input
stringlengths
912
558k
output
stringlengths
234
2.18k
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 14/ 4 /PBI/2012 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 13/15/PBI/2011 TENTANG PEMANTAUAN KEGIATAN LALU LINTAS DEVISA LEMBAGA BUKAN BANK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa dalam rangka meningkatkan kualitas data dan informasi yang dihasilkan dari kegiatan pelaporan lalu lintas devisa oleh lembaga bukan bank, diperlukan waktu yang cukup bagi lembaga bukan bank untuk mempersiapkan pelaporan dalam setiap periode laporan; b. bahwa dalam rangka lebih meningkatkan kesiapan lembaga bukan bank dalam memenuhi ketentuan kewajiban pelaporan lalu lintas devisa, diperlukan penundaan pemberlakuan sanksi administratif atas kewajiban pelaporan lalu lintas devisa; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu dilakukan perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/15/PBI/2011 tentang Pemantauan Kegiatan Lalu Lintas Devisa Lembaga Bukan Bank; Mengingat … - 2 - Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3843) sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang- Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962); 2. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3844); MEMUTUSKAN: Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 13/15/PBI/2011 TENTANG PEMANTAUAN KEGIATAN LALU LINTAS DEVISA LEMBAGA BUKAN BANK. Pasal I … - 3 - Pasal I Beberapa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/15/PBI/2011 tanggal 23 Juni 2011 tentang Pemantauan Kegiatan Lalu Lintas Devisa Lembaga Bukan Bank (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5222) diubah sebagai berikut: 1. Ketentuan Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2) diubah sehingga Pasal 3 berbunyi sebagai berikut: Pasal 3 (1) LBB wajib menyampaikan Laporan LLD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 secara bulanan paling lama tanggal 15 bulan berikutnya secara online. (2) Dalam hal terdapat kesalahan Laporan LLD yang telah disampaikan oleh LBB kepada Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1), LBB harus menyampaikan koreksi atas kesalahan Laporan LLD paling lama tanggal 20 bulan berikutnya secara online. (3) Dalam hal pada hari terakhir penyampaian Laporan LLD dan/atau koreksi Laporan LLD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) terjadi gangguan teknis yang mengakibatkan LBB tidak dapat menyampaikan Laporan LLD dan/atau koreksi Laporan LLD secara online, maka Laporan LLD dan/atau koreksi Laporan LLD disampaikan secara offline pada hari kerja berikutnya. (4) Dalam hal pada hari kerja berikutnya gangguan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) telah dapat diatasi, maka Laporan LLD dan/atau koreksi Laporan LLD disampaikan secara online. (5) LBB … - 4 - (5) LBB dinyatakan terlambat menyampaikan Laporan LLD apabila Laporan LLD disampaikan melampaui batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan akhir bulan. (6) LBB dinyatakan tidak menyampaikan Laporan LLD apabila Laporan LLD tidak disampaikan sampai dengan akhir bulan sebagaimana dimaksud pada ayat (5). (7) Dalam hal LBB dinyatakan tidak menyampaikan Laporan LLD sebagaimana dimaksud pada ayat (6), hal tersebut tidak meniadakan kewajiban LBB untuk menyampaikan Laporan LLD kepada Bank Indonesia. 2. Ketentuan Pasal 11 ayat (1) diubah dan ayat (2) dihapus, sehingga Pasal 11 berbunyi sebagai berikut: Pasal 11 (1) Ketentuan mengenai sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 mulai berlaku untuk data bulan Juli 2012 yang disampaikan pada bulan Agustus 2012. (2) Dihapus. Pasal II Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan dan berlaku surut sejak tanggal 2 Januari 2012. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan … - 5 - Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 7 Juni 2012 GUBERNUR BANK INDONESIA, DARMIN NASUTION Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 7 Juni 2012 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, AMIR SYAMSUDDIN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2012 NOMOR 128 DSM - 6 - PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 14/ 4 /PBI/2012 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 13/15/PBI/2011 TENTANG PEMANTAUAN KEGIATAN LALU LINTAS DEVISA LEMBAGA BUKAN BANK I. UMUM Dalam rangka meningkatkan kualitas data dan informasi yang dihasilkan dari kegiatan pelaporan lalu lintas devisa oleh lembaga bukan bank serta untuk memberikan waktu yang cukup bagi lembaga bukan bank untuk mempersiapkan pelaporan dalam setiap periode laporan, maka batas waktu penyampaian laporan lalu lintas devisa lembaga bukan bank perlu disesuaikan. Selain itu, untuk lebih meningkatkan kesiapan lembaga bukan bank dalam melaksanakan sistem pelaporan yang baru, diperlukan penundaan pemberlakuan sanksi administratif berupa denda atas kewajiban pelaporan lalu lintas devisa. II. PASAL DEMI PASAL Pasal I Angka 1 Pasal 3 Ayat (1) Yang … - 7 - Yang dimaksud dengan “secara online” adalah dengan menggunakan media internet pada website pelaporan LLD di Bank Indonesia. Laporan LLD secara online dapat disampaikan pada hari Sabtu, Minggu, hari libur dan cuti bersama yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Ayat (2) Koreksi Laporan LLD secara online dapat disampaikan pada hari Sabtu, Minggu, hari libur dan cuti bersama yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Ayat (3) Yang dimaksud dengan “gangguan teknis” adalah gangguan yang terjadi di Bank Indonesia yang meliputi antara lain gangguan jaringan dan/atau komunikasi. Yang dimaksud dengan “secara offline” adalah dengan menggunakan media antara lain attachment email, compact disk (CD), flash disk, dan/atau media perekaman data elektronik lainnya yang disampaikan pada jam kerja Bank Indonesia setempat. Kriteria bahwa Laporan LLD dan koreksi Laporan LLD telah disampaikan akan diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) … - 8 - Ayat (5) Cukup jelas Ayat (6) Cukup jelas Ayat (7) Cukup jelas Angka 2 Pasal 11 Cukup jelas Pasal II Cukup jelas TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5320 DSM
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 14/4/PBI/2012 </reg_id> <reg_title> PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 13/15/PBI/2011 TENTANG PEMANTAUAN KEGIATAN LALU LINTAS DEVISA LEMBAGA BUKAN BANK </reg_title> <set_date> 7 Juni 2012 </set_date> <effective_date> 2 Januari 2012 </effective_date> <issued_date> 7 Juni 2012 </issued_date> <changed_reg> '13/15/PBI/2011' </changed_reg> <related_reg> '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '24/UU/1999' </related_reg>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR :3/18/PBI/2001 TENTANG PERSYARATAN DAN TATA CARA MEMBAWA UANG RUPIAH KELUAR ATAU MASUK WILAYAH REPUBLIK INDONESIA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka mengatur, menjaga dan memelihara kestabilan nilai Uang Rupiah serta dalam rangka pengawasan terhadap lalu lintas peredaran uang termasuk pengawasan terhadap uang palsu, maka dipandang perlu mengatur persyaratan dan tata cara membawa Uang Rupiah keluar atau masuk wilayah Republik Indonesia; b. bahwa ketentuan-ketentuan yang ada mengenai persyaratan dan tata cara membawa Uang Rupiah keluar atau masuk wilayah Republik Indonesia perlu disempurnakan sesuai dengan kondisi perkembangan ekonomi; c. bahwa sehubungan dengan butir a dan butir b, dipandang perlu menyusun Peraturan Bank Indonesia tentang Persyaratan dan Tata Cara Membawa Uang Rupiah Keluar atau Masuk Wilayah Republik Indonesia; Mengingat . . . - 2 - Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3612 ); 2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3843); 3. Undang-undang Nomor 24 Tahun 1999 Tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3844); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PERSYARATAN DAN TATA CARA MEMBAWA UANG RUPIAH KELUAR ATAU MASUK WILAYAH REPUBLIK INDONESIA. BAB I . . . - 3 - BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan: 1. Uang Rupiah adalah uang kertas maupun uang logam yang merupakan alat pembayaran yang sah di wilayah Republik Indonesia. 2. Membawa Uang Rupiah keluar atau masuk wilayah Republik Indonesia adalah mengeluarkan atau memasukkan Uang Rupiah yang dilakukan dengan cara membawa sendiri atau melalui pihak lain, dengan atau tanpa menggunakan sarana pengangkut. 3. Wilayah Republik Indonesia adalah daerah pabean yang meliputi wilayah darat, perairan dan ruang udara di atasnya, serta tempat-tempat tertentu di Zona Ekonomi Eksklusif dan landas kontinen. 4. Mendeklarasikan pembawaan Uang Rupiah keluar adalah mengisi formulir pemberitahuan Pembawaan Uang Rupiah keluar wilayah Republik Indonesia sebagaimana tercantum dalam Lampiran 1 dan menyerahkan kepada petugas Bea dan Cukai. 5. Mendeklarasikan pembawaan Uang Rupiah masuk adalah mengisi formulir pemberitahuan Pembawaan Uang Rupiah masuk wilayah Republik Indonesia dan menyerahkan kepada petugas Bea dan Cukai. BAB II . . . - 4 - BAB II PERSYARATAN DAN TATA CARA MEMBAWA UANG RUPIAH Pasal 2 (1) Setiap orang yang membawa Uang Rupiah keluar wilayah Republik Indonesia sampai dengan Rp.5.000.000,00 (lima juta Rupiah), tidak perlu memperoleh izin dan atau mendeklarasikan pembawaan Uang Rupiah keluar wilayah Republik Indonesia di tempat keberangkatan. (2) Setiap orang yang membawa Uang Rupiah keluar wilayah Republik Indonesia lebih dari Rp.10.000.000,00 Rp.5.000.000,00 (lima (sepuluh juta juta Rupiah), Rupiah) wajib sampai terlebih dengan dahulu mendeklarasikan pembawaan Uang Rupiah keluar wilayah Republik Indonesia di tempat keberangkatan. (3) Setiap orang yang membawa Uang Rupiah keluar wilayah Republik Indonesia lebih dari Rp.10.000.000,00 (sepuluh juta Rupiah), wajib terlebih dahulu memperoleh izin secara tertulis pembawaan Uang Rupiah keluar wilayah Republik Indonesia keberangkatan. Pasal 3 (1) Setiap orang yang membawa Uang Rupiah masuk wilayah Republik Indonesia sampai dengan Rp.50.000.000,00 (lima puluh juta Rupiah), tidak perlu mendeklarasikan . . . dari Bank Indonesia serta mendeklarasikan di tempat - 5 - mendeklarasikan pembawaan Indonesia di tempat kedatangan. Uang Rupiah masuk wilayah Republik (2) Setiap orang yang membawa Uang Rupiah masuk wilayah Republik Indonesia lebih dari Rp.100.000.000,00 (seratus juta Rupiah), wajib terlebih dahulu mendeklarasikan pembawaan Indonesia di tempat kedatangan. Rp.50.000.000,00 (lima puluh juta Rupiah) sampai dengan Uang Rupiah masuk wilayah Republik (3) Setiap orang yang membawa Uang Rupiah masuk wilayah Republik Indonesia lebih dari Rp.100.000.000,00 (seratus juta Rupiah), wajib terlebih dahulu mendeklarasikan pembawaan Indonesia dan memeriksakan keaslian uangnya di tempat kedatangan. Pasal 4 (1) Izin Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) hanya dapat diberikan untuk kepentingan : a. Penyediaan uang untuk kebutuhan negara; b. Uji coba mesin uang; c. Kegiatan pameran di luar negeri. (2) Izin Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat diberikan untuk 1 (satu) kali penggunaan dengan persyaratan : (i) masa berlaku izin selama-lamanya 30 (tiga puluh) hari terhitung dari tanggal pemberian izin. (ii) surat izin . . . Uang Rupiah masuk wilayah Republik - 6 - (ii) surat izin wajib diserahkan kepada petugas Bea dan Cukai keberangkatan. ditempat (3) Izin pembawaan Uang Rupiah berlaku untuk jumlah maksimal sama dengan jumlah uang yang tercantum dalam surat izin. Pasal 5 (1) Untuk memperoleh izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) yang bersangkutan harus mengajukan permohonan secara tertulis kepada Bank Indonesia selambat-lambatnya 15 (lima belas) hari kerja sebelum tanggal keberangkatan. (2) Permohonan izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dilengkapi dengan identitas diri bagi perorangan, nama dan alamat perusahaan bagi perusahaan, jumlah Uang Rupiah yang akan dibawa, tujuan penggunaan, tempat keberangkatan dan tanggal keberangkatan sebagaimana contoh surat permohonan pada Lampiran 2. (3) Permohonan izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disampaikan kepada : a. Direktorat Luar Negeri - Kantor Pusat Bank Indonesia, bagi pemohon yang berdomisili di wilayah Jakarta, Bogor, Tangerang, Bekasi (JABOTABEK); b. Kantor Bank Indonesia terdekat dengan alamat pemohon sebagaimana dalam Lampiran 3, bagi pemohon yang berdomisili di luar wilayah Jakarta, Bogor, Tangerang, Bekasi (JABOTABEK). (4) Bank Indonesia . . . - 7 - (4) Bank Indonesia akan memberikan jawaban atas permohonan izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dalam waktu 10 (sepuluh) hari kerja setelah surat permohonan diterima secara lengkap dan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2). BAB III SANKSI ADMINISTRATIF Pasal 6 (1) Setiap pelanggaran terhadap ketentuan pembawaan Uang Rupiah keluar atau masuk wilayah Republik Indonesia dikenakan sanksi administratif berupa denda sebesar 10% (sepuluh per seratus) dari jumlah Uang Rupiah yang dibawa, dalam hal: a. tidak mendeklarasikan pembawaan Uang Rupiah keluar wilayah Republik Indonesia di tempat keberangkatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) atau tidak mendeklarasikan pembawaan Uang Rupiah masuk wilayah Republik Indonesia di tempat kedatangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2); atau b. mendeklarasikan pembawaan Uang Rupiah keluar wilayah Republik Indonesia di tempat keberangkatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) atau mendeklarasikan pembawaan Uang Rupiah masuk wilayah Republik Indonesia di tempat kedatangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 . . . benar oleh Bank Indonesia - 8 - Pasal 3 ayat (2), tetapi dengan keterangan yang tidak benar dan atau jumlah yang tidak sesuai dengan jumlah Uang yang dibawa; atau c. mendeklarasikan pembawaan Uang Rupiah keluar wilayah Republik Indonesia di tempat keberangkatan tetapi tidak memperoleh pembawaan Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3); atau d. mendeklarasikan pembawaan Uang Rupiah keluar wilayah Republik Indonesia di tempat keberangkatan tetapi dengan keterangan yang tidak benar dan atau jumlah yang tidak sesuai dengan jumlah Uang yang dibawa dan tidak memperoleh izin pembawaan Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3); atau e. tidak mendeklarasikan pembawaan Uang Rupiah keluar wilayah Republik Indonesia ditempat keberangkatan dan tidak memperoleh izin pembawaan Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3). (2) Setiap pelanggaran terhadap ketentuan pembawaan Uang Rupiah keluar wilayah Republik Indonesia melebihi jumlah Uang Rupiah yang diberikan izin atau melebihi jumlah yang dideklarasikan atas dasar izin, dikenakan sanksi administratif berupa denda sebesar 10% (sepuluh per seratus) dari jumlah yang dibawa setelah dikurangi dengan jumlah yang diberikan izin. (3) Pengenaan sanksi administratif berupa denda dilakukan dengan memotong dari Uang Rupiah yang akan dibawa keluar atau masuk wilayah Republik Indonesia. (4) Sisa . . . izin - 9 - (4) Sisa Uang Rupiah setelah dikenakan sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dikembalikan kepada pihak yang dikenakan sanksi. (5) Uang Rupiah yang dikembalikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) hanya dapat dibawa keluar wilayah Republik Indonesia setelah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 atau dapat dibawa masuk wilayah Republik Indonesia setelah memenuhi ketentuan sebagaimana dalam Pasal 3. Pasal 7 Sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 merupakan penerimaan negara. Pasal 8 Pengawasan dilakukan atas pelaksanaan oleh Direktorat Jenderal Bea ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia ini dan Cukai sesuai perundang-undangan yang berlaku di bidang kepabeanan. dengan ketentuan BAB IV . . . - 10 - BAB IV KETENTUAN PENUTUP Pasal 9 Dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini maka : 1. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 30/191A/KEP/DIR tanggal 2 Februari 1998 tentang Pengeluaran atau Pemasukan Mata Uang Rupiah Dari atau Ke Dalam Wilayah Republik Indonesia; 2. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 30/271A/KEP/DIR tanggal 6 Maret 1998 tentang Perubahan SK DIR BI Nomor 30/191A/KEP/DIR tentang Pengeluaran atau Pemasukan Mata Uang Rupiah Dari Atau Ke Dalam Wilayah Republik Indonesia; 3. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 30/278/KEP/DIR tanggal 23 Maret 1998 sebagaimana tercantum dalam Surat Keputusan Bersama Direktur Bank Indonesia dan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Departemen Keuangan No.30/278/KEP/DIR dan No. KEP –24/BC/1998 tanggal 23 Maret 1998 tentang Tata Cara Pengeluaran atau Pemasukan Mata Uang Republik Indonesia dari atau ke Dalam Wilayah Republik Indonesia. dinyatakan tidak berlaku. Pasal 10 . . . - 11 - Pasal 10 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan. Ditetapkan di JAKARTA Pada tanggal 17 Oktober 2001 GUBERNUR BANK INDONESIA SYAHRIL SABIRIN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2001 NOMOR 130 DLN. PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 3/18/PBI/2001 TENTANG PERSYARATAN DAN TATA CARA MEMBAWA UANG RUPIAH KELUAR ATAU MASUK WILAYAH REPUBLIK INDONESIA UMUM Gejolak moneter di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir ini telah menyebabkan ketidakstabilan nilai Uang Rupiah. Keadaan tersebut membuka peluang bagi pihak-pihak tertentu untuk meraih keuntungan yang sebesar-besarnya dengan memperdagangkan Uang Rupiah melalui pembawaan fisik secara lintas batas negara yang berdampak perekonomian secara keseluruhan. kurang menguntungkan bagi perkembangan Sementara itu dengan meningkatnya kegiatan perekonomian dan jumlah uang palsu di masyarakat, perlu ditingkatkan pengawasan terhadap lalu lintas peredaran Uang Rupiah. Sejalan dengan kondisi tersebut Undang-undang No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, khususnya Pasal 3 ayat (1) mengatur bahwa Uang Rupiah dalam jumlah tertentu dilarang dibawa keluar atau masuk wilayah Republik Indonesia kecuali dengan izin Bank Indonesia. Mengingat Undang-undang No.23 tahun 1999 tersebut mengamanatkan kepada Bank Indonesia untuk mengatur pelaksanaan ketentuan . . . - 2 - ketentuan tersebut dan bahwa ketentuan tentang tata cara pembawaan Uang Rupiah keluar atau masuk wilayah Republik Indonesia yang saat ini berlaku tidak sesuai lagi dengan kondisi perekonomian, maka disusunlah Peraturan Bank Indonesia ini. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Formulir Pemberitahuan Pembawaan Rupiah dapat diperoleh di Bank Indonesia dan tempat-tempat keberangkatan. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 3 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) . . . - 3 - Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Apabila pada saat dilakukannya pemeriksaan keaslian Uang Rupiah, dijumpai adanya uang Rupiah yang diragukan keasliannya, petugas Bea dan Cukai dapat meminta klarifikasi kepada Bank Indonesia. Pasal 4 ayat (1) a. Cukup jelas b. Yang dimaksud dengan mesin uang adalah berhubungan dengan Uang peralatan yang antara lain mesin sortir uang, mesin racik uang, mesin hitung uang, mesin tukar uang, vanding machine dan mesin Anjungan Tunai Mandiri (ATM). Ayat (2) Yang dimaksud dengan 1 (satu) kali penggunaan adalah digunakan untuk 1 (satu) kali perjalanan. Ayat (3) Cukup jelas Pasal 5 Ayat (1) Izin dari Bank Indonesia adalah persetujuan tertulis yang dikeluarkan oleh . . . - 4 - oleh Direktorat Luar Negeri (DLN) Kantor Pusat Bank Indonesia, atau Kantor Bank Indonesia, untuk membawa Uang Rupiah dalam jumlah tertentu keluar wilayah Republik Indonesia. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Jawaban Bank Indonesia dapat berupa pemberian izin atau penolakan atas permohonan izin. Pasal 6 Ayat (1) Cukup Jelas Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) . . . - 5 - Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 7 Cukup jelas Pasal 8 Cukup jelas Pasal 9 Cukup jelas Pasal 10 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4147 Lampiran 1 BANK INDONESIA BANK INDONESIA PEMBERITAHUAN PEMBAWAAN MATA UANG RUPIAH LEBIH DARI RP.5.000.000,00 RUPIAH BANK NOTES DECLARATION MORE THAN RP.5.000.000,00 Diisi oleh Setiap Pemegang Paspor dan Disampaikan Kepada Pejabat Bea dan Cukai di Bandara Keberangkatan/Pelabuhan/Tapal Batas To Anyone Holding Passport And Give To The Customs And Excise Official at Port/Airport/Border Area 1. No. Penerbangan/Pelayaran/Kendaraan: Flight/Voyage/VehicleNumber 3. Nama Penumpang: Passenger Name (full name) 5. Kebangsaan: Nationality 7. Pekerjaan: Occupation 2. 4. 6. 8. Tanggal Keberangkatan: Date of Departure Tempat Keberangkatan: Place of Departure Nomor Paspor: Passport Number Negara Tujuan: Country of Destination 9. Harap menyebutkan jumlah mata uang Rupiah yang anda bawa: Please specify the amount of Rupiah Bank Notes that you bring 10. a. Jika anda membawa mata uang Rupiah lebih dari Rp.10.000.000,00 apakah anda memiliki surat izin dari Bank Indonesia? If you bring Rupiah Bank Notes more than Rp.10.000.000,00 do you have letter of approval from Bank Indonesia? Tidak / No Nomor / Number: Ya / yes c. Jika ya, harap menyebutkan Nomor dan Tanggal izin yang dikeluarkan Bank Indonesia. If yes, please mention the Number and the Date of approval letter issued by Bank Indnesia. Tgl. / date: Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa yang saya beritahukan adalah benar. I declare that the information given is true and correct. Untuk Pejabat Bea dan Cukai Tanda tangan : Nama NIP : : Tgl. : Date Tanda tangan Signature : Lampiran 2 No. *)Kepada Yth: Direktur Direktorat Luar Negeri Bank Indonesia Kantor Pusat Jl. M.H. Thamrin No.2 Kotak Pos 1035 J A K A R T A 10010 **)Kepada Yth: Pemimpin Bank Indonesia …………………… Jl. …………………………***) Perihal : Permohonan Izin Untuk Membawa Uang Rupiah Keluar Wilayah Republik Indonesia ------------------------------------------------------------ Dengan hormat, Dengan ini kami ……………………………………..(nama perusahaan dan alamat ), mengajukan permohonan izin untuk membawa Rupiah Keluar Wilayah Republik Indonesia menuju ……………………………… dengan rincian sebagai berikut: Nama Perusahaan Alamat Jumlah Rupiah Tujuan penggunaan Tempat Keberangkatan Tanggal Keberangkatan : : : : : : : Perlu kami tambahkan bahwa penggunaan pembawaan Rupiah untuk ………………………. Dimaksud karena …………………………………………………. (beri alasan perlunya pembawaan Rupiah). Demikian permohonan kami, atas perhatiannya kami sampaikan terimakasih. …………………………………… *) Alamat surat permohonan bagi pemohon yang bermisili di JABOTABEK **) Alamat surat permohonan bagi pemohon yang bermisili di luar JABOTABEK ***) Sesuai lampiran 4 PBI Pembawaan Rupiah ini. Jakarta, Lampiran 3 DAFTAR ALAMAT KANTOR BANK INDONESIA 1. KBI Ambon 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. Jl. Raya Pattimura No.7, Ambon Balikpapan Banda Aceh Bandar Lampung Bandung Banjarmasin Batam Bengkulu Cirebon Denpasar Jambi Jayapura Jember Kediri Kendari Kupang Lhokseumawe 18. Malang 19. Mataram 20. Medan 21. Menado 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33. 34. 35. Padang Palangka Raya Palembang Palu Pekanbaru Pontianak Purwokerto Samarinda Semarang Sibolga Solo Surabaya Tasikmalaya Ternate 36. Makasar 37. Yogyakarta Jl. Jend. Sudirman No.20, Balikpapan 76111 Jl. Cut Meutia No.15 Banda Aceh Jl. Hasanuddin No.38, Bandar Lampung Jl. Braga No.108, Bandung 40111 Jl. Lambung Mangkurat No.15, Banjarmasin 70111 Jl. Engku Putri Batam Centre, Batam 29432 Jl. Jend. Ahmad Yani, Bengkulu Jl. Yos Sudarso No. 5 – 7, Cirebon Jl. WR. Supratman 1, Denpasar Jl. Jend. Ahmad Yani, Lelanaipura, Jambi Jl. Dr. Sam Ratulangi No.9, Jayapura Jl. Gajah Mada No.224, Jember Jl. Brawijaya No.2, Kediri Jl. Sultan Hasanuddin No.150, Kendari 93122 Jl. Tom Pello No.2, Kupang Jl. Merdeka No.1, Lhokseumawe 24312 Jl. Merdeka Utara No.7/Jl.Merdeka Timur o.1, Malang Jl. Pejanggik No.2, Mataram Jl. Balai Kota No.4, Medan Jl. 17 Agustus, Menado Jl. Jend. Sudirman No.22, Padang Jl. Diponegoro No.17, Palangkaraya 73111 Jl. Jend. Sudirman No.510, Palembang Jl. Sam Ratulangi No.23, Palu Jl. Jend. Sudirman No.464, Pekanbaru Jl. Rahadi Usman No.3, Pontianak 78111 Jl. Jend. Gatot Subroto No.98, Purwokerto 53116 Jl Gajah Mada No.1, Samarinda 75122 Jl. Imam Bardjo SH No.4, Semarang Jl. Kapten Maruli Sitorus No.8, Sibolga 22513 Jl. Jend. Sudirman No.4, Solo Jl. Pahlawan No.105, Surabaya Jl. Sutisna Senjaya No.19, Tasikmalaya 46112 Jl. Yos Sudarso, Ternate Jl. Jend. Sudirman No.3, Makasar Jl. Panembahan Senopati No.4 – 6, Yogyakarta 55121
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 3/18/PBI/2001 </reg_id> <reg_title> PERSYARATAN DAN TATA CARA MEMBAWA UANG RUPIAH KELUAR ATAU MASUK WILAYAH REPUBLIK INDONESIA </reg_title> <set_date> 17 Oktober 2001 </set_date> <effective_date> 17 Oktober 2001 </effective_date> <replaced_reg> '30/191A/KEP/DIR|SKDIR-BI/1998', '30/271A/KEP/DIR|SKDIR-BI/1998', '30/278/KEP/DIR|KEPBER-BI-DIRJEN-BC-DEPKEU/1998|1' </replaced_reg> <related_reg> '10/UU/1995', '23/UU/1999', '24/UU/1999' </related_reg> <penalty_list> 'BAB III' </penalty_list>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 2/ 15 /PBI/2000 TENTANG PERUBAHAN SURAT KEPUTUSAN DIREKSI BANK INDONESIA NOMOR 31/150/KEP/DIR TANGGAL 12 NOVEMBER 1998 TENTANG RESTRUKTURISASI KREDIT GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam upaya pemulihan perekonomian nasional, program restrukturisasi perusahaan yang dilaksanakan pada saat ini perlu didorong agar dapat mencapai sasaran yang diinginkan; b. bahwa untuk mencapai hal-hal tersebut perlu dilakukan penyesuaian terhadap ketentuan kehati-hatian dibidang perbankan, khususnya mengenai batas waktu penyertaan modal sementara bank dalam rangka restrukturisasi kredit; c. bahwa sehubungan dengan itu dipandang perlu untuk menetapkan Perubahan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 31/150/KEP/DIR tanggal 12 November 1998 tentang Restrukturisasi Kredit dalam Peraturan Bank Indonesia; Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan Mengingat … -2- (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3790); 2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3843); 3. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 31/150/KEP/DIR tanggal 12 November 1998 tentang Restrukturisasi Kredit; MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN SURAT KEPUTUSAN DIREKSI BANK INDONESIA NOMOR 31/150/KEP/DIR TANGGAL 12 NOVEMBER 1998 TENTANG RESTRUKTURISASI KREDIT Pasal I … -3- Pasal I Mengubah ketentuan Pasal 12 dalam Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 31/150/KEP/DIR tanggal 12 November 1998 tentang Restrukturisasi Kredit, sehingga Pasal 12 seluruhnya berbunyi sebagai berikut: “Pasal 12 (1) Penyertaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) wajib ditarik kembali apabila: a. telah melebihi jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun; atau b. perusahaan debitur tempat Penyertaan telah memperoleh laba kumulatif: (2) Penyertaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) wajib dihapusbukukan dari neraca Bank apabila telah melebihi jangka waktu 5 (lima) tahun.” Pasal II … Pasal II -4- Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 12 Juni 2000 GUBERNUR BANK INDONESIA SYAHRIL SABIRIN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2000 NOMOR 89 DPNP PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA -5- NOMOR: 2/ 15 /PBI/2000 TENTANG PERUBAHAN SURAT KEPUTUSAN DIREKSI BANK INDONESIA NOMOR 31/150/KEP/DIR TANGGAL 12 NOVEMBER 1998 TENTANG RESTRUKTURISASI KREDIT I. UMUM Pelaksanaan program pemulihan perekonomian nasional dimulai dengan penerapan berbagai langkah-langkah dalam rangka restrukturisasi perbankan nasional yang antara lain dilaksanakan melalui program penjaminan pemerintah, program rekapitalisasi perbankan dan pelaksanaan restrukturisasi kredit perbankan. Langkah selanjutnya dalam program pemulihan perekonomian nasional tersebut adalah melalui restrukturisasi perusahaan. Program restrukturisasi perusahaan sangat erat kaitannya untuk mendukung perbaikan sisi aktiva perbankan melalui program restrukturisasi kredit. Dalam pelaksanaannya, program restrukturisasi kredit dan restrukturisasi perusahaan yang dilaksanakan selama ini mengalami berbagai kendala dan salah satunya adalah berupa adanya ketentuan yang berkaitan dengan prinsip kehati- hatian dalam pengelolaan Bank. Sehubungan dengan permasalahan tersebut serta dengan mempertimbangkan bahwa restrukturisasi kredit dan restrukturisasi perusahaan pada … manusia … -6- pada gilirannya dapat memperbaiki sisi aktiva perbankan dan mendorong pergerakan sektor riil maka perlu dilakukan penyesuaian ketentuan kehati-hatian khususnya mengenai batas waktu penarikan Penyertaan Bank dalam rangka restrukturisasi kredit. II. PASAL DEMI PASAL Pasal I Pasal 12 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas Huruf b Yang dimaksud dengan laba kumulatif adalah laba perusahaan setelah diperhitungkan dengan kerugian tahun-tahun sebelumnya. Ayat (2) Cukup jelas Pasal II Cukup jelas TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3972 -7- DPNP
