
berlandaskan prinsip kehati-hatian;
d. bahwa dalam upaya turut menanggulangi tindak pidana pencucian
uang, pedagang valuta asing mempunyai peranan yang cukup
strategis dalam membantu instansi yang berwenang;
e. bahwa berhubung dengan hal-hal tersebut maka ketentuan tentang
pedagang valuta asing perlu diatur kembali dalam Peraturan Bank
Indonesia tentang Pedagang Valuta Asing;
Mengingat
:
1. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran …
- 2 -
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31;
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3472), sebagaimana telah
diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182; Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3790);
2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66;
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3843);
3. Undang-undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa
dan Sistem Nilai Tukar (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1999 Nomor 67; Tambahan Lembaran Negara Nomor
3844);
M E M U T U S K A N :
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PEDAGANG VALUTA
ASING.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Uang Kertas Asing yang selanjutnya disebut UKA adalah uang kertas dalam valuta asing
yang resmi diterbitkan oleh suatu negara di luar Indonesia yang diakui sebagai alat
pembayaran yang sah negara yang bersangkutan (legal tender).
2. Traveller’s Cheque yang selanjutnya disebut TC adalah cek perjalanan dalam valuta
asing yang dapat digunakan sebagai alat pembayaran.
3. Perseroan …
- 3 -
3. Perseroan Terbatas adalah badan hukum sebagaimana dimaksud dalam ketentuan yang
berlaku.
4. Bank adalah Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan yang berlaku, yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional.
5. Pedagang Valuta Asing yang selanjutnya disebut PVA adalah perusahaan yang
melakukan jual beli UKA dan pembelian TC.
6. PVA Bukan Bank adalah perusahaan berbadan hukum Perseroan Terbatas yang maksud
dan tujuan perseroan melakukan kegiatan usaha jual beli UKA dan pembelian TC.
7. PVA Bank adalah Bank Umum bukan bank devisa, kantor cabang Bank Umum devisa
yang belum ditingkatkan menjadi kantor cabang bank devisa dan Bank Perkreditan
Rakyat yang melakukan kegiatan usaha jual beli UKA dan pembelian TC.
BAB II
BIDANG USAHA
Pasal 2
Kegiatan usaha yang dilakukan oleh PVA adalah jual beli UKA dan pembelian TC.
Pasal 3
PVA dilarang melakukan kegiatan-kegiatan, antara lain:
a. memelihara hubungan korespondensi dengan bank-bank di luar negeri guna
mengeluarkan langsung perintah pembayaran yang diuangkan di luar negeri;
b. mentransfer/menagih sendiri ke luar negeri;
c. bertindak sebagai agen penjualan TC; dan atau
d. melakukan …
- 4 -
d. melakukan kegiatan margin trading, spot, forward, swap dan transaksi derivatif
lainnya.
Pasal 4
Kurs jual beli UKA dan kurs beli TC ditetapkan oleh PVA sesuai dengan mekanisme pasar.
BAB III
PERSYARATAN PEDAGANG VALUTA ASING
Bagian I
PVA Bukan Bank
Pasal 5
PVA Bukan Bank dapat melakukan kegiatan usaha setelah mendapat izin dari Bank
Indonesia.
Pasal 6
Persyaratan izin usaha bagi PVA Bukan Bank adalah sebagai berikut :
a. perusahaan merupakan badan hukum Perseroan Terbatas yang maksud dan tujuan
perseroan adalah melakukan kegiatan jual beli UKA dan pembelian TC dan telah
mendapat pengesahan dari instansi berwenang;
b. kepemilikan perusahaan adalah perorangan warga negara Indonesia dan atau badan
hukum Indonesia yang seluruh pemilik dan pengurusnya terdiri dari warga negara
Indonesia;
c. modal disetor sekurang-kurangnya Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah);
d. memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak atas nama PVA yang bersangkutan;
e. pengurus …
- 5 -
e. pengurus adalah perorangan warga negara Indonesia;
f. pengurus dan pemegang saham tidak tercatat sebagai penarik cek/bilyet giro kosong
dan tidak memiliki kredit macet yang tercatat pada administrasi Bank Indonesia;
g. memiliki tempat usaha dengan alamat yang jelas, sumber daya manusia dan sarana
penunjang kegiatan yang memadai.
Pasal 7
Bank Indonesia melakukan pemeriksaan lokasi tempat usaha PVA Bukan Bank untuk
mengetahui keberadaan dan kelayakan lokasi tempat usaha.
Pasal 8
(1) PVA Bukan Bank yang telah mendapat izin usaha dari Bank Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5, wajib melaksanakan pembukaan kegiatan usaha selambat-
lambatnya 60 (enampuluh) hari sejak tanggal dikeluarkannya izin usaha sebagai PVA.
(2) PVA Bukan Bank yang telah melaksanakan pembukaan kegiatan usaha sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) wajib melaporkan pembukaan kegiatan usaha dimaksud
selambat-lambatnya 14 (empatbelas) hari sejak dimulainya kegiatan usaha.
Pasal 9
PVA Bukan Bank dapat melakukan pembukaan kantor cabang setelah mendapat izin dari
Bank Indonesia.
Pasal 10 …
- 6 -
Pasal 10
Persyaratan pembukaan kantor cabang bagi PVA Bukan Bank adalah sebagai berikut:
a. untuk pembukaan kantor cabang di propinsi yang sama dengan kedudukan kantor pusat,
sekurang-kurangnya telah beroperasi 2 (dua) tahun sejak tanggal dikeluarkannya izin
usaha sebagai PVA;
b. untuk pembukaan kantor cabang di luar propinsi kedudukan kantor pusat, sekurang-
kurangnya telah beroperasi 3 (tiga) tahun sejak tanggal dikeluarkannya izin usaha
sebagai PVA;
c. setiap kantor cabang memiliki lokasi usaha dengan alamat yang jelas;
d. dalam jangka waktu 1 (satu) tahun terakhir belum pernah memperoleh sanksi
sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini.
Pasal 11
(1) PVA Bukan Bank yang memperoleh izin pembukaan kantor cabang dari Bank Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, wajib melaksanakan pembukaan kantor cabang
selambat-lambatnya 30 (tigapuluh) hari sejak tanggal dikeluarkannya izin pembukaan
kantor cabang.
(2) PVA Bukan Bank yang telah melaksanakan pembukaan kantor cabang sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) wajib melaporkan pembukaan kantor cabang selambat-
lambatnya 14 (empatbelas) hari sejak dimulainya pembukaan kantor cabang yang
bersangkutan.
Pasal 12
PVA Bukan Bank dapat melaksanakan pemindahan alamat kantor setelah mendapat izin dari
Bank Indonesia.
Pasal 13 …
- 7 -
Pasal 13
(1) PVA Bukan Bank yang telah mendapat izin pemindahan alamat kantor dari Bank
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, wajib melaksanakan pemindahan
alamat kantor selambat-lambatnya 30 (tigapuluh) hari sejak tanggal dikeluarkannya izin
pemindahan alamat kantor.
(2) PVA Bukan Bank yang telah melaksanakan pemindahan alamat kantor sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) wajib melaporkan pelaksanaan pemindahan alamat kantor
tersebut selambat-lambatnya 14 (empatbelas) hari sejak dilaksanakannya pemindahan
alamat kantor.
Pasal 14
PVA Bukan Bank dapat melakukan perubahan pengurus dan atau pemegang saham setelah
mendapat izin dari Bank Indonesia.
Pasal 15
Calon pengurus dan atau pemegang saham bagi PVA Bukan Bank yang diusulkan sebagai
pengganti wajib memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6.
Pasal 16
(1) PVA Bukan Bank wajib melapor kepada Bank Indonesia dalam hal terjadi penghentian
kegiatan usaha kantor pusat atau kantor cabang baik yang bersifat sementara maupun
permanen.
(2) Dalam hal PVA Bukan Bank melaporkan penghentian kegiatan usaha kantor pusat yang
bersifat permanen sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), izin usaha PVA Bukan Bank
dinyatakan tidak berlaku.
(3) Dalam …
- 8 -
(3) Dalam hal PVA Bukan Bank melaporkan penghentian kegiatan usaha kantor cabang
yang bersifat permanen sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), izin pembukaan kantor
cabang PVA Bukan Bank dinyatakan tidak berlaku.
(4) PVA Bukan Bank wajib melakukan pembukaan kembali kegiatan usaha kantor pusat
dan atau kantor cabang selambat-lambatnya 30 (tigapuluh) hari sejak berakhirnya
jangka waktu penghentian sementara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
(5) PVA Bukan Bank wajib melaporkan pembukaan kembali kegiatan usaha kantor pusat
dan atau kantor cabang sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) selambat-lambatnya 14
(empatbelas) hari sejak dibukanya kembali kegiatan usaha.
Bagian II
PVA Bank
Pasal 17
(1) Kantor pusat Bank Umum devisa wajib melapor kepada Bank Indonesia dalam hal
kantor cabang bank yang bersangkutan yang belum ditingkatkan menjadi kantor cabang
bank devisa akan melakukan kegiatan usaha sebagai PVA.
(2) Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur sebagai berikut:
a. bagi bank yang berkantor pusat di wilayah kerja kantor pusat Bank Indonesia
disampaikan kepada Bank Indonesia, cq.Direktorat Pengawasan Bank terkait Jl.
M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10010;
b. bagi bank yang berkantor pusat di luar wilayah kerja kantor pusat Bank Indonesia
disampaikan kepada Kantor Bank Indonesia setempat dengan mengacu pada
pembagian wilayah kerja Kantor Bank Indonesia.
Pasal 18 …
- 9 -
Pasal 18
(1) Bank Umum bukan bank devisa dan Bank Perkreditan Rakyat yang akan melakukan
kegiatan usaha sebagai PVA wajib mengajukan permohonan izin kepada Bank
Indonesia.
(2) Penyampaian permohonan izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur sebagai
berikut:
a. bagi bank yang berkantor pusat di wilayah kerja kantor pusat Bank Indonesia
disampaikan kepada Bank Indonesia, cq.Direktorat Perizinan dan Informasi
Perbankan bagi Bank Umum bukan bank devisa atau Direktorat Pengawasan Bank
Perkreditan Rakyat bagi Bank Perkreditan Rakyat, Jl. M.H. Thamrin No. 2 Jakarta
10010;
b. bagi Bank Umum bukan bank devisa dan Bank Perkreditan Rakyat yang berkantor
pusat diluar wilayah kerja kantor pusat Bank Indonesia disampaikan kepada Kantor
Bank Indonesia setempat dengan mengacu kepada pembagian wilayah kerja Kantor
Bank Indonesia.
Pasal 19
(1) Bank Umum bukan bank devisa yang akan melakukan kegiatan usaha sebagai PVA
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. memiliki rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum sesuai dengan ketentuan
yang berlaku;
b. rencana melakukan kegiatan usaha sebagai PVA tercantum dalam Rencana Kerja
dan Anggaran Tahunan;
c. menyertakan rencana persiapan operasional dan hasil studi kelayakan yang
sekurang-kurangnya memuat potensi ekonomi dan peluang pasar.
(2) Bank …
- 10 -
(2) Bank Perkreditan Rakyat yang akan melakukan kegiatan usaha sebagai PVA
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. tingkat kesehatan selama 12 (duabelas) bulan terakhir sehat;
b. dalam 12 (duabelas) bulan terakhir memiliki rasio Kewajiban Penyediaan Modal
Minimum sesuai dengan ketentuan yang berlaku;
c. rencana melakukan kegiatan usaha sebagai PVA tercantum dalam Rencana Kerja
dan Anggaran Tahunan.
(3) Persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a dan ayat (2) huruf a dan b
berdasarkan data administrasi Bank Indonesia.
Pasal 20
Izin atau persetujuan untuk melakukan kegiatan usaha sebagai PVA yang telah dikeluarkan
oleh Bank Indonesia bagi PVA Bank dinyatakan tidak berlaku dalam hal:
a. kantor pusat Bank yang bersangkutan dinyatakan dibekukan atau dicabut izin usahanya
oleh otoritas yang berwenang; atau
b. kantor cabang Bank dinyatakan ditutup atau tidak beroperasi oleh kantor pusat Bank
yang bersangkutan; atau
c. kantor cabang Bank dinyatakan tidak melakukan lagi kegiatan usaha sebagai PVA oleh
kantor pusat Bank yang bersangkutan.
BAB IV
PENGAWASAN DAN PELAPORAN
Pasal 21
(1) Bank Indonesia melakukan pengawasan dan pembinaan terhadap PVA.
(2) Pelaksanaan pengawasan dan pembinaan terhadap PVA sebagaimana dimaksud dalam
(2) Pelaksanaan …
- 11 -
ayat (1) khusus bagi PVA Bank dilakukan sesuai peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Pasal 22
(1) Dalam pelaksanaan pengawasan dan pembinaan terhadap PVA Bukan Bank, Bank
Indonesia dapat bekerja sama dengan Asosiasi PVA dan atau pihak lain yang ditunjuk.
(2) Asosiasi PVA dan atau pihak lain yang bekerja sama dengan Bank Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib:
a. menjaga kerahasiaan data yang diperolehnya dari hasil pengawasan dan pembinaan
yang dilakukan dan tunduk kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku
mengenai rahasia jabatan; dan atau
b. menyampaikan laporan kepada Bank Indonesia.
Pasal 23
(1) PVA wajib menyampaikan laporan berkala, meliputi laporan kegiatan usaha dan
laporan keuangan, serta laporan khusus secara benar dan akurat.
(2) Laporan berkala sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang disampaikan oleh PVA
Bank hanya berupa laporan kegiatan usaha.
(3) PVA wajib menyimpan warkat transaksi jual-beli UKA dan pembelian TC dalam jangka
waktu 10 (sepuluh) tahun sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 8
Tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan.
(4) Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur sebagai berikut :
a. bagi PVA yang berkantor pusat di wilayah kerja kantor pusat Bank Indonesia
disampaikan kepada Bank Indonesia, Direktorat Pengelolaan Moneter cq. Bagian
a. bagi …
- 12 -
Pengembangan Pasar Uang, Jl. M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10010;
b. bagi PVA yang berkantor pusat di wilayah kerja Kantor Bank Indonesia
disampaikan kepada Kantor Bank Indonesia setempat dengan mengacu kepada
pembagian wilayah kerja Kantor Bank Indonesia.
Pasal 24
Selain laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1), PVA wajib menyampaikan
laporan sebagai berikut:
a. kegiatan Lalu Lintas Devisa sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang No.24
Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar;
b. transaksi nasabah yang meliputi Transaksi Keuangan Mencurigakan dan Transaksi yang
dilakukan secara tunai dalam jumlah kumulatif sebesar Rp.500.000.000,00 (lima ratus
juta rupiah) atau lebih atau yang nilainya setara, baik dilakukan dalam satu kali
transaksi maupun beberapa transaksi dalam 1 (satu) hari kerja sebagaimana dimaksud
dalam Undang-undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.
BAB V
SANKSI
Pasal 25
(1) Dalam hal PVA Bukan Bank melakukan pelanggaran terhadap hal-hal yang diatur
dalam Peraturan ini, Bank Indonesia mengenakan sanksi sebagai berikut:
a. peringatan pertama;
c. peringatan kedua;
c. pemanggilan …
- 13 -
c. pemanggilan pengurus dan atau pemegang saham;
d. pencabutan izin usaha.
(2) Bank Indonesia mengenakan sanksi peringatan pertama dalam hal PVA Bukan Bank
melakukan pelanggaran sebagai berikut:
a. tidak melaksanakan pembukaan kegiatan usaha atau pembukaan kantor cabang atau
pemindahan alamat kantor atau pembukaan kembali kegiatan usaha hingga batas
waktu yang ditetapkan; atau
b. tidak melaporkan pelaksanaan kegiatan usaha atau pembukaan kantor cabang atau
pemindahan alamat kantor atau pembukaan kembali kegiatan usaha hingga batas
waktu yang ditetapkan; atau
c. tidak menyampaikan laporan kegiatan usaha hingga batas waktu yang ditetapkan;
atau
d. tidak menyampaikan laporan keuangan hingga batas waktu yang ditetapkan.
(3) Bank Indonesia mengenakan sanksi peringatan kedua dalam hal PVA Bukan Bank
melakukan pelanggaran sebagai berikut:
a. tidak mengindahkan dan atau tidak menindaklanjuti sanksi peringatan pertama atas
pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) selambat-lambatnya 3 (tiga)
bulan sejak tanggal dikeluarkannya sanksi peringatan pertama; atau
b. melakukan pelanggaran yang sama sebagaimana dimaksud ayat (2) untuk kedua
kali.
(4) Bank Indonesia mengenakan sanksi pemanggilan pengurus dan atau pemegang saham
dalam hal PVA Bukan Bank melakukan pelanggaran sebagai berikut:
a. melakukan pembukaan kantor cabang sebelum mendapat izin dari Bank Indonesia;
atau
b. melakukan pemindahan alamat kantor sebelum mendapat izin dari Bank Indonesia;
atau
c. melakukan …
- 14 -
c. melakukan perubahan pengurus dan atau pemegang saham sebelum mendapat izin
dari Bank Indonesia; atau
d. tidak mengindahkan dan atau tidak menindaklanjuti sanksi peringatan kedua
selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan sejak tanggal dikeluarkannya sanksi peringatan
kedua; atau
e. tidak melaporkan penghentian kegiatan usaha kantor pusat atau kantor cabang yang
bersifat sementara; atau
f. melakukan kegiatan usaha di luar kegiatan usaha yang ditetapkan yaitu hanya
terbatas melakukan kegiatan jual beli UKA serta pembelian TC.
(5) Bank Indonesia mengenakan sanksi pencabutan izin usaha dalam hal PVA Bukan Bank
tidak mengindahkan dan atau tidak menindaklanjuti sanksi sebagaimana dimaksud
dalam ayat (4) selambat-lambatnya 6 (enam) bulan sejak tanggal dikeluarkannya
sanksi pemanggilan pengurus dan atau pemegang saham.
Pasal 26
Dalam hal PVA Bank melakukan pelanggaran terhadap ketentuan yang diatur dalam
Peraturan Bank Indonesia ini, Bank Indonesia mengenakan sanksi sesuai peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
BAB VI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 27
(1) PVA Bukan Bank yang telah memperoleh izin sebelum berlakunya Peraturan Bank
Indonesia ini wajib melakukan pendaftaran ulang untuk memperoleh izin usaha
berdasarkan Peraturan Bank Indonesia ini.
(2) Izin …
- 15 -
(2) Izin usaha PVA Bukan Bank yang dikeluarkan sebelum berlakunya Peraturan Bank
Indonesia ini dinyatakan tetap berlaku sampai dengan dikeluarkannya izin usaha PVA
yang baru.
(3) Izin usaha PVA Bukan Bank dicabut dan dinyatakan tidak berlaku dalam hal tidak
melakukan pendaftaran ulang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Pasal 28
(1) PVA Bank bukan bank devisa yang telah memperoleh izin sebelum berlakunya
Peraturan Bank Indonesia ini wajib melakukan pendaftaran ulang untuk memperoleh
izin usaha berdasarkan Peraturan Bank Indonesia ini.
(2) Izin usaha PVA Bank bukan bank devisa yang dikeluarkan sebelum berlakunya
Peraturan Bank Indonesia ini dinyatakan tetap berlaku sampai dengan dikeluarkannya
izin usaha PVA yang baru.
(3) Izin usaha PVA Bank bukan bank devisa dicabut dan dinyatakan tidak berlaku dalam hal
tidak melakukan pendaftaran ulang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Pasal 29
Pendaftaran ulang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28 ayat (1)
disampaikan dengan permohonan secara tertulis selambat-lambatnya tanggal 31 Desember
2003.
Pasal 30
(1) Penyampaian permohonan pendaftaran ulang sebagaimana dimaksud pasal 27 ayat (1)
diatur sebagai berikut:
a. bagi …
- 16 -
a. bagi PVA Bukan Bank yang berkantor pusat di wilayah kerja kantor pusat Bank
Indonesia disampaikan kepada Bank Indonesia, Direktorat Pengelolaan Moneter cq.
Bagian Pengembangan Pasar Uang, Jl. M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10010;
b. bagi PVA Bukan Bank yang berkantor pusat di wilayah kerja Kantor Bank Indonesia
disampaikan kepada Kantor Bank Indonesia setempat dengan mengacu kepada
pembagian wilayah kerja Kantor Bank Indonesia.
(2) Penyampaian permohonan pendaftaran ulang sebagaimana dimaksud Pasal 28 ayat (1)
diatur sebagai berikut:
a. bagi PVA Bank bukan bank devisa yang berkantor pusat di wilayah kerja kantor pusat
Bank Indonesia disampaikan kepada Bank Indonesia, Direktorat Perizinan dan
Informasi Perbankan, Jl. M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10010;
b. bagi PVA Bank bukan bank devisa yang berkantor pusat di wilayah kerja Kantor
Bank Indonesia disampaikan kepada Kantor Bank Indonesia setempat dengan
mengacu kepada pembagian wilayah kerja Kantor Bank Indonesia.
BAB VII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 31
Ketentuan pelaksanaan Peraturan Bank Indonesia ini akan diatur dalam Surat Edaran Bank
Indonesia.
Pasal 32
Dengan dikeluarkannya Peraturan Bank Indonesia ini, Surat Keputusan Direksi Bank
Indonesia Nomor 31/171/KEP/DIR tentang Pedagang Valuta Asing dinyatakan tidak
berlaku lagi.
Pasal 33 …
- 17 -
Pasal 33
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku sejak tanggal 3 Maret 2003.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 3 Februari 2003
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Ttd
SYAHRIL SABIRIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2003 NOMOR 12
DPM
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 5/2/PBI/2003
TENTANG
PEDAGANG VALUTA ASING
UMUM
Dalam rangka kesinambungan pengaturan terhadap pedagang valuta asing yang
meliputi kegiatan pemberian izin usaha, pengawasan dan pembinaan yang dilakukan oleh
Bank Indonesia sejak tahun 1967 berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun
1965 tentang Tata Tjara Penggunaan, Pembebanan dan Pemindahan Hak Atas Devisa
Jang Tidak Diharuskan Untuk Diserahkan Kepada Dana Devisa (Devisa Pelengkap), dan
upaya melindungi kepentingan publik agar tidak terjadi distorsi (market failure) dalam
kegiatan perekonomian nasional khususnya transaksi jual beli uang kertas asing, Bank
Indonesia mengeluarkan Peraturan Bank Indonesia tentang Pedagang Valuta Asing.
Dalam perkembangan pasar keuangan domestik, pedagang valuta asing sebagai
lembaga penunjang sektor keuangan memiliki peranan yang cukup strategis dalam
mempengaruhi perkembangan kegiatan transaksi jual-beli uang kertas asing dan
pembelian traveller’s cheque. Sehubungan dengan hal itu, dalam rangka memberikan
rasa aman dan kepastian hukum kepada masyarakat dalam melakukan transaksi, salah
satu persyaratan pokok menjadi pedagang valuta asing adalah berbadan hukum
perseroan terbatas sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1995
tentang Perseroan Terbatas. Hal ini mengingat badan hukum perseroan terbatas
memiliki sifat/karakteristik lebih tegas dan jelas dari sisi pengaturan akuntabilitas dan
pengaturan …
- 2 -
transparansi kepada publik dibandingkan bentuk badan hukum lain.
Sementara itu, untuk lebih meningkatkan efesiensi dan efektifitas kegiatan yang
berkaitan dengan pedagang valuta asing sejalan dengan semakin pesatnya perkembangan
kelembagaan dan kegiatan transaksi, maka perlu dilakukan desentralisasi kewenangan
dalam perizinan, pengawasan dan pembinaan terhadap pedagang valuta asing yang
berkedudukan di wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia dan Kantor Bank
Indonesia.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas
Pasal 2
Cukup jelas
Pasal 3
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Yang dimaksud margin trading adalah transaksi jual/beli mata uang
(valuta) tanpa diikuti pergerakan dana, melainkan hanya marjin selisih
kurs.
Yang dimaksud spot adalah transaksi jual/beli tunai antara dua mata uang
Yang …
- 3 -
(valuta) dengan penyerahan dana dilakukan dua hari kerja setelah tanggal
transaksi.
Yang dimaksud forward adalah transaksi jual/beli berjangka antara dua
mata uang (valuta) dengan penyerahan dana dilakukan lebih dari dua hari
kerja setelah tanggal transaksi.
Yang dimaksud swap adalah transaksi pertukaran antara dua mata uang
(valuta) melalui pembelian atau penjualan tunai (spot) dengan penjualan
atau pembelian secara berjangka (forward) yang dilakukan secara
bersamaan.
Pasal 4
Cukup jelas
Pasal 5
Cukup jelas
Pasal 6
Cukup jelas
Pasal 7
Cukup jelas
Pasal 8
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 9
Cukup jelas
Pasal 10 …
- 4 -
Pasal 10
Cukup jelas
Pasal 11
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 12
Cukup jelas
Pasal 13
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 14
Cukup jelas
Pasal 15
Cukup jelas
Pasal 16
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan penghentian kegiatan usaha yang bersifat
sementara adalah dalam hal PVA menghentikan kegiatan usahanya untuk
jangka waktu kurang dari 1 (satu) tahun.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Ayat (4) …
- 5 -
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 17
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 18
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 19
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 20
Cukup jelas
Pasal 21
Ayat (1)
Pengawasan yang dilakukan oleh Bank Indonesia meliputi kegiatan
Pengawasan …
- 6 -
pengawasan langsung atau pemeriksaan (on the spot) dan pengawasan
tidak langsung, antara lain pemantauan terhadap pelaksanaan ketentuan
yang berlaku dan penelitian terhadap kebenaran laporan yang
disampaikan.
Pembinaan yang dilakukan oleh Bank Indonesia antara lain pelatihan
penyusunan laporan dan penyuluhan mengenai uang palsu.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 22
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan bekerja sama dalam ayat ini adalah bahwa dalam
melakukan pengawasan dan pembinaan terhadap PVA Bukan Bank, Bank
Indonesia dapat bermitra atau menunjuk Asosiasi PVA atau pihak lain.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 23
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan laporan khusus adalah laporan yang bersifat
insidentil yang dapat diminta Bank Indonesia dalam hal diperlukan.
Yang dimaksud dengan laporan lain adalah laporan selain laporan berkala
dan laporan khusus, misalnya laporan yang terkait dengan tindak pidana
pencucian uang.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3) …
- 7 -
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 24
Cukup jelas
Pasal 25
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 26
Cukup jelas
Pasal 27
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 28…
- 8 -
Pasal 28
Ayat (1)
Pendaftaran ulang bagi PVA Bank bukan bank devisa untuk mendapatkan
izin usaha yang baru dilakukan dengan mengembalikan asli Sertifikat Izin
Usaha sebelumnya.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 29
Cukup jelas
Pasal 30
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 31
Hal-hal yang diatur antara lain meliputi tatacara perizinan, pengawasan,
pelaporan, pengenaan sanksi dan pendaftaran ulang.
Pasal 32
Cukup jelas
Pasal 33
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4260
DPM
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 5/2/PBI/2003 </reg_id>
<reg_title> PEDAGANG VALUTA ASING </reg_title>
<set_date> 3 Februari 2003 </set_date>
<effective_date> 3 Maret 2003 </effective_date>
<replaced_reg> '31/171/KEP/DIR|SKDIR-BI' </replaced_reg>
<related_reg> '23/UU/1999', '7/UU/1992', '24/UU/1999', '10/UU/1998' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB V' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 10/ 26 /PBI/2008
TENTANG
FASILITAS PENDANAAN JANGKA PENDEK
BAGI BANK UMUM
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang: a. bahwa berhubung telah terjadi krisis keuangan secara
global yang mempengaruhi perekonomian nasional,
diperlukan upaya untuk mengantisipasi terjadinya risiko
likuiditas dan menjaga kepercayaan masyarakat terhadap
perbankan;
b. bahwa dalam rangka mengantisipasi terjadinya risiko
likuiditas bank wajib menerapkan manajemen risiko;
c. bahwa dalam rangka menjaga kepercayaan masyarakat
terhadap perbankan perlu diberikan akses bagi Bank yang
mengalami kesulitan likuiditas untuk memperoleh Fasilitas
Pendanaan Jangka Pendek;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a sampai dengan huruf c, perlu diatur kembali
peraturan mengenai Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek
bagi Bank Umum dalam Peraturan Bank Indonesia;
Mengingat: …
- 2 -
Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor
31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790);
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3843) sebagaimana diubah terakhir
dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor. 2 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 142, Tambahan Lembaran
Negara Tahun 2008 Nomor 4901);
M E M U T U S K A N:
Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG FASILITAS
PENDANAAN JANGKA PENDEK BAGI BANK UMUM.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Bank Indonesia adalah Bank sentral Republik Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang tentang Bank Indonesia.
2. Bank …
- 3 -
2. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 yang melakukan kegiatan usaha
secara konvensional.
3. Giro Wajib Minimum rupiah yang selanjutnya disebut GWM adalah GWM
sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai GWM
rupiah.
4. Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek, yang selanjutnya disebut FPJP, adalah
fasilitas pendanaan dari Bank Indonesia kepada Bank untuk mengatasi
kesulitan Pendanaan Jangka Pendek yang dialami oleh Bank.
5. Kesulitan Pendanaan Jangka Pendek adalah keadaan yang dialami Bank
yang disebabkan oleh terjadinya arus dana masuk yang lebih kecil
dibandingkan dengan arus dana keluar (mismatch) dalam Rupiah sehingga
Bank tidak dapat memenuhi kewajiban GWM rupiah.
6. Sertifikat Bank Indonesia yang untuk selanjutnya disebut SBI adalah surat
berharga dalam mata uang Rupiah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia
sebagai pengakuan utang berjangka waktu pendek.
7. Sertifikat Bank Indonesia Syariah yang untuk selanjutnya disebut SBIS
adalah surat berharga berdasarkan Prinsip Syariah berjangka waktu pendek
dalam mata uang Rupiah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia.
8. Surat Utang Negara yang untuk selanjutnya disebut SUN adalah surat
berharga yang berupa surat pengakuan utang dalam mata uang Rupiah
maupun valuta asing yang dijamin pembayaran bunga dan pokoknya oleh
Negara Republik Indonesia, sesuai dengan masa berlakunya.
9. Surat …
- 4 -
9. Surat Berharga Syariah Negara yang untuk selanjutnya disebut SBSN atau
dapat disebut Sukuk Negara adalah surat berharga negara yang diterbitkan
berdasarkan prinsip syariah, sebagai bukti atas bagian penyertaan terhadap
aset SBSN, baik dalam mata uang Rupiah maupun valuta asing.
10. Aset kredit adalah kredit sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank
Indonesia mengenai Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum.
BAB II
PERSYARATAN DAN TATA CARA PERMOHONAN FPJP
Pasal 2
(1) Bank yang mengalami Kesulitan Pendanaan Jangka Pendek dapat
memperoleh FPJP dengan memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam
Peraturan Bank Indonesia ini.
(2) Bank yang dapat mengajukan permohonan FPJP wajib memiliki rasio
kewajiban penyediaan modal minimum (capital adequacy ratio) paling
kurang 8% (delapan persen).
(3) Plafon FPJP diberikan berdasarkan perkiraan jumlah kebutuhan likuiditas
sampai dengan Bank memenuhi GWM sesuai dengan ketentuan yang
berlaku
(4) Pencairan FPJP dilakukan sebesar kebutuhan Bank untuk memenuhi
kewajiban GWM.
Pasal 3
FPJP wajib dijamin oleh Bank dengan agunan yang berkualitas tinggi yang
nilainya memadai sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini.
Pasal 4 …
- 5 -
Pasal 4
(1) Agunan yang berkualitas tinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
berupa:
a. Surat berharga;
b. Aset Kredit;
(2) Jenis surat berharga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a:
a. Surat berharga yang diterbitkan oleh Pemerintah Republik Indonesia
atau Bank Indonesia yang meliputi SUN, SBSN, SBI, dan SBI
Syariah; dan atau
b. Surat berharga yang diterbitkan oleh badan hukum lainnya yang pada
saat permohonan FPJP memiliki peringkat paling kurang peringkat
investasi (investment grade), aktif diperdagangkan, dan sisa jangka
waktu surat berharga paling kurang 90 (sembilan puluh) hari.
(3) Aset kredit yang dapat dijadikan agunan FPJP sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf b wajib memenuhi kriteria sebagai berikut:
a. Kolektibilitas lancar selama 12 (dua belas) bulan terakhir;
b. Bukan merupakan kredit konsumsi kecuali kredit pemilikan rumah
(KPR);
c. Kredit dijamin dengan agunan yang memiliki nilai paling kurang
110% (seratus sepuluh persen) dari plafon kredit;
d. Bukan merupakan kredit kepada pihak terkait Bank;
e. Kredit belum pernah direstrukturisasi;
f. Sisa jangka waktu jatuh tempo kredit paling cepat 3 (tiga) bulan dari
saat persetujuan FPJP;
g. Baki debet (Outstanding) kredit tidak melebihi plafon kredit dan
batas maksimum pemberian kredit; dan
h. Memiliki …
- 6 -
h. Memiliki perjanjian kredit dan pengikatan agunan yang mempunyai
kekuatan hukum.
(4) Surat Berharga sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b hanya dapat
digunakan sebagai agunan FPJP dalam hal:
a. Bank tidak memiliki surat berharga sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) huruf a; atau
b. Bank memiliki surat berharga sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf a namun tidak mencukupi untuk menjadi agunan FPJP.
(5) Aset kredit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b hanya dapat
digunakan sebagai agunan FPJP dalam hal Bank tidak memiliki surat
berharga atau surat berharga yang dimiliki oleh Bank tidak mencukupi
untuk menjadi agunan FPJP.
Pasal 5
(1) Nilai aset yang digunakan sebagai agunan FPJP sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ditetapkan sebagai berikut:
a. Dalam hal agunan berupa SBI atau SBIS, nilai agunan ditetapkan
sebesar 100% (seratus persen) dari plafon FPJP yang dihitung
berdasarkan nilai jual surat berharga tersebut;
b. Dalam hal agunan berupa SUN atau SBSN, nilai agunan FPJP
ditetapkan sebesar 105% (seratus lima persen) dari plafon FPJP yang
dihitung berdasarkan nilai pasar surat berharga tersebut.
c. Dalam hal agunan berupa surat berharga yang diterbitkan oleh badan
hukum lainnya, nilai agunan FPJP ditetapkan sesuai dengan jenis surat
berharga sebesar paling kurang 120% (seratus duapuluh persen) dari
plafon FPJP, yang dihitung berdasarkan nilai pasar surat berharga.
d. Dalam …
- 7 -
d. Dalam hal agunan berupa aset kredit, nilai agunan FPJP tersebut
ditetapkan paling kurang 150% (seratus lima puluh persen) dari plafon
FPJP, yang dihitung berdasarkan baki debet (outstanding) aset kredit.
(2) Ketentuan mengenai nilai jual dan nilai pasar sebagaimana tersebut pada
ayat (1) huruf a dan huruf b akan diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran
Bank Indonesia.
Pasal 6
(1) Agunan FPJP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) harus bebas
dari segala bentuk perikatan, sengketa, dan tidak sedang dijaminkan kepada
pihak lain dan atau Bank Indonesia, yang dinyatakan dalam surat
pernyataan Bank kepada Bank Indonesia.
(2) Bank yang telah memperoleh FPJP dilarang untuk memperjualbelikan
dan/atau menjaminkan kembali surat berharga yang masih dalam status
sebagai jaminan agunan FPJP.
(3) Bank wajib mengganti dan/atau menambah agunan FPJP apabila tidak
memenuhi kondisi-kondisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan
ayat (2).
(4) Bank wajib melakukan penilaian terhadap agunan FPJP secara berkala yang
penentuan periode penilaiannya diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran
Bank Indonesia.
(5) Dalam hal terjadi penurunan nilai agunan FPJP setelah dilakukan penilaian
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan/atau terjadi penurunan
kolektibilitas aset kredit yang diagunkan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 ayat (3), Bank wajib menambah dan atau mengganti agunan FPJP.
(6) Untuk …
- 8 -
(6) Untuk keperluan perpanjangan FPJP, Bank dapat menjaminkan kembali
aset yang sedang menjadi agunan FPJP.
Pasal 7
(1) Pengikatan agunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dilakukan
sesuai dengan peraturan perundangan-undangan yang berlaku.
(2) Dokumen-dokumen atas aset yang menjadi agunan FPJP ditatausahakan
oleh Bank Indonesia.
(3) Ketentuan mengenai bentuk pengikatan agunan akan diatur lebih lanjut
dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 8
(1) Bank yang memerlukan FPJP wajib mengajukan permohonan secara tertulis
kepada Bank Indonesia.
(2) Permohonan FPJP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilengkapi
dengan dokumen-dokumen sebagai berikut:
a. Surat pernyataan Bank yang menyatakan bahwa Bank mengalami
kesulitan likuiditas;
b. Dokumen yang mendukung jumlah kebutuhan likuiditas;
c. Daftar aset yang menjadi agunan beserta dokumen pendukung;
d. Surat pernyataan bahwa seluruh aset yang menjadi agunan FPJP tidak
sedang dijaminkan kepada pihak lain, tidak dibawah sitaan, tidak
tersangkut dalam suatu perkara atau sengketa, dan memenuhi seluruh
persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4;
e. Surat …
- 9 -
e. Surat kesanggupan Bank untuk membayar segala kewajiban terkait
FPJP pada saat jatuh tempo.
(3) Bank wajib meyakini kebenaran data dan dokumen yang disampaikan
termasuk namun tidak terbatas pada kualitas kredit dan agunan yang
menyertainya.
(4) Tata cara permohonan FPJP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 9
(1) Persetujuan Bank Indonesia atas permohonan FPJP sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 8 ayat (1) dilakukan apabila:
a. Bank memenuhi persyaratan permohonan FPJP;
b. Bank memenuhi persyaratan kelengkapan dokumen permohonan
FPJP;
c. Berdasarkan analisis Bank Indonesia diperkirakan bahwa Bank tidak
dapat memenuhi kewajiban GWM berdasarkan perkiraan arus kas
selama 14 hari kedepan.
(2) Persetujuan pemberian FPJP sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dituangkan dalam perjanjian pemberian FPJP antara Bank Indonesia dengan
Bank penerima FPJP.
(3) Perjanjian pemberian FPJP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilampiri
dengan perjanjian pengikatan agunan FPJP.
(4) Realisasi pemberian FPJP oleh Bank Indonesia dilakukan melalui rekening
giro rupiah Bank yang bersangkutan pada Bank Indonesia.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai perjanjian pemberian FPJP diatur dalam
Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 10 …
- 10 -
Pasal 10
Bank Indonesia dapat menolak permohonan FPJP sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 8 yang tidak sesuai dengan ketentuan, tatacara dan persyaratan yang diatur
dalam Peraturan Bank Indonesia ini.
Pasal 11
(1) Jangka waktu setiap FPJP paling lama 14 (empat belas) hari.
(2) Jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diperpanjang
secara berturut-turut dengan jangka waktu FPJP keseluruhan paling lama
90 (sembilan puluh) hari.
Pasal 12
Perpanjangan FPJP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) hanya dapat
dilakukan apabila:
a. Bunga atas FPJP yang jatuh tempo dilunasi terlebih dahulu;
b. Bank tidak dapat memenuhi kewajiban GWM berdasarkan perkiraan arus
kas selama 14 hari kedepan;
c. Agunan masih mencukupi dan memenuhi persyaratan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6.
Pasal 13
Dalam rangka perpanjangan FPJP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11
ayat (2), Bank dapat mengajukan tambahan nilai FPJP yang dibutuhkan untuk
menutupi kewajiban yang tidak dapat diselesaikan Bank sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (1) sepanjang:
a. Agunan …
- 11 -
a. Agunan masih mencukupi dan memenuhi persyaratan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 5 dan Pasal 6; dan
b. Penggunaan FPJP belum melampaui 90 (Sembilan puluh) hari berturut-
turut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2).
BAB III
PERHITUNGAN BUNGA
Pasal 14
(1) Bank Indonesia mengenakan biaya bunga kepada Bank atas realisasi
penggunaan FPJP.
(2) Tingkat suku bunga FPJP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah
sebesar BI rate ditambah dengan 100 basis poin.
(3) Tingkat suku bunga FPJP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat
diubah oleh Bank Indonesia yang penetapannya dilakukan dengan Surat
Edaran Bank Indonesia.
BAB IV
PELUNASAN DAN EKSEKUSI AGUNAN
Pasal 15
(1) Pada saat FPJP jatuh tempo, Bank Indonesia mendebet rekening giro
Rupiah Bank yang bersangkutan di Bank Indonesia sebesar nilai FPJP
ditambah bunga FPJP.
(2) Dalam hal FPJP jatuh tempo dan saldo giro Rupiah Bank yang
bersangkutan di Bank Indonesia tidak mencukupi untuk membayar
pokok dan bunga FPJP dan Bank tidak lagi memenuhi persyaratan untuk
memperoleh …
- 12 -
memperoleh perpanjangan FPJP maka Bank Indonesia melakukan
eksekusi agunan FPJP.
(3) Bank Indonesia tetap mengenakan biaya bunga sampai dengan eksekusi
agunan selesai dilaksanakan.
(4) Apabila nilai hasil eksekusi agunan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
lebih kecil dibandingkan dengan jumlah pokok dan bunga FPJP yang harus
dilunasi oleh Bank maka Bank wajib membayar kekurangannya kepada
Bank Indonesia.
(5) Apabila nilai hasil eksekusi agunan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
lebih besar dibandingkan dengan jumlah pokok dan bunga FPJP yang
harus dilunasi oleh Bank maka Bank Indonesia mengembalikan kelebihan
tersebut kepada Bank.
BAB V
PENGAWASAN
Pasal 16
(1) Bank wajib menyampaikan rencana tindak perbaikan (remedial action plan)
untuk mengatasi kesulitan likuiditas paling lambat 5 hari setelah pencairan
FPJP.
(2) Bank wajib menyampaikan laporan kepada Bank Indonesia mengenai
penggunaan FPJP dan kondisi likuiditas Bank pada setiap akhir hari kerja.
Pasal 17
Dalam rangka pengawasan atas penggunaan FPJP, Bank Indonesia dapat
melakukan pemeriksaan terhadap Bank yang bersangkutan.
BAB VI …
- 13 -
BAB VI
BIAYA PEMBERIAN FPJP
Pasal 18
Biaya-biaya yang timbul sehubungan dengan pengikatan perjanjian, pengikatan
dan eksekusi agunan serta biaya lainnya yang mungkin timbul dalam rangka
pemberian FPJP menjadi beban Bank.
BAB VII
SANKSI
Pasal 19
Dalam hal Bank tidak melunasi FPJP dan/atau melakukan pelanggaran atas
ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia ini dan/atau berdasarkan pemeriksaan
sebagaimana dimaksud Pasal 17 diketahui adanya penyimpangan penggunaan
FPJP, maka Bank dapat dikenakan sanksi berupa:
a. Tidak dapat menerima FPJP dalam jangka waktu tertentu; dan
b. Sanksi administratif sebagaimana diatur dalam Pasal 52 ayat (2) Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 antara lain berupa teguran
tertulis, larangan untuk turut serta dalam kegiatan kliring, pembekuan
kegiatan usaha tertentu dan atau pemberhentian Pengurus Bank.
Pasal 20
Apabila Pengurus Bank, Pemegang Saham Pengendali dan pejabat eksekutif
Bank dengan sengaja tidak melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan
Untuk …
- 14 -
untuk memastikan ketaatan Bank terhadap ketentuan dalam Peraturan Bank
Indonesia ini dan atau memberikan keterangan atau dokumen yang diwajibkan
dalam Peraturan Bank Indonesia ini secara tidak benar, selain dikenakan sanksi
sebagaimana pada Pasal 19 dikenakan juga sanksi sebagaimana dimaksud pada
Pasal 49 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998.
BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 21
Ketentuan lebih lanjut mengenai FPJP diatur dalam Surat Edaran Bank
Indonesia.
Pasal 22
Dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini maka Peraturan Bank Indonesia
Nomor 5/15/PBI/2003 tanggal 14 Agustus 2003 tentang Fasilitas Pendanaan
Jangka Pendek Bagi Bank Umum sebagaimana telah diubah dengan Peraturan
Bank Indonesia Nomor 7/21/PBI/2005 tanggal 3 Agustus 2005 dicabut dan
dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 23
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan dan berlaku
surut sejak tanggal 29 Oktober 2008.
Agar …
- 15 -
Agar setiap orang mengetahuinya memerintahkan pengundangan Peraturan Bank
Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 30 Oktober 2008
GUBERNUR BANK INDONESIA,
BOEDIONO
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 30 Oktober 2008
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA
ANDI MATTALATTA
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2008 NOMOR 160
DPNP/DPM
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 10/ 26 /PBI/2008
TENTANG
FASILITAS PENDANAAN JANGKA PENDEK
BAGI BANK UMUM
I. UMUM
Dampak dari krisis keuangan global yang berlangsung saat ini berimbas
pada berbagai negara termasuk Indonesia. Hal tersebut secara langsung maupun
tidak langsung mempengaruhi stabilitas sistem keuangan Indonesia termasuk
sistem perbankan.
Salah satu pengaruh dari krisis keuangan global tersebut adalah
meningkatnya potensi keraguan masyarakat terhadap sistem perbankan yang
dapat ditandai antara lain dengan meningkatnya kepanikan masyarakat dalam
menyikapi krisis. Sementara itu, kepercayaan masyarakat merupakan salah satu
prasyarat utama yang diperlukan untuk menciptakan sistem perbankan yang
stabil.
Dengan memperhatikan hal-hal tersebut di atas diperlukan langkah-
langkah tertentu dalam mengantisipasi terjadinya risiko likuiditas dan upaya
untuk menjaga kepercayaan masyarakat terhadap perbankan.
Dalam mengantisipasi terjadinya risiko likuiditas Bank wajib menerapkan
manajemen risiko yang efektif dan memadai.
Berdasarkan …
- 2 -
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia sebagaimana diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008, Bank Indonesia dapat memberikan
kredit kepada Bank untuk mengatasi kesulitan pendanaan jangka pendek yang
dijamin dengan agunan yang berkualitas tinggi termasuk aset kredit kolektibilitas
lancar. Sejalan dengan hal tersebut, Bank Indonesia menyediakan fasilitas
pendanaan dalam rangka mengatasi kesulitan pendanaan jangka pendek kepada
Bank dengan maksud agar kelangsungan kegiatan usaha Bank dapat terpelihara.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Rasio kewajiban penyediaan modal minimum yang digunakan adalah
berdasarkan perhitungan Bank Indonesia.
Ayat (3)
Perkiraan Bank atas jumlah kebutuhan likuiditas didasarkan pada
proyeksi arus kas paling lama 14 hari kalender ke depan.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan kewajiban GWM adalah berdasarkan
perhitungan Bank Indonesia.
Pasal 3 …
- 3 -
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan Surat Berharga yang diterbitkan oleh
badan hukum lainnya adalah obligasi korporasi baik yang
konvensional maupun yang syariah.
Peringkat tersebut berdasarkan hasil penilaian lembaga
pemeringkat yang diakui Bank Indonesia sebagaimana diatur
dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai lembaga pemeringkat
dan peringkat yang diakui Bank Indonesia.
Ayat (3)
Huruf a
Kolektibilitas lancar adalah kualitas lancar sebagaimana diatur
dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai Penilaian Kualitas
Aktiva Bank Umum.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Agunan dari kredit yang dijaminkan diprioritaskan mulai dari
agunan yang paling likuid.
Penilaian …
- 4 -
Penilaian agunan dilakukan sesuai ketentuan Bank Indonesia
mengenai Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum, termasuk
namun tidak terbatas pada batasan kredit yang agunannya harus
dinilai oleh penilai independen, kriteria penilai independen, dan
waktu dilakukannya penilaian.
Huruf d
Yang dimaksud dengan pihak terkait adalah pihak terkait
sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai
Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK) Bank Umum.
Huruf e
Restrukturisasi dimaksud dilakukan terhadap debitur yang
mengalami kesulitan pembayaran pokok dan/atau bunga kredit.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Batas maksimum pemberian kredit mengacu pada ketentuan
Bank Indonesia yang mengatur mengenai BMPK Bank Umum.
Huruf h
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup Jelas.
Ayat (5)
Apabila Bank memiliki surat berharga sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) namun nilainya tidak mencukupi untuk menjadi agunan FPJP
maka Bank dapat menggunakan aset kredit untuk menambah
kekurangan nilai agunan.
Pasal 5 …
- 5 -
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Penggantian atau penambahan agunan FPJP dimaksudkan agar nilai
aset agunan FPJP sesuai dengan ketentuan Pasal 5.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 7
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku
antara lain adalah peraturan yang mengatur gadai atau fidusia.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan dokumen-dokumen atas aset yang menjadi
agunan FPJP antara lain perjanjian kredit antara Bank dengan
nasabah, bukti pengikatan agunan dan bukti kepemilikan atas aset
yang menjadi agunan kredit Bank.
Ayat (3) …
- 6 -
Ayat (3)
Cukup Jelas.
Pasal 8
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan dokumen pendukung antara lain adalah
perjanjian kredit antara bank dengan nasabah dan perjanjian
pengikatan agunan atas kredit tersebut dan dokumen lain yang
dapat membuktikan terpenuhinya persyaratan agunan
sebagaimana dalam Pasal 4.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 9 …
- 7 -
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan hari pada ayat ini adalah hari kalender.
Apabila saat jatuh tempo FPJP bertepatan pada hari Sabtu, Minggu
atau hari libur, maka saat jatuh tempo FPJP adalah pada hari kerja
berikutnya.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 12
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Dalam rangka pelaksanaan perpanjangan FPJP, agunan yang telah
diagunkan Bank untuk menjamin FPJP yang diterima Bank
sebelumnya akan dinilai kembali, sehingga Bank perlu menyesuaikan
jumlah agunan yang diserahkan untuk menjamin perpanjangan FPJP.
Pasal 13 …
- 8 -
Pasal 13
Tambahan nilai FPJP yang diajukan akan diakumulasikan terhadap nilai
FPJP yang belum dilunasi.
Pasal 14
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan BI rate adalah suku bunga kebijakan yang
ditetapkan Bank Indonesia secara periodik sebagai sinyal kebijakan
moneter untuk jangka waktu tertentu serta diumumkan kepada publik.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 15
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan jatuh tempo adalah berakhirnya jangka waktu
FPJP dan tidak terdapat perpanjangan atas FPJP dimaksud.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 16 …
- 9 -
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Pemeriksaan terhadap Bank yang menerima FPJP dapat dilakukan pada
periode diterimanya atau setelah jatuh tempo FPJP.
Pasal 18
Yang dimaksud biaya dalam pasal ini antara lain adalah biaya notaris untuk
pengikatan perjanjian dan pengikatan agunan dalam rangka pemberian
FPJP serta biaya-biaya lainnya yang timbul karena eksekusi agunan FPJP.
Pasal 19
Cukup Jelas.
Pasal 20
Cukup Jelas.
Pasal 21
Cukup Jelas.
Pasal 22
Cukup Jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN
2008 NOMOR 4912
DPNP/DPM
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 10/26/PBI/2008 </reg_id>
<reg_title> FASILITAS PENDANAAN JANGKA PENDEK BAGI BANK UMUM </reg_title>
<set_date> 30 Oktober 2008 </set_date>
<effective_date> 29 Oktober 2008 </effective_date>
<issued_date> 30 Oktober 2008 </issued_date>
<replaced_reg> '7/21/PBI/2005', '5/15/PBI/2003' </replaced_reg>
<related_reg> '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '10/UU/1998', '7/UU/1992' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB VII' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 13/ 12 /PBI/2011
TENTANG
PERUBAHAN ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 5/26/PBI/2003
TENTANG LAPORAN BULANAN BANK UMUM SYARIAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang :
a.
bahwa dalam rangka penerapan Laporan Bulanan
Bank Umum Syariah yang lebih efektif, akurat, dan
lengkap diperlukan persiapan yang memadai dari
infrastruktur pendukung serta semua pihak yang
terkait dengan penerapannya;
b.
bahwa dalam rangka lebih meningkatkan
ketersediaan data perbankan untuk pengambilan
keputusan di bidang moneter dan perbankan secara
lebih cepat, diperlukan penyesuaian batas waktu
penyampaian Laporan dari Bank Pelapor kepada
Bank Indonesia;
c. bahwa ...
-2-
c.
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu untuk
melakukan perubahan terhadap Peraturan Bank
Indonesia Nomor 5/26/PBI/2003 tentang Laporan
Bulanan Bank Umum Syariah;
Mengingat :
:
1.
Undang–Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah
diubah dengan Undang–Undang Nomor 10 Tahun
1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3790);
2.
Undang–Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang
Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843)
sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-
Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia Menjadi Undang-Undang (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4962);
3. Undang-Undang ...
-3-
3.
Undang–Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu
Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 67,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3844);
4.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21
Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4867);
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN
ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR
5/26/PBI/2003 TENTANG LAPORAN BULANAN BANK
UMUM SYARIAH.
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/26/PBI/2003
tentang Laporan Bulanan Bank Umum Syariah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2003 Nomor 136, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4336) diubah sebagai berikut :
1. Ketentuan ...
-4-
1. Ketentuan Bab III diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut :
BAB III
PERIODE PENYAMPAIAN LAPORAN DAN KOREKSI LAPORAN
Pasal 9
(1) Bank Pelapor setiap bulan wajib menyampaikan Laporan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) kepada Bank Indonesia paling lama pada
tanggal 5 bulan berikutnya setelah berakhirnya bulan Laporan yang
bersangkutan.
(2) Bank Pelapor dinyatakan telah menyampaikan Laporan pada tanggal
diterimanya Laporan oleh Bank Indonesia.
Pasal 10
Bank Pelapor dinyatakan terlambat menyampaikan Laporan apabila
menyampaikan Laporan melampaui batas waktu sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 9 ayat (1) sampai dengan tanggal 7 bulan berikutnya setelah
berakhirnya bulan Laporan yang bersangkutan.
Pasal 11
Bank Pelapor dinyatakan tidak menyampaikan Laporan, apabila Bank
Indonesia belum menerima Laporan sampai dengan batas waktu sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 10.
Pasal 12
Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) dan Pasal 10 yang
disampaikan secara online dapat disampaikan pada hari Sabtu, Minggu, hari
libur, dan cuti bersama yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Pasal 13 ...
-5-
Pasal 13
(1) Bank Pelapor wajib menyampaikan koreksi atas kesalahan Laporan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) yang telah disampaikan
kepada Bank Indonesia, paling lama pada tanggal 5 bulan berikutnya
setelah berakhirnya bulan Laporan yang bersangkutan.
(2) Bank Pelapor dinyatakan telah menyampaikan koreksi Laporan pada
tanggal diterimanya koreksi Laporan oleh Bank Indonesia.
Pasal 14
Bank Pelapor dinyatakan terlambat menyampaikan koreksi Laporan apabila
menyampaikan koreksi Laporan melampaui batas waktu sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) sampai dengan tanggal 7 bulan berikutnya
setelah berakhirnya bulan Laporan yang bersangkutan.
Pasal 15
Bank Pelapor dinyatakan tidak menyampaikan koreksi Laporan apabila Bank
Indonesia belum menerima koreksi Laporan sampai dengan batas waktu
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14.
Pasal 16
Koreksi Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) dan Pasal 14
yang disampaikan secara online dapat disampaikan pada hari Sabtu, Minggu,
hari libur, dan cuti bersama yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
2. Ketentuan ...
-6-
2. Ketentuan Pasal 17 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 17
(1) Bank Pelapor wajib menyampaikan Laporan dan/atau koreksi Laporan
kepada Bank Indonesia secara online sampai dengan batas waktu
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1), Pasal 10, Pasal 13 ayat
(1), dan/atau Pasal 14.
(2) Kewajiban penyampaian Laporan dan/atau koreksi Laporan secara online
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan terhadap:
a. Bank Pelapor yang berkedudukan di daerah yang belum tersedia
fasilitas komunikasi, sehingga tidak memungkinkan untuk
menyampaikan Laporan secara online;
b. Bank Pelapor yang baru dibuka dengan batas waktu paling lama 2
(dua) bulan setelah melakukan kegiatan operasional;
c. Bank Pelapor yang mengalami gangguan teknis dalam
menyampaikan Laporan dan/atau koreksi Laporan, dengan disertai
pemberitahuan tertulis kepada Bank Indonesia mengenai sebab-
sebab terjadinya gangguan teknis tersebut, yang disampaikan
bersamaan dengan penyampaian Laporan dan/atau koreksi Laporan
secara offline; atau
d. Bank Pelapor yang tidak dapat menyampaikan Laporan dan/atau
koreksi Laporan yang disebabkan karena gangguan teknis dan/atau
gangguan lainnya pada sistem atau jaringan telekomunikasi di Bank
Indonesia, setelah menerima pemberitahuan secara tertulis atau
melalui sarana lain dari Bank Indonesia mengenai terjadinya
gangguan tersebut.
(3). Bank ...
-7-
(3) Bank Pelapor yang tidak dapat menyampaikan Laporan dan/atau koreksi
Laporan secara online sebagaimana dimaksud pada ayat (2), wajib
menyampaikan Laporan dan/atau koreksi Laporan secara offline.
(4) Bank Pelapor yang dinyatakan tidak menyampaikan Laporan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dan/atau koreksi Laporan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 tetap wajib menyampaikan
Laporan dan/atau koreksi Laporan kepada Bank Indonesia secara offline.
(5) Penyampaian Laporan dan/atau koreksi Laporan sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) dan ayat (4) wajib disampaikan pada hari kerja.
(6) Dalam hal Laporan dan/atau koreksi Laporan yang diterima oleh Bank
Indonesia tidak dapat diolah karena adanya gangguan pada sistem
database dan/atau jaringan komunikasi di Bank Indonesia maka Bank
Indonesia dapat meminta Bank Pelapor untuk menyampaikan ulang
Laporan dan/atau koreksi Laporan secara online dan/atau offline.
3. Di antara Pasal 17 dan Pasal 18 disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 17A
yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 17A
(1) Dalam hal gangguan teknis di Bank Indonesia dan/atau Bank Pelapor
terjadi pada batas akhir penyampaian Laporan dan/atau koreksi Laporan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1), Pasal 10, Pasal 13 ayat
(1) dan Pasal 14, Laporan dan/atau koreksi Laporan disampaikan paling
lama pada hari kerja berikutnya secara offline.
(2) Dalam hal Bank Pelapor tidak menyampaikan Laporan dan/atau koreksi
Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka Bank Pelapor
dianggap:
a. terlambat ...
-8-
a. terlambat menyampaikan Laporan dan/atau koreksi Laporan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 dan Pasal 14; dan/atau
b. tidak menyampaikan Laporan dan/atau koreksi Laporan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 11 dan Pasal 15.
4. Ketentuan Pasal 18 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 18
(1) Bank Pelapor yang melakukan kegiatan operasional di Indonesia, wajib
menyampaikan:
a. Laporan secara online kepada Bank Indonesia.
b. Laporan secara offline kepada:
1. Direktorat Statistik Ekonomi dan Moneter c.q. Tim Statistik
Moneter, Keuangan, dan Fiskal, Jl. MH. Thamrin No. 2 Jakarta
10350 bagi Bank Pelapor yang berkedudukan di wilayah kerja
Kantor Pusat Bank Indonesia; atau
2. Kantor Bank Indonesia setempat, bagi Bank Pelapor yang
berkedudukan di luar wilayah sebagaimana dimaksud dalam angka 1.
(2) Bagi Bank Pelapor yang melakukan kegiatan operasional di luar
Indonesia, Laporan wajib disusun dan disampaikan oleh kantor pusat
Bank atau Unit Usaha Syariah dari Bank Pelapor.
5. Ketentuan Pasal 19 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 19 ...
-9-
Pasal 19
(1) Bank Pelapor yang terlambat menyampaikan Laporan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 10 dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar
Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) per hari kerja keterlambatan.
(2) Bank Pelapor yang tidak menyampaikan Laporan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 11 dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar
Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
(3) Bank Pelapor yang terlambat menyampaikan koreksi Laporan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 dikenakan sanksi kewajiban
membayar sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) per hari kerja
keterlambatan.
(4) Bank Pelapor yang menyampaikan koreksi Laporan atas inisiatif Bank
Pelapor setelah melampaui batas waktu keterlambatan penyampaian
koreksi Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 dikenakan
sanksi kewajiban membayar sebesar Rp50.000,00 (lima puluh ribu
rupiah) per item kesalahan dan paling banyak seluruhnya sebesar
Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah).
(5) Dalam hal berdasarkan penelitian dan/atau pemeriksaan Bank Indonesia
atas Laporan yang telah disampaikan oleh Bank Pelapor ditemukan
kesalahan, maka Bank Pelapor dikenakan sanksi kewajiban membayar
sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) per item kesalahan dan paling
banyak seluruhnya sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).
(6) Bank Pelapor yang menyampaikan Laporan dan/atau koreksi Laporan
secara offline pada periode penyampaian online tanpa memenuhi
persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) dan ayat (3),
dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp500.000,00 (lima ratus
ribu rupiah) untuk setiap penyampaian Laporan atau koreksi Laporan.
(7). Dalam ...
-10-
(7) Dalam hal Bank Pelapor mengirimkan ulang Laporan dan/atau koreksi
Laporan atas permintaan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 17 ayat (6), Bank Pelapor tidak dikenakan sanksi kewajiban
membayar.
6. Ketentuan Pasal 21 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 21
Bank Pelapor yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4, Pasal 5, Pasal 7 ayat (4), Pasal 8 ayat (2) dan ayat (3) dikenakan
sanksi administratif dalam rangka pembinaan dan pengawasan Bank
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 Undang-Undang Nomor 21 Tahun
2008 tentang Perbankan Syariah, berupa teguran tertulis.
7. Ketentuan Pasal 22 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 22
Bank Pelapor yang telah dikenakan sanksi kewajiban membayar sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 19, dikenakan sanksi administratif dalam rangka
pembinaan dan pengawasan Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, berupa
teguran tertulis.
Pasal II
Kewajiban sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini mulai
diberlakukan sejak pelaporan data bulan Maret 2011 yang disampaikan pada
bulan April 2011.
Pasal III ...
-11-
Pasal III
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan
Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 17 Maret 2011
GUBERNUR BANK INDONESIA,
DARMIN NASUTION
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 17 Maret 2011
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
PATRIALIS AKBAR
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2011 NOMOR 38
DSM/DPbS
-12-
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 13/ 12 /PBI/2011
TENTANG
PERUBAHAN ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 5/26/PBI/2003
TENTANG LAPORAN BULANAN BANK UMUM SYARIAH
I. UMUM
Dalam rangka penerapan Laporan Bulanan Bank Umum Syariah
yang lebih efektif, akurat, dan lengkap diperlukan persiapan yang memadai
dari infrastruktur pendukung serta semua pihak yang terkait dengan
penerapannya. Selanjutnya, untuk lebih meningkatkan ketersediaan data
perbankan untuk pengambilan keputusan di bidang moneter dan perbankan
secara lebih cepat, diperlukan penyesuaian batas waktu penyampaian
Laporan Bulanan Bank Umum Syariah kepada Bank Indonesia.
Penyesuaian batas waktu penyampaian Laporan Bulanan Bank
Umum Syariah tersebut juga diperlukan dalam rangka harmonisasi dengan
ketentuan penyampaian Laporan Bulanan Bank Umum yang melakukan
kegiatan usaha secara konvensional agar dapat dilakukan konsolidasi data.
II. Pasal ...
-13-
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal I
Angka 1
Pasal 9
Ayat (1)
Contoh:
Laporan untuk data bulan Maret 2011 wajib disampaikan
paling lama pada tanggal 5 April 2011.
Ayat (2)
Apabila Laporan disampaikan secara online dan diterima
oleh Bank Indonesia dengan baik dan telah lolos validasi,
maka tanda bukti penerimaan Laporan dapat diambil secara
online (download). Apabila Laporan disampaikan secara
offline dan diterima oleh Bank Indonesia dengan baik dan
telah lolos validasi, maka Bank Pelapor dapat mengambil
tanda bukti penerimaan Laporan dari Bank Indonesia.
Pasal 10
Contoh:
Penyampaian Laporan untuk data bulan Maret 2011 dinyatakan
terlambat apabila disampaikan mulai tanggal 6 April 2011 sampai
dengan 7 April 2011.
Pasal 11
Contoh:
Laporan untuk data bulan Maret 2011 dinyatakan tidak
disampaikan apabila Laporan disampaikan setelah tanggal 7 April
2011.
Pasal 12 ...
-14-
Pasal 12
Yang termasuk “hari libur” adalah hari libur Nasional dan hari libur
setempat yang ditetapkan oleh Pemerintah Provinsi.
Contoh:
Laporan yang disampaikan secara online sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 9 untuk Laporan data bulan Oktober 2011 disampaikan
paling lama tanggal 5 November 2011 yang jatuh pada hari Sabtu.
Laporan yang disampaikan secara online sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 10 untuk Laporan data bulan Juli 2011 disampaikan
paling lama tanggal 7 Agustus 2011 yang jatuh pada hari Minggu.
Pasal 13
Ayat (1)
Contoh:
Koreksi Laporan untuk data bulan Maret 2011 wajib
disampaikan paling lama pada tanggal 5 April 2011.
Ayat (2)
Apabila koreksi Laporan disampaikan secara online dan
diterima oleh Bank Indonesia dengan baik dan telah lolos
validasi, maka tanda bukti penerimaan koreksi Laporan
dapat diambil secara online (download). Apabila koreksi
Laporan disampaikan secara offline dan diterima oleh Bank
Indonesia dengan baik dan telah lolos validasi, maka Bank
Pelapor dapat mengambil tanda bukti penerimaan koreksi
Laporan dari Bank Indonesia.
Pasal 14 ...
-15-
Pasal 14
Contoh:
Penyampaian koreksi Laporan untuk data bulan Maret 2011
dinyatakan terlambat apabila disampaikan mulai tanggal 6 April
2011 sampai dengan tanggal 7 April 2011.
Pasal 15
Contoh:
Koreksi Laporan untuk data bulan Maret 2011 dinyatakan tidak
disampaikan apabila Laporan disampaikan setelah tanggal 7 April
2011.
Pasal 16
Contoh:
Koreksi Laporan yang disampaikan secara online sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 13 untuk Laporan data bulan Oktober 2011
dapat disampaikan paling lama tanggal 5 November 2011 yang
jatuh pada hari Sabtu.
Koreksi Laporan yang disampaikan secara online sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 14 untuk Laporan data bulan Juli 2011
dapat disampaikan paling lama tanggal 7 Agustus 2011 yang
jatuh pada hari Minggu.
Angka 2
Pasal 17
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2) ...
-16-
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Contoh:
Kantor Cabang Bank X baru dibuka dan mulai
melakukan kegiatan operasional pada tanggal 20 Maret
2011, maka Kantor Cabang Bank X tersebut wajib
menyampaikan Laporan data bulan Maret 2011 paling
lama tanggal 5 April 2011 yang dapat disampaikan
secara offline. Untuk Laporan data bulan April 2011,
maka Kantor Cabang Bank X tersebut wajib
menyampaikan Laporan data bulan April 2011 paling
lama tanggal 5 Mei 2011 yang dapat disampaikan secara
offline.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “gangguan teknis di Bank
Pelapor” adalah gangguan yang menyebabkan Bank
Pelapor tidak dapat menyampaikan Laporan dan/atau
koreksi Laporan secara online kepada Bank Indonesia
antara lain karena gangguan pada sistem di internal Bank
Pelapor.
Huruf d ...
-17-
Huruf d
Yang dimaksud dengan “gangguan teknis di Bank
Indonesia” adalah gangguan yang menyebabkan Bank
Indonesia tidak dapat menerima penyampaian Laporan
dan/atau koreksi Laporan secara online dari Bank
Pelapor antara lain karena gangguan pada jaringan
telekomunikasi dan/atau penyebab lainnya.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Angka 3
Pasal 17A
Ayat (1)
Contoh :
Pada Tanggal 5 Juni 2011 yang jatuh pada hari Minggu, Bank
A mengalami gangguan teknis atau terjadi gangguan teknis di
Bank Indonesia untuk menyampaikan Laporan secara online.
Tanggal tersebut merupakan batas akhir penyampaian Laporan
dan/atau koreksi Laporan untuk data bulan Mei 2011. Bank
diperkenankan menyampaikan Laporan dan/atau koreksi
Laporan pada tanggal 6 Juni 2011 yang jatuh pada hari Senin
secara offline.
Ayat (2) ...
-18-
Ayat (2)
Cukup jelas.
Angka 4
Pasal 18
Cukup jelas.
Angka 5
Pasal 19
Ayat (1)
Contoh:
Tanggal 5 Juni 2011 jatuh pada hari Minggu. Bank A
menyampaikan Laporan data bulan Mei 2011 pada hari Selasa
tanggal 7 Juni 2011. Bank A dinyatakan terlambat
menyampaikan Laporan selama 2 (dua) hari kerja, yaitu Senin
dan Selasa (tanggal 6 dan 7 Juni 2011), sehingga Bank A
dikenakan sanksi sebesar 2 (dua) hari x Rp1.000.000,00 (satu
juta rupiah) = Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah).
Ayat (2)
Contoh:
Tanggal 7 Agustus 2011 jatuh pada hari Minggu. Bank A
menyampaikan Laporan data bulan Juli 2011 pada hari Senin
tanggal 8 Agustus 2011, sehingga Bank A dikenakan sanksi
tidak menyampaikan Laporan sebesar Rp50.000.000,00 (lima
puluh juta rupiah).
Ayat (3) ...
-19-
Ayat (3)
Contoh:
Tanggal 5 Juni 2011 jatuh pada hari Minggu. Bank A
menyampaikan koreksi Laporan data bulan Mei 2011 pada hari
Senin tanggal 6 Juni 2011 sebanyak 3 (tiga) kali penyampaian
koreksi. Bank A dinyatakan terlambat menyampaikan koreksi
Laporan selama 1 (satu) hari kerja, yaitu Senin (tanggal 6 Juni
2011), sehingga Bank A dikenakan sanksi sebesar 1 (satu) hari
x Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) = Rp100.000,00 (seratus
ribu rupiah). Penyampaian koreksi Laporan yang berulang kali
pada hari yang sama tetap di hitung 1 (satu) hari.
Ayat (4)
Contoh:
Yang dimaksud dengan “per item kesalahan” adalah kesalahan
per field data. Apabila dalam satu baris data terdapat kesalahan
lebih dari satu field, kesalahan dihitung berdasarkan banyaknya
field yang salah dalam baris bersangkutan. Sebagai contoh, pada
Daftar Rincian Piutang Murabahah, dalam satu baris terdapat
kesalahan pada kolom Kolektibilitas dan Sektor Ekonomi, maka
dihitung sebagai 2 (dua) item kesalahan. Selanjutnya apabila
terdapat 700 (tujuh ratus) item kesalahan, maka perhitungan
sanksi adalah 700 (tujuh ratus) x Rp50.000,00 (lima puluh ribu
rupiah) = Rp35.000.000,00 (tiga puluh lima juta rupiah), namun
Bank hanya dikenakan sanksi paling banyak, yaitu
Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah).
Ayat (5) ...
-20-
Ayat (5)
Contoh:
Pada Daftar Rincian Piutang Murabahah, dalam satu baris
terdapat kesalahan pada kolom Kolektibilitas dan Sektor
Ekonomi, maka dihitung sebagai 2 (dua) item kesalahan.
Selanjutnya apabila terdapat 700 (tujuh ratus) item kesalahan,
maka perhitungan sanksi adalah 700 (tujuh ratus) x
Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) = Rp70.000.000,00 (tujuh
puluh juta rupiah), namun Bank hanya dikenakan sanksi paling
banyak, yaitu Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Angka 6
Pasal 21
Cukup jelas.
Angka 7
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal II ...
-21-
Pasal II
Cukup jelas.
Pasal III
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5203
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 13/12/PBI/2011 </reg_id>
<reg_title> PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 5/26/PBI/2003 TENTANG LAPORAN BULANAN BANK UMUM SYARIAH </reg_title>
<set_date> 17 Maret 2011 </set_date>
<effective_date> 17 Maret 2011 </effective_date>
<issued_date> 17 Maret 2011 </issued_date>
<changed_reg> '5/26/PBI/2003' </changed_reg>
<related_reg> '21/UU/2008', '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '24/UU/1999', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg>
<penalty_list> 'Pasal I Angka 5 Pasal 19', 'Pasal I Angka 6 Pasal 21', 'Pasal I Angka 7 Pasal 22' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 15/5/ PBI/ 2013
TENTANG
PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR
12/11/PBI/2010 TENTANG OPERASI MONETER
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang :
a. bahwa dalam rangka penguatan operasi moneter dan
manajemen ekses likuiditas melalui strategi operasi
moneter yang memperpanjang profil jatuh waktu
instrumen operasi moneter, diperlukan pengkayaan
instrumen yang dapat membawa likuiditas yang saat
ini terkonsentrasi di jangka sangat pendek ke jangka
lebih panjang;
b. bahwa instrumen tersebut perlu untuk memenuhi
kebutuhan pelaku pasar sehingga sekaligus dapat
mendukung upaya pendalaman pasar keuangan;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu
melakukan perubahan terhadap Peraturan Bank
Indonesia Nomor 12/11/PBI/2010 tentang Operasi
Moneter;
Mengingat :
a. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1992 Nomor 31; Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182;
Tambahan …
- 2 -
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3790);
b. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1999 Nomor 66; Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3843) sebagaimana telah diubah terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009
tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23
Tahun 1999 tentang Bank Indonesia Menjadi Undang-
Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2009 Nomor 7; Tambahan Lembaran Negara Nomor
4962);
M E M U T U S K A N:
Menetapkan :
PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN
KEDUA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR
12/11/PBI/2010 TENTANG OPERASI MONETER.
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 12/11/PBI/2010
tentang Operasi Moneter (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010
Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5141)
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor
14/5/PBI/2012 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor
130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5321) diubah
sebagai berikut :
1. Di …
- 3 -
1. Di antara Pasal 1 angka 7 dan Pasal 1 angka 8 disisipkan 1 angka yaitu
angka 7a sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut :
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan :
1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang tentang Perbankan yang berlaku, yang melakukan kegiatan
usaha secara konvensional.
2. Operasi Moneter adalah pelaksanaan kebijakan moneter oleh Bank
Indonesia dalam rangka pengendalian moneter melalui operasi pasar
terbuka dan koridor suku bunga (standing facilities).
3. Operasi Pasar Terbuka yang selanjutnya disingkat OPT adalah kegiatan
transaksi di pasar uang yang dilakukan oleh Bank Indonesia dengan
Bank dan/atau pihak lain dalam rangka Operasi Moneter.
4. Koridor Suku Bunga (Standing Facilities) yang selanjutnya disebut
Standing Facilities adalah kegiatan penyediaan dana rupiah (lending
facility) dari Bank Indonesia kepada Bank dan penempatan dana
rupiah (deposit facility) oleh Bank di Bank Indonesia dalam rangka
Operasi Moneter.
5. Absorpsi Likuiditas adalah pengurangan likuiditas di pasar uang
rupiah melalui kegiatan Operasi Moneter.
6. Injeksi Likuiditas adalah penambahan likuiditas di pasar uang rupiah
melalui kegiatan Operasi Moneter.
7. Sertifikat Bank Indonesia yang selanjutnya disingkat SBI adalah surat
berharga dalam mata uang rupiah yang diterbitkan oleh Bank
Indonesia sebagai pengakuan utang berjangka waktu pendek.
7a. Sertifikat Deposito Bank Indonesia yang selanjutnya disingkat SDBI
adalah surat berharga dalam mata uang rupiah yang diterbitkan oleh
Bank Indonesia sebagai pengakuan utang berjangka waktu pendek
yang dapat diperdagangkan hanya antar Bank.
8. Surat Berharga Negara yang selanjutnya disingkat SBN adalah Surat
Utang Negara dan Surat Berharga Syariah Negara.
9. Surat …
- 4 -
9. Surat Utang Negara yang selanjutnya disingkat SUN adalah surat
berharga yang berupa surat pengakuan utang dalam mata uang rupiah
maupun valuta asing yang dijamin pembayaran bunga dan pokoknya
oleh Negara Republik Indonesia, sesuai dengan masa berlakunya,
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang berlaku.
10. Surat Berharga Syariah Negara yang selanjutnya disingkat SBSN, atau
dapat disebut Sukuk Negara, adalah SBN yang diterbitkan berdasarkan
prinsip syariah, sebagai bukti atas penyertaan terhadap aset SBSN,
baik dalam mata uang rupiah maupun valuta asing, sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang yang berlaku.
11. Bank Indonesia – Scripless Securities Settlement System yang
selanjutnya disingkat BI-SSSS adalah sarana transaksi dengan Bank
Indonesia termasuk penatausahaannya, dan penatausahaan surat
berharga secara elektronik dan terhubung langsung antara peserta,
penyelenggara dan Sistem Bank Indonesia – Real Time Gross
Settlement.
12. Sistem Bank Indonesia – Real Time Gross Settlement yang selanjutnya
disebut Sistem BI-RTGS adalah suatu sistem transfer dana elektronik
antar peserta Sistem BI-RTGS dalam mata uang rupiah yang
penyelesaiannya dilakukan secara seketika per transaksi secara
individual.
2. Ketentuan Pasal 5 diubah sehingga Pasal 5 berbunyi sebagai berikut :
Pasal 5
Kegiatan OPT meliputi :
a. penerbitan SBI dan SDBI;
b. transaksi repurchase agreement (repo) dan reverse repo surat berharga;
c. transaksi pembelian dan penjualan surat berharga secara outright;
d. penempatan berjangka (term deposit) di Bank Indonesia dalam rupiah;
e. penempatan berjangka (term deposit) di Bank Indonesia dalam valuta
asing;
f. jual …
- 5 -
f. jual beli valuta asing terhadap rupiah; dan
g. transaksi lainnya baik di pasar uang rupiah maupun valuta asing.
3. Ketentuan dalam Bab IV diubah sehingga berbunyi sebagai berikut :
BAB IV
PENERBITAN SERTIFIKAT BANK INDONESIA DAN SERTIFIKAT DEPOSITO
BANK INDONESIA
Pasal 11
(1) SBI yang diterbitkan oleh Bank Indonesia memiliki karakteristik
sebagai berikut :
a. berjangka waktu paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 12
(dua belas) bulan yang dinyatakan dalam jumlah hari dan dihitung
sejak 1 (satu) hari sesudah tanggal setelmen sampai dengan tanggal
jatuh waktu;
b. diterbitkan dan diperdagangkan dengan sistem diskonto;
c. diterbitkan tanpa warkat (scripless); dan
d. dapat dipindahtangankan (negotiable).
(2) SDBI yang diterbitkan oleh Bank Indonesia memiliki karakteristik
sebagai berikut :
a. berjangka waktu paling singkat 1 (satu) hari dan paling lama 12
bulan yang dinyatakan dalam jumlah hari dan dihitung sejak 1
(satu) hari sesudah tanggal setelmen sampai dengan tanggal jatuh
waktu;
b. diterbitkan dan diperdagangkan dengan sistem diskonto;
c. diterbitkan tanpa warkat (scripless);
d. hanya dapat dimiliki oleh Bank; dan
e. dapat dipindahtangankan (negotiable) hanya antar Bank.
Pasal 12
(1) Bank Indonesia menatausahakan SBI dan SDBI dalam suatu sistem
penatausahaan secara elektronis melalui Sistem Book Entry Registry
dalam BI-SSSS.
(2) Sistem …
- 6 -
(2) Sistem penatausahaan yang dikelola oleh Bank Indonesia sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) mencakup sistem pencatatan kepemilikan dan
penyelesaian transaksi SBI dan SDBI.
(3) Sistem pencatatan kepemilikan SBI dan SDBI sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dilakukan tanpa warkat (scripless).
(4) Bank Indonesia dapat menunjuk pihak lain untuk mendukung
penatausahaan SBI dan SDBI sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(5) Dalam hal pihak lain yang ditunjuk untuk mendukung penatausahaan
SBI dan SDBI sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak dapat
memenuhi persyaratan yang ditetapkan Bank Indonesia atau
menghentikan kegiatan usahanya, Bank Indonesia berwenang
mencabut penunjukan yang ditetapkan.
Pasal 13
(1) Dalam jangka waktu tertentu sejak memiliki SBI, pemilik SBI dilarang
melakukan transaksi atas SBI yang dimilikinya dengan pihak lain.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tidak berlaku untuk
transaksi SBI oleh peserta Operasi Moneter dengan Bank Indonesia.
(3) Pihak lain yang ditunjuk untuk mendukung penatausahaan SBI
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (4), wajib
menatausahakan SBI milik nasabahnya dengan memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai jangka waktu sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 13A
(1) Bank dilarang melakukan transaksi SDBI dengan pihak selain Bank.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk
transaksi SDBI dengan Bank Indonesia.
(3) Pihak …
- 7 -
(3) Pihak lain yang ditunjuk untuk mendukung penatausahaan SDBI
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (4),
wajib
menatausahakan SDBI milik nasabahnya dengan memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(4) Dalam hal SDBI dimiliki oleh pihak selain Bank, Bank Indonesia akan
melunasi SDBI dimaksud sebelum jatuh waktu (early redemption).
Pasal 14
(1) Bank Indonesia melunasi SBI dan SDBI pada saat jatuh waktu sebesar
nilai nominal.
(2) Bank Indonesia dapat melunasi SBI dan SDBI sebelum jatuh waktu
dengan persetujuan pemilik SBI dan SDBI.
4. Di antara Pasal 21 dan Pasal 22 disisipkan 1 Pasal yaitu Pasal 21A yang
berbunyi sebagai berikut :
Pasal 21A
Bank dan/atau pihak lain yang ditunjuk untuk mendukung
penatausahaan SDBI yang melanggar ketentuan dalam Pasal 13A,
dikenakan sanksi berupa :
a. teguran tertulis; dan
b. kewajiban membayar sebesar 0,01% (satu per sepuluh ribu) dari nilai
nominal transaksi SDBI yang tidak memenuhi persyaratan dimaksud,
paling sedikit sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan
paling banyak sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) per hari.
Pasal II
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Agar …
- 8 -
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 27 Agustus 2013
GUBERNUR BANK INDONESIA,
AGUS D. W. MARTOWARDOJO
Diundangkan di Jakarta
Pada Tanggal 27 Agustus 2013
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
AMIR SYAMSUDIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2013 NOMOR 144
DPM
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 15/5/PBI/2013 </reg_id>
<reg_title> PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 12/11/PBI/2010 TENTANG OPERASI MONETER </reg_title>
<set_date> 27 Agustus 2013 </set_date>
<effective_date> 27 Agustus 2013 </effective_date>
<issued_date> 27 Agustus 2013 </issued_date>
<changed_reg> '12/11/PBI/2010' </changed_reg>
<extension_of> '14/5/PBI/2012' </extension_of>
<related_reg> '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg>
<penalty_list> 'Pasal I Angka 4 Pasal 21A' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 8/12/PBI/2006
TENTANG
LAPORAN BERKALA BANK UMUM
GUBERNUR BANK INDONESIA
Menimbang: a.
bahwa dalam rangka penetapan kebijakan moneter,
pemantauan stabilitas sistem keuangan, dan pemantauan
kondisi bank yang lebih efektif, diperlukan data dan informasi
bank yang akurat, lengkap, dan tepat waktu;
b. bahwa dengan semakin pesatnya perkembangan industri
keuangan
khususnya industri
perbankan,
penambahan informasi yang disampaikan;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf
menyesuaikan sistem penyampaian dan tata cara penyusunan
beberapa laporan bank umum serta mengatur kembali
ketentuan tentang laporan berkala bank umum dalam suatu
Peraturan Bank Indonesia;
Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun
1999 tentang
Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999
Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3843) sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik
Indonesia …
a dan huruf b, dipandang perlu untuk
diperlukan
- 2 -
Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4357);
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor
31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran
Negara
Republik Indonesia Nomor 3790);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG LAPORAN
BERKALA BANK UMUM
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, termasuk kantor cabang bank
asing.
2. Kantor Cabang Bank Asing adalah kantor cabang dari bank yang
berkedudukan di luar negeri berdasarkan hukum asing atau berkantor pusat
di …
- 3 -
di luar negeri, yang secara langsung atau tidak langsung bertanggung jawab
kepada kantor pusat bank yang bersangkutan dan mempunyai alamat serta
tempat kedudukan di Indonesia.
3. Unit Usaha Syariah yang selanjutnya disebut UUS adalah unit kerja di
kantor pusat Bank yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional
yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor cabang syariah dan atau
unit
melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional yang berfungsi sebagai
kantor induk dari kantor cabang pembantu syariah dan atau unit syariah.
4.
Laporan Berkala Bank Umum yang selanjutnya disebut dengan LBBU
adalah laporan yang disusun dan disampaikan oleh Bank secara berkala
kepada Bank Indonesia.
5. Penyampaian laporan secara on line yang selanjutnya disebut on line adalah
penyampaian laporan yang dilakukan dengan mengirim/mentransfer
rekaman data secara langsung melalui jaringan komunikasi data kepada
Bank Indonesia.
6. Penyampaian laporan secara off line yang selanjutnya disebut off line
adalah penyampaian laporan yang dilakukan dengan menyampaikan
rekaman data menggunakan disket atau media perekaman data elektronik
lainnya kepada Bank Indonesia.
Pasal 2
(1) Bank dan UUS wajib menyusun dan menyampaikan LBBU kepada Bank
Indonesia secara akurat, lengkap, dan tepat waktu.
(2) Penyusunan dan penyampaian LBBU sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan oleh kantor pusat Bank dan UUS.
(3) Penyusunan …
syariah, atau unit kerja di Kantor Cabang Bank Asing yang
- 4 -
(3) Penyusunan LBBU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Bank yang
melakukan kegiatan usaha secara konvensional meliputi data mengenai:
a. dana pihak ketiga;
b. pos-pos neraca mingguan;
c. dana pihak ketiga milik pemerintah;
d. maturity profile;
e. batas maksimum pemberian kredit, yang terdiri dari:
1. pelanggaran batas maksimum pemberian kredit;
2. pelampauan batas maksimum pemberian kredit; dan
3. penyediaan dana;
f. restrukturisasi kredit;
g. kewajiban penyediaan modal minimum dengan memperhitungkan
risiko pasar;
h. deposan dan debitur inti; dan
i. sensitivity to market risk.
(4) Penyusunan LBBU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Bank yang
melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah meliputi data
mengenai:
a. dana pihak ketiga;
b. pos-pos neraca mingguan;
c. dana pihak ketiga milik pemerintah;
d. maturity profile;
e. batas maksimum pemberian kredit, yang terdiri dari:
1. pelanggaran batas maksimum pemberian kredit;
2. pelampauan batas maksimum pemberian kredit; dan
3. penyediaan dana;
f. deposito …
- 5 -
f. deposito investasi mudharabah;
g. restrukturisasi pembiayaan;
h. deposan dan debitur inti; dan
i.
sensitivity to market risk – nilai tukar.
(5) Penyusunan LBBU sebagaimana dimaksud pada
meliputi data mengenai:
a. dana pihak ketiga;
b. pos-pos neraca mingguan;
c. dana pihak ketiga milik pemerintah;
d. maturity profile;
e. deposito investasi mudharabah;
f.
restrukturisasi pembiayaan; dan
g. deposan dan debitur inti.
Pasal 3
(1) Bank dan UUS bertanggung jawab atas keakuratan data, kelengkapan isi,
dan ketepatan waktu penyampaian LBBU sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2.
(2) Bank dan UUS wajib menunjuk petugas dan penanggung jawab untuk
menyusun dan menyampaikan LBBU kepada Bank Indonesia.
(3) Bank dan UUS wajib menyampaikan daftar pihak-pihak yang ditunjuk
sebagai petugas dan penanggung jawab LBBU sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) kepada Bank Indonesia paling lambat 30 (tiga puluh) hari setelah
dikeluarkannya Peraturan Bank Indonesia ini.
(4) Penunjukan penanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak
mengurangi atau menghilangkan tanggung jawab pengurus Bank atas
keakuratan data.
(5) Dalam …
ayat (1) bagi UUS
- 6 -
(5) Dalam hal terjadi penggantian pihak-pihak yang telah ditunjuk sebagai
petugas dan penanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Bank
dan UUS wajib menyampaikan rencana penggantian.
(6) Rencana penggantian sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diterima oleh
Bank Indonesia paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sebelum terjadinya
penggantian.
Pasal 4
(1) Bank dan UUS dalam menyusun LBBU sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 wajib mengacu pada Pedoman Penyusunan LBBU yang ditetapkan
Bank Indonesia.
(2) Pedoman Penyusunan LBBU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
BAB II
PERIODE DATA DAN POSISI LBBU
Pasal 5
Data LBBU berupa dana pihak ketiga, pos-pos neraca mingguan, dan dana pihak
ketiga milik pemerintah, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf a,
huruf b, dan huruf c, ayat (4) huruf a, huruf b, dan huruf c, serta ayat (5) huruf a,
huruf b, dan huruf c, disusun untuk 4 (empat) periode data laporan pada setiap
bulan yaitu:
a.
Periode data laporan minggu pertama, meliputi data sejak tanggal 1 sampai
dengan tanggal 7;
b.
Periode data laporan minggu kedua, meliputi data sejak tanggal 8 sampai
dengan tanggal 15;
c. Periode …
- 7 -
c.
d.
Periode data laporan minggu ketiga, meliputi data sejak tanggal 16 sampai
dengan tanggal 23;
Periode data laporan minggu keempat, meliputi data sejak tanggal 24
sampai dengan akhir bulan.
Pasal 6
(1) Data LBBU berupa maturity profile, batas maksimum pemberian kredit,
restrukturisasi kredit, dan kewajiban penyediaan modal minimum dengan
memperhitungkan risiko pasar, serta deposan dan debitur inti sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf d, huruf e, huruf f, huruf g, dan
huruf h disusun untuk posisi laporan tanggal akhir bulan pada setiap bulan.
(2) Data LBBU berupa maturity profile, batas maksimum pemberian kredit,
deposito investasi mudharabah, restrukturisasi pembiayaan, serta deposan
dan debitur inti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4) huruf d,
huruf e, huruf f, huruf g, dan huruf h disusun untuk posisi laporan tanggal
akhir bulan pada setiap bulan.
(3) Data LBBU berupa maturity profile, deposito investasi mudharabah, dan
restrukturisasi pembiayaan, serta deposan dan debitur inti sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (5) huruf d, huruf e, huruf f, dan huruf g
disusun untuk posisi laporan tanggal akhir bulan pada setiap bulan.
Pasal 7
Data LBBU berupa sensitivity to market risk sebagaimana dimaksud dalam Pasal
2 ayat (3) huruf i dan ayat (4) huruf i disusun untuk posisi laporan tanggal akhir
bulan pada setiap akhir triwulan.
BAB III …
- 8 -
BAB III
PENYAMPAIAN LBBU
DAN KOREKSI LBBU
Pasal 8
Pada setiap bulan, Bank dan UUS wajib menyampaikan LBBU dalam periode
penyampaian yang ditetapkan sebagai berikut:
a.
b.
c.
d.
periode penyampaian I, mulai tanggal 1 sampai dengan tanggal 6;
periode penyampaian II, mulai tanggal 8 sampai dengan tanggal 13;
periode penyampaian III, mulai tanggal 16 sampai dengan tanggal 21;
periode penyampaian IV, mulai tanggal 24 sampai dengan tanggal 29.
Pasal 9
Data LBBU yang wajib disampaikan untuk masing-masing periode penyampaian
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 bagi Bank yang melakukan kegiatan usaha
secara konvensional ditetapkan sebagai berikut:
a.
periode penyampaian I, meliputi data mengenai:
1. dana pihak ketiga untuk periode data laporan minggu keempat bulan
sebelumnya;
2. pos-pos neraca mingguan untuk periode data laporan minggu keempat
bulan sebelumnya;
3. dana pihak ketiga milik pemerintah untuk periode data laporan minggu
keempat bulan sebelumnya; dan
b.
4. maturity profile untuk posisi laporan tanggal akhir bulan sebelumnya.
periode penyampaian II, meliputi data mengenai:
1. dana …
- 9 -
1. dana pihak ketiga untuk periode data laporan minggu pertama bulan
yang bersangkutan;
2. pos-pos neraca mingguan untuk periode data laporan minggu pertama
bulan yang bersangkutan;
3. dana pihak ketiga milik pemerintah untuk periode data laporan minggu
pertama bulan yang bersangkutan;
4. restrukturisasi
kredit
sebelumnya; dan
5. deposan dan debitur inti untuk posisi laporan tanggal akhir bulan
sebelumnya.
c.
periode penyampaian III, meliputi data mengenai:
1. dana pihak ketiga untuk periode data laporan minggu kedua bulan
yang bersangkutan;
2. pos-pos neraca mingguan untuk periode data laporan minggu kedua
bulan yang bersangkutan;
3. dana pihak ketiga milik pemerintah untuk periode data laporan minggu
kedua bulan yang bersangkutan;
4. batas maksimum pemberian kredit untuk posisi laporan tanggal akhir
bulan sebelumnya;
5. kewajiban penyediaan modal minimum dengan memperhitungkan
risiko pasar untuk posisi laporan tanggal akhir bulan sebelumnya; dan
6. sensitivity to market risk untuk posisi laporan tanggal akhir bulan pada
setiap akhir triwulan.
d.
periode penyampaian IV, meliputi data mengenai:
1. dana pihak ketiga untuk periode data laporan minggu ketiga bulan
yang bersangkutan;
2. pos-pos …
untuk
posisi laporan tanggal
akhir bulan
- 10 -
2. pos-pos neraca mingguan untuk periode data laporan minggu ketiga
bulan yang bersangkutan; dan
3. dana pihak ketiga milik pemerintah untuk periode data laporan minggu
ketiga bulan yang bersangkutan.
Pasal 10
Data LBBU yang wajib disampaikan untuk masing-masing periode penyampaian
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 bagi Bank yang melakukan kegiatan usaha
berdasarkan prinsip syariah ditetapkan sebagai berikut:
a.
periode penyampaian I, meliputi data mengenai:
1. dana pihak ketiga untuk periode data laporan minggu keempat bulan
sebelumnya;
2.
pos-pos neraca mingguan untuk periode data laporan minggu
keempat bulan sebelumnya;
3. dana pihak ketiga milik pemerintah untuk periode data laporan
minggu keempat bulan sebelumnya;
posisi
4. maturity profile
sebelumnya; dan
5.
b.
untuk
laporan tanggal akhir
bulan
deposito investasi mudharabah untuk posisi laporan tanggal akhir
bulan sebelumnya.
periode penyampaian II, meliputi data mengenai:
1. dana pihak ketiga untuk periode data laporan minggu pertama bulan
yang bersangkutan;
2. pos-pos neraca mingguan untuk periode data laporan minggu pertama
bulan yang bersangkutan;
3. dana pihak ketiga milik pemerintah untuk periode data laporan minggu
pertama bulan yang bersangkutan;
4. restrukturisasi …
- 11 -
4. restrukturisasi pembiayaan untuk posisi laporan tanggal akhir bulan
sebelumnya; dan
5. deposan dan debitur inti untuk posisi laporan tanggal akhir bulan
sebelumnya.
c.
periode penyampaian III, meliputi data mengenai:
1. dana pihak ketiga untuk periode data laporan minggu kedua bulan
yang bersangkutan;
2. pos-pos neraca mingguan untuk periode data laporan minggu kedua
bulan yang bersangkutan;
3. dana pihak ketiga milik pemerintah untuk periode data laporan minggu
kedua bulan yang bersangkutan;
4. batas maksimum pemberian kredit untuk posisi laporan tanggal akhir
bulan sebelumnya; dan
5. sensitivity to market risk untuk posisi laporan tanggal akhir bulan pada
setiap akhir triwulan.
d.
periode penyampaian IV, meliputi data mengenai:
1. dana pihak ketiga untuk periode data laporan minggu ketiga bulan
yang bersangkutan;
2. pos-pos neraca mingguan untuk periode data laporan minggu ketiga
bulan yang bersangkutan; dan
3. dana pihak ketiga milik pemerintah untuk periode data laporan minggu
ketiga bulan yang bersangkutan.
Pasal 11
Data LBBU yang wajib disampaikan untuk masing-masing periode penyampaian
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 bagi UUS ditetapkan sebagai berikut:
a. periode …
- 12 -
a.
periode penyampaian I, meliputi data mengenai:
1. dana pihak ketiga untuk periode data laporan minggu keempat bulan
sebelumnya;
2. pos-pos neraca mingguan untuk periode data laporan minggu keempat
bulan sebelumnya;
3. dana pihak ketiga milik pemerintah untuk periode data laporan minggu
keempat bulan sebelumnya;
4. maturity profile untuk posisi laporan tanggal akhir bulan
sebelumnya; dan
5. deposito investasi mudharabah untuk posisi laporan tanggal akhir
bulan sebelumnya.
b.
periode penyampaian II, meliputi data mengenai:
1. dana pihak ketiga untuk periode data laporan minggu pertama bulan
yang bersangkutan;
2. pos-pos neraca mingguan untuk periode data laporan minggu pertama
bulan yang bersangkutan;
3. dana pihak ketiga milik pemerintah untuk periode data laporan minggu
pertama bulan yang bersangkutan;
4. restrukturisasi pembiayaan untuk posisi laporan tanggal akhir bulan
sebelumnya; dan
5. deposan dan debitur inti untuk posisi laporan tanggal akhir bulan
sebelumnya.
c.
periode penyampaian III, meliputi data mengenai:
1. dana pihak ketiga untuk periode data laporan minggu kedua bulan
yang bersangkutan;
2. pos-pos …
- 13 -
2. pos-pos neraca mingguan untuk periode data laporan minggu kedua
bulan yang bersangkutan; dan
3. dana pihak ketiga milik pemerintah untuk periode data laporan minggu
kedua bulan yang bersangkutan.
d.
periode penyampaian IV, meliputi data mengenai:
1. dana pihak ketiga untuk periode data laporan minggu ketiga bulan
yang bersangkutan;
2. pos-pos neraca mingguan untuk periode data laporan minggu ketiga
bulan yang bersangkutan; dan
3. dana pihak ketiga milik pemerintah untuk periode data laporan minggu
ketiga bulan yang bersangkutan.
Pasal 12
Dalam hal ditemukan kesalahan data pada LBBU yang telah disampaikan kepada
Bank Indonesia, Bank dan UUS wajib melakukan koreksi atas kesalahan tersebut
dan menyampaikannya kepada Bank Indonesia dalam periode penyampaian
LBBU yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, dan
Pasal 11.
Pasal 13
Dalam hal batas akhir periode penyampaian LBBU sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 8 dan atau koreksi LBBU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12
jatuh pada hari Sabtu, hari Minggu dan atau hari libur, maka LBBU dan atau
koreksi LBBU disampaikan pada hari kerja sebelumnya.
BAB IV …
- 14 -
BAB IV
TERLAMBAT DAN TIDAK MENYAMPAIKAN LBBU
Pasal 14
(1) Bank dan UUS dinyatakan terlambat menyampaikan LBBU untuk satu
periode penyampaian apabila LBBU diterima oleh Bank Indonesia setelah
batas akhir periode penyampaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8,
sampai
penyampaian dimaksud.
(2) Bank dan UUS dinyatakan terlambat menyampaikan koreksi LBBU untuk
satu periode penyampaian apabila koreksi LBBU diterima oleh Bank
Indonesia setelah batas akhir periode penyampaian sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 8, sampai dengan 14 (empat belas) hari setelah batas akhir
periode penyampaian dimaksud.
Pasal 15
(1) Bank dan UUS dinyatakan tidak menyampaikan LBBU dan atau koreksi
LBBU untuk satu periode penyampaian apabila LBBU dan atau koreksi
LBBU belum diterima oleh Bank Indonesia sampai dengan batas akhir
waktu keterlambatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14.
(2) Bank dan UUS yang dinyatakan tidak menyampaikan LBBU dan atau
koreksi LBBU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tetap wajib
menyampaikan LBBU dan atau koreksi LBBU kepada Bank Indonesia.
dengan 14 (empat belas) hari setelah batas akhir periode
BAB V …
- 15 -
BAB V
METODE PENYAMPAIAN LBBU
Pasal 16
(1) Bank dan UUS wajib menyampaikan LBBU dan atau koreksi LBBU dalam
periode penyampaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dan Pasal 12
kepada Bank Indonesia secara on line.
(2) Kewajiban penyampaian secara on line sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dikecualikan bagi:
a. Bank dan UUS yang berada di daerah yang belum tersedia fasilitas
komunikasi sehingga tidak memungkinkan untuk menyampaikan
LBBU dan atau koreksi LBBU secara on line;
b. Bank dan UUS yang baru dibuka dengan batas waktu paling lama 2
(dua) bulan setelah melakukan kegiatan operasional;
c. Bank dan UUS yang mengalami gangguan teknis dalam pengiriman
LBBU dan atau koreksi LBBU secara on line.
(3) Bank dan UUS yang dikecualikan untuk menyampaikan LBBU dan atau
koreksi LBBU secara on line sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c,
wajib menyampaikan pemberitahuan secara tertulis yang ditandatangani
oleh salah satu direktur Bank atau pimpinan Kantor Cabang Bank Asing
atau pimpinan UUS pada saat penyampaian LBBU kepada Bank Indonesia.
(4) Bank dan UUS yang dikecualikan untuk menyampaikan LBBU dan atau
koreksi LBBU secara on line karena hal-hal sebagaimana dimaksud pada
ayat (2), wajib menyampaikan LBBU dan atau koreksi LBBU secara off
line pada periode penyampaian yang sama disertai hasil cetak computer
(hard copy).
Pasal 17 …
- 16 -
Pasal 17
Bank dan UUS yang dinyatakan terlambat atau dinyatakan tidak menyampaikan
LBBU dan atau koreksi LBBU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 dan Pasal
15 wajib menyampaikan LBBU dan atau koreksi LBBU secara off line disertai
hasil cetak computer (hard copy).
Pasal 18
(1) LBBU dan koreksi LBBU secara on line disampaikan kepada Kantor Pusat
Bank Indonesia.
(2) LBBU dan koreksi LBBU secara off line serta pemberitahuan tertulis
disampaikan kepada Bank Indonesia dengan alamat:
a. Direktorat Statistik Ekonomi dan Moneter, Jl. M.H.Thamrin No. 2,
Jakarta 10110, bagi Bank dan UUS yang berkantor pusat di wilayah
kerja kantor pusat Bank Indonesia; atau
b. Kantor Bank Indonesia setempat, bagi Bank dan UUS yang berkantor
pusat di luar wilayah kerja kantor pusat Bank Indonesia.
BAB VI
LAIN-LAIN
Pasal 19
(1) Bank dan UUS yang mengalami keadaan memaksa
(force majeur)
dikecualikan dari kewajiban menyampaikan LBBU dan atau koreksi LBBU
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, dan Pasal 11.
(2) Bank dan UUS yang mengalami keadaan memaksa (force majeur) wajib
memberitahukan secara tertulis kepada Bank Indonesia untuk memperoleh
pengecualian …
- 17 -
pengecualian penyampaian LBBU dan atau koreksi LBBU sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
(3) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib ditandatangani
oleh salah satu direktur Bank atau pimpinan Kantor Cabang Bank Asing
atau pimpinan UUS yang disertai dengan:
a. penjelasan mengenai penyebab terjadinya keadaan memaksa (force
majeur); dan
b. jangka waktu yang diperlukan untuk mengatasi keadaan memaksa
(force majeur) dimaksud.
(4) Pengecualian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya diberikan sampai
dengan keadaan memaksa (force majeur) tersebut dapat teratasi.
(5) Kewajiban penyampaian LBBU dan atau koreksi LBBU sebagaimana
diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku untuk LBBU yang
wajib disampaikan pada periode penyampaian IV bulan Juli 2006.
BAB VII
SANKSI
Pasal 20
(1) Bank dan UUS yang dinyatakan terlambat menyampaikan LBBU
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1)
kewajiban membayar sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) per hari
kerja keterlambatan.
(2) Bank dan UUS yang dinyatakan tidak menyampaikan LBBU sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) dikenakan sanksi kewajiban membayar
sebesar Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
(3) Dalam…
dikenakan sanksi
- 18 -
(3) Dalam hal Bank dikenakan sanksi kewajiban membayar karena dinyatakan
tidak menyampaikan LBBU, maka sanksi kewajiban membayar karena
terlambat menyampaikan LBBU tidak diberlakukan.
(4) Bank dan UUS yang dinyatakan terlambat menyampaikan koreksi LBBU
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2)
dikenakan sanksi
kewajiban membayar sebesar Rp50.000,00 (lima puluh ribu rupiah) per
item koreksi dengan jumlah maksimum sebesar Rp2.000.000,00 (dua juta
rupiah) per laporan.
(5) Bank dan UUS yang dinyatakan tidak menyampaikan koreksi LBBU
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1)
dikenakan sanksi
kewajiban membayar sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) per item
koreksi dengan jumlah maksimum sebesar Rp3.000.000,00 (tiga juta
rupiah) per laporan.
(6) Bank dan UUS yang menyampaikan koreksi LBBU atas dasar temuan
Bank Indonesia dan atau akuntan publik dikenakan sanksi kewajiban
membayar sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) per item koreksi
dengan jumlah maksimum sebesar Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) per
laporan.
Pasal 21
Bank dan UUS yang menyampaikan LBBU dan atau koreksi LBBU secara off
line yang tidak disebabkan oleh hal-hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16
ayat (2) dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp250.000,00 (dua ratus
lima puluh ribu rupiah) untuk setiap penyampaian LBBU atau koreksi LBBU.
Pasal 22 …
- 19 -
Pasal 22
Bank dan UUS yang tidak menyampaikan LBBU atau koreksi LBBU atas dasar
temuan Bank Indonesia dan atau akuntan publik, setelah 2 (dua) kali teguran
tertulis dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp100.000.000,00
(seratus juta rupiah).
Pasal 23
(1) Pengenaan sanksi kewajiban membayar sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 20, Pasal 21, dan Pasal 22 dilakukan Bank Indonesia dengan
mendebet rekening giro rupiah Bank dan UUS pada Bank Indonesia.
(2) Dalam hal saldo rekening Bank dan UUS pada Bank Indonesia tidak
mencukupi maka sanksi kewajiban membayar wajib disetorkan secara tunai
kepada rekening Bank pada Bank Indonesia.
Pasal 24
Pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (4) dan ayat (5)
dikecualikan untuk penyampaian koreksi LBBU sebagai akibat satu atau lebih
kantor cabang Bank mengalami keadaan memaksa (force majeur) sehingga tidak
dapat mengirimkan data LBBU kepada kantor pusat Bank atau dalam hal Bank
mengirimkan ulang koreksi LBBU atas permintaan Bank Indonesia.
Pasal 25
Pelanggaran terhadap ketentuan dalam Pasal 2 ayat (1), Pasal 3 ayat (2), ayat (3),
ayat (5), Pasal 4 ayat (1), Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 15
ayat (2), Pasal 16 ayat (1), ayat (3), ayat (4), dan Pasal 19 ayat (2) dikenakan
sanksi administratif, antara lain berupa:
a. teguran …
- 20 -
a.
b.
teguran tertulis;
pencantuman anggota pengurus, pegawai, dan pemegang saham Bank
dalam daftar orang-orang yang dilarang menjadi pemegang saham dan atau
pengurus Bank;
c.
d.
e.
pembekuan kegiatan usaha tertentu, antara lain tidak diperkenankan untuk
ekspansi penyediaan dana;
pemberhentian pengurus Bank dan selanjutnya menunjuk dan mengangkat
pengganti sementara; dan atau
larangan untuk turut serta dalam kegiatan kliring.
BAB VIII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 26
Bank tetap wajib menyampaikan LBBU sebagaimana diatur dalam Peraturan
Bank Indonesia Nomor 7/27/PBI/2005 tanggal 26 Agustus 2005 tentang
Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 3/17/PBI/2001 tentang Laporan
Berkala Bank Umum dan Peraturan Bank Indonesia Nomor 3/17/PBI/2001
tanggal 4 Oktober 2001 tentang Laporan Berkala Bank Umum sampai dengan
periode penyampaian IV Agustus 2006.
BAB IX
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 27
Pengenaan sanksi kewajiban membayar sebagaimana diatur dalam Peraturan
Bank Indonesia ini mulai diberlakukan untuk LBBU yang wajib disampaikan
pada periode penyampaian I bulan September 2006.
Pasal 28 …
- 21 -
Pasal 28
(1) Dengan diberlakukannya Peraturan Bank Indonesia ini maka tata cara
penyusunan, penyampaian, dan pengenaan sanksi penyampaian laporan
sebagaimana dimaksud dalam:
a. Pasal 2, Pasal 3 ayat (2), Pasal 6 ayat (1) khususnya mengenai Laporan
Pemantauan Likuiditas dalam Pasal 2, ayat (2), ayat (3) dan ayat (4),
Pasal 7 khususnya
mengenai alamat penyampaian Laporan
Pemantauan Likuiditas dalam Pasal 2, Pasal 9 huruf a dan b, dan Pasal
10 khususnya yang mengatur mengenai Pasal 2 serta Pasal 9 huruf a
dan
b,
Surat
Keputusan
Direksi Bank Indonesia Nomor
31/179/KEP/DIR tanggal 31 Desember 1998 tentang Pemantauan
Likuiditas Bank Umum khususnya tentang Maturity Profile;
b. Pasal 66 dan Pasal 67 Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/2/PBI/2005
tanggal 20 Januari 2005 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank
Umum; dan
c. Bab VII angka 1 dan angka 2 Surat Edaran Bank Indonesia Nomor
7/3/DPNP tanggal 31 Januari 2005 tentang Penilaian Kualitas Aktiva
Bank Umum;
disesuaikan dengan Peraturan Bank Indonesia ini.
(2) Dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini, maka Peraturan Bank
Indonesia Nomor 3/17/PBI/2001 tanggal 4 Oktober 2001 tentang Laporan
Berkala Bank Umum sebagaimana telah diubah dengan PBI 7/27/PBI/2005
tanggal 24 Agustus 2005 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku sejak
periode penyampaian I bulan September 2006.
Pasal 29 …
- 22 -
Pasal 29
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 10 Juli 2006
GUBERNUR BANK INDONESIA
BURHANUDDIN ABDULLAH
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2006 NOMOR 57
DPNP/DPbS/DSM
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 8/12/PBI/2006
TENTANG
LAPORAN BERKALA BANK UMUM
UMUM
Dalam rangka mendukung tujuan Bank Indonesia dalam mencapai dan
memelihara kestabilan nilai rupiah, Bank Indonesia menetapkan kebijakan
moneter. Penetapan kebijakan moneter dapat berjalan dengan efektif apabila
didukung oleh pemantauan stabilitas sistem keuangan dan pemantauan kondisi
bank yang lebih efektif. Hal tersebut memerlukan data dan informasi bank yang
akurat, lengkap, dan tepat waktu.
Selain itu, dengan semakin pesatnya perkembangan industri keuangan,
maka informasi yang disampaikan perlu dilakukan penambahan. Dengan adanya
penambahan informasi yang disampaikan dan untuk mendukung perolehan
informasi yang akurat, lengkap, dan tepat waktu, perlu adanya penyesuaian
terhadap sistem penyampaian dan tata cara penyusunan beberapa laporan bank
umum yang telah ada serta mengatur kembali ketentuan tentang laporan berkala
bank umum dalam suatu Peraturan Bank Indonesia.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2 …
- 2 -
Pasal 2
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Bagi Kantor Cabang Bank Asing penyusunan dan penyampaian
LBBU dilakukan oleh Kantor Cabang Bank Asing tersebut.
Ayat (3)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “dana pihak ketiga” adalah Dana Pihak
Ketiga dalam rupiah dan valuta asing sebagaimana dimaksud
dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku mengenai giro
wajib minimum bank umum pada Bank Indonesia dalam rupiah
dan valuta asing.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “pos-pos neraca mingguan” adalah
neraca yang disusun secara mingguan yang memuat rincian pos-
pos tertentu neraca. Cakupan pos-pos tertentu neraca mingguan
yang
dilaporkan
Huruf c
Yang dimaksud dengan “dana pihak ketiga milik pemerintah”
adalah giro, tabungan, dan deposito yang dimiliki baik oleh
pemerintah pusat maupun pemerintah daerah propinsi dan
kabupaten/ kotamadya yang anggaran keuangannya merupakan
bagian dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)
atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Huruf d …
adalah
sesuai dengan
ketentuan Bank
Indonesia yang berlaku mengenai laporan bulanan bank umum.
- 3 -
Huruf d
Yang dimaksud dengan “maturity profile” adalah gambaran dari
pos-pos aktiva dan pasiva dalam neraca yang akan jatuh tempo
sesuai kontraknya atau asumsi lainnya sebagaimana dimaksud
dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku mengenai
pemantauan likuiditas bank umum.
Huruf e
Yang dimaksud dengan “batas maksimum pemberian kredit”
adalah persentase
maksimum penyediaan
dana yang
diperkenankan terhadap modal Bank sebagaimana dimaksud
dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku mengenai batas
maksimum pemberian kredit bank umum.
Huruf f
Yang dimaksud dengan “restrukturisasi kredit” adalah upaya
perbaikan yang dilakukan Bank dalam kegiatan perkreditan
terhadap debitur yang mengalami kesulitan untuk memenuhi
kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank
Indonesia yang berlaku mengenai penilaian kualitas aktiva bank
umum.
Huruf g
Yang dimaksud dengan “kewajiban penyediaan modal
minimum dengan memperhitungkan risiko pasar”
adalah
memperhitungkan risiko kerugian pada posisi
kewajiban penyediaan modal minimum dengan
neraca dan
rekening administratif serta transaksi derivatif akibat perubahan
secara keseluruhan dari kondisi pasar, termasuk risiko
perubahan …
- 4 -
perubahan harga option sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan Bank Indonesia yang berlaku mengenai kewajiban
penyediaan modal minimum
bank
memperhitungkan risiko pasar (market risk).
Huruf h
Yang dimaksud dengan “deposan inti” adalah 10 (sepuluh),
25 (dua puluh lima), atau 50 (lima puluh) nasabah penyimpan
dana (depositors) terbesar dari giro, tabungan dan deposito
sesuai dengan total aset Bank sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan Bank Indonesia yang berlaku mengenai sistem
penilaian tingkat kesehatan bank umum.
Yang dimaksud dengan “debitur inti” adalah 10 (sepuluh),
15 (lima belas), atau 25 (dua puluh lima) debitur inti di luar
pihak terkait sesuai dengan total aset Bank sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku
mengenai sistem penilaian tingkat kesehatan bank umum.
Huruf i
Yang dimaksud dengan “sensitivity to market risk” adalah
tingkat sensitivitas terhadap risiko pasar yang disebabkan oleh
risiko nilai tukar dan risiko suku bunga sebagaimana dimaksud
dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku mengenai sistem
penilaian tingkat kesehatan bank umum.
Ayat (4)
Huruf a
Yang dimaksud ”dana pihak ketiga” adalah Dana Pihak Ketiga
dalam rupiah dan valuta asing sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan …
umum
dengan
- 5 -
ketentuan Bank Indonesia yang berlaku mengenai giro wajib
minimum dalam rupiah dan valuta asing bagi bank umum yang
melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah pada
Bank Indonesia.
Huruf b
Yang dimaksud dengan ”pos-pos neraca mingguan” adalah
neraca yang disusun secara mingguan sesuai dengan rincian
pos-pos neraca sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank
Indonesia yang berlaku mengenai laporan bulanan bank umum
syariah.
Huruf c
Yang dimaksud dengan ”dana pihak ketiga milik pemerintah”
adalah simpanan wadiah dan investasi tidak terikat, yang
dimiliki oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah propinsi
dan kabupaten/ kotamadya.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “maturity profile” adalah gambaran dari
pos-pos aktiva dan pasiva dalam neraca yang akan jatuh tempo
sesuai kontraknya atau asumsi lainnya sebagaimana dimaksud
dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku mengenai
pemantauan likuiditas bank umum.
Huruf e
Yang dimaksud dengan “batas maksimum pemberian kredit”
adalah persentase
maksimum penyediaan
dana yang
diperkenankan terhadap modal Bank sebagaimana dimaksud
dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku mengenai batas
maksimum pemberian kredit bank umum.
Huruf f…
- 6 -
Huruf f
Yang dimaksud dengan ”deposito investasi mudharabah” adalah
posisi nilai transaksi deposito investasi mudharabah yang
tercatat pada tanggal laporan yang disajikan berdasarkan jangka
waktunya.
Huruf g
Yang dimaksud dengan ”restrukturisasi pembiayaan” adalah
upaya perbaikan yang dilakukan bank dalam kegiatan
pembiayaan, piutang, dan atau ijarah terhadap debitur yang
mengalami kesulitan untuk memenuhi kewajibannya.
Huruf h
Yang dimaksud dengan ”deposan dan debitur inti” adalah 25
penabung/investor dan debitur/grup terbesar diluar pihak terkait
bank.
Huruf i
Yang dimaksud dengan ”sensitivity to market
risk” adalah
tingkat sensitivitas terhadap risiko pasar yang disebabkan oleh
risiko nilai tukar.
Ayat (5)
Huruf a
Yang dimaksud ”dana pihak ketiga” adalah Dana Pihak Ketiga
dalam rupiah dan valuta asing sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan Bank Indonesia yang berlaku mengenai giro wajib
minimum dalam rupiah dan valuta asing bagi bank umum yang
melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah pada
Bank Indonesia.
Huruf b …
- 7 -
Huruf b
Yang dimaksud dengan ”pos-pos neraca mingguan” adalah
neraca yang disusun secara mingguan sesuai dengan rincian
pos-pos neraca sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank
Indonesia yang berlaku mengenai laporan bulanan bank umum
syariah.
Huruf c
Yang dimaksud dengan ”dana pihak ketiga milik pemerintah”
adalah simpanan wadiah dan investasi tidak terikat, yang
dimiliki oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah propinsi
dan kabupaten/ kotamadya.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “maturity profile” adalah gambaran
dari pos-pos aktiva dan pasiva dalam neraca yang akan jatuh
tempo sesuai kontraknya atau asumsi lainnya sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia tentang Pemantauan
Likuiditas Bank Umum.
Huruf e
Yang dimaksud dengan ”deposito investasi mudharabah” adalah
posisi nilai transaksi deposito investasi mudharabah yang
tercatat pada tanggal laporan yang disajikan berdasarkan jangka
waktunya.
Huruf f
Yang dimaksud dengan ”restrukturisasi pembiayaan” adalah
upaya perbaikan yang dilakukan bank dalam kegiatan
pembiayaan …
- 8 -
pembiayaan, piutang, dan atau ijarah terhadap debitur yang
mengalami kesulitan untuk memenuhi kewajibannya.
Huruf g
Yang dimaksud dengan ”deposan dan debitur inti” adalah 25
penabung/investor dan debitur/grup terbesar diluar pihak terkait
bank.
Pasal 3
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “petugas” adalah pegawai yang mengetahui,
menguasai, dan mengoperasikan sistem pelaporan.
Yang dimaksud dengan “penanggung jawab” adalah pejabat yang
memiliki
wewenang
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 4 …
dengan
pengurus Bank adalah direksi Bank,
komisaris Bank, dan atau pimpinan Kantor Cabang Bank Asing.
untuk memberikan
keabsahan dan keakuratan data yang dikirimkan.
otorisasi mengenai
- 9 -
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Posisi laporan tanggal akhir bulan pada setiap akhir triwulan adalah data
pada posisi akhir bulan Maret, Juni, September, dan Desember.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c …
- 10 -
Huruf c
Angka 1
Cukup jelas.
Angka 2
Cukup jelas.
Angka 3
Cukup jelas.
Angka 4
Cukup jelas.
Angka 5
Cukup jelas.
Angka 6
Data ini terdiri dari data sensitivity to market risk suku bunga
dan sensitivity to market risk nilai tukar.
Laporan ini hanya disampaikan pada periode penyampaian III
bulan Januari, April, Juli, dan Oktober setiap tahun.
Huruf d
Cukup jelas.
Pasal 10
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c …
- 11 -
Huruf c
Angka 1
Cukup jelas.
Angka 2
Cukup jelas.
Angka 3
Cukup jelas.
Angka 4
Cukup jelas.
Angka 5
Data ini terdiri dari data sensitivity to market risk nilai tukar.
Laporan ini hanya disampaikan pada periode penyampaian III
bulan Januari, April, Juli, dan Oktober setiap tahun.
Huruf d
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Sebagai contoh,
Bank menyampaikan LBBU periode data laporan minggu ketiga pada
tanggal 18 September 2006, kemudian pada tanggal 20 September 2006
diketahui terdapat kesalahan LBBU yang telah disampaikan.
Periode …
- 12 -
Periode penyampaian untuk LBBU periode data laporan minggu
ketiga dan koreksinya adalah mulai tanggal 16 sampai dengan tanggal
21 September 2006.
Dalam hal ini Bank wajib menyampaikan koreksi atas kesalahan tersebut
paling lambat pada tanggal 21 September 2006.
Kesalahan LBBU antara lain disebabkan adanya temuan Bank, Bank
Indonesia maupun akuntan publik.
Pasal 13
Yang dimaksud dengan hari libur adalah hari libur nasional dan atau hari
libur lokal yang ditetapkan oleh pemerintah daerah setempat.
Dalam hal terdapat beberapa hari libur umum yang berurutan termasuk hari
libur khusus, pelaksanaan penyampaian LBBU dan atau koreksi LBBU
akan diberitahukan kemudian oleh Bank Indonesia.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2) …
- 13 -
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Batas waktu untuk UUS adalah 2 (dua) bulan setelah kantor
cabang syariah atau unit
kegiatan operasional.
syariah yang pertama melakukan
Huruf c
Yang dimaksud dengan gangguan teknis adalah gangguan yang
menyebabkan Bank dan UUS tidak dapat menyampaikan
LBBU dan atau koreksi LBBU secara on-line, antara lain
gangguan pada jaringan telekomunikasi, gangguan pada sistem
di Bank dan di Bank Indonesia, kebakaran gedung, dan atau
pemadaman listrik.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19 …
- 14 -
Pasal 19
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan keadaan memaksa (force majeur) adalah
keadaan yang secara nyata-nyata menyebabkan Bank dan UUS tidak
dapat menyusun dan menyampaikan LBBU dan atau koreksi LBBU,
antara lain adalah gempa bumi, banjir, kerusuhan, dan perang, yang
dibenarkan oleh penguasa atau pejabat dari instansi terkait di daerah
setempat.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 20
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4) …
- 15 -
Ayat (4)
Yang dimaksud “per laporan” adalah LBBU yang terdiri dari
beberapa laporan sesuai periode penyampaian LBBU.
Yang dimaksud “per item koreksi” adalah koreksi data per field data.
Penyampaian koreksi LBBU dilakukan atas inisiatif Bank.
Contoh:
Bank A menyampaikan koreksi atas Formulir 8 - Laporan Kredit
yang direstrukturisasi untuk posisi bulan Februari 2006, pada tanggal
3 April 2006. Koreksi yang dilakukan adalah koreksi data debitur X
yaitu data nilai agunan, suku bunga, dan tunggakan bunga.
Sanksi kewajiban membayar yang dibebankan kepada Bank A adalah
sebesar 3 (tiga) item x Rp.50.000,00 (lima puluh ribu rupiah)
Rp.150.000,00 (seratus lima puluh ribu rupiah).
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23 …
- 16 -
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4629
DPNP/DPbS/DSM
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 8/12/PBI/2006 </reg_id>
<reg_title> LAPORAN BERKALA BANK UMUM </reg_title>
<set_date> 10 Juli 2006 </set_date>
<effective_date> 10 Juli 2006 </effective_date>
<replaced_reg> '3/17/PBI/2001', '7/27/PBI/2005' </replaced_reg>
<related_reg> '23/UU/1999', '3/UU/2004', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB VII' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 7/47/PBI/2005
TENTANG
TRANSPARANSI KONDISI KEUANGAN
BANK PERKREDITAN RAKYAT SYARIAH
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang: a. bahwa berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992
tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-
undang Nomor 10 Tahun 1998, Bank Perkreditan Rakyat
Syariah wajib mengumumkan laporan keuangan dalam waktu
dan bentuk yang ditetapkan oleh Bank Indonesia;
b. bahwa dalam rangka transparansi kondisi keuangan dan kinerja
Bank Perkreditan Rakyat
Syariah, diperlukan informasi
keadaan keuangan dan informasi lainnya kepada publik secara
berkala, akurat dan benar;
c. bahwa laporan keuangan tahunan dan laporan keuangan
publikasi Bank Perkreditan Rakyat Syariah yang berlaku belum
sepenuhnya disusun berdasarkan Pernyataan Standar Akuntansi
Keuangan tentang Akuntansi Perbankan Syariah serta Pedoman
Akuntansi Perbankan Syariah Indonesia;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, huruf b dan huruf c dipandang perlu untuk
menyempurnakan ketentuan tentang Laporan Keuangan
Tahunan …
- 2 -
Tahunan, dan Laporan Keuangan Publikasi bagi Bank
Perkreditan Rakyat
Indonesia tentang Transparansi Kondisi Keuangan Bank
Perkreditan Rakyat Syariah.
Mengingat:
1. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472)
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10
Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3790);
2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843)
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 3
Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4357);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan:
PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG
TRANSPARANSI KONDISI KEUANGAN BANK
PERKREDITAN RAKYAT SYARIAH
BAB I …
Syariah dalam suatu Peraturan Bank
- 3 -
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Bank Perkreditan Rakyat Syariah yang selanjutnya disebut BPRS adalah
Bank Perkreditan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998, yang melaksanakan kegiatan usaha
berdasarkan prinsip syariah.
2. Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah adalah kegiatan
perbankan yang
dilakukan
usaha
berdasarkan Prinsip Syariah sebagaimana
dimaksud dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998.
3. Laporan Tahunan adalah laporan lengkap mengenai kinerja suatu BPRS
dalam kurun waktu satu tahun yang berisi Laporan Keuangan Tahunan dan
informasi umum.
4. Laporan Keuangan Tahunan adalah laporan keuangan akhir tahun BPRS
yang disusun berdasarkan standar akuntansi keuangan yang berlaku.
5. Laporan Keuangan Publikasi Triwulanan adalah laporan keuangan yang
disusun berdasarkan standar akuntansi keuangan yang berlaku dan
dipublikasikan setiap triwulan sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia.
6. Akuntan Publik adalah akuntan yang memiliki izin usaha untuk melakukan
kegiatan pemberian jasa audit yang dikeluarkan oleh Menteri Keuangan.
7. Tahun Buku adalah tahun takwim atau tahun yang dimulai dari bulan Januari
sampai dengan bulan Desember.
8. Surat …
- 4 -
8. Surat Komentar (Management Letter) adalah komentar tertulis dari Akuntan
Publik kepada manajemen bank mengenai hasil kaji ulang terhadap struktur
pengendalian intern, pelaksanaan standar akuntansi keuangan atau masalah
lain yang ditemui dalam pelaksanaan audit, beserta dengan saran-saran
perbaikannya.
9. Dewan Pengawas Syariah adalah dewan yang melakukan pengawasan
terhadap pelaksanaan Prinsip Syariah dalam kegiatan usaha BPRS.
Pasal 2
Dalam rangka transparansi kondisi keuangan, BPRS wajib membuat dan
menyajikan laporan keuangan dengan bentuk dan cakupan sebagaimana
ditetapkan dalam Peraturan Bank Indonesia ini, yang terdiri dari:
a. Laporan Tahunan;
b. Laporan Keuangan Publikasi Triwulanan.
BAB II
LAPORAN TAHUNAN
Pasal 3
(1) BPRS wajib menyampaikan kepada Bank Indonesia Laporan Tahunan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a, yang paling sedikit mencakup:
a. informasi umum yang terdiri dari:
1. kepengurusan;
2. kepemilikan;
3. perkembangan usaha BPRS dan perkembangan kelompok usaha
BPRS, jika ada;
4. strategi …
- 5 -
4. strategi dan kebijakan manajemen; dan
5. laporan manajemen.
b. Laporan Keuangan Tahunan yang terdiri dari :
1. Neraca;
2. Laporan Laba Rugi;
3. Laporan Arus Kas;
4. Laporan Perubahan Ekuitas;
5. Catatan atas laporan
Komitmen dan Kontinjensi;
keuangan, termasuk informasi tentang
6. Laporan Perubahan Dana Investasi Terikat, jika ada;
7. Laporan Sumber dan Penggunaan Dana Zakat, Infaq dan Shadaqah;
dan
8. Laporan Sumber dan Penggunaaan Dana Qardh.
(2) Laporan Tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b bagi BPRS
yang mempunyai total aset diatas Rp10.000.000.000,00 (sepuluh milyar
rupiah) wajib diaudit oleh Akuntan Publik.
(3) Laporan Tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dibuat untuk
1 (satu) Tahun Buku dan disajikan paling sedikit dengan perbandingan 1
(satu) tahun buku sebelumnya.
Pasal 4
(1) Bagi BPRS yang mempunyai total aset sampai dengan Rp10.000.000.000,00
(sepuluh milyar rupiah) Laporan Keuangan Tahunan yang disampaikan
adalah laporan keuangan yang dipertanggungjawabkan Direksi atau Pengurus
kepada Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) atau Rapat Anggota.
(2) Dalam …
- 6 -
(2) Dalam hal laporan keuangan BPRS sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diaudit oleh Akuntan Publik, maka laporan yang disampaikan adalah laporan
yang diaudit.
Pasal 5
(1) Laporan Tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4
ayat (2), wajib disampaikan kepada Bank Indonesia paling lambat akhir
bulan April tahun berikutnya.
(2) Laporan Tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) wajib
disampaikan kepada Bank Indonesia paling lambat akhir bulan Februari
tahun berikutnya.
Pasal 6
(1) BPRS dianggap terlambat menyampaikan Laporan Tahunan apabila BPRS
menyampaikan Laporan Tahunan kepada Bank Indonesia melampaui batas
akhir waktu penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
tetapi belum melampaui 1 (satu) bulan sejak batas akhir penyampaian
laporan.
(2) BPRS dianggap tidak menyampaikan Laporan Tahunan apabila BPRS belum
menyampaikan Laporan Tahunan dalam batas waktu keterlambatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau Laporan Keuangan Tahunan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 ayat (2) tidak
diaudit oleh Akuntan Publik yang terdaftar di Bank Indonesia.
BAB III …
- 7 -
BAB III
LAPORAN KEUANGAN PUBLIKASI TRIWULANAN.
Pasal 7
(1) BPRS wajib mengumumkan Laporan Keuangan Publikasi secara triwulanan
untuk posisi pelaporan akhir bulan Maret, Juni, September dan Desember
sesuai dengan bentuk dan tatacara yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
(2) Laporan Keuangan Publikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk
posisi pelaporan akhir bulan Maret dan September paling sedikit terdiri dari:
a. Laporan Keuangan yang terdiri dari :
1. Neraca;
2. Laporan Laba Rugi ;
3. Komitmen dan Kontinjensi.
b. Kualitas Aktiva Produktif dan Informasi lainnya yang terdiri dari:
1. Aktiva Produktif kepada pihak terkait;
2. Kolektibilitas Aktiva Produktif;
3. Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif yang wajib dibentuk;
4. Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif yang telah dibentuk; dan
5. Komposisi pemegang saham, susunan pengurus dan Dewan Pengawas
Syariah.
c. Tabel Distribusi Bagi Hasil.
(3) Laporan Keuangan Publikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk
posisi pelaporan akhir bulan Juni dan Desember, selain paling sedikit
disajikan sama dengan posisi akhir bulan Maret dan September sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), juga wajib menyajikan informasi yang terdiri dari:
a. Laporan Sumber dan Penggunaan Dana ZIS dan Laporan Sumber dan
Penggunaan Dana Qardh; dan
b. Laporan …
- 8 -
b. Laporan Perubahan Dana Investasi Terikat, jika ada.
(4) Laporan Keuangan Publikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
disajikan dalam bentuk perbandingan dengan laporan pada periode yang
sama tahun sebelumnya.
Pasal 8
(1) Pengumuman Laporan Keuangan Publikasi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7 ayat (1) dapat dilakukan pada surat kabar lokal atau ditempelkan pada
papan pengumuman di kantor BPRS yang bersangkutan.
(2) Pengumuman Laporan Keuangan Publikasi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan selambat-lambatnya:
a. 1 (satu) bulan setelah berakhirnya bulan laporan untuk laporan keuangan
posisi akhir bulan Maret dan Juni;
b. 2 (dua) bulan setelah berakhirnya tahun laporan untuk laporan keuangan
posisi akhir bulan Desember yang tidak diaudit oleh Akuntan Publik;
c. 4 (empat) bulan setelah berakhirnya tahun laporan untuk laporan
keuangan posisi akhir bulan Desember yang diaudit oleh Akuntan Publik.
(3) Dalam hal pengumuman dilakukan dengan cara menempelkan pada papan
pengumuman, pengumuman dimaksud dilakukan sampai dengan
pengumuman Laporan Keuangan Publikasi berikutnya.
Pasal 9
(1) Laporan Keuangan Publikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 wajib
ditandatangani oleh Direksi BPRS dengan mencantumkan namanya secara
jelas .
(2) Dalam …
- 9 -
(2) Dalam hal Direksi berhalangan, Laporan Keuangan Publikasi ditandatangani
oleh pejabat yang diberi wewenang oleh Direksi dengan mencantumkan
namanya secara jelas.
(3) Bagi BPRS yang laporan keuangannya diaudit oleh Akuntan Publik, untuk
Laporan Keuangan Publikasi posisi akhir bulan Desember, selain wajib
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga wajib
mencantumkan nama Akuntan Publik yang bertanggung jawab dalam audit
dan nama Kantor Akuntan Publik yang mengaudit Laporan Keuangan
Tahunan.
Pasal 10
BPRS wajib menyampaikan kepada Bank Indonesia:
a. guntingan surat kabar yang berisikan Laporan Keuangan Publikasi atau
fotokopi Laporan Keuangan Publikasi yang ditempelkan pada papan
pengumuman, selambat-lambatnya 2 (dua) minggu sejak tanggal
pengumuman;
b. disket yang berisi Laporan Keuangan Publikasi.
Pasal 11
(1) BPRS dianggap terlambat mengumumkan atau menyampaikan Laporan
Keuangan Publikasi kepada Bank Indonesia, apabila BPRS mengumumkan
atau menyampaikan Laporan Keuangan Publikasi melampaui batas akhir
waktu pengumuman atau penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 8 ayat (2) dan Pasal 10, tetapi tidak melampaui 1 (satu) bulan sejak
batas akhir waktu pengumuman.
(2) BPRS …
- 10 -
(2) BPRS
dianggap
tidak mengumumkan atau menyampaikan
Laporan
Keuangan Publikasi, apabila BPRS belum mengumumkan atau
menyampaikan Laporan Keuangan Publikasi dalam batas waktu
keterlambatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
BAB IV
HUBUNGAN ANTARA BPRS, AKUNTAN PUBLIK, DEWAN PENGAWAS
SYARIAH DAN BANK INDONESIA
Pasal 12
(1) BPRS dalam memberikan penugasan audit wajib menunjuk Kantor Akuntan
Publik dan Akuntan Publik yang telah terdaftar di Bank Indonesia.
(2) Akuntan Publik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memiliki
pengetahuan dan atau pengalaman di bidang perbankan syariah.
(3) Penugasan atau Penunjukan Akuntan Publik dan atau Kantor Akuntan Publik
yang sama oleh BPRS paling lama dilakukan untuk periode audit 5 (lima)
tahun buku berturut-turut.
Pasal 13
(1) Penunjukan Akuntan Publik dan Kantor Akuntan Publik dalam rangka audit
Laporan Keuangan Tahunan BPRS wajib didasarkan pada perjanjian kerja.
(2) Perjanjian kerja antara BPRS dan Kantor Akuntan Publik sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) paling sedikit mencakup:
a. nama Kantor Akuntan Publik;
b. Akuntan Publik yang bertanggung jawab terhadap audit (partner in
charge);
c. kewajiban …
- 11 -
c.
kewajiban Akuntan Publik untuk melaksanakan audit sesuai Standar
Profesional Akuntan Publik;
d. ruang lingkup audit;
e. jangka waktu penyelesaian audit;
f.
pernyataan dari BPRS mengenai izin kepada Kantor Akuntan Publik dan
kewajiban Kantor Akuntan Publik untuk menyampaikan pula secara
langsung kepada Bank Indonesia:
1. laporan hasil audit;
2. Surat Komentar (Management Letter);
3. informasi lainnya yang dibutuhkan oleh Bank Indonesia dari Akuntan
Publik yang dilakukan setiap saat apabila diperlukan;
4. informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 huruf b;
g. kewajiban Akuntan Publik untuk memberitahukan kepada Bank
Indonesia sebelum pelaksanaan audit.
(3) Laporan hasil audit dan Surat Komentar (Management Letter) sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf f angka 1 dan angka 2 wajib disampaikan
kepada Bank Indonesia paling lambat 4 (empat) bulan setelah tahun buku.
(4) Ruang lingkup audit sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d, paling
sedikit mencakup:
a. penggolongan kualitas aktiva produktif dan kecukupan penyisihan
penghapusan aktiva produktif yang dibentuk BPRS;
b. penilaian terhadap rupa-rupa aktiva termasuk namun tidak terbatas pada
agunan yang diambil alih BPRS;
c. hal-hal lain yang diatur dalam standar akuntansi keuangan yang berlaku
dan Pedoman Akuntansi Perbankan Syariah Indonesia, termasuk catatan
atas Laporan Keuangan;
d. pendapat…
- 12 -
d. pendapat terhadap kewajaran atas transaksi dengan pihak-pihak yang
mempunyai hubungan istimewa maupun transaksi yang dilakukan dengan
perlakuan khusus;
e. jumlah dan kualitas penyediaan dana kepada pihak terkait;
f. rincian pelanggaran batas maksimum pemberian kredit yang meliputi
nama nasabah, kualitas penyediaan dana, persentase dan jumlah
pelanggaran batas maksimum pemberian kredit;
g. perhitungan kewajiban penyediaan modal minimum;
h. keandalan sistem pelaporan BPRS kepada Bank Indonesia dan pengujian
terhadap keandalan laporan-laporan yang disampaikan oleh BPRS kepada
Bank Indonesia.
Pasal 14
(1) Bank Indonesia dapat menyatakan keberatan atas penunjukan Akuntan
Publik tertentu oleh BPRS.
(2) Bank Indonesia memiliki akses informasi langsung terhadap Akuntan Publik
dalam hal Bank Indonesia menganggap hal tersebut adalah dalam rangka
melindungi integritas keuangan BPRS dan atau dalam keadaan lain yang
dianggap perlu dalam rangka pengawasan.
Pasal 15
Akuntan Publik yang melakukan audit terhadap Laporan Keuangan Tahunan
BPRS wajib:
a. melakukan audit sesuai dengan standar profesional akuntan publik, serta
perjanjian kerja dan ruang lingkup audit sebagaimana dimaksud dalam Pasal
13; dan
b. memberitahukan …
- 13 -
b. memberitahukan ke Bank Indonesia selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja
sejak ditemukannya:
1. pelanggaran peraturan perundang-undangan yang berlaku di bidang
keuangan dan perbankan; dan
2. keadaaan dan perkiraan keadaan yang dapat membahayakan kelangsungan
usaha BPRS.
c. menyampaikan laporan hasil audit dan Management Letter kepada Bank
Indonesia.
d. memenuhi ketentuan rahasia Bank sebagaimana diatur dalam Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998.
e. memperoleh pendapat dari Dewan Pengawas Syariah mengenai ketaatan
BPRS terhadap pelaksanaan prinsip syariah, sebelum menerbitkan Laporan
Audit atas Laporan Keuangan BPRS.
BAB V
LAPORAN KEUANGAN KONSOLIDASI
Pasal 16
(1) BPRS yang merupakan bagian dari suatu kelompok usaha dan atau BPRS
yang memiliki perusahaan anak, wajib menyusun laporan keuangan
konsolidasi berdasarkan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan.
(2) Penyertaan BPRS yang mengakibatkan timbulnya pengendalian namun
hanya bersifat sementara dapat dikecualikan dari penyusunan laporan
keuangan konsolidasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 17 …
- 14 -
Pasal 17
Laporan Keuangan konsolidasi wajib disusun secara konsolidasi untuk Laporan
Keuangan Tahunan maupun Laporan Keuangan Publikasi Triwulanan
BAB VI
TANGGUNG JAWAB LAPORAN KEUANGAN
Pasal 18
Laporan Keuangan Tahunan dan Laporan Keuangan Publikasi Triwulanan
sepenuhnya menjadi tanggung jawab Direksi BPRS.
BAB VII
PEDOMAN AKUNTANSI PERBANKAN SYARIAH INDONESIA
Pasal 19
BPRS wajib melakukan pencatatan atas kegiatan usahanya berdasarkan
Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan dan Pedoman Akuntansi Perbankan
Syariah Indonesia yang berlaku bagi Perbankan Syariah.
BAB VIII
SANKSI
Pasal 20
Laporan Tahunan
(1) BPRS …
- 15 -
(1) BPRS yang terlambat menyampaikan Laporan Tahunan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1), dikenakan sanksi kewajiban membayar
sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) per hari kerja keterlambatan.
(2) BPRS yang tidak menyampaikan Laporan Tahunan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6 ayat (2), dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar
Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah).
Pasal 21
(1) Apabila isi Laporan Tahunan secara material tidak sesuai dengan keadaan
sebenarnya dan atau tidak disajikan sesuai ketentuan dalam Peraturan Bank
Indonesia ini dan atau Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku,
maka:
a. setelah diberi peringatan 2 (dua) kali surat teguran oleh Bank Indonesia
dengan tenggang waktu 2 (dua) minggu untuk setiap teguran, BPRS tidak
memperbaiki laporan dimaksud, dikenakan sanksi berupa kewajiban
membayar sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah); dan
b. dapat dikenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal
52 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana
telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998, antara lain
berupa:
1. penurunan nilai kredit dalam perhitungan tingkat kesehatan;
2. pencantuman anggota pengurus, pegawai BPRS, pemegang saham
dalam daftar orang-orang yang dilarang menjadi pengurus dan pemilik
BPRS;
3. pemberhentian pengurus BPRS dan selanjutnya Bank Indonesia
menunjuk dan mengangkat pengganti sementara.
(2) Apabila …
- 16 -
(2) Apabila berdasarkan penilaian Bank Indonesia, Laporan Tahunan BPRS
secara material tidak sesuai dengan keadaan sebenarnya dan atau tidak
disajikan sesuai ketentuan
dalam Peraturan Bank Indonesia ini dan atau
Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku, selain dikenai sanksi
administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terhadap Dewan
Komisaris, Direksi, pegawai BPRS maupun pihak terafiliasi lainnya dapat
dikenakan sanksi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (1) dan
Pasal 50 Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998.
Pasal 22
Laporan Keuangan Publikasi
(1) BPRS yang terlambat mengumumkan atau terlambat menyampaikan Laporan
Keuangan Publikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat
(1),
dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu
rupiah) per hari kerja keterlambatan.
(2) BPRS yang
tidak mengumumkan atau tidak menyampaikan
Keuangan Publikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat
Laporan
(2),
dikenakan sanksi kewajiban membayar setinggi-tingginya sebesar
Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah).
(3) Apabila menurut penilaian Bank Indonesia
Laporan Keuangan Publikasi
secara material tidak sesuai dengan keadaan sebenarnya dan atau Penyataan
Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku, maka:
a. setelah diberi peringatan 2 (dua) kali surat teguran oleh Bank Indonesia
dengan tenggang waktu 2 (dua) minggu untuk setiap teguran, BPRS tidak
memperbaiki dan atau mengumumkan kembali laporan dimaksud,
dikenakan …
- 17 -
dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp5.000.000,00 (lima juta
rupiah); dan
b. dapat dikenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal
52 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana
telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998, antara lain
berupa:
1. teguran tertulis;
2. penurunan nilai kredit dalam perhitungan tingkat kesehatan.
(4) Apabila berdasarkan penilaian Bank Indonesia, Laporan Tahunan BPRS
secara material tidak sesuai dengan keadaan sebenarnya dan atau tidak
disajikan sesuai ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia ini dan atau
Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku, selain dikenai sanksi
administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (3), terhadap Dewan
Komisaris, Direksi, pegawai BPRS maupun pihak terafiliasi lainnya dapat
dikenakan sanksi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (1) dan
Pasal 50 Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998.
Pasal 23
Akuntan Publik dan Kantor Akuntan Publik
(1) Akuntan Publik atau Kantor Akuntan Publik yang secara material melanggar
ketententuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 dikenakan sanksi
administratif sebagaimana tercantum dalam Pasal 53 Undang-undang Nomor
7 tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana diubah dengan Undang-undang
Nomor 10 Tahun 1998, berupa:
a. penghapusan nama Akuntan Publik dari daftar Akuntan Publik di Bank
Indonesia;
b. penghapusan …
- 18 -
b. penghapusan Kantor Akuntan Publik dari daftar Kantor Akuntan Publik
di BI, apabila pelanggaran dilakukan oleh 2 (dua) orang Akuntan Publik
yang bertanggung jawab (partner in charge) dalam audit BPRS dari
Kantor Akuntan Publik yang sama;
c.
penyampaian usulan kepada instansi yang berwenang untuk mencabut
atau membatalkan izin usaha sebagai pemberi jasa bagi Bank sesuai
dengan ketentuan atau kode etik yang berlaku.
(2) Akuntan Publik yang tidak memenuhi ketentuan rahasia bank sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 15 huruf d, selain dikenakan sanksi administratif
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), juga dapat dikenakan sanksi pidana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (2) Undang-undang Nomor 7
Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-
undang Nomor 10 Tahun 1998.
BAB IX
LAIN – LAIN
Pasal 24
BPRS yang telah dikenakan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20, Pasal
21 dan Pasal 22 tetap diwajibkan untuk menyampaikan Laporan dimaksud.
Pasal 25
(1) Pembebanan sanksi kewajiban membayar sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 20, Pasal 21 ayat (1) dan Pasal 22, dilakukan dengan cara transfer ke
rekening Bank Indonesia.
(2) Tatacara …
- 19 -
(2) Tatacara transfer ke rekening Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
BAB XI
KEADAAN MEMAKSA (FORCE MAJEURE)
Pasal 26
(1) BPRS yang mengalami keadaan memaksa (force majeure) selama lebih dari
satu bulan dalam periode di bulan yang terakhir seharusnya mengumumkan
dan atau menyampaikan laporan, dikecualikan dari kewajiban menyampaikan
Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1), Pasal 5 ayat (2),
Pasal 8 ayat (2), dan Pasal 10.
(2) BPRS yang mengalami
keadaan memaksa
(force majeure),
wajib
menyampaikan permohonan untuk memperoleh pengecualian sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) secara tertulis kepada Bank Indonesia, dengan
disertai penjelasan mengenai keadaan memaksa yang dialami.
(3) BPRS yang memperoleh pengecualian sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
wajib mengumumkan dan atau menyampaikan Laporan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1), Pasal 5 ayat (2), Pasal 8 ayat (2) dan Pasal
10, setelah BPRS kembali melakukan kegiatan operasional secara normal.
BAB X …
- 20 -
BAB X
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 27
(1) Dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini, BPRS tetap diwajibkan
untuk menyampaikan Laporan Keuangan Publikasi posisi akhir bulan
September 2005 sebagaimana diatur dalam Surat Keputusan Direksi Bank
Indonesia Nomor 27/119/KEP/DIR tanggal 25 Januari 1995 tentang Laporan
Keuangan Tahunan dan Laporan Keuangan Publikasi.
(2) Kewajiban Akuntan Publik untuk memperoleh pendapat Dewan Pengawas
Syariah mengenai ketaatan BPRS terhadap pelaksanaan prinsip syariah,
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 huruf e mulai diberlakukan sejak
pelaporan Laporan Keuangan Tahunan untuk tahun buku 2006 dan Laporan
Keuangan Publikasi posisi akhir bulan Desember 2006.
BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 28
Ketentuan lebih lanjut mengenai Transparansi Kondisi
Keuangan Bank
Perkreditan Rakyat Syariah akan diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 29
(1) Peraturan Bank Indonesia ini mulai diberlakukan sejak pelaporan untuk
Laporan Keuangan Tahunan untuk Tahun Buku 2005 dan Laporan Keuangan
Publikasi posisi akhir bulan Desember 2005.
(2) Dengan …
- 21 -
(2) Dengan diberlakukannya ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
maka Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 27/119/KEP/DIR
tentang Laporan Keuangan Tahunan dan Laporan Keuangan Publikasi, dan
Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 27/5/UPPB tentang Laporan Keuangan
Tahunan dan Laporan Keuangan Publikasi masing-masing tanggal 25 Januari
1995, dinyatakan tidak berlaku bagi BPRS.
Pasal 30
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal : 14 November 2005
GUBERNUR BANK INDONESIA,
BURHANUDDIN ABDULLAH
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2005 NOMOR 125
DPbS
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK NDONESIA
NOMOR: 7/47/PBI/2005
TENTANG
TRANSPARANSI KONDISI KEUANGAN BANK PERKREDITAN
RAKYAT SYARIAH
UMUM
Sesuai dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998, Bank
Perkreditan Rakyat yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip
Syariah wajib mengumumkan laporan keuangan dalam bentuk neraca, perhitungan
laba rugi dan bentuk lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Dalam rangka melindungi kepentingan masyarakat dan penerapan good
corporate governance, dimana salah satu aspek pentingnya adalah transparansi
kondisi keuangan kepada publik, maka laporan keuangan yang diumumkan
tersebut dapat melindungi kepentingan masyarakat penyimpan dana, investor dan
atau pengguna lainnya sehingga akhirnya dapat meningkatkan kepercayaan publik
terhadap perbankan nasional.
Agar informasi yang disampaikan dapat memberikan informasi yang akurat
dan benar, maka perlu adanya suatu standar akuntansi dan pedoman dalam
pencatatan dan pelaporan yang sesuai dengan karateristik perbankan syariah dan
perlu adanya audit atas laporan keuangan tersebut bagi yang memenuhi kriteria
untuk diaudit oleh akuntan publik. Dalam kaitan dengan kewajiban untuk diaudit
oleh …
- 2 -
oleh akuntan publik, maka perlu diatur antara lain mengenai persyaratan akuntan
publik yang dapat mengaudit, ruang lingkup audit yang dilakukan, komunikasi
dengan Bank Indonesia dan Dewan Pengawas Syariah.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 4
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “Pengurus” adalah Pengurus bagi BPRS yang
berbadan hukum Koperasi.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 5
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2) …
- 3 -
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 6
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 7
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan Tabel Distribusi Bagi Hasil adalah tabel
yang menyajikan informasi tentang jumlah dana penyimpan dan
jumlah investor berdasarkan produk beserta jumlah bagi hasil
dan bonus yang dibagikan dengan dilengkapi informasi
indicative rate of return.
Ayat (3)
Huruf a
Yang dimaksud dengan :
- Laporan Sumber dan Penggunaan Dana ZIS adalah laporan
yang menunjukkan sumber dan penggunaan dana ZIS selama
suatu …
- 4 -
suatu jangka waktu tertentu, serta saldo ZIS pada tanggal
tertentu.
- Laporan Sumber dan Penggunaan Dana Qardh adalah laporan
yang menunjukkan sumber dan penggunaan dana Qardh
selama suatu jangka waktu tertentu, serta saldo Qardh pada
tanggal tertentu.
Huruf b
Yang dimaksud dengan Laporan Perubahan Dana Investasi
Terikat (Mudharabah muqayyadah) adalah laporan yang
menunjukkan penyaluran dana Mudharabah muqayyadah yang
dilakukan bank syariah, dimana bank syariah tidak menanggung
risiko atas dana yang disalurkan tersebut (channeling agent).
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 8
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan surat kabar lokal adalah surat kabar yang
mempunyai peredaran diwilayah BPRS tersebut berada.
Papan pengumuman diletakkan pada tempat yang mudah terlihat dan
dapat terbaca.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal (9) …
- 5 -
Pasal 9
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 12
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Memiliki pengetahuan perbankan syariah dibuktikan dengan telah
mengikuti pendidikan/pelatihan tentang perbankan syariah antara lain
tentang sistem operasional perbankan syariah, produk dan akuntansi
syariah.
Ayat (3)
Pengaturan ini dimaksudkan agar terdapat penilaian dari pihak yang
berbeda dalam rangka meningkatkan independensi profesi Akuntan
Publik …
- 6 -
Publik. Perhitungan jangka waktu 5 (lima) dimulai sejak berlakunya
Peraturan bank Indonesia ini
Pasal 13
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Huruf a sampai dengan huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa adalah pihak-
pihak sebagaimana dimaksud dalam Pernyataan Standar
Akuntansi Keuangan.
Huruf e sampai dengan huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Pengujian terhadap keandalan
laporan
termasuk
penilaian
Akuntan Publik mengenai laporan yang disampaikan ke Bank
Indonesia telah disusun dan sesuai dengan data yang ada di
BPRS.
Laporan sebagaimana dimaksud dalam huruf ini termasuk namun
tidak terbatas pada Laporan Bulanan BPRS, Laporan Batas
Maksimum Pemberian Kredit.
Pasal 14 …
- 7 -
Pasal 14
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “keberatan” pada ayat ini, apabila selama
penugasan audit Bank Indonesia memiliki informasi tentang Akuntan
Publik yang bersangkutan yang bisa berpengaruh tidak baik terhadap
kelancaran dan pelaksanaan tugasnya, seperti track record yang tidak
baik.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 15
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan keadaan dan atau perkiraan yang dapat
membayakan kelangsungan usaha BPRS, antara lain:
a. Kekurangan kewajiban penyediaan modal minimum;
b. Kekurangan pembentukan penyisihan penghapusan aktiva
produktif yang material;
c. Pelanggaran batas maksimum pemberian kredit;
d. Kecurangan (fraud) yang bernilai material.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e …
- 8 -
Huruf e
Dalam mengeluarkan pendapat mengenai ketaatan BPRS terhadap
prinsip syariah, Dewan Pengawas Syariah harus mengacu kepada
ketentuan Bank Indonesia tentang tugas dan peran Dewan Pengawas
Syariah. Pendapat dari Dewan Pengawas Syariah ini merupakan bukti
audit dan tidak mempengaruhi pendapat Akuntan Publik dalam
memberikan pendapat.
Pasal 16
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan perusahaan anak adalah badan hukum yang
dimiliki atau dikendalikan oleh BPRS, baik langsung maupun tidak
langsung.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan bersifat sementara antara lain pengendalian
yang akan dilepaskan dalam jangka waktu selambat-lambatnya 12
bulan sejak akhir posisi laporan keuangan pada tahun perolehan
pengendalian atau penyertaan modal sementara dalam rangka
restrukturisasi.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2) …
- 9 -
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 21
Ayat (1)
Dalam hal materi kesalahan yang sama telah dikenakan sanksi dalam
Laporan Keuangan Publikasi Triwulanan maka BPRS tidak dikenakan
sanksi dalam ayat ini.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 22
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 23
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25 …
- 10 -
Pasal 25
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 26
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan keadaan memaksa (force majeure) adalah
keadaan yang secara nyata-nyata menyebabkan BPRS tidak dapat
mengumumkan dan/atau menyampaikan laporan, antara lain
kebakaran, kerusuhan massa, perang, sabotase, serta bencana alam
seperti gempa bumi dan banjir, yang dibenarkan oleh penguasa atau
pejabat dari instansi terkait di daerah setempat.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 27
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29 …
- 11 -
Pasal 29
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4564
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 7/47/PBI/2005 </reg_id>
<reg_title> TRANSPARANSI KONDISI KEUANGAN BANK PERKREDITAN RAKYAT SYARIAH </reg_title>
<set_date> 14 November 2005 </set_date>
<effective_date> 14 November 2005 </effective_date>
<replaced_reg> '27/119/KEP/DIR|SKDIR-BI', '27/5/UPPB|SE-BI/1995' </replaced_reg>
<related_reg> '23/UU/1999', '3/UU/2004', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB VIII' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 11/ 15 /PBI/2009
TENTANG
PERUBAHAN KEGIATAN USAHA BANK KONVENSIONAL
MENJADI BANK SYARIAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA,
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa dalam rangka mendukung pertumbuhan perekonomian
nasional diperlukan lembaga perbankan yang dapat melayani
seluruh lapisan masyarakat;
b. bahwa bank syariah sebagai bagian dari sistem perbankan nasional
perlu dikembangkan secara sehat dan kuat agar dapat memberikan
pelayanan jasa perbankan bagi masyarakat, antara lain melalui
perubahan kegiatan usaha bank konvensional menjadi bank
syariah;
c. bahwa perubahan kegiatan usaha bank konvensional menjadi bank
syariah harus didukung dengan modal yang cukup dan manajemen
yang profesional sehingga dapat tercipta bank syariah yang sehat
dan tangguh (sustainable);
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam
huruf a, huruf b dan huruf c dipandang perlu untuk melakukan
penyesuaian terhadap ketentuan perubahan kegiatan usaha bank
konvensional …
-2-
konvensional menjadi bank syariah dalam suatu Peraturan Bank
Indonesia.
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472)
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10
Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998
Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3790);
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843)
sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 142, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4901) sebagaimana
telah ditetapkan dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009
tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia
menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4962);
3. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan
Terbatas (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008
Nomor …
-3-
Nomor 106, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4756);
4. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan
Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor
94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN
KEGIATAN USAHA BANK KONVENSIONAL MENJADI BANK
SYARIAH.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Bank Syariah adalah bank yang menjalankan kegiatan usahanya
berdasarkan prinsip syariah dan menurut jenisnya terdiri dari
Bank Umum Syariah dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah;
2. Bank Umum Syariah adalah Bank Syariah yang dalam
kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun
2008 tentang Perbankan Syariah;
3. Bank Pembiayaan Rakyat Syariah yang selanjutnya disebut
BPRS adalah Bank Syariah yang dalam kegiatannya tidak
memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran sebagaimana
dimaksud …
-4-
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah;
4. Bank Konvensional adalah bank yang menjalankan kegiatan
usahanya secara konvensional dan berdasarkan jenisnya terdiri
dari Bank Umum Konvensional dan Bank Perkreditan Rakyat;
5. Bank Umum Konvensional adalah Bank Konvensional yang
dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas
pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah;
6. Bank Perkreditan Rakyat yang selanjutnya disebut BPR adalah
Bank Konvensional yang dalam kegiatannya tidak memberikan
jasa dalam lalu lintas pembayaran sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah;
7. Prinsip Syariah adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan
perbankan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh Dewan
Syariah Nasional – Majelis Ulama Indonesia;
8. Pemegang Saham Pengendali yang selanjutnya disebut dengan
PSP adalah badan hukum, perorangan dan/atau kelompok usaha
yang:
a. memiliki saham perusahaan atau bank sebesar 25% (dua
puluh lima persen) atau lebih dari jumlah saham yang
dikeluarkan dan mempunyai hak suara;
b. memiliki saham perusahaan atau bank kurang dari 25% (dua
puluh lima persen) dari jumlah saham yang dikeluarkan dan
mempunyai hak suara namun yang bersangkutan dapat
dibuktikan …
-5-
dibuktikan telah melakukan pengendalian perusahaan atau
bank, baik secara langsung maupun tidak langsung;
9. Dewan Komisaris adalah Dewan Komisaris sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas;
10. Direksi adalah Direksi sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas;
11. Dewan Pengawas Syariah yang selanjutnya disebut DPS adalah
dewan yang bertugas memberikan nasihat dan saran kepada
direksi serta mengawasi kegiatan Bank Syariah agar sesuai
dengan Prinsip Syariah;
12. Hari adalah hari kalender.
Pasal 2
(1) Bank Konvensional dapat melakukan perubahan kegiatan usaha
menjadi Bank Syariah.
(2) Perubahan kegiatan usaha Bank Konvensional menjadi Bank
Syariah dapat dilakukan:
a. Bank Umum Konvensional menjadi Bank Umum Syariah;
b. BPR menjadi BPRS.
Pasal 3
Bank Syariah dilarang melakukan perubahan kegiatan usaha menjadi
Bank Konvensional.
Pasal 4 …
-6-
Pasal 4
(1) Perubahan kegiatan usaha Bank Konvensional menjadi Bank
Syariah hanya dapat dilakukan dengan izin Bank Indonesia.
(2) Pemberian izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
dalam bentuk izin perubahan kegiatan usaha.
BAB II
PERSYARATAN PERUBAHAN KEGIATAN USAHA
Bagian Kesatu
Persyaratan Umum
Pasal 5
Rencana perubahan kegiatan usaha Bank Konvensional menjadi Bank
Syariah harus dicantumkan dalam rencana bisnis Bank Konvensional.
Pasal 6
Bank Konvensional yang akan melakukan perubahan kegiatan usaha
menjadi Bank Syariah harus:
a. menyesuaikan anggaran dasar;
b. memenuhi persyaratan permodalan;
c. menyesuaikan persyaratan Direksi dan Dewan Komisaris;
d. membentuk DPS; dan
e. menyajikan laporan keuangan awal sebagai sebuah Bank Syariah.
Pasal 7 …
-7-
Pasal 7
Penyesuaian anggaran dasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6
huruf a mengikuti ketentuan Undang-Undang tentang Perbankan
Syariah dan ketentuan peraturan perundang-undangan lain yang
berlaku.
Bagian Kedua
Persyaratan Menjadi Bank Umum Syariah
Pasal 8
Bank Umum Konvensional yang akan melakuan perubahan kegiatan
usaha menjadi Bank Umum Syariah harus:
a. memiliki rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum
(KPMM) paling kurang sebesar 8 % (delapan persen); dan
b. memiliki modal
inti paling kurang sebesar
Rp.100.000.000.000,00 (seratus milyar rupiah).
Pasal 9
Dewan Komisaris dan Direksi Bank Umum Syariah harus memenuhi
ketentuan Bank Indonesia yang terkait dengan Bank Umum Syariah.
Pasal 10
(1) Bank Umum Konvensional yang akan melakukan perubahan
kegiatan usahanya menjadi Bank Umum Syariah harus
membentuk DPS.
(2) Calon …
-8-
(2) Calon anggota DPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
memenuhi persyaratan DPS sebagaimana diatur dalam ketentuan
Bank Indonesia mengenai Bank Umum Syariah yang berlaku.
Bagian Ketiga
Persyaratan Menjadi Bank Pembiayaan Rakyat Syariah
Pasal 11
BPR yang akan melakukan perubahan kegiatan usaha menjadi BPRS
harus memenuhi ketentuan permodalan sebagaimana diatur dalam
ketentuan Bank Indonesia yang terkait dengan BPRS.
Pasal 12
Dewan Komisaris dan Direksi BPRS harus memenuhi ketentuan Bank
Indonesia yang terkait dengan BPRS.
Pasal 13
(1) BPR yang akan melakukan perubahan kegiatan usaha menjadi
BPRS harus membentuk DPS.
(2) Calon anggota DPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
memenuhi persyaratan DPS sebagaimana diatur dalam ketentuan
Bank Indonesia mengenai BPRS yang berlaku.
BAB III …
-9-
BAB III
TATA CARA PERIZINAN PERUBAHAN KEGIATAN USAHA
Pasal 14
(1) Permohonan izin perubahan kegiatan usaha diajukan oleh Bank
Konvensional disertai dengan antara lain:
a. misi dan visi perubahan kegiatan usaha menjadi Bank
Syariah;
b. rancangan perubahan anggaran dasar;
c. nama dan data identitas dari calon Pemegang Saham
Pengendali, calon anggota Dewan Komisaris, calon anggota
Direksi dan calon anggota DPS;
d. rencana bisnis Bank Syariah;
e. studi kelayakan mengenai peluang pasar dan potensi
ekonomi; dan
f. rencana penyelesaian hak dan kewajiban nasabah.
(2) Bank Konvensional yang mengajukan permohonan izin
perubahan kegiatan usaha harus memberikan penjelasan
mengenai keseluruhan rencana perubahan kegiatan usaha
menjadi Bank Syariah.
Pasal 15
(1) Perubahan anggaran dasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal
14 ayat (1) huruf b harus dimintakan persetujuan kepada instansi
yang berwenang.
(2) Permohonan …
-10-
(2) Permohonan kepada instansi yang berwenang sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan bersamaan dengan
pengajuan permohonan izin perubahan kegiatan usaha.
Pasal 16
Bank Konvensional yang telah mendapat izin perubahan kegiatan
usaha menjadi Bank Syariah wajib mencantumkan secara jelas:
a. kata “Syariah” pada penulisan nama; dan
b.
logo iB pada formulir, warkat, produk, kantor dan jaringan kantor
Bank Syariah.
Pasal 17
(1) Bank Konvensional yang telah mendapat izin perubahan
kegiatan usaha menjadi Bank Syariah wajib melaksanakan
kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah paling lambat 60
(enam puluh) hari terhitung sejak tanggal izin perubahan
kegiatan usaha diberikan.
(2) Apabila setelah jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) Bank Syariah hasil perubahan kegiatan usaha belum
melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah, maka
izin perubahan kegiatan usaha yang telah diberikan akan ditinjau
kembali.
(3) Rencana pelaksanaan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip
Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib diumumkan
kepada masyarakat paling lambat 10 (sepuluh) hari sebelum
tanggal pelaksanaan.
(4) Pelaksanaan …
-11-
(4) Pelaksanaan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilaporkan paling
lambat 10 (sepuluh) hari setelah tanggal pelaksanaan.
(5) Bank Konvensional yang telah mendapat izin perubahan
kegiatan usaha menjadi Bank Syariah dilarang melakukan
kegiatan usaha secara konvensional, kecuali dalam rangka
penyelesaian hak dan kewajiban dari kegiatan usaha secara
konvensional.
Pasal 18
Bank Konvensional yang telah mendapat izin perubahan kegiatan
usaha menjadi Bank Syariah wajib menyelesaikan hak dan kewajiban
dari kegiatan usaha secara konvensional paling lambat 1 (satu) tahun
terhitung sejak tanggal izin perubahan kegiatan usaha diberikan.
BAB IV
SANKSI
Pasal 19
(1) Bank Konvensional yang telah mendapat izin perubahan
kegiatan usaha menjadi Bank Syariah yang tidak memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16, Pasal 17 ayat
(1) dan ayat (5) dan Pasal 18 dapat dikenakan sanksi
administratif sesuai Pasal 58 Undang-Undang Nomor 21 Tahun
2008 tentang Perbankan Syariah.
(2) Bank Syariah yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 17 ayat (3) dan ayat (4) dapat dikenakan
sanksi …
-12-
sanksi administratif sesuai Pasal 58 Undang-Undang Nomor 21
Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, berupa:
a.
teguran tertulis dan kewajiban membayar:
1. sebesar Rp.1.000.000,00 (satu juta rupiah) per hari
keterlambatan untuk setiap laporan atau pengumuman
dan paling banyak seluruhnya sebesar Rp.30.000.000,00
(tiga puluh juta rupiah) untuk Bank Umum Syariah; atau
2. sebesar Rp.100.000,00 (seratus ribu rupiah) per hari
keterlambatan untuk setiap laporan atau pengumuman
dan paling banyak seluruhnya sebesar Rp.1.000.000,00
(satu juta rupiah) untuk BPRS;
b. teguran tertulis dan kewajiban membayar:
1. paling banyak sebesar Rp.30.000.000,00 (tiga puluh juta
rupiah) dalam hal tidak menyampaikan laporan atau
melaksanakan pengumuman untuk Bank Umum Syariah;
atau
2. paling banyak sebesar Rp.1.000.000,00 (satu juta rupiah)
dalam hal tidak menyampaikan laporan atau
melaksanakan pengumuman untuk BPRS.
(3) Bank Syariah dinyatakan tidak menyampaikan laporan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b apabila belum
melaksanakan pengumuman dan/atau menyampaikan laporan
dimaksud setelah 30 (tiga puluh) hari sejak batas akhir
pelaksanaan pengumuman dan/atau penyampaian laporan.
(4) Pengenaan sanksi teguran tertulis dan kewajiban membayar
karena dinyatakan tidak menyampaikan laporan dan/atau tidak
melaksanakan …
-13-
melaksanakan pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) tidak menghapuskan kewajiban Bank Syariah untuk
melaksanakan pengumuman dan/atau menyampaikan laporan.
BAB VI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 20
Permohonan izin perubahan kegiatan usaha menjadi Bank Syariah
yang diajukan sebelum berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini tetapi
belum mendapat persetujuan dari Bank Indonesia, wajib
menyesuaikan dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan
Bank Indonesia ini.
BAB VII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 21
Ketentuan lebih lanjut mengenai perubahan kegiatan usaha Bank
Konvensional menjadi Bank Syariah diatur dalam Surat Edaran Bank
Indonesia.
Pasal 22
Dengan dikeluarkannya Peraturan Bank Indonesia ini maka:
a. Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/3/PBI/2006 tanggal 30 Januari
2006 tentang Perubahan Kegiatan Usaha Bank Umum
Konvensional Menjadi Bank Umum Yang Melaksanakan Kegiatan
Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah dan Pembukaan Kantor Bank
Yang …
-14-
Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah
Oleh Bank Umum Konvensional;
b. Peraturan Bank Indonesia Nomor 9/7/PBI/2007 tanggal 4 Mei
2007 tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor
8/3/PBI/2006 tentang Perubahan Kegiatan Usaha Bank Umum
Konvensional Menjadi Bank Umum Yang Melaksanakan Kegiatan
Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah dan Pembukaan Kantor Bank
Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah
Oleh Bank Umum Konvensional;
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi.
Pasal 23
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 29 April 2009.
GUBERNUR BANK INDONESIA,
BOEDIONO
Diundangkan …
-15-
Diundangkan di : Jakarta
Pada tanggal
: 29 April 2009.
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA
ANDI MATTALATTA
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 69
DPbS
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 11/15/PBI/2009
TENTANG
PERUBAHAN KEGIATAN USAHA BANK KONVENSIONAL MENJADI
BANK SYARIAH
I. UMUM
Sistem perbankan nasional yang mengakomodasi konsep dual banking
system memberikan jalan bagi berkembangnya perbankan syariah di Indonesia.
Perbankan syariah yang semakin berkembang diharapkan mampu memberikan
kontribusi yang lebih besar bagi perkembangan perekonomian nasional.
Peran (share) perbankan syariah dalam sistem perbankan nasional perlu
ditingkatkan antara lain dengan meningkatkan jumlah jaringan kantor melalui
pembentukan bank syariah baru atau membuka peluang yang lebih besar untuk
pelaksanaan perubahan kegiatan usaha (konversi) bank konvensional menjadi
bank syariah. Upaya peningkatan jaringan kantor perbankan syariah tersebut juga
dimaksudkan untuk mengakomodasi tuntutan masyarakat yang semakin besar
terhadap keberadaan perbankan syariah serta minat para investor untuk masuk
dalam industri perbankan syariah.
Dengan diberlakukan Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah, terdapat beberapa perubahan ketentuan yang terkait dengan
kelembagaan, kepengurusan dan kegiatan usaha bank syariah, termasuk ketentuan
tentang perubahan kegiatan usaha (konversi) bank konvensional menjadi bank
syariah …
- 2 -
syariah. Pelaksanaan perubahan kegiatan usaha (konversi) bank konvensional
menjadi bank syariah harus tetap memperhatikan azas perbankan yang sehat dan
prinsip kehati-hatian sehingga dapat tercipta perbankan syariah yang kuat dan
konsisten dalam menerapkan Prinsip Syariah.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
BPR atau BPRS yang ingin menjadi Bank Umum Syariah harus
mendirikan Bank Umum Syariah terlebih dahulu. Selanjutnya, seluruh
hak dan kewajiban (asset and liabilities) BPR atau BPRS dialihkan
kepada Bank Umum Syariah baru, kemudian izin usaha BPR atau
BPRS dicabut atas permintaan bank (self liquidation).
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5 …
- 3 -
Pasal 5
Bagi Bank Umum Konvensional dicantumkan dalam rencana bisnis,
sedangkan bagi BPR dicantumkan dalam rencana kerja.
Pasal 6
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Yang dimaksud dengan “laporan keuangan awal sebagai sebuah Bank
Syariah” adalah laporan keuangan sebagai Bank Syariah yang
menunjukan laba rugi tahun berjalan dan laba rugi tahun lalu memiliki
saldo Rp.0,00 (nol rupiah) atau nihil.
Pasal 7
Yang dimaksud dengan “ketentuan peraturan perundang-undangan lain
yang berlaku” adalah antara lain Undang-Undang tentang Perseroan
Terbatas.
Pasal 8 …
- 4 -
Pasal 8
Ayat (1)
Besarnya rasio KPMM didasarkan pada hasil penilaian Bank
Indonesia.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 9
Yang dimaksud dengan “ketentuan Bank Indonesia yang terkait dengan
Bank Umum Syariah” antara lain adalah:
• uji kemampuan dan kepatutan (fit and proper test) yang berlaku bagi
Bank Umum Syariah;
• penerapan Good Corporate Governance (GCG) yang berlaku bagi Bank
Umum Syariah; dan
• Kelembagaan Bank Umum Syariah.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Yang dimaksud dengan “ketentuan Bank Indonesia yang terkait dengan
BPRS” antara lain adalah:
a. uji …
- 5 -
a. uji kemampuan dan kepatutan (fit and proper test) yang berlaku bagi
BPRS;
b. penerapan Good Corporate Governance (GCG) yang berlaku bagi
BPRS;
c. kelembagaan BPRS; dan
d. Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM) BPRS.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Ayat (1)
Pemberian izin perubahan kegiatan usaha diberikan dengan
mempertimbangkan antara lain:
a. analisis atas rencana penyelesaian hak dan kewajiban nasabah
yang tidak bersedia diubah menjadi nasabah Bank Syariah;
b. analisis atas rencana bisnis jangka pendek, menengah dan jangka
panjang bagi Bank Umum Syariah, dan analisis atas rencana kerja
tahunan bagi BPRS;
c. hasil uji kemampuan dan kepatutan (fit and proper test) terhadap
calon Pemegang Saham Pengendali, calon anggota Dewan
Komisaris dan calon anggota Direksi; dan
d. hasil wawancara terhadap calon anggota DPS.
Ayat (2)
Hal-hal yang harus dijelaskan melalui presentasi di Bank Indonesia
antara lain:
a. misi dan visi perubahan kegiatan usaha;
b. hasil …
- 6 -
b. hasil studi kelayakan mengenai peluang pasar penghimpunan dan
penyaluran dana;
c. rencana bisnis jangka pendek dan menengah bagi Bank Umum
Syariah, dan rencana kerja tahunan bagi BPRS;
d. sistem teknologi informasi (IT);
e. jumlah dan lokasi kantor Bank Syariah; dan
f. struktur organisasi dan personalia.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Huruf a
Pencantuman kata “Syariah” dilakukan sebagai berikut:
1. untuk Bank Umum Syariah, pencantuman kata “Syariah” dapat
dilakukan sebelum kata “Bank” atau setelah nama bank;
2. untuk BPRS, pencatuman kata “Syariah” dilakukan dengan
penyebutan frase “Bank Pembiayaan Rakyat Syariah” atau “BPR
Syariah” atau “BPRS” sebelum nama bank.
Huruf b
Cukup jelas.
Pasal 17
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2) …
- 7 -
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “ditinjau kembali” adalah:
a. diperpanjang apabila keterlambatan tersebut disebabkan oleh hal-
hal yang tidak dapat dihindari (force majeur) atau pertimbangan
lain yang dapat diterima. Perpanjangan jangka waktu tersebut
diberikan paling lama 60 (enam puluh) hari.
b. dibatalkan apabila Bank Syariah hasil perubahan kegiatan usaha
tidak dapat memberikan alasan yang relevan atas keterlambatan
kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah.
Ayat (3)
Pelaksanan pengumuman dilakukan melalui:
a. surat kabar yang mempunyai peredaran nasional, untuk Bank
Umum Syariah;
b. surat kabar lokal atau papan pengumuman di tempat kedudukan
kantor BPRS, untuk BPRS.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 18
Batas waktu penyelesaian dapat diperpanjang apabila kegagalan
penyelesaian hak dan kewajiban dari kegiatan usaha secara konvensional
disebabkan oleh hal-hal yang tidak dapat dihindari (force majeur) atau
pertimbangan lain yang dapat diterima.
Pasal 19 …
- 8 -
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5005
DPbS
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 11/15/PBI/2009 </reg_id>
<reg_title> PERUBAHAN KEGIATAN USAHA BANK KONVENSIONAL MENJADI BANK SYARIAH </reg_title>
<set_date> 29 April 2009 </set_date>
<effective_date> 29 April 2009 </effective_date>
<issued_date> 29 April 2009 </issued_date>
<replaced_reg> '9/7/PBI/2007', '8/3/PBI/2006' </replaced_reg>
<related_reg> '21/UU/2008', '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '40/UU/2007', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB IV' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 6/24/PBI/2004
TENTANG
BANK UMUM YANG MELAKSANAKAN KEGIATAN USAHA
BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa dalam menghadapi perkembangan perekonomian
nasional yang mengalami perubahan yang cepat dan
tantangan yang semakin berat, serta terintegrasi dengan
perekonomian internasional yang terus berkembang,
diperlukan perbankan nasional yang tangguh;
b. bahwa untuk lebih mendorong terciptanya perbankan
nasional yang
tangguh dan efisien, diperlukan
pengaturan kegiatan lembaga bank yang komprehensif,
jelas dan memberikan kepastian hukum;
c. bahwa ketentuan mengenai Bank
Umum
Yang
Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip
Syariah yang saat ini berlaku perlu disempurnakan untuk
mendorong
perkembangan jaringan kantor Kegiatan
Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah;
d. bahwa sehubungan dengan itu dipandang perlu untuk
menyempurnakan ketentuan tentang Bank Umum Yang
Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip
Syariah…
- 2 -
Syariah dalam Peraturan Bank Indonesia;
Mengingat :
1. Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah
dengan Undang-undang
Nomor 10 Tahun 1998
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998
Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3790);
2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah
dengan Undang-undang
Nomor 3 Tahun 2004
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004
Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4357);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG BANK
UMUM BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH.
BAB I…
- 3 -
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka
3 Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun
1998, yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah;
2. Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah adalah kegiatan usaha
perbankan yang dilakukan berdasarkan prinsip syariah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1 angka 13 Undang-undang Nomor 7 Tahun
1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-
undang Nomor 10 Tahun 1998;
3. Kantor Cabang adalah kantor Bank yang secara langsung bertanggung
jawab kepada kantor pusat Bank yang bersangkutan, dengan alamat
tempat usaha yang jelas dimana Kantor Cabang tersebut melakukan
kegiatan usaha;
4. Kantor dibawah Kantor Cabang adalah Kantor Cabang Pembantu, Unit
Pelayanan Syariah atau Kantor Kas yang membantu Kantor Induknya;
5. Kantor Cabang Pembantu adalah Kantor di bawah Kantor Cabang
yang kegiatan usahanya membantu Kantor Cabang induknya;
6. Unit Pelayanan Syariah adalah kantor Bank setingkat Kantor Cabang
Pembantu yang
kegiatan usahanya membantu Kantor Cabang
induknya dan berlokasi diluar ibukota provinsi, Bogor, Depok,
Tangerang dan Bekasi;
7. Kantor…
- 4 -
7. Kantor Kas adalah Kantor di bawah Kantor Cabang yang kegiatan
usahanya membantu Kantor induknya kecuali melakukan penyaluran
dana;
8. Kegiatan Kas di luar Kantor Bank adalah kegiatan pelayanan kas
terhadap pihak yang telah menjadi nasabah Bank, meliputi antara lain:
a. Kas Mobil atau Kas Terapung yaitu kegiatan kas dengan
menggunakan alat transportasi darat atau air;
b. Payment Point yaitu kegiatan pembayaran maupun penyetoran
transaksi tertentu antara lain pembayaran gaji pegawai, penerimaan
setoran tagihan listrik, dan tagihan telepon melalui kerjasama
antara Bank dengan pihak lain yang merupakan nasabah Bank;
c. Anjungan Tunai Mandiri (ATM) yaitu kegiatan kas yang dilakukan
secara elektronis untuk memudahkan nasabah, antara lain dalam
rangka menarik atau menyetor secara tunai, atau melakukan
pembayaran melalui pemindahbukuan, dan memperoleh informasi
mengenai saldo/mutasi rekening nasabah, termasuk pembukaan
jaringan ATM yang dilakukan dengan pemanfaatan teknologi
melalui kerjasama dengan bank lain;
9. Dewan Syariah Nasional adalah dewan yang dibentuk oleh Majelis
Ulama Indonesia yang bertugas dan memiliki kewenangan untuk
menetapkan fatwa tentang produk dan jasa dalam kegiatan usaha bank
yang melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah;
10. Dewan Pengawas Syariah adalah dewan yang melakukan pengawasan
terhadap prinsip syariah dalam kegiatan usaha Bank;
11. Direksi…
- 5 -
11. Direksi :
a. bagi Bank berbentuk hukum Perseroan Terbatas adalah direksi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 4 Undang-undang
Nomor 1 tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas;
b. bagi Bank berbentuk hukum Perusahaan Daerah adalah direksi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 Undang-undang Nomor 5
tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah;
c. bagi
Bank
berbentuk
hukum Koperasi adalah pengurus
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 Undang-undang Nomor 25
Tahun 1992 tentang Perkoperasian;
12. Komisaris :
a. bagi Bank berbentuk hukum Perseroan Terbatas adalah komisaris
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 5 Undang-undang
Nomor 1 tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas;
b. bagi Bank berbentuk hukum Perusahaan Daerah adalah pengawas
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 Undang-undang Nomor 5
tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah;
c. bagi Bank
berbentuk
hukum Koperasi adalah pengawas
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 Undang-undang Nomor 25
Tahun 1992 tentang Perkoperasian;
13. Pejabat Eksekutif adalah pejabat yang mempunyai pengaruh terhadap
kebijakan dan operasional Bank atau perusahaan dan atau bertanggung
jawab langsung kepada Direksi antara lain pemimpin Kantor Cabang;
14. Pemegang…
- 6 -
14. Pemegang
Saham Pengendali adalah badan hukum dan atau
perorangan dan atau kelompok usaha yang:
a. memiliki saham Bank sebesar 25% (dua puluh lima perseratus)
atau lebih dari jumlah saham yang
mempunyai hak suara; atau
dikeluarkan Bank
dan
b. memiliki saham Bank kurang dari 25% (dua puluh lima perseratus)
dari jumlah saham yang dikeluarkan Bank dan mempunyai hak
suara namun dapat dibuktikan telah melakukan pengendalian Bank
baik secara langsung maupun tidak langsung;
Pasal 2
Bentuk hukum suatu Bank dapat berupa :
a. Perseroan Terbatas;
b. Koperasi; atau
c. Perusahaan Daerah.
BAB II
PERIZINAN
Bagian Pertama
Pendirian Bank
Pasal 3
(1) Bank hanya dapat didirikan dengan izin Bank Indonesia.
(2) Pemberian izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam
dua tahap:
a. persetujuan…
- 7 -
a. persetujuan prinsip, yaitu persetujuan untuk melakukan persiapan
pendirian Bank; dan
b. izin usaha, yaitu izin yang diberikan untuk melakukan kegiatan
usaha Bank setelah persiapan sebagaimana dimaksud dalam huruf
a selesai dilakukan.
Pasal 4
Modal disetor untuk mendirikan Bank ditetapkan sekurang-kurangnya
sebesar Rp3.000.000.000.000,00 (tiga triliun rupiah).
Pasal 5
(1) Bank hanya dapat didirikan oleh:
a. warga negara Indonesia dan atau badan hukum Indonesia; atau
b. warga negara Indonesia dan atau badan hukum Indonesia dengan
warga negara asing dan atau badan hukum asing secara kemitraan.
(2) Kepemilikan yang berasal dari warga negara asing dan atau badan
hukum asing sebagaimana dimaksud (1) huruf b setinggi-tingginya
sebesar 99% (sembilan puluh sembilan perseratus) dari modal disetor
Bank.
Bagian…
- 8 -
Bagian Kedua
Persetujuan Prinsip
Pasal 6
(1) Permohonan untuk mendapatkan persetujuan prinsip sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf a diajukan sekurang-kurangnya
oleh salah satu calon pemilik kepada Gubernur Bank Indonesia dan
wajib disertai dengan:
a. rancangan akta pendirian badan hukum, termasuk rancangan
anggaran dasar yang sekurang-kurangnya memuat:
1. nama dan tempat kedudukan;
2. kegiatan usaha sebagai Bank;
3. permodalan;
4. kepemilikan;
5. wewenang, tanggung jawab, dan masa jabatan Direksi serta
dewan Komisaris;
6. penempatan dan tugas-tugas Dewan Pengawas Syariah;
b. data kepemilikan berupa:
1. daftar calon pemegang saham berikut rincian besarnya masing-
masing kepemilikan saham bagi Bank yang berbentuk hukum
Perseroan Terbatas/Perusahaan Daerah;
2. daftar calon anggota berikut rincian jumlah simpanan pokok
dan simpanan wajib, serta daftar hibah bagi Bank yang
berbentuk hukum Koperasi.
c. daftar calon anggota Direksi, dewan Komisaris dan Dewan
Pengawas Syariah disertai dengan:
1. pas foto…
- 9 -
1. pas foto 1 (satu) bulan terakhir ukuran 4 x 6 cm;
2. fotokopi tanda pengenal yang dapat berupa Kartu Tanda
Penduduk (KTP) atau paspor;
3. riwayat hidup;
4. contoh tanda tangan dan paraf;
5. fotokopi kartu izin menetap sementara (KIMS) dan fotokopi
surat izin bekerja dari instansi berwenang, bagi warga negara
asing;
6. surat pernyataan pribadi yang menyatakan tidak
pernah
melakukan tindakan tercela di bidang perbankan, keuangan,
dan usaha lainnya, tidak pernah dihukum karena terbukti
melakukan tindak pidana kejahatan, dan tidak sedang dalam
masa pengenaan sanksi untuk dilarang menjadi pengurus bank
sebagaimana diatur dalam ketentuan Penilaian Kemampuan dan
Kepatutan (Fit and Proper Test) yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia;
7. surat pernyataan pribadi yang menyatakan bahwa yang
bersangkutan tidak pernah dinyatakan pailit dan tidak pernah
menjadi pemegang saham, anggota Direksi atau Komisaris
yang
dinyatakan bersalah menyebabkan suatu perseroan
dinyatakan pailit berdasarkan ketetapan pengadilan dalam
waktu 5 (lima) tahun sebelum tanggal pengajuan permohonan;
dan
8. surat keterangan atau bukti tertulis dari tempat bekerja
sebelumnya mengenai pengalaman operasional di bidang
perbankan…
- 10 -
perbankan syariah bagi calon anggota Direksi atau bagi calon
anggota dewan Komisaris yang telah berpengalaman;
9. surat keterangan dari lembaga pendidikan mengenai pendidikan
perbankan syariah yang pernah diikuti bagi calon anggota
Direksi atau bagi calon anggota dewan Komisaris yang belum
berpengalaman;
10. surat pernyataan dari anggota dewan Komisaris bahwa yang
bersangkutan tidak merangkap jabatan melebihi ketentuan:
i.
sebagai anggota dewan Komisaris sebanyak-banyaknya
pada 1 (satu) bank lain; atau
ii. sebagai anggota dewan Komisaris, Direksi, atau Pejabat
Eksekutif
yang memerlukan tanggung
jawab
penuh
sebanyak-banyaknya pada 2 (dua) lembaga/perusahaan lain
bukan bank;
11. surat pernyataan dari anggota Direksi bahwa yang bersangkutan
tidak merangkap jabatan sebagai anggota Direksi, Komisaris,
atau Pejabat Eksekutif pada perusahaan dan atau lembaga lain;
12. surat pernyataan dari anggota Dewan Pengawas Syariah bahwa
yang bersangkutan tidak merangkap jabatan sebagai anggota
Dewan Pengawas Syariah lebih dari 2 (dua) bank lain dan 2
(dua) lembaga keuangan syariah bukan bank;
13. surat pernyataan dari anggota Direksi dan dewan Komisaris
bahwa yang bersangkutan tidak mempunyai hubungan keluarga
dengan mayoritas anggota dewan Komisaris/dewan Direksi
sampai…
- 11 -
sampai dengan derajat kedua dengan sesama anggota dewan
Komisaris atau anggota dewan Direksi;
14. surat pernyataan dari anggota Direksi bahwa yang bersangkutan
baik
secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama tidak
memiliki saham melebihi 25% dari modal disetor pada suatu
perusahaan lain;
d. rencana susunan dan struktur organisasi, serta personalia;
e. rencana kerja (business plan) untuk tahun pertama yang sekurang-
kurangnya memuat:
1. studi kelayakan mengenai peluang pasar dan potensi ekonomi
yang disertai dengan data pendukung;
2. rencana kegiatan usaha yang mencakup penghimpunan dan
penyaluran dana serta langkah-langkah kegiatan yang akan
dilakukan dalam mewujudkan rencana dimaksud; dan
3. proyeksi neraca, laporan laba rugi dan laporan arus kas bulanan
selama 12 (dua belas) bulan yang
melakukan kegiatan operasional;
f. rencana strategis jangka menengah dan panjang (corporate plan);
g. pedoman manajemen risiko, rencana sistem pengendalian intern,
rencana sistem teknologi informasi yang digunakan, dan skala
kewenangan;
h. sistem dan prosedur kerja;
i. bukti setoran modal sekurang-kurangnya 30 % (tiga puluh
perseratus) dari modal disetor minimum sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4, dalam bentuk fotokopi bilyet deposito atas nama
“Dewan…
dimulai sejak Bank
- 12 -
“Dewan Gubernur Bank Indonesia qq. salah satu calon pemilik
untuk pendirian Bank yang bersangkutan”, pada bank umum yang
melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah di
Indonesia yang wajib dilegalisir oleh bank penerbit, dengan
mencantumkan keterangan bahwa pencairannya hanya dapat
dilakukan setelah mendapat persetujuan tertulis dari Dewan
Gubernur Bank Indonesia;
j. surat pernyataan dari calon pemegang saham bagi Bank yang
berbentuk hukum Perseroan Terbatas/Perusahaan Daerah atau dari
calon anggota bagi Bank yang berbentuk hukum Koperasi, bahwa
setoran modal sebagaimana dimaksud dalam huruf i:
1. tidak berasal dari pinjaman atau fasilitas pembiayaan dalam
bentuk apapun dari bank dan/atau pihak lain;
2. tidak berasal dari sumber dana yang diharamkan menurut
prinsip syariah termasuk dari dan untuk tujuan pencucian uang
(money laundering).
(2) Daftar calon pemegang saham atau daftar calon anggota sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b:
a. dalam hal perorangan wajib disertai dengan:
1. dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c angka 1,
angka 2, angka 3, angka 4 dan angka 5;
2. surat pernyataan dari calon Pemegang Saham Pengendali yang
menyatakan kesediaan untuk mengatasi kesulitan permodalan
maupun likuiditas yang dihadapi Bank dalam menjalankan
kegiatan usahanya; dan
3. surat…
- 13 -
3. surat pernyataan pribadi yang menyatakan tidak pernah
melakukan tindakan tercela di bidang perbankan, keuangan, dan
usaha lainnya, tidak pernah dihukum karena terbukti melakukan
tindak pidana kejahatan, dan tidak sedang dalam masa
pengenaan sanksi untuk dilarang menjadi pemilik, pemilik
dengan kepemilikan di atas 10% (sepuluh perseratus), dan atau
Pemegang Saham Pengendali dari bank sebagaimana diatur
dalam ketentuan Penilaian Kemampuan dan Kepatutan (Fit and
Proper Test) yang ditetapkan oleh Bank Indonesia;
b. dalam hal badan hukum wajib dilampiri dengan :
1. akta pendirian badan hukum, yang memuat anggaran dasar
berikut perubahan-perubahan yang telah mendapat pengesahan
dari instansi berwenang termasuk bagi badan hukum asing
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di negara asal badan
hukum tersebut;
2. dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c angka 1
sampai dengan angka 5 dari seluruh Direksi dan dewan
Komisaris badan hukum yang bersangkutan;
3. rekomendasi dari instansi berwenang di negara asal bagi badan
hukum asing;
4. daftar pemegang saham berikut rincian besarnya masing-
masing kepemilikan saham bagi badan hukum Perseroan
Terbatas/Perusahaan Daerah, atau daftar anggota berikut rincian
jumlah simpanan pokok dan simpanan wajib, serta daftar hibah
bagi badan hukum Koperasi;
5. laporan…
- 14 -
5. laporan keuangan badan hukum yang telah diaudit oleh akuntan
publik dengan posisi paling lama 6 (enam) bulan sebelum
tanggal pengajuan permohonan persetujuan prinsip;
6. seluruh struktur kelompok usaha yang terkait dengan Bank dan
badan hukum pemilik Bank sampai dengan pemilik terakhir;
dan
7. surat pernyataan dari calon Pemegang Saham Pengendali yang
menyatakan kesediaan untuk mengatasi kesulitan permodalan
maupun likuiditas yang dihadapi bank dalam menjalankan
kegiatan usahanya.
Pasal 7
(1) Persetujuan atau penolakan atas permohonan persetujuan prinsip
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf a diberikan
selambat-lambatnya 60 (enam puluh) hari setelah dokumen
permohonan diterima secara lengkap.
(2)
Dalam rangka memberikan persetujuan atau penolakan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia melakukan:
a. penelitian atas kelengkapan dan kebenaran dokumen;
b. analisis yang mencakup antara lain tingkat persaingan yang sehat
antar bank yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip
syariah, tingkat kejenuhan jumlah bank yang melaksanakan
kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah dan pemerataan
pembangunan ekonomi nasional; dan
c. wawancara…
- 15 -
c. wawancara terhadap calon Pemegang Saham Pengendali, calon
anggota dewan Komisaris dan calon anggota Direksi.
(3) Selain ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) pihak-pihak
yang mengajukan permohonan pendirian Bank wajib melakukan
presentasi kepada Bank Indonesia mengenai keseluruhan rencana
pendirian Bank.
Pasal 8
(1) Persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1)
berlaku untuk jangka waktu 360 (tiga ratus enam puluh) hari terhitung
sejak tanggal persetujuan prinsip dikeluarkan.
(2) Pihak yang telah mendapat persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilarang melakukan kegiatan usaha perbankan, sebelum
mendapat izin usaha.
(3) Apabila setelah jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
pihak yang telah mendapat persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) belum mengajukan permohonan izin usaha kepada
Gubernur Bank Indonesia, maka persetujuan prinsip yang telah
diberikan dinyatakan tidak berlaku.
Bagian Ketiga
Izin Usaha
Pasal 9
Permohonan untuk mendapatkan izin usaha sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 ayat (2) huruf b diajukan oleh pihak sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 8…
- 16 -
Pasal 8 ayat (2) kepada Gubernur Bank Indonesia dan wajib disertai
dengan:
a. akta pendirian badan hukum, yang memuat anggaran dasar yang telah
disahkan oleh instansi berwenang;
b. data kepemilikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b
yang masing-masing disertai dengan dokumen sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6 ayat (2), dalam hal terjadi perubahan;
c. daftar susunan Direksi dan dewan Komisaris, disertai dengan identitas
dan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c,
dalam hal terjadi perubahan;
d. dokumen sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (1) huruf d, huruf e,
huruf f, huruf g, dan huruf h, dalam hal terjadi perubahan;
e. bukti pelunasan modal disetor minimum sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4, dalam bentuk fotokopi bilyet deposito atas nama “Dewan
Gubernur Bank Indonesia qq. salah satu calon pemilik untuk pendirian
Bank yang bersangkutan”, pada bank umum yang melaksanakan
kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah di Indonesia yang wajib
dilegalisir oleh bank penerbit, dengan mencantumkan keterangan bahwa
pencairannya hanya dapat dilakukan setelah mendapat persetujuan
tertulis dari Dewan Gubernur Bank Indonesia;
f. bukti kesiapan operasional sekurang-kurangnya berupa:
1. daftar aktiva tetap dan inventaris;
2. bukti kepemilikan, penguasaan atau perjanjian sewa gedung kantor;
3. foto gedung kantor dan tata letak ruangan;
4. contoh…
- 17 -
4. contoh formulir/warkat yang akan digunakan untuk operasional
Bank; dan
5. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan Tanda Daftar Perusahaan
(TDP);
g. surat pernyataan dari pemegang saham bagi Bank yang berbentuk
hukum Perseroan Terbatas/Perusahaan Daerah atau dari anggota bagi
Bank yang berbentuk hukum Koperasi, bahwa pelunasan modal disetor
sebagaimana dimaksud dalam huruf e:
1. tidak berasal dari pinjaman atau fasilitas pembiayaan dalam bentuk
apapun dari bank dan/atau pihak lain;
2. tidak berasal dari sumber dana yang diharamkan menurut Prinsip
Syariah, termasuk dari dan untuk tujuan pencucian uang (money
laundering);
Pasal 10
(1) Persetujuan atau penolakan atas permohonan izin usaha sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf b diberikan selambat-
lambatnya 60 (enam puluh) hari setelah dokumen permohonan
diterima secara lengkap.
(2) Dalam rangka memberikan persetujuan atau penolakan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia melakukan:
a.
penelitian atas kelengkapan dan kebenaran dokumen; dan
b. wawancara terhadap Pemegang Saham Pengendali, anggota
Direksi ,dewan Komisaris, dan Dewan Pengawas Syariah dalam
hal terdapat penggantian atas calon yang diajukan sebelumnya.
Pasal 11…
- 18 -
Pasal 11
(1) Bank yang telah mendapat izin usaha dari Gubernur Bank Indonesia
wajib melakukan kegiatan usaha perbankan selambat-lambatnya 60
(enam puluh) hari terhitung sejak tanggal izin usaha dikeluarkan.
(2) Pelaksanaan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
wajib dilaporkan oleh Direksi Bank kepada Bank Indonesia selambat-
lambatnya 10 (sepuluh) hari setelah tanggal pelaksanaan kegiatan
operasional.
(3) Apabila setelah jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
Bank belum melakukan kegiatan usaha, Gubernur Bank Indonesia
membatalkan izin usaha yang telah dikeluarkan.
Pasal 12
Bank yang telah mendapat izin usaha dari Gubernur Bank Indonesia wajib
mencantumkan secara jelas kata “Syariah” sesudah kata “Bank” pada
penulisan namanya.
BAB III
KEPEMILIKAN DAN PERUBAHAN MODAL BANK
Pasal 13
(1) Kepemilikan Bank oleh badan hukum Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) setinggi-tingginya sebesar modal
sendiri bersih badan hukum yang bersangkutan.
(2) Ketentuan modal sendiri bersih sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
wajib…
- 19 -
wajib dipenuhi pada saat badan hukum yang bersangkutan melakukan
penyetoran modal untuk pendirian Bank atau pada saat badan hukum
yang bersangkutan melakukan penambahan modal disetor Bank.
Pasal 14
Sumber dana yang digunakan dalam rangka kepemilikan Bank dilarang:
a. berasal dari pinjaman atau fasilitas pembiayaan dalam bentuk apapun
dari bank dan/atau pihak lain; dan atau
b. berasal dari sumber yang diharamkan menurut prinsip syariah, termasuk
dari dan untuk tujuan pencucian uang (money laundering).
Pasal 15
(1) Yang dapat menjadi pemilik Bank adalah pihak-pihak yang:
a. tidak termasuk dalam daftar orang-orang yang dilarang menjadi
pemegang saham dan atau pengurus bank sesuai dengan ketentuan
yang ditetapkan oleh Bank Indonesia;
b. menurut penilaian Bank Indonesia yang bersangkutan memiliki
integritas yang baik.
(2) Pemilik Bank yang memiliki integritas yang baik sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b, antara lain adalah pihak-pihak yang:
a. memiliki akhlak dan moral yang baik;
b. mematuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku;
c. memiliki komitmen yang
operasional Bank yang sehat.
tinggi terhadap pengembangan
(3) Selain...
- 20 -
(3) Selain ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemegang
Saham Pengendali wajib memenuhi persyaratan bahwa yang
bersangkutan bersedia untuk mengatasi kesulitan permodalan dan
likuiditas yang dihadapi Bank dalam menjalankan kegiatan usahanya.
Pasal 16
Penggantian dan/atau penambahan pemilik Bank dan atau Pemegang Saham
Pengendali tunduk kepada tatacara penggantian dan/atau penambahan
pemilik Bank yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang
berlaku tentang merger, konsolidasi dan akuisisi Bank serta mengenai
pembelian saham bank umum.
Pasal 17
(1) Perubahan komposisi kepemilikan Bank yang tidak mengakibatkan
penggantian dan atau penambahan pemilik wajib dilaporkan oleh Bank
kepada Bank Indonesia selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari setelah
perubahan dilakukan.
(2) Laporan perubahan komposisi kepemilikan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) yang diakibatkan oleh adanya penambahan modal disetor
wajib disertai dengan:
a. bukti penyetoran;
b. notulen rapat umum pemegang saham/rapat anggota;
c. surat pernyataan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf g;
dan
d. data kepemilikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf b.
(3) Laporan...
- 21 -
(3) Laporan perubahan komposisi kepemilikan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) yang tidak mengubah jumlah modal disetor wajib disertai
dengan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, huruf
c, dan huruf d serta fotokopi dokumen pengalihan saham.
Pasal 18
(1) Perubahan modal dasar bagi Bank yang berbentuk hukum Perseroan
Terbatas/Perusahaan Daerah, wajib dilaporkan oleh Bank kepada Bank
Indonesia selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari setelah tanggal
diterimanya persetujuan perubahan anggaran dasar dari instansi
berwenang disertai dengan:
a. notulen rapat umum pemegang saham; dan
b. akta perubahan anggaran dasar yang telah disetujui oleh instansi
berwenang.
(2) Perubahan modal bagi Bank yang berbentuk hukum Koperasi, wajib
dilaporkan oleh Bank kepada Bank Indonesia selambat-lambatnya 10
(sepuluh) hari setelah tanggal perubahan anggaran dasar disertai
dengan:
a. notulen rapat anggota; dan
b. akta perubahan anggaran dasar yang telah disetujui oleh rapat
anggota.
(3) Pembelian kembali saham yang telah dikeluarkan oleh Bank wajib
memperoleh persetujuan terlebih dahulu dari Bank Indonesia dan
dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
BAB IV…
- 22 -
BAB IV
DIREKSI, DEWAN KOMISARIS, DEWAN PENGAWAS SYARIAH
DAN PEJABAT EKSEKUTIF
Pasal 19
(1) Kepengurusan Bank terdiri dari Direksi dan dewan Komisaris dan atau
bentuk lain yang dipersamakan dengan itu.
(2) Bank wajib membentuk dan memiliki Dewan Pengawas Syariah yang
berkedudukan di kantor pusat Bank.
Pasal 20
(1) Anggota Direksi dan dewan Komisaris wajib memenuhi persyaratan
sebagai berikut:
a. tidak termasuk dalam daftar orang-orang yang dilarang menjadi
pemegang saham dan atau pengurus bank sesuai dengan ketentuan
yang ditetapkan oleh Bank Indonesia; dan
b. menurut penilaian Bank Indonesia yang bersangkutan memiliki
kompetensi dan integritas yang baik.
(2) Anggota Direksi dan
dewan Komisaris Bank yang memiliki
kompetensi dan integritas yang baik sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf b, antara lain adalah pihak-pihak yang:
a. memiliki akhlak dan moral yang baik;
b. mematuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku;
c. memiliki komitmen yang tinggi dalam mengikuti fatwa Dewan
Syariah Nasional; dan
d. memiliki kemampuan dalam menjalankan tugas dan atau
mengawasi…
- 23 -
mengawasi kegiatan usaha Bank agar sesuai dengan prinsip
syariah.
Pasal 21
(1) Anggota Dewan Pengawas Syariah wajib memenuhi persyaratan
sebagai berikut:
a. integritas;
b. kompetensi;dan
c. reputasi keuangan.
(2) Anggota Dewan Pengawas Syariah yang memenuhi persyaratan
integritas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, antara lain
adalah pihak-pihak yang:
a. memiliki akhlak dan moral yang baik;
b. memiliki komitmen untuk mematuhi peraturan perundang-
undangan yang berlaku;
c. memiliki komitmen yang
operasional Bank yang sehat;
tinggi terhadap pengembangan
d. tidak termasuk dalam daftar tidak lulus sesuai dengan ketentuan
yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
(3) Anggota Dewan Pengawas Syariah yang memenuhi persayaratan
kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, antara lain
adalah pihak-pihak yang memiliki pengetahuan dan pengalaman
dibidang syariah mu’amalah dan pengetahuan dibidang perbankan dan
atau keuangan secara umum.
(4) Anggota Dewan Pengawas Syariah yang memenuhi persyaratan
reputasi…
- 24 -
reputasi keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c,
antara lain adalah pihak-pihak yang:
a. tidak termasuk dalam kredit/pembiayaan macet;
b. tidak pernah dinyatakan pailit atau menjadi Direksi atau Komisaris
yang dinyatakan bersalah menyebabkan suatu perseroan dinyatakan
pailit, dalam waktu 5 (lima) tahun terakhir sebelum dicalonkan.
Pasal 22
(1) Bank yang sebagian sahamnya dimiliki oleh pihak asing dapat
menempatkan warga negara asing sebagai anggota Direksi dan dewan
Komisaris.
(2) Diantara anggota Direksi dan dewan Komisaris Bank, sekurang-
kurangnya terdapat 1 (satu) orang anggota Direksi dan 1 (satu) orang
anggota dewan Komisaris berkewarganegaraan Indonesia.
Pasal 23
(1) Direksi Bank sekurang-kurangnya berjumlah 2 (dua) orang.
(2) Mayoritas dari anggota Direksi wajib berpengalaman dalam
operasional bank syariah sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun sebagai
Pejabat Eksekutif.
(3) Direktur Utama Bank wajib berasal dari pihak yang independen
terhadap Pemegang Saham Pengendali.
Pasal 24
(1) Sesama anggota Direksi dilarang saling memiliki hubungan keluarga
sampai derajat kedua termasuk besan.
(2) Mayoritas…
- 25 -
(2) Mayoritas anggota Direksi dilarang saling memiliki
hubungan
keluarga sampai derajat kedua termasuk besan dengan anggota dewan
Komisaris.
(3) Anggota Direksi dilarang merangkap jabatan sebagai anggota Direksi,
dewan Komisaris atau Pejabat Eksekutif pada bank, perusahaan atau
lembaga lain.
(4) Anggota Direksi baik
secara sendiri-sendiri atau bersama-sama
dilarang memiliki saham melebihi 25% (dua puluh lima perseratus)
dari modal disetor pada suatu perusahaan lain.
(5) Anggota Direksi dilarang memberikan kuasa umum kepada pihak lain
yang mengakibatkan pengalihan tugas dan wewenang tanpa batas.
Pasal 25
(1) Jumlah anggota dewan Komisaris sekurang-kurangnya 2 (dua) orang
dan sebanyak-banyaknya sama dengan jumlah anggota Direksi.
(2) Sekurang-kurangnya 1 (satu) orang anggota dewan Komisaris wajib
berdomisili di Indonesia.
(3) Sekurang-kurangnya 1 (satu) orang anggota dewan Komisaris wajib
berasal dari pihak yang independen terhadap pemilik.
(4) Anggota dewan Komisaris wajib memiliki pengetahuan dan atau
pengalaman di bidang perbankan.
(5) Anggota dewan Komisaris hanya dapat merangkap jabatan sebagai:
a. anggota dewan Komisaris sebanyak-banyaknya pada 1 (satu) bank
lain; atau
b. anggota dewan Komisaris, Direksi, atau Pejabat Eksekutif yang
memerlukan…
- 26 -
memerlukan tanggung jawab penuh sebanyak-banyaknya pada 2
(dua) lembaga/perusahaan lain bukan bank.
(6) Mayoritas anggota dewan Komisaris dilarang
saling memiliki
hubungan keluarga sampai derajat kedua dengan sesama anggota
dewan Komisaris.
Pasal 26
(1) Jumlah anggota Dewan Pengawas Syariah sekurang-kurangnya 2 (dua)
orang dan sebanyak-banyaknya 5 (lima) orang.
(2) Anggota Dewan Pengawas Syariah hanya dapat merangkap jabatan
sebagai anggota Dewan Pengawas Syariah
sebanyak-banyaknya pada
2 (dua) bank lain dan 2 (dua) lembaga keuangan syariah bukan bank.
(3) Sebanyak-banyaknya 2 (dua) anggota Dewan Pengawas Syariah dapat
merangkap jabatan sebagai anggota Dewan Syariah Nasional.
(4) Anggota Dewan Pengawas Syariah digolongkan sebagai pihak
terafiliasi.
Pasal 27
(1) Tugas, wewenang dan tanggung jawab Dewan Pengawas Syariah
antara lain meliputi:
a. memastikan dan mengawasi kesesuaian kegiatan operasional Bank
terhadap fatwa yang dikeluarkan oleh DSN;
b. menilai aspek syariah terhadap pedoman operasional, dan produk
yang dikeluarkan Bank;
(c) memberikan…
- 27 -
c. memberikan opini dari aspek
syariah terhadap pelaksanaan
operasional Bank secara keseluruhan dalam laporan publikasi
Bank;
d. mengkaji produk dan jasa baru yang belum ada fatwa untuk
dimintakan fatwa kepada DSN;
e. menyampaikan laporan hasil pengawasan syariah sekurang-
kurangnya setiap 6 (enam) bulan kepada Direksi, Komisaris,
Dewan Syariah Nasional dan Bank Indonesia.
(2) Tata cara pelaporan hasil pengawasan Dewan Pengawas Syariah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dalam Surat
Edaran Bank Indonesia.
Pasal 28
(1) Calon anggota Direksi atau dewan Komisaris wajib memperoleh
persetujuan dari Bank Indonesia sebelum diangkat dan menduduki
jabatannya oleh rapat umum pemegang saham atau rapat anggota.
(2) Sebelum dimintakan persetujuan dari Bank Indonesia, penetapan calon
anggota Direksi atau dewan Komisaris sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) wajib dilakukan dengan berpedoman pada ketentuan
perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 29
(1) Permohonan untuk memperoleh persetujuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 28 diajukan oleh Bank kepada Gubernur Bank Indonesia,
dan…
- 28 -
dan wajib disertai dengan dokumen sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6 ayat (1) huruf c kecuali angka 12.
(2) Dalam
rangka memberikan persetujuan atau penolakan atas
permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Bank Indonesia
melakukan:
a. penelitian atas kelengkapan dan kebenaran dokumen; dan
b. wawancara terhadap calon anggota Direksi atau dewan Komisaris.
(3) Persetujuan atau penolakan atas pengajuan calon anggota Direksi dan
atau dewan Komisaris diberikan selambat lambatnya 30 (tiga puluh)
hari sejak dokumen permohonan diterima secara lengkap.
Pasal 30
(1) Dalam hal rapat umum pemegang saham atau rapat anggota telah
mengangkat calon anggota Direksi dan atau calon anggota dewan
Komisaris sebelum persetujuan Bank Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 29 ayat (3) dan apabila Bank Indonesia tidak
menyetujui pihak-pihak dimaksud maka Bank wajib mengajukan
kembali calon anggota Direksi dan atau calon anggota dewan
Komisaris baru sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 28 dan Pasal 29 ayat (1) dan ayat (2).
(2) Dalam hal rapat umum pemegang
saham atau rapat anggota
membatalkan pengangkatan calon anggota Direksi atau calon anggota
dewan Komisaris yang telah disetujui oleh Bank Indonesia maka Bank
wajib melaporkan pembatalan tersebut kepada Bank Indonesia,
selambat lambatnya 10 (sepuluh) hari setelah tanggal pembatalan
pengangkatan…
- 29 -
pengangkatan, disertai dengan fotokopi notulen rapat umum pemegang
saham atau fotokopi notulen rapat anggota.
(3) Pengangkatan anggota Direksi dan atau dewan Komisaris wajib
dilaporkan oleh Bank kepada Bank Indonesia selambat lambatnya 10
(sepuluh) hari sejak tanggal pengangkatan efektif, disertai dengan
fotokopi notulen rapat umum pemegang saham atau fotokopi notulen
rapat anggota.
Pasal 31
Bank wajib mengajukan calon anggota Dewan Pengawas Syariah untuk
memperoleh :
a. persetujuan Bank Indonesia; dan
b. penetapan Dewan Syariah Nasional
sebelum diangkat dan menduduki jabatannya.
Pasal 32
(1) Permohonan untuk memperoleh persetujuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 31 huruf a, diajukan oleh Bank kepada Gubernur Bank
Indonesia, dan wajib disertai dengan dokumen sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c angka 1 sampai dengan angka 3, angka
6, angka 7 dan angka 12.
(2) Persetujuan atau penolakan atas pengajuan calon anggota Dewan
Pengawas Syariah diberikan selambat lambatnya 30 (tiga puluh) hari
sejak dokumen permohonan diterima secara lengkap.
(3) Dalam…
- 30 -
(3) Dalam
rangka memberikan persetujuan atau penolakan atas
permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Bank Indonesia
melakukan:
a. penelitian atas kelengkapan dan kebenaran dokumen; dan
b. wawancara terhadap calon anggota Dewan Pengawas Syariah.
Pasal 33
(1) Penetapan calon anggota Dewan Pengawas Syariah oleh Dewan
Syariah Nasional dilakukan setelah mendapat persetujuan dari Bank
Indonesia.
(2) Permohonan untuk memperoleh penetapan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 31 huruf b wajib disampaikan oleh Bank kepada Dewan
Syariah Nasional dengan tembusan ke Bank Indonesia selambat-
lambatnya 15 hari sejak diterbitkannya surat persetujuan Bank
Indonesia.
(3) Dewan Syariah Nasional menetapkan calon Dewan Pengawas Syariah
selambat-lambatnya 30 hari sejak diterbitkannya surat persetujuan
Bank Indonesia.
(4) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
Dewan Syariah Nasional belum mengeluarkan penetapan calon Dewan
Pengawas Syariah, maka calon Dewan Pengawas Syariah dianggap
efektif sebagai Dewan Pengawas Syariah.
(5) Pengangkatan anggota Dewan Pengawas Syariah wajib dilaporkan
oleh Bank kepada Bank Indonesia selambat-lambatnya 10 (sepuluh)
hari setelah tanggal pengangkatan efektif.
Pasal 34…
- 31 -
Pasal 34
(1) Pengangkatan atau penggantian Pejabat Eksekutif atau pemimpin
Kantor Cabang wajib dilaporkan oleh Bank kepada Bank Indonesia
selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari setelah tanggal pengangkatan
efektif dan disertai dengan:
a. surat pengangkatan dan pemberian kuasa sebagai Pejabat Eksekutif
atau pemimpin Kantor Cabang dari Direksi Bank; dan
b. dokumen
yang menyatakan identitas Pejabat Eksekutif atau
pemimpin Kantor Cabang Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal
6 ayat (1) huruf c angka 1, angka 2, angka 3 dan angka 4.
(2) Apabila berdasarkan penilaian dan penelitian Bank Indonesia, Pejabat
Eksekutif atau pemimpin Kantor Cabang termasuk dalam daftar orang-
orang yang dilarang menjadi pemegang saham, Pemegang Saham
Pengendali, pengurus, Pejabat Eksekutif bank maka Bank wajib segera
memberhentikan yang bersangkutan.
Pasal 35
(1) Anggota Direksi, anggota dewan Komisaris, anggota Dewan
Pengawas Syariah, Pejabat Eksekutif dan pemimpin Kantor Cabang
yang memiliki benturan kepentingan dilarang mengambil keputusan.
(2)
Benturan kepentingan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
diungkapkan dalam keputusan.
BAB V…
- 32 -
BAB V
KEGIATAN USAHA
Pasal 36
Bank wajib menerapkan prinsip syariah dan prinsip kehati-hatian dalam
melakukan kegiatan usahanya yang meliputi:
a. melakukan penghimpunan dana dari masyarakat dalam bentuk
simpanan dan investasi, antara lain:
1. giro berdasarkan prinsip wadi’ah;
2. tabungan berdasarkan prinsip wadi’ah dan atau mudharabah; atau
3. deposito berjangka berdasarkan prinsip mudharabah;
b. melakukan penyaluran dana melalui :
1. prinsip jual beli berdasarkan akad antara lain:
a) murabahah;
b) istishna;
c) salam;
2. prinsip bagi hasil berdasarkan akad antara lain:
a) mudharabah;
b) musyarakah;
3. prinsip sewa menyewa berdasarkan akad antara lain:
a) ijarah;
b) ijarah muntahiya bittamlik;
4. prinsip pinjam meminjam berdasarkan akad qardh;
c) melakukan…
- 33 -
c. melakukan pemberian jasa pelayanan perbankan berdasarkan akad
antara lain:
1. wakalah;
2. hawalah;
3. kafalah;
4. rahn.
d. membeli, menjual dan/atau menjamin atas risiko sendiri surat berharga
pihak ketiga yang diterbitkan atas dasar transaksi nyata (underlying
transaction) berdasarkan prinsip syariah;
e. membeli surat berharga berdasarkan prinsip syariah yang diterbitkan
oleh Pemerintah dan/atau Bank Indonesia;
f. menerbitkan surat berharga berdasarkan prinsip syariah;
g. memindahkan uang
berdasarkan prinsip syariah;
h. menerima pembayaran tagihan atas surat berharga yang diterbitkan dan
melakukan perhitungan dengan atau antar pihak ketiga berdasarkan
prinsip syariah;
i. menyediakan tempat untuk menyimpan barang dan surat-surat berharga
berdasarkan prinsip wadi’ah yad amanah;
j. melakukan kegiatan
penitipan
kepentingan pihak lain berdasarkan suatu kontrak dengan prinsip
wakalah;
k. memberikan fasilitas letter of credit (L/C) berdasarkan prinsip syariah;
l. memberikan fasilitas garansi bank berdasarkan prinsip syariah;
m. melakukan…
untuk kepentingan sendiri dan/atau nasabah
termasuk penatausahaannya untuk
- 34 -
m. melakukan kegiatan usaha kartu debet, charge card berdasarkan prinsip
syariah;
n. melakukan kegiatan wali amanat berdasarkan akad wakalah;
o. melakukan kegiatan lain yang lazim dilakukan Bank sepanjang disetujui
oleh Bank Indonesia dan mendapatkan fatwa Dewan Syariah Nasional.
Pasal 37
(1) Selain melakukan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal
36, Bank dapat pula :
a. Melakukan kegiatan dalam valuta asing berdasarkan akad sharf;
b. melakukan kegiatan penyertaan modal pada bank atau perusahaan
lain dibidang keuangan berdasarkan prinsip syariah seperti sewa
guna usaha, modal ventura, perusahaan efek, asuransi serta
lembaga kliring penyelesaian dan penyimpanan;
c. melakukan kegiatan penyertaan modal sementara berdasarkan
prinsip
syariah untuk mengatasi akibat kegagalan pembiayaan
dengan syarat harus menarik kembali penyertaannya dengan
ketentuan sebagaimana ditetapkan oleh Bank Indonesia; dan
d. bertindak sebagai pendiri dana pensiun dan pengurus dana pensiun
berdasarkan prinsip syariah sesuai dengan
perundang-undangan dana pensiun yang berlaku.
ketentuan dalam
(2) Bank syariah dalam melaksanakan fungsi sosial dapat bertindak
sebagai penerima dana sosial antara lain dalam bentuk zakat, infaq,
shadaqah, waqaf, hibah dan menyalurkannya sesuai syariah atas nama
Bank atau lembaga amil zakat yang ditunjuk oleh pemerintah.
Pasal 38…
- 35 -
Pasal 38
(1) Bank wajib mengajukan permohonan persetujuan kepada Bank
Indonesia atas produk dan jasa baru yang akan dikeluarkan.
(2) Permohonan persetujuan atas
produk dan jasa baru yang akan
dikeluarkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilampiri
dengan fatwa dari Dewan Syariah Nasional.
Pasal 39
(1) Bank
dilarang melakukan kegiatan usaha perbankan secara
konvensional.
(2) Bank dilarang mengubah kegiatan usaha menjadi bank konvensional.
BAB VI
PEMBUKAAN KANTOR BANK
Bagian Pertama
Pembukaan Kantor Cabang di Dalam Negeri
Pasal 40
(1) Pembukaan Kantor Cabang Bank di dalam negeri hanya dapat
dilakukan dengan izin Gubernur Bank Indonesia.
(2) Rencana pembukaan Kantor Cabang sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) wajib dicantumkan dalam rencana kerja tahunan Bank yang telah
mendapat surat penegasan dari Bank Indonesia.
Pasal 41
(1) Permohonan izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40, diajukan
oleh…
- 36 -
oleh Bank kepada Gubernur Bank Indonesia dan wajib disertai
dengan:
a. laporan keuangan gabungan dan rincian kualitas aktiva produktif 2
(dua) bulan terakhir sebelum tanggal surat permohonan;
b. rencana persiapan operasional dalam rangka pembukaan Kantor
Cabang;
c. hasil studi kelayakan yang sekurang-kurangnya memuat potensi
ekonomi, peluang pasar, tingkat persaingan yang sehat antar bank
yang melaksanakan kegiatan berdasarkan prinsip syariah, tingkat
kejenuhan jumlah bank yang melaksanakan kegiatan berdasarkan
prinsip syariah yang dilengkapi dengan data-data pendukung dari
instansi terkait;
d. proyeksi arus kas bulanan selama 12 (dua belas) bulan; dan
e. rencana kerja Kantor Cabang sekurang-kurangnya selama 12 (dua
belas) bulan.
(2) Dalam
rangka memberikan persetujuan atau penolakan atas
permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia
melakukan:
a. penelitian atas kelengkapan dan kebenaran dokumen; dan
b. analisis yang mencakup antara lain kemampuan Bank termasuk
tingkat kesehatan, tingkat persaingan yang sehat antar bank yang
melaksanakan kegiatan berdasarkan prinsip syariah, tingkat
kejenuhan jumlah bank yang melaksanakan kegiatan berdasarkan
prinsip syariah, dan pemerataan pembangunan ekonomi nasional.
(3) Apabila diperlukan, Bank Indonesia dapat melakukan pemeriksaan
untuk…
- 37 -
untuk meneliti persiapan pembukaan kantor dan kebenaran dokumen
yang disampaikan.
(4) Persetujuan atau penolakan atas permohonan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) diberikan selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari
setelah dokumen permohonan diterima secara lengkap termasuk
pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
Pasal 42
(1) Pelaksanaan pembukaan Kantor Cabang sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 41 wajib dilakukan selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari
sejak tanggal izin dari Gubernur Bank Indonesia dikeluarkan.
(2) Pelaksanaan pembukaan Kantor Cabang sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) wajib dilaporkan oleh Bank kepada Bank Indonesia selambat-
lambatnya 10 (sepuluh) hari setelah tanggal pembukaan.
(3) Apabila setelah jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
Bank tidak melaksanakan pembukaan Kantor Cabang, maka izin
pembukaan Kantor Cabang yang telah diberikan dinyatakan tidak
berlaku.
Bagian Kedua
Pembukaan Kantor di Bawah Kantor Cabang dan Kegiatan Kas di Luar
Kantor Bank di Dalam Negeri
Pasal 43
(1) Rencana pembukaan Kantor di bawah Kantor Cabang Bank di dalam
negeri yang meliputi Kantor Cabang Pembantu, Unit Pelayanan
Syariah…
- 38 -
Syariah dan atau Kantor Kas wajib dicantumkan dalam rencana kerja
tahunan Bank yang telah mendapat surat penegasan dari Bank
Indonesia.
(2) Pembukaan Kantor Cabang
Pembantu dan atau Kantor Kas
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan:
a. dalam satu wilayah kliring dengan Kantor induknya;
b. dengan mempertimbangkan hasil studi kelayakan yang memuat
tingkat kejenuhan jumlah bank yang melaksanakan kegiatan usaha
berdasarkan prinsip syariah; dan
c. dengan mempergunakan sumber daya manusia sendiri Bank.
(3) Pembukaan Unit Pelayanan Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) hanya dapat dilakukan:
a. dalam satu wilayah Kantor Bank Indonesia dengan Kantor Cabang
induknya;
b. berlokasi diluar Ibukota Propinsi, Bogor, Depok, Tangerang, dan
Bekasi;
c. dengan mempertimbangkan hasil studi kelayakan yang memuat
tingkat kejenuhan jumlah bank yang melaksanakan kegiatan usaha
berdasar prinsip syariah; dan
d. dengan mempergunakan sumber daya manusia sendiri Bank.
(4) Pembukaan Kantor Kas, Kantor Cabang Pembantu dan atau Unit
Pelayanan Syariah dapat beralamat yang sama dengan kantor lain
dengan tetap memperhatikan faktor pengamanan.
(5) Laporan…
- 39 -
(5) Laporan keuangan Kantor di bawah Kantor Cabang
wajib
digabungkan dengan laporan keuangan Kantor Cabang induknya pada
hari yang sama.
Pasal 44
(1) Bank wajib menyampaikan rencana pembukaan Kantor di bawah
Kantor Cabang kepada Bank Indonesia selambat-lambatnya 30 (tiga
puluh) hari sebelum pelaksanaan pembukaan kantor, disertai dengan
hasil studi kelayakan yang memuat tingkat kejenuhan jumlah bank
yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah.
(2) Pelaksanaan pembukaan Kantor di bawah Kantor Cabang sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan selambat-lambatnya 30 (tiga
puluh) hari setelah tanggal penegasan dari Bank Indonesia.
(3) Pelaksanaan pembukaan Kantor di bawah Kantor Cabang wajib
dilaporkan oleh Bank kepada Bank Indonesia selambat-lambatnya 10
(sepuluh) hari setelah tanggal pelaksanaan pembukaan.
Pasal 45
(1) Rencana Kegiatan Kas di luar Kantor Bank wajib dicantumkan dalam
rencana kerja tahunan Bank yang telah mendapat surat penegasan dari
Bank Indonesia.
(2) Bank wajib menyampaikan laporan rencana Kegiatan Kas di luar
Kantor Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Bank
Indonesia selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sebelum
pelaksanaan kegiatan.
(3) Pelaksanaan…
- 40 -
(3) Pelaksanaan Kegiatan Kas di luar Kantor Bank sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) wajib dilakukan selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari
setelah tanggal penegasan dari Bank Indonesia.
(4) Pelaksanaan Kegiatan Kas di luar Kantor Bank wajib dilaporkan oleh
Bank kepada Bank Indonesia selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari
setelah tanggal pelaksanaan kegiatan.
Bagian Ketiga
Pembukaan Kantor di Luar Negeri
Pasal 46
(1) Bank yang akan membuka Kantor Cabang, kantor perwakilan dan
jenis-jenis kantor lainnya di luar negeri hanya dapat dilakukan dengan
izin Gubernur Bank Indonesia.
(2) Pemberian izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat
diberikan apabila Bank:
a. telah menjadi Bank devisa sekurang-kurangnya 24 (dua puluh
empat) bulan; dan
b. telah mencantumkan rencana pembukaan Kantor Cabang, kantor
perwakilan dan jenis-jenis kantor lainnya di luar negeri dalam
rencana kerja tahunan Bank yang telah mendapat surat penegasan
dari Bank Indonesia.
Pasal 47
(1) Permohonan izin membuka Kantor Cabang dan jenis-jenis kantor
lainnya yang bersifat operasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal
46…
- 41 -
46 ayat (1), diajukan oleh Bank kepada Gubernur Bank Indonesia dan
wajib disertai dengan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41
ayat 1 huruf a, huruf b, huruf d, dan huruf e serta hasil studi kelayakan
yang memuat sekurang-kurangnya peluang pasar dan potensi ekonomi.
(2) Permohonan izin membuka kantor perwakilan dan jenis-jenis kantor
lainnya yang tidak bersifat operasional sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 46 ayat (1) diajukan oleh Bank kepada Gubernur Bank
Indonesia, dan wajib disertai dengan dokumen berupa laporan
keuangan gabungan 2 (dua) bulan terakhir sebelum tanggal surat
permohonan serta alasan pembukaan kantor.
(3) Persetujuan atau penolakan atas permohonan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2) diberikan selambat-lambatnya 30 (tiga
puluh) hari setelah dokumen permohonan diterima secara lengkap.
rangka memberikan persetujuan atau penolakan atas
(4) Dalam
permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Bank Indonesia
melakukan:
a. penelitian atas kelengkapan dan kebenaran dokumen;
b. analisis yang mencakup antara lain kemampuan Bank termasuk
tingkat kesehatan dan hasil studi kelayakan.
Pasal 48
(1) Pembukaan kantor di luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal
47 hanya dapat dilaksanakan setelah mendapat izin dari otoritas di
negara setempat.
(2) Pelaksanaan…
- 42 -
(2) Pelaksanaan pembukaan kantor sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
wajib dilaporkan oleh Bank kepada Bank Indonesia selambat-
lambatnya 10 (sepuluh) hari setelah tanggal pelaksanaan pembukaan
dan wajib disertai dengan salinan/fotokopi izin pembukaan kantor dari
otoritas di negara setempat.
BAB VII
PENINGKATAN DAN PENURUNAN STATUS
KANTOR BANK
Pasal 49
(1)
Peningkatan status dari Kantor di bawah Kantor Cabang menjadi
Kantor Cabang hanya dapat dilakukan dengan cara menutup Kantor di
bawah Kantor Cabang dengan memenuhi ketentuan Pasal 64 dan
diikuti dengan membuka Kantor Cabang dengan memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40, Pasal 41 dan Pasal 42.
(2) Peningkatan status dari Kegiatan Kas di luar Kantor Bank menjadi
Kantor di bawah Kantor Cabang hanya dapat dilakukan dengan cara
menghentikan Kegiatan Kas di luar Kantor Bank dengan memenuhi
ketentuan Pasal 64 dan diikuti dengan membuka Kantor di bawah
Kantor Cabang dengan memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 43 dan Pasal 44.
Pasal 50
(1) Penurunan status dari Kantor Cabang menjadi Kantor di bawah Kantor
Cabang…
- 43 -
Cabang hanya dapat dilakukan dengan cara menutup Kantor Cabang
dengan memenuhi ketentuan Pasal 61, Pasal 62 dan Pasal 63 dan
diikuti dengan membuka Kantor di bawah Kantor Cabang dengan
memenuhi ketentuan Pasal 43 dan Pasal 44 kecuali hasil studi
kelayakan yang memuat tingkat kejenuhan jumlah bank
melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah.
yang
(2) Penurunan status dari Kantor di bawah Kantor Cabang menjadi
Kegiatan Kas di luar Kantor Bank hanya dapat dilakukan dengan cara
menutup Kantor di bawah Kantor Cabang dengan memenuhi ketentuan
Pasal 64 dan diikuti dengan membuka Kegiatan Kas di luar Kantor
Bank dengan memenuhi ketentuan Pasal 45.
BAB VIII
PEMINDAHAN ALAMAT KANTOR BANK
Pasal 51
(1) Pemindahan alamat kantor pusat dan Kantor Cabang hanya dapat
dilakukan dengan izin Gubernur Bank Indonesia.
(2) Permohonan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh
Bank kepada Gubernur Bank Indonesia sebelum pemindahan alamat
dilaksanakan.
Pasal 52…
- 44 -
Pasal 52
(1) Permohonan izin pemindahan alamat kantor pusat dan Kantor Cabang
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) wajib disertai dengan:
a. alasan pemindahan alamat dan rencana persiapan operasional
kantor Bank;
b. rencana penyelesaian atau pengalihan tagihan dan kewajiban
Bank; dan
c.
hasil studi kelayakan di tempat kedudukan baru yang sekurang-
kurangnya memuat potensi ekonomi, peluang pasar, tingkat
persaingan yang sehat antar bank yang melaksanakan kegiatan
usaha berdasarkan prinsip syariah, dan tingkat kejenuhan jumlah
bank yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip
syariah yang dilengkapi dengan data-data pendukung.
(2) Pemindahan alamat Kantor Cabang Bank yang dilakukan:
a. di jalan yang sama atau dilokasi yang berdekatan wajib memenuhi
persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a;
b. dalam
lokasi diluar kotamadya/kabupaten wilayah kantor
sebelumnya namun masih dalam satu wilayah Kantor Bank
Indonesia wajib memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a, b dan c;
c. di luar wilayah kerja Kantor Bank Indonesia sebelumnya wajib
memenuhi ketentuan penutupan Kantor Cabang dan pembukaan
Kantor Cabang.
(3) Pemindahan alamat kantor pusat wajib memenuhi persyaratan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(4) Dalam…
- 45 -
(4) Dalam
rangka memberikan persetujuan atau penolakan atas
permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia
melakukan:
a. penelitian atas kelengkapan dan kebenaran dokumen; dan
b. analisis yang mencakup antara lain tingkat persaingan yang sehat
antar bank yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip
syariah, tingkat kejenuhan jumlah bank yang melaksanakan
kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, dan pemerataan
pembangunan ekonomi nasional.
(5) Apabila diperlukan, Bank Indonesia dapat melakukan pemeriksaan
untuk meneliti persiapan pemindahan alamat kantor dan kebenaran
dokumen yang disampaikan.
(6) Persetujuan atau penolakan atas permohonan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diberikan selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari
setelah dokumen permohonan diterima secara lengkap termasuk
pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (5).
Pasal 53
(1) Pemindahan alamat kantor yang
telah mendapat persetujuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (6) wajib dilaksanakan
selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal pemberian izin
dari Gubernur Bank Indonesia.
(2) Pelaksanaan pemindahan alamat kantor sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) wajib diumumkan oleh Bank dalam:
a. surat kabar yang mempunyai peredaran nasional, bagi pemindahan
alamat…
- 46 -
alamat kantor pusat; atau
b. surat kabar yang mempunyai peredaran luas di tempat kedudukan
Kantor Cabang, bagi pemindahan alamat Kantor Cabang,
selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari sebelum tanggal pelaksanaan
pemindahan alamat kantor.
(3) Pelaksanaan pemindahan alamat kantor wajib dilaporkan oleh Bank
kepada Bank Indonesia selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari setelah
tanggal pelaksanaan pemindahan alamat.
(4) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Bank tidak melaksanakan pemindahan alamat kantor, Gubernur Bank
Indonesia membatalkan izin yang telah dikeluarkan.
Pasal 54
(1) Rencana pemindahan alamat:
a. Kantor di bawah Kantor Cabang dan Kegiatan Kas di luar Kantor
Bank di dalam negeri; atau
b. Kantor Cabang, kantor perwakilan, dan jenis-jenis kantor lainnya
di luar negeri,
wajib dilaporkan oleh Bank kepada Bank Indonesia selambat-
lambatnya 30 (tiga puluh) hari sebelum pelaksanaan pemindahan
alamat kantor.
(2) Laporan rencana pemindahan alamat sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf a wajib disertai dengan:
a. alasan pemindahan alamat dan rencana persiapan operasional kantor
Bank;
b. rencana…
- 47 -
b. rencana penyelesaian atau pengalihan tagihan dan kewajiban Bank;
dan
c. hasil studi kelayakan di tempat kedudukan baru yang sekurang-
kurangnya memuat
tingkat kejenuhan jumlah
bank
melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah.
Pasal 55
(1) Pemindahan alamat Kantor di bawah Kantor Cabang di dalam negeri
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (1) huruf a, yang
dilakukan:
a. di jalan yang sama atau lokasi yang berdekatan wajib memenuhi
persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (2) huruf
a;
b. dalam
lokasi diluar kotamadya/kabupaten wilayah kantor
sebelumnya namun masih dalam satu wilayah Kantor Bank
Indonesia wajib memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 54 ayat (2) huruf a, b dan c;
c. di luar wilayah kerja Kantor Bank Indonesia sebelumnya wajib
memenuhi ketentuan penutupan Kantor di bawah Kantor Cabang
dan pembukaan Kantor di bawah Kantor Cabang.
(2) Pemindahan alamat Kegiatan Kas di luar Kantor Bank di dalam negeri
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (1) huruf a, yang
dilakukan:
yang
a. di jalan…
- 48 -
a. di jalan yang sama atau lokasi yang berdekatan wajib memenuhi
persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (2) huruf a;
diluar kotamadya/kabupaten wilayah kantor
b. dalam
lokasi
sebelumnya namun masih dalam satu wilayah Kantor Bank
Indonesia wajib memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 54 ayat (2) huruf a, b dan c;
c. di luar wilayah kerja Kantor Bank Indonesia sebelumnya wajib
memenuhi ketentuan penutupan Kegiatan Kas di luar Kantor Bank
dan pembukaan Kegiatan Kas di luar Kantor Bank.
(3) Pemindahan alamat Kantor di bawah Kantor Cabang dan Kegiatan Kas
di luar Kantor Bank di dalam negeri sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 54 ayat (1) huruf a wajib dilaksanakan selambat-lambatnya 30
(tiga puluh) hari setelah tanggal penegasan dari Bank Indonesia.
Pasal 56
(1) Pelaksanaan pemindahan alamat Kantor di bawah Kantor Cabang
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) wajib diumumkan oleh
Bank dalam surat kabar yang mempunyai peredaran luas di tempat
kedudukan Kantor Cabang induknya selambat-lambatnya 10 (sepuluh)
hari sebelum tanggal pelaksanaan pemindahan alamat kantor.
(2) Pelaksanaan pemindahan alamat Kantor di bawah Kantor Cabang dan
Kegiatan Kas di luar Kantor Bank di dalam negeri wajib dilaporkan
oleh Bank kepada Bank Indonesia selambat-lambatnya 10 (sepuluh)
hari setelah tanggal pelaksanaan pemindahan alamat.
(3) Pelaksanaan pemindahan alamat Kantor Cabang, kantor perwakilan,
dan…
- 49 -
dan jenis-jenis kantor lainnya di luar negeri sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 54 ayat (1) huruf b wajib dilaporkan oleh Bank kepada
Bank Indonesia selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari setelah tanggal
pelaksaanaan pemindahan alamat, disertai dengan salinan/fotokopi izin
dari otoritas di negara setempat.
BAB IX
PERUBAHAN NAMA DAN
BENTUK BADAN HUKUM
Bagian Pertama
Perubahan Nama Bank
Pasal 57
(1) Perubahan nama Bank wajib dilakukan dengan memenuhi ketentuan
perundang-undangan yang berlaku.
(2) Bagi Bank yang telah memperoleh persetujuan perubahan nama dari
instansi berwenang wajib mengajukan permohonan kepada Bank
Indonesia mengenai
penetapan penggunaan izin usaha yang dimiliki
untuk Bank dengan nama yang baru.
(3) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diajukan oleh Bank
kepada Bank Indonesia selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari
setelah perubahan nama dan wajib disertai dengan akta perubahan
anggaran dasar yang telah disetujui oleh instansi berwenang bagi Bank
yang berbentuk hukum Perseroan Terbatas/Perusahaan Daerah atau
perubahan anggaran dasar yang telah disahkan oleh rapat anggota bagi
Bank…
- 50 -
Bank yang berbentuk hukum Koperasi.
(4) Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Bank
Indonesia menerbitkan Keputusan Gubernur Bank Indonesia tentang
perubahan nama Bank dalam jangka waktu 15 (lima belas) hari setelah
dokumen permohonan diterima secara lengkap.
(5) Pelaksanaan perubahan nama Bank wajib diumumkan dalam surat
kabar yang mempunyai peredaran nasional selambat-lambatnya 10
(sepuluh) hari setelah tanggal penerbitan Keputusan Gubernur Bank
Indonesia.
Bagian Kedua
Perubahan Bentuk Badan Hukum Bank
Pasal 58
(1) Perubahan bentuk badan hukum Bank wajib dilakukan dengan
persetujuan Gubernur Bank Indonesia.
(2) Pemberian persetujuan perubahan bentuk badan hukum Bank
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan dalam dua tahap:
a. persetujuan prinsip, yaitu persetujuan untuk melakukan persiapan
perubahan bentuk badan hukum Bank; dan
b. persetujuan pengalihan izin usaha, yaitu persetujuan yang diberikan
untuk mengalihkan izin usaha dari badan hukum lama kepada
badan hukum baru.
Pasal 59
(1) Permohonan untuk mendapatkan persetujuan prinsip perubahan bentuk
badan…
- 51 -
badan hukum Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (2)
huruf a diajukan oleh Bank kepada Gubernur Bank Indonesia sebelum
dilakukan rapat umum pemegang saham atau rapat anggota untuk
memutuskan perubahan bentuk badan hukum Bank, dan wajib disertai
dengan:
a. alasan perubahan bentuk badan hukum;
b. rancangan akta pendirian badan hukum baru termasuk anggaran
dasar;
c. rencana pengalihan seluruh hak dan kewajiban dari badan hukum
lama kepada badan hukum baru;
d. daftar anggota Direksi, dewan Komisaris dan Dewan Pengawas
Syariah disertai dengan dokumen sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6 ayat (1) huruf c, dalam hal terjadi perubahan; dan
e. data kepemilikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1)
huruf b disertai dengan dokumen sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6 ayat (2), dalam hal terjadi perubahan.
(2) Dalam
rangka memberikan persetujuan atau penolakan atas
permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia
melakukan:
a. penelitian atas kelengkapan dan kebenaran dokumen;
b. wawancara terhadap calon Pemegang Saham Pengendali, calon
anggota Direksi, calon anggota dewan Komisaris dan calon
anggota Dewan Pengawas Syariah, dalam hal terjadi perubahan.
(3) Persetujuan atau penolakan atas permohonan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) diberikan selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari
setelah…
- 52 -
setelah dokumen permohonan diterima secara lengkap.
Pasal 60
(1) Permohonan untuk mengalihkan izin usaha Bank dari badan hukum
lama kepada badan hukum baru sebagaimana dimaksud dalam Pasal
58 ayat (2) huruf b, diajukan oleh Bank kepada Gubernur Bank
Indonesia dan wajib disertai dengan:
a. akta pendirian badan hukum baru termasuk anggaran dasar yang
telah disahkan oleh instansi berwenang;
b. daftar anggota Direksi, dewan Komisaris dan Dewan Pengawas
Syariah disertai dengan dokumen sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6 ayat (1) huruf c, dalam hal terjadi perubahan;
c. data kepemilikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1)
huruf b disertai dengan dokumen sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6 ayat (2), dalam hal terjadi perubahan;
d. rancangan berita acara pengalihan seluruh hak dan kewajiban dari
badan hukum lama kepada badan hukum baru; dan
e. notulen rapat umum pemegang saham atau rapat anggota badan
hukum lama yang menyetujui perubahan bentuk hukum dan
pembubaran badan hukum lama.
(2) Dalam
rangka memberikan persetujuan atau penolakan atas
permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia
melakukan:
a. penelitian atas kelengkapan dan kebenaran dokumen; dan
b. wawancara terhadap Pemegang Saham Pengendali, anggota
Direksi…
- 53 -
Direksi, dewan Komisaris dan Dewan Pengawas Syariah dalam hal
terjadi perubahan.
(3) Persetujuan atau penolakan atas permohonan pengalihan izin usaha
dari badan hukum lama kepada badan hukum baru diberikan selambat-
lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah dokumen permohonan diterima
secara lengkap.
(4) Pembubaran badan hukum lama hanya dapat dilakukan setelah:
a. Bank Indonesia memberikan persetujuan pengalihan izin usaha
sebagaimana dimaksud pada ayat (3); dan
b. pengalihan seluruh hak dan kewajiban dari badan hukum lama
kepada badan hukum baru dilaksanakan sesuai dengan rancangan
berita acara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d.
(5) Pelaksanaan perubahan bentuk badan hukum Bank wajib diumumkan
oleh Bank dalam surat kabar yang mempunyai peredaran nasional
selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari setelah tanggal dikeluarkannya
keputusan Gubernur Bank Indonesia.
BAB X
PENUTUPAN KANTOR BANK
Pasal 61
(1) Penutupan Kantor Cabang di dalam negeri hanya dapat dilakukan
dengan izin Gubernur Bank Indonesia.
(2) Pemberian izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam
dua tahap:
a. persetujuan…
- 54 -
a. persetujuan prinsip, yaitu persetujuan untuk melakukan persiapan
penutupan Kantor Cabang; dan
b. persetujuan penutupan, yaitu persetujuan untuk melakukan
penutupan Kantor Cabang.
Pasal 62
(1)
Permohonan untuk memperoleh persetujuan prinsip sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 61 ayat (2) huruf a diajukan oleh Bank kepada
Gubernur Bank Indonesia dan wajib disertai dengan:
a. alasan penutupan; dan
b. langkah-langkah yang
ditempuh dalam rangka penyelesaian
seluruh kewajiban Kantor Cabang kepada nasabah dan pihak
lainnya.
(2) Permohonan untuk memperoleh persetujuan penutupan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 61 ayat (2) huruf b diajukan oleh Bank kepada
Gubernur Bank Indonesia setelah Bank memperoleh persetujuan
prinsip, dan wajib disertai dengan:
a. bukti penyelesaian kewajiban kepada nasabah serta pihak lainnya;
dan
b. surat pernyataan dari Direksi Bank
bahwa langkah-langkah
penyelesaian seluruh kewajiban Kantor Cabang kepada nasabah
dan pihak lainnya telah diselesaikan dan apabila terdapat tuntutan
di kemudian hari menjadi tanggung jawab Direksi untuk dan atas
nama Bank.
(3) Apabila…
- 55 -
(3) Apabila dipandang perlu, Bank Indonesia melakukan pemeriksaan
kepada Bank dalam rangka meneliti penyelesaian seluruh kewajiban
Kantor Cabang yang akan ditutup.
(4) Persetujuan atau penolakan permohonan persetujuan prinsip dan
persetujuan penutupan Kantor Cabang sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2) masing-masing diberikan dalam batas waktu
selambat-lambatnya 15 (lima belas) hari setelah dokumen permohonan
diterima secara lengkap termasuk pemeriksaan sebagaimana dimaksud
pada ayat (3).
Pasal 63
(1)
Pelaksanaan penutupan kantor yang telah mendapat persetujuan
penutupan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (4) wajib
dilaksanakan selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah tanggal
persetujuan penutupan.
(2) Penutupan kantor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
diumumkan oleh Bank dalam surat kabar yang mempunyai peredaran
luas di tempat kedudukan kantor Bank selambat-lambatnya 10
(sepuluh) hari setelah tanggal persetujuan penutupan dari Gubernur
Bank Indonesia.
(3) Pelaksanaan penutupan kantor yang telah mendapat persetujuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (4) wajib dilaporkan oleh
Bank kepada Bank Indonesia selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari
setelah tanggal penutupan.
(4) Apabila…
- 56 -
(4) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Bank
tidak melaksanakan penutupan Kantor Cabang, maka
persetujuan penutupan kantor yang telah diberikan dinyatakan tidak
berlaku.
Pasal 64
(1) Rencana penutupan Kantor di bawah Kantor Cabang wajib dilaporkan
oleh Bank kepada Bank Indonesia selambat-lambatnya 30 (tiga puluh)
hari sebelum pelaksanaan penutupan kantor dimaksud dan disertai
dengan:
a. alasan penutupan; dan
b. langkah-langkah yang
ditempuh dalam rangka penyelesaian
kewajiban Kantor di bawah Kantor Cabang kepada nasabah dan
pihak lainnya.
(2) Rencana penghentian Kegiatan Kas di luar Kantor Bank wajib
dilaporkan oleh Bank kepada Bank Indonesia selambat-lambatnya 30
(tiga puluh) hari sebelum pelaksanaan penghentian Kegiatan Kas di
luar Kantor Bank dan disertai dengan alasan penutupan.
(3) Pelaksanaan penutupan Kantor di bawah Kantor Cabang wajib
dilaporkan oleh Bank kepada Bank Indonesia selambat-lambatnya 10
(sepuluh) hari setelah tanggal penutupan dan wajib disertai dengan:
a. bukti penyelesaian kewajiban kepada nasabah serta pihak lainnya;
dan
b. surat pernyataan dari pemimpin Kantor Cabang induknya bahwa
langkah-langkah penyelesaian seluruh kewajiban Kantor di bawah
Kantor…
- 57 -
Kantor Cabang kepada nasabah dan pihak lainnya telah
diselesaikan dan apabila terdapat tuntutan di kemudian hari
menjadi tanggung jawab pemimpin Kantor Cabang induk untuk
dan atas nama Bank.
(4) Pelaksanaan penghentian Kegiatan Kas di luar Kantor Bank wajib
dilaporkan oleh Bank kepada Bank Indonesia selambat-lambatnya 10
(sepuluh) hari setelah tanggal penghentian Kegiatan Kas di luar Kantor
Bank.
Pasal 65
Penutupan Kantor Cabang, kantor perwakilan dan jenis-jenis kantor lainnya
di luar negeri hanya dapat dilakukan dengan izin Gubernur Bank Indonesia.
Pasal 66
(1) Permohonan untuk memperoleh izin sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 65 bagi Kantor Cabang dan jenis-jenis kantor lainnya yang
bersifat operasional diajukan oleh Bank kepada Gubernur Bank
Indonesia dan wajib disertai dengan:
alasan penutupan;
a.
b.
c.
langkah-langkah yang ditempuh dalam rangka penyelesaian seluruh
kewajiban kantor kepada nasabah dan pihak lainnya; dan
langkah-langkah yang ditempuh dalam rangka perolehan izin dari
otoritas di negara setempat.
(2) Permohonan untuk memperoleh izin sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 65 bagi kantor perwakilan dan jenis-jenis kantor yang tidak
bersifat…
- 58 -
bersifat operasional diajukan oleh Bank kepada Gubernur Bank
Indonesia dan wajib disertai dengan alasan penutupan dan langkah-
langkah yang ditempuh dalam rangka perolehan izin dari otoritas di
negara setempat.
(3) Persetujuan atau penolakan atas permohonan izin sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diberikan dalam waktu selambat-
lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah dokumen permohonan diterima
secara lengkap.
(4) Penutupan kantor di luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2) hanya dapat dilakukan setelah mendapat izin dari otoritas
di negara setempat.
Pasal 67
(1) Pelaksanaan penutupan Kantor Cabang dan jenis-jenis kantor lainnya
yang bersifat operasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat
(4) wajib dilaporkan oleh Bank kepada Bank Indonesia selambat-
lambatnya 10 (sepuluh) hari setelah tanggal pelaksanaan penutupan
dan wajib disertai dengan:
a. bukti penyelesaian kewajiban kepada nasabah serta pihak lainnya;
b. surat pernyataan dari Direksi Bank
bahwa langkah-langkah
penyelesaian seluruh kewajiban kantor kepada nasabah dan pihak
lainnya telah diselesaikan dan apabila terdapat tuntutan di
kemudian hari menjadi tanggung jawab Direksi untuk dan atas
nama Bank; dan
c. salinan/fotokopi izin dari otoritas di negara setempat.
(2) Pelaksanaan…
- 59 -
(2) Pelaksanaan penutupan kantor perwakilan dan jenis-jenis kantor
lainnya yang bersifat tidak operasional sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 66 ayat (4) wajib dilaporkan oleh Bank kepada Bank Indonesia
selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari setelah tanggal pelaksanaan
penutupan dan wajib disertai dengan:
a. surat pernyataan dari Direksi Bank
bahwa langkah-langkah
penyelesaian seluruh kewajiban kantor kepada pihak lainnya telah
diselesaikan dan apabila terdapat tuntutan di kemudian hari
menjadi tanggung jawab Direksi untuk dan atas nama Bank; dan
b. salinan/fotokopi izin dari otoritas di negara setempat.
BAB XI
LAIN-LAIN
Pasal 68
(1) Bank wajib mengadministrasikan dengan tertib:
a. daftar pemegang saham dan perubahannya bagi Bank yang
berbentuk hukum Perseroan Terbatas/Perusahaan Daerah; atau
b. buku daftar anggota dan perubahannya bagi Bank yang berbentuk
hukum Koperasi.
(2) Bank yang telah terdaftar di pasar modal wajib memperbaharui daftar
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a.
Pasal 69
Bank Indonesia tidak memberikan persetujuan atas permohonan izin yang
tidak…
- 60 -
tidak sesuai dengan ketentuan, tata cara dan persyaratan yang diatur dalam
Peraturan Bank Indonesia ini.
Pasal 70
(1) Bank wajib menyampaikan perubahan dokumen
sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf f, huruf g dan huruf h, apabila
terjadi perubahan.
(2) Penyampaian dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
disampaikan kepada Bank Indonesia selambat-lambatnya 30 (tiga
puluh) hari sejak terjadinya perubahan.
Pasal 71
Bank wajib menjamin kebenaran dokumen atau identitas yang dikeluarkan
oleh instansi terkait atau pihak ketiga yang disampaikan kepada Bank
Indonesia.
BAB XII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 72
Permohonan izin yang diajukan sebelum berlakunya Peraturan Bank
Indonesia ini wajib disesuaikan dengan persyaratan dan dokumen
sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini.
Pasal 73…
- 61 -
Pasal 73
Bank yang telah beroperasi sebelum berlakunya Peraturan Bank Indonesia
ini dan belum memenuhi ketentuan sebagaimana diatur dalam:
a. Pasal 6 ayat (1) huruf f, huruf g dan huruf h;
b. Pasal 6 ayat (1) huruf c angka 5 dan ayat (2) huruf a angka 2 dan atau
huruf b angka 7;
c. Pasal 6 ayat (2) huruf b angka 6,
wajib menyampaikan kepada Bank Indonesia selambat-lambatnya 90
(sembilan puluh) hari sejak berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini.
Pasal 74
Bank yang telah beroperasi sebelum berlakunya Peraturan Bank Indonesia
ini dan belum memenuhi ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 23 ayat
(3) dan Pasal 25 ayat (1) dan ayat (3), wajib menyesuaikan dengan
ketentuan tersebut dalam waktu selambat-lambatnya satu tahun sejak
dikeluarkannya Peraturan Bank Indonesia ini.
Pasal 75
Anggota Dewan Pengawas Syariah yang tidak memenuhi persyaratan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 wajib menyesuaikan dengan
ketentuan tersebut dalam waktu selambat-lambatnya 3 (tiga) tahun sejak
tanggal berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini.
Pasal 76
Kantor Cabang Pembantu dan atau Kantor Kas yang telah beroperasi
sebelum…
- 62 -
sebelum berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini dan belum memenuhi
ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 43, wajib menyesuaikan dengan
ketentuan tersebut dalam waktu selambat-lambatnya satu tahun sejak
dikeluarkannya Peraturan Bank Indonesia ini.
BAB XIII
SANKSI
Pasal 77
(1) Bank yang tidak menaati ketentuan dalam Pasal 5 ayat (2), Pasal 12,
Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, Pasal 16, Pasal 18 ayat (3), Pasal 19 ayat
(2), Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22 ayat (2), Pasal 23, Pasal 24, Pasal 25,
Pasal 26, Pasal 27 ayat (1), Pasal 28, Pasal 30 ayat (1), Pasal 31, Pasal
33 ayat (2), Pasal 34 ayat (2), Pasal 35, Pasal 36, Pasal 37, Pasal 38,
Pasal 39, Pasal 40, Pasal 42 ayat (1), Pasal 43, Pasal 44 ayat (1) dan
ayat (2), Pasal 45 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3), Pasal 46, Pasal 48
ayat (1), Pasal 49, Pasal 50, Pasal 51, Pasal 52 ayat (2) dan ayat (3),
Pasal 53 ayat (1), Pasal 54 ayat (1), Pasal 55, Pasal 57 ayat (1) dan
ayat (2), Pasal 58 ayat (1), Pasal 60 ayat (4), Pasal 61 ayat (1), Pasal
63 ayat (1), Pasal 64 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 65, Pasal 66 ayat (4),
Pasal 68, Pasal 70 ayat (1), Pasal 71, Pasal 74, Pasal 75, dan Pasal 76
dapat dikenakan sanksi administratif sesuai Pasal 52 Undang-undang
Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah
dengan Undang-undang Nomor 10 tahun 1998.
(2) Bank…
- 63 -
(2) Bank yang tidak menaati ketentuan dalam Pasal 11 ayat (2), Pasal 17
ayat (1), Pasal 18 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 30 ayat (2) dan ayat (3),
Pasal 33 ayat (5), Pasal 34 ayat (1), Pasal 42 ayat (2), Pasal 44 ayat
(3), Pasal 45 ayat (4), Pasal 48 ayat (2), Pasal 53 ayat (2) dan ayat (3),
Pasal 56, Pasal 57 ayat (5), Pasal 60 ayat 5, Pasal 63 ayat (2) dan ayat
(3), Pasal 64 ayat (3) dan (4), Pasal 67 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 70
ayat (2), dan Pasal 73 dapat dikenakan sanksi administratif sesuai
Pasal 52 Undang-undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 tahun
1998, berupa :
a. teguran tertulis dan denda sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta
rupiah) per hari kelambatan untuk
pengumuman;
setiap laporan dan/atau
b. teguran tertulis dan denda sebesar Rp30.000.000,00 (tiga puluh
juta rupiah) apabila Bank tidak menyampaikan laporan dan/atau
pengumuman.
(3) Bank dinyatakan tidak menyampaikan laporan dan/atau pengumuman
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b apabila Bank belum
menyampaikan laporan dimaksud setelah 30 (tiga puluh) hari sejak
batas akhir penyampaian laporan dan/atau pengumuman.
(4) Setiap pihak yang tidak menaati ketentuan Pasal 3 ayat (1), Pasal 8
ayat (2), Pasal 40 ayat (1), dan Pasal 46 ayat (1) dapat dikenakan
sanksi pidana sesuai dengan Pasal 46 Undang-undang Nomor 7 tahun
1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-
undang Nomor 10 tahun 1998.
BAB XIV…
- 64 -
BAB XIV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 78
Ketentuan lebih lanjut mengenai Bank Umum Yang Melaksanakan Kegiatan
Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah akan diatur dalam Surat Edaran Bank
Indonesia.
Pasal 79
Dengan dikeluarkannya Peraturan Bank Indonesia ini maka Surat Keputusan
Direksi Bank Indonesia Nomor 32/34/KEP/DIR tanggal 12 Mei 1999
tentang Bank Umum Berdasarkan Prinisip Syariah, dicabut dan dinyatakan
tidak berlaku.
Pasal 80
Peraturan Bank Indonesia ini berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal : 14 Oktober 2004
GUBERNUR BANK INDONESIA
Ttd.
BURHANUDDIN ABDULLAH
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 122
DPbS
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 6/24/PBI/2004
TENTANG
BANK UMUM YANG MELAKSANAKAN KEGIATAN USAHA
BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH
UMUM
Dalam rangka menghadapi perkembangan perekonomian nasional yang
mengalami perubahan yang cepat, tantangan yang dinamis dan semakin
kompleks, serta terintegrasi dengan perekonomian internasional, diperlukan
berbagai penyesuaian kebijakan di bidang perbankan yang diharapkan dapat
memperbaiki dan memperkokoh ketahanan perbankan nasional. Kebijakan
perbankan yang komprehensif, transparan dan mengandung kepastian hukum
tersebut diantaranya yang berkaitan dengan pengaturan kepemilikan dan
permodalan, kepengurusan, perluasan jaringan, serta perubahan kegiatan usaha
Bank.
Sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku, Bank Indonesia
memiliki kewenangan dan tanggung jawab untuk menetapkan perizinan,
pembinaan, dan pengawasan Bank serta pengenaan sanksi terhadap Bank yang
tidak mematuhi peraturan perbankan yang berlaku. Bank Indonesia dalam
menerapkan…
- 2 -
menerapkan kewenangan dan tanggung jawab dimaksud, antara lain tetap
mempertimbangkan faktor-faktor kemampuan Bank, prinsip kehati-hatian
operasional Bank, tingkat persaingan yang sehat, tingkat kejenuhan jumlah
bank yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, pemerataan
pembangunan ekonomi nasional, kelayakan rencana kerja Bank, serta
kemampuan dan atau kepatutan pemilik, pengurus, dan pejabat Bank.
Dalam pendirian Bank diperlukan dukungan permodalan yang kuat dan
pemilik Bank yang patut serta memiliki kondisi keuangan yang sehat sehingga
Bank tersebut mampu bersaing dalam dunia perbankan internasional. Hal ini
sejalan dengan perkembangan globalisasi sistim keuangan dan pembukaan
akses pasar serta perlakuan non-diskriminasi. Sehubungan dengan itu terhadap
pihak
asing
diberikan juga kesempatan untuk
berperan serta dalam
kepemilikan dan kepengurusan Bank dengan tetap memperhatikan aspek
kemitraan dengan pihak nasional.
Selain permodalan yang kuat, Bank perlu didukung pula oleh pengurus,
Dewan Pengawas Syariah dan pejabat Bank yang mampu dan kompeten untuk
mengelola Bank secara sehat. Oleh sebab itu persyaratan kepengurusan dan
Dewan Pengawas Syariah
Bank perlu disempurnakan antara lain yang
berkaitan dengan kualitas, kuantitas, perangkapan jabatan, dan independensi
dari pengurus dan Dewan Pengawas Syariah dengan cara seleksi administratif
dan wawancara sebagai salah satu pilar dalam menciptakan good corporate
governance di dunia perbankan.
Sementara…
- 3 -
Sementara itu penambahan jaringan
Bank
dimungkinkan untuk
memperluas jangkauan layanan melalui pembukaan Unit Pelayanan Syariah
namun dengan tetap memperhatikan rencana kerja Bank dan kelayakan serta
kemampuan keuangan Bank. Hal ini didasarkan pertimbangan bahwa
perluasan jaringan Bank diharapkan tidak akan mengganggu kondisi keuangan
Bank khususnya permodalan di waktu yang akan datang. Selain itu perluasan
jaringan Bank juga harus memperhatikan tingkat kejenuhan jumlah bank yang
melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, tingkat persaingan
bank yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah yang sehat,
dan tingkat pemerataan pembangunan ekonomi nasional.
Dalam rangka mendukung kebijakan yang transparan dan mengandung
kepastian hukum maka pengaturan kelembagaan Bank ini juga antara lain
memuat prosedur perizinan, aspek-aspek penilaian dalam perizinan, dan batas
waktu pemberian izin pembukaan Bank atau kantor, batas waktu dan alasan
penolakan serta batas waktu pelaporan pelaksanaan kegiatan Bank. Sementara
itu dalam rangka kepastian hukum perlu dicantumkan sanksi yang tegas dan
transparan kepada Bank dan atau pihak lain yang melanggar ketentuan ini.
Persyaratan untuk melengkapi dokumen-dokumen administratif antara
lain struktur kelompok usaha, rencana jangka menengah dan jangka panjang,
pedoman kerja dan pedoman pengelolaan risiko serta kesediaan Pemegang
Saham Pengendali untuk mengatasi kesulitan pendanaan Bank, selain
diberlakukan kepada Bank yang akan beroperasi juga diberlakukan kepada
Bank…
- 4 -
Bank yang telah beroperasi sebelum dikeluarkannya Peraturan Bank Indonesia
ini. Hal ini dimaksudkan sebagai upaya Bank Indonesia untuk mendorong
Bank lebih memperhatikan prinsip kehati-hatian dalam menjalankan kegiatan
usahanya dan untuk kelancaran pelaksanaan tugas pengawasan dan pembinaan
Bank oleh Bank Indonesia.
Dalam hubungan dengan hal-hal tersebut di atas, perlu diperhatikan pula
peraturan perundang-undangan yang mempunyai relevansi dengan ketentuan
ini, antara lain peraturan perundang-undangan yang berlaku tentang Perseroan
Terbatas, Perusahaan Daerah, Perkoperasian, Pasar Modal dan ketentuan
lainnya.
Selain itu penyusunan Peraturan Bank Indonesia ini juga mengacu
praktek-praktek yang berlaku secara internasional dan prinsip-prinsip dasar
pengawasan bank sebagaimana direkomendasikan oleh Basle Committee dalam
25’s Core Principles for Effective Banking Supervision.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Angka 1 sampai dengan angka 14
Cukup jelas.
Pasal 2
Huruf a
Termasuk bentuk hukum Perseroan Terbatas adalah Perusahaan
Perseroan…
- 5 -
Perseroan (PERSERO) sebagaimana dimaksud dalam peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Pasal 3
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 4
Modal disetor sebesar Rp3.000.000.000.000,00 (tiga triliun rupiah)
dalam Pasal ini adalah setoran yang dilakukan dalam bentuk setoran
tunai diluar setoran dalam bentuk lain yang dimungkinkan oleh
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Modal disetor bagi Bank yang berbentuk hukum Koperasi adalah
simpanan pokok, simpanan wajib, dan hibah sebagaimana diatur dalam
Undang-undang tentang Perkoperasian.
Pasal 5
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)…
- 6 -
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 6
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Angka 1 sampai dengan angka 6
Cukup jelas.
Angka 7
Yang
dimaksud
dengan tanggal pengajuan
permohonan adalah tanggal pada saat calon pemilik
mengajukan permohonan pendirian Bank.
Angka 8 sampai dengan angka 9
Cukup jelas.
Angka 10
Tidak termasuk dalam pengertian lembaga lain
dalam ayat ini adalah Asosiasi Perbankan.
Angka 11
Tidak termasuk dalam pengertian lembaga lain dalam
ayat…
- 7 -
ayat ini adalah Asosiasi Perbankan.
Angka 12 sampai dengan angka 14
Cukup jelas.
Huruf d
Susunan dan struktur organisasi serta personalia antara
lain meliputi organization chart, garis tanggung jawab
horisontal dan vertikal, serta jabatan dan nama-nama
personalia sekurang-kurangnya sampai dengan tingkatan
Pejabat Eksekutif.
Huruf e
Angka 1
Data pendukung adalah data yang digunakan dalam
perhitungan/analisis
studi kelayakan yang
dikeluarkan oleh instansi berwenang.
Angka 2 sampai dengan angka 3
Cukup jelas
Huruh f
Corporate plan antara lain meliputi rencana-rencana
strategis Bank dalam jangka menengah (tiga tahunan) dan
jangka panjang (lima tahunan) dalam rangka pencapaian
tujuan Bank.
Huruf g
Pedoman manajemen risiko antara lain memuat teknik dan
metode…
- 8 -
metode yang digunakan Bank untuk mengidentifikasi,
mengukur, memantau dan mengendalikan risiko-risiko
yang timbul sebagai akibat operasional Bank. Pedoman
manajemen risiko tidak hanya didasarkan atas data historis
namun mencakup juga proyeksi risiko yang akan datang
(forward looking).
Huruf h
Termasuk dalam sistem dan prosedur kerja adalah buku
pedoman (manual) yang lengkap dan komprehensif yang
akan digunakan untuk kegiatan operasional Bank.
Huruf i
Dalam hal pendirian Bank dilakukan oleh Pemerintah
maka ketentuan mengenai bukti setoran modal dan tata
cara penyetoran modal dilakukan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Huruf j
Dalam hal calon pemegang saham Bank berbentuk badan
hukum, maka surat pernyataan pribadi dibuat dan
disampaikan oleh pengurus yang mempunyai wewenang
untuk mewakili badan hukum yang bersangkutan.
Angka 1
Yang dimaksud dengan pihak lain antara lain
meliputi…
- 9 -
meliputi lembaga keuangan non-bank, lembaga
pembiayaan atau perusahaan.
Tidak termasuk dalam pengertian pihak lain
adalah Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah,
atau Badan Khusus sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 37A Undang-undang Nomor 7
Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana
telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10
Tahun 1998.
Angka 2
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Angka 1 sampai dengan angka 5
Cukup jelas
Angka 6
Yang dimaksud dengan kelompok usaha adalah:
a. perorangan dan badan hukum;
b. beberapa orang; atau
c. beberapa badan hukum,
yang…
- 10 -
yang memiliki keterkaitan kepengurusan, kepemilikan
atau hubungan keuangan sebagaimana ditetapkan
dalam Peraturan Bank Indonesia tentang
Batas
Maksimum Pemberian Kredit.
Kewajiban menyampaikan
data mengenai
struktur
kelompok usaha dikecualikan dalam hal pemilik Bank
adalah Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah atau
Badan Khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal
37A Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-
undang Nomor 10 Tahun 1998.
Apabila terdapat pemilik lain maka kewajiban
menyampaikan struktur kelompok usaha diberlakukan
bagi pemilik lain tersebut.
Angka 7
Surat pernyataan Pemegang
Saham Pengendali
berbentuk badan hukum dibuat dan disampaikan oleh
pengurus yang mempunyai wewenang untuk mewakili
badan hukum yang bersangkutan.
Dalam hal Bank merupakan bagian dari kepemilikan
suatu kelompok
disampaikan oleh pihak-pihak
usaha maka surat pernyataan
yang
berdasarkan
penilaian…
- 11 -
penilaian Bank Indonesia mengendalikan baik secara
langsung maupun tidak
langsung
atas seluruh
kelompok usaha.
Kewajiban menyampaikan surat pernyataan dalam
huruf ini dikecualikan dalam hal Pemegang Saham
Pengendali adalah Pemerintah Pusat, Pemerintah
Daerah atau Badan Khusus sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 37A Undang-undang Nomor 7 Tahun
1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah
dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998.
Pasal 7
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Apabila diperlukan, dalam rangka penelitian atas
kebenaran dokumen, Bank Indonesia dapat melakukan
pemeriksaan
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Wawancara dilakukan terhadap pihak-pihak:
a. yang…
- 12 -
a. yang belum pernah bekerja dan atau menjadi
Pemegang Saham Pengendali di lembaga
perbankan; atau
b. pihak-pihak yang pernah bekerja dan atau menjadi
Pemegang Saham Pengendali di lembaga
perbankan yang masih diperlukan keterangan lebih
lanjut mengenai integritas dan atau kompetensi
yang bersangkutan.
Materi wawancara antara lain meliputi masalah integritas
dan atau kompetensi.
Dalam hal calon Pemegang Saham Pengendali Bank
berbentuk badan hukum atau yayasan maka wawancara
dilakukan terhadap anggota pengurus badan hukum atau
yayasan, atau pejabat yang diberikan wewenang mewakili
badan hukum atau yayasan yang bersangkutan.
Dalam hal Bank merupakan bagian dari kepemilikan suatu
kelompok
usaha maka wawancara terhadap calon
Pemegang Saham Pengendali dilakukan terhadap pihak-
pihak
yang
berdasarkan penilaian Bank
mengendalikan baik
langsung atas seluruh kelompok usaha.
Dalam hal calon Pemegang Saham Pengendali adalah
Pemerintah atau Pemerintah Daerah maka tidak dilakukan
wawancara terhadap calon Pemegang Saham Pengendali.
Dalam…
Indonesia
secara langsung maupun tidak
- 13 -
Dalam
hal tidak
terdapat calon Pemegang Saham
Pengendali maka wawancara dilakukan terhadap calon
pemegang saham pendiri tertentu berdasarkan penilaian
Bank Indonesia.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 8
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 9
Huruf a sampai dengan huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Dalam hal pendirian Bank dilakukan oleh Pemerintah maka
ketentuan mengenai bukti setoran modal dan tata cara penyetoran
modal dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Huruf f…
- 14 -
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Dalam hal calon pemegang saham Bank berbentuk badan hukum
maka surat pernyataan pribadi dibuat dan disampaikan oleh
pengurus yang mempunyai wewenang untuk mewakili badan
hukum yang bersangkutan.
Angka 1
Yang dimaksud dengan pihak lain antara lain
meliputi lembaga keuangan non-bank, lembaga
pembiayaan atau perusahaan.
Tidak termasuk dalam pengertian pihak lain adalah
Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, atau Badan
Khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37A
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998.
Angka 2
Cukup jelas.
Pasal 10
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)…
- 15 -
Ayat (2)
Huruf a
Apabila diperlukan, dalam rangka penelitian atas
kebenaran dokumen, Bank Indonesia dapat melakukan
pemeriksaan.
Huruf b
Wawancara dilakukan terhadap:
a. pihak-pihak yang belum pernah bekerja dan atau
menjadi Pemegang Saham Pengendali di lembaga
perbankan; atau
b. pihak-pihak yang pernah bekerja dan atau menjadi
Pemegang Saham Pengendali di lembaga perbakan
yang masih diperlukan keterangan lebih lanjut
mengenaii integritas dan atau kompetensi yang
bersangkutan.
Materi wawancara antara lain meliputi masalah integritas
dan atau kompetensi
Dalam hal calon Pemegang Saham Pengendali Bank
berbentuk badan hukum atau yayasan maka wawancara
dilakukan terhadap anggota pengurus badan hukum atau
yayasan, atau pejabat yang diberikan wewenang mewakili
badan hukum atau yayasan yang bersangkutan.
Dalam…
- 16 -
Dalam hal Bank merupakan bagian dari kepemilikan suatu
kelompok
usaha maka wawancara terhadap calon
Pemegang Saham Pengendali dilakukan terhadap pihak-
pihak
yang
berdasarkan penilaian Bank
mengendalikan baik
langsung atas seluruh kelompok usaha.
Dalam hal calon Pemegang Saham Pengendali adalah
Pemerintah atau Pemerintah Daerah maka tidak dilakukan
wawancara terhadap calon Pemegang Saham Pengendali.
Dalam
hal tidak
Indonesia
secara langsung maupun tidak
terdapat calon Pemegang Saham
Pengendali maka wawancara dilakukan terhadap calon
pemegang saham pendiri tertentu berdasarkan penilaian
Bank Indonesia.
Pasal 11
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13…
- 17 -
Pasal 13
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan modal sendiri bersih adalah:
a. penjumlahan dari modal disetor, cadangan dan laba, dikurangi
penyertaan dan kerugian, bagi badan hukum Perseroan
Terbatas/Perusahaan Daerah; atau
b. penjumlahan dari simpanan pokok, simpanan wajib, hibah,
modal penyertaan, dana cadangan, dan sisa hasil usaha,
dikurangi penyertaan dan kerugian, bagi badan hukum
Koperasi.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 14
Huruf a
Ketentuan dalam huruf ini dikecualikan dalam hal pemilik Bank
adalah Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, atau Badan Khusus
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37A Undang-undang Nomor
7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah
dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998.
Yang dimaksud dengan pihak lain antara lain meliputi lembaga
keuangan non-bank, lembaga pembiayaan atau perusahaan.
Tidak termasuk dalam pengertian pihak lain adalah Pemerintah
Pusat,…
- 18 -
Pusat, Pemerintah Daerah, atau Badan Khusus sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 37A Undang-undang Nomor 7 Tahun
1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998.
Huruf b
Cukup jelas.
Pasal 15
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Termasuk pihak-pihak yang dianggap memiliki integritas yang
baik adalah pihak-pihak yang mendapat predikat lulus atau lulus
bersyarat dalam penilaian kemampuan dan kepatutan yang telah
dilakukan Bank Indonesia atau pihak-pihak yang mendapat
predikat tidak lulus namun telah disetujui oleh Bank Indonesia
untuk
meningkatkan kepemilikan
kembali menjadi Pemegang
atau
Saham
kembali menjadi
Pengendali,
pemilik,
sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang
berlaku tentang Penilaian Kemampuan dan Kepatutan (Fit and
Proper Test).
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 16…
- 19 -
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan perubahan komposisi kepemilikan dalam
ayat ini adalah perubahan dalam hal nominal dan atau persentase
kepemilikan.
Ayat (3)
Perubahan komposisi kepemilikan yang tidak mengubah modal
disetor antara lain disebabkan oleh hibah atau warisan saham
diantara pemilik lama.
Pasal 18
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Termasuk dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku
adalah standar akuntansi keuangan yang berlaku untuk transaksi
dimaksud.
Pasal 19…
- 20 -
Pasal 19
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 20
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Pihak-pihak yang dianggap memiliki integritas yang baik adalah
pihak-pihak yang mendapat predikat lulus atau lulus bersyarat
dalam penilaian kemampuan dan kepatutan yang telah dilakukan
Bank Indonesia atau pihak-pihak yang mendapat predikat tidak
lulus namun telah disetujui oleh Bank Indonesia untuk kembali
menjadi pengurus, sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank
Indonesia yang berlaku tentang Penilaian Kemampuan dan
Kepatutan (Fit and Proper Test).
Pasal 21
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)…
- 21 -
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan syariah mu’amalah adalah hubungan
sosial, termasuk kegiatan bisnis, yang sejalan atau didasarkan
pada prinsip syariah.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 22
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan pihak asing dalam ayat ini adalah warga
negara asing dan atau badan hukum asing.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 23
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan mayoritas adalah lebih dari 50% (lima
puluh perseratus) dari seluruh jumlah anggota Direksi.
Ayat (3)
Penilaian independensi didasarkan pada keterkaitan yang
bersangkutan pada kepengurusan, kepemilikan dan atau hubungan
keuangan dengan seluruh kelompok usaha Pemegang Saham
Pengendali…
- 22 -
Pengendali.
Termasuk dalam pengertian Direktur Utama antara lain Presiden
Direktur atau jabatan yang dipersamakan dengan itu.
Pasal 24
Ayat (1)
Hubungan keluarga sampai dengan derajat kedua adalah
hubungan baik dalam garis lurus maupun garis ke samping,
termasuk mertua, menantu dan ipar, sehingga yang dimaksud
dengan keluarga meliputi sebagai berikut:
1.
orang tua kandung/tiri/angkat;
2. saudara kandung/tiri/angkat;
3. suami/istri;
4. anak kandung/tiri/angkat;
5. suami/istri dari anak kandung/tiri/ angkat;
6. kakek/nenek kandung/tiri/angkat;
7. cucu kandung/tiri/angkat;
8. saudara kandung/tiri/angkat dari suami/istri
9. suami/istri dari saudara kandung/tiri/angkat;
10. saudara kandung/tiri/angkat dari orang tua;
11. mertua.
Ayat (2)
Hubungan keluarga sampai dengan derajat kedua adalah
hubungan…
- 23 -
hubungan baik dalam garis lurus maupun garis ke samping,
termasuk mertua, menantu dan ipar, sehingga yang dimaksud
dengan keluarga meliputi sebagai berikut:
1. orang tua kandung/tiri/angkat;
2. saudara kandung/tiri/angkat;
3. suami/istri;
4. anak kandung/tiri/angkat;
5. suami/istri dari anak kandung/tiri/ angkat;
6. kakek/nenek kandung/tiri/angkat;
7. cucu kandung/tiri/angkat;
8. saudara kandung/tiri/angkat dari suami/istri
9. suami/istri dari saudara kandung/tiri/angkat;
10. saudara kandung/tiri/angkat dari orang tua;
11. mertua.
Ayat (3)
Ketentuan dalam ayat ini dimaksudkan agar setiap anggota
Direksi
tidak melakukan kegiatan
yang dapat menganggu
pelaksanaan tugas dan tanggung jawab sebagai Direksi Bank.
Tidak termasuk dalam pengertian lembaga lain dalam ayat ini
adalah Asosiasi Perbankan.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan perusahaan lain antara lain meliputi
perusahaan…
- 24 -
perusahaan-perusahaan lain di luar Bank yang bersangkutan
seperti lembaga keuangan bank dan non-bank, lembaga
pembiayaan atau perusahaan.
Ayat (5)
Yang dimaksud dengan pihak lain adalah satu orang karyawan
atau lebih, atau orang lain untuk dan atas nama Direksi
melakukan perbuatan hukum tertentu.
Pasal 25
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Penilaian independensi didasarkan pada keterkaitan yang
bersangkutan pada kepengurusan, kepemilikan dan atau
hubungan keuangan dengan seluruh kelompok usaha Pemegang
Saham Pengendali.
Ayat (4)
Cukup jelas
.
Ayat (5)…
- 25 -
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Hubungan keluarga sampai dengan derajat kedua adalah
hubungan baik dalam garis lurus maupun garis ke samping,
termasuk mertua, menantu dan ipar, sehingga yang dimaksud
dengan keluarga meliputi sebagai berikut:
1. orang tua kandung/tiri/angkat;
2. saudara kandung/tiri/angkat;
3. suami/istri;
4. anak kandung/tiri/angkat;
5. suami/istri dari anak kandung/tiri/ angkat;
6. kakek/nenek kandung/tiri/angkat;
7. cucu kandung/tiri/angkat;
8. saudara kandung/tiri/angkat dari suami/istri
9. suami/istri dari saudara kandung/tiri/angkat;
10. saudara kandung/tiri/angkat dari orang tua;
11. mertua.
Yang dimaksud dengan mayoritas adalah lebih dari 50% (lima
puluh perseratus) dari seluruh jumlah anggota dewan Komisaris.
Pasal 26
Ayat (1)
Cukup jelas…
- 26 -
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 27
Ayat (1)
Dalam pelaksanaan tugas Dewan Pengawas Syariah dapat
meminta dokumen dan penjelasan langsung dari satuan kerja
Bank serta ikut dalam pembahasan intern termasuk dalam
pembahasan komite pembiayaan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 28
Ayat (1)
Ketentuan ini berlaku juga terhadap peralihan jabatan dari
anggota Direksi menjadi anggota dewan Komisaris atau
sebaliknya.
Khusus bagi
kepatuhan (compliance director), tata cara persetujuan anggota
Direksi…
anggota Direksi Bank yang menjadi direktur
- 27 -
Direksi dimaksud juga berpedoman pada ketentuan Bank
Indonesia tentang Direktur Kepatuhan dan Standar Pelaksanaan
Fungsi Audit Intern Bank.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan berpedoman pada ketentuan perundang-
undangan yang berlaku antara lain berpedoman pada ketentuan
perundang-undangan tentang Perseroan Terbatas yang mengatur
bahwa setiap penetapan calon anggota dewan Komisaris atau
Direksi dilakukan oleh dan dengan sepengetahuan rapat umum
pemegang saham atau rapat anggota atau sekurang-kurangnya
oleh dan dengan sepengetahuan Pemegang Saham Pengendali.
Pasal 29
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Wawancara dilakukan terhadap:
a.
b.
yang
pihak-pihak yang belum pernah bekerja di lembaga
perbankan; atau
pihak-pihak
pernah bekerja di lembaga
perbankan…
- 28 -
perbankan namun masih diperlukan keterangan lebih
lanjut mengenai integritas dan atau kompetensi yang
bersangkutan.
Materi wawancara antara lain meliputi masalah integritas
dan atau kompetensi.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 30
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan tanggal pengangkatan efektif adalah
sejak yang bersangkutan secara efektif memangku jabatannya.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Ayat (1)
Dalam menetapkan calon anggota Dewan Pengawas Syariah
yang
akan diajukan ke Bank Indonesia, Bank
berkoordinasi dengan Dewan Syariah Nasional.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)…
wajib
- 29 -
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Wawancara dilakukan terhadap:
a. pihak-pihak yang belum pernah bekerja di lembaga
perbankan; atau
b. pihak-pihak
yang
pernah bekerja di lembaga
perbankan namun masih diperlukan keterangan lebih
lanjut mengenai integritas dan atau kompetensi yang
bersangkutan.
Materi wawancara antara lain meliputi masalah integritas
dan atau kompetensi.
Pasal 33
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)…
- 30 -
Ayat (5)
Yang dimaksud dengan tanggal pengangkatan efektif adalah
sejak yang bersangkutan secara efektif memangku jabatannya
selambat-lambatnya 30 hari sejak diterbitkannya surat
persetujuan Bank Indonesia.
Pasal 34
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan tanggal pengangkatan efektif adalah
sejak yang bersangkutan secara efektif memangku jabatannya.
Ayat (2)
Penilaian dan penelitian yang dilakukan oleh Bank Indonesia
tidak
dimaksudkan untuk menunda pengangkatan atau
penggantian Pejabat Eksekutif atau pemimpin Kantor Cabang.
Pasal 35
Yang dimaksud dengan benturan kepentingan antara lain adalah
perbedaan antara kepentingan ekonomis Bank dengan kepentingan
ekonomis pribadi pemilik, anggota Direksi, anggota dewan Komisaris,
anggota Dewan Pengawas Syariah, Pejabat Eksekutif, pemimpin Kantor
Cabang, dan atau pihak terkait dengan Bank.
Ketentuan dalam Pasal ini pada dasarnya dimaksudkan agar anggota
anggota Direksi, dewan Komisaris, Dewan Pengawas Syariah, Pejabat
Eksekutif, dan pemimpin Kantor Cabang menghindarkan diri dari
pengambilan…
- 31 -
pengambilan suatu keputusan dalam situasi dan kondisi adanya benturan
kepentingan.
Pasal 36
Yang dimaksud dengan prinsip syariah adalah aturan perjanjian
berdasarkan hukum Islam antara bank dan pihak
penyimpanan dana dan atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan
lainnya yang dinyatakan sesuai dengan syariah.
Pasal 37
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan kegiatan valuta asing berdasarkan
akad sharf adalah kegiatan jual beli valuta asing (money
changer).
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Ketentuan Bank Indonesia tentang Penyertaan.
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 38
Ayat (1)…
lain untuk
- 32 -
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
DSN dalam memberikan fatwa atas produk dan jasa baru dapat
berkoordinasi dengan Bank Indonesia
Pasal 39
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 40
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Bank hanya dapat melakukan pembukaan Kantor Cabang sesuai
dengan penegasan Bank Indonesia terhadap rencana kerja
tahunan Bank
sepanjang tidak terdapat perubahan kondisi
keuangan yang bersifat material antara rencana kerja dengan
realisasi rencana kerja pada saat pembukaan kantor, antara lain
seperti terjadi penurunan permodalan Bank yang material
Pasal 41
Ayat (1)
Huruf a…
- 33 -
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Dalam hal Bank akan menggunakan gedung kantor yang
disewa maka untuk sementara dokumen rencana persiapan
operasional gedung kantor dapat berupa nota kesepakatan
sewa menyewa gedung kantor. Perjanjian sewa
disampaikan pada saat Bank melaporkan pelaksanaan
pembukaan kantor.
Huruf c sampai dengan huruf e
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 42
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)…
- 34 -
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 43
Ayat (1)
Bank hanya dapat melakukan pembukaan Kantor di bawah
Kantor Cabang
sesuai dengan penegasan Bank Indonesia
terhadap rencana kerja tahunan Bank sepanjang tidak terdapat
perubahan kondisi
keuangan
yang
bersifat material
antara
rencana kerja dengan realisasi rencana kerja pada saat
pembukaan kantor, antara lain seperti terjadi penurunan
permodalan Bank yang material.
Ayat (2)
Huruf a dan huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Yang dimaksud sumber daya manusia sendiri Bank adalah
pegawai Bank berdasarkan perjanjian kerja yang dibuat
untuk waktu tertentu dan atau untuk waktu tidak tertentu
berdasarkan peraturan perundang-undangan
ketenagakerjaan yang berlaku serta yang bertanggung
jawab atas aktifitas operasional di kantor Bank tersebut.
Ayat (3)
Huruf a…
- 35 -
Huruf a sampai dengan huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Yang dimaksud dengan mempergunakan sumber daya
manusia sendiri bank adalah
dalam Penjelasan ayat (2).
Huruf e
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan kantor lain adalah bank lain atau
perusahaan lain.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 44
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Ketentuan dalam
Undang-undang
tentang Perbankan yang
berlaku mewajibkan pembukaan Kantor di bawah Kantor Cabang
dilaporkan terlebih dahulu kepada Bank Indonesia, namun
penegasan dari Bank Indonesia tetap diperlukan mengingat
sesuai dengan Undang-undang tentang Perbankan tersebut, Bank
Indonesia…
sebagaimana dimaksud
- 36 -
Indonesia juga akan melakukan penelitian terhadap tingkat
kejenuhan jumlah bank
yang melakukan kegiatan usaha
berdasarkan prinsip syariah, tingkat persaingan antar bank yang
melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, dan
pemerataan pembangunan ekonomi nasional.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 45
Ayat (1)
Tidak termasuk dalam Kegiatan Kas di luar Kantor Bank adalah
kegiatan pameran yang dilakukan dalam rangka promosi, tidak
bersifat permanen dan tidak melakukan kegiatan kas.
Bank hanya dapat melaksanakan Kegiatan Kas di luar Kantor
Bank sesuai dengan penegasan Bank Indonesia terhadap rencana
kerja tahunan Bank sepanjang tidak terdapat perubahan kondisi
keuangan yang bersifat material antara rencana kerja dengan
realisasi rencana kerja pada saat pelaksanaan Kegiatan Kas di
luar Kantor Bank, antara lain seperti terjadi penurunan
permodalan Bank yang material.
Ayat (2)
Kewajiban pelaporan hanya dilakukan satu kali pada saat
pertama kali Kegiatan Kas di luar Kantor Bank diajukan di lokasi
tersebut…
- 37 -
tersebut.
Ayat (3)
Ketentuan dalam
Undang-undang
tentang Perbankan yang
berlaku mewajibkan pembukaan kantor di bawah Kantor Cabang
dilaporkan terlebih dahulu kepada Bank Indonesia, namun
penegasan dari Bank Indonesia tetap diperlukan mengingat
sesuai dengan Undang-undang tentang Perbankan tersebut, Bank
Indonesia juga akan melakukan penelitian terhadap tingkat
kejenuhan jumlah Bank, tingkat persaingan antar Bank, dan
pemerataan pembangunan ekonomi nasional.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 46
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 47
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)…
- 38 -
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 48
Ayat (1)
Pengajuan permohonan izin kepada otoritas di negara setempat
dilakukan setelah adanya persetujuan dari Bank Indonesia.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 49
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Peningkatan status dalam ayat ini antara lain peningkatan status
dari Kas Mobil menjadi Kantor di bawah Kantor Cabang.
Pasal 50
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Penurunan status Kantor dibawah Kantor Cabang dalam ayat ini
antara lain penurunan status dari kantor di bawah Kantor Cabang
menjadi…
- 39 -
menjadi Kas Mobil.
Pasal 51
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 52
Ayat (1)
Huruf a
Dalam hal Bank akan menggunakan gedung kantor yang
disewa maka untuk sementara dokumen rencana persiapan
operasional gedung kantor dapat berupa nota kesepakatan
sewa menyewa gedung kantor. Perjanjian sewa
disampaikan pada saat Bank melaporkan pelaksanaan
pemindahan alamat kantor.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)…
- 40 -
Ayat (3)
Dalam hal Bank akan memindahkan alamat kantor pusat ke
lokasi yang baru dan lokasi yang lama akan digunakan sebagai
Kantor Cabang maka pemindahan alamat kantor pusat memenuhi
ketentuan dalam ayat ini sedangkan untuk Kantor Cabang di
lokasi yang lama memenuhi ketentuan pembukaan Kantor
Cabang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40, Pasal 41 dan
Pasal 42.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 53
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)…
- 41 -
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 54
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Dalam hal Bank akan menggunakan gedung kantor yang
disewa maka untuk sementara dokumen rencana persiapan
operasional gedung kantor dapat berupa nota kesepakatan
sewa menyewa gedung kantor. Perjanjian sewa
disampaikan pada saat Bank melaporkan pelaksanaan
pemindahan alamat kantor.
Huruf b dan huruf c
Cukup jelas.
Pasal 55
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Ketentuan dalam
Undang-undang
tentang Perbankan yang
berlaku…
- 42 -
berlaku mewajibkan pembukaan Kantor di bawah Kantor Cabang
dilaporkan terlebih dahulu kepada Bank Indonesia, namun
penegasan dari Bank Indonesia tetap diperlukan mengingat
sesuai dengan Undang-undang tentang Perbankan tersebut, Bank
Indonesia juga akan melakukan penelitian terhadap tingkat
kejenuhan jumlah bank
yang melakukan kegiatan usaha
berdasarkan prinsip syariah, tingkat persaingan antar bank yang
melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, dan
pemerataan pembangunan ekonomi nasional.
Pasal 56
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 57
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)…
- 43 -
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 58
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 59
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Apabila diperlukan, dalam rangka penelitian atas
kebenaran dokumen, Bank Indonesia dapat melakukan
pemeriksaan.
Huruf b
Wawancara dilakukan terhadap pihak-pihak:
a. yang
belum pernah bekerja dan atau menjadi
Pemegang…
- 44 -
Pemegang Saham Pengendali di lembaga perbankan;
atau
b. pihak-pihak yang pernah bekerja dan atau menjadi
Pemegang Saham Pengendali di
yang masih diperlukan keterangan lebih
mengenai
bersangkutan.
Materi wawancara antara lain meliputi masalah integritas
dan atau kompetensi.
Dalam hal calon Pemegang Saham Pengendali Bank
berbentuk badan hukum atau yayasan maka wawancara
dilakukan terhadap anggota pengurus badan hukum atau
yayasan, atau pejabat yang diberikan wewenang mewakili
badan hukum atau yayasan yang bersangkutan.
Dalam hal Bank merupakan bagian dari kepemilikan suatu
kelompok
usaha maka wawancara terhadap calon
Pemegang Saham Pengendali dilakukan terhadap pihak-
pihak
yang
berdasarkan penilaian Bank
mengendalikan baik
langsung atas seluruh kelompok usaha.
Dalam hal calon Pemegang Saham Pengendali adalah
Pemerintah atau Pemerintah Daerah maka tidak dilakukan
wawancara…
Indonesia
secara langsung maupun tidak
lembaga perbankan
lanjut
integritas dan atau kompetensi yang
- 45 -
wawancara terhadap calon Pemegang Saham Pengendali.
Dalam
hal tidak
terdapat calon Pemegang Saham
Pengendali maka wawancara dilakukan terhadap calon
pemegang saham pendiri tertentu berdasarkan penilaian
Bank Indonesia.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 60
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Apabila diperlukan, dalam rangka penelitian atas
kebenaran dokumen, Bank Indonesia dapat melakukan
pemeriksaan.
Huruf b
Wawancara dilakukan terhadap pihak-pihak:
a. yang
belum pernah bekerja dan atau menjadi
Pemegang Saham Pengendali di lembaga perbankan;
atau
b. pihak-pihak yang pernah bekerja dan atau menjadi
Pemegang Saham Pengendali di
lembaga perbankan
yang…
- 46 -
yang masih diperlukan keterangan lebih
mengenai
bersangkutan.
Materi wawancara antara lain meliputi masalah integritas
dan atau kompetensi.
Dalam hal calon Pemegang Saham Pengendali Bank
berbentuk badan hukum atau yayasan maka wawancara
dilakukan terhadap anggota pengurus badan hukum atau
yayasan, atau pejabat yang diberikan wewenang mewakili
badan hukum atau yayasan yang bersangkutan.
Dalam hal Bank merupakan bagian dari kepemilikan suatu
kelompok
usaha maka wawancara terhadap calon
Pemegang Saham Pengendali dilakukan terhadap pihak-
pihak
yang
berdasarkan penilaian Bank
mengendalikan baik
langsung atas seluruh kelompok usaha.
Dalam hal calon Pemegang Saham Pengendali adalah
Pemerintah atau Pemerintah Daerah maka tidak dilakukan
wawancara terhadap calon Pemegang Saham Pengendali.
Dalam
hal tidak
Indonesia
secara langsung maupun tidak
lanjut
integritas dan atau kompetensi yang
terdapat calon Pemegang Saham
Pengendali maka wawancara dilakukan terhadap calon
pemegang saham pendiri tertentu berdasarkan penilaian
Bank…
- 47 -
Bank Indonesia.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 61
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 62
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Penyelesaian kewajiban kepada nasabah dan pihak lainnya
dapat dilakukan antara lain melalui pengalihan seluruh
kewajiban kepada kantor Bank atau pihak lain dengan
persetujuan nasabah atau pihak lain.
Bukti penyelesaian kewajiban kepada nasabah adalah
berupa…
- 48 -
berupa neraca Kantor Cabang yang menunjukkan seluruh
kewajiban Kantor Cabang kepada nasabah dan pihak lain
telah selesai.
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 63
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan tanggal persetujuan penutupan dalam
ayat ini adalah tanggal rencana penutupan yang disetujui oleh
Bank Indonesia.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 64
Ayat (1)
Cukup jelas …
- 49 -
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Penyelesaian kewajiban kepada nasabah dan pihak lainnya
dapat dilakukan antara lain melalui pengalihan seluruh
kewajiban kepada kantor Bank atau pihak lain dengan
persetujuan nasabah atau pihak lain.
Bukti penyelesaian kewajiban kepada nasabah adalah
berupa neraca kantor di bawah Kantor Cabang yang
menunjukkan seluruh kewajiban kantor di bawah Kantor
Cabang kepada nasabah dan pihak lain telah selesai.
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 65
Cukup jelas.
Pasal 66
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)…
- 50 -
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Pengajuan permohonan izin kepada otoritas di negera setempat
dilakukan setelah adanya persetujuan dari Bank Indonesia.
Pasal 67
Ayat (1)
Huruf a
Penyelesaian kewajiban kepada nasabah dan pihak lainnya
dapat dilakukan antara lain melalui pengalihan seluruh
kewajiban kepada kantor Bank atau pihak lain dengan
persetujuan nasabah atau pihak lain.
Bukti penyelesaian kewajiban kepada nasabah adalah
berupa neraca Kantor Cabang dan jenis-jenis kantor
lainnya yang bersifat operasional yang menunjukkan
seluruh kewajiban Kantor Cabang dan jenis-jenis kantor
lainnya yang bersifat operasional kepada nasabah dan
pihak lain telah selesai.
Huruf b sampai dengan huruf c
Cukup jelas.
Ayat (2)…
- 51 -
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 68
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 69
Cukup jelas.
Pasal 70
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 71
Cukup jelas.
Pasal 72
Cukup jelas.
Pasal 73
Cukup jelas.
Pasal 74
Cukup jelas.
Pasal 75…
- 52 -
Pasal 75
Cukup jelas.
Pasal 76
Cukup jelas.
Pasal 77
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Jumlah sanksi kewajiban membayar dihitung berdasarkan
laporan yang tidak disampaikan.
Dalam hal Bank dikenakan sanksi tidak menyampaikan
laporan, tidak
lagi dikenakan sanksi keterlambatan
penyampaian laporan.
Ayat (3)
Termasuk dalam penyampaian laporan adalah data, informasi dan
dokumen yang dipersyaratkan.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 78 …
- 53 -
Pasal 78
Cukup jelas.
Pasal 79
Cukup jelas.
Pasal 80
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 4434
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 6/24/PBI/2004 </reg_id>
<reg_title> BANK UMUM YANG MELAKSANAKAN KEGIATAN USAHA BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH </reg_title>
<set_date> 14 Oktober 2004 </set_date>
<effective_date> 14 Oktober 2004 </effective_date>
<replaced_reg> '32/34/KEP/DIR|SKDIR-BI/1999' </replaced_reg>
<related_reg> '23/UU/1999', '3/UU/2004', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB XIII' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 10/2/PBI/2008
TENTANG
BANK INDONESIA - SCRIPLESS SECURITIES SETTLEMENT SYSTEM
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa dalam rangka membantu pemerintah melakukan
pengelolaan surat berharga negara, Bank Indonesia-Scripless
Securities Settlement System mengakomodasi pelaksanaan lelang
dan penatausahaan surat berharga negara baik yang diterbitkan
secara konvensional maupun berdasarkan prinsip syariah;
b. bahwa dalam rangka efisiensi pelaksanaan transaksi dengan Bank
Indonesia yang mencakup transaksi Operasi Pasar Terbuka,
pemberian fasilitas pendanaan Bank Indonesia kepada Bank dan
transaksi surat berharga negara untuk dan atas nama pemerintah,
Bank Indonesia-Scripless Securities Settlement System
mengakomodasi sistem transaksi yang terintegrasi dengan sistem
penatausahaannya;
c. bahwa dengan terintegrasinya Bank Indonesia-Scripless Securities
Settlement System dengan sistem setelmen pembayaran melalui
Sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement, dipandang
perlu keselarasan pengaturan yang terkait dengan status
kepesertaan dan kepastian setelmen (finality of settlement)
transaksi melalui Bank Indonesia-Scripless Securities Settlement
System;
d. bahwa …
- 2 -
d. bahwa dalam rangka mengakomodasi perkembangan transaksi
surat berharga dipandang perlu menyempurnakan mekanisme
penatausahaan surat berharga melalui Bank Indonesia–Scripless
Securities Settlement System;
e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam
huruf a, huruf b, huruf c dan huruf d tersebut di atas dipandang
perlu untuk melakukan pengaturan kembali ketentuan mengenai
Bank Indonesia–Scripless Securities Settlement System;
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472)
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10
Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998
Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3790);
2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 64,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3608);
3. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843)
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3
Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004
Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4357);
4. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2002 tentang Surat Utang
Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002
Nomor …
- 3 -
Nomor 110, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4236);
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG BANK
INDONESIA-SCRIPLESS SECURITIES SETTLEMENT SYSTEM
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksudkan dengan :
1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998.
2. Operasi Pasar Terbuka yang selanjutnya disebut OPT adalah kegiatan transaksi
di pasar uang yang dilakukan oleh Bank Indonesia dengan Bank dan pihak lain
dalam rangka pengendalian moneter.
3. Instrumen OPT adalah instrumen yang digunakan dalam rangka OPT dan
ditatausahakan pada Bank Indonesia-Scripless Securities Settlement System.
4. Fasilitas Pendanaan adalah penyediaan dana berupa pemberian kredit atau
pembiayaan dari Bank Indonesia kepada Bank yang penatausahaannya
dilakukan melalui Bank Indonesia-Scripless Securities Settlement System.
5. Surat Utang Negara yang selanjutnya disebut SUN adalah surat pengakuan
utang dalam mata uang Rupiah yang diterbitkan oleh Pemerintah Republik
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2002 tentang Surat Utang Negara.
6. Surat …
- 4 -
6. Surat Berharga Negara yang selanjutnya disebut SBN adalah surat berharga
berupa SUN dan/atau surat berharga berdasarkan prinsip syariah yang
diterbitkan oleh pemerintah.
7. Surat Berharga adalah surat berharga yang diterbitkan oleh Bank Indonesia,
pemerintah dan/atau lembaga lain, yang ditatausahakan dalam Bank Indonesia-
Scripless Securities Settlement System.
8. Sistem Bank Indonesia - Real Time Gross Settlement yang selanjutnya disebut
Sistem BI-RTGS adalah suatu sistem transfer dana elektronik antar peserta
Sistem BI-RTGS dalam mata uang Rupiah yang penyelesaiannya dilakukan
secara seketika per transaksi secara individual.
9. Bank Indonesia - Scripless Securities Settlement System yang selanjutnya
disebut BI-SSSS adalah sarana transaksi dengan Bank Indonesia termasuk
penatausahaannya dan penatausahaan Surat Berharga secara elektronik dan
terhubung langsung antara Peserta, Penyelenggara dan Sistem BI-RTGS.
10. Transaksi Dengan Bank Indonesia adalah transaksi yang dilakukan oleh Bank
Indonesia dalam rangka kegiatan OPT, Fasilitas Pendanaan, transaksi SBN
untuk dan atas nama pemerintah dan/atau transaksi lainnya melalui BI-SSSS.
11. Penatausahaan Surat Berharga adalah kegiatan yang mencakup pencatatan
kepemilikan, kliring dan setelmen serta pembayaran kupon (bunga) atau
imbalan dan nilai pokok/nominal Surat Berharga.
12. Penyelenggara BI-SSSS yang selanjutnya disebut Penyelenggara adalah pihak
pengelola BI-SSSS yang menyelenggarakan kegiatan Transaksi Dengan Bank
Indonesia dan penatausahaannya serta Penatausahaan Surat Berharga.
13. Peserta BI-SSSS yang selanjutnya disebut Peserta adalah pengguna BI-SSSS
yang memenuhi persyaratan dan/atau disetujui oleh Bank Indonesia untuk
melakukan kegiatan Transaksi Dengan Bank Indonesia dan/atau
Penatausahaan Surat Berharga.
14. Peserta …
- 5 -
14. Peserta Lelang SBN adalah Bank dan/atau lembaga keuangan lain yang
ditunjuk oleh Menteri Keuangan sebagai Dealer Utama untuk dapat ikut serta
dalam lelang SBN.
15. Central Registry adalah Bank Indonesia yang melakukan fungsi Penatausahaan
Surat Berharga untuk kepentingan Peserta yang memiliki rekening Surat
Berharga di BI-SSSS.
16. Sub-Registry adalah Bank dan lembaga yang melakukan kegiatan kustodian
yang memenuhi persyaratan dan disetujui oleh Bank Indonesia melakukan
fungsi Penatausahaan Surat Berharga untuk kepentingan nasabah.
17. Setelmen Surat Berharga adalah kegiatan pendebetan dan pengkreditan
rekening Surat Berharga melalui BI-SSSS dalam rangka penatausahaan
Transaksi Dengan Bank Indonesia dan Penatausahaan Surat Berharga.
18. Setelmen Dana adalah kegiatan pendebetan dan pengkreditan rekening giro
dan/atau rekening lainnya di Bank Indonesia melalui Sistem BI-RTGS dalam
rangka penatausahaan Transaksi Dengan Bank Indonesia dan Penatausahaan
Surat Berharga melalui BI-SSSS.
19. Delivery Versus Payment yang selanjutnya disebut DVP adalah setelmen
transaksi Surat Berharga dengan cara Setelmen Surat Berharga dilakukan
bersamaan dengan Setelmen Dana.
20. Free of Payment yang selanjutnya disebut FoP adalah setelmen transaksi Surat
Berharga dengan cara Setelmen Surat Berharga dilakukan melalui BI-SSSS,
sedangkan Setelmen Dana dilakukan tidak secara bersamaan dengan Setelmen
Surat Berharga atau tanpa Setelmen Dana.
21. Rekening Surat Berharga adalah rekening milik Peserta tertentu di BI-SSSS
untuk mencatat kepemilikan Surat Berharga dan/atau Instrumen OPT.
22. Rekening Giro adalah rekening dalam mata uang Rupiah yang ditatausahakan
di Bank Indonesia yang digunakan dalam rangka pelaksanaan BI-SSSS.
BAB II …
- 6 -
BAB II
PENYELENGGARA DAN PESERTA BI-SSSS
Pasal 2
(1) Penyelenggara adalah Bank Indonesia.
(2) Penyelenggara membuat ketentuan dan menetapkan prosedur operasional
BI-SSSS dalam rangka menjaga kelancaran penyelenggaraan BI-SSSS.
Pasal 3
(1) Pihak-pihak yang dapat menjadi Peserta adalah :
a. Bank Indonesia;
b. Departemen Keuangan;
c. Bank;
d. Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian;
e. Perusahaan Pialang Pasar Uang Rupiah dan Valuta Asing;
f. Perusahaan Efek; dan
g. lembaga lain yang disetujui oleh Bank Indonesia.
(2) Pihak-pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertindak sebagai:
a. Penerbit Surat Berharga;
b. Peserta OPT;
c. Peserta Fasilitas Pendanaan;
d. Peserta Lelang SBN; dan/atau
e. Pemilik Rekening Surat Berharga di Central Registry.
(3) Pihak-pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menjadi Peserta
setelah memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Pasal 4
Penyelenggara dan Peserta menggunakan BI-SSSS untuk melakukan kegiatan
sebagai berikut :
a. Transaksi …
- 7 -
a. Transaksi Dengan Bank Indonesia;
b. Penatausahaan Transaksi Dengan Bank Indonesia; dan/atau
c. Penatausahaan Surat Berharga.
Pasal 5
(1) Dalam hal Bank melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional serta
kegiatan usaha dalam bentuk Unit Usaha Syariah (UUS), kepesertaan dalam
BI-SSSS untuk kegiatan usaha secara konvensional harus dipisahkan dari
kegiatan usaha dalam bentuk Unit Usaha Syariah (UUS).
(2) Dalam hal Bank melaksanakan kegiatan Sub-Registry, kepesertaan dalam
BI-SSSS untuk kegiatan Bank harus dipisahkan dari kegiatan Sub-Registry.
Pasal 6
Bank Indonesia menetapkan 3 (tiga) jenis status kepesertaan dalam BI-SSSS yaitu :
a. aktif ;
b. dibekukan; dan
c. ditutup.
Pasal 7
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf b tidak berlaku bagi Peserta
penerbit Surat Berharga dan Sub-Registry.
Pasal 8
(1) Penyelenggara dapat mengubah status kepesertaan Peserta berdasarkan :
a. permintaan tertulis dan/atau keputusan lembaga yang berwenang
melakukan pengawasan terhadap kegiatan usaha Peserta;
b. keputusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap yang dapat
mengakibatkan perubahan status kepesertaan; atau
c. permintaan tertulis dari Peserta yang bersangkutan.
(2) Perubahan …
- 8 -
(2) Perubahan status kepesertaan Peserta berdasarkan ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b dapat berupa :
a. aktif menjadi dibekukan atau sebaliknya;
b. dibekukan menjadi ditutup; atau
c. aktif menjadi ditutup.
(3) Perubahan status kepesertaan Peserta berdasarkan ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf c hanya berupa perubahan aktif menjadi ditutup.
Pasal 9
Bagi Peserta yang menjadi peserta Sistem BI-RTGS, perubahan status kepesertaan
diatur sebagai berikut:
a. perubahan status kepesertaan menjadi dibekukan atau ditutup pada BI-SSSS
tidak menyebabkan perubahan status kepesertaan pada Sistem BI-RTGS;
b. perubahan status kepesertaan menjadi ditangguhkan pada Sistem BI-RTGS tidak
menyebabkan perubahan status kepesertaan pada BI-SSSS;
c. perubahan status kepesertaan menjadi dibekukan atau ditutup pada Sistem BI-
RTGS menyebabkan perubahan status kepesertaan yang sama pada BI-SSSS.
Pasal 10
(1) Dalam hal status Peserta pada Sistem BI-RTGS dan BI-SSSS dibekukan,
Penyelenggara membuka rekening penampung (escrow account) di Bank
Indonesia atas nama Peserta untuk menerima pembayaran kupon (bunga) atau
imbalan dan pelunasan nilai pokok/nominal Surat Berharga.
(2) Dalam hal status Peserta pada BI-SSSS ditutup atas permintaan lembaga
pengawas yang berwenang, Penyelenggara memindahkan pencatatan
Rekening Surat Berharga atas nama Peserta ke Rekening Surat Berharga di
Bank Indonesia yang dibuka oleh Penyelenggara, kecuali lembaga pengawas
yang berwenang menetapkan rekening lain.
Pasal 11 …
- 9 -
Pasal 11
Hubungan hukum antara Penyelenggara dengan Peserta diatur dalam Perjanjian
Penggunaan BI-SSSS antara Penyelenggara dan Peserta.
Pasal 12
Peserta wajib :
a. menjaga kelancaran dan keamanan dalam penggunaan BI-SSSS;
b. bertanggung jawab atas kebenaran transaksi, instruksi transaksi dan/atau
setelmen, serta seluruh informasi yang dikirim Peserta kepada Penyelenggara
melalui BI-SSSS;
c. memenuhi ketentuan Bank Indonesia dan ketentuan terkait; dan
d. memenuhi Perjanjian Penggunaan BI-SSSS antara Penyelenggara dan Peserta
maupun kesepakatan tertulis antar Peserta (Bye-Laws) dengan tetap mengacu
kepada Peraturan Bank Indonesia ini.
Pasal 13
Kewajiban Peserta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 berlaku bagi Bank
Indonesia sebagai Peserta kecuali :
a. kewajiban untuk membuat Perjanjian Penggunaan BI-SSSS antara
Penyelenggara dan Peserta; dan
b. kewajiban untuk memenuhi kesepakatan tertulis antar Peserta (Bye-Laws).
BAB III
TRANSAKSI DENGAN BANK INDONESIA
Pasal 14
Penyelenggara melaksanakan Transaksi Dengan Bank Indonesia secara lelang
dan/atau bukan lelang.
Pasal 15 …
- 10 -
Pasal 15
(1) Peserta melakukan kegiatan Transaksi Dengan Bank Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 14 baik secara langsung maupun dengan menunjuk
Peserta lain sebagai perantara (broker) sesuai ketentuan Bank Indonesia yang
berlaku.
(2) Dalam hal menunjuk broker sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Peserta
menetapkan batas paling tinggi nominal penawaran (broker bidding limit) per
hari bagi broker yang ditunjuk.
(3) Ketentuan penetapan batas paling tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
diatur dalam perjanjian tersendiri antara Peserta dengan broker atau dalam
prosedur internal Peserta.
BAB IV
PENATAUSAHAAN
Bagian Kesatu
Penatausahaan Transaksi Dengan Bank Indonesia
Pasal 16
(1) Penyelenggara melakukan penatausahaan Transaksi Dengan Bank Indonesia.
(2) Penatausahaan Transaksi Dengan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) mencakup kegiatan penatausahaan Instrumen OPT, penatausahaan
Fasilitas Pendanaan, penatausahaan transaksi SBN untuk dan atas nama
pemerintah serta penatausahaan transaksi lainnya melalui BI-SSSS.
(3) Penatausahaan Transaksi Dengan Bank Indonesia terdiri dari penatausahaan
transaksi yang terkait Surat Berharga dan tanpa Surat Berharga.
(4) Penatausahaan Transaksi Dengan Bank Indonesia yang terkait Surat Berharga
dilakukan sesuai ketentuan yang diatur dalam Pasal 17 sampai dengan
Pasal 31.
Bagian …
- 11 -
Bagian Kedua
Penatausahaan Surat Berharga
Pasal 17
(1) Penyelenggara melakukan Penatausahaan Surat Berharga secara elektronis
dengan menggunakan BI-SSSS.
(2) Dalam Penatausahaan Surat Berharga sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
Penyelenggara berfungsi sebagai Central Registry.
Pasal 18
Penatausahaan Surat Berharga di BI-SSSS dilakukan secara two tier system yang
terdiri dari:
a. Central Registry, yang melakukan Penatausahaan Surat Berharga untuk
kepentingan Bank, Sub-Registry dan pihak lain pemilik Rekening Surat
Berharga di BI-SSSS; dan
b. Sub-Registry, yang melakukan Penatausahaan Surat Berharga untuk kepentingan
nasabah.
Pasal 19
Pihak yang akan melakukan transaksi Surat Berharga dan tidak memiliki Rekening
Surat Berharga di Central Registry harus menunjuk Sub-Registry untuk melakukan
Penatausahaan Surat Berharga yang dimilikinya.
Pasal 20
(1) Central Registry dapat bekerja sama dengan pihak lain guna mendukung
Penatausahaan Surat Berharga.
(2) Central Registry dapat memberikan persetujuan kepada Bank dan lembaga
yang melakukan kegiatan kustodian untuk menjadi Sub-Registry.
(3) Pihak …
- 12 -
(3) Pihak-pihak yang dapat menjadi Sub-Registry adalah Bank, Lembaga
Penyimpanan dan Penyelesaian, dan Perusahaan Efek.
(4) Pihak-pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dapat disetujui menjadi
Sub-Registry setelah memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia.
(5) Sub-Registry wajib memenuhi ketentuan Penatausahaan Surat Berharga
sebagaimana ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Pasal 21
(1) Pencatatan kepemilikan Surat Berharga dilakukan tanpa warkat (scripless) dan
secara book entry.
(2) Catatan kepemilikan Surat Berharga pada Central Registry dan Sub-Registry
merupakan bukti kepemilikan yang sah.
Pasal 22
(1) Pencatatan kepemilikan Surat Berharga pada rekening Surat Berharga
Sub-Registry di Central Registry bersifat global (omnibus account).
(2) Pencatatan kepemilikan Surat Berharga pada Rekening Surat Berharga
Sub-Registry di Central Registry sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bukan
merupakan bukti kepemilikan Surat Berharga atas nama Sub-Registry.
(3) Sub-Registry wajib mencatat secara terpisah kepemilikan Surat Berharga atas
nama nasabah dari aset Sub-Registry.
(4) Sub-Registry tidak diperbolehkan memelihara rekening Surat Berharga untuk
dan atas nama diri sendiri, pengurus, pemegang saham dan pengelola.
(5) Sub-Registry bertanggung jawab atas kebenaran pencatatan dan laporan
kepemilikan Surat Berharga atas nama nasabah.
Bagian …
- 13 -
Bagian Ketiga
Setelmen Transaksi Surat Berharga
Pasal 23
(1) Setelmen transaksi Surat Berharga di Pasar Perdana dan di Pasar Sekunder
dilakukan atas dasar prinsip DVP.
(2) Setelmen transaksi Surat Berharga secara DVP dilakukan atas dasar sistem
setelmen gross to gross atau gross to net.
(3) Setelmen transaksi Surat Berharga dapat dilakukan secara FoP dalam rangka :
a. pemindahbukuan yang dilakukan oleh pemilik Surat Berharga dengan
identitas yang sama;
b. perpindahan kepemilikan Surat Berharga dalam rangka hibah, warisan,
pelunasan kewajiban, tukar menukar, pengalihan karena penetapan
pengadilan, dan pinjam meminjam;
c. transaksi lainnya, sepanjang telah memperoleh persetujuan dari lembaga
yang berwenang.
Pasal 24
Ketentuan setelmen transaksi Surat Berharga sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 23 juga berlaku bagi Sub-Registry dalam melakukan Penatausahaan Surat
Berharga nasabah.
Pasal 25
Setelmen transaksi Surat Berharga melalui BI-SSSS bersifat final.
Pasal 26
(1) Dalam pelaksanaan Setelmen Dana dan/atau pembayaran kewajiban lainnya
melalui BI-SSSS, Peserta yang bukan peserta Sistem BI-RTGS harus
menunjuk Bank peserta Sistem BI-RTGS sebagai Bank penerima dan/atau
pembayar …
- 14 -
pembayar untuk melakukan Setelmen Dana dan/atau pembayaran kewajiban
lainnya.
(2) Bank peserta Sistem BI-RTGS yang ditunjuk sebagai Bank pembayar dalam
Setelmen Dana atas transaksi Surat Berharga harus menetapkan batas paling
tinggi nominal per transaksi dan total nominal transaksi per hari untuk setiap
Peserta yang menunjuk Bank dimaksud.
(3) Ketentuan penetapan batas paling tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
diatur dalam perjanjian tersendiri antara Bank peserta Sistem BI-RTGS dengan
Peserta yang menunjuk Bank dimaksud atau dalam prosedur internal Bank
peserta Sistem BI-RTGS.
Pasal 27
(1) Peserta yang memiliki Rekening Giro di Sistem BI-RTGS harus memiliki
saldo yang mencukupi pada Rekening Giro untuk pelaksanaan setelmen
transaksi Surat Berharga dan pembayaran kewajiban lainnya.
(2) Peserta yang memiliki Rekening Surat Berharga di Central Registry harus
memiliki saldo yang mencukupi pada Rekening Surat Berharga untuk
pelaksanaan setelmen transaksi Surat Berharga.
Pasal 28
BI-SSSS melakukan setelmen transaksi Surat Berharga antar Peserta berdasarkan
data setelmen yang dikirimkan Peserta melalui BI-SSSS dan diterima oleh
Penyelenggara.
Pasal 29
(1) Penyelenggara berwenang tidak meneruskan setelmen transaksi Surat
Berharga di Pasar Sekunder yang belum jatuh waktu (early termination) untuk
transaksi jual beli secara bersyarat (repo), pencatatan agunan (pledge) dan/atau
transaksi lainnya yang dilakukan oleh Peserta melalui BI-SSSS.
(2) Penyelenggara …
- 15 -
(2) Penyelenggara tidak meneruskan setelmen transaksi Surat Berharga
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan permintaan salah satu
Peserta, keputusan lembaga pengawas yang berwenang, keputusan pengadilan
dan/atau lembaga arbitrase yang telah memiliki kekuatan hukum yang tetap.
(3) Penyelenggara tidak meneruskan setelmen transaksi Surat Berharga atas
permintaan salah satu Peserta sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) apabila
Peserta dapat menunjukkan adanya pemberian kuasa kepada Peserta dimaksud
untuk membatalkan transaksi dari Peserta lawan transaksinya.
(4) Peserta yang mengajukan permintaan kepada Penyelenggara sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) bertanggung jawab atas kebenaran
pemberian kuasa pembatalan transaksi.
(5) Peserta yang mengajukan permintaan kepada Penyelenggara sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) membebaskan Penyelenggara dari
tuntutan hukum dan bertanggung jawab atas tuntutan hukum terhadap
Penyelenggara dan tuntutan lainnya, yang timbul akibat tidak diteruskannya
setelmen transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Bagian Keempat
Pembayaran Kupon (Bunga) atau Imbalan dan
Nilai Pokok/Nominal Surat Berharga
Pasal 30
Peserta yang menerbitkan Surat Berharga harus memiliki dana yang mencukupi
pada Rekening Giro Peserta untuk membayar kupon (bunga) atau imbalan dan nilai
pokok/nominal Surat Berharga pada saat jatuh waktu.
Pasal 31 …
- 16 -
Pasal 31
(1) Penyelenggara melakukan pembayaran kupon (bunga) atau imbalan dan nilai
pokok/nominal Surat Berharga pada saat jatuh waktu kepada pemilik Rekening
Surat Berharga dengan mendebet Rekening Giro Peserta yang menerbitkan
Surat Berharga dan mengkredit Rekening Giro Peserta melalui Sistem
BI-RTGS.
(2) Penyelenggara dapat melakukan pembayaran nilai pokok/nominal Surat
Berharga sebelum tanggal jatuh waktu dan accrued interest atas kupon (bunga)
atau bagian imbalan kepada pemilik Rekening Surat Berharga berdasarkan
permintaan tertulis Peserta yang menerbitkan Surat Berharga, sepanjang
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30.
(3) Dalam hal pemilik Rekening Surat Berharga sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2) adalah Sub-Registry, Sub-Registry tersebut wajib
meneruskan pembayaran dimaksud pada hari yang sama kepada nasabah
pemilik Surat Berharga.
BAB V
OPERASIONAL BI-SSSS
Bagian Kesatu
Waktu Operasional
Pasal 32
(1) BI-SSSS diselenggarakan setiap hari kerja kecuali ditetapkan lain oleh
Penyelenggara.
(2) Penyelenggaraan BI-SSSS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
pada jam operasional yang ditetapkan oleh Penyelenggara.
(3) Penyelenggara …
- 17 -
(3) Penyelenggara dapat melakukan perubahan jam operasional BI-SSSS
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berdasarkan :
a. kebijakan Penyelenggara; atau
b. permintaan Peserta yang telah disetujui oleh Penyelenggara.
Bagian Kedua
Data Transaksi dan Setelmen
Pasal 33
(1) Peserta mengirimkan data transaksi dan setelmen melalui BI-SSSS kepada
Penyelenggara berdasarkan instruksi tertulis yang digunakan oleh masing-
masing Peserta sesuai ketentuan internal yang berlaku.
(2) Peserta harus menyimpan dan menatausahakan instruksi tertulis berikut data
transaksi dan setelmen Peserta yang dikirimkan kepada Penyelenggara melalui
BI-SSSS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
Pasal 34
(1) Penyelenggara menerima data transaksi dan setelmen yang dikirimkan oleh
Peserta melalui BI-SSSS.
(2) Penyelenggara mengirimkan data posisi harian Rekening Surat Berharga
masing-masing Peserta kepada Peserta dimaksud melalui BI-SSSS pada akhir
hari.
Pasal 35
Dalam hal terjadi perbedaan antara data transaksi dan setelmen serta data posisi
harian Rekening Surat Berharga yang dimiliki oleh masing-masing Peserta dengan
data yang dimiliki oleh Penyelenggara, data yang dianggap benar adalah data yang
ada pada Penyelenggara.
Bagian …
- 18 -
Bagian Ketiga
Biaya
Pasal 36
(1)
(2)
Penyelenggara menetapkan jenis dan besar biaya penggunaan BI-SSSS yang
wajib dibayar oleh Peserta.
Dalam hal Peserta mengajukan permintaan perpanjangan jam operasional
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (3) huruf b, Peserta dikenakan
biaya perpanjangan jam operasional Sistem BI-RTGS sesuai ketentuan Bank
Indonesia yang berlaku.
Bagian Keempat
Pembebanan Rekening Giro
dan/atau Rekening Surat Berharga Peserta
Pasal 37
Dalam rangka melakukan Transaksi Dengan Bank Indonesia dan kegiatan
penatausahaan melalui BI-SSSS, Penyelenggara berwenang melakukan pendebetan
Rekening Giro Peserta, Rekening Giro Bank yang ditunjuk oleh Peserta dan/atau
Rekening Surat Berharga Peserta.
Bagian Kelima
Pembebasan Tanggung Jawab Penyelenggara
Pasal 38
Peserta membebaskan Penyelenggara dari tuntutan kerugian yang timbul dan/atau
yang akan timbul yang dialami Peserta atau pihak ketiga akibat terlambat atau tidak
terlaksananya transaksi, setelmen Surat Berharga, pembayaran kupon (bunga) atau
imbalan dan nilai pokok/nominal Surat Berharga dan/atau sebab lainnya yang
timbul.
BAB VI …
- 19 -
BAB VI
PENGAWASAN
Pasal 39
(1) Penyelenggara berwenang melakukan pengawasan terhadap Peserta atas
penggunaan BI-SSSS.
(2) Penyelenggara berwenang melakukan pengawasan terhadap kegiatan
Penatausahaan Surat Berharga yang dilakukan oleh pihak lain sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) dan/atau Sub-Registry sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 20 ayat (2).
(3) Penyelenggara melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2) secara langsung maupun tidak langsung.
(4) Penyelenggara dapat menunjuk pihak lain untuk melaksanakan pengawasan
secara langsung terhadap Peserta atas penggunaan BI-SSSS sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
(5) Pihak lain yang ditunjuk Penyelenggara untuk melaksanakan pengawasan
secara langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (4) wajib merahasiakan
informasi dan data yang diperoleh dalam pengawasan.
(6) Dalam rangka pengawasan, Peserta wajib memberikan :
a. informasi dan data yang terkait dengan pelaksanaan pengawasan BI-SSSS;
b. kesempatan untuk melakukan pengawasan secara langsung terhadap sarana
fisik dan aplikasi pendukungnya yang terkait dengan operasional BI-SSSS
dan/atau kegiatan Penatausahaan Surat Berharga oleh Sub-Registry.
BAB VII …
- 20 -
BAB VII
KEADAAN DARURAT
Pasal 40
(1) Dalam hal terjadi keadaan tidak normal dan/atau keadaan darurat (force
majeure), Penyelenggara memberlakukan prosedur dan rencana mengatasi
keadaan darurat (contingency plan).
(2) Keadaan darurat (force majeure) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai
dengan pengumuman dari Bank Indonesia atau diajukan oleh Peserta kepada
Penyelenggara dengan didukung oleh keterangan tertulis dari lembaga
berwenang yang terkait.
BAB VIII
SANKSI
Pasal 41
(1) Penyelenggara mengenakan sanksi administrasi berupa teguran tertulis
terhadap Peserta yang tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 12.
(2) Penyelenggara mengenakan sanksi administrasi berupa teguran tertulis atau
pencabutan atas persetujuan sebagai Sub-Registry dalam hal Peserta
Sub-Registry tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 20 ayat (5).
BAB IX …
- 21 -
BAB IX
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 42
Ketentuan pelaksanaan dari Peraturan Bank Indonesia ini diatur lebih lanjut dengan
Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 43
Pada saat Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku, peraturan pelaksanaan dari
Peraturan Bank Indonesia No. 6/2/PBI/2004 tentang Bank Indonesia–Scripless
Securities Settlement System, Perjanjian Penggunaan BI-SSSS antara Penyelenggara
dan Peserta, kesepakatan tertulis antar Peserta (Bye-Laws), dan petunjuk teknis
penggunaan BI-SSSS yang telah dikeluarkan sebelum berlakunya Peraturan Bank
Indonesia ini, dinyatakan masih tetap berlaku sampai dengan dicabut, diganti atau
diperbaharui.
Pasal 44
Dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini, Peraturan Bank Indonesia
Nomor 6/2/PBI/2004 tentang Bank Indonesia-Scripless Securities Settlement
System dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 45
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank
Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan …
…
- 22 -
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 4 Februari 2008
GUBERNUR BANK INDONESIA,
BURHANUDDIN ABDULLAH
Diundangkan di Jakarta
Pada tgl.4 Februari 2008
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA
ANDI MATTALATTA
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2008 NOMOR 11
DPM
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NO. 10/2/PBI/2008
TENTANG
BANK INDONESIA – SCRIPLESS SECURITIES SETTLEMENT SYSTEM
UMUM
Sehubungan dengan rencana pemerintah menerbitkan surat berharga
berdasarkan prinsip syariah maka Bank Indonesia sebagai agen lelang yang
menatausahakan surat berharga yang diterbitkan oleh pemerintah, perlu
mengakomodasi pelaksanaan lelang dan penatausahaan SBN baik yang diterbitkan
berdasarkan prinsip konvensional maupun berdasarkan prinsip syariah melalui
BI-SSSS.
Selanjutnya, untuk memberikan kepastian hukum kepada investor dalam
melakukan Setelmen Surat Berharga melalui BI-SSSS perlu pencantuman prinsip
kepastian penyelesaian akhir transaksi (finality of settlement) Surat Berharga yang
dilakukan melalui BI-SSSS sebagaimana mengacu kepada Recommendation for
Securities Settlement System yang diterbitkan oleh Bank for International Settlement
(BIS). Hal ini selaras dengan prinsip penyelesaian akhir pada Sistem BI-RTGS yang
bersifat final yang merupakan sarana Setelmen Dana bagi Peserta dalam
pelaksanaan setelmen transaksi Surat Berharga secara DVP.
Di samping itu, dalam rangka mengakomodasi perkembangan transaksi Surat
Berharga di Pasar Sekunder dan meningkatkan efektifitas penyelenggaraan
BI-SSSS diperlukan penyempurnaan pengaturan antara lain memperjelas fungsi dan
kewenangan Bank Indonesia sebagai regulator dan Penyelenggara, menyelaraskan
status kepesertaan pada BI-SSSS dengan Sistem BI-RTGS, memperjelas pengaturan
setelmen transaksi secara FoP, dan penyempurnaan sanksi kepada Peserta, serta
memperjelas …
- 2 -
memperjelas pengertian keadaan darurat untuk memberikan persepsi yang sama
antara Penyelenggara dan Peserta.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas
Pasal 2
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Dalam rangka menjaga kelancaran penyelenggaraan BI-SSSS,
Penyelenggara antara lain menyediakan aplikasi BI-SSSS dan Help
Desk terkait dengan operasional BI-SSSS serta ketentuan dan prosedur
baik dalam keadaan normal, keadaan tidak normal maupun keadaan
darurat.
Pasal 3
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Yang dimaksud “Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian”
adalah pihak yang menyelenggarakan kegiatan kustodian sentral
bagi …
- 3 -
bagi Bank Kustodian, Perusahaan Efek, dan pihak lain,
sebagaimana diatur dalam perundang-undangan yang berlaku.
Huruf e
Yang dimaksud “Perusahaan Pialang Pasar Uang Rupiah dan
Valuta Asing” adalah perusahaan yang didirikan khusus untuk
melakukan kegiatan jasa perantara bagi kegiatan nasabahnya di
bidang pasar uang Rupiah dan valuta asing dengan memperoleh
imbalan atas jasanya.
Huruf f
Yang dimaksud “Perusahaan Efek” adalah pihak yang
melakukan kegiatan usaha sebagai penjamin emisi efek,
perantara pedagang efek dan/atau manajer investasi.
Huruf g
Persetujuan oleh Bank Indonesia antara lain didasarkan pada
peraturan perundang-undangan yang terkait, pertimbangan
pengembangan pasar surat berharga di Indonesia, dan/atau
pertimbangan teknis.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 4
Huruf a
Transaksi Dengan Bank Indonesia melalui BI-SSSS dilakukan dalam
rangka :
1. pelaksanaan OPT oleh Bank Indonesia sesuai ketentuan yang
berlaku,
2. pemberian …
- 4 -
2. pemberian Fasilitas Pendanaan sesuai ketentuan yang berlaku;
3. pelaksanaan transaksi SBN oleh Bank Indonesia untuk dan atas
nama pemerintah sesuai ketentuan yang berlaku; dan
4. pelaksanaan transaksi lainnya yang dilakukan oleh Bank Indonesia
melalui BI-SSSS.
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Pasal 5
Ayat (1)
Bank yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional sekaligus
kegiatan usaha dalam bentuk Unit Usaha Syariah (UUS) memiliki 2
(dua) member code Peserta, yaitu 1 (satu) member code Peserta untuk
kegiatan usaha secara konvensional dan 1 (satu) member code Peserta
untuk kegiatan usaha dalam bentuk Unit Usaha Syariah (UUS).
Ayat (2)
Dalam hal Bank bertindak sebagai Sub-Registry, Bank dapat melakukan
transaksi baik atas nama nasabah maupun atas nama Bank sendiri.
Pemisahan kepesertaan Bank dalam pelaksanaan kegiatan Sub-Registry
dengan kepesertaan Bank atas nama diri sendiri dimaksudkan untuk
memperjelas pemisahan kepemilikan aset Surat Berharga atas nama
Bank dengan aset Surat Berharga nasabah.
Pasal 6 …
- 5 -
Pasal 6
Dalam sistem, status kepesertaan dibedakan menjadi aktif (active),
dibekukan (freeze) dan ditutup (closed).
Peserta dengan status aktif dapat melakukan seluruh kegiatan sesuai dengan
fungsi Peserta dalam BI-SSSS.
Peserta dengan status dibekukan tidak dapat melakukan kegiatan Transaksi
Dengan Bank Indonesia dan setelmen transaksi Surat Berharga, kecuali
kegiatan untuk memperoleh informasi yang terdapat dalam BI-SSSS.
Peserta dengan status ditutup tidak dapat melakukan seluruh kegiatan
operasional BI-SSSS.
Pasal 7
Pengecualian ketentuan ini dimaksudkan untuk memberikan kepastian
kepada nasabah Sub-Registry agar tetap dapat melakukan setelmen transaksi
Surat Berharga melalui BI-SSSS.
Pasal 8
Ayat (1)
Huruf a
“lembaga yang berwenang” dalam ayat ini adalah Bank
Indonesia dan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga
Keuangan (Bapepam-LK).
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3) …
- 6 -
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 9
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Dalam hal status Peserta aktif, namun status Peserta yang
bersangkutan dalam Sistem BI-RTGS ditangguhkan maka Peserta
tidak dapat melakukan pembelian Surat Berharga secara DVP
mengingat status ditangguhkan dalam Sistem BI-RTGS
mengakibatkan tidak dapat dilakukannya pembayaran.
Huruf c
Dalam hal status Peserta dalam Sistem BI-RTGS menjadi dibekukan
maka status Peserta dalam BI-SSSS berubah menjadi dibekukan.
Apabila status Peserta dalam Sistem BI-RTGS menjadi ditutup
maka status Peserta dalam BI-SSSS berubah menjadi ditutup.
Pasal 10
Cukup jelas
Pasal 11
Cukup jelas
Pasal 12
Huruf a
Yang dimaksud dengan “menjaga kelancaran dan keamanan” adalah
menjamin agar BI-SSSS berfungsi dengan baik antara lain dengan
menyusun kebijakan dan membuat prosedur tertulis yang mendukung
sistem …
- 7 -
sistem internal kontrol yang baik dalam pelaksanaan operasional
BI-SSSS, termasuk prosedur pengamanan penggunaan BI-SSSS baik
dari sisi kewenangan pengguna, maupun pengamanan dan
pemeliharaan perangkat keras (hardware) dan perangkat lunak
(software) aplikasi BI-SSSS.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “bertanggung jawab atas kebenaran transaksi,
instruksi transaksi dan/atau setelmen” adalah Peserta wajib melakukan
pengiriman instruksi transaksi atau instruksi setelmen berdasarkan
dokumen pendukung sesuai format yang diatur oleh masing-masing
Peserta, termasuk menyampaikan data dan informasi yang benar.
Huruf c
Ketentuan Bank Indonesia antara lain mengenai Sistem BI-RTGS,
OPT, Sertifikat Bank Indonesia (SBI), Fasilitas Pendanaan, dan SUN.
Ketentuan terkait adalah ketentuan yang dikeluarkan oleh instansi lain
antara lain Departemen Keuangan dan Bapepam-LK.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “Bye Laws” adalah kesepakatan tertulis antar
Peserta yang bertujuan untuk mencapai keseragaman peraturan dan
prosedur serta memberikan panduan untuk penyelesaian perselisihan
yang timbul antar Peserta dalam penggunaan BI-SSSS.
Pasal 13
Cukup jelas
Pasal 14
Jenis Transaksi Dengan Bank Indonesia secara lelang antara lain transaksi
SBI, Fine Tune Operation (Fine Tune Kontraksi dan Fine Tune Ekspansi),
jual …
- 8 -
jual beli secara bersyarat (reverse repo) dan SBN untuk dan atas nama
pemerintah.
Jenis Transaksi Dengan Bank Indonesia secara bukan lelang antara lain
transaksi Fasilitas Simpanan Bank Indonesia (FASBI), jual beli secara
bersyarat (repo), dan pengajuan Fasilitas Pendanaan.
Pasal 15
Ayat (1)
Transaksi Dengan Bank Indonesia secara langsung hanya dapat
dilakukan oleh Peserta yang terdaftar pada Penyelenggara untuk dapat
mengikuti Transaksi Dengan Bank Indonesia.
Transaksi Dengan Bank Indonesia yang harus dilakukan oleh Peserta
secara langsung antara lain transaksi Fasilitas Pendanaan dan
transaksi jual beli secara bersyarat (repo).
Yang dimaksud dengan “broker” adalah Perusahaan Pialang Pasar
Uang Rupiah dan Valuta Asing sebagai peserta OPT, Bank dan
Perusahaan Efek sebagai peserta lelang SBN.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Pengaturan dalam prosedur internal Peserta berlaku dalam hal Peserta
yang menunjuk dan broker adalah institusi yang sama.
Pasal 16
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2) …
- 9 -
Ayat (2)
Penatausahaan Instrumen OPT mencakup antara lain kegiatan
Setelmen Dana, Setelmen Surat Berharga, pencatatan
penerbitan/kepemilikan/penempatan, perhitungan diskonto,
pembayaran bunga atau imbalan, nilai pokok/nominal Surat Berharga,
dan/atau kewajiban membayar karena kegagalan setelmen.
Penatausahaan Fasilitas Pendanaan mencakup antara lain kegiatan
Setelmen Dana, pencatatan agunan Surat Berharga, perhitungan dan
pembayaran bunga atau imbalan atas penggunaan fasilitas, pelunasan
fasilitas saat jatuh waktu dan/atau pelaksanaan eksekusi agunan dalam
hal Bank tidak dapat melunasi kewajiban.
Penatausahaan SBN untuk dan atas nama pemerintah yaitu kegiatan
setelmen hasil lelang penerbitan SBN yang antara lain mencakup
pencatatan penerbitan dan kepemilikan, Setelmen Dana dan Setelmen
Surat Berharga.
Ayat (3)
Penatausahaan Transaksi Dengan Bank Indonesia yang terkait dengan
Surat Berharga antara lain terdiri dari penatausahaan transaksi SBI,
jual beli secara bersyarat (repo dan reverse repo) dengan Surat
Berharga sebagai underlying transaksi, SBN untuk dan atas nama
pemerintah dan Fasilitas Pendanaan dengan jaminan Surat Berharga.
Penatausahaan Transaksi Dengan Bank Indonesia tanpa Surat
Berharga antara lain terdiri dari transaksi Fine Tune Kontraksi dan
penempatan dana Bank di Bank Indonesia.
Ayat (4)
Cukup Jelas
Pasal 17 …
- 10 -
Pasal 17
Cukup jelas
Pasal 18
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Sub-Registry menggunakan sistem internal Sub-Registry dalam
penatausahaan Surat Berharga untuk kepentingan nasabah.
Pasal 19
Cukup jelas
Pasal 20
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 21 …
- 11 -
Pasal 21
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan book entry adalah pencatatan kepemilikan dan
perpindahan kepemilikan tanpa warkat (scripless) dalam suatu jurnal
elektronis.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 22
Ayat (1)
Pencatatan kepemilikan Surat Berharga pada rekening Sub-Registry
secara omnibus account di Central Registry tidak dilakukan secara
individual dan rinci per nasabah. Pencatatan secara individual dan
rinci per nasabah dilakukan oleh Sub-Registry secara book entry
dalam sistem penatausahaan internal yang bersangkutan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Pengelola Sub-Registry adalah pejabat yang bertanggung jawab dalam
pelaksanaan operasional Sub-Registry.
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 23
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2) …
- 12 -
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “gross to gross” adalah proses setelmen
dimana Setelmen Surat Berharga dan Setelmen Dana dilakukan
berdasarkan transaksi per transaksi.
Yang dimaksud dengan “gross to net” adalah proses setelmen dimana
Setelmen Surat Berharga dilakukan berdasarkan transaksi per
transaksi dan Setelmen Dana dilakukan secara keseluruhan setelah
proses perhitungan transaksi jual beli Surat Berharga (netting system).
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Yang dimaksud dengan ”transaksi lainnya” misalnya
penerbitan Surat Berharga dalam rangka penyertaan modal
(private placement) atau Exchange Traded Fund (ETF).
Yang dimaksud dengan ”lembaga atau instansi yang
berwenang” adalah Departemen Keuangan, Bapepam-LK
untuk transaksi terkait dengan Pasar Modal dan Bank
Indonesia untuk transaksi terkait perbankan.
Pasal 24
Sub-Registry merupakan perpanjangan tangan Central Registry sehingga
dalam melakukan Penatausahaan Surat Berharga nasabah melalui sistem
internalnya, Sub-Registry mengacu juga pada ketentuan setelmen transaksi
Surat Berharga di Central Registry.
Pasal 25 …
- 13 -
Pasal 25
BI-SSSS tidak mengakomodasi pembatalan setelmen (unwinding) atas
transaksi Surat Berharga yang telah dilakukan setelmennya di BI-SSSS.
Pasal 26
Ayat (1)
Kewajiban lainnya antara lain pembebanan sanksi kewajiban
membayar dan biaya penggunaan BI-SSSS.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Pengaturan dalam prosedur internal Bank peserta Sistem BI-RTGS
berlaku dalam hal Peserta yang menunjuk dan Bank peserta Sistem
BI-RTGS adalah institusi yang sama.
Pasal 27
Ayat (1)
Persyaratan kecukupan saldo Rekening Giro di Sistem BI-RTGS
termasuk pula dalam rangka pembayaran untuk dan atas nama Peserta
lain yang menunjuk Peserta dimaksud sebagai Bank pembayar.
Dalam hal saldo Rekening Giro di Sistem BI-RTGS tidak mencukupi
maka setelmen transaksi yang bersangkutan tidak dapat dilakukan.
Ayat (2)
Dalam hal saldo Rekening Surat Berharga Peserta tidak mencukupi
maka setelmen transaksi yang bersangkutan tidak dapat dilakukan.
Pasal 28 …
- 14 -
Pasal 28
Setelmen transaksi Surat Berharga antar Peserta meliputi antara lain setelmen
transaksi jual beli putus (outright), jual beli secara bersyarat (repo dan reverse
repo), pinjam meminjam Surat Berharga (securities borrowing and lending),
dan pencatatan agunan (pledge).
Pasal 29
Ayat (1)
Kewenangan Penyelenggara untuk tidak meneruskan setelmen
transaksi Surat Berharga hanya berlaku untuk transaksi Surat
Berharga yang telah disepakati memiliki dua proses setelmen yaitu
setelmen transaksi pertama (first leg) dan setelmen transaksi kedua
(second leg).
Kewenangan Penyelenggara dimaksud adalah untuk setelmen
transaksi kedua (second leg) dan didasarkan pada Pasal 29 ayat (2).
Transaksi lainnya adalah transaksi yang memiliki dua kali proses
setelmen sebagaimana halnya transaksi jual beli secara bersyarat
(repo) dan pledge.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Adanya pemberian kuasa pembatalan transaksi dari Peserta lawan
transaksi dibuktikan dalam bentuk klausula pemberian kuasa
pembatalan dalam perjanjian transaksi dimaksud atau surat kuasa.
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 30 …
- 15 -
Pasal 30
Cukup jelas
Pasal 31
Cukup jelas
Pasal 32
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Perubahan jam operasional BI-SSSS dapat berupa perpanjangan atau
pengurangan jangka waktu operasional BI-SSSS.
Perubahan jam operasional BI-SSSS yang dapat dilakukan
berdasarkan permintaan Peserta hanya berupa perpanjangan jam
operasional BI-SSSS.
Perpanjangan jam operasional BI-SSSS berdampak terhadap
perpanjangan jam operasional Sistem BI-RTGS.
Pasal 33
Cukup jelas
Pasal 34
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2) …
- 16 -
Ayat (2)
Data posisi harian Rekening Surat Berharga memuat data atau
informasi kepemilikan masing-masing Peserta berdasarkan hasil
setelmen transaksi Surat Berharga
Pasal 35
Perbedaan data transaksi dan setelmen serta data posisi harian Rekening Surat
Berharga antara Peserta dan Penyelenggara antara lain dapat terjadi karena
adanya gangguan teknis dan komunikasi.
Pasal 36
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “biaya” adalah biaya-biaya yang dibebankan
oleh Penyelenggara kepada Peserta, antara lain biaya atas setiap
pengiriman data transaksi, instruksi setelmen serta permintaan data
oleh Peserta ke dan dari Penyelenggara, serta penggunaan BI-SSSS di
lokasi Penyelenggara.
Ayat (2)
Perpanjangan jam operasional BI-SSSS berdampak terhadap
perpanjangan jam operasional Sistem BI-RTGS.
Pasal 37
Penyelenggara melakukan pendebetan Rekening Giro Peserta, Rekening Giro
Bank yang ditunjuk oleh Peserta dan/atau Rekening Surat Berharga Peserta
untuk transaksi antara lain sebagai berikut :
a. setelmen Transaksi Dengan Bank Indonesia;
b. setelmen transaksi Surat Berharga antar Peserta;
c. pembayaran …
- 17 -
c. pembayaran kewajiban kupon (bunga) atau imbalan dan nilai
pokok/nominal Surat Berharga yang jatuh waktu;
d. pembebanan biaya penggunaan BI-SSSS;
e. sanksi kewajiban membayar terkait transaksi OPT;
f. kewajiban pelunasan Fasilitas Pendanaan;
g. eksekusi agunan/jaminan sesuai ketentuan yang berlaku mengenai
Fasilitas Pendanaan dan/atau fasilitas pemerintah kepada Peserta; dan/atau
h. biaya lainnya.
Pasal 38
Keterlambatan atau tidak terlaksananya transaksi, setelmen Surat Berharga,
pembayaran kupon (bunga) atau imbalan dan nilai pokok/nominan Surat
Berharga disebabkan antara lain :
a. pengiriman data transaksi atau instruksi setelmen oleh Peserta yang salah,
terlambat atau dilakukan oleh pejabat yang tidak berwenang;
b. tidak tersedianya dana yang cukup pada Rekening Giro penerbit Surat
Berharga untuk pelaksanaan pembayaran kewajiban transaksi Surat
Berharga saat jatuh waktu; dan
c. terjadinya keadaan tidak normal dan/atau keadaan darurat.
Pasal 39
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Penyelenggara dalam hal ini bertindak sebagai Central Registry.
Pengawasan Central Registry terhadap kegiatan Penatausahaan Surat
Berharga yang dilakukan oleh Sub-Registry dan/atau pihak lain
dilakukan berkoordinasi dengan otoritas yang berwenang.
Ayat (3) …
- 18 -
Ayat (3)
Penyelenggara melakukan pengawasan langsung sewaktu-waktu
melalui pemeriksaan atas sistem dan aplikasi BI-SSSS dan/atau
dokumen-dokumen yang terkait dengan penggunaan BI-SSSS di
lokasi Peserta.
Penyelenggara melakukan pengawasan tidak langsung atas data dan
informasi yang terkait dengan penggunaan BI-SSSS oleh Peserta yang
diserahkan oleh Peserta kepada Penyelenggara termasuk laporan
dan/atau dokumen lain yang diminta oleh Penyelenggara kepada
Peserta.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “pihak lain” adalah pihak-pihak yang
memiliki keahlian antara lain di bidang pengembangan aplikasi BI-
SSSS, jasa komunikasi dan audit teknologi informasi.
Hubungan hukum antara Penyelenggara dengan pihak lain yang
ditunjuk tersebut diatur dalam suatu perjanjian.
Ayat (5)
Kewajiban merahasiakan informasi dan data yang diperoleh dalam
pengawasan termasuk seluruh komisaris, direksi, manajer, tenaga ahli,
staf pengawas dan staf pendukung lainnya yang terkait dengan
pelaksanaan pengawasan.
Ayat (6)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “informasi dan data” antara lain data
elektronik dan penjelasan yang berkaitan dengan tujuan
pengawasan pemeriksaan.
Huruf b
Cukup jelas
Pasal 40 …
- 19 -
Pasal 40
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan ”keadaan tidak normal” adalah situasi atau
kondisi yang terjadi sebagai akibat adanya gangguan atau kerusakan
pada perangkat keras, perangkat lunak, jaringan komunikasi, aplikasi
maupun sarana pendukung BI-SSSS yang mempengaruhi kelancaran
penyelenggaraan BI-SSSS.
Yang dimaksud dengan ”keadaan darurat (force majeure)” adalah
situasi atau kondisi yang terjadi sebagai akibat adanya peristiwa-
peristiwa yang secara langsung maupun tidak langsung
mempengaruhi kelancaran pelaksanaan BI-SSSS dan terjadi di luar
kekuasaan serta kemampuan Penyelenggara dan/atau Peserta sehingga
BI-SSSS tidak dapat dioperasikan sebagaimana mestinya, yang
meliputi antara lain bencana alam, kebakaran, pemogokan, huru-hara,
pemberontakan, sabotase, perang dan/atau peraturan yang dikeluarkan
oleh pemerintah.
Ayat (2)
Cukup Jelas
Pasal 41
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Penyelenggara dalam hal ini bertindak dalam kapasitas sebagai
Central Registry.
Pasal 42
Ketentuan dalam Surat Edaran Bank Indonesia mengatur antara lain namun
tidak terbatas pada hal-hal sebagai berikut:
a. persyaratan …
- 20 -
a.
persyaratan dan prosedur menjadi Peserta;
b. persyaratan dan kewajiban Sub-Registry;
c.
d.
prosedur pemindahan pencatatan rekening Surat Berharga milik Peserta
dalam hal status kepesertaan ditutup;
prosedur early termination transaksi jual beli secara bersyarat (repo) atau
pledge oleh Penyelenggara;
e. jenis dan biaya penggunaan BI-SSSS; dan
f. prosedur dan rencana mengatasi keadaan tidak normal dan keadaan
darurat (contingency plan).
Pasal 43
Cukup jelas
Pasal 44
Cukup jelas
Pasal 45
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4809
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 10/2/PBI/2008 </reg_id>
<reg_title> BANK INDONESIA - SCRIPLESS SECURITIES SETTLEMENT SYSTEM </reg_title>
<set_date> 4 Februari 2008 </set_date>
<effective_date> 4 Februari 2008 </effective_date>
<issued_date> 4 Februari 2008 </issued_date>
<replaced_reg> '6/2/PBI/2004' </replaced_reg>
<related_reg> '23/UU/1999', '3/UU/2004', '8/UU/1995', '7/UU/1992', '24/UU/2002', '10/UU/1998' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB VIII' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 10/13/PBI/2008
TENTANG
LELANG DAN PENATAUSAHAAN SURAT BERHARGA NEGARA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. Bahwa dalam rangka penerbitan Surat Berharga Negara yang
terdiri dari Surat Utang Negara dan Surat Berharga Syariah
Negara, Pemerintah dapat menunjuk Bank Indonesia sebagai
agen lelang Surat Berharga Negara di pasar perdana;
b. Bahwa Bank Indonesia memiliki tugas sebagai agen
penatausaha dan agen pembayar Surat Berharga Syariah
Negara serta pelaksana kegiatan penatausahaan Surat Utang
Negara;
c. Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a dan huruf b, perlu untuk menyusun Peraturan
Bank Indonesia tentang Lelang dan Penatausahaan Surat
Berharga Negara.
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472)
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10
Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3790);
2. Undang …
-2-
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999
Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3843) sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4357);
3. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2002 tentang Surat Utang
Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002
Nomor 110, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4236);
4. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga
Syariah Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2008 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4852).
5. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008
Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4867)
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG LELANG DAN
PENATAUSAHAAN SURAT BERHARGA NEGARA.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam peraturan ini yang dimaksud dengan :
1. Surat Berharga Negara yang selanjutnya disingkat SBN adalah Surat Utang
Negara dan Surat Berharga Syariah Negara.
2. Surat …
-3-
2. Surat Utang Negara yang selanjutnya disingkat SUN adalah surat berharga
yang berupa surat pengakuan utang dalam mata uang rupiah yang dijamin
pembayaran bunga dan pokoknya oleh Negara Republik Indonesia, sesuai
dengan masa berlakunya.
3. Surat Berharga Syariah Negara yang selanjutnya disingkat SBSN, atau dapat
disebut Sukuk Negara, adalah surat berharga negara yang diterbitkan
berdasarkan prinsip syariah, dalam mata uang rupiah, sebagai bukti atas
bagian penyertaan terhadap aset SBSN.
4. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 dan Bank Umum Syariah
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah.
5. Pasar Perdana adalah kegiatan penawaran dan penjualan SBN untuk pertama
kali.
6. Pasar Sekunder adalah kegiatan perdagangan SBN yang telah dijual di Pasar
Perdana.
7. Peserta Lelang SBN adalah pihak-pihak yang dapat mengikuti lelang SBN
sesuai ketentuan yang berlaku.
8. Penawaran Pembelian Kompetitif (Competitive Bidding) adalah pengajuan
penawaran pembelian dengan mencantumkan volume dan tingkat imbal hasil
(yield) atau harga (price) yang diinginkan penawar.
9. Penawaran Pembelian Non-kompetitif (Non-competitive Bidding) adalah
pengajuan penawaran pembelian dengan mencantumkan volume tanpa tingkat
imbal hasil (yield) atau harga (price) yang diinginkan penawar.
10. Bank Indonesia–Scripless Securities Settlement System yang untuk selanjutnya
disebut BI-SSSS adalah sarana transaksi dengan Bank Indonesia termasuk
penatausahaannya dan penatausahaan surat berharga secara elektronik dan
terhubung …
-4-
terhubung langsung antara peserta BI-SSSS, penyelenggara BI-SSSS dan
Sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement (Sistem BI-RTGS).
11. Sub-Registry adalah Bank dan lembaga yang melakukan kegiatan kustodian
yang memenuhi persyaratan dan disetujui oleh Bank Indonesia melakukan
fungsi penatausahaan surat berharga, termasuk SBN, untuk kepentingan
nasabah.
12. Delivery Versus Payment yang untuk selanjutnya disingkat DVP adalah
setelmen transaksi SBN dengan cara setelmen surat berharga melalui BI-SSSS
dilakukan bersamaan dengan setelmen dana di Bank Indonesia melalui Sistem
BI-RTGS.
13. Free of Payment yang untuk selanjutnya disingkat FoP adalah setelmen
transaksi SBN dengan cara setelmen surat berharga dilakukan melalui
BI-SSSS, sedangkan setelmen dana dilakukan tidak secara bersamaan dengan
setelmen surat berharga atau tanpa setelmen dana.
14. Menteri adalah Menteri Keuangan Republik Indonesia.
BAB II
FUNGSI BANK INDONESIA DALAM
LELANG DAN PENATAUSAHAAN SURAT BERHARGA NEGARA
Pasal 2
Dalam rangka membantu Pemerintah untuk mengelola SBN, Bank Indonesia
melakukan hal-hal sebagai berikut :
a. memberikan masukan dalam rangka penerbitan SBN termasuk penyusunan
ketentuan dan persyaratan penerbitan SBN;
b. bertindak sebagai agen lelang dalam penerbitan SBN di Pasar Perdana; dan
c. menatausahakan SBN.
BAB III …
-5-
BAB III
BENTUK DAN JENIS SURAT BERHARGA NEGARA
Pasal 3
SBN yang ditatausahakan oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal
2 huruf c mempunyai bentuk dan jenis sebagaimana diatur dalam Undang-Undang
SUN dan Undang-Undang SBSN yang berlaku.
BAB IV
LELANG SURAT BERHARGA NEGARA DI PASAR PERDANA
Pasal 4
Bank Indonesia melaksanakan lelang SBN di Pasar Perdana berdasarkan
pemberitahuan dari Menteri.
Pasal 5
(1) Dalam melaksanakan fungsi sebagai agen lelang sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 huruf b, Bank Indonesia untuk dan atas nama Pemerintah
melakukan kegiatan antara lain sebagai berikut :
a. mengumumkan rencana lelang SBN;
b. melaksanakan lelang SBN;
c. menyampaikan hasil penawaran lelang SBN kepada Menteri; dan
d. mengumumkan keputusan hasil lelang SBN.
(2) Bank Indonesia melaksanakan lelang SBN dengan menggunakan BI-SSSS
atau sarana lain yang ditetapkan Bank Indonesia.
Pasal 6
Peserta Lelang SBN di Pasar Perdana dapat melakukan penawaran pembelian dalam
lelang SBN dengan cara Penawaran Pembelian Kompetitif (Competitive Bidding)
dan/atau …
-6-
dan/atau Penawaran Pembelian Non-kompetitif (Non-competitive Bidding) sesuai
ketentuan Menteri yang berlaku.
BAB V
PENATAUSAHAAN SURAT BERHARGA NEGARA
Pasal 7
(1) Bank Indonesia melakukan penatausahaan SBN sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 huruf c mencakup :
a.
b.
pencatatan kepemilikan, kliring dan setelmen SBN; dan
agen pembayar bunga (kupon)/imbalan dan pokok/nilai nominal SBN.
(2) Bank Indonesia melakukan penatausahaan SBN atas transaksi penerbitan SBN
di Pasar Perdana dan transaksi SBN di Pasar Sekunder.
(3) Bank Indonesia melakukan penatausahaan SBN menggunakan BI-SSSS sesuai
ketentuan Bank Indonesia yang berlaku.
Pasal 8
Dalam melaksanakan kegiatan penatausahaan SBN, Bank Indonesia dapat
menunjuk atau bekerja sama dengan pihak lain.
Pasal 9
(1) Pencatatan kepemilikan SBN dilakukan secara book entry.
(2) Catatan kepemilikan SBN di BI-SSSS merupakan bukti kepemilikan yang sah.
Pasal 10
(1) Bank Indonesia melakukan setelmen atas transaksi penerbitan SBN di Pasar
Perdana baik yang dilakukan secara lelang maupun non lelang.
(2) Bank Indonesia melakukan setelmen atas transaksi SBN di Pasar Sekunder
yang meliputi :
a. setelmen …
-7-
a. setelmen atas transaksi SBN antara pelaku pasar dengan Pemerintah yang
dilakukan secara lelang maupun non lelang; dan
b. setelmen atas transaksi SBN yang dilakukan antar pelaku pasar.
(3) Setelmen SBN atas transaksi penerbitan SBN di Pasar Perdana baik yang
dilakukan secara lelang maupun non lelang sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan setelmen transaksi SBN yang dilakukan oleh Pemerintah sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf a dilakukan sesuai jangka waktu yang telah
ditetapkan oleh Menteri.
(4) Setelmen SBN atas transaksi SBN yang dilakukan antar pelaku pasar
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dilakukan sesuai data setelmen
yang disepakati oleh pelaku pasar yang bertransaksi.
Pasal 11
(1) Setelmen transaksi SBN baik di Pasar Perdana maupun di Pasar Sekunder
dilakukan atas dasar prinsip DVP atau FoP.
(2) Setelmen transaksi SBN secara DVP dilakukan atas dasar sistem setelmen
gross to gross atau gross to net.
(3) Setelmen SBN secara FoP di Pasar Perdana dan di Pasar Sekunder dapat
dilakukan dalam rangka:
a. pemindahbukuan yang dilakukan oleh pemilik SBN dengan identitas yang
sama;
b. pengalihan kepemilikan SBN dalam rangka hibah, warisan, pelunasan
kewajiban, tukar menukar, pengalihan karena penetapan pengadilan dan
pinjam meminjam; atau
c. transaksi lainnya, sepanjang telah memperoleh persetujuan dari lembaga
yang berwenang.
Pasal 12 …
-8-
Pasal 12
Dalam rangka setelmen SBN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) dan
Pasal 10 ayat (2), Bank Indonesia berwenang untuk :
a. mendebet rekening giro rupiah di Bank Indonesia milik Bank untuk dan atas
nama diri sendiri dan Bank pembayar untuk dan atas nama pihak lain; dan
b. mendebet rekening SBN di BI-SSSS milik Pemerintah, Bank untuk dan atas
nama diri sendiri dan Sub-Registry untuk dan atas nama pihak lain.
Pasal 13
(1) Bank untuk dan atas nama diri sendiri dan Bank pembayar untuk dan atas
nama pihak lain harus menyediakan dana yang cukup dalam rekening giro
rupiah di Bank Indonesia untuk kepentingan setelmen transaksi SBN yang
dilakukan oleh peserta di Pasar Perdana dan Pasar Sekunder.
(2) Dalam hal dana dalam rekening giro rupiah sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) tidak mencukupi untuk melunasi seluruh atau sebagian kewajibannya
sampai dengan batas akhir waktu setelmen dana maka seluruh hasil lelang
SBN yang setelmennya dilakukan melalui Bank tersebut dinyatakan gagal.
(3) Bank Indonesia menyampaikan pemberitahuan secara tertulis kepada Menteri
mengenai setelmen yang gagal sebagaimana dimaksud dalam ayat (2).
Pasal 14
(1) Bank untuk dan atas nama diri sendiri dan Sub-Registry untuk dan atas nama
pihak lain harus menyediakan SBN yang cukup dalam rekening surat berharga
di Bank Indonesia untuk kepentingan setelmen transaksi SBN yang dilakukan
oleh peserta transaksi SBN di Pasar Sekunder.
(2) Dalam hal SBN dalam rekening surat berharga sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) tidak mencukupi untuk memenuhi seluruh atau sebagian
kewajibannya …
-9-
kewajibannya sampai batas akhir setelmen surat berharga, transaksi tersebut
dinyatakan gagal.
(3) Bank Indonesia menyampaikan pemberitahuan secara tertulis kepada Menteri
mengenai setelmen yang gagal sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
Pasal 15
Atas transaksi SBN yang gagal yang diberitahukan kepada Menteri sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3) dan/atau Pasal 14 ayat (3), Bank Indonesia
melakukan tindak lanjut sesuai dengan permintaan atau pemberitahuan Menteri.
Pasal 16
(1) Bank Indonesia melakukan pembayaran bunga (kupon)/imbalan dan/atau
pelunasan pokok/nilai nominal SBN pada saat jatuh waktu atas beban
Pemerintah.
(2) Atas permintaan Pemerintah, Bank Indonesia melakukan pelunasan
pokok/nilai nominal SBN sebelum tanggal jatuh waktu atas beban Pemerintah.
(3) Bank Indonesia melakukan pembayaran :
a. bunga (kupon)/imbalan;
b. pokok/nilai nominal SBN pada tanggal jatuh waktu; dan/atau
c. pokok/nilai nominal SBN sebelum tanggal jatuh waktu;
sepanjang tersedianya dana yang cukup pada rekening giro rupiah Pemerintah
di Bank Indonesia.
(4) Pembayaran bunga (kupon)/imbalan dan/atau pelunasan pokok/nilai nominal
SBN dilakukan oleh Bank Indonesia berdasarkan posisi kepemilikan SBN
yang tercatat di BI-SSSS.
(5) Dalam rangka pembayaran bunga (kupon)/imbalan dan/atau pelunasan
pokok/nilai nominal SBN, Bank Indonesia berwenang :
a. mendebet …
-10-
a. mendebet rekening giro rupiah Pemerintah di Bank Indonesia untuk
melakukan pembayaran bunga (kupon)/imbalan dan/atau pelunasan
pokok/nilai nominal SBN; dan
b. mendebet rekening surat berharga pemilik SBN di BI-SSSS terhadap SBN
yang telah dinyatakan lunas oleh Pemerintah.
BAB VI
BIAYA
Pasal 17
(1) Bank Indonesia mengenakan biaya atas:
a. pelaksanaan lelang SBN kepada Peserta Lelang SBN; dan
b. penatausahaan SBN kepada pemilik rekening SBN di Bank Indonesia.
(2) Pengenaan biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengacu pada
ketentuan BI-SSSS yang berlaku.
BAB VII
PELAPORAN PENATAUSAHAAN
SURAT BERHARGA NEGARA
Pasal 18
Bank Indonesia menyampaikan laporan kegiatan penatausahaan SBN secara berkala
kepada Menteri.
BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 19
Ketentuan pelaksanaan dari Peraturan Bank Indonesia ini diatur lebih lanjut dengan
Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 20 …
-11-
Pasal 20
(1) Dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini, Peraturan Bank Indonesia
Nomor 9/3/PBI/2007 tentang Lelang dan Penatausahaan Surat Utang Negara
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
(2) Pada saat Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku, peraturan pelaksanaan
dari Peraturan Bank Indonesia Nomor 9/3/PBI/2007 tentang Lelang dan
Penatausahaan Surat Utang Negara sepanjang belum diperbaharui dan tidak
bertentangan dengan Peraturan Bank Indonesia ini dinyatakan tetap berlaku.
Pasal 21
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank
Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 21 Agustus 2008
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 21 Agustus 2008
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA
ANDI MATTALATTA
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2008 NOMOR 123
DPM
BOEDIONO
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 10/ 13 /PBI/2008
TENTANG
LELANG DAN PENATAUSAHAAN SURAT BERHARGA NEGARA
UMUM
Dalam rangka membiayai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara,
termasuk membiayai pembangunan proyek, menutup kekurangan kas jangka pendek
akibat ketidaksesuaian antara arus kas penerimaan dan pengeluaran dari Rekening
Kas Negara dalam satu tahun anggaran dan/atau mengelola portofolio utang negara,
Pemerintah menerbitkan SBN di dalam negeri. Sehubungan dengan penerbitan SBN
tersebut, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2002 tentang Surat Utang
Negara dan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah
Negara, Pemerintah dapat menunjuk Bank Indonesia sebagai agen lelang yang
menyelenggarakan kegiatan penjualan SBN di Pasar Perdana, agen penatausaha dan
agen pembayar SBSN serta pelaksana kegiatan penatausahaan SUN yang
mencakup pencatatan kepemilikan, kliring dan setelmen, serta agen pembayar
bunga (kupon)/imbalan dan pokok/nilai nominal SBN.
Dalam rangka efisiensi dan efektifitas pelaksanaan tugas Bank Indonesia
yang terkait dengan lelang SBN di Pasar Perdana dan penatausahaan SBN, Bank
Indonesia menggunakan BI-SSSS.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas
Pasal 2 …
-2-
Pasal 2
Huruf a
Masukan ini dimaksudkan untuk mengevaluasi implikasi moneter
dari penerbitan SBN agar keselarasan antara kebijakan fiskal
termasuk manajemen utang dan kebijakan moneter dapat tercapai.
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Pasal 3
Cukup jelas
Pasal 4
Cukup Jelas
Pasal 5
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Dalam hal menggunakan sarana lain selain BI-SSSS, Bank Indonesia
akan memberitahukan sebelumnya kepada Menteri dan peserta lelang.
Pasal 6
Cukup jelas
Pasal 7
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan setelmen SBN adalah setelmen yang
terdiri dari setelmen surat berharga dan/atau setelmen dana.
Huruf b …
-3-
Huruf b
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 8
Penunjukan pihak lain dilakukan dalam rangka menjalankan fungsi sebagai
agen penatausaha SBSN berdasarkan permintaan Menteri.
Kerjasama dengan pihak lain antara lain dilakukan dalam rangka
penatausahaan SBN melalui BI-SSSS.
Pasal 9
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan book entry adalah pencatatan kepemilikan dan
perpindahan kepemilikan surat berharga tanpa warkat (scripless)
dalam suatu jurnal elektronis.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 10
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Huruf a
Setelmen transaksi SBN dengan Pemerintah mencakup
setelmen hasil lelang pembelian kembali (buyback) SBN di
Pasar Sekunder, transaksi Fasilitas Peminjaman SBN bagi
Dealer Utama dan transaksi lainnya sesuai ketentuan Menteri.
Huruf b …
-4-
Huruf b
Setelmen transaksi SBN yang dilakukan antar pelaku pasar
mencakup antara lain setelmen transaksi jual beli putus
(outright), jual beli secara bersyarat (repo dan reverse repo),
pinjam meminjam surat berharga (securities borrowing and
lending) dan pencatatan agunan (pledge).
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 11
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan setelmen gross to gross adalah setelmen SBN
dimana setelmen surat berharga dan setelmen dana dilakukan
berdasarkan transaksi per transaksi (trade by trade).
Yang dimaksud dengan setelmen gross to net adalah setelmen SBN
dimana setelmen surat berharga dilakukan secara transaksi per
transaksi (trade by trade) sedangkan setelmen dana secara netting
system.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 12
Bank pembayar ditunjuk oleh peserta transaksi SBN yang tidak memiliki
rekening di Bank Indonesia untuk melakukan setelmen dana.
Pasal 13 …
-5-
Pasal 13
Cukup jelas
Pasal 14
Cukup jelas
Pasal 15
Cukup jelas
Pasal 16
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Kecukupan dana pada rekening giro rupiah Pemerintah di Bank
Indonesia merupakan satu kesatuan dari dana yang disediakan oleh
Pemerintah untuk pembayaran bunga (kupon)/imbalan dan/atau
pelunasan pokok/nilai nominal SBN dan dana yang disediakan
Pemerintah untuk keperluan lainnya.
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 17
Ayat (1)
Huruf a
Biaya …
-6-
Biaya pelaksanaan lelang SBN adalah biaya transaksi yang
dikenakan kepada Peserta Lelang SBN yang mengikuti lelang
SBN.
Huruf b
Biaya penatausahaan SBN antara lain berupa biaya transaksi
dan biaya setelmen SBN serta biaya permohonan informasi
terkait transaksi SBN.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 18
Laporan antara lain berisi jumlah SBN yang diterbitkan, posisi kepemilikan
SBN, bunga (kupon)/imbalan dan/atau pokok/nilai nominal yang dibayarkan,
dan data transaksi perdagangan SBN.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas
Pasal 21
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4888
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 10/13/PBI/2008 </reg_id>
<reg_title> LELANG DAN PENATAUSAHAAN SURAT BERHARGA NEGARA </reg_title>
<set_date> 21 Agustus 2008 </set_date>
<effective_date> 21 Agustus 2008 </effective_date>
<issued_date> 21 Agustus 2008 </issued_date>
<replaced_reg> '9/3/PBI/2007' </replaced_reg>
<related_reg> '21/UU/2008', '19/UU/2008', '23/UU/1999', '3/UU/2004', '7/UU/1992', '24/UU/2002', '10/UU/1998' </related_reg>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 5/ 19 /PBI/2003
TENTANG
PERLAKUAN KHUSUS TERHADAP KREDIT ATAU PEMBIAYAAN
BANK PERKREDITAN RAKYAT PASCA TRAGEDI BALI
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa dengan terjadinya tragedi di Propinsi Bali, perlu
dilakukan berbagai upaya untuk mendukung pemulihan kondisi
perekonomian;
b. bahwa salah satu upaya untuk mendukung pemulihan kondisi
perekonomian adalah dengan memberikan perlakuan khusus
terhadap kredit atau pembiayaan Bank Perkreditan Rakyat;
c. bahwa sehubungan dengan itu dipandang perlu untuk
menetapkan ketentuan mengenai perlakuan khusus terhadap
kredit atau pembiayaan Bank Perkreditan Rakyat pasca tragedi
Bali dalam Peraturan Bank Indonesia;
Mengingat :
1. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3472) sebagaimana telah
diubah …
- 2 -
diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3790);
2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3843);
M E M U T U S K A N :
Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PERLAKUAN
KHUSUS TERHADAP KREDIT ATAU PEMBIAYAAN BANK
PERKREDITAN RAKYAT PASCA TRAGEDI BALI
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Bank adalah Bank Perkreditan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah
diubah dengan Undang-undang No. 10 Tahun 1998 yang melakukan kegiatan
usaha secara konvensional maupun berdasarkan Prinsip Syariah;
2. Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan
itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara
Bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi
utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.
3. Pembiayaan …
- 3 -
3. Pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah adalah penyediaan uang atau
tagihan yang dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau
kesepakatan antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang
dibiayai untuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah jangka
waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil.
Pasal 2
(1) Perlakuan khusus terhadap Kredit atau Pembiayaan berdasarkan Prinsip
Syariah Bank pasca tragedi Bali hanya diberlakukan terhadap Kredit atau
Pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah yang diselamatkan.
(2) Kredit atau Pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah yang diselamatkan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dilakukan dengan cara :
a. Penjadualan kembali (rescheduling ), yaitu perubahan syarat Kredit atau
Pembiayaan yang hanya menyangkut jadual pembayaran dan atau jangka
waktunya;
b. Persyaratan kembali (reconditioning), yaitu perubahan sebagian atau
seluruh syarat-syarat Kredit atau Pembiayaan yang tidak terbatas pada
perubahan jadual pembayaran, jangka waktu, dan atau persyaratan
lainnya sepanjang tidak menyangkut perubahan maksimum saldo Kredit
atau Pembiayaan; atau
c. Penataan kembali (restructuring), yaitu perubahan syarat-syarat Kredit
atau Pembiayaan yang menyangkut :
1) Penambahan dana bank, dan atau
2) Konversi seluruh atau sebagian tunggakan bunga menjadi Kredit
baru, yang dapat disertai dengan penjadualan kembali dan atau
persyaratan kembali.
Pasal 3 …
- 4 -
Pasal 3
(1) Penggolongan kualitas Kredit atau Pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah
yang diselamatkan dapat ditetapkan menjadi Lancar dalam jangka waktu 1
(satu) tahun.
(2) Penggolongan kualitas Kredit atau Pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah
yang diselamatkan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya berlaku
untuk Kredit atau Pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah yang memenuhi
persyaratan sebagai berikut :
a. disalurkan kepada nasabah debitur yang dibiayai oleh Bank dan
memiliki usaha produktif dengan lokasi proyek atau lokasi usaha di
Propinsi Bali;
b. memiliki kualitas Lancar sebelum terjadinya tragedi Bali; dan
c. mengalami kesulitan pembayaran pokok dan/atau bunga Kredit atau
margin/bagi hasil Pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah yang
disebabkan dampak dari tragedi Bali.
Pasal 4 …
- 5 -
Pasal 4
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan dan
mempunyai daya laku surut sejak tanggal 20 Desember 2002.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 10 September 2003
GUBERNUR BANK INDONESIA
Ttd
BURHANUDDIN ABDULLAH
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2003 NOMOR 103
DPBPR/BPS
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 5/ 19 /PBI/2003
TENTANG
PERLAKUAN KHUSUS TERHADAP KREDIT ATAU PEMBIAYAAN
BANK PERKREDITAN RAKYAT PASCA TRAGEDI BALI
UMUM
Peristiwa tragedi Bali pada tanggal 12 Oktober 2002 memberikan dampak
pada perekonomian Indonesia khususnya di Propinsi Bali. Nasabah debitur yang
terkena dampak tragedi Bali diperkirakan mengalami kesulitan dalam melunasi
kewajibannya sesuai dengan perjanjian kredit.
Sehubungan dengan itu, maka Bank Indonesia memandang perlu untuk
memberikan perlakukan khusus terhadap kredit atau pembiayaan BPR dalam
rangka memberikan kesempatan bagi nasabah debitur untuk melakukan
perbaikan usaha guna mendukung pemulihan perekonomian di Propinsi Bali.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Angka 1
Cukup jelas
Angka 2
Cukup jelas
Angka 3 …
- 2 -
Angka 3
Cukup jelas
Pasal 2
Ayat (1)
Kredit atau Pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah yang
diselamatkan adalah kredit atau Pembiayaan berdasarkan Prinsip
Syariah yang semula tergolong diragukan atau macet kemudian
diusahakan untuk diperbaiki sebagaimana dicantumkan dalam
akad penyelamatan kredit atau pembiayaan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 3
Ayat (1)
Jangka waktu 1 (satu) tahun dihitung sejak tanggal
diberlakukannya Peraturan Bank Indonesia ini.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4321
DPBPR/BPS
- 3 -
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 5/19/PBI/2003 </reg_id>
<reg_title> PERLAKUAN KHUSUS TERHADAP KREDIT ATAU PEMBIAYAAN BANK PERKREDITAN RAKYAT PASCA TRAGEDI BALI </reg_title>
<set_date> 10 September 2003 </set_date>
<effective_date> 10 September 2003 dan mempunyai daya laku surut sejak tanggal 20 Desember 2002 </effective_date>
<related_reg> '23/UU/1999', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 11/23/PBI/2009
TENTANG
BANK PEMBIAYAAN RAKYAT SYARIAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA,
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang: a. bahwa perekonomian nasional perlu memiliki sistem perbankan
syariah yang dapat melayani seluruh lapisan masyarakat termasuk
kepada pengusaha menengah, kecil dan mikro;
b. bahwa untuk meningkatkan pelayanan jasa perbankan syariah
kepada usaha menengah, kecil dan mikro secara optimal, Bank
Pembiayaan Rakyat Syariah harus sehat dan tangguh
(sustainable);
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam
huruf a dan huruf b maka diperlukan penyesuaian terhadap
ketentuan mengenai Bank Pembiayaan Rakyat Syariah dalam
suatu Peraturan Bank Indonesia.
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843)
sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 142, Tambahan
Lembaran ...
-2-
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4901) sebagaimana
telah ditetapkan dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009
tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia
menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4962);
2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008
Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4867);
3. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007
Nomor 106, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4756);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG BANK
PEMBIAYAAN RAKYAT SYARIAH.
BAB I ...
-3-
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Bank Pembiayaan Rakyat Syariah yang selanjutnya disebut
BPRS adalah Bank Pembiayaan Rakyat Syariah sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah;
2. Kantor Cabang adalah kantor BPRS yang bertanggungjawab
kepada kantor pusat BPRS yang bersangkutan dengan alamat
tempat usaha yang jelas sesuai dengan lokasi Kantor Cabang
tersebut melakukan usahanya;
3. Kantor Kas adalah kantor yang kegiatan usahanya melakukan
pelayanan kas dalam rangka membantu kantor induknya;
4. Kegiatan Kas di luar Kantor adalah kegiatan kas dalam rangka
melayani nasabah BPRS meliputi antara lain:
a. Kas Keliling yaitu kegiatan pelayanan kas secara berpindah-
pindah dengan menggunakan alat transportasi atau pada
lokasi tertentu secara tidak permanen, antara lain kas mobil,
kas terapung atau counter bank non permanen;
b. Payment Point yaitu kegiatan dalam bentuk penerimaan
pembayaran melalui kerjasama antara BPRS dengan pihak
lain pada suatu lokasi tertentu, seperti untuk penerimaan
pembayaran tagihan telepon, tagihan listrik dan/atau
penerimaan setoran dari pihak ketiga; dan
c. Anjungan Tunai Mandiri (ATM) yaitu kegiatan kas atau non
kas ...
-4-
kas yang dilakukan secara elektronis untuk memudahkan
nasabah antara lain dalam rangka menarik atau menyetor
secara tunai atau melakukan pembayaran melalui
pemindahbukuan, transfer antar bank dan/atau memperoleh
informasi mengenai saldo/mutasi rekening nasabah,
termasuk ATM yang dilakukan dengan pemanfaatan
teknologi melalui kerja sama dengan pihak lain;
5. Prinsip Syariah adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan
perbankan syariah berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh
Dewan Syariah Nasional – Majelis Ulama Indonesia;
6. Dewan Komisaris adalah Dewan Komisaris sebagaimana
dimaksud dalam Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas;
7. Direksi adalah Direksi sebagaimana dimaksud dalam Undang-
undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas;
8. Dewan Pengawas Syariah yang selanjutnya disebut DPS adalah
dewan yang bertugas memberikan nasihat dan saran kepada
Direksi serta mengawasi kegiatan BPRS agar sesuai dengan
Prinsip Syariah;
9. Pejabat Eksekutif adalah pemimpin Kantor Cabang yang
bertanggung jawab langsung kepada Direktur BPRS dan/atau
mempunyai pengaruh terhadap kebijakan dan operasional BPRS;
10. Pemegang Saham Pengendali yang selanjutnya disebut PSP
adalah badan hukum, orang perseorangan, dan/atau kelompok
usaha yang:
a. memiliki saham BPRS sebesar 25% (dua puluh lima persen)
atau ...
-5-
atau lebih dari jumlah saham yang dikeluarkan dan
memperoleh hak suara; atau
b. memiliki saham BPRS kurang dari 25% (dua puluh lima
persen) dari jumlah saham yang dikeluarkan dan mempunyai
hak suara, tetapi yang bersangkutan dapat dibuktikan telah
melakukan pengendalian BPRS baik secara langsung
maupun tidak langsung;
11. Hari adalah hari kalender.
Pasal 2
Bentuk badan hukum BPRS adalah Perseroan Terbatas.
Pasal 3
BPRS harus memiliki anggaran dasar yang selain memenuhi
persyaratan anggaran dasar sebagaimana diatur dalam ketentuan
perundang-undangan juga harus memuat ketentuan bahwa:
a.
calon anggota Dewan Komisaris, calon anggota Direksi dan
calon anggota DPS diangkat oleh rapat umum pemegang saham;
b. pengangkatan anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi dan
anggota DPS berlaku efektif setelah mendapat persetujuan Bank
Indonesia;
c.
tugas, wewenang, tanggung jawab dan hal-hal lain yang terkait
dengan persyaratan Dewan Komisaris, Direksi dan DPS harus
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku;
d.
rapat umum pemegang saham BPRS harus menetapkan
remunerasi ...
-6-
remunerasi anggota Dewan Komisaris dan Direksi, laporan
pertanggungjawaban tahunan, penunjukan dan biaya jasa
akuntan publik, dan hal-hal lainnya yang ditetapkan dalam
ketentuan Bank Indonesia; dan
e.
rapat umum pemegang saham harus dipimpin oleh Komisaris
Utama.
BAB II
PERIZINAN
Bagian Pertama
Pendirian BPRS
Pasal 4
(1) BPRS hanya dapat didirikan dan melakukan kegiatan usaha
setelah memperoleh izin Bank Indonesia.
(2) Pemberian izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan
dalam 2 (dua) tahap:
a.
persetujuan prinsip, yaitu persetujuan untuk melakukan
persiapan pendirian BPRS; dan
b. izin usaha, yaitu izin untuk melakukan kegiatan usaha BPRS
setelah persiapan sebagaimana dimaksud dalam huruf a
selesai dilakukan.
Pasal 5
Modal disetor BPRS paling kurang sebesar:
a. Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) untuk BPRS yang
didirikan ...
-7-
didirikan di wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta Raya dan
Kabupaten/Kota Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi;
b. Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) untuk BPRS yang
didirikan di wilayah ibukota propinsi di luar wilayah tersebut
pada huruf a di atas;
c. Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) untuk BPRS yang
didirikan di luar wilayah tersebut pada huruf a dan huruf b di
atas.
Pasal 6
BPRS hanya dapat didirikan dan/atau dimiliki oleh:
a. warga negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia yang
seluruh pemiliknya warga negara Indonesia;
b. pemerintah daerah; atau
c. dua pihak atau lebih sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan
huruf b.
Bagian Kedua
Persetujuan Prinsip
Pasal 7
(1) Permohonan persetujuan prinsip pendirian BPRS sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf a diajukan paling kurang
oleh salah satu calon pemilik BPRS disertai dengan antara lain:
a. akta pendirian atau rancangan akta pendirian badan hukum
Perseroan Terbatas (PT), termasuk anggaran dasar atau
rancangan ...
-8-
rancangan anggaran dasar;
b. daftar pemegang saham berikut rincian besarnya masing-
masing kepemilikan saham;
c. daftar calon anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi dan
anggota DPS disertai dengan dokumen yang akan diatur
lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia;
d. studi kelayakan mengenai potensi ekonomi dan peluang
pasar;
e. rencana bisnis (business plan); dan
f. bukti setoran modal paling kurang 30% (tiga puluh persen)
dari modal disetor minimum sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5.
(2) Calon pemilik BPRS harus memberikan penjelasan mengenai
sumber dana, rencana dan tujuan pendirian serta kemampuan
keuangan dalam rangka memelihara solvabilitas dan
pertumbuhan BPRS.
Pasal 8
(1) Persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat
(1) berlaku untuk jangka waktu 1 (satu) tahun terhitung sejak
tanggal persetujuan prinsip diberikan dan tidak dapat
diperpanjang.
(2) Pihak yang telah mendapat persetujuan prinsip sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilarang melakukan kegiatan usaha
sebelum mendapat izin usaha.
(3) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) calon ...
-9-
(1) calon pemilik BPRS belum mengajukan permohonan izin
usaha kepada Bank Indonesia, maka persetujuan prinsip yang
telah diberikan menjadi tidak berlaku.
Bagian Ketiga
Izin Usaha
Pasal 9
Permohonan untuk mendapatkan izin usaha BPRS sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf b, diajukan oleh pihak
yang telah mendapat persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7 ayat (1) disertai dengan, antara lain:
a. akta pendirian badan hukum Perseroan Terbatas (PT), yang
memuat anggaran dasar yang telah disahkan oleh instansi
berwenang;
b. daftar pemegang saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7
ayat (1) huruf b, dalam hal terjadi perubahan pemegang
saham;
c. daftar calon anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi dan
anggota DPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1)
huruf c, dalam hal terjadi perubahan calon anggota Dewan
Komisaris, Direksi dan/atau DPS; dan
d. bukti pemenuhan modal disetor minimum sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5.
Pasal 10 ...
-10-
Pasal 10
(1) BPRS yang telah mendapat izin usaha dari Bank Indonesia wajib
melaksanakan kegiatan usaha paling lambat 60 (enam puluh)
hari terhitung sejak tanggal izin usaha diberikan.
(2) Pelaksanaan kegiatan usaha BPRS sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) wajib dilaporkan oleh Direksi BPRS kepada Bank
Indonesia paling lambat 10 (sepuluh) hari terhitung sejak tanggal
pelaksanaan kegiatan usaha.
(3) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) BPRS belum melakukan kegiatan usaha, maka izin usaha
BPRS yang telah diberikan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 11
BPRS yang telah mendapat izin usaha dari Bank Indonesia wajib
mencantumkan secara jelas frase “Bank Pembiayaan Rakyat Syariah”
atau “BPR Syariah” atau “BPRS” pada penulisan namanya dan logo
iB pada kantor BPRS yang bersangkutan.
BAB III
KEPEMILIKAN DAN PERUBAHAN MODAL
Bagian Pertama
Kepemilikan
Pasal 12
Kepemilikan BPRS oleh badan hukum Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 paling tinggi sebesar modal bersih badan
hukum ...
-11-
hukum yang bersangkutan.
Pasal 13
Sumber dana yang digunakan dalam rangka kepemilikan BPRS
dilarang:
a. berasal dari pinjaman atau fasilitas pembiayaan dalam bentuk
apapun dari bank dan/atau pihak lain; dan/atau
b. berasal dari dan untuk tujuan pencucian uang (money
laundering).
Pasal 14
(1) Pihak-pihak yang dapat menjadi pemilik BPRS harus memenuhi
persyaratan integritas, yang paling kurang mencakup:
a. memiliki akhlak dan moral yang baik;
b. memiliki komitmen untuk mematuhi peraturan perbankan
syariah dan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
dan
c. memiliki komitmen yang tinggi terhadap pengembangan
BPRS yang sehat dan tangguh (sustainable).
(2) BPRS wajib memiliki PSP.
(3) Pemegang saham yang ditunjuk sebagai PSP sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), selain memenuhi persyaratan integritas
sebagaimana pada ayat (1) juga harus memenuhi persyaratan
kelayakan keuangan.
Bagian ...
-12-
Bagian Kedua
Perubahan Kepemilikan
Pasal 15
(1) Perubahan kepemilikan BPRS yang mengakibatkan perubahan
dan/atau terjadinya PSP baru, tunduk kepada tatacara perubahan
pemilik BPRS yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku mengenai penggabungan (merger),
peleburan (konsolidasi), dan pengambilalihan (akuisisi).
(2) Perubahan kepemilikan BPRS sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) sebagai akibat adanya pewarisan tidak diperlakukan sebagai
akuisisi namun tetap wajib memperoleh persetujuan dari Bank
Indonesia.
(3) Perubahan kepemilikan BPRS yang tidak mengakibatkan
perubahan dan/atau terjadinya PSP baru wajib dilaporkan oleh
Direksi BPRS kepada Bank Indonesia paling lambat 10 (sepuluh)
hari setelah perubahan.
Bagian Ketiga
Perubahan Modal Dasar
Pasal 16
Perubahan modal dasar wajib dilaporkan oleh Direksi BPRS kepada
Bank Indonesia paling lambat 10 (sepuluh) hari setelah tanggal
diterimanya persetujuan perubahan anggaran dasar dari instansi
berwenang.
Pasal 17 ...
-13-
Pasal 17
Pembelian kembali saham yang telah dikeluarkan oleh BPRS wajib
memperoleh persetujuan terlebih dahulu dari Bank Indonesia dan
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Pasal 18
BPRS wajib mengadministrasikan dengan tertib daftar pemegang
saham dan perubahannya.
BAB IV
DEWAN KOMISARIS, DIREKSI, DEWAN PENGAWAS SYARIAH
DAN PEJABAT EKSEKUTIF
Bagian Kesatu
Dewan Komisaris dan Direksi
Pasal 19
Anggota Dewan Komisaris dan anggota Direksi wajib memenuhi dan
memelihara integritas, kompetensi dan reputasi keuangan.
Pasal 20
(1) Dewan Komisaris melakukan pengawasan atas pelaksanaan
tugas dan tanggung jawab Direksi, serta memberikan nasihat
kepada Direksi.
(2) Pengawasan dan nasihat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan sedemikian rupa sehingga Direksi dapat
mengembangkan dan memitigasi risiko atas kegiatan bisnisnya.
(3) Dewan ...
-14-
(3) Dewan Komisaris wajib mendorong Direksi BPRS untuk
memenuhi prinsip kehati-hatian dan Prinsip Syariah.
Pasal 21
(1) Jumlah anggota Dewan Komisaris paling sedikit 2 (dua) orang
dan paling banyak 3 (tiga) orang.
(2) Anggota Dewan Komisaris sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
paling sedikit 1 (satu) orang wajib berdomisili di dekat tempat
kedudukan BPRS.
(3) Dewan Komisaris dipimpin oleh Presiden Komisaris atau
Komisaris Utama.
Pasal 22
Anggota Dewan Komisaris hanya dapat merangkap jabatan sebagai:
a.
b.
anggota Dewan Komisaris paling banyak pada 2 (dua) BPRS
atau Bank Perkreditan Rakyat lain; atau
anggota Dewan Komisaris, Direksi, atau Pejabat Eksekutif pada
2 (dua) lembaga/perusahaan lain bukan bank.
Pasal 23
(1) Direksi mengelola BPRS sesuai dengan kewenangan dan
tanggung jawabnya sebagaimana diatur dalam ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi perbankan
syariah.
(2) Direksi bertanggungjawab untuk melaksanakan pengelolaan
BPRS sebagai lembaga intermediasi dengan memenuhi prinsip
kehati-hatian ...
-15-
kehati-hatian dan Prinsip Syariah.
Pasal 24
(1) Jumlah anggota Direksi BPRS paling sedikit 2 (dua) orang.
(2) Direksi dipimpin oleh Presiden Direktur atau Direktur Utama.
(3) Paling sedikit 50% (lima puluh persen) dari anggota Direksi
termasuk Direktur Utama harus berpengalaman operasional
paling kurang:
a. 2 (dua) tahun sebagai pejabat di bidang pendanaan dan/atau
pembiayaan di perbankan syariah;
b. 2 (dua) tahun sebagai pejabat di bidang pendanaan dan/atau
perkreditan di perbankan konvensional dan memiliki
pengetahuan di bidang perbankan syariah; atau
c. 3 (tiga) tahun sebagai direksi atau setingkat dengan direksi di
lembaga keuangan mikro syariah.
(4) Anggota Direksi berpendidikan formal paling kurang setingkat
Diploma III atau Sarjana Muda.
(5) Anggota Direksi wajib memiliki sertifikasi kelulusan dari
lembaga sertifikasi paling lambat 2 (dua) tahun setelah tanggal
pengangkatan efektif.
(6) Direktur Utama dan anggota Direksi lainnya wajib bersikap
independen dalam menjalankan tugasnya.
(7) Direktur Utama wajib berasal dari pihak independen terhadap
PSP.
Pasal 25 ...
-16-
Pasal 25
(1) Seluruh anggota Direksi wajib berdomisili di sekitar tempat
kedudukan kantor pusat BPRS.
(2) Anggota Direksi dilarang memiliki hubungan keluarga dengan:
a. anggota Direksi lainnya dalam hubungan sebagai orang tua,
anak, mertua, besan, menantu, suami, istri, saudara kandung
atau ipar; dan/atau
b. anggota Dewan Komisaris dalam hubungan sebagai orang
tua, anak, mertua, besan, menantu, suami, istri atau saudara
kandung.
(3) Anggota Direksi dilarang merangkap jabatan sebagai anggota
Direksi, anggota Dewan Komisaris, anggota DPS atau Pejabat
Eksekutif pada lembaga keuangan, badan usaha atau lembaga
lain.
(4) Anggota Direksi dilarang memberikan kuasa umum yang
mengakibatkan pengalihan tugas, wewenang dan tanggung
jawab kepada pihak lain.
Pasal 26
(1) Penunjukkan anggota Dewan Komisaris dan/atau anggota
Direksi BPRS harus mendapat persetujuan rapat umum
pemegang saham.
(2) Pengangkatan anggota Dewan Komisaris dan/atau anggota
Direksi berlaku efektif setelah mendapat persetujuan dari Bank
Indonesia.
(3) Pemegang saham dapat mengajukan calon anggota Dewan
Komisaris ...
-17-
Komisaris dan/atau calon anggota Direksi BPRS sebelum rapat
umum pemegang saham.
(4) Calon anggota Dewan Komisaris dan/atau calon anggota Direksi
BPRS sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib diangkat
dalam rapat umum pemegang saham paling lambat 45 (empat
puluh lima) hari terhitung sejak tanggal persetujuan Bank
Indonesia diberikan.
(5) Pengangkatan anggota Dewan Komisaris dan/atau anggota
Direksi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) wajib dilaporkan
oleh BPRS kepada Bank Indonesia paling lambat 10 (sepuluh)
hari sejak tanggal rapat umum pemegang saham.
Pasal 27
(1) Rencana pemberhentian dan/atau pengunduran diri anggota
Dewan Komisaris dan/atau anggota Direksi wajib disampaikan
kepada Bank Indonesia.
(2) Pemberhentian dan/atau pengunduran diri anggota Dewan
Komisaris dan/atau anggota Direksi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) berlaku efektif setelah mendapat penegasan dari Bank
Indonesia.
Bagian ...
-18-
Bagian Kedua
Dewan Pengawas Syariah
Pasal 28
(1) BPRS wajib membentuk DPS yang berkedudukan di kantor
pusat BPRS.
(2) Anggota DPS wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. Integritas, yang paling kurang mencakup:
1. memiliki akhlak dan moral yang baik;
2. memiliki komitmen untuk mematuhi peraturan
perbankan syariah dan peraturan perundang-undangan
yang berlaku;
3. memiliki komitmen yang tinggi
pengembangan operasional BPRS yang sehat;
4.
terhadap
tidak termasuk dalam Daftar Kepatutan dan Kelayakan
(Daftar Tidak Lulus) sebagaimana diatur dalam
ketentuan mengenai uji kemampuan dan kepatutan (fit
and proper test) yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
b. Kompetensi, yang paling kurang memiliki pengetahuan dan
pengalaman di bidang syariah mu’amalah dan pengetahuan
di bidang perbankan dan/atau keuangan secara umum; dan
c. Reputasi keuangan, yang paling kurang mencakup:
1.
tidak termasuk dalam daftar kredit macet;
2.
tidak pernah dinyatakan pailit atau menjadi pemegang
saham, anggota Dewan Komisaris atau anggota Direksi
yang dinyatakan bersalah menyebabkan suatu
perseroan dinyatakan pailit, dalam waktu 5 (lima)
tahun ...
-19-
tahun terakhir sebelum dicalonkan.
Pasal 29
(1) DPS bertugas dan bertanggungjawab memberikan nasihat dan
saran kepada Direksi serta mengawasi penerapan Prinsip Syariah
dalam penghimpunan dana, pembiayaan dan kegiatan jasa BPRS
lainnya.
(2) Pelaksanaan tugas dan tanggung jawab DPS sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), meliputi antara lain:
a. mengawasi proses pengembangan produk baru BPRS;
b. meminta fatwa kepada Dewan Syariah Nasional untuk
produk baru BPRS yang belum ada fatwanya.
c. melakukan review secara berkala terhadap mekanisme
penghimpunan dana dan penyaluran dana serta pelayanan
jasa BPRS; dan
d. meminta data dan informasi terkait dengan aspek syariah
dari satuan kerja BPRS dalam rangka pelaksanan tugasnya.
(3) Pedoman pelaksanaan tugas dan tanggung jawab DPS
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) akan diatur lebih lanjut
dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 30
(1) Jumlah anggota DPS paling sedikit 2 (dua) orang dan paling
banyak 3 (tiga) orang.
(2) DPS dipimpin oleh seorang ketua yang berasal dari salah satu
anggota DPS.
(3) Anggota ...
-20-
(3) Anggota DPS dapat merangkap jabatan sebagai anggota DPS
paling banyak pada 4 (empat) lembaga keuangan syariah lain.
Pasal 31
(1) Penunjukkan anggota DPS harus mendapat persetujuan rapat
umum pemegang saham.
(2) Penunjukkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
setelah mendapat rekomendasi Dewan Syariah Nasional -
Majelis Ulama Indonesia.
(3) Pengangkatan anggota DPS berlaku efektif setelah mendapat
persetujuan dari Bank Indonesia.
Pasal 32
(1) Rencana pemberhentian dan/atau pengunduran diri anggota DPS
wajib disampaikan kepada Bank Indonesia.
(2) Pemberhentian dan/atau pengunduran diri anggota DPS
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku efektif setelah
mendapat penegasan dari Bank Indonesia.
Bagian Ketiga
Pejabat Eksekutif
Pasal 33
(1) Pengangkatan, penggantian atau pemberhentian Pejabat
Eksekutif BPRS wajib dilaporkan oleh Direksi BPRS kepada
Bank Indonesia paling lambat 10 (sepuluh) hari terhitung sejak
tanggal ...
-21-
tanggal pengangkatan, penggantian atau pemberhentian efektif.
(2) Apabila menurut penilaian dan penelitian Bank Indonesia,
Pejabat Eksekutif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
tercantum dalam Daftar Kepatutan dan Kelayakan (Daftar Tidak
Lulus), Daftar Kredit Macet atau terdapat informasi lain yang
menunjukkan tidak terpenuhinya aspek integritas dan
kompetensi, maka pengangkatan Pejabat Eksekutif tersebut
wajib dibatalkan paling lambat 30 (tiga puluh) hari setelah
tanggal surat penegasan dari Bank Indonesia.
BAB V
KEGIATAN USAHA
Pasal 34
BPRS wajib melaksanakan kegiatan usaha sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang Perbankan Syariah dengan menerapkan Prinsip
Syariah dan prinsip kehati-hatian.
BAB VI
PEMBUKAAN KANTOR BPRS
Bagian Pertama
Kantor Cabang
Pasal 35
(1) Pembukaan Kantor Cabang hanya dapat dilakukan dengan izin
Bank Indonesia.
(2) Pembukaan Kantor Cabang sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
harus ...
-22-
harus memenuhi persyaratan paling kurang:
a. berlokasi dalam 1 (satu) wilayah propinsi yang sama dengan
kantor pusatnya;
b. telah tercantum dalam rencana kerja tahunan BPRS;
c. didukung dengan teknologi sistem informasi yang memadai;
dan
d. menambah modal disetor paling kurang sebesar 75% (tujuh
puluh lima persen) dari ketentuan modal minimal BPRS
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 sesuai dengan lokasi
pembukaan Kantor Cabang.
(3) Khusus untuk BPRS yang berkantor pusat di wilayah Daerah
Khusus Ibukota Jakarta Raya dan Kabupaten/Kota Bogor,
Depok, Tangerang dan Bekasi, selain dapat membuka Kantor
Cabang di wilayah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a,
juga dapat membuka Kantor Cabang di wilayah Daerah Khusus
Ibukota Jakarta Raya dan Kabupaten/Kota Bogor, Depok,
Tangerang dan Bekasi.
Pasal 36
(1) Pelaksanaan pembukaan Kantor Cabang wajib dilakukan paling
lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal izin
diterbitkan.
(2) Pelaksanaan pembukaan Kantor Cabang sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) wajib dilaporkan oleh Direksi BPRS kepada Bank
Indonesia paling lambat 10 (sepuluh) hari setelah tanggal
pembukaan.
(3) Apabila ...
-23-
(3) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) BPRS tidak melaksanakan pembukaan Kantor Cabang, maka
izin pembukaan Kantor Cabang yang telah diberikan menjadi
tidak berlaku.
Bagian Kedua
Kantor Kas dan Kegiatan Kas di luar Kantor
Pasal 37
(1) Rencana pembukaan Kantor Kas dan Kegiatan Kas di luar
Kantor harus dicantumkan dalam rencana kerja tahunan BPRS.
(2) Pembukaan Kantor Kas dan Kegiatan Kas di luar Kantor hanya
dapat dilakukan di wilayah sekitar kantor BPRS yang menjadi
induknya.
(3) Laporan keuangan Kantor Kas dan transaksi keuangan yang
dilakukan dalam Kegiatan Kas di luar Kantor wajib digabungkan
dengan laporan keuangan kantor BPRS yang menjadi induknya
pada hari yang sama.
Pasal 38
Pelaksanaan pembukaan Kantor Kas wajib dilaporkan oleh Direksi
BPRS kepada Bank Indonesia paling lambat 10 (sepuluh) setelah
tanggal pembukaan.
Pasal 39
(1) Pembukaan Kegiatan Kas di luar Kantor wajib dilaporkan oleh
Direksi ...
-24-
Direksi BPRS kepada Bank Indonesia secara semesteran untuk
posisi akhir bulan Juni dan Desember.
(2) Laporan pembukaan Kegiatan Kas di luar Kantor sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib disampaikan paling lambat 10
(sepuluh) hari setelah akhir bulan laporan.
BAB VII
PEMINDAHAN ALAMAT KANTOR
Bagian Kesatu
Kantor Pusat dan Kantor Cabang
Pasal 40
(1) Pemindahan alamat kantor pusat dan Kantor Cabang hanya dapat
dilakukan dengan izin Bank Indonesia.
(2) Pemindahan alamat kantor pusat dan Kantor Cabang hanya dapat
dilakukan dalam wilayah Kabupaten/Kota yang sama.
(3) Pemindahan alamat kantor pusat dan Kantor Cabang harus
mempertimbangkan kepentingan nasabah.
Pasal 41
(1) Pemindahan alamat kantor pusat dan Kantor Cabang wajib
diumumkan kepada nasabah dan masyarakat paling lambat 10
(sepuluh) hari sebelum pelaksanaan pemindahan alamat kantor.
(2) Pelaksanaan pemindahan alamat kantor pusat dan Kantor
Cabang wajib dilaporkan oleh Direksi BPRS kepada Bank
Indonesia paling lambat 10 (sepuluh) hari setelah tanggal
pelaksanaan ...
-25-
pelaksanaan pemindahan alamat.
(3) Apabila dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak
tanggal izin diberikan, BPRS tidak melaksanakan pemindahan
alamat kantor, maka izin pemindahan alamat kantor pusat dan
Kantor Cabang yang telah diberikan akan ditinjau kembali.
Bagian Kedua
Kantor Kas dan Kegiatan Kas di luar Kantor
Pasal 42
(1) Pemindahan alamat Kantor Kas dan Kegiatan Kas di luar Kantor
hanya dapat dilakukan di wilayah sekitar kantor BPRS yang
menjadi induknya.
(2) Pemindahan alamat Kantor Kas dan Kegiatan Kas di luar Kantor
harus mempertimbangkan kepentingan nasabah.
Pasal 43
(1) Pemindahan alamat Kantor Kas wajib diumumkan kepada
nasabah dan masyarakat paling lambat 10 (sepuluh) hari sebelum
tanggal pelaksanaan.
(2) Pelaksanaan pemindahan alamat Kantor Kas wajib dilaporkan
oleh Direksi BPRS paling lambat 10 (sepuluh) hari setelah
tanggal pelaksanaan.
Pasal 44
(1) Pemindahan alamat Kegiatan Kas di luar Kantor wajib
dilaporkan ...
-26-
dilaporkan oleh Direksi BPRS kepada Bank Indonesia secara
semesteran untuk posisi akhir bulan Juni dan Desember.
(2) Laporan pemindahan alamat Kegiatan Kas di luar Kantor
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disampaikan paling
lambat 10 (sepuluh) hari setelah akhir bulan laporan.
BAB VIII
PENUTUPAN KANTOR
Bagian Kesatu
Kantor Cabang
Pasal 45
Penutupan Kantor Cabang hanya dapat dilakukan dengan izin Bank
Indonesia.
Pasal 46
(1) BPRS yang telah memperoleh izin penutupan Kantor Cabang
wajib untuk:
a. menyelesaikan seluruh kewajiban Kantor Cabang;
b. mengumumkan rencana penutupan Kantor Cabang kepada
nasabah dan masyarakat paling lambat 3 (tiga) hari sebelum
tanggal pelaksanaan penutupan; dan
c. menghentikan seluruh kegiatan usaha pada Kantor Cabang
dimaksud.
(2) Pelaksanaan penutupan Kantor Cabang wajib dilaporkan oleh
Direksi BPRS paling lambat 10 (sepuluh) hari setelah tanggal
pelaksanaan ...
-27-
pelaksanaan.
Bagian Kedua
Kantor Kas dan Kegiatan Kas di luar Kantor
Pasal 47
Pelaksanaan penutupan Kantor Kas wajib dilaporkan oleh Direksi
BPRS paling lambat 10 (sepuluh) hari setelah tanggal penutupan.
Pasal 48
(1) Penutupan Kegiatan Kas di luar Kantor wajib dilaporkan oleh
Direksi BPRS kepada Bank Indonesia secara semesteran untuk
posisi akhir bulan Juni dan Desember.
(2) Laporan penutupan Kegiatan Kas di luar Kantor sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib disampaikan paling lambat 10
(sepuluh) hari setelah akhir bulan laporan.
BAB IX
PERUBAHAN ANGGARAN DASAR DAN NAMA
Bagian Kesatu
Perubahan Anggaran Dasar
Pasal 49
BPRS wajib melaporkan setiap perubahan anggaran dasar BPRS
paling lambat 10 (sepuluh) hari setelah diterimanya persetujuan atau
penerimaan pemberitahuan perubahan anggaran dasar dari instansi
yang berwenang.
Bagian ...
-28-
Bagian Kedua
Perubahan Nama
Pasal 50
(1) Perubahan nama BPRS wajib dilakukan dengan memenuhi
ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
(2) BPRS yang telah memperoleh persetujuan perubahan anggaran
dasar terkait penggunaan nama baru dari instansi berwenang
wajib mengajukan permohonan mengenai penetapan penggunaan
izin usaha yang dimiliki untuk BPRS dengan nama yang baru.
(3) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diajukan oleh
Direksi BPRS paling lambat 30 (tiga puluh) hari setelah
perubahan nama mendapat persetujuan dari instansi berwenang.
Pasal 51
Pelaksanaan perubahan nama BPRS wajib diumumkan dalam surat
kabar harian lokal atau pada papan pengumuman di kantor kecamatan
setempat dan kantor BPRS paling lambat 10 (sepuluh) hari setelah
tanggal persetujuan Bank Indonesia.
BAB X
PENCABUTAN IZIN USAHA ATAS PERMINTAAN BPRS
Pasal 52
Bank Indonesia dapat mencabut izin usaha BPRS atas permintaan
BPRS.
Pasal 53 ...
-29-
Pasal 53
(1) BPRS yang telah memperoleh persetujuan pencabutan izin usaha
wajib untuk:
a. menghentikan seluruh kegiatan usaha BPRS;
b. mengumumkan kepada nasabah dan masyarakat paling
lambat 10 (sepuluh) hari sejak tanggal surat persetujuan
persiapan pencabutan izin usaha BPRS; dan
c. segera menyelesaikan seluruh hak dan kewajiban BPRS.
(2) Pelaksanaan penghentian kegiatan BPRS wajib dilaporkan oleh
Direksi BPRS paling lambat 10 (sepuluh) hari setelah tanggal
penghentian.
Pasal 54
Status badan hukum BPRS berakhir sejak tanggal pengumuman
berakhirnya badan hukum BPRS dalam Berita Negara Republik
Indonesia.
BAB XI
KANTOR BPRS TIDAK BEROPERASI
PADA HARI KERJA
Pasal 55
Penutupan sementara kantor BPRS di luar hari libur resmi wajib
memperoleh persetujuan dari Bank Indonesia.
Pasal 56 ...
-30-
Pasal 56
(1) BPRS wajib mengajukan persetujuan atas rencana untuk tidak
beroperasi pada hari kerja paling lambat 15 (lima belas) hari
sebelum tanggal tidak beroperasi.
(2) Rencana kantor BPRS untuk tidak beroperasi pada hari kerja
wajib diumumkan kepada masyarakat paling lambat 3 (tiga) hari
sebelum tanggal tidak beroperasi.
BAB XII
PENCANTUMAN STATUS DAN LOGO PADA KANTOR BPRS
Pasal 57
(1) BPRS wajib mencantumkan secara jelas nama dan jenis status
kantor pada masing-masing kantornya.
(2) BPRS wajib mencantumkan logo iB pada formulir, warkat,
produk dan kantor serta Kegiatan Kas di luar Kantor BPRS.
BAB XIII
S A N K S I
Pasal 58
(1) BPRS yang tidak memenuhi ketentuan dalam Pasal 6, Pasal 10
ayat (1), Pasal 11, Pasal 13, Pasal 14 ayat (2), Pasal 15 ayat (2),
Pasal 17, Pasal 18, Pasal 19, Pasal 20 ayat (3), Pasal 21 ayat (2),
Pasal 22, Pasal 24 ayat (5), ayat (6) dan ayat (7), Pasal 25, Pasal
26 ayat (4), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28, Pasal 32 ayat (1), Pasal
33 ayat (2), Pasal 34, Pasal 35 ayat (1), Pasal 36 ayat (1), Pasal
37 ...
-31-
37 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 39 ayat (1), Pasal 40 ayat (1) dan
ayat (2), Pasal 42 ayat (1), Pasal 44 ayat (1), Pasal 45, Pasal 46
ayat (1), Pasal 48 ayat (1), Pasal 50, Pasal 53 ayat (1), Pasal 55,
Pasal 56 ayat (1), Pasal 57, Pasal 59 ayat (3) dan ayat (4), dan
Pasal 60 dapat dikenakan sanksi administratif sesuai Pasal 58
Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah.
(2) BPRS yang tidak memenuhi ketentuan dalam Pasal 10 ayat (2),
Pasal 15 ayat (3), Pasal 16, Pasal 26 ayat (5), Pasal 33 ayat (1),
Pasal 36 ayat (2), Pasal 38, Pasal 39 ayat (2), Pasal 41 ayat (1)
dan ayat (2), Pasal 43, Pasal 44 ayat (2), Pasal 46 ayat (2), Pasal
47, Pasal 48 ayat (2), Pasal 49, Pasal 51, Pasal 53 ayat (2) dan
Pasal 56 ayat (2) dapat dikenakan sanksi administratif sesuai
Pasal 58 Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah, berupa:
a. teguran tertulis dan denda uang sebesar Rp100.000,00
(seratus ribu rupiah) per hari kerja kelambatan untuk setiap
laporan dan/atau pengumuman atau paling banyak sebesar
Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) untuk setiap laporan
dan/atau pengumuman;
b. teguran tertulis dan denda uang paling banyak sebesar
Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) apabila BPRS tidak
menyampaikan laporan dan/atau melaksanakan
pengumuman.
(3) BPRS dinyatakan tidak menyampaikan laporan dan/atau
pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b
apabila BPRS belum menyampaikan laporan dan/atau
melaksanakan ...
-32-
melaksanakan pengumuman setelah 30 (tiga puluh) hari sejak
batas akhir penyampaian laporan dan/atau melaksanakan
pengumuman.
(4) Pengenaan sanksi teguran tertulis dan denda uang karena tidak
menyampaikan laporan dan/atau melaksanakan pengumuman
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b tidak menghapus
kewajiban BPRS untuk menyampaikan laporan dan/atau
melaksanakan pengumuman.
(5) Setiap pihak yang tidak mentaati ketentuan dalam Pasal 4 ayat
(1) dan Pasal 8 ayat (2), dapat dikenakan sanksi pidana sesuai
dengan Pasal 59 Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah.
BAB XIV
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 59
(1) Persetujuan prinsip pendirian BPRS yang telah dikeluarkan oleh
Bank Indonesia sebelum berlakunya Peraturan Bank Indonesia
ini, dinyatakan tetap berlaku.
(2) Persyaratan anggota Direksi paling kurang berpendidikan formal
setingkat Diploma III atau Sarjana Muda sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 24 ayat (4), dikecualikan bagi anggota Direksi
BPRS yang telah disetujui Bank Indonesia dan diangkat sebelum
berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini.
(3) Anggota DPS yang tidak memenuhi persyaratan rangkap jabatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (3), wajib
menyesuaikan ...
-33-
menyesuaikan dengan ketentuan tersebut paling lambat 1 (satu)
tahun terhitung sejak berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini.
(4) BPRS yang telah memiliki izin usaha sebagai BPRS wajib
menyesuaikan ketentuan sesuai dengan amanat Undang-Undang
Perbankan Syariah.
Pasal 60
BPRS yang belum memenuhi persyaratan modal disetor sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5, wajib memenuhi persyaratan modal disetor
dengan ketentuan sebagai berikut:
a. paling kurang 70% (tujuh puluh persen) dari jumlah modal
disetor yang ditetapkan paling lambat pada tanggal 31 Desember
2010;
b. 100% (seratus persen) dari jumlah modal disetor yang ditetapkan
paling lambat pada tanggal 31 Desember 2012.
BAB XV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 61
Peraturan pelaksanaan tentang Bank Pembiayaan Rakyat Syariah
diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia
Pasal 62 ...
-34-
Pasal 62
Dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini, maka Peraturan
Bank Indonesia Nomor 6/17/PBI/2004 tanggal 1 Juli 2004 tentang
Bank Perkreditan Rakyat Berdasarkan Prinsip Syariah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 58, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 4392) dan Peraturan Bank Indonesia Nomor
8/25/PBI/2006 tanggal 5 Oktober 2006 tentang Perubahan Atas
Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/17/PBI/2004 tanggal 1 Juli 2004
tentang Bank Perkreditan Rakyat Berdasarkan Prinsip Syariah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 82,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 4651) dicabut dan dinyatakan
tidak berlaku.
Pasal 63
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Agar ...
-35-
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 1 Juli 2009
Pjs. GUBERNUR BANK INDONESIA,
MIRANDA S. GOELTOM
Diundangkan di :
Pada tanggal : 1 Juli 2009
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ANDI MATTALATTA
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 101
DPbS
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 11 /23/PBI/2009
TENTANG
BANK PEMBIAYAAN RAKYAT SYARIAH
I. UMUM
Dalam rangka mendukung perkembangan perekonomian nasional, maka
diperlukan lembaga perbankan yang mampu memberikan layanan secara luas
kepada masyarakat. Kebutuhan masyarakat akan adanya lembaga perbankan
syariah dirasa cukup tinggi. Untuk memenuhi tuntutan masyarakat tersebut,
maka dalam sistem perbankan nasional dimungkinkan adanya pendirian bank
syariah yang salah satu jenisnya adalah Bank Pembiayaan Rakyat Syariah
(BPRS). Keberadaan BPRS dimaksudkan untuk dapat memberikan layanan
perbankan secara cepat, mudah dan sederhana kepada masyarakat khususnya
pengusaha menengah, kecil dan mikro baik di perdesaan maupun perkotaan yang
selama ini belum terjangkau oleh layanan bank umum.
BPRS sebagai salah satu lembaga kepercayaan masyarakat yang kegiatan
usahanya berdasarkan Prinsip Syariah, dituntut agar selalu dapat mengemban
amanah dari para pemilik dana dengan cara menyalurkannya untuk usaha
produktif dalam rangka meningkatkan taraf hidup masyarakat. Dalam
menjalankan kegiatan usahanya, BPRS harus selalu memegang teguh prinsip
kehati-hatian serta mampu menerapkan Prinsip Syariah secara konsisten,
sehingga tercipta BPRS yang sehat yang mampu memberikan layanan terbaik
kepada masyarakat.
Untuk ...
-2-
Untuk menciptakan BPRS yang sehat diperlakukan kebijakan yang
komprehensif, transparan dan mengandung kepastian hukum, diantaranya
berkaitan dengan pengaturan kepemilikan dan permodalan, kepengurusan,
perluasan jaringan, serta kegiatan usaha BPRS. Dengan diberlakukannya
Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, terdapat
beberapa perubahan pengaturan yang terkait dengan kelembagaan dan kegiatan
usaha BPRS, sehingga dipandang perlu untuk melakukan penyempurnaan
terhadap ketentuan BPRS yang telah ada.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Pokok-pokok pengaturan tugas Direksi BPRS dalam anggaran dasar
antara lain:
a.
tugas dan tanggung jawab;
b. pelaporan....
-3-
b. pelaporan;
c. perlindungan dalam pelaksanaan tugas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Dalam hal Komisaris Utama berhalangan, maka Rapat Umum
Pemegang Saham dapat dipimpin oleh anggota Dewan Komisaris
lainnya.
Pasal 4
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Pemberian persetujuan prinsip pendirian BPRS diberikan oleh
Bank Indonesia berdasarkan pada antara lain:
a. penilaian terhadap komitmen calon pemilik BPRS dalam
pendirian BPRS;
b. analis terhadap studi kelayakan pendirian BPRS;
c. analisis yang mencakup antara lain tingkat kejenuhan
jumlah BPRS serta pemerataan pembangunan ekonomi
nasional; dan
d. uji kemampuan dan kepatutan (fit and proper test) terhadap
calon PSP, anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris,
dan wawancara terhadap calon anggota DPS.
Huruf b...
-4-
Huruf b
Pemberian izin usaha pendirian BPRS diberikan oleh Bank
Indonesia berdasarkan pada antara lain:
a. analis terhadap kesiapan operasional pendirian BPRS; dan
b. uji kemampuan dan kepatutan (fit and proper test) terhadap
calon PSP, anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris,
dan wawancara terhadap calon anggota DPS, apabila
terdapat penggantian.
Pasal 5
Mengingat kondisi dan perkembangan perekonomian daerah yang berbeda-
beda, maka Bank Indonesia dapat meminta calon pemilik BPRS untuk
menyediakan modal disetor di atas jumlah minimum yang dipersyaratkan.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d...
-5-
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Yang dimaksud dengan “rencana bisnis” adalah rencana kegiatan
usaha BPRS yang paling kurang memuat:
1.
rencana penghimpunan dan penyaluran dana serta strategi
pencapaiannya; dan
2. proyeksi neraca bulanan dan laporan laba rugi kumulatif
bulanan selama 12 (dua belas) bulan yang dimulai sejak
BPRS melakukan kegiatan operasional;
Huruf f
Cukup jelas.
Ayat (2)
Hal-hal yang harus dijelaskan melalui presentasi di Bank Indonesia
antara lain:
a. tujuan dan alasan pendirian BPRS;
b. target pasar penghimpunan dan penyaluran dana;
c. rencana bisnis jangka pendek, jangka menengah dan jangka
panjang;
d. sistem teknologi informasi (IT); dan
e. struktur organisasi dan personalia.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9 ...
-6-
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Contoh : PT Bank Pembiayaan Rakyat Syariah “ABC”; atau
PT BPR Syariah “ABC”; atau
PT BPRS “ABC”; atau
Bank Pembiayaan Rakyat Syariah “ABC”; atau
BPR Syariah “ABC”; atau
BPRS “ABC”.
Pasal 12
Yang dimaksud dengan “modal bersih” adalah:
a. penjumlahan dari modal disetor, cadangan umum, cadangan tujuan,
laba tahun lalu dan laba tahun berjalan dikurangi penyertaan dan
kerugian, untuk badan hukum Perseroan Terbatas/Perusahaan Daerah;
b. penjumlahan dari simpanan pokok, simpanan wajib, hibah, modal
penyertaan, dana cadangan, dan sisa hasil usaha, dikurangi penyertaan
dan kerugian, untuk badan hukum Koperasi; atau
c. perhitungan modal bersih atau yang dapat dipersamakan dengan itu
sesuai jenis badan hukum yang bersangkutan, untuk badan hukum
lainnya.
Pasal 13 ...
-7-
Pasal 13
Huruf a
Tidak termasuk dalam pengertian pihak lain adalah Pemerintah Pusat,
Pemerintah Daerah, atau lembaga yang bertugas untuk melakukan
penyelamatan BPRS sesuai peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Huruf b
Cukup jelas.
Pasal 14
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “memiliki komitmen yang tinggi” antara
lain kesediaan untuk membantu mengembangkan BPRS agar
menjadi sehat, tangguh dan berkembang (sustainable).
Ayat (2)
PSP berfungsi sebagai koordinator pemegang saham untuk
mengefektifkan komunikasi antara pemilik bank dengan stakeholder.
Dalam hal BPRS tidak memiliki PSP, maka salah satu pemegang
saham akan ditunjuk sebagai PSP oleh Bank Indonesia.
Ayat (3) ...
-8-
Ayat (3)
Persyaratan dan tata cara penilaian pemenuhan persyaratan PSP
mengikuti ketentuan Bank Indonesia mengenai uji kemampuan dan
kepatutan (fit and proper test).
Pasal 15
Ayat (1)
Perubahan kepemilikan BPRS mencakup:
a. penggantian pemegang saham;
b. penambahan pemegang saham baru; dan/atau
c. perubahan komposisi jumlah kepemilikan saham diantara para
pemegang saham lama tanpa penggantian maupun penambahan
pemegang saham baru;
dengan atau tanpa disertai dengan penambahan modal disetor.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “tidak diperlakukan sebagai pengambilalihan
(akuisisi)” adalah penggantian PSP yang tidak melalui persyaratan dan
tatacara pengambilalihan sebagaimana diatur dalam peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Ayat (3)
Perubahan kepemilikan BPRS mencakup:
a. penggantian pemegang saham;
b. penambahan pemegang saham baru; dan/atau
c. perubahan komposisi jumlah kepemilikan saham diantara para
pemegang saham lama tanpa penggantian maupun penambahan
pemegang ...
-9-
pemegang saham baru;
dengan atau tanpa disertai dengan penambahan modal disetor.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Persyaratan dan tata cara penilaian pemenuhan persyaratan anggota Dewan
Komisaris dan anggota Direksi diatur dalam ketentuan Bank Indonesia
mengenai uji kemampuan dan kepatutan (fit and proper test).
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2) ...
-10-
Ayat (2)
Kedekatan domisili komisaris dengan tempat kedudukan BPRS pada
prinsipnya dimaksudkan agar Dewan Komisaris dapat melaksanakan
tugas secara efektif sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Yang dimaksud dengan “berdomisili di dekat” adalah jarak tempuh
dapat dicapai melalui perjalanan darat dan/atau air paling lama dalam
waktu 2 (dua) jam, pada kondisi normal.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 22
Anggota Dewan Komisaris tidak dapat merangkap jabatan sebagai anggota
Direksi pada BPRS lain, Bank Perkreditan Rakyat dan/atau Bank Umum.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b ...
-11-
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “lembaga keuangan mikro syariah”
adalah antara lain koperasi simpan pinjam syariah, dan Baitul
Maal wa Tamwil (BMT).
Ayat (4)
Pendidikan setingkat Diploma III atau Sarjana Muda harus dibuktikan
dengan ijazah yang diterbitkan oleh perguruan tinggi yang
bersangkutan.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Yang dimaksud dengan “bersikap independen” adalah pengambilan
keputusan dilakukan secara profesional dan obyektif.
Ayat (7)
Penilaian independen didasarkan pada keterkaitan yang bersangkutan
pada kepengurusan, kepemilikan dan/atau hubungan keuangan dengan
seluruh kelompok usaha Pemegang Saham pengendali.
Pasal 25
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “berdomisili di dekat” adalah jarak tempuh
dapat dicapai melalui perjalanan darat dan/atau air paling lama dalam
waktu 2 (dua) jam, pada kondisi normal.
Ayat (2) ...
-12-
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Anggota Direksi BPRS yang merangkap jabatan sebagai pengurus
organisasi/lembaga non profit harus melaporkan kepada Bank
Indonesia.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 26
Ayat (1)
Dalam kondisi tertentu terhadap calon anggota Dewan Komisaris
dan/atau calon anggota Direksi BPRS dapat dilakukan proses uji
kemampuan dan kepatutan (fit & proper test) sebelum rapat umum
pemegang saham.
Ayat (2)
Ketentuan ini berlaku juga terhadap peralihan jabatan dari anggota
Direksi menjadi anggota Dewan Komisaris atau sebaliknya.
Pemberian persetujuan terhadap calon anggota Dewan Komisaris
dan/atau calon anggota Direksi diberikan oleh Bank Indonesia
berdasarkan pada antara lain:
a. penelitian atas kelengkapan dan kebenaran dokumen; dan
b. uji kemampuan dan kepatutan (fit and proper test) terhadap
calon anggota Dewan Komisaris dan/atau calon anggota Direksi.
Ayat (3)
Pengajuan calon anggota Dewan Komisaris dan/atau calon anggota
Direksi ...
-13-
Direksi BPRS sebelum rapat umum pemegang saham hanya dapat
dilakukan setelah BPRS memberikan penjelasan disertai dengan
alasan yang cukup kuat kepada Bank Indonesia.
Ayat (4)
Calon anggota Dewan Komisaris dan/atau calon anggota Direksi yang
tidak diangkat oleh rapat umum pemegang saham dalam jangka waktu
45 (empat puluh lima) hari, maka persetujuan yang telah diberikan
oleh Bank Indonesia menjadi tidak berlaku.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 27
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “pemberhentian efektif” adalah tanggal
setelah pemberhentian yang bersangkutan mendapat persetujuan dari
rapat umum pemegang saham, serah terima jabatan, atau mekanisme
lainnya sebagaimana diatur dalam anggaran dasar.
Pasal 28
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a ...
-14-
Huruf a
Angka 1
Cukup jelas.
Angka 2
Cukup jelas.
Angka 3
Yang dimaksud dengan “memiliki komitmen” antara lain
kesediaan untuk menyediakan waktu yang cukup kepada
BPRS dalam rangka melaksanakan tugasnya secara efektif.
Angka 4
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan ”syariah mu’amalah” adalah hubungan
sosial, termasuk kegiatan bisnis, yang sejalan atau didasarkan
pada prinsip Syariah.
Huruf c
Angka 1
Yang dimaksud dengan “daftar kredit macet” adalah daftar
kredit macet sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai Sistem Informasi
Debitur.
Angka 2
Cukup jelas.
Pasal 29 ...
-15-
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Persetujuan terhadap calon anggota DPS diberikan berdasarkan pada
antara lain:
a. penilaian terhadap komitmen calon anggota DPS dalam
pengawasan BPRS dan ketersediaan waktu; dan
b. wawancara terhadap calon anggota DPS.
Pasal 32
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “pemberhentian efektif” adalah tanggal
setelah pemberhentian yang bersangkutan mendapat persetujuan dari
rapat umum pemegang saham, serah terima jabatan, atau mekanisme
lainnya ...
-16-
lainnya sebagaimana diatur dalam anggaran dasar.
Pasal 33
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan ”informasi lain yang menunjukkan tidak
terpenuhinya aspek integritas” antara lain dilakukan melalui
wawancara, pengamatan dan pengujian (interview, observation and
test) pada saat pelaksanaan pemeriksaan BPRS, informasi track
record yang berasal dari hasil pengawasan Bank Indonesia atau
sumber-sumber lainnya.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Ayat (1)
Persetujuan atas permohonan pembukaan Kantor Cabang diberikan
berdasarkan pada antara lain:
a. penilaian terhadap kesiapan operasional Kantor Cabang;
b. analisis atas hasil studi kelayakan yang disampaikan oleh BPRS;
c. analisis atas kinerja keuangan BPRS, antara lain:
1. rasio...
-17-
1.
2.
rasio Non Performing Financing (NPF) gross tidak lebih
dari 15%;
tidak dalam keadaan rugi yang semakin besar; dan
3. memiliki peringkat komposit paling rendah 3 (tiga) selama
2 (dua) periode penilaian terakhir.
d. pemenuhan persyaratan modal; dan
e. tidak terdapat pelampauan dan/atau pelanggaran Batas
Maksimum Penyaluran Dana.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “teknologi sistem informasi yang
memadai” adalah teknologi sistem informasi yang
memungkinkan adanya pencatatan transaksi nasabah di Kantor
Cabang secara otomasi dan online dengan kantor lain BPRS.
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 36
Cukup jelas.
Pasal 37 ...
-18-
Pasal 37
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “wilayah sekitar” adalah antara lain dalam
wilayah Kabupaten/Kota yang sama dengan tempat kedudukan kantor
BPRS yang menjadi induknya.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
Cukup jelas.
Pasal 40
Ayat (1)
Persetujuan atas permohonan izin pemindahan alamat kantor pusat
dan Kantor Cabang diberikan berdasarkan pertimbangan antara lain:
a. alasan pemindahan kantor;
b. kesiapan operasional kantor pusat dan Kantor Cabang; dan
c. hasil analisis atas kinerja pada lokasi kantor lama dan studi
kelayakan usaha pada lokasi kantor yang baru.
Ayat (2) ...
-19-
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Faktor-faktor yang harus dipertimbangkan antara lain:
a. jarak lokasi kantor lama dengan yang baru;
b. jumlah nasabah yang telah dibiayai; dan
c. infrastruktur penunjang pada lokasi kantor yang baru
Pasal 41
Ayat (1)
Pengumuman dilakukan dalam surat kabar harian lokal atau dengan
menempelkan pengumuman di lokasi kantor yang lama.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “ditinjau kembali” adalah izin pemindahan
dibatalkan apabila BPRS tidak dapat menyampaikan alasan yang
relevan atas keterlambatan pelaksanaan pemindahan kantor atau
diperpanjang apabila penundaan disebabkan oleh hal-hal yang tidak
dapat dihindari (force majeur) oleh BPRS atau pertimbangan lain yang
dapat diterima.
Pasal 42
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “wilayah sekitar” adalah antara lain dalam
wilayah ...
-20-
wilayah Kabupaten/Kota yang sama dengan tempat kedudukan kantor
BPRS yang menjadi induknya.
Ayat (2)
Faktor-faktor yang harus dipertimbangkan antara lain:
a. jarak lokasi kantor lama dengan yang baru;
b. jumlah nasabah yang telah dibiayai; dan
c. infrastruktur penunjang pada lokasi kantor yang baru.
Pasal 43
Ayat (1)
Pengumuman dapat dilakukan antara lain dengan menempelkan
pengumuman di lokasi kantor yang lama.
Ayat (2)
Cukup jelas.
.
Pasal 44
Cukup jelas.
Pasal 45
Cukup jelas.
Pasal 46
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b ...
-21-
Huruf b
Pengumuman dilakukan dalam surat kabar harian lokal atau
dengan menempelkan pengumuman di lokasi kantor yang lama.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 47
Cukup jelas.
Pasal 48
Cukup jelas.
Pasal 49
Cukup jelas.
Pasal 50
Cukup jelas.
Pasal 51
Cukup jelas.
Pasal 52
Cukup jelas.
Pasal 53 ...
-22-
Pasal 53
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Pengumuman dilakukan dalam surat kabar harian lokal atau
dengan menempelkan pengumuman di kantor kecamatan dan
lokasi kantor BPRS yang lama.
Pengumumam pencabutan izin usaha memuat antara lain rencana
pembubaran badan hukum BPRS, rencana penyelesaian seluruh
hak dan kewajiban BPRS.
Huruf c
Termasuk dalam penyelesaian kewajiban dimaksud antara lain
penyelesaian kewajiban kepada nasabah dan kreditur lainnya,
pembayaran gaji terhutang, pembayaran biaya kantor, pajak
terhutang dan biaya-biaya lain yang relevan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 54
Pembubaran badan hukum BPRS dilakukan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 55
Cukup jelas.
Pasal 56 ...
-23-
Pasal 56
Cukup jelas.
Pasal 57
Ayat (1)
Kantor BPRS yang dimaksud meliputi kantor pusat, Kantor Cabang
dan Kantor Kas.
Pencantuman nama dan jenis kantor BPRS dapat dilakukan antara lain
melalui papan nama dan/atau pada dinding atau kaca depan kantor
BPRS agar mudah terlihat oleh nasabah.
Contoh:
1. Penulisan Kantor Cabang
PT BANK PEMBIAYAAN RAKYAT SYARIAH/ BANK
PEMBIAYAAN RAKYAT SYARIAH/ PT BPR SYARIAH/
BPR SYARIAH/ PT BPRS/BPRS/ “XXX”
Kantor Cabang “YYY”.
2. Penulisan Kantor Kas
PT BANK PEMBIAYAAN RAKYAT SYARIAH/ BANK
PEMBIAYAAN RAKYAT SYARIAH/ PT BPR SYARIAH/
BPR SYARIAH/ PT BPRS/BPRS/ “XXX”
Kantor Kas “YYY”.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 58...
-24-
Pasal 58
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Laporan dinyatakan diterima oleh Bank Indonesia apabila telah
disampaikan secara lengkap dengan memuat data, informasi dan/atau
dokumen yang dipersyaratkan sesuai jenis laporannya.
Tanggal penerimaan laporan oleh Bank Indonesia adalah tanggal:
a. stempel pos (time stamp), apabila laporan dikirimkan melalui
P.T. Pos Indonesia; atau
b. penerimaan laporan, apabila laporan disampaikan secara
langsung oleh BUK atau UUS atau dikirimkan melalui
perusahaan jasa pengiriman selain P.T. Pos Indonesia.
Huruf a
Jumlah sanksi kewajiban membayar dihitung sebagai berikut:
Jumlah kewajiban membayar =
jumlah hari kerja keterlambatan x Rp100.000,00 x jumlah
laporan/ pengumuman.
Huruf b
Jumlah sanksi kewajiban membayar dihitung sebagai berikut:
Jumlah kewajiban membayar =
Rp1.000.000,00 x jumlah laporan/ pengumuman.
BPRS yang dikenakan sanksi tidak menyampaikan
laporan/pengumuman, tidak dikenakan sanksi keterlambatan
penyampaian laporan/pengumuman.
Ayat (3) ...
-25-
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 59
Cukup jelas.
Pasal 60
Cukup jelas
Pasal 61
Cukup jelas.
Pasal 62
Cukup jelas
Pasal 63
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5027
DPbS
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 11/23/PBI/2009 </reg_id>
<reg_title> BANK PEMBIAYAAN RAKYAT SYARIAH </reg_title>
<set_date> 1 Juli 2009 </set_date>
<effective_date> 1 Juli 2009 </effective_date>
<issued_date> 1 Juli 2009 </issued_date>
<replaced_reg> '6/17/PBI/2004', '8/25/PBI/2006' </replaced_reg>
<related_reg> '21/UU/2008', '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '40/UU/2007' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB XIII' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 17/8/PBI/2015
TENTANG
PENGATURAN DAN PENGAWASAN MONETER
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa dalam upaya mencapai dan memelihara
kestabilan nilai Rupiah, Bank Indonesia bertugas
menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter;
b. bahwa dalam menetapkan dan melaksanakan
kebijakan moneter, Bank Indonesia perlu melakukan
pengaturan dan pengawasan di bidang moneter
terhadap orang perserorangan, bank, dan korporasi
nonbank;
c. bahwa pengaturan dan pengawasan moneter
diperlukan untuk mencapai dan memelihara
kestabilan moneter, memastikan efektivitas kebijakan
moneter, mencegah dan mengurangi risiko di bidang
moneter, dan memastikan kepatuhan ketentuan di
bidang moneter;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b dan huruf c, perlu
menetapkan Peraturan Bank Indonesia tentang
Pengaturan dan Pengawasan Moneter;
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara
Republik ...
- 2 -
Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah
diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-
Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4962);
2. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu
Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 67,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3844);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG
PENGATURAN DAN PENGAWASAN MONETER.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Kebijakan Moneter adalah kebijakan yang ditetapkan dan
dilaksanakan oleh Bank Indonesia untuk mencapai dan
memelihara kestabilan nilai Rupiah yang dilakukan antara lain
melalui pengendalian jumlah uang beredar dan/atau suku bunga.
2. Setiap ...
- 3 -
2. Setiap Orang adalah orang perseorangan dan korporasi termasuk
Bank dan Korporasi Non-Bank.
3. Bank adalah bank umum konvensional sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan,
termasuk kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar
negeri, dan bank umum syariah sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan syariah.
4. Korporasi Non-Bank adalah badan usaha selain Bank dan badan
lainnya.
BAB II
PENGATURAN MONETER
Pasal 2
Bank Indonesia melakukan pengaturan moneter dalam rangka:
a. mencapai dan memelihara stabilitas moneter;
b. memastikan efektivitas Kebijakan Moneter; dan
c. mencegah dan mengurangi risiko di bidang moneter.
Pasal 3
(1) Pengaturan moneter sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
mencakup antara lain:
a. suku bunga;
b. nilai tukar;
c. likuiditas;
d. lalu lintas devisa; dan
e. pasar uang dan pasar valuta asing.
(2) Pengaturan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk
ketentuan mengenai pelaporan.
Pasal ...
- 4 -
Pasal 4
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengaturan moneter sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 diatur dalam Peraturan Bank Indonesia.
Pasal 5
Setiap Orang wajib mematuhi ketentuan Bank Indonesia di bidang
moneter.
BAB III
PENGAWASAN MONETER
Pasal 6
Bank Indonesia melakukan pengawasan moneter kepada Setiap Orang
dalam rangka:
a. memastikan kepatuhan terhadap ketentuan di bidang moneter;
dan
b. mencegah dan mengurangi risiko di bidang moneter.
Pasal 7
Pengawasan moneter sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dilakukan
melalui:
a.
b.
pengawasan tidak langsung; dan
pemeriksaan.
Pasal 8
(1) Dalam rangka pelaksanaan pengawasan tidak langsung
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf a, Setiap Orang
wajib menyediakan dan menyampaikan data, informasi dan/atau
keterangan yang diperlukan oleh Bank Indonesia.
(2) Setiap ...
- 5 -
(2) Setiap Orang wajib bertanggung jawab atas kebenaran data,
informasi dan/atau keterangan yang disampaikan kepada Bank
Indonesia.
(3) Data, informasi dan/atau keterangan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) disampaikan melalui pelaporan, pertemuan
langsung, dan/atau sarana komunikasi lain yang ditetapkan Bank
Indonesia.
Pasal 9
Dalam rangka pelaksanaan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7 huruf b, Setiap Orang wajib memberikan kepada pemeriksa:
a.
b.
dokumen dan/atau data yang diminta;
c.
d.
informasi dan keterangan yang berkaitan dengan kegiatan yang
diperiksa, baik lisan maupun tertulis;
akses terhadap sistem informasi; dan/atau
hal lain yang diperlukan dalam pemeriksaan.
Pasal 10
(1) Bank Indonesia dapat menugaskan pihak lain untuk melakukan
pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b.
(2) Pihak yang ditugaskan melakukan pemeriksaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib menjaga kerahasiaan data, informasi
dan keterangan yang diperoleh dari hasil pemeriksaan.
BAB IV
TINDAK LANJUT PENGAWASAN MONETER
Pasal 11
(1) Setiap Orang wajib melaksanakan tindak lanjut atas hasil
pengawasan moneter yang dilakukan oleh Bank Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6.
(2) Bank ...
- 6 -
(2) Bank Indonesia dapat menyampaikan informasi dan/atau
rekomendasi hasil pengawasan moneter kepada otoritas lain,
dalam hal terdapat hasil pengawasan moneter yang terkait dengan
kewenangan otoritas lain.
BAB V
SANKSI
Pasal 12
(1) Setiap Orang yang melanggar ketentuan dalam Pasal 5 dan/atau
Pasal 8 dikenakan sanksi sesuai dengan Peraturan Bank
Indonesia yang terkait.
(2) Setiap Orang yang melanggar ketentuan dalam Pasal 9 dan/atau
Pasal 11 ayat (1) dikenakan sanksi administratif berupa teguran
tertulis.
(3) Setiap Orang yang dikenakan sanksi administratif berupa teguran
tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tetap wajib
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dan
Pasal 11 ayat (1).
(4) Dalam hal setelah dikenakan sanksi administratif berupa teguran
tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (2), orang perseorangan
dan Korporasi Non-Bank tetap melanggar ketentuan dalam Pasal 9
dan/atau Pasal 11 ayat (1), Bank Indonesia menyampaikan
informasi mengenai pengenaan sanksi administratif sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) kepada pihak-pihak terkait antara lain:
a.
kreditor;
b. Kementerian Negara Badan Usaha Milik Negara (BUMN),
bagi korporasi BUMN;
c. Kementerian Keuangan c.q. Direktorat Jenderal Pajak;
d. Otoritas Jasa Keuangan (OJK); dan/atau
e. Bursa Efek Indonesia (BEI), bagi korporasi publik yang
tercatat di BEI.
(5) Dalam ...
- 7 -
(5) Dalam hal setelah dikenakan sanksi teguran tertulis sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2), Bank tetap melanggar ketentuan dalam
Pasal 9 dan/atau Pasal 11 ayat (1), Bank dapat dikenakan sanksi
berupa:
a.
pembatasan dan/atau larangan keikutsertaan dalam
operasi moneter;
b.
c.
penghentian sementara sebagian atau seluruh kegiatan Alat
Pembayaran Menggunakan Kartu (APMK);
perubahan status kepesertaan dalam Sistem Bank
Indonesia Real Time Gross Settlement (RTGS) dari status
aktif menjadi ditangguhkan (suspended); dan/atau
d.
penghentian sementara dalam Sistem Kliring Nasional Bank
Indonesia;
(6) Bank Indonesia menyampaikan informasi kepada OJK mengenai
pengenaan sanksi kepada Bank.
Pasal 13
Pihak yang ditugaskan oleh Bank Indonesia untuk melakukan
pemeriksaan yang melanggar Pasal 10 ayat (2) dikenakan sanksi
administratif berupa:
a.
teguran tertulis;
b.
rekomendasi untuk dikeluarkan dari daftar profesi yang
memberikan jasa di sektor keuangan yang dikeluarkan oleh
instansi yang berwenang; dan/atau
c.
rekomendasi pencabutan izin usaha kepada instansi yang
berwenang.
BAB ...
- 8 -
BAB VI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 14
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 29 Mei 2015
GUBERNUR BANK INDONESIA,
AGUS D.W. MARTOWARDOJO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 4 Juni 2015
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2015 NOMOR 121
DKEM
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 17/8/PBI/2015
TENTANG
PENGATURAN DAN PENGAWASAN MONETER
I. UMUM
Sebagaimana yang diamanatkan dalam Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana yang
telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor
6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua
atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia menjadi Undang-Undang, kebijakan Bank Indonesia
ditujukan untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai
Rupiah. Dalam mencapai tujuannya, sebagai otoritas moneter
Bank Indonesia diberikan tugas menetapkan dan melaksanakan
kebijakan moneter.
Dalam pelaksanaan tugas tersebut, Bank Indonesia diberikan
kewenangan dalam mengatur dan mengawasi korporasi, termasuk
Bank, Korporasi Non-Bank, dan orang perseorangan. Hal ini
mengingat korporasi dan orang perseorangan berperan sangat
penting dalam menentukan perkembangan indikator moneter,
diantaranya inflasi, suku bunga, nilai tukar, dan likuiditas.
Pengaturan moneter oleh Bank Indonesia dimaksudkan
untuk mencapai dan memelihara kestabilan moneter, memastikan
efektivitas kebijakan moneter, serta mencegah dan mengurangi
risiko di bidang moneter.
Pengawasan ...
- 2 -
Pengawasan moneter oleh Bank Indonesia merupakan
konsekuensi dari tugas Bank Indonesia dalam mengatur kebijakan
moneter. Pengawasan ini tidak dimaksudkan untuk melakukan
penilaian kesehatan keuangan korporasi dan orang perseorangan,
melainkan untuk memastikan kepatuhan terhadap ketentuan yang
ditetapkan Bank Indonesia, dan mencegah serta mengurangi risiko
di bidang moneter.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Huruf a
Yang dimaksud dengan “stabilitas moneter” adalah
suatu kondisi dimana inflasi berada dalam sasarannya
dan nilai tukar bergerak sesuai dengan kondisi
fundamentalnya, serta didukung oleh kondisi lainnya
yang favorable. Kondisi yang favorable ini ditunjukkan
oleh beberapa indikator seperti neraca pembayaran
yang sehat, level suku bunga dan likuiditas yang
cukup, kondisi sistem keuangan yang stabil, kondisi
sistem pembayaran yang aman, efisien, dan lancar
serta pertumbuhan ekonomi dan kondisi fiskal yang
berkesinambungan.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Risiko di bidang moneter antara lain berupa risiko nilai
tukar, risiko likuiditas, dan risiko inflasi yang dapat
mengganggu stabilitas moneter.
Pasal ...
- 3 -
Pasal 3
Ayat (1)
Huruf a
Termasuk dalam pengaturan suku bunga
meliputi:
1. suku bunga kebijakan;
2. suku bunga instrumen operasi moneter; dan
3. suku bunga lainnya.
Huruf b
Termasuk dalam pengaturan nilai tukar antara
lain meliputi:
1. jual-beli valuta asing;
2. penempatan valuta asing di Bank Indonesia;
dan
3. monitoring transaksi valuta asing.
Huruf c
Termasuk dalam pengaturan likuiditas antara
lain meliputi:
1. likuiditas Pasar Uang Antar Bank (PUAB) dan
Pasar Uang Antar Bank Syariah (PUAS);
2. giro wajib minimum (primer dan sekunder);
3. kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip
syariah; dan
4. transaksi antar pelaku di pasar uang.
Huruf d
Termasuk dalam pengaturan lalu lintas devisa
antara lain meliputi:
1. devisa hasil ekspor;
2. utang ...
- 4 -
2. utang luar negeri;
3. eksposur risiko valuta asing;
4. remitansi;
5. pembawaan valuta asing dari dan ke luar
negeri;
6. penukaran valuta asing;
7. transaksi di dalam negeri yang menggunakan
valuta asing;
8. minimum holding period Sertifikat Bank
Indonesia; dan
9. unremunerated reserve requirement.
Huruf e
Termasuk dalam pengaturan pasar uang dan
pasar valuta asing antara lain meliputi:
1. pelaku yang dapat bertransaksi di pasar uang
dan pasar valuta asing, termasuk perizinan
Pialang Pasar Uang (PPU) dan Kegiatan Usaha
Penukaran Valuta Asing (KUPVA) nonbank;
2. instrumen yang dapat ditransaksikan di pasar
uang, termasuk karakteristik instrumen;
3. transaksi di pasar uang dan di pasar valuta
asing, termasuk mekanisme dan jenis
transaksi dan penerapan prinsip kehati-
hatian;
4. mekanisme penetapan suku bunga acuan
(Jakarta Interbank Offered Rate) dan nilai
tukar acuan (Jakarta Interbank Spot Dollar
Rate); dan
5. pengembangan infrastruktur,
termasuk
penyelesaian transaksi, penatausahaan
transaksi, dan sistem yang digunakan.
Ayat ...
- 5 -
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Pengawasan juga ditujukan untuk mendeteksi berbagai
risiko yang dapat membahayakan stabilitas moneter.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Ayat (1)
Data, informasi, dan/atau keterangan yang diperoleh,
digunakan Bank Indonesia untuk menilai, mencegah,
dan mengurangi risiko di bidang moneter.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 9
Dokumen dan/atau data yang diminta oleh pemeriksa
termasuk kebijakan, peraturan, dan/atau Standard Operating
Procedure ...
- 6 -
Procedure (SOP), dalam bentuk hardcopy, softcopy, atau
bentuk lainnya.
Akses terhadap sistem informasi antara lain mencakup
pemeriksaan terhadap aplikasi, sistem pelaporan, dan
jaringan yang terkait cakupan pemeriksaan.
Pasal 10
Ayat (1)
Pemeriksaan oleh pihak lain dilakukan untuk dan atas
nama Bank Indonesia.
Pihak lain yang ditugaskan oleh Bank Indonesia antara
lain akuntan publik dan penilai publik.
Dalam menugaskan pihak lain untuk melakukan
pemeriksaan, Bank Indonesia mengeluarkan surat
perintah kerja dan menetapkan terms of reference.
Ayat (2)
Kewajiban merahasiakan data,
informasi, dan
keterangan yang diperoleh dari pemeriksaan berlaku
untuk seluruh komisaris, direksi, manajer, tenaga ahli,
staf pengawas, dan staf pendukung lainnya yang terkait
dengan pemeriksaan.
Pasal 11
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “otoritas lain” adalah antara lain
Otoritas Jasa Keuangan dan Kementerian Keuangan c.q.
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dan Direktorat
Jenderal Pajak.
Pasal ...
- 7 -
Pasal 12
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Huruf a
Sanksi yang terkait dengan pembatasan atau
larangan keikutsertaan dalam operasi moneter
antara lain mencakup penghentian sementara
dari kegiatan Operasi Pasar Terbuka (OPT) dan
Standing Facilities (SF).
Huruf b
Contoh penghentian sementara sebagian atau
seluruh kegiatan APMK antara lain pembatasan
ekspansi penerbitan kartu kredit kepada nasabah
baru.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat ...
- 8 -
Ayat (6)
Penyampaian informasi kepada OJK dapat berupa
tembusan surat pengenaan sanksi terhadap Bank.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5703
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 17/8/PBI/2015 </reg_id>
<reg_title> PENGATURAN DAN PENGAWASAN MONETER </reg_title>
<set_date> 29 Mei 2015 </set_date>
<effective_date> 4 Juni 2015 </effective_date>
<issued_date> 4 Juni 2015 </issued_date>
<related_reg> '24/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '6/UU/2009', '23/UU/1999' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB V' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 19/10/PBI/2017
TENTANG
PENERAPAN ANTI PENCUCIAN UANG
DAN PENCEGAHAN PENDANAAN TERORISME BAGI PENYELENGGARA JASA
SISTEM PEMBAYARAN SELAIN BANK DAN PENYELENGGARA KEGIATAN
USAHA PENUKARAN VALUTA ASING BUKAN BANK
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa perkembangan teknologi dan sistem informasi yang
sangat pesat terus mendorong berbagai inovasi di bidang
jasa sistem pembayaran dan kegiatan usaha penukaran
valuta asing;
b. bahwa inovasi dimaksud mengakibatkan produk, jasa,
transaksi, dan model bisnis menjadi semakin kompleks
sehingga meningkatkan risiko pencucian uang dan/atau
pendanaan terorisme di bidang jasa sistem pembayaran
dan kegiatan usaha penukaran valuta asing;
c. bahwa peningkatan risiko yang dihadapi perlu diimbangi
dengan peningkatan kualitas dan efektivitas penerapan
anti pencucian uang dan/atau pencegahan pendanaan
terorisme dengan menggunakan pendekatan berbasis
risiko sesuai dengan prinsip umum yang berlaku secara
internasional;
- 2 -
d. bahwa perlu adanya harmonisasi dan integrasi pengaturan
mengenai penerapan anti pencucian uang dan/atau
pencegahan pendanaan terorisme dalam penyelenggaraan
kegiatan jasa sistem pembayaran dan kegiatan usaha
penukaran valuta asing;
e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a sampai dengan huruf d, perlu menetapkan
Peraturan Bank Indonesia tentang Penerapan Anti
Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme
bagi Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran Selain Bank
dan Penyelenggara Kegiatan Usaha Penukaran Valuta
Asing Bukan Bank;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah beberapa kali
diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun
2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan
Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang
Bank Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4962);
2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan
dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor
122, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5164);
3. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2011 tentang Transfer
Dana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011
Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5204);
4. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2013 tentang Pencegahan
dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor
- 3 -
50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5406);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PENERAPAN ANTI
PENCUCIAN UANG DAN PENCEGAHAN PENDANAAN
TERORISME BAGI PENYELENGGARA JASA SISTEM
PEMBAYARAN SELAIN BANK DAN PENYELENGGARA
KEGIATAN USAHA PENUKARAN VALUTA ASING BUKAN BANK.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Pencucian Uang adalah pencucian uang sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai
pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian
uang.
2. Pendanaan Terorisme adalah pendanaan terorisme
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang
mengatur mengenai pencegahan dan pemberantasan
tindak pidana pendanaan terorisme.
3. Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan
Terorisme yang selanjutnya disebut APU dan PPT adalah
upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana
Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme.
4. Penyelenggara adalah badan usaha berbadan hukum selain
bank yang menyelenggarakan kegiatan jasa sistem
pembayaran dan badan usaha berbadan hukum selain
bank yang menyelenggarakan kegiatan usaha penukaran
valuta asing.
5. Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran Selain Bank yang
selanjutnya disebut PJSP Selain Bank adalah pihak selain
bank yang telah memperoleh izin untuk menyelenggarakan
kegiatan jasa sistem pembayaran sebagaimana dimaksud
- 4 -
dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
sistem pembayaran.
6. Penyelenggara Kegiatan Usaha Penukaran Valuta Asing
Bukan Bank yang selanjutnya disebut Penyelenggara
KUPVA Bukan Bank adalah pihak yang telah memperoleh
izin untuk menyelenggarakan kegiatan usaha penukaran
valuta asing sebagaimana dimaksud dalam ketentuan
Bank Indonesia yang mengatur mengenai kegiatan usaha
penukaran valuta asing bukan bank.
7. Bank adalah bank sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang yang mengatur mengenai perbankan dan bank
syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
yang mengatur mengenai perbankan syariah.
8. Lembaga Selain Bank adalah badan usaha bukan Bank
yang berbadan hukum dan didirikan berdasarkan hukum
Indonesia.
9. Pengguna Jasa adalah pihak yang menggunakan jasa
Penyelenggara, melakukan hubungan usaha dengan
Penyelenggara, atau melakukan transaksi melalui
Penyelenggara.
10. Pemilik Manfaat (Beneficial Owner) yang selanjutnya
disebut Beneficial Owner adalah setiap orang perseorangan,
baik sendiri atau bersama-sama, secara langsung atau
tidak langsung, yang:
a. merupakan pemilik sebenarnya dari dana;
b. mengendalikan transaksi Pengguna Jasa;
c. mengendalikan korporasi atau perikatan lainnya (legal
arrangement); dan/atau
d. memberikan kuasa untuk melakukan transaksi.
11. Korporasi adalah kumpulan orang dan/atau kelompok
yang terorganisasi, baik yang merupakan badan hukum
maupun bukan badan hukum, termasuk perusahaan,
yayasan, koperasi, perkumpulan keagamaan, partai politik,
lembaga swadaya masyarakat atau organisasi non-profit,
dan organisasi kemasyarakatan.
- 5 -
12. Orang yang Populer Secara Politis (Politically Exposed
Person) yang selanjutnya disingkat PEP meliputi:
a. PEP asing yaitu orang yang diberi kewenangan untuk
melakukan fungsi penting (prominent function) oleh
negara lain;
b. PEP Domestik yaitu orang yang diberi kewenangan
untuk melakukan fungsi penting (prominent function)
oleh negara; dan
c. orang yang diberi kewenangan untuk melakukan
fungsi penting (prominent function) oleh organisasi
internasional.
13. Transfer Dana adalah transfer dana sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai
transfer dana.
14. Transaksi Keuangan Mencurigakan adalah transaksi
keuangan mencurigakan sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang yang mengatur mengenai pencegahan dan
pemberantasan tindak pidana pencucian uang dan
Undang-Undang yang mengatur mengenai pencegahan dan
pemberantasan tindak pidana pendanaan terorisme.
15. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan yang
selanjutnya disingkat PPATK adalah Pusat Pelaporan dan
Analisis Transaksi Keuangan sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai
pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian
uang.
16. Kelompok Usaha adalah grup atau sekelompok perusahaan
yang memiliki keterkaitan kepemilikan dan/atau
pengendalian dengan Penyelenggara.
17. Manajemen Senior adalah anggota Direksi dan Pejabat
Eksekutif yang dapat mengambil kebijakan/keputusan
dalam operasional Penyelenggara.
18. Direksi adalah Direksi sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang yang mengatur mengenai perseroan
terbatas.
19. Pejabat Eksekutif adalah pejabat yang bertanggung jawab
langsung kepada anggota Direksi atau mempunyai
- 6 -
pengaruh yang signifikan terhadap kebijakan dan/atau
operasional Penyelenggara.
20. Dewan Komisaris adalah dewan komisaris sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai
perseroan terbatas.
BAB II
RUANG LINGKUP
Pasal 2
(1) Ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia ini berlaku
bagi Penyelenggara berupa:
a. PJSP Selain Bank; dan
b. Penyelenggara KUPVA Bukan Bank.
(2) PJSP Selain Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi:
a. penyelenggara transfer dana;
b. penerbit alat pembayaran dengan menggunakan kartu
(APMK);
c. penerbit uang elektronik; dan
d. penyelenggara dompet elektronik.
BAB III
KEWAJIBAN PENERAPAN ANTI PENCUCIAN UANG DAN
PENCEGAHAN PENDANAAN TERORISME
Bagian Kesatu
Kewajiban dan Cakupan Program APU dan PPT
Pasal 3
Penyelenggara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 wajib
menerapkan APU dan PPT yang meliputi:
a.
b. kebijakan dan prosedur tertulis;
c. proses manajemen risiko;
tugas dan tanggung jawab Direksi dan pengawasan aktif
Dewan Komisaris;
- 7 -
d. manajemen sumber daya manusia; dan
e.
sistem pengendalian internal.
Bagian Kedua
Tugas dan Tanggung Jawab Direksi dan Pengawasan Aktif
Dewan Komisaris
Pasal 4
Tugas dan tanggung jawab Direksi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 huruf a, paling sedikit mencakup hal sebagai
berikut:
a. menetapkan kebijakan dan prosedur tertulis APU dan PPT
berdasarkan persetujuan Dewan Komisaris;
b. memastikan penerapan APU dan PPT dilaksanakan sesuai
dengan kebijakan dan prosedur tertulis yang telah
ditetapkan;
c. memastikan pengkinian kebijakan dan prosedur tertulis
APU dan PPT terhadap perubahan dan pengembangan
produk, jasa, teknologi, modus Pencucian Uang atau
Pendanaan Terorisme, serta ketentuan yang terkait dengan
APU dan PPT;
d. memastikan penyampaian laporan Transaksi Keuangan
Mencurigakan, transaksi keuangan tunai, serta transaksi
keuangan transfer dana dari dan ke luar negeri kepada
PPATK sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan;
e. memastikan bahwa seluruh pegawai telah memperoleh
pengetahuan dan/atau pelatihan mengenai penerapan APU
dan PPT; dan
f. memastikan pengkinian profil nasabah dan profil transaksi
nasabah.
- 8 -
Pasal 5
Pengawasan aktif Dewan Komisaris sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 huruf a paling sedikit mencakup hal sebagai
berikut:
a. memberikan persetujuan atas kebijakan dan prosedur
tertulis terhadap penerapan APU dan PPT; dan
b. mengawasi pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Direksi
terhadap penerapan APU dan PPT.
Bagian Ketiga
Kebijakan dan Prosedur Tertulis
Pasal 6
(1) Penyelenggara wajib memiliki, menerapkan, dan
mengembangkan kebijakan dan prosedur tertulis untuk
mengelola risiko Pencucian Uang dan Pendanaan
Terorisme.
(2) Kebijakan dan prosedur tertulis sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) paling sedikit:
a. customer due diligence (CDD);
b. pengelolaan data, informasi, dan dokumen; dan
c. pelaporan Transaksi Keuangan Mencurigakan dan
laporan lainnya.
(3) Bagi Penyelenggara yang menyelenggarakan kegiatan
Transfer Dana, selain memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) juga wajib memiliki kebijakan dan
prosedur Transfer Dana.
(4) Penyelenggara wajib memantau, mengevaluasi, dan
meningkatkan efektivitas penerapan kebijakan dan
prosedur tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(5) Penyelenggara wajib menyampaikan kebijakan dan
prosedur tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
termasuk dalam hal terdapat perubahan, kepada Bank
Indonesia.
- 9 -
Bagian Keempat
Proses Manajemen Risiko
Pasal 7
(1) Penyelenggara wajib menerapkan proses manajemen risiko
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf c, yang
meliputi identifikasi, penilaian, pengendalian, dan mitigasi
risiko.
(2) Penyelenggara melakukan identifikasi,
penilaian,
pengendalian, dan mitigasi risiko sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) terkait dengan:
a. Pengguna Jasa;
b. negara atau wilayah geografis;
c. produk atau jasa; dan
d.
jalur atau jaringan transaksi.
(3) Dalam menerapkan manajemen risiko sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), Penyelenggara wajib menggunakan
hasil identifikasi dan penilaian risiko oleh otoritas yang
berwenang serta dokumen serta informasi terkait lainnya.
(4) Terhadap hasil penerapan manajemen risiko sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), Penyelenggara wajib:
a. melakukan pengkinian secara berkala;
b. mendokumentasikan; dan
c. memiliki mekanisme penyediaan informasi yang
memadai bagi otoritas yang berwenang.
(5) Penerapan manajemen risiko sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) didasarkan pada karakteristik, skala, dan
kompleksitas kegiatan usaha Penyelenggara, serta
eksposur risiko yang relevan.
(6) Dalam hal Penyelenggara menilai risiko yang dihadapi
dalam kegiatan usahanya semakin meningkat,
Penyelenggara wajib melakukan peningkatan pengendalian
dan mitigasi risiko.
- 10 -
Bagian Kelima
Manajemen Sumber Daya Manusia
Pasal 8
Manajemen sumber daya manusia sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 huruf d, paling sedikit berupa:
a. penyaringan untuk penerimaan pegawai (pre-employee
screening);
b. pemantauan profil pegawai; dan
c. program pelatihan dan peningkatan pemahaman
(awareness) pegawai secara berkesinambungan.
Bagian Keenam
Sistem Pengendalian Internal
Pasal 9
Sistem pengendalian internal sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 huruf e paling sedikit berupa:
a. pembentukan unit kerja, penetapan fungsi, dan/atau
penunjukan anggota Direksi/Pejabat Eksekutif yang
bertanggung jawab khusus untuk penerapan APU dan PPT;
b. pemisahan wewenang dan tanggung jawab antara pihak
yang melaksanakan fungsi audit dengan unit bisnis
Penyelenggara; dan
c. pelaksanaan audit independen secara berkala untuk
menguji kepatuhan dan efektivitas penerapan APU dan
PPT.
Bagian Ketujuh
Penerapan APU dan PPT pada Kelompok Usaha
Pasal 10
(1) Penyelenggara yang merupakan Kelompok Usaha wajib
memastikan penerapan APU dan PPT secara efektif pada
perusahaan anak dan kantor cabang Penyelenggara, baik
di dalam maupun di luar negeri.
- 11 -
(2) Penerapan APU dan PPT sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) mencakup juga ketersediaan:
a. kebijakan dan prosedur tertulis mengenai pertukaran
informasi antarperusahaan induk, perusahaan anak,
dan kantor cabang;
b. kebijakan dan prosedur tertulis bagi fungsi audit
internal dan/atau unit kerja APU dan PPT untuk
memperoleh data dan informasi dari perusahaan anak
dan kantor cabang; dan
c. kebijakan dan prosedur
tertulis pengamanan
kerahasiaan data dan informasi.
Pasal 11
(1) Dalam hal negara tempat kedudukan perusahaan anak
atau kantor cabang menerapkan APU dan PPT dengan
standar yang lebih rendah dari ketentuan dalam Peraturan
Bank Indonesia ini maka ketentuan dalam Peraturan Bank
Indonesia ini wajib diterapkan.
(2) Dalam hal ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia ini
tidak dapat diterapkan sebagian atau seluruhnya oleh
perusahaan anak dan kantor cabang yang berada di luar
negeri berdasarkan aturan di negara setempat,
Penyelenggara wajib mengambil langkah terbaik untuk
penerapan APU dan PPT yang diperlukan dan
melaporkannya kepada Bank Indonesia.
Bagian Kedelapan
Penerapan APU dan PPT oleh Pihak Ketiga
Pasal 12
Dalam hal Penyelenggara melakukan kerja sama dengan pihak
ketiga, Penyelenggara wajib memastikan penerapan APU dan
PPT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 oleh pihak ketiga
tersebut.
- 12 -
BAB IV
CUSTOMER DUE DILIGENCE (CDD)
Bagian Kesatu
Kewajiban dan Prosedur Pelaksanaan CDD
Pasal 13
Penyelenggara wajib melaksanakan CDD terhadap Pengguna
Jasa untuk memastikan efektivitas penerapan APU dan PPT.
Pasal 14
Prosedur pelaksanaan CDD sebagaimana dimaksud dalam Pasal
13 meliputi kegiatan sebagai berikut:
a. melakukan identifikasi Pengguna Jasa, pihak yang
bertindak untuk dan atas nama Pengguna Jasa, dan/atau
Beneficial Owner dari transaksi Pengguna Jasa;
b. melakukan verifikasi identitas Pengguna Jasa, pihak yang
bertindak untuk dan atas nama Pengguna Jasa, dan/atau
Beneficial Owner dari transaksi Pengguna Jasa
berdasarkan data, informasi, dan/atau dokumen dari
sumber yang independen dan terpercaya;
c. melakukan pemantauan secara berkesinambungan (on
going due diligence) dan melakukan upaya pengkinian data,
informasi, dan/atau dokumen Pengguna Jasa; dan
d. memahami maksud dan tujuan hubungan usaha atau
transaksi yang dilakukannya dan sumber dana yang
dipergunakan.
Pasal 15
Kewajiban melaksanakan prosedur CDD sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 14 dilakukan oleh Penyelenggara pada
saat:
a. melakukan hubungan usaha dengan Pengguna Jasa atau
calon Pengguna Jasa;
- 13 -
b.
c.
d.
terdapat transaksi keuangan dengan mata uang rupiah
dan/atau mata uang asing yang nilainya paling sedikit
Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) atau setara;
terdapat transaksi Transfer Dana;
terdapat indikasi Transaksi Keuangan Mencurigakan yang
terkait dengan Pencucian Uang dan/atau Pendanaan
Terorisme; atau
e.
terdapat keraguan atas kebenaran informasi yang
diberikan oleh calon Pengguna Jasa, Pengguna Jasa,
penerima kuasa, dan/atau Beneficial Owner.
Bagian Kedua
Identifikasi dan Verifikasi
Pasal 16
(1)
Identifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf a
dilakukan dengan mewajibkan penyampaian data dan
informasi paling sedikit:
a. bagi Pengguna Jasa berupa orang perseorangan:
1. nama lengkap termasuk nama alias apabila ada;
2. nomor dokumen identitas;
3. alamat tempat tinggal sesuai dokumen identitas
dan alamat tempat tinggal lain apabila ada;
tempat dan tanggal lahir;
4.
5. kewarganegaraan;
6. nomor telepon;
7. pekerjaan;
8.
9.
jenis kelamin; dan
tanda tangan atau data biometrik;
b. bagi Pengguna Jasa berupa Korporasi:
1. nama korporasi;
2. bentuk badan hukum atau badan usaha;
3.
tempat dan tanggal pendirian;
4. nomor izin usaha;
5. alamat tempat kedudukan;
6.
7. nomor telepon;
jenis bidang usaha atau kegiatan;
- 14 -
8. nama pengurus;
9. nama pemegang saham; dan
10. data dan informasi identitas orang perseorangan
yang diberi kuasa bertindak untuk dan atas
nama Korporasi; dan
c. bagi Pengguna Jasa berupa perikatan lainnya (legal
arrangement):
1. nama;
2. nomor izin dari instansi berwenang apabila ada;
3. alamat kedudukan;
4. bentuk perikatan (legal arrangement); dan
5. data dan informasi identitas orang perseorangan
yang diberi kuasa bertindak untuk dan atas
nama perikatan lainnya.
(2) Untuk mengidentifikasi Pengguna Jasa sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Penyelenggara wajib meminta
Pengguna Jasa menyampaikan dokumen identitas berupa:
a. bagi Pengguna Jasa berupa orang perseorangan:
1. kartu tanda penduduk (KTP);
2. surat izin mengemudi (SIM);
3. paspor; atau
4. dokumen resmi lainnya yang dikeluarkan oleh
Instansi Pemerintah;
b. bagi Pengguna Jasa berupa Korporasi:
1. akta pendirian dan/atau anggaran dasar dan
anggaran rumah tangga Korporasi dan
perubahan terkini apabila ada;
2.
izin usaha atau izin lainnya dari otoritas yang
berwenang;
3. kartu nomor pokok wajib pajak (NPWP) bagi
Pengguna Jasa yang diwajibkan untuk memiliki
NPWP sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan; dan
4. dokumen identitas orang perseorangan yang
diberi kuasa bertindak untuk dan atas nama
Korporasi; dan
- 15 -
c. bagi Pengguna Jasa berupa perikatan lainnya (legal
arrangement):
1. bukti pendaftaran pada instansi yang berwenang;
2. akta pendirian dan/atau anggaran dasar dan
anggaran rumah tangga apabila ada; dan
3. dokumen identitas orang perseorangan dari:
a) bagi perikatan lainnya (legal arrangement)
berupa trust:
1) orang perseorangan yang diberi kuasa
bertindak untuk dan atas nama
perikatan lainnya (legal arrangement);
2) penitip harta (settlor);
3) penerima dan pengelola harta (trustee);
4) penjamin (protector) apabila ada;
5) penerima manfaat (beneficiary) atau
kelas penerima manfaat (class of
beneficiary); dan
6) orang perseorangan yang menjadi
pengendali akhir dari trust; dan
b) bagi perikatan lainnya (legal arrangement)
dalam bentuk selain trust, berupa identitas
orang perseorangan yang mempunyai posisi
yang sama atau setara dengan pihak dalam
trust sebagaimana dimaksud dalam huruf a).
Pasal 17
(1)
Identifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf a
terhadap Pengguna Jasa yang melakukan transaksi kurang
dari Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan tidak
memiliki hubungan usaha yang berkelanjutan (walk in
customer) dilakukan dengan mewajibkan penyampaian
data dan informasi paling sedikit:
a. bagi Pengguna Jasa berupa orang perseorangan:
1. nama lengkap termasuk nama alias apabila ada;
2. nomor dokumen identitas;
3. alamat tempat tinggal sesuai dokumen identitas
dan alamat tempat tinggal lain apabila ada;
- 16 -
4.
5.
tempat dan tanggal lahir; dan
tanda tangan atau data biometrik;
b. bagi Pengguna Jasa berupa Korporasi:
1. nama korporasi;
2. alamat kedudukan apabila ada; dan
3. data dan informasi identitas orang perseorangan
yang diberi kuasa bertindak untuk dan atas
nama Korporasi; dan
c. bagi Pengguna Jasa berupa perikatan lainnya (legal
arrangement):
1. nama;
2. alamat kedudukan; dan
3. data dan informasi identitas perseorangan yang
diberi kuasa bertindak untuk dan atas nama
perikatan lainnya (legal arrangement).
(2) Untuk mengidentifikasi Pengguna Jasa sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Penyelenggara wajib meminta
Pengguna Jasa menyampaikan dokumen identitas
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2).
Pasal 18
(1) Penyelenggara dapat mewajibkan Pengguna Jasa untuk
menyampaikan data, informasi, dan/atau dokumen
tambahan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16
dan Pasal 17.
(2) Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
dalam hal terdapat keraguan terhadap identitas Pengguna
Jasa.
Pasal 19
Identifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf a
terhadap Pengguna Jasa berupa lembaga negara, instansi
pemerintah, lembaga internasional, dan perwakilan negara
asing, dilakukan dengan mewajibkan penyampaian data,
informasi, dan/atau dokumen berupa nama dan alamat
kedudukan lembaga, instansi, atau perwakilan tersebut.
- 17 -
Pasal 20
Penyelenggara melakukan verifikasi terhadap identitas
Pengguna Jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 dan
Pasal 17 dengan melakukan pemeriksaan kesesuaian terhadap:
a. dokumen identitas yang diterbitkan instansi pemerintah;
b. data dan informasi kependudukan yang ditatausahakan
instansi pemerintah; dan/atau
c. data biometrik atau data elektronik sepanjang
Penyelenggara dapat memastikan kebenaran data tersebut.
Pasal 21
(1) Proses verifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20
dapat dilakukan dengan cara:
a. pertemuan langsung; atau
b. penggunaan cara lain.
(2) Penggunaan cara lain dalam melakukan verifikasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat
dilakukan sepanjang terdapat:
a. metode atau sarana teknologi yang memadai untuk
melakukan verifikasi terhadap identitas Pengguna
Jasa; dan
b. kebijakan dan prosedur pengendalian risiko yang
dilaksanakan secara efektif.
(3) Penggunaan cara lain dalam melakukan verifikasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b wajib
dilaporkan kepada Bank Indonesia.
Pasal 22
(1) Proses verifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20
harus dilakukan oleh Penyelenggara sebelum pembukaan
hubungan usaha atau sebelum pelaksanaan transaksi
dengan Pengguna Jasa.
(2) Penyelenggara dapat menyelesaikan proses verifikasi
setelah pembukaan hubungan usaha dengan Pengguna
Jasa sepanjang:
a.
risiko Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme
dapat dikelola secara efektif;
- 18 -
b. hal tersebut merupakan praktik bisnis yang wajar; dan
c. proses verifikasi dapat segera diselesaikan.
Bagian Ketiga
Identifikasi dan Verifikasi Beneficial Owner
Pasal 23
(1) Penyelenggara wajib memastikan Pengguna Jasa bertindak
untuk diri sendiri atau untuk kepentingan Beneficial
Owner.
(2) Dalam hal Pengguna Jasa bertindak untuk kepentingan
Beneficial Owner, Penyelenggara wajib melakukan
identifikasi dan verifikasi terhadap identitas Beneficial
Owner.
(3) Dalam hal Pengguna Jasa berupa Korporasi maka
Beneficial Owner ditentukan berdasarkan kepemilikan
saham mayoritas pada Korporasi.
(4) Selain melakukan identifikasi dan verifikasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), Penyelenggara wajib:
a. meneliti hubungan hukum antara Pengguna Jasa
dengan Beneficial Owner;
b. meminta pernyataan tertulis dari Pengguna Jasa
mengenai kebenaran identitas maupun sumber dana
dari Beneficial Owner; dan
c. meminta pernyataan tertulis dari Beneficial Owner
bahwa yang bersangkutan adalah pemilik sebenarnya
dari dana Pengguna Jasa.
Pasal 24
(1) Penyelenggara dapat menentukan Beneficial Owner
Korporasi dengan cara selain sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 23 ayat (3) dalam hal:
a.
terdapat keraguan bahwa orang perseorangan yang
memiliki saham mayoritas merupakan Beneficial
Owner Korporasi; atau
b.
tidak ada orang perseorangan yang diketahui memiliki
saham mayoritas.
- 19 -
(2) Dalam hal Beneficial Owner Korporasi tidak dapat
ditentukan dengan cara sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), Penyelenggara melakukan identifikasi dan verifikasi
atas identitas dari orang perseorangan yang memegang
posisi sebagai Direksi pada Korporasi atau jabatan yang
dipersamakan dengan itu.
Pasal 25
Identifikasi dan verifikasi identitas Beneficial Owner tidak
dilakukan terhadap Pengguna Jasa berupa:
a.
lembaga negara atau instansi pemerintah;
b. perusahaan yang mayoritas sahamnya dimiliki oleh negara;
atau
c. perusahaan publik atau emiten.
Bagian Keempat
Identifikasi dan Verifikasi Calon Pengguna Jasa
Pasal 26
Ketentuan mengenai identifikasi dan verifikasi Pengguna Jasa
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 sampai dengan Pasal 25
berlaku pula bagi calon Pengguna Jasa.
Bagian Kelima
Pemantauan
Pasal 27
(1) Pemantauan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf
c dilakukan terhadap Pengguna Jasa untuk memastikan
transaksi yang dilakukan sesuai dengan profil Pengguna
Jasa.
(2) Penyelenggara harus memiliki prosedur yang memadai
untuk melakukan pemantauan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1).
(3) Penyelenggara yang memiliki skala usaha dan layanan yang
kompleks wajib memiliki sistem untuk melakukan
pemantauan secara efektif.
- 20 -
Pasal 28
(1) Pengkinian data, informasi, dan/atau dokumen Pengguna
Jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf c wajib
dilakukan Penyelenggara termasuk data, informasi,
dan/atau dokumen terkait pelaksanaan CDD.
(2) Pengkinian data,
informasi, dan/atau dokumen
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan apabila
terdapat:
a. perubahan data, informasi, dan/atau dokumen
Pengguna Jasa;
b. perubahan pola transaksi, ketidaksesuaian transaksi
dengan profil Pengguna Jasa, atau peningkatan risiko
Pengguna Jasa yang signifikan; dan/atau
c. dugaan adanya Pencucian Uang dan Pendanaan
Terorisme.
Bagian Keenam
CDD Sederhana
Pasal 29
(1) Prosedur pelaksanaan CDD sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 14 dapat diterapkan secara sederhana berupa CDD
sederhana terhadap calon Pengguna Jasa, Pengguna Jasa,
atau Beneficial Owner yang termasuk kategori berisiko
rendah.
(2) Pelaksanaan CDD sederhana dilakukan dengan cara:
a. menyederhanakan permintaan data dan informasi
identitas Pengguna Jasa;
b. melakukan verifikasi identitas Pengguna Jasa setelah
pembukaan hubungan usaha dilakukan;
c. melakukan verifikasi identitas Pengguna Jasa pada
saat saldo atau jumlah transaksi Pengguna Jasa
mencapai limit tertentu;
d. mengurangi frekuensi pengkinian data Pengguna
Jasa;
- 21 -
e. melakukan pemantauan terhadap Pengguna Jasa
dengan saldo atau jumlah transaksi tertentu;
dan/atau
f. memahami maksud dan tujuan hubungan usaha
Pengguna Jasa berdasarkan analisis terhadap pola
transaksi atau jenis produk atau jasa yang secara
spesifik telah ditetapkan oleh Penyelenggara.
(3) Penyelenggara wajib memiliki kebijakan dan prosedur
untuk menentukan calon Pengguna Jasa, Pengguna Jasa,
atau Beneficial Owner termasuk kategori berisiko rendah
dengan berdasarkan faktor:
a. Pengguna Jasa;
b. negara atau area geografis;
c. produk atau jasa; dan
d.
jalur atau jaringan transaksi.
(4) Penyelenggara dapat melaksanakan CDD sederhana
apabila telah memiliki kebijakan dan prosedur
pengendalian dan mitigasi risiko yang efektif.
(5) Pelaksanaan CDD sederhana tidak berlaku dalam hal
terdapat dugaan Pencucian Uang dan Pendanaan
Terorisme.
(6) Daftar Pengguna Jasa yang mendapat perlakuan CDD
sederhana wajib ditatausahakan oleh Penyelenggara.
Pasal 30
Penyelenggara berupa penerbit uang elektronik yang
menerbitkan uang elektronik:
a. dengan nilai nominal yang dibatasi sehingga tidak
diwajibkan melakukan pencatatan data identitas pemegang
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia
yang mengatur mengenai uang elektronik; dan
b. yang tidak dapat melakukan Transfer Dana,
tidak diwajibkan melakukan proses identifikasi dan verifikasi.
- 22 -
Bagian Ketujuh
Enhanced Due Diligence (EDD)
Pasal 31
(1) Prosedur pelaksanaan CDD sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 14 wajib diterapkan secara lebih mendalam berupa
EDD terhadap calon Pengguna Jasa, Pengguna Jasa, atau
Beneficial Owner yang termasuk kategori berisiko tinggi.
(2) Calon Pengguna Jasa, Pengguna Jasa, atau Beneficial
Owner yang termasuk kategori berisiko tinggi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditentukan berdasarkan faktor:
a. Pengguna Jasa;
b. negara atau area geografis;
c. produk atau jasa; dan
d.
jalur atau jaringan transaksi.
(3) Penyelenggara wajib memiliki kebijakan dan prosedur
untuk menentukan calon Pengguna Jasa, Pengguna Jasa,
atau Beneficial Owner termasuk kategori berisiko tinggi.
(4) Pelaksanaan EDD dilakukan dengan cara:
a. memperoleh informasi tambahan tentang profil
Pengguna Jasa;
b. melakukan pengkinian data identitas secara lebih
rutin;
c. memperoleh informasi tambahan mengenai maksud
dan tujuan hubungan usaha atau transaksi;
d. memperoleh informasi tambahan mengenai sumber
dana dan sumber kekayaan; dan/atau
e. melakukan pemantauan secara lebih ketat terhadap
hubungan usaha atau transaksi, termasuk
menentukan kriteria transaksi yang perlu dianalisis
lebih lanjut.
(5) Penyelenggara wajib menunjuk Direksi atau Pejabat
Eksekutif yang bertanggung jawab dalam pelaksanaan
hubungan usaha dengan calon Pengguna Jasa, Pengguna
Jasa, atau Beneficial Owner yang termasuk kategori
berisiko tinggi.
- 23 -
(6) Tanggung jawab Direksi atau Pejabat Eksekutif
sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilaksanakan dengan:
a. memberikan persetujuan atau penolakan terhadap
calon Pengguna Jasa, Pengguna Jasa, atau Beneficial
Owner yang tergolong berisiko tinggi; dan
b. membuat keputusan untuk meneruskan atau
menghentikan hubungan usaha dengan calon
Pengguna Jasa, Pengguna Jasa, atau Beneficial Owner
yang tergolong berisiko tinggi.
(7) Daftar Pengguna Jasa yang mendapat perlakuan EDD wajib
ditatausahakan oleh Penyelenggara.
Pasal 32
Dalam hal Penyelenggara melakukan hubungan usaha dengan
Pengguna Jasa dan/atau melakukan transaksi yang berasal dari
negara berisiko tinggi (high risk countries) yang dipublikasikan
oleh Financial Action Task Force on Money Laundering (FATF)
untuk dilakukan langkah pencegahan (counter measures),
Penyelenggara wajib melakukan EDD dengan meminta
konfirmasi dan klarifikasi kepada otoritas terkait.
Pasal 33
Kewajiban melaksanakan EDD sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 32 juga berlaku dalam hal Penyelenggara melakukan
transaksi dengan Pengguna Jasa yang patut diduga merupakan
pihak yang tidak memiliki izin dari otoritas yang berwenang
untuk melakukan kegiatan usaha Transfer Dana, penukaran
valuta asing, atau kegiatan sebagai penyedia jasa keuangan
lainnya.
Pasal 34
(1) Penyelenggara wajib memiliki kebijakan dan prosedur
untuk mengenali calon Pengguna Jasa, Pengguna Jasa,
atau Beneficial Owner yang termasuk dalam kategori PEP.
(2) Dalam hal calon Pengguna Jasa, Pengguna Jasa, atau
Beneficial Owner termasuk dalam kategori PEP,
Penyelenggara wajib melaksanakan EDD.
- 24 -
(3) Pelaksanaan EDD yang wajib dilakukan terhadap PEP
paling sedikit berupa identifikasi dan verifikasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16, Pasal 17, Pasal 20,
Pasal 21, dan Pasal 23 serta:
a. melakukan langkah yang diperlukan untuk
menentukan sumber dana; dan
b. meningkatkan pemantauan termasuk menambah
kriteria pola transaksi yang perlu dianalisis lebih
lanjut.
Pasal 35
Ketentuan yang berlaku bagi PEP, sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 34 berlaku pula bagi anggota keluarga PEP atau
pihak terkait dengan PEP.
Bagian Kedelapan
Penolakan dan Penghentian Hubungan Usaha
Pasal 36
(1) Penyelenggara wajib menolak melakukan hubungan usaha,
menolak transaksi, membatalkan transaksi, dan/atau
menutup hubungan usaha, dalam hal:
a. calon Pengguna Jasa, Pengguna Jasa, dan/atau
Beneficial Owner tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 dan Pasal 17;
b. Penyelenggara mengetahui atau patut menduga
bahwa calon Pengguna Jasa, Pengguna Jasa,
dan/atau Beneficial Owner menggunakan nama fiktif
dan/atau anonim; dan/atau
c. Penyelenggara meragukan atau tidak dapat meyakini
kebenaran identitas calon Pengguna Jasa, Pengguna
Jasa dan/atau Beneficial Owner.
(2) Penyelenggara harus mendokumentasikan identitas calon
Pengguna Jasa, Pengguna Jasa, dan/atau Beneficial Owner
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Penyelenggara wajib melaporkan calon Pengguna Jasa,
Pengguna Jasa dan/atau Beneficial Owner sebagaimana
- 25 -
dimaksud pada ayat (1) dalam laporan Transaksi Keuangan
Mencurigakan.
(4) Kewenangan Penyelenggara untuk menolak, membatalkan
dan/atau menutup hubungan usaha dengan Pengguna
Jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
dicantumkan dalam perjanjian pembukaan rekening dan
diberitahukan kepada Pengguna Jasa.
Pasal 37
(1) Dalam hal Penyelenggara melakukan penutupan hubungan
usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1),
Penyelenggara wajib memberitahukan secara tertulis
kepada Pengguna Jasa mengenai penutupan hubungan
usaha tersebut.
(2) Dalam hal setelah dilakukan pemberitahuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Pengguna Jasa tidak mengambil
sisa dana yang tersimpan di Penyelenggara maka
penyelesaian terhadap sisa dana Pengguna Jasa yang
tersimpan di Penyelenggara dilakukan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 38
Dalam hal Penyelenggara menduga terdapat transaksi yang
terkait dengan Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme, dan
meyakini bahwa pelaksanaan CDD dapat mengakibatkan
pelanggaran ketentuan anti tipping-off maka Penyelenggara:
a. dapat menghentikan pelaksanaan CDD; dan
b. wajib melaporkan transaksi tersebut sebagai Transaksi
Keuangan Mencurigakan kepada PPATK.
Bagian Kesembilan
Pelaksanaan CDD oleh Pihak Ketiga
Pasal 39
(1) Penyelenggara dapat melakukan kerja sama dengan pihak
ketiga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 untuk
melaksanakan CDD.
- 26 -
(2) Penyelenggara dapat menggunakan hasil CDD yang
dilakukan oleh pihak ketiga.
(3) Pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu:
a. pihak yang mewakili Penyelenggara bertindak untuk
dan atas nama Penyelenggara;
b. Penyelenggara lain yang telah melaksanakan CDD
terhadap calon Pengguna Jasa atau Pengguna Jasa;
atau
c. Perusahaan yang berada dalam kelompok usaha yang
sama dengan Penyelenggara.
(4) Penyelenggara wajib melaporkan penggunaan hasil CDD
pihak ketiga kepada Bank Indonesia.
(5) Tanggung jawab atas penggunaan hasil CDD pihak ketiga
tetap berada pada Penyelenggara.
Pasal 40
(1) Dalam hal Penyelenggara menggunakan hasil CDD pihak
ketiga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (3)
huruf a, berlaku ketentuan sebagai berikut:
a. Penyelenggara dianggap melakukan CDD sendiri dan
merupakan bagian dari kebijakan, prosedur, dan
sistem pengendalian intern yang telah ditetapkan
Penyelenggara;
b. Penyelenggara wajib mendapatkan hasil CDD,
termasuk dokumen identitas Pengguna Jasa dan
dokumen pendukung CDD lainnya dengan segera;
c. Penyelenggara wajib memastikan kepatuhan pihak
ketiga terhadap ketentuan dalam Peraturan Bank
Indonesia ini dan/atau terhadap kebijakan dan
prosedur APU dan PPT yang ditetapkan oleh
Penyelenggara; dan
d. Penyelenggara wajib menatausahakan daftar pihak
ketiga.
(2) Dalam hal Penyelenggara akan menggunakan hasil CDD
dari Penyelenggara lain sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 39 ayat (3) huruf b atau perusahaan yang berada
- 27 -
dalam Kelompok Usaha yang sama sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 39 ayat (3) huruf c, Penyelenggara wajib:
a. memiliki hubungan kerja sama dengan pihak ketiga
dalam bentuk kesepakatan tertulis;
b. segera mendapatkan informasi hasil CDD;
c. memastikan ketersediaan salinan dokumen identitas
Pengguna Jasa dan dokumen pendukung CDD lainnya
pada saat diminta;
d. memastikan bahwa pihak ketiga diawasi oleh otoritas
yang berwenang terhadap kepatuhan atas ketentuan
APU dan PPT; dan
e. memastikan negara tempat pihak ketiga tersebut tidak
termasuk negara berisiko tinggi.
(3) Penyelenggara wajib memastikan pihak ketiga tetap
menjaga keamanan dan kerahasiaan hasil CDD.
Bagian Kesepuluh
Transfer Dana
Pasal 41
(1)
Identifikasi dan verifikasi Pengguna Jasa dalam kegiatan
Transfer Dana wajib dilakukan oleh:
a. penyelenggara pengirim asal terhadap pengirim asal
(originator); dan
b. penyelenggara penerima akhir terhadap penerima
(beneficiary).
(2) Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
berlaku bagi penyelenggara penerus.
Pasal 42
(1)
Informasi yang disampaikan oleh penyelenggara pengirim
asal kepada penyelenggara penerus atau kepada
penyelenggara penerima akhir paling sedikit mengenai:
a.
identitas pengirim asal;
b. nomor rekening pengirim asal atau nomor referensi
unik transaksi;
c. nama penerima; dan
- 28 -
d. nomor rekening penerima atau nomor referensi unik
transaksi.
(2) Untuk Transfer Dana lintas negara dengan nilai kurang dari
Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau setara,
identitas pengirim asal sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf a hanya berupa nama pengirim asal.
(3) Untuk Transfer Dana domestik,
informasi yang
disampaikan oleh penyelenggara pengirim asal kepada
penyelenggara penerus atau penyelenggara penerima akhir
dapat berupa:
a. nomor rekening pengirim asal atau nomor referensi
unik transaksi; dan
b. nomor rekening penerima atau nomor referensi unik
transaksi,
sepanjang nomor rekening atau nomor referensi unik
transaksi dimaksud dapat digunakan untuk menelusuri
identitas pengirim asal dan penerima.
(4) Dalam hal terdapat permintaan informasi dari otoritas yang
berwenang, Penyelenggara wajib menyampaikan informasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), atau ayat (3)
paling lambat 3 (tiga) hari kerja sejak permintaan diterima.
(5) Penyelenggara pengirim asal yang tidak memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai
dengan ayat (4), dilarang melaksanakan perintah Transfer
Dana dari pengirim asal.
Pasal 43
(1) Penyelenggara penerus wajib memastikan kelengkapan
informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 yang
disampaikan penyelenggara pengirim asal.
(2) Penyelenggara penerus wajib memiliki dan melaksanakan
kebijakan dan prosedur tindak lanjut, termasuk apabila
informasi yang disampaikan tidak lengkap.
(3) Penyelenggara penerus wajib meneruskan seluruh
informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada
penyelenggara penerus lainnya atau penyelenggara
penerima akhir.
- 29 -
(4) Penyelenggara penerus wajib menatausahakan seluruh
informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 44
(1) Penyelenggara penerima akhir wajib memastikan
kelengkapan informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal
42 yang disampaikan penyelenggara pengirim asal atau
penyelenggara penerus.
(2) Penyelenggara penerima akhir wajib memiliki dan
melaksanakan kebijakan dan prosedur untuk menentukan
tindak lanjut, termasuk apabila informasi yang
disampaikan tidak lengkap.
Pasal 45
Penyelenggara pengirim asal yang sekaligus bertindak sebagai
penyelenggara penerima akhir harus memperhatikan dan
menganalisis seluruh informasi tentang pengirim asal dan
penerima yang dimilikinya dalam menyusun laporan Transaksi
Keuangan Mencurigakan yang disampaikan kepada otoritas
yang berwenang.
Pasal 46
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42, Pasal 43,
dan Pasal 44 tidak berlaku terhadap:
a.
transaksi yang menggunakan kartu debit, kartu ATM, kartu
kredit, atau uang elektronik sepanjang digunakan untuk
pembayaran atas barang atau jasa; dan
b. Transfer Dana antar-Penyelenggara untuk kepentingan
Penyelenggara sendiri.
Bagian Kesebelas
Penanganan Daftar Terduga Teroris dan Organisasi Teroris
serta Daftar Pendanaan Proliferasi Senjata Pemusnah Massal
Pasal 47
(1) Penyelenggara wajib menatausahakan dan mengkinikan
daftar terduga teroris dan organisasi teroris serta daftar
- 30 -
pendanaan proliferasi senjata pemusnah massal sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur
mengenai pencegahan pendanaan terorisme dan
pendanaan proliferasi senjata pemusnah massal.
(2) Penyelenggara wajib melakukan pengecekan kesamaan
nama dan informasi lainnya dari calon Pengguna Jasa dan
Pengguna Jasa dengan daftar sebagaimana dimaksud pada
ayat (1).
(3) Dalam hal terdapat kesamaan nama dan informasi lainnya
dari calon Pengguna Jasa dan Pengguna Jasa dengan
daftar sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Penyelenggara
wajib segera melakukan pemblokiran secara serta merta,
melaporkannya sebagai laporan Transaksi Keuangan
Mencurigakan, dan melakukan tindak lanjut lainnya sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan.
BAB V
ANTI TIPPING-OFF
Pasal 48
(1) Dewan Komisaris, Direksi, pengurus, dan/atau pegawai
Penyelenggara dilarang memberitahukan kepada Pengguna
Jasa atau pihak lain manapun, baik secara langsung
maupun tidak langsung, dengan cara apapun mengenai
laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan yang sedang
disusun atau telah disampaikan kepada PPATK.
(2) Penyelenggara wajib menjaga kerahasiaan informasi dalam
pelaksanaan CDD dengan memperhatikan ketentuan anti
tipping-off sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
yang mengatur mengenai pencegahan dan pemberantasan
tindak pidana pencucian uang.
(3) Ketentuan mengenai larangan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) tidak berlaku untuk pemberian informasi
kepada Bank Indonesia.
- 31 -
BAB VI
KERJA SAMA DAN PENGEMBANGAN PRODUK ATAU
TEKNOLOGI BARU
Bagian Kesatu
Hubungan Kerja Sama
Pasal 49
(1) Penyelenggara wajib mengumpulkan informasi mengenai
pihak yang akan diajak bekerja sama dan melakukan
penilaian dampak pelaksanaan hubungan kerja sama
terhadap profil risiko Penyelenggara dalam APU dan PPT
sebelum melakukan hubungan kerja sama dengan pihak
lain.
(2) Dalam kerja sama Transfer Dana, penyelenggara pengirim
yang menyediakan jasa Transfer Dana lintas negara wajib:
a. menolak untuk melakukan kerja sama dengan shell
bank; dan
b. memastikan bahwa pihak yang melakukan kerja sama
tidak mengizinkan rekeningnya digunakan oleh shell
bank.
Bagian Kedua
Pengembangan Produk dan Teknologi Baru
Pasal 50
(1) Penyelenggara wajib melakukan identifikasi dan penilaian
risiko Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 sebelum melakukan
pengembangan produk baru dan/atau menggunakan
teknologi baru.
(2) Penyelenggara wajib melakukan pengendalian dan mitigasi
atas risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
- 32 -
BAB VII
PENATAUSAHAAN DOKUMEN
Pasal 51
(1) Penyelenggara wajib menatausahakan:
a. dokumen yang terkait dengan data Pengguna Jasa
dengan jangka waktu paling singkat 5 (lima) tahun
sejak:
1. berakhirnya hubungan usaha atau transaksi
dengan Pengguna Jasa; atau
2. ditemukan ketidaksesuaian transaksi dengan
profil risiko Pengguna Jasa; dan
b. dokumen yang terkait dengan transaksi keuangan
Pengguna Jasa dengan jangka waktu sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur
mengenai dokumen perusahaan.
(2) Dokumen yang terkait dengan data Pengguna Jasa
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a paling sedikit
berupa:
a.
identitas Pengguna Jasa termasuk dokumen
pendukungnya;
b. bukti verifikasi data Pengguna Jasa;
c. hasil pemantauan dan analisis yang telah dilakukan;
d. korespondensi dengan Pengguna Jasa; dan
e. dokumen yang terkait dengan pelaporan Transaksi
Keuangan Mencurigakan apabila ada.
(3) Penyelenggara wajib segera memberikan data, informasi,
dan/atau dokumen yang ditatausahakan apabila diminta
oleh Bank Indonesia, penegak hukum dan/atau otoritas
lain yang berwenang sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(4) Penatausahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dilakukan lebih lama jika terkait kasus tertentu dan/atau
diminta oleh Bank Indonesia, otoritas yang berwenang,
dan/atau penegak hukum sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan.
- 33 -
BAB VIII
PENGAWASAN
Pasal 52
(1) Bank Indonesia melakukan pengawasan berbasis risiko
terhadap penerapan APU dan PPT oleh Penyelenggara.
(2) Pengawasan berbasis risiko sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) merupakan suatu kegiatan pengawasan secara
berkesinambungan yang meliputi proses identifikasi,
pemantauan, dan penilaian risiko.
(3) Pengawasan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan secara langsung dan tidak langsung.
Pasal 53
Untuk pengawasan oleh Bank Indonesia, Penyelenggara wajib:
a. mengenali, menatausahakan, dan melakukan pengkinian
data mengenai Beneficial Owner Penyelenggara; dan
b. memastikan ketersediaan data mengenai Beneficial Owner
sebagaimana dimaksud pada huruf a untuk kepentingan
pengawasan Bank Indonesia.
BAB IX
PELAPORAN
Pasal 54
(1) Penyelenggara wajib menyampaikan kepada Bank
Indonesia:
a.
laporan perubahan kebijakan dan prosedur tertulis
penerapan APU dan PPT sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6 ayat (5) paling lambat 10 (sepuluh) hari
kerja sejak perubahan dilakukan;
b.
c.
laporan tahunan penerapan APU dan PPT paling
lambat pada bulan Januari tahun berikutnya;
laporan pembekuan transaksi, pemblokiran rekening,
dan/atau penolakan transaksi terkait daftar terduga
teroris dan organisasi teroris atau daftar pendanaan
- 34 -
d.
proliferasi senjata pemusnah massal, paling lambat 10
(sepuluh) hari kerja sejak pembekuan, pemblokiran,
dan/atau penolakan transaksi dilakukan; dan
laporan lainnya.
(2) Dalam hal tanggal pelaporan jatuh pada hari libur,
penyampaian laporan dilakukan pada hari kerja
berikutnya.
Pasal 55
(1) Penyelenggara wajib menyampaikan laporan Transaksi
Keuangan Mencurigakan, laporan transaksi keuangan
tunai, laporan transaksi keuangan transfer dana dari dan
ke luar negeri, dan laporan lain kepada PPATK
sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(2) Kewajiban Penyelenggara untuk melaporkan Transaksi
Keuangan Mencurigakan juga berlaku untuk transaksi
yang diduga terkait dengan kegiatan terorisme atau
pendanaan terorisme.
(3) Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dengan berpedoman pada ketentuan yang
diterbitkan oleh PPATK.
BAB X
KOORDINASI
Pasal 56
(1) Bank Indonesia dapat melakukan koordinasi dan kerja
sama dengan pihak dan otoritas lain yang berwenang, baik
di dalam maupun di luar negeri.
(2) Koordinasi dan kerja sama sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dapat dilakukan dalam bentuk:
a. pertukaran informasi;
b. perumusan ketentuan dan/atau pedoman;
c. pelaksanaan pengawasan;
d. sosialisasi;
e. pendidikan dan pelatihan;
- 35 -
f. penelitian atau riset;
g. penugasan pegawai; dan/atau
h. pengembangan sistem informasi.
(3) Bank Indonesia dapat merekomendasikan kepada otoritas
berwenang lainnya untuk melakukan pembinaan atau
mengenakan sanksi kepada Penyelenggara yang juga
berada di bawah pengawasan otoritas tersebut.
BAB XI
SANKSI
Pasal 57
(1) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 10, Pasal 11, Pasal
12, Pasal 13, Pasal 16, Pasal 17 ayat (2), Pasal 19, Pasal 21
ayat (3), Pasal 23, Pasal 27 ayat (3), Pasal 28 ayat (1), Pasal
29 ayat (3), Pasal 29 ayat (6), Pasal 31, Pasal 32, Pasal 33,
Pasal 34, Pasal 36, Pasal 37 ayat (1), Pasal 38, Pasal 39 ayat
(4), Pasal 40, Pasal 41 ayat (1), Pasal 42 ayat (4), Pasal 43,
Pasal 44, Pasal 47, Pasal 48 ayat (2), Pasal 49, Pasal 50,
Pasal 51 ayat (1), Pasal 51 ayat (3), Pasal 53, Pasal 54 ayat
(1), Pasal 55 ayat (1), Pasal 59 ayat (1), dan/atau Pasal 61,
dikenakan sanksi administratif:
a. kepada Penyelenggara berupa:
1.
teguran tertulis;
2. kewajiban membayar;
3. pembatasan kegiatan usaha;
4. penghentian sementara terhadap sebagian atau
seluruh kegiatan usaha; dan/atau
5. pencabutan izin; dan/atau
- 36 -
b. kepada anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris,
pemegang saham dan/atau Pejabat Eksekutif
Penyelenggara berupa:
1. pemberhentian sebagai anggota Direksi, anggota
Dewan Komisaris, dan/atau Pejabat Eksekutif;
dan/atau
2.
larangan untuk menjadi anggota Direksi, anggota
Dewan Komisaris, Pemegang Saham, dan/atau
Pejabat Eksekutif pada lembaga yang
menyelenggarakan jasa sistem pembayaran dan
kegiatan usaha penukaran valuta asing, yang
berada di bawah pengawasan Bank Indonesia
paling lama 5 (lima) tahun.
(2) Pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan berdasarkan tingkat pelanggaran, akibat yang
ditimbulkan dan/atau faktor lainnya yang ditetapkan oleh
Bank Indonesia.
(3) Bank Indonesia dapat mengumumkan kepada publik
mengenai pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1).
Pasal 58
Sanksi berupa pencabutan izin sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 57 ayat (1) huruf a dan/atau larangan menjadi anggota
Direksi, anggota Dewan Komisaris dan/atau pemegang saham
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (1) huruf b juga
dapat dikenakan dalam hal Penyelenggara, anggota Direksi,
anggota Dewan Komisaris, Pemegang Saham, dan/atau Pejabat
Eksekutif diputus bersalah karena terbukti melakukan tindak
pidana tertentu berdasarkan putusan pengadilan yang telah
berkekuatan hukum tetap.
- 37 -
Pasal 59
(1) Dalam hal Bank Indonesia mengenakan sanksi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (1) huruf b
dan Pasal 58 maka:
a. anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, dan/atau
pemegang saham dilarang mengambil keputusan
dan/atau melakukan kegiatan lain yang mempunyai
pengaruh terhadap kebijakan dan kondisi keuangan
Penyelenggara sejak tanggal surat pemberitahuan
dari Bank Indonesia;
b. Penyelenggara wajib menyelenggarakan rapat umum
pemegang saham untuk memberhentikan anggota
Direksi dan/atau anggota Dewan Komisaris paling
lama 20 (dua puluh) hari kerja sejak tanggal surat
pemberitahuan dari Bank Indonesia; dan
c. pemegang saham wajib mengalihkan sahamnya
paling lama 90 (sembilan puluh) hari sejak tanggal
surat pemberitahuan dari Bank Indonesia.
(2) Selama jangka waktu pengenaan sanksi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia dapat
menghentikan sementara kegiatan usaha Penyelenggara.
(3) Dalam hal setelah berakhirnya jangka waktu sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b dan huruf c Penyelenggara
tidak melakukan perubahan terhadap anggota Direksi,
anggota Dewan Komisaris, dan/atau pemegang saham,
berlaku ketentuan sebagai berikut:
a. Penyelenggara dapat dikenakan sanksi administratif;
b. Bank Indonesia tidak mengakui segala hubungan
hukum yang dilakukan anggota Direksi, anggota
Dewan Komisaris, dan/atau pemegang saham; dan
c.
segala tindakan yang dilakukan oleh anggota Direksi,
anggota Dewan Komisaris, dan/atau pemegang saham
merupakan tanggung jawab pribadi yang
bersangkutan.
- 38 -
BAB XII
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 60
Bank Indonesia dapat menetapkan pihak selain PJSP Selain
Bank dan Penyelenggara KUPVA Bukan Bank sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 untuk tunduk pada ketentuan dalam
Peraturan Bank Indonesia ini.
BAB XIII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 61
(1) Penyelenggara yang telah memperoleh izin dari Bank
Indonesia sebelum berlakunya Peraturan Bank Indonesia
ini wajib menyesuaikan kebijakan dan prosedur tertulis
penerapan APU dan PPT sesuai dengan Peraturan Bank
Indonesia ini paling lambat 6 (enam) bulan sejak Peraturan
Bank Indonesia ini diundangkan.
(2) Kebijakan dan prosedur tertulis sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) serta penyesuaiannya sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) wajib dilaporkan kepada Bank Indonesia
paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja sejak berakhirnya
jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
BAB XIV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 62
Pada saat Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku:
a. Peraturan Bank Indonesia Nomor 12/3/PBI/2010 tentang
Penerapan Program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan
Pendanaan Terorisme pada Pedagang Valuta Asing Bukan
Bank (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010
Nomor 46, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5118);
- 39 -
b. Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/3/2012 tentang
Program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan
Terorisme bagi Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran
Selain Bank (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2012 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5302);
c. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 12/10/DPM tanggal
30 Maret 2010 perihal Pedoman Standar Penerapan
Program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan
Terorisme pada Pedagang Valuta Asing Bukan Bank; dan
d. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 14/38/DASP tanggal
28 Desember 2012 perihal Pedoman Standar Penerapan
Program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan
Terorisme bagi Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran
Selain Bank,
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 63
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
- 40 -
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 6 September 2017
GUBERNUR BANK INDONESIA,
AGUS D.W. MARTOWARDOJO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 11 September 2017
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2017.NOMOR 204
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 19/10/PBI/2017
TENTANG
PENERAPAN ANTI PENCUCIAN UANG
DAN PENCEGAHAN PENDANAAN TERORISME BAGI PENYELENGGARA JASA
SISTEM PEMBAYARAN SELAIN BANK DAN PENYELENGGARA KEGIATAN
USAHA PENUKARAN VALUTA ASING BUKAN BANK
I. UMUM
Sesuai dengan Undang-Undang tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU) dan Undang-
Undang tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana
Pendanaan Terorisme (UU TPPT), Bank Indonesia merupakan salah satu
Lembaga Pengawas dan Pengatur (LPP) yang memiliki kewenangan untuk
melakukan pengawasan, pengaturan, dan mengenakan sanksi terhadap
pihak pelapor dalam penerapan ketentuan peraturan perundang-undangan
mengenai anti pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme.
Pihak pelapor yang berada di bawah kewenangan Bank Indonesia yaitu
Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran (PJSP) selain Bank berupa
penyelenggara alat pembayaran dengan menggunakan kartu,
penyelenggara uang elektronik dan/atau dompet elektronik, dan
penyelenggara transfer dana. Selain PJSP selain Bank, pihak pelapor yang
juga berada di bawah kewenangan Bank Indonesia adalah penyelenggara
kegiatan usaha penukaran valuta asing bukan bank. Untuk menjalankan
kewenangan tersebut, Bank Indonesia menerbitkan Peraturan Bank
Indonesia mengenai penerapan Anti Pencucian Uang dan Pencegahan
Pendanaan Terorisme (APU dan PPT) dan melakukan pengawasan terhadap
penerapannya.
-2-
Peraturan Bank Indonesia ini telah diselaraskan dengan rekomendasi
FATF sebagai lembaga yang menetapkan standar acuan bagi negara di
seluruh dunia dalam menerapkan langkah pencegahan dan pemberantasan
pencucian uang dan pendanaan terorisme. Sebagai suatu dokumen yang
bersifat dinamis, rekomendasi FATF terus menerus mengalami penyesuaian
seiring dengan perkembangan praktik pencucian uang dan pendanaan
terorisme. Perkembangan inovasi teknologi mendorong perkembangan
produk atau jasa dan model bisnis kegiatan sistem pembayaran sehingga
menjadi lebih maju dan kompleks. Selain itu, kemajuan teknologi informasi
telah menghilangkan batas negara yang memudahkan terjadinya kejahatan
terorganisasi (organized crime) secara lintas batas (transnational crime)
sehingga risiko pencucian uang dan pendanaan terorisme semakin
meningkat.
Sebagai langkah antisipasi atas perkembangan tersebut, Bank
Indonesia memandang perlu untuk melakukan penyempurnaan
pengaturan tentang penerapan APU dan PPT di bidang sistem pembayaran
dan kegiatan usaha penukaran valuta asing, sehingga terdapat
keseimbangan antara upaya mengendalikan risiko Pencucian Uang dan
Pendanaan Terorisme dengan upaya mendukung penggunaan kegiatan
ekonomi nasional.
Salah satu pendekatan yang direkomendasikan oleh FATF dalam
menerapkan APU dan PPT adalah dengan menggunakan pendekatan
berbasis risiko (risk based approach) terhadap faktor risiko terkait
karakteristik nasabah, produk, wilayah geografis, dan jalur atau jaringan
transaksi (delivery channel). Pendekatan berbasis risiko wajib diterapkan
baik oleh Penyelenggara dalam melaksanakan kegiatan usahanya maupun
oleh Bank Indonesia dalam melaksanakan pengawasan. Dengan
menggunakan pendekatan berbasis risiko diharapkan pengelolaan sumber
daya pengawasan dapat diaplikasikan pada area yang memiliki risiko tinggi.
Pengelolaan dan mitigasi risiko Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme
juga harus dilakukan secara terintegrasi dengan hasil penilaian risiko
secara nasional dan sektoral.
Penyusunan Peraturan Bank Indonesia ini diharapkan dapat
mendukung upaya mewujudkan sistem keuangan yang lebih bersih, sehat,
dengan integritas tinggi, yang sejalan dengan upaya mewujudkan sistem
pembayaran yang aman, efisien, lancar, dan andal yang berkontribusi
terhadap perekonomian, stabilitas moneter, dan stabilitas sistem keuangan
-3-
dengan memperhatikan perluasan akses, perlindungan konsumen, dan
kepentingan nasional.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Ayat (1)
Huruf a
Kewajiban penerapan APU dan PPT didasarkan pada alasan
dan pertimbangan karena pihak tersebut melakukan
hubungan usaha dalam bentuk pembukaan rekening
dan/atau menyediakan fasilitas pemindahan dana.
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “penyelenggara transfer dana”
adalah penyelenggara transfer dana sebagaimana dimaksud
dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
transfer dana.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “penerbit alat pembayaran dengan
menggunakan kartu (APMK)” adalah penerbit kartu debet,
kartu ATM dan/atau kartu kredit sebagaimana dimaksud
dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
alat pembayaran dengan menggunakan kartu.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “penerbit uang elektronik” adalah
penerbit uang elektronik sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai uang
elektronik.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “penyelenggara dompet elektronik”
adalah penyelenggara dompet elektronik yang memberikan
-4-
layanan elektronik untuk menyimpan data instrumen
pembayaran dan menampung dana untuk melakukan
pembayaran sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan
pemrosesan transaksi pembayaran. Pemenuhan ketentuan
dalam Peraturan Bank Indonesia ini bagi penyelenggara
dompet elektronik terbatas untuk sisi dana yang ditampung
dalam dompet elektronik yang diselenggarakannya.
Pasal 3
Penerapan APU dan PPT diselaraskan dengan penerapan prinsip good
corporate governance.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cakupan kebijakan dan prosedur dapat disesuaikan apabila:
a. Penyelenggara hanya memberikan jasa kepada
Penyelenggara lain dan tidak berhubungan langsung dengan
Pengguna Jasa, misalnya penyelenggara penerus dalam
Transfer Dana; atau
b. Penyelenggara tidak melakukan kegiatan Transfer Dana,
misalnya Penyelenggara KUPVA Bukan Bank.
Huruf a
Kebijakan dan prosedur CDD antara lain:
1. pembukaan hubungan usaha dengan Pengguna
Jasa;
2.
identifikasi dan verifikasi identitas Pengguna Jasa
dan Beneficial Owner apabila ada;
-5-
3. penentuan profil risiko dan pengelompokan
Pengguna Jasa ke dalam tingkat risiko rendah,
sedang atau tinggi;
4. pemantauan terhadap transaksi dengan
memperhatikan profil Pengguna Jasa; dan
5. penolakan pembukaan hubungan usaha,
pelaksanaan transaksi, dan penutupan hubungan
usaha.
Huruf b
Termasuk dalam prosedur pengelolaan data, informasi,
dan dokumen yaitu:
1. pengkinian data, informasi, dan dokumen; dan
2. penyediaan data, informasi, dan dokumen untuk
kepentingan internal seperti unit kepatuhan, unit
audit internal, dan unit bisnis lain maupun
eksternal seperti Bank Indonesia, PPATK, penegak
hukum dan otoritas yang berwenang.
Huruf c
Termasuk dalam prosedur pelaporan adalah:
1.
identifikasi, analisis, investigasi, dan pelaporan
Transaksi Keuangan Mencurigakan;
2. pelaporan lainnya sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan antara lain laporan
transaksi keuangan tunai dan laporan Transfer
Dana dari dan ke luar negeri; dan
3. pengamanan data dan kerahasiaan laporan
tersebut.
Ayat (3)
Kebijakan dan prosedur Transfer Dana antara lain:
a. penerimaan dan/atau penerusan Transfer Dana;
b. penelitian kelengkapan informasi dalam Transfer Dana dan
tindak lanjutnya; dan
c. penyerahan dana kepada penerima (beneficiary).
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
-6-
Pasal 7
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Risiko Pengguna Jasa ditentukan antara lain dengan
berdasarkan jenis pekerjaan, kewarganegaraan, bidang
usaha, skala kegiatan usaha, dan kepemilikan.
Huruf b
Risiko negara atau wilayah geografis ditentukan antara lain
berdasarkan lokasi pengiriman dan/atau penerimaan dana,
atau wilayah yang berbatasan dengan negara lain.
Huruf c
Risiko produk atau jasa ditentukan antara lain berdasarkan
penggunaan uang tunai, limit transaksi yang dapat
dilakukan, penggunaan teknologi baru, ketersediaan fitur
Transfer Dana person to person (P2P) dan Transfer Dana
lintas negara.
Huruf d
Risiko jalur atau jaringan transaksi (delivery channels)
ditentukan antara lain berdasarkan penggunaan platform
berbasis web, internet atau media lainnya yang
memungkinkan transaksi dilakukan tanpa hubungan face-
to-face, dan penggunaan pihak ketiga dalam melakukan
hubungan usaha dengan Pengguna Jasa.
Ayat (3)
Hasil identifikasi dan penilaian risiko oleh otoritas yang
berwenang antara lain berupa national risk assessment (NRA) dan
sectoral risk assesment (SRA).
Yang dimaksud dengan “otoritas yang berwenang” adalah Bank
Indonesia, PPATK dan/atau otoritas yang berwenang lainnya.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
-7-
Ayat (6)
Peningkatan pengelolaan dan mitigasi risiko (enhanced measure)
dilakukan antara lain dengan memperketat prosedur pembukaan
hubungan usaha, meningkatkan frekuensi pengkinian data, dan
memperkuat mekanisme untuk mendeteksi Transaksi Keuangan
Mencurigakan.
Pasal 8
Huruf a
Penyaringan dalam rangka penerimaan pegawai (pre-employee
screening) merupakan prosedur untuk mengenali profil calon
pegawai dengan tujuan untuk memastikan industri keuangan
hanya dijalankan oleh orang yang memiliki standar etik,
integritas, dan profesionalisme yang tinggi.
Huruf b
Pemantauan profil pegawai (know your employee) dapat dilakukan
melalui pengenalan latar belakang, karakter, perilaku, dan gaya
hidup pegawai.
Huruf c
Materi pelatihan dan peningkatan pemahaman (awareness)
pegawai antara lain:
1. penerapan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
terkait dengan APU dan PPT;
2. teknik, metode, dan tipologi Pencucian Uang dan Pendanaan
Terorisme; dan
3. kebijakan dan prosedur penerapan APU dan PPT serta peran
dan tanggung jawab pegawai dalam mencegah dan
memberantas Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme.
Pasal 9
Huruf a
Dalam hal Penyelenggara memiliki skala usaha yang kecil,
teknologi yang digunakan sederhana atau tingkat risiko
Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme yang rendah,
Penyelenggara dapat menunjuk Direksi atau Pejabat Eksekutif
yang memiliki fungsi atau bertanggung jawab untuk memastikan
-8-
efektivitas penerapan APU dan PPT dalam kegiatan operasional
sehari-hari.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Pelaksanaan audit terhadap penerapan APU dan PPT dapat
dilakukan oleh auditor internal maupun auditor eksternal,
sepanjang Penyelenggara dapat memastikan independensi dan
objektivitas pelaksanaan audit dimaksud.
Frekuensi, cakupan, dan kedalaman audit disesuaikan dengan
karakteristik, skala, dan kompleksitas kegiatan usaha
Penyelenggara serta tingkat risiko Penyelenggara.
Cakupan audit antara lain pengujian terhadap:
1. kecukupan kebijakan dan prosedur pengelolaan dan mitigasi
risiko;
2. efektivitas pelaksanaan kebijakan dan prosedur;
3. kualitas parameter yang diterapkan untuk mengidentifikasi
risiko; dan
4. efektivitas pelaksanaan kebijakan dan prosedur manajemen
sumber daya manusia.
Pasal 10
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “perusahaan anak” adalah perusahaan
yang mayoritas kepemilikan saham dan/atau pengendaliannya
berada pada Penyelenggara.
Termasuk dalam pengertian kantor cabang adalah seluruh kantor
yang melakukan kegiatan operasional dan melayani Pengguna
Jasa.
Ayat (2)
Huruf a
Pertukaran informasi dilakukan dalam rangka pelaksanaan
CDD dan pengelolaan risiko Pencucian Uang dan Pendanaan
Terorisme.
Huruf b
Data dan informasi dari perusahaan anak dan kantor cabang
antara lain profil Pengguna Jasa, rekening, dan/atau
-9-
transaksi Pengguna Jasa, serta tipologi atau modus
Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme.
Huruf c
Cukup jelas.
Pasal 11
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Penyampaian informasi kepada Bank Indonesia disertai dengan
penjelasan, ketentuan terkait, dan/atau surat atau keterangan
dari otoritas yang berwenang di negara tempat kedudukan
perusahaan anak dan kantor cabang apabila memungkinkan.
Pasal 12
Yang dimaksud dengan “pihak ketiga” adalah pihak yang mewakili
Penyelenggara atau bertindak untuk dan atas nama Penyelenggara
dalam berhubungan dengan calon Pengguna Jasa atau Pengguna Jasa
secara langsung.
Termasuk dalam pengertian pihak ketiga antara lain agen, tempat
penguangan tunai (TPT) dari penyelenggara transfer dana, dan agen
layanan keuangan digital (LKD) dari penerbit uang elektronik.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Huruf a
Dalam rangka melakukan identifikasi, Penyelenggara
mengklasifikasikan Pengguna Jasa ke dalam kelompok orang
perseorangan (natural person), Korporasi berupa badan hukum
atau badan usaha, dan perikatan lainnya (legal arrangement).
Penyelenggara mengkategorikan Pengguna Jasa sesuai tingkat
risiko yaitu risiko rendah, risiko sedang, atau risiko tinggi.
-10-
Penetapan tingkat risiko Pengguna Jasa dapat dilakukan antara
lain berdasarkan identitas, lokasi usaha, profil risiko, jumlah
transaksi, penghasilan, dan struktur kepemilikan pengguna jasa.
Huruf b
Untuk melakukan verifikasi pihak yang bertindak untuk dan atas
nama Pengguna Jasa maka verifikasi harus dilakukan terhadap
pemberi dan penerima kuasa, dan kuasa yang diberikan kepada
penerima kuasa.
Huruf c
Pemantauan secara berkesinambungan antara lain dilakukan
dengan menganalisis kesesuaian transaksi Pengguna Jasa
termasuk sumber dana apabila diperlukan.
Huruf d
Penyelenggara meminta langsung informasi mengenai maksud
dan tujuan transaksi/hubungan usaha dan sumber dana kepada
Pengguna Jasa atau dapat memperoleh informasi mengenai hal
tersebut dengan cara lain yang relevan, sepanjang dapat diyakini
kebenarannya.
Pasal 15
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Terhadap dua atau beberapa transaksi yang diduga saling terkait,
berhubungan, atau merupakan transaksi yang dipecah-pecah
menjadi lebih kecil atau direstrukturisasi untuk menghindari
ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia ini, Penyelenggara
harus memperlakukannya sebagai satu kesatuan transaksi.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Prosedur CDD dilakukan tanpa memperhatikan adanya
pengecualian atau batasan nilai transaksi sebagaimana diatur
dalam Peraturan Bank Indonesia ini terhadap Transaksi
Keuangan Mencurigakan.
Huruf e
Cukup jelas.
-11-
Pasal 16
Ayat (1)
Penyampaian data dan informasi dapat dilakukan secara
langsung atau melalui sarana teknologi/elektronik.
Huruf a
Angka 1
Cukup jelas.
Angka 2
Cukup jelas.
Angka 3
Informasi mengenai alamat tempat tinggal lain
diperlukan apabila calon Pengguna Jasa atau Pengguna
Jasa memiliki alamat tempat tinggal berbeda dengan
alamat yang tercatat pada dokumen identitas.
Angka 4
Cukup jelas.
Angka 5
Cukup jelas.
Angka 6
Cukup jelas.
Angka 7
Cukup jelas.
Angka 8
Cukup jelas.
Angka 9
Termasuk tanda tangan adalah tanda tangan digital
sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Data biometerik antara lain dalam bentuk sidik jari
milik Pengguna Jasa.
Huruf b
Angka 1
Cukup jelas.
Angka 2
Cukup jelas.
Angka 3
Cukup jelas.
-12-
Angka 4
Termasuk izin yaitu izin lainnya yang dipersamakan
dengan izin yang dikeluarkan oleh instansi yang
berwenang.
Angka 5
Penyelenggara dapat meminta informasi mengenai
alamat kegiatan usaha lain apabila diperlukan.
Angka 6
Cukup jelas.
Angka 7
Cukup jelas.
Angka 8
Bagi Korporasi dalam bentuk selain perseroan terbatas,
berupa nama orang perseorangan (natural person) yang
mempunyai posisi yang sama atau setara dengan
pengurus dalam perseroan terbatas.
Angka 9
Bagi Korporasi dalam bentuk selain perseroan terbatas
atau tidak menggunakan saham sebagai ukuran
kepemilikan, berupa nama orang perseorangan (natural
person) yang merupakan pihak yang memiliki
kewenangan untuk mempengaruhi atau mengendalikan
Korporasi tanpa harus mendapat otorisasi dari pihak
manapun.
Angka 10
Cukup jelas.
Huruf c
Perikatan lainnya (legal arrangement) antara lain trustee.
Contoh bank umum sebagai trustee yaitu pengelola atau
penerima harta trust.
Angka 1
Cukup jelas.
Angka 2
Termasuk izin yaitu izin lainnya yang dipersamakan
dengan izin yang dikeluarkan oleh instansi yang
berwenang.
-13-
Angka 3
Cukup jelas.
Angka 4
Cukup jelas.
Angka 5
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Angka 1
Cukup jelas.
Angka 2
Cukup jelas.
Angka 3
Bagi calon Pengguna Jasa atau Pengguna Jasa orang
perseorangan
(natural
person)
yang
berkewarganegaraan asing, paspor sebagaimana
dimaksud harus disertai dengan kartu izin tinggal
sesuai dengan ketentuan keimigrasian apabila
hubungan usaha dengan Penyelenggara dilakukan
dalam bentuk pembukaan rekening atau hubungan
usaha lain yang berkelanjutan.
Dokumen kartu izin tinggal dapat digantikan oleh
dokumen lainnya yang dapat memberikan keyakinan
kepada Penyelenggara tentang profil calon Pengguna
Jasa berkewarganegaraan asing tersebut antara lain
surat referensi dari:
a) seorang berkewarganegaraan Indonesia atau
perusahaan/instansi/pemerintah
Indonesia
mengenai profil calon Pengguna Jasa
berkewarganegaraan asing; atau
b) bank di negara atau jurisdiksi tempat kedudukan
calon Pengguna Jasa, dimana negara atau
jurisdiksi tersebut tidak tergolong berisiko tinggi.
Angka 4
Dokumen resmi lainnya yang dikeluarkan oleh Instansi
Pemerintah berupa dokumen identitas lainnya yang
-14-
menampilkan foto calon Pengguna Jasa atau Pengguna
Jasa dan memuat informasi identitas.
Huruf b
Dokumen pendirian dan izin Korporasi disesuaikan dengan
bentuk badan hukum atau badan usaha dan bidang usaha
yang dilakukan.
Huruf c
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Ayat (1)
Termasuk dengan meminta lebih dari satu dokumen identitas,
misalnya selain kartu tanda penduduk meminta pula paspor atau
surat izin mengemudi.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 19
Yang dimaksud dengan “lembaga negara” adalah lembaga yang
memiliki kewenangan eksekutif, yudikatif, atau legislatif.
Yang dimaksud dengan “instansi pemerintah” adalah sebutan kolektif
dari unit organisasi pemerintahan yang menjalankan tugas dan
fungsinya, meliputi:
a. kementerian koordinator;
b. kementerian negara;
c. kementerian;
d. lembaga negara nonkementerian;
e. pemerintah propinsi;
f. pemerintah kota;
g. pemerintah kabupaten;
h. lembaga negara yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang; dan
i.
lembaga negara yang menjalankan fungsi pemerintahan dengan
menggunakan anggaran pendapatan belanja negara dan/atau
anggaran pendapatan belanja daerah.
-15-
Dokumen bagi lembaga, instansi atau perwakilan berupa surat
penunjukan bagi pihak yang berwenang mewakili lembaga, instansi
atau perwakilan dalam melakukan hubungan usaha.
Pasal 20
Penyelenggara memastikan penggunaan data, informasi, dan dokumen
yang lebih dapat diyakini validitasnya pada saat risiko Pencucian Uang
dan Pendanaan Terorisme yang dihadapi lebih tinggi.
Pasal 21
Ayat (1)
Huruf a
Pertemuan langsung dapat dilakukan melalui tatap muka
secara langsung atau melalui sarana teknologi misalnya
video call.
Huruf b
Termasuk cara lain yang memadai dapat dilakukan antara
lain dengan menggunakan data biometrik dan penyampaian
foto secara online real time.
Ayat (2)
Huruf a
Termasuk menggunakan sarana teknologi dan media
komunikasi, untuk melakukan verifikasi identitas Pengguna
Jasa.
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (3)
Penyampaian laporan oleh Penyelenggara antara lain disertai
dengan penjelasan mengenai metode verifikasi yang akan
diterapkan dan teknologi yang akan digunakan.
Pasal 22
Ayat (1)
Cukup jelas.
-16-
Ayat (2)
Pengelolaan risiko Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme
antara lain dapat dilakukan melalui:
a. pembatasan nilai, frekuensi, dan/atau jenis transaksi yang
dapat dilakukan Pengguna Jasa; dan
b. pemantauan terhadap kewajaran jumlah, kompleksitas dan
pola transaksi.
Penyelesaian verifikasi dilakukan segera setelah pembukaan
hubungan usaha sesuai batas waktu dalam praktek bisnis yang
wajar (normal conduct of business).
Pasal 23
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Untuk Korporasi yang tidak berbentuk perseroan terbatas,
misalnya yayasan atau perkumpulan, atau tidak menggunakan
saham sebagai ukuran kepemilikan maka Beneficial Owner dari
Korporasi tersebut yaitu orang perseorangan yang menurut
penilaian Penyelenggara memiliki kewenangan untuk
mempengaruhi atau mengendalikan Korporasi tanpa harus
mendapat otorisasi dari pihak manapun.
Ayat (4)
Huruf a
Hubungan hukum antara antara calon Pengguna Jasa atau
Pengguna Jasa dengan Beneficial Owner ditunjukkan antara
lain dengan surat penugasan, surat perjanjian, atau surat
kuasa.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
-17-
Pasal 24
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Contoh pengendalian Korporasi melalui bentuk lain yaitu
pengendalian melalui kemampuan untuk menunjuk atau
mengganti Direksi dari Korporasi.
Pasal 25
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Perusahaan publik atau emiten yaitu perusahaan yang
diwajibkan untuk menyampaikan informasi atas pengendali
Korporasi secara terbuka, termasuk anak perusahaan yang
mayoritas sahamnya dimiliki oleh perusahaan tersebut.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Ayat (1)
Pemantauan dilakukan dengan cara menganalisis seluruh
transaksi khususnya Transaksi Keuangan Mencurigakan antara
lain transaksi yang kompleks, dengan jumlah atau pola yang tidak
wajar, serta di luar kebiasaan atau diduga tidak memiliki tujuan
ekonomi yang jelas.
Pemantauan termasuk pula pemantauan terhadap:
a.
transaksi Pengguna Jasa yang melakukan hubungan usaha
dengan Penyelenggara tanpa menggunakan rekening; dan
b.
transaksi yang diproses melalui sistem atau jaringan milik
Penyelenggara misalnya penerusan transfer dana.
Pemantauan dapat dilakukan terhadap transaksi yang telah
terjadi (post transaction) dalam kurun waktu tertentu.
-18-
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Skala usaha dan layanan yang kompleks antara lain dapat dilihat
dari jumlah jaringan kantor, jumlah pengguna jasa, jumlah
variasi produk dan fitur produk.
Sistem dapat berupa sistem komputer atau metode pemantauan
dengan menggunakan cara lain untuk:
a. mengidentifikasi, menganalisis, memantau, dan
menyediakan laporan secara efektif mengenai profil,
karakteristik dan/atau kebiasaan pola transaksi yang
dilakukan oleh Pengguna Jasa; dan
b. menelusuri setiap transaksi, apabila diperlukan, termasuk
penelusuran atas identitas Pengguna Jasa, bentuk
transaksi, tanggal transaksi, jumlah dan denominasi
transaksi, serta sumber dana transaksi.
Pasal 28
Ayat (1)
Data, informasi, dan/atau dokumen Pengguna Jasa termasuk
yang dikumpulkan dalam pelaksanaan CDD.
Pengguna Jasa meliputi Pengguna Jasa baru dan Pengguna Jasa
existing.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 29
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Prosedur CDD harus diterapkan secara proporsional terhadap
faktor dari tingkat risiko yang dinilai rendah.
Ayat (3)
Huruf a
Pengguna Jasa yang termasuk kategori berisiko rendah
antara lain:
1.
lembaga negara atau instansi pemerintah;
-19-
2. perusahaan yang mayoritas sahamnya dimiliki oleh
pemerintah;
3. perusahaan publik atau emiten yang tunduk pada
ketentuan peraturan perundang-undangan yang
mengatur mengenai kewajiban transparansi keuangan;
atau
4. pengguna jasa dari produk atau jasa yang dibuat untuk
program pemerintah terkait pengentasan kemiskinan.
Huruf b
Negara atau area geografis yang termasuk kategori berisiko
rendah antara lain:
1. negara yang memiliki tingkat tata kelola (good
governance) yang tinggi sebagaimana ditentukan oleh
World Bank; dan/atau
2. negara yang memiliki tingkat risiko korupsi yang rendah
sebagaimana diidentifikasi dalam transparancy
international corruption perception index.
Huruf c
Produk atau jasa yang termasuk kategori berisiko rendah
antara lain:
1. produk atau jasa yang dibuat khusus untuk
mendukung program pemerintah dalam rangka inklusi
keuangan, peningkatan kesejahteraan masyarakat,
pengentasan kemiskinan dan/atau ditujukan bagi
penyandang disabilitas, yang dibatasi jumlah dan
penggunaannya; dan/atau
2. produk atau jasa yang dibuat dengan tujuan, kegunaan,
fitur, Pengguna Jasa, saldo, atau limit yang terbatas dan
memiliki risiko Pencucian Uang dan Pendanaan
Terorisme yang terkendali secara efektif.
Huruf d
Jalur atau jaringan transaksi (delivery channels) yang
termasuk kriteria berisiko rendah antara lain transaksi yang
dilakukan melalui pertemuan langsung dengan nilai yang
sedikit.
-20-
Ayat (4)
Kebijakan dan prosedur penerapan APU dan PPT harus memuat
kriteria penetapan risiko rendah dan prosedur CDD sederhana.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Daftar yang dibuat antara lain memuat informasi mengenai
alasan penetapan risiko sehingga digolongkan sebagai risiko
rendah.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Pengguna Jasa yang termasuk kategori berisiko tinggi antara
lain:
1. PEP, keluarga PEP, atau pihak terkait dengan PEP (close
associates);
2. memiliki bidang usaha yang berisiko tinggi (high risk
business);
3. menunjuk pihak ketiga untuk membuka hubungan
usaha atau melakukan transaksi; atau
4.
tercantum dalam daftar terduga teroris dan organisasi
teroris atau daftar pendanaan proliferasi senjata
pemusnah massal.
Huruf b
Negara atau area geografis yang termasuk kategori berisiko
tinggi antara lain:
1. yurisdiksi yang diidentifikasi sebagai negara yang tidak
melaksanakan rekomendasi FATF secara memadai
berdasarkan penilaian oleh organisasi seperti Financial
Action Task Force on Money Laundering (FATF), Asia
-21-
Pacific Group on Money Laundering (APG), Caribbean
Financial Action Task Force (CFATF), Committee of
Experts on the Evaluation of Anti-Money Laundering
Measures and the Financing of Terrorism (MONEYVAL),
Eastern and Southern Africa Anti-Money Laundering
Group (ESAAMLG), The Eurasian Group on Combating
Money Laundering and Financing of Terrorism (EAG), The
Grupo de Accion Financiera de Sudamerica (GAFISUD),
Intergovernmental Anti-Money Laundering Group in Africa
(GIABA), atau Middle East & North Africa Financial Action
Task Force (MENAFATF);
2. negara yang diidentifikasi sebagai yang tidak cooperative
atau tax haven oleh Organization for Economic
Cooperation and Development (OECD);
3. negara yang memiliki tingkat tata kelola (good
governance) yang rendah sebagaimana ditentukan oleh
World Bank;
4. negara yang memiliki tingkat risiko korupsi yang tinggi
sebagaimana diidentifikasi dalam transparancy
international corruption perception index;
5. negara yang diketahui secara luas sebagai tempat
penghasil dan pusat perdagangan narkoba;
6. negara yang dikenakan sanksi, embargo, atau yang
serupa, antara lain oleh PBB; atau
7. negara atau yurisdiksi yang diidentifikasi oleh lembaga
yang terpercaya, sebagai penyandang dana atau
mendukung kegiatan terorisme, atau yang
membolehkan kegiatan organisasi teroris di negaranya.
Huruf c
Produk atau jasa yang termasuk kategori berisiko tinggi
antara lain:
1. private banking atau hubungan bisnis yang sejenis;
2.
3. pembayaran yang diterima dari pihak ketiga yang tidak
dikenal atau yang tidak terkait.
transaksi anonim (anonymous transactions) yang
terutama dilakukan secara tunai; atau
-22-
Huruf d
Jalur atau jaringan transaksi (delivery channels) yang
termasuk kriteria berisiko tinggi antara lain transaksi yang
dilakukan secara online dengan jumlah besar.
Kriteria berisiko tinggi dapat mengacu dari sumber yang
independen dan terpercaya antara lain Bank Indonesia,
PPATK dan otoritas yang berwenang, termasuk hasil national
risk assesment (NRA) dan sectoral risk assesment (SRA).
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Ayat (1)
Contoh PEP asing yaitu orang yang diberi kewenangan melakukan
fungsi penting (prominent function) oleh negara lain, seperti kepala
negara atau pemerintahan, politisi senior, pejabat pemerintah
senior, pejabat militer, pejabat di bidang penegakan hukum,
Manajemen Senior pada perusahaan yang dimiliki oleh negara,
atau pejabat penting dalam partai politik.
Contoh PEP domestik yaitu orang yang diberi kewenangan
melakukan fungsi penting (prominent function) oleh negara,
seperti kepala negara atau pemerintahan, politisi senior, pejabat
pemerintah senior, pejabat militer, pejabat di bidang penegakan
-23-
hukum, Manajemen Senior pada perusahaan yang dimiliki oleh
negara, atau pejabat penting dalam partai politik.
Contoh PEP pada organisasi internasional yaitu orang yang diberi
kewenangan melakukan fungsi penting (prominent function) oleh
organisasi internasional, seperti Manajemen Senior yang meliputi
antara lain direktur, deputi direktur, dan anggota dewan atau
fungsi yang setara.
Ayat (2)
Penerapan EDD dilakukan baik terhadap PEP asing, PEP
domestik atau orang yang diberi kewenangan untuk melakukan
fungsi penting (prominent function) dalam organisasi internasional
misalnya International Monetary Fund (IMF), World Bank, United
Nations (UN), Organization for Economic Co-operation and
Development (OECD), Asian Development Bank (ADB), dan Islamic
Development Bank (IDB).
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 35
Yang dimaksud dengan “anggota keluarga dari PEP” adalah anggota
keluarga PEP sampai dengan derajat kedua, baik horisontal maupun
vertikal, yaitu:
a. orang tua kandung/tiri/angkat;
b. saudara kandung/tiri/angkat;
c. anak kandung/tiri/angkat;
d. kakek atau nenek kandung/tiri/angkat;
e.
f.
cucu kandung/tiri/angkat;
saudara kandung/tiri/angkat dari orang tua;
g. suami atau istri;
h. mertua atau besan;
i.
suami atau istri dari anak kandung/tiri/angkat;
j. kakek atau nenek dari suami atau istri;
k. suami atau istri dari cucu kandung/tiri/angkat;
l.
saudara kandung/tiri/angkat dari suami; dan/atau
m. istri beserta suami atau istrinya dari saudara.
Pihak terkait dengan PEP antara lain:
a. perusahaan yang dimiliki atau dikelola oleh PEP; atau
-24-
b. pihak yang secara umum dan diketahui publik mempunyai
hubungan dekat dengan PEP, misalnya: supir, asisten pribadi,
dan sekretaris pribadi.
Kriteria PEP, anggota keluarga dari PEP, dan pihak terkait dengan PEP
dapat mengacu dari sumber yang independen dan terpercaya antara
lain Bank Indonesia, PPATK, dan otoritas yang berwenang.
Pasal 36
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Kewajiban Penyelenggara untuk mendokumentasikan calon
Pengguna Jasa, Pengguna Jasa, dan Beneficial Owner
dimaksudkan sebagai dokumen pendukung pelaporan Transaksi
Keuangan Mencurigakan kepada PPATK.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 37
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “hubungan usaha” adalah hubungan
usaha dengan menggunakan rekening yaitu APMK, uang
elektronik, dan dompet elekronik.
Pemberitahuan dapat dilakukan secara tertulis yang ditujukan
kepada Pengguna Jasa sesuai dengan alamat yang tercantum
dalam database Penyelenggara.
Ayat (2)
Penyelesaian terhadap sisa dana Pengguna Jasa antara lain
berupa penyerahan sisa dana kepada Balai Harta Peninggalan.
Pasal 38
Yang dimaksud dengan “anti tipping-off” adalah larangan bagi Direksi,
Komisaris, pengurus, dan/atau pegawai Penyelenggara
memberitahukan kepada Pengguna Jasa atau pihak lain, baik secara
langsung maupun tidak langsung, dengan cara apa pun mengenai
-25-
laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan yang sedang disusun atau
telah disampaikan kepada PPATK.
Pasal 39
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Pihak ketiga yang mewakili Penyelenggara atau bertindak
untuk dan atas nama Penyelenggara dalam berhubungan
dengan calon Pengguna Jasa atau Pengguna Jasa secara
langsung antara lain agen yang bekerja sama dengan
Penyelenggara.
Termasuk agen antara lain agen pemasaran, tempat
penguangan tunai (TPT) dari penyelenggara transfer dana,
dan agen layanan keuangan digital (LKD) dari penerbit uang
elektronik.
Huruf b
Penyelenggara lain dapat berupa Penyedia Jasa Keuangan
lain yang diawasi dan diatur oleh Bank Indonesia atau
otoritas yang berwenang lainnya.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 40
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
-26-
Huruf c
Kewajiban memastikan kepatuhan pihak ketiga antara lain
dilakukan dalam bentuk:
1. mencantumkan kewajiban pihak ketiga untuk
mematuhi ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia
ini dan/atau kebijakan dan prosedur APU dan PPT
Penyelenggara dalam perjanjian tertulis;
2. melakukan edukasi atau sosialisasi terhadap pihak
ketiga terkait ketentuan dalam Peraturan Bank
Indonesia ini dan/atau kebijakan dan prosedur APU
dan PPT Penyelenggara; atau
3. melakukan pemantauan dan evaluasi secara berkala
terhadap pihak ketiga atas pemenuhan ketentuan
dalam Peraturan Bank Indonesia ini dan/atau
kebijakan dan prosedur APU dan PPT Penyelenggara.
Huruf d
Penyelenggara harus dapat menyampaikan informasi
mengenai pihak ketiga yang bekerja sama dengan
Penyelenggara apabila diminta oleh Bank Indonesia atau
otoritas yang berwenang lainnya.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “otoritas yang berwenang” adalah
otoritas negara dimana pihak ketiga tersebut berasal, yang
mengawasi kepatuhan atas ketentuan APU dan PPT
Penyelenggara.
Huruf e
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
-27-
Pasal 41
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “penyelenggara pengirim asal”
adalah Penyelenggara Transfer Dana yang menerima
perintah transfer dana dari pengirim asal untuk
membayarkan atau memerintahkan kepada Penyelenggara
lain untuk membayar sejumlah dana tertentu kepada
penerima sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
yang mengatur mengenai transfer dana.
Yang dimaksud dengan “pengirim asal (originator)” adalah
pihak yang pertama kali mengeluarkan perintah transfer
dana sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang
mengatur mengenai transfer dana.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “penyelenggara penerima akhir”
adalah Penyelenggara Transfer Dana yang melakukan
pembayaran atau menyampaikan dana hasil transfer kepada
penerima sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
yang mengatur mengenai transfer dana.
Termasuk penyelenggara penerima akhir yang melakukan
pembayaran secara tunai atau ekuivalennya, baik secara
langsung atau melalui agen, perantara atau TPT.
Yang dimaksud dengan “penerima (beneficiary)” adalah pihak
yang disebut dalam Perintah Transfer Dana untuk menerima
dana hasil transfer sebagaimana dimaksud dalam Undang
Undang yang mengatur mengenai transfer dana.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “penyelenggara penerus” adalah
penyelenggara transfer dana selain penyelenggara pengirim asal
dan penyelenggara penerima akhir sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang yang mengatur mengenai transfer dana.
Pasal 42
Ayat (1)
Identitas meliputi nama dan alamat yang dapat disertai informasi
lain seperti nomor dokumen identitas, tempat, dan tanggal lahir
-28-
atau informasi lainnya sesuai ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Yang dimaksud dengan “nomor referensi unik transaksi” adalah
huruf, angka, dan/atau simbol yang digunakan dalam sistem
atau prosedur pembayaran dan penyelesaian transaksi transfer
dana yang memungkinkan penelusuran transaksi transfer dana,
sebagai pengganti nomor rekening.
Informasi yang disampaikan oleh penyelenggara pengirim asal
kepada penyelenggara penerus atau penyelenggara penerima
akhir juga dimuat dalam Perintah Transfer Dana yang
dikumpulkan menjadi satu (batch transfer).
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “Transfer Dana lintas negara” adalah
transfer dana dimana paling sedikit 1 (satu) Penyelenggara di
antara Penyelenggara Pengirim asal, penyelenggara penerus, atau
penyelenggara penerima akhir, berada di luar wilayah Negara
Republik Indonesia.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 43
Ayat (1)
Penyelenggara penerus memastikan kelengkapan informasi
termasuk melalui post event monitoring atau real time monitoring
apabila memungkinkan.
Ayat (2)
Tindak lanjut penyelenggara penerus dapat berupa:
a. melakukan transaksi;
b. menolak transaksi;
c. menunda transaksi; atau
d.
tindakan lainnya yang diperlukan termasuk melaporkan
transaksi tersebut kepada otoritas yang berwenang sesuai
ketentuan.
-29-
Penentuan tindak lanjut dilakukan dengan memperhatikan
tingkat risiko yang dihadapi.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 44
Ayat (1)
Penyelenggara penerima akhir memastikan kelengkapan
informasi termasuk melalui post event monitoring atau real time
monitoring dalam hal dimungkinkan.
Ayat (2)
Tindak lanjut Penyelenggara penerima akhir dapat berupa:
a. melakukan transaksi;
b. menolak transaksi;
c. menunda transaksi; atau
d.
tindakan lainnya yang diperlukan termasuk melaporkan
transaksi tersebut kepada otoritas yang berwenang sesuai
ketentuan.
Penentuan tindak lanjut dilakukan dengan memperhatikan
tingkat risiko yang dihadapi.
Pasal 45
Laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan yang disampaikan pada
otoritas di negara lain, disampaikan pula kepada PPATK.
Pasal 46
Huruf a
Transaksi menggunakan kartu debit, kartu ATM, kartu kredit,
atau uang elektronik dapat ditelusuri antara lain melalui nomor
kartu.
Tidak termasuk pembayaran barang atau jasa antara lain
Transfer Dana person to person (P2P).
Huruf b
Cukup jelas.
-30-
Pasal 47
Ayat (1)
Penyelenggara memastikan ketersediaan daftar terduga teroris
dan organisasi teroris serta daftar pendanaan proliferasi senjata
pemusnah massal di seluruh kantor Penyelenggara.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Tindak lanjut lainnya antara lain membuat dan menyampaikan
berita acara pemblokiran kepada otoritas yang berwenang, serta
menolak dan/atau menutup hubungan usaha dengan Pengguna
Jasa.
Pasal 48
Cukup jelas.
Pasal 49
Ayat (1)
Penyelenggara mengumpulkan informasi antara lain:
a. profil perusahaan pihak lain termasuk produk dan Pengguna
Jasanya;
b.
lokasi kedudukan dan wilayah operasional pihak lain
termasuk induk atau kelompok usahanya sepanjang
dianggap perlu;
c.
d.
izin untuk melakukan kegiatan usaha; dan
informasi terkait lainnya misalnya reputasi keuangan dan
kepatuhan terhadap hukum yang berlaku, informasi
mengenai struktur kepemilikan dan kepengurusan.
Penyelenggara dapat memperoleh informasi antara lain melalui
sumber yang dapat diakses oleh publik sepanjang dapat diyakini
kebenarannya.
Hubungan kerjasama antara lain berupa kerjasama Transfer
Dana domestik, kerjasama remitansi, atau Transfer Dana lintas
negara, dan kerja sama terkait jasa pembayaran.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “shell bank” adalah bank atau shell
financial institution yang didirikan dan memperoleh izin di suatu
-31-
negara atau wilayah dimana bank tersebut tidak memiliki kantor
secara fisik dan/atau tidak memiliki keterkaitan/afiliasi dengan
lembaga keuangan yang diatur dan diawasi secara terkonsolidasi
oleh otoritas yang berwenang.
Pasal 50
Ayat (1)
Pengembangan produk termasuk pengembangan model bisnis
dan mekanisme pemberian layanan (delivery).
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 51
Ayat (1)
Dokumen dapat ditatausahakan dalam bentuk asli, salinan,
dokumen elektronik, microfilm, atau dokumen yang berdasarkan
Undang-Undang yang berlaku dapat digunakan sebagai alat bukti
yang sah.
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Dokumen yang terkait dengan transaksi keuangan Pengguna
Jasa antara lain berupa rekening, jurnal transaksi,
pembukuan, perintah transfer dana, tanda terima dan/atau
bukti transaksi Pengguna Jasa.
Penatausahaan dokumen transaksi keuangan Pengguna
Jasa dilakukan dengan cara yang memudahkan penelusuran
dan rekonstruksi transaksi dalam hal diminta oleh Bank
Indonesia, penegak hukum, dan/atau otoritas yang
berwenang.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
-32-
Pasal 52
Cukup jelas.
Pasal 53
Cukup jelas.
Pasal 54
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Laporan paling sedikit memuat penerapan APU dan PPT yang
telah dilaksanakan oleh Penyelenggara.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Laporan lainnya antara lain berupa:
1.
2.
laporan kerja sama penggunaan hasil CDD pihak ketiga,
paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja sejak tanggal
dimulainya pelaksanaan kerja sama; dan
laporan yang diminta oleh Bank Indonesia.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 55
Cukup jelas.
Pasal 56
Ayat (1)
Koordinasi dan kerja sama dilaksanakan untuk pencegahan dan
pemberantasan tindak pidana Pencucian Uang dan Pendanaan
Terorisme.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
-33-
Pasal 57
Ayat (1)
Huruf a
Angka 1
Pengenaan sanksi administratif berupa teguran tertulis
dapat disertai dengan kewajiban untuk melakukan atau
tidak melakukan sesuatu dalam rangka memastikan
pemenuhan ketentuan sesuai batas waktu yang
ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Angka 2
Cukup jelas.
Angka 3
Cukup jelas.
Angka 4
Pengenaan sanksi administratif berupa penghentian
kegiatan usaha disertai dengan jangka waktu
pengenaan sanksi dan dapat diperpanjang.
Penyelenggara yang dikenakan sanksi penghentian
kegiatan usaha mengumumkan penghentian kegiatan
usaha kepada masyarakat pada tanggal yang sama
dengan tanggal surat mengenai pengenaan sanksi dari
Bank Indonesia.
Pengumuman dapat dilakukan di kantor Penyelenggara
dengan letak dan/atau bentuk yang mudah terlihat dan
mudah dibaca.
Angka 5
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Pengumuman dilakukan melalui situs web Bank Indonesia, surat
kabar, atau media lain.
-34-
Pasal 58
Yang dimaksud dengan “tindak pidana tertentu” adalah tindak pidana
Pencucian Uang, tindak pidana Pendanaan Terorisme, dan tindak
pidana asal sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang
mengatur mengenai pencegahan dan pemberantasan tindak pidana
pencucian uang, antara lain korupsi, penyuapan, narkotika,
psikotropika, penyelundupan tenaga kerja, penyelundupan migran, di
bidang perbankan, di bidang pasar modal, di bidang perasuransian,
kepabeanan, cukai, perdagangan orang, perdagangan senjata gelap,
terorisme, penculikan, pencurian, penggelapan, penipuan, pemalsuan
uang, perjudian, prostitusi, di bidang perpajakan, di bidang
kehutanan, di bidang lingkungan hidup, di bidang kelautan dan
perikanan, atau tindak pidana lain yang diancam dengan pidana
penjara 4 (empat) tahun atau lebih.
Pasal 59
Cukup jelas.
Pasal 60
Pihak yang dapat ditetapkan untuk menerapkan APU dan PPT yaitu
pihak yang menyelenggarakan kegiatan di bidang sistem pembayaran
atau kegiatan penukaran valuta asing.
Pasal 61
Cukup jelas.
Pasal 62
Cukup jelas.
Pasal 63
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6121
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 19/10/PBI/2017 </reg_id>
<reg_title> PENERAPAN ANTI PENCUCIAN UANG DAN PENCEGAHAN PENDANAAN TERORISME BAGI PENYELENGGARA JASA SISTEM PEMBAYARAN SELAIN BANK DAN PENYELENGGARA KEGIATAN USAHA PENUKARAN VALUTA ASING BUKAN BANK </reg_title>
<set_date> 6 September 2017 </set_date>
<effective_date> 11 September 2017 </effective_date>
<issued_date> 11 September 2017 </issued_date>
<replaced_reg> '12/3/PBI/2010', '14/38/DASP|SE-BI/2012', '12/10/DPM|SE-BI/2010', '14/3/2012|PBI/2012' </replaced_reg>
<related_reg> '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '3/UU/2011', '9/UU/2013', '8/UU/2010' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB XI' </penalty_list>
|
-2-
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 18/3/PBI/2016
TENTANG
PERUBAHAN KETIGA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR
15/15/PBI/2013 TENTANG GIRO WAJIB MINIMUM BANK UMUM DALAM
RUPIAH DAN VALUTA ASING BAGI BANK UMUM KONVENSIONAL
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa kondisi stabilitas makroekonomi yang semakin
terjaga, khususnya tekanan inflasi yang terkendali, dan
meredanya ketidakpastian di pasar keuangan global
memberikan ruang untuk dilakukan pelonggaran
kebijakan moneter;
b. bahwa diperlukan peningkatan kapasitas pembiayaan dari
perbankan untuk mendukung kegiatan ekonomi;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a dan huruf b, perlu melakukan perubahan
ketiga
atas Peraturan Bank Indonesia Nomor
15/15/PBI/2013 tentang Giro Wajib Minimum Bank
Umum dalam Rupiah dan Valuta Asing bagi Bank Umum
Konvensional;
Mengingat
:
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah
beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6
-2-
Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun
1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor
7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4962);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN
KETIGA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR
15/15/PBI/2013 TENTANG GIRO WAJIB MINIMUM BANK
UMUM DALAM RUPIAH DAN VALUTA ASING BAGI BANK
UMUM KONVENSIONAL.
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor
15/15/PBI/2013 tentang Giro Wajib Minimum Bank Umum
dalam Rupiah dan Valuta Asing bagi Bank Umum Konvensional
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 235,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5478)
yang telah beberapa kali diubah dengan Peraturan Bank
Indonesia:
a. Nomor 17/11/PBI/2015 (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2015 Nomor 152, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5712);
b. Nomor 17/21/PBI/2015 (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2015 Nomor 286, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5769);
diubah sebagai berikut:
1. Ketentuan Pasal 3 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
- 3 -
Pasal 3
Pemenuhan GWM dalam Rupiah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (2) ditetapkan sebagai berikut:
a. GWM Primer dalam Rupiah sebesar 6,5% (enam koma
lima persen) dari DPK dalam Rupiah.
b. GWM Sekunder dalam Rupiah sebesar 4% (empat
persen) dari DPK dalam Rupiah.
c. GWM LFR dalam Rupiah sebesar hasil perhitungan
antara Parameter Disinsentif Bawah atau Parameter
Disinsentif Atas dengan selisih antara LFR Bank dan
LFR Target dengan memperhatikan selisih antara
KPMM Bank dan KPMM Insentif.
2. Penjelasan Pasal 4 diubah sebagaimana tercantum dalam
penjelasan.
3. Penjelasan Pasal 12 diubah sebagaimana tercantum dalam
penjelasan.
4. Ketentuan Pasal 17 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 17
(1) Bank Indonesia memberikan jasa giro setiap hari
kerja terhadap bagian tertentu dari pemenuhan
kewajiban GWM Primer dalam Rupiah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 huruf a.
(2) Bagian tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan sebesar 1,5% (satu koma lima persen) dari
DPK dalam Rupiah.
(3) Jasa giro sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diberikan dengan tingkat bunga sebesar 2,5% (dua
koma lima persen) per tahun.
(4) Jasa giro sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diberikan apabila Bank telah memenuhi seluruh
kewajiban GWM dalam Rupiah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3.
- 4 -
(5) Bank Indonesia dapat mengubah kebijakan
pemberian jasa giro dan/atau persentase jasa giro
dengan mempertimbangkan kondisi perekonomian
dan arah kebijakan Bank Indonesia.
5. Penjelasan Pasal 18 diubah sebagaimana tercantum dalam
penjelasan.
6. Penjelasan Pasal 20 diubah sebagaimana tercantum dalam
penjelasan.
7. Penjelasan Pasal 22 diubah sebagaimana tercantum dalam
penjelasan.
Pasal II
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 16
Maret 2016.
- 5 -
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 10 Maret 2016
GUBERNUR BANK INDONESIA,
AGUS D.W. MARTOWARDOJO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 10 Maret 2016
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 45
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 18/03/PBI/2016 </reg_id>
<reg_title> PERUBAHAN KETIGA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 15/15/PBI/2013 TENTANG GIRO WAJIB MINIMUM BANK UMUM DALAM RUPIAH DAN VALUTA ASING BAGI BANK UMUM KONVENSIONAL </reg_title>
<set_date> 10 Maret 2016 </set_date>
<effective_date> 16 Maret 2016 </effective_date>
<issued_date> 10 Maret 2016 </issued_date>
<changed_reg> '15/15/PBI/2013' </changed_reg>
<extension_of> '17/11/PBI/2015', '17/21/PBI/2015' </extension_of>
<related_reg> '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008' </related_reg>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 20/5/PBI/2018
TENTANG
OPERASI MONETER
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa untuk memenuhi tujuan Bank Indonesia yaitu
mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah, Bank
Indonesia menetapkan dan melaksanakan kebijakan
moneter;
b. bahwa untuk melaksanakan kebijakan moneter, Bank
Indonesia melakukan pengendalian moneter yang salah
satunya dilakukan melalui pelaksanaan operasi moneter,
baik secara konvensional maupun berdasarkan prinsip
syariah;
c. bahwa untuk memperkuat efektivitas transmisi kebijakan
moneter tersebut, diperlukan upaya reformulasi kerangka
kebijakan moneter secara berkesinambungan;
d. bahwa sebagai bagian dari upaya reformulasi kerangka
kebijakan moneter secara berkesinambungan, Bank
Indonesia melakukan penguatan ketentuan operasi
moneter yang salah satunya terkait dengan perizinan
kepesertaan dalam operasi moneter;
e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a sampai dengan huruf d, perlu menetapkan
Peraturan Bank Indonesia tentang Operasi Moneter;
- 2 -
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah beberapa kali
diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun
2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan
Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999
tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor
7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4962);
2. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu
Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 67, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3844);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG OPERASI
MONETER.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Bank adalah bank umum konvensional, bank umum
syariah, dan unit usaha syariah.
2. Bank Umum Konvensional yang selanjutnya disingkat
BUK adalah bank umum yang melaksanakan kegiatan
usaha secara konvensional sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan.
3. Bank Umum Syariah yang selanjutnya disingkat BUS
adalah bank umum yang menjalankan kegiatan usaha
- 3 -
berdasarkan prinsip syariah sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai
perbankan syariah.
4. Unit Usaha Syariah yang selanjutnya disingkat UUS
adalah unit usaha syariah sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan
syariah.
5. Operasi Moneter adalah pelaksanaan kebijakan moneter
oleh Bank Indonesia untuk pengendalian moneter yang
dilakukan secara konvensional dan berdasarkan prinsip
syariah.
6. Operasi Moneter Konvensional yang selanjutnya disingkat
OMK adalah pelaksanaan kebijakan moneter oleh Bank
Indonesia untuk pengendalian moneter yang dilakukan
secara konvensional.
7. Operasi Moneter Syariah yang selanjutnya disingkat OMS
adalah pelaksanaan kebijakan moneter oleh Bank
Indonesia untuk pengendalian moneter yang dilakukan
berdasarkan prinsip syariah.
8. Operasi Pasar Terbuka yang selanjutnya disingkat OPT
adalah kegiatan transaksi di pasar uang dan/atau pasar
valuta asing yang dilakukan oleh Bank Indonesia dengan
Bank dan/atau pihak lain untuk Operasi Moneter yang
dilakukan secara konvensional dan berdasarkan prinsip
syariah.
9. Operasi Pasar Terbuka Konvensional yang selanjutnya
disebut OPT Konvensional adalah kegiatan transaksi di
pasar uang dan/atau pasar valuta asing yang dilakukan
oleh Bank Indonesia dengan BUK dan/atau pihak lain.
10. Operasi Pasar Terbuka Syariah yang selanjutnya disebut
OPT Syariah adalah kegiatan transaksi di pasar uang
berdasarkan prinsip syariah dan/atau pasar valuta asing
yang dilakukan oleh Bank Indonesia dengan BUS, UUS,
dan/atau pihak lain.
11. Standing Facilities adalah kegiatan penyediaan dana
rupiah dari Bank Indonesia kepada Bank dan penempatan
dana rupiah oleh Bank di Bank Indonesia untuk Operasi
- 4 -
Moneter yang dilakukan secara konvensional dan
berdasarkan prinsip syariah.
12. Standing Facilities Konvensional adalah kegiatan
penyediaan dana rupiah (lending facility) dari Bank
Indonesia kepada BUK dan penempatan dana rupiah
(deposit facility) oleh BUK di Bank Indonesia.
13. Standing Facilities Syariah adalah kegiatan penyediaan
dana rupiah (financing facility) dari Bank Indonesia kepada
BUS atau UUS dan penempatan dana rupiah (deposit
facility) oleh BUS atau UUS di Bank Indonesia.
14. Sertifikat Bank Indonesia yang selanjutnya disingkat SBI
adalah surat berharga dalam mata uang rupiah yang
diterbitkan oleh Bank Indonesia sebagai pengakuan utang
berjangka waktu pendek.
15. Sertifikat Bank Indonesia Syariah yang selanjutnya
disingkat SBIS adalah surat berharga berdasarkan prinsip
syariah dalam mata uang rupiah yang diterbitkan oleh
Bank Indonesia dan berjangka waktu pendek.
16. Sertifikat Deposito Bank Indonesia yang selanjutnya
disingkat SDBI adalah surat berharga dalam mata uang
rupiah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia sebagai
pengakuan utang berjangka waktu pendek yang dapat
diperdagangkan hanya antar-BUK.
17. Surat Berharga Bank Indonesia dalam Valuta Asing yang
selanjutnya disebut SBBI Valas adalah surat berharga
dalam valuta asing yang diterbitkan oleh Bank Indonesia
sebagai pengakuan utang berjangka waktu pendek.
18. Surat Berharga Negara yang selanjutnya disingkat SBN
adalah surat utang negara dan surat berharga syariah
negara.
19. Surat Utang Negara yang selanjutnya disingkat SUN
adalah surat utang negara sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang yang mengatur mengenai surat utang
negara.
20. Surat Berharga Syariah Negara yang selanjutnya disingkat
SBSN adalah surat berharga syariah negara sebagaimana
- 5 -
dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur
mengenai surat berharga syariah negara.
21. Hari Kerja adalah hari kerja Bank Indonesia, termasuk
hari kerja operasional terbatas Bank Indonesia.
BAB II
TUJUAN OPERASI MONETER
Pasal 2
(1) Operasi Moneter bertujuan untuk mendukung pencapaian
stabilitas moneter.
(2) Operasi Moneter sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan di pasar uang dan pasar valuta asing secara
terintegrasi.
(3) Operasi Moneter sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat dilakukan secara konvensional dan berdasarkan
prinsip syariah.
Pasal 3
(1) Untuk mencapai stabilitas moneter sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), OMK diarahkan untuk
mengendalikan suku bunga Pasar Uang Antar Bank
Overnight (PUAB O/N) dan menjaga stabilitas nilai tukar
rupiah.
(2) Suku bunga PUAB O/N sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dikendalikan agar bergerak di sekitar suku bunga
kebijakan Bank Indonesia.
(3) Untuk mengendalikan suku bunga PUAB O/N
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Bank Indonesia
melakukan pengelolaan likuiditas di pasar uang rupiah
dengan cara absorpsi likuiditas dan/atau injeksi
likuiditas.
(4) Suku bunga kebijakan Bank Indonesia sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) yaitu Bank Indonesia 7-day
(Reverse) Repo Rate.
- 6 -
Pasal 4
(1) Nilai tukar rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
ayat (1) dijaga agar bergerak stabil sejalan dengan nilai
tukar fundamental.
(2) Untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia melakukan
intervensi dan/atau transaksi lainnya di pasar valuta
asing.
Pasal 5
Untuk mencapai stabilitas moneter sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (1), OMS diarahkan untuk memengaruhi
kecukupan likuiditas di pasar uang berdasarkan prinsip
syariah dan pasar valuta asing.
Pasal 6
(1) Pelaksanaan OMS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
dilakukan berdasarkan prinsip syariah.
(2) Pemenuhan prinsip syariah sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dinyatakan dalam bentuk pemberian fatwa
dan/atau opini syariah oleh otoritas yang berwenang
mengeluarkan fatwa dan/atau opini syariah.
Pasal 7
(1) Untuk memengaruhi kecukupan likuiditas di pasar uang
berdasarkan prinsip syariah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5, Bank Indonesia melakukan pengelolaan
likuiditas dengan cara absorpsi likuiditas dan/atau injeksi
likuiditas.
(2) Untuk memengaruhi kecukupan likuiditas di pasar valuta
asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, Bank
Indonesia melakukan intervensi dan/atau transaksi
lainnya di pasar valuta asing.
- 7 -
BAB III
PELAKSANAAN OPERASI MONETER
Pasal 8
Operasi Moneter dilaksanakan melalui:
a. OPT; dan
b. Standing Facilities.
Pasal 9
(1) OPT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf a dapat
dilaksanakan oleh Bank Indonesia pada setiap Hari Kerja.
(2) OPT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
melalui mekanisme lelang dan/atau nonlelang.
Pasal 10
(1) Standing Facilities sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8
huruf b dilaksanakan oleh Bank Indonesia pada setiap
Hari Kerja.
(2) Pelaksanaan Standing Facilities sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan melalui mekanisme nonlelang.
Bagian Kesatu
Pelaksanaan OMK
Pasal 11
OMK dilakukan dalam bentuk:
a. OPT Konvensional; dan
b. Standing Facilities Konvensional.
Paragraf 1
OPT Konvensional
Pasal 12
OPT Konvensional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11
huruf a dilaksanakan dengan cara melakukan:
a. penerbitan SBI, SDBI, dan/atau SBBI Valas;
- 8 -
b. transaksi repurchase agreement (repo) dan/atau reverse
repo surat berharga;
c. transaksi pembelian dan/atau penjualan surat berharga
secara outright;
d. penempatan berjangka (term deposit) di Bank Indonesia
dalam rupiah;
e. penempatan berjangka (term deposit) di Bank Indonesia
dalam valuta asing;
f.
jual beli valuta asing terhadap rupiah; dan/atau
g. transaksi lainnya baik di pasar uang rupiah maupun
pasar valuta asing.
Pasal 13
(1) Penempatan berjangka (term deposit) di Bank Indonesia
dalam rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12
huruf d dan penempatan berjangka (term deposit) di Bank
Indonesia dalam valuta asing sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 12 huruf e dapat dicairkan oleh peserta OPT
Konvensional sebelum jatuh waktu (early redemption)
dengan memenuhi persyaratan tertentu.
(2) Penempatan berjangka (term deposit) di Bank Indonesia
dalam valuta asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12
huruf e dapat dialihkan oleh peserta OPT Konvensional
menjadi transaksi swap jual valuta asing terhadap rupiah
Bank Indonesia.
Pasal 14
(1) Penempatan berjangka (term deposit) di Bank Indonesia
dalam valuta asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12
huruf e dapat menjadi pengurang posisi devisa neto secara
keseluruhan yang wajib dipelihara BUK pada akhir hari
kerja sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan yang mengatur mengenai posisi
devisa neto bank umum.
(2) Nilai penempatan berjangka (term deposit) di Bank
Indonesia dalam valuta asing yang menjadi pengurang
- 9 -
posisi devisa neto sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
paling tinggi sebesar nilai yang terendah dari:
a.
nilai posisi devisa neto secara keseluruhan pada akhir
hari kerja yang bersangkutan sebelum dikurangi
dengan penempatan berjangka (term deposit) di Bank
Indonesia dalam valuta asing;
b.
nilai penempatan berjangka (term deposit) di Bank
Indonesia dalam valuta asing; atau
c. 5% (lima persen) dari modal BUK.
(3) BUK wajib melaporkan secara harian posisi devisa neto
secara keseluruhan pada akhir hari kerja sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-
undangan yang mengatur mengenai posisi devisa neto
bank umum, setelah memperhitungkan penempatan
berjangka (term deposit) di Bank Indonesia dalam valuta
asing sebagai pengurang.
(4) Dalam hal BUK tidak menyampaikan laporan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) maka penempatan
berjangka (term deposit) di Bank Indonesia dalam valuta
asing tidak diperhitungkan sebagai pengurang posisi
devisa neto.