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 2/15/PBI/2000 </reg_id> <reg_title> PERUBAHAN SURAT KEPUTUSAN DIREKSI BANK INDONESIA NOMOR 31/150/KEP/DIR TANGGAL 12 NOVEMBER 1998 TENTANG RESTRUKTURISASI KREDIT </reg_title> <set_date> 12 Juni 2000 </set_date> <effective_date> 12 Juni 2000 </effective_date> <changed_reg> '31/150/KEP/DIR|SKDIR-BI/1998' </changed_reg> <related_reg> '23/UU/1999', '7/UU/1992', '31/150/KEP/DIR|SKDIR-BI/1998', '10/UU/1998' </related_reg>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 8/25/PBI/2006 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 6/17/PBI/2004 TENTANG BANK PERKREDITAN RAKYAT BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa dalam rangka mendorong pertumbuhan Bank Perkreditan Rakyat Berdasarkan Prinsip Syariah agar dapat melayani masyarakat yang lebih luas, maka diperlukan penyesuaian kebijakan yang berkaitan dengan perluasan jaringan kantor dan permodalan; b. bahwa untuk dapat beroperasi dengan baik Bank Perkreditan Rakyat Berdasarkan Prinsip Syariah selain membutuhkan permodalan yang kuat juga membutuhkan pengelolaan yang profesional; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, maka dipandang perlu untuk melakukan perubahan terhadap Peraturan Bank Indonesia Nomor Berdasarkan Prinsip Syariah; Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31 … 6/17/PBI/2004 tentang Bank Perkreditan Rakyat -2 - 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); 2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 3 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357); M E M U T U S K A N: Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 6/17/PBI/2004 TENTANG BANK PERKREDITAN RAKYAT BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH. Pasal I Beberapa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/17/PBI/2004 tentang Bank Perkreditan Rakyat Berdasarkan Prinsip Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4392) diubah sebagai berikut: 1. Ketentuan … -3 - 1. Ketentuan Pasal 22 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 22 (1) Jumlah anggota Direksi BPRS paling sedikit 2 (dua) orang. (2) Paling sedikit 50% (lima puluh perseratus) dari anggota Direksi termasuk Direktur Utama wajib berpengalaman operasional paling sedikit: a. 1 (satu) tahun sebagai pejabat di bidang pendanaan dan atau pembiayaan di perbankan syariah; b. 4 (empat) tahun sebagai pegawai di bidang pendanaan dan pembiayaan di perbankan syariah; c. 2 (dua) tahun sebagai pejabat di bidang pendanaan dan atau perkreditan di perbankan konvensional pengetahuan di bidang perbankan syariah; atau d. 3 (tiga) tahun sebagai direksi atau setingkat dengan direksi di lembaga keuangan syariah yang telah mendapat izin dari instansi yang berwenang. (3) Bagi anggota Direksi lain yang belum berpengalaman perbankan syariah wajib mengikuti pelatihan perbankan syariah. (4) Anggota Direksi paling sedikit setingkat Diploma III atau Sarjana Muda. (5) Anggota Direksi wajib memiliki sertifikat kelulusan dari lembaga sertifikasi. (6) Direktur Utama BPRS wajib berasal dari pihak yang independen terhadap pemegang saham pengendali. berpendidikan formal minimal dan memiliki 2. Pasal 35 … -4 - 2. Pasal 35 ayat (1) Penjelasan diubah dan ayat (2) dihapus sehingga Pasal 35 berbunyi sebagai berikut: Pasal 35 (1) Produk dan jasa baru yang akan dikeluarkan oleh BPRS wajib memperoleh persetujuan terlebih dahulu dari Bank Indonesia. (2) Dihapus. 3. Diantara Pasal 35 dan Pasal 36 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 35A sehingga berbunyi sebagai berikut : Pasal 35A BPRS wajib menjaga Aktiva Tetap dan Inventaris BPRS paling tinggi 50% (lima puluh perseratus) dari modal disetor BPRS. 4. Ketentuan Pasal 37 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 37 (1) Pembukaan Kantor Cabang BPRS hanya dapat dilakukan dengan izin Bank Indonesia. (2) BPRS dapat membuka Kantor Cabang dalam 1 (satu) wilayah propinsi yang sama dengan kantor pusatnya. (3) BPRS yang kantor pusatnya berada di wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta Raya dan Kabupaten/Kota Tangerang, Bogor, Depok, dan Bekasi dapat membuka Kantor Cabang dalam wilayah tersebut. (4) Rencana pembukaan Kantor Cabang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dicantumkan dalam rencana kerja tahunan BPRS. (5) Pembukaan … -5 - (5) Pembukaan Kantor Cabang wajib memenuhi persyaratan tingkat kesehatan selama 6 (enam) bulan terakhir tergolong sehat. (6) Dalam setiap pembukaan Kantor Cabang berlaku ketentuan sebagai berikut: a. BPRS dengan modal disetor kurang dari Rp5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah) wajib menambah modal disetor sekurang- kurangnya 25% (dua puluh lima perseratus) dari persyaratan pendirian BPRS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4; b. BPRS dengan modal disetor Rp5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah) atau lebih tidak wajib menambah modal disetor. 5. Ketentuan Pasal 41 ayat (2) huruf b diubah, sehingga Pasal 41 berbunyi sebagai berikut: Pasal 41 (1) Rencana pembukaan Kantor Kas dan Kegiatan Kas di Luar Kantor wajib dicantumkan dalam rencana kerja tahunan BPRS. (2) Pembukaan Kantor Kas dan Kegiatan Kas di Luar Kantor hanya dapat dilakukan dalam: a. Satu wilayah Kabupaten/Kota yang sama dengan kantor BPRS yang menjadi induknya; dan atau b. Satu wilayah Kabupaten/ Kota yang berbatasan langsung dengan kantor BPRS yang menjadi induknya baik dalam propinsi yang sama maupun propinsi yang berbeda. (3) BPRS yang akan membuka Kantor Kas wajib memenuhi persyaratan tingkat kesehatan selama 6 (enam) bulan terakhir paling kurang tergolong cukup sehat. (4) Pembukaan … -6 - (4) Pembukaan Kantor Kas hanya dapat dilakukan setelah mendapatkan surat penegasan dari Bank Indonesia. (5) Surat penegasan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diberikan paling lambat 30 (tiga puluh) hari setelah dokumen diterima secara lengkap. 6. Ketentuan Pasal 54 ayat (3) dihapus sehingga Pasal 54 berbunyi sebagai berikut: Pasal 54 (1) Perubahan kegiatan usaha BPR yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional menjadi BPR yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah hanya dapat dilakukan dengan izin perubahan kegiatan usaha Dewan Gubernur Bank Indonesia. (2) Perubahan kegiatan usaha BPR sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan apabila telah dicantumkan dalam rencana kerja tahunan BPR. (3) Dihapus. 7. Ketentuan Pasal 55, Pasal 56, dan Pasal 57 dihapus. 8. Ketentuan Pasal 58 diubah dan ditambah 1 (satu) ayat yakni ayat (2) sehingga Pasal 58 berbunyi sebagai berikut: Pasal 58 (1) Permohonan untuk mendapatkan izin perubahan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 diajukan oleh Direksi BPR kepada … -7 - kepada Dewan Gubernur Bank Indonesia dan wajib dilampiri dengan: a. Anggaran dasar bank; b. Rancangan akta perubahan anggaran dasar yang secara tegas mencantumkan bahwa BPR melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah serta penempatan dan tugas-tugas Dewan Pengawas Syariah, yang telah disetujui oleh rapat umum pemegang saham dan dibuat dihadapan notaris dalam bahasa Indonesia; c. Rencana struktur organisasi dan susunan personalia; d. Rencana penyelesaian seluruh hak dan kewajiban BPR terhadap nasabah yang tidak bersedia menjadi nasabah BPRS; e. Rencana kerja tahunan BPR yang termasuk didalamnya rencana kerja tahun pertama yang sekurang-kurangnya memuat: i. Rencana kegiatan usaha yang mencakup penghimpunan dan penyaluran dana serta langkah-langkah kegiatan yang akan dilakukan dalam mewujudkan rencana dimaksud; ii. Rencana kebutuhan pegawai; iii. Proyeksi arus kas bulanan selama 36 (tiga puluh enam) bulan yang dimulai sejak BPRS melakukan kegiatan operasionalnya serta proyeksi neraca dan perhitungan laba rugi; f. Studi kelayakan pendirian BPRS yang antara lain memuat hasil penelaahan mengenai peluang pasar dan potensi ekonomi di wilayah Kabupaten/Kota tempat kedudukan operasional BPRS; dan wilayah g. Data … -8 - g. Data kepemilikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b dalam hal terjadi penggantian dan atau penambahan pemilik, disertai dengan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2); h. Daftar anggota direksi dan dewan komisaris, dan atau calon anggota Direksi dan dewan komisaris dalam hal terjadi penggantian, yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, 22, 23, dan 24, disertai dengan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf h, huruf i, huruf j dan huruf k; i. Daftar Dewan Pengawas Syariah yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 dan 30, disertai dengan dokumen Pasal 9 ayat (1) huruf c; j. Surat pernyataan dari Direksi dan dewan Komisaris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf h, huruf i, dan huruf k; k. Bukti kesiapan operasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf f. (2) BPRS yang mengajukan permohonan izin perubahan kegiatan usaha wajib melakukan presentasi kepada Bank Indonesia mengenai keseluruhan rencana perubahan kegiatan usaha. 9. Ketentuan Pasal 59 ayat (2) diubah dan ayat (3) dihapus sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 59 (1) Persetujuan atau penolakan atas permohonan perubahan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 diberikan paling lambat … -9 - lambat 60 (enam puluh) hari setelah dokumen permohonan diterima secara lengkap. (2) Dalam rangka memberikan persetujuan atau penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia melakukan: a. Penelitian atas kelengkapan dan kebenaran dokumen; b. Wawancara terhadap pemilik, anggota Direksi Komisaris serta Dewan Pengawas Syariah; c. Analisis yang mencakup antara lain tingkat kesehatan, tingkat persaingan yang sehat dan tingkat kejenuhan antar bank yang melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah dan BPRS. (3) Dihapus. 10. Diantara Pasal 59 dan Pasal 60 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 59 A dan Pasal 59 B sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 59 A Dalam hal perubahan anggaran dasar BPR memerlukan persetujuan dari instansi berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (1) huruf b, permohonan persetujuan atas perubahan anggaran dasar kepada instansi berwenang diajukan bersamaan dengan pengajuan permohonan izin perubahan kegiatan usaha. Pasal 59 B (1) Izin perubahan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (1) berlaku sejak : a. tanggal … dan Dewan -10 - a. tanggal persetujuan perubahan anggaran dasar atau akta pendirian termasuk anggaran dasar dari instansi berwenang; atau b. tanggal pendaftaran akta perubahan anggaran dasar dalam daftar perusahaan apabila perubahan anggaran dasar tidak memerlukan persetujuan instansi yang berwenang. (2) BPR yang telah mendapatkan izin perubahan kegiatan usaha dari Dewan Gubernur Bank Indonesia wajib melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah paling lambat 60 (enam puluh) hari sejak izin perubahan kegiatan usaha diberlakukan. 11. Diantara BAB XI dan BAB XII disisipkan 1 (satu) bab yakni BAB XI A, sehingga berbunyi sebagai berikut: BAB XI A LEMBAGA SERTIFIKASI Pasal 65A (1) Lembaga sertifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (5) merupakan lembaga yang mengatur dan menetapkan sistem sertifikasi bagi anggota dan calon anggota Direksi yang memenuhi persyaratan minimum yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. (2) Persyaratan minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebagai berikut: a. Mempunyai visi dan misi, terutama untuk pengembangan sumber daya manusia BPRS dengan tujuan akhir untuk tercapainya industri BPRS yang sehat kuat dan efisien. b. Mempunyai organ terdiri dari dewan sertifikasi, kurikulum nasional, dan manajemen. c. Memiliki … komite -11 - c. Memiliki kompetensi dan komitmen untuk melaksanakan kebijakan pengembangan sumber daya manusia BPRS; dan d. Tidak berorientasi pada keuntungan. (3) Lembaga sertifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat menjalankan kegiatannya setelah memperoleh izin instansi yang berwenang, berdasarkan rekomendasi Bank Indonesia. sebagaimana (4) Bank Indonesia tidak memberikan rekomendasi dimaksud pada ayat (3) dalam hal keberadaan lembaga sertifikasi telah dianggap cukup. (5) Ketentuan pelaksanaan tentang sertifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia. 12. Ketentuan Pasal 66 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 66 (1) BPRS yang tidak menaati ketentuan dalam Pasal 4, Pasal 12, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, Pasal 16, Pasal 17 ayat (2), Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23, Pasal 24, Pasal 26, Pasal 27, Pasal 28, Pasal 29 ayat (1), Pasal 30, Pasal 31 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 33 ayat (1), Pasal 34, Pasal 35, Pasal 35A, Pasal 36 ayat (2), Pasal 41 ayat (4), Pasal 43, Pasal 45, Pasal 49 ayat (2), Pasal 50 ayat (1), Pasal 53 ayat (1), Pasal 54 ayat (1), Pasal 59 B ayat (2), Pasal 60 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 61, Pasal 62 ayat (1), Pasal 64 ayat (1), Pasal 65, dapat dikenakan sanksi administratif sesuai dengan Pasal 52 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998. (2) BPRS … dari -12 - (2) BPRS yang tidak menaati ketentuan dalam Pasal 11 ayat (2), Pasal 17 ayat (1) dan ayat (4), Pasal 18 ayat (1), Pasal 19, Pasal 25, Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 40 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 42 ayat (2), Pasal 44, Pasal 48 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 49 ayat (3) dan ayat (5), Pasal 53 ayat (2), Pasal 60 ayat (1), Pasal 62 ayat (4) dan ayat (5), Pasal 63 ayat (2), Pasal 64 ayat (4) dapat dikenakan sanksi administratif sesuai Pasal 52 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 10 Tahun 1998, berupa: a. Teguran tertulis dan denda sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) untuk setiap keterlambatan laporan; (3) BPRS b. Teguran tertulis dan denda sebesar Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah) apabila BPRS tidak menyampaikan laporan. dinyatakan tidak menyampaikan laporan sebagaimana dalam ayat (2) huruf b apabila BPRS belum dimaksud menyampaikan laporan dimaksud setelah 30 (tiga puluh) hari sejak batas akhir penyampaian laporan. (4) Setiap pihak yang tidak menaati ketentuan dalam Pasal 3 ayat (1), Pasal 8 ayat (2), serta Pasal 37 ayat (1), dapat dikenakan sanksi pidana sesuai Pasal 46 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 10 Tahun 1998. 13. Ketentuan Pasal 68 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) diubah dan ditambah 1 (satu) ayat yakni ayat (4) sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 68 … -13 - Pasal 68 (1) BPRS yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud Pasal 35A wajib menyesuaikan dengan ketentuan tersebut dalam waktu paling lambat tanggal 31 Desember 2007. Syariah yang (2) Anggota Dewan Pengawas persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal menyesuaikan dengan ketentuan tersebut dalam waktu paling lambat tanggal 1 Juli 2007. (3) BPRS yang belum memenuhi persyaratan modal disetor minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, wajib memenuhi persyaratan modal disetor minimum dengan ketentuan sebagai berikut: a. Paling sedikit 50% (lima puluh perseratus) dari modal disetor minimum pada tanggal 31 Desember 2008; b. Paling sedikit 70% (tujuh puluh perseratus) dari modal disetor minimum pada tanggal 31 Desember 2010; c. 100% (seratus perseratus) dari modal disetor minimum pada tanggal 31 Desember 2012; (4) Pemenuhan kewajiban bagi anggota Direksi untuk memiliki sertifikat kelulusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (5) diatur sebagai berikut: a. Paling sedikit 1 (satu) orang anggota Direksi wajib memiliki sertifikat kelulusan paling lambat pada tanggal 31 Desember 2007; b. Anggota Direksi lainnya wajib memiliki sertifikat kelulusan paling lambat pada tanggal 31 Desember 2008. Pasal II … tidak memenuhi 30 wajib -14 - Pasal II Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 5 Oktober 2006 GUBERNUR BANK INDONESIA, BURHANUDDIN ABDULLAH LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2006 NOMOR 82 DPbS PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 8/25/PBI/2006 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 6/17/PBI/2004 TENTANG BANK PERKREDITAN RAKYAT BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH UMUM Untuk dapat meningkatkan jangkauan pelayanan Bank Perkreditan Rakyat Berdasarkan Prinsip Syariah kepada masyarakat luas yang membutuhkan diperlukan kemudahan dari segi perizinan dan persyaratan pembukaan kantor Bank Perkreditan Rakyat Berdasarkan Prinsip Syariah dan konversi Bank Perkreditan Rakyat yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional menjadi Bank Perkreditan Rakyat Berdasarkan Prinsip Syariah. Kemudahan dalam pembukaan jaringan kantor tersebut hanya dapat dilakukan dengan mempertimbangkan faktor permodalan yang cukup dan pengelolaan yang didukung oleh pengurus yang kompeten. Berdasarkan pertimbangan tersebut maka dirasa perlu ketentuan yang saat ini berlaku untuk disesuaikan khususnya yang terkait dengan pengaturan konversi, persyaratan permodalan pembukaan kantor, persyaratan pengurus dan beberapa ketentuan lainnya. PASAL … -2 - PASAL DEMI PASAL Pasal I Angka 1 Pasal 22 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a sampai dengan huruf c Cukup jelas Huruf d Yang dimaksud dengan lembaga keuangan syariah antara lain adalah koperasi simpan pinjam syariah, dan Baitul Maal wa Tamwil (BMT). Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Yang dimaksud setingkat Diploma III atau Sarjana Muda harus dibuktikan dengan surat keterangan tertulis dari perguruan tinggi yang bersangkutan. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Penilaian independensi didasarkan pada keterkaitan yang bersangkutan pada kepengurusan, kepemilikan dan atau hubungan keuangan dengan seluruh … -3 - seluruh kelompok Pengendali. Angka 2 Pasal 35 Bank Indonesia akan menilai produk dan jasa baru tersebut antara lain dari sisi kehati-hatian, kesesuaian aspek syariah dan ketentuan perbankan yang berlaku. Yang dimaksud produk dan jasa baru adalah: a. Produk dan jasa baru yang belum ada izin pada saat izin usaha BPRS diberikan oleh Bank Indonesia. b. Produk dan jasa baru yang sudah ada sebelumnya di BPRS lain, namun terdapat perbedaan karakteristik terhadap produk yang sudah ada; atau c. Produk dan jasa baru yang merupakan turunan dari produk dan jasa yang sudah ada. Angka 3 Pasal 35A Yang dimaksud dengan Aktiva tetap dan inventaris adalah aktiva berwujud yang diperoleh dalam bentuk siap pakai atau dengan dibangun terlebih dahulu, yang digunakan dalam kegiatan operasi BPRS, tidak dimaksudkan untuk dijual/disewakan dalam rangka kegiatan usaha BPRS. Angka 4 Pasal 37 Ayat (1) Cukup jelas … usaha Pemegang Saham -4 - Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Angka 5 Pasal 41 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Contoh: BPRS yang berlokasi di Depok (termasuk ke dalam wilayah propinsi Jawa Barat) dapat membuka Kantor Kas/Kegiatan Kas di Luar Kantor di Ciputat (termasuk ke dalam wilayah Depok berbatasan langsung Tangerang, Banten. Ayat (3) Cukup jelas … propinsi Banten), karena dengan -5 - Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Angka 6 Pasal 54 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Angka 7 Cukup jelas. Angka 8 Pasal 58 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Angka 9 Pasal 59 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Apabila … -6 - Apabila diperlukan, dalam rangka penelitian atas kebenaran dokumen, Bank Indonesia dapat melakukan pemeriksaan. Huruf b Materi wawancara antara lain meliputi masalah integritas dan atau kompetensi. Wawancara dilakukan terhadap pihak-pihak: a. yang belum pernah bekerja dan atau menjadi Pemegang Saham Pengendali di lembaga perbankan; atau b. pihak-pihak yang pernah bekerja dan atau menjadi Pemegang Saham Pengendali di lembaga perbankan yang masih diperlukan keterangan lebih lanjut mengenai integritas dan atau kompetensi yang bersangkutan. Dalam hal calon Pemegang Saham Pengendali BPRS berbentuk badan hukum atau yayasan maka wawancara dilakukan terhadap anggota pengurus badan hukum atau yayasan, atau pejabat yang diberikan kewenangan mewakili badan hukum atau yayasan yang bersangkutan. Dalam hal BPRS merupakan bagian dari kepemilikan suatu kelompok usaha maka wawancara terhadap calon Pemegang Saham Pengendali dilakukan terhadap pihak-pihak Cukup jelas … -7 - yang berdasarkan penilaian Bank Indonesia mengendalikan maupun tidak langsung atas seluruh kelompok usaha. Dalam hal calon Pemegang Pengendali adalah Pemerintah atau Pemerintah Daerah maka tidak dilakukan wawancara terhadap calon Pemegang Saham Pengendali. Dalam hal tidak terdapat Pemegang Saham Pengendali maka wawancara dilakukan terhadap calon pemegang saham pendiri tertentu berdasarkan penilaian Bank Indonesia. Huruf c Apabila diperlukan, dalam rangka penelitian atas kebenaran dokumen, Bank Indonesia dapat melakukan pemeriksaan. Angka 10 Pasal 59A Cukup jelas Pasal 59B Cukup jelas. Angka 11 Pasal 65A Ayat (1) … baik secara langsung Saham -8 - Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Angka 12 Pasal 66 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Angka 13 … -9 - Angka 13 Pasal 68 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal II Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4651
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 8/25/PBI/2006 </reg_id> <reg_title> PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 6/17/PBI/2004 TENTANG BANK PERKREDITAN RAKYAT BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH </reg_title> <set_date> 5 Oktober 2006 </set_date> <effective_date> 5 Oktober 2006 </effective_date> <changed_reg> '6/17/PBI/2004' </changed_reg> <related_reg> '23/UU/1999', '3/UU/2004', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg> <penalty_list> 'Pasal I Angka 12 Pasal 66' </penalty_list>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 17/ 14 /PBI/2015 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 16/17/PBI/2014 TENTANG TRANSAKSI VALUTA ASING TERHADAP RUPIAH ANTARA BANK DENGAN PIHAK ASING DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa tujuan Bank Indonesia adalah mencapai dan memelihara kestabilan nilai Rupiah; b. bahwa dalam rangka mendukung kestabilan nilai Rupiah diperlukan pasar valuta asing domestik yang memiliki daya tahan terhadap gejolak eksternal; c. bahwa perkembangan terkini kondisi pasar valuta asing domestik menyebabkan diperlukannya kebijakan untuk mewujudkan pasar valuta asing domestik yang sehat, dengan tetap memenuhi kebutuhan masyarakat untuk mendukung aktivitas ekonomi; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu melakukan perubahan kedua atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 16/17/PBI/2014 tentang Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah Antara Bank Dengan Pihak Asing; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan… - 2 - dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962); 2. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3844); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 16/17/PBI/2014 TENTANG TRANSAKSI VALUTA ASING TERHADAP RUPIAH ANTARA BANK DENGAN PIHAK ASING. Pasal I Beberapa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 16/17/PBI/2014 tentang Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah Antara Bank Dengan Pihak Asing (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 213, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5582) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 17/7/PBI/2015 tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 16/17/PBI/2014 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 117, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5702) diubah sebagai berikut: 1. Ketentuan… - 3 - 1. Ketentuan Pasal 4 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 4 (1) Jumlah tertentu (threshold) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) untuk pembelian valuta asing terhadap Rupiah oleh Pihak Asing kepada Bank melalui Transaksi Spot adalah USD25,000.00 (dua puluh lima ribu dolar Amerika Serikat) atau ekuivalennya per bulan per Pihak Asing. (2) Pembelian valuta asing terhadap Rupiah oleh Pihak Asing kepada Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang melebihi nilai nominal Underlying Transaksi. (3) Dalam hal nilai nominal Underlying Transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dalam kelipatan USD5,000.00 (lima ribu dolar Amerika Serikat) maka terhadap nilai nominal Underlying Transaksi dimaksud dapat dilakukan pembulatan ke atas dalam kelipatan USD5,000.00 (lima ribu dolar Amerika Serikat). 2. Ketentuan Pasal 6 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 6 (1) Kewajiban memiliki Underlying Transaksi untuk pembelian valuta asing terhadap Rupiah oleh Pihak Asing kepada Bank melalui Transaksi Spot di atas jumlah tertentu (threshold) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) tidak berlaku untuk penyelesaian Transaksi Derivatif awal yang dilakukan melalui: a. perpanjangan transaksi (roll over), sepanjang jangka waktu perpanjangan transaksi (roll over) paling lama sama dengan jangka waktu Underlying Transaksi awal; b. percepatan penyelesaian transaksi (early termination); atau c. pengakhiran transaksi (unwind). (2) Kewajiban memiliki Underlying Transaksi untuk Transaksi Derivatif antara Bank dengan Pihak Asing di atas jumlah tertentu (threshold) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) tidak berlaku… - 4 - berlaku untuk penyelesaian Transaksi Derivatif awal yang dilakukan melalui: a. perpanjangan transaksi (roll over), sepanjang jangka waktu perpanjangan transaksi (roll over) paling lama sama dengan jangka waktu Underlying Transaksi awal; b. percepatan penyelesaian transaksi (early termination); atau c. pengakhiran transaksi (unwind). 3. Ketentuan Pasal 22 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 22 (1) Dalam hal Pihak Asing melakukan pembelian valuta asing terhadap Rupiah kepada Bank melalui Transaksi Spot dengan nilai nominal di atas jumlah tertentu (threshold) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), Bank wajib memastikan Pihak Asing untuk menyampaikan dokumen sebagai berikut: a. dokumen Underlying Transaksi yang dapat dipertanggungjawabkan, baik yang bersifat final maupun yang berupa perkiraan; dan b. dokumen pendukung berupa pernyataan tertulis yang authenticated dari Pihak Asing yang berisi informasi mengenai: 1. keaslian dan kebenaran dokumen Underlying Transaksi sebagaimana dimaksud pada huruf a; dan 2. penggunaan dokumen Underlying Transaksi untuk pembelian valuta asing terhadap Rupiah paling banyak sebesar nominal Underlying Transaksi dalam sistem perbankan di Indonesia. 3. jumlah kebutuhan, tujuan penggunaan, dan tanggal penggunaan valuta asing, dalam hal dokumen Underlying Transaksi sebagaimana dimaksud pada huruf a berupa perkiraan. (2) Dalam… - 5 - (2) Dalam hal Pihak Asing melakukan pembelian valuta asing terhadap Rupiah kepada Bank melalui Transaksi Spot paling banyak sebesar jumlah tertentu (threshold) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), Bank wajib memastikan Pihak Asing untuk menyampaikan dokumen pendukung berupa pernyataan tertulis yang authenticated yang menyatakan bahwa pembelian valuta asing terhadap Rupiah tidak lebih dari USD25,000.00 (dua puluh lima ribu dolar Amerika Serikat) atau ekuivalennya per bulan per Pihak Asing dalam sistem perbankan di Indonesia. 4. Ketentuan Pasal 26 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 26 (1) Bank dapat menerima dokumen pendukung Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah yang disampaikan oleh Pihak Asing secara berkala dengan ketentuan sebagai berikut: a. Dokumen Underlying Transaksi bersifat final; dan b. Bank telah mengetahui track record Pihak Asing dengan baik. (2) Dalam hal Bank melakukan fungsi kustodian dan memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dokumen pendukung dapat diterima dari Pihak Asing paling kurang 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun kalender. (3) Dalam hal Bank tidak melakukan fungsi kustodian dan Pihak Asing memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dokumen pendukung dapat diterima paling kurang 1 (satu) kali dalam 1 (satu) bulan kalender. (4) Bank dapat menerima dokumen pendukung yang disampaikan oleh Pihak Asing atas pembelian valuta asing terhadap Rupiah melalui Transaksi Spot paling banyak sebesar USD25,000.00 (dua puluh lima ribu dolar Amerika Serikat) atau ekuivalennya per bulan per Pihak Asing paling kurang 1 (satu) kali dalam 1 (satu) bulan. Pasal II… - 6 - Pasal II 1. Transaksi pembelian valuta asing terhadap Rupiah oleh Nasabah kepada Bank yang telah dilakukan sebelum berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini tetap tunduk pada ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 16/17/PBI/2014 tentang Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah Antara Bank Dengan Pihak Asing sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 17/7/PBI/2015. 2. Ketentuan mengenai sanksi kewajiban membayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 Peraturan Bank Indonesia Nomor 16/17/PBI/2014 tentang Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah Antara Bank Dengan Pihak Asing sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 17/7/PBI/2015 untuk pelanggaran atas ketentuan mengenai pembelian valuta asing terhadap Rupiah sebagaimana dimaksud dalam: a. Pasal 3 ayat (1) Peraturan Bank Indonesia Nomor 16/17/PBI/2014 tentang Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah Antara Bank Dengan Pihak Asing sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 17/7/PBI/2015; dan b. Pasal 4 ayat (2) dan Pasal 22 ayat (1) Peraturan Bank Indonesia ini, mulai berlaku pada tanggal 1 Oktober 2015, khusus untuk pembelian valuta asing terhadap Rupiah melalui Transaksi Spot dengan jumlah di atas USD25,000.00 (dua puluh lima ribu dolar Amerika Serikat) sampai dengan USD100.000,00 (seratus ribu dolar Amerika Serikat). 3. Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar… - 7 - Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 25 Agustus 2015 GUBERNUR BANK INDONESIA, AGUS D. W. MARTOWARDOJO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 25 Agustus 2015 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2015 NOMOR 202 DPM PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 17/14/PBI/2015 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 16/17/PBI/2014 TENTANG TRANSAKSI VALUTA ASING TERHADAP RUPIAH ANTARA BANK DENGAN PIHAK ASING I. UMUM Perkembangan terkini kondisi pasar valuta asing domestik menimbulkan tantangan terhadap upaya mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Salah satu tantangan yang muncul adalah tingginya permintaan masyarakat terhadap valuta asing untuk kegiatan yang tidak terkait secara langsung dengan kegiatan perdagangan dan investasi. Tantangan ini menyebabkan diperlukannya kebijakan di pasar valuta asing domestik yang bersifat proaktif, untuk mendorong permintaan valuta asing yang sehat dan meningkatkan pasokan valuta asing di pasar domestik dengan tetap memenuhi kebutuhan masyarakat untuk mendukung aktivitas ekonomi. Sehubungan dengan itu, Bank Indonesia perlu melakukan penyempurnaan terhadap ketentuan terkait dengan Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah Antara Bank dengan Pihak Asing. II. PASAL DEMI PASAL Pasal I Angka 1 Pasal 4 Cukup jelas. Angka 2… - 2 - Angka 2 Pasal 6 Cukup jelas. Angka 3 Pasal 22 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan ”dokumen Underlying Transaksi yang bersifat final” adalah dokumen yang tidak akan mengalami perubahan dalam hal jumlah dan/atau waktu pemenuhan kebutuhannya. Huruf b Yang dimaksud dengan ”pernyataan yang authenticated” adalah pernyataan yang telah diverifikasi atau dibuktikan kebenarannya secara sistem. Ayat (2) Yang dimaksud dengan ”pernyataan yang authenticated” adalah pernyataan yang telah diverifikasi atau dibuktikan kebenarannya secara sistem. Angka 4 Pasal 26 Cukup jelas. Pasal II Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5737