Pasal 15
Dalam kegiatan OPT Konvensional sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 12 huruf b, Bank Indonesia dapat menggunakan
surat berharga milik pihak lain yang ditetapkan Bank
Indonesia.
Pasal 16
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan OPT
Konvensional diatur dalam Peraturan Anggota Dewan
Gubernur.
- 10 -
Paragraf 2
Standing Facilities Konvensional
Pasal 17
Standing Facilities Konvensional memiliki jangka waktu 1 (satu)
Hari Kerja.
Pasal 18
(1) Penyediaan dana rupiah (lending facility) dalam Standing
Facilities Konvensional dilakukan dengan mekanisme
Bank Indonesia menerima repo surat berharga dalam
rupiah dari peserta Standing Facilities Konvensional.
(2) Surat berharga sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat berupa:
a. SBI;
b. SDBI;
c. SBN; dan/atau
d. surat berharga lain yang berkualitas tinggi dan
mudah dicairkan, yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia.
Pasal 19
Penempatan dana rupiah (deposit facility) dalam Standing
Facilities Konvensional dilakukan dengan mekanisme Bank
Indonesia menerima penempatan dana rupiah dari peserta
Standing Facilities Konvensional tanpa menerbitkan surat
berharga.
Pasal 20
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan Standing
Facilities Konvensional diatur dalam Peraturan Anggota Dewan
Gubernur.
- 11 -
Bagian Kedua
Pelaksanaan OMS
Pasal 21
OMS dilakukan dalam bentuk:
a. OPT Syariah; dan
b. Standing Facilities Syariah.
Paragraf 1
OPT Syariah
Pasal 22
OPT Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf a
dilaksanakan dengan cara melakukan:
a. penerbitan SBIS;
b. transaksi repo dan/atau reverse repo surat berharga yang
memenuhi prinsip syariah;
c.
transaksi pembelian dan/atau penjualan surat berharga
yang memenuhi prinsip syariah secara outright;
d. penempatan berjangka (term deposit) syariah di Bank
Indonesia dalam valuta asing; dan/atau
e. transaksi lainnya yang memenuhi prinsip syariah baik di
pasar uang rupiah maupun pasar valuta asing.
Pasal 23
(1) Transaksi repo dan reverse repo surat berharga yang
memenuhi prinsip syariah sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 22 huruf b menggunakan akad al ba’i yang diikuti
dengan wa’d.
(2) Dalam hal terdapat perubahan akad sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), perubahan tersebut ditetapkan
dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
Pasal 24
(1) Penempatan berjangka (term deposit) syariah di Bank
Indonesia dalam valuta asing sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 22 huruf d menggunakan akad ju’alah.
- 12 -
(2) Bank Indonesia menetapkan dan memberikan imbalan
atas penempatan berjangka (term deposit) syariah di Bank
Indonesia dalam valuta asing sebagaimana dimaksud
pada ayat (1).
(3) Dalam hal terdapat perubahan akad sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), perubahan tersebut ditetapkan
dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
Pasal 25
Penempatan berjangka (term deposit) syariah di Bank Indonesia
dalam valuta asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22
huruf d dapat dicairkan oleh peserta OPT Syariah sebelum
jatuh waktu (early redemption) dengan memenuhi persyaratan
tertentu.
Pasal 26
(1) Penempatan berjangka (term deposit) syariah di Bank
Indonesia dalam valuta asing sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 22 huruf d dapat menjadi pengurang posisi
devisa neto secara keseluruhan yang wajib dipelihara BUS
pada akhir hari kerja sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan
mengatur mengenai posisi devisa neto bank umum.
(2) Nilai penempatan berjangka (term deposit) syariah di Bank
Indonesia dalam valuta asing yang dapat menjadi
pengurang posisi devisa neto sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) paling tinggi sebesar nilai yang terendah dari:
a.
peraturan perundang-undangan yang
nilai posisi devisa neto secara keseluruhan pada akhir
hari kerja yang bersangkutan sebelum dikurangi
dengan penempatan berjangka (term deposit) syariah
di Bank Indonesia dalam valuta asing;
b.
nilai penempatan berjangka (term deposit) syariah di
Bank Indonesia dalam valuta asing; atau
c. 5% (lima persen) dari modal BUS.
(3) BUS wajib melaporkan secara harian posisi devisa neto
secara keseluruhan pada akhir hari kerja sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-
- 13 -
undangan yang mengatur mengenai posisi devisa neto
bank umum, setelah memperhitungkan penempatan
berjangka (term deposit) syariah di Bank Indonesia dalam
valuta asing sebagai pengurang.
(4) Dalam hal BUS tidak menyampaikan laporan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) maka penempatan
berjangka (term deposit) syariah di Bank Indonesia dalam
valuta asing tidak diperhitungkan sebagai pengurang
posisi devisa neto.
(5) Dalam hal UUS melakukan penempatan berjangka (term
deposit) syariah di Bank Indonesia dalam valuta asing
maka perhitungan nilai penempatan berjangka (term
deposit) syariah di Bank Indonesia dalam valuta asing
dapat menjadi pengurang posisi devisa neto BUK yang
memiliki UUS.
(6) Dalam hal UUS melakukan penempatan berjangka (term
deposit) syariah di Bank Indonesia dalam valuta asing
sebagaimana dimaksud pada ayat (5), laporan harian
posisi devisa neto secara keseluruhan pada akhir hari
kerja setelah memperhitungkan penempatan berjangka
(term deposit) syariah di Bank Indonesia dalam valuta
asing disampaikan oleh BUK yang memiliki UUS.
Pasal 27
Dalam kegiatan OPT Syariah sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 22 huruf b, Bank Indonesia dapat menggunakan surat
berharga milik pihak lain yang ditetapkan Bank Indonesia.
Pasal 28
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan OPT Syariah
diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
- 14 -
Paragraf 2
Standing Facilities Syariah
Pasal 29
Standing Facilities Syariah memiliki jangka waktu sebagai
berikut:
a. Standing Facilities Syariah yang berupa penyediaan dana
rupiah (financing facility) dari Bank Indonesia kepada BUS
atau UUS memiliki jangka waktu 1 (satu) Hari Kerja; dan
b. Standing Facilities Syariah yang berupa penempatan dana
rupiah (deposit facility) oleh BUS atau UUS di Bank
Indonesia memiliki jangka waktu paling lama 14 (empat
belas) hari kalender.
Pasal 30
(1) Penyediaan dana rupiah (financing facility) dalam Standing
Facilities Syariah dilakukan dengan mekanisme Bank
Indonesia menerima repo surat berharga dalam rupiah
yang memenuhi prinsip syariah dari peserta Standing
Facilities Syariah.
(2) Surat berharga sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat berupa:
a. SBIS; dan/atau
b. SBSN.
(3) Penyediaan dana rupiah (financing facility) berupa repo
SBIS sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a
menggunakan akad qard yang diikuti dengan rahn.
(4) Penyediaan dana rupiah (financing facility) berupa repo
SBSN sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b
menggunakan akad al ba’i yang diikuti dengan wa’d.
(5) Dalam hal terdapat perubahan akad sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4), perubahan tersebut
ditetapkan dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
Pasal 31
(1) Penempatan dana rupiah (deposit facility) dalam Standing
Facilities Syariah dilakukan dengan mekanisme Bank
- 15 -
Indonesia menerima penempatan dana rupiah dari peserta
Standing Facilities Syariah tanpa menerbitkan surat
berharga.
(2) Penempatan dana rupiah (deposit facility) sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) salah satunya dilakukan dalam
bentuk Fasilitas Simpanan Bank Indonesia Syariah
(FASBIS).
(3) Penempatan dana rupiah (deposit facility) sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) menggunakan akad wadi’ah atau
titipan.
(4) Dalam hal terdapat perubahan akad sebagaimana
dimaksud pada ayat (3), perubahan tersebut ditetapkan
dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
Pasal 32
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan Standing
Facilities Syariah diatur dalam Peraturan Anggota Dewan
Gubernur.
BAB IV
INSTRUMEN OPERASI MONETER YANG DITERBITKAN
BANK INDONESIA
Bagian Kesatu
Instrumen OMK yang Diterbitkan Bank Indonesia
Paragraf 1
SBI, SDBI, dan SBBI Valas
Pasal 33
SBI memiliki karakteristik sebagai berikut:
a. berjangka waktu paling singkat 1 (satu) bulan dan paling
lama 12 (dua belas) bulan yang dinyatakan dalam jumlah
hari kalender dan dihitung sejak 1 (satu) hari kalender
sesudah tanggal setelmen sampai dengan tanggal jatuh
waktu;
b. diterbitkan dan diperdagangkan dengan sistem diskonto;
- 16 -
c. diterbitkan tanpa warkat (scripless); dan
d. dapat dipindahtangankan (negotiable).
Pasal 34
SDBI memiliki karakteristik sebagai berikut:
a. berjangka waktu paling singkat 1 (satu) hari kalender dan
paling lama 12 (dua belas) bulan yang dinyatakan dalam
jumlah hari kalender dan dihitung sejak 1 (satu) hari
kalender sesudah tanggal setelmen sampai dengan tanggal
jatuh waktu;
b. diterbitkan dan diperdagangkan dengan sistem diskonto;
c. diterbitkan tanpa warkat (scripless);
d. hanya dapat dimiliki oleh BUK; dan
e. dapat dipindahtangankan (negotiable) hanya antar-BUK.
Pasal 35
SBBI Valas memiliki karakteristik sebagai berikut:
a. berjangka waktu paling singkat 1 (satu) bulan dan paling
lama 12 (dua belas) bulan yang dinyatakan dalam jumlah
hari kalender dan dihitung sejak 1 (satu) hari kalender
sesudah tanggal setelmen sampai dengan tanggal jatuh
waktu;
b. diterbitkan dalam valuta asing;
c. diterbitkan tanpa warkat (scripless);
d. dapat dimiliki oleh penduduk atau bukan penduduk di
pasar perdana atau pasar sekunder;
e. dapat diperdagangkan (tradable); dan
f.
diterbitkan dan diperdagangkan dengan sistem diskonto.
Pasal 36
Ketentuan lebih lanjut mengenai SBI, SDBI, dan SBBI Valas
diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
- 17 -
Paragraf 2
Penatausahaan SBI, SDBI, dan SBBI Valas
Pasal 37
(1) Bank Indonesia menatausahakan SBI, SDBI, dan SBBI
Valas dalam suatu sistem penatausahaan secara
elektronis di Bank Indonesia.
(2) Sistem penatausahaan yang dikelola oleh Bank Indonesia
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup sistem
pencatatan kepemilikan dan penyelesaian transaksi SBI,
SDBI, dan SBBI Valas.
(3) Sistem pencatatan kepemilikan SBI, SDBI, dan SBBI Valas
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan tanpa
warkat (scripless).
(4) Bank Indonesia dapat menunjuk pihak lain untuk
mendukung pelaksanaan penatausahaan SBI, SDBI, dan
SBBI Valas sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(5) Dalam hal pihak lain yang ditunjuk untuk mendukung
penatausahaan SBI, SDBI, dan/atau SBBI Valas
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak dapat
memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia dan/atau menghentikan kegiatan usahanya,
Bank Indonesia berwenang mencabut penunjukan yang
telah ditetapkan.
Pasal 38
Bank Indonesia dapat menatausahakan SBI, SDBI, dan SBBI
Valas dengan menggunakan sarana lain yang ditetapkan oleh
Bank Indonesia.
Paragraf 3
Pembatasan Transaksi SBI dan SDBI di Pasar Sekunder
Pasal 39
(1) Pemilik SBI dilarang melakukan transaksi atas SBI yang
dimilikinya dengan pihak lain dalam jangka waktu
tertentu sejak memiliki SBI.
- 18 -
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
berlaku untuk transaksi SBI yang dilakukan peserta
Operasi Moneter dengan Bank Indonesia.
(3) Pihak lain yang ditunjuk untuk mendukung
penatausahaan SBI sebagaimana dimaksud dalam Pasal
37 ayat (4) wajib menatausahakan SBI milik nasabahnya
dengan memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1).
Pasal 40
(1) BUK dilarang melakukan transaksi SDBI dengan pihak
selain BUK.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
berlaku untuk transaksi SDBI yang dilakukan BUK
dengan Bank Indonesia.
(3) Pihak lain yang ditunjuk untuk mendukung
penatausahaan SDBI sebagaimana dimaksud dalam Pasal
37 ayat (4) wajib menatausahakan SDBI milik nasabahnya
dengan memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1).
(4) Lembaga perantara wajib melakukan transaksi SDBI atas
nama nasabahnya dengan memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(5) Dalam hal SDBI dimiliki oleh pihak selain BUK, Bank
Indonesia melunasi SDBI dimaksud sebelum jatuh waktu
(early redemption) tanpa persetujuan pemilik SDBI.
Pasal 41
Ketentuan lebih lanjut mengenai pembatasan transaksi terkait
SBI dan SDBI diatur dalam Peraturan Anggota Dewan
Gubernur.
- 19 -
Paragraf 4
Pelunasan SBI, SDBI, dan SBBI Valas
Pasal 42
(1) Bank Indonesia melunasi SBI, SDBI, dan SBBI Valas pada
saat jatuh waktu sebesar nilai nominal.
(2) Bank Indonesia dapat melunasi SBI, SDBI, dan SBBI Valas
sebelum jatuh waktu (early redemption) dengan
persetujuan pemilik SBI, SDBI, dan SBBI Valas.
Pasal 43
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelunasan SBI, SDBI, dan
SBBI Valas diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
Bagian Kedua
Instrumen OMS yang Diterbitkan Bank Indonesia
Paragraf 1
SBIS
Pasal 44
(1) SBIS yang diterbitkan oleh Bank Indonesia menggunakan
akad ju’alah.
(2) Bank Indonesia menetapkan dan memberikan imbalan
atas SBIS yang diterbitkan.
(3) Bank Indonesia membayar imbalan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dengan ketentuan sebagai berikut:
a. pada saat SBIS jatuh waktu; atau
b. sebelum jatuh waktu, dalam hal BUS atau UUS tidak
dapat memenuhi kewajiban repo SBIS.
(4) Dalam hal terdapat perubahan akad sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), perubahan tersebut ditetapkan
dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
- 20 -
Pasal 45
SBIS memiliki karakteristik sebagai berikut:
a. berjangka waktu paling singkat 1 (satu) bulan dan paling
lama 12 (dua belas) bulan yang dinyatakan dalam jumlah
hari kalender dan dihitung sejak 1 (satu) hari setelah
tanggal penyelesaian transaksi sampai dengan tanggal
jatuh waktu;
b. diterbitkan tanpa warkat (scripless);
c. dapat diagunkan kepada Bank Indonesia;
d. tidak dapat diperdagangkan (non-tradable) di pasar
sekunder; dan
e. hanya dapat dimiliki oleh BUS atau UUS.
Pasal 46
Ketentuan lebih lanjut mengenai SBIS diatur dalam Peraturan
Anggota Dewan Gubernur.
Paragraf 2
Penatausahaan SBIS
Pasal 47
(1) Bank Indonesia menatausahakan SBIS dalam suatu
sistem penatausahaan secara elektronis di Bank
Indonesia.
(2) Sistem penatausahaan yang dikelola oleh Bank Indonesia
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup sistem
pencatatan kepemilikan dan penyelesaian transaksi SBIS.
(3) Sistem pencatatan kepemilikan SBIS sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dilakukan tanpa warkat (scripless).
(4) Bank Indonesia dapat menunjuk pihak lain untuk
mendukung pelaksanaan penatausahaan SBIS
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 48
Bank Indonesia dapat menatausahakan SBIS dengan
menggunakan sarana lain yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia.
- 21 -
Paragraf 3
Pelunasan SBIS
Pasal 49
Bank Indonesia melunasi SBIS pada saat jatuh waktu sebesar
nilai nominal dan membayar imbalan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 44 ayat (3).
Pasal 50
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelunasan SBIS diatur dalam
Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
BAB V
PERIZINAN PESERTA DAN LEMBAGA PERANTARA
DALAM OPERASI MONETER
Bagian Kesatu
Peserta dan Lembaga Perantara dalam Operasi Moneter
Pasal 51
(1) Peserta Operasi Moneter terdiri atas:
a. peserta OPT, yaitu Bank dan/atau pihak lain yang
ditetapkan oleh Bank Indonesia; dan
b. peserta Standing Facilities, yaitu Bank,
yang sudah memperoleh izin dari Bank Indonesia.
(2) Lembaga perantara dalam Operasi Moneter terdiri atas:
a. pialang pasar uang rupiah dan valuta asing;
dan/atau
b. perusahaan efek yang ditunjuk oleh Menteri
Keuangan Republik Indonesia sebagai dealer utama,
yang sudah memperoleh izin dari Bank Indonesia.
(3) Peserta OPT dapat mengikuti OPT secara langsung
dan/atau tidak langsung melalui lembaga perantara.
(4) Peserta Standing Facilities hanya dapat mengikuti
Standing Facilities secara langsung.
(5) Lembaga perantara hanya dapat mengajukan penawaran
transaksi OPT untuk dan atas nama peserta OPT.
- 22 -
(6) Peserta OPT Konvensional dapat mengikuti lelang SBBI
Valas untuk kepentingan diri sendiri dan/atau pihak lain.
Pasal 52
Ketentuan lebih lanjut mengenai peserta dan lembaga
perantara dalam Operasi Moneter diatur dalam Peraturan
Anggota Dewan Gubernur.
Bagian Kedua
Perizinan Peserta dan Lembaga Perantara
dalam Operasi Moneter
Pasal 53
(1) Pihak yang akan menjadi peserta dan lembaga perantara
dalam Operasi Moneter harus memperoleh izin dari Bank
Indonesia.
(2) Untuk memperoleh izin sebagai peserta Operasi Moneter
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pihak yang akan
menjadi peserta menyampaikan permohonan kepada
Bank Indonesia disertai dengan dokumen pendukung
pemenuhan persyaratan kepesertaan Operasi Moneter.
(3) Untuk memperoleh izin sebagai lembaga perantara dalam
Operasi Moneter sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
pihak yang akan menjadi lembaga perantara
menyampaikan permohonan kepada Bank Indonesia
disertai dengan dokumen pendukung pemenuhan
persyaratan kepesertaan Operasi Moneter.
Pasal 54
(1) Peserta Operasi Moneter berupa Bank yang melakukan
langkah strategis dan mendasar serta yang berdampak
pada hubungan operasional Bank dengan Bank Indonesia
di bidang moneter atau Bank baru yang telah memperoleh
izin usaha dari otoritas yang berwenang, harus
mengajukan izin sebagai peserta Operasi Moneter
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (2).
- 23 -
(2) Lembaga perantara dalam Operasi Moneter yang
melakukan langkah strategis dan mendasar atau lembaga
perantara baru yang telah memperoleh izin usaha dari
otoritas yang berwenang, harus mengajukan izin
keikutsertaan dalam Operasi Moneter sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 53 ayat (3).
(3) Langkah strategis dan mendasar serta yang berdampak
pada hubungan operasional Bank dengan Bank Indonesia
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengacu pada
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
pelayanan perizinan terpadu terkait hubungan
operasional bank dengan Bank Indonesia.
Pasal 55
Ketentuan lebih lanjut mengenai perizinan peserta dan lembaga
perantara dalam Operasi Moneter diatur dalam Peraturan
Anggota Dewan Gubernur.
Bagian Ketiga
Persyaratan untuk Memperoleh Izin
bagi Pihak yang Akan Menjadi Peserta dan Lembaga Perantara
dalam Operasi Moneter
Pasal 56
(1) Bank Indonesia menetapkan persyaratan untuk
memperoleh izin bagi pihak yang akan menjadi peserta
dan lembaga perantara dalam Operasi Moneter.
(2) Penetapan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan dengan mempertimbangkan:
a. aspek kapasitas;
b. aspek kapabilitas; dan
c. aspek reputasi.
(3) Persyaratan yang harus dipenuhi oleh pihak yang akan
menjadi peserta dan lembaga perantara dalam Operasi
Moneter sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. aspek kelembagaan;
b. aspek infrastruktur;
- 24 -
c. aspek kompetensi sumber daya manusia; dan
d. aspek manajemen risiko.
Pasal 57
Pemenuhan aspek kompetensi sumber daya manusia
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (3) huruf c
dilakukan dengan mengacu pada ketentuan Bank Indonesia
yang mengatur mengenai sertifikasi tresuri dan penerapan
kode etik pasar.
Pasal 58
Peserta dan lembaga perantara dalam Operasi Moneter wajib
menyampaikan data, informasi, dan/atau keterangan apabila
terdapat perubahan data dan/atau informasi terkait
pemenuhan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
56 ayat (3).
Pasal 59
Bank Indonesia dapat menunjuk peserta OPT sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) huruf a yang memenuhi
persyaratan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia untuk
mendukung pelaksanaan transaksi Operasi Moneter.
Pasal 60
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan untuk
memperoleh izin bagi pihak yang akan menjadi peserta dan
lembaga perantara dalam Operasi Moneter diatur dalam
Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
Bagian Keempat
Pencabutan Izin Peserta
dan Lembaga Perantara dalam Operasi Moneter
Pasal 61
(1) Bank Indonesia dapat mencabut izin Bank dan/atau pihak
lain sebagai peserta Operasi Moneter dan mencabut izin
pialang pasar uang rupiah dan valuta asing dan/atau
- 25 -
perusahaan efek sebagai lembaga perantara dalam
Operasi Moneter dalam hal Bank dan/atau pihak lain
serta pialang pasar uang rupiah dan valuta asing
dan/atau perusahaan efek:
a. dicabut izin usahanya oleh otoritas terkait;
b. melakukan langkah strategis dan mendasar;
dan/atau
c. mengajukan pencabutan izin sebagai peserta atau
lembaga perantara dalam Operasi Moneter atas
permintaan sendiri.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pencabutan izin sebagai
peserta dan lembaga perantara dalam Operasi Moneter
diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
Bagian Kelima
Tanggung Jawab Peserta dan Lembaga Perantara
dalam Operasi Moneter
Pasal 62
(1) Peserta dan lembaga perantara dalam Operasi Moneter
bertanggung jawab atas kebenaran data penawaran
transaksi yang diajukan.
(2) Peserta dan lembaga perantara dalam Operasi Moneter
yang telah mengajukan penawaran transaksi tidak dapat
membatalkan penawarannya.
(3) Peserta dan lembaga perantara dalam Operasi Moneter
harus memenuhi tata cara dan persyaratan pengajuan
penawaran transaksi Operasi Moneter yang ditetapkan
oleh Bank Indonesia.
(4) Dalam hal peserta dan lembaga perantara dalam Operasi
Moneter tidak memenuhi tata cara dan persyaratan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3), penawaran
transaksi yang telah diajukan akan ditolak dan/atau tidak
diproses oleh Bank Indonesia.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tanggung jawab peserta
dan lembaga perantara dalam Operasi Moneter diatur
dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
- 26 -
BAB VI
PENYELESAIAN TRANSAKSI DALAM OPERASI MONETER
Pasal 63
(1) Peserta Operasi Moneter harus memiliki:
a. rekening giro rupiah di Bank Indonesia; dan
b. rekening giro valuta asing di Bank Indonesia, dalam
hal peserta Operasi Moneter mengikuti transaksi OPT
dalam valuta asing.
(2) Peserta Operasi Moneter harus memiliki rekening surat
berharga di Bank Indonesia dan/atau di lembaga
kustodian yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
(3) Peserta Operasi Moneter yang mengikuti kegiatan Operasi
Moneter wajib menyediakan dana yang cukup pada
rekening giro rupiah di Bank Indonesia dan/atau surat
berharga dalam rupiah yang cukup pada rekening surat
berharga di Bank Indonesia atau di lembaga kustodian,
untuk penyelesaian kewajiban pada tanggal penyelesaian
transaksi.
(4) Peserta Operasi Moneter yang mengikuti transaksi OPT
dalam valuta asing wajib:
a. menyediakan dana yang cukup di rekening giro
rupiah di Bank Indonesia;
b. menyediakan dana yang cukup di rekening giro valuta
asing di Bank Indonesia; atau
c. melakukan transfer dana dalam valuta asing yang
cukup ke rekening Bank Indonesia di bank
koresponden,
untuk penyelesaian transaksi.
(5) Dalam hal peserta Operasi Moneter tidak memenuhi
kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (3), transaksi
Operasi Moneter yang bersangkutan dinyatakan batal.
- 27 -
(6) Dalam hal peserta Operasi Moneter tidak memenuhi
kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (4) maka
transaksi OPT dalam valuta asing yang bersangkutan:
a. dinyatakan batal, untuk transaksi penempatan
berjangka (term deposit) di Bank Indonesia dalam
valuta asing dan SBBI Valas; dan
b. tetap wajib diselesaikan setelah tanggal penyelesaian
transaksi, untuk transaksi OPT di pasar valuta asing
selain transaksi penempatan berjangka (term deposit)
di Bank Indonesia dalam valuta asing dan SBBI Valas
sebagaimana dimaksud dalam huruf a.
Pasal 64
Bank Indonesia berwenang melakukan pendebitan rekening
giro di Bank Indonesia dan/atau rekening surat berharga di
Bank Indonesia dan/atau di lembaga kustodian milik peserta
Operasi Moneter untuk penyelesaian transaksi Operasi
Moneter sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63.
Pasal 65
Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelesaian transaksi dalam
Operasi Moneter diatur dalam Peraturan Anggota Dewan
Gubernur.
BAB VII
PEMANTAUAN PASAR KEUANGAN
Pasal 66
(1) Untuk mendukung pelaksanaan Operasi Moneter, Bank
Indonesia melakukan pemantauan pasar keuangan.
(2) Pemantauan pasar keuangan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) terdiri atas pemantauan:
a. pasar uang;
b. pasar uang berdasarkan prinsip syariah;
c. pasar valuta asing;
d. pasar SBN; dan/atau
e. pasar keuangan lainnya.
- 28 -
(3) Pemantauan pasar keuangan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilaksanakan melalui pemonitoran transaksi
secara langsung atau tidak langsung.
BAB VIII
PENGAWASAN BANK INDONESIA
DALAM OPERASI MONETER
Pasal 67
(1) Bank Indonesia melakukan pengawasan terhadap
pelaksanaan Operasi Moneter yang meliputi:
a. pengawasan tidak langsung; dan/atau
b. pemeriksaan, apabila diperlukan.
(2) Dalam melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Bank Indonesia dapat meminta peserta dan
lembaga perantara dalam Operasi Moneter untuk
menyediakan dan menyampaikan data, informasi,
dan/atau keterangan yang diperlukan oleh Bank
Indonesia.
BAB IX
SANKSI
Bagian Kesatu
Sanksi Terkait Penyelesaian Transaksi Operasi Moneter
Pasal 68
Dalam hal transaksi Operasi Moneter dinyatakan batal
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (5), peserta
Operasi Moneter dikenakan sanksi berupa:
a. teguran tertulis; dan
b. kewajiban membayar sebesar 0,01% (nol koma nol satu
persen) dari nilai transaksi Operasi Moneter yang
dinyatakan batal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62
ayat (2), paling sedikit sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh
juta rupiah) dan paling banyak sebesar Rp100.000.000,00
(seratus juta rupiah).
- 29 -
Pasal 69
(1) Dalam hal terjadi batal transaksi yang ketiga kali dalam
jangka waktu 6 (enam) bulan, selain dikenakan sanksi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68, peserta Operasi
Moneter juga dikenakan sanksi penghentian sementara
untuk mengikuti kegiatan Operasi Moneter selama 5 (lima)
Hari Kerja berturut-turut.
(2) Sanksi berupa penghentian sementara sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dikecualikan untuk:
a. transaksi repo terkait penyediaan dana rupiah
(lending facility)
Konvensional yang berasal dari transaksi fasilitas
likuiditas intrahari; atau
b. transaksi repo terkait penyediaan dana rupiah
(financing facility) peserta Standing Facilities Syariah
yang berasal dari transaksi fasilitas likuiditas
intrahari syariah,
yang tidak lunas.
Pasal 70
Perhitungan sanksi kewajiban membayar sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 68 huruf b menggunakan nilai transaksi
pada saat first leg, baik untuk transaksi Operasi Moneter yang
batal pada saat first leg maupun second leg.
Pasal 71
Dalam hal terjadi pembatalan transaksi pada saat second leg
dalam OMS:
a. untuk transaksi repo dan harga surat berharga pada
transaksi second leg lebih rendah dari harga surat
berharga pada transaksi first leg, selain dikenakan sanksi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68, peserta OMS
dikenakan sanksi tambahan berupa kewajiban membayar
sebesar selisih antara harga pada transaksi first leg dan
harga pada transaksi second leg setelah dikalikan dengan
nominal surat berharga yang di-repo-kan; dan
peserta Standing Facilities
- 30 -
b. untuk transaksi reverse repo dan harga surat berharga
pada transaksi second leg lebih tinggi dari harga pada
transaksi first leg, selain dikenakan sanksi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 68, peserta OMS dikenakan sanksi
tambahan berupa kewajiban membayar sebesar selisih
antara harga pada transaksi second leg dan harga pada
transaksi first leg, setelah dikalikan dengan nominal surat
berharga yang di-reverse repo-kan.
Pasal 72
Peserta OMK yang tidak memenuhi kewajiban sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 63 ayat (4) sehingga menyebabkan
batalnya transaksi penempatan berjangka (term deposit) di
Bank Indonesia dalam valuta asing dan SBBI Valas
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (6) huruf a,
dikenakan sanksi berupa:
a. teguran tertulis; dan
b. kewajiban membayar yang dihitung atas dasar:
1. suku bunga efektif Fed Fund yang berlaku pada
tanggal penyelesaian transaksi ditambah margin
sebesar 200 (dua ratus) basis point dikalikan nilai
transaksi dan dikalikan 1/360 (satu per tiga ratus
enam puluh), untuk transaksi dalam dolar Amerika
Serikat; dan
2. suku bunga yang dikeluarkan oleh bank sentral atau
otoritas moneter di negara valuta yang bersangkutan
(official rate) yang berlaku pada tanggal penyelesaian
transaksi ditambah margin sebesar 200 (dua ratus)
basis point dikalikan nilai transaksi dan dikalikan
1/360 (satu per tiga ratus enam puluh), untuk
transaksi dalam valuta asing nondolar Amerika
Serikat.
Pasal 73
(1) Peserta OMK yang melakukan transaksi OPT di pasar
valuta asing selain penempatan berjangka (term deposit) di
Bank Indonesia dalam valuta asing dan SBBI Valas yang
- 31 -
tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 63 ayat (4), wajib membayar nilai transaksi yang
bersangkutan pada hari kerja berikutnya setelah tanggal
penyelesaian transaksi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 63 ayat (6) huruf b.
(2) Selain kewajiban membayar nilai transaksi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Peserta OMK juga dikenakan
sanksi sebagai berikut:
a. teguran tertulis; dan
b. kewajiban membayar yang dihitung atas dasar:
1. rata-rata suku bunga efektif Fed Fund yang
berlaku pada tanggal penyelesaian transaksi
ditambah margin sebesar 200 (dua ratus) basis
point dikalikan nilai transaksi dan dikalikan
1/360 (satu per tiga ratus enam puluh), untuk
penyelesaian kewajiban pembayaran dalam
valuta asing dolar Amerika Serikat;
2. rata-rata suku bunga yang dikeluarkan oleh
bank sentral atau otoritas moneter di negara
valuta yang bersangkutan (official rate) yang
berlaku pada tanggal penyelesaian transaksi
ditambah margin sebesar 200 (dua ratus) basis
point dikalikan nilai transaksi dan dikalikan
1/360 (satu per tiga ratus enam puluh), untuk
penyelesaian kewajiban pembayaran dalam
valuta asing nondolar Amerika Serikat; dan
3. rata-rata suku bunga kebijakan Bank Indonesia
yang berlaku ditambah margin sebesar 350 (tiga
ratus lima puluh) basis point dikalikan nilai
transaksi dan dikalikan 1/360 (satu per tiga
ratus enam puluh), untuk penyelesaian
kewajiban pembayaran dalam rupiah.
- 32 -
(3) Penyelesaian kewajiban pembayaran nilai transaksi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan sanksi
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan
ketentuan sebagai berikut:
a. Bank Indonesia mendebit rekening giro valuta asing
peserta OMK di Bank Indonesia untuk penyelesaian
kewajiban pembayaran dalam valuta asing dolar
Amerika Serikat dan valuta asing nondolar Amerika
Serikat;
b. perhitungan penyelesaian kewajiban pembayaran
dalam valuta asing nondolar Amerika Serikat
sebagaimana dimaksud dalam huruf a menggunakan
kurs tengah Bank Indonesia pada tanggal
penyelesaian transaksi; dan
c. Bank Indonesia mendebit rekening giro rupiah
peserta OMK di Bank Indonesia untuk penyelesaian
kewajiban pembayaran peserta OMK dalam rupiah.
Pasal 74
Dalam hal transaksi penempatan berjangka (term deposit)
syariah di Bank Indonesia dalam valuta asing dinyatakan batal
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (5), peserta OMS
dikenakan sanksi berupa:
a. teguran tertulis; dan
b. kewajiban membayar sebesar persentase tertentu dari
nilai transaksi yang batal, yang diumumkan oleh Bank
Indonesia pada saat pengumuman rencana transaksi.
Pasal 75
(1) Dalam hal terdapat perubahan besaran margin dalam
pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72
huruf b dan Pasal 73 ayat (2) huruf b, perubahan tersebut
ditetapkan dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan
sanksi terkait penyelesaian transaksi Operasi Moneter
diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
- 33 -
Bagian Kedua
Sanksi Terkait Pembatasan Transaksi SBI dan SDBI
di Pasar Sekunder
Pasal 76
Pemilik SBI yang merupakan peserta OMK yang melanggar
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (1)
dan/atau pihak lain yang ditunjuk untuk mendukung
penatausahaan SBI yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 39 ayat (3) dikenakan sanksi berupa:
a. teguran tertulis; dan
b. kewajiban membayar sebesar 0,01% (nol koma nol satu
persen) dari nilai transaksi SBI yang tidak memenuhi
persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat
(1) dan ayat (3), paling sedikit sebesar Rp10.000.000,00
(sepuluh juta rupiah) dan paling banyak sebesar
Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) per hari.
Pasal 77
BUK yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 40 ayat (1) dan/atau pihak lain yang ditunjuk untuk
mendukung penatausahaan SDBI yang melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (3), dikenakan
sanksi berupa:
a. teguran tertulis; dan
b. kewajiban membayar sebesar 0,01% (nol koma nol satu
persen) dari nilai transaksi SDBI yang tidak memenuhi
persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat
(3), paling sedikit sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta
rupiah) dan paling banyak sebesar Rp100.000.000,00
(seratus juta rupiah) per hari.
Pasal 78
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi
terkait pembatasan transaksi SBI dan SDBI di pasar sekunder
diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
- 34 -
Bagian Ketiga
Sanksi terkait Pengaturan dan Pengawasan Moneter dan/atau
Pengaturan dan Pengawasan Makroprudensial
Pasal 79
Bank Indonesia dapat mengenakan pembatasan dan/atau
larangan keikutsertaan dalam Operasi Moneter bagi peserta
Operasi Moneter yang tidak memenuhi kewajiban sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur
mengenai pengaturan dan pengawasan moneter dan/atau
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
pengaturan dan pengawasan makroprudensial.
Bagian Keempat
Sanksi Terkait Kepesertaan dalam Operasi Moneter
Pasal 80
(1) Dalam hal peserta dan/atau lembaga perantara dalam
Operasi Moneter tidak menyampaikan informasi
perubahan data dan/atau informasi terkait pemenuhan
persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58, Bank
Indonesia mengenakan sanksi administratif berupa:
a. teguran tertulis;
b. pembatasan keikutsertaan dalam Operasi Moneter;
dan/atau
c. pencabutan izin kepesertaan dalam Operasi Moneter.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan
sanksi terkait kepesertaan diatur dalam Peraturan
Anggota Dewan Gubernur.
BAB IX
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 81
(1) Selama periode pemberian pinjaman likuiditas jangka
pendek atau pembiayaan likuiditas jangka pendek
- 35 -
syariah, BUK, BUS, atau UUS hanya dapat mengikuti
OMK atau OMS yang bersifat ekspansi.
(2) Pemberian pinjaman likuiditas jangka pendek atau
pembiayaan likuiditas jangka pendek syariah mengacu
pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
pinjaman likuiditas jangka pendek dan pembiayaan
likuiditas jangka pendek syariah.
BAB X
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 82
(1) Bank dan/atau pialang pasar uang rupiah dan valuta
asing yang telah mengikuti Operasi Moneter sebelum
berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini, wajib
mengajukan izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53
ayat (1) kepada Bank Indonesia paling lambat 6 (enam)
bulan setelah Peraturan Bank Indonesia ini berlaku,
dengan ketentuan sebagai berikut:
a. bagi Bank dan/atau pialang pasar uang rupiah dan
valuta asing yang telah mengikuti Operasi Moneter
namun belum memenuhi persyaratan untuk
mendapatkan izin sebagai peserta atau lembaga
perantara dalam Operasi Moneter sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 56, wajib menyusun rencana
tindak (action plan);
b. rencana tindak (action plan) sebagaimana dimaksud
dalam huruf a disampaikan kepada Bank Indonesia
paling lambat 3 (tiga) bulan setelah Peraturan Bank
Indonesia ini berlaku; dan
c. rencana tindak (action plan) sebagaimana dimaksud
dalam huruf b harus disetujui oleh Bank Indonesia.
(2) Rencana tindak (action plan) sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) harus diimplementasikan paling lambat 6 (enam)
bulan setelah Peraturan Bank Indonesia ini berlaku.
- 36 -
Pasal 83
(1) Dalam hal Bank dan/atau pialang pasar uang rupiah dan
valuta asing yang telah mengikuti Operasi Moneter
sebelum Peraturan Bank Indonesia ini berlaku tidak dapat
memenuhi persyaratan perizinan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 56 sampai dengan jangka waktu sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 82, Bank dan/atau pialang pasar
uang rupiah dan valuta asing tersebut dikenakan
sanksi administratif berupa:
a. teguran tertulis;
b. pembatasan kepesertaan dalam Operasi Moneter;
dan/atau
c. pelarangan keikutsertaan dalam Operasi Moneter
sampai dengan pemenuhan persyaratan yang
ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56
terpenuhi.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan
sanksi administratif terkait kepesertaan diatur dalam
Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
Pasal 84
Bagi Bank dan pialang pasar uang rupiah dan valuta asing
yang telah mengikuti Operasi Moneter sebelum Peraturan Bank
Indonesia ini berlaku, yang tidak mengajukan izin dalam
jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82, Bank
dan pialang pasar uang rupiah dan valuta asing tersebut tidak
dapat mengikuti Operasi Moneter.
BAB XI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 85
Pada saat Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku,
semua peraturan yang merupakan peraturan pelaksanaan
dari Peraturan Bank Indonesia Nomor 17/17/PBI/2015
tentang
Surat
Berharga Bank
Indonesia dalam
Valuta Asing (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
- 37 -
2015 Nomor 264, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5753), dinyatakan masih tetap berlaku
sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam
Peraturan Bank Indonesia ini.
Pasal 86
Pada saat Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku:
a.
Peraturan Bank Indonesia Nomor 16/12/PBI/2014
tanggal 24 Juli 2014 tentang Operasi Moneter Syariah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor
178, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5567);
b.
Peraturan Bank Indonesia Nomor 17/17/PBI/2015
tanggal 10 November 2015 tentang Surat Berharga Bank
Indonesia dalam Valuta Asing (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2015 Nomor 264, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5753); dan
c.
Peraturan Bank Indonesia Nomor 18/12/PBI/2016
tanggal 15 Agustus 2016 tentang Operasi Moneter
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor
172, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5919),
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 87
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
- 38 -
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 12 April 2018
GUBERNUR BANK INDONESIA,
TTD
AGUS D.W. MARTOWARDOJO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 16 April 2018
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
TTD
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2018 NOMOR 60
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 20/5/PBI/2018
TENTANG
OPERASI MONETER
I. UMUM
Dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang
Bank Indonesia menjadi Undang-Undang, telah diatur secara jelas bahwa
tujuan Bank Indonesia yaitu mencapai dan memelihara kestabilan nilai
rupiah.
Guna mencapai tujuan dimaksud dan menghadapi tantangan kondisi
makroekonomi, Bank Indonesia melaksanakan pengendalian moneter
dengan berdasarkan pada kebijakan moneter yang terintegrasi dengan
kebijakan makroprudensial serta kebijakan sistem pembayaran dan
pengelolaan uang rupiah. Kebijakan moneter tersebut diimplementasikan
dalam pelaksanaan Operasi Moneter yang dapat dilakukan secara
konvensional dan berdasarkan prinsip syariah.
Untuk memperkuat efektivitas transmisi kebijakan moneter,
diperlukan upaya reformulasi kerangka kebijakan moneter yang
berkesinambungan. Upaya reformulasi yang dilakukan antara lain dalam
bentuk penguatan ketentuan operasi moneter yang mengatur tentang
perizinan kepesertaan dalam operasi moneter.
- 2 -
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “stabilitas moneter” adalah suatu kondisi
saat inflasi bergerak di dalam kisaran sasarannya dan nilai tukar
bergerak
stabil
perekonomian.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 3
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “suku bunga Pasar Uang Antar Bank
Overnight (PUAB O/N)” adalah suku bunga transaksi pinjam-
meminjam uang dalam mata uang rupiah antar-BUK yang
berjangka waktu 1 (satu) hari (overnight).
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “absorpsi likuiditas” adalah pengurangan
likuiditas di pasar uang rupiah melalui kegiatan OMK.
Yang dimaksud dengan “injeksi likuiditas” adalah penambahan
likuiditas di pasar uang rupiah melalui kegiatan OMK.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 4
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “nilai tukar fundamental” adalah nilai
tukar yang mencerminkan keseimbangan ekonomi eksternal dan
ekonomi internal.
sejalan dengan kondisi fundamental
- 3 -
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “absorpsi likuiditas” adalah pengurangan
likuiditas rupiah di pasar uang berdasarkan prinsip syariah
melalui kegiatan OMS.
Yang dimaksud dengan “injeksi likuiditas” adalah penambahan
likuiditas rupiah di pasar uang berdasarkan prinsip syariah
melalui kegiatan OMS.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Mekanisme lelang dilakukan dengan metode lelang harga tetap
(fixed rate tender) atau metode lelang harga beragam (variable rate
tender).
Mekanisme nonlelang dilakukan secara bilateral antara Bank
Indonesia dan peserta OPT.
Pasal 10
Ayat (1)
Cukup jelas.
- 4 -
Ayat (2)
Mekanisme nonlelang dalam Standing Facilities dilakukan secara
bilateral antara Bank Indonesia dan Bank.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Huruf a
Yang dimaksud dengan “penerbitan SBI, SDBI, dan/atau SBBI
Valas” adalah penjualan SBI, SDBI, dan/atau SBBI Valas oleh
Bank Indonesia di pasar perdana.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “transaksi repurchase agreement (repo)”
adalah transaksi penjualan surat berharga oleh peserta OPT
Konvensional kepada Bank Indonesia dengan kewajiban
pembelian kembali oleh peserta OPT Konvensional sesuai dengan
harga dan jangka waktu yang disepakati.
Yang dimaksud dengan “transaksi reverse repo” adalah transaksi
pembelian surat berharga oleh peserta OPT Konvensional dari
Bank Indonesia dengan kewajiban penjualan kembali oleh peserta
OPT Konvensional sesuai dengan harga dan jangka waktu yang
disepakati.
Yang dimaksud dengan “surat berharga” adalah SBI, SDBI, SBN,
dan surat berharga lain yang berkualitas tinggi dan mudah
dicairkan, yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “transaksi pembelian dan/atau penjualan
surat berharga secara outright” adalah transaksi pembelian dan
penjualan surat berharga secara putus.
Yang dimaksud dengan “surat berharga” adalah SBN dan surat
berharga lain yang berkualitas tinggi dan mudah dicairkan, yang
ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “penempatan berjangka (term deposit) di
Bank Indonesia dalam rupiah” adalah penempatan dana milik
- 5 -
peserta OPT Konvensional secara berjangka di Bank Indonesia
dalam rupiah.
Huruf e
Yang dimaksud dengan “penempatan berjangka (term deposit) di
Bank Indonesia dalam valuta asing” adalah penempatan dana
milik peserta OPT Konvensional secara berjangka di Bank
Indonesia dalam valuta asing.
Huruf f
Jual beli valuta asing terhadap rupiah dilakukan antara lain
dalam bentuk spot, forward, dan/atau swap.
Yang dimaksud dengan “spot” adalah transaksi jual atau beli
antara valuta asing terhadap rupiah dengan penyerahan dana
dilakukan 2 (dua) Hari Kerja setelah tanggal transaksi.
Termasuk dalam transaksi spot yaitu transaksi dengan
penyerahan valuta pada hari yang sama (today) atau dengan
penyerahan 1 (satu) Hari Kerja setelah tanggal transaksi
(tomorrow).
Yang dimaksud dengan “forward” adalah transaksi jual atau beli
antara valuta asing terhadap rupiah dengan penyerahan dana
dilakukan lebih dari 2 (dua) Hari Kerja setelah tanggal transaksi.
Yang dimaksud dengan “swap” adalah transaksi pertukaran
valuta asing terhadap rupiah melalui pembelian atau penjualan
tunai (spot) dengan penjualan atau pembelian kembali secara
berjangka (forward) yang dilakukan secara simultan, dengan
counterpart yang sama dan pada tingkat harga yang dibuat dan
disepakati pada tanggal transaksi dilakukan.
Transaksi swap dengan metode lelang yang dilakukan antara
BUK dan Bank Indonesia dapat dianggap sebagai penerusan (pass
on) posisi transaksi derivatif BUK dengan pihak terkait BUK.
Huruf g
Cukup jelas.
Pasal 13
Ayat (1)
Persyaratan tertentu yang harus dipenuhi oleh peserta OPT
Konvensional untuk mengajukan early redemption antara lain
peserta OPT Konvensional dapat mengajukan early redemption
- 6 -
paling cepat 3 (tiga) hari setelah setelmen hasil lelang transaksi
term deposit valuta asing.
Ayat (2)
Yang dimaksud “transaksi swap jual valuta asing terhadap rupiah
Bank Indonesia” adalah transaksi beli valuta asing oleh Bank
Indonesia melalui pembelian tunai (spot), dengan diikuti transaksi
penjualan kembali valuta asing oleh Bank Indonesia secara
berjangka (forward) yang dilakukan secara simultan, dengan
counterpart yang sama pada tingkat harga yang dibuat dan
disepakati pada tanggal transaksi dilakukan.
Pasal 14
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “posisi devisa neto” adalah posisi devisa
neto sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan yang mengatur mengenai posisi devisa neto
bank umum.
Ayat (2)
Contoh perhitungan pengurangan posisi devisa neto BUK yang
dipengaruhi oleh penempatan berjangka (term deposit) di Bank
Indonesia dalam valuta asing adalah sebagai berikut:
dalam juta rupiah
No
Modal*
PDN sebelum TD
Valas
a
Absolut
PDN
b
1 200.000 30.000
2 200.000 30.000
3 200.000
Rasio
PDN
c
c = b/a
6.000
15% 35.000
15% 5.000
3% 6.000
TD
Valas
d
TD Valas sebagai
Pengurang PDN
TD Valas
≤ PDN
e
d ≤ b
30.000
5.000
6.000
TD Valas ≤
5% Modal
f
d ≤ 5% x a
10.000
10.000
10.000
6.000
Maksimum
TD Valas
Pengurang
PDN
g**
PDN Sesudah
TD Valas
Absolut
PDN
h
Rasio
PDN
i
h = b-g i = h/a
10.000 20.000 10%
5.000 25.000 12,5%
0 0%
*) Modal yaitu modal sebagaimana dimaksud dalam ketentuan
peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai
posisi devisa neto bank umum.
**) Nilai maksimum penempatan berjangka (term deposit) valuta
asing (TD Valas) pengurang posisi devisa neto (PDN) (kolom g)
yaitu yang memenuhi syarat TD Valas ≤ PDN (kolom e) dan TD
≤ 5% dari modal (kolom f).
- 7 -
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “modal” adalah modal
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan yang mengatur mengenai posisi
devisa neto bank umum.
Ayat (3)
Laporan harian posisi devisa neto secara keseluruhan pada akhir
hari kerja dengan memperhitungkan penempatan berjangka (term
deposit) di Bank Indonesia dalam valuta asing sebagai pengurang
posisi devisa neto dilaporkan melalui laporan harian bank umum
(LHBU).
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 15
Penggunaan surat berharga milik pihak lain oleh Bank Indonesia
dalam kegiatan OPT didasarkan pada suatu perjanjian antara Bank
Indonesia dan pemilik surat berharga.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
- 8 -
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Huruf a
Yang dimaksud dengan “penerbitan SBIS” adalah penjualan SBIS
oleh Bank Indonesia di pasar perdana.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “transaksi repo” adalah transaksi
penjualan surat berharga oleh peserta OPT Syariah kepada Bank
Indonesia dengan kewajiban pembelian kembali oleh peserta OPT
Syariah sesuai dengan harga dan jangka waktu yang disepakati.
Yang dimaksud dengan “transaksi reverse repo” adalah transaksi
pembelian surat berharga oleh peserta OPT Syariah dari Bank
Indonesia dengan kewajiban penjualan kembali oleh peserta OPT
Syariah sesuai dengan harga dan jangka waktu yang disepakati.
Yang dimaksud dengan ”surat berharga yang memenuhi prinsip
syariah” adalah SBSN dan surat berharga lain yang berkualitas
tinggi dan mudah dicairkan yang memenuhi prinsip syariah, yang
ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “transaksi pembelian dan/atau penjualan
surat berharga yang memenuhi prinsip syariah secara outright”
adalah transaksi pembelian dan penjualan secara putus.
Yang dimaksud dengan “surat berharga yang memenuhi prinsip
syariah” adalah SBSN dan surat berharga lain yang berkualitas
tinggi dan mudah dicairkan yang memenuhi prinsip syariah, yang
ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “penempatan berjangka (term deposit)
syariah di Bank Indonesia dalam valuta asing” adalah
penempatan dana milik peserta OPT Syariah secara berjangka di
Bank Indonesia dalam valuta asing.
Huruf e
Termasuk dalam transaksi lainnya yang memenuhi prinsip
syariah di pasar valuta asing yaitu transaksi spot dan/atau
- 9 -
transaksi derivatif yang bertujuan untuk lindung nilai (hedging)
berdasarkan prinsip syariah serta memiliki underlying.
Pasal 23
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “akad al ba’i yang diikuti dengan wa’d”
adalah jual beli yang disertai dengan janji (al wa’d) oleh peserta
OPT Syariah kepada Bank Indonesia, dalam dokumen terpisah,
untuk membeli atau menjual kembali surat berharga dalam
jangka waktu dan harga tertentu yang disepakati.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 24
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “akad ju’alah” adalah janji atau komitmen
(iltizam) untuk memberikan imbalan tertentu (’iwadh/ju’l) atas
pencapaian hasil (natijah) yang ditentukan dari suatu pekerjaan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 25
Persyaratan tertentu yang harus dipenuhi oleh peserta OPT Syariah
untuk mengajukan early redemption antara lain peserta OPT Syariah
dapat mengajukan early redemption paling cepat 3 (tiga) hari setelah
setelmen hasil lelang transaksi term deposit valuta asing.
Pasal 26
Ayat (1)
Cukup jelas.
- 10 -
Ayat (2)
Contoh perhitungan pengurangan posisi devisa neto BUS yang
dipengaruhi oleh penempatan berjangka (term deposit) syariah di
Bank Indonesia dalam valuta asing yaitu sebagai berikut:
dalam juta rupiah
No
Modal*
PDN sebelum TD
Valas Syariah
Absolut
PDN
a
b
1 200.000 30.000
2 200.000 30.000
3 200.000
Rasio
PDN
c
c = b/a
6.000
15% 35.000
15% 5.000
3% 6.000
TD
Valas
Syariah
d
e
5% Modal
Maksimum
TD Valas
Syariah
Pengurang
PDN
f **)
e = 5% x a d ≤ 5% x a
10.000
10.000
10.000
PDN sesudah TD
Valas Syariah
Absolut
PDN
g
g = b -f
10.000 20.000
10.000 25.000
10.000
0
Rasio
PDN
h
h = g/a
10%
12,5%
0%
*) Modal yaitu modal sebagaimana dimaksud dalam ketentuan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur
mengenai posisi devisa neto bank umum.
**) Nilai maksimum penempatan berjangka (term deposit)
syariah dalam valuta asing (TD Valas Syariah) pengurang
posisi devisa neto (PDN) (kolom f) yaitu nilai terkecil antara
kolom b, kolom d, dan kolom e.
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “modal” adalah modal
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan yang mengatur mengenai posisi
devisa neto bank umum.
Ayat (3)
Laporan harian posisi devisa neto secara keseluruhan pada akhir
hari kerja dengan memperhitungkan penempatan berjangka (term
deposit) syariah di Bank Indonesia dalam valuta asing sebagai
pengurang posisi devisa neto dilaporkan melalui laporan harian
bank umum (LHBU).
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
- 11 -
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 27
Penggunaan surat berharga milik pihak lain oleh Bank Indonesia
dalam kegiatan OPT Syariah didasarkan pada suatu perjanjian antara
Bank Indonesia dan pemilik surat berharga.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “repo surat berharga” adalah transaksi
penjualan bersyarat surat berharga oleh peserta Standing
Facilities Syariah kepada Bank Indonesia dengan kewajiban
pembelian kembali sesuai dengan harga dan jangka waktu yang
disepakati (sell and buy back) dan pemberian pinjaman oleh Bank
Indonesia kepada peserta Standing Facilities Syariah dengan
agunan surat berharga (collateralized borrowing).
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “akad qard” adalah pinjaman dana tanpa
imbalan dengan kewajiban pihak peminjam mengembalikan
pokok pinjaman secara sekaligus dalam jangka waktu tertentu.
Yang dimaksud dengan “rahn” adalah penyerahan agunan dari
BUS atau UUS (rahin) kepada Bank Indonesia (murtahin) sebagai
jaminan untuk mendapatkan qard.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “akad al ba’i yang diikuti dengan wa’d”
adalah jual beli yang disertai dengan janji (al wa’d) oleh peserta
Standing Facilities Syariah kepada Bank Indonesia, dalam
- 12 -
dokumen terpisah, untuk membeli atau menjual kembali surat
berharga dalam jangka waktu dan harga tertentu yang disepakati.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 31
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “akad wadi’ah” adalah perjanjian
penitipan dana antara pemilik dana dan pihak penerima titipan
yang dipercaya untuk menjaga dana tersebut.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “tanpa warkat (scripless)” adalah
diterbitkan tanpa adanya fisik SBI dan bukti kepemilikan bagi
pemegang SBI berupa pencatatan elektronis.
Huruf d
SBI dapat dipindahtangankan melalui perdagangan di pasar
sekunder antara lain secara outright, hibah, repo, atau dijadikan
agunan.
Pasal 34
Huruf a
Cukup jelas.
- 13 -
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “tanpa warkat (scripless)” adalah
diterbitkan tanpa adanya fisik SDBI dan bukti kepemilikan bagi
pemegang SDBI berupa pencatatan elektronis.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
SDBI dapat dipindahtangankan antar-BUK melalui perdagangan
di pasar sekunder antara lain secara outright, hibah, repo, atau
dijadikan agunan.
Pasal 35
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “tanpa warkat (scripless)” adalah
diterbitkan tanpa adanya fisik SBBI Valas dan bukti kepemilikan
bagi pemegang SBBI Valas berupa pencatatan elektronis.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “penduduk” adalah orang, badan hukum,
atau badan lainnya, yang berdomisili di Indonesia paling singkat
1 (satu) tahun, termasuk perwakilan dan staf diplomatik Republik
Indonesia di luar negeri.
Kepemilikan SBBI Valas di pasar perdana dilakukan melalui
pengajuan pembelian SBBI Valas kepada peserta lelang yang telah
ditunjuk oleh Bank Indonesia.
Kepemilikan SBBI Valas di pasar sekunder dilakukan melalui
mekanisme pasar.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
- 14 -
Pasal 36
Cukup jelas.
Pasal 37
Ayat (1)
Penatausahaan secara elektronis di Bank Indonesia dilakukan
sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia yang mengatur
mengenai penyelenggaraan transaksi, penatausahaan surat
berharga, dan setelmen dana seketika.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “tanpa warkat (scripless)” adalah
diterbitkan tanpa adanya fisik SBI, SDBI, dan SBBI Valas, dan
bukti kepemilikan bagi pemegangnya berupa pencatatan
elektronis.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “pihak lain” antara lain sub-registry.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
Ayat (1)
Termasuk dalam transaksi SBI dengan pihak lain antara lain
transaksi repo, penjualan secara outright, pinjam-meminjam,
hibah, dan pengagunan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
- 15 -
Pasal 40
Ayat (1)
Termasuk dalam transaksi SDBI antara lain transaksi jual atau
beli secara outright, pinjam-meminjam, memberi atau menerima
hibah, repo, atau memberikan atau menerima agunan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Dalam hal pihak lain ditunjuk untuk mendukung penatausahaan
SDBI maka pihak lain tersebut hanya dapat menatausahakan
SDBI milik BUK.
Ayat (4)
Dalam hal lembaga perantara melakukan transaksi terkait SDBI
maka lembaga perantara tersebut hanya dapat melakukan
transaksi terkait SDBI antar-BUK.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 41
Cukup jelas.
Pasal 42
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Pelunasan SBI, SDBI, dan SBBI Valas sebelum jatuh waktu (early
redemption) dilakukan atas inisiatif Bank Indonesia berdasarkan
pertimbangan terkait strategi pengelolaan moneter.
Pasal 43
Cukup jelas.
Pasal 44
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “akad ju’alah” adalah janji atau komitmen
(iltizam) untuk memberikan imbalan tertentu (’iwadh/ju’l) atas
pencapaian hasil (natijah) yang ditentukan dari suatu pekerjaan.
- 16 -
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 45
Huruf a
Jangka waktu SBIS dinyatakan dalam jumlah hari kalender dan
dihitung 1 (satu) hari kalender setelah tanggal penyelesaian
transaksi sampai dengan tanggal jatuh waktu.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “tanpa warkat (scripless)” adalah
diterbitkan tanpa adanya fisik SBIS, dan bukti kepemilikan bagi
pemegang SBIS berupa pencatatan elektronis.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Pasal 46
Cukup jelas.
Pasal 47
Ayat (1)
Penatausahaan secara elektronis di Bank Indonesia dilakukan
sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia yang mengatur
mengenai penyelenggaraan transaksi, penatausahaan surat
berharga, dan setelmen dana seketika.
Ayat (2)
Cukup jelas.
- 17 -
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “tanpa warkat (scripless)” adalah
diterbitkan tanpa adanya fisik SBIS dan bukti kepemilikan bagi
pemegang SBIS berupa pencatatan elektronis.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “pihak lain” antara lain sub-registry.
Pasal 48
Cukup jelas.
Pasal 49
Cukup jelas.
Pasal 50
Cukup jelas.
Pasal 51
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “pihak lain” adalah lembaga
keuangan bukan Bank yang memberikan kontribusi dalam
transmisi kebijakan moneter dan pencapaian sasaran
Operasi Moneter.
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
- 18 -
Pasal 52
Cukup jelas.
Pasal 53
Cukup jelas.
Pasal 54
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “hubungan operasional Bank dengan
Bank Indonesia di bidang moneter” adalah izin kepesertaan untuk
mengikuti Operasi Moneter di Bank Indonesia.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 55
Cukup jelas.
Pasal 56
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Aspek kapasitas merupakan potensi kemampuan peserta
dan lembaga perantara dalam Operasi Moneter untuk
bertransaksi secara optimal pada seluruh instrumen Operasi
Moneter, yang dinyatakan dengan kelengkapan dan kekinian
sarana atau prasarana untuk bertransaksi dalam Operasi
Moneter.
Huruf b
Aspek kapabilitas merupakan ukuran dari kemampuan
peserta dan lembaga perantara dalam Operasi Moneter
untuk melaksanakan transaksi Operasi Moneter dengan
Bank Indonesia yang dapat dinyatakan dari level sertifikasi
tresuri yang dimiliki.
- 19 -
Huruf c
Aspek reputasi merupakan ukuran dari tingkat kepercayaan
stakeholder terhadap peserta dan lembaga perantara dalam
Operasi Moneter.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 57
Cukup jelas.
Pasal 58
Cukup jelas.
Pasal 59
Bank Indonesia dapat menunjuk peserta OPT untuk mendukung
pelaksanaan transaksi Operasi Moneter antara lain sebagai agent bank
dan/atau dealer utama (primary dealer).
Pasal 60
Cukup jelas.
Pasal 61
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Langkah strategis dan mendasar yang dapat berdampak
pada pencabutan izin kepesertaan dalam Operasi Moneter
meliputi penggabungan, peleburan, pemisahan, dan
perubahan status.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
- 20 -
Pasal 62
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “membatalkan penawaran transaksi”
adalah peserta dan lembaga perantara dalam Operasi Moneter
menarik kembali penawaran transaksi yang telah diajukan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 63
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Huruf a
Penyediaan dana di rekening giro rupiah di Bank Indonesia
berlaku untuk kewajiban penyelesaian transaksi dalam
rupiah.
Huruf b
Penyediaan dana yang cukup di rekening giro valuta asing
di Bank Indonesia berlaku untuk kewajiban penyelesaian
transaksi dalam valuta asing.
Huruf c
Pelaksanaan transfer dana valuta asing ke rekening Bank
Indonesia di bank koresponden yang ditunjuk oleh Bank
Indonesia berlaku untuk kewajiban penyelesaian transaksi
dalam valuta asing.
Ayat (5)
Cukup jelas.
- 21 -
Ayat (6)
Huruf a
Transaksi penempatan berjangka (term deposit) di Bank
Indonesia dalam valuta asing mencakup transaksi
penempatan berjangka (term deposit) di Bank Indonesia
dalam valuta asing dan transaksi penempatan berjangka
(term deposit) syariah di Bank Indonesia dalam valuta asing.
Huruf b
Cukup jelas.
Pasal 64
Cukup jelas.
Pasal 65
Cukup jelas.
Pasal 66
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Pemonitoran transaksi secara langsung dilakukan melalui
interaksi dengan pelaku di pasar keuangan.
Pemonitoran transaksi secara tidak langsung dilakukan melalui
pemanfaatan berbagai informasi dan data pasar keuangan yang
tersedia dalam sistem yang khusus dibangun untuk pemantauan
atau dalam media lainnya.
Pasal 67
Ayat (1)
Pengawasan terhadap pelaksanaan Operasi Moneter antara lain
dilakukan terhadap peserta dan lembaga perantara dalam
Operasi Moneter serta transaksi yang dilakukan oleh peserta dan
lembaga perantara dalam Operasi Moneter.
- 22 -
Pengawasan terhadap pelaksanaan Operasi Moneter dilakukan
dengan mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur
mengenai pengaturan dan pengawasan moneter.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 68
Cukup jelas.
Pasal 69
Cukup jelas.
Pasal 70
Transaksi Operasi Moneter yang memiliki second leg antara lain
transaksi repo dan reverse repo.
Pasal 71
Cukup jelas.
Pasal 72
Cukup jelas.
Pasal 73
Cukup jelas.
Pasal 74
Cukup jelas.
Pasal 75
Cukup jelas.
Pasal 76
Cukup jelas.
Pasal 77
Cukup jelas.
- 23 -
Pasal 78
Cukup jelas.
Pasal 79
Cukup jelas.
Pasal 80
Cukup jelas.
Pasal 81
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “pinjaman likuiditas jangka pendek atau
pembiayaan likuiditas jangka pendek syariah” adalah pinjaman
likuiditas jangka pendek atau pembiayaan likuiditas jangka
pendek syariah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai pinjaman likuiditas jangka
pendek atau pembiayaan likuiditas jangka pendek syariah.
OMK yang bersifat ekspansi antara lain transaksi repo untuk OPT
Konvensional dan transaksi lending facility untuk Standing
Facilities Konvensional.
OMS yang bersifat ekspansi antara lain transaksi repo untuk OPT
Syariah dan transaksi financing facility untuk Standing Facilities
Syariah.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 82
Ayat (1)
Huruf a
Belum dipenuhinya persyaratan untuk mendapatkan izin
sebagai peserta atau lembaga perantara didasarkan atas
asesmen Bank dan/atau lembaga perantara yang
bersangkutan atau penelitian administratif Bank Indonesia
atas permohonan perizinan yang diajukan oleh Bank
dan/atau lembaga perantara.
Huruf b
Cukup jelas.
- 24 -
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 83
Ayat (1)
Bank dan pialang pasar uang rupiah dan valuta asing dapat
mengikuti Operasi Moneter setelah mendapatkan izin dari Bank
Indonesia.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 84
Cukup jelas.
Pasal 85
Cukup jelas.
Pasal 86
Cukup jelas.
Pasal 87
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6198
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 20/5/PBI/2018 </reg_id>
<reg_title> OPERASI MONETER </reg_title>
<set_date> 12 April 2018 </set_date>
<effective_date> 16 April 2018 </effective_date>
<issued_date> 16 April 2018 </issued_date>
<replaced_reg> '16/12/PBI/2014', '17/17/PBI/2015', '18/12/PBI/2016' </replaced_reg>
<related_reg> '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '24/UU/1999' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB IX', 'BAB X Pasal 83' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 12/19/PBI/2010
TENTANG
GIRO WAJIB MINIMUM BANK UMUM PADA BANK INDONESIA
DALAM RUPIAH DAN VALUTA ASING
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang: a. bahwa tekanan inflasi serta kondisi ekses likuiditas
perbankan yang tinggi dan persisten perlu dikendalikan
agar tidak berdampak pada peningkatan ekspektasi inflasi
yang dapat berpengaruh pada stabilitas moneter;
b. bahwa stabilitas sektor keuangan perlu terus didukung oleh
penguatan kondisi sektor perbankan dalam menghadapi
berbagai risiko dan pengoptimalan fungsi intermediasi
perbankan;
c. bahwa guna mendukung stabilitas moneter dan sektor
keuangan perlu dilakukan pengelolaan ekses likuiditas
perbankan secara optimal, antara lain melalui kebijakan
giro wajib minimum;
d. bahwa pengaturan mengenai giro wajib minimum yang
berlaku perlu disesuaikan dengan memperhatikan kondisi
likuiditas perbankan serta peran bank dalam menjalankan
fungsi intermediasi;
e. bahwa . . .
- 2 -
e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
pada huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d perlu untuk
mengatur kembali ketentuan mengenai giro wajib
minimum bank umum pada Bank Indonesia dalam rupiah
dan valuta asing dalam suatu Peraturan Bank Indonesia;
Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992
Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790);
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang
Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah
diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6
Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23
Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi
Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4962);
MEMUTUSKAN . . .
- 3 -
M E M U T U S K A N:
Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG GIRO WAJIB
MINIMUM BANK UMUM PADA BANK INDONESIA
DALAM RUPIAH DAN VALUTA ASING.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, termasuk kantor cabang bank
asing, yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional.
2. Bank Devisa adalah Bank yang memperoleh surat penunjukan dari Bank
Indonesia untuk dapat melakukan kegiatan usaha perbankan dalam valuta
asing.
3. Dana Pihak Ketiga Bank, yang untuk selanjutnya disebut DPK, adalah
kewajiban Bank kepada penduduk dan bukan penduduk dalam rupiah dan
valuta asing.
4. Rekening Giro adalah rekening pihak ekstern tertentu di Bank Indonesia
yang merupakan sarana bagi penatausahaan transaksi dari simpanan yang
penarikannya dapat dilakukan setiap saat.
5. Rekening Giro dalam Rupiah, yang untuk selanjutnya disebut Rekening
Giro Rupiah, adalah Rekening Giro dalam mata uang rupiah yang
penarikannya dapat dilakukan dengan menggunakan cek Bank Indonesia,
bilyet
. . .
- 4 -
bilyet giro Bank Indonesia, atau sarana lainnya sebagaimana dimaksud
dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku mengenai hubungan
Rekening Giro antara Bank Indonesia dengan pihak ekstern.
6. Rekening Giro dalam valuta asing, yang untuk selanjutnya disebut
Rekening Giro Valas, adalah Rekening Giro dalam valuta asing yang
penarikannya dapat dilakukan dengan cara pemindahbukuan atau sarana
lainnya sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang
berlaku mengenai hubungan Rekening Giro antara Bank Indonesia dengan
pihak ekstern.
7. Loan to Deposit Ratio, yang untuk selanjutnya disebut LDR, adalah rasio
kredit yang diberikan kepada pihak ketiga dalam rupiah dan valuta asing,
tidak termasuk kredit kepada Bank lain, terhadap dana pihak ketiga yang
mencakup giro, tabungan, dan deposito dalam rupiah dan valuta asing, tidak
termasuk dana antar Bank.
8. LDR Target adalah kisaran rasio LDR yang dibatasi oleh batas bawah dan
batas atas yang ditetapkan oleh Bank Indonesia dalam rangka perhitungan
GWM LDR.
9. Giro Wajib Minimum, yang untuk selanjutnya disebut GWM, adalah
jumlah dana minimum yang wajib dipelihara oleh Bank yang besarnya
ditetapkan oleh Bank Indonesia sebesar Persentase tertentu dari DPK.
10. GWM Primer adalah simpanan minimum yang wajib dipelihara oleh Bank
dalam bentuk saldo Rekening Giro pada Bank Indonesia yang besarnya
ditetapkan oleh Bank Indonesia sebesar persentase tertentu dari DPK.
11. GWM Sekunder adalah cadangan minimum yang wajib dipelihara oleh
Bank berupa SBI, SUN, SBSN, dan/atau Excess Reserve, yang besarnya
ditetapkan oleh Bank Indonesia sebesar persentase tertentu dari DPK.
12. GWM . . .
- 5 -
12. GWM LDR adalah simpanan minimum yang wajib dipelihara oleh Bank
dalam bentuk saldo Rekening Giro pada Bank Indonesia sebesar persentase
dari DPK yang dihitung berdasarkan selisih antara LDR yang dimiliki oleh
Bank dengan LDR Target.
13.
Jakarta Interbank Offered Rate, yang untuk selanjutnya disebut JIBOR,
adalah suku bunga antar bank untuk berbagai jangka waktu yang
ditawarkan oleh bank-bank tertentu di Jakarta.
14. Sertifikat Bank Indonesia, yang untuk selanjutnya disebut SBI, adalah surat
berharga dalam mata uang rupiah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia
sebagai pengakuan utang berjangka waktu pendek.
15. Surat Utang Negara, yang untuk selanjutnya disebut SUN, adalah surat
utang negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2002 tentang Surat Utang Negara.
16. Surat Berharga Syariah Negara, yang untuk selanjutnya disebut SBSN atau
dapat disebut Sukuk Negara, adalah surat berharga syariah negara
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008
tentang Surat Berharga Syariah Negara, namun terbatas hanya dalam mata
uang rupiah.
17. Excess Reserve adalah kelebihan saldo Rekening Giro Rupiah Bank dari
GWM Primer dan GWM LDR yang wajib dipelihara di Bank Indonesia.
18. Rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum, yang untuk selanjutnya
disebut KPMM, adalah rasio perbandingan antara modal dengan aset
tertimbang menurut risiko sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank
Indonesia mengenai kewajiban penyediaan modal minimum bank umum.
19. KPMM Insentif adalah KPMM yang ditetapkan oleh Bank Indonesia dalam
rangka perhitungan GWM LDR.
20. Parameter . . .
- 6 -
20. Parameter Disinsentif Bawah adalah parameter pengali yang digunakan
dalam perhitungan GWM LDR bagi Bank yang memiliki LDR kurang dari
batas bawah LDR Target.
21. Parameter Disinsentif Atas adalah parameter pengali yang digunakan dalam
perhitungan GWM LDR bagi Bank yang memiliki LDR lebih dari batas
atas LDR Target.
BAB II
PEMENUHAN GIRO WAJIB MINIMUM
Pasal 2
(1) Bank wajib memenuhi GWM dalam rupiah.
(2) GWM dalam rupiah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari GWM
Primer, GWM Sekunder, dan GWM LDR.
(3) Bank Devisa selain wajib memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) juga wajib memenuhi GWM dalam valuta asing.
Pasal 3
Pemenuhan GWM dalam rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2)
ditetapkan sebagai berikut:
a. GWM Primer dalam rupiah sebesar 8% (delapan persen) dari DPK dalam
rupiah.
b. GWM Sekunder dalam rupiah sebesar 2,5% (dua koma lima persen) dari
DPK dalam rupiah.
c. GWM LDR dalam rupiah sebesar perhitungan antara Parameter Disinsentif
Bawah atau Parameter Disinsentif Atas dengan selisih antara LDR Bank
dan LDR Target dengan memperhatikan selisih antara KPMM Bank dan
KPMM Insentif.
Pasal 4 . . .
- 7 -
Pasal 4
GWM dalam valuta asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3)
ditetapkan sebesar 1% (satu persen) dari DPK dalam valuta asing.
Pasal 5
Persentase GWM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan Pasal 4 dapat
disesuaikan dari waktu ke waktu.
BAB III
REKENING GIRO BANK PADA BANK INDONESIA
Pasal 6
(1) Setiap Bank wajib memelihara Rekening Giro Rupiah pada Bank Indonesia.
(2) Bank Devisa selain wajib memelihara Rekening Giro Rupiah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) juga wajib memelihara Rekening Giro Valas pada
Bank Indonesia.
(3) Tata cara pembukaan, penyetoran, penarikan, dan penutupan Rekening Giro
Rupiah dan Rekening Giro Valas Bank sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan ayat (2), ditetapkan berdasarkan ketentuan Bank Indonesia yang
mengatur mengenai hubungan Rekening Giro antara Bank Indonesia
dengan pihak ekstern.
BAB IV
PERHITUNGAN GIRO WAJIB MINIMUM
Pasal 7
Bank wajib memenuhi GWM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan Pasal 4
secara harian.
Pasal 8 . . .
- 8 -
Pasal 8
Pemenuhan GWM Primer dalam rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
huruf a dan GWM LDR dalam rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
huruf c, serta pemenuhan GWM dalam valuta asing sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4, dihitung dengan membandingkan saldo Rekening Giro Bank pada
Bank Indonesia setiap akhir hari dalam 1 (satu) masa laporan terhadap rata-rata
harian jumlah DPK dalam 1 (satu) masa laporan pada 2 (dua) masa laporan
sebelumnya.
Pasal 9
(1) Pemenuhan GWM Sekunder dalam rupiah sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 huruf b dihitung dengan membandingkan jumlah SBI, SUN, SBSN,
dan/atau Excess Reserve setiap akhir hari dalam 1 (satu) masa laporan
terhadap rata-rata harian jumlah DPK dalam 1 (satu) masa laporan pada
2 (dua) masa laporan sebelumnya.
(2) Tata cara pemenuhan GWM Sekunder dalam rupiah dilakukan sesuai
dengan Surat Edaran Bank Indonesia yang mengatur mengenai perhitungan
giro wajib minimum sekunder dalam rupiah.
Pasal 10
(1) Untuk pertama kali, besaran dan parameter yang digunakan dalam
perhitungan GWM LDR dalam rupiah ditetapkan sebagai berikut:
a. Batas bawah LDR Target sebesar 78% (tujuh puluh delapan persen).
b. Batas atas LDR Target sebesar 100% (seratus persen).
c. KPMM Insentif sebesar 14% (empat belas persen).
d. Parameter Disinsentif Bawah sebesar 0,1 (nol koma satu).
e. Parameter Disinsentif Atas sebesar 0,2 (nol koma dua).
(2) Bank . . .
- 9 -
(2) Bank Indonesia sewaktu-waktu dapat mengubah besaran dan parameter
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) apabila diperlukan.
Pasal 11
Pemenuhan GWM LDR dalam rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
huruf c dilakukan sebagai berikut:
a. Dalam hal LDR Bank berada dalam kisaran LDR Target maka GWM LDR
Bank adalah sebesar 0% (nol persen) dari DPK dalam rupiah.
b. Dalam hal LDR Bank lebih kecil dari batas bawah LDR Target maka
GWM LDR merupakan hasil perkalian antara Parameter Disinsentif
Bawah, selisih antara batas bawah LDR Target dan LDR Bank, dan DPK
dalam rupiah.
c. Dalam hal LDR Bank lebih besar dari batas atas LDR Target dan KPMM
Bank lebih kecil dari KPMM Insentif maka GWM LDR merupakan hasil
perkalian antara Parameter Disinsentif Atas, selisih antara LDR Bank dan
batas atas LDR Target, dan DPK dalam rupiah.
d. Dalam hal LDR Bank lebih besar dari batas atas LDR Target dan KPMM
Bank sama atau lebih besar dari KPMM Insentif, maka GWM LDR Bank
adalah sebesar 0% (nol persen) dari DPK dalam rupiah.
Pasal 12
(1) DPK dalam rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a dan
huruf b, Pasal 11, Pasal 16 ayat (2) serta DPK dalam valuta asing
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 diperoleh dari Laporan DPK dalam
Rupiah dan Valuta Asing pada Laporan Berkala Bank Umum sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai laporan berkala bank
umum.
(2) LDR . . .
- 10 -
(2) LDR Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf c dan Pasal 11
diperoleh dari pos-pos neraca mingguan yang disampaikan Bank kepada
Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia
mengenai laporan berkala bank umum.
(3) KPMM Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf c dan Pasal 11
adalah KPMM triwulanan hasil perhitungan Bank Indonesia yang
digunakan dalam rangka pengawasan terhadap Bank yang bersangkutan dan
dapat diperoleh Bank dari Bank Indonesia.
(4) KPMM triwulanan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan
KPMM Bank untuk posisi tanggal akhir triwulan, sebagai berikut:
a. KPMM pada posisi akhir bulan September digunakan untuk
perhitungan GWM LDR dalam rupiah harian untuk bulan Desember,
Januari, dan Februari.
b. KPMM pada posisi akhir bulan Desember digunakan untuk
perhitungan GWM LDR dalam rupiah harian untuk bulan Maret,
April, dan Mei.
c. KPMM pada posisi akhir bulan Maret digunakan untuk perhitungan
GWM LDR dalam rupiah harian untuk bulan Juni, Juli, dan Agustus.
d. KPMM pada posisi akhir bulan Juni digunakan untuk perhitungan
GWM LDR dalam rupiah harian untuk bulan September, Oktober, dan
November.
(5) Dalam hal terdapat perbedaan hasil perhitungan KPMM yang dilakukan
oleh Bank Indonesia dengan hasil perhitungan KPMM yang dilakukan oleh
Bank maka yang berlaku adalah hasil perhitungan KPMM yang dilakukan
oleh Bank Indonesia.
Pasal 13 . . .
- 11 -
Pasal 13
(1) Saldo Rekening Giro Bank pada Bank Indonesia sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 8 masing-masing terdiri dari:
a.
b.
saldo Rekening Giro Rupiah Bank;
saldo Rekening Giro Valas Bank.
(2)
Informasi mengenai saldo Rekening Giro Bank pada Bank Indonesia
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperoleh dari sistem BI-RTGS untuk
Rekening Giro Rupiah Bank dan dari sistem akunting Bank Indonesia untuk
Rekening Giro Valas Bank.
Pasal 14
(1) DPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 11, Pasal 16 ayat (2) dan
Pasal 4 terdiri dari:
a.
b.
rata-rata harian total DPK dalam rupiah pada seluruh kantor Bank di
Indonesia;
rata-rata harian total DPK dalam valuta asing pada seluruh kantor
Bank di Indonesia.
(2) DPK dalam rupiah meliputi kewajiban dalam rupiah kepada pihak ketiga
bukan bank, baik kepada penduduk maupun bukan penduduk, yang terdiri
dari:
a. giro;
b.
c.
tabungan;
simpanan berjangka/deposito; dan
d. kewajiban-kewajiban lainnya.
(3) DPK dalam valuta asing meliputi kewajiban dalam valuta asing kepada
pihak ketiga, termasuk Bank di Indonesia, baik kepada penduduk maupun
bukan penduduk, yang terdiri dari:
a. giro . . .
- 12 -
a. giro;
b.
c.
tabungan;
simpanan berjangka/deposito; dan
d. kewajiban-kewajiban lainnya.
BAB V
PELAPORAN
Pasal 15
Bank wajib menyampaikan laporan mengenai DPK dan pos-pos neraca
mingguan, dalam rupiah dan valuta asing, secara berkala kepada Bank Indonesia
sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai laporan berkala
bank umum.
BAB VI
JASA GIRO
Pasal 16
(1) Bank Indonesia memberikan jasa giro setiap hari kerja terhadap bagian
tertentu dari pemenuhan kewajiban GWM Primer dalam Rupiah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a.
(2) Bagian tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebesar 3%
(tiga persen) dari DPK dalam Rupiah.
(3) Jasa giro sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dengan tingkat
bunga sebesar 2,5% (dua koma lima persen) per tahun.
(4) Jasa giro sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan apabila Bank telah
memenuhi seluruh kewajiban GWM dalam rupiah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3.
(5) Bank . . .
- 13 -
(5) Bank Indonesia dapat mengubah kebijakan pemberian jasa giro dan/atau
persentase jasa giro dengan mempertimbangkan kondisi perekonomian dan
arah kebijakan Bank Indonesia.
Pasal 17
(1) Pemberian jasa giro sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 dilaksanakan
dengan mengkredit Rekening Giro Rupiah Bank pada Bank Indonesia.
(2) Pengkreditan Rekening Giro Rupiah Bank dalam rangka pemberian jasa
giro sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sebagai berikut:
a. Jasa giro periode tanggal 1 sampai dengan tanggal 7 dikreditkan paling
lambat 2 (dua) hari kerja setelah tanggal 7 bulan yang sama;
b. Jasa giro periode tanggal 8 sampai dengan tanggal 15 dikreditkan
paling lambat 2 (dua) hari kerja setelah tanggal 15 bulan yang sama;
c. Jasa giro periode tanggal 16 sampai dengan tanggal 23 dikreditkan
paling lambat 2 (dua) hari kerja setelah tanggal 23 bulan yang sama;
d. Jasa giro periode tanggal 24 sampai dengan tanggal akhir bulan
dikreditkan pada bulan berikutnya paling lambat 2 (dua) hari kerja
setelah tanggal akhir bulan.
(3) Dalam hal di kemudian hari diketahui terjadi kekurangan atau kelebihan
dalam pengkreditan yang terkait dengan pemberian jasa giro sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia dapat langsung mengkredit atau
mendebet Rekening Giro Bank yang bersangkutan sebagaimana diatur
dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai Sistem Bank Indonesia Real
Time Gross Settlement.
BAB VII . . .
- 14 -
BAB VII
SANKSI
Pasal 18
(1) Bank yang melanggar kewajiban pemenuhan GWM dalam rupiah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dikenakan sanksi kewajiban
membayar sebesar 125% (seratus dua puluh lima persen) dari rata-rata suku
bunga jangka waktu 1 (satu) hari overnight dari JIBOR dalam rupiah pada
hari terjadinya pelanggaran, terhadap kekurangan GWM dalam rupiah,
untuk setiap hari kerja pelanggaran.
(2) Bank yang melanggar kewajiban pemenuhan GWM dalam valuta asing
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, dikenakan sanksi kewajiban
membayar sebesar 0,04% (nol koma nol empat persen) per hari kerja, yang
dihitung dari selisih antara saldo harian Rekening Giro Valas Bank pada
Bank Indonesia yang wajib dipenuhi dengan saldo harian Rekening Giro
Valas Bank yang dicatat pada sistem akunting Bank Indonesia.
(3) Sanksi kewajiban membayar sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dibayarkan dalam valuta rupiah dengan menggunakan kurs transaksi Bank
Indonesia pada hari terjadinya pelanggaran.
(4) Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan bagi Bank yang
mendapatkan insentif kelonggaran pemenuhan kewajiban GWM dalam
rupiah sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia tentang Insentif
dalam rangka Konsolidasi Perbankan, sepanjang kekurangan GWM Primer
dalam rupiah tidak lebih dari 1% (satu persen) dari DPK dalam rupiah.
Pasal 19
Selain mengenakan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18, Bank
Indonesia berwenang mengenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 52 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
sebagaimana . . .
- 15 -
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998,
terhadap Bank yang tidak memenuhi kewajiban GWM sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 dan Pasal 4.
Pasal 20
Dalam rangka melakukan langkah-langkah pengawasan (supervisory action)
terhadap Bank yang sedang dikenakan Cease and Desist Order (CDO) yang
terkait dengan penyaluran kredit dan penghimpunan dana, Bank Indonesia
berwenang melakukan perhitungan yang berbeda dari ketentuan GWM LDR
sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini.
Pasal 21
(1) Pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 dilaksanakan
dengan mendebet Rekening Giro Rupiah Bank pada Bank Indonesia.
(2) Pendebetan Rekening Giro Rupiah Bank dalam rangka pengenaan sanksi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lambat 3 (tiga) hari
kerja berikutnya setelah tanggal terjadinya pelanggaran GWM.
(3) Dalam hal di kemudian hari diketahui terjadi kekurangan atau kelebihan
dalam pendebetan yang terkait dengan pengenaan sanksi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia dapat langsung mendebet atau
mengkredit Rekening Giro Bank yang bersangkutan sebagaimana diatur
dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai Sistem Bank Indonesia Real
Time Gross Settlement untuk Rekening Giro Rupiah Bank dan sistem
akunting Bank Indonesia untuk Rekening Giro Valas Bank.
(4) Dalam hal saldo Rekening Giro Rupiah Bank tidak mencukupi untuk
pendebetan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) maka atas
kekurangan tersebut juga dikenakan sanksi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 18 ayat (1).
BAB VIII
. . .
- 16 -
BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 22
Ketentuan mengenai kewajiban pemenuhan GWM LDR dalam rupiah dan
ketentuan sanksi atas pelanggaran kewajiban pemenuhan GWM LDR dalam
rupiah mulai berlaku pada tanggal 1 Maret 2011.
Pasal 23
Dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini maka Peraturan Bank Indonesia
Nomor 10/19/PBI/2008 tanggal 14 Oktober 2008 tentang Giro Wajib Minimum
Bank Umum pada Bank Indonesia dalam Rupiah dan Valuta Asing sebagaimana
telah diubah terakhir dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/25/PBI/2008
tanggal 23 Oktober 2008 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 24
(1) Peraturan pelaksanaan dari Peraturan Bank Indonesia Nomor
10/19/PBI/2008 tanggal 14 Oktober 2008 tentang Giro Wajib Minimum
Bank Umum pada Bank Indonesia dalam Rupiah dan Valuta Asing
sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor
10/25/PBI/2008 tanggal 23 Oktober 2008, dinyatakan tetap berlaku
sepanjang belum diperbarui dan tidak bertentangan dengan Peraturan Bank
Indonesia ini.
(2) Semua istilah GWM Utama yang tercantum di dalam ketentuan Bank
Indonesia yang sudah ada sebelum Peraturan Bank Indonesia ini berlaku,
harus dibaca sebagai GWM Primer sepanjang tidak bertentangan dengan
Peraturan Bank Indonesia ini.
Pasal 25 . . .
- 17 -
Pasal 25
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 1 November 2010.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 4 Oktober 2010
GUBERNUR BANK INDONESIA,
DARMIN NASUTION
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 4 Oktober 2010
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
PATRIALIS AKBAR
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2010 NOMOR 115
DPNP/DKM
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 12/19/PBI/2010
TENTANG
GIRO WAJIB MINIMUM BANK UMUM PADA BANK INDONESIA
DALAM RUPIAH DAN VALUTA ASING
I. UMUM
Pengendalian tekanan inflasi serta pengelolaan kondisi ekses likuiditas
perbankan yang tinggi dan persisten, merupakan hal yang sangat diperlukan agar
tidak berdampak pada peningkatan ekspektasi inflasi yang dapat mengganggu
stabilitas moneter.
Selain itu, stabilitas sektor keuangan perlu terus didukung oleh penguatan
kondisi sektor perbankan dalam menghadapi berbagai risiko dan pengoptimalan
fungsi intermediasi perbankan.
Salah satu pendekatan yang digunakan oleh Bank Indonesia untuk
mendukung stabilitas moneter dan sektor keuangan adalah melalui penerapan
kewajiban memelihara giro wajib minimum.
Penerapan kebijakan giro wajib minimum perlu disesuaikan dari waktu ke
waktu sesuai dengan kondisi likuiditas perbankan serta dengan memperhatikan
peran bank dalam pelaksanaan fungsi intermediasi sejalan dengan arah kebijakan
Bank Indonesia.
Sehubungan . . .
- 2 -
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, dengan mempertimbangkan
kondisi likuiditas perbankan dan kemampuan intermediasi perbankan dewasa ini,
dipandang perlu untuk mengatur kembali ketentuan mengenai giro wajib
minimum.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Huruf a
Contoh perhitungan GWM Primer dalam rupiah:
Bank A memiliki rata-rata harian total DPK dalam rupiah dalam masa
laporan sejak tanggal 8 sampai dengan tanggal 15 bulan November
sebesar Rp55.000.000.000.000,00 (lima puluh lima triliun rupiah).
GWM Primer dalam rupiah harian untuk masa laporan sejak tanggal
24 sampai dengan akhir bulan November yang wajib dipenuhi adalah
sebesar 8% (delapan persen) dari DPK dalam rupiah, yaitu sebesar
Rp4.400.000.000.000,00 (empat triliun empat ratus miliar rupiah).
Huruf b . . .
- 3 -
Huruf b
Contoh perhitungan GWM Sekunder dalam rupiah:
Bank A memiliki rata-rata harian total DPK dalam rupiah dalam masa
laporan sejak tanggal 8 sampai dengan tanggal 15 bulan November
sebesar Rp55.000.000.000.000,00 (lima puluh lima triliun rupiah).
GWM Sekunder dalam rupiah harian untuk masa laporan sejak
tanggal 24 sampai dengan tanggal akhir bulan November yang wajib
dipenuhi adalah sebesar 2,5% (dua koma lima persen) dari DPK
dalam rupiah yaitu sebesar Rp1.375.000.000.000,00 (satu triliun tiga
ratus tujuh puluh lima miliar rupiah).
Huruf c
Cukup jelas.
Pasal 4
Contoh perhitungan GWM dalam valuta asing:
Bank A memiliki rata-rata harian total DPK dalam valuta asing dalam masa
laporan sejak tanggal 8 sampai dengan tanggal 15 bulan November sebesar
USD100.000.000,00 (seratus juta US dollar).
GWM dalam valuta asing harian untuk masa laporan sejak tanggal 24
sampai dengan tanggal akhir bulan November adalah sebesar:
1% x USD100.000.000,00 = USD1.000.000,00 (satu juta US dollar).
Pasal 5
Penyesuaian dilakukan sesuai arah kebijakan Bank Indonesia dengan
memperhatikan pula antara lain kondisi makroekonomi, macroprudential,
dan microprudential.
Pasal 6 . . .
- 4 -
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Perhitungan secara harian dilakukan berdasarkan posisi akhir hari.
Pasal 8
Perhitungan pemenuhan persentase GWM Primer dalam rupiah dan GWM
LDR dalam rupiah serta GWM dalam valuta asing adalah sebagai berikut:
Jumlah harian saldo Rekening Giro Bank yang tercatat
di Bank Indonesia setiap hari dalam 1 (satu) masa laporan
Rata-rata harian jumlah DPK Bank dalam 1 (satu)
masa laporan pada 2 (dua) masa laporan sebelumnya
Perhitungan pemenuhan GWM Primer dalam rupiah dan GWM LDR dalam
rupiah serta GWM dalam valuta asing didasarkan pada DPK Bank sebagai
berikut:
a. GWM harian untuk masa laporan sejak tanggal 1 sampai dengan
tanggal 7 adalah sebesar persentase GWM yang ditetapkan dari
rata-rata harian jumlah DPK dalam masa laporan sejak tanggal 16
sampai dengan tanggal 23 bulan sebelumnya;
b. GWM harian untuk masa laporan sejak tanggal 8 sampai dengan
tanggal 15 adalah sebesar persentase GWM yang ditetapkan dari
rata-rata harian jumlah DPK dalam masa laporan sejak tanggal 24
sampai dengan tanggal akhir bulan sebelumnya;
x 100%
c. GWM . . .
- 5 -
c. GWM harian untuk masa laporan sejak tanggal 16 sampai dengan
tanggal 23 adalah sebesar persentase GWM yang ditetapkan dari
rata-rata harian jumlah DPK dalam masa laporan sejak tanggal 1
sampai dengan tanggal 7 bulan yang sama;
d. GWM harian untuk masa laporan sejak tanggal 24 sampai dengan
tanggal akhir bulan adalah sebesar persentase GWM yang ditetapkan
dari rata-rata harian jumlah DPK dalam masa laporan sejak tanggal 8
sampai dengan tanggal 15 bulan yang sama.
Pasal 9
Ayat (1)
Perhitungan pemenuhan persentase GWM Sekunder dalam rupiah
adalah sebagai berikut:
SBI + SUN + SBSN + Excess Reserve
Rata-rata harian jumlah DPK Bank dalam 1 (satu)
masa laporan pada 2 (dua) masa laporan sebelumnya
x 100%
Perhitungan pemenuhan GWM Sekunder dalam rupiah didasarkan
pada DPK Bank sebagai berikut:
a. GWM harian untuk masa laporan sejak tanggal 1 sampai dengan
tanggal 7 adalah sebesar persentase GWM yang ditetapkan dari
rata-rata harian jumlah DPK dalam masa laporan sejak tanggal
16 sampai dengan tanggal 23 bulan sebelumnya;
b. GWM harian untuk masa laporan sejak tanggal 8 sampai dengan
tanggal 15 adalah sebesar persentase GWM yang ditetapkan dari
rata-rata harian jumlah DPK dalam masa laporan sejak tanggal
24 sampai dengan tanggal akhir bulan sebelumnya;
c. GWM . . .
- 6 -
c. GWM harian untuk masa laporan sejak tanggal 16 sampai
dengan tanggal 23 adalah sebesar persentase GWM yang
ditetapkan dari rata-rata harian jumlah DPK dalam masa laporan
sejak tanggal 1 sampai dengan tanggal 7 bulan yang sama;
d. GWM harian untuk masa laporan sejak tanggal 24 sampai
dengan tanggal akhir bulan adalah sebesar persentase GWM
yang ditetapkan dari rata-rata harian jumlah DPK dalam masa
laporan sejak tanggal 8 sampai dengan tanggal 15 bulan yang
sama.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 10
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Penetapan persentase LDR Target, KPMM Insentif, Parameter
Disinsentif Bawah, dan Parameter Disinsentif Atas dilakukan sesuai
dengan arah kebijakan Bank Indonesia dengan memperhatikan antara
lain kondisi makroekonomi, macroprudential, dan microprudential.
Pasal 11
Huruf a
Contoh perhitungan GWM LDR dalam rupiah:
Bank A memiliki rata-rata harian total DPK dalam rupiah dalam masa
laporan sejak tanggal 8 sampai dengan tanggal 15 November sebesar
Rp55.000.000.000.000,00 . . .
- 7 -
Rp55.000.000.000.000,00 (lima puluh lima triliun rupiah) dan LDR
Bank posisi akhir masa laporan tanggal 8 sampai dengan tanggal
15 November sebesar 90% (sembilan puluh persen).
Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1), batas bawah LDR
Target ditetapkan sebesar 78% (tujuh puluh delapan persen) dan batas
atas LDR Target sebesar 100% (seratus persen) sehingga LDR Bank
berada dalam kisaran LDR Target. Dengan demikian GWM LDR
dalam rupiah harian Bank A untuk masa laporan sejak tanggal 24
sampai dengan tanggal akhir bulan November adalah sebesar 0% (nol
persen) dari DPK dalam rupiah.
GWM dalam rupiah harian Bank A untuk masa laporan sejak
tanggal 24 sampai dengan tanggal akhir bulan November yang wajib
dipenuhi adalah sebesar:
a. GWM Primer sebesar 8% (delapan persen) dari DPK dalam
rupiah yaitu sebesar Rp4.400.000.000.000,00 (empat triliun
empat ratus miliar rupiah), dipenuhi dalam bentuk saldo
Rekening Giro Rupiah pada Bank Indonesia.
b. GWM Sekunder sebesar 2,5% (dua koma lima persen) dari DPK
dalam rupiah yaitu sebesar Rp1.375.000.000.000,00 (satu triliun
tiga ratus tujuh puluh lima miliar rupiah) dipenuhi dalam bentuk
SBI, SUN, SBSN, dan/atau Excess Reserve.
c. GWM LDR sebesar 0% (nol persen) dari DPK dalam rupiah
yaitu sebesar Rp0,00 (nol rupiah).
Huruf b
Contoh perhitungan GWM LDR dalam rupiah:
Bank A memiliki rata-rata harian total DPK dalam rupiah dalam masa
laporan sejak tanggal 8 sampai dengan tanggal 15 November sebesar
Rp55.000.000.000.000,00 . . .
- 8 -
Rp55.000.000.000.000,00 (lima puluh lima triliun rupiah) dan LDR
Bank posisi akhir masa laporan tanggal 8 sampai dengan tanggal 15
November sebesar 50% (lima puluh persen).
Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1):
a. Batas bawah LDR Target ditetapkan sebesar 78% (tujuh puluh
delapan persen) dan batas atas LDR Target ditetapkan sebesar
100% (seratus persen).
b. Parameter Disinsentif Bawah ditetapkan sebesar 0,1 (nol koma
satu).
LDR Bank lebih kecil dari batas bawah LDR Target, sehingga GWM
LDR dalam rupiah harian Bank untuk masa laporan sejak tanggal 24
sampai dengan tanggal akhir bulan November adalah sebesar:
Parameter Disinsentif Bawah x (Batas bawah LDR Target - LDR
Bank) x DPK dalam rupiah
= 0,1 x (78% - 50%) x DPK dalam rupiah
= 0,1 x 28% x DPK dalam rupiah
= 2,8% x DPK dalam rupiah
GWM dalam rupiah harian Bank A untuk masa laporan sejak tanggal
24 sampai dengan tanggal akhir bulan November yang wajib dipenuhi
adalah sebesar:
a. GWM Primer sebesar 8% (delapan persen) dari DPK dalam
rupiah yaitu sebesar Rp4.400.000.000.000,00 (empat triliun
empat ratus miliar rupiah), dipenuhi dalam bentuk saldo
Rekening Giro Rupiah pada Bank Indonesia.
b. GWM Sekunder sebesar 2,5% (dua koma lima persen) dari DPK
dalam rupiah yaitu sebesar Rp1.375.000.000.000,00 (satu triliun
tiga . . .
- 9 -
tiga ratus tujuh puluh lima miliar rupiah), dipenuhi dalam bentuk
SBI, SUN, SBSN, dan/atau Excess Reserve.
c. GWM LDR sebesar 2,8 % (dua koma delapan persen) dari DPK
dalam rupiah yaitu sebesar Rp1.540.000.000.000,00 (satu triliun
lima ratus empat puluh miliar rupiah), dipenuhi dalam bentuk
saldo Rekening Giro Rupiah pada Bank Indonesia.
Huruf c
Contoh perhitungan GWM LDR dalam rupiah:
Bank A memiliki rata-rata harian total DPK dalam rupiah dalam masa
laporan sejak tanggal 8 sampai dengan tanggal 15 November sebesar
Rp55.000.000.000.000,00 (lima puluh lima triliun rupiah) dan LDR
Bank posisi akhir masa laporan tanggal 8 sampai dengan tanggal 15
November sebesar 105% (seratus lima persen) dan KPMM Bank
posisi akhir bulan Juni sebesar 12% (dua belas persen).
Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1):
a. Batas bawah LDR Target ditetapkan sebesar 78% (tujuh puluh
delapan persen) dan batas atas LDR Target ditetapkan sebesar
100% (seratus persen).
b. Parameter Disinsentif Atas ditetapkan sebesar 0,2 (nol koma
dua).
c. KPMM Insentif ditetapkan sebesar 14% (empat belas persen).
LDR Bank lebih besar dari batas atas LDR Target dan KPMM Bank
lebih kecil dari KPMM Insentif, sehingga GWM LDR dalam rupiah
harian Bank untuk masa laporan sejak tanggal 24 sampai dengan
tanggal akhir bulan November adalah sebesar:
Parameter . . .
- 10 -
Parameter Disinsentif Atas x (LDR Bank – batas atas LDR Target) x
DPK dalam rupiah
= 0,2 x (105% – 100%) x DPK dalam rupiah
= 0,2 x 5% x DPK dalam rupiah
= 1% x DPK dalam rupiah
GWM dalam rupiah harian Bank A untuk masa laporan sejak tanggal
24 sampai dengan tanggal akhir bulan November yang wajib dipenuhi
adalah sebesar:
a. GWM Primer sebesar 8% (delapan persen) dari DPK dalam
rupiah yaitu sebesar Rp4.400.000.000.000,00 (empat triliun
empat ratus miliar rupiah), dipenuhi dalam bentuk saldo
Rekening Giro Rupiah pada Bank Indonesia.
b. GWM Sekunder sebesar 2,5% (dua koma lima persen) dari DPK
dalam rupiah yaitu sebesar Rp1.375.000.000.000,00 (satu triliun
tiga ratus tujuh puluh lima miliar rupiah), dipenuhi dalam bentuk
SBI, SUN, SBSN, dan/atau Excess Reserve.
c. GWM LDR sebesar 1% (satu persen) dari DPK dalam rupiah
yaitu sebesar Rp550.000.000.000,00 (lima ratus lima puluh
miliar rupiah), dipenuhi dalam bentuk saldo Rekening Giro
Rupiah pada Bank Indonesia.
Huruf d
Contoh perhitungan GWM LDR dalam rupiah:
Bank A memiliki rata-rata harian total DPK dalam rupiah dalam masa
laporan sejak tanggal 8 sampai dengan tanggal 15 November sebesar
Rp55.000.000.000.000,00 (lima puluh lima triliun rupiah) dan LDR
Bank . . .
- 11 -
Bank posisi akhir masa laporan tanggal 8 sampai dengan tanggal
15 November sebesar 125% (seratus dua puluh lima persen) dan
KPMM Bank posisi akhir bulan Juni sebesar 20% (dua puluh persen).
Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1):
a. Batas bawah LDR Target ditetapkan sebesar 78% (tujuh puluh
delapan persen) dan batas atas LDR Target ditetapkan sebesar
100% (seratus persen).
b. Parameter Disinsentif Atas ditetapkan sebesar 0,2 (nol koma
dua).
c. KPMM Insentif ditetapkan sebesar 14% (empat belas persen).
LDR Bank lebih besar dari batas atas LDR Target dan KPMM Bank
lebih besar dari KPMM Insentif, sehingga GWM LDR dalam rupiah
harian Bank untuk masa laporan sejak tanggal 24 sampai dengan
tanggal akhir bulan November adalah sebesar 0% (nol persen) dari
DPK dalam rupiah.
GWM dalam rupiah harian Bank A untuk masa laporan sejak tanggal
24 sampai dengan tanggal akhir bulan November yang wajib dipenuhi
adalah sebesar:
a. GWM Primer sebesar 8% (delapan persen) dari DPK dalam
rupiah yaitu sebesar Rp4.400.000.000.000,00 (empat triliun
empat ratus miliar rupiah), dipenuhi dalam bentuk saldo
Rekening Giro Rupiah pada Bank Indonesia.
b. GWM Sekunder sebesar 2,5% (dua koma lima persen) dari DPK
dalam rupiah yaitu sebesar Rp1.375.000.000.000,00 (satu triliun
tiga ratus tujuh puluh lima miliar rupiah) dipenuhi dalam bentuk
SBI, SUN, SBSN, dan/atau Excess Reserve.
c. GWM . . .
- 12 -
c. GWM LDR sebesar 0% (nol persen) dari DPK dalam rupiah
yaitu sebesar Rp0,00 (nol rupiah).
Pasal 12
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
LDR Bank yang digunakan sebagai dasar perhitungan GWM LDR
dalam rupiah didasarkan pada pos-pos neraca mingguan Laporan
Berkala Bank Umum posisi akhir tanggal laporan pada 2 (dua) masa
laporan sebelumnya.
Dengan demikian, perhitungan GWM LDR dalam rupiah ditetapkan
sebagai berikut:
a. GWM LDR dalam rupiah harian untuk masa laporan sejak
tanggal 1 sampai dengan tanggal 7 didasarkan pada perhitungan
besarnya LDR pada akhir masa laporan sejak tanggal 16 sampai
dengan tanggal 23 bulan sebelumnya;
b. GWM LDR dalam rupiah harian untuk masa laporan sejak
tanggal 8 sampai dengan tanggal 15 didasarkan pada perhitungan
besarnya LDR pada akhir masa laporan sejak tanggal 24 sampai
dengan akhir bulan sebelumnya;
c. GWM LDR dalam rupiah harian untuk masa laporan sejak
tanggal 16 sampai dengan tanggal 23 didasarkan pada
perhitungan besarnya LDR pada akhir masa laporan sejak
tanggal 1 sampai dengan tanggal 7 bulan yang sama;
d. GWM . . .
- 13 -
d. GWM LDR dalam rupiah harian untuk masa laporan sejak
tanggal 24 sampai dengan tanggal akhir bulan didasarkan pada
perhitungan besarnya LDR pada akhir masa laporan sejak
tanggal 8 sampai dengan tanggal 15 bulan yang sama.
Ayat (3)
KPMM triwulanan hasil perhitungan Bank Indonesia yang digunakan
sebagai dasar perhitungan GWM LDR dalam rupiah merupakan hasil
olahan sistem aplikasi yang digunakan Bank Indonesia dalam rangka
pengawasan berdasarkan laporan yang disampaikan oleh Bank dan
telah dilakukan penyesuaian apabila diperlukan oleh Bank Indonesia,
untuk posisi tanggal akhir Maret, Juni, September, dan Desember.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 13
Ayat (1)
Bagi Bank umum konvensional yang juga melakukan kegiatan usaha
berdasarkan prinsip syariah, saldo Rekening Giro Bank tidak termasuk
saldo Rekening Giro unit usaha syariah.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 14 . . .
- 14 -
Pasal 14
Ayat (1)
Bagi Bank umum konvensional yang juga melakukan kegiatan usaha
berdasarkan prinsip syariah, dalam menentukan DPK dalam rupiah
dan DPK dalam valuta asing tidak termasuk DPK yang dilaporkan
unit usaha syariah.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan giro dalam rupiah adalah komponen giro
sebagaimana dimaksud dalam penjelasan komponen Dana Pihak
Ketiga dalam Rupiah dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai
laporan berkala bank umum.
Huruf b
Yang dimaksud dengan tabungan dalam rupiah adalah
komponen tabungan sebagaimana dimaksud dalam penjelasan
komponen Dana Pihak Ketiga dalam Rupiah dalam ketentuan
Bank Indonesia mengenai laporan berkala bank umum.
Huruf c
Yang dimaksud dengan simpanan berjangka/deposito dalam
rupiah adalah komponen simpanan berjangka sebagaimana
dimaksud dalam penjelasan komponen Dana Pihak Ketiga dalam
Rupiah dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai laporan
berkala bank umum.
Huruf d . . .
- 15 -
Huruf d
Yang dimaksud dengan kewajiban-kewajiban lainnya dalam
rupiah adalah kewajiban-kewajiban lainnya kepada pihak ketiga
bukan bank sebagaimana dimaksud dalam penjelasan komponen
Dana Pihak Ketiga dalam Rupiah dalam ketentuan Bank
Indonesia mengenai laporan berkala bank umum.
Ayat (3)
Huruf a
Yang dimaksud dengan giro dalam valuta asing adalah
komponen giro sebagaimana dimaksud dalam penjelasan
komponen Dana Pihak Ketiga dalam Valuta Asing dalam
ketentuan Bank Indonesia mengenai laporan berkala bank
umum.
Huruf b
Yang dimaksud dengan tabungan dalam valuta asing adalah
komponen tabungan sebagaimana dimaksud dalam penjelasan
komponen Dana Pihak Ketiga dalam Valuta Asing dalam
ketentuan Bank Indonesia mengenai laporan berkala bank
umum.
Huruf c
Yang dimaksud dengan simpanan berjangka/deposito dalam
valuta asing adalah komponen simpanan berjangka sebagaimana
dimaksud dalam penjelasan komponen Dana Pihak Ketiga dalam
Valuta Asing dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai laporan
berkala bank umum.
Huruf d . . .
- 16 -
Huruf d
Yang dimaksud dengan kewajiban-kewajiban lainnya dalam
valuta asing adalah kewajiban-kewajiban lainnya kepada pihak
ketiga termasuk bank sebagaimana dimaksud dalam penjelasan
komponen Dana Pihak Ketiga dalam Valuta Asing dalam
ketentuan Bank Indonesia mengenai laporan berkala bank
umum.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Perhitungan jasa giro harian dalam 1 (satu) masa laporan dilakukan
dengan mengalikan persentase jasa giro terhadap bagian tertentu dari
rata-rata harian jumlah DPK dalam 1 (satu) masa laporan pada 2 (dua)
masa laporan sebelumnya.
Ayat (3)
Tingkat bunga sebesar 2,5% (dua koma lima persen) merupakan
tingkat bunga efektif tahunan (effective annual rate) yang ditentukan
berdasarkan periode compounding harian selama 360 hari.
Metode perhitungan persentase jasa giro harian menggunakan tingkat
bunga sebesar 2,5% (dua koma lima persen) sebagai berikut:
Persentase jasa giro harian = {1 + tingkat bunga efektif tahunan}(1/360) -1
= {1+2,5%}(1/360) - 1
= 0,00686%
Hasil
. . .
- 17 -
Hasil perhitungan persentase jasa giro harian dibulatkan menjadi 5
(lima) digit di belakang koma.
Ayat (4)
Bank yang mendapat insentif kelonggaran pemenuhan kewajiban
GWM dalam rupiah sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank
Indonesia tentang Insentif dalam Rangka Konsolidasi Perbankan,
dianggap telah memenuhi seluruh kewajiban GWM dalam rupiah
apabila Bank telah memenuhi kewajiban GWM Primer dalam rupiah
paling kurang 7 % dari DPK dalam rupiah dan memenuhi kewajiban
GWM Sekunder dan GWM LDR dalam rupiah sesuai ketentuan yang
berlaku.
Contoh perhitungan jasa giro:
Sesuai contoh perhitungan penjelasan Pasal 11 huruf c, Bank A wajib
memenuhi GWM dalam rupiah harian untuk masa laporan sejak
tanggal 24 sampai dengan tanggal akhir bulan November sebagai
berikut:
a. GWM Primer dalam rupiah sebesar 8% (delapan persen) dari
DPK dalam rupiah, yaitu sebesar Rp4.400.000.000.000,00
(empat triliun empat ratus miliar rupiah);
b. GWM Sekunder dalam rupiah sebesar 2,5% (dua koma lima
persen) dari DPK dalam rupiah yaitu sebesar
Rp1.375.000.000.000,00 (satu triliun tiga ratus tujuh puluh lima
miliar rupiah); dan
c. GWM LDR dalam rupiah sebesar 1% (satu persen) dari DPK
dalam rupiah, yaitu sebesar Rp550.000.000.000,00 (lima ratus
lima puluh miliar rupiah),
GWM . . .
- 18 -
GWM Primer dalam rupiah dan GWM LDR dalam rupiah sebesar
9% (sembilan persen) dari DPK dalam rupiah yaitu sebesar
Rp4.950.000.000.000,00 (empat triliun sembilan ratus lima puluh
miliar rupiah) wajib dipenuhi dalam bentuk saldo Rekening Giro
Rupiah pada Bank Indonesia.
Sedangkan GWM Sekunder sebesar 2,5% (dua koma lima persen) dari
DPK dalam rupiah yaitu sebesar Rp1.375.000.000.000,00 (satu triliun
tiga ratus tujuh puluh lima miliar rupiah) wajib dipenuhi dalam bentuk
SBI, SUN, SBSN, dan/atau Excess Reserve.
Pada tanggal 24 November, saldo Rekening Giro Rupiah Bank A pada
Bank Indonesia adalah sebesar Rp5.000.000.000.000,00 (lima triliun
rupiah) dan Bank A memiliki SBI, SUN, dan SBSN sebesar
Rp1.500.000.000.000,00 (satu triliun lima ratus miliar rupiah)
sehingga Bank telah memenuhi seluruh kewajiban GWM dalam
rupiah dan dapat memperoleh jasa giro untuk bagian tertentu dari
saldo Rekening Giro Rupiah yang digunakan untuk pemenuhan
kewajiban GWM Primer dalam rupiah.
Bagian saldo Rekening Giro Rupiah yang mendapat jasa giro
ditetapkan sebesar 3% (tiga persen) dari DPK dalam rupiah yaitu
sebesar:
3% x Rp55.000.000.000.000,00 = Rp1.650.000.000.000,00 (satu
triliun enam ratus lima puluh miliar rupiah).
Perhitungan jasa giro dengan tingkat bunga 2,5% (dua koma lima
persen) per tahun untuk tanggal 24 November adalah sebagai berikut:
= persentase jasa giro harian x bagian saldo Rekening Giro Rupiah
yang mendapat jasa giro
= 0,00686% x Rp1.650.000.000.000,00
= Rp113.190.000,00 (seratus tiga belas juta seratus sembilan puluh
ribu rupiah.
Ayat (5)
. . .
- 19 -
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 17
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Contoh perhitungan jasa giro:
Sesuai contoh perhitungan penjelasan Pasal 11 huruf c, Bank A wajib
memenuhi GWM dalam rupiah harian untuk masa laporan sejak
tanggal 24 sampai dengan tanggal akhir bulan November sebagai
berikut:
a. GWM Primer dalam rupiah sebesar 8% (delapan persen) dari
DPK dalam rupiah, yaitu sebesar Rp4.400.000.000.000,00
(empat triliun empat ratus miliar rupiah);
b. GWM Sekunder dalam rupiah sebesar 2,5% (dua koma lima
persen) dari DPK dalam rupiah yaitu sebesar
Rp1.375.000.000.000,00 (satu triliun tiga ratus tujuh puluh lima
miliar rupiah); dan
c. GWM LDR dalam rupiah sebesar 1% (satu persen) dari DPK
dalam rupiah, yaitu sebesar Rp550.000.000.000,00 (lima ratus
lima puluh miliar rupiah),
GWM Primer dalam rupiah dan GWM LDR dalam rupiah sebesar
9% (sembilan persen) dari DPK dalam rupiah yaitu sebesar
Rp4.950.000.000.000,00 (empat triliun sembilan ratus lima puluh
miliar . . .
- 20 -
miliar rupiah) wajib dipenuhi dalam bentuk saldo Rekening Giro
Rupiah pada Bank Indonesia.
Sedangkan GWM Sekunder sebesar 2,5% (dua koma lima persen) dari
DPK dalam rupiah yaitu sebesar Rp1.375.000.000.000,00 (satu triliun
tiga ratus tujuh puluh lima miliar rupiah) wajib dipenuhi dalam bentuk
SBI, SUN, SBSN, dan/atau Excess Reserve.
Untuk periode tanggal 24 sampai dengan tanggal akhir bulan
November, Bank A memiliki Saldo Rekening Giro Rupiah di Bank
Indonesia serta jumlah SBI, SUN, serta SBSN sebagai berikut:
a. Tanggal 24 November, Saldo Rekening Giro Rupiah sebesar
Rp5.000.000.000.000,00 (lima triliun rupiah) serta jumlah SBI,
SUN, dan SBSN sebesar Rp1.500.000.000.000,00 (satu triliun
lima ratus miliar rupiah);
b. Tanggal 25 November, Saldo Rekening Giro Rupiah sebesar
Rp4.900.000.000.000,00 (empat triliun sembilan ratus miliar
rupiah) serta jumlah SBI, SUN, dan SBSN sebesar
Rp1.500.000.000.000,00 (satu triliun lima ratus miliar rupiah);
c. Tanggal 26 November, Saldo Rekening Giro Rupiah sebesar
Rp5.000.000.000.000,00 (lima triliun rupiah) serta jumlah SBI,
SUN, dan SBSN sebesar Rp1.000.000.000.000,00 (satu triliun
rupiah);
d. Tanggal 27 November, Saldo Rekening Giro Rupiah sebesar
Rp5.000.000.000.000,00 (lima triliun rupiah) serta jumlah SBI,
SUN, dan SBSN sebesar Rp1.400.000.000.000,00 (satu triliun
empat ratus miliar rupiah);
e. Tanggal 28 November, Saldo Rekening Giro Rupiah sebesar
Rp4.950.000.000.000,00 (empat triliun sembilan ratus lima puluh
miliar . . .
- 21 -
miliar rupiah) serta jumlah SBI, SUN, dan SBSN sebesar
Rp1.500.000.000.000,00 (satu triliun lima ratus miliar rupiah);
f. Tanggal 29 November, Saldo Rekening Giro Rupiah sebesar
Rp4.950.000.000.000,00 (empat triliun sembilan ratus lima puluh
miliar rupiah) serta jumlah SBI, SUN, dan SBSN sebesar
Rp1.500.000.000.000,00 (satu triliun lima ratus miliar rupiah);
g. Tanggal 30 November, Saldo Rekening Giro Rupiah sebesar
Rp4.950.000.000.000,00 (empat triliun sembilan ratus lima puluh
miliar rupiah) serta jumlah SBI, SUN, dan SBSN sebesar
Rp1.500.000.000.000,00 (satu triliun lima ratus miliar rupiah).
Diasumsikan tanggal 29 dan 30 November serta tanggal 2 Desember
adalah hari libur.
Berdasarkan contoh tersebut maka Bank A mendapatkan jasa giro
hanya untuk tanggal 24, 27 dan 28 November karena pada tanggal 25
November Bank A kekurangan Saldo Rekening Giro Rupiah untuk
pemenuhan GWM Primer dan GWM LDR, sedangkan pada tanggal
26 November Bank A kekurangan jumlah SBI, SUN, dan SBSN serta
Excess Reserve untuk pemenuhan GWM Sekunder.
Perhitungan jasa giro untuk masing-masing tanggal 24, 27 dan 28
November adalah sebagai berikut:
= persentase jasa giro harian x bagian saldo Rekening Giro Rupiah
yang mendapat jasa giro
= persentase jasa giro harian x (3% x DPK dalam rupiah)
= 0,00686% x (3% x Rp55.000.000.000.000,00)
= 0,00686% x Rp1.650.000.000.000,00
= Rp113.190.000,00 (seratus tiga belas juta seratus sembilan puluh
ribu rupiah).
Pengkreditan . . .
- 22 -
Pengkreditan jasa giro untuk masing-masing tanggal 24, 27 dan 28
November dilakukan oleh Bank Indonesia pada Rekening Giro Rupiah
Bank selambat-lambatnya pada tanggal 3 Desember karena tanggal
2 Desember jatuh pada hari libur. Jasa giro yang dikreditkan ke
Rekening Giro Rupiah Bank selambat-lambatnya pada tanggal
3 Desember adalah sebesar:
3 x Rp113.190.000,00 = Rp339.570.000,00 (tiga ratus tiga puluh
sembilan juta lima ratus tujuh puluh ribu rupiah).
Pembulatan dalam rangka pengkreditan Rekening Giro Bank oleh
Bank Indonesia dilakukan dengan memperhatikan sistem Akunting
Bank Indonesia.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 18
Ayat (1)
Contoh perhitungan sanksi:
Bank A memiliki rata-rata harian DPK dalam rupiah dalam masa
laporan sejak tanggal 8 sampai dengan tanggal 15 bulan November
sebesar Rp55.000.000.000.000,00 (lima puluh lima triliun rupiah),
LDR Bank posisi akhir masa laporan tanggal 8 sampai dengan tanggal
15 November sebesar 105% (seratus lima persen) dan KPMM Bank
posisi akhir bulan Juni sebesar 12% (dua belas persen).
GWM dalam rupiah harian Bank A yang wajib dipenuhi untuk masa
laporan sejak tanggal 24 sampai dengan tanggal akhir bulan
November adalah sebesar:
a. GWM . . .
- 23 -
a. GWM Primer dalam rupiah sebesar 8% (delapan persen) dari
DPK dalam rupiah, yaitu sebesar Rp4.400.000.000.000,00
(empat triliun empat ratus miliar rupiah);
b. GWM Sekunder dalam rupiah sebesar 2,5% (dua koma lima
persen) dari DPK dalam rupiah yaitu sebesar
Rp1.375.000.000.000,00 (satu triliun tiga ratus tujuh puluh lima
miliar rupiah); dan
c. GWM LDR dalam rupiah sebesar 1% (satu persen) dari DPK
dalam rupiah, yaitu sebesar Rp550.000.000.000,00 (lima ratus
lima puluh miliar rupiah), sesuai contoh perhitungan penjelasan
Pasal 11 huruf c.
GWM Primer dalam rupiah dan GWM LDR dalam rupiah sebesar
9% (sembilan persen) dari DPK dalam rupiah yaitu sebesar
Rp4.950.000.000.000,00 (empat triliun sembilan ratus lima puluh
miliar rupiah) wajib dipenuhi dalam bentuk saldo Rekening Giro
Rupiah pada Bank Indonesia.
Sedangkan GWM Sekunder sebesar 2,5% dari DPK dalam rupiah
yaitu sebesar Rp1.375.000.000.000,00 (satu triliun tiga ratus tujuh
puluh lima miliar rupiah) wajib dipenuhi dalam bentuk SBI, SUN,
SBSN, dan/atau Excess Reserve.
Contoh 1:
Pada tanggal 24 November, saldo Rekening Giro Rupiah Bank A pada
Bank Indonesia adalah sebesar Rp4.500.000.000.000,00 (empat triliun
lima ratus miliar rupiah) dan Bank A memiliki SBI, SUN, dan SBSN
sebesar Rp1.500.000.000.000,00 (satu triliun lima ratus miliar rupiah)
sehingga terdapat kekurangan pemenuhan GWM Primer dan GWM
LDR . . .
- 24 -
LDR sebesar Rp450.000.000.000,00 (empat ratus lima puluh miliar
rupiah). Kekurangan GWM Primer dan GWM LDR tidak dapat
dipenuhi dari kelebihan GWM Sekunder.
Suku Bunga JIBOR dalam rupiah pada tanggal 24 November adalah
sebesar 6% (enam persen).
Perhitungan sanksi kewajiban membayar atas pelanggaran GWM
dalam rupiah untuk Bank A pada tanggal 24 November adalah sebagai
berikut:
Kekurangan GWM dalam rupiah x 125% x suku bunga JIBOR
dalam rupiah x hari kerja
360
yaitu
Rp450.000.000.000,00 x 125% x 6% x 1
360
Selain itu pada tanggal 24 November Bank A tidak memperoleh jasa
giro karena tidak dapat memenuhi seluruh kewajiban GWM dalam
rupiah (kekurangan saldo Rekening Giro Rupiah untuk pemenuhan
GWM Primer dan GWM LDR).
Contoh 2:
Pada tanggal 24 November, saldo Rekening Giro Rupiah Bank A pada
Bank Indonesia adalah sebesar Rp5.100.000.000.000,00 (lima triliun
seratus miliar rupiah) dan Bank A memiliki SBI, SUN, dan SBSN
sebesar Rp1.000.000.000.000,00 (satu triliun rupiah) sehingga
terdapat kekurangan pemenuhan GWM Sekunder dalam rupiah
sebesar Rp375.000.000.000,00 (tiga ratus tujuh puluh lima miliar
rupiah).
Bank A . . .
- 25 -
Bank A memiliki Excess Reserve sebesar Rp150.000.000.000,00
(seratus lima puluh miliar rupiah) yang dapat digunakan untuk
pemenuhan kekurangan GWM Sekunder dalam rupiah sehingga
Bank masih kekurangan untuk pemenuhan GWM Sekunder
sebesar : Rp375.000.000.000,00–Rp150.000.000.000,00 =
Rp225.000.000.000,00
Suku Bunga JIBOR dalam rupiah pada tanggal 24 November adalah
sebesar 6% (enam persen).
Perhitungan sanksi kewajiban membayar atas pelanggaran GWM
dalam rupiah untuk Bank A pada tanggal 24 November adalah
sebagai berikut:
Kekurangan GWM dalam rupiah x 125% x suku bunga JIBOR
dalam rupiah x hari kerja
360
yaitu
Rp225.000.000.000,00 x 125% x 6% x 1
360
Selain itu pada tanggal 24 November Bank A tidak memperoleh jasa
giro karena tidak dapat memenuhi seluruh kewajiban GWM dalam
rupiah (kekurangan SBI, SUN, SBSN dan/atau Excess Reserve untuk
memenuhi kewajiban GWM Sekunder).
Contoh 3:
Pada tanggal 24 November, saldo Rekening Giro Rupiah Bank A pada
Bank Indonesia adalah sebesar Rp4.500.000.000.000,00 (empat
triliun lima ratus miliar rupiah) dan Bank A memiliki SBI, SUN, dan
SBSN . . .
- 26 -
SBSN sebesar Rp1.000.000.000.000,00 (satu triliun rupiah) sehingga
terdapat kekurangan pemenuhan GWM dalam rupiah sebesar
Rp825.000.000.000,00 (delapan ratus dua puluh lima miliar rupiah)
yaitu terdiri dari kekurangan pemenuhan GWM Primer dalam rupiah
dan GWM LDR dalam rupiah sebesar Rp450.000.000.000,00 (empat
ratus lima puluh miliar rupiah) dan kekurangan pemenuhan GWM
Sekunder dalam rupiah sebesar Rp375.000.000.000,00 (tiga ratus
tujuh puluh lima miliar rupiah).
Suku Bunga JIBOR dalam rupiah pada tanggal 24 November adalah
sebesar 6% (enam persen).
Perhitungan sanksi kewajiban membayar atas pelanggaran GWM
dalam rupiah untuk Bank A pada tanggal 24 November adalah sebagai
berikut:
Kekurangan GWM dalam rupiah x 125% x suku bunga JIBOR
dalam rupiah x hari kerja
360
yaitu
Rp825.000.000.000,00 x 125% x 6% x 1
360
Selain itu pada tanggal 24 November Bank A tidak memperoleh jasa
giro karena tidak dapat memenuhi kewajiban GWM dalam rupiah
(kekurangan saldo Rekening Giro Rupiah untuk pemenuhan
kewajiban GWM Primer dan GWM LDR serta kekurangan SBI, SUN,
SBSN dan/atau Excess Reserve untuk memenuhi kewajiban GWM
Sekunder).
Ayat (2) . . .
- 27 -
Ayat (2)
Contoh perhitungan:
Bank A memiliki rata-rata harian total DPK dalam valuta asing dalam
masa laporan sejak tanggal 8 sampai dengan tanggal 15 bulan
November sebesar USD100.000.000,00 (seratus juta US dollar).
GWM dalam valuta asing harian untuk masa laporan sejak tanggal 24
sampai dengan tanggal akhir bulan November adalah sebesar:
1% x USD100.000.000,00 = USD1.000.000,00 (satu juta US dollar)
Saldo Rekening Giro Valas Bank A pada Bank Indonesia pada tanggal
24 November adalah sebesar USD900.000,00 (sembilan ratus ribu
US dollar) sehingga terdapat kekurangan pemenuhan GWM sebesar
USD100.000,00 (seratus ribu US dollar).
Perhitungan sanksi kewajiban membayar atas pelanggaran GWM
dalam valuta asing untuk Bank A pada tanggal 24 November adalah
sebagai berikut:
0,04% x (USD1.000.000,00 – USD900.000,00) = USD40,00 (empat
puluh US dollar)
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan kurs transaksi adalah kurs jual ditambah
dengan kurs beli dibagi dua.
Dengan sanksi kewajiban membayar sebesar USD40,00 (empat puluh
US dollar) sebagaimana contoh perhitungan pada penjelasan ayat (2)
dan asumsi kurs transaksi Bank Indonesia pada hari terjadinya
pelanggaran adalah Rp9.000,00/USD (sembilan ribu rupiah per
US dollar), maka sanksi kewajiban membayar yang harus dibayarkan
adalah sebesar:
40 x Rp9.000,00 = Rp360.000,00 (tiga ratus enam puluh ribu rupiah).
Ayat (4)
. . .
- 28 -
Ayat (4)
Kelonggaran pemenuhan GWM dalam rupiah bagi Bank yang
mendapatkan insentif dalam rangka konsolidasi perbankan
diperuntukkan bagi pemenuhan GWM Primer dalam rupiah yang
sesuai ketentuan saat ini menjadi paling kurang sebesar 7% (tujuh
persen) dari DPK dalam rupiah.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Yang dimaksud dengan CDO adalah langkah-langkah yang ditetapkan oleh
Bank Indonesia kepada Bank untuk melakukan atau tidak melakukan hal
tertentu. Contoh CDO adalah larangan bagi Bank untuk melakukan
ekspansi kredit.
Perhitungan yang berbeda antara lain berupa pengurangan/penambahan
persentase GWM LDR yang diperoleh berdasarkan hasil perhitungan
sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Bank Indonesia ini.
Pasal 21
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Contoh:
Bank A memiliki rata-rata harian DPK dalam rupiah dalam masa
laporan sejak tanggal 8 sampai dengan tanggal 15 bulan
November . . .
- 29 -
November sebesar Rp55.000.000.000.000,00 (lima puluh lima triliun
rupiah), LDR Bank posisi akhir masa laporan tanggal 8 sampai
dengan tanggal 15 bulan November sebesar 105% (seratus lima
persen) dan KPMM Bank posisi akhir bulan Juni sebesar 12% (dua
belas persen).
GWM dalam rupiah harian Bank A yang wajib dipenuhi untuk masa
laporan sejak tanggal 24 sampai dengan tanggal akhir bulan
November adalah sebesar:
a. GWM Primer dalam rupiah sebesar 8% (delapan persen) dari
DPK dalam rupiah, yaitu sebesar Rp4.400.000.000.000,00
(empat triliun empat ratus miliar rupiah);
b. GWM Sekunder dalam rupiah sebesar 2,5% (dua koma lima
persen) dari DPK dalam rupiah yaitu sebesar
Rp1.375.000.000.000,00 (satu triliun tiga ratus tujuh puluh lima
miliar rupiah); dan
c. GWM LDR dalam rupiah sebesar 1% ( satu persen) dari DPK
dalam rupiah, yaitu sebesar Rp550.000.000.000,00 ( lima ratus
lima puluh miliar rupiah), perhitungan sesuai contoh pada
penjelasan Pasal 11 huruf c.
Saldo Rekening Giro Rupiah Bank A pada Bank Indonesia
pada tanggal 24 November adalah sebesar Rp4.500.000.000.000,00
(empat triliun lima ratus rupiah) dan Bank memiliki SBI, SUN, dan
SBSN sebesar Rp1.000.000.000.000,00 (satu triliun rupiah) sehingga
terdapat kekurangan pemenuhan GWM dalam rupiah sebesar
Rp825.000.000.000,00 (delapan ratus dua puluh lima miliar rupiah)
yaitu . . .
- 30 -
yaitu terdiri dari kekurangan pemenuhan GWM Primer dalam rupiah
dan GWM LDR dalam rupiah sebesar Rp450.000.000.000,00 (empat
ratus lima puluh miliar rupiah) dan kekurangan pemenuhan GWM
Sekunder dalam rupiah sebesar Rp375.000.000.000,00 (tiga ratus
tujuh puluh lima miliar rupiah).
Pelanggaran GWM dalam rupiah terjadi tanggal 24 November
(Senin), pembebanan rekening giro dilakukan paling lambat tanggal
27 November dan apabila tanggal 25 November (Selasa) adalah hari
libur nasional maka sanksi dibebankan paling lambat tanggal 28
November (Jumat).
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Bank A memiliki rata-rata harian DPK dalam rupiah dalam masa
laporan sejak tanggal 8 sampai dengan tanggal 15 bulan November
sebesar Rp55.000.000.000.000,00 (lima puluh lima triliun rupiah),
LDR Bank posisi akhir masa laporan tanggal 8 sampai dengan tanggal
15 bulan November sebesar 105% (seratus lima persen) dan KPMM
Bank posisi akhir bulan Juni sebesar 12% (dua belas persen).
GWM harian dalam rupiah yang wajib dipenuhi untuk masa laporan
sejak tanggal 24 sampai dengan tanggal akhir bulan November adalah
sebesar:
a. GWM Primer dalam rupiah sebesar 8% (delapan persen) dari
DPK dalam rupiah, yaitu sebesar Rp4.400.000.000.000,00
(empat triliun empat ratus miliar rupiah);
b. GWM . . .
- 31 -
b. GWM Sekunder dalam rupiah sebesar 2,5% (dua koma lima
persen) dari DPK dalam rupiah yaitu sebesar
Rp1.375.000.000.000,00 (satu triliun tiga ratus tujuh puluh lima
miliar rupiah); dan
c. GWM LDR dalam rupiah sebesar 1% (satu persen) dari DPK
dalam rupiah, yaitu sebesar Rp550.000.000.000,00 (lima ratus
lima puluh miliar rupiah), perhitungan sesuai contoh pada
penjelasan Pasal 11 huruf c.
Saldo Rekening Giro Rupiah Bank A pada Bank Indonesia pada
tanggal 24 November adalah sebesar Rp1.000.000.000,00 (satu
miliar rupiah) dan Bank tidak memiliki SBI, SUN, dan SBSN
sehingga terdapat kekurangan pemenuhan GWM dalam rupiah sebesar
Rp6.324.000.000.000,00 (enam triliun tiga ratus dua puluh empat
miliar rupiah) yaitu terdiri dari kekurangan pemenuhan GWM Primer
dalam rupiah dan GWM LDR dalam rupiah sebesar
Rp4.949.000.000.000,00 (empat triliun sembilan ratus empat puluh
sembilan miliar rupiah) dan kekurangan pemenuhan GWM
Sekunder dalam rupiah sebesar Rp1.375.000.000.000,00 (satu triliun
tiga ratus tujuh puluh lima miliar rupiah).
Suku bunga JIBOR dalam rupiah pada tanggal 24 dan 26 November
adalah sebesar 6% (enam persen).
Perhitungan sanksi kewajiban membayar atas pelanggaran GWM
rupiah untuk Bank A pada tanggal 24 November adalah sebagai
berikut:
Kekurangan GWM dalam rupiah x 125% x suku bunga JIBOR
dalam rupiah x hari kerja
360
Rp6.324.000.000.000,00 . . .
- 32 -
Rp6.324.000.000.000,00 x 125% x 6% x 1
360
yaitu sebesar Rp1.317. 500.000,00 ( satu miliar tiga ratus tujuh belas
juta lima ratus ribu rupiah).
Pendebetan Rekening Giro Rupiah Bank dalam rangka pengenaan
sanksi atas kekurangan GWM dalam rupiah yang terjadi pada tanggal
24 November dimaksud dilakukan paling lambat 3 (tiga) hari kerja
berikutnya.
Misalkan pendebetan Rekening Giro Rupiah Bank dilakukan pada
tanggal 26 November dan saldo Rekening Giro Rupiah Bank tidak
mencukupi untuk pendebetan sanksi sehingga terdapat kekurangan
dalam rangka pendebetan sanksi sebesar Rp200.000.000,00 (dua ratus
juta rupiah), maka atas kekurangan tersebut Bank A dikenakan sanksi
sebesar:
Rp200.000.000,00 x 125% x 6% x 1
360
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25 . . .
- 33 -
Pasal 25
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5158
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 12/19/PBI/2010 </reg_id>
<reg_title> GIRO WAJIB MINIMUM BANK UMUM PADA BANK INDONESIA DALAM RUPIAH DAN VALUTA ASING </reg_title>
<set_date> 4 Oktober 2010 </set_date>
<effective_date> 1 November 2010 </effective_date>
<issued_date> 4 Oktober 2010 </issued_date>
<replaced_reg> '10/25/PBI/2008', '10/19/PBI/2008' </replaced_reg>
<related_reg> '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB VII' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 16/10/PBI/2014
TENTANG
PENERIMAAN DEVISA HASIL EKSPOR
DAN
PENARIKAN DEVISA UTANG LUAR NEGERI
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang :
a. bahwa devisa hasil ekspor dan devisa utang luar
negeri dapat menjadi sumber dana yang
berkesinambungan bagi pembangunan ekonomi
nasional;
b. bahwa devisa hasil ekspor dan devisa utang luar
negeri dapat memberikan kontribusi yang optimal
secara nasional dalam hal penempatannya dilakukan
melalui perbankan di Indonesia;
c. bahwa devisa hasil ekspor dan devisa utang luar
negeri juga bermanfaat untuk mendukung terciptanya
pasar keuangan yang lebih sehat dan upaya menjaga
kestabilan nilai rupiah;
d. bahwa pemantauan penerimaan devisa hasil ekspor
dan penarikan devisa utang luar negeri melalui
perbankan di Indonesia perlu lebih ditingkatkan
efektivitasnya guna mendukung optimalisasi
pemanfaatan devisa hasil ekspor dan devisa utang luar
negeri;
e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf
d, perlu untuk mengatur kembali Peraturan Bank
Indonesia tentang Penerimaan Devisa Hasil Ekspor
dan …
- 2 -
dan Penarikan Devisa Utang Luar Negeri.
Mengingat :
1. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang
Kepabeanan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1995 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3612) sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006
Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4661);
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah
diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-
Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962);
3. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu
Lintas Devisa Dan Sistem Nilai Tukar (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 67,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3844);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PENERIMAAN
DEVISA HASIL EKSPOR DAN PENARIKAN DEVISA UTANG
LUAR NEGERI.
BAB I …
- 3 -
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, termasuk
kantor cabang bank asing di Indonesia, dan Bank Umum Syariah
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun
2008 tentang Perbankan Syariah.
2. Bank Devisa adalah Bank yang memperoleh persetujuan dari otoritas
yang berwenang untuk dapat melakukan kegiatan usaha perbankan
dalam valuta asing, termasuk kantor cabang bank asing di Indonesia,
namun tidak termasuk kantor cabang luar negeri dari Bank yang
berkantor pusat di Indonesia.
3. Penduduk adalah penduduk sebagaimana dimaksud dalam undang-
undang yang mengatur mengenai lalu lintas devisa dan sistem nilai
tukar.
4. Ekspor adalah kegiatan mengeluarkan barang dari daerah pabean
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan yang mengatur mengenai
kepabeanan.
5. Eksportir adalah orang perseorangan, badan hukum, atau badan
lainnya yang tidak berbadan hukum yang melakukan kegiatan
mengeluarkan barang dari daerah pabean.
6. Perusahaan Jasa Titipan yang selanjutnya disingkat PJT adalah
perusahaan yang menangani layanan kiriman secara ekspres atau
peka waktu, memiliki izin penyelenggaraan jasa titipan dari instansi
terkait, serta mendapatkan persetujuan untuk melaksanakan
kegiatan kepabeanan dari Kepala Kantor Pelayanan Bea dan Cukai.
7. Pemberitahuan Ekspor Barang yang selanjutnya disingkat PEB
adalah dokumen pabean yang digunakan untuk pemberitahuan
pelaksanaan ekspor barang yang dapat berupa tulisan di atas
formulir …
- 4 -
formulir atau media elektronik sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan yang mengatur mengenai kepabeanan.
8. Devisa Hasil Ekspor yang selanjutnya disingkat DHE adalah devisa
dari hasil kegiatan Ekspor.
9. Nilai PEB adalah nilai Ekspor free on board (FOB) yang tercantum
pada PEB.
10. Barang Tambang adalah Minyak dan Gas Bumi, Mineral, dan
Batubara.
11. Minyak dan Gas Bumi adalah Minyak Bumi dan Gas Bumi.
12. Minyak Bumi adalah minyak bumi sebagaimana dimaksud dalam
undang-undang yang mengatur mengenai minyak dan gas bumi.
13. Gas Bumi adalah gas bumi sebagaimana dimaksud dalam undang-
undang yang mengatur mengenai minyak dan gas bumi.
14. Mineral adalah mineral sebagaimana dimaksud dalam undang-
undang yang mengatur mengenai pertambangan mineral dan
batubara.
15. Batubara adalah batubara sebagaimana dimaksud dalam undang-
undang yang mengatur mengenai pertambangan mineral dan
batubara.
16. Pihak-Pihak Yang Tunduk Kepada Kontrak Kerja Sama Minyak Dan
Gas Bumi yang selanjutnya disebut Pihak Dalam Kontrak Migas
adalah operator dan/atau pemegang participating interest beserta
para penggantinya dari waktu ke waktu, yang tercatat di otoritas yang
berwenang.
17. Utang Luar Negeri yang selanjutnya disingkat ULN adalah utang
Penduduk kepada bukan Penduduk dalam valuta asing.
18. Debitur Utang Luar Negeri yang selanjutnya disebut Debitur ULN
adalah perorangan, badan hukum bukan Bank, dan badan lainnya,
yang memiliki ULN.
19. Devisa Utang Luar Negeri yang selanjutnya disingkat DULN adalah
devisa yang diperoleh Debitur ULN dari penarikan Utang Luar Negeri.
20. Pelapor DULN adalah Debitur ULN.
21. Hari adalah hari kerja Bank Indonesia.
BAB II …
- 5 -
BAB II
KEWAJIBAN PENERIMAAN DHE MELALUI BANK DEVISA
Pasal 2
(1) Seluruh DHE wajib diterima melalui Bank Devisa.
(2) Kewajiban penerimaan DHE melalui Bank Devisa sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk:
a. DHE milik pemerintah yang diterima melalui Bank Indonesia;
atau
b. DHE yang diterima dalam bentuk uang tunai di dalam negeri
sepanjang dibuktikan dengan dokumen pendukung yang
memadai.
Pasal 3
(1) Penerimaan DHE sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan
Pasal 2 ayat (2) huruf b wajib dilakukan paling lambat pada akhir
bulan ketiga setelah bulan pendaftaran PEB.
(2) Penerimaan DHE sebagaimana dimaksud pada ayat (1), yang berasal
dari cara pembayaran usance L/C, konsinyasi, pembayaran
kemudian, collection, yang jatuh temponya melebihi atau sama
dengan 3 (tiga) bulan setelah bulan pendaftaran PEB, wajib
dilakukan paling lama 14 (empat belas) hari kalender setelah tanggal
jatuh tempo pembayaran yang bersangkutan.
(3) Dalam hal batas akhir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2) jatuh pada hari libur maka penerimaan DHE dapat dilakukan
pada Hari berikutnya.
Pasal 4
(1) Eksportir harus menyampaikan informasi yang tercantum pada PEB
terkait DHE yang diterima kepada Bank Devisa.
(2) Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh
Bank Devisa kepada Bank Indonesia dalam laporan rincian transaksi
Ekspor sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia
yang …
- 6 -
yang mengatur mengenai pemantauan kegiatan lalu lintas devisa
Bank.
(3) Penyampaian informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan paling lambat tanggal 5 bulan berikutnya setelah DHE
diterima.
(4) Untuk DHE yang diterima dalam bentuk uang tunai di dalam negeri
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf b, Eksportir
harus menyampaikan dokumen pendukung yang memadai kepada
Bank Indonesia.
(5) Penyampaian dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada
ayat (4) dilakukan paling lambat tanggal 5 bulan berikutnya setelah
bulan pendaftaran PEB.
(6) Keharusan menyampaikan informasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat
(4) berlaku untuk PEB dengan nilai lebih besar dari USD10,000.00
(sepuluh ribu dolar Amerika Serikat) atau ekuivalennya.
(7) Dalam hal batas akhir penyampaian informasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) dan dokumen pendukung sebagaimana
dimaksud pada ayat (5) merupakan hari libur maka penyampaian
informasi dan/atau dokumen pendukung dapat dilakukan pada Hari
berikutnya.
Pasal 5
(1) Eksportir yang akan menerima DHE dengan cara pembayaran
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2), harus menyampaikan
dokumen pendukung kepada Bank Devisa untuk diteruskan kepada
Bank Indonesia.
(2) Dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disampaikan paling lambat tanggal 5 bulan berikutnya setelah bulan
pendaftaran PEB.
(3) Dalam hal batas akhir penyampaian dokumen pendukung
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan hari libur maka
penyampaian …
- 7 -
penyampaian dokumen pendukung dapat dilakukan pada Hari
berikutnya.
Pasal 6
(1) Nilai DHE yang diterima sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat
(1) dan Pasal 2 ayat (2) huruf b harus sesuai dengan Nilai PEB.
(2) Dalam hal nilai DHE lebih kecil dari Nilai PEB dengan selisih kurang
paling banyak ekuivalen Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah)
maka nilai DHE yang diterima dianggap sesuai dengan Nilai PEB dan
Eksportir tidak perlu menyampaikan dokumen pendukung.
(3) Dalam hal selisih kurang nilai DHE dengan Nilai PEB lebih besar dari
ekuivalen Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) yang disebabkan
oleh:
a. selisih kurs, diskon/rabat, biaya administrasi, dan/atau biaya
lainnya terkait perdagangan internasional, sehingga terdapat
selisih kurang antara nilai DHE dan Nilai PEB paling banyak 10%
(sepuluh persen) dari nilai PEB; dan/atau
b. maklon, jasa perbaikan, operational leasing atau financial leasing,
perbedaan harga barang, perbedaan kualitas barang, perbedaan
komposisi barang, dan perbedaan kuantitas barang,
maka nilai DHE yang diterima dianggap sesuai dengan Nilai PEB
apabila Eksportir menyampaikan dokumen pendukung yang
memadai.
(4) Untuk Barang Tambang, dalam hal nilai DHE lebih kecil dari Nilai
PEB dengan selisih kurang antara nilai DHE dan Nilai PEB yang
disebabkan oleh perbedaan harga, kualitas, komposisi, dan kuantitas
barang:
a. paling banyak 10% (sepuluh persen) dari Nilai PEB maka nilai
DHE yang diterima dianggap sesuai dengan Nilai PEB dan
Eksportir tidak perlu menyampaikan dokumen pendukung; atau
b. lebih besar dari 10% (sepuluh persen) dari Nilai PEB maka nilai
DHE yang diterima dianggap sesuai dengan Nilai PEB apabila
Eksportir menyampaikan dokumen pendukung yang memadai.
(5) Dalam …
- 8 -
(5) Dalam hal selisih kurang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) untuk
DHE yang diterima dalam bentuk uang tunai di dalam negeri
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf b, Eksportir
harus menyampaikan dokumen pendukung yang memadai kepada
Bank Indonesia.
(6) Dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat
(4) huruf b disampaikan kepada Bank Devisa paling lambat tanggal 5
bulan berikutnya setelah DHE diterima oleh Eksportir melalui Bank
Devisa, untuk diteruskan kepada Bank Indonesia.
(7) Dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (5)
disampaikan kepada Bank Indonesia paling lambat tanggal 5 bulan
berikutnya setelah bulan pendaftaran PEB.
Pasal 7
Dalam hal terdapat perbedaan antara data PEB yang disampaikan
Eksportir dengan data PEB yang diterima Bank Indonesia dari Direktorat
Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) maka Bank Indonesia dapat memutuskan
data PEB yang akan dijadikan acuan pemenuhan ketentuan DHE.
Pasal 8
(1) Penerimaan nilai DHE yang lebih kecil dari Nilai PEB yang
disebabkan netting antara tagihan Ekspor dengan kewajiban
Eksportir hanya diperbolehkan untuk netting dengan pembayaran
impor barang terkait kegiatan Ekspor yang bersangkutan yang hanya
melibatkan 2 (dua) pihak.
(2) Dalam hal melibatkan lebih dari 2 (dua) pihak, netting antara tagihan
Ekspor dengan kewajiban Eksportir dalam bentuk impor barang
terkait kegiatan Ekspor yang bersangkutan, hanya diperbolehkan
apabila pihak-pihak dimaksud berada dalam 1 (satu) grup.
(3) Eksportir harus menyampaikan surat pernyataan bahwa:
a. barang yang diimpor digunakan dalam proses menghasilkan
barang Ekspor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2);
dan
b. pihak …
- 9 -
b. pihak-pihak yang melakukan netting antara tagihan Ekspor
dengan kewajiban impor barang terkait kegiatan Ekspor yang
bersangkutan berada dalam 1 (satu) grup, dalam hal netting
melibatkan lebih dari 2 (dua) pihak.
(4) Penerimaan DHE yang berasal dari hasil netting sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dianggap sesuai dengan Nilai
PEB apabila Eksportir menyampaikan bukti transaksi netting yang
memadai.
Pasal 9
(1) Eksportir yang menerima nilai DHE melalui Bank Devisa lebih kecil
dari Nilai PEB, dengan selisih kurang lebih besar dari ekuivalen
Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) yang disebabkan importir
wanprestasi, pailit, atau mengalami keadaan memaksa (force
majeure), harus menyampaikan dokumen pendukung yang memadai
kepada Bank Devisa untuk diteruskan kepada Bank Indonesia.
(2) Eksportir yang tidak menerima DHE, atau menerima DHE dalam
bentuk uang tunai lebih kecil dari Nilai PEB dengan selisih kurang
lebih besar dari ekuivalen Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah),
yang disebabkan importir wanprestasi, pailit, atau mengalami
keadaan memaksa, harus menyampaikan dokumen pendukung yang
memadai kepada Bank Indonesia.
(3) Dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2) disampaikan paling lambat akhir bulan ketiga setelah bulan
pendaftaran PEB.
(4) Dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2) untuk penerimaan DHE yang berasal dari cara pembayaran
usance L/C, konsinyasi, pembayaran kemudian, dan/atau collection
yang jatuh temponya melebihi atau sama dengan 3 (tiga) bulan
setelah bulan pendaftaran PEB, harus disampaikan paling lama 14
(empat belas) hari kalender setelah tanggal jatuh tempo pembayaran.
Pasal 10 …
- 10 -
Pasal 10
Dalam hal Eksportir tidak menyampaikan dokumen pendukung
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (4), Pasal 5 ayat (1), Pasal 6
ayat (3), Pasal 6 ayat (4) huruf b, Pasal 6 ayat (5), Pasal 9 ayat (1), Pasal 9
ayat (2), surat pernyataan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3),
dan/atau bukti transaksi netting sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8
ayat (4) maka nilai DHE yang diterima Eksportir dianggap tidak sesuai
dengan PEB dan Eksportir dianggap tidak memenuhi kewajiban
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1).
Pasal 11
(1) Dalam hal Ekspor dilakukan melalui PJT, kewajiban Eksportir
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), Pasal 2 ayat (2) huruf
b, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 8, dan Pasal 9 menjadi
tanggung jawab pemilik barang.
(2) PJT harus menyampaikan informasi terkait PEB kepada pemilik
barang.
Pasal 12
Dalam hal Ekspor Minyak dan Gas Bumi, kewajiban Eksportir
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), Pasal 2 ayat (2) huruf b,
Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 8, dan Pasal 9 menjadi tanggung
jawab Eksportir dan/atau Pihak Dalam Kontrak Migas.
BAB III
KEWAJIBAN PENARIKAN DULN MELALUI BANK DEVISA
Pasal 13
(1) Setiap DULN wajib ditarik oleh Debitur ULN melalui Bank Devisa.
(2) Kewajiban penarikan DULN oleh Debitur ULN sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) berlaku bagi DULN yang berbentuk dana tunai yang
berasal dari:
a. ULN …
- 11 -
a. ULN berdasarkan perjanjian kredit (loan agreement) dalam bentuk
non revolving yang tidak digunakan untuk refinancing;
b. selisih fasilitas refinancing dengan jumlah ULN lama; dan
c. ULN berdasarkan surat utang (debt securities) dalam bentuk
Bonds, Medium Term Notes (MTN), Floating Rate Notes (FRN),
Promissory Notes (PN), dan Commercial Paper (CP).
(3) Penarikan DULN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
dilaporkan kepada Bank Indonesia.
Pasal 14
(1) Nilai akumulasi penarikan DULN harus sama dengan nilai komitmen.
(2) Dalam hal nilai akumulasi penarikan DULN melalui Bank Devisa
lebih kecil dari nilai komitmen ULN dengan selisih kurang paling
banyak ekuivalen Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) maka
DULN dianggap sesuai dengan nilai komitmen ULN, dan Debitur ULN
tidak perlu menyampaikan penjelasan tertulis dan dokumen
pendukung.
(3) Dalam hal selisih kurang antara akumulasi penarikan DULN melalui
Bank Devisa dengan nilai komitmen ULN lebih besar dari ekuivalen
Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) maka DULN dianggap
sesuai dengan nilai komitmen ULN apabila Debitur ULN
menyampaikan penjelasan tertulis dan dokumen pendukung yang
memadai.
(4) Penjelasan tertulis dan dokumen pendukung sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) harus disampaikan kepada Bank Indonesia paling
lambat sebelum berakhirnya jangka waktu ULN.
(5) Dalam hal Pelapor DULN tidak menyampaikan penjelasan tertulis dan
dokumen pendukung dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud
pada ayat (4), maka Pelapor DULN dianggap tidak melakukan
kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1).
Pasal 15 …
- 12 -
Pasal 15
(1) Laporan penarikan DULN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13
ayat (3) menggunakan laporan realisasi penarikan ULN sebagaimana
diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
pelaporan kegiatan lalu lintas devisa.
(2) Laporan penarikan DULN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
disertai dokumen pendukung yang dapat membuktikan bahwa
penarikan DULN telah dilakukan melalui Bank Devisa.
(3) Dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
disampaikan kepada Bank Indonesia melalui kurir atau pos, atau
menggunakan faksimili, email, atau media lainnya.
Pasal 16
(1) Dokumen pendukung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 wajib
disampaikan kepada Bank Indonesia secara bulanan paling lambat
tanggal 15 bulan berikutnya.
(2) Dalam hal hari terakhir penyampaian dokumen pendukung jatuh
pada hari Sabtu atau hari libur, maka penyampaian dokumen
pendukung dapat disampaikan pada Hari berikutnya.
(3) Pelapor DULN dinyatakan terlambat menyampaikan dokumen
pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) apabila dokumen
pendukung disampaikan melampaui batas waktu yang ditentukan
sampai dengan akhir bulan yang bersangkutan.
(4) Pelapor DULN dinyatakan tidak menyampaikan dokumen pendukung
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) apabila dokumen pendukung
tidak disampaikan sampai dengan akhir bulan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3).
(5) Pelapor DULN dianggap tidak melakukan penarikan DULN melalui
Bank Devisa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) apabila
Pelapor DULN tidak menyampaikan dokumen pendukung yang dapat
membuktikan penarikan DULN telah dilakukan melalui Bank Devisa
sampai dengan akhir bulan sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
Pasal 17 …
- 13 -
Pasal 17
Laporan penarikan DULN yang memuat data/informasi individual yang
disampaikan kepada Bank Indonesia bersifat rahasia.
BAB IV
PENELITIAN KEPATUHAN LAPORAN
Pasal 18
(1) Bank Indonesia melakukan penelitian atas kepatuhan:
a. Eksportir, pemilik barang, dan/atau Pihak Dalam Kontrak Migas
terhadap pemenuhan kewajiban penerimaan DHE sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), Pasal 2 ayat (2) huruf b,
dan/atau Pasal 3; dan/atau
b. Debitur ULN terhadap pemenuhan kewajiban penarikan DULN
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1).
(2) Dalam melakukan penelitian kepatuhan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), Bank Indonesia dapat meminta penjelasan, bukti, catatan,
dan/atau dokumen pendukung, dengan atau tanpa melibatkan
instansi terkait.
BAB V
PENGENAAN SANKSI
Pasal 19
(1) Eksportir yang melakukan pelanggaran terhadap kewajiban
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), Pasal 2 ayat (2) huruf
b, dan/atau Pasal 3 dikenakan sanksi administratif berupa denda
sebesar 0,5% (nol koma lima persen) dari nilai nominal DHE yang
belum diterima dengan nominal paling banyak sebesar
Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) untuk 1 (satu) bulan
pendaftaran PEB.
(2) Dalam hal Ekspor dilakukan melalui PJT, sanksi administratif berupa
denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan kepada
pemilik barang.
(3) Dalam …
- 14 -
(3) Dalam hal Ekspor Minyak dan Gas Bumi, sanksi administratif berupa
denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan kepada
Eksportir dan/atau Pihak Dalam Kontrak Migas.
Pasal 20
(1) Eksportir dikenakan sanksi penangguhan atas pelayanan Ekspor
sesuai dengan peraturan perundang-undangan mengenai
kepabeanan dan peraturan perundang-undangan terkait yang
berlaku, dalam hal:
a. Eksportir belum memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 dan belum membayar sanksi administratif berupa
denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1);
b. Eksportir belum memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 namun telah membayar administratif berupa sanksi
denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1); atau
c. Eksportir telah memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 namun tidak memenuhi Pasal 3 dan belum
membayar sanksi administratif berupa denda sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1).
(2) Dalam hal Ekspor dilakukan melalui PJT, sanksi penangguhan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan kepada pemilik
barang.
(3) Dalam hal Ekspor Minyak dan Gas Bumi, sanksi penangguhan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan kepada Eksportir
dan/atau Pihak Dalam Kontrak Migas.
Pasal 21
(1) Debitur ULN yang melakukan pelanggaran terhadap kewajiban
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) dikenakan sanksi
administratif berupa denda sebesar 0,25% (nol koma dua lima persen)
dari setiap nilai nominal penarikan DULN yang tidak melalui Bank
Devisa, dengan nominal paling banyak sebesar Rp50.000.000,00
(lima puluh juta rupiah).
(2) Pelapor …
- 15 -
(2) Pelapor DULN yang terlambat menyampaikan dokumen pendukung
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (3) dikenakan sanksi
administratif berupa denda sebesar Rp500.000,00 (lima ratus ribu
rupiah) setiap Hari keterlambatan.
Pasal 22
Pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, Pasal 20,
dan/atau Pasal 21 tidak menggugurkan kewajiban penerimaan DHE
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan penarikan DULN
melalui Bank Devisa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13.
Pasal 23
(1) Pembayaran sanksi administratif berupa denda sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 19 dan Pasal 21 disetorkan ke Bank
Indonesia.
(2) Pengenaan sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 19 dan Pasal 21 dilakukan dalam mata uang rupiah
dengan menggunakan kurs tengah Bank Indonesia yang berlaku 1
(satu) Hari sebelum tanggal pengenaan sanksi administratif berupa
denda.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan dan/atau
pembayaran sanksi administratif berupa denda kepada Bank
Indonesia diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 24
(1) Untuk Eksportir yang telah dikenakan sanksi administratif berupa
denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, pembebasan sanksi
administratif berupa denda dilakukan setelah Eksportir
menyampaikan bukti pemenuhan kewajiban penerimaan DHE dan
berdasarkan penelitian Bank Indonesia, Eksportir tidak melakukan
pelanggaran terhadap kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal
2 ayat (1), Pasal 2 ayat (2) huruf b, dan Pasal 3.
(2) Dalam …
- 16 -
(2) Dalam hal Ekspor dilakukan melalui PJT, pembebasan sanksi
administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diberikan kepada pemilik barang.
(3) Dalam hal Ekspor Minyak dan Gas Bumi, pembebasan sanksi
administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diberikan kepada Eksportir dan/atau Pihak Dalam Kontrak Migas.
Pasal 25
(1) Untuk Eksportir yang telah dikenakan sanksi penangguhan atas
pelayanan Ekspor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20,
pembebasan sanksi penangguhan atas pelayanan Ekspor, dilakukan
sebagai berikut:
a. dalam hal berdasarkan penelitian Bank Indonesia terhadap bukti-
bukti yang disampaikan setelah dikenakannya sanksi
penangguhan atas pelayanan Ekspor, Eksportir tidak melakukan
pelanggaran terhadap kewajiban sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (1), Pasal 2 ayat (2) huruf b, dan Pasal 3;
b. dalam hal Eksportir melakukan pelanggaran terhadap kewajiban
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Eksportir telah
menyampaikan bukti pembayaran sanksi denda; atau
c. dalam hal Eksportir melakukan pelanggaran terhadap kewajiban
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), Pasal 2 ayat (2)
huruf b, dan Pasal 3, Eksportir telah menyampaikan bukti
pembayaran sanksi denda dan bukti pemenuhan kewajiban
penerimaan DHE sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1),
Pasal 2 ayat (2) huruf b, dan Pasal 3.
(2) Dalam hal Ekspor dilakukan melalui PJT, pembebasan sanksi
penangguhan atas pelayanan Ekspor sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diberikan kepada pemilik barang.
(3) Dalam hal Ekspor Minyak dan Gas Bumi, pembebasan sanksi
penangguhan atas pelayanan Ekspor sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diberikan kepada Eksportir dan/atau Pihak Dalam Kontrak
Migas.
BAB VI …
- 17 -
BAB VI
PENYAMPAIAN INFORMASI DAN LAPORAN
Pasal 26
(1) Untuk penerimaan DHE, prosedur penyampaian informasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, serta dokumen pendukung
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, Pasal 6, dan Pasal 9, serta
bukti transaksi netting sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8
dilakukan sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia yang mengatur
mengenai pemantauan kegiatan lalu lintas devisa Bank.
(2) Untuk penarikan DULN, prosedur penyampaian laporan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1), dilakukan sesuai dengan
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai pelaporan
kegiatan lalu lintas devisa.
BAB VII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 27
(1) Pemenuhan kewajiban penerimaan DHE yang timbul dari PEB yang
terbit sampai dengan akhir bulan Mei 2014 mengacu pada Peraturan
Bank Indonesia Nomor 14/25/PBI/2012 tentang Penerimaan Devisa
Hasil Ekspor dan Penarikan Devisa Utang Luar Negeri.
(2) Penarikan DULN yang berasal dari perjanjian ULN yang
ditandatangani sebelum tanggal 2 Januari 2012 tidak wajib
dilakukan melalui Bank Devisa, kecuali untuk penarikan DULN yang
berasal dari penambahan plafon ULN karena adanya perubahan
perjanjian (amandemen) yang ditandatangani setelah tanggal 2
Januari 2012.
BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 28
Ketentuan lebih lanjut dari Peraturan Bank Indonesia ini diatur dalam
Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 29 …
- 18 -
Pasal 29
Pada saat Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku:
a. Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/22/PBI/2011 tentang Kewajiban
Pelaporan Penarikan Devisa Utang Luar Negeri (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 95, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5243); dan
b. Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/25/PBI/2012 tentang
Penerimaan Devisa Hasil Ekspor dan Penarikan Devisa Utang Luar
Negeri (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 285,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5383),
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 30
Ketentuan yang mengatur mengenai penerimaan DHE sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal
8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 18, Pasal 19, Pasal 20,
Pasal 22, Pasal 23, Pasal 24, Pasal 25, dan Pasal 26 ayat (1), mulai
berlaku untuk pemenuhan kewajiban yang timbul dari PEB yang terbit
sejak Juni 2014.
Pasal 31
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar …
- 19 -
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 14 Mei 2014
GUBERNUR BANK INDONESIA,
AGUS D.W. MARTOWARDOJO
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 14 Mei 2014
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
AMIR SYAMSUDIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2014 NOMOR 98
- 20 -
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 16/10/PBI/2014
TENTANG
PENERIMAAN DEVISA HASIL EKSPOR
DAN
PENARIKAN DEVISA UTANG LUAR NEGERI
I. UMUM
Pasokan valuta asing di pasar domestik saat ini sebagian besar
berasal dari dana asing dalam bentuk investasi portofolio yang rentan
terhadap risiko pembalikan (sudden capital reversal). Sementara itu
pembangunan ekonomi nasional membutuhkan sumber dana yang
memadai dan berkesinambungan.
Salah satu sumber pasokan devisa yang relatif stabil dan
berkesinambungan (sustainable) berasal dari DHE dan DULN yang juga
penting untuk mendukung stabilitas nilai rupiah dan makroekonomi
secara keseluruhan.
Namun demikian, dalam pelaksanaannya tidak seluruh DHE
dan DULN ditempatkan pada perbankan Indonesia atau masuk ke
Indonesia. Oleh karena itu, diperlukan pengaturan yang dapat
memastikan penerimaan DHE dan penarikan DULN dilakukan melalui
perbankan Indonesia atau diterima secara tunai di dalam negeri.
Pengaturan ini tetap berlandaskan pada sistem devisa bebas
yang berlaku selama ini, dimana setiap penduduk dapat dengan bebas
memiliki dan menggunakan devisa sebagaimana diatur dalam Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem
Nilai Tukar.
Dalam rangka mendukung kebijakan penerimaan devisa hasil
ekspor, Bank Indonesia, Kementerian Keuangan, dan Badan Pusat
Statistik telah membuat Nota Kesepahaman Nomor
tentang Pertukaran Data terkait Kegiatan Ekspor dan Impor.
PER-2277/MK/2011
13/1/BI/DSM/NK
13/KS/10-VIII/2011
II. PASAL …
- 21 -
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “wajib diterima melalui Bank Devisa”
tidak termasuk kewajiban menyimpan dalam jangka waktu
tertentu dan/atau mengonversi ke dalam rupiah.
Contoh:
PT. DN menerima DHE sebesar USD3,000,000.00 (tiga juta
dolar Amerika Serikat) melalui Bank Devisa pada tanggal 5
Mei 2014.
Dalam hal ini, PT. DN bebas menggunakan atau mentransfer
seluruh DHE yang diterima melalui Bank Devisa tersebut
tanpa harus dikonversikan terlebih dahulu ke dalam mata
uang rupiah.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “diterima dalam bentuk uang
tunai” adalah penerimaan DHE dalam bentuk
pembayaran uang kertas dan/atau uang logam.
DHE dikategorikan sebagai DHE yang diterima dalam
bentuk uang tunai apabila menurut Bank Indonesia
memenuhi aspek kewajaran untuk dilakukan
pembayaran dengan menggunakan uang tunai, antara
lain berdasarkan aspek jumlah dan jenis transaksinya.
Pasal 3
Ayat (1)
Contoh 1:
Untuk Ekspor dengan tanggal PEB 12 April 2014, penerimaan
DHE melalui Bank Devisa paling lambat tanggal 31 Juli 2014.
Dalam …
- 22 -
Dalam hal ini, bulan pendaftaran PEB adalah bulan April
2014 sehingga penerimaan DHE wajib dilakukan paling
lambat akhir bulan Juli 2014.
Contoh 2:
Untuk Ekspor dengan tanggal PEB 30 Juni 2014, penerimaan
DHE melalui Bank Devisa paling lambat tanggal 30 September
2014. Dalam hal ini, bulan pendaftaran PEB adalah bulan
Juni 2014 sehingga penerimaan DHE wajib dilakukan paling
lambat akhir bulan September 2014.
Ayat (2)
Contoh:
PT. ZA melakukan Ekspor dengan Usance L/C yang jatuh
tempo pembayarannya 180 (seratus delapan puluh) hari
kalender setelah tanggal pengiriman barang/Bill of Lading (17
April 2014). Adapun tanggal PEB untuk Ekspor tersebut 15
April 2014.
Berdasarkan contoh di atas, dapat diketahui bahwa jatuh
tempo pembayaran Ekspor melebihi 3 (tiga) bulan setelah
pendaftaran PEB, yaitu terhitung dari bulan Mei sampai
dengan akhir bulan Juli 2014, sehingga penerimaan DHE
melalui Bank Devisa wajib dilakukan paling lama 14 (empat
belas) hari kalender setelah tanggal jatuh tempo pembayaran
Ekspor tersebut. Dengan demikian, penerimaan DHE melalui
Bank Devisa paling lambat tanggal 28 Oktober 2014, yaitu 14
hari kalender setelah tanggal 14 Oktober 2014 (180 (seratus
delapan puluh) hari kalender setelah tanggal pengiriman
barang).
Untuk penerimaan DHE dengan cara pembayaran konsinyasi,
tanggal jatuh tempo pembayaran adalah tanggal jatuh tempo
pembayaran oleh pembeli (buyer) kepada consignee (penerima
barang konsinyasi) setelah barang konsinyasi terjual oleh
consignee.
Ayat (3) …
- 23 -
Ayat (3)
Contoh:
Untuk Ekspor dengan tanggal PEB 12 Mei 2014, penerimaan
DHE melalui Bank Devisa paling lambat tanggal 31 Agustus
2014 (hari Minggu). Dalam hal ini, penerimaan DHE dapat
dilakukan tanggal 1 September 2014 (hari Senin).
Pasal 4
Ayat (1)
Informasi yang disampaikan paling kurang meliputi tanggal
PEB, sandi kantor pelayanan Bea Cukai, nomor pendaftaran
PEB, dan NPWP Eksportir. Dalam hal DHE diterima oleh
pihak lain selain Eksportir maka informasi dimaksud dapat
disampaikan oleh pihak yang menerima DHE tersebut. Dalam
hal ini, nama dan NPWP yang disampaikan adalah nama dan
NPWP penerima DHE.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Dokumen pendukung dinilai memadai apabila menurut Bank
Indonesia dokumen yang bersangkutan dapat membuktikan
terjadinya penerimaan DHE dalam bentuk uang tunai di
dalam negeri.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 5 …
- 24 -
Pasal 5
Ayat (1)
Dokumen pendukung antara lain fotokopi dokumen PEB,
usance L/C, dan/atau surat keterangan tentang penangguhan
pembayaran dari importir.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 6
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “maklon” adalah pemberian jasa
dalam rangka proses penyelesaian suatu barang
tertentu yang proses pengerjaannya dilakukan oleh
pihak pemberi jasa (disubkontrakkan), dan pengguna
jasa menetapkan spesifikasi, serta menyediakan bahan
baku dan/atau barang setengah jadi dan/atau bahan
penolong/pembantu yang akan diproses sebagian atau
seluruhnya, dengan kepemilikan atas barang jadi
berada pada pengguna jasa.
Dokumen pendukung dinilai memadai apabila menurut Bank
Indonesia dokumen yang bersangkutan dapat membuktikan
terjadinya selisih kurang antara nilai DHE dan Nilai PEB.
Ayat (4)
Dokumen pendukung antara lain fotokopi invoice, certificate of
analysis, dan/atau swift message.
Ayat (5) …
- 25 -
Ayat (5)
Dokumen pendukung antara lain fotokopi kuitansi
pembayaran terkait penerimaan DHE dalam bentuk uang
tunai di dalam negeri.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Ayat (1)
Contoh penerimaan DHE yang berasal dari hasil netting
antara tagihan Ekspor dengan kewajiban impor barang terkait
kegiatan Ekspor yang bersangkutan yang hanya melibatkan 2
(dua) pihak:
Pada bulan Maret 2014, PT. SY mencatat kewajiban terhadap
perusahaan MQ di Malaysia berupa (1) pinjaman sebesar
USD700,000.00 (tujuh ratus ribu dolar Amerika Serikat); (2)
impor bahan baku untuk keperluan ekspor sebesar
USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika Serikat). Pada
bulan yang sama PT. SY mencatat tagihan Ekspor kepada
perusahaan tersebut sebesar USD1,250,000.00 (satu juta dua
ratus lima puluh ribu dolar Amerika Serikat). Semua
kewajiban dan tagihan di atas jatuh tempo pada bulan Mei
2014 dan kedua perusahaan telah menyepakati
penyelesaiannya dilakukan secara netting, dimana hanya
selisih dari kewajiban dan tagihan tersebut yang akan
dibayarkan.
Nilai kewajiban yang boleh di-netting-kan dengan tagihan
Ekspor adalah sebesar USD1,000,000.00 (satu juta dolar
Amerika Serikat) untuk impor bahan baku sementara
pinjaman sebesar USD700,000.00 (tujuh ratus ribu dolar
Amerika …
- 26 -
Amerika Serikat) tidak boleh di-netting-kan. Dalam hal ini, PT.
SY wajib menerima sisa tagihan Ekspor sebesar
USD250,000.00 (dua ratus lima puluh ribu dolar Amerika
Serikat) melalui Bank Devisa.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “pihak-pihak dimaksud berada dalam
1 (satu) grup” adalah badan hukum atau badan lain yang
memiliki hubungan berdasarkan kepemilikan dan/atau
pemegang saham yang sama.
Contoh penerimaan DHE yang berasal dari hasil netting
antara tagihan Ekspor dengan kewajiban impor barang
terkait kegiatan Ekspor yang bersangkutan yang melibatkan
lebih 2 (dua) pihak yang berada dalam 1 (satu) grup:
Perusahaan HK yang berkedudukan di Hongkong memiliki
tiga anak perusahaan, yaitu perusahaan MY di Malaysia,
perusahaan SG di Singapura, dan PT ID di Indonesia yang
bergerak di bidang produk elektronik. Seluruh tagihan dan
kewajiban antara keempat perusahaan tersebut diselesaikan
secara netting yang dikoordinir oleh perusahaan HK sebagai
induk.
Pada bulan Mei 2014, PT ID mencatat kewajiban berupa (1)
pinjaman sebesar USD5,000,000.00 (lima juta dolar Amerika
Serikat) dari perusahaan HK; (2) impor integrated circuit dari
perusahaan MY di Malaysia sebesar USD2,000,000.00 (dua
juta dolar Amerika Serikat).
Pada bulan Juni 2014 PT ID mencatat tagihan Ekspor kepada
perusahaan SG dan perusahaan HK masing-masing sebesar
USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika Serikat) dan
USD2,500,000.00 (dua juta lima ratus ribu dolar Amerika
Serikat). Semua kewajiban dan tagihan di atas jatuh tempo
pada bulan Juli 2014.
Nilai kewajiban yang boleh di-netting-kan dengan tagihan
Ekspor adalah hanya sebesar USD2,000,000.00 (dua juta
dolar …
- 27 -
dolar Amerika Serikat) untuk impor integrated circuit,
sementara pinjaman sebesar USD5,000,000.00 (lima juta
dolar Amerika Serikat) tidak boleh di-netting-kan. Dalam hal
ini PT. ID wajib menerima sisa tagihan Ekspor sebesar
USD1,500,000.00 (satu juta lima ratus ribu dolar Amerika
Serikat) melalui Bank Devisa, yaitu selisih antara total tagihan
Ekspor sebesar USD3,500,000.00 (tiga juta lima ratus ribu
dolar Amerika Serikat) dikurangi kewajiban impor barang
sebesar USD2,000,000.00 (dua juta dolar Amerika Serikat).
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Bukti transaksi netting antara lain berupa kesepakatan
penyelesaian netting tagihan Ekspor dengan kewajiban impor
barang terkait kegiatan Ekspor yang bersangkutan, laporan
konsolidasi netting tagihan Ekspor dengan kewajiban impor
barang, dan/atau invoice.
Bukti transaksi netting dinilai memadai apabila menurut
penilaian Bank Indonesia dokumen yang bersangkutan dapat
membuktikan adanya netting yang diperbolehkan.
Pasal 9
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “keadaan memaksa (force majeure)”
adalah keadaan yang menyebabkan Eksportir menerima DHE
kurang dari Nilai PEB atau tidak menerima DHE, yang
disebabkan antara lain karena kebakaran, kerusuhan massa,
terorisme, bom, perang, sabotase, pemogokan buruh,
kegagalan sistem yang digunakan dalam bertransaksi serta
bencana alam seperti gempa bumi, banjir, yang dibenarkan
oleh penguasa atau pejabat dari instansi terkait di daerah
setempat.
Dokumen …
- 28 -
Dokumen pendukung dinilai memadai apabila menurut Bank
Indonesia dokumen yang bersangkutan dapat membuktikan
kondisi importir wanprestasi, pailit, atau keadaan memaksa.
Ayat (2)
Dokumen pendukung dinilai memadai apabila menurut Bank
Indonesia dokumen yang bersangkutan dapat membuktikan
kondisi importir wanprestasi, pailit, atau keadaan memaksa.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “DULN yang berbentuk dana tunai”
dalam ayat ini adalah DULN selain barang dan jasa.
Huruf a
Yang dimaksud dengan ”perjanjian kredit (loan
agreement) dalam bentuk non revolving” adalah
perjanjian pinjaman yang tidak memperbolehkan
akumulasi realisasi penarikan ULN melebihi komitmen.
Huruf b
Contoh 1:
PT. SN memperoleh ULN sebesar USD20,000,000.00
(dua puluh juta dolar Amerika Serikat) dari kreditur XY
di Singapura untuk refinancing ULN sebelumnya dengan
jumlah …
- 29 -
jumlah outstanding yang sama yaitu sebesar
USD20,000,000.00 (dua puluh juta dolar Amerika
Serikat) yang diterima dari kreditur Bank AB di
Singapura. Pertimbangan PT. SN melakukan refinancing
tersebut karena adanya tawaran suku bunga yang lebih
rendah dan term & condition yang lebih longgar.
Berhubung refinancing tersebut tidak ada kelebihan
aliran dana valuta asing maka tidak dikenakan
kewajiban menarik DULN melalui Bank Devisa.
Contoh 2:
PT. EW memperoleh ULN sebesar USD30,000,000.00
(tiga puluh juta dolar Amerika Serikat) dari kreditur
Bank DE di Singapura. ULN tersebut dipergunakan
untuk refinancing outstanding ULN sebelumnya yang
tercatat sebesar USD20,000,000.00 (dua puluh juta
dolar Amerika Serikat) yang diterima dari kreditur Bank
GH di Singapura dan selisihnya USD10,000,000.00
(sepuluh juta dolar Amerika Serikat) dipergunakan
untuk tambahan modal kerja. Penarikan DULN sebesar
USD10,000,000.00 (sepuluh juta dolar Amerika Serikat)
wajib dilakukan melalui Bank Devisa.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “surat utang (debt securities)”
adalah surat pengakuan utang yang dapat
diperdagangkan di pasar uang atau pasar modal di
dalam maupun di luar negeri.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 14
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2) …
- 30 -
Ayat (2)
Nilai akumulasi penarikan DULN dihitung sampai dengan
penarikan terakhir DULN.
Contoh:
PT. AT memperoleh ULN dalam bentuk loan agreement dari
kreditur KL di Singapura dalam mata uang USD sebesar
ekuivalen Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Diperjanjikan bahwa penarikan dilakukan sebanyak 5 (lima)
kali selama masa berlakunya loan agreement. Sampai dengan
penarikan yang terakhir atau ke 5 ternyata jumlah yang
ditarik tercatat sebesar ekuivalen Rp475.000.000,00 (empat
ratus tujuh puluh lima juta rupiah). Dengan demikian
terdapat selisih sebesar ekuivalen Rp25.000.000,00 (dua
puluh lima juta rupiah) antara nilai total akumulasi penarikan
dengan nilai komitmen yang diberikan oleh kreditur.
Perbedaan antara nilai total akumulasi penarikan dengan nilai
komitmen tersebut di bawah Rp50.000.000,00 (lima puluh
juta rupiah) maka DULN dianggap sesuai dengan nilai
komitmen ULN dan debitur tidak perlu menyampaikan
penjelasan tertulis dan dokumen pendukung kepada Bank
Indonesia.
Ayat (3)
Dokumen pendukung dinilai memadai apabila menurut Bank
Indonesia dokumen yang bersangkutan dapat membuktikan
terjadinya selisih kurang antara nilai akumulasi penarikan
DULN dengan nilai komitmen ULN.
Contoh:
PT. AM memperoleh ULN dalam bentuk loan agreement dari
kreditur WA di Jepang dalam mata uang JPY sebesar
ekuivalen Rp750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta
rupiah). Diperjanjikan bahwa penarikan dilakukan sebanyak
5 (lima) kali selama masa berlakunya loan agreement. Sampai
dengan penarikan yang terakhir atau ke 5 ternyata jumlah
yang …
- 31 -
yang ditarik tercatat sebesar ekuivalen Rp650.000.000,00
(enam ratus lima puluh juta rupiah). Dengan demikian
terdapat selisih sebesar ekuivalen Rp100.000.000,00 (seratus
juta rupiah) antara nilai total akumulasi penarikan dengan
nilai komitmen. Dalam hal ini, DULN dianggap sesuai dengan
nilai komitmen ULN apabila Debitur ULN menyampaikan
penjelasan tertulis dan dokumen pendukung yang memadai
kepada Bank Indonesia.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Contoh:
PT. CE memperoleh ULN dalam bentuk loan agreement dengan
jangka waktu 10 tahun dari kreditur AP di Hongkong dalam
mata uang USD sebesar ekuivalen Rp1.000.000.000,00 (satu
miliar rupiah). Diperjanjikan bahwa penarikan ULN tersebut
dilakukan sebanyak 10 (sepuluh) kali selama masa
berlakunya loan agreement. Sampai dengan penarikan yang
terakhir atau ke 10 ternyata jumlah yang ditarik tercatat
sebesar ekuivalen Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta
rupiah). Dengan demikian terdapat selisih sebesar ekuivalen
Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) antara nilai total
akumulasi penarikan dengan nilai komitmen yang diberikan
oleh kreditur. Apabila PT. CE tidak menyampaikan penjelasan
tertulis dan dokumen pendukung yang memadai sampai
dengan sebelum berakhirnya jangka waktu ULN maka PT. CE
dianggap tidak melakukan penarikan DULN melalui Bank
Devisa sebesar ekuivalen Rp200.000.000,00 (dua ratus juta
rupiah).
Pasal 15
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2) …
- 32 -
Ayat (2)
Dokumen pendukung berupa bukti transfer antara lain SWIFT
message.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “pemilik barang” adalah pihak
yang melakukan ekspor melalui PJT.
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 19
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan ”nilai nominal DHE yang belum
diterima” adalah Nilai PEB dikurangi dengan nilai DHE yang
telah diterima.
Contoh 1:
Perusahan SY melakukan Ekspor dengan total Nilai PEB
bulan Juni 2014 sebesar USD500,000.00 (lima ratus ribu
dolar Amerika Serikat). DHE yang diterima dari Ekspor
tersebut melalui Bank Devisa sebesar USD100,000.00
(seratus ribu dolar Amerika Serikat). Sisanya sebesar
USD400,000.00 (empat ratus ribu dolar Amerika Serikat)
tidak diterima melalui Bank Devisa sampai dengan batas
waktu yang ditentukan, yaitu akhir bulan September 2014
(akhir bulan ketiga setelah bulan pendaftaran PEB) dan
Perusahaan …
- 33 -
Perusahaan SY tidak dapat memberikan dokumen pendukung
yang memadai.
Berdasarkan contoh di atas dan dengan kurs
Rp10.700,00/USD, Eksportir dikenakan sanksi administratif
berupa denda sebesar 0,5% X USD400,000.00 X
Rp10.700,00/USD = Rp21.400.000,00 (dua puluh satu juta
empat ratus ribu rupiah) untuk PEB bulan Juni 2014.
Contoh 2:
Perusahaan AW melakukan Ekspor pada bulan Juli 2014 dan
menerima DHE-nya melalui Bank Devisa dengan rincian PEB
dan penerimaan DHE sebagai berikut:
Nomor
PEB
Tanggal PEB
000012 3 Juli 2014
000013 9 Juli 2014
Nilai PEB -
FOB (USD)
500,000.00
600,000.00
000014 30 Juli 2014 2,000,000.00
Total
3,100,000.00
Nilai DHE yang
Diterima (USD)
400,000.00
100,000.00
100,000.00
600,000.00
Selisih Kurang
(USD)
100,000.00
500,000.00
1,900,000.00
2,500,000.00
Sampai dengan akhir Oktober 2014 (akhir bulan ketiga
setelah bulan pendaftaran PEB) masih terdapat selisih kurang
antara Nilai PEB dan nilai DHE yang telah diterima oleh
Perusahaan AW untuk ketiga PEB dan perusahaan AW tidak
dapat memberikan dokumen pendukung yang memadai.
Berdasarkan contoh di atas dan dengan kurs
Rp10.600,00/USD, perusahaan AW akan dikenakan sanksi
administratif berupa denda untuk PEB bulan Juli 2014
dengan perhitungan sebagai berikut:
- untuk Nomor PEB 000012 sebesar 0.5% X USD100,000.00
X Rp10.600,00 = Rp5.300.000,00;
- untuk Nomor PEB 000013 sebesar 0.5% X USD500,000.00
X Rp10.600,00 = Rp26.500.000,00;
- untuk Nomor PEB 000014 sebesar 0.5% X
USD1,900,000.00 X Rp10.600,00 = Rp100.700.000,00.
Mengingat perhitungan sanksi administratif berupa denda
perusahaan AW untuk 1 (satu) bulan pendaftaran PEB
sebesar …
- 34 -
sebesar Rp132.500.000,00 (seratus tiga puluh dua juta lima
ratus ribu rupiah) melebihi nilai denda maksimal maka
perusahaan AW dikenakan sanksi administratif berupa denda
maksimal sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah)
untuk PEB bulan Juli 2014.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 20
Ayat (1)
Pelaksanaan penangguhan atas pelayanan Ekspor dilakukan
oleh otoritas yang berwenang di bidang kepabeanan atas
dasar permintaan Bank Indonesia.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 21
Ayat (1)
Contoh 1:
PT. SU memperoleh ULN dalam bentuk loan agreement dari
kreditur AP di Jerman sebesar USD100,000.00 (seratus ribu
dolar Amerika Serikat) namun ULN tersebut tidak ditarik
melalui Bank Devisa.
Berdasarkan contoh di atas dan dengan kurs
Rp11.300,00/USD, Debitur ULN dikenakan sanksi
administratif berupa denda sebesar 0,25% X USD100,000.00
X Rp11.300,00/USD = Rp2.825.000,00 (dua juta delapan
ratus dua puluh lima ribu rupiah).
Contoh 2:
PT. HD memperoleh ULN dalam bentuk loan agreement dari
kreditur MZ di Inggris sebesar USD4,000,000.00 (empat juta
dolar …
- 35 -
dolar Amerika Serikat) namun yang ditarik melalui Bank
Devisa hanya sebesar USD1,000,000.00 (satu juta dolar
Amerika Serikat). Sedangkan sisanya sebesar
USD3,000,000.00 (tiga juta dolar Amerika Serikat) disimpan
di bank di luar negeri.
Berdasarkan contoh di atas dan dengan kurs
Rp11.300,00/USD, Debitur ULN dikenakan sanksi
administratif berupa denda
sebesar
0,25% X
USD3,000,000.00 X Rp11.300,00 = Rp84.750.000,00 (delapan
puluh empat juta tujuh ratus lima puluh ribu rupiah). Namun
berhubung denda paling banyak sebesar Rp50.000.000,00
(lima puluh juta rupiah) maka PT. HD hanya dikenakan
sanksi administratif berupa denda maksimal sebesar
Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
Ayat (2)
Contoh:
Perusahaan HI melakukan realisasi penarikan Perjanjian
Kredit pada tanggal 5 Agustus 2014. Batas waktu
penyampaian dokumen pendukung adalah tanggal 15
September 2014. Perusahaan HI baru menyampaikan
dokumen pendukung penarikan DULN pada tanggal 18
September 2014. Dengan demikian perusahaan HI terlambat
selama 3 (tiga) Hari. Atas keterlambatan tersebut, perusahaan
HI dikenakan sanksi administratif berupa denda sebesar 3
(tiga) Hari x Rp500.000,00 = Rp1.500.000,00 (satu juta lima
ratus ribu rupiah).
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2) …
- 36 -
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan ”kurs tengah Bank Indonesia” adalah
kurs transaksi Bank Indonesia yang dihitung dengan cara
kurs jual transaksi ditambah kurs beli transaksi, dibagi 2
(dua).
Yang dimaksud dengan “tanggal pengenaan sanksi” adalah
tanggal diterbitkannya surat mengenai pengenaan sanksi dari
Bank Indonesia.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Ayat (1)
Pembebasan sanksi penangguhan atas pelayanan Ekspor
dilakukan oleh otoritas yang berwenang di bidang kepabeanan
atas dasar permintaan Bank Indonesia.
Bukti pembayaran sanksi administratif berupa denda atau
bukti penerimaan DHE antara lain berupa fotokopi bukti
transfer pembayaran sanksi administratif berupa denda ke
Bank Indonesia dan/atau fotokopi SWIFT message yang
disahkan oleh Bank Devisa penerima.
Contoh untuk huruf a:
Eksportir AW telah dikenakan sanksi penangguhan atas
pelayanan Ekspor terkait kegiatan Ekspor untuk PEB yang
diterbitkan bulan Maret 2014 dengan nilai USD300.000,00
(tiga ratus ribu dolar Amerika Serikat). Selanjutnya, Eksportir
tersebut menyampaikan bukti penerimaan DHE dari suatu
Bank Devisa kepada Bank Indonesia, yaitu berupa SWIFT
tanggal 8 Mei 2014 senilai USD300.000,00 (tiga ratus ribu
dolar Amerika Serikat). Berdasarkan bukti ini, Bank Indonesia
melakukan penelitian dengan kesimpulan bahwa Eksportir
AW tidak melakukan pelanggaran Pasal 2 dan Pasal 3. Oleh
karena …
- 37 -
karena itu, Eksportir AW dibebaskan dari sanksi
penangguhan atas pelayanan Ekspor.
Contoh untuk huruf b:
Eksportir AS telah dikenakan sanksi penangguhan atas
pelayanan Ekspor terkait kegiatan Ekspor untuk PEB yang
diterbitkan bulan Juni 2014 dengan nilai USD750.000,00
(tujuh ratus lima puluh ribu dolar Amerika Serikat). Eksportir
tersebut menerima DHE sebesar USD750.000,00 (tujuh ratus
lima puluh ribu dolar Amerika Serikat) melalui Bank Devisa
pada bulan November 2014, melewati akhir bulan ketiga
setelah bulan pendaftaran PEB (akhir September 2014). Oleh
karena itu, pembebasan sanksi penangguhan atas pelayanan
Ekspor dilakukan setelah Eksportir AS menyampaikan bukti
pembayaran sanksi administratif berupa denda kepada Bank
Indonesia.
Contoh untuk huruf c:
Eksportir TG telah dikenakan sanksi penangguhan atas
pelayanan Ekspor terkait kegiatan Ekspor untuk PEB yang
diterbitkan bulan Juli 2014 dengan nilai sebesar ekuivalen
Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah). DHE baru
diterima Eksportir tanggal 10 Agustus 2014 sebesar ekuivalen
Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah). Sampai dengan
akhir Oktober 2014 (akhir bulan ketiga setelah bulan
pendaftaran PEB), selisih kurang antara Nilai PEB dan Nilai
DHE, yaitu sebesar ekuivalen Rp200.000.000,00 (dua ratus
juta rupiah) terbukti belum diterima Eksportir melalui Bank
Devisa. Oleh karena itu, pembebasan sanksi penangguhan
atas pelayanan Ekspor dilakukan setelah Eksportir TG
menyampaikan bukti pembayaran sanksi administratif berupa
denda kepada Bank Indonesia dan bukti penerimaan DHE
melalui Bank Devisa atas selisih antara nilai PEB dan Nilai
DHE, yaitu sebesar ekuivalen Rp200.000.000,00 (dua ratus
juta rupiah).
Ayat (2) …
- 38 -
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5534
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 16/10/PBI/2014 </reg_id>
<reg_title> PENERIMAAN DEVISA HASIL EKSPOR DAN PENARIKAN DEVISA UTANG LUAR NEGERI </reg_title>
<set_date> 14 Mei 2014 </set_date>
<effective_date> 14 Mei 2014 </effective_date>
<issued_date> 14 Mei 2014 </issued_date>
<replaced_reg> '13/22/PBI/2011', '14/25/PBI/2012' </replaced_reg>
<related_reg> '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '24/UU/1999', '17/UU/2006', '10/UU/1995' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB V' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 3/ 6
/ PBI/2001
TENTANG
PENCABUTAN SURAT KEPUTUSAN DIREKSI BANK INDONESIA NOMOR
30/138/KEP/DIR TENTANG JUAL BELI TAGIHAN ATAS DASAR SURAT KREDIT
BERDOKUMEN DALAM NEGERI KEPADA BANK INDONESIA, SURAT
KEPUTUSAN DIREKSI BANK INDONESIA NOMOR 30/193/KEP/DIR TENTANG
JUAL BELI DEVISA HASIL EKSPOR UNTUK EKSPORTIR DAN EKSPORTIR
TERTENTU, SURAT KEPUTUSAN DIREKSI BANK INDONESIA NOMOR
30/194/KEP/DIR TENTANG JUAL BELI DEVISA HASIL EKSPOR YANG AKAN
DATANG UNTUK EKSPORTIR TERTENTU, DAN SURAT KEPUTUSAN DIREKSI
BANK INDONESIA NOMOR 31/187/KEP/DIR TENTANG PENJAMINAN DAN
ATAU PEMBIAYAAN LETTER OF CREDIT MELALUI PENEMPATAN DANA
BANK INDONESIA PADA BANK ASING
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang :
a. Bahwa dalam rangka mendorong ekspor nasional dan menyediakan
likuiditas kepada bank, Bank Indonesia memberikan fasilitas
penjaminan dan pembiayaan;
b. Bahwa dengan diberlakukannya Undang-Undang No.23 tahun
1999 tentang Bank Indonesia, Bank Indonesia tidak diperkenankan
untuk menyediakan fasilitas pembiayaan kecuali untuk mengatasi
kesulitan jangka pendek perbankan dengan disertai oleh agunan
yang berkualitas tinggi dan mudah dicairkan;
c. Bahwa mengingat dalam fasilitas penjaminan dan pembiayaan
yang
disediakan Bank Indonesia tersebut terdapat unsur
pemberian kredit maka dipandang perlu untuk mencabut
ketentuan-ketentuan yang mengaturnya;
Mengingat : ……….
- 2 -
Mengingat :
Undang-undang Nomor 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843);
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : PENCABUTAN SURAT KEPUTUSAN DIREKSI BANK
INDONESIA NOMOR 30/138/KEP/DIR TENTANG JUAL BELI
TAGIHAN ATAS DASAR SURAT KREDIT BERDOKUMEN
DALAM NEGERI KEPADA BANK INDONESIA, SURAT
KEPUTUSAN DIREKSI BANK INDONESIA NOMOR
30/193/KEP/DIR TENTANG JUAL BELI DEVISA HASIL
EKSPOR UNTUK EKSPORTIR DAN EKSPORTIR TERTENTU,
SURAT KEPUTUSAN DIREKSI BANK INDONESIA NOMOR
30/194/KEP/DIR TENTANG JUAL BELI DEVISA HASIL
EKSPOR YANG AKAN DATANG UNTUK EKSPORTIR
TERTENTU, DAN SURAT KEPUTUSAN DIREKSI BANK
INDONESIA NOMOR 31/187/KEP/DIR TENTANG PENJAMINAN
DAN ATAU PEMBIAYAAN LETTER OF CREDIT MELALUI
PENEMPATAN DANA BANK INDONESIA PADA BANK ASING.
Pasal 1
Mencabut dan menyatakan tidak berlaku :
a. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 30/138/KEP/DIR tentang Jual Beli
Tagihan Atas Dasar Surat Kredit Berdokumen Dalam Negeri Kepada Bank Indonesia;
b. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 30/193/KEP/DIR tentang Jual Beli
Devisa Hasil Ekspor Untuk Eksportir Dan Eksportir Tertentu;
c. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 30/194/KEP/DIR tentang Jual Beli
Devisa Hasil Ekspor Yang Akan Datang Untuk Eksportir Tertentu;
d. Surat Keputusan ……….
- 3 -
d. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 31/187/KEP/DIR tentang
Penjaminan Dan Atau Pembiayaan Letter Of Credit Melalui Penempatan Dana Bank
Indonesia Pada Bank Asing.
Pasal 2
Fasilitas penjaminan dan pembiayaan Bank Indonesia sebagaimana diatur dalam
Surat Keputusan Direksi tersebut pada pasal 1 yang masih berjalan dan belum jatuh
tempo dan yang sudah jatuh tempo namun belum diselesaikan, masih mengacu pada
ketentuan – ketentuan dimaksud sampai dengan fasilitas yang diberikan dilunasi oleh
bank.
Pasal 3
Peraturan Bank Indonesia ini berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 2 April 2001
GUBERNUR BANK INDONESIA
SYAHRIL SABIRIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2001 NOMOR 31
DLN.
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 3/6/PBI/2001 </reg_id>
<reg_title> PENCABUTAN SURAT KEPUTUSAN DIREKSI BANK INDONESIA NOMOR 30/138/KEP/DIR TENTANG JUAL BELI TAGIHAN ATAS DASAR SURAT KREDIT BERDOKUMEN DALAM NEGERI KEPADA BANK INDONESIA, SURAT KEPUTUSAN DIREKSI BANK INDONESIA NOMOR 30/193/KEP/DIR TENTANG JUAL BELI DEVISA HASIL EKSPOR UNTUK EKSPORTIR DAN EKSPORTIR TERTENTU, SURAT KEPUTUSAN DIREKSI BANK INDONESIA NOMOR 30/194/KEP/DIR TENTANG JUAL BELI DEVISA HASIL EKSPOR YANG AKAN DATANG UNTUK EKSPORTIR TERTENTU, DAN SURAT KEPUTUSAN DIREKSI BANK INDONESIA NOMOR 31/187/KEP/DIR TENTANG PENJAMINAN DAN ATAU PEMBIAYAAN LETTER OF CREDIT MELALUI PENEMPATAN DANA BANK INDONESIA PADA BANK ASING </reg_title>
<set_date> 2 April 2001 </set_date>
<effective_date> 2 April 2001 </effective_date>
<replaced_reg> '30/194/KEP/DIR|SKDIR-BI', '30/193/KEP/DIR|SKDIR-BI', '30/138/KEP/DIR|SKDIR-BI', '31/187/KEP/DIR|SKDIR-BI' </replaced_reg>
<related_reg> '23/UU/1999' </related_reg>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 10/ 19 /PBI/2008
TENTANG
GIRO WAJIB MINIMUM BANK UMUM PADA BANK INDONESIA
DALAM RUPIAH DAN VALUTA ASING
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang: a. bahwa dampak krisis ekonomi global berpotensi
menimbulkan kekeringan likuiditas keuangan dan
perbankan;
b. bahwa untuk mengatasi kekeringan likuiditas, Bank
Indonesia perlu menempuh beberapa kebijakan pelonggaran
likuiditas untuk meminimalkan risiko yang dapat
mempengaruhi stabilitas;
c. bahwa pengaturan likuiditas perbankan antara lain dilakukan
melalui penetapan giro wajib minimum;
d. bahwa sehubungan dengan pertimbangan pada huruf a, huruf
b, dan huruf c, dipandang perlu untuk mengatur kembali
ketentuan mengenai giro wajib minimum pada Bank
Indonesia dalam rupiah dan valuta asing dalam suatu
Peraturan Bank Indonesia;
Mengingat: …
- 2 -
Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor
31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3790);
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3843)
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3
Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4357);
M E M U T U S K A N:
Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG GIRO WAJIB
MINIMUM BANK UMUM PADA BANK INDONESIA
DALAM RUPIAH DAN VALUTA ASING.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan
Undang …
- 3 -
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, termasuk kantor cabang bank
asing, yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional;
2. Bank Devisa adalah Bank yang memperoleh surat penunjukan dari Bank
Indonesia untuk dapat melakukan kegiatan usaha perbankan dalam valuta
asing;
3. Dana Pihak Ketiga Bank, untuk selanjutnya disebut DPK, adalah kewajiban
Bank kepada penduduk dan bukan penduduk dalam rupiah dan valuta asing;
4. Rekening Giro adalah rekening pihak eksternal tertentu di Bank Indonesia
yang merupakan sarana bagi penatausahaan transaksi dari simpanan yang
penarikannya dapat dilakukan setiap saat;
5. Rekening Giro dalam Rupiah, yang untuk selanjutnya disebut Rekening
Giro Rupiah, adalah Rekening Giro dalam mata uang rupiah yang
penarikannya dapat dilakukan dengan menggunakan cek Bank Indonesia,
bilyet giro Bank Indonesia, atau sarana lainnya sebagaimana dimaksud
dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku mengenai hubungan
rekening giro antara Bank Indonesia dengan pihak ekstern;
6. Rekening Giro dalam valuta asing, yang untuk selanjutnya disebut
Rekening Giro Valas, adalah Rekening Giro dalam valuta asing yang
penarikannya dapat dilakukan dengan cara pemindahbukuan atau sarana
lainnya sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang
berlaku mengenai hubungan rekening giro antara Bank Indonesia dengan
pihak ekstern;
7. Giro Wajib Minimum (statutory reserve), atau yang untuk selanjutnya
disebut GWM, adalah simpanan minimum yang harus dipelihara oleh Bank
dalam bentuk saldo Rekening Giro pada Bank Indonesia yang besarnya
ditetapkan oleh Bank Indonesia sebesar persentase tertentu dari DPK;
8. Jakarta …
- 4 -
8. Jakarta Interbank Offered Rate, yang untuk selanjutnya disebut JIBOR,
adalah suku bunga antar bank untuk berbagai jangka waktu yang
ditawarkan oleh bank-bank tertentu di Jakarta.
BAB II
PEMENUHAN GIRO WAJIB MINIMUM
Pasal 2
(1) Bank wajib memenuhi GWM dalam rupiah.
(2) Bank Devisa selain wajib memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) juga wajib memenuhi GWM dalam valuta asing.
Pasal 3
GWM dalam rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) ditetapkan
sebesar 7,5% (tujuh koma lima persen) dari DPK dalam rupiah.
Pasal 4
GWM dalam valuta asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2)
ditetapkan sebesar 1% (satu persen) dari DPK dalam valuta asing.
Pasal 5
Persentase GWM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan Pasal 4 dapat
disesuaikan dari waktu ke waktu dengan mempertimbangkan kondisi
perekonomian dan arah kebijakan Bank Indonesia.
BAB III …
- 5 -
BAB III
REKENING GIRO BANK PADA BANK INDONESIA
Pasal 6
(1) Setiap Bank wajib memelihara Rekening Giro Rupiah pada Bank Indonesia.
(2) Bank Devisa selain wajib memelihara Rekening Giro Rupiah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) juga wajib memelihara Rekening Giro Valas pada
Bank Indonesia.
(3) Tata cara pembukaan, penyetoran, penarikan dan penutupan Rekening Giro
Rupiah dan Rekening Giro Valas Bank sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan ayat (2), ditetapkan berdasarkan ketentuan Bank Indonesia yang
berlaku mengenai hubungan rekening giro antara Bank Indonesia dengan
pihak ekstern.
BAB IV
PERHITUNGAN GIRO WAJIB MINIMUM
Pasal 7
(1) Bank wajib memenuhi GWM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan
Pasal 4 secara harian.
(2) Pemenuhan GWM sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung dengan
membandingkan saldo Rekening Giro Bank pada Bank Indonesia setiap
hari dalam 1 (satu) masa laporan terhadap rata-rata harian total DPK dalam
1 (satu) masa laporan pada 2 (dua) masa laporan sebelumnya.
(3) DPK dalam rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan DPK dalam
valuta asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 diperoleh dari Laporan
DPK dalam Rupiah dan Valuta Asing pada Laporan Berkala Bank Umum
sesuai …
- 6 -
sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia mengenai laporan berkala bank
umum.
Pasal 8
(1) Saldo Rekening Giro Bank pada Bank Indonesia sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7 ayat (2) masing-masing terdiri dari:
a. saldo Rekening Giro Rupiah Bank pada Bank Indonesia;
b. saldo Rekening Giro Valas Bank pada Bank Indonesia.
(2)
Informasi mengenai saldo Rekening Giro Bank pada Bank Indonesia
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperoleh dari sistem akunting Bank
Indonesia.
Pasal 9
(1) DPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan Pasal 4 terdiri dari:
a. rata-rata harian total DPK dalam rupiah pada seluruh kantor Bank di
Indonesia;
b. rata-rata harian total DPK dalam valuta asing pada seluruh kantor Bank
di Indonesia.
(2) DPK dalam rupiah meliputi kewajiban dalam rupiah kepada pihak ketiga
bukan bank, baik kepada penduduk maupun bukan penduduk, yang masing-
masing terdiri dari:
a. giro;
b. tabungan;
c. simpanan berjangka/deposito; dan
d. kewajiban-kewajiban lainnya.
(3) DPK …
- 7 -
(3) DPK dalam valuta asing meliputi kewajiban dalam valuta asing kepada
pihak ketiga, termasuk bank di Indonesia, baik kepada penduduk maupun
bukan penduduk, yang masing-masing terdiri dari:
a. giro;
b. tabungan;
c. simpanan berjangka/deposito; dan
d. kewajiban-kewajiban lainnya.
BAB V
PELAPORAN
Pasal 10
Bank wajib menyampaikan laporan mengenai DPK dan pos-pos neraca
mingguan, dalam rupiah dan valuta asing, secara berkala kepada Bank Indonesia
sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai laporan berkala
bank umum.
BAB VI
JASA GIRO
Pasal 11
(1) Bank yang memenuhi GWM dalam rupiah sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 akan diberikan jasa giro terhadap bagian tertentu dari GWM.
(2) Bagian tertentu dari GWM dalam rupiah sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) ditetapkan sebesar 2,5% (dua koma lima persen) dari rata-rata harian
total DPK dalam rupiah.
(3) Jasa …
- 8 -
(3) Jasa giro sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setiap hari kerja
dengan tingkat bunga sebesar tingkat bunga efektif tahunan, yaitu sebesar
BI Rate yang berlaku dikurangi dengan 600 basis points.
(4) Pemberian jasa giro dan atau tingkat bunga jasa giro sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) dapat disesuaikan dengan
mempertimbangkan kondisi perekonomian dan arah kebijakan Bank
Indonesia.
(5) Penyesuaian tingkat bunga jasa giro sebagaimana dimaksud pada ayat (4),
perhitungan dan tata cara pembayaran jasa giro diatur lebih lanjut dalam
Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 12
Pemberian jasa giro sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 tidak berlaku bagi:
a. bagian saldo Rekening Giro Rupiah Bank yang melebihi kewajiban
pemenuhan GWM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3;
b. bagian saldo Rekening Giro Rupiah Bank yang tidak memenuhi kewajiban
GWM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, termasuk Bank yang
mendapatkan insentif kelonggaran pemenuhan kewajiban GWM
sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai insentif
dalam rangka konsolidasi perbankan.
BAB VII
SANKSI
Pasal 13
(1) Bank yang melanggar kewajiban pemenuhan GWM sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar
125% …
- 9 -
125% (seratus dua puluh lima persen) dari rata-rata suku bunga jangka
waktu 1 (satu) hari overnight dari JIBOR pada hari terjadinya pelanggaran,
terhadap kekurangan GWM dalam rupiah, untuk setiap hari pelanggaran.
(2) Bank yang melanggar kewajiban pemenuhan GWM sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4, dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar 0,04%
(nol koma nol empat persen) per hari kerja, yang dihitung dari selisih antara
saldo harian Rekening Giro Valas Bank pada Bank Indonesia yang wajib
dipenuhi dengan saldo harian Rekening Giro Valas Bank yang dicatat pada
sistem akunting Bank Indonesia.
(3) Sanksi kewajiban membayar sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dibayarkan dalam valuta rupiah dengan menggunakan kurs transaksi Bank
Indonesia pada hari terjadinya pelanggaran.
(4) Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan bagi Bank yang
mendapatkan insentif kelonggaran pemenuhan kewajiban GWM rupiah
sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai insentif
dalam rangka konsolidasi perbankan.
Pasal 14
Selain dikenakan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, Bank yang tidak
memenuhi kewajiban pemeliharaan GWM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
dan atau Pasal 4, dapat dikenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 52 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998.
BAB VIII …
- 10 -
BAB VIII
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 15
(1) Pemberian jasa giro sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 atau pengenaan
sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) dan ayat (2)
dilaksanakan dengan pengkreditan atau pendebetan Rekening Giro Rupiah
Bank pada Bank Indonesia.
(2) Dalam hal saldo Rekening Giro Rupiah tidak mencukupi untuk pendebetan
sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) maka atas kekurangan tersebut
juga dikenakan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1).
BAB IX
PENUTUP
Pasal 16
Dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini maka Peraturan Bank Indonesia
No. 6/15/PBI/2004 tanggal 28 Juni 2004 tentang Giro Wajib Minimum Bank
Umum Pada Bank Indonesia Dalam Rupiah Dan Valuta Asing sebagaimana telah
diubah terakhir dengan Peraturan Bank Indonesia No. 7/49/PBI/2005 tanggal
29 November 2005 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 17
(1) Ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang berkaitan dengan
kewajiban pemenuhan GWM dalam valuta asing mulai berlaku pada
tanggal ditetapkan dan berlaku surut sejak tanggal 13 Oktober 2008.
(2) Ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang berkaitan dengan
kewajiban pemenuhan GWM dalam rupiah mulai berlaku pada tanggal
24 Oktober 2008.
Agar …
- 11 -
Agar setiap orang mengetahuinya memerintahkan pengundangan Peraturan Bank
Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 14 Oktober 2008
GUBERNUR BANK INDONESIA,
BOEDIONO
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 14 Oktober 2008
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA
ANDI MATTALATA
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2008 NOMOR 145
DPNP/DKM
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 10/ 19 /PBI/2008
TENTANG
GIRO WAJIB MINIMUM BANK UMUM PADA BANK INDONESIA
DALAM RUPIAH DAN VALUTA ASING
I. UMUM
Terciptanya stabilitas moneter merupakan hal yang sangat diperlukan
dalam rangka mewujudkan kondisi perekonomian yang stabil. Untuk
menciptakan stabilitas moneter diperlukan langkah-langkah untuk mengatasi
dampak krisis ekonomi global yang berpotensi menimbulkan kekeringan
likuiditas keuangan dan perbankan. Salah satu pendekatan yang dapat digunakan
oleh Bank Indonesia untuk mencapai stabilitas moneter adalah melalui
pengendalian likuiditas perbankan.
Dalam melakukan pengendalian likuiditas perbankan, salah satu piranti
moneter yang dapat digunakan adalah melalui penetapan kebijakan giro wajib
minimum yang merupakan perbandingan antara saldo giro bank yang wajib
ditempatkan pada Bank Indonesia terhadap dana pihak ketiga yang dimiliki bank.
Sejalan dengan hal tersebut di atas, dengan mempertimbangkan kondisi
perekonomian, kondisi likuiditas perbankan, dan arah kebijakan Bank Indonesia
dewasa ini dipandang perlu untuk mengatur kembali ketentuan mengenai giro
wajib minimum.
II. PASAL …
- 2 -
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Contoh perhitungan:
Bank A memiliki rata-rata harian total DPK dalam rupiah dalam masa
laporan sejak tanggal 8 sampai dengan tanggal 15 bulan Januari sebesar
Rp55.000.000.000.000,00 (lima puluh lima trilyun rupiah).
GWM harian untuk masa laporan sejak tanggal 24 sampai dengan tanggal
akhir bulan Januari adalah sebesar :
7,5% x Rp55.000.000.000.000,00 = Rp4.125.000.000.000,00 (empat
trilyun seratus dua puluh lima milyar rupiah).
Pasal 4
Contoh perhitungan:
Bank A memiliki rata-rata harian total DPK dalam valuta asing dalam masa
laporan sejak tanggal 8 sampai dengan tanggal 15 bulan Januari sebesar
USD100.000.000,00 (seratus juta US dollar).
GWM harian untuk masa laporan sejak tanggal 24 sampai dengan tanggal
akhir bulan Januari adalah sebesar :
1% x USD100.000.000,00 = USD1.000.000,00 (satu juta US dollar).
Pasal 5 …
- 3 -
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Formula perhitungan persentase GWM adalah sebagai berikut:
Jumlah harian saldo Rekening Giro Bank yang tercatat di
Bank Indonesia setiap hari dalam 1 (satu) masa laporan
x 100%
Rata-rata harian jumlah DPK Bank dalam 1 (satu) masa
laporan pada 2 (dua) masa laporan sebelumnya
Persentase GWM Bank dalam rupiah atau valuta asing sebagaimana
dimaksud di atas didasarkan pada DPK Bank sebagai berikut:
a. GWM harian untuk masa laporan sejak tanggal 1 sampai dengan 7
adalah sebesar persentase GWM yang ditetapkan dari rata-rata DPK
dalam masa laporan sejak tanggal 16 sampai dengan tanggal 23 bulan
sebelumnya;
b. GWM harian untuk masa laporan sejak tanggal 8 sampai dengan
tanggal 15 adalah persentase GWM yang ditetapkan dari rata-rata
DPK dalam masa laporan sejak tanggal 24 sampai dengan akhir bulan
sebelumnya;
c. GWM …
- 4 -
c. GWM harian untuk masa laporan sejak tanggal 16 sampai dengan
tanggal 23 adalah sebesar persentase GWM yang ditetapkan dari
rata-rata DPK dalam masa laporan sejak tanggal 1 sampai dengan
tanggal 7 bulan yang sama;
d. GWM harian untuk masa laporan sejak tanggal 24 sampai dengan
tanggal akhir bulan adalah sebesar persentase GWM yang ditetapkan
dari rata-rata DPK dalam masa laporan sejak tanggal 8 sampai
dengan tanggal 15 bulan yang sama.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 8
Ayat (1)
Bagi Bank umum konvensional yang juga melakukan kegiatan usaha
berdasarkan prinsip syariah, saldo Rekening Giro Bank tidak termasuk
saldo Rekening Giro unit usaha syariah.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 9
Ayat (1)
Bagi Bank umum konvensional yang juga melakukan kegiatan usaha
berdasarkan prinsip syariah, dalam menentukan DPK dalam rupiah
dan DPK dalam valuta asing tidak termasuk DPK yang dilaporkan
unit usaha syariah.
Ayat (2) …
- 5 -
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan giro dalam rupiah adalah komponen giro
sebagaimana dimaksud dalam penjelasan komponen Dana Pihak
Ketiga Dalam Rupiah dalam ketentuan Bank Indonesia yang
berlaku mengenai laporan berkala bank umum.
Huruf b
Yang dimaksud dengan tabungan dalam rupiah adalah
komponen tabungan sebagaimana dimaksud dalam penjelasan
komponen Dana Pihak Ketiga Dalam Rupiah dalam ketentuan
Bank Indonesia yang berlaku mengenai laporan berkala bank
umum.
Huruf c
Yang dimaksud dengan simpanan berjangka/deposito dalam
rupiah adalah komponen simpanan berjangka sebagaimana
dimaksud dalam penjelasan komponen Dana Pihak Ketiga
Dalam Rupiah dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku
mengenai laporan berkala bank umum.
Huruf d
Yang dimaksud dengan kewajiban-kewajiban lainnya dalam
rupiah adalah kewajiban-kewajiban lainnya kepada pihak ketiga
bukan bank sebagaimana dimaksud dalam penjelasan komponen
Dana Pihak Ketiga Dalam Rupiah dalam ketentuan Bank
Indonesia yang berlaku mengenai laporan berkala bank umum.
Ayat (3) …
- 6 -
Ayat (3)
Huruf a
Yang dimaksud dengan giro dalam valuta asing adalah
komponen giro sebagaimana dimaksud dalam penjelasan
komponen Dana Pihak Ketiga Dalam Valuta Asing dalam
ketentuan Bank Indonesia yang berlaku mengenai laporan
berkala bank umum.
Huruf b
Yang dimaksud dengan tabungan dalam valuta asing adalah
komponen tabungan sebagaimana dimaksud dalam penjelasan
komponen Dana Pihak Ketiga Dalam Valuta Asing dalam
ketentuan Bank Indonesia yang berlaku mengenai laporan
berkala bank umum.
Huruf c
Yang dimaksud dengan simpanan berjangka/deposito dalam
valuta asing adalah komponen simpanan berjangka sebagaimana
dimaksud dalam penjelasan komponen Dana Pihak Ketiga
Dalam Valuta Asing dalam ketentuan Bank Indonesia yang
berlaku mengenai laporan berkala bank umum
Huruf d
Yang dimaksud dengan kewajiban-kewajiban lainnya dalam
valuta asing adalah kewajiban-kewajiban lainnya kepada pihak
ketiga termasuk bank sebagaimana dimaksud dalam penjelasan
komponen Dana Pihak Ketiga Dalam Valuta Asing dalam
ketentuan Bank Indonesia yang berlaku mengenai laporan
berkala bank umum.
Pasal 10 …
- 7 -
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Contoh perhitungan:
Bank A memiliki rata-rata harian total DPK dalam rupiah dalam masa
laporan sejak tanggal 8 sampai dengan tanggal 15 bulan Januari
sebesar Rp55.000.000.000.000,00 (lima puluh lima trilyun rupiah).
Bagian tertentu dari GWM yang diberikan jasa giro adalah sebesar
2,5% (dua koma lima persen) dari Rp55.000.000.000.000,00 (lima
puluh lima trilyun rupiah) yaitu sebesar Rp1.375.000.000.000,00 (satu
trilyun tiga ratus tujuh puluh lima milyar rupiah).
Ayat (3)
BI Rate yang berlaku adalah BI Rate pada hari yang sama dengan
perhitungan bagian tertentu dari pemenuhan kewajiban GWM dalam
rupiah yang diberikan jasa giro.
Perhitungan bunga efektif tahunan (effective annual rate) ditentukan
berdasarkan periode compounding harian selama 360 (tiga ratus enam
puluh) hari.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 12 …
- 8 -
Pasal 12
Huruf a
Contoh :
Bank A memiliki rata-rata harian total DPK dalam rupiah dalam masa
laporan sejak tanggal 8 sampai dengan tanggal 15 bulan Januari
sebesar Rp55.000.000.000.000,00 (lima puluh lima trilyun rupiah).
GWM harian yang wajib dipenuhi untuk masa laporan sejak tanggal
24 sampai dengan tanggal akhir bulan Januari adalah sebesar:
7,5% x Rp55.000.000.000.000,00 = Rp4.125.000.000.000,00 (empat
trilyun seratus dua puluh lima milyar rupiah).
Saldo Rekening Giro Rupiah Bank A pada Bank Indonesia pada
tanggal 24 Januari adalah sebesar Rp6.050.000.000.000,00 (enam
trilyun lima puluh milyar rupiah) atau 11% (sebelas persen) dari
rata-rata harian total DPK dalam rupiah sehingga terdapat kelebihan
sebesar 3,5% (tiga koma lima persen) dari rata-rata harian total DPK
dalam rupiah.
Dalam hal ini bagi Bank A jasa giro pada tanggal 24 Januari tetap
hanya diberikan terhadap 2,5% dari rata-rata harian total DPK dalam
rupiah, yaitu terhadap Rp1.375.000.000.000,00 (satu trilyun tiga ratus
tujuh puluh lima milyar rupiah).
Huruf b
Contoh perhitungan:
Bank A memiliki rata-rata harian total DPK dalam rupiah dalam masa
laporan sejak tanggal 8 sampai dengan 15 bulan Januari sebesar
Rp55.000.000.000.000,00 (lima puluh lima trilyun rupiah).
GWM …
- 9 -
GWM harian yang wajib dipenuhi untuk masa laporan sejak tanggal
24 sampai dengan tanggal akhir bulan Januari adalah sebesar:
7,5% x Rp55.000.000.000.000,00 = Rp4.125.000.000.000,00 (empat
trilyun seratus dua puluh lima milyar rupiah).
Saldo Rekening Giro Rupiah Bank A pada Bank Indonesia
pada tanggal 24 Januari adalah sebesar Rp3.575.000.000.000,00 (tiga
trilyun lima ratus tujuh puluh lima milyar rupiah), sehingga terdapat
kekurangan sebesar Rp550.000.000.000,00 (lima ratus lima puluh
milyar rupiah).
Dalam hal ini bagi Bank A jasa giro pada tanggal 24 Januari tidak
diberikan karena Bank A tidak memenuhi kewajiban GWM, termasuk
apabila Bank A mendapat insentif kelonggaran pemenuhan kewajiban
GWM rupiah.
Pasal 13
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan hari pelanggaran adalah hari kerja.
Contoh perhitungan sanksi:
Bank A memiliki rata-rata harian DPK dalam rupiah dalam masa
laporan sejak tanggal 8 sampai dengan 15 bulan Januari sebesar
Rp55.000.000.000.000,00 (lima puluh lima trilyun rupiah).
GWM harian yang wajib dipenuhi untuk masa laporan sejak tanggal
24 sampai dengan tanggal akhir bulan Januari adalah sebesar :
7,5% (tujuh koma lima persen) dari Rp55.000.000.000.000,00 (lima
puluh lima trilyun rupiah) yaitu sebesar Rp4.125.000.000.000,00
(empat trilyun seratus dua puluh lima milyar rupiah).
Saldo …
- 10 -
Saldo Rekening Giro Rupiah Bank A pada Bank Indonesia pada
tanggal 24 Januari adalah sebesar Rp4.000.000.000.000,00, (empat
trilyun rupiah) sehingga terdapat kekurangan pemenuhan GWM
sebesar Rp125.000.000.000,00 (seratus dua puluh lima milyar rupiah).
Suku Bunga JIBOR pada tanggal 24 Januari adalah sebesar
9% (sembilan persen).
Perhitungan sanksi kewajiban membayar atas pelanggaran GWM
rupiah untuk Bank A pada tanggal 24 Januari adalah sebagai berikut:
Kekurangan GWM x 125% x suku bunga JIBOR x hari kerja
360 x 100
yaitu
Rp125.000.000.000,00 x 1,25 x 9 x 1
360 x 100
Ayat (2)
Contoh perhitungan:
Bank A memiliki rata-rata harian total DPK dalam valuta asing dalam
masa laporan sejak tanggal 8 sampai dengan tanggal 15 bulan Januari
sebesar USD100.000.000,00 (seratus juta US dollar).
GWM harian untuk masa laporan sejak tanggal 24 sampai dengan
tanggal akhir bulan Januari adalah sebesar :
1% x USD100.000.000,00 = USD1.000.000,00 (satu juta US dollar)
Saldo Rekening Giro Valas Bank A pada Bank Indonesia pada
tanggal 24 Januari adalah sebesar USD900.000,00 (sembilan ratus
ribu US dollar) sehingga terdapat kekurangan pemenuhan GWM
sebesar USD100.000,00 (seratus ribu US dollar).
Perhitungan …
- 11 -
Perhitungan sanksi kewajiban membayar atas pelanggaran GWM
dalam valuta asing untuk Bank A pada tanggal 24 Januari adalah
sebagai berikut:
0.04% x (USD1.000.000,00 – USD900.000,00) = USD40,00 (empat
puluh US dollar).
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan kurs transaksi adalah kurs jual ditambah
dengan kurs beli dibagi dua.
Dengan sanksi kewajiban membayar sebesar USD40,00 (empat puluh
US dollar) sebagaimana contoh perhitungan pada ayat (2) di atas dan
asumsi kurs transaksi Bank Indonesia pada hari terjadinya
pelanggaran adalah Rp9.700,00/USD (sembilan ribu tujuh ratus rupiah
per US dollar), maka sanksi kewajiban membayar yang harus
dibayarkan adalah sebesar:
40 x Rp9.700,00 = Rp388.000,00 (tiga ratus delapan puluh delapan
ribu rupiah)
Ayat (4)
Sesuai ketentuan Bank Indonesia mengenai insentif dalam rangka
konsolidasi perbankan, penurunan pemenuhan GWM dalam rupiah
bagi Bank yang melakukan merger atau konsolidasi dikecualikan dari
pengenaan sanksi apabila GWM yang dimiliki tidak kurang dari 6,5%
(yaitu 7,5% - 1%) dari DPK dalam rupiah.
Pasal 14
Cukup jelas
Pasal 15 …
- 12 -
Pasal 15
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Contoh perhitungan sanksi:
Bank A memiliki rata-rata harian total DPK dalam rupiah dalam masa
laporan sejak tanggal 8 sampai dengan tanggal 15 bulan Januari
sebesar Rp55.000.000.000.000,00 (lima puluh lima trilyun rupiah).
Berdasarkan data tersebut, GWM harian untuk masa laporan sejak
tanggal 24 sampai dengan tanggal akhir bulan Januari adalah sebesar
Rp4.125.000.000.000,00 (empat trilyun seratus dua puluh lima milyar
rupiah).
Saldo Rekening Giro Rupiah Bank A pada Bank Indonesia pada
tanggal 24 Januari adalah sebesar Rp1.000.000.000,00 (satu milyar
rupiah), terdapat kekurangan sebesar Rp4.124.000.000.000,00 (empat
trilyun seratus dua puluh empat milyar rupiah).
Suku Bunga JIBOR pada tanggal 24 Januari adalah sebesar 9%
(sembilan persen).
Perhitungan sanksi kewajiban membayar atas pelanggaran GWM
rupiah untuk Bank A pada tanggal 24 Januari adalah sebagai berikut:
Kekurangan GWM x 125% x suku bunga JIBOR x hari kerja
360 x 100
yaitu
Rp4.124.000.000.000,00 x 1,25 x 9 x 1
360 x 100
yaitu sebesar Rp1.288.750.000,00 (satu milyar dua ratus delapan
puluh delapan juta tujuh ratus lima puluh ribu rupiah).
Untuk …
- 13 -
Untuk pendebetan sanksi tersebut terdapat kekurangan saldo Rekening
Giro Bank sebesar Rp288.750.000,00 (Rp1.000.000.000,00 –
Rp1.288.750.000,00).
Untuk kekurangan saldo Rekening Giro Bank sebesar
Rp288.750.000,00 tersebut dikenakan sanksi sebesar:
Kekurangan saldo x 125% x suku bunga JIBOR x hari kerja
360 x 100
yaitu
Rp288.750.000,00 x 125% x 9 x 1
360 x 100
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR
DPNP/DKM
4904
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 10/19/PBI/2008 </reg_id>
<reg_title> GIRO WAJIB MINIMUM BANK UMUM PADA BANK INDONESIA DALAM RUPIAH DAN VALUTA ASING </reg_title>
<set_date> 14 Oktober 2008 </set_date>
<issued_date> 14 Oktober 2008 </issued_date>
<replaced_reg> '7/49/PBI/2005', '6/15/PBI/2004' </replaced_reg>
<related_reg> '23/UU/1999', '3/UU/2004', '10/UU/1998', '7/UU/1992' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB VII', 'BAB VIII' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 7/ 37 /PBI/2005
TENTANG
PERUBAHAN KEDUA ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 5/13/PBI/2003
TENTANG POSISI DEVISA NETO BANK UMUM
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang: a. bahwa untuk mendukung pertumbuhan perekonomian
nasional, perlu diciptakan dan dipelihara stabilitas nilai
tukar;
b. bahwa salah satu upaya yang perlu dilakukan untuk
menciptakan dan memelihara stabilitas nilai tukar adalah
mengatur mengenai pengelolaan risiko transaksi valuta
asing oleh perbankan;
c. bahwa salah satu faktor yang perlu diperhatikan dalam
pengelolaan risiko transaksi valuta asing oleh perbankan
adalah besaran posisi devisa neto yang diperkenankan
dipelihara oleh bank baik ditinjau dari metode perhitungan
maupun dari sisi saat perhitungan posisi devisa neto;
d. bahwa sehubungan dengan itu dipandang perlu untuk
melakukan perubahan terhadap Peraturan Bank Indonesia
Nomor 5/13/PBI/2003 tentang Posisi Devisa Neto Bank
Umum sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank
Indonesia Nomor 6/20/PBI/2004;
Mengingat …
2
Mengingat:
1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992
Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182 Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790);
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357);
3. Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/13/PBI/2003 tentang
Posisi Devisa Neto Bank Umum (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 84, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4307)
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia
Nomor 6/20/PBI/2004 (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 61, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4395);
MEMUTUSKAN …
3
M E M U T U S K A N:
Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN
KEDUA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR
5/13/PBI/2003 TENTANG POSISI DEVISA NETO BANK
UMUM.
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/13/PBI/2003
tentang Posisi Devisa Neto Bank Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2003 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4307) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor
6/20/PBI/2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 61,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4395) diubah sebagai
berikut:
1. Ketentuan Pasal 1 angka (3) diubah dan angka (4) dihapus, sehingga
Pasal 1 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 1
1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 yang telah memperoleh
surat penunjukan dari Bank Indonesia untuk melakukan kegiatan usaha
perbankan dalam valuta asing, termasuk kantor cabang bank asing.
2. Modal …
4
2. Modal adalah modal inti dan modal pelengkap sebagaimana diatur dalam
ketentuan Bank Indonesia yang berlaku mengenai Kewajiban Penyediaan
Modal Minimum Bank Umum pada posisi akhir bulan sebelum bulan
laporan.
3. Kurs Penutupan adalah kurs penutupan pada pukul 16.00 WIB setiap hari
yang dapat dilihat pada informasi Laporan Harian Bank Umum yang
dikelola Bank Indonesia.
4. Dihapus
2. Diantara Pasal 1 dan Pasal 2 disisipkan 1 (satu) pasal baru menjadi Pasal 1A
yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 1A
Bank wajib mengelola dan memelihara Posisi Devisa Neto sepanjang hari
berdasarkan prinsip kehati-hatian.
3. Ketentuan Pasal 2 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 2
(1) Bank wajib mengelola dan memelihara Posisi Devisa Neto pada akhir
hari kerja dengan ketentuan sebagai berikut:
a. secara keseluruhan paling tinggi 20% (dua puluh perseratus) dari
Modal; dan
b. untuk neraca paling tinggi 20% (dua puluh perseratus) dari Modal.
(2) Posisi Devisa Neto secara keseluruhan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf a adalah angka yang merupakan penjumlahan dari nilai absolut
untuk jumlah dari:
a. selisih bersih aktiva dan pasiva dalam neraca untuk setiap valuta
asing; ditambah dengan
b. selisih …
5
b. selisih bersih tagihan dan kewajiban baik yang merupakan komitmen
maupun kontinjensi dalam rekening administratif untuk setiap valuta
asing,
yang semuanya dinyatakan dalam rupiah.
(3) Posisi Devisa Neto untuk neraca sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b adalah selisih bersih total aktiva dan total pasiva dalam valuta
asing yang semuanya dinyatakan dalam rupiah.
(4) Aktiva valuta asing sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan
ayat (3) terdiri dari kas, emas, giro (termasuk giro pada Bank
Indonesia), deposit on call, deposito berjangka, sertifikat deposito,
margin deposit, surat berharga, kredit yang diberikan, nilai bersih wesel
ekspor yang telah diambilalih, rekening antar kantor aktiva dan tagihan
lainnya, dalam valuta asing baik kepada penduduk maupun bukan
penduduk.
(5) Pasiva valuta asing sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan
ayat (3) terdiri dari giro, deposit on call, deposito berjangka, sertifikat
deposito, margin deposit, pinjaman yang diterima, jaminan impor,
rekening antar kantor pasiva, pendapatan komprehensif lainnya dari
surat-surat berharga valuta asing selain saham dan kewajiban lainnya
dalam valuta asing baik terhadap penduduk maupun bukan penduduk.
(6) Rekening administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b
adalah rekening dalam valuta asing yang dapat menimbulkan tagihan
dan atau kewajiban di masa mendatang yang merupakan komitmen
dan kontinjensi yang mencakup spot, bank garansi maupun L/C yang
dipastikan menjadi kewajiban Bank setelah dikurangi margin deposit,
serta transaksi derivatif antara lain transaksi forward, option dan future
maupun …
6
maupun produk-produk lain yang sejenis baik terhadap penduduk
maupun bukan penduduk.
4. Ketentuan Pasal 3 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 3
(1) Selain mengelola dan memelihara Posisi Devisa Neto pada akhir hari
kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Bank wajib mengelola dan
memelihara Posisi Devisa Neto setiap saat paling tinggi 20% (dua puluh
perseratus) dari Modal.
(2) Perhitungan Posisi Devisa Neto setiap saat menggunakan Kurs
Penutupan pada hari kerja sebelumnya.
(3) Posisi Devisa Neto setiap saat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
adalah penjumlahan antara Posisi Devisa Neto secara keseluruhan akhir
hari kerja sebelumnya dengan posisi terbuka tresuri setiap saat pada
hari kerja berjalan.
(4) Posisi terbuka tresuri setiap saat pada hari kerja berjalan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) merupakan selisih bersih antara transaksi beli
dan jual valuta asing yang terkait dengan kegiatan tresuri Bank setiap
saat pada hari berjalan.
5. Ketentuan Pasal 3A diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 3A
Pemeliharaan Posisi Devisa Neto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
dihitung secara gabungan yaitu:
a. bagi Bank yang berbadan hukum Indonesia mencakup seluruh kantor
cabang di dalam negeri maupun di luar negeri.
b. bagi kantor cabang bank asing mencakup seluruh kantor-kantornya di
Indonesia.
6. Ketentuan …
7
6. Ketentuan Pasal 7 ayat (2) dan ayat (3) diubah, sehingga Pasal 7 berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 7
(1) Bank wajib menyampaikan laporan Posisi Devisa Neto akhir hari kerja
secara berkala dan benar kepada Bank Indonesia.
(2) Tata cara mengenai penyusunan dan penyampaian laporan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) mengacu kepada ketentuan Bank Indonesia
yang berlaku tentang Laporan Harian Bank Umum.
(3) Bank wajib menyesuaikan Penyusunan Laporan Harian Bank Umum
untuk Laporan Posisi Devisa Neto sesuai dengan Peraturan Bank
Indonesia ini.
7. Ketentuan Pasal 7A ayat (1) diubah sehingga Pasal 7A berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 7A
(1) Bank wajib menatausahakan informasi yang mendukung pemantauan
Posisi Devisa Neto setiap saat.
(2) Bank Indonesia dapat meminta informasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) apabila diperlukan.
8. Ketentuan Pasal 8 ayat (2) dihapus dan ayat (3) diubah, sehingga Pasal 8
berbunyi sebagai berikut:
Pasal 8
(1) Bank wajib menyusun laporan Posisi Devisa Neto akhir hari kerja
dengan menggunakan Kurs Penutupan.
(2) Dihapus
(3) Dalam …
8
(3) Dalam hal Kurs Penutupan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk
valuta asing tertentu tidak tersedia, Bank dapat menggunakan crossing
rate pada waktu yang sama dengan Kurs Penutupan.
9. Ketentuan Pasal 10 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 10
(1) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 1A, Pasal 2 ayat (1), Pasal 3 ayat (1), Pasal 6 ayat (4), Pasal 7A
ayat (1) dan Pasal 9A dikenakan sanksi administratif sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 52 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992
tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 1998, antara lain berupa:
a. teguran tertulis;
b. mempengaruhi penilaian tingkat kesehatan Bank;
c. pembekuan kegiatan usaha tertentu;
d. pencantuman anggota pengurus, pegawai Bank, pemegang saham
dalam daftar orang-orang yang dilarang menjadi pemilik dan
pengurus Bank;
e. pemberhentian pengurus Bank dan selanjutnya menunjuk dan
mengangkat pengganti sementara sampai Rapat Umum Pemegang
Saham atau Rapat Anggota Koperasi mengangkat pengganti tetap
dengan persetujuan Bank Indonesia.
(2) Bank yang tidak mematuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 ayat (1) selain dikenakan sanksi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), juga dikenakan sanksi berupa
kewajiban membayar sebesar Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh
juta rupiah) setiap hari pelanggaran.
Pasal II …
9
Pasal II
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku sejak tanggal 3 Oktober 2005.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 30 September 2005
GUBERNUR BANK INDONESIA
BURHANUDDIN ABDULLAH
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2005 NOMOR 92
DPNP/DPD
10
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 7/ 37 /PBI/2005
TENTANG
PERUBAHAN KEDUA ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 5/13/PBI/2003
TENTANG POSISI DEVISA NETO BANK UMUM
UMUM
Dalam rangka mendukung pertumbuhan perekonomian nasional perlu
diciptakan dan dipelihara stabilitas nilai tukar yang antara lain dapat dicapai
melalui pengaturan besaran posisi devisa neto perbankan.
Sehubungan dengan itu, dalam peraturan ini dilakukan beberapa
perubahan terhadap ketentuan yang berlaku yaitu dari sisi metode perhitungan
posisi devisa neto dan juga sisi saat perhitungan posisi devisa neto yang dimiliki
Bank,
Dari sisi metode perhitungan, terdapat perubahan perhitungan posisi
devisa neto untuk neraca pada akhir hari kerja dari metode gross aggregate
position menjadi metode net aggregate position. Dari sisi saat perhitungan, posisi
devisa neto tidak hanya diatur pada tengah hari tetapi diatur pula posisi devisa
neto setiap saat dengan menggunakan kurs penutupan hari kerja sebelumnya.
PASAL …
11
PASAL DEMI PASAL
Pasal I
Angka 1
Pasal 1
Cukup jelas.
Angka 2
Pasal 1A
Cukup jelas.
Angka 3
Pasal 2
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Sebagai contoh:
Bank memiliki:
a. total aktiva dalam berbagai valuta asing ekuivalen
dalam rupiah sebesar Rp25.000.000,00 (dua puluh
lima juta rupiah);
b. total pasiva dalam berbagai valuta asing ekuivalen
dalam rupiah sebesar Rp15.000.000,00 (lima belas juta
rupiah);
c. Modal …
12
c. Modal sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah),
dengan kondisi tersebut, maka Posisi Devisa Neto
untuk neraca adalah ((Rp25.000.000,00
Rp15.000.000,00)/ Rp100.000.000,00) x 100% =10%
Ayat (4)
Nilai aktiva yang diperhitungkan adalah sebesar nilai
buku yaitu nilai setelah diperhitungkan dengan penyisihan
penghapusan yang dibentuk dalam valuta yang sama.
Termasuk dalam pengertian tagihan lainnya antara lain
adalah penyertaan dalam valuta asing, aktiva tetap kantor
cabang di luar negeri (setelah dikurangi depresiasi),
pendapatan bunga yang masih harus diterima (accrued
interest), tagihan akseptasi, transaksi reverse repo dan
tagihan derivatif.
Rekening antar kantor aktiva bagi kantor cabang bank
asing adalah seluruh rekening antar kantor aktiva dengan
kantor di luar negeri, termasuk yang diperhitungkan
dalam komponen modal (Dana Usaha).
Ayat (5)
Termasuk dalam pengertian kewajiban lainnya antara lain
adalah surat berharga yang diterbitkan bank, biaya yang
masih harus dibayar (accrued expense), kewajiban
akseptasi, transaksi repo dan kewajiban derivatif.
Rekening antar kantor pasiva bagi kantor cabang bank
asing adalah seluruh rekening antar kantor pasiva dari
kantor - kantor di luar negeri, termasuk yang
diperhitungkan dalam komponen modal (Dana Usaha).
Ayat (6) …
–
13
Ayat (6)
Nilai rekening administratif yang diperhitungkan adalah
sebesar nilai buku, yaitu nilai setelah diperhitungkan
dengan penyisihan penghapusan yang dibentuk dalam
valuta yang sama.
Angka 4
Pasal 3
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan setiap saat adalah waktu selama
Bank beroperasi sampai dengan sebelum akhir hari kerja.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Posisi Devisa Neto secara keseluruhan akhir hari kerja
sebelumnya merupakan Posisi Devisa Neto masing-
masing valuta asing sebelum diabsolutkan.
Contoh:
USD
Posisi Devisa Neto
secara keseluruhan
akhir hari kerja
sebelumnya
Posisi terbuka tresuri
setiap saat pada hari
kerja berjalan
Posisi Devisa Neto
Setiap saat
50
(10)
40
Yen
Dalam rupiah
Total
(40)
20
(20)
20
Asumsi Modal = 100, maka Posisi Devisa Neto setiap
saat = ( 20 / 100 ) x 100% = 20%
Ayat (4) …
14
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan kegiatan tresuri antara lain
transaksi beli dan jual valuta asing yang dilakukan di
dealing room.
Angka 5
Cukup jelas.
Pasal 3A
Cukup jelas.
Angka 6
Pasal 7
Cukup jelas.
Angka 7
Pasal 7A
Ayat (1)
Informasi yang mendukung antara lain berupa deal
conversation, deal confirmation, blotter, dan atau
informasi pendukung lainnya.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Angka 8
Pasal 8
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Angka 9 …
15
Angka 9
Pasal 10
Ayat (1)
Huruf a
Termasuk dalam sanksi berupa teguran tertulis
adalah pencabutan persetujuan pengecualian posisi
struktural sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6.
Huruf b sampai dengan huruf e
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal II
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4538
DPNP/DPD
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 7/37/PBI/2005 </reg_id>
<reg_title> PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 5/13/PBI/2003 TENTANG POSISI DEVISA NETO BANK UMUM </reg_title>
<set_date> 30 September 2005 </set_date>
<effective_date> 3 Oktober 2005 </effective_date>
<changed_reg> '5/13/PBI/2003' </changed_reg>
<extension_of> '6/20/PBI/2004' </extension_of>
<related_reg> '6/20/PBI/2004', '23/UU/1999', '3/UU/2004', '7/UU/1992', '5/13/PBI/2003', '10/UU/1998' </related_reg>
<penalty_list> 'Pasal I Angka 9 Pasal 10' </penalty_list>
|
- 2 -
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 22/4/PBI/2020
TENTANG
INSENTIF BAGI BANK YANG MEMBERIKAN PENYEDIAAN DANA UNTUK
KEGIATAN EKONOMI TERTENTU GUNA MENDUKUNG PENANGANAN
DAMPAK PEREKONOMIAN AKIBAT WABAH VIRUS CORONA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa untuk memitigasi dampak meningkatnya risiko
ketidakpastian global terhadap perekonomian domestik,
Bank Indonesia perlu memberikan respons kebijakan
makroprudensial untuk menjaga stabilitas sistem
keuangan;
b. bahwa mempertimbangkan dampak risiko wabah virus
corona yang berpotensi mengganggu aktivitas produksi
dalam negeri yang dapat berimbas kepada menurunnya
siklus keuangan maka diperlukan penguatan fungsi
intermediasi perbankan melalui
kebijakan
makroprudensial yang akomodatif berupa dukungan
terhadap kegiatan ekonomi tertentu;
c. bahwa kebijakan makroprudensial yang akomodatif
dilakukan melalui pemberian insentif untuk mendorong
intermediasi perbankan selama periode tertentu kepada
bank yang memberikan penyediaan dana untuk kegiatan
ekonomi tertentu;
- 2 -
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan
Peraturan Bank Indonesia tentang Insentif bagi Bank yang
Memberikan Penyediaan Dana untuk Kegiatan Ekonomi
Tertentu guna Mendukung Penanganan Dampak
Perekonomian Akibat Wabah Virus Corona;
Mengingat
: Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999
Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3843) sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia
menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4962);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG INSENTIF BAGI
BANK YANG MEMBERIKAN PENYEDIAAN DANA UNTUK
KEGIATAN EKONOMI TERTENTU GUNA MENDUKUNG
PENANGANAN DAMPAK PEREKONOMIAN AKIBAT WABAH
VIRUS CORONA.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Bank Umum Konvensional yang selanjutnya disingkat
BUK adalah bank umum yang melaksanakan kegiatan
usaha secara konvensional yang dalam kegiatannya
memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran, termasuk
kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar
negeri.
- 3 -
2. Bank Umum Syariah yang selanjutnya disingkat BUS
adalah bank umum yang menjalankan kegiatan usahanya
berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya
memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.
3. Unit Usaha Syariah yang selanjutnya disingkat UUS
adalah unit kerja dari kantor pusat BUK yang berfungsi
sebagai kantor induk dari kantor atau unit yang
melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip
syariah, atau unit kerja di kantor cabang dari suatu bank
yang berkedudukan di luar negeri yang melaksanakan
kegiatan usaha secara konvensional yang berfungsi
sebagai kantor induk dari kantor cabang pembantu
syariah dan/atau unit syariah sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang mengenai perbankan syariah.
4. Bank adalah BUK, BUS, dan UUS.
5. Letter of Credit yang selanjutnya disebut L/C adalah janji
membayar dari bank penerbit kepada penerima jika
penerima menyerahkan kepada bank penerbit dokumen
yang sesuai dengan persyaratan L/C.
6. Usaha Mikro adalah usaha produktif milik orang
perorangan dan/atau badan usaha perorangan, yang
memenuhi kriteria Usaha Mikro sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang mengenai usaha mikro, kecil, dan
menengah.
7. Usaha Kecil adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri
sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan
usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau
bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau
menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung
dari usaha menengah atau usaha besar yang memenuhi
kriteria Usaha Kecil sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang mengenai usaha mikro, kecil, dan
menengah.
8. Usaha Menengah adalah usaha ekonomi produktif yang
berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau
badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan
atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau
- 4 -
menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung
dengan Usaha Kecil atau usaha besar dengan jumlah
kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai
usaha mikro, kecil, dan menengah.
9. Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah yang selanjutnya
disebut UMKM adalah Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan
Usaha Menengah.
10. Giro Wajib Minimum yang selanjutnya disingkat GWM
adalah jumlah dana minimum yang wajib dipelihara oleh
BUK atau BUS dan UUS yang besarnya ditetapkan oleh
Bank Indonesia sebesar persentase tertentu dari dana
pihak ketiga BUK atau dana pihak ketiga BUS dan UUS
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia
mengenai giro wajib minimum dalam rupiah dan valuta
asing bagi bank umum konvensional, bank umum syariah,
dan unit usaha syariah.
11. Rekening Giro dalam Rupiah yang selanjutnya disebut
Rekening Giro Rupiah adalah rekening pihak ekstern di
Bank Indonesia yang merupakan sarana bagi
penatausahaan transaksi dari simpanan yang penyetoran
dan penarikannya dapat dilakukan sesuai dengan
ketentuan dan persyaratan yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia dalam mata uang rupiah sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai
rekening giro di Bank Indonesia.
12. Giro atas Pemenuhan Rasio Intermediasi Makroprudensial
yang selanjutnya disebut Giro RIM adalah saldo giro dalam
Rekening Giro Rupiah di Bank Indonesia yang wajib
dipelihara oleh BUK untuk pemenuhan rasio intermediasi
makroprudensial
sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan Bank Indonesia mengenai rasio intermediasi
makroprudensial dan penyangga likuiditas
makroprudensial bagi bank umum konvensional, bank
umum syariah, dan unit usaha syariah.
13. Giro atas Pemenuhan Rasio Intermediasi Makroprudensial
Syariah yang selanjutnya disebut Giro RIM Syariah adalah
- 5 -
saldo giro dalam Rekening Giro Rupiah di Bank Indonesia
yang wajib dipelihara oleh BUS dan UUS untuk
pemenuhan rasio intermediasi makroprudensial syariah
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia
mengenai rasio intermediasi makroprudensial dan
penyangga likuiditas makroprudensial bagi bank umum
konvensional, bank umum syariah, dan unit usaha
syariah.
14. Indonesia Overnight Index Average yang selanjutnya
disebut IndONIA adalah indeks suku bunga atas transaksi
pinjam-meminjamkan rupiah tanpa agunan yang
dilakukan antarbank untuk jangka waktu overnight di
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank
Indonesia mengenai Indonesia overnight index average dan
Jakarta interbank offered rate.
15. Sertifikat Investasi Mudarabah Antarbank yang
selanjutnya disingkat SIMA adalah sertifikat yang
diterbitkan oleh BUS atau UUS yang digunakan sebagai
sarana investasi jangka pendek di pasar uang antarbank
berdasarkan prinsip syariah dengan akad mudarabah
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia
mengenai sertifikat investasi mudarabah antarbank.
16. Tingkat Indikasi Imbalan SIMA adalah rata-rata
tertimbang tingkat indikasi imbalan SIMA dalam rupiah
yang terjadi di pasar uang antarbank berdasarkan prinsip
syariah pada pasar perdana.
BAB II
INSENTIF
Pasal 2
(1)
Bank Indonesia memberikan insentif bagi Bank yang
melakukan penyediaan dana untuk kegiatan ekonomi
tertentu berupa:
a. kegiatan ekspor;
b. kegiatan impor;
- 6 -
c. kegiatan UMKM; dan/atau
d. kegiatan ekonomi pada sektor prioritas lainnya yang
ditetapkan Bank Indonesia.
(2)
Dalam menerapkan kebijakan pemberian insentif bagi
Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank
Indonesia dapat berkoordinasi dengan:
a. pemerintah; dan/atau
b.
otoritas terkait.
(3)
Insentif bagi Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berupa kelonggaran atas kewajiban pemenuhan GWM
dalam rupiah yang wajib dipenuhi secara harian, dengan
besaran yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
(4)
Ketentuan lebih lanjut mengenai kegiatan ekonomi
tertentu dan besaran insentif bagi Bank yang melakukan
penyediaan dana untuk kegiatan ekonomi tertentu diatur
dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
Pasal 3
(1) Pemberian insentif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (1) dilakukan oleh Bank Indonesia secara bulanan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian insentif
secara bulanan diatur dalam Peraturan Anggota Dewan
Gubernur.
Pasal 4
(1) Cakupan penyediaan dana oleh Bank untuk kegiatan
ekonomi tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (1) terdiri atas:
a. kredit ekspor atau pembiayaan ekspor;
b. kredit impor yang bersifat produktif atau pembiayaan
impor yang bersifat produktif;
c. L/C;
d. kredit UMKM atau pembiayaan UMKM; dan/atau
e. kredit atau pembiayaan lainnya yang ditetapkan oleh
Bank Indonesia.
- 7 -
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai cakupan penyediaan
dana oleh Bank untuk kegiatan ekonomi tertentu diatur
dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
BAB III
SUMBER DATA
Pasal 5
(1) Bank wajib menyampaikan data penyediaan dana untuk
kegiatan ekonomi tertentu secara benar kepada Bank
Indonesia.
(2) Data penyediaan dana untuk kegiatan ekonomi tertentu
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan Bank
secara bulanan dan penyampaian data dilaksanakan
sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia.
(3) Bank Indonesia menggunakan data penyediaan dana
untuk kegiatan ekonomi tertentu sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) sebagai dasar pemberian insentif
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1).
(4) Data penyediaan dana untuk kegiatan ekonomi tertentu
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diperoleh dari:
a. laporan bulanan bank umum;
b. laporan stabilitas moneter dan sistem keuangan
bulanan bank umum syariah dan unit usaha syariah;
c. laporan bank umum terintegrasi; dan/atau
d. laporan atau data lainnya yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai data penyediaan dana
untuk kegiatan ekonomi tertentu diatur dalam Peraturan
Anggota Dewan Gubernur.
Pasal 6
(1) Bank yang tidak menyampaikan data penyediaan dana
untuk kegiatan ekonomi tertentu secara benar
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dikenai
sanksi teguran tertulis.
- 8 -
(2) Bank yang menyampaikan data penyediaan dana untuk
kegiatan ekonomi tertentu sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 ayat (1) yang berdasarkan pengawasan Bank
Indonesia diketahui tidak memiliki eksposur penyediaan
dana untuk kegiatan ekonomi tertentu dinyatakan tidak
pernah diberikan insentif oleh Bank Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) selama
periode penggunaan data yang tidak benar.
(3) Bagi Bank yang dinyatakan tidak pernah diberikan
insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Bank
Indonesia melakukan perhitungan ulang kewajiban
pemenuhan GWM dalam rupiah dan/atau Giro RIM atau
Giro RIM Syariah sesuai dengan ketentuan Bank
Indonesia.
(4) Dalam hal berdasarkan perhitungan ulang sebagaimana
dimaksud pada ayat (3), Bank tidak memenuhi kewajiban
pemenuhan GWM dalam rupiah dan/atau Giro RIM atau
Giro RIM Syariah maka Bank dikenai sanksi sesuai
dengan ketentuan Bank Indonesia.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan sanksi diatur
dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
BAB IV
PENGAWASAN
Pasal 7
(1) Bank Indonesia melakukan pengawasan kepada Bank
yang telah memperoleh insentif sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 melalui:
a. surveilans; dan/atau
b. pemeriksaan.
(2) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
b dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut:
a. Bank Indonesia melakukan pemeriksaan langsung
kepada Bank; atau
b. Bank Indonesia melakukan pemeriksaan bersama
Otoritas Jasa Keuangan kepada Bank.
- 9 -
BAB V
EVALUASI
Pasal 8
(1) Bank Indonesia melakukan evaluasi atas kebijakan
pemberian insentif sebagaimana diatur dalam Peraturan
Bank Indonesia ini paling sedikit 1 (satu) kali sebelum
masa berlaku kebijakan berakhir.
(2) Hasil evaluasi kebijakan pemberian insentif sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diinformasikan oleh Bank
Indonesia kepada Bank.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai evaluasi kebijakan
pemberian insentif diatur dalam Peraturan Anggota Dewan
Gubernur.
BAB VI
MASA BERLAKU PEMBERIAN INSENTIF
Pasal 9
(1) Pemberian insentif secara bulanan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) pertama kali dilakukan
oleh Bank Indonesia pada tanggal 16 April 2020.
(2) Pemberian insentif secara bulanan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) menggunakan data bulan Maret
2020.
Pasal 10
Pemberian insentif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
berlaku sampai dengan tanggal 31 Desember 2020.
BAB VII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 11
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 1
April 2020.
- 10 -
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 26 Maret 2020
GUBERNUR BANK INDONESIA,
TTD
PERRY WARJIYO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 27 Maret 2020
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
TTD
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2020 NOMOR 86…
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 22/4/PBI/2020
TENTANG
INSENTIF BAGI BANK YANG MEMBERIKAN PENYEDIAAN DANA UNTUK
KEGIATAN EKONOMI TERTENTU GUNA MENDUKUNG PENANGANAN
DAMPAK PEREKONOMIAN AKIBAT WABAH VIRUS CORONA
I. UMUM
Dalam menjaga stabilitas sistem keuangan, Bank Indonesia
melakukan upaya meningkatkan ketahanan sistem keuangan yang
ditempuh melalui kebijakan makroprudensial. Kebijakan tersebut untuk
memitigasi dampak risiko ketidakpastian global terhadap perekonomian
domestik yang dipicu oleh merebaknya wabah virus corona atau
Coronavirus Disease 2019 (COVID-19).
Wabah virus corona telah menyebar cepat ke berbagai negara dan
mengakibatkan pertumbuhan ekonomi global tertahan. Penyebaran virus
tersebut membuat kinerja ekonomi Tiongkok menurun dan berdampak
pada perdagangan dunia mengingat dominasi Tiongkok dalam
perdagangan dunia, baik dari sisi supply maupun demand. Penurunan
pasokan bahan baku dari Tiongkok memicu kenaikan harga bahan baku
baik di Tiongkok maupun negara lain yang menjadi pemasok alternatif. Di
sisi lain, permintaan dari Tiongkok bahkan permintaan global juga
menurun. Hal tersebut berpotensi mengganggu aktivitas produksi
ekonomi domestik sehingga diperlukan dukungan penyediaan dana untuk
kegiatan ekspor dan/atau impor yang terdiri atas kredit ekspor atau
pembiayaan ekspor, kredit impor atau pembiayaan impor yang bersifat
produktif, dan/atau L/C.
- 2 -
Kegiatan UMKM yang menjadi penggerak perekonomian turut
terdampak signifikan atas penyebaran COVID-19. Selain dikarenakan
penurunan permintaan global, penurunan aktivitas pariwisata yang
tercermin dari berkurangnya kunjungan wisatawan nusantara dan
mancanegara turut memengaruhi kinerja UMKM. Kondisi tersebut
berpotensi meningkatkan risiko kredit UMKM atau pembiayaan UMKM.
Bank Indonesia memberikan insentif berupa kelonggaran atas kewajiban
pemenuhan GWM dalam rupiah yang wajib dipenuhi secara harian
kepada Bank yang mendukung penyediaan dana untuk kegiatan ekspor,
impor, dan/atau UMKM serta untuk kegiatan ekonomi pada sektor
prioritas lainnya yang ditetapkan Bank Indonesia. Kebijakan ini bertujuan
untuk mendorong intermediasi perbankan dalam menopang momentum
pertumbuhan ekonomi domestik dan memitigasi risiko makin
menurunnya siklus keuangan yang masih berada di bawah level optimal.
Insentif diberlakukan dalam periode tertentu dan akan dievaluasi dalam
implementasinya.
Sehubungan dengan kebijakan tersebut di atas, Bank Indonesia
perlu menyusun ketentuan mengenai insentif bagi Bank yang memberikan
penyediaan dana untuk kegiatan ekonomi tertentu dalam rangka
mendukung penanganan dampak perekonomian akibat wabah virus
corona.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Ayat (1)
Pemberian insentif dilakukan untuk memitigasi dampak wabah
virus corona atau Coronavirus Disease 2019 (COVID-19)
terhadap perekonomian domestik.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
- 3 -
Huruf b
Yang dimaksud dengan “otoritas terkait” antara lain Otoritas
Jasa Keuangan.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “GWM dalam rupiah yang wajib dipenuhi
secara harian” adalah GWM dalam rupiah yang wajib dipenuhi
secara harian sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank
Indonesia mengenai giro wajib minimum dalam rupiah dan
valuta asing bagi bank umum konvensional, bank umum
syariah, dan unit usaha syariah.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “kredit” adalah penyediaan uang
atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu dalam
rupiah dan valuta asing, berdasarkan persetujuan atau
kesepakatan pinjam-meminjam antara BUK dengan pihak
lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi
utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian
bunga sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
mengenai perbankan.
Yang dimaksud dengan “pembiayaan” adalah penyediaan
dana atau tagihan yang dipersamakan dengan itu dalam
rupiah dan valuta asing berupa:
a. transaksi bagi hasil dalam bentuk mudarabah dan
musyarakah;
b. transaksi sewa-menyewa dalam bentuk ijarah atau
sewa beli dalam bentuk ijarah muntahiya bittamlik;
c. transaksi jual beli dalam bentuk piutang murabahah
dan istishna’;
- 4 -
d. transaksi pinjam-meminjam dalam bentuk piutang
qardh; dan
e. transaksi sewa-menyewa jasa dalam bentuk ijarah
untuk transaksi multijasa,
berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara BUS
dan/atau UUS dan pihak lain yang mewajibkan pihak yang
dibiayai dan/atau diberi fasilitas dana untuk
mengembalikan dana tersebut setelah jangka waktu
tertentu dengan imbalan ujrah, tanpa imbalan, atau bagi
hasil.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang termasuk L/C yaitu L/C luar negeri namun tidak
termasuk surat kredit berdokumen dalam negeri (SKBDN)
atau L/C dalam negeri.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “kredit UMKM atau pembiayaan
UMKM” adalah kredit atau pembiayaan yang diberikan
kepada pelaku usaha yang memenuhi kriteria Usaha Mikro,
Usaha Kecil, dan Usaha Menengah.
Huruf e
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 5
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “data penyediaan dana untuk kegiatan
ekonomi tertentu secara benar” adalah data penyediaan dana
untuk kegiatan ekonomi tertentu sesuai dengan eksposur yang
dimiliki oleh Bank.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “ketentuan Bank Indonesia” adalah
ketentuan Bank Indonesia antara lain mengenai:
a. laporan bulanan bank umum;
- 5 -
b. laporan stabilitas moneter dan sistem keuangan bulanan
bank umum syariah dan unit usaha syariah; dan
c. laporan bank umum terintegrasi.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “laporan bulanan bank umum”
adalah laporan bulanan bank umum sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai
laporan bulanan bank umum.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “laporan stabilitas moneter dan
sistem keuangan bulanan bank umum syariah dan unit
usaha syariah” adalah laporan stabilitas moneter dan
sistem keuangan bulanan bank umum syariah dan unit
usaha syariah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan
Bank Indonesia mengenai laporan stabilitas moneter dan
sistem keuangan bulanan bank umum syariah dan unit
usaha syariah.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “laporan bank umum terintegrasi”
adalah laporan bank umum terintegrasi sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai
laporan bank umum terintegrasi.
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 6
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Contoh:
Bank menyampaikan data penyediaan dana kegiatan ekonomi
tertentu untuk data posisi bulan April 2020 sehingga Bank
- 6 -
memperoleh kelonggaran atas kewajiban pemenuhan GWM
dalam rupiah yang wajib dipenuhi secara harian untuk periode
tanggal 16 Mei 2020 sampai dengan tanggal 15 Juni 2020.
Kemudian berdasarkan hasil pemeriksaan oleh Bank Indonesia
diketahui Bank tidak pernah menyalurkan dana untuk kegiatan
ekonomi tertentu maka Bank dinyatakan tidak pernah diberikan
insentif oleh Bank Indonesia pada periode tersebut.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “ketentuan Bank Indonesia” adalah
ketentuan Bank Indonesia mengenai:
a. giro wajib minimum dalam rupiah dan valuta asing bagi
bank umum konvensional, bank umum syariah, dan unit
usaha syariah; dan/atau
b. rasio intermediasi makroprudensial dan penyangga
likuiditas makroprudensial bagi bank umum konvensional,
bank umum syariah, dan unit usaha syariah.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “ketentuan Bank Indonesia” adalah
ketentuan Bank Indonesia mengenai:
a. giro wajib minimum dalam rupiah dan valuta asing bagi
bank umum konvensional, bank umum syariah, dan unit
usaha syariah; dan/atau
b. rasio intermediasi makroprudensial dan penyangga
likuiditas makroprudensial bagi bank umum konvensional,
bank umum syariah, dan unit usaha syariah.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Ayat (1)
Evaluasi atas kebijakan pemberian insentif dilakukan antara
lain terhadap cakupan kegiatan ekonomi tertentu, besaran
insentif, cakupan penyediaan dana untuk kegiatan ekonomi
tertentu, dan masa berlaku kebijakan.
- 7 -
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6484…
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 22/4/PBI/2020 </reg_id>
<reg_title> INSENTIF BAGI BANK YANG MEMBERIKAN PENYEDIAAN DANA UNTUK KEGIATAN EKONOMI TERTENTU GUNA MENDUKUNG PENANGANAN DAMPAK PEREKONOMIAN AKIBAT WABAH VIRUS CORONA </reg_title>
<set_date> 26 Maret 2020 </set_date>
<effective_date> 1 April 2020 </effective_date>
<issued_date> 27 Maret 2020 </issued_date>
<related_reg> '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '6/UU/2009' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB III Pasal 6 Ayat (1)' </penalty_list>
|
-2-
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 18/2/PBI/2016
TENTANG
TRANSAKSI LINDUNG NILAI BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa tujuan Bank Indonesia adalah mencapai dan
memelihara kestabilan nilai Rupiah;
b. bahwa kestabilan nilai Rupiah yang salah satunya
dipengaruhi oleh kestabilan nilai tukar Rupiah
memerlukan dukungan pasar keuangan yang likuid dan
dalam, khususnya pasar valuta asing domestik, untuk
menjaga kelangsungan kegiatan ekonomi nasional;
c. bahwa dalam rangka menjaga kelangsungan ekonomi
nasional perlu dilakukan penguatan struktur pasar
valuta asing domestik yang salah satunya dilakukan
melalui pengembangan transaksi lindung nilai untuk
memitigasi risiko ketidakpastian pergerakan nilai tukar,
yang diperlukan oleh pelaku ekonomi termasuk pelaku
ekonomi yang berbasis syariah;
d. bahwa peran Bank Indonesia diperlukan untuk
mendorong pendalaman pasar valuta asing domestik
melalui harmonisasi pengaturan yang terkait dengan
transaksi lindung nilai berdasarkan prinsip syariah
secara komprehensif;
-2-
e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d
perlu menetapkan Peraturan Bank Indonesia tentang
Transaksi Lindung Nilai kepada Bank berdasarkan
Prinsip Syariah;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3843) sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua
atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang
Bank Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4962);
2. Undang-Undang Nomor 24 tahun 1999 tentang Lalu
Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 67, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3844);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG TRANSAKSI
LINDUNG NILAI BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Bank Umum Konvensional yang selanjutnya disingkat
BUK adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan,
termasuk kantor cabang dari bank yang berkedudukan di
-3-
luar negeri, yang melakukan kegiatan usaha secara
konvensional.
2. Bank Umum Syariah yang selanjutnya disingkat BUS
adalah Bank Umum Syariah sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai
perbankan syariah.
3. Unit Usaha Syariah yang selanjutnya disingkat UUS
adalah Unit Usaha Syariah sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai
Perbankan Syariah.
4. Nasabah adalah:
a. Perorangan yang memiliki kewarganegaraan
Indonesia; atau
b. Badan usaha selain Bank yang berbadan hukum
Indonesia, berdomisili di Indonesia termasuk Badan
Usaha Milik Negara (BUMN),
yang melaksanakan kegiatan usaha yang tidak
bertentangan dengan Prinsip Syariah.
5. Lindung Nilai Berdasarkan Prinsip Syariah (Al tahawwuth
al-Islami) yang selanjutnya disebut Lindung Nilai Syariah
adalah cara atau teknik lindung nilai atas risiko
perubahan nilai tukar berdasarkan Prinsip Syariah.
6. Transaksi Lindung Nilai Berdasarkan Prinsip Syariah
yang selanjutnya disebut Transaksi Lindung Nilai Syariah
adalah transaksi yang dilakukan berdasarkan pada
Prinsip Syariah dalam rangka memitigasi risiko
perubahan nilai tukar atas mata uang tertentu di masa
yang akan datang.
7. Underlying Transaksi adalah kegiatan yang mendasari
kebutuhan untuk melakukan Transaksi Lindung Nilai
Syariah, yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah.
8. Transaksi Spot adalah transaksi pembelian dan
penjualan valuta asing yang penyerahan dananya
dilakukan paling lambat 2 (dua) hari kerja setelah tanggal
transaksi. Termasuk dalam pengertian Transaksi Spot
adalah transaksi dengan penyerahan valuta pada hari
-4-
yang sama (today) atau dengan penyerahan 1 (satu) hari
kerja setelah tanggal transaksi (tomorrow).
9. Forward Agreement (Al-muwa’adat li ‘aqd al-sharf al-fawri
fi al-mustaqbal) yang selanjutnya disebut Forward
Agreement adalah saling berjanji (muwa’adah) untuk
melakukan Transaksi Spot dalam jumlah tertentu di
masa yang akan datang dengan nilai tukar atau
perhitungan nilai tukar yang disepakati pada saat saling
berjanji.
10. Pemohon Transaksi Lindung Nilai Syariah yang
selanjutnya disebut Pemohon adalah BUS, UUS, atau
Nasabah yang memohon Transaksi Lindung Nilai
Syariah.
11. Pemberi Transaksi Lindung Nilai Syariah yang
selanjutnya disebut Pemberi adalah BUS, UUS, atau BUK
yang memberikan Transaksi Lindung Nilai Syariah.
12. Prinsip Syariah adalah prinsip syariah sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur
mengenai perbankan syariah.
BAB II
PELAKU TRANSAKSI LINDUNG NILAI SYARIAH
Pasal 2
Pelaku Transaksi Lindung Nilai Syariah adalah BUS, UUS,
BUK, dan Nasabah.
Pasal 3
Transaksi Lindung Nilai Syariah hanya dapat dimohonkan
oleh:
a. Nasabah kepada BUS atau UUS;
b. BUS atau UUS kepada BUS lainnya atau UUS lainnya;
atau
c. BUS atau UUS kepada BUK.
-5-
BAB III
PELAKSANAAN TRANSAKSI LINDUNG NILAI SYARIAH
Pasal 4
Transaksi Lindung Nilai Syariah tidak boleh dilakukan untuk
tujuan yang bersifat spekulatif.
Pasal 5
(1) Transaksi Lindung Nilai Syariah harus didahului dengan
Forward Agreement atau rangkaian Forward Agreement.
(2) Dalam hal Forward Agreement tidak dipenuhi maka pihak
yang tidak memenuhi dapat dikenakan ganti rugi
(ta’widh).
(3) Dokumen dari Forward Agreement sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilarang diperjualbelikan.
Pasal 6
(1) Nilai nominal Transaksi Lindung Nilai Syariah paling
banyak sebesar nilai nominal Underlying Transaksi yang
tercantum dalam dokumen Underlying Transaksi.
(2) Jangka waktu Transaksi Lindung Nilai Syariah paling
lama sama dengan jangka waktu Underlying Transaksi
yang tercantum dalam dokumen Underlying Transaksi.
(3) Nilai tukar dan perhitungan nilai tukar:
a. harus ditentukan pada saat Forward Agreement; dan
b. tidak boleh bertentangan dengan Prinsip Syariah.
Pasal 7
Transaksi Lindung Nilai Syariah dilakukan dengan transaksi
lindung nilai sederhana (‘Aqd al Tahawwuth al-Basith) atau
transaksi lindung nilai kompleks (‘Aqd al Tahawwuth al-
Murakkab).
Pasal 8
(1) Penyelesaian Transaksi Lindung Nilai Syariah wajib
dilakukan dengan pemindahan dana pokok secara
penuh.
-6-
(2) Pembatalan terhadap Transaksi Lindung Nilai Syariah
yang telah diikuti dengan pemindahan dana wajib
dilakukan dengan pengembalian dana secara penuh.
BAB IV
UNDERLYING TRANSAKSI
Pasal 9
Setiap Transaksi Lindung Nilai Syariah wajib memiliki
Underlying Transaksi.
Pasal 10
(1) Underlying Transaksi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9 tidak boleh bertentangan dengan Prinsip Syariah.
(2) Underlying Transaksi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9 meliputi seluruh kegiatan:
a. perdagangan barang dan jasa di dalam dan di luar
negeri; dan/atau
b.
investasi berupa direct
investment, portfolio
investment, pembiayaan, modal, dan investasi
lainnya di dalam dan di luar negeri.
(3) Underlying Transaksi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9 tidak termasuk:
a. penempatan dana pada bank antara lain berupa
tabungan, giro, deposito, dan Negotiable Certificate of
Deposit (NCD);
b. kegiatan pengiriman uang oleh perusahaan transfer
dana; dan
c.
fasilitas pembiayaan yang masih belum ditarik,
antara lain berupa standby financing dan
undisbursed financing.
Pasal 11
(1) Underlying Transaksi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9 wajib didukung dengan dokumen Underlying
Transaksi.
-7-
(2) Dokumen tagihan dalam valuta asing dari transaksi yang
diwajibkan menggunakan Rupiah sebagaimana diatur
dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur
mengenai kewajiban penggunaan Rupiah di wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia, tidak dapat
menjadi dokumen Underlying Transaksi.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis dokumen
Underlying Transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 12
Pemberi wajib memastikan Pemohon untuk menyampaikan
dokumen sebagai berikut:
a. dokumen Underlying Transaksi yang dapat
dipertanggungjawabkan baik yang bersifat final maupun
berupa perkiraan, yang tidak bertentangan dengan
Prinsip Syariah; dan
b. dokumen pendukung berupa:
1.
fotokopi dokumen identitas Pemohon dan fotokopi
Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP); dan
2. pernyataan tertulis bermeterai cukup yang
ditandatangani oleh pihak yang berwenang dari
Pemohon atau pernyataan tertulis yang
authenticated dari Pemohon yang memuat informasi
mengenai:
a) keaslian dan kebenaran dokumen Underlying
Transaksi sebagaimana dimaksud pada huruf a
dan penggunaan dokumen Underlying
Transaksi untuk Transaksi Lindung Nilai
Syariah paling banyak sebesar nominal
Underlying Transaksi; dan
b) jumlah kebutuhan, tujuan penggunaan, dan
tanggal penggunaan mata uang, dalam hal
dokumen Underlying Transaksi sebagaimana
dimaksud pada huruf a berupa perkiraan.
-8-
Pasal 13
(1) Pemberi harus memastikan Pemohon untuk
menyampaikan dokumen Underlying Transaksi dan/atau
dokumen pendukung Transaksi Lindung Nilai Syariah
untuk setiap Transaksi Lindung Nilai Syariah pada saat
Forward Agreement.
(2) Dalam hal Pemberi telah mengetahui track record
Pemohon dengan baik dan Pemohon menyampaikan
dokumen Underlying Transaksi yang bersifat final,
Pemberi dapat menerima dokumen pendukung Transaksi
Lindung Nilai Syariah yang disampaikan Pemohon secara
berkala.
BAB V
PENCATATAN TRANSAKSI DAN PELAPORAN
Pasal 14
Perlakuan akuntansi terhadap Transaksi Lindung Nilai
Syariah tunduk pada standar akuntansi keuangan yang
berlaku.
Pasal 15
Transaksi Lindung Nilai Syariah yang dilakukan oleh BUS,
UUS atau BUK wajib dilaporkan kepada Bank Indonesia
sesuai ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
laporan harian bank umum.
BAB VI
PENGENAAN SANKSI
Pasal 16
(1) BUS, UUS, dan BUK yang melakukan pelanggaran
terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
3, Pasal 5 ayat (3), Pasal 6, Pasal 8 ayat (1) dan (2), Pasal
10 ayat (1) dan (3), Pasal 11 ayat (1) dan (2), Pasal 12,
dan/atau Pasal 15 dikenakan sanksi administratif
berupa teguran tertulis.
-9-
(2) BUS atau UUS sebagai pemohon Transaksi Lindung Nilai
Syariah yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 dikenakan sanksi administratif
berupa teguran tertulis.
(3) BUS atau UUS sebagai pemberi Transaksi Lindung Nilai
Syariah kepada Nasabah yang melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dikenakan sanksi
administratif berupa teguran tertulis dan kewajiban
membayar sebesar 1% (satu persen) dari nilai nominal
transaksi yang dilanggar untuk setiap pelanggaran,
dengan jumlah paling sedikit sebesar Rp10.000.000,00
(sepuluh juta rupiah) dan paling banyak sebesar
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(4) BUS, UUS, atau BUK yang melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 dikenakan sanksi
sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia yang mengatur
mengenai laporan harian bank umum.
BAB VII
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 17
Dalam melakukan Transaksi Lindung Nilai Syariah, BUS,
UUS, atau BUK wajib:
a. memperhatikan ketentuan Bank Indonesia yang
mengatur mengenai transaksi valuta asing terhadap
rupiah dengan pihak domestik;
b. menerapkan manajemen risiko sesuai dengan ketentuan
yang mengatur mengenai penerapan manajemen risiko
bank yang diterbitkan oleh otoritas yang berwenang; dan
c. memperhatikan ketentuan yang mengatur mengenai
batas minimum pemberian pembiayaan atau kredit yang
diterbitkan oleh otoritas yang berwenang.
-10-
BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 18
Pada saat Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku:
a. Peraturan Bank Indonesia Nomor 15/8/PBI/2013
tentang Transaksi Lindung Nilai kepada Bank (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 162,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5451); dan
b. Peraturan Bank Indonesia Nomor 16/18/PBI/2014
tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia
Nomor 15/8/PBI/2013 tentang Transaksi Lindung Nilai
kepada Bank (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2014 Nomor 214),
dinyatakan tidak berlaku bagi BUS dan UUS.
Pasal 19
Ketentuan lebih lanjut dari Peraturan Bank Indonesia ini
diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 20
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
-11-
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 24 Februari 2016
GUBERNUR BANK INDONESIA,
AGUS D.W. MARTOWARDOJO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 26 Februari 2016
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 36
- 1 -
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 18/2/PBI/2016
TENTANG
TRANSAKSI LINDUNG NILAI BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH
I. UMUM
Sebagai bank sentral yang diamanatkan undang-undang untuk
mencapai dan memelihara kestabilan nilai Rupiah yang salah satunya
dipengaruhi oleh stabilitas nilai tukar Rupiah, Bank Indonesia
merumuskan berbagai kebijakan yang ditujukan bagi pencapaian tujuan
tersebut. Salah satu langkah yang diperlukan dalam rangka pencapaian
stabilitas Rupiah dan kelangsungan ekonomi nasional adalah dengan
melakukan pendalaman pasar valuta asing domestik melalui penguatan
struktur pasar keuangan domestik.
Pergerakan nilai tukar Rupiah antara lain dipengaruhi oleh dinamika
pasar valuta asing domestik antara lain faktor keseimbangan permintaan
dan penawaran valuta asing, serta faktor perekonomian domestik atau
global, yang pada akhirnya berpotensi menimbulkan risiko fluktuasi nilai
tukar kepada pelaku ekonomi termasuk pelaku ekonomi yang berbasis
syariah. Dalam upaya meminimalkan risiko tersebut, pelaku ekonomi
termasuk pelaku ekonomi berbasis syariah perlu melakukan transaksi
lindung nilai terhadap kegiatan ekonominya.
Dalam upaya meminimalkan risiko kerugian akibat dari pergerakan
nilai tukar dan mengembangkan transaksi lindung nilai di pasar valuta
asing, Bank Indonesia merasa perlu melakukan pengaturan atas transaksi
lindung nilai tersebut khususnya Transaksi Lindung Nilai Syariah.
Dengan cara tersebut, diharapkan stabilitas nilai tukar Rupiah dapat
terjaga dan tercipta pendalaman pasar valuta asing domestik.
- 2 -
Transaksi Lindung Nilai Syariah dilakukan berdasarkan Fatwa
Dewan Syariah Nasional (DSN) Nomor 96/DSN-MUI/IV/2015 tentang
Transaksi Lindung Nilai Syariah (Al-Tahawwuth al Islami/Islamic Hedging)
atas Nilai Tukar.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “rangkaian Forward Agreement” adalah
Forward Agreement yang didahului dengan Transaksi Spot.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Yang dimaksud dengan “transaksi lindung nilai sederhana (‘Aqd al
Tahawwuth al-Basith)” adalah transaksi lindung nilai dengan skema
Forward Agreement yang diikuti dengan Transaksi Spot.
Yang dimaksud dengan “transaksi lindung nilai kompleks (‘Aqd al
Tahawwuth al- Murakkab)” adalah transaksi lindung nilai dengan
- 3 -
skema rangkaian Forward Agreement yang kemudian diikuti dengan
Transaksi Spot.
Pasal 8
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “pemindahan dana pokok secara penuh”
adalah penyerahan dana secara riil untuk masing-masing
Transaksi Lindung Nilai Syariah sebesar nilai penuh nominal
transaksi atau ekuivalennya.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan perdagangan jasa di dalam dan di
luar negeri antara lain berupa layanan haji dan umrah.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “direct investment” adalah investasi
langsung Nasabah ke luar negeri.
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Dalam hal perusahaan transfer dana menerima perintah
Nasabahnya untuk melakukan pembelian valuta asing
untuk memenuhi kebutuhan transfer Nasabahnya, perintah
Nasabah dimaksud tidak dapat menjadi Underlying
Transaksi.
Huruf c
Cukup jelas.
- 4 -
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Huruf a
Yang dimaksud dengan ”dokumen Underlying Transaksi yang
bersifat final” adalah dokumen yang tidak akan mengalami
perubahan dalam hal jumlah dan/atau waktu pemenuhan
kebutuhannya.
Huruf b
Angka 1
Cukup jelas.
Angka 2
Yang dimaksud dengan ”pernyataan tertulis yang
authenticated” adalah pernyataan tertulis yang telah
diverifikasi atau dibuktikan kebenarannya secara sistem.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
- 5 -
Pasal 20
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5850
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 18/2/PBI/2016 </reg_id>
<reg_title> TRANSAKSI LINDUNG NILAI BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH </reg_title>
<set_date> 24 Februari 2016 </set_date>
<effective_date> 26 Februari 2016 </effective_date>
<issued_date> 26 Februari 2016 </issued_date>
<replaced_reg> '15/8/PBI/2013', '16/18/PBI/2014' </replaced_reg>
<related_reg> '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '24/UU/1999' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB VI' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 1 / 2 / PBI/1999
TENTANG
PENGELUARAN DAN PENGEDARAN UANG KERTAS BARU
PECAHAN RP 50.000 TAHUN EMISI 1999
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa dalam rangka meningkatkan, memperkuat unsur
pengaman dan agar memudahkan masyarakat mengenali ciri-
ciri keaslian uang kertas pecahan Rp50.000, dipandang perlu
untuk mengadakan perubahan desain uang kertas pecahan
Rp50.000;
b. bahwa berhubung dengan hal sebagaimana dimaksud dalam
huruf a, dipandang perlu untuk mengeluarkan dan
mengedarkan uang kertas pecahan Rp50.000 tahun emisi
1999;
c. bahwa pengeluaran dan pengedaran uang kertas pecahan
Rp50.000 tahun emisi 1999 perlu ditetapkan dalam Peraturan
Bank Indonesia.
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 66,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3843);
2. Surat Keputusan Direksi Bank
13/52/Kep/Dir/UPU tanggal 1 Desember 1980 tentang
Ketentuan-Ketentuan Pokok Pelaksanaan Pengedaran Uang.
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG
PENGELUARAN DAN PENGEDARAN UANG KERTAS
PECAHAN RP 50.000 TAHUN EMISI 1999.
Pasal 1......
Indonesia Nomor
PBI NO. 1/2/PBI/1999
- 2 -
Pasal 1
(1) Mulai tanggal 1 Juni 1999 Bank Indonesia mengeluarkan dan mengedarkan
uang kertas pecahan Rp50.000 tahun emisi 1999 sebagai alat pembayaran
yang sah di Indonesia.
(2) Uang kertas pecahan Rp50.000 yang beredar saat ini masih tetap berlaku
sebagai alat pembayaran yang sah sampai dicabut kembali serta ditarik
dari peredaran yang waktunya akan ditetapkan kemudian.
Pasal 2
Ciri-ciri umum uang kertas pecahan Rp50.000 tahun emisi 1999 sebagaimana
tercantum pada Penjelasan Peraturan Bank Indonesia ini.
Pasal 3
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 1 Juni 1999.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 26 Mei 1999
GUBERNUR BANK INDONESIA
SYAHRIL SABIRIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1999 NOMOR 101
UPU
PENJELASAN
PERATURAN BANK INDONESIA
NO. : 1/ 2 / PBI/1999
TENTANG
PENGELUARAN DAN PENGEDARAN UANG KERTAS BARU
PECAHAN RP 50.000 TAHUN EMISI 1999
GUBERNUR BANK INDONESIA,
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas
Pasal 2
CIRI-CIRI UMUM
UANG KERTAS PECAHAN RP 50.000 TAHUN EMISI 1999
1. Bagian Muka
a. Gambar utama berupa gambar Pahlawan Nasional W.R. Soepratman, pada jas sebelah
kanan terdapat cetakan laten image dengan tulisan “BI” dan di kanan bawahnya
terdapat tulisan “WAGE RUDOLF SOEPRATMAN PENCIPTA LAGU INDONESIA
RAYA”.
b. Angka “50000” dalam posisi horizontal disisi kiri atas dan dalam posisi vertikal disisi
kanan dengan ukuran yang lebih kecil.Gambar bunga yang membentuk rectoverso,
angka “1999”, tulisan “DEWAN GUBERNUR”, tandatangan Gubernur Bank Indonesia
(Syahril Sabirin) beserta tulisan “GUBERNUR”, tandatangan Deputi Gubernur (Dono
Iskandar Djojosubroto) beserta tulisan “DEPUTI GUBERNUR”, tulisan mikro teks Lagu
Indonesia Raya dalam bingkai segi empat, tulisan “BANK INDONESIA” dan di
bawahnya terdapat tulisan “LIMA PULUH RIBU RUPIAH”, seluruhnya berada
disebelah kiri gambar utama.
c. Cetakan .........
- 2 -
c. Cetakan metal layer memuat logo BI dan gambar biola, di bawahnya terdapat tulisan
mikro “Bank Indonesia” berulang-ulang tanpa spasi yang utuh atau terpotong, disisi
kanan atas terdapat gambar Lambang Negara Garuda Pancasila dan disisi kanan bawah
terdapat gambar logo BI yang dicetak dengan tinta optical variable ink (OVI).
d. Tulisan “PERUM PERCETAKAN UANG RI IMP.1999” terdapat di sisi kanan bawah.
Angka tahunnya akan berubah sesuai dengan tahun pencetakan uang.
2. Bagian Belakang
a. Gambar utama berupa kegiatan Pengibaran Bendera Sang Saka Merah Putih dengan
empat orang pengibar bendera beserta dua orang pengawal, pada bagian bendera yang
berwarna merah terdapat microtexts screen “BI” dan logo BI berulang-ulang tanpa
spasi yang utuh atau terpotong, dan di bagian atasnya terdapat tulisan “PENGIBARAN
BENDERA“.
b. Disamping kiri tulisan “PENGIBARAN BENDERA“ terdapat gambar globe yang
memuat Kepulauan Indonesia yang dibentuk dari tulisan “BI” berulang tanpa spasi
yang utuh atau terpotong sebagian dengan Text Gauss Effects, dan disamping
kanannya terdapat tulisan “BANK INDONESIA” serta gambar bunga yang membentuk
rectoverso.
c. Angka “50000” dalam posisi horizontal terdapat disisi kanan bawah dan dalam posisi
vertikal terdapat disisi kiri atas dengan ukuran yang lebih kecil.
d. Dibawah gambar utama terdapat tulisan “DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA
ESA, BANK INDONESIA MENGELUARKAN UANG SEBAGAI ALAT PEMBAYARAN
YANG SAH DENGAN NILAI LIMA PULUH RIBU RUPIAH”.
e. Nomor seri terdiri dari tiga huruf dan enam angka terdapat disisi kiri bawah dengan
warna hitam dan disisi kanan atas dengan warna merah.
II. WARNA
1. Bagian muka dicetak dengan warna ungu, hijau muda, kuning, ungu kebiruan, biru,
abu-abu perak, hijau tua dan coklat serta warna tinta OVI dari kuning emas berubah
menjadi hijau.
Bagian belakang dicetak dengan warna ungu, hijau, kuning, ungu kebiruan, hitam,
merah, ungu kemerahan dan hijau tua.
III. KERTAS............
III. KERTAS
1. Ukuran kertas 152 x 72 mm.
2. Dalam keadaan baru kertas bersuara nyaring bila dikibas-kibaskan.
3. Memiliki tanda air berbayang (shadow watermark) berupa gambar Pahlawan
Nasional H.O.S. Cokroaminoto dan tanda air elektrotip (electrotype watermark)
berbentuk logo Bank Indonesia di tengah ragam hias, seluruhnya berada disisi kanan
bila dilihat dari bagian muka.
4. Memiliki benang pengaman plastik tembus pandang yang memuat tulisan mikro
“BANK INDONESIA 50000” berwarna hitam yang utuh atau terpotong sebagian dan
dapat dibaca dari bagian muka maupun belakang dengan susunan:
BANK INDONESIA 50000
BANK INDONESIA 50000
Benang pengaman tersebut memendar merah di bawah sinar lampu ultra violet.
Pasal 3
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3856
UPU
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 1/2/PBI/1999 </reg_id>
<reg_title> PENGELUARAN DAN PENGEDARAN UANG KERTAS BARU PECAHAN RP 50.000 TAHUN EMISI 1999 </reg_title>
<set_date> 26 Mei 1999 </set_date>
<effective_date> 1 Juni 1999 </effective_date>
<related_reg> '23/UU/1999', '13/52/Kep/Dir/UPU|SKDIR-BI/1980' </related_reg>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 13/ 15 /PBI/2011
TENTANG
PEMANTAUAN KEGIATAN LALU LINTAS DEVISA
LEMBAGA BUKAN BANK
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang: a.
bahwa pemantauan kegiatan lalu lintas devisa sangat
diperlukan untuk mendukung perumusan kebijakan,
baik di bidang moneter, perbankan, maupun sistem
pembayaran;
b.
bahwa keterangan dan data yang benar dan tepat waktu,
yang diperoleh dari pemantauan kegiatan lalu lintas
devisa sangat diperlukan dalam rangka penyusunan
statistik, yang meliputi statistik Neraca Pembayaran
Indonesia, Posisi Investasi Internasional Indonesia, dan
statistik lainnya;
c.
bahwa efektivitas dan efisiensi pemantauan kegiatan
lalu lintas devisa penduduk melalui sistem pelaporan
kegiatan lalu lintas devisa kepada Bank Indonesia perlu
ditingkatkan;
d.
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu
untuk mengatur kembali ketentuan mengenai
pemantauan kegiatan lalu lintas devisa lembaga bukan
bank;
Mengingat ...
-2-
Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3843) sebagaimana telah diubah terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua
Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang
Bank Indonesia Menjadi Undang-Undang (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4962);
2. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu
Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 67,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3844);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG
PEMANTAUAN KEGIATAN LALU LINTAS DEVISA
LEMBAGA BUKAN BANK.
BAB I ...
-3-
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini, yang dimaksud dengan:
1. Lalu Lintas Devisa yang selanjutnya disebut LLD adalah perpindahan aset
dan kewajiban finansial antara penduduk dan bukan penduduk termasuk
perpindahan aset dan kewajiban finansial luar negeri antar penduduk.
2. Kegiatan Lalu Lintas Devisa yang selanjutnya disebut Kegiatan LLD adalah
kegiatan yang menimbulkan perpindahan aset dan kewajiban finansial antara
penduduk dan bukan penduduk termasuk perpindahan aset dan kewajiban
finansial luar negeri antar penduduk.
3. Aset Finansial Luar Negeri yang selanjutnya disebut AFLN adalah aktiva
penduduk terhadap bukan penduduk baik dalam valuta asing maupun rupiah,
antara lain dalam bentuk kas dalam valuta asing, simpanan pada bukan
penduduk, piutang dagang atau usaha dengan bukan penduduk, kepemilikan
surat berharga yang diterbitkan oleh bukan penduduk, dan penyertaan modal
pada bukan penduduk.
4. Kewajiban Finansial Luar Negeri yang selanjutnya disebut KFLN adalah
pasiva penduduk terhadap bukan penduduk baik dalam valuta asing maupun
rupiah, antara lain dalam bentuk simpanan milik bukan penduduk, utang
dagang atau usaha dengan bukan penduduk, kepemilikan bukan penduduk
pada surat berharga yang diterbitkan penduduk, pinjaman dari bukan
penduduk, dan ekuitas dari bukan penduduk.
5. Penduduk ...
-4-
5. Penduduk adalah orang, badan hukum, atau badan lainnya yang berdomisili
atau berencana berdomisili di Indonesia sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun,
termasuk perwakilan dan staf diplomatik Republik Indonesia di luar negeri
sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.
6. Lembaga Bukan Bank yang selanjutnya disebut LBB adalah lembaga selain
bank yang berstatus Penduduk, yang meliputi:
a. Badan Usaha Milik Negara yang selanjutnya disebut BUMN adalah
badan usaha sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan
tentang Badan Usaha Milik Negara yang berlaku.
b. Badan Usaha Milik Daerah yang selanjutnya disebut BUMD adalah
badan usaha sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan
tentang perusahaan dan lembaga keuangan daerah yang berlaku.
c. Badan Usaha Milik Swasta yang selanjutnya disebut BUMS adalah
badan usaha yang tidak termasuk dalam pengertian BUMN dan BUMD
yang berkedudukan di Indonesia, baik yang berbentuk badan hukum
maupun yang tidak berbentuk badan hukum.
d. Badan lainnya yang bukan merupakan badan usaha baik berbentuk
badan hukum maupun tidak berbentuk badan hukum, antara lain
Yayasan, Lembaga Swadaya Masyarakat, dan lembaga pendidikan
yang didirikan oleh pemerintah atau masyarakat.
7. Nasabah adalah pihak yang menggunakan jasa LBB yang menjalankan
kegiatan usaha sebagai perantara keuangan sebagaimana diatur dalam
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
8. Laporan Kegiatan LLD yang selanjutnya disebut Laporan LLD adalah
laporan atas kegiatan yang menimbulkan perpindahan aset dan kewajiban
finansial antara Penduduk dan bukan Penduduk termasuk perpindahan aset
dan kewajiban finansial luar negeri antar Penduduk.
BAB II ...
-5-
BAB II
KEWAJIBAN PENYAMPAIAN LAPORAN DAN KOREKSI LAPORAN
Pasal 2
(1) LBB yang melakukan Kegiatan LLD wajib menyampaikan Laporan LLD
kepada Bank Indonesia secara benar dan tepat waktu.
(2) LBB yang wajib menyampaikan Laporan LLD sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) meliputi LBB yang memenuhi salah satu kriteria sebagai
berikut:
a. BUMN;
b. BUMD yang memiliki utang luar negeri;
c. Lembaga Keuangan Non Bank;
d. Perusahaan Publik;
e. Perusahaan yang bergerak di sektor pertambangan minyak dan gas;
f. Perusahaan yang memiliki kegiatan ekspor dan/atau impor barang;
g. Perusahaan yang bergerak di sektor jasa;
h. Perusahaan penanaman modal asing;
i. BUMS yang memiliki utang luar negeri;
j. Badan Lainnya yang memiliki utang luar negeri; atau
k. LBB di luar huruf a sampai dengan huruf j yang memiliki total aset atau
omset tertentu yang diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
(3) Laporan LLD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi laporan:
a. transaksi perdagangan barang, jasa dan transaksi lainnya antara
Penduduk dan bukan Penduduk; dan/atau
b. posisi dan perubahan AFLN dan/atau KFLN.
(4) Transaksi ...
-6-
(4) Transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a, meliputi seluruh
transaksi yang dilakukan melalui bank domestik, bank luar negeri,
rekening antarkantor (inter company account), dan/atau melalui sarana
lainnya.
(5) Bagi LBB yang menjalankan kegiatan usaha sebagai perantara keuangan,
Laporan LLD sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi transaksi
dan/atau posisi yang dilakukan untuk kepentingan LBB sendiri maupun
untuk kepentingan Nasabah LBB.
Pasal 3
(1) LBB wajib menyampaikan Laporan LLD sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 secara bulanan paling lama tanggal 10 bulan berikutnya secara
online.
(2) Dalam hal terdapat kesalahan Laporan LLD yang telah disampaikan oleh
LBB kepada Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1), LBB
harus menyampaikan koreksi atas kesalahan Laporan LLD paling lama
tanggal 15 bulan berikutnya secara online.
(3) Dalam hal pada hari terakhir penyampaian Laporan LLD dan/atau koreksi
Laporan LLD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) terjadi
gangguan teknis yang mengakibatkan LBB tidak dapat menyampaikan
Laporan LLD dan/atau koreksi Laporan LLD secara online, maka Laporan
LLD dan/atau koreksi Laporan LLD disampaikan secara offline pada hari
kerja berikutnya.
(4) Dalam hal pada hari kerja berikutnya gangguan teknis sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) telah dapat diatasi, maka Laporan LLD dan/atau
koreksi Laporan LLD disampaikan secara online.
(5) LBB ...
-7-
(5) LBB dinyatakan terlambat menyampaikan Laporan LLD apabila Laporan
LLD disampaikan melampaui batas waktu sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) sampai dengan akhir bulan.
(6) LBB dinyatakan tidak menyampaikan Laporan LLD apabila Laporan LLD
tidak disampaikan sampai dengan akhir bulan sebagaimana dimaksud pada
ayat (5).
(7) Dalam hal LBB dinyatakan tidak menyampaikan Laporan LLD
sebagaimana dimaksud pada ayat (6), hal tersebut tidak meniadakan
kewajiban LBB untuk menyampaikan Laporan LLD kepada Bank
Indonesia.
Pasal 4
(1) Dalam rangka penyampaian Laporan LLD sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (5), LBB dapat meminta keterangan dan data kepada Nasabah
yang melakukan Kegiatan LLD melalui LBB.
(2) Nasabah harus memberikan keterangan dan data kepada LBB.
BAB III
PENELITIAN KEBENARAN LAPORAN
Pasal 5
(1) Dalam hal diperlukan penelitian kebenaran Laporan LLD yang
disampaikan LBB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Bank Indonesia
dapat meminta informasi, bukti pembukuan, catatan, dan dokumen lain
yang berkaitan dengan Laporan LLD LBB.
(2) LBB ...
-8-
(2) LBB harus menyampaikan informasi, bukti pembukuan, catatan, dan
dokumen lain yang diperlukan dalam rangka penelitian kebenaran Laporan
LLD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam jangka waktu yang
ditentukan oleh Bank Indonesia.
(3) Dalam hal LBB tidak memberikan informasi, bukti pembukuan, catatan,
dan dokumen lain sebagaimana dimaksud pada ayat (2), maka Laporan
LLD yang disampaikan LBB kepada Bank Indonesia dinyatakan tidak
benar.
BAB IV
SANKSI
Pasal 6
(1) LBB yang menyampaikan Laporan LLD sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 secara tidak benar yang tidak ditindaklanjuti dengan penyampaian
koreksi laporan LLD atau tidak menyampaikan bukti-bukti sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3), maka dikenakan sanksi berupa denda
sebesar Rp50.000,00 (lima puluh ribu rupiah) untuk setiap baris (record)
yang tidak benar dengan denda paling banyak sebesar Rp20.000.000,00
(dua puluh juta rupiah).
(2) LBB yang terlambat menyampaikan Laporan LLD sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 ayat (5) dikenakan sanksi berupa denda sebesar
Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) untuk setiap hari keterlambatan dengan
denda paling banyak sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).
(3) LBB yang tidak menyampaikan Laporan LLD sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 ayat (6) dikenakan sanksi berupa denda sebesar
Rp20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah).
(4) Bagi ...
-9-
(4) Bagi LBB yang tidak menyampaikan Laporan LLD sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 ayat (6) selama 6 (enam) periode laporan berturut-turut,
selain mengenakan denda sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Bank
Indonesia juga menyampaikan surat teguran dengan tembusan kepada
instansi yang terkait.
Pasal 7
(1) Pembayaran sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6 disetorkan ke rekening Kas Negara yang berada di Bank
Indonesia.
(2) Pelaksanaan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
LBB setelah Bank Indonesia menerbitkan surat pemberitahuan secara
tertulis kepada LBB dengan tembusan kepada Kantor Kas Negara.
BAB V
LAIN-LAIN
Pasal 8
(1) LBB yang mengalami keadaan memaksa (force majeure) selama satu
periode penyampaian laporan atau lebih, dikecualikan dari kewajiban
menyampaikan Laporan LLD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2.
(2) LBB yang mengalami keadaan memaksa (force majeure) kurang dari satu
periode penyampaian laporan, dikecualikan dari kewajiban menyampaikan
Laporan LLD dalam batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3.
(3) LBB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) wajib
menyampaikan Laporan LLD setelah LBB kembali melakukan kegiatan
operasional secara normal.
(4) LBB...
-10-
(4) LBB yang mengalami keadaan memaksa (force majeure) sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) atau ayat (2), harus segera menyampaikan
pemberitahuan secara tertulis kepada Bank Indonesia, dengan disertai
penjelasan mengenai keadaan memaksa (force majeure) yang dialami.
BAB VI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 9
(1) Dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini, selain wajib
menyampaikan Laporan LLD sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank
Indonesia ini, LBB tetap diwajibkan untuk menyampaikan Laporan LLD
sampai dengan data bulan Desember 2011 sebagaimana diatur dalam:
a. Peraturan Bank Indonesia Nomor 1/9/PBI/1999 tanggal 28 Oktober
1999 tentang Pemantauan Kegiatan Lalu Lintas Devisa Bank dan
Lembaga Keuangan Non Bank; dan
b. Peraturan Bank Indonesia Nomor 4/2/PBI/2002 tanggal 28 Maret 2002
tentang Pemantauan Kegiatan Lalu Lintas Devisa Perusahaan Bukan
Lembaga Keuangan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank
Indonesia Nomor 5/1/PBI/2003 tanggal 31 Januari 2003.
(2) Untuk data bulan Juni 2011 yang disampaikan pada bulan Juli 2011 sampai
dengan data bulan Juni 2012 yang disampaikan pada bulan Juli 2012, batas
waktu penyampaian Laporan LLD paling lama tanggal 15 bulan berikutnya
dan batas waktu penyampaian koreksi Laporan LLD paling lama tanggal 20
bulan berikutnya.
BAB VII ...
-11-
BAB VII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 10
Ketentuan lebih lanjut dari Peraturan Bank Indonesia ini akan ditetapkan dengan
Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 11
(1) Ketentuan mengenai sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 mulai
berlaku untuk data bulan Januari 2012 yang disampaikan pada bulan
Februari 2012.
(2) Ketentuan mengenai batas waktu penyampaian Laporan LLD dan koreksi
Laporan LLD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2)
mulai berlaku untuk Laporan LLD dan koreksi Laporan LLD data bulan Juli
2012 yang disampaikan pada bulan Agustus 2012.
Pasal 12
Dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini maka:
a. Ketentuan mengenai pemantauan kegiatan Lalu Lintas Devisa Lembaga
Keuangan Non Bank sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia
Nomor 1/9/PBI/1999 tanggal 28 Oktober 1999 tentang Pemantauan
Kegiatan Lalu Lintas Devisa Bank dan Lembaga Keuangan Non Bank;
b. Peraturan Bank Indonesia Nomor 4/2/PBI/2002 tanggal 28 Maret 2002
tentang Pemantauan Kegiatan Lalu Lintas Devisa Perusahaan Bukan
Lembaga Keuangan; dan
c. Peraturan ...
-12-
c. Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/1/PBI/2003 tanggal 31 Januari 2003
tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 4/2/PBI/2002
tanggal 28 Maret 2002 tentang Pemantauan Kegiatan Lalu Lintas Devisa
Perusahaan Bukan Lembaga Keuangan,
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku sejak data bulan Januari 2012 yang
disampaikan bulan Februari 2012.
Pasal 13
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan
Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.
Ditetapkan ...
-13-
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 23 Juni 2011
GUBERNUR BANK INDONESIA,
DARMIN NASUTION
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 23 Juni 2011
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
PATRIALIS AKBAR
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2011 NOMOR 62
DSM
-14-
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 13/ 15 /PBI/2011
TENTANG
PEMANTAUAN KEGIATAN LALU LINTAS DEVISA
LEMBAGA BUKAN BANK
I. UMUM
Sebagaimana telah ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 24
Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar, Indonesia
menganut sistem devisa bebas, dimana setiap Penduduk dapat dengan bebas
memiliki dan menggunakan devisa. Penerapan sistem devisa bebas tersebut
perlu didukung dengan pemantauan Kegiatan LLD yang efektif agar tidak
menimbulkan dampak negatif bagi perekonomian nasional.
Dalam rangka pemantauan Kegiatan LLD, Bank Indonesia telah
mengimplementasikan sistem pelaporan kegiatan LLD Bank, Lembaga
Keuangan Non Bank, dan Perusahaan Bukan Lembaga Keuangan, yang
mencakup semua transaksi yang menimbulkan perpindahan aset dan
kewajiban finansial antara Penduduk dan bukan Penduduk, termasuk
perpindahan aset dan kewajiban finansial luar negeri antar Penduduk.
Keterangan ...
-15-
Keterangan dan data yang diperoleh melalui sistem pelaporan tersebut
diperlukan untuk penyusunan statistik, yang meliputi statistik Neraca
Pembayaran Indonesia, Posisi Investasi Internasional Indonesia, dan statistik
lainnya. Keterangan dan data yang diperoleh dari sistem pelaporan tersebut,
khususnya pelaporan dari lembaga bukan bank, sampai saat ini masih
memiliki beberapa kelemahan sehingga belum dapat digunakan secara
optimal dalam penyusunan statistik dimaksud.
Sehubungan dengan pentingnya statistik tersebut untuk mendukung
perumusan dan peningkatan efektifitas kebijakan khususnya di bidang
moneter, dan di sisi lain perlunya efisiensi dalam pengelolaan laporan, maka
sistem pelaporan Kegiatan LLD lembaga bukan bank perlu disempurnakan.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “laporan yang benar” adalah laporan yang
memuat keterangan dan data Kegiatan LLD sesuai dengan fakta
sebenarnya atau dokumen pendukungnya serta telah memenuhi
rincian cakupan laporan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia,
antara lain mengenai mitra transaksi, jenis transaksi, nilai transaksi,
jenis AFLN, jenis KFLN, dan keterangan dan data lainnya yang
terkait dengan Kegiatan LLD Penduduk.
Yang ...
-16-
Yang dimaksud dengan “menyampaikan laporan tepat waktu”
adalah menyampaikan laporan sesuai dengan batas waktu yang
ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Ayat (2)
Dalam pengertian Lembaga Keuangan Non Bank tidak termasuk
Pedagang Valuta Asing.
Yang dimaksud dengan “Perusahaan Publik” adalah Perusahaan
Publik sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Pasar
Modal.
Ayat (3)
Laporan posisi AFLN dan/atau KFLN mencakup baik posisi AFLN
dan/atau KFLN yang sudah efektif menjadi tagihan atau kewajiban
LBB (on balance sheet) maupun yang belum efektif menjadi
tagihan atau kewajiban LBB (off balance sheet). Laporan tersebut
meliputi antara lain:
a. posisi dan perubahan AFLN;
b. posisi dan perubahan ekuitas luar negeri dan kewajiban lain
yang terkait;
c. posisi dan perubahan kewajiban derivatif luar negeri;
d. posisi komitmen dan kontinjensi luar negeri; dan
e. posisi kustodian surat berharga yang dimiliki nasabah.
Yang dimaksud dengan “posisi komitmen dan kontinjensi luar
negeri” adalah tagihan dan/atau kewajiban komitmen dan/atau
kontinjensi luar negeri, antara lain posisi pembelian spot dan
derivatif yang masih berjalan, garansi yang diterima, dan fasilitas
pinjaman kepada bukan Penduduk yang belum ditarik.
Kewajiban ...
-17-
Kewajiban pelaporan untuk kustodian surat berharga yang dimiliki
nasabah hanya diberlakukan pada perusahaan sekuritas yang
menyelenggarakan kegiatan usaha sebagai kustodian sebagaimana
diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 3
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “secara online” adalah dengan
menggunakan media internet pada website pelaporan LLD di Bank
Indonesia.
Laporan LLD secara online dapat disampaikan pada hari Sabtu,
Minggu, hari libur dan cuti bersama yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia.
Ayat (2)
Koreksi Laporan LLD secara online dapat disampaikan pada hari
Sabtu, Minggu, hari libur dan cuti bersama yang ditetapkan oleh
Bank Indonesia.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “gangguan teknis” adalah gangguan yang
terjadi di Bank Indonesia yang meliputi antara lain gangguan
jaringan dan/atau komunikasi.
Yang ...
-18-
Yang dimaksud dengan “secara offline” adalah dengan
menggunakan media antara lain attachment email, compact disk
(CD), flash disk, dan/atau media perekaman data elektronik lainnya
yang disampaikan pada jam kerja Bank Indonesia setempat.
Kriteria bahwa Laporan LLD dan koreksi Laporan LLD telah
disampaikan akan diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank
Indonesia.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Ayat (1)
Termasuk sebagai dokumen lain yang berkaitan dengan Laporan
LLD antara lain laporan keuangan dan daftar mutasi rekening koran
(bank statement).
Ayat (2) ...
-19-
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 6
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “hari” adalah hari kalender.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “periode laporan” adalah tanggal 1 sampai
dengan akhir bulan.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “keadaan memaksa (force majeure)”
adalah keadaan yang secara nyata-nyata menyebabkan LBB tidak
dapat menyusun dan menyampaikan Laporan LLD dan/atau
koreksi Laporan LLD, antara lain kebakaran, kerusuhan massa,
terorisme, bom, perang, sabotase, serta bencana alam seperti gempa
bumi ...
-20-
bumi dan banjir yang dibenarkan oleh penguasa atau pejabat dari
instansi terkait di daerah setempat.
Yang dimaksud dengan “periode penyampaian laporan” adalah
tanggal 1 (satu) bulan berikutnya sampai dengan batas waktu
penyampaian Laporan LLD.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Hal-hal yang akan diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia antara lain:
a. cakupan keterangan dan data yang harus dilaporkan, termasuk
keterangan dan data yang harus dilengkapi dokumen pendukung;
b. prosedur dan tata cara penyampaian laporan; dan
c. prosedur dan tata cara pengenaan sanksi.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12 ...
-21-
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5222
DSM
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 13/15/PBI/2011 </reg_id>
<reg_title> PEMANTAUAN KEGIATAN LALU LINTAS DEVISA LEMBAGA BUKAN BANK </reg_title>
<set_date> 23 Juni 2011 </set_date>
<effective_date> 23 Juni 2011 </effective_date>
<issued_date> 23 Juni 2011 </issued_date>
<replaced_reg> '4/2/PBI/2002', '1/9/PBI/1999', '5/1/PBI/2003' </replaced_reg>
<related_reg> '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '24/UU/1999' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB IV' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 10/ 39 /PBI/2008
TENTANG
PERATURAN PELAKSANAAN PENANGANAN KHUSUS
PERMASALAHAN PERBANKAN PASCABENCANA NASIONAL
DI PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM
DAN KEPULAUAN NIAS, PROVINSI SUMATERA UTARA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang: a. bahwa dengan terjadinya bencana nasional di Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam dan Kepulauan Nias, Provinsi
Sumatera Utara, perlu dilakukan berbagai upaya untuk
mendukung pemulihan kondisi perekonomian;
b. bahwa salah satu upaya untuk mendukung pemulihan
kondisi perekonomian adalah dengan melakukan
penanganan khusus terhadap permasalahan Perbankan;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a dan huruf b dipandang perlu untuk
menetapkan ketentuan mengenai penanganan khusus
terhadap permasalahan Perbankan pascabencana nasional
di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Kepulauan
Nias, Provinsi Sumatera Utara dalam suatu Peraturan Bank
Indonesia;
Mengingat: …
- 2 -
Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor
31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790);
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah terakhir
dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 142, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4901);
3. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2007 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2007 tentang Penanganan Permasalahan Hukum
Dalam Rangka Pelaksanaan Rehabilitasi dan Rekonstruksi
Wilayah dan Kehidupan Masyarakat di Provinsi Nanggroe
Aceh Darussalam dan Kepulauan Nias Provinsi Sumatera
Utara Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 168, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4796);
4. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008
Nomor …
- 3 -
Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4867);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: PERATURAN PELAKSANAAN PENANGANAN KHUSUS
PERMASALAHAN PERBANKAN
PASCABENCANA
NASIONAL DI PROVINSI NANGGROE ACEH
DARUSSALAM DAN KEPULAUAN NIAS, PROVINSI
SUMATERA UTARA.
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Bank adalah Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998,
termasuk kantor cabang Bank asing, atau Bank Umum Syariah dan Bank
Pembiayaan Rakyat Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
2. Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan
dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam
antara Bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk
melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga,
termasuk:
a. cerukan (overdraft), yaitu saldo negatif pada rekening giro nasabah
yang tidak dapat dibayar lunas pada akhir hari;
b. pengambilalihan tagihan dalam rangka anjak piutang;
c. pengambilalihan …
- 4 -
c. pengambilalihan atau pembelian Kredit dari pihak lain.
3. Pembiayaan berdasarkan prinsip syariah yang untuk selanjutnya disebut
Pembiayaan adalah penyediaan dana atau tagihan yang dipersamakan
dengan itu berupa:
a. transaksi bagi hasil dalam bentuk mudharabah dan musyarakah;
b. transaksi sewa-menyewa dalam bentuk ijarah atau sewa beli dalam
bentuk ijarah muntahiya bittamlik;
c. transaksi jual beli dalam bentuk piutang murabahah, salam, dan
istishna’;
d. transaksi pinjam meminjam dalam bentuk piutang qardh; dan
e. transaksi sewa-menyewa jasa dalam bentuk ijarah untuk transaksi
multijasa
berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara Bank Syariah dan/atau
Unit Usaha Syariah dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang
dibiayai dan/atau diberi fasilitas dana untuk mengembalikan dana tersebut
setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan ujrah, tanpa imbalan, atau
bagi hasil.
4. Simpanan adalah Simpanan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana diubah dengan
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 atau Undang-Undang Nomor 21
Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
5.
Investasi adalah dana yang dipercayakan oleh Nasabah kepada Bank
Syariah dan/atau Unit Usaha Syariah berdasarkan akad mudharabah atau
Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah dalam bentuk
Deposito, Tabungan, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu.
6. Wali …
- 5 -
6. Wali adalah orang atau badan yang menjalankan kekuasaan asuh sebagai
orang tua terhadap anak.
7. Baitul Mal adalah Lembaga Agama Islam di Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam yang berwenang menjaga, memelihara, mengembangkan, dan
mengelola harta agama dengan tujuan untuk kemaslahatan umat serta
menjadi wali pengawas berdasarkan Syariat Islam.
8. Balai Harta Peninggalan adalah lembaga yang berada di dalam lingkungan
Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, yang mengurus perwalian,
pengampuan, ketidakhadiran, harta peninggalan tidak terurus, pendaftaran
akta wasiat, surat keterangan waris, dan kepailitan bagi penduduk yang
bukan beragama Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam atau
penduduk, baik yang beragama Islam maupun yang tidak beragama Islam di
Kepulauan Nias Provinsi Sumatera Utara.
9. Pengadilan adalah Mahkamah Syar’iyah kabupaten/kota di Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam, Pengadilan Agama di Kepulauan Nias
Provinsi Sumatera Utara bagi yang beragama Islam atau Pengadilan Negeri
bagi yang tidak beragama Islam.
Pasal 2
(1) Bank atas dasar permintaan nasabah atau ahli waris/Wali nasabah dapat
mengeluarkan bukti kepemilikan baru atas Simpanan/Investasi di Bank
setelah Bank meyakini kebenaran identitas nasabah atau ahli waris/Wali
nasabah.
(2) Pengeluaran bukti kepemilikan baru atas Simpanan/Investasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) disesuaikan dengan tata cara dan pencatatan yang
ada pada Bank.
(3) Keyakinan …
- 6 -
(3) Keyakinan atas kebenaran identitas nasabah atau ahli waris/Wali nasabah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat diperoleh dengan cara:
a. meminta nasabah atau ahli waris/Wali nasabah mengisi formulir
identifikasi nasabah Bank; dan
b. meminta bukti keterangan ahli waris/Wali nasabah yang dikeluarkan
oleh Pengadilan apabila yang mengajukan adalah ahli waris/Wali
nasabah.
(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) berlaku pula
bagi Bank untuk melayani penarikan dana yang dilakukan oleh nasabah
atau ahli waris/Wali nasabah yang tidak didukung dokumen yang lengkap
dengan tetap memperhatikan prinsip kehati-hatian.
Pasal 3
(1) Dalam hal catatan mengenai Simpanan/Investasi nasabah di Bank musnah
dan nasabah atau ahli waris/Wali nasabah dapat menunjukkan bukti
kepemilikan atas Simpanan/Investasi di Bank, maka Bank melakukan
pencatatan setelah Bank meyakini kebenaran atau keaslian bukti
kepemilikan atas Simpanan/Investasi tersebut.
(2) Keyakinan atas kebenaran atau keaslian bukti kepemilikan atas
Simpanan/Investasi di Bank, dapat diperoleh dengan cara :
a. Bank meneliti kebenaran dan/atau keaslian buku/bilyet
Simpanan/Investasi atau rekening koran, jumlah Simpanan/Investasi,
serta otorisasi dari pejabat/petugas Bank,
b. Bank meminta bukti keterangan ahli waris/Wali nasabah yang
dikeluarkan oleh Pengadilan apabila yang mengajukan adalah ahli
waris/Wali nasabah.
Pasal 4 …
- 7 -
Pasal 4
(1) Dalam hal terdapat Simpanan/Investasi dana nasabah yang tidak diketahui
lagi keberadaan pemilik atau ahli waris/Wali nasabah, Bank menyerahkan
Simpanan/Investasi tersebut kepada Baitul Mal atau Balai Harta
Peninggalan setelah memperoleh penetapan dari Pengadilan.
(2) Penyerahan Simpanan/Investasi nasabah sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan oleh Bank setelah melalui langkah-langkah sebagai
berikut:
a. melakukan penelitian terhadap rekening-rekening Simpanan/Investasi
yang diduga tidak ada lagi pemilik atau ahli waris/Wali nasabah;
b. mengumumkan nama dan alamat nasabah sebagaimana dimaksud pada
huruf a paling kurang 3 (tiga) kali sampai dengan 6 September 2009;
c. pengumuman sebagaimana dimaksud pada huruf b dilakukan:
1. melalui surat kabar berbahasa Indonesia yang mempunyai
peredaran luas di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan
Kepulauan Nias, Provinsi Sumatera Utara yang berskala lokal
paling sedikit 2 (dua) kali; dan
2. melalui surat kabar berskala nasional paling sedikit 1 (satu) kali;
d. menyampaikan pengumuman sebagaimana dimaksud pada huruf c
untuk dimuat pada Berita Daerah atas pengumuman melalui surat kabar
lokal dan pada Berita Negara atas pengumuman melalui surat kabar
nasional; dan
e. mengajukan permohonan penetapan kepada Pengadilan yang
berwenang mengenai penyerahan Simpanan/Investasi nasabah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Kegiatan mengumumkan nama dan alamat nasabah penyimpan oleh Bank
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dan huruf c dikecualikan dari
ketentuan …
- 8 -
ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai
kerahasiaan Bank.
Pasal 5
Dalam rangka pelayanan penarikan dana dan penyerahan Simpanan/Investasi
nasabah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4) dan Pasal 4 ayat (1),
Bank memperhitungkan terlebih dahulu Simpanan/Investasi nasabah tersebut
dengan kewajiban Kredit atau Pembiayaan, dan fasilitas lainnya yang belum
diselesaikan oleh nasabah yang bersangkutan.
Pasal 6
(1) Penyerahan Simpanan/Investasi yang dianggap tidak ada nasabah
penyimpan atau ahli waris/Wali nasabah oleh Bank kepada Baitul Mal atau
Balai Harta Peninggalan tidak menyebabkan hak tagih atas
Simpanan/Investasi nasabah tersebut menjadi hapus.
(2) Bank dibebaskan dari tuntutan hukum atas penyerahan Simpanan/Investasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dan ayat (2).
Pasal 7
(1) Dalam hal tanah yang diagunkan ke Bank dinyatakan musnah dan debitur
yang bersangkutan tidak dapat menyelesaikan kewajibannya kepada Bank,
maka penyelesaian Kredit debitur diserahkan kepada kebijakan masing-
masing Bank.
(2) Kebijakan Bank dalam menyelesaikan Kredit sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) harus memperhatikan kondisi keuangan Bank.
Pasal 8 …
- 9 -
Pasal 8
(1) Dalam hal dokumen yang berkaitan dengan hak tanggungan yang sudah
terdaftar hilang atau rusak akibat gempa bumi dan gelombang tsunami,
Bank mengajukan dokumen pengganti untuk hak atas tanah dan hak
tanggungannya kepada Badan Pertanahan Nasional setempat.
(2) Prosedur dan tata cara pengajuan dokumen pengganti sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) tunduk pada peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Pasal 9
Dengan akan diterbitkannya tanda bukti hak pengganti atas tanah yang sudah
terdaftar yang tanda bukti haknya rusak, hilang atau musnah, maka Bank
menginformasikan tanah-tanah yang hak kepemilikannya diagunkan ke Bank
kepada Kantor Pertanahan.
Pasal 10
Dalam hal gedung kantor Bank mengalami kerusakan sehingga untuk sementara
tidak dapat digunakan, pengurus Bank dapat memindahkan lokasi kegiatan
operasionalnya ke tempat yang lebih aman dalam satu wilayah kota/kabupaten
dan melaporkan kepindahan tersebut kepada Bank Indonesia.
Pasal 11
Segala tindakan yang sudah dilakukan untuk penanganan permasalahan
perbankan pascabencana nasional di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan
Kepulauan Nias, Provinsi Sumatera Utara sebelum Peraturan Bank Indonesia ini
berlaku dan sepanjang dilakukan berdasarkan prinsip kehati-hatian dan itikad
baik dianggap sebagai pelaksanaan dari Peraturan Bank Indonesia ini.
Pasal 12 …
- 10 -
Pasal 12
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 24 Desember 2008.
GUBERNUR BANK INDONESIA,
BOEDIONO
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 24 Desember 2008.
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA
ANDI MATTALATTA
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2008 NOMOR 204
DPNP
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 10/ 39 /PBI/2008
TENTANG
PERATURAN PELAKSANAAN PENANGANAN KHUSUS
PERMASALAHAN PERBANKAN PASCABENCANA NASIONAL
DI PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM
DAN KEPULAUAN NIAS, PROVINSI SUMATERA UTARA
I. UMUM
Sebagaimana dimaklumi peristiwa bencana nasional di Provinsi Nanggroe
Aceh Darussalam dan Kabupaten Nias, Provinsi Sumatera Utara pada tanggal
26 Desember 2004 telah memberikan dampak terhadap perekonomian Indonesia
khususnya di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Kepulauan Nias, Provinsi
Sumatera Utara. Khusus di sektor Perbankan, telah menimbulkan hambatan
dalam fungsi pelayanan Perbankan karena hilangnya dokumen bukti kepemilikan
Simpanan/Investasi di Bank, bukti identitas diri nasabah, dan tidak diketahuinya
keberadaan nasabah atau ahli waris/Wali nasabah, serta penyelesaian Kredit
debitur yang menjadi korban bencana khususnya terkait dengan debitur yang
memiliki simpanan di bank dan/atau tanah yang menjadi agunan musnah.
Sehubungan dengan itu sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 48
Tahun 2007 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2007 tentang Penanganan Permasalahan Hukum Dalam Rangka
Pelaksanaan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah dan Kehidupan Masyarakat
di …
- 2 -
di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Kepulauan Nias Provinsi Sumatera
Utara menjadi Undang-Undang, maka Bank Indonesia memandang perlu untuk
mengeluarkan ketentuan penanganan khusus permasalahan sektor Perbankan,
dalam rangka memberikan kejelasan bagi Bank dan nasabah Bank untuk
menyelesaikan permasalahan yang berkaitan dengan Simpanan/Investasi serta
Kredit guna mendukung pemulihan perekonomian di Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam dan Kabupaten Nias, Provinsi Sumatera Utara.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Ayat (1)
Bukti kepemilikan baru atas Simpanan/Investasi di Bank antara lain
buku tabungan, bilyet deposito, dan rekening koran.
Ayat (2)
Pencatatan yang ada pada Bank termasuk pencatatan mengenai jumlah
Simpanan/Investasi.
Ayat (3)
Huruf a
Untuk meyakini data dalam formulir identifikasi nasabah Bank,
Bank dapat melakukan identifikasi lebih lanjut terhadap
nasabah dengan cara melakukan wawancara terhadap nasabah,
mengambil …
- 3 -
mengambil sidik jari nasabah, dan/atau membuat dokumentasi
atau foto nasabah.
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “prinsip kehati-hatian” antara lain dengan
menetapkan batas nilai maksimal dan frekuensi penarikan dana.
Penarikan dana yang tidak didukung oleh dokumen yang lengkap
misalnya penarikan oleh ahli waris/Wali nasabah yang tidak disertai
surat kuasa, atau tidak dapat menunjukkan bukti kepemilikan atas
Simpanan/Investasi.
Pasal 3
Ayat (1)
Yang dimaksud bukti kepemilikan atas Simpanan/Investasi di Bank
antara lain buku tabungan, bilyet deposito, rekening koran.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 4
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b …
- 4 -
Huruf b
Pengumuman mengenai nama dan alamat nasabah penyimpan
dimaksudkan untuk memberikan kesempatan kepada nasabah
penyimpan atau ahli waris/Wali nasabah untuk mengajukan
klaim atas Simpanan/Investasi tersebut. Di samping itu
pengumuman tersebut dimaksudkan untuk memperkuat
keyakinan Bank bahwa nasabah penyimpan atau ahli waris/Wali
nasabah tidak ada.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 5
Kewajiban Kredit atau Pembiayaan termasuk beban bunga dan biaya
lainnya yang menjadi kewajiban sesuai dengan yang diperjanjikan.
Pasal 6
Ayat (1)
Nasabah penyimpan atau ahli waris/Wali nasabah tetap dapat
mengajukan tagihan kepada Baitul Mal atau Balai Harta Peninggalan
dengan …
- 5 -
dengan memenuhi persyaratan yang ditentukan oleh Baitul Mal atau
Balai Harta Peninggalan.
Ayat (2)
Bank dibebaskan dari tanggung jawab apabila telah melakukan
langkah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dan ayat (2).
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “dokumen” adalah tanda bukti hak atas tanah,
sertifikat hak tanggungan, dan akta-akta yang terkait.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 9
Pemberian informasi oleh Bank dimaksudkan untuk menghindari duplikasi
penerbitan tanda bukti hak pengganti atas tanah-tanah yang hak
kepemilikannya diagunkan kepada Bank.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11 …
- 6 -
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4949
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 10/39/PBI/2008 </reg_id>
<reg_title> PERATURAN PELAKSANAAN PENANGANAN KHUSUS PERMASALAHAN PERBANKAN PASCABENCANA NASIONAL DI PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM DAN KEPULAUAN NIAS, PROVINSI SUMATERA UTARA </reg_title>
<set_date> 24 Desember 2008 </set_date>
<effective_date> 24 Desember 2008 </effective_date>
<issued_date> 24 Desember 2008 </issued_date>
<related_reg> '21/UU/2008', '23/UU/1999', '48/UU/2007', '2/PERPPU/2008', '2/PERPPU/2007', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 9/19/PBI/2007
TENTANG
PELAKSANAAN PRINSIP SYARIAH DALAM KEGIATAN
PENGHIMPUNAN DANA DAN PENYALURAN DANA SERTA
PELAYANAN JASA BANK SYARIAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa perbankan syariah harus senantiasa memenuhi prinsip
syariah yang terus berkembang sejalan dengan
perkembangan transaksi-transaksi keuangan syariah;
b. bahwa para pihak dalam industri perbankan syariah, antara
lain meliputi pemerintah, otoritas pengawas, pengurus bank,
Dewan Pengawas Syariah, nasabah bank, dan pihak-pihak
yang memiliki kepentingan terhadap perbankan syariah
harus memiliki penafsiran yang sama terhadap prinsip
syariah;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a dan b dipandang perlu untuk mengatur
ketentuan tentang pelaksanaan prinsip syariah dalam
kegiatan penghimpunan dana dan penyaluran dana serta
pelayanan jasa bank syariah dalam Peraturan Bank
Indonesia.
Mengingat .…
- 2 -
Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor
31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang
Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3790);
2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah dengan
Undang-undang Nomor 3 Tahun 2004 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357).
MEMUTUSKAN
Menetapkan : PELAKSANAAN PRINSIP SYARIAH DALAM KEGIATAN
PENGHIMPUNAN DANA DAN PENYALURAN DANA
SERTA PELAYANAN JASA BANK SYARIAH
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Yang dimaksud dalam Peraturan Bank Indonesia ini dengan:
1. Bank Syariah, yang selanjutnya disebut dengan Bank adalah Bank Umum
atau Bank Perkreditan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang…
- 3 -
Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 yang melaksanakan
kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, termasuk unit usaha syariah dan
kantor cabang bank asing yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan
prinsip syariah.
2. Prinsip Syariah adalah prinsip syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1
angka 13 UU Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah
diubah dengan UU Nomor 10 Tahun 1998.
3. Pembiayaan adalah penyediaan dana atau tagihan/piutang yang dapat
dipersamakan dengan itu dalam :
a. transaksi investasi yang didasarkan antara lain atas Akad Mudharabah
dan/atau Musyarakah;
b. transaksi sewa yang didasarkan antara lain atas Akad Ijarah atau Akad
Ijarah dengan opsi perpindahan hak milik (Ijarah Muntahiyah bit
Tamlik);
c. transaksi jual beli yang didasarkan antara lain atas Akad Murabahah,
Salam, dan Istishna;
d. transaksi pinjaman yang didasarkan antara lain atas Akad Qardh; dan
e. transaksi multijasa yang didasarkan antara lain atas Akad Ijarah atau
Kafalah.
4. Akad adalah kesepakatan tertulis antara Bank dengan nasabah dan/atau
pihak lain yang memuat hak dan kewajiban bagi masing-masing pihak
sesuai dengan prinsip syariah.
Pasal 2
(1) Dalam melaksanakan kegiatan penghimpunan dana, penyaluran dana dan
pelayanan jasa, Bank wajib memenuhi Prinsip Syariah.
(2) Pemenuhan …
- 4 -
(2) Pemenuhan Prinsip Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan dengan memenuhi ketentuan pokok hukum Islam antara lain
prinsip keadilan dan keseimbangan (‘adl wa tawazun), kemaslahatan
(maslahah), dan universalisme (alamiyah) serta tidak mengandung gharar,
maysir, riba, dzalim, riswah, dan objek haram.
BAB II
PENGHIMPUNAN DANA, PENYALURAN DANA DAN
PELAYANAN JASA
Pasal 3
Pemenuhan Prinsip Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1),
dilakukan sebagai berikut :
a. dalam kegiatan penghimpunan dana dengan mempergunakan antara lain
Akad Wadi’ah dan Mudharabah;
b. dalam kegiatan penyaluran dana berupa Pembiayaan dengan
mempergunakan antara lain Akad Mudharabah, Musyarakah,
Murabahah, Salam, Istishna’, Ijarah, Ijarah Muntahiya Bitamlik dan
Qardh; dan
c. dalam kegiatan pelayanan jasa dengan mempergunakan antara lain Akad
Kafalah, Hawalah dan Sharf.
BAB III
PENYELESAIAN SENGKETA ANTARA BANK DENGAN NASABAH
Pasal 4
(1) Dalam hal salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya sebagaimana
tertuang dalam Akad antara Bank dengan nasabah, atau jika terjadi
sengketa…
- 5 -
sengketa antara Bank dengan nasabah, penyelesaian dilakukan melalui
musyawarah.
(2) Dalam hal musyawarah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
mencapai kesepakatan, maka penyelesaian sengketa dapat dilakukan antara
lain melalui mediasi termasuk mediasi perbankan sesuai peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
(3) Dalam hal penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak
mencapai kesepakatan, maka penyelesaian sengketa dapat dilakukan
melalui mekanisme arbitrase syariah atau melalui lembaga peradilan
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
BAB IV
SANKSI
Pasal 5
Bank yang tidak melaksanakan Prinsip Syariah sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (1) dikenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 52 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998
berupa:
a. teguran tertulis;
b. penurunan tingkat kesehatan Bank;
c. penggantian pengurus; dan/atau
d. pembekuan kegiatan usaha tertentu, baik untuk kantor cabang tertentu
maupun untuk Bank secara keseluruhan.
BAB V…
- 6 -
BAB V
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 6
(1) Akad antara Bank dengan Nasabah yang mengacu pada Peraturan Bank
Indonesia No. 7/46/PBI/2005 tanggal 14 November 2005 tentang Akad
Penghimpunan dan Penyaluran Dana Bagi Bank Yang Melaksanakan
Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah dan belum jatuh tempo pada
saat Peraturan Bank Indonesia ini berlaku, tetap berpedoman pada
Peraturan Bank Indonesia No. 7/46/PBI/2005 tanggal 14 November 2005
tentang Akad Penghimpunan dan Penyaluran Dana Bagi Bank Yang
Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah.
(2) Akad antara Bank dengan Nasabah yang mengacu pada Peraturan Bank
Indonesia No. 7/46/PBI/2005 tanggal 14 November 2005 tentang Akad
Penghimpunan dan Penyaluran Dana Bagi Bank Yang Melaksanakan
Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah yang jatuh tempo setelah
Peraturan Bank Indonesia ini berlaku dan akan diperpanjang, harus
disesuaikan dengan memenuhi prinsip syariah sesuai Peraturan Bank
Indonesia ini.
BAB VI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 7
Ketentuan lebih lanjut tentang pelaksanaan Peraturan Bank Indonesia ini diatur
dengan Surat Edaran Bank Indonesia
Pasal 8…
- 7 -
Pasal 8
Pada saat Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku, maka Peraturan Bank
Indonesia No. 7/46/PBI/2005 tanggal 14 November 2005 tentang Akad
Penghimpunan dan Penyaluran Dana Bagi Bank Yang Melaksanakan Kegiatan
Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2005 Nomor 124, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4563) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 9
Peraturan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan
Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada Tanggal 17 Desember 2007
a.n.GUBERNUR BANK INDONESIA
MIRANDA S.GOELTOM
DEPUTI GUBERNUR SENIOR
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA
ANDI MATTALATTA
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2007 NOMOR 165
DPbS
- 8 -
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 9/19/PBI/2007
TENTANG
PELAKSANAAN PRINSIP SYARIAH DALAM KEGIATAN
PENGHIMPUNAN DANA DAN PENYALURAN DANA SERTA
PELAYANAN JASA BAGI BANK SYARIAH
UMUM
Perkembangan yang pesat di dunia bisnis dan keuangan telah mendorong
berkembangnya inovasi transaksi-transaksi keuangan syariah. Untuk
mengantisipasi timbulnya risiko reputasi atas pesatnya perkembangan inovasi
transaksi keuangan syariah tersebut diperlukan kesesuaian dengan prinsip syariah
secara istiqomah sebagaimana difatwakan oleh Dewan Syariah Nasional. Untuk
itu diperlukan adanya penyesuaian dan penyempurnaan pengaturan yang berlaku
terhadap pelaksanaan prinsip syariah dalam kegiatan penghimpunan dana dan
penyaluran dana serta pelayanan jasa bank syariah dalam rangka memelihara
kepercayaan masyarakat terhadap bank syariah.
Dengan adanya ketentuan tentang pelaksanaan prinsip syariah dalam
kegiatan penghimpunan dana dan penyaluran dana serta pelayanan jasa bank
syariah, akan memberikan manfaat kepada semua pihak yang berkepentingan
dimana pada gilirannya akan mewujudkan pengelolaan bank syariah yang sehat.
Selain itu, adanya ketentuan ini dapat memberikan kejelasan pelaksanaan
prinsip syariah dalam kegiatan penghimpunan dana dan penyaluran dana serta
pelayanan jasa bank syariah sehingga dapat membantu operasional bank syariah
menjadi lebih efisien dan meningkatkan kepastian hukum para pihak termasuk
bagi pengawas dan auditor bank syariah.
PASAL….
- 2 -
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Angka 1 sampai dengan angka 4
Cukup jelas.
Pasal 2
Ayat (1)
Prinsip Syariah yang wajib dipenuhi oleh Bank bersumber pada Fatwa yang
dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan:
“ ‘Adl” adalah menempatkan sesuatu hanya pada tempatnya, dan
memberikan sesuatu hanya pada yang berhak serta memperlakukan sesuatu
sesuai posisinya.
“Tawazun” adalah meliputi keseimbangan aspek material dan spiritual,
aspek privat dan publik, sektor keuangan dan sektor riil, bisnis dan sosial,
dan keseimbangan aspek pemanfaatan dan kelestarian.
“Maslahah” adalah merupakan segala bentuk kebaikan yang berdimensi
duniawi dan ukhrawi, material dan spiritual serta individual dan kolektif
serta harus memenuhi 3 (tiga) unsur yakni kepatuhan syariah (halal),
bermanfaat dan membawa kebaikan (thoyib) dalam semua aspek secara
keseluruhan yang tidak menimbulkan kemudaratan.
“Alamiyah” adalah dapat dilakukan oleh, dengan, dan untuk semua pihak
yang berkepentingan (stakeholders) tanpa membedakan suku, agama, ras
dan golongan, sesuai dengan semangat kerahmatan semesta (rahmatan lil
alamin).
“Gharar” adalah transaksi yang objeknya tidak jelas, tidak dimiliki, tidak
diketahui keberadaannya, atau tidak dapat diserahkan pada saat transaksi
dilakukan kecuali diatur lain dalam syariah.
“Maysir”….
- 3 -
“Maysir” adalah transaksi yang bersifat spekulatif (untung-untungan) yang
tidak terkait langsung dengan produktifitas di sektor riil.
“Riba” adalah pemastian penambahan pendapatan secara tidak sah (bathil)
antara lain dalam transaksi pertukaran barang sejenis yang tidak sama
kualitas, kuantitas, dan waktu penyerahan (fadhl), atau dalam transaksi
pinjam-meminjam yang mempersyaratkan nasabah penerima fasilitas
mengembalikan dana yang diterima melebihi pokok pinjaman karena
berjalannya waktu (nasiah).
“Dzalim” adalah transaksi yang menimbulkan ketidakadilan bagi pihak
lainnya.
"Risywah" adalah tindakan suap dalam bentuk uang, fasilitas, atau bentuk
lainnya yang melanggar hukum sebagai upaya mendapatkan fasilitas atau
kemudahan dalam suatu transaksi.
Objek Haram adalah suatu barang atau jasa yang diharamkan dalam syariah.
Pasal 3
Yang dimaksud dengan :
Wadi’ah adalah transaksi penitipan dana atau barang dari pemilik kepada
penyimpan dana atau barang dengan kewajiban bagi pihak yang menyimpan
untuk mengembalikan dana atau barang titipan sewaktu-waktu.
Mudharabah adalah transaksi penanaman dana dari pemilik dana (shahibul
maal) kepada pengelola dana (mudharib) untuk melakukan kegiatan usaha
tertentu yang sesuai syariah, dengan pembagian hasil usaha antara kedua
belah pihak berdasarkan nisbah yang telah disepakati sebelumnya.
Musyarakah adalah transaksi penanaman dana dari dua atau lebih pemilik
dana dan/atau barang untuk menjalankan usaha tertentu sesuai syariah
dengan pembagian hasil usaha antara kedua belah pihak berdasarkan nisbah
yang disepakati, sedangkan pembagian kerugian berdasarkan proporsi
modal masing-masing.
Murabahah….
- 4 -
Murabahah adalah transaksi jual beli suatu barang sebesar harga perolehan
barang ditambah dengan margin yang disepakati olah para pihak, dimana
penjual menginformasikan terlebih dahulu harga perolehan kepada pembeli.
Salam adalah transaksi jual beli barang dengan cara pemesanan dengan
syarat-syarat tertentu dan pembayaran tunai terlebih dahulu secara penuh.
Istishna’ adalah transaksi jual beli barang dalam bentuk pemesanan
pembuatan barang dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati
dengan pembayaran sesuai dengan kesepakatan.
Ijarah adalah transaksi sewa menyewa atas suatu barang dan/atau jasa
antara pemilik objek sewa termasuk kepemilikan hak pakai atas objek sewa
dengan penyewa untuk mendapatkan imbalan atas objek sewa yang
disewakan.
Ijarah Muntahiyah bit Tamlik adalah transaksi sewa menyewa antara
pemilik objek sewa dan penyewa untuk mendapatkan imbalan atas objek
sewa yang disewakannya dengan opsi perpindahan hak milik objek sewa.
Qardh adalah transaksi pinjam meminjam dana tanpa imbalan dengan
kewajiban pihak peminjam mengembalikan pokok pinjaman secara
sekaligus atau cicilan dalam jangka waktu tertentu.
Kafalah adalah transaksi penjaminan yang diberikan oleh penanggung
(kafil) kepada pihak ketiga atau yang tertanggung (makful lahu) untuk
memenuhi kewajiban pihak kedua (makful ‘anhu/ashil).
Hawalah adalah transaksi pengalihan hutang dari satu pihak yang berhutang
kepada pihak lain yang wajib menanggung atau membayar.
Sharf adalah transaksi pertukaran antar mata uang berlainan jenis.
Pasal 4
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)….
- 5 -
Ayat (2)
Peraturan perundang-undangan yang berlaku antara lain Peraturan Bank
Indonesia mengenai Mediasi Perbankan.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 5
Cukup jelas
Pasal 6
Cukup jelas
Pasal 7
Cukup jelas
Pasal 8
Cukup jelas
Pasal 9
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR
4793
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 9/19/PBI/2007 </reg_id>
<reg_title> PELAKSANAAN PRINSIP SYARIAH DALAM KEGIATAN PENGHIMPUNAN DANA DAN PENYALURAN DANA SERTA PELAYANAN JASA BANK SYARIAH </reg_title>
<set_date> 17 Desember 2007 </set_date>
<effective_date> 17 Desember 2007 </effective_date>
<replaced_reg> '7/46/PBI/2005' </replaced_reg>
<related_reg> '7/UU/1992', '10/UU/1998', '23/UU/1999', '3/UU/2004' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB IV' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 2/ 25
/PBI/2000
TENTANG
PENGELUARAN DAN PENGEDARAN UANG RUPIAH
PECAHAN 1.000 (SERIBU) TAHUN EMISI 2000
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang
: a. bahwa dalam rangka standarisasi ukuran dan meningkatkan unsur
pengamanan pada uang rupiah pecahan 1.000 (seribu) tahun emisi
1992 yang telah beredar delapan tahun, dipandang perlu untuk
mengeluarkan dan mengedarkan uang rupiah pecahan 1.000
(seribu);
b. bahwa pengeluaran dan pengedaran uang rupiah pecahan 1.000
(seribu) tahun emisi 2000 perlu ditetapkan dalam Peraturan Bank
Indonesia;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia
(Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3843);
2. Peraturan Bank Indonesia Nomor 2/17/PBI/2000 tanggal 20 Juli
2000 tentang Pengeluaran dan Pengedaran serta Pencabutan dan
Penarikan Uang Rupiah (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor
116; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3983);
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PENGELUARAN
DAN PENGEDARAN UANG RUPIAH PECAHAN 1.000 (SERIBU)
TAHUN EMISI 2000.
Pasal 1 ……….
- 2 -
Pasal 1
Bank Indonesia mengeluarkan dan mengedarkan uang rupiah pecahan 1.000 (seribu)
tahun emisi 2000 sebagai alat pembayaran yang sah di wilayah negara Republik
Indonesia.
Pasal 2
Macam uang rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 merupakan jenis uang kertas
yang terbuat dari bahan serat kapas.
Pasal 3
Harga uang rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 mempunyai nilai nominal
Rp 1.000 (seribu rupiah).
Pasal 4
Ciri uang rupiah pecahan 1.000 (seribu) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 adalah:
A. WARNA
1. Bagian muka dicetak dengan warna biru, jingga, violet merah dan hijau;
2. Bagian belakang dicetak dengan warna biru kemerahan, hijau, kuning, biru dan
violet;
B. GAMBAR
1. Bagian Muka
a. gambar utama berupa gambar Pahlawan Nasional Kapitan Pattimura, dan
dibawahnya dicantumkan tulisan “KAPITAN PATTIMURA”;
b. di sebelah kiri gambar utama terdapat angka nominal “1000” arah horizontal,
sebagian gambar recto verso yang apabila diterawangkan ke arah cahaya akan
terlihat logo “BI”, embossed latent image yang memuat angka “1000” dan tulisan
“BI” negatif/positif, tulisan “BANK INDONESIA” dan tulisan “SERIBU
RUPIAH”;
c. di sebelah ……….
- 3 -
c. di sebelah kanan gambar utama terdapat cetakan latent image memuat logo “BI”
yang dapat dilihat dari sudut pandang tertentu, tulisan mikro “BI” yang disusun
secara miring kekiri dan kekanan bergantian membentuk garis-garis horizontal,
gambar Lambang Negara Garuda Pancasila, angka nominal “1000” arah vertikal,
angka “2000”, tulisan “DEWAN GUBERNUR”, tanda tangan Deputi Gubernur
Senior (Anwar Nasution) beserta tulisan “DEPUTI GUBERNUR SENIOR”,
tanda tangan Deputi Gubernur (Aulia Pohan) beserta tulisan “DEPUTI
GUBERNUR”, dan tulisan “PERUM PERCETAKAN UANG RI IMP 2000”
(angka 2000 akan berubah sesuai dengan tahun pencetakan uang);
d. sebagai latar belakang dan pengisi bidang terdiri dari :
- garis-garis lengkung yang membentuk hiasan;
- garis-garis halus guilloche;
- garis-garis vertikal dan horizontal yang membentuk hiasan anak tangga;
- belah ketupat yang membentuk hiasan teratai;
- ornamen Maluku yang terpahat pada batu peninggalan zaman Megalithicum;
2. Bagian Belakang
a. gambar utama berupa gambar Pulau Maitara dan Tidore, dan di tengahnya
terdapat gambar nelayan yang sedang menebarkan jala ikan yang terbentuk dari
tulisan modulasi “BI” yang utuh atau terpotong sebagian;
b. di sebelah atas gambar utama terdapat tulisan “PULAU MAITARA DAN
TIDORE”, tulisan “BANK INDONESIA”, tulisan mikro “BANKINDONESIA”
yang berulang-ulang tanpa spasi, dan nomor seri berwarna merah (terdiri dari tiga
huruf dan enam angka) yang akan memendar merah kekuningan di bawah sinar
ultra violet;
c. di sebelah bawah gambar utama terdapat tulisan “DENGAN RAHMAT TUHAN
YANG MAHA ESA, BANK INDONESIA MENGELUARKAN UANG
SEBAGAI ALAT PEMBAYARAN YANG SAH DENGAN NILAI SERIBU
RUPIAH”, angka nominal “1000” arah horizontal, dan tulisan mikro
“BANKINDONESIA” yang berulang tanpa spasi;
d. di sebelah kiri gambar utama terdapat angka nominal “1000” arah vertikal, dan
nomor seri berwarna hitam (terdiri dari tiga huruf dan enam angka) yang akan
memendar hijau kekuningan di bawah sinar ultra violet;
e. di sebelah ……….
- 4 -
e. di sebelah kanan gambar utama terdapat sebagian gambar recto verso yang
apabila diterawangkan ke arah cahaya akan terlihat logo “BI”;
b. sebagai latar belakang dan pengisi bidang terdiri dari :
-
garis-garis halus guilloche;
- hiasan roset;
-
C. BAHAN
Jenis bahan terbuat dari 100% serat kapas, dan memiliki spesifikasi sebagai berikut:
1. ukuran 141 mm x 65 mm;
2. warna krem (putih kekuning-kuningan);
3. tidak memendar di bawah sinar ultra violet;
4. tanda air berupa gambar Pahlawan Nasional Cut Nyak Meutia;
5. benang pengaman terbuat dari plastik tembus pandang yang memuat tulisan mikro
berwarna hitam “BANK INDONESIA” yang utuh atau terpotong sebagian, dan
memendar merah di bawah sinar ultra violet.
Pasal 5
Uang rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 dikeluarkan dan diedarkan mulai
tanggal 29 November 2000.
garis-garis bergelombang, bulatan-bulatan dan titik-titik, garis vertikal dan
horizontal yang membentuk hiasan;
- roncean bunga membentuk pagar;
Pasal 6 ……….
- 5 -
Pasal 6
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 23 November 2000
a.n. GUBERNUR BANK INDONESIA
ANWAR NASUTION
DEPUTI GUBERNUR SENIOR
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2000 NOMOR 207
DPU
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 2/25/PBI/2000 </reg_id>
<reg_title> PENGELUARAN DAN PENGEDARAN UANG RUPIAH PECAHAN 1.000 (SERIBU) TAHUN EMISI 2000 </reg_title>
<set_date> 23 November 2000 </set_date>
<effective_date> 23 November 2000 </effective_date>
<related_reg> '23/UU/1999', '2/17/PBI/2000' </related_reg>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 10/12/PBI/2008
TENTANG
PENCABUTAN SURAT KEPUTUSAN DIREKSI BANK INDONESIA
NOMOR 31/71/KEP/DIR TANGGAL 29 JULI 1998 TENTANG
BADAN RESTRUKTURISASI UTANG LUAR NEGERI
PERUSAHAAN SWASTA INDONESIA
(INDONESIAN DEBT RESTRUCTURING AGENCY) DAN
SURAT KEPUTUSAN DIREKSI BANK INDONESIA
NOMOR 31/109/KEP/DIR TANGGAL 30 SEPTEMBER 1998
TENTANG TUGAS POKOK, TANGGUNG JAWAB DAN
WEWENANG KETUA BADAN RESTRUKTURISASI
UTANG LUAR NEGERI PERUSAHAAN SWASTA INDONESIA
(INDONESIAN DEBT RESTRUCTURING AGENCY)
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa Badan Restrukturisasi Utang Luar Negeri Perusahaan
Swasta Indonesia (Indonesian Debt Restructuring Agency)
telah dibubarkan berdasarkan Keputusan Presiden Nomor
12 Tahun 2008 Tanggal 19 Mei 2008 Tentang Pembubaran
Badan Restrukturisasi Utang Luar Negeri Perusahaan
Indonesia (Indonesian Debt Restructuring Agency);
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
pada huruf a tersebut di atas, perlu dilakukan pencabutan
atas Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor
31/71/KEP/DIR tanggal 29 Juli 1998 tentang Badan
Restrukturisasi Utang Luar Negeri Perusahaan Swasta
Indonesia (Indonesian Debt Restructuring Agency) dan
Surat…
Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor
31/109/KEP/DIR tanggal 30 September 1998 tentang Tugas
Pokok, Tanggung Jawab dan Wewenang Ketua Badan
Restrukturisasi Utang Luar Negeri Swasta Indonesia
(Indonesian Debt Restructuring Agency) dalam suatu
Peraturan Bank Indonesia;
Mengingat
: Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999
Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3843) sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4357);
M E M U T U S K A N :
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG
PENCABUTAN SURAT KEPUTUSAN DIREKSI BANK
INDONESIA NOMOR 31/71/KEP/DIR TANGGAL 29 JULI
1998 TENTANG BADAN RESTRUKTURISASI UTANG
LUAR NEGERI PERUSAHAAN SWASTA INDONESIA
(INDONESIAN DEBT RESTRUCTURING AGENCY) DAN
SURAT KEPUTUSAN DIREKSI BANK INDONESIA
NOMOR 31/109/KEP/DIR TANGGAL 30 SEPTEMBER 1998
TENTANG TUGAS POKOK, TANGGUNG JAWAB
DAN WEWENANG KETUA BADAN RESTRUKTURISASI
UTANG LUAR NEGERI PERUSAHAAN SWASTA
INDONESIA (INDONESIAN DEBT RESTRUCTURING
AGENCY).
Pasal 1
Mencabut dan menyatakan tidak berlaku :
1. Surat …
1. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 31/71/KEP/DIR tanggal 29
Juli 1998 tentang Badan Restrukturisasi Utang Luar Negeri Perusahaan
Swasta Indonesia (Indonesian Debt Restructuring Agency); dan
2. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 31/109/KEP/DIR tanggal 30
September 1998 tentang Tugas Pokok, Tanggung Jawab dan Wewenang Ketua
Badan Restrukturisasi Utang Luar Negeri Perusahaan Swasta Indonesia
(Indonesian Debt Restructuring Agency).
Pasal 2
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank
Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal : 19 Agustus 2008
GUBERNUR BANK INDONESIA,
BOEDIONO
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 19 Agustus 2008
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA
ANDI MATTALATTA
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2008 NOMOR 121
DInt
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 10/12/PBI/2008 </reg_id>
<reg_title> PENCABUTAN SURAT KEPUTUSAN DIREKSI BANK INDONESIA NOMOR 31/71/KEP/DIR TANGGAL 29 JULI 1998 TENTANG BADAN RESTRUKTURISASI UTANG LUAR NEGERI PERUSAHAAN SWASTA INDONESIA (INDONESIAN DEBT RESTRUCTURING AGENCY) DAN SURAT KEPUTUSAN DIREKSI BANK INDONESIA NOMOR 31/109/KEP/DIR TANGGAL 30 SEPTEMBER 1998 TENTANG TUGAS POKOK, TANGGUNG JAWAB DAN WEWENANG KETUA BADAN RESTRUKTURISASI UTANG LUAR NEGERI PERUSAHAAN SWASTA INDONESIA (INDONESIAN DEBT RESTRUCTURING AGENCY) </reg_title>
<set_date> 19 Agustus 2008 </set_date>
<effective_date> 19 Agustus 2008 </effective_date>
<issued_date> 19 Agustus 2008 </issued_date>
<replaced_reg> '31/71/KEP/DIR|SKDIR-BI/1998', '31/109/KEP/DIR|SKDIR-BI/1998' </replaced_reg>
<related_reg> '23/UU/1999', '3/UU/2004' </related_reg>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 8/26/PBI/2006
TENTANG
BANK PERKREDITAN RAKYAT
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang: a. bahwa untuk mendorong pertumbuhan ekonomi nasional dan
mendukung perkembangan usaha yang bersifat dinamis,
diperlukan perbankan nasional yang tangguh dan efisien;
b. bahwa sebagai bagian dari perbankan nasional, kelembagaan
Bank Perkreditan Rakyat perlu diperkuat untuk mewujudkan
industri yang sehat, kuat, produktif dan berdaya saing agar
mampu meningkatkan pelayanan kepada masyarakat,
khususnya usaha mikro dan kecil;
c. bahwa sehubungan dengan itu, dipandang perlu untuk
mengatur kembali ketentuan kelembagaan Bank Perkreditan
Rakyat dalam Peraturan Bank Indonesia;
Mengingat: …
- 2 -
Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor
31, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3472) sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor
182, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3790);
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999
Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3843)
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3
Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4357);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG BANK
PERKREDITAN RAKYAT.
BAB I …
- 3 -
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Bank Perkreditan Rakyat, yang selanjutnya disebut BPR, adalah Bank
Perkreditan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 4 Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, yang melaksanakan
kegiatan usaha secara konvensional.
2. Bank Perkreditan Rakyat Syariah, yang selanjutnya disebut BPRS, adalah
Bank Perkreditan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 4
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, yang
melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah.
3. Bank Umum adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1
angka 3 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998,
yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional dan/atau berdasarkan
prinsip syariah;
4. Kantor Cabang adalah kantor BPR yang secara langsung bertanggungjawab
kepada kantor pusat BPR yang bersangkutan, dengan alamat tempat usaha
yang jelas dimana Kantor Cabang tersebut melakukan usahanya.
5. Kantor …
- 4 -
5. Kantor Kas adalah kantor BPR yang melakukan pelayanan kas, tidak
termasuk pemberian kredit, dalam rangka membantu kantor induknya,
dengan alamat tempat usaha yang jelas dimana Kantor Kas tersebut
melakukan usahanya.
6. Kegiatan Kas di Luar Kantor adalah kegiatan pelayanan kas kepada
masyarakat, antara lain:
a. Kas Mobil atau Kas Terapung yaitu kegiatan kas dengan menggunakan
alat transportasi darat atau air;
b. Payment Point yaitu kegiatan pelayanan pembayaran melalui
kerjasama antara BPR dan pihak lain;
c. Anjungan Tunai Mandiri (ATM) yaitu kegiatan kas yang dilakukan
dengan menggunakan peralatan elektronik untuk memudahkan
nasabah melakukan transaksi perbankan antara lain penarikan tunai,
pemindahbukuan, dan memperoleh informasi mengenai saldo atau
mutasi rekening nasabah.
7. Direksi:
a. bagi BPR berbentuk hukum Perseroan Terbatas, adalah direksi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor
1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas;
b. bagi BPR berbentuk hukum Perusahaan Daerah, adalah direksi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah;
c. bagi ….
- 5 -
c. bagi BPR berbentuk hukum Koperasi, adalah pengurus sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 29 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992
tentang Perkoperasian.
8. Komisaris:
a. bagi BPR berbentuk hukum Perseroan Terbatas, adalah komisaris
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor
1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas;
b. bagi BPR berbentuk hukum Perusahaan Daerah, adalah pengawas
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah;
c. bagi BPR berbentuk hukum Koperasi, adalah pengawas sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 38 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992
tentang Perkoperasian.
9. Pejabat Eksekutif adalah pejabat yang mempunyai pengaruh terhadap
kebijakan dan operasional BPR atau perusahaan, dan/atau bertanggung
jawab langsung kepada Direksi, antara lain pemimpin Kantor Cabang.
10. Pemegang Saham Pengendali adalah badan hukum, perorangan dan/atau
kelompok usaha yang:
a. memiliki saham perusahaan atau BPR sebesar 25% (dua puluh lima
perseratus) atau lebih dari jumlah saham yang dikeluarkan dan
mempunyai hak suara; atau
b. memiliki….
- 6 -
b. memiliki saham perusahaan atau BPR kurang dari 25% (dua puluh lima
perseratus) dari jumlah saham yang dikeluarkan dan mempunyai hak
suara namun dapat dibuktikan telah melakukan pengendalian BPR, baik
secara langsung maupun tidak langsung.
11. Lembaga Sertifikasi Profesi, yang selanjutnya disebut Lembaga Sertifikasi,
adalah lembaga yang mengatur dan menetapkan sistem sertifikasi bagi
anggota dan calon anggota Direksi BPR, telah memenuhi persyaratan
minimum yang ditetapkan oleh Bank Indonesia dan memiliki akreditasi dari
instansi yang berwenang.
Pasal 2
Bentuk badan hukum BPR dapat berupa :
a. Perseroan Terbatas;
b. Koperasi; atau
c. Perusahaan Daerah.
BAB II
PENDIRIAN BPR
Pasal 3
(1) BPR hanya dapat didirikan dan melakukan kegiatan usaha dengan izin Bank
Indonesia.
(2) BPR….
- 7 -
(2) BPR hanya dapat didirikan dan dimiliki oleh:
a. warga negara Indonesia;
b. badan hukum Indonesia yang seluruh pemiliknya warga negara
Indonesia;
c. Pemerintah Daerah; atau
d. dua pihak atau lebih sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b dan
huruf c.
Pasal 4
(1) Modal disetor untuk mendirikan BPR ditetapkan paling sedikit sebesar:
a. Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah), bagi BPR yang didirikan di
wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta;
b. Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah), bagi BPR yang didirikan di
ibukota Provinsi di pulau Jawa dan Bali dan di wilayah Kabupaten atau
Kota Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi;
c. Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah), bagi BPR yang didirikan di
ibukota Provinsi di luar pulau Jawa dan Bali dan di wilayah pulau
Jawa dan Bali di luar wilayah sebagaimana disebut dalam huruf a dan
huruf b;
d. Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah), bagi BPR yang didirikan di
wilayah lain di luar wilayah sebagaimana disebut dalam huruf a, huruf
b dan huruf c.
(2) Modal….
- 8 -
(2) Modal disetor bagi BPR yang berbentuk hukum Koperasi adalah simpanan
pokok, simpanan wajib, dan hibah sebagaimana diatur dalam Undang-
Undang tentang Perkoperasian.
(3) Paling sedikit 50% (lima puluh perseratus) dari modal disetor BPR wajib
digunakan untuk modal kerja.
BAB III
PERIZINAN BPR
Bagian Pertama
Umum
Pasal 5
Pemberian izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dilakukan dalam
dua tahap:
a. persetujuan prinsip, yaitu persetujuan untuk melakukan persiapan pendirian
BPR;
b.
izin usaha, yaitu izin yang diberikan untuk melakukan kegiatan usaha BPR
setelah persiapan sebagaimana dimaksud dalam huruf a selesai dilakukan.
Bagian….
- 9 -
Bagian Kedua
Persetujuan Prinsip
Pasal 6
(1) Permohonan untuk mendapatkan persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 huruf a diajukan paling sedikit oleh seorang calon pemilik
kepada Dewan Gubernur Bank Indonesia dan dilampiri:
a. rancangan akta pendirian badan hukum, termasuk rancangan anggaran
dasar yang paling sedikit memuat:
1. nama dan tempat kedudukan;
2. kegiatan usaha sebagai BPR;
3. permodalan;
4. kepemilikan; dan
5. wewenang, tanggung jawab, dan masa jabatan anggota Direksi serta
dewan Komisaris;
b. data kepemilikan berupa:
1. daftar calon pemegang saham berikut rincian besarnya masing-
masing kepemilikan saham, bagi BPR yang berbentuk hukum
Perseroan Terbatas atau Perusahaan Daerah;
2. daftar calon anggota berikut rincian jumlah simpanan pokok dan
simpanan wajib serta daftar hibah, bagi BPR yang berbentuk hukum
Koperasi;
c. daftar….
- 10 -
c. daftar calon anggota Direksi dan dewan Komisaris, disertai dengan:
1. pasfoto terakhir ukuran 4x6 cm;
2. fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang masih berlaku;
3.
riwayat hidup;
4. surat pernyataan pribadi yang menyatakan tidak pernah melakukan
tindakan tercela di bidang perbankan, keuangan dan usaha lainnya
dan/atau tidak pernah dihukum karena terbukti melakukan tindak
pidana kejahatan dan/atau tidak sedang dalam masa pengenaan
sanksi untuk dilarang menjadi pengurus BPR, BPRS dan/atau Bank
Umum sebagaimana diatur dalam ketentuan mengenai penilaian
kemampuan dan kepatutan (fit and proper test) BPR;
5. surat pernyataan pribadi yang menyatakan bahwa yang
bersangkutan tidak pernah dinyatakan pailit dan tidak pernah
menjadi pemegang saham, anggota direksi atau dewan Komisaris
yang dinyatakan bersalah menyebabkan suatu perseroan dinyatakan
pailit berdasarkan ketetapan pengadilan dalam jangka waktu 5
(lima) tahun sebelum tanggal pengajuan permohonan;
6. contoh tandatangan dan paraf;
7. fotokopi ijazah D-3 atau Sarjana Muda atau transkrip nilai telah
menyelesaikan 110 SKS dalam pendidikan S-1 yang dilegalisasi
oleh lembaga yang berwenang, bagi calon anggota Direksi;
8. surat….
- 11 -
8. surat keterangan atau bukti tertulis dari bank tempat bekerja
sebelumnya mengenai pengalaman operasional di bidang
perbankan, bagi calon anggota Direksi yang telah berpengalaman;
9. surat keterangan telah mengikuti magang paling singkat selama 3
(tiga) bulan di BPR, bagi calon anggota Direksi yang belum
berpengalaman, yang ditandatangani oleh anggota Direksi BPR
dimana calon anggota Direksi dimaksud mengikuti magang;
10. sertifikat kelulusan dari Lembaga Sertifikasi, bagi calon anggota
Direksi;
11. surat keterangan atau bukti tertulis mengenai pengalaman di bidang
perbankan dari bank tempat bekerja sebelumnya, bagi calon
anggota dewan Komisaris yang telah berpengalaman;
12. surat keterangan atau bukti tertulis dari instansi yang berwenang
dan/atau lembaga pendidikan mengenai pendidikan di bidang
perbankan yang pernah diikuti, bagi calon anggota dewan
Komisaris yang belum berpengalaman;
13. surat pernyataan dari calon anggota Direksi bahwa yang
bersangkutan tidak mempunyai hubungan keluarga sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1);
14. surat pernyataan dari calon anggota Direksi mengenai kesediaan
untuk tidak merangkap jabatan melebihi ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2);
15. surat….
- 12 -
15. surat pernyataan dari calon anggota dewan Komisaris mengenai
kesediaan untuk tidak merangkap jabatan melebihi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (3) dan ayat (4); dan
16. surat pernyataan dari calon anggota dewan Komisaris mengenai
kesediaan untuk mempresentasikan hasil pengawasan terhadap
BPR kepada Bank Indonesia;
d. rencana struktur organisasi dan jumlah personalia;
e. analisis atas potensi dan kelayakan pendirian BPR, yang meliputi
penilaian terhadap:
1. aspek demografi dan ekonomi wilayah;
2.
jumlah dan pertumbuhan lembaga perbankan, termasuk lembaga
keuangan mikro;
3.
rencana kegiatan usaha yang mencakup sumber dana dan
penyaluran dana serta langkah-langkah yang akan dilakukan dalam
mewujudkan rencana dimaksud;
4. proyeksi keuangan setiap bulan untuk tahun pertama dan secara
tahunan untuk dua tahun berikutnya, sejak BPR melakukan
kegiatan operasional; dan
f.
5. perencanaan sumber daya manusia;
rencana sistem dan prosedur kerja;
g. bukti….
- 13 -
g. bukti setoran modal paling sedikit 30% (tiga puluh perseratus) dari
modal disetor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dalam
bentuk fotokopi bilyet deposito pada Bank Umum di Indonesia, atas
nama “Dewan Gubernur Bank Indonesia q.q. salah seorang calon
pemilik untuk pendirian BPR yang bersangkutan” dengan
mencantumkan keterangan bahwa pencairannya hanya dapat dilakukan
setelah mendapat persetujuan tertulis dari Dewan Gubernur Bank
Indonesia; dan
h.
surat pernyataan dari calon pemegang saham bagi BPR yang berbentuk
hukum Perseroan Terbatas atau Perusahaan Daerah atau dari calon
anggota bagi BPR yang berbentuk hukum Koperasi, bahwa setoran
modal sebagaimana dimaksud dalam huruf g:
1. tidak berasal dari pinjaman atau fasilitas pembiayaan dalam bentuk
apapun dari bank dan/atau pihak lain, dan
2. tidak berasal dari dan untuk tujuan pencucian uang.
(2) Daftar calon pemegang saham atau calon anggota sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b:
a. dalam hal perorangan wajib dilampiri dengan:
1. dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c angka 1
sampai dengan angka 5; dan
2. surat pernyataan dari calon Pemegang Saham Pengendali yang
menyatakan kesediaan untuk mengatasi kesulitan permodalan dan
likuiditas….
- 14 -
likuiditas yang dihadapi BPR dalam menjalankan kegiatan
usahanya;
b. dalam hal badan hukum wajib dilampiri dengan:
1. akta pendirian badan hukum, yang memuat anggaran dasar berikut
perubahan-perubahan yang telah mendapat pengesahan dari
instansi yang berwenang, kecuali bagi Pemerintah Daerah;
2. dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c angka 1
sampai dengan angka 5, dari seluruh anggota Direksi dan dewan
Komisaris badan hukum yang bersangkutan, kecuali bagi
Pemerintah Daerah;
3. daftar pemegang saham berikut rincian besarnya masing-masing
kepemilikan saham, bagi badan hukum Perseroan Terbatas atau
susunan pengurus dan rekapitulasi simpanan pokok dan simpanan
wajib serta daftar hibah, bagi badan hukum Koperasi;
4. laporan keuangan posisi akhir bulan sebelum tanggal pengajuan
permohonan persetujuan prinsip;
5. laporan keuangan badan hukum yang diaudit oleh Akuntan Publik
dengan posisi paling lama 6 (enam) bulan sebelum tanggal
pengajuan permohonan persetujuan prinsip, bagi badan hukum
yang melakukan penyertaan sebesar Rp1.000.000.000,00 (satu
miliar rupiah) atau lebih, kecuali bagi Pemerintah Daerah;
6. surat….
- 15 -
6. surat pernyataan dari pengurus badan hukum yang menyatakan
kesediaan untuk mengatasi kesulitan permodalan dan likuiditas
yang dihadapi BPR dalam menjalankan kegiatan usahanya, dalam
hal badan hukum tersebut merupakan calon Pemegang Saham
Pengendali BPR;
7. surat pernyataan dari Pemegang Saham Pengendali dari calon
Pemegang Saham Pengendali yang menyatakan kesediaan untuk
mengatasi kesulitan permodalan dan likuiditas yang dihadapi BPR
dalam menjalankan kegiatan usahanya, kecuali bagi Pemerintah
Daerah;
8. seluruh struktur kelompok usaha yang terkait dengan BPR dan
badan hukum pengendali BPR sampai dengan pemilik terakhir
(ultimate shareholder), kecuali bagi Pemerintah Daerah; dan
9. surat pernyataan dari pengurus badan hukum yang menyatakan
bahwa yang bersangkutan telah menyampaikan informasi secara
benar dan lengkap mengenai struktur kelompok usaha BPR sampai
dengan pemilik terakhir, dalam hal badan hukum tersebut
merupakan calon Pemegang Saham Pengendali BPR.
Pasal 7
(1) Persetujuan atau penolakan atas permohonan persetujuan prinsip diberikan
paling lambat 60 (enam puluh) hari sejak permohonan berikut dokumen
yang dipersyaratkan diterima secara lengkap.
(2) Dalam….
- 16 -
(2) Dalam rangka memberikan persetujuan atau penolakan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia melakukan:
a. penelitian atas kelengkapan dan kebenaran dokumen;
b. penilaian kemampuan dan kepatutan melalui penelitian administratif dan
wawancara terhadap calon Pemegang Saham Pengendali, calon anggota
Direksi dan dewan Komisaris, sesuai dengan ketentuan mengenai
penilaian kemampuan dan kepatutan (fit and proper test) BPR; dan
c. penilaian terhadap analisis atas potensi dan kelayakan pendirian BPR
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf e.
(3) Selain ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pihak-pihak yang
mengajukan permohonan pendirian BPR wajib melakukan presentasi
kepada Bank Indonesia mengenai analisis atas potensi dan kelayakan
pendirian BPR.
Pasal 8
(1) Persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) berlaku
untuk jangka waktu 360 (tiga ratus enam puluh) hari terhitung sejak tanggal
persetujuan prinsip diberikan, dan tidak dapat diperpanjang.
(2) Pihak yang mendapat persetujuan prinsip dilarang melakukan kegiatan
usaha sebelum mendapat izin usaha.
(3) Apabila….
- 17 -
(3) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) calon
pemilik BPR belum mengajukan permohonan izin usaha kepada Bank
Indonesia maka persetujuan prinsip yang telah diberikan dinyatakan tidak
berlaku.
Bagian Ketiga
Izin Usaha
Pasal 9
Permohonan untuk mendapatkan izin usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal
5 huruf b diajukan oleh Direksi BPR kepada Dewan Gubernur Bank Indonesia
dan wajib dilampiri dengan:
a.
akta pendirian badan hukum, yang memuat anggaran dasar badan hukum
yang telah disahkan oleh instansi yang berwenang;
b. data kepemilikan berupa:
1. daftar pemegang saham berikut rincian besarnya masing-masing
kepemilikan saham bagi BPR yang berbentuk hukum Perseroan Terbatas
atau Perusahaan Daerah; atau
2. daftar anggota berikut rincian jumlah simpanan pokok dan simpanan
wajib serta daftar hibah bagi BPR yang berbentuk hukum Koperasi,
yang masing-masing disertai dengan dokumen sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6 ayat (2), dalam hal terjadi perubahan;
c. daftar….
- 18 -
c. daftar susunan calon anggota Direksi dan dewan Komisaris disertai dengan
dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c, dalam hal
terjadi perubahan;
d.
susunan organisasi serta sistem dan prosedur kerja, termasuk susunan
personalia;
e. bukti pelunasan modal disetor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat
(1), dalam bentuk fotokopi bilyet deposito pada Bank Umum di Indonesia
atas nama “Dewan Gubernur Bank Indonesia q.q. salah seorang pemilik
untuk pendirian BPR yang bersangkutan” dengan mencantumkan
keterangan bahwa pencairannya hanya dapat dilakukan setelah mendapat
persetujuan tertulis dari Dewan Gubernur Bank Indonesia;
f.
surat pernyataan dari pemegang saham bagi BPR yang berbentuk hukum
Perseroan Terbatas atau Perusahaan Daerah atau dari anggota bagi BPR
yang berbentuk hukum Koperasi, bahwa setoran modal sebagaimana
dimaksud dalam huruf e:
1. tidak berasal dari pinjaman atau fasilitas pembiayaan dalam bentuk
apapun dari bank dan/atau pihak lain; dan
2. tidak berasal dari dan untuk tujuan pencucian uang; dan
g. bukti kesiapan operasional, yang paling sedikit mencakup:
1. daftar aktiva tetap dan inventaris;
2. bukti penguasaan gedung kantor berupa bukti kepemilikan atau
perjanjian sewa-menyewa gedung kantor yang didukung oleh bukti
kepemilikan dari pihak yang menyewakan;
3. foto….
- 19 -
3. foto gedung kantor dan tata letak ruangan;
4. contoh formulir/warkat yang akan digunakan untuk operasional BPR;
5. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).
Pasal 10
(1) Persetujuan atau penolakan atas permohonan izin usaha diberikan paling
lambat 60 (enam puluh) hari sejak permohonan berikut dokumen yang
dipersyaratkan diterima secara lengkap.
(2) Dalam rangka memberikan persetujuan atau penolakan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia melakukan:
a. penelitian atas kelengkapan dan kebenaran dokumen; dan
b. penilaian kemampuan dan kepatutan yang meliputi penelitian
administratif dan wawancara terhadap calon Pemegang Saham
Pengendali, calon anggota Direksi dan dewan Komisaris sesuai dengan
ketentuan mengenai penilaian kemampuan dan kepatutan (fit and proper
test) BPR, dalam hal terdapat penggantian atas calon yang diajukan
sebelumnya.
Pasal 11
(1) BPR yang telah mendapat izin usaha dari Bank Indonesia wajib melakukan
kegiatan usaha paling lambat 60 (enam puluh) hari terhitung sejak tanggal
izin usaha diberikan.
(2) Kegiatan….
- 20 -
(2) Kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilaporkan
kepada Bank Indonesia paling lambat 10 (sepuluh) hari sejak tanggal
dimulainya kegiatan usaha, dengan melampirkan Tanda Daftar Perusahaan.
(3) Dalam hal BPR belum melakukan kegiatan usaha dalam jangka waktu
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), izin usaha yang telah diberikan
dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 12
BPR yang telah mendapat izin usaha dari Dewan Gubernur Bank Indonesia wajib
mencantumkan bentuk badan hukum dan kata “Bank Perkreditan Rakyat” atau
disingkat “BPR” di depan nama BPR, sesuai dengan anggaran dasar BPR.
BAB IV
KEPEMILIKAN DAN PERUBAHAN MODAL BPR
Pasal 13
(1) Kepemilikan BPR oleh badan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
ayat (2) huruf b paling tinggi sebesar modal sendiri bersih badan hukum
yang bersangkutan dan tidak melebihi jumlah yang diperkenankan bagi
badan hukum tersebut sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.
(2) Modal….
- 21 -
(2) Modal sendiri bersih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan:
a. penjumlahan dari modal disetor, cadangan dan laba dikurangi
penyertaan dan kerugian, bagi badan hukum Perseroan Terbatas atau
Perusahaan Daerah;
b. penjumlahan dari simpanan pokok, simpanan wajib, hibah, modal
penyertaan, dana cadangan dan sisa hasil usaha dikurangi penyertaan
dan kerugian, bagi badan hukum Koperasi;
c. penjumlahan sumbangan atau bantuan yang tidak mengikat, wakaf, dan
hibah yang tidak bertentangan dengan anggaran dasar dan/atau peraturan
perundangan yang berlaku, bagi badan hukum yayasan.
Pasal 14
Sumber dana untuk kepemilikan BPR dilarang:
a. berasal dari pinjaman atau fasilitas pembiayaan dalam bentuk apapun dari
bank dan/atau pihak lain, kecuali berasal dari Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah (APBD); dan
b. berasal dari dan untuk tujuan pencucian uang.
Pasal 15
(1) Yang dapat menjadi pemilik BPR adalah pihak-pihak yang:
a. tidak termasuk dalam daftar orang-orang yang dilarang menjadi
pemegang saham dan/atau pengurus BPR, BPRS dan/atau bank umum
sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
b. menurut….
- 22 -
b. menurut penilaian Bank Indonesia yang bersangkutan memiliki
integritas, antara lain:
1. memiliki akhlak dan moral yang baik;
2. bersedia mematuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku; dan
3. bersedia mengembangkan operasional BPR secara sehat.
(2) Bagi Pemegang Saham Pengendali, selain wajib memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), juga wajib memenuhi persyaratan
kelayakan keuangan sesuai dengan ketentuan mengenai penilaian
kemampuan dan kepatutan (fit and proper test) BPR.
Pasal 16
(1) Perubahan kepemilikan karena pengalihan saham yang mengakibatkan
perubahan dan/atau mengakibatkan terjadinya Pemegang Saham
Pengendali BPR, wajib mendapat persetujuan Bank Indonesia terlebih
dahulu dan tunduk kepada tata cara penggantian dan/atau penambahan
pemilik BPR yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
(2) Permohonan persetujuan perubahan kepemilikan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) disampaikan kepada Bank Indonesia dengan dilampiri
dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b dan huruf c
angka 1 sampai dengan angka 5.
(3) Persetujuan….
- 23 -
(3) Persetujuan atau penolakan atas permohonan perubahan kepemilikan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan paling lambat 30 (tiga
puluh) hari sejak permohonan berikut dokumen yang dipersyaratkan
diterima secara lengkap.
(4) BPR wajib menyelenggarakan Rapat Umum Pemegang Saham atau Rapat
Anggota untuk mengesahkan perubahan kepemilikan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3), paling lambat 90 (sembilan puluh) hari sejak
tanggal persetujuan Bank Indonesia.
(5) Dalam hal Rapat Umum Pemegang Saham atau Rapat Anggota
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak dapat diselenggarakan dalam
waktu yang ditentukan, persetujuan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dinyatakan tidak berlaku.
(6) Pelaksanaan perubahan kepemilikan sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
wajib dilaporkan kepada Bank Indonesia paling lambat 10 (sepuluh) hari
setelah perubahan, dengan dilampiri:
a. bukti penyetoran;
b. risalah Rapat Umum Pemegang Saham atau Rapat Anggota;
c. perubahan anggaran dasar yang telah dinotariilkan;
d. bukti pelaporan perubahan anggaran dasar sebagaimana dimaksud pada
huruf c kepada instansi yang berwenang;
e. surat pernyataan dari pemegang saham sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6 ayat (1) huruf h; dan
f. daftar….
- 24 -
f. daftar pemegang saham berikut rincian besarnya masing-masing
kepemilikan saham, bagi BPR yang berbentuk hukum Perseroan
Terbatas atau Perusahaan Daerah, atau daftar anggota berikut jumlah
simpanan pokok dan simpanan wajib serta daftar hibah, bagi BPR yang
berbentuk hukum Koperasi.
Pasal 17
(1) Penggantian dan/atau penambahan pemilik yang tidak mengakibatkan
perubahan Pemegang Saham Pengendali BPR, wajib terlebih dahulu
mendapatkan persetujuan Bank Indonesia.
(2) Permohonan penggantian dan/atau penambahan pemilik sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Bank Indonesia dengan
dilengkapi dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b
dan huruf c angka 1 sampai dengan angka 5.
(3) Persetujuan atas rencana penggantian dan/atau penambahan pemilik
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan paling lambat 30 (tiga
puluh) hari sejak permohonan berikut dokumen yang dipersyaratkan
diterima secara lengkap.
(4) BPR wajib menyelenggarakan Rapat Umum Pemegang Saham atau Rapat
Anggota untuk mengesahkan penggantian dan/atau penambahan pemilik
yang telah memperoleh persetujuan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud
pada ayat (3), paling lambat 90 (sembilan puluh) hari sejak tanggal
persetujuan Bank Indonesia.
(5) Dalam….
- 25 -
(5) Dalam hal Rapat Umum Pemegang Saham atau Rapat Anggota
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak dapat diselenggarakan dalam
waktu yang ditentukan, persetujuan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) dinyatakan tidak berlaku.
(6) Penggantian dan/atau penambahan pemilik sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) wajib dilaporkan kepada Bank Indonesia paling lambat 10 (sepuluh)
hari sejak pelaksanaan penggantian dan/atau penambahan, dengan dilampiri
dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (6).
Pasal 18
(1) Perubahan komposisi kepemilikan BPR yang tidak mengakibatkan
penggantian dan/atau penambahan Pemegang Saham Pengendali wajib
dilaporkan kepada Bank Indonesia paling lambat 10 (sepuluh) hari sejak
perubahan dilakukan.
(2) Perubahan komposisi kepemilikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
yang diakibatkan oleh penambahan modal disetor dilaporkan kepada Bank
Indonesia dengan dilampiri dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal
16 ayat (6).
(3) Perubahan komposisi kepemilikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
yang tidak diakibatkan oleh perubahan modal disetor dilaporkan kepada
Bank Indonesia dengan dilampiri dokumen sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 16 ayat (6) huruf b, huruf c, huruf d dan huruf f.
Pasal 19….
- 26 -
Pasal 19
Penambahan modal disetor yang tidak mengakibatkan perubahan komposisi
kepemilikan BPR wajib dilaporkan kepada Bank Indonesia paling lambat 10
(sepuluh) hari sejak penambahan modal disetor dengan dilampiri dokumen
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (6).
Pasal 20
(1) Jumlah modal disetor BPR setelah perubahan kepemilikan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 16, Pasal 17, Pasal 18 ayat (2) dan Pasal 19 wajib
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3).
(2) Dalam rangka menjaga kecukupan modal kerja sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (3), BPR wajib menjaga agar jumlah aktiva tetap dan
inventaris paling banyak sebesar 50% (lima puluh perseratus) dari modal
disetor.
Pasal 21
(1) Perubahan modal dasar wajib dilaporkan kepada Bank Indonesia paling
lambat 10 (sepuluh) hari sejak BPR menerima surat persetujuan perubahan
anggaran dasar dari instansi yang berwenang, dilampiri dengan:
a. risalah Rapat Umum Pemegang Saham atau Rapat Anggota; dan
b. perubahan anggaran dasar yang disetujui oleh instansi yang berwenang.
(2) BPR….
- 27 -
(2) BPR wajib mengadministrasikan dengan tertib:
a. daftar pemegang saham dan perubahannya, bagi BPR yang berbentuk
hukum Perseroan Terbatas atau Perusahaan Daerah;
b. buku daftar anggota dan perubahannya, bagi BPR yang berbentuk
hukum Koperasi.
BAB V
ANGGOTA DIREKSI, DEWAN KOMISARIS
DAN PEJABAT EKSEKUTIF
Pasal 22
(1) Anggota Direksi dan dewan Komisaris wajib memenuhi persyaratan:
a. kompetensi;
b. integritas; dan
c. reputasi keuangan
(2) Persyaratan kompetensi bagi anggota Dewan Komisaris sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a wajib dipenuhi oleh paling sedikit 50%
(lima puluh perseratus) anggota Dewan Komisaris berupa pengetahuan
dan/atau pengalaman di bidang perbankan.
(3) Pemenuhan persyaratan bagi anggota Direksi dan dewan Komisaris
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
mengenai penilaian kemampuan dan kepatutan (fit and proper test) BPR.
Pasal 23….
- 28 -
Pasal 23
(1) Anggota Direksi paling sedikit berjumlah 2 (dua) orang.
(2) Anggota Direksi wajib memiliki pendidikan formal paling rendah setingkat
D-3 atau Sarjana Muda atau telah menyelesaikan paling sedikit 110 SKS
dalam pendidikan S-1.
(3) Paling sedikit 50% (lima puluh perseratus) dari anggota Direksi:
a. wajib memiliki pengalaman sebagai pejabat di bidang operasional
perbankan paling singkat selama 2 (dua) tahun, atau
b. telah mengikuti magang paling singkat selama 3 (tiga) bulan di BPR
dan memiliki sertifikat kelulusan dari Lembaga Sertifikasi, pada saat
diajukan sebagai calon anggota Direksi.
Pasal 24
Anggota Direksi wajib memiliki sertifikat kelulusan dari Lembaga Sertifikasi.
Pasal 25
(1) Anggota Direksi dilarang memiliki hubungan keluarga dengan:
a. anggota Direksi lainnya dalam hubungan sebagai orang tua, anak,
mertua, menantu, suami, istri, saudara kandung atau ipar; dan/atau
b. anggota dewan Komisaris dalam hubungan sebagai orang tua, anak,
mertua, menantu, suami, istri atau saudara kandung.
(2) Anggota….
- 29 -
(2) Anggota Direksi dilarang merangkap jabatan sebagai anggota Direksi atau
Pejabat Eksekutif pada lembaga perbankan, perusahaan atau lembaga lain.
(3) Anggota Direksi dilarang memberikan kuasa umum yang mengakibatkan
pengalihan tugas dan wewenang tanpa batas.
Pasal 26
(1) Anggota dewan Komisaris paling sedikit berjumlah 2 (dua) orang.
(2) Paling sedikit 50 % (lima puluh perseratus) anggota dewan Komisaris
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memiliki pengetahuan dan/atau
pengalaman di bidang perbankan.
(3) Anggota dewan Komisaris hanya dapat merangkap jabatan sebagai
komisaris paling banyak pada 2 (dua) BPR atau BPRS lain.
(4) Anggota dewan Komisaris dilarang merangkap jabatan sebagai anggota
Direksi pada BPR, BPRS dan/atau Bank Umum.
(5) Anggota dewan Komisaris wajib melakukan rapat dewan Komisaris secara
berkala, paling sedikit 4 (empat) kali dalam setahun.
(6) Dalam hal diperlukan oleh Bank Indonesia, anggota dewan Komisaris wajib
mempresentasikan hasil pengawasan terhadap BPR.
Pasal 27
Dalam hal terjadi benturan kepentingan, anggota Direksi, dewan Komisaris dan
Pejabat Eksekutif dilarang mengambil keputusan.
Pasal 28….
- 30 -
Pasal 28
(1) Dalam hal terjadi perpanjangan masa jabatan dan/atau penggantian anggota
Direksi dan/atau dewan Komisaris, calon anggota Direksi dan/atau dewan
Komisaris wajib memperoleh persetujuan dari Bank Indonesia sebelum
diangkat dan menduduki jabatannya.
(2) Permohonan perpanjangan masa jabatan anggota Direksi dan/atau dewan
Komisaris sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disampaikan oleh
anggota Direksi kepada Bank Indonesia sebelum Rapat Umum Pemegang
Saham atau Rapat Anggota untuk mengesahkan perpanjangan masa jabatan
dimaksud disertai dengan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6
ayat (1) huruf c angka 1 sampai dengan angka 6 dan angka 13 sampai
dengan angka 16.
(3) Permohonan penggantian anggota Direksi dan/atau dewan Komisaris
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disampaikan oleh anggota
Direksi kepada Bank Indonesia sebelum Rapat Umum Pemegang Saham
atau Rapat Anggota untuk mengesahkan penggantian dimaksud, disertai
dengan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c
angka 1 sampai dengan angka 16.
(4) Persetujuan atau penolakan atas permohonan perpanjangan masa jabatan
dan/atau penggantian anggota Direksi dan/atau dewan Komisaris diberikan
paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak permohonan berikut dokumen yang
dipersyaratkan diterima secara lengkap.
(5) Dalam….
- 31 -
(5) Dalam rangka memberikan persetujuan atau penolakan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3), Bank Indonesia melakukan penilaian sesuai dengan
ketentuan mengenai penilaian kemampuan dan kepatutan (fit and proper
test) BPR.
Pasal 29
(1) BPR wajib menyelenggarakan Rapat Umum Pemegang Saham atau Rapat
Anggota untuk mengangkat anggota Direksi dan/atau dewan Komisaris
paling lambat 90 (sembilan puluh) hari sejak tanggal persetujuan Bank
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1).
(2) Pengangkatan anggota Direksi dan/atau dewan Komisaris wajib dilaporkan
kepada Bank Indonesia paling lambat 10 (sepuluh) hari sejak pengangkatan
disertai dengan risalah Rapat Umum Pemegang Saham atau Rapat Anggota.
(3) Risalah Rapat Umum Pemegang Saham atau Rapat Anggota sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) wajib disertai dengan perubahan anggaran dasar
yang telah dinotariilkan, bukti pelaporan perubahan anggaran dasar kepada
instansi yang berwenang dan susunan pengurus BPR terakhir.
(4) Dalam hal Rapat Umum Pemegang Saham atau Rapat Anggota
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak terselenggara dalam waktu yang
ditentukan, persetujuan Bank Indonesia terhadap calon anggota Direksi
dan/atau dewan Komisaris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1)
dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 30….
- 32 -
Pasal 30
(1) Pengangkatan Pejabat Eksekutif wajib dilaporkan kepada Bank Indonesia
paling lambat 10 (sepuluh) hari sejak tanggal pengangkatan dengan
dilampiri:
a. surat pengangkatan, dan khusus bagi Pemimpin Cabang disertai dengan
surat kuasa dari anggota Direksi BPR;
b. pasfoto terakhir ukuran 4x6 cm;
c. fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang masih berlaku;
d. riwayat hidup; dan
e. contoh tandatangan dan paraf.
(2) Apabila berdasarkan penilaian dan penelitian Bank Indonesia, Pejabat
Eksekutif termasuk dalam daftar orang-orang yang dilarang menjadi
pemegang saham, Pemegang Saham Pengendali, pengurus, Pejabat
Eksekutif BPR, BPRS dan/atau Bank Umum maka BPR wajib
memberhentikan yang bersangkutan paling lambat 30 (tiga puluh) hari
sejak tanggal surat pemberitahuan dari Bank Indonesia.
(3) Pemberhentian Pejabat Eksekutif sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
wajib dilaporkan kepada Bank Indonesia paling lambat 10 (sepuluh) hari
sejak tanggal pemberhentian.
BAB VI….
- 33 -
BAB VI
PEMBUKAAN KANTOR BPR
Bagian Pertama
Pembukaan Kantor Cabang
Pasal 31
(1) BPR hanya dapat membuka Kantor Cabang di wilayah Provinsi yang sama
dengan kantor pusatnya.
(2) Pembukaan Kantor Cabang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya
dapat dilakukan dengan izin Bank Indonesia.
(3) Wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta dan Kabupaten atau Kota Bogor,
Depok, Tangerang, Bekasi dan Karawang ditetapkan sebagai satu wilayah
Provinsi untuk keperluan pembukaan Kantor Cabang.
(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berlaku pula bagi
pembukaan Kantor Cabang BPR di dalam wilayah dimaksud sebagai akibat
merger atau konsolidasi.
Pasal 32
(1) BPR dapat mengajukan permohonan pembukaan Kantor Cabang dengan
persyaratan sebagai berikut:
a. rencana pembukaan Kantor Cabang telah dicantumkan dalam rencana
kerja tahunan BPR;
b. selama….
- 34 -
b. selama 12 (dua belas) bulan terakhir memiliki tingkat kesehatan
tergolong sehat;
c. selama 3 (tiga) bulan terakhir memiliki rasio kewajiban penyediaan
modal minimum (CAR) paling sedikit 10% (sepuluh perseratus); dan
d. memiliki teknologi informasi yang memadai
(2) Setiap permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat
diajukan untuk pembukaan 1 (satu) Kantor Cabang.
(3) Permohonan pembukaan Kantor Cabang berikutnya hanya dapat diajukan
paling cepat 3 (tiga) bulan setelah permohonan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) disetujui Bank Indonesia.
Pasal 33
Izin pembukaan Kantor Cabang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (2)
diberikan dalam 2 (dua) tahap:
a. persetujuan prinsip pembukaan Kantor Cabang, yaitu persetujuan untuk
melakukan persiapan pembukaan Kantor Cabang;
b.
izin operasional Kantor Cabang, yaitu izin membuka Kantor Cabang setelah
persiapan sebagaimana dimaksud pada huruf a selesai dilakukan.
Pasal 34
Permohonan untuk memperoleh persetujuan prinsip pembukaan Kantor Cabang
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 huruf a diajukan oleh BPR kepada Bank
Indonesia….
- 35 -
Indonesia dengan dilampiri analisis atas potensi dan kelayakan pembukaan
Kantor Cabang, dengan merujuk kepada Pasal 6 ayat (1) huruf e.
Pasal 35
(1) Persetujuan atau penolakan atas permohonan persetujuan prinsip
pembukaan Kantor Cabang diberikan paling lambat 30 (tiga puluh) hari
sejak permohonan berikut dokumen yang dipersyaratkan diterima secara
lengkap.
(2) Dalam rangka memberikan persetujuan atau penolakan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia melakukan:
a. penelitian atas kelengkapan dan kebenaran dokumen; dan
b. penilaian terhadap analisis atas potensi dan kelayakan pembukaan
Kantor Cabang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34.
Pasal 36
(1) Persetujuan prinsip pembukaan Kantor Cabang sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 33 huruf a berlaku selama 120 (seratus dua puluh) hari
terhitung sejak tanggal persetujuan prinsip pembukaan Kantor Cabang.
(2) Dalam hal BPR belum mengajukan permohonan izin operasional Kantor
Cabang kepada Bank Indonesia dalam jangka waktu sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), persetujuan prinsip pembukaan Kantor Cabang
yang diberikan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 37….
- 36 -
Pasal 37
(1) Permohonan untuk memperoleh izin operasional Kantor Cabang
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 huruf b diajukan oleh BPR dengan
dilampiri bukti kesiapan operasional dalam rangka pembukaan Kantor
Cabang.
(2) Persetujuan atau penolakan atas permohonan izin operasional Kantor
Cabang diberikan paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak permohonan
berikut dokumen yang dipersyaratkan diterima secara lengkap
(3) Dalam rangka memberikan persetujuan atau penolakan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia melakukan penelitian atas
kesiapan operasional BPR dalam rangka pembukaan Kantor Cabang.
Pasal 38
(1) BPR yang memperoleh izin operasional Kantor Cabang sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 33 huruf b wajib melakukan kegiatan usaha pada
Kantor Cabang dimaksud paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal
izin diberikan.
(2) Pelaksanaan pembukaan Kantor Cabang sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) wajib dilaporkan kepada Bank Indonesia paling lambat 10 (sepuluh)
hari sejak tanggal pembukaan.
(3) Apabila setelah jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) BPR
belum melakukan kegiatan usaha pada Kantor Cabang, izin operasional
Kantor Cabang yang telah diberikan dinyatakan tidak berlaku.
Bagian….
- 37 -
Bagian Kedua
Pembukaan Kantor Kas
Pasal 39
(1) Pembukaan Kantor Kas hanya dapat dilakukan dalam satu wilayah
Kabupaten atau Kota dengan kantor induknya.
(2) BPR yang akan membuka Kantor Kas sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. rencana pembukaan Kantor Kas telah dicantumkan dalam rencana kerja
tahunan BPR; dan
b. tingkat kesehatan selama 12 (dua belas) bulan terakhir paling rendah
tergolong cukup sehat.
Pasal 40
(1) BPR wajib mengajukan rencana pembukaan Kantor Kas kepada Bank
Indonesia .
(2) Bank Indonesia memberikan penegasan terhadap rencana pembukaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lambat 30 (tiga puluh) hari
sejak menerima rencana pembukaan Kantor Kas.
(3) Pembukaan Kantor Kas wajib dilaksanakan paling lambat 30 (tiga puluh)
hari sejak tanggal penegasan dari Bank Indonesia.
(4) Dalam….
- 38 -
(4) Dalam hal BPR tidak melaksanakan pembukaan Kantor Kas dalam jangka
waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3), penegasan pembukaan Kantor
Kas yang telah diberikan dinyatakan tidak berlaku.
(5) Pelaksanaan pembukaan Kantor Kas sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
wajib dilaporkan kepada Bank Indonesia paling lambat 10 (sepuluh puluh)
hari sejak tanggal pembukaan.
Bagian Ketiga
Kegiatan Kas di Luar Kantor
Pasal 41
(1) Kegiatan Kas di Luar Kantor dengan menggunakan Kas Mobil, Kas
Terapung dan Payment Point hanya dapat dilakukan dalam wilayah
Kabupaten atau Kota yang sama dengan kantor induknya.
(2) Kegiatan Kas di Luar Kantor dengan menggunakan ATM yang
diselenggarakan sendiri oleh BPR hanya dapat dilakukan dalam wilayah
Provinsi yang sama dengan kantor induknya.
(3) Kegiatan Kas di Luar Kantor dengan menggunakan ATM melalui
kerjasama dengan bank umum dapat dilakukan sampai luar wilayah
Provinsi tempat kedudukan kantor induknya.
(4) Kegiatan Kas di Luar Kantor sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2)
dan ayat (3) wajib dilaporkan kepada Bank Indonesia paling lambat 10
(sepuluh) hari sejak tanggal pelaksanaan kegiatan.
(5) Kegiatan….
- 39 -
(5) Kegiatan Kas di Luar Kantor dengan menggunakan ATM sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) wajib mendapat persetujuan Bank
Indonesia.
(6) Rencana Kegiatan Kas di Luar Kantor sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), ayat (2) dan (3) wajib dicantumkan dalam rencana kerja tahunan BPR.
Pasal 42
Laporan keuangan Kantor Kas dan Kegiatan Kas di Luar Kantor wajib
digabungkan dengan laporan keuangan kantor induk pada hari yang sama.
BAB VII
PEMINDAHAN ALAMAT KANTOR
Pasal 43
Pemindahan alamat kantor pusat dan Kantor Cabang wajib memperoleh
persetujuan Bank Indonesia.
Pasal 44
Pemberian izin pemindahan alamat kantor dilakukan dalam dua tahap :
a. persetujuan prinsip pemindahan alamat kantor, yaitu persetujuan untuk
melakukan persiapan pemindahan alamat kantor;
b. izin….
- 40 -
b. izin efektif pemindahan alamat kantor, yaitu izin pindah alamat kantor setelah
persiapan sebagaimana dimaksud dalam huruf a selesai dilakukan.
Pasal 45
(1) Persetujuan prinsip pemindahan alamat kantor sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 44 huruf a hanya diberlakukan bagi pemindahan alamat kantor
ke luar wilayah Kabupaten, Kota atau Provinsi.
(2) Permohonan untuk mendapatkan persetujuan prinsip pemindahan alamat
kantor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan kepada Bank
Indonesia dengan dilampiri:
a. alasan pemindahan alamat kantor dan rencana penyelesaian atau
pengalihan tagihan dan kewajiban; dan
b. analisis atas potensi dan kelayakan pemindahan alamat kantor, dengan
merujuk kepada Pasal 6 ayat (1) huruf e.
Pasal 46
(1) Persetujuan atau penolakan atas permohonan persetujuan prinsip
pemindahan alamat kantor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (2)
diberikan paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak permohonan berikut
dokumen yang dipersyaratkan diterima secara lengkap.
(2) Dalam rangka memberikan persetujuan atau penolakan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia melakukan:
a. penelitian….
- 41 -
a. penelitian atas kelengkapan dan kebenaran dokumen sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 45 ayat (2) huruf a; dan
b. penilaian terhadap analisis atas potensi dan kelayakan pemindahan
alamat kantor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (2) huruf b.
Pasal 47
(1) Persetujuan prinsip pemindahan alamat kantor sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 44 huruf a berlaku untuk jangka waktu 180 (seratus delapan
puluh) hari terhitung sejak tanggal persetujuan Bank Indonesia.
(2) BPR dilarang melakukan pemindahan alamat kantor sebelum mendapat izin
efektif pemindahan alamat kantor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44
huruf b.
(3) Dalam hal BPR belum mengajukan permohonan izin efektif pemindahan
alamat kantor dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
persetujuan prinsip pemindahan alamat kantor yang telah diberikan
dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 48
Permohonan untuk mendapatkan izin efektif pemindahan alamat kantor
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 huruf b diajukan kepada Bank Indonesia
dengan dilampiri:
a. bukti….
- 42 -
a. bukti pengumuman kepada masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal
49 ayat (1) dan bukti kesiapan kantor termasuk sarananya, bagi BPR yang
akan melakukan pemindahan alamat kantor keluar wilayah Kabupaten, Kota
atau Provinsi;
b. bukti pengumuman kepada masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal
49 ayat (1), alasan pemindahan alamat kantor, rencana penyelesaian atau
pengalihan tagihan dan kewajiban serta bukti kesiapan kantor termasuk
sarananya, bagi BPR yang akan melakukan pemindahan alamat kantor
dalam satu Kabupaten atau Kota.
Pasal 49
(1) BPR wajib mengumumkan kepada masyarakat di tempat kedudukan BPR
dalam surat kabar harian lokal atau pada papan pengumuman di seluruh
kantor BPR yang bersangkutan mengenai rencana pemindahan alamat
kantor, paling lambat 10 (sepuluh) hari sebelum mengajukan permohonan
izin efektif pemindahan alamat kantor sebagaimana dimaksud dalam Pasal
48 kepada Bank Indonesia.
(2) Dalam rangka memberikan persetujuan atau penolakan atas permohonan
izin efektif pemindahan alamat kantor sebagaimana dimaksud dalam Pasal
48, Bank Indonesia melakukan penelitian atas kebenaran dan kelengkapan
dokumen.
(3) Persetujuan….
- 43 -
(3) Persetujuan atau penolakan atas permohonan izin efektif pemindahan
alamat kantor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan paling
lambat:
a. 30 (tiga puluh) hari bagi BPR yang akan melakukan pemindahan alamat
kantor dalam 1 (satu) Kabupaten atau Kota; atau
b. 60 (enam puluh) hari bagi BPR yang akan melakukan pemindahan
alamat kantor keluar wilayah kabupaten, Kota atau Provinsi,
sejak permohonan berikut dokumen yang dipersyaratkan diterima secara
lengkap
(4) Pemindahan alamat kantor dilaksanakan paling lambat 30 (tiga puluh) hari
sejak tanggal izin efektif pemindahan alamat kantor dari Bank Indonesia.
(5) Dalam hal BPR tidak melaksanakan pemindahan alamat kantor dalam
jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (4), izin efektif pemindahan
alamat kantor yang telah diberikan dinyatakan tidak berlaku.
(6) Pemindahan alamat kantor wajib dilaporkan kepada Bank Indonesia paling
lambat 10 (sepuluh) hari sejak tanggal pelaksanaan pemindahan alamat
kantor.
Pasal 50
(1) BPR wajib melaporkan rencana pemindahan alamat Kantor Kas kepada
Bank Indonesia dengan menjelaskan alasan pemindahan dan kesiapan
Kantor Kas.
(2) Pemindahan….
- 44 -
(2) Pemindahan alamat Kantor Kas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya
dapat dilakukan setelah BPR memperoleh surat penegasan dari Bank
Indonesia.
(3) Penegasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan paling lambat 15
(lima belas) hari sejak Bank Indonesia menerima laporan pemindahan
alamat Kantor Kas sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(4) Pemindahan alamat Kantor Kas dilaporkan kepada Bank Indonesia paling
lambat 10 (sepuluh) hari sejak tanggal pemindahan.
Pasal 51
BPR wajib melaporkan pemindahan Kegiatan Kas di Luar Kantor berupa ATM
dan Payment Point kepada Bank Indonesia paling lambat 10 (sepuluh) hari sejak
tanggal pemindahan.
BAB VIII
PERUBAHAN NAMA DAN BENTUK BADAN HUKUM
Bagian Pertama
Perubahan Nama
Pasal 52
(1) BPR yang telah memperoleh persetujuan perubahan nama dari instansi
yang berwenang wajib mengajukan permohonan kepada Bank Indonesia
mengenai ….
- 45 -
mengenai penetapan penggunaan izin usaha yang dimiliki BPR dengan
nama yang baru.
(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diajukan paling lambat
30 (tiga puluh) hari sejak persetujuan perubahan nama dan disertai dengan:
a. alasan perubahan nama; dan
b. akta perubahan anggaran dasar yang telah disetujui oleh instansi
berwenang.
(3) Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Bank
Indonesia memberikan persetujuan tentang perubahan nama BPR paling
lambat 30 (tiga puluh) hari sejak dokumen diterima secara lengkap.
(4) BPR wajib mengumumkan pelaksanaan perubahan nama kepada
masyarakat dalam surat kabar harian lokal atau pada papan pengumuman di
seluruh kantor BPR yang bersangkutan, paling lambat 20 (dua puluh) hari
sejak tanggal persetujuan dari Bank Indonesia.
(5) BPR wajib menyampaikan bukti pengumuman sebagaimana dimaksud pada
ayat (5) kepada Bank Indonesia, paling lambat 10 (sepuluh) hari sejak
tanggal pengumuman.
Bagian….
- 46 -
Bagian Kedua
Perubahan Bentuk Badan Hukum
Pasal 53
(1) Perubahan bentuk badan hukum dilakukan berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, dan hanya dapat dilakukan dengan
persetujuan Bank Indonesia.
(2) Pemberian persetujuan perubahan bentuk badan hukum BPR sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam dua tahap:
a. persetujuan prinsip, yaitu persetujuan untuk melakukan persiapan
perubahan bentuk badan hukum BPR;
b. persetujuan pengalihan izin usaha, yaitu persetujuan yang diberikan
untuk mengalihkan izin usaha dari badan hukum lama kepada badan
hukum baru.
Pasal 54
(1) Permohonan untuk mendapatkan persetujuan prinsip perubahan bentuk
badan hukum BPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (2) huruf a
diajukan kepada Bank Indonesia sebelum dilakukan Rapat Umum
Pemegang Saham atau Rapat Anggota untuk memutuskan perubahan
bentuk badan hukum BPR, dan wajib dilampiri dengan:
a. alasan perubahan bentuk badan hukum BPR;
b. rancangan akta pendirian badan hukum baru termasuk anggaran dasar;
c. rencana….
- 47 -
c. rencana pengalihan seluruh hak dan kewajiban dari badan hukum lama
kepada badan hukum baru;
d. dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c angka 1
sampai dengan angka 16; dan
e. data kepemilikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b.
(2) Persetujuan atau penolakan atas permohonan persetujuan prinsip
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan paling lambat 30 (tiga
puluh) hari sejak permohonan berikut dokumen yang dipersyaratkan
diterima secara lengkap.
(3) Dalam rangka memberikan persetujuan atau penolakan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) Bank Indonesia melakukan:
a. penelitian atas kelengkapan dan kebenaran dokumen; dan
b. penilaian terhadap calon Pemegang Saham Pengendali, calon anggota
Direksi dan/atau dewan Komisaris sesuai ketentuan mengenai penilaian
kemampuan dan kepatutan (fit and proper test) BPR, dalam hal terjadi
penggantian atau perubahan.
(4) Persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berlaku selama
180 (seratus delapan puluh) hari sejak tanggal persetujuan.
(5) Dalam hal BPR tidak mengajukan permohonan pengalihan izin usaha
dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (4), persetujuan
prinsip yang telah diberikan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 55 …
- 48 -
Pasal 55
(1) Permohonan untuk mengalihkan izin usaha BPR dari badan hukum lama
kepada badan hukum baru sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (2)
huruf b, diajukan kepada Bank Indonesia dan wajib dilampiri dengan:
a. akta pendirian badan hukum baru termasuk anggaran dasar yang telah
disahkan oleh instansi berwenang;
b. daftar calon anggota dewan Komisaris dan Direksi disertai dengan
dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c
angka 1 sampai dengan angka 16, dalam hal terjadi penggantian;
c. data kepemilikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b,
dalam hal terjadi perubahan;
d. akta berita acara yang dinotariilkan mengenai pengalihan seluruh hak
dan kewajiban dari badan hukum lama kepada badan hukum baru; dan
e. risalah Rapat Umum Pemegang Saham atau Rapat Anggota badan
hukum lama yang menyetujui perubahan bentuk hukum dan pembubaran
badan hukum lama.
(2) Persetujuan atau penolakan atas permohonan pengalihan izin usaha dari
badan hukum lama kepada badan hukum baru diberikan paling lambat 30
(tiga puluh) hari sejak permohonan berikut dokumen yang dipersyaratkan
diterima secara lengkap.
(3) Dalam rangka memberikan persetujuan atau penolakan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), Bank Indonesia melakukan:
a. penelitian ….
- 49 -
a. penelitian atas kelengkapan dan kebenaran dokumen; dan
b. penilaian terhadap calon anggota Direksi dan/atau dewan Komisaris
dan/atau Pemegang Saham Pengendali sesuai ketentuan mengenai
penilaian kemampuan dan kepatutan (fit and proper test) BPR, dalam
hal terjadi penggantian atau perubahan.
Pasal 56
(1) Pembubaran badan hukum lama hanya dapat dilakukan setelah:
a. Bank Indonesia memberikan persetujuan pengalihan izin usaha
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (2) huruf b; dan
b. pengalihan seluruh hak dan kewajiban dari badan hukum lama kepada
badan hukum baru dilaksanakan sesuai dengan akta berita acara
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) huruf d.
(2) Pelaksanaan perubahan bentuk badan hukum BPR wajib diumumkan
kepada masyarakat dalam surat kabar harian lokal atau pada papan
pengumuman di seluruh kantor BPR yang bersangkutan, paling lambat 20
(dua puluh) hari sejak tanggal pemberian persetujuan dari Bank Indonesia.
(3) BPR wajib menyampaikan bukti pengumuman perubahan bentuk badan
hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada Bank Indonesia paling
lambat 10 (sepuluh) hari sejak tanggal pengumuman.
BAB IX….
- 50 -
BAB IX
PENUTUPAN KANTOR
Pasal 57
(1) Penutupan Kantor Cabang hanya dapat dilakukan dengan persetujuan Bank
Indonesia.
(2) Permohonan penutupan Kantor Cabang sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diajukan kepada Bank Indonesia disertai dengan alasan penutupan dan
penyelesaian seluruh kewajiban kepada nasabah serta pihak-pihak lain.
(3) Persetujuan atau penolakan atas permohonan penutupan Kantor Cabang
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan paling lambat 15 (lima
belas) hari setelah:
a. permohonan berikut dokumen yang dipersyaratkan diterima secara
lengkap; dan
b. berdasarkan hasil pemeriksaan, seluruh kewajiban telah diselesaikan.
(4) Penutupan Kantor Cabang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
diumumkan kepada masyarakat dalam surat kabar harian lokal atau pada
papan pengumuman di seluruh kantor BPR yang bersangkutan, paling
lambat 10 (sepuluh) hari sejak tanggal persetujuan dari Bank Indonesia,
sebelum penutupan.
(5) Pelaksanaan penutupan Kantor Cabang yang telah mendapat persetujuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib dilaporkan kepada Bank
Indonesia….
- 51 -
Indonesia paling lambat 10 (sepuluh) hari sejak tanggal penutupan, disertai
dengan bukti pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (4).
Pasal 58
(1) Rencana penutupan Kantor Kas dan Kegiatan Kas di Luar Kantor wajib
dilaporkan kepada Bank Indonesia disertai dengan alasan penutupan paling
lambat 30 (tiga puluh) hari sebelum pelaksanaan.
(2) BPR wajib mengumumkan rencana penutupan Kantor Kas dan Kegiatan
Kas di Luar Kantor kepada masyarakat dalam surat kabar harian lokal atau
pada papan pengumuman di seluruh kantor BPR yang bersangkutan, paling
lambat 10 (sepuluh) hari sebelum pelaksanaan penutupan.
(3) Pelaksanaan penutupan Kantor Kas dan Kegiatan Kas di Luar Kantor BPR
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilaporkan kepada Bank
Indonesia paling lambat 10 (sepuluh) hari sejak tanggal penutupan disertai
dengan bukti pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
Pasal 59
(1) Penutupan sementara kantor pusat dan Kantor Cabang di luar hari libur
resmi wajib memperoleh persetujuan Bank Indonesia.
(2) Permohonan penutupan kantor sementara sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diajukan dengan menyebutkan alasan penutupan, jangka waktu
penutupan dan tanggal akan dibukanya kembali kantor dimaksud.
(3) Persetujuan….
- 52 -
(3) Persetujuan atau penolakan izin penutupan kantor sementara diberikan
paling lambat 10 (sepuluh) hari sejak permohonan diterima.
(4) BPR wajib mengumumkan rencana penutupan kantor sementara kepada
masyarakat dalam surat kabar harian lokal atau pada papan pengumuman di
seluruh kantor BPR yang bersangkutan paling lambat 10 (sepuluh) hari
sebelum tanggal penutupan, sejak memperoleh persetujuan Bank Indonesia.
(5) BPR wajib menyampaikan bukti pengumuman penutupan kantor sementara
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) kepada Bank Indonesia, paling lambat
3 (tiga) hari sejak tanggal pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat
(4).
(6) Penutupan kantor sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
sebanyak-banyaknya 5 (lima) hari kerja dalam kurun waktu 1 (satu) tahun
takwim.
(7) BPR wajib melaporkan pembukaan kembali kantor paling lambat 10
(sepuluh) hari sejak tanggal pembukaan.
BAB X
PERUBAHAN KEGIATAN USAHA
Pasal 60
(1) BPR dapat mengubah kegiatan usahanya menjadi BPRS dengan izin
Dewan Gubernur Bank Indonesia.
(2) Ketentuan….
- 53 -
(2) Ketentuan mengenai pemberian izin perubahan kegiatan usaha dari BPR
menjadi BPRS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tunduk kepada
Peraturan Bank Indonesia tentang BPR Berdasarkan Prinsip Syariah.
BAB XI
PELANGGARAN TERHADAP KEWAJIBAN PELAPORAN
Pasal 61
(1) BPR dinyatakan terlambat menyampaikan laporan apabila menyampaikan
laporan melampaui batas akhir penyampaian pelaporan tetapi belum
melampaui 30 (tiga puluh) hari sejak batas akhir penyampaian laporan.
(2) BPR dinyatakan tidak menyampaikan laporan apabila belum
menyampaikan laporan dalam kurun waktu keterlambatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
BAB XII
SANKSI
Pasal 62
(1) BPR yang melanggar ketentuan dalam Pasal 4 ayat (3), Pasal 12, Pasal 13
ayat (1), Pasal 14, Pasal 16 ayat (1), Pasal 17 ayat (1), Pasal 20, Pasal 21
ayat (2), Pasal 25 ayat (3), Pasal 26 ayat (5) dan ayat (6), Pasal 27, Pasal 28
ayat (1), Pasal 39 ayat (1), Pasal 40 ayat (1), Pasal 41 ayat (1), ayat (2) dan
ayat (5), Pasal 42, Pasal 43, Pasal 47 ayat (2), Pasal 49 ayat (1), Pasal 50
ayat (1) ….
- 54 -
ayat (1) dan ayat (2), Pasal 52 ayat (1) dan ayat (4), Pasal 53 ayat (1), Pasal
56 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 57 ayat (1) dan ayat (4), Pasal 58 ayat (1) dan
ayat (2), Pasal 59 ayat (1), ayat (4) dan ayat (6), dan Pasal 70 ayat (1) dan
ayat (4), dikenakan sanksi administratif sesuai dengan Pasal 52 Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, berupa:
a. teguran tertulis; dan/atau
b. penurunan nilai kredit dalam perhitungan tingkat kesehatan.
(2) BPR yang melanggar ketentuan dalam Pasal 11 ayat (2), Pasal 16 ayat (6),
Pasal 17 ayat (6), Pasal 18 ayat (1), Pasal 19, Pasal 21 ayat (1), Pasal 29
ayat (2), Pasal 30 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 38 ayat (2), Pasal 40 ayat (5),
Pasal 41 ayat (4), Pasal 49 ayat (6), Pasal 50 ayat (4), Pasal 51, Pasal 56
ayat (3), Pasal 57 ayat (5), Pasal 58 ayat (3) dan Pasal 59 ayat (5) dan ayat
(7) dikenakan sanksi administratif sesuai dengan Pasal 52 Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, berupa:
a. teguran tertulis dan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp100.000,00
(seratus ribu rupiah) untuk setiap keterlambatan laporan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1);
b. teguran tertulis dan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp250.000,00
(dua ratus lima puluh ribu rupiah), dalam hal BPR tidak menyampaikan
laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (2).
(3) Setiap….
- 55 -
(3) Setiap pihak yang melanggar ketentuan dalam Pasal 3 ayat (1), Pasal 8 ayat
(2) dan Pasal 31 ayat (2) dapat dikenakan sanksi pidana sesuai dengan
Pasal 46 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998.
Pasal 63
(1) BPR yang melanggar ketentuan pemenuhan modal disetor secara bertahap
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) dikenakan sanksi sebagai
berikut:
a. dilarang melakukan penyediaan dana baru;
b. menutup Kantor Cabang dan Kantor Kas;
c. menghentikan Kegiatan Kas di Luar Kantor;
d. menghentikan kegiatan usaha sebagai pedagang valuta asing (PVA), dan
e. wajib memindahkan alamat kantor ke wilayah yang sesuai dengan
tahapan pemenuhan modal disetor sebagaimana dimaksud dalam Pasal
69 ayat (1).
(2) Pemindahan alamat kantor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e
dikecualikan dari persyaratan menyampaikan analisis potensi dan kelayakan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf e.
Pasal 64….
- 56 -
Pasal 64
BPR yang melanggar ketentuan dalam Pasal 70 ayat (2) dan ayat (3) dikenakan
sanksi sebagai berikut:
a. menutup Kantor Cabang dan Kantor Kas,
b. menghentikan Kegiatan Kas di Luar Kantor, dan
c. menghentikan kegiatan usaha sebagai pedagang valuta asing (PVA).
Pasal 65
Anggota Direksi atau dewan Komisaris yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2), Pasal 24, Pasal 25 ayat (1), Pasal 30 ayat (2)
dan Pasal 71 ayat (1) dan ayat (3), dilarang menjadi pengurus BPR.
Pasal 66
(1) Anggota Direksi atau dewan Komisaris yang melanggar ketentuan rangkap
jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2) dan Pasal 26 ayat
(3) dan ayat (4) wajib melepaskan jabatan yang mengakibatkan terjadinya
rangkap jabatan, paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal surat
pemberitahuan dari Bank Indonesia.
(2) Anggota Direksi atau dewan Komisaris yang tidak memenuhi kewajiban
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang menjadi pengurus BPR.
Pasal 67….
- 57 -
Pasal 67
(1) Anggota Direksi dan/atau dewan Komisaris yang dilarang menjadi pengurus
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 dan Pasal 66 ayat (2) wajib
mengundurkan diri paling lambat 90 (sembilan puluh) hari sejak tanggal
surat pemberitahuan dari Bank Indonesia.
(2) Pihak-pihak yang dilarang menjadi anggota Direksi dan/atau dewan
Komisaris sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang melakukan tugas
operasional BPR dan/atau kegiatan lain yang mempunyai pengaruh
signifikan terhadap kebijakan dan kondisi keuangan BPR.
(3) Dalam hal pihak-pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak bersedia
mengundurkan diri maka:
a. BPR wajib menyelenggarakan Rapat Umum Pemegang Saham atau
Rapat Anggota dalam waktu paling lambat 90 (sembilan puluh) hari
sejak berakhirnya jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
untuk memberhentikan yang bersangkutan;
b. Bank Indonesia tidak mengakui segala hubungan hukum antara Bank
Indonesia dengan BPR yang diwakili oleh pihak-pihak yang
bersangkutan; dan
c. segala tindakan yang dilakukan oleh pihak-pihak tersebut merupakan
tanggung jawab pribadi yang bersangkutan.
(4) Dalam hal Rapat Umum Pemegang Saham atau Rapat Anggota
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a tidak dapat diselenggarakan,
Bank Indonesia dapat menunjuk dan mengangkat pengganti sementara
sampai ….
- 58 -
sampai Rapat Umum Pemegang Saham atau Rapat Anggota mengangkat
pengganti tetap dengan persetujuan Bank Indonesia.
(5) Pemegang saham yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) huruf a, dapat dikenakan sanksi sesuai dengan Pasal 50 Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998.
BAB XIII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 68
(1) Persetujuan prinsip pendirian BPR yang telah diberikan oleh Bank
Indonesia namun belum memperoleh izin usaha pada saat berlakunya
Peraturan Bank Indonesia ini, dinyatakan tetap berlaku.
(2) Permohonan persetujuan prinsip untuk pendirian BPR, permohonan
pembukaan kantor, permohonan Kegiatan Kas di Luar Kantor dengan
menggunakan ATM, pemindahan alamat kantor, perubahan nama dan
bentuk badan hukum serta penutupan kantor yang telah diajukan kepada
Bank Indonesia dan belum mendapat persetujuan atau penolakan, akan
diselesaikan berdasarkan Peraturan Bank Indonesia ini.
Pasal 69….
- 59 -
Pasal 69
(1) BPR yang belum memenuhi persyaratan modal disetor sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) wajib memenuhi ketentuan dimaksud
sebagai berikut:
a. paling sedikit 40% (empat puluh perseratus) dari modal disetor pada
tanggal 31 Desember 2006;
b. paling sedikit 70% (tujuh puluh perseratus) dari modal disetor pada
tanggal 31 Desember 2008;
c. 100% (seratus perseratus) dari modal disetor pada tanggal 31 Desember
2010.
(2) BPR yang telah melakukan setoran modal secara riil namun belum
didukung dengan kelengkapan persyaratan untuk digolongkan sebagai
modal disetor, dinyatakan telah memenuhi persyaratan modal disetor
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sepanjang telah melapor kepada atau
meminta persetujuan/pengesahan dari instansi berwenang.
Pasal 70
(1) BPR yang belum memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
12 wajib memenuhi ketentuan dimaksud paling lambat 6 (enam) bulan
sejak berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini.
(2) BPR….
- 60 -
(2) BPR yang belum memiliki jumlah anggota Direksi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 23 ayat (1) wajib memenuhi ketentuan dimaksud paling lambat
tanggal 31 Desember 2006.
(3) BPR yang belum memiliki jumlah anggota dewan Komisaris sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) wajib memenuhi ketentuan dimaksud
paling lambat tanggal 31 Desember 2008.
(4) Dalam hal jumlah anggota dewan Komisaris belum memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) sehingga rapat dewan
Komisaris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (5) belum dapat
dilaksanakan, anggota dewan Komisaris wajib melakukan rapat berkala
dengan Direksi paling sedikit 4 (empat) kali dalam setahun, dihitung mulai
tahun 2007.
Pasal 71
(1) Anggota Direksi yang belum memenuhi pendidikan formal sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) wajib memenuhi ketentuan dimaksud
paling lambat pada tanggal 31 Desember 2008.
(2) Pemenuhan kewajiban bagi calon anggota Direksi untuk memiliki sertifikat
kelulusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c angka 10
diatur sebagai berikut:
a. setelah tanggal 31 Desember 2006, bagi paling sedikit 1 (satu) orang
calon anggota Direksi;
b. setelah tanggal 31 Desember 2008, bagi seluruh calon anggota Direksi.
(3) Pemenuhan….
- 61 -
(3) Pemenuhan kewajiban bagi anggota Direksi untuk memiliki sertifikat
kelulusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 diatur sebagai berikut:
a. paling sedikit 1 (satu) orang anggota Direksi wajib memiliki sertifikat
kelulusan paling lambat pada tanggal 31 Desember 2006;
b. anggota Direksi lainnya wajib memiliki sertifikat kelulusan paling
lambat pada tanggal 31 Desember 2008.
BAB XIV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 72
Peraturan Bank Indonesia ini tidak diberlakukan bagi BPR eks Badan Kredit
Desa (BKD) yang didirikan berdasarkan Staatsblad Tahun 1929 Nomor 357 dan
Rijksblad Tahun 1937 Nomor 9.
Pasal 73
Ketentuan pelaksanaan tentang BPR diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank
Indonesia.
Pasal 74
(1) Dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini maka Peraturan Bank
Indonesia Nomor 6/22/PBI/2004 tanggal 9 Agustus 2004 tentang Bank
Perkreditan Rakyat dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
(2) Ketentuan….
- 62 -
(2) Ketentuan pelaksanaan Peraturan Bank Indonesia No. 6/22/PBI/2004
tanggal 9 Agustus 2004 tentang BPR, sepanjang tidak bertentangan dengan
Peraturan Bank Indonesia ini dinyatakan tetap berlaku sampai dengan
dicabut, diganti atau diperbaharui.
Pasal 75
Peraturan Bank Indonesia ini berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 8 November 2006
GUBERNUR BANK INDONESIA,
BURHANUDDIN ABDULLAH
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2006 NOMOR 87
DPBPR
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 8/26/PBI/2006
TENTANG
BANK PERKREDITAN RAKYAT
UMUM
Dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi nasional dan mendukung
perkembangan usaha yang bersifat dinamis, diperlukan perbankan nasional yang
tangguh, termasuk industri Bank Perkreditan Rakyat yang sehat, kuat, produktif
dan memiliki daya saing agar mampu melayani masyarakat, terutama pengusaha
mikro dan kecil.
Sejalan dengan visi perbankan nasional untuk mencapai sistem perbankan
yang sehat, kuat dan efisien guna menciptakan kestabilan sistem keuangan maka
kelembagaan industri Bank Perkreditan Rakyat perlu diperkuat, antara lain pada
aspek permodalan dan aspek kompetensi anggota dan calon anggota Direksi.
Selain itu, dalam rangka meningkatkan fungsi intermediasi Bank
Perkreditan Rakyat melalui perluasan jaringan kantor, ketentuan pembukaan
Kantor Cabang perlu direlaksasi dengan tetap memperhatikan prinsip kehati-
hatian berupa kemampuan permodalan dan aspek kelayakan usaha (feasibility
study).
PASAL ….
- 2 -
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Pemberian izin kegiatan usaha dilakukan dengan keputusan Gubernur
Bank Indonesia.
Pasal 4
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Paling sedikit 50% (lima puluh perseratus) dari modal disetor BPR
digunakan untuk modal kerja, setelah dikurangi biaya dalam rangka
pendirian dan mempersiapkan operasional BPR, antara lain biaya
pendirian dan beli/sewa tempat usaha.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6 …
- 3 -
Pasal 6
Ayat (1)
Huruf a
Di depan nama BPR dicantumkan bentuk badan hukum dan
kata “Bank Perkreditan Rakyat” atau disingkat BPR.
Contoh : PT BPR XYZ
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Angka 1
Cukup jelas.
Angka 2
Cukup jelas.
Angka 3
Cukup jelas.
Angka 4
Cukup jelas.
Angka 5
Cukup jelas.
Angka 6…
- 4 -
Angka 6
Cukup jelas.
Angka 7
Cukup jelas.
Angka 8
Cukup jelas.
Angka 9
Cukup jelas.
Angka 10
Cukup jelas.
Angka 11
Cukup jelas.
Angka 12
Cukup jelas.
Angka 13
Cukup jelas.
Angka 14
Ketentuan ini dimaksudkan agar anggota Direksi
tidak melakukan kegiatan yang dapat menganggu
pelaksanaan …
- 5 -
pelaksanaan tugas dan tanggung jawab sebagai
Direksi.
Angka 15
Cukup jelas.
Angka 16
Ketentuan ini dimaksudkan agar anggota dewan
Komisaris secara sungguh-sungguh memenuhi
fungsinya dalam mengawasi BPR.
Huruf d
Antara lain meliputi bagan organisasi, garis tanggung jawab
horizontal dan vertikal, serta jabatan paling rendah sampai
dengan tingkatan Pejabat Eksekutif.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Contoh penulisan keterangan atas setoran modal pada bilyet
deposito adalah “Dewan Gubernur Bank Indonesia qq. Sdr.
‘A’ untuk pendirian PT BPR ‘XYZ’ ”.
Huruf h …
- 6 -
Huruf h
Dalam hal calon pemegang saham BPR berbentuk badan
hukum, surat pernyataan dibuat dan disampaikan oleh
pengurus yang mempunyai wewenang untuk mewakili
badan hukum yang bersangkutan.
Dalam hal calon pemegang saham BPR adalah Pemerintah
Daerah, surat pernyataan dapat digantikan oleh surat
keputusan Kepala Daerah.
Ayat (2)
Huruf a
Angka 1
Cukup jelas.
Angka 2
Dalam hal tidak terdapat calon Pemegang Saham
Pengendali maka surat pernyataan ditandatangani
oleh calon pemegang saham yang mewakili calon
pemegang saham lain sehingga jumlah kepemilikan
saham paling sedikit mencapai 51% (lima puluh satu
perseratus).
Huruf b
Angka 1
Cukup jelas.
Angka 2 …
- 7 -
Angka 2
Cukup jelas.
Angka 3
Cukup jelas.
Angka 4
BPR yang dimiliki Pemerintah Daerah dapat
menyampaikan APBD tahun berjalan yang memuat
anggaran pendirian BPR dimaksud dan telah
disahkan oleh DPRD setempat.
Angka 5
Cukup jelas.
Angka 6
Dalam hal tidak terdapat badan hukum yang
merupakan calon Pemegang Saham Pengendali maka
surat pernyataan ditandatangani oleh para pengurus
yang mewakili badan hukum tersebut sehingga
jumlah kepemilikan saham paling sedikit mencapai
51% (lima puluh satu perseratus).
Surat pernyataan dari pengurus badan hukum
Pemerintah Daerah dibuat oleh Gubernur, Bupati atau
Walikota.
Angka 7…
- 8 -
Angka 7
Surat pernyataan disampaikan oleh pihak-pihak yang
berdasarkan penilaian Bank Indonesia mengendalikan
baik secara langsung maupun tidak langsung atas
seluruh kelompok usaha.
Angka 8
Yang dimaksud dengan kelompok usaha adalah:
a. perorangan dan badan hukum;
b. beberapa orang; atau
c. beberapa badan hukum,
yang memiliki keterkaitan kepengurusan,
kepemilikan atau hubungan keuangan.
Angka 9
Cukup jelas.
Pasal 7
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Apabila diperlukan, Bank Indonesia dapat melakukan
pemeriksaan dalam rangka meneliti kebenaran dokumen.
Huruf b…
- 9 -
Huruf b
Dalam hal calon Pemegang Saham Pengendali berbentuk
badan hukum maka wawancara dilakukan terhadap pengurus
badan hukum atau pejabat yang diberikan wewenang
mewakili badan hukum yang bersangkutan.
Dalam hal tidak terdapat calon Pemegang Saham Pengendali
maka wawancara dilakukan terhadap para calon pemegang
saham yang secara keseluruhan memiliki saham paling
sedikit mencapai 51% (lima puluh satu perseratus).
Dalam hal BPR merupakan bagian dari kepemilikan suatu
kelompok usaha maka wawancara terhadap calon Pemegang
Saham Pengendali dilakukan terhadap pihak-pihak yang
menurut penilaian Bank Indonesia mengendalikan baik
secara langsung maupun tidak langsung atas seluruh
kelompok usaha.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9…
- 10 -
Pasal 9
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Contoh penulisan keterangan atas setoran modal pada bilyet
deposito adalah “Dewan Gubernur Bank Indonesia qq. Sdr. ‘A’
untuk pendirian PT BPR ‘XYZ’.
Huruf f
Dalam hal pemegang saham adalah Pemerintah Daerah, surat
pernyataan dapat digantikan oleh surat keputusan Kepala Daerah.
Huruf g
Yang dimaksud dengan aktiva tetap dan inventaris adalah aktiva
berwujud yang diperoleh dalam bentuk siap pakai atau dibangun
lebih dahulu, yang digunakan dalam kegiatan operasional dan tidak
dimaksudkan untuk dijual.
Daftar …
- 11 -
Daftar aktiva tetap dan inventaris disertai dengan harga perolehan.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Ayat (1)
Pelaksanaan kegiatan usaha ditunjukkan oleh telah beroperasinya
kantor BPR dalam menghimpun atau menyalurkan dana.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 12
Bentuk badan hukum dan kata “Bank Perkreditan Rakyat” atau “BPR”
dicantumkan secara jelas, antara lain pada papan nama, kop surat, sarana
publikasi yang digunakan, buku tabungan, bilyet deposito dan warkat
pembukuan.
Contoh: PT Bank Perkreditan Rakyat XYZ, atau PT BPR XYZ
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14…
- 12 -
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku antara lain ketentuan mengenai merger, konsolidasi dan
akuisisi BPR dan ketentuan mengenai penilaian kemampuan dan
kepatutan (fit and proper test) BPR.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 17…
- 13 -
Pasal 17
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Dalam rangka memberikan persetujuan Bank Indonesia melakukan
penelitian administratif untuk memastikan bahwa pihak-pihak yang
menjadi pengganti atau pemilik baru tidak termasuk dalam daftar
kredit macet dan tidak sedang dalam masa pengenaan sanksi untuk
dilarang menjadi pengurus BPR, BPRS dan/atau Bank Umum
sebagaimana diatur dalam ketentuan mengenai penilaian
kemampuan dan kepatutan (fit and proper test) BPR.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat ( 6)
Cukup jelas.
Pasal 18….
- 14 -
Pasal 18
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan perubahan komposisi kepemilikan adalah
perubahan persentase kepemilikan saham diantara para pemegang
saham lama, tanpa penggantian dan/atau penambahan Pemegang
Saham Pengendali.
Ayat (2)
Penyampaian risalah Rapat Umum Pemegang Saham atau Rapat
Anggota dilampiri bukti pelaporan kepada instansi yang
berwenang.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Nilai aktiva tetap dan inventaris yang diperhitungkan adalah
sebesar nilai buku.
Pasal 21….
- 15 -
Pasal 21
Ayat (1)
Dalam hal BPR menerima surat persetujuan perubahan anggaran
dasar dari instansi yang berwenang melalui Notaris maka laporan
perubahan modal dasar dilampiri tanda terima surat persetujuan
perubahan dari Notaris.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 22
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 23
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)….
- 16 -
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Pengetahuan dan/atau pengalaman di bidang perbankan
ditunjukkan dengan bukti formal mengikuti pendidikan atau surat
keterangan mengenai pengalaman di bidang perbankan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c angka 11 dan
angka 12.
Ayat (3)….
- 17 -
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan ayat ini adalah bahwa seseorang hanya
dapat menjabat sebagai Komisaris paling banyak pada 3 (tiga)
BPR, pada 1 (satu) BPR dan 2 (dua) BPRS atau pada 2 (dua) BPR
dan 1 (satu) BPRS.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Rapat dewan Komisaris dibuktikan dengan risalah rapat dan
dimaksudkan sebagai pengawasan terhadap pelaksanaan tugas dan
tanggung jawab Direksi.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 27
Yang dimaksud dengan benturan kepentingan adalah terjadinya benturan
kepentingan ekonomis BPR dengan kepentingan ekonomis pribadi
pemilik, anggota Direksi, dewan Komisaris, Pejabat Eksekutif, dan/atau
pihak terkait lainnya.
Pasal 28
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)….
- 18 -
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Penilaian meliputi penelitian atas kelengkapan dan kebenaran
dokumen termasuk informasi mengenai Daftar Tidak Lulus dan
Daftar Kredit Macet.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)….
- 19 -
Ayat (3)
Sebagai konsekuensi maka:
a. BPR di Provinsi Jawa Barat di luar Kabupaten atau Kota Bogor,
Depok, Bekasi dan Karawang tidak dapat membuka Kantor
Cabang di Kabupaten atau Kota Bogor, Depok, Bekasi dan
Karawang;
b. BPR di Provinsi Banten di luar Kabupaten atau Kota Tangerang
tidak dapat membuka Kantor Cabang di Kabupaten atau Kota
Tangerang.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 32
Ayat (1)
Pembukaan Kantor Cabang yang disebabkan oleh merger atau
konsolidasi dilakukan dengan mengacu pada ketentuan yang
berlaku mengenai merger, konsolidasi dan akuisisi BPR.
Huruf a
Di dalam rencana kerja disebutkan jumlah Kantor Cabang
yang akan dibuka
Huruf b….
- 20 -
Huruf b
Pemenuhan persyaratan tingkat kesehatan didasarkan pada
administrasi Bank Indonesia, dengan merujuk pada laporan
terakhir yang diterima Bank Indonesia.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Teknologi informasi yang memadai termasuk, namun tidak
terbatas pada, aplikasi tabungan, deposito dan kredit.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Contoh:
Yang dimaksud dengan disetujui Bank Indonesia adalah izin
operasional Kantor Cabang.
Apabila permohonan pembukaan 1 (satu) Kantor Cabang pada
bulan Februari 2007 disetujui oleh Bank Indonesia pada bulan
April 2007 maka permohonan pembukaan 1 (satu) Kantor Cabang
berikutnya dapat diajukan paling cepat pada bulan Juli 2007.
Pasal 33 ….
- 21 -
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Ayat (1)
Pemberlakuan persetujuan prinsip dimaksudkan agar BPR memiliki
waktu untuk mempersiapkan sarana dan prasarana yang diperlukan
untuk melakukan kegiatan operasional Kantor Cabang.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 37
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)….
- 22 -
Ayat (3)
Apabila diperlukan, Bank Indonesia dapat melakukan pemeriksaan
dalam rangka meneliti kesiapan operasional Kantor Cabang.
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
Ayat (1)
Kantor induk dapat berupa kantor pusat atau Kantor Cabang.
Ayat (2)
Pemenuhan persyaratan tingkat kesehatan didasarkan pada
administrasi Bank Indonesia, dengan merujuk pada laporan terakhir
yang diterima Bank Indonesia.
Pasal 40
Cukup jelas.
Pasal 41
Ayat (1)
Tidak termasuk dalam pengertian Kegiatan Kas di Luar Kantor
adalah kegiatan yang dilakukan dalam rangka promosi, tidak
bersifat permanen dan tidak melakukan kegiatan kas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)….
- 23 -
Ayat (3)
Dalam kerjasama ini BPR tidak bertindak sebagai anggota
langsung dari jaringan bersama ATM.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Dalam hal BPR bertindak sebagai penerbit kartu ATM maka
tunduk pada ketentuan Bank Indonesia yang berlaku mengenai alat
pembayaran dengan menggunakan kartu.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 42
Cukup jelas.
Pasal 43
Cukup jelas.
Pasal 44
Cukup jelas.
Pasal 45….
- 24 -
Pasal 45
Ayat (1)
Pemindahan alamat kantor BPR dalam satu wilayah Kabupaten
atau Kota tidak membutuhkan persetujuan prinsip.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 46
Cukup jelas.
Pasal 47
Cukup jelas.
Pasal 48
Bukti kesiapan kantor antara lain termasuk surat perizinan dari instansi
setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 49
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan surat kabar harian lokal adalah surat kabar
yang mempunyai peredaran di wilayah kedudukan BPR.
Papan pengumuman diletakkan pada tempat yang mudah dilihat
dan dibaca.
Ayat (2) ….
- 25 -
Ayat (2)
Apabila diperlukan, Bank Indonesia dapat melakukan pemeriksaan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 50
Cukup jelas.
Pasal 51
Cukup jelas.
Pasal 52
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3) ….
- 26 -
Ayat (3)
Persetujuan Bank Indonesia diberikan dalam bentuk keputusan.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan surat kabar harian lokal adalah surat kabar
yang mempunyai peredaran di wilayah kedudukan BPR.
Papan pengumuman diletakkan pada tempat yang mudah dilihat
dan dibaca.
Ayat (5)
Bukti pengumuman berupa guntingan surat kabar yang memuat
pengumuman atau fotokopi pengumuman yang ditempel di kantor
BPR.
Pasal 53
Ayat (1)
Peraturan perundang-undangan yang berlaku antara lain Undang-
Undang tentang Perseroan Terbatas, Undang-Undang tentang
Perkoperasian dan Undang-Undang tentang Perusahaan Daerah.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 54
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)….
- 27 -
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Terhadap calon Pemegang Saham, penelitian atas
kelengkapan dan kebenaran dokumen termasuk informasi
mengenai Daftar Tidak Lulus dan Daftar Kredit Macet.
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 55
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3) ….
- 28 -
Ayat (3)
Terhadap calon Pemegang Saham, penelitian atas kelengkapan dan
kebenaran dokumen termasuk informasi mengenai Daftar Tidak
Lulus dan Daftar Kredit Macet.
Pasal 56
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Pelaksanaan pengalihan seluruh hak dan kewajiban
dibuktikan dengan akta berita acara pengalihan yang
dinotariilkan
Ayat (2)
Persetujuan Bank Indonesia diberikan dalam bentuk keputusan.
Yang dimaksud dengan surat kabar harian lokal adalah surat kabar
yang mempunyai peredaran di wilayah kedudukan BPR.
Papan pengumuman diletakkan pada tempat yang mudah dilihat
dan dibaca.
Ayat (3) ….
- 29 -
Ayat (3)
Bukti pengumuman berupa guntingan surat kabar yang memuat
pengumuman atau fotokopi pengumuman yang ditempel di kantor
BPR.
Pasal 57
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan surat kabar harian lokal adalah surat kabar
yang mempunyai peredaran di wilayah kedudukan BPR.
Papan pengumuman diletakkan pada tempat yang mudah dilihat
dan dibaca.
Ayat (5)
Bukti pengumuman berupa guntingan surat kabar yang memuat
pengumuman atau fotokopi pengumuman yang ditempel di kantor
BPR.
Pasal 58 ….
- 30 -
Pasal 58
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan surat kabar harian lokal adalah surat kabar
yang mempunyai peredaran di wilayah kedudukan BPR.
Papan pengumuman diletakkan pada tempat yang mudah dilihat
dan dibaca.
Ayat (3)
Bukti pengumuman berupa guntingan surat kabar yang memuat
pengumuman atau fotokopi pengumuman yang ditempel di kantor
BPR.
Pasal 59
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4) ….
- 31 -
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan surat kabar harian lokal adalah surat kabar
yang mempunyai peredaran di wilayah kedudukan BPR.
Papan pengumuman diletakkan pada tempat yang mudah dilihat
dan dibaca.
Ayat (5)
Bukti pengumuman berupa guntingan surat kabar yang memuat
pengumuman atau fotokopi pengumuman yang ditempel di kantor
BPR.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 60
Cukup jelas.
Pasal 61
Termasuk dalam pengertian menyampaikan laporan adalah
menyampaikan bukti-bukti pengumuman sebagaimana diatur dalam
Peraturan Bank Indonesia ini.
Pasal 62
Cukup jelas.
Pasal 63….
- 32 -
Pasal 63
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan larangan penyediaan dana baru adalah
larangan pemberian kredit kepada debitur baru, larangan
menempatkan dana dan/atau memperpanjang penempatan dana
antar bank.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 64
Cukup jelas.
Pasal 65
Cukup jelas.
Pasal 66
Cukup jelas.
Pasal 67
Cukup jelas.
Pasal 68
Cukup jelas.
Pasal 69….
- 33 -
Pasal 69
Ayat (1)
Dalam rangka mendukung pemenuhan persyaratan modal disetor,
Bank Indonesia mendorong BPR untuk melakukan merger,
konsolidasi atau akuisisi.
Ayat (2)
Permintaan pengesahan atau pelaporan/permintaan persetujuan
dibuktikan oleh dokumen tertulis dari Kepala Daerah kepada
DPRD, bagi BPR berbentuk hukum Perusahaan Daerah atau dari
Direksi kepada instansi berwenang, bagi BPR berbentuk hukum
Perseroran Terbatas atau Koperasi.
Pasal 70
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)….
- 34 -
Ayat (4)
Rapat anggota dewan Komisaris dengan Direksi dibuktikan dengan
risalah rapat dan dimaksudkan sebagai pengawasan terhadap
pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Direksi.
Pasal 71
Cukup jelas.
Pasal 72
Cukup jelas.
Pasal 73
Cukup jelas.
Pasal 74
Cukup jelas.
Pasal 75
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4656
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 8/26/PBI/2006 </reg_id>
<reg_title> BANK PERKREDITAN RAKYAT </reg_title>
<set_date> 8 November 2006 </set_date>
<effective_date> 8 November 2006 </effective_date>
<replaced_reg> '6/22/PBI/2004' </replaced_reg>
<related_reg> '23/UU/1999', '3/UU/2004', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB XII' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 5/ 18 /PBI/2003
TENTANG
PEMBERIAN BANTUAN TEKNIS
DALAM RANGKA PENGEMBANGAN USAHA MIKRO DAN KECIL
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang
:
a. bahwa Usaha Mikro dan Kecil mampu bertahan
dalam kondisi krisis ekonomi dan memiliki peran
yang strategis dalam struktur perekonomian
nasional sehingga perlu didukung dalam
pengembangannya;
b. bahwa dalam rangka mendukung pengembangan
Usaha Mikro dan Kecil, maka Bank Indonesia
menganggap perlu memperluas peranannya dalam
pemberian Bantuan Teknis yang selama ini hanya
diberikan kepada Bank menjadi meliputi pula
kepada Lembaga Penyedia Jasa;
c. bahwa berhubung dengan itu dipandang perlu
untuk menetapkan ketentuan tentang Pemberian
Bantuan Teknis Dalam Rangka Pengembangan
Usaha Mikro dan Kecil dalam Peraturan Bank
Indonesia;
Mengingat
:
1. Undang-undang No. 23 tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3843);
2. Undang ….
-2-
2. Undang-undang Nomor 7 tahun 1992 tentang
Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1992 No. 31, Tambahan Lembaran Negara
No. 3472) sebagaimana telah diubah dengan
Undang-undang Nomor 10 tahun 1998 (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1992 No. 182,
Tambahan Lembaran Negara No. 3790);
3. Undang-undang No. 9 tahun 1995 tentang Usaha
Kecil (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1995 Nomor 74, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3611);
4. Peraturan Bank Indonesia No. 3/2/PBI/2001
tanggal 4 Januari 2001 tentang Pemberian Kredit
Usaha Kecil (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2001 No. 3, Tambahan
Lembaran Negara No. 4072);
5. Keputusan Menteri Keuangan
No.40/KMK.06/2003 tanggal 29 Januari 2003
tentang Pendanaan Kredit Usaha Mikro dan Kecil.
MEMUTUSKAN :
Menetapkan
: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG
PEMBERIAN BANTUAN TEKNIS DALAM
RANGKA PENGEMBANGAN USAHA MIKRO
DAN KECIL.
BAB ….
-3-
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan ini yang dimaksud dengan :
1. Bank adalah Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat sebagaimana
dimaksud dalam Undang-undang Nomor 7 tahun 1992 tentang
Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor
10 tahun 1998.
2. Bantuan Teknis adalah bantuan yang diberikan Bank Indonesia kepada
Bank dan Lembaga Penyedia Jasa dalam rangka pengembangan Usaha
Mikro dan Kecil.
3. Usaha Mikro adalah usaha produktif milik keluarga atau perorangan
Warga Negara Indonesia dan memiliki hasil penjualan paling banyak
Rp 100.000.000,00 (seratus juta Rupiah) per tahun sebagaimana
dimaksud dalam Keputusan Menteri Keuangan No.40/KMK.06/2003
tanggal 29 Januari 2003 tentang Pendanaan Kredit Usaha Mikro dan
Kecil.
4. Usaha Kecil adalah kegiatan ekonomi rakyat yang berskala kecil dan
memenuhi kriteria sebagai berikut :
a. memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua
ratus juta rupiah), tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha;
atau
b. memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp
1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah);
c. milik Warga Negara Indonesia;
d. berdiri….
-4-
d. berdiri sendiri, bukan merupakan anak perusahaan atau cabang
perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau berafiliasi baik langsung
maupun tidak langsung dengan Usaha Menengah atau Usaha Besar;
e. berbentuk usaha perseorangan, badan usaha yang tidak berbadan
hukum, atau badan usaha yang berbadan hukum, termasuk koperasi,
sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 9 tahun 1995
tentang Usaha Kecil.
5. Lembaga Pelatih adalah lembaga yang mempunyai kemampuan dan
pengalaman untuk memberikan pelatihan kepada Bank dan atau
Lembaga Penyedia Jasa dalam rangka pengembangan Usaha Mikro dan
Kecil.
6. Lembaga Penyedia Jasa (Business Development Services Provider)
adalah lembaga yang menyediakan jasa konsultasi dan atau
pendampingan di bidang manajemen/analisis keuangan kepada Usaha
Mikro dan Kecil agar terjalin kemitraan dengan Bank atau terjadinya
penyaluran dana Bank kepada Usaha Mikro dan Kecil tersebut disertai
pembinaannya.
BAB II
TUJUAN BANTUAN TEKNIS
Pasal 2
Tujuan pemberian Bantuan Teknis adalah dalam rangka membantu
pengembangan Usaha Mikro dan Kecil.
BAB….
-5-
BAB III
PEMBERIAN BANTUAN TEKNIS
Pasal 3
(1) Bantuan Teknis dapat diberikan kepada Bank dan Lembaga Penyedia
Jasa.
(2) Lembaga Penyedia Jasa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
sekurang-kurangnya memenuhi standar kualifikasi sebagai berikut :
a. telah terdaftar pada instansi pemerintah atau dibentuk oleh instansi
pemerintah sekurang-kurangnya selama 2 (dua) tahun;
b. mempunyai pengalaman dalam membina Usaha Mikro dan Kecil
di bidang keuangan sekurang-kurangnya 1(satu) tahun;
c. mempunyai perangkat organisasi yang memadai, sekurang-
kurangnya memiliki pengurus dan konsultan serta alamat kantor
yang jelas; dan
d. mempunyai komitmen dalam pengembangan Usaha Mikro dan
Kecil.
BAB IV
BENTUK BANTUAN TEKNIS
Pasal 4
Bantuan Teknis diberikan dalam bentuk pelatihan dan penyediaan
informasi.
BAB V
PELATIHAN
Pasal 5
(1) Pelatihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 mencakup :
a. aspek ….
-6-
a. aspek pemberian kredit mikro dan kecil secara individual;
b. aspek pemberian kredit mikro dan kecil secara kelompok;
c. aspek keuangan.
(2) Materi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a dan b diberikan
dalam bentuk pelatihan kepada Bank.
(3) Materi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf c diberikan dalam
bentuk pelatihan kepada Lembaga Penyedia Jasa.
Pasal 6
(1) Pelatihan kepada Bank dapat diberikan oleh Bank Indonesia atau
Lembaga Pelatih.
(2) Pelatihan kepada Lembaga Penyedia Jasa diberikan oleh Bank
Indonesia melalui Lembaga Pelatih.
Pasal 7
(1) Lembaga Pelatih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 sekurang-
kurangnya memenuhi kriteria sebagai berikut :
a. telah terdaftar pada instansi pemerintah atau dibentuk oleh instansi
pemerintah sekurang-kurangnya selama 5 (lima) tahun;
b. mempunyai tenaga pelatih di bidang jasa keuangan dengan
pendidikan sekurang-kurangnya lulusan Strata satu; dan
c. mempunyai pengalaman dalam memberikan pelatihan di bidang
jasa keuangan dalam rangka pengembangan Usaha Mikro dan Kecil
sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun.
(2) Bank Indonesia akan melakukan seleksi terhadap Lembaga Pelatih
yang memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
(3) Berdasarkan ….
-7-
(3) Berdasarkan hasil seleksi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) Bank
Indonesia menunjuk Lembaga Pelatih yang akan melaksanakan
pelatihan.
(4) Pelaksanaan pelatihan oleh Lembaga Pelatih sebagaimana dimaksud
dalam ayat (3) didasarkan pada perjanjian kerjasama.
Pasal 8
(1) Bank Indonesia memberitahukan rencana pelatihan kepada Bank secara
langsung atau melalui Lembaga Pelatih pada triwulan pertama setiap
tahun untuk program selama 1 (satu) tahun.
(2) Bank mengajukan permohonan keikutsertaan pelatihan kepada Bank
Indonesia sebagai berikut :
a. Bank Indonesia cq Biro Kredit atau Direktorat Pengawasan Bank
Perkreditan Rakyat, Jl. MH Thamrin No. 2 Jakarta Pusat, bagi Bank
yang berkedudukan di Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta,
Propinsi Banten (Kabupaten Lebak, Kabupaten Pandeglang,
Kabupaten Serang, Kabupaten/Kota Tangerang, Kota Cilegon),
Kabupaten/Kota Bekasi, Kabupaten/Kota Bogor, Kabupaten
Karawang dan Kota Depok.
b. Kantor Bank Indonesia setempat, bagi Bank yang berkedudukan di
luar wilayah sebagaimana dimaksud dalam huruf a.
Pasal 9
Bank Indonesia memberitahukan rencana pelatihan kepada Lembaga
Penyedia Jasa melalui Lembaga Pelatih yang ditunjuk sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3).
Pasal ….
-8-
Pasal 10
(1) Biaya pelaksanaan pelatihan ditanggung bersama oleh Bank Indonesia
dan peserta pelatihan.
(2) Peserta pelatihan akan dibebani biaya partisipasi pelatihan sebanyak-
banyaknya 50% (lima puluh per seratus) dari biaya pelatihan.
BAB VI
PENYEDIAAN INFORMASI
Pasal 11
(1) Informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 meliputi :
a. data statistik perkreditan;
b. data komoditas di suatu daerah yang potensial untuk dikembangkan;
c. data komoditas yang potensial untuk diekspor;
d. model pembiayaan komoditas yang potensial dibiayai bank;
e. informasi lain dalam rangka pengembangan Usaha Mikro dan Kecil.
(2) Informasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diberikan
sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan yang mengatur
mengenai rahasia bank.
Pasal 12
Permohonan untuk mendapatkan informasi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 11 ayat (1) dialamatkan kepada :
a. Bank Indonesia cq Biro Kredit, Jl. MH Thamrin No. 2 Jakarta Pusat,
bagi Bank, Lembaga Penyedia Jasa dan pihak lain yang berkedudukan
di Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Propinsi Banten (Kabupaten
Lebak, Kabupaten Pandeglang, Kabupaten Serang, Kabupaten/Kota
Tangerang ….
-9-
Tangerang, Kota Cilegon), Kabupaten/Kota Bekasi, Kabupaten/Kota
Bogor, Kabupaten Karawang dan Kota Depok.
b. Kantor Bank Indonesia setempat, bagi Bank, Lembaga Penyedia Jasa,
dan pihak lain yang berkedudukan di luar wilayah sebagaimana
dimaksud dalam huruf a.
BAB VII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 13
(1) Lembaga yang telah melakukan kerjasama dengan Bank Indonesia
dalam rangka memberikan pelatihan kepada Lembaga Penyedia Jasa
dan belum memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7
ayat (1) diberikan status sebagai Lembaga Pelatih berdasarkan
Peraturan Bank Indonesia ini.
(2) Dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sejak berlakunya Peraturan Bank
Indonesia ini, lembaga sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus
memenuhi persyaratan sebagai Lembaga Pelatih sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1).
BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 14
Dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini, maka:
1. Pasal 4 PBI Nomor 3/2/PBI/2001 tanggal 4 Januari 2001 tentang
Pemberian Kredit Usaha Kecil;
2. angka VII Surat Edaran Nomor 3/9/BKr tanggal 17 Mei 2001
tentang….
-10-
tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemberian Kredit Usaha Kecil,
dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 15
Peraturan pelaksanaan Peraturan Bank Indonesia ini diatur lebih lanjut
dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 16
Peraturan Bank Indonesia ini berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 9 September 2003
GUBERNUR BANK INDONESIA
BURHANUDDIN ABDULLAH
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2003 NOMOR 102
BKr
-11-
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 5/ 18 /PBI/2003
TENTANG
PEMBERIAN BANTUAN TEKNIS
DALAM RANGKA PENGEMBANGAN USAHA MIKRO DAN KECIL
UMUM
Usaha Mikro dan Kecil di Indonesia menunjukkan peran yang strategis
dalam mempertahankan dan memulihkan perekonomian nasional. Berkaitan
dengan hal tersebut, Pemerintah, Bank Indonesia dan berbagai pihak telah
memberikan perhatian terhadap pengembangan Usaha Mikro dan Kecil
tersebut. Pengalaman dan keahlian yang dimiliki oleh Bank Indonesia
diharapkan dapat membantu pengembangan Usaha Mikro dan Kecil. Oleh
karena itu Bank Indonesia sejauh yang diperkenankan oleh UU No. 23
tahun 1999 tetap akan membantu pengembangan Usaha Mikro dan Kecil
secara tidak langsung dengan meningkatkan intensitas dan efektifitas
pemberian Bantuan Teknis.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Angka 1
Cukup jelas
Angka 2
Cukup jelas
Angka 3
Cukup jelas
Angka ….
-12-
Angka 4
Cukup jelas
Angka 5
Cukup jelas
Angka 6
Cukup jelas
Pasal 2
Cukup jelas
Pasal 3
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan instansi pemerintah antara lain
Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia,
Kantor Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil
Menengah, Departemen Dalam Negeri, Badan
Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN).
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Yang dimaksud dengan konsultan adalah tenaga ahli
yang memberikan bimbingan kepada usaha mikro dan
kecil di bidang keuangan dan atau non keuangan.
Huruf d
Komitmen pengembangan Usaha Mikro dan Kecil,
antara ….
-13-
antara lain tertuang dalam visi dan misi pada Akta
Pendirian dan atau Anggaran Dasar/Anggaran Rumah
Tangga Lembaga Penyedia Jasa.
Pasal 4
Untuk penyediaan informasi dalam rangka pengembangan Usaha
Mikro dan Kecil dapat dilakukan penelitian.
Pasal 5
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan aspek pemberian kredit mikro
dan kecil secara individual antara lain analisis kredit
usaha mikro dan kecil, pencegahan dan penanganan
kredit bermasalah, metode penggalian potensi daerah
dan usaha kecil.
Huruf b
Yang dimaksud dengan aspek pemberian kredit mikro
dan kecil secara kelompok antara lain pasar keuangan
mikro, kelompok pengusaha mikro, kelayakan kredit
usaha mikro dengan pendekatan kelompok.
Huruf c
Yang dimaksud dengan aspek keuangan antara lain
permodalan, analisis keuangan/kelayakan keuangan,
perbankan dan perkreditan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat ….
-14-
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 6
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 7
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan instansi pemerintah antara lain
Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia,
Kantor Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil
Menengah, Departemen Dalam Negeri, Departemen
Pendidikan Nasional.
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Dalam Perjanjian Kerjasama sebaiknya memuat antara lain :
- Hak ….
-15-
- Hak dan Kewajiban Lembaga Pelatih dan Lembaga
Penyedia Jasa;
- Hak dan Kewajiban Bank Indonesia;
- Sanksi ;
- Jangka waktu.
Pasal 8
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 9
Cukup jelas
Pasal 10
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 11
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal….
-16-
Pasal 12
Cukup jelas
Pasal 13
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 14
Cukup jelas
Pasal 15
Cukup jelas
Pasal 16
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR
4320
BKr
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 5/18/PBI/2003 </reg_id>
<reg_title> PEMBERIAN BANTUAN TEKNIS DALAM RANGKA PENGEMBANGAN USAHA MIKRO DAN KECIL </reg_title>
<set_date> 9 September 2003 </set_date>
<effective_date> 9 September 2003 </effective_date>
<replaced_reg> '3/9/BKr|SE-BI/2001 | angka VII', '3/2/PBI/2001 | Pasal 4' </replaced_reg>
<related_reg> '23/UU/1999', '9/UU/1995', '7/UU/1992', '3/2/PBI/2001', '10/UU/1998', '40/KMK.06/2003|KEP-MENKEU/2003' </related_reg>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 1 / 12 / PBI / 1999
TENTANG
UANG RUPIAH KHUSUS (COMMEMORATIVE)
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa dalam rangka memperingati suatu peristiwa yang bersifat khusus,
Bank Indonesia dapat mengeluarkan dan mengedarkan Uang Rupiah
Khusus;
b. bahwa sehubungan dengan itu, dipandang perlu untuk mengatur
pengeluaran dan pengedaran Uang Rupiah Khusus tersebut dalam suatu
Peraturan Bank Indonesia;
Mengingat
: Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran
Negara Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3843);
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG UANG RUPIAH
KHUSUS (COMMEMORATIVE)
Pasal 1
Uang Rupiah Khusus adalah uang rupiah yang dikeluarkan secara khusus dalam rangka
memperingati peristiwa atau tujuan tertentu.
Pasal 2
(1) Uang Rupiah Khusus yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia merupakan alat pembayaran
yang sah di wilayah negara Republik Indonesia.
(2) Macam ......
- 2 -
(2) Macam atau jenis, harga atau nilai nominal dan ciri Uang Rupiah Khusus ditetapkan oleh
Bank Indonesia di dalam suatu Peraturan Bank Indonesia tentang pengeluaran dan
pengedaran Uang Rupiah Khusus dimaksud.
Pasal 3
Uang Rupiah Khusus sebagaimana dimaksud pada Pasal 1 dikeluarkan dalam jumlah terbatas.
Pasal 4
Uang Rupiah Khusus dijamin oleh Bank Indonesia sebesar nilai nominal.
Pasal 5
Pengeluaran dan pengedaran Uang Rupiah Khusus dilakukan oleh Bank Indonesia atau pihak
lain bekerja sama dengan Bank Indonesia.
Pasal 6
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 29 Desember 1999
GUBERNUR BANK INDONESIA
SYAHRIL SABIRIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1999 NOMOR 228
DPU
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 1/ 12 /PBI/1999
TENTANG
UANG RUPIAH KHUSUS (COMMEMORATIVE)
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Yang dimaksud dengan khusus adalah selain untuk memperingati peristiwa atau tujuan
tertentu juga memiliki nilai nominal yang berbeda dengan nilai jualnya.
Pasal 2
ayat (1)
Cukup jelas
ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 3
Cukup jelas
Pasal 4
Cukup jelas
Pasal 5
Dalam bekerja sama dengan pihak lain, Bank Indonesia dapat menerima royalti yang
mekanisme pelaksanaannya diatur lebih lanjut dengan Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 6
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3921
DPU
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 1/12/PBI/1999 </reg_id>
<reg_title> UANG RUPIAH KHUSUS (COMMEMORATIVE) </reg_title>
<set_date> 29 Desember 1999 </set_date>
<effective_date> 29 Desember 1999 </effective_date>
<related_reg> '23/UU/1999' </related_reg>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 3/13/PBI/2001
TENTANG
PERUBAHAN ATAS SURAT KEPUTUSAN DIREKSI BANK INDONESIA
NOMOR 31/67/KEP/DIR TENTANG PENERBITAN DAN PERDAGANGAN
SERTIFIKAT BANK INDONESIA SERTA INTERVENSI RUPIAH
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa untuk meningkatkan efektifitas pelaksanaan kegiatan operasi
pasar terbuka yang menggunakan piranti Intervensi Rupiah,
dipandang perlu untuk menyelaraskan waktu pelaksanaan Intervensi
Rupiah dengan jadwal operasional Sistem Bank Indonesia Real
Time Gross Settlement;
b. bahwa sehubungan dengan itu perlu dilakukan perubahan terhadap
Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 31/67/KEP/DIR
tentang Penerbitan dan Perdagangan Sertifikat Bank Indonesia serta
Intervensi Rupiah;
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843);
2. Peraturan …..
-2-
2. Peraturan Bank Indonesia Nomor 2/24/PBI/2000 tentang Hubungan
Rekening Giro Antara Bank Indonesia Dengan Pihak Ekstern
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 205,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 4025);
3. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 31/67/KEP/DIR
tanggal 23 Juli 1998 tentang Penerbitan dan Perdagangan Sertifikat
Bank Indonesia serta Intervensi Rupiah;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERUBAHAN ATAS SURAT KEPUTUSAN DIREKSI BANK
INDONESIA NOMOR 31/67/KEP/DIR TENTANG PENERBITAN
DAN PERDAGANGAN SERTIFIKAT BANK INDONESIA SERTA
INTERVENSI RUPIAH.
Pasal I
Mengubah beberapa ketentuan dalam Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor
31/67/KEP/DIR tentang Penerbitan dan Perdagangan Sertifikat Bank Indonesia serta
Intervensi Rupiah sebagai berikut:
1. Ketentuan Pasal 23 ayat (1) diubah sehingga menjadi berbunyi sebagai berikut:
“Pasal 23
(1) Bank Indonesia dapat melaksanakan kegiatan operasi pasar terbuka yang
menggunakan piranti Intervensi Rupiah pada setiap hari kerja dari pukul 08.00
WIB sampai dengan pukul 16.30 WIB.”
2. Ketentuan Pasal 25 diubah sehingga seluruhnya menjadi berbunyi sebagai berikut:
“Pasal 25 ….
-3-
“Pasal 25
Waktu pelaksanaan Intervensi Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat
(1) dan tata cara pelaksanaan serta penyelesaian transaksi Intervensi Rupiah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 dapat diubah dengan Surat Edaran Bank
Indonesia.”
Pasal II
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 3 September 2001
GUBERNUR BANK INDONESIA
SYAHRIL SABIRIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2001 NOMOR 115
DPM
-4-
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 3/13/PBI/2001
TENTANG
PERUBAHAN ATAS SURAT KEPUTUSAN DIREKSI BANK INDONESIA NOMOR
31/67/KEP/DIR TENTANG PENERBITAN DAN PERDAGANGAN SERTIFIKAT
BANK INDONESIA SERTA INTERVENSI RUPIAH
I. UMUM
Dalam rangka mencapai tujuan Bank Indonesia untuk mencapai dan
memelihara kestabilan nilai Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 1999, Bank Indonesia melakukan pengendalian moneter
diantaranya melalui kegiatan operasi pasar terbuka. Kegiatan operasi pasar terbuka
antara lain menggunakan piranti Intervensi Rupiah untuk menyerap kelebihan
likuiditas bank-bank yang bersifat harian.
Pada saat ini pelaksanaan intervensi rupiah kurang efektif karena terdapat
ketidakselarasan antara waktu penutupan Intervensi Rupiah dengan jadwal
operasional Sistem Bank Indonesia Real Time Gross Settlement, yang dapat
mengakibatkan bank tidak optimal dalam mengelola likuiditasnya. Sehubungan
dengan itu, pelaksanaan Intervensi Rupiah perlu diselaraskan dengan jadwal
operasional Sistem Bank Indonesia Real Time Gross Settlement.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal I ….
-5-
Pasal I
Angka 1
Cukup jelas.
Angka 2
Cukup jelas.
Pasal II
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4315
DPM
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 3/13/PBI/2001 </reg_id>
<reg_title> PERUBAHAN ATAS SURAT KEPUTUSAN DIREKSI BANK INDONESIA NOMOR 31/67/KEP/DIR TENTANG PENERBITAN DAN PERDAGANGAN SERTIFIKAT BANK INDONESIA SERTA INTERVENSI RUPIAH </reg_title>
<set_date> 3 September 2001 </set_date>
<effective_date> 3 September 2001 </effective_date>
<changed_reg> '31/67/KEP/DIR|SKDIR-BI' </changed_reg>
<related_reg> '23/UU/1999', '31/67/KEP/DIR|SKDIR-BI/1998', '2/24/PBI/2000' </related_reg>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 17/3/PBI/2015
TENTANG
KEWAJIBAN PENGGUNAAN RUPIAH
DI WILAYAH NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa Rupiah merupakan alat pembayaran yang
sah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia
dan simbol kedaulatan Negara Kesatuan Republik
Indonesia;
b. bahwa penggunaan Rupiah dalam setiap transaksi
di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia juga
diperlukan untuk mendukung tercapainya
kestabilan nilai tukar Rupiah;
c. bahwa untuk mewujudkan kedaulatan Rupiah di
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan
untuk mendukung tercapainya kestabilan nilai
tukar Rupiah, perlu diterapkan kebijakan kewajiban
penggunaan Rupiah dalam setiap transaksi di
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia;
d. bahwa berdasarkan Undang-Undang Nomor 23
Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana
telah diubah beberapa kali, terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009, Bank
Indonesia sebagai otoritas moneter dan sistem
pembayaran berwenang mengatur kewajiban
penggunaan Rupiah dalam setiap transaksi di
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia;
e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan
huruf d, perlu menetapkan Peraturan Bank
Indonesia . . .
-2-
Indonesia tentang Kewajiban Penggunaan Rupiah di
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia;
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3472)
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3790);
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang
Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843)
sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009
tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23
Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi
Undang-Undang (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962);
3. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867);
4. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata
Uang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2011 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5223);
MEMUTUSKAN . . .
-3-
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG
KEWAJIBAN PENGGUNAAN RUPIAH DI WILAYAH
NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Rupiah adalah mata uang Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
berlaku sebagai alat pembayaran yang sah di wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
2. Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah Wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang yang mengatur mengenai mata uang.
3. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang yang mengatur mengenai perbankan dan Bank Umum
Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang
mengatur mengenai perbankan syariah.
BAB II
KEWAJIBAN PENGGUNAAN RUPIAH
Pasal 2
(1) Setiap pihak wajib menggunakan Rupiah dalam transaksi yang
dilakukan di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
(2) Transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. setiap transaksi yang mempunyai tujuan pembayaran;
b. penyelesaian kewajiban lainnya yang harus dipenuhi dengan uang;
dan/atau
c. transaksi keuangan lainnya.
Pasal 3 . . .
-4-
Pasal 3
(1) Kewajiban penggunaan Rupiah dalam setiap transaksi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) berlaku untuk:
a. transaksi tunai; dan
b. transaksi nontunai.
(2) Transaksi tunai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
mencakup transaksi yang menggunakan uang kertas dan/atau uang
logam sebagai alat pembayaran.
(3) Transaksi nontunai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
mencakup transaksi yang menggunakan alat dan mekanisme
pembayaran secara nontunai.
BAB III
PENGECUALIAN KEWAJIBAN PENGGUNAAN RUPIAH
Pasal 4
Kewajiban penggunaan Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (1) tidak berlaku bagi transaksi sebagai berikut:
a. transaksi tertentu dalam rangka pelaksanaan anggaran pendapatan
dan belanja negara;
b. penerimaan atau pemberian hibah dari atau ke luar negeri;
c. transaksi perdagangan internasional;
d. simpanan di Bank dalam bentuk valuta asing; atau
e. transaksi pembiayaan internasional.
Pasal 5
Kewajiban penggunaan Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (1) juga tidak berlaku untuk transaksi dalam valuta asing yang
dilakukan berdasarkan ketentuan Undang-Undang yang meliputi:
a. kegiatan usaha dalam valuta asing yang dilakukan oleh Bank
berdasarkan Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan
dan perbankan syariah;
b. transaksi . . .
-5-
b. transaksi surat berharga yang diterbitkan oleh Pemerintah dalam
valuta asing di pasar perdana dan pasar sekunder berdasarkan
Undang-Undang yang mengatur mengenai surat utang negara dan
surat berharga syariah negara; dan
c. transaksi lainnya dalam valuta asing yang dilakukan berdasarkan
Undang-Undang.
Pasal 6
Transaksi tertentu dalam rangka pelaksanaan anggaran pendapatan dan
belanja negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a meliputi:
a. pembayaran utang luar negeri;
b. pembayaran utang dalam negeri dalam valuta asing;
c. belanja barang dari luar negeri;
d. belanja modal dari luar negeri;
e. penerimaan negara yang berasal dari penjualan surat utang negara
dalam valuta asing; dan
f.
transaksi lainnya dalam rangka pelaksanaan anggaran pendapatan
dan belanja negara.
Pasal 7
Penerimaan atau pemberian hibah dari atau ke luar negeri sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 huruf b hanya dapat dilakukan oleh penerima
atau pemberi hibah yang salah satunya berkedudukan di luar negeri.
Pasal 8
(1) Transaksi perdagangan internasional sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 huruf c meliputi:
a. kegiatan ekspor dan/atau impor barang ke atau dari luar wilayah
pabean Republik Indonesia; dan/atau
b. kegiatan perdagangan jasa yang melampaui batas wilayah negara
yang dilakukan dengan cara:
1. pasokan lintas batas (cross border supply); dan
2. konsumsi . . .
-6-
2. konsumsi di luar negeri (consumption abroad).
(2) Transaksi untuk kegiatan tambahan dalam kegiatan ekspor dan/atau
impor barang ke atau dari luar wilayah pabean Republik Indonesia
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a tidak dikategorikan
sebagai transaksi perdagangan internasional sehingga wajib
menggunakan Rupiah.
Pasal 9
(1) Transaksi pembiayaan internasional sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 huruf e hanya dapat dilakukan oleh pemberi atau penerima
pembiayaan yang salah satunya berkedudukan di luar negeri.
(2) Dalam hal pemberi pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berupa Bank maka wajib memenuhi ketentuan yang mengatur
mengenai transaksi valuta asing terhadap Rupiah antara Bank
dengan pihak asing.
BAB IV
LARANGAN MENOLAK RUPIAH
Pasal 10
(1) Setiap pihak dilarang menolak untuk menerima Rupiah yang
penyerahannya dimaksudkan sebagai pembayaran atau untuk
menyelesaikan kewajiban yang harus dipenuhi dengan Rupiah
dan/atau untuk transaksi keuangan lainnya di Wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan dalam
hal:
a. terdapat keraguan atas keaslian Rupiah yang diterima untuk
transaksi tunai; atau
b. pembayaran atau penyelesaian kewajiban dalam valuta asing
telah diperjanjikan secara tertulis.
(3) Perjanjian tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b
hanya dapat dilakukan untuk:
a. transaksi yang dikecualikan dari kewajiban penggunaan Rupiah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dan Pasal 5; atau
b. proyek . . .
-7-
b. proyek infrastruktur strategis dan mendapat persetujuan Bank
Indonesia.
BAB V
PENCANTUMAN HARGA BARANG DAN/ATAU JASA
Pasal 11
Dalam rangka mendukung pelaksanaan kewajiban penggunaan Rupiah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), pelaku usaha wajib
mencantumkan harga barang dan/atau jasa hanya dalam Rupiah.
BAB VI
LAPORAN DAN PENGAWASAN KEPATUHAN
Pasal 12
(1) Bank Indonesia berwenang untuk meminta laporan, keterangan,
dan/atau data kepada setiap pihak yang terkait dengan pelaksanaan
kewajiban penggunaan Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (1) dan kewajiban pencantuman harga barang dan/atau jasa
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11.
(2) Pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menyampaikan
laporan, keterangan, dan/atau data yang diminta oleh Bank
Indonesia.
Pasal 13
(1) Bank Indonesia melakukan pengawasan terhadap kepatuhan setiap
pihak dalam melaksanakan kewajiban penggunaan Rupiah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan kewajiban
pencantuman harga barang dan/atau jasa sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 11.
(2) Dalam melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Bank Indonesia menempuh berbagai cara antara lain sebagai berikut:
a. meminta laporan, keterangan, data, dan/atau dokumen
pendukung, dengan atau tanpa melibatkan instansi terkait;
b. melakukan pengawasan langsung terhadap setiap pihak; dan/atau
c. menunjuk . . .
-8-
c. menunjuk pihak lain untuk melakukan penelitian dalam rangka
pengawasan terhadap kepatuhan setiap pihak.
BAB VII
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 14
Kegiatan yang berupa:
a. penukaran valuta asing yang dilakukan oleh penyelenggara kegiatan
usaha penukaran valuta asing sesuai dengan peraturan perundang-
undangan; dan
b. pembawaan uang kertas asing ke dalam atau ke luar wilayah pabean
Republik Indonesia yang dilakukan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan,
tidak dikategorikan sebagai transaksi yang wajib menggunakan Rupiah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1).
Pasal 15
Dalam melaksanakan Peraturan Bank Indonesia ini Bank Indonesia dapat
melakukan koordinasi dan kerja sama dengan pihak lain.
Pasal 16
Dalam hal terdapat permasalahan bagi pelaku usaha dengan karakteristik
tertentu terkait pelaksanaan kewajiban penggunaan Rupiah untuk
transaksi nontunai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1)
huruf b, Bank Indonesia dapat mengambil kebijakan tertentu dengan
tetap memperhatikan kewajiban penggunaan Rupiah sebagaimana diatur
dalam Peraturan Bank Indonesia ini.
BAB VIII . . .
-9-
BAB VIII
SANKSI
Pasal 17
Terhadap pelanggaran atas:
a. kewajiban penggunaan Rupiah untuk transaksi tunai sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a; dan/atau
b. larangan menolak Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10,
berlaku ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang.
Pasal 18
(1) Pelanggaran atas kewajiban penggunaan Rupiah untuk transaksi
nontunai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf b
dikenakan sanksi administratif berupa:
a. teguran tertulis;
b. kewajiban membayar; dan/atau
c. larangan untuk ikut dalam lalu lintas pembayaran.
(2) Sanksi kewajiban membayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b ditetapkan sebesar 1% (satu persen) dari nilai transaksi,
dengan jumlah kewajiban membayar paling banyak sebesar
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Pasal 19
Pelanggaran atas kewajiban pencantuman harga barang dan/atau jasa
dalam Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dan kewajiban
penyampaian laporan, keterangan, dan/atau data sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 12 ayat (2) dikenakan sanksi administratif berupa teguran
tertulis.
Pasal 20
Selain mengenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 18 ayat (1) dan Pasal 19, Bank Indonesia dapat merekomendasikan
kepada . . .
-10-
kepada otoritas yang berwenang untuk melakukan tindakan sesuai
dengan kewenangannya.
BAB IX
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 21
(1) Perjanjian tertulis mengenai pembayaran atau penyelesaian kewajiban
dalam valuta asing selain perjanjian tertulis sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 10 ayat (3) yang dibuat sebelum tanggal 1 Juli 2015, tetap
berlaku sampai dengan berakhirnya perjanjian tertulis tersebut.
(2) Perjanjian tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya berlaku
untuk perjanjian tertulis mengenai pembayaran atau penyelesaian
kewajiban dalam valuta asing untuk transaksi nontunai sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf b.
(3) Perpanjangan dan/atau perubahan atas perjanjian tertulis
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus tunduk pada Peraturan
Bank Indonesia ini.
BAB X
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 22
Ketentuan lebih lanjut dari Peraturan Bank Indonesia ini diatur dalam
Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 23
Ketentuan mengenai kewajiban penggunaan Rupiah untuk transaksi
nontunai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf b mulai
berlaku pada tanggal 1 Juli 2015.
Pasal 24
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar . . .
-11-
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 31 Maret 2015
GUBERNUR BANK INDONESIA,
AGUS D.W. MARTOWARDOJO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 31 Maret 2015
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2015 NOMOR 70
DPU
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 17/3/PBI/2015
TENTANG
KEWAJIBAN PENGGUNAAN RUPIAH
DI WILAYAH NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA
I. UMUM
Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai negara yang
merdeka dan berdaulat memiliki simbol kedaulatan negara yang harus
dihormati oleh seluruh warga negara Indonesia. Salah satu simbol
kedaulatan negara tersebut adalah Rupiah sebagai mata uang yang
dikeluarkan oleh Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Rupiah dipergunakan sebagai alat pembayaran yang sah di
Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam kegiatan
perekonomian nasional dan internasional guna mewujudkan
kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Pengaturan kewajiban penggunaan Rupiah di Wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia diperlukan untuk mendukung
kestabilan nilai tukar Rupiah yang merupakan bagian dari tujuan
yang diamanatkan kepada Bank Indonesia dalam Undang-Undang
mengenai Bank Indonesia, yaitu mencapai dan memelihara kestabilan
nilai Rupiah. Dalam kondisi pasar valuta asing di dalam negeri
mengalami kelebihan permintaan valuta asing, penggunaan valuta
asing untuk transaksi di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia
akan memberikan tambahan tekanan terhadap nilai tukar Rupiah
dimana hal ini berpotensi mengganggu stabilitas nilai Rupiah.
Sejalan dengan kewenangan Bank Indonesia dalam
pengaturan terhadap Rupiah maka diperlukan pengaturan mengenai
kewajiban penggunaan Rupiah di Wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia baik untuk transaksi tunai maupun transaksi nontunai.
Pengaturan kewajiban penggunaan Rupiah di Wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia juga dimaksudkan untuk lebih
mengefektifkan pelaksanaan ketentuan dalam Undang-Undang
mengenai . . .
-2-
mengenai mata uang yang mewajibkan penggunaan Rupiah dalam
setiap transaksi yang mempunyai tujuan pembayaran, penyelesaian
kewajiban lainnya yang harus dipenuhi dengan uang, dan/atau
transaksi keuangan lainnya, yang dilakukan di Wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Dalam rangka mendukung perekonomian Negara Kesatuan
Republik Indonesia, pengaturan kewajiban penggunaan Rupiah di
Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia perlu tetap
memperhatikan adanya kebutuhan penggunaan valuta asing dalam
masyarakat yang diperkenankan berdasarkan Undang-Undang.
Pengaturan kewajiban penggunaan Rupiah di Wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana diatur dalam Peraturan
Bank Indonesia ini telah disusun dengan memperhatikan Undang-
Undang, seperti Undang-Undang mengenai perbankan, Undang-
Undang mengenai Bank Indonesia, Undang-Undang mengenai lalu
lintas devisa dan sistem nilai tukar, Undang-Undang mengenai surat
utang negara, Undang-Undang mengenai perbankan syariah, Undang-
Undang mengenai surat berharga syariah negara, Undang-Undang
mengenai transfer dana, dan Undang-Undang mengenai mata uang.
Penerapan kewajiban penggunaan Rupiah di Wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia dilakukan dengan memperhatikan
kesiapan pelaku usaha, kontinuitas kegiatan usaha, kegiatan
investasi, dan pertumbuhan ekonomi nasional.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “pihak” adalah orang perseorangan
atau korporasi. Korporasi adalah kumpulan orang dan/atau
kekayaan yang terorganisasi, baik merupakan badan hukum
maupun bukan badan hukum.
Ayat (2) . . .
-3-
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “transaksi keuangan lainnya”
antara lain meliputi kegiatan penyetoran Rupiah dalam
berbagai jumlah dan jenis pecahan dari nasabah kepada
Bank.
Pasal 3
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Contoh alat pembayaran secara nontunai antara lain cek, bilyet
giro, kartu kredit, kartu debit, kartu Automated Teller Machine
(ATM), dan uang elektronik.
Contoh mekanisme pembayaran secara nontunai antara lain
melalui transfer dana.
Pasal 4
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Simpanan di Bank dalam bentuk valuta asing hanya dapat
diselenggarakan oleh Bank yang melakukan kegiatan usaha
dalam valuta asing.
Transaksi terkait simpanan di Bank yang melakukan kegiatan
usaha dalam valuta asing dapat berupa penyetoran dan/atau
penarikan valuta asing.
Huruf e . . .
-4-
Huruf e
Cukup jelas
Pasal 5
Huruf a
Kegiatan usaha dalam valuta asing yang dilakukan oleh Bank
berdasarkan Undang-Undang yang mengatur mengenai
perbankan dan perbankan syariah meliputi antara lain:
1. kredit dalam valuta asing untuk kegiatan ekspor dan
kegiatan lainnya;
2. pasar uang antar Bank dalam valuta asing;
3. obligasi dalam valuta asing;
4. sub debt dalam valuta asing;
5. jual beli surat berharga dalam valuta asing; dan
6. transaksi perbankan lainnya dalam valuta asing yang diatur
dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan
dan perbankan syariah beserta peraturan pelaksanaannya.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Undang-Undang yang mengatur mengenai transaksi lainnya
dalam valuta asing antara lain Undang-Undang mengenai Bank
Indonesia, Undang-Undang mengenai penanaman modal, dan
Undang-Undang mengenai lembaga pembiayaan ekspor
Indonesia.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “kegiatan ekspor dan/atau impor
barang ke atau dari luar wilayah pabean Republik
Indonesia” adalah perdagangan barang antarnegara atau
lintas negara.
Huruf b . . .
-5-
Huruf b
Yang dimaksud dengan “kegiatan perdagangan jasa yang
melampaui batas wilayah negara dalam bentuk pasokan
lintas batas (cross border supply)” adalah kegiatan
penyediaan jasa dari wilayah suatu negara ke wilayah
negara lain seperti pembelian secara online (dalam jaringan)
atau call center.
Yang dimaksud dengan “kegiatan perdagangan jasa yang
melampaui batas wilayah negara dalam bentuk konsumsi di
luar negeri (consumption abroad)” adalah kegiatan
penyediaan jasa di luar negeri untuk melayani konsumen
dari Indonesia seperti warga negara Indonesia yang kuliah
di luar negeri atau rawat di rumah sakit luar negeri.
Ayat (2)
Kegiatan tambahan berkaitan dengan kegiatan ekspor
dan/atau impor barang yang dilakukan di wilayah pabean
Republik Indonesia melalui sarana pengangkutan kapal,
pesawat, atau sarana angkut lainnya tidak dikategorikan
sebagai kegiatan ekspor dan/atau impor barang.
Kegiatan tambahan berkaitan dengan kegiatan ekspor
dan/atau impor barang antara lain meliputi: sandar kapal di
pelabuhan, bongkar muat kontainer, penyimpanan sementara
kontainer di pelabuhan, dan parkir pesawat di bandara.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “pihak” adalah orang perseorangan
atau korporasi. Korporasi adalah kumpulan orang dan/atau
kekayaan yang terorganisasi, baik merupakan badan hukum
maupun bukan badan hukum.
Ayat (2) . . .
-6-
Ayat (2)
Huruf a
Setiap pihak yang memiliki Rupiah yang diragukan
keasliannya tersebut dapat meminta klarifikasi kepada
Bank Indonesia.
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “proyek infrastruktur strategis”
adalah:
1. proyek infrastruktur sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
penerapan prinsip kehati-hatian dalam pengelolaan
utang luar negeri korporasi nonbank; dan
2. dibuktikan dengan surat keterangan dari kementerian
atau lembaga yang berwenang.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Ayat (1)
Pengawasan oleh Bank Indonesia terutama dilakukan terhadap
pemenuhan kewajiban penggunaan Rupiah untuk transaksi
nontunai. Sedangkan pengawasan dan/atau penegakan hukum
terhadap pemenuhan kewajiban penggunaan Rupiah untuk
transaksi tunai dilakukan bekerja sama dengan aparat penegak
hukum.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 14 . . .
-7-
Pasal 14
Huruf a
Yang dimaksud “kegiatan usaha penukaran valuta asing sesuai
dengan peraturan perundang-undangan” antara lain kegiatan
usaha penukaran valuta asing bukan Bank yang memiliki izin
dari Bank Indonesia.
Huruf b
Cukup jelas.
Pasal 15
Koordinasi dan kerja sama dengan pihak lain dapat dilakukan
antara lain dengan aparat penegak hukum, dan otoritas yang
berwenang.
Pasal 16
Penetapan kebijakan oleh Bank Indonesia dilakukan dengan
mempertimbangkan antara lain kesiapan pelaku usaha,
kontinuitas kegiatan usaha, kegiatan investasi, dan/atau
pertumbuhan ekonomi nasional.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Rekomendasi yang disampaikan oleh Bank Indonesia antara lain
berupa rekomendasi untuk mencabut izin usaha atau
menghentikan kegiatan usaha.
Pasal 21
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3) . . .
-8-
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “perubahan atas perjanjian tertulis”
adalah perubahan yang terutama terkait dengan perubahan
subjek dan/atau objek pada perjanjian tertulis.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5683
DPU
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 17/3/PBI/2015 </reg_id>
<reg_title> KEWAJIBAN PENGGUNAAN RUPIAH DI WILAYAH NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA </reg_title>
<set_date> 31 Maret 2015 </set_date>
<effective_date> 31 Maret 2015 </effective_date>
<issued_date> 31 Maret 2015 </issued_date>
<related_reg> '21/UU/2008', '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '7/UU/2011', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB VIII' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 11/ 18 /PBI/2009
TENTANG
PERUBAHAN ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 10/40/PBI/2008
TENTANG LAPORAN BULANAN BANK UMUM
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang :
a.
bahwa dalam rangka penerapan Laporan Bulanan
Bank Umum yang lebih efektif, akurat, dan lengkap
diperlukan persiapan yang memadai dari infrastruktur
pendukung serta semua pihak yang terkait dengan
penerapannya;
b.
bahwa dalam rangka lebih meningkatkan kesiapan
Bank Pelapor dalam memenuhi ketentuan pelaporan
Laporan Bulanan Bank Umum, Bank Indonesia
memandang perlu untuk menunda pemberlakuan
pengenaan sanksi administratif serta memperpanjang
masa peralihan;
c.
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a dan huruf b, dipandang perlu
untuk melakukan perubahan terhadap Peraturan Bank
Indonesia…
-2-
Indonesia Nomor 10/40/PBI/2008 tentang Laporan
Bulanan Bank Umum;
Mengingat
:
1.
Undang–Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah
diubah dengan Undang–Undang Nomor 10 Tahun
1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3790);
2.
Undang–Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang
Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843)
sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-
Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia Menjadi Undang-Undang (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 4962);
3.
Undang–Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu
Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar (Lembaran
Negara …
-3-
Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 67,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3844);
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN
ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR
10/40/PBI/2008 TENTANG LAPORAN BULANAN BANK
UMUM.
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/40/PBI/2008
tentang Laporan Bulanan Bank Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2008 Nomor 205, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4950) diubah sebagai berikut :
1. Ketentuan Pasal 16 ayat (2) diubah, sehingga Pasal 16 berbunyi sebagai
berikut :
Pasal 16
(1) Bank Pelapor yang terlambat menyampaikan Laporan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 10 dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar
Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) per Laporan per hari kerja
keterlambatan.
(2) Bank Pelapor yang terlambat menyampaikan koreksi Laporan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 dikenakan sanksi kewajiban
membayar …
-4-
membayar sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) per hari kerja
keterlambatan.
(3) Bank Pelapor yang menyampaikan koreksi Laporan atas inisiatif Bank
Pelapor setelah melampaui batas waktu keterlambatan penyampaian
koreksi Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, dikenakan
sanksi kewajiban membayar sebesar Rp50.000,00 (lima puluh ribu
rupiah) per item kesalahan Laporan dan paling banyak seluruhnya
sebesar Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) per Laporan.
(4) Bank Pelapor yang menyampaikan koreksi Laporan atas dasar temuan
Bank Indonesia setelah melampaui batas waktu keterlambatan
penyampaian koreksi Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10
dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp100.000,00 (seratus
ribu rupiah) per item kesalahan Laporan dan paling banyak seluruhnya
sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) per Laporan.
(5) Dalam hal Bank dikenakan sanksi kewajiban membayar karena
dinyatakan telah menyampaikan koreksi Laporan atas dasar inisiatif Bank
atau temuan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan (4)
maka sanksi kewajiban membayar karena terlambat menyampaikan
koreksi Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak diberlakukan.
(6) Bank Pelapor yang dinyatakan tidak menyampaikan Laporan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dikenakan sanksi kewajiban
membayar sebesar Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) per
Laporan.
(7) Dalam hal Bank dikenakan sanksi kewajiban membayar karena
dinyatakan tidak menyampaikan Laporan sebagaimana dimaksud pada
ayat (6), maka sanksi kewajiban membayar karena terlambat
menyampaikan …
-5-
menyampaikan Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
diberlakukan.
(8) Dalam hal Bank dikenakan sanksi kewajiban membayar karena
menyampaikan koreksi Laporan per Kantor dan/atau koreksi Laporan
Perusahaan Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan/atau ayat (4)
yang berdampak pada koreksi Laporan Gabungan dan Laporan
Konsolidasi maka koreksi Laporan Gabungan dan/atau Laporan
Konsolidasi tersebut tidak dikenakan sanksi kewajiban membayar.
2. Ketentuan Pasal 22 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut :
Pasal 22
Dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini, Bank Pelapor tetap
diwajibkan untuk menyampaikan Laporan sebagaimana diatur dalam PBI
Nomor 2/21/PBI/2000 tanggal 19 September 2000 tentang Laporan Bulanan
Bank Umum sampai dengan data bulan Desember 2009.
3. Diantara Pasal 22 dan Pasal 23 disisipkan 3 (tiga) pasal baru yaitu Pasal 22A,
Pasal 22B, dan Pasal 22C yang berbunyi sebagai berikut :
Pasal 22A
Batas waktu penyampaian Laporan dan/atau koreksi Laporan dalam masa
peralihan yaitu untuk data bulan Mei 2009 yang disampaikan pada bulan Juni
2009 sampai dengan data bulan Desember 2009 yang disampaikan pada bulan
Januari 2010 diatur sebagai berikut :
a. Laporan per Kantor dan/atau koreksi Laporan per Kantor sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) dan Pasal 6 ayat (1) disampaikan kepada
Bank…
-6-
Bank Indonesia setiap bulan paling lambat tanggal 17 bulan berikutnya
setelah berakhirnya bulan Laporan yang bersangkutan.
b. Laporan Gabungan dan/atau koreksi Laporan Gabungan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) dan Pasal 6 ayat (1) disampaikan kepada
Bank Indonesia setiap bulan paling lambat pada tanggal 22 bulan
berikutnya setelah berakhirnya bulan Laporan yang bersangkutan.
c. Laporan Perusahaan Anak dan/atau koreksi Laporan Perusahaan Anak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (4) dan Pasal 6 ayat (1)
disampaikan kepada Bank Indonesia setiap triwulan paling lambat pada
tanggal 7 bulan kedua setelah berakhirnya bulan Laporan yang
bersangkutan.
d. Laporan Konsolidasi dan/atau koreksi Laporan Konsolidasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 ayat (5) dan Pasal 6 ayat (1) disampaikan kepada
Bank Indonesia setiap triwulan paling lambat pada tanggal 7 bulan kedua
setelah berakhirnya bulan Laporan yang bersangkutan.
Pasal 22B
Dalam masa peralihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22A, Bank
Pelapor dinyatakan terlambat apabila :
a. menyampaikan Laporan per Kantor dan/atau koreksi Laporan per Kantor
melampaui batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22A huruf a,
sampai dengan tanggal 20 bulan berikutnya setelah berakhirnya bulan
Laporan yang bersangkutan;
b. menyampaikan Laporan Gabungan dan/atau koreksi Laporan Gabungan
melampaui batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22A huruf b,
sampai…
-7-
sampai dengan tanggal 25 bulan berikutnya setelah berakhirnya bulan
Laporan yang bersangkutan;
c. menyampaikan Laporan Perusahaan Anak dan/atau koreksi Laporan
Perusahaan Anak melampaui batas waktu sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 22A huruf c, sampai dengan tanggal 12 bulan kedua setelah
berakhirnya bulan Laporan yang bersangkutan;
d. menyampaikan Laporan Konsolidasi dan/atau koreksi Laporan
Konsolidasi melampaui batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal
22A huruf d, sampai dengan tanggal 12 bulan kedua setelah berakhirnya
bulan Laporan yang bersangkutan.
Pasal 22C
Dalam masa peralihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22A, Bank
Pelapor dinyatakan tidak menyampaikan Laporan dan/atau koreksi Laporan,
apabila Bank Indonesia belum menerima Laporan dan/atau koreksi Laporan
sampai dengan batas waktu sebagaimana dimaksud pada Pasal 22B.
4. Ketentuan Pasal 24 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut :
Pasal 24
Dengan diberlakukannya Peraturan Bank Indonesia ini, maka Peraturan Bank
Indonesia Nomor 2/21/PBI/2000 tanggal 19 September 2000 tentang Laporan
Bulanan Bank Umum dicabut dan dinyatakan tidak berlaku terhitung sejak
pelaporan data bulan Januari 2010.
5. Ketentuan Pasal 25 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut :
Pasal 25…
-8-
Pasal 25
(1) Ketentuan sanksi kewajiban membayar sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 16 dan Pasal 17 mulai berlaku sejak pelaporan data bulan Oktober
2009 yang disampaikan pada bulan November 2009.
(2) Ketentuan sanksi dalam rangka pembinaan dan pengawasan Bank
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dikenakan kepada Bank Pelapor
yang tidak menyampaikan Laporan dan/atau menyampaikan Laporan
yang tidak benar dan tidak lengkap sejak data bulan Mei 2009 yang
disampaikan pada bulan Juni 2009.
Pasal II
Peraturan Bank Indonesia ini berlaku surut sejak tanggal 29 Mei 2009.
Agar…
-9-
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan
Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 3 Juni 2009
Pjs. GUBERNUR BANK INDONESIA,
MIRANDA S. GOELTOM
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 3 Juni 2009
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA
ANDI MATTALATTA
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 79
DSM
-10-
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 11/18/PBI/2009
TENTANG
PERUBAHAN ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 10/40/PBI/2008
TENTANG LAPORAN BULANAN BANK UMUM
I. UMUM
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal I
Angka 1
Pasal 16
Ayat (1)
Contoh :
Laporan per Kantor;
Tanggal 10 April 2010 jatuh pada hari Sabtu. Bank
A menyampaikan Laporan per Kantor periode data
bulan Maret 2010 pada hari Selasa tanggal 13 April
2010. Bank A dinyatakan terlambat menyampaikan
Laporan per Kantor selama 2 hari kerja, yaitu Senin
dan Selasa (tanggal 12 dan 13 April 2010), sehingga
Bank …
-11-
Bank A dikenakan Sanksi sebesar 2 hari x
Rp1.000.000,00 = Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah).
Tanggal 10 April 2010 jatuh pada hari Sabtu. Bank
A menyampaikan Laporan per Kantor periode data
bulan Maret 2010 pada hari Minggu tanggal 11 April
2010. Bank A dinyatakan terlambat menyampaikan
Laporan per Kantor selama 1 hari yaitu hari Minggu
(tanggal 11 April 2010). Berhubung sanksi
kewajiban membayar dikenakan per hari kerja, maka
Bank A tidak dikenakan sanksi kewajiban
membayar.
Laporan Gabungan;
Tanggal 15 Mei 2010 jatuh pada hari Sabtu. Bank A
menyampaikan Laporan Gabungan periode data
bulan April 2010 pada hari Senin tanggal 17 Mei
2010. Bank A dinyatakan terlambat menyampaikan
Laporan Gabungan selama 1 hari kerja yaitu Senin
(17 Mei 2010), sehingga Bank A dikenakan Sanksi
keterlambatan penyampaian Laporan Gabungan
sebesar 1 hari x Rp1.000.000,00 = Rp1.000.000,00
(satu juta rupiah).
Tanggal 15 Mei 2010 jatuh pada hari Sabtu. Bank A
menyampaikan Laporan Gabungan periode data
bulan April 2010 pada hari Minggu tanggal 16 Mei
2010. Bank A dinyatakan terlambat menyampaikan
Laporan…
-12-
Laporan Gabungan selama 1 hari yaitu hari Minggu
(tanggal 16 Mei 2010). Berhubung sanksi kewajiban
membayar dikenakan per hari kerja, maka Bank A
tidak dikenakan sanksi kewajiban membayar.
Ayat (2)
Contoh :
Koreksi Laporan per Kantor;
Tanggal 10 April 2010 jatuh pada hari Sabtu. Bank
A menyampaikan koreksi Laporan per Kantor
periode data bulan Maret 2010 pada hari Senin
tanggal 12 April 2010. Bank A dinyatakan terlambat
menyampaikan koreksi Laporan per Kantor selama 1
hari kerja, yaitu Senin (tanggal 12 April 2010),
sehingga Bank A dikenakan Sanksi sebesar 1 hari x
Rp100.000,00 = Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah).
Koreksi Laporan Gabungan;
Tanggal 15 Mei 2010 jatuh pada hari Sabtu. Bank A
menyampaikan koreksi Laporan Gabungan periode
data bulan April 2010 pada hari Selasa tanggal 18
Mei 2010. Bank A dinyatakan terlambat
menyampaikan koreksi Laporan Gabungan selama 2
hari kerja kerja, yaitu Senin dan Selasa (17 dan 18
Mei 2010), sehingga Bank A dikenakan Sanksi
keterlambatan penyampaian koreksi Laporan
Gabungan…
-13-
Gabungan sebesar 2 hari x Rp100.000,00 =
Rp200.000,00 (dua ratus ribu rupiah).
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “per item kesalahan atau
item yang seharusnya dilaporkan” adalah kesalahan
per field data. Apabila dalam satu baris data terdapat
kesalahan lebih dari satu field, kesalahan dihitung
berdasarkan banyaknya field yang salah dalam baris
yang bersangkutan.
Contoh :
Pada Daftar Rincian Kredit Yang Diberikan, dalam
satu baris terdapat kesalahan pada kolom
Kolektibilitas, Sektor Ekonomi dan Jumlah, maka
dihitung sebagai 3 item kesalahan.
Selanjutnya apabila terdapat 200 item kesalahan,
maka perhitungan Sanksi adalah 200 x Rp50.000,00
= Rp10.000.000 (sepuluh juta rupiah), namun Bank
hanya dikenakan Sanksi maksimum, yaitu
Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah).
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Contoh :
Laporan per Kantor;
Tanggal …
-14-
Tanggal 13 Juni 2010 jatuh pada hari Minggu. Bank
A menyampaikan Laporan per Kantor periode data
bulan Mei 2010 pada hari Senin tanggal 14 Juni
2010, sehingga Bank A dikenakan Sanksi tidak
menyampaikan Laporan per Kantor sebesar
Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
Laporan Gabungan;
Tanggal 21 Maret 2010 jatuh pada hari Minggu.
Bank A menyampaikan Laporan Gabungan periode
data bulan Februari 2010 pada hari Senin tanggal 22
Maret 2010, sehingga Bank A dikenakan Sanksi
tidak menyampaikan Laporan Gabungan sebesar
Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
Ayat (7)
Cukup jelas
Ayat (8)
Cukup jelas
Angka 2
Pasal 22
Cukup jelas
Angka 3
Pasal 22A
Huruf a
Contoh :
Laporan per Kantor dan/atau koreksi Laporan per
Kantor untuk bulan Laporan Oktober 2009 wajib
disampaikan …
-15-
disampaikan paling lambat pada tanggal 17
November 2009.
Huruf b
Contoh :
Laporan Gabungan dan/atau koreksi Laporan
Gabungan untuk bulan Laporan Oktober 2009
wajib disampaikan paling lambat pada tanggal 22
November 2009.
Yang dimaksud dengan ”bulan Laporan” adalah
bulan dimana data yang tercatat pada akhir bulan
yang bersangkutan wajib dilaporkan, misalnya
bulan Laporan Oktober 2009 maka yang wajib
dilaporkan adalah data akhir Oktober 2009 atau
periode data tahun berjalan yang berakhir sampai
dengan akhir bulan Oktober 2009.
Huruf c
Data yang disampaikan adalah data akhir bulan
Maret, Juni, September, dan Desember atau periode
data tahun berjalan yang berakhir sampai dengan
akhir bulan Maret, Juni, September, dan Desember.
Contoh :
Laporan Perusahaan Anak dan/atau koreksi
Laporan Perusahaan Anak untuk bulan Laporan
Desember 2009 wajib disampaikan paling lambat
pada tanggal 7 Februari 2010.
Huruf d …
-16-
Huruf d
Data yang disampaikan adalah data akhir bulan
Maret, Juni, September, dan Desember atau periode
data tahun berjalan yang berakhir sampai dengan
akhir bulan Maret, Juni, September, dan Desember.
Contoh :
Laporan Konsolidasi dan/atau koreksi Laporan
Konsolidasi untuk bulan laporan Desember 2009
wajib disampaikan paling lambat pada tanggal 7
Februari 2010.
Pasal 22B
Huruf a
Contoh :
Penyampaian Laporan per Kantor dan/atau koreksi
Laporan per Kantor untuk bulan Laporan Oktober
2009 dinyatakan terlambat apabila disampaikan
mulai dari tanggal 18 November 2009 sampai
dengan tanggal 20 November 2009.
Huruf b
Contoh :
Penyampaian Laporan Gabungan dan/atau koreksi
Laporan Gabungan untuk bulan laporan Oktober
2009 dinyatakan terlambat apabila disampaikan
mulai dari tanggal 23 November 2009 sampai
dengan tanggal 25 November 2009.
Huruf c...
-17-
Huruf c
Contoh :
Penyampaian Laporan Perusahaan Anak dan/atau
koreksi Laporan Perusahaan Anak untuk bulan
Laporan Desember 2009 dinyatakan terlambat
apabila disampaikan mulai dari tanggal 8 Februari
2010 sampai dengan tanggal 12 Februari 2010.
Huruf d
Contoh :
Penyampaian Laporan Konsolidasi dan/atau koreksi
Laporan Konsolidasi untuk bulan laporan Juni 2009
dinyatakan terlambat apabila disampaikan mulai
dari tanggal 8 Februari 2010 sampai dengan
tanggal 12 Februari 2010.
Pasal 22C
Contoh :
Laporan per Kantor dan/atau koreksi Laporan per Kantor;
Laporan per Kantor dan/atau koreksi Laporan per Kantor
untuk bulan Laporan Mei 2009 dinyatakan tidak
disampaikan, apabila Laporan dan/atau koreksi Laporan
disampaikan melampaui tanggal 20 Juni 2009.
Laporan Gabungan dan/atau dan/atau koreksi Laporan
Gabungan;
Laporan Gabungan dan/atau koreksi Laporan Gabungan
untuk bulan laporan Mei 2009 dinyatakan tidak
disampaikan...
-18-
disampaikan, apabila Laporan dan/atau koreksi Laporan
disampaikan melampaui tanggal 25 Juni 2009.
Laporan Perusahaan Anak dan/atau koreksi Laporan
Perusahaan Anak;
Laporan Perusahaan Anak dan/atau koreksi Laporan
Perusahaan Anak untuk bulan laporan Juni 2009,
dinyatakan tidak disampaikan, apabila Laporan dan/atau
koreksi Laporan disampaikan melampaui tanggal 12
Agustus 2009.
Laporan Konsolidasi dan/atau koreksi Laporan
Konsolidasi;
Laporan Konsolidasi dan/atau koreksi Laporan
Konsolidasi untuk bulan Laporan Juni 2009, dinyatakan
tidak disampaikan, apabila Laporan dan/atau koreksi
Laporan disampaikan melampaui tanggal 12 Agustus
2009.
Angka 4
Pasal 24
Cukup jelas.
Angka 5
Pasal 25
Ayat (1)
Untuk periode data bulan Oktober 2009 yang
disampaikan pada bulan November 2009 sampai
dengan...
-19-
dengan data bulan Desember 2009 yang
disampaikan pada bulan Januari 2010, berlaku
ketentuan penyampaian Laporan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 22A, Pasal 22B, dan Pasal
22C.
Mulai periode data Januari 2010 yang disampaikan
pada bulan Februari 2010 berlaku ketentuan
penyampaian Laporan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, dan Pasal 11.
Ayat (2)
Untuk periode data bulan Mei 2009 yang
disampaikan pada bulan Juni 2009 sampai dengan
data bulan September 2009 yang disampaikan pada
bulan Oktober 2009, bagi bank yang tidak
menyampaikan Laporan dan/atau menyampaikan
Laporan yang tidak benar dan tidak lengkap akan
dikenakan sanksi dalam rangka pembinaan dan
pengawasan bank.
Yang dimaksud dengan Bank Pelapor dinyatakan
tidak menyampaikan Laporan dan/atau koreksi
Laporan adalah sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 22C.
Pasal II
Cukup Jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR
5010
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 11/18/PBI/2009 </reg_id>
<reg_title> PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 10/40/PBI/2008 TENTANG LAPORAN BULANAN BANK UMUM </reg_title>
<set_date> 3 Juni 2009 </set_date>
<effective_date> 29 Mei 2009 </effective_date>
<issued_date> 3 Juni 2009 </issued_date>
<changed_reg> '10/40/PBI/2008' </changed_reg>
<replaced_reg> '2/21/PBI/2000' </replaced_reg>
<related_reg> '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '24/UU/1999', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg>
<penalty_list> 'Pasal I Angka 1 Pasal 16', 'Pasal I Angka 5 Pasal 25' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 8/7/PBI/2006
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 7/13/PBI/2005 TENTANG
KEWAJIBAN PENYEDIAAN MODAL MINIMUM BANK UMUM
BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa dalam rangka membantu pengembangan usaha kecil dan
mendukung pemberian penyaluran dana kepada
pegawai/pensiunan sebagai bentuk perwujudan peranan
perbankan khususnya perbankan syariah sebagai alat
intermediasi bagi sektor riil dalam rangka menunjang sektor
perekonomian usaha kecil di Indonesia, diperlukan adanya
perubahan penghitungan aktiva tertimbang menurut risiko bagi
penyaluran dana sektor terkait;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam
huruf a, maka diperlukan penyesuaian terhadap ketentuan
mengenai kewajiban penyediaan modal minimum bank umum
berdasarkan prinsip syariah dalam suatu Peraturan Bank
Indonesia:
Mengingat…
- 2 -
Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472)
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10
Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998
Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3790);
2. Undang-undang Nomor
23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999
Nomor 66, Tambahan Lembaran Republik Indonesia Negara
Nomor 3843) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
No.3 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4357);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN
ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR
7/13/PBI/2005 TENTANG KEWAJIBAN PENYEDIAAN MODAL
MINIMUM BANK UMUM BERDASARKAN PRINSIP
SYARIAH.
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia No. 7/13/PBI/2005 tanggal
10 Juni 2005 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum
Berdasarkan Prinsip Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005
Nomor 47 …
- 3 -
Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4501) diubah
sebagai berikut :
1. Penjelasan Pasal 4, ayat (5) huruf d diubah sebagaimana tercantum dalam
penjelasan.
2. Pasal 7 diubah sehingga Pasal 7 berbunyi sebagai berikut :
Pasal 7
(1) Aktiva tertimbang menurut risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
untuk aktiva produktif dibedakan sebagai berikut :
a. penyaluran dana dalam berbagai bentuk aktiva produktif yang sumber
dananya berasal dari dana pihak ketiga dengan prinsip mudharabah
mutlaqah berdasarkan sistem bagi untung atau rugi (profit and loss
sharing method) diberikan bobot sebesar 1% (satu perseratus);
b. penyaluran dana dalam berbagai bentuk aktiva produktif berdasarkan
sistem bagi pendapatan (revenue sharing) yang sumber dananya
berasal dari modal sendiri dan/atau dana pihak ketiga dengan prinsip
wadiah, qardh dan mudharabah muthlaqah berdasarkan sistem bagi
pendapatan (revenue sharing) yang dibedakan sebagai berikut:
1. diberikan atau dijamin oleh pemerintah atau bank sentral diberikan
bobot sebesar 0% (nol perseratus);
2. diberikan atau dijamin oleh bank lain diberikan bobot sebesar 20%
(dua puluh perseratus);
3. diberikan atau dijamin oleh swasta penetapan bobot berdasarkan
peringkat (rating) yang
bersangkutan.
dimiliki oleh perusahaan yang
c. penyaluran …
- 4 -
c. penyaluran dana dalam bentuk piutang untuk kepemilikan rumah yang
dijamin oleh hak tanggungan pertama dan bertujuan untuk dihuni yang
sumber dananya berasal dari modal sendiri dan atau dana pihak ketiga
dengan prinsip wadiah, qardh dan mudharabah muthlaqah
berdasarkan sistem bagi pendapatan (revenue sharing) diberikan
bobot sebesar 35% (tiga puluh lima perseratus);
d. penyaluran dana dalam berbagai bentuk aktiva produktif kepada
pegawai/pensiunan diluar kepemilikan rumah dan usaha kecil yang
sumber dananya dari wadiah, modal sendiri, qardh dan mudharabah
mutlaqah berdasarkan sistem bagi pendapatan (revenue sharing)
diberikan bobot sebesar 50 % (lima puluh perseratus);
e. penyaluran dana dalam berbagai bentuk aktiva produktif kepada usaha
kecil yang sumber dananya dari wadiah, modal sendiri, qardh dan
mudharabah mutlaqah berdasarkan sistem bagi pendapatan (revenue
sharing) diberikan bobot sebesar 85 % (delapan puluh lima
perseratus);
f. penyaluran dana dalam berbagai bentuk aktiva produktif berdasarkan
sistem bagi untung atau rugi (profit and loss sharing method) yang
sumber dananya dari wadiah, modal sendiri, qardh dan mudharabah
muthlaqah berdasarkan sistem bagi pendapatan (revenue sharing)
diberikan bobot sebesar 150% (seratus lima puluh perseratus);
(2) Peringkat (rating) yang menjadi dasar pemberian bobot risiko
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b angka 3 atau setara
diklasifikasikan sebagai berikut:
a. perusahaan dengan peringkat AAA sampai dengan AA- diberikan
bobot sebesar 20% (dua puluh perseratus);
b. perusahaan …
- 5 -
b. perusahaan dengan peringkat A+ sampai dengan A- diberikan bobot
sebesar 50% (lima puluh perseratus);
c. perusahaan dengan peringkat BBB+ sampai dengan BBB- diberikan
bobot sebesar 100% (seratus perseratus);
d. perusahaan dengan peringkat BB+ sampai dengan B- diberikan bobot
sebesar 100% (seratus perseratus);
e. perusahaan dengan peringkat dibawah B- diberikan bobot sebesar
150% (seratus lima puluh perseratus);
f. perusahaan yang tidak memiliki peringkat (unrated) diberikan bobot
sebesar 100% (seratus perseratus).
Pasal II pa
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 27 Februari 2006
GUBERNUR BANK INDONESIA,
BURHANUDDIN ABDULLAH
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2006 NOMOR 17
DPbS
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK NDONESIA
NOMOR: 8/7/PBI/2006
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 7/13/PBI/2005 TENTANG
KEWAJIBAN PENYEDIAAN MODAL MINIMUM BANK UMUM
BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH
UMUM
Dalam rangka meningkatkan peranan perbankan syariah dalam
menggerakkan sektor riil dengan lebih memfokuskan kepada pemberian
penyaluran dana kepada sektor usaha kecil serta mendukung pembiayaan pihak
pegawai dan atau pensiunan maka diperlukan adanya penyesuaian besarnya aktiva
tertimbang menurut risiko dalam ketentuan penghitungan kewajiban penyediaan
modal minimum yang lebih dapat mengakomodasi dan mendukung
pengembangan usaha kecil dan pemberian penyaluran dana kepada pegawai dan
atau pensiunan tersebut.
PASAL DEMI PASAL
Pasal I
Angka 1
Pasal 4
Ayat (5)
Huruf d …
- 2 -
Huruf d
Yang dimaksud dengan Investasi Subordinasi dalam
Laporan Bulanan Bank Syariah yaitu pinjaman subordinasi
dan obligasi syariah subordinasi.
Angka 2
Pasal 7
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan:
“aktiva produktif” adalah penanaman dana Bank baik dalam
rupiah maupun valuta asing dalam bentuk pembiayaan, piutang,
pinjaman dengan prinsip qardh, penempatan, penyertaan modal,
penyertaan modal sementara, komitmen dan kontinjensi pada
transaksi rekening administratif serta sertifikat wadiah Bank
Indonesia;
“mudharabah mutlaqah” adalah prinsip Syariah dalam
perjanjian antara penanam dana dan pengelola dana untuk
melakukan kegiatan usaha tertentu, dengan pembagian
keuntungan antara kedua belah pihak berdasarkan nisbah yang
telah disepakati sebelumnya dimana Bank diberikan kebebasan
oleh pihak pemilik dana untuk menanamkan dananya;
“wadiah” adalah prinsip Syariah dalam perjanjian penitipan dana
antara pemilik dana dengan pihak yang dipercaya untuk menjaga
dana penitipan tersebut;
“qardh” adalah prinsip Syariah dalam perjanjian pinjam
meminjam penyediaan dana antara bank Syariah sebagai pemberi
pinjaman dengan pihak peminjam yang mewajibkan pihak
peminjam …
- 3 -
peminjam melakukan pembayaran pokok pinjaman dengan cara
sekaligus atau cicilan dalam jangka waktu tertentu;
“pegawai” adalah pegawai negeri sipil (PNS), anggota
TNI/POLRI, pegawai lembaga negara dan pegawai Badan Usaha
Milik Negara/Daerah
“pensiunan” adalah pensiunan dari PNS, anggota TNI/Polri,
pegawai lembaga negara dan pegawai Badan Usaha Milik
Negara/Daerah
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal II
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4606
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 8/7/PBI/2006 </reg_id>
<reg_title> PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 7/13/PBI/2005 TENTANG KEWAJIBAN PENYEDIAAN MODAL MINIMUM BANK UMUM BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH </reg_title>
<set_date> 27 Februari 2006 </set_date>
<effective_date> 27 Februari 2006 </effective_date>
<changed_reg> '7/13/PBI/2005' </changed_reg>
<related_reg> '7/UU/1992', '23/UU/1999', '10/UU/1998', '3/UU/2004' </related_reg>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 13/ 1 /PBI/2011
TENTANG
PENILAIAN TINGKAT KESEHATAN BANK UMUM
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang: a. bahwa kesehatan bank merupakan sarana bagi otoritas
pengawas dalam menetapkan strategi dan fokus
pengawasan terhadap bank;
b. bahwa perubahan kompleksitas usaha dan profil risiko yang
dapat berasal dari bank maupun dari perusahaan anak bank
serta perubahan pendekatan penilaian kondisi bank yang
diterapkan secara internasional mempengaruhi pendekatan
penilaian tingkat kesehatan bank;
c. bahwa dalam rangka meningkatkan efektivitas penilaian
tingkat kesehatan bank untuk menghadapi perubahan
sebagaimana dimaksud pada huruf b diperlukan
penyempurnaan penilaian tingkat kesehatan bank
dengan pendekatan berdasarkan risiko;
d. bahwa penilaian tingkat kesehatan bank juga perlu
disesuaikan dengan penerapan pengawasan secara
konsolidasi;
e. bahwa . . .
e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d,
perlu untuk mengatur kembali Penilaian Tingkat
Kesehatan Bank Umum dalam suatu Peraturan Bank
Indonesia;
Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992
Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790);
2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4962);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PENILAIAN
TINGKAT KESEHATAN BANK UMUM.
BAB I
. . .
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Bank adalah Bank Umum yang melaksanakan kegiatan usaha secara
konvensional sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, termasuk kantor cabang
bank asing.
2. Direksi:
a. Bagi Bank berbentuk hukum Perseroan Terbatas adalah direksi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 5 Undang-Undang
Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas;
b. Bagi Bank berbentuk hukum Perusahaan Daerah adalah direksi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah;
c. Bagi Bank berbentuk hukum Koperasi adalah pengurus sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 29 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992
tentang Perkoperasian;
d. Bagi kantor cabang bank asing adalah pimpinan kantor cabang bank
asing.
3. Dewan Komisaris:
a. Bagi Bank berbentuk hukum Perseroan Terbatas adalah
dewan komisaris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 6
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas;
b. Bagi Bank berbentuk hukum Perusahaan Daerah adalah pengawas
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah;
c. Bagi
. . .
c. Bagi Bank berbentuk hukum Koperasi adalah pengawas sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 38 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992
tentang Perkoperasian.
4. Tingkat Kesehatan Bank adalah hasil penilaian kondisi Bank yang
dilakukan terhadap risiko dan kinerja Bank.
5. Peringkat Komposit adalah peringkat akhir hasil penilaian Tingkat
Kesehatan Bank.
6. Perusahaan Anak adalah perusahaan yang dimiliki dan/atau dikendalikan
oleh Bank secara langsung maupun tidak langsung, baik di dalam negeri
maupun di luar negeri, yang memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud
dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai penerapan manajemen risiko
secara konsolidasi bagi Bank yang melakukan pengendalian terhadap
perusahaan anak.
7. Pengendalian adalah Pengendalian sebagaimana diatur dalam ketentuan
Bank Indonesia yang berlaku mengenai transparansi kondisi keuangan
bank.
Pasal 2
(1) Bank wajib memelihara dan/atau meningkatkan Tingkat Kesehatan Bank
dengan menerapkan prinsip kehati-hatian dan manajemen risiko dalam
melaksanakan kegiatan usaha.
(2) Dalam rangka melaksanakan tanggung jawab atas kelangsungan usaha
Bank, Direksi dan Dewan Komisaris bertanggung jawab untuk memelihara
dan memantau Tingkat Kesehatan Bank serta mengambil langkah-langkah
yang diperlukan untuk memelihara dan/atau meningkatkan Tingkat
Kesehatan Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Bank . . .
(3) Bank wajib melakukan penilaian tingkat kesehatan dengan menggunakan
pendekatan risiko (Risk-based Bank Rating) baik secara individual maupun
secara konsolidasi.
BAB II
PENILAIAN TINGKAT KESEHATAN BANK
Pasal 3
(1) Bank wajib melakukan penilaian sendiri (self assessment) atas Tingkat
Kesehatan Bank sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (3).
(2) Penilaian sendiri (self assessment) Tingkat Kesehatan Bank sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling kurang setiap semester untuk
posisi akhir bulan Juni dan Desember.
(3) Bank wajib melakukan pengkinian self assesment Tingkat Kesehatan Bank
sewaktu-waktu apabila diperlukan.
(4) Hasil self assessment Tingkat Kesehatan Bank sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dan ayat (3) yang telah mendapat persetujuan dari Direksi wajib
disampaikan kepada Dewan Komisaris.
(5) Bank wajib menyampaikan hasil self assessment Tingkat Kesehatan Bank
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) kepada Bank Indonesia sebagai
berikut:
a. untuk penilaian Tingkat Kesehatan Bank secara individual, paling
lambat pada tanggal 31 Juli untuk penilaian Tingkat Kesehatan Bank
posisi akhir bulan Juni dan tanggal 31 Januari untuk penilaian Tingkat
Kesehatan Bank posisi akhir bulan Desember; dan
b. untuk penilaian Tingkat Kesehatan Bank secara konsolidasi, paling
lambat pada tanggal 15 Agustus untuk penilaian Tingkat Kesehatan
Bank posisi akhir bulan Juni dan tanggal 15 Februari untuk penilaian
Tingkat Kesehatan Bank posisi akhir bulan Desember.
Pasal 4 . . .
Pasal 4
(1) Bank Indonesia melakukan penilaian Tingkat Kesehatan Bank setiap
semester untuk posisi akhir bulan Juni dan Desember.
(2) Bank Indonesia melakukan pengkinian penilaian Tingkat Kesehatan Bank
sewaktu-waktu apabila diperlukan.
(3) Penilaian Tingkat Kesehatan Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan pengkinian penilaian Tingkat Kesehatan Bank sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dilakukan berdasarkan hasil pemeriksaan, laporan berkala
yang disampaikan Bank, dan/atau informasi lain.
Pasal 5
Dalam rangka pengawasan Bank, apabila terdapat perbedaan hasil penilaian
Tingkat Kesehatan Bank yang dilakukan oleh Bank Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 dengan hasil self assesment penilaian Tingkat Kesehatan
Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 maka yang berlaku adalah hasil
penilaian Tingkat Kesehatan Bank yang dilakukan oleh Bank Indonesia.
BAB III
MEKANISME PENILAIAN
TINGKAT KESEHATAN BANK SECARA INDIVIDUAL
Pasal 6
Bank wajib melakukan penilaian Tingkat Kesehatan Bank secara individual
dengan menggunakan pendekatan risiko (Risk-based Bank Rating) sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3), dengan cakupan penilaian terhadap faktor-
faktor sebagai berikut:
a. Profil risiko (risk profile);
b. Good . . .
b. Good Corporate Governance (GCG);
c. Rentabilitas (earnings); dan
d. Permodalan (capital).
Pasal 7
(1) Penilaian terhadap faktor profil risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6
huruf a merupakan penilaian terhadap risiko inheren dan kualitas penerapan
manajemen risiko dalam operasional Bank yang dilakukan terhadap 8
(delapan) risiko yaitu:
a.
b.
c.
d.
e.
f.
risiko kredit;
risiko pasar;
risiko likuiditas;
risiko operasional;
risiko hukum;
risiko stratejik;
g.
h.
risiko kepatuhan; dan
risiko reputasi.
(2) Penilaian terhadap faktor GCG sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6
huruf b merupakan penilaian terhadap manajemen Bank atas pelaksanaan
prinsip-prinsip GCG.
(3) Penilaian terhadap faktor rentabilitas (earnings) sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6 huruf c meliputi penilaian terhadap kinerja earnings,
sumber-sumber earnings, dan sustainability earnings Bank.
(4) Penilaian terhadap faktor permodalan (capital) sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6 huruf d meliputi penilaian terhadap tingkat kecukupan
permodalan dan pengelolaan permodalan.
Pasal 8 . . .
Pasal 8
(1) Setiap faktor penilaian Tingkat Kesehatan Bank sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6 ditetapkan peringkatnya berdasarkan kerangka analisis yang
komprehensif dan terstruktur.
(2) Penetapan peringkat faktor profil risiko dilakukan dengan tahapan sebagai
berikut:
a. penetapan tingkat risiko dari masing-masing risiko sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1);
b. penetapan tingkat risiko inheren secara komposit dan kualitas
penerapan manajemen risiko secara komposit; dan
c. penetapan peringkat faktor profil risiko berdasarkan analisis secara
komprehensif dan terstruktur atas hasil penetapan sebagaimana
dimaksud pada huruf a dan huruf b dengan memperhatikan
signifikansi masing-masing risiko terhadap profil risiko secara
keseluruhan.
(3) Penetapan peringkat faktor GCG dilakukan berdasarkan analisis
yang komprehensif dan terstruktur terhadap hasil penilaian pelaksanaan
prinsip-prinsip GCG Bank dan informasi lain yang terkait dengan GCG
Bank.
(4) Penetapan peringkat faktor rentabilitas (earnings) dilakukan berdasarkan
analisis secara komprehensif terhadap parameter/indikator rentabilitas
dengan memperhatikan signifikansi masing-masing parameter/indikator
serta mempertimbangkan permasalahan lain yang mempengaruhi
rentabilitas Bank.
(5) Penetapan . . .
(5) Penetapan peringkat penilaian faktor permodalan Bank dilakukan
berdasarkan analisis secara komprehensif terhadap parameter/indikator
permodalan dengan memperhatikan signifikansi masing-masing
parameter/indikator serta mempertimbangkan permasalahan lain yang
mempengaruhi permodalan Bank.
Pasal 9
(1) Peringkat Komposit Tingkat Kesehatan Bank ditetapkan berdasarkan
analisis secara komprehensif dan terstruktur terhadap peringkat setiap
faktor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan
ayat (5) dengan memperhatikan materialitas dan signifikansi masing-
masing faktor.
(2) Peringkat Komposit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikategorikan
sebagai berikut:
a. Peringkat Komposit 1 (PK-1).
b. Peringkat Komposit 2 (PK-2).
c. Peringkat Komposit 3 (PK-3).
d. Peringkat Komposit 4 (PK-4).
e. Peringkat Komposit 5 (PK-5).
(3) Peringkat Komposit 1 (PK-1), mencerminkan kondisi Bank yang secara
umum sangat sehat sehingga dinilai sangat mampu menghadapi pengaruh
negatif yang signifikan dari perubahan kondisi bisnis dan faktor eksternal
lainnya.
(4) Peringkat Komposit 2 (PK-2), mencerminkan kondisi Bank yang secara
umum sehat sehingga dinilai mampu menghadapi pengaruh negatif yang
signifikan dari perubahan kondisi bisnis dan faktor eksternal lainnya.
(5) Peringkat
. . .
(5) Peringkat Komposit 3 (PK-3), mencerminkan kondisi Bank yang secara
umum cukup sehat sehingga dinilai cukup mampu menghadapi pengaruh
negatif yang signifikan dari perubahan kondisi bisnis dan faktor eksternal
lainnya.
(6) Peringkat Komposit 4 (PK-4), mencerminkan kondisi Bank yang secara
umum kurang sehat sehingga dinilai kurang mampu menghadapi pengaruh
negatif yang signifikan dari perubahan kondisi bisnis dan faktor eksternal
lainnya.
(7) Peringkat Komposit 5 (PK-5), mencerminkan kondisi Bank yang secara
umum tidak sehat sehingga dinilai tidak mampu menghadapi pengaruh
negatif yang signifikan dari perubahan kondisi bisnis dan faktor eksternal
lainnya.
Pasal 10
Dalam hal berdasarkan hasil identifikasi dan penilaian Bank Indonesia ditemukan
permasalahan atau pelanggaran yang secara signifikan mempengaruhi atau akan
mempengaruhi operasional dan/atau kelangsungan usaha Bank, Bank Indonesia
berwenang menurunkan Peringkat Komposit Tingkat Kesehatan Bank.
BAB IV
MEKANISME PENILAIAN TINGKAT KESEHATAN BANK
SECARA KONSOLIDASI
Pasal 11
(1) Bank wajib melakukan penilaian Tingkat Kesehatan Bank secara
konsolidasi dengan menggunakan pendekatan risiko (Risk-based Bank
Rating) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3), dengan cakupan
penilaian terhadap faktor-faktor sebagai berikut:
a. Profil
. . .
a. Profil risiko (Risk Profile);
b. Good Corporate Governance (GCG);
c. Rentabilitas (Earnings); dan
d. Permodalan (Capital),
(2) Penetapan peringkat faktor profil risiko Bank secara konsolidasi dilakukan
dengan memperhatikan:
a. signifikansi atau materialitas pangsa Perusahaan Anak terhadap Bank
secara konsolidasi; dan/atau
b. permasalahan Perusahaan Anak yang berpengaruh secara signifikan
terhadap profil risiko Bank secara konsolidasi;
(3) Penetapan peringkat faktor GCG secara konsolidasi dilakukan dengan
memperhatikan:
a.
signifikansi atau materialitas pangsa Perusahaan Anak terhadap Bank
secara konsolidasi; dan/atau
b. permasalahan terkait dengan pelaksanaan prinsip-prinsip GCG pada
Perusahaan Anak yang berpengaruh secara signifikan terhadap
pelaksanaan prinsip-prinsip GCG.
(4) Penetapan peringkat faktor rentabilitas secara konsolidasi dilakukan
berdasarkan analisis secara komprehensif dan terstruktur terhadap
parameter/indikator rentabilitas tertentu yang dihasilkan dari laporan
keuangan Bank secara konsolidasi dan informasi keuangan lainnya dengan
memperhatikan:
a.
signifikansi atau materialitas pangsa Perusahaan Anak terhadap Bank
secara konsolidasi; dan/atau
b. permasalahan rentabilitas pada Perusahaan Anak yang berpengaruh
secara signifikan terhadap rentabilitas secara konsolidasi.
(5) Penetapan . . .
(5) Penetapan peringkat faktor permodalan secara konsolidasi dilakukan
berdasarkan analisis secara komprehensif dan terstruktur terhadap
parameter/indikator permodalan tertentu yang dihasilkan dari laporan
keuangan Bank secara konsolidasi dan informasi keuangan lainnya dengan
memperhatikan:
a.
b. permasalahan permodalan pada Perusahaan Anak yang berpengaruh
secara signifikan terhadap permodalan secara konsolidasi.
Pasal 12
Bagi Bank yang melakukan penilaian Tingkat Kesehatan Bank secara
konsolidasi maka:
a. mekanisme penetapan peringkat setiap faktor penilaian dan penetapan
peringkat komposit Tingkat Kesehatan Bank secara konsolidasi; dan
b. pengkategorian peringkat setiap faktor penilaian dan peringkat komposit
secara konsolidasi,
wajib mengacu pada mekanisme penetapan dan pengkategorian peringkat Bank
secara individual sebagaimana diatur dalam Pasal 8, Pasal 9, dan Pasal 10.
BAB V
TINDAK LANJUT HASIL PENILAIAN TINGKAT KESEHATAN BANK
Pasal 13
(1) Dalam hal berdasarkan hasil penilaian Tingkat Kesehatan Bank yang
dilakukan oleh Bank Indonesia dan/atau hasil self assesment oleh Bank
terdapat:
a.
b. Peringkat
. . .
signifikansi atau materialitas pangsa Perusahaan Anak terhadap Bank
secara konsolidasi; dan/atau
faktor Tingkat Kesehatan Bank yang ditetapkan dengan peringkat 4
atau peringkat 5;
b. Peringkat Komposit Tingkat Kesehatan Bank yang ditetapkan dengan
peringkat 4 atau peringkat 5; dan/atau
c. Peringkat Komposit Tingkat Kesehatan Bank yang ditetapkan dengan
peringkat 3, namun terdapat permasalahan signifikan yang perlu
diatasi agar tidak mengganggu kelangsungan usaha Bank,
maka Direksi, Dewan Komisaris, dan/atau pemegang saham pengendali
Bank wajib menyampaikan action plan kepada Bank Indonesia
(2) Bank Indonesia berwenang meminta Bank untuk melakukan penyesuaian
terhadap action plan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Bank wajib menyampaikan action plan:
a.
sesuai batas waktu tertentu yang ditetapkan Bank Indonesia, untuk
action plan yang merupakan tindak lanjut dari hasil penilaian Tingkat
Kesehatan Bank oleh Bank Indonesia;
b. paling lambat pada tanggal 15 Agustus, untuk penilaian Tingkat
Kesehatan Bank posisi akhir bulan Juni dan tanggal 15 Februari untuk
penilaian Tingkat Kesehatan Bank posisi akhir bulan Desember, untuk
action plan yang merupakan tindak lanjut dari hasil self assesment
Bank.
Pasal 14
Bank wajib menyampaikan laporan pelaksanaan action plan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 13 paling lambat:
a. 10 (sepuluh) hari kerja setelah target waktu penyelesaian action plan;
dan/atau
b. 10 (sepuluh) hari kerja setelah akhir bulan dan dilakukan secara bulanan,
apabila terdapat permasalahan yang signifikan yang akan mengganggu
penyelesaian action plan secara tepat waktu.
Pasal 15 . . .
Pasal 15
Bank Indonesia berwenang melakukan pemeriksaan terhadap pelaksanaan action
plan oleh Bank.
BAB VI
UJI COBA PENILAIAN TINGKAT KESEHATAN BANK
Pasal 16
(1) Dalam rangka persiapan penerapan secara efektif penilaian Tingkat
Kesehatan Bank baik secara individual maupun konsolidasi, Bank wajib
melaksanakan uji coba penilaian Tingkat Kesehatan Bank sebagaimana
dimaksud dalam Peraturan Bank Indonesia ini sejak tanggal 1 Juli 2011
yaitu untuk posisi penilaian Tingkat Kesehatan Bank akhir bulan Juni 2011.
(2) Bank Indonesia berwenang meminta hasil uji coba penilaian Tingkat
Kesehatan Bank sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1).
BAB VII
SANKSI
Pasal 17
Bank yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana diatur dalam
Pasal 2, Pasal 3, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13,
Pasal 14, dan Pasal 16 ayat (1) dikenakan sanksi administratif sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 52 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun
1998 berupa:
a.
teguran tertulis;
b. penurunan Tingkat Kesehatan Bank;
c. Pembekuan . . .
c. pembekuan kegiatan usaha tertentu; dan/atau
d. pencantuman pengurus dan/atau pemegang saham Bank dalam daftar pihak-
pihak yang mendapatkan predikat tidak lulus dalam penilaian kemampuan
dan kepatutan (Fit and Proper Test).
BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 18
Ketentuan pelaksanaan Peraturan Bank Indonesia ini diatur lebih lanjut dalam
Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 19
Dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini, maka:
a. Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/10/PBI/2004 tentang Sistem Penilaian
Tingkat Kesehatan Bank Umum, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku sejak
tanggal 1 Januari 2012 yaitu untuk penilaian Tingkat Kesehatan Bank posisi
akhir bulan Desember 2011;
b. penilaian Tingkat Kesehatan Bank sesuai Peraturan Bank Indonesia ini
secara efektif dilaksanakan sejak tanggal 1 Januari 2012 yaitu untuk
penilaian Tingkat Kesehatan Bank posisi akhir bulan Desember 2011.
Pasal 20
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Agar . . .
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 5 Januari 2011
GUBERNUR BANK INDONESIA,
DARMIN NASUTION
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 5 Januari 2011
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA
PATRIALIS AKBAR
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2011 NOMOR 1
DPNP
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 13/ 1 /PBI/2011
TENTANG
PENILAIAN TINGKAT KESEHATAN BANK UMUM
I. UMUM
Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, Bank
wajib memelihara kesehatannya. Kesehatan Bank yang merupakan cerminan
kondisi dan kinerja Bank merupakan sarana bagi otoritas pengawas dalam
menetapkan strategi dan fokus pengawasan terhadap Bank. Selain itu, kesehatan
Bank juga menjadi kepentingan semua pihak terkait, baik pemilik, pengelola
(manajemen), dan masyarakat pengguna jasa Bank.
Perkembangan industri perbankan, terutama produk dan jasa yang
semakin kompleks dan beragam dapat meningkatkan eksposur risiko dan
profil risiko Bank. Sejalan dengan itu pendekatan penilaian secara
internasional juga mengarah pada pendekatan pengawasan berdasarkan
risiko. Peningkatan eksposur risiko dan profil risiko serta penerapan
pendekatan Pengawasan berdasarkan risiko tersebut selanjutnya akan
mempengaruhi penilaian Tingkat Kesehatan Bank.
Sesuai dengan perkembangan usaha Bank yang senantiasa bersifat
dinamis dan berpengaruh pada tingkat risiko yang dihadapi, maka
metodologi penilaian Tingkat Kesehatan Bank perlu disempurnakan agar
dapat
. . .
dapat lebih mencerminkan kondisi Bank saat ini dan di waktu yang akan
datang. Penyesuaian tersebut perlu dilakukan agar penilaian Tingkat
Kesehatan Bank dapat lebih efektif digunakan sebagai alat untuk
mengevaluasi kinerja Bank termasuk dalam penerapan manajemen risiko
dengan fokus pada risiko yang signifikan, dan kepatuhan terhadap ketentuan
yang berlaku serta penerapan prinsip kehati-hatian. Penyesuaian tersebut
dilakukan dengan menyempurnakan penilaian Tingkat Kesehatan Bank
menggunakan pendekatan berdasarkan risiko dan menyesuaikan faktor-faktor
penilaian Tingkat Kesehatan Bank.
Penilaian Tingkat Kesehatan Bank dengan menggunakan pendekatan
berdasarkan risiko merupakan penilaian yang komprehensif dan terstruktur
terhadap hasil integrasi profil risiko dan kinerja yang meliputi penerapan tata
kelola yang baik, rentabilitas, dan permodalan.
Pendekatan tersebut memungkinkan Bank Indonesia sebagai pengawas
melakukan tindakan pengawasan yang sesuai dan tepat waktu karena
penilaian dilakukan secara komprehensif terhadap semua faktor penilaian
dan difokuskan pada risiko yang signifikan serta dapat segera
dikomunikasikan kepada Bank dalam rangka menetapkan tindak lanjut
pengawasan.
Selain itu sejalan dengan penerapan pengawasan berdasarkan risiko
maka pengawasan tidak cukup dilakukan hanya untuk Bank secara individual
tetapi juga harus dilakukan terhadap Bank secara konsolidasi termasuk
dalam penilaian tingkat kesehatan. Oleh karena itu, penilaian Tingkat
Kesehatan Bank juga harus mencakup penilaian Tingkat Kesehatan Bank
secara konsolidasi.
Sehubungan dengan itu, penilaian Tingkat Kesehatan Bank perlu
diatur kembali agar sejalan dengan perkembangan yang terjadi.
II. PASAL . . .
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Ayat (1)
Kesehatan Bank harus dipelihara dan/atau ditingkatkan agar
kepercayaan masyarakat terhadap Bank dapat tetap terjaga.
Selain itu, Tingkat Kesehatan Bank digunakan sebagai salah satu
sarana dalam melakukan evaluasi terhadap kondisi dan permasalahan
yang dihadapi Bank serta menentukan tindak lanjut untuk mengatasi
kelemahan atau permasalahan Bank, baik berupa corrective action
oleh Bank maupun supervisory action oleh Bank Indonesia.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Penilaian Tingkat Kesehatan Bank secara konsolidasi diterapkan bagi
Bank yang melakukan Pengendalian terhadap Perusahaan Anak.
Pasal 3
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
. . .
Ayat (3)
Pengkinian self assesment Tingkat Kesehatan Bank sewaktu-waktu
dilakukan antara lain dalam hal:
a. kondisi keuangan Bank memburuk;
b. Bank menghadapi permasalahan antara lain risiko likuiditas dan
permodalan; atau
c. kondisi lainnya yang menurut Bank Indonesia perlu dilakukan
pengkinian penilaian tingkat kesehatan.
Ayat (4)
Bagi kantor cabang bank asing, hasil self assessment disampaikan
kepada pihak yang sesuai struktur organisasi internal Bank
bertanggung jawab untuk mengawasi secara langsung kegiatan dan
kinerja kantor cabang bank asing di Indonesia.
Ayat (5)
Dalam hal batas waktu penyampaian hasil self assessment Tingkat
Kesehatan Bank jatuh pada hari libur maka hasil self assessment
Tingkat Kesehatan Bank disampaikan pada hari kerja berikutnya.
Pasal 4
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Informasi lain dapat berupa:
a.
b.
informasi hasil penilaian dari otoritas lain yang berwenang;
informasi yang diketahui secara umum seperti hasil penilaian
dari lembaga pemeringkat dan informasi dari media masa;
dan/atau
c. data . . .
c. data atau informasi terkait kantor cabang Bank asing mengenai
kondisi keuangan dan peringkat (rating) dari kantor pusatnya di
luar negeri yang dihasilkan oleh otoritas yang berwenang atau
lembaga pemeringkat internasional.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Penilaian Tingkat Kesehatan Bank dengan menggunakan pendekatan risiko
(Risk-based Bank Rating) dilakukan berdasarkan analisis yang
komprehensif terhadap kinerja, profil risiko, permasalahan yang dihadapi,
dan prospek perkembangan Bank.
Pasal 7
Ayat (1)
Penilaian risiko inheren merupakan penilaian atas risiko melekat pada
kegiatan bisnis Bank, baik yang dapat dikuantifikasikan maupun yang
tidak, yang berpotensi mempengaruhi posisi keuangan Bank.
Penilaian kualitas penerapan manajemen risiko merupakan penilaian
terhadap aspek: (i) tata kelola risiko, (ii) kerangka manajemen risiko,
(iii) proses manajemen risiko, kecukupan sumber daya manusia, dan
kecukupan sistem informasi manajemen; serta (iv) kecukupan sistem
pengendalian risiko dengan memperhatikan karakteristik dan
kompleksitas usaha Bank.
Definisi dan cakupan terhadap masing-masing risiko mengacu pada
ketentuan Bank Indonesia mengenai penerapan manajemen risiko bagi
bank umum.
Ayat (2)
. . .
Ayat (2)
Prinsip-prinsip GCG dan fokus penilaian terhadap pelaksanaan
prinsip-prinsip GCG mengacu pada ketentuan Bank Indonesia
mengenai Good Corporate Governance bagi Bank Umum dengan
memperhatikan karakteristik dan kompleksitas usaha Bank.
Ayat (3)
Penilaian terhadap kinerja earnings, sumber-sumber earnings, dan
sustainability earnings Bank dilakukan dengan mempertimbangkan
aspek tingkat, trend, struktur, dan stabilitas, dengan memperhatikan
kinerja peer group serta manajemen rentabilitas Bank, baik melalui
analisis aspek kuantitatif maupun kualitatif.
Analisis aspek kuantitatif dilakukan dengan menggunakan indikator
utama sebagai dasar penilaian. Selain itu, apabila diperlukan dapat
ditambahkan penggunaan indikator pendukung lainnya untuk
mempertajam analisis, yang disesuaikan dengan skala bisnis,
karakteristik, dan/atau kompleksitas usaha Bank.
Analisis aspek kualitatif dilakukan antara lain dengan
mempertimbangkan manajemen rentabilitas, kontribusi earnings
dalam meningkatkan modal, dan prospek rentabilitas.
Ayat (4)
Penilaian terhadap tingkat kecukupan permodalan dan pengelolaan
permodalan dilakukan Bank dengan mempertimbangkan tingkat,
trend, struktur, dan stabilitas, dengan memperhatikan kinerja peer
group serta manajemen permodalan Bank, baik melalui analisis aspek
kuantitatif maupun kualitatif.
Analisis aspek kuantitatif dilakukan dengan menggunakan indikator
utama. Selain itu, apabila diperlukan dapat ditambahkan penggunaan
indikator . . .
indikator pendukung lainnya untuk mempertajam analisis, yang
disesuaikan dengan skala bisnis, karakteristik, dan/atau kompleksitas
usaha Bank.
Analisis aspek kualitatif dilakukan antara lain dengan
mempertimbangkan manajemen permodalan dan kemampuan akses
permodalan.
Pasal 8
Ayat (1)
Peringkat setiap faktor dikategorikan sebagai berikut:
a.
peringkat 1;
b. peringkat 2;
c.
peringkat 5.
peringkat 3;
d. peringkat 4; dan
e.
Urutan peringkat faktor yang lebih kecil mencerminkan kondisi Bank
yang lebih baik.
Ayat (2)
Huruf a
Tingkat risiko ditetapkan berdasarkan tingkat risiko inheren dan
kualitas penerapan manajemen risiko dari masing-masing risiko.
Huruf b
Penetapan tingkat risiko inheren dan kualitas penerapan
manajemen risiko secara komposit dilakukan berdasarkan
analisis secara komprehensif dan terstruktur terhadap tingkat
risiko inheren dan kualitas penerapan manajemen risiko dari
masing-masing risiko dengan memperhatikan signifikansi
masing-masing risiko terhadap profil risiko secara keseluruhan.
Huruf c . . .
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (3)
Hasil penilaian pelaksanaan prinsip-prinsip GCG Bank sebagaimana
diatur dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai Good Corporate
Governance bagi Bank Umum hanya merupakan salah satu sumber
penilaian peringkat faktor GCG Bank dalam penilaian Tingkat
Kesehatan Bank.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 9
Ayat (1)
Analisis secara komprehensif dilakukan juga dengan
mempertimbangkan kemampuan Bank dalam menghadapi perubahan
kondisi eksternal yang signifikan.
Ayat (2)
Urutan Peringkat Komposit yang lebih kecil mencerminkan kondisi
Bank yang lebih sehat.
Ayat (3)
Kondisi yang secara umum sangat sehat sehingga dinilai sangat
mampu menghadapi pengaruh negatif yang signifikan dari perubahan
kondisi bisnis dan faktor eksternal lainnya tercermin dari peringkat
faktor-faktor penilaian, antara lain profil risiko, penerapan GCG,
rentabilitas, dan permodalan yang secara umum sangat baik. Apabila
terdapat kelemahan maka secara umum kelemahan tersebut tidak
signifikan.
Ayat (4)
. . .
Ayat (4)
Kondisi yang secara umum sehat sehingga dinilai mampu menghadapi
pengaruh negatif yang signifikan dari perubahan kondisi bisnis dan
faktor eksternal lainnya, tercermin dari peringkat faktor-faktor
penilaian, antara lain profil risiko, penerapan GCG, rentabilitas, dan
permodalan yang secara umum baik. Apabila terdapat kelemahan
maka secara umum kelemahan tersebut kurang signifikan.
Ayat (5)
Kondisi yang secara umum cukup sehat sehingga dinilai cukup
mampu menghadapi pengaruh negatif yang signifikan dari perubahan
kondisi bisnis dan faktor eksternal lainnya, tercermin dari peringkat
faktor-faktor penilaian, antara lain profil risiko, penerapan GCG,
rentabilitas, dan permodalan, yang secara umum cukup baik. Apabila
terdapat kelemahan maka secara umum kelemahan tersebut cukup
signifikan dan apabila tidak berhasil diatasi dengan baik oleh
manajemen dapat mengganggu kelangsungan usaha Bank.
Ayat (6)
Kondisi yang secara umum kurang sehat sehingga dinilai kurang
mampu menghadapi pengaruh negatif yang signifikan dari perubahan
kondisi bisnis dan faktor eksternal lainnya, tercermin dari peringkat
faktor-faktor penilaian, antara lain profil risiko, penerapan GCG,
rentabilitas, dan permodalan, yang secara umum kurang baik.
Terdapat kelemahan yang secara umum signifikan dan tidak dapat
diatasi dengan baik oleh manajemen serta mengganggu kelangsungan
usaha Bank.
Ayat (7)
. . .
Ayat (7)
Kondisi yang secara umum tidak sehat sehingga dinilai tidak mampu
menghadapi pengaruh negatif yang signifikan dari perubahan kondisi
bisnis dan faktor eksternal lainnya, tercermin dari peringkat faktor-
faktor penilaian, antara lain profil risiko, penerapan GCG, rentabilitas,
dan permodalan, yang secara umum tidak baik. Terdapat kelemahan
yang secara umum sangat signifikan sehingga untuk mengatasinya
dibutuhkan dukungan dana dari pemegang saham atau sumber dana
dari pihak lain untuk memperkuat kondisi keuangan Bank.
Pasal 10
Analisis signifikansi pengaruh suatu permasalahan dilakukan dengan
mempertimbangkan antara lain hal-hal berikut:
a. dampak negatif permasalahan dan/atau pelanggaran ketentuan
terhadap kelangsungan usaha/kinerja Bank;
b.
c.
d.
terdapat indikasi kesengajaan dari pelanggaran ketentuan;
terdapat indikasi kesengajaan tidak terpenuhinya komitmen; dan/atau
jumlah dan/atau frekuensi pelanggaran.
Contoh permasalahan atau pelanggaran yang berpengaruh signifikan antara
lain adalah rekayasa termasuk window dressing dan perselisihan intern
manajemen yang mempengaruhi operasional dan/atau kelangsungan usaha
Bank.
Pasal 11 . . .
Pasal 11
Ayat (1)
Penilaian Tingkat Kesehatan Bank dengan menggunakan pendekatan
risiko (Risk-based Bank Rating) dilakukan berdasarkan analisis yang
komprehensif terhadap kinerja, profil risiko, permasalahan yang
dihadapi, dan prospek perkembangan Bank.
Penilaian terhadap masing-masing faktor dilakukan secara konsolidasi
antara Bank dengan Perusahaan Anak.
Ayat (2)
Risiko Perusahaan Anak yang dinilai untuk pengukuran profil risiko
secara konsolidasi ditetapkan dengan memperhatikan karakteristik
usaha Perusahaan Anak dan pengaruhnya terhadap profil risiko Bank
secara konsolidasi.
Pengukuran tingkat risiko secara konsolidasi dilakukan dengan
menggunakan parameter-parameter pengukuran risiko yang sesuai
dengan karakteristik usaha Perusahaan Anak.
Ayat (3)
Faktor-faktor penilaian GCG Perusahaan Anak yang digunakan untuk
penilaian pelaksanaan prinsip-prinsip GCG secara konsolidasi
ditetapkan dengan memperhatikan karakteristik usaha Perusahaan
Anak dan pengaruhnya terhadap GCG Bank secara konsolidasi.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13 . . .
Pasal 13
Ayat (1)
Action plan memuat langkah-langkah perbaikan yang akan
dilaksanakan oleh Bank dalam rangka mengatasi permasalahan
signifikan yang dihadapi beserta target waktu penyelesaiannya.
Action plan yang disampaikan oleh Bank merupakan komitmen Bank
kepada Bank Indonesia.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Batas waktu tertentu penyampaian action plan ditetapkan Bank
Indonesia dengan mempertimbangkan tingkat kompleksitas dan
signifikansi permasalahan Bank.
Huruf b
Dalam hal batas waktu penyampaian action plan atas hasil self
assesment jatuh pada hari libur maka action plan atas hasil self
assesment Tingkat Kesehatan Bank disampaikan pada hari kerja
berikutnya.
Pasal 14
Huruf a
Target waktu penyelesaian action plan meliputi target waktu
penyelesaian setiap tahapan action plan maupun penyelesaian secara
keseluruhan.
Laporan . . .
Laporan pelaksanaan action plan yang disampaikan oleh Bank antara
lain memuat penjelasan mengenai realisasi pelaksanaan action plan,
disertai bukti pelaksanaan dan/atau dokumen pendukung terkait.
Huruf b
Laporan pelaksanaan action plan yang disampaikan oleh Bank antara
lain memuat penjelasan mengenai perkembangan dan permasalahan
yang dihadapi dalam pelaksanaan action plan disertai bukti dan/atau
dokumen pendukung terkait.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Ayat (1)
Sejak pelaksanaan uji coba ini yaitu sejak tanggal 1 Juli 2011, Bank
secara efektif menggunakan penetapan peringkat faktor profil risiko
dengan menggunakan 5 (lima) peringkat sebagaimana diatur dalam
ketentuan Bank Indonesia mengenai penerapan manajemen risiko bagi
Bank Umum.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19 . . .
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5184
DPNP
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 13/1/PBI/2011 </reg_id>
<reg_title> PENILAIAN TINGKAT KESEHATAN BANK UMUM </reg_title>
<set_date> 5 Januari 2011 </set_date>
<effective_date> 5 Januari 2011 </effective_date>
<issued_date> 5 Januari 2011 </issued_date>
<replaced_reg> '6/10/PBI/2004' </replaced_reg>
<related_reg> '6/UU/2009', '23/UU/1999', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB VII' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 4/ 3 /PBI/2002
TENTANG
PENCABUTAN DAN PENARIKAN DARI PEREDARAN UANG LOGAM PECAHAN
RP5 TAHUN EMISI 1970 DAN 1974, RP25 TAHUN EMISI 1971,
RP50 TAHUN EMISI 1971, SERTA RP100 TAHUN EMISI 1973 DAN 1978
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang
:
a. bahwa uang logam pecahan Rp5 tahun emisi 1970 dan 1974,
Rp25 tahun emisi 1971, Rp50 tahun emisi 1971, serta Rp100
tahun emisi 1973 dan 1978, telah beredar cukup lama;
b. bahwa pada tahun 1979 telah dikeluarkan dan diedarkan uang
logam pecahan Rp5 tahun emisi 1979, pada tahun 1991 telah
dikeluarkan dan diedarkan uang logam pecahan Rp25 tahun
emisi 1991, serta pada tahun 1991 dan 1999 telah dikeluarkan
dan diedarkan uang logam pecahan Rp50 dan Rp100 masing-
masing tahun emisi 1991 dan 1999;
c. bahwa berhubung dengan itu, untuk menghindari terlalu
banyaknya emisi uang logam yang beredar, dipandang perlu
untuk menetapkan pencabutan dan penarikan dari peredaran
uang logam pecahan Rp5 tahun emisi 1970 dan 1974, Rp25
tahun emisi 1971, Rp50 tahun emisi 1971, serta Rp100 tahun
emisi 1973 dan 1978, dalam suatu Peraturan Bank Indonesia;
Mengingat
:
1. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 66,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3843);
2. Peraturan Bank Indonesia Nomor 2/17/PBI/2000 tanggal 20
Juli 2000 tentang pengeluaran dan pengedaran serta
pencabutan dan penarikan uang rupiah;
Memperhatikan
:
1. Pengumuman Direksi Bank Indonesia No. 6/Dir/70 tanggal
18 September 1970 tentang pengedaran mata uang logam
pecahan Rp5 tahun emisi 1970;
2. Pengumuman ………
1
2. Pengumuman Direksi Bank Indonesia tanggal 23 Maret 1974
tentang pengedaran uang logam pecahan Rp5 tahun emisi
1974;
3. Pengumuman Direksi Bank Indonesia No. 5/Dir/1971 tanggal
26 Juli 1971 tentang pengedaran uang logam pecahan Rp50
dan Rp25 tahun emisi 1971;
4. Pengumuman Direksi Bank Indonesia No. 1/Dir/1973 tanggal
6 November 1973 tentang pengedaran uang logam pecahan
Rp100 tahun emisi 1973;
5. Pengumuman Direksi Bank Indonesia tanggal 31 Juli 1978
tentang pengedaran uang logam pecahan Rp100 tahun emisi
1978;
MEMUTUSKAN :
Menetapkan
:
PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PENCABUTAN
DAN PENARIKAN DARI PEREDARAN UANG LOGAM
PECAHAN RP5 TAHUN EMISI 1970 DAN 1974, RP25 TAHUN
EMISI 1971, RP50 TAHUN EMISI 1971, SERTA RP100 TAHUN
EMISI 1973 DAN 1978.
Pasal 1
Terhitung sejak tanggal 25 Juni 2002, uang logam pecahan Rp5 tahun emisi 1970 dan
1974, Rp25 tahun emisi 1971, Rp50 tahun emisi 1971, serta Rp100 tahun emisi 1973 dan
1978, dicabut dan ditarik dari peredaran serta dinyatakan tidak berlaku lagi sebagai alat
pembayaran yang sah.
Pasal 2
Para pemegang uang logam pecahan sebagaimana dimaksud pada Pasal 1 di atas dapat
menyerahkan uang logam tersebut guna ditukarkan dengan uang lainnya yang masih
berlaku pada Kantor Bank Indonesia dan Bank Umum.
Pasal 3………...
2
Pasal 3
Jangka waktu penukaran sebagaimana dimaksud pada pasal 2 ditetapkan sebagai berikut :
(1) Terhitung sejak tanggal 25 Juni 2002 sampai dengan tanggal 24 Juni 2007
penukaran dilakukan di Kantor Bank Indonesia dan Bank Umum.
(2) Terhitung sejak tanggal 25 Juni 2007 sampai dengan tanggal 24 Juni 2012
penukaran hanya dilakukan di Kantor Bank Indonesia.
Pasal 4
Hak untuk menuntut penukaran uang logam sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 tidak
berlaku lagi setelah 10 (sepuluh) tahun terhitung sejak tanggal pencabutan atau tanggal
24 Juni 2012.
Pasal 5
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 6 Juni 2002
GUBERNUR BANK INDONESIA
SYAHRIL SABIRIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2002 NOMOR 65
DPU
3
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 4/3/PBI/2002 </reg_id>
<reg_title> PENCABUTAN DAN PENARIKAN DARI PEREDARAN UANG LOGAM PECAHAN RP5 TAHUN EMISI 1970 DAN 1974, RP25 TAHUN EMISI 1971, RP50 TAHUN EMISI 1971, SERTA RP100 TAHUN EMISI 1973 DAN 1978 </reg_title>
<set_date> 6 Juni 2002 </set_date>
<effective_date> 6 Juni 2002 </effective_date>
<related_reg> '2/17/PBI/2000', '23/UU/1999' </related_reg>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 2/11/PBI/2000
TENTANG
PENETAPAN STATUS BANK DAN PENYERAHAN BANK KEPADA
BADAN PENYEHATAN PERBANKAN NASIONAL
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa pada saat ini Indonesia masih mengalami kesulitan
perbankan yang membahayakan perekonomian nasional;
b. bahwa dalam rangka mengatasi kesulitan perbankan nasional,
telah dilakukan program restrukturisasi perbankan nasional
dan pemulihan kepercayaan masyarakat, antara lain melalui
pembentukan Badan Penyehatan Perbankan Nasional dan
program penjaminan Pemerintah;
c. bahwa dalam rangka pelaksanaan program restrukturisasi
perbankan nasional, perlu dilakukan langkah-langkah
terhadap bank yang dinilai mengalami kesulitan dalam
kegiatan usahanya antara lain dengan penyerahan bank
kepada Badan Penyehatan Perbankan Nasional;
d. bahwa
sehubungan dengan itu perlu
diatur mengenai
Penetapan Status Bank dan Penyerahan Bank kepada Badan
Penyehatan Perbankan Nasional dalam suatu Peraturan Bank
Indonesia;
Mengingat ...
- 2 -
Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3472) sebagaimana telah diubah
dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran
Negara Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3790);
2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 66,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3843);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1999 tentang Badan
Penyehatan Perbankan Nasional (Lembaran Negara Tahun
1999 Nomor 30, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3814)
sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 99 Tahun 1999 (Lembaran Negara Tahun
1999 Nomor 227);
4. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 1999 tentang
Pencabutan Izin Usaha, Pembubaran dan Likuidasi Bank
(Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 52, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3831);
5. Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1998 tentang Jaminan
terhadap Kewajiban Pembayaran Bank Umum (Lembaran
Negara Tahun 1998 Nomor 29);
MEMUTUSKAN ...
- 3 -
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PENETAPAN
STATUS BANK DAN PENYERAHAN BANK KEPADA
BADAN PENYEHATAN PERBANKAN NASIONAL.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 yang ikut serta dalam Program
Penjaminan Pemerintah;
2. Badan Penyehatan Perbankan Nasional, yang untuk selanjutnya disebut
dengan BPPN adalah badan khusus yang dibentuk berdasarkan Peraturan
Pemerintah Nomor 17 Tahun 1999 tentang Badan Penyehatan Perbankan
Nasional sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah
Nomor 99 Tahun 1999;
3. Program Penjaminan Pemerintah adalah program penjaminan terhadap
kewajiban pembayaran Bank sebagaimana dimaksud dalam Keputusan
Presiden Nomor 26 Tahun 1998 tentang Jaminan terhadap
Pembayaran Bank Umum;
Kewajiban
4. Bank ...
- 4 -
4. Bank Dalam Penyehatan, yang untuk selanjutnya disebut dengan BDP
adalah Bank yang diserahkan oleh Bank Indonesia kepada BPPN untuk
tujuan penyehatan;
5. Bank Beku Kegiatan Usaha, yang untuk selanjutnya disebut dengan BBKU
adalah Bank yang dibekukan kegiatan usahanya oleh Bank Indonesia dan
selanjutnya diserahkan kepada BPPN untuk tujuan penyelesaian kewajiban
Bank melalui Program Penjaminan Pemerintah, penyelesaian hak-hak
karyawan, dan upaya pengembalian uang negara.
BAB II
BANK DALAM PENGAWASAN KHUSUS (SPECIAL SURVEILLANCE)
Pasal 2
(1) Dalam hal Bank Indonesia menilai suatu Bank mengalami kesulitan yang
membahayakan kelangsungan usahanya maka Bank tersebut ditempatkan
dalam pengawasan khusus Bank Indonesia.
(2) Bank yang dinilai mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan
usahanya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah Bank yang
memenuhi satu atau lebih kriteria sebagai berikut:
a. rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum kurang dari 4% (empat
perseratus);
b. kredit bermasalah sama dengan atau lebih dari 35% (tiga puluh lima
perseratus) dari total kredit;
c. pelampauan ...
- 5 -
c. pelampauan dan atau pelanggaran Batas Maksimum Pemberian Kredit
tidak dapat diselesaikan sesuai dengan batas waktu dalam rencana
kegiatan (action plan);
d. rasio Giro Wajib Minimum dalam rupiah kurang dari 5% (lima
perseratus) dengan perkembangan yang memburuk dalam waktu singkat.
(3) Dalam rangka pengawasan khusus sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
Bank Indonesia dapat:
a. memerintahkan Bank untuk menghentikan kegiatan usaha tertentu
dalam waktu yang ditetapkan oleh Bank Indonesia; dan atau
b. memerintahkan Bank dan atau pemegang saham Bank untuk melakukan
tindakan antara lain:
1) menambah modal;
2) mengganti dewan komisaris dan atau direksi Bank;
3) menghapusbukukan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip
Syariah yang tergolong macet dan memperhitungkannya dalam
permodalan Bank;
4) melakukan merger atau konsolidasi dengan bank lain;
5) menjual Bank kepada pembeli yang bersedia mengambil alih seluruh
kewajiban;
6) menyerahkan pengelolaan seluruh atau sebagian kegiatan Bank
kepada pihak lain; dan atau
7) menjual sebagian harta dan atau kewajiban Bank kepada bank atau
pihak lain.
Pasal 3 ...
- 6 -
Pasal 3
(1) Bank dan atau pemegang saham wajib melakukan tindakan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf b dalam jangka waktu:
a. paling lama 6 (enam) bulan untuk Bank yang telah terdaftar di Pasar
Modal;
b. paling lama 3 (tiga) bulan untuk Bank yang tidak terdaftar di Pasar
Modal;
sejak tanggal dikeluarkannya perintah tertulis dari Bank Indonesia.
(2) Jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat
diperpanjang 1 (satu) kali dengan jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan.
BAB III
PENETAPAN BANK DENGAN STATUS BDP DAN PENYERAHAN
KEPADA BPPN
Pasal 4
Bank Indonesia menetapkan Bank dengan status BDP dan menyerahkan Bank
tersebut kepada BPPN apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 terlampaui, rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum kurang dari
4% (empat perseratus) dan Bank memenuhi persyaratan :
a. rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum dinilai dapat ditingkatkan
menjadi 8% (delapan perseratus) pada akhir tahun 2001;
b. dinilai ...
- 7 -
b. dinilai dapat menyelesaikan pelampauan dan atau pelanggaran Batas
Maksimum Pemberian Kredit apabila pada saat penyerahan Bank memiliki
pelampauan dan atau pelanggaran Batas Maksimum Pemberian Kredit;
c. dinilai dapat menurunkan kredit bermasalah menjadi 5% (lima perseratus)
dari total kredit pada akhir tahun 2001 apabila pada saat penyerahan Bank
memiliki kredit bermasalah lebih dari 5% (lima perseratus); dan
d. memiliki pengaruh yang cukup besar bagi perekonomian nasional atau
daerah.
Pasal 5
(1) Pelaksanaan penyehatan Bank dengan status BDP sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 dinyatakan telah selesai apabila Bank telah memenuhi
persyaratan:
a. memiliki rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum 4% (empat
perseratus) atau lebih;
b. memiliki rasio Giro Wajib Minimum dalam rupiah 5% (lima perseratus)
atau lebih;
c. memiliki kredit bermasalah dengan perkembangan yang membaik dan
dinilai dapat diturunkan menjadi 5% (lima perseratus) pada akhir tahun
2001;
d. tidak terdapat pelanggaran ketentuan Batas Maksimum Pemberian
Kredit, Posisi Devisa Neto dan Penyisihan Penghapusan Aktiva
Produktif; dan
e. kriteria lain yang ditetapkan oleh Ketua BPPN.
(2) Bank ...
- 8 -
(2) Bank Indonesia mencabut status BDP apabila Bank Indonesia telah
menerima surat penetapan dari BPPN yang menyatakan program
penyehatan terhadap Bank yang bersangkutan telah selesai dilaksanakan
sesuai dengan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
BAB IV
PENETAPAN BANK DENGAN STATUS BBKU DAN PENYERAHAN
KEPADA BPPN
Pasal 6
Bank Indonesia menetapkan Bank dengan status BBKU dan menyerahkan
Bank tersebut kepada BPPN apabila memenuhi persyaratan:
a. jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 belum terlampaui, dan
kondisi Bank menurun dengan cepat yaitu:
1. memiliki rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum kurang dari 2%
(dua perseratus) dan dinilai
tidak dapat ditingkatkan menjadi 8%
(delapan perseratus) pada akhir tahun 2001; atau
2. memiliki rasio Giro Wajib Minimum dalam rupiah kurang dari 0% (nol
perseratus) dan tidak dapat diselesaikan.
b. jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 telah terlampaui, rasio
Kewajiban Penyediaan
Modal Minimum kurang dari 4% (empat
perseratus) dan kondisi Bank tidak mengalami perbaikan serta tidak
memenuhi persyaratan untuk ditetapkan sebagai Bank dengan status BDP.
Pasal 7 ...
- 9 -
Pasal 7
Bank Indonesia mengubah Bank dengan status BDP sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 menjadi Bank dengan status BBKU apabila memenuhi
persyaratan:
a. program penyehatan oleh BPPN tidak dapat diselesaikan dalam jangka
waktu yang disepakati; atau
b. berdasarkan pertimbangan BPPN program penyehatan tidak dapat
dilaksanakan meskipun jangka waktu yang disepakati belum terlampaui.
Pasal 8
Dalam hal BPPN telah selesai melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan
untuk penyelesaian Bank dengan status BBKU, penyelesaian selanjutnya
dilakukan berdasarkan ketentuan yang berlaku mengenai pencabutan izin
usaha, pembubaran badan hukum dan likuidasi Bank.
BAB V
KRITERIA DAN PROSEDUR PENYEHATAN BANK YANG TIDAK
IKUT SERTA DALAM PROGRAM PENJAMINAN PEMERINTAH
Pasal 9
(1) Bank yang tidak mengikuti Program Penjaminan Pemerintah dan memenuhi
kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2), ditempatkan oleh
Bank Indonesia dalam pengawasan khusus Bank Indonesia.
(2) Bank ...
- 10 -
(2) Bank Indonesia memerintahkan bank dan atau pemegang saham bank
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) untuk melakukan tindakan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) dengan ketentuan dan jangka
waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3.
Pasal 10
Dalam hal tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 tidak berhasil
memperbaiki kondisi bank, Bank Indonesia melakukan langkah-langkah untuk
tujuan pencabutan izin usaha, dan memerintahkan direksi bank untuk segera
menyelenggarakan Rapat Umum Pemegang Saham guna membubarkan badan
hukum bank dan membentuk tim likuidasi sesuai ketentuan yang berlaku
apabila:
a. jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 belum terlampaui dan
kondisi bank menurun dengan cepat sesuai persyaratan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 huruf a; atau
b. jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 telah terlampaui namun
rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum tidak dapat ditingkatkan
menjadi 4% (empat perseratus) atau lebih.
BAB VI
LAIN-LAIN
Pasal 11
(1) Selain ketentuan dalam Pasal 4 dan Pasal 6, Bank Indonesia dapat
menyerahkan Bank kepada BPPN apabila:
a. Bank ...
- 11 -
a. Bank memiliki aktiva produktif bermasalah yang akan diselesaikan
melalui pengalihan kepada BPPN; dan
b. terdapat kesepakatan antara Bank Indonesia, BPPN dan pemegang
saham Bank untuk mengalihkan aktiva produktif bermasalah
sebagaimana dimaksud dalam huruf a.
(2) Pelaksanaan penyerahan Bank sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan
penyerahan kembali Bank dari BPPN kepada Bank Indonesia dinyatakan
telah selesai dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) hari kerja.
Pasal 12
(1) Bank Indonesia tetap melakukan pengaturan dan pengawasan terhadap
Bank yang diserahkan kepada BPPN dengan status BDP.
(2) Bank Indonesia dapat meminta data dan informasi yang diperlukan
mengenai Bank yang diserahkan kepada BPPN dengan status BBKU, baik
secara langsung dari Bank yang bersangkutan maupun dari BPPN.
Pasal 13
Dalam rangka penyerahan Bank dengan status BDP atau status BBKU kepada
BPPN, Bank Indonesia menyampaikan informasi dan dokumen yang
menyangkut:
a. susunan direksi dan komisaris selama 3 (tiga) tahun terakhir;
b. struktur permodalan dan susunan pemegang saham selama 3 (tiga) tahun
terakhir;
c. informasi ...
- 12 -
c. informasi mengenai data nasabah penyimpan dana;
d. informasi terakhir mengenai hasil pengawasan dan pemeriksaan yang telah
dilakukan oleh Bank Indonesia terhadap Bank; dan
e. informasi lainnya yang diperlukan oleh BPPN sepanjang tersedia di Bank
Indonesia.
Pasal 14
Bank Indonesia mengumumkan pada 2 (dua) surat kabar harian nasional yang
mempunyai peredaran luas, terhadap Bank yang:
a. diserahkan kepada BPPN dengan status BDP atau status BBKU;
b. dinyatakan telah selesai dilakukan penyehatan oleh BPPN.
Pasal 15
Perubahan terhadap kriteria dan persyaratan:
a. Bank yang dinilai mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan
usahanya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 9;
b. Bank yang ditetapkan memiliki status BDP yang diserahkan kepada BPPN
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4;
c. Bank yang telah selesai dilaksanakan penyehatan oleh BPPN sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5;
d. Bank yang ditetapkan memiliki status BBKU yang diserahkan kepada BPPN
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dan Pasal 7; dan atau
e. Bank yang tidak berhasil memperbaiki kondisi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 10,
ditetapkan dengan Surat Edaran Bank Indonesia.
BAB VII ...
- 13 -
BAB VII
SANKSI
Pasal 16
Bank Indonesia dapat mengenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 52 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998,
antara lain berupa pemberhentian pengurus bank dan atau larangan turut serta
dalam kegiatan kliring bagi bank yang:
a. tidak melaksanakan kewajiban sesuai perintah Bank Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3); dan atau
b. telah ditetapkan oleh Bank Indonesia memiliki status BBKU.
BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 17
Dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini maka Surat Keputusan
Direksi Bank Indonesia Nomor 31/225/KEP/DIR tanggal 11 Maret 1999
tentang Penyerahan Bank Kepada Badan Penyehatan Perbankan Nasional
Dalam Rangka Penyehatan, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 18 ...
- 14 -
Pasal 18
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 31 Maret 2000
GUBERNUR BANK INDONESIA
SYAHRIL SABIRIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2000 NOMOR
DPNP.