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 17/14/PBI/2015 </reg_id> <reg_title> PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 16/17/PBI/2014 TENTANG TRANSAKSI VALUTA ASING TERHADAP RUPIAH ANTARA BANK DENGAN PIHAK ASING </reg_title> <set_date> 25 Agustus 2015 </set_date> <effective_date> 25 Agustus 2015 </effective_date> <issued_date> 25 Agustus 2015 </issued_date> <changed_reg> '16/17/PBI/2014' </changed_reg> <extension_of> '17/7/PBI/2015' </extension_of> <related_reg> '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '24/UU/1999' </related_reg>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 2 / 10 /PBI/2000 TENTANG PERUBAHAN PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 1/10/PBI/1999 TENTANG PORTOFOLIO OBLIGASI PEMERINTAH BAGI BANK UMUM PESERTA PROGRAM REKAPITALISASI GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka pengembangan pasar sekunder obligasi pemerintah serta untuk memberikan ruang gerak bagi bank dalam mengatur kebutuhan likuiditasnya, perlu dilakukan upaya-upaya untuk meningkatkan portofolio perdagangan obligasi pemerintah yang telah dimiliki bank-bank umum peserta program rekapitalisasi; b. bahwa sehubungan dengan itu dipandang perlu untuk mengubah Peraturan Bank Indonesia Nomor 1/10/PBI/1999 tentang Portofolio Obligasi Pemerintah Bagi Bank Umum Peserta Program Rekapitalisasi; Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang- undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3790); dengan... -2- 2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3843); 3. Peraturan Pemerintah Nomor 84 Tahun 1998 tentang Program Rekapitalisasi Bank Umum (Lembaran Negara Tahun 1998 Nomor 197, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3799); 4. Peraturan Bank Indonesia Nomor 1/10/PBI/1999 tentang Portofolio Obligasi Pemerintah Bagi Bank Umum Peserta Program Rekapitalisasi (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 211, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3917); MEMUTUSKAN : Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 1/10/PBI/1999 TENTANG PORTOFOLIO OBLIGASI PEMERINTAH BAGI BANK UMUM PESERTA PROGRAM REKAPITALISASI. Pasal I... -3- Pasal I Mengubah beberapa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 1/10/PBI/1999 tentang Portofolio Obligasi Pemerintah Bagi Bank Umum Peserta Program Rekapitalisasi sebagai berikut: 1. Ketentuan Pasal 3 diubah, sehingga Pasal 3 seluruhnya menjadi berbunyi sebagai berikut: “Pasal 3 (1) Bank dapat memperdagangkan Obligasi sejak 1 Februari 2000, setinggi-tingginya 10% (sepuluh perseratus) dari nilai keseluruhan Obligasi yang dibeli pada saat Bank menerima penyertaan tunai dari Pemerintah sehubungan dengan Program Rekapitalisasi Bank Umum. (2) Bank Indonesia menetapkan dan mengumumkan jenis dan seri Obligasi yang dapat diperdagangkan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dengan Surat Edaran Bank Indonesia. (3) Bank wajib melaporkan kepada Bank Indonesia jumlah, jenis dan seri Obligasi yang akan diperdagangkan setiap waktu sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2). (4) Jumlah, jenis dan seri Obligasi yang dapat diperdagangkan oleh Bank sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) berlaku efektif 1 (satu) hari kerja sejak Bank Indonesia menerima laporan Bank.” 2. Menambah ketentuan baru pada Pasal 4 yang dijadikan Pasal 4 ayat (3), yang berbunyi sebagai berikut: “Pasal 4... -4- “Pasal 4 (3) Dalam hal Bank Indonesia menetapkan peningkatan prosentase Obligasi yang dapat diperdagangkan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), berlaku ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat (2), ayat (3) dan ayat (4).” 3. Ketentuan Pasal 5 diubah sehingga Pasal 5 seluruhnya menjadi berbunyi sebagai berikut: “Pasal 5 Bank yang memiliki Obligasi yang diterbitkan Pemerintah setelah 31 Januari 2000 sebagai penyertaan tunai Pemerintah dalam rangka Program Rekapitalisasi Bank Umum dapat memperdagangkan Obligasi setinggi-tingginya sebesar prosentase yang berlaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan Pasal 4.” 4. Ketentuan Pasal 6 ayat (1) diubah sehingga Pasal 6 ayat (1) seluruhnya menjadi berbunyi sebagai berikut : “ Pasal 6 (1) Bank wajib memindahbukukan Obligasi yang dapat diperdagangkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) dan Pasal 4 ayat (3) dari Portofolio Investasi ke dalam Portofolio Perdagangan.” 5. Ketentuan Pasal 10 ayat (1) diubah sehingga Pasal 10 ayat (1) seluruhnya menjadi berbunyi sebagai berikut: “Pasal 10... -5- “Pasal 10 (1) Bank yang tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3 ayat (3), Pasal 4 ayat (3), Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8 ayat (2), Pasal 9 ayat (1), ayat (4) dan ayat (6) dikenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998.” Pasal II Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 29 Maret 2000 GUBERNUR BANK INDONESIA SYAHRIL SABIRIN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2000 NOMOR 39 -6- PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 2 / 10 /PBI/2000 TENTANG PERUBAHAN PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 1/10/PBI/1999 TENTANG PORTOFOLIO OBLIGASI PEMERINTAH BAGI BANK UMUM PESERTA PROGRAM REKAPITALISASI I. UMUM Sebagaimana diketahui bahwa sebagai tindak lanjut dari program rekapitalisasi perbankan, telah ditetapkan bahwa obligasi pemerintah yang dimiliki oleh bank umum peserta program rekapitalisasi dapat diperdagangkan sesuai dengan batasan portofolio obligasi yang dapat diperdagangkan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Selanjutnya bank umum menetapkan dan melaporkan kepada Bank Indonesia jumlah obligasi yang diperdagangkan. Jumlah yang dilaporkan tersebut merupakan batas dari portofolio obligasi yang dapat diperdagangkan meskipun jumlahnya masih berada dibawah prosentase atau batasan maksimum yang ditetapkan Bank Indonesia. Dalam rangka mendorong perdagangan obligasi pemerintah di pasar sekunder dan sekaligus memberi ruang gerak bagi bank umum dalam mengatur kebutuhan likuiditasnya maka perlu diupayakan langkah-langkah untuk mendorong peningkatan jumlah portofolio perdagangan obligasi pemerintah yang dimiliki bank umum sepanjang tidak melebihi batasan atau prosentase yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. II. Pasal... -7- II. PASAL DEMI PASAL Pasal I Angka 1 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Dalam hal Bank ingin meningkatkan jumlah, jenis dan seri Obligasi yang dapat diperdagangkan dari jumlah, jenis dan seri yang telah dilaporkan sebelumnya, maka peningkatan tersebut dilaporkan kepada Bank Indonesia sepanjang masih dalam batasan jumlah maksimum yang diperkenankan sesuai dengan ketentuan dalam ayat (1) serta batasan jenis dan seri yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan dalam ayat (2). Ayat (4) Cukup jelas Angka 2 Ayat (3) Cukup jelas Angka 3... -8- Angka 3 Pasal 5 Yang dimaksud dengan Bank yang memiliki Obligasi yang diterbitkan Pemerintah setelah 31 Januari 2000 adalah Bank-Bank yang menerima penyertaan tunai Pemerintah dalam rangka Program Rekapitalisasi Bank Umum setelah tanggal tersebut. Angka 4 Pasal 6 Ayat (1) Obligasi yang dipindahbukukan harus sesuai dengan jenis dan seri yang ditetapkan Bank Indonesia. Angka 5 Pasal 10 Ayat (1) Cukup jelas Pasal II Cukup jelas TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3945
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 2/10/PBI/2000 </reg_id> <reg_title> PERUBAHAN PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 1/10/PBI/1999 TENTANG PORTOFOLIO OBLIGASI PEMERINTAH BAGI BANK UMUM PESERTA PROGRAM REKAPITALISASI </reg_title> <set_date> 29 Maret 2000 </set_date> <effective_date> 29 Maret 2000 </effective_date> <changed_reg> '1/10/PBI/1999' </changed_reg> <related_reg> '1/10/PBI/1999', '23/UU/1999', '84/PP/1998', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg> <penalty_list> 'Pasal I Angka 5 Pasal 10' </penalty_list>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 6/25/PBI/2004 TENTANG RENCANA BISNIS BANK UMUM GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka meningkatkan good corporate governance, bank perlu menetapkan sasaran strategis dan seperangkat nilai perusahaan (corporate values) yang mengarahkan kegiatan operasional bank; b. bahwa dalam rangka mengarahkan kegiatan bank agar senantiasa beroperasi berlandaskan pada suatu perencanaan yang matang berdasarkan prinsip kehati-hatian dan azas perbankan yang sehat, maka bank harus menyusun rencana bisnis yang realistis; c. bahwa penyusunan rencana bisnis yang matang harus memperhatikan faktor eksternal dan faktor internal, dan dimaksudkan sebagai sarana bank dalam mengendalikan risiko khususnya risiko strategik yang mungkin timbul pada tahap implementasi rencana dimaksud; d. bahwa sehubungan dengan hal tersebut dipandang perlu untuk mengatur kembali rencana bisnis bank dalam suatu Peraturan Bank Indonesia; Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor … - 2 - Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); 2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357); MEMUTUSKAN: Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG RENCANA BISNIS BANK UMUM. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan: 1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998, termasuk kantor cabang bank asing. 2. Rencana Bisnis adalah dokumen tertulis yang menggambarkan rencana kegiatan usaha Bank jangka pendek (satu tahun) dan jangka menengah (tiga tahun … - 3 - tahun), termasuk strategi untuk merealisasikan rencana tersebut, rencana untuk memperbaiki kinerja usaha, dan rencana pemenuhan ketentuan kehati- hatian sesuai dengan target dan waktu yang ditetapkan. 3. Laporan Realisasi Rencana Bisnis adalah laporan dari direksi Bank mengenai realisasi Rencana Bisnis sampai dengan periode tertentu. 4. Laporan Pengawasan Rencana Bisnis adalah laporan dari komisaris Bank mengenai hasil pengawasan yang 5. Direksi: a. bagi Bank bersangkutan terhadap pelaksanaan Rencana Bisnis sampai dengan periode tertentu. berbentuk hukum Perseroan Terbatas adalah direksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 4 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas; b. bagi Bank berbentuk Perusahaan Daerah adalah direksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah; c. bagi Bank berbentuk hukum Koperasi adalah pengurus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 Undang-undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian, termasuk pimpinan kantor cabang bank asing. 6. Komisaris: a. bagi Bank berbentuk hukum Perseroan Terbatas adalah komisaris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 5 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas; b. bagi Bank berbentuk Perusahaan Daerah adalah pengawas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah; c. bagi … - 4 - c. bagi Bank berbentuk hukum Koperasi adalah pengawas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 Undang-undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian, termasuk pejabat yang ditunjuk kantor pusat bank asing untuk melakukan fungsi pengawasan pelaksanaan Rencana Bisnis. Pasal 2 (1) Bank wajib menyusun Rencana Bisnis secara realistis dengan memperhatikan faktor eksternal dan faktor internal yang mempengaruhi kelangsungan usaha Bank serta tetap memperhatikan prinsip kehati-hatian dan azas perbankan yang sehat. (2) Rencana Bisnis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disusun oleh Direksi dan disetujui oleh Komisaris. Pasal 3 (1) Direksi wajib melaksanakan Rencana Bisnis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 secara efektif dalam pengelolaan usaha Bank. (2) Direksi wajib mengkomunikasikan Rencana Bisnis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 kepada: a. pemegang saham Bank; b. seluruh jenjang organisasi yang ada pada Bank. Pasal 4 Komisaris wajib melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan Rencana Bisnis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3. BAB II … - 5 - BAB II CAKUPAN RENCANA BISNIS Pasal 5 Rencana Bisnis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 sekurang-kurangnya meliputi: a. ringkasan eksekutif; b. kinerja Bank saat ini; c. penerapan manajemen risiko; d. kebijakan dan strategi manajemen; e. proyeksi keuangan; f. rencana penghimpunan dana; g. rencana penyaluran dana; h. rencana permodalan; i. proyeksi rasio dan pos-pos tertentu; j. rencana pengembangan organisasi dan sumber daya manusia; k. rencana pengembangan produk dan aktivitas baru; l. rencana perubahan jaringan kantor; m. lain-lain. Pasal 6 Ringkasan eksekutif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a sekurang- kurangnya meliputi: a. indikator keuangan utama; b. target jangka pendek; c. target jangka menengah; d. asumsi makro dan mikro. Pasal 7 … - 6 - Pasal 7 Kinerja Bank saat ini sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b sekurang- kurangnya meliputi: a. permodalan; b. kualitas aset; c. manajemen; d. rentabilitas; e. likuiditas; f. sensitivitas terhadap risiko pasar; g. realisasi pemberian kredit kepada usaha mikro, kecil dan menengah. Pasal 8 Penerapan manajemen risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf c sekurang-kurangnya meliputi: a. faktor-faktor risiko (risk factors); b. proses manajemen risiko; c. profil risiko. Pasal 9 Kebijakan dan strategi manajemen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf d sekurang-kurangnya meliputi: a. kebijakan manajemen (policy statements); b. strategi bisnis; c. kebijakan remunerasi (remuneration policies). Pasal 10 … - 7 - Pasal 10 Proyeksi keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf e sekurang- kurangnya meliputi: a. neraca; b. komitmen, kontinjensi dan transaksi derivatif; c. laba rugi; d. kewajiban penyediaan modal minimum. Pasal 11 Rencana penghimpunan dana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf f sekurang-kurangnya meliputi: a. rencana penghimpunan dana pihak ketiga; b. rencana penerbitan surat berharga. Pasal 12 Rencana penyaluran dana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf g sekurang-kurangnya meliputi: a. rencana penyediaan dana kepada pihak terkait; b. rencana pemberian kredit kepada debitur inti; c. rencana pemberian kredit menurut kegiatan usaha utama Bank; d. rencana pemberian dan pelimpahan kredit menurut sektor ekonomi; e. rencana pemberian dan pelimpahan kredit menurut jenis penggunaan; f. rencana pemberian dan pelimpahan kredit menurut propinsi; g. rencana penyaluran dana dalam bentuk surat berharga; h. rencana penyaluran dana dalam bentuk penyertaan modal. Pasal 13 … - 8 - Pasal 13 Rencana permodalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf h sekurang- kurangnya meliputi rencana penambahan modal. Pasal 14 Proyeksi rasio dan pos-pos tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf i sekurang-kurangnya meliputi: a. permodalan; b. kualitas aset; c. manajemen; d. rentabilitas; e. likuiditas; f. lainnya. Pasal 15 Rencana pengembangan organisasi dan sumber daya manusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf j sekurang-kurangnya meliputi: a. rencana pengembangan organisasi; b. rencana pengembangan sumber daya manusia. Pasal 16 Rencana pengembangan produk dan aktivitas baru sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf k sekurang-kurangnya meliputi: a. rencana produk dan aktivitas baru; b. rencana pengembangan pelayanan. Pasal 17 … - 9 - Pasal 17 Rencana perubahan jaringan kantor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf l sekurang-kurangnya meliputi rencana pembukaan jaringan kantor cabang, kantor di bawah kantor cabang, kegiatan kas di luar kantor, dan kantor di luar negeri. Pasal 18 Informasi lain-lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf m sekurang- kurangnya meliputi langkah-langkah penyelesaian dari agunan yang diambil alih dan aktiva tetap yang tidak digunakan dalam operasional Bank. BAB III PENYAMPAIAN, PERUBAHAN, DAN PELAPORAN RENCANA BISNIS Pasal 19 (1) Bank wajib menyampaikan Rencana Bisnis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 kepada Bank Indonesia selambat-lambatnya 1 (satu) bulan setelah tahun takwim dimulai. (2) Bank Indonesia dapat meminta Bank untuk melakukan penyesuaian terhadap Rencana Bisnis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) apabila Rencana Bisnis yang disampaikan dinilai belum sepenuhnya memenuhi ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini. (3) Bank wajib menyampaikan penyesuaian terhadap Rencana Bisnis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada Bank Indonesia selambat- lambatnya 15 (lima belas) hari kerja setelah tanggal surat pemberitahuan dari Bank Indonesia. Pasal 20 … - 10 - Pasal 20 (1) Bank hanya dapat melakukan perubahan Rencana Bisnis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 apabila terdapat faktor eksternal dan internal yang mempengaruhi kondisi keuangan Bank secara signifikan, dengan menyampaikan alasan perubahan secara tertulis. (2) Perubahan Rencana Bisnis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan selambat-lambatnya pada akhir semester pertama tahun berjalan dan hanya dapat dilakukan 1 (satu) kali. (3) Bank Indonesia dapat mempertimbangkan perubahan Rencana Bisnis selain sebagaimana diatur pada ayat (2) apabila terdapat faktor yang mempengaruhi kondisi keuangan Bank yang sangat signifikan. (4) Perubahan Rencana Bisnis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disampaikan selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja sebelum pelaksanaan perubahan Rencana Bisnis. (5) Bank Indonesia dapat meminta Bank untuk melakukan penyesuaian terhadap perubahan Rencana Bisnis sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal 21 (1) Bank wajib menyampaikan Laporan Realisasi Rencana Bisnis secara triwulanan. (2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disampaikan kepada Bank Indonesia sebagai berikut: a. selambat-lambatnya 45 (empat puluh lima) hari setelah triwulan yang bersangkutan berakhir; b. selambat-lambatnya 2 (dua) bulan setelah triwulan yang bersangkutan berakhir, bagi Bank yang sistem antar kantornya belum on line dan memiliki lebih dari 100 (seratus) kantor cabang. (3) Laporan … - 11 - (3) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya meliputi: a. perbandingan antara Rencana Bisnis dengan realisasi Rencana Bisnis; b. penjelasan mengenai deviasi atas realisasi Rencana Bisnis; c. tindak lanjut atas pencapaian Rencana Bisnis. Pasal 22 (1) Bank wajib menyampaikan Laporan Pengawasan Rencana Bisnis secara semesteran. (2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disampaikan kepada Bank Indonesia selambat-lambatnya 2 (dua) bulan setelah semester dimaksud berakhir. (3) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya meliputi: a. pendapat Komisaris tentang pelaksanaan Rencana Bisnis; b. penilaian atas faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja Bank; c. pendapat Komisaris mengenai upaya memperbaiki kinerja Bank. Pasal 23 (1) Bank dinyatakan terlambat menyampaikan Rencana Bisnis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) apabila dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja setelah batas akhir waktu penyampaian, Bank belum menyampaikan Rencana Bisnis tersebut. (2) Bank dinyatakan terlambat menyampaikan penyesuaian Rencana Bisnis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (3) apabila dalam jangka waktu paling lama 15 (lima belas) hari kerja setelah batas akhir waktu penyampaian, Bank belum menyampaikan penyesuaian Rencana Bisnis tersebut. (3) Bank … - 12 - (3) Bank dinyatakan tidak menyampaikan Rencana Bisnis sebagaimana (4) Bank dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) atau penyesuaian Rencana Bisnis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (3) apabila sampai dengan berakhirnya batas waktu keterlambatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau ayat (2), Bank penyesuaiannya tersebut. yang belum menyampaikan Rencana Bisnis atau dinyatakan tidak menyampaikan Rencana Bisnis atau penyesuaiannya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tetap wajib menyampaikan Rencana Bisnis atau penyesuaiannya kepada Bank Indonesia. Pasal 24 (1) Bank dinyatakan terlambat menyampaikan Laporan Realisasi Rencana Bisnis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) apabila dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja setelah batas akhir waktu penyampaian, Bank belum menyampaikan laporan tersebut. (2) Bank dinyatakan terlambat menyampaikan Laporan Pengawasan Rencana Bisnis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) apabila dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja setelah batas akhir waktu penyampaian, Bank belum menyampaikan laporan tersebut. (3) Bank dinyatakan tidak menyampaikan Laporan Realisasi Rencana Bisnis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) atau Laporan Pengawasan Rencana Bisnis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) apabila sampai dengan berakhirnya batas waktu keterlambatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau ayat (2), Bank belum menyampaikan laporan tersebut. (4) Bank … - 13 - (4) Bank yang dinyatakan tidak menyampaikan Laporan Realisasi Rencana Bisnis atau Laporan Pengawasan Rencana Bisnis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tetap wajib menyampaikan laporan tersebut kepada Bank Indonesia. Pasal 25 Dalam hal batas akhir penyampaian Rencana Bisnis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) serta penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) dan Pasal 22 ayat (2) jatuh pada hari Sabtu, hari Minggu, dan hari libur maka Rencana Bisnis serta laporan disampaikan pada hari kerja berikutnya. Pasal 26 Rencana Bisnis dan penyesuaiannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) dan ayat (3) serta laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) dan Pasal 22 ayat (2) disampaikan kepada Bank Indonesia dengan alamat: a. Direktorat Pengawasan Bank terkait, Jl. MH. Thamrin No. 2, Jakarta 10110, bagi Bank yang berkantor pusat di wilayah kerja kantor pusat Bank Indonesia; b. Kantor Bank Indonesia setempat, bagi Bank yang berkantor pusat di luar wilayah kerja kantor pusat Bank Indonesia. BAB IV … - 14 - BAB IV LAIN-LAIN Pasal 27 Bank yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah wajib menerapkan ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini sesuai dengan karakteristik usaha Bank dimaksud dan Prinsip Syariah. BAB V SANKSI Pasal 28 (1) Bank yang terlambat menyampaikan Rencana Bisnis atau penyesuaiannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) atau ayat (2), atau laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) atau ayat (2) dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) per hari kerja keterlambatan. (2) Bank yang tidak menyampaikan Rencana Bisnis atau laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (3) atau Pasal 24 ayat (3) dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). (3) Bank yang menyampaikan penyesuaian Rencana Bisnis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (3) namun dinilai tidak lengkap secara signifikan atau tidak dilampiri dokumen dan infomasi yang material sesuai dengan cakupan yang ditetapkan dalam Peraturan Bank Indonesia ini dan ketentuan pelaksanaan terkait lainnya, dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) setelah Bank diberikan 2 (dua) kali surat teguran oleh Bank Indonesia dengan tenggang waktu … - 15 - waktu 7 (tujuh) hari kerja untuk setiap surat teguran dan Bank tidak memperbaiki penyesuaian Rencana Bisnis dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja setelah surat teguran terakhir. Pasal 29 (1) Bank yang tidak mematuhi ketentuan sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, dan atau Pasal 24 ayat (4) dapat dikenakan sanksi administratif antara lain berupa: a. teguran tertulis; b. pembekuan kegiatan usaha tertentu; c. pencantuman pengurus dan atau pemegang saham Bank dalam daftar pihak-pihak yang mendapat predikat Tidak Lulus dalam penilaian kemampuan dan kepatutan. (2) Bank yang tidak mematuhi ketentuan sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 23 ayat (4) dapat dikenakan sanksi administratif antara lain berupa: a. pembekuan kegiatan usaha tertentu; b. pencantuman pengurus dan atau pemegang saham Bank dalam daftar pihak-pihak yang mendapat predikat Tidak Lulus dalam penilaian kemampuan dan kepatutan. BAB VI KETENTUAN PENUTUP Pasal 30 Ketentuan lebih lanjut dari Peraturan Bank Indonesia ini akan ditetapkan dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 31 … - 16 - Pasal 31 Dengan diberlakukannya Peraturan Bank Indonesia ini maka Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 27/117/KEP/DIR tanggal 25 Januari 1995 tentang Penyampaian Rencana Kerja Bank dan Laporan Pelaksanaannya dicabut dan dinyatakan tidak berlaku, kecuali ketentuan Pasal 6, Pasal 7, dan Pasal 8 tetap berlaku sampai dengan berakhirnya masa pelaporan pelaksanaan Rencana Kerja Tahunan tahun 2004. Pasal 32 (1) Ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia ini mulai diberlakukan untuk Rencana Bisnis tahun 2005. (2) Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 22 Oktober 2004 GUBERNUR BANK INDONESIA, realisasi dan BURHANUDDIN ABDULLAH LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2004 NOMOR 157 DPNP PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 6/25/PBI/2004 TENTANG RENCANA BISNIS BANK UMUM UMUM Bank Bahwa dalam upaya memelihara ketahanan sistem perbankan yang sehat, perlu mengambil langkah-langkah peningkatan good corporate governance. Dalam rangka menerapkan prinsip good corporate governance dimaksud, Bank menyusun dan menetapkan sasaran strategis dan seperangkat nilai-nilai perusahaan (corporate values) yang merupakan arahan visi dan misi kegiatan operasional Bank. Dalam rangka mencapai tujuan usaha Bank yang berpedoman kepada visi dan misi tersebut, maka Bank perlu menyusun suatu perencanaan yang matang dengan tetap memperhatikan prinsip kehati-hatian dan azas perbankan yang sehat serta responsif terhadap perubahan eksternal. Untuk menghasilkan perencanaan yang matang tersebut, Bank harus menyusun Rencana Bisnis yang realistis dan komprehensif dengan cakupan Rencana Bisnis yang diperluas sehingga lebih mencerminkan kompleksitas usaha Bank yang semakin meningkat. Sementara itu dalam penyusunan Rencana Bisnis tersebut Bank harus mempertimbangkan faktor eksternal dan faktor internal yang secara langsung atau tidak langsung dapat mempengaruhi kelangsungan usaha Bank. Dengan Rencana Bisnis yang matang diharapkan Bank mampu menerapkan manajemen risiko … - 2 - risiko khususnya risiko strategik secara efektif terutama pada tahap implementasi Rencana Bisnis tersebut. Secara operasional Rencana Bisnis adalah dokumen tertulis yang menggambarkan rencana kegiatan usaha Bank jangka pendek dan jangka menengah, termasuk strategi untuk merealisasikan rencana tersebut, rencana untuk memperbaiki kinerja usaha, dan rencana pemenuhan ketentuan kehati- hatian sesuai dengan target dan waktu yang ditetapkan. Selanjutnya, dalam rangka mengimplementasikan Rencana Bisnis secara efektif maka Direksi wajib mengkomunikasikan rencana tersebut kepada pemegang saham dan seluruh jenjang organisasi yang ada pada Bank. Bagi perbankan, Rencana Bisnis dapat digunakan sebagai salah satu sarana dalam rangka melaksanakan pencapaian visi dan misi Bank, sedangkan bagi Bank Indonesia Rencana Bisnis yang disampaikan digunakan sebagai sarana penetapan dan implementasi strategi pengawasan Bank. Dalam rangka pemantauan yang efektif oleh Bank Indonesia terhadap efektivitas dan konsistensi pelaksanaan Rencana Bisnis, Bank harus menyampaikan laporan pelaksanaan rencana tersebut secara berkala termasuk langkah-langkah perbaikan yang diperlukan apabila terdapat penyimpangan yang secara signifikan mempengaruhi kondisi keuangan Bank. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 … - 3 - Pasal 2 Ayat (1) Yang dimaksud dengan faktor eksternal antara lain faktor perekonomian, perkembangan sosial dan politik, serta teknologi. Yang dimaksud dengan faktor internal antara lain kondisi keuangan, manajemen, dan kemampuan infrastruktur lainnya. Ayat (2) Penyusunan Rencana Bisnis sepenuhnya merupakan tanggung jawab Bank. Pasal 3 Ayat (1) Realisasi Rencana Bisnis dan pengawasannya sepenuhnya merupakan tanggung jawab Bank. Direksi dianggap tidak melaksanakan Rencana Bisnis secara efektif apabila terdapat deviasi yang cukup material antara realisasi dan Rencana Bisnis tanpa disertai dengan upaya yang maksimal dan penjelasan yang memadai. Ayat (2) Huruf a Komunikasi dengan pemegang saham dapat dilakukan antara lain melalui Rapat Umum Pemegang Saham. Huruf b Komunikasi Rencana Bisnis kepada seluruh jenjang organisasi yang ada pada Bank dimaksudkan agar kebijakan dan pelaksanaan … - 4 - pelaksanaan oleh setiap pihak yang terlibat dalam operasionalisasi Rencana Bisnis tersebut dapat sejalan dengan visi dan misi Bank. Pasal 4 Cukup jelas. Pasal 5 Cukup jelas. Pasal 6 Huruf a Indikator keuangan utama antara lain memuat kinerja Bank akhir tahun berjalan dan proyeksi dari permodalan, aktiva produktif, dana pihak ketiga, rentabilitas, likuiditas, dan rasio keuangan lainnya. Huruf b Yang dimaksud dengan target jangka pendek adalah target kegiatan usaha Bank selama 1 (satu) tahun ke depan. Huruf c Yang dimaksud dengan target jangka menengah adalah target kegiatan usaha Bank selama 3 (tiga) tahun ke depan. Huruf d Yang dimaksud dengan asumsi makro antara lain pertumbuhan ekonomi dan tingkat inflasi, sedangkan yang dimaksud dengan asumsi … - 5 - asumsi mikro antara lain tingkat persaingan antar bank dan pertumbuhan kredit industri perbankan yang digunakan dalam menyusun Rencana Bisnis Bank. Pasal 7 Huruf a sampai dengan huruf f Termasuk dalam uraian kinerja Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal ini meliputi hasil pelaksanaan action plan dalam rangka memperbaiki kinerja Bank sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai Sistem Penilaian Kesehatan Bank Umum. Huruf g Uraian mengenai realisasi pemberian kredit ini mencerminkan peranan Bank dalam mendukung perkembangan sektor atau usaha mikro, kecil, dan menengah. Pasal 8 Huruf a Uraian mengenai faktor-faktor risiko meliputi faktor-faktor yang mempengaruhi strategi usaha Bank termasuk yang secara langsung mempengaruhi rentabilitas dan masalah-masalah hukum yang sedang dan akan dihadapi Bank. Huruf b Uraian mengenai proses manajemen risiko meliputi hasil penerapan manajemen risiko untuk periode awal tahun sampai dengan akhir tahun. Huruf c … Tingkat - 6 - Huruf c Uraian mengenai profil risiko meliputi informasi yang dihasilkan berdasarkan penilaian Bank mengenai tingkat dan trend seluruh eksposur risiko. Tata cara penyusunan profil risiko berpedoman kepada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai Penerapan Manajemen Risiko bagi Bank Umum. Pasal 9 Huruf a Uraian mengenai kebijakan manajemen meliputi informasi umum kebijakan Bank dalam menjalankan strategi usaha. Termasuk di dalamnya adalah kebijakan manajemen risiko yang disusun berdasarkan evaluasi atas penerapan manajemen risiko sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 8. Huruf b Uraian mengenai strategi bisnis antara lain meliputi informasi langkah-langkah strategis untuk mencapai tujuan usaha Bank yang telah ditetapkan, strategi untuk mengantisipasi perubahan kondisi eksternal, dan strategi pengembangan teknologi informasi. Termasuk di disusun berdasarkan evaluasi atas penerapan manajemen risiko sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 8. Huruf c Uraian mengenai kebijakan remunerasi meliputi informasi kebijakan umum yang mengatur pemberian gaji, bonus (benefits), dan fasilitas lain kepada Komisaris dan Direksi Bank. dalamnya adalah strategi manajemen risiko yang Pasal 10 … - 7 - Pasal 10 Cukup jelas. Pasal 11 Huruf a Rencana penghimpunan dana pihak ketiga meliputi rencana penghimpunan giro, tabungan, deposito, dan bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu serta informasi mengenai pangsa deposan inti. Huruf b Rencana penerbitan surat berharga meliputi rencana penerbitan surat berharga seperti convertible bonds, medium term notes, dan obligasi. Pasal 12 Huruf a Pihak terkait adalah pihak terkait sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai Pemberian Kredit. Huruf b Debitur inti merupakan debitur/grup inti (one obligor concept) di luar pihak terkait. Jumlah debitur inti yang dicantumkan dalam Rencana Bisnis disesuaikan dengan total aset Bank. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e … Batas Maksimum - 8 - Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Penyaluran dana dalam bentuk surat berharga digolongkan sesuai dengan tujuan pembeliannya yaitu untuk diperdagangkan, tersedia untuk dijual, atau dimiliki hingga jatuh tempo. Huruf h Dalam menyusun rencana ini, Bank harus memperhatikan persyaratan dan tata cara penyertaan modal sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai Prinsip Kehati-hatian Dalam Kegiatan Penyertaan Modal. Pasal 13 Termasuk dalam rencana penambahan modal adalah rencana penambahan modal dari pemegang saham lama (existing share holders), rencana initial public offering (IPO), right issue, dan rencana penambahan modal lainnya. Pasal 14 Cukup jelas. Pasal 15 Huruf a Termasuk dalam rencana pengembangan organisasi adalah rencana pembentukan/perubahan satuan kerja dan atau komite, yang disesuaikan dengan ukuran dan kompleksitas usaha Bank. Huruf b … - 9 - Huruf b Termasuk dalam rencana pengembangan sumber daya manusia adalah rencana kebutuhan, pendidikan, dan pelatihan sumber daya manusia termasuk rencana biaya/anggaran pendidikan dan pelatihan sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku. Pasal 16 Huruf a Hal-hal yang dimuat dalam rencana produk dan aktivitas baru berpedoman pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai Penerapan Manajemen Risiko bagi Bank Umum. Huruf b Rencana pengembangan pelayanan antara lain rencana pengembangan sarana atau media informasi kepada nasabah, pengembangan sarana elektronik untuk kebutuhan nasabah, pengembangan produk yang sudah ada, standarisasi sistem antrian nasabah, dan pelayanan pengaduan nasabah. Pasal 17 Cukup jelas. Pasal 18 Yang dimaksud dengan agunan yang diambil alih (AYDA) adalah aktiva yang diserahkan secara sukarela oleh pemilik agunan atau berdasarkan surat kuasa untuk menjual di luar pelelangan dalam hal debitur tidak memenuhi kewajibannya kepada Bank. Pasal 19 … - 10 - Pasal 19 Ayat (1) Rencana Bisnis disampaikan dalam bentuk hard copy dan soft copy. Ayat (2) Belum dipenuhinya Rencana Bisnis yang disampaikan sebagaimana dimaksud pada ayat ini, antara lain disebabkan: 1. Rencana Bisnis belum sepenuhnya disusun secara realistis; 2. Rencana Bisnis kurang memperhatikan faktor eksternal dan faktor internal yang mempengaruhi kelangsungan usaha Bank; 3. Rencana Bisnis tidak memperhatikan prinsip kehati-hatian dan azas perbankan yang sehat, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 2 dan atau belum lengkapnya cakupan Rencana Bisnis sebagaimana ditentukan dalam Pasal 5. Apabila diperlukan, Bank Indonesia meminta Bank untuk melakukan presentasi atau penjelasan yang menyeluruh mengenai penyesuaian Rencana Bisnis. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 20 Ayat (1) Apabila diperlukan Bank Indonesia meminta Bank untuk melakukan presentasi atau penjelasan yang menyeluruh mengenai perubahan Rencana Bisnis. Indikasi penyebab signifikan antara lain faktor-faktor solvabilitas dan likuiditas yang secara langsung berdampak pada kondisi keuangan sehingga mempengaruhi kelangsungan usaha Bank. Ayat (2) … - 11 - Ayat (2) Penetapan batas waktu dan frekuensi pada ayat ini dimaksudkan agar Bank lebih akurat dalam menyusun Rencana Bisnis. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Apabila diperlukan Bank Indonesia meminta Bank untuk melakukan presentasi atau penjelasan yang menyeluruh mengenai penyesuaian perubahan Rencana Bisnis. Pasal 21 Ayat (1) Yang dimaksud dengan triwulanan adalah posisi bulan Maret, Juni, September dan Desember. Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud dengan hari adalah hari kalender. Huruf b Cukup jelas. Ayat (3) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Uraian penjelasan pada huruf ini meliputi penjelasan mengenai kendala yang dihadapi, fokus, dan prioritas pencapaian Rencana Bisnis. Bisnis … - 12 - Huruf c Uraian tindak lanjut pada huruf ini meliputi upaya untuk memperbaiki pencapaian realisasi Rencana Bisnis. Pasal 22 Ayat (1) Yang dimaksud dengan semesteran adalah posisi bulan Juni dan Desember. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Huruf a Pendapat Komisaris meliputi penilaian terhadap pelaksanaan Rencana Bisnis termasuk penilaian aspek kuantitatif dan aspek kualitatif kinerja Bank. Huruf b Faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja Bank antara lain meliputi faktor permodalan, kualitas aset, manajemen, rentabilitas, likuiditas, dan sensitivitas terhadap risiko pasar. Huruf c Upaya memperbaiki kinerja merupakan perbaikan terhadap faktor- faktor sebagaimana dimaksud pada huruf b. Pasal 23 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) … - 13 - Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 24 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 25 Yang dimaksud dengan hari libur adalah hari libur nasional dan atau hari libur lokal yang ditetapkan oleh pemerintah daerah setempat. Pasal 26 Cukup jelas. Pasal 27 Cukup jelas. Pasal 28 … - 14 - Pasal 28 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Bank yang telah dikenakan sanksi kewajiban membayar dalam ayat ini tidak dikenakan sanksi keterlambatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 29 Cukup jelas. Pasal 30 Cukup jelas. Pasal 31 Cukup jelas. Pasal 32 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4457
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 6/25/PBI/2004 </reg_id> <reg_title> RENCANA BISNIS BANK UMUM </reg_title> <set_date> 22 Oktober 2004 </set_date> <effective_date> 22 Oktober 2004 </effective_date> <replaced_reg> '27/117/KEP/DIR|SKDIR-BI/1995' </replaced_reg> <related_reg> '23/UU/1999', '3/UU/2004', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg> <penalty_list> 'BAB V' </penalty_list>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 10/ 15 /PBI/2008 TENTANG KEWAJIBAN PENYEDIAAN MODAL MINIMUM BANK UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa dalam rangka menciptakan sistem perbankan yang sehat, dan mampu berkembang serta bersaing secara nasional maupun internasional, struktur, persyaratan, dan perhitungan kecukupan modal bank perlu disesuaikan dengan standar internasional yang berlaku; b. bahwa sejalan dengan standar internasional yang berlaku, perhitungan kecukupan modal yang berfungsi sebagai penyangga untuk menyerap kerugian yang timbul dari berbagai risiko, perlu disesuaikan dengan profil risiko yang mencakup risiko kredit, risiko pasar, risiko operasional, dan risiko lainnya yang bersifat material; c. bahwa sejalan dengan perkembangan pasar keuangan, tersedia berbagai inovasi instrumen keuangan yang dapat diperhitungkan sebagai modal; d. bahwa … - 2 - d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, dan huruf c, diperlukan pengaturan kembali terhadap ketentuan tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum dalam Peraturan Bank Indonesia; Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); 2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 3 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357); M E M U T U S K A N: Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG KEWAJIBAN PENYEDIAAN MODAL MINIMUM BANK UMUM. BAB I … - 3 - BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan: 1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, termasuk kantor cabang bank asing, yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional. 2. Perusahaan Anak adalah badan hukum atau perusahaan yang dimiliki dan/atau dikendalikan oleh Bank secara langsung maupun tidak langsung, baik di dalam maupun di luar negeri, yang melakukan kegiatan usaha di bidang keuangan, yang terdiri dari: a. Perusahaan Subsidiari (subsidiary company) yaitu Perusahaan Anak dengan kepemilikan Bank lebih dari 50% (lima puluh persen); b. Perusahaan Partisipasi (participation company) adalah Perusahaan Anak dengan kepemilikan Bank 50% (lima puluh persen) atau kurang, namun Bank memiliki pengendalian terhadap perusahaan; c. Perusahaan dengan kepemilikan Bank lebih dari 20% (dua puluh persen) sampai dengan 50% (lima puluh persen) yang memenuhi persyaratan yaitu: 1) kepemilikan Bank dan para pihak lainnya pada Perusahaan Anak adalah masing-masing sama besar; dan 2) masing-masing pemilik melakukan pengendalian secara bersama terhadap Perusahaan Anak; d. Entitas lain yang berdasarkan standar akuntansi keuangan yang berlaku wajib dikonsolidasikan, namun … - 4 - namun tidak termasuk perusahaan asuransi dan perusahaan yang dimiliki dalam rangka restrukturisasi kredit. 3. Pengendalian adalah Pengendalian sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai transparansi kondisi keuangan Bank. 4. Risiko Kredit adalah risiko kerugian akibat kegagalan pihak lawan (counterparty) memenuhi kewajibannya. 5. Risiko Pasar adalah risiko kerugian pada posisi neraca dan rekening administratif termasuk transaksi derivatif akibat perubahan secara keseluruhan dari kondisi pasar, termasuk risiko perubahan harga option. 6. Risiko Operasional adalah risiko kerugian yang diakibatkan oleh proses internal yang kurang memadai, kegagalan proses internal, kesalahan manusia, kegagalan sistem, dan/atau adanya kejadian-kejadian eksternal yang mempengaruhi operasional Bank. 7. Trading Book adalah seluruh posisi instrumen keuangan dalam neraca dan rekening administratif termasuk transaksi derivatif yang dimiliki untuk: a. tujuan diperdagangkan dan dapat dipindahtangankan dengan bebas atau dapat dilindung nilai secara keseluruhan, baik dari transaksi untuk kepentingan sendiri (proprietary positions), atas permintaan nasabah maupun kegiatan perantaraan (brokering), dan dalam rangka pembentukan pasar (market making), yang meliputi: 1) posisi yang dimiliki untuk dijual kembali dalam jangka pendek; 2) posisi yang dimiliki untuk tujuan memperoleh keuntungan jangka pendek secara aktual dan/atau potensial dari pergerakan harga (price movement); atau 3) posisi yang dimiliki untuk tujuan mempertahankan keuntungan arbitrase (locking in arbitrage profits); b. tujuan … - 5 - b. tujuan lindung nilai atas posisi lainnya dalam Trading Book. 8. Banking Book adalah semua posisi lainnya yang tidak termasuk dalam Trading Book. Pasal 2 (1) Bank wajib menyediakan modal minimum sebesar 8% (delapan persen) dari aset tertimbang menurut risiko (ATMR). (2) Bagi Bank yang memiliki dan/atau melakukan Pengendalian terhadap Perusahaan Anak, kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku bagi Bank secara individual dan Bank secara konsolidasi dengan Perusahaan Anak. (3) Untuk mengantisipasi potensi kerugian sesuai profil risiko Bank, Bank Indonesia dapat mewajibkan Bank untuk menyediakan modal minimum lebih besar dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2). (4) Potensi kerugian Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (3) bersumber dari: a. Risiko Kredit, Risiko Pasar, dan Risiko Operasional yang belum dapat sepenuhnya diukur secara akurat dalam melakukan perhitungan ATMR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2); b. Risiko lainnya yang bersifat material antara lain risiko suku bunga di Banking Book, risiko likuiditas, dan risiko konsentrasi; c. Dampak penerapan stress testing terhadap kecukupan modal Bank; dan/atau d. Berbagai faktor terkait lainnya. (5) Penyediaan … - 6 - (5) Penyediaan modal minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung dengan menggunakan persentase rasio kewajiban penyediaan modal minimum (KPMM). Pasal 3 Bank dilarang melakukan distribusi laba apabila distribusi laba dimaksud mengakibatkan kondisi permodalan Bank tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2). BAB II MODAL Bagian Pertama Umum Pasal 4 (1) Modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) bagi Bank yang berkantor pusat di Indonesia terdiri dari: a. modal inti (tier 1); b. modal pelengkap (tier 2); dan c. modal pelengkap tambahan (tier 3). setelah memperhitungkan faktor-faktor tertentu yang menjadi pengurang modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan Pasal 20. (2) Dalam perhitungan modal secara konsolidasi, komponen modal Perusahaan Anak yang dapat diperhitungkan sebagai modal inti, modal pelengkap, dan modal pelengkap tambahan harus memenuhi persyaratan yang berlaku untuk masing-masing komponen modal sebagaimana diterapkan bagi Bank secara individual. Pasal 5 … - 7 - Pasal 5 (1) Modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) bagi kantor cabang dari bank yang kantor pusatnya berkedudukan di luar negeri adalah dana bersih kantor pusat (Net Head Office Fund) yang terdiri dari: a. Dana Usaha (Net Inter Office Fund); b. laba ditahan dan laba tahun lalu setelah dikeluarkan pengaruh faktor-faktor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2); c. laba tahun berjalan sebesar 50% (lima puluh persen) setelah dikeluarkan pengaruh faktor-faktor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2); d. cadangan umum modal; e. cadangan tujuan modal; f. revaluasi aset tetap dengan cakupan dan perhitungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf c; dan g. cadangan umum penyisihan penghapusan aset (PPA) atas aset produktif dengan perhitungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf d, setelah memperhitungkan faktor-faktor tertentu yang menjadi pengurang komponen modal sebagaimana diatur dalam Pasal 10 ayat (1) huruf b, Pasal 13, dan Pasal 20. (2) Perhitungan Dana Usaha sebagai komponen modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan sebagai berikut: a. Dalam hal posisi Dana Usaha yang sebenarnya (actual Dana Usaha) lebih besar dari Dana Usaha yang dinyatakan (declared Dana Usaha), maka yang diperhitungkan adalah Dana Usaha yang dinyatakan. b. Dalam … - 8 - b. Dalam hal posisi Dana Usaha yang sebenarnya lebih kecil dari Dana Usaha yang dinyatakan, maka yang diperhitungkan adalah Dana Usaha yang sebenarnya. c. Dalam hal posisi Dana Usaha yang sebenarnya negatif, maka jumlah tersebut merupakan faktor pengurang komponen modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Bagian Kedua Modal Inti Pasal 6 (1) Bank wajib menyediakan modal inti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a paling kurang 5% (lima persen) dari ATMR baik secara individual maupun secara konsolidasi dengan Perusahaan Anak. (2) Modal inti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari: a. modal disetor; b. cadangan tambahan modal (disclosed reserve); dan c. modal inovatif (innovative capital instrument). Pasal 7 Modal disetor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) huruf a harus memenuhi seluruh persyaratan sebagai berikut: a. diterbitkan dan telah dibayar penuh; b. bersifat permanen; c. tersedia untuk menyerap kerugian yang terjadi sebelum likuidasi maupun pada saat likuidasi; d. perolehan … - 9 - d. perolehan imbal hasil tidak dapat dipastikan dan tidak dapat diakumulasikan antar periode; dan e. tidak diproteksi maupun dijamin oleh Bank atau Perusahaan Anak. Pasal 8 Saham preferen non kumulatif yang diterbitkan untuk tujuan khusus dan memiliki fitur opsi beli (call option), dapat diakui sebagai komponen modal disetor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) huruf a apabila: a. memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf a, huruf c, huruf d, huruf e; dan b. opsi beli tersebut dapat dieksekusi dengan memenuhi persyaratan sebagai berikut: 1. hanya atas inisiatif Bank; 2. setelah jangka waktu 5 (lima) tahun sejak penerbitan atau tujuan penerbitan batal dilaksanakan; 3. telah memperoleh persetujuan Bank Indonesia; dan 4. tidak menyebabkan penurunan modal dibawah persyaratan minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2). Pasal 9 Pembelian kembali saham (treasury stock) yang telah diakui sebagai komponen modal disetor hanya dapat dilakukan dengan memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. setelah jangka waktu 5 (lima) tahun sejak penerbitan; b. untuk tujuan tertentu; c. wajib mengacu pada peraturan perundang-undangan yang berlaku; d. telah … - 10 - d. e. telah memperoleh persetujuan Bank Indonesia; dan tidak menyebabkan penurunan modal dibawah persyaratan minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2). Pasal 10 (1) Cadangan tambahan modal (disclosed reserve) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) huruf b terdiri dari: a. faktor penambah, yaitu: 1. agio; 2. modal sumbangan; 3. cadangan umum modal; 4. cadangan tujuan modal; 5. laba tahun-tahun lalu; 6. laba tahun berjalan sebesar 50% (lima puluh persen); 7. selisih lebih penjabaran laporan keuangan; 8. dana setoran modal, yang memenuhi persyaratan sebagai berikut: a) telah disetor penuh untuk tujuan penambahan modal, namun belum didukung dengan kelengkapan persyaratan untuk dapat digolongkan sebagai modal disetor seperti pelaksanaan rapat umum pemegang saham maupun pengesahan anggaran dasar dari instansi yang berwenang; b) ditempatkan pada rekening khusus (escrow account) yang tidak diberikan imbal hasil; c) tidak boleh ditarik kembali oleh pemegang saham/calon pemegang saham dan tersedia untuk menyerap kerugian; dan d) penggunaan … - 11 - d) penggunaan dana harus dengan persetujuan Bank Indonesia. 9. Waran yang diterbitkan sebagai insentif kepada pemegang saham Bank sebesar 50% (lima puluh persen), dengan memenuhi persyaratan sebagai berikut: a) instrumen yang mendasari adalah saham biasa; b) tidak dapat dikonversi ke dalam bentuk selain saham; dan c) nilai yang diperhitungkan adalah nilai wajar dari waran pada tanggal penerbitannya; 10. Opsi saham (stock option) yang diterbitkan melalui program kompensasi pegawai/manajemen berbasis saham (employee/ management stock option) sebesar 50% (lima puluh persen), dengan memenuhi persyaratan sebagai berikut: a) instrumen yang mendasari adalah saham biasa; b) tidak dapat dikonversi ke dalam bentuk selain saham; dan c) nilai yang diperhitungkan adalah nilai wajar dari stock option pada tanggal pemberian kompensasi; b. faktor pengurang, yaitu: 1. disagio; 2. rugi tahun-tahun lalu; 3. rugi tahun berjalan; 4. selisih kurang penjabaran laporan keuangan; 5. pendapatan komprehensif lainnya yang negatif, yang mencakup kerugian yang belum terealisasi yang timbul dari penurunan nilai wajar penyertaan yang diklasifikasikan dalam kelompok tersedia untuk dijual; 6. selisih … - 12 - 6. selisih kurang antara penyisihan penghapusan aset atas aset produktif dan cadangan kerugian penurunan nilai aset keuangan atas aset produktif; 7. selisih kurang antara jumlah penyesuaian terhadap hasil valuasi dari instrumen keuangan dalam Trading Book dan jumlah penyesuaian berdasarkan standar akuntansi keuangan yang berlaku. (2) Dalam perhitungan laba rugi tahun-tahun lalu dan/atau tahun berjalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a angka 5 dan 6 harus dikeluarkan dari pengaruh: a. perhitungan pajak tangguhan (deferred tax); b. selisih nilai revaluasi aset tetap; c. peningkatan nilai wajar aset tetap; d. peningkatan atau penurunan nilai wajar atas kewajiban keuangan; dan/ atau e. keuntungan atas penjualan aset dalam transaksi sekuritisasi (gain on sale). Pasal 11 (1) Modal inovatif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) huruf c yang dapat diperhitungkan sebagai komponen modal inti paling tinggi sebesar 10% (sepuluh persen) dari modal inti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a. (2) Modal inovatif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi seluruh persyaratan sebagai berikut: a. diterbitkan dan telah dibayar penuh; b. tidak memiliki jangka waktu dan tidak ada persyaratan yang mewajibkan pelunasan oleh Bank di masa mendatang; c. tersedia … - 13 - c. tersedia untuk menyerap kerugian yang terjadi sebelum likuidasi maupun pada saat likuidasi dan bersifat subordinasi, yang secara jelas dinyatakan dalam dokumentasi penerbitan/perjanjian; d. perolehan imbal hasil tidak dapat dipastikan dan tidak dapat diakumulasikan antar periode; e. tidak diproteksi maupun dijamin oleh Bank atau Perusahaan Anak; f. apabila disertai dengan fitur opsi beli (call option), harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: 1. hanya dapat dieksekusi paling kurang 10 (sepuluh) tahun setelah instrumen modal diterbitkan; 2. dokumentasi penerbitan harus menyatakan bahwa opsi hanya dapat dieksekusi atas persetujuan Bank Indonesia; dan 3. dalam hal instrumen modal inovatif mengandung fitur step-up, maka fitur step-up harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a) fitur step-up dibatasi, ditetapkan, dan dinyatakan secara jelas dalam perjanjian penerbitan instrumen; b) hanya dapat direalisasi satu kali selama periode instrumen, yaitu setelah jangka waktu paling kurang 10 (sepuluh) tahun sejak diterbitkan; dan c) besarnya fitur step-up relevan dan sejalan dengan kondisi pasar serta tidak lebih besar dari salah satu batasan berikut: 1) 100 (seratus) basis points; atau 2) 50% (lima puluh persen) dari marjin (credit spread) awal; g. telah memperoleh persetujuan Bank Indonesia untuk diperhitungkan sebagai komponen modal. (3) Eksekusi opsi beli (call option) sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf f angka 1 dan angka 2 hanya dapat dilakukan oleh Bank sepanjang: a. telah … - 14 - a. telah memperoleh persetujuan Bank Indonesia; b. tidak menyebabkan penurunan modal dibawah persyaratan minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2); dan c. digantikan dengan instrumen modal yang mempunyai: 1. kualitas sama atau lebih baik; dan 2. jumlah yang sama atau jumlah yang berbeda sepanjang tidak melebihi 10% (sepuluh persen) dari modal inti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a. Pasal 12 (1) Dalam perhitungan KPMM secara konsolidasi, kepentingan minoritas (minority interest) diperhitungkan sebagai modal inti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a kecuali terdapat bagian dari kepentingan minoritas yang tidak sesuai dengan persyaratan komponen modal inti. (2) Kepentingan minoritas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diperhitungkan dalam modal inti secara konsolidasi apabila kepemilikan Bank pada Perusahaan Anak 50% (lima puluh persen) atau kurang dan memenuhi kondisi sebagai berikut: a. tidak terdapat keterkaitan/afiliasi antara pemegang saham lain (minority interest) dengan Bank; atau b. tidak terdapat surat pernyataan atau keputusan rapat umum pemegang saham (RUPS) Perusahaan Anak yang menyatakan kesediaan dari pemegang saham lain (minority interest) untuk mendukung modal kelompok usaha Bank. Pasal 13 … - 15 - Pasal 13 Modal inti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a diperhitungkan dengan faktor pengurang berupa: a. Goodwill; b. Aset tidak berwujud lainnya; dan/atau c. Faktor pengurang modal inti lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20. Bagian Ketiga Modal Pelengkap Pasal 14 (1) Modal pelengkap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf b hanya dapat diperhitungkan paling tinggi sebesar 100% (seratus persen) dari modal inti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a. (2) Modal pelengkap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari: a. Modal pelengkap level atas (upper tier 2); dan b. Modal pelengkap level bawah (lower tier 2). Pasal 15 (1) Modal pelengkap level atas (upper tier 2) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2) huruf a yang berupa instrumen modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf a harus memenuhi seluruh persyaratan sebagai berikut: a. diterbitkan dan telah dibayar penuh; b. tidak memiliki jangka waktu dan tidak ada persyaratan yang mewajibkan pelunasan oleh Bank di masa mendatang; c. tersedia … - 16 - c. tersedia untuk menyerap kerugian dalam hal jumlah kerugian Bank melebihi laba yang ditahan dan cadangan-cadangan yang termasuk modal inti meskipun Bank belum dilikuidasi dan bersifat subordinasi, yang secara jelas dinyatakan dalam dokumentasi penerbitan/perjanjian; d. pembayaran pokok dan/atau imbal hasil ditangguhkan dan diakumulasikan antar periode (cummulative) apabila: 1. pembayaran dimaksud dapat menyebabkan KPMM secara individual atau KPMM secara konsolidasi tidak memenuhi ketentuan yang berlaku; 2. Bank dalam keadaan rugi; atau 3. kondisi profitabilitas Bank tidak memungkinkan untuk membayar imbal hasil tersebut; e. tidak diproteksi maupun dijamin oleh Bank atau Perusahaan Anak; f. apabila disertai dengan fitur opsi beli (call option), harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: 1. hanya dapat dieksekusi paling kurang 10 (sepuluh) tahun setelah instrumen modal diterbitkan; 2. dokumentasi penerbitan harus menyatakan bahwa opsi hanya dapat dieksekusi atas persetujuan Bank Indonesia; dan 3. dalam hal instrumen modal mengandung fitur step-up, maka fitur step-up harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a) fitur step-up dibatasi, ditetapkan, dan dinyatakan secara jelas dalam perjanjian penerbitan instrumen; b) hanya dapat direalisasi satu kali selama periode instrumen, yaitu setelah jangka waktu paling kurang 10 (sepuluh) tahun sejak diterbitkan; dan c) besarnya … - 17 - c) besarnya fitur step-up relevan dan sejalan dengan kondisi pasar serta tidak lebih besar dari salah satu batasan berikut: 1) 100 (seratus) basis points; atau 2) 50% (lima puluh persen) dari marjin (credit spread) awal; g. telah memperoleh persetujuan Bank Indonesia untuk diperhitungkan sebagai komponen modal kecuali pelimpahan dari modal inovatif yang melebihi batasan modal inovatif. (2) Eksekusi opsi beli (call option) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f angka 1 dan angka 2 hanya dapat dilakukan oleh Bank sepanjang: a. telah memperoleh persetujuan Bank Indonesia; b. tidak menyebabkan penurunan modal dibawah persyaratan minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2); atau c. digantikan dengan instrumen modal yang mempunyai: 1. kualitas sama atau lebih baik; dan 2. dalam jumlah yang sama atau jumlah yang berbeda sepanjang tidak melebihi batasan modal pelengkap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1). Pasal 16 (1) Modal pelengkap level atas (upper tier 2) meliputi: a. instrumen modal dalam bentuk saham atau instrumen modal lainnya yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15; b. bagian dari modal inovatif yang tidak dapat diperhitungkan dalam modal inti; c. revaluasi aset tetap, yang mencakup: 1. selisih … - 18 - 1. selisih nilai revaluasi aset tetap yang sebelumnya telah diklasifikasikan ke saldo laba, sebesar 45% (empat puluh lima persen); dan 2. peningkatan nilai wajar atas aset tetap yang belum direalisasi yang sebelumnya telah diklasifikasikan ke saldo laba, sebesar 45% (empat puluh lima persen); d. cadangan umum penyisihan penghapusan aset atas aset produktif yang wajib dibentuk dengan jumlah paling tinggi sebesar 1,25% (satu koma dua puluh lima persen) dari ATMR untuk Risiko Kredit; e. pendapatan komprehensif lainnya paling tinggi sebesar 45% (empat puluh lima persen), yaitu berupa keuntungan yang belum terealisasi yang timbul dari peningkatan nilai wajar penyertaan yang diklasifikasikan dalam kelompok tersedia untuk dijual. (2) Selisih lebih cadangan umum yang wajib dibentuk dari batasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dapat diperhitungkan sebagai faktor pengurang perhitungan ATMR untuk Risiko Kredit. Pasal 17 (1) Modal pelengkap level bawah (lower tier 2) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2) huruf b hanya dapat diperhitungkan paling tinggi sebesar 50% (lima puluh persen) dari modal inti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a. (2) Modal pelengkap level bawah (lower tier 2) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi seluruh persyaratan sebagai berikut: a. diterbitkan dan telah dibayar penuh; b. memiliki … - 19 - b. memiliki jangka waktu perjanjian paling kurang 5 (lima) tahun dan hanya dapat dilunasi setelah memperoleh persetujuan Bank Indonesia; c. tersedia untuk menyerap kerugian pada saat likuidasi dan bersifat subordinasi, yang secara jelas dinyatakan dalam dokumentasi penerbitan/perjanjian; d. pembayaran pokok dan/atau imbal hasil ditangguhkan dan diakumulasikan antar periode (cummulative), termasuk pembayaran pada saat jatuh tempo, apabila: 1. pembayaran dimaksud dapat menyebabkan KPMM secara individual atau KPMM secara konsolidasi tidak memenuhi ketentuan yang berlaku; 2. Bank dalam keadaan rugi; atau 3. kondisi profitabilitas Bank tidak memungkinkan untuk membayar imbal hasil tersebut; e. tidak diproteksi maupun dijamin oleh Bank atau Perusahaan Anak; f. apabila disertai dengan fitur opsi beli (call option), harus memenuhi persyaratan berikut: 1. hanya dapat dieksekusi paling kurang 5 (lima) tahun setelah instrumen modal diterbitkan; 2. dokumentasi penerbitan harus menyatakan bahwa opsi hanya dapat dieksekusi atas persetujuan Bank Indonesia; dan 3. dalam hal instrumen modal mengandung fitur step-up, maka fitur step-up harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a) fitur step-up dibatasi, ditetapkan, dan dinyatakan secara jelas dalam perjanjian penerbitan instrumen; b) hanya … - 20 - b) hanya dapat direalisasi satu kali selama periode instrumen, yaitu setelah jangka waktu paling kurang 5 (lima) tahun sejak diterbitkan; dan c) besarnya fitur step-up relevan dan sejalan dengan kondisi pasar serta tidak lebih besar dari salah satu batasan berikut: 1) 100 (seratus) basis points; atau 2) 50% (lima puluh persen) dari marjin (credit spread) awal; g. telah memperoleh persetujuan Bank Indonesia untuk diperhitungkan sebagai komponen modal. (3) Eksekusi opsi beli (call option) sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf f angka 1 dan angka 2 hanya dapat dilakukan oleh Bank sepanjang: a. telah memperoleh persetujuan Bank Indonesia; b. tidak menyebabkan penurunan modal dibawah persyaratan minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2); atau c. digantikan dengan instrumen modal yang mempunyai: 1. kualitas sama atau lebih baik; dan 2. dalam jumlah yang sama atau jumlah yang berbeda sepanjang tidak melebihi batasan modal pelengkap level bawah (lower tier 2) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1). (4) Jumlah yang dapat diperhitungkan sebagai modal pelengkap level bawah (lower tier 2) adalah jumlah modal pelengkap level