- 15 -
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 2/11/PBI/2000
TENTANG
PENETAPAN STATUS BANK DAN PENYERAHAN BANK KEPADA
BADAN PENYEHATAN PERBANKAN NASIONAL
I. UMUM
Program restrukturisasi perbankan nasional telah dilaksanakan melalui
langkah-langkah antara lain pembentukan Badan Penyehatan Perbankan
Nasional (BPPN), program penjaminan Pemerintah, dan program rekapitalisasi
perbankan. Dalam perkembangannya masih terdapat Bank yang dinilai
mengalami kesulitan yang dapat membahayakan kelangsungan usahanya dan
atau sistem perbankan nasional.
Sehubungan dengan itu terhadap Bank dimaksud perlu dilakukan
berbagai upaya agar sistem perbankan yang sehat dapat tercipta secara efektif.
Dalam rangka mencapai sistem perbankan yang sehat tersebut perlu dilakukan
langkah-langkah penyehatan bagi Bank yang masih mempunyai prospek untuk
menjadi sehat atau melakukan langkah-langkah penyelesaian bagi Bank yang
tidak mungkin lagi dapat disehatkan. Oleh karena itu perlu ditetapkan
persyaratan dan kriteria yang jelas serta transparan mengenai tingkat kesulitan
Bank dalam kegiatan usahanya, serta langkah-langkah koordinasi dan
mekanisme yang diperlukan dalam rangka pelaksanaan restrukturisasi
perbankan nasional. Langkah-langkah koordinasi antara Bank Indonesia
dengan ...
- 16 -
dengan BPPN dalam rangka restrukturisasi perbankan nasional antara lain
dituangkan dalam Kesepakatan Bersama antara Gubernur Bank Indonesia dan
Ketua BPPN.
Sesuai dengan program rekapitalisasi perbankan, maka pada akhir tahun
2001 perbankan diwajibkan untuk memenuhi rasio kewajiban penyediaan
modal minimum sama dengan atau lebih dari 8% (delapan perseratus) dan
kredit bermasalah sama dengan atau kurang dari 5% (lima perseratus).
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Angka 1 sampai dengan angka 5
Cukup jelas
Pasal 2
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Huruf a
Ketentuan mengenai rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum
(KPMM) didasarkan atas ketentuan Bank Indonesia tentang
Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum.
Huruf b ...
- 17 -
Huruf b
Yang dimaksud dengan kredit bermasalah adalah kredit dengan kualitas kurang lancar,
diragukan dan macet berdasarkan ketentuan Bank Indonesia
tentang Kualitas Aktiva Produktif.
Huruf c
Ketentuan mengenai Batas Maksimum Pemberian Kredit didasarkan atas ketentuan
Bank Indonesia tentang Batas Maksimum Pemberian Kredit Bank
Umum.
Penetapan Bank dalam pengawasan khusus tidak menghilangkan sanksi atas
pelanggaran dan atau pelampauan Batas Maksimum Pemberian
Kredit sebagaimana diatur dalam ketentuan yang berlaku.
Huruf d
Ketentuan mengenai rasio Giro Wajib Minimum dalam rupiah didasarkan atas ketentuan
Bank Indonesia tentang Giro Wajib Minimum Bank.
Ayat (3)
Pelaksanaan perintah Bank Indonesia dalam ayat ini didasarkan atas penelitian yang
mendalam terhadap kondisi Bank antara lain melalui pemeriksaan khusus.
Penelitian mendalam dan perintah yang dilakukan Bank Indonesia termasuk melakukan
pemantauan secara langsung atas kegiatan operasional bank tidak menghilangkan tanggung
jawab pemegang saham maupun pengurus terhadap operasional Bank serta kewajiban-
kewajiban Bank, baik sebelum maupun setelah dilakukan perintah atau penelitian mendalam.
Pelaksanaan perintah Bank Indonesia dalam ayat ini didasarkan atas ketentuan sebagaimana
diatur dalam Pasal 37 dan Pasal 52 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998.
Pengenaan sanksi administratif sesuai ketentuan dalam Pasal 52 Undang-undang Nomor 7
Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10
Tahun 1998 disebabkan pelanggaran ketentuan kehati-hatian oleh Bank dan atau
pelanggaran komitmen sesuai kewajiban Bank kepada Bank Indonesia.
Pasal 3
Ayat (1)
Pelaksanaan ...
- 18 -
Jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat ini tidak termasuk jangka waktu yang
dibutuhkan untuk memenuhi persyaratan dalam proses hukum sesuai ketentuan perundang-
undangan yang berlaku.
Proses hukum yang diperlukan tersebut antara lain penyesuaian terhadap perubahan
anggaran dasar, pengalihan hak kepemilikan dan proses perizinan.
Ayat (2)
Perpanjangan tersebut hanya dapat dilakukan apabila terdapat alasan yang cukup bahwa
realisasi penyehatan Bank dapat dilakukan dalam jangka waktu perpanjangan paling lama 1
(satu) bulan sejak akhir jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Pasal 4
Penilaian kondisi keuangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b
dan huruf c pada ayat ini dilakukan oleh Bank Indonesia berdasarkan
business plan dan atau komitmen yang diajukan sesuai kewajiban Bank.
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Penilaian terhadap kemampuan Bank untuk menyelesaikan pelampauan dan atau pelanggaran
Batas Maksimum Pemberian Kredit sebagaimana didasarkan atas jangka
waktu penyehatan Bank di BPPN.
Penetapan Bank dengan status BDP tidak menghilangkan sanksi atas pelanggaran dan atau
pelampauan Batas Maksimum Pemberian Kredit sebagaimana diatur
dalam ketentuan yang berlaku.
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Bank yang dinilai mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap perekonomian nasional
adalah Bank yang memiliki rekening giro, deposito, dan tabungan sama
dengan atau lebih dari 150.000 (seratus lima puluh ribu) rekening,
Huruf a ...
- 19 -
mengingat
Bank tersebut berpengaruh dalam pelaksanaan fungsi
intermediasi perbankan.
Bank yang dinilai mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap perekonomian daerah
adalah Bank yang mempunyai peranan khusus dalam rangka kelancaran
perekonomian dan pelaksanaan pemerintahan di suatu daerah.
Pasal 5 ...
Pasal 5
Ayat (1)
Jangka waktu penyehatan Bank dengan status BDP oleh BPPN dilakukan didasarkan atas
Kesepakatan Bersama antara Gubernur Bank Indonesia dengan Ketua BPPN.
Penilaian kondisi keuangan sebagaimana dimaksud dalam ayat ini
didasarkan pada perkembangan kondisi keuangan, business plan dan
komitmen yang diajukan Bank.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 6
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Yang dimaksud dengan kondisi Bank tidak mengalami perbaikan adalah Bank tetap
mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya
sesuai dengan kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2).
- 20 -
Yang dimaksud dengan persyaratan penetapan Bank dengan status BDP adalah persyaratan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4.
Penetapan Bank dengan status BBKU tidak menghilangkan sanksi atas pelanggaran dan
atau pelampauan Batas Maksimum Pemberian Kredit sebagaimana diatur dalam
ketentuan yang berlaku.
Pasal 7
Kesepakatan jangka waktu pada ayat ini didasarkan atas Kesepakatan
Bersama antara Gubernur Bank Indonesia dan Ketua BPPN.
Dalam hal jangka waktu yang disepakati telah terlampaui, BPPN
menyampaikan rekomendasi kepada Bank Indonesia untuk:
Pasal 7 ...
c. perpanjangan jangka waktu penyehatan disertai penjelasan atas terjadinya
penundaan penyelesaian program penyehatan terhadap Bank; atau
d. perubahan status Bank dari status BDP menjadi status BBKU disertai
penjelasan mengenai permasalahan yang dihadapi.
Pasal 8
Cukup jelas
Pasal 9
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 10
Langkah-langkah untuk tujuan pencabutan izin usaha, pembubaran badan hukum dan
likuidasi bank dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku tentang Pencabutan
Izin Usaha, Pembubaran Badan Hukum dan Likuidasi Bank.
Pasal 11 ...
- 21 -
Pasal 11
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 12
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 13
Cukup jelas
Pasal 14
Cukup jelas
Pasal 15
Cukup jelas
Pasal 16
Yang dimaksud dengan bank pada ayat ini adalah bank yang ikut serta
maupun yang tidak ikut serta dalam Program Penjaminan Pemerintah.
Pasal 17
Pasal 17 ...
- 22 -
Cukup jelas
Pasal 18
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR
DPNP
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 2/11/PBI/2000 </reg_id>
<reg_title> PENETAPAN STATUS BANK DAN PENYERAHAN BANK KEPADA BADAN PENYEHATAN PERBANKAN NASIONAL </reg_title>
<set_date> 31 Maret 2000 </set_date>
<effective_date> 31 Maret 2000 </effective_date>
<replaced_reg> '31/225/KEP/DIR|SKDIR-BI/1999' </replaced_reg>
<related_reg> '25/PP/1999', '23/UU/1999', '99/PP/1999', '26/KEPPRES/1998', '7/UU/1992', '17/PP/1999', '10/UU/1998' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB VII' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 10/ 24 /PBI/2008
TENTANG
PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR
8/21/PBI/2006 TENTANG PENILAIAN KUALITAS AKTIVA BANK UMUM
YANG MELAKSANAKAN KEGIATAN USAHA BERDASARKAN PRINSIP
SYARIAH.
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA,
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang: a. bahwa sejalan dengan semakin berkembangnya jenis aktiva yang
tersedia di pasar, antara lain dalam bentuk Surat Berharga Syariah
yang dapat dimiliki oleh bank umum yang melaksanakan kegiatan
usaha berdasarkan prinsip syariah maka semakin bertambah pilihan
bagi bank dalam penempatan dananya;
b. Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) yang diterbitkan oleh
Pemerintah dapat dimiliki oleh bank dan bersifat dapat
diperdagangkan;
c. bahwa kepemilikan Surat Berharga Syariah oleh bank umum yang
melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah saat ini
dibatasi hanya untuk tujuan investasi yang harus dimiliki hingga
jatuh tempo (Hold to Maturity), sehingga dirasakan perlu untuk
dilakukan penyesuaian dalam upaya meningkatkan perkembangan
sektor keuangan dan mendukung pengembangan Surat Berharga
Syariah di Indonesia;
d. bahwa ...
-2-
d.
bahwa berkenaan dengan perdagangan Surat Berharga Syariah,
Majelis Ulama Indonesia telah menegaskan bahwa Surat Berharga
Syariah (obligasi syariah) dapat dipindahtangankan kepada pihak
lain
e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam
butir a, butir b, butir c dan butir d, perlu untuk melakukan
perubahan kedua atas Peraturan Bank Indonesia Nomor
8/21/PBI/2006 tentang Kualitas Aktiva Bank Umum Yang
Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah.
Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66,
Tambahan Lembaran Republik Indonesia Negara Nomor 3843)
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun
2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357);
2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867).
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN
KEDUA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR
8/21/PBI/2006 TENTANG PENILAIAN KUALITAS AKTIVA BANK
UMUM YANG MELAKSANAKAN KEGIATAN USAHA
BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH.
Pasal I ...
-3-
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor
8/21/PBI/2006 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum Yang
Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 78, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4647) sebagaimana telah diubah
dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 9/9/PBI/2007 tentang
Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/21/PBI/2006 tentang
Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum Yang Melaksanakan Kegiatan
Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2007 Nomor 77, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4733) diubah sebagai berikut :
1. Ketentuan Pasal 15 diubah, sehingga Pasal 15 berbunyi sebagai
berikut :
Pasal 15
(1) Bank dapat melakukan investasi pada Surat Berharga Syariah.
(2) Investasi pada Surat Berharga Syariah sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dapat diperdagangkan.
2. Ketentuan Pasal 16 diubah, sehingga Pasal 16 berbunyi sebagai
berikut :
Pasal 16
(1) Kualitas Surat Berharga Syariah, yang diakui berdasarkan nilai
pasar ditetapkan memiliki kualitas Lancar sepanjang memenuhi
persyaratan:
a. aktif ...
-4-
a. aktif diperdagangkan di bursa efek di Indonesia;
b. terdapat informasi nilai pasar secara transparan;
c. telah diterima imbalan dalam jumlah dan waktu yang tepat,
sesuai perjanjian;
d. belum jatuh tempo
(2) Kualitas Surat Berharga Syariah yang diakui berdasarkan harga
perolehan atau yang diakui berdasarkan nilai pasar namun tidak
aktif diperdagangkan di bursa efek di Indonesia dan/atau tidak
terdapat informasi yang transparan, ditetapkan memiliki kualitas
sebagai berikut :
a. Lancar, apabila:
1) Memiliki peringkat investasi (investment grade) atau
lebih tinggi yang diterbitkan oleh lembaga
pemeringkat (rating agency) yang diakui oleh Bank
Indonesia dan diterbitkan dalam waktu satu tahun
terakhir;
2) Telah diterima imbalan dalam jumlah dan waktu yang
tepat, sesuai perjanjian; dan
3) Belum jatuh tempo;
b. Kurang Lancar, apabila:
1) Memiliki peringkat investasi (investment grade) atau
lebih tinggi yang diterbitkan oleh lembaga pemeringkat
(rating agency) yang diakui oleh Bank Indonesia dan
diterbitkan dalam waktu satu tahun terakhir;
2) Terdapat penundaan pembayaran bagi hasil/marjin/fee
berkala atau kewajiban lain sejenis; dan
3) Belum jatuh tempo;
atau ...
-5-
atau
1) Memiliki peringkat paling kurang 1 (satu) tingkat di
bawah peringkat investasi (investment grade) yang
diterbitkan oleh lembaga pemeringkat (rating agency)
yang diakui oleh Bank Indonesia dan diterbitkan dalam
waktu satu tahun terakhir;
2) Tidak terdapat penundaan pembayaran bagi
hasil/marjin/fee berkala atau kewajiban lain sejenis; dan
3) Belum jatuh tempo;
c. Macet, apabila surat berharga tidak memenuhi kriteria
sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b.
(3) Kualitas Surat Berharga Syariah di luar Surat Berharga Syariah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), yang
diterbitkan oleh nasabah mengikuti kualitas Pembiayaan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9.
3. Diantara Pasal 18 dan Pasal 19, disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal
18A sehingga berbunyi sebagai berikut :
Pasal 18A
Kualitas Surat Berharga Syariah yang diterbitkan atau diendos Bank
lain ditetapkan sebagai berikut:
a. Untuk Surat Berharga Syariah yang memiliki peringkat dan/atau
aktif diperdagangkan di bursa efek di Indonesia, ditetapkan
berdasarkan kualitas terendah antara:
1) hasil penilaian berdasarkan ketentuan kualitas Surat
Berharga Syariah yang berlaku, atau
2) hasil ...
-6-
2) hasil penilaian berdasarkan ketentuan kualitas Penempatan
pada bank penerbit atau bank pemberi endosemen.
b. Surat Berharga Syariah yang berdasarkan karakteristiknya tidak
aktif diperdagangkan di bursa efek di Indonesia dan tidak
memiliki peringkat, ditetapkan berdasarkan kualitas Penempatan
pada bank penerbit atau bank pemberi endosemen sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1).
Pasal II
Dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini, maka Pasal 12
Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/13/PBI/2005 tanggal 10 Juni 2005
tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum
Berdasarkan Prinsip Syariah, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal III
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Agar ...
-7-
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Tanggal 16 Oktober 2008
GUBERNUR BANK INDONESIA,
BOEDIONO
undangkan di Jakarta
Pada tanggal
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
ANDI MATTALATTA
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 16 Oktober 2008
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA
ANDI MATTALATTA
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2008 NOMOR 151........
DPbS
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 10/ 24 /PBI/2008
TENTANG
PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR
8/21/PBI/2006 TENTANG PENILAIAN KUALITAS AKTIVA BANK UMUM
YANG MELAKSANAKAN KEGIATAN USAHA BERDASARKAN PRINSIP
SYARIAH
I. UMUM
Perkembangan usaha bank umum yang melaksanakan kegiatan usaha
berdasarkan prinsip syariah antara lain akan tergantung kepada semakin
beragamnya aktiva, tingkat risiko dan semakin optimalnya aktiva yang dimiliki
dalam menghasilkan return dengan tetap memenuhi prinsip syariah dan
mempertimbangkan prinsip kehati-hatian.
Berkembangnya jenis aktiva yang tersedia di pasar membuat bank umum
yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah memiliki lebih
banyak pilihan dalam penempatan dananya, dimana jenis aktiva yang semakin
beragam saat ini antara lain adalah dalam bentuk Surat Berharga Syariah yang
dapat dimiliki dan dapat dipindahtangankan. Sementara batasan kepemilikan Surat
Berharga Syariah (obligasi syariah) yang ada saat ini bagi bank umum yang
melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah (bank umum syariah dan
unit usaha syariah) adalah hanya dimiliki hingga jatuh tempo (Hold To Maturity),
dan kurang mendukung pengembangan Surat Berharga Syariah.
Pengembangan Surat Berharga Syariah di Indonesia saat ini tidak hanya dari
sektor korporasi, tetapi juga oleh pemerintah dengan terbitnya Undang-undang No.
19 ...
-2-
19 tanggal 7 Mei 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara, dimana pemerintah
dapat menerbitkan Surat Berharga Syariah yang dapat dimiliki dan dapat
diperdagangkan. Hal ini juga sejalan dengan upaya meningkatkan perkembangan
sektor keuangan (financial deepening) dan pengembangan perbankan syariah
sendiri, dengan asumsi bahwa salah satu investor terbesar surat berharga di
Indonesia adalah sektor perbankan.
Mekanisme transaksi Surat Berharga Syariah (obligasi syariah) untuk dapat
dipindahtangankan atau diperdagangkan tidak bertentangan dengan prinsip syariah,
sebagaimana telah ditegaskan oleh Majelis Ulama Indonesia sepanjang tidak untuk
kegiatan spekulatif dan sifat akadnya memperbolehkan untuk diperdagangkan,
dimana mekanisme dan penetapan harga dalam pemindahtanganan diserahkan
kepada mekanisme perdagangan yang biasa dilakukan di pasar sekunder.
Berdasarkan hal-hal tersebut, dipandang perlu untuk melakukan pengaturan
kembali tentang penilaian kualitas aktiva yaitu berupa Perubahan Kedua atas
Peraturan Bank Indonesia tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bagi Bank Umum
Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal I
Angka 1
Pasal 15
Ayat (1)
Cukup Jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “dapat diperdagangkan” adalah
sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip syariah
(termasuk didalamnya akad yang dipakai sebagai dasar
penerbitan ...
-3-
penerbitan Surat Berharga Syariah memperbolehkan untuk
diperdagangkan), yang mengacu kepada fatwa dari
Majelis Ulama Indonesia.
Angka 2
Pasal 16
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “Surat Berharga Syariah yang
diakui berdasarkan nilai pasar” adalah surat berharga yang
tersedia untuk dijual (available for sale) dan Surat
Berharga Syariah dalam portofolio untuk diperdagangkan
(trading)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “aktif diperdagangkan di
bursa efek” adalah terdapat volume transaksi yang
signifikan dan wajar (arms lengh transaction) di
bursa efek di Indonesia dalam 10 (sepuluh) hari kerja
terakhir.
Huruf b
Informasi nilai pasar secara transparan harus dapat
diperoleh dari media publikasi yang lazim untuk
transaksi bursa efek.
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang ...
-4-
Yang dimaksud dengan “Surat Berharga Syariah yang
diakui berdasarkan harga perolehan” adalah surat berharga
yang dimiliki hingga jatuh tempo (hold to maturity).
Yang dimaksud dengan “peringkat investasi (investment
grade) dan lembaga pemeringkat” yaitu peringkat dan
lembaga pemeringkat yang diakui oleh Bank Indonesia
sesuai dengan ketentuan yang berlaku mengenai Lembaga
Pemeringkat dan Peringkat.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Angka 3
Pasal 18A
Huruf a
Cukup Jelas.
Huruf b
Surat Berharga Syariah yang berdasarkan karakteristiknya
tidak aktif diperdagangkan di bursa efek di Indonesia dan
tidak memiliki peringkat antara lain medium term notes
dan pengambilalihan wesel ekspor.
Pasal II
Cukup jelas.
Pasal III
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4909
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 10/24/PBI/2008 </reg_id>
<reg_title> PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 8/21/PBI/2006 TENTANG PENILAIAN KUALITAS AKTIVA BANK UMUM YANG MELAKSANAKAN KEGIATAN USAHA BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH. </reg_title>
<set_date> 16 Oktober 2008 </set_date>
<effective_date> 16 Oktober 2008 </effective_date>
<issued_date> 16 Oktober 2008 </issued_date>
<changed_reg> '8/21/PBI/2006' </changed_reg>
<extension_of> '9/9/PBI/2007' </extension_of>
<replaced_reg> '7/13/PBI/2005 | Pasal 12' </replaced_reg>
<related_reg> '21/UU/2008', '23/UU/1999', '3/UU/2004' </related_reg>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 3/ 9 /PBI/2001
TENTANG
PENGELUARAN DAN PENGEDARAN UANG RUPIAH KHUSUS
PECAHAN 500.000 (LIMA RATUS RIBU) DAN
PECAHAN 25.000 (DUA PULUH LIMA RIBU)
SERI “PERINGATAN 100 TAHUN BUNG KARNO”
TANDA TAHUN 2001
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang
: a. bahwa dalam rangka memperingati 100 tahun kelahiran Bung
Karno Proklamator Republik Indonesia dan membantu
menghimpun dana untuk mendirikan Persada Sukarno (Museum
Bung Karno), Bank Indonesia memandang perlu untuk
berpartisipasi dalam penerbitan Uang Rupiah Khusus seri
“Peringatan 100 Tahun Bung Karno” tanda tahun 2001;
b. bahwa dalam rangka partisipasi tersebut, Bank Indonesia
mengeluarkan dan mengedarkan Uang Rupiah Khusus pecahan
500.000 (lima ratus ribu) dan pecahan 25.000 (dua puluh lima ribu)
seri “Peringatan 100 Tahun Bung Karno” tanda tahun 2001;
c. bahwa sehubungan dengan itu, dipandang perlu untuk mengatur
pengeluaran dan pengedaran Uang Rupiah Khusus pecahan
500.000 (lima ratus ribu) dan pecahan 25.000 (dua puluh lima ribu)
seri “Peringatan 100 Tahun Bung Karno” tanda tahun 2001 dalam
Peraturan Bank Indonesia;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843);
2. Peraturan Bank Indonesia Nomor 1/12/PBI/1999 tanggal 29
Desember 1999 tentang Uang Rupiah Khusus (Commemorative),
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 228,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3921);
3. Peraturan ……….
- 2 -
3. Peraturan Bank Indonesia Nomor 2/17/PBI/2000 tanggal 20 Juli
2000 tentang Pengeluaran dan Pengedaran serta Pencabutan dan
Penarikan Uang Rupiah (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2000 Nomor 116; Tambahan Lembaran Negara Nomor
3983);
Memperhatikan : Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia tanggal 4 Mei 2001
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PENGELUARAN
DAN PENGEDARAN UANG RUPIAH KHUSUS PECAHAN
500.000 (LIMA RATUS RIBU) DAN PECAHAN 25.000 (DUA
PULUH LIMA RIBU) SERI “PERINGATAN 100 TAHUN BUNG
KARNO” TANDA TAHUN 2001
Pasal 1
Bank Indonesia mengeluarkan dan mengedarkan Uang Rupiah Khusus pecahan 500.000
(lima ratus ribu) dan pecahan 25.000 (dua puluh lima ribu) seri “Peringatan 100 Tahun
Bung Karno” tanda tahun 2001 sebagai alat pembayaran yang sah di wilayah negara
Republik Indonesia.
Pasal 2
Uang Rupiah Khusus sebagaimana dimaksud pada pasal 1 dikeluarkan dalam jumlah
terbatas dan dicetak di Perusahaan Umum Percetakan Uang Republik Indonesia.
Pasal 3
Ciri Uang Rupiah Khusus sebagaimana dimaksud pada pasal 1 adalah :
A. Pecahan 500.000 (Lima Ratus Ribu)
1. Bahan
2. Kadar
:
:
Logam Emas
0,999
3. Gambar ……….
- 3 -
3. Gambar Disain
a. Sisi Muka
:
:
1). Gambar utama Lambang Negara Garuda Pancasila
2). Teks “BANK INDONESIA”, di bagian atas
3). Logo Panitia Peringatan 100 Tahun Bung Karno, di bagian tengah sisi kiri
4). Tahun Penerbitan “2001” di bagian tengah sisi kanan
b. Sisi Belakang
:
1). Gambar utama Bung Karno Proklamator RI
2). Teks “100 TAHUN BUNG KARNO (1901-2001)”, di bagian atas
3). Nilai Nominal “Rp 500000”, di bagian bawah
c. Sisi Samping
:
4. Warna
5. Bentuk
6. Diameter
7. Berat
8. Kualitas
:
:
:
:
:
Bergerigi
Kuning emas
Bulat (lingkaran)
28,20 mm
15,00 gram
Proof
B. Pecahan 25.000 (Dua Puluh Lima Ribu)
1. Bahan
2. Kadar
3. Gambar Disain
a. Sisi Muka
:
:
:
:
1). Gambar utama Lambang Negara Garuda Pancasila
2). Teks “BANK INDONESIA”, di bagian atas
3). Logo Panitia Peringatan 100 Tahun Bung Karno, di bagian tengah sisi kiri
4). Tahun Penerbitan “2001” di bagian tengah sisi kanan
b. Sisi Belakang
:
1). Gambar utama Bung Karno Proklamator RI
2). Teks “100 TAHUN BUNG KARNO (1901-2001)”, di bagian atas
3). Nilai Nominal “Rp 25000”, di bagian bawah
c. Sisi Samping
:
Bergerigi
4. Warna ………..
Logam Perak
0,925
- 4 -
4. Warna
5. Bentuk
6. Diameter
7. Berat
8. Kualitas
:
:
:
:
:
Putih perak
Bulat (lingkaran)
38,61 mm
28,28 gram
Proof
Pasal 4
Uang Rupiah Khusus sebagaimana dimaksud pada Pasal 1 dikeluarkan dan diedarkan
mulai tanggal 6 Juni 2001.
Pasal 5
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 6 Juni 2001
GUBERNUR BANK INDONESIA
SYAHRIL SABIRIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2001 NOMOR 70
DPU
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 3/9/PBI/2001 </reg_id>
<reg_title> PENGELUARAN DAN PENGEDARAN UANG RUPIAH KHUSUS PECAHAN 500.000 (LIMA RATUS RIBU) DAN PECAHAN 25.000 (DUA PULUH LIMA RIBU) SERI “PERINGATAN 100 TAHUN BUNG KARNO” TANDA TAHUN 2001 </reg_title>
<set_date> 6 Juni 2001 </set_date>
<effective_date> 6 Juni 2001 </effective_date>
<related_reg> '23/UU/1999', '1/12/PBI/1999', '2/17/PBI/2000' </related_reg>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 2/ 21 /PBI/2000
TENTANG
LAPORAN BULANAN BANK UMUM
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa dalam rangka penyusunan laporan dan informasi
dalam penetapan kebijakan bidang moneter, sistem
pembayaran, dan perbankan serta untuk keperluan
pemantauan keadaan bank secara benar, diperlukan
informasi keadaan keuangan, dan kegiatan usaha bank secara
individual yang lebih lengkap termasuk kegiatan usaha bank
yang dilakukan di luar negeri;
b. bahwa dengan pesatnya kemajuan teknologi informasi dan
diberlakukannya Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan
Nomor 31 (Revisi 2000) tentang Akuntansi Perbankan, maka
sistem penyampaian dan tata cara mengenai penyusunan
laporan bulanan bank umum perlu disesuaikan agar lebih
akurat, tepat waktu, dan bermanfaat bagi berbagai pihak
yang berkepentingan;
c. bahwa berhubung dengan itu, dipandang perlu untuk
menyempurnakan ketentuan mengenai penyusunan laporan
bulanan bank umum dalam Peraturan Bank Indonesia;
Mengingat …
- 2 -
Mengingat : 1. Undang–undang Nomor 7
Tahun
1992 tentang
Perbankan (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 31,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3472) sebagaimana
telah diubah dengan Undang–undang Nomor 10 Tahun 1998
(Lembaran Negara Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3790);
2. Undang–undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 66,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3843);
M E M U T U S K A N :
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG LAPORAN
BULANAN BANK UMUM
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan :
1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 3
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah
diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998, termasuk kantor
cabang Bank asing;
2. Kantor Cabang adalah kantor Bank yang secara langsung bertanggung jawab
kepada kantor pusat Bank yang bersangkutan dengan alamat tempat usaha
yang jelas dimana Kantor Cabang tersebut melakukan usahanya;
3. Kantor …
- 3 -
3. Kantor Cabang Bank Asing adalah Kantor Cabang dari Bank yang
berkedudukan di luar negeri berdasarkan hukum asing atau berkantor pusat
di luar negeri, yang secara langsung atau tidak langsung bertanggung jawab
kepada kantor pusat Bank yang bersangkutan dan mempunyai alamat serta
tempat kedudukan di Indonesia;
4. Kantor Cabang Pembantu Bank Asing adalah kantor Bank yang secara
langsung bertanggung jawab kepada Kantor Cabang Bank Asing yang
berkedudukan di Indonesia, dan mempunyai alamat serta tempat kedudukan
di Indonesia;
5. Bank Pelapor adalah kantor Bank yang meliputi kantor pusat dan Kantor
Cabang Bank yang berbadan hukum Indonesia serta Kantor Cabang Bank
Asing dan Kantor Cabang Pembantu Bank Asing yang berkedudukan di
Indonesia;
6. Laporan Bulanan Bank Umum yang selanjutnya disebut Laporan adalah
laporan keuangan yang disusun oleh Bank untuk kepentingan Bank Indonesia
yang disajikan menurut sistematika yang ditentukan oleh Bank Indonesia
dalam format dan definisi yang seragam serta dilaporkan dengan
menggunakan sandi-sandi dan angka;
7. Laporan Gabungan adalah laporan keuangan yang disusun oleh kantor pusat
Bank yang mencakup data keuangan dari kantor pusat Bank dan seluruh
kantor cabangnya baik yang melakukan kegiatan operasional di Indonesia
maupun yang melakukan kegiatan operasional di luar Indonesia atau laporan
keuangan yang disusun oleh Kantor Cabang Bank Asing dan seluruh kantor
cabang pembantunya yang melakukan kegiatan operasional di Indonesia;
8. Laporan per Kantor adalah laporan keuangan yang disusun oleh kantor pusat
Bank yang melakukan kegiatan operasional, Kantor Cabang Bank, Kantor
Cabang …
- 4 -
Cabang Bank Asing, dan Kantor Cabang Pembantu Bank Asing, termasuk
kegiatan operasional dari kantor-kantor Bank yang berada di bawah
koordinasinya;
9. Penyampaian Laporan secara on line adalah penyampaian laporan yang
dilakukan dengan mengirim atau mentransfer rekaman data secara langsung
melalui media komputer yang dihubungkan dengan pusat komputer Bank
Indonesia dengan bantuan computer switching pihak ketiga; dan
10. Penyampaian Laporan secara off line adalah penyampaian laporan yang
dilakukan dengan menyampaikan rekaman data dalam bentuk disket kepada
Bank Indonesia.
Pasal 2
(1) Bank Pelapor wajib menyampaikan Laporan kepada Bank Indonesia secara
benar, lengkap, dan tepat waktu.
(2) Bank Pelapor bertanggung jawab atas kebenaran dan kelengkapan isi
Laporan serta ketepatan waktu penyampaian Laporan kepada Bank
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
(3) Bank Pelapor dalam menyusun Laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1), wajib mengikuti Buku Pedoman Penyusunan Laporan Bulanan Bank
Umum yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
(4) Buku Pedoman Penyusunan Laporan Bulanan Bank Umum sebagaimana
dimaksud dalam ayat (3) beserta perubahannya diatur lebih lanjut dalam
Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 3 …
- 5 -
Pasal 3
Bank Pelapor wajib menyampaikan koreksi atas kesalahan Laporan yang telah
disampaikan kepada Bank Indonesia.
Pasal 4
Bank Pelapor wajib memiliki sistem dan prosedur konversi yang dituangkan
dalam suatu pedoman tertulis, sehingga memungkinkan Bank Pelapor untuk
menyesuaikan penyajian data dari format pembukuan intern ke dalam format
Laporan sebagaimana diatur dalam Buku Pedoman Penyusunan Laporan Bulanan
Bank Umum.
Pasal 5
Bank Pelapor wajib menunjuk petugas dan penanggung jawab untuk menyusun
dan menyampaikan Laporan kepada Bank Indonesia.
BAB II
JENIS LAPORAN DAN BANK PELAPOR
Pasal 6
(1) Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) terdiri dari Laporan
Gabungan dan Laporan per Kantor.
(2) Laporan Gabungan wajib disusun dan disampaikan oleh Kantor Pusat Bank
yang memiliki Kantor Cabang atau oleh Kantor Cabang Bank Asing yang
memiliki kantor cabang pembantu.
(3) Laporan …
- 6 -
(3) Laporan per Kantor wajib disusun dan disampaikan oleh Kantor Pusat Bank
yang melakukan kegiatan operasional, Kantor Cabang Bank, Kantor Cabang
Bank Asing, dan Kantor Cabang Pembantu Bank Asing.
Pasal 7
(1) Dalam hal Bank telah mampu menyusun dan mengirimkan Laporan per
Kantor dari seluruh atau sebagian kantor cabangnya secara terpusat
(sentralisasi), laporan dimaksud dapat disusun dan dikirim oleh Kantor
Pusat Bank atau kantor Bank yang bertindak sebagai koordinator.
(2) Laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dapat diidentifikasi
untuk masing-masing kantor.
(3) Dalam hal Kantor Pusat atau kantor wilayah Bank tidak melakukan kegiatan
operasional, laporan keuangannya dapat digabungkan dengan kantor Bank
yang ditunjuk oleh Kantor Pusat atau kantor wilayah Bank yang
bersangkutan.
BAB III
PERIODE PENYAMPAIAN LAPORAN DAN KOREKSI LAPORAN
Pasal 8
(1) Bank Pelapor setiap bulan wajib menyampaikan Laporan Gabungan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) kepada Bank Indonesia
paling lambat pada akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya bulan
Laporan yang bersangkutan.
(2) Bagi …
- 7 -
(2) Bagi Bank yang sistem antar kantornya belum on line dan memiliki lebih
dari 100 (seratus) Kantor Cabang, jangka waktu penyampaian Laporan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) selambat-lambatnya pada tanggal 15
(lima belas) bulan kedua setelah berakhirnya bulan Laporan yang
bersangkutan.
(3) Bank sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) wajib terlebih dahulu
menyampaikan permohonan tertulis untuk memperoleh persetujuan dari
Bank Indonesia.
(4) Bank Pelapor setiap bulan wajib menyampaikan Laporan per Kantor
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3) kepada Bank Indonesia
paling lambat tanggal 12 (dua belas) bulan berikutnya setelah berakhirnya
bulan Laporan yang bersangkutan.
(5) Bank Pelapor dinyatakan telah menyampaikan Laporan pada tanggal
diterimanya Laporan oleh Bank Indonesia.
Pasal 9
Bank Pelapor dinyatakan terlambat menyampaikan Laporan apabila :
1. menyampaikan Laporan Gabungan :
a. melampaui batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1)
sampai dengan tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya; atau
b. melampaui batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2)
sampai dengan akhir bulan kedua setelah berakhirnya bulan Laporan
yang bersangkutan.
2. menyampaikan Laporan per Kantor melampaui batas waktu sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8 ayat (4) sampai dengan tanggal 21 (dua puluh satu)
bulan berikutnya setelah berakhirnya bulan Laporan yang bersangkutan.
Pasal 10 …
- 8 -
Pasal 10
Bank Pelapor dinyatakan tidak menyampaikan Laporan, apabila Bank Indonesia
belum menerima Laporan sampai dengan batas waktu sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 9.
Pasal 11
Dalam hal tanggal berakhirnya penyampaian Laporan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 8 ayat (1), ayat (2), dan ayat (4) serta Pasal 9, jatuh pada hari Sabtu,
Minggu atau hari libur maka Laporan disampaikan pada hari kerja sebelumnya.
Pasal 12
(1) Bank Pelapor wajib menyampaikan koreksi atas kesalahan Laporan
Gabungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) yang telah
disampaikan kepada Bank Indonesia, paling lambat akhir bulan berikutnya
setelah berakhirnya bulan Laporan yang bersangkutan.
(2) Bagi Bank yang sistem antar kantornya belum on line dan memiliki lebih
dari 100 (seratus) Kantor Cabang, jangka waktu penyampaian koreksi
Laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) selambat-lambatnya pada
tanggal 15 (lima belas) bulan kedua setelah berakhirnya bulan Laporan
yang bersangkutan.
(3) Bank Pelapor wajib menyampaikan koreksi atas kesalahan Laporan per
Kantor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3) yang telah
disampaikan kepada Bank Indonesia, paling lambat tanggal 12 (dua belas)
bulan berikutnya setelah berakhirnya bulan Laporan yang bersangkutan.
(4) Bagi …
- 9 -
(4) Bagi Bank sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), jangka waktu
penyampaian koreksi Laporan per Kantor sebagaimana dimaksud dalam
ayat (3) selambat-lambatnya pada tanggal 21 (dua puluh satu) bulan
berikutnya setelah berakhirnya bulan Laporan yang bersangkutan.
(5) Bank Pelapor dinyatakan telah menyampaikan koreksi Laporan pada
tanggal diterimanya koreksi Laporan oleh Bank Indonesia.
Pasal 13
Bank Pelapor dinyatakan terlambat menyampaikan koreksi Laporan apabila :
1. menyampaikan koreksi Laporan Gabungan :
a. melampaui batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1)
sampai dengan tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya; atau
b. melampaui batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2)
sampai dengan akhir bulan kedua setelah berakhirnya bulan Laporan
yang bersangkutan.
2. menyampaikan koreksi Laporan per Kantor :
a. melampaui batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3)
sampai dengan tanggal 21 (dua puluh satu) bulan berikutnya setelah
berakhirnya bulan Laporan yang bersangkutan; atau
b. melampaui batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (4)
sampai dengan akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya bulan Laporan
yang bersangkutan.
Pasal 14 …
- 10 -
Pasal 14
Bank pelapor dinyatakan tidak menyampaikan koreksi Laporan apabila Bank
Pelapor belum menyampaikan koreksi Laporan sampai dengan batas waktu
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13.
Pasal 15
Dalam hal tanggal berakhirnya penyampaian koreksi Laporan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1), ayat (2), dan ayat (4) serta Pasal 13 jatuh pada
hari Sabtu, Minggu atau hari libur, maka koreksi Laporan disampaikan pada hari
kerja sebelumnya.
BAB IV
PROSEDUR PENYAMPAIAN LAPORAN DAN KOREKSI LAPORAN
Pasal 16
(1) Bank Pelapor wajib menyampaikan Laporan Gabungan dan atau Laporan
per Kantor serta koreksi Laporan Gabungan dan atau koreksi Laporan per
Kantor kepada Bank Indonesia secara on line sampai dengan batas waktu
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dan atau Pasal 13 angka 1 dan angka
2 huruf a.
(2) Kewajiban penyampaian Laporan dan atau koreksi Laporan secara on line
dikecualikan terhadap :
a. Bank Pelapor yang berkedudukan di daerah yang belum tersedia fasilitas
komunikasi, sehingga tidak memungkinkan untuk menyampaikan
Laporan secara on line;
b. Bank …
- 11 -
b. Bank Pelapor yang baru dibuka dengan batas waktu paling lama 2 (dua)
bulan setelah melakukan kegiatan operasional; atau
c. Bank Pelapor yang mengalami gangguan teknis dalam menyampaikan
Laporan atau koreksi Laporan, namun harus disertai pemberitahuan
tertulis kepada Bank Indonesia mengenai sebab–sebab terjadinya
gangguan teknis tersebut, bersamaan dengan penyampaian Laporan dan
atau koreksi Laporan secara off line.
(3) Penyampaian koreksi Laporan per Kantor sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 12 ayat (4) yang dilakukan sesudah tanggal 21 (dua puluh satu) bulan
berikutnya setelah berakhirnya bulan Laporan yang bersangkutan, wajib
dilakukan secara off line disertai hasil cetak komputer (hard copy).
(4) Bank Pelapor yang tidak dapat menyampaikan Laporan dan atau koreksi
Laporan secara on line sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), atau
menyampaikan Laporan dan atau koreksi Laporan melampaui batas waktu
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dan atau Pasal 13 angka 1 dan angka
2 huruf a, wajib menyampaikan Laporan dan atau koreksi Laporan secara
off line disertai hasil cetak komputer (hard copy).
Pasal 17
(1) Bank Pelapor yang melakukan kegiatan operasional di Indonesia, wajib
menyampaikan Laporan kepada :
a. Direktorat Statistik Ekonomi dan Moneter Bank Indonesia c.q. Bagian
Statistik Moneter, Jl. M.H.Thamrin Nomor 2 Jakarta 10010, bagi Bank
Pelapor yang berkedudukan di wilayah DKI Jakarta Raya,
Kabupaten/Kotamadya Serang, Pandeglang, Lebak, Tangerang, Bogor,
Depok, Karawang, dan Bekasi; atau
b. Kantor …
- 12 -
b. Kantor Bank Indonesia setempat, bagi Bank Pelapor yang berkedudukan
di luar wilayah sebagaimana dimaksud dalam huruf a.
(2) Bank Pelapor yang telah mampu menyusun Laporan secara terpusat
(sentralisasi) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1), dapat
menyampaikan Laporan secara langsung kepada Bank Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dengan terlebih dahulu
menyampaikan pemberitahuan secara tertulis kepada Direktorat Statistik
Ekonomi dan Moneter c.q. Bagian Statistik Moneter.
(3) Bagi Bank Pelapor yang melakukan kegiatan operasional di luar Indonesia,
Laporan wajib disusun dan disampaikan oleh kantor pusat Bank yang
bersangkutan kepada Bank Indonesia, sesuai dengan kedudukan kantor
pusat Bank dengan berpedoman pada ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1).
BAB V
SANKSI
Pasal 18
(1) Bank Pelapor yang terlambat menyampaikan Laporan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar
Rp1.000.000,- (satu juta rupiah) untuk setiap Laporan per hari kerja
keterlambatan.
(2) Bank Pelapor yang tidak menyampaikan Laporan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 10 dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar
Rp50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) untuk setiap Laporan.
(3) Bank …
- 13 -
(3) Bank Pelapor yang terlambat menyampaikan koreksi Laporan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 13 dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar
Rp100.000,- (seratus ribu rupiah) untuk setiap penyampaian koreksi
Laporan per hari kerja keterlambatan.
(4) Bank Pelapor yang menyampaikan koreksi Laporan atas inisiatif Bank
Pelapor setelah melampaui batas waktu keterlambatan penyampaian koreksi
Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dikenakan sanksi
kewajiban membayar sebesar Rp50.000,- (lima puluh ribu rupiah) per item
kesalahan dan paling banyak seluruhnya sebesar Rp5.000.000,- (lima juta
rupiah) per Laporan.
(5) Bank Pelapor yang menyampaikan koreksi Laporan atas dasar temuan Bank
Indonesia setelah melampaui batas waktu keterlambatan penyampaian
koreksi Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dikenakan sanksi
kewajiban membayar sebesar Rp100.000,- (seratus ribu rupiah) per item
kesalahan dan paling banyak seluruhnya sebesar Rp10.000.000,- (sepuluh
juta rupiah) per Laporan.
Pasal 19
Bank Pelapor yang menyampaikan Laporan dan atau koreksi Laporan secara off
line pada periode penyampaian on line tanpa memenuhi persyaratan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2), dikenakan sanksi kewajiban membayar
sebesar Rp500.000,- (lima ratus ribu rupiah) untuk setiap penyampaian Laporan
atau koreksi Laporan.
Pasal 20 …
- 14 -
Pasal 20
Pembebanan sanksi kewajiban membayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18
dan Pasal 19, dilakukan dengan cara mendebet rekening giro Bank di Bank
Indonesia.
Pasal 21
Bank Pelapor yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 dan Pasal 5 dikenakan sanksi dalam rangka pembinaan dan pengawasan
Bank.
Pasal 22
Bank Pelapor yang telah dikenakan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal
18 dan Pasal 19, dapat pula dikenakan sanksi dalam rangka pembinaan dan
pengawasan Bank.
BAB VI
LAIN - LAIN
Pasal 23
(1) Bank Pelapor yang mengalami keadaan memaksa (force majeure) selama
satu atau lebih periode penyampaian Laporan dikecualikan dari kewajiban
menyampaikan Laporan dan atau koreksi Laporan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (1) dan atau Pasal 3.
(2) Bank …
- 15 -
(2) Bank Pelapor yang mengalami keadaan memaksa (force majeure) kurang
dari satu periode penyampaian Laporan dikecualikan dari kewajiban
menyampaikan Laporan dan atau koreksi Laporan dalam batas waktu
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1), ayat (2), dan ayat (4) serta
Pasal 12 ayat (1), ayat (2), dan ayat (4).
(3) Bank Pelapor sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) wajib menyampaikan
Laporan dan atau koreksi Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (1) dan atau Pasal 3 setelah Bank Pelapor kembali melakukan kegiatan
operasional secara normal.
(4) Bank Pelapor yang mengalami keadaan memaksa (force majeure), wajib
menyampaikan permohonan untuk memperoleh pengecualian sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) atau ayat (2) secara tertulis kepada Bank Indonesia
sebagaimana diatur dalam Pasal 17 ayat (1), dengan disertai penjelasan
mengenai keadaan memaksa yang dialami.
(5) Pengecualian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) atau ayat (2) berlaku
setelah Bank Pelapor memperoleh persetujuan dari Bank Indonesia
sebagaimana diatur dalam Pasal 17 ayat (1).
Pasal 24
Pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (4) dan ayat (5)
dikecualikan untuk penyampaian koreksi Laporan sebagai akibat hasil audit
tahunan oleh akuntan publik.
BAB VII …
- 16 -
BAB VII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 25
Ketentuan lebih lanjut tentang tata cara penyampaian Laporan diatur dalam Surat
Edaran Bank Indonesia.
Pasal 26
Dengan diberlakukannya Peraturan Bank Indonesia ini maka Surat Keputusan
Direksi Bank Indonesia No. 26/42/KEP/DIR tanggal 22 Juni 1993 tentang
Pedoman Penyusunan Laporan Bulanan Bank Umum dicabut dan dinyatakan
tidak berlaku.
Pasal 27 …
- 17 -
Pasal 27
(1) Ketentuan di dalam Peraturan Bank Indonesia ini mulai diberlakukan sejak
pelaporan data bulan September 2000 yang mulai disampaikan bulan
Oktober 2000.
(2) Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 19 September 2000
a.n. GUBERNUR BANK INDONESIA
ANWAR NASUTION
DEPUTI GUBERNUR SENIOR
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2000 NOMOR 157 xxxx
DSM
- 18 -
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 2 / 21 / PBI / 2000
TENTANG
LAPORAN BULANAN BANK UMUM
I. PENJELASAN UMUM
Dalam Pasal 34 Ayat (1) Undang-undang Nomor 7 tahun 1992 tentang
Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang – undang Nomor 10 Tahun
1998, ditetapkan bahwa Bank wajib menyampaikan kepada Bank Indonesia
neraca dan perhitungan laba/rugi tahunan serta penjelasannya, serta laporan
berkala lainnya, dalam waktu dan bentuk yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Selain itu di dalam Pasal 28 Ayat (1) Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999
tentang Bank Indonesia, ditegaskan pula bahwa Bank Indonesia mewajibkan
Bank untuk menyampaikan laporan, keterangan, dan penjelasan sesuai dengan
tata cara yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Laporan, keterangan, dan
penjelasan dimaksud diperlukan oleh Bank Indonesia dalam rangka penyusunan
laporan dan informasi serta statistik perbankan dan moneter dalam penetapan
kebijakan bidang moneter, sistem pembayaran, dan perbankan serta untuk
pemantauan keadaan Bank. Guna keperluan tersebut dibutuhkan data keuangan
dan kegiatan usaha Bank secara individual yang lebih lengkap termasuk kegiatan
usaha Bank yang dilakukan di luar negeri, yang menggambarkan kondisi Bank
sesuai dengan keadaan yang sebenarnya, dan dalam bentuk yang seragam,
sehingga dapat mendukung perumusan kebijakan di bidang moneter, sistem
pembayaran …
- 19 -
pembayaran, dan perbankan secara lebih efektif. Berkaitan dengan hal tersebut
maka Bank diwajibkan menyusun laporan secara benar dan lengkap serta
disampaikan kepada Bank Indonesia secara tepat waktu.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Angka 1 sampai dengan angka 9
Cukup jelas
Pasal 2
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup Jelas
Ayat (3)
Buku Pedoman Penyusunan Laporan Bulanan Bank Umum adalah
buku petunjuk teknis penyusunan Laporan yang diterbitkan oleh Bank
Indonesia sebagai lampiran dari Surat Edaran Bank Indonesia tentang
Laporan Bulanan Bank Umum.
Ayat (4)
Cukup Jelas
Pasal 3
Cukup jelas
Pasal 4
Cukup jelas
Pasal 5 …
- 20 -
Pasal 5
Yang dimaksud dengan petugas dan atau penanggung jawab yang ditunjuk
untuk menyusun dan menyampaikan Laporan adalah karyawan Bank yang
diberi wewenang dan atau tanggung jawab untuk menyusun,
memverifikasi, dan menyampaikan Laporan kepada Bank Indonesia.
Dengan demikian, setiap Laporan yang telah diterima oleh Bank Indonesia
dianggap sah.
Pasal 6
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Bagi Bank yang tidak memiliki kantor cabang, tidak diwajibkan untuk
menyusun dan menyampaikan Laporan Gabungan.
Ayat (3)
Bagi Kantor Bank yang status kantornya dibawah Kantor Cabang
(antara lain Kantor Cabang Pembantu, Kantor Kas, Payment Point),
Laporannya digabungkan dengan kantor induknya. Sementara bagi
Kantor Bank Asing yang status kantornya dibawah Kantor Cabang
Pembantu, Laporannya digabung dengan kantor induknya.
Pasal 7
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan Laporan secara terpusat (sentralisasi) adalah
Laporan dari seluruh atau sebagain Kantor Bank Pelapor yang disusun
dan disampaikan oleh Kantor Pusat atau kantor yang ditunjuk.
Ayat 2 …
- 21 -
Ayat (2)
Laporan masing-masing kantor dikatakan dapat teridentifikasi apabila
Laporan dimaksud tetap dapat menunjukkan Sandi dari Kantor Bank
Pelapor. Sebagai contoh, apabila Kantor Pusat Bank atau Kantor
Koordinator mampu menyusun Laporan per Kantor untuk 10 Kantor
Cabangnya, maka Laporan yang disampaikan harus terdiri dari 10
Laporan per Kantor yang sesuai dengan Sandi masing-masing Kantor
Bank Pelapor, ditambah dengan Laporan per Kantor dari kantor Bank
yang bersangkutan sebagai Bank Pelapor.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan laporan keuangan adalah laporan yang
mencakup neraca, laba/rugi dan rekening administratif.
Pasal 8
Ayat (1)
Contoh;
Laporan Gabungan untuk bulan laporan September 2000 wajib
disampaikan paling lambat pada akhir bulan Oktober 2000.
Yang dimaksud dengan bulan laporan adalah bulan dimana data yang
tercatat pada akhir bulan yang bersangkutan wajib dilaporkan,
misalnya bulan laporan September 2000 berarti, yang wajib
dilaporkan adalah data akhir September 2000 atau periode data tahun
berjalan yang berakhir sampai dengan akhir bulan September 2000.
Ayat (2)
Contoh;
Laporan …
- 22 -
Laporan Gabungan untuk bulan laporan September 2000 bagi Bank
yang sistem antar kantornya belum on line dan memiliki lebih dari 100
(seratus) Kantor Cabang, wajib disampaikan paling lambat pada
tanggal 15 Nopember 2000.
Yang dimaksud dengan sistem antar kantor belum on line adalah
transaksi antara satu kantor dengan kantor lainnya belum dapat
dieliminasi secara on line.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Contoh;
Laporan per Kantor untuk bulan laporan September 2000 wajib
disampaikan paling lambat pada tanggal 12 Oktober 2000.
Ayat (5)
Apabila Laporan disampaikan secara on line, maka Bank Pelapor akan
menerima tanda bukti penyampaian Laporan yang tercetak secara
otomatis pada komputer Bank Pelapor, setelah Bank Pelapor selesai
menyampaikan Laporan. Sementara itu, apabila Laporan disampaikan
secara off line, maka Bank Pelapor akan menerima tanda bukti
penerimaan Laporan dari Bank Indonesia.
Pasal 9
Angka 1
Huruf a
Contoh,
Penyampaian …
- 23 -
Penyampaian Laporan Gabungan untuk bulan laporan September
2000 dinyatakan terlambat apabila disampaikan mulai tanggal 1
Nopember 2000 sampai dengan tanggal 15 Nopember 2000.
Huruf b
Contoh,
Penyampaian Laporan Gabungan untuk bulan laporan September
2000 bagi Bank yang sistem antar kantornya belum on line dan
memiliki lebih dari 100 (seratus) Kantor Cabang, dinyatakan
terlambat apabila disampaikan mulai tanggal 16 Nopember 2000
sampai dengan akhir bulan Nopember 2000.
Angka 2
Contoh;
Penyampaian Laporan per Kantor untuk bulan laporan September
2000 dinyatakan terlambat apabila disampaikan mulai tanggal 13
Oktober 2000 sampai dengan tanggal 21 Oktober 2000.
Pasal 10
Contoh;
Laporan Gabungan :
• Laporan Gabungan untuk bulan laporan September 2000 dinyatakan
tidak disampaikan apabila Laporan disampaikan melampaui tanggal
15 Nopember 2000.
• Laporan Gabungan untuk bulan laporan September 2000 bagi Bank
yang sistem antar kantornya belum on line dan memiliki lebih dari 100
(seratus) Kantor Cabang, dinyatakan tidak disampaikan apabila
Laporan disampaikan melampaui akhir bulan Nopember 2000.
Contoh …
- 24 -
Contoh;
Laporan per Kantor untuk bulan laporan September 2000 dinyatakan
tidak disampaikan apabila Laporan disampaikan melampaui tanggal
21 Oktober 2000.
Pasal 11
Yang termasuk hari libur adalah Hari libur Nasional dan hari libur
setempat yang ditetapkan oleh Pemerintah Daerah Tingkat I.
Yang dimaksud dengan hari kerja sebelumnya adalah hari kerja yang jatuh
sebelum hari Sabtu, Minggu, atau hari libur.
Contoh;
Apabila data Laporan per Kantor untuk bulan laporan Oktober 2000 yang
wajib disampaikan selambat-lambatnya tanggal 12 Nopember 2000 jatuh
pada hari Minggu, maka batas akhir penyampaian Laporan per Kantor
data bulan Oktober 2000 adalah pada hari Jumat tanggal 10 Nopember
2000.
Pasal 12
Ayat (1)
Contoh;
Koreksi Laporan Gabungan untuk bulan laporan September 2000
wajib disampaikan paling lambat pada akhir bulan Oktober 2000.
Ayat (2)
Contoh;
Koreksi Laporan Gabungan untuk bulan laporan September 2000 bagi
Bank yang sistem antar kantornya belum on line dan memiliki lebih
dari …
- 25 -
dari 100 (seratus) Kantor Cabang, wajib disampaikan paling lambat
pada tanggal 15 Nopember 2000.
Ayat (3)
Contoh;
Koreksi Laporan per Kantor untuk bulan laporan September 2000
wajib disampaikan paling lambat pada tanggal 12 Oktober 2000.
Ayat (4)
Contoh;
Koreksi Laporan per Kantor untuk bulan laporan September 2000 bagi
Bank yang sistem antar kantornya belum on line dan memiliki lebih
dari 100 (seratus) Kantor Cabang, wajib disampaikan paling lambat
pada tanggal 21 Oktober 2000.
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 13
Angka 1
Huruf a
Contoh;
Penyampaian koreksi Laporan Gabungan untuk bulan laporan
September 2000 dinyatakan terlambat apabila disampaikan mulai
tanggal 1 Nopember 2000 sampai dengan tanggal 15 Nopember
2000.
Huruf b
Contoh;
Penyampaian koreksi Laporan Gabungan untuk bulan laporan
September 2000 bagi Bank yang sistem antar kantornya belum on
line …
- 26 -
line dan memiliki lebih dari 100 (seratus) Kantor Cabang,
dinyatakan terlambat apabila disampaikan mulai tanggal 16
Nopember 2000 sampai dengan akhir bulan Nopember 2000.
Angka 2
Huruf a
Contoh;
Penyampaian koreksi Laporan per Kantor untuk bulan laporan
September 2000 dinyatakan terlambat apabila disampaikan mulai
tanggal 13 Oktober 2000 sampai dengan tanggal 21 Oktober 2000.
Huruf b
Contoh;
Penyampaian koreksi Laporan per Kantor untuk bulan laporan
September 2000 bagi Bank yang sistem antar kantornya belum on
line dan memiliki lebih dari 100 (seratus) Kantor Cabang,
dinyatakan terlambat apabila disampaikan mulai tanggal 22
Oktober 2000 sampai dengan akhir bulan Oktober 2000.
Pasal 14
Contoh;
Koreksi Laporan Gabungan;
• Koreksi Laporan Gabungan untuk bulan laporan September 2000
dinyatakan tidak disampaikan apabila Laporan disampaikan
melampaui tanggal 15 Nopember 2000.
• Koreksi Laporan Gabungan untuk bulan laporan September 2000 bagi
Bank Yang belum on line dan memiliki lebih dari 100 (seratus) Kantor
Cabang, dinyatakan tidak disampaikan apabila Laporan disampaikan
melampaui akhir bulan Nopember 2000.
Koreksi …
- 27 -
Koreksi Laporan per Kantor;
• Koreksi Laporan per Kantor untuk bulan laporan September 2000
dinyatakan tidak disampaikan apabila Laporan disampaikan
melampaui tanggal 21 Oktober 2000.
• Koreksi Laporan per Kantor untuk bulan laporan September 2000 bagi
Bank Yang belum on line dan memiliki lebih dari 100 (seratus) Kantor
Cabang, dinyatakan tidak disampaikan apabila Laporan disampaikan
melampaui akhir bulan Oktober 2000.
Pasal 15
Cukup jelas
Pasal 16
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Huruf a.
Cukup jelas
Huruf b.
Cukup jelas
Huruf c.
Yang dimaksud dengan gangguan teknis adalah gangguan yang
menyebabkan Bank Pelapor tidak dapat menyampaikan Laporan
secara on line.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4) …
- 28 -
Ayat (4)
Cukup Jelas
Pasal 17
Ayat (1)
Huruf a.
Cukup jelas
Huruf b.
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup Jelas
Pasal 18
Ayat (1)
Contoh :
Laporan Gabungan;
Tanggal 31 Desember 2000 jatuh pada hari Minggu. Tanggal 1 Januari
2001 adalah hari libur Nasional. Bank A menyampaikan Laporan
Gabungan data bulan Nopember 2000 pada hari Kamis tanggal 4
Januari 2001. Bank A dinyatakan terlambat menyampaikan Laporan
Gabungan 3 hari kerja, yaitu Selasa, Rabu, Kamis, sehingga Bank A
dikenakan Sanksi keterlambatan penyampaian Laporan Gabungan
sebesar 3 x Rp1.000.000,- = Rp3.000.000,- (tiga juta rupiah)
Laporan …
- 29 -
Laporan per Kantor;
Tanggal 12 Nopember 2000 jatuh pada hari Minggu. Bank A
menyampaikan Laporan per Kantor data bulan Oktober 2000 pada hari
Selasa tanggal 14 Nopember 2000. Bank A dinyatakan terlambat
menyampaikan Laporan per Kantor 2 hari kerja, yaitu Senin dan
Selasa, sehingga Bank A dikenakan Sanksi sebesar 2 x Rp1.000.000,-
= Rp2.000.000,- (dua juta rupiah).
Ayat (2)
Contoh :
Laporan Gabungan;
Tanggal 15 April 2001 jatuh pada hari Minggu. Bank A
menyampaikan Laporan Gabungan data bulan Februari 2001 pada hari
Rabu tanggal 18 April 2001, sehingga Bank A dikenakan Sanksi tidak
menyampaikan Laporan Gabungan sebesar Rp50.000.000,- (lima
puluh juta rupiah).
Laporan per Kantor;
Tanggal 21 Januari 2001 jatuh pada hari Minggu. Bank A
menyampaikan Laporan per Kantor data bulan Desember 2000 pada
hari Senin tanggal 22 Januari 2001, sehingga Bank A dikenakan
Sanksi tidak menyampaikan Laporan per Kantor Rp50.000.000,- (lima
puluh juta rupiah).
Ayat (3)
Contoh :
Koreksi Laporan Gabungan;
Tanggal 31 Desember 2000 jatuh pada hari Minggu. Tanggal 1 Januari
2001 adalah hari libur Nasional. Bank A menyampaikan koreksi
Laporan …
- 30 -
Laporan Gabungan data bulan Nopember 2000 pada hari Kamis
tanggal 4 Januari 2001. Bank A dinyatakan terlambat menyampaikan
koreksi Laporan Gabungan 3 hari kerja, yaitu Selasa, Rabu, Kamis,
sehingga Bank A dikenakan Sanksi keterlambatan penyampaian
koreksi Laporan Gabungan sebesar 3 x Rp100.000,- = Rp300.000,-
(tiga ratus ribu rupiah)
Koreksi Laporan per Kantor;
Tanggal 12 Nopember 2000 jatuh pada hari Minggu. Bank A
menyampaikan koreksi Laporan per Kantor data bulan Oktober 2000
pada hari Selasa tanggal 14 Nopember 2000. Bank A dinyatakan
terlambat menyampaikan koreksi Laporan per Kantor 2 hari kerja,
yaitu Senin dan Selasa, sehingga Bank A dikenakan Sanksi sebesar 2
x Rp100.000,- = Rp200.000,- (dua ratus ribu rupiah).
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan per item kesalahan adalah kesalahan per
sandi. Apabila dalam satu baris data terdapat kesalahan lebih dari satu
sandi, kesalahan dihitung berdasarkan banyaknya sandi yang salah
dalam baris yang bersangkutan. Sebagai contoh, pada Daftar Rincian
Kredit Yang Diberikan, dalam satu baris terdapat kesalahan pada
kolom Kolektibilitas dan Sektor Ekonomi, maka dihitung sebagai 2
item kesalahan.
Selanjutnya apabila terdapat 700 item kesalahan, maka perhitungan
Sanksi adalah 700 x Rp100.000,- = Rp70.000.000 (tujuh puluh juta
rupiah), namun Bank hanya dikenakan Sanksi maksimum, yaitu
Rp5.000.000,- (lima juta rupiah).
Ayat (5) …
- 31 -
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 19
Cukup jelas
Pasal 20
Cukup jelas
Pasal 21
Cukup jelas
Pasal 22
Cukup jelas
Pasal 23
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan keadaan memaksa (force majeure) adalah
keadaan yang secara nyata-nyata menyebabkan Bank Pelapor tidak
dapat menyusun dan menyampaikan Laporan dan atau koreksi
Laporan, antara lain kebakaran, kerusuhan massa, perang, sabotase,
serta bencana alam seperti gempa bumi dan banjir, yang dibenarkan
oleh penguasa atau pejabat dari instansi terkait di daerah setempat.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4) …
- 32 -
Ayat (4)
Kewajiban menyampaikan pemberitahuan secara tertulis mengenai
keadaan memaksa (force majeure) tersebut, dapat dilakukan baik oleh
Bank Pelapor, Kantor Pusat maupun oleh kantor lainnya yang
ditunjuk.
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 24
Cukup jelas
Pasal 25
Cukup jelas
Pasal 26
Cukup jelas
Pasal 27
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2000 NOMOR 4000
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 2/21/PBI/2000 </reg_id>
<reg_title> LAPORAN BULANAN BANK UMUM </reg_title>
<set_date> 19 September 2000 </set_date>
<effective_date> 19 September 2000 </effective_date>
<replaced_reg> '26/42/KEP/DIR|SKDIR-BI/1993' </replaced_reg>
<related_reg> '23/UU/1999', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB V' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 10/ 21 /PBI/2008
TENTANG
PERUBAHAN KELIMA ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 4/9/PBI/2002
TENTANG OPERASI PASAR TERBUKA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa untuk meningkatkan efektifitas pelaksanaan kegiatan
operasi pasar terbuka di pasar valuta asing dan mengantisipasi
gejolak pasar keuangan global, Bank Indonesia perlu mengatur
kembali jangka waktu transaksi swap dengan Bank Indonesia;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam
huruf a, dipandang perlu untuk melakukan perubahan kelima atas
Peraturan Bank Indonesia Nomor 4/9/PBI/2002 tentang Operasi
Pasar Terbuka.
Mengingat : Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843)
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun
2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357).
MEMUTUSKAN …
- 2-
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : PERUBAHAN KELIMA ATAS PERATURAN BANK
INDONESIA NOMOR 4/9/PBI/2002 TENTANG OPERASI PASAR
TERBUKA
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 4/9/PBI/2002 tentang
Operasi Pasar Terbuka sebagaimana telah diubah beberapa kali dengan Peraturan Bank
Indonesia :
a. Nomor 6/4/PBI/2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor
17, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4365);
b. Nomor 6/33/PBI/2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor
169, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4463);
c. Nomor 7/30/PBI/2005 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor
84, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4533);
d. Nomor 10/14/PBI/2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008
Nomor 131, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4537),
diubah sebagai berikut:
1. Ketentuan Pasal 4B diubah sehingga berbunyi sebagai berikut :
Pasal 4B
Kegiatan OPT di pasar valuta asing dilakukan dalam rangka manajemen likuiditas,
baik Rupiah maupun valuta asing melalui kegiatan jual beli valuta asing terhadap
Rupiah antara lain dalam bentuk spot, forward dan swap.
2. Ketentuan …
- 3-
2. Ketentuan Pasal 4C diubah sehingga berbunyi sebagai berikut :
Pasal 4C
Kegiatan OPT di pasar valuta asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4B untuk
transaksi swap ditetapkan memiliki jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan yang
dinyatakan dalam hari kalender.
Pasal II
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank
Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 15 Oktober 2008
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 15 Oktober 2008
BOEDIONO
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA
ANDI MATTALATTA
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2008 NOMOR 147
DPM
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 10/21/PBI/2008 </reg_id>
<reg_title> PERUBAHAN KELIMA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 4/9/PBI/2002 TENTANG OPERASI PASAR TERBUKA </reg_title>
<set_date> 15 Oktober 2008 </set_date>
<effective_date> 15 Oktober 2008 </effective_date>
<issued_date> 15 Oktober 2008 </issued_date>
<changed_reg> '4/9/PBI/2002' </changed_reg>
<extension_of> '6/4/PBI/2004', '6/33/PBI/2004', '7/30/PBI/2005', '10/14/PBI/2008' </extension_of>
<related_reg> '23/UU/1999', '3/UU/2004' </related_reg>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 1/ 4 /PBI/1999
TENTANG
PENYELENGGARAAN SURVEI OLEH BANK INDONESIA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang :
a. bahwa dalam rangka mencapai dan memelihara kestabilan
nilai rupiah, Bank Indonesia bertugas menetapkan dan
melaksanakan kebijakan moneter, mengatur dan menjaga
kelancaran sistem pembayaran, serta mengatur dan
mengawasi bank;
b. bahwa guna pelaksanaan tugas-tugas tersebut di atas secara
efektif dan efisien, Bank Indonesia memerlukan informasi
yang akurat dan terkini, baik yang bersifat makro maupun
mikro antara lain dengan melakukan survei;
c. bahwa sehubungan dengan hal-hal tersebut di atas,
dipandang perlu menyusun ketentuan tentang
penyelenggaraan survei oleh Bank Indonesia dalam
Peraturan Bank Indonesia;
Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 16 tahun 1997 tentang Statistik
(Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 39 dan Tambahan
Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 3683);
2. Undang-undang Nomor 23 tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 66 dan
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3843);
MEMUTUSKAN...
PBI No. 1 / 4 / PBI / 1999
- 2 -
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG
PENYELENGGARAAN SURVEI OLEH BANK
INDONESIA.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Yang dimaksud dalam Peraturan Bank Indonesia ini dengan :
1. Survei adalah cara mengumpulkan keterangan dan data melalui pencacahan
sampel untuk memperkirakan karakteristik suatu populasi pada saat tertentu;
2. Keterangan adalah informasi yang bersifat kualitatif tentang karakteristik
setiap unit populasi yang menjadi objek Survei;
3. Data adalah informasi yang bersifat kuantitatif tentang karakteristik dari
setiap unit populasi yang menjadi objek Survei;
4. Lembaga Survei adalah lembaga penelitian atau lembaga lain (lembaga
konsultan, asosiasi peneliti, atau lembaga lain yang disetarakan) yang
ditunjuk oleh Bank Indonesia untuk melaksanakan kegiatan Survei
berdasarkan suatu perjanjian kerja;
5. Perjanjian Kerja adalah perjanjian yang memuat kesepakatan kerja antara
Bank Indonesia dan Lembaga Survei yang mencakup tugas pekerjaan yang
diberikan oleh Bank Indonesia kepada Lembaga Survei;
6. Responden adalah perseorangan dan/atau badan yang ditetapkan sebagai
sumber Keterangan dan Data dalam rangka Survei;
7. Badan ...
- 3 -
7. Badan adalah semua badan, misalnya badan hukum, persekutuan perdata,
yayasan, dan asosiasi;
8. Petugas Survei adalah orang yang diberi tugas oleh pelaksana Survei untuk
melakukan pengumpulan Keterangan dan Data;
9. Laporan Hasil Survei adalah laporan hasil pengolahan Keterangan dan Data
yang diperoleh dari kegiatan Survei.
BAB II
TUJUAN DAN RUANG LINGKUP SURVEI
Pasal 2
Survei bertujuan untuk memperoleh informasi melalui pengumpulan Keterangan
dan Data yang diperlukan untuk mendukung pelaksanaan tugas Bank Indonesia
dalam menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter, mengatur dan menjaga
kelancaran sistem pembayaran, serta mengatur dan mengawasi bank
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999
tentang Bank Indonesia.
Pasal 3
Ruang lingkup Survei meliputi seluruh Keterangan dan Data yang dapat
mendukung pelaksanaan tugas Bank Indonesia.
BAB III ...
- 4 -
BAB III
PENYELENGGARAAN SURVEI
Pasal 4
(1) Bank Indonesia bertindak sebagai penyelenggara Survei.
(2) Pelaksanaan Survei dapat dilakukan oleh Bank Indonesia dan/atau Lembaga
Survei.
(3) Pelaksanaan Survei yang dilakukan oleh Lembaga Survei diatur dalam
Perjanjian Kerja.
Pasal 5
(1) Survei yang diselenggarakan oleh Bank Indonesia bersifat makro atau
mikro.
(2) Penyelenggaraan Survei sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dilakukan secara berkala atau sewaktu-waktu.
Pasal 6
Lembaga penelitian atau lembaga lain yang dapat ditunjuk sebagai pelaksana
Survei harus memenuhi persyaratan :
a. independen, kompeten, dan profesional;
b. persyaratan lain yang ditetapkan dengan Surat Edaran Bank Indonesia.
BAB IV ...
- 5 -
BAB IV
KOORDINASI DAN KERJA SAMA
DENGAN PIHAK LAIN
Pasal 7
(1) Bank Indonesia dapat melakukan koordinasi dan kerja sama dengan pihak
lain dalam pengumpulan, pengolahan, dan penyajian Keterangan dan Data.
(2) Kerja sama dengan pihak lain diatur dengan perjanjian kerja sama.
BAB V
PENGUMPULAN DAN PENYAMPAIAN
KETERANGAN DAN DATA
Pasal 8
(1) Pengumpulan Keterangan dan Data dilakukan dengan :
a. wawancara;
b. pengisian kuesioner oleh Responden;
c. cara lain.
(2) Penyampaian Keterangan dan Data dari Responden kepada pelaksana Survei
dapat melalui :
a. pos atau kurir;
b. telepon, faksimile, electronic mail (surat elektronik);
c. media komunikasi lain.
(3) Tata cara pengumpulan dan penyampaian Keterangan dan Data diatur dengan
Surat Edaran Bank Indonesia.
BAB VI ...
- 6 -
BAB VI
HASIL SURVEI
Pasal 9
(1) Laporan Hasil Survei adalah milik Bank Indonesia.
(2) Bank Indonesia dapat mempublikasikan dan menyebarluaskan Laporan
Hasil Survei sebagai bagian dari pernyataan kebijakan di bidang moneter,
sistem pembayaran, dan perbankan, ataupun dalam rangka transparansi
informasi.
BAB VII
HAK DAN KEWAJIBAN
Pasal 10
(1) Bank Indonesia berhak meminta Keterangan dan Data dari Responden
mengenai objek Survei.
(2) Bank Indonesia wajib merahasiakan sumber, Keterangan, dan Data
Responden yang bersifat individual.
Pasal 11
(1) Lembaga Survei berhak meminta Keterangan dan Data dari Responden.
(2) Hak Lembaga Survei sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terbatas dalam
jangka waktu yang telah ditetapkan dalam Perjanjian Kerja.
(3) Keterangan ...
- 7 -
(3) Keterangan dan Data yang diminta oleh Lembaga Survei sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) terbatas pada tujuan dan ruang lingkup survei yang
telah ditetapkan dalam Perjanjian Kerja.
(4) Lembaga Survei wajib merahasiakan sumber, Keterangan, dan Data
Responden yang bersifat individual.
(5) Lembaga Survei dilarang memberikan kepada pihak lain kertas kerja dan
Laporan Hasil Survei yang dibuat dalam rangka pelaksanaan Survei.
(6) Lembaga Survei bertanggung jawab sepenuhnya terhadap pelaksanaan tugas
yang dilakukan oleh Petugas Survei.
(7) Lembaga Survei wajib menyampaikan kertas kerja, Laporan Hasil Survei,
Keterangan, dan Data kepada Bank Indonesia.
Pasal 12
Dalam melaksanakan tugas, setiap Petugas Survei wajib :
a. membawa surat tugas dan tanda pengenal;
b. memperhatikan nilai-nilai agama, adat istiadat setempat, tata krama, dan
ketertiban umum;
c. menjaga kerahasiaan sumber, Keterangan, dan Data Responden yang
bersifat individual;
d. menyampaikan Keterangan dan Data dari Responden kepada pelaksana
Survei yang memberi tugas.
Pasal 13
(1) Setiap Responden berhak mengetahui tujuan, ruang lingkup, dan manfaat
kegiatan Survei.
(2) Setiap ...
- 8 -
(2) Setiap Responden berhak menolak Petugas Survei yang tidak memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf a.
(3) Setiap Responden wajib memberikan Keterangan dan Data yang diminta oleh
Petugas Survei secara lengkap, akurat, dan tepat waktu.
(4) Dalam hal Survei dilakukan secara berkala, setiap Responden wajib
menyampaikan Keterangan dan Data secara berkala kepada Bank Indonesia.
BAB VIII
SANKSI ADMINISTRATIF
Pasal 14
(1) Lembaga Survei yang tidak memenuhi kewajibannya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 11 ayat (4), ayat (5), ayat (6), dan/atau ayat (7)
dikenakan sanksi administratif berupa :
a. teguran tertulis;
b. denda sekurang-kurangnya Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan
paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah);
c. ketidakikutsertaan dalam pelaksanaan Survei yang diselenggarakan oleh
Bank Indonesia; dan/atau
d. pencabutan izin usaha melalui instansi berwenang.
(2) Prosedur pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 15 ...
- 9 -
Pasal 15
(1) Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana denda sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 69 Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia, bagi Badan yang ditetapkan sebagai Responden dalam suatu
Survei yang tidak memenuhi kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 13 ayat (3) dan/atau ayat (4) dikenakan sanksi administratif berupa :
a. teguran tertulis;
b. denda sekurang-kurangnya Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) dan paling
banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah); dan/atau
c. pencabutan izin usaha melalui instansi yang berwenang.
(2) Prosedur pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan Surat Edaran Bank Indonesia.
BAB IX
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 16
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan ...
- 10 -
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 18 Agustus 1999
GUBERNUR BANK INDONESIA
SYAHRIL SABIRIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1999 NOMOR 141
USEM
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 1/ 4 /PBI/1999
TENTANG
PENYELENGGARAAN SURVEI OLEH BANK INDONESIA
UMUM
Sejalan dengan perkembangan ekonomi internasional yang semakin
kompleks, pentingnya peranan data statistik yang dapat dipercaya bagi suatu
negara menjadi sangat menonjol. Data statistik selalu digunakan dalam setiap
tahap pembangunan sehingga setiap tahapan kegiatan dapat berjalan secara
efektif dan efisien. Mengingat pentingnya peranan statistik dalam menunjang
pembangunan perekonomian, setiap pihak baik lembaga maupun individu
termasuk Bank Indonesia berkewajiban mendukung terwujudnya sistem statistik
nasional yang andal, efektif, dan efisien.
Sejak beberapa tahun terakhir Bank Indonesia secara intensif telah
berusaha menata dan membangun statistik ekonomi keuangan moneter yang
dimiliki. Perbaikan dimaksud dilakukan melalui berbagai cara, baik melalui
koordinasi dan kerja sama dengan pihak lain maupun melalui Survei secara
langsung.
Berkaitan dengan kedudukan Bank Indonesia sebagai lembaga negara
yang independen dan mempunyai tujuan mencapai dan memelihara kestabilan
nilai ...
- 2 -
nilai rupiah, penyediaan informasi berupa kajian yang lengkap, akurat, dan tepat
P B I No. 1 / 4 / PBI / 1999
waktu merupakan persyaratan penting yang harus dimiliki guna mendukung
perumusan kebijakan yang didasarkan pada riset yang mendalam. Dalam
penyediaan informasi dimaksud, Bank Indonesia, di samping memanfaatkan
(dengan cara mengolah) data dan hasil Survei berbagai pihak, juga akan
melakukan Survei secara langsung sesuai dengan kebutuhan Bank Indonesia,
yang biasanya jarang diperoleh dari Lembaga Survei lain karena bersifat khusus
yang terkait dengan perumusan kebijakan Bank Indonesia di bidang moneter
(misalnya Survei tentang kegiatan dunia usaha), di bidang sistem pembayaran
(misalnya Survei tentang kartu kredit), dan di bidang perbankan (misalnya
Survei tentang tingkat kejenuhan bank).
Agar pelaksanaan Survei dapat berjalan secara efektif dan efisien, perlu
ditetapkan Peraturan Bank Indonesia tentang penyelenggaraan Survei oleh Bank
Indonesia. Dalam peraturan ini diatur ihwal penyelenggaraan Survei yang
mencakup pelaksanaannya oleh Bank Indonesia dan/atau Lembaga Survei,
koordinasi dan kerja sama dengan pihak lain, hak dan kewajiban pihak-pihak
yang terlibat dalam pelaksanaan Survei, termasuk sanksi administratif terhadap
pelanggarannya.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas
Pasal 2
Cukup jelas
Pasal 3...
- 3 -
Pasal 3
Cukup jelas
Pasal 4
Ayat (1)
Sebagai pihak yang berkepentingan untuk mendapatkan suatu
informasi, Bank Indonesia berinisiatif mengadakan Survei dan
bertanggung jawab terhadap seluruh keberhasilan penyelenggaraan
Survei, mulai dari tahap persiapan, pelaksanaan, sampai dengan
penyusunan Laporan Hasil Survei.
Ayat (2)
Bank Indonesia berwenang menunjuk lembaga penelitian tertentu
sebagai Lembaga Survei berdasarkan asas-asas penilaian yang baik
terhadap pemenuhan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), baik yang berstandar nasional maupun internasional.
Ayat (3)
Pokok-pokok persyaratan yang diatur dalam Perjanjian Kerja
sebagaimana tertuang dalam kerangka acuan kerja (terms of
reference) sekurang-kurangnya memuat :
a. pokok yang diperjanjikan dengan uraian yang jelas mengenai
Laporan Hasil Survei, jenis ataupun ruang lingkup Keterangan
dan Data, serta jumlah Responden;
b. harga ...
- 4 -
b. harga nilai kontrak, cara, dan persyaratan pembayaran;
c. persyaratan dan spesifikasi teknis yang jelas dan terperinci;
d. jangka waktu dan syarat penyelesaian/penyerahan;
e. hak dan kewajiban para pihak yang terikat dalam perjanjian;
f. sanksi dalam hal Lembaga Survei tidak memenuhi
kewajibannya; dan
g. kepemilikan produk yang dihasilkan dari Perjanjian Kerja.
Pasal 5
Ayat (1) dan ayat (2)
Survei yang bersifat makro dimaksudkan untuk mendukung
pelaksanaan kebijakan yang mempengaruhi besaran/agregat
ekonomi dan moneter, baik secara langsung maupun tidak
langsung, seperti Survei pasar uang, Survei kegiatan dunia usaha,
Survei ekspektasi konsumen, dan Survei harga aset. Survei yang
bersifat makro pada umumnya dilakukan secara berkala berkenaan
dengan informasi yang berkaitan dengan upaya pengendalian
moneter yang sifatnya terus-menerus.
Survei yang bersifat mikro dimaksudkan untuk mendukung
pelaksanaan kebijakan yang mempengaruhi secara langsung
kepentingan individual pelaku dunia usaha, seperti Survei kartu
kredit, Survei biaya pendirian kantor bank, Survei tingkat
kejenuhan bank, dan Survei tingkat hunian hotel. Survei yang
bersifat ...
- 5 -
bersifat mikro pada umumnya dilakukan sewaktu-waktu berkenaan
dengan informasi spesifik yang dibutuhkan pada waktu tertentu.
Pasal 6
Huruf a
1) suatu Lembaga Survei dapat dikatakan independen apabila
dalam mengambil keputusan untuk membuat Laporan Hasil
Survei bebas dari pengaruh pihak mana pun;
2) suatu Lembaga Survei dapat dikatakan kompeten apabila
memiliki kewenangan dan kemampuan yang berstandar tinggi
dalam melakukan kegiatan Survei, antara lain berbentuk badan
hukum, memiliki izin dari instansi terkait, dan memiliki
sumber daya manusia yang cukup. Khusus lembaga yang
berafiliasi dengan universitas atau lembaga pendidikan tinggi
lainnya dikecualikan dari persyaratan badan hukum, tetapi
harus dapat diyakini kejelasan pihak yang bertanggung jawab
atas lembaga dimaksud;
3) suatu Lembaga Survei dapat dikatakan profesional apabila
mempunyai keahlian dan menguasai bidang pekerjaan yang
dilakukannya, antara lain mempunyai kinerja yang baik dan
berpengalaman melakukan kegiatan Survei minimal selama
tiga tahun.
Penunjukan ...
- 6 -
Penunjukan Lembaga Survei dilakukan dengan memperhatikan
aspek efektivitas dan efisiensi.
Huruf b
Cukup jelas
Pasal 7
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan pihak lain adalah semua Badan, instansi
pemerintah, asosiasi, lembaga penelitian, dan pihak yang dapat
menyediakan Keterangan dan Data yang diperlukan oleh Bank
Indonesia.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 8
Ayat (1)
Huruf a
Wawancara adalah suatu metode untuk memperoleh
Keterangan dan Data dengan cara menanyakan langsung
kepada Responden, baik melalui tatap muka maupun melalui
media telekomunikasi.
Huruf b
Pengisian kuesioner adalah suatu metode untuk memperoleh
Keterangan ...
- 7 -
Keterangan dan Data dengan cara meminta Responden
melakukan pengisian atau menjawab sendiri semua pertanyaan
yang terdapat pada kuesioner yang telah
dirancang/dipersiapkan.
Huruf c
Yang dimaksud dengan cara lain seperti observasi dan
pengukuran.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 9
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 10
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2) ...
- 8 -
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 11
Ayat(1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Tanggung jawab Lembaga Survei termasuk pula atas pelanggaran
yang dilakukan oleh Petugas Survei dalam menjaga kerahasiaan
kertas kerja, sumber, Keterangan, dan Data Responden yang
bersifat individual.
Ayat (7)
Kertas kerja, Laporan Hasil Survei, Keterangan, dan Data
yang ...
- 9 -
yang disampaikan oleh Lembaga Survei kepada Bank Indonesia
disesuaikan dengan kualitas dan persyaratan yang ditetapkan
dalam Perjanjian Kerja.
Pasal 12
Huruf a
Dalam hal Survei dilaksanakan oleh Lembaga Survei, surat tugas
dikeluarkan oleh Lembaga Survei dengan melampirkan kopi surat
penugasan dari Bank Indonesia kepada Lembaga Survei yang
bersangkutan.
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Yang dimaksud dengan pelaksana Survei adalah Bank Indonesia
atau Lembaga Survei.
Pasal 13
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3) ...
- 10 -
Ayat (3)
Keterangan dan Data yang diminta oleh Bank Indonesia tidak
dimaksudkan untuk pemeriksaan tetapi untuk kepentingan statistik.
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 14
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Penetapan besarnya sanksi dilakukan dengan
mempertimbangkan antara lain :
1) besarnya dampak cidera janji Lembaga Survei terhadap
kualitas hasil Survei;
2) pentingnya Survei dan besarnya nilai kontrak.
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Pencabutan atau pembatalan izin usaha terhadap Badan
dilakukan ...
- 11 -
dilakukan oleh instansi yang berwenang berdasarkan
permintaan Bank Indonesia.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 15
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Penetapan besarnya sanksi dilakukan dengan
mempertimbangkan antara lain :
1) kontribusi jawaban Responden terhadap hasil Survei;
2) pentingnya Survei;
3) besarnya skala usaha Responden.
Huruf c
Pencabutan atau pembatalan izin usaha terhadap badan usaha
dilakukan oleh instansi yang berwenang berdasarkan
permintaan Bank Indonesia.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 16 ...
- 12 -
Pasal 16
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3875
USEM
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 1/4/PBI/1999 </reg_id>
<reg_title> PENYELENGGARAAN SURVEI OLEH BANK INDONESIA </reg_title>
<set_date> 18 Agustus 1999 </set_date>
<effective_date> 18 Agustus 1999 </effective_date>
<related_reg> '23/UU/1999', '16/UU/1997' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB VIII' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 16/ 1 /PBI/2014
TENTANG
PERLINDUNGAN KONSUMEN JASA SISTEM PEMBAYARAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang:
a. bahwa dalam rangka melaksanakan tugas
mengatur dan menjaga kelancaran sistem
pembayaran, selain melakukan pengaturan
mengenai aspek kelembagaan dan mekanisme,
perlu pula memperhatikan aspek perlindungan
konsumen jasa sistem pembayaran;
b. bahwa pengaturan terkait dengan perlindungan
konsumen jasa sistem pembayaran yang saat
ini tersebar dalam beberapa ketentuan perlu
diperkuat agar lebih mencerminkan prinsip-
prinsip perlindungan konsumen;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu
menetapkan Peraturan Bank Indonesia tentang
Perlindungan Konsumen Jasa Sistem
Pembayaran;
Mengingat ...
- 2 -
Mengingat:
1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang
Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3843) sebagaimana
telah diubah beberapa kali terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor
23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi
Undang-Undang (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 4962);
2. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2011 tentang
Transfer Dana (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2011 Nomor 39, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 5204);
3. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang
Mata Uang (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2011 Nomor 64, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 5223);
MEMUTUSKAN ...
- 3 -
M E M U T U S K A N:
Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PERLINDUNGAN
KONSUMEN JASA SISTEM PEMBAYARAN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Bagian Kesatu
Definisi
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Sistem Pembayaran adalah sistem pembayaran sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai Bank
Indonesia.
2. Perlindungan Konsumen Jasa Sistem Pembayaran yang selanjutnya
disebut Perlindungan Konsumen adalah segala upaya yang menjamin
adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada
Konsumen Jasa Sistem Pembayaran.
3. Konsumen Jasa Sistem Pembayaran yang selanjutnya disebut
Konsumen adalah setiap pihak individu yang memanfaatkan jasa
Sistem Pembayaran dari Penyelenggara untuk kepentingan diri sendiri
dan tidak untuk diperdagangkan.
4. Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran yang selanjutnya disebut
Penyelenggara adalah Bank atau Lembaga Selain Bank yang
menyelenggarakan kegiatan jasa Sistem Pembayaran yang telah
memperoleh izin dari Bank Indonesia.
5. Bank adalah bank sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
yang mengatur mengenai perbankan dan bank syariah sebagaimana
dimaksud ...
- 4 -
dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan
syariah.
6. Lembaga Selain Bank adalah lembaga selain bank yang berbadan
hukum Indonesia dan menyelenggarakan kegiatan jasa Sistem
Pembayaran.
Bagian Kedua
Ruang Lingkup
Pasal 2
Perlindungan Konsumen yang diatur dalam Peraturan Bank Indonesia
ini mencakup Perlindungan Konsumen dalam kegiatan jasa Sistem
Pembayaran yang meliputi:
a. penerbitan instrumen pemindahan dana dan/atau penarikan
dana;
b. kegiatan transfer dana;
c. kegiatan alat pembayaran dengan menggunakan kartu;
d. kegiatan uang elektronik;
e. kegiatan penyediaan dan/atau penyetoran uang Rupiah; dan
f. penyelenggaraan Sistem Pembayaran lainnya yang akan
ditetapkan dalam ketentuan Bank Indonesia.
BAB II
PERLINDUNGAN KONSUMEN
Pasal 3
Prinsip Perlindungan Konsumen meliputi:
a. keadilan dan keandalan;
b. transparansi;
c. perlindungan data dan/atau informasi Konsumen; dan
d. penanganan ...
- 5 -
d. penanganan dan penyelesaian pengaduan yang efektif.
Pasal 4
Penyelenggara berhak untuk memastikan itikad baik Konsumen dan
mendapatkan informasi dan/atau dokumen mengenai Konsumen yang
akurat, jujur, jelas, dan tidak menyesatkan.
Pasal 5
(1) Penyelenggara wajib memberikan kesetaraan akses kepada setiap
Konsumen.
(2) Untuk memberikan kesetaraan akses sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), Penyelenggara wajib memiliki mekanisme dan prosedur
pemberian layanan akses kepada Konsumen.
(3) Selain memiliki mekanisme dan prosedur pemberian layanan akses
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Penyelenggara juga wajib
memiliki mekanisme dan prosedur pemberian layanan akses kepada
Konsumen berkebutuhan khusus.
Pasal 6
Dalam memberikan jasa Sistem Pembayaran yang berdampak adanya
biaya bagi Konsumen, Penyelenggara wajib memperoleh persetujuan
secara tertulis terlebih dahulu dari Konsumen.
Pasal 7
(1) Dalam hal Penyelenggara mengenakan biaya kepada Konsumen
dalam penyediaan jasa Sistem Pembayaran, Penyelenggara wajib
menetapkan biaya secara wajar.
(2) Untuk menetapkan biaya yang wajar Penyelenggara wajib memiliki
pedoman penetapan biaya.
Pasal ...
- 6 -
Pasal 8
(1) Dalam membuat perjanjian dengan Konsumen, Penyelenggara
dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap
dokumen dan/atau perjanjian yang bersifat:
a. menyatakan pelepasan/pengalihan tanggung jawab
Penyelenggara kepada Konsumen;
b. mengatur perihal pembuktian atas hilangnya pemanfaatan jasa
Sistem Pembayaran yang digunakan oleh Konsumen;
c. memberi hak kepada Penyelenggara untuk mengurangi manfaat
jasa Sistem Pembayaran yang digunakan atau mengurangi harta
kekayaan Konsumen yang menjadi objek jual beli menggunakan
jasa Sistem Pembayaran; dan/atau
d. menyatakan tunduknya Konsumen kepada peraturan
Penyelenggara yang berupa aturan baru, aturan tambahan,
aturan lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat
secara sepihak oleh Penyelenggara dalam masa Konsumen
memanfaatkan jasa Sistem Pembayaran dari Penyelenggara.
(2) Penyelenggara dilarang mencantumkan klausula baku yang letak
atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas
atau yang pengungkapannya sulit dimengerti oleh Konsumen.
Pasal 9
(1) Penyelenggara wajib menyediakan sistem yang andal dalam
menyelenggarakan kegiatan jasa Sistem Pembayaran.
(2) Penyediaan sistem yang andal sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
masing-masing jasa Sistem Pembayaran.
Pasal ...
- 7 -
Pasal 10
Penyelenggara wajib bertanggung jawab kepada Konsumen atas kerugian
yang timbul akibat kesalahan pengurus dan pegawai Penyelenggara.
Pasal 11
(1) Penyelenggara wajib memberikan informasi mengenai manfaat,
risiko, dan konsekuensi bagi Konsumen atas penggunaan jasa
Sistem Pembayaran.
(2)
Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan secara
lisan atau tertulis sesuai ketentuan Bank Indonesia yang mengatur
mengenai jasa Sistem Pembayaran.
(3)
Informasi yang diberikan oleh Penyelenggara sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) wajib:
a. menggunakan frasa dan bahasa yang mudah dimengerti; dan
b. menggunakan tulisan yang mudah dibaca dalam hal informasi
diberikan secara tertulis.
(4)
Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib diberikan oleh
Penyelenggara kepada Konsumen secara akurat, terkini, jelas, tidak
menyesatkan, jujur, dan etis.
Pasal 12
(1) Penyelenggara wajib menyediakan sarana yang memudahkan
Konsumen untuk memperoleh informasi.
(2) Penyediaan sarana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan tata
cara penyampaian informasi mengacu pada ketentuan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai jasa Sistem Pembayaran.
Pasal ...
- 8 -
Pasal 13
Penyelenggara wajib mengelola dan menatausahakan dokumen
Konsumen yang memuat data dan/atau informasi yang akurat, terkini,
dan jelas.
Pasal 14
(1) Penyelenggara wajib menjaga kerahasiaan data dan/atau informasi
Konsumen.
(2) Dalam rangka menjaga kerahasiaan data dan/atau informasi
Konsumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Penyelenggara
wajib memiliki dan melaksanakan kebijakan perlindungan data
dan/atau informasi Konsumen.
Pasal 15
(1) Penyelenggara dilarang memberikan data dan/atau informasi
Konsumen kepada pihak lain.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku dalam
hal:
a. Konsumen memberikan persetujuan secara tertulis; dan/atau
b. diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(3) Persetujuan secara tertulis dari Konsumen sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) huruf a wajib diperoleh Penyelenggara sebelum
Penyelenggara memberikan data dan/atau informasi Konsumen yang
bersangkutan.
Pasal 16
(1) Penyelenggara wajib memiliki dan melaksanakan mekanisme
penanganan pengaduan bagi Konsumen.
(2) Mekanisme ...
- 9 -
(2) Mekanisme penanganan pengaduan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) wajib dituangkan dalam bentuk tertulis yang meliputi:
a. penerimaan pengaduan;
b. penanganan dan penyelesaian pengaduan; dan
c. pemantauan penanganan dan penyelesaian pengaduan.
(3) Mekanisme penanganan pengaduan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) wajib diberitahukan kepada Konsumen.
Pasal 17
Penyelenggara dilarang mengenakan biaya kepada Konsumen atas
pengajuan pengaduan yang dilakukannya.
Pasal 18
(1) Penyelenggara wajib memiliki unit kerja atau fungsi yang menangani
dan menyelesaikan pengaduan yang diajukan Konsumen.
(2) Kewenangan unit kerja atau fungsi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) wajib diatur dalam mekanisme penanganan pengaduan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16.
Pasal 19
Penyelenggara wajib menindaklanjuti dan menyelesaikan pengaduan yang
disampaikan oleh Konsumen.
Pasal 20
(1) Konsumen dapat menyampaikan pengaduan kepada Bank Indonesia
sepanjang memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. Konsumen telah menyampaikan pengaduan kepada
Penyelenggara dan telah ditindaklanjuti oleh Penyelenggara,
namun ...
- 10 -
namun tidak terdapat kesepakatan antara Konsumen dengan
Penyelenggara;
b. permasalahan yang diadukan merupakan masalah perdata yang
tidak sedang dalam proses atau belum pernah diputus oleh
lembaga arbitrase atau peradilan atau belum terdapat
kesepakatan yang difasilitasi oleh lembaga mediasi; dan
c. Konsumen mengalami potensi kerugian finansial yang
ditimbulkan oleh Penyelenggara dengan nilai tertentu yang
ditentukan oleh Bank Indonesia.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyampaian pengaduan,
besarnya nilai potensi kerugian finansial yang dapat disampaikan
pengaduannya kepada Bank Indonesia, dan tindak lanjut
penyelesaian pengaduan diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 21
(1) Khusus dalam penyediaan dan/atau penyetoran uang Rupiah
kepada Konsumen, Penyelenggara juga:
a. harus menyediakan uang Rupiah dalam:
1. kondisi layak edar; dan
2. jenis pecahan yang sesuai dengan kebutuhan Konsumen;
b. wajib memastikan bahwa uang Rupiah yang disediakan
merupakan uang Rupiah:
1. asli;
2. masih berlaku sebagai alat pembayaran yang sah; dan
3. dalam jumlah nominal yang sesuai dengan kebutuhan
Konsumen; dan
c. wajib menerima penyetoran uang Rupiah dari Konsumen.
(2) Dalam menerima penyetoran uang Rupiah dari Konsumen
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, Penyelenggara harus
memeriksa ...
- 11 -
memeriksa keaslian uang Rupiah yang disetorkan oleh Konsumen
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang
mengatur mengenai uang Rupiah yang diragukan keasliannya.
Pasal 22
Dalam penyediaan dan/atau penyetoran uang Rupiah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 21, Penyelenggara dilarang mengenakan biaya
kepada Konsumen.
Pasal 23
Penyelenggara harus memastikan penerapan prinsip Perlindungan
Konsumen oleh pihak lain yang bekerjasama dengan Penyelenggara.
BAB III
PENGENDALIAN INTERNAL
Pasal 24
(1) Direksi atau pengurus Penyelenggara bertanggung jawab atas
ketaatan pelaksanaan ketentuan Peraturan Bank Indonesia ini.
(2) Penyelenggara wajib memiliki sistem pengawasan aktif bagi direksi
atau pengurus dalam rangka perlindungan Konsumen.
BAB IV
SOSIALISASI DAN EDUKASI
Pasal 25
Penyelenggara wajib melakukan kegiatan sosialisasi dan edukasi terkait
dengan penerapan Perlindungan Konsumen yang dilakukan.
BAB ...
- 12 -
BAB V
PELAPORAN
Pasal 26
Penyelenggara wajib menyampaikan laporan penanganan dan
penyelesaian pengaduan Konsumen kepada Bank Indonesia sesuai
dengan ketentuan yang berlaku pada masing-masing jasa Sistem
Pembayaran.
BAB VI
PENGAWASAN
Pasal 27
(1) Bank Indonesia melakukan pengawasan terhadap penerapan
ketentuan Perlindungan Konsumen oleh Penyelenggara.
(2) Ketentuan mengenai pelaksanaan pengawasan oleh Bank Indonesia
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Surat Edaran
Bank Indonesia.
BAB VII
KOORDINASI ANTAR LEMBAGA
Pasal 28
Dalam rangka penerapan Peraturan Bank Indonesia ini, Bank Indonesia
dapat berkoordinasi dengan lembaga terkait.
BAB VIII
SANKSI
Pasal 29
(1) Penyelenggara yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11,
Pasal 12, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, Pasal 16, Pasal 17, Pasal 18,
Pasal ...
- 13 -
Pasal 19, Pasal 21 ayat (1) huruf b, Pasal 21 ayat (1) huruf c, Pasal
22, Pasal 24, Pasal 25, dan Pasal 26 dikenakan sanksi administratif
berupa:
a.
teguran tertulis;
b. denda;
c. penghentian sementara sebagian atau seluruh kegiatan jasa
Sistem Pembayaran; dan/atau
d. pencabutan izin penyelenggaraan kegiatan jasa Sistem
Pembayaran.
(2) Ketentuan mengenai tata cara pengenaan sanksi dan besarnya
sanksi denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam
Surat Edaran Bank Indonesia.
BAB IX
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 30
Ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai Perlindungan
Konsumen jasa Sistem Pembayaran dalam penyelenggaraan kegiatan
transfer dana melalui Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia (SKNBI)
dan Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement (BI-RTGS), kegiatan alat
pembayaran dengan menggunakan kartu, dan kegiatan uang elektronik,
dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan
Bank Indonesia ini.
Pasal 31
Kewajiban Penyelenggara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3),
Pasal 16, Pasal 18, Pasal 24 ayat (2), dan Pasal 25 mulai berlaku pada
tanggal 1 Juli 2014.
Pasal ...
- 14 -
Pasal 32
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 16 Januari 2014
GUBERNUR BANK INDONESIA,
AGUS D.W. MARTOWARDOJO
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 21 Januari 2014
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
AMIR SYAMSUDIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2014 NOMOR 10
DKSP
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 16/ 1 /PBI/2014
TENTANG
PERLINDUNGAN KONSUMEN JASA SISTEM PEMBAYARAN
I. UMUM
Dalam hubungan antara Penyelenggara dengan Konsumen kerap
kali Konsumen berada pada pihak yang lemah. Ketidakseimbangan
hubungan antara Penyelenggara dengan Konsumen tersebut antara
lain disebabkan karena terdapatnya asymmetric information dan power
imbalances, rendahnya kualitas pelayanan kepada Konsumen,
penyalahgunaan data pribadi Konsumen, dan kurang efektifnya
mekanisme penyelesaian sengketa antara Penyelenggara dengan
Konsumen.
Dengan memahami kondisi seperti tersebut di atas, perlu dibentuk
suatu budaya Perlindungan Konsumen yang menjadi tanggung jawab
dan perhatian semua pihak. Bank Indonesia sesuai kewenangan yang
diberikan oleh Undang-Undang dalam rangka melaksanakan tugas
mengatur dan menjaga kelancaran Sistem Pembayaran, selain
mengatur aspek kelembagaan dan mekanisme, mengatur pula
ketentuan dari aspek Perlindungan Konsumen dan mengawasi
implementasi terhadap aturan tersebut. Industri jasa Sistem
Pembayaran berkewajiban untuk melaksanakan aturan–aturan
tersebut sesuai dengan prinsip-prinsip Perlindungan Konsumen,
sedangkan dari sisi masyarakat juga turut berperan serta untuk
menjadi masyarakat yang kritis dan peduli pada Perlindungan
Konsumen.
Perlindungan Konsumen diciptakan dengan mengakomodasi
prinsip Perlindungan Konsumen yang berlaku sebagai standar
internasional ...
- 2 -
internasional, yang meliputi prinsip keadilan dan keandalan,
transparansi, perlindungan data pribadi, serta penanganan dan
penyelesaian pengaduan Konsumen secara efektif. Penerapan prinsip-
prinsip tersebut oleh Penyelenggara diharapkan dapat menciptakan
keseimbangan hubungan antara Penyelenggara dengan Konsumen,
sehingga dapat mendukung terciptanya iklim usaha industri Sistem
Pembayaran yang sehat.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Huruf a
Instrumen pemindahan dana dan/atau penarikan dana
antara lain bilyet giro dan cek.
Huruf b
Kegiatan transfer dana dalam hal ini termasuk transfer dana
yang dilakukan melalui sistem Bank Indonesia-Real Time
Gross Settlement (BI-RTGS) dan Sistem Kliring Nasional Bank
Indonesia (SKNBI).
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Yang dimaksud dengan “uang Rupiah” yaitu Rupiah
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7
Tahun 2011 tentang Mata Uang.
Yang ...
- 3 -
Yang dimaksud dengan “penyediaan uang Rupiah” antara lain
penyediaan uang Rupiah oleh Penyelenggara kepada
Konsumen dalam rangka:
a. penarikan uang Rupiah oleh Konsumen melalui loket
Penyelenggara (counter), Automated Teller Machine (ATM),
atau sarana lainnya; dan
b. penukaran uang Rupiah oleh Penyelenggara (counter).
Yang dimaksud dengan “penyetoran uang Rupiah” antara lain
penyetoran uang Rupiah oleh Konsumen kepada
Penyelenggara melalui loket Penyelenggara (counter), Cash
Deposit Machine (CDM), atau sarana lainnya.
Penyetoran uang Rupiah oleh Konsumen dapat bertujuan
untuk simpanan, pemindahbukuan, pembayaran, dan/atau
penyelesaian kewajiban lainnya yang harus dipenuhi dengan
uang Rupiah.
Huruf f
Cukup jelas.
Pasal 3
Huruf a
Prinsip keadilan dan keandalan memastikan Penyelenggara
memperlakukan Konsumen secara adil dan tidak
diskriminatif serta memastikan Penyelenggara memberikan
jasa Sistem Pembayaran yang akurat dan aman baik dari
aspek:
a. aturan, kelembagaan, mekanisme, infrastruktur, dan
instrumen; dan/atau
b. alat pembayaran.
Huruf b
Prinsip transparansi memastikan Penyelenggara
memberikan informasi kepada Konsumen baik secara lisan
maupun ...
- 4 -
maupun tertulis, termasuk informasi melalui sarana
elektronis secara jelas dan lengkap, dengan bahasa yang
mudah dimengerti.
Huruf c
Prinsip perlindungan data dan/atau informasi Konsumen
memastikan Penyelenggara menjaga kerahasiaan dan
keamanan data dan/atau informasi Konsumen, serta
hanya menggunakan data dan/atau informasi tersebut
sesuai kepentingan dan tujuan yang disetujui oleh
Konsumen.
Huruf d
Prinsip penanganan dan penyelesaian pengaduan yang
efektif memastikan Penyelenggara memiliki dan
melaksanakan mekanisme penanganan dan penyelesaian
pengaduan Konsumen secara efektif, efisien, responsif, dan
tepat waktu.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “kesetaraan akses” adalah
Penyelenggara memberikan perlakuan yang sama kepada
setiap Konsumen terhadap layanan jasa Sistem
Pembayaran.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “Konsumen berkebutuhan khusus”
dalam ayat ini adalah tuna netra, tuna rungu/wicara, dan
usia ...
- 5 -
usia lanjut dengan umur 60 (enam puluh) tahun atau
lebih.
Pasal 6
Yang dimaksud dengan “persetujuan secara tertulis” dalam pasal
ini adalah persetujuan yang diberikan oleh Konsumen melalui
media komunikasi yang khusus dibangun oleh Penyelenggara
untuk komunikasi Penyelenggara dengan Konsumen seperti
e-mail dan faksimili. Persetujuan secara tertulis termasuk juga
persetujuan melalui telepon yang kemudian dituangkan dalam
catatan resmi Penyelenggara yang bersangkutan dalam bentuk
transkrip.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Ayat (1)
Sistem yang andal antara lain dibuktikan dengan
penyediaan sistem yang aman, baik untuk database
maupun back-up, penyediaan sistem dan/atau prosedur
yang menjamin efektivitas pengendalian internal, audit trail
atas transaksi yang dilakukan, kelangsungan
penyelenggaraan kegiatan, sarana/peralatan yang
memadai, dan sumber daya manusia yang memadai serta
kompeten.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Ayat (1) ...
- 6 -
Ayat (1)
Termasuk sebagai informasi yang diberikan kepada
Konsumen yakni
informasi mengenai penolakan,
penundaan, dan persetujuan permohonan produk serta
perubahan produk.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 12
Ayat (1)
Sarana yang memudahkan Konsumen untuk memperoleh
informasi antara lain berupa:
a. publikasi tertulis di setiap kantor Penyelenggara atau
melalui website Penyelenggara; atau
b. informasi lisan melalui call center Penyelenggara.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Kebijakan perlindungan data dan/atau informasi
Konsumen dilakukan antara lain dengan:
a. menunjuk ...
- 7 -
a. menunjuk pegawai yang bertanggungjawab terhadap
pengelolaan data dan/atau informasi Konsumen;
b. memiliki sistem informasi atau prosedur tertulis
mengenai perlindungan data dan/atau informasi
Konsumen; dan
c. menerapkan mekanisme pengamanan data dan/atau
informasi Konsumen.
Pasal 15
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “persetujuan secara tertulis”
dalam hal ini adalah persetujuan yang diberikan
oleh Konsumen melalui media komunikasi yang
khusus dibangun oleh Penyelenggara untuk
komunikasi Penyelenggara dengan Konsumen
seperti e-mail dan faksimili. Persetujuan secara
tertulis termasuk juga persetujuan melalui telepon
yang kemudian dituangkan dalam catatan resmi
Penyelenggara yang bersangkutan dalam bentuk
transkrip.
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 16
Ayat (1)
Mekanisme ...
- 8 -
Mekanisme penanganan pengaduan dalam hal ini termasuk
penyediaan media dan/atau sarana yang dapat digunakan
dengan mudah oleh Konsumen untuk mengajukan
pengaduan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Pemberitahuan mekanisme penanganan pengaduan kepada
Konsumen antara lain dapat dilakukan melalui website
atau brosur.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Ayat (1)
Penyampaian pengaduan kepada Bank Indonesia dapat
dilakukan baik secara lisan maupun tertulis.
Ayat (2)
Tindak lanjut atas penyampaian pengaduan Konsumen
tersebut oleh Bank Indonesia antara lain berupa
penyampaian kepada Penyelenggara untuk diselesaikan
sesuai dengan mekanisme yang berlaku, pemberian
edukasi, konsultasi, dan/atau fasilitasi.
Pasal ...
- 9 -
Pasal 21
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “penyediaan uang Rupiah” antara
lain penyediaan uang Rupiah oleh Penyelenggara kepada
Konsumen dalam rangka:
a. penarikan uang Rupiah oleh Konsumen melalui loket
Penyelenggara (counter), Automated Teller Machine
(ATM), atau sarana lainnya; dan
b. penukaran uang Rupiah melalui loket Penyelenggara
(counter).
Penukaran uang Rupiah mengacu pada ketentuan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai pengelolaan uang
Rupiah.
Huruf a
Angka 1
Yang dimaksud dengan “kondisi layak edar”
adalah tingkat kondisi layak edar uang Rupiah
yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Angka 2
Penyediaan uang Rupiah dalam jenis pecahan
yang sesuai dengan kebutuhan Konsumen
dilakukan sepanjang Penyelenggara masih
memiliki persediaan jenis pecahan yang
dibutuhkan Konsumen.
Huruf b
Angka 1
Cukup jelas.
Angka 2
Yang ...
- 10 -
Yang dimaksud dengan “alat pembayaran yang
sah” adalah uang Rupiah yang belum dicabut
dan ditarik dari peredaran.
Angka 3
Yang dimaksud dengan “jumlah nominal yang
sesuai kebutuhan Konsumen” adalah jumlah
nominal uang yang tidak selisih kurang atau
selisih lebih.
Huruf c
Uang Rupiah yang disetorkan kepada Penyelenggara
telah disusun rapi dan dipisahkan sesuai jenis
pecahan oleh Konsumen.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Yang dimaksud dengan “pihak lain” antara lain perusahaan alih
daya dan/atau pihak yang bekerjasama dengan Penyelenggara
dalam memberikan jasa Sistem Pembayaran kepada Konsumen
seperti pemasaran produk atau jasa, pemberian informasi, dan
penerimaan pengaduan.
Pasal 24
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Sistem pengawasan aktif bagi direksi atau pengurus
Penyelenggara dibuat sesuai dengan kebutuhan dan risiko
masing-masing Penyelenggara.
Pasal ...
- 11 -
Pasal 25
Pelaksanaan sosialisasi dan edukasi seperti cara, media, tema,
dan frekuensi disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing
Penyelenggara.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “pengawasan” adalah pengawasan
langsung dan/atau tidak langsung.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5498
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 16/1/PBI/2014 </reg_id>
<reg_title> PERLINDUNGAN KONSUMEN JASA SISTEM PEMBAYARAN </reg_title>
<set_date> 16 Januari 2014 </set_date>
<effective_date> 21 Januari 2014 </effective_date>
<issued_date> 21 Januari 2014 </issued_date>
<related_reg> '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '3/UU/2011', '7/UU/2011' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB VIII' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 8/15/PBI/2006
TENTANG
PERLAKUAN KHUSUS TERHADAP KREDIT BANK
BAGI DAERAH-DAERAH TERTENTU DI INDONESIA
YANG TERKENA BENCANA ALAM
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang: a. Bahwa bencana alam yang telah beberapa kali melanda
berbagai daerah di Indonesia pada umumnya menimbulkan
dampak kerugian yang
cukup signifikan terhadap
pertumbuhan ekonomi di daerah-daerah tertentu yang
terkena bencana alam;
b. Bahwa letak Indonesia yang berada di wilayah yang rawan
terkena bencana
alam
menyebabkan
dimungkinkan mengalami bencana alam;
c. Bahwa salah satu upaya untuk mendukung pemulihan
kondisi perekonomian adalah dengan memberikan perlakuan
khusus terhadap kredit Bank dengan jumlah tertentu dan
kredit yang direstrukturisasi;
d. Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, huruf b dan huruf c dipandang perlu untuk
menetapkan ketentuan mengenai perlakuan khusus terhadap
kredit Bank di daerah-daerah tertentu yang terkena bencana
alam …
Indonesia
- 2 -
alam dalam suatu Peraturan Bank Indonesia;
Mengingat:
1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor
31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3790);
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: PERLAKUAN KHUSUS TERHADAP KREDIT BANK
BAGI DAERAH-DAERAH TERTENTU DI INDONESIA
YANG TERKENA BENCANA ALAM.
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Bank adalah Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
sebagaimana …
- 3 -
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998,
termasuk kantor cabang bank asing.
2. Kredit Bagi Bank Umum adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat
dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-
meminjam antara Bank dengan pihak lain
peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan
pemberian bunga, termasuk:
a.
cerukan (overdraft), yaitu saldo negatif pada rekening giro nasabah
yang tidak dapat dibayar lunas pada akhir hari;
b. pengambilalihan tagihan dalam rangka kegiatan anjak piutang;
c. pengambilalihan atau pembelian kredit dari pihak lain.
3. Kredit Bagi Bank Perkreditan Rakyat adalah penyediaan uang atau tagihan
yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau
kesepakatan pinjam-meminjam antara Bank dengan pihak lain yang
mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu
tertentu dengan pemberian bunga.
Pasal 2
(1) Penetapan kualitas Kredit Bagi Bank Umum dan/atau penyediaan dana lain
dari Bank
bagi nasabah debitur dengan
plafon sampai
dengan
Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) hanya didasarkan pada ketepatan
pembayaran pokok dan/atau bunga.
(2) Tata cara penetapan kualitas Kredit Bagi Bank Umum dan/atau penyediaan
dana lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan
ketentuan Bank Indonesia yang berlaku.
(3) Plafon …
yang mewajibkan pihak
- 4 -
(3) Plafon Kredit Bagi
Bank Umum dan/atau penyediaan dana lain
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku baik untuk debitur individual
maupun debitur grup dan untuk seluruh fasilitas yang diterima dari 1 (satu)
Bank Umum.
(4) Penetapan kualitas Kredit Bagi Bank Umum dan/atau penyediaan dana lain
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku bagi Kredit Bagi Bank Umum
dan/atau penyediaan dana lain yang disalurkan sebelum maupun setelah
terjadinya bencana.
(5) Penetapan kualitas Kredit Bagi Bank Umum dan/atau penyediaan dana lain
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya berlaku untuk Kredit Bagi Bank
Umum dan/atau penyediaan dana lain yang disalurkan kepada nasabah
debitur dengan lokasi proyek atau lokasi usaha di daerah-daerah tertentu
yang terkena bencana alam untuk jangka waktu 3 (tiga) tahun sejak
terjadinya bencana.
(6) Penetapan kualitas Kredit Bagi Bank Perkreditan Rakyat dilakukan sesuai
dengan ketentuan Bank Indonesia yang berlaku.
Pasal 3
(1) Kualitas Kredit Bagi Bank Umum dan Kredit Bagi Bank Perkreditan Rakyat
yang direstrukturisasi ditetapkan Lancar sejak restrukturisasi sampai dengan
3 (tiga) tahun setelah terjadinya bencana.
(2) Pelaksanaan restrukturisasi Kredit Bagi Bank Umum dan restrukturisasi
Kredit Bagi Bank Perkreditan Rakyat dilakukan sesuai dengan ketentuan
Bank Indonesia yang berlaku.
(3) Restrukturisasi …
- 5 -
(3) Restrukturisasi Kredit Bagi Bank Umum dan restrukturisasi Kredit Bagi
Bank Perkreditan Rakyat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dilakukan terhadap kredit yang
terjadinya bencana.
disalurkan
sebelum maupun setelah
Pasal 4
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 hanya berlaku untuk Kredit
Bagi Bank Umum dan Kredit Bagi Bank Perkreditan Rakyat yang memenuhi
persyaratan sebagai berikut:
a.
disalurkan kepada nasabah debitur dengan lokasi proyek atau lokasi usaha
di daerah-daerah tertentu yang terkena bencana alam;
b. telah atau diperkirakan akan mengalami kesulitan pembayaran pokok
dan/atau bunga kredit yang disebabkan dampak dari bencana alam di
daerah-daerah tertentu; dan
c.
direstrukturisasi setelah terjadinya bencana alam.
Pasal 5
Penetapan kualitas Kredit Bagi Bank Umum dan Kredit Bagi Bank Perkreditan
Rakyat yang tidak direstrukturisasi maupun yang direstrukturisasi setelah jangka
waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (5) dan Pasal 3 ayat (1)
mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang berlaku.
Pasal 6
Penentuan daerah-daerah tertentu yang terkena bencana alam akan ditetapkan
kemudian dalam suatu Surat Keputusan Bank Indonesia, dengan memperhatikan
aspek-aspek antara lain:
a. luas …
- 6 -
a. luas wilayah yang terkena bencana;
b. jumlah korban jiwa;
c. jumlah kerugian materiil;
d. jumlah debitur yang diperkirakan terkena dampak bencana alam;
e. persentase jumlah kredit yang diberikan kepada debitur yang terkena dampak
bencana alam terhadap jumlah kredit di daerah bencana; dan
f. persentase jumlah kredit dengan plafon sampai dengan Rp5.000.000.000,00
(lima miliar rupiah) terhadap jumlah kredit di daerah yang terkena bencana
alam.
Pasal 7
(1) Bank dapat memberikan kredit dan/atau penyediaan dana lain baru bagi
debitur yang terkena dampak bencana alam di daerah-daerah tertentu di
Indonesia yang terkena bencana alam.
(2) Penetapan kualitas kredit dan/atau penyediaan dana lain baru sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara terpisah dengan kualitas kredit
dan/atau penyediaan dana lain sebelumnya.
(3) Penetapan kualitas Kredit Bagi Bank Umum dan/atau penyediaan dana lain
baru sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah sebagai berikut:
a. Untuk kredit dan/atau penyediaan dana lain baru dengan plafon sampai
dengan Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah), penetapan kualitas
kredit mengacu pada ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (1);
b. Untuk …
- 7 -
b. Untuk kredit dan/atau penyediaan dana lain baru dengan plafon lebih
dari Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah), penetapan kualitas
kredit mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang berlaku.
(4) Penetapan kualitas Kredit Bagi Bank Umum dan/atau penyediaan dana lain
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a hanya berlaku untuk Kredit
Bagi Bank Umum dan/atau penyediaan dana lain yang disalurkan kepada
nasabah debitur dengan lokasi proyek atau lokasi usaha di daerah-daerah
tertentu yang terkena bencana alam untuk jangka waktu 3 (tiga) tahun sejak
terjadinya bencana.
Pasal 8
Bank Indonesia dapat menetapkan plafon kredit dan/atau penyediaan dana lain
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 7 ayat (3), serta jangka
waktu penetapan kualitas kredit yang tidak direstrukturisasi maupun yang
direstrukturisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (5), Pasal 3 ayat (1),
dan Pasal 7 ayat (4) yang berbeda dalam suatu Surat Keputusan Bank Indonesia
dengan memperhatikan kondisi bencana yang terjadi di daerah tertentu.
Pasal 9
Ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia ini berlaku juga bagi Bank Umum
konvensional yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah,
Bank Umum berdasarkan Prinsip Syariah dan Bank Perkreditan Rakyat
berdasarkan Prinsip Syariah untuk penyediaan dana yang mencakup pembiayaan
(mudharabah atau musyarakah), piutang (murabahah, salam, atau istishna),
sewa (ijarah), pinjaman (qardh), dan penyediaan dana lain.
Pasal 10 …
- 8 -
Pasal 10
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 5 Oktober 2006
GUBERNUR BANK INDONESIA,
BURHANUDDIN ABDULLAH
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2006 NOMOR 72
DPNP/DPBPR/DPbS
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 8/15/PBI/2006
TENTANG
PERLAKUAN KHUSUS TERHADAP KREDIT BANK
BAGI DAERAH-DAERAH TERTENTU DI INDONESIA
YANG TERKENA BENCANA ALAM
UMUM
Sebagaimana diketahui beberapa tahun terakhir ini sebagian wilayah di
Indonesia dilanda bencana alam, seperti gempa bumi dan tsunami di Propinsi
Nanggroe Aceh Darussalam, Kabupaten Nias dan Kabupaten Nias Selatan,
gempa bumi di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan Daerah Sekitarnya di
Propinsi Jawa Tengah, serta gempa bumi dan tsunami di daerah sekitar pantai
selatan Jawa. Dampak bencana alam ini dapat mengganggu perekonomian
Indonesia, khususnya di daerah yang terkena bencana dimaksud. Nasabah debitur
yang terkena dampak bencana tersebut diperkirakan akan mengalami kesulitan
dalam melunasi kewajibannya sesuai dengan perjanjian kredit.
Sehubungan dengan itu maka Bank Indonesia memandang perlu untuk
memberikan perlakuan khusus terhadap kredit Bank berupa kelonggaran dalam
penetapan kualitas kredit dan pemberian kredit baru kepada debitur yang terkena
dampak bencana alam dimaksud.
PASAL …
- 2 -
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “penyediaan dana lain” adalah penerbitan
jaminan dan pembukaan letter of credit.
Ayat (2)
Ketentuan Bank Indonesia yang berlaku adalah ketentuan mengenai
Penilaian Kualitas Aktiva bagi Bank Umum dan ketentuan mengenai
Kualitas Aktiva bagi Bank Umum Syariah.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Ketentuan Bank Indonesia yang berlaku adalah ketentuan mengenai
Kualitas Aktiva Produktif dan Pembentukan Penyisihan Penghapusan
Aktiva Produktif bagi Bank Perkreditan Rakyat.
Pasal 3 …
- 3 -
Pasal 3
Ayat (1)
Restrukturisasi Kredit Bagi Bank Umum dan restrukturisasi Kredit
Bagi Bank Perkreditan Rakyat dapat dilakukan terhadap seluruh kredit
yang diberikan.
Ayat (2)
Ketentuan Bank Indonesia yang berlaku adalah ketentuan mengenai
Penilaian Kualitas Aktiva bagi Bank Umum, ketentuan mengenai
restrukturisasi kredit bagi Bank Umum Syariah, serta ketentuan
mengenai Kualitas Aktiva Produktif dan Pembentukan Penyisihan
Penghapusan Aktiva Produktif bagi Bank Perkreditan Rakyat.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Ketentuan Bank Indonesia yang berlaku adalah ketentuan mengenai
Penilaian Kualitas Aktiva bagi Bank Umum, ketentuan mengenai Kualitas
Aktiva bagi Bank Umum Syariah serta ketentuan mengenai Kualitas
Aktiva Produktif dan Pembentukan Penyisihan Penghapusan Aktiva
Produktif bagi Bank Perkreditan Rakyat.
Pasal 6 …
- 4 -
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Ayat (1)
Pemberian kredit dan/atau penyediaan dana baru tersebut dilakukan
secara selektif sesuai dengan kebijakan perkreditan Bank.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Yang
Huruf b
Yang
dimaksud dengan “penyediaan dana lain” adalah
penerbitan jaminan dan pembukaan letter of credit.
Ketentuan Bank Indonesia yang
berlaku adalah ketentuan
mengenai Penilaian Kualitas Aktiva bagi Bank Umum dan
ketentuan mengenai Kualitas Aktiva bagi Bank Umum Syariah.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
dimaksud dengan “penyediaan dana lain” adalah
penerbitan jaminan dan pembukaan letter of credit.
Pasal 9 …
- 5 -
Pasal 9
Yang dimaksud dengan “penyediaan dana lain” adalah penerbitan jaminan
dan pembukaan letter of credit.
Pasal 10
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4641
DPNP/DPBPR/DPbS
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 8/15/PBI/2006 </reg_id>
<reg_title> PERLAKUAN KHUSUS TERHADAP KREDIT BANK BAGI DAERAH-DAERAH TERTENTU DI INDONESIA YANG TERKENA BENCANA ALAM </reg_title>
<set_date> 5 Oktober 2006 </set_date>
<effective_date> 5 Oktober 2006 </effective_date>
<related_reg> '7/UU/1992', '10/UU/1998', '23/UU/1999', '3/UU/2004' </related_reg>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 12/ 8 /PBI/2010
TENTANG
PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 7/40/PBI/2005 TENTANG PENGELUARAN DAN PENGEDARAN
UANG KERTAS RUPIAH PECAHAN 10.000 (SEPULUH RIBU)
TAHUN EMISI 2005
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang
: a. bahwa pengeluaran dan pengedaran uang rupiah
ditujukan untuk menyediakan uang tunai di masyarakat
sebagai alat pembayaran yang sah (legal tender) di
Negara Kesatuan Republik Indonesia;
b. bahwa untuk lebih mengoptimalkan fungsi elemen
pada desain uang kertas rupiah pecahan 10.000
(sepuluh ribu), diperlukan perubahan warna dominan
dan unsur pengaman pada desain uang rupiah;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu untuk
melakukan perubahan kedua atas Peraturan Bank
Indonesia tentang Pengeluaran dan Pengedaran Uang
Kertas Rupiah Pecahan 10.000 (Sepuluh Ribu) Tahun
Emisi 2005;
Mengingat . . .
-2-
Mengingat
: 1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun
1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843)
sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-
Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962);
2. Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/14/PBI/2004
tentang Pengeluaran, Pengedaran, Pencabutan dan
Penarikan, serta Pemusnahan Uang Rupiah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 52,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4388) sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Bank Indonesia Nomor 9/10/PBI/2007
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007
Nomor 113, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4762);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan
: PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN BANK
INDONESIA NOMOR 7/40/PBI/2005 TENTANG
PENGELUARAN DAN PENGEDARAN UANG
KERTAS . . .
-3-
KERTAS RUPIAH PECAHAN 10.000 (SEPULUH RIBU)
TAHUN EMISI 2005.
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/40/PBI/2005
tentang Pengeluaran dan Pengedaran Uang Kertas Rupiah Pecahan 10.000
(Sepuluh Ribu) Tahun Emisi 2005 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2005 Nomor 100) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia
Nomor 11/6/PBI/2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 43) diubah sebagai berikut:
1. Ketentuan Pasal 4 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 4
Ciri uang rupiah pecahan 10.000 (sepuluh ribu) sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 1, untuk tahun pencetakan sampai dengan tahun 2009 adalah:
a. Warna
bagian muka dan bagian belakang uang dicetak dengan warna dominan
ungu;
b. Gambar
1. bagian muka
a) gambar utama berupa gambar Pahlawan Nasional Sultan
Mahmud Badaruddin II dan dibawahnya dicantumkan tulisan
”SULTAN MAHMUD BADARUDDIN II”;
b) pada sebelah kiri gambar utama terdapat gambar ornamen daerah
Palembang berbentuk lingkaran berwarna oranye yang akan
memendar kuning di bawah sinar ultra violet;
c) pada . . .
-4-
c) pada sebelah kiri bawah gambar utama dengan arah horizontal
terdapat tulisan ”BANK INDONESIA” dan di bawah tulisan
tersebut terdapat tulisan ”SEPULUH RIBU RUPIAH”;
d) pada sebelah kiri atas gambar utama dengan arah horizontal dan
pada sebelah kanan tanda air dengan arah vertikal, terdapat
angka nominal ”10000”;
e) pada sebelah kiri gambar utama, di bawah angka nominal
”10000” terdapat gambar saling isi (rectoverso) yang apabila
diterawangkan ke arah cahaya akan terlihat logo Bank Indonesia
secara utuh;
f) pada sebelah kanan atas gambar utama terdapat gambar
tersembunyi (latent image) tulisan BI dalam bingkai persegi
panjang berbentuk ornamen daerah Palembang yang dapat
dilihat dari sudut pandang tertentu;
g) pada sebelah kanan atas gambar utama terdapat gambar
Lambang Negara Kesatuan Republik Indonesia, yaitu Garuda
Pancasila;
h) pada sebelah kanan bawah terdapat logo Bank Indonesia
di dalam bidang segi delapan yang dicetak dengan tinta khusus
(optically variable ink) yang akan berubah warna dari hijau
menjadi biru apabila dilihat dari sudut pandang berbeda;
i) pada sebelah kanan bawah gambar utama terdapat angka tahun
pencetakan “2009” (angka 2009 akan berubah sesuai dengan
tahun pencetakan uang), tulisan “DEWAN GUBERNUR”, tanda
tangan Gubernur Bank Indonesia beserta tulisan “GUBERNUR”,
dan tanda tangan Deputi Gubernur Bank Indonesia beserta
tulisan “DEPUTI GUBERNUR”;
j) sebagai . . .
-5-
j) sebagai latar belakang dan pengisi bidang terdiri dari garis-garis
bergelombang, miring, dan rangkaian garis melengkung yang
membentuk ornamen daerah Palembang;
k) mikroteks yaitu teks yang hanya dapat dibaca dengan bantuan
kaca pembesar terdapat pada:
1) sebelah kiri gambar utama yang mengisi angka nominal
”10000” berupa tulisan BI;
2) sebelah kiri gambar utama di atas dan bawah gambar saling
isi (rectoverso) berupa angka 10000 yang membentuk garis
vertikal;
3) sebelah kiri atas dan bawah gambar utama berupa tulisan
”BANKINDONESIA” sebagai latar belakang uang;
4) sebelah kanan gambar utama berupa tulisan
”BANKINDONESIA10000” yang tersusun diagonal
membentuk warna dasar dan gambar ornamen daerah
Palembang;
l) miniteks yaitu teks dengan ukuran kecil yang dapat dibaca tanpa
bantuan kaca pembesar terdapat di atas dan di bawah tanda air
berupa tulisan “BI10000” yang berbentuk lengkungan dengan
ukuran teks yang berbeda.
2. bagian belakang
a) gambar utama berupa gambar Rumah Limas, Palembang;
b) pada sebelah kanan atas gambar utama terdapat tulisan ”BANK
INDONESIA”;
c) di bawah gambar utama terdapat tulisan ”DENGAN RAHMAT
TUHAN YANG MAHA ESA, BANK INDONESIA
MENGELUARKAN UANG SEBAGAI ALAT
PEMBAYARAN . . .
-6-
PEMBAYARAN YANG SAH DENGAN NILAI SEPULUH
RIBU RUPIAH”;
d) pada sebelah kanan bawah dengan arah horizontal dan pada
sebelah kiri atas dengan arah vertikal terdapat angka nominal
”10000”;
e) nomor seri yang terdiri dari 3 (tiga) huruf dan 6 (enam) angka
terletak pada sebelah kiri bawah uang yang dicetak dengan tinta
berwarna hitam yang akan memendar hijau di bawah sinar
ultra violet dan pada sebelah kanan atas di bawah tulisan
”BANK INDONESIA” dicetak dengan tinta berwarna merah
yang akan memendar oranye di bawah sinar ultra violet;
f) pada sebelah kanan atas di bawah nomor seri terdapat gambar
saling isi (rectoverso) yang apabila diterawangkan ke arah
cahaya akan terlihat logo Bank Indonesia secara utuh;
g) pada sebelah kanan bawah tepat di bawah angka nominal
“10000” terdapat tulisan “PERUM PERCETAKAN UANG RI
IMP” dan angka tahun pengeluaran atau tahun emisi “2005”;
h) di atas tanda air, terdapat cetakan tidak kasat mata berupa
gambar siluet Rumah Limas yang akan memendar hijau
kekuningan di bawah sinar ultra violet;
i) pada sebelah kiri bawah gambar utama terdapat cetakan tidak
kasat mata berupa angka nominal ”10000” dalam kotak persegi
panjang yang akan memendar hijau kekuningan di bawah sinar
ultra violet;
j) pada sebelah kanan atas dan bawah gambar utama terdapat
angka nominal “10000” yang membentuk warna dasar;
k) mikroteks yaitu teks yang hanya dapat dibaca dengan bantuan
kaca pembesar terdapat pada:
1) sebelah . . .
-7-
1) sebelah kanan di atas atap Rumah Limas berupa angka
10000 yang membentuk daun-daun pepohonan;
2) sebelah kanan bawah gambar utama yang mengisi angka
nominal ”10000” berupa tulisan “BI”;
l) miniteks yaitu teks dengan ukuran kecil yang dapat dibaca tanpa
bantuan kaca pembesar terdapat:
1) di atas dan bawah tanda air berupa tulisan
“BANKINDONESIA” yang berbentuk garis melengkung
dengan ukuran teks yang berbeda;
2) pada sebelah kanan di atas tulisan “BANKINDONESIA”
dan di bawah angka nominal ”10000” berupa tulisan
“BANKINDONESIA” yang membentuk lingkaran.
c. Bahan
kertas uang memiliki spesifikasi sebagai berikut:
1. terbuat dari serat kapas;
2. ukuran panjang 145 mm dan lebar 65 mm;
3. warna ungu muda;
4. tidak memendar di bawah sinar ultra violet;
5. tanda air berupa gambar Pahlawan Nasional Sultan Mahmud
Badaruddin II dan electrotype berupa logo BI dan ornamen daerah
Palembang;
6. benang pengaman yang tertanam di dalam kertas uang yang memuat
tulisan ”BI10000” berulang-ulang dan akan memendar berwarna
merah di bawah sinar ultra violet.
2. Di antara . . .
-8-
2. Di antara Pasal 4 dan Pasal 5 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 4A yang
berbunyi sebagai berikut:
Pasal 4A
Ciri uang rupiah pecahan 10.000 (sepuluh ribu) sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 1, untuk tahun pencetakan mulai tahun 2010 adalah:
a. Warna
bagian muka dan bagian belakang uang dicetak dengan warna dominan
ungu kebiruan.
b. Gambar
1. bagian muka
a) gambar utama berupa gambar Pahlawan Nasional Sultan
Mahmud Badaruddin II dan dibawahnya dicantumkan tulisan
”SULTAN MAHMUD BADARUDDIN II”;
b) pada sebelah kiri gambar utama terdapat gambar ornamen daerah
Palembang berbentuk lingkaran berwarna ungu muda yang akan
memendar kuning di bawah sinar ultra violet;
c) pada sebelah kiri bawah gambar utama dengan arah horizontal
terdapat tulisan ”BANK INDONESIA” dan di bawah tulisan
tersebut terdapat tulisan ”SEPULUH RIBU RUPIAH”;
d) pada sebelah kiri bawah gambar utama di atas tulisan “BANK
INDONESIA” terdapat kode bagi tuna netra (blind code) berupa
1 (satu) buah lingkaran yang terasa kasar bila diraba;
e) pada sebelah kiri atas gambar utama dengan arah horizontal dan
pada sebelah kanan tanda air dengan arah vertikal, terdapat
angka nominal ”10000”;
f) pada sebelah kiri gambar utama, di bawah angka nominal
”10000” terdapat gambar saling isi (rectoverso) yang apabila
diterawangkan . . .
-9-
diterawangkan ke arah cahaya akan terlihat logo Bank Indonesia
secara utuh;
g) pada sebelah kanan atas gambar utama terdapat gambar
tersembunyi (latent image) tulisan BI dalam bingkai persegi
panjang berbentuk ornamen daerah Palembang yang dapat
dilihat dari sudut pandang tertentu;
h) pada sebelah kanan atas gambar utama terdapat gambar
Lambang Negara Kesatuan Republik Indonesia, yaitu Garuda
Pancasila;
i) pada sebelah kanan bawah terdapat logo Bank Indonesia
di dalam bingkai berbentuk ornamen daerah Palembang;
j) pada sebelah kanan bawah gambar utama terdapat angka tahun
pencetakan “2010” (angka 2010 akan berubah sesuai dengan
tahun pencetakan uang), tulisan “DEWAN GUBERNUR”, tanda
tangan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia beserta tulisan
“DEPUTI GUBERNUR SENIOR”, dan tanda tangan Deputi
Gubernur Bank Indonesia beserta tulisan “DEPUTI
GUBERNUR”;
k) pada sebelah kanan gambar utama terdapat rainbow printing
dalam bidang berbentuk segi lima yang akan berubah warna
apabila dilihat dari sudut pandang berbeda;
l) pada sebelah kanan gambar utama terdapat elemen desain
berbentuk lingkaran-lingkaran kecil berwarna merah dan
ditengahnya berwarna putih yang letaknya tersebar;
m) sebagai latar belakang dan pengisi bidang terdiri dari garis-garis
bergelombang, miring, dan rangkaian garis melengkung yang
membentuk ornamen daerah Palembang;
n) mikroteks . . .
-10-
n) mikroteks yaitu teks yang hanya dapat dibaca dengan bantuan
kaca pembesar terdapat pada:
1) sebelah kiri gambar utama yang mengisi angka nominal
”10000” berupa tulisan BI;
2) sebelah kiri gambar utama di atas dan bawah gambar saling
isi (rectoverso) berupa angka 10000 yang membentuk garis
vertikal;
3) sebelah kiri atas dan bawah gambar utama berupa tulisan
”BANKINDONESIA” sebagai latar belakang uang;
o) miniteks yaitu teks dengan ukuran kecil yang dapat dibaca tanpa
bantuan kaca pembesar terdapat di atas dan di bawah tanda air
berupa tulisan “BI10000” yang berbentuk lengkungan dengan
ukuran teks yang berbeda.
2. bagian belakang
a) gambar utama berupa gambar Rumah Limas, Palembang;
b) pada sebelah kanan atas gambar utama terdapat tulisan ”BANK
INDONESIA”;
c) di bawah gambar utama terdapat tulisan ”DENGAN RAHMAT
TUHAN YANG MAHA ESA, BANK INDONESIA
MENGELUARKAN UANG SEBAGAI ALAT
PEMBAYARAN YANG SAH DENGAN NILAI SEPULUH
RIBU RUPIAH”;
d) pada sebelah kanan bawah dengan arah horizontal dan pada
sebelah kiri atas dengan arah vertikal terdapat angka nominal
”10000”;
e) nomor seri yang terdiri dari 3 (tiga) huruf dan 6 (enam) angka
terletak pada sebelah kiri bawah uang yang dicetak dengan tinta
berwarna hitam yang akan memendar hijau di bawah sinar
ultra . . .
-11-
ultra violet dan pada sebelah kanan atas di bawah tulisan
”BANK INDONESIA” yang dicetak dengan tinta berwarna
merah yang akan memendar oranye di bawah sinar ultra violet;
f) pada sebelah kanan atas di bawah nomor seri terdapat gambar
saling isi (rectoverso) yang apabila diterawangkan ke arah
cahaya akan terlihat logo Bank Indonesia secara utuh dalam
posisi terbalik;
g) pada sebelah kanan bawah tepat di bawah angka nominal
“10000” terdapat tulisan “PERUM PERCETAKAN UANG RI
IMP” dan angka tahun pengeluaran atau tahun emisi “2005”;
h) di atas tanda air, terdapat cetakan tidak kasat mata berupa
gambar siluet Rumah Limas yang akan memendar hijau
kekuningan di bawah sinar ultra violet;
i) pada sebelah kiri bawah gambar utama terdapat cetakan tidak
kasat mata berupa angka nominal ”10000” dalam kotak persegi
panjang yang akan memendar hijau kekuningan di bawah sinar
ultra violet;
j) pada sebelah kiri gambar utama terdapat elemen desain
berbentuk lingkaran-lingkaran kecil berwarna merah dan
ditengahnya berwarna putih yang letaknya tersebar;
k) mikroteks yaitu teks yang hanya dapat dibaca dengan bantuan
kaca pembesar terdapat pada:
1) sebelah kanan di atas atap Rumah Limas berupa angka
10000 terdapat pada daun-daun pepohonan;
2) sebelah kanan bawah gambar utama yang mengisi angka
nominal ”10000” berupa tulisan “BI”;
l) miniteks yaitu teks dengan ukuran kecil yang dapat dibaca tanpa
bantuan kaca pembesar terdapat:
1) di atas . . .
-12-
1) di atas dan bawah tanda air berupa tulisan
“BANKINDONESIA” yang berbentuk garis melengkung
dengan ukuran teks yang berbeda;
2) pada sebelah kanan di atas tulisan “BANKINDONESIA”
dan di bawah angka nominal ”10000” berupa tulisan
“BANKINDONESIA” yang membentuk lingkaran.
c. Bahan
kertas uang memiliki spesifikasi sebagai berikut:
1. terbuat dari serat kapas;
2. ukuran panjang 145 mm dan lebar 65 mm;
3. warna ungu muda;
4. tidak memendar di bawah sinar ultra violet;
5. tanda air berupa gambar Pahlawan Nasional Sultan Mahmud
Badaruddin II dan electrotype berupa logo BI dan ornamen daerah
Palembang;
6. benang pengaman yang tertanam di dalam kertas uang yang memuat
tulisan ”BI10000” berulang-ulang dan akan memendar berwarna
merah di bawah sinar ultra violet.
3. Pasal 5A dihapus.
Pasal II
Uang kertas rupiah pecahan 10.000 (sepuluh ribu) yang dikeluarkan oleh Bank
Indonesia sebelum berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini, masih tetap berlaku
sepanjang belum dicabut dan ditarik dari peredaran.
Pasal . . .
-13-
Pasal III
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan
Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 3 Juni 2010
Pjs. GUBERNUR BANK INDONESIA,
DARMIN NASUTION
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 3 Juni 2010
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
PATRIALIS AKBAR
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2010 NOMOR 71
DPU
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 12/8/PBI/2010 </reg_id>
<reg_title> PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 7/40/PBI/2005 TENTANG PENGELUARAN DAN PENGEDARAN UANG KERTAS RUPIAH PECAHAN 10.000 (SEPULUH RIBU) TAHUN EMISI 2005 </reg_title>
<set_date> 3 Juni 2010 </set_date>
<effective_date> 3 Juni 2010 </effective_date>
<issued_date> 3 Juni 2010 </issued_date>
<changed_reg> '7/40/PBI/2005' </changed_reg>
<extension_of> '11/6/PBI/2009' </extension_of>
<related_reg> '6/UU/2009', '23/UU/1999', '6/14/PBI/2004', '2/PERPPU/2008', '9/10/PBI/2007' </related_reg>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 10/ 31 /PBI/2008
TENTANG
FASILITAS PEMBIAYAAN DARURAT BAGI BANK UMUM
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa dalam menjalankan kegiatan usahanya, Bank dapat mengalami
Kesulitan Likuiditas yang membahayakan kelangsungan usahanya dan
memiliki Dampak Sistemik sehingga berpotensi mengakibatkan krisis
yang membahayakan stabilitas sistem keuangan;
b. bahwa untuk mengatasi Kesulitan Likuiditas yang memiliki Dampak
Sistemik, Bank Indonesia dalam melaksanakan fungsinya sebagai
lender of last resort dapat memberikan fasilitas pembiayaan darurat
kepada Bank Umum dalam rangka pencegahan dan penanganan krisis;
c. bahwa sehubungan dengan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada
huruf a dan huruf b, dipandang perlu untuk mengatur ketentuan
mengenai fasilitas pembiayaan darurat bagi Bank umum dalam
Peraturan Bank Indonesia;
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan
Lembaran Republik Indonesia Negara Nomor 3472) sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790);
2. Undang…
- 2 -
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843)
sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 142, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 4901);
3. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2002 tentang Surat Utang Negara
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 110,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4236);
4. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 47,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4286);
5. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan
Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 5,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4355);
6. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867);
7. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 4 Tahun
2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 149, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4907);
MEMUTUSKAN…
- 3 -
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG FASILITAS
PEMBIAYAAN DARURAT BAGI BANK UMUM.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1.
Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 7
Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 1998 dan Bank Umum Syariah sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
2.
Bank Bermasalah adalah Bank yang mengalami kesulitan keuangan dalam bentuk
kesulitan likuiditas dan/atau kesulitan solvabilitas yang membahayakan
kelangsungan usahanya.
3.
Bank Gagal adalah Bank yang mengalami kesulitan keuangan dan membahayakan
kelangsungan usahanya serta dinyatakan tidak dapat lagi disehatkan oleh Bank
Indonesia.
4. Rekening Giro Rupiah adalah Rekening Giro dalam mata uang rupiah
sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Bank Indonesia mengenai Hubungan
Rekening Giro Antara Bank Indonesia dengan Pihak Ekstern
5. Kesulitan Likuiditas adalah kesulitan pendanaan jangka pendek yang dialami
Bank yang disebabkan oleh terjadinya arus dana masuk yang lebih kecil
dibandingkan dengan arus dana keluar (mismatch) yang diperkirakan dapat
mengakibatkan terjadinya saldo giro negatif.
6. Permasalahan…
- 4 -
6.
Permasalahan Solvabilitas adalah kesulitan permodalan yang dialami Bank
sehingga tidak memenuhi Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM) yang
ditetapkan oleh Bank Indonesia.
7. Krisis adalah suatu kondisi sistem keuangan yang sudah gagal secara efektif
menjalankan fungsi dan perannya dalam perekonomian nasional.
8. Dampak Sistemik adalah potensi penyebaran masalah (contagion effect) dari satu
Bank Bermasalah ke bank lainnya baik secara langsung maupun tidak langsung
sehingga mengakibatkan kesulitan likuiditas Bank-Bank lain dan berpotensi
menyebabkan hilangnya kepercayaan terhadap sistem perbankan dan mengancam
stabilitas sistem keuangan.
9.
Fasilitas Pembiayaan Darurat, yang selanjutnya disebut FPD, adalah fasilitas
pembiayaan dari Bank Indonesia yang diputuskan oleh Komite Stabilitas Sistem
Keuangan (KSSK), yang dijamin oleh Pemerintah kepada Bank yang mengalami
kesulitan likuiditas yang Memiliki Dampak Sistemik dan berpotensi Krisis namun
masih memenuhi tingkat solvabilitas.
10. Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) adalah komite yang terdiri dari
Menteri Keuangan sebagai Ketua merangkap Anggota dan Gubernur Bank
Indonesia sebagai Anggota yang berfungsi sebagai sarana pengambilan keputusan
pemberian FPD.
11. Surat Berharga Negara, yang selanjutnya disebut SBN, adalah surat utang negara
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Surat Utang Negara dan
surat berharga syariah negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
tentang Surat Berharga Syariah Negara.
12. Pasar Uang Antar Bank yang untuk selanjutnya disingkat PUAB adalah kegiatan
pinjam-meminjam dana antara satu Bank dengan Bank lainnya.
13. Pencegahan Krisis adalah tindakan untuk mencegah terjadinya Krisis.
14. Penanganan…
- 5 -
14. Penanganan Krisis adalah tindakan untuk mengatasi dan menyelesaikan Krisis
agar sistem keuangan kembali berfungsi secara normal.
BAB II
TUJUAN DAN RUANG LINGKUP
Pasal 2
FPD diberikan untuk mengatasi Kesulitan Likuiditas Bank yang memiliki Dampak
Sistemik baik dalam rangka Pencegahan Krisis maupun Penanganan Krisis;
BAB III
SUMBER PENDANAAN FPD
Pasal 3
(1) Sumber pendanaan FPD dalam rangka Pencegahan Krisis berasal dari Bank
Indonesia yang dijamin oleh Pemerintah.
(2) Sumber pendanaan FPD dalam rangka Penanganan Krisis berasal dari Pemerintah.
BAB IV
PEMBERIAN FPD
Bagian Kesatu
Persyaratan Pengajuan FPD
Pasal 4
(1) Bank wajib melaksanakan kegiatan usahanya dengan berpedoman pada prinsip
kehati-hatian yang berlaku, termasuk dalam menjaga kecukupan likuiditasnya.
(2) Dalam…
- 6 -
(2) Dalam hal mengalami Kesulitan Likuiditas, Bank wajib mencari sumber dana lain
untuk mengatasi Kesulitan Likuiditas dimaksud.
Pasal 5
(1) Dalam hal Bank tidak dapat memperoleh dana untuk mengatasi Kesulitan
Likuiditas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2), Bank dapat mengajukan
permohonan untuk memperoleh FPD dari Bank Indonesia dengan memenuhi
persyaratan sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini.
(2) Persyaratan pemberian FPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. Bank mengalami Kesulitan Likuiditas yang memiliki Dampak Sistemik;
b. Bank memiliki rasio kewajiban penyediaan modal minimum (KPMM) positif;
dan
c. Bank memiliki aset yang dapat dijadikan agunan.
Pasal 6
FPD hanya diberikan kepada Bank yang berbadan hukum Indonesia.
Bagian Kedua
Permohonan Pengajuan FPD
Pasal 7
(1) Permohonan FPD ditujukan kepada Gubernur Bank Indonesia dengan alamat Jalan
M.H. Thamrin No. 2 Jakarta Pusat dengan tembusan kepada Menteri Keuangan RI
dengan alamat Jalan Lapangan Banteng No. 2-4 Jakarta Pusat dan:
a. Direktorat Pengelolaan Moneter dengan alamat Jalan M.H. Thamrin No. 2
Jakarta Pusat;
b. Direktorat…
- 7 -
b. Direktorat Pengawasan Bank dengan alamat Jalan M.H. Thamrin No. 2 Jakarta
Pusat untuk Bank yang berkantor pusat di Jakarta;
c. Direktorat Perbankan Syariah dengan alamat Jalan M.H. Thamrin No. 2
Jakarta Pusat untuk Bank Umum Syariah yang berkantor pusat di Jakarta; atau
d. Kantor Bank Indonesia setempat bagi Bank umum konvensional dan Bank
Umum Syariah yang berkantor pusat di luar wilayah kerja Kantor Pusat Bank
Indonesia.
(2) Bank penerima FPD wajib menyampaikan action plan, realisasi action plan dan
laporan likuiditas harian sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini
kepada Bank Indonesia dengan alamat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
b, huruf c, dan huruf d.
Pasal 8
Permohonan FPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) harus dilengkapi dengan
dokumen-dokumen yang dipersyaratkan, yaitu:
a. Surat Pernyataan dari Pengurus Bank bahwa Bank telah mencari sumber dana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) sebelum mengajukan FPD;
b. Dokumen yang mendukung jumlah kebutuhan FPD;
c. Daftar aset yang akan dijadikan agunan beserta nilai taksiran sementara dan dokumen
asli bukti kepemilikan, yang akan diikuti dengan pemasangan Hak Tanggungan,
gadai, atau jaminan fidusia;
d. Surat Pernyataan Kesanggupan Pemegang Saham Pengendali dan atau Pengurus Bank
untuk menyerahkan tambahan aset yang akan diagunkan kepada Pemerintah dalam
hal Bank tidak dapat melunasi FPD yang dibuat dihadapan notaris;
e. Surat Pernyataan Kesanggupan dari Pemegang Saham Pengendali untuk menyerahkan
kewenangan RUPS;
f. Surat…
- 8 -
f. Surat Pernyataan Kesanggupan Pemegang Saham Pengendali dan Pengurus Bank
untuk membayar kembali FPD yang dibuat di hadapan notaris;
g. Surat Kesanggupan untuk menerbitkan Personal Guarantee dan/atau Corporate
Guarantee dari Pemegang Saham Pengendali yang dibuat di hadapan notaris, dan
dilampiri daftar aset; dan
h. Surat Pernyataan kesediaan Pemegang Saham Pengendali dan Pengurus Bank
Bermasalah untuk melakukan tindakan yang diperintahkan oleh BI yang dibuat di
hadapan notaris.
Bagian Ketiga
Mekanisme Pengambilan Keputusan
Pasal 9
(1) Dalam hal Bank Indonesia mengindikasikan bahwa Bank yang mengajukan
permohonan FPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) memiliki
Dampak Sistemik, Gubernur Bank Indonesia segera meminta kepada Menteri
Keuangan untuk menyelenggarakan rapat KSSK guna membahas permasalahan
Bank dan menetapkan langkah-langkah penyelesaian.
(2)
Indikasi mengenai adanya Bank yang memiliki Dampak Sistemik sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) didasarkan antara lain pada analisis kondisi keuangan
Bank dan dampaknya terhadap sistem perbankan.
Pasal 10
(1) Rapat KSSK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, memutuskan kondisi Bank
tersebut memiliki Dampak Sistemik atau tidak memiliki Dampak Sistemik.
(2) Dalam hal Bank diputuskan Memiliki Dampak Sistemik sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), KSSK memutuskan :
a. pemberian…
- 9 -
a. pemberian FPD;
b. penetapan pagu FPD;
c. jangka waktu;
d. suku bunga atau imbalan; dan
e. kriteria umum agunan FPD.
(3) Pemberian FPD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat diberikan
kepada Bank yang mengajukan permohonan FPD dan memenuhi kriteria
solvabilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf b.
(4) Dalam hal rapat KSSK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 memutuskan Bank
memiliki Dampak Sistemik namun tidak mengajukan permohonan FPD, atau
mengajukan permohonan FPD namun diputuskan bahwa Bank tidak Memiliki
Dampak Sistemik, Bank Indonesia menetapkan Bank dimaksud sebagai Bank
Gagal.
(5) Tindak lanjut penanganan terhadap Bank Gagal sebagaimana dimaksud pada ayat
(4) dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 11
(1) Penetapan pagu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) huruf b dengan
mempertimbangkan perkiraan kebutuhan likuiditas yang diajukan oleh Bank.
(2)
Jangka waktu FPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) huruf c paling
lama adalah 90 (sembilan puluh) hari kalender yang dapat diperpanjang 1 (satu)
kali untuk jangka waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari kalender.
BAB V…
- 10 -
BAB V
KRITERIA UMUM AGUNAN FPD
Pasal 12
(1) Bank yang mengajukan permohonan FPD wajib menyerahkan agunan pokok dan
agunan tambahan.
(2) Agunan pokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa aset Bank yang
tersedia dengan prioritas dari aset yang paling likuid dan berkualitas.
(3) Agunan tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa aset pemegang
saham pengendali.
(4) Bank menyampaikan nilai taksasi agunan pokok sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) yang penilaiannya terakhir kali dilakukan oleh penilai independen.
Pasal 13
(1) Aset yang dijadikan agunan oleh Bank Penerima FPD harus bebas dari sitaan,
tidak sedang digadaikan, atau dipertanggungkan secara apapun juga kepada pihak
lain, serta tidak tersangkut dalam suatu perkara atau sengketa.
(2) Aset yang dijadikan agunan oleh Bank penerima FPD tidak dapat dialihkan,
diperjualbelikan atau dijaminkan kembali oleh Bank penerima FPD.
(3) Bank penerima FPD wajib mengganti agunan FPD apabila tidak memenuhi
kondisi-kondisi sebagaimana diatur pada ayat (1) dan ayat (2).
Pasal 14
(1) Agunan dinilai oleh Penilai Independen yang ditetapkan oleh Bank Indonesia
berdasarkan daftar nominasi penilai independen yang disampaikan Bank penerima
FPD.
(2) Seluruh…
- 11 -
(2) Seluruh biaya yang timbul dalam rangka penilaian agunan menjadi beban Bank
penerima FPD.
Pasal 15
(1) Pengikatan agunan dilaksanakan oleh Bank Indonesia setelah dokumen agunan
lengkap.
(2) Pengikatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan mengacu pada
nilai yang ditetapkan oleh penilai independen sebagaimana dimaksud dalam Pasal
14 ayat (1).
(3) Penatausahaan bukti kepemilikan agunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan oleh Bank Indonesia.
(4) Bank dan/atau Pemegang Saham Pengendali Bank wajib memelihara fisik agunan
yang diserahkan dalam rangka FPD.
BAB VI
PERJANJIAN FPD DAN REALISASI PEMBERIAN FPD
Bagian Kesatu
Pencegahan Krisis
Pasal 16
Perjanjian pemberian FPD dilakukan secara notariil dan ditandatangani oleh pengurus
Bank penerima FPD dengan Bank Indonesia.
Pasal 17
(1) Pemberian FPD dilakukan setelah ditandatanganinya perjanjian FPD.
(2) Realisasi…
- 12 -
(2) Realisasi pemberian FPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan
mendebet rekening khusus FPD di Bank Indonesia dan mengkredit Rekening Giro
Rupiah Bank penerima FPD di Bank Indonesia.
(3) Realisasi pemberian FPD dilakukan sebesar kebutuhan Bank untuk memenuhi
kebutuhan Giro Wajib Minimum (GWM) yang berlaku.
Pasal 18
(1) FPD yang telah digunakan oleh Bank penerima FPD dikenakan bunga atau
imbalan sesuai suku bunga atau imbalan yang besarnya ditetapkan oleh KSSK.
(2) Suku bunga atau imbalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) nilainya sebesar BI
Rate ditambah dengan marjin tertentu.
(3) Bank Indonesia melakukan perhitungan bunga atau imbalan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) berdasarkan saldo akhir hari FPD.
(4) Pembebanan bunga atau imbalan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan
pada saat FPD jatuh tempo yang dibebankan ke Rekening Giro Rupiah Bank
penerima FPD di Bank Indonesia.
Pasal 19
(1) Bank Indonesia memperoleh jaminan secara tertulis dari Menteri Keuangan atas
nama Pemerintah atas FPD yang diberikan kepada Bank.
(2)
Jaminan pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa penggantian
dana FPD yang belum dilunasi oleh Bank kepada Bank Indonesia dalam hal:
a. Bank tidak melunasi FPD dalam jangka waktu yang ditetapkan KSSK; atau
b. Bank dinyatakan sebagai Bank Gagal sebelum berakhirnya jangka waktu FPD.
(3) Dalam hal Bank penerima FPD tidak melunasi FPD dan/atau dinyatakan sebagai
Bank Gagal sebagaimana dimaksud pada ayat (2), maka:
a. Pemerintah…
- 13 -
a. Pemerintah mengganti dana FPD yang belum dilunasi oleh Bank penerima
FPD kepada Bank Indonesia baik dalam bentuk tunai dan atau penerbitan
SBN;
b. Bank Indonesia menyerahkan piutang FPD dan agunannya kepada Menteri
Keuangan melalui Perjanjian Pengalihan Hak Atas Piutang beserta seluruh
dokumen yang telah dicek kelengkapannya oleh Bank Indonesia;
c. Dengan adanya pengalihan piutang sebagaimana dimaksud huruf b, maka
utang Bank Penerima FPD beralih dari utang kepada Bank Indonesia menjadi
utang kepada Pemerintah.
Bagian Kedua
Penanganan Krisis
Pasal 20
(1) Pemberian FPD dalam kondisi Krisis kepada Bank yang mengalami Kesulitan
Likuiditas dilakukan oleh Bank Indonesia yang pembiayaannya dari Pemerintah.
(2) Pemberian FPD dalam kondisi Krisis dituangkan dalam perjanjian antara Bank
dan Bank Indonesia yang bertindak untuk dan atas nama Pemerintah, yang
dilengkapi dengan:
a. daftar aset Bank dengan nilai transaksi sementara yang menjadi agunan FPD;
dan
b. rencana kerja Bank dalam menyelesaikan permasalahan yang dihadapi.
(3) Perjanjian pemberian FPD dilakukan secara notariil dan ditandatangani oleh
pengurus Bank penerima FPD dengan Bank Indonesia yang bertindak untuk dan
atas nama Pemerintah.
(4) Pencairan…
- 14 -
(4) Pencairan FPD dalam rangka penanganan Krisis dilakukan setelah Pemerintah
melakukan penerbitan SBN dan/atau dengan mendebet rekening Pemerintah di
Bank Indonesia.
BAB VII
BIAYA-BIAYA PEMBERIAN FPD
Pasal 21
Biaya-biaya yang timbul berkaitan dengan:
a. penilaian atas agunan yang dilakukan oleh Perusahaan Penilai Independen;
b. biaya pembuatan Perjanjian FPD berikut Pengikatan Agunan yang
dilakukan oleh Notaris atau Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT); dan
c. biaya-biaya lain yang terkait dengan pemberian FPD;
menjadi beban Bank penerima FPD.
BAB VIII
PELUNASAN FPD
Pasal 22
(1) Bank dapat melakukan pelunasan dan atau pengurangan baki debet FPD selama
jangka waktu pemberian FPD.
(2) Pelunasan dan atau pengurangan baki debet sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat dilakukan dengan mendebet Rekening Giro Rupiah Bank penerima FPD di
Bank Indonesia apabila saldo Rekening Giro Rupiah Bank penerima FPD di Bank
Indonesia telah melebihi ketentuan GWM.
Pasal 23…
- 15 -
Pasal 23
(1) Bank Indonesia mendebet Rekening Giro Rupiah Bank penerima FPD yang
bersangkutan dan mengkredit rekening khusus FPD Bank Indonesia pada saat FPD
jatuh tempo sebagai pelunasan FPD.
(2) Dalam hal saldo Rekening Giro Rupiah Bank penerima FPD yang bersangkutan di
Bank Indonesia tidak mencukupi untuk pelunasan FPD pada saat FPD jatuh
tempo, Gubernur Bank Indonesia meminta rapat KSSK membahas permasalahan
Bank antara lain mengenai kondisi dan prospek keuangan Bank, serta memutuskan
langkah-langkah yang diperlukan untuk mengatasinya.
(3) Langkah-langkah untuk mengatasi permasalahan Bank sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) adalah untuk memutuskan :
a. FPD tersebut dapat diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu paling lama
90 (sembilan puluh) hari kalender, apabila rasio KPMM Bank masih positif;
atau
b. FPD tidak diperpanjang apabila rasio KPMM bank negatif .
(4) Perpanjangan dan perubahan perjanjian FPD sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
huruf a didasarkan pada permohonan yang diajukan oleh Bank Penerima FPD.
Pasal 24
(1) Dalam hal terjadi kondisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (3) huruf b,
atau Bank Penerima FPD tidak mampu melunasi FPD pada saat jatuh tempo
setelah adanya perpanjangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (3) huruf
a maka Bank Indonesia menyatakan sebagai Bank Gagal.
(2) Gubernur Bank Indonesia meminta Rapat KSSK untuk memutuskan langkah-
langkah penanganan Bank Gagal sebagaimana yang diatur dalam peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 25…
- 16 -
Pasal 25
(1) Dalam hal Bank penerima FPD tidak mampu membayar FPD (default) dan FPD
dialihkan kepada Pemerintah, maka Pemerintah selaku kreditur dapat melakukan
eksekusi atas agunan.
(2) Apabila hasil eksekusi agunan lebih kecil dari nilai FPD dan kewajiban bunga
yang harus dilunasi oleh Bank Penerima FPD, maka kekurangan pelunasan FPD
merupakan utang Bank dan/atau Pemegang Saham Pengendali Bank kepada
Pemerintah.
BAB IX
PENGAWASAN
Pasal 26
Dengan diberikannya FPD kepada Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 dan
Pasal 20, Bank Indonesia berwenang:
a. mengambil alih hak dan wewenang Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) untuk
mengganti sebagian atau seluruh direksi dan komisaris Bank;
b. menempatkan pihak yang mewakili Bank Indonesia sebagai direksi dan/atau
komisaris Bank sampai dengan FPD dilunasi.
c. melaksanakan kewenangan lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Pasal 27
(1) Bank penerima FPD ditempatkan dalam status Bank Dalam Pengawasan Khusus.
(2) Status…
- 17 -
(2) Status Bank Dalam Pengawasan Khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berakhir apabila Bank penerima FPD telah menyelesaikan kewajiban pelunasan
FPD dan memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank
Indonesia yang berlaku.
Pasal 28
(1) Bank Penerima FPD wajib menyampaikan action plan kepada Bank Indonesia
dengan tembusan kepada Menteri Keuangan Republik Indonesia paling lambat 5
(lima) hari kerja setelah realisasi FPD untuk menyelesaikan masalah likuiditas
serta menyusun rencana pengembalian FPD yang diterima.
(2) Bank wajib menyampaikan laporan pelaksanaan action plan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) secara mingguan kepada Bank Indonesia dengan tembusan
kepada Menteri Keuangan.
(3) Bank penerima FPD wajib melaporkan kondisi likuiditasnya kepada Bank
Indonesia secara harian.
(4) Bank dianggap terlambat menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2) apabila Bank belum menyampaikan laporan sampai dengan
batas waktu penyampaian laporan.
(5) Bank dianggap tidak menyampaikan laporan apabila Bank tidak menyampaikan
laporan sampai dengan periode laporan berikutnya.
Pasal 29
(1) Bank penerima FPD dilarang mencairkan rekening simpanan pihak terkait kecuali
ditetapkan lain oleh KSSK.
(2) Bank penerima FPD dilarang membagikan dividen dalam bentuk apapun selama
kewajiban Bank atas FPD belum lunas.
(3) Pemegang…
- 18 -
(3) Pemegang Saham Pengendali Bank Penerima FPD dilarang mengalihkan
kepemilikan sahamnya kepada pihak lain tanpa seijin Bank Indonesia.
BAB X
LAPORAN KEPADA DPR
Pasal 30
Gubernur Bank Indonesia bersama-sama Menteri Keuangan menyampaikan dan
menjelaskan keputusan KSSK kepada Dewan Perwakilan Rakyat paling lambat 30 (tiga
puluh) hari kalender sejak Keputusan pemberian FPD.
BAB XI
SANKSI
Pasal 31
Dalam hal Bank tidak melunasi FPD dan/atau melakukan pelanggaran atas ketentuan
dalam Peraturan Bank Indonesia ini dan/atau berdasarkan pemeriksaan Bank Indonesia
diketahui adanya penyimpangan penggunaan FPD, maka Bank dikenakan sanksi
administratif sebagaimana diatur dalam Pasal 52 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor
10 Tahun 1998, antara lain berupa teguran tertulis, larangan untuk turut serta dalam
kegiatan kliring, pembekuan kegiatan usaha tertentu, dan/atau pemberhentian pengurus
Bank.
Pasal 32…
- 19 -
Pasal 32
Apabila Pengurus Bank, Pemegang Saham Pengendali dan pejabat eksekutif Bank
dengan sengaja tidak melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan
ketaatan Bank terhadap ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia ini, dan/atau
memberikan keterangan atau dokumen yang diwajibkan dalam Peraturan Bank Indonesia
ini secara tidak benar, selain dikenakan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31
dikenakan juga sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 Undang-undang Nomor 7
Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor
10 Tahun 1998.
BAB XII
PENUTUP
Pasal 33
Dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini maka Peraturan Bank Indonesia
Nomor 8/1/PBI/2006 tentang Fasilitas Pembiayaan Darurat dicabut dan dinyatakan tidak
berlaku.
Pasal 34
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Agar…
- 20 -
Agar setiap orang mengetahuinya memerintahkan pengundangan Peraturan Bank
Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 18 November 2008.
GUBERNUR BANK INDONESIA,
BOEDIONO
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 18 November 2008.
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA
ANDI MATTALATTA
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2008 NOMOR 178
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 10/ 31 /PBI/2008
TENTANG
FASILITAS PEMBIAYAAN DARURAT BAGI BANK UMUM
I. UMUM
Dalam menjalankan usahanya Bank menghadapi berbagai risiko antara lain
risiko likuiditas. Risiko likuiditas merupakan kesulitan pendanaan jangka pendek
yang timbul akibat ketidaksesuaian (mismatch) antara arus dana masuk (cash inflow)
dengan arus dana keluar (cash outflow). Kondisi tersebut dapat mengakibatkan
terjadinya saldo giro negatif Bank pada Bank Indonesia. Apabila tidak segera diatasi,
kesulitan likuiditas tersebut dapat menimbulkan masalah yang lebih besar bahkan
dapat menimbulkan kesulitan likuiditas bagi bank-bank lainnya.
Untuk menutup kesulitan likuiditas, pada dasarnya Bank pertama-tama harus
mengupayakan dana di pasar uang dengan menggunakan berbagai instrumen pasar
uang yang tersedia. Apabila Bank gagal memperoleh dana di pasar uang, maka Bank
Indonesia dalam fungsinya sebagai lender of last resort dapat membantu Bank untuk
mengatasi kesulitan pendanaan jangka pendek tersebut.
Kebijakan lender of last resort tersebut merupakan bagian dari jaring
pengaman keuangan (financial safety net) yang diperlukan dalam rangka memelihara
stabilitas sistem keuangan. Kerangka jaring pengaman keuangan yang komprehensif
memuat secara jelas mengenai peran masing-masing lembaga terkait dan mekanisme
koordinasi baik dalam pencegahan maupun penyelesaian krisis. Stabilitas sistem
keuangan tersebut mutlak dipelihara untuk stabilitas moneter dalam rangka
menunjang pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
Fasilitas…
- 2 -
Fasilitas lender of last resort yang diberikan bank sentral kepada bank, baik
untuk situasi normal maupun untuk penanganan krisis, secara umum dapat
dikategorikan kedalam beberapa jenis yakni:
1. Fasilitas Likuiditas Intrahari (FLI) untuk mengatasi kekurangan likuiditas
(liquidity mismatch) akibat kesenjangan antara arus dana masuk dan arus dana
keluar. Pemberian fasilitas ini kepada Bank ditujukan untuk memperlancar operasi
sistem pembayaran dengan didukung agunan likuid dan bernilai tinggi kepada
Bank Indonesia;
2. Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP) diberikan kepada Bank yang
mengalami kesulitan pendanaan jangka pendek. Pemberian FPJP harus didukung
dengan agunan yang berkualitas tinggi yang nilainya memadai;
3. Fasilitas Pembiayaan Darurat (FPD) kepada Bank yang mengalami kesulitan
likuiditas, tetapi masih memenuhi tingkat solvabilitas yang ditetapkan Bank
Indonesia, serta berdampak sistemik yang pemberiannya didasarkan pada
keputusan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK).
FLI dan FPJP merupakan fasilitas yang diberikan Bank Indonesia untuk
mengatasi kesulitan likuiditas dalam kondisi normal, sedangkan FPD merupakan
fasilitas untuk mengatasi dampak atau risiko sistemik dalam kondisi darurat untuk
mencegah dan mengatasi krisis. FPD yang diberikan dalam rangka pencegahan krisis
diberikan oleh Bank Indonesia dan dijamin oleh Pemerintah. Sedangkan FPD dalam
rangka penanganan krisis pendanaannya berasal dari Pemerintah yang diberikan
melalui Bank Indonesia. Oleh karena itu, sumber pendanaan dalam rangka
pencegahan dan penanganan krisis terkait dengan pemberian FPD menjadi beban
APBN melalui penerbitan SBN atau tunai oleh Pemerintah.
Untuk meyakinkan akuntabilitas dan transparansi, proses pengambilan
keputusan dalam penetapan dampak atau risiko sistemik dan pemberian FPD kepada
Bank dilakukan secara bersama (joint decision) oleh Menteri Keuangan dan Bank
Indonesia…
II. PASAL….
- 3 -
Indonesia melalui Komite Stabilitas Sistem Keuangan. Keputusan pemberian FPD
dilakukan berdasarkan penilaian atas potensi risiko sistemik yang dapat terjadi
terhadap stabilitas sistem keuangan dan dampak negatif terhadap perekonomian jika
FPD tersebut tidak diberikan kepada Bank.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Ayat (1)
Terkait dengan fungsi Bank Indonesia sebagai Lender of The Last Resort
maka pendanaan FPD terkait dengan kebijakan moneter Bank Indonesia.
Namun demikian apabila bank dinyatakan sebagai Bank Gagal, maka
Pemerintah mengganti dana yang sudah dikeluarkan Bank Indonesia
melalui penerbitan SBN atau tunai.
Ayat (2)
Untuk pendanaan dalam rangka penanganan Krisis bersumber dari APBN.
Pasal 4
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)…
- 4 -
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan sumber dana lain antara lain Pinjaman Antar Bank,
Fasilitas Likuiditas Intrahari (FLI), Repo SBI dan/atau SBN, dan Fasilitas
Pendanaan Jangka Pendek (FPJP) sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Pasal 5
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Huruf a
Dampak sistemik dapat dinilai dari beberapa aspek pokok antara lain
ancaman penurunan kepercayaan masyarakat terhadap sistem
perbankan, penyebaran masalah (contagion) dan kerugian ekonomis
(degree of loss) yang ditimbulkan. Faktor-faktor yang
dipertimbangkan dalam penetapan dampak sistemik adalah:
a. Faktor internal yakni kesulitan likuiditas yang dihadapi satu atau
lebih bank yang berdampak sistemik; dan/atau
b. Faktor eksternal antara lain namun tidak terbatas pada gangguan
pada sistem pembayaran, krisis keuangan global, krisis mata
uang (currency crisis), gangguan operasional akibat kegagalan
teknologi dan sistem informasi, dan/atau bencana alam yang
mengganggu stabilitas sistem keuangan.
Huruf b
Yang dimaksud dengan rasio KPMM adalah rasio KPMM posisi
terakhir pada saat permohonan FPD diajukan sesuai dengan
ketentuan yang berlaku.
Huruf c…
- 5 -
Huruf c
Pemberian FPD tidak harus didasarkan pada nilai taksasi agunan
yang diajukan oleh bank, mengingat FPD diberikan untuk mengatasi
dampak sistemik sehingga tidak dapat diperlakukan sebagai normal
lending. Namun demikian Bank wajib memberikan agunan sesuai
dengan kriteria yang ditetapkan dalam Peraturan Bank Indonesia ini.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Huruf a
Surat pernyataan dimaksud ditandatangani oleh Pengurus Bank yang
bertindak untuk dan atas nama Bank yang dibubuhi meterai sesuai
ketentuan yang berlaku.
Huruf b
Dokumen yang diperlukan untuk mendukung jumlah kebutuhan FPD antara
lain perkiraan kebutuhan pagu FPD, proyeksi arus dana (cash flow), laporan
keuangan terakhir berupa neraca dan laboran laba rugi, laporan maturity
profile 1 (satu) bulan terakhir.
Huruf c…
- 6 -
Huruf c
Daftar aset Bank Pemohon FPD yang akan dijadikan agunan FPD disertai
dengan harga taksiran sementara.Harga taksiran sementara tersebut antara
lain dapat diperoleh dari Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP)untuk aset berupa
tanah, nilai pasar terkini untuk aset berupa surat berharga.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)…
- 7 -
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Yang dimaksud dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku antara
lain Undang-undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin
Simpanan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2008, dan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2008 tentang
Jaring Pengaman Sistem Keuangan.
Pasal 11
Ayat (1)
Bank Indonesia memberikan masukan kepada KSSK setelah melakukan
analisis terhadap kebutuhan likuiditas Bank berdasarkan data-data yang
disampaikan oleh Bank dan data yang dimiliki oleh Bank Indonesia.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 12
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan agunan pokok adalah aset Bank yang tersedia
dengan prioritas dari aset yang paling likuid dan berkualitas paling kurang
namun tidak terbatas yaitu :
a. Surat…
- 8 -
a. Surat berharga yaitu surat berharga yang diterbitkan oleh Pemerintah
Republik Indonesia atau Bank Indonesia yang meliputi SBN, SBI dan
SBI Syariah;
b. Surat berharga yang diterbitkan oleh badan hukum lainnya dengan
prioritas yang berkualitas baik dan aktif diperdagangkan. Surat berharga
yang diagunkan tidak boleh berasal dari surat berharga yang diterbitkan
oleh pihak terkait dengan Bank atau pihak-pihak yang mengendalikan
dari Bank yang mengajukan permohonan FPD;
c. Aset Kredit dan Aktiva produktif lainnya yang berkolektibilitas Lancar;
d. Aktiva tetap Bank; dan/atau
e. Seluruh tagihan bank kepada pihak ketiga lainnya.
Ayat (3)
Pengikatan aset Pemegang Saham Pengendali menjadi agunan FPD
dilakukan dengan penerbitan Personal Guarantee dan/atau Corporate
Guarantee yang dibuat di hadapan notaris disertai dengan lampiran daftar
aset.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 13
Ayat (1)
Penyerahan aset yang akan dijadikan agunan FPD harus disertai dengan
keterangan dari Bank Bermasalah atau Pemegang Saham Pengendali
mengenai kondisi dan status dari setiap aset yang akan diagunkan tersebut.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)…
- 9 -
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 14
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan Penilai Independen adalah perusahaan penilai
yang:
a. tidak mempunyai keterkaitan dalam kepemilikan, kepengurusan dan
keuangan dengan Bank Bermasalah;
b. melakukan kegiatan penilaian berdasarkan Kode Etik Penilai Indonesia
dan ketentuan-ketentuan lain yang ditetapkan oleh Dewan Penilai
Indonesia; dan
c. memiliki izin usaha dari instansi berwenang untuk beroperasi sebagai
perusahaan penilai.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 15
Ayat (1)
Pengikatan agunan dilakukan dengan pemasangan Hak Tanggungan, gadai,
atau jaminan fidusia sesuai dengan jenis agunannya.
Penelitian atas kelengkapan dokumen aset yang akan menjadi agunan dapat
dilakukan oleh pihak ketiga atas biaya bank.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)…
- 10 -
Ayat (4)
Bank dan/atau Pemegang Saham Pengendali Bank Penerima FPD
memelihara agunan yang secara fisik tidak diserahkan kepada Bank
Indonesia, seperti tanah, bangunan dan inventaris kantor.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Penggantian dana FPD oleh pemerintah terdiri dari pokok dan bunga
FPD serta seluruh biaya yang timbul terkait FPD.
Huruf b
Penyerahan piutang dan agunan dari Bank Indonesia dilakukan segera
setelah Bank dinyatakan Bank Gagal dan disertai dengan penerbitan
SBN atau pendebetan rekening Pemerintah apabila dilakukan secara
tunai.
Ayat (3)…
- 11 -
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 20
Ayat (1)
Pemberian FPD dalam rangka penanganan Krisis merupakan utang
Bank kepada Pemerintah.
Ayat (2)
Huruf a
Pengikatan aset Bank dilakukan oleh Bank Indonesia yang bertindak
untuk dan atas nama Pemerintah setelah dokumen agunan lengkap.
Huruf b
Rencana kerja Bank harus disampaikan paling lambat 14 (empat
belas) hari kerja setelah pemberian FPD.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24…
- 12 -
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Huruf a
Pengambilalihan hak dan wewenang RUPS bersifat sementara sampai
dengan FPD dilunasi.
Huruf b
Penempatan pihak yang mewakili Bank Indonesia dapat berasal dari Bank
Indonesia dan atau pihak lainnya yang ditunjuk oleh Bank Indonesia yang
memiliki pengetahuan dan pengalaman di bidang keuangan, ekonomi,
hukum, dan industri.
Huruf c
Cukup jelas.
Pasal 27
Ayat (1)
Bank Indonesia melakukan Cease and Desist Order (CDO) kepada Bank,
termasuk melakukan pemeriksaan dan/atau menempatkan tenaga pengawas
terhadap Bank penerima FPD, dalam rangka pengawasan terhadap
operasional bank secara umum.
Ayat (2)…
- 13 -
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan Peraturan Bank Indonesia yang berlaku, antara lain
Peraturan Bank Indonesia yang mengatur mengenai Tindak Lanjut
Pengawasan dan Penetapan Status Bank.
Pasal 28
Ayat (1)
Action plan paling kurang memuat langkah-langkah Bank penerima FPD
untuk menyelesaikan permasalahan likuiditas dan rencana pengembalian
FPD.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32…
- 14 -
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2008
NOMOR 4926
DPNP/DPM
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 10/31/PBI/2008 </reg_id>
<reg_title> FASILITAS PEMBIAYAAN DARURAT BAGI BANK UMUM </reg_title>
<set_date> 18 November 2008 </set_date>
<effective_date> 18 November 2008 </effective_date>
<issued_date> 18 November 2008 </issued_date>
<replaced_reg> '8/1/PBI/2006' </replaced_reg>
<related_reg> '21/UU/2008', '17/UU/2003', '23/UU/1999', '2/Perppu/2008', '1/UU/2004', '4/PERPPU/2008', '7/UU/1992', '24/UU/2002', '10/UU/1998' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB XI' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 14/3/PBI/2012
TENTANG
PROGRAM ANTI PENCUCIAN UANG DAN
PENCEGAHAN PENDANAAN TERORISME BAGI
PENYELENGGARA JASA SISTEM PEMBAYARAN SELAIN BANK
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang: a. bahwa penyelenggaraan jasa sistem pembayaran
yang dilakukan oleh penyelenggara selain bank
telah menunjukkan peningkatan baik dari jumlah
penyelenggara, maupun jumlah dan nominal
transaksi;
b. bahwa untuk mencegah dimanfaatkannya kegiatan
penyelenggaraan jasa sistem pembayaran selain
bank untuk kegiatan pencucian uang dan
pendanaan terorisme perlu diterapkan program
anti pencucian uang dan pencegahan pendanaan
terorisme bagi penyelenggara jasa sistem
pembayaran selain bank;
c. bahwa program anti pencucian uang dan
pencegahan pendanaan terorisme bagi
penyelenggara jasa sistem pembayaran selain bank
perlu mengacu pada prinsip-prinsip umum yang
berlaku secara internasional;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c,
perlu menetapkan Peraturan Bank Indonesia
tentang Program Anti Pencucian Uang dan
Pencegahan Pendanaan Terorisme bagi
Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran Selain
Bank;
Mengingat ...
-2-
Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang
Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3843) sebagaimana telah diubah beberapa kali
terakhir dengan Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 6 Tahun 2009 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23
Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi
Undang-Undang (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4962);
2. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi
Undang-undang (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2003 Nomor 45, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4284);
3. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana
Pencucian Uang (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2010 Nomor 122, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5164);
4. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2011 tentang
Transfer Dana(Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2011 Nomor 39, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5204);
MEMUTUSKAN ...
-3-
M E M U T U S K A N:
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PROGRAM
ANTI PENCUCIAN UANG DAN PENCEGAHAN
PENDANAAN TERORISME BAGI PENYELENGGARA
JASA SISTEM PEMBAYARAN SELAIN BANK.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Yang dimaksud dalam Peraturan Bank Indonesia ini:
1. Bank adalah Bank sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 dan
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah.
2. Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran Selain Bank, yang
selanjutnya disebut Penyelenggara, adalah badan usaha berbadan
hukum Indonesia yang telah memperoleh izin dari Bank Indonesia
untuk menyelenggarakan kegiatan jasa sistem pembayaran.
3. Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu, yang selanjutnya
disebut APMK, adalah alat pembayaran sebagaimana dimaksud
dalam Peraturan Bank Indonesia yang mengatur mengenai alat
pembayaran dengan menggunakan kartu.
4. Uang Elektronik (Electronic Money), yang selanjutnya disebut Uang
Elektronik, adalah alat pembayaran sebagaimana dimaksud dalam
Peraturan Bank Indonesia yang mengatur mengenai uang
elektronik (electronic money).
5. Kegiatan Usaha Pengiriman Uang, yang selanjutnya disingkat
KUPU, adalah kegiatan usaha pengiriman uang atau transfer dana
sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Bank Indonesia yang
mengatur mengenai kegiatan usaha pengiriman uang atau transfer
dana.
6. Pengguna ...
-4-
6. Pengguna Jasa adalah pihak yang menggunakan jasa
Penyelenggara.
7. Pencucian Uang adalah pencucian uang sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai pencegahan dan
pemberantasan tindak pidana pencucian uang.
8. Pendanaan Terorisme adalah penggunaan harta kekayaan secara
langsung atau tidak langsung untuk kegiatan terorisme
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur
mengenai pemberantasan tindak pidana terorisme.
9. Customer Due Diligence, yang selanjutnya disingkat CDD, adalah
kegiatan berupa identifikasi, verifikasi, dan pemantauan yang
dilakukan Penyelenggara untuk memastikan bahwa transaksi
tersebut sesuai dengan profil Pengguna Jasa.
10. Enhanced Due Diligence, yang selanjutnya disingkat EDD, adalah
tindakan CDD lebih mendalam yang dilakukan Penyelenggara
pada saat berhubungan dengan Pengguna Jasa yang tergolong
berisiko tinggi termasuk Politically Exposed Person terhadap
kemungkinan pencucian uang dan pendanaan terorisme.
11. Beneficial Owner adalah setiap orang perorangan yang memiliki
dana, yang mengendalikan transaksi Pengguna Jasa, yang
memberikan kuasa atas terjadinya suatu transaksi dan/atau yang
melakukan pengendalian melalui badan hukum atau perjanjian.
12. Politically Exposed Person, yang selanjutnya disingkat PEP, adalah
orang yang mendapatkan kepercayaan untuk memiliki
kewenangan publik diantaranya adalah penyelenggara negara
sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan
yang mengatur mengenai penyelenggara negara, dan/atau orang
yang tercatat sebagai anggota partai politik yang memiliki
pengaruh terhadap kebijakan dan operasional partai politik, baik
yang berkewarganegaraan Indonesia maupun yang
berkewarganegaraan asing.
13. Transaksi Keuangan Mencurigakan adalah transaksi keuangan
mencurigakan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
yang ...
-5-
yang mengatur mengenai pencegahan dan pemberantasan tindak
pidana pencucian uang.
14. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, yang
selanjutnya disingkat PPATK, adalah PPATK sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai
pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang.
15. Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme, yang
selanjutnya disingkat APU dan PPT, adalah upaya pencegahan dan
pemberantasan tindak pidana pencucian uang dan pendanaan
terorisme.
BAB II
RUANG LINGKUP PENYELENGGARA SERTAPROGRAM APU DAN PPT
Pasal 2
(1) Penyelenggara wajib menerapkan program APU dan PPT.
(2) Penyelenggara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. penerbit dan/atau acquirer dalam kegiatan APMK;
b. penerbit dan/atau acquirer dalam kegiatan Uang Elektronik;
dan/atau
c. penyelenggara KUPU.
Pasal 3
(1) Penerapan program APU dan PPT sebagaimana dimaksud
padaPasal 2 ayat (1) paling kurang mencakup:
a.
b. kebijakan dan prosedur tertulis;
c. pengendalian internal; dan
d. sumber daya manusia.
(2) Dalam menerapkan program APU dan PPT sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Penyelenggara wajib berpedoman pada ketentuan
dalam Peraturan Bank Indonesia ini.
BAB ...
tanggung jawab Direksi dan pengawasan aktif Dewan
Komisaris;
-6-
BAB III
TANGGUNG JAWAB DIREKSI DAN
PENGAWASAN AKTIF DEWAN KOMISARIS
Pasal 4
Tanggung jawab Direksi Penyelenggarasebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 ayat (1) huruf a, paling kurang mencakup hal-hal sebagai
berikut:
a. menetapkan kebijakan dan prosedur tertulis penerapan program
APU dan PPT berdasarkan persetujuan Dewan Komisaris;
b. memastikan penerapan program APU dan PPT dilaksanakan
sesuai dengan kebijakan dan prosedur tertulis yang telah
ditetapkan;
c. memastikan kebijakan dan prosedur tertulis mengenai program
APU dan PPT sejalan dengan perubahan dan pengembangan
produk, jasa, teknologi, modus Pencucian Uang atau Pendanaan
Terorisme, serta ketentuan yang berlaku terkait dengan program
APU dan PPT;
d. memastikan penyampaian laporan Transaksi Keuangan
Mencurigakan, transaksi keuangan tunai, serta transaksi
keuangan dari dan ke luar negeri kepada PPATK sesuai dengan
peraturan perundang-undangan;
e. memastikan bahwa seluruh pegawai telah memperoleh
pengetahuan dan/atau pelatihan mengenai penerapan program
APU dan PPT; dan
f. memastikan pengkinian profil nasabah dan profil transaksi
nasabah.
Pasal 5
Pengawasan aktif Dewan Komisaris Penyelenggara sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a paling kurang mencakup hal-
hal sebagai berikut:
a. memberikan persetujuan atas kebijakan penerapan program APU
dan PPT; dan
b. mengawasi ...
-7-
b. mengawasi pelaksanaan tanggung jawab Direksi terhadap
penerapan program APU dan PPT.
BAB IV
KEBIJAKAN DAN PROSEDUR
Pasal 6
(1) Kebijakan dan prosedur tertulis sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 ayat (1) huruf b paling kurang mencakup:
a. pelaksanaan CDD dan EDD;
b. penatausahaan dokumen;
c. penetapan profil Pengguna Jasa dan pengkinian informasi
Pengguna Jasa;
d. penolakan dan penghentian hubungan usaha;
e. kebijakan dan prosedur transfer dana; dan
f. pelaporan kepada PPATK;
(2) Penyelenggara wajib menyampaikan kebijakan dan prosedur
tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan setiap
perubahannya kepada Bank Indonesia.
(3) Penyelenggara yang mempunyai cabang atau anak perusahaan
yang beroperasi di luar wilayah negara kesatuan Republik
Indonesia memastikan bahwa cabang atau anak perusahaan
tersebut paling kurang memenuhi persyaratan kebijakan dan
prosedur program APU dan PPT sebagaimana diatur dalam
Peraturan Bank Indonesia ini.
Bagian Pertama
Pelaksanaan CDD dan EDD
Paragraf 1
Umum
Pasal 7
(1) Penyelenggara wajib melaksanakan CDD atau EDD terhadap
Pengguna Jasa.
(2)Pengguna ...
-8-
(2) Pengguna Jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk
calon Pengguna Jasa.
(3) Kewajiban untuk melakukan CDD atau EDD sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dikecualikan untuk penyelenggaraan jasa
sistem pembayaran yang memiliki risiko rendah.
(4) Dalam melaksanakan CDD atau EDD sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Penyelenggara melakukan pendekatan berdasarkan
risiko (risk-based approach) dengan memperhatikan karakteristik
jasa sistem pembayaran yang dilakukan serta profil Pengguna
Jasa.
Paragraf 2
Pelaksanaan CDD
Pasal 8
Penyelenggara wajib melakukan CDD pada saat:
a. Penyelenggara melakukan hubungan usaha dengan Pengguna
Jasa atau calon Pengguna Jasa;
b.
terdapat keraguan mengenai kebenaran informasi identitas yang
diperoleh dari Pengguna Jasa atau calon Pengguna Jasa.
Pasal 9
(1) Dalam pelaksanaan CDD bagi Pengguna Jasa dan/atau calon
Pengguna Jasa perorangan, Penyelenggara wajib meminta
dokumen yang memuat informasi mengenai:
a.
identitas Pengguna Jasa yang paling kurang memuat:
1. nama lengkap termasuk alias, jika ada;
2. nomor dokumen identitas yang dibuktikan dengan
menunjukkan dokumen dimaksud;
3. alamat tempat tinggal yang tercantum pada kartu
identitas;
4. alamat tempat tinggal terkini termasuk nomor telepon
apabila ada;
5.
tempat dan tanggal lahir;
6. kewarganegaraan; dan
7.
jenis kelamin;
b. nilai ...
-9-
b. nilai dan tanggal transaksi; dan
c.
informasi lain yang memungkinkan Penyelenggara untuk
dapat mengetahui profil Pengguna Jasa, apabila diperlukan.
(2) Permintaan dokumen yang memuat informasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b dikecualikan untuk Pengguna
Jasa yang melakukan transaksi yang bersifat penerimaan.
Pasal 10
(1) Dalam pelaksanaan CDD bagi Pengguna Jasa dan/atau calon
Pengguna Jasa selain perorangan, Penyelenggara wajib meminta
dokumen yang memuat informasi mengenai:
a.
identitas Pengguna Jasa yang paling kurang memuat:
1. nama dan bentuk badan usaha Pengguna Jasa;
2. nomor izin usaha dari instansi berwenang;
3. alamat kedudukan Pengguna Jasa; dan
4. Nomor Pokok Wajib Pajak Pengguna Jasa.
b.
identitas perorangan yang bertindak untuk dan atas nama
Pengguna Jasa, dengan menggunakan dokumen-dokumen
sebagaimana disebutkan dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a.
c. surat kuasa atau dokumen hukum lainnya yang memberikan
kewenangan bagi perorangan sebagaimana dimaksud pada
huruf b guna bertindak untuk dan atas nama Pengguna Jasa;
d. nilai dan tanggal transaksi; dan
e.
informasi lain yang memungkinkan Penyelenggara untuk
dapat mengetahui profil Pengguna Jasa, apabila diperlukan.
(2) Permintaan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
d dikecualikan untuk Pengguna Jasa yang melakukan transaksi
yang bersifat penerimaan.
Paragraf 3
Pelaksanaan CDD oleh Pihak Ketiga
Pasal 11
(1) Penyelenggara dapat menggunakan hasil CDD yang telah
dilakukan oleh pihak ketiga terhadap Pengguna Jasa yang telah
menjadi nasabah atau konsumen pihak ketiga tersebut.
(2) Hasil ...
-10-
(2) Hasil CDD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat digunakan
oleh Penyelenggara apabila pihak ketiga:
a. memiliki prosedur CDD sesuai ketentuan yang berlaku;
b. memiliki kerjasama dengan Penyelenggara dalam bentuk
kesepakatan tertulis;
c. bersedia memenuhi permintaan informasi dan salinan
dokumen pendukung apabila sewaktu-waktu dibutuhkan
oleh Penyelenggara dalam rangka pelaksanaan program APU
dan PPT; dan
d. berkedudukan di negara yang telah menerapkan rekomendasi
Financial Action Task Force (FATF).
(3) Penyelenggara wajib melakukan identifikasi dan verifikasi atas
hasil CDD yang telah dilakukan oleh pihak ketiga sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
(4) Penyelenggara yang menggunakan hasil CDD dari pihak ketiga
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggung jawab untuk
melaksanakan penatausahaan dokumen sebagaimana dimaksud
pada Pasal 22.
Paragraf 4
Pelaksanaan EDD
Pasal 12
Penyelenggara wajib melakukan EDD terhadap Pengguna Jasa
dan/atau calon Pengguna Jasa yang:
a.
tergolong berisiko tinggi, termasuk PEP;
b. diduga melakukan kegiatan mencurigakan yang terkait dengan
tindak pidana pencucian uang atau pendanaan terorisme;
dan/atau
c. bertransaksi dalam mata uang rupiah dan/atau mata uang asing
yang nilainya paling sedikit atau setara dengan Rp100.000.000,00
(seratus juta rupiah).
Pasal ...
-11-
Pasal 13
(1) Dalam pelaksanaan EDD terhadap Pengguna Jasa dan/atau calon
Pengguna Jasa perorangan, Penyelenggara wajib meminta
dokumen yang memuat informasi mengenai:
a.
identitas Pengguna Jasa dan calon Pengguna Jasa yang
memuat:
1. nama lengkap termasuk alias jika ada;
2. nomor dokumen identitas yang dibuktikan dengan
menunjukkan dokumen dimaksud;
3. alamat tempat tinggal yang tercantum pada kartu
identitas;
4. alamat tempat tinggal terkini termasuk nomor telepon
apabila ada;
5.
tempat dan tanggal lahir;
6. kewarganegaraan; serta
7.
jenis kelamin;
b. nilai dan tanggal transaksi;
c. sumber dana;
d. maksud dan tujuan transaksi; serta
e.
informasi lain yang memungkinkan Penyelenggara untuk
dapat mengetahui profil Pengguna Jasa dan/atau calon
Pengguna Jasa, apabila diperlukan.
(2) Permintaan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
bsampai dengan huruf d dikecualikan untuk Pengguna Jasa yang
melakukan transaksi yang bersifat penerimaan.
(3) Selain meminta dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Penyelenggara wajib meneliti kewajaran transaksi yang dilakukan
Pengguna Jasa.
Pasal 14
(1) Dalam pelaksanaan EDD bagi Pengguna Jasa dan calon Pengguna
Jasa selain perorangan, Penyelenggara wajib meminta dokumen
yang memuat informasi mengenai:
a.identitas ...
-12-
a.
identitas PenggunaJasa dan calon Pengguna Jasa yang
memuat:
1. nama dan bentuk hukum Pengguna Jasa;
2. nomor izin usaha dari instansi berwenang;
3. alamat kedudukan Pengguna Jasa;
4.
b.
c.
tempat dan tanggal pendirian Pengguna Jasa; dan
5. Nomor Pokok Wajib Pajak Pengguna Jasa;
identitas pengurus Pengguna Jasa;
identitas perorangan yang bertindak untuk dan atas nama
Pengguna Jasa, dengan menggunakan dokumen-dokumen
sebagaimana disebutkan dalam Pasal 13 ayat (1) huruf a.
d. surat kuasa atau dokumen hukum lainnya yang memberikan
kewenangan bagi orang sebagaimana dimaksud pada huruf c
guna bertindak untuk dan atas nama Pengguna Jasa;
e. nilai dan tanggal transaksi;
f.
sumber dana;
g. maksud dan tujuan transaksi; dan
h.
informasi lain yang memungkinkan Penyelenggara untuk
dapat mengetahui profil Pengguna Jasa, jika diperlukan.
(2) Permintaan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
esampai dengan huruf g dikecualikan untuk Pengguna Jasa yang
melakukan transaksi yang bersifat penerimaan.
(3) Selain meminta dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Penyelenggara wajib meneliti kewajaran transaksi yang dilakukan
Pengguna Jasa.
Pasal 15
Pemberian jasa kepada Pengguna Jasa berisiko tinggi hanya dapat
dilakukan dengan persetujuan dari pejabat senior Penyelenggara.
Pasal 16
Dalam hal Penyelenggara melakukan transaksi dengan Pengguna Jasa
yang tergolong PEP atau berisiko tinggi, maka Direksi Penyelenggara
bertanggung jawab langsung atas penerapan program APU dan PPT
terhadap Pengguna Jasa tersebut.
Paragraf ...
-13-
Paragraf 5
Pelaksanaan Verifikasi Dokumen
Pasal 17
(1) Penyelenggara wajib meyakini kebenaran identitas Pengguna Jasa
dan/atau calon Pengguna Jasa.
(2) Penyelenggara wajib melakukan pertemuan langsung (face to face)
dengan calon Pengguna Jasa dan/atau Pengguna Jasa yang
pertama kali menggunakan jasa sistem pembayaran yang
diselenggarakan oleh Penyelenggara, guna meyakini kebenaran
identitas calon Pengguna Jasa dan/atau Pengguna Jasa tersebut.
Pasal 18
(1) Penyelenggara wajib meneliti kebenaran dan melakukan verifikasi
dokumen pendukung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, Pasal
10, Pasal 13 dan Pasal 14 berdasarkan dokumen resmi dan/atau
sumber informasi lainnya yang dapat dipercaya serta
memastikannya sebagai data terkini.
(2) Penyelenggara dapat melakukan wawancara dengan Pengguna
Jasa dan/atau calon Pengguna Jasa untuk meneliti dan meyakini
keabsahan dan kebenaran dokumen sebagaimana dimaksud pada
ayat (1).
(3) Dalam hal terdapat keraguan, Penyelenggara harus meminta
kepada Pengguna Jasadan/atau calon Pengguna Jasa untuk
memberikan lebih dari satu dokumen identitas yang dikeluarkan
oleh pihak yang berwenang, untuk memastikan kebenaran
identitas Pengguna Jasa.
(4) Penyelenggara wajib menyelesaikan proses verifikasi identitas
Pengguna Jasadan/atau calon Pengguna Jasa sebelum
menyelenggarakanjasa sistem pembayaran kepada Pengguna Jasa.
Paragraf ...
-14-
Paragraf 6
Pemantauan Transaksi Pengguna Jasa
Pasal 19
(1) Penyelenggara wajib melakukan pemantauan secara
berkesinambungan untuk mengidentifikasi kesesuaian antara
transaksi Pengguna Jasa dengan profil Pengguna Jasa.
(2) Penyelenggara wajib melakukan analisis terhadap seluruh
transaksi yang tidak sesuai dengan profil Pengguna Jasa.
(3) Analisis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus
memperhatikan transaksi yang bersifat kompleks, yang bernilai
besar dan diluar kebiasaan, atau yang tidak memiliki kepentingan
ekonomi.
Paragraf 7
Beneficial Owner
Pasal 20
(1) Penyelenggara wajib memastikan apakah Pengguna Jasa atau
calon Pengguna Jasa bertindak mewakili Beneficial Owner untuk
melakukan hubungan usaha dengan Penyelenggara.
(2) Penyelenggara wajib melakukan seluruh prosedur CDD atau EDD
terhadap Beneficial Owner sebagaimana dilakukan terhadap
Pengguna Jasa atau calon Pengguna Jasa.
(3) Dalam pelaksanaan CDD atau EDD bagi Beneficial Owner
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Penyelenggara wajib
meminta dokumen identitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9
ayat (1) huruf a atau Pasal 13 ayat (1) huruf a dari Beneficial
Owner.
(4) Pelaksanaan verifikasi terhadap kebenaran informasi Beneficial
Owner dilakukan sesuai dengan ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 17 dan Pasal 18.
Pasal 21
Kewajiban penyampaian dokumen identitas dan pelaksanaan verifikasi
terhadap kebenaran informasi Beneficial Owner dalam rangka
pelaksanaan ...
-15-
pelaksanaan CDD atau EDD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20
tidak berlaku bagi Beneficial Owner yang mewakili:
a. lembaga negara/pemerintah; atau
b. perusahaan yang terdaftar di bursa efek.
Bagian Kedua
Penatausahaan Dokumen
Pasal 22
(1) Penyelenggara wajib menatausahakan:
a. dokumen yang terkait dengan informasi Pengguna Jasa, calon
Pengguna Jasa dan/atau Beneficial Owner dengan jangka
waktu paling singkat 5 (lima) tahun sejak berakhirnya
transaksi dan/atau pemberian jasa kepada Pengguna Jasa;
b. dokumen keuangan yang terkait Pengguna Jasa dengan
jangka waktu sebagaimana diatur dalam Undang-Undang
yang mengatur mengenai dokumen perusahaan.
(2) Dalam hal terdapat transaksi yang memenuhi kriteria
sebagaimana dimaksud pada Pasal 19 ayat (2) dan ayat (3),
Penyelenggara wajib menatausahakan secara khusus data
dan/atau dokumen transaksi dimaksud untuk jangka waktu 5
(lima) tahun sejak transaksi dinyatakan sebagai transaksi yang
memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2)
dan ayat (3).
Pasal 23
Penatausahaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 dapat
dilakukan lebih lama jika terkait kasus tertentu dan diminta oleh
otoritas yang berwenang seperti Bank Indonesia atau PPATK.
Bagian Ketiga
Penetapan Profil dan Pengkinian Informasi Pengguna Jasa
Pasal 24
(1) Penyelenggara wajib menetapkan profil Pengguna Jasa dalam
mengimplementasikan CDD dan EDD.
(2) Profil ...
-16-
(2) Profil Pengguna Jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
didasarkan atas informasi yang cukup mengenai Pengguna Jasa.
Pasal 25
(1) Penyelenggara wajib melakukan pengkinian informasi Pengguna
Jasa.
(2) Pengkinian informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan terhadap seluruh dokumen, data dan informasi yang
dikumpulkan dalam rangka CDD dan/atau EDD.
Bagian Keempat
Penolakan dan Penghentian Hubungan Usaha
Pasal 26
Penyelenggara wajib menolak menyelenggarakan jasa kepada calon
Pengguna Jasa yang:
a.
b.
tidak memiliki dokumen identitas yang sah;
tidak dapat menunjukkan identitas yang sah dari Beneficial
Owner-nya;
c.
tidak dapat menyediakan informasi yang cukup untuk
penyusunan profil Pengguna Jasa; atau
d. diduga menggunakan nama fiktif atau tidak bersedia
menginformasikan nama (anonim).
Pasal 27
Penyelenggara wajib memutuskan hubungan usaha dengan Pengguna
Jasa yang tidak memenuhi persyaratan terkait penerapan CDD atau
EDD.
Bagian Kelima
Kebijakan dan Prosedur Transfer Dana
Pasal 28
Dalam melakukan kegiatan transfer dana, Penyelenggara wajib
memperoleh dan memastikan kelengkapan informasi identitas
Pengguna Jasa pengirim.
Bagian ...
-17-
Bagian Keenam
Pelaporan Kepada PPATK
Pasal 29
(1) Penyelenggara wajib menyampaikan laporan Transaksi Keuangan
Mencurigakan, laporan transaksi keuangan tunai, laporan
keuangan transfer dana dari dan ke luar negeri sebagaimana
diatur dalam peraturan perundang-undangan mengenai
pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang.
(2) Kewajiban Penyelenggara untuk melaporkan Transaksi Keuangan
Mencurigakan juga berlaku untuk transaksi yang diduga terkait
dengan kegiatan terorisme atau Pendanaan Terorisme;
(3) Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dengan berpedoman pada ketentuan yang dikeluarkan
oleh PPATK.
BAB V
PENGENDALIAN INTERNAL
Pasal 30
(1) Penyelenggara wajib menyusun dan menerapkan pengendalian
internal.
(2) Pengendalian internal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara
lain dilakukan dengan penetapan kebijakan direksi mengenai:
a. adanya batas wewenang dan tanggung jawab satuan kerja
terkait dengan penerapan program APU dan PPT; dan
b. pelaksanaan pemeriksaan terhadap efektifitas pelaksanaan
program APU dan PPT oleh fungsi audit intern.
(3) Pelaksana fungsi audit intern Penyelenggara melaporkan kepada
PPATK setiap Transaksi Keuangan Mencurigakan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 29 yang ditemukan saat melakukan audit
dan belum dilaporkan oleh Penyelenggara.
BAB ...
-18-
BAB VI
SUMBER DAYA MANUSIA
Pasal 31
Untuk mencegah digunakannya Penyelenggara sebagai media atau
tujuan Pencucian Uang atau Pendanaan Terorisme yang melibatkan
pihak intern, Penyelenggara wajib melakukan prosedur penyaringan
(screening) dalam rangka penerimaan pegawai baru.
Pasal 32
Penyelenggara wajib menyelenggarakan pelatihan yang
berkesinambungan tentang:
a.
b.
implementasi peraturan perundang-undangan yang terkait dengan
program APU dan PPT;
teknik, metode dan tipologi Pencucian Uang atau Pendanaan
Terorisme; dan
c. kebijakan dan prosedur penerapan program APU dan PPT serta
peran dan tanggung jawab pegawai dalam memberantas Pencucian
Uang dan Pendanaan Terorisme.
Pasal 33
(1) Penyelenggara wajib membentuk unit kerja khusus dan/atau
menunjuk pejabat Penyelenggara yang bertanggungjawab atas
penerapan program APU dan PPT.
(2) Unit kerja khusus dan/atau pejabat sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) bertanggung jawab kepada direksi.
(3) Unit kerja khusus dan/atau pejabat sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) harus memiliki kemampuan yang memadai dan memiliki
kewenangan untuk mengakses seluruh data Pengguna Jasa dan
informasi lainnya yang terkait.
(4) Dalam hal Penyelenggara tidak dapat membentuk unit kerja
khusus dan/atau menunjuk pejabat Penyelenggara yang
bertanggung jawab atas penerapan program APU dan PPT
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), fungsi dimaksud
dilaksanakan oleh salah satu anggota direksi.
BAB ...
-19-
BAB VII
LARANGAN MELAKUKAN PEMBOCORAN RAHASIA
(TIPPING OFF)
Pasal 34
(1) Komisaris, Direksi, dan/atau pegawai Penyelenggara, dilarang
memberitahukan kepada Pengguna Jasa atau pihak lain, baik
secara langsung maupun tidak langsung, dengan cara apapun
mengenai laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan yang sedang
disusun atau telah disampaikan kepada PPATK, dengan
memperhatikan peraturan perundang-undangan yang terkait.
(2) Ketentuan mengenai larangan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) tidak berlaku untuk pemberian informasi kepada Bank
Indonesia.
BAB VIII
PENGAWASAN
Pasal 35
Bank Indonesia melakukan pengawasan terhadap penerapan program
APU dan PPT oleh Penyelenggara.
BAB IX
SANKSI
Pasal 36
(1) Penyelenggara yang terlambat menyampaikan laporan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 dikenakan sanksi
administratif berupa kewajiban membayar sebesar Rp50.000,00
(lima puluh ribu rupiah) per hari keterlambatan per laporan.
(2) Penyelenggara yang tidak menyampaikan laporan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dalam waktu 30 (tiga puluh) hari sejak
batas akhir waktu penyampaian laporan dikenakan sanksi berupa
berupa teguran tertulis dan kewajiban membayar sebesar
Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah).
Pasal ...
-20-
Pasal 37
Penyelenggara yang tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10,
Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 17, Pasal 18, Pasal 19,
Pasal 20, Pasal 22, Pasal 24, Pasal 25, Pasal 26, Pasal 27, Pasal 28,
Pasal 29, Pasal 30, Pasal 31, Pasal 32, Pasal 33 dan Pasal 39 dapat
dikenakan sanksi administratif berupa:
a.
teguran tertulis;
b. penghentian sementara seluruh atau sebagian kegiatan usaha
Penyelenggara;
c. pembatalan izin; dan/atau
d. pencabutan izin.
Pasal 38
Bank Indonesia dapat mencabut izin usaha Penyelenggara atas dasar
rekomendasi PPATK.
BAB X
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 39
Penyelenggara yang telah memperoleh izin dari Bank Indonesia
sebelum berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini wajib
menyampaikan dan menerapkan kebijakan dan prosedur tertulis
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) paling lama 3 (tiga)
bulan sejak berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini.
BAB XI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 40
Ketentuan lebih lanjut mengenai Program Anti Pencucian Uang dan
Pencegahan Pendanaan Terorisme bagi Penyelenggara Jasa Sistem
Pembayaran Selain Bank diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal ...
-21-
Pasal 41
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 8 Juni 2013.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 29 Maret 2012
GUBERNUR BANK INDONESIA,
DARMIN NASUTION
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 29 Maret 2012
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
AMIR SYAMSUDDIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2012 NOMOR 86
DASP
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 14/ 3 /PBI/2012
TENTANG
PROGRAM ANTI PENCUCIAN UANG DAN PENCEGAHAN PENDANAAN
TERORISME BAGI PENYELENGGARA JASA SISTEM PEMBAYARAN
SELAIN BANK
I. UMUM
Penerapan program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan
Pendanaan Terorisme (APU dan PPT) bagi penyelenggara jasa sistem
pembayaran bukanlah hal baru. Jika penyelenggara jasa sistem
pembayaran itu berasal dari bank umum maka sepenuhnya tunduk
pada peraturan Bank Indonesia yang mengatur mengenai APU dan PPT
bagi bank umum. Sementara itu, jika penyelenggaranya dari Bank
Perkreditan Rakyat maka sepenuhnya tunduk pada peraturan Bank
Indonesia yang mengatur APU dan PPT bagi Bank Perkreditan Rakyat.
Pengaturan APU dan PPT bagi Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran
Selain Bank ini diperuntukkan bagi penyelenggara jasa sistem
pembayaran yang berasal dari bukan bank, baik bukan sebagai bank
umum maupun bukan sebagai Bank Perkreditan Rakyat. Sebagaimana
dalam prinsip non diskriminatif yang lazim dianut dalam sistem
pembayaran, maka tidak ada pembeda dalam penerapan APU dan PPT
bagi siapapun penyelenggara jasa sistem pembayaran baik dari bank
maupun dari selain bank.
Dalam penyelenggaraan jasa sistem pembayaran yang esensinya
mengandung kegiatan perpindahan dana dan kegiatan pembayaran, dua
kegiatan tersebut sangat berpotensi untuk dimanfaatkan dalam
kegiatan Pencucian Uang dan pemanfaatannya dalam Pendanaan
Terorisme. Semakin pesat kegiatan sistem pembayaran dan makin
banyaknya pihak selain bank yang terlibat sebagai penyelenggara jasa
sistem pembayaran, maka makin mengukuhkan keinginan untuk
mengatur ...
-2-
mengatur dan meningkatkan peran dan kerjasama para penyelenggara
dalam penegakan hukum untuk menjalankan program APU dan PPT.
Untuk itu, pencegahan dari awal melalui pengenalan yang mendalam
tentang pengguna jasa sistem pembayaran sangatlah signifikan
dilakukan. Pemenuhan sejumlah persyaratan oleh pengguna jasa
sebelum dilakukannya suatu transaksi dan pemenuhan sejumlah
langkah yang harus dilakukan oleh penyelenggara sangat penting
untuk dipatuhi guna memitigasi risiko hukum, risiko operasional, dan
risiko reputasi. Para Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran Selain
Bank seperti penerbit atau acquirer dalam penyelenggaraan Alat
Pembayaran Menggunakan Kartu (APMK) atau Uang Elektronik,
dan/atau penyelenggara Kegiatan Usaha Pengiriman Uang atau
transfer dana, memegang peran penting untuk melakukan proses
tersebut.
Penerapan program APU dan PPT bagi penyelenggara jasa sistem
pembayaran mengacu pada standar internasional pencegahan dan
pemberantasan pencucian uang dan pendanaan terorisme dari
Financial Action Task Force(FATF) on Money Laundering sebagaimana
dalam Recommendation/Special Recommendation 40+9 FATF.
Rekomendasi tersebut juga menjadi acuan yang digunakan oleh
masyarakat internasional dalam melakukan penilaian terhadap
kepatuhan suatu negara terhadap pelaksanaan program anti pencucian
uang dan pencegahan pendanaan terorisme.
Peran Bank Indonesia sebagai Lembaga Pengawas dan Pengatur
(LPP) sebagaimana dimaksud dalam UU No. 8 Tahun 2010 tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU PP
TPPU), yakni untuk mengeluarkan aturan, melakukan pengawasan
dan/atau mengenakan sanksi atas pelanggaran ketentuan APU dan
PPT mempunyai arti penting pula dalam menegakkan program APU dan
PPT tersebut. Penerbitan ketentuan dalam peraturan Bank Indonesia
ini merupakan salah satu dari peran Bank Indonesia sebagai LPP.
Peraturan Bank Indonesia ini antara lain memuat batasan
pengertian dari para penyelenggara, cakupan program APU dan PPT,
pelaksanaan Customer Due Diligence (CDD) dan Enhanced Due
Diligence ...
-3-
Diligence (EDD), persyaratan yang harus dipenuhi dan peran yang
harus dilakukan oleh pengurus dari penyelenggara, kewajiban
pelaporan, termasuk pengenaan sanksi administratif jika tidak
memenuhi kewajiban. Kegiatan untuk melakukan identifikasi, verifikasi
dan pemantauan terhadap dokumen dan kegiatan pengguna jasa
menjadi salah satu kegiatan utama yang harus dilakukan oleh
penyelenggara, terlebih jika pengguna jasa termasuk pihak yang
mempunyai risiko tinggi.
Pengaturan dalam peraturan Bank Indonesia ini utamanya
diperuntukkan bagi Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran Selain
Bank dalam kegiatan Alat Pembayaran Menggunakan Kartu, Uang
Elektronik dan/atau penyelenggaraan Kegiatan Usaha Pengiriman
Uang atau kegiatan transfer dana sebagaimana dimaksud dalam UU PP
TPPU. Perkembangan produk jasa sistem pembayaran di kemudian hari
sangat berpotensi untuk terus berkembang. Apabila di kemudian hari
otoritas di bidang APU dan PPT, mengeluarkan kebijakan dan
mengakui adanya penyelenggara baru di bidang jasa sistem
pembayaran, maka program APU dan PPT yang telah diatur dalam
peraturan Bank Indonesia ini dimungkinkan untuk diterapkan kepada
penyelenggara baru tersebut.
Dengan penerapan program APU dan PPT yang efektif kepada
para penyelenggara jasa sistem pembayaran, diharapkan para
penyelenggara dapat beroperasi secara sehat sehingga pada akhirnya
secara keseluruhan dapat meningkatkan keamanan dan efisiensi dalam
memelihara sistem pembayaran.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat ...
-4-
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “penerbit dan/atau acquirer
dalam kegiatan APMK” adalah penerbit dan/atau
acquirer sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai APMK.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “penerbit dan/atau acquirer
dalam kegiatan Uang Elektronik” adalah penerbit
dan/atau acquirersebagaimana diatur dalam
Peraturan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
uang elektronik.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “penyelenggara KUPU”
adalah Penyelenggara yang melakukan Kegiatan
Usaha Pengiriman Uang atau transfer dana
sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai KUPU atau
transfer dana.
Penyelenggara APMK dan Uang Elektronik selain penerbit
dan/atau acquirerharus mendukung penerapan program
APU dan PPT yang dilakukan oleh penerbit dan/atau
acquirer. Dukungan terhadap program APU dan PPT oleh
penyelenggara selain penerbit dan/atau acquirerantara lain
dilakukan dengan menyediakan data yang diperlukan
untuk penerapan program APU dan PPT.
Pasal 3
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “Direksi” adalah:
a. bagi Penyelenggara berbentuk badan hukum
Perseroan Terbatas adalah direksi sebagaimana
dimaksud ...
-5-
dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur
mengenai Perseroan Terbatas;
b. bagi Penyelenggara berbentuk badan hukum
Perusahaan Daerah adalah direksi sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur
mengenai Perusahaan Daerah;
c. bagi Penyelenggara berbentuk badan hukum
Koperasi adalah pengurus sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai
Perkoperasian;
d. bagi Penyelenggara berbentuk badan hukum
Perusahaan Umum adalah direksi sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur
mengenai Badan Usaha Milik Negara.
Yang dimaksud dengan “Dewan Komisaris” adalah:
a. bagi Penyelenggara berbentuk badan hukum
Perseroan Terbatas adalah komisaris sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur
mengenai Perseroan Terbatas;
b. bagi Penyelenggara berbentuk badan hukum
Perusahaan Daerah adalah komisaris
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
yang mengatur mengenai Perusahaan Daerah;
c. bagi Penyelenggara berbentuk badan hukum
Koperasi adalah pengawas sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur
mengenaiPerkoperasian;
d. bagi Penyelenggara berbentuk badan hukum
Perusahaan Umum adalah dewan pengawas
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
yang mengatur mengenai Badan Usaha Milik
Negara.
Huruf ...
-6-
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Perubahan kebijakan dan prosedur tertulis yang wajib
disampaikan kepada Bank Indonesia adalah perubahan
yang signifikan terhadap kebijakan dan prosedur APU dan
PPT.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 7
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “calon Pengguna Jasa” adalah
pihak yang menunjukkan maksud untuk menggunakan
jasa Penyelenggara.
Ayat ...
-7-
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “penyelenggaraan jasa sistem
pembayaran dengan risiko rendah” adalah
penyelenggaraan jasa sistem pembayaran yang memiliki
potensi penyalahgunaan yang rendah, antara lain karena
cakupan penggunaan dan nilainya terbatas. Cakupan
penggunaan yang terbatas dapat terlihat dari fungsi
instrumen yang hanya dapat digunakan untuk melakukan
fungsi pembayaran. Nilai yang terbatas dapat terlihat dari
adanya batasan nilai maksimum nominal yang relatif
rendah pada suatu instrumen pembayaran.
Contoh jasa sistem pembayaran dengan risiko rendah
antara lain adalah uang elektronik dengan nilai paling
banyak Rp1.000.000,- (satu juta rupiah) dan tidak dapat
digunakan untuk melakukan transfer dana.
Ayat (4)
Pendekatan berdasarkan risiko dilakukan dengan
berpedoman pada ketentuan PPATK antara lain dengan
mengelompokkan Pengguna Jasa berdasarkan tingkat
risiko terhadap kemungkinan terjadinya pencucian uang
atau pendanaan terorisme berdasarkan tingkat risiko
rendah, menengah dan tinggi. Selain pendekatan
berdasarkan risiko, Penyelenggara juga harus
memperhatikan karakteristik jasa system pembayaran
seperti misalnya nilai, volume dan pengguna jasa.
Aspek-aspek yang dapat dipertimbangkan oleh
Penyelenggara dalam menetapkan kebijakan dan prosedur
tertulis untuk pelaksanaan CDD dan EDD, antara lain
jumlah dan nilai transaksi profil Pengguna Jasa
(perorangan, perusahaan, atau Beneficial Owner), kegiatan
usaha, faktor geografis, frekuensi dan nilai transaksi
Pengguna Jasa.
Pasal ...
-8-
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan Pengguna Jasa perorangan adalah
pengguna jasa dari orang perseorangan atau individu
(natural person) selain badan usaha atau badan hukum.
Huruf a
Yang dimaksud dengan dokumen identitas Pengguna
Jasa antara lain adalah kartu tanda penduduk, surat
izin mengemudi, paspor, atau dokumen identitas lain
yang memuat foto Pengguna Jasa.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “transaksi yang bersifat
penerimaan” adalah transaksi dimana Pengguna Jasa
merupakan pihak penerima dalam transaksi tersebut,
antara lain penerimaan transaksi pengiriman uang.
Pasal 10
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan Pengguna Jasa selain perseorangan
antara lain adalah Pengguna Jasa dari lembaga, badan
usaha atau badan hukum (legal person).
Huruf a
Dokumen yang memuat informasi nama dan bentuk
badan usaha Pengguna Jasa antara lain berupa akta
pendirian atau anggaran dasar Pengguna Jasa.
Untuk Pengguna Jasa berupa lembaga
pemerintah/negara ...
-9-
pemerintah/negara maka dokumen yang
disampaikan cukup memuat keterangan nama dan
alamat kedudukan lembaga pemerintah/negara
tersebut.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Dokumen hukum lainnya dapat berupa anggaran
dasar atau ketentuan internal Pengguna Jasa yang
memberikan dasar kewenangan untuk mewakili
Pengguna Jasa.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “transaksi yang bersifat
penerimaan” adalah transaksi dimana Pengguna Jasa
merupakan pihak penerima dalam transaksi tersebut,
antara lain penerimaan transaksi pengiriman uang.
Pasal 11
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “pihak ketiga” adalah pihak yang
merupakan pihak pelapor sebagaimana dimaksud dalam
peraturan perundang-undangan mengenai pencegahan dan
pemberantasan tindak pidana pencucian uang.Kegiatan
CDD yang dapat dilakukan oleh pihak ketiga adalah
kegiatan identifikasi dan verifikasi Pengguna Jasa, dan
Beneficial Owner apabila ada.
Jika dalam melaksanakan CDD Penyelenggara
bekerjasama dengan pihak lain yang bukan merupakan
pihak pelapor, maka pelaksanaan kegiatan CDD oleh pihak
lain tersebut dipandang sebagai bagian dari pelaksanaan
CDD yang dilakukan oleh Penyelenggara sendiri.
Penyelenggara ...
-10-
Penyelenggara bertanggung jawab penuh atas pelaksanaan
kegiatan CDD oleh pihak lain tersebut, dan memastikan
kesesuaiannya dengan ketentuan yang berlaku.
Ayat (2)
Huruf a
Prosedur CDD antara lain mencakup identifikasi dan
verifikasi calon Pengguna Jasa.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Informasi ini paling kurang berupa informasi
mengenai nama lengkap sesuai dengan yang
tercantum dalam kartu identitas, alamat atau tempat
dan tanggal lahir, nomor kartu identitas, dan
kewarganegaraan dari calon Pengguna Jasa
Huruf d
Memadai atau tidaknya suatu negara dalam
menerapkan rekomendasi FATF antara lain dapat
dilihat di website www.fatf-gafi.org atau
www.apgml.org.
Ayat (3)
Tanggung jawab akhir atas hasil identifikasi dan verifikasi
serta keputusan untuk melakukan hubungan usaha
dengan Pengguna Jasa sepenuhnya menjadi tanggung
jawab Penyelenggara.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 12
Huruf a
Penggolongan Pengguna Jasa yang berisiko tinggi
dilakukan antara lain dengan mengacu pada kategori
Pengguna Jasa yang berpotensi melakukan pencucian
uang ...
-11-
uang dan/atau pedoman Pengguna Jasa berisiko tinggi
yang ditetapkan PPATK.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Besarnya nilai transaksi mengacu pada Undang-Undang
No. 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan
Tindak Pidana Pencucian Uang.
Pasal 13
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “transaksi” termasuk
permohonan untuk menjadi pemegang APMK,
pemegang Uang Elektronik dan/atau perintah
pelaksanaan pengiriman uang.
Huruf e
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “transaksi yang bersifat
penerimaan” adalah transaksi dimana Pengguna Jasa
merupakan pihak penerima dalam transaksi tersebut,
antara lain penerimaan transaksi pengiriman uang.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal ...
-12-
Pasal 14
Ayat (1)
Huruf a
Dokumen yang memuat informasi nama dan bentuk
badan usaha Pengguna Jasa antara lain berupa akta
pendirian atau anggaran dasar Pengguna Jasa.
Untuk Pengguna Jasa berupa lembaga
pemerintah/negara maka dokumen yang
disampaikan cukup memuat keterangan nama dan
alamat kedudukan lembaga pemerintah/negara
tersebut.
Huruf b
Identitas pengurus paling kurang mencakup nama
dan alamat pengurus Pengguna Jasa.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Dokumen hukum lainnya dapat berupa anggaran
dasar atau ketentuan internal Pengguna Jasa yang
memberikan dasar kewenangan untuk mewakili
Pengguna Jasa.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Yang dimaksud dengan “transaksi” termasuk
permohonan untuk menjadi pemegang APMK,
pemegang Uang Elektronik dan perintah pelaksanaan
pengiriman uang atau transfer dana.
Huruf h
Cukup jelas.
Ayat ...
-13-
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “transaksi yang bersifat
penerimaan” adalah transaksi dimana Pengguna Jasa
merupakan pihak penerima dalam transaksi tersebut,
antara lain penerimaan transaksi pengiriman uang.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 15
Penggolongan Pengguna Jasa yang berisiko tinggi dilakukan
antara lain dengan mengacu pada kategori Pengguna Jasa yang
berpotensi melakukan Pencucian Uang dan/atau pedoman
Pengguna Jasa berisiko tinggi yang ditetapkan PPATK.
Yang dimaksud dengan “pejabat senior” adalah pejabat
Penyelenggara yang telah memiliki pengetahuan dan pengalaman
mengenai APU atau PPT dan memiliki kewenangan penuh pada
Penyelenggara.
Pasal 16
Tanggung jawab langsung antara lain dilakukan dengan Direksi
terlibat langsung dalam proses APU dan PPT transaksi Pengguna
Jasa PEP tersebut, antara lain dengan melakukan review dan
menyetujui pelaksanaan EDD yang telah dilakukan terhadap
Pengguna Jasa tersebut.
Pasal 17
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Bagi Penyelenggara yang menggunakan hasil CDD yang
dilakukan oleh pihak ketiga, maka pertemuan langsung
(face to face) dapat dilakukan oleh pihak ketiga tersebut.
Pasal ...
-14-
Pasal 18
Ayat (1)
Guna mendukung proses verifikasi dokumen,
Penyelenggara dapat meminta jenis dokumen pendukung
lainnya yang disertai dengan foto identitas diri terkini dari
Pengguna Jasa dan/atau calon Pengguna Jasa dalam
jangka waktu yang masih berlaku.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Pemberian lebih dari satu dokumen identitas dapat
dipenuhi misalnya dengan menyampaikan Kartu Tanda
Penduduk dan Surat Izin Mengemudi.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 19
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Dalam melakukan pemantauan, Penyelenggara dapat
menetapkan batasan nilai nominal dan jenis transaksi
yang menyimpang dari profil.
Ayat (3)
Contoh transaksi yang bersifat kompleks antara lain
adalah sejumlah transaksi yang dikirimkan dari beberapa
orang untuk kepentingan satu orang yang sama, dan
sejumlah transaksi dari satu orang yang sama untuk
kepentingan beberapa orang.
Pasal ...
-15-
Pasal 20
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Identifikasi dan verifikasi terhadap Beneficial Owner
dilakukan dengan menggunakan sumber data yang
terpercaya, antara lain Anggaran Dasar yang telah
disahkan Menkumham dan/atau daftar pemegang saham
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 21
Dalam hal Penyelenggara menemukan bahwa Pengguna Jasa
bertindak untuk kepentingan lembaga negara/pemerintah atau
perusahaan yang terdaftar di bursa efek, maka Penyelenggara
cukup mencatat identitas dari Beneficial Ownertersebut.
Yang dimaksud dengan “lembaga negara/pemerintah” adalah
lembaga yang memiliki kewenangan di bidang legislatif, eksekutif,
dan yudikatif.
Pasal 22
Ayat (1)
Dokumen dapat ditatausahakan dalam bentuk asli,
salinan, electronic form, microfilm, atau dokumen yang
berdasarkan Undang-Undang dapat dipergunakan sebagai
alat bukti.
Huruf ...
-16-
Huruf a
Dokumen yang ditatausahakan paling kurang
mencakup identitas Pengguna Jasa, calon Pengguna
Jasa dan/atau Beneficial Owner, serta informasi
transaksi.Informasi transaksi antara lain meliputi
tanggal transaksi, jenis dan nilai transaksi, mata
uang yang digunakan, sumber dana, maksud dan
tujuan transaksi.
Huruf b
Dokumen keuangan terdiri dari catatan, bukti
pembukuan, dan data pendukung administrasi
keuangan, yangmerupakan bukti adanya hak dan
kewajiban serta kegiatan usaha Penyelenggara.
Ayat (2)
Dalam hal hasil temuan dikategorikan sebagai laporan
Transaksi Keuangan Mencurigakan, Penyelenggara
meneruskan laporan tersebut kepada PPATK sebagaimana
dimaksud dalam Bagian Keenam.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Informasi yang digunakan dalam menetapkan profil
Pengguna Jasa antara lain informasi identitas Pengguna
Jasa, transaksi yang dilakukan, termasuk tujuan
pelaksanaan transaksi dan sumber dana apabila
diperlukan.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal ...
-17-
Pasal 26
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “dokumen identitas yang sah”
adalah Kartu Tanda Penduduk, Surat Izin Mengemudi,
Paspor, atau dokumen identitas lain yang paling kurang
memuat foto dan tanda tangan, yang dikeluarkan oleh
otoritas berwenang serta masih berlaku.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Yang dimaksud dengan “Pengguna Jasa pengirim” adalah
Pengguna Jasa yang pertama kali mengeluarkan perintah
transfer dana.
Dalam melakukan kegiatan transfer dana, Penyelenggara dapat
bertindak sebagai Penyelenggara pengirim, Penyelenggara
penerus atau Penyelenggara penerima. Penyelenggara pengirim
merupakan Penyelenggara yang mengirimkan perintah transfer
dana.Penyelenggara penerus merupakan Penyelenggara yang
meneruskan perintah transfer dana.Penyelenggara penerima
merupakan Penyelenggara yang memiliki kewajiban untuk
menyampaikan ...
-18-
menyampaikan dana kepada Pengguna Jasa yang berhak untuk
menerima dana.
Informasi identitas Pengguna Jasa pengirim paling kurang
meliputi:
a. nama; dan
b. nomor rekening, nomor referensi unik lainnya, alamat, nomor
identitas, atau informasi tempat dan tanggal lahir.
Pasal 29
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Ketentuan yang dikeluarkan oleh PPATK antara lain
mengenai jangka waktu penyampaian laporan.
Pasal 30
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Fungsi audit harus memiliki kemampuan dan pengetahuan
terkait APU dan PPT.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 31
Pemanfaatan jasa sistem pembayaran sebagai media pencucian
uang dan pendanaan terorisme dimungkinkan juga melibatkan
pegawai penyelenggara jasa sistem pembayaran itu sendiri.
Dengan demikian untuk mencegah ataupun mendeteksi
terjadinya dugaan tindak pidana pencucian uang yang dilakukan
melalui penyelenggaraan jasa sistem pembayaran perlu
diterapkan ...
-19-
diterapkan Know Your Employee (KYE) yang diantaranya adalah
melalui prosedur screening.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Ayat (1)
Pembentukan unit kerja khusus dan/atau penunjukan
pejabat dilakukan dengan memperhatikan kebutuhan dan
kompleksitas penyelenggaraan jasa sistem pembayaran
yang dilakukan oleh Penyelenggara.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Kemampuan yang memadai antara lain mencakup
pengalaman dan pengetahuan mengenai perkembangan
rezim APU dan PPT.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 34
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “peraturan perundang-undangan
yang terkait” antara lain adalah Undang-Undang yang
mengatur mengenai pencegahan dan pemberantasan
tindak pidana pencucian uang.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Cukup jelas.
Pasal ...
-20-
Pasal 37
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “kegiatan usaha” adalah kegiatan
APMK, Uang Elektronik atau KUPU.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “izin” adalah izin Penyelenggara
untuk menyelenggarakan kegiatan APMK, Uang Elektronik,
atau KUPU.
Pembatalan merupakan pembatalan atas izin yang
diberikan oleh Bank Indonesia kepada Penyelenggara yang
belum menjalankan kegiatan usahanya secara efektif.
Huruf d
Pencabutan merupakan pencabutan atas izin yang
diberikan oleh Bank Indonesia kepada Penyelenggara yang
telah menjalankan kegiatan usahanya secara efektif.
Pasal 38
Yang dimaksud dengan “izin” adalah izin Penyelenggara untuk
menyelenggarakan kegiatan APMK, Uang Elektronik atau KUPU.
Pasal 39
Cukup jelas.
Pasal 40
Cukup jelas.
Pasal 41
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5302
NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAH
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 14/3/PBI/2012 </reg_id>
<reg_title> PROGRAM ANTI PENCUCIAN UANG DAN PENCEGAHAN PENDANAAN TERORISME BAGI PENYELENGGARA JASA SISTEM PEMBAYARAN SELAIN BANK </reg_title>
<set_date> 29 Maret 2012 </set_date>
<effective_date> 8 Juni 2013 </effective_date>
<issued_date> 29 Maret 2012 </issued_date>
<related_reg> '6/UU/2009', '1/PERPPU/2002', '23/UU/1999', '15/UU/2003', '2/PERPPU/2008', '3/UU/2011', '8/UU/2010' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB IX' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 8/3/PBI/2006
TENTANG
PERUBAHAN KEGIATAN USAHA BANK UMUM KONVENSIONAL
MENJADI BANK UMUM YANG MELAKSANAKAN KEGIATAN USAHA
BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH DAN
PEMBUKAAN KANTOR BANK YANG MELAKSANAKAN KEGIATAN
USAHA BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH OLEH
BANK UMUM KONVENSIONAL
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang: a. bahwa dalam rangka menghadapi perkembangan perekonomian
nasional, diperlukan sistem perbankan nasional yang tangguh
dan dapat melayani seluruh lapisan masyarakat;
b. bahwa dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat akan
jasa pelayanan perbankan syariah yang semakin meningkat,
diperlukan jaringan kantor bank yang melaksanakan kegiatan
usaha berdasarkan prinsip syariah yang lebih luas dan mudah
dijangkau;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam butir a dan butir b di atas, dipandang perlu untuk
melakukan pengaturan kembali terhadap ketentuan mengenai
Perubahan Kegiatan Usaha Bank Umum Konvensional Menjadi
Bank Umum
Yang
Melaksanakan
Kegiatan Usaha
Berdasarkan Prinsip Syariah dan Pembukaan Kantor Bank
Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip
Syariah oleh Bank Umum Konvensional;
Mengingat …
- 2 -
Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472)
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10
Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3790);
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999
tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999
Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3843) sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4357);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan:
PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG
PERUBAHAN KEGIATAN USAHA BANK UMUM
KONVENSIONAL MENJADI BANK UMUM YANG
MELAKSANAKAN KEGIATAN USAHA BERDASARKAN
PRINSIP SYARIAH DAN PEMBUKAAN KANTOR BANK
YANG MELAKSANAKAN KEGIATAN USAHA
BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH OLEH BANK
UMUM KONVENSIONAL.
BAB I …
- 3 -
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 3
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 yang melaksanakan
kegiatan usaha secara konvensional, termasuk kantor cabang dari suatu bank
yang berkedudukan di luar negeri.
2. Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah adalah kegiatan usaha perbankan
yang dilakukan berdasarkan Prinsip Syariah sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 1 angka 13 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998.
3. Kantor Cabang adalah kantor Bank yang bertanggung jawab secara langsung
kepada kantor pusat Bank yang bersangkutan, dengan alamat tempat usaha
yang jelas dimana Kantor Cabang tersebut melakukan usaha.
4. Kantor dibawah Kantor Cabang Bank adalah Kantor Cabang Pembantu atau
Kantor Kas yang kegiatan usahanya membantu Kantor Cabang induknya.
5. Kantor Cabang Pembantu
adalah Kantor dibawah Kantor Cabang yang
kegiatan usahanya membantu Kantor Cabang induknya.
6. Kantor Kas adalah Kantor dibawah Kantor Cabang yang kegiatan usahanya
membantu Kantor induknya kecuali melakukan penyaluran dana.
7. Unit Usaha Syariah adalah unit kerja di kantor pusat Bank yang berfungsi
sebagai kantor induk dari Kantor Cabang Syariah dan atau Unit Syariah.
8. Kantor Cabang Syariah adalah Kantor Cabang Bank yang melaksanakan
Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah.
9. Kantor …
- 4 -
9. Kantor Cabang Pembantu Syariah adalah Kantor dibawah Kantor Cabang
Syariah yang kegiatan usahanya membantu Kantor Cabang Syariah induknya.
10. Kantor dibawah Kantor Cabang Syariah adalah Kantor Cabang Pembantu
Syariah atau Kantor Kas Syariah yang melaksanakan Kegiatan Usaha
Berdasarkan Prinsip Syariah dalam rangka membantu Kantor Cabang Syariah
induknya.
11. Kantor Kas Syariah adalah Kantor dibawah KantorCabang Syariah yang
kegiatan usahanya membantu kantor induknya kecuali melakukan penyaluran
dana.
12. Unit Syariah adalah satuan kerja khusus yang menginduk kepada Unit Usaha
Syariah, yang kegiatan usahanya melakukan penghimpunan dana, penyaluran
dana, dan pemberian jasa perbankan lainnya Berdasarkan Prinsip Syariah pada
Kantor Cabang atau Kantor Cabang Pembantu Bank, dalam rangka persiapan
menjadi Kantor Cabang Syariah.
13. Kegiatan Kas di luar Kantor Bank adalah kegiatan pelayanan kas berdasarkan
Prinsip Syariah terhadap nasabah Bank, meliputi antara lain:
a. Kas Mobil atau Kas Terapung yaitu kegiatan kas dengan menggunakan
alat transportasi darat atau air;
b. Payment Point yaitu kegiatan pembayaran atau penyetoran transaksi
tertentu antara lain gaji pegawai, tagihan listrik, dan tagihan telepon
melalui kerjasama antara Bank dengan nasabah Bank;
c. Anjungan Tunai Mandiri (ATM) yaitu kegiatan kas yang dilakukan secara
elektronis untuk memudahkan nasabah, antara lain dalam rangka menarik
atau menyetor secara tunai, atau melakukan pembayaran melalui
pemindahbukuan, dan memperoleh
informasi mengenai saldo/mutasi
rekening nasabah, termasuk ATM yang dilakukan dengan pemanfaatan
teknologi melalui kerjasama dengan bank lain.
14. Dewan …
- 5 -
14. Dewan Syariah Nasional adalah dewan yang dibentuk oleh Majelis Ulama
Indonesia yang bertugas dan memiliki kewenangan untuk menetapkan fatwa
tentang produk dan jasa dalam kegiatan usaha Bank yang melaksanakan
Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah.
15. Dewan Pengawas Syariah adalah dewan yang melakukan pengawasan
terhadap penerapan prinsip syariah dalam kegiatan usaha Bank.
16. Direksi :
a. bagi Bank berbentuk hukum Perseroan Terbatas adalah direksi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas;
b. bagi Bank
berbentuk hukum Perusahaan
Daerah adalah direksi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1962 tentang Perusahaan Daerah;
c. bagi Bank berbentuk hukum Koperasi adalah pengurus sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 29 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang
Perkoperasian.
17. Komisaris:
a. bagi Bank berbentuk hukum Perseroan Terbatas adalah komisaris
sebagaimana diamaksud dalam Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas;
b. bagi Bank berbentuk hukum Perusahaan Daerah adalah
pengawas
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1962 tentang Perusahaan Daerah;
c. bagi Bank berbentuk hukum Koperasi adalah pengawas sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 38 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang
Perkoperasian.
18. Pejabat …
- 6 -
18. Pejabat Eksekutif adalah pejabat yang mempunyai pengaruh terhadap
kebijakan dan operasional Bank dan atau bertanggungjawab langsung kepada
Direksi antara lain pemimpin Kantor Cabang.
19. Pemegang Saham Pengendali adalah badan hukum, orang perseorangan dan
atau kelompok usaha yang :
a. memiliki saham perusahaan atau Bank sebesar 25% (dua puluh lima
perseratus) atau lebih dari jumlah saham yang dikeluarkan dan mempunyai
hak suara;
b. memiliki saham perusahaan atau Bank kurang dari 25% (dua puluh lima
perseratus) dari jumlah saham yang dikeluarkan dan mempunyai hak suara
namun yang bersangkutan dapat dibuktikan telah melakukan pengendalian
perusahaan atau Bank, baik secara langsung maupun tidak langsung.
20. Layanan Syariah adalah kegiatan penghimpunan dana yang dilakukan di
Kantor Cabang dan atau di Kantor dibawah Kantor Cabang untuk dan atas
nama Kantor Cabang Syariah pada Bank yang sama.
BAB II
PERUBAHAN KEGIATAN USAHA BANK UMUM KONVENSIONAL
MENJADI BANK UMUM YANG MELAKSANAKAN KEGIATAN USAHA
BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH
Pasal 2
(1) Bank hanya dapat mengubah kegiatan usahanya menjadi Bank yang
melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah dengan izin dari
Gubernur Bank Indonesia.
(2) Rencana perubahan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
dicantumkan dalam rencana bisnis Bank.
Pasal 3 …
- 7 -
Pasal 3
(1) Permohonan izin perubahan kegiatan usaha diajukan oleh Bank kepada
Gubernur Bank Indonesia dan wajib disertai dengan:
a. anggaran dasar Bank;
b. rancangan akta perubahan anggaran dasar yang paling kurang memuat:
1. nama dan tempat kedudukan;
2. penegasan bahwa Bank melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan
Prinsip Syariah;
3. permodalan; dalam hal terjadi perubahan
4. kepemilikan; dalam hal terjadi perubahan
5. wewenang, tanggung jawab, dan masa jabatan Direksi serta dewan
Komisaris; dalam hal terjadi perubahan
6. penempatan Dewan Pengawas Syariah dan tugas-tugasnya.
yang telah disetujui oleh rapat umum pemegang saham dan dibuat
dihadapan notaris dalam bahasa Indonesia.
c. notulen rapat umum pemegang saham;
d. data berupa:
1. daftar calon pemegang saham berikut rincian besarnya masing-masing
kepemilikan saham bagi Bank yang berbentuk hukum Perseroan
Terbatas/Perusahaan Daerah;
2. daftar calon anggota berikut rincian jumlah simpanan pokok dan
simpanan wajib, serta daftar hibah bagi Bank yang berbentuk hukum
Koperasi;
dalam hal terjadi perubahan kepemilikan.
e. daftar calon anggota Direksi, dewan Komisaris dan Dewan Pengawas
Syariah disertai dengan:
1. pas foto 1 (satu) bulan terakhir ukuran 4 x 6 cm;
2. fotokopi …
- 8 -
2. fotokopi tanda pengenal yang dapat berupa Kartu Tanda Penduduk
(KTP) atau paspor;
3. riwayat hidup;
4. contoh tanda tangan dan paraf;
5. fotokopi kartu izin menetap sementara (KIMS) dan fotokopi surat izin
bekerja dari instansi berwenang, bagi warga negara asing;
6. surat pernyataan pribadi yang menyatakan tidak pernah melakukan
tindakan tercela di bidang perbankan, keuangan dan usaha lainnya,
tidak pernah dihukum karena terbukti melakukan tindak pidana
kejahatan dan tidak sedang dalam masa pengenaan sanksi
untuk
dilarang menjadi pengurus bank sebagaimana diatur dalam ketentuan
Penilaian Kemampuan dan Kepatutan (Fit and Proper Test) yang
ditetapkan oleh Bank Indonesia;
7. surat pernyataan pribadi yang menyatakan bahwa yang bersangkutan
tidak pernah dinyatakan pailit dan tidak pernah menjadi pemegang
saham, anggota Direksi atau Komisaris yang dinyatakan bersalah
menyebabkan suatu perseroan dinyatakan pailit berdasarkan ketetapan
pengadilan dalam waktu 5 (lima) tahun sebelum tanggal pengajuan
permohonan;
8. surat keterangan atau
bukti tertulis dari Bank tempat bekerja
sebelumnya mengenai pengalaman operasional di bidang perbankan
syariah bagi calon anggota Direksi atau bagi calon anggota dewan
Komisaris yang telah berpengalaman;
9. surat keterangan dari lembaga pendidikan mengenai pendidikan
perbankan syariah yang pernah diikuti bagi calon anggota Direksi atau
bagi calon anggota dewan Komisaris yang belum berpengalaman;
10. surat …
- 9 -
10. surat pernyataan dari anggota dewan Komisaris bahwa yang
bersangkutan tidak merangkap jabatan melebihi ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Peraturan Bank Indonesia tentang Pelaksanaan Good
Corporate Govenance yang berlaku bagi bank yang melaksanakan
Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah.
11. surat pernyataan dari anggota Direksi bahwa yang bersangkutan tidak
merangkap jabatan sebagai anggota Direksi, Komisaris, atau Pejabat
Eksekutif pada bank, perusahaan dan atau lembaga lain sebagaimana
dimaksud dalam Peraturan Bank Indonesia tentang Pelaksanaan Good
Corporate Govenance yang berlaku bagi bank yang melaksanakan
Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah;
12. surat pernyataan dari anggota Direksi dan dewan Komisaris bahwa
yang
bersangkutan tidak mempunyai hubungan keluarga dengan
mayoritas anggota dewan Komisaris/dewan Direksi sebagaimana
dimaksud dalam Peraturan Bank Indonesia tentang Pelaksanaan Good
Corporate Govenance yang berlaku bagi bank yang melaksanakan
Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah;
13. surat pernyataan dari anggota Direksi bahwa yang bersangkutan baik
secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama tidak memiliki saham
melebihi 25% (dua puluh lima perseratus) dari modal disetor pada
suatu perusahaan lain;
14. surat pernyataan dari anggota Dewan Pengawas Syariah bahwa yang
bersangkutan tidak merangkap jabatan melebihi ketentuan rangkap
jabatan sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia tentang
bank umum yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip
syariah;
f. rencana struktur organisasi, dan susunan personalia;
g. rencana …
- 10 -
g. rencana bisnis Bank untuk tahun pertama yang paling kurang memuat:
1. studi kelayakan mengenai peluang pasar perbankan syariah dan potensi
ekonomi yang disertai dengan data pendukung;
2. rencana kegiatan usaha yang mencakup penghimpunan dan penyaluran
dana serta langkah-langkah kegiatan yang akan dilakukan dalam
mewujudkan rencana dimaksud; dan
3. proyeksi neraca, laporan laba rugi dan laporan arus kas bulanan selama
12 (dua belas) bulan yang dimulai sejak Bank melakukan kegiatan
operasional berdasarkan prinsip syariah;
h. rencana strategis jangka menengah dan panjang (corporate plan);
i. pedoman manajemen risiko, rencana sistem pengendalian intern, rencana
sistem teknologi informasi yang digunakan, dan skala kewenangan;
sistem dan prosedur kerja;
j.
k. rencana penyelesaian seluruh hak dan kewajiban Bank terhadap nasabah
yang tidak bersedia menjadi nasabah Bank berdasarkan Prinsip Syariah;
l. bukti kesiapan operasional paling kurang berupa:
1. daftar aktiva tetap dan inventaris;
2. bukti kepemilikan, penguasaan atau perjanjian sewa gedung kantor;
3. foto gedung kantor dan tata letak ruangan;
4. contoh formulir/warkat yang akan digunakan untuk operasional bank;
dan
5. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan Tanda Daftar Perusahaan
(TDP);
(2) Daftar calon pemegang saham atau daftar calon anggota sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf d;
a. dalam hal perorangan wajib disertai dengan:
1. dokumen …
- 11 -
1. dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e angka 1, angka
2, angka 3, angka 4 dan angka 5;
2. surat pernyataan
dari calon Pemegang
Saham Pengendali yang
menyatakan kesediaan untuk mengatasi kesulitan permodalan maupun
likuiditas yang dihadapi bank dalam menjalankan kegiatan usahanya;
dan
3. surat pernyataan pribadi yang menyatakan tidak pernah melakukan
tindakan tercela di bidang perbankan, keuangan dan usaha lainnya,
tidak pernah dihukum karena terbukti melakukan tindak pidana
kejahatan dan tidak sedang dalam masa pengenaan sanksi
untuk
dilarang menjadi pemilik, pemilik dengan kepemilikan di atas 10%
(sepuluh perseratus), dan atau Pemegang Saham Pengendali dari bank
sebagaimana diatur dalam ketentuan Penilaian Kemampuan dan
Kepatutan (Fit and Proper Test) yang ditetapkan oleh Bank Indonesia;
b. dalam hal badan hukum wajib disertai dengan:
1. akta pendirian badan hukum, yang memuat anggaran dasar berikut
perubahan-perubahan yang telah mendapat pengesahan dari instansi
berwenang termasuk bagi badan hukum asing sesuai dengan ketentuan
yang berlaku di negara asal badan hukum tersebut;
2. dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e angka 1 sampai
dengan angka 5 dari seluruh Direksi dan dewan Komisaris badan
hukum yang bersangkutan;
3. rekomendasi dari instansi berwenang di negara asal bagi badan hukum
asing;
4. daftar pemegang
saham berikut rincian besarnya masing-masing
kepemilikan saham bagi badan hukum Perseroan Terbatas/ Perusahaan
Daerah …
- 12 -
Daerah, atau daftar anggota berikut rincian jumlah simpanan pokok dan
simpanan wajib, serta daftar hibah bagi badan hukum Koperasi;
5. laporan keuangan badan hukum yang telah diaudit oleh akuntan publik
dengan posisi paling lama 6 (enam) bulan sebelum tanggal pengajuan
permohonan persetujuan prinsip;
6. seluruh struktur kelompok usaha yang terkait dengan bank dan badan
hukum pemilik bank sampai dengan pemilik terakhir; kecuali bagi
Pemerintah Pusat dan atau Pemerintah Daerah; dan
dari calon Pemegang
7. surat pernyataan
Saham Pengendali yang
menyatakan kesediaan untuk mengatasi kesulitan permodalan maupun
likuiditas yang dihadapi Bank dalam menjalankan kegiatan usahanya,
kecuali bagi Pemerintah Pusat dan atau Pemerintah Daerah.
Pasal 4
(1) Persetujuan atau penolakan permohonan izin perubahan kegiatan usaha
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 diberikan paling lambat dalam jangka
waktu 60 (enam puluh) hari setelah dokumen permohonan diterima secara
lengkap.
(2) Dalam rangka memberikan persetujuan atau penolakan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia melakukan:
a. penelitian atas kelengkapan dan kebenaran dokumen;
b. analisis yang mencakup antara lain tingkat persaingan yang sehat antar
bank yang melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah
atau tingkat kejenuhan jumlah bank yang melaksanakan Kegiatan Usaha
Berdasarkan Prinsip Syariah dan pemerataan kegiatan ekonomi; dan
c. wawancara …
- 13 -
c. wawancara terhadap calon Pemegang Saham Pengendali, calon anggota
dewan Komisaris, calon anggota Direksi dan calon Dewan Pengawas
Syariah;
(3) Bank yang mengajukan permohonan izin perubahan kegiatan usaha wajib
melakukan presentasi kepada Bank Indonesia mengenai keseluruhan rencana
perubahan kegiatan usaha.
Pasal 5
Dalam hal perubahan anggaran dasar Bank memerlukan persetujuan dari instansi
berwenang, permohonan persetujuan atas perubahan anggaran dasar kepada
instansi berwenang diajukan bersamaan dengan pengajuan izin perubahan kegiatan
usaha sebagaimana dimaksud dalam pasal 3.
Pasal 6
Izin perubahan kegiatan usaha berlaku sejak:
a.
b.
tanggal persetujuan perubahan anggaran dasar atau akta pendirian termasuk
anggaran dasar oleh instansi berwenang
tanggal pendaftaran akta perubahan anggaran dasar dalam daftar perusahaan
apabila perubahan anggaran dasar tidak memerlukan persetujuan instansi yang
berwenang.
Pasal 7
(1) Bank yang telah mendapat izin perubahan kegiatan usaha dari Gubernur Bank
Indonesia wajib melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah
paling lambat 60 (enam puluh) hari sejak izin perubahan kegiatan usaha
diberlakukan.
(2) Pelaksanaan …
- 14 -
(2) Pelaksanaan perubahan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
wajib dilaporkan oleh Direksi bank kepada Bank Indonesia paling lambat 10
(sepuluh) hari setelah tanggal dimulainya pelaksanaan Kegiatan Usaha
Berdasarkan Prinsip Syariah.
(3) Apabila setelah jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Bank
belum melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah, maka izin
perubahan kegiatan usaha yang telah diberikan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 8
(1) Bank yang telah mendapat izin perubahan kegiatan usaha wajib
menyelesaikan seluruh hak dan kewajiban debitur dan kreditur dari kegiatan
usaha secara konvensional paling lambat 360 (tiga ratus enam puluh) hari
sejak tanggal surat izin perubahan kegiatan usaha dikeluarkan.
(2) Dalam rangka penyelesaian seluruh hak dan kewajiban debitur dan kreditur
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), bank dapat melakukan
pemberitahuan/pengumuman kepada kreditur dan debitur secara langsung dan
atau melalui media massa.
(3) Berdasarkan permohonan bank, Bank Indonesia dapat memperpanjang jangka
waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk tujuan penyelesaian aktiva
produktif Bank.
(4) Permohonan perpanjangan jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
diajukan paling lambat 30 (tiga puluh) hari sebelum berakhirnya jangka waktu
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), disertai dengan alasan perpanjangan
jangka waktu dan bukti-bukti pendukung.
(5) Bank yang telah mendapat izin perubahan kegiatan usaha dilarang melakukan
kegiatan usaha secara konvensional, kecuali dalam rangka penyelesaian
transaksi-transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3).
Pasal 9 …
- 15 -
Pasal 9
Bank yang telah mendapat izin perubahan kegiatan usaha dari Gubernur Bank
Indonesia wajib mencantumkan secara jelas kata “Syariah” sesudah kata “Bank”
pada penulisan namanya.
Pasal 10
Bank yang semula memiliki izin usaha sebagai Bank yang melakukan kegiatan
usaha secara konvensional dan telah memperoleh izin perubahan kegiatan usaha
menjadi bank yang melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah,
dilarang untuk mengubah Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah menjadi
kegiatan usaha secara konvensional.
BAB III
PEMBUKAAN KANTOR YANG MELAKSANAKAN KEGIATAN USAHA
BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH OLEH BANK
Bagian Kesatu
Unit Usaha Syariah
Pasal 11
(1) Bank yang akan membuka kantor Bank yang melaksanakan Kegiatan Usaha
Berdasarkan Prinsip Syariah wajib membentuk Unit Usaha Syariah di kantor
pusat Bank.
(2) Unit Usaha Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai tugas:
a. mengatur dan mengawasi seluruh kegiatan Kantor Cabang Syariah dan
atau Unit Syariah;
b. menempatkan dan mengelola dana yang bersumber dari Kantor Cabang
Syariah dan atau Unit Syariah;
c. menerima …
- 16 -
c. menerima dan menata usahakan laporan keuangan dari Kantor Cabang
Syariah dan atau Unit Syariah dalam rangka penyusunan laporan
gabungan;
d. melakukan kegiatan lain sebagai kantor induk dari Kantor Cabang Syariah
dan atau Unit Syariah.
(3) Rencana kegiatan Unit Usaha Syariah wajib dicantumkan dalam rencana bisnis
Bank yang paling kurang memuat:
a. rencana penghimpunan dana;
b. rencana penyaluran dana;
c. rencana permodalan;
d. proyeksi rasio dan pos-pos tertentu;
e. rencana pengembangan oganisasi dan sumber daya manusia;
f. rencana pengembangan produk dan aktivitas baru;
g. rencana pengembangan jaringan kantor.
(4) Pemimpin Unit Usaha Syariah wajib memenuhi persyaratan:
a. paling rendah merupakan Pejabat Eksekutif satu tingkat di bawah Direksi;
b. memiliki komitmen dalam menjalankan operasional Bank yang
melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah;
c. memiliki integritas dan moral yang baik; dan
d. berpengalaman dalam operasional bank yang melaksanakan Kegiatan
Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah dan atau telah mengikuti pelatihan
operasional bank yang melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip
Syariah baik di dalam maupun di luar negeri.
(5) Pada Unit Usaha Syariah wajib ditempatkan Dewan Pengawas Syariah.
Bagian …
- 17 -
Bagian Kedua
Dewan Pengawas Syariah dan Pejabat Eksekutif
Pasal 12
Pengaturan mengenai Dewan Pengawas Syariah dan Pejabat Eksekutif
berpedoman pada ketentuan Dewan Pengawas Syariah dan Pejabat Eksekutif
sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia tentang Bank Umum Yang
Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah.
Bagian Ketiga
Pembukaan Kantor Cabang Syariah Pertama Kali
Pasal 13
(1) Bank yang telah membuka Unit Usaha Syariah, dapat membuka Kantor
Cabang Syariah dengan cara:
a. membuka Kantor Cabang Syariah yang baru;
b. mengubah kegiatan usaha Kantor Cabang menjadi Kantor Cabang Syariah;
c. meningkatkan status Kantor dibawah KantorCabang menjadi Kantor
Cabang Syariah;
d. mengubah kegiatan usaha Kantor Cabang yang sebelumnya telah
membuka Unit Syariah menjadi Kantor Cabang Syariah;
e. meningkatkan status Kantor Cabang Pembantu yang sebelumnya telah
membuka Unit Syariah menjadi Kantor Cabang Syariah; dan atau
f. membuka Kantor Cabang Syariah baru yang berasal dari Unit Syariah dari
Kantor Cabang dan atau Kantor Cabang Pembantu, di lokasi yang sama
atau di luar lokasi Kantor Cabang dan atau Kantor Cabang Pembantu
dimana Unit Syariah sebelumnya berada.
(2) Bank hanya dapat membuka Kantor Cabang Syariah sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dengan izin dari Gubernur Bank Indonesia.
(3) Rencana …
- 18 -
(3) Rencana pembukaan Kantor Cabang Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) wajib dicantumkan dalam rencana bisnis Bank yang telah mendapat surat
penegasan dari Bank Indonesia.
(4) Pemberian izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, dan
huruf c dilakukan dalam dua tahap:
a. persetujuan
prinsip, yaitu
persetujuan untuk melakukan
pembukaan Kantor Cabang Syariah;
b. izin pembukaan Kantor Cabang Syariah, yaitu izin untuk melakukan
kegiatan usaha Kantor Cabang Syariah setelah persiapan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a selesai dilakukan.
(5) Pemberian izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, huruf e dan
huruf f diberikan dalam satu tahap yaitu izin pembukaan Kantor Cabang
Syariah tanpa melalui persetujuan prinsip.
Pasal 14
Bank yang membuka Kantor Cabang Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal
13 ayat (1) wajib:
a. menyisihkan modal kerja untuk kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah
minimum untuk mengcover biaya operasional awal , dan
b. memenuhi rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum bagi Unit Usaha
Syariah.
Pasal 15
Bank yang memiliki Kantor Cabang Syariah wajib:
a. memiliki pencatatan dan pembukuan tersendiri untuk Kegiatan
Berdasarkan Prinsip Syariah;
Usaha
persiapan
b. menyusun …
- 19 -
b. menyusun laporan keuangan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah;
dan
c. memasukkan laporan keuangan sebagaimana dimaksud dalam huruf b ke
dalam laporan keuangan gabungan.
Pasal 16
Kantor Bank yang telah mendapat izin pembukaan Kantor Cabang Syariah wajib
mencantumkan kata “Syariah” pada setiap penulisan nama kantornya.
Pasal 17
(1) Kantor Bank yang telah mendapat izin pembukaan Kantor Cabang Syariah
dilarang untuk mengubah kegiatan Kantor Cabang Syariah menjadi Kantor
Cabang yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional.
(2) Bank Indonesia mencabut izin pembukaan Kantor Cabang Syariah yang
terbukti melakukan kegiatan usaha secara konvensional.
Pasal 18
(1) Permohonan persetujuan prinsip untuk pembukaan Kantor Cabang Syariah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf a, diajukan oleh Bank
kepada Gubernur Bank Indonesia dan wajib disertai dengan:
a.
laporan keuangan gabungan dan rincian kualitas aktiva produktif 2 (dua)
bulan terakhir sebelum tanggal surat permohonan;
b. rencana persiapan operasional dalam rangka pembukaan Kantor Cabang
Syariah;
c. dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a, huruf b,
huruf f, dan huruf g;
d. dokumen dan identitas pemimpin Kantor Cabang Syariah berupa:
1. pas foto …
- 20 -
1. pas foto 1 (satu) bulan terakhir ukuran 4x6 cm;
2. fotokopi tanda pengenal berupa Kartu Tanda Penduduk (KTP) atau
paspor;
3. riwayat hidup;
4. contoh tanda tangan dan paraf; serta
5. bukti pengalaman dalam operasional bank yang melaksanakan
Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah dan atau surat keterangan
dari lembaga pelatihan perbankan syariah yang telah diikuti di dalam
maupun di luar negeri.
e. dokumen mengenai identitas calon anggota Dewan Pengawas Syariah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf e angka 1 sampai
dengan angka 7, untuk pembukaan Kantor Cabang Syariah yang pertama
kali;
f. dokumen dan identitas pemimpin Unit Usaha Syariah, untuk pembukaan
Kantor Cabang Syariah yang pertama kali berupa:
1. pas foto 1 (satu) bulan terakhir ukuran 4x6 cm;
2. fotokopi tanda pengenal berupa Kartu Tanda Penduduk (KTP) atau
paspor;
3. riwayat hidup;
4. contoh tanda tangan dan paraf; serta
5. bukti pengalaman dalam operasional bank yang melaksanakan kegiatan
usaha berdasarkan prinsip syariah dan atau surat keterangan dari
lembaga pelatihan mengenai pelatihan perbankan syariah yang telah
diikuti di dalam maupun di luar negeri;
g.
hasil studi kelayakan yang sekurang-kurangnya memuat potensi ekonomi,
peluang pasar, tingkat persaingan yang sehat antar bank yang
melaksanakan
Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah, tingkat
kejenuhan …
- 21 -
kejenuhan jumlah bank yang melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan
Prinsip Syariah yang dilengkapi dengan data-data pendukung dari instansi
terkait;
h. proyeksi arus kas bulanan selama 12 (dua belas) bulan;
i.
j. alasan pembukaan Kantor Cabang Syariah.
(2) Permohonan persetujuan prinsip untuk pembukaan Kantor Cabang Syariah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf b dan huruf c, diajukan
oleh Bank kepada Gubernur Bank Indonesia dan wajib disertai dengan:
a. dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1); dan
b. rencana penyelesaian seluruh hak dan kewajiban kantor Bank terhadap
nasabah yang tidak bersedia menjadi nasabah Kantor Cabang Syariah.
Pasal 19
(1) Dalam rangka memberikan persetujuan atau penolakan atas permohonan
persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18, Bank Indonesia
melakukan:
a. penelitian atas kelengkapan dan kebenaran dokumen;
b. analisis yang mencakup antara lain kemampuan Bank termasuk tingkat
kesehatan, tingkat persaingan yang sehat antar bank yang melaksanakan
Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah, tingkat kejenuhan jumlah
bank yang melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah dan
peluang pasar; dan
c. wawancara terhadap calon anggota Dewan Pengawas Syariah.
rencana bisnis Kantor Cabang sekurang-kurangnya selama 12 (dua belas)
bulan; dan
(2) Dalam …
- 22 -
(2) Dalam hal diperlukan, Bank Indonesia dapat melakukan pemeriksaan untuk
meneliti
persiapan pembukaan kantor dan
disampaikan.
(3) Persetujuan atau penolakan atas permohonan persetujuan prinsip sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diberikan paling lambat 30 (tiga puluh) hari setelah
dokumen permohonan diterima secara lengkap.
Pasal 20
(1) Persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) berlaku
untuk jangka waktu 180 (seratus delapan puluh) hari sejak tanggal persetujuan
prinsip dikeluarkan.
(2) Bank dan atau kantor Bank yang telah mendapat persetujuan prinsip
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang melaksanakan Kegiatan Usaha
Berdasarkan Prinsip Syariah sebelum mendapat izin pembukaan Kantor
Cabang Syariah.
(3) Apabila setelah jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Bank dan
atau kantor Bank yang telah mendapat persetujuan prinsip sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) belum mengajukan permohonan izin pembukaan
Kantor Cabang Syariah, maka persetujuan prinsip yang telah diberikan
dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 21
(1) Permohonan izin pembukaan Kantor Cabang Syariah untuk pembukaan
Kantor Cabang Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1)
huruf a, diajukan oleh Bank kepada Gubernur Bank Indonesia dan wajib
disertai dengan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf
f, huruf g, huruf h, huruf i, huruf j, dan huruf l, dalam hal terjadi perubahan,
dan …
kebenaran
dokumen yang
- 23 -
dan perubahan anggaran dasar yang telah disetujui oleh instansi yang
berwenang.
(2) Permohonan izin pembukaan Kantor Cabang Syariah, untuk mengubah
kegiatan usaha Kantor Cabang yang melakukan kegiatan usaha
secara
konvensional menjadi Kantor Cabang Syariah sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 13 ayat (1) huruf b, dan atau untuk meningkatkan status Kantor dibawah
Kantor Cabang yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional menjadi
Kantor Cabang Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf
c, diajukan oleh Bank kepada Gubernur Bank Indonesia dan wajib disertai
dengan:
a. dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1); dan
b. laporan realisasi penyelesaian seluruh hak dan kewajiban kantor Bank
terhadap nasabah yang tidak bersedia menjadi nasabah Kantor Cabang
Syariah.
Pasal 22
(1) Dalam rangka memberikan persetujuan atau penolakan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 21, Bank Indonesia melakukan penelitian atas
kelengkapan dan kebenaran dokumen dan wawancara terhadap calon anggota
Dewan Pengawas Syariah.
(2) Persetujuan atau penolakan atas permohonan izin pembukaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diberikan paling lambat dalam jangka waktu 30 (tiga
puluh) hari setelah dokumen permohonan diterima secara lengkap.
(3) Bank dan atau kantor Bank yang telah mendapat izin pembukaan Kantor
Cabang Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (2), wajib melaksanakan
Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah paling lambat 30 (tiga puluh)
hari sejak tanggal izin pembukaan dikeluarkan.
(4) Pelaksanaan …
- 24 -
(4) Pelaksanaan pembukaan Kantor Cabang Syariah sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) wajib dilaporkan oleh Bank kepada Bank Indonesia paling lambat 10
(sepuluh) hari setelah tanggal pembukaan.
(5) Apabila setelah jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) Kantor
Cabang Syariah belum melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip
Syariah, maka izin pembukaan Kantor Cabang Syariah yang telah dikeluarkan
dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 23
(1) Kantor Cabang Syariah yang berasal dari pembukaan dengan cara
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf b dan huruf c wajib
menyelesaikan seluruh hak dan kewajiban debitur dan kreditur dari kegiatan
usaha secara konvensional paling lambat 360 (tiga ratus enam puluh) hari
sejak tanggal izin pembukaan dikeluarkan.
(2) Dalam rangka penyelesaian seluruh hak dan kewajiban debitur dan kreditur
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank dapat melakukan
pemberitahuan/pengumuman kepada kreditur dan debitur secara langsung dan
atau melalui media massa.
(3) Kantor Cabang Syariah dilarang melakukan kegiatan usaha perbankan secara
konvensional, kecuali dalam rangka penyelesaian transaksi-transaksi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Bagian Keempat
Pembukaan Kantor Cabang Syariah Melalui Pembukaan Unit Syariah
Pasal 24
(1) Pembukaan Unit Syariah di dalam negeri hanya dapat dilakukan dengan izin
Gubernur Bank Indonesia.
(2) Pembukaan …
- 25 -
(2) Pembukaan Unit Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat
dibuka setelah Bank memiliki Unit Usaha Syariah.
(3) Pembukaan Unit Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
dalam rangka :
a. mengubah Kantor Cabang menjadi Kantor Cabang Syariah;
b. meningkatkan status Kantor Cabang Pembantu Bank menjadi Kantor
Cabang Syariah;
c. mendirikan Kantor Cabang Syariah baru di lokasi yang sama atau di luar
lokasi kantor konvensional dimana Unit Syariah sebelumnya berada.
(4) Rencana pembukaan Unit Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
dicantumkan dalam rencana bisnis Bank yang telah mendapat surat penegasan
dari Bank Indonesia.
Pasal 25
Bank yang membuka Unit Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1)
wajib :
a. menyisihkan modal kerja untuk Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah
minimum untuk mengcover biaya operasional awal; dan
b. memenuhi rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum bagi Unit Usaha
Syariah.
Pasal 26
(1) Permohonan izin pembukaan Unit Syariah diajukan oleh Bank kepada
Gubernur Bank Indonesia dan wajib disertai dengan:
a. hasil studi kelayakan tentang tingkat persaingan yang sehat antar bank
yang melakukan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah;
b. rencana …
- 26 -
b. rencana persiapan operasional dalam rangka pembukaan Unit Syariah
termasuk kesiapan sumberdaya manusia, sistem akuntansi dan teknologi
informasi;
c. rencana jangka waktu yang wajar mengenai perubahan Unit Syariah
menjadi Kantor Cabang Syariah;
d. perubahan anggaran dasar yang secara tegas mencantumkan bahwa Bank
melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah serta
penempatan dan tugas-tugas Dewan Pengawas Syariah, untuk pembukaan
Unit Syariah pertama kali;
e. rencana bisnis Bank tahun pertama yang sekurang-kurangnya memuat:
1. studi kelayakan mengenai peluang pasar perbankan syariah dan
potensi ekonomi yang disertai dengan bukti pendukung;
2. rencana kegiatan usaha yang mencakup penghimpunan dana dan
penyaluran dana serta langkah-langkah kegiatan yang akan dilakukan
dalam mewujudkan rencana dimaksud; dan
3. proyeksi neraca, laporan laba-rugi dan laporan arus kas bulanan
selama 12 (dua belas) bulan sejak Unit Syariah melakukan kegiatan
operasional;
f. rencana struktur organisasi dan susunan personalia yang menangani
kegiatan Unit Syariah;
g. bukti pengalaman di bidang operasional bank yang melaksanakan kegiatan
berdasarkan prinsip syariah dan atau sertifikat pelatihan operasional bank
yang melakukan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah bagi
Pemimpin Kantor Cabang atau Kantor Cabang Pembantu Bank;
h. dokumen mengenai identitas calon anggota Dewan Pengawas Syariah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf e, untuk pembukaan
Unit Syariah pertama kali;
i. dokumen …
- 27 -
i. dokumen dan identitas pemimpin Unit Usaha Syariah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) huruf f, untuk pembukaan Unit Syariah
yang pertama kali;
(2) Dalam rangka memberikan persetujuan atau penolakan atas permohonan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia melakukan:
a. penelitian atas kelengkapan dan kebenaran dokumen;
b. analisis yang mencakup antara lain kemampuan Bank termasuk tingkat
kesehatan, tingkat persaingan yang sehat antar bank yang melaksanakan
Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah, tingkat kejenuhan jumlah
bank yang melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah dan
peluang pasar perbankan syariah; dan
c. wawancara terhadap calon anggota Dewan Pengawas Syariah.
(3) Dalam hal diperlukan, Bank Indonesia dapat melakukan pemeriksaan untuk
meneliti persiapan pembukaan Unit Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat
(1).
(4) Persetujuan atau penolakan atas permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diberikan paling lambat dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari setelah
dokumen permohonan diterima secara lengkap.
Pasal 27
(1) Pelaksanaan pembukaan Unit Syariah wajib dilakukan paling lambat 30 (tiga
puluh) hari sejak tanggal persetujuan pembukaan diberikan.
(2) Pelaksanaan pembukaan Unit Syariah wajib dilaporkan oleh Bank kepada
Bank Indonesia paling lambat dalam jangka waktu 10 (sepuluh) hari setelah
tanggal pembukaan.
(3) Dalam …
- 28 -
(3) Dalam hal setelah jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Bank
tidak melaksanakan pembukaan Unit Syariah, maka izin pembukaan Unit
Syariah yang telah dikeluarkan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 28
(1) Kantor Cabang dan atau Kantor Cabang Pembantu Bank yang telah mendapat
izin membuka Unit Syariah wajib mencantumkan kata “Unit Syariah” pada
tempat kegiatan usaha Unit Syariah berada.
(2) Unit Syariah wajib:
a. menyusun laporan keuangan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah;
b. memiliki pencatatan dan pembukuan tersendiri untuk Kegiatan Usaha
Berdasarkan Prinsip Syariah; dan
c. memasukkan laporan keuangan sebagaimana dimaksud pada huruf b ke
dalam laporan keuangan gabungan.
Pasal 29
(1) Dalam hal Bank tidak memenuhi rencana jangka waktu perubahan Unit
Syariah menjadi Kantor Cabang Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal
26 ayat (1) huruf c, maka Bank Indonesia mencabut izin Unit Syariah tersebut.
(2) Bank wajib menyelesaikan kewajiban kepada nasabah serta pihak lainnya
paling lambat dalam jangka waktu 90 (sembilan puluh) hari terhitung sejak
pencabutan izin Unit Syariah.
(3) Bank wajib menyampaikan laporan penyelesaian kewajiban kepada nasabah
serta pihak lainnya kepada Bank Indonesia paling lambat 10 (sepuluh) hari
terhitung sejak jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(4) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) wajib dilampiri dengan bukti
penyelesaian kewajiban dan surat pernyataan dari pemimpin kantor Bank
bahwa …
- 29 -
bahwa langkah-langkah penyelesaian seluruh kewajiban Unit Syariah kepada
nasabah dan pihak lainnya telah diselesaikan.
Pasal 30
(1) Permohonan untuk mendapatkan izin pembukaan Kantor Cabang Syariah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf d, huruf e, diajukan oleh
Bank kepada Gubernur Bank Indonesia selambat-lambatnya dalam jangka
waktu 60 (enam puluh) hari sebelum berakhirnya batas waktu rencana
perubahan Unit Syariah menjadi Kantor Cabang Syariah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) huruf c, dan wajib disertai dengan:
a. dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf f, huruf g, huruf h,
huruf i, huruf j dan huruf l;
b. dokumen dan identitas pemimpin Kantor Cabang Syariah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) huruf d; dan
c. laporan penyelesaian seluruh hak dan kewajiban Kantor Cabang dan atau
Kantor Cabang Pembantu.
(2) Permohonan untuk mendapatkan izin pembukaan Kantor Cabang Syariah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf f, diajukan oleh Bank
kepada Gubernur Bank Indonesia dalam jangka waktu 60 (enam puluh) hari
sebelum berakhirnya batas waktu rencana perubahan Unit Syariah menjadi
Kantor Cabang Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) huruf
c, dengan memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (1)
huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf g, huruf h, dan huruf i.
(3) Dalam rangka memberikan persetujuan atau penolakan atas permohonan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Bank Indonesia melakukan
penelitian atas:
a. kelengkapan dan kebenaran dokumen; dan
b. analisis …
- 30 -
b. analisis yang mencakup antara lain kemampuan Bank termasuk tingkat
kesehatan, tingkat persaingan yang sehat antar bank yang melaksanakan
kegiatan berdasarkan prinsip syariah atau tingkat kejenuhan jumlah bank
yang melaksanakan kegiatan berdasarkan prinsip syariah, dan pemerataan
pembangunan ekonomi nasional.
(4) Dalam hal diperlukan Bank Indonesia melakukan pemeriksaan untuk meneliti
persiapan pembukaan Kantor Cabang Syariah sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2).
(5) Persetujuan atau penolakan atas permohonan izin sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2) diberikan paling lambat dalam jangka waktu 30 (tiga
puluh) hari setelah dokumen permohonan diterima secara lengkap.
Pasal 31
Dalam hal pembukaan Kantor Cabang Syariah dilakukan dengan mengubah
Kantor Cabang Bank menjadi Kantor Cabang Syariah, maka seluruh Kantor
dibawah KantorCabang Bank tersebut dapat:
a. diubah menjadi
kantor yang melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan
Prinsip Syariah; atau
b. dipindahkan dengan menginduk kepada Kantor Cabang lain dalam satu
wilayah kliring; atau
c. ditutup.
Bagian Kelima
Pembukaan Kantor Cabang Syariah berikutnya
Pasal 32
(1) Bank yang telah memiliki Kantor Cabang Syariah hanya dapat membuka
Kantor Cabang Syariah berikutnya dengan izin Gubernur Bank Indonesia.
(2) Rencana …
- 31 -
(2) Rencana pembukaan Kantor Cabang Syariah berikutnya sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib dicantumkan dalam rencana bisnis Bank yang
telah mendapat surat penegasan dari Bank Indonesia.
(3) Bank yang memiliki Kantor Cabang Syariah wajib:
a. memiliki pencatatan dan pembukuan tersendiri untuk Kegiatan Usaha
Berdasarkan Prinsip Syariah;
b. menyusun laporan
Syariah;
keuangan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip
c. memasukkan laporan keuangan sebagaimana dimaksud dalam huruf b ke
dalam laporan keuangan konsolidasi; dan
d. memenuhi rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum bagi Unit Usaha
Syariah.
Pasal 33
(1) Permohonan izin pembukaan Kantor Cabang Syariah berikutnya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) diajukan oleh Bank kepada
Gubernur Bank Indonesia dengan ketentuan sebagai berikut:
a. untuk pembukaan Kantor Cabang Syariah berikutnya yang dilakukan
dengan cara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf a,
wajib disertai dengan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
ayat (1) huruf f dan huruf g, Pasal 14 huruf b, Pasal 15, Pasal 16, serta
Pasal 17 dan Pasal 18 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf d, dan huruf g;
b. untuk pembukaan Kantor Cabang Syariah berikutnya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf b dan huruf c, wajib disertai
dengan dokumen sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan Pasal 18 ayat
(2) huruf b;
c. untuk …
- 32 -
c. untuk pembukaan Kantor Cabang Syariah berikutnya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf d huruf e, wajib mengikuti
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1);
d. untuk pembukaan Kantor Cabang Syariah berikutnya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf f, wajib mengikuti ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2);
(2) Dalam rangka memberikan persetujuan atau penolakan atas permohonan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b, Bank Indonesia
melakukan:
a. penelitian atas kelengkapan dan kebenaran dokumen; dan
b. analisis yang mencakup antara lain kemampuan Bank termasuk tingkat
kesehatan, tingkat persaingan yang sehat antar bank yang melaksanakan
Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah, tingkat kejenuhan jumlah
bank yang melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah,
dan pemerataan pembangunan ekonomi nasional.
(3) Dalam hal diperlukan, Bank Indonesia dapat melakukan pemeriksaan untuk
meneliti persiapan pembukaan kantor dan kebenaran dokumen yang
disampaikan.
(4) Persetujuan atau penolakan atas permohonan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a dan huruf b diberikan paling lambat dalam jangka waktu 30
(tiga puluh) hari setelah dokumen permohonan diterima secara lengkap.
Pasal 34
(1) Pelaksanaan pembukaan Kantor Cabang Syariah wajib dilakukan paling
lambat dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal izin dari
Gubernur Bank Indonesia dikeluarkan.
(2) Pelaksanaan …
- 33 -
(2) Pelaksanaan pembukaan Kantor Cabang Syariah berikutnya sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib dilaporkan kepada Bank Indonesia paling lambat
10 (sepuluh) hari setelah tanggal pembukaan.
(3) Apabila setelah jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Bank tidak
melaksanakan pembukaan Kantor Cabang Syariah, maka izin pembukaan
Kantor Cabang Syariah yang telah diberikan dinyatakan tidak berlaku.
Bagian Keenam
Pembukaan Kantor dibawah Kantor Cabang
Pasal 35
(1) Rencana pembukaan Kantor dibawah Kantor Cabang Syariah di dalam negeri
wajib dicantumkan dalam rencana bisnis Bank yang telah mendapat surat
penegasan dari Bank Indonesia.
(2) Pembukaan Kantor dibawah Kantor Cabang Syariah sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dapat dilakukan:
a. dalam satu wilayah kerja Kantor Bank Indonesia dengan Kantor Cabang
Syariah induknya;
b. dengan memperhatikan hasil studi kelayakan yang memuat tingkat
kejenuhan jumlah bank yang melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan
Prinsip Syariah;
c. dengan mempergunakan sumber daya manusia sendiri Bank; dan
d. memenuhi rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum bagi Unit Usaha
Syariah.
(3) Pembukaan Kantor dibawah Kantor Cabang Syariah dapat bertempat di alamat
yang sama dengan Kantor Cabang dan atau Kantor dibawah Kantor Cabang
Bank dengan tetap memperhatikan faktor keamanan.
(4) Laporan …
- 34 -
(4) Laporan keuangan Kantor dibawah Kantor Cabang Syariah wajib digabungkan
dengan laporan keuangan Kantor Cabang Syariah induknya pada hari yang
sama.
Pasal 36
(1) Bank wajib menyampaikan rencana pembukaan Kantor dibawah Kantor
Cabang Syariah kepada Bank Indonesia selambat-lambatnya dalam jangka
waktu 30 (tiga puluh) hari sebelum pelaksanaan pembukaan kantor, disertai
dengan hasil studi kelayakan yang memuat tingkat kejenuhan jumlah bank
yang melakukan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah; dan
(2) Pelaksanaan pembukaan Kantor dibawah Kantor Cabang Syariah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan selambat-lambatnya
dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari setelah tanggal surat penegasan dari
Bank Indonesia.
(3) Pelaksanaan pembukaan Kantor dibawah Kantor Cabang Syariah
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), wajib dilaporkan kepada Bank Indonesia
selambat-lambatnya dalam jangka waktu 10 (sepuluh) hari setelah tanggal
pelaksanaan pembukaan.
Bagian Ketujuh
Kegiatan Kas di luar Kantor Bank
Pasal 37
Pengaturan mengenai Kegiatan Kas di luar Kantor Bank berpedoman pada
ketentuan kegiatan kas diluar kantor bank sebagaimana diatur dalam Peraturan
Bank Indonesia tentang Bank Umum Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha
Berdasarkan Prinsip Syariah.
Bagian …
- 35 -
Bagian Kedelapan
Layanan Syariah
Pasal 38
(1) Rencana Layanan Syariah wajib dicantumkan dalam rencana bisnis Bank yang
telah mendapatkan penegasan dari Bank Indonesia.
(2) Layanan Syariah dapat dibuka:
a. dalam satu wilayah kerja Kantor Bank Indonesia dengan Kantor Cabang
Syariah induknya;
b. dengan menggunakan pola kerjasama antara Kantor Cabang Syariah
induknya dengan Kantor Cabang dan atau Kantor Cabang Pembantu; dan
c. dengan mempergunakan sumber daya manusia sendiri Bank yang telah
memiliki pengetahuan mengenai produk dan operasional Bank Syariah.
(3) Layanan Syariah wajib:
a. memiliki pencatatan dan pembukuan yang terpisah dari Kantor Cabang dan
atau Kantor Cabang Pembantu; dan
b. menggunakan standar akuntansi keuangan yang berlaku bagi perbankan
syariah.
(4) Laporan keuangan Layanan Syariah wajib digabungkan dengan laporan
keuangan Kantor Cabang Syariah induknya pada hari yang sama.
Pasal 39
(1) Bank wajib menyampaikan laporan rencana Layanan Syariah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 38 kepada Bank Indonesia paling lambat dalam jangka
waktu 30 (tiga puluh) hari sebelum pelaksanaan kegiatan.
(2) Pelaksanaan kegiatan Layanan Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38
wajib dilakukan paling lambat dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari setelah
tanggal penegasan dari Bank Indonesia.
(3) Pelaksanaan …
- 36 -
(3) Pelaksanaan Layanan Syariah wajib dilaporkan oleh Bank kepada Bank
Indonesia paling lambat 10 (sepuluh) hari setelah tanggal pelaksanaan
kegiatan.
Bagian Kesembilan
Kegiatan Usaha
Pasal 40
(1) Bank yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah wajib
menerapkan prinsip syariah dan prinsip kehati-hatian dalam melakukan
kegiatan usahanya
(2) Pengaturan mengenai kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah berpedoman
pada ketentuan kegiatan usaha sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank
Indonesia tentang Bank Umum Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha
Berdasarkan Prinsip Syariah.
Bagian Kesepuluh
Pindah Alamat Kantor
Pasal 41
Pengaturan mengenai pemindahan alamat Kantor Cabang Syariah, Kantor
dibawah Kantor Cabang Syariah dan Kegiatan Kas di luar Kantor Bank
berpedoman pada ketentuan mengenai pemindahan alamat kantor sebagaimana
diatur dalam Peraturan Bank Indonesia tentang Bank Umum Yang Melaksanakan
Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah.
Bagian …
- 37 -
Bagian Kesebelas
Peningkatan dan Penurunan Status Kantor
Pasal 42
(1) Peningkatan status dari Kantor dibawah Kantor Cabang Syariah menjadi
Kantor Cabang Syariah dilakukan dengan memenuhi ketentuan pembukaan
Kantor Cabang Syariah.
(2) Peningkatan status dari Kegiatan Kas di luar Kantor Bank Syariah menjadi
Kantor dibawah Kantor
ketentuan pembukaan kantor dibawah Kantor Cabang Syariah.
Pasal 43
(1) Penurunan status dari Kantor Cabang Syariah menjadi Kantor dibawah Kantor
Cabang Syariah hanya dapat dilakukan dengan cara menutup Kantor Cabang
Syariah dan membuka Kantor dibawah Kantor Cabang Syariah.
(2) Penurunan status dari Kantor dibawah Kantor Cabang Syariah menjadi
Kegiatan Kas diluar Kantor Bank Syariah hanya dapat dilakukan dengan cara
menutup Kantor dibawah Kantor Cabang Syariah dan membuka Kegiatan Kas
diluar Kantor Bank Syariah.
Bagian Keduabelas
Penutupan Kantor-Kantor Syariah
Pasal 44
Pengaturan mengenai penutupan Kantor Cabang Syariah dan Kantor dibawah
Kantor Cabang Syariah serta penghentian Kegiatan Kas di luar Kantor Bank,
berpedoman pada ketentuan mengenai penutupan kantor sebagaimana diatur
dalam Peraturan Bank Indonesia tentang Bank Umum Yang Melaksanakan
Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah.
Pasal 45…
Cabang Syariah dilakukan dengan memenuhi
- 38 -
Pasal 45
(1) Penutupan Unit Syariah hanya dapat dilakukan dengan izin Gubernur Bank
Indonesia.
(2) Rencana penutupan Unit Syariah wajib dilaporkan oleh Bank kepada Bank
Indonesia paling lambat 30 (tiga puluh) hari sebelum pelaksanaan penutupan
dan disertai dengan:
a.
b.
alasan penutupan;
langkah-langkah yang ditempuh dalam rangka penyelesaian kewajiban
Unit Syariah kepada nasabah dan pihak lainnya.
(3) Pelaksanaan penutupan Unit Syariah wajib dilaporkan oleh Bank kepada
Bank Indonesia paling lambat 10 (sepuluh) hari setelah tanggal penutupan
dan wajib disertai dengan:
a.
laporan penyelesaian kewajiban kepada nasabah serta pihak lainnya;
dan
b. surat pernyataan dari pemimpin Unit Usaha Syariah bahwa langkah-
langkah penyelesaian seluruh kewajiban Unit Syariah kepada nasabah
dan pihak lainnya telah diselesaikan dan apabila terdapat tuntutan di
kemudian hari menjadi tanggung jawab pemimpin Unit Usaha Syariah
untuk dan atas nama Bank.
(4) Dalam hal dipandang perlu Bank Indonesia melakukan pemeriksaan kepada
Unit Syariah dalam rangka meneliti penyelesaian seluruh kewajiban Unit
Syariah yang akan ditutup.
Pasal 46
(1) Pelaksanaan penutupan Unit Syariah wajib dilaporkan oleh Bank kepada
Bank Indonesia paling lambat 10 (sepuluh) hari setelah tanggal penutupan
Unit Syariah.
(2) Penutupan …
- 39 -
(2) Penutupan Unit Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
diumumkan oleh Bank dalam surat kabar yang mempunyai peredaran luas
ditempat kedudukan kantor Bank paling lambat 10 (sepuluh) hari setelah
tanggal penutupan.
Pasal 47
(1) Rencana penghentian Layanan Syariah wajib dilaporkan oleh Bank kepada
Bank Indonesia paling lambat 30 (tiga puluh) hari sebelum pelaksanaan
penghentian dan disertai dengan:
a. alasan penghentian; dan
b. langkah-langkah yang ditempuh dalam rangka penyelesaian kewajiban
kepada nasabah dan pihak lainnya.
(2) Pelaksanaan penghentian Layanan Syariah wajib dilaporkan oleh Bank kepada
Bank Indonesia paling lambat 10 (sepuluh) hari setelah tanggal penghentian
dan wajib disertai dengan:
a. bukti penyelesaian kewajiban kepada nasabah serta pihak lainnya; dan
b. surat pernyataan dari pemimpin Kantor Cabang Syariah induknya bahwa
langkah-langkah penyelesaian seluruh Layanan Syariah kepada nasabah
dan pihak lainnya telah diselesaikan dan apabila terdapat tuntutan di
kemudian hari menjadi tanggung jawab pemimpin Kantor Cabang Syariah
induk untuk dan atas nama Bank.
Bagian Ketigabelas
Akuntansi
Pasal 48
Sistem akuntansi kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah mengacu kepada
Standar Akuntansi Keuangan Syariah yang berlaku bagi perbankan syariah.
Bagian …
- 40 -
Bagian Keempatbelas
Administrasi Dokumen
Pasal 49
(1) Bank wajib mengadministrasikan dengan tertib:
a. daftar pemegang saham dan perubahannya bagi Bank yang berbentuk
hukum Perseroan Terbatas/Perusahaan Daerah; atau
b. buku daftar anggota dan perubahannya bagi Bank yang berbentuk hukum
Koperasi.
(2) Bank yang
telah terdaftar di pasar modal wajib memperbarui daftar
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a.
Pasal 50
(1) Bank wajib menyampaikan perubahan dokumen sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 11 ayat (3) dengan mengacu kepada ketentuan yang berlaku tentang
rencana bisnis Bank.
(2) Bank wajib menyampaikan perubahan dokumen sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 ayat (1) huruf h, huruf i, dan huruf j pada setiap saat apabila terjadi
perubahan yang bersifat material.
(3) Penyampaian dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib
disampaikan kepada Bank Indonesia paling lambat 30 (tiga puluh) hari setelah
terjadi perubahan.
Pasal 51
Bank wajib menjamin kebenaran dokumen atau identitas yang dikeluarkan oleh
instansi terkait atau pihak ketiga yang disampaikan kepada Bank Indonesia.
BAB IV …
- 41 -
BAB IV
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 52
(1) Permohonan izin yang diajukan sebelum berlakunya Peraturan Bank Indonesia
ini tetapi belum disetujui wajib disesuaikan dengan persyaratan dan dokumen
sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini.
(2) Pemimpin Unit Usaha Syariah yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 11 ayat (4) huruf a wajib menyesuaikan dengan
ketentuan tersebut dalam waktu selambat-lambatnya 1 (satu) tahun sejak
dikeluarkannya Peraturan Bank Indonesia ini.
BAB V
SANKSI
Pasal 53
(1) Bank yang tidak menaati ketentuan dalam Pasal 2, Pasal 4 ayat (3), Pasal 7
ayat (1), Pasal 8 ayat (1), ayat (4) dan ayat (5), Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11,
Pasal 12, Pasal 13 ayat (3), Pasal 14, Pasal 15, Pasal 16, Pasal 17 ayat (1),
Pasal 20 ayat (2), Pasal 22 ayat (3), Pasal 23 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 24,
Pasal 25, Pasal 27 ayat (1), Pasal 28, Pasal 29 ayat (2), Pasal 32, Pasal 34 ayat
(1), Pasal 35, Pasal 36 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 37, Pasal 38, Pasal 39 ayat
(1) dan ayat (2), Pasal 40, Pasal 41, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 44, Pasal 45 ayat
(1) dan ayat (2), Pasal 47 ayat (1), Pasal 48, Pasal 49, Pasal 50, Pasal 51, dan
Pasal 52 ayat (2) dikenakan sanksi administratif sesuai dengan Pasal 52
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998.
(2) Bank yang tidak menaati ketentuan dalam Pasal 7 ayat
(4), Pasal 27 ayat
ayat
(2), Pasal 22
(2), Pasal 29 ayat (3), Pasal 34 ayat (2), Pasal 36
ayat (3) …
- 42 -
ayat (3), Pasal 39 ayat (3), Pasal 46 dan Pasal 47 ayat (2) dikenakan sanksi
administratif sesuai Pasal 52 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10
Tahun 1998, berupa:
a. teguran tertulis dan kewajiban membayar sebesar Rp1.000.000,00 (satu
juta rupiah) per hari kelambatan untuk setiap laporan dan atau
pengumuman;
b. teguran tertulis dan kewajiban membayar sebesar Rp30.000.000,00 (tiga
puluh juta rupiah) dalam hal Bank tidak menyampaikan laporan dan atau
pengumuman.
(3) Bank dinyatakan tidak menyampaikan laporan dan atau pengumuman
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b apabila Bank belum
menyampaikan laporan dimaksud setelah 30 (tiga puluh) hari sejak batas akhir
penyampaian laporan dan atau pengumuman.
(4) Setiap pihak yang tidak menaati ketentuan Pasal 13 ayat (2), Pasal 24 ayat (1),
dan Pasal 32 ayat (1) dapat dikenakan sanksi pidana sesuai dengan Pasal 46
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998.
BAB VI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 54
Dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini maka Peraturan Bank Indonesia
Nomor 4/1/PBI/2002 tanggal 27 Maret 2002 tentang Bank Umum Konvensional
yang melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah dicabut dan
dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 55 …
- 43 -
Pasal 55
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal
: 30 Januari 2006
GUBERNUR BANK INDONESIA,
BURHANUDDIN ABDULLAH
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2006 NOMOR 5
DPbS
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 8/3/PBI/2006
TENTANG
PERUBAHAN KEGIATAN USAHA BANK UMUM KONVENSIONAL
MENJADI BANK UMUM YANG MELAKSANAKAN KEGIATAN USAHA
BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH DAN
PEMBUKAAN KANTOR BANK YANG MELAKSANAKAN KEGIATAN
USAHA BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH OLEH
BANK UMUM KONVENSIONAL
UMUM
Dalam rangka menghadapi perkembangan perekonomian nasional yang
semakin kompleks dan terintegrasi dengan perekonomian internasional, diperlukan
penyesuaian terhadap kebijakan di bidang perbankan. Penyesuaian kebijakan
tersebut diharapkan dapat memperbaiki dan memperkokoh ketahanan perbankan
nasional.
Penyesuaian kebijakan tersebut juga dimaksudkan untuk mendorong
percepatan pertumbuhan jaringan kantor Bank Umum Konvensional yang
melaksanakan
kegiatan
usaha berdasarkan prinsip syariah dalam
rangka
memperluas jangkauan layanan kepada masyarakat. Sehubungan dengan itu
terhadap Kantor Cabang yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional
dari suatu bank yang berkedudukan di luar negeri diberikan juga kesempatan
untuk berperan serta dalam perbankan syariah.
Perkembangan perbankan syariah harus didukung oleh permodalan yang
kuat dan pemilik bank yang patut serta memiliki kondisi keuangan yang sehat
sehingga …
- 2 -
sehingga sejalan dengan perkembangan globalisasi sistem keuangan dan
pembukaan akses pasar. Selain permodalan yang kuat, bank harus didukung pula
oleh pengurus, Dewan Pengawas Syariah, pejabat bank dan sumber daya manusia
yang kompeten untuk mengelola bank secara sehat. Sementara itu, optimalisasi
perluasan jaringan kantor bank dilakukan dengan tetap mempertimbangkan
kelayakan dan rencana bisnis bank. Perluasan jaringan kantor bank juga harus
memperhatikan tingkat kejenuhan jumlah bank dan tingkat persaingan antar bank
yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, serta pemerataan
pembangunan ekonomi.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Angka 1
Cukup jelas.
Angka 2
Cukup jelas.
Angka 3
Cukup jelas.
Angka 4
Cukup jelas.
Angka 5
Cukup jelas.
Angka 6
Cukup jelas.
Angka 7
Cukup jelas.
Angka 8
Cukup …
- 3 -
Cukup jelas.
Angka 9
Cukup jelas.
Angka 10
Cukup jelas.
Angka 11
Cukup jelas.
Angka 12
Cukup jelas.
Angka 13
Cukup jelas.
Angka 14
Cukup jelas.
Angka 15
Cukup jelas.
Angka 16
Cukup jelas.
Angka 17
Cukup jelas.
Angka 18
Cukup jelas.
Angka 19
Cukup jelas.
Angka 20
Cukup jelas.
Pasal 2
Ayat (1)
Cukup …
- 4 -
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 3
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Angka 1 sampai dengan angka 6
Cukup jelas.
Angka 7
Yang dimaksud dengan tanggal pengajuan
permohonan adalah tanggal pada saat Bank
mengajukan permohonan perubahan kegiatan usaha
Bank.
Angka 8
Pengaturan mengenai jumlah anggota Direksi atau
komisaris yang telah berpengalaman berpedoman pada
Peraturan Bank Indonesia tentang Pelaksanaan Good
Corporate Govenance yang berlaku bagi bank yang
melaksanakan …
- 5 -
melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip
Syariah.
Angka 9 sampai dengan angka 13
Cukup jelas.
Angka 14
Cukup jelas.
Huruf f
Struktur organisasi dan susunan personalia antara lain
meliputi organization chart, garis tanggung jawab horizontal
dan vertikal, serta jabatan dan nama-nama personalia
sekurang-kurangnya sampai dengan
tingkatan Pejabat
Eksekutif.
Huruf g
Angka 1
Data pendukung adalah data yang digunakan dalam
perhitungan/analisis studi kelayakan yang dikeluarkan
oleh instansi berwenang.
Angka 2 dan angka 3
Cukup jelas.
Huruf h
Corporate plan antara lain meliputi rencana-rencana strategis
Bank dalam jangka menengah (tiga tahunan) dan jangka
panjang (lima tahunan) dalam rangka pencapaian tujuan
perubahan kegiatan usaha Bank menjadi Bank yang
melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah.
Huruf i
Pedoman …
- 6 -
Pedoman manajemen risiko antara lain memuat teknik dan
metode yang digunakan Bank untuk mengidentifikasi,
mengukur, memantau dan mengendalikan risiko-risiko yang
timbul sebagai akibat operasional Bank. Pedoman manajemen
risiko tidak hanya didasarkan atas
data historis namun
mencakup juga proyeksi risiko yang akan datang (forward
looking).
Huruf j
Termasuk dalam sistem dan prosedur kerja adalah buku
pedoman (manual) yang lengkap dan komprehensif yang
akan digunakan untuk Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip
Syariah.
Huruf k
Penyelesaian kewajiban kepada nasabah yang tidak bersedia
menjadi nasabah Bank berdasarkan Prinsip Syariah dapat
dilakukan antara lain melalui pengalihan seluruh kewajiban
kepada Bank lain atau pihak lain dengan persetujuan nasabah.
Huruf l
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Angka 1 sampai dengan angka 5
Cukup jelas.
Angka 6
Yang …
- 7 -
Yang dimaksud dengan kelompok usaha yang terkait dengan
Bank adalah:
a. perorangan dan badan hukum;
b. beberapa orang; atau
c. beberapa badan hukum, yang memiliki keterkaitan
kepengurusan, kepemilikan atau hubungan keluarga
sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Bank Indonesia
tentang Batas Maksimum Pemberian Kredit;
Angka 7
Surat pernyataan Pemegang Saham Pengendali berbentuk
badan hukum dibuat dan disampaikan oleh pengurus yang
mempunyai wewenang untuk mewakili badan hukum yang
bersangkutan.
Dalam hal Bank merupakan bagian dari kepemilikan suatu
kelompok usaha maka surat pernyataan disampaikan oleh
pihak-pihak yang berdasarkan penilaian Bank Indonesia
mengendalikan baik secara langsung maupun tidak langsung
atas seluruh kelompok usaha.
Pasal 4
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Termasuk dalam kegiatan penelitian adalah melakukan
pemeriksaan apabila diperlukan.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c …
- 8 -
Huruf c
Pelaksanaan wawancara terhadap calon Pemegang Saham
Pengendali, calon anggota dewan Komisaris, dan calon
anggota Direksi dilakukan sesuai dengan Peraturan Bank
Indonesia tentang Penilaian Kemampuan dan Kepatutan (Fit
and Proper Test).
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 8
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Bukti …
- 9 -
Bukti pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat ini dapat berupa
bukti kesanggupan pembayaran dari debitur sampai dengan jangka
waktu tertentu.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud menempatkan dan mengelola dana adalah kegiatan
treasury di pasar uang syariah, bukan penyaluran
masyarakat.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2) …
dana ke
- 10 -
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Bank hanya dapat melakukan pembukaan Kantor Cabang Syariah
sesuai dengan penegasan Bank Indonesia terhadap rencana bisnis
Bank sepanjang tidak terdapat perubahan kondisi keuangan yang
bersifat material antara rencana bisnis dengan realisasi rencana
bisnis pada saat pembukaan kantor, antara lain seperti terjadi
penurunan permodalan Bank yang material.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 14
Biaya operasional awal antara lain biaya sewa gedung, gaji karyawan, dan
over head cost.
Rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum dalam Pasal ini mengacu
pada Peraturan Bank Indonesia tentang Kewajiban Penyediaan Modal
Minimum.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup …
- 11 -
Cukup jelas.
Pasal 18
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Dalam hal Bank akan menggunakan gedung kantor yang
disewa, maka untuk sementara dokumen rencana persiapan
operasional gedung kantor dapat berupa nota kesepakatan
sewa menyewa gedung kantor. Perjanjian sewa disampaikan
pada saat Bank melaporkan pelaksanaan pembukaan kantor.
Huruf c sampai dengan huruf j
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Penyelesaian kewajiban kepada nasabah yang tidak bersedia
menjadi nasabah bank yang melaksanakan Kegiatan Usaha
Berdasarkan Prinsip Syariah dapat dilakukan antara lain
melalui pengalihan seluruh kewajiban kepada Bank lain atau
pihak lain dengan persetujuan nasabah.
Pasal 19
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3) …
- 12 -
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 20
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 21
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 22
Ayat (1)
Apabila diperlukan dalam rangka penelitian kebenaran dokumen,
Bank Indonesia dapat melakukan pemeriksaan.
Ayat (2)
Dalam hal Kantor Cabang Syariah berasal dari konversi Kantor
Cabang dan atau peningkatan status Kantor dibawah Kantor Cabang
yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional maka izin
pembukaan Kantor Cabang Syariah menggantikan izin dan status
keberadaan kantor Bank sebelumnya.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup …
- 13 -
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 23
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 24
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Bank hanya dapat melakukan pembukaan Unit Syariah sesuai
dengan penegasan Bank Indonesia terhadap rencana bisnis Bank
sepanjang tidak terdapat perubahan kondisi keuangan yang bersifat
material antara rencana kerja dengan realisasi rencana kerja pada
saat pembukaan kantor, antara lain seperti terjadi penurunan
permodalan Bank yang material.
Pasal 25
Yang dimaksud biaya operasional awal antara lain biaya sewa gedung, gaji
karyawan, dan over head cost.
Rasio …
- 14 -
Rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum dalam Pasal ini mengacu
pada Peraturan Bank Indonesia tentang Kewajiban Penyediaan Modal
Minimum.
Pasal 26
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Kesiapan sumberdaya manusia adalah adanya petugas yang
ditunjuk secara khusus oleh Bank untuk menangani kegiatan
operasional Unit Syariah.
Sistem akuntansi yang diterapkan dapat memisahkan laporan
kantor Bank dengan laporan Unit Syariah.
Huruf c dan huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Angka 1
Data pendukung adalah data yang digunakan dalam
perhitungan analsis studi kelayakan yang dikeluarkan
oleh instansi yang berwenang.
Angka 2 dan angka 3
Cukup jelas.
Huruf f sampai dengan huruf i
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup …
- 15 -
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 27
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 28
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 29
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Penyelesaian kewajiban kepada nasabah serta pihak lainnya, dapat
dilakukan
dengan cara mengalihkan kepada
bank yang
melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah lain dan
atau mengalihkan kepada pihak lain dan atau cara lain dengan
persetujuan nasabah..
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup …
- 16 -
Cukup jelas.
Pasal 30
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Bank hanya dapat melakukan pembukaan Kantor Cabang Syariah
sesuai dengan penegasan Bank Indonesia terhadap rencana bisnis
Bank sepanjang tidak terdapat perubahan kondisi keuangan yang
bersifat material antara rencana bisnis dengan realisasi rencana
bisnis pada saat pembukaan kantor, antara lain seperti terjadi
penurunan permodalan Bank yang material.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 33 …
- 17 -
Pasal 33
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Dalam hal Kantor Cabang Syariah berasal dari konversi Kantor
Cabang dan atau peningkatan status Kantor dibawah Kantor Cabang
yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional maka izin
pembukaan Kantor Cabang Syariah menggantikan izin dan status
keberadaan kantor Bank sebelumnya.
Pasal 34
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 35
Ayat (1)
Bank hanya dapat melakukan pembukaan Kantor dibawah Kantor
Cabang Syariah sesuai dengan penegasan Bank Indonesia terhadap
rencana bisnis Bank, sepanjang tidak terdapat perubahan kondisi
keuangan yang bersifat material antara rencana bisnis dengan
realisasi …
- 18 -
realisasi rencana bisnis pada saat pembukaan kantor, antara lain
seperti terjadi penurunan permodalan Bank yang material.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Dalam hal Kantor dibawah Kantor Cabang Syariah bertempat di
alamat yang sama dengan Kantor Cabang dan atau Kantor dibawah
Kantor Cabang Bank, harus ada pemisahan fisik yang jelas antara
Kantor dibawah Kantor Cabang Syariah dengan Kantor Cabang dan
atau Kantor dibawah Kantor Cabang Bank.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 36
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 37
Cukup jelas.
Pasal 38
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3) …
- 19 -
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 39
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 40
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 41
Cukup jelas.
Pasal 42
Ayat (1)
Dengan diberikannya persetujuan pembukaan Kantor Cabang
Syariah, maka secara langsung Kantor dibawah Kantor Cabang
Syariah ditutup.
Ayat (2)
Dengan diberikannya persetujuan pembukaan Kantor dibawah
Kantor Cabang Syariah, maka secara langsung Kegiatan Kas di luar
Kantor Bank Syariah dihentikan.
Pasal 43 …
- 20 -
Pasal 43
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 44
Cukup jelas.
Pasal 45
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 46
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 47
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Penyelesaian …
- 21 -
Penyelesaian kewajiban kepada nasabah dan pihak lainnya
dapat dilakukan antara lain melalui pengalihan seluruh
kewajiban kepada kantor syariah lainnya atau pihak lain
dengan persetujuan nasabah.
Ayat (2)
Huruf a
Bukti penyelesaian kewajiban kepada nasabah adalah berupa
laporan keuangan Kantor Cabang Syariah yang menunjukkan
seluruh kewajiban Layanan Syariah kepada nasabah dan
pihak lain telah selesai.
Huruf b
Penyelesaian kewajiban kepada nasabah dan pihak lainnya
dapat dilakukan antara lain melalui pengalihan seluruh
kewajiban kepada kantor syariah lainnya atau pihak lain
dengan persetujuan nasabah.
Pasal 48
Cukup jelas.
Pasal 49
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 50
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3) …
- 22 -
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 51
Cukup jelas.
Pasal 52
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 53
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Jumlah sanksi kewajiban membayar dihitung berdasarkan
keterlambatan laporan.
Huruf b
Jumlah sanksi kewajiban membayar dihitung berdasarkan
laporan yang tidak disampaikan.
Dalam hal Bank dikenakan sanksi tidak menyampaikan
laporan, tidak lagi dikenakan sanksi keterlambatan
penyampaian laporan.
Ayat (3)
Batas waktu penyampaian laporan 30 (tiga puluh) hari termasuk
batas waktu penyampaian laporan koreksi.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 54 …
- 23 -
Pasal 54
Cukup jelas.
Pasal 55
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4599
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 8/3/PBI/2006 </reg_id>
<reg_title> PERUBAHAN KEGIATAN USAHA BANK UMUM KONVENSIONAL MENJADI BANK UMUM YANG MELAKSANAKAN KEGIATAN USAHA BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH DAN PEMBUKAAN KANTOR BANK YANG MELAKSANAKAN KEGIATAN USAHA BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH OLEH BANK UMUM KONVENSIONAL </reg_title>
<set_date> 30 Januari 2006 </set_date>
<effective_date> 30 Januari 2006 </effective_date>
<replaced_reg> '4/1/PBI/2002' </replaced_reg>
<related_reg> '23/UU/1999', '3/UU/2004', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB V' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 13/ 17 /PBI/2011
TENTANG
PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 7/42/PBI/2005 TENTANG PENGELUARAN DAN PENGEDARAN
UANG KERTAS RUPIAH PECAHAN 50.000 (LIMA PULUH RIBU)
TAHUN EMISI 2005
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang
: a. bahwa pengeluaran dan pengedaran uang rupiah
ditujukan untuk menyediakan uang tunai di masyarakat
sebagai alat pembayaran yang sah (legal tender) di
Negara Kesatuan Republik Indonesia;
b. bahwa untuk lebih mengoptimalkan fungsi elemen pada
desain uang kertas rupiah pecahan 50.000 (lima puluh
ribu) sebagai legal tender di Negara Kesatuan Republik
Indonesia, diperlukan perubahan unsur pengaman pada
desain uang rupiah;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu untuk
melakukan perubahan kedua atas Peraturan Bank
Indonesia Nomor 7/42/PBI/2005 tentang Pengeluaran
dan Pengedaran Uang Kertas Rupiah Pecahan 50.000
(Lima Puluh Ribu) Tahun Emisi 2005;
Mengingat ...
-2-
Mengingat
: 1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun
1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843),
sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan
Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999
tentang Bank Indonesia Menjadi Undang-Undang
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4962);
2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun
2011 tentang Mata Uang (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2011 Nomor 64, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5223);
3. Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/14/PBI/2004
tentang Pengeluaran, Pengedaran, Pencabutan dan
Penarikan, serta Pemusnahan Uang Rupiah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 52,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4388) sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Bank Indonesia Nomor 9/10/PBI/2007
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007
Nomor 113, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4762);
MEMUTUSKAN ...
-3-
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN BANK
INDONESIA NOMOR 7/42/PBI/2005 TENTANG
PENGELUARAN DAN PENGEDARAN UANG
KERTAS RUPIAH PECAHAN 50.000 (LIMA PULUH
RIBU) TAHUN EMISI 2005.
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/42/PBI/2005
tentang Pengeluaran dan Pengedaran Uang Kertas Rupiah Pecahan 50.000 (Lima
Puluh Ribu) Tahun Emisi 2005 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2005 Nomor 102) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia
Nomor 11/8/PBI/2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 45) diubah sebagai berikut:
1. Ketentuan Pasal 4 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 4
Ciri uang rupiah pecahan 50.000 (lima puluh ribu) sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 1, untuk tahun pencetakan mulai bulan Januari tahun 2009
sampai dengan bulan Juni tahun 2011 adalah:
a. Warna
bagian muka dan bagian belakang uang dicetak dengan warna dominan
biru;
b. Gambar
1. bagian muka
a) gambar ...
-4-
a) gambar utama berupa gambar Pahlawan Nasional I Gusti Ngurah
Rai dan dibawahnya dicantumkan tulisan “I GUSTI NGURAH
RAI”;
b) pada sebelah kiri gambar utama dengan arah vertikal terdapat
gambar ornamen daerah Bali berwarna biru yang akan
memendar hijau di bawah sinar ultra violet;
c) pada sebelah kiri atas gambar utama dengan arah horizontal dan
pada sebelah kanan tanda air dengan arah vertikal, terdapat
angka nominal “50000”;
d) pada sebelah kiri gambar utama, di bawah angka nominal
“50000” terdapat gambar saling isi (rectoverso) yang apabila
diterawangkan ke arah cahaya akan terlihat logo Bank Indonesia
secara utuh;
e) pada sebelah kiri bawah gambar utama dengan arah horizontal
terdapat tulisan “BANK INDONESIA” dan di bawah tulisan
tersebut terdapat tulisan “LIMA PULUH RIBU RUPIAH”;
f) pada sebelah kiri gambar utama, di atas tulisan “BANK
INDONESIA” terdapat kode tuna netra (blind code) berupa
2 (dua) buah segitiga yang terasa kasar apabila diraba;
g) pada sebelah kanan atas gambar utama terdapat gambar
tersembunyi (latent image) tulisan ”BI” dalam bingkai persegi
panjang berbentuk ornamen daerah Bali yang dapat dilihat dari
sudut pandang tertentu;
h) pada sebelah kanan atas gambar utama terdapat gambar
Lambang Negara Kesatuan Republik Indonesia, yaitu Garuda
Pancasila;
i) pada sebelah kanan bawah terdapat logo Bank Indonesia di
dalam bidang segi empat yang dicetak dengan tinta khusus
(optically ...
-5-
(optically variable ink) yang akan berubah warna dari magenta
menjadi hijau apabila dilihat dari sudut pandang berbeda;
j) pada sebelah kanan bawah gambar utama terdapat angka tahun
pencetakan “2009” (angka 2009 akan berubah sesuai dengan
tahun pencetakan uang), tulisan “DEWAN GUBERNUR”, tanda
tangan Gubernur Bank Indonesia beserta tulisan “GUBERNUR”,
dan tanda tangan Deputi Gubernur Bank Indonesia beserta
tulisan “DEPUTI GUBERNUR”;
k) sebagai latar belakang dan pengisi bidang terdiri dari garis-garis
bergelombang, miring, dan rangkaian garis melengkung yang
membentuk ornamen daerah Bali;
l) mikroteks yaitu teks yang hanya dapat dibaca dengan bantuan
kaca pembesar terdapat:
1) pada sebelah kiri gambar utama yang mengisi angka nominal
“50000” berupa tulisan ”BI”;
2) pada sebelah kiri gambar utama berupa tulisan ”BI” sebagai
latar belakang ornamen daerah Bali;
3) di tepi kiri ornamen daerah Bali berupa tulisan ”BI” dan di
tepi kanan ornamen daerah Bali berupa angka nominal
”50000” yang keduanya membentuk garis vertikal;
4) pada sebelah kiri atas dan bawah gambar utama berbentuk
kotak-kotak dengan kombinasi tulisan ”BI” dan ”BI50000”
yang tersusun horizontal dan tulisan ”BANKINDONESIA”
dan ”BI50000” yang tersusun diagonal;
5) pada sebelah kanan gambar utama berupa tulisan ”BI” yang
membentuk warna dasar dan gambar relief daerah Bali;
6) di tepi kiri atas dan bawah serta di tepi kanan atas dan bawah
berupa logo BI yang membentuk pola dasar uang;
m) miniteks ...
-6-
m) miniteks yaitu teks dengan ukuran kecil yang dapat dibaca tanpa
bantuan kaca pembesar terdapat di atas dan di bawah tanda air
berupa tulisan ”BANKINDONESIA50000” yang berbentuk
lengkungan dengan warna dan ukuran teks yang berbeda;
2. bagian belakang
a) gambar utama berupa gambar Danau Beratan, Bedugul, Bali dan
di sebelah kanannya dicantumkan tulisan “DANAU BERATAN,
BEDUGUL” dengan arah vertikal;
b) di bawah gambar utama terdapat tulisan “DENGAN RAHMAT
TUHAN YANG MAHA ESA, BANK INDONESIA
MENGELUARKAN UANG SEBAGAI ALAT
PEMBAYARAN YANG SAH DENGAN NILAI LIMA
PULUH RIBU RUPIAH”;
c) di atas tanda air, terdapat cetakan tidak kasat mata berupa
gambar siluet penari Bali yang akan memendar hijau kekuningan
di bawah sinar ultra violet;
d) pada bagian kiri bawah gambar utama, terdapat cetakan tidak
kasat mata berupa angka nominal “50000” dalam kotak persegi
panjang yang akan memendar hijau kekuningan di bawah sinar
ultra violet;
e) di tepi kiri dan kanan bagian tengah uang, terdapat gambar
ornamen daerah Bali yang akan memendar hijau di bawah sinar
ultra violet;
f) nomor seri yang terdiri dari 3 (tiga) huruf dan 6 (enam) angka
terletak pada sebelah kiri bawah uang yang dicetak dengan tinta
berwarna hitam yang akan memendar hijau di bawah sinar ultra
violet dan pada sebelah kanan atas di bawah tulisan “BANK
INDONESIA ...
-7-
INDONESIA” dicetak dengan tinta berwarna merah yang akan
memendar oranye di bawah sinar ultra violet;
g) pada sebelah kanan atas gambar utama terdapat tulisan “BANK
INDONESIA”;
h) pada sebelah kanan atas di bawah nomor seri terdapat gambar
saling isi (rectoverso) yang apabila diterawangkan ke arah
cahaya akan terlihat logo Bank Indonesia secara utuh;
i) pada sebelah kanan bawah dengan arah horizontal dan pada
sebelah kiri atas dengan arah vertikal terdapat angka nominal
“50000”;
j) pada sebelah kanan bawah tepat di bawah angka nominal
“50000” terdapat tulisan “PERUM PERCETAKAN UANG RI
IMP” dan angka tahun pengeluaran “2005”;
k) mikroteks yaitu teks yang hanya dapat dibaca dengan bantuan
kaca pembesar terdapat:
1) di tepi kiri atas dan bawah serta tepi kanan atas dan bawah
berbentuk kotak-kotak berupa tulisan “BI” yang tersusun
horizontal serta tulisan “BI50000” dan “BANK
INDONESIA” yang tersusun diagonal;
2) di tepi kiri gambar utama berupa tulisan “BANK
INDONESIA” yang membentuk garis vertikal;
3) pada bagian kiri atas gambar utama berupa tulisan ”BI” yang
membentuk ornamen daerah Bali;
4) pada sebelah kanan bawah gambar utama yang mengisi
angka nominal “50000” berupa tulisan ”BI”;
l) miniteks yaitu teks dengan ukuran kecil yang dapat dibaca tanpa
bantuan kaca pembesar terdapat di atas dan di bawah tanda air
berupa ...
-8-
berupa angka nominal ”50000” yang berbentuk garis
melengkung dengan ukuran teks yang berbeda;
c. Bahan
kertas uang memiliki spesifikasi sebagai berikut:
1. terbuat dari serat kapas;
2. ukuran panjang 149 mm dan lebar 65 mm;
3. warna biru muda;
4. tidak memendar di bawah sinar ultra violet;
5. tanda air berupa gambar Pahlawan Nasional I Gusti Ngurah Rai dan
electrotype berupa logo BI dan ornamen daerah Bali;
6. benang pengaman berbentuk anyaman yang memuat tulisan
“BI50000” berulang-ulang dan terbaca utuh atau terpotong sebagian
serta akan berubah warna dari magenta menjadi hijau apabila dilihat
dari sudut pandang berbeda.
2. Di antara Pasal 4 dan Pasal 5 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 4A yang
berbunyi sebagai berikut:
Pasal 4A
Ciri uang rupiah pecahan 50.000 (lima puluh ribu) sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 1, untuk tahun pencetakan mulai bulan Juli tahun 2011 adalah:
a. Warna
bagian muka dan bagian belakang uang dicetak dengan warna dominan
biru;
b. Gambar
1. bagian muka
a) gambar utama berupa gambar Pahlawan Nasional I Gusti Ngurah
Rai, dan dibawahnya dicantumkan tulisan “I GUSTI NGURAH
RAI”;
b) pada ...
-9-
b) pada sebelah kiri gambar utama dengan arah vertikal terdapat
gambar ornamen daerah Bali berwarna biru yang akan
memendar hijau di bawah sinar ultra violet;
c) pada sebelah kiri atas gambar utama dengan arah horizontal dan
pada sebelah kanan tanda air dengan arah vertikal, terdapat
angka nominal “50000”;
d) pada sebelah kiri gambar utama, di bawah angka nominal
“50000” terdapat gambar saling isi (rectoverso) yang apabila
diterawangkan ke arah cahaya akan terlihat logo Bank Indonesia
secara utuh;
e) pada sebelah kiri bawah gambar utama dengan arah horizontal
terdapat tulisan “BANK INDONESIA” dan di bawah tulisan
tersebut terdapat tulisan “LIMA PULUH RIBU RUPIAH”;
f) pada sebelah kiri gambar utama dan di atas tulisan “BANK
INDONESIA” terdapat kode tuna netra (blind code) berupa
2 (dua) buah segitiga berwarna magenta yang terasa kasar
apabila diraba;
g) pada sebelah kanan atas gambar utama terdapat gambar
tersembunyi (latent image) tulisan ”BI” dalam bingkai persegi
panjang berbentuk ornamen daerah Bali yang dapat dilihat dari
sudut pandang tertentu;
h) pada sebelah kanan atas gambar utama terdapat gambar
Lambang Negara Kesatuan Republik Indonesia, yaitu Garuda
Pancasila;
i) pada sebelah kanan gambar utama terdapat rainbow printing
dalam bidang berbentuk segi empat yang akan berubah warna
apabila dilihat dari sudut pandang berbeda;
j) pada ...
-10-
j) pada sebelah kanan gambar utama terdapat elemen desain
berbentuk lingkaran-lingkaran kecil berwarna oranye dan
ditengahnya berwarna putih yang letaknya tersebar;
k) pada sebelah kanan bawah terdapat logo Bank Indonesia di
dalam bidang segi empat yang dicetak dengan tinta khusus
(optically variable ink) yang akan berubah warna dari magenta
menjadi hijau apabila dilihat dari sudut pandang tertentu;
l) pada sebelah kanan bawah gambar utama terdapat angka tahun
pencetakan “2011” (angka 2011 akan berubah sesuai dengan
tahun pencetakan uang), tulisan “DEWAN GUBERNUR”, tanda
tangan Gubernur Bank Indonesia beserta tulisan “GUBERNUR”,
dan tanda tangan Deputi Gubernur Bank Indonesia beserta
tulisan “DEPUTI GUBERNUR”;
m) sebagai latar belakang dan pengisi bidang terdiri dari garis-garis
bergelombang, miring, dan rangkaian garis melengkung yang
membentuk ornamen daerah Bali;
n) mikroteks yaitu teks yang hanya dapat dibaca dengan bantuan
kaca pembesar terdapat:
1) pada sebelah kiri gambar utama yang mengisi angka nominal
“50000” berupa tulisan ”BI”;
2) pada sebelah kiri gambar utama berupa tulisan ”BI” sebagai
latar belakang ornamen daerah Bali;
3) di tepi kiri ornamen daerah Bali berupa tulisan ”BI” dan di
tepi kanan ornamen daerah Bali berupa angka nominal
”50000” yang keduanya membentuk garis vertikal;
4) pada sebelah kiri atas dan bawah gambar utama berbentuk
kotak-kotak dengan kombinasi tulisan ”BI” dan ”BI50000”
yang ...
-11-
yang tersusun horizontal dan tulisan ”BANKINDONESIA”
dan ”BI50000” yang tersusun diagonal;
5) di tepi kiri atas dan bawah serta di tepi kanan atas dan bawah
berupa logo BI yang membentuk pola dasar uang;
o) miniteks yaitu teks dengan ukuran kecil yang dapat dibaca tanpa
bantuan kaca pembesar terdapat di atas dan di bawah tanda air
berupa tulisan ”BANKINDONESIA50000” yang berbentuk
lengkungan dengan warna dan ukuran teks yang berbeda;
2. bagian belakang
a) gambar utama berupa gambar Danau Beratan, Bedugul, Bali dan
di sebelah kanannya dicantumkan tulisan “DANAU BERATAN,
BEDUGUL” dengan arah vertikal;
b) di bawah gambar utama terdapat tulisan “DENGAN RAHMAT
TUHAN YANG MAHA ESA, BANK INDONESIA
MENGELUARKAN UANG SEBAGAI ALAT
PEMBAYARAN YANG SAH DENGAN NILAI LIMA
PULUH RIBU RUPIAH”;
c) di atas tanda air, terdapat cetakan tidak kasat mata berupa
gambar siluet penari Bali yang akan memendar hijau kekuningan
di bawah sinar ultra violet;
d) pada bagian kiri bawah gambar utama, terdapat cetakan tidak
kasat mata berupa angka nominal “50000” dalam kotak persegi
panjang yang akan memendar hijau kekuningan di bawah sinar
ultra violet;
e) di tepi kiri dan kanan bagian tengah uang, terdapat gambar
ornamen daerah Bali yang akan memendar hijau di bawah sinar
ultra violet;
f) pada ...
-12-
f) pada sebelah kanan gambar utama terdapat elemen desain
berbentuk lingkaran-lingkaran kecil berwarna oranye dan
ditengahnya berwarna putih yang letaknya tersebar;
g) nomor seri yang terdiri dari 3 (tiga) huruf dan 6 (enam) angka
terletak pada sebelah kiri bawah uang yang dicetak dengan tinta
berwarna hitam yang akan memendar hijau di bawah sinar ultra
violet dan pada sebelah kanan atas di bawah tulisan “BANK
INDONESIA” dicetak dengan tinta berwarna merah yang akan
memendar oranye di bawah sinar ultra violet;
h) pada sebelah kanan atas gambar utama terdapat tulisan “BANK
INDONESIA”;
i) pada sebelah kanan atas di bawah nomor seri terdapat gambar
saling isi (rectoverso) yang apabila diterawangkan ke arah
cahaya akan terlihat logo Bank Indonesia secara utuh;
j) pada sebelah kanan bawah dengan arah horizontal dan pada
sebelah kiri atas dengan arah vertikal terdapat angka nominal
“50000”;
k) pada sebelah kanan bawah tepat di bawah angka nominal
“50000” terdapat tulisan “PERUM PERCETAKAN UANG RI
IMP” dan angka tahun pengeluaran “2005”;
l) mikroteks yaitu teks yang hanya dapat dibaca dengan bantuan
kaca pembesar terdapat:
1) di tepi kiri atas dan bawah serta tepi kanan atas dan bawah
berbentuk kotak-kotak berupa tulisan “BI” yang tersusun
horizontal
serta
2) di
tulisan
“BI50000”
“BANKINDONESIA” yang tersusun diagonal;
tepi kiri gambar utama berupa tulisan
“BANKINDONESIA” yang membentuk garis vertikal;
3) pada ...
dan
-13-
3) pada bagian kiri atas gambar utama berupa tulisan ”BI” yang
membentuk ornamen daerah Bali;
4) pada sebelah kanan bawah gambar utama yang mengisi
angka nominal “50000” berupa tulisan ”BI”;
m) miniteks yaitu teks dengan ukuran kecil yang dapat dibaca tanpa
bantuan kaca pembesar terdapat di atas dan di bawah tanda air
berupa angka nominal ”50000” yang berbentuk garis
melengkung dengan ukuran teks yang berbeda;
c. Bahan
kertas uang memiliki spesifikasi sebagai berikut:
1. terbuat dari serat kapas;
2. ukuran panjang 149 mm dan lebar 65 mm;
3. warna biru muda;
4. tidak memendar di bawah sinar ultra violet;
5. tanda air berupa gambar Pahlawan Nasional I Gusti Ngurah Rai dan
electrotype berupa logo BI dan ornamen daerah Bali;
6. benang pengaman berbentuk anyaman yang memuat tulisan
“BI50000” berulang-ulang dan terbaca utuh atau terpotong sebagian
serta akan berubah warna dari magenta menjadi hijau apabila dilihat
dari sudut pandang berbeda.
3. Pasal 5A dihapus.
Pasal II
Uang kertas rupiah pecahan 50.000 (lima puluh ribu) yang dikeluarkan oleh
Bank Indonesia sebelum berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini, masih tetap
berlaku sepanjang belum dicabut dan ditarik dari peredaran.
Pasal ...
-14-
Pasal III
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank
Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 1 Agustus 2011
GUBERNUR BANK INDONESIA,
DARMIN NASUTION
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 1 Agustus 2011
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
PATRIALIS AKBAR
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2011 NOMOR 76
DPU
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 13/17/PBI/2011 </reg_id>
<reg_title> PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 7/42/PBI/2005 TENTANG PENGELUARAN DAN PENGEDARAN UANG KERTAS RUPIAH PECAHAN 50.000 (LIMA PULUH RIBU) TAHUN EMISI 2005 </reg_title>
<set_date> 1 Agustus 2011 </set_date>
<effective_date> 1 Agustus 2011 </effective_date>
<issued_date> 1 Agustus 2011 </issued_date>
<changed_reg> '7/42/PBI/2005' </changed_reg>
<related_reg> '6/UU/2009', '23/UU/1999', '6/14/PBI/2004', '2/PERPPU/2008', '9/10/PBI/2007', '7/UU/2011' </related_reg>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 13/13 /PBI/2011
TENTANG
PENILAIAN KUALITAS AKTIVA
BAGI BANK UMUM SYARIAH DAN UNIT USAHA SYARIAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang: a. bahwa kelangsungan usaha bank tergantung dari kemampuan
bank dalam melakukan penanaman dana dengan
mempertimbangkan prinsip kehati-hatian dan Prinsip Syariah;
b. bahwa penilaian kualitas aktiva dalam rangka pembentukan
penyisihan penghapusan aktiva merupakan salah satu bentuk
pengelolaan risiko yang bertujuan agar bank dapat menyerap
potensi kerugian yang telah diperkirakan (expected loss);
c. bahwa dengan diberlakukannya undang-undang tentang
perbankan syariah serta harmonisasi dengan ketentuan terkait
lainnya, perlu dilakukan penyesuaian ketentuan yang terkait
dengan penilaian kualitas aktiva dan pembentukan penyisihan
penghapusan aktiva;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada
huruf a, huruf b, dan huruf c perlu mengatur kembali ketentuan
mengenai kualitas aktiva bagi bank umum syariah dan unit usaha
syariah dalam Peraturan Bank Indonesia;
Mengingat …
- 2 -
Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843)
sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999
tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962);
2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008
Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4867);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PENILAIAN
KUALITAS AKTIVA BAGI BANK UMUM SYARIAH DAN UNIT
USAHA SYARIAH.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Bank adalah Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah …
- 3 -
Syariah.
2. Bank Pembiayaan Rakyat Syariah, yang selanjutnya disebut BPRS, adalah Bank
Pembiayaan Rakyat Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
3. Aktiva Produktif adalah penanaman dana Bank baik dalam rupiah maupun valuta
asing untuk memperoleh penghasilan, dalam bentuk Pembiayaan, Surat Berharga
Syariah, Sertifikat Bank Indonesia Syariah, Penyertaan Modal, Penyertaan Modal
Sementara, Penempatan Pada Bank Lain, komitmen dan kontinjensi pada
Transaksi Rekening Administratif, dan bentuk penyediaan dana lainnya yang
dapat dipersamakan dengan itu.
4. Pembiayaan adalah penyediaan dana atau tagihan yang dipersamakan dengan itu
berupa:
a.
b.
transaksi bagi hasil dalam bentuk mudharabah dan musyarakah;
transaksi sewa-menyewa dalam bentuk ijarah atau sewa beli dalam bentuk
ijarah muntahiya bittamlik;
c.
d.
e.
transaksi jual beli dalam bentuk piutang murabahah, salam, dan istishna’;
transaksi pinjam meminjam dalam bentuk piutang qardh; dan
transaksi sewa-menyewa jasa dalam bentuk ijarah untuk transaksi
multijasa,
berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara Bank dan pihak lain yang
mewajibkan pihak yang dibiayai dan/atau diberi fasilitas dana untuk
mengembalikan dana tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan
ujrah, tanpa imbalan, atau bagi hasil.
5. Pembiayaan berdasarkan akad mudharabah, yang selanjutnya disebut
Pembiayaan Mudharabah, adalah Pembiayaan dalam bentuk kerja sama suatu
usaha antara Bank yang menyediakan seluruh modal dan nasabah yang bertindak
selaku pengelola dana dengan membagi keuntungan usaha sesuai dengan
kesepakatan …
- 4 -
kesepakatan yang dituangkan dalam akad, sedangkan kerugian ditanggung
sepenuhnya oleh Bank kecuali jika nasabah melakukan kesalahan yang disengaja,
lalai atau menyalahi perjanjian.
6. Pembiayaan berdasarkan akad musyarakah, yang selanjutnya disebut Pembiayaan
Musyarakah, adalah Pembiayaan dalam bentuk kerja sama antara Bank dengan
nasabah untuk suatu usaha tertentu yang masing-masing pihak memberikan porsi
dana dengan ketentuan bahwa keuntungan akan dibagi sesuai dengan
kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung sesuai dengan porsi dana masing-
masing.
7. Pembiayaan berdasarkan akad murabahah, yang selanjutnya disebut Pembiayaan
Murabahah, adalah Pembiayaan suatu barang dengan menegaskan harga belinya
kepada pembeli dan pembeli membayarnya dengan harga yang lebih sebagai
keuntungan yang disepakati.
8. Pembiayaan berdasarkan akad salam, yang selanjutnya disebut Pembiayaan
Salam, adalah Pembiayaan suatu barang dengan cara pemesanan dan pembayaran
harga yang dilakukan terlebih dahulu dengan syarat tertentu yang disepakati.
9. Pembiayaan berdasarkan akad istishna’, yang selanjutnya disebut Pembiayaan
Istishna’, adalah Pembiayaan suatu barang dalam bentuk pemesanan pembuatan
barang tertentu dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati antara
nasabah dan penjual atau pembuat barang.
10. Pembiayaan berdasarkan akad ijarah, yang selanjutnya disebut Pembiayaan
Ijarah, adalah Pembiayaan dalam rangka memindahkan hak guna atau manfaat
dari suatu barang atau jasa berdasarkan transaksi sewa, tanpa diikuti dengan
pemindahan kepemilikan barang itu sendiri.
11. Pembiayaan berdasarkan akad ijarah muntahiya bittamlik, yang selanjutnya
disebut Pembiayaan Ijarah Muntahiya Bittamlik, adalah Pembiayaan dalam
rangka memindahkan hak guna atau manfaat dari suatu barang atau jasa
berdasarkan …
- 5 -
berdasarkan transaksi sewa dengan opsi pemindahan kepemilikan barang.
12. Pembiayaan berdasarkan akad qardh, yang selanjutnya disebut Pembiayaan
Qardh, adalah Pembiayaan dalam bentuk pinjaman dana kepada nasabah dengan
ketentuan bahwa nasabah wajib mengembalikan dana yang diterimanya pada
waktu yang telah disepakati.
13. Surat Berharga Syariah adalah surat bukti berinvestasi berdasarkan Prinsip
Syariah yang lazim diperdagangkan di pasar uang dan/atau pasar modal antara
lain obligasi syariah, sertifikat reksadana syariah, dan surat berharga lainnya
berdasarkan Prinsip Syariah.
14. Sertifikat Bank Indonesia Syariah, yang selanjutnya disebut sebagai SBIS, adalah
surat berharga berdasarkan Prinsip Syariah berjangka waktu pendek dalam mata
uang rupiah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia.
15. Prinsip Syariah adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan perbankan
berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan
dalam penetapan fatwa di bidang syariah.
16. Penyertaan Modal adalah penanaman dana Bank dalam bentuk saham pada
perusahaan yang bergerak di bidang keuangan syariah, termasuk penanaman dana
dalam bentuk surat berharga yang dapat dikonversi menjadi saham (convertible
bonds) atau jenis transaksi tertentu berdasarkan Prinsip Syariah yang berakibat
Bank memiliki atau akan memiliki saham pada perusahaan yang bergerak di
bidang keuangan syariah.
17. Penyertaan Modal Sementara adalah penyertaan modal Bank, antara lain berupa
pembelian saham dan/atau konversi Pembiayaan menjadi saham dalam
perusahaan nasabah untuk mengatasi kegagalan penyaluran dana dan/atau
piutang dalam jangka waktu tertentu sebagaimana dimaksud dalam ketentuan
Bank Indonesia.
18. Penempatan …
- 6 -
18. Penempatan Pada Bank Lain adalah penanaman dana pada Bank Umum Syariah,
Unit Usaha Syariah dan/atau BPRS antara lain dalam bentuk giro, tabungan,
deposito, Pembiayaan, dan/atau bentuk penempatan lainnya berdasarkan Prinsip
Syariah.
19. Transaksi Rekening Administratif adalah komitmen dan kontinjensi (off-balance
sheet) berdasarkan Prinsip Syariah yang terdiri atas bank garansi,
akseptasi/endosemen, irrevocable Letter of Credit (L/C) yang masih berjalan,
akseptasi wesel impor atas dasar L/C berjangka, standby L/C dan garansi lain
berdasarkan Prinsip Syariah.
20. Proyeksi Bagi Hasil, yang selanjutnya disebut PBH, adalah perkiraan pendapatan
yang akan diterima Bank dari nasabah atas Pembiayaan Mudharabah dan
Pembiayaan Musyarakah setelah memperhitungkan nisbah bagi hasil, dengan
jumlah dan tanggal jatuh tempo yang disepakati antara Bank dan nasabah.
21. Realisasi Bagi Hasil, yang selanjutnya disebut RBH, adalah pendapatan yang
diterima Bank dari nasabah atas Pembiayaan Mudharabah dan Pembiayaan
Musyarakah setelah memperhitungkan nisbah bagi hasil.
22. Aktiva Non Produktif adalah aset Bank selain Aktiva Produktif yang memiliki
potensi kerugian, antara lain dalam bentuk Agunan Yang Diambil Alih, properti
terbengkalai, serta Rekening Antar Kantor dan Suspense Account.
23. Agunan Yang Diambil Alih, yang untuk selanjutnya disebut AYDA, adalah
sebagian atau seluruh agunan yang dibeli Bank, baik melalui pelelangan maupun
di luar pelelangan, berdasarkan penyerahan sukarela oleh pemilik agunan atau
berdasarkan pemberian kuasa untuk menjual dari pemilik agunan, dengan
kewajiban untuk dicairkan kembali.
24. Rekening Antar Kantor adalah akun tagihan yang timbul dari transaksi antar
kantor yang belum diselesaikan dalam jangka waktu tertentu.
25. Suspense …
- 7 -
25. Suspense Account adalah akun yang digunakan untuk menampung transaksi yang
tidak teridentifikasi atau tidak didukung dengan dokumen pencatatan yang
memadai sehingga tidak dapat diklasifikasikan dalam akun yang seharusnya.
26. Penyisihan Penghapusan Aktiva, yang selanjutnya disebut PPA, adalah cadangan
yang harus dibentuk sebesar persentase tertentu berdasarkan kualitas aktiva.
27. Penilai Independen adalah Kantor Jasa Penilai Publik (KJPP) yang:
a.
tidak ada keterkaitan dalam hal kepemilikan, kepengurusan dan keuangan
baik dengan Bank maupun nasabah yang menerima fasilitas;
b. melakukan kegiatan penilaian berdasarkan kode etik profesi dan ketentuan-
ketentuan lain yang ditetapkan oleh institusi yang berwenang;
c. menggunakan metode penilaian berdasarkan standar profesi penilaian yang
diterbitkan oleh institusi yang berwenang;
d. memiliki izin usaha dari institusi yang berwenang untuk beroperasi sebagai
perusahaan penilai; dan
e.
tercatat sebagai anggota asosiasi yang diakui oleh institusi yang berwenang.
28. Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah, yang selanjutnya disebut UMKM, adalah
UMKM sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008
tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah.
29. Kewajiban Penyediaan Modal Minimum, yang selanjutnya disebut KPMM,
adalah KPMM sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang
mengatur mengenai kewajiban penyediaan modal minimum.
BAB II
KUALITAS AKTIVA
Pasal 2
(1) Penanaman dan/atau penyediaan dana Bank wajib dilaksanakan berdasarkan
prinsip kehati-hatian dan Prinsip Syariah.
(2) Bank …
- 8 -
(2) Bank wajib menilai, memantau dan mengambil langkah-langkah antisipasi agar
kualitas aktiva senantiasa dalam keadaan Lancar.
Pasal 3
Penilaian kualitas aktiva dilakukan terhadap Aktiva Produktif dan Aktiva Non
Produktif.
Pasal 4
(1) Bank wajib melakukan penilaian dan penggolongan kualitas aktiva sesuai dengan
Peraturan Bank Indonesia ini.
(2) Dalam hal terjadi perbedaan penilaian kualitas aktiva antara Bank dan Bank
Indonesia, kualitas aktiva yang diberlakukan adalah kualitas yang ditetapkan
oleh Bank Indonesia.
(3) Bank wajib menyesuaikan kualitas aktiva sesuai dengan penilaian kualitas yang
ditetapkan oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam
laporan-laporan yang disampaikan kepada Bank Indonesia dan/atau laporan
publikasi sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku,
paling lambat pada periode laporan berikutnya setelah pemberitahuan dari Bank
Indonesia.
BAB III
AKTIVA PRODUKTIF
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 5
(1) Bank wajib menggolongkan kualitas yang sama terhadap beberapa rekening
Aktiva Produktif yang digunakan untuk membiayai 1 (satu) nasabah pada Bank
yang …
- 9 -
yang sama.
(2) Penggolongan kualitas yang sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku
pula untuk Aktiva Produktif berupa penyediaan dana atau tagihan yang diberikan
oleh lebih dari 1 (satu) Bank yang dilaksanakan berdasarkan perjanjian
Pembiayaan bersama dan/atau sindikasi.
(3) Dalam hal terdapat kualitas Aktiva Produktif yang berbeda sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Bank wajib menggolongkan kualitas yang
sama untuk masing-masing Aktiva Produktif mengikuti kualitas Aktiva Produktif
yang paling rendah.
(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dikecualikan dalam hal
Aktiva Produktif digolongkan berdasarkan faktor penilaian yang berbeda.
Pasal 6
Bank wajib melakukan penilaian kualitas Aktiva Produktif secara bulanan.
Pasal 7
(1) Penanaman dana Bank dalam bentuk Aktiva Produktif wajib didukung dengan
dokumen yang lengkap dan memberikan informasi yang cukup.
(2) Bank Indonesia berwenang menurunkan kualitas Aktiva Produktif yang oleh
Bank digolongkan Lancar dan Dalam Perhatian Khusus menjadi paling tinggi
Kurang Lancar, apabila dokumen penanaman dana tidak memberikan informasi
yang cukup untuk mendukung penggolongan dimaksud.
Bagian Kedua …
- 10 -
Bagian Kedua
Pembiayaan
Pasal 8
(1) Penilaian atas kualitas Aktiva Produktif dalam bentuk Pembiayaan dilakukan
berdasarkan faktor-faktor sebagai berikut:
a. prospek usaha;
b. kinerja (performance) nasabah; dan
c. kemampuan membayar.
(2) Kualitas Aktiva Produktif dalam bentuk Pembiayaan digolongkan menjadi
Lancar, Dalam Perhatian Khusus, Kurang Lancar, Diragukan, dan Macet.
Pasal 9
(1) Penilaian terhadap prospek usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1)
huruf a meliputi penilaian terhadap komponen-komponen sebagai berikut:
a. potensi pertumbuhan usaha;
b. kondisi pasar dan posisi nasabah dalam persaingan;
c. kualitas manajemen dan permasalahan tenaga kerja;
d. dukungan dari grup atau afiliasi; dan
e. upaya yang dilakukan nasabah dalam rangka memelihara lingkungan hidup.
(2) Penilaian terhadap kinerja nasabah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1)
huruf b meliputi penilaian terhadap komponen-komponen sebagai berikut:
a. perolehan laba;
b.
c.
d.
struktur permodalan;
arus kas; dan
sensitivitas terhadap risiko pasar.
(3) Penilaian terhadap kemampuan membayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8
ayat (1) huruf c meliputi penilaian terhadap komponen-komponen sebagai
berikut …
- 11 -
berikut:
a. ketepatan pembayaran pokok dan marjin/bagi hasil/fee;
b. ketersediaan dan keakuratan informasi keuangan nasabah;
c. kelengkapan dokumen Pembiayaan;
d. kepatuhan terhadap perjanjian Pembiayaan;
e. kesesuaian penggunaan dana; dan
f.
kewajaran sumber pembayaran kewajiban.
Pasal 10
(1) Penggolongan kualitas Aktiva Produktif dalam bentuk Pembiayaan dilakukan
dengan melakukan analisis terhadap faktor penilaian sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 8 dengan mempertimbangkan komponen-komponen sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9.
(2) Penggolongan kualitas Aktiva Produktif dalam bentuk Pembiayaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan mempertimbangkan:
a.
b.
signifikansi dan materialitas dari setiap faktor penilaian dan komponen;
serta
relevansi dari faktor penilaian dan komponen terhadap nasabah yang
bersangkutan.
Pasal 11
(1) Bank wajib memiliki ketentuan intern yang mengatur kriteria dan persyaratan
nasabah Pembiayaan yang wajib menyampaikan laporan keuangan yang telah
diaudit akuntan publik, termasuk aturan mengenai batas waktu penyampaian
laporan tersebut.
(2) Kewajiban nasabah untuk menyampaikan laporan keuangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib dicantumkan dalam perjanjian antara Bank dan
nasabah …
- 12 -
nasabah.
(3) Ketentuan intern sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memperhatikan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(4) Kualitas Aktiva Produktif dalam bentuk Pembiayaan dari nasabah yang tidak
menyampaikan laporan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diturunkan satu tingkat dan digolongkan paling tinggi Kurang Lancar.
Pasal 12
(1) Penilaian terhadap kualitas Aktiva Produktif dalam bentuk Pembiayaan
Mudharabah dan Pembiayaan Musyarakah yang dilakukan berdasarkan
kemampuan membayar mengacu pada rasio RBH terhadap PBH dan/atau
ketepatan pembayaran pokok.
(2) Penghitungan rasio RBH terhadap PBH sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
dilakukan berdasarkan akumulasi selama periode Pembiayaan Mudharabah dan
Pembiayaan Musyarakah yang telah berjalan.
(3) PBH dihitung berdasarkan analisis kelayakan usaha dan arus kas masuk (cash
inflow) nasabah selama jangka waktu Pembiayaan Mudharabah dan Pembiayaan
Musyarakah.
(4) Bank dapat mengubah PBH berdasarkan kesepakatan dengan nasabah apabila
terdapat perubahan atas kondisi ekonomi makro, pasar, dan politik yang
mempengaruhi usaha nasabah.
(5) Bank wajib mencantumkan PBH dan perubahan PBH dalam perjanjian
Pembiayaan Mudharabah dan Pembiayaan Musyarakah antara Bank dengan
nasabah.
Pasal 13 …
- 13 -
Pasal 13
(1) Dalam Pembiayaan Mudharabah, Bank tidak diwajibkan menetapkan
pembayaran angsuran pokok secara berkala oleh Nasabah.
(2) Bank wajib melakukan langkah-langkah untuk mengurangi risiko tidak
terbayarnya pokok Pembiayaan pada saat jatuh tempo apabila dalam Pembiayaan
Mudharabah disepakati tidak ada pembayaran angsuran pokok secara berkala.
(3) Untuk Pembiayaan Musyarakah dengan jangka waktu lebih dari 1 (satu) tahun,
Bank wajib menetapkan pembayaran angsuran pokok secara berkala sesuai
dengan proyeksi arus kas masuk (cash inflow) usaha nasabah.
(4) Pembayaran angsuran atau pelunasan pokok Pembiayaan Mudharabah dan
Pembiayaan Musyarakah wajib dicantumkan dalam perjanjian Pembiayaan
antara Bank dengan nasabah.
Pasal 14
(1) Penilaian atas kualitas Aktiva Produktif dalam bentuk Pembiayaan dan
penyediaan dana lainnya dapat hanya didasarkan atas faktor penilaian
kemampuan membayar untuk:
a. Pembiayaan dan penyediaan dana lainnya yang diberikan oleh setiap Bank
kepada 1 (satu) nasabah atau 1 (satu) proyek dengan jumlah paling banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah);
b. Pembiayaan dan penyediaan dana lainnya yang diberikan oleh setiap Bank
kepada nasabah UMKM dengan jumlah:
1)
lebih besar dari Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah) sampai
dengan Rp20.000.000.000,00 (dua puluh milyar rupiah) bagi Bank
yang memenuhi kriteria sebagai berikut:
i. memiliki predikat penilaian kecukupan sistem pengendalian
risiko (risk control system) untuk risiko kredit “sangat memadai”
(strong); …
- 14 -
(strong);
ii. memiliki peringkat komposit tingkat kesehatan paling rendah 3
(tiga); dan
iii. memiliki rasio KPMM paling rendah sama dengan ketentuan
yang berlaku;
2)
lebih besar dari Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah) sampai
dengan Rp10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah) bagi Bank yang
memenuhi kriteria sebagai berikut:
i. memiliki predikat penilaian kecukupan sistem pengendalian
risiko (risk control system) untuk risiko kredit “dapat
diandalkan” (acceptable);
ii. memiliki peringkat komposit tingkat kesehatan paling rendah 3
(tiga); dan
iii. memiliki rasio KPMM paling rendah sama dengan ketentuan
yang berlaku.
(2) Penilaian atas kualitas Aktiva Produktif dalam bentuk Pembiayaan dan
penyediaan dana lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b bagi Unit
Usaha Syariah berlaku ketentuan sebagai berikut:
a. predikat penilaian kecukupan sistem pengendalian risiko (risk control
system) untuk risiko kredit mengacu pada predikat penilaian kecukupan
sistem pengendalian risiko (risk control system) Unit Usaha Syariah; dan
b. peringkat komposit tingkat kesehatan dan rasio KPMM mengacu pada
peringkat komposit tingkat kesehatan dan rasio KPMM bank induknya.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b tidak diberlakukan untuk
Pembiayaan dan penyediaan dana lainnya yang diberikan kepada 1 (satu)
nasabah UMKM dengan jumlah lebih besar dari Rp1.000.000.000,00 (satu
milyar rupiah) yang merupakan:
a. Pembiayaan …
- 15 -
a. Pembiayaan yang direstrukturisasi; dan/atau
b. penyediaan dana kepada 50 (lima puluh) nasabah terbesar Bank.
(4) Dalam hal terdapat penyimpangan yang signifikan atas prinsip pembiayaan yang
sehat, penilaian kualitas Aktiva Produktif dalam bentuk Pembiayaan dan
penyediaan dana lainnya yang diberikan oleh Bank kepada nasabah UMKM
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan berdasarkan faktor
penilaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1).
Pasal 15
(1) Predikat penilaian kecukupan sistem pengendalian risiko (risk control system)
untuk risiko kredit, peringkat komposit tingkat kesehatan, dan rasio KPMM yang
digunakan dalam penilaian kualitas Aktiva Produktif dalam bentuk Pembiayaan
dan penyediaan dana lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1)
huruf b didasarkan pada penilaian Bank Indonesia yang diberitahukan kepada
Bank pada tiap semester.
(2) Penggunaan predikat penilaian kecukupan sistem pengendalian risiko (risk
control system) untuk risiko kredit, peringkat komposit tingkat kesehatan Bank,
dan rasio KPMM yang digunakan dalam penilaian kualitas Aktiva Produktif
dalam bentuk Pembiayaan dan penyediaan dana lainnya sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 14 ayat (1) huruf b dilakukan sebagai berikut:
a. penilaian kualitas Aktiva Produktif dalam bentuk Pembiayaan dan
penyediaan dana lainnya bulan Januari sampai dengan Juni menggunakan
predikat penilaian kecukupan sistem pengendalian risiko (risk control
system) untuk risiko kredit, peringkat komposit tingkat kesehatan, dan rasio
KPMM Bank paling lama posisi bulan September tahun sebelumnya; dan
b. penilaian kualitas Aktiva Produktif dalam bentuk Pembiayaan dan
penyediaan dana lainnya bulan Juli sampai dengan Desember menggunakan
predikat …
- 16 -
predikat penilaian kecukupan sistem pengendalian risiko (risk control
system) untuk risiko kredit, peringkat komposit tingkat kesehatan, dan rasio
KPMM Bank paling lama posisi bulan Maret tahun yang sama.
Bagian Ketiga
Surat Berharga Syariah
Pasal 16
Bank wajib memiliki kebijakan dan prosedur tertulis mengenai Aktiva Produktif dalam
bentuk Surat Berharga Syariah, sebagai berikut:
a. kebijakan mengenai Aktiva Produktif dalam bentuk Surat Berharga Syariah
wajib disetujui oleh Dewan Komisaris;
b. prosedur mengenai Aktiva Produktif dalam bentuk Surat Berharga Syariah wajib
disetujui paling kurang oleh Direksi;
c. Dewan Komisaris wajib melakukan pengawasan secara aktif terhadap
pelaksanaan kebijakan mengenai Aktiva Produktif dalam bentuk Surat Berharga
Syariah; dan
d. kebijakan dan prosedur mengenai Aktiva Produktif dalam bentuk Surat Berharga
Syariah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kebijakan manajemen
risiko Bank sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku.
Pasal 17
(1) Bank dapat melakukan investasi pada Surat Berharga Syariah.
(2) Surat Berharga Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
diperdagangkan sepanjang sesuai dengan Prinsip Syariah.
Pasal 18 …
- 17 -
Pasal 18
(1) Kualitas Aktiva Produktif dalam bentuk Surat Berharga Syariah yang diakui
berdasarkan nilai pasar digolongkan Lancar sepanjang memenuhi persyaratan:
a. aktif diperdagangkan di bursa efek di Indonesia;
b. terdapat informasi nilai pasar secara transparan;
c. telah diterima imbalan dalam jumlah dan waktu yang tepat, sesuai
perjanjian; dan
d. belum jatuh tempo.
(2) Kualitas Aktiva Produktif dalam bentuk Surat Berharga Syariah yang diakui
berdasarkan harga perolehan atau yang diakui berdasarkan nilai pasar namun
tidak aktif diperdagangkan di bursa efek di Indonesia dan/atau tidak terdapat
informasi nilai pasar yang transparan, digolongkan sebagai berikut:
a. Lancar, apabila:
1) memiliki peringkat investasi (investment grade) atau lebih tinggi yang
diterbitkan oleh lembaga pemeringkat (rating agency) yang diakui
oleh Bank Indonesia dan diterbitkan dalam waktu satu tahun terakhir;
2) telah diterima imbalan dalam jumlah dan waktu yang tepat, sesuai
perjanjian; dan
3) belum jatuh tempo;
b. Kurang Lancar, apabila:
1) memiliki peringkat investasi (investment grade) atau lebih tinggi yang
diterbitkan oleh lembaga pemeringkat (rating agency) yang diakui
oleh Bank Indonesia dan diterbitkan dalam waktu satu tahun terakhir;
2) terdapat penundaan pembayaran bagi hasil/marjin/fee berkala atau
kewajiban lain sejenis; dan
3) belum jatuh tempo;
atau
1) memiliki …
- 18 -
1) memiliki peringkat paling kurang 1 (satu) tingkat di bawah peringkat
investasi (investment grade) yang diterbitkan oleh lembaga
pemeringkat (rating agency) yang diakui oleh Bank Indonesia dan
diterbitkan dalam waktu satu tahun terakhir;
2) tidak terdapat penundaan pembayaran bagi hasil/marjin/fee berkala
atau kewajiban lain sejenis; dan
3) belum jatuh tempo;
c. Macet, apabila Surat Berharga Syariah tidak memenuhi kriteria
sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b.
(3) Kualitas Aktiva Produktif dalam bentuk Surat Berharga Syariah di luar Surat
Berharga Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), yang
diterbitkan oleh nasabah mengikuti kualitas Aktiva Produktif dalam bentuk
Pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8.
Pasal 19
(1) Bank dilarang memiliki Aktiva Produktif dalam bentuk saham dan/atau Surat
Berharga Syariah yang dihubungkan atau dijamin dengan aset tertentu yang
mendasari (underlying reference asset) yang berbentuk saham.
(2) Bank hanya dapat memiliki Surat Berharga Syariah yang dihubungkan atau
dijamin dengan aset tertentu yang mendasari sepanjang:
a.
aset yang mendasari dapat diyakini kebenarannya;
b. Bank memiliki hak atas aset yang mendasari atau hak atas nilai dari aset
yang mendasari;
c. Bank memiliki informasi yang jelas, tepat, dan akurat mengenai rincian aset
yang mendasari, yang mencakup penerbit dan nilai dari masing-masing aset
dasar, termasuk setiap perubahannya; dan
d. Bank menatausahakan rincian komposisi dan penerbit aset yang mendasari
serta …
- 19 -
serta menyesuaikan penatausahaan dalam hal terjadi perubahan komposisi
aset.
Pasal 20
(1) Penilaian atas kualitas Aktiva Produktif dalam bentuk Surat Berharga Syariah
yang dihubungkan atau dijamin dengan aset tertentu yang mendasari
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, yang pembayaran kewajibannya terkait
langsung dengan aset yang mendasari (pass through), baik yang dapat dibeli
kembali maupun tidak dapat dibeli kembali (non redemption) oleh penerbit,
didasarkan pada:
a. kualitas Aktiva Produktif dalam bentuk Surat Berharga Syariah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2); atau
b. kualitas aset yang mendasari Surat Berharga Syariah apabila Surat Berharga
Syariah tidak memiliki peringkat.
(2) Penilaian atas kualitas Aktiva Produktif dalam bentuk Surat Berharga Syariah
berupa sertifikat reksadana, didasarkan pada:
a. kualitas Aktiva Produktif dalam bentuk Surat Berharga Syariah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2); atau
b. kualitas aset yang mendasari sertifikat reksadana dan kualitas penerbit
sertifikat reksadana, apabila sertifikat reksadana tidak memiliki peringkat.
Pasal 21
Kualitas Aktiva Produktif dalam bentuk Surat Berharga Syariah yang diterbitkan atau
diendos oleh Bank lain digolongkan sebagai berikut:
a. untuk Surat Berharga Syariah yang memiliki peringkat dan/atau aktif
diperdagangkan di bursa efek di Indonesia, ditetapkan berdasarkan kualitas
terendah antara:
1) hasil …
- 20 -
1) hasil penilaian berdasarkan ketentuan kualitas Aktiva Produktif dalam
bentuk Surat Berharga Syariah yang berlaku, atau
2) hasil penilaian berdasarkan ketentuan kualitas Aktiva Produktif dalam
bentuk Penempatan Pada Bank Lain.
b. Surat Berharga Syariah yang berdasarkan karakteristiknya tidak aktif
diperdagangkan di bursa efek di Indonesia dan tidak memiliki peringkat,
digolongkan berdasarkan kualitas Aktiva Produktif dalam bentuk Penempatan
Pada Bank Lain.
Pasal 22
Kualitas Aktiva Produktif dalam bentuk SBIS dan Surat Berharga Syariah dan/atau
tagihan yang diterbitkan oleh Pemerintah Indonesia berdasarkan Prinsip Syariah
digolongkan Lancar.
Bagian Keempat
Penyertaan Modal
Pasal 23
(1) Penyertaan Modal dengan pangsa Bank lebih rendah dari 20% (dua puluh persen)
wajib dicatat dengan metode biaya (cost method) dan digolongkan sebagai
berikut:
a. Lancar, apabila berdasarkan laporan keuangan tahun buku terakhir yang
telah diaudit, perusahaan tempat Bank melakukan penyertaan memperoleh
laba dan tidak mengalami kerugian kumulatif;
b. Kurang Lancar, apabila berdasarkan laporan keuangan tahun buku terakhir
yang telah diaudit, perusahaan tempat Bank melakukan penyertaan
mengalami kerugian sampai dengan 25% (dua puluh lima persen) dari
modal perusahaan;
c. Diragukan …
- 21 -
c. Diragukan, apabila berdasarkan laporan keuangan tahun buku terakhir yang
telah diaudit, perusahaan tempat Bank melakukan penyertaan mengalami
kerugian lebih dari 25% (dua puluh lima persen) sampai dengan 50% (lima
puluh persen) dari modal perusahaan; atau
d. Macet, apabila berdasarkan laporan keuangan tahun buku terakhir yang
telah diaudit, perusahaan tempat Bank melakukan penyertaan mengalami
kerugian lebih dari 50% (lima puluh persen) dari modal perusahaan;
(2) Penyertaan Modal dengan pangsa Bank 20% (dua puluh persen) atau lebih wajib
dicatat dengan metode ekuitas (equity method) dan digolongkan Lancar.
(3) Dalam rangka Penyertaan Modal, Bank wajib juga tunduk pada Peraturan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai prinsip kehati-hatian dalam penyertaan
modal, dan fatwa Dewan Syariah Nasional – Majelis Ulama Indonesia yang
berlaku.
Pasal 24
(1) Kualitas Aktiva Produktif dalam bentuk Penyertaan Modal Sementara dinilai
berdasarkan jangka waktu penyertaan yang ditetapkan sebagaimana dimaksud
dalam Peraturan Bank Indonesia ini.
(2) Kualitas Aktiva Produktif dalam bentuk Penyertaan Modal Sementara
digolongkan sebagai berikut:
a. Lancar, apabila belum melampaui jangka waktu 1 (satu ) tahun;
b. Kurang Lancar, apabila telah melampaui jangka waktu 1 (satu) tahun dan
belum melampaui jangka waktu 4 (empat) tahun;
c. Diragukan, apabila telah melampaui jangka waktu 4 (empat) tahun dan
belum melampaui 5 (lima) tahun; atau
d. Macet, apabila telah melampaui jangka waktu 5 (lima) tahun atau belum
ditarik kembali meskipun perusahaan nasabah telah memiliki laba
kumulatif …
- 22 -
kumulatif.
(3) Bank Indonesia berwenang menurunkan kualitas Penyertaan Modal Sementara
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) apabila terdapat bukti yang memadai
bahwa:
a. penjualan Penyertaan Modal Sementara diperkirakan akan dilakukan
dengan harga yang lebih rendah dari nilai buku; dan/atau
b. penjualan Penyertaan Modal Sementara dalam jangka waktu 5 (lima) tahun
diperkirakan sulit untuk dilakukan.
(4) Dalam rangka Penyertaan Modal Sementara, Bank wajib juga tunduk pada
Peraturan Bank Indonesia yang mengatur mengenai prinsip kehati-hatian dalam
kegiatan penyertaan modal dan fatwa Dewan Syariah Nasional – Majelis Ulama
Indonesia yang berlaku.
Bagian Kelima
Penempatan Pada Bank Lain
Pasal 25
Bank wajib memiliki kebijakan dan prosedur tertulis mengenai Aktiva Produktif dalam
bentuk Penempatan Pada Bank Lain, dengan ketentuan:
a. kebijakan penempatan wajib disetujui oleh Dewan Komisaris;
b. prosedur penempatan wajib disetujui paling kurang oleh Direksi;
c. Dewan Komisaris wajib melakukan pengawasan secara aktif terhadap
pelaksanaan kebijakan penempatan; dan
d. kebijakan dan prosedur penempatan merupakan bagian yang tidak terpisahkan
dari kebijakan manajemen risiko Bank sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank
Indonesia yang berlaku.
Pasal 26 …
- 23 -
Pasal 26
(1) Kualitas Aktiva Produktif dalam bentuk Penempatan Pada Bank Lain
digolongkan sebagai berikut:
a. Lancar, apabila:
1) bank yang menerima penempatan memiliki rasio KPMM paling
rendah sama dengan ketentuan yang berlaku; dan
2) Penempatan Pada Bank Lain memenuhi kondisi sebagai berikut:
i.
tidak terdapat tunggakan pembayaran pokok untuk akad qardh;
ii. dapat ditarik setiap saat untuk giro dan tabungan berdasarkan
akad wadiah;
iii.
tidak terdapat tunggakan pembayaran nominal investasi dan/atau
bagi hasil untuk tabungan atau deposito berdasarkan akad
mudharabah;
iv.
tidak terdapat tunggakan pembayaran pokok investasi dan/atau
rasio RBH terhadap PBH lebih besar dari atau sama dengan 80%
(delapan puluh persen) untuk Pembiayaan Mudharabah dan
Pembiayaan Musyarakah; atau
v.
tidak terdapat tunggakan pembayaran pokok dan/atau marjin
untuk Pembiayaan Murabahah.
b. Kurang Lancar, apabila:
1) bank yang menerima penempatan memiliki rasio KPMM paling
rendah sama dengan ketentuan yang berlaku; dan
2) Penempatan Pada Bank Lain memenuhi kondisi sebagai berikut:
i.
ii.
terdapat tunggakan pembayaran pokok sampai dengan 5 (lima)
hari kerja untuk akad qardh;
tidak dapat ditarik sampai dengan 5 (lima) hari kerja untuk giro
dan tabungan berdasarkan akad wadiah;
iii. terdapat …
- 24 -
iii.
terdapat tunggakan pembayaran nominal investasi dan/atau bagi
hasil sampai dengan 5 (lima) hari kerja untuk tabungan atau
deposito berdasarkan akad mudharabah;
iv.
terdapat tunggakan pembayaran pokok investasi sampai dengan
5 (lima) hari kerja dan/atau rasio RBH terhadap PBH lebih besar
dari 30% (tiga puluh persen) dan lebih kecil dari 80% (delapan
puluh persen), atau rasio RBH terhadap PBH sama atau lebih
kecil dari 30% (tiga puluh persen) sampai dengan 3 (tiga)
periode pembayaran untuk Pembiayaan Mudharabah dan
Pembiayaan Musyarakah; atau
v.
terdapat tunggakan pembayaran pokok dan/atau marjin sampai
dengan 5 (lima) hari kerja untuk Pembiayaan Murabahah.
c. Macet, apabila:
1) bank yang menerima penempatan memiliki rasio KPMM lebih rendah
dari ketentuan yang berlaku;
2) bank yang menerima penempatan telah ditetapkan dalam pengawasan
khusus, telah dikenakan sanksi pembekuan seluruh kegiatan usaha,
atau telah dicabut izin usahanya; dan/atau
3) Penempatan Pada Bank Lain memenuhi kondisi sebagai berikut:
i.
ii.
iii.
terdapat tunggakan pembayaran pokok lebih dari 5 (lima) hari
kerja untuk akad qardh;
tidak dapat ditarik lebih dari 5 (lima) hari kerja untuk giro dan
tabungan berdasarkan akad wadiah;
terdapat tunggakan pembayaran nominal investasi dan/atau bagi
hasil lebih dari 5 (lima) hari kerja untuk tabungan atau deposito
berdasarkan akad mudharabah;
iv. terdapat …
- 25 -
iv.
terdapat tunggakan pembayaran pokok investasi lebih dari 5
(lima) hari kerja dan/atau rasio RBH terhadap PBH sama dengan
atau lebih kecil dari 30% (tiga puluh persen) lebih dari 3 (tiga)
periode pembayaran untuk Pembiayaan Mudharabah dan
Pembiayaan Musyarakah; atau
v.
terdapat tunggakan pembayaran pokok dan/atau marjin lebih dari
5 (lima) hari kerja untuk Pembiayaan Murabahah.
(2) Kualitas Aktiva Produktif dalam bentuk Penempatan Pada Bank Lain berupa
Pembiayaan kepada BPRS dalam rangka Linkage Program dengan pola
executing digolongkan sebagai berikut:
a. Lancar, apabila:
1) BPRS yang menerima penempatan memiliki rasio KPMM paling
rendah sama dengan ketentuan yang berlaku; dan
2) penempatan pada BPRS memenuhi kondisi sebagai berikut:
i.
tidak terdapat tunggakan pembayaran pokok untuk akad qardh;
ii. dapat ditarik setiap saat untuk tabungan berdasarkan akad
wadiah;
iii.
tidak terdapat tunggakan pembayaran nominal investasi dan/atau
bagi hasil untuk tabungan atau deposito berdasarkan akad
mudharabah;
iv.
tidak terdapat tunggakan pembayaran pokok investasi dan/atau
rasio RBH terhadap PBH lebih besar dari atau sama dengan 80%
(delapan puluh persen) untuk Pembiayaan Mudharabah dan
Pembiayaan Musyarakah; atau
v.
tidak terdapat tunggakan pembayaran pokok dan/atau marjin
untuk Pembiayaan Murabahah.
b. Kurang …
- 26 -
b. Kurang Lancar, apabila:
1) BPRS yang menerima penempatan memiliki rasio KPMM paling
rendah sama dengan ketentuan yang berlaku; dan
2) penempatan pada BPRS memenuhi kondisi sebagai berikut:
i.
ii.
iii.
terdapat tunggakan pembayaran pokok sampai dengan 30 (tiga
puluh) hari untuk akad qardh;
tidak dapat ditarik sampai dengan 30 (tiga puluh) hari untuk
tabungan berdasarkan akad wadiah;
terdapat tunggakan pembayaran nominal investasi dan/atau bagi
hasil sampai dengan 30 (tiga puluh) hari untuk tabungan atau
deposito berdasarkan akad mudharabah;
iv.
terdapat tunggakan pembayaran pokok investasi sampai dengan
30 (tiga puluh) hari dan/atau rasio RBH terhadap PBH lebih
besar dari 30% (tiga puluh persen) dan lebih kecil dari 80%
(delapan puluh persen), atau rasio RBH terhadap PBH sama atau
lebih kecil dari 30% (tiga puluh persen) sampai dengan 3 (tiga)
periode pembayaran untuk Pembiayaan Mudharabah dan
Pembiayaan Musyarakah; atau
v.
terdapat tunggakan pembayaran pokok dan/atau marjin sampai
dengan 30 (tiga puluh) hari untuk Pembiayaan Murabahah.
c. Macet, apabila:
1) BPRS yang menerima penempatan memiliki rasio KPMM lebih
rendah dari ketentuan yang berlaku;
2) BPRS yang menerima penempatan telah ditetapkan dalam
pengawasan khusus, telah dikenakan sanksi pembekuan seluruh
kegiatan usaha, atau telah dicabut izin usahanya; dan/atau
3) penempatan …
- 27 -
3) penempatan pada BPRS memenuhi kondisi sebagai berikut:
i.
ii.
iii.
terdapat tunggakan pembayaran pokok lebih dari 30 (tiga puluh)
hari untuk akad qardh;
tidak dapat ditarik lebih dari 30 (tiga puluh) hari untuk tabungan
berdasarkan akad wadiah;
terdapat tunggakan pembayaran nominal investasi dan/atau bagi
hasil lebih dari 30 (tiga puluh) hari untuk tabungan atau deposito
berdasarkan akad mudharabah;
iv.
terdapat tunggakan pembayaran pokok investasi lebih dari 30
(tiga puluh) hari dan/atau rasio RBH terhadap PBH sama
dengan atau lebih kecil dari 30% (tiga puluh persen) lebih dari 3
(tiga) periode pembayaran untuk Pembiayaan Mudharabah dan
Pembiayaan Musyarakah; atau
v.
terdapat tunggakan pembayaran pokok dan/atau marjin lebih dari
30 (tiga puluh) hari untuk Pembiayaan Murabahah.
Pasal 27
Kualitas tagihan akseptasi digolongkan sebagai berikut:
a. mengikuti kualitas Aktiva Produktif dalam bentuk Penempatan Pada Bank Lain
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 apabila pihak yang wajib melunasi
tagihan adalah bank lain; atau
b. mengikuti kualitas Aktiva Produktif dalam bentuk Pembiayaan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8 apabila pihak yang wajib melunasi tagihan adalah
nasabah.
Bagian Keenam …
- 28 -
Bagian Keenam
Transaksi Rekening Administratif
Pasal 28
Kualitas Aktiva Produktif dalam bentuk Transaksi Rekening Administratif
digolongkan sebagai berikut:
a. mengikuti kualitas Aktiva Produktif dalam bentuk Penempatan Pada Bank Lain
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 apabila pihak lawan transaksi dari
Transaksi Rekening Administratif tersebut adalah bank lain; atau
b. mengikuti kualitas Aktiva Produktif dalam bentuk Pembiayaan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8 apabila pihak lawan transaksi dari Transaksi Rekening
Administratif tersebut adalah nasabah.
Pasal 29
(1) Penetapan kualitas Aktiva Produktif dalam bentuk Transaksi Rekening
Administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 tidak berlaku untuk
kewajiban komitmen dan kontinjensi yang:
a. dapat dibatalkan sewaktu-waktu tanpa syarat oleh Bank; atau
b. dibatalkan secara otomatis oleh Bank apabila kondisi nasabah menurun
menjadi Kurang Lancar, Diragukan, atau Macet.
(2) Bank yang memiliki kewajiban komitmen dan kontinjensi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib mencantumkan klausula sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a atau huruf b ke dalam perjanjian antara Bank dengan
nasabah.
BAB IV …
- 29 -
BAB IV
AKTIVA NON PRODUKTIF
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 30
Bank wajib menilai kualitas Aktiva Non Produktif secara bulanan.
Bagian Kedua
Agunan yang Diambil Alih
Pasal 31
Bank wajib memiliki kebijakan dan prosedur tertulis mengenai Aktiva Non Produktif
dalam bentuk AYDA.
Pasal 32
(1) Bank dapat mengambilalih agunan dalam rangka penyelesaian Pembiayaan.
(2) Pengambilalihan agunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat
dilakukan terhadap nasabah Pembiayaan yang memiliki kualitas Macet.
Pasal 33
(1) Bank wajib menilai AYDA pada saat pengambilalihan agunan atas dasar net
realizable value.
(2) Penetapan net realizable value sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
dilakukan oleh Penilai Independen, untuk AYDA dengan nilai
Rp5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah) atau lebih.
(3) Maksimum net realizable value adalah sebesar nilai Pembiayaan yang
diselesaikan dengan AYDA.
Pasal 34 …
- 30 -
Pasal 34
(1) Bank yang mengambil alih agunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 wajib
mencairkan AYDA paling lama 1 (satu) tahun terhitung sejak tanggal
pengambilalihan.
(2) Bank wajib mendokumentasikan upaya pencairan AYDA sebagaimana dimaksud
pada ayat (1).
Pasal 35
Kualitas Aktiva Non Produktif dalam bentuk AYDA digolongkan sebagai berikut:
a. Lancar, apabila AYDA dimiliki sampai dengan 1 (satu) tahun; atau
b. Macet, apabila AYDA dimiliki lebih dari 1 (satu) tahun.
Bagian Ketiga
Properti Terbengkalai
Pasal 36
(1) Bank wajib melakukan identifikasi dan penggolongan terhadap Properti
Terbengkalai yang dimiliki.
(2) Penetapan Properti Terbengkalai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
disetujui oleh Direksi dan didokumentasikan.
(3) Dalam hal sebagian besar dari suatu properti digunakan untuk kegiatan usaha
Bank yang lazim maka bagian lainnya yang tidak digunakan tidak digolongkan
sebagai Properti Terbengkalai.
(4) Dalam hal sebagian kecil dari suatu properti digunakan untuk kegiatan usaha
Bank yang lazim maka bagian lainnya yang tidak digunakan digolongkan sebagai
Properti Terbengkalai.
Pasal 37 …
- 31 -
Pasal 37
(1) Bank wajib melakukan upaya penyelesaian terhadap Properti Terbengkalai yang
dimiliki.
(2) Bank wajib mendokumentasikan upaya penyelesaian Properti Terbengkalai
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 38
(1) Kualitas Aktiva Non Produktif dalam bentuk Properti Terbengkalai digolongkan
sebagai berikut:
a. Lancar, apabila Properti Terbengkalai dimiliki sampai dengan 1 (satu)
tahun;
b. Kurang Lancar, apabila Properti Terbengkalai dimiliki lebih dari 1 (satu)
tahun sampai dengan 3 (tiga) tahun;
c. Diragukan, apabila Properti Terbengkalai dimiliki lebih dari 3 (tiga) tahun
sampai dengan 5 (lima) tahun; atau
d. Macet, apabila Properti Terbengkalai dimiliki lebih dari 5 (lima) tahun.
(2) Properti Terbengkalai yang tidak dilakukan upaya penyelesaian sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 37, ditetapkan memiliki kualitas satu tingkat di bawah
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Bagian Keempat
Rekening Antar Kantor dan Suspense Account
Pasal 39
(1) Bank wajib melakukan upaya penyelesaian Rekening Antar Kantor dan Suspense
Account.
(2) Kualitas Aktiva Produktif dalam bentuk Rekening Antar Kantor dan Suspense
Account digolongkan sebagai berikut:
a. Lancar, …
- 32 -
a. Lancar, apabila Rekening Antar Kantor dan Suspense Account tercatat
dalam pembukuan Bank sampai dengan 6 (enam) bulan; atau
b. Macet, apabila Rekening Antar Kantor dan Suspense Account tercatat
dalam pembukuan Bank lebih dari 6 (enam) bulan.
BAB V
PENYISIHAN PENGHAPUSAN AKTIVA
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 40
(1) Bank wajib membentuk PPA terhadap Aktiva Produktif dan Aktiva Non
Produktif.
(2) PPA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
a.
b.
cadangan umum dan cadangan khusus untuk Aktiva Produktif; dan
cadangan khusus untuk Aktiva Non Produktif.
(3) PPA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dibentuk paling kurang
sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini.
Bagian Kedua
Tata Cara Pembentukan
Pasal 41
(1) Pembentukan cadangan umum PPA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat
(2) huruf a, ditetapkan paling rendah sebesar 1 % (satu persen) dari seluruh
Aktiva Produktif yang digolongkan Lancar.
(2) Pembentukan cadangan umum PPA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
berlaku bagi Aktiva Produktif dalam bentuk SBIS, Surat Berharga Syariah yang
diterbitkan Pemerintah Indonesia, dan bagian Aktiva Produktif yang dijamin
dengan …
- 33 -
dengan jaminan Pemerintah Indonesia atau agunan tunai sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 43 huruf a dan huruf b.
(3) Pembentukan cadangan khusus PPA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat
(2) ditetapkan paling rendah sebesar:
a. 5% (lima persen) dari Aktiva Produktif yang digolongkan Dalam Perhatian
Khusus setelah dikurangi nilai agunan;
b. 15% (lima belas persen) dari Aktiva Produktif dan Aktiva Non Produktif
yang digolongkan Kurang Lancar setelah dikurangi nilai agunan;
c. 50% (lima puluh persen) dari Aktiva Produktif dan Aktiva Non Produktif
yang digolongkan Diragukan setelah dikurangi nilai agunan; atau
d. 100% (seratus persen) dari Aktiva Produktif dan Aktiva Non Produktif
yang digolongkan Macet setelah dikurangi nilai agunan.
(4) Kewajiban membentuk PPA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3)
tidak berlaku bagi Aktiva Produktif dalam bentuk Pembiayaan Ijarah atau
Pembiayaan Ijarah Muntahiya Bittamlik.
(5) Bank wajib membentuk penyusutan atau amortisasi Aktiva Produktif dalam
bentuk:
a. Pembiayaan Ijarah sesuai dengan kebijakan penyusutan atau amortisasi
Bank bagi aktiva yang sejenis; dan/atau
b. Pembiayaan Ijarah Muntahiya Bittamlik sesuai dengan masa sewa.
(6) Penggunaan nilai agunan sebagai faktor pengurang dalam perhitungan PPA
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) hanya dilakukan untuk Aktiva Produktif.
Pasal 42
Pembentukan PPA untuk Aktiva Produktif dalam bentuk Pembiayaan ditetapkan
sebagai berikut:
a. Pembiayaan Murabahah, Pembiayaan Istishna’, dan Pembiayaan multijasa
dihitung …
- 34 -
dihitung berdasarkan saldo harga pokok;
b. Pembiayaan Salam dihitung berdasarkan harga perolehan; dan
c. Pembiayaan Mudharabah, Pembiayaan Musyarakah, dan Pembiayaan Qardh
dihitung berdasarkan saldo baki debet.
Bagian Ketiga
Penilaian Agunan
Pasal 43
Nilai agunan yang diperhitungkan sebagai pengurang dalam pembentukan PPA
ditetapkan sebagai berikut:
a. untuk agunan berupa jaminan Pemerintah Indonesia sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, sebesar 100% (seratus persen) dari nilai yang
dijamin;
b. untuk agunan tunai berupa giro, tabungan, deposito, setoran jaminan, dan/atau
emas yang diblokir dan disertai dengan surat kuasa pencairan, paling tinggi
sebesar 100% (seratus persen);
c. untuk agunan berupa surat berharga dan/atau tagihan yang diterbitkan oleh
Pemerintah Indonesia, paling tinggi sebesar 100% (seratus persen);
d. untuk agunan berupa Surat Berharga Syariah yang aktif diperdagangkan di bursa
efek di Indonesia atau memiliki peringkat investasi yang diikat secara gadai,
paling tinggi sebesar 50% (lima puluh persen) dari nilai yang tercatat di bursa
efek pada akhir bulan;
e. untuk agunan berupa tanah dan/atau bangunan yang digunakan untuk tempat
tinggal yang diikat dengan hak tanggungan, paling tinggi sebesar:
1) 70% (tujuh puluh persen) dari nilai wajar apabila:
a) penilaian oleh Penilai Independen dilakukan dalam 18 (delapan belas)
bulan terakhir; atau
b) penilaian …
- 35 -
b) penilaian oleh penilai intern dilakukan dalam 12 (dua belas) bulan
terakhir;
2) 50% (lima puluh persen) dari nilai wajar apabila:
a) penilaian yang dilakukan oleh Penilai Independen telah melampaui 18
(delapan belas) bulan namun belum melampaui 24 (dua puluh empat)
bulan terakhir; atau
b) penilaian yang dilakukan oleh penilai intern telah melampaui 12 (dua
belas) bulan namun belum melampaui 18 (delapan belas) bulan
terakhir;
3) 30% (tiga puluh persen) dari nilai wajar apabila:
a) penilaian yang dilakukan oleh Penilai Independen telah melampaui 24
(dua puluh empat) bulan namun belum melampaui 30 (tiga puluh)
bulan terakhir; atau
b) penilaian yang dilakukan oleh penilai intern telah melampaui 18
(delapan belas) bulan namun belum melampaui 24 (dua puluh empat)
bulan terakhir;
4) 0% (nol persen) dari nilai wajar apabila:
a) penilaian yang dilakukan oleh Penilai Independen telah melampaui 30
(tiga puluh) bulan terakhir; atau
b) penilaian yang dilakukan oleh penilai intern telah melampaui 24 (dua
puluh empat) bulan terakhir;
f.
untuk agunan berupa tanah dan/atau bangunan bukan untuk tempat tinggal dan
mesin yang dianggap sebagai satu kesatuan dengan tanah yang diikat dengan hak
tanggungan; pesawat udara dan kapal laut dengan ukuran di atas 20 (dua puluh)
meter kubik yang diikat dengan hipotek; kendaraan bermotor dan persediaan
yang diikat secara fidusia; serta resi gudang yang diikat dengan hak jaminan atas
resi gudang, paling tinggi sebesar:
1) 70% (tujuh …
- 36 -
1) 70% (tujuh puluh persen) dari nilai wajar apabila penilaian dilakukan dalam
12 (dua belas) bulan terakhir;
2) 50% (lima puluh persen) dari nilai wajar apabila penilaian yang dilakukan
telah melampaui 12 (dua belas) bulan namun belum melampaui 18 (delapan
belas) bulan terakhir;
3) 30% (tiga puluh persen) dari nilai wajar apabila penilaian yang dilakukan
telah melampaui 18 (delapan belas) bulan namun belum melampaui 24 (dua
puluh empat) bulan terakhir; atau
4) 0% (nol persen) dari nilai wajar apabila penilaian yang dilakukan telah
melampaui 24 (dua puluh empat) bulan terakhir.
Pasal 44
(1) Nilai agunan yang diperhitungkan sebagai faktor pengurang dalam pembentukan
PPA dilarang melebihi nilai pengikatan agunan.
(2) Nilai agunan yang diperhitungkan sebagai faktor pengurang dalam pembentukan
PPA ditetapkan berdasarkan nilai terendah antara perhitungan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 43 dengan nilai pengikatan agunan.
Pasal 45
(1) Penilaian agunan wajib dilakukan oleh Penilai Independen bagi Pembiayaan
yang diberikan kepada nasabah atau grup nasabah lebih dari Rp5.000.000.000,00
(lima milyar rupiah).
(2) Penilaian agunan dapat dilakukan oleh penilai intern Bank bagi Pembiayaan yang
diberikan kepada nasabah atau grup nasabah paling banyak Rp5.000.000.000,00
(lima milyar rupiah).
(3) Dalam hal penilaian agunan tidak dilakukan oleh Penilai Independen bagi
Pembiayaan lebih dari Rp5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah) sebagaimana
dimaksud …
- 37 -
dimaksud pada ayat (1) maka hasil penilaian agunan tidak diperhitungkan
sebagai faktor pengurang PPA.
(4) Bank wajib menggunakan nilai yang terendah apabila terdapat beberapa nilai dari
Penilai Independen atau penilai intern.
Pasal 46
(1) Bank Indonesia berwenang melakukan penghitungan kembali atas nilai agunan
yang telah dikurangkan dalam PPA, antara lain apabila:
a.
agunan tidak dilengkapi dengan dokumen terkait dan pengikatan agunan
belum sesuai dengan peraturan perundangan-undangan yang berlaku;
b. penilaian tidak dilakukan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 43, Pasal 44, dan Pasal 45; atau
c. perjanjian asuransi yang melindungi agunan tidak mencantumkan banker’s
clause yaitu klausula yang memberikan hak kepada Bank untuk menerima
uang pertanggungan dalam hal terjadi pembayaran klaim.
(2) Perusahaan asuransi yang memberikan perlindungan terhadap agunan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c harus:
a. memenuhi ketentuan permodalan sesuai ketentuan yang ditetapkan institusi
yang berwenang; dan
b. bukan merupakan pihak terkait dengan Bank atau kelompok peminjam
dengan nasabah Bank, kecuali agunan dimaksud direasuransikan kepada
perusahaan asuransi yang bukan merupakan pihak terkait dengan Bank atau
kelompok peminjam dengan nasabah Bank.
(3) Bank wajib menyesuaikan perhitungan PPA sesuai dengan perhitungan yang
ditetapkan oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam
laporan-laporan yang disampaikan kepada Bank Indonesia dan/atau laporan
publikasi sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku,
paling …
- 38 -
paling lambat pada periode laporan berikutnya setelah pemberitahuan dari Bank
Indonesia.
BAB VI
HAPUS BUKU DAN HAPUS TAGIH
Pasal 47
(1) Bank wajib memiliki kebijakan dan prosedur tertulis mengenai hapus buku dan
hapus tagih Pembiayaan yang antara lain mencakup sebagai berikut:
a. kebijakan hapus buku dan hapus tagih wajib disetujui oleh Dewan
Komisaris;
b. prosedur hapus buku dan hapus tagih wajib disetujui paling kurang oleh
Direksi;
c. Dewan Komisaris wajib melakukan pengawasan secara aktif terhadap
pelaksanaan kebijakan hapus buku dan hapus tagih; dan
d. kebijakan dan prosedur hapus buku dan hapus tagih merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dari kebijakan manajemen risiko Bank sebagaimana
diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku.
(2) Hapus buku dan/atau hapus tagih hanya dapat dilakukan terhadap Aktiva
Produktif dalam bentuk Pembiayaan yang memiliki kualitas Macet.
(3) Hapus buku tidak dapat dilakukan terhadap sebagian Aktiva Produktif dalam
bentuk Pembiayaan (partial write off).
(4) Hapus tagih dapat dilakukan baik untuk sebagian maupun untuk seluruh Aktiva
Produktif dalam bentuk Pembiayaan.
Pasal 48
(1) Hapus buku dan/atau hapus tagih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 hanya
dapat dilakukan setelah Bank melakukan berbagai upaya yang maksimal untuk
menyelesaikan …
- 39 -
menyelesaikan Aktiva Produktif yang digolongkan Macet.
(2) Bank wajib menatausahakan dokumen mengenai upaya yang dilakukan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan dasar pertimbangan pelaksanaan hapus
buku dan/atau hapus hak tagih.
(3) Bank wajib menatausahakan data dan informasi mengenai Aktiva Produktif
dalam bentuk Pembiayaan yang telah dihapus buku dan/atau dihapus tagih.
BAB VII
SANKSI
Pasal 49
(1) Bank yang tidak melaksanakan ketentuan dalam Pasal 2, Pasal 4 ayat (1), Pasal 4
ayat (3), Pasal 5 ayat (1), Pasal 5 ayat (3), Pasal 6, Pasal 7 ayat (1), Pasal 11 ayat
(1), Pasal 11 ayat (2), Pasal 11 ayat (3), Pasal 12 ayat (5), Pasal 13 ayat (2), Pasal
13 ayat (3), Pasal 13 ayat (4), Pasal 16, Pasal 19 ayat (1), Pasal 23, Pasal 24 ayat
(4), Pasal 25, Pasal 30, Pasal 31, Pasal 32 ayat (2), Pasal 33 ayat (1), Pasal 33
ayat (2), Pasal 34, Pasal 36 ayat (1), Pasal 36 ayat (2), Pasal 37, Pasal 39 ayat (1),
Pasal 40 ayat (1), Pasal 41 ayat (5), Pasal 44 ayat (1), Pasal 45 ayat (1), Pasal 45
ayat (4), Pasal 46 ayat (3), Pasal 47 ayat (1), Pasal 47 ayat (2), dan/atau Pasal 48
dikenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
(2) Selain sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank yang melakukan
pelanggaran terhadap Pasal 19 wajib membentuk PPA sebesar 100% (seratus
persen) terhadap aktiva dimaksud.
BAB VIII …
- 40 -
BAB VIII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 50
Penggolongan kualitas dan pembentukan PPA untuk Aktiva Non Produktif dalam
bentuk AYDA yang dimiliki Bank sebelum berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini
dilakukan dengan mengacu pada Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/21/PBI/2006
tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum yang Melaksanakan Kegiatan Usaha
Berdasarkan Prinsip Syariah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan
Bank Indonesia Nomor 10/24/PBI/2008.
BAB IX
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 51
Ketentuan lebih lanjut dari Peraturan Bank Indonesia ini ditetapkan dalam Surat
Edaran Bank Indonesia.
Pasal 52
Dengan diberlakukannya Peraturan Bank Indonesia ini, maka:
a. Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/21/PBI/2006 tentang Penilaian Kualitas
Aktiva Bank Umum yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip
Syariah;
b. Peraturan Bank Indonesia Nomor 9/9/PBI/2007 tentang Perubahan Atas
Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/21/PBI/2006 Tentang Penilaian Kualitas
Aktiva Bank Umum yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip
Syariah; dan
c. Peraturan …
- 41 -
c. Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/24/PBI/2008 tentang Perubahan Kedua Atas
Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/21/PBI/2006 Tentang Penilaian Kualitas
Aktiva Bank Umum yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip
Syariah;
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 53
Ketentuan pelaksanaan dari Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/21/PBI/2006 tentang
Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum yang Melaksanakan Kegiatan Usaha
Berdasarkan Prinsip Syariah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan
Bank Indonesia Nomor 10/24/PBI/2008 dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak
bertentangan dengan Peraturan Bank Indonesia ini.
Pasal 54
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Agar …
- 42 -
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank
Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 24 Maret 2011
GUBERNUR BANK INDONESIA,
DARMIN NASUTION
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 24 Maret 2011
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
PATRIALIS AKBAR
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2011 NOMOR 40
DPbS
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 13/ 13 /PBI/2011
TENTANG
PENILAIAN KUALITAS AKTIVA
BAGI BANK UMUM SYARIAH DAN UNIT USAHA SYARIAH
I. UMUM
Untuk menghadapi persaingan usaha yang semakin ketat, Bank harus
mampu melakukan penanaman dana yang dapat menghasilkan keuntungan
optimal dengan tetap berpegang kepada prinsip kehati-hatian dan Prinsip
Syariah. Pengembangan industri perbankan syariah tersebut perlu didukung
dengan perangkat kebijakan dan pengaturan yang memberikan keleluasan kepada
perbankan syariah untuk menawarkan produk dan jasa yang lebih sesuai dengan
karakteristik kegiatan usaha nasabah yang dibiayai.
Dalam rangka mengantisipasi risiko kerugian yang mungkin muncul atas
penanaman dana tersebut, Bank wajib membentuk penyisihan penghapusan
aktiva berdasarkan hasil penilaian kualitas aktiva.
Dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat
Berharga Syariah Negara, dan perubahan ketentuan terkait lainnya, serta untuk
mendukung pengembangan industri perbankan syariah maka perlu diatur kembali
beberapa batasan dan kriteria penilaian kualitas aktiva serta pembentukan
penyisihan penghapusan aktiva untuk setiap penyediaan dana.
II. PASAL …
- 2 -
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “prinsip kehati-hatian dalam penanaman
dan/atau penyediaan dana” adalah penanaman dan/atau penyediaan
dana dilakukan antara lain berdasarkan:
1)
analisis kelayakan usaha dengan memperhatikan paling kurang
faktor 5C (Character, Capital, Capacity, Condition of economy
dan Collateral); dan/atau
2) penilaian terhadap aspek prospek usaha, kinerja (performance),
dan kemampuan membayar.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “menilai” adalah mengevaluasi kondisi
nasabah dan/atau kelayakan usaha yang akan dibiayai.
Yang dimaksud dengan “memantau” adalah mengawasi
perkembangan kinerja usaha nasabah dari waktu ke waktu.
Yang dimaksud dengan “mengambil langkah-langkah antisipasi”
adalah melakukan tindakan dan upaya pencegahan atas kemungkinan
timbulnya kegagalan dalam penanaman dana.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4 …
- 3 -
Pasal 4
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Penilaian kualitas aktiva yang ditetapkan oleh Bank Indonesia antara
lain didasarkan pada pemeriksaan atau pengawasan Bank.
Ayat (3)
Termasuk dalam pengertian pemberitahuan adalah pemberitahuan
yang dilakukan oleh Bank Indonesia kepada Bank dalam pertemuan
terakhir dalam rangka pemeriksaan Bank (exit meeting).
Pasal 5
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Contoh:
Bank A memberikan Pembiayaan Mudharabah dan Pembiayaan
Murabahah kepada nasabah X. Hasil penilaian yang dilakukan Bank
A untuk masing-masing Aktiva Produktif adalah sebagai berikut:
a. Dalam Perhatian Khusus, untuk Pembiayaan Mudharabah; dan
b. Kurang Lancar, untuk Pembiayaan Murabahah.
Karena Pembiayaan digunakan untuk membiayai 1 (satu) nasabah,
maka kualitas Aktiva Produktif yang digolongkan oleh Bank A
kepada nasabah X mengikuti yang paling rendah yaitu Kurang Lancar.
Ayat (4) …
- 4 -
Ayat (4)
Mengingat faktor penilaian untuk penggolongan kualitas Aktiva
Produktif dalam bentuk Pembiayaan berbeda dengan faktor penilaian
untuk penggolongan kualitas Aktiva Produktif dalam bentuk Surat
Berharga Syariah maka kualitas untuk kedua jenis Aktiva Produktif
tersebut dapat digolongkan secara berbeda meskipun untuk nasabah
yang sama.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “dokumen yang lengkap” adalah dokumen
penanaman dana yang paling kurang meliputi aplikasi, analisa,
keputusan, dan pemantauan atas penanaman dana serta perubahannya.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b …
- 5 -
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Yang dimaksud dengan “nasabah” adalah nasabah yang wajib
melakukan upaya pengelolaan lingkungan hidup sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Ayat (1)
Kewajiban audit laporan keuangan dimaksudkan agar laporan
keuangan nasabah akurat dan dapat dipercaya, mengingat kondisi
keuangan nasabah merupakan salah satu kriteria dalam penggolongan
kualitas Aktiva Produktif dalam bentuk Pembiayaan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3) …
- 6 -
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “peraturan perundang-undangan yang
berlaku” antara lain adalah Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun
1998 tentang Informasi Keuangan Tahunan Perusahaan sebagaimana
telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 64 Tahun 1999.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 12
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “akumulasi selama periode Pembiayaan yang
telah berjalan” adalah penjumlahan RBH atau PBH sejak awal
Pembiayaan sampai dengan posisi bulan penilaian.
Contoh:
Pembiayaan Mudharabah diberikan pada bulan Maret 2011, dengan
jangka waktu selama 1 (satu) tahun. Penghitungan akumulasi PBH
yang dilakukan pada bulan Juni 2011 adalah PBH bulan Maret 2011
ditambah PBH bulan April 2011 ditambah PBH bulan Mei 2011
ditambah PBH bulan Juni 2011.
Ayat (3)
PBH tidak selalu ditetapkan dalam periode bulanan.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 13 …
- 7 -
Pasal 13
Ayat (1)
Penetapan perlu atau tidaknya pembayaran angsuran pokok secara
berkala disesuaikan dengan karakteristik usaha nasabah yang dibiayai.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “langkah-langkah untuk mengurangi risiko”
antara lain melakukan evaluasi kinerja usaha nasabah paling kurang 1
(satu) kali dalam 1 (satu) tahun.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 14
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “penyediaan dana lainnya” adalah
penerbitan jaminan dan/atau pembukaan Letter of Credit (L/C).
Huruf b
Kecukupan sistem pengendalian risiko (risk control system)
mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur
mengenai manajemen risiko bagi Bank.
Penilaian tingkat kesehatan mengacu pada ketentuan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai tingkat kesehatan Bank.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3) …
- 8 -
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Bagi Unit Usaha Syariah, yang dimaksud dengan “50 (lima
puluh) nasabah terbesar” adalah 50 (lima puluh) nasabah terbesar
dari Unit Usaha Syariah, tidak termasuk nasabah dari bank
induknya.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “dapat diperdagangkan sepanjang sesuai
dengan Prinsip Syariah” adalah akad yang dipakai sebagai dasar
penerbitan Surat Berharga Syariah memperbolehkan Surat Berharga
Syariah tersebut untuk diperdagangkan dengan mengacu pada fatwa
Dewan Syariah Nasional - Majelis Ulama Indonesia.
Pasal 18 …
- 9 -
Pasal 18
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “Surat Berharga Syariah yang diakui
berdasarkan nilai pasar” adalah surat berharga yang tersedia untuk
dijual (available for sale) dan Surat Berharga Syariah dalam
portofolio untuk diperdagangkan (trading).
Huruf a
Yang dimaksud dengan “aktif diperdagangkan di bursa efek”
adalah terdapat volume transaksi yang signifikan dan wajar
(arms length transaction) di bursa efek di Indonesia dalam 10
(sepuluh) hari kerja terakhir.
Huruf b
Informasi nilai pasar secara transparan harus dapat diperoleh dari
media publikasi yang lazim untuk transaksi bursa efek.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “Surat Berharga Syariah yang diakui
berdasarkan harga perolehan” adalah surat berharga yang dimiliki
hingga jatuh tempo (hold to maturity).
Yang dimaksud dengan “peringkat investasi (investment grade) dan
lembaga pemeringkat” yaitu peringkat dan lembaga pemeringkat yang
diakui oleh Bank Indonesia sesuai dengan ketentuan yang berlaku
mengenai lembaga pemeringkat dan peringkat.
Ayat (3) …
- 10 -
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 19
Ayat (1)
Kepemilikan Surat Berharga Syariah yang dihubungkan atau dijamin
dengan aset tertentu yang mendasari (underlying reference asset) yang
berbentuk saham hanya dapat dilakukan untuk tujuan Penyertaan
Modal atau Penyertaan Modal Sementara dan dilakukan dengan
persetujuan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam ketentuan
Bank Indonesia yang berlaku.
Ayat (2)
Huruf a
Keberadaan aset dapat diyakini apabila aset dimaksud antara lain
disimpan di bank kustodian, Kustodian Sentral Efek Indonesia
(KSEI), atau Bank Indonesia.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Pasal 20
Ayat (1)
Pembayaran kewajiban Surat Berharga Syariah dikatakan terkait
langsung dengan aset yang mendasari (pass through) apabila
pembayaran …
- 11 -
pembayaran pokok dan marjin/bagi hasil/fee Surat Berharga Syariah
semata-mata bersumber dari pembayaran pokok dan marjin/bagi
hasil/fee dari aset yang mendasari.
Ayat (2)
Huruf a
Penggolongan kualitas Aktiva Produktif dalam bentuk Surat
Berharga Syariah berupa sertifikat reksadana yang berdasarkan
ketentuan penilaian kualitas Aktiva Produktif dalam bentuk
Surat Berharga Syariah, dilakukan terhadap sertifikat reksadana
sebagai satu produk dan bukan terhadap setiap jenis aset yang
mendasari sertifikat reksadana dimaksud.
Huruf b
Penilaian atas kualitas aset yang mendasari sertifikat reksadana
dan kualitas penerbit sertifikat reksadana ditekankan pada:
1. kinerja, likuiditas dan reputasi penerbit maupun pihak
terkait lainnya seperti asuransi; dan
2. diversifikasi portofolio yang dimiliki penerbit yang
mempertimbangkan risiko dan prinsip kehati-hatian.
Pasal 21
Huruf a
Angka 1)
Cukup jelas.
Angka 2)
Yang dimaksud dengan “Bank Lain” yaitu bank penerbit atau
bank pemberi endosemen.
Huruf b …
- 12 -
Huruf b
Surat Berharga Syariah yang berdasarkan karakteristiknya tidak aktif
diperdagangkan di bursa efek di Indonesia dan tidak memiliki
peringkat antara lain wesel ekspor.
Yang dimaksud dengan “Bank Lain” yaitu bank penerbit atau bank
pemberi endosemen.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “kerugian kumulatif” adalah kerugian
perusahaan setelah diperhitungkan dengan laba dan kerugian tahun-
tahun sebelumnya.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 24
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “laba kumulatif” adalah laba perusahaan
setelah diperhitungkan dengan kerugian tahun-tahun sebelumnya.
Ayat (3) …
- 13 -
Ayat (3)
Penjualan yang lebih rendah dari nilai buku dan atau kesulitan
penjualan dalam jangka waktu 5 (lima) tahun antara lain disebabkan
karena kelemahan dalam kondisi keuangan, manajemen perusahaan,
kondisi pasar atau rendahnya permintaan terhadap saham perusahaan.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Ayat (1)
Huruf a
Angka 1)
Yang dimaksud dengan “rasio KPMM” adalah rasio
KPMM yang ditetapkan oleh Bank Indonesia untuk bank di
dalam negeri atau oleh otoritas yang berwenang untuk bank
di luar negeri sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Angka 2)
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (2) …
- 14 -
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “Linkage Program” adalah kerja sama antara
Bank dan BPRS, dalam menyalurkan Pembiayaan kepada UMKM.
Linkage Program dengan pola executing adalah Pembiayaan yang
diberikan Bank kepada BPRS untuk diteruspinjamkan kepada nasabah
Usaha Mikro dan Usaha Kecil yang risikonya menjadi beban BPRS.
Pasal 27
Yang dimaksud dengan “tagihan akseptasi” adalah tagihan yang timbul
sebagai akibat akseptasi yang dilakukan terhadap wesel berjangka.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Yang dimaksud dengan “kebijakan dan prosedur tertulis” termasuk
mekanisme pengambilalihan AYDA dan persyaratan AYDA.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33 …
- 15 -
Pasal 33
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “net realizable value” adalah estimasi harga
pasar dikurangi estimasi biaya dalam rangka pengambilalihan AYDA.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Pada saat pengambilalihan AYDA, Bank melakukan pencatatan
sebagai berikut:
-
apabila net realizable value lebih besar dari nilai Pembiayaan
(hutang nasabah) maka Bank mencatat nilai AYDA sebesar nilai
Pembiayaan dan selisih lebihnya dicatat dalam rekening
administratif Bank karena merupakan hak nasabah; atau
-
apabila net realizable value lebih kecil dari nilai Pembiayaan
(hutang nasabah) maka Bank mencatat nilai AYDA sebesar net
realizable value dan selisih kurangnya dicatat dalam pembukuan
Bank sebagai kewajiban nasabah.
Pasal 34
Ayat (1)
Pengaturan ini dimaksudkan agar Bank segera menjual AYDA dalam
jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun sesuai Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah dan bukan untuk
memiliki agunan lebih dari jangka waktu tersebut.
Dalam hal hasil pencairan AYDA lebih besar dari hutang nasabah
maka selisih lebihnya merupakan hak nasabah. Dalam hal hasil
pencairan AYDA lebih kecil dari hutang nasabah maka selisih
kurangnya …
- 16 -
kurangnya tetap merupakan kewajiban nasabah. Dalam hal Bank tidak
dapat menagih kewajiban nasabah tersebut maka Bank dapat
mencatatnya sebagai kerugian Bank.
Ayat (2)
Dokumentasi antara lain mencakup bukti data dan informasi mengenai
upaya pemasaran dan penjualan AYDA.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “Properti Terbengkalai” adalah aktiva tetap
yang dimiliki Bank dalam bentuk tanah dan/atau bangunan yang tidak
digunakan untuk kegiatan usaha Bank yang lazim.
Tidak termasuk dalam pengertian properti terbengkalai adalah:
-
properti yang dikategorikan memiliki klasifikasi sebagai aset
Bank dalam Pembiayaan Ijarah sesuai fatwa dan ketentuan
berlaku;
-
properti yang digunakan sebagai penunjang kegiatan usaha
Bank, sepanjang dimiliki dalam jumlah yang wajar, seperti
rumah dinas dan properti untuk sarana pendidikan; atau
-
properti lain yang telah ditetapkan untuk digunakan Bank dalam
kegiatan usaha dalam waktu dekat, misalnya tanah dan bangunan
di atasnya yang sedang dipersiapkan untuk menjadi kantor Bank.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3) …
- 17 -
Ayat (3)
Contoh:
Suatu properti berupa gedung terdiri dari 10 (sepuluh) lantai. Lantai 1
sampai dengan lantai 6 digunakan untuk kegiatan usaha yang lazim.
Lantai 7 sampai dengan lantai 10 tidak digolongkan sebagai Properti
Terbengkalai meskipun tidak digunakan.
Ayat (4)
Contoh:
Suatu properti berupa gedung mempunyai luas 1.000 meter persegi.
Yang digunakan untuk kegiatan usaha yang lazim seluas 200 meter
persegi. Sisanya seluas 800 meter persegi digolongkan sebagai
Properti Terbengkalai.
Pasal 37
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “upaya penyelesaian” antara lain upaya
pemasaran dan penjualan Properti Terbengkalai.
Ayat (2)
Dokumentasi antara lain mencakup bukti data dan informasi mengenai
upaya pemasaran dan penjualan Properti Terbengkalai.
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39 …
- 18 -
Pasal 39
Ayat (1)
Upaya penyelesaian diperlukan agar seluruh transaksi Bank diakui dan
dicatat berdasarkan karakteristik dari transaksi tersebut dan
mengurangi kemungkinan terjadinya rekayasa transaksi yang dapat
mengakibatkan kerugian bagi Bank.
Ayat (2)
Rekening Antar Kantor yang dinilai adalah akun Rekening Antar
Kantor di sisi aktiva tanpa dilakukan set off dengan Rekening Antar
Kantor di sisi pasiva, mengingat pihak lawan transaksi belum dapat
dipastikan sebagai pihak atau kantor yang sama.
Pasal 40
Ayat (1)
Pembentukan PPA terhadap Aktiva Non Produktif dimaksudkan untuk
mendorong Bank melakukan upaya penyelesaian dan untuk antisipasi
terhadap potensi kerugian.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 41
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3) …
- 19 -
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Penyusutan atau amortisasi untuk Pembiayaan Ijarah atau Ijarah
Muntahiya Bittamlik mengacu pada standar akuntansi keuangan yang
berlaku untuk bank syariah. Kebijakan penyusutan atau amortisasi
yang dipilih harus konsisten dan mencerminkan pola konsumsi yang
diharapkan dari manfaat ekonomi di masa depan dari objek ijarah.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 42
Yang dimaksud dengan “Pembiayaan multijasa” adalah Pembiayaan Bank
kepada nasabah dalam rangka memperoleh manfaat atas suatu jasa.
Pasal 43
Huruf a
Yang dimaksud dengan “Pemerintah Indonesia” adalah pemerintah
pusat.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “giro, tabungan, dan deposito” adalah
termasuk giro, tabungan, dan deposito di bank umum konvensional.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d …
- 20 -
Huruf d
Peringkat investasi (investment grade) didasarkan pada peringkat
dalam satu tahun terakhir yang diakui oleh Bank Indonesia sesuai
dengan ketentuan yang berlaku mengenai lembaga pemeringkat dan
peringkat. Apabila peringkat yang diterbitkan oleh lembaga
pemeringkat dalam satu tahun terakhir tidak tersedia maka surat
berharga dianggap tidak memiliki peringkat.
Huruf e
Pengikatan agunan dengan hak tanggungan harus sesuai dengan
ketentuan dan prosedur dalam peraturan perundang-undangan yang
berlaku, termasuk namun tidak terbatas pada masalah pendaftaran,
sehingga Bank memiliki hak preferensi terhadap agunan dimaksud.
Yang dimaksud dengan “nilai wajar” adalah mengacu kepada standar
akuntansi keuangan yang berlaku.
Huruf f
Pemasangan hak tanggungan atas tanah beserta mesin yang berada
diatasnya harus dicantumkan dengan jelas dalam Akta Pemberian Hak
Tanggungan.
Pengikatan agunan dengan hipotek harus sesuai dengan ketentuan dan
prosedur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku,
termasuk namun tidak terbatas pada masalah pendaftaran, sehingga
Bank memiliki hak preferensi terhadap agunan dimaksud.
Pengikatan agunan secara fidusia harus sesuai dengan ketentuan dan
prosedur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku,
termasuk namun tidak terbatas pada masalah pendaftaran, sehingga
Bank memiliki hak preferensi terhadap agunan dimaksud.
Yang …
- 21 -
Yang dimaksud dengan “resi gudang” adalah resi gudang
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2006
tentang Sistem Resi Gudang dan peraturan perundang-undangan
lainnya. Hak jaminan atas resi gudang adalah hak jaminan yang
dibebankan pada resi gudang untuk pelunasan utang, yang
memberikan kedudukan untuk diutamakan bagi penerima hak jaminan
terhadap kreditor yang lain.
Nilai wajar untuk resi gudang adalah nilai yang ditentukan oleh pihak
atau lembaga yang berwenang sesuai peraturan perundang-undangan
yang berlaku untuk resi gudang.
Pasal 44
Nilai agunan dapat mengalami perubahan sesuai hasil penilaian terkini
antara lain karena terjadinya perubahan nilai pasar, Nilai Jual Objek Pajak
(NJOP), dan perubahan fisik agunan.
Pasal 45
Ayat (1)
Batasan Rp5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah) diperhitungkan
terhadap seluruh fasilitas yang diberikan kepada nasabah atau grup
nasabah.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 46 …
- 22 -
Pasal 46
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Termasuk dalam pengertian pemberitahuan adalah pemberitahuan
yang dilakukan oleh Bank Indonesia kepada Bank dalam pertemuan
terakhir dalam rangka pemeriksaan Bank (exit meeting).
Pasal 47
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “hapus buku” adalah tindakan administratif
Bank untuk menghapus buku Pembiayaan yang memiliki kualitas
Macet dari neraca sebesar kewajiban nasabah tanpa menghapus atau
menghilangkan hak tagih Bank kepada nasabah.
Yang dimaksud dengan “hapus tagih” adalah tindakan Bank
menghapus kewajiban nasabah yang tidak dapat diselesaikan untuk
selamanya (hak tagih menjadi hapus).
Kebijakan dan prosedur hapus buku dan hapus tagih antara lain
memuat kriteria, persyaratan, limit, kewenangan dan tanggung jawab
serta tata cara hapus buku dan hapus tagih.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3) …
- 23 -
Ayat (3)
Pelaksanaan hapus buku dilakukan terhadap seluruh Pembiayaan yang
diberikan dan diikat dalam satu perjanjian.
Ayat (4)
Hapus tagih terhadap sebagian Aktiva Produktif dalam bentuk
Pembiayaan hanya dapat dilakukan dalam rangka restrukturisasi
Pembiayaan atau dalam rangka penyelesaian Pembiayaan.
Pasal 48
Ayat (1)
Upaya yang dapat dilakukan antara lain dalam bentuk penagihan
kepada nasabah, restrukturisasi Pembiayaan, meminta pembayaran
dari pihak yang memberikan garansi atas Aktiva Produktif dimaksud,
dan/atau penyelesaian Pembiayaan melalui pengambilalihan agunan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 49
Cukup jelas.
Pasal 50
Cukup jelas.
Pasal 51
Cukup jelas.
Pasal 52 …
- 24 -
Pasal 52
Cukup jelas.
Pasal 53
Cukup jelas.
Pasal 54
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5205
DPbS
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 13/13/PBI/2011 </reg_id>
<reg_title> PENILAIAN KUALITAS AKTIVA BAGI BANK UMUM SYARIAH DAN UNIT USAHA SYARIAH </reg_title>
<set_date> 24 Maret 2011 </set_date>
<effective_date> 24 Maret 2011 </effective_date>
<issued_date> 24 Maret 2011 </issued_date>
<replaced_reg> '8/21/PBI/2006', '9/9/PBI/2007', '10/24/PBI/2008' </replaced_reg>
<related_reg> '21/UU/2008', '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB VII' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 19/9/PBI/2017
TENTANG
PENERBITAN DAN TRANSAKSI SURAT BERHARGA KOMERSIAL
DI PASAR UANG
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa tujuan Bank Indonesia mencapai dan memelihara
kestabilan nilai rupiah;
b. bahwa untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai
rupiah, Bank Indonesia menetapkan dan melaksanakan
kebijakan moneter, makroprudensial, dan sistem
pembayaran dan pengelolaan uang rupiah, yang perlu
didukung oleh pasar keuangan yang likuid dan efisien,
termasuk di dalamnya pasar uang;
c. bahwa Bank Indonesia memiliki kewenangan untuk
melakukan pembinaan, pengaturan, dan pengawasan
pasar uang;
d. bahwa untuk mencapai pasar keuangan yang likuid dan
efisien dibutuhkan pengembangan instrumen pasar uang
yang dapat ditransaksikan oleh pelaku pasar uang;
e. bahwa surat berharga komersial merupakan salah satu
instrumen pasar uang yang perlu dikembangkan untuk
memberikan fleksibilitas pengelolaan likuiditas pelaku
pasar uang dan mendorong pembiayaan ekonomi
nasional;
- 2 -
f. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf e, perlu
menetapkan Peraturan Bank Indonesia tentang
Penerbitan dan Transaksi Surat Berharga Komersial di
Pasar Uang;
Mengingat
: Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999
Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3843) sebagaimana telah beberapa kali diubah,
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009
tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PENERBITAN DAN
TRANSAKSI SURAT BERHARGA KOMERSIAL DI PASAR
UANG.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Pasar Uang adalah bagian dari sistem keuangan yang
bersangkutan dengan kegiatan perdagangan, pinjam-
meminjam, atau pendanaan berjangka pendek sampai
dengan 1 (satu) tahun dalam mata uang rupiah dan
valuta asing, yang berperan dalam transmisi kebijakan
moneter, pencapaian stabilitas sistem keuangan, serta
kelancaran sistem pembayaran dan pengelolaan uang
rupiah.
- 3 -
2. Bank adalah bank umum yang melaksanakan kegiatan
usaha secara konvensional sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai
perbankan, termasuk kantor cabang dari bank yang
berkedudukan di luar negeri.
3. Korporasi Non-Bank adalah badan hukum yang
berbentuk perseroan terbatas selain Bank.
4.
Instrumen Pasar Uang adalah instrumen yang
ditransaksikan di Pasar Uang, yang meliputi instrumen
yang diterbitkan dengan jangka waktu sampai dengan 1
(satu) tahun, sertifikat deposito, dan instrumen lain yang
ditetapkan oleh Bank Indonesia, termasuk yang
berdasarkan prinsip syariah.
5. Surat Berharga Komersial adalah surat berharga yang
diterbitkan oleh Korporasi Non-Bank berbentuk surat
sanggup (promissory note) dan berjangka waktu sampai
dengan 1 (satu) tahun yang terdaftar di Bank Indonesia.
6. Pelaku Pasar Uang yang selanjutnya disebut Pelaku
Pasar adalah pihak yang melakukan kegiatan penerbitan
Instrumen Pasar Uang dan/atau melakukan transaksi di
Pasar Uang.
7. Penerbit Surat Berharga Komersial adalah pihak yang
memenuhi persyaratan untuk menerbitkan Surat
Berharga Komersial.
8. Pelaku Transaksi Surat Berharga Komersial adalah
Pelaku Pasar yang melakukan transaksi Surat Berharga
Komersial.
9. Lembaga Pendukung Pasar Uang adalah pihak yang
memberikan jasa terkait penerbitan Instrumen Pasar
Uang, perantara pelaksanaan transaksi, penyelesaian
transaksi dan/atau penatausahaan Instrumen Pasar
Uang dan transaksi di Pasar Uang, dan pihak lainnya
yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
10. Lembaga Pendukung Penerbitan Surat Berharga
Komersial adalah Lembaga Pendukung Pasar Uang yang
memberikan jasa dalam penerbitan Surat Berharga
Komersial.
- 4 -
11. Lembaga Pendukung Transaksi Surat Berharga Komersial
adalah Lembaga Pendukung Pasar Uang yang
memberikan jasa perantara pelaksanaan transaksi Surat
Berharga Komersial.
12. Lembaga Pendukung Penatausahaan dan Penyelesaian
Transaksi Surat Berharga adalah Lembaga Pendukung
Pasar Uang yang memberikan jasa penatausahaan dan
penyelesaian transaksi Surat Berharga Komersial.
13. Perusahaan Efek adalah perusahaan efek sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur
mengenai pasar modal.
14. Perusahaan Pialang Pasar Uang Rupiah dan Valuta Asing
yang selanjutnya disebut Perusahaan Pialang adalah
perusahaan pialang sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
perusahaan pialang pasar uang rupiah dan valuta asing.
15. Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian yang
selanjutnya disingkat LPP adalah pihak yang
menyelenggarakan kegiatan
kustodian sentral
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang
mengatur mengenai pasar modal.
BAB II
TUJUAN PENGATURAN
Pasal 2
Bank Indonesia melakukan pengaturan dan pengawasan atas
penerbitan dan transaksi Surat Berharga Komersial dengan
tujuan:
a. meningkatkan tata kelola penerbitan, mekanisme
transaksi, penyelesaian transaksi, pencatatan, dan
penatausahaan Surat Berharga Komersial;
b. menciptakan pasar Surat Berharga Komersial yang
kredibel, efektif, dan efisien;
c. meningkatkan pendalaman pasar keuangan melalui
peningkatan jumlah variasi instrumen; dan
d. meningkatkan efektivitas transmisi kebijakan moneter.
- 5 -
BAB III
PENERBIT SURAT BERHARGA KOMERSIAL
Pasal 3
(1) Pihak yang dapat menerbitkan Surat Berharga Komersial
yaitu Korporasi Non-Bank yang memenuhi persyaratan
sebagai berikut:
a.
tercatat sebagai emiten saham pada Bursa Efek
Indonesia atau pernah menerbitkan obligasi
dan/atau sukuk yang dicatat di Bursa Efek
Indonesia dalam 5 (lima) tahun terakhir sampai
dengan tanggal pengajuan permohonan pendaftaran
penerbitan Surat Berharga Komersial; atau
b.
tidak tercatat sebagai emiten atau perusahaan
publik namun memenuhi persyaratan sebagai
berikut:
1.
2. memiliki
telah beroperasi paling singkat 3 (tiga) tahun
atau kurang dari 3 (tiga) tahun sepanjang
memiliki penjaminan atau penanggungan;
paling
ekuitas
sedikit
Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar
rupiah); dan
3. menghasilkan laba bersih untuk 1 (satu) tahun
terakhir.
(2) Korporasi Non-Bank sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. memiliki
laporan keuangan yang memperoleh
pendapat wajar tanpa modifikasian (WTM) secara
berturut-turut dari akuntan publik terdaftar di Bank
Indonesia untuk periode 3 (tiga) tahun terakhir atau
sejak Korporasi Non-Bank beroperasi untuk
Korporasi Non-Bank yang beroperasi kurang dari 3
(tiga) tahun;
b.
tidak pernah mengalami kondisi gagal bayar selama
3 (tiga) tahun terakhir sampai dengan tanggal
pengajuan permohonan pendaftaran penerbitan
Surat Berharga Komersial atau tidak pernah
- 6 -
mengalami kondisi gagal bayar untuk Korporasi
Non-Bank yang beroperasi kurang dari 3 (tiga)
tahun;
c. Korporasi Non-Bank yang pernah mengalami gagal
bayar dapat menerbitkan Surat Berharga Komersial
paling singkat 3 (tiga) tahun setelah tanggal
pernyataan penyelesaian gagal bayar sepanjang
penyelesaian dilakukan secara wajar;
d. memiliki manajemen dengan rekam jejak yang baik;
e. memiliki pedoman penerapan prinsip kehati-hatian
dan manajemen risiko; dan
f. memenuhi persyaratan administratif yang
ditetapkan Bank Indonesia.
(3) Penjaminan atau penanggungan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b angka 1 dapat dilakukan oleh bank
atau korporasi yang menjadi induk dari Korporasi Non-
Bank yang akan menerbitkan Surat Berharga Komersial.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai penerbit, penjamin atau
penanggung, dan dokumen terkait dengan Surat
Berharga Komersial diatur dalam Peraturan Anggota
Dewan Gubernur.
BAB IV
KRITERIA SURAT BERHARGA KOMERSIAL
Pasal 4
(1) Surat Berharga Komersial harus memenuhi kriteria
sebagai berikut:
a. diterbitkan dan ditatausahakan dalam bentuk tanpa
warkat (scripless);
b. dialihkan secara elektronik;
c. diterbitkan dengan sistem diskonto;
d. diterbitkan dalam denominasi rupiah atau valuta
asing;
e. nilai untuk setiap penerbitan paling sedikit:
1. nominal Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar
rupiah); atau
- 7 -
2. nominal USD1,000,000.00 (satu juta dolar
Amerika Serikat) atau ekuivalennya dalam
valuta asing lainnya;
f. pembelian Surat Berharga Komersial oleh investor
paling sedikit:
1. nominal Rp500.000.000,00 (lima ratus juta
rupiah); atau
2. nominal USD50,000.00 (lima puluh ribu dolar
Amerika Serikat) atau ekuivalennya dalam
valuta asing lainnya;
g. memiliki tenor 1 (satu) bulan, 3 (tiga) bulan, 6
(enam) bulan, 9 (sembilan) bulan, atau 12 (dua
belas) bulan; dan
h. memiliki peringkat instrumen yang diterbitkan oleh
lembaga pemeringkat yang terdaftar di Bank
Indonesia, dengan batasan minimum tertentu yang
ditetapkan oleh Bank Indonesia.
(2) Surat Berharga Komersial yang diatur dalam ketentuan
ini harus memenuhi persyaratan surat sanggup
sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Dagang kecuali untuk hal yang diatur secara tersendiri
dalam Peraturan Bank Indonesia ini dan peraturan
pelaksanaan, serta ketentuan peraturan perundang-
undangan terkait lainnya.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria Surat Berharga
Komersial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
BAB V
KETERBUKAAN INFORMASI PENERBITAN
Pasal 5
(1) Korporasi Non-Bank yang akan menerbitkan Surat
Berharga Komersial wajib memenuhi prinsip keterbukaan
informasi dalam pengungkapan informasi maupun fakta
material.
- 8 -
(2) Prinsip keterbukaan informasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) meliputi adanya kelengkapan, kecukupan,
objektivitas, kejelasan, dan kemudahan untuk dimengerti
dalam memorandum informasi dan/atau dokumen
lainnya yang akan disampaikan kepada calon investor
Surat Berharga Komersial.
(3) Memorandum informasi dan/atau dokumen lainnya
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling sedikit
memuat:
a.
ringkasan struktur Surat Berharga Komersial;
b. syarat dan kondisi;
c. opini hukum;
d.
e.
f.
g.
rencana penggunaan dana;
ikhtisar kegiatan usaha penerbit;
risiko usaha;
ikhtisar kinerja keuangan; dan
h. informasi pendukung lain yang relevan dengan
penerbitan Surat Berharga Komersial.
(4) Korporasi Non-Bank sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) wajib memastikan memorandum informasi dan/atau
dokumen lainnya memuat informasi yang benar dan
tidak menyesatkan.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai keterbukaan informasi
diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
BAB VI
PENDAFTARAN PENERBITAN SURAT BERHARGA
KOMERSIAL
Bagian Kesatu
Mekanisme Penerbitan
Pasal 6
Pada saat mengajukan permohonan pendaftaran penerbitan
Surat Berharga Komersial, Korporasi Non-Bank yang akan
menerbitkan Surat Berharga Komersial harus menyampaikan
mekanisme penerbitan yang dipilih.
- 9 -
Pasal 7
Mekanisme penerbitan Surat Berharga Komersial
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dapat dilakukan
melalui:
a. penerbitan secara tunggal atau individual; atau
b. penerbitan secara berkelanjutan.
Bagian Kedua
Pendaftaran Penerbitan
Pasal 8
Surat Berharga Komersial yang akan diterbitkan wajib
memperoleh persetujuan pendaftaran penerbitan Surat
Berharga Komersial dari Bank Indonesia.
Pasal 9
(1) Dalam memberikan persetujuan pendaftaran penerbitan
Surat Berharga Komersial, Bank Indonesia
mempertimbangkan:
a. pemenuhan persyaratan sebagai Penerbit Surat
Berharga Komersial sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3; dan
b. pemenuhan kriteria instrumen Surat Berharga
Komersial yang akan diterbitkan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4.
(2) Selain pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), Bank Indonesia mempertimbangkan pemenuhan
ketentuan mengenai keterbukaan informasi Penerbit
Surat Berharga Komersial sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5.
(3) Dalam hal diperlukan, Bank Indonesia dapat
memberikan tanggapan dan/atau meminta tambahan
informasi kepada Korporasi Non-Bank yang akan
menerbitkan Surat Berharga Komersial sebagai bagian
dari proses penelaahan terhadap pemenuhan ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2).
- 10 -
(4) Korporasi Non-Bank yang akan menerbitkan Surat
Berharga Komersial harus menyampaikan tambahan
dokumen atau informasi dalam hal diperlukan oleh Bank
Indonesia selama proses penelaahan permohonan
pendaftaran penerbitan Surat Berharga Komersial.
Pasal 10
(1) Bank Indonesia dalam memberikan persetujuan
pendaftaran penerbitan Surat Berharga Komersial tidak
memberikan penilaian atas keunggulan atau kelemahan
Surat Berharga Komersial yang akan diterbitkan.
(2) Persetujuan pendaftaran penerbitan Surat Berharga
Komersial yang diperoleh Penerbit Surat Berharga
Komersial dari Bank Indonesia tidak dapat dipergunakan
untuk penerbitan surat berharga lainnya maupun
tindakan lainnya yang menguntungkan Penerbit Surat
Berharga Komersial.
(3) Pemenuhan kewajiban Penerbit Surat Berharga
Komersial sepenuhnya menjadi tanggung jawab dari
Penerbit Surat Berharga Komersial.
Pasal 11
(1) Dalam hal Penerbit Surat Berharga Komersial akan
menerbitkan Surat Berharga Komersial tahap lanjutan,
Penerbit Surat Berharga Komersial harus menyampaikan
permohonan pendaftaran kepada Bank Indonesia untuk
melakukan penerbitan Surat Berharga Komersial tahap
lanjutan disertai dengan informasi paling sedikit
mengenai:
a.
rencana penerbitan Surat Berharga Komersial tahap
lanjutan;
b. kondisi terkini Penerbit Surat Berharga Komersial;
dan
c. persyaratan administratif lainnya.
- 11 -
(2) Kondisi terkini sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b paling sedikit memuat informasi mengenai:
a. peringkat Surat Berharga Komersial yang akan
diterbitkan; dan
b. kondisi tidak mengalami gagal bayar.
Pasal 12
(1) Dalam hal terdapat perubahan informasi maupun fakta
material sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, Penerbit
Surat Berharga Komersial wajib mencantumkan
perubahan informasi maupun fakta material tersebut
dalam memorandum informasi dan/atau dokumen
lainnya yang akan disampaikan kepada calon investor
Surat Berharga Komersial.
(2) Perubahan informasi maupun fakta material dalam
memorandum informasi dan/atau dokumen lainnya
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disampaikan
kepada Bank Indonesia.
Pasal 13
(1) Persetujuan Bank Indonesia terhadap permohonan
pendaftaran penerbitan Surat Berharga Komersial tahap
lanjutan dilakukan dengan mempertimbangkan
pemenuhan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 11 dan Pasal 12.
(2) Bank Indonesia tidak dapat memberikan persetujuan
pendaftaran penerbitan Surat Berharga Komersial tahap
lanjutan sampai dengan Penerbit Surat Berharga
Komersial dapat memenuhi seluruh persyaratan dan
menyampaikannya kepada Bank Indonesia.
Pasal 14
Penerbit Surat Berharga Komersial wajib memastikan bahwa
seluruh informasi yang tercantum dalam dokumen yang
diperlukan dalam pendaftaran penerbitan Surat Berharga
Komersial benar dan tidak menyesatkan.
- 12 -
Pasal 15
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pendaftaran
penerbitan Surat Berharga Komersial kepada Bank Indonesia
diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
BAB VII
PENAWARAN SURAT BERHARGA KOMERSIAL DAN AKSES
TERHADAP KETERBUKAAN INFORMASI PENERBITAN SURAT
BERHARGA KOMERSIAL
Pasal 16
(1) Setelah memperoleh persetujuan pendaftaran penerbitan
Surat Berharga Komersial dari Bank Indonesia, Penerbit
Surat Berharga Komersial dapat melakukan:
a. penawaran kepada calon investor Surat Berharga
Komersial; dan
b. pengajuan permohonan pendaftaran penatausahaan
Surat Berharga Komersial kepada Bank Indonesia
atau LPP yang ditunjuk oleh Bank Indonesia.
(2) Penerbit Surat Berharga Komersial harus menyampaikan
hasil penawaran kepada Bank Indonesia beserta:
a. salinan memorandum informasi dan/atau dokumen
lainnya yang diberikan kepada calon investor Surat
Berharga Komersial; dan
b. surat pernyataan yang menerangkan bahwa
memorandum informasi dan/atau dokumen lainnya
yang diserahkan kepada calon investor Surat
Berharga Komersial sama dengan memorandum
informasi dan/atau dokumen lainnya yang telah
disampaikan kepada Bank Indonesia.
(3) Apabila dalam jangka waktu tertentu dari tanggal
persetujuan pendaftaran penerbitan Surat Berharga
Komersial yang diberikan oleh Bank Indonesia, Penerbit
Surat Berharga Komersial tidak menyampaikan hasil
penawaran maka persetujuan pendaftaran penerbitan
Surat Berharga Komersial menjadi batal.
- 13 -
(4) Dalam kondisi tertentu, Penerbit Surat Berharga
Komersial dapat melakukan penundaan penawaran Surat
Berharga Komersial dengan terlebih dahulu
menyampaikan rencana penundaan dimaksud kepada
Bank Indonesia.
(5) Dalam hal penundaan penawaran Surat Berharga
Komersial melampaui jangka waktu yang telah
ditetapkan oleh Bank Indonesia maka persetujuan
pendaftaran penerbitan Surat Berharga Komersial
menjadi batal.
Pasal 17
(1) Penerbit Surat Berharga Komersial dan Lembaga
Pendukung Pasar Uang yang berperan sebagai penata
laksana (arranger) penerbitan Surat Berharga Komersial
harus memastikan bahwa calon investor Surat Berharga
Komersial telah membaca memorandum informasi
dan/atau dokumen lainnya yang berkaitan dengan
keterbukaan informasi sebelum menyatakan pemesanan.
(2) Calon investor Surat Berharga Komersial dapat meminta
memorandum informasi dan/atau dokumen lainnya
kepada Penerbit Surat Berharga Komersial dan/atau
Lembaga Pendukung Pasar Uang yang berperan sebagai
penata laksana (arranger) penerbitan Surat Berharga
Komersial.
(3) Penerbit dan/atau Lembaga Pendukung Pasar Uang yang
berperan sebagai penata laksana (arranger) penerbitan
Surat Berharga Komersial harus memberikan
kemudahan kepada calon investor Surat Berharga
Komersial untuk mengakses memorandum informasi
dan/atau dokumen lainnya terkait Penerbit Surat
Berharga Komersial maupun Surat Berharga Komersial.
Pasal 18
(1) Penerbit Surat Berharga Komersial
wajib
mengungkapkan peringkat Surat Berharga Komersial
yang diterbitkan kepada investor dan/atau calon investor
- 14 -
Surat Berharga Komersial,
setelah memperoleh
persetujuan pendaftaran penerbitan Surat Berharga
Komersial dari Bank Indonesia.
(2) Lembaga pemeringkat harus melakukan diseminasi
peringkat Surat Berharga Komersial pada laman lembaga
pemeringkat atau media lainnya untuk mendukung
pengungkapan peringkat Surat Berharga Komersial
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 19
Ketentuan lebih lanjut mengenai penawaran Surat Berharga
Komersial dan akses terhadap keterbukaan informasi
penerbitan diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
BAB VIII
PENERBITAN DAN PENATAUSAHAAN SURAT BERHARGA
KOMERSIAL SERTA PENYELESAIAN TRANSAKSI
Pasal 20
(1) Penatausahaan Surat Berharga Komersial dan
penyelesaian transaksi Surat Berharga Komersial dapat
dilaksanakan melalui sarana yang diselenggarakan oleh
Bank Indonesia atau LPP yang ditunjuk oleh Bank
Indonesia.
(2) Dalam hal penatausahaan Surat Berharga Komersial dan
penyelesaian transaksi Surat Berharga Komersial
dilakukan di Bank Indonesia maka penatausahaan Surat
Berharga Komersial dan penyelesaian transaksi Surat
Berharga Komersial dilakukan dengan mengacu pada
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
penatausahaan surat berharga.
(3) Dalam hal penatausahaan Surat Berharga Komersial dan
penyelesaian transaksi Surat Berharga Komersial
dilakukan di LPP yang ditunjuk oleh Bank Indonesia
maka penatausahaan Surat Berharga Komersial dan
penyelesaian transaksi Surat Berharga Komersial
dilakukan dengan mengacu pada ketentuan peraturan
- 15 -
perundang-undangan yang terkait LPP atau ketentuan
yang diterbitkan oleh LPP.
Pasal 21
(1) Penerbit Surat Berharga Komersial harus menerbitkan
bukti penerbitan kolektif yang disampaikan kepada Bank
Indonesia atau LPP yang ditunjuk oleh Bank Indonesia.
(2) Bukti penerbitan kolektif sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2).
(3) Dalam hal Surat Berharga Komersial diterbitkan dengan
disertai adanya penjaminan atau penanggungan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf b
angka 1, penjaminan atau penanggungan tersebut harus
dicantumkan dalam bukti penerbitan kolektif
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai bukti penerbitan
kolektif diatur dalam Peraturan Anggota Dewan
Gubernur.
Pasal 22
(1) Penerbit Surat Berharga Komersial wajib menyampaikan
data posisi kepemilikan investor atas Surat Berharga
Komersial yang diterbitkannya kepada Bank Indonesia.
(2) Dalam hal penatausahaan dan penyelesaian transaksi
Surat Berharga Komersial dilakukan oleh LPP yang
ditunjuk oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 20 ayat (1), data posisi kepemilikan investor
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disampaikan
oleh Penerbit Surat Berharga Komersial kepada Bank
Indonesia melalui LPP.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai mekanisme
penyampaian data posisi kepemilikan investor atas Surat
Berharga Komersial diatur dalam Peraturan Anggota
Dewan Gubernur.
- 16 -
BAB IX
LEMBAGA PENDUKUNG PASAR UANG YANG MELAKUKAN
KEGIATAN DI PASAR SURAT BERHARGA KOMERSIAL
Bagian Kesatu
Lembaga Pendukung Penerbitan Surat Berharga Komersial
Pasal 23
(1) Penerbit Surat Berharga Komersial harus menggunakan
jasa Lembaga Pendukung Penerbitan Surat Berharga
Komersial.
(2) Lembaga Pendukung Penerbitan Surat Berharga
Komersial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. Bank atau Perusahaan Efek yang berfungsi sebagai
penata laksana (arranger) penerbitan;
lembaga pemeringkat;
b.
c. konsultan hukum;
d. akuntan publik;
e. notaris; dan
f.
lembaga lainnya yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia.
(3) Lembaga Pendukung Penerbitan Surat Berharga
Komersial harus terdaftar di Bank Indonesia.
(4) Lembaga Pendukung Penerbitan Surat Berharga
Komersial harus mengajukan permohonan pendaftaran
kepada Bank Indonesia.
(5) Dalam memberikan persetujuan terhadap permohonan
pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Bank
Indonesia mempertimbangkan pemenuhan persyaratan
terkait:
a. keabsahan aspek kelembagaan dan/atau individual
profesi dari Lembaga Pendukung Penerbitan Surat
Berharga Komersial; dan
b. kemampuan Lembaga Pendukung Penerbitan Surat
Berharga Komersial dalam menjalankan fungsinya.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai uraian tugas, tata cara,
dan persyaratan pendaftaran Lembaga Pendukung
- 17 -
Penerbitan Surat Berharga Komersial diatur dalam
Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
Pasal 24
(1) Dalam hal Lembaga Pendukung Penerbitan Surat
Berharga Komersial merupakan pihak yang terafiliasi
dengan Penerbit Surat Berharga Komersial dan/atau
pihak lain yang terlibat dalam penerbitan Surat Berharga
Komersial, Lembaga Pendukung Penerbitan Surat
Berharga Komersial harus menyampaikan informasi
mengenai hubungan afiliasi tersebut di dalam
memorandum informasi dan/atau dokumen lainnya.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengungkapan
informasi terkait adanya hubungan afiliasi serta
hubungan yang menyebabkan satu pihak menjadi
terafiliasi dengan Penerbit Surat Berharga Komersial
diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
Pasal 25
Lembaga Pendukung Penerbitan Surat Berharga Komersial
wajib memberikan pendapat dan keterangan yang objektif,
independen, dan tidak menyesatkan.
Bagian Kedua
Pelaku Transaksi Surat Berharga Komersial dan Lembaga
Pendukung Transaksi Surat Berharga Komersial
Pasal 26
(1) Pelaku Transaksi Surat Berharga Komersial meliputi:
a. Bank dan Perusahaan Efek yang berperan dalam
perdagangan Surat Berharga Komersial; dan
b. nasabah yang berperan sebagai investor Surat
Berharga Komersial.
(2) Pihak yang dapat menjadi Lembaga Pendukung Transaksi
Surat Berharga Komersial meliputi:
a. Perusahaan Efek; dan
b. Perusahaan Pialang.
- 18 -
(3) Lembaga Pendukung Transaksi Surat Berharga Komersial
harus terdaftar di Bank Indonesia.
(4) Lembaga Pendukung Transaksi Surat Berharga Komersial
harus mengajukan permohonan pendaftaran kepada
Bank Indonesia.
(5) Dalam memberikan persetujuan terhadap permohonan
pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Bank
Indonesia mempertimbangkan pemenuhan persyaratan
terkait:
a. keabsahan aspek kelembagaan dari Lembaga
Pendukung Transaksi Surat Berharga Komersial;
dan
b. kemampuan Lembaga Pendukung Transaksi Surat
Berharga Komersial dalam menjalankan fungsinya.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai
tata cara dan
persyaratan pendaftaran Lembaga Pendukung Transaksi
Surat Berharga Komersial diatur dalam Peraturan
Anggota Dewan Gubernur.
Bagian Ketiga
Lembaga Pendukung Penatausahaan dan Penyelesaian
Transaksi Surat Berharga Komersial
Pasal 27
(1) Pihak yang dapat menjadi Lembaga Pendukung
Penatausahaan dan Penyelesaian Transaksi Surat
Berharga Komersial untuk kepentingan investor Surat
Berharga Komersial meliputi:
a. Bank yang melaksanakan kegiatan kustodian; atau
b. Perusahaan Efek.
(2) Lembaga Pendukung Penatausahaan dan Penyelesaian
Transaksi Surat Berharga Komersial sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus terdaftar di Bank
Indonesia.
(3) Lembaga Pendukung Penatausahaan dan Penyelesaian
Transaksi Surat Berharga Komersial harus mengajukan
permohonan pendaftaran kepada Bank Indonesia.
- 19 -
(4) Dalam memberikan persetujuan pendaftaran, Bank
Indonesia mempertimbangkan pemenuhan persyaratan
terkait:
a. keabsahan aspek kelembagaan dari Lembaga
Pendukung Penatausahaan dan Penyelesaian
Transaksi Surat Berharga Komersial; dan
b. kemampuan Lembaga Pendukung Penatausahaan
dan Penyelesaian Transaksi Surat Berharga
Komersial dalam menjalankan fungsi.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pendaftaran
Lembaga Pendukung Penatausahaan dan Penyelesaian
Transaksi Surat Berharga Komersial diatur dalam
Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
BAB X
KETERBUKAAN INFORMASI PASCA-PENERBITAN SURAT
BERHARGA KOMERSIAL
Pasal 28
(1) Penerbit Surat Berharga Komersial wajib
mengungkapkan informasi maupun fakta material
kepada investor Surat Berharga Komersial dan/atau
calon investor Surat Berharga Komersial dalam hal
terdapat perubahan atas informasi maupun fakta
material terkait kondisi Penerbit Surat Berharga
Komersial pascapenerbitan Surat Berharga Komersial.
(2) Pengungkapan informasi maupun fakta material
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan
segera setelah perubahan informasi maupun fakta
material terjadi.
(3) Pengungkapan informasi maupun fakta material
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi
prinsip keterbukaan informasi yang meliputi adanya
kelengkapan, kecukupan, objektivitas, kejelasan, dan
kemudahan untuk dimengerti.
(4) Pengungkapan informasi maupun fakta material
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan
- 20 -
melalui sarana yang memudahkan akses informasi oleh
investor Surat Berharga Komersial dan/atau calon
investor Surat Berharga Komersial.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengungkapan
informasi maupun fakta material pascapenerbitan Surat
Berharga Komersial diatur dalam Peraturan Anggota
Dewan Gubernur.
Pasal 29
Penerbit Surat Berharga Komersial wajib memastikan seluruh
informasi maupun fakta material sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 28 benar dan tidak menyesatkan.
BAB XI
TRANSAKSI SURAT BERHARGA KOMERSIAL DI PASAR
SEKUNDER
Bagian Kesatu
Transaksi dan Sarana Transaksi Surat Berharga Komersial di
Pasar Sekunder
Pasal 30
(1) Pelaku Transaksi Surat Berharga Komersial dapat
melakukan transaksi Surat Berharga Komersial di pasar
sekunder:
a. secara langsung; atau
b. melalui perantara Lembaga Pendukung Transaksi
Surat Berharga Komersial yang telah terdaftar di
Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal
26 ayat (3).
(2) Dengan melakukan transaksi Surat Berharga Komersial,
Pelaku Transaksi Surat Berharga Komersial dianggap
telah menyetujui untuk memberikan akses kepada Bank
Indonesia atas detil data transaksi, penyelesaian
transaksi, dan posisi kepemilikan Surat Berharga
Komersial.
- 21 -
(3) Lembaga Pendukung Transaksi Surat Berharga Komersial
serta Lembaga Penatausahaan dan Penyelesaian
Transaksi Surat Berharga Komersial harus secara aktif
menyampaikan ketentuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) kepada investor Surat Berharga Komersial.
(4) Perhitungan harga transaksi Surat Berharga Komersial
menggunakan konvensi perhitungan hari (day-count
convention) yaitu Actual/360.
(5) Penentuan harga dalam transaksi dapat mengacu pada
suku bunga acuan yang berlaku secara umum di Pasar
Uang.
(6) Penyelesaian transaksi Surat Berharga Komersial di
pasar sekunder harus dilakukan paling lambat 3 (tiga)
hari kerja setelah transaksi (T+3).
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai transaksi Surat
Berharga Komersial dan penyelesaiannya diatur dalam
Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
Pasal 31
Pelaksanaan transaksi Surat Berharga Komersial di pasar
sekunder dapat dilakukan dengan menggunakan sistem Bank
Indonesia Electronic Trading Platform (BI-ETP) atau sarana
pelaksanaan transaksi lainnya yang lazim digunakan di Pasar
Uang.
Pasal 32
Pelaku Transaksi Surat Berharga Komersial dan Lembaga
Pendukung Transaksi Surat Berharga Komersial harus
mendukung pembentukan harga secara transparan dan
kredibel.
- 22 -
BAB XII
PENERAPAN PRINSIP KEHATI-HATIAN DAN MANAJEMEN
RISIKO
Bagian Kesatu
Penerbit Surat Berharga Komersial
Pasal 33
(1) Penerbit Surat Berharga Komersial wajib menerapkan
prinsip kehati-hatian dan manajemen risiko.
(2) Prinsip kehati-hatian sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) paling sedikit mencakup:
a.
transparansi dan keterbukaan informasi;
b. perlindungan konsumen; dan
c. mekanisme penyelesaian sengketa.
(3) Penerapan manajemen risiko sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan terhadap risiko yang dihadapi.
Bagian Kedua
Lembaga Pendukung Penerbitan Surat Berharga Komersial
Pasal 34
(1) Lembaga Pendukung Penerbitan Surat Berharga
Komersial wajib menerapkan prinsip kehati-hatian dan
manajemen risiko.
(2) Prinsip kehati-hatian sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) paling sedikit mencakup:
a.
transparansi dan keterbukaan informasi;
b. perlindungan konsumen; dan
c. mekanisme penyelesaian sengketa.
(3) Penerapan manajemen risiko sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan terhadap risiko yang dihadapi.
- 23 -
Bagian Ketiga
Pelaku Transaksi Surat Berharga Komersial dan Lembaga
Pendukung Transaksi Surat Berharga Komersial
Pasal 35
(1) Pelaku Transaksi Surat Berharga Komersial yang
berperan dalam perdagangan Surat Berharga Komersial
dan Lembaga Pendukung Transaksi Surat Berharga
Komersial wajib menerapkan prinsip kehati-hatian dan
manajemen risiko.
(2) Prinsip kehati-hatian sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) paling sedikit mencakup:
a. etika bertransaksi dan kode etik pasar atau
pedoman sejenis;
b.
transparansi dan keterbukaan informasi;
c. perlindungan konsumen; dan
d. mekanisme penyelesaian sengketa.
(3) Penerapan manajemen risiko sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan terhadap risiko yang dihadapi.
(4)
Investor Surat Berharga Komersial harus memiliki
pemahaman yang baik terhadap risiko investasi dan
menerapkan prinsip kehati-hatian dalam berinvestasi.
Bagian Keempat
Lembaga Pendukung Penatausahaan dan Penyelesaian
Transaksi Surat Berharga Komersial
Pasal 36
(1) Lembaga Pendukung Penatausahaan dan Penyelesaian
Transaksi Surat Berharga Komersial wajib menerapkan
prinsip kehati-hatian dan manajemen risiko.
(2) Prinsip kehati-hatian sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) paling sedikit mencakup:
a.
transparansi dan keterbukaan informasi;
b. perlindungan konsumen; dan
c. mekanisme penyelesaian sengketa.
- 24 -
(3) Penerapan manajemen risiko sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan terhadap risiko yang dihadapi.
BAB XIII
PENGAWASAN
Pasal 37
(1) Bank Indonesia melakukan pengawasan terhadap
penerbitan dan transaksi Surat Berharga Komersial
sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia yang mengatur
mengenai Pasar Uang.
(2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan terhadap Penerbit Surat Berharga Komersial,
Pelaku Transaksi Surat Berharga Komersial yang
berperan dalam perdagangan di pasar Surat Berharga
Komersial, dan Lembaga Pendukung Pasar Uang yang
melakukan kegiatan di pasar Surat Berharga Komersial.
(3) Dalam melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Bank Indonesia dapat berkoordinasi
dengan otoritas lain yang berwenang, instansi, dan/atau
lembaga profesi yang terkait.
(4) Pengawasan terhadap penerbitan dan transaksi Surat
Berharga Komersial sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi:
a. pengawasan tidak langsung; dan/atau
b. pemeriksaan.
(5) Untuk pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Penerbit Surat Berharga Komersial, Pelaku Transaksi
Surat Berharga Komersial yang berperan dalam
perdagangan di pasar Surat Berharga Komersial, dan
Lembaga Pendukung Pasar Uang yang melakukan
kegiatan di pasar Surat Berharga Komersial wajib
menyediakan dan menyampaikan data, informasi,
dan/atau keterangan yang diperlukan oleh Bank
Indonesia.
(6) Penerbit Surat Berharga Komersial, Pelaku Transaksi
Surat Berharga Komersial yang berperan dalam
- 25 -
perdagangan di pasar Surat Berharga Komersial, dan
Lembaga Pendukung Pasar Uang sebagaimana dimaksud
pada ayat (5) wajib bertanggung jawab atas kebenaran
data, informasi, dan/atau keterangan yang disampaikan
kepada Bank Indonesia.
(7) Bank Indonesia dapat menugaskan pihak lain untuk
melakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada
ayat (4) huruf b.
(8) Pihak yang ditugaskan melakukan pemeriksaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (7) wajib menjaga
kerahasiaan data, informasi, dan keterangan yang
diperoleh dari hasil pemeriksaaan.
BAB XIV
PELAPORAN
Bagian Kesatu
Laporan Penerbit Surat Berharga Komersial
Pasal 38
(1) Penerbit Surat Berharga Komersial wajib menyampaikan
laporan secara berkala kepada Bank Indonesia.
(2) Laporan secara berkala sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) terdiri atas:
a.
laporan realisasi penerbitan yang memuat informasi
mengenai:
1.
realisasi distribusi Surat Berharga Komersial;
dan
2. penggunaan dana hasil penerbitan; dan
b.
laporan perubahan informasi maupun fakta material
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28.
(3) Selain menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), Penerbit Surat Berharga Komersial yang
melakukan penerbitan secara berkelanjutan wajib
menyampaikan laporan realisasi penerbitan
berkelanjutan.
- 26 -
Pasal 39
Dalam hal terdapat perubahan informasi maupun fakta
material yang signifikan, selain dilaporkan secara berkala
dalam laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (2)
huruf b, Penerbit Surat Berharga Komersial wajib
menyampaikan laporan perubahan informasi maupun fakta
material kepada Bank Indonesia segera setelah terjadi
perubahan tersebut.
Pasal 40
Dalam hal Bank Indonesia memerlukan informasi tambahan
atas laporan:
a.
realisasi penerbitan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
38 ayat (2) huruf a;
b. perubahan informasi maupun fakta material
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (2) huruf b;
c.
realisasi penerbitan berkelanjutan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 38 ayat (3); dan/atau
d. perubahan informasi maupun fakta material yang
signifikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39,
Penerbit Surat Berharga Komersial wajib menyampaikan
informasi tambahan tersebut kepada Bank Indonesia.
Pasal 41
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyampaian
laporan oleh Penerbit Surat Berharga Komersial diatur dalam
Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
Bagian Kedua
Laporan Lembaga Pendukung Penerbitan Surat Berharga
Komersial
Pasal 42
(1) Lembaga Pendukung Penerbitan Surat Berharga
Komersial wajib menyampaikan laporan secara berkala
kepada Bank Indonesia.
- 27 -
(2) Penyampaian laporan secara berkala sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk laporan yang
terkait dengan aspek kemampuan Lembaga Pendukung
Penerbitan Surat Berharga Komersial dalam menjalankan
fungsinya.
Pasal 43
(1) Dalam hal terdapat perubahan data pendukung terkait
aspek kelembagaan dan aspek kemampuan dalam
menjalankan fungsinya, Lembaga Pendukung Penerbitan
Surat Berharga Komersial wajib menyampaikan laporan
perubahan tersebut kepada Bank Indonesia.
(2) Penyampaian laporan perubahan data pendukung
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara
insidental.
Pasal 44
Dalam hal Bank Indonesia memerlukan informasi tambahan
atas laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 dan/atau
Pasal 43, Lembaga Pendukung Penerbitan Surat Berharga
Komersial wajib menyampaikan informasi tambahan tersebut
kepada Bank Indonesia.
Pasal 45
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyampaian
laporan oleh Lembaga Pendukung Penerbitan Surat Berharga
Komersial diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
Bagian Ketiga
Laporan Lembaga Pendukung Transaksi Surat Berharga
Komersial
Pasal 46
(1) Lembaga Pendukung Transaksi Surat Berharga
Komersial wajib menyampaikan laporan kepada Bank
Indonesia dalam hal terdapat perubahan data pendukung
terkait aspek kelembagaan dan aspek kemampuan dalam
- 28 -
menjalankan fungsi dari Lembaga Pendukung Transaksi
Surat Berharga Komersial.
(2) Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan secara insidental.
(3) Penyampaian laporan oleh Lembaga Pendukung
Transaksi Surat Berharga Komersial berupa Perusahaan
Pialang dilakukan sesuai dengan ketentuan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai pialang pasar uang.
(4) Dalam hal Bank Indonesia memerlukan informasi
tambahan atas laporan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), Lembaga Pendukung Transaksi Surat Berharga
Komersial wajib menyampaikan informasi tambahan
tersebut kepada Bank Indonesia.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaporan bagi
Lembaga Pendukung Transaksi Surat Berharga
Komersial diatur dalam Peraturan Anggota Dewan
Gubernur.
Bagian Keempat
Laporan Lembaga Pendukung Penatausahaan dan
Penyelesaian Transaksi Surat Berharga Komersial
Pasal 47
(1) Lembaga Pendukung Penatausahaan dan Penyelesaian
Transaksi Surat Berharga Komersial wajib
menyampaikan laporan kepada Bank Indonesia dalam
hal terdapat perubahan data pendukung terkait aspek
kelembagaan dan aspek kemampuan dalam menjalankan
fungsi dari Lembaga Pendukung Penatausahaan dan
Penyelesaian Transaksi Surat Berharga Komersial.
(2) Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan secara insidental.
(3) Dalam hal Bank Indonesia memerlukan informasi
tambahan atas laporan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1),
Lembaga Pendukung Penatausahaan dan
Penyelesaian Transaksi Surat Berharga Komersial wajib
- 29 -
menyampaikan informasi tambahan tersebut kepada
Bank Indonesia.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyampaian
laporan oleh Lembaga Pendukung Penatausahaan dan
Penyelesaian Transaksi Surat Berharga Komersial diatur
dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
Bagian Kelima
Laporan Transaksi oleh Pelaku Transaksi,
Lembaga Pendukung Transaksi, serta Lembaga Pendukung
Penatausahaan dan Penyelesaian Surat Berharga Komersial
Pasal 48
(1) Pelaku Transaksi berupa nasabah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) huruf b harus
melaporkan informasi mengenai transaksi Surat
Berharga Komersial yang dilakukan kepada Bank
Indonesia melalui:
a. Bank, apabila transaksi Surat Berharga Komersial
dilakukan dengan Bank;
b. Lembaga Pendukung Transaksi Surat Berharga
Komersial, apabila transaksi Surat Berharga
Komersial dilakukan dengan perantara Lembaga
Pendukung Transaksi Surat Berharga Komersial;
dan/atau
c. Lembaga Pendukung Penatausahaan dan
Penyelesaian Transaksi Surat Berharga Komersial,
apabila transaksi Surat Berharga Komersial
dilakukan oleh nasabah secara langsung tanpa
melibatkan Bank dan/atau Perusahaan Efek.
(2) Pelaku Transaksi Surat Berharga Komersial berupa Bank
dan Perusahaan Efek sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 26 ayat (1) huruf a wajib melaporkan informasi
mengenai transaksi Surat Berharga Komersial yang
dilakukan kepada Bank Indonesia.
(3) Bank, Lembaga Pendukung Transaksi Surat Berharga
Komersial, dan/atau Lembaga Pendukung
- 30 -
Penatausahaan dan Penyelesaian Transaksi Surat
Berharga Komersial yang terlibat dalam transaksi Surat
Berharga Komersial nasabah sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) wajib melaporkan informasi mengenai
transaksi Surat Berharga Komersial yang dilakukan oleh
nasabah tersebut kepada Bank Indonesia.
(4) Pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3)
melakukan pelaporan melalui sistem pelaporan Bank
Indonesia.
(5) Tata cara penyampaian laporan sebagaimana dimaksud
pada ayat (4) mengacu pada ketentuan Bank Indonesia
yang mengatur mengenai sistem pelaporan Bank
Indonesia.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaporan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih
lanjut dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
Bagian Keenam
Laporan Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian Surat
Berharga Komersial.
Pasal 49
(1) LPP yang ditunjuk oleh Bank Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) wajib menyampaikan
laporan kepada Bank Indonesia.
(2) Tata cara penyampaian laporan oleh LPP yang ditunjuk
oleh Bank Indonesia dituangkan dalam perjanjian antara
Bank Indonesia dengan LPP.
BAB XV
PENCABUTAN STATUS TERDAFTAR
Pasal 50
(1) Bank Indonesia dapat mencabut status terdaftar
Lembaga Pendukung Pasar Uang yang melakukan
kegiatan di pasar Surat Berharga Komersial sebagaimana
- 31 -
dimaksud dalam Pasal 23 ayat (3), Pasal 26 ayat (3), dan
Pasal 27 ayat (2).
(2) Pencabutan status terdaftar sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dapat dilakukan:
a. dalam hal berdasarkan penilaian dan evaluasi Bank
Indonesia terdapat permasalahan yang mengganggu
kemampuan Lembaga Pendukung Pasar Uang dalam
melaksanakan kegiatan di Pasar Surat Berharga
Komersial maupun Pasar Uang;
b. berdasarkan permintaan dari otoritas atau lembaga
profesi terkait;
c. berdasarkan permintaan dari lembaga atau individu
yang bersangkutan; dan/atau
d. dalam hal terdapat pengenaan sanksi atas
pelanggaran dalam Peraturan Bank Indonesia ini.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pencabutan status
terdaftar dari Lembaga Pendukung Pasar Uang yang
melakukan kegiatan di pasar Surat Berharga Komersial
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam
Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
BAB XVI
SANKSI
Pasal 51
(1) Penerbit Surat Berharga Komersial yang melakukan
pelanggaran atas kewajiban untuk :
a. memenuhi ketentuan mengenai prinsip keterbukaan
serta pencantuman informasi yang benar dan tidak
menyesatkan pada dokumen memorandum
informasi dan/atau dokumen lainnya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5; dan/atau
b. mencantumkan informasi yang benar dan tidak
menyesatkan pada dokumen pendaftaran penerbitan
Surat Berharga Komersial sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 14,
dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis.
- 32 -
(2) Penerbit Surat Berharga Komersial yang mencantumkan
informasi maupun fakta material sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 28 dan Pasal 29 yang tidak benar dan
menyesatkan dikenakan sanksi administratif berupa
teguran tertulis.
(3) Dalam hal informasi yang tercantum dalam dokumen
memorandum informasi dan/atau dokumen lainnya serta
dokumen persetujuan pendaftaran penerbitan Surat
Berharga Komersial sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diketahui
tidak benar dan menyesatkan setelah
persetujuan pendaftaran diberikan, Bank Indonesia tetap
dapat mengenakan sanksi administratif berupa teguran
tertulis terhadap Penerbit Surat Berharga Komersial.
(4) Penerbit Surat Berharga Komersial yang tidak
mencantumkan perubahan informasi maupun fakta
material dalam memorandum informasi dan/atau
dokumen lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal
12, dikenakan sanksi berupa teguran tertulis.
Pasal 52
Penerbit Surat Berharga Komersial yang tidak menerapkan
prinsip kehati-hatian dan manajemen risiko sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 33 dikenakan sanksi administratif
berupa teguran tertulis.
Pasal 53
(1) Penerbit Surat Berharga Komersial yang tidak
melaporkan:
a.
b. perubahan informasi maupun fakta material
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (2)
huruf b;
c.
realisasi penerbitan berkelanjutan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 38 ayat (3); dan/atau
d. perubahan informasi maupun fakta material yang
signifikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39,
realisasi penerbitan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 38 ayat (2) huruf a;
- 33 -
dikenakan sanksi administratif berupa teguran
tertulis.
(2) Penerbit Surat Berharga Komersial yang tidak memenuhi
kewajiban menyampaikan data posisi kepemilikan
investor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22
dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis.
(3) Penerbit Surat Berharga Komersial yang tidak
menyampaikan tambahan informasi yang diminta oleh
Bank Indonesia atas laporan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 40 dikenakan sanksi administratif berupa
teguran tertulis.
(4) Penerbit Surat Berharga Komersial yang tidak
menyampaikan laporan kepada Bank Indonesia dalam
jangka waktu tertentu sejak penyampaian teguran
tertulis atas pelanggaran kewajiban penyampaian laporan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat
(3), dikenakan sanksi teguran tertulis berikutnya.
(5) Pengenaan sanksi teguran tertulis sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) tidak
menghilangkan kewajiban Penerbit Surat Berharga
Komersial untuk menyampaikan laporan kepada Bank
Indonesia.
Pasal 54
(1) Penerbit Surat Berharga Komersial yang tidak
menyediakan data, informasi, dan/atau keterangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (5)
dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis.
(2) Penerbit Surat Berharga Komersial yang tidak
menyediakan data, informasi, dan/atau keterangan
secara benar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat
(6) dikenakan sanksi administratif berupa teguran
tertulis.
- 34 -
Pasal 55
Penerbit Surat Berharga Komersial yang mendapatkan sanksi
administratif berupa teguran tertulis, tetap harus memenuhi
kewajiban yang diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini.
Pasal 56
Penerbit Surat Berharga Komersial yang telah menerima
sanksi administratif berupa teguran tertulis sebanyak 3 (tiga)
kali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 sampai dengan
Pasal 54 dalam jangka waktu 1 (satu) tahun, dikenakan
sanksi tidak dapat menerbitkan Surat Berharga Komersial
selama 1 (satu) tahun ke depan.
Pasal 57
Dalam hal Penerbit Surat Berharga Komersial melakukan
pelanggaran atas kewajiban sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5, Pasal 12, Pasal 14, Pasal 28, Pasal 29, Pasal 37 ayat
(5), dan/atau Pasal 37 ayat (6) yang berdampak signifikan
dan/atau menimbulkan kerugian, Bank Indonesia
mengenakan sanksi kepada Penerbit Surat Berharga
Komersial berupa larangan penerbitan Surat Berharga
Komersial selama 1 (satu) tahun dari tanggal pengenaan
sanksi.
Pasal 58
(1) Lembaga Pendukung Penerbitan Surat Berharga
Komersial yang tidak menyampaikan laporan berkala
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 dikenakan sanksi
administratif berupa teguran tertulis.
(2) Lembaga Pendukung Penerbitan Surat Berharga
Komersial yang tidak menyediakan data, informasi,
dan/atau keterangan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 37 ayat (5) dan/atau ayat (6) secara benar
dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis.
(3) Lembaga Pendukung Penerbitan Surat Berharga
Komersial yang tidak menyampaikan laporan dalam hal
terdapat perubahan data pendukung sebagaimana
- 35 -
dimaksud dalam Pasal 43 dikenakan sanksi administratif
berupa teguran tertulis.
(4) Lembaga Pendukung Penerbitan Surat Berharga
Komersial yang tidak menyampaikan tambahan informasi
yang diminta oleh Bank Indonesia atas laporan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 dikenakan sanksi
administratif berupa teguran tertulis.
(5) Lembaga Pendukung Penerbitan Surat Berharga
Komersial yang tidak menyampaikan laporan kepada
Bank Indonesia dalam jangka tertentu sejak dikenakan
teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
sampai dengan ayat (4) dikenakan sanksi teguran tertulis
berikutnya.
(6) Lembaga Pendukung Penerbitan Surat Berharga
Komersial yang memberikan jasa penerbitan Surat
Berharga Komersial yang tidak terdaftar di Bank
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8
dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis.
(7) Lembaga Pendukung Penerbitan Surat Berharga
Komersial yang memberikan pendapat dan keterangan
yang tidak objektif, tidak independen serta memberikan
pendapat dan keterangan yang menyesatkan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 dikenakan sanksi
administratif berupa teguran tertulis.
(8) Lembaga Pendukung Penerbitan Surat Berharga
Komersial yang tidak menerapkan prinsip kehati-hatian
dan manajemen risiko sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 34 dikenakan sanksi administratif berupa teguran
tertulis.
(9) Lembaga Pendukung Penerbitan Surat Berharga
Komersial yang mendapatkan sanksi administratif berupa
teguran tertulis tetap harus memenuhi kewajiban yang
diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini.
(10) Lembaga Pendukung Penerbitan Surat Berharga
Komersial yang menerima sanksi administratif berupa
teguran tertulis sebanyak 3 (tiga) kali dalam jangka
waktu 6 (enam) bulan, dikenakan sanksi penghentian
- 36 -
sementara pemberian jasa dalam penerbitan Surat
Berharga Komersial selama 1 (satu) bulan ke depan.
(11) Lembaga Pendukung Penerbitan Surat Berharga
Komersial yang mendapatkan sanksi penghentian
sementara pemberian jasa dalam penerbitan Surat
Berharga Komersial sebagaimana dimaksud pada ayat
(10) sebanyak 3 (tiga) kali, dikenakan sanksi dikeluarkan
dari daftar Lembaga Pendukung Penerbitan Surat
Berharga Komersial yang terdaftar di Bank Indonesia.
Pasal 59
Lembaga Pendukung Penerbitan Surat Berharga Komersial
yang melakukan pelanggaran atas kewajiban sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 25, Pasal 37 ayat (5) dan Pasal 37 ayat
(6) yang berdampak signifikan dan/atau menimbulkan
kerugian dikenakan sanksi berupa penghentian sementara
pemberian jasa dalam penerbitan Surat Berharga Komersial
selama 1 (satu) bulan ke depan.
Pasal 60
(1) Pelaku Transaksi Surat Berharga Komersial yang
berperan dalam perdagangan Surat Berharga Komersial
yang tidak menerapkan prinsip kehati-hatian dan
manajemen risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35
dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis.
(2) Pelaku Transaksi Surat Berharga Komersial yang
berperan dalam perdagangan Surat Berharga Komersial
yang tidak menyediakan data, informasi, dan/atau
keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat
(5) dan/atau ayat (6) secara benar dikenakan sanksi
administratif berupa teguran tertulis.
(3) Pelaku Transaksi Surat Berharga Komersial yang
berperan dalam perdagangan Surat Berharga Komersial
yang tidak menyampaikan data, informasi, dan/atau
keterangan kepada Bank Indonesia dalam jangka waktu
tertentu sejak penyampaian teguran tertulis atas
- 37 -
pelanggaran ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) dikenakan sanksi teguran tertulis berikutnya.
(4) Pelaku Transaksi Surat Berharga Komersial yang
berperan dalam perdagangan Surat Berharga Komersial
yang tidak terdaftar di Bank Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8 dikenakan sanksi administratif
berupa teguran tertulis.
(5) Pelaku Transaksi Surat Berharga Komersial yang
berperan dalam perdagangan Surat Berharga Komersial
yang mendapatkan sanksi administratif berupa teguran
tertulis tetap harus memenuhi kewajiban yang diatur
dalam Peraturan Bank Indonesia ini.
Pasal 61
(1) Lembaga Pendukung Transaksi Surat Berharga Komersial
yang tidak menyediakan data, informasi, dan/atau
keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat
(5) dan/atau ayat (6) secara benar dikenakan sanksi
administratif berupa teguran tertulis.
(2) Lembaga Pendukung Transaksi Surat Berharga Komersial
yang tidak menyampaikan laporan dalam hal terdapat
perubahan data pendukung sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 46 dikenakan sanksi administratif berupa
teguran tertulis.
(3) Lembaga Pendukung Transaksi Surat Berharga Komersial
yang tidak menyampaikan laporan kepada Bank
Indonesia dalam jangka waktu tertentu sejak
penyampaian teguran tertulis sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2) dikenakan sanksi teguran
tertulis berikutnya.
(4) Lembaga Pendukung Transaksi Surat Berharga Komersial
yang memberikan jasa perantara pelaksanaan transaksi
Surat Berharga Komersial yang tidak terdaftar di Bank
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8
dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis.
(5) Lembaga Pendukung Transaksi Surat Berharga Komersial
yang tidak menerapkan prinsip kehati-hatian dan
- 38 -
manajemen risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35
dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis.
(6) Lembaga Pendukung Transaksi Surat Berharga Komersial
yang mendapatkan sanksi administratif berupa teguran
tertulis tetap harus memenuhi kewajiban yang diatur
dalam Peraturan Bank Indonesia ini.
(7) Lembaga Pendukung Transaksi Surat Berharga Komersial
yang menerima sanksi administratif berupa teguran
tertulis sebanyak 3 (tiga) kali dalam jangka waktu 6
(enam) bulan dikenakan sanksi penghentian sementara
pemberian jasa perantara pelaksanaan transaksi Surat
Berharga Komersial selama 1 (satu) bulan ke depan.
(8) Lembaga Pendukung Transaksi Surat Berharga Komersial
yang mendapatkan sanksi penghentian sementara
pemberian jasa perantara pelaksanaan Transaksi Surat
Berharga Komersial sebanyak 3 (tiga) kali sebagaimana
dimaksud pada ayat (7) dikeluarkan dari daftar Lembaga
Pendukung Transaksi Surat Berharga Komersial yang
terdaftar di Bank Indonesia.
Pasal 62
(1) Lembaga Pendukung Penatausahaan dan Penyelesaian
Transaksi Surat Berharga Komersial yang tidak
menyediakan data, informasi, dan/atau keterangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (5) dan/atau
ayat (6) secara benar dikenakan sanksi administratif
berupa teguran tertulis.
(2) Lembaga Pendukung Penatausahaan dan Penyelesaian
Transaksi Surat Berharga Komersial yang tidak
menyampaikan laporan dalam hal terdapat perubahan
data pendukung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47
dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis.
(3) Lembaga Pendukung Penatausahaan dan Penyelesaian
Transaksi Surat Berharga Komersial yang tidak
menyampaikan laporan kepada Bank Indonesia dalam
jangka waktu tertentu sejak penyampaian teguran
- 39 -
tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
dikenakan sanksi teguran tertulis berikutnya.
(4) Lembaga Pendukung Penatausahaan dan Penyelesaian
Transaksi Surat Berharga Komersial yang tidak
menerapkan prinsip kehati-hatian dan manajemen risiko
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 dikenakan sanksi
administratif berupa teguran tertulis.
(5) Lembaga Pendukung Penatausahaan dan Penyelesaian
Transaksi Surat Berharga Komersial yang mendapatkan
sanksi administratif berupa teguran tertulis tetap harus
memenuhi kewajiban yang diatur dalam Peraturan Bank
Indonesia ini.
(6) Lembaga Pendukung Penatausahaan dan Penyelesaian
Transaksi Surat Berharga Komersial yang menerima
sanksi administratif berupa teguran tertulis sebanyak 3
(tiga) kali dalam jangka waktu 6 (enam) bulan, dikenakan
sanksi penghentian sementara penerimaan
penatausahaan Surat Berharga Komersial dari nasabah
baru selama 1 (satu) bulan ke depan.
(7) Lembaga Pendukung Penatausahaan dan Penyelesaian
Transaksi Surat Berharga Komersial yang mendapatkan
sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (6) sebanyak 3
(tiga) kali dikenakan sanksi dikeluarkan dari daftar
Lembaga Pendukung Penatausahaan dan Penyelesaian
Transaksi Surat Berharga Komersial yang terdaftar di
Bank Indonesia.
Pasal 63
Pengenaan sanksi atas pelanggaran ketentuan pelaporan
sebagaimana diatur dalam Pasal 48 mengacu pada ketentuan
Bank Indonesia yang mengatur mengenai sistem pelaporan
Bank Indonesia.
Pasal 64
Bank Indonesia dapat menyampaikan informasi mengenai
pengenaan sanksi terhadap Penerbit Surat Berharga
Komersial, Pelaku Transaksi Surat Berharga Komersial yang
- 40 -
berperan dalam perdagangan Surat Berharga Komersial, dan
Lembaga Pendukung Pasar Uang yang melakukan kegiatan di
pasar Surat Berharga Komersial kepada otoritas dan/atau
lembaga profesi terkait.
Pasal 65
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi
diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
BAB XVII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 66
Pada saat Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku, Surat
Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 28/52/KEP/DIR
tanggal 11 Agustus 1995 tentang Persyaratan Penerbitan dan
Perdagangan Surat Berharga Komersial (Commercial Paper)
melalui Bank Umum di Indonesia, dicabut dan dinyatakan
tidak berlaku.
Pasal 67
Ketentuan mengenai pendaftaran penerbitan Surat Berharga
Komersial oleh Korporasi Non-Bank sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 8 mulai berlaku pada tanggal 2 Januari 2018.
Pasal 68
Kewajiban pelaporan transaksi Surat Berharga Komersial yang
disampaikan oleh:
a. Perusahaan Efek sebagai Pelaku Transaksi Surat
Berharga Komersial sebagaimana dimaksud dalam Pasal
48 ayat (2) dan Perusahaan Efek sebagai Lembaga
Pendukung Transaksi Surat Berharga Komersial
dan/atau Lembaga Pendukung Penatausahaan dan
Penyelesaian Transaksi Surat Berharga Komersial
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (3);
- 41 -
b. Perusahaan Pialang sebagai Lembaga Pendukung
Transaksi Surat Berharga sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 48 ayat (3); dan
c. Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (3)
yang melaksanakan kegiatan kustodian,
mulai berlaku pada tanggal 1 Juli 2018.
Pasal 69
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 4
September 2017.
- 42 -
Agar
setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 19 Juli 2017
GUBERNUR BANK INDONESIA,
AGUS D.W. MARTOWARDOJO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 20 Juli 2017
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2017 NOMOR 164
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 19/9/PBI/2017
TENTANG
PENERBITAN DAN TRANSAKSI SURAT BERHARGA KOMERSIAL
DI PASAR UANG
I. UMUM
Pasar Uang yang dalam, likuid, dan efisien mempunyai fungsi
strategis dalam mendukung transmisi kebijakan moneter,
makroprudensial, serta kelancaran sistem pembayaran dan pengelolaan
uang rupiah. Guna pengembangan Pasar Uang tersebut diperlukan
pengembangan instrumen Pasar Uang, salah satunya berupa Surat
Berharga Komersial.
Surat Berharga Komersial merupakan instrumen Pasar Uang yang
diterbitkan oleh Korporasi Non-Bank dengan jangka waktu sampai dengan
1 (satu) tahun, sebagai alternatif pendanaan atau pengelolaan likuiditas
jangka pendek bagi Korporasi Non-Bank. Penambahan alternatif tersebut
diharapkan dapat mendorong peningkatan efisiensi dalam pembiayaan
ekonomi nasional. Sementara itu, pengembangan Surat Berharga
Komersial sebagai instrumen Pasar Uang akan memberikan fleksibilitas
pengelolaan likuiditas yang lebih baik bagi Pelaku Pasar, yang pada
akhirnya berkontribusi dalam mendukung transmisi kebijakan moneter,
makroprudensial, serta kelancaran sistem pembayaran dan pengelolaan
uang rupiah.
Kewenangan Bank Indonesia dalam mengatur instrumen Pasar Uang
yang memiliki jangka waktu sampai dengan 1 (satu) tahun sejalan dengan
pengaturan dalam Pasal 70 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang
Pasar Modal beserta penjelasannya. Dalam Pasal 70 tersebut diatur
- 2 -
bahwa Surat Berharga Komersial sebagai salah satu bentuk efek yang
merupakan instrumen Pasar Uang dikecualikan dari kewajiban
penawaran umum dengan pertimbangan pembinaan, pengaturan, dan
pengawasan efek yang memiliki jangka waktu sampai dengan 1 (satu)
tahun dilaksanakan oleh instansi lain.
Sehubungan dengan hal tersebut, Bank Indonesia sebagai otoritas
Pasar Uang telah mengatur Pasar Uang dan instrumennya dalam
Peraturan Bank Indonesia yang mengatur mengenai Pasar Uang.
Disamping itu, untuk memperkuat kredibilitas Pasar Uang sebagai media
transmisi kebijakan moneter pada umumnya dan pasar Surat Berharga
Komersial pada khususnya, Bank Indonesia juga mengatur Surat
Berharga Komersial sebagai salah satu instrumen Pasar Uang dalam
Peraturan Bank Indonesia ini.
Pengaturan Surat Berharga Komersial difokuskan pada pembentukan
pasar dengan basis investor profesional (qualified investor). Investor
profesional (qualified investor) merupakan investor yang memiliki
pengetahuan investasi yang baik termasuk pemahaman atas risiko
investasi. Salah satu cara untuk membentuk pasar dengan basis investor
profesional (qualified investor) dilakukan melalui pembatasan nominal
pembelian Surat Berharga Komersial paling sedikit Rp500.000.000,00
(lima ratus juta rupiah). Mempertimbangkan hal tersebut, dalam
Peraturan Bank Indonesia ini diatur aspek keterbukaan informasi yang
berbeda dengan aspek keterbukaan informasi bagi investor yang bukan
merupakan investor profesional (unqualified investor).
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Yang dimaksud dengan “pengaturan dan pengawasan atas penerbitan
dan transaksi Surat Berharga Komersial” antara lain pengaturan dan
pengawasan terhadap Penerbit Surat Berharga Komersial, Pelaku
Transaksi dan Lembaga Pendukung Pasar Uang yang melakukan
kegiatan di pasar Surat Berharga Komersial.
- 3 -
Pasal 3
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Angka 1
Yang dimaksud dengan “penjaminan atau
penanggungan” adalah aval sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 129 sampai dengan Pasal 131 Kitab
Undang-Undang Hukum Dagang, yang ditujukan
untuk Surat Berharga Komersial dan dituangkan
dalam bukti penerbitan kolektif.
Penjaminan atau penanggungan tersebut dimaksudkan
untuk memberikan keyakinan terhadap kapabilitas
Korporasi Non-Bank yang akan menerbitkan Surat
Berharga Komersial dalam memenuhi kewajibannya
dengan mempertimbangkan data historis (track record)
pemenuhan kewajiban maupun arus kas dari
Korporasi Non-Bank yang baru berdiri masih terbatas.
Data historis (track record) diperlukan sebagai bahan
penilaian kualitas kredit oleh calon investor Surat
Berharga Komersial.
Angka 2
Yang dimaksud dengan “ekuitas” adalah modal yang
disetor ditambah dengan laba yang ditahan.
Angka 3
Yang dimaksud dengan “laba bersih” adalah laba yang
diperoleh setelah memperhitungkan pemotongan
pajak.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “gagal bayar” adalah kondisi tidak
terpenuhinya kewajiban finansial Korporasi Non-Bank yang
akan menerbitkan Surat Berharga Komersial terhadap
- 4 -
kreditur pada saat jatuh tempo yang nilainya lebih besar
dari 0,5% (nol koma lima persen) dari modal disetor.
Huruf c
Penyelesaian secara wajar atas kondisi gagal bayar
dinyatakan antara lain melalui:
1. bukti pelunasan atas pinjaman atau kredit;
2. surat pernyataan dari kreditur bahwa pinjaman atau
kredit menjadi lunas dalam bentuk akta notarial;
dan/atau
3. putusan pengadilan.
Informasi mengenai gagal bayar yang telah dialami beserta
penyelesaiannya harus dicantumkan secara rinci dalam
dokumen memorandum informasi.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “manajemen” adalah manajemen
inti (direksi) dan pengawas (komisaris) dari Korporasi Non-
Bank yang akan menerbitkan Surat Berharga Komersial.
Huruf e
Yang dimaksud dengan “manajemen risiko” antara lain
manajemen risiko atas risiko usaha, risiko kredit dari Surat
Berharga Komersial dan risiko sistemik.
Huruf f
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 4
Ayat (1)
Huruf a
Penerbitan dan penatausahaan Surat Berharga Komersial
tanpa warkat (scripless) dimaksudkan untuk memudahkan
transaksi antar investor. Sementara itu, tetap terdapat
keharusan bagi Penerbit Surat Berharga Komersial untuk
menerbitkan bukti penerbitan kolektif atau bentuk lain
yang disimpan di Bank Indonesia atau Lembaga
- 5 -
Penyimpanan dan Penyelesaian yang ditunjuk oleh Bank
Indonesia.
Huruf b
Pengalihan secara elektronik dimaksudkan sebagai bentuk
endosemen yaitu penerimaan terkait pemindahan
kepemilikan sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Dagang.
Pengalihan secara elektronik meliputi pula pemindahan
atau mutasi pencatatan.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Penetapan besaran nominal dilakukan untuk mendorong
penggunaan instrumen Surat Berharga Komersial sebagai
wholesale funding dan meningkatkan potensi untuk
ditransaksikan di pasar sekunder.
Huruf f
Penetapan besaran nominal pembelian Surat Berharga
Komersial oleh investor bertujuan untuk mendorong
pembelian Surat Berharga Komersial oleh investor
profesional (qualified investor) yang dapat berupa investor
institusi maupun investor individu.
Investor profesional (qualified investor) dianggap dapat
mencari informasi yang diperlukan dalam menilai risiko
investasi secara mandiri, memitigasi, dan/atau mengambil
risiko investasi.
Nominal pembelian Surat Berharga Komersial berlaku di
pasar perdana dan pasar sekunder serta tidak bersifat
kelipatan.
Huruf g
Penetapan standarisasi tenor dilakukan untuk mendorong
likuiditas transaksi di pasar sekunder dan terciptanya term
structure suku bunga pasar uang.
Huruf h
Cukup jelas.
- 6 -
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 5
Ayat (1)
Pemenuhan prinsip keterbukaan informasi bertujuan untuk
memastikan calon investor Surat Berharga Komersial
memperoleh informasi maupun fakta material yang mencukupi
mengenai kondisi Korporasi Non-Bank yang akan menerbitkan
Surat Berharga Komersial serta informasi terkait penerbitan
Surat Berharga Komersial.
Yang dimaksud dengan “informasi maupun fakta material”
adalah informasi atau fakta mengenai kondisi Korporasi Non-
Bank yang akan menerbitkan Surat Berharga Komersial, yang
bersifat material meliputi peristiwa, kejadian, atau fakta yang
dapat mempengaruhi harga Surat Berharga Komersial,
mempengaruhi kemampuan Penerbit Surat Berharga Komersial
dalam membayar kewajiban Penerbit Surat Berharga Komersial,
dan/atau mempengaruhi pengambilan keputusan oleh investor
maupun calon investor Surat Berharga Komersial serta pihak
lain yang berkepentingan atas informasi tersebut.
Informasi maupun fakta material dapat berupa informasi dari
kejadian, peristiwa, atau fakta yang bersifat transaksional
maupun non-transaksional.
Suatu kejadian, peristiwa, atau fakta transaksional dianggap
material apabila memiliki nilai paling sedikit 20% (dua puluh
persen) dari nilai ekuitas.
Keterbukaan informasi memungkinkan informasi mengenai
Korporasi Non-Bank yang akan menerbitkan Surat Berharga
Komersial dapat diakses secara luas, sehingga terdapat
konsekuensi bahwa kinerja dan kredibilitas Korporasi Non-Bank
yang menerbitkan Surat Berharga Komersial akan selalu
dimonitor dan dinilai oleh publik.
- 7 -
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “memorandum informasi” adalah
dokumen keterbukaan informasi yang diberikan kepada calon
investor Surat Berharga Komersial. Dokumen memorandum
informasi dapat memuat berbagai dokumen yang merupakan
satu kesatuan.
Ayat (3)
Huruf a
Ringkasan struktur Surat Berharga Komersial mencakup
pula informasi peringkat Surat Berharga Komersial.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “syarat dan kondisi” paling sedikit
meliputi persyaratan maupun kondisi tertentu yang
diberlakukan dalam tahapan penawaran, penerbitan Surat
Berharga Komersial termasuk diantaranya informasi Bank
untuk pembayaran pemesanan Surat Berharga Komersial,
dan pelunasan Surat Berharga Komersial serta aspek
pendukung seperti perpajakan, mekanisme penyelesaian
sengketa maupun yurisdiksi hukum.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Mengingat Surat Berharga Komersial merupakan instrumen
jangka pendek maka penggunaan dana ditujukan untuk
pendanaan jangka pendek seperti modal kerja, pembiayaan
aset jangka pendek atau sebagai dana talangan sementara
(bridging financing) sebelum melakukan pendanaan jangka
panjang.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Informasi pendukung lain yang relevan dengan penerbitan
Surat Berharga Komersial, antara lain ikhtisar perjanjian
- 8 -
dalam hal terdapat penjaminan Surat Berharga Komersial
atau dalam hal digunakan agen pemantau yaitu pihak yang
ditunjuk untuk mewakili kepentingan investor.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Huruf a
Yang dimaksud dengan “penerbitan secara tunggal atau
individual” adalah penerbitan Surat Berharga Komersial yang
dilakukan 1 (satu) kali setelah diperoleh persetujuan
pendaftaran penerbitan atas Surat Berharga Komersial dari
Bank Indonesia.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “penerbitan secara berkelanjutan”
adalah penerbitan Surat Berharga Komersial yang dilakukan
secara bertahap dalam 1 (satu) tahun setelah diperoleh
persetujuan pendaftaran penerbitan atas Surat Berharga
Komersial dari Bank Indonesia.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Persetujuan pendaftaran penerbitan Surat Berharga Komersial
akan diberikan oleh Bank Indonesia apabila tidak terdapat
tanggapan, perubahan, dan/atau tambahan informasi lebih
- 9 -
lanjut yang harus dipenuhi Korporasi Non-Bank yang akan
menerbitkan Surat Berharga Komersial.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 10
Ayat (1)
Bank Indonesia tidak melakukan penilaian atas kualitas Surat
Berharga Komersial yang ditawarkan. Penilaian atas kualitas
Surat Berharga Komersial oleh calon investor Surat Berharga
Komersial antara lain dapat dilakukan berdasarkan informasi
dari memorandum informasi dan/atau dokumen lainnya.
Keputusan melakukan investasi sepenuhnya berada di tangan
investor. Risiko investasi termasuk di dalamnya potensi
penurunan kinerja Penerbit Surat Berharga Komersial,
sepenuhnya menjadi tanggung jawab investor.
Persetujuan pendaftaran yang diberikan oleh Bank Indonesia
bertujuan untuk menegaskan bahwa prinsip keterbukaan
informasi dan akuntabilitas dalam proses persiapan penerbitan
Surat Berharga Komersial telah dipenuhi oleh Penerbit Surat
Berharga Komersial.
Yang dimaksud dengan “keterbukaan informasi” antara lain
pemenuhan prinsip keterbukaan informasi dalam pengungkapan
informasi maupun fakta material dari Penerbit Surat Berharga
Komersial.
Yang dimaksud dengan “akuntabilitas” antara lain pemenuhan
persyaratan, tahapan penerbitan, dan penggunaan Lembaga
Pendukung Pasar Uang yang telah terdaftar di Bank Indonesia.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Kewajiban Penerbit Surat Berharga Komersial paling sedikit
meliputi pembayaran pokok atau nominal dari Surat Berharga
Komersial dan kewajiban lain yang timbul sebagai akibat dari
terjadinya kondisi yang dipersyaratkan dalam Surat Berharga
Komersial dan memorandum informasi seperti pembayaran
- 10 -
denda atau penalti atas keterlambatan pembayaran yang
dipersyaratkan di muka.
Pasal 11
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “Penerbitan Surat Berharga Komersial
tahap lanjutan” adalah penerbitan Surat Berharga Komersial
tahap kedua dan seterusnya.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “gagal bayar” adalah kondisi tidak
terpenuhinya kewajiban finansial Penerbit Surat Berharga
Komersial dengan nilai lebih besar dari 0,5% (nol koma lima
persen) dari modal disetor yang terjadi sejak tanggal
persetujuan pendaftaran penerbitan Surat Berharga
Komersial sampai dengan tanggal pengajuan permohonan
pendaftaran penerbitan Surat Berharga Komersial tahap
lanjutan.
Pasal 12
Ayat (1)
Perubahan informasi maupun fakta material yang harus
diketahui oleh calon investor Surat Berharga Komersial yaitu
perubahan informasi maupun fakta material yang terjadi dari
sejak pemberian persetujuan pendaftaran Surat Berharga
Komersial sampai dengan tanggal pengajuan permohonan
penerbitan Surat Berharga Komersial tahap lanjutan.
Ayat (2)
Perubahan informasi maupun fakta material yang dicantumkan
dalam memorandum informasi dan/atau dokumen lainnya
dapat berupa perubahan informasi maupun fakta material yang
telah dilaporkan dalam laporan berkala penerbit Surat Berharga
Komersial maupun informasi maupun fakta material yang belum
dilaporkan.
- 11 -
Perubahan informasi maupun fakta material yang harus
dilaporkan kepada Bank Indonesia meliputi seluruh perubahan
informasi maupun fakta material yang terjadi sejak pemberian
persetujuan pendaftaran Surat Berharga Komersial sampai
dengan tanggal pengajuan permohonan pendaftaran penerbitan
Surat Berharga Komersial tahap lanjutan.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Hasil penawaran paling sedikit berisi jumlah Surat Berharga
Komersial dan tingkat diskonto.
Dokumen hasil penawaran merupakan bagian dari
memorandum informasi yang sebelumnya masih bersifat
sementara karena belum dilakukannya penawaran.
Perubahan informasi dalam memorandum informasi hanya
diperbolehkan untuk informasi yang sebelumnya masih bersifat
sementara karena belum dilakukannya penawaran.
Penyerahan salinan memorandum informasi dan/atau dokumen
lainnya disertai surat pernyataan dari Penerbit Surat Berharga
Komersial yang menerangkan bahwa memorandum informasi
dan/atau dokumen lainnya yang diserahkan kepada calon
investor Surat Berharga Komersial sama dengan memorandum
informasi dan/atau dokumen lainnya yang telah ditelaah oleh
Bank Indonesia pada saat persetujuan pendaftaran penerbitan
Surat Berharga Komersial.
- 12 -
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “jangka waktu tertentu” adalah jangka
waktu dari pemberian persetujuan pendaftaran penerbitan
sampai dengan penawaran kepada calon investor.
Jangka waktu ini perlu ditetapkan mengingat apabila jangka
waktu dari pemberian persetujuan pendaftaran sampai dengan
penawaran kepada calon investor terlalu lama, kemungkinan
terjadinya perubahan informasi maupun fakta material dalam
dokumen memorandum informasi dan/atau dokumen lainnya
akan semakin besar sehingga dokumen keterbukaan informasi
yang ditelaah Bank Indonesia menjadi tidak valid.
Ayat (4)
Rencana penundaan penerbitan Surat Berharga Komersial
antara lain memuat alasan penundaan penerbitan Surat
Berharga Komersial.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 17
Ayat (1)
Guna memastikan bahwa calon investor Surat Berharga
Komersial melakukan penilaian dan mempelajari risiko dalam
berinvestasi di Surat Berharga Komersial, Penerbit Surat
Berharga Komersial dan Lembaga Pendukung Penerbitan Surat
Berharga Komersial yang berperan dalam menatalaksanakan
penerbitan Surat Berharga Komersial harus memberikan
kemudahan bagi investor Surat Berharga Komersial untuk
mengakses informasi yang diperlukan, memberikan kesempatan
bagi investor Surat Berharga Komersial untuk membaca dan
mempelajari informasi dimaksud, serta memastikan bahwa
investor telah membaca dan mempelajari informasi tersebut.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Sarana yang memudahkan akses informasi oleh calon investor
Surat Berharga Komersial antara lain laman korporasi dari
Penerbit Surat Berharga Komersial, laman lain yang ditetapkan
- 13 -
oleh Bank Indonesia, dan/atau sarana lain yang dipandang
mudah untuk diakses dan efektif dengan tetap memperhatikan
unsur keamanan.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Ayat (1)
Penatausahaan Surat Berharga Komersial dan penyelesaian
transaksi Surat Berharga Komersial antara lain mencakup
pencatatan kepemilikan, penyimpanan dokumen, pemindahan
kepemilikan, pemindahan atau mutasi pencatatan, dan
pembayaran pelunasan Surat Berharga Komersial.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 21
Ayat (1)
Bukti penerbitan kolektif dimaksudkan sebagai pemenuhan
persyaratan surat sanggup sebagaimana dimaksud dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Dagang.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
- 14 -
Pasal 23
Ayat (1)
Lembaga Pendukung Penerbitan Surat Berharga Komersial
memiliki tugas membantu Penerbit Surat Berharga Komersial
untuk mempersiapkan pendaftaran penerbitan Surat Berharga
Komersial dan penerbitan Surat Berharga Komersial, termasuk
memastikan keterbukaan informasi oleh Penerbit Surat
Berharga Komersial. Dalam memberikan jasa membantu
Penerbit Surat Berharga Komersial untuk melakukan penerbitan
Surat Berharga Komersial, Lembaga Pendukung Penerbitan
memiliki tanggung jawab tertinggi kepada investor Surat
Berharga Komersial. Dengan demikian, Lembaga Pendukung
Penerbitan Surat Berharga Komersial harus senantiasa
melakukan upaya terbaik bagi perlindungan investor.
Ayat (2)
Huruf a
Jasa penata laksana (arranger) penerbitan dapat berupa
kegiatan persiapan penerbitan, penawaran kepada calon
investor, dan/atau persiapan distribusi Surat Berharga
Komersial.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “lembaga pemeringkat” adalah
pihak yang melakukan penilaian terhadap peringkat kredit
dari Surat Berharga Komersial termasuk penjaminan atau
penanggungan yang dapat mempengaruhi peringkat kredit
dari Surat Berharga Komersial.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “konsultan hukum” adalah pihak
yang melakukan kegiatan uji tuntas aspek hukum (legal
due diligence) atas Korporasi Non-Bank yang akan
menerbitkan Surat Berharga Komersial.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “akuntan publik” adalah pihak yang
melakukan kegiatan uji tuntas aspek keuangan (financial
due diligence) atas Korporasi Non-Bank yang akan
menerbitkan Surat Berharga Komersial.
- 15 -
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Ayat (3)
Lembaga Pendukung Penerbitan Surat Berharga Komersial yang
telah terdaftar di Bank Indonesia dapat memberikan jasa dalam
penerbitan Surat Berharga Komersial dengan mematuhi
ketentuan ini, sepanjang tidak sedang menjalani sanksi yang
mengakibatkan Lembaga Pendukung Penerbitan Surat Berharga
Komersial tidak dapat memberikan jasa dalam penerbitan Surat
Berharga Komersial baik untuk sementara maupun permanen.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Huruf a
Keabsahan aspek kelembagaan dan/atau individual profesi
dinilai antara lain dari keabsahan dan izin kelembagaan
dan/atau individual profesi yang dimiliki oleh Lembaga
Pendukung Penerbitan Surat Berharga Komersial dari
otoritas atau lembaga profesi terkait untuk menjalankan
fungsinya.
Huruf b
Kemampuan Lembaga Pendukung Penerbitan Surat
Berharga Komersial dalam menjalankan fungsinya dinilai
antara lain dari:
1. memiliki keilmuan dan/atau keahlian yang sesuai
dengan fungsi yang dijalankan;
2. memiliki standar profesi;
3. memiliki etika dalam berprofesi; dan
4. memiliki pengalaman atas profesi serupa di sektor jasa
keuangan.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
- 16 -
Pasal 25
Lembaga Pendukung Penerbitan Surat Berharga Komersial
diwajibkan memberikan pendapat dan keterangan yang objektif,
independen, dan tidak menyesatkan dengan pertimbangan bahwa
Lembaga Pendukung Penerbitan Surat Berharga Komersial bertindak
untuk kepentingan investor Surat Berharga Komersial. Apabila
Lembaga Pendukung Penerbitan Surat Berharga Komersial
memberikan pendapat dan/atau keterangan menyesatkan yang
menyebabkan kerugian, termasuk diantaranya kerugian investor,
Lembaga Pendukung Penerbitan Surat Berharga Komersial harus
bertanggung jawab atas kerugian tersebut. Tanggung jawab Lembaga
Pendukung Penerbitan Surat Berharga Komersial dapat dilakukan
baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama dengan
mempertimbangkan pendapat dan/atau keterangan yang diberikan.
Namun demikian, tanggung jawab atas kerugian yang timbul sebatas
keterangan yang diberikannya. Tanggung jawab dimaksud tidak
berlaku dalam hal Lembaga Pendukung Penerbitan Surat Berharga
Komersial dapat membuktikan telah bertindak secara profesional dan
telah mengambil langkah yang mencukupi untuk membuktikan
kecukupan, objektivitas, independensi, dan kebenaran informasi.
Pasal 26
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Lembaga Pendukung Transaksi Surat Berharga Komersial yang
telah terdaftar di Bank Indonesia dapat memberikan jasa
perantara pelaksanaan transaksi Surat Berharga Komersial
dengan mematuhi ketentuan ini, sepanjang tidak sedang
menjalani sanksi yang mengakibatkan Lembaga Pendukung
Transaksi Surat Berharga Komersial tidak dapat memberikan
jasa perantara pelaksanaan transaksi Surat Berharga Komersial
baik untuk sementara maupun permanen.
Ayat (4)
Cukup jelas.
- 17 -
Ayat (5)
Huruf a
Keabsahan aspek kelembagaan mencakup antara lain
keabsahan dan izin kelembagaan yang dimiliki oleh
Lembaga Pendukung Transaksi Surat Berharga Komersial
dari otoritas terkait untuk menjalankan fungsinya.
Huruf b
Kemampuan Lembaga Pendukung Transaksi Surat
Berharga Komersial dalam menjalankan fungsinya dinilai
antara lain dari:
1. memiliki keilmuan dan/atau keahlian yang sesuai
dengan fungsi yang dijalankan;
2. memiliki standar profesi; dan
3. memiliki etika dalam berprofesi.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 27
Ayat (1)
Dalam hal penatausahaan dilakukan oleh LPP yang ditunjuk
oleh Bank Indonesia, Bank yang melaksanakan kegiatan
kustodian dan Perusahaan Efek merupakan pemegang rekening
di LPP yang ditunjuk oleh Bank Indonesia.
Ayat (2)
Lembaga Pendukung Penatausahaan dan Penyelesaian
Transaksi Surat Berharga Komersial yang telah terdaftar di Bank
Indonesia dapat memberikan jasa penatausahaan Surat
Berharga Komersial dan penyelesaian transaksi Surat Berharga
Komersial dengan mematuhi ketentuan ini, sepanjang tidak
sedang menjalani sanksi yang mengakibatkan Lembaga
Pendukung Penatausahaan dan Penyelesaian Transaksi Surat
Berharga Komersial tidak dapat memberikan jasa
penatausahaan Surat Berharga Komersial dan penyelesaian
transaksi Surat Berharga Komersial baik untuk sementara
maupun permanen.
Ayat (3)
Cukup jelas.
- 18 -
Ayat (4)
Huruf a
Keabsahan aspek kelembagaan dinilai antara lain dari
keabsahan dan izin kelembagaan yang dimiliki oleh
Lembaga Pendukung Penatausahaan dan Penyelesaian
Transaksi Surat Berharga Komersial dari otoritas terkait
untuk menjalankan fungsinya.
Huruf b
Kemampuan Lembaga Pendukung Penatausahaan dan
Penyelesaian Transaksi Surat Berharga Komersial dalam
menjalankan fungsinya dinilai antara lain dari:
1. memiliki keilmuan dan/atau keahlian yang sesuai
dengan fungsi yang dijalankan;
2. memiliki standar profesi; dan
3. memiliki etika dalam berprofesi.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 28
Ayat (1)
Perubahan informasi maupun fakta material dapat berupa
pengkinian informasi maupun fakta material yang telah
terkandung di dalam memorandum informasi dan/atau
dokumen lainnya dan penambahan informasi maupun fakta
material baru.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Akses informasi bertujuan untuk memastikan investor Surat
Berharga Komersial dan/atau calon investor Surat Berharga
Komersial memperoleh informasi yang cukup tentang Surat
Berharga Komersial beserta kondisi Penerbit Surat Berharga
Komersial. Pengungkapan informasi maupun fakta material
pascapenerbitan Surat Berharga Komersial antara lain dapat
dilakukan melalui laman korporasi dari calon Penerbit Surat
- 19 -
Berharga Komersial, laman lain yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia, dan/atau sarana lain yang dipandang mudah untuk
diakses dan efektif dengan tetap memperhatikan unsur
keamanan.
Pemberian akses informasi memungkinkan informasi mengenai
Korporasi Non-Bank yang akan menerbitkan Surat Berharga
Komersial dapat diketahui secara luas, sehingga terdapat
konsekuensi bahwa kinerja dan kredibilitas Korporasi Non-Bank
yang menerbitkan Surat Berharga Komersial akan selalu
dimonitor dan dinilai oleh publik.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “secara langsung” adalah transaksi
Surat Berharga Komersial yang dilakukan tanpa melalui
jasa perantara pelaksanaan transaksi.
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Suku bunga acuan yang berlaku secara umum di Pasar Uang
antara lain Jakarta Interbank Offered Rate (JIBOR) untuk mata
uang rupiah atau suku bunga acuan lainnya seperti London
Interbank Offered Rate (LIBOR) untuk valuta asing.
- 20 -
Ayat (6)
Yang dimaksud dengan “hari kerja” adalah hari kerja Bank
Indonesia atau LPP yang ditunjuk oleh Bank Indonesia.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Dukungan dalam pembentukan harga secara transparan dan
kredibel antara lain melalui pelaporan transaksi Surat Berharga
Komersial.
Pasal 33
Ayat (1)
Pemenuhan prinsip kehati-hatian dan penerapan manajemen
risiko oleh Penerbit Surat Berharga Komersial dimulai sejak
persiapan penerbitan, penerbitan, dan pascapenerbitan sampai
dengan pelunasan kewajiban Penerbit Surat Berharga Komersial.
Pemenuhan prinsip kehatian-hatian dan penerapan manajemen
risiko bertujuan untuk memastikan bahwa Penerbit Surat
Berharga Komersial dapat memenuhi kewajiban Penerbit Surat
Berharga Komersial terutama terkait pembayaran Surat
Berharga Komersial.
Ayat (2)
Huruf a
Pemenuhan prinsip transparansi dan keterbukaan
informasi antara lain dilakukan melalui pengungkapan
informasi kondisi korporasi baik pada saat penerbitan
maupun pascapenerbitan.
Pemenuhan prinsip transparansi dan keterbukaan
informasi antara lain dilakukan untuk melindungi
kepentingan konsumen yang dalam hal ini merupakan
investor Surat Berharga Komersial.
- 21 -
Huruf b
Prinsip perlindungan konsumen oleh Penerbit Surat
Berharga Komersial dilakukan melalui penerapan tata
kelola yang baik dalam proses persiapan penerbitan,
penerbitan, dan pelunasan.
Huruf c
Mekanisme penyelesaian sengketa perlu ditegaskan dan
disepakati di awal antara lain melalui pengungkapan di
dalam memorandum informasi dan/atau dokumen lainnya.
Ayat (3)
Manajemen risiko yang dilakukan oleh Penerbit Surat Berharga
Komersial antara lain terhadap risiko kredit yang berpotensi
menyebabkan tidak terbayarnya Surat Berharga Komersial dan
risiko usaha yang berpotensi mengganggu kelangsungan usaha
dari Penerbit Surat Berharga Komersial sehingga mempengaruhi
kemampuan Penerbit Surat Berharga Komersial dalam
melakukan pembayaran Surat Berharga Komersial.
Prinsip manajemen risiko oleh Penerbit Surat Berharga
Komersial yang paling sedikit mencakup identifikasi risiko dan
upaya mitigasi risiko merupakan salah satu aspek keterbukaan
informasi dalam penerbitan Surat Berharga Komersial.
Dalam menyusun prinsip manajemen risiko, Penerbit Surat
Berharga Komersial dapat mengacu pada ketentuan yang
diterbitkan oleh otoritas terkait.
Pasal 34
Ayat (1)
Penerapan prinsip kehatian-hatian oleh Lembaga Pendukung
Penerbitan Surat Berharga Komersial dilakukan mulai dari
proses persiapan penerbitan, penawaran, distribusi penerbitan,
dan kegiatan pascapenerbitan seperti pelaporan.
Penerapan prinsip kehatian-hatian dan manajemen risiko oleh
Lembaga Pendukung Penerbitan Surat Berharga Komersial
bertujuan untuk mendorong terbentuknya pasar Surat Berharga
Komersial yang kredibel dimulai dari penerapan akuntabilitas
dan tata kelola yang baik dalam penyiapan penerbitan,
- 22 -
penawaran, distribusi Surat Berharga Komersial, penanganan
pascapenerbitan.
Ayat (2)
Huruf a
Pemenuhan prinsip transparansi dan keterbukaan
informasi antara lain dilakukan melalui pengungkapan
informasi Lembaga Pendukung Penerbitan Surat Berharga
Komersial pada saat memberikan jasa menatalaksanakan
penerbitan suatu Surat Berharga Komersial.
Pengungkapan informasi tersebut antara lain dilakukan
melalui pengungkapan informasi mengenai hubungan
afiliasi dengan penerbit Surat Berharga Komersial maupun
pihak lain yang terlibat dalam penerbitan Surat Berharga
Komersial.
Huruf b
Penerapan prinsip perlindungan konsumen dilakukan
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan
dan ketentuan lainnya yang terkait dengan perlindungan
konsumen.
Upaya perlindungan konsumen oleh Lembaga Pendukung
Penerbitan Surat Berharga Komersial antara lain dilakukan
melalui penyampaian informasi yang transparan, objektif
dan independen, penerapan tata kelola yang baik selama
membantu Penerbit Surat Berharga Komersial saat
mempersiapkan penerbitan maupun melakukan penawaran
kepada calon investor, dan penerapan tata kelola yang baik
dalam melakukan distribusi Surat Berharga Komersial di
pasar perdana.
Huruf c
Mekanisme penyelesaian sengketa perlu ditegaskan dan
disepakati di awal antara lain antara Lembaga Pendukung
Penerbitan Surat Berharga Komersial dan Penerbit Surat
Berharga Komersial.
Ayat (3)
Prinsip manajemen risiko oleh Lembaga Pendukung Penerbitan
Surat Berharga Komersial yang paling sedikit mencakup
identifikasi risiko dan upaya mitigasi risiko merupakan salah
- 23 -
satu aspek persyaratan permohonan pendaftaran untuk
melaksanakan kegiatan sebagai Lembaga Pendukung Penerbitan
Surat Berharga Komersial kepada Bank Indonesia.
Pasal 35
Ayat (1)
Penerapan prinsip kehati-hatian dan manajemen risiko oleh
Pelaku Transaksi Surat Berharga Komersial yang berperan
dalam perdagangan Surat Berharga Komersial dan Lembaga
Pendukung Transaksi Surat Berharga Komersial dilakukan
dalam setiap aspek transaksi atau perdagangan mulai dari
pratransaksi, transaksi, dan pascatransaksi.
Penerapan prinsip kehatian-hatian oleh Pelaku Transaksi Surat
Berharga Komersial yang berperan dalam perdagangan Surat
Berharga Komersial dan Lembaga Pendukung Transaksi Surat
Berharga Komersial bertujuan untuk mendorong terciptanya
perdagangan Surat Berharga Komersial yang kredibel.
Ayat (2)
Huruf a
Pemenuhan etika bertransaksi dan kode etik pasar (market
code of conduct) atau pedoman sejenis dapat menggunakan
kode etik pasar yang tersedia seperti kode etik pasar yang
diterbitkan oleh Indonesia Foreign Exchange Market
Committee (IFEMC) dan Association Cambiste
Internationale (ACI) atau The Financial Markets Association.
Huruf b
Pemenuhan prinsip transparansi dan keterbukaan
informasi antara lain dilakukan pada saat penyampaian
kuotasi kepada calon investor Surat Berharga Komersial
dengan didasarkan pada pedoman internal maupun kode
etik pasar yang secara umum digunakan oleh Pelaku
Transaksi Surat Berharga Komersial yang berperan dalam
perdagangan Surat Berharga Komersial dan Lembaga
Pendukung Transaksi Surat Berharga Komersial.
Huruf c
Upaya perlindungan konsumen Surat Berharga Komersial
oleh Pelaku Transaksi Surat Berharga Komersial yang
- 24 -
berperan dalam perdagangan Surat Berharga Komersial dan
Lembaga Pendukung Transaksi Surat Berharga Komersial
antara lain dilakukan melalui penyusunan dan penerapan
standar layanan transaksi sesuai dengan praktik terbaik,
penerapan tata kelola yang baik dalam melakukan
perdagangan Surat Berharga Komersial, dan pemberian jasa
perantara sesuai dengan kode etik serta ketentuan lainnya
terkait dengan perlindungan konsumen.
Huruf d
Mekanisme penyelesaian sengketa perlu ditegaskan dan
disepakati di awal antara lain dalam perjanjian atau
dokumen lain antara Lembaga Pendukung Transaksi Surat
Berharga Komersial dan konsumen yang dalam hal ini
merupakan investor Surat Berharga Komersial.
Ayat (3)
Manajemen risiko yang dilakukan oleh Pelaku Transaksi Surat
Berharga Komersial yang berperan dalam perdagangan Surat
Berharga Komersial dan Lembaga Pendukung Transaksi Surat
Berharga Komersial antara lain manajemen risiko dalam
perdagangan dan perantara perdagangan Surat Berharga
Komersial.
Prinsip manajemen risiko oleh Lembaga Pendukung Transaksi
Surat Berharga Komersial yang paling sedikit mencakup
identifikasi risiko dan upaya mitigasi risiko, merupakan salah
satu aspek persyaratan permohonan pendaftaran untuk
melaksanakan kegiatan sebagai Lembaga Pendukung Transaksi
Surat Berharga Komersial kepada Bank Indonesia.
Dalam menyusun prinsip manajemen risiko, Pelaku Transaksi
Surat Berharga Komersial yang berperan dalam perdagangan
Surat Berharga Komersial dapat mengacu pada ketentuan yang
diterbitkan oleh otoritas terkait.
Ayat (4)
Basis investor Surat Berharga Komersial yaitu investor
profesional (qualified investor). Pengaturan basis investor Surat
Berharga Komersial ini dilakukan dengan penerapan batasan
minimum pembelian Surat Berharga Komersial di pasar perdana
dan pasar sekunder. Investor profesional diharapkan memiliki
- 25 -
kemampuan untuk menilai risiko dalam melakukan investasi di
Surat Berharga Komersial dengan penerapan prinsip kehati-
hatian antara lain melalui pemahaman terhadap memorandum
informasi.
Pasal 36
Ayat (1)
Penerapan prinsip kehatian-hatian oleh Lembaga Pendukung
Penatausahaan dan Penyelesaian Transaksi Surat Berharga
Komersial dilakukan mulai dari penerimaan nasabah Surat
Berharga Komersial, pengadministrasian rekening nasabah
Surat Berharga Komersial, penyelesaian transaksi Surat
Berharga Komersial, penatausahaan Surat Berharga Komersial,
penyampaian laporan kepada nasabah Surat Berharga
Komersial, dan pemberian jasa penatausahaan (kustodian)
lainnya.
Penerapan prinsip kehatian-hatian bertujuan untuk memastikan
perlindungan bagi konsumen yang dalam hal ini merupakan
investor Surat Berharga Komersial dari potensi kerugian yang
disebabkan oleh risiko
operasional dalam kegiatan
penatausahaan Surat Berharga Komersial dan penyelesaian
transaksi Surat Berharga Komersial.
Ayat (2)
Huruf a
Pemenuhan prinsip transparansi dan keterbukaan
informasi antara lain dilakukan melalui pengungkapan
informasi oleh Lembaga Pendukung Penatausahaan dan
Penyelesaian Transaksi Surat Berharga Komersial dengan
memberikan kemudahan akses bagi konsumen yang dalam
hal ini merupakan investor Surat Berharga Komersial untuk
memperoleh informasi mengenai penatausahaan dan
penyelesaian transaksi Surat Berharga Komersial.
Huruf b
Upaya perlindungan konsumen yang dalam hal ini
merupakan investor Surat Berharga Komersial oleh
Lembaga Pendukung Penatausahaan dan Penyelesaian
Transaksi Surat Berharga Komersial antara lain dilakukan
- 26 -
melalui penerapan tata kelola yang baik dalam melakukan
pendaftaran nasabah Surat Berharga Komersial,
penyelesaian transaksi Surat Berharga Komersial, distribusi
Surat Berharga Komersial di pasar perdana, dan
penatausahaan Surat Berharga Komersial.
Huruf c
Mekanisme penyelesaian sengketa perlu ditegaskan dan
disepakati di awal antara lain dalam perjanjian atau
dokumen lain antara Lembaga Pendukung Penatausahaan
dan Penyelesaian Transaksi Surat Berharga Komersial dan
konsumen yang dalam hal ini merupakan investor Surat
Berharga Komersial.
Ayat (3)
Manajemen risiko yang dilakukan oleh Lembaga Pendukung
Penatausahaan dan Penyelesaian Transaksi Surat Berharga
Komersial dilakukan antara lain terhadap risiko dalam
pelaksanaan penatausahaan dan penyelesaian transaksi Surat
Berharga Komersial.
Prinsip manajemen risiko oleh Lembaga Pendukung
Penatausahaan dan Penyelesaian Transaksi Surat Berharga
Komersial yang paling sedikit mencakup identifikasi risiko dan
upaya mitigasi risiko merupakan salah satu aspek persyaratan
permohonan pendaftaran untuk melaksanakan kegiatan sebagai
Lembaga Pendukung Penatausahaan dan Penyelesaian
Transaksi Surat Berharga Komersial kepada Bank Indonesia.
Pasal 37
Ayat (1)
Pengawasan terhadap penerbitan dan transaksi Surat Berharga
Komersial mencakup penerbitan Surat Berharga Komersial,
transaksi Surat Berharga Komersial sampai dengan
penyelesaiannya, dan penatausahaan Surat Berharga Komersial
sampai dengan pelunasan, termasuk aspek keterbukaan
informasi.
Ayat (2)
Cukup jelas.
- 27 -
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
Yang dimaksud dengan “perubahan informasi maupun fakta
material yang signifikan” antara lain informasi maupun fakta
material yang terkait dengan perubahan dalam kegiatan usaha,
perubahan status korporasi, perubahan manajemen inti korporasi,
perkara hukum yang dialami oleh korporasi maupun manajemen
inti korporasi, hasil pengawasan khusus dari regulator yang
mengakibatkan adanya status pengawasan khusus yang dikenakan
oleh regulator terkait, dan transaksi material yang memiliki nilai
paling sedikit 40 % (empat puluh persen) dari ekuitas.
Yang dimaksud dengan “segera setelah terjadi perubahan” adalah
tidak menunggu sampai dengan jadwal pelaporan berkala.
Pasal 40
Penyampaian informasi tambahan atas laporan dapat disampaikan
di luar dari jadwal pelaporan berkala.
Pasal 41
Cukup jelas.
- 28 -
Pasal 42
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Laporan yang terkait dengan aspek kemampuan Lembaga
Pendukung Penerbitan Surat Berharga Komersial dalam
menjalankan fungsinya antara lain berupa laporan peningkatan
kompetensi.
Pasal 43
Ayat (1)
Perubahan data pendukung terkait aspek kelembagaan dan
aspek kemampuan dalam menjalankan fungsi dari Lembaga
Pendukung Penerbitan Surat Berharga Komersial, meliputi :
a. perubahan informasi kelembagaan;
b. perubahan izin usaha, izin profesi, atau keanggotaan pada
suatu lembaga profesi;
c. perubahan pedoman internal; dan/atau
d. perubahan lainnya.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “insidental” adalah penyampaian laporan
perubahan data pendukung dilakukan sewaktu-sewaktu segera
setelah terjadinya perubahan.
Pasal 44
Cukup jelas.
Pasal 45
Cukup jelas.
Pasal 46
Ayat (1)
Perubahan data pendukung terkait aspek kelembagaan dan
aspek kemampuan dalam menjalankan fungsi dari Lembaga
Pendukung Transaksi Surat Berharga Komersial, meliputi:
a. perubahan informasi kelembagaan;
b. perubahan izin usaha;
- 29 -
c. perubahan pedoman internal; dan/atau
d. perubahan lainnya.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “insidental” adalah penyampaian laporan
perubahan data pendukung dilakukan sewaktu-sewaktu segera
setelah terjadinya perubahan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 47
Ayat (1)
Perubahan data pendukung terkait aspek kelembagaan dan
aspek kemampuan dalam menjalankan fungsi dari Lembaga
Pendukung Penatausahaan dan Penyelesaian Transaksi Surat
Berharga Komersial, meliputi:
a. perubahan informasi kelembagaan;
b. perubahan izin usaha;
c. perubahan pedoman internal; dan/atau
d. perubahan lainnya.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “insidental” adalah penyampaian laporan
perubahan data pendukung dilakukan sewaktu-sewaktu segera
setelah terjadinya perubahan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 48
Cukup jelas.
- 30 -
Pasal 49
Ayat (1)
Laporan paling sedikit meliputi:
a. pencatatan data Surat Berharga Komersial;
b. kepemilikan Surat Berharga Komersial; dan
c. penyelesaian transaksi Surat Berharga Komersial.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 50
Cukup jelas.
Pasal 51
Cukup jelas.
Pasal 52
Cukup jelas.
Pasal 53
Cukup jelas.
Pasal 54
Cukup jelas.
Pasal 55
Cukup jelas.
Pasal 56
Sanksi tidak dapat menerbitkan Surat Berharga Komersial berlaku
untuk penerbitan Surat Berharga Komersial secara tunggal atau
individual maupun penerbitan Surat Berharga Komersial secara
berkelanjutan.
- 31 -
Pasal 57
Yang dimaksud dengan “berdampak signifikan dan/atau
menimbulkan kerugian” antara lain:
a. menyembunyikan informasi yang sangat signifikan
mempengaruhi keputusan investasi Surat Berharga Komersial
oleh investor dan/atau calon investor atau keputusan membayar
oleh Penerbit Surat Berharga Komersial seperti informasi terkait
perkara pengadilan yang sedang dihadapi; dan
b. menyembunyikan informasi yang memiliki dampak secara
langsung terhadap kemampuan Penerbit Surat Berharga
Komersial dalam membayar Surat Berharga Komersial yang
diterbitkan seperti kontrak kerja fiktif yang memalsukan adanya
unsur pendapatan yang signifikan bagi Penerbit Surat Berharga
Komersial.
Pasal 58
Cukup jelas.
Pasal 59
Yang dimaksud dengan “berdampak signifikan dan/atau
menimbulkan kerugian” antara lain:
a. menyembunyikan informasi terkait Penerbit Surat Berharga
Komersial yang sangat signifikan mempengaruhi keputusan
investasi Surat Berharga Komersial oleh investor dan/atau calon
investor atau keputusan membayar oleh Penerbit Surat
Berharga Komersial seperti informasi terkait perkara pengadilan
yang sedang dihadapi; dan
b. menyembunyikan informasi terkait Penerbit Surat Berharga
Komersial yang memiliki dampak secara langsung terhadap
kemampuan Penerbit Surat Berharga Komersial dalam
membayar Surat Berharga Komersial yang diterbitkan seperti
kontrak kerja fiktif yang memalsukan adanya unsur pendapatan
yang signifikan bagi Penerbit Surat Berharga Komersial.
Pasal 60
Cukup jelas.
- 32 -
Pasal 61
Cukup jelas.
Pasal 62
Cukup jelas.
Pasal 63
Cukup jelas.
Pasal 64
Bank Indonesia dapat menyampaikan informasi mengenai pengenaan
sanksi dalam hal diperlukan. Otoritas terkait dan/atau lembaga
profesi terkait, antara lain:
a. Otoritas Jasa Keuangan, dalam hal sanksi dikenakan kepada
lembaga/pihak yang berada dibawah pengawasan Otoritas Jasa
Keuangan termasuk didalamnya emiten;
b. Kementerian Badan Usaha Milik Negara, dalam hal sanksi
dikenakan kepada korporasi Badan Usaha Milik Negara;
c. Bursa Efek Indonesia, dalam sanksi dikenakan kepada korporasi
publik yang tercatat di Bursa Efek Indonesia;
d. instansi atau otoritas lain yang berwenang sesuai dengan
relevansi kegiatan dan pelanggaran;
e. asosiasi yang menaungi pihak yang melakukan pelanggaran;
dan
f.
lembaga lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Pasal 65
Cukup jelas.
Pasal 66
Cukup jelas.
Pasal 67
Cukup jelas.
Pasal 68
Cukup jelas.
- 33 -
Pasal 69
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6100
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 19/9/PBI/2017 </reg_id>
<reg_title> PENERBITAN DAN TRANSAKSI SURAT BERHARGA KOMERSIAL DI PASAR UANG </reg_title>
<set_date> 19 Juli 2017 </set_date>
<effective_date> 4 September 2017 </effective_date>
<issued_date> 20 Juli 2017 </issued_date>
<replaced_reg> '28/52/KEP/DIR|SKDIR-BI/1995' </replaced_reg>
<related_reg> '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB XVI' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 17/1/PBI/2015
TENTANG
JUMLAH DAN NILAI NOMINAL UANG RUPIAH YANG DIMUSNAHKAN
TAHUN 2014
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang
: a. bahwa salah satu tugas Bank Indonesia adalah
melakukan pemusnahan terhadap uang Rupiah yang
ditarik dari peredaran;
b. bahwa jumlah dan nilai nominal uang Rupiah yang
ditarik dari peredaran yang dimusnahkan oleh Bank
Indonesia ditempatkan dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia secara periodik setiap 1 (satu)
tahun sekali;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu
menetapkan Peraturan Bank Indonesia tentang
Jumlah dan Nilai Nominal Uang Rupiah yang
Dimusnahkan Tahun 2014;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang
Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843)
sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009
tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23
Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi
Undang-Undang (Lembaran Negara Republik
Indonesia . . .
Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962);
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata
Uang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2011 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5223);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG JUMLAH
DAN NILAI NOMINAL UANG RUPIAH YANG
DIMUSNAHKAN TAHUN 2014.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Uang Rupiah adalah Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang.
2. Uang Rupiah Tidak Layak Edar adalah Uang Rupiah yang terdiri atas
Uang Rupiah lusuh, Uang Rupiah cacat, dan Uang Rupiah rusak.
3. Pemusnahan adalah suatu rangkaian kegiatan meracik, melebur, atau
cara lain memusnahkan Uang Rupiah sehingga tidak menyerupai
Uang Rupiah.
BAB II
PEMUSNAHAN UANG RUPIAH
Pasal 2
(1) Bank Indonesia melaksanakan Pemusnahan terhadap:
a. Uang Rupiah Tidak Layak Edar;
b. Uang Rupiah yang masih layak edar yang dengan pertimbangan
tertentu tidak lagi mempunyai manfaat ekonomis dan/atau kurang
diminati . . .
diminati oleh masyarakat; dan/atau
c. Uang Rupiah yang sudah tidak berlaku yaitu Uang Rupiah yang
dicabut dan ditarik dari peredaran.
(2) Pemusnahan Uang Rupiah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dituangkan dalam suatu berita acara.
Pasal 3
Pemusnahan Uang Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (1) dilakukan dengan cara sebagai berikut:
a. Uang Rupiah kertas diracik dengan menggunakan mesin yang memiliki
fungsi untuk meracik Uang Rupiah kertas atau dengan cara lain
sehingga tidak menyerupai Uang Rupiah kertas;
b. Uang Rupiah logam dilebur atau dengan cara lain sehingga tidak
menyerupai Uang Rupiah logam.
BAB III
PENEMPATAN JUMLAH DAN NILAI NOMINAL UANG RUPIAH YANG
DIMUSNAHKAN DALAM LEMBARAN NEGARA
REPUBLIK INDONESIA
Pasal 4
(1) Jumlah dan nilai nominal Uang Rupiah yang dimusnahkan oleh Bank
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) ditempatkan
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia secara periodik setiap
1 (satu) tahun sekali.
(2) Informasi jumlah dan nilai nominal Uang Rupiah yang dimusnahkan
oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi
jenis pecahan, jumlah bilyet atau keping, dan nilai nominal.
(3) Informasi jumlah dan nilai nominal Uang Rupiah yang dimusnahkan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk periode tanggal 1 Januari
2014 sampai dengan 31 Desember 2014 tercantum dalam Lampiran
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Bank
Indonesia ini.
BAB IV . . .
BAB IV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 5
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 30 Januari 2015
GUBERNUR BANK INDONESIA,
AGUS D.W. MARTOWARDOJO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 30 Januari 2015
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2015 NOMOR 22
DPU
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 17/1/PBI/2015 </reg_id>
<reg_title> JUMLAH DAN NILAI NOMINAL UANG RUPIAH YANG DIMUSNAHKAN TAHUN 2014 </reg_title>
<set_date> 30 Januari 2015 </set_date>
<effective_date> 30 Januari 2015 </effective_date>
<issued_date> 30 Januari 2015 </issued_date>
<related_reg> '7/UU/2011', '2/PERPPU/2008', '6/UU/2009', '23/UU/1999' </related_reg>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR
15/4/PBI/2013
TENTANG
LAPORAN STABILITAS MONETER DAN SISTEM KEUANGAN BULANAN
BANK UMUM SYARIAH DAN UNIT USAHA SYARIAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang:
a. bahwa dalam rangka penyusunan laporan dan
informasi guna mendukung pengambilan kebijakan
di bidang moneter, sistem pembayaran, dan
pengawasan perbankan, diperlukan informasi
mengenai kondisi keuangan dan kegiatan usaha
bank, baik secara individual maupun secara
konsolidasi dengan perusahaan anak, termasuk
kegiatan usaha bank dan perusahaan anak yang
dilakukan di luar negeri;
b. bahwa dalam rangka penyediaan informasi diperlu-
kan sistem pelaporan yang terintegrasi yang
implementasinya dilakukan secara bertahap dimulai
dari penyampaian laporan stabilitas moneter dan
sistem keuangan bulanan Bank Umum Syariah dan
Unit Usaha Syariah;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu untuk
mengatur kembali Peraturan Bank Indonesia tentang
Laporan Bulanan Bank Umum Syariah;
Mengingat …
- 2 -
Mengingat: 1. Undang–Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah
diubah dengan Undang–Undang Nomor 10 Tahun
1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3790);
2. Undang–Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang
Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843)
sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009
tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23
Tahun 1999 tentang Bank Indonesia Menjadi
Undang-Undang (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962);
3. Undang–Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu
Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 67,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3844);
4. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867);
MEMUTUSKAN …
- 3 -
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG LAPORAN
STABILITAS MONETER DAN SISTEM KEUANGAN
BULANAN BANK UMUM SYARIAH DAN UNIT USAHA
SYARIAH.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini, yang dimaksud dengan:
1. Bank adalah Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun
2008 tentang Perbankan Syariah.
2. Perusahaan Anak adalah badan hukum yang dimiliki atau
dikendalikan oleh Bank, baik secara langsung maupun tidak
langsung, yang terdiri atas:
a. perusahaan subsidiari (subsidiary company) yaitu perusahaan
anak dengan kepemilikan Bank lebih dari 50% (lima puluh
persen);
b. perusahaan partisipasi
(participation company) adalah
perusahaan anak dengan kepemilikan Bank 50% (lima puluh
persen) atau kurang, namun Bank memiliki pengendalian
terhadap perusahaan;
c. perusahaan dengan kepemilikan Bank lebih dari 20% (dua
puluh persen) sampai dengan 50% (lima puluh persen) yang
memenuhi persyaratan yaitu:
1) kepemilikan Bank dan para pihak lainnya pada perusahaan
anak adalah masing-masing sama besar; dan
2) masing-masing pemilik melakukan pengendalian secara
bersama terhadap perusahaan anak; dan/atau
d. entitas …
- 4 -
d. entitas lain yang berdasarkan standar akuntansi keuangan
yang berlaku wajib dikonsolidasikan,
namun tidak termasuk perusahaan asuransi dan perusahaan
yang dimiliki dalam rangka restrukturisasi kredit.
3. Kantor Wilayah Bank adalah kantor Bank yang membantu kantor
pusatnya melakukan fungsi administrasi dan koordinasi terhadap
beberapa kantor cabang di suatu wilayah tertentu, baik yang
melakukan kegiatan operasional maupun tidak melakukan
kegiatan operasional.
4. Kantor Cabang adalah kantor cabang dari Bank Umum Syariah
dan Unit Usaha Syariah, baik yang melakukan kegiatan
operasional di Indonesia maupun di luar Indonesia, termasuk
Kantor Wilayah Bank yang melakukan kegiatan operasional.
5. Bank Pelapor adalah kantor Bank yang meliputi kantor pusat
Bank dan Kantor Cabang.
6. Laporan Stabilitas Moneter dan Sistem Keuangan Bulanan Bank
Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah, yang selanjutnya disebut
Laporan adalah informasi yang disusun dan disampaikan oleh
Bank Pelapor kepada Bank Indonesia secara terintegrasi dalam
format dan definisi yang seragam sesuai dengan kamus data yang
ditetapkan oleh Bank Indonesia guna mendukung pengambilan
kebijakan di bidang moneter, sistem pembayaran, dan
pengawasan perbankan.
7. Laporan Per Kantor adalah Laporan dari Unit Usaha Syariah dan
kantor pusat Bank Umum Syariah yang melakukan kegiatan
operasional dan Kantor Cabang, termasuk kantor-kantor bank
yang berada di bawah koordinasi Kantor Cabang.
8. Laporan Gabungan adalah Laporan per Bank dari kantor pusat
Bank Umum Syariah yang menggabungkan laporan dari seluruh
kantornya atau dari Unit Usaha Syariah yang menggabungkan
laporan dari seluruh kantornya.
9. Laporan Perusahaan Anak adalah Laporan dari kantor pusat
Perusahaan Anak yang tidak berbentuk bank, dan seluruh kantor
cabang …
10. Laporan …
- 5 -
cabang Perusahaan Anak baik yang melakukan kegiatan
operasional di Indonesia maupun di luar Indonesia.
10. Laporan Konsolidasi adalah Laporan yang merupakan konsolidasi
dari Laporan Gabungan Bank Umum Syariah dan laporan
Perusahaan Anak termasuk Perusahaan Anak yang berbentuk
bank.
11. Penyampaian Laporan Secara Online, yang selanjutnya disebut
Online, adalah penyampaian Laporan secara langsung melalui
jaringan komunikasi data ke Bank Indonesia.
12. Penyampaian Laporan Secara Offline, yang selanjutnya disebut
Offline, adalah penyampaian rekaman Laporan dalam media
perekaman data elektronik disertai hasil cetak komputer
(hardcopy) kepada Bank Indonesia.
13. Hari Kerja adalah hari kerja Bank Indonesia yang mewilayahi
Bank Pelapor.
BAB II
KEWAJIBAN DAN TANGGUNG JAWAB BANK PELAPOR
Pasal 2
(1) Bank Pelapor wajib menyusun dan menyampaikan Laporan
kepada Bank Indonesia secara benar, lengkap, dan tepat waktu.
(2) Bank Pelapor bertanggung jawab atas kebenaran dan kelengkapan
Laporan serta ketepatan waktu penyampaian Laporan kepada
Bank Indonesia.
Pasal 3
Bank Pelapor wajib memiliki sistem dan prosedur konversi yang
dituangkan dalam suatu pedoman tertulis yang mengatur penyesuaian
penyajian data dari format pembukuan intern Bank Pelapor menjadi
format Laporan.
Pasal 4 …
- 6 -
Pasal 4
(1) Bank Pelapor wajib menunjuk petugas dan/atau penanggung
jawab untuk menyusun, memverifikasi, dan menyampaikan
Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) kepada
Bank Indonesia.
(2) Petugas dan/atau penanggung jawab yang ditunjuk sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), wajib dilaporkan kepada Bank Indonesia.
(3) Penunjukan petugas dan/atau penanggung jawab sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) tidak mengurangi dan/atau
menghilangkan tanggung jawab Direksi Bank dan/atau pimpinan
Kantor Cabang.
(4) Dalam hal terjadi perubahan petugas dan/atau penanggung jawab
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Pelapor wajib
melaporkan perubahan tersebut kepada Bank Indonesia.
BAB III
PENYUSUNAN DAN PENYAMPAIAN LAPORAN DAN KOREKSI LAPORAN
Pasal 5
(1) Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) terdiri atas
4 (empat) cakupan Laporan yaitu:
a. Laporan Per Kantor;
b. Laporan Gabungan;
c. Laporan Perusahaan Anak; dan
d. Laporan Konsolidasi.
(2) Ketentuan mengenai pedoman penyusunan Laporan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Surat Edaran Bank
Indonesia.
Pasal 6
(1) Laporan Per Kantor wajib disusun dan disampaikan oleh Unit
Usaha Syariah, kantor pusat Bank Umum Syariah yang
melakukan kegiatan operasional dan Kantor Cabang.
(2) Dalam …
- 7 -
(2) Dalam hal Unit Usaha Syariah, kantor pusat Bank Umum Syariah,
atau Kantor Wilayah Bank tidak melakukan kegiatan operasional,
maka laporan Unit Usaha Syariah, kantor pusat Bank Umum
Syariah, atau Kantor Wilayah Bank yang tidak melakukan
kegiatan operasional digabungkan dengan Laporan Per Kantor dari
Kantor Cabang yang ditunjuk.
(3) Dalam hal Bank Pelapor telah mampu menyusun dan
menyampaikan Laporan Per Kantor dari seluruh atau sebagian
Kantor Cabang secara terpusat atau sentralisasi, Laporan Per
Kantor dapat disusun dan disampaikan oleh Unit Usaha Syariah,
kantor pusat Bank Umum Syariah atau Kantor Cabang yang
ditunjuk sebagai koordinator.
(4) Laporan Per Kantor yang disampaikan secara terpusat atau
sentralisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus bisa
diidentifikasi untuk masing-masing kantor.
(5) Bank Pelapor yang telah mampu menyusun Laporan Per Kantor
secara terpusat atau sentralisasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) dapat menyampaikan Laporan kepada Bank Indonesia
dengan terlebih dahulu menyampaikan pemberitahuan secara
tertulis kepada Departemen Pengelolaan dan Kepatuhan Laporan
c.q. Divisi Pengelolaan dan Pengawasan 1.
Pasal 7
Laporan Gabungan wajib disusun dan disampaikan oleh Unit Usaha
Syariah dan kantor pusat Bank Umum Syariah yang memiliki Kantor
Cabang.
Pasal 8
Laporan Perusahaan Anak wajib disampaikan oleh kantor pusat Bank
Umum Syariah.
Pasal 9 …
- 8 -
Pasal 9
Laporan Konsolidasi wajib disusun dan disampaikan oleh kantor pusat
Bank Umum Syariah.
Pasal 10
(1) Bank Pelapor wajib menyampaikan koreksi atas kesalahan
Laporan yang telah disampaikan kepada Bank Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8 dan Pasal
9.
(2) Dalam hal terdapat koreksi Laporan Per Kantor dan/atau koreksi
Laporan Perusahaan Anak yang berdampak pada Laporan
Gabungan dan/atau Laporan Konsolidasi maka Bank Pelapor
wajib menyampaikan koreksi Laporan Gabungan dan/atau
Laporan Konsolidasi.
BAB IV
PERIODE PENYAMPAIAN LAPORAN DAN KOREKSI LAPORAN
Pasal 11
(1) Bank Pelapor wajib menyampaikan Laporan Per Kantor
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dan/atau koreksi Laporan
Per Kantor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) kepada
Bank Indonesia secara bulanan paling lambat tanggal 5 (lima)
pada bulan berikutnya setelah berakhirnya bulan Laporan yang
bersangkutan.
(2) Bank Pelapor wajib menyampaikan Laporan Gabungan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dan/atau koreksi Laporan
Gabungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) kepada
Bank Indonesia secara bulanan paling lambat tanggal 10 (sepuluh)
pada bulan berikutnya setelah berakhirnya bulan Laporan yang
bersangkutan.
(3) Bank …
- 9 -
(3) Bank Pelapor wajib menyampaikan Laporan Perusahaan Anak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dan/atau koreksi Laporan
Perusahaan Anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1)
kepada Bank Indonesia secara triwulanan untuk posisi akhir
bulan Maret, bulan Juni, bulan September, dan bulan Desember
masing-masing paling lambat pada tanggal 23 (dua puluh tiga)
bulan April, bulan Juli, bulan Oktober, dan bulan Januari.
(4) Bank Pelapor wajib menyampaikan Laporan Konsolidasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dan/atau koreksi Laporan
Konsolidasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1)
kepada Bank Indonesia secara triwulanan untuk posisi akhir
bulan Maret, bulan Juni, bulan September, dan bulan Desember
masing-masing paling lambat pada tanggal 23 (dua puluh tiga)
bulan April, bulan Juli, bulan Oktober, dan bulan Januari.
Pasal 12
Bank Pelapor dinyatakan terlambat menyampaikan Laporan dan/atau
koreksi Laporan apabila:
a. menyampaikan Laporan Per Kantor dan/atau koreksi Laporan Per
Kantor melampaui batas waktu sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 11 ayat (1), sampai dengan tanggal 7 (tujuh) pada bulan
berikutnya setelah berakhirnya bulan Laporan yang bersangkutan;
b. menyampaikan Laporan Gabungan dan/atau koreksi Laporan
Gabungan melampaui batas waktu sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 11 ayat (2), sampai dengan tanggal 12 (dua belas) pada
bulan berikutnya setelah berakhirnya bulan Laporan yang
bersangkutan;
c. menyampaikan Laporan Perusahaan Anak dan/atau koreksi
Laporan Perusahaan Anak melampaui batas waktu sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 11 ayat (3), untuk posisi akhir bulan Maret,
bulan Juni, bulan September, dan bulan Desember, masing-
masing sampai dengan tanggal 25 (dua puluh lima) bulan April,
bulan Juli, bulan Oktober, dan bulan Januari;
d. menyampaikan …
- 10 -
d. menyampaikan Laporan Konsolidasi dan/atau koreksi Laporan
Konsolidasi melampaui batas waktu sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 11 ayat (4), untuk posisi akhir bulan Maret, bulan Juni,
bulan September, dan bulan Desember, masing-masing sampai
dengan tanggal 25 (dua puluh lima) bulan April, bulan Juli, bulan
Oktober, dan bulan Januari.
Pasal 13
Bank Pelapor dinyatakan tidak menyampaikan Laporan dan/atau
koreksi Laporan, apabila Bank Indonesia belum menerima Laporan
dan/atau koreksi Laporan sampai dengan batas waktu sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 12.
BAB V
PROSEDUR PENYAMPAIAN LAPORAN DAN KOREKSI LAPORAN
Pasal 14
(1) Bank Pelapor wajib menyampaikan Laporan dan/atau koreksi
Laporan secara Online.
(2) Penyampaian Laporan dan/atau koreksi Laporan secara Online
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sampai dengan
batas waktu penyampaian Laporan dan/atau koreksi Laporan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dan/atau Pasal 12.
(3) Dalam hal penyampaian Laporan dan/atau koreksi Laporan
melampaui batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12,
penyampaian Laporan dan/atau koreksi Laporan dilakukan secara
Offline.
(4) Bank Pelapor yang dinyatakan tidak menyampaikan Laporan
dan/atau koreksi Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13
tetap wajib menyampaikan Laporan kepada Bank Indonesia secara
Offline disertai hasil cetak komputer (hardcopy).
Pasal 15 …
- 11 -
Pasal 15
(1) Laporan dan/atau koreksi Laporan secara Online dapat
disampaikan pada hari Sabtu, hari Minggu, hari libur nasional
atau cuti bersama yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
(2) Dalam hal tanggal berakhirnya penyampaian Laporan dan/atau
koreksi Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jatuh pada
hari libur nasional dan/atau hari cuti bersama yang ditetapkan
oleh Bank Indonesia sehubungan dengan perayaan hari raya
keagamaan, maka Laporan dan/atau koreksi Laporan
disampaikan paling lambat pada Hari Kerja berikutnya, kecuali
ditetapkan lain oleh Bank Indonesia.
Pasal 16
(1) Kewajiban penyampaian Laporan dan/atau koreksi Laporan
secara Online sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) dan
ayat (2) dikecualikan terhadap:
a. Bank Pelapor yang berkedudukan di daerah yang belum
tersedia fasilitas komunikasi, sehingga tidak memungkinkan
untuk menyampaikan Laporan secara Online;
b. Bank Pelapor yang baru dibuka dengan batas waktu paling
lama 2 (dua) bulan setelah melakukan kegiatan operasional;
c. Bank Pelapor yang mengalami gangguan teknis dalam
menyampaikan Laporan dan/atau koreksi Laporan; atau
d. Bank Pelapor yang tidak dapat menyampaikan Laporan
dan/atau koreksi Laporan yang disebabkan karena gangguan
teknis dan/atau gangguan lainnya pada sistem atau jaringan
telekomunikasi di Bank Indonesia.
(2) Dalam hal Bank Pelapor mengalami gangguan teknis sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf c, Bank Pelapor harus
menyampaikan pemberitahuan tertulis kepada Bank Indonesia,
dengan disertai bukti dan penjelasan mengenai gangguan teknis
yang dimaksud bersamaan dengan penyampaian Laporan
dan/atau koreksi Laporan secara Offline.
(3) Dalam …
- 12 -
(3) Dalam hal Bank Indonesia mengalami gangguan teknis dan/atau
gangguan lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d,
Bank Indonesia akan memberitahukan kepada Bank Pelapor
mengenai terjadinya gangguan tersebut secara tertulis atau
dengan menggunakan sarana lain.
Pasal 17
(1) Bank Pelapor yang tidak dapat menyampaikan Laporan dan/atau
koreksi Laporan secara Online sebagaimana dimaksud dalam Pasal
16, wajib menyampaikan Laporan dan/atau koreksi Laporan
secara Offline disertai hasil cetak komputer (hardcopy) dan surat
pemberitahuan.
(2) Penyampaian Laporan dan/atau koreksi Laporan secara Offline
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disampaikan pada Hari
Kerja, dengan batas waktu penyampaian Laporan dan/atau
koreksi Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dan/atau
Pasal 12.
(3) Dalam hal batas akhir penyampaian Laporan dan/atau koreksi
Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dan Pasal 12 bagi
Bank Pelapor yang dikecualikan dari pelaporan secara Online
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf a dan huruf
b, jatuh pada bukan Hari Kerja maka pelaporan secara Offline
disampaikan paling lambat pada Hari Kerja berikutnya.
(4) Dalam hal gangguan teknis di Bank Pelapor dan/atau Bank
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf c
dan huruf d terjadi pada batas akhir penyampaian Laporan
dan/atau koreksi Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11
dan Pasal 12, Laporan dan/atau koreksi Laporan disampaikan
paling lambat pada Hari Kerja berikutnya secara Offline.
(5) Dalam hal Bank Indonesia belum menerima Laporan dan/atau
koreksi Laporan dari Bank Pelapor sampai dengan batas akhir
penyampaian Laporan dan/atau koreksi Laporan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4), maka Bank Pelapor dianggap
terlambat …
- 13 -
terlambat menyampaikan Laporan dan/atau koreksi Laporan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 dan/atau tidak
menyampaikan Laporan dan/atau koreksi Laporan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 13.
Pasal 18
Dalam hal terjadi kerusakan pada Laporan dan/atau koreksi Laporan
yang diterima karena adanya gangguan pada sistem database
dan/atau jaringan komunikasi di Bank Indonesia maka Bank
Indonesia dapat meminta Bank Pelapor untuk menyampaikan ulang
Laporan dan/atau koreksi Laporan.
Pasal 19
(1) Bank Pelapor dinyatakan telah menyampaikan Laporan dan/atau
koreksi Laporan pada tanggal diterimanya Laporan dan/atau
koreksi Laporan oleh Bank Indonesia yang tercantum pada tanda
terima penyampaian Laporan.
(2) Tanda terima penyampaian Laporan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diberikan apabila Laporan dan/atau koreksi Laporan
dinyatakan lolos validasi oleh Bank Indonesia.
Pasal 20
(1) Bank Pelapor yang melakukan kegiatan operasional di Indonesia,
wajib menyampaikan:
a. Laporan secara Online kepada Bank Indonesia.
b. Laporan secara Offline sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14
ayat (4) dan Pasal 17 kepada:
1. Departemen Pengelolaan dan Kepatuhan Laporan c.q Divisi
Pengelolaan dan Pengawasan 1, Menara Sjafruddin
Prawiranegara, Jl. M.H. Thamrin No.2, Jakarta 10350, bagi
Bank Pelapor atau kantor Bank yang ditunjuk sebagai
koordinator penyampaian Laporan sebagaimana dimaksud
dalam …
- 14 -
dalam Pasal 6 ayat (3) yang berkedudukan di wilayah kerja
Kantor Pusat Bank Indonesia; atau
2. Kantor Perwakilan Bank Indonesia setempat, bagi Bank
Pelapor atau kantor Bank yang ditunjuk sebagai koordinator
penyampaian Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6
ayat (3) yang berkedudukan di luar wilayah sebagaimana
dimaksud dalam angka 1,
pada jam kerja Bank Indonesia.
(2) Bagi Bank Pelapor yang melakukan kegiatan operasional di luar
Indonesia, Laporan wajib disusun dan disampaikan kepada Bank
Indonesia oleh kantor pusat Bank Pelapor, sesuai dengan
kedudukan kantor pusat Bank Pelapor sebagaimana dimaksud
pada ayat (1).
Pasal 21
(1) Bank Pelapor yang mengalami keadaan memaksa (force majeure)
sehingga menyebabkan tidak tersedianya data selama satu periode
Laporan, dikecualikan dari kewajiban menyampaikan Laporan
dan/atau koreksi Laporan untuk periode Laporan tersebut
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan/atau Pasal 10.
(2) Bank Pelapor yang mengalami keadaan memaksa (force majeure)
sehingga menyebabkan terhambatnya penyampaian Laporan
dan/atau koreksi Laporan untuk satu periode Laporan,
dikecualikan dari kewajiban menyampaikan Laporan dan/atau
koreksi Laporan untuk periode Laporan tersebut dalam batas
waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dan/atau Pasal 12.
(3) Bank Pelapor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
wajib menyampaikan Laporan dan/atau koreksi Laporan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan/atau Pasal 10
setelah Bank Pelapor kembali melakukan kegiatan operasional
secara normal.
(4) Bank …
- 15 -
(4) Bank Pelapor yang mengalami keadaan memaksa (force majeure)
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau ayat (2), wajib
menyampaikan permohonan untuk memperoleh pengecualian
secara tertulis kepada Bank Indonesia dengan alamat
sebagaimana diatur dalam Pasal 20 ayat (1) huruf b, dengan
disertai penjelasan mengenai keadaan memaksa yang dialami.
(5) Pengecualian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau ayat (2)
berlaku setelah Bank Pelapor memperoleh persetujuan dari Bank
Indonesia sebagaimana diatur pada ayat (4).
BAB VI
SANKSI
Pasal 22
(1) Bank Pelapor yang terlambat menyampaikan Laporan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 dikenakan sanksi
kewajiban membayar sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah)
per cakupan Laporan per Hari Kerja keterlambatan.
(2) Bank Pelapor yang terlambat menyampaikan koreksi Laporan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 dikenakan sanksi
kewajiban membayar sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah)
per cakupan Laporan per Hari Kerja keterlambatan.
(3) Bank Pelapor yang menyampaikan koreksi Laporan atas inisiatif
Bank Pelapor setelah melampaui batas waktu keterlambatan
penyampaian koreksi Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
12, dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp50.000,00
(lima puluh ribu rupiah) per item kesalahan Laporan dan paling
banyak seluruhnya sebesar Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) per
cakupan Laporan.
(4) Dalam hal berdasarkan penelitian dan/atau pemeriksaan Bank
Indonesia atas Laporan yang telah disampaikan oleh Bank Pelapor
ditemukan kesalahan, maka Bank Pelapor dikenakan sanksi
kewajiban membayar sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah)
per …
- 16 -
per item kesalahan Laporan dan paling banyak seluruhnya sebesar
Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) per cakupan Laporan.
(5) Bank Pelapor yang dinyatakan tidak menyampaikan Laporan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dikenakan sanksi
kewajiban membayar sebesar Rp50.000.000,00 (lima puluh juta
rupiah) per cakupan Laporan.
(6) Bank Pelapor yang menyampaikan Laporan dan/atau koreksi
Laporan secara Offline pada periode penyampaian Online tanpa
memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16
ayat (1), dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar
Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) untuk setiap penyampaian
Laporan dan/atau koreksi Laporan.
(7) Bank yang telah dikenakan sanksi sebagaimana dimaksud pada
ayat (4) dan ayat (5) tetap diwajibkan untuk menyampaikan
Laporan dimaksud.
Pasal 23
(1) Dalam hal Bank dikenakan sanksi kewajiban membayar karena
menyampaikan koreksi Laporan Per Kantor dan/atau koreksi
Laporan Perusahaan Anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22
ayat (3) dan/atau ayat (4) yang berdampak pada koreksi Laporan
Gabungan dan Laporan Konsolidasi maka koreksi Laporan
Gabungan dan/atau Laporan Konsolidasi tersebut tidak
dikenakan sanksi kewajiban membayar
(2) Dalam hal Bank Pelapor mengirimkan ulang Laporan dan/atau
koreksi Laporan atas permintaan Bank Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 18, Bank Pelapor tidak dikenakan sanksi
kewajiban membayar.
Pasal 24
Pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (3),
dikecualikan untuk penyampaian koreksi Laporan atas dasar hasil
audit oleh akuntan publik.
Pasal 25 …
- 17 -
Pasal 25
Pembebanan sanksi kewajiban membayar sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 22 dilakukan oleh Bank Indonesia dengan cara mendebet
rekening giro Bank di Bank Indonesia.
Pasal 26
Bank Pelapor yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3, Pasal 4, Pasal 11 dan/atau Pasal 22 ayat (7) dikenakan
sanksi berupa teguran tertulis dalam rangka kepatuhan Laporan
dan/atau sanksi dalam rangka pembinaan serta pengawasan Bank.
BAB VII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 27
Pada saat berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini, Bank Pelapor
tetap diwajibkan untuk menyampaikan Laporan sampai dengan data
bulan April 2014 yang disampaikan pada bulan Mei 2014 sebagaimana
diatur dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/26/PBI/2003 tentang
Laporan Bulanan Bank Umum Syariah sebagaimana yang telah diubah
dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/12/PBI/2011.
Pasal 28
Batas waktu penyampaian Laporan berdasarkan Peraturan Bank
Indonesia ini, khusus untuk data bulan Agustus 2013 yang
disampaikan pada bulan September 2013 sampai dengan data bulan
April 2014 yang disampaikan pada bulan Mei 2014 diatur sebagai
berikut:
a. Laporan Per Kantor dan/atau koreksi Laporan Per Kantor
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dan Pasal 10 ayat (1)
disampaikan kepada Bank Indonesia secara bulanan paling
lambat tanggal 15 (lima belas) pada bulan berikutnya setelah
berakhirnya bulan Laporan yang bersangkutan.
b. Laporan …
- 18 -
b. Laporan Gabungan dan/atau koreksi Laporan Gabungan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dan Pasal 10 ayat (1)
disampaikan kepada Bank Indonesia secara bulanan paling
lambat tanggal 20 (dua puluh) pada bulan berikutnya setelah
berakhirnya bulan Laporan yang bersangkutan.
c. Laporan Perusahaan Anak dan/atau koreksi Laporan Perusahaan
Anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dan Pasal 10 ayat (1)
disampaikan kepada Bank Indonesia secara triwulanan untuk
posisi akhir bulan September 2013, bulan Desember 2013, dan
bulan Maret 2014, masing-masing paling lambat tanggal 31
Oktober 2013, tanggal 31 Januari 2014, dan tanggal 30 April
2014.
d. Laporan Konsolidasi dan/atau koreksi Laporan Konsolidasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dan Pasal 10 ayat (1)
disampaikan kepada Bank Indonesia secara triwulanan untuk
posisi akhir bulan September 2013, bulan Desember 2013, dan
bulan Maret 2014, masing-masing paling lambat tanggal 31
Oktober 2013, tanggal 31 Januari 2014, dan tanggal 30 April
2014.
Pasal 29
Untuk data bulan Agustus 2013 yang disampaikan pada bulan
September 2013 sampai dengan data bulan April 2014 yang
disampaikan pada bulan Mei 2014 sebagaimana dimaksud dalam Pasal
28, Bank Pelapor dinyatakan terlambat, apabila:
a. menyampaikan Laporan Per Kantor dan/atau koreksi Laporan Per
Kantor melampaui batas waktu sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 28 huruf a, sampai dengan tanggal 17 (tujuh belas) bulan
berikutnya setelah berakhirnya bulan Laporan yang bersangkutan;
b. menyampaikan Laporan Gabungan dan/atau koreksi Laporan
Gabungan melampaui batas waktu sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 28 huruf b, sampai dengan tanggal 22 (dua puluh dua)
bulan …
- 19 -
bulan berikutnya setelah berakhirnya bulan Laporan yang
bersangkutan;
c. menyampaikan Laporan Perusahaan Anak dan/atau koreksi
Laporan Perusahaan Anak melampaui batas waktu sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 28 huruf c, untuk posisi akhir bulan
September 2013, bulan Desember 2013 dan bulan Maret 2014,
masing-masing sampai dengan tanggal 2 November 2013, tanggal
2 Februari 2014, dan tanggal 2 Mei 2014;
d. menyampaikan Laporan Konsolidasi dan/atau koreksi Laporan
Konsolidasi melampaui batas waktu sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 28 huruf d, untuk posisi akhir bulan September 2013, bulan
Desember 2013 dan bulan Maret 2014, masing-masing sampai
dengan tanggal 2 November 2013, tanggal 2 Februari 2014, dan
tanggal 2 Mei 2014.
Pasal 30
Untuk data bulan Agustus 2013 yang disampaikan pada bulan
September 2013 sampai dengan data bulan April 2014 yang
disampaikan pada bulan Mei 2014, Bank Pelapor dinyatakan tidak
menyampaikan Laporan dan/atau koreksi Laporan apabila Bank
Indonesia belum menerima Laporan dan/atau koreksi Laporan sampai
dengan batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29.
Pasal 31
(1) Sanksi kewajiban membayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal
22 tidak berlaku untuk penyampaian Laporan data bulan Agustus
2013 yang disampaikan pada bulan September 2013 sampai
dengan data bulan Oktober 2013 yang disampaikan pada bulan
November 2013.
(2) Ketentuan sanksi kewajiban membayar untuk penyampaian
Laporan data bulan November 2013 yang disampaikan pada bulan
Desember 2013 sampai dengan data bulan April 2014 yang
disampaikan pada bulan Mei 2014 diatur sebagai berikut:
a. Bank …
- 20 -
a. Bank Pelapor yang terlambat menyampaikan Laporan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 29 dikenakan sanksi
kewajiban membayar sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta
rupiah) per cakupan Laporan per Hari Kerja keterlambatan;
b. Bank Pelapor yang terlambat menyampaikan koreksi Laporan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 dikenakan sanksi
kewajiban membayar sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu
rupiah) per cakupan Laporan per Hari Kerja keterlambatan;
c. Bank Pelapor yang dinyatakan tidak menyampaikan Laporan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 dikenakan sanksi
kewajiban membayar sebesar Rp50.000.000,00 (lima puluh
juta rupiah) per cakupan Laporan.
BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 32
Ketentuan lebih lanjut tentang format, tata cara penyusunan dan
penyampaian Laporan, serta tata cara pengenaan sanksi diatur dalam
Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 33
Pada saat Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku :
a. Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/26/PBI/2003 tentang Laporan
Bulanan Bank Umum Syariah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2003 Nomor 136, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4336); dan
b. Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/12/PBI/2011 tentang
Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/26/PBI/2003
tentang Laporan Bulanan Bank Umum Syariah (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 38, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5203),
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku terhitung sejak Laporan data
bulan Mei 2014.
Pasal 34 …
- 21 -
Pasal 34
(1) Ketentuan sanksi sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 22
mulai berlaku sejak Laporan data bulan Mei 2014 yang
disampaikan pada bulan Juni 2014.
(2) Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal
ditetapkan.
Agar …
- 22 -
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 12 Agustus 2013
GUBERNUR BANK INDONESIA,
AGUS D. W. MARTOWARDOJO
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 12 Agustus 2013
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
AMIR SYAMSUDIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2013 NOMOR 141
- 23 -
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR
15/4/PBI/2013
TENTANG
LAPORAN STABILITAS MONETER DAN SISTEM KEUANGAN BULANAN
BANK UMUM SYARIAH DAN UNIT USAHA SYARIAH
I. UMUM
Dalam Pasal 35 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008
tentang Perbankan Syariah, ditetapkan bahwa Bank Umum Syariah
dan Unit Usaha Syariah wajib menyampaikan kepada Bank
Indonesia laporan keuangan berupa neraca tahunan dan
perhitungan laba/rugi tahunan serta penjelasannya yang disusun
berdasarkan prinsip akuntansi syariah yang berlaku umum, serta
laporan berkala lainnya, dalam waktu dan bentuk yang diatur
dengan Peraturan Bank Indonesia. Selain itu di dalam Pasal 28 Ayat
(1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia
sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang- Undang Nomor
6 Tahun 2009, ditegaskan pula bahwa Bank Indonesia mewajibkan
Bank untuk menyampaikan laporan, keterangan, dan penjelasan
sesuai dengan tata cara yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Laporan, keterangan, dan penjelasan dimaksud diperlukan oleh
Bank Indonesia dalam rangka penyusunan laporan dan informasi
serta statistik perbankan dan moneter guna mendukung
pengambilan kebijakan moneter, sistem pembayaran, dan
pengawasan perbankan. Guna keperluan tersebut dibutuhkan data
keuangan dan kegiatan usaha Bank secara individual maupun
secara konsolidasi dengan perusahaan anak, termasuk kegiatan
usaha Bank dan perusahaan anaknya yang dilakukan di luar negeri,
yang …
- 24 -
yang menggambarkan kondisi Bank sesuai dengan keadaan yang
sebenarnya, dan dalam bentuk yang seragam.
Dengan diberlakukannya penyempurnaan Pernyataan Standar
Akuntansi Keuangan (PSAK) Syariah, PSAK yang berlaku untuk
bank syariah, dan penerapan Basel II maka pelaporan keuangan
berdasarkan prinsip syariah perlu disesuaikan dalam menciptakan
sistem perbankan yang sehat bagi bank yang melakukan kegiatan
usaha berdasarkan prinsip syariah. Kebutuhan akan laporan yang
akuntabel dan sesuai dengan karakteristik perbankan syariah
menjadi semakin mendesak. Sehubungan dengan hal tersebut,
maka Bank Indonesia menyusun pedoman laporan bulanan bank
yang dapat memberikan informasi tentang keadaan sebenarnya, dan
dalam bentuk yang seragam mengenai kegiatan Bank Umum
Syariah dan Unit Usaha Syariah. Dengan demikian, maka Bank
Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah diwajibkan menyusun
laporan secara benar dan lengkap serta disampaikan kepada Bank
Indonesia secara tepat waktu.
Dalam rangka mengintegrasikan seluruh sistem pelaporan dari
bank kepada Bank Indonesia maka disusun Laporan Stabilitas
Moneter dan Sistem Keuangan yang penerapannya akan dilakukan
secara bertahap yang sebagai tahap awal dimulai dari penyampaian
laporan bulanan Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “Laporan secara benar” adalah
Laporan yang memuat data sesuai dengan fakta
sebenarnya atau dokumen pendukungnya.
Yang …
- 25 -
Yang dimaksud dengan “Laporan secara lengkap” adalah
Laporan yang telah memenuhi rincian cakupan laporan
yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Yang dimaksud dengan “Laporan secara tepat waktu”
adalah Laporan yang disampaikan sesuai dengan batas
waktu yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “petugas dan/atau penanggung
jawab” adalah petugas dan/atau penanggung jawab di
Bank yang diberi wewenang dan/atau tanggung jawab
untuk menyusun, melakukan verifikasi, dan
menyampaikan Laporan kepada Bank Indonesia.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Ayat (1)
Laporan kantor Bank yang status kantornya di bawah
Kantor Cabang, antara lain kantor cabang pembantu,
kantor kas, dan payment point, Laporan-nya digabungkan
dengan kantor pusat Bank yang melakukan kegiatan
operasional atau Kantor Cabang yang menjadi induknya.
Ayat (2) …
- 26 -
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “harus bisa diidentifikasi untuk
masing-masing kantor” yaitu apabila Laporan Per Kantor
dimaksud tetap dapat menunjukkan sandi dari kantor
Bank Pelapor. Sebagai contoh, apabila Unit Usaha Syariah,
kantor pusat Bank Umum Syariah atau Kantor Cabang
yang ditunjuk sebagai koordinator mampu menyusun
Laporan Per Kantor untuk 10 (sepuluh) Kantor Cabang,
maka Laporan yang disampaikan harus terdiri dari 10
(sepuluh) Laporan Per Kantor yang sesuai dengan sandi
masing-masing kantor Bank Pelapor, ditambah dengan
Laporan Per Kantor dari kantor Bank yang bersangkutan
sebagai Bank Pelapor.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 7
Bagi Bank yang tidak memiliki Kantor Cabang, tidak perlu
menyusun dan menyampaikan Laporan Gabungan.
Pasal 8
Perusahaan Anak yang berbentuk Bank tidak perlu dilaporkan
karena Perusahaan Anak tersebut merupakan Bank Pelapor.
Pasal 9
Bagi Bank yang tidak memiliki Perusahaan Anak, tidak perlu
menyusun dan menyampaikan Laporan Konsolidasi.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11 …
- 27 -
Pasal 11
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan ”bulan Laporan” adalah bulan
dimana data yang tercatat pada akhir bulan yang
bersangkutan wajib dilaporkan, misalnya bulan Laporan
September 2014 maka yang wajib dilaporkan adalah data
akhir September 2014.
Contoh:
Laporan Per Kantor dan/atau koreksi Laporan Per Kantor
untuk bulan Laporan September 2014 wajib disampaikan
paling lambat pada tanggal 5 Oktober 2014.
Ayat (2)
Contoh:
Laporan Gabungan dan/atau koreksi Laporan Gabungan
untuk bulan Laporan September 2014 wajib disampaikan
paling lambat pada tanggal 10 Oktober 2014.
Ayat (3)
Contoh:
Laporan Perusahaan Anak dan/atau koreksi Laporan
Perusahaan Anak untuk bulan Laporan September 2014
wajib disampaikan paling lambat pada tanggal 23 Oktober
2014.
Ayat (4)
Contoh:
Laporan Konsolidasi dan/atau koreksi Laporan Konsolidasi
untuk bulan Laporan September 2014 wajib disampaikan
paling lambat pada tanggal 23 Oktober 2014.
Pasal 12
Huruf a
Contoh:
Penyampaian Laporan Per Kantor dan/atau koreksi
Laporan Per Kantor untuk bulan Laporan Juli 2014
dinyatakan terlambat apabila disampaikan mulai dari
tanggal …
- 28 -
tanggal 6 Agustus 2014 sampai dengan tanggal 7 Agustus
2014.
Huruf b
Contoh:
Penyampaian Laporan Gabungan dan/atau koreksi
Laporan Gabungan untuk bulan Laporan Agustus 2014
dinyatakan terlambat apabila disampaikan mulai dari
tanggal 11 September 2014 sampai dengan tanggal 12
September 2014.
Huruf c
Contoh:
Penyampaian Laporan Perusahaan Anak dan/atau koreksi
Laporan Perusahaan Anak untuk bulan Laporan Juni 2014
dinyatakan terlambat apabila disampaikan mulai dari
tanggal 24 Juli 2014 sampai dengan tanggal 25 Juli 2014.
Huruf d
Contoh:
Penyampaian Laporan Konsolidasi dan/atau koreksi
Laporan Konsolidasi untuk bulan Laporan Juni 2014
dinyatakan terlambat apabila disampaikan mulai dari
tanggal 24 Juli 2014 sampai dengan tanggal 25 Juli 2014.
Pasal 13
Contoh:
Laporan Per Kantor dan/atau koreksi Laporan Per Kantor;
Laporan Per Kantor dan/atau koreksi Laporan Per Kantor untuk
bulan Laporan Juni 2014 dinyatakan tidak disampaikan, apabila
Laporan Per Kantor dan/atau koreksi Laporan Per Kantor belum
diterima oleh Bank Indonesia sampai dengan tanggal 7 Juli 2014.
Laporan Gabungan dan/atau koreksi Laporan Gabungan;
Laporan Gabungan dan/atau koreksi Laporan Gabungan untuk
bulan Laporan Juni 2014 dinyatakan tidak disampaikan, apabila
Laporan Gabungan dan/atau koreksi Laporan Gabungan belum
diterima …
- 29 -
diterima oleh Bank Indonesia sampai dengan tanggal 12 Juli
2014.
Laporan Perusahaan Anak dan/atau koreksi Laporan
Perusahaan Anak;
Laporan Perusahaan Anak dan/atau koreksi Laporan
Perusahaan Anak untuk bulan Laporan Juni 2014, dinyatakan
tidak disampaikan, apabila Laporan Perusahaan Anak dan/atau
koreksi Laporan Perusahaan Anak belum diterima oleh Bank
Indonesia sampai dengan tanggal 25 Juli 2014.
Laporan Konsolidasi dan/atau koreksi Laporan Konsolidasi;
Laporan Konsolidasi dan/atau koreksi Laporan Konsolidasi
untuk bulan Laporan Juni 2014, dinyatakan tidak disampaikan,
apabila Laporan Konsolidasi dan/atau koreksi Laporan
Konsolidasi belum diterima oleh Bank Indonesia sampai dengan
tanggal 25 Juli 2014.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Ayat (1)
Contoh :
Laporan Per Kantor dan/atau koreksi Laporan Per Kantor
untuk bulan Laporan September 2014 wajib disampaikan
secara Online paling lambat pada hari Sabtu tanggal 5
Oktober 2014.
Ayat (2)
Contoh:
Penyampaian Laporan Per Kantor dan/atau koreksi
Laporan Per Kantor untuk bulan Laporan Agustus 2014
wajib disampaikan paling lambat pada hari Jumat tanggal
5 September 2014. Dalam hal pemerintah menetapkan hari
Jumat, 5 September 2014 sebagai hari libur nasional
sehubungan dengan hari raya keagamaan (Idul Fitri, Idul
Adha …
- 30 -
Adha, Natal, Waisak dan Nyepi), maka Bank Pelapor dapat
menyampaikan Laporan Per Kantor dan/atau koreksi
Laporan Per Kantor pada Hari Kerja berikutnya yaitu hari
Senin tanggal 8 September 2014, kecuali ditetapkan lain
oleh Bank Indonesia.
Penyampaian Laporan Gabungan dan/atau koreksi
Laporan Gabungan untuk bulan Laporan Juni 2014 wajib
disampaikan paling lambat pada hari Kamis tanggal 10 Juli
2014. Dalam hal pemerintah menetapkan hari Kamis, 10
Juli 2014 sebagai hari libur nasional, namun tidak terkait
dengan hari raya keagamaan (seperti: Tahun Baru Hijriah,
Kenaikan Isa Almasih), maka Bank Pelapor tetap
menyampaikan Laporan Gabungan dan/atau koreksi
Laporan Gabungan paling lambat hari Kamis tanggal 10
Juli 2014, kecuali ditetapkan lain oleh Bank Indonesia.
Bank Indonesia akan menyampaikan penetapan hari lain
sebagai batas waktu penyampaian Laporan melalui surat
pemberitahuan dan/atau media lainnya.
Pasal 16
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan ”gangguan teknis di Bank
Pelapor” adalah gangguan yang menyebabkan Bank
Pelapor tidak dapat menyampaikan Laporan
dan/atau koreksi Laporan secara Online kepada
Bank Indonesia antara lain karena gangguan pada
sistem di intern Bank Pelapor.
Huruf d …
- 31 -
Huruf d
Yang dimaksud dengan ”gangguan teknis di Bank
Indonesia” adalah gangguan yang menyebabkan
Bank Indonesia tidak dapat menerima Laporan
dan/atau koreksi Laporan yang disampaikan secara
Online dari Bank Pelapor antara lain karena
gangguan pada jaringan telekomunikasi dan/atau
penyebab lainnya.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 17
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Contoh:
Bank A yang baru dibuka dan melakukan kegiatan
operasional pada tanggal 10 Juni 2014. Bank dikecualikan
menyampaikan Laporan secara Online paling lama 2 bulan
setelah melakukan kegiatan operasional yaitu untuk bulan
Laporan Juni 2014 sampai dengan bulan Laporan Juli 2014.