bawah (lower tier 2) dikurangi amortisasi yang dihitung dengan menggunakan metode garis lurus. (5) Amortisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan untuk sisa jangka waktu instrumen 5 (lima) tahun terakhir. (6) Dalam … - 21 - (6) Dalam hal terdapat opsi, maka jangka waktu sampai Bank dapat mengeksekusi opsi tersebut merupakan sisa jangka waktu dari instrumen tersebut. Pasal 18 Penempatan dana pada pinjaman subordinasi atau obligasi subordinasi atau yang memenuhi kriteria modal pelengkap pada Bank lain diperhitungkan sebagai faktor pengurang atas pinjaman subordinasi atau obligasi subordinasi yang menjadi komponen modal pelengkap Bank penerima/ penerbit. Pasal 19 Bagian dari modal pelengkap yang telah dibentuk cadangan pelunasan (sinking fund) tidak diperhitungkan sebagai komponen modal pelengkap, apabila Bank: a. telah menetapkan untuk menyisihkan dan mengelola dana cadangan pelunasan (sinking fund) tersebut secara khusus; dan b. telah mempublikasikan pembentukan cadangan pelunasan (sinking fund) tersebut, termasuk dalam Rapat Umum Pemegang Obligasi (RUPO). Pasal 20 (1) Faktor-faktor tertentu yang menjadi pengurang komponen modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) mencakup: a. penyertaan Bank yang meliputi: 1. seluruh penyertaan Bank kepada Perusahaan Anak kecuali penyertaan modal sementara dalam rangka restrukturisasi kredit; 2. seluruh … - 22 - 2. seluruh penyertaan kepada perusahaan atau badan hukum dengan kepemilikan Bank lebih dari 20% (dua puluh persen) sampai dengan 50% (lima puluh persen) namun Bank tidak memiliki Pengendalian; 3. seluruh penyertaan kepada perusahaan asuransi; b. kekurangan modal (shortfall) dari pemenuhan tingkat rasio solvabilitas minimum (Risk Based Capital/RBC minimum) pada perusahaan asuransi yang dimiliki dan dikendalikan oleh Bank; c. eksposur sekuritisasi. (2) Pengurangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b diperhitungkan sebesar 50% (lima puluh persen) dari modal inti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a dan 50% (lima puluh persen) dari modal pelengkap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf b. (3) Seluruh faktor pengurang modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b tidak diperhitungkan lagi dalam ATMR untuk Risiko Kredit. Bagian Keempat Modal Pelengkap Tambahan Pasal 21 (1) Modal pelengkap tambahan sebagaimana dimaksud pada Pasal 4 ayat (1) huruf c dapat digunakan sepanjang memenuhi kriteria sebagai berikut: a) hanya digunakan untuk memperhitungkan Risiko Pasar; b) tidak melebihi 250% (dua ratus lima puluh persen) dari bagian modal inti yang dialokasikan untuk memperhitungkan Risiko Pasar; dan c) jumlah … - 23 - c) jumlah modal pelengkap dan modal pelengkap tambahan paling tinggi sebesar 100% (seratus persen) dari modal inti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a. (2) Modal pelengkap tambahan (tier 3) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi seluruh persyaratan sebagai berikut: a. diterbitkan dan telah dibayar penuh; b. memiliki jangka waktu perjanjian paling kurang 2 (dua) tahun dan hanya dapat dilunasi setelah memperoleh persetujuan Bank Indonesia; c. tersedia untuk menyerap kerugian pada saat likuidasi dan bersifat subordinasi, yang secara jelas dinyatakan dalam dokumentasi penerbitan/perjanjian; d. pembayaran pokok dan/atau imbal hasil ditangguhkan dan diakumulasikan antar periode (cummulative), termasuk pembayaran pada saat jatuh tempo, apabila: 1. pembayaran dimaksud dapat menyebabkan KPMM secara individual atau KPMM secara konsolidasi tidak memenuhi ketentuan yang berlaku; 2. Bank dalam keadaan rugi; atau 3. kondisi profitabilitas Bank tidak memungkinkan untuk membayar imbal hasil tersebut; e. tidak diproteksi maupun dijamin oleh Bank atau Perusahaan Anak; f. apabila disertai dengan fitur opsi beli (call option), harus memenuhi persyaratan berikut: 1. hanya dapat dieksekusi paling kurang 2 (dua) tahun setelah instrumen modal diterbitkan; 2. dokumentasi penerbitan harus menyatakan bahwa opsi hanya dapat dieksekusi atas persetujuan Bank Indonesia; dan 3. dalam … - 24 - 3. dalam hal instrumen modal mengandung fitur step-up, maka fitur step-up harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a) fitur step-up dibatasi, ditetapkan, dan dinyatakan secara jelas dalam perjanjian penerbitan instrumen; b) hanya dapat direalisasi satu kali selama periode instrumen, yaitu setelah jangka waktu paling kurang 2 (dua) tahun sejak diterbitkan; dan c) besarnya fitur step-up relevan dan sejalan dengan kondisi pasar serta tidak lebih besar dari salah satu batasan berikut: 1) 100 (seratus) basis points; atau 2) 50% (lima puluh persen) dari marjin (credit spread) awal; g. telah memperoleh persetujuan Bank Indonesia untuk diperhitungkan sebagai komponen modal kecuali komponen modal pelengkap tambahan (tier 3) sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b dan huruf c. (3) Eksekusi opsi beli (call option) sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf f angka 1 dan angka 2 hanya dapat dilakukan oleh Bank sepanjang: a. telah memperoleh persetujuan Bank Indonesia; dan b. tidak menyebabkan penurunan modal dibawah persyaratan minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2). (4) Modal pelengkap tambahan (tier 3) meliputi: a. Pinjaman subordinasi atau obligasi subordinasi jangka pendek; b. Modal pelengkap yang tidak dialokasikan untuk menutup beban modal untuk Risiko Kredit dan/atau beban modal untuk Risiko Operasional namun memenuhi syarat sebagai modal pelengkap (unused but eligible tier 2); dan c. bagian … - 25 - c. bagian dari modal pelengkap level bawah (lower tier 2) yang melebihi batasan modal pelengkap level bawah (lower tier 2). Pasal 22 Dalam perhitungan KPMM secara konsolidasi, untuk komponen modal inovatif, modal pelengkap level atas (upper tier 2), modal pelengkap level bawah (lower tier 2), dan modal pelengkap tambahan (tier 3), Bank wajib menyampaikan data pendukung yang menunjukkan bahwa komponen modal Perusahaan Anak yang diperhitungkan telah memenuhi seluruh persyaratan sebagai komponen modal. BAB III ASET TERTIMBANG MENURUT RISIKO Bagian Pertama Umum Pasal 23 ATMR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) terdiri dari: a. ATMR untuk Risiko Kredit; b. ATMR untuk Risiko Operasional; c. ATMR untuk Risiko Pasar. Pasal 24 (1) Setiap Bank wajib memperhitungkan ATMR untuk Risiko Kredit dan ATMR untuk Risiko Operasional. (2) ATMR untuk Risiko Pasar hanya wajib diperhitungkan oleh Bank yang memenuhi kriteria tertentu. Pasal 25 … - 26 - Pasal 25 Kriteria tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2) adalah: a. Bank yang secara individual memenuhi salah satu kriteria sebagai berikut: 1. Bank dengan total aset sebesar Rp10.000.000.000.000,00 (sepuluh triliun rupiah) atau lebih; 2. Bank devisa dengan posisi instrumen keuangan berupa surat berharga dan/atau transaksi derivatif dalam Trading Book sebesar Rp20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah) atau lebih; 3. Bank bukan Bank devisa dengan posisi instrumen keuangan berupa surat berharga dan/atau transaksi derivatif suku bunga dalam Trading Book sebesar Rp25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah) atau lebih; dan/atau; b. Bank yang secara konsolidasi dengan Perusahaan Anak memenuhi salah satu kriteria sebagai berikut: 1. Bank devisa yang secara konsolidasi dengan Perusahaan Anak memiliki posisi instrumen keuangan berupa surat berharga termasuk instrumen keuangan yang terekspos Risiko Ekuitas dan/atau transaksi derivatif dalam Trading Book dan/atau instrumen keuangan yang terekspos Risiko Komoditas dalam Trading Book dan Banking Book sebesar Rp20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah) atau lebih; 2. Bank bukan Bank devisa yang secara konsolidasi dengan Perusahaan Anak memiliki posisi instrumen keuangan berupa surat berharga termasuk instrumen keuangan yang terekspos Risiko Ekuitas dan/atau transaksi derivatif dalam Trading Book dan/atau instrumen keuangan yang terekspos Risiko Komoditas dalam Trading Book dan Banking Book … - 27 - Book sebesar Rp25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah) atau lebih. c. Kewajiban untuk memperhitungkan Risiko Pasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2) berlaku pula untuk Bank yang memiliki jaringan kantor dan/atau Perusahaan Anak di negara lain maupun kantor cabang dari Bank yang kantor pusatnya berkedudukan di luar negeri. Pasal 26 Aset keuangan yang pada saat pengakuan awal ditetapkan sebagai aset keuangan yang diukur pada nilai wajar melalui laporan laba rugi dan kredit yang diklasifikasikan dalam kelompok diperdagangkan dikecualikan dari cakupan Trading Book. Pasal 27 Surat berharga dalam Trading Book sebagaimana dimaksud pada Pasal 25 huruf a angka 2 dan angka 3, huruf b angka 1 dan angka 2 hanya mencakup surat berharga yang diklasifikasikan dalam kelompok diperdagangkan. Pasal 28 Bank yang setelah merger, konsolidasi, atau mengakuisisi memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25, paling kurang pada 3 (tiga) periode pelaporan bulanan dalam 6 (enam) bulan pertama setelah merger, konsolidasi, atau mengakuisisi dinyatakan efektif wajib memperhitungkan Risiko Pasar dalam perhitungan KPMM sejak bulan ke 7 (tujuh) setelah merger, konsolidasi, atau mengakuisisi dinyatakan efektif. Pasal 29 … - 28 - Pasal 29 Bank yang telah memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 dan Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 wajib tetap memperhitungkan Risiko Pasar dalam kewajiban penyediaan modal minimum walaupun Bank selanjutnya tidak lagi memenuhi kriteria dimaksud. Bagian Kedua Risiko Kredit Pasal 30 (1) Dalam perhitungan ATMR untuk Risiko Kredit, Bank menggunakan: a. Pendekatan Standar (Standardized Approach); dan/atau b. Pendekatan berdasarkan Internal Rating (Internal Rating based Approach). (2) Bank yang menggunakan pendekatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b wajib memperoleh persetujuan terlebih dahulu dari Bank Indonesia. (3) Pengaturan lebih lanjut mengenai penggunaan masing-masing pendekatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Bagian Ketiga Risiko Operasional Pasal 31 (1) Dalam perhitungan ATMR untuk Risiko Operasional, Bank menggunakan: a. Pendekatan Indikator Dasar (Basic Indicator Approach); b. Pendekatan … - 29 - b. Pendekatan Standar (Standardized Approach); dan/atau c. Pendekatan yang lebih kompleks (Advanced Measurement Approach). (2) Bank yang menggunakan pendekatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan huruf c wajib memperoleh persetujuan terlebih dahulu dari Bank Indonesia. (3) Pengaturan lebih lanjut mengenai penggunaan masing-masing pendekatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Bagian Keempat Risiko Pasar Pasal 32 (1) Risiko Pasar yang wajib diperhitungkan oleh Bank secara individual dan secara konsolidasi dengan Perusahaan Anak adalah: a. risiko suku bunga; dan/atau b. risiko nilai tukar. (2) Bank secara konsolidasi wajib memperhitungkan risiko ekuitas dan/atau risiko komoditas selain Risiko Pasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) apabila memenuhi kriteria sebagai berikut: a. memiliki Perusahaan Anak yang terekspos risiko ekuitas dan/atau risiko komoditas; dan b. secara konsolidasi dengan Perusahaan Anak memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 huruf b. Pasal 33 … - 30 - Pasal 33 (1) Dalam perhitungan ATMR untuk Risiko Pasar, Bank menggunakan: a. Metode Standar (Standard Method); dan/atau b. Model Internal (Internal Model). (2) Bank yang memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25, wajib terlebih dahulu menggunakan Metode Standar dalam memperhitungkan Risiko Pasar. (3) Bank yang menggunakan pendekatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b wajib memperoleh persetujuan terlebih dahulu dari Bank Indonesia. (4) Pengaturan lebih lanjut mengenai penggunaan masing-masing metode sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. BAB IV PELAPORAN Pasal 34 (1) Bank yang memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 wajib menyampaikan laporan perhitungan KPMM dengan memperhitungkan Risiko Pasar. (2) Penyusunan dan penyampaian laporan perhitungan KPMM dengan memperhitungkan Risiko Pasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mengacu kepada ketentuan tentang Laporan Berkala Bank Umum. (3) Laporan yang terkait dengan Model Internal secara triwulanan untuk pertama kali disusun pada akhir triwulan setelah Model Internal digunakan untuk perhitungan KPMM. BAB V … - 31 - BAB V KETENTUAN PERALIHAN Pasal 35 Instrumen modal yang telah disetujui oleh Bank Indonesia sebagai komponen modal pelengkap dan atau komponen modal pelengkap tambahan sebelum berlakunya ketentuan ini tetap diperhitungkan sebagai komponen modal sampai dengan berakhirnya jangka waktu instrumen tersebut. BAB VI SANKSI Pasal 36 Bank yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 3, Pasal 6 ayat (1), Pasal 9, Pasal 11 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 15 ayat (2), Pasal 14 ayat (1), Pasal 17 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 21 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 22, Pasal 24, Pasal 28, Pasal 29, Pasal 30, Pasal 31, Pasal 32, dan Pasal 33 dikenakan sanksi administratif berupa: a. teguran tertulis; b. pembekuan kegiatan usaha tertentu; c. penurunan tingkat kesehatan Bank; dan/atau d. pencantuman pengurus dan atau pemegang saham Bank dalam daftar orang yang dilarang menjadi pemegang saham dan pengurus Bank, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998. Pasal 37 … - 32 - Pasal 37 Bank yang tidak dapat memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) ditempatkan dalam pengawasan khusus sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai tindak lanjut pengawasan dan penetapan status Bank. Pasal 38 Bank yang melanggar ketentuan pelaporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 dikenakan sanksi sebagaimana diatur dalam ketentuan yang berlaku tentang Laporan Berkala Bank Umum. Pasal 39 Bank yang melakukan perdagangan atas aset keuangan dalam kelompok tersedia untuk dijual, yang dilakukan dengan pola menyerupai perdagangan atas aset keuangan dalam kelompok diperdagangkan: a. dalam jumlah yang signifikan; dan/atau b. dalam frekuensi yang tinggi, dikenakan sanksi berupa tidak diperkenankan untuk mengelompokkan pembelian aset keuangan berikutnya dalam kelompok tersedia untuk dijual, selama 6 (enam) bulan terhitung sejak tanggal dikeluarkan surat pembinaan oleh Bank Indonesia. Pasal 40 Dalam hal Bank melakukan tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 untuk kedua kalinya, maka Bank dikenakan sanksi berupa tidak diperkenankan untuk … - 33 - untuk mengelompokkan pembelian aset keuangan berikutnya dalam kelompok tersedia untuk dijual selama 1 (satu) tahun terhitung sejak tanggal dikeluarkan surat pembinaan oleh Bank Indonesia. Pasal 41 Dalam hal Bank melakukan tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 lebih dari dua kali, maka Bank dikenakan sanksi berupa tidak diperkenankan untuk mengelompokkan pembelian aset keuangan berikutnya dalam kelompok tersedia untuk dijual selama 2 (dua) tahun terhitung sejak tanggal dikeluarkan surat pembinaan oleh Bank Indonesia. BAB VII KETENTUAN PENUTUP Pasal 42 Ketentuan mengenai perlakuan penempatan antar Bank dalam bentuk pinjaman subordinasi atau obligasi subordinasi sebagai faktor pengurang atas pinjaman subordinasi atau obligasi subordinasi bagi Bank yang juga menjadi penerbit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18, berlaku untuk penempatan yang dilakukan setelah ketentuan ini berlaku. Pasal 43 Dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini, maka: a. Peraturan Bank Indonesia Nomor 3/21/PBI/2001 tanggal 13 Desember 2001 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum; b. Pasal 6 … - 34 - b. Pasal 6 dan Pasal 7 Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/6/PBI/2006 tanggal 30 Januari 2006 tentang Penerapan Manajemen Risiko secara Konsolidasi bagi Bank yang Melakukan Pengendalian terhadap Perusahaan Anak; c. Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 10, Pasal 18, Pasal 31, Pasal 34, Pasal 35, Pasal 36, dan Pasal 37 Peraturan Bank Indonesia Nomor 9/13/PBI/2007 tanggal 1 November 2007 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum dengan Memperhitungkan Risiko Pasar; d. Angka III Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 26/1/BPPP tanggal 29 Mei 1993 perihal Kewajiban Penyediaan Modal Minimum bagi Bank Umum, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 44 Dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini maka: a. ketentuan pelaksanaan Peraturan Bank Indonesia Nomor 9/13/PBI/2007 tanggal 1 November 2007 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum dengan memperhitungkan Risiko Pasar; b. ketentuan pelaksanaan Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/6/PBI/2006 tanggal 30 Januari 2006 tentang Penerapan Manajemen Risiko secara Konsolidasi bagi Bank yang Melakukan Pengendalian terhadap Perusahaan Anak; dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Bank Indonesia ini. Pasal 45 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2009. Agar … - 35 - Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 24 September 2008. GUBERNUR BANK INDONESIA, BOEDIONO Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 24 September 2008 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA ANDI MATTALATTA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2008 NOMOR 135 DPNP PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 10/ 15 /PBI/2008 TENTANG KEWAJIBAN PENYEDIAAN MODAL MINIMUM BANK UMUM UMUM Dalam rangka menciptakan sistem perbankan yang sehat dan mampu berkembang serta bersaing secara nasional maupun internasional, struktur, persyaratan, dan perhitungan kecukupan modal bank perlu disesuaikan dengan standar internasional yang berlaku. Standar internasional yang menjadi acuan dalam penyesuaian ini adalah “International convergence of Capital Measurement and Capital Standards: A Revised Framework” atau yang lebih dikenal Basel II dan International Accounting Standard (IAS) yang diadopsi dalam Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) yaitu antara lain IAS 39 yang diadopsi dalam PSAK No. 55. Perhitungan kecukupan modal merupakan salah satu aspek yang mendasar dalam pelaksanaan prinsip kehati-hatian. Modal berfungsi sebagai penyangga untuk menyerap kerugian yang timbul dari berbagai risiko. Oleh karena itu, dalam perhitungan kecukupan modal sesuai standar internasional, Bank perlu menyesuaikan kecukupan modal tersebut dengan profil risiko Bank yang mencakup risiko kredit, risiko pasar, risiko operasional, dan risiko lainnya yang bersifat material baik yang terukur secara kuantitatif maupun berdasarkan penilaian secara kualitatif. Selain … - 2 - Selain itu, pasar keuangan di dunia semakin mengalami perkembangan yang pesat. Perkembangan pasar keuangan menyebabkan tersedianya berbagai inovasi instrumen keuangan yang dapat diperhitungkan sebagai modal. Di sisi lain, ketentuan yang berlaku saat ini terkait dengan kecukupan modal masih tersebar pada beberapa ketentuan yang terpisah, sehingga untuk mempermudah pengguna dalam memahaminya perlu dilakukan penggabungan pengaturan tersebut menjadi satu ketentuan. Sehubungan dengan hal-hal tersebut, maka perlu pengaturan kembali terhadap ketentuan tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum dalam suatu Peraturan Bank Indonesia. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Ayat (1) Aset tertimbang menurut risiko (ATMR) mencakup ATMR untuk Risiko Kredit, ATMR untuk Risiko Pasar, dan ATMR untuk Risiko Operasional. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) … - 3 - Ayat (4) Huruf a Risiko belum dapat sepenuhnya diukur secara akurat antara lain disebabkan oleh kelemahan sistem pengendalian risiko untuk Risiko Kredit, Risiko Pasar, dan Risiko Operasional. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Ayat (5) Rasio KPMM merupakan perbandingan antara modal dengan ATMR. Rasio KPMM secara konsolidasi dilakukan dengan cara membandingkan modal secara konsolidasi dengan ATMR secara konsolidasi. Pasal 3 Yang dimaksud dengan distribusi laba antara lain pembayaran dividen, pembayaran bonus kepada pengurus (management fee). Pasal 4 Cukup jelas. Pasal 5 … - 4 - Pasal 5 Ayat (1) Huruf a Dana Usaha mengacu pada ketentuan Bank Indonesia mengenai persyaratan dan tata cara pembukaan kantor cabang, kantor cabang pembantu, dan kantor perwakilan dari bank yang berkedudukan di luar negeri. Dana Usaha merupakan dana bersih yang berasal dari kantor pusat Bank pada kantor cabang bank asing setelah dikurangi penempatan kantor cabang bank asing pada kantor-kantor Bank yang bersangkutan di luar negeri, yang harus selalu tercatat selama kantor cabang bank asing beroperasi di Indonesia dan telah dinyatakan (declared Dana Usaha). Huruf b Yang dimaksud dengan ”laba ditahan” adalah saldo laba bersih setelah dikurangi pajak yang oleh kantor pusatnya diputuskan untuk ditahan di kantor cabangnya di Indonesia. Yang dimaksud dengan ”laba tahun lalu” adalah seluruh laba bersih tahun-tahun yang lalu setelah dikurangi pajak, dan belum ditetapkan penggunaannya oleh kantor pusat. Dalam hal Bank mempunyai saldo rugi tahun-tahun lalu, maka seluruh kerugian tersebut menjadi faktor pengurang modal. Huruf c Yang dimaksud dengan ”laba tahun berjalan” adalah laba yang diperoleh dalam tahun buku berjalan setelah dikurangi taksiran pajak. Dalam … - 5 - Dalam hal pada tahun buku berjalan Bank mengalami kerugian, maka seluruh kerugian tersebut menjadi faktor pengurang modal. Huruf d Yang dimaksud dengan “cadangan umum modal” adalah cadangan yang dibentuk dari penyisihan laba yang ditahan atau dari laba tahun lalu setelah dikurangi pajak, dan mendapat persetujuan kantor pusatnya sebagai cadangan umum modal. Huruf e Yang dimaksud dengan “cadangan tujuan modal” adalah cadangan yang dibentuk dari penyisihan laba yang ditahan atau dari laba tahun lalu setelah dikurangi pajak yang disisihkan untuk tujuan tertentu dan telah mendapat persetujuan kantor pusatnya. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Ayat (2) Penetapan jumlah Dana Usaha yang dinyatakan mengacu kepada ketentuan Bank Indonesia yang berlaku mengenai pinjaman luar negeri. Pasal 6 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) … - 6 - Ayat (2) Huruf a Perlakuan sebagai komponen modal disetor mengacu kepada ketentuan perundang-undangan yang berlaku dan standar akuntansi keuangan yang berlaku mengenai akuntansi ekuitas. Yang termasuk modal disetor antara lain: 1. saham biasa; 2. saham preferen (yang memberikan hak kepada pemegangnya untuk menerima dividen lebih dahulu dari pemegang saham klasifikasi lain) non kumulatif (Perpetual non cummulative preference share); atau 3. saham preferen non kumulatif yang diterbitkan untuk tujuan khusus dengan fitur call option. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Yang dimaksud dengan “modal inovatif” adalah instrumen utang yang memiliki karakteristik modal (instrumen hybrid). Modal inovatif meliputi : 1. Instrumen utang yang memiliki karakteristik modal, bersifat subordinasi, tidak memiliki jangka waktu, dan pembayaran imbal hasil tidak dapat diakumulasikan (Perpetual non cummulative subordinated debt). 2. Instrumen hybrid lainnya yang tidak memiliki jangka waktu dan pembayaran imbal hasil tidak dapat diakumulasikan (perpetual dan non cummulative). Pasal 7 … - 7 - Pasal 7 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Termasuk dalam kategori diproteksi maupun dijamin oleh Bank atau Perusahaan Anak yaitu proteksi maupun jaminan yang diterima dari pihak lain tetapi dilakukan melalui Bank atau Perusahaan Anak, misalnya premi/fee dalam rangka penjaminan dibayar oleh Bank atau Perusahaan Anak. Pasal 8 Termasuk sebagai tujuan khusus yaitu untuk tujuan merger, akuisisi, atau konsolidasi. Pasal 9 Huruf a Cukup jelas. Huruf b … - 8 - Huruf b Tujuan tertentu untuk melakukan pembelian kembali saham yang telah diakui sebagai komponen modal disetor yaitu sebagai persediaan saham dalam rangka program employee/management stock option atau menghindari upaya take over. Huruf c Sesuai Undang-Undang No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yang berlaku saat ini dinyatakan bahwa jumlah nilai nominal seluruh saham yang dibeli kembali oleh perseroan tidak melebihi 10% (sepuluh persen) dari modal yang ditempatkan. Saham yang dibeli kembali hanya boleh dikuasai perseroan paling lama 3 (tiga) tahun. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Pasal 10 Ayat (1) Huruf a Angka 1 Yang dimaksud dengan “agio” adalah selisih lebih setoran modal yang diterima oleh Bank pada saat penerbitan saham karena harga pasar saham lebih tinggi dari nilai nominal. Angka 2 Yang dimaksud dengan “modal sumbangan” adalah modal yang diperoleh kembali dari sumbangan saham Bank tersebut termasuk selisih antara nilai yang tercatat dengan harga jual apabila saham tersebut dijual. Angka 3 … - 9 - Angka 3 Yang dimaksud dengan “cadangan umum modal” adalah cadangan yang dibentuk dari penyisihan laba yang ditahan atau dari laba tahun lalu setelah dikurangi pajak, dan mendapat persetujuan rapat umum pemegang saham (RUPS) atau rapat anggota sebagai cadangan umum modal. Angka 4 Yang dimaksud dengan “cadangan tujuan modal” adalah cadangan yang dibentuk dari penyisihan laba yang ditahan atau dari laba tahun lalu setelah dikurangi pajak yang disisihkan untuk tujuan tertentu dan telah mendapat persetujuan RUPS atau rapat anggota. Angka 5 Laba tahun-tahun lalu setelah diperhitungkan pajak mencakup: a. laba tahun lalu, yaitu seluruh laba bersih tahun-tahun yang lalu setelah dikurangi pajak, dan belum ditetapkan penggunaannya oleh RUPS atau rapat anggota; b. laba ditahan (retained earnings) yaitu saldo laba bersih setelah dikurangi pajak yang oleh RUPS atau rapat anggota diputuskan untuk tidak dibagikan. Angka 6 Yang dimaksud dengan ”laba tahun berjalan” adalah laba yang diperoleh dalam tahun buku berjalan setelah dikurangi taksiran pajak. Angka 7 … - 10 - Angka 7 Yang dimaksud dengan “selisih lebih penjabaran laporan keuangan” adalah selisih kurs yang timbul dari penjabaran laporan keuangan kantor cabang Bank dan/atau Perusahaan Anak di luar negeri sebagaimana diatur dalam standar akuntansi keuangan yang berlaku mengenai penjabaran laporan keuangan dalam mata uang asing. Angka 8 Apabila berdasarkan penelitian Bank Indonesia, calon pemegang saham Bank atau dana setoran modal diketahui tidak memenuhi syarat sebagai pemegang saham atau sebagai modal maka dana tersebut tidak dapat diakui sebagai komponen modal. Angka 9 Mengacu pada definisi yang umum berlaku di pasar modal, yang dimaksud dengan “waran” adalah efek yang diterbitkan oleh suatu perusahaan yang memberi hak kepada pemegang efek untuk memesan saham dari perusahaan tersebut pada harga dan jangka waktu tertentu. Angka 10 Cukup jelas. Huruf b Angka 1 Yang dimaksud dengan “disagio” adalah selisih kurang setoran modal yang diterima oleh Bank pada saat penerbitan saham karena harga pasar saham lebih rendah dari nilai nominal. Angka 2 … - 11 - Angka 2 Yang dimaksud dengan “rugi tahun-tahun lalu” adalah seluruh rugi yang dibukukan Bank pada tahun-tahun yang lalu. Angka 3 Yang dimaksud dengan “rugi tahun berjalan” adalah rugi yang dibukukan Bank dalam tahun buku berjalan. Angka 4 Yang dimaksud dengan “selisih kurang penjabaran laporan keuangan” adalah selisih kurs yang timbul dari penjabaran laporan keuangan kantor cabang Bank dan/atau Perusahaan Anak di luar negeri sebagaimana diatur dalam standar akuntansi keuangan yang berlaku mengenai penjabaran laporan keuangan dalam mata uang asing. Angka 5 Pendapatan komprehensif lainnya yang negatif merupakan pos dalam ekuitas yang bertujuan untuk menampung penurunan nilai wajar atas penyertaan dalam kelompok tersedia untuk dijual. Yang dimaksud dengan “penyertaan yang diklasifikasikan dalam kelompok tersedia untuk dijual” adalah penyertaan saham yang memenuhi kriteria penggunaan metode biaya dan memiliki nilai wajar. Angka 6 Yang dimaksud dengan “selisih kurang antara penyisihan penghapusan aset atas aset produktif dan cadangan kerugian … - 12 - kerugian penurunan nilai aset keuangan atas aset produktif” adalah selisih kurang antara total penyisihan penghapusan aset (cadangan umum dan cadangan khusus atas seluruh aset produktif) yang wajib dibentuk sesuai ketentuan Bank Indonesia yang berlaku dengan total cadangan kerugian penurunan nilai aset keuangan (impairment) atas seluruh aset produktif (secara individu dan secara kolektif) sesuai standar akuntansi keuangan yang berlaku. Angka 7 Selisih kurang ini timbul karena jumlah penyesuaian terhadap hasil valuasi (mark to market) dari instrumen keuangan dalam Trading Book yang mempertimbangkan berbagai faktor-faktor tertentu antara lain karena posisi yang kurang likuid, melebihi jumlah penyesuaian yang dipersyaratkan sesuai standar akuntansi keuangan yang berlaku mengenai pengukuran instrumen keuangan, khususnya instrumen keuangan yang diukur berdasarkan nilai wajar. Sesuai Pedoman Akuntansi Perbankan Indonesia (PAPI) yang berlaku, penyesuaian terhadap hasil valuasi instrumen keuangan akan langsung mengurangi atau menambah nilai tercatat instrumen keuangan. Ayat (2) Huruf a Pajak tangguhan (deferred tax) merupakan transaksi yang timbul sebagai akibat penerapan PSAK mengenai akuntansi pajak penghasilan. Dalam … - 13 - Dalam perhitungan KPMM secara individual pengaruh pajak tangguhan yang dikeluarkan sebesar selisih bersih aset pajak tangguhan dikurangi kewajiban pajak tangguhan. Dalam hal kewajiban pajak tangguhan melampaui aset pajak tangguhan, maka pengaruh perhitungan pajak tangguhan yang akan dikeluarkan dari laba/rugi tahun lalu atau tahun berjalan adalah sebesar nol. Dalam perhitungan KPMM secara konsolidasi, aset pajak tangguhan satu perusahaan tidak boleh saling hapus dengan kewajiban pajak tangguhan perusahaan lain dalam kelompok usaha Bank. Oleh karena itu, pengaruh pajak tangguhan dalam perhitungan KPMM secara konsolidasi harus dihitung dan dikeluarkan secara terpisah untuk masing-masing entitas. Dengan dikeluarkannya dampak pajak tangguhan dari perhitungan laba atau rugi, maka aset pajak tangguhan tidak diperhitungkan dalam perhitungan ATMR. Huruf b Yang dimaksud dengan ”selisih nilai revaluasi aset tetap” adalah selisih nilai revaluasi aset tetap yang diklasifikasikan ke saldo laba dalam hal Bank melakukan revaluasi aset tetap sebelum PSAK 16 diberlakukan dan selanjutnya menggunakan metode biaya dalam pengukuran aset tetap. Termasuk dalam komponen ini adalah selisih lebih revaluasi aset tetap yang tersisa dalam pelaksanaan kuasi reorganisasi. Huruf c … - 14 - Huruf c Perlakuan ini diperuntukkan bagi Bank yang menggunakan model revaluasi aset tetap sebagaimana diatur dalam PSAK 16 tentang Aset Tetap. Perhitungan nilai wajar aset tetap mengacu pada standar akuntansi keuangan