Tanggal 5 Juli 2014 yang jatuh pada hari Sabtu, merupakan
batas akhir penyampaian Laporan Per Kantor dan/atau
koreksi Laporan Per Kantor secara Online untuk bulan
Laporan Juni 2014. Bank diperkenankan menyampaikan
Laporan dan/atau koreksi Laporan Per Kantor secara Offline
paling lambat Hari Kerja berikutnya yaitu hari Senin tanggal
7 Juli 2014 pada jam kerja Bank Indonesia yang mewilayahi
Bank A.
Bank …
- 32 -
Bank B berkedudukan di daerah terpencil dan belum
tersedia fasilitas komunikasi. Tanggal 5 Agustus 2014 yang
jatuh pada hari Selasa, merupakan batas akhir
penyampaian Laporan Per Kantor dan/atau koreksi Laporan
Per Kantor secara Online untuk data bulan Juli 2014. Bank
diperkenankan menyampaikan Laporan dan/atau koreksi
Laporan Per Kantor secara Offline paling lambat hari Selasa
tanggal 5 Agustus 2014 pada jam kerja Bank Indonesia yang
mewilayahi Bank B.
Ayat (4)
Contoh:
Pada Tanggal 5 Juli 2014 yang jatuh pada hari Sabtu, Bank
A mengalami gangguan teknis atau terjadi gangguan teknis
di Bank Indonesia. Tanggal tersebut merupakan batas akhir
penyampaian Laporan Per Kantor dan/atau koreksi Laporan
Per Kantor secara Online untuk data bulan Juni 2014. Bank
diperkenankan menyampaikan Laporan Per Kantor
dan/atau koreksi Laporan Per Kantor secara Offline paling
lambat Hari Kerja berikutnya yaitu Senin tanggal 7 Juli
2014 pada jam kerja Bank Indonesia yang mewilayahi Bank
A.
Ayat (5)
Contoh:
Pada Tanggal 5 Oktober 2014 yang jatuh pada hari Minggu,
Bank A mengalami gangguan teknis atau terjadi gangguan
teknis di Bank Indonesia. Tanggal tersebut merupakan batas
akhir penyampaian Laporan Per Kantor secara Online untuk
data bulan September 2014. Bank diperkenankan
menyampaikan Laporan Per Kantor secara Offline paling
lambat Hari Kerja berikutnya yaitu hari Senin tanggal 6
Oktober 2014 pada jam kerja Bank Indonesia yang
mewilayahi Bank A. Apabila Bank A menyampaikan Laporan
Per Kantor secara Offline pada hari Selasa tanggal 7 Oktober
2014 …
- 33 -
2014, maka Bank A dinyatakan terlambat selama 1 (satu)
Hari Kerja.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Ayat (1)
Tanda terima penyampaian atas Laporan yang disampaikan
oleh Bank Pelapor secara Online atau Offline, dapat diakses
oleh Bank Pelapor melalui web penyampaian Laporan yang
dikelola oleh Bank Indonesia.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 20
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan "wilayah kerja Kantor Pusat
Bank Indonesia" adalah kantor Bank Pelapor yang
berada di wilayah Jakarta, Bogor, Tangerang, Depok,
Bekasi, Karawang, dan Banten.
Yang dimaksud dengan "jam kerja Bank Indonesia"
adalah jam kerja Bank Indonesia yang mewilayahi
Bank Pelapor.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 21
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “keadaan memaksa (force majeure)”
adalah keadaan yang secara nyata menyebabkan Bank
Pelapor tidak dapat menyusun dan menyampaikan
Laporan dan/atau koreksi Laporan, antara lain kebakaran,
kerusuhan massa, terorisme, bom, perang, sabotase, serta
bencana …
- 34 -
bencana alam seperti gempa bumi dan banjir, yang
dibenarkan oleh penguasa atau pejabat dari instansi
terkait di daerah setempat.
Contoh:
Pada bulan Juli 2014 wilayah tempat kedudukan Bank A
mengalami kebakaran yang mengakibatkan Bank tidak
dapat menyusun Laporan Per Kantor karena kehilangan
data keuangan bulan Laporan Juli 2014. Dalam hal ini,
Bank dikecualikan dari kewajiban menyampaikan Laporan
Per Kantor untuk data bulan Juli 2014 yang dilaporkan
pada bulan Agustus 2014.
Ayat (2)
Contoh:
Pada tanggal 1 sampai dengan 5 Juli 2014 terjadi banjir di
wilayah tempat kedudukan Bank A yang mengakibatkan
perusahaan terhambat menyampaikan Laporan Per Kantor
untuk bulan Laporan Juni 2014. Dalam hal ini Bank dapat
menyampaikan Laporan melewati tanggal 5 Juli 2014 dan
tidak dikenai sanksi administratif berupa denda.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Kewajiban menyampaikan pemberitahuan secara tertulis
mengenai keadaan memaksa (force majeure) tersebut, dapat
dilakukan baik oleh Bank Pelapor, kantor pusat maupun
oleh kantor lainnya yang ditunjuk.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 22
Ayat (1)
Contoh:
Laporan Per Kantor;
Tanggal …
- 35 -
Tanggal 5 Oktober 2014 jatuh pada hari Minggu. Bank A
menyampaikan Laporan Per Kantor untuk bulan Laporan
September 2014 pada hari Senin tanggal 6 Oktober 2014.
Bank A dinyatakan terlambat menyampaikan Laporan Per
Kantor selama 1 (satu) Hari Kerja, yaitu Senin tanggal 6
Oktober 2014, sehingga Bank A dikenakan sanksi sebesar
1 hari x Rp1.000.000,00 = Rp1.000.000,00 (satu juta
rupiah).
Tanggal 5 Oktober 2014 jatuh pada hari Minggu.
Bank B bertindak sebagai koordinator penyampaian
Laporan untuk 5 (lima) Kantor Cabang. Bank B
menyampaikan Laporan Per Kantor untuk bulan Laporan
September 2014 pada hari Senin tanggal 6 Oktober 2014.
Bank B dinyatakan terlambat menyampaikan Laporan Per
Kantor selama 1 (satu) Hari Kerja, yaitu Senin tanggal 6
Oktober 2014 untuk 6 (enam) Bank Pelapor, yaitu Bank B
dan kelima Kantor Cabang dibawah koordinasinya,
sehingga Bank B dikenakan sanksi sebesar 1 hari x 6 bank
pelapor x Rp 1.000.000,00 = Rp. 6.000.000,00 (enam juta
rupiah)
Laporan Gabungan;
Tanggal 10 Agustus 2014 jatuh pada hari Minggu. Bank A
menyampaikan Laporan Gabungan untuk bulan Laporan
Juli 2014 pada hari Selasa tanggal 12 Agustus 2014. Bank
A dinyatakan terlambat menyampaikan Laporan Gabungan
selama 2 (dua) Hari Kerja yaitu Senin dan Selasa (11 dan
12 Agustus 2014), sehingga Bank A dikenakan sanksi
keterlambatan penyampaian Laporan Gabungan sebesar 2
hari x Rp1.000.000,00 = Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah).
Ayat (2)
Contoh :
Koreksi Laporan Per Kantor;
Tanggal …
- 36 -
Tanggal 5 Oktober 2014 jatuh pada hari Minggu. Bank A
menyampaikan koreksi Laporan Per Kantor untuk bulan
Laporan September 2014 pada hari Senin tanggal 6
Oktober 2014. Bank A dinyatakan terlambat
menyampaikan koreksi Laporan Per Kantor selama 1 (satu)
Hari Kerja yaitu Senin tanggal 6 Oktober 2014, sehingga
Bank A dikenakan sanksi sebesar 1 hari x Rp100.000,00 =
Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah).
Koreksi Laporan Gabungan;
Tanggal 10 September 2014 jatuh pada hari Rabu. Bank A
menyampaikan koreksi Laporan Gabungan untuk bulan
Laporan Agustus 2014 pada hari Jumat tanggal 12
September 2014. Bank A dinyatakan terlambat
menyampaikan koreksi Laporan Gabungan selama 2 (dua)
Hari Kerja, yaitu Kamis dan Jumat (11 dan 12 September
2014), sehingga Bank A dikenakan sanksi keterlambatan
penyampaian koreksi Laporan Gabungan sebesar 2 hari x
Rp100.000,00 = Rp200.000,00 (dua ratus ribu rupiah).
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “per item kesalahan Laporan”
adalah kesalahan per field data.
Contoh :
Pada piutang murabahah, terdapat kesalahan pada jenis
valuta, sumber dana dan lokasi proyek, maka dihitung
sebagai 3 (tiga) item kesalahan. Atas kesalahan ini Bank
Pelapor dikenakan sanksi sebesar 3 x Rp. 50.000,00 = Rp.
150.000,00 (seratus lima puluh ribu rupiah).
Selanjutnya apabila terdapat 200 (dua ratus)
kesalahan, maka perhitungan sanksi adalah 200 x
Rp50.000,00 = Rp10.000.000 (sepuluh juta rupiah), namun
Bank hanya dikenakan sanksi maksimum, yaitu
Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah).
Ayat (4) …
item
- 37 -
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Laporan Per Kantor;
Tanggal 5 Agustus 2014 jatuh pada hari Rabu. Bank A
menyampaikan Laporan Per Kantor untuk bulan Laporan
Juli 2014 pada hari Senin tanggal 10 Agustus 2014,
sehingga Bank A dikenakan sanksi tidak menyampaikan
Laporan Per Kantor sebesar Rp50.000.000,00 (lima puluh
juta rupiah).
Laporan Gabungan;
Tanggal 10 Oktober 2014 jatuh pada hari Jumat. Bank A
menyampaikan Laporan Gabungan untuk bulan Laporan
September 2014 pada hari Rabu tanggal 15 Oktober 2014,
sehingga Bank A dikenakan sanksi tidak menyampaikan
Laporan Gabungan sebesar Rp50.000.000,00 (lima puluh
juta rupiah).
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28 …
- 38 -
Pasal 28
Huruf a
Contoh:
Laporan Per Kantor dan/atau koreksi Laporan Per Kantor
untuk bulan Laporan September 2013 disampaikan paling
lambat tanggal 15 Oktober 2013.
Huruf b
Contoh:
Laporan Gabungan dan/atau koreksi Laporan Gabungan
untuk bulan Laporan September 2013 disampaikan paling
lambat tanggal 20 Oktober 2013.
Huruf c
Contoh:
Laporan Perusahaan Anak dan/atau koreksi Laporan
Perusahaan Anak untuk bulan Laporan September 2013
disampaikan paling lambat tanggal 31 Oktober 2013.
Huruf d
Contoh:
Laporan Konsolidasi dan/atau koreksi Laporan Konsolidasi
untuk bulan Laporan September 2013 disampaikan paling
lambat tanggal 31 Oktober 2013.
Pasal 29
Huruf a
Contoh:
Penyampaian Laporan Per Kantor dan/atau koreksi
Laporan Per Kantor untuk bulan Laporan September 2013
dinyatakan terlambat apabila disampaikan mulai dari
tanggal 16 Oktober 2013 sampai dengan tanggal 17
Oktober 2013.
Huruf b
Contoh:
Penyampaian Laporan Gabungan dan/atau koreksi
Laporan Gabungan untuk bulan Laporan September 2013
dinyatakan …
- 39 -
dinyatakan terlambat apabila disampaikan mulai dari
tanggal 21 Oktober 2013 sampai dengan tanggal 22
Oktober 2013.
Huruf c
Contoh:
Penyampaian Laporan Perusahaan Anak dan/atau koreksi
Laporan Perusahaan Anak untuk bulan Laporan September
2013 dinyatakan terlambat apabila disampaikan mulai dari
tanggal 1 November 2013 sampai dengan tanggal 2
November 2013.
Huruf d
Contoh:
Penyampaian Laporan Konsolidasi dan/atau koreksi
Laporan Konsolidasi untuk bulan Laporan September 2013
dinyatakan terlambat apabila disampaikan mulai dari
tanggal 1 November 2013 sampai dengan tanggal 2
November 2013.
Pasal 30
Contoh:
Laporan Per Kantor dan/atau koreksi Laporan Per Kantor untuk
bulan Laporan September 2013 dinyatakan tidak disampaikan,
apabila Laporan dan/atau koreksi Laporan belum diterima oleh
Bank Indonesia sampai dengan tanggal 17 Oktober 2013.
Pasal 31
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Contoh:
Tanggal 15 Oktober 2013 jatuh pada hari Selasa.
Bank A menyampaikan Laporan Per Kantor periode
data bulan September 2013 pada hari Kamis tanggal
17 Oktober 2013. Bank A dinyatakan terlambat
menyampaikan …
- 40 -
menyampaikan Laporan Per Kantor selama 2 (dua)
Hari Kerja, yaitu Rabu dan Kamis (tanggal 16 dan 17
Oktober 2014), sehingga Bank A dikenakan sanksi
sebesar 2 hari x Rp1.000.000,00 = Rp2.000.000,00
(dua juta rupiah).
Huruf b
Contoh:
Tanggal 15 Oktober 2013 jatuh pada hari Selasa.
Bank A menyampaikan koreksi Laporan Per Kantor
periode data bulan September 2013 pada hari Rabu
tanggal 16 Oktober 2013. Bank A dinyatakan
terlambat menyampaikan koreksi Laporan Per Kantor
selama 1 (satu) Hari Kerja, yaitu Rabu tanggal 16
Oktober 2014, sehingga Bank A dikenakan sanksi
sebesar 1 hari x Rp100.000,00 = Rp100.000,00
(seratus ribu rupiah).
Huruf c
Contoh:
Tanggal 15 Oktober 2013 jatuh pada hari Selasa.
Bank A menyampaikan Laporan Per Kantor untuk
bulan Laporan September 2013 pada hari Jumat
tanggal 18 Oktober 2013. Bank A dinyatakan tidak
menyampaikan Laporan Per Kantor untuk bulan
Laporan September 2013, sehingga Bank A
dikenakan sanksi sebesar Rp50.000.000,00 (lima
puluh juta rupiah).
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5437
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 15/4/PBI/2013 </reg_id>
<reg_title> LAPORAN STABILITAS MONETER DAN SISTEM KEUANGAN BULANAN BANK UMUM SYARIAH DAN UNIT USAHA SYARIAH </reg_title>
<set_date> 12 Agustus 2013 </set_date>
<effective_date> 12 Agustus 2013 </effective_date>
<issued_date> 12 Agusutus 2013 </issued_date>
<replaced_reg> '13/12/PBI/2011', '5/26/PBI/2003' </replaced_reg>
<related_reg> '21/UU/2008', '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '24/UU/1999', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB VI', 'BAB VII Pasal 31 Ayat (2)' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 2 / 6 /PBI/2000
TENTANG
PERSYARATAN DAN TATA CARA PEMERIKSAAN BANK
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang :
a. bahwa bank sebagai badan usaha yang menghimpun dan
menyalurkan dana masyarakat harus mampu melindungi
kepentingan masyarakat pengguna jasa bank, serta
memelihara prinsip-prinsip dan sistem perbankan yang sehat;
b. bahwa guna mengetahui dan memastikan bank telah
melindungi kepentingan masyarakat serta memelihara
prinsip-prinsip dan sistem perbankan yang sehat, diperlukan
gambaran mengenai kebijaksanaan dan kegiatan usaha bank
yang bersifat strategis dan yang mengandung risiko;
c. bahwa guna memperoleh gambaran yang jelas, lengkap dan
akurat perlu dilakukan pemeriksaan terhadap kebijaksanaan
dan kegiatan usaha bank yang bersifat strategis dan
mengandung risiko;
d. bahwa berhubung dengan itu dipandang perlu untuk
menetapkan ketentuan tentang persyaratan dan tatacara
pemeriksaan bank dalam Peraturan Bank Indonesia;
Mengingat :
1. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Mengingat …
-2-
Lembaran Negara Nomor 3472) sebagaimana telah diubah
dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran
Negara Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3790);
2. Undang-undang No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia
(Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3843);
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PERSYARATAN
DAN TATACARA PEMERIKSAAN BANK.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Yang dimaksud dalam Peraturan Bank Indonesia ini dengan:
1. Bank adalah Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat sebagaimana dimaksud
dalam Undang-undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana
telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998, termasuk kantor
cabang bank asing;
2. Kantor Cabang Bank Asing adalah kantor dari bank yang berkedudukan di
3. luar negeri yang secara langsung atau tidak langsung bertanggung jawab kepada
kantor pusat bank yang bersangkutan, dan mempunyai alamat serta tempat
kedudukan di Indonesia;
luar …
-3-
4. Kantor Perwakilan Bank Asing adalah kantor dari bank yang berkedudukan di
luar negeri yang bertindak semata-mata sebagai penghubung antara bank yang
berkedudukan di luar negeri dengan nasabahnya;
5. Pihak Terkait adalah pihak-pihak yang mempunyai keterkaitan dengan Bank
karena merupakan:
1) pemegang saham perorangan yang memiliki saham 10% (sepuluh
perseratus) atau lebih dari modal disetor Bank;
2) pemegang saham berbentuk perusahaan/badan yang memiliki saham 10%
(sepuluh perseratus) atau lebih dari modal disetor Bank;
3) anggota dewan komisaris Bank;
4) anggota direksi Bank;
5) keluarga dari pihak-pihak tersebut dalam angka 1), angka 3) dan angka 4);
6) perorangan yang memiliki saham 25% (dua puluh lima perseratus) atau
lebih dan/atau yang mengendalikan operasional, pengawasan atau
pengambilan keputusan baik langsung maupun tidak langsung, atas
perusahaan-perusahaan sebagaimana dimaksud dalam angka 2);
7) pejabat Bank yang mempunyai fungsi eksekutif, yaitu yang mempunyai
pengaruh terhadap operasional Bank dan/atau bertanggung jawab langsung
kepada direksi termasuk pejabat Satuan Kerja Audit Intern;
8) perusahaan-perusahaan yang di dalamnya terdapat kepentingan dari pihak-
pihak dimaksud dalam angka 1) sampai dengan angka 7) di atas dengan
kepemilikan 10% (sepuluh perseratus) atau lebih dari modal disetor
perusahaan;
dengan …
9) perusahaan-perusahaan yang di dalamnya terdapat pengaruh dalam
operasional, pengawasan atau pengambilan keputusan dari pihak-
pihak sebagaimana dimaksud dalam angka 1) sampai dengan angka 7)
-4-
walaupun pihak-pihak tersebut tidak memiliki saham pada perusahaan
dimaksud;
10) anak perusahaan Bank dengan kepemilikan Bank lebih dari 25% (dua puluh
lima perseratus) dari modal disetor perusahaan dan/atau apabila Bank
mempengaruhi perusahaan tersebut;
6. Pihak Terafiliasi adalah pihak terafiliasi sebagaimana dimaksud dalam
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah
diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998;
7. Pihak Lain adalah pihak-pihak yang ditugaskan untuk dan atas nama Bank
Indonesia serta dinilai memiliki kemampuan untuk melaksanakan pemeriksaan,
misalnya akuntan publik, sebagaimana dimaksud dalam penjelasan Pasal 30
ayat (1) Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia.
BAB II
PIHAK-PIHAK YANG DIPERIKSA
Pasal 2
Bank Indonesia dapat melakukan pemeriksaan terhadap:
a. Bank; dan/atau
b. Kantor Perwakilan Bank Asing.
a. Bank ...
Pasal 3
(1) Dalam melakukan pemeriksaan terhadap Bank sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 huruf a, Bank Indonesia dapat melakukan pemeriksaan terhadap:
a. perusahaan induk dari Bank;
b. perusahaan anak dari Bank;
c. Pihak Terkait dengan Bank;
-5-
d. Pihak Terafiliasi dengan Bank;
e. debitur Bank.
(2) Pemeriksaan terhadap pihak-pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan apabila terdapat indikasi bahwa pihak-pihak tersebut antara lain:
a. memperoleh penyediaan dana dari Bank;
b. mempunyai peran dalam kegiatan operasional Bank;
c. melakukan tindakan yang menimbulkan kerugian terhadap Bank;
d. memperoleh keuntungan yang tidak wajar dari Bank;
e. mengalami kesulitan keuangan yang dapat mempengaruhi kinerja Bank.
Pasal 4
(1) Pemeriksaan terhadap Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a
terdiri dari pemeriksaan secara berkala dan pemeriksaan setiap waktu apabila
diperlukan.
(2) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pemeriksaan
terhadap aspek-aspek kegiatan usaha Bank, termasuk sarana pendukungnya
dan hal-hal lain yang berkaitan dengan keuangan Bank.
apabila ...
Pasal 5
(1) Pemeriksaan terhadap Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a
dapat dilakukan dalam rangka:
a. memperoleh gambaran menyeluruh tentang perkembangan usaha dan
keadaan keuangan Bank, termasuk mendeteksi hal-hal yang dapat
mempengaruhi tingkat kesehatan maupun kelangsungan usaha Bank;
b. mendapatkan keyakinan atas kebenaran laporan yang disampaikan oleh
-6-
Bank kepada Bank Indonesia, laporan yang dipublikasikan kepada
masyarakat, dan informasi lainnya;
c. memastikan kepatuhan Bank terhadap Peraturan Bank Indonesia,
peraturan perundang-undangan lain yang berlaku, dan pedoman, ketentuan
serta prosedur kerja yang ditetapkan Bank;
d. meneliti kebenaran atas dugaan adanya transaksi yang merupakan tindak
pidana di bidang perbankan.
(2) Pemeriksaan terhadap Kantor Perwakilan Bank Asing sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 huruf b ditujukan untuk memastikan kepatuhan Kantor
Perwakilan Bank Asing terhadap Peraturan Bank Indonesia dan peraturan
perundang-undangan lain yang berlaku.
Pasal 6
Pasal 6 ...
(1) Bank, Kantor Perwakilan Bank Asing, dan pihak-pihak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) wajib segera memperlihatkan dan/atau
memberikan kepada pemeriksa:
a. buku-buku, berkas-berkas, warkat, catatan, disposisi, memorandum,
dokumen, data elektronis, termasuk salinan-salinannya;
b. segala keterangan dan penjelasan yang berkaitan dengan kegiatan usaha
baik lisan maupun tertulis;
c. kesempatan penelitian keberadaan dan penggunaan sarana fisik yang
berkaitan dengan kegiatan usaha;
d. hal-hal lain yang diperlukan dalam pemeriksaan.
(2) Bank, Kantor Perwakilan Bank Asing dan pihak-pihak sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 ayat (1) wajib memberikan bantuan dalam rangka memperoleh
-7-
kebenaran dari segala keterangan, dokumen dan penjelasan yang didapat
pemeriksa.
(3) Bank, Kantor Perwakilan Bank Asing dan pihak-pihak sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 ayat (1) dan/atau pihak-pihak lain dilarang untuk menghambat
proses pemeriksaan serta mempengaruhi pendapat, penilaian atau hasil dari
tim pemeriksa.
BAB III
BAB III ...
PERSYARATAN BAGI PIHAK-PIHAK YANG MELAKUKAN PEMERIKSAAN
Pasal 7
(1) Pihak Lain yang dapat melakukan pemeriksaan harus berbentuk badan.
(2) Pemeriksaan dilakukan oleh tim pemeriksa yang sekurang-kurangnya terdiri
dari 2 (dua) orang.
(3) Tim pemeriksa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat terdiri dari:
a. pegawai Bank Indonesia yang ditunjuk untuk melakukan pemeriksaan;
b. Pihak Lain yang ditugaskan Bank Indonesia; atau
c. gabungan antara pegawai Bank Indonesia dan Pihak Lain.
Pasal 8
-8-
(1) Tim pemeriksa dari Pihak Lain wajib memenuhi syarat:
a. tidak termasuk dalam daftar orang tercela sesuai dengan ketentuan Bank
Indonesia;
b. bukan Pihak Terafiliasi terhadap obyek yang diperiksa;
c. memiliki sikap mental yang baik dan etika serta tanggung jawab profesi
yang tinggi;
d. bersikap independen, jujur, dan obyektif;
e. kompeten dibidangnya dan memahami peraturan perundang-undangan
perbankan yang berlaku dan peraturan perundang-undangan lainnya;
f. secara terus -menerus mengikuti program pendidikan profesi dalam
bidangnya masing-masing.
f. secara ...
(2) Penanggung jawab dari Pihak Lain harus memenuhi persyaratan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
Pasal 9
(1) Dalam hal Pihak Lain merupakan kantor akuntan publik, wajib terdaftar di
Bank Indonesia.
(2) Ketua dan mayoritas anggota tim pemeriksa dari kantor akuntan publik
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) selain memenuhi persyaratan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) wajib:
a. memiliki pengetahuan yang memadai tentang industri perbankan; dan
b. memiliki kemampuan melakukan pemeriksaan.
(3) Penanggung jawab kantor akuntan publik harus memenuhi persyaratan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2) dan dalam Pasal 8 ayat (1).
-9-
Pasal 10
(1) Dalam memberikan penugasan kepada Pihak Lain untuk melakukan
pemeriksaan, Bank Indonesia menerbitkan surat perintah kerja.
(2) Pelaksanaan pemeriksaan oleh Pihak Lain sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) wajib dilaksanakan sesuai dengan surat perintah kerja dan Terms of
Reference yang ditetapkan oleh Bank Indonesia yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari surat perintah kerja.
Pasal 11
Pasal 11 ...
(1) Tim pemeriksa wajib menyerahkan surat instruksi pemeriksaan dari Bank
Indonesia kepada pihak-pihak yang diperiksa.
(2) Bank, Kantor Perwakilan Bank Asing atau pihak-pihak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) wajib menolak tim pemeriksa yang akan
melakukan pemeriksaan tanpa menyerahkan surat instruksi pemeriksaan dari
Bank Indonesia.
Pasal 12
(1) Sebelum akhir pemeriksaan, tim pemeriksa wajib melakukan konfirmasi
dengan pimpinan Bank, pemimpin Kantor Perwakilan Bank Asing atau
pimpinan dari pihak-pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) atas
hasil pemeriksaan.
(2) Apabila setelah proses konfirmasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
masih terdapat perbedaan pendapat, pimpinan Bank, pemimpin Kantor
-10-
Perwakilan Bank Asing atau pimpinan pihak-pihak sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 ayat (1) dapat mengajukan penjelasan secara tertulis kepada
Bank Indonesia selambat-lambatnya 3 (tiga) hari kerja setelah berakhirnya
proses pemeriksaan.
Pasal 13
(1) Setelah proses pemeriksaan berakhir, tim pemeriksa menyusun laporan hasil
pemeriksaan.
(2) Bank Indonesia menyampaikan laporan hasil pemeriksaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) kepada Bank atau Kantor Perwakilan Bank Asing.
dimaksud ...
(3) Laporan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersifat
rahasia.
(4) Penggunaan laporan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
oleh pihak-pihak diluar bank harus dikonsultasikan dan memperoleh
persetujuan terlebih dahulu dari Bank Indonesia.
Pasal 14
(1) Bank dan Kantor Perwakilan Bank Asing wajib melakukan langkah-langkah
perbaikan dan/atau penyempurnaan atas hal-hal yang ditemukan dalam
pemeriksaan serta melaporkan perbaikan yang dilakukan kepada Bank
Indonesia.
(2) Apabila dipandang perlu, Bank Indonesia dapat melakukan pemeriksaan untuk
memastikan kebenaran laporan hasil perbaikan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1).
-11-
BAB IV
PEMERIKSAAN OLEH PIHAK ASING
Pasal 15
(1) Pemeriksaan terhadap Kantor Cabang Bank Asing oleh otoritas pengawas
bank di negara asal atau yang mewakili otoritas pengawas bank di negara asal
kantor pusat Bank yang bersangkutan, hanya dapat dilakukan setelah
memperoleh izin dari Bank Indonesia.
(2) Permohonan ...
(2) Permohonan izin kepada Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) wajib disampaikan secara tertulis selambat-lambatnya 14 (empat belas)
hari sebelum pemeriksaan.
(3) Persetujuan atau penolakan atas permohonan izin sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) diberikan selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari sejak surat
permohonan diterima secara lengkap.
(4) Bank Indonesia dapat meminta kepada pemeriksa sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), agar dalam pemeriksaan sekaligus memeriksa hal-hal yang
dibutuhkan oleh Bank Indonesia.
(5) Pemberian izin pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
dengan menganut azas timbal balik.
Pasal 16
(1) Pemeriksaan terhadap Kantor Cabang Bank Asing di Indonesia yang dilakukan
oleh pemeriksa intern atau kantor akuntan publik yang ditugaskan kantor pusat
Bank yang bersangkutan wajib diberitahukan terlebih dahulu kepada Bank
-12-
Indonesia.
(2) Pemeriksaan terhadap Bank yang sebagian sahamnya dimiliki bank asing yang
dilakukan oleh pemeriksa yang ditugaskan oleh bank asing yang menjadi
pemegang saham Bank wajib diberitahukan terlebih dahulu kepada Bank
Indonesia.
Pasal 17
(1) Pemeriksaan terhadap Bank yang sebagian sahamnya dimiliki bank asing
yang dilakukan oleh otoritas pengawas bank atau yang mewakili otoritas
pengawas bank di negara asal pihak asing yang bersangkutan hanya dapat
dilakukan setelah memperoleh izin dari Bank Indonesia.
(2) Permohonan izin kepada Bank Indonesia wajib disampaikan secara tertulis
oleh pihak yang melakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari sebelum pemeriksaan.
(3) Persetujuan atau penolakan atas permohonan izin sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) diberikan selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari sejak surat
permohonan diterima secara lengkap.
(4) Pemberian izin pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
dengan menganut azas timbal balik.
Pasal 18
(1) Tim pemeriksa yang melakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam
-13-
Pasal 15, Pasal 16 dan Pasal 17 wajib melapor dan menyampaikan hasil
pemeriksaan kepada Bank Indonesia segera setelah pemeriksaan berakhir.
(2) Kantor Cabang Bank Asing dan Bank yang sebagian sahamnya dimiliki bank
asing yang diperiksa oleh tim pemeriksa sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
wajib menyampaikan hasil pemeriksaan kepada Bank Indonesia segera setelah
hasil pemeriksaan diperoleh.
BAB V
RAHASIA BANK
Pasal 19
BAB V ...
(1) Pihak Lain, pihak-pihak yang melakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 15, Pasal 16, dan Pasal 17 serta pihak-pihak yang mengetahui
hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, wajib
merahasiakan keterangan dan data yang diperoleh dalam pemeriksaan.
(2) Kewajiban merahasiakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku pula
bagi petugas yang ditugaskan Pihak Lain atau pihak-pihak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 15, Pasal 16, dan Pasal 17.
BAB VI
ALAMAT PENYAMPAIAN LAPORAN, PEMBERITAHUAN
DAN IZIN PEMERIKSAAN
Pasal 20
Laporan-laporan, pemberitahuan serta permohonan izin pemeriksaan sebagaimana
diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini disampaikan kepada Bank Indonesia
-14-
dengan alamat:
a. Direktorat Pengawasan Bank, Jl. M.H. Thamrin No.2 Jakarta 10110, sesuai
dengan Direktorat yang mengawasi Bank yang bersangkutan, bagi Bank yang
berkantor pusat di wilayah kerja Bank Indonesia Jakarta;
b. Kantor Bank Indonesia setempat bagi Bank yang berkantor pusat di wilayah
kerja Kantor Bank Indonesia.
BAB VII
SANKSI
Pasal 21
(1) Perusahaan induk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) yang tidak
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 akan diberi
peringatan tertulis sebanyak 2 (dua) kali masing-masing dengan tenggang
waktu 7 (tujuh) hari oleh Bank Indonesia;
(2) Apabila setelah diberikan peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) namun perusahaan induk tetap tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Bank Indonesia akan meminta
pengalihan kepemilikan perusahaan induk pada pihak lain.
Pasal 22
(1) Perusahaan anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) yang tidak
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, akan diberi
peringatan tertulis sebanyak 2 (dua) kali masing-masing dengan tenggang
waktu 7 (tujuh) hari oleh Bank Indonesia;
(2) Apabila setelah diberikan peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) namun perusahaan anak tetap tidak memenuhi ketentuan
-15-
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Bank Indonesia meminta kepada Bank
untuk melepaskan kepemilikannya pada perusahaan anak selambat-lambatnya
180 (seratus delapan puluh) hari sejak tanggal peringatan terakhir.
Pasal 23
(1) Debitur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) yang tidak memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, akan diberi peringatan
tertulis sebanyak 2 (dua) kali masing-masing dengan tenggang waktu 7
(tujuh) hari oleh Bank Indonesia;
(2) Apabila setelah diberikan peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) namun debitur tetap tidak memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6, Bank Indonesia meminta kepada Bank dimaksud
untuk:
a. tidak melanjutkan pemberian fasilitas kepada debitur yang
bersangkutan;
b. tidak memberikan fasilitas dalam bentuk apapun kepada debitur yang
bersangkutan; dan/atau
c. mengkaji kembali penggolongan kualitas dari fasilitas debitur yang
bersangkutan.
Pasal 24
(1) Anggota dewan komisaris, direksi, pimpinan Kantor Cabang Bank Asing,
pemimpin Kantor Perwakilan Bank Asing, serta pihak-pihak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) yang tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, akan diberi peringatan tertulis
-16-
sebanyak 2 (dua) kali masing-masing dengan tenggang waktu 7 (tujuh) hari
oleh Bank Indonesia;
(2) Apabila setelah diberikan peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), namun anggota dewan komisaris, direksi, pimpinan Kantor Cabang
Bank Asing, pemimpin Kantor Perwakilan Bank Asing, serta pihak-pihak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) tetap tidak memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Bank Indonesia dapat
mengenakan sanksi administratif berupa:
a. pemberhentian anggota dewan komisaris dan/atau direksi dan selanjutnya
menunjuk dan mengangkat pengganti sementara sampai Rapat Umum
Pemegang Saham atau Rapat Anggota Koperasi mengangkat pengganti
tetap dengan persetujuan Bank Indonesia;
b. peninjauan kembali persetujuan Bank Indonesia atas pengangkatan
sebagai pimpinan Kantor Cabang Bank Asing dan/atau pemimpin Kantor
Perwakilan Bank Asing;
c. pencantuman dalam daftar orang tercela dibidang perbankan; dan/atau
d. merekomendasikan pencabutan atau pembatalan izin usaha oleh instansi
yang berwenang.
Pasal 25
(1) Pihak Lain yang oleh Bank Indonesia dinilai tidak melaksanakan tugasnya
sesuai dengan surat perintah kerja dan Terms of Reference sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 10, akan diberi peringatan tertulis oleh Bank
Indonesia.
-17-
(2) Setelah diberikan peringatan tertulis sebanyak 2 (dua) kali dalam tenggang
waktu 3 (tiga) hari, namun Pihak Lain sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) tetap tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
10, Bank Indonesia dapat mengenakan sanksi berupa:
a. pemutusan hubungan kerja secara sepihak tanpa ganti rugi;
b. denda sebesar biaya yang dikeluarkan dalam rangka penyelesaian tugas
oleh Pihak Lain;
ayat (1) ...
c. merekomendasikan pencabutan atau pembatalan izin usaha kepada
instansi yang berwenang; dan/atau
d. bagi akuntan publik dikeluarkan dari daftar akuntan yang tercatat di Bank
Indonesia.
Pasal 26
Bank yang tidak menyampaikan laporan perbaikan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 14 ayat (1) dapat dikenakan sanksi administratif antara lain berupa:
a. teguran tertulis;
b. penurunan tingkat kesehatan Bank; dan/atau
c. pemberhentian anggota dewan komisaris dan/atau direksi dan selanjutnya
menunjuk dan mengangkat pengganti sementara sampai Rapat Umum
Pemegang Saham atau Rapat Anggota Koperasi mengangkat pengganti tetap
dengan persetujuan Bank Indonesia.
Pasal 27
Kantor Cabang Bank Asing dan Bank yang sebagian sahamnya dimiliki oleh bank
asing yang tidak menyampaikan Laporan hasil pemeriksaan sebagaimana
dimaksud ...
-18-
dimaksud dalam Pasal 18 setelah diberikan peringatan tertulis sebanyak 2 (dua)
kali dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari dapat dikenakan sanksi administratif
antara lain berupa:
a. pemberhentian anggota dewan komisaris dan/atau direksi dan selanjutnya
menunjuk dan mengangkat pengganti sementara sampai Rapat Umum
Pemegang Saham atau Rapat Anggota Koperasi mengangkat pengganti tetap
dengan persetujuan Bank Indonesia;
b. peninjauan kembali persetujuan Bank Indonesia atas pengangkatan sebagai
pimpinan Kantor Cabang Bank Asing; dan/atau
c. pencantuman dalam daftar orang tercela dibidang perbankan.
Pasal 28
Pihak-pihak yang tidak mematuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
19 dikenakan sanksi administratif antara lain berupa:
a. merekomendasikan pencabutan atau pembatalan izin usaha kepada instansi
yang berwenang; atau
b. bagi akuntan publik, dikeluarkan dari daftar akuntan yang tercatat di Bank
Indonesia.
BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 29
Dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini maka:
BAB VIII ...
-19-
1. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 27/52/KEP/DIR tanggal 3
Agustus 1994 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemeriksaan Bank;
2. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 27/1/BPPP tanggal 3 Agustus 1994
tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemeriksaan Bank;
3. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 5/155/UPPB/PbB tanggal 15 Februari
1973 tentang Pemeriksaan oleh Pejabat-Pejabat Pemeriksa dari Luar Negeri
terhadap Bank-Bank Asing di Indonesia;
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 30
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 21 Pebruari 2000
GUBERNUR BANK INDONESIA
SYAHRIL SABIRIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2000 NOMOR 19
DPNP
-20-
-21-
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 2 / 6 /PBI/2000
TENTANG
PERSYARATAN DAN TATACARA PEMERIKSAAN BANK
I. UMUM
Dalam melindungi kepentingan masyarakat dan memelihara prinsip-prinsip
dan sistem perbankan yang sehat diperlukan gambaran mengenai kebijakan dan
keadaan bank yang bersifat strategis dan mengandung resiko. Untuk memperoleh
gambaran tersebut perlu dilakukan pemeriksaan terhadap bank baik yang bersifat
umum maupun khusus. Agar gambaran tersebut dapat diperoleh secara menyeluruh
dan komprehensif, pemeriksaan dapat dilakukan terhadap pihak-pihak tertentu
yang mempunyai andil baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap risiko
yang dihadapi bank dalam melakukan kegiatan usahanya. Pihak-pihak lain tersebut
meliputi perusahaan induk, perusahaan anak, pihak terkait, pihak terafiliasi
dan/atau debitur bank.
Dalam rangka meningkatkan efektifitas dan efisiensi pemeriksaan, Bank
Indonesia dapat melakukan pemeriksaan baik dengan menggunakan tenaga Bank
Indonesia maupun dengan menggunakan jasa pihak lain seperti akuntan publik.
Untuk mencapai hal tersebut diperlukan adanya ketentuan yang mengatur
mengenai persyaratan dan tatacara pemeriksaan bank.
II. PASAL …
-22-
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Angka 1
Ketentuan mengenai Bank Umum berpedoman pada ketentuan Bank
Indonesia tentang Bank Umum dan ketentuan Bank Indonesia
tentang Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah.
Ketentuan mengenai Bank Perkreditan Rakyat berpedoman pada
ketentuan Direksi Bank Indonesia tentang Bank Perkreditan Rakyat
dan ketentuan Bank Indonesia tentang Bank Perkreditan Rakyat
Berdasarkan Prinsip Syariah.
Angka 2
Ketentuan mengenai Kantor Cabang Bank Asing berpedoman pada
ketentuan Bank Indonesia tentang Persyaratan dan Tata Cara
Pembukaan Kantor Cabang, Kantor Cabang Pembantu, dan Kantor
Perwakilan dari Bank yang Berkedudukan di Luar Negeri.
Angka 3
Ketentuan mengenai Kantor Perwakilan Bank Asing berpedoman
pada ketentuan Bank Indonesia tentang Persyaratan dan Tata Cara
Pembukaan Kantor Cabang, Kantor Cabang Pembantu, dan Kantor
Perwakilan dari Bank yang Berkedudukan di Luar Negeri.
Angka 4
Ketentuan mengenai Pihak Terkait berpedoman pada ketentuan
Bank Indonesia tentang Batas Maksimum Pemberian Kredit.
Angka 5
Angka 5 …
-23-
Cukup jelas
Angka 6
Cukup jelas
Pasal 2
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Pasal 3
Ayat (1)
Apabila dipandang perlu pemeriksaan oleh Bank Indonesia dapat
dilakukan di luar jam kerja.
Huruf a
Perusahaan induk adalah perusahaan yang secara langsung
atau tidak langsung memiliki saham Bank.
Huruf b
Perusahaan anak adalah perusahaan yang seluruh atau
sebagian sahamnya dimiliki Bank.
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Huruf d …
Debitur Bank adalah pihak yang memperoleh fasilitas kredit
atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah atau bentuk lain
yang dipersamakan dengan itu berdasarkan perjanjian Bank
dengan nasabah yang bersangkutan.
Ayat (2)
Pemeriksaan terhadap perusahaan induk dari Bank, perusahaan anak
-24-
dari Bank, Pihak Terkait dengan Bank, Pihak Terafiliasi dengan Bank,
dan debitur Bank dimaksudkan agar diperoleh gambaran yang
menyeluruh mengenai kondisi Bank, termasuk risiko yang mungkin
akan mempengaruhi Bank. Pemeriksaaan tersebut merupakan bagian
dari pemeriksaan terhadap Bank.
Pasal 4
Ayat (1)
Pada dasarnya pemeriksaan yang dilakukan oleh Bank Indonesia
dilaksanakan secara berkala sekurang-kurangnya satu tahun sekali
untuk setiap Bank. Di samping itu, pemeriksaan dapat dilakukan
setiap waktu jika dipandang perlu untuk meyakinkan hasil
pengawasan tidak langsung dan apabila terdapat indikasi adanya
penyimpangan dari praktik perbankan yang sehat.
Ayat (2) …
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan sarana pendukung antara lain mencakup
-25-
jaringan telekomunikasi dan komputer beserta softwarenya.
Pasal 5
Ayat (1)
Selain mencakup aspek keuangan, pemeriksaan juga dapat mencakup
penilaian kemampuan dan kepatutan (fit and proper test) terhadap
pemegang saham pengendali, pengurus, dan pejabat eksekutif Bank.
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Yang dimaksud dengan informasi lain adalah informasi yang
diperoleh dari sumber lain.
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Dalam hal ini, Bank dapat sebagai sasaran atau sarana tindak
pidana.
Bank sebagai sasaran tindak pidana, misalnya Bank sebagai
korban pembobolan bank, transfer fiktif melalui teleks atau
fax, dan lain-lain, yang pada akhirnya dapat merugikan Bank.
Bank sebagai sarana tindak pidana, misalnya
penghimpunan …
penghimpunan dana masyarakat yang tidak dicatat dalam
pembukuan Bank.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan Peraturan Bank Indonesia yang berlaku
-26-
antara lain adalah ketentuan tentang Persyaratan dan Tata Cara
Pembukaan Kantor Cabang, Kantor Cabang Pembantu, dan Kantor
Perwakilan dari Bank Yang Berkedudukan Di Luar Negeri serta
ketentuan tentang Sistem Informasi Debitur.
Pasal 6
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan Bank, Kantor Perwakilan Bank Asing, dan
pihak-pihak lain adalah termasuk dewan komisaris, direksi, pimpinan
Kantor Cabang Bank Asing, pimpinan Kantor Perwakilan Bank
Asing, dan pegawai yang langsung bertanggung jawab.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 7
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Penugasan Pihak Lain oleh Bank Indonesia dapat
Ayat (2) …
-27-
dilakukan dengan cara :
a. lelang;
b. penunjukan langsung dengan syarat antara lain :
(1) Bank Indonesia memerlukan adanya bantuan yang
berhubungan dengan keahlian khusus;
(2) keterbatasan waktu.
Huruf c
Dalam hal tim gabungan terdiri dari pegawai Bank Indonesia
dan Pihak Lain yang ditugasi Bank Indonesia, maka ketua tim
pemeriksa adalah pegawai Bank Indonesia.
Pasal 8
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 9
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 10
-28-
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Terms of Reference memuat antara lain :
a. tujuan dan ruang lingkup pemeriksaan;
b. jangka waktu pelaksanaan;
c. penyusunan Laporan Hasil Pemeriksaan;
d. teknik dan etika pemeriksaan;
e. jumlah dan kualifikasi tenaga pemeriksa yang digunakan;
f. kerahasiaan pemeriksaan;
g. kertas kerja pemeriksaan;
Pasal 11
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 12
Ayat (1)
Konfirmasi dilakukan dalam pertemuan antara tim pemeriksa
dengan pimpinan pihak-pihak yang diperiksa dan hasilnya dituangkan
dalam risalah pertemuan yang ditandatangani oleh kedua belah
pihak.
Ayat (2)
Ayat (2) …
-29-
Pengajuan penjelasan disampaikan oleh pihak-pihak yang diperiksa
kepada Bank Indonesia cq. Direktorat Pemeriksaan Bank terkait
secara tertulis dan wajib dilampiri dengan bukti dan dokumen
pendukung.
Pasal 13
Ayat (1)
Laporan hasil pemeriksaan akan digunakan oleh Bank Indonesia
sebagai bahan pengawasan Bank yang diperiksa antara lain melalui
pembahasan intensif dengan pengurus Bank dalam pertemuan
wawancara.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Laporan hasil pemeriksaan dimaksudkan sebagai alat pembinaan
dalam rangka peningkatan kinerja Bank. Oleh karena itu pengurus
dan pegawai Bank tidak diperkenankan untuk menyebarluaskan data
dan/atau informasi yang terdapat dalam laporan hasil pemeriksaan.
Ayat (3) …
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 14
Ayat (1)
-30-
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 15
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Ayat (5) …
Dalam hal Bank Indonesia tidak diperkenankan untuk melakukan
pemeriksaan di suatu negara, maka terhadap negara tersebut akan
diterapkan perlakuan yang sama, demikian pula sebaliknya.
Pasal 16
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 17
Ayat (1)
-31-
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Dalam hal Bank Indonesia tidak diperkenankan untuk melakukan
pemeriksaan di suatu negara, maka terhadap negara tersebut akan
diterapkan perlakuan yang sama, demikian pula sebaliknya.
Pasal 18
Ayat (1)
Pasal 18 …
Hasil pemeriksaan disampaikan dalam bahasa Indonesia atau bahasa
Inggris.
Laporan hasil pemeriksaan disampaikan dan dibahas dalam
pertemuan dengan Direktorat Pengawasan Bank yang membidangi.
Ayat (2)
Hasil pemeriksaan disampaikan dalam bahasa Indonesia atau bahasa
Inggris.
Ayat (2) …
Pasal 19
Ayat (1)
Cukup jelas
-32-
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 20
Cukup jelas
Pasal 21
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup Jelas
Pasal 22
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 23
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (2) …
-33-
Pasal 24
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 25
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Besarnya pengenaan denda akan dicantumkan dalam
perjanjian kerja antara Bank Indonesia dengan Pihak Lain
tersebut.
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Bank Indonesia akan mencantumkan daftar akuntan yang
tercatat di Bank Indonesia dalam internet Bank Indonesia.
Pasal 26
Cukup jelas
Pasal 27
Ayat (2) …
-34-
Cukup jelas
Pasal 28
Cukup jelas
Pasal 29
Cukup jelas
Pasal 30 …
Pasal 30
Cukup jelas
-35-
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3933
DPNP
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 2/6/PBI/2000 </reg_id>
<reg_title> PERSYARATAN DAN TATA CARA PEMERIKSAAN BANK </reg_title>
<set_date> 21 Pebruari 2000 </set_date>
<effective_date> 21 Pebruari 2000 </effective_date>
<replaced_reg> '5/155/UPPB/PbB|SE-BI/1973', '27/52/KEP/DIR|SKDIR-BI/1994', '27/1/BPPP|SE-BI/1994' </replaced_reg>
<related_reg> '23/UU/1999', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB VII' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 17/23/PBI/2015
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 16/10/PBI/2014 TENTANG
PENERIMAAN DEVISA HASIL EKSPOR
DAN PENARIKAN DEVISA UTANG LUAR NEGERI
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa dalam rangka meningkatkan pemanfaatan devisa
utang luar negeri sebagai sumber dana yang
berkesinambungan bagi pembangunan ekonomi nasional
diperlukan penguatan pemantauan atas kegiatan
penarikan devisa utang luar negeri;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, perlu melakukan perubahan
atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 16/10/PBI/2014
tentang Penerimaan Devisa Hasil Ekspor dan Penarikan
Devisa Utang Luar Negeri;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah
beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6
Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
- 2 -
Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun
1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4962);
2. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu
Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 67, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3844);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 16/10/PBI/2014
TENTANG PENERIMAAN DEVISA HASIL EKSPOR DAN
PENARIKAN DEVISA UTANG LUAR NEGERI.
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor
16/10/PBI/2014 tentang Penerimaan Devisa Hasil Ekspor
dan Penarikan Devisa Utang Luar Negeri (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 98, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5534) diubah
sebagai berikut:
1. Ketentuan Pasal 13 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 13
(1) Setiap penarikan DULN wajib diterima oleh Debitur
ULN melalui Bank Devisa.
(2) Debitur ULN yang menerima DULN sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus menyampaikan
informasi penerimaan DULN kepada Bank Devisa
secara akurat.
- 3 -
(3) DULN yang diterima oleh Debitur ULN sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib dilaporkan oleh
Debitur ULN kepada Bank Indonesia.
2. Di antara Pasal 13 dan Pasal 14 disisipkan 1 (satu) pasal,
yakni Pasal 13A yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 13A
(1) Kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13
ayat (1) berlaku bagi DULN yang berbentuk dana
yang berasal dari:
a. ULN berdasarkan perjanjian kredit (loan
agreement) dalam bentuk nonrevolving;
b. ULN berdasarkan surat utang (debt securities).
(2) Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga
termasuk DULN yang berasal dari selisih antara nilai
ULN baru dengan tujuan refinancing terhadap nilai
ULN lama.
3. Ketentuan Pasal 14 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 14
(1) Nilai akumulasi penerimaan DULN harus sama
dengan nilai komitmen ULN.
(2) Dalam hal nilai akumulasi penerimaan DULN
melalui Bank Devisa lebih kecil dari nilai komitmen
ULN dengan selisih kurang lebih besar dari
ekuivalen Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah),
Debitur ULN harus menyampaikan penjelasan
tertulis dan dokumen pendukung yang memadai
kepada Bank Indonesia.
(3) Dalam hal selisih kurang sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) berjumlah paling banyak ekuivalen
Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah), Debitur
ULN tidak perlu menyampaikan penjelasan tertulis
dan dokumen pendukung.
- 4 -
(4) Penjelasan tertulis dan dokumen pendukung
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus
disampaikan kepada Bank Indonesia paling lambat
sebelum berakhirnya jangka waktu ULN.
4. Di antara Pasal 14 dan Pasal 15 disisipkan 1 (satu) pasal,
yakni Pasal 14A yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 14A
(1) Nilai setiap penerimaan DULN melalui Bank Devisa
harus sama dengan nilai setiap penarikan ULN.
(2) Dalam hal nilai setiap penerimaan DULN melalui
Bank Devisa lebih kecil dari nilai setiap penarikan
ULN dengan selisih kurang lebih besar dari
ekuivalen Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah),
nilai penerimaan DULN dianggap sama dengan nilai
penarikan ULN apabila Debitur ULN menyampaikan
dokumen pendukung yang memadai kepada Bank
Indonesia.
(3) Dalam hal selisih kurang sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) berjumlah paling banyak ekuivalen
Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah), nilai
penerimaan DULN dianggap sama dengan nilai
penarikan ULN dan Debitur ULN tidak perlu
menyampaikan dokumen pendukung.
(4) Dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) wajib disampaikan kepada Bank Indonesia
paling lambat akhir bulan berikutnya setelah tanggal
penarikan ULN.
5. Ketentuan Pasal 15 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 15
(1) Penerimaan DULN yang dilaporkan ke Bank
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13
ayat (3) disampaikan melalui laporan realisasi dan
- 5 -
posisi ULN sebagaimana dimaksud dalam ketentuan
Bank Indonesia mengenai pelaporan kegiatan lalu
lintas devisa.
(2) Penyampaian laporan penerimaan DULN
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disertai
dokumen pendukung yang dapat membuktikan
bahwa penerimaan DULN telah dilakukan melalui
Bank Devisa.
(3) Dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) disampaikan kepada Bank Indonesia paling
lambat tanggal 15 bulan berikutnya setelah tanggal
penarikan ULN.
6. Ketentuan Pasal 16 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 16
(1) Dokumen pendukung sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 14 ayat (2) dapat disampaikan kepada Bank
Indonesia dalam bentuk softcopy melalui e-mail atau
media lainnya.
(2) Dokumen pendukung sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 14A ayat (2) dan Pasal 15 ayat (2) dapat
disampaikan kepada Bank Indonesia dalam bentuk
softcopy melalui e-mail atau media lainnya.
(3) Dalam hal hari terakhir penyampaian dokumen
pendukung jatuh pada hari Sabtu, Minggu, hari
libur, dan/atau cuti bersama yang ditetapkan oleh
Bank Indonesia, penyampaian dokumen pendukung
dapat disampaikan pada Hari berikutnya.
(4) Pelapor DULN dinyatakan tidak menyampaikan
dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) apabila dokumen pendukung tidak
disampaikan sampai dengan batas waktu yang
ditentukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14A
ayat (4) dan Pasal 15 ayat (3).
- 6 -
(5) Dalam hal Pelapor DULN tidak menyampaikan
dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada
ayat (4), Pelapor DULN dianggap tidak melakukan
kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13
ayat (1).
7. Ketentuan Pasal 21 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 21
(1) Debitur ULN yang melakukan pelanggaran terhadap
kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13
ayat (1) dikenakan sanksi administratif berupa
denda sebesar 0,25% (nol koma dua puluh lima
persen) dari setiap nilai penarikan ULN yang tidak
diterima melalui Bank Devisa, dengan nominal
paling banyak sebesar Rp50.000.000,00 (lima puluh
juta rupiah).
(2) Selain dikenakan sanksi administratif berupa denda,
Debitur ULN yang melakukan pelanggaran terhadap
kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13
ayat (1) dapat dikenakan sanksi administratif
berupa:
a.
teguran tertulis; dan/atau
b. pemberitahuan kepada:
1. kreditor yang bersangkutan di luar negeri;
dan/atau
2.
instansi yang berwenang.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara
pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan ayat (2) diatur dalam Surat Edaran Bank
Indonesia.
8. Di antara Pasal 24 dan Pasal 25 disisipkan 2 (dua) pasal,
yakni Pasal 24A dan Pasal 24B yang berbunyi sebagai
berikut:
- 7 -
Pasal 24A
(1) Debitur ULN yang telah dikenakan sanksi
administratif berupa denda sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 21 ayat (1), dapat diberikan
pembebasan sanksi administratif berupa denda.
(2) Pembebasan sanksi administratif berupa denda
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dilakukan setelah Debitur ULN menyampaikan bukti
pemenuhan kewajiban penerimaan DULN dan
berdasarkan penelitian Bank Indonesia, Debitur ULN
tidak melakukan pelanggaran terhadap kewajiban
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1).
Pasal 24B
(1) Permohonan untuk pembebasan sanksi
administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal
24A harus disampaikan kepada Bank Indonesia
dalam batas waktu tertentu.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai batas waktu
tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan Surat Edaran Bank Indonesia.
9. Di antara Bab VI dan Bab VII disisipkan 1 (satu) Bab,
yakni Bab VIA yang berbunyi sebagai berikut:
BAB VIA
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 26A
Dalam hal terdapat permasalahan terkait penerapan
kewajiban penerimaan DHE dan DULN yang berdampak
strategis, Bank Indonesia dapat mengambil kebijakan
tertentu dengan tetap memperhatikan ketentuan
sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini
dan peraturan perundang-undangan lainnya.
- 8 -
Pasal II
1. Penarikan DULN yang berasal dari perjanjian ULN yang
ditandatangani sebelum berlakunya Peraturan Bank
Indonesia ini tetap mengacu pada Peraturan Bank
Indonesia Nomor 16/10/PBI/2014 tentang Penerimaan
Devisa Hasil Ekspor dan Penarikan Devisa Utang Luar
Negeri (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014
Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5534) sampai dengan berakhirnya
perjanjian ULN dimaksud, kecuali untuk penarikan
DULN yang berasal dari penambahan plafon ULN karena
adanya perubahan perjanjian (amandemen) yang
ditandatangani setelah berlakunya Peraturan Bank
Indonesia ini.
2. Ketentuan mengenai pengenaan sanksi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 21 mulai berlaku untuk penarikan
ULN yang dilakukan sejak tanggal 1 Maret 2016.
3. Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal
2 Januari 2016.
- 9 -
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 23 Desember 2015
GUBERNUR BANK INDONESIA,
AGUS D.W. MARTOWARDOJO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 28 Desember 2015
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2015 NOMOR 374
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 17/23/PBI/20152015
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 16/10/PBI/2014 TENTANG
PENERIMAAN DEVISA HASIL EKSPOR
DAN PENARIKAN DEVISA UTANG LUAR NEGERI
I. UMUM
Pemenuhan kewajiban atas peraturan ini oleh Debitur DULN
membutuhkan penyempurnaan, baik terkait mekanisme pemantauan
penerimaan DULN maupun keakuratan informasi yang disampaikan
Debitur DULN kepada Bank Devisa.
Oleh karena itu, pemantauan penerimaan DULN perlu diperkuat
antara lain dengan memonitor setiap penerimaan DULN tanpa menunggu
penarikan ULN terakhir. Selain itu dipandang perlu untuk mengharuskan
Debitur ULN untuk menyampaikan informasi mengenai penerimaan DULN
secara akurat kepada Bank Devisa.
Perubahan ketentuan ini diharapkan dapat meningkatkan efektivitas
mekanisme pamantauan DULN dan tingkat kepatuhan Debitur ULN
terhadap kewajiban penerimaan DULN melalui Bank Devisa.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal I
Angka 1
Pasal 13
- 2 -
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Debitur ULN harus menyampaikan informasi kepada
Bank Devisa bahwa transaksi penerimaan (incoming
transfer) yang terjadi merupakan penerimaan DULN
dari penarikan ULN yang dilakukan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Angka 2
Pasal 13A
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “DULN yang berbentuk dana”
dalam ayat ini adalah DULN yang diterima dalam
bentuk selain barang dan jasa.
Huruf a
Yang dimaksud dengan ”perjanjian kredit (loan
agreement)” adalah perjanjian tertulis yang berisi
syarat dan kondisi pinjaman yang antara lain
mengatur besarnya plafon kredit, suku bunga,
jangka waktu, dan cara-cara pelunasannya.
Yang dimaksud dengan ”perjanjian kredit (loan
agreement) dalam bentuk nonrevolving” adalah
perjanjian kredit (loan agreement) yang tidak
memperbolehkan akumulasi penarikan ULN
melebihi komitmen.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “surat utang (debt
securities)” adalah surat pengakuan utang yang
dapat diperdagangkan di pasar uang atau pasar
modal di dalam maupun di luar negeri, antara lain
dalam bentuk Bonds, Medium Term Notes (MTN),
Floating Rate Notes (FRN), Promissory Notes (PN),
dan Commercial Paper (CP).
- 3 -
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan ”ULN baru” adalah ULN
berdasarkan perjanjian kredit (loan agreement) dan
surat utang (debt securities).
Yang dimaksud dengan ”ULN lama” adalah ULN
berdasarkan perjanjian kredit (loan agreement), surat
utang (debt securities), dan utang dagang (trade credit)
dalam bentuk barang.
Contoh 1:
PT FZ memperoleh ULN sebesar USD20,000,000.00
(dua puluh juta dolar Amerika Serikat) dari kreditur RF
di Singapura untuk refinancing ULN lama dengan
jumlah outstanding yang sama yaitu sebesar
USD20,000,000.00 (dua puluh juta dolar Amerika
Serikat) yang diterima dari kreditur AA di Singapura.
Pertimbangan PT FZ melakukan refinancing tersebut
karena adanya tawaran suku bunga yang lebih rendah
serta term & condition yang lebih longgar. Oleh karena
tidak ada selisih antara nilai ULN baru dengan tujuan
refinancing terhadap nilai ULN lama, PT FZ tidak
diwajibkan menerima DULN melalui Bank Devisa.
Contoh 2:
PT AK memperoleh ULN yang berasal dari penerbitan
obligasi sebesar USD30,000,000.00 (tiga puluh juta
dolar Amerika Serikat) di Singapura. ULN tersebut
dipergunakan untuk refinancing ULN lama dengan
jumlah outstanding sebesar USD20,000,000.00 (dua
puluh juta dolar Amerika Serikat) yang diterima dari
kreditur Bank AT di Singapura dan untuk tambahan
modal kerja sebesar USD10,000,000.00 (sepuluh juta
dolar Amerika Serikat). Selisih antara nilai ULN baru
dengan tujuan refinancing terhadap nilai ULN lama,
yaitu sebesar USD10,000,000.00 (sepuluh juta dolar
Amerika Serikat) wajib diterima melalui Bank Devisa.
Angka 3
Pasal 14
- 4 -
Ayat (1)
Nilai akumulasi penerimaan DULN dihitung dengan
cara menjumlahkan seluruh penerimaan DULN sampai
dengan berakhirnya jangka waktu ULN.
Ayat (2)
Penjelasan tertulis merupakan pernyataan pihak
perusahaan yang menjelaskan adanya selisih kurang
antara nilai akumulasi penerimaan DULN dengan nilai
komitmen ULN.
Dokumen pendukung dinilai memadai apabila
dokumen tersebut dapat membuktikan penyebab
terjadinya selisih kurang antara nilai akumulasi
penerimaan DULN dengan nilai komitmen ULN, antara
lain biaya konsultan, biaya provisi, dan biaya transfer.
Dokumen pendukung antara lain berupa bank
statement dan creditor statement.
Contoh:
PT ZA memperoleh ULN dalam bentuk loan agreement
dari kreditur AO di Jepang dalam mata uang JPY
sebesar ekuivalen Rp750.000.000,00 (tujuh ratus lima
puluh juta rupiah). Diperjanjikan bahwa penarikan
dilakukan sebanyak 5 (lima) kali sampai dengan
berakhirnya jangka waktu loan agreement, yaitu
tanggal 31 Desember 2017. Sampai dengan penarikan
yang terakhir atau ke-5, jumlah penerimaan DULN
tercatat sebesar ekuivalen Rp650.000.000,00 (enam
ratus lima puluh juta rupiah). Dengan demikian,
terdapat selisih kurang antara nilai akumulasi
penerimaan DULN dengan nilai komitmen ULN sebesar
ekuivalen Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah). PT
ZA harus menyampaikan penjelasan tertulis dan
dokumen pendukung yang memadai kepada Bank
Indonesia yang dapat membuktikan penyebab
terjadinya selisih kurang tersebut.
Ayat (3)
Contoh:
- 5 -
PT DA memperoleh ULN dalam bentuk loan agreement
dari kreditur CE di Singapura dalam mata uang USD
sebesar ekuivalen Rp500.000.000,00 (lima ratus juta
rupiah). Diperjanjikan bahwa penarikan dilakukan
sebanyak 5 (lima) kali sampai dengan berakhirnya
jangka waktu loan agreement. Sampai dengan
penarikan yang terakhir atau ke-5, jumlah penerimaan
DULN tercatat sebesar ekuivalen Rp475.000.000,00
(empat ratus tujuh puluh lima juta rupiah). Dengan
demikian, terdapat selisih kurang antara nilai
akumulasi penerimaan DULN dengan nilai komitmen
ULN sebesar ekuivalen Rp25.000.000,00 (dua puluh
lima juta rupiah). Selisih kurang antara nilai
akumulasi penerimaan DULN dengan nilai komitmen
ULN tersebut di bawah Rp50.000.000,00 (lima puluh
juta rupiah) sehingga PT DA tidak perlu
menyampaikan penjelasan tertulis dan dokumen
pendukung kepada Bank Indonesia.
Ayat (4)
Contoh:
PT ZA sebagaimana contoh pada penjelasan ayat (2)
harus menyampaikan penjelasan tertulis dan dokumen
pendukung paling lambat sebelum tanggal 31
Desember 2017.
Angka 4
Pasal 14A
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Dokumen pendukung dinilai memadai apabila
dokumen tersebut dapat membuktikan penyebab
terjadinya selisih kurang antara nilai setiap
penerimaan DULN melalui Bank Devisa dengan nilai
setiap penarikan ULN, antara lain biaya konsultan,
biaya provisi, dan biaya transfer. Dokumen pendukung
- 6 -
antara lain berupa bank statement dan creditor
statement.
Contoh:
PT AB memperoleh ULN dalam bentuk loan agreement
dari kreditur IS di Jepang dalam mata uang JPY
sebesar ekuivalen Rp5.000.000.000,00 (lima miliar
rupiah). Pada penarikan kedua tanggal 1 Juni 2017,
nilai penarikan ULN dilaporkan sebesar ekuivalen
Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Sementara
itu, nilai penerimaan DULN melalui Bank Devisa
tercatat sebesar ekuivalen Rp400.000.000,00 (empat
ratus juta rupiah). Dengan demikian, terdapat selisih
kurang antara nilai penerimaan DULN melalui Bank
Devisa dengan nilai penarikan ULN sebesar ekuivalen
Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Dalam hal ini,
nilai penerimaan DULN dianggap sama dengan nilai
penarikan ULN apabila PT AB menyampaikan
dokumen pendukung yang memadai kepada Bank
Indonesia.
Ayat (3)
Contoh:
PT SN memperoleh ULN dalam bentuk loan agreement
dari kreditur FH di Singapura dalam mata uang USD
sebesar ekuivalen Rp1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah). Pada penarikan pertama, nilai penarikan ULN
dilaporkan sebesar ekuivalen Rp250.000.000,00 (dua
ratus lima puluh juta rupiah). Sementara itu, nilai
penerimaan DULN melalui Bank Devisa tercatat
sebesar ekuivalen Rp225.000.000,00 (dua ratus dua
puluh lima juta rupiah). Dengan demikian, terdapat
selisih kurang antara nilai penerimaan DULN melalui
Bank Devisa dengan nilai penarikan ULN sebesar
ekuivalen Rp25.000.000,00 (dua puluh lima juta
rupiah). Oleh karena selisih kurang tersebut di bawah
Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah), nilai
penerimaan DULN dianggap sama dengan nilai
- 7 -
penarikan ULN dan PT SN tidak perlu menyampaikan
dokumen pendukung kepada Bank Indonesia.
Ayat (4)
Contoh:
PT AB sebagaimana contoh pada penjelasan ayat (2)
harus menyampaikan dokumen pendukung paling
lambat sebelum tanggal 31 Juli 2017.
Angka 5
Pasal 15
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Dokumen pendukung antara lain berupa bukti transfer
dan/atau SWIFT message.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Angka 6
Pasal 16
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Contoh:
PT FP memperoleh ULN dalam bentuk loan agreement
dari kreditur DM di Jerman dalam mata uang EUR
sebesar ekuivalen Rp1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah). Pada tanggal 1 Juni 2017, PT FP melaporkan
bahwa dilakukan penarikan seluruh ULN tersebut.
Sementara itu, nilai penerimaan DULN melalui Bank
Devisa tercatat sebesar ekuivalen Rp800.000.000,00
- 8 -
(delapan ratus juta rupiah). Dengan demikian, terdapat
selisih kurang antara nilai penerimaan DULN melalui
Bank Devisa dengan nilai penarikan ULN sebesar
ekuivalen Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
Apabila PT FP tidak menyampaikan dokumen
pendukung yang memadai sampai dengan tanggal 31
Juli 2017, PT FP dianggap tidak melakukan
penerimaan DULN melalui Bank Devisa sebesar
ekuivalen Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
Angka 7
Pasal 21
Ayat (1)
Contoh 1:
PT JD memperoleh ULN dari penerbitan surat utang di
Jerman sebesar ekuivalen Rp1.500.000.000,00 (satu
miliar lima ratus juta rupiah). Akan tetapi, ULN
tersebut tidak diterima melalui Bank Devisa.
Berdasarkan contoh tersebut, PT JD dikenakan sanksi
administratif berupa denda sebesar 0,25% X
Rp1.500.000.000,00 = Rp3.750.000,00 (tiga juta tujuh
ratus lima puluh ribu rupiah).
Contoh 2:
PT AW memperoleh ULN dalam bentuk loan agreement
dari kreditur AZ di Inggris sebesar ekuivalen
Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah). Pada
penarikan pertama, jumlah ULN yang ditarik
dilaporkan sebesar ekuivalen Rp50.000.000.000,00
(lima puluh miliar rupiah). Sementara itu, nilai
penerimaan DULN melalui Bank Devisa tercatat
sebesar ekuivalen Rp20.000.000.000,00 (dua puluh
miliar rupiah). Sedangkan sisanya sebesar ekuivalen
Rp30.000.000.000,00 (tiga puluh miliar rupiah)
disimpan di bank di luar negeri.
Berdasarkan contoh tersebut, perhitungan sanksi
administratif berupa denda adalah sebesar 0,25% X
Rp30.000.000.000,00 = Rp75.000.000,00 (tujuh puluh
- 9 -
lima juta rupiah). Mengingat denda tersebut lebih
besar dari Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah),
PT AW hanya dikenakan sanksi administratif berupa
denda sebesar Rp50.000.000,00 (lima puluh juta
rupiah).
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Angka 1
Cukup jelas.
Angka 2
Yang dimaksud dengan “instansi yang
berwenang” antara lain Otoritas Jasa
Keuangan dan kementerian yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang badan usaha milik negara.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Angka 8
Pasal 24A
Cukup jelas.
Pasal 24B
Ayat (1)
Bank Indonesia tidak memproses pengajuan
permohonan untuk pembebasan sanksi administratif
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24A yang
disampaikan setelah berakhirnya batas waktu tertentu
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Ayat (2)
Cukup jelas.
Angka 9
Pasal 26A
Cukup jelas.
- 10 -
Pasal II
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5814
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 17/23/PBI/2015 </reg_id>
<reg_title> PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 16/10/PBI/2014 TENTANG PENERIMAAN DEVISA HASIL EKSPOR DAN PENARIKAN DEVISA UTANG LUAR NEGERI </reg_title>
<set_date> 23 Desember 2015 </set_date>
<effective_date> 2 Januari 2016 </effective_date>
<issued_date> 28 Desember 2015 </issued_date>
<changed_reg> '16/10/PBI/2014' </changed_reg>
<related_reg> '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '24/UU/1999' </related_reg>
<penalty_list> 'Pasal I Angka 7 Pasal 21', 'Pasal I Angka 8 Pasal 24A' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 14/ 16 /PBI/2012
TENTANG
FASILITAS PENDANAAN JANGKA PENDEK
BAGI BANK UMUM
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang: a. bahwa kondisi makro ekonomi dan stabilitas sektor
keuangan saat ini cukup terjaga dan perlu
dipertahankan dalam rangka memelihara stabilitas
sistem keuangan dan stabilitas sistem perbankan
serta menjaga kepercayaan masyarakat terhadap
perbankan;
b. bahwa dalam rangka memelihara stabilitas sistem
keuangan dan stabilitas sistem perbankan serta
menjaga kepercayaan masyarakat terhadap
perbankan tetap diperlukan upaya untuk
mengatasi kesulitan likuiditas jangka pendek;
c. bahwa upaya untuk mengatasi kesulitan likuiditas
jangka pendek dapat ditempuh melalui upaya
penyediaan fasilitas pendanaan jangka pendek
kepada bank;
d. bahwa …
- 2 -
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c perlu
mengatur kembali Peraturan Bank Indonesia
tentang Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek Bagi
Bank Umum;
Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 tentang
Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun
1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3790);
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang
Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3843) sebagaimana telah
diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-
Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua
atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang
Bank Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4962);
MEMUTUSKAN …
- 3 -
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG FASILITAS
PENDANAAN JANGKA PENDEK BAGI BANK UMUM.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Bank Indonesia adalah Bank Sentral Republik Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur
mengenai Bank Indonesia.
2. Bank adalah Bank Umum yang melaksanakan kegiatan usaha
secara konvensional sebagaimana dimaksud dalam Undang-
undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang perbankan sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998,
tidak termasuk kantor cabang dari bank yang berkedudukan di
luar negeri.
3. Giro Wajib Minimum yang selanjutnya disingkat GWM adalah
GWM Primer dalam rupiah sebagaimana diatur dalam ketentuan
Bank Indonesia mengenai giro wajib minimum Bank Umum pada
Bank Indonesia dalam rupiah dan valuta asing.
4. Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek, yang selanjutnya disingkat
FPJP, adalah fasilitas pendanaan dari Bank Indonesia kepada
Bank untuk mengatasi Kesulitan Pendanaan Jangka Pendek yang
dialami oleh Bank.
5. Kesulitan …
- 4 -
5. Kesulitan Pendanaan Jangka Pendek adalah keadaan yang dialami
Bank yang disebabkan oleh terjadinya arus dana masuk yang
lebih kecil dibandingkan dengan arus dana keluar (mismatch)
dalam rupiah sehingga Bank tidak dapat memenuhi kewajiban
GWM.
6. Sertifikat Bank Indonesia yang untuk selanjutnya disingkat SBI
adalah surat berharga dalam mata uang rupiah yang diterbitkan
oleh Bank Indonesia sebagai pengakuan utang berjangka waktu
pendek.
7. Sertifikat Bank Indonesia Syariah yang untuk selanjutnya
disingkat SBIS adalah surat berharga berdasarkan Prinsip Syariah
berjangka waktu pendek dalam mata uang rupiah yang diterbitkan
oleh Bank Indonesia.
8. Surat Berharga Negara yang selanjutnya disingkat SBN adalah
Surat Utang Negara dan Surat Berharga Syariah Negara.
9. Surat Utang Negara yang selanjutnya disingkat SUN adalah surat
berharga yang berupa surat pengakuan utang dalam mata uang
rupiah maupun valuta asing yang dijamin pembayaran bunga dan
pokoknya oleh Negara Republik Indonesia, sesuai dengan masa
berlakunya, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang
berlaku.
10. Surat Berharga Syariah Negara yang selanjutnya disingkat SBSN,
atau yang dapat disebut Sukuk Negara adalah surat berharga
negara yang diterbitkan berdasarkan prinsip syariah, sebagai
bukti atas penyertaan terhadap aset SBSN, baik dalam mata uang
rupiah maupun valuta asing, sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang yang berlaku.
11. Aset …
- 5 -
11. Aset Kredit adalah kredit sebagaimana diatur dalam ketentuan
Bank Indonesia mengenai penilaian kualitas aset Bank Umum.
BAB II
PERSYARATAN DAN TATA CARA PERMOHONAN FPJP
Pasal 2
(1) Bank yang mengalami Kesulitan Pendanaan Jangka Pendek dapat
mengajukan permohonan untuk memperoleh FPJP apabila
memiliki rasio kewajiban penyediaan modal minimum paling
rendah 8% (delapan persen) dan memenuhi modal sesuai dengan
profil risiko Bank.
(2) Bank mengajukan plafon FPJP berdasarkan perkiraan jumlah
kebutuhan likuiditas sampai dengan Bank memenuhi GWM sesuai
dengan ketentuan yang berlaku.
(3) Pencairan FPJP dilakukan sebesar kebutuhan Bank untuk
memenuhi kewajiban GWM.
Pasal 3
FPJP wajib dijamin oleh Bank dengan agunan yang berkualitas tinggi
dengan nilai sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini.
Pasal 4
(1) Agunan yang berkualitas tinggi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 berupa:
a. surat berharga; dan/atau
b. Aset Kredit.
(2) Jenis …
- 6 -
(2) Jenis surat berharga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
berupa:
a. SBI dan SBIS;
b. SBN; dan/atau
c. surat berharga yang diterbitkan oleh badan hukum lain yang
pada saat permohonan FPJP memiliki peringkat paling rendah
peringkat investasi (investment grade), aktif diperdagangkan,
dan sisa jangka waktu surat berharga paling singkat 90
(sembilan puluh) hari.
(3) Surat berharga sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c
hanya dapat digunakan sebagai agunan FPJP dalam hal:
a. Bank tidak memiliki surat berharga sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) huruf a dan/atau huruf b; atau
b. Bank memiliki surat berharga sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) huruf a dan/atau huruf b namun tidak mencukupi
untuk menjadi agunan FPJP.
(4) Aset Kredit yang dapat dijadikan agunan FPJP sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b wajib memenuhi kriteria sebagai
berikut:
a. kualitas tergolong lancar selama 12 (dua belas) bulan terakhir
berturut-turut;
b. bukan merupakan kredit konsumsi kecuali kredit pemilikan
rumah (KPR);
c. kredit dijamin dengan agunan tanah dan/atau bangunan
dengan nilai paling rendah 140% (seratus empat puluh persen)
dari plafon kredit;
d. bukan merupakan kredit kepada pihak terkait Bank;
e. kredit …
- 7 -
e. kredit belum pernah direstrukturisasi;
f. sisa jangka waktu jatuh tempo kredit paling singkat 12 (dua
belas) bulan dari saat persetujuan FPJP;
g. baki debet (outstanding) kredit tidak melebihi batas
maksimum pemberian kredit pada saat diberikan dan tidak
melebihi plafon kredit; dan
h. memiliki perjanjian kredit dan pengikatan agunan yang
mempunyai kekuatan hukum.
(5) Aset Kredit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b hanya
dapat digunakan sebagai agunan FPJP dalam hal Bank tidak
memiliki surat berharga atau surat berharga yang dimiliki oleh
Bank tidak mencukupi untuk menjadi agunan FPJP.
(6) Dalam hal setelah memperoleh FPJP yang dijamin oleh sebagian
atau seluruhnya dengan Aset Kredit, Bank memiliki surat
berharga yang memenuhi syarat untuk menjadi agunan FPJP,
Bank wajib mengganti Aset Kredit yang diagunkan dengan surat
berharga tersebut.
Pasal 5
(1) Nilai aset yang digunakan sebagai agunan FPJP sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ditetapkan sebagai berikut:
a. nilai agunan sebesar 100% (seratus persen) dari plafon FPJP
yang dihitung berdasarkan nilai jual surat berharga, dalam hal
agunan berupa SBI;
b. nilai agunan sebesar 100% (seratus persen) dari plafon FPJP
yang dihitung berdasarkan nilai nominal surat berharga, dalam
hal agunan berupa SBIS;
c. nilai …
- 8 -
c. nilai agunan paling rendah sebesar 105% (seratus lima persen)
dari plafon FPJP yang dihitung berdasarkan nilai pasar surat
berharga, dalam hal agunan berupa SBN;
d. nilai agunan sesuai dengan jenis surat berharga, paling rendah
sebesar 120% (seratus dua puluh persen) dari plafon FPJP
yang dihitung berdasarkan nilai pasar surat berharga, dalam
hal agunan berupa surat berharga yang diterbitkan oleh badan
hukum lain; dan
e. nilai agunan paling rendah sebesar 200% (dua ratus persen)
dari plafon FPJP yang dihitung berdasarkan baki debet
(outstanding) Aset Kredit, dalam hal agunan berupa Aset
Kredit.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai nilai jual dan nilai pasar
sebagaimana tersebut pada ayat (1) huruf a, huruf c, dan huruf d
diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 6
(1) Agunan FPJP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) harus
bebas dari segala bentuk perikatan, sengketa, dan tidak sedang
dijaminkan kepada pihak lain dan/atau Bank Indonesia, yang
dinyatakan dalam surat pernyataan Bank kepada Bank Indonesia.
(2) Bank yang telah memperoleh FPJP dilarang untuk
memperjualbelikan dan/atau menjaminkan kembali surat
berharga yang masih dalam status sebagai agunan FPJP.
(3) Bank …
- 9 -
(3) Bank wajib mengganti dan/atau menambah agunan FPJP apabila
tidak memenuhi kondisi-kondisi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan ayat (2).
(4) Bank wajib melakukan penilaian terhadap agunan FPJP secara
berkala dalam periode tertentu.
(5) Bank wajib menambah dan/atau mengganti agunan FPJP,
apabila:
a. terjadi penurunan nilai surat berharga berupa SBN dan surat
berharga yang diterbitkan oleh badan hukum lain
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf c dan
huruf d; dan/atau
b. Aset Kredit yang diagunkan tidak memenuhi kriteria
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (4) dan/atau terjadi
penurunan nilai Aset Kredit sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 ayat (1) huruf e.
(6) Untuk keperluan perpanjangan FPJP, Bank dapat menjaminkan
kembali aset yang sedang menjadi agunan FPJP.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai periode penilaian agunan FPJP
diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 7
(1) Bank Indonesia dapat menetapkan:
a. penambahan persentase tertentu dari nilai agunan surat
berharga berupa SBN dan surat berharga yang diterbitkan oleh
badan hukum lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1)
huruf c dan huruf d; dan/atau
b. batas …
- 10 -
b. batas persentase penurunan nilai agunan surat berharga berupa
SBN dan surat berharga yang diterbitkan oleh badan hukum lain
yang lebih tinggi dari persentase sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 ayat (1) huruf c dan huruf d.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penambahan persentase tertentu
dan batas persentase penurunan nilai agunan surat berharga
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Surat Edaran
Bank Indonesia.
Pasal 8
(1) Bank wajib memelihara dan menatausahakan daftar Aset Kredit
yang memenuhi persyaratan untuk menjadi agunan FPJP.
(2) Bank wajib menyampaikan laporan daftar Aset Kredit
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Bank Indonesia
setiap 6 (enam) bulan sekali, yaitu untuk posisi akhir bulan Juni
dan akhir bulan Desember, paling lambat tanggal 15 (lima belas)
setelah posisi akhir bulan bersangkutan.
(3) Untuk pertama kali, laporan daftar Aset Kredit disampaikan untuk
posisi bulan Juni 2013.
(4) Bank dapat menyampaikan laporan nihil apabila tidak memiliki
aset kredit yang memenuhi persyaratan sebagai agunan FPJP atau
tidak mengalokasikan aset kredit sebagai agunan untuk
mengantisipasi kebutuhan FPJP.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyampaian daftar
Aset Kredit dan dokumen pendukungnya diatur dalam Surat
Edaran Bank Indonesia.
Pasal …
- 11 -
Pasal 9
(1) Pengikatan agunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1)
dilakukan sesuai dengan peraturan perundangan-undangan yang
berlaku.
(2) Dokumen-dokumen atas aset yang menjadi agunan FPJP
ditatausahakan oleh Bank Indonesia.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk pengikatan agunan diatur
dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 10
(1) Permohonan FPJP wajib diajukan oleh Bank secara tertulis kepada
Bank Indonesia.
(2) Permohonan FPJP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilengkapi
dengan dokumen-dokumen sebagai berikut:
a. surat pernyataan Bank yang menyatakan bahwa Bank
mengalami Kesulitan Pendanaan Jangka Pendek;
b. dokumen yang mendukung jumlah kebutuhan untuk
mengatasi Kesulitan Pendanaan Jangka Pendek;
c. daftar aset yang menjadi agunan beserta dokumen
pendukung;
d. surat pernyataan bahwa seluruh aset yang menjadi agunan
FPJP tidak sedang dijaminkan kepada pihak lain, tidak
dibawah sitaan, tidak tersangkut dalam suatu perkara atau
sengketa, dan memenuhi seluruh persyaratan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4; dan
e. surat kesanggupan Bank untuk membayar segala kewajiban
terkait FPJP pada saat jatuh tempo.
(3) Bank …
- 12 -
(3) Bank wajib meyakini kebenaran data dan dokumen yang
disampaikan termasuk namun tidak terbatas pada kualitas kredit
dan agunan yang menyertainya.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara permohonan FPJP
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Surat Edaran
Bank Indonesia.
Pasal 11
(1) Jangka waktu setiap FPJP paling lama 14 (empat belas) hari
kalender.
(2) Jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
diperpanjang secara berturut-turut dengan jangka waktu FPJP
keseluruhan paling lama 90 (sembilan puluh) hari kalender.
Pasal 12
Bank dapat mengajukan permohonan perpanjangan FPJP sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2), dengan ketentuan sebagai berikut:
a. bunga atas FPJP yang jatuh tempo dilunasi terlebih dahulu;
b. Bank tidak dapat memenuhi kewajiban GWM berdasarkan
perkiraan arus kas selama 14 (empat belas) hari ke depan;
c. agunan masih mencukupi dan memenuhi persyaratan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6.
Pasal …
- 13 -
Pasal 13
Bank dapat mengajukan tambahan nilai FPJP yang dibutuhkan dalam
hal Bank masih memiliki Kesulitan Pendanaan Jangka Pendek
sepanjang:
a. agunan masih mencukupi dan memenuhi persyaratan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 5 dan Pasal 6; dan
b. penggunaan FPJP belum melampaui 90 (sembilan puluh) hari
kalender berturut-turut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11
ayat (2).
BAB III
PERSETUJUAN DAN PENCAIRAN FPJP
Pasal 14
(1) Persetujuan Bank Indonesia atas permohonan FPJP sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1), perpanjangan FPJP
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, dan/atau penambahan
FPJP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dilakukan apabila:
a. Bank memenuhi persyaratan permohonan FPJP;
b. Bank memenuhi persyaratan kelengkapan dokumen
permohonan FPJP; dan
c. berdasarkan analisis Bank Indonesia diperkirakan bahwa
Bank tidak dapat memenuhi kewajiban GWM berdasarkan
perkiraan arus kas paling lama 14 (empat belas) hari kalender
ke depan.
(2) Persetujuan pemberian FPJP sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dituangkan dalam perjanjian pemberian FPJP antara Bank
Indonesia dengan Bank penerima FPJP.
(3) Perjanjian …
- 14 -
(3) Perjanjian pemberian FPJP sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dilampiri dengan perjanjian pengikatan agunan FPJP.
(4) Realisasi pemberian FPJP oleh Bank Indonesia dilakukan melalui
rekening giro rupiah Bank yang bersangkutan pada Bank
Indonesia.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai perjanjian pemberian FPJP diatur
dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 15
Bank Indonesia menolak permohonan FPJP sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 10 dalam hal Bank yang mengajukan permohonan FPJP
tidak memenuhi ketentuan, tata cara dan persyaratan yang diatur
dalam Peraturan Bank Indonesia ini.
Pasal 16
Bank Indonesia menolak permohonan perpanjangan FPJP sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 12 dan/atau permohonan penambahan FPJP
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, apabila:
a. permohonan perpanjangan FPJP dan/atau permohonan
penambahan FPJP tidak sesuai dengan ketentuan, tata cara dan
persyaratan yang diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini;
dan/atau
b. Bank penerima FPJP mengalami perkembangan yang memburuk,
permasalahan likuiditas mendasar, dan/atau mengalami
perubahan status sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai penetapan status dan tindak
lanjut pengawasan Bank.
Pasal …
- 15 -
Pasal 17
(1) Bank Indonesia menghentikan pencairan FPJP dan/atau mengakhiri
perjanjian FPJP sebelum jatuh waktu dalam hal terjadi pelanggaran
persyaratan FPJP oleh Bank.
(2) Penghentian pencairan FPJP dan/atau pengakhiran perjanjian FPJP
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang disebabkan karena
pelanggaran persyaratan agunan FPJP, dilakukan setelah tindakan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (5) ditempuh.
BAB IV
PERHITUNGAN BUNGA
Pasal 18
(1) Bank Indonesia mengenakan biaya bunga kepada Bank atas
realisasi penggunaan FPJP.
(2) Tingkat suku bunga FPJP sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
adalah sebesar repurchase agreement (repo) rate ditambah dengan
100 (seratus) basis poin.
BAB V
PELUNASAN DAN EKSEKUSI AGUNAN
Pasal 19
(1) Bank Indonesia mendebet rekening giro Rupiah Bank penerima
FPJP di Bank Indonesia dalam hal:
a. sebelum FPJP jatuh tempo dan saldo rekening giro Bank di
Bank Indonesia melebihi kewajiban GWM, paling tinggi sebesar
nilai pokok FPJP yang telah diterima Bank;
b. FPJP …
- 16 -
b. FPJP jatuh tempo, sebesar nilai pokok dan bunga FPJP;
dan/atau
c. FPJP diakhiri sebelum perjanjian jatuh tempo, sebesar nilai
pokok dan bunga FPJP.
(2) Dalam hal saldo giro Rupiah Bank penerima FPJP di Bank
Indonesia tidak mencukupi untuk membayar pokok dan bunga
FPJP maka Bank Indonesia melakukan eksekusi agunan FPJP.
(3) Bank Indonesia tetap mengenakan biaya bunga sampai dengan
eksekusi agunan selesai dilaksanakan.
(4) Apabila nilai hasil eksekusi agunan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) lebih kecil dibandingkan dengan jumlah pokok dan bunga
FPJP yang harus dilunasi oleh Bank maka Bank wajib membayar
kekurangannya kepada Bank Indonesia.
(5) Apabila nilai hasil eksekusi agunan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) lebih besar dibandingkan dengan jumlah pokok dan bunga
FPJP yang harus dilunasi oleh Bank maka Bank Indonesia
mengembalikan kelebihan tersebut kepada Bank.
BAB VI
BIAYA PEMBERIAN FPJP
Pasal 20
Biaya-biaya yang timbul sehubungan dengan pengikatan perjanjian,
pengikatan dan eksekusi agunan serta biaya lainnya yang mungkin
timbul dalam rangka pemberian FPJP menjadi beban Bank.
BAB …
- 17 -
BAB VII
PENGAWASAN
Pasal 21
Dalam rangka pengawasan terhadap penggunaan FPJP, Bank wajib:
a. menyampaikan laporan kepada Bank Indonesia mengenai
penggunaan FPJP, kondisi likuiditas Bank, pemantauan
pemenuhan persyaratan FPJP dan persyaratan agunan FPJP pada
setiap akhir hari kerja.
b. menyampaikan rencana tindak perbaikan (remedial action plan)
untuk mengatasi Kesulitan Pendanaan Jangka Pendek paling lama
5 (lima) hari kerja setelah pencairan FPJP.
Pasal 22
Bank Indonesia melakukan pemeriksaan atas penggunaan FPJP yang
diberikan kepada Bank.
BAB VIII
SANKSI
Pasal 23
Dalam hal Bank tidak melunasi FPJP dan/atau melakukan
pelanggaran atas ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia ini, Bank
dikenakan sanksi berupa:
a.
tidak dapat menerima FPJP dalam jangka waktu tertentu;
dan/atau
b. sanksi …
- 18 -
b. sanksi administratif sebagaimana diatur dalam Pasal 52 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10
Tahun 1998 antara lain berupa teguran tertulis, larangan untuk
turut serta dalam kegiatan kliring, pembekuan kegiatan usaha
tertentu dan/atau pemberhentian Pengurus Bank.
Pasal 24
Pengurus Bank, Pemegang Saham Pengendali dan pejabat eksekutif
Bank yang dengan sengaja tidak melaksanakan langkah-langkah
yang diperlukan untuk memastikan ketaatan Bank terhadap
ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia ini dan/atau memberikan
keterangan atau dokumen yang diwajibkan dalam Peraturan Bank
Indonesia ini secara tidak benar, selain dikenakan sanksi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 23 huruf b juga dikenakan sanksi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 49 dan Pasal 50 Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998.
BAB …
- 19 -
BAB IX
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 25
Ketentuan lebih lanjut mengenai FPJP diatur dalam Surat Edaran
Bank Indonesia.
Pasal 26
Pada saat Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku maka:
a. Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/26/PBI/2008 tentang
Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek Bagi Bank Umum (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 160, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4912); dan
b. Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/30/PBI/2008 tentang
Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/26/PBI/2008
tentang Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek Bagi Bank Umum
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 175,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4923),
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 27
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan
Agar ...
- 20 -
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 23 November 2012
GUBERNUR BANK INDONESIA,
DARMIN NASUTION
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 23 November 2012
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
AMIR SYAMSUDIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2012 NOMOR 259
DPNP/DPM
- 21 -
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 14/16 /PBI/2012
TENTANG
FASILITAS PENDANAAN JANGKA PENDEK
BAGI BANK UMUM
I. UMUM
Perkembangan terkini mengindikasikan terpeliharanya kondisi
ekonomi makro dan stabilitas sistem keuangan serta cukup kuatnya
sistem perbankan dalam menghadapi tekanan sehingga tetap mampu
berkembang cukup pesat yang berkontribusi terhadap pertumbuhan
perekonomian. Namun demikian, sebagai konsekuensi dari globalisasi,
sistem keuangan domestik terekspos terhadap perekonomian global,
yang di satu sisi mendorong pesatnya perkembangan pasar, namun di
sisi lain dapat meningkatkan risiko pada sistem keuangan dan sistem
perbankan.
Berdasarkan pengalaman di masa lalu, tekanan terhadap sistem
perbankan secara langsung akan tercermin pada keketatan likuiditas
yang terjadi secara mendadak. Apabila tidak diatasi secara cepat, Bank
dapat mengalami liquidity mismatch sehingga tidak mampu memenuhi
kewajiban GWM.
Dalam rangka mengantisipasi terdapatnya tekanan terhadap
sistem perbankan yang bersumber dari keketatan likuiditas, perlu
diberikan akses bagi Bank untuk memperoleh Fasilitas Pendanaan
Jangka Pendek dari Bank Indonesia sebagai lender of the last resort.
Pengaturan …
- 22 -
Pengaturan kembali Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek
diharapkan dapat memelihara kepercayaan masyarakat serta menjaga
integritas sistem perbankan secara khusus dan sistem keuangan
secara menyeluruh.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Ayat (1)
Penetapan besarnya rasio kewajiban penyediaan modal
minimum mengacu kepada pemenuhan modal minimum
sesuai profil risiko sebagaimana dimaksud dalam ketentuan
Bank Indonesia yang mengatur mengenai kewajiban
penyediaan modal minimum bagi Bank Umum.
Rasio kewajiban penyediaan modal minimum yang digunakan
adalah berdasarkan perhitungan terkini Bank Indonesia.
Ayat (2)
Perkiraan Bank atas jumlah kebutuhan likuiditas didasarkan
pada proyeksi arus kas paling lama 14 (empat belas) hari
kalender ke depan.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan kewajiban GWM adalah kewajiban
GWM berdasarkan perhitungan Bank Indonesia.
Pasal …
- 23 -
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “surat berharga yang diterbitkan
oleh badan hukum lain” adalah obligasi korporasi baik
yang konvensional maupun yang syariah.
Yang dimaksud dengan ”peringkat investasi” adalah hasil
penilaian lembaga pemeringkat yang diakui Bank Indonesia
sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia
mengenai lembaga pemeringkat dan peringkat yang diakui
Bank Indonesia.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Huruf a
Kualitas tergolong lancar adalah sebagaimana diatur
dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai penilaian
kualitas aset Bank Umum.
Huruf …
- 24 -
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Nilai agunan yang digunakan adalah nilai terendah
antara nilai taksasi dan nilai pasar. Penilaian agunan
dilakukan sesuai ketentuan Bank Indonesia mengenai
penilaian kualitas aset Bank Umum, termasuk namun
tidak terbatas pada batasan kredit yang agunannya
harus dinilai oleh penilai independen, kriteria penilai
independen, dan waktu dilakukannya penilaian.
Huruf d
Yang dimaksud dengan ”pihak terkait” adalah pihak
terkait sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai batas maksimum
pemberian kredit Bank Umum.
Huruf e
Yang dimaksud dengan ”restrukturisasi” adalah
restrukturisasi sebagaimana dimaksud dalam ketentuan
Bank Indonesia yang mengatur mengenai penilaian
kualitas aset Bank Umum.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Batas maksimum pemberian kredit mengacu pada
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
batas maksimum pemberian kredit Bank Umum.
Huruf …
- 25 -
Huruf h
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Penggantian atau penambahan agunan FPJP dimaksudkan
agar nilai aset agunan FPJP sesuai dengan ketentuan Pasal 5.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal …
- 26 -
Pasal 7
Ayat (1)
Penambahan persentase tertentu dan batas persentase
penurunan nilai agunan surat berharga dilakukan untuk
mengantisipasi fluktuasi nilai pasar surat berharga.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 8
Ayat (1)
Pemeliharaan dan penatausahaan daftar Aset Kredit dilakukan
terhadap Aset Kredit yang akan dialokasikan oleh Bank
sebagai agunan dalam rangka mengantisipasi kebutuhan FPJP
dengan agunan berupa Aset Kredit.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 9
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku antara lain adalah peraturan yang mengatur gadai
atau fidusia.
Ayat …
- 27 -
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan ”dokumen-dokumen atas aset yang
menjadi agunan FPJP” antara lain perjanjian kredit antara
Bank dengan nasabah, bukti pengikatan agunan, dan bukti
kepemilikan atas aset yang menjadi agunan kredit Bank.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 10
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Dokumen pendukung antara lain berupa perjanjian
kredit antara Bank dengan nasabah dan perjanjian
pengikatan agunan atas kredit tersebut dan dokumen
lain yang dapat membuktikan terpenuhinya persyaratan
agunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Ayat …
- 28 -
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 11
Ayat (1)
Apabila saat jatuh tempo FPJP bertepatan pada hari Sabtu,
Minggu atau hari libur, maka saat jatuh tempo FPJP adalah
pada hari kerja berikutnya.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 12
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Dalam rangka pelaksanaan perpanjangan FPJP, agunan yang
telah diagunkan Bank untuk menjamin FPJP yang diterima
Bank sebelumnya akan dinilai kembali, sehingga Bank perlu
menyesuaikan jumlah agunan yang diserahkan untuk
menjamin perpanjangan FPJP.
Pasal …
- 29 -
Pasal 13
Tambahan nilai FPJP yang diajukan akan diakumulasikan
terhadap nilai FPJP yang belum dilunasi.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan ”mengalami perkembangan yang
memburuk” adalah apabila arah rasio GWM Bank semakin
menurun.
Yang dimaksud dengan ”permasalahan likuiditas mendasar”
antara lain adalah posisi arus kas yang semakin memburuk
sebagai akibat maturity mismatch yang besar terutama pada
skala waktu jangka pendek.
Pasal …
- 30 -
Pasal 17
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan pelanggaran persyaratan FPJP adalah
pelanggaran atas persyaratan Bank penerima FPJP dan
persyaratan agunan FPJP.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 18
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “repurchase agreement (repo) rate”
adalah tingkat suku bunga Lending Facility sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur
mengenai operasi moneter.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Biaya antara lain berupa biaya notaris untuk pengikatan
perjanjian dan pengikatan agunan dalam rangka pemberian FPJP,
biaya jasa penilai agunan serta biaya-biaya lainnya yang timbul
karena eksekusi agunan FPJP.
Pasal …
- 31 -
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Pemeriksaan terhadap Bank yang menerima FPJP dapat dilakukan
pada periode diterimanya atau setelah jatuh tempo FPJP.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5367
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 14/16/PBI/2012 </reg_id>
<reg_title> FASILITAS PENDANAAN JANGKA PENDEK BAGI BANK UMUM </reg_title>
<set_date> 23 November 2012 </set_date>
<effective_date> 23 November 2012 </effective_date>
<issued_date> 23 November 2012 </issued_date>
<replaced_reg> '10/30/PBI/2008', '10/26/PBI/2008' </replaced_reg>
<related_reg> '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB VIII' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 16/21/PBI/2014
TENTANG
PENERAPAN PRINSIP KEHATI-HATIAN DALAM PENGELOLAAN
UTANG LUAR NEGERI KORPORASI NONBANK
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa utang luar negeri merupakan salah satu
sumber pembiayaan perekonomian domestik;
b. bahwa utang luar negeri, khususnya yang dilakukan
oleh korporasi nonbank, perlu dikelola secara baik
oleh korporasi nonbank agar memberikan kontribusi
yang optimal terhadap perekonomian nasional dan
tidak menimbulkan gangguan pada kestabilan
makroekonomi;
c. bahwa untuk mencapai tujuan tersebut, utang luar
negeri, khususnya yang dilakukan oleh korporasi
nonbank, perlu dikelola dengan memperhatikan
prinsip kehati-hatian untuk memitigasi berbagai risiko
yang dapat timbul, termasuk risiko nilai tukar, risiko
likuiditas, dan risiko utang yang terlalu tinggi atau
berlebihan (overleverage);
d. bahwa penerapan prinsip kehati-hatian tersebut
sejalan dengan upaya untuk mendorong pendalaman
pasar keuangan domestik;
e. bahwa penerapan prinsip kehati-hatian tersebut
dilakukan dengan tetap memperhatikan kegiatan
usaha yang berkelanjutan dan mendukung kegiatan
investasi;
f. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf d,
dan ...
- 2 -
dan huruf e perlu mengatur kembali Peraturan Bank
Indonesia tentang Penerapan Prinsip Kehati-hatian
dalam Pengelolaan Utang Luar Negeri Korporasi
Nonbank;
Mengingat
: Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah
diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-
Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962);
M E M U T U S K A N:
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PENERAPAN
PRINSIP KEHATI-HATIAN DALAM PENGELOLAAN
UTANG LUAR NEGERI KORPORASI NONBANK.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Utang Luar Negeri yang selanjutnya disingkat ULN adalah utang
Penduduk kepada bukan Penduduk dalam Valuta Asing dan/atau
Rupiah, termasuk di dalamnya pembiayaan berdasarkan prinsip
syariah.
2. Penduduk ...
- 3 -
2. Penduduk adalah penduduk sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang yang mengatur mengenai lalu lintas devisa dan sistem nilai
tukar.
3. Korporasi Nonbank adalah badan usaha selain bank dan badan
lainnya.
4. Valuta Asing adalah valuta yang berdenominasi selain mata uang
Rupiah.
5. Aset Valuta Asing adalah aset dalam Valuta Asing yang digunakan
dalam perhitungan Rasio Lindung Nilai dan Rasio Likuiditas.
6. Kewajiban Valuta Asing adalah kewajiban dalam Valuta Asing yang
digunakan dalam perhitungan Rasio Lindung Nilai dan Rasio
Likuiditas.
7. Lindung Nilai adalah cara atau teknik untuk mengurangi risiko yang
timbul maupun yang akan timbul akibat fluktuasi harga di pasar
keuangan.
8. Rasio Lindung Nilai adalah rasio jumlah nilai yang dilindungnilaikan
terhadap selisih negatif antara Aset Valuta Asing dan Kewajiban
Valuta Asing.
9. Rasio Likuiditas adalah rasio Aset Valuta Asing terhadap Kewajiban
Valuta Asing.
10. Lembaga Pemeringkat adalah lembaga yang mengeluarkan Peringkat
Utang (Credit Rating).
11. Peringkat Utang (Credit Rating) adalah penilaian yang dilakukan oleh
Lembaga Pemeringkat untuk menggambarkan kondisi keuangan
perusahaan atau kemampuan perusahaan dalam memenuhi
kewajibannya secara tepat waktu (credit worthiness).
BAB II
PRINSIP KEHATI-HATIAN
Pasal 2
(1) Korporasi Nonbank yang memiliki ULN dalam Valuta Asing wajib
menerapkan prinsip kehati-hatian.
(2) Prinsip ...
- 4 -
(2) Prinsip kehati-hatian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi
pemenuhan:
a. Rasio Lindung Nilai;
b. Rasio Likuiditas; dan
c. Peringkat Utang (Credit Rating).
Pasal 3
(1) Korporasi Nonbank yang memiliki ULN dalam Valuta Asing wajib
memenuhi Rasio Lindung Nilai minimum tertentu dengan melakukan
transaksi Lindung Nilai Valuta Asing terhadap Rupiah.
(2) Rasio Lindung Nilai minimum tertentu sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) ditetapkan sebesar 25% (dua puluh lima persen) dari:
a. selisih negatif antara Aset Valuta Asing dan Kewajiban Valuta
Asing, yang akan jatuh waktu sampai dengan 3 (tiga) bulan ke
depan sejak akhir triwulan; dan
b. selisih negatif antara Aset Valuta Asing dan Kewajiban Valuta
Asing, yang akan jatuh waktu lebih dari 3 (tiga) bulan sampai
dengan 6 (enam) bulan ke depan sejak akhir triwulan.
(3) Transaksi Lindung Nilai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
dilakukan dengan perbankan di Indonesia.
(4) Bank Indonesia dapat menetapkan batasan nilai selisih negatif
(threshold) yang wajib dilindungnilaikan untuk memenuhi Rasio
Lindung Nilai sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai rincian Aset Valuta Asing, Kewajiban
Valuta Asing, dan Rasio Lindung Nilai minimum sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) serta batasan nilai selisih negatif (threshold)
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dalam Surat Edaran Bank
Indonesia.
Pasal 4
(1) Korporasi Nonbank yang memiliki ULN dalam Valuta Asing wajib
memenuhi Rasio Likuiditas minimum tertentu dengan menyediakan
Aset Valuta Asing yang memadai terhadap Kewajiban Valuta Asing
yang ...
- 5 -
yang akan jatuh waktu sampai dengan 3 (tiga) bulan ke depan sejak
akhir triwulan.
(2) Rasio Likuiditas minimum tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) ditetapkan paling rendah sebesar 70% (tujuh puluh persen).
Pasal 5
(1) Korporasi Nonbank yang melakukan ULN dalam Valuta Asing wajib
memenuhi minimum Peringkat Utang (Credit Rating) setara BB- yang
dikeluarkan oleh Lembaga Pemeringkat yang diakui oleh Bank
Indonesia.
(2) Peringkat Utang (Credit Rating) sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berupa peringkat yang masih berlaku atas korporasi (issuer rating)
dan/atau surat utang (issue rating) sesuai dengan jenis dan jangka
waktu ULN dalam Valuta Asing.
(3) Masa berlaku Peringkat Utang (Credit Rating) atas korporasi (issuer
rating) dan/atau surat utang (issue rating) sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) paling lama 2 (dua) tahun setelah peringkat tersebut
diterbitkan dan/atau ditetapkan.
(4) Kewajiban pemenuhan Peringkat Utang (Credit Rating) dilakukan pada
saat pinjaman ditandatangani dan/atau diterbitkan.
(5) Kewajiban pemenuhan Peringkat Utang (Credit Rating) bagi Korporasi
Nonbank yang melakukan perjanjian ULN dalam Valuta Asing dari
perusahaan induk, atau yang dijamin oleh perusahaan induk, dapat
dilakukan dengan menggunakan Peringkat Utang (Credit Rating)
perusahaan induk.
(6) Kewajiban pemenuhan Peringkat Utang (Credit Rating) bagi Korporasi
Nonbank yang baru didirikan dapat dilakukan dengan menggunakan
Peringkat Utang (Credit Rating) perusahaan induk paling lama 3 (tiga)
tahun sejak Korporasi Nonbank beroperasi secara komersial.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai Peringkat Utang (Credit Rating) dan
Lembaga Pemeringkat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
BAB ...
- 6 -
BAB III
PENGECUALIAN
Pasal 6
(1) Kewajiban pemenuhan Rasio Lindung Nilai minimum sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3, dikecualikan bagi Korporasi Nonbank yang
melakukan pencatatan laporan keuangan dalam mata uang dolar
Amerika Serikat dan memenuhi kriteria tertentu.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria tertentu sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 7
(1) Kewajiban pemenuhan ketentuan minimum Peringkat Utang (Credit
Rating) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dikecualikan bagi:
a. ULN dalam Valuta Asing yang digunakan untuk menggantikan ULN
sebelumnya (refinancing);
b. ULN dalam Valuta Asing untuk pembiayaan proyek infrastruktur
yang bersumber dari:
1) seluruhnya dari kreditor lembaga internasional (bilateral atau
multilateral);
2) pinjaman sindikasi dengan kontribusi kreditor lembaga
internasional (bilateral atau multilateral) lebih besar dari 50%
(lima puluh persen);
c. ULN dalam Valuta Asing untuk pembiayaan proyek infrastruktur
pemerintah baik pusat maupun daerah;
d. ULN dalam Valuta Asing yang dijamin oleh lembaga internasional
(bilateral atau multilateral);
e. ULN dalam Valuta Asing berupa utang dagang (trade credit); atau
f. ULN dalam Valuta Asing berupa utang lainnya (other loans).
(2) ULN dalam Valuta Asing yang merupakan refinancing sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a hanya dapat dikecualikan sepanjang
tidak menambah jumlah (outstanding) utang atau penambahannya
tidak lebih dari nilai tertentu (threshold).
(3) Bank Indonesia menetapkan besaran nilai tertentu (threshold) atas
penambahan jumlah (outstanding) utang pada ULN refinancing yang
dikecualikan ...
- 7 -
dikecualikan dari pemenuhan ketentuan minimum Peringkat Utang
(Credit Rating) sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai lembaga internasional (bilateral atau
multilateral) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan ayat (1)
huruf d, ULN refinancing sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dan
besaran nilai tertentu (threshold) atas penambahan jumlah
(outstanding) utang sebagaimana dimaksud pada ayat (3), diatur
dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
BAB IV
PEMANTAUAN KEPATUHAN DAN PENYAMPAIAN LAPORAN
SERTA DOKUMEN PENDUKUNG
Pasal 8
(1) Korporasi Nonbank wajib menyampaikan laporan kepada Bank
Indonesia terkait penerapan prinsip kehati-hatian sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5.
(2) Korporasi Nonbank wajib menyampaikan dokumen pendukung
kepada Bank Indonesia terkait:
a. pelaksanaan penerapan prinsip kehati-hatian sebagaimana
dimaksud pada ayat (1); dan
b. pengecualian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dan Pasal 7.
Pasal 9
Rincian dan tata cara penyampaian laporan dan dokumen pendukung
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, termasuk pengenaan sanksi,
dilakukan sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia yang mengatur
mengenai pelaporan kegiatan lalu lintas devisa dan pelaporan penerapan
prinsip kehati-hatian dalam pengelolaan ULN Korporasi Nonbank.
Pasal 10
(1) Bank Indonesia memantau kepatuhan Korporasi Nonbank dengan
melakukan penelitian atas laporan dan/atau dokumen pendukung
yang disampaikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9.
(2) Dalam ...
- 8 -
(2) Dalam melakukan penelitian atas laporan dan/atau dokumen
pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia
dapat melakukan hal-hal antara lain sebagai berikut:
a. meminta penjelasan, bukti, catatan, dan/atau dokumen
pendukung, dengan atau tanpa melibatkan pihak instansi terkait;
b. melakukan pemeriksaan langsung terhadap korporasi; dan/atau
c. menunjuk pihak lain untuk melakukan penelitian bagi Bank
Indonesia.
BAB V
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 11
Dalam hal terdapat permasalahan terkait penerapan prinsip kehati-hatian
dalam pengelolaan ULN Korporasi Nonbank yang berdampak strategis,
Bank Indonesia dapat mengambil kebijakan tertentu dengan tetap
memperhatikan prinsip kehati-hatian sebagaimana diatur dalam Peraturan
Bank Indonesia ini dan peraturan perundang-undangan lainnya.
BAB VI
SANKSI
Pasal 12
(1) Korporasi Nonbank yang melakukan pelanggaran terhadap kewajiban
pemenuhan prinsip kehati-hatian sebagaimana dimaksud dalam Pasal
2, Pasal 3 ayat (1), Pasal 4, dan/atau Pasal 5 dikenakan sanksi
administratif berupa teguran tertulis.
(2) Bank Indonesia akan menyampaikan informasi mengenai pengenaan
sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada
pihak-pihak terkait antara lain:
a. kreditor yang bersangkutan di luar negeri;
b. Kementerian Negara Badan Usaha Milik Negara (BUMN), bagi
korporasi BUMN;
c. Kementerian Keuangan c.q. Direktorat Jenderal Pajak;
d. Otoritas ...
- 9 -
d. Otoritas Jasa Keuangan (OJK); dan/atau
e. Bursa Efek Indonesia (BEI), bagi korporasi publik yang tercatat di
BEI.
BAB VII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 13
Pada saat Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku:
a. ketentuan mengenai Rasio Lindung Nilai minimum tertentu
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ditetapkan paling rendah
sebesar 20% (dua puluh persen) dari:
1. selisih negatif antara Aset Valuta Asing dan Kewajiban Valuta
Asing, yang akan jatuh waktu sampai dengan 3 (tiga) bulan ke
depan sejak akhir triwulan; dan
2. selisih negatif antara Aset Valuta Asing dan Kewajiban Valuta
Asing, yang akan jatuh waktu lebih dari 3 (tiga) bulan sampai
dengan 6 (enam) bulan ke depan sejak akhir triwulan,
sampai dengan 31 Desember 2015.
b. ketentuan mengenai Rasio Likuiditas minimum tertentu sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ditetapkan paling rendah sebesar 50% (lima
puluh persen) sampai dengan 31 Desember 2015.
Pasal 14
(1) Ketentuan mengenai transaksi Lindung Nilai dengan perbankan di
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) mulai
berlaku pada tanggal 1 Januari 2017.
(2) Transaksi Lindung Nilai yang dilakukan dengan bank di luar negeri
yang perjanjiannya telah dilakukan sebelum 1 Januari 2017 tetap
diakui sebagai Aset Valuta Asing dan diperhitungkan dalam
pemenuhan Rasio Lindung Nilai minimum dan Rasio Likuiditas
minimum.
(3) Ketentuan mengenai pemenuhan minimum Peringkat Utang (Credit
Rating) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) berlaku bagi
ULN ...
- 10 -
ULN yang ditandatangani atau diterbitkan sejak tanggal 1 Januari
2016.
Pasal 15
Ketentuan mengenai sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 mulai
berlaku sejak penyampaian laporan triwulan keempat tahun 2015.
Pasal 16
Pada saat Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku, Peraturan Bank
Indonesia Nomor 16/20/PBI/2014 tentang Penerapan Prinsip Kehati-
hatian dalam Pengelolaan Utang Luar Negeri Korporasi Nonbank
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 340, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5620), dicabut dan
dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 17
Ketentuan lebih lanjut dari Peraturan Bank Indonesia ini diatur dengan
Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 18
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2015.
Agar ...
- 11 -
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 29 Desember 2014
GUBERNUR BANK INDONESIA,
AGUS D.W. MARTOWARDOJO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2014 NOMOR 394
DKEM
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 16/21/PBI/2014
TENTANG
PENERAPAN PRINSIP KEHATI-HATIAN DALAM PENGELOLAAN
UTANG LUAR NEGERI KORPORASI NONBANK
I. UMUM
Utang Luar Negeri (ULN) merupakan salah satu sumber
pembiayaan pembangunan yang lazim dilakukan oleh negara sedang
berkembang. ULN ini digunakan untuk menutup kesenjangan antara
investasi dan tabungan dalam negeri (saving-investment gap) sehingga
memberikan manfaat bagi perekonomian.
Dalam beberapa tahun terakhir, jumlah ULN swasta terus
meningkat tajam, bahkan saat ini telah melebihi jumlah ULN
Pemerintah. Peningkatan ULN swasta tanpa disertai dengan manajemen
risiko yang baik berpotensi menimbulkan dampak negatif terhadap
perekonomian nasional, seperti yang terjadi pada krisis 1997/1998.
Risiko ULN swasta tersebut semakin meningkat mengingat
adanya faktor risiko yang bersumber dari ekonomi global berupa
pengetatan likuiditas global dan perlambatan ekonomi emerging market
yang disertai dengan masih rendahnya harga komoditas internasional.
Keseluruhan kondisi tersebut menyebabkan meningkatnya risiko
penurunan capacity to repay (default) dari ULN Korporasi Nonbank.
Selain itu, sebagian besar Korporasi Nonbank tersebut tidak melakukan
Lindung Nilai terhadap posisi ULN mereka. Kondisi ini menyebabkan
Korporasi Nonbank peminjam ULN di Indonesia menghadapi risiko nilai
tukar, likuiditas, dan overleverage yang cukup besar. Oleh karena itu,
korporasi perlu memperhatikan prinsip kehati-hatian untuk memitigasi
berbagai risiko tersebut.
Penerapan prinsip kehati-hatian tersebut, yang dilakukan
melalui penggunaan instrumen Lindung Nilai, sejalan dengan upaya
pendalaman ...
- 2 -
pendalaman pasar keuangan di Indonesia. Penerapan prinsip kehati-
hatian tersebut dilakukan dengan memperhatikan praktek umum
pengelolaan usaha agar kontinuitas kegiatan usaha dan kegiatan
investasi tetap terjaga sehingga mendukung pertumbuhan ekonomi
nasional.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Ayat (1)
Lindung Nilai dilakukan dalam bentuk transaksi derivatif
Valuta Asing terhadap Rupiah berupa transaksi forward,
swap, dan/atau option sesuai dengan ketentuan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai transaksi lindung nilai.
Ayat (2)
Aset Valuta Asing termasuk tagihan yang berasal dari
transaksi forward, swap dan/atau option yang akan
direalisasikan sampai dengan 3 (tiga) bulan ke depan
dan/atau lebih dari 3 (tiga) bulan sampai dengan 6 (enam)
bulan ke depan sejak akhir triwulan.
Yang dimaksud dengan “transaksi forward” adalah transaksi
jual atau beli Valuta Asing terhadap Rupiah yang
penyerahan dananya dilakukan lebih dari 2 (dua) hari kerja
setelah tanggal transaksi.
Yang dimaksud dengan “transaksi swap” adalah transaksi
pertukaran Valuta Asing terhadap Rupiah melalui
pembelian/penjualan tunai (spot) dengan penjualan atau
pembelian kembali secara berjangka yang dilakukan secara
simultan dengan counterparty yang sama dan pada tingkat
harga yang dibuat dan disepakati pada tanggal transaksi
dilakukan.
Yang ...
- 3 -
Yang dimaksud dengan “transaksi option” adalah transaksi
atas dasar perjanjian atau kontrak antara penjual opsi
(seller atau writer) dengan pembeli opsi (buyer), dimana
penjual opsi menjamin adanya hak (bukan suatu kewajiban)
dari pembeli opsi untuk membeli atau menjual Valuta Asing
terhadap Rupiah pada waktu dan harga yang telah
ditetapkan.
Akhir triwulan adalah tanggal terakhir pada setiap triwulan,
yakni 31 Maret, 30 Juni, 30 September, dan 31 Desember.
Ayat (3)
Tagihan yang timbul dari transaksi Lindung Nilai yang tidak
dilakukan dengan perbankan di Indonesia tidak dihitung
sebagai Aset Valuta Asing.
Transaksi Lindung Nilai yang tidak dilakukan dengan
perbankan di Indonesia juga tidak dihitung sebagai
pemenuhan atas kewajiban Rasio Lindung Nilai minimum
dan Rasio Likuiditas minimum.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 4
Ayat (1)
Aset Valuta Asing termasuk tagihan yang berasal dari
transaksi forward, swap, dan/atau option yang akan
direalisasikan sampai dengan 3 (tiga) bulan ke depan sejak
akhir triwulan.
Akhir triwulan adalah tanggal terakhir pada setiap triwulan,
yakni 31 Maret, 30 Juni, 30 September, dan 31 Desember.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal ...
- 4 -
Pasal 5
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Apabila Korporasi Nonbank akan melakukan ULN dengan
menerbitkan surat utang berjangka panjang maka Peringkat
Utang (Credit Rating) yang harus disampaikan adalah
Peringkat Utang jangka panjang.
Ayat (3)
Cukup Jelas.
Ayat (4)
Untuk ULN dalam Valuta Asing yang memiliki fitur berupa
fasilitas yang dapat ditarik sewaktu-waktu atau memiliki
opsi untuk diperpanjang, yang diikat dengan perjanjian
kredit jangka panjang (master-agreement), kewajiban
pemenuhan Peringkat Utang (Credit Rating) minimum
dilakukan pada saat perjanjian kredit jangka panjang
(master-agreement) ditandatangani.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Untuk Korporasi Nonbank yang baru didirikan oleh
beberapa perusahaan (joint venture), pemenuhan Peringkat
Utang (Credit Rating) dapat menggunakan Peringkat Utang
(Credit Rating) pemegang saham terbesar.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Ayat (1)
Huruf ...
- 5 -
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Dalam hal Korporasi Nonbank memperoleh utang luar
negeri dari sindikasi untuk pembiayaan proyek
infrastruktur, Korporasi Nonbank tersebut tidak wajib
memenuhi ketentuan minimum Peringkat Utang
(Credit Rating) sepanjang keikutsertaan kreditor
lembaga internasional (bilateral atau multilateral) pada
sindikasi tersebut lebih besar dari 50% (lima puluh
persen).
Pengecualian terkait pembiayaan proyek infrastruktur
tersebut sebagai upaya mendukung pengembangan
infrastruktur di dalam negeri.
Proyek infrastruktur yang dimaksud mencakup:
1. infrastruktur transportasi, meliputi pelayanan jasa
kebandarudaraan, penyediaan dan/atau
pelayanan jasa kepelabuhanan, sarana dan
prasarana perkeretaapian;
2. infrastruktur jalan, meliputi jalan tol dan
jembatan tol;
3. infrastruktur pengairan, meliputi saluran
pembawa air baku;
4. infrastruktur air minum yang meliputi bangunan
pengambilan air baku, jaringan transmisi, jaringan
distribusi, instalasi pengolahan air minum;
5. infrastruktur sanitasi yang meliputi instalasi
pengolah air limbah, jaringan pengumpul dan
jaringan utama, dan sarana persampahan yang
meliputi pengangkut dan tempat pembuangan;
6. infrastruktur telekomunikasi dan informatika,
meliputi jaringan telekomunikasi dan infrastruktur
e-government;
7. infrastruktur ...
- 6 -
7. infrastruktur ketenagalistrikan, meliputi
pembangkit, termasuk pengembangan tenaga
listrik yang berasal dari panas bumi, transmisi
atau distribusi tenaga listrik; dan
8. infrastruktur minyak dan gas bumi, meliputi
transmisi dan/atau distribusi minyak dan gas
bumi.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “proyek infrastruktur
pemerintah baik pusat maupun daerah” adalah
proyek-proyek yang sudah dicantumkan dalam
dokumen perencanaan Pemerintah Pusat atau
Pemerintah Daerah.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Yang dimaksud dengan “utang dagang (trade credit)”
adalah utang yang timbul dalam rangka kredit yang
diberikan oleh supplier luar negeri atas transaksi
barang dan/atau jasa.
Huruf f
Yang dimaksud dengan “utang lainnya (other loan)”
adalah seluruh utang yang tidak termasuk utang
berdasarkan perjanjian kredit (loan agreement), surat
utang (debt securities), dan utang dagang (trade credit)
antara lain berupa pembayaran klaim asuransi dan
dividen yang sudah ditetapkan namun belum dibayar.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal ...
- 7 -
Pasal 8
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “dokumen pendukung” antara lain
Laporan Keuangan lengkap baik secara triwulanan
maupun tahunan.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “instansi terkait” adalah
lembaga, kementerian, atau otoritas yang memiliki
kewenangan pengaturan atas Korporasi Nonbank,
sebagai contoh Kementerian Negara BUMN bagi
korporasi BUMN.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal ...
- 8 -
Pasal 13
Untuk periode 1 Januari 2015 sampai dengan 31 Desember
2015, Rasio Lindung Nilai dan Rasio Likuiditas ditetapkan
masing-masing sebesar 20% (dua puluh persen) dan 50% (lima
puluh persen) untuk memberikan kesempatan bagi Korporasi
Nonbank melakukan penyesuaian dalam pengelolaan risiko,
termasuk ketersediaan instrumen lindung nilai.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5651
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 16/21/PBI/2014 </reg_id>
<reg_title> PENERAPAN PRINSIP KEHATI-HATIAN DALAM PENGELOLAAN UTANG LUAR NEGERI KORPORASI NONBANK </reg_title>
<set_date> 29 Desember 2014 </set_date>
<effective_date> 1 Januari 2015 </effective_date>
<replaced_reg> '16/20/PBI/2014' </replaced_reg>
<related_reg> '2/PERPPU/2008', '6/UU/2009', '23/UU/1999' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB VI' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 5/ 9 /PBI/2003
TENTANG
PENYISIHAN PENGHAPUSAN
AKTIVA PRODUKTIF BAGI BANK SYARIAH
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa kelangsungan usaha bank yang melakukan kegiatan
usaha berdasarkan prinsip syariah tergantung pada
untuk menghadapi risiko kerugian dari penanaman dana;
kesiapan
b. bahwa untuk menutup risiko kerugian yang mungkin timbul
dari penanaman dana, maka bank yang melakukan kegiatan
usaha berdasarkan prinsip syariah wajib membentuk
penyisihan penghapusan aktiva produktif;
c. bahwa produk penanaman dana dalam bentuk aktiva produktif
bank yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip
syariah memiliki karakteristik yang unik dan beragam;
d. bahwa oleh karena itu dipandang perlu untuk menetapkan
ketentuan tentang penyisihan penghapusan aktiva produktif
bagi bank yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip
syariah dalam Peraturan Bank Indonesia;
Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor
31, …
2
31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang
Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran
Republik Indonesia Nomor 3790);
Negara
2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang
Indonesia (Lembaran
1999 Nomor 66,
Negara Republik Indonesia
Indonesia Nomor 3843);
M E M U T U S K A N:
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PENYISIHAN
PENGHAPUSAN AKTIVA PRODUKTIF BAGI BANK
SYARIAH.
Bank
Tahun
Tambahan Lembaran Negara Republik
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan :
1. Bank Syariah adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-
undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah
dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 yang melakukan
kegiatan
usaha berdasarkan prinsip syariah, termasuk unit usaha syariah dan kantor
cabang …
3
cabang bank asing yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip
syariah;
2. Unit Usaha Syariah, yang untuk selanjutnya disebut UUS adalah unit kerja di
kantor pusat bank umum konvensional yang berfungsi sebagai kantor induk
dari kantor cabang syariah dan atau unit syariah;
3. Unit Syariah adalah satuan kerja khusus dari kantor cabang atau kantor
cabang pembantu bank umum konvensional yang kegiatan
melakukan penghimpunan dana, penyaluran dana dan pemberian
perbankan lainnya berdasarkan prinsip syariah dalam rangka
perubahan menjadi kantor cabang syariah;
asing dalam bentuk pembiayaan,
piutang, qardh, surat
usahanya
jasa
persiapan
4. Aktiva Produktif adalah penanaman dana Bank Syariah baik dalam rupiah
maupun valuta
berharga syariah, penempatan,
penyertaan modal, penyertaan modal
sementara, komitmen dan kontinjensi pada transaksi rekening administratif
serta titipan sertifikat wadiah Bank Indonesia;
5. Pembiayaan adalah penyediaan dana
dan atau tagihan berdasarkan akad
Mudharabah dan atau Musyarakah dan atau pembiayaan lainnya berdasarkan
prinsip bagi hasil;
6. Mudharabah adalah perjanjian antara penanam dana dan pengelola dana
untuk melakukan kegiatan usaha tertentu, dengan pembagian keuntungan
antara kedua belah pihak berdasarkan
sebelumnya;
nisbah yang telah disepakati
7. Musyarakah adalah
perjanjian diantara para pemilik dana/modal
mencampurkan dana/modal mereka pada suatu usaha tertentu,
untuk
dengan
pembagian keuntungan diantara pemilik dana/modal berdasarkan nisbah yang
telah disepakati sebelumnya;
8. Piutang …
4
8. Piutang adalah tagihan yang timbul dari transaksi jual beli dan atau sewa
berdasarkan akad murabahah, salam, istishna dan atau ijarah;
9. Murabahah adalah perjanjian jual beli antara bank dan nasabah dimana Bank
Syariah membeli barang yang diperlukan oleh
nasabah dan kemudian
menjualnya kepada nasabah yang bersangkutan sebesar harga perolehan
ditambah dengan margin/keuntungan yang disepakati antara Bank Syariah
dan nasabah;
10. Salam adalah perjanjian jual beli barang dengan cara pemesanan dengan
syarat-syarat tertentu dan pembayaran harga terlebih dahulu;
11. Istishna adalah
perjanjian jual beli barang dalam bentuk pemesanan
pembuatan barang dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati
antara pemesan dan penjual;
12. Ijarah adalah perjanjian sewa menyewa suatu barang dalam waktu tertentu
melalui pembayaran sewa;
13. Qardh adalah penyediaan dana atau tagihan antara Bank Syariah
dengan
pihak peminjam yang mewajibkan pihak peminjam melakukan pembayaran
sekaligus atau secara cicilan dalam jangka waktu tertentu;
14. Surat Berharga Syariah adalah surat bukti berinvestasi berdasarkan prinsip
syariah yang lazim diperdagangkan di pasar uang dan atau pasar modal antara
lain wesel, obligasi syariah, sertifikat reksadana syariah dan surat berharga
lainnya berdasarkan prinsip syariah;
15. Penempatan adalah penanaman dana Bank Syariah pada Bank Syariah
lainnya dan atau Bank Perkreditan Rakyat berdasarkan prinsip syariah antara
lain dalam bentuk giro dan atau tabungan Wadiah, deposito berjangka dan
atau tabungan Mudharabah, Pembiayaan yang diberikan, Sertifikat Investasi
Mudharabah Antarbank (Sertifikat IMA) dan atau bentuk-bentuk penempatan
lainnya …
5
lainnya berdasarkan prinsip syariah;
16. Penyertaan Modal adalah penanaman dana Bank Syariah dalam bentuk saham
pada perusahaan yang bergerak di bidang keuangan syariah, termasuk
penanaman dalam bentuk surat utang konversi (convertible bonds) dengan
opsi saham (equity options) atau jenis transaksi tertentu berdasarkan prinsip
syariah yang berakibat Bank Syariah memiliki atau akan memiliki saham
pada perusahaan yang bergerak di bidang keuangan syariah;
17. Perusahaan Yang Bergerak di Bidang Keuangan Syariah adalah Bank
Syariah, Bank Perkreditan Rakyat berdasarkan prinsip syariah, dan
perusahaan di bidang keuangan lain berdasarkan prinsip syariah sebagaimana
diatur dalam perundang-undangan yang berlaku antara lain sewa guna usaha,
modal ventura, perusahaan efek, asuransi serta lembaga kliring penyelesaian
dan penyimpanan;
18. Penyertaan Modal Sementara adalah penyertaan modal Bank Syariah dalam
perusahaan nasabah untuk mengatasi kegagalan pembiayaan dan atau piutang
(debt to equity swap) sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia
yang berlaku, termasuk dalam bentuk surat utang konversi (convertible
bonds) dengan opsi saham (equity options) atau jenis transaksi tertentu yang
berakibat Bank Syariah memiliki atau akan memiliki saham pada perusahaan
nasabah;
19. Transaksi Rekening Administratif adalah komitmen dan kontinjensi (Off
Balance Sheet) yang terdiri dari bank garansi, akseptasi/endosemen,
Irrevocable Letter of Credit (L/C) yang masih berjalan, akseptasi wesel impor
atas dasar L/C berjangka, standby L/C dan garansi lainnya berdasarkan
prinsip syariah;
20. Sertifikat Wadiah Bank Indonesia adalah sertifikat yang diterbitkan oleh
Bank …
6
Bank Indonesia sebagai bukti penitipan dana berjangka pendek dengan
prinsip Wadiah;
21. Wadiah adalah perjanjian penitipan dana antara pemilik dana dengan pihak
yang dipercaya untuk menjaga dana titipan tersebut;
22. Penilai Independen adalah perusahaan penilai yang:
a. tidak ada keterkaitan dalam hal kepemilikan, kepengurusan dan keuangan
baik dengan Bank Syariah maupun nasabah yang menerima fasilitas;
b. melakukan kegiatan penilaian berdasarkan Kode Etik Penilai Indonesia
dan
ketentuan-ketentuan lain yang
Indonesia;
c. memiliki izin usaha dari instansi berwenang untuk beroperasi sebagai
perusahaan penilai; serta
tercatat sebagai anggota
(GAPPI).
d.
Gabungan
Perusahaan
Penilai
ditetapkan oleh Dewan Penilai
Indonesia
22. Penilaian adalah pernyataan tertulis dari Penilai Independen atau penilai
intern Bank Syariah mengenai taksiran dan pendapat atas nilai ekonomis dari
agunan berupa aktiva tetap berdasarkan analisis terhadap fakta-fakta objektif
dan relevan menurut metode dan prinsip-prinsip yang berlaku umum yang
ditetapkan oleh Masyarakat Profesi Penilai Indonesia (MAPPI);
23.Nilai Pasar Wajar (Market Approach) adalah jumlah uang yang diperkirakan
dapat diperoleh dari transaksi jual beli atau hasil penukaran suatu aset pada
tanggal penilaian setelah dikurangi biaya-biaya transaksi, pihak penjual dan
pembeli sebelumnya tidak mempunyai ikatan, memiliki pengetahuan tentang
aset yang diperdagangkan dan melakukan transaksi
terpaksa;
24.Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif (PPAP) adalah cadangan yang
harus …
tidak dalam keadaan
7
harus dibentuk sebesar
persentase tertentu dari baki debet berdasarkan
penggolongan Kualitas Aktiva Produktif sebagaimana ditetapkan dalam
Peraturan Bank Indonesia;
BAB II
TATA CARA PEMBENTUKAN
Pasal 2
(1). Bank Syariah wajib membentuk penyisihan penghapusan aktiva produktif
berupa cadangan umum dan cadangan khusus guna menutup risiko kerugian.
(2). Cadangan umum penyisihan penghapusan aktiva produktif sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1)
ditetapkan sekurang-kurangnya sebesar 1 % (satu
perseratus) dari seluruh Aktiva Produktif yang digolongkan lancar, tidak
termasuk Sertifikat Wadiah Bank Indonesia dan Surat Utang Pemerintah.
(3). Cadangan khusus Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan sekurang-kurangnya sebesar:
a. 5% (lima perseratus) dari Aktiva Produktif yang digolongkan dalam
perhatian khusus; dan
b. 15% (lima belas perseratus) dari Aktiva Produktif yang digolongkan
kurang lancar setelah dikurangi nilai agunan; dan
c. 50% (lima puluh perseratus) dari Aktiva Produktif yang digolongkan
diragukan setelah dikurangi nilai agunan; dan
d. 100% (seratus perseratus) dari Aktiva Produktif yang digolongkan macet
setelah dikurangi nilai agunan.
(4). Cadangan khusus penyisihan penghapusan aktiva produktif untuk Piutang
Ijarah …
8
Ijarah yang digolongkan dalam perhatian khusus, kurang lancar, diragukan
dan macet ditetapkan sekurang-kurangnya sebesar 50% dari masing-masing
kewajiban pembentukan penyisihan penghapusan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (3).
BAB III
PENILAIAN AGUNAN
Pasal 3
Agunan yang dapat diperhitungkan sebagai pengurang dalam pembentukan
Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif terdiri dari:
a. Giro dan atau tabungan Wadiah, tabungan dan atau deposito Mudharabah
dan setoran jaminan dalam mata uang rupiah dan valuta asing yang diblokir
disertai dengan surat kuasa pencairan;
b. Sertifikat Wadiah Bank Indonesia dan atau Surat Utang Pemerintah;
c. Surat Berharga Syariah yang berkualitas tinggi dan mudah dicairkan dan aktif
diperdagangkan di pasar modal;
d. Tanah, gedung, rumah tinggal, pesawat udara dan kapal laut dengan ukuran di
atas 20 (dua puluh) meter kubik.
Pasal 4
Nilai agunan yang dapat diperhitungkan sebagai pengurang pada pembentukan
Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif sebagaimana dimaksud pada Pasal 2
dan Pasal 3 ditetapkan;
a. untuk agunan tunai berupa giro dan atau tabungan Wadiah, tabungan dan atau
deposito …
9
deposito Mudharabah, dan setoran jaminan dalam mata uang rupiah dan
valuta asing yang diblokir disertai dengan surat kuasa pencairan setinggi-
tingginya sebesar 100% (seratus perseratus);
b. untuk agunan berupa Sertifikat Wadiah Bank Indonesia dan Surat Utang
Pemerintah setinggi-tingginya sebesar 100% (seratus perseratus);
c. untuk agunan berupa Surat Berharga Syariah setinggi-tingginya sebesar 50%
(lima puluh perseratus);
d. untuk agunan berupa tanah, gedung, rumah tinggal, pesawat udara dan kapal
laut setinggi-tingginya sebesar:
1) 70% (tujuh puluh perseratus) dari nilai taksiran untuk penilaian yang
dilakukan sebelum melampaui 6 (enam) bulan;
2) 50% (lima puluh perseratus) dari nilai taksiran untuk penilaian yang
dilakukan setelah 6 (enam) bulan tetapi belum melampaui 18 (delapan
belas) bulan;
3) 30% (tiga puluh perseratus) dari nilai
dilakukan setelah melampaui 18 (delapan belas) bulan
melampaui 30 (tiga puluh) bulan;
taksiran untuk penilaian yang
tetapi
belum
4) 0% (nol perseratus) untuk penilaian yang dilakukan setelah melampaui 30
(tiga puluh) bulan.
Pasal 5
Penilaian terhadap agunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 wajib dilakukan
dengan cara:
a. untuk Surat Berharga Syariah dinilai dengan menggunakan Nilai Pasar yang
tercatat di pasar modal syariah pada akhir bulan;
b. untuk tanah dan rumah tinggal dinilai berdasarkan Nilai Pasar Wajar;
c. untuk …
10
c. untuk gedung, pesawat udara dan kapal laut dinilai berdasarkan Nilai Pasar
Wajar.
Pasal 6
(1) Penilaian agunan wajib dilakukan oleh Penilai Independen bagi Pembiayaan,
Piutang dan atau Qardh yang diberikan kepada nasabah atau grup nasabah
lebih dari Rp1.500.000.000,00 (satu milyar lima ratus juta rupiah).
(2) Penilaian agunan dapat dilakukan oleh penilai intern Bank Syariah, bagi
Pembiayaan, Piutang dan atau Qardh dengan jumlah lebih kecil dari jumlah
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
(3) Dalam hal penilaian agunan tidak dilakukan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) maka hasil penilaian agunan tidak diperhitungkan sebagai faktor
pengurang Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif.
Pasal 7
Bank Indonesia dapat melakukan penghitungan kembali atas nilai agunan yang
telah dikurangkan dalam Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif apabila:
a. Agunan tidak
pengikatan agunan belum sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku;
b. Penilaian tidak dilakukan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4, Pasal 5 dan Pasal 6; atau
c. Agunan tidak dilindungi asuransi dengan banker’s clause yaitu klausula yang
memberikan hak kepada Bank Syariah untuk menerima uang pertanggungan
dalam hal terjadi pembayaran klaim.
dilengkapi dengan dokumen hukum yang sah dan atau
BAB IV …
11
BAB IV
SANKSI
Pasal 8
Bank yang tidak mentaati ketentuan dalam Pasal 2, Pasal 5 dan Pasal 6 ayat (1)
dikenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam pasal 52 Undang-
undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah
dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 berupa:
a. teguran tertulis;
b. penurunan tingkat kesehatan; dan atau
c. penggantian pengurus.
BAB V
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 9
Dengan dikeluarkannya Peraturan Bank Indonesia ini, maka Surat Keputusan
Direksi Bank Indonesia Nomor 31/148/KEP/DIR tanggal 12 November 1998
tentang Pembentukan Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif dinyatakan tidak
berlaku bagi Bank Syariah.
Pasal 10
Peraturan Bank Indonesia ini berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Ditetapkan …
12
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 19 Mei 2003
GUBERNUR BANK INDONESIA
SYAHRIL SABIRIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2003 NOMOR 57
BPS
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 5/9/PBI/2003 </reg_id>
<reg_title> PENYISIHAN PENGHAPUSAN AKTIVA PRODUKTIF BAGI BANK SYARIAH </reg_title>
<set_date> 19 Mei 2003 </set_date>
<effective_date> 19 Mei 2003 </effective_date>
<replaced_reg> '31/148/KEP/DIR|SKDIR-BI/1998' </replaced_reg>
<related_reg> '23/UU/1999', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB IV' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 6/2/PBI/2004
TENTANG
BANK INDONESIA - SCRIPLESS SECURITIES SETTLEMENT SYSTEM
(BI-SSSS)
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa dalam rangka membantu Pemerintah melakukan pengelolaan
Surat Utang Negara, Bank Indonesia telah ditunjuk sebagai agen
lelang dan pelaksana penatausahaan sebagaimana tertuang dalam
Undang-undang Nomor 24 tahun 2002 tentang Surat Utang
Negara;
b. bahwa dalam rangka pelaksanaan transaksi dengan Bank Indonesia
yang mencakup transaksi Operasi Pasar Terbuka, pemberian
fasilitas pendanaan Bank Indonesia kepada Bank dan transaksi
Surat Utang Negara untuk dan atas nama Pemerintah dipandang
perlu untuk menggabungkan sistem transaksi tersebut dengan
sistem penatausahaannya dalam suatu sistem yang terintegrasi;
c. bahwa dalam rangka meningkatkan pelaksanaan tugas Bank
Indonesia tersebut di atas agar lebih efektif, efisien dan aman,
dipandang perlu untuk menyempurnakan sistem yang digunakan
saat ini menjadi suatu sistem yang terintegrasi dan terhubung
langsung antara sistem pelaku pasar dengan sistem Bank Indonesia
yang disebut dengan Bank Indonesia - Scripless Securities
Settlement System dan Sistem Bank Indonesia - Real Time Gross
Settlement;
d. bahwa …
-2-
d. bahwa untuk lebih memberikan kepastian hukum terhadap
pelaksanaan tugas Bank Indonesia yang terkait dengan penggunaan
Bank Indonesia - Scripless Securities Settlement System maka
dipandang perlu untuk menetapkan ketentuan mengenai Bank
Indonesia - Scripless Securities Settlement System dalam Peraturan
Bank Indonesia;
Mengingat :
1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3472) sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3790);
2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 64,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3608);
3. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3843) sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 4357);
4. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2002 tentang Surat Utang
Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor
110, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4236);
MEMUTUSKAN …
-3-
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG BANK
INDONESIA - SCRIPLESS SECURITIES SETTLEMENT
SYSTEM.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan ini yang dimaksud dengan :
1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 7
tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang
Nomor 10 tahun 1998.
2. Operasi Pasar Terbuka yang selanjutnya disebut OPT adalah kegiatan transaksi di
pasar uang yang dilakukan oleh Bank Indonesia dengan Bank dan pihak lain
dalam rangka pengendalian moneter.
3. Sertifikat Bank Indonesia yang selanjutnya disebut SBI adalah surat berharga
dalam mata uang Rupiah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia sebagai pengakuan
utang berjangka waktu pendek.
4. Sertifikat Wadiah Bank Indonesia yang selanjutnya disebut SWBI adalah bukti
penitipan dana berjangka pendek dengan prinsip wadiah yang disediakan oleh
Bank Indonesia.
5. Fasilitas Simpanan Bank Indonesia yang selanjutnya disebut FASBI adalah
fasilitas yang diberikan Bank Indonesia kepada Bank untuk menempatkan dananya
di Bank Indonesia dalam rangka OPT.
6. Surat …
-4-
6. Surat Utang Negara yang selanjutnya disebut SUN adalah surat pengakuan utang
dalam mata uang Rupiah yang diterbitkan oleh Pemerintah Republik Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 24 tahun 2002 tentang
Surat Utang Negara.
7. Surat Berharga adalah SBI dan SUN yang ditatausahakan dalam Bank Indonesia -
Scripless Securities Settlement System.
8. Sistem Bank Indonesia - Real Time Gross Settlement yang selanjutnya disebut
Sistem BI-RTGS adalah suatu sistem transfer dana elektronik antar peserta Sistem
BI-RTGS dalam mata uang Rupiah yang penyelesaiannya dilakukan secara
seketika per transaksi secara individual.
9. Bank Indonesia- Scripless Securities Settlement System yang selanjutnya disebut
BI-SSSS adalah sarana Transaksi Dengan Bank Indonesia termasuk
penatausahaannya dan Penatausahaan Surat Berharga secara elektronik dan
terhubung langsung antara Peserta, Penyelenggara dan Sistem BI-RTGS.
10. Transaksi Dengan Bank Indonesia adalah transaksi yang dilakukan oleh Bank
Indonesia dalam rangka kegiatan OPT, pemberian fasilitas pendanaan Bank
Indonesia kepada Bank dan transaksi SUN untuk dan atas nama Pemerintah.
11. Penatausahaan Surat Berharga adalah kegiatan yang mencakup pencatatan
kepemilikan, kliring dan setelmen serta agen pembayar bunga (kupon) dan pokok
Surat Berharga.
12. Penyelenggara BI-SSSS yang selanjutnya disebut Penyelenggara adalah pihak
pengelola BI-SSSS yang menyelenggarakan kegiatan Transaksi Dengan Bank
Indonesia dan penatausahaannya termasuk Penatausahaan Surat Berharga.
13. Peserta BI-SSSS yang selanjutnya disebut Peserta adalah Departemen Keuangan
dan pihak-pihak yang melakukan Transaksi Dengan Bank Indonesia dan atau
setelmen Surat Berharga melalui sarana BI-SSSS.
14. Peserta …
-5-
14. Peserta Lelang SUN adalah Bank, Perusahaan Pialang Pasar Uang dan Valuta
Asing, dan Perusahaan Efek yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan untuk dapat
ikut serta dalam lelang SUN.
15. Peserta OPT adalah Bank, lembaga perantara dan pihak lain yang ditetapkan oleh
Bank Indonesia.
16. Central Registry adalah Bank Indonesia yang melakukan fungsi Penatausahaan
Surat Berharga untuk kepentingan Bank, Sub-Registry dan pihak lain yang
disetujui oleh Bank Indonesia.
17. Sub-Registry adalah Bank dan lembaga yang melakukan kegiatan kustodian, yang
disetujui Bank Indonesia untuk melakukan fungsi Penatausahaan Surat Berharga
untuk kepentingan nasabah.
18. Setelmen Surat Berharga adalah perpindahan kepemilikan Surat Berharga antar
pemilik rekening Surat Berharga yang tercatat dalam BI-SSSS dalam rangka
pelaksanaan setelmen transaksi Surat Berharga melalui BI-SSSS.
19. Setelmen Dana adalah perpindahan dana antar pemilik rekening giro Rupiah di
Bank Indonesia melalui Sistem BI-RTGS dalam rangka pelaksanaan setelmen
transaksi Surat Berharga melalui BI-SSSS.
20. Delivery Versus Payment yang selanjutnya disebut DVP adalah setelmen transaksi
Surat Berharga dengan cara Setelmen Surat Berharga melalui BI-SSSS dilakukan
bersamaan dengan Setelmen Dana di Bank Indonesia melalui Sistem BI-RTGS.
21. Free of Payment yang selanjutnya disebut FoP adalah setelmen transaksi Surat
Berharga dengan cara Setelmen Surat Berharga dilakukan melalui BI-SSSS,
sedangkan Setelmen Dana dilakukan tidak secara bersamaan dengan Setelmen
Surat Berharga atau tanpa Setelmen Dana.
BAB II …
-6-
BAB II
PENYELENGGARA DAN PESERTA BI-SSSS
Pasal 2
Penyelenggara adalah Bank Indonesia.
Pasal 3
(1) Pihak-pihak yang wajib menjadi Peserta adalah pihak yang mempunyai fungsi
sebagai:
a. Peserta Lelang SUN; dan atau
b. Peserta OPT; dan atau
c. Pemilik rekening Surat Berharga di Central Registry.
(2) Dalam hal Bank melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional serta kegiatan
usaha berdasarkan prinsip syariah, kepesertaan Bank yang melaksanakan kegiatan
usaha secara konvensional wajib dipisahkan dari kepesertaan Unit Usaha Syariah
(UUS).
Pasal 4
Status kepesertaan dalam BI-SSSS terdiri atas :
a.
aktif (active);
b.
diberhentikan sementara (suspend); dan
c. diberhentikan secara permanen (close).
Pasal 5 …
-7-
Pasal 5
(1) Peserta dengan status kepesertaan aktif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 butir
a, berhak melakukan seluruh kegiatan sesuai dengan fungsi Peserta dalam BI-
SSSS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1).
(2) Peserta dengan status kepesertaan diberhentikan sementara (suspend) sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 butir b, tidak dapat melakukan kegiatan Transaksi
Dengan Bank Indonesia dan setelmen transaksi Surat Berharga, kecuali kegiatan
untuk memperoleh informasi yang terdapat dalam BI-SSSS.
(3) Peserta dengan status kepesertaan diberhentikan secara permanen (close)
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 butir c, tidak dapat melakukan seluruh
kegiatan operasional BI-SSSS.
Pasal 6
(1) Penyelenggara dapat mengubah status kepesertaan Peserta berdasarkan permintaan
tertulis atau keputusan lembaga yang berwenang dalam pengawasan Peserta.
(2) Permintaan tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mencakup perubahan
status kepesertaan Peserta sebagai berikut :
a. dari status kepesertaan aktif menjadi diberhentikan sementara (suspend) atau
sebaliknya; atau
b. dari status kepesertaan aktif menjadi diberhentikan secara permanen (close);
atau
c. dari status kepesertaan diberhentikan sementara (suspend) menjadi
diberhentikan secara permanen (close).
Pasal 7 …
-8-
Pasal 7
(1) Dalam hal Peserta adalah peserta Sistem BI-RTGS maka status diberhentikan
sementara (suspend) atau status diberhentikan secara permanen (close)
kepesertaan BI-SSSS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) dan ayat (3),
tidak menyebabkan perubahan status kepesertaan dalam Sistem BI-RTGS.
(2) Dalam hal Peserta adalah peserta Sistem BI-RTGS maka status ditangguhkan
(suspend) atau dibekukan (freeze) dalam Sistem BI-RTGS tidak menyebabkan
perubahan status kepesertaan BI-SSSS.
(3) Dalam hal status Peserta BI-SSSS aktif, namun apabila status yang bersangkutan
dalam Sistem BI-RTGS dalam kondisi ditangguhkan (suspend) atau dibekukan
(freeze) sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) maka kegiatan Peserta dibatasi
sebagai berikut :
a. Dalam kondisi ditangguhkan (suspend) dalam Sistem BI-RTGS, Peserta tidak
dapat melakukan pembelian Surat Berharga secara DVP karena tidak dapat
melakukan Setelmen Dana kepada pihak penjual melalui Sistem BI-RTGS.
b. Dalam kondisi dibekukan (freeze) dalam Sistem BI-RTGS, Peserta tidak dapat
melakukan Setelmen Dana baik untuk pembelian maupun penjualan Surat
Berharga secara DVP serta penerimaan atas pembayaran kupon atau bonus,
pokok Surat Berharga dan atau penempatan atau penitipan dana lainnya saat
jatuh waktu.
(4) Dalam hal Peserta adalah peserta Sistem BI-RTGS dan status kepesertaannya
dalam Sistem BI-RTGS ditutup (close) maka status kepesertaan BI-SSSS
diberhentikan secara permanen (close).
Pasal 8 …
-9-
Pasal 8
Hubungan hukum antara Penyelenggara dengan Peserta dituangkan dalam “Perjanjian
Penggunaan BI-SSSS antara Bank Indonesia dengan Peserta”.
Pasal 9
Persyaratan menjadi Peserta :
a. Memiliki sarana dan prasarana BI-SSSS serta back-up yang ditentukan oleh Bank
Indonesia; dan
b. menandatangani “Perjanjian Penggunaan BI-SSSS antara Bank Indonesia dengan
Peserta” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8.
Pasal 10
Peserta wajib :
a. menjaga kelancaran dan keamanan dalam penggunaan BI-SSSS;
b. bertanggungjawab atas kebenaran transaksi dan atau instruksi setelmen transaksi
Surat Berharga yang dikirim Peserta kepada Penyelenggara melalui BI-SSSS; dan
c. memenuhi ketentuan terkait dan perjanjian yang ditetapkan oleh Bank Indonesia
dan atau Penyelenggara maupun kesepakatan tertulis antar Peserta (By-Laws).
BAB III
KOMPONEN DAN FUNGSI BI-SSSS
Pasal 11
(1) Komponen BI-SSSS dan fungsi utama dari masing-masing komponen adalah
sebagai berikut :
a. Automatic …
-10-
a. Automatic Bidding System Central Computer (BidCC) di Penyelenggara,
yang berfungsi sebagai sarana Transaksi Dengan Bank Indonesia;
b. SSSS Central Computer (SCC) di Penyelenggara, yang berfungsi sebagai
sarana penatausahaan Transaksi Dengan Bank Indonesia dan Penatausahaan
Surat Berharga; dan
c. SSSS Terminal (ST) di Peserta, yang berfungsi sebagai sarana pengiriman
Transaksi Dengan Bank Indonesia dan pengiriman instruksi setelmen
transaksi Surat Berharga ke Penyelenggara.
(2) Selain fungsi utama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), BI-SSSS mempunyai
fungsi pendukung dalam distribusi informasi dan komunikasi dari dan ke
Penyelenggara serta antar Peserta.
BAB IV
TRANSAKSI DENGAN BANK INDONESIA
Pasal 12
Transaksi Dengan Bank Indonesia dilakukan Peserta dalam rangka:
a. Pelaksanaan OPT oleh Bank Indonesia sesuai ketentuan yang berlaku antara lain
mencakup kegiatan :
1) penerbitan dan penjualan SBI secara lelang dan bukan lelang di pasar
perdana; dan atau
2) penjualan dan pembelian SBI dan SUN secara lelang dan bukan lelang di
pasar sekunder; dan atau
3) penyediaan FASBI dalam Rupiah; dan atau
4) penyediaan SWBI; dan atau
5) OPT lainnya.
b. Pemberian …
-11-
b. Pemberian fasilitas pendanaan Bank Indonesia kepada Bank yang mencakup
Fasilitas Likuiditas Intrahari, Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek dan Fasilitas
Pembiayaan Jangka Pendek Bagi Bank Syariah serta fasilitas pendanaan lainnya
yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
c. Pelaksanaan transaksi SUN oleh Bank Indonesia untuk dan atas nama Pemerintah
yang mencakup kegiatan :
1) penjualan SUN secara lelang di pasar perdana; dan atau
2) penjualan dan pembelian SUN secara lelang dan bukan lelang di pasar
sekunder.
Pasal 13
(1) Dalam hal Bank sebagai Peserta menunjuk Peserta lain sebagai perantara (broker)
untuk melakukan transaksi OPT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 butir a dan
atau transaksi SUN yang dilaksanakan oleh Bank Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 12 butir c, yang bersangkutan wajib menetapkan batas
maksimum nominal penawaran (broker bidding limit) per hari bagi broker yang
ditunjuk.
(2) Ketentuan penetapan batas maksimum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
wajib diatur dalam perjanjian tersendiri antara Bank dengan broker.
BAB V …
-12-
BAB V
PENATAUSAHAAN
Bagian Pertama
Penatausahaan Transaksi Dengan Bank Indonesia
Pasal 14
(1) Bank Indonesia melakukan penatausahaan Transaksi Dengan Bank Indonesia
dengan menggunakan sarana BI-SSSS.
(2) Penatausahaan Transaksi Dengan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) mencakup kegiatan penatausahaan transaksi OPT, penatausahaan fasilitas
pendanaan Bank Indonesia kepada Bank dan penatausahaan transaksi SUN untuk
dan atas nama Pemerintah.
(3) Penatausahaan transaksi OPT dengan instrumen Surat Berharga dan
penatausahaan transaksi SUN untuk dan atas nama Pemerintah termasuk dalam
Penatausahaan Surat Berharga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 sampai
dengan Pasal 22.
(4) Penatausahaan transaksi OPT dalam bentuk penyediaan FASBI dalam Rupiah dan
penyediaan SWBI mencakup kegiatan setelmen, pencatatan kepemilikan,
perhitungan diskonto atau pembayaran bonus dan pembayaran nominal FASBI
dan SWBI pada saat jatuh waktu.
(5) Dalam rangka setelmen transaksi OPT, Bank Indonesia berwenang untuk
mendebet rekening giro Rupiah Bank Peserta di Bank Indonesia melalui Sistem
BI-RTGS atau mendebet rekening Surat Berharga Peserta di BI-SSSS yang
melakukan transaksi OPT.
(6) Dalam rangka setelmen transaksi OPT sebagaimana dimaksud dalam ayat (5),
Bank wajib memiliki saldo yang mencukupi pada rekening giro Rupiah Bank di
Bank Indonesia untuk pelaksanaan Setelmen Dana baik untuk dan atas nama
sendiri …
-13-
sendiri maupun untuk dan atas nama Peserta lain yang menunjuk Bank tersebut
sebagai Bank pembayar.
(7) Dalam rangka setelmen transaksi OPT sebagaimana dimaksud dalam ayat (5),
Peserta wajib memiliki saldo yang mencukupi pada rekening Surat Berharga
Peserta di BI-SSSS untuk pelaksanaan Setelmen Surat Berharga.
(8) Dalam hal Bank dan atau Peserta tidak dapat memenuhi kewajiban sebagaimana
dimaksud dalam ayat (6) dan ayat (7), Bank Indonesia mengenakan sanksi sesuai
ketentuan mengenai OPT yang berlaku.
Pasal 15
(1) Penatausahaan fasilitas pendanaan Bank Indonesia kepada Bank mencakup
kegiatan setelmen, perhitungan dan pembayaran bunga atau imbalan atas
penggunaan fasilitas pendanaan, pelunasan fasilitas pendanaan saat jatuh waktu,
serta pelaksanaan eksekusi agunan dalam hal Bank tidak dapat memenuhi
kewajiban.
(2) Bank Indonesia berwenang untuk mendebet rekening giro Rupiah Bank Peserta di
Bank Indonesia melalui Sistem BI-RTGS untuk memenuhi kewajiban bunga dan
pelunasan pokok fasilitas pendanaan pada saat jatuh waktu.
(3) Dalam hal Bank tidak dapat memenuhi kewajiban fasilitas pendanaan pada saat
jatuh waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), Bank Indonesia berwenang
melaksanakan eksekusi agunan sesuai ketentuan yang berlaku mengenai fasilitas
pendanaan Bank Indonesia kepada Bank.
Bagian …
-14-
Bagian Kedua
Penatausahaan Surat Berharga
Pasal 16
(1) Bank Indonesia melakukan Penatausahaan Surat Berharga yang diterbitkan oleh
Bank Indonesia dan Pemerintah Republik Indonesia secara elektronis dengan
menggunakan sarana BI-SSSS.
(2) Dalam melakukan Penatausahaan Surat Berharga sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1), Bank Indonesia sebagai Central Registry melakukan fungsi pencatatan
kepemilikan Surat Berharga, kliring dan setelmen serta agen pembayar bunga
(kupon) dan pelunasan pokok Surat Berharga.
(3) Bank Indonesia sebagai Central Registry dapat menunjuk Sub-Registry dan atau
bekerjasama dengan pihak lain untuk mendukung Penatausahaan Surat Berharga
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2).
(4) Persyaratan penunjukan dan pencabutan Sub-Registry serta kewajiban pelaporan
ditetapkan lebih lanjut dengan Surat Edaran Bank Indonesia.
(5) Dalam hal Bank Indonesia menunjuk Sub-Registry maka Bank Indonesia
berwenang melakukan pengawasan terhadap kegiatan Sub-Registry yang terkait
dengan Penatausahaan Surat Berharga.
(6) Bank Indonesia dapat mengenakan sanksi kepada Sub-Registry atas pelanggaran
terhadap ketentuan mengenai Sub-Registry yang berlaku.
(7) Sanksi sebagaimana dimaksud dalam ayat (6) dapat berupa pemberhentian
sementara atau pencabutan atas penunjukannya sebagai Sub-Registry.
Pasal 17 …
-15-
Pasal 17
(1) Pencatatan kepemilikan Surat Berharga dilakukan tanpa warkat (scripless) dan
secara book entry.
(2) Pencatatan kepemilikan Surat Berharga dilakukan secara two tier system yang
terdiri dari:
a.
Central Registry yang melakukan pencatatan dan perubahan kepemilikan
Surat Berharga untuk kepentingan Bank, Sub-Registry dan pihak lain yang
disetujui Bank Indonesia; dan
b. Sub-Registry yang melakukan pencatatan dan perubahan kepemilikan Surat
Berharga untuk kepentingan nasabah.
(3) Catatan kepemilikan Surat Berharga pada Central Registry dan Sub-Registry
merupakan bukti kepemilikan yang sah.
Pasal 18
(1) Pencatatan kepemilikan Surat Berharga pada rekening Surat Berharga Sub-
Registry di Central Registry bersifat global (omnibus account).
(2) Pencatatan kepemilikan Surat Berharga pada rekening Surat Berharga Sub-
Registry di Central Registry sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) bukan
merupakan bukti kepemilikan Surat Berharga atas nama Sub-Registry.
(3) Kepemilikan Surat Berharga atas nama nasabah wajib dicatat secara terpisah dari
aset Sub-Registry.
(4) Sub-Registry tidak diperbolehkan memelihara rekening Surat Berharga untuk dan
atas nama diri sendiri, pengurus, pemegang saham dan pengelola serta pegawai.
Pasal 19 …
-16-
Pasal 19
(1) Setelmen transaksi Surat Berharga di pasar perdana dan di pasar sekunder terdiri
dari Setelmen Surat Berharga atau Setelmen Surat Berharga dan Setelmen Dana.
(2) Setelmen transaksi Surat Berharga di pasar perdana dan di pasar sekunder
dilakukan atas dasar prinsip DVP.
(3) Setelmen transaksi Surat Berharga secara DVP dilakukan atas dasar sistem
setelmen gross to gross atau gross to gross dan gross to net.
(4) Setelmen transaksi Surat Berharga di pasar perdana dan di pasar sekunder secara
FoP hanya dilakukan untuk perpindahan kepemilikan Surat Berharga dalam
rangka hibah, warisan, pelunasan kewajiban dari dan kepada Bank Indonesia atau
Pemerintah dan tujuan lainnya.
(5) Setelmen transaksi Surat Berharga di pasar sekunder termasuk tetapi tidak terbatas
pada setelmen transaksi jual putus (outright), repurchase aggreement (repo),
pinjam meminjam Surat Berharga (securities borrowing and lending), dan
pencatatan agunan (pledge).
Pasal 20
(1) Dalam melakukan transaksi pembelian Surat Berharga, pihak yang tidak memiliki
rekening Surat Berharga di Central Registry wajib menunjuk Sub-Registry.
(2) Dalam hal Peserta pemilik rekening Surat Berharga di Central Registry bukan
peserta Sistem BI-RTGS, yang bersangkutan wajib menunjuk Bank peserta Sistem
BI-RTGS sebagai Bank penerima dan atau pembayar untuk melakukan Setelmen
Dana dan atau pembayaran kewajiban lainnya.
(3) Bank peserta Sistem BI-RTGS yang ditunjuk sebagai Bank pembayar dalam
Setelmen Dana sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) wajib menetapkan batas
maksimum …
-17-
maksimum nominal per transaksi dan total nominal transaksi per hari untuk setiap
Peserta yang menunjuk Bank dimaksud.
(4) Ketentuan penetapan batas maksimum sebagaimana dimaksud dalam ayat (3)
wajib diatur dalam perjanjian tersendiri antara Bank peserta Sistem BI-RTGS
dengan Peserta yang menunjuk Bank dimaksud.
(5) Dalam memenuhi kewajiban setelmen Surat Berharga, Peserta yang melakukan
transaksi Surat Berharga di pasar sekunder wajib memiliki saldo Surat Berharga
yang mencukupi di Central Registry.
(6) Dalam memenuhi kewajiban Setelmen Dana, Bank Peserta yang melakukan
transaksi Surat Berharga baik untuk dan atas nama diri sendiri maupun untuk dan
atas nama pihak lain, wajib memiliki saldo yang mencukupi pada rekening giro
Rupiah di Bank Indonesia.
(7) Dalam hal Peserta yang melakukan transaksi Surat Berharga tidak dapat
memenuhi kewajiban untuk Setelmen Surat Berharga dan atau Setelmen Dana
maka setelmen untuk transaksi yang bersangkutan tidak dapat dilakukan dan
secara otomatis akan dibatalkan oleh sistem setelah berakhirnya jam operasional
BI-SSSS yang ditetapkan oleh Penyelenggara.
Pasal 21
(1) Dalam rangka setelmen transaksi SUN untuk dan atas nama Pemerintah, Bank
Indonesia berwenang untuk :
a. mendebet rekening giro Rupiah Bank Peserta di Bank Indonesia melalui
Sistem BI-RTGS yang melakukan pembelian baik untuk dan atas nama diri
sendiri maupun untuk dan atas nama pihak lain; atau
b. mendebet rekening Surat Berharga Peserta sebagai penjual; dan
c. mendebet …
-18-
c. mendebet rekening Surat Berharga Pemerintah atau rekening giro Rupiah
Pemerintah di Bank Indonesia dalam rangka setelmen transaksi SUN.
(2) Dalam hal Bank dan atau Peserta tidak dapat memenuhi kewajiban setelmen
transaksi SUN dengan Pemerintah, Bank Indonesia mengenakan sanksi sesuai
ketentuan mengenai SUN yang berlaku.
Pasal 22
(1) Bank Indonesia melakukan pembayaran bunga (kupon) dan pokok Surat Berharga
pada saat jatuh waktu kepada pemilik Surat Berharga yang tercatat dalam BI-SSSS
atas beban penerbit dengan mengkredit rekening giro Rupiah Bank Peserta di
Bank Indonesia melalui Sistem BI-RTGS.
(2) Bank Indonesia dapat melakukan pembayaran pokok Surat Berharga sebelum
tanggal jatuh waktu dan accrued interest atas bunga (kupon) berdasarkan
permintaan penerbit secara tertulis dengan persetujuan pemilik Surat Berharga.
(3) Dalam melakukan pembayaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat
(2), Bank Indonesia berwenang untuk mendebet rekening giro Rupiah Pemerintah
di Bank Indonesia.
(4) Dalam hal Peserta pemilik rekening Surat Berharga bukan peserta Sistem BI-
RTGS, Peserta dimaksud wajib menunjuk Bank peserta Sistem BI-RTGS untuk
menerima pembayaran bunga (kupon) dan pelunasan pokok Surat Berharga.
BAB VI …
-19-
BAB VI
WAKTU OPERASIONAL BI-SSSS
Pasal 23
(1) Penyelenggaraan BI-SSSS diadakan setiap hari kerja kecuali ditetapkan lain oleh
Penyelenggara.
(2) Operasional BI-SSSS dilakukan pada jam operasional yang ditetapkan oleh
Penyelenggara.
(3) Perubahan jam operasional dapat dilakukan berdasarkan:
a.
b.
kebijakan Penyelenggara; atau
permintaan Peserta.
(4) Perubahan jam operasional berdasarkan kebijakan Penyelenggara sebagaimana
dimaksud dalam ayat (3) butir a dilakukan dalam hal terjadi:
a. kerusakan pada sistem BI-SSSS; atau
b. adanya kebijakan yang menyebabkan Bank Indonesia harus melakukan
setelmen melebihi jam operasional BI-SSSS.
(5) Perubahan jam operasional berdasarkan permintaan Peserta sebagaimana
dimaksud dalam ayat (3) butir b dilakukan untuk permintaan perpanjangan jam
operasional dalam hal terjadi:
a.
kondisi darurat pada lokasi produksi BI-SSSS Peserta; atau
b. kerusakan pada SSSS Terminal (ST) Peserta sehingga waktu yang tersedia
untuk melakukan Transaksi Dengan Bank Indonesia dan atau setelmen
transaksi Surat Berharga menjadi terbatas.
(6) Waktu operasional BI-SSSS sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2),
persyaratan dan tata cara perubahannya sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) dan
ayat (5), ditetapkan dengan Surat Edaran Bank Indonesia.
BAB VII …
-20-
BAB VII
LAPORAN
Pasal 24
(1) Pada saat penutupan sistem akhir hari, Peserta dapat mencetak laporan aktifitas
transaksi dan setelmen keseluruhan pada hari tersebut antara lain namun tak
terbatas pada laporan mutasi Surat Berharga dan posisi akhir kepemilikan Surat
Berharga milik Peserta.
(2) Dalam hal terjadi perbedaan data laporan antara Peserta dan Penyelenggara maka
yang dianggap benar adalah data yang dimiliki oleh Penyelenggara.
BAB VIII
BIAYA
Pasal 25
(1) Penyelenggara menetapkan jenis dan besarnya biaya penggunaan BI-SSSS yang
wajib dibayar oleh Peserta.
(2) Penyelenggara berwenang untuk mendebet rekening giro Rupiah Bank Peserta di
Bank Indonesia dalam rangka pembebanan biaya penggunaan BI-SSSS.
(3) Jenis dan besarnya biaya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan
Surat Edaran Bank Indonesia.
(4) Dalam hal Peserta mengajukan permintaan perpanjangan jam operasional
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (5) maka Peserta dikenakan biaya
sesuai ketentuan Sistem BI-RTGS yang berlaku.
BAB IX …
-21-
BAB IX
PENGAWASAN
Pasal 26
(1) Penyelenggara berwenang melakukan pengawasan terhadap peserta atas
penggunaan BI-SSSS.
(2) Pelaksanaan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara
langsung atau tidak langsung secara berkala atau sewaktu-waktu.
(3) Penyelenggara dapat menugasi pihak lain untuk dan atas nama Bank Indonesia
melaksanakan pengawasan secara langsung sebagaimana dimaksud dalam ayat (2).
(4) Dalam rangka pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3),
Peserta wajib memberikan:
a. Informasi dan data yang terkait dengan pelaksanaan penggunaan BI-SSSS;
b. Kesempatan untuk melakukan pengawasan secara langsung sarana fisik dan
aplikasi pendukungnya yang terkait dengan operasional BI-SSSS.
(5) Pihak lain yang ditugasi Bank Indonesia untuk melaksanakan pengawasan secara
langsung sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) wajib merahasiakan informasi dan
data yang diperoleh dalam pengawasan.
BAB X
SANKSI
Pasal 27
Dalam hal Peserta tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10,
Penyelenggara dapat mengenakan sanksi berupa teguran tertulis, diberhentikan
sementara (suspend), atau diberhentikan secara permanen (close) dari statusnya sebagai
Peserta.
BAB XI …
-22-
BAB XI
KEADAAN DARURAT
Pasal 28
(1) Dalam hal terjadi gangguan BI-SSSS di luar kemampuan Peserta dan atau
Penyelenggara (force majeur), Penyelenggara akan memberlakukan prosedur dan
rencana mengatasi keadaan darurat (contingency plan).
(2) Prosedur dan rencana mengatasi keadaan darurat (contingency plan) akan
ditetapkan lebih lanjut dengan Surat Edaran Bank Indonesia.
BAB XII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 29
Bank dan pihak lain yang pada saat ditetapkannya Peraturan Bank Indonesia ini telah
menjadi peserta Sistem BI-RTGS, Peserta OPT, Peserta Lelang SUN, Sub-Registry dan
pemilik rekening Surat Berharga di Central Registry dianggap telah menjadi Peserta
berdasarkan Peraturan Bank Indonesia ini sepanjang telah memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9.
BAB XIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 30
Ketentuan pelaksanaan dari Peraturan Bank Indonesia ini diatur lebih lanjut dengan
Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 31 …
-23-
Pasal 31
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 16 Februari 2004
a.n. GUBERNUR BANK INDONESIA
ANWAR NASUTION
DEPUTI GUBERNUR SENIOR
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2004 NOMOR 15
DPM
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 6/2/PBI/2004
TENTANG
BANK INDONESIA - SCRIPLESS SECURITIES SETTLEMENT SYSTEM
(BI-SSSS)
UMUM
Dalam rangka penjualan Surat Utang Negara (SUN) di pasar perdana, Bank
Indonesia dapat ditunjuk sebagai agen lelang yang melakukan lelang secara terbuka
kepada masyarakat dengan penyampaian penawaran melalui peserta lelang.
Selanjutnya Bank Indonesia juga berfungsi sebagai penatausaha SUN yang bertindak
sebagai Central Registry yang melakukan kegiatan pencatatan penerbitan dan
pencatatan kepemilikan, kliring dan setelmen serta pembayaran bunga (kupon) dan
pelunasan pokok SUN. Dalam menatausahakan SUN yang diperdagangkan secara
tanpa warkat (scripless), Bank Indonesia menggunakan penatausahaan secara
elektronis dengan sistem Book Entry Registry (BER) yang dikenal dengan Bank
Indonesia Sistem Kliring, Registrasi, Informasi dan Penatausahaan Surat Berharga
(BI-SKRIP).
Dalam pelaksanaan Operasi Pasar Terbuka (OPT), Bank Indonesia
menggunakan sarana Automatic Bidding System (ABS) yang disediakan oleh pihak
lain untuk melakukan transaksi Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dan Fasilitas
Simpanan Bank Indonesia (FASBI). Sistem ABS ini tidak terhubung dengan sistem
penatausahaan Bank Indonesia, sehingga pelaksanaan setelmen kurang efisien. Selain
itu …
-2-
itu sarana transaksi dan penatausahaan lainnya seperti fasilitas pendanaan Bank
Indonesia kepada Bank dan penyediaan Sertifikat Wadiah Bank Indonesia (SWBI)
juga masih dilakukan secara manual.
Sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan efisiensi penatausahaan SBI,
sejak tahun 2002 SBI sebagai instrumen utama dalam kegiatan OPT mulai beralih
dari bentuk warkat menjadi tanpa warkat (scripless). Penatausahaan SBI scripless
menggunakan sarana yang sama dengan penatausahaan SUN yaitu BI-SKRIP. Namun
demikian, BI-SKRIP sebagai sarana penatausahaan SUN dan SBI belum terhubung
langsung (online) dengan pemilik surat berharga sebagai pelaku pasar. Proses
setelmen transaksi yang dilakukan oleh pelaku pasar masih secara manual dimana
pelaku pasar mengirimkan formulir berupa instruksi setelmen penjualan atau
pembelian kepada Bank Indonesia sebagai Central Registry, sehingga risiko setelmen
masih dihadapi oleh pelaku pasar.
Sejalan dengan perkembangan transaksi SUN yang semakin meningkat maka
infrastruktur penatausahaan surat berharga yang aman, akurat, terpercaya dan cepat,
menjadi prasyarat penting untuk dapat mendukung pengembangan pasar sekunder
SUN. Lebih lanjut perkembangan pasar sekunder SUN selain akan mendukung
Pemerintah dalam membiayai defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(APBN) juga memberi peluang bagi Bank Indonesia untuk menggunakan SUN
sebagai alternatif instrumen OPT yang lebih efektif.
Dengan pertimbangan tersebut di atas, dalam rangka otomasi sistem untuk
meningkatkan efisiensi pelaksanaan transaksi Bank Indonesia dan penatausahaannya
termasuk penatausahaan SUN dan SBI maka Bank Indonesia mengimplementasikan
sistem baru menggantikan BI-SKRIP. Sistem tersebut menggabungkan sistem transaksi
Bank Indonesia dan penatausahaannya dalam satu sistem yang terintegrasi dan
terhubung langsung (on-line) antara Bank Indonesia dengan para pelaku pasar. Sistem
yang …
-3-
yang dikenal dengan Bank Indonesia - Scripless Securities Settlement System (BI-SSSS)
ini mencakup sistem lelang elektronis dan sarana transaksi dengan Bank Indonesia,
sistem informasi dan sistem setelmen surat berharga antar pengguna BI-SSSS.
Pengembangan sistem setelmen surat berharga secara seamless dengan sistem setelmen
dana peserta melalui Sistem Bank Indonesia – Real Time Gross Settlement (Sistem BI-
RTGS) memungkinkan pelaku pasar memanfaatkan fasilitas setelmen secara Delivery
Versus Payment (DVP) yang dapat dilakukan secara cepat dan seketika sehingga risiko
setelmen dapat diminimalkan.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas
Pasal 2
Cukup jelas
Pasal 3
Ayat (1)
Butir a
Cukup jelas
Butir b
Cukup jelas
Butir c
Pemilik rekening Surat Berharga di Central Registry terdiri dari Bank, Sub-
Registry dan pihak-pihak lain yang disetujui Bank Indonesia.
Ayat (2) …
-4-
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 4
Cukup jelas
Pasal 5
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Informasi yang dapat diperoleh dari BI-SSSS antara lain posisi kepemilikan
Surat Berharga dan informasi mengenai Surat Berharga yang diperdagangkan di
pasar sekunder.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 6
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan lembaga yang berwenang dalam pengawasan Peserta
adalah Bank Indonesia dalam hal Peserta adalah Bank dan Perusahaan Pialang
Pasar Uang dan Valuta Asing, Badan Pengawasan Pasar Modal (Bapepam)
dalam hal Peserta adalah Perusahaan Efek.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 7 …
-5-
Pasal 7
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Butir a
Cukup jelas
Butir b
Pembayaran kupon atau bonus dan pelunasan pokok Surat Berharga yang
jatuh waktu bagi Peserta dengan kondisi kepesertaan dalam Sistem BI-
RTGS berstatus dibekukan (freeze) akan ditampung dalam rekening khusus
(escrow account) di Bank Indonesia.
Ayat (4)
Sarana penghubung antara RTGS Terminal (RT) ke RTGS Central Computer
(RCC) dan antara SSSS Terminal (ST) ke SSSS Central Computer (SCC)
menggunakan satu jaringan komunikasi yang sama sehingga Peserta Sistem BI-
RTGS yang telah ditutup (close) juga tidak dapat melakukan hubungan secara
on-line ke SCC.
Pasal 8
Cukup jelas
Pasal 9
Butir a
Yang dimaksud dengan back-up adalah sistem teknologi informasi cadangan
yang memiliki aplikasi dan data yang sama dengan yang ada pada sistem utama.
Butir b …
-6-
Butir b
Cukup jelas
Pasal 10
Butir a
Yang dimaksud dengan menjaga keamanan dalam BI-SSSS diantaranya adalah
menjaga keamanan fisik perangkat keras (hardware) dan perangkat lunak
(software) serta pengaturan kewenangan internal pengguna dalam pemakaian
aplikasi BI-SSSS.
Butir b
Cukup jelas
Butir c
Yang dimaksud dengan ketentuan terkait antara lain ketentuan mengenai Sistem
BI-RTGS, OPT, SBI dan fasilitas pendanaan Bank Indonesia kepada Bank.
Yang dimaksud dengan By-Laws adalah kesepakatan tertulis antar Peserta yang
bertujuan untuk mencapai keseragaman dalam pelaksanaan setelmen transaksi
Surat Berharga diantara para Peserta.
Pasal 11
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 12
Butir a
Cukup jelas
Butir b …
-7-
Butir b
Yang dimaksud dengan Fasilitas Likuiditas Intrahari yang selanjutnya disebut
FLI adalah fasilitas pendanaan selama jam operasional Sistem BI-RTGS berupa
suatu nilai maksimum tertentu yang disediakan oleh Bank Indonesia untuk Bank
Peserta BI-RTGS guna mengatasi kesulitan pendanaan jangka sangat pendek
dalam rangka mendukung kelancaran sistem pembayaran nasional, sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan FLI.
Yang dimaksud dengan Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek yang selanjutnya
disebut FPJP adalah fasilitas pendanaan dari Bank Indonesia kepada Bank yang
hanya dapat digunakan untuk mengatasi kesulitan pendanaan jangka pendek,
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan FPJP.
Yang dimaksud dengan Fasilitas Pembiayaan Jangka Pendek Bagi Bank Syariah
yang selanjutnya disebut FPJPS adalah fasilitas pembiayaan dari Bank Indonesia
kepada Bank Syariah yang hanya dapat digunakan untuk mengatasi kesulitan
pendanaan jangka pendek, sebagaimana dimaksud dalam ketentuan FPJPS.
Butir c
Cukup jelas
Pasal 13
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan broker adalah Perusahaan Pialang Pasar Uang dan
Valuta Asing dan atau Perusahaan Efek yang disetujui dan atau ditunjuk sebagai
peserta OPT dan atau Peserta Lelang SUN.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 14 …
-8-
Pasal 14
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
Ayat (7)
Cukup jelas
Ayat (8)
Cukup jelas
Pasal 15
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 16 …
-9-
Pasal 16
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
Ayat (7)
Cukup jelas
Pasal 17
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan book entry adalah pencatatan kepemilikan dan
perpindahan kepemilikan tanpa warkat (scripless) dalam suatu jurnal elektronis.
Ayat (2)
Cukup Jelas
Ayat (3)
Cukup Jelas
Pasal 18 …
-10-
Pasal 18
Ayat (1)
Pencatatan rinci per nasabah individual dilakukan oleh Sub-Registry secara book
entry dalam sistem penatausahaan yang bersangkutan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 19
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Gross to gross adalah proses setelmen dimana Setelmen Surat Berharga dan
Setelmen Dana dilakukan berdasarkan transaksi per transaksi.
Gross to net adalah proses setelmen dimana Setelmen Surat Berharga dilakukan
secara transaksi per transaksi sedangkan Setelmen Dana dilakukan secara
keseluruhan setelah proses perhitungan transaksi jual beli Surat Berharga (netting
system).
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan tujuan lainnya misalnya perpindahan kepemilikan Surat
Berharga dalam rangka penutupan rekening Surat Berharga dan jual beli Surat
Berharga …
-11-
Berharga antar nasabah dalam Sub-Registry yang sama tetapi dengan tipe
investor dan atau status residen berbeda.
Ayat (5)
Yang dimaksud dengan outright adalah transaksi pembelian atau penjualan Surat
Berharga secara lepas atau putus tanpa kewajiban untuk menjual atau membeli
kembali.
Yang dimaksud dengan repurchase agreement (repo) adalah transaksi penjualan
Surat Berharga secara bersyarat dengan kewajiban pembelian kembali Surat
Berharga dimaksud sesuai dengan harga dan jangka waktu yang telah disepakati.
Yang dimaksud dengan securities borrowing and lending adalah transaksi
pinjam meminjam Surat Berharga sesuai jangka waktu yang telah disepakati.
Yang dimaksud dengan pencatatan agunan (pledge) adalah transaksi pengagunan
Surat Berharga antar Peserta BI-SSSS sesuai jangka waktu yang telah disepakati.
Pasal 20
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan kewajiban lainnya antara lain untuk pembebanan sanksi
dan atau biaya dalam rangka penggunaan BI-SSSS.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5) …
-12-
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
Ayat (7)
Cukup jelas
Pasal 21
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 22
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 23
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2) …
-13-
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Perubahan jam operasional BI-SSSS hanya dapat dilakukan melalui perubahan
jam operasional Sistem BI-RTGS.
Butir a
Yang dimaksud lokasi produksi adalah lokasi yang ditetapkan oleh Peserta
untuk menempatkan SSSS Terminal (ST).
Butir b
Yang dimaksud SSSS Terminal (ST) adalah terminal komputer sebagai
sarana bagi Peserta untuk melakukan transaksi dengan Bank Indonesia dan
setelmen Surat Berharga.
Ayat (6)
Cukup jelas
Pasal 24
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 25 …
-14-
Pasal 25
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan biaya adalah biaya-biaya yang dibebankan kepada
Peserta antara lain biaya atas setiap pengiriman data transaksi dan instruksi
setelmen serta permintaan data oleh Peserta ke dan dari Penyelenggara
(SCC/BidCC).
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 26
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan pihak lain antara lain adalah pihak ketiga yang
melakukan pengembangan aplikasi BI-SSSS, pihak ketiga sebagai penyedia jasa
komunikasi dan konsultan audit teknologi informasi.
Ayat (4)
Butir a
Yang dimaksud dengan informasi dan data antara lain data elektronik dan
penjelasan yang berkaitan dengan tujuan pengawasan pemeriksaan.
Butir b …
-15-
Butir b
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 27
Cukup jelas
Pasal 28
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan keadaan darurat (force majeur) adalah situasi atau
kondisi di luar normal sebagai akibat adanya peristiwa-peristiwa yang secara
langsung maupun tidak langsung mempengaruhi tugas Peserta dan atau
Penyelenggara dan terjadi di luar kekuasaan dan kemampuan Peserta dan atau
Penyelenggara sehingga satuan kerja operasional tidak dapat melakukan
tugasnya.
Contingency Plan adalah tahapan-tahapan yang harus dilakukan dalam hal BI-
SSSS tidak dapat berfungsi.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 29
Cukup jelas
Pasal 30 …
-16-
Pasal 30
Cukup jelas
Pasal 31
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4363
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 6/2/PBI/2004 </reg_id>
<reg_title> BANK INDONESIA - SCRIPLESS SECURITIES SETTLEMENT SYSTEM (BI-SSSS) </reg_title>
<set_date> 16 Februari 2004 </set_date>
<effective_date> 16 Februari 2004 </effective_date>
<related_reg> '23/UU/1999', '3/UU/2004', '7/UU/1992', '24/UU/2002', '10/UU/1998', '8/UU/1995' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB V Bagian Kedua Pasal 16 Ayat (7)', 'BAB X' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 18/16/PBI/2016
TENTANG
RASIO LOAN TO VALUE UNTUK KREDIT PROPERTI,
RASIO FINANCING TO VALUE UNTUK PEMBIAYAAN PROPERTI, DAN UANG
MUKA UNTUK KREDIT ATAU PEMBIAYAAN KENDARAAN BERMOTOR
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa dalam rangka meningkatkan permintaan domestik
guna terus mendorong pertumbuhan ekonomi nasional
dengan tetap menjaga stabilitas makroekonomi,
diperlukan penyesuaian terhadap
makroprudensial;
kebijakan
b. bahwa penyesuaian ketentuan makroprudensial
dilakukan untuk mendorong berjalannya fungsi
intermediasi perbankan dengan tetap memperhatikan
prinsip kehati-hatian dan perlindungan konsumen;
c. bahwa penyesuaian ketentuan makroprudensial
dilakukan antara lain melalui pengaturan rasio loan to
value untuk kredit properti dan rasio financing to value
untuk pembiayaan properti;
d. bahwa
berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu
menetapkan Peraturan Bank Indonesia tentang Rasio
Loan To Value untuk Kredit Properti, Rasio Financing To
- 2 -
Value untuk Pembiayaan Properti, dan Uang Muka untuk
Kredit atau Pembiayaan Kendaraan Bermotor;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah
beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6
Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun
1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4962);
2. Peraturan Bank Indonesia Nomor 16/11/PBI/2014
tentang Pengaturan dan Pengawasan Makroprudensial
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014
Nomor 141, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5546);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG RASIO LOAN TO
VALUE UNTUK KREDIT PROPERTI, RASIO FINANCING TO
VALUE UNTUK PEMBIAYAAN PROPERTI, DAN UANG MUKA
UNTUK KREDIT ATAU PEMBIAYAAN KENDARAAN
BERMOTOR.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan,
- 3 -
termasuk kantor cabang dari bank yang berkedudukan di
luar negeri, dan Bank Umum Syariah serta Unit Usaha
Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
yang mengatur mengenai perbankan syariah.
2. Kredit adalah kredit sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan.
3. Pembiayaan adalah pembiayaan sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai
perbankan syariah.
4. Properti adalah Rumah Tapak, Rumah Susun, dan
Rumah Toko atau Rumah Kantor.
5. Rumah Tapak adalah bangunan yang berfungsi sebagai
tempat tinggal yang merupakan kesatuan antara tanah
dan bangunan dengan bukti kepemilikan berupa surat
keterangan, sertifikat, atau akta yang dikeluarkan oleh
lembaga atau pejabat yang berwenang.
6. Rumah Susun adalah bangunan gedung bertingkat yang
dibangun dalam suatu lingkungan yang terbagi dalam
bagian yang distrukturkan secara fungsional baik dalam
arah horizontal maupun vertikal dan merupakan satuan
yang masing-masing dapat dimiliki dan digunakan secara
terpisah, antara lain griya tawang, kondominium,
apartemen, dan flat.
7. Rumah Toko atau Rumah Kantor adalah tanah berikut
bangunan yang izin pendiriannya sebagai rumah tinggal
sekaligus untuk tujuan komersial antara lain pertokoan,
perkantoran, atau gudang.
8. Kredit Properti yang selanjutnya disingkat KP adalah
kredit konsumsi yang terdiri atas:
a. Kredit yang diberikan Bank untuk pemilikan Rumah
Tapak, termasuk Kredit konsumsi beragun Rumah
Tapak, yang selanjutnya disebut KP Rumah Tapak;
b. Kredit yang diberikan Bank untuk pemilikan Rumah
Susun, termasuk Kredit konsumsi beragun Rumah
Susun, yang selanjutnya disebut KP Rusun; dan
- 4 -
c.
Kredit yang diberikan Bank untuk pemilikan Rumah
Toko atau Rumah Kantor, termasuk Kredit
konsumsi beragun Rumah Toko atau Rumah Kantor,
yang selanjutnya disebut KP Ruko atau KP Rukan.
9. Pembiayaan Properti yang selanjutnya disingkat PP
adalah Pembiayaan konsumsi yang terdiri atas:
a. Pembiayaan yang diberikan Bank untuk pemilikan
Rumah Tapak, termasuk Pembiayaan konsumsi
beragun Rumah Tapak, yang selanjutnya disebut PP
Rumah Tapak;
b. Pembiayaan yang diberikan Bank untuk pemilikan
Rumah Susun, termasuk Pembiayaan konsumsi
beragun Rumah Susun, yang selanjutnya disebut PP
Rusun; dan
c. Pembiayaan yang diberikan Bank untuk pemilikan
Rumah Toko atau Rumah Kantor, termasuk
Pembiayaan konsumsi beragun Rumah Toko atau
Rumah Kantor, yang selanjutnya disebut PP Ruko
atau PP Rukan.
10. Akad Murabahah adalah akad pembiayaan suatu barang
dengan menegaskan harga belinya kepada pembeli dan
pembeli membayarnya dengan harga yang lebih sebagai
keuntungan yang disepakati.
11. Akad Istishna’ adalah akad pembiayaan barang dalam
bentuk pemesanan pembuatan barang tertentu dengan
kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati antara
pemesan atau pembeli (mustashni’) dan penjual atau
pembuat (shani’).
12. Akad Musyarakah Mutanaqisah yang selanjutnya disebut
Akad MMQ adalah Pembiayaan musyarakah yang
kepemilikan aset (barang) atau modal salah satu pihak
(syarik) berkurang disebabkan pembelian secara
bertahap oleh pihak lainnya.
- 5 -
13. Akad Ijarah Muntahiya Bittamlik yang selanjutnya disebut
Akad IMBT adalah akad penyediaan dana dalam rangka
memindahkan hak guna atau manfaat dari suatu barang
atau jasa berdasarkan transaksi sewa dengan opsi
pemindahan kepemilikan barang.
14. Rasio Loan to Value yang selanjutnya disebut Rasio LTV
adalah angka rasio antara nilai Kredit yang dapat
diberikan oleh Bank terhadap nilai agunan berupa
Properti pada saat pemberian Kredit berdasarkan hasil
penilaian terkini.
15. Rasio Financing to Value yang selanjutnya disebut Rasio
FTV adalah angka rasio antara nilai Pembiayaan yang
dapat diberikan oleh Bank terhadap nilai agunan berupa
Properti pada saat pemberian Pembiayaan berdasarkan
hasil penilaian terkini.
16. Kredit atau Pembiayaan Kendaraan Bermotor yang
selanjutnya disebut KKB atau PKB adalah Kredit atau
Pembiayaan yang diberikan Bank untuk pembelian
kendaraan bermotor.
17. Uang Muka adalah pembayaran di muka sebesar
persentase tertentu dari nilai pembelian Properti atau
harga kendaraan bermotor yang sumber dananya berasal
dari debitur atau nasabah.
Pasal 2
(1) Bank Indonesia menetapkan batasan Rasio LTV untuk
KP, Rasio FTV untuk PP, dan batasan Uang Muka KKB
atau PKB.
(2) Bank wajib memenuhi batasan Rasio LTV untuk KP,
Rasio FTV untuk PP, dan batasan Uang Muka KKB atau
PKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
- 6 -
BAB II
PENGATURAN RASIO LTV DAN RASIO FTV
Bagian Kesatu
Perhitungan Kredit, Perhitungan Pembiayaan, Nilai Agunan,
dan Penilaian Agunan
Pasal 3
(1) Bank Umum wajib melakukan perhitungan Kredit dan
nilai agunan dalam perhitungan Rasio LTV untuk KP
dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Kredit ditetapkan berdasarkan plafon Kredit yang
diterima oleh debitur sebagaimana tercantum dalam
perjanjian Kredit; dan
b.
nilai agunan ditetapkan berdasarkan nilai taksiran
yang dilakukan penilai intern Bank Umum atau
penilai independen terhadap Properti yang menjadi
agunan.
(2) Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah wajib
melakukan perhitungan Pembiayaan dan nilai agunan
dalam perhitungan Rasio FTV untuk PP dengan
ketentuan sebagai berikut:
a. Pembiayaan ditetapkan berdasarkan jenis akad yang
digunakan, yaitu:
1. Pembiayaan berdasarkan Akad Murabahah atau
Akad Istishna’ ditetapkan berdasarkan harga
pokok Pembiayaan yang diberikan kepada
nasabah sebagaimana tercantum dalam akad
Pembiayaan;
2. Pembiayaan berdasarkan Akad MMQ ditetapkan
berdasarkan penyertaan Bank dalam rangka
kepemilikan Properti sebagaimana tercantum
dalam akad Pembiayaan; dan
3. Pembiayaan berdasarkan Akad IMBT ditetapkan
berdasarkan hasil pengurangan harga Properti
dengan deposit sebagaimana tercantum dalam
akad Pembiayaan;
- 7 -
b.
nilai agunan ditetapkan berdasarkan nilai taksiran
yang dilakukan penilai intern Bank Umum Syariah
atau Unit Usaha Syariah, atau penilai independen
terhadap Properti yang menjadi agunan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai perhitungan Kredit,
perhitungan Pembiayaan, dan penilaian agunan diatur
dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 4
(1) Tata cara penilaian agunan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 ayat (1) huruf b dan ayat (2) huruf b
ditetapkan sebagai berikut:
a. untuk KP atau PP yang diberikan dengan plafon
sampai dengan Rp5.000.000.000,00 (lima miliar
rupiah) maka nilai agunan didasarkan pada taksiran
yang dilakukan oleh penilai intern Bank atau penilai
independen; dan
b. untuk KP atau PP yang diberikan dengan plafon di
atas Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) maka
nilai agunan didasarkan pada taksiran yang
dilakukan oleh penilai independen.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penilaian
agunan diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 5
Penilai independen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan
Pasal 4 adalah kantor jasa penilai publik yang paling kurang
memenuhi kriteria sebagai berikut:
a. memiliki izin usaha dari institusi yang berwenang;
b. tidak merupakan pihak terkait dengan Bank;
c.
tidak merupakan pihak terafiliasi dengan debitur atau
nasabah dan pengembang yang dinyatakan dalam surat
pernyataan dari kantor jasa penilai publik (KJPP); dan
d.
tercatat sebagai anggota asosiasi penilai independen atau
asosiasi penilai publik.
- 8 -
Bagian Kedua
Rasio LTV dan Rasio FTV
Pasal 6
(1) Bank yang memberikan KP atau PP wajib memenuhi
ketentuan Rasio LTV untuk KP dan Rasio FTV untuk PP
sebagai berikut:
a. Rasio LTV untuk KP dan Rasio FTV untuk PP
berdasarkan Akad Murabahah dan Akad Istishna’
untuk fasilitas pertama ditetapkan sebagai berikut:
1. KP Rumah Tapak dan PP Rumah Tapak dengan
luas bangunan di atas 70m2 (tujuh puluh meter
persegi) paling tinggi sebesar 85% (delapan
puluh lima persen);
2. KP Rusun dan PP Rusun dengan luas
bangunan di atas 70m2 (tujuh puluh meter
persegi) paling tinggi sebesar 85% (delapan
puluh lima persen); dan
3. KP Rusun dan PP Rusun dengan luas
bangunan 22m2 (dua puluh dua meter persegi)
sampai dengan 70m2 (tujuh puluh meter
persegi) paling tinggi sebesar 90% (sembilan
puluh persen);
b. Rasio LTV untuk KP dan Rasio FTV untuk PP
berdasarkan Akad Murabahah dan Akad Istishna’
untuk fasilitas kedua ditetapkan sebagai berikut:
1. KP Rumah Tapak dan PP Rumah Tapak dengan
luas bangunan di atas 70m2 (tujuh puluh meter
persegi) paling tinggi sebesar 80% (delapan
puluh persen);
2. KP Rumah Tapak dan PP Rumah Tapak dengan
luas bangunan 22m2 (dua puluh dua meter
persegi) sampai dengan 70m2 (tujuh puluh
meter persegi) paling tinggi sebesar 85%
(delapan puluh lima persen);
- 9 -
3. KP Rusun dan PP Rusun dengan luas
bangunan di atas 70m2 (tujuh puluh meter
persegi) paling tinggi sebesar 80% (delapan
puluh persen);
4. KP Rusun dan PP Rusun dengan luas
bangunan 22m2 (dua puluh dua meter persegi)
sampai dengan 70m2 (tujuh puluh meter
persegi) paling tinggi sebesar 85% (delapan
puluh lima persen);
5. KP Rusun dan PP Rusun dengan luas
bangunan sampai dengan 21m2 (dua puluh
satu meter persegi) paling tinggi sebesar 85%
(delapan puluh lima persen); dan
6. KP Ruko atau KP Rukan dan PP Ruko atau PP
Rukan paling tinggi sebesar 85% (delapan
puluh lima persen);
c. Rasio LTV untuk KP dan Rasio FTV untuk PP
berdasarkan Akad Murabahah dan Akad Istishna’
untuk fasilitas ketiga dan seterusnya ditetapkan
sebagai berikut:
1. KP Rumah Tapak dan PP Rumah Tapak dengan
luas bangunan di atas 70m2 (tujuh puluh meter
persegi) paling tinggi sebesar 75% (tujuh puluh
lima persen);
2. KP Rumah Tapak dan PP Rumah Tapak dengan
luas bangunan 22m2 (dua puluh dua meter
persegi) sampai dengan 70m2 (tujuh puluh
meter persegi) paling tinggi sebesar 80%
(delapan puluh persen);
3. KP Rusun dan PP Rusun dengan luas
bangunan di atas 70m2 (tujuh puluh meter
persegi) paling tinggi sebesar 75% (tujuh puluh
lima persen);
4. KP Rusun dan PP Rusun dengan luas
bangunan 22m2 (dua puluh dua meter persegi)
sampai dengan 70m2 (tujuh puluh meter
- 10 -
persegi) paling tinggi sebesar 80% (delapan
puluh persen);
5. KP Rusun dan PP Rusun dengan luas
bangunan sampai dengan 21m2 (dua puluh
satu meter persegi) paling tinggi sebesar 80%
(delapan puluh persen); dan
6. KP Ruko atau KP Rukan dan PP Ruko atau PP
Rukan paling tinggi sebesar 80% (delapan
puluh persen);
d. Rasio FTV untuk PP berdasarkan Akad MMQ dan
Akad IMBT untuk fasilitas pertama ditetapkan
sebagai berikut:
1. PP Rumah Tapak dengan luas bangunan di atas
70m2 (tujuh puluh meter persegi) paling tinggi
sebesar 90% (sembilan puluh persen);
2. PP Rusun dengan luas bangunan di atas 70m2
(tujuh puluh meter persegi) paling tinggi
sebesar 90% (sembilan puluh persen); dan
3. PP Rusun dengan luas bangunan 22m2 (dua
puluh dua meter persegi) sampai dengan 70m2
(tujuh puluh meter persegi) paling tinggi
sebesar 90% (sembilan puluh persen);
e. Rasio FTV untuk PP berdasarkan Akad MMQ dan
Akad IMBT untuk fasilitas kedua ditetapkan sebagai
berikut:
1. PP Rumah Tapak dengan luas bangunan di atas
70m2 (tujuh puluh meter persegi) paling tinggi
sebesar 85% (delapan puluh lima persen);
2. PP Rumah Tapak dengan luas bangunan 22m2
(dua puluh dua meter persegi) sampai dengan
70m2 (tujuh puluh meter persegi) paling tinggi
sebesar 90% (sembilan puluh persen);
3. PP Rusun dengan luas bangunan di atas 70m2
(tujuh puluh meter persegi) paling tinggi
sebesar 85% (delapan puluh lima persen);
- 11 -
4. PP Rusun dengan luas bangunan 22m2 (dua
puluh dua meter persegi) sampai dengan 70m2
(tujuh puluh meter persegi) paling tinggi
sebesar 85% (delapan puluh lima persen);
5. PP Rusun dengan luas bangunan sampai
dengan 21m2 (dua puluh satu meter persegi)
paling tinggi sebesar 85% (delapan puluh lima
persen); dan
6. PP Ruko atau PP Rukan paling tinggi sebesar
85% (delapan puluh lima persen); dan
f.
Rasio FTV untuk PP berdasarkan Akad MMQ dan
Akad IMBT untuk fasilitas ketiga dan seterusnya
ditetapkan sebagai berikut:
1. PP Rumah Tapak dengan luas bangunan di atas
70m2 (tujuh puluh meter persegi) paling tinggi
sebesar 80% (delapan puluh persen);
2. PP Rumah Tapak dengan luas bangunan 22m2
(dua puluh dua meter persegi) sampai dengan
70m2 (tujuh puluh meter persegi) paling tinggi
sebesar 85% (delapan puluh lima persen);
3. PP Rusun dengan luas bangunan di atas 70m2
(tujuh puluh meter persegi) paling tinggi
sebesar 80% (delapan puluh persen);
4. PP Rusun dengan luas bangunan 22m2 (dua
puluh dua meter persegi) sampai dengan 70m2
(tujuh puluh meter persegi) paling tinggi
sebesar 80% (delapan puluh persen);
5. PP Rusun dengan luas bangunan sampai
dengan 21m2 (dua puluh satu meter persegi)
paling tinggi sebesar 80% (delapan puluh
persen); dan
6. PP Ruko atau PP Rukan paling tinggi sebesar
80% (delapan puluh persen).
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai Rasio LTV dan Rasio
FTV diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
- 12 -
Pasal 7
(1) Dalam menentukan urutan fasilitas Kredit atau
Pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Bank
wajib memperhitungkan seluruh KP dan PP yang telah
diterima debitur atau nasabah di Bank yang sama
maupun Bank lainnya.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penentuan urutan
fasilitas Kredit atau Pembiayaan diatur dalam Surat
Edaran Bank Indonesia.
Pasal 8
(1) Ketentuan mengenai Rasio LTV untuk KP dan Rasio FTV
untuk PP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 berlaku
bagi Bank yang memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a.
rasio Kredit bermasalah dari total Kredit atau rasio
Pembiayaan bermasalah dari total Pembiayaan
secara bersih (net) kurang dari 5% (lima persen); dan
b. rasio KP bermasalah dari total KP atau rasio PP
bermasalah dari total PP secara bruto (gross) kurang
dari 5% (lima persen).
(2) Penghitungan rasio Kredit bermasalah dari total Kredit
atau rasio Pembiayaan bermasalah dari total Pembiayaan
dan rasio KP bermasalah dari total KP atau rasio PP
bermasalah dari total PP sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) didasarkan pada Laporan Bulanan Bank Umum
atau Laporan Stabilitas Moneter dan Sistem Keuangan
Bulanan Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah
periode 2 (dua) bulan sebelumnya.
(3) Dalam hal terdapat kebutuhan data yang belum dapat
dipenuhi dari Laporan Bulanan Bank Umum atau
Laporan Stabilitas Moneter dan Sistem Keuangan
Bulanan Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) maka Bank
Indonesia dapat meminta Bank untuk menyampaikan
laporan lain.
(4) Bank wajib menyampaikan laporan lain sebagaimana
dimaksud pada ayat (3).
- 13 -
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai penghitungan rasio
Kredit bermasalah, rasio Pembiayaan bermasalah, rasio
KP bermasalah, rasio PP bermasalah, dan laporan lain
diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 9
(1) Bagi Bank yang tidak memenuhi persyaratan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) maka
Bank wajib memenuhi ketentuan Rasio LTV untuk KP
dan Rasio FTV untuk PP sebagai berikut:
a. Rasio LTV untuk KP dan Rasio FTV untuk PP
berdasarkan Akad Murabahah dan Akad Istishna’
untuk fasilitas pertama ditetapkan sebagai berikut:
1. KP Rumah Tapak dan PP Rumah Tapak dengan
luas bangunan di atas 70m2 (tujuh puluh meter
persegi) paling tinggi sebesar 80% (delapan
puluh persen);
2. KP Rusun dan PP Rusun dengan luas
bangunan di atas 70m2 (tujuh puluh meter
persegi) paling tinggi sebesar 80% (delapan
puluh persen); dan
3. KP Rusun dan PP Rusun dengan luas
bangunan 22m2 (dua puluh dua meter persegi)
sampai dengan 70m2 (tujuh puluh meter
persegi) paling tinggi sebesar 90% (sembilan
puluh persen);
b. Rasio LTV untuk KP dan Rasio FTV untuk PP
berdasarkan Akad Murabahah dan Akad Istishna’
untuk fasilitas kedua ditetapkan sebagai berikut:
1. KP Rumah Tapak dan PP Rumah Tapak dengan
luas bangunan di atas 70m2 (tujuh puluh meter
persegi) paling tinggi sebesar 70% (tujuh puluh
persen);
2. KP Rumah Tapak dan PP Rumah Tapak dengan
luas bangunan 22m2 (dua puluh dua meter
persegi) sampai dengan 70m2 (tujuh puluh
- 14 -
meter persegi) paling tinggi sebesar 80%
(delapan puluh persen);
3. KP Rusun dan PP Rusun dengan luas
bangunan di atas 70m2 (tujuh puluh meter
persegi) paling tinggi sebesar 70% (tujuh puluh
persen);
4. KP Rusun dan PP Rusun dengan luas
bangunan 22m2 (dua puluh dua meter persegi)
sampai dengan 70m2 (tujuh puluh meter
persegi) paling tinggi sebesar 80% (delapan
puluh persen);
5. KP Rusun dan PP Rusun dengan luas
bangunan sampai dengan 21m2 (dua puluh
satu meter persegi) paling tinggi sebesar 80%
(delapan puluh persen); dan
6. KP Ruko atau KP Rukan dan PP Ruko atau PP
Rukan paling tinggi sebesar 80% (delapan
puluh persen);
c. Rasio LTV untuk KP dan Rasio FTV untuk PP
berdasarkan Akad Murabahah dan Akad Istishna’
untuk fasilitas ketiga dan seterusnya ditetapkan
sebagai berikut:
1. KP Rumah Tapak dan PP Rumah Tapak dengan
luas bangunan di atas 70m2 (tujuh puluh meter
persegi) paling tinggi sebesar 60% (enam puluh
persen);
2. KP Rumah Tapak dan PP Rumah Tapak dengan
luas bangunan 22m2 (dua puluh dua meter
persegi) sampai dengan 70m2 (tujuh puluh
meter persegi) paling tinggi sebesar 70% (tujuh
puluh persen);
3. KP Rusun dan PP Rusun dengan luas
bangunan di atas 70m2 (tujuh puluh meter
persegi) paling tinggi sebesar 60% (enam puluh
persen);
- 15 -
4. KP Rusun dan PP Rusun dengan luas
bangunan 22m2 (dua puluh dua meter persegi)
sampai dengan 70m2 (tujuh puluh meter
persegi) paling tinggi sebesar 70% (tujuh puluh
persen);
5. KP Rusun dan PP Rusun dengan luas
bangunan sampai dengan 21m2 (dua puluh
satu meter persegi) paling tinggi sebesar 70%
(tujuh puluh persen); dan
6. KP Ruko atau KP Rukan dan PP Ruko atau PP
Rukan paling tinggi sebesar 70% (tujuh puluh
persen);
d. Rasio FTV untuk PP berdasarkan Akad MMQ dan
Akad IMBT untuk fasilitas pertama ditetapkan
sebagai berikut:
1. PP Rumah Tapak dengan luas bangunan di atas
70m2 (tujuh puluh meter persegi) paling tinggi
sebesar 85% (delapan puluh lima persen);
2. PP Rusun dengan luas bangunan di atas 70m2
(tujuh puluh meter persegi) paling tinggi
sebesar 85% (delapan puluh lima persen); dan
3. PP Rusun dengan luas bangunan 22m2 (dua
puluh dua meter persegi) sampai dengan 70m2
(tujuh puluh meter persegi) paling tinggi
sebesar 90% (sembilan puluh persen);
e. Rasio FTV untuk PP berdasarkan Akad MMQ dan
Akad IMBT untuk fasilitas kedua ditetapkan sebagai
berikut:
1. PP Rumah Tapak dengan luas bangunan di atas
70m2 (tujuh puluh meter persegi) paling tinggi
sebesar 75% (tujuh puluh lima persen);
2. PP Rumah Tapak dengan luas bangunan 22m2
(dua puluh dua meter persegi) sampai dengan
70m2 (tujuh puluh meter persegi) paling tinggi
sebesar 80% (delapan puluh persen);
- 16 -
3. PP Rusun dengan luas bangunan di atas 70m2
(tujuh puluh meter persegi) paling tinggi
sebesar 75% (tujuh puluh lima persen);
4. PP Rusun dengan luas bangunan 22m2 (dua
puluh dua meter persegi) sampai dengan 70m2
(tujuh puluh meter persegi) paling tinggi
sebesar 80% (delapan puluh persen);
5. PP Rusun dengan luas bangunan sampai
dengan 21m2 (dua puluh satu meter persegi)
paling tinggi sebesar 80% (delapan puluh
persen); dan
6. PP Ruko atau PP Rukan paling tinggi sebesar
80% (delapan puluh persen); dan
f.
Rasio FTV untuk PP berdasarkan Akad MMQ dan
Akad IMBT untuk fasilitas ketiga dan seterusnya
ditetapkan sebagai berikut:
1. PP Rumah Tapak dengan luas bangunan di atas
70m2 (tujuh puluh meter persegi) paling tinggi
sebesar 65% (enam puluh lima persen);
2. PP Rumah Tapak dengan luas bangunan 22m2
(dua puluh dua meter persegi) sampai dengan
70m2 (tujuh puluh meter persegi) paling tinggi
sebesar 70% (tujuh puluh persen);
3. PP Rusun dengan luas bangunan di atas 70m2
(tujuh puluh meter persegi) paling tinggi
sebesar 65% (enam puluh lima persen);
4. PP Rusun dengan luas bangunan 22m2 (dua
puluh dua meter persegi) sampai dengan 70m2
(tujuh puluh meter persegi) paling tinggi
sebesar 70% (tujuh puluh persen);
5. PP Rusun dengan luas bangunan sampai
dengan 21m2 (dua puluh satu meter persegi)
paling tinggi sebesar 70% (tujuh puluh persen);
dan
6. PP Ruko atau PP Rukan paling tinggi sebesar
70% (tujuh puluh persen).
- 17 -
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai Rasio LTV dan Rasio
FTV bagi Bank yang tidak memenuhi persyaratan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) diatur
dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 10
Penetapan Rasio LTV untuk KP dan Rasio FTV untuk PP
selain yang diatur dalam Pasal 6 dan Pasal 9 diserahkan
kepada kebijakan Bank dengan tetap memperhatikan prinsip
kehati-hatian dalam pemberian Kredit atau Pembiayaan.
Bagian Ketiga
Kewajiban Administratif
Pasal 11
(1) Dalam rangka penetapan Rasio LTV dan/atau Rasio FTV
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dan Pasal 9, Bank
wajib:
a. memperlakukan debitur dan suami atau istrinya
menjadi 1 (satu) debitur, atau nasabah dan suami
atau istrinya menjadi 1 (satu) nasabah, kecuali
terdapat perjanjian pemisahan harta;
b. meminta surat pernyataan dari calon debitur atau
nasabah yang paling kurang memuat keterangan
mengenai KP dan/atau PP yang masih berjalan
(outstanding) termasuk informasi mengenai Kredit
tambahan (top up) atau Pembiayaan baru yang
berasal dari Kredit atau Pembiayaan yang tidak
lancar, KP atau PP dengan mengambil alih (take
over) yang disertai Kredit tambahan (top up) atau
Pembiayaan baru yang berasal dari Kredit atau
Pembiayaan yang tidak lancar, dan/atau yang
sedang dalam proses pengajuan permohonan, baik
pada Bank yang sama maupun pada Bank yang lain;
dan
c. menolak permohonan KP dan/atau PP yang
diajukan apabila calon debitur atau nasabah tidak
- 18 -
bersedia menyerahkan surat pernyataan
sebagaimana dimaksud pada huruf b.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kewajiban administratif
Bank diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
Bagian Keempat
Kredit Tambahan (Top Up) atau Pembiayaan Baru
Berdasarkan Properti Yang Masih Menjadi Agunan dan KP
atau PP yang Diambil Alih (Take Over)
Pasal 12
(1) Dalam hal Bank memberikan Kredit tambahan (top up)
atau Pembiayaan baru berdasarkan Properti yang masih
menjadi agunan dari KP atau PP sebelumnya, Bank wajib
memenuhi ketentuan Rasio LTV untuk KP dan Rasio FTV
untuk PP sebagai berikut:
a. Kredit tambahan (top up) oleh Bank Umum
menggunakan Rasio LTV KP yang sama sepanjang
KP tersebut memiliki kualitas lancar;
b. pemberian Pembiayaan baru oleh Bank Umum
Syariah atau Unit Usaha Syariah yang merupakan
tambahan dari
Pembiayaan sebelumnya
menggunakan Rasio FTV PP sebelumnya sepanjang
kedua Pembiayaan tersebut memiliki agunan sama
dan Pembiayaan sebelumnya memiliki kualitas
lancar;
c. dalam hal KP tidak memenuhi kualitas lancar
sebagaimana dimaksud pada huruf a atau PP tidak
memenuhi kualitas lancar sebagaimana dimaksud
pada huruf b maka Kredit tambahan (top up)
menggunakan Rasio LTV KP sebagaimana Kredit
baru, atau Pembiayaan baru yang merupakan
tambahan dari pembiayaan sebelumnya
menggunakan Rasio FTV PP sebagaimana
Pembiayaan baru;
d. dalam hal Bank memberikan Kredit tambahan (top
up) sebagaimana dimaksud pada huruf c maka
- 19 -
dalam menetapkan Rasio LTV untuk Kredit
selanjutnya, Bank memperhitungkan Kredit awal
dan Kredit tambahan (top up) dimaksud sebagai 2
(dua) fasilitas;
e. Rasio LTV untuk KP dalam rangka Kredit tambahan
(top up) atau Rasio FTV untuk PP dalam rangka
Pembiayaan baru sebagaimana dimaksud pada
huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d mengacu
pada Rasio LTV atau Rasio FTV sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 atau Pasal 9; dan
f.
jumlah Kredit tambahan (top up) atau Pembiayaan
baru
yang diberikan oleh Bank wajib
memperhitungkan jumlah baki debet Kredit atau
Pembiayaan sebelumnya yang menggunakan agunan
yang sama.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai Kredit tambahan (top
up) atau Pembiayaan baru diatur dalam Surat Edaran
Bank Indonesia.
Pasal 13
(1) Dalam hal Bank memberikan KP atau PP dengan
mengambil alih (take over) KP atau PP dari Bank lain,
Bank wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a. KP atau PP yang hanya ditujukan untuk pelunasan
KP atau PP sebelumnya di Bank lain, tidak
diperlakukan sebagai Kredit atau Pembiayaan baru;
atau
b. dalam hal Bank memberikan KP atau PP dengan
mengambil alih (take over) KP atau PP dari Bank
lain, dengan tambahan (top up) atau disertai dengan
Pembiayaan baru maka perlakuan KP atau PP
dengan mengambil alih (take over) KP atau PP dari
Bank lain mengacu pada ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 12.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian KP atau PP
dengan mengambil alih (take over) KP atau PP dari Bank
lain diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
- 20 -
Bagian Kelima
Larangan Pemberian Kredit atau Pembiayaan Uang Muka
Pasal 14
(1) Bank dilarang memberikan Kredit atau Pembiayaan
untuk pemenuhan Uang Muka dalam rangka KP, PP,
KKB, dan PKB kepada debitur atau nasabah.
(2)
Ketentuan lebih lanjut mengenai larangan pemberian
Kredit atau Pembiayaan Uang Muka diatur dalam Surat
Edaran Bank Indonesia.
Bagian Keenam
KP atau PP Untuk Pemilikan Properti yang Belum Tersedia
Secara Utuh
Pasal 15
(1) Dalam rangka penerapan ketentuan mengenai Rasio LTV
untuk KP dan Rasio FTV untuk PP, Bank hanya dapat
memberikan KP atau PP jika Properti yang akan dibiayai
telah tersedia secara utuh.
(2) Dalam hal Bank memberikan KP atau PP untuk
pemilikan Properti yang akan dibiayai belum tersedia
secara utuh, Bank wajib memenuhi persyaratan sebagai
berikut:
a. Kredit atau Pembiayaan merupakan KP atau PP
sampai dengan urutan fasilitas kedua dengan
penentuan urutan fasilitas Kredit atau Pembiayaan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1);
b. terdapat perjanjian kerjasama antara Bank dengan
pengembang yang paling kurang memuat
kesanggupan pengembang untuk menyelesaikan
Properti sesuai dengan yang diperjanjikan dengan
debitur atau nasabah; dan
c. terdapat jaminan yang diberikan oleh pengembang
kepada Bank baik yang berasal dari pengembang
sendiri atau pihak lain yang dapat digunakan untuk
menyelesaikan kewajiban pengembang apabila
- 21 -
Properti tidak dapat diselesaikan dan/atau tidak
dapat diserahterimakan sesuai perjanjian.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2) juga berlaku bagi Bank yang memberikan KP atau PP
dengan mengambil alih (take over) KP atau PP dari Bank
lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai KP atau PP untuk
pemilikan Properti yang belum tersedia secara utuh
diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 16
(1) Dalam hal Bank memberikan KP atau PP sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2) maka Bank wajib
melakukan pencairan KP atau PP secara bertahap.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tahapan pencairan KP
atau PP diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
Bagian Ketujuh
Program Perumahan Pemerintah Pusat dan/atau
Pemerintah Daerah
Pasal 17
Kredit atau Pembiayaan dalam rangka pelaksanaan Program
Perumahan Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah
sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-
undangan yang berlaku, sepanjang didukung dengan
dokumen yang menyatakan bahwa Kredit atau Pembiayaan
tersebut merupakan Program Perumahan Pemerintah Pusat
dan/atau Pemerintah Daerah dikecualikan dari ketentuan ini
dengan tetap memperhatikan prinsip kehati-hatian dan
peraturan perundang-undangan terkait yang berlaku.
- 22 -
BAB III
PENGATURAN UANG MUKA KREDIT ATAU PEMBIAYAAN
KENDARAAN BERMOTOR
Pasal 18
Bank yang memberikan KKB atau PKB wajib memenuhi
ketentuan Uang Muka sebagai berikut:
a. untuk pembelian kendaraan bermotor roda dua paling
rendah sebesar 20% (dua puluh persen);
b. untuk pembelian kendaraan bermotor roda tiga atau
lebih dengan peruntukan kegiatan produktif paling
rendah sebesar 20% (dua puluh persen) jika memenuhi
persyaratan sebagai berikut:
1. merupakan kendaraan yang memiliki izin untuk
angkutan orang atau barang yang dikeluarkan oleh
pihak berwenang; atau
2.
diajukan oleh perorangan atau badan hukum yang
memiliki izin usaha tertentu yang dikeluarkan oleh
pihak berwenang dan digunakan untuk mendukung
kegiatan operasional dari usaha yang dimilikinya;
dan
c. untuk pembelian kendaraan bermotor roda tiga atau
lebih yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana
dimaksud dalam huruf b paling rendah sebesar 25% (dua
puluh lima persen).
Pasal 19
(1) Ketentuan mengenai Uang Muka sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 18 berlaku bagi Bank yang memenuhi
persyaratan sebagai berikut:
a.
rasio Kredit bermasalah dari total Kredit atau rasio
Pembiayaan bermasalah dari total Pembiayaan
secara bruto (gross) kurang dari 5% (lima persen);
dan
b. rasio KKB bermasalah dari total KKB atau rasio PKB
bermasalah dari total PKB secara bruto (gross)
kurang dari 5% (lima persen).
- 23 -
(2) Penghitungan rasio Kredit bermasalah dari total Kredit
atau rasio Pembiayaan bermasalah dari total Pembiayaan
dan rasio KKB bermasalah dari total KKB atau rasio PKB
bermasalah dari total PKB sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) didasarkan pada Laporan Bulanan Bank Umum
atau Laporan Statistik Moneter dan Stabilitas Keuangan
Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah periode 2
(dua) bulan sebelumnya.
(3) Dalam hal terdapat kebutuhan data yang belum dapat
dipenuhi dari Laporan Bulanan Bank Umum atau
Laporan Stabilitas Moneter dan Sistem Keuangan
Bulanan Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) maka Bank
Indonesia dapat meminta Bank untuk menyampaikan
laporan lain.
(4) Bank wajib menyampaikan laporan lain sebagaimana
dimaksud pada ayat (3).
Pasal 20
Bagi Bank yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) maka Bank wajib
memenuhi ketentuan Uang Muka sebagai berikut:
a. untuk pembelian kendaraan bermotor roda dua paling
rendah sebesar 25% (dua puluh lima persen);
b. untuk pembelian kendaraan bermotor roda tiga atau
lebih dengan peruntukan kegiatan produktif paling
rendah sebesar 20% (dua puluh persen) jika memenuhi
persyaratan sebagai berikut:
1. merupakan kendaraan yang memiliki izin untuk
angkutan orang atau barang yang dikeluarkan oleh
pihak berwenang; atau
2. diajukan oleh perorangan atau badan hukum yang
memiliki izin usaha tertentu yang dikeluarkan oleh
pihak berwenang dan digunakan untuk mendukung
kegiatan operasional dari usaha yang dimilikinya;
dan
- 24 -
c. untuk pembelian kendaraan bermotor roda tiga atau
lebih yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana
dimaksud dalam huruf b paling rendah sebesar 30% (tiga
puluh persen).
Pasal 21
Ketentuan lebih lanjut mengenai Uang Muka dalam rangka
KKB dan PKB, penghitungan rasio Kredit bermasalah, rasio
Pembiayaan bermasalah, rasio KKB bermasalah, dan rasio
PKB bermasalah serta laporan lain sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 18, Pasal 19, dan Pasal 20 diatur dalam Surat
Edaran Bank Indonesia.
BAB IV
PEMERIKSAAN OLEH BANK INDONESIA
Pasal 22
(1) Bank Indonesia berwenang melakukan pemeriksaan
kepada Bank dalam rangka pelaksanaan Peraturan Bank
Indonesia ini.
(2) Bank Indonesia dapat menunjuk pihak lain untuk dan
atas nama Bank Indonesia guna melaksanakan
pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Dalam melaksanakan pemeriksaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia dapat
berkoordinasi dan bekerjasama dengan otoritas lain.
BAB V
SANKSI
Pasal 23
(1) Bank yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (2), Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2), Pasal
6 ayat (1), Pasal 7 ayat (1), Pasal 8 ayat (4), Pasal 9 ayat
(1), Pasal 11 ayat (1), Pasal 12 ayat (1), Pasal 13 ayat (1),
Pasal 14 ayat (1), Pasal 15 ayat (2), Pasal 16 ayat (1),
- 25 -
Pasal 18, Pasal 19 ayat (4), dan/atau Pasal 20, dikenakan
sanksi administratif berupa teguran tertulis.
(2) Bank yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6 ayat (1), Pasal 9 ayat (1), Pasal 18, dan
Pasal 20, selain dikenakan sanksi teguran tertulis
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga dikenakan
sanksi kewajiban membayar sebesar 1% (satu persen)
dari selisih antara plafon Kredit yang diberikan dengan
plafon Kredit yang seharusnya atau plafon Pembiayaan
yang diberikan dengan plafon Pembiayaan yang
seharusnya.
(3) Bank yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 14 ayat (1) dan Pasal 15 ayat (2) selain
dikenakan sanksi teguran tertulis sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) juga dikenakan sanksi kewajiban
membayar sebesar 1% (satu persen) dari plafon Kredit
atau Pembiayaan Uang Muka atau plafon KP dan PP.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan
sanksi diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 24
(1) Selain sanksi teguran tertulis dan sanksi kewajiban
membayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat
(2) dan ayat (3), Bank Indonesia dapat meminta Bank
untuk menyampaikan rencana pelaksanaan perbaikan
(action plan) atas pelanggaran Bank.
(2) Dalam hal Bank Indonesia meminta Bank menyampaikan
action plan sebagaimana dimaksud ayat (1), Bank wajib
menyampaikan dan melaksanakan action plan tersebut.
(3) Bank yang tidak menyampaikan action plan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dikenakan sanksi kewajiban
membayar sebesar 1% (satu persen) per bulan dari plafon
Kredit untuk setiap Kredit yang melanggar ketentuan
atau plafon Pembiayaan untuk setiap Pembiayaan yang
melanggar ketentuan.
(4) Bank yang tidak melaksanakan action plan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dikenakan sanksi kewajiban
- 26 -
membayar sebesar 1% (satu persen) per bulan dari plafon
Kredit untuk setiap Kredit yang melanggar ketentuan
atau plafon Pembiayaan untuk setiap Pembiayaan yang
melanggar ketentuan.
(5) Pengenaan sanksi kewajiban membayar sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) tidak menghilangkan
kewajiban Bank untuk menyampaikan dan
melaksanakan action plan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2).
(6) Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4)
dikenakan setiap akhir bulan untuk periode paling lama
12 (dua belas) bulan.
Pasal 25
Selain mengenakan sanksi administratif sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 23 dan/atau Pasal 24, Bank Indonesia
dapat merekomendasikan kepada otoritas yang berwenang
untuk melakukan tindakan sesuai dengan kewenangannya.
Pasal 26
Bank Indonesia mengenakan sanksi kewajiban membayar
kepada Bank dengan mendebit rekening giro Rupiah Bank
pada Bank Indonesia.
BAB VI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 27
Pada saat Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku,
Peraturan Bank Indonesia Nomor 17/10/PBI/2015 tentang
Rasio Loan To Value atau Rasio Financing To Value Untuk
Kredit Atau Pembiayaan Properti Dan Uang Muka Untuk
Kredit Atau Pembiayaan Kendaraan Bermotor (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 141,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5706)
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
- 27 -
Pasal 28
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 26 Agustus 2016
GUBERNUR BANK INDONESIA,
AGUS D.W. MARTOWARDOJO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 29 Agustus 2016
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 178
- 2 -
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 18/16/PBI/2016
TENTANG
RASIO LOAN TO VALUE UNTUK KREDIT PROPERTI,
RASIO FINANCING TO VALUE UNTUK PEMBIAYAAN PROPERTI, DAN UANG
MUKA UNTUK KREDIT ATAU PEMBIAYAAN KENDARAAN BERMOTOR
I. UMUM
Dalam rangka memperkuat upaya untuk meningkatkan permintaan
domestik di tengah masih lemahnya perekonomian global, Bank Indonesia
melakukan pelonggaran terhadap ketentuan makroprudensial untuk
mendorong berjalannya fungsi intermediasi perbankan, khususnya
terhadap ketentuan yang mengatur mengenai Rasio LTV atau Rasio FTV.
Adapun bentuk pelonggaran yang diberikan yaitu penyesuaian besaran
Rasio LTV dan Rasio FTV, penyesuaian pemberian Kredit atau
Pembiayaan pembelian Properti yang belum tersedia secara utuh hingga
fasilitas Kredit atau Pembiayaan kedua, dan perubahan persyaratan
penggunaan Rasio LTV atau Rasio FTV.
Dalam melakukan penyusunan pelonggaran ketentuan tersebut,
Bank Indonesia tetap memperhatikan prinsip kehati-hatian dan prinsip
perlindungan konsumen antara lain pemenuhan rasio Kredit bermasalah
atau rasio Pembiayaan bermasalah yang terjaga.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
- 2 -
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Penetapan nilai taksiran mengacu pada metode dan prinsip-
prinsip yang berlaku umum dalam penilaian agunan yang
ditetapkan oleh asosiasi dan/atau institusi yang
berwenang.
Ayat (2)
Huruf a
Angka 1
Cukup jelas.
Angka 2
Cukup jelas.
Angka 3
Yang dimaksud dengan “deposit” adalah uang yang
harus diserahkan oleh nasabah kepada Bank dalam
rangka kepemilikan Properti yang dilakukan dengan
Akad IMBT.
Huruf b
Penetapan nilai taksiran mengacu pada metode dan prinsip-
prinsip yang berlaku umum dalam penilaian agunan yang
ditetapkan oleh asosiasi dan/atau institusi yang
berwenang.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
- 3 -
Pasal 5
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “pihak terkait dengan Bank” adalah
pihak terkait Bank sebagaimana dimaksud pada ketentuan
perbankan yang mengatur mengenai batas maksimum
pemberian kredit.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “asosiasi penilai independen” atau
“asosiasi penilai publik” adalah asosiasi yang diakui oleh
instansi yang berwenang mengatur kantor jasa penilai publik.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Ayat (1)
Penentuan urutan fasilitas Kredit atau Pembiayaan dilakukan
dengan memperhitungkan seluruh Kredit dan Pembiayaan yang
telah diperoleh debitur atau nasabah yang masih berjalan, baik
berupa KP dan/atau PP di Bank yang sama maupun Bank
lainnya berdasarkan urutan tanggal perjanjian Kredit atau akad
Pembiayaan. Dalam hal terdapat tanggal perjanjian Kredit atau
akad Pembiayaan yang sama maka penentuan urutan fasilitas
diawali dari Kredit atau Pembiayaan dengan nilai agunan paling
rendah.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 8
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “rasio Kredit bermasalah dari total
Kredit secara bersih (net)” adalah rasio antara jumlah Kredit
- 4 -
dengan kualitas kurang lancar, diragukan, dan macet
kepada pihak ketiga bukan Bank setelah dikurangi
Cadangan Kerugian Penurunan Nilai Kredit bermasalah
terhadap total Kredit kepada pihak ketiga bukan Bank
setelah dikurangi Cadangan Kerugian Penurunan Nilai
Kredit bermasalah.
Yang dimaksud dengan “rasio Pembiayaan bermasalah dari
total Pembiayaan secara bersih (net)” adalah rasio antara
jumlah Pembiayaan dengan kualitas kurang lancar,
diragukan, dan macet kepada pihak ketiga bukan Bank
setelah dikurangi Cadangan Kerugian Penurunan Nilai
Pembiayaan bermasalah terhadap total Pembiayaan kepada
pihak ketiga bukan Bank setelah dikurangi Cadangan
Kerugian Penurunan Nilai Pembiayaan bermasalah.
Yang dimaksud dengan “Cadangan Kerugian Penurunan
Nilai” adalah cadangan kerugian penurunan nilai
sebagaimana dimaksud pada ketentuan perbankan yang
mengatur mengenai penilaian kualitas aset Bank.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “rasio KP bermasalah dari total KP
secara bruto (gross)” adalah rasio antara jumlah KP dengan
kualitas kurang lancar, diragukan, dan macet, terhadap
total KP.
Yang dimaksud dengan “rasio PP bermasalah dari total PP
secara bruto (gross)” adalah rasio antara jumlah PP dengan
kualitas kurang lancar, diragukan, dan macet, terhadap
total PP.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Contoh laporan lain berupa laporan KP dan KKB untuk Bank
Umum, laporan PP untuk Bank Umum Syariah dan Unit Usaha
Syariah.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
- 5 -
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Contoh penetapan Rasio LTV yang diserahkan kepada kebijakan
Bank berupa Rasio LTV untuk KP Rumah Tapak dengan luas
bangunan sampai dengan 21m2 (dua puluh satu meter persegi).
Pasal 11
Ayat (1)
Huruf a
Perjanjian pemisahan harta dibuktikan dengan fotokopi
perjanjian yang disahkan atau dilegalisir oleh notaris.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 12
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Pemberian fasilitas Kredit tambahan (top up) atau
Pembiayaan baru tetap mengacu pada ketentuan otoritas
yang berwenang antara lain mengenai penyusunan dan
pelaksanaan kebijakan perkreditan bank, penilaian kualitas
aset bank, serta produk dan aktivitas bank.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
- 6 -
Huruf f
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Ayat (1)
Termasuk pengertian debitur atau nasabah antara lain debitur
atau nasabah yang merupakan karyawan Bank yang
bersangkutan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 15
Ayat (1)
Yang dimaksud “telah tersedia secara utuh” adalah telah terlihat
wujud fisiknya sesuai yang diperjanjikan dan siap
diserahterimakan.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Jaminan yang diberikan oleh pengembang kepada Bank
dapat berupa aset tetap, aset bergerak, bank guarantee,
standby letter of credit dan/atau dana yang dititipkan
dan/atau disimpan dalam escrow account di Bank pemberi
Kredit atau Pembiayaan.
Yang dimaksud dengan “dana yang dititipkan dan/atau
yang disimpan dalam escrow account di Bank pemberi
Kredit atau Pembiayaan” adalah dana yang ditahan atas
nama pengembang yang digunakan untuk menyelesaikan
pembangunan Properti.
- 7 -
Nilai jaminan yang diberikan oleh pengembang paling
kurang sebesar selisih antara komitmen Kredit atau
Pembiayaan dengan pencairan yang telah dilakukan oleh
Bank.
Jaminan yang diberikan oleh pihak lain dapat berbentuk
corporate guarantee, stand by letter of credit, atau bank
guarantee.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “rasio Kredit bermasalah dari total
Kredit secara bruto (gross)” adalah rasio antara jumlah
Kredit dengan kualitas kurang lancar, diragukan, dan
macet kepada pihak ketiga bukan Bank terhadap total
Kredit kepada pihak ketiga bukan Bank.
Yang dimaksud dengan “rasio Pembiayaan bermasalah dari
total Pembiayaan” adalah rasio antara jumlah Pembiayaan
dengan kualitas kurang lancar, diragukan, dan macet
kepada pihak ketiga bukan Bank terhadap total
Pembiayaan kepada pihak ketiga bukan Bank.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “rasio KKB bermasalah dari total
KKB” adalah rasio antara jumlah KKB dengan kualitas
- 8 -
kurang lancar, diragukan, dan macet terhadap total KKB.
Yang dimaksud dengan “rasio PKB bermasalah dari total
PKB” adalah rasio antara jumlah PKB dengan kualitas
kurang lancar, diragukan, dan macet terhadap total PKB.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “Laporan Bulanan Bank Umum” adalah
Laporan Bulanan Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai laporan
bulanan bank umum.
Yang dimaksud dengan “Laporan Statistik Moneter dan Sistem
Keuangan Bulanan Bank Umum Syariah dan Unit Usaha
Syariah” adalah Laporan Statistik Moneter dan Sistem Keuangan
Bulanan Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang
mengatur mengenai laporan statistik moneter dan sistem
keuangan bulanan bank umum syariah dan unit usaha syariah.
Ayat (3)
Contoh laporan lain berupa laporan KP dan KKB untuk Bank
Umum.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
- 9 -
Ayat (3)
Pengenaan sanksi dihitung sebesar 1% (satu persen) dari plafon
Kredit atau Pembiayaan Uang Muka atau plafon KP atau PP dari
setiap debitur atau nasabah.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 24
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Pengenaan sanksi dihitung sebesar 1% (satu persen) per bulan
dari plafon Kredit atau Pembiayaan dari setiap debitur atau
nasabah.
Dalam hal Kredit atau Pembiayaan yang melanggar ketentuan
tersebut telah dilunasi pada periode pengenaan sanksi, maka
pengenaan sanksi dilakukan sampai dengan satu periode
sebelum pelunasan.
Ayat (4)
Pengenaan sanksi dihitung sebesar 1% (satu persen) per bulan
dari plafon Kredit atau Pembiayaan dari setiap debitur atau
nasabah.
Dalam hal Kredit atau Pembiayaan yang melanggar ketentuan
tersebut telah dilunasi pada periode pengenaan sanksi, maka
pengenaan sanksi dilakukan sampai dengan satu periode
sebelum pelunasan.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.
- 10 -
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5924
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 18/16/PBI/2016 </reg_id>
<reg_title> RASIO LOAN TO VALUE UNTUK KREDIT PROPERTI, RASIO FINANCING TO VALUE UNTUK PEMBIAYAAN PROPERTI, DAN UANG MUKA UNTUK KREDIT ATAU PEMBIAYAAN KENDARAAN BERMOTOR </reg_title>
<set_date> 26 Agustus 2016 </set_date>
<effective_date> 29 Agustus 2016 </effective_date>
<issued_date> 29 Agustus 2016 </issued_date>
<replaced_reg> '17/10/PBI/2015' </replaced_reg>
<related_reg> '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '6/UU/2009', '16/11/PBI/2014' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB V' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 18/35/PBI/2016
TENTANG
PENGELUARAN UANG RUPIAH KERTAS BERSAMBUNG
PECAHAN 20.000 (DUA PULUH RIBU)
TAHUN EMISI 2016
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa untuk menandai suatu era baru dalam
pengeluaran seluruh pecahan uang Rupiah kertas
sebagai mata uang Negara Kesatuan Republik Indonesia
sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 7 Tahun
2011 tentang Mata Uang maka perlu dikeluarkan uang
Rupiah kertas khusus dalam bentuk bersambung;
b. bahwa pengeluaran uang Rupiah kertas khusus dalam
bentuk bersambung, juga dilakukan sebagai bagian dari
upaya Bank Indonesia untuk mengembangkan kegiatan
numismatika;
c. bahwa uang Rupiah kertas khusus dalam bentuk
bersambung merupakan alat pembayaran yang sah di
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia;
d. bahwa
berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu
menetapkan Peraturan Bank Indonesia
tentang
- 2 -
Pengeluaran Uang Rupiah Kertas Bersambung Pecahan
20.000 (Dua Puluh Ribu) Tahun Emisi 2016;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3843), sebagaimana telah diubah
beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6
Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun
1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4962);
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata
Uang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011
Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5223);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PENGELUARAN
UANG RUPIAH KERTAS BERSAMBUNG PECAHAN 20.000
(DUA PULUH RIBU) TAHUN EMISI 2016.
Pasal 1
Bank Indonesia mengeluarkan uang Rupiah khusus pecahan
20.000 (dua puluh ribu) tahun emisi 2016 sebagai alat
pembayaran yang sah di wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Pasal 2
Macam uang Rupiah khusus sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 1 merupakan uang Rupiah kertas khusus yang memiliki
ciri tertentu.
- 3 -
Pasal 3
(1) Uang Rupiah kertas khusus sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 berbentuk uang Rupiah kertas
bersambung yang meliputi:
a. 1 (satu) lembaran yang memuat 2 (dua) lembar
(bilyet);
b. 1 (satu) lembaran yang memuat 4 (empat) lembar
(bilyet); dan
c. 1 (satu) lembaran yang memuat 45 (empat puluh
lima) lembar (bilyet),
yang masing-masing lembaran merupakan satu
kesatuan.
(2) Bentuk lembaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
adalah persegi panjang dengan ukuran sebagai berikut:
a. panjang 147 (seratus empat puluh tujuh) milimeter
dan lebar 130 (seratus tiga puluh) milimeter untuk
lembaran yang memuat 2 (dua) lembar (bilyet);
b. panjang 294 (dua ratus sembilan puluh empat)
milimeter dan lebar 130 (seratus tiga puluh)
milimeter untuk lembaran yang memuat 4 (empat)
lembar (bilyet); dan
c. panjang 735 (tujuh ratus tiga puluh lima) milimeter
dan lebar 585 (lima ratus delapan puluh lima)
milimeter untuk lembaran yang memuat 45 (empat
puluh lima) lembar (bilyet).
Pasal 4
(1) Harga setiap lembar (bilyet) uang Rupiah dalam lembaran
uang Rupiah kertas khusus sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 ayat (1) merupakan nilai nominal pada
pecahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 yaitu
sebesar Rp20.000,00 (dua puluh ribu rupiah).
(2) Dalam hal uang Rupiah kertas khusus digunakan
sebagai alat transaksi maka harga setiap lembar (bilyet)
sebesar nilai nominal sebagaimana dimaksud pada
ayat (1).
- 4 -
Pasal 5
Ciri tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 yang
terdapat pada bagian depan dan bagian belakang setiap
lembar (bilyet) dari uang Rupiah kertas bersambung
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) meliputi:
a. ciri umum; dan
b. ciri khusus.
Pasal 6
(1) Ciri umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
huruf a, pada bagian depan terdapat:
a. gambar lambang negara “Garuda Pancasila”;
b. frasa “NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA”;
c. sebutan pecahan dalam angka “20000” dan tulisan
“DUA PULUH RIBU RUPIAH”;
d. tanda tangan Gubernur Bank Indonesia beserta
tulisan “GUBERNUR” dan tanda tangan Menteri
Keuangan Republik Indonesia beserta tulisan
“MENTERI KEUANGAN”;
e. tulisan tahun emisi yaitu “EMISI 2016”;
f. gambar utama yaitu Pahlawan Nasional Dr. G.S.S.J.
Ratulangi beserta tulisan “Dr. G.S.S.J. RATULANGI”;
g. gambar ornamen batik; dan
h. gambar lingkaran-lingkaran kecil.
(2) Ciri khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
huruf b, pada bagian depan yang berupa desain dan
teknik cetak, terdapat:
a. warna dominan hijau;
b.
hasil cetak yang terasa kasar apabila diraba pada
ciri umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a, huruf b, huruf c, huruf e, dan huruf f;
c. gambar saling isi (rectoverso) dari logo Bank
Indonesia yang dapat dilihat secara utuh apabila
diterawangkan ke arah cahaya;
d. gambar tersembunyi (latent image) berupa tulisan
“BI” yang dapat dilihat dari sudut pandang tertentu;
- 5 -
e. gambar tersembunyi (latent image) multiwarna
berupa angka “20” yang dapat dilihat dari sudut
pandang tertentu;
f. gambar perisai yang di dalamnya berisi logo Bank
Indonesia yang akan berubah warna apabila dilihat
dari sudut pandang berbeda (colour shifting);
g. kode tuna netra (blind code) berupa efek rabaan
(tactile);
h. gambar raster berupa tulisan “NKRI” yang tertulis
utuh dan/atau sebagian;
i.
mikroteks yang memuat tulisan “BI20”, tulisan
“BI20000”, dan angka “20”, yang dapat dilihat
dengan bantuan kaca pembesar; dan
j.
hasil cetak yang akan memendar dalam 1 (satu) atau
beberapa warna apabila dilihat dengan sinar
ultraviolet berupa:
1. 2 (dua) bidang persegi empat yang salah
satunya berisi tulisan “BI”;
2. angka nominal “20000”;
3. ornamen batik; dan
4. gambar wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Pasal 7
(1) Ciri umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
huruf a, pada bagian belakang terdapat:
a. angka nominal “20000”;
b. nomor seri dengan bentuk asimetris yang meliputi
3 (tiga) huruf dan 6 (enam) angka;
c. teks “DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA,
NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA
MENGELUARKAN RUPIAH SEBAGAI ALAT
PEMBAYARAN YANG SAH DENGAN NILAI DUA
PULUH RIBU RUPIAH”;
d. tulisan tahun cetak “TC 2016”;
- 6 -
e. gambar utama yaitu tari gong beserta tulisan “TARI
GONG”, pemandangan alam Derawan beserta tulisan
“Derawan”, dan bunga anggrek hitam;
f. tulisan “BANK INDONESIA”;
g. gambar ornamen batik;
h. gambar lingkaran-lingkaran kecil; dan
i.
tulisan “PERURI”.
(2) Ciri khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
huruf b, pada bagian belakang yang berupa desain dan
teknik cetak, terdapat:
a. warna dominan hijau;
b.
hasil cetak yang terasa kasar apabila diraba pada
ciri umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a, huruf c, dan huruf f;
c.
hasil cetak yang terasa kasar apabila diraba pada
gambar tari gong, tulisan “TARI GONG”, dan tulisan
“Derawan”;
d. gambar saling isi (rectoverso) dari logo Bank
Indonesia yang dapat dilihat secara utuh apabila
diterawangkan ke arah cahaya;
e. gambar tersembunyi (latent image) berupa angka
“20” yang dapat dilihat dari sudut pandang tertentu;
f. gambar raster berupa tulisan “NKRI” dan angka
“20000”;
g. mikroteks yang memuat tulisan “BI20000”, tulisan
“BANKINDONESIA20000”, dan angka “20000”, yang
dapat dilihat dengan bantuan kaca pembesar; dan
h. hasil cetak yang akan memendar dalam 1 (satu) atau
beberapa warna apabila dilihat dengan sinar
ultraviolet berupa:
1. gambar bunga anggrek hitam;
2. gambar burung enggang gading;
3. bidang persegi empat yang berisi tulisan “BI”;
4. gambar lingkaran-lingkaran kecil; dan
5. nomor seri dengan bentuk asimetris yang
meliputi 3 (tiga) huruf dan 6 (enam) angka.
- 7 -
Pasal 8
Selain ciri khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6
ayat (2) dan Pasal 7 ayat (2), uang Rupiah memiliki ciri
khusus sebagai berikut:
a. bahan berupa kertas uang yang memiliki spesifikasi:
1. terbuat dari serat kapas;
2. berwarna hijau muda;
3. tidak memendar dengan sinar ultraviolet;
4. terdapat tanda air (watermark) berupa gambar
Pahlawan Nasional Oto Iskandar Di Nata dan
ornamen tertentu; dan
5. terdapat benang pengaman berbentuk anyaman
yang memuat tulisan “BI 20000” secara berulang,
yang akan memendar multiwarna apabila dilihat
dengan sinar ultraviolet; dan
b. ukuran yaitu panjang 147 (seratus empat puluh tujuh)
milimeter dan lebar 65 (enam puluh lima) milimeter.
Pasal 9
Uang Rupiah kertas khusus sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 ayat (1) dikeluarkan paling banyak:
a. 5.000 (lima ribu) lembaran yang masing-masing memuat
2 (dua) lembar (bilyet);
b. 5.000 (lima ribu) lembaran yang masing-masing memuat
4 (empat) lembar (bilyet); dan
c. 100 (seratus) lembaran yang masing-masing memuat
45 (empat puluh lima) lembar (bilyet).
Pasal 10
Harga jual lembaran uang Rupiah kertas khusus sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Pasal 11
Setiap lembaran uang Rupiah kertas khusus sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 dilengkapi dengan sertifikat keaslian
dari Bank Indonesia.
- 8 -
Pasal 12
(1) Pengedaran uang Rupiah kertas khusus sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 dilakukan dengan cara menjual
secara langsung atau secara lelang kepada masyarakat.
(2) Penjualan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan oleh Bank Indonesia atau pihak lain yang
ditunjuk oleh Bank Indonesia.
Pasal 13
(1) Uang Rupiah kertas khusus sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 dapat ditukarkan kepada Bank Indonesia
atau pihak lain yang ditunjuk oleh Bank Indonesia.
(2) Penukaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diberikan penggantian untuk masing-masing lembar
(bilyet) dalam bentuk uang Rupiah lainnya yang bukan
uang Rupiah khusus.
(3) Besarnya nilai penggantian sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang
mengatur mengenai penukaran uang Rupiah.
Pasal 14
Uang Rupiah khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1
mulai berlaku dan diedarkan pada tanggal 19 Desember 2016.
Pasal 15
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
- 9 -
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 26 Oktober 2016
GUBERNUR BANK INDONESIA,
AGUS D. W. MARTOWARDOJO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 28 Oktober 2016
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 219
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 18/35/PBI/2016 </reg_id>
<reg_title> PENGELUARAN UANG RUPIAH KERTAS BERSAMBUNG PECAHAN 20.000 (DUA PULUH RIBU) TAHUN EMISI 2016 </reg_title>
<set_date> 26 Oktober 2016 </set_date>
<effective_date> 28 Oktober 2016 </effective_date>
<issued_date> 28 Oktober 2016 </issued_date>
<related_reg> '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '6/UU/2009', '7/UU/2011' </related_reg>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 5/3/PBI/2003
TENTANG
FASILITAS PEMBIAYAAN JANGKA PENDEK BAGI BANK SYARIAH
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa dalam menjalankan kegiatan usahanya, Bank Syariah
menghadapi risiko kesulitan pendanaan jangka pendek yang
disebabkan oleh terjadinya arus dana masuk yang lebih kecil
dibandingkan dengan arus dana keluar;
b. bahwa untuk mengatasi kesulitan pendanaan jangka pendek
tersebut, Bank Indonesia sebagai the lender of last resort
dapat memberikan pembiayaan kepada Bank Syariah yang
dijamin dengan agunan berkualitas tinggi dan mudah
dicairkan;
c. bahwa berhubung dengan hal tersebut di atas, dipandang
perlu untuk mengatur ketentuan mengenai fasilitas
pembiayaan jangka pendek bagi Bank Syariah dalam suatu
Peraturan Bank Indonesia tersendiri;
Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 31; Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3472) sebagaimana telah diubah
dengan …
2
dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3790);
2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999
Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3843);
M E M U T U S K A N:
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG FASILITAS
PEMBIAYAAN JANGKA PENDEK BAGI BANK SYARIAH.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Yang dimaksud dalam Peraturan Bank Indonesia ini dengan:
1. Bank Syariah adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-
undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah
dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998, yang melakukan kegiatan
usaha berdasarkan prinsip syariah, termasuk Unit Usaha Syariah;
2. Unit Usaha Syariah, yang untuk selanjutnya disebut UUS adalah unit kerja
di …
3
di kantor pusat bank umum konvensional yang berfungsi sebagai kantor
induk dari kantor cabang syariah dan atau Unit Syariah;
3. Unit Syariah adalah satuan kerja khusus dari kantor cabang atau kantor
cabang pembantu bank umum konvensional yang kegiatan usahanya
melakukan penghimpunan dana, penyaluran dana dan pemberian jasa
perbankan lainnya berdasarkan prinsip syariah dalam rangka persiapan
perubahan menjadi kantor cabang syariah;
4. Fasilitas Pembiayaan Jangka Pendek bagi Bank Syariah, yang untuk
selanjutnya disebut FPJPS adalah fasilitas pembiayaan dari Bank Indonesia
kepada Bank Syariah yang hanya dapat digunakan untuk mengatasi
Kesulitan Pendanaan Jangka Pendek;
5. Kesulitan Pendanaan Jangka Pendek adalah keadaan yang dialami Bank
Syariah yang disebabkan oleh terjadinya arus dana masuk yang lebih kecil
dibandingkan dengan arus dana keluar (mismatch);
6. Sertifikat Wadiah Bank Indonesia, yang untuk selanjutnya disebut SWBI
adalah sertifikat yang diterbitkan Bank Indonesia sebagai bukti penitipan
dana berjangka pendek dengan prinsip wadiah;
7. Wadiah adalah perjanjian penitipan dana antara pemilik dana dengan pihak
penerima titipan yang dipercaya untuk menjaga dana tersebut; dan
8. Mudharabah adalah perjanjian antara pemilik dana dan pengelola dana untuk
melakukan kegiatan usaha tertentu, dengan pembagian keuntungan antara
kedua belah pihak berdasarkan nisbah yang telah disepakati sebelumnya.
Pasal 2 …
4
Pasal 2
(1) Bank Syariah yang mengalami Kesulitan Pendanaan Jangka Pendek
sehingga pada akhir hari tidak dapat menyelesaikan kewajibannya, dapat
memperoleh FPJPS dengan memenuhi persyaratan sebagaimana diatur
dalam Peraturan Bank Indonesia ini.
(2) FPJPS diberikan maksimum sebesar kewajiban yang tidak dapat
diselesaikan.
Pasal 3
FPJPS yang diterima oleh Bank Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (1) menggunakan prinsip mudharabah.
BAB II
PERSYARATAN DAN TATA CARA PERMOHONAN FPJPS
Pasal 4
Bank Syariah yang dapat mengajukan FPJPS wajib memenuhi persyaratan
tingkat kesehatan 3 (tiga) bulan terakhir berdasarkan hasil penilaian tingkat
kesehatan yang ditatausahakan oleh Bank Indonesia, yaitu:
(1) Sekurang-kurangnya Cukup Sehat (CS) untuk predikat tingkat kesehatan
secara keseluruhan; dan
(2) Sehat (S) untuk predikat tingkat kesehatan permodalan.
Pasal 5 …
5
Pasal 5
(1) FPJPS wajib dijamin dengan agunan milik bank yang bersangkutan, yang
berkualitas tinggi, mudah dicairkan, tidak bertentangan dengan prinsip
syariah dan tercatat di Bank Indonesia.
(2) Agunan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berupa :
a. SWBI yang mempunyai sisa jangka waktu sekurang-kurangnya 3 (tiga)
hari kerja pada saat FPJPS jatuh waktu; dan atau
b. surat berharga dan atau tagihan lain.
(3) Pengaturan surat berharga dan atau tagihan lain sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2) huruf b ditetapkan kemudian dengan Surat Edaran Bank
Indonesia.
Pasal 6
Nilai agunan yang wajib diserahkan kepada Bank Indonesia ditetapkan sebagai
berikut:
a. dalam hal agunan berupa SWBI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat
(2) huruf a besarnya nilai agunan ditetapkan sebesar 103% (seratus tiga
perseratus) dari nilai nominal FPJPS;
b. dalam hal agunan berupa surat berharga dan atau tagihan lain sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf b besarnya nilai agunan ditetapkan
118 % (seratus delapan belas perseratus) dari nilai nominal FPJPS.
Pasal 7 …
6
Pasal 7
(1) Agunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) harus bebas dari
segala bentuk perikatan, sengketa, dan tidak sedang dijaminkan kepada
pihak lain dan atau Bank Indonesia yang dinyatakan dalam surat pernyataan
bank kepada Bank Indonesia.
(2) Bank yang telah memperoleh FPJPS dilarang untuk memperjualbelikan dan
atau menjaminkan kembali agunan yang masih dalam status agunan FPJPS.
(3) Bank wajib mengganti agunan FPJPS apabila tidak memenuhi kondisi-
kondisi sebagaimana diatur dalam ayat (1) dan ayat (2).
(4) Persyaratan agunan tidak sedang dijaminkan kepada Bank Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku apabila agunan
dimaksud dijaminkan kembali kepada Bank Indonesia dalam rangka
permohonan perpanjangan FPJPS yang telah diperoleh Bank Syariah.
(5) Larangan untuk menjaminkan kembali agunan yang masih dalam status
FPJPS sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), tidak berlaku apabila agunan
dimaksud dijaminkan kembali dalam rangka permohonan perpanjangan
FPJPS yang telah diterima oleh Bank Syariah.
Pasal 8
(1) Bank Syariah yang memerlukan FPJPS wajib mengajukan permohonan
secara …
7
secara tertulis kepada Bank Indonesia sesuai dengan format yang diatur
dalam Surat Edaran Bank Indonesia tentang FPJPS yang berlaku.
(2) Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Bank
Indonesia akan melakukan antara lain :
a. pengecekan atas kelengkapan dokumen permohonan FPJPS.
b. pengecekan atas pemenuhan persyaratan permohonan FPJPS.
c. pengecekan jumlah kewajiban jangka pendek yang tidak dapat
diselesaikan pada hari itu dengan jumlah permohonan FPJPS.
(3) Apabila berdasarkan pengecekan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
Bank Indonesia menyetujui permohonan FPJPS, maka Bank Indonesia akan
memberikan FPJPS maksimum sebesar kewajiban yang tidak dapat
diselesaikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2)
(4) Bank Indonesia melakukan perjanjian FPJPS dengan bank sesuai dengan
format yang diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia tentang FPJPS yang
berlaku.
(5) Perjanjian sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) wajib dilampiri dengan
perjanjian pengikatan agunan.
(6) Dalam hal permohonan FPJPS dilakukan oleh UUS, perjanjian pembiayaan
dan perjanjian pengikatan agunan dilakukan oleh kantor pusat bank umum
konvensional dari UUS tersebut atau berdasarkan surat kuasa yang diberikan
oleh kantor pusatnya kepada UUS tersebut.
(7) Permohonan FPJPS yang diajukan oleh UUS kepada Bank Indonesia selain
dilampiri persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), juga dilampiri
dengan surat pernyataan dari direksi bank yang menyatakan
ketidakmampuan …
8
ketidakmampuan kantor pusat bank memberikan bantuan dana kepada UUS.
Pasal 9
Bank Indonesia menolak permohonan FPJPS yang tidak sesuai dengan
persyaratan dan tatacara permohonan yang diatur dalam Peraturan Bank
Indonesia ini.
Pasal 10
(1) Jangka waktu setiap FPJPS adalah 1 (satu) hari kerja (overnight).
(2) Jangka waktu FPJPS sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat
diperpanjang sampai dengan maksimum 90 (sembilan puluh) hari berturut-
turut.
Pasal 11
(1) Perpanjangan FPJPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) hanya
dapat dilakukan apabila :
a. imbalan atas FPJPS yang jatuh tempo dilunasi terlebih dahulu;
b. agunan masih mencukupi dan memenuhi persyaratan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 dan Pasal 6.
(2) Dalam rangka perpanjangan FPJPS sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
Bank Syariah dapat menggunakan agunan lama maupun agunan baru.
Pasal 12 …
9
Pasal 12
Dalam rangka pengawasan atas penggunaan FPJPS oleh Bank Syariah, Bank
Indonesia dapat melakukan pemeriksaan terhadap Bank Syariah yang
bersangkutan.
BAB III
PERHITUNGAN IMBALAN
Pasal 13
(1) Bank Indonesia memperoleh imbalan atas setiap FPJPS yang diterima oleh
Bank Syariah.
(2) Perhitungan besarnya imbalan FPJPS sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dihitung berdasarkan jumlah nominal FPJPS, tingkat realisasi imbalan,
nisbah bagi hasil bagi Bank Indonesia dan jumlah hari kalender penggunaan
FPJPS.
(3) Besarnya nisbah bagi hasil bagi Bank Indonesia dalam perhitungan rumus
imbalan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), untuk permohonan FPJPS
pertama kali ditetapkan sebesar 90% (sembilan puluh perseratus).
Pasal 14
(1) Bank Indonesia dapat menerapkan nisbah bagi hasil bagi Bank Indonesia
yang …
10
yang lebih tinggi untuk setiap permohonan perpanjangan FPJPS
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2).
(2) Besarnya peningkatan nisbah bagi hasil untuk setiap
permohonan
perpanjangan FPJPS ditetapkan sebesar 2,25% (dua koma dua puluh lima
perseratus).
(3) Besarnya nisbah bagi hasil bagi Bank Indonesia untuk perpanjangan FPJPS
ditetapkan setinggi-tingginya sebesar 99% (sembilan puluh sembilan
perseratus).
BAB IV
PELUNASAN DAN EKSEKUSI AGUNAN
Pasal 15
(1) Pada saat FPJPS jatuh waktu, Bank Indonesia mendebet rekening giro
Rupiah Bank Syariah yang bersangkutan di Bank Indonesia sebesar nilai
FPJPS ditambah imbalan FPJPS.
(2) Dalam hal pada saat FPJPS jatuh waktu, saldo giro Rupiah Bank Syariah
yang bersangkutan di Bank Indonesia hanya cukup untuk membayar imbalan
FPJPS maka:
a. Bank Syariah dapat mengajukan permohonan perpanjangan FPJPS; atau
b. Apabila Bank Syariah tidak mengajukan permohonan perpanjangan
FPJPS maka Bank Indonesia mengeksekusi agunan FPJPS.
(3) Pada …
11
(3) Pada saat FPJPS jatuh waktu, saldo giro Rupiah Bank Syariah yang
bersangkutan di Bank Indonesia tidak mencukupi untuk membayar nilai
nominal dan imbalan FPJPS serta Bank Syariah masih mengalami Kesulitan
Pendanaan Jangka Pendek, maka:
a. Bank Indonesia dapat mengeksekusi agunan FPJPS; dan
b. Bank Syariah dapat mengajukan permohonan FPJPS baru.
(4) Perpanjangan FPJPS sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a dan
permohonan FPJPS baru sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) huruf b
hanya dapat dilakukan oleh Bank Syariah sepanjang penggunaan FPJPS
belum mencapai 90 (sembilan puluh) hari berturut-turut.
(5) Bank Indonesia dapat mengeksekusi agunan FPJPS apabila Bank Syariah
telah menggunakan FPJPS termasuk perpanjangannya selama 90 (sembilan
puluh) hari berturut-turut.
(6) Apabila hasil eksekusi agunan lebih kecil dari nilai FPJPS ditambah imbalan
FPJPS yang harus dibayar oleh Bank Syariah, maka Bank Syariah wajib
menyetor dana untuk menutupi kekurangannya kepada Bank Indonesia.
(7) Apabila hasil eksekusi agunan lebih besar dari nilai FPJPS ditambah
imbalan FPJPS yang harus dibayar oleh Bank Syariah, maka Bank
Indonesia wajib mengembalikan kelebihan dana tersebut kepada Bank
Syariah.
BAB V …
12
BAB V
SANKSI
Pasal 16
Pelanggaran atas ketentuan persyaratan agunan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7 dapat dikenakan sanksi berupa:
a. melunasi FPJPS;
b. eksekusi agunan FPJPS;
c. tidak diperkenankan memperoleh FPJPS dalam jangka waktu maksimal 90
(sembilan puluh) hari; dan atau
d. sanksi administratif sebagaimana diatur dalam Pasal 52 ayat (2) Undang-
undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah
dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998.
BAB VI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 17
Peraturan pelaksanaan mengenai FPJPS diatur dalam Surat Edaran Bank
Indonesia.
Pasal 18
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Ditetapkan …
13
Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal 4 Februari 2003
GUBERNUR BANK INDONESIA
Ttd
SYAHRIL SABIRIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2003 NOMOR 13
BPS
14
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 5/3/PBI/2003
TENTANG
FASILITAS PEMBIAYAAN JANGKA PENDEK BAGI BANK SYARIAH
UMUM
Dalam menjalankan kegiatan usahanya, bank termasuk Bank Syariah
menghadapi risiko likuiditas berupa kesulitan pendanaan jangka pendek.
Kesulitan pendanaan jangka pendek yang dialami Bank Syariah disebabkan oleh
adanya ketidaksesuaian antara arus dana masuk dibandingkan dengan arus dana
keluar (mismatch). Kesulitan pendanaan jangka pendek tersebut dapat
mengakibatkan terjadinya saldo giro Bank Syariah pada Bank Indonesia menjadi
negatif.
Untuk menutup kesulitan pendanaan yang bersifat jangka pendek, pada
dasarnya Bank Syariah pertama-tama harus mengupayakan dana di pasar uang
antar bank berdasarkan prinsip syariah dengan menggunakan berbagai instrumen
pasar uang yang tersedia di pasar uang tersebut. Unit Usaha Syariah dari bank
umum konvensional, dalam menutup kesulitan pendanaan yang bersifat
jangka pendek selain mengupayakan dana di pasar uang antar bank berdasarkan
prinsip syariah, harus mengupayakan pula dana dari kantor pusat bank
umum konvensionalnya. Dalam hal Bank Syariah gagal memperoleh dana di
pasar uang tersebut dan Unit Usaha Syariah tidak berhasil mendapatkan dana
dari …
15
dari kantor pusat bank umum konvensionalnya, maka berdasarkan Undang-
undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, Bank Indonesia sebagai
the lender of last resort dapat memberikan pembiayaan berdasarkan prinsip
syariah kepada Bank Syariah untuk mengatasi kesulitan pendanaan jangka
pendek tersebut.
Tujuan dari fasilitas pembiayaan ini diberikan agar kelangsungan
kegiatan usaha Bank Syariah dan kelancaran sistem pembayaran dapat
terpelihara. Fasilitas pembiayaan tersebut di atas yang diberikan dalam bentuk
Fasilitas Pembiayaan Jangka Pendek Bagi Bank Syariah wajib dijamin dengan
agunan berupa Sertifikat Wadiah Bank Indonesia, dan atau surat berharga dan
atau tagihan lain yang berkualitas tinggi dan mudah dicairkan yang tidak
bertentangan dengan prinsip syariah.
Fasilitas Pembiayaan Jangka Pendek Bagi Bank Syariah hanya diberikan
kepada Bank Syariah yang mengalami kesulitan pendanaan jangka pendek
namun memenuhi persyaratan tingkat kesehatan dan permodalan (illiquid but
solvent).
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Angka 1
Cukup jelas
Angka 2
Cukup jelas
Angka 3 …
16
Angka 3
Cukup jelas
Angka 4
Cukup jelas
Angka 5
Cukup jelas
Angka 6
Cukup jelas
Angka 7
Cukup jelas
Angka 8
Cukup jelas
Pasal 2
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan tidak dapat menyelesaikan kewajibannya
adalah ketidakmampuan Bank Syariah dalam menyelesaikan
kewajiban, baik yang terjadi melalui sistem kliring dan atau karena
pemakaian fasilitas pendanaan dalam rangka sistem BI-RTGS.
Yang dimaksud dengan kewajiban tidak termasuk kewajiban Bank
Syariah untuk membayar denda Giro Wajib Minimum dan imbalan
FPJPS.
Ayat (2) …
17
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 3
Cukup jelas
Pasal 4
Ketentuan ini dimaksudkan untuk membatasi pemberian FPJPS hanya
kepada Bank Syariah yang solvabel namun mengalami permasalahan
likuiditas akibat mismatch (illiquid but solvent bank)
Bagi UUS, persyaratan pemenuhan kewajiban penyediaan modal
minimum dan tingkat kesehatan yang dipergunakan adalah perhitungan
kewajiban penyediaan modal minimum dan tingkat kesehatan dari bank
umum konvensionalnya.
Pasal 5
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup Jelas
Ayat (3) …
18
Ayat (3)
Pokok-pokok pengaturan yang akan ditetapkan dalam Surat
Edaran Bank Indonesia memuat antara lain :
a. lembaga penerbit
b. persyaratan peringkat
c. lembaga pemeringkat
Pasal 6
Cukup jelas
Pasal 7
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4) …
19
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 8
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
Ayat (7)
Yang dimaksud bank disini adalah bank umum konvensional dari
UUS tersebut.
Pasal 9 …
20
Pasal 9
Cukup jelas
Pasal 10
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 11
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan imbalan disini adalah jumlah yang harus
dibayar oleh Bank Syariah atas pemakaian FPJPS.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 12
Pemeriksaan terhadap Bank Syariah yang menerima FPJPS dapat
dilakukan pada periode diterimanya FPJPS atau setelah jatuh waktu
FPJPS.
Pasal 13
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Rumus perhitungan besarnya imbalan FPJPS adalah sebagai
berikut: …
21
berikut:
X = P x R x k x t/360
dimana :
X : Besarnya imbalan yang diterima oleh Bank Indonesia
P : Jumlah nominal FPJPS
R : Realisasi tingkat imbalan sebelum didistribusikan pada bulan
terakhir atas deposito mudharabah 3 (tiga) bulan atau
deposito mudharabah 1 (satu) bulan dari Bank Syariah
penerima FPJPS dalam hal deposito mudharabah 3 (tiga)
bulan tidak tersedia.
k : Nisbah bagi hasil bagi Bank Indonesia
t
: Jumlah hari kalender penggunaan FPJPS
Dalam menghitung tingkat imbalan (R) dapat menggunakan 2
(dua) metode bagi hasil yaitu metode revenue sharing dan metode
profit sharing.
Metode revenue sharing yaitu bagi hasil dihitung dari total
pengelolaan pendapatan mudharabah, sedangkan metode profit
sharing yaitu bagi hasil dihitung dari pendapatan pengelolaan
mudharabah setelah dikurangi biaya yang berkaitan langsung
dengan pengelolaan dana mudharabah.
Penetapan R yang digunakan dalam perhitungan imbalan FPJPS
mengikuti metode bagi hasil yang digunakan oleh Bank Syariah
penerima FPJPS.
Ayat (3) …
22
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 14
Ayat (1)
Pemberlakuan peningkatan nisbah bagi hasil pada setiap
perpanjangan FPJPS bertujuan untuk meminimalkan moral
hazard.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 15
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3) …
23
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
Ayat (7)
Cukup jelas
Pasal 16
Cukup jelas
Pasal 17
Cukup jelas
Pasal 18
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4261
BPS
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 5/3/PBI/2003 </reg_id>
<reg_title> FASILITAS PEMBIAYAAN JANGKA PENDEK BAGI BANK SYARIAH </reg_title>
<set_date> 4 Februari 2003 </set_date>
<effective_date> 4 Februari 2003 </effective_date>
<related_reg> '23/UU/1999', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB V' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 7/7/PBI/2005
TENTANG
PENYELESAIAN PENGADUAN NASABAH
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa penyelesaian pengaduan nasabah merupakan salah
satu bentuk
rangka menjamin hak-hak nasabah dalam berhubungan
dengan bank;
b. bahwa pengaduan nasabah yang tidak segera ditindaklanjuti
berpotensi meningkatkan risiko reputasi bagi bank dan
dalam jangka panjang dapat menurunkan kepercayaan
masyarakat terhadap lembaga perbankan;
c. bahwa oleh karena itu dipandang perlu untuk mengatur
penyelesaian pengaduan nasabah dalam suatu Peraturan
Bank Indonesia;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor
31, Tambahan Lembaran Negara
Republik
Indonesia
Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182 Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790);
2. Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen (Lembaran Negara Republik
Indonesia .....
peningkatan perlindungan nasabah dalam
- 2 -
Indonesia Tahun 1999 Nomor 42 Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3821);
3. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357);
M E M U T U S K A N:
Menetapkan
: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG
PENYELESAIAN PENGADUAN NASABAH
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Bank adalah Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat
sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998,
termasuk kantor cabang bank asing.
2. Nasabah adalah pihak yang menggunakan jasa Bank, termasuk pihak yang
tidak memiliki rekening namun memanfaatkan jasa Bank untuk melakukan
transaksi keuangan (walk-in customer).
3. Perwakilan .....
- 3 -
3. Perwakilan Nasabah adalah perseorangan, lembaga dan atau badan hukum
yang bertindak untuk dan atas nama Nasabah dengan berdasarkan surat kuasa
khusus dari Nasabah.
4. Pengaduan adalah ungkapan ketidakpuasan Nasabah yang disebabkan oleh
adanya potensi kerugian finansial pada Nasabah yang diduga karena
kesalahan atau kelalaian Bank.
5. Transaksi Keuangan adalah pemanfaatan produk dan atau jasa perbankan
maupun produk dan atau jasa lembaga keuangan lain dan atau pihak ketiga
lainnya yang ditawarkan melalui Bank.
6. Kantor Bank adalah kantor pusat, kantor cabang, dan kantor di bawah kantor
cabang.
Pasal 2
(1) Bank wajib menyelesaikan setiap Pengaduan yang diajukan Nasabah dan
atau Perwakilan Nasabah.
(2) Untuk menyelesaikan Pengaduan, Bank wajib menetapkan kebijakan dan
memiliki prosedur tertulis yang meliputi:
a. penerimaan Pengaduan;
b. penanganan dan penyelesaian Pengaduan; dan
c. pemantauan penanganan dan penyelesaian Pengaduan.
Pasal 3
Direksi Bank bertanggung jawab atas pelaksanaan kebijakan dan prosedur
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2.
Pasal 4 .....
- 4 -
Pasal 4
(1) Bank wajib memiliki unit dan atau fungsi yang dibentuk secara khusus di
setiap Kantor Bank untuk menangani dan menyelesaikan Pengaduan yang
diajukan oleh Nasabah dan atau Perwakilan Nasabah.
(2) Kewenangan unit dan atau fungsi khusus sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) wajib diatur dalam kebijakan dan prosedur penyelesaian Pengaduan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2.
Pasal 5
Bank wajib mempublikasikan keberadaan unit dan atau fungsi khusus
penanganan dan penyelesaian Pengaduan kepada masyarakat secara tertulis dan
atau elektronis.
BAB II
PENERIMAAN PENGADUAN
Pasal 6
(1) Bank wajib menerima setiap Pengaduan yang diajukan oleh Nasabah dan
atau Perwakilan Nasabah yang terkait dengan Transaksi Keuangan yang
dilakukan oleh Nasabah.
(2) Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara
tertulis dan atau lisan.
(3) Dalam hal Pengaduan dilakukan secara tertulis, maka Pengaduan tersebut
wajib dilengkapi fotokopi identitas dan dokumen pendukung lainnya
(4) Pengaduan yang dilakukan secara lisan wajib diselesaikan dalam waktu 2
(dua) hari kerja.
(5) Dalam .....
- 5 -
(5) Dalam hal Pengaduan yang diajukan secara lisan tidak dapat
diselesaikan
oleh Bank dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Bank
wajib meminta Nasabah dan atau Perwakilan Nasabah untuk mengajukan
Pengaduan secara tertulis dengan dilengkapi dokumen sebagaimana
dimaksud pada ayat (3).
Pasal 7
(1) Penerimaan Pengaduan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dapat
dilakukan pada setiap Kantor Bank dan tidak terbatas hanya pada Kantor
Bank tempat Nasabah membuka rekening dan atau Kantor Bank tempat
Nasabah melakukan Transaksi Keuangan.
(2) Bank wajib memberikan penjelasan kepada Nasabah dan atau Perwakilan
Nasabah mengenai kebijakan dan prosedur penyelesaian Pengaduan pada
saat Nasabah dan atau Perwakilan Nasabah mengajukan Pengaduan.
Pasal 8
(1) Bank wajib menyampaikan bukti tanda terima Pengaduan kepada Nasabah
dan atau Perwakilan Nasabah yang mengajukan Pengaduan secara tertulis.
(2) Bukti penerimaan Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling
kurang memuat:
a. nomor registrasi Pengaduan;
b. tanggal penerimaan Pengaduan;
c. nama Nasabah;
d. nama dan nomor telepon petugas Bank yang menerima Pengaduan; dan
e. deskripsi singkat Pengaduan.
(3) Bukti .....
- 6 -
(3) Bukti penerimaan Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
ditandatangani oleh petugas yang menerima Pengaduan.
Pasal 9
(1) Bank wajib memelihara catatan penerimaan Pengaduan.
(2) Catatan penerimaan Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling
kurang memuat:
a. nomor registrasi Pengaduan;
b. tanggal penerimaan Pengaduan;
c. nama Nasabah;
d. petugas penerima Pengaduan; dan
e. deskripsi singkat Pengaduan.
BAB III
PENANGANAN DAN PENYELESAIAN PENGADUAN
Pasal 10
(1) Bank wajib menyelesaikan Pengaduan paling lambat 20 (dua puluh) hari
kerja setelah tanggal penerimaan Pengaduan tertulis.
(2) Dalam hal terdapat kondisi tertentu, Bank dapat memperpanjang jangka
waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan paling lama 20
(dua puluh) hari kerja.
(3) Kondisi tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah:
a. Kantor Bank yang menerima Pengaduan tidak sama dengan Kantor Bank
tempat terjadinya permasalahan yang diadukan dan terdapat kendala
komunikasi diantara kedua Kantor Bank tersebut;
b. Transaksi .....
- 7 -
b. Transaksi Keuangan yang diadukan oleh Nasabah dan atau Perwakilan
Nasabah memerlukan penelitian khusus terhadap dokumen-dokumen
Bank;
c. Terdapat hal-hal lain yang berada diluar
kendali bank, seperti adanya
keterlibatan pihak ketiga diluar Bank dalam Transaksi Keuangan yang
dilakukan Nasabah.
(4) Perpanjangan jangka waktu penyelesaian Pengaduan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) wajib diberitahukan secara tertulis kepada Nasabah dan atau
Perwakilan Nasabah yang mengajukan Pengaduan sebelum jangka waktu
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berakhir.
Pasal 11
(1) Dalam hal Pengaduan terkait dengan Transaksi Keuangan yang melibatkan
pejabat Bank yang memiliki kewenangan untuk menyelesaikan Pengaduan
tersebut, maka penanganan dan penyelesaian Pengaduan wajib dilakukan
oleh pejabat Bank yang tingkatannya lebih tinggi.
(2) Apabila Pengaduan terkait dengan kewenangan pemimpin Kantor Bank
tempat Nasabah mengalami permasalahan, maka penanganan dan
penyelesaian Pengaduan diselesaikan oleh unit dan atau fungsi khusus
penanganan dan penyelesaian Pengaduan di Kantor Bank yang lebih tinggi
tingkatannya.
Pasal 12
Bank wajib menginformasikan status penyelesaian Pengaduan setiap saat
Nasabah dan atau Perwakilan Nasabah meminta penjelasan kepada Bank
mengenai Pengaduan yang diajukannya.
Pasal 13 .....
- 8 -
Pasal 13
(1) Dalam hal Pengaduan diajukan secara tertulis, Bank wajib menyampaikan
hasil penyelesaian Pengaduan secara tertulis kepada Nasabah dan atau
Perwakilan Nasabah sesuai batas waktu yang ditentukan dalam Pasal 10.
(2) Dalam hal Pengaduan diajukan secara lisan, Bank dapat menyampaikan hasil
penyelesaian Pengaduan secara tertulis dan atau lisan kepada Nasabah dan
atau Perwakilan Nasabah sesuai batas waktu yang ditentukan dalam Pasal 6
ayat (4).
(3) Hasil penyelesaian Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling
kurang memuat:
a. Nomor registrasi Pengaduan;
b. Permasalahan yang diadukan; dan
c. Hasil penyelesaian Pengaduan yang disertai penjelasan dan alasan yang
cukup.
BAB IV
PEMANTAUAN PENANGANAN DAN
PENYELESAIAN PENGADUAN
Pasal 14
Bank
wajib menatausahakan seluruh dokumen yang
penerimaan, penanganan, dan penyelesaian Pengaduan.
Pasal 15
Bank wajib memiliki mekanisme pelaporan internal penyelesaian Pengaduan.
berkaitan dengan
BAB V .....
- 9 -
BAB V
PELAPORAN
Pasal 16
(1) Bank wajib menyampaikan laporan penanganan dan penyelesaian
Pengaduan secara triwulanan kepada Bank Indonesia.
(2) Laporan penanganan dan penyelesaian Pengaduan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) wajib disampaikan sesuai dengan format yang ditetapkan Bank
Indonesia.
(3) Pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lambat 1
(satu) bulan setelah berakhirnya masa laporan.
(4) Bank dinyatakan terlambat menyampaikan laporan apabila laporan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan melampaui batas waktu
penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tetapi belum
melampaui 1 (satu) bulan sejak akhir batas waktu penyampaian laporan.
(5) Bank dinyatakan tidak menyampaikan laporan apabila laporan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) belum disampaikan oleh Bank sampai dengan
berakhirnya batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (4).
(6) Laporan penanganan dan penyelesaian Pengaduan wajib disampaikan
kepada:
a. Direktorat Pengawasan Bank terkait, Jl. M.H. Thamrin No. 2 Jakarta
10110, bagi Bank yang berkantor pusat di wilayah kerja kantor pusat Bank
Indonesia; atau
b. Kantor .....
- 10 -
b. Kantor Bank Indonesia setempat, bagi Bank yang berkantor pusat di luar
wilayah kantor pusat Bank Indonesia;
dengan tembusan ditujukan kepada Unit Khusus Investigasi Perbankan, Jl.
M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10110.
BAB VI
SANKSI
Pasal 17
(1) Bank yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal
3, Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7 , Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11,
Pasal 12, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15 dan Pasal 16 dikenakan sanksi
administratif sesuai Pasal 52 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10
Tahun 1998 berupa teguran tertulis.
(2) Pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diperhitungkan
dengan komponen penilaian tingkat kesehatan Bank.
Pasal 18
(1) Bank umum yang melanggar ketentuan Pasal 16 ayat (4) dikenakan sanksi
kewajiban membayar sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) per hari
kerja keterlambatan.
(2) Bank umum yang melanggar ketentuan Pasal 16 ayat (5) dikenakan sanksi
kewajiban membayar sebesar Rp30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah).
Pasal 19 .....
- 11 -
Pasal 19
(1) Bank Perkreditan Rakyat yang melanggar ketentuan Pasal 16 ayat (4)
dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu
rupiah).
(2) Bank Perkreditan Rakyat yang melanggar ketentuan Pasal 16 ayat (5)
dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp250.000,00 (dua ratus
lima puluh ribu rupiah).
BAB VII
PENUTUP
Pasal 20
Ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia ini tidak berlaku bagi Badan Kredit
Desa yang didirikan berdasarkan Staatsblad Tahun 1929 Nomor 357 dan
Rijksblad Tahun 1937 Nomor 9.
Pasal 21
Ketentuan lebih lanjut mengenai Peraturan Bank Indonesia ini akan diatur dalam
Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 22 …..
- 12 -
Pasal 22
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku 6 (enam) bulan sejak tanggal
ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 20 Januari 2005
GUBERNUR BANK INDONESIA
BURHANUDDIN ABDULLAH
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2005 NOMOR 17
DPNP/DPbS/DPBPR
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 7/7/PBI/2005
TENTANG
PENYELESAIAN PENGADUAN NASABAH
UMUM
Dalam pelaksanaan kegiatan usaha perbankan seringkali hak-hak nasabah
tidak dapat terlaksana dengan baik sehingga menimbulkan friksi antara nasabah
dengan bank
yang
ditunjukkan dengan munculnya pengaduan nasabah.
Pengaduan nasabah ini apabila tidak diselesaikan dengan baik oleh bank
berpotensi menjadi perselisihan atau sengketa yang pada akhirnya akan dapat
merugikan nasabah dan atau bank. Tidak adanya mekanisme standar dalam
penanganan pengaduan nasabah selama ini telah menyebabkan perselisihan atau
sengketa antara nasabah dengan bank cenderung berlarut-larut, antara lain
ditunjukkan dengan cukup banyaknya keluhan-keluhan nasabah di berbagai
media. Munculnya keluhan-keluhan yang tersebar kepada publik melalui
berbagai media tersebut dapat menurunkan reputasi bank di mata masyarakat dan
berpotensi menurunkan kepercayaan masyarakat
pada
lembaga
perbankan
apabila tidak segera ditanggulangi.
Oleh karena itu, untuk mengurangi publikasi negatif terhadap operasional
dan menjamin terselenggaranya mekanisme penyelesaian pengaduan
bank
nasabah secara efektif dalam jangka waktu yang memadai, maka Bank Indonesia
memandang perlu untuk menetapkan standar minimum mekanisme penyelesaian
pengaduan nasabah dalam Peraturan Bank Indonesia yang wajib dilaksanakan
oleh .....
- 2 -
oleh seluruh bank. Selain tujuan tersebut, Peraturan Bank Indonesia ini juga
ditujukan untuk mendukung kesetaraan hubungan antara bank sebagai pelaku
usaha dengan nasabah sebagai konsumen pengguna jasa perbankan sebagaimana
diamanatkan Undang-Undang
Konsumen.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup Jelas
Pasal 2
ayat (1)
Cukup jelas
ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 3
Cukup jelas
Pasal 4
ayat (1)
Pembentukan unit dan atau fungsi khusus untuk menangani dan
menyelesaikan Pengaduan disesuaikan dengan skala usaha dan
kompleksitas kegiatan usaha Bank.
ayat (2)
Unit dan atau fungsi khusus diberikan kewenangan yang cukup
sehingga dapat menjamin terselesaikannya Pengaduan yang diajukan
Nasabah dan atau Perwakilan Nasabah secara efektif.
Pemberian .....
No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
- 3 -
Pemberian kewenangan unit dan atau fungsi khusus tersebut dapat
dilakukan secara berjenjang sesuai dengan tingkatan kantor atau
jabatan.
Pasal 5
Cukup jelas
Pasal 6
ayat (1)
Cukup jelas
ayat (2)
Termasuk
dalam pengertian Pengaduan secara tertulis adalah
Pengaduan yang diajukan melalui sarana/media seperti e-mail,
faksimili atau sarana elektronik lainnya.
Termasuk
Pengaduan yang diajukan melalui telepon.
ayat (3)
Yang
dimaksud dengan dokumen pendukung
lainnya adalah
dokumen yang mendasari Transaksi Keuangan, seperti bukti setoran
dan bukti transfer.
ayat (4)
Batas waktu 2 (dua) hari kerja dihitung sejak tanggal pencatatan
Pengaduan oleh Bank.
ayat (5)
Permintaan pengajuan Pengaduan secara tertulis disertai dengan
penjelasan mengenai alasan-alasan tidak terselesaikannya Pengaduan
secara lisan.
Pasal 7 .....
dalam pengertian Pengaduan secara lisan adalah
- 4 -
Pasal 7
ayat (1)
Cukup jelas
ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 8
ayat (1)
Cukup jelas
ayat (2)
Cukup jelas
ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 9
Cukup jelas
Pasal 10
ayat (1)
Cukup jelas
ayat (2)
Cukup jelas
ayat (3)
Cukup jelas
ayat (4)
Pemberitahuan secara tertulis mencantumkan alasan perpanjangan
jangka waktu penyelesaian Pengaduan.
Pasal 11 .....
- 5 -
Pasal 11
ayat (1)
Cukup jelas
ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 12
Cukup jelas
Pasal 13
Cukup jelas
Pasal 14
Cukup jelas
Pasal 15
Cukup jelas
Pasal 16
ayat (1)
Laporan penanganan dan penyelesaian Pengaduan paling kurang
memuat Pengaduan yang sedang dan telah diselesaikan dalam
periode Pelaporan.