yang berlaku mengenai aset tetap. Huruf d Hal ini terjadi apabila Bank menetapkan untuk mengukur kewajiban keuangan pada nilai wajar melalui laba rugi (fair value option) sesuai standar akuntansi keuangan yang berlaku. Huruf e Yang dimaksud dengan “keuntungan atas penjualan aset dalam transaksi sekuritisasi (gain on sale)” adalah keuntungan yang diperoleh Bank sebagai kreditur asal (originator) atas penjualan aset dalam transaksi sekuritisasi (gain on sale) yang bersumber dari kapitalisasi pendapatan masa mendatang (expected future margin) atau kapitalisasi pendapatan dari penyediaan jasa (servicing income). Pasal 11 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b … - 15 - Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Termasuk dalam kategori diproteksi maupun dijamin oleh Bank atau Perusahaan Anak yaitu proteksi maupun jaminan yang diterima dari pihak lain tetapi dilakukan melalui Bank atau Perusahaan Anak, misalnya premi/fee dalam rangka penjaminan dibayar oleh Bank atau Perusahaan Anak. Huruf f Angka 1 Cukup jelas. Angka 2 Cukup jelas. Angka 3 Yang dimaksud dengan fitur step-up adalah fitur yang menjanjikan kenaikan tingkat suku bunga apabila opsi beli tidak dieksekusi pada jangka waktu yang telah ditetapkan. Huruf a) Cukup jelas. Huruf b) Cukup jelas. Huruf c) … - 16 - Huruf c) Yang dimaksud dengan “marjin (credit spread)” adalah selisih antara tingkat imbal hasil/bunga instrumen dimaksud dengan tingkat bunga instrumen yang tidak berisiko (risk free). Ilustrasi penetapan batas step-up berdasarkan perjanjian step-up adalah sebagai berikut: 1. Step-up atas suku bunga tetap (fixed interest rates) Contoh: a. step-up yang dapat direalisasi setelah 10 tahun penerbitan tidak melebih 100 bp (100 bp = 1%)  Suku bunga sebelumnya (tahun 1 – 10) = 7% fixed interest rate  Suku bunga baru (sejak tahun 11) = 7% + 1 % = 8% fixed interest rate b. step-up yang dapat direalisasi setelah 10 tahun penerbitan tidak melebih 50% (lima puluh persen) dari marjin (credit spread) awal  Suku bunga sebelumnya (tahun 1 – 10 ) = 7% fixed interest rate Misalnya pada saat penerbitan, tingkat bunga instrumen yang tidak berisiko (risk free) = 6%, maka 50% (lima puluh persen) dari marjin (credit spread) awal adalah 50% x (7% - 6%) = 0.5% • Suku … - 17 -  Suku bunga baru (sejak tahun 11) = 7% + 0.5% =7.5% fixed interest rate 2. Step-up atas suku bunga mengambang (floating interest rates) Terdapat 2 contoh: a. Jika reference rate tidak berubah 1) step-up yang dapat direalisasi setelah 10 tahun penerbitan tidak melebih 100 bp  Suku bunga sebelumnya (tahun 1 – 10) = 10 year Govt’ Bond + spread 1,5% (spread pada saat penerbitan instrumen)  Suku bunga baru (sejak tahun 11) = 10 year Govt’ Bond + spread 2,5% (spread awal 1,5% + 1%) 2) step-up yang dapat direalisasi setelah 10 tahun penerbitan tidak melebih 50% (lima puluh persen) dari marjin (credit spread) awal  Suku bunga sebelumnya (tahun 1 – 10) = 10 year Govt’ Bond + spread 1,5% (spread pada saat penerbitan instrumen) = 7% Misalnya dengan tingkat bunga instrumen yang tidak berisiko (risk free) = 6%, maka 50% (lima puluh … - 18 - puluh persen) dari marjin (credit spread) awal adalah 50% x (7% - 6%) = 0.5%  Suku bunga baru (sejak tahun 11) = 10 year Govt’ Bond + spread 2% (spread awal 1,5% + 0.5%) b. Jika reference rate berubah 1) step-up yang dapat direalisasi setelah 10 tahun penerbitan tidak melebihi 100 bp Peningkatan suku bunga tidak boleh melebihi 1% (satu persen) dari spread awal (pada saat penerbitan instrumen) dengan menggunakan reference rate baru dibandingkan dengan reference rate pada saat penerbitan instrumen. Misalnya, reference rate dari 10-year Gov’t Bond berubah menjadi LIBOR • Suku bunga sebelumnya (tahun 1 – 10) Asumsi pada saat penerbitan instrumen suku bunga adalah 7% (10 year Gov’t Bond 5% plus spread 2%). Sementara pada saat yang sama, LIBOR 5,5%. Dengan demikian, spread LIBOR pada saat suku bunga 7% adalah 1.5% (7% - 5.5%). • Suku … - 19 - • Suku bunga baru (sejak tahun 11) = LIBOR + spread 2.5% (spread awal 1,5% + 1%) 2) step-up yang dapat direalisasi setelah 10 tahun penerbitan tidak melebihi 50% (lima puluh persen) dari marjin (credit spread) awal Peningkatan suku bunga tidak boleh melebihi 50% (lima puluh persen) marjin (credit spread) awal dari spread awal (pada saat penerbitan instrumen) dengan reference rate baru dibandingkan dengan reference rate pada saat penerbitan instrumen. Misalnya, reference rate dari 10-year Gov’t Bond berubah menjadi LIBOR • Suku bunga sebelumnya (tahun 1 – 10) Asumsi pada saat penerbitan instrumen suku bunga adalah 7% (10 year Gov’t Bond 5% plus spread 2%). Sementara pada saat yang sama, LIBOR 5,5%. Dengan demikian, spread LIBOR pada saat suku bunga 7% adalah 1.5% (7% - 5.5%). Misalnya … - 20 - Misalnya dengan tingkat bunga instrumen yang tidak berisiko (risk free)= 6%, maka 50% (lima puluh persen) dari marjin (credit spread) awal adalah 50% x (7% - 6%) = 0.5%. • Suku bunga baru (sejak tahun 11) = LIBOR + spread 2 % (spread awal 1,5% + 0.5%) 3) Step-up dengan perubahan dari suku bunga tetap menjadi suku bunga mengambang a. step-up yang dapat direalisasi setelah 10 tahun penerbitan tidak melebihi 100 bp Peningkatan suku bunga tidak boleh melebihi 1% (satu persen) dari spread awal (pada saat penerbitan instrumen) dengan floating interest rates yang digunakan setelah tahun ke 10 dibandingkan dengan suku bunga pada saat penerbitan instrumen. Misalnya, perubahan dari fixed rate menjadi floating (LIBOR+Spread) rate • Suku … - 21 - • Suku bunga sebelumnya (tahun 1 – 10) = 7% fixed rate Asumsi LIBOR 5,5% pada saat penerbitan instrumen. Dengan demikian, pada suku bunga 7% maka spread atas LIBOR adalah 1,5 %. • Suku bunga baru (sejak tahun 11) = LIBOR + spread 2,5% (spread awal 1,5% + 1 %). b. step-up yang dapat direalisasi setelah 10 tahun penerbitan tidak melebihi 50% (lima puluh persen) dari marjin (credit spread) awal Peningkatan suku bunga tidak boleh melebihi 50% (lima puluh persen) marjin (credit spread) awal (pada saat penerbitan instrumen) dengan floating interest rates yang digunakan setelah tahun ke 10 dibandingkan dengan suku bunga pada saat penerbitan instrumen. Misalnya, perubahan dari fixed rate menjadi floating (LIBOR+Spread) rate • Suku … - 22 - • Suku bunga sebelumnya (tahun 1 – 10) = 7% fixed rate Asumsi LIBOR 5,5% pada saat penerbitan instrumen. Dengan demikian, pada suku bunga 7% maka spread atas LIBOR adalah 1,5 %. Misalnya dengan tingkat bunga instrumen yang tidak berisiko (risk free)= 6%, maka 50% (lima puluh persen) dari marjin (credit spread) awal adalah 50% x (7% - 6%) = 0.5% • Suku bunga baru (sejak tahun 11) = LIBOR + spread 2 % (spread awal 1,5% + 0.5 %). Huruf g Cukup jelas Ayat (3) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c … - 23 - Huruf c Angka 1 Yang dimaksud dengan kualitas sama atau lebih baik adalah instrumen modal yang paling kurang memenuhi persyaratan sebagai komponen modal inovatif. Angka 2 Modal inti adalah modal inti pada saat penggantian. Batasan 10% (sepuluh persen) dari modal inti diperhitungkan dengan memperhatikan seluruh instrumen modal inovatif yang tersedia. Contoh ”jumlah yang berbeda” adalah sebagai berikut: Misalnya modal inovatif yang dieksekusi adalah Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah), namun pada saat penggantian, modal inti Bank mengalami perubahan sehingga batasan modal inovatif misalnya menjadi paling tinggi sebesar Rp. 150.000.000,- (seratus lima puluh lima juta rupiah). Dengan kondisi ini, maka Bank dapat menggantikan modal inovatif sebesar Rp. 150.000.000,- (seratus lima puluh juta rupiah). Pasal 12 Ayat (1) Persyaratan komponen modal inti mengacu pada persyaratan mengenai modal disetor dan cadangan tambahan modal (laba ditahan dan laba tahun berjalan). Ayat (2) … - 24 - Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 13 Huruf a Sesuai standar akuntansi keuangan yang berlaku, goodwill merupakan selisih lebih antara biaya perolehan dan bagian perusahaan pengakuisisi atas nilai wajar aset dan kewajiban yang dapat diidentifikasi pada tanggal transaksi pertukaran. Goodwill diperhitungkan sebagai faktor pengurang hanya dalam perhitungan KPMM Bank secara konsolidasi. Huruf b Termasuk sebagai aset tidak berwujud lainnya antara lain copy right, hak paten, dan hak milik intelektual (intellectual property right) lainnya. Huruf c Cukup jelas. Pasal 14 Cukup jelas. Pasal 15 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b … - 25 - Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Termasuk dalam kategori diproteksi maupun dijamin oleh Bank atau Perusahaan Anak yaitu proteksi maupun jaminan yang diterima dari pihak lain tetapi dilakukan melalui Bank atau Perusahaan Anak, misalnya premi/fee dalam rangka penjaminan dibayar oleh Bank atau Perusahaan Anak. Huruf f Angka 1 Cukup jelas. Angka 2 Cukup jelas. Angka 3 Yang dimaksud dengan fitur step-up adalah fitur yang menjanjikan kenaikan tingkat suku bunga apabila opsi beli tidak dieksekusi pada jangka waktu yang telah ditetapkan. Huruf a) Cukup jelas. Huruf b) Cukup jelas. Huruf c) … - 26 - Huruf c) Yang dimaksud dengan “marjin (credit spread)” adalah selisih antara tingkat imbal hasil/bunga instrumen dimaksud dengan tingkat bunga instrumen yang tidak berisiko (risk free). Penetapan besar step-up mengacu pada ilustrasi yang dikemukakan pada penjelasan Pasal 11 ayat (2) huruf f angka 3 huruf c). Huruf g Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Angka 1 Yang dimaksud dengan kualitas sama atau lebih baik adalah instrumen modal yang paling kurang memenuhi persyaratan sebagai komponen modal pelengkap level atas (upper tier 2). Angka 2 Batasan modal pelengkap diperhitungkan dengan memperhatikan seluruh instrumen modal pelengkap yang tersedia baik modal pelengkap level atas (upper tier 2) maupun modal pelengkap level bawah (lower tier 2). Contoh … - 27 - Contoh ”jumlah yang berbeda” adalah sebagai berikut: Misalnya modal pelengkap yang dieksekusi adalah Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah), namun pada saat penggantian, modal inti Bank mengalami perubahan sehingga batasan modal pelengkap misalnya menjadi paling tinggi sebesar Rp. 400.000.000,- (empat ratus juta rupiah). Dengan kondisi ini, maka Bank dapat menggantikan modal pelengkap sebesar Rp. 400.000.000,- (empat ratus juta rupiah). Pasal 16 Ayat (1) Huruf a Contoh “instrumen modal dalam bentuk saham atau instrumen modal lainnya yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15” adalah: 1. Saham preferen (yang memberikan hak kepada pemegangnya untuk menerima dividen lebih dahulu dari pemegang saham klasifikasi lain) secara kumulatif (Perpetual cummulative preference share); 2. Instrumen utang yang memiliki karakteristik modal, bersifat subordinasi, tidak memiliki jangka waktu, bersifat kumulatif dan memenuhi seluruh persyaratan untuk dapat diperhitungkan sebagai komponen modal pelengkap level atas (Perpetual cummulative subordinated debt); 3. Instrumen … - 28 - 3. Instrumen utang yang memiliki karakteristik seperti modal yang secara otomatis tanpa persyaratan dapat dikonversi menjadi saham dan setelah memperoleh persetujuan Bank Indonesia (Mandatory convertible bond). Kondisi dan nilai konversi harus ditetapkan pada saat penerbitan yang besarnya sejalan dengan kondisi pasar. Huruf b Yang dimaksud dengan “bagian dari modal inovatif yang tidak dapat diperhitungkan dalam modal inti” adalah selisih lebih instrumen modal yang memenuhi persyaratan sebagai komponen modal inovatif dari batasan 10% (sepuluh persen) dari modal inti. Huruf c Angka 1 Selisih nilai revaluasi aset tetap pada angka ini sebelumnya telah dikeluarkan dari perhitungan laba/rugi tahun lalu yang merupakan komponen modal inti. Perlakuan ini diperuntukkan bagi Bank yang melakukan revaluasi aset tetap sebelum PSAK 16 (Revisi) tentang Aset Tetap berlaku efektif dan selanjutnya menggunakan metode biaya dalam pengukuran aset tetap. Selisih nilai revaluasi aset tetap adalah setelah diperhitungkan pajak. Angka 2 Peningkatan nilai wajar atas aset tetap pada angka ini sebelumnya telah dikeluarkan dari perhitungan laba/rugi tahun … - 29 - tahun lalu dan/atau laba/rugi tahun berjalan yang merupakan komponen modal inti. Perlakuan ini diperuntukkan bagi Bank yang menggunakan model revaluasi aset tetap sebagaimana diatur dalam PSAK 16 tentang Aset Tetap. Huruf d Pembentukan cadangan umum penyisihan penghapusan aset atas aset produktif yang wajib dibentuk mengacu pada ketentuan Bank Indonesia mengenai kualitas aset. Contoh: Cadangan umum penyisihan penghapusan aset atas aset produktif yang wajib dibentuk sebesar Rp15.000.000,- (lima belas juta rupiah) dan ATMR Bank untuk Risiko Kredit sebesar Rp1.000.000.000,- (satu milyar rupiah). Cadangan umum yang dapat diperhitungkan sebagai komponen modal pelengkap level atas paling tinggi 1,25% x Rp. 1.000.000.000,- = Rp12.500.000,- (dua belas juta lima ratus ribu rupiah). Dalam hal ini terdapat kelebihan cadangan umum sebesar Rp2.500.000, - (dua juta lima ratus ribu rupiah) yang tidak dapat diperhitungkan sebagai komponen modal pelengkap level atas (upper tier 2). Huruf e Yang dimaksud penyertaan yang diklasifikasikan dalam kelompok tersedia untuk dijual adalah penyertaan saham yang memenuhi kriteria metode biaya dan memiliki nilai wajar. Ayat (2) … - 30 - Ayat (2) Kelebihan cadangan umum penyisihan penghapusan aset atas aset produktif sesuai contoh pada penjelasan ayat (1) huruf d yaitu sebesar Rp2.500.000,- (dua juta lima ratus ribu rupiah) menjadi faktor pengurang perhitungan ATMR untuk Risiko Kredit. Pasal 17 Ayat (1) Yang termasuk komponen modal pelengkap level bawah (lower tier 2) antara lain: a. saham preferen yang dapat ditarik kembali setelah jangka waktu tertentu (Redeemable Preference Shares); b. pinjaman subordinasi atau obligasi subordinasi. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Termasuk dalam kategori diproteksi maupun dijamin oleh Bank atau Perusahaan Anak yaitu proteksi maupun jaminan yang diterima … - 31 - diterima dari pihak lain tetapi dilakukan melalui Bank atau Perusahaan Anak, misalnya premi/fee dalam rangka penjaminan dibayar oleh Bank atau Perusahaan Anak. Huruf f Angka 1 Cukup jelas. Angka 2 Cukup jelas. Angka 3 Yang dimaksud dengan “fitur step-up” adalah fitur yang menjanjikan kenaikan tingkat suku bunga apabila opsi beli tidak dieksekusi pada jangka waktu yang telah ditetapkan. Huruf a) Cukup jelas. Huruf b) Cukup jelas. Huruf c) Yang dimaksud dengan “marjin (credit spread)” adalah selisih antara tingkat imbal hasil/bunga instrumen dimaksud dengan tingkat bunga instrumen yang tidak berisiko (risk free). Perhitungan penetapan batas step-up mengacu pada ilustrasi dalam penjelasan Pasal 11 ayat (2) huruf f angka 3 huruf c). Huruf g Cukup jelas Ayat (3) … - 32 - Ayat (3) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Angka 1 Yang dimaksud dengan kualitas sama atau lebih baik adalah instrumen modal yang paling kurang memenuhi persyaratan sebagai komponen modal pelengkap level bawah (lower tier 2). Angka 2 Batasan modal pelengkap level bawah (lower tier 2) diperhitungkan dengan memperhatikan seluruh instrumen modal pelengkap level bawah (lower tier 2) yang tersedia. Contoh ”jumlah yang berbeda” adalah sebagai berikut: Misalnya modal pelengkap yang dieksekusi adalah Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah), namun pada saat penggantian, modal inti Bank mengalami perubahan sehingga batasan modal pelengkap level bawah (lower tier 2) misalnya menjadi paling tinggi sebesar Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah). Dengan kondisi ini, maka Bank dapat menggantikan modal pelengkap level bawah (lower tier 2) hanya sebesar Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah). Ayat (4) … - 33 - Ayat (4) Yang dimaksud dengan amortisasi menggunakan metode garis lurus adalah amortisasi secara prorata. Ayat (5) Amortisasi dihitung berdasarkan nilai instrumen modal yang telah memperhitungkan pengurangan dari cadangan pelunasan (sinking fund). Ayat (6) Ilustrasi pelaksanaan amortisasi: Contoh 1: Bank menerbitkan obligasi subordinasi yang memiliki jangka waktu 10 (sepuluh) tahun dan memiliki opsi beli pada akhir tahun ke 5. Dalam kondisi ini, Bank wajib mulai menghitung amortisasi sejak tahun pertama. Apabila pada akhir tahun ke 5, Bank tidak mengeksekusi opsi beli tersebut maka mulai awal tahun ke 6 obligasi subordinasi tersebut dapat diperhitungkan kembali dalam perhitungan KPMM dengan memperhatikan batasan yang dipersyaratkan termasuk kewajiban untuk memperhitungkan amortisasi. Contoh 2: Bank menerbitkan obligasi subordinasi yang memiliki jangka waktu 10 (sepuluh) tahun dan memiliki opsi beli setelah akhir tahun ke 5. Dalam kondisi ini maka sisa jangka waktu instrumen tersebut pada awal penerbitan adalah 5 (lima) tahun. Amortisasi wajib mulai diperhitungkan oleh Bank sejak tahun pertama. Setelah … - 34 - Setelah akhir tahun ke 5 sampai dengan jatuh tempo, Bank tidak dapat memperhitungkan kembali obligasi subordinasi tersebut sebagai modal pelengkap level bawah (lower tier 2) meskipun Bank belum mengeksekusi opsi beli tersebut. Pasal 18 Nilai pinjaman subordinasi atau obligasi subordinasi dari Bank penerbit yang dikurangi adalah setelah memperhitungkan cadangan pelunasan (sinking fund). Contoh: Bank A menerbitkan instrumen yang termasuk sebagai komponen modal pelengkap level bawah (lower tier 2) berupa obligasi subordinasi sebesar Rp 100 milyar. Bank A juga membeli instrumen modal pelengkap berupa obligasi subordinasi (baik yang termasuk modal pelengkap level atas maupun modal pelengkap level bawah) yang diterbitkan Bank B sebesar Rp 20 milyar. Dalam kondisi ini, maka obligasi subordinasi yang dapat diperhitungkan sebagai komponen modal pelengkap level bawah (lower tier 2) oleh Bank A hanya sebesar Rp 100 milyar – Rp 20 milyar = Rp 80 milyar, yang selanjutnya disesuaikan dengan batasan modal pelengkap level bawah (lower tier 2) yang diperkenankan. Pasal 19 Cukup jelas. Pasal 20 … - 35 - Pasal 20 Ayat (1) Huruf a Nilai penyertaan yang diperhitungkan adalah nilai buku yang tercatat di neraca. Huruf b Kekurangan modal (shortfall) diperhitungkan sebagai faktor pengurang hanya dalam perhitungan KPMM secara konsolidasi. Kekurangan modal (shortfall) perusahaan yang melakukan kegiatan usaha asuransi dari RBC minimum diperhitungkan apabila perusahaan dimaksud tidak dapat memenuhi RBC minimum sampai dengan jangka waktu yang ditetapkan oleh otoritas pengawas yang berwenang. Perusahaan asuransi yang dikendalikan Bank mengacu pada definisi Pengendalian sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini. Huruf c Perlakuan terhadap eksposur sekuritisasi sebagai pengurang modal mengacu pada ketentuan Bank Indonesia mengenai sekuritisasi aset. Yang dimaksud dengan “eksposur sekuritisasi” adalah kredit pendukung (credit enhancement), fasilitas likuiditas (liquidity support), dan efek beragun aset (asset backed securities). Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) … - 36 - Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 21 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Dengan pengaturan ini maka modal inti yang harus dialokasikan untuk Risiko Pasar paling kurang sebesar 28,5% (dua puluh delapan koma lima persen) dari beban modal untuk Risiko Pasar. Huruf c Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Termasuk dalam kategori diproteksi maupun dijamin oleh Bank atau Perusahaan Anak yaitu proteksi maupun jaminan yang diterima … - 37 - diterima dari pihak lain tetapi dilakukan melalui Bank atau Perusahaan Anak, misalnya premi/fee dalam rangka penjaminan dibayar oleh Bank atau Perusahaan Anak. Huruf f Angka 1 Cukup jelas. Angka 2 Cukup jelas. Angka 3 Yang dimaksud dengan fitur step-up adalah fitur yang menjanjikan kenaikan tingkat suku bunga apabila opsi beli tidak dieksekusi pada jangka waktu yang telah ditetapkan. Huruf a) Cukup jelas. Huruf b) Cukup jelas. Huruf c) Yang dimaksud dengan “marjin (credit spread)” adalah selisih antara tingkat imbal hasil/bunga instrumen dimaksud dengan tingkat bunga instrumen yang tidak berisiko (risk free). Perhitungan penetapan batas step-up mengacu pada ilustrasi dalam penjelasan Pasal 11 ayat (2) huruf f angka 3 huruf c). Huruf g Cukup jelas. Ayat (3) … - 38 - Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Pemanfaatan modal pelengkap (tier 2) sebagai komponen modal pelengkap tambahan (tier 3) tetap memperhatikan batasan jumlah modal pelengkap (tier 2) dan modal pelengkap tambahan (tier 3). Huruf c Yang dimaksud dengan “bagian dari modal pelengkap level bawah (lower tier 2) yang melebihi batasan modal pelengkap level bawah (lower tier 2)” adalah selisih lebih instrumen modal yang memenuhi persyaratan sebagai komponen modal pelengkap level bawah (lower tier 2) dari batasan 50% (lima puluh persen) dari modal inti. Pasal 22 Dokumen pendukung merupakan kelengkapan untuk menunjukkan bahwa persyaratan sebagaimana diatur dalam ketentuan ini telah terpenuhi. Pasal 23 Cukup jelas. Pasal 24 Cukup jelas. Pasal 25 … - 39 - Pasal 25 Cukup jelas. Pasal 26 Perlakuan pengakuan dan pengukuran mengacu pada Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) No. 55 (Revisi 2006) mengenai Instrumen Keuangan: Pengakuan dan Pengukuran. Pasal 27 Cukup jelas. Pasal 28 Contoh 1: Sebelum melakukan merger atau konsolidasi, Bank A dan Bank B tidak memenuhi kriteria untuk memperhitungkan Risiko Pasar. Selama 6 (enam) bulan setelah merger atau konsolidasi dinyatakan efektif, pada bulan ke 1 (satu), ke 3 (tiga), dan ke 4 (empat), Bank hasil merger atau konsolidasi tersebut memenuhi kriteria untuk memperhitungkan Risiko Pasar. Dengan demikian, Bank hasil merger atau konsolidasi tersebut wajib memperhitungkan Risiko Pasar sejak bulan ke 7 (tujuh). Contoh 2: Bank A tidak memenuhi kriteria untuk memperhitungkan Risiko Pasar. Selanjutnya, Bank A mengakuisisi perusahaan keuangan X sehingga Bank A melakukan konsolidasi terhadap perusahaan X. Selama … - 40 - Selama 6 (enam) bulan setelah melakukan akuisisi perusahaan X dinyatakan efektif, pada bulan ke 2 (dua), ke 4 (empat), dan ke 6 (enam), Bank secara konsolidasi dengan perusahaan X tersebut memenuhi kriteria untuk memperhitungkan Risiko Pasar. Dengan demikian, Bank secara konsolidasi dengan Perusahaan Anak “X” tersebut wajib memperhitungkan Risiko Pasar sejak bulan ke 7 (tujuh). Pasal 29 Cukup jelas. Pasal 30 Cukup jelas. Pasal 31 Cukup jelas. Pasal 32 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan ”risiko suku bunga” adalah risiko kerugian akibat perubahan harga instrumen keuangan dari posisi Trading Book yang disebabkan oleh perubahan suku bunga. Huruf b … - 41 - Huruf b Yang dimaksud dengan ”risiko nilai tukar” adalah risiko kerugian akibat perubahan nilai posisi Trading Book dan Banking Book yang disebabkan oleh perubahan nilai tukar valuta asing termasuk perubahan harga emas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan ”risiko ekuitas” adalah risiko kerugian akibat perubahan harga instrumen keuangan dari posisi Trading Book yang disebabkan oleh perubahan harga saham. Yang dimaksud dengan ”risiko komoditas” adalah risiko kerugian akibat perubahan harga instrumen keuangan dari posisi Trading Book dan Banking Book yang disebabkan oleh perubahan harga komoditas. Pasal 33 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Bank yang baru memenuhi kriteria untuk memperhitungkan Risiko Pasar, maka perhitungan Risiko Pasar wajib dimulai dengan menggunakan Metode Standar. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 34 … - 42 - Pasal 34 Ayat (1) Laporan perhitungan KPMM dengan memperhitungkan Risiko Pasar antara lain mencakup laporan posisi yang diperhitungkan dalam Risiko Pasar, laporan perhitungan rasio KPMM, laporan perhitungan value at risk dan beban modal, laporan back testing, serta laporan stress testing. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Contoh: Apabila Bank A telah memperoleh persetujuan untuk menggunakan Model Internal untuk memperhitungkan Risiko Pasar pada bulan Februari 2009, maka laporan yang terkait dengan Model Internal wajib disusun untuk pertama kalinya pada akhir bulan Maret 2009. Pasal 35 Cukup jelas. Pasal 36 Cukup jelas. Pasal 37 Cukup jelas. Pasal 38 … - 43 - Pasal 38 Cukup jelas. Pasal 39 Yang dimaksud dengan ”jumlah yang signifikan” adalah signifikan terhadap total aset keuangan dalam kelompok tersedia untuk dijual. Pasal 40 Cukup jelas. Pasal 41 Cukup jelas. Pasal 42 Cukup jelas. Pasal 43 Cukup jelas. Pasal 44 Cukup jelas. Pasal 45 … - 44 - Pasal 45 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4895 - 45 - DPNP
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 10/15/PBI/2008 </reg_id> <reg_title> KEWAJIBAN PENYEDIAAN MODAL MINIMUM BANK UMUM </reg_title> <set_date> 24 September 2008 </set_date> <effective_date> 1 Januari 2009 </effective_date> <issued_date> 24 September 2008 </issued_date> <replaced_reg> '9/13/PBI/2007 | Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 10, Pasal 18, Pasal 31, Pasal 34, Pasal 35, Pasal 36, dan Pasal 37', '3/21/PBI/2001', '26/1/BPPP|SE-BI/1993 | Angka III', '8/6/PBI/2006' </replaced_reg> <related_reg> '23/UU/1999', '3/UU/2004', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg> <penalty_list> 'BAB VI' </penalty_list>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 3/25/PBI/2001 TENTANG PENETAPAN STATUS BANK DAN PENYERAHAN BANK KEPADA BADAN PENYEHATAN PERBANKAN NASIONAL GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa dalam rangka menciptakan sistem perbankan yang sehat dan mampu bersaing secara nasional dan internasional, maka diperlukan program restrukturisasi perbankan nasional; b. bahwa dalam rangka pelaksanaan program restrukturisasi perbankan nasional tersebut, dilakukan pengawasan terhadap bank yang dinilai memiliki langkah-langkah potensi kesulitan dalam kegiatan usahanya dengan langkah-langkah pengawasan intensif, terhadap bank yang dinilai mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya dengan pengawasan khusus, dan penyerahan bank kepada Badan Penyehatan Perbankan Nasional; c. bahwa sehubungan dengan hal tersebut diperlukan penyesuaian terhadap ketentuan tentang Penetapan Status Bank dan Penyerahan Bank kepada Badan Perbankan Nasional dalam Peraturan Bank Indonesia; Penyehatan Mengingat: 1. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3472) sebagaimana telah … - 2 - telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3790); 2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3843); 3. Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1999 tentang Badan Penyehatan Perbankan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 30, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3814) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2001 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 71, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4102); 4. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 1999 tentang Pencabutan Izin Usaha, Pembubaran dan Likuidasi Bank (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 52, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3831); 5. Peraturan Bank Indonesia Nomor 3/21/PBI/2001 tanggal 13 Desember 2001 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 149, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4158); 6. Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1998 tentang Jaminan terhadap Kewajiban Pembayaran Bank Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 29); MEMUTUSKAN … - 3 - MEMUTUSKAN: Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PENETAPAN STATUS BANK DAN PENYERAHAN BANK KEPADA BADAN PENYEHATAN PERBANKAN NASIONAL. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan: 1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 yang ikut serta dalam Program Penjaminan Pemerintah; 2. Badan Penyehatan Perbankan Nasional yang untuk selanjutnya disebut dengan BPPN adalah badan khusus yang dibentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1999 tentang Badan Penyehatan Perbankan Nasional sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2001; 3. Program Penjaminan Pemerintah adalah program penjaminan terhadap kewajiban pembayaran Bank sebagaimana dimaksud dalam Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1998 tentang Jaminan terhadap Kewajiban Pembayaran Bank Umum; 4. Bank … - 4 - 4. Bank Dalam Penyehatan yang untuk selanjutnya disebut dengan BDP adalah Bank yang diserahkan oleh Bank Indonesia kepada BPPN untuk tujuan penyehatan Bank; 5. Bank Beku Kegiatan Usaha yang untuk selanjutnya disebut dengan BBKU adalah Bank yang dibekukan kegiatan usahanya oleh Bank Indonesia dan selanjutnya diserahkan kepada BPPN untuk tujuan penyelesaian kewajiban Bank melalui Program Penjaminan Pemerintah, karyawan, dan upaya pengembalian uang negara. BAB II BANK DALAM PENGAWASAN INTENSIF (INTENSIVE SUPERVISION) Pasal 2 (1) Dalam hal Bank Indonesia menilai kondisi suatu Bank memiliki potensi kesulitan yang dapat membahayakan kelangsungan usahanya, maka Bank tersebut ditempatkan dalam pengawasan intensif Bank Indonesia. (2) Bank yang dinilai memiliki potensi kesulitan yang dapat membahayakan kelangsungan usahanya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah Bank yang memenuhi satu atau lebih kriteria sebagai berikut: a. memiliki predikat kurang sehat atau tidak sehat dalam penilaian tingkat kesehatan Bank; b. memiliki permasalahan aktual dan atau potensial di bidang likuiditas, profitabilitas dan solvabilitas berdasarkan penilaian terhadap keseluruhan risiko (composite risk); nilai c. terdapat … penyelesaian hak-hak - 5 - c. terdapat pelampauan dan atau pelanggaran Batas Maksimum Pemberian Kredit dan langkah-langkah penyelesaian yang diusulkan Bank menurut penilaian Bank Indonesia dinilai tidak dapat diterima atau tidak mungkin dicapai; d. terdapat pelanggaran Posisi Devisa Neto dan menurut penilaian Bank Indonesia langkah-langkah penyelesaian yang diusulkan Bank dinilai tidak dapat diterima atau tidak mungkin dicapai; e. memiliki rasio Giro Wajib Minimum dalam rupiah lebih besar dari 5% (lima perseratus) namun Bank dinilai mengalami permasalahan likuiditas yang mendasar; f. dinilai memiliki permasalahan profitabilitas yang mendasar; g. memiliki kredit bermasalah (non-performing loan) secara neto lebih dari 5% (lima perseratus) dari total kredit. (3) Dalam rangka pengawasan intensif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Bank Indonesia dapat melakukan tindakan-tindakan antara lain: a. meminta Bank untuk melaporkan hal-hal tertentu kepada Bank Indonesia; b. melakukan peningkatkan frekuensi pengkinian dan penilaian rencana kerja (business plan) dengan penyesuaian terhadap sasaran yang akan dicapai; c. meminta Bank untuk menyusun rencana tindakan (action plan) sesuai dengan permasalahan yang dihadapi; d. menempatkan pengawas dan atau pemeriksa Bank Indonesia pada Bank (on-site supervisory presence), apabila diperlukan. (4) Bank … - 6 - (4) Bank Indonesia juga dapat menempatkan Bank dalam pengawasan intensif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), apabila berdasarkan penilaian Bank Indonesia kondisi dan aktivitas bank berperan cukup signifikan terhadap risiko sistemik dalam sistem perbankan dan/atau memiliki pengaruh yang cukup besar bagi perekonomian nasional. (5) Dalam rangka pengawasan intensif sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), Bank Indonesia dapat melakukan tindakan-tindakan antara lain menempatkan pengawas dan atau pemeriksa Bank Indonesia pada supervisory presence) sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) huruf d. Bank (on-site (6) Bagi Bank yang ditempatkan dalam pengawasan intensif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Bank Indonesia akan memberitahukan kepada Bank yang bersangkutan, beserta dengan alasan penempatan dan langkah- langkah yang perlu segera dilakukan Bank. (7) Dalam hal penetapan Bank dalam pengawasan intensif memerlukan langkah- langkah perbaikan tertentu, Bank Indonesia dapat melakukan tindakan- tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3). BAB III BANK DALAM PENGAWASAN KHUSUS (SPECIAL SURVEILLANCE) Pasal 3 (1) Dalam hal Bank Indonesia menilai suatu Bank mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya maka Bank tersebut ditempatkan dalam pengawasan khusus Bank Indonesia. (2) Bank … - 7 - (2) Bank yang dinilai mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah Bank yang memenuhi satu atau lebih kriteria sebagai berikut: a. rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum kurang dari 8% (delapan perseratus); b. rasio Giro Wajib Minimum dalam rupiah kurang dari 5% (lima per seratus), dengan perkembangan yang memburuk dalam waktu singkat atau berdasarkan penilaian Bank Indonesia mengalami permasalahan likuiditas yang mendasar. (3) Dalam rangka pengawasan khusus sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Bank Indonesia: a. memerintahkan Bank dan atau pemegang saham Bank untuk mengajukan rencana perbaikan permodalan (capital restoration plan) secara tertulis kepada Bank Indonesia selambat-lambatnya 15 (lima belas) hari sejak diterimanya surat pemberitahuan dari Bank Indonesia yang menyatakan rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum kurang dari 8% (delapan per seratus); b. memerintahkan Bank untuk memenuhi kewajiban melaksanakan tindakan perbaikan (mandatory supervisory actions) segera setelah diterimanya surat pemberitahuan dari Bank Indonesia yang menyatakan rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum mencapai sama dengan atau kurang dari 6% (enam per seratus); c. dapat memerintahkan Bank dan atau pemegang saham Bank untuk melakukan tindakan antara lain: 1) mengganti dewan komisaris dan atau direksi Bank; 2) menghapusbukukan … - 8 - 2) menghapusbukukan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah yang tergolong macet dan memperhitungkan kerugian Bank dengan modal Bank; 3) melakukan merger atau konsolidasi dengan bank lain; 4) menjual Bank kepada pembeli yang bersedia mengambil alih seluruh kewajiban Bank; 5) menyerahkan pengelolaan seluruh atau sebagian kegiatan Bank kepada pihak lain; 6) menjual sebagian atau seluruh harta dan atau kewajiban Bank kepada bank atau pihak lain; dan atau 7) membekukan kegiatan usaha tertentu Bank. (4) Bagi Bank yang memiliki rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum lebih dari 6% (enam) perseratus dan kurang dari 8% (delapan perseratus), selain memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) huruf a, Bank wajib: a. melaksanakan tindakan perbaikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf d, huruf e, huruf f, huruf g, dan huruf h; b. menyampaikan laporan skedul likuiditas untuk jangka waktu 3 bulan mendatang, yang terinci secara harian pada bulan pertama dan secara mingguan pada bulan kedua dan bulan ketiga; c. menyampaikan laporan bulanan mengenai realisasi pelaksanaan tindakan sebagaimana diatur dalam huruf a dan realisasi pelaksanaan rencana perbaikan modal (capital restoration plan) sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) huruf a. (5) Apabila … - 9 - (5) Apabila diperlukan terhadap Bank yang memiliki rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum lebih dari 6% (enam perseratus) dan kurang dari 8% (delapan perseratus), Bank Indonesia dapat menempatkan pengawas dan atau pemeriksa Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3). Pasal 4 (1) Rencana perbaikan permodalan Bank secara tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) huruf a wajib menggambarkan kemampuan Bank untuk mencapai dan memelihara rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum sebesar 8% (delapan perseratus) atau lebih, dalam jangka waktu yang ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6. (2) Dalam rangka mengevaluasi rencana perbaikan permodalan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Bank Indonesia akan menilai rencana dimaksud dalam jangka waktu selambat-lambatnya 15 (lima belas) hari sejak dokumen diterima secara lengkap dan memberitahukan secara tertulis kepada Bank mengenai persetujuan atau penolakannya. (3) Dalam hal rencana perbaikan permodalan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditolak oleh Bank Indonesia, Bank wajib mengajukan revisi rencana perbaikan permodalan dalam jangka waktu selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari sejak tanggal pemberitahuan penolakan. (4) Dalam rangka mengevaluasi revisi rencana perbaikan permodalan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), Bank Indonesia akan menilai rencana dimaksud dalam jangka waktu selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari sejak dokumen diterima secara lengkap dan memberitahukan secara tertulis kepada Bank mengenai persetujuan atau penolakannya. (5) Bank … - 10 - (5) Bank yang memiliki rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum kurang dari 8% (delapan perseratus) dan tidak mengajukan rencana perbaikan permodalan sampai dengan jangka waktu yang ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) huruf a wajib memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dan Pasal 7 ayat (1). (6) Bank yang tidak mengajukan revisi rencana perbaikan permodalan dan Bank yang ditolak revisi rencana perbaikan permodalannya oleh Bank Indonesia wajib memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5. (7) Bank yang secara material tidak dapat melaksanakan rencana perbaikan permodalan yang telah diajukan kepada Bank Indonesia wajib memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5. (8) Bank yang telah mengajukan rencana perbaikan permodalan dapat melaksanakan perubahan rencana setelah mendapat persetujuan terlebih dahulu dari Bank Indonesia. Pasal 5 (1) Selain memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) huruf a, bagi Bank dalam pengawasan khusus dan memiliki rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum sama dengan atau kurang dari 6% (enam perseratus) segera setelah memperoleh pemberitahuan dari Bank Indonesia, wajib melakukan tindakan perbaikan yang diperintahkan Bank Indonesia (mandatory supervisory action), yang meliputi namun tidak terbatas pada: a. Bank dilarang melakukan pembayaran distribusi modal; b. Bank dilarang melakukan transaksi dengan pihak terkait dan atau pihak- pihak lain yang ditetapkan Bank Indonesia, kecuali telah memperoleh persetujuan Bank Indonesia; c. Bank … - 11 - c. Bank dikenakan pembatasan pertumbuhan aset, melakukan penyertaan dan pemberian kredit baru, kecuali telah memperoleh persetujuan Bank Indonesia; d. Bank dikenakan pembatasan untuk melaksanakan rencana ekspansi usaha atau kegiatan baru yang sebelumnya tidak dilakukan oleh Bank, kecuali telah memperoleh persetujuan Bank Indonesia; e. Bank dikenakan pembatasan untuk membayar gaji, kompensasi, atau bentuk lain yang dipersamakan dengan itu kepada Pengurus Bank, atau kompensasi kepada pihak terkait yang terjadi satu tahun sebelum kondisi Bank memiliki rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum dibawah 8% (delapan perseratus), kecuali telah memperoleh persetujuan Bank Indonesia; f. Bank dilarang melakukan pembayaran terhadap pinjaman subordinasi; g. Bank wajib melaporkan setiap perubahan kepemilikan saham dalam jumlah kurang dari 10% (sepuluh perseratus); h. Bank dilarang melakukan perubahan kepemilikan dari: 1) pemegang saham yang memiliki saham sama atau lebih dari 10% (sepuluh perseratus); atau 2) kelompok pemegang saham yang terkait atau pemegang saham yang bertindak atas nama pemegang saham lain (shareholder acting in concert) dengan kepemilikan sama atau lebih dari 10% (sepuluh perseratus); i. Bank dilarang untuk menjual atau menurunkan jumlah asset atau meningkatan komitmen dan kontinjensi tanpa persetujuan dari Bank Indonesia, kecuali untuk Sertifikat Bank Indonesia, Giro pada Bank Indonesia, Tagihan Antar Bank, dan Obligasi Pemerintah. j. Bank … - 12 - j. Bank wajib menyampaikan kepada Bank Indonesia: 1) informasi dan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 huruf a, huruf b, dan huruf c; 2) laporan keuangan terakhir dari perusahaan yang memperoleh penyertaan Bank selain penyertaan modal sementara dalam rangka restrukturisasi kredit; 3) struktur organisasi perusahaan induk, dalam jangka waktu paling lambat 10 (sepuluh) hari sejak pemberitahuan Bank Indonesia kepada Bank mengenai kewajiban melaksanakan tindakan perbaikan yang diperintahkan Bank Indonesia (mandatory supervisory actions). (2) Bank Indonesia akan memantau kondisi Bank yang wajib memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat pengawas dan atau pemeriksa Bank Indonesia pada Bank (on-site supervisory presence). (3) Bank Indonesia akan memberitahukan kepada otoritas pengawas yang berwenang terhadap perusahaan induk dan atau perusahaan anak Bank mengenai tindakan yang dilakukan Bank Indonesia terhadap Bank. Pasal 6 (1) Bank dan atau pemegang saham wajib melakukan tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) untuk pencapaian rasio Kewajiban Penyediaan … (1) melalui penempatan - 13 - Penyediaan Modal Minimum dan atau rasio Giro Wajib Minimum sesuai ketentuan yang berlaku dalam jangka waktu: a. paling lama 6 (enam) bulan untuk Bank yang telah terdaftar di Pasar Modal; b. paling lama 3 (tiga) bulan untuk Bank yang tidak terdaftar di Pasar Modal, sejak tanggal dikeluarkannya perintah tertulis dari Bank Indonesia. (2) Jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat diperpanjang 1 (satu) kali dengan jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan. Pasal 7 (1) Bank Indonesia mengumumkan Bank yang: a. memiliki rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum sama dengan atau kurang dari 6% (enam perseratus); b. memiliki rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum di antara 6% (enam perseratus) dan 8% (delapan perseratus) dan tidak mengajukan rencana perbaikan permodalan; c. memiliki rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum di antara 6% (enam perseratus) dan 8% (delapan perseratus) dan tidak melaksanakan rencana perbaikan permodalan; d. memiliki Kewajiban Penyediaan Modal Minimum di antara 6% (enam perseratus) dan 8% (delapan perseratus) dan Bank Indonesia tidak menyetujui revisi rencana perbaikan permodalan; e. diberikan perpanjangan jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2). (2) Pengumuman … - 14 - (2) Pengumuman sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) termasuk pengumuman tindakan perbaikan yang wajib dilakukan Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan Pasal 5. (3) Bank Indonesia mengumumkan juga: a. Bank sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d yang telah melaksanakan tindakan-tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan Pasal 5; dan atau b. Bank yang telah melewati perpanjangan jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf e, yang memenuhi kriteria memiliki rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum sama dengan 8% (delapan perseratus) atau lebih, dan atau memiliki rasio Giro Wajib Minimum dalam rupiah 5% (lima perseratus) atau lebih. BAB IV PENETAPAN BANK DENGAN STATUS BANK DALAM PENYEHATAN (BDP) DAN PENYERAHAN KEPADA BPPN Pasal 8 Bank Indonesia menetapkan Bank dengan status BDP dan menyerahkan Bank tersebut kepada BPPN apabila: a. jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 terlampaui, dan Bank memiliki rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum kurang dari 8% (delapan perseratus) namun dinilai mampu ditingkatkan menjadi sama atau lebih besar dari 8% (delapan perseratus) pada akhir program penyehatan oleh BPPN … - 15 - BPPN dan memiliki pengaruh yang cukup besar bagi perekonomian nasional atau daerah; atau b. jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 belum terlampaui, dan Bank memiliki rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum kurang dari 8% (delapan perseratus) namun BPPN mengajukan permintaan yang dinilai mampu meningkatkan rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum menjadi sama atau lebih besar dari 8% (delapan perseratus) pada akhir program penyehatan oleh BPPN. Pasal 9 (1) Pelaksanaan penyehatan Bank dengan status BDP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dinyatakan telah selesai apabila Bank telah memenuhi persyaratan: a. memiliki rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum 8% (delapan perseratus) atau lebih; b. memiliki rasio Giro Wajib Minimum dalam rupiah 5% (lima perseratus) atau lebih; c. memiliki kredit bermasalah secara neto dengan perkembangan yang membaik; d. tidak terdapat pelanggaran ketentuan Batas Maksimum Pemberian Kredit, Posisi Devisa Neto dan Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif; e. Rencana kerja (business plan) Bank mengindikasikan bahwa pencapaian rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum sebesar 8% atau lebih akan berkelanjutan; dan f. kriteria lain yang ditetapkan Ketua BPPN. (2) Bank … - 16 - (2) Bank Indonesia mencabut status BDP apabila Bank Indonesia telah menerima surat penetapan dari BPPN yang menyatakan program penyehatan terhadap Bank yang bersangkutan telah selesai dilaksanakan sesuai dengan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). BAB V PENETAPAN BANK DENGAN STATUS BANK BEKU KEGIATAN USAHA (BBKU) DAN PENYERAHAN KEPADA BPPN Pasal 10 Bank Indonesia menetapkan Bank dengan status BBKU dan menyerahkan Bank tersebut kepada BPPN apabila memenuhi persyaratan: a. jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 belum terlampaui, dan kondisi Bank menurun dengan cepat yaitu : 1) memiliki rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum kurang dari 2% (dua perseratus) dan dinilai tidak dapat ditingkatkan menjadi 8% (delapan perseratus); atau 2) memiliki rasio Giro Wajib Minimum dalam rupiah kurang dari 0% (nol perseratus) dan tidak dapat diselesaikan sesuai peraturan yang berlaku; atau b. jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 telah terlampaui, rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum kurang dari 8% (delapan perseratus) dan kondisi Bank tidak mengalami perbaikan serta tidak memenuhi persyaratan untuk ditetapkan sebagai Bank dengan status BDP. Pasal 11 … - 17 - Pasal 11 Bank Indonesia mengubah Bank dengan status BDP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 menjadi Bank dengan status BBKU apabila memenuhi persyaratan: a. program penyehatan oleh BPPN tidak dapat diselesaikan dalam jangka waktu yang disepakati; atau b. berdasarkan pertimbangan BPPN, program penyehatan tidak dapat dilaksanakan meskipun jangka waktu yang disepakati belum terlampaui. Pasal 12 Dalam hal BPPN telah selesai melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk penyelesaian Bank dengan status BBKU, penyelesaian selanjutnya dilakukan berdasarkan ketentuan yang berlaku mengenai pencabutan izin usaha, pembubaran badan hukum dan likuidasi Bank. BAB VI KRITERIA DAN PROSEDUR PENYEHATAN BANK YANG TIDAK IKUT SERTA DALAM PROGRAM PENJAMINAN PEMERINTAH Pasal 13 (1) Bank yang tidak mengikuti Program Penjaminan Pemerintah dan memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2), ditempatkan oleh Bank Indonesia dalam pengawasan khusus Bank Indonesia. (2) Bank … - 18 - (2) Bank Indonesia memerintahkan bank dan atau pemegang saham bank sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) untuk melakukan tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) dan Pasal 5 dengan ketentuan dan jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6. Pasal 14 Bagi bank yang sebagian besar sahamnya dimiliki oleh bank asing atau Kantor Cabang Bank Asing, dan ditetapkan berada dalam pengawasan khusus (special surveillance) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Bank Indonesia akan: a. memerintahkan pemegang saham bank yang merupakan pihak asing atau pimpinan Kantor Cabang Bank Asing untuk meningkatkan rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum sebagaimana diatur dalam ketentuan yang berlaku, dalam jangka waktu selambat-lambatnya 15 (lima belas) hari sejak surat pemberitahuan dari Bank Indonesia; b. mengumumkan penetapan bank dalam pengawasan khusus serta tindakan yang diperintahkan oleh Bank Indonesia untuk dilaksanakan; c. memberitahukan kepada kantor pusat dari Kantor Cabang Bank Asing, kepada bank di luar negeri bagi Bank yang sebagian besar sahamnya dimiliki oleh bank asing, dan kepada otoritas pengawasan di luar negeri (home country supervisor). Pasal 15 … - 19 - Pasal 15 (1) Dalam hal tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 tidak berhasil memperbaiki kondisi bank, Bank Indonesia melakukan langkah-langkah untuk tujuan pencabutan izin usaha, dan memerintahkan direksi bank untuk segera menyelenggarakan Rapat Umum Pemegang Saham guna membubarkan badan hukum bank dan membentuk tim likuidasi sesuai ketentuan yang berlaku, apabila: a. jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 belum terlampaui dan kondisi bank menurun dengan cepat sesuai persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf a; atau b. jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 telah terlampaui namun rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum tidak ditingkatkan menjadi 8% (delapan perseratus) atau lebih. dapat (2) Dalam hal tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 tidak berhasil memperbaiki kondisi bank yang kepemilikannya sebagian besar dimiliki oleh bank asing, Bank Indonesia melakukan langkah-langkah untuk tujuan pencabutan izin usaha, dan memerintahkan direksi bank untuk segera menyelenggarakan Rapat Umum Pemegang Saham guna membubarkan badan hukum bank dan membentuk tim likuidasi sesuai ketentuan yang berlaku, apabila: a. jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf a belum terlampaui dan kondisi bank menurun dengan cepat sesuai persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf a; atau b. jangka … - 20 - b. jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf a telah terlampaui namun rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum tidak dapat ditingkatkan menjadi 8% (delapan perseratus) atau lebih. (3) Dalam hal tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 tidak berhasil memperbaiki kondisi Kantor Cabang Bank Asing, Bank Indonesia melakukan langkah-langkah untuk tujuan pencabutan izin usaha dan memerintahkan pimpinan Kantor Cabang Bank Asing untuk membentuk tim penyelesai sesuai ketentuan yang berlaku, apabila: a. jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf a belum terlampaui dan kondisi Kantor Cabang Bank Asing menurun dengan cepat sesuai persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf a; atau b. jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf a telah terlampaui namun rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum tidak dapat ditingkatkan menjadi 8% (delapan perseratus) atau lebih. BAB VII LAIN-LAIN Pasal 16 (1) Selain ketentuan dalam Pasal 8 dan Pasal 10 Bank Indonesia dapat menyerahkan Bank kepada BPPN apabila: a. Bank memiliki aktiva produktif bermasalah yang akan diselesaikan melalui pengalihan kepada BPPN; dan b. terdapat … - 21 - b. terdapat kesepakatan antara Bank Indonesia, BPPN dan pemegang saham Bank untuk mengalihkan aktiva produktif bermasalah sebagaimana dimaksud dalam huruf a. (2) Pelaksanaan penyerahan Bank sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan penyerahan kembali Bank dari BPPN kepada Bank Indonesia dinyatakan telah selesai dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) hari kerja. Pasal 17 (1) Bank Indonesia tetap melakukan pengaturan dan pengawasan terhadap Bank yang diserahkan kepada BPPN dengan status BDP. (2) Bank Indonesia dapat meminta data dan informasi yang diperlukan mengenai Bank yang diserahkan kepada BPPN dengan status BBKU baik secara langsung dari Bank yang bersangkutan maupun dari BPPN. Pasal 18 Dalam rangka penyerahan Bank dengan status BDP atau status BBKU kepada BPPN, Bank Indonesia menyampaikan informasi dan dokumen yang menyangkut: a. susunan direksi dan komisaris selama 3 (tiga) tahun terakhir; b. struktur permodalan dan susunan pemegang saham selama 3 (tiga) tahun terakhir; c. informasi mengenai data nasabah penyimpan dana; d. informasi terakhir mengenai hasil pengawasan dan pemeriksaan yang telah dilakukan oleh Bank Indonesia terhadap Bank; dan e. informasi lainnya yang diperlukan oleh BPPN sepanjang tersedia di Bank Indonesia. Pasal 19 … - 22 - Pasal 19 Bank Indonesia mengumumkan pada 2 (dua) surat kabar harian nasional yang mempunyai peredaran luas, terhadap Bank yang: a. diserahkan kepada BPPN dengan status BDP atau status BBKU; b. dinyatakan telah selesai dilakukan penyehatan oleh BPPN. Pasal 20 Perubahan terhadap kriteria dan persyaratan: a. Bank yang dinilai memiliki potensi kesulitan yang dapat membahayakan kelangsungan usahanya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2; b. Bank yang dinilai mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2); c. Bank yang ditetapkan memiliki status BDP dan diserahkan kepada BPPN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8; d. Bank dengan status BDP yang telah selesai dilaksanakan penyehatan oleh BPPN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9; e. Bank yang ditetapkan memiliki status BBKU dan diserahkan kepada BPPN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 dan Pasal 11; dan atau f. bank atau Kantor Cabang Bank Asing yang tidak berhasil memperbaiki kondisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15, dan ketentuan lebih lanjut yang diperlukan dari Peraturan Bank Indonesia ini ditetapkan dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 21 … - 23 - Pasal 21 Penyampaian laporan dan informasi yang wajib dilakukan oleh Bank sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini disampaikan kepada Bank Indonesia dengan alamat: a. Direktorat Pengawasan Bank yang terkait, Jl. M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10110, bagi Bank yang berkantor pusat di wilayah kerja kantor pusat Bank Indonesia; atau b. Kantor Bank Indonesia setempat bagi Bank yang berkantor pusat di luar wilayah kerja kantor pusat Bank Indonesia. BAB VIII SANKSI Pasal 22 Bank Indonesia dapat mengenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998, antara lain berupa pemberhentian pengurus bank dan atau larangan turut serta dalam kegiatan kliring bagi bank yang: a. tidak melaksanakan kewajiban sesuai perintah Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3), Pasal 3 ayat (3), ayat (4), Pasal 13 ayat (2), dan Pasal 14 huruf a; dan atau b. telah ditetapkan oleh Bank Indonesia memiliki status BBKU. BAB IX … - 24 - BAB IX KETENTUAN PERALIHAN Pasal 23 Jangka waktu perpanjangan paling lama 3 (tiga) bulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dapat diberlakukan bagi Bank yang telah ditetapkan status dalam pengawasan khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) pada saat berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini. BAB X KETENTUAN PENUTUP Pasal 24 Dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini maka Peraturan Bank Indonesia Nomor 2/11/PBI/2000 tanggal 31 Maret 2000 tentang Penetapan Status Bank dan Penyerahan Bank Kepada Badan Penyehatan Perbankan Nasional, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi. Pasal 25 … - 25 - Pasal 25 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 31 Desember 2001. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal GUBERNUR BANK INDONESIA SYAHRIL SABIRIN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2001 NOMOR DPNP. - 26 - PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 3/25/PBI/2001 TENTANG PENETAPAN STATUS BANK DAN PENYERAHAN BANK KEPADA BADAN PENYEHATAN PERBANKAN NASIONAL UMUM Program restrukturisasi perbankan nasional telah dilaksanakan melalui langkah-langkah antara lain pembentukan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), program penjaminan Pemerintah, dan program rekapitalisasi perbankan. Dalam perkembangannya masih terdapat Bank yang dinilai mengalami kesulitan yang dapat membahayakan kelangsungan usahanya dan atau sistem perbankan nasional. Sehubungan dengan itu terhadap Bank dimaksud perlu dilakukan langkah- langkah tertentu seperti pengawasan intensif dan pengawasan khusus, agar sistem perbankan yang sehat dapat tercipta secara efektif. Bagi Bank yang masih mempunyai prospek untuk menjadi sehat perlu dilakukan langkah-langkah perbaikan dan penyehatan atau bagi Bank yang tidak mungkin lagi dapat disehatkan perlu dilakukan langkah-langkah penyelesaian. Oleh karena itu perlu ditetapkan persyaratan dan kriteria yang jelas serta transparan mengenai tingkat kesulitan Bank dalam kegiatan usahanya, serta langkah-langkah koordinasi dan mekanisme yang diperlukan dalam rangka pelaksanaan restrukturisasi perbankan nasional. Langkah-langkah koordinasi antara Bank Indonesia dengan BPPN dalam … - 27 - dalam rangka restrukturisasi perbankan nasional antara lain dituangkan dalam Kesepakatan Bersama antara Gubernur Bank Indonesia dan Ketua BPPN. Sesuai dengan program rekapitalisasi perbankan, maka pada akhir tahun 2001 perbankan diwajibkan untuk memenuhi rasio kewajiban penyediaan modal minimum sama dengan atau lebih besar dari 8% (delapan perseratus). PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Angka 1 sampai dengan angka 5 Cukup jelas. Pasal 2 Ayat (1) Yang dimaksud dengan pengawasan intensif yaitu suatu peningkatan proses pengawasan terhadap Bank dengan tujuan untuk mencegah Bank ditempatkan dalam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3. Upaya pencegahan tersebut memerlukan berbagai langkah perbaikan secara tepat waktu untuk segera memulihkan kondisi kesehatan Bank. Analisis terhadap potensi kesulitan yang membahayakan kelangsungan usaha Bank didasarkan pada kondisi keuangan Bank untuk jangka waktu 3 (tiga) bulan sampai dengan 12 (dua belas) bulan ke depan. Ayat (2) Huruf a Ketentuan mengenai tingkat kesehatan Bank didasarkan pada ketentuan Bank Indonesia yang berlaku tentang Tata Cara Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum. Huruf b … pengawasan khusus (special surveillance) - 28 - Huruf b Yang dimaksud dengan penilaian terhadap nilai keseluruhan risiko (composite risk) adalah penilaian yang didasarkan atas penilaian profil risiko secara triwulanan (quarterly risk profile assessment) dengan hasil penilaian memiliki risiko tinggi dengan arah (direction) stabil atau meningkat. Yang dimaksud dengan memiliki permasalahan aktual dan atau potensial di bidang likuiditas, profitabilitas dan solvabilitas antara lain adalah penurunan kondisi secara signifikan atau memiliki potensi untuk menurun secara signifikan di masa yang akan datang jika tidak dilakukan langkah-langkah perbaikan (corrective action). Huruf c Ketentuan mengenai pelampauan atau pelanggaran Batas Maksimum Pemberian Kredit didasarkan pada ketentuan Bank Indonesia tentang Batas Maksimum Pemberian Kredit yang berlaku. Penetapan Bank dengan status dalam pengawasan intensif tidak menghilangkan sanksi atas pelanggaran dan atau pelampauan Batas Maksimum Pemberian Kredit sebagaimana diatur dalam ketentuan yang berlaku. Huruf d Ketentuan mengenai Posisi Devisa Neto didasarkan pada ketentuan Bank Indonesia tentang Posisi Devisa Neto yang berlaku. Huruf e Yang dimaksud dengan permasalahan likuiditas mendasar antara lain adalah terjadinya penurunan pemberian komitmen (line) dari bank lain, perubahan posisi Bank di pasar uang dari posisi yang memberi … - 29 - memberi pinjaman (net-lender) menjadi posisi yang menerima pinjaman (net-borrower), peminjaman di pasar uang dengan tingkat bunga yang lebih tinggi dari nilai wajar (pasar), ketergantungan pada agunan untuk memperoleh dana, peningkatan ketergantungan dari pasar uang antar bank dan strategi penyaluran kredit yang berlebihan. Ketentuan mengenai rasio Giro Wajib Minimum dalam rupiah didasarkan pada ketentuan Bank Indonesia tentang Giro Wajib Minimum Bank yang berlaku. Huruf f Permasalahan profitabilitas yang mendasar dapat timbul dari kondisi efisiensi Bank dalam pencapaian titik impas (break-even), peningkatan biaya risiko yang dapat mempengaruhi kondisi solvabilitas Bank, pendapatan yang didasarkan pada pengakuan kembali Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif (PPAP) atau sebagian besar pendapatan didasarkan atas pendapatan non operasional. Huruf g Yang dimaksud dengan kredit bermasalah (non-performing loan) adalah kredit dengan kualitas kurang lancar, diragukan dan macet berdasarkan ketentuan Bank Indonesia tentang Kualitas Aktiva Produktif yang berlaku. Ayat (3) Huruf a Cukup jelas. Huruf b … - 30 - Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Penempatan pengawas atau pemeriksa Bank Indonesia antara lain untuk memantau tindakan Bank dalam menyelesaikan permasalahan yang dihadapi khususnya terhadap tindakan yang dilakukan untuk mengantisipasi risiko yang sangat cepat berubah seperti likuiditas dan penurunan kualitas aktiva produktif. Ayat (4) Yang dimaksud dengan kondisi dan aktivitas bank berperan cukup signifikan terhadap risiko sistemik dalam sistem perbankan antara lain adalah Bank yang memiliki total aktiva yang cukup besar dibandingkan dengan seluruh total aktiva perbankan dan Bank peserta program rekapitalisasi. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Pasal 3 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) … - 31 - Ayat (2) Huruf a Ketentuan mengenai rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM) didasarkan atas ketentuan Bank Indonesia tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum yang berlaku. Huruf b Ketentuan mengenai rasio Giro Wajib Minimum dalam rupiah didasarkan atas ketentuan Bank Indonesia tentang Giro Wajib Minimum Bank yang berlaku. Termasuk dalam pengertian perkembangan yang memburuk dalam waktu singkat atau permasalahan likuiditas mendasar antara lain adalah upaya Bank untuk memperoleh pinjaman dana dengan suku bunga jauh diatas suku bunga wajar (pasar), tingginya tingkat ketergantungan Bank terhadap dana pasar uang berjangka waktu pendek untuk menutup kekurangan Giro Wajib Minimum, terjadinya penurunan pemberian komitmen (line) dari bank lain, perubahan posisi Bank di pasar uang dari posisi yang memberi pinjaman (net-lender) menjadi posisi yang menerima pinjaman (net- borrower), ketergantungan pada agunan untuk memperoleh dana, dan strategi penyediaan dana yang berlebihan. Ayat (3) Pelaksanaan perintah Bank Indonesia dalam ayat ini didasarkan atas penelitian yang mendalam terhadap kondisi Bank antara lain melalui pemeriksaan khusus. Penelitian mendalam dan perintah yang dilakukan Bank Indonesia termasuk melakukan pemantauan secara langsung atas kegiatan operasional … - 32 - operasional Bank tidak menghilangkan tanggung jawab pemegang saham maupun pengurus terhadap operasional bank serta kewajiban- kewajiban Bank, baik sebelum maupun setelah dilakukan perintah atau penelitian mendalam. Pelaksanaan perintah Bank Indonesia dalam ayat ini didasarkan atas ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 37 dan Pasal 52 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998. Pengenaan sanksi administratif sesuai ketentuan dalam Pasal 52 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 disebabkan pelanggaran ketentuan kehati-hatian oleh Bank dan atau pelanggaran komitmen sesuai kewajiban Bank kepada Bank Indonesia. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 4 Ayat (1) Cakupan rencana perbaikan permodalan Bank dalam ayat ini lebih diutamakan yang berasal dari akumulasi modal dibandingkan dengan hasil divestasi penyertaan atau hasil merger dengan bank lain. Rencana perbaikan permodalan Bank juga harus menjelaskan cara Bank untuk mencapai laba, jika Bank melakukan tindakan divestasi, menurunkan jumlah aktiva, atau melakukan tindakan lainnya dalam rangka memenuhi rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum. Ayat (2) … - 33 - Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Ayat (8) Bank tetap melaksanakan rencana perbaikan permodalan yang belum diubah sampai dengan pengajuan perubahan rencana perbaikan permodalan disetujui oleh Bank Indonesia. Pasal 5 Ayat (1) Pelaksanaan ketentuan dalam ayat ini juga dikaitkan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (5), ayat (6), dan ayat (7). Huruf a Yang dimaksud dengan distribusi modal antara lain pembelian kembali saham Bank, pembayaran dividen, dan atau pembayaran bonus kepada pengurus Bank (management fee). Huruf b … - 34 - Huruf b Pengurus Bank wajib menyediakan informasi yang lengkap mengenai daftar pihak terkait dalam jangka waktu 10 (sepuluh) hari sejak pemberitahuan dari Bank Indonesia. Bank Indonesia juga dapat membatasi pelaksanaan transaksi dengan perorangan dan atau badan hukum yang digolongkan bukan pihak terkait sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) huruf c angka (7). Huruf c sampai dengan huruf g Cukup jelas. Huruf h Pemegang saham yang bertindak atas nama pemegang saham lain adalah pemegang saham perorangan atau perusahaan yang memiliki tujuan bersama untuk mengendalikan Bank yang didasarkan atau tidak didasarkan atas suatu perjanjian. Huruf i Cukup jelas. Huruf j Cukup jelas. Ayat (2) Penempatan pengawas dan atau pemeriksa dalam ayat ini lebih difokuskan pada usaha perbaikan kondisi Bank atau langkah-langkah antisipatif yang diperlukan apabila kondisi Bank tidak membaik dalam batas waktu yang ditentukan dengan tujuan utama untuk mengurangi biaya yang mungkin timbul bagi Pemerintah dan atau Bank Indonesia. Ayat (3) … - 35 - Ayat (3) Pemberitahuan oleh Bank Indonesia kepada otoritas pengawas yang berwenang terhadap perusahaan induk dan atau perusahaan anak Bank dimaksudkan agar otoritas pengawasan yang berwenang terhadap perusahaan induk dan atau perusahaan anak Bank mendapatkan informasi mengenai tindakan Bank Indonesia dan dapat melakukan langkah-langkah antisipasi yang diperlukan. Pasal 6 Ayat (1) Jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat ini tidak termasuk jangka waktu yang dibutuhkan untuk memenuhi persyaratan dalam proses hukum sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Proses hukum yang diperlukan tersebut antara lain penyesuaian terhadap perubahan anggaran dasar, pengalihan hak kepemilikan dan proses perizinan. Ayat (2) Mengingat perpanjangan jangka waktu dapat menimbulkan dampak bagi peningkatan biaya likuidasi maka perpanjangan tersebut hanya dapat dilakukan apabila terdapat alasan yang cukup bahwa realisasi perbaikan kondisi Bank dapat dilakukan dalam jangka waktu perpanjangan paling lama 3 (tiga) bulan sejak akhir jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). Pasal 7 Ayat (1) Pengumuman ini merupakan transparansi dari kebijakan Bank Indonesia sebagai bagian dari akuntabilitas publik terhadap pelaksanaan tugas mengatur … - 36 - mengatur dan mengawasi Bank yang dilakukan oleh Bank Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Pengumuman dilakukan pada home page Bank Indonesia dengan alamat http://www.bi.go.id Ayat (2) Ayat (3) Cukup jelas. Pengumuman dilakukan pada home page Bank Indonesia dengan alamat http://www.bi.go.id Pasal 8 Penilaian kondisi keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal ini didasarkan atas penilaian terhadap kelayakan rencana kerja (business plan) dan/atau komitmen tertentu yang diajukan Bank kepada Bank Indonesia. Komitmen tertentu dapat berupa rencana penyelesaian (action plan) yang diajukan maupun dokumen tertulis lainya seperti risalah rapat dan surat- menyurat antara Bank dengan Bank Indonesia dan atau Pemerintah. Huruf a Bank yang dinilai mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap perekonomian daerah adalah Bank yang mempunyai peranan khusus dalam rangka kelancaran perekonomian dan pelaksanaan pemerintahan di suatu daerah. Bank yang dinilai mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap perekonomian nasional adalah Bank yang memiliki rekening berpengaruh giro, tabungan, deposito sama dengan atau lebih dari 150.000 (seratus lima puluh ribu) rekening sehingga Bank tersebut pelaksanaan fungsi intermediasi perbankan. Huruf b … dalam - 37 - Huruf b Cukup jelas. Pasal 9 Ayat (1) Jangka waktu penyehatan Bank dengan status BDP didasarkan atas Kesepakatan Bersama antara Gubernur Bank Indonesia dengan Ketua BPPN. Penilaian kondisi keuangan sebagaimana dimaksud dalam ayat ini didasarkan atas penilaian terhadap kelayakan rencana kerja (business plan) dan atau komitmen tertentu yang diajukan Bank kepada Bank Indonesia. Untuk menilai perbaikan kondisi Bank bersifat berkelanjutan maka penilaian dilakukan terhadap rencana kerja (business plan) Bank untuk periode sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun. Komitmen tertentu dapat berupa rencana penyelesaian (action plan) yang diajukan maupun dokumen tertulis lainya seperti risalah rapat dan surat-menyurat antara Bank dengan Bank Indonesia dan Pemerintah. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 10 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan kondisi Bank tidak mengalami perbaikan adalah Bank tetap mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya sesuai dengan kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2). Yang … - 38 - Yang dimaksud dengan persyaratan penetapan Bank dengan status BDP adalah persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8. Pasal 11 Kesepakatan jangka waktu pada ayat ini didasarkan atas Kesepakatan Bersama antara Gubernur Bank Indonesia dan Ketua BPPN. Dalam hal ini jangka waktu yang disepakati telah terlampaui, BPPN menyampaikan rekomendasi kepada Bank Indonesia untuk: 2. perpanjangan jangka waktu penyehatan disertai penjelasan atas terjadinya penundaan penyelesaian program penyehatan terhadap Bank; atau 3. perubahan status Bank dari status BDP menjadi status BBKU disertai penjelasan mengenai permasalahan yang dihadapi. Pasal 12 Cukup jelas. Pasal 13 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 14 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Pengumuman dilakukan pada home page Bank Indonesia dengan alamat http://www.bi.go.id Huruf c … - 39 - Huruf c Cukup jelas. Pasal 15 Ayat (1) Langkah-langkah untuk pencabutan izin usaha, pembubaran badan hukum dan likuidasi bank dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku tentang Pencabutan Izin Usaha, Pembubaran Badan Hukum dan Likuidasi Bank. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 16 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 17 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 18 Cukup jelas. Pasal 19 Cukup jelas. Pasal 20 … - 40 - Pasal 20 Cukup jelas. Pasal 21 Cukup jelas. Pasal 22 Yang dimaksud dengan bank pada Pasal ini adalah bank yang ikut serta maupun yang tidak ikut serta dalam Program Penjaminan Pemerintah. Pasal 23 Cukup jelas. Pasal 24 Cukup jelas. Pasal 25 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2001 NOMOR
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 3/25/PBI/2001 </reg_id> <reg_title> PENETAPAN STATUS BANK DAN PENYERAHAN BANK KEPADA BADAN PENYEHATAN PERBANKAN NASIONAL </reg_title> <effective_date> 31 Desember 2001 </effective_date> <replaced_reg> '2/11/PBI/2000' </replaced_reg> <related_reg> '25/PP/1999', '23/UU/1999', '26/KEPPRES/1998', '7/UU/1992', '47/PP/2001', '17/PP/1999', '10/UU/1998', '3/21/PBI/2001' </related_reg> <penalty_list> 'BAB VIII' </penalty_list>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 11/14/PBI/2009 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 10/37/PBI/2008 TENTANG TRANSAKSI VALUTA ASING TERHADAP RUPIAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa tujuan Bank Indonesia adalah mencapai memelihara kestabilan nilai rupiah; dan b. bahwa salah satu upaya untuk mencapai kestabilan nilai rupiah adalah dengan mengurangi tekanan terhadap nilai tukar rupiah yang disebabkan oleh upaya penyelesaian transaksi valuta asing terhadap rupiah yang telah terjadi; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, dipandang perlu untuk melakukan perubahan terhadap Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/37/PBI/2008 tentang Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah; Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang … Indonesia Tahun 1992 Republik -2- Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); 2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 Bank Indonesia Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik tentang Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962); 3. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3844); 4. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867); M E M U T U S K A N … -3- M E M U T U S K A N Menetapkan : PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 10/37/PBI/2008 TENTANG TRANSAKSI VALUTA ASING TERHADAP RUPIAH. Pasal I Beberapa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/37/PBI/2008 tentang Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 198, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4945) diubah sebagai berikut: 1. Ketentuan Pasal 13 diubah sehingga Pasal 13 berbunyi sebagai berikut: Pasal 13 (1) Setiap Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah yang dilakukan sebelum berlakunya Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/37/PBI/2008 tentang Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah dapat diteruskan sampai dengan jatuh waktu kontrak. (2) Transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang masih outstanding dalam suatu kontrak yang jatuh waktu setelah berlakunya Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/37/PBI/2008 tentang Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah dapat diselesaikan tanpa pergerakan dana pokok antara lain melalui: a. percepatan penyelesaian (early termination) atau penghentian (unwind) Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah; b. penyelesaian transaksi melalui restrukturisasi kontrak Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah; dan/atau c. penyelesaian transaksi dengan menggunakan dana pinjaman dari Bank. (3) Penyelesaian … -4- (3) Penyelesaian transaksi dengan cara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan sepanjang terdapat kesepakatan tertulis antara pihak yang melakukan Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah. (4) Penyelesaian transaksi dengan cara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sedapat mungkin menggunakan rupiah. 2. Ketentuan Pasal 14 diubah sehingga Pasal 14 berbunyi sebagai berikut: Pasal 14 Ketentuan yang mengatur mengenai sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 berlaku pula terhadap Bank yang melakukan penyelesaian Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah yang tidak didukung dengan dokumen kesepakatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3). 3. Penjelasan Pasal 12 diubah sehingga Penjelasan Pasal 12 berbunyi sebagai berikut : Pasal 12 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Kurs tengah Bank Indonesia dihitung dengan cara kurs jual transaksi ditambah kurs beli transaksi dibagi 2 (dua). Pasal II … -5- Pasal II Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta, Pada tanggal 17 April 2009. GUBERNUR BANK INDONESIA, BOEDIONO Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 17 April 2009. MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ANDI MATTALATTA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 67 DPD -6-
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 11/14/PBI/2009 </reg_id> <reg_title> PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 10/37/PBI/2008 TENTANG TRANSAKSI VALUTA ASING TERHADAP RUPIAH </reg_title> <set_date> 17 April 2009 </set_date> <effective_date> 17 April 2009 </effective_date> <issued_date> 17 April 2009 </issued_date> <changed_reg> '10/37/PBI/2008|PBI/2008' </changed_reg> <related_reg> '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '24/UU/1999', '7/UU/1992', '10/UU/1998', '21/UU/2008' </related_reg>
Diubah dengan PBI No. 3/4/PBI/2001 tanggal 12 Maret 2001 PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 2/13/PBI/2000 TENTANG JAMINAN PEMBIAYAAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka meningkatkan kegiatan ekonomi nasional khususnya kegiatan perdagangan internasional, Bank Indonesia untuk dan atas nama Pemerintah menerbitkan Letter of Guaranty untuk menjamin pembiayaan perdagangan internasional yang dilakukan oleh bank; b. bahwa Letter of Guaranty tersebut diberikan agar perbankan internasional bersedia memberikan credit line kepada perbankan di Indonesia; c. bahwa berhubung dengan itu dipandang perlu untuk menetapkan ketentuan lebih lanjut tentang pelaksanaan jaminan pembiayaan perdagangan internasional dalam Peraturan Bank Indonesia. Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472), sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); 2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843); 3. Undang ……. - 2 - 3. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3844); 4. Peraturan Bank Indonesia Nomor 1/3/PBI/1999 tentang Penyelenggaraan Kliring Lokal dan Penyelesaian Akhir Transaksi Pembayaran Antar Bank Atas Hasil Kliring Lokal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 139, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 139), sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 2/4/PBI/2000 tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 1/3/PBI/1999 tentang Penyelenggaraan Kliring Lokal Dan Penyelesaian Akhir Transaksi Pembayaran Antar Bank Atas Hasil Kliring Lokal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 9, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3927); 5. Peraturan Bank Indonesia Nomor 1/9/PBI/1999 tanggal 28 Oktober 1999 tentang Pemantauan Kegiatan Lalu Lintas Devisa Bank dan Lembaga Keuangan Non Bank (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 27, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3915). Memperhatikan : Kesepakatan Bersama Menteri Keuangan dengan Gubernur Bank Indonesia tanggal 3 Mei 2000 tentang Jaminan Atas Pembiayaan Perdagangan Internasional dan Pinjaman Luar Negeri Antar Bank. M E M U T U S K A N : Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG JAMINAN PEMBIAYAAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL. BAB I … - 3 - BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan : 1. Bank adalah Bank Umum yang masih beroperasi sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998, yang telah diizinkan melakukan kegiatan dalam valuta asing, kecuali kantor cabang dari suatu bank yang kantor pusatnya berkedudukan di luar negeri, bank umum yang mayoritas sahamnya dimiliki oleh pihak asing dan bank yang sudah berstatus Bank Beku Operasi (BBO) atau Bank Beku Kegiatan Usaha (BBKU). 2. Pembiayaan Perdagangan Internasional adalah semua bentuk pembiayaan yang berkaitan dengan perdagangan internasional, termasuk Letter of Credit (L/C) yang dikonfirmasi atas dasar transaksi perdagangan internasional, akseptasi atas dasar transaksi perdagangan internasional, pembiayaan pra-pengapalan, pembiayaan atas akseptasi Bank, pembiayaan atas dasar clean banker’s acceptances, pembiayaan L/C dan pembiayaan tanpa L/C, Standby L/C dan Garansi atas dasar transaksi perdagangan internasional. 3. Eligible Bank adalah : (i) kantor pusat bank beserta kantor cabangnya berkedudukan di luar negeri; (ii) kantor cabang bank di Indonesia dari suatu bank yang kantor pusatnya berkedudukan di luar negeri; dan (iii) bank umum yang mayoritas sahamnya dimiliki oleh pihak asing; yang menyediakan credit line dalam rangka Pembiayaan Perdagangan Internasional. 4. Confirmation ……. - 4 - 4. Confirmation Letter adalah surat yang disampaikan oleh Eligible Bank yang memuat konfirmasi mengenai besarnya komitmen credit line yang diberikan kepada Bank sesuai daftar Bank yang menerima credit line (list of obligor). 5. Credit Line adalah fasilitas Pembiayaan Perdagangan Internasional yang disediakan oleh Eligible Bank kepada Bank. 6. Letter of Guaranty (LOG) adalah surat jaminan yang diterbitkan oleh Bank Indonesia untuk menjamin transaksi Pembiayaan Perdagangan Internasional yang dilakukan oleh Bank, dan diberikan kepada Eligible Bank. 7. Letter of Guaranty (LOG) Pertama adalah surat jaminan yang diterbitkan oleh Bank Indonesia pada tanggal 25 Juni 1998 untuk menjamin transaksi Pembiayaan Perdagangan Internasional selama 364 (tiga ratus enam puluh empat) hari sejak tanggal disetujuinya Confirmation Letter oleh Bank Indonesia. 8. Tanggal Efektif Penjaminan (Effective Date) adalah mulai berlakunya jaminan sesuai LOG yang diterbitkan oleh Bank Indonesia. 9. Counter Guaranty adalah jaminan yang diberikan oleh Menteri Keuangan kepada Gubernur Bank Indonesia untuk menjamin penerbitan LOG dengan menyediakan sejumlah dana di Rekening Pemerintah di Bank Indonesia, dan memberikan kuasa pendebetan terhadap rekening tersebut. 10. Rekening Pemerintah adalah rekening Menteri Keuangan yang dibuka guna memberikan Counter Guaranty atas LOG Bank Indonesia, dalam Rupiah nomor 519.000110 dengan nama rekening “Trade Maintenance Facility dan Exchange Offer”. Pasal 2 Bank Indonesia setelah memperoleh Counter Guaranty dari Menteri Keuangan, menjamin transaksi Pembiayaan Perdagangan Internasional yang dilakukan oleh Bank dengan cara menerbitkan LOG untuk dan atas nama Pemerintah. Pasal 3 ……. - 5 - Pasal 3 Transaksi Pembiayaan Perdagangan Internasional yang dijamin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, sebesar realisasi dari Credit Line yang disediakan oleh Eligible Bank kepada Bank sebagaimana tercantum dalam Confirmation Letter yang telah disetujui oleh Bank Indonesia. BAB II PENJAMINAN DALAM RANGKA PEMBIAYAAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL Pasal 4 (1) LOG sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 diterbitkan 1 (satu) kali oleh Bank Indonesia kepada Eligible Bank dan berlaku untuk seluruh transaksi Pembiayaan Perdagangan Internasional yang dilakukan oleh Bank dengan Eligible Bank. (2) Tanggal efektif LOG berlaku : a. Sehari setelah berakhirnya LOG Pertama sampai dengan 31 Desember 2000, untuk Eligible Bank yang telah mengikuti program penjaminan sebelumnya; b. Sejak Bank Indonesia menandatangani Confirmation Letter yang disampaikan oleh Eligible Bank, sampai dengan 31 Desember 2000, untuk Eligible Bank yang baru mengikuti program penjaminan. Pasal 5 ……. - 6 - Pasal 5 (1) Pembiayaan Perdagangan Internasional yang dijamin oleh Bank Indonesia adalah meliputi transaksi pembiayaan yang : a. Diterbitkan dan jatuh tempo pembayarannya dalam masa berlaku LOG; b. Diterbitkan dalam masa berlaku LOG dan jatuh tempo pembayarannya melampaui masa berlaku LOG tetapi tidak melebihi tanggal 30 Juni 2001; c. Diterbitkan dan jatuh tempo pembayarannya dalam masa berlaku LOG, dan diperpanjang melampaui masa berlaku LOG tetapi tidak melebihi tanggal 30 Juni 2001. (2) Transaksi Pembiayaan Perdagangan Internasional yang telah dilakukan oleh Bank dengan Eligible Bank yang menerima LOG Pertama, masih tetap dijamin sepanjang jatuh tempo pembayarannya tidak melebihi tanggal 30 Juni 2001. Pasal 6 (1) Bank wajib memberitahukan secara tertulis mengenai keikutsertaan sebagai obligor untuk memperoleh persetujuan Bank Indonesia dalam program Penjaminan Pembiayaan Perdagangan Internasional. (2) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan paling lambat 5 (lima) hari kerja setelah menerima pemberitahuan tertulis sebagai obligor dari Eligible Bank dan atau dari Bank Indonesia. (3) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), disampaikan oleh Bank kepada Bank Indonesia cq. : a. Direktorat Perizinan dan Informasi Perbankan (DPIP), Gedung Tipikal Lt. 6, Jl. M.H. Thamrin No. 2, Jakarta 10010 Telpon 381-7405/7775, Facsimili 2311672; b. Direktorat ……. - 7 - b. Direktorat Luar Negeri (DLN) Gedung B Lt. 6, Jl. M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10010 Telpon 381-8263/8261, Facsimili 3857358/2311315, sebagai tembusan. BAB III PROSEDUR PERMOHONAN PEMBAYARAN Pasal 7 (1) Permohonan pembayaran penjaminan diajukan oleh Bank kepada Bank Indonesia cq. Direktorat Perizinan dan Informasi Perbankan (DPIP). (2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilampiri: a. Surat Pernyataan tidak sanggup bayar (contoh lampiran 1); b. Akta Pengakuan Utang kepada Pemerintah (contoh lampiran 2); c. Surat Sanggup yang nilainya setara dengan nilai utang Bank (contoh lampiran 3). (3) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disampaikan secara tertulis kepada Bank Indonesia paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja setelah jatuh tempo pembayaran. Pasal 8 (1) Jangka waktu Surat Sanggup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf c ditetapkan selama 90 (sembilan puluh) hari sejak tanggal pembayaran kepada Eligible Bank, dengan suku bunga sebesar 125% (seratus dua puluh lima per seratus) dari suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) 3 (tiga) bulan yang berlaku pada saat pembayaran kepada Eligible Bank, per tahun flat. (2) Biaya ……. - 8 - (2) Biaya pembuatan Akta Pengakuan Utang dan biaya-biaya lainnya yang timbul menjadi beban Bank. BAB IV PROSEDUR PEMBAYARAN KEPADA ELIGIBLE BANK Pasal 9 (1) Bank Indonesia melakukan pembayaran kepada Eligible Bank dalam valuta sesuai dengan kewajiban Bank selambat-lambatnya 20 (dua puluh) hari kerja setelah: a. Bank menyerahkan secara lengkap dokumen yang dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2), dan b. Bank Indonesia melakukan verifikasi terhadap kelayakan transaksi Pembiayaan Perdagangan Internasional yang dilakukan Bank. (2) Verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan dengan pengecekan administratif yang meliputi hal-hal sebagai berikut : a. Kelengkapan dokumen yang dipersyaratkan dalam permohonan pembayaran; b. Jatuh tempo transaksi yang diajukan termasuk dalam masa berlakunya penjaminan; c. Bank dan Eligible Bank tercatat di Bank Indonesia. (3) Setiap hasil verifikasi yang dilakukan oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dianggap disetujui oleh Menteri Keuangan dan tidak perlu dilakukan verifikasi ulang oleh Departemen Keuangan. (4) Dalam hal saldo rekening giro dalam US Dollar dan atau Rupiah kantor pusat Bank di Bank Indonesia mencukupi, pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat ……. - 9 - ayat (1) akan dilaksanakan Bank Indonesia dengan membebani rekening giro dalam US Dollar dan atau Rupiah kantor pusat Bank tersebut. (5) Atas pembayaran dengan membebani rekening giro US Dollar dan atau Rupiah kantor pusat Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Bank Indonesia mengembalikan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) kepada Bank. (6) Dalam hal saldo rekening giro dalam US Dollar dan atau Rupiah kantor pusat Bank di Bank Indonesia tidak mencukupi, Bank Indonesia melakukan pembayaran kepada Eligible Bank dengan cara membebani Rekening Pemerintah. (7) Pembayaran dengan cara membebani Rekening Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (6) menjadi utang Bank dalam valuta Rupiah kepada Pemerintah. (8) Pembayaran dengan membebani rekening giro Rupiah kantor pusat Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (4) atau pembayaran dengan membebani Rekening Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dilakukan dengan menggunakan kurs jual – Kurs Transaksi Bank Indonesia 2 (dua) hari kerja sebelum tanggal valuta pembayaran. BAB V PROSEDUR PEMBAYARAN BANK KEPADA PEMERINTAH Pasal 10 Pada saat jatuh tempo Surat Sanggup Bank wajib melakukan pembayaran dengan menyetor ke Rekening Pemerintah di Bank Indonesia. BAB VI ……. - 10 - BAB VI PROSEDUR PERMOHONAN PEMBAYARAN UNTUK BANK YANG DIBEKUKAN KEGIATAN USAHANYA Pasal 11 (1) Bagi Bank yang dibekukan kegiatan usahanya (BBKU) dalam masa penjaminan, maka permohonan untuk melakukan pembayaran kepada Eligible Bank diajukan oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) kepada Bank Indonesia cq. Direktorat Perizinan dan Informasi Perbankan dengan menyebutkan rekening yang akan dibebankan. (2) Permohonan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan selambat- lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja setelah jatuh tempo pembayaran tanpa melampirkan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) dan Pasal 8 ayat (1). (3) Permohonan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Bank Indonesia setelah dilakukan verifikasi oleh BPPN. (4) Bank Indonesia tidak perlu melakukan verifikasi ulang atas hasil verifikasi yang dilakukan oleh BPPN sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan setiap hasil verifikasi BPPN dianggap disetujui oleh Menteri Keuangan. BAB VII PELAPORAN BANK KEPADA BANK INDONESIA Pasal 12 (1) Setiap bulan Bank wajib menyampaikan Laporan Pelaksanaan Pembiayaan Perdagangan Internasional kepada : a. Bank ……. - 11 - a. Bank Indonesia cq. Direktorat Perizinan dan Informasi Perbankan; b. Bank Indonesia cq. Direktorat Luar Negeri, sebagai tembusan; c. Departemen Keuangan cq. Direktorat Jenderal Lembaga Keuangan, Gedung A Lt.3, Jl.Wahidin No.2, Jakarta, sebagai tembusan; d. Departemen Keuangan cq. Direktorat Jenderal Anggaran, Jl. Lapangan Banteng Timur No. 2 – 4, Jakarta Pusat, sebagai tembusan. (2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tetap disampaikan oleh Bank meskipun pelaksanaan Pembiayaan Perdagangan Internasional pada bulan laporan adalah nihil. (3) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterima selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah akhir bulan laporan, dengan format sebagaimana contoh pada lampiran 4. BAB VIII SANKSI Pasal 13 (1) Untuk setiap kelambatan penyerahan laporan dan atau tidak menyampaikan Laporan Pelaksanaan Pembiayaan Perdagangan Internasional yang melampaui batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, Bank dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu Rupiah) per hari yang dihitung sejak hari keterlambatan sampai dengan diterimanya laporan oleh Bank Indonesia. (2) Apabila ……. - 12 - (2) Apabila laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) diketahui tidak benar dan atau tidak lengkap, maka Bank dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta Rupiah) untuk setiap laporan yang tidak benar dan atau tidak lengkap. Pasal 14 (1) Apabila pada saat jatuh tempo Surat Sanggup, Bank tidak melakukan penyetoran ke Rekening Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, maka setelah tanggal jatuh tempo Surat Sanggup, Bank Indonesia akan mengenakan sanksi berupa : a. Peningkatan suku bunga sehingga menjadi 300% (tiga ratus per seratus) dari suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) 3 (tiga) bulan yang berlaku pada saat jatuh tempo Surat Sanggup, per tahun flat dan dihitung sejak tanggal jatuh tempo Surat Sanggup sampai dengan dilakukannya pembayaran oleh Bank, dan b. Penghentian kegiatan transaksi Pembiayaan Perdagangan Internasional. (2) Apabila dalam waktu 3 (tiga) bulan setelah pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Bank belum juga melakukan penyetoran ke Rekening Pemerintah, maka Bank dikenakan: a. Sanksi berupa pencabutan penunjukan Bank sebagai bank devisa; dan b. Pendebetan saldo rekening giro Rupiah Bank di Bank Indonesia; serta c. Ketentuan sesuai dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 1/3/PBI/1999 tentang Penyelenggaraan Kliring Lokal dan Penyelesaian Akhir Transaksi Pembayaran Antar Bank Atas Hasil Kliring Lokal sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 2/4/PBI/2000 tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 1/3/PBI/1999 tentang Penyelenggaraan Kliring Lokal dan Penyelesaian Akhir Transaksi Pembayaran Antar Bank Atas Hasil Kliring Lokal, apabila terjadi saldo negatif. - 13 - Pasal 15 Apabila Bank menyalahgunakan fasilitas penjaminan Pembiayaan Perdagangan Internasional, Bank dapat dikenakan sanksi berupa pencabutan penunjukan Bank sebagai bank devisa beserta pencantuman dalam Daftar Orang Tercela (DOT) terhadap pemilik dan atau pengurus Bank yang bertanggung jawab atas terjadinya pelanggaran. Pasal 16 (1) Pembayaran sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) dan (2) dilaksanakan Bank Indonesia dengan membebani rekening giro Rupiah kantor pusat Bank di Bank Indonesia dan untuk untung Bank Indonesia. (2) Pembayaran sanksi sebagaimana dimaksud dalam pasal 14 ayat (1) dan (2) dilaksanakan Bank Indonesia atas beban Bank untuk untung rekening nomor 502.000000 “Bendahara Umum Negara”. Pasal 15 … BAB IX KETENTUAN PENUTUP Pasal 17 Dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini, maka Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 31/89/KEP/DIR tanggal 7 September 1998 tentang Jaminan Pembiayaan Perdagangan Internasional dan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 31/174/KEP/DIR tanggal 22 Desember 1998 tentang Perubahan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 31/89/KEP/DIR tentang Jaminan Pembiayaan Perdagangan Internasional dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi. Pasal 18 … - 14 - Pasal 18 Peraturan Bank Indonesia ini berlaku sejak tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 16 Mei 2000 GUBERNUR BANK INDONESIA SYAHRIL SABIRIN