Triwulanan adalah periode yang berakhir pada bulan Maret, Juni,
September, dan Desember.
ayat (2)
Cukup jelas
ayat (3) .....
- 6 -
ayat (3)
Cukup jelas
ayat (4)
Cukup jelas
ayat (5)
Cukup jelas
ayat (6)
Cukup jelas
Pasal 17
ayat (1)
Cukup jelas
ayat (2)
Perhitungan dalam komponen penilaian tingkat kesehatan Bank
dilakukan pada penilaian aspek manajemen.
Pasal 18
Cukup jelas
Pasal 19
Cukup jelas
Pasal 20
Cukup jelas
Pasal 21
Cukup jelas
Pasal 22 …..
- 7 -
Pasal 22
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR
4476
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 7/7/PBI/2005 </reg_id>
<reg_title> PENYELESAIAN PENGADUAN NASABAH </reg_title>
<set_date> 20 Januari 2005 </set_date>
<effective_date> 6 (enam) bulan sejak tanggal 20 Januari 2005 </effective_date>
<related_reg> '7/UU/1992', '10/UU/1998', '8/UU/1999', '23/UU/1999', '3/UU/2004' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB VI' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 14/ 13 /PBI/2012
TENTANG
PENITIPAN SEMENTARA SURAT YANG BERHARGA
DAN BARANG BERHARGA PADA BANK INDONESIA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang
: a. bahwa Bank Indonesia melakukan kegiatan
penitipan sementara surat yang berharga,
sekuritas dan barang berharga pada Bank
Indonesia dalam rangka membantu pelaksanaan
tugas-tugas pemerintahan;
b. bahwa untuk membantu pelaksanaan tugas-
tugas pemerintahan sebagaimana dimaksud pada
huruf a, Bank Indonesia memandang perlu untuk
menyempurnakan ketentuan mengenai
jenis
titipan, pihak yang dapat menitipkan, dan
mekanisme penitipan sementara pada Bank
Indonesia;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu
untuk mengatur kembali Peraturan Bank
Indonesia mengenai penitipan sementara surat
yang berharga dan barang berharga pada Bank
Indonesia;
Mengingat . . .
-2-
Mengingat
: Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang
Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843)
sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009
tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23
Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi
Undang-Undang (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan
: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG
PENITIPAN SEMENTARA SURAT YANG BERHARGA
DAN BARANG BERHARGA PADA BANK INDONESIA.
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Titipan adalah barang milik pihak lain yang dititipkan sementara
dan ditatausahakan pada Bank Indonesia.
2. Penitip adalah pihak tertentu yang ditetapkan oleh Bank Indonesia
yang dapat melakukan penitipan sementara pada Bank Indonesia.
3. Surat yang Berharga adalah dokumen yang mempunyai nilai bagi
Penitip yang tidak dapat diperdagangkan di pasar uang dan/atau
pasar modal.
4. Sekuritas . . .
- 3 -
4. Sekuritas adalah surat berharga dalam bentuk fisik (warkat) yang
mempunyai nilai uang baik yang diperdagangkan maupun yang
tidak dapat diperdagangkan di pasar uang dan pasar modal.
Pasal 2
(1) Bank Indonesia dapat menerima Titipan dari Penitip.
(2) Titipan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan Titipan
tertutup.
(3) Titipan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a. Surat yang Berharga, antara lain sertifikat tanah dan dokumen
perjanjian;
b. Sekuritas, antara lain saham dan obligasi; dan/atau
c. barang berharga, antara lain, uang baik dalam Rupiah maupun
valuta asing, logam mulia, platina dan batu mulia.
(4) Bank Indonesia dapat menerima Titipan dari Penitip sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) berupa uang Rupiah palsu dan uang
Rupiah tiruan.
(5) Titipan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memiliki
kriteria sebagai berikut:
a. dalam rangka membantu pelaksanaan tugas-tugas
pemerintahan; dan/atau
b. dalam rangka penyitaan oleh penyidik dan/atau penetapan sita
oleh pengadilan tingkat pertama dalam perkara pidana, perdata
atau tata usaha negara dalam rangka penanganan kasus yang
berdampak luas.
(6) Titipan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) bukan
merupakan Titipan yang dianggap berbahaya atau dilarang oleh
Pemerintah atau peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 3 . . .
-4-
Pasal 3
(1) Penitip sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) terdiri atas:
a. kementerian negara/lembaga pemerintah non kementerian
negara/lembaga negara;
b. pengadilan tingkat pertama atau lembaga yang mempunyai
kewenangan penyidikan berdasarkan Undang-Undang;
c. Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota; dan/atau
d. pihak internal Bank Indonesia.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan titipan untuk pihak
internal Bank Indonesia diatur dalam Surat Edaran Bank
Indonesia yang bersifat internal.
Pasal 4
(1) Bank Indonesia menerima Titipan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (1) berdasarkan permohonan secara tertulis dari
Penitip.
(2) Bank Indonesia menolak permohonan penitipan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) apabila tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3), ayat (4), ayat (5),
ayat (6), Pasal 3 ayat (1), dan/atau apabila terdapat pertimbangan
tertentu.
Pasal 5
(1) Jangka waktu penitipan ditetapkan paling lama 12 (dua belas)
bulan sejak tanggal penitipan.
(2) Penitip dapat menentukan jangka waktu penitipan pada Bank
Indonesia dengan mengacu kepada ketentuan jangka waktu
penitipan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Jangka . . .
- 5 -
(3) Jangka waktu penitipan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) dapat diperpanjang paling lama 12 (dua belas) bulan sejak
tanggal jatuh waktu penitipan untuk setiap perpanjangan.
Pasal 6
(1) Perpanjangan jangka waktu penitipan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 ayat (3) dilakukan oleh Penitip dengan mengajukan
permohonan secara tertulis kepada Bank Indonesia.
(2) Bank Indonesia dapat menerima atau menolak permohonan
perpanjangan jangka waktu penitipan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1).
Pasal 7
(1) Titipan yang telah jatuh waktu harus diambil oleh Penitip.
(2) Penitip dapat mengambil Titipan sebelum jatuh waktu dengan
mengajukan permohonan secara tertulis kepada Bank Indonesia.
Pasal 8
(1) Bank Indonesia dapat memutuskan hubungan penitipan dengan
pertimbangan tertentu.
(2) Dalam hal Bank Indonesia memutuskan hubungan penitipan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Titipan harus diambil oleh
Penitip.
Pasal 9
(1) Penatausahaan Titipan pada Bank Indonesia mencakup
penerimaan, penyimpanan dan penyerahan Titipan.
(2) Dalam rangka penatausahaan Titipan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), Bank Indonesia menerbitkan:
a. Bukti . . .
-6-
a. Bukti Titipan Sementara sebagai bukti penerimaan Titipan
pada Bank Indonesia.
b. Bukti Penyerahan Titipan sebagai bukti penyerahan Titipan
oleh Bank Indonesia.
Pasal 10
(1) Bank Indonesia menerbitkan Bukti Titipan Sementara Pengganti
untuk Bukti Titipan Sementara yang hilang atau rusak
berdasarkan permohonan secara tertulis dari Penitip sesuai
dengan persyaratan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
(2) Bukti Titipan Sementara yang dilaporkan hilang atau rusak
dinyatakan tidak berlaku setelah diterbitkannya Bukti Titipan
Sementara Pengganti.
(3) Bank Indonesia dapat menolak permohonan untuk menerbitkan
Bukti Titipan Sementara Pengganti sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dengan pertimbangan tertentu.
Pasal 11
Bank Indonesia tidak mengenakan biaya atas Titipan yang
ditatausahakan pada Bank Indonesia.
Pasal 12
(1) Bank Indonesia mengkategorikan Titipan menjadi Titipan
kedaluwarsa apabila:
a. Titipan telah jatuh waktu dan tidak diambil oleh Penitip;
b. permohonan perpanjangan secara tertulis dari Penitip diterima
setelah lewat jatuh waktu Titipan; atau
c. Bank Indonesia telah memutuskan hubungan penitipan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1), dan Titipan
tidak diambil oleh Penitip.
(2) Dalam . . .
-7-
(2) Dalam hal Titipan dikategorikan sebagai Titipan kedaluwarsa
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Penitip harus mengambil
Titipan dimaksud.
(3) Bank Indonesia memberitahukan secara tertulis kepada Penitip
mengenai penyelesaian Titipan kedaluwarsa sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
(4) Dalam hal Penitip tidak memberikan tanggapan atas surat
pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dalam jangka
waktu tertentu maka Bank Indonesia:
a. mengembalikan Titipan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (3) yang telah kedaluwarsa kepada Penitip atau
mengalihkan kepada pihak yang berwenang sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku; atau
b. mengembalikan Titipan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (4) yang telah kedaluwarsa kepada Penitip.
Pasal 13
(1) Penitip bertanggungjawab sepenuhnya atas kebenaran, kualitas,
jumlah, dan/atau keaslian dari Titipan yang disebutkan dalam
Bukti Titipan Sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9
ayat (2) huruf a.
(2) Bank Indonesia dibebaskan dari tanggung jawab apabila terjadi
kehilangan, kerusakan, penyusutan, kedaluwarsa dan/atau hal-
hal lain yang mungkin timbul atas Titipan yang mengakibatkan
berkurangnya nilai, kualitas dan/atau fisik Titipan.
Pasal 14
(1) Titipan yang telah dikategorikan sebagai Titipan kedaluwarsa
sebelum berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini, diselesaikan
paling . . .
-8-
paling lama 2 (dua) tahun sejak berlakunya Peraturan Bank
Indonesia ini.
(2) Dalam hal Titipan tidak dapat diselesaikan sampai dengan batas
waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia
mengembalikan Titipan kepada Penitip atau mengalihkan kepada
pihak yang berwenang sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
Pasal 15
Ketentuan lebih lanjut dari Peraturan Bank Indonesia ini diatur dalam
Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 16
Pada saat Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku, Peraturan Bank
Indonesia Nomor 7/16/PBI/2005 tanggal 1 Juli 2005 tentang
Penyimpanan Sekuritas, Surat Yang Berharga dan Barang Berharga
Pada Bank Indonesia dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 17 . . .
-9-
Pasal 17
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 16 Oktober 2012
GUBERNUR BANK INDONESIA,
DARMIN NASUTION
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 16 Oktober 2012
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
AMIR SYAMSUDIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2012 NOMOR 191
DPU
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 14/ 13 /PBI/2012
TENTANG
PENITIPAN SEMENTARA SURAT YANG BERHARGA
DAN BARANG BERHARGA PADA BANK INDONESIA
I. UMUM
Bank Indonesia melakukan kegiatan penitipan sementara
barang milik Penitip yang meliputi surat yang berharga, sekuritas
dan barang berharga dalam rangka mendukung tugas-tugas
pemerintahan dan penyitaan oleh penyidik dan/atau penetapan sita
oleh pengadilan tingkat pertama dalam perkara pidana, perdata
atau tata usaha negara dalam rangka penanganan kasus yang
berdampak luas. Seiring dengan tugas Bank Indonesia untuk turut
serta mencegah beredarnya uang Rupiah palsu dan uang Rupiah
tiruan, maka Bank Indonesia juga menerima penitipan sementara
uang Rupiah palsu dan uang Rupiah tiruan dari penyidik sebelum
dimusnahkan.
Pelaksanaan kegiatan penitipan sementara dimaksud selama
ini dipandang tidak efisien dan tidak efektif sehubungan dengan
terlalu luasnya cakupan jenis titipan, pihak penitip, dan
ketidakjelasan mekanisme penitipan. Sehubungan dengan hal
tersebut, dalam rangka mendukung efektifitas dan efisiensi
pelaksanaan kegiatan penitipan pada Bank Indonesia, dipandang
perlu untuk mengatur kembali ketentuan penitipan sementara surat
yang berharga dan barang berharga pada Bank Indonesia.
II. PASAL . . .
-2-
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “Titipan tertutup” adalah Titipan
yang pada waktu penyerahan, petugas Bank Indonesia
bersama-sama dengan Penitip melihat isi dan wujudnya
sesuai dengan surat permohonan, tanpa harus memastikan
kebenaran, kualitas, jumlah, dan/atau keaslian dari Titipan.
Titipan selanjutnya dikemas dan disegel oleh Penitip.
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang termasuk batu mulia antara lain berlian, intan,
dan permata.
Ayat (4)
Cakupan uang Rupiah palsu dan uang Rupiah tiruan yang
dapat dititipkan pada Bank Indonesia merupakan uang
Rupiah palsu dan uang Rupiah tiruan yang merupakan
barang temuan.
Yang dimaksud dengan uang Rupiah palsu adalah suatu
benda yang bahan, ukuran, warna, gambar, dan/atau
desainnya menyerupai Rupiah yang dibuat, dibentuk,
dicetak . . .
-3-
dicetak, digandakan, diedarkan, atau digunakan sebagai
alat pembayaran secara melawan hukum.
Yang dimaksud dengan uang Rupiah tiruan adalah suatu
benda yang bahan, ukuran, warna, gambar, dan/atau
desainnya menyerupai Rupiah yang dibuat, dibentuk,
dicetak, digandakan, atau diedarkan, tidak digunakan
sebagai alat pembayaran dengan merendahkan kehormatan
Rupiah sebagai simbol negara.
Ayat (5)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “kasus yang berdampak luas”
antara lain yang dapat menimbulkan dampak berskala
regional atau nasional.
Ayat (6)
Yang dimaksud dengan “Titipan yang dianggap berbahaya
atau dilarang oleh Pemerintah atau peraturan perundang-
undangan yang berlaku” antara lain senjata api, peluru,
bahan peledak, bahan kimia, senjata tajam, narkotika dan
psikotropika.
Pasal 3
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan lembaga yang mempunyai
kewenangan penyidikan berdasarkan Undang-Undang
antara lain Kepolisian Negara Republik Indonesia,
Kejaksaan Republik
Indonesia, Komisi
Pemberantasan . . .
-4-
Pemberantasan Korupsi, dan Otoritas Jasa Keuangan.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 4
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “pertimbangan tertentu” antara lain
keterbatasan kapasitas ruangan penyimpanan di Bank
Indonesia.
Ruang penyimpanan adalah khazanah yang merupakan
ruangan yang dibuat khusus dengan memperhatikan faktor
keamanan dan digunakan terutama untuk menyimpan uang
Rupiah.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Penolakan permohonan perpanjangan jangka waktu
penitipan dilakukan dengan mempertimbangkan antara lain
keterbatasan kapasitas ruangan penyimpanan di Bank
Indonesia dan/atau Penitip mengajukan permohonan
perpanjangan setelah melewati tanggal jatuh waktu Titipan.
Pasal 7 . . .
-5-
Pasal 7
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “Titipan yang telah jatuh waktu”
adalah Titipan yang telah melewati tanggal jatuh waktu
Titipan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 8
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “pertimbangan tertentu” antara lain
adalah keterbatasan kapasitas ruangan penyimpanan di
Bank Indonesia.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 9
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan kegiatan penyerahan Titipan
termasuk kegiatan penyelesaian Titipan kedaluwarsa.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 10
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “pertimbangan tertentu” antara lain
adalah ketidaksesuaian antara data dalam surat
permohonan dengan data yang tercantum dalam Bukti
Titipan Sementara yang ditatausahakan di Bank Indonesia.
Pasal 11 . . .
-6-
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Huruf a
Proses penyelesaian atas Titipan kedaluwarsa yang
telah dialihkan selanjutnya merupakan tanggung
jawab pihak yang berwenang sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Huruf b
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5350
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 14/13/PBI/2012 </reg_id>
<reg_title> PENITIPAN SEMENTARA SURAT YANG BERHARGA DAN BARANG BERHARGA PADA BANK INDONESIA </reg_title>
<set_date> 16 Oktober 2012 </set_date>
<effective_date> 16 Oktober 2012 </effective_date>
<issued_date> 16 Oktober 2012 </issued_date>
<replaced_reg> '7/16/PBI/2005' </replaced_reg>
<related_reg> '2/PERPPU/2008', '6/UU/2009', '23/UU/1999' </related_reg>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 7/22/PBI/2005
TENTANG
FASILITAS LIKUIDITAS INTRAHARI BAGI BANK UMUM
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa untuk mendukung kelancaran sistem pembayaran di
Indonesia, Bank Indonesia telah mengimplementasikan Sistem
Bank Indonesia - Real Time Gross Settlement (Sistem BI-RTGS)
dan sistem kliring nasional Bank Indonesia;
b. bahwa untuk menghindari terjadinya kemacetan dalam sistem
pembayaran (gridlock) dalam Sistem BI-RTGS, yang dapat
membahayakan stabilitas sistem keuangan, Bank Indonesia telah
memberikan Fasilitas Likuiditas Intrahari kepada Bank Umum
peserta Sistem BI-RTGS;
c. bahwa untuk mengantisipasi kemungkinan kegagalan Bank dalam
memenuhi kewajibannya sebagai peserta dalam sistem kliring
nasional Bank Indonesia, Bank Indonesia memandang perlu untuk
memperluas penyediaan Fasilitas Likuiditas Intrahari selain untuk
tujuan sebagaimana dimaksud dalam huruf b juga untuk
penyelesaian akhir kliring debet kepada Bank Umum;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam
huruf a, huruf b dan huruf c, dipandang perlu untuk
menyempurnakan ….
- 2 -
menyempurnakan ketentuan mengenai Fasilitas
Intrahari Bagi Bank Umum dalam Peraturan Bank Indonesia;
Mengingat :
Likuiditas
1. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472)
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10
Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998
Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3790);
2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843)
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3
Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004
Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4357);
3. Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/15/PBI/2003 tentang Fasilitas
Pendanaan Jangka Pendek Bagi Bank Umum (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 99, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4317) sebagaimana telah
diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/21/PBI/2005
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 68,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4518);
4. Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/2/PBI/2004 tentang Bank
Indonesia – Scripless Securities Settlement System (BI-SSSS)
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 15,
Tambahan ….
- 3 -
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4363);
5. Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/8/PBI/2004 tentang Sistem
Bank Indonesia Real Time Gross Settlement (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 28, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4373).
6. Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/18/PBI/2005 tentang Sistem
Kliring Nasional Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2005 Nomor 65,Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4516);
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG FASILITAS
LIKUIDITAS INTRAHARI BAGI BANK UMUM.
Pasal 1
Yang dimaksud dalam Peraturan Bank Indonesia ini dengan:
1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 yang melaksanakan kegiatan usaha
secara konvensional.
2. Sistem Bank Indonesia - Real Time Gross Settlement yang selanjutnya disebut
dengan Sistem BI-RTGS adalah suatu sistem transfer dana sebagaimana
dimaksud ….
- 4 -
dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai Sistem Bank Indonesia
Real Time Gross Settlement.
3. Bank Indonesia - Scripless Securities Settlement System yang selanjutnya
disebut BI-SSSS adalah sarana transaksi dengan Bank Indonesia dan
penatausahaan surat berharga secara elektronik sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan Bank Indonesia mengenai Bank Indonesia - Scripless Securities
Settlement System.
4. Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia yang selanjutnya disebut SKNBI
adalah suatu sistem kliring yang diselenggarakan oleh Bank Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur
mengenai sistem kliring nasional Bank Indonesia.
5. Kliring Debet adalah kegiatan dalam SKNBI untuk
transfer debet
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur
mengenai sistem kliring nasional Bank Indonesia.
6. Fasilitas Likuiditas Intrahari yang selanjutnya disebut FLI adalah penyediaan
pendanaan oleh Bank Indonesia kepada Bank dalam kedudukan Bank sebagai
peserta Sistem BI-RTGS dan peserta SKNBI, yang harus dilunasi pada hari
yang sama dengan hari penggunaan.
7. FLI dalam rangka RTGS yang selanjutnya disebut FLI-RTGS adalah FLI
untuk mengatasi kesulitan pendanaan Bank
operasional Sistem BI-RTGS.
yang
yang
terjadi pada saat
terjadi selama jam
8. FLI dalam rangka Kliring yang selanjutnya disebut FLI-Kliring adalah FLI
untuk mengatasi kesulitan pendanaan Bank
penyelesaian akhir atas hasil Kliring Debet.
9. Fasilitas ….
- 5 -
9. Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek yang selanjutnya disebut FPJP adalah
fasilitas pendanaan dari Bank Indonesia kepada Bank sebagaimana dimaksud
dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai Fasilitas Pendanaan
Jangka Pendek Bagi Bank Umum.
10. Sertifikat Bank Indonesia yang selanjutnya disebut SBI adalah surat berharga
dalam mata uang Rupiah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia sebagai
pengakuan utang berjangka waktu pendek.
11. Surat Utang Negara yang selanjutnya disebut SUN adalah surat berharga yang
berupa surat pengakuan utang sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2002 tentang Surat Utang Negara.
Pasal 2
(1) Bank dapat memperoleh FLI, baik dalam bentuk FLI-RTGS maupun FLI-
Kliring, setelah menandatangani Perjanjian Penggunaan dan Pengagunan FLI
dan menyampaikan dokumen pendukung yang dipersyaratkan kepada Bank
Indonesia.
(2) Bank dapat menggunakan FLI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jika
memenuhi persyaratan sebagai berikut :
a. memiliki surat berharga yang dapat diagunkan berupa SBI dan atau SUN;
b. tidak sedang dikenakan sanksi penangguhan sebagai Bank peserta BI-
RTGS, dan atau peserta BI-SSSS, dan atau penghentian sebagai Bank
peserta kliring; dan
c. tidak sedang dikenakan sanksi tidak dapat memperoleh FPJP.
Pasal ….
- 6 -
Pasal 3
Bank Indonesia berwenang untuk menolak atau menghentikan penggunaan FLI
dalam hal Bank tidak lagi memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (2) huruf a sampai dengan huruf c.
Pasal 4
(1) Pengagunan surat berharga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2)
huruf a dalam rangka penggunaan FLI-RTGS dan atau FLI-Kliring dilakukan
melalui BI-SSSS yang diatur sebagai berikut:
a. Untuk FLI-RTGS, Bank harus memindahkan surat berharga ke rekening
agunan FLI-RTGS di BI-SSSS selama jam operasional Sistem BI-RTGS
pada saat Bank menilai adanya kebutuhan FLI (self asessment) untuk
kelancaran transaksi di Sistem BI-RTGS; dan
b. Untuk FLI-Kliring, Bank harus memindahkan surat berharga ke rekening
agunan FLI-Kliring di BI-SSSS dalam rangka penyediaan pendanaan awal
(prefund) sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang
mengatur mengenai sistem kliring nasional Bank Indonesia.
(2) Surat berharga yang telah dipindahkan ke rekening agunan FLI-Kliring
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b tidak dapat digunakan sebagai
agunan FLI-RTGS.
Pasal 5
(1) Perhitungan nilai jual SBI dan nilai pasar SUN yang diagunkan Bank dalam
rangka penggunaan FLI tunduk pada Peraturan Bank Indonesia tentang
Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek Bagi Bank Umum yang berlaku.
(2) Nilai ….
- 7 -
(2) Nilai maksimum FLI yang dapat digunakan Bank adalah sebesar nilai agunan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang telah dipindahkan Bank ke rekening
agunan surat berharga di BI-SSSS.
Pasal 6
(1) Penggunaan FLI-RTGS dilakukan secara otomatis pada saat saldo rekening
giro Rupiah Bank di Bank Indonesia tidak mencukupi untuk melakukan
transaksi keluar (outgoing transaction).
(2) Penggunaan FLI-Kliring dilakukan secara otomatis pada saat saldo rekening
giro Rupiah Bank di Bank Indonesia tidak mencukupi untuk memenuhi
kewajiban Bank atas penyelesaian akhir Kliring Debet.
(3) Penggunaan FLI-RTGS dan FLI-Kliring sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2) dilakukan masing-masing berdasarkan kecukupan nilai agunan
FLI yang tersedia di rekening agunan FLI-RTGS dan FLI-Kliring.
(4) Dalam hal nilai agunan FLI-Kliring tidak cukup untuk menutup kewajiban
penyelesaian akhir Kliring Debet sebagaimana dimaksud
ayat (3) maka nilai agunan FLI-RTGS yang tersedia di rekening agunan FLI-
RTGS secara otomatis digunakan untuk menutup kewajiban penyelesaian
akhir Kliring Debet.
Pasal 7
Bank Indonesia dapat membatasi jenis-jenis transaksi yang diperkenankan untuk
menggunakan FLI.
pada ayat (2) dan
Pasal ….
- 8 -
Pasal 8
Bank Indonesia dapat mengenakan biaya bunga atas FLI dan atau biaya lainnya
yang terkait dengan penggunaan FLI kepada Bank.
Pasal 9
(1) Pelunasan FLI dilakukan secara otomatis oleh Sistem BI-RTGS setiap terdapat
transaksi masuk (incoming transaction) yang mengkredit rekening giro rupiah
Bank yang bersangkutan di Bank Indonesia sampai dengan batas waktu
pelunasan FLI.
(2) Bank wajib melunasi FLI sampai dengan batas waktu pelunasan FLI yang
ditetapkan oleh Bank Indonesia.
(3) Dalam hal Bank tidak melunasi nilai FLI sampai dengan batas waktu
pelunasan FLI yang ditetapkan maka terhadap nilai FLI yang tidak dapat
dilunasi diberlakukan sebagai FPJP.
Pasal 10
(1) Bank dapat memindahkan kembali surat berharga dari rekening agunan ke
rekening perdagangan di BI-SSSS dalam hal :
a. FLI telah dilunasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1);
b. surat berharga yang telah dipindahkan ke rekening agunan tidak sedang
digunakan sebagai agunan FLI.
(2) Pemindahan kembali surat berharga dari rekening agunan ke rekening
perdagangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk kepentingan FLI-
Kliring tunduk pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai sistem
kliring nasional Bank Indonesia.
Pasal ….
- 9 -
Pasal 11
Dalam hal FLI diberlakukan sebagai FPJP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9
ayat (3) maka :
a. Bank tunduk pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai FPJP
Bagi Bank Umum yang berlaku; dan
b. agunan FLI diberlakukan sebagai agunan FPJP.
Pasal 12
Dalam hal Bank tidak dapat melunasi FLI karena kegagalan Sistem BI-RTGS dan
atau BI-SSSS maka pelunasan FLI dilakukan secara otomatis jika terdapat transaksi
masuk (incoming transaction) segera setelah sistem BI-RTGS dan atau BI-SSSS
berfungsi kembali.
Pasal 13
Bank yang
pada saat berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini telah
menandatangani Perjanjian Penggunaan dan Pengagunan FLI harus memperbaharui
Perjanjian Penggunaan dan Pengagunan FLI.
Pasal 14
Bank peserta kliring yang berada di wilayah Kliring yang belum menerapkan
SKNBI dapat menggunakan FLI RTGS untuk penyelesaian akhir kliring yang
terjadi sebelum cut off warning Sistem BI-RTGS.
Pasal ….
- 10 -
Pasal 15
Ketentuan lebih lanjut mengenai FLI diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 16
Dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini maka Peraturan Bank Indonesia
Nomor: 6/6/PBI/2004 tanggal 16 Februari 2004 tentang Fasilitas Likuiditas
Intrahari Bagi Bank Umum dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 17
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 3 Agustus 2005.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 3 Agustus 2005
GUBERNUR BANK INDONESIA,
BURHANUDDIN ABDULLAH
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2005 NOMOR 69
DPM, DASP
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 7/22/PBI/2005
TENTANG
FASILITAS LIKUIDITAS INTRAHARI BAGI BANK UMUM
UMUM
Dalam kegiatan usaha, Bank sangat lazim mengalami kesulitan pendanaan
jangka pendek yang disebabkan ketidaksesuaian pendanaan antara arus masuk
dan arus keluar (mismatch). Dengan berlakunya penyelesaian transaksi melalui
sistem Bank Indonesia - Real Time Gross Settlement (BI-RTGS) dimana
transaksi pembayaran diselesaikan satu demi satu secara seketika (real time),
Bank sangat mungkin mengalami kesulitan pendanaan dalam waktu yang sangat
pendek. Kesulitan pendanaan dimaksud sebagai akibat terjadi ketidaksesuaian
antara waktu dan atau nilai transaksi yang dikirim (outgoing transaction) dengan
transaksi yang diterima (incoming transaction). Apabila kesulitan yang dialami
oleh Bank atau beberapa Bank tersebut tidak segera diatasi, dikhawatirkan dapat
menyebabkan kemacetan pembayaran (gridlock) yang dapat mengganggu
kelancaran
sistem pembayaran yang
pada akhirnya dapat menimbulkan
ketidakstabilan sistem keuangan secara keseluruhan.
Untuk mengatasi timbulnya kemacetan pembayaran diatas maka Bank
Indonesia menyediakan fasilitas pendanaan untuk jangka waktu yang sangat
pendek selama waktu operasional Sistem BI-RTGS dalam bentuk Fasilitas
Likuiditas Intrahari (FLI) Bagi Bank Umum yang wajib dilunasi oleh Bank pada
akhir hari yang sama.
Selain ….
- 2 -
penyediaan FLI
Selain penyediaan FLI untuk mengatasi gridlock dalam Sistem BI-RTGS,
juga diperlukan untuk mengatasi timbulnya kewajiban
penyelesaian akhir kliring debet yang ditanggung oleh Bank Indonesia sebagai
penyelenggara sistem kliring. Berkenaan dengan hal tersebut maka Bank
Indonesia memandang
perlu untuk menerapkan suatu kebijakan yang
mewajibkan peserta dalam Kliring Debet untuk menyediakan pendanaan awal
(prefund) dalam bentuk dana (cash) dan atau surat berharga (collateral) pada
setiap awal hari sebelum kliring debet dimulai. Berkenaan dengan penyediaan
setoran awal dalam bentuk surat berharga tersebut maka mekanisme penyediaan,
penggunaan dan pelunasannya akan diberikan dalam bentuk Fasilitas Likuiditas
Intrahari khusus
kliring
sebelumnya telah disediakan oleh Bank Indonesia untuk transaksi Sistem BI-
RTGS.
Pemberian FLI
ini sejalan dengan pelaksanaan tugas Bank Indonesia
untuk menjaga kelancaran sistem pembayaran sebagaimana ditetapkan dalam
pasal 15 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004.
Pengajuan FLI dan penatausahaan surat berharga dalam rangka pengajuan
FLI telah menggunakan sarana Bank Indonesia – Scripless Securities Settlement
System (BI-SSSS) yang terhubung langsung dengan Sistem BI-RTGS. Dengan
menggunakan sarana BI-SSSS diharapkan dapat mempercepat proses pengajuan
FLI dan meminimalkan resiko setelmen.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal ….
sebagaimana Fasilitas Likuiditas Intrahari yang
- 3 -
Pasal 2
Ayat (1)
Dokumen pendukung
yang
disertakan antara lain meliputi
fotokopi Anggaran Dasar Bank atau kuasa (power of attorney)
dari kantor cabang Bank yang kantor pusatnya berkedudukan di
luar negeri yang telah dinyatakan sesuai dengan aslinya oleh
Bank.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Kriteria pengenaan sanksi penangguhan (suspend) tunduk pada
Peraturan Bank Indonesia tentang Bank Indonesia – Real Time
Gross Settlement dan atau Peraturan Bank Indonesia tentang
Bank Indonesia – Scripless Securities Settlement System yang
berlaku dan atau Peraturan Bank Indonesia tentang Sistem
Kliring Nasional Bank Indonesia.
Huruf c
Cukup jelas.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf ….
- 4 -
Huruf b
Yang dimaksud dengan pendanaan awal (prefund) adalah
penyediaan dana dan atau surat berharga oleh Bank peserta
SKNBI pada awal hari sebelum kegiatan kliring debet dimulai.
Dalam ketentuan ini, penyediaan pendanaan awal yang diatur
adalah dalam bentuk surat berharga.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 5
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 6
Ayat (1)
Penggunaan FLI-RTGS secara otomatis dimaksudkan bahwa nilai atas
pengagunan surat berharga yang telah dilakukan Bank langsung
digunakan untuk menutup ketidakcukupan saldo rekening giro Rupiah
di Bank Indonesia.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat ….
- 5 -
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Besarnya biaya bunga FLI dan biaya lainnya ditetapkan dalam Surat Edaran
Bank Indonesia.
Pasal 9
Ayat (1)
Sepanjang Bank masih menggunakan FLI maka Sistem BI-RTGS
secara otomatis menggunakan dana yang berasal dari transaksi masuk
(incoming transaction) untuk terlebih dahulu melunasi FLI tersebut.
Proses penggunaan dan pelunasan FLI berlangsung terus sampai
dengan batas akhir waktu pelunasan FLI.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Dalam hal FLI
diberlakukan sebagai FPJP maka Bank tidak perlu
mengajukan surat pengajuan FPJP secara tertulis atas pengalihan FLI yang
tidak dapat dilunasi menjadi FPJP.
Apabila ….
- 6 -
Apabila Bank sedang menggunakan dan melakukan perpanjangan FPJP
maka nilai FLI dimaksud akan disatukan dengan nilai FPJP yang sedang
digunakan Bank dan jumlah hari penggunaan FPJP yang sudah digunakan
Bank.
Pasal 12
Yang dimaksud dengan kegagalan Sistem BI-RTGS adalah kegagalan
RTGS Central Computer (RCC) sehingga seluruh Bank Peserta BI-RTGS
dan/atau Bank Indonesia tidak dapat mengirimkan transaksi dari terminal
RTGS (RT) ke RCC.
Gangguan pada salah satu atau beberapa RT dan/atau gangguan pada
jaringan RTGS yang mengakibatkan satu atau beberapa Bank Peserta BI-
RTGS tidak dapat mengirimkan transaksi ke RCC, tidak dianggap sebagai
kegagalan Sistem BI-RTGS.
Yang dimaksud dengan kegagalan Sistem BI-SSSS adalah kegagalan
System Central Computer (SCC) pada sarana BI-SSSS sehingga seluruh
Bank dan/atau Bank Indonesia tidak dapat mengirimkan transaksi dari
terminal (System Terminal/ST) ke SCC.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Pokok-pokok ketentuan yang akan diatur dalam SE BI meliputi antara
lain:
1. Tata cara penyampaian Perjanjian Penggunaan dan Pengagunan FLI;
2. Batas ….
- 7 -
2. Batas akhir waktu penggunaan dan pelunasan FLI;
3. Tata cara pemindahan surat berharga dari rekening perdagangan ke
rekening agunan dan sebaliknya;
4. Tata cara perhitungan dan pembebanan biaya bunga FLI dan atau
biaya penggunaan FLI.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4519
DPM, DASP
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 7/22/PBI/2005 </reg_id>
<reg_title> FASILITAS LIKUIDITAS INTRAHARI BAGI BANK UMUM </reg_title>
<set_date> 3 Agustus 2005 </set_date>
<effective_date> 3 Agustus 2005 </effective_date>
<replaced_reg> '6/6/PBI/2004' </replaced_reg>
<related_reg> '23/UU/1999', '6/8/PBI/2004', '3/UU/2004', '7/21/PBI/2005', '7/18/PBI/2005', '10/UU/1998', '6/2/PBI/2004', '7/UU/1992', '5/15/PBI/2003' </related_reg>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 11/24/PBI/2009
TENTANG
FASILITAS PENDANAAN JANGKA PENDEK SYARIAH
BAGI BANK UMUM SYARIAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA,
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a.
bahwa perkembangan perekonomian nasional dapat berfluktuasi
karena dipengaruhi oleh berbagai hal, termasuk ekonomi global;
b. bahwa dalam kondisi perekonomian yang sedang mengalami
penurunan dapat menimbulkan krisis keuangan nasional;
c. bahwa krisis keuangan nasional dapat meningkatkan risiko
likuiditas pada perbankan syariah;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam
huruf a, huruf b dan huruf c, dipandang perlu untuk mengatur
kembali ketentuan mengenai fasilitas pendanaan jangka pendek
bagi Bank Umum Syariah;
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843)
sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2008 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4962);
2. Undang-Undang ...
-2-
2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008
Nomor 94; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4867);
M E M U T U S K A N:
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG FASILITAS
PENDANAAN JANGKA PENDEK SYARIAH BAGI BANK
UMUM SYARIAH.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Yang dimaksud dalam Peraturan Bank Indonesia ini dengan:
1. Bank Indonesia adalah Bank sentral Republik Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun
1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana diubah terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009;
2. Bank Umum Syariah, yang selanjutnya disebut Bank adalah
bank syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam
lalu lintas pembayaran;
3. Giro Wajib Minimum yang selanjutnya disebut GWM adalah
simpanan minimum yang harus dipelihara oleh Bank dalam
bentuk saldo rekening giro pada Bank Indonesia sebagaimana
diatur dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai GWM bagi
Bank;
4. Fasilitas ...
-3-
4. Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek Syariah, yang untuk
selanjutnya disebut FPJPS adalah fasilitas pendanaan
berdasarkan prinsip syariah dari Bank Indonesia kepada Bank
yang hanya dapat digunakan untuk mengatasi kesulitan
pendanaan jangka pendek;
5. Kesulitan Pendanaan Jangka Pendek adalah suatu kondisi yang
dialami Bank yaitu arus dana masuk lebih kecil dibandingkan
dengan arus dana keluar yang dapat menimbulkan tidak
terpenuhinya kewajiban GWM dalam mata uang rupiah pada
Bank;
6. Sertifikat Bank Indonesia Syariah, yang untuk selanjutnya
disebut SBIS adalah surat berharga berdasarkan prinsip syariah
berjangka waktu pendek dalam mata uang rupiah yang
diterbitkan oleh Bank Indonesia;
7. Surat Berharga Syariah Negara, yang selanjutnya disebut SBSN
adalah surat berharga negara sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga
Syariah Negara;
8. Pembiayaan adalah pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah;
9. Mudharabah adalah perjanjian antara pemilik dana dengan
pengelola dana untuk memelihara likuiditas Bank.
BAB II ...
-4-
BAB II
PERSYARATAN DAN TATA CARA PERMOHONAN FPJPS
Pasal 2
(1) Bank yang mengalami Kesulitan Pendanaan Jangka Pendek
dapat memperoleh FPJPS dengan memenuhi persyaratan
sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini.
(2) FPJPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat
diajukan apabila Bank memiliki rasio kewajiban penyediaan
modal minimum (capital adequacy ratio) positif.
(3) Plafon FPJPS diberikan berdasarkan perkiraan jumlah kebutuhan
likuiditas sampai dengan Bank memenuhi GWM dalam mata
uang rupiah sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
(4) Pencairan FPJPS dilakukan sebesar kebutuhan Bank untuk
memenuhi kewajiban GWM dalam mata uang rupiah.
Pasal 3
FPJPS yang diterima oleh Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (1) berdasarkan akad Mudharabah.
Pasal 4
FPJPS wajib dijamin oleh Bank dengan agunan yang berkualitas
tinggi yang nilainya memadai sebagaimana diatur dalam Peraturan
Bank Indonesia ini.
Pasal 5
(1) Agunan yang berkualitas tinggi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 berupa:
a.surat berharga ...
-5-
a. surat berharga;
b. aset Pembiayaan.
(2) Jenis surat berharga sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a:
a. surat berharga yang diterbitkan oleh Pemerintah Republik
Indonesia dan/atau Bank Indonesia yang meliputi SBSN
dan SBIS;
b. surat berharga syariah yang diterbitkan oleh badan hukum
lainnya yang pada saat permohonan FPJPS memiliki
peringkat paling kurang peringkat investasi (investment
grade), aktif diperdagangkan, dan sisa jangka waktu surat
berharga paling kurang 90 (sembilan puluh) hari.
(3) Aset Pembiayaan yang dapat dijadikan agunan FPJPS
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b wajib memenuhi
kriteria sebagai berikut:
a. kolektibilitas lancar selama 3 (tiga) bulan terakhir;
b. bukan merupakan Pembiayaan konsumsi kecuali
Pembiayaan pemilikan rumah;
c. bukan merupakan Pembiayaan kepada pihak terkait Bank;
d. aset Pembiayaan memiliki agunan;
e. saldo pokok Pembiayaan tidak melebihi plafon Pembiayaan
dan batas maksimum penyaluran dana pada saat diberikan;
dan
f. memiliki akad Pembiayaan dan pengikatan agunan yang
memiliki kekuatan hukum.
(4) Surat berharga sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b
hanya dapat digunakan sebagai agunan FPJPS dalam hal:
a. Bank ...
-6-
a. Bank tidak memiliki surat berharga sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) huruf a; atau
b. Bank memiliki surat berharga sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) huruf a namun tidak mencukupi untuk menjadi
agunan FPJPS.
(5) Aset Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
hanya dapat digunakan sebagai agunan FPJPS dalam hal Bank
tidak memiliki surat berharga atau surat berharga yang dimiliki
oleh Bank tidak mencukupi untuk menjadi agunan FPJPS.
Pasal 6
(1) Nilai aset yang digunakan sebagai agunan FPJPS sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 ditetapkan sebagai berikut :
a. dalam hal agunan berupa SBIS, nilai agunan ditetapkan
paling kurang sebesar 100% (seratus persen) dari plafon
FPJPS yang dihitung berdasarkan nilai nominal surat
berharga tersebut;
b. dalam hal agunan berupa SBSN, nilai agunan ditetapkan
paling kurang sebesar 105% (seratus lima persen) dari
plafon FPJPS yang dihitung berdasarkan nilai pasar surat
berharga tersebut.
c. dalam hal agunan berupa surat berharga sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf b, nilai agunan
ditetapkan sesuai dengan jenis surat berharga paling kurang
sebesar 120% (seratus dua puluh persen) dari plafon
FPJPS, yang dihitung berdasarkan nilai pasar surat
berharga.
d. dalam ...
-7-
d. dalam hal agunan berupa aset Pembiayaan, nilai agunan
tersebut ditetapkan paling kurang sebesar 150% (seratus
lima puluh persen) dari plafon FPJPS, yang dihitung
berdasarkan saldo pokok aset Pembiayaan.
(2) Ketentuan mengenai nilai nominal dan nilai pasar sebagaimana
tersebut pada ayat (1) huruf a, huruf b dan huruf c akan diatur
lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 7
(1) Agunan FPJPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1)
harus bebas dari segala bentuk perikatan, sengketa, dan tidak
sedang dijaminkan kepada pihak lain dan/atau Bank Indonesia,
yang dinyatakan dalam surat pernyataan Direksi Bank kepada
Bank Indonesia.
(2) Bank yang telah memperoleh FPJPS dilarang untuk
memperjualbelikan dan/atau menjaminkan kembali agunan surat
berharga yang masih dalam status sebagai agunan FPJPS.
(3) Bank wajib mengganti dan/atau menambahkan agunan FPJPS
apabila tidak memenuhi kondisi-kondisi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2).
(4) Bank wajib melakukan penilaian terhadap agunan FPJPS secara
berkala yang penentuan periode penilaiannya diatur lebih lanjut
dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
(5) Dalam hal terjadi penurunan nilai agunan FPJPS setelah
dilakukan penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
dan/atau terjadi penurunan kolektibilitas aset Pembiayaan yang
diagunkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3), Bank
wajib ...
-8-
wajib menambah dan/atau mengganti agunan FPJPS.
(6) Untuk keperluan perpanjangan FPJPS, Bank dapat menjaminkan
kembali aset yang sedang menjadi agunan FPJPS.
Pasal 8
(1) Pengikatan agunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat
(1) dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
(2) Dokumen-dokumen atas aset yang menjadi agunan FPJPS
ditatausahakan oleh Bank Indonesia atau pihak lain yang
ditunjuk oleh Bank Indonesia.
(3) Ketentuan mengenai bentuk pengikatan agunan diatur lebih
lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 9
(1) Bank yang memerlukan FPJPS wajib mengajukan permohonan
secara tertulis kepada Bank Indonesia.
(2) Permohonan FPJPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilengkapi dengan dokumen-dokumen sebagai berikut:
a. surat pernyataan Direksi Bank yang menyatakan bahwa
Bank mengalami kesulitan likuiditas;
b. dokumen yang mendukung jumlah kebutuhan likuiditas;
c. daftar aset yang menjadi agunan beserta dokumen
pendukung;
d. surat pernyataan bahwa seluruh aset yang akan menjadi
agunan FPJPS tidak sedang dijaminkan kepada pihak lain,
tidak di bawah sitaan, tidak tersangkut dalam suatu perkara
atau ...
-9-
atau sengketa, dan memenuhi seluruh persyaratan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5;
e. surat kesanggupan Direksi Bank untuk membayar segala
kewajiban terkait FPJPS pada saat jatuh tempo.
(3) Bank wajib meyakini kebenaran data dan dokumen yang
disampaikan termasuk namun tidak terbatas pada kualitas
pembiayaan dan agunan yang menyertainya.
(4) Tatacara permohonan FPJPS sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 10
(1) Persetujuan Bank Indonesia atas permohonan FPJPS
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) dilakukan apabila:
a. Bank memenuhi persyaratan permohonan FPJPS;
b. Bank memenuhi persyaratan kelengkapan dokumen
permohonan FPJPS;
c. Berdasarkan analisis Bank Indonesia diperkirakan bahwa
Bank tidak dapat memenuhi kewajiban GWM berdasarkan
perkiraan arus kas selama 14 (empat belas) hari ke depan.
(2) Persetujuan pemberian FPJPS sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dituangkan dalam perjanjian pemberian FPJPS antara Bank
Indonesia dengan Bank penerima FPJPS.
(3) Perjanjian pemberian FPJPS sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) dilampiri dengan perjanjian pengikatan agunan FPJPS.
(4) Realisasi pemberian FPJPS oleh Bank Indonesia dilakukan
melalui rekening giro rupiah Bank yang bersangkutan pada Bank
Indonesia.
(5) Ketentuan ...
-10-
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai perjanjian pemberian FPJPS
diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 11
Bank Indonesia dapat menolak permohonan FPJPS sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 yang tidak sesuai dengan ketentuan,
persyaratan dan tatacara yang diatur dalam Peraturan Bank Indonesia
ini.
Pasal 12
(1) Jangka waktu setiap FPJPS paling lama adalah 14 (empat belas)
hari.
(2) Jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
diperpanjang secara berturut-turut dengan jangka waktu FPJPS
keseluruhan paling lama 90 (sembilan puluh) hari.
Pasal 13
Perpanjangan FPJPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2)
hanya dapat dilakukan apabila:
a. imbalan atas FPJPS yang jatuh tempo dilunasi terlebih dahulu;
b. Bank tidak dapat memenuhi kewajiban GWM rupiah
berdasarkan perkiraan arus kas selama 14 (empat belas) hari ke
depan;
c. agunan masih mencukupi dan memenuhi persyaratan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, Pasal 6 dan Pasal 7.
Pasal 14 ...
-11-
Pasal 14
Dalam rangka perpanjangan FPJPS sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 12 ayat (2), Bank dapat mengajukan tambahan nilai FPJPS yang
dibutuhkan untuk menutup kewajiban yang tidak dapat diselesaikan
oleh Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) sepanjang:
a. agunan masih mencukupi dan memenuhi persyaratan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, Pasal 6 dan Pasal 7; dan
b. penggunaan FPJPS belum melampaui 90 (sembilan puluh) hari
berturut-turut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2).
BAB III
PERHITUNGAN IMBALAN
Pasal 15
(1) Bank Indonesia memperoleh imbalan atas setiap FPJPS yang
diterima oleh Bank.
(2) Besarnya imbalan FPJPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dihitung berdasarkan jumlah pokok FPJPS, tingkat realisasi
imbalan, nisbah bagi hasil bagi Bank Indonesia dan jumlah hari
kalender penggunaan FPJPS.
(3) Besarnya nisbah bagi hasil bagi Bank Indonesia sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), ditetapkan sebesar 90% (sembilan puluh
persen).
BAB IV ...
-12-
BAB IV
PELUNASAN DAN EKSEKUSI AGUNAN
Pasal 16
(1) Pada saat FPJPS jatuh tempo, Bank Indonesia mendebet
rekening giro rupiah Bank yang bersangkutan di Bank Indonesia
sebesar nilai FPJPS dan imbalan FPJPS.
(2) Dalam hal FPJPS jatuh tempo dan saldo giro rupiah Bank yang
bersangkutan di Bank Indonesia tidak mencukupi untuk
membayar pokok dan imbalan FPJPS dan Bank tidak lagi
memenuhi persyaratan untuk memperoleh perpanjangan FPJPS,
maka agunan FPJPS dieksekusi.
(3) Bank Indonesia tetap mengenakan imbalan sampai dengan
eksekusi agunan selesai dilaksanakan.
(4) Apabila nilai hasil eksekusi agunan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) lebih kecil dibandingkan dengan jumlah pokok dan
imbalan FPJPS yang harus dilunasi oleh Bank, maka Bank wajib
membayar kekurangannya kepada Bank Indonesia.
(5) Apabila nilai hasil eksekusi agunan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) lebih besar dibandingkan dengan jumlah pokok dan
imbalan FPJPS yang harus dilunasi oleh Bank, maka Bank
Indonesia mengembalikan kelebihan tersebut kepada Bank.
(6) Eksekusi agunan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
BAB V ...
-13-
BAB V
PENGAWASAN
Pasal 17
(1) Bank wajib menyampaikan rencana tindak perbaikan (action
plan) untuk mengatasi kesulitan likuiditas paling lambat 5 (lima)
hari kerja setelah pencairan FPJPS.
(2) Bank wajib menyampaikan laporan kepada Bank Indonesia
mengenai penggunaan FPJPS dan kondisi likuiditas Bank pada
setiap akhir hari kerja.
Pasal 18
Bank Indonesia melakukan pemeriksaan khusus atas penggunaan
FPJPS terhadap Bank penerima FPJPS.
Pasal 19
Bank Indonesia menetapkan Bank penerima FPJPS dalam status
pengawasan khusus.
BAB VI
BIAYA PEMBERIAN FPJPS
Pasal 20
Biaya-biaya yang timbul sehubungan dengan pengikatan perjanjian,
pengikatan dan eksekusi agunan serta biaya lainnya yang mungkin
timbul dalam rangka pemberian FPJPS menjadi beban Bank.
BAB VII ...
-14-
BAB VII
SANKSI
Pasal 21
Dalam hal Bank tidak melunasi FPJPS dan/atau melakukan
pelanggaran atas ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia ini
dan/atau berdasarkan pemeriksaan sebagaimana dimaksud Pasal 18
diketahui adanya penyimpangan penggunaan FPJPS, maka Bank dapat
dikenakan sanksi berupa:
a. tidak dapat menerima FPJPS dalam jangka waktu tertentu; dan
b. sanksi administratif sebagaimana diatur dalam Pasal 58 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah antara lain berupa teguran tertulis, larangan untuk turut
serta dalam kegiatan kliring, pembekuan kegiatan usaha tertentu
dan/atau pemberhentian pengurus Bank.
Pasal 22
Apabila pengurus Bank, pemegang saham pengendali dan pejabat
eksekutif Bank dengan sengaja tidak melaksanakan langkah-langkah
yang diperlukan untuk memastikan ketaatan Bank terhadap ketentuan
dalam Peraturan Bank Indonesia ini dan/atau memberikan keterangan
atau dokumen yang diwajibkan dalam Peraturan Bank Indonesia ini
secara tidak benar, selain dikenakan sanksi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 21 dikenakan juga sanksi sebagaimana diatur dalam Pasal
63 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah.
BAB VIII ...
-15-
BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 23
Ketentuan lebih lanjut mengenai FPJPS diatur dalam Surat Edaran
Bank Indonesia.
Pasal 24
Dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini maka :
a. Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/3/PBI/2003 tanggal 4
Februari 2003 tentang Fasilitas Pembiayaan Jangka Pendek Bagi
Bank Syariah; dan
b. Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/23/PBI/2005 tanggal 3
Agustus 2005 tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia
Nomor 5/3/PBI/2003 tanggal 4 Februari 2003 tentang Fasilitas
Pembiayaan Jangka Pendek Bagi Bank Syariah;
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 25
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Agar ...
-16-
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 1 Juli 2009
Pjs. GUBERNUR BANK INDONESIA,
MIRANDA S. GOELTOM
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 1 Juli 2009
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA
ANDI MATTALATTA
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 102
DPbS
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 11/24/PBI/2009
TENTANG
FASILITAS PENDANAAN JANGKA PENDEK SYARIAH
BAGI BANK UMUM SYARIAH
I. UMUM
Dampak dari krisis keuangan global yang berlangsung saat ini berimbas
pada berbagai negara termasuk Indonesia. Hal tersebut secara langsung maupun
tidak langsung mempengaruhi stabilitas sistem keuangan Indonesia termasuk
sistem perbankan.
Salah satu pengaruh dari krisis keuangan global tersebut adalah
meningkatnya potensi keraguan masyarakat terhadap sistem perbankan termasuk
perbankan syariah yang ditandai antara lain dengan meningkatnya kepanikan
masyarakat dalam menyikapi krisis. Sementara itu, kepercayaan masyarakat
merupakan salah satu prasyarat utama yang diperlukan untuk menciptakan sistem
perbankan yang stabil.
Dengan memperhatikan hal-hal tersebut di atas diperlukan langkah-langkah
tertentu dalam mengantisipasi terjadinya risiko likuiditas dan upaya untuk
menjaga kepercayaan masyarakat terhadap perbankan syariah.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia sebagaimana diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun
2009, Bank Indonesia dapat memberikan Pembiayaan berdasarkan prinsip
syariah kepada bank untuk mengatasi kesulitan pendanaan jangka pendek yang
dijamin dengan agunan yang berkualitas tinggi termasuk aset Pembiayaan lancar.
Sejalan ...
-2-
Sejalan dengan hal tersebut, Bank Indonesia menyediakan fasilitas pendanaan
dalam rangka mengatasi kesulitan pendanaan jangka pendek kepada bank dengan
maksud agar kelangsungan kegiatan usaha Bank Umum Syariah dapat
terpelihara.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Ayat (1)
Apabila terdapat unit usaha syariah yang mengalami Kesulitan
Pendanaan Jangka Pendek, maka unit usaha syariah wajib meminta
tambahan dana dari bank umum konvensional yang menjadi induknya.
Ayat (2)
Rasio kewajiban penyediaan modal minimum yang digunakan adalah
berdasarkan perhitungan Bank Indonesia.
Ayat (3)
Perkiraan Bank atas jumlah kebutuhan likuiditas didasarkan pada
proyeksi arus kas paling lama 14 hari kalender ke depan.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “kewajiban GWM” adalah berdasarkan
perhitungan Bank Indonesia.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4 ...
-3-
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “surat berharga syariah yang diterbitkan
oleh badan hukum lainnya” adalah obligasi syariah korporasi
(sukuk korporasi).
Peringkat tersebut berdasarkan hasil penilaian lembaga
pemeringkat yang diakui Bank Indonesia sebagaimana diatur
dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai lembaga pemeringkat
dan peringkat yang diakui Bank Indonesia.
Ayat (3)
Huruf a
Kolektibilitas lancar adalah kualitas lancar sebagaimana diatur
dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai Penilaian Kualitas
Aktiva Bank Umum Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha
Berdasarkan Prinsip Syariah.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “pihak terkait” adalah pihak terkait
sebagaimana ...
-4-
sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang
mengatur mengenai Batas Maksimum Pemberian Kredit
(BMPK) Bank Umum.
Huruf d
Adanya agunan disini dimaksudkan untuk memberi tambahan
keyakinan mengenai kualitas Pembiayaan yang dijadikan agunan
FPJPS.
Huruf e
Batas maksimum penyaluran dana mengacu pada ketentuan
Bank Indonesia yang mengatur mengenai Batas Maksimum
Pemberian Kredit (BMPK) Bank Umum.
Huruf f
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup Jelas.
Ayat (5)
Apabila Bank memiliki surat berharga sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) namun nilainya tidak mencukupi untuk menjadi agunan
FPJPS maka Bank dapat menggunakan aset Pembiayaan untuk
menambah kekurangan nilai agunan.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2) ...
-5-
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Penggantian atau penambahan agunan FPJPS dimaksudkan agar nilai
aset agunan FPJPS sesuai dengan ketentuan Pasal 6.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 8
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “peraturan perundang-undangan yang
berlaku” adalah antara lain peraturan yang mengatur gadai atau
fidusia.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “dokumen-dokumen atas aset yang menjadi
agunan FPJPS” adalah antara lain akad Pembiayaan antara Bank
dengan nasabah, bukti pengikatan agunan dan kepemilikan atas aset
yang menjadi agunan Pembiayaan Bank.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 9
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2) ...
-6-
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “dokumen pendukung” adalah antara
lain akad Pembiayaan antara Bank dengan nasabah dan
perjanjian pengikatan agunan atas Pembiayaan tersebut dan
dokumen lain yang dapat membuktikan terpenuhinya persyaratan
agunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12 ...
-7-
Pasal 12
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan ”hari pada ayat ini” adalah hari kalender.
Apabila saat jatuh tempo FPJPS bertepatan pada hari Sabtu, Minggu
atau hari libur, maka pendebetan saldo rekening giro Bank pada Bank
Indonesia dilakukan pada hari kerja berikutnya.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 13
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan ”hari” pada ayat ini adalah hari kalender.
Huruf c
Dalam rangka pelaksanaan perpanjangan FPJPS, agunan yang telah
diagunkan Bank untuk menjamin FPJPS yang diterima Bank
sebelumnya akan dinilai kembali, sehingga Bank perlu menyesuaikan
jumlah agunan yang diserahkan untuk menjamin perpanjangan FPJPS.
Pasal 14
Tambahan nilai FPJPS yang diajukan akan diakumulasikan terhadap nilai
FPJPS yang belum dilunasi.
Pasal 15
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2) ...
-8-
Ayat (2)
Rumus perhitungan besarnya imbalan FPJPS adalah sebagai berikut:
X = P x R x k x t/360
Dimana :
X : Besarnya imbalan yang diterima Bank Indonesia.
P : Jumlah pokok FPJPS.
R : Realisasi tingkat imbalan sebelum distribusi pada Bank
penerima FPJPS.
k : Nisbah bagi hasil bagi Bank Indonesia
t : Jumlah hari kalender penggunaan FPJPS.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 16
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan jatuh tempo adalah berakhirnya jangka waktu
FPJPS dan tidak terdapat perpanjangan atas FPJPS dimaksud.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 17 ...
-9-
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Pemeriksaan terhadap Bank yang menerima FPJPS dapat dilakukan pada
periode diterimanya atau setelah jatuh tempo FPJPS.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Yang dimaksud biaya dalam pasal ini antara lain adalah biaya notaris untuk
pengikatan perjanjian dan pengikatan agunan dalam rangka pemberian
FPJPS serta biaya-biaya lainnya yang timbul karena eksekusi agunan
FPJPS.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25 ...
-10-
Pasal 25
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5028
DPbS
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 11/24/PBI/2009 </reg_id>
<reg_title> FASILITAS PENDANAAN JANGKA PENDEK SYARIAH BAGI BANK UMUM SYARIAH </reg_title>
<set_date> 1 Juli 2009 </set_date>
<effective_date> 1 Juli 2009 </effective_date>
<issued_date> 1 Juli 2009 </issued_date>
<replaced_reg> '7/23/PBI/2005', '5/3/PBI/2003' </replaced_reg>
<related_reg> '21/UU/2008', '6/UU/2009', '23/UU/1999' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB VII' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 7 / 14 / PBI / 2005
TENTANG
PEMBATASAN TRANSAKSI RUPIAH DAN
PEMBERIAN KREDIT VALUTA ASING OLEH BANK
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang:
a. bahwa Bank Indonesia mempunyai tugas menetapkan
dan
melaksanakan kebijakan moneter, mengatur dan menjaga kelancaran
sistem pembayaran, serta mengatur dan mengawasi bank untuk
mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah;
b. bahwa sistem devisa bebas yang diterapkan di Indonesia telah
mempercepat perkembangan dan terintegrasinya pasar keuangan
Indonesia dengan pasar keuangan global termasuk meningkatkan
transaksi rupiah antara bank dengan warga negara asing, badan
hukum asing atau lembaga asing lainnya, warga negara Indonesia
yang memiliki status penduduk tetap (permanent resident) negara
lain dan tidak berdomisili di Indonesia, kantor bank di luar negeri
dari bank yang berkantor pusat di Indonesia, dan kantor perusahaan
di luar negeri dari perusahaaan yang berbadan hukum Indonesia;
c. bahwa transaksi rupiah antara bank dengan pihak-pihak
sebagaimana disebut dalam huruf b di atas, termasuk yang
dilakukan melalui transaksi derivatif, serta pemberian kredit valuta
asing yang diikuti dengan kegiatan spekulasi dapat menimbulkan
gejolak nilai tukar rupiah, sehingga menghambat pencapaian
kestabilan nilai rupiah dan sistem keuangan;
d. bahwa…
-2-
d. bahwa pengaturan pembatasan transaksi rupiah diperlukan dalam
rangka menjamin integritas dan stabilitas sistem keuangan Indonesia
serta meminimalkan hal-hal yang menghambat kegiatan produktif
bagi perekonomian Indonesia;
e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam
huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d, dipandang perlu untuk
mengatur kembali ketentuan Pembatasan Transaksi Rupiah dan
Pemberian Kredit Valuta Asing oleh Bank dalam suatu Peraturan
Bank Indonesia;
Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790);
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66,
Tambahan Lembaran Negara
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun
2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357);
3. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa
dan Sistem Nilai Tukar (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3844);
Republik Indonesia Nomor 3843)
MEMUTUSKAN…
-3-
MEMUTUSKAN :
Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PEMBATASAN
TRANSAKSI RUPIAH DAN PEMBERIAN KREDIT VALUTA
ASING OLEH BANK.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan :
1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor
7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 1998 termasuk kantor cabang bank asing di Indonesia
namun tidak termasuk kantor Bank berbadan hukum Indonesia yang beroperasi di
luar negeri.
2. Pihak Asing adalah :
a. warga negara asing;
b. badan hukum asing atau lembaga asing lainnya;
c. warga negara Indonesia yang memiliki
status penduduk tetap (permanent
resident) negara lain dan tidak berdomisili di Indonesia;
d. kantor Bank di luar negeri dari Bank yang berkantor pusat di Indonesia;
e. kantor perusahaan di luar negeri dari perusahaan yang berbadan hukum
Indonesia.
3. Warga Negara Asing adalah orang yang memiliki kewarganegaraan selain
Indonesia, termasuk yang memiliki izin menetap atau izin tinggal di Indonesia.
4. Badan Hukum Asing atau lembaga asing lainnya adalah badan hukum atau
lembaga asing yang didirikan di luar negeri, namun tidak termasuk :
a. Kantor cabang bank asing di Indonesia;
b. Perusahaan Penanaman Modal Asing (PMA);
c. Badan…
-4-
c. Badan hukum asing atau lembaga asing yang memiliki kegiatan yang bersifat
nirlaba.
5. Transaksi Rupiah adalah transaksi yang dilakukan Bank dengan menggunakan
mata uang Rupiah, termasuk transaksi antara mata uang Rupiah terhadap mata
uang asing.
6. Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu,
berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara Bank dengan
pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah
jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga atau imbalan jasa, termasuk :
a. cerukan (overdraft), yaitu saldo negatif pada rekening giro nasabah yang tidak
dapat dibayar lunas pada akhir hari;
b. pengambilalihan tagihan dalam rangka kegiatan anjak piutang;
c. pengambilalihan atau pembelian kredit dari pihak lain.
7. Prinsip Syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara Bank
dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan atau pembiayaan kegiatan usaha, atau
kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan syariah, antara lain pembiayaan
berdasarkan prinsip bagi hasil (mudharabah), pembiayaan berdasarkan prinsip
penyertaan modal (musharakah), prinsip jual beli barang dengan memperoleh
keuntungan (murabahah), atau pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip
sewa murni tanpa pilihan (ijarah), atau dengan adanya pilihan pemindahan
kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak Bank oleh pihak lain (ijarah wa
iqtina).
8. Penempatan adalah penanaman dana Bank pada bank lain dalam bentuk giro,
interbank call money, deposito berjangka, sertifikat deposito, Kredit atau
Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Syariah, dan penanaman dana lainnya yang
sejenis.
9. Transfer Rupiah adalah pemindahan sejumlah dana rupiah yang ditujukan kepada
penerima dana untuk kepentingan Bank maupun nasabah, baik melalui setoran
tunai maupun pemindahbukuan antar rekening pada Bank yang sama atau Bank
yang …
-5-
yang berbeda, yang menyebabkan bertambahnya saldo rekening rupiah penerima
dana.
10. Surat Berharga adalah surat pengakuan utang, wesel, obligasi, sekuritas kredit,
atau setiap derivatifnya, atau kepentingan lain, atau suatu kewajiban dari penerbit,
dalam bentuk yang lazim diperdagangkan dalam pasar modal dan pasar uang,
termasuk obligasi yang diterbitkan oleh lembaga multilateral atau supranasional
yang seluruh dana hasil penerbitan obligasi tersebut digunakan untuk kepentingan
pembiayaan kegiatan ekonomi di Indonesia.
11. Tagihan Antar Kantor adalah semua tagihan yang dimiliki Bank terhadap kantor
pusat atau kantor cabang di luar negeri baik untuk kepentingan Bank maupun
nasabah, yaitu :
a. bagi kantor cabang bank asing di Indonesia, tagihan adalah dari kantor cabang
bank asing di Indonesia terhadap kantor pusat dan atau kantor cabang lain di
luar negeri;
b. bagi bank yang berkantor pusat di Indonesia, tagihan adalah dari kantor pusat
dan atau kantor cabang di Indonesia terhadap kantor cabang di luar negeri.
12. Penyertaan Modal adalah penanaman dana Bank dalam bentuk saham pada bank
dan perusahaan di bidang keuangan lainnya sebagaimana diatur dalam peraturan
perundang-undangan yang berlaku, seperti perusahaan sewa guna usaha, modal
ventura, perusahaan efek, asuransi, serta lembaga kliring penyelesaian dan
penyimpanan, termasuk
penanaman dalam bentuk
surat utang konversi
(convertible bonds) dengan opsi saham (equity option) atau jenis transaksi tertentu
yang berakibat Bank memiliki atau akan memiliki saham pada bank dan atau
perusahaan yang bergerak di bidang keuangan lainnya.
13. Penyertaan Langsung adalah penanaman dana dalam bentuk saham pada
perusahaan yang tidak melalui pasar modal.
14. Transaksi Derivatif adalah transaksi yang didasari oleh suatu kontrak atau
perjanjian pembayaran yang nilainya merupakan turunan dari nilai tukar dalam
bentuk …
-6-
bentuk transaksi outright forward, swap, option valuta asing terhadap rupiah dan
transaksi lainnya yang dapat dipersamakan dengan itu.
15. Prime Bank adalah bank yang memiliki peringkat investasi tertentu dari lembaga
pemeringkat dan total aset yang termasuk dalam 200 (dua ratus) besar dunia
berdasarkan informasi yang tercantum dalam banker’s almanac.
BAB II
PELARANGAN, PEMBATASAN DAN PENGECUALIAN TRANSAKSI
BAGI BANK
Pasal 2
Bank dilarang dan atau dibatasi dan atau dikecualikan melakukan transaksi-transaksi
tertentu dengan Pihak Asing.
BAB III
PELARANGAN TRANSAKSI
Pasal 3
Transaksi-transaksi tertentu yang dilarang dilakukan Bank dengan Pihak Asing
meliputi :
a. Pemberian Kredit dalam rupiah dan atau valuta asing;
b. Penempatan dalam rupiah;
c. Pembelian Surat Berharga dalam rupiah yang diterbitkan oleh Pihak Asing;
d. Tagihan Antar Kantor dalam rupiah;
e. Tagihan Antar Kantor dalam valuta asing dalam rangka pemberian Kredit di luar
negeri;
f. Penyertaan Modal dalam rupiah;
g. Transfer Rupiah ke rekening yang dimiliki Pihak Asing dan atau yang dimiliki
secara gabungan (joint account) antara Pihak Asing dengan bukan Pihak Asing
pada Bank di dalam negeri;
h. Transfer…
-7-
h. Transfer Rupiah ke rekening yang dimiliki Pihak Asing dan atau yang dimiliki
secara gabungan (joint account) antara Pihak Asing dengan bukan Pihak Asing
pada Bank di luar negeri.
Pasal 4
Bank dilarang melaksanakan Transfer Rupiah kepada bukan Pihak Asing di luar
negeri.
Pasal 5
Larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan Pasal 4 berlaku pula terhadap
transaksi sejenis berdasarkan Prinsip Syariah.
BAB IV
PEMBATASAN TRANSAKSI
Pasal 6
Transaksi-transaksi tertentu yang dibatasi untuk dilakukan oleh Bank dengan Pihak
Asing meliputi :
a. Transaksi Derivatif jual valuta asing terhadap rupiah;
b. Transaksi Derivatif beli valuta asing terhadap rupiah.
Pasal 7
(1) Transaksi Derivatif jual valuta asing terhadap rupiah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6 huruf a yang dibatasi untuk dilakukan oleh Bank dengan Pihak
Asing meliputi :
a. Transaksi outright forward jual valuta asing terhadap rupiah;
b. Transaksi swap jual valuta asing terhadap rupiah;
c. Transaksi jual call option valuta asing terhadap rupiah;
d. Transaksi…
-8-
d. Transaksi beli put option valuta asing terhadap rupiah;
e. Transaksi Derivatif lainnya yang dapat dipersamakan dengan transaksi-
transaksi sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d.
(2) Transaksi Derivatif beli valuta asing terhadap rupiah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6 huruf b yang dibatasi untuk dilakukan oleh Bank dengan Pihak
Asing meliputi :
a. Transaksi outright forward beli valuta asing terhadap rupiah;
b. Transaksi swap beli valuta asing terhadap rupiah;
c. Transaksi beli call option valuta asing terhadap rupiah;
d. Transaksi jual put option valuta asing terhadap rupiah;
e. Transaksi Derivatif lainnya yang
dapat dipersamakan dengan transaksi-
transaksi sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d.
(3) Bank hanya dapat melakukan Transaksi Derivatif valuta asing terhadap rupiah
dengan Pihak Asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) sampai
batas maksimum nominal yaitu USD 1.000.000 (satu juta US Dollar) atau
ekuivalen dari nilai dimaksud, baik untuk setiap transaksi individual maupun
posisi (outstanding) masing-masing Transaksi Derivatif jual dan Transaksi
Derivatif beli per Bank.
Pasal 8
Pembatasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 berlaku pula terhadap transaksi
sejenis berdasarkan Prinsip Syariah.
BAB V…
-9-
BAB V
PENGECUALIAN TERHADAP PELARANGAN
DAN PEMBATASAN TRANSAKSI
Pasal 9
(1) Larangan terhadap pemberian Kredit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a
tidak berlaku terhadap :
a. Kredit dalam bentuk sindikasi yang memenuhi persyaratan berikut :
1) mengikutsertakan Prime Bank sebagai lead bank;
2) diberikan untuk pembiayaan proyek di sektor riil untuk usaha produktif
yang berada di wilayah Indonesia; dan
3) kontribusi bank asing sebagai anggota sindikasi lebih besar dibandingkan
dengan kontribusi bank dalam negeri;
b. kartu kredit;
c. kredit konsumsi yang digunakan di dalam negeri;
d. cerukan intra hari rupiah dan valuta asing yang didukung oleh dokumen-
dokumen yang bersifat authenticated yang menunjukkan konfirmasi akan
adanya dana masuk ke rekening bersangkutan pada hari yang sama dan
memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam Surat Edaran Bank Indonesia;
e. cerukan dalam rupiah dan valuta asing karena pembebanan biaya administrasi;
f. pengambilalihan tagihan dari badan yang ditunjuk pemerintah untuk mengelola
aset-aset bank dalam rangka restrukturisasi perbankan Indonesia oleh Pihak
Asing yang pembayarannya dijamin oleh Prime Bank.
(2) Prime Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi persyaratan
sebagai berikut :
a. Memiliki peringkat investasi yang diberikan oleh lembaga pemeringkat paling
kurang :
1) BBB- dari lembaga pemeringkat Standard & Poors;
2) Baa3 dari lembaga pemeringkat Moody's;
3) BBB-…
-10-
3) BBB- dari lembaga pemeringkat Fitch; atau
4) Setara dengan angka 1), angka 2), dan atau angka 3), berdasarkan penilaian
lembaga pemeringkat terkemuka lain yang
ditetapkan oleh
Indonesia;
berdasarkan penilaian terhadap prospek usaha jangka panjang (long term
outlook) bank tersebut; dan
b. Memiliki total aset yang termasuk dalam 200 (dua ratus) besar dunia
berdasarkan informasi yang tercantum dalam banker’s almanac.
Pasal 10
Larangan pembelian Surat Berharga dalam rupiah sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 huruf c tidak berlaku untuk :
a. pembelian Surat Berharga yang berkaitan dengan kegiatan ekspor barang dari
Indonesia dan impor barang ke Indonesia serta perdagangan dalam negeri;
b. pembelian bank draft dalam rupiah yang diterbitkan oleh bank di luar negeri untuk
kepentingan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang bekerja di luar negeri dan dana
rupiah tersebut diterima di dalam negeri oleh bukan Pihak Asing.
Pasal 11
(1) Larangan Transfer Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
berlaku apabila dilakukan :
a. dalam rangka kegiatan ekonomi di Indonesia; atau
b. antar rekening yang dimiliki oleh Pihak Asing yang sama.
(2) Cakupan kegiatan ekonomi di Indonesia diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran
Bank Indonesia.
(3) Bank penerima dari suatu Transfer Rupiah yang ditujukan kepada Pihak Asing
wajib melakukan verifikasi terhadap status pihak penerima dana dan kelengkapan
dokumen kegiatan yang dilakukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) .
Pasal 12…
huruf g tidak
Bank
-11-
Pasal 12
(1) Pembatasan Transaksi Derivatif valuta asing terhadap rupiah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3) tidak berlaku dalam hal Transaksi Derivatif
dilakukan untuk keperluan lindung-nilai (hedging) dalam rangka kegiatan :
a. investasi di Indonesia yang berjangka waktu paling singkat 3 (tiga) bulan;
b. ekspor barang
dari Indonesia dan impor barang ke Indonesia yang
menggunakan Letter of Credit (L/C); dan atau
c. perdagangan dalam negeri yang menggunakan Surat Kredit Berdokumen
Dalam Negeri (SKBDN);
(2) Hedging sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atas suatu kegiatan investasi di
Indonesia hanya dapat dilakukan apabila :
a. kegiatan investasi telah mulai direalisasikan;
b. nilai hedging paling banyak sebesar nilai realisasi investasi yang tercantum
dalam dokumen pendukung;
c. jangka waktu hedging paling sedikit 3 (tiga) bulan dan paling lama sama
dengan jangka waktu investasi; dan
d. disertai dengan dokumen-dokumen pendukung hedging dan investasi yang
bersangkutan.
Pasal 13
Dalam hal kegiatan investasi berupa Penyertaan Langsung dilakukan melalui proses
lelang dan karena sesuatu hal di luar kendali investor investasi tersebut belum dapat
direalisasikan, maka hedging dapat dilakukan dengan kondisi sebagai berikut :
a. Apabila investor sudah termasuk dalam short list, hedging dapat dilakukan setelah
realisasi setoran jaminan dengan jangka waktu paling lama 1 bulan dan hanya
dapat diperpanjang sebanyak 1 (satu) kali dengan perpanjangan paling lama 1
(satu) bulan yang dibuktikan dengan dokumen pendukung;
b. Apabila…
-12-
b. Apabila investor sudah dinyatakan sebagai pemenang lelang, hedging dapat
dilakukan sebelum realisasi
investasi dengan jangka waktu paling lama 1 bulan
dan hanya dapat diperpanjang sebanyak 1 (satu) kali dengan perpanjangan paling
lama 1 (satu) bulan yang dibuktikan dengan dokumen pendukung;
c. Hedging sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b di atas paling banyak sebesar
realisasi nilai setoran jaminan lelang.
Pasal 14
Pengecualian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 sampai dengan Pasal 13 berlaku
pula terhadap transaksi sejenis berdasarkan Prinsip Syariah.
BAB VI
DOKUMEN PENDUKUNG
Pasal 15
(1) Dokumen pendukung yang diperlukan dalam ketentuan ini diatur lebih lanjut
dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
(2) Bank wajib menatausahakan dokumen-dokumen yang diperlukan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) untuk kepentingan pemeriksaan Bank Indonesia.
BAB VII
PELAPORAN
Pasal 16
Bank wajib menyampaikan laporan Transaksi Derivatif sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6 kepada Bank Indonesia secara akurat, benar, dan lengkap sesuai dengan
ketentuan Bank Indonesia yang berlaku mengenai pelaporan transaksi devisa.
BAB VIII…
-13-
BAB VIII
SANKSI
Pasal 17
(1) Bank yang melakukan pelanggaran terhadap Pasal 3 sampai dengan Pasal 13
dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis dan kewajiban membayar
sebesar 10% (sepuluh per seratus) dari nilai nominal transaksi yang dilanggar.
(2) Total kewajiban membayar untuk sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
paling banyak sebesar Rp 27.000.000.000 (dua puluh tujuh milyar rupiah) dalam
1 (satu) tahun kalender.
BAB IX
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 18
Peraturan pelaksanaan dari Peraturan Bank Indonesia ini diatur lebih lanjut dalam
Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 19
Dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini maka, Peraturan Bank Indonesia
Nomor 3/3/PBI/2001 tanggal 12 Januari 2001 dan Surat Edaran Bank Indonesia
Nomor 3/5/DPD tanggal 31 Januari 2001 tentang Pembatasan Transaksi Rupiah dan
Pemberian Kredit Valuta Asing oleh Bank dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 20…
-14-
Pasal 20
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 14 Juli 2005
Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal 14 Juni 2005
GUBERNUR BANK INDONESIA,
BURHANUDDIN ABDULLAH
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2005 NOMOR 50
DPD
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 7/ 14 /PBI/2005
TENTANG
PEMBATASAN TRANSAKSI RUPIAH DAN
PEMBERIAN KREDIT VALUTA ASING OLEH BANK
UMUM
Penerapan sistem devisa bebas di Indonesia telah mempercepat
perkembangan dan integrasi pasar keuangan Indonesia dengan pasar keuangan
dunia. Perkembangan pasar keuangan antara lain tercermin pada bertambahnya
keanekaragaman produk jasa keuangan, sebagai hasil dari berbagai
inovasi di
industri keuangan. Integrasi pasar keuangan antara lain terlihat pada penggunaan
mata uang domestik, baik di dalam negeri maupun luar negeri. Pada awalnya mata
uang domestik digunakan oleh warga negara asing dan badan asing di dalam negeri,
namun selanjutnya penggunaan tersebut meluas ke luar negeri baik oleh warga
negara Indonesia dan badan hukum Indonesia maupun oleh warga negara asing dan
badan asing.
Sebagai akibat dari perkembangan dan integrasi pasar keuangan di atas,
peningkatan transaksi rupiah antara bank dengan warga negara asing dan badan
asing dalam perkembangannya telah menimbulkan ketidakstabilan kondisi moneter
di dalam negeri, khususnya dalam bentuk tekanan terhadap nilai tukar rupiah.
Sehubungan dengan hal tersebut, telah diambil langkah kebijakan dengan
menetapkan pembatasan-pembatasan yang diperlukan sebagaimana tertuang dalam
Peraturan Bank Indonesia Nomor 3/3/PBI/2001 tanggal 12 Januari 2001 tentang
Pembatasan Transaksi Rupiah dan Pemberian Kredit Valuta Asing oleh Bank.
Peraturan…
-2-
Peraturan Bank Indonesia Nomor 3/3/PBI/2001 pada dasarnya mengatur
transaksi rupiah antara bank dengan warga negara asing, badan hukum asing atau
badan asing lainnya, warga negara Indonesia yang memiliki status penduduk tetap
(permanent resident) negara lain dan tidak berdomisili di Indonesia, dan kantor bank
atau badan hukum Indonesia di luar negeri, serta pengaturan pemberian kredit valuta
asing oleh bank kepada pihak-pihak tersebut. Pengaturan terhadap transaksi rupiah
dan pemberian kredit valas antara bank dengan pihak-pihak tersebut merupakan
langkah kehati-hatian dalam rangka melindungi integritas dan stabilitas sistem
keuangan Indonesia, sekaligus mengoptimalkan pemanfaatan sumber dana dalam
negeri, baik dalam rupiah maupun valuta asing, bagi kegiatan-kegiatan yang dapat
menunjang perekonomian domestik untuk tumbuh berkesinambungan. Di pihak lain,
peraturan tersebut secara umum tidak bertentangan, baik dengan ketentuan sistem
devisa bebas maupun ketentuan-ketentuan internasional yang berlaku.
Dalam perkembangan selanjutnya, meskipun Peraturan Bank Indonesia
Nomor 3/3/PBI/2001 tanggal 12 Januari 2001 tentang Pembatasan Transaksi Rupiah
dan Pemberian Kredit Valuta Asing oleh Bank telah menyediakan kemungkinan
bagi berbagai transaksi untuk kepentingan pembiayaan yang bermanfaat bagi
perekonomian domestik, namun masih dirasakan perlu dilakukan beberapa
penyempurnaan. Langkah penyempurnaan perlu diambil agar di satu pihak,
ketentuan yang berlaku tidak menghambat kegiatan produktif dan dapat sejalan
dengan beberapa perkembangan terakhir baik dalam pasar keuangan maupun dalam
perekonomian domestik secara keseluruhan. Namun di pihak lain, langkah
penyempurnaan tersebut dapat tetap menunjang
keuangan dan moneter di dalam negeri.
tercapainya stabilitas sistem
PASAL…
-3-
PASAL DEMI PASAL
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Cukup jelas.
BAB II
PELARANGAN, PEMBATASAN DAN PENGECUALIAN
TRANSAKSI BAGI BANK
Pasal 2
Cukup jelas.
BAB III
PELARANGAN TRANSAKSI
Pasal 3
Huruf a sampai dengan huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Yang dimaksud dengan bukan Pihak Asing adalah pihak yang tidak
termasuk Pihak Asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2.
Huruf h
Yang dimaksud dengan bukan Pihak Asing adalah pihak yang tidak
termasuk Pihak Asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2.
Pasal 4…
-4-
Pasal 4
Yang dimaksud dengan bukan Pihak Asing adalah pihak yang tidak
termasuk Pihak Asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2.
Pasal 5
Cukup jelas.
BAB IV
PEMBATASAN TRANSAKSI
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan transaksi outright forward jual valuta asing
terhadap rupiah adalah penjualan valuta asing terhadap rupiah yang
penyerahan dananya dilakukan lebih dari 2 (dua) hari kerja setelah
tanggal transaksi.
Termasuk dalam transaksi ini adalah transaksi valuta tod, tom atau spot
yang disintetiskan sebagai outright forward jual valuta asing terhadap
rupiah.
Huruf b
Yang dimaksud dengan transaksi swap jual valuta asing terhadap rupiah
adalah transaksi pertukaran valuta asing terhadap rupiah melalui
pembelian tunai dengan penjualan kembali secara berjangka yang
dilakukan secara simultan dengan counterparty yang sama dan pada
tingkat harga yang disepakati pada tanggal transaksi dilakukan
Termasuk…
-5-
Termasuk dalam transaksi ini adalah berbagai kombinasi dari transaksi
valuta tod, tom, dan spot yang disintetiskan sebagai swap jual valuta asing
terhadap rupiah;
Huruf c
Yang dimaksud dengan transaksi jual call option valuta asing terhadap
rupiah adalah transaksi atas dasar perjanjian yang memberikan hak
kepada Bank untuk menjual hak beli
atas suatu transaksi valuta asing
terhadap rupiah dengan harga tertentu pada tanggal berakhirnya perjanjian
atau tanggal tertentu dalam periode perjanjian transaksi.
Huruf d
Yang dimaksud dengan transaksi beli put option valuta asing terhadap
rupiah adalah transaksi atas dasar perjanjian yang memberikan hak
kepada Bank untuk membeli hak jual atas suatu transaksi valuta asing
terhadap rupiah dengan harga tertentu pada tanggal berakhirnya perjanjian
atau tanggal tertentu dalam periode perjanjian transaksi.
Huruf e
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan transaksi outright forward beli
valuta asing
terhadap rupiah adalah pembelian valuta asing terhadap rupiah yang
penyerahan dananya dilakukan lebih dari 2 (dua) hari kerja setelah
tanggal transaksi.
Termasuk…
-6-
Termasuk dalam transaksi ini adalah transaksi valuta tod, tom atau spot
yang disintetiskan sebagai outright forward beli valuta asing terhadap
rupiah.
Huruf b
Yang dimaksud dengan transaksi swap beli valuta asing terhadap rupiah
adalah transaksi pertukaran valuta asing terhadap rupiah melalui
penjualan tunai dengan pembelian kembali secara berjangka yang
dilakukan secara simultan dengan counterparty yang sama dan pada
tingkat harga yang disepakati pada tanggal transaksi dilakukan.
Termasuk dalam transaksi ini adalah berbagai kombinasi dari transaksi
valuta tod, tom, dan spot yang disintetiskan sebagai swap beli valuta asing
terhadap rupiah.
Huruf c
Yang dimaksud dengan transaksi beli call option valuta asing terhadap
rupiah adalah transaksi atas dasar perjanjian yang memberikan hak
kepada Bank untuk membeli hak beli
atas suatu transaksi valuta asing
terhadap rupiah dengan harga tertentu pada tanggal berakhirnya perjanjian
atau tanggal tertentu dalam periode perjanjian transaksi.
Huruf d
Yang dimaksud dengan transaksi jual put option valuta asing terhadap
rupiah adalah transaksi atas dasar perjanjian yang memberikan hak
kepada Bank untuk menjual hak jual atas suatu transaksi valuta asing
terhadap rupiah dengan harga tertentu pada tanggal berakhirnya perjanjian
atau tanggal tertentu dalam periode perjanjian transaksi.
Huruf e
Cukup jelas.
Ayat 3…
-7-
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
BAB V
PENGECUALIAN TERHADAP PELARANGAN
DAN PEMBATASAN TRANSAKSI
Pasal 9
Ayat (1)
Huruf a
1) Yang dimaksud dengan lead bank adalah bank yang berperan sebagai
koordinator bagi anggota sindikasi.
2) Yang dimaksud dengan sektor riil adalah sektor produksi dan
perdagangan barang dan jasa, namun tidak termasuk sektor jasa
keuangan seperti kegiatan jual beli Surat Berharga.
3) Cukup jelas.
Huruf b
Termasuk
Huruf c
Kredit konsumsi yaitu pemberian Kredit untuk keperluan konsumsi di
dalam negeri dengan cara membeli, menyewa, atau dengan cara lain,
termasuk di dalamnya Kredit Pemilikan Rumah, Apartemen, Ruko, dan
Rukan serta kredit pembelian kendaraan.
jenis kartu kredit untuk
(procurement card).
pembelian barang
produksi
Huruf d…
-8-
Huruf d
Yang dimaksud dengan dokumen yang bersifat authenticated adalah
dokumen yang identitas pihak pengirim, isi pesan atau perintah, serta
kode rahasia dokumen dimaksud telah disepakati para pihak sehingga
hanya dapat dikonfirmasi atau diverifikasi oleh pihak penerima pesan atau
perintah, secara individual.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Ketentuan ini tunduk kepada ketentuan yang dikeluarkan oleh Bank
Indonesia tentang prinsip kehati-hatian dalam rangka pembelian kredit
oleh bank dari badan yang menangani penyehatan perbankan nasional.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 10
Huruf a
Yang dimaksud dengan pembelian Surat Berharga yang berkaitan dengan
kegiatan ekspor barang dari Indonesia dan impor barang ke Indonesia
adalah pembelian Wesel Ekspor dan Banker’s Acceptance atas dasar
transaksi L/C maupun non-L/C.
Yang dimaksud dengan pembelian Surat Berharga yang berkaitan dengan
perdagangan dalam negeri adalah pembelian wesel atau Banker’s
Acceptance atas dasar transaksi Surat Kredit Berdokumen Dalam Negeri
(SKBDN).
Huruf b
Cukup jelas.
Pasal 11…
-9-
Pasal 11
Ayat (1)
Huruf a
Termasuk dalam kegiatan ekonomi di Indonesia antara lain transaksi
Penyertaan Langsung
di Indonesia, transaksi Surat Berharga, dan
transaksi pembelian barang dan jasa di Indonesia.
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan status penerima dana adalah status penerima dana
sebagai Pihak Asing atau bukan Pihak Asing.
Pasal 12
Ayat (1)
Kegiatan investasi di Indonesia meliputi Penyertaan Langsung, pemberian
Kredit, dan pembelian Surat Berharga, namun tidak termasuk Sertifikat
Bank Indonesia.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan realisasi investasi adalah pada saat telah terjadi
aliran dana dari Pihak Asing untuk kegiatan investasi dimaksud.
Huruf b
Nilai kegiatan investasi yang dapat di-hedged tidak termasuk future
income dan penerimaan–penerimaan lainnya yang terkait dengan investasi
dimaksud…
-10-
dimaksud, seperti bunga, kupon, atau dividen serta biaya-biaya yang
dikeluarkan terkait dengan kegiatan investasi di Indonesia.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
BAB VI
DOKUMEN PENDUKUNG
Pasal 15
Cukup jelas.
BAB VII
PELAPORAN
Pasal 16
Laporan Transaksi Derivatif dimaksud wajib disampaikan oleh kantor
pusat Bank atau kantor cabang bank asing di Indonesia yang merupakan
laporan konsolidasi dari seluruh kantor operasionalnya di Indonesia.
BAB VIII
SANKSI
Pasal 17
Cukup jelas.
BAB IX…
-11-
BAB IX
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4504
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 7/14/PBI/2005 </reg_id>
<reg_title> PEMBATASAN TRANSAKSI RUPIAH DAN PEMBERIAN KREDIT VALUTA ASING OLEH BANK </reg_title>
<set_date> 14 Juni 2005 </set_date>
<effective_date> 14 Juli 2005 </effective_date>
<replaced_reg> '3/3/PBI/2001', '3/5/DPD|SE-BI/2001' </replaced_reg>
<related_reg> '23/UU/1999', '3/UU/2004', '24/UU/1999', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB VIII' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 15/13/PBI/2013
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 11/3/PBI/2009 TENTANG BANK UMUM SYARIAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang: a. bahwa pengelolaan kelembagaan bank yang baik
merupakan salah satu faktor penting dalam mewujudkan
terciptanya industri perbankan yang sehat, kuat, dan
dipercaya masyarakat;
b. bahwa setiap pemenuhan sumber daya manusia,
pembukaan, perubahan status, pemindahan alamat,
dan/atau penutupan kantor bank perlu menerapkan tata
kelola yang baik (good corporate governance);
c. bahwa dalam rangka peningkatan efisiensi industri
perbankan nasional dan pengembangan perbankan
syariah, diperlukan kerjasama antara bank umum
syariah dengan bank umum konvensional yang memiliki
hubungan kepemilikan untuk meningkatkan pelayanan
kepada nasabah bank;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c maka
perlu dilakukan perubahan atas Peraturan Bank
Indonesia Nomor 11/3/PBI/2009 tentang Bank Umum
Syariah;
Mengingat…
- 2 -
Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah
beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6
Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun
1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4962);
2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia
tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4867);
3. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2007 Nomor 106, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4756);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN
ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR
11/3/PBI/2009 TENTANG BANK UMUM SYARIAH.
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor
11/3/PBI/2009 tentang Bank Umum Syariah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 29, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4978) diubah sebagai berikut:
1. Ketentuan…
- 3 -
1. Ketentuan Pasal 1 diubah sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Bank adalah Bank Umum Syariah sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah.
2. Bank Umum Konvensional yang selanjutnya disingkat BUK adalah
Bank Umum Konvensional sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
3. Kantor Wilayah yang selanjutnya disebut Kanwil adalah kantor
Bank yang membantu kantor pusat Bank yang bersangkutan
melakukan fungsi administrasi dan koordinasi terhadap beberapa
kantor cabang di suatu wilayah tertentu.
4. Kantor Cabang yang selanjutnya disingkat KC adalah kantor Bank
yang bertanggung jawab kepada kantor pusat Bank yang
bersangkutan, dengan alamat tempat usaha yang jelas sesuai
dengan lokasi KC tersebut melakukan usahanya.
5. Kantor Cabang Pembantu yang selanjutnya disingkat KCP adalah
kantor Bank yang kegiatan usahanya membantu KC induknya,
dengan alamat tempat usaha yang jelas sesuai dengan lokasi KCP
tersebut melakukan usahanya.
6. Kantor Kas yang selanjutnya disingkat KK adalah kantor Bank
yang kegiatan usahanya membantu KC atau KCP induknya,
kecuali melakukan penyaluran dana, dengan alamat tempat usaha
yang jelas sesuai dengan lokasi KK tersebut melakukan usahanya.
7. Kantor Fungsional yang selanjutnya disingkat KF adalah kantor
Bank yang melakukan kegiatan operasional atau non operasional
secara terbatas dalam 1 (satu) kegiatan fungsional.
8. Kegiatan Pelayanan Kas yang selanjutnya disingkat KPK adalah
kegiatan kas dalam rangka melayani pihak yang telah menjadi
nasabah Bank meliputi antara lain:
a. Kas…
- 4 -
a. Kas Keliling yaitu kegiatan pelayanan kas secara berpindah-
pindah dengan menggunakan alat transportasi atau pada
lokasi tertentu secara tidak permanen, antara lain kas mobil,
kas terapung, atau counter bank non permanen;
b. Payment Point yaitu kegiatan dalam bentuk penerimaan
pembayaran melalui kerjasama antara Bank dengan pihak lain
pada suatu lokasi tertentu, seperti untuk penerimaan
pembayaran tagihan telepon, tagihan listrik dan/atau
penerimaan setoran dari pihak ketiga;
c. Perangkat Perbankan Elektronis yang selanjutnya disingkat
PPE yaitu kegiatan pelayanan kas atau non kas yang
dilakukan dengan menggunakan sarana mesin elektronis yang
berlokasi baik di dalam maupun di luar kantor Bank, yang
dapat melakukan pelayanan antara lain penarikan atau
penyetoran secara tunai, pembayaran melalui
pemindahbukuan, transfer antar bank, dan/atau memperoleh
informasi mengenai saldo/mutasi rekening nasabah, baik
menggunakan jaringan dan/atau mesin milik Bank sendiri
maupun melalui kerja sama Bank dengan pihak lain, antara
lain Anjungan Tunai Mandiri (ATM) termasuk dalam hal ini
adalah Automatic Deposit Machine (ADM) dan Electronic Data
Capture (EDC).
9. Layanan Syariah Bank yang selanjutnya disingkat LSB adalah
kegiatan penghimpunan dana dan/atau pemberian jasa perbankan
lainnya berdasarkan prinsip syariah, tidak termasuk kegiatan
penyaluran dana, yang dilakukan di jaringan kantor BUK untuk
dan atas nama Bank.
10. Jasa Konsultasi adalah kegiatan konsultasi yang dilakukan antara
Bank dan BUK dalam rangka analisis risiko calon nasabah
pembiayaan dan proyek yang akan dibiayai oleh Bank.
11. Pemegang Saham Pengendali yang selanjutnya disingkat PSP
adalah badan hukum, orang perseorangan, dan/atau kelompok
usaha yang:
a. memiliki…
- 5 -
a. memiliki saham Bank sebesar 25% (dua puluh lima persen)
atau lebih dari jumlah saham yang dikeluarkan dan memiliki
hak suara; atau
b. memiliki saham Bank kurang dari 25% (dua puluh lima
persen) dari jumlah saham yang dikeluarkan dan memiliki hak
suara tetapi yang bersangkutan dapat dibuktikan telah
melakukan pengendalian Bank baik secara langsung maupun
tidak langsung.
12. Dewan Komisaris adalah Dewan Komisaris sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas.
13. Komisaris Independen adalah anggota Dewan Komisaris yang tidak
memiliki hubungan keuangan, kepengurusan, kepemilikan saham,
dan/atau hubungan keluarga dengan anggota Dewan Komisaris
lainnya, Direksi, dan/atau PSP atau hubungan dengan Bank, yang
dapat memengaruhi kemampuannya untuk bertindak independen.
14. Direksi adalah Direksi sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
15. Dewan Pengawas Syariah yang selanjutnya disingkat DPS adalah
dewan yang bertugas memberikan nasihat dan saran kepada
Direksi serta mengawasi kegiatan Bank agar sesuai dengan prinsip
syariah.
16. Pejabat Eksekutif adalah pejabat yang bertanggung jawab langsung
kepada Direksi dan/atau mempunyai pengaruh yang signifikan
terhadap kebijakan dan/atau operasional Bank, antara lain kepala
divisi, kepala Kanwil, kepala KC, kepala KF yang kedudukannya
paling kurang setara dengan kepala KC, kepala satuan kerja
manajemen risiko, kepala satuan kerja kepatuhan, dan kepala
satuan kerja audit internal atau pejabat lainnya yang setara.
17. Kelompok Usaha adalah:
a. perorangan dan badan hukum;
b. beberapa orang; atau
c. beberapa badan hukum,
yang…
- 6 -
yang memiliki keterkaitan kepengurusan, kepemilikan, dan/atau
hubungan keuangan.
2. Ketentuan Pasal 8 ayat (1) dihapus, ayat (2) diubah, dan ditambahkan 1
(satu) ayat, yakni ayat (4) sehingga Pasal 8 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 8
(1) Dihapus.
(2) Persetujuan atau penolakan atas permohonan persetujuan prinsip
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, diberikan Bank Indonesia
dengan mempertimbangkan antara lain:
a. kelengkapan dan kebenaran dokumen;
b. analisis yang mencakup antara lain tingkat persaingan yang
sehat antar Bank dan unit usaha syariah, tingkat kejenuhan
jumlah Bank dan unit usaha syariah; dan
c. uji kemampuan dan kepatutan (fit and proper test) terhadap
calon PSP, calon anggota Dewan Komisaris, dan calon anggota
Direksi, serta wawancara terhadap calon anggota DPS.
(3) Selain ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) pihak-pihak
yang mengajukan permohonan pendirian Bank wajib melakukan
presentasi kepada Bank Indonesia mengenai keseluruhan rencana
pendirian Bank.
(4) Bank Indonesia dapat melakukan pemeriksaan atas kebenaran
dokumen yang disampaikan.
3. Ketentuan Pasal 11 ayat (1) dihapus, ayat (2) diubah, dan ditambahkan
1 (satu) ayat, yakni ayat (3) sehingga Pasal 11 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 11
(1) Dihapus.
(2) Persetujuan atau penolakan atas permohonan izin usaha
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 diberikan Bank Indonesia
dengan mempertimbangkan antara lain:
a. kelengkapan…
- 7 -
a. kelengkapan dan kebenaran dokumen; dan
b. uji kemampuan dan kepatutan (fit and proper test) dan
wawancara terhadap pihak-pihak sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 8 ayat (2) huruf c dalam hal terdapat penggantian.
(3) Bank Indonesia dapat melakukan pemeriksaan atas kebenaran
dokumen yang disampaikan.
4. Ketentuan Pasal 32 ayat (2) dan ayat (6) diubah, ayat (3) dihapus,
sehingga Pasal 32 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 32
(1) Permohonan untuk memperoleh persetujuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) diajukan oleh Bank kepada Bank
Indonesia disertai dengan dokumen pendukung.
(2) Persetujuan atau penolakan atas permohonan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diberikan Bank Indonesia dengan
mempertimbangkan antara lain:
a. kelengkapan dan kebenaran dokumen; dan
b. uji kemampuan dan kepatutan (fit and proper test) terhadap
calon anggota Dewan Komisaris dan/atau anggota Direksi.
(3) Dihapus.
(4) Calon anggota Dewan Komisaris dan/atau calon anggota Direksi
yang telah mendapat persetujuan Bank Indonesia namun tidak
diangkat oleh Rapat Umum Pemegang Saham dalam jangka waktu
3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal persetujuan diterbitkan,
maka persetujuan terhadap calon anggota Dewan Komisaris
dan/atau calon anggota Direksi menjadi tidak berlaku.
(5) Pengangkatan anggota Dewan Komisaris dan/atau anggota Direksi
wajib dilaporkan oleh Bank kepada Bank Indonesia paling lambat
10 (sepuluh) hari sejak tanggal pengangkatan efektif disertai
dengan dokumen pendukung.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai dokumen pendukung
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (5) diatur dengan
Surat Edaran Bank Indonesia.
5. Ketentuan…
- 8 -
5. Ketentuan Pasal 38 ayat (2) dan ayat (6) diubah, ayat (3) dihapus,
sehingga Pasal 38 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 38
(1) Permohonan untuk memperoleh persetujuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) diajukan oleh Bank kepada Bank
Indonesia disertai dengan dokumen pendukung.
(2) Persetujuan atau penolakan atas permohonan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diberikan Bank Indonesia dengan
mempertimbangkan antara lain:
a. kelengkapan dan kebenaran dokumen; dan
b. wawancara terhadap calon anggota DPS.
(3) Dihapus.
(4) Calon anggota DPS yang telah mendapat persetujuan Bank
Indonesia namun tidak diangkat oleh Rapat umum Pemegang
Saham dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal
persetujuan diterbitkan, maka persetujuan terhadap calon anggota
DPS menjadi tidak berlaku.
(5) Pengangkatan anggota DPS wajib dilaporkan oleh Bank kepada
Bank Indonesia paling lambat 10 (sepuluh) hari setelah tanggal
pengangkatan efektif disertai dengan dokumen pendukung.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai dokumen pendukung
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (5) diatur dengan Surat
Edaran Bank Indonesia.
6. Ketentuan BAB IV Bagian Ketiga diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Bagian Ketiga
Pejabat Eksekutif
Pasal 40
Bank wajib melakukan penelitian terhadap calon Pejabat Eksekutif
sebelum melakukan pengangkatan atau penggantian Pejabat Eksekutif.
Pasal 40A…
- 9 -
Pasal 40A
(1) Pengangkatan, pemberhentian, atau penggantian Pejabat Eksekutif
wajib dilaporkan oleh Bank kepada Bank Indonesia sesuai
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai laporan kantor
pusat bank umum.
(2) Bank Indonesia berwenang memerintahkan Bank untuk
membatalkan pengangkatan Pejabat Eksekutif apabila berdasarkan
penelitian dan penilaian Bank Indonesia, Pejabat Eksekutif
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memiliki rekam jejak negatif.
(3) Bank wajib membatalkan pengangkatan Pejabat Eksekutif yang
memiliki rekam jejak negatif sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah tanggal surat penegasan
dari Bank Indonesia.
(4) Rekam jejak negatif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi
sebagai berikut:
a.
termasuk dalam daftar tidak lulus uji kemampuan dan
kepatutan (fit and proper test);
b. memiliki kredit atau pembiayaan macet; dan/atau
c.
tercatat pada data dan informasi negatif yang dimiliki oleh
Bank Indonesia yang berasal dari hasil pengawasan Bank
Indonesia atau sumber lainnya.
(5) Bank wajib menatausahakan dokumen pengangkatan,
pemberhentian, dan penggantian Pejabat Eksekutif sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai dokumen pengangkatan,
pemberhentian, atau penggantian Pejabat Eksekutif sebagaimana
dimaksud pada ayat (5) diatur dengan Surat Edaran Bank
Indonesia.
Pasal 40B
Bank Indonesia berwenang meminta dokumen pengangkatan,
pemberhentian, dan/atau penggantian Pejabat Eksekutif sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 40A ayat (5).
7. Di…
- 10 -
7. Di antara BAB IV dan BAB V disisipkan 1 (satu) bab, yakni BAB IVA
sehingga berbunyi sebagai berikut:
BAB IVA
RENCANA PEMBUKAAN, PERUBAHAN STATUS, PEMINDAHAN
ALAMAT, DAN/ATAU PENUTUPAN KANTOR BANK
Pasal 41A
(1) Bank wajib mencantumkan rencana pembukaan, perubahan
status, pemindahan alamat, dan/atau penutupan kantor Bank
setahun ke depan dalam rencana bisnis Bank.
(2) Rencana pembukaan, perubahan status, pemindahan alamat,
dan/atau penutupan kantor Bank sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) wajib disertai dengan kajian yang paling kurang memuat:
a. analisis kondisi keuangan, kesesuaian dengan strategi bisnis
dan dampak terhadap proyeksi keuangan;
b. mekanisme pengawasan dan penilaian kinerja kantor Bank;
c. analisis secara menyeluruh mencakup antara lain kondisi
perekonomian nasional, analisis risiko, dan analisis keuangan;
dan
d. rencana persiapan operasional antara lain sumber daya
manusia, teknologi informasi, dan sarana penunjang lainnya.
(3) Dalam rangka pembukaan, perubahan status, dan/atau
pemindahan alamat kantor, Bank wajib memenuhi ketentuan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai kegiatan usaha dan jaringan
kantor berdasarkan modal inti.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai cakupan kajian sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Surat Edaran Bank
Indonesia.
Pasal 41B
Bank Indonesia berwenang memerintahkan Bank untuk menunda
rencana pembukaan, perubahan status, dan/atau pemindahan alamat
kantor Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41A ayat (1) apabila
menurut penilaian Bank Indonesia antara lain terdapat penurunan
tingkat…
- 11 -
tingkat kesehatan, penurunan kondisi keuangan Bank, dan/atau
peningkatan profil risiko Bank, serta mempertimbangkan stabilitas
sistem keuangan dan/atau kepentingan perekonomian nasional.
8. Ketentuan BAB V diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
BAB V
PEMBUKAAN KANTOR BANK
Bagian Kesatu
Pembukaan Kantor di Dalam Negeri
Paragraf 1
Pembukaan Kantor Cabang
Pasal 42
Pembukaan KC hanya dapat dilakukan dengan izin Bank Indonesia.
Pasal 43
(1) Permohonan izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 diajukan
oleh Bank kepada Bank Indonesia disertai dengan dokumen
pendukung.
(2) Persetujuan atau penolakan atas permohonan izin sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diberikan Bank Indonesia dengan
mempertimbangkan antara lain:
a. kelengkapan dan kebenaran dokumen;
b. analisis atas hasil studi kelayakan yang disampaikan oleh
Bank;
c. analisis atas kemampuan Bank, termasuk tingkat kesehatan,
kecukupan permodalan, dan profil risiko; dan
d. analisis atas kajian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41A
ayat (2).
(3) Bank Indonesia dapat melakukan pemeriksaan atas kebenaran
dokumen yang disampaikan dan persiapan pembukaan KC.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai dokumen pendukung
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Surat Edaran
Bank Indonesia.
Pasal 44…
- 12 -
Pasal 44
(1) Pelaksanaan pembukaan KC wajib dilakukan paling lama 30 (tiga
puluh) hari terhitung sejak tanggal izin dari Bank Indonesia
diterbitkan.
(2) Pelaksanaan pembukaan KC sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
wajib dilaporkan oleh Bank kepada Bank Indonesia sesuai
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai laporan kantor
pusat bank umum.
(3) Apabila setelah jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Bank tidak melaksanakan pembukaan KC, maka izin pembukaan
KC yang telah diberikan menjadi tidak berlaku.
Paragraf 2
Pembukaan Kantor Cabang Pembantu
Pasal 45
(1) Pembukaan KCP hanya dapat dilakukan apabila rencana
pembukaan telah dilaporkan dan mendapat surat penegasan Bank
Indonesia.
(2) Pembukaan KCP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat
dilakukan dalam 1 (satu) wilayah kerja kantor Bank Indonesia yang
sama dengan KC induknya, kecuali dengan persetujuan Bank
Indonesia.
(3) KCP dapat beralamat yang sama dengan kantor lain sepanjang
memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a.
b.
terdapat pemisahan kantor antara KCP dengan kantor lain;
tidak menimbulkan risiko operasional dan risiko reputasi bagi
Bank; dan
c.
terdapat pengaturan yang jelas dalam pemanfaatan sarana
dan prasarana kerja serta penggunaan fasilitas gedung kantor,
yang memungkinkan adanya pembebanan biaya masing-
masing kantor dapat dilakukan dengan tepat.
(4) Laporan…
- 13 -
(4) Laporan keuangan KCP wajib digabungkan secara otomasi dan
online pada hari yang sama dengan laporan keuangan KC yang
menjadi induknya.
Pasal 46
(1) Bank menyampaikan laporan rencana pembukaan KCP kepada
Bank Indonesia disertai dengan dokumen pendukung.
(2) Surat penegasan atas laporan rencana pembukaan KCP
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan Bank Indonesia
dengan mempertimbangkan antara lain:
a. kelengkapan dan kebenaran dokumen;
b. analisis atas hasil studi kelayakan yang disampaikan oleh
Bank;
c. analisis atas kemampuan Bank, termasuk tingkat kesehatan
dan kecukupan permodalan; dan
d. analisis atas kajian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41A
ayat (2).
(3) Pelaksanaan pembukaan KCP sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
wajib dilakukan paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah tanggal
surat penegasan dari Bank Indonesia.
(4) Pelaksanaan pembukaan KCP sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
wajib dilaporkan oleh Bank kepada Bank Indonesia sesuai
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai laporan kantor
pusat bank umum.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai dokumen pendukung
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Surat Edaran
Bank Indonesia.
Paragraf 3
Pembukaan Kantor Kas
Pasal 47
(1) Pembukaan KK hanya dapat dilakukan apabila rencana
pembukaan telah dilaporkan dan mendapat surat penegasan dari
Bank Indonesia.
(2) Pembukaan…
- 14 -
(2) Pembukaan KK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat
dilakukan dalam 1 (satu) wilayah kerja kantor Bank Indonesia yang
sama dengan dengan KC induknya, kecuali dengan persetujuan
Bank Indonesia.
(3) KK dapat beralamat yang sama dengan kantor lain sepanjang
memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a.
b.
terdapat pemisahan kantor antara KK dengan kantor lain;
tidak menimbulkan risiko operasional dan risiko reputasi bagi
Bank; dan
c.
terdapat pengaturan yang jelas dalam pemanfaatan sarana
dan prasarana kerja serta penggunaan fasilitas gedung kantor,
yang memungkinkan adanya pembebanan biaya masing-
masing kantor dapat dilakukan dengan tepat.
(4) Laporan keuangan KK wajib digabungkan secara otomasi dan
online pada hari yang sama dengan laporan keuangan KC yang
menjadi induknya.
Pasal 48
(1) Bank menyampaikan laporan rencana pembukaan KK kepada
Bank Indonesia disertai dengan dokumen pendukung.
(2) Surat penegasan atas laporan rencana pembukaan KK
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan Bank Indonesia
dengan mempertimbangkan antara lain:
a. kelengkapan dan kebenaran dokumen;
b. analisis hasil studi kelayakan yang disampaikan oleh Bank;
c. analisis atas kemampuan Bank, termasuk tingkat kesehatan
dan kecukupan permodalan; dan
d. analisis atas kajian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41A
ayat (2).
(3) Pelaksanaan pembukaan KK sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
wajib dilakukan paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah tanggal
surat penegasan dari Bank Indonesia.
(4) Pelaksanaan…
- 15 -
(4) Pelaksanaan pembukaan KK sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
wajib dilaporkan oleh Bank kepada Bank Indonesia sesuai
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai laporan kantor
pusat bank umum.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai dokumen pendukung
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Surat Edaran
Bank Indonesia.
Paragraf 4
Pembukaan Kegiatan Pelayanan Kas
Pasal 49
(1) Pembukaan KPK hanya dapat dilakukan dalam 1 (satu) wilayah
kerja kantor Bank Indonesia yang sama dengan KC induknya,
kecuali dengan persetujuan Bank Indonesia.
(2) Laporan keuangan KPK wajib digabungkan secara otomasi dan
online pada hari yang sama dengan laporan keuangan KC yang
menjadi induknya, kecuali untuk kegiatan PPE.
(3) Kegiatan pemasaran yang dilakukan dalam rangka promosi, tidak
bersifat permanen dan hanya menerima setoran awal atau titipan
kas sesuai persyaratan setoran minimal pembukaan rekening tidak
termasuk KPK.
(4) Pelaksanaan pembukaan KPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
wajib dilaporkan oleh Bank kepada Bank Indonesia sesuai
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai laporan kantor
pusat bank umum.
Paragraf 5
Pembukaan Kantor Fungsional
Pasal 49A
(1) Pembukaan KF hanya dapat dilakukan apabila rencana
pembukaan telah dilaporkan dan mendapat surat penegasan dari
Bank Indonesia.
(2) Jenis…
- 16 -
(2) Jenis KF terdiri atas:
a. KF yang melakukan kegiatan operasional; dan
b. KF yang melakukan kegiatan non operasional.
(3) Laporan keuangan dari KF sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf a wajib digabungkan secara otomasi dan online pada hari
yang sama dengan laporan keuangan:
a. KC yang berada dalam 1 (satu) wilayah kerja kantor Bank
Indonesia; atau
b. KC terdekat atau kantor pusat Bank, apabila dalam wilayah
kerja kantor Bank Indonesia dimana KF tersebut berada tidak
terdapat KC, dengan persetujuan Bank Indonesia.
(4) Laporan keuangan dari KF sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf b wajib digabungkan secara otomasi dan online pada hari
yang sama dengan laporan keuangan kantor pusat Bank.
(5) KF dapat beralamat yang sama dengan kantor lain sepanjang
memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a.
b.
terdapat pemisahan kantor antara KF dengan kantor lain;
tidak menimbulkan risiko operasional dan risiko reputasi bagi
Bank; dan
c.
terdapat pengaturan yang jelas dalam pemanfaatan sarana
dan prasarana kerja serta penggunaan fasilitas gedung kantor,
yang memungkinkan adanya pembebanan biaya masing-
masing kantor dapat dilakukan dengan tepat.
Pasal 49B
(1) Bank menyampaikan rencana pembukaan KF kepada Bank
Indonesia disertai dengan dokumen pendukung.
(2) Pelaksanaan pembukaan KF sebagaimana dimaksud dalam Pasal
49A ayat (1) wajib dilakukan paling lama 30 (tiga puluh) hari
setelah tanggal surat penegasan dari Bank Indonesia.
(3) Pelaksanaan…
- 17 -
(3) Pelaksanaan pembukaan KF sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
wajib dilaporkan oleh Bank kepada Bank Indonesia sesuai
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai laporan kantor
pusat bank umum.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai dokumen pendukung
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Surat Edaran
Bank Indonesia.
Paragraf 5
Pembukaan Kantor Wilayah
Pasal 49C
(1) Pembukaan Kanwil hanya dapat dilakukan apabila rencana
pembukaan telah dilaporkan dan mendapat surat penegasan dari
Bank Indonesia.
(2) Bank melaporkan rencana pembukaan Kanwil kepada Bank
Indonesia disertai dengan dokumen pendukung.
(3) Pelaksanaan pembukaan Kanwil sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) wajib dilaporkan oleh Bank kepada Bank Indonesia sesuai
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai laporan kantor
pusat bank umum.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai dokumen pendukung
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Surat Edaran
Bank Indonesia.
Pasal 49D
Dalam hal Kanwil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49C ayat (1)
akan melakukan kegiatan operasional sebagaimana KC maka wajib
memenuhi ketentuan pembukaan KC sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 42, Pasal 43, dan Pasal 44.
Bagian Kedua…
- 18 -
Bagian Kedua
Pembukaan Kantor di Luar Negeri
Pasal 50
(1) Pembukaan KC, kantor perwakilan, dan jenis-jenis kantor lainnya
di luar negeri baik yang melakukan kegiatan operasional maupun
yang non operasional hanya dapat dilakukan dengan izin Bank
Indonesia.
(2)
Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilaksanakan
dalam waktu 1 (satu) tahun terhitung sejak izin dari Bank
Indonesia diterbitkan, dan dapat diperpanjang dengan persetujuan
Bank Indonesia.
(3) Pembukaan KC, kantor perwakilan, dan jenis-jenis kantor lainnya
di luar negeri hanya dapat dilakukan oleh Bank sesuai
pengelompokan Bank berdasarkan Bank Umum berdasarkan
Kegiatan Usaha (BUKU) sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai kegiatan usaha dan jaringan
kantor berdasarkan modal inti.
(4) Pemberian izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat
diberikan apabila Bank memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a.
telah menjadi Bank yang melakukan kegiatan usaha dalam
valuta asing paling singkat 24 (dua puluh empat) bulan; dan
b. memenuhi persyaratan tingkat kesehatan, kecukupan
permodalan, dan profil risiko.
Pasal 51
(1) Permohonan izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1)
diajukan oleh Bank kepada Bank Indonesia disertai dengan
dokumen pendukung.
(2) Persetujuan atau penolakan atas permohonan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diberikan Bank Indonesia dengan
mempertimbangkan antara lain:
a. kelengkapan dan kebenaran dokumen;
b. analisis yang mencakup hasil studi kelayakan yang
disampaikan oleh Bank;
c. analisis…
- 19 -
c. analisis atas kemampuan Bank, termasuk tingkat kesehatan,
kecukupan permodalan, kondisi keuangan, dan profil risiko;
dan
d. analisis atas kajian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41A
ayat (2).
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai dokumen pendukung
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Surat Edaran
Bank Indonesia.
Pasal 52
(1) Pembukaan kantor di luar negeri sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 50 wajib memperoleh izin dari otoritas di negara setempat.
(2) Pelaksanaan pembukaan kantor sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) wajib dilaporkan oleh Bank kepada Bank Indonesia sesuai
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai laporan kantor
pusat bank umum.
(3) Bank wajib menyampaikan salinan atau fotokopi izin pembukaan
kantor dari otoritas di negara setempat paling lama 10 (sepuluh)
hari setelah tanggal pembukaan kantor.
9. Di antara BAB V dan BAB VI disisipkan 1 (satu) bab, yakni BAB VA
sehingga berbunyi sebagai berikut:
BAB VA
KERJASAMA BANK DENGAN BANK UMUM KONVENSIONAL YANG
MEMILIKI HUBUNGAN KEPEMILIKAN
Pasal 52A
(1) Bank dapat melakukan kerjasama dengan BUK dalam bentuk:
a. Kegiatan LSB; dan/atau
b. Jasa Konsultasi.
(2) Kerjasama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat
dilakukan dengan BUK yang memiliki hubungan kepemilikan
dengan Bank.
(3) Kegiatan…
- 20 -
(3) Kegiatan LSB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a hanya
dapat dilakukan apabila memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. BUK tidak memiliki unit usaha syariah;
b. kegiatan LSB berada dalam 1 (satu) wilayah dengan KC
induknya Bank, yaitu:
1) dalam 1 (satu) wilayah provinsi; atau
2) dalam 1 (satu) wilayah kerja kantor Bank Indonesia dalam
hal wilayah kerja kantor Bank Indonesia melebihi 1 (satu)
wilayah provinsi;
c. menggunakan sumber daya manusia BUK yang telah memiliki
pengetahuan mengenai produk dan jasa bank syariah;
d. didukung oleh teknologi sistem informasi yang memadai
dengan menggunakan jaringan BUK dan/atau jaringan Bank;
dan
e.
terdapat perjanjian kerjasama antara Bank dengan BUK.
(4) Kerjasama Jasa Konsultasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b hanya dapat dilakukan apabila memenuhi persyaratan
sebagai berikut:
a. BUK tidak memiliki unit usaha syariah;
b. keputusan pemberian pembiayaan dan risiko yang terjadi
merupakan tanggung jawab Bank; dan
c.
terdapat perjanjian kerjasama antara Bank dengan BUK.
Pasal 52B
(1) Bank wajib mencantumkan rencana pembukaan, pemindahan,
dan/atau penghentian kegiatan LSB setahun ke depan dalam
rencana bisnis Bank.
(2) Rencana pembukaan, pemindahan, dan/atau penghentian kegiatan
LSB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disertai dengan
kajian.
(3) Kajian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan bagian
dari kajian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41A ayat (2).
(4) Pembukaan…
- 21 -
(4) Pembukaan, pemindahan, dan/atau penghentian kegiatan LSB
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52A ayat (1) huruf a hanya
dapat dilakukan apabila rencana pembukaan, pemindahan, atau
penghentian kegiatan LSB telah dilaporkan dan mendapat surat
penegasan dari Bank Indonesia.
(5) Laporan Keuangan kegiatan LSB wajib digabungkan secara otomasi
dan online pada hari yang sama dengan laporan keuangan KC
Bank yang menjadi induknya.
(6) Bank wajib mencantumkan logo iB pada masing-masing jaringan
kantor BUK yang melakukan kegiatan LSB.
Pasal 52C
(1) Bank melaporkan rencana pembukaan, pemindahan, dan/atau
penghentian kegiatan LSB kepada Bank Indonesia disertai
dokumen pendukung.
(2) Pelaksanaan pembukaan, pemindahan, dan/atau penghentian
kegiatan LSB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan
paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah tanggal surat penegasan
dari Bank Indonesia.
(3) Pelaksanaan pembukaan, pemindahan, dan/atau penghentian
kegiatan LSB sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib
dilaporkan oleh Bank kepada Bank Indonesia sesuai ketentuan
Bank Indonesia yang mengatur mengenai laporan kantor pusat
bank umum.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai dokumen pendukung
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Surat Edaran
Bank Indonesia.
Pasal 52D
(1) Kerjasama dalam bentuk Jasa Konsultasi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 52A ayat (1) huruf b hanya dapat dilakukan apabila
rencana kerjasama telah dilaporkan dan mendapat surat
penegasan dari Bank Indonesia.
(2) Bank…
- 22 -
(2) Bank melaporkan rencana kerjasama sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) kepada Bank Indonesia disertai dokumen pendukung.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai dokumen pendukung
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Surat Edaran
Bank Indonesia.
Pasal 52E
Kerjasama Bank dengan BUK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52A
ayat (1) hanya dapat dilakukan apabila BUK telah memperoleh izin dari
Bank Indonesia untuk melaksanakan aktivitas keagenan dan/atau
kerjasama sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia yang mengatur
mengenai kegiatan usaha BUK.
10. Ketentuan BAB VI diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
BAB VI
PERUBAHAN STATUS KANTOR BANK
Pasal 53
(1) Peningkatan status KCP atau KK menjadi KC wajib memenuhi
ketentuan mengenai pembukaan KC sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 42, Pasal 43, dan Pasal 44.
(2) Peningkatan status KK menjadi KCP wajib memenuhi ketentuan
mengenai pembukaan KCP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45
dan Pasal 46.
Pasal 54
(1) Penurunan status KC menjadi KCP atau KK hanya dapat dilakukan
dengan izin Bank Indonesia.
(2) Penurunan status KCP menjadi KK hanya dapat dilakukan apabila
telah dilaporkan dan mendapat surat penegasan dari Bank
Indonesia.
(3) Permohonan persetujuan penurunan status kantor sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) atau pelaporan rencana penurunan status
kantor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diajukan oleh Bank
kepada Bank Indonesia disertai dengan dokumen pendukung.
(4) Pelaksanaan…
- 23 -
(4) Pelaksanaan penurunan status kantor yang telah mendapat
persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau surat
penegasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib
dilaksanakan paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah tanggal
persetujuan atau surat penegasan perubahan status.
(5) Pelaksanaan penurunan status kantor wajib dilaporkan oleh Bank
kepada Bank Indonesia sesuai ketentuan Bank Indonesia yang
mengatur mengenai laporan kantor pusat bank umum.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai dokumen pendukung
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Surat Edaran
Bank Indonesia.
Pasal 54A
(1) Perubahan status kantor dari KF menjadi KC wajib memenuhi
ketentuan mengenai pembukaan KC sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 42, Pasal 43, dan Pasal 44.
(2) Perubahan status kantor dari KF menjadi KCP wajib memenuhi
ketentuan mengenai pembukaan KCP sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 45 dan Pasal 46.
(3) Perubahan status kantor dari KF menjadi KK dilakukan dengan
mengacu pada tata cara penurunan KCP menjadi KK sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 54, kecuali ayat (1).
(4) Perubahan status kantor dari KC menjadi KF dilakukan dengan
mengacu pada tata cara penurunan KC menjadi KCP atau KK
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54, kecuali ayat (2).
(5) Perubahan status kantor dari KCP menjadi KF dilakukan dengan
mengacu pada tata cara penurunan KCP menjadi KK sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 54, kecuali ayat (1).
11. Ketentuan…
- 24 -
11. Ketentuan BAB VII diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
BAB VII
PEMINDAHAN ALAMAT KANTOR BANK
Pasal 55
(1) Pemindahan alamat kantor pusat atau KC di dalam negeri hanya
dapat dilakukan dengan izin Bank Indonesia.
(2) Pemindahan alamat KC yang dilakukan ke luar wilayah kerja
kantor Bank Indonesia tempat kedudukan awal KC, wajib
memenuhi ketentuan penutupan KC sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 62 dan Pasal 63 serta ketentuan pembukaan KC
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42, Pasal 43, dan Pasal 44.
Pasal 56
(1) Permohonan izin pemindahan alamat kantor pusat dan/atau KC di
dalam negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1)
diajukan oleh Bank kepada Bank Indonesia disertai dengan
dokumen pendukung.
(2) Persetujuan atau penolakan atas permohonan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diberikan Bank Indonesia dengan
mempertimbangkan antara lain:
a. kelengkapan dan kebenaran dokumen;
b. analisis atas hasil studi kelayakan yang disampaikan oleh
Bank; dan
c. analisis atas kajian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41A
ayat (2).
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b tidak
berlaku untuk permohonan pemindahan alamat KC yang
dilakukan dalam kota atau kabupaten yang sama dengan tempat
kedudukan awal KC.
(4) Bank Indonesia dapat melakukan pemeriksaan atas kebenaran
dokumen yang disampaikan dan persiapan pemindahan alamat
kantor pusat dan/atau KC.
(5) Ketentuan…
- 25 -
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai dokumen pendukung
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Surat Edaran
Bank Indonesia.
Pasal 57
(1) Pelaksanaan pemindahan alamat kantor pusat atau KC di dalam
negeri wajib dilakukan paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung
sejak tanggal izin dari Bank Indonesia diterbitkan.
(2) Pelaksanaan pemindahan alamat kantor sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) wajib diumumkan oleh Bank dalam:
a. surat kabar yang mempunyai peredaran nasional, bagi
pemindahan alamat kantor pusat; atau
b. surat kabar yang mempunyai peredaran luas di tempat
kedudukan KC, bagi pemindahan alamat KC,
paling lama 10 (sepuluh) hari sebelum tanggal pelaksanaan
pemindahan alamat kantor.
(3) Apabila setelah jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Bank tidak melaksanakan pemindahan alamat kantor, maka izin
pemindahan alamat kantor yang telah diberikan menjadi tidak
berlaku.
(4) Pelaksanaan pemindahan alamat kantor pusat atau KC di dalam
negeri wajib dilaporkan oleh Bank kepada Bank Indonesia sesuai
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai laporan kantor
pusat bank umum.
Pasal 58
(1) Pemindahan alamat:
a. Kanwil, KCP, KK, dan KF di dalam negeri; atau
b. KC, kantor perwakilan, dan jenis-jenis kantor lainnya di luar
negeri,
hanya dapat dilakukan apabila rencana pemindahan telah
dilaporkan dan mendapat surat penegasan dari Bank Indonesia.
(2) Bank…
- 26 -
(2) Bank menyampaikan rencana pemindahan alamat kantor
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Bank Indonesia
disertai dengan dokumen pendukung.
(3) Dalam hal Kanwil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melakukan
kegiatan operasional sebagaimana KC maka pemindahan alamat
Kanwil tersebut wajib memenuhi ketentuan pemindahan alamat KC
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55, Pasal 56, dan Pasal 57.
(4) Pemindahan alamat Kanwil, KCP, KK, atau KF yang dilakukan ke
luar wilayah kerja kantor Bank Indonesia tempat kedudukan awal
kantor Bank, wajib memenuhi ketentuan penutupan Kanwil, KCP,
KK atau KF sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 dan Pasal 64A
serta ketentuan pembukaan Kanwil, KCP, KK, atau KF
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45, Pasal 46, Pasal 47, Pasal
48, Pasal 49A, Pasal 49B, dan Pasal 49C.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai dokumen pendukung
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Surat Edaran
Bank Indonesia.
Pasal 59
(1) Pelaksanaan pemindahan alamat Kanwil, KCP, KF, dan KK
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (1) huruf a wajib
dilakukan paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah tanggal surat
penegasan dari Bank Indonesia.
(2) Pelaksanaan pemindahan alamat KCP, KK, dan KF yang
melakukan kegiatan operasional wajib diumumkan oleh Bank
dalam surat kabar yang mempunyai peredaran luas di tempat
kedudukan kantor induknya paling lama 10 (sepuluh) hari sebelum
tanggal pelaksanaan pemindahan alamat kantor.
(3) Pelaksanaan pemindahan alamat:
a. Kanwil, KCP, KK, dan KF di dalam negeri; atau
b. KC, kantor perwakilan, dan jenis-jenis kantor lainnya di luar
negeri,
wajib…
- 27 -
wajib dilaporkan oleh Bank kepada Bank Indonesia sesuai
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai laporan kantor
pusat bank umum.
(4) Bank wajib menyampaikan kepada Bank Indonesia salinan atau
fotokopi izin otoritas negara setempat bagi pelaksanaan
pemindahan alamat KC, kantor perwakilan, dan jenis-jenis kantor
lainnya di luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat
(1) huruf b paling lama 10 (sepuluh) hari setelah tanggal
pelaksanaan pemindahan alamat.
Pasal 59A
Pemindahan alamat KPK wajib dilaporkan oleh Bank kepada Bank
Indonesia sesuai ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
laporan kantor pusat bank umum.
12. Di antara BAB VII dan BAB VIII disisipkan 1 (satu) bab, yakni BAB VIIA
sehingga berbunyi sebagai berikut:
BAB VIIA
PEMISAHAN LOKASI KANTOR PUSAT DAN
PEMINDAHAN DIVISI
Pasal 59B
(1) Pemisahan kantor pusat Bank menjadi 2 (dua) kantor yang masing-
masing melakukan kegiatan operasional dan non operasional
secara terpisah hanya dapat dilakukan apabila kantor yang
melakukan kegiatan operasional menjadi KC Bank, sedangkan
kantor yang melaksanakan kegiatan non operasional tetap menjadi
kantor pusat Bank.
(2) Pemisahan kantor pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
hanya dapat dilaksanakan dengan izin Bank Indonesia.
(3) Pemisahan kantor pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
wajib dilakukan dalam 1 (satu) wilayah kerja kantor Bank
Indonesia.
(4) Rencana…
- 28 -
(4) Rencana pemisahan kantor pusat sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) wajib dicantumkan dalam rencana bisnis Bank.
(5) Permohonan izin pemisahan kantor pusat sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) Bank diajukan oleh Bank kepada Bank Indonesia
disertai dengan dokumen pendukung.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai dokumen pendukung
sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diatur lebih lanjut dengan
Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 59C
(1) Persetujuan atau penolakan atas permohonan izin pemisahan
kantor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59B ayat (2) diberikan
Bank Indonesia dengan mempertimbangkan antara lain:
a. kelengkapan dan kebenaran dokumen; dan
b. analisis kelayakan.
(2) Pemisahan kantor pusat yang telah mendapat persetujuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilaksanakan paling
lama 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal pemberian izin Bank
Indonesia.
(3) Pelaksanaan pemisahan kantor pusat wajib dilaporkan oleh Bank
kepada Bank Indonesia paling lama 10 (sepuluh) hari setelah
tanggal pelaksanaan pemisahan kantor.
(4) Apabila setelah jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
Bank tidak melaksanakan pemisahan kantor pusat, maka izin
pemisahan kantor yang telah diberikan menjadi tidak berlaku.
(5) Bank Indonesia dapat melakukan pemeriksaan atas kebenaran
dokumen yang disampaikan dan persiapan pemisahan kantor.
Pasal 59D
(1) Pemindahan lokasi divisi atau bagian dari lokasi kantor pusat wajib
dilaporkan oleh Bank kepada Bank Indonesia paling lama 10
(sepuluh) hari setelah pelaksanaan pemindahan.
(2) Pemindahan…
- 29 -
(2) Pemindahan lokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
dilakukan dalam 1 (satu) wilayah kerja kantor Bank Indonesia,
kecuali dengan persetujuan Bank Indonesia.
13. Ketentuan Pasal 61 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 61
(1) Perubahan nama Bank wajib dilakukan dengan memenuhi
ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Bank yang telah memperoleh persetujuan perubahan anggaran
dasar terkait penggunaan nama baru dari instansi berwenang wajib
mengajukan permohonan kepada Bank Indonesia mengenai
penetapan penggunaan izin usaha yang dimiliki untuk Bank
dengan nama yang baru.
(3) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diajukan oleh
Bank kepada Bank Indonesia paling lama 30 (tiga puluh) hari
setelah perubahan nama disertai dengan dokumen pendukung.
(4) Pelaksanaan perubahan nama Bank wajib diumumkan dalam surat
kabar yang mempunyai peredaran nasional paling lama 10
(sepuluh) hari setelah tanggal persetujuan Bank Indonesia.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai dokumen pendukung
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Surat Edaran
Bank Indonesia.
14. Ketentuan BAB IX diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
BAB IX
PENUTUPAN KANTOR BANK
Bagian Kesatu
Penutupan Kantor di Dalam Negeri
Paragraf 1
Penutupan Kantor Cabang
Pasal 62
(1) Penutupan KC hanya dapat dilakukan dengan izin Bank Indonesia.
(2) Pemberian…
- 30 -
(2) Pemberian izin penutupan KC sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dalam 2 (dua) tahap:
a. persetujuan prinsip, yaitu persetujuan untuk melakukan
persiapan penutupan KC; dan
b. persetujuan penutupan, yaitu persetujuan untuk melakukan
penutupan KC.
(3) Permohonan untuk memperoleh persetujuan prinsip sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf a diajukan oleh Bank kepada Bank
Indonesia disertai dengan dokumen pendukung berupa penjelasan
mengenai langkah-langkah yang akan ditempuh dalam rangka
penyelesaian seluruh kewajiban KC kepada nasabah dan pihak
lainnya.
(4) Permohonan untuk memperoleh persetujuan penutupan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b diajukan oleh Bank
kepada Bank Indonesia setelah seluruh kewajiban KC kepada
nasabah dan pihak lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
diselesaikan dan dalam waktu paling lama 6 (enam) bulan setelah
Bank memperoleh persetujuan prinsip, disertai dengan dokumen
pendukung.
(5) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
Bank tidak mengajukan permohonan persetujuan penutupan KC
maka persetujuan prinsip yang telah diberikan menjadi tidak
berlaku.
(6) Bank Indonesia dapat melakukan pemeriksaan kepada Bank
terkait dengan penyelesaian seluruh kewajiban KC yang akan
ditutup.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai dokumen pendukung
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) diatur dengan
Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 63
(1) Pelaksanaan penutupan KC wajib dilakukan paling lama 30 (tiga
puluh) hari setelah tanggal persetujuan penutupan dari Bank
Indonesia.
(2) Pelaksanaan…
- 31 -
(2) Pelaksanaan penutupan KC sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
wajib diumumkan oleh Bank dalam surat kabar yang mempunyai
peredaran luas di tempat kedudukan KC paling lama 10 (sepuluh)
hari setelah tanggal persetujuan penutupan dari Bank Indonesia.
(3) Pelaksanaan penutupan KC sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
wajib dilaporkan oleh Bank kepada Bank Indonesia sesuai
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai laporan kantor
pusat bank umum.
Paragraf 2
Penutupan Kantor Cabang Pembantu, Kantor Fungsional, Kantor Kas,
dan Kantor Pelayanan Kas
Pasal 64
(1) Penutupan KCP, KF, dan KK hanya dapat dilakukan apabila
rencana penutupan telah dilaporkan dan mendapat surat
penegasan dari Bank indonesia.
(2) Rencana penutupan KCP, KF, dan KK dilaporkan oleh Bank kepada
Bank Indonesia disertai dengan dokumen pendukung berupa
penjelasan mengenai langkah-langkah yang akan ditempuh dalam
rangka penyelesaian seluruh kewajiban KCP, KF, dan KK kepada
nasabah dan pihak lainnya.
(3) Pelaksanaan penutupan KCP, KF, dan KK wajib dilakukan paling
lama 30 (tiga puluh) hari setelah tanggal surat penegasan dari
Bank Indonesia.
(4) Pelaksanaan penutupan KCP, KF, KK, dan KPK wajib dilaporkan
oleh Bank kepada Bank Indonesia sesuai ketentuan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai laporan kantor pusat bank
umum.
(5) Bank wajib menyampaikan dokumen penutupan KCP, KF, dan KK
paling lama 10 (sepuluh) hari setelah tanggal penutupan.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai dokumen pendukung
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan dokumen penutupan
sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diatur dengan Surat Edaran
Bank Indonesia.
Paragraf 3…
- 32 -
Paragraf 3
Penutupan Kanwil
Pasal 64A
(1) Rencana penutupan Kanwil wajib dilaporkan oleh Bank kepada
Bank Indonesia paling lama 30 (tiga puluh) hari sebelum tanggal
penutupan.
(2) Pelaksanaan penutupan Kanwil wajib dilaporkan oleh Bank kepada
Bank Indonesia sesuai ketentuan Bank Indonesia yang mengatur
mengenai laporan kantor pusat bank umum.
(3) Penutupan Kanwil yang melakukan kegiatan operasional
sebagaimana KC wajib memenuhi ketentuan mengenai penutupan
KC sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 dan Pasal 63.
Bagian Kedua
Penutupan Kantor di Luar Negeri
Pasal 65
(1) Penutupan KC, kantor perwakilan, dan jenis-jenis kantor lainnya di
luar negeri yang melakukan kegiatan operasional maupun non
operasional hanya dapat dilakukan dengan izin Bank Indonesia.
(2) Permohonan untuk memperoleh izin sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diajukan oleh Bank kepada Bank Indonesia disertai dengan
dokumen pendukung.
(3) Penutupan kantor di luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) wajib memperoleh izin dari otoritas di negara setempat.
(4) Pelaksanaan penutupan kantor sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) wajib dilaporkan oleh Bank kepada Bank Indonesia sesuai
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai laporan kantor
pusat bank umum.
(5) Dalam rangka penutupan KC dan jenis-jenis kantor lainnya yang
melakukan kegiatan operasional, Bank wajib menyampaikan
dokumen penutupan kepada Bank Indonesia paling lama 10
(sepuluh) hari setelah tanggal pelaksanaan penutupan.
(6) Ketentuan…
- 33 -
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai dokumen pendukung
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan dokumen penutupan
sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diatur dengan Surat Edaran
Bank Indonesia.
15. Ketentuan BAB XI diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
BAB XI
LAIN-LAIN
Pasal 74
Pembukaan, perubahan status, pemindahan alamat, dan penutupan
kantor cabang, kantor cabang pembantu, dan kantor perwakilan dari
Bank yang berkedudukan di luar negeri tunduk pada ketentuan Bank
Indonesia yang mengatur mengenai persyaratan dan tata cara
pembukaan kantor cabang, kantor cabang pembantu, dan kantor
perwakilan dari Bank yang berkedudukan di luar negeri.
Pasal 75
(1) Permohonan izin atau laporan yang disampaikan Bank kepada
Bank Indonesia wajib menggunakan Bahasa Indonesia.
(2) Petunjuk pelaksanaan dan dokumen operasional Bank wajib ditulis
paling kurang dalam Bahasa Indonesia.
Pasal 75A
(1) Rencana Bank dan/atau sebagian kantor Bank untuk melakukan
kegiatan operasional di luar hari kerja operasional, pada hari libur
dan/atau tidak beroperasi pada hari kerja wajib dilaporkan oleh
Bank kepada Bank Indonesia paling lama 10 (sepuluh) hari
sebelum pelaksanaan.
(2) Rencana Bank untuk tidak beroperasi pada hari kerja wajib
diumumkan kepada masyarakat.
Pasal 75B…
- 34 -
Pasal 75B
(1) Bank wajib menatausahakan dokumen pendukung:
a. pembukaan kantor Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal
43 ayat (1), Pasal 46 ayat (1), Pasal 48 ayat (1), Pasal 49B ayat
(1), Pasal 49C ayat (2), Pasal 51 ayat (1), Pasal 52 ayat (3);
b. perubahan status kantor Bank sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 54 ayat (3);
c. pemindahan alamat kantor Bank sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 56 ayat (1), Pasal 57 ayat (2), Pasal 58 ayat (2),
Pasal 59 ayat (2);
d. penutupan kantor Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal
62 ayat (3) dan ayat (4), Pasal 63 ayat (2), Pasal 64 ayat (2) dan
ayat (5), Pasal 65 ayat (2) dan ayat (5); dan
e. pembukaan, pemindahan, dan penghentian kegiatan LSB
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52C ayat (1).
(2) Bank Indonesia berwenang meminta dokumen pendukung
pembukaan, perubahan status, pemindahan alamat, dan/atau
penutupan kantor Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 75C
Dalam rangka memberikan persetujuan, penolakan, dan penegasan
atas permohonan izin pendirian Bank serta permohonan pembukaan,
perubahan status, pemindahan alamat, dan/atau penutupan kantor
Bank, Bank Indonesia mempertimbangkan stabilitas sistem keuangan
dan keselarasan dengan arah kebijakan pembangunan ekonomi
nasional.
Pasal 75D
Pelaksanaan pembukaan, pemindahan alamat, perubahan status, dan
penutupan Kanwil dan KF wajib dilaporkan secara offline setiap bulan
paling lama 5 (lima) hari kerja pada awal bulan laporan berikutnya
selama belum dapat dilaporkan secara online melalui laporan kantor
pusat bank umum.
16. Ketentuan…
- 35 -
16. Ketentuan Pasal 76 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 76
(1) Bank yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3, Pasal 6 ayat (2), Pasal 12 ayat (1) , Pasal 13, Pasal 14,
Pasal 15, Pasal 16, Pasal 17, Pasal 18, Pasal 20 ayat (3), Pasal 21,
Pasal 22, Pasal 23, Pasal 24, Pasal 25, Pasal 26, Pasal 27, Pasal 28,
Pasal 29, Pasal 30, Pasal 31, Pasal 34, Pasal 35, Pasal 36, Pasal 37,
Pasal 40, Pasal 40A ayat (5), Pasal 41, Pasal 41A ayat (1), ayat (2),
dan ayat (3), Pasal 42, Pasal 44 ayat (1), Pasal 45 ayat (1), ayat (2),
dan ayat (4), Pasal 46 ayat (3), Pasal 47 ayat (1), ayat (2), dan ayat
(4), Pasal 48 ayat (3), Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 49A ayat
(1), ayat (3), dan ayat (4), Pasal 49B ayat (2), Pasal 49C ayat (1),
Pasal 49D, Pasal 50 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 52B ayat (1), ayat
(4), ayat (5), dan ayat (6), Pasal 52C ayat (2), Pasal 52D ayat (1),
Pasal 52E, Pasal 53, Pasal 54 ayat (1), ayat (2), dan ayat (4), Pasal
54A, Pasal 55, Pasal 57 ayat (1), Pasal 58 ayat (1), ayat (3), dan ayat
(4), Pasal 59 ayat (1), Pasal 59B ayat (2), ayat (3), dan ayat (4),
Pasal 59C ayat (2), Pasal 59D ayat (2), Pasal 61 ayat (1), ayat (2),
dan ayat (3), Pasal 62 ayat (1), Pasal 63 ayat (1), Pasal 64 ayat (1)
dan ayat (3), Pasal 64A ayat (3), Pasal 65 ayat (1) dan ayat (3), Pasal
75, Pasal 75A ayat (2), Pasal 75B, Pasal 75D dan/atau Pasal 78
dikenakan sanksi administratif sesuai Pasal 58 Undang-undang
Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
(2) Bank yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 12 ayat (2), Pasal 19, Pasal 20 ayat (1), Pasal 32 ayat (5),
Pasal 33, Pasal 38 ayat (5), Pasal 39, Pasal 40A ayat (3), Pasal 52
ayat (3), Pasal 57 ayat (2), Pasal 59 ayat (2) dan ayat (4), Pasal 59C
ayat (3), Pasal 59D ayat (1), Pasal 60, Pasal 61 ayat (4), Pasal 63
ayat (2), Pasal 64 ayat (5), Pasal 64A ayat (1), Pasal 65 ayat (5)
dan/atau Pasal 75A ayat (1) dikenakan sanksi administratif
berupa:
a. teguran…
- 36 -
a.
teguran tertulis dan denda sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta
rupiah) per hari kelambatan atau paling banyak sebesar
Rp30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah) untuk setiap laporan
dan/atau pengumuman;
b.
teguran tertulis dan denda sebesar Rp30.000.000,00 (tiga
puluh juta rupiah) apabila Bank tidak menyampaikan laporan
dan/atau pengumuman.
(3) Bank dinyatakan tidak menyampaikan laporan dan/atau
pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b apabila
Bank belum menyampaikan laporan dimaksud setelah 30 (tiga
puluh) hari sejak batas akhir penyampaian laporan dan/atau
pengumuman.
(4) Pengenaan sanksi teguran tertulis dan denda uang karena
dinyatakan tidak menyampaikan laporan dan/atau pelaksanaan
pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak
menghapus kewajiban bank untuk menyampaikan laporan
dan/atau pelaksanaan pengumuman.
(5) Dalam hal penyampaian laporan dan/atau pelaksanaan
pengumuman dilakukan secara gabungan maka apabila Bank
dikenakan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), sanksi
dimaksud dihitung per jumlah laporan dan/atau pengumuman
sebagaimana tercantum dalam laporan atau pengumuman
gabungan.
(6) Setiap pihak yang tidak menaati ketentuan Pasal 4 ayat (1) dan
Pasal 9 ayat (2) dapat dikenakan sanksi pidana sesuai dengan
Pasal 59 Undang-undang Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah.
Pasal II
1. Permohonan izin atau permohonan penegasan pembukaan,
pemindahan alamat, perubahan status, dan/atau penutupan jaringan
kantor yang diterima secara lengkap oleh Bank Indonesia sebelum
berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini ditindaklanjuti dengan
Peraturan…
- 37 -
Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/3/PBI/2009 tentang Bank Umum
Syariah.
2. Ketentuan Pasal 26 ayat (1) Peraturan Bank Indonesia Nomor
14/6/PBI/2012 tentang Uji Kemampuan dan Kepatutan (Fit and Proper
Test) Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah dicabut dan dinyatakan
tidak berlaku bagi Bank Umum Syariah.
3. Peraturan pelaksanaan dari Peraturan Bank Indonesia ini diatur lebih
lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
4. Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan
Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 24 Desember 2013
GUBERNUR BANK INDONESIA,
AGUS D.W. MARTOWARDOJO
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 24 Desember 2013
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
AMIR SYAMSUDIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2013 NOMOR 233
DPbS
PENJELASAN ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 15/13/PBI/2013
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 11/3/PBI/2009 TENTANG BANK UMUM SYARIAH
I. UMUM
Salah satu faktor penting dalam mewujudkan terciptanya industri
perbankan yang sehat, kuat, dan dipercaya masyarakat adalah
terciptanya pengelolaan kelembagaan bank secara profesional baik dalam
pemenuhan kebutuhan sumber daya manusia maupun dalam
perencanaan pembukaan, perubahan status, pemindahan alamat,
dan/atau penutupan kantor bank sehingga mampu mendukung
pertumbuhan usaha secara sehat.
Untuk mencapai maksud tersebut maka Bank perlu menerapkan
prinsip tata kelola yang baik (good corporate governance) guna memitigasi
berbagai risiko yang mungkin terjadi serta memastikan pemenuhan
terhadap ketentuan yang berlaku.
Disamping itu, dalam upaya untuk senantiasa meningkatkan
efektivitas dan efisiensi, maka dipandang perlu untuk memanfaatkan
perkembangan teknologi informasi sehingga laporan pengangkatan,
penggantian, atau pemberhentian Pejabat Eksekutif dan laporan
pelaksanaan pembukaan, perubahan status, pemindahan alamat,
dan/atau penutupan kantor Bank disampaikan secara online melalui
mekanisme laporan kantor pusat bank umum.
Kerjasama antara Bank dengan BUK yang memiliki hubungan
kepemilikan bertujuan untuk meningkatkan pelayanan kepada nasabah
bank agar terdapat penyetaraan layanan (leveraging) melalui penggunaan
infrastruktur BUK. Kerjasama ini akan mengoptimalkan sumber daya
industri perbankan nasional dan mendukung pengembangan perbankan
syariah.
II. PASAL …
- 2 -
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal I
Angka 1
Pasal 1
Cukup jelas.
Angka 2
Pasal 8
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Pelaksanaan uji kemampuan dan kepatutan (fit
and proper test) dilakukan sesuai dengan
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur
mengenai uji kemampuan dan kepatutan (fit and
proper test).
Ayat (3)
Hal-hal yang harus dipresentasikan antara lain tujuan
dan alasan pendirian Bank, sumber permodalan dan
kepemilikan, pangsa utama penghimpunan dana,
pangsa utama penyaluran dana, serta rencana
struktur dan personil organisasi.
Angka 3
Pasal 11
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)…
- 3 -
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Pelaksanaan uji kemampuan dan kepatutan (fit
and proper test) dilakukan sesuai dengan
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur
mengenai uji kemampuan dan kepatutan (fit and
proper test).
Ayat (3)
Cukup jelas.
Angka 4
Pasal 32
Ayat (1)
Permohonan untuk memperoleh persetujuan calon
anggota Dewan Komisaris diajukan paling kurang
oleh Presiden Direktur atau Direktur Utama kepada
Bank Indonesia. Permohonan untuk memperoleh
persetujuan calon anggota Direksi diajukan paling
kurang oleh Presiden Komisaris atau Komisaris
Utama kepada Bank Indonesia.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Angka 5 …
- 4 -
Angka 5
Pasal 38
Cukup jelas.
Angka 6
Pasal 40
Penelitian terhadap calon Pejabat Eksekutif yang dilakukan
oleh Bank mencakup antara lain meminta informasi,
referensi dari tempat kerja sebelumnya dan informasi
mengenai kredit atau pembiayaan macet.
Pasal 40A
Ayat (1)
Termasuk dalam pengertian pemberhentian adalah
pemberhentian Pejabat Eksekutif atas perintah Bank
Indonesia karena yang bersangkutan memiliki rekam
jejak negatif.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Huruf a
Pengertian “daftar tidak lulus” mengacu pada
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur
mengenai uji kemampuan dan kepatutan (fit and
proper test).
Huruf b
Pengertian “memiliki kredit atau pembiayaan
macet” mengacu pada ketentuan Bank Indonesia
yang mengatur mengenai uji kemampuan dan
kepatutan (fit and proper test).
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (5)…
- 5 -
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 40B
Cukup jelas.
Angka 7
Pasal 41A
Ayat (1)
Kantor Bank meliputi:
a. kantor Bank di dalam negeri antara lain berupa
kantor pusat, Kanwil, KC, KCP, KF, KK, dan KPK;
dan
b. kantor Bank di luar negeri berupa KC, kantor
perwakilan, dan jenis-jenis kantor lainnya.
Pencantuman rencana penutupan kantor Bank dalam
rencana bisnis Bank tidak termasuk penutupan
kantor Bank yang dilakukan karena pengenaan sanksi
dari Bank Indonesia.
Ayat (2)
Kajian ini merupakan pendukung rencana
pengembangan dan/atau perubahan jaringan kantor
yang tercantum dalam rencana bisnis Bank.
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Kondisi perekonomian nasional antara lain
perimbangan pembangunan daerah, perluasan
lapangan kerja, prioritas pengembangan sektor
ekonomi, perluasan akses keuangan bagi
masyarakat…
- 6 -
masyarakat berpenghasilan rendah dan produktif
(financial inclusion), dan keberpihakan kepada
kepentingan nasional.
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 41B
Cukup jelas.
Angka 8
Pasal 42
Cukup jelas.
Pasal 43
Ayat (1)
Dokumen pendukung yang disampaikan oleh Bank
antara lain hasil studi kelayakan pembukaan kantor.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 44
Cukup jelas.
Pasal 45
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)…
- 7 -
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “kantor lain” adalah kantor
dari bank lain atau perusahaan lain.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 46
Ayat (1)
Dokumen pendukung yang disampaikan oleh Bank
antara lain hasil studi kelayakan pembukaan kantor.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 47
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “kantor lain” adalah kantor
dari bank lain atau perusahaan lain.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 48
Ayat (1)
Dokumen pendukung yang disampaikan oleh Bank
antara lain hasil studi kelayakan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)…
- 8 -
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 49
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Kegiatan pemasaran yang dilakukan dalam rangka
promosi, tidak bersifat permanen, dan hanya menerima
setoran awal atau titipan kas sesuai persyaratan
setoran minimal pembukaan rekening tidak termasuk
dalam KPK sehingga tidak perlu dilaporkan kepada
Bank Indonesia.
Yang dimaksud dengan “tidak bersifat permanen”
adalah kegiatan pemasaran yang dilakukan dalam
jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari secara
berturut-turut. Apabila kegiatan pemasaran dilakukan
lebih dari 30 (tiga puluh) hari berturut-turut maka
kegiatan tersebut digolongkan sebagai KPK.
Contoh:
Dalam hal persyaratan setoran awal minimal dalam
pembukaan rekening tabungan adalah sebesar
Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah), maka setoran
awal yang boleh diterima Bank adalah sebesar
Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah). Apabila Bank
menerima setoran awal lebih besar dari Rp500.000,00
(lima ratus ribu rupiah) maka kegiatan tersebut tidak
dapat…
- 9 -
dapat digolongkan sebagai kegiatan pemasaran, tetapi
sebagai KPK.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 49A
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Kegiatan operasional yang dilakukan oleh KF
meliputi kegiatan penghimpunan dana dan/atau
penyaluran dana secara terbatas.
Contoh KF yang melakukan kegiatan operasional
antara lain financing center, card center, dan
penyaluran pembiayaan kepada nasabah Usaha
Mikro dan Kecil (UMK).
Huruf b
Contoh KF yang melakukan kegiatan non
operasional antara lain kantor perwakilan
pemasaran atau information technology center.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Yang dimaksud dengan “kantor lain” adalah kantor
dari bank lain atau perusahaan lain.
Pasal 49B
Cukup jelas
Pasal 49C
Cukup jelas.
Pasal 49D
Cukup jelas.
Pasal 50…
- 10 -
Pasal 50
Cukup jelas.
Pasal 51
Ayat (1)
Dokumen pendukung yang disampaikan oleh Bank
antara lain hasil studi kelayakan pembukaan kantor.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 52
Cukup jelas.
Angka 9
Pasal 52A
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
BUK memiliki hubungan kepemilikan dengan Bank
apabila:
a. BUK merupakan PSP Bank; atau
b. PSP BUK juga merupakan PSP Bank.
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Bank dapat menempatkan sumber daya manusia
yang berasal dari Bank dalam kegiatan LSB
terbatas pada kegiatan pemasaran.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e …
- 11 -
Huruf e
Perjanjian kerjasama paling kurang mencakup
tujuan dan ruang lingkup kerjasama, mekanisme
kerjasama, hak dan kewajiban para pihak,
kerahasiaan, pembebanan biaya, pelaporan,
tanggung jawab atas kerugian, evaluasi, jangka
waktu perjanjian, penyelesaian perselisihan, serta
analisis dan mitigasi risiko.
Ayat (4)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Perjanjian kerjasama paling kurang mencakup
tujuan dan ruang lingkup kerjasama, mekanisme
kerjasama, hak dan kewajiban para pihak,
kerahasiaan, pembebanan biaya, evaluasi, dan
jangka waktu perjanjian.
Pasal 52B
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Pencantuman logo iB dapat dilakukan antara lain
melalui papan nama dan/atau pada dinding atau kaca
depan…
- 12 -
depan jaringan kantor BUK agar mudah terlihat
dengan jelas oleh nasabah.
Pasal 52C
Cukup jelas.
Pasal 52D
Cukup jelas.
Pasal 52E
Ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
kegiatan usaha BUK antara lain ketentuan mengenai
penerapan manajemen risiko bagi bank umum dan
ketentuan mengenai kegiatan usaha dan jaringan kantor
berdasarkan modal inti.
Angka 10
Pasal 53
Ayat (1)
Peningkatan status KCP atau KK menjadi KC
dilakukan tanpa diikuti dengan penutupan KCP atau
KK.
Ayat (2)
Peningkatan status KK menjadi KCP dilakukan tanpa
diikuti dengan penutupan KK.
Pasal 54
Cukup jelas.
Pasal 54A
Ayat (1)
Perubahan status kantor dari KF menjadi KC
dilakukan tanpa diikuti dengan penutupan KF.
Ayat (2)
Perubahan status kantor dari KF menjadi KCP
dilakukan tanpa diikuti dengan penutupan KF.
Ayat (3)…
- 13 -
Ayat (3)
Perubahan status kantor dari KF menjadi KK
dilakukan tanpa diikuti dengan penutupan KF.
Ayat (4)
Perubahan status kantor dari KC menjadi KF
dilakukan tanpa diikuti dengan penutupan KC.
Ayat (5)
Perubahan status kantor dari KCP menjadi KF
dilakukan tanpa diikuti dengan penutupan KCP.
Angka 11
Pasal 55
Ayat (1)
Dalam hal pemindahan alamat kantor pusat ke lokasi
yang baru diikuti dengan pembukaan KC di lokasi
lama kantor pusat, maka pembukaan KC dimaksud
mengacu pada ketentuan pembukaan KC.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 56
Ayat 1
Dokumen pendukung yang disampaikan oleh Bank
antara lain hasil studi kelayakan pemindahan alamat
di tempat kedudukan yang baru.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 57…
- 14 -
Pasal 57
Cukup jelas.
Pasal 58
Cukup jelas.
Pasal 59
Cukup jelas.
Pasal 59A
Cukup jelas.
Angka 12
Pasal 59B
Ayat (1)
Apabila lokasi KC Bank yang berasal dari pemisahan
kantor pusat tersebut berada pada lokasi yang sama
dengan kantor pusat, KC dimaksud dapat disebut
dengan nama Kantor Cabang Utama (KCU).
Ayat (2)
Persetujuan Bank Indonesia memuat persetujuan
pemisahan kantor dan pemberian izin pembukaan KC
baru. Izin pembukaan KC dimaksud diberikan secara
otomatis karena kegiatan KC tersebut merupakan
konversi dari kegiatan operasional yang selama ini
telah dilakukan oleh kantor pusat Bank. Dengan
dikeluarkannya izin pembukaan KC baru tersebut
maka kantor pusat Bank tidak lagi melakukan
kegiatan operasional sebagaimana KC.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)…
- 15 -
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 59C
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Analisis kelayakan meliputi: alasan, rencana
lokasi kantor-kantor hasil pemisahan, dan
persiapan operasional kantor yang baru.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 59D
Cukup jelas.
Angka 13
Pasal 61
Ayat (1)
Ketentuan perundang-undangan yang berlaku antara
lain Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas dan
Undang-Undang tentang Perbankan Syariah.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)…
- 16 -
Ayat (5)
Cukup jelas.
Angka 14
Pasal 62
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Penyelesaian kewajiban KC kepada nasabah dan pihak
lainnya dapat dilakukan antara lain melalui pengalihan
seluruh kewajiban kepada kantor Bank lainnya dari
Bank tersebut atau pihak lain dengan persetujuan
nasabah atau pihak lainnya.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 63
Cukup jelas.
Pasal 64
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)…
- 17 -
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Dokumen penutupan antara lain dokumen terkait
penyelesaian kewajiban kepada nasabah dan pihak
lainnya.
Penyelesaian kewajiban tersebut dapat dilakukan
antara lain melalui pengalihan seluruh kewajiban
kepada kantor Bank atau pihak lain.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 64A
Cukup jelas.
Pasal 65
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Pengajuan permohonan izin kepada otoritas di negara
setempat dilakukan setelah adanya izin dari Bank
Indonesia.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Angka 15
Pasal 74
Cukup jelas.
Pasal 75…
- 18 -
Pasal 75
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Petunjuk dan dokumen operasional Bank dapat ditulis
dengan lebih dari 1 (satu) bahasa dimana salah
satunya adalah Bahasa Indonesia.
Pasal 75A
Cukup jelas.
Pasal 75B
Cukup jelas.
Pasal 75C
Arah kebijakan pembangunan ekonomi nasional antara lain
terkait dengan upaya pengembangan ekonomi daerah,
perluasan lapangan kerja, kesesuaian dengan prioritas
sektor pembangunan, perluasan akses keuangan bagi
masyarakat berpenghasilan rendah dan produktif (financial
inclusion), dan keberpihakan kepada kepentingan nasional.
Pasal 75D
Cukup jelas.
Angka 16
Pasal 76
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Laporan dinyatakan diterima oleh Bank Indonesia
apabila telah disampaikan secara lengkap dengan
memuat data, informasi dan/atau dokumen yang
dipersyaratkan sesuai jenis laporannya. Tanggal
penerimaan laporan oleh Bank Indonesia adalah
tanggal:
a. Stempel pos (time stamp), apabila laporan
dikirimkan melalui P.T. Pos Indonesia atau jasa
pengiriman lainnya; atau
b. Penerimaan…
b. Penerimaan…
- 19 -
b. Penerimaan laporan di kantor Bank Indonesia,
apabila laporan disampaikan secara langsung
kepada Bank Indonesia.
Huruf a
Jumlah sanksi kewajiban membayar dihitung
sebagai berikut:
Jumlah kewajiban membayar=jumlah hari
keterlambatan x Rp1.000.000,00 x jumlah laporan
atau pengumuman.
Huruf b
Jumlah sanksi kewajiban membayar dihitung
sebagai berikut:
Jumlah kewajiban membayar=Rp30.000.000,00 x
jumlah laporan atau pengumuman.
Bank yang dikenakan sanksi tidak menyampaikan
laporan atau pengumuman, tidak dikenakan
sanksi keterlambatan penyampaian laporan atau
pengumuman.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal II
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5476
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 15/13/PBI/2013 </reg_id>
<reg_title> PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 11/3/PBI/2009 TENTANG BANK UMUM SYARIAH </reg_title>
<set_date> 24 Desember 2013 </set_date>
<effective_date> 24 Desember 2013 </effective_date>
<issued_date> 24 Desember 2013 </issued_date>
<changed_reg> '11/3/PBI/2009' </changed_reg>
<replaced_reg> '14/6/PBI/2012 | Pasal 26 Ayat (1)' </replaced_reg>
<related_reg> '21/UU/2008', '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '40/UU/2007' </related_reg>
<penalty_list> 'Pasal I Angka 16 Pasal 76' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 16/16/PBI/2014
TENTANG
TRANSAKSI VALUTA ASING TERHADAP RUPIAH
ANTARA BANK DENGAN PIHAK DOMESTIK
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang :
a. bahwa tujuan Bank Indonesia adalah mencapai dan
memelihara kestabilan nilai Rupiah;
b. bahwa kestabilan nilai Rupiah yang salah satunya
dipengaruhi oleh kestabilan nilai tukar Rupiah
memerlukan dukungan pasar keuangan yang sehat
khususnya pasar valuta asing domestik untuk menjaga
kelangsungan kegiatan ekonomi nasional;
c. bahwa untuk menjaga kelangsungan kegiatan ekonomi
nasional dibutuhkan upaya pendalaman pasar valuta
asing domestik dengan memberikan fleksibilitas bagi
pelaku ekonomi dalam melakukan transaksi valuta
asing terhadap Rupiah;
d. bahwa peran Bank Indonesia diperlukan untuk
mendorong pendalaman pasar valuta asing melalui
pengaturan yang komprehensif, khususnya terkait
dengan transaksi valuta asing terhadap Rupiah yang
dilakukan antara bank dengan pihak domestik;
e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d,
perlu menetapkan Peraturan Bank Indonesia tentang
Transaksi Valuta Asing terhadap Rupiah antara Bank
dengan Pihak Domestik;
Mengingat …
- 2 -
Mengingat :
1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah
beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor
6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008
tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor
23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi
Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4962);
2. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu
Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 67, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3844);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG TRANSAKSI
VALUTA ASING TERHADAP RUPIAH ANTARA BANK
DENGAN PIHAK DOMESTIK.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 dan Bank Umum Syariah
serta Unit Usaha Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, termasuk kantor
cabang …
- 3 -
cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri namun tidak
termasuk kantor Bank Umum dan Bank Umum Syariah berbadan hukum
Indonesia yang beroperasi di luar negeri.
2. Nasabah adalah:
a. perorangan yang memiliki kewarganegaraan Indonesia; atau
b. badan usaha selain Bank yang berbadan hukum Indonesia,
berdomisili di Indonesia, dan memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak
(NPWP).
3. Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah adalah transaksi jual beli valuta
asing terhadap Rupiah dalam bentuk:
a. transaksi spot, termasuk transaksi yang dilakukan dengan valuta
today dan/atau valuta tomorrow;
b. transaksi derivatif valuta asing terhadap Rupiah yang standar (plain
vanilla) dalam bentuk forward, swap, option, dan transaksi lainnya
yang dapat dipersamakan dengan itu.
4. Underlying Transaksi adalah kegiatan yang mendasari pembelian atau
penjualan valuta asing terhadap Rupiah.
5. Transaksi Spot adalah transaksi jual atau beli antara valuta asing
terhadap Rupiah dengan penyerahan dananya dilakukan 2 (dua) hari kerja
setelah tanggal transaksi. Termasuk dalam pengertian Transaksi Spot
adalah transaksi dengan penyerahan valuta pada hari yang sama (today)
atau dengan penyerahan 1 (satu) hari kerja setelah tanggal transaksi
(tomorrow).
6. Transaksi Derivatif adalah transaksi yang didasari oleh suatu kontrak
atau perjanjian pembayaran yang nilainya merupakan turunan dari nilai
tukar dalam bentuk transaksi forward, swap, option valuta asing terhadap
Rupiah dan transaksi lainnya yang dapat dipersamakan dengan itu.
BAB …
- 4 -
BAB II
TRANSAKSI
Bagian Kesatu
Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah
Pasal 2
(1) Bank dapat melakukan Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah untuk
kepentingan sendiri maupun untuk kepentingan pihak domestik atas
dasar suatu kontrak.
(2) Dalam melakukan Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Bank wajib memiliki pedoman internal tertulis.
(3) Dalam melakukan Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah dengan
Nasabah, Bank wajib menggunakan kuotasi harga (kurs) valuta asing
terhadap Rupiah yang ditetapkan oleh Bank.
Pasal 3
(1) Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah yang dilakukan Bank dengan
Nasabah di atas jumlah tertentu (threshold) wajib memiliki Underlying
Transaksi.
(2) Underlying Transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi
seluruh kegiatan:
a. perdagangan barang dan jasa di dalam dan di luar negeri; dan/atau
b.
investasi berupa direct investment, portfolio investment, pinjaman,
modal, dan investasi lainnya di dalam dan di luar negeri.
(3) Underlying Transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
termasuk:
a. penempatan dana pada Bank antara lain berupa tabungan, giro,
deposito, dan Negotiable Certificate of Deposit (NCD); dan
b. kegiatan pengiriman uang oleh perusahaan transfer dana.
Bagian …
- 5 -
Bagian Kedua
Transaksi Spot antara Bank dengan Nasabah
Pasal 4
(1) Jumlah tertentu (threshold) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat
(1) untuk pembelian valuta asing terhadap Rupiah oleh Nasabah kepada
Bank melalui Transaksi Spot adalah USD100,000.00 (seratus ribu dolar
Amerika Serikat) per bulan per Nasabah atau ekuivalennya.
(2) Pembelian valuta asing terhadap Rupiah oleh Nasabah kepada Bank
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang melebihi nilai nominal
Underlying Transaksi.
(3) Dalam hal nilai nominal Underlying Transaksi sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) tidak dalam kelipatan USD10,000.00 (sepuluh ribu dolar
Amerika Serikat) maka terhadap nilai nominal Underlying Transaksi
dimaksud dapat dilakukan pembulatan ke atas dalam kelipatan
USD10,000.00 (sepuluh ribu dolar Amerika Serikat).
Bagian Ketiga
Transaksi Derivatif antara Bank dengan Nasabah
Pasal 5
(1) Jumlah tertentu (threshold) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat
(1) untuk pembelian valuta asing terhadap Rupiah oleh Nasabah kepada
Bank melalui Transaksi Derivatif adalah USD100,000.00 (seratus ribu
dolar Amerika Serikat) per bulan per Nasabah atau ekuivalennya.
(2) Jumlah tertentu (threshold) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat
(1) untuk penjualan valuta asing terhadap Rupiah oleh Nasabah kepada
Bank melalui transaksi forward atau option adalah USD1,000,000.00
(satu juta dolar Amerika Serikat) per transaksi per Nasabah atau
ekuivalennya.
(3) Pembelian dan penjualan valuta asing terhadap Rupiah oleh Nasabah
kepada Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilarang
melebihi nilai nominal Underlying Transaksi.
(4) Dalam …
- 6 -
(4) Dalam hal nilai nominal Underlying Transaksi sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) tidak dalam kelipatan USD10,000.00 (sepuluh ribu dolar
Amerika Serikat) maka terhadap nilai nominal Underlying Transaksi
dimaksud dapat dilakukan pembulatan ke atas dalam kelipatan
USD10,000.00 (sepuluh ribu dolar Amerika Serikat).
(5) Jangka waktu Transaksi Derivatif dilarang melebihi jangka waktu
Underlying Transaksi.
Pasal 6
(1) Kewajiban memiliki Underlying Transaksi untuk pembelian valuta asing
terhadap Rupiah oleh Nasabah kepada Bank melalui Transaksi Spot
dan/atau Transaksi Derivatif di atas USD100,000.00 (seratus ribu dolar
Amerika Serikat) per bulan per Nasabah atau ekuivalennya tidak berlaku
untuk penyelesaian Transaksi Derivatif awal yang dilakukan melalui:
a. perpanjangan transaksi (roll over) sepanjang jangka waktu
perpanjangan transaksi (roll over) paling lama sama dengan jangka
waktu Underlying Transaksi awal;
b. percepatan penyelesaian transaksi (early termination); atau
c. pengakhiran transaksi (unwind).
(2) Kewajiban memiliki Underlying Transaksi untuk penjualan valuta asing
terhadap Rupiah oleh Nasabah kepada Bank melalui transaksi forward
atau option di atas USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika Serikat) per
transaksi per Nasabah atau ekuivalennya tidak berlaku untuk
penyelesaian Transaksi Derivatif awal yang dilakukan melalui:
a. perpanjangan transaksi (roll over) sepanjang jangka waktu
perpanjangan transaksi (roll over) paling lama sama dengan jangka
waktu Underlying Transaksi awal;
b. percepatan penyelesaian transaksi (early termination); atau
c. pengakhiran transaksi (unwind).
Bagian …
- 7 -
Bagian Keempat
Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah Antar Bank
Pasal 7
Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah antar Bank tidak wajib memiliki
Underlying Transaksi.
BAB III
PENYELESAIAN TRANSAKSI
Pasal 8
(1) Penyelesaian Transaksi Spot antara Bank dengan Nasabah dan antar
Bank wajib dilakukan dengan pemindahan dana pokok secara penuh.
(2) Penyelesaian Transaksi Derivatif antara Bank dengan Nasabah dan antar
Bank dapat dilakukan secara netting atau dengan pemindahan dana
pokok secara penuh.
(3) Penyelesaian Transaksi Derivatif antara Bank dengan Nasabah dan antar
Bank yang dapat dilakukan secara netting sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) hanya berlaku untuk perpanjangan transaksi
percepatan penyelesaian transaksi (early termination), dan pengakhiran
transaksi (unwind).
Pasal 9
Penyelesaian Transaksi Valuta Asing terhadap Rupiah yang dilakukan
Pedagang Valuta Asing (PVA) dan travel agent untuk kepentingan nasabahnya
wajib diselesaikan dengan pemindahan dana pokok secara penuh.
Pasal 10
(1) Penyelesaian Transaksi Derivatif antara Bank dengan Nasabah secara
netting sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) untuk transaksi
pembelian valuta asing terhadap Rupiah paling banyak sebesar
USD100,000.00 (seratus ribu dolar Amerika Serikat) dapat dilakukan
sepanjang …
(roll over),
- 8 -
sepanjang didukung dengan Underlying Transaksi dari Transaksi
Derivatif awal.
(2) Penyelesaian Transaksi forward atau option antara Bank dengan Nasabah
secara netting sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) untuk
transaksi penjualan valuta asing terhadap Rupiah paling banyak sebesar
USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika Serikat) dapat dilakukan
sepanjang didukung dengan Underlying Transaksi dari Transaksi
Derivatif awal.
(3) Dalam hal pada saat penyelesaian Transaksi Valuta Asing Terhadap
Rupiah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) Nasabah tidak
dapat menyampaikan dokumen Underlying Transaksi maka penyelesaian
Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah dilakukan dengan pemindahan
dana pokok secara penuh.
BAB IV
DOKUMEN TRANSAKSI
Bagian Kesatu
Jenis Dokumen Underlying Transaksi
Pasal 11
(1) Jenis dokumen Underlying Transaksi ditetapkan oleh Bank Indonesia.
(2) Penetapan jenis dokumen sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur
lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 12
(1) Dalam hal Nasabah melakukan pembelian valuta asing terhadap Rupiah
kepada Bank di atas USD100,000.00 (seratus ribu dolar Amerika Serikat)
per bulan per Nasabah atau ekuivalennya sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 5 ayat (1), Bank wajib memastikan Nasabah
untuk menyampaikan dokumen sebagai berikut:
a. dokumen …
- 9 -
a. dokumen Underlying Transaksi yang dapat dipertanggungjawabkan
baik yang bersifat final maupun berupa perkiraan; dan
b. dokumen pendukung berupa:
1.
fotokopi dokumen identitas Nasabah dan fotokopi Nomor Pokok
Wajib Pajak (NPWP); dan
2. pernyataan tertulis bermaterai cukup yang ditandatangani oleh
pihak yang berwenang dari Nasabah atau pernyataan tertulis
yang authenticated dari Nasabah yang memuat informasi
mengenai:
a) keaslian dan kebenaran dokumen Underlying Transaksi
sebagaimana dimaksud pada huruf a, dan penggunaan
dokumen Underlying Transaksi untuk pembelian valuta
asing terhadap Rupiah paling banyak sebesar nominal
Underlying Transaksi dalam sistem perbankan di Indonesia;
dan
b) jumlah kebutuhan, tujuan penggunaan, dan tanggal
penggunaan valuta asing, dalam hal dokumen Underlying
Transaksi sebagaimana dimaksud pada huruf a berupa
perkiraan.
(2) Dalam hal Nasabah melakukan penjualan valuta asing terhadap Rupiah
kepada Bank melalui transaksi forward atau option di atas
USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika Serikat) per transaksi per
Nasabah atau ekuivalennya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat
(2), Bank wajib memastikan Nasabah menyampaikan dokumen sebagai
berikut:
a. dokumen Underlying Transaksi yang dapat dipertanggungjawabkan,
baik yang bersifat final maupun berupa perkiraan; dan
b. dokumen pendukung berupa pernyataan tertulis bermaterai cukup
yang ditandatangani oleh pihak yang berwenang dari Nasabah atau
pernyataan tertulis yang authenticated dari Nasabah yang memuat
informasi mengenai:
1. keaslian dan kebenaran dokumen Underlying Transaksi
sebagaimana dimaksud pada huruf a; dan
2. penggunaan …
- 10 -
2. penggunaan dokumen Underlying Transaksi untuk penjualan
valuta asing terhadap Rupiah paling banyak sebesar nominal
Underlying Transaksi dalam sistem perbankan di Indonesia;
3. sumber dana, jumlah penjualan, dan waktu penerimaan valuta
asing, dalam hal dokumen Underlying Transaksi sebagaimana
dimaksud pada huruf a berupa perkiraan.
(3) Dalam hal Nasabah melakukan pembelian valuta asing terhadap Rupiah
kepada Bank paling banyak sebesar USD100,000.00 (seratus ribu dolar
Amerika Serikat) per bulan per Nasabah atau ekuivalennya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 5 ayat (1), Bank wajib
memastikan Nasabah menyampaikan dokumen berupa pernyataan
tertulis bermaterai cukup atau pernyataan tertulis yang authenticated
dari Nasabah yang menyatakan bahwa pembelian valuta asing terhadap
Rupiah tidak lebih dari USD100,000.00 (seratus ribu dolar Amerika
Serikat) per bulan per Nasabah atau ekuivalennya dalam sistem
perbankan di Indonesia.
(4) Dalam hal Nasabah melakukan penjualan valuta asing terhadap Rupiah
kepada Bank melalui transaksi forward atau option paling banyak sebesar
USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika Serikat) per transaksi per
Nasabah atau ekuivalennya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat
(2), tidak ada kewajiban bagi Nasabah untuk menyampaikan dokumen.
(5) Dalam hal Nasabah melakukan penyelesaian transaksi secara netting
untuk Transaksi Derivatif pembelian valuta asing terhadap Rupiah paling
banyak sebesar USD100,000.00 (seratus ribu dolar Amerika Serikat)
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1), Bank wajib memastikan
Nasabah menyampaikan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(6) Dalam hal Nasabah melakukan penyelesaian transaksi secara netting
untuk transaksi penjualan valuta asing terhadap Rupiah melalui
transaksi forward atau option paling banyak sebesar USD1,000,000.00
(satu juta dolar Amerika Serikat) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10
ayat (2), Bank wajib memastikan Nasabah menyampaikan dokumen
sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
Bagian …
- 11 -
Bagian Kedua
Penyampaian Dokumen Underlying Transaksi
Pasal 13
(1) Bank memastikan Nasabah menyampaikan dokumen Underlying
Transaksi dan/atau dokumen pendukung Transaksi Valuta Asing
Terhadap Rupiah untuk setiap transaksi pada tanggal transaksi.
(2) Dalam hal Bank telah mengetahui track record Nasabah dengan baik, dan
Nasabah menyampaikan dokumen Underlying Transaksi yang bersifat
final, Bank dapat menerima dokumen pendukung Transaksi Valuta Asing
Terhadap Rupiah yang disampaikan oleh Nasabah secara berkala.
(3) Bank dapat menerima dokumen pendukung Transaksi Valuta Asing
Terhadap Rupiah yang disampaikan oleh Nasabah atas pembelian valuta
asing terhadap Rupiah paling banyak sebesar USD100,000.00 (seratus
ribu dolar Amerika Serikat) per bulan per Nasabah atau ekuivalennya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3) secara berkala.
(4) Dokumen Underlying Transaksi dan/atau dokumen pendukung
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk Transaksi Spot wajib diterima
oleh Bank paling lambat pada tanggal valuta.
(5) Dokumen Underlying Transaksi dan/atau dokumen pendukung
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk Transaksi Derivatif wajib
diterima oleh Bank paling lambat pada 5 (lima) hari kerja setelah tanggal
transaksi.
(6) Dalam hal Transaksi Derivatif sebagaimana dimaksud pada ayat (5)
memiliki jatuh waktu kurang dari 5 (lima) hari kerja setelah tanggal
transaksi maka dokumen Underlying Transaksi dan/atau dokumen
pendukung Transaksi Derivatif wajib diterima oleh Bank paling lambat
pada tanggal jatuh waktu.
(7) Penyampaian dokumen Underlying Transaksi dan dokumen pendukung
Transaksi Derivatif sampai dengan jumlah tertentu (threshold) yang akan
diselesaikan secara netting wajib diterima oleh Bank paling lambat:
a. pada tanggal valuta dalam hal perpanjangan transaksi (roll over),
percepatan penyelesaian transaksi (early termination), dan
pengakhiran transaksi (unwind) dilakukan melalui Transaksi Spot;
b. 5 …
- 12 -
b. 5 (lima) hari kerja setelah tanggal transaksi dalam hal perpanjangan
transaksi (roll over), percepatan penyelesaian transaksi (early
termination), dan pengakhiran transaksi (unwind) dilakukan melalui
Transaksi Derivatif; atau
c. pada tanggal jatuh waktu dalam hal perpanjangan transaksi (roll
over), percepatan penyelesaian transaksi (early termination), dan
pengakhiran transaksi (unwind) dilakukan melalui Transaksi
Derivatif yang memiliki jatuh waktu kurang dari 5 (lima) hari kerja
setelah tanggal transaksi.
Pasal 14
(1) Bank wajib menatausahakan dokumen Underlying Transaksi dan/atau
dokumen pendukung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1),
Pasal 12 ayat (2), dan Pasal 12 ayat (3).
(2) Penatausahaan dokumen Underlying Transaksi dan/atau dokumen
pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan bagian dari
pedoman internal tertulis Bank dalam melakukan Transaksi Valuta Asing
Terhadap Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2).
BAB V
PELAPORAN TRANSAKSI
Pasal 15
Dalam rangka pelaporan Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah, Bank
berpedoman kepada ketentuan yang mengatur mengenai laporan harian bank
umum.
BAB …
- 13 -
BAB VI
LARANGAN TRANSAKSI BAGI BANK
Pasal 16
(1) Bank dilarang melakukan Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah
apabila transaksi atau potensi transaksi tersebut terkait dengan
structured product.
(2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku bagi Bank
sebagai penerbit structured product maupun Bank sebagai agen penjual
(selling agent) structured product.
Pasal 17
(1) Bank dilarang memberikan Kredit atau Pembiayaan dalam valuta asing
dan/atau dalam Rupiah kepada Nasabah untuk kepentingan Transaksi
Derivatif.
(2) Larangan pemberian kredit atau pembiayaan dalam valuta asing
dan/atau dalam Rupiah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dikecualikan untuk Transaksi Derivatif yang dilakukan dalam rangka
kegiatan ekspor dan/atau impor.
(3) Pemberian Kredit atau Pembiayaan dalam valuta asing dan/atau dalam
Rupiah untuk Transaksi Derivatif yang dilakukan dalam rangka kegiatan
ekspor dan/atau impor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib
didukung dengan bukti dokumen yang dapat dipertanggungjawabkan.
Pasal 18
(1) Bank dilarang memberikan cerukan kepada Nasabah dalam rangka
Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah.
(2) Bank dilarang memberikan fasilitas lain yang dapat dipersamakan
dengan cerukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam rangka
Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah.
BAB …
- 14 -
BAB VII
SANKSI
Pasal 19
Bank yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat
(2), Pasal 2 ayat (3), Pasal 12 ayat (3), dan Pasal 14 ayat (1) dikenakan sanksi
administratif berupa teguran tertulis.
Pasal 20
(1) Bank yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
ayat (1), Pasal 4 ayat (2), Pasal 5 ayat (3), Pasal 5 ayat (5), Pasal 8 ayat (1),
Pasal 9, Pasal 12 ayat (1), Pasal 12 ayat (2), Pasal 12 ayat (5), Pasal 12
ayat (6), Pasal 13 ayat (4), Pasal 13 ayat (5), Pasal 13 ayat (6), Pasal 13
ayat (7), Pasal 16, Pasal 17, dan Pasal 18 dikenakan sanksi administratif
berupa teguran tertulis dan sanksi kewajiban membayar sebesar 1%
(satu persen) dari nilai nominal transaksi yang dilanggar untuk setiap
pelanggaran, dengan jumlah sanksi paling sedikit sebesar
Rp10.000.000,00 (sepuluh juta Rupiah) dan paling banyak sebesar
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar Rupiah).
(2) Perhitungan nilai nominal transaksi yang dilanggar sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur sebagai berikut:
a. selisih antara total nilai nominal Transaksi Valuta Asing Terhadap
Rupiah dengan threshold kewajiban pemenuhan Underlying
Transaksi; atau
b. total nilai nominal Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah yang
tidak didukung dengan Underlying Transaksi dalam hal nilai nominal
transaksi di bawah threshold tetapi dilakukan penyelesaian transaksi
secara netting.
(3) Perhitungan nilai nominal transaksi yang dilanggar untuk Pasal 17 dan
Pasal 18 diatur sebagai berikut:
a. pelanggaran terhadap larangan pemberian Kredit atau Pembiayaan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, dihitung dari nilai
persetujuan …
- 15 -
persetujuan Kredit atau Pembiayaan yang digunakan untuk Transaksi
Derivatif; dan
b. pelanggaran terhadap larangan pemberian cerukan dan/atau fasilitas
lain yang dapat dipersamakan dengan cerukan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 18, dihitung dari nilai cerukan dan/atau
fasilitas lain yang dapat dipersamakan dengan cerukan yang diberikan
Bank kepada Nasabah.
(4) Penghitungan sanksi kewajiban membayar sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) menggunakan kurs Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR)
pada tanggal terjadinya pelanggaran.
BAB VIII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 21
(1) Bank yang telah melakukan Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah
dengan pihak domestik sebelum berlakunya Peraturan Bank Indonesia
ini, tetap dapat meneruskan transaksi dimaksud sampai dengan jatuh
waktu transaksi.
(2) Transaksi Derivatif yang dilakukan sebelum berlakunya Peraturan Bank
Indonesia ini dan jatuh waktu setelah berlakunya Peraturan Bank
Indonesia ini, penyelesaiannya dapat dilakukan secara netting untuk:
a. perpanjangan transaksi (roll over), sepanjang jangka waktu
perpanjangan transaksi (roll over) paling lama sama dengan jangka
waktu Underlying Transaksi awal;
b. percepatan penyelesaian transaksi (early termination); atau
c. pengakhiran transaksi (unwind).
(3) Pengaturan penyelesaian transaksi secara netting sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) mengacu pada Peraturan Bank Indonesia ini.
(4) Nasabah yang telah melakukan penjualan valuta asing terhadap Rupiah
melalui transaksi forward atau option di atas USD1,000,000.00 (satu juta
dolar Amerika Serikat) yang dilakukan sebelum berlakunya Peraturan
Bank Indonesia ini dan jatuh waktu setelah berlakunya Peraturan Bank
Indonesia …
- 16 -
Indonesia ini, tidak wajib menyampaikan dokumen Underlying Transaksi
dan dokumen pendukung.
(5) Penyampaian dokumen Underlying Transaksi dan/atau dokumen
pendukung untuk Transaksi Derivatif yang dilakukan sebelum
berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini dan jatuh waktu setelah
berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini, dapat disampaikan paling
lambat pada tanggal jatuh waktu transaksi dimaksud.
BAB IX
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 22
Peraturan pelaksanaan Peraturan Bank Indonesia ini diatur lebih lanjut dalam
Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 23
Pada saat Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku:
a. Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/28/PBI/2008 tentang Pembelian
Valuta Asing Terhadap Rupiah Kepada Bank (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 172, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4921);
b. Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/37/PBI/2008 tentang Transaksi
Valuta Asing Terhadap Rupiah (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2008 Nomor 198, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4945); dan
c. Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/14/PBI/2009 tentang Perubahan
Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/37/PBI/2008 tentang
Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5003);
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal …
- 17 -
Pasal 24
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 10 November 2014.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 17 September 2014
GUBERNUR BANK INDONESIA,
AGUS D. W. MARTOWARDOJO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 17 September 2014
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
AMIR SYAMSUDIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2014 NOMOR 212
DPM
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 16/16/PBI/2014
TENTANG
TRANSAKSI VALUTA ASING TERHADAP RUPIAH ANTARA
BANK DENGAN PIHAK DOMESTIK
I. UMUM
Sebagai bank sentral yang diamanatkan undang-undang untuk
mengemban tujuan mencapai dan memelihara kestabilan nilai Rupiah,
Bank Indonesia merumuskan berbagai kebijakan yang ditujukan bagi
pencapaian tujuan tersebut termasuk upaya untuk mendorong
pendalaman pasar keuangan khususnya pasar valuta asing domestik.
Pendalaman pasar valuta asing domestik merupakan suatu langkah yang
perlu dilakukan melalui pemberian panduan transaksi yang lebih jelas dan
fleksibilitas bagi pelaku ekonomi dalam melakukan transaksi valuta asing
untuk mendukung kegiatan ekonomi nasional. Sehubungan dengan itu,
Bank Indonesia perlu melakukan penyempurnaan terhadap ketentuan
terkait dengan Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah Antara Bank
dengan Pihak Domestik, melalui pengaturan yang komprehensif untuk
meminimalkan Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah yang bersifat
spekulatif dan dengan tetap mendukung kelancaran aktivitas di sektor riil.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Ayat (1)
Pihak domestik meliputi Nasabah dan Bank.
Yang dimaksud dengan “kontrak” adalah konfirmasi tertulis
yang menunjukkan terjadinya transaksi yang antara lain
berupa …
- 2 -
berupa dealing conversation, SWIFT, atau konfirmasi tertulis
lainnya.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “kuotasi harga (kurs) valuta asing
terhadap Rupiah” adalah harga (kurs) beli dan/atau harga
(kurs) jual valuta asing terhadap Rupiah yang ditetapkan oleh
Bank dan menjadi dasar kesepakatan untuk melakukan
transaksi.
Pasal 3
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Perdagangan barang dan jasa di dalam dan di luar negeri
antara lain berupa kegiatan usaha pedagang valuta asing.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “direct investment” adalah investasi
langsung Nasabah ke luar negeri.
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Dalam hal perusahaan transfer dana menerima perintah
nasabahnya untuk melakukan pembelian valuta asing
untuk memenuhi kebutuhan transfer nasabahnya,
perintah nasabah dimaksud tidak dapat menjadi
Underlying Transaksi.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal …
- 3 -
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “pemindahan dana pokok secara penuh”
untuk Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah adalah
penyerahan dana secara riil untuk masing-masing transaksi
jual dan/atau transaksi beli valuta asing terhadap Rupiah
sebesar nilai penuh nominal transaksi atau ekuivalennya.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan ”dokumen Underlying Transaksi
yang bersifat final” adalah dokumen yang tidak akan
mengalami perubahan dalam hal jumlah dan/atau waktu
pemenuhan kebutuhannya.
Huruf b
Angka 1
Cukup jelas.
Angka 2
Dalam …
- 4 -
Dalam hal Nasabah merupakan badan usaha
selain Bank, yang dimaksud dengan “pihak yang
berwenang” adalah pejabat yang mewakili badan
usaha berdasarkan anggaran dasarnya atau
pejabat yang ditunjuk dengan menggunakan
surat kuasa.
Dalam hal Nasabah merupakan perorangan, yang
dimaksud dengan ”pihak yang berwenang” adalah
dirinya sendiri atau pihak yang diberi kuasa.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan ”dokumen Underlying Transaksi
yang bersifat final” adalah dokumen yang tidak akan
mengalami perubahan dalam hal jumlah dan/atau waktu
pemenuhan kebutuhannya.
Huruf b
Dalam hal Nasabah merupakan badan usaha selain Bank,
yang dimaksud dengan “pihak yang berwenang” adalah
pejabat yang mewakili badan usaha berdasarkan anggaran
dasarnya atau pejabat yang ditunjuk dengan menggunakan
surat kuasa.
Dalam hal Nasabah merupakan perorangan, yang
dimaksud dengan ”pihak yang berwenang” adalah dirinya
sendiri atau pihak yang diberi kuasa.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan ”pernyataan yang authenticated” adalah
pernyataan yang telah diverifikasi atau dibuktikan
kebenarannya secara sistem.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup …
- 5 -
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “structured product” adalah produk yang
dikeluarkan oleh Bank yang merupakan kombinasi berbagai
instrumen dengan Transaksi Derivatif valuta asing terhadap
Rupiah, untuk tujuan mendapatkan tambahan income (return
enhancement) yang dapat mendorong Transaksi Valuta Asing
Terhadap Rupiah untuk tujuan spekulatif dan dapat
menimbulkan ketidakstabilan nilai Rupiah.
Ayat (2)
Termasuk Bank sebagai agen penjual structured product luar
negeri (offshore product) yang terkait dengan valuta asing
terhadap Rupiah.
Pasal 17
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “Kredit atau Pembiayaan” adalah
penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan
dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam
meminjam antara Bank dengan pihak lain yang mewajibkan
pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka
waktu tertentu dengan pemberian bunga atau imbalan,
termasuk pengambilalihan tagihan dalam rangka kegiatan
anjak piutang dan pengambilalihan atau pembelian kredit dari
pihak lain.
Ayat …
- 6 -
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “kegiatan ekspor dan/atau impor”
adalah:
a. mengirimkan barang dan/atau jasa ke luar wilayah
Indonesia (ekspor);
b. memasukkan barang dan/atau jasa ke dalam wilayah
Indonesia (impor); dan/atau
c. kegiatan perdagangan dalam negeri terkait dengan huruf a
dan huruf b tersebut diatas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 18
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “cerukan” adalah saldo negatif pada
rekening giro Nasabah yang tidak dapat dibayar lunas pada
akhir hari.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5581
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 16/16/PBI/2014 </reg_id>
<reg_title> TRANSAKSI VALUTA ASING TERHADAP RUPIAH ANTARA BANK DENGAN PIHAK DOMESTIK </reg_title>
<set_date> 17 September 2014 </set_date>
<effective_date> 10 November 2014 </effective_date>
<issued_date> 17 September 2014 </issued_date>
<replaced_reg> '10/28/PBI/2008', '11/14/PBI/2009', '10/37/PBI/2008' </replaced_reg>
<related_reg> '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '24/UU/1999' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB VII' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 18/37/PBI/2016
TENTANG
PENGELUARAN UANG RUPIAH KERTAS BERSAMBUNG
PECAHAN 2.000 (DUA RIBU)
TAHUN EMISI 2016
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa untuk menandai suatu era baru dalam
pengeluaran seluruh pecahan uang Rupiah kertas
sebagai mata uang Negara Kesatuan Republik Indonesia
sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 7 Tahun
2011 tentang Mata Uang maka perlu dikeluarkan uang
Rupiah kertas khusus dalam bentuk bersambung;
b. bahwa pengeluaran uang Rupiah kertas khusus dalam
bentuk bersambung, juga dilakukan sebagai bagian dari
upaya Bank Indonesia untuk mengembangkan kegiatan
numismatika;
c. bahwa uang Rupiah kertas khusus dalam bentuk
bersambung merupakan alat pembayaran yang sah di
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia;
d. bahwa
berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu
menetapkan Peraturan Bank Indonesia
tentang
- 2 -
Pengeluaran Uang Rupiah Kertas Bersambung Pecahan
2.000 (Dua Ribu) Tahun Emisi 2016;
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3843), sebagaimana telah diubah
beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6
Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun
1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4962);
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata
Uang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011
Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5223);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PENGELUARAN
UANG RUPIAH KERTAS BERSAMBUNG PECAHAN 2.000 (DUA
RIBU) TAHUN EMISI 2016.
Pasal 1
Bank Indonesia mengeluarkan uang Rupiah khusus pecahan
2.000 (dua ribu) tahun emisi 2016 sebagai alat pembayaran
yang sah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pasal 2
Macam uang Rupiah khusus sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 1 merupakan uang Rupiah kertas khusus yang memiliki
ciri tertentu.
- 3 -
Pasal 3
(1) Uang Rupiah kertas khusus sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 berbentuk uang Rupiah kertas
bersambung yang meliputi:
a. 1 (satu) lembaran yang memuat 2 (dua) lembar
(bilyet);
b. 1 (satu) lembaran yang memuat 4 (empat) lembar
(bilyet); dan
c. 1 (satu) lembaran yang memuat 50 (lima puluh)
lembar (bilyet),
yang masing-masing lembaran merupakan satu
kesatuan.
(2) Bentuk lembaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
adalah persegi panjang dengan ukuran sebagai berikut:
a. panjang 141 (seratus empat puluh satu) milimeter
dan lebar 130 (seratus tiga puluh) milimeter untuk
lembaran yang memuat 2 (dua) lembar (bilyet);
b. panjang 282 (dua ratus delapan puluh dua) dan
lebar 130 (seratus tiga puluh) milimeter untuk
lembaran yang memuat 4 (empat) lembar (bilyet);
dan
c. panjang 705 (tujuh ratus lima) milimeter dan lebar
650 (enam ratus lima puluh) milimeter untuk
lembaran yang memuat 50 (lima puluh) lembar
(bilyet).
Pasal 4
(1) Harga setiap lembar (bilyet) uang Rupiah dalam lembaran
uang Rupiah kertas khusus sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 ayat (1) merupakan nilai nominal pada
pecahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 yaitu
sebesar Rp2.000,00 (dua ribu rupiah).
(2) Dalam hal uang Rupiah kertas khusus digunakan
sebagai alat transaksi maka harga setiap lembar (bilyet)
sebesar nilai nominal sebagaimana dimaksud pada
ayat (1).
- 4 -
Pasal 5
Ciri tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 yang
terdapat pada bagian depan dan bagian belakang setiap
lembar (bilyet) dari uang Rupiah kertas bersambung
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) meliputi:
a. ciri umum; dan
b. ciri khusus.
Pasal 6
(1) Ciri umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
huruf a, pada bagian depan terdapat:
a. gambar lambang negara “Garuda Pancasila”;
b. frasa “NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA”;
c. sebutan pecahan dalam angka “2000” dan tulisan
“DUA RIBU RUPIAH”;
d. tanda tangan Gubernur Bank Indonesia beserta
tulisan “GUBERNUR” dan tanda tangan Menteri
Keuangan Republik Indonesia beserta tulisan
“MENTERI KEUANGAN”;
e. tulisan tahun emisi yaitu “EMISI 2016”;
f. gambar utama yaitu Pahlawan Nasional Mohammad
Hoesni Thamrin beserta tulisan “MOHAMMAD
HOESNI THAMRIN”;
g. gambar ornamen batik; dan
h. gambar lingkaran-lingkaran kecil.
(2) Ciri khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
huruf b, pada bagian depan yang berupa desain dan
teknik cetak, terdapat:
a. warna dominan abu-abu;
b.
hasil cetak yang terasa kasar apabila diraba pada
ciri umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a, huruf b, huruf c, huruf e, dan huruf f;
c. gambar saling isi (rectoverso) dari logo Bank
Indonesia yang dapat dilihat secara utuh apabila
diterawangkan ke arah cahaya;
- 5 -
d. gambar tersembunyi (latent image) berupa tulisan
“BI” dan angka “2” yang dapat dilihat dari sudut
pandang tertentu;
e. kode tuna netra (blind code) berupa efek rabaan
(tactile);
f. gambar raster berupa tulisan “BI” yang tertulis utuh
dan/atau sebagian;
g. mikroteks yang memuat tulisan “BI2”, tulisan
“BI2000”, dan angka “2”, yang dapat dilihat dengan
bantuan kaca pembesar; dan
h. hasil cetak yang akan memendar apabila dilihat
dengan sinar ultraviolet berupa:
1. 2 (dua) bidang persegi empat yang salah
satunya berisi tulisan “BI”;
2. angka nominal “2000”;
3. ornamen batik; dan
4. gambar wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Pasal 7
(1) Ciri umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
huruf a, pada bagian belakang terdapat:
a. angka nominal “2000”;
b. nomor seri dengan bentuk asimetris yang meliputi
3 (tiga) huruf dan 6 (enam) angka;
c. teks “DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA,
NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA
MENGELUARKAN RUPIAH SEBAGAI ALAT
PEMBAYARAN YANG SAH DENGAN NILAI DUA RIBU
RUPIAH”;
d. tulisan tahun cetak “TC 2016”;
e. gambar utama yaitu tari piring beserta tulisan “TARI
PIRING”, pemandangan alam Ngarai Sianok beserta
tulisan “Ngarai Sianok”, dan bunga jeumpa;
f. tulisan “BANK INDONESIA”;
g. gambar ornamen batik;
- 6 -
h. gambar lingkaran-lingkaran kecil; dan
i.
tulisan “PERURI”.
(2) Ciri khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
huruf b, pada bagian belakang yang berupa desain dan
teknik cetak, terdapat:
a. warna dominan abu-abu;
b. gambar saling isi (rectoverso) dari logo Bank
Indonesia yang dapat dilihat secara utuh apabila
diterawangkan ke arah cahaya;
c. gambar raster berupa tulisan “NKRI” dan angka
“2000”;
d. mikroteks yang memuat tulisan “BI2000” dan angka
“2000”, yang dapat dilihat dengan bantuan kaca
pembesar; dan
e.
hasil cetak yang akan memendar apabila dilihat
dengan sinar ultraviolet berupa:
1. gambar bunga jeumpa;
2. gambar sebagian pemandangan alam Ngarai
Sianok; dan
3. nomor seri dengan bentuk asimetris yang
meliputi 3 (tiga) huruf dan 6 (enam) angka.
Pasal 8
Selain ciri khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6
ayat (2) dan Pasal 7 ayat (2), uang Rupiah memiliki ciri
khusus sebagai berikut:
a. bahan berupa kertas uang yang memiliki spesifikasi:
1. terbuat dari serat kapas;
2. berwarna abu-abu;
3. tidak memendar dengan sinar ultraviolet;
4. terdapat tanda air (watermark) berupa gambar
Pahlawan Nasional Pangeran Antasari; dan
5. terdapat benang pengaman yang memuat tulisan “BI
2000” secara berulang, yang akan memendar apabila
dilihat dengan sinar ultraviolet; dan
b. ukuran yaitu panjang 141 (seratus empat puluh satu)
milimeter dan lebar 65 (enam puluh lima) milimeter.
- 7 -
Pasal 9
Uang Rupiah kertas khusus sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 ayat (1) dikeluarkan paling banyak:
a. 10.000 (sepuluh ribu) lembaran yang masing-masing
memuat 2 (dua) lembar (bilyet);
b. 10.000 (sepuluh ribu) lembaran yang masing-masing
memuat 4 (empat) lembar (bilyet); dan
c. 100 (seratus) lembaran yang masing-masing memuat
50 (lima puluh) lembar (bilyet).
Pasal 10
Harga jual lembaran uang Rupiah kertas khusus sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Pasal 11
Setiap lembaran uang Rupiah kertas khusus sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 dilengkapi dengan sertifikat keaslian
dari Bank Indonesia.
Pasal 12
(1) Pengedaran uang Rupiah kertas khusus sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 dilakukan dengan cara menjual
secara langsung atau secara lelang kepada masyarakat.
(2) Penjualan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan oleh Bank Indonesia atau pihak lain yang
ditunjuk oleh Bank Indonesia.
Pasal 13
(1) Uang Rupiah kertas khusus sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 dapat ditukarkan kepada Bank Indonesia
atau pihak lain yang ditunjuk oleh Bank Indonesia.
(2) Penukaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diberikan penggantian untuk masing-masing lembar
(bilyet) dalam bentuk uang Rupiah lainnya yang bukan
uang Rupiah khusus.
- 8 -
(3) Besarnya nilai penggantian sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang
mengatur mengenai penukaran uang Rupiah.
Pasal 14
Uang Rupiah khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1
mulai berlaku dan diedarkan pada tanggal 19 Desember 2016.
Pasal 15
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
- 9 -
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 26 Oktober 2016
GUBERNUR BANK INDONESIA,
AGUS D. W. MARTOWARDOJO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 28 Oktober 2016
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 221
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 18/37/PBI/2016 </reg_id>
<reg_title> PENGELUARAN UANG RUPIAH KERTAS BERSAMBUNG PECAHAN 2.000 (DUA RIBU) TAHUN EMISI 2016 </reg_title>
<set_date> 26 Oktober 2016 </set_date>
<effective_date> 28 Oktober 2016 </effective_date>
<issued_date> 28 Oktober 2016 </issued_date>
<related_reg> '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '6/UU/2009', '7/UU/2011' </related_reg>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 6/15/PBI/2004
TENTANG
GIRO WAJIB MINIMUM BANK UMUM PADA BANK INDONESIA
DALAM RUPIAH DAN VALUTA ASING
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang:
a. bahwa kondisi perekonomian nasional yang stabil perlu
tetap dijaga antara lain melalui stabilitas moneter;
b. bahwa stabilitas moneter dapat dicapai melalui
pengendalian uang beredar yang antara lain dilakukan
melalui pengaturan likuiditas
penetapan giro wajib minimum;
perbankan
kondisi
termasuk
c. bahwa pengaturan mengenai giro wajib minimum yang
berlaku perlu disesuaikan dengan
perbankan dari waktu ke waktu;
likuiditas
d. bahwa sehubungan dengan itu dipandang perlu untuk
mengatur kembali ketentuan mengenai giro wajib minimum
pada Bank Indonesia dalam rupiah dan valuta asing dalam
suatu Peraturan Bank Indonesia;
Mengingat:
1. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992
Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3472)
sebagaimana telah diubah
dengan
Undang-undang
Nomor …
- 2 -
Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3790);
2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3843) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang
Nomor 3 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 4357);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG GIRO WAJIB
MINIMUM BANK UMUM PADA BANK INDONESIA
DALAM RUPIAH DAN VALUTA ASING BANK UMUM.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998, termasuk kantor cabang bank
asing, yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional;
2. Bank …
- 3 -
2. Bank Devisa adalah Bank yang memperoleh surat penunjukan dari Bank
Indonesia untuk dapat melakukan kegiatan usaha perbankan dalam valuta
asing;
3. Dana Pihak Ketiga Bank, untuk selanjutnya disebut DPK, adalah kewajiban
Bank kepada penduduk dan bukan penduduk dalam rupiah dan valuta asing;
4. Giro Wajib Minimum (statutory reserve), atau yang untuk selanjutnya
disebut GWM, adalah simpanan minimum yang harus dipelihara oleh Bank
dalam bentuk saldo rekening giro pada Bank Indonesia yang besarnya
ditetapkan oleh Bank Indonesia sebesar persentase tertentu dari DPK;
5. Rekening Giro adalah rekening pihak eksternal tertentu di Bank Indonesia
yang merupakan sarana bagi penatausahaan transaksi dari simpanan yang
penarikannya dapat dilakukan setiap saat;
6. Rekening Giro dalam Rupiah, yang untuk selanjutnya disebut Rekening
Giro Rupiah, adalah Rekening Giro dalam mata uang rupiah yang
penarikannya dapat dilakukan dengan menggunakan cek Bank Indonesia,
bilyet giro Bank Indonesia, atau sarana lainnya sebagaimana dimaksud
dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku tentang Hubungan Rekening
Giro Antara Bank Indonesia Dengan Pihak Ekstern;
7. Rekening Giro dalam valuta asing,
yang
untuk
selanjutnya
disebut
Rekening Giro Valas, adalah Rekening Giro dalam valuta asing yang
penarikannya dapat dilakukan dengan cara pemindahbukuan atau sarana
lainnya sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang
berlaku tentang Hubungan Rekening Giro Antara Bank Indonesia Dengan
Pihak Ekstern;
8. Pasar Uang Antar Bank, yang untuk selanjutnya disebut PUAB, adalah
kegiatan pinjam meminjam antara satu Bank dengan Bank lainnya;
9. Pusat …
- 4 -
9. Pusat Informasi Pasar Uang, yang untuk selanjutnya disebut PIPU, adalah
suatu sistem otomasi yang menyediakan informasi yang meliputi namun
tidak terbatas pada pasar uang rupiah dan valuta asing serta informasi
lainnya yang terkait dengan pasar keuangan bagi anggota, pelanggan, dan
Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia
yang berlaku tentang Pusat Informasi Pasar Uang;
10. Suku Bunga PUAB adalah rata-rata tertimbang suku bunga yang terjadi di
PUAB pagi dan sore pada hari pelanggaran GWM terjadi, yang tercatat
pada PIPU;
11. Jakarta Interbank Offered Rate, yang untuk selanjutnya disebut JIBOR,
adalah suku
bunga antar bank untuk
berbagai
ditawarkan oleh bank-bank tertentu di Jakarta.
Pasal 2
(1) Bank wajib memelihara GWM dalam rupiah.
(2) Bank Devisa selain wajib memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) juga wajib memelihara GWM dalam valuta asing.
Pasal 3
(1) GWM dalam rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1)
ditetapkan sebesar 5% (lima perseratus) dari DPK dalam rupiah.
(2) Selain memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) bagi:
a.
Bank
yang memiliki DPK dalam rupiah lebih besar
dari
Rpl.000.000.000.000,00 (satu triliun rupiah) sampai dengan
Rp10.000.000.000.000,00 (sepuluh triliun rupiah), wajib memelihara
tambahan …
jangka waktu
yang
- 5 -
tambahan GWM dalam rupiah sebesar 1% (satu perseratus) dari DPK
dalam rupiah;
b.
Bank
yang memiliki DPK dalam rupiah lebih besar
dari
Rp10.000.000.000.000,00 (sepuluh triliun rupiah) sampai dengan
Rp50.000.000.000.000,00 (lima puluh triliun rupiah), wajib memelihara
tambahan GWM dalam rupiah sebesar 2% (dua perseratus) dari DPK
dalam rupiah;
c.
Bank
yang memiliki DPK dalam rupiah lebih besar
dari
(3)
Bank
Rp50.000.000.000.000,00 (lima puluh triliun rupiah), wajib memelihara
tambahan GWM dalam rupiah sebesar 3% (tiga perseratus) dari DPK
dalam rupiah.
yang
memiliki DPK dalam
rupiah sampai dengan
Rpl.000.000.000.000,00 (satu triliun rupiah) tidak dikenakan kewajiban
tambahan GWM sebagaimana dimaksud dalam ayat (2).
Pasal 4
GWM dalam valuta asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2)
ditetapkan sebesar 3% (tiga perseratus) dari DPK dalam valuta asing.
Pasal 5
Persentase GWM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2)
serta Pasal 4 dapat disesuaikan dari waktu ke waktu dengan mempertimbangkan
kondisi perekonomian dan arah kebijakan Bank Indonesia.
BAB II …
- 6 -
BAB II
REKENING GIRO BANK PADA BANK INDONESIA
Pasal 6
(1) Setiap Bank wajib memelihara Rekening Giro Rupiah pada Bank Indonesia.
(2) Bank Devisa selain wajib memelihara Rekening Giro Rupiah sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) juga wajib memelihara Rekening Giro Valas pada
Bank Indonesia.
(3) Tata cara pembukaan, penyetoran, penarikan dan penutupan Rekening Giro
Rupiah dan Rekening Giro Valas Bank sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) dan ayat (2), ditetapkan berdasarkan ketentuan Bank Indonesia yang
berlaku tentang Hubungan Rekening Giro Antara Bank Indonesia Dengan
Pihak Ekstern.
BAB III
TATA CARA PEMELIHARAAN DAN PERHITUNGAN
GIRO WAJIB MINIMUM
Pasal 7
(1) Bank wajib memelihara GWM secara harian.
(2) Kewajiban pemeliharaan GWM sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan
pemenuhan persentase GWM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1)
dan ayat (2) serta Pasal 4 dihitung dengan membandingkan jumlah saldo
Rekening Giro Bank pada Bank Indonesia setiap hari dalam satu masa
laporan terhadap rata-rata harian jumlah DPK dalam satu masa laporan pada
dua masa laporan sebelumnya.
(3) Informasi …
- 7 -
(3) Informasi mengenai DPK sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diperoleh
dari data DPK yang disampaikan Bank kepada Bank Indonesia, sesuai
dengan ketentuan Bank Indonesia tentang Laporan Berkala Bank Umum.
(4)
Informasi mengenai saldo Rekening Giro Bank pada Bank Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diperoleh dari sistem akunting Bank
Indonesia.
(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) berlaku untuk GWM
dalam rupiah dan GWM dalam valuta asing.
Pasal 8
Saldo Rekening Giro Bank pada Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7 ayat (2) masing-masing terdiri dari:
a. saldo Rekening Giro Rupiah Bank pada Bank Indonesia;
b. saldo Rekening Giro Valas Bank pada Bank Indonesia.
Pasal 9
(1) DPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) terdiri dari:
a. jumlah DPK dalam rupiah pada seluruh kantor Bank di Indonesia;
b. jumlah DPK dalam valuta asing pada seluruh kantor Bank di Indonesia.
(2) DPK dalam rupiah meliputi kewajiban dalam rupiah kepada pihak ketiga
bukan bank, baik kepada penduduk maupun bukan penduduk, yang terdiri
dari:
a. giro;
b. simpanan berjangka;
c. tabungan; dan
d. kewajiban-kewajiban lainnya.
(3) DPK …
- 8 -
(3) DPK dalam valuta asing meliputi kewajiban dalam valuta asing kepada
pihak ketiga, termasuk bank di Indonesia, baik kepada penduduk maupun
bukan penduduk, yang terdiri dari:
a. giro;
b. simpanan berjangka; dan
c. kewajiban-kewajiban lainnya.
BAB IV
PELAPORAN
Pasal 10
Bank wajib menyampaikan laporan mengenai DPK dan
pos-pos
neraca
mingguan, dalam rupiah dan valuta asing, secara berkala kepada Bank Indonesia
sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia tentang Laporan Berkala
Bank Umum.
BAB V
JASA GIRO
Pasal 11
(1) Bank Indonesia memberikan jasa giro setiap hari kerja terhadap bagian
saldo Rekening Giro Rupiah Bank yang diperuntukkan untuk pemenuhan
kewajiban tambahan GWM dalam rupiah sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 ayat (2) huruf a, huruf b, atau huruf c, sebesar 3% (tiga perseratus)
per-tahun.
(2) Kebijakan pemberian jasa giro dan atau persentase jasa giro sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dapat disesuaikan dari waktu ke waktu dengan
mempertimbangkan kondisi perekonomian dan arah kebijakan
Indonesia.
Pasal 12 …
Bank
- 9 -
Pasal 12
Pemberian jasa giro sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 tidak berlaku bagi:
a. bagian saldo Rekening Giro Rupiah Bank untuk pemenuhan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1);
b. bagian saldo Rekening Giro Rupiah Bank yang melebihi kewajiban GWM,
bagi Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3);
c. bagian saldo Rekening Giro Rupiah Bank yang melebihi kewajiban tambahan
GWM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf a, huruf b, atau
huruf c;
d. bagian saldo Rekening Giro Rupiah Bank yang merupakan kewajiban
tambahan pemeliharaan GWM dalam rupiah yang tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf a, huruf b, atau huruf c.
BAB VI
SANKSI
Pasal 13
Bank dinyatakan melanggar GWM apabila saldo harian Rekening Giro Bank
pada Bank Indonesia lebih kecil dari saldo harian Rekening Giro Bank yang
wajib dipelihara untuk pemenuhan GWM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
ayat (1) dan ayat (2), dan Pasal 4.
Pasal 14
(1) Dalam hal terjadi pelanggaran GWM dalam rupiah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 13 dan Rekening Giro Rupiah Bank dimaksud bersaldo positif,
maka Bank dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar 125% (seratus
dua …
- 10 -
dua puluh lima perseratus) dari rata-rata suku bunga jangka waktu 1 (satu)
hari overnight dari JIBOR pada hari terjadinya pelanggaran, terhadap
kekurangan GWM dalam rupiah, untuk setiap hari pelanggaran.
(2) Dalam hal terjadi pelanggaran GWM dalam rupiah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 13 dan Rekening Giro Rupiah Bank dimaksud bersaldo negatif,
maka Bank dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar:
a. 125% (seratus dua puluh lima perseratus) dari rata-rata suku bunga
jangka waktu 1 (satu) hari overnight dari JIBOR pada hari terjadinya
pelanggaran, terhadap GWM dalam rupiah yang wajib dipelihara;
ditambah dengan
b. 150% (seratus lima puluh perseratus) dari Suku Bunga PUAB untuk
jangka waktu 1 (satu) hari, yang tercatat di PIPU, terhadap saldo
negatif,
untuk setiap hari pelanggaran.
Pasal 15
(1) Dalam hal terjadi pelanggaran GWM dalam valuta asing sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 13, maka Bank dikenakan sanksi kewajiban
membayar sebesar 0,04% per hari kerja, yang dihitung dari selisih antara
saldo harian Rekening Giro Valas Bank pada Bank Indonesia yang wajib
dipelihara dengan saldo harian Rekening Giro Valas Bank yang dicatat
pada sistem akunting Bank Indonesia.
(2) Sanksi kewajiban membayar sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dibayarkan dalam valuta rupiah dengan menggunakan kurs transaksi Bank
Indonesia pada hari terjadinya pelanggaran.
Pasal 16 …
- 11 -
Pasal 16
Selain dikenakan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 dan Pasal 15,
Bank yang tidak memenuhi kewajiban pemeliharaan GWM sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2), dan atau Pasal 4, dapat dikenakan
sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998.
BAB VII
KETENTUAN LAIN
Pasal 17
(1) Pemberian jasa giro sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dan pengenaan
sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 dan Pasal 15 dilaksanakan
dengan pengkreditan atau pendebetan Rekening Giro Rupiah Bank pada
Bank Indonesia.
(2) Dalam hal pendebetan Rekening Giro Rupiah Bank sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) mengakibatkan Rekening Giro Rupiah Bank tersebut
bersaldo negatif maka Bank juga dikenakan sanksi atas saldo negatif
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2) huruf b.
BAB VIII
PENUTUP
Pasal 18
Dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini maka:
a. Surat …
- 12 -
a. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 28/113/KEP/DIR tanggal 14
Desember 1995 tentang Giro Wajib Minimum Bank Umum pada Bank
Indonesia Dalam Rupiah dan Valuta Asing;
b. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 30/89A/KEP/DIR tanggal
20 Oktober 1997 tentang perubahan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia
Nomor 28/113/KEP/DIR tanggal 14 Desember 1995 tentang Giro Wajib
Minimum Bank Umum pada Bank Indonesia Dalam Rupiah dan Valuta
Asing sebagaimana telah diubah terakhir dengan Surat Keputusan Direksi
Bank Indonesia Nomor 30/86/KEP/DIR tanggal 7 Oktober 1997;
c. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 31/2B/KEP/DIR tanggal 6
April 1998
tentang Perubahan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia
Nomor 28/113/KEP/DIR tanggal 14 Desember 1995 tentang Giro Wajib
Minimum Bank Umum pada Bank Indonesia Dalam Rupiah dan Valuta
Asing sebagaimana telah diubah terakhir dengan Surat Keputusan Direksi
Bank Indonesia Nomor Nomor 30/89A/KEP/DIR tanggal 20 Oktober 1997;
d. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 31/55/KEP/DIR tanggal 1
Juli 1998 tentang Fasilitas Diskonto, Pelanggaran Giro Wajib Minimum
Dalam Rupiah dan Saldo Giro Negatif Pada Bank Indonesia,
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 19
Peraturan Bank Indonesia ini berlaku sejak tanggal 1 Juli 2004.
Ditetapkan …
- 13 -
Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 28 Juni 2004
a.n. GUBERNUR BANK INDONESIA
Ttd.
ANWAR NASUTION
DEPUTI GUBERNUR SENIOR
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2004 NOMOR 55
DKM/DPM/DPNP
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 6/15/PBI/2004
TENTANG
GIRO WAJIB MINIMUM BANK UMUM PADA BANK INDONESIA
DALAM RUPIAH DAN VALUTA ASING
UMUM
Terciptanya stabilitas moneter, antara lain melalui pengendalian tingkat
inflasi, merupakan hal yang sangat diperlukan dalam rangka mewujudkan kondisi
perekonomian yang stabil.
Upaya pengendalian tingkat inflasi antara
lain
dilakukan
dengan
menyeimbangkan jumlah penawaran uang dengan permintaan uang yang sesuai
dengan kondisi dan arah perekonomian. Salah satu piranti moneter yang dapat
digunakan Bank Indonesia untuk menyeimbangkan permintaan dan penawaran
uang tersebut adalah dengan mengendalikan likuiditas perbankan melalui
penerapan giro wajib minimum yang merupakan perbandingan antara saldo giro
bank yang wajib ditempatkan pada Bank Indonesia terhadap dana pihak ketiga
yang dimiliki bank.
Mengingat perkembangan kondisi perekonomian yang dinamis maka
penerapan kebijakan giro wajib minimum dapat disesuaikan dari waktu ke waktu
sejalan dengan arah kebijakan Bank Indonesia.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Angka 1 sampai dengan angka 11
Cukup jelas.
Pasal 2 …
- 2 -
Pasal 2
Ayat (1) dan ayat (2)
Kewajiban pemeliharaan GWM bagi setiap Bank merupakan salah satu
cara pengendalian uang beredar dalam rangka melaksanakan tugas Bank
Indonesia untuk mencapai stabilitas moneter.
Pasal 3
Ayat (1)
GWM dalam rupiah sebesar 5% (lima perseratus) wajib dipenuhi oleh
seluruh Bank tanpa memperhatikan jumlah DPK dalam rupiah yang
dimiliki.
Ayat (2)
Huruf a
Sebagai contoh:
Bank mempunyai DPK dalam rupiah Rp5.000.000.000.000,00
(lima triliun rupiah).
Bank wajib memelihara GWM dalam rupiah sebesar:
a. 5% (lima perseratus) dari Rp5.000.000.000.000,00 (lima triliun
rupiah); ditambah dengan
b. 1% (satu perseratus) dari Rp5.000.000.000.000,00 (lima triliun
rupiah).
Huruf b
Sebagai contoh:
Bank mempunyai DPK dalam rupiah Rp25.000.000.000.000,00
(dua puluh lima triliun rupiah).
Bank wajib memelihara GWM dalam rupiah sebesar:
a. 5% …
- 3 -
a. 5% (lima perseratus) dari Rp25.000.000.000.000,00 (dua puluh
lima triliun rupiah); ditambah dengan
b. 2% (dua perseratus) dari Rp25.000.000.000.000,00 (dua puluh
lima triliun rupiah).
Huruf c
Sebagai contoh:
Bank mempunyai DPK dalam rupiah Rp55.000.000.000.000,00
(lima puluh lima triliun rupiah).
Bank wajib memelihara GWM dalam rupiah sebesar:
a. 5% (lima perseratus) dari Rp55.000.000.000.000,00 (lima puluh
lima triliun rupiah); ditambah dengan
b. 3% (tiga perseratus) dari Rp55.000.000.000.000,00 (lima puluh
lima triliun rupiah).
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat(2) …
- 4 -
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Sehubungan dengan pemeliharaan Giro Wajib Minimum dalam valuta
asing pada Bank Indonesia dapat dikemukakan bahwa penyetoran dan
penarikan Rekening Giro Valas Bank hanya dapat dilakukan melalui
pemindahbukuan dengan menggunakan sarana
berupa SWIFT atau
warkat standar intern Bank Indonesia yang didasarkan atas teleks atau
surat permintaan transfer dari Bank.
Apabila Bank menyetor valuta asing dengan pemindahbukuan melalui
bank koresponden di luar negeri, maka Bank memerintahkan bank
koresponden untuk mendebet rekening gironya untuk untung rekening
Bank Indonesia pada The Federal Reserve Bank of New York, New York
(FRB). Selanjutnya Bank Indonesia akan mengkredit Rekening Giro
Valas Bank pada tanggal valutanya atas dasar sarana SWIFT atau warkat
standar intern Bank Indonesia yang didasarkan atas teleks dari pemegang
Rekening Giro tersebut selambat-lambatnya pukul 14:00 WIB pada
tanggal valuta tersebut. Apabila pengkreditan rekening Bank Indonesia
pada FRB melampaui tanggal valuta yang diberitahukan, maka Bank
Indonesia akan membebankan bunga
atas
keterlambatan
tersebut.
Pembebanan bunga tersebut akan dilakukan pada Rekening Giro Rupiah
Bank pada Bank Indonesia, berdasarkan suku bunga Federal Funds Rate
dengan kurs jual USD/IDR Bank Indonesia pada tanggal perkreditan.
Penarikan Rekening Giro Valas Bank
hanya dapat dilakukan
menggunakan sarana SWIFT atau teleks. Permintaan penarikan Rekening
Giro Valas Bank dapat dilaksanakan apabila permintaan dimaksud telah
diterima oleh Bank Indonesia selambat-lambatnya 2 (dua) hari kerja
sebelum tanggal valuta.
Biaya …
- 5 -
Biaya pelaksanaan transaksi dimaksud diatas dibebankan pada Rekening
Giro Rupiah Bank pada Bank Indonesia.
Pasal 7
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Formula perhitungan persentase GWM adalah sebagai berikut:
Jumlah harian saldo Rekening Giro Bank yang
tercatat di Bank Indonesia setiap hari dalam 1 (satu)
masa laporan.
x 100%
Rata-rata harian jumlah DPK Bank dalam 1 (satu)
masa laporan pada 2 (dua) masa laporan sebelumnya.
Persentase GWM Bank dalam rupiah atau valuta asing sebagaimana
dimaksud diatas didasarkan pada DPK Bank sebagai berikut:
a. GWM harian untuk masa laporan sejak tanggal 1 sampai dengan 7
adalah sebesar persentase GWM yang ditetapkan dari rata-rata DPK
dalam masa laporan sejak tanggal 16 sampai dengan tanggal 23 bulan
sebelumnya;
b. GWM harian untuk masa laporan sejak tanggal 8 sampai dengan
tanggal 15 adalah persentase GWM yang ditetapkan dari rata-rata DPK
dalam masa laporan sejak tanggal 24 sampai dengan akhir bulan
sebelumnya;
c. GWM harian untuk masa laporan sejak tanggal 16 sampai dengan
tanggal 23 adalah sebesar persentase GWM yang ditetapkan dari rata-
rata …
- 6 -
rata DPK dalam masa laporan sejak tanggal 1 sampai dengan tanggal 7
bulan yang sama;
d. GWM harian untuk masa laporan sejak tanggal 24 sampai dengan
tanggal akhir bulan adalah sebesar persentase GWM yang ditetapkan
dari rata-rata DPK dalam masa laporan sejak tanggal 8 sampai dengan
tanggal 15 bulan yang sama.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 8
Huruf a dan huruf b
Bagi Bank yang juga melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip
syariah, saldo Rekening Giro Bank tidak termasuk saldo Rekening Giro
unit usaha syariah.
Pasal 9
Ayat (1)
Huruf a dan huruf b
Bagi Bank yang juga melakukan kegiatan usaha berdasarkan
prinsip syariah, dalam menentukan DPK tidak termasuk DPK yang
dilaporkan unit usaha syariah.
Ayat (2) …
- 7 -
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan giro dalam rupiah adalah komponen giro
sebagaimana dimaksud dalam penjelasan komponen Dana Pihak
Ketiga Dalam Rupiah dalam ketentuan Bank Indonesia yang
berlaku tentang Laporan Berkala Bank Umum.
Huruf b
Yang dimaksud dengan simpanan berjangka dalam rupiah adalah
komponen simpanan berjangka sebagaimana dimaksud
dalam
penjelasan komponen Dana Pihak Ketiga Dalam Rupiah dalam
ketentuan Bank Indonesia yang berlaku tentang Laporan Berkala
Bank Umum.
Huruf c
Yang dimaksud dengan tabungan dalam rupiah adalah komponen
tabungan sebagaimana dimaksud dalam penjelasan komponen
Dana Pihak Ketiga Dalam Rupiah dalam ketentuan Bank Indonesia
yang berlaku tentang Laporan Berkala Bank Umum.
Huruf d
Yang dimaksud dengan kewajiban-kewajiban lainnya dalam rupiah
adalah kewajiban-kewajiban lainnya kepada pihak ketiga bukan
bank sebagaimana dimaksud dalam penjelasan komponen Dana
Pihak Ketiga Dalam Rupiah dalam ketentuan Bank Indonesia yang
berlaku tentang Laporan Berkala Bank Umum.
Ayat (3)
Huruf a
Yang dimaksud dengan giro dalam valuta asing adalah komponen
giro sebagaimana dimaksud dalam
penjelasan komponen Dana
Pihak …
- 8 -
Pihak Ketiga Dalam Valuta Asing dalam ketentuan Bank Indonesia
yang berlaku tentang Laporan Berkala Bank Umum.
Huruf b
Yang dimaksud dengan simpanan berjangka dalam valuta asing
adalah komponen simpanan berjangka sebagaimana dimaksud
dalam penjelasan komponen Dana Pihak Ketiga Dalam Valuta
Asing dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku tentang
Laporan Berkala Bank Umum.
Huruf c
Yang dimaksud dengan kewajiban-kewajiban lainnya dalam valuta
asing adalah kewajiban-kewajiban lainnya kepada pihak ketiga
termasuk bank sebagaimana dimaksud dalam penjelasan komponen
Dana Pihak Ketiga Dalam Valuta Asing dalam ketentuan Bank
Indonesia yang berlaku tentang Laporan Berkala Bank Umum.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Ayat (1)
Tingkat bunga sebesar 3% (tiga perseratus) merupakan tingkat bunga
efektif tahunan (effective annual rate) yang ditentukan berdasarkan
periode compounding harian selama 360 hari.
Contoh perhitungan:
Bank A memiliki rata-rata harian DPK dalam rupiah dalam masa laporan
sejak …
- 9 -
sejak
tanggal 8 sampai dengan tanggal 15 bulan Januari
sebesar
Rp55.000.000.000.000,00 (lima puluh lima triliun rupiah).
GWM harian yang wajib diperlihara untuk masa laporan sejak tanggal 24
sampai dengan tanggal akhir bulan Januari adalah sebesar:
a. 5% (lima perseratus) dari Rp55.000.000.000.000,00 (lima puluh lima
triliun rupiah) yaitu sebesar Rp2.750.000.000.000,00 (dua triliun tujuh
ratus lima puluh miliar rupiah), sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
ayat (1); ditambah dengan
b. 3% (tiga perseratus) dari Rp55.000.000.000.000,00 (lima puluh lima
triliun rupiah) yaitu sebesar Rp1.650.000.000.000,00 (satu triliun
enam ratus lima puluh miliar rupiah), sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 ayat (2).
Saldo Rekening Giro Rupiah Bank A pada Bank Indonesia pada tanggal
24 Januari adalah sebesar Rp4.400.000.000.000,00 (empat triliun empat
ratus miliar rupiah) atau 8% dari DPK dalam rupiah.
Bagi Bank A, jasa giro pada tanggal 24 Januari hanya diberikan terhadap
bagian saldo Rekening Giro Rupiah yang ditempatkan untuk pemenuhan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2), yaitu sebesar
Rp1.650.000.000.000,00 (satu triliun enam ratus lima puluh miliar rupiah)
dengan cara perhitungan sebagai berikut:
0,0082% x Rp1.650.000.000.000,00
Sementara itu, terhadap bagian saldo Rekening Giro Rupiah yang
ditempatkan untuk
pemenuhan GWM 5% yaitu sebesar
Rp2.750.000.000.000,00 (dua triliun tujuh ratus lima puluh miliar rupiah)
tidak diberikan jasa giro.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 12 …
- 10 -
Pasal 12
Huruf a dan huruf b
Contoh perhitungan:
Bank A memiliki rata-rata harian DPK dalam rupiah dalam masa laporan
sejak
tanggal 8 sampai dengan tanggal 15 bulan Januari
sebesar
Rp800.000.000.000,00 (delapan ratus miliar rupiah).
GWM harian yang wajib dipelihara untuk masa laporan sejak tanggal 24
sampai dengan tanggal akhir bulan Januari adalah sebesar 5% (lima
perseratus) dari Rp800.000.000.000,00 (delapan ratus miliar rupiah), yaitu
sebesar Rp40.000.000.000,00 (empat puluh miliar rupiah), sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1).
Saldo Rekening Giro Rupiah Bank A pada Bank Indonesia pada tanggal
24 Januari adalah sebesar Rp80.000.000.000,00 (delapan puluh miliar
rupiah) atau 10% dari DPK dalam rupiah.
Terhadap bagian saldo Rekening Giro Rupiah Bank
untuk pemenuhan
GWM 5% yaitu Rp Rp40.000.000.000,00 (empat puluh miliar rupiah) dan
saldo Rekening Giro Rupiah Bank yang melebihi pemenuhan GWM
sebesar 5% yaitu Rp40.000.000.000,00 (empat puluh miliar rupiah), tidak
diberikan jasa giro.
Huruf c
Contoh perhitungan:
Bank B memiliki rata-rata harian DPK dalam rupiah dalam masa laporan
sejak
tanggal 8 sampai dengan tanggal 15 bulan Januari
Rp5.000.000.000.000,00 (lima triliun rupiah).
GWM harian untuk masa laporan sejak tanggal 24 sampai dengan tanggal
akhir bulan Januari adalah sebesar:
a. 5% …
sebesar
- 11 -
a. 5% (lima perseratus) dari Rp5.000.000.000.000,00 (lima
triliun
rupiah) yaitu sebesar Rp250.000.000.000,00 (dua ratus lima puluh
miliar rupiah), sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat
ditambah dengan
b. 1% (satu perseratus) dari Rp5.000.000.000.000,00 (lima triliun
rupiah) yaitu sebesar Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah),
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2).
Saldo Rekening Giro Rupiah Bank B pada Bank Indonesia pada tanggal
24 Januari adalah sebesar Rp400.000.000.000,00 (empat ratus miliar
rupiah) atau 8% dari DPK dalam rupiah.
Bagi Bank B, jasa giro pada tanggal 24 Januari hanya diberikan terhadap
bagian saldo Rekening Giro Rupiah Bank yang ditempatkan untuk
pemenuhan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2), yaitu
sebesar Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) dengan cara
perhitungan sebagai berikut:
0,0082% x Rp50.000.000.000,00
Sementara itu, terhadap bagian saldo Rekening Giro Rupiah Bank yang
ditempatkan untuk
pemenuhan GWM 5% yaitu sebesar
Rp250.000.000.000,00 (dua ratus lima puluh miliar rupiah) dan sisa saldo
Rekening Giro Rupiah Bank
yang melebihi pemenuhan GWM yaitu
sebesar Rp100.000.000.000,00 (seratus milar rupiah) atau 2% dari DPK
dalam rupiah, tidak diberikan jasa giro.
Huruf d
Contoh perhitungan:
Bank A memiliki rata-rata harian DPK dalam rupiah dalam masa laporan
sejak
tanggal 8 sampai dengan tanggal 15 bulan Januari
Rp20.000.000.000.000,00 (dua puluh triliun rupiah).
GWM …
(1);
sebesar
- 12 -
GWM harian yang wajib dipelihara untuk masa laporan sejak tanggal 24
sampai dengan tanggal akhir bulan Januari adalah sebesar:
a. 5% (lima perseratus) dari Rp20.000.000.000.000,00 (dua puluh triliun
rupiah) yaitu sebesar Rp1.000.000.000.000,00 (satu triliun rupiah),
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1); ditambah dengan
b. 2% (tiga perseratus) dari Rp20.000.000.000.000,00 (dua puluh triliun
rupiah) yaitu sebesar Rp400.000.000.000,00 (empat
rupiah), sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2).
Saldo Rekening Giro Rupiah Bank A pada Bank Indonesia pada tanggal
24 Januari adalah sebesar Rp1.200.000.000.000,00 (satu triliun dua ratus
miliar rupiah) atau 6% dari DPK dalam rupiah,
sehingga
kekurangan sebesar Rp200.000.000.000,00 (dua ratus miliar
pemenuhan GWM 5%
yaitu
ratus miliar
terdapat
rupiah).
Untuk seluruh saldo Rekening Giro Rupiah Bank, baik bagian yang
diperuntukkan untuk
sebesar
Rp1.000.000.000.000,00 (satu triliun rupiah) maupun bagian kewajiban
tambahan pemeliharaan GWM yang
sebagaimana dimaksud dalam
tidak memenuhi
Pasal 3 ayat (2)
yaitu
Rp200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah) , tidak diberikan jasa giro.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan hari adalah hari kerja.
Contoh …
ketentuan
sebesar
- 13 -
Contoh 1 perhitungan sanksi:
Bank A memiliki rata-rata harian DPK dalam rupiah dalam masa laporan
sejak
tanggal 8 sampai dengan tanggal 15 bulan Januari
Rp20.000.000.000.000,00 (dua puluh triliun rupiah).
GWM harian untuk masa laporan sejak tanggal 24 sampai dengan tanggal
akhir bulan Januari adalah sebesar:
a. 5% (lima perseratus) dari Rp20.000.000.000.000,00 (dua puluh triliun
rupiah) yaitu sebesar Rp1.000.000.000.000,00 (satu triliun rupiah),
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1); ditambah dengan
b. 2% (dua perseratus) dari Rp20.000.000.000.000,00 (dua puluh triliun
rupiah) yaitu sebesar Rp400.000.000.000,00 (empat
rupiah), sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2).
Saldo Rekening Giro Rupiah Bank A pada Bank Indonesia pada tanggal
24 Januari adalah sebesar Rp1.200.000.000.000,00 (satu triliun dua ratus
miliar rupiah) atau 6% dari DPK dalam rupiah,
sehingga
ratus miliar
sebesar
terdapat
kekurangan pemenuhan GWM sebesar Rp200.000.000.000,00 (dua ratus
miliar rupiah).
Suku Bunga JIBOR pada tanggal 24 Januari adalah sebesar 6% (enam
perseratus).
Perhitungan sanksi kewajiban membayar atas pelanggaran GWM rupiah
untuk Bank A pada tanggal 24 Januari adalah sebagai berikut:
Kekurangan GWM x 125% x suku bunga JIBOR x hari kerja
360 x 100
yaitu …
- 14 -
yaitu
Rp200.000.000.000,00 x 1,25 x 6 x 1
360 x 100
Yang dimaksud dengan hari adalah hari kerja.
Contoh 2 perhitungan sanksi:
Bank B memiliki rata-rata harian DPK dalam rupiah dalam masa laporan
sejak
tanggal 8 sampai dengan tanggal 15 bulan Januari
Rp800.000.000.000,00 (delapan ratus miliar rupiah).
GWM harian untuk masa laporan sejak tanggal 24 sampai dengan tanggal
akhir bulan Januari adalah sebesar 5% (lima perseratus)
sebesar
dari
Rp800.000.000.000,00 (delapan ratus miliar rupiah) yaitu sebesar
40.000.000.000,00 (empat puluh miliar rupiah), sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 ayat (1).
Saldo Rekening Giro Rupiah Bank B pada Bank Indonesia pada tanggal
24 Januari adalah sebesar Rp20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah)
atau 2.5% dari DPK Bank, sehingga terdapat kekurangan pemenuhan
GWM sebesar Rp20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah).
Suku Bunga JIBOR pada tanggal 24 Januari adalah sebesar 6% (enam
perseratus).
Perhitungan sanksi kewajiban membayar atas pelanggaran GWM rupiah
untuk Bank B pada tanggal 24 Januari adalah sebagai berikut:
Kekurangan GWM x 125% x suku bunga JIBOR x hari kerja
360 x 100
yaitu …
- 15 -
yaitu
Rp20.000.000.000,00 x 1,25 x 6 x 1
360 x 100
Ayat (2)
Contoh perhitungan sanksi:
Bank A memiliki rata-rata harian DPK dalam rupiah dalam masa laporan
sejak
tanggal 8 sampai dengan tanggal 15 bulan Januari
Rp20.000.000.000.000,00 (dua puluh triliun rupiah).
GWM harian yang wajib dipelihara untuk masa laporan sejak tanggal 24
sampai dengan tanggal akhir bulan Januari adalah sebesar:
a. 5% (lima perseratus) dari Rp20.000.000.000.000,00 (dua puluh triliun
rupiah) yaitu sebesar Rp1.000.000.000.000,00 (satu triliun rupiah),
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1); ditambah dengan
b. 2% (dua perseratus) dari Rp20.000.000.000.000,00 (dua puluh triliun
rupiah) yaitu sebesar Rp400.000.000.000,00 (empat
rupiah), sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2).
ratus miliar
Saldo Rekening Giro Rupiah Bank A pada Bank Indonesia pada tanggal
24 Januari adalah sebesar -Rp1.200.000.000.000,00 (minus satu triliun
dua ratus miliar rupiah), sehingga terdapat kekurangan pemenuhan GWM
yang wajib dipelihara sebesar Rp1.400.000.000.000,00 (satu triliun empat
ratus miliar rupiah) dan saldo negatif sebesar Rp1.200.000.000.000,00
(minus satu triliun dua ratus miliar rupiah).
Suku Bunga JIBOR pada tanggal 24 Januari adalah sebesar 6% (enam
perseratus).
Suku bunga PUAB pada tanggal 24 Januari adalah sebesar 7% (tujuh
perseratus).
Perhitungan …
sebesar
- 16 -
Perhitungan sanksi kewajiban membayar atas pelanggaran GWM rupiah
untuk Bank A pada tanggal 24 Januari adalah sebagai berikut:
GWM rupiah yang wajib dipelihara x 125% x suku bunga JIBOR x hari
kerja
360 x 100
yaitu
Rp1.400.000.000.000,00 x 1,25 x6x 1
360 x 100
ditambah dengan perkalian jumlah saldo negatif Rekening Giro Rupiah
Bank di Bank Indonesia dengan 150% dikali Suku Bunga PUAB untuk
jangka waktu 1 (satu) hari, dengan rumus sebagai berikut:
|saldo negatif| x 150% x Suku Bunga PUAB 1 hari yang tercatat pada
PIPU x hari
360 x 100
yaitu
1.200.000.000.000,00 x 1,5 x 7 x 1
360 x 100
Pasal 15
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2) …
- 17 -
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan kurs transaksi adalah kurs jual ditambah dengan
kurs beli dibagi dua.
Pasal 16
Cukup jelas
Pasal 17
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR
4390
DKM/DPM/DPNP
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 6/15/PBI/2004 </reg_id>
<reg_title> GIRO WAJIB MINIMUM BANK UMUM PADA BANK INDONESIA DALAM RUPIAH DAN VALUTA ASING </reg_title>
<set_date> 28 Juni 2004 </set_date>
<effective_date> 1 Juli 2004 </effective_date>
<replaced_reg> '31/55/KEP/DIR|SKDIR-BI/1998', '31/2B/KEP/DIR|SKDIR-BI/1998', '30/86/KEP/DIR|SKDIR-BI/1997', '30/89A/KEP/DIR|SKDIR-BI/1997', '28/113/KEP/DIR|SKDIR-BI/1995' </replaced_reg>
<related_reg> '23/UU/1999', '7/UU/1992', '3/UU/2004', '10/UU/1998' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB VI' </penalty_list>
|
- 1 -
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 18/5/PBI/2016
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 17/9/PBI/2015
TENTANG PENYELENGGARAAN TRANSFER DANA DAN KLIRING BERJADWAL
OLEH BANK INDONESIA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa dalam rangka mewujudkan penyelenggaraan
kliring antar Bank lebih efisien, lancar, dan aman,
diperlukan penyempurnaan pelaksanaan setelmen dana
dan pihak yang dapat menerima transfer dana melalui
Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia;
b. bahwa dalam rangka meningkatkan perlindungan kepada
nasabah pengguna Sistem Kliring Nasional Bank
Indonesia, diperlukan penyesuaian ketentuan mengenai
sanksi atas pemenuhan kewajiban penyediaan dana
dalam penyelenggaraan kliring antar Bank;
c. bahwa berdasarkan
pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu melakukan
perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor
17/9/PBI/2015 tentang Penyelenggaraan Transfer Dana
dan Kliring Berjadwal oleh Bank Indonesia;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
- 2 -
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah
beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6
Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun
1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4962);
2. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2011 tentang Transfer
Dana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011
Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia 5204);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 17/9/PBI/2015
TENTANG PENYELENGGARAAN TRANSFER DANA DAN
KLIRING BERJADWAL OLEH BANK INDONESIA.
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor
17/9/PBI/2015 tentang Penyelenggaraan Transfer Dana dan
Kliring Berjadwal oleh Bank Indonesia (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 122, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5704) diubah
sebagai berikut:
1. Ketentuan Pasal 1 angka 16 dan angka 17 diubah
sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 1
1. Penyelenggaraan Transfer Dana dan Kliring
Berjadwal adalah kegiatan dalam rangka memproses
- 3 -
perhitungan hak dan kewajiban antar Peserta Sistem
Kliring Nasional Bank Indonesia yang setelmennya
dilakukan pada waktu tertentu.
2. Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia yang
selanjutnya disingkat SKNBI adalah infrastruktur
yang digunakan oleh Bank Indonesia dalam
Penyelenggaraan Transfer Dana dan Kliring
Berjadwal untuk memproses Data Keuangan
Elektronik pada Layanan Transfer Dana, Layanan
Kliring Warkat Debit, Layanan Pembayaran Reguler,
dan Layanan Penagihan Reguler.
3. Peserta SKNBI yang selanjutnya disebut Peserta
adalah pihak yang telah memenuhi persyaratan dan
telah memperoleh persetujuan dari Penyelenggara
sebagai Peserta.
4. Layanan Transfer Dana adalah layanan dalam SKNBI
yang memproses pemindahan sejumlah dana antar
Peserta dari 1 (satu) pengirim kepada 1 (satu)
penerima.
5. Layanan Kliring Warkat Debit adalah layanan dalam
SKNBI yang memproses penagihan sejumlah dana
yang dilakukan antar Peserta dari 1 (satu) pengirim
tagihan kepada 1 (satu) penerima tagihan, disertai
dengan fisik Warkat Debit.
6. Layanan Pembayaran Reguler adalah layanan dalam
SKNBI yang memproses pemindahan sejumlah dana
antar Peserta dari 1 (satu) atau beberapa pengirim
kepada 1 (satu) atau beberapa penerima.
7. Layanan Penagihan Reguler adalah layanan dalam
SKNBI yang memproses penagihan sejumlah dana
antar Peserta dari 1 (satu) pengirim tagihan kepada
beberapa penerima tagihan.
8. Data Keuangan Elektronik yang selanjutnya
disingkat DKE adalah data keuangan dalam format
- 4 -
elektronik yang digunakan sebagai dasar
perhitungan dalam penyelenggaraan SKNBI.
9. DKE Transfer Dana adalah DKE yang dibuat
berdasarkan perintah transfer dana dan digunakan
sebagai dasar perhitungan dalam Layanan Transfer
Dana.
10. DKE Warkat Debit adalah DKE yang dibuat
berdasarkan perintah transfer debit dan digunakan
sebagai dasar perhitungan dalam Layanan Kliring
Warkat Debit.
11. DKE Pembayaran adalah DKE yang dibuat
berdasarkan perintah transfer dana dan digunakan
sebagai dasar perhitungan dalam Layanan
Pembayaran Reguler.
12. DKE Penagihan adalah DKE yang dibuat
berdasarkan perintah transfer debit dan digunakan
sebagai dasar perhitungan dalam Layanan Penagihan
Reguler.
13. Warkat Debit adalah alat pembayaran nontunai yang
diperhitungkan atas beban nasabah atau Bank
melalui Layanan Kliring Warkat Debit.
14. Penyelenggara SKNBI yang selanjutnya disebut
Penyelenggara adalah Bank Indonesia.
15. Peserta Langsung Utama yang selanjutnya disingkat
PLU adalah Peserta yang mengirimkan DKE ke
Penyelenggara
menggunakan infrastruktur SKNBI dan Setelmen
Dana dilakukan ke Rekening Setelmen Dana Peserta
yang bersangkutan.
16. Peserta Langsung Afiliasi yang selanjutnya disingkat
PLA adalah Peserta yang mengirimkan DKE ke
Penyelenggara
secara langsung dengan
menggunakan infrastruktur SKNBI Peserta yang
bersangkutan dan Setelmen Dana dilakukan ke
Rekening Setelmen Dana bank pembayar.
secara langsung dengan
- 5 -
17. Peserta Tidak Langsung yang selanjutnya disingkat
PTL adalah Peserta yang mengirimkan DKE ke
Penyelenggara secara tidak langsung melalui bank
penerus dan Setelmen Dana dilakukan ke Rekening
Setelmen Dana bank penerus.
18. Setelmen Dana adalah kegiatan pendebitan dan
pengkreditan Rekening Setelmen Dana melalui
Sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement
yang dilakukan berdasarkan perhitungan hak dan
kewajiban masing-masing Peserta yang timbul dalam
penyelenggaraan SKNBI.
19. Rekening Setelmen Dana adalah rekening Peserta
dalam mata uang Rupiah yang ditatausahakan di
Bank Indonesia.
20. Sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement
yang selanjutnya disebut Sistem BI-RTGS adalah
infrastruktur yang digunakan sebagai sarana
transfer dana elektronik yang setelmennya dilakukan
seketika per transaksi secara individual.
21. Prefund adalah dana yang disediakan oleh Peserta
untuk memenuhi kewajiban dalam penyelenggaraan
SKNBI.
22. Prefund Kredit adalah Prefund yang disediakan untuk
Layanan Transfer Dana dan Layanan Pembayaran
Reguler.
23. Prefund Debit adalah Prefund yang disediakan untuk
Layanan Kliring Warkat Debit dan Layanan
Penagihan Reguler.
24. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai
perbankan termasuk kantor cabang dari bank di luar
negeri dan Bank Umum Syariah termasuk Unit
Usaha Syariah sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan
syariah.
- 6 -
25. Penyelenggara Transfer Dana Selain Bank adalah
badan usaha berbadan hukum Indonesia bukan
Bank yang telah memperoleh izin dari Bank
Indonesia untuk menyelenggarakan kegiatan transfer
dana.
26. Keadaan Tidak Normal adalah situasi atau kondisi
yang terjadi sebagai akibat adanya gangguan atau
kerusakan pada perangkat keras, perangkat lunak,
jaringan komunikasi, aplikasi maupun sarana
pendukung yang mempengaruhi kelancaran
penyelenggaraan SKNBI.
27. Keadaan Darurat adalah suatu keadaan yang terjadi
di luar kekuasaan Penyelenggara dan/atau Peserta
yang menyebabkan kegiatan operasional SKNBI tidak
dapat diselenggarakan yang diakibatkan oleh, tetapi
tidak terbatas pada kebakaran, kerusuhan massa,
sabotase, dan bencana alam seperti gempa bumi dan
banjir yang dinyatakan oleh pihak penguasa atau
pejabat setempat yang berwenang, termasuk Bank
Indonesia.
2. Penjelasan Pasal 3 ayat (4) diubah sebagaimana
tercantum dalam penjelasan, dan ketentuan Pasal 3
ditambahkan 1 (satu) ayat yakni ayat (5) sehingga Pasal 3
berbunyi sebagai berikut:
Pasal 3
(1) Setelmen Dana untuk masing-masing layanan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dilakukan
oleh Penyelenggara berdasarkan hasil perhitungan
secara multilateral netting.
(2) Setelmen Dana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan berdasarkan prinsip pembaruan utang
dengan memperhatikan kecukupan dana dari
Peserta.
- 7 -
(3) Setelmen Dana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
bersifat final dan tidak dapat dibatalkan.
(4) Setelmen Dana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan berdasarkan prinsip same day settlement.
(5) Prinsip same day settlement sebagaimana dimaksud
pada ayat (4) dapat tidak diterapkan dalam Layanan
Pembayaran Reguler.
3. Penjelasan Pasal 17 ayat (5) diubah sebagaimana
tercantum dalam penjelasan.
4. Penjelasan Pasal 21 diubah sebagaimana tercantum
dalam penjelasan.
5. Ketentuan Pasal 23 ayat (3) diubah sehingga Pasal 23
berbunyi sebagai berikut:
Pasal 23
(1) Peserta pengirim mengirimkan DKE Transfer Dana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (2) pada
tanggal yang sama dengan tanggal diterimanya
perintah transfer dana dari nasabah sesuai dengan
periode waktu yang ditetapkan oleh Penyelenggara.
(2) Pengiriman DKE Transfer Dana pada tanggal yang
sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
dilakukan oleh Peserta pengirim sesegera mungkin
paling lama 2 (dua) jam sejak pengaksepan perintah
transfer dana.
(3) Dalam hal Peserta pengirim tidak mengirimkan DKE
Transfer Dana sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Peserta pengirim wajib membayar jasa, bunga, atau
kompensasi kepada nasabah pengirim.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan
perintah transfer dana dan besarnya jasa, bunga,
- 8 -
atau kompensasi kepada nasabah pengirim diatur
dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
6. Pasal 26 ayat (4) dihapus sehingga Pasal 26 berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 26
(1) Peserta penerima harus melakukan verifikasi atas
DKE Transfer Dana yang diterima sesuai ketentuan
yang berlaku.
(2) Dalam hal Peserta penerima melakukan
pengaksepan atas hasil verifikasi DKE Transfer Dana
yang diterima sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Peserta penerima wajib meneruskan dana kepada
nasabah penerima pada tanggal yang sama dengan
Penyelenggara melakukan
Setelmen Dana
sebagaimana dimaksud pada Pasal 25 ayat (1).
(3) Penerusan dana kepada nasabah penerima
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib
dilakukan sesegera mungkin atau paling lama 2
(dua) jam setelah Penyelenggara melakukan
Setelmen Dana.
(4) Dihapus.
(5) Dalam hal Peserta penerima tidak melakukan
penerusan dana sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) maka Peserta penerima wajib membayar jasa,
bunga, atau kompensasi kepada nasabah penerima.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai batas waktu
penerusan dana kepada nasabah penerima dan
besarnya jasa, bunga, atau kompensasi kepada
nasabah penerima diatur dalam Surat Edaran Bank
Indonesia.
7. Ketentuan Pasal 64 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
- 9 -
Pasal 64
(1) Peserta yang tidak melakukan penambahan Prefund
Kredit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat
(1) yang menyebabkan DKE Transfer Dana tidak
diperhitungkan dalam Layanan Transfer Dana
dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar
Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) per 1 (satu) hari
kerja.
(2) Peserta yang tidak melakukan penambahan Prefund
Kredit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat
(1) yang menyebabkan DKE Pembayaran tidak
diperhitungkan dalam Layanan Pembayaran Reguler
dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar
Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) per 1 (satu) hari
kerja.
(3) Peserta yang tidak melakukan penambahan Prefund
Debit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (3)
yang menyebabkan DKE Warkat Debit tidak
diperhitungkan dalam Layanan Kliring Warkat Debit
dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar
Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) per 1 (satu) hari
kerja.
(4) Peserta yang tidak melakukan penambahan Prefund
Debit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (3)
yang menyebabkan DKE Penagihan tidak
diperhitungkan dalam Layanan Penagihan Reguler
dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar
Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) per 1 (satu) hari
kerja.
Pasal II
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal
2 Mei 2016
- 10 -
Agar setiap orang
mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 28 April 2016
GUBERNUR BANK INDONESIA,
AGUS D.W. MARTOWARDOJO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 2 Mei 2016
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 76
- 1 -
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 18/5/PBI/2016
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 17/9/PBI/2015
TENTANG PENYELENGGARAAN TRANSFER DANA DAN KLIRING BERJADWAL
OLEH BANK INDONESIA
I. UMUM
Dalam rangka mewujudkan penyelenggaraan transfer dana dan
kliring berjadwal yang efisien, lancar, dan aman, Bank Indonesia perlu
melakukan penyempurnaan pelaksanaan Setelmen Dana. Penyempurnaan
tersebut dilakukan dalam rangka mendukung pelaksanaan Setelmen
Dana dalam Layanan Pembayaran Reguler yang dapat dilakukan pada
tanggal yang berbeda dengan tanggal pengiriman DKE oleh Peserta.
Selain itu, dalam rangka mendukung upaya pemerintah mencegah
terjadinya tindak pidana pencucian uang dan pendanaan teroris melalui
Layanan Transfer Dana SKNBI, perlu dilakukan pembatasan terhadap
pihak yang dapat menerima dana melalui SKNBI.
Selanjutnya, untuk memberikan kepastian dalam pelaksanaan
Setelmen Dana dan meningkatkan perlindungan nasabah pengguna
layanan dalam SKNBI, Bank Indonesia menyempurnakan kebijakan
sanksi terhadap Peserta yang tidak memenuhi kewajiban penyediaan
Prefund.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal I
Angka 1
- 2 -
Pasal 1
Cukup jelas.
Angka 2
Pasal 3
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “multilateral netting” adalah
mekanisme perhitungan hak dan kewajiban seluruh
Peserta dalam penyelenggaraan SKNBI.
Ayat (2)
Pembaruan utang terjadi karena Penyelenggara
menggantikan kedudukan Peserta sebagai pihak yang
memiliki hak dari Peserta lainnya atau kewajiban
kepada Peserta lainnya dalam penyelenggaraan SKNBI.
Dalam hal ini Penyelenggara menggantikan
kedudukan Peserta untuk melakukan perhitungan
terhadap DKE Peserta yang didukung dana yang
cukup.
Ayat (3)
Setelmen Dana yang bersifat final dan tidak dapat
dibatalkan merupakan pengecualian dari prinsip zero
hour rules. Oleh karena itu, apabila Peserta dibekukan
kegiatan usaha, dicabut izin usaha, dipailitkan
dan/atau dilikuidasi, transaksi yang sudah dilakukan
sebelum keputusan pembekuan kegiatan usaha,
pencabutan izin usaha, pailit dan/atau likuidasi tidak
menjadi batal dan harus diteruskan dan/atau
diperhitungkan.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “prinsip same day settlement”
adalah pembukuan hasil perhitungan SKNBI oleh
Peserta kepada nasabah dilakukan dengan tanggal
valuta yang sama dengan tanggal Setelmen Dana yang
dilakukan oleh Penyelenggara.
Ayat (5)
Layanan Pembayaran Reguler tidak menerapkan
prinsip same day settlement apabila:
- 3 -
a. pendebitan rekening nasabah pengirim dilakukan
pada satu hari kerja sebelum tanggal Setelmen
Dana; dan
b. pengkreditan rekening nasabah penerima
dilakukan dengan tanggal yang sama dengan
tanggal valuta Setelmen Dana,
sepanjang terdapat perjanjian antara Peserta pengirim
dengan nasabah pengirim.
Angka 3
Pasal 17
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Yang dimaksud dengan “Bank Indonesia-Scripless
Securities Settlement System” adalah infrastruktur yang
digunakan sebagai sarana Penatausahaan Transaksi
dan Penatausahaan Surat Berharga, yang dilakukan
secara elektronik.
Angka 4
Pasal 21
Yang dimaksud dengan “nasabah” adalah:
a. nasabah pengirim yang memiliki rekening di Peserta
Pengirim dan yang tidak memiliki rekening di Peserta
Pengirim; dan
b. nasabah penerima yang memiliki rekening di Peserta
Penerima.
Angka 5
Pasal 23
Cukup jelas.
- 4 -
Angka 6
Pasal 26
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “pengaksepan” adalah
kegiatan yang dilakukan oleh Peserta penerima yang
menunjukkan persetujuan untuk melaksanakan atau
memenuhi DKE Transfer Dana yang diterima.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Dihapus.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Angka 7
Pasal 64
Cukup jelas.
Pasal II
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5876
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 18/05/PBI/2016 </reg_id>
<reg_title> PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 17/9/PBI/2015 TENTANG PENYELENGGARAAN TRANSFER DANA DAN KLIRING BERJADWAL OLEH BANK INDONESIA </reg_title>
<set_date> 28 April 2016 </set_date>
<effective_date> 2 Mei 2016 </effective_date>
<issued_date> 2 Mei 2016 </issued_date>
<changed_reg> '17/9/PBI/2015' </changed_reg>
<related_reg> '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '3/UU/2011' </related_reg>
<penalty_list> 'Pasal I Angka 7 Pasal 64' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 16/ 20 /PBI/2014
TENTANG
PENERAPAN PRINSIP KEHATI-HATIAN DALAM PENGELOLAAN
UTANG LUAR NEGERI KORPORASI NONBANK
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa utang luar negeri merupakan salah satu sumber
pembiayaan perekonomian domestik;
b. bahwa utang luar negeri, khususnya yang dilakukan
oleh korporasi nonbank, perlu dikelola secara baik oleh
korporasi nonbank agar memberikan kontribusi yang
optimal terhadap perekonomian nasional dan tidak
menimbulkan gangguan pada kestabilan
makroekonomi;
c. bahwa untuk mencapai tujuan tersebut pengelolaan
utang luar negeri harus dilakukan dengan
memperhatikan prinsip kehati-hatian untuk memitigasi
berbagai risiko yang dapat timbul, termasuk risiko nilai
tukar, risiko likuiditas, dan risiko utang yang terlalu
tinggi atau berlebihan (overleverage);
d. bahwa penerapan prinsip kehati-hatian tersebut sejalan
dengan upaya mendorong pendalaman pasar keuangan
domestik;
e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d,
perlu menetapkan Peraturan Bank Indonesia tentang
Penerapan Prinsip Kehati-hatian dalam Pengelolaan
Utang Luar Negeri Korporasi Nonbank;
Mengingat…
- 2 -
Mengingat
: Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah
beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor
6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008
tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor
23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi
Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4962);
M E M U T U S K A N:
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PENERAPAN
PRINSIP KEHATI-HATIAN DALAM PENGELOLAAN
UTANG LUAR NEGERI KORPORASI NONBANK.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Utang Luar Negeri yang selanjutnya disingkat ULN adalah utang
Penduduk kepada bukan Penduduk dalam Valuta Asing dan/atau
Rupiah, termasuk di dalamnya pembiayaan berdasarkan prinsip
syariah.
2. Penduduk adalah penduduk sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang yang mengatur mengenai lalu lintas devisa dan sistem nilai
tukar.
3. Korporasi Nonbank adalah badan usaha selain bank, dan badan
lainnya.
4. Valuta…
- 3 -
4. Valuta Asing adalah valuta yang berdenominasi selain mata uang
Rupiah.
5. Aset Valuta Asing adalah aset lancar dalam Valuta Asing yang terdiri
atas kas, giro, tabungan, deposito, surat-surat berharga yang dapat
diperdagangkan (marketable securities), dan tagihan yang berasal dari
transaksi forward, swap, dan/atau option.
6. Kewajiban Valuta Asing adalah kewajiban lancar dalam Valuta Asing
yang harus diselesaikan atau dibayarkan dan kewajiban yang berasal
dari transaksi forward, swap, dan/atau option.
7. Lindung Nilai adalah cara atau teknik untuk mengurangi risiko yang
timbul maupun yang akan timbul akibat fluktuasi harga di pasar
keuangan.
8. Rasio Lindung Nilai adalah suatu rasio antara jumlah nilai yang
dilindungnilaikan dengan selisih negatif antara Aset Valuta Asing
dengan Kewajiban Valuta Asing.
9. Rasio Likuiditas adalah rasio antara total Aset Valuta Asing terhadap
Kewajiban Valuta Asing.
10. Lembaga Pemeringkat adalah lembaga yang mengeluarkan Peringkat
Utang (Credit Rating).
11. Peringkat Utang (Credit Rating) adalah penilaian yang dilakukan oleh
Lembaga Pemeringkat untuk menggambarkan kondisi keuangan
perusahaan atau kemampuan perusahaan dalam memenuhi
kewajibannya secara tepat waktu (credit worthiness).
BAB II
PRINSIP KEHATI-HATIAN
Pasal 2
(1) Korporasi Nonbank yang memiliki ULN dalam Valuta Asing wajib
menerapkan prinsip kehati-hatian.
(2) Prinsip…
- 4 -
(2) Prinsip kehati-hatian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi
pemenuhan:
a. Rasio Lindung Nilai;
b. Rasio Likuiditas; dan
c. Peringkat Utang (Credit Rating).
Pasal 3
(1) Korporasi Nonbank yang memiliki ULN dalam Valuta Asing wajib
memenuhi Rasio Lindung Nilai minimum tertentu dengan melakukan
Lindung Nilai Valuta Asing terhadap Rupiah.
(2) Rasio Lindung Nilai minimum tertentu sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) ditetapkan sebesar 25% (dua puluh lima persen) dari:
a. selisih negatif antara Aset Valuta Asing terhadap Kewajiban Valuta
Asing, yang akan jatuh waktu sampai dengan 3 (tiga) bulan ke
depan sejak akhir triwulan; dan
b. selisih negatif antara Aset Valuta Asing terhadap Kewajiban Valuta
Asing, yang akan jatuh waktu lebih dari 3 (tiga) bulan sampai
dengan 6 (enam) bulan ke depan sejak akhir triwulan.
Pasal 4
(1) Korporasi Nonbank yang memiliki ULN dalam Valuta Asing wajib
memenuhi Rasio Likuiditas minimum tertentu dengan menyediakan
Aset Valuta Asing yang memadai terhadap Kewajiban Valuta Asing
yang akan jatuh waktu sampai dengan 3 (tiga) bulan ke depan sejak
akhir triwulan.
(2) Rasio Likuiditas minimum tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) ditetapkan paling rendah sebesar 70% (tujuh puluh persen).
Pasal 5
(1) Korporasi Nonbank yang melakukan ULN dalam Valuta Asing wajib
memenuhi Peringkat Utang (Credit Rating) paling kurang setara BB
yang dikeluarkan oleh Lembaga Pemeringkat yang diakui oleh otoritas
yang berwenang.
(2) Peringkat Utang (Credit Rating) sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berupa peringkat yang masih berlaku atas korporasi dan/atau surat
utang…
- 5 -
utang sesuai dengan jenis dan jangka waktu ULN dalam Valuta Asing.
BAB III
PENGECUALIAN
Pasal 6
Kewajiban pemenuhan prinsip kehati-hatian sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5 dikecualikan bagi ULN dalam
Valuta Asing yang berupa utang dagang (trade credit).
Pasal 7
Kewajiban pemenuhan ketentuan minimum Peringkat Utang (Credit Rating)
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dikecualikan bagi:
a. ULN dalam Valuta Asing yang merupakan refinancing; dan
b. ULN dalam Valuta Asing dari kreditor lembaga internasional
(bilateral/multilateral) terkait pembiayaan proyek infrastruktur.
BAB IV
PEMANTAUAN KEPATUHAN DAN PENYAMPAIAN LAPORAN
SERTA DOKUMEN PENDUKUNG
Pasal 8
(1) Korporasi Nonbank wajib menyampaikan laporan kepada Bank
Indonesia terkait penerapan prinsip kehati-hatian sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5.
(2) Korporasi Nonbank wajib menyampaikan dokumen pendukung
kepada Bank Indonesia terkait:
a. pelaksanaan penerapan prinsip kehati-hatian sebagaimana
dimaksud pada ayat (1); dan
b. pengecualian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dan Pasal 7.
Pasal 9
Tata cara penyampaian laporan dan dokumen pendukung sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8 termasuk pengenaan sanksi dilakukan sesuai
dengan ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai pelaporan
kegiatan…
- 6 -
kegiatan lalu lintas devisa dan pelaporan penerapan prinsip kehati-hatian
dalam pengelolaan ULN Korporasi Nonbank.
Pasal 10
(1) Bank Indonesia memantau kepatuhan Korporasi Nonbank dengan
melakukan penelitian atas laporan dan/atau dokumen pendukung yang
disampaikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8.
(2) Dalam hal diperlukan, dalam melakukan penelitian atas laporan
dan/atau dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Bank Indonesia menempuh berbagai cara antara lain sebagai berikut:
a. meminta penjelasan, bukti, catatan, dan/atau dokumen pendukung,
dengan atau tanpa melibatkan pihak instansi terkait;
b. melakukan pemeriksaan langsung terhadap korporasi; dan/atau
c. menunjuk pihak lain untuk melakukan penelitian bagi Bank
Indonesia.
BAB V
SANKSI
Pasal 11
(1) Korporasi Nonbank yang melakukan pelanggaran terhadap kewajiban
pemenuhan prinsip kehati-hatian sebagaimana dimaksud dalam Pasal
2, Pasal 3, Pasal 4, dan/atau Pasal 5 dikenakan sanksi administratif
berupa teguran tertulis.
(2) Bank Indonesia akan menyampaikan informasi mengenai pengenaan
sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada
pihak-pihak terkait antara lain:
a. kreditor yang bersangkutan di luar negeri;
b. Kementerian Negara BUMN, bagi korporasi BUMN;
c. Kementerian Keuangan c.q. Direktorat Jenderal Pajak;
d. Otoritas Jasa Keuangan (OJK);
e. Bursa Efek Indonesia (BEI), bagi korporasi publik yang tercatat di
BEI.
BAB…
- 7 -
BAB VI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 12
Pada saat Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku:
a. ketentuan mengenai Rasio Lindung Nilai minimum tertentu
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ditetapkan paling rendah sebesar
20% (dua puluh persen) dari:
1. selisih negatif antara Aset Valuta Asing terhadap Kewajiban Valuta
Asing, yang akan jatuh waktu sampai dengan 3 (tiga) bulan ke depan
sejak akhir triwulan; dan
2. selisih negatif antara Aset Valuta Asing terhadap Kewajiban Valuta
Asing, yang akan jatuh waktu lebih dari 3 (tiga) bulan sampai
dengan 6 (enam) bulan ke depan sejak akhir triwulan,
sampai dengan 31 Desember 2015.
b. ketentuan mengenai Rasio Likuiditas minimum tertentu sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ditetapkan paling rendah sebesar 50% (lima
puluh persen) sampai dengan 31 Desember 2015.
Pasal 13
Ketentuan mengenai pemenuhan Peringkat Utang (Credit Rating)
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) berlaku bagi ULN yang
ditandatangani atau diterbitkan sejak tanggal 1 Januari 2016.
Pasal 14
Ketentuan mengenai sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 mulai
berlaku sejak laporan triwulan ketiga tahun 2015.
Pasal 15
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2015.
Agar…
- 8 -
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 28 Oktober 2014
GUBERNUR BANK INDONESIA,
AGUS D.W. MARTOWARDOJO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 29 Oktober 2014
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2014 NOMOR 340
DKEM
- 9 -
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 16/ 20 /PBI/2014
TENTANG
PENERAPAN PRINSIP KEHATI-HATIAN DALAM PENGELOLAAN
UTANG LUAR NEGERI KORPORASI NONBANK
I. UMUM
Utang Luar Negeri (ULN) merupakan salah satu sumber pembiayaan
pembangunan yang lazim dilakukan oleh negara sedang berkembang.
ULN ini digunakan untuk menutup kesenjangan antara investasi dan
tabungan dalam negeri (saving investment gap) sehingga memberikan
manfaat bagi perekonomian.
Dalam beberapa tahun terakhir, jumlah ULN Swasta terus meningkat
tajam bahkan saat ini melebihi jumlah ULN Pemerintah. Peningkatan
ULN Swasta tanpa disertai dengan manajemen risiko yang baik
berpotensi menimbulkan dampak negatif terhadap perekonomian
nasional, seperti yang terjadi pada krisis 1997/1998.
Risiko ULN Swasta tersebut semakin meningkat mengingat adanya
faktor risiko yang bersumber dari ekonomi global berupa pengetatan
likuiditas global dan perlambatan ekonomi emerging market yang
disertai dengan masih rendahnya harga komoditas internasional.
Keseluruhan kondisi tersebut menyebabkan meningkatnya risiko
penurunan capacity to repay (default) dari ULN korporasi swasta
nonbank. Ditambah lagi, sebagian besar korporasi swasta nonbank
tersebut tidak melakukan Lindung Nilai terhadap posisi ULN mereka.
Kondisi ini menyebabkan korporasi peminjam ULN Swasta di Indonesia
menghadapi risiko nilai tukar, likuiditas, dan overleverage yang cukup
besar. Oleh karena itu, korporasi perlu memperhatikan prinsip kehati-
hatian untuk memitigasi berbagai risiko tersebut.
Selain itu, prinsip kehati-hatian korporasi, yang dilakukan melalui
penggunaan instrumen Lindung Nilai, sejalan dengan upaya
pendalaman pasar keuangan di Indonesia.
II. PASAL…
- 2 -
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Ayat (1)
Transaksi Lindung Nilai dilakukan dalam bentuk transaksi derivatif
Valuta Asing terhadap Rupiah berupa transaksi forward, swap
dan/atau option.
Ayat (2)
Aset Valuta Asing termasuk tagihan yang berasal dari transaksi
forward, swap dan/atau option yang akan direalisasikan sampai
dengan 3 (tiga) bulan ke depan dan/atau lebih dari 3 (tiga) bulan
sampai dengan 6 (enam) bulan ke depan sejak akhir triwulan.
Yang dimaksud dengan “transaksi forward” adalah transaksi jual
atau beli Valuta Asing terhadap Rupiah yang penyerahan dananya
dilakukan lebih dari 2 (dua) hari kerja setelah tanggal transaksi.
Yang dimaksud dengan “transaksi swap” adalah transaksi
pertukaran Valuta Asing terhadap Rupiah melalui
pembelian/penjualan tunai (spot) dengan penjualan atau pembelian
kembali secara berjangka yang dilakukan secara simultan dengan
counterparty yang sama dan pada tingkat harga yang dibuat dan
disepakati pada tanggal transaksi dilakukan.
Yang dimaksud dengan “transaksi option” adalah suatu perjanjian
atau kontrak antara penjual opsi (seller atau writer) dengan pembeli
opsi (buyer), dimana penjual opsi menjamin adanya hak (bukan
suatu kewajiban) dari pembeli opsi untuk membeli atau menjual
aset tertentu pada waktu dan harga yang telah ditetapkan.
- 10 -
Akhir…
- 11 -
- 3 -
Akhir triwulan adalah tanggal terakhir pada setiap triwulan, yakni
31 Maret, 30 Juni, 30 September, dan 31 Desember.
Contoh 1:
Pada tanggal 31 Maret 2016, PT ABC memiliki aset lancar dalam
Valuta Asing sebesar USD40,000.00 (empat puluh ribu dolar
Amerika Serikat) yang terdiri dari giro sebesar USD10,000.00
(sepuluh ribu dolar Amerika Serikat) dan deposito sebesar
USD30,000.00 (tiga puluh ribu dolar Amerika Serikat).
Selain itu, PT ABC juga memiliki Kewajiban Valuta Asing yang akan
jatuh waktu sampai dengan 3 (tiga) bulan ke depan sebesar
USD100,000.00 (seratus ribu dolar Amerika Serikat) dan tidak
memiliki Kewajiban Valuta Asing yang akan jatuh waktu lebih dari
3 (tiga) bulan sampai dengan 6 (enam) bulan ke depan.
Perhitungan pemenuhan ketentuan Rasio Lindung Nilai minimum
adalah sebagai berikut:
1. Perhitungan pemenuhan Rasio Lindung Nilai minimum untuk
jangka waktu lebih dari 3 (tiga) bulan sampai dengan 6 (enam)
bulan ke depan.
Dalam hal ini, PT ABC tidak wajib melakukan Lindung Nilai
karena tidak memiliki selisih negatif antara Aset Valuta Asing
dan Kewajiban Valuta Asing.
2. Perhitungan pemenuhan Rasio Lindung Nilai minimum untuk
jangka waktu sampai dengan 3 (tiga) bulan ke depan.
PT ABC memiliki selisih negatif antara Aset Valuta Asing dan
Kewajiban Valuta Asing sebesar USD40,000.00 -
USD100,000.00 = -USD60,000.00, sehingga untuk memenuhi
ketentuan Rasio Lindung Nilai minimum, PT ABC wajib
melakukan Lindung Nilai sebesar: 25% x USD60,000.00 =
USD15,000.00.
Dalam kasus ini, PT ABC wajib melakukan Lindung Nilai paling
sedikit sebesar USD15,000.00 (lima belas ribu dolar Amerika
Serikat) dengan tanggal transaksi antara 1 Januari 2016 sampai
dengan…
- 12 -
- 4 -
dengan 31 Maret 2016 dan tanggal valuta antara 1 April 2016
sampai dengan 30 Juni 2016, guna memenuhi ketentuan Rasio
Lindung Nilai minimum sampai dengan 3 (tiga) bulan ke depan.
Contoh 2:
Pada tanggal 31 Maret 2016, PT XYZ memiliki aset lancar dalam
Valuta Asing sebesar USD40,000.00 (empat puluh ribu dolar
Amerika Serikat) yang terdiri dari giro sebesar USD10,000.00
(sepuluh ribu dolar Amerika Serikat) dan deposito sebesar
USD30,000.00 (tiga puluh ribu dolar Amerika Serikat), serta telah
memiliki tagihan transaksi forward beli USD sebesar
USD15,000.00 (lima belas ribu dolar Amerika Serikat) dengan
tanggal transaksi pada 15 Desember 2015 dan akan jatuh waktu
pada 15 Mei 2016. Selain itu, PT XYZ juga memiliki Kewajiban
Valuta Asing yang akan jatuh waktu lebih dari 3 (tiga) bulan
sampai dengan 6 (enam) bulan ke depan sebesar USD100,000.00
(seratus ribu dolar Amerika Serikat), dan Kewajiban Valuta Asing
yang akan jatuh waktu sampai dengan 3 (tiga) bulan ke depan
sebesar USD100,000.00 (seratus ribu dolar Amerika Serikat).
Perhitungan pemenuhan ketentuan Rasio Lindung Nilai minimum
adalah sebagai berikut:
1. Pemenuhan Rasio Lindung Nilai minimum untuk jangka waktu
lebih dari 3 (tiga) bulan sampai dengan 6 (enam) bulan ke
depan.
PT XYZ memiliki selisih negatif antara Aset Valuta Asing dan
Kewajiban Valuta Asing sebesar USD40,000.00 –
USD100,000.00 = -USD60,000.00, sehingga untuk memenuhi
ketentuan Rasio Lindung Nilai minimum PT XYZ wajib
melakukan Lindung Nilai sebesar: 25% x USD60,000.00 =
USD15,000.00
Dalam kasus ini, PT XYZ wajib melakukan Lindung Nilai paling
sedikit sebesar USD15,000.00 (lima belas ribu dolar Amerika
Serikat) dengan tanggal transaksi antara 1 Januari 2016 sampai
dengan…
- 5 - 13 -
dengan 31 Maret 2016 dan tanggal valuta antara 1 Juli 2016
sampai dengan 30 September 2016, guna memenuhi ketentuan
Rasio Lindung Nilai minimum untuk jangka waktu lebih dari 3
(tiga) bulan sampai dengan 6 (enam) bulan ke depan.
2. Pemenuhan Rasio Lindung Nilai minimum untuk jangka waktu
sampai dengan 3 (tiga) bulan ke depan.
PT XYZ memiliki selisih negatif antara Aset Valuta Asing dan
Kewajiban Valuta Asing sebesar USD40,000.00 + USD15,000.00
– USD100,000.00 = -USD45,000.00, sehingga untuk memenuhi
ketentuan Rasio Lindung Nilai minimum PT XYZ wajib
melakukan Lindung Nilai sebesar: 25% x USD45,000.00 =
USD11,250.00.
Dalam kasus ini, PT XYZ wajib melakukan Lindung Nilai paling
sedikit sebesar USD11,250.00 (sebelas ribu dua ratus lima
puluh dolar Amerika Serikat) dengan tanggal transaksi antara 1
Januari 2016 sampai dengan 31 Maret 2016 dan tanggal valuta
antara 1 April 2016 sampai dengan 30 Juni 2016, guna
memenuhi ketentuan Rasio Lindung Nilai minimum untuk
jangka waktu sampai dengan 3 (tiga) bulan ke depan.
Pasal 4
Ayat (1)
Aset Valuta Asing termasuk tagihan yang berasal dari transaksi
forward, swap dan/atau option yang akan direalisasikan sampai
dengan 3 (tiga) bulan ke depan sejak akhir triwulan.
Akhir triwulan adalah tanggal terakhir pada setiap triwulan, yakni
31 Maret, 30 Juni, 30 September, dan 31 Desember.
Contoh:
Pada tanggal 31 Maret 2016, PT ABC memiliki aset lancar dalam
Valuta Asing sebesar USD30,000.00 (tiga puluh ribu dolar Amerika
Serikat) yang terdiri dari giro sebesar USD10,000.00 (sepuluh ribu
dolar Amerika Serikat) dan deposito sebesar USD20,000.00 (dua
puluh ribu dolar Amerika Serikat), serta tagihan transaksi forward
beli 3 (tiga) bulan sebesar USD10,000.00 (sepuluh ribu dolar
Amerika…
- 14 -
6 -
Amerika Serikat) dengan tanggal transaksi pada 1 Februari 2016
dan tanggal valuta pada 1 Mei 2016. Selain itu, PT ABC juga
memiliki Kewajiban Valuta Asing yang akan jatuh waktu sampai
dengan 3 (tiga) bulan ke depan sebesar USD100,000.00 (seratus
ribu dolar Amerika Serikat).
Berdasarkan kondisi di atas, Rasio Likuiditas PT ABC sebesar:
((USD30,000.00+USD10,000.00)/USD100,000.00)x100%=40%.
Jadi, PT ABC tidak memenuhi ketentuan Rasio Likuiditas sebesar
70%.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 5
Ayat (1)
Lembaga Pemeringkat yang diakui mengacu pada peraturan
perundang-undangan yang mengatur mengenai
lembaga
pemeringkat dan peringkat yang diakui oleh otoritas yang
berwenang.
Contoh:
Peringkat utang setara BB yang dikeluarkan oleh Standard & Poor’s
(S&P) adalah setara dengan Ba yang dikeluarkan oleh Moody’s
Investor Service atau setara dengan idBB yang dikeluarkan oleh
Pefindo.
Peringkat Utang BB mencakup BB-, BB, dan BB+ (S&P) atau setara
Ba1, Ba2, dan Ba3 (Moody’s) atau setara idBB-, idBB, dan idBB+
(Pefindo).
Ayat (2)
Masa berlaku Peringkat Utang (Credit Rating) atas korporasi (issuer
rating) dan/atau surat utang (issue rating) paling lama 1 (satu)
tahun setelah peringkat tersebut diterbitkan dan/atau ditetapkan.
Apabila…
- 15 -
7 -
Apabila korporasi akan melakukan ULN dengan menerbitkan surat
utang berjangka panjang maka Peringkat Utang yang harus
disampaikan adalah Peringkat Utang jangka panjang.
Pasal 6
Yang dimaksud dengan “utang dagang (trade credit)” adalah utang yang
timbul dalam rangka kredit yang diberikan oleh supplier luar negeri atas
transaksi barang dan/atau jasa.
Pasal 7
Huruf a
ULN dalam Valuta Asing yang merupakan refinancing adalah ULN
yang digunakan untuk menggantikan utang sebelumnya dengan
persyaratan (terms and conditions) yang lebih baik dengan jumlah
yang sama (tidak menambah outstanding ULN).
Huruf b
Contoh lembaga internasional (bilateral/multilateral) antara lain
International Finance Corporation (IFC), Japan Bank for
International Cooperation (JBIC), Japan International Cooperation
Agency (JICA), Asian Development Bank (ADB), Islamic
Development Bank (IDB).
Pengecualian terkait pembiayaan proyek infrastruktur tersebut
sebagai upaya mendukung pengembangan infrastruktur nasional.
Proyek infrastruktur yang dimaksud mencakup:
1. infrastruktur transportasi, meliputi pelayanan jasa
kebandarudaraan, penyediaan, dan/atau pelayanan jasa
kepelabuhanan, sarana, dan prasarana perkeretaapian;
2. infrastruktur jalan, meliputi jalan tol dan jembatan tol;
3. infrastruktur pengairan, meliputi saluran pembawa air baku;
4. infrastruktur air minum yang meliputi bangunan pengambilan
air baku, jaringan transmisi, jaringan distribusi, instalasi
pengolahan air minum;
5. infrastruktur sanitasi yang meliputi instalasi pengolah air
limbah, jaringan pengumpul dan jaringan utama, dan sarana
persampahan...
- 16 -
- 8 -
persampahan yang meliputi pengangkut dan tempat
pembuangan;
6. infrastruktur telekomunikasi dan informatika, meliputi jaringan
telekomunikasi dan infrastruktur e-government;
7. infrastruktur ketenagalistrikan, meliputi pembangkit, termasuk
pengembangan tenaga listrik yang berasal dari panas bumi,
transmisi atau distribusi tenaga listrik; dan
8. infrastruktur minyak dan gas bumi, meliputi transmisi
dan/atau distribusi minyak dan gas bumi.
Pasal 8
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “dokumen pendukung” antara lain Laporan
Keuangan lengkap baik secara triwulanan (in house) maupun
tahunan (audited).
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “instansi terkait” adalah
lembaga/kementerian/otoritas yang memiliki kewenangan
pengaturan atas Korporasi Nonbank, sebagai contoh
Kementerian Negara BUMN bagi korporasi BUMN.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Pasal…
- 17 -
- 9 -
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Untuk periode 1 Januari 2015 sampai dengan 31 Desember 2015,
Rasio Lindung Nilai dan Rasio Likuiditas ditetapkan masing-masing
sebesar 20% (dua puluh persen) dan 50% (lima puluh persen) untuk
memberikan kesempatan bagi Korporasi Nonbank melakukan
penyesuaian dalam pengelolaan risiko, termasuk ketersediaan
instrumen lindung nilai.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5620
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 16/20/PBI/2014 </reg_id>
<reg_title> PENERAPAN PRINSIP KEHATI-HATIAN DALAM PENGELOLAAN UTANG LUAR NEGERI KORPORASI NONBANK </reg_title>
<set_date> 28 Oktober 2014 </set_date>
<effective_date> 1 Januari 2015 </effective_date>
<issued_date> 29 Oktober 2014 </issued_date>
<related_reg> '2/PERPPU/2008', '6/UU/2009', '23/UU/1999' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB V' </penalty_list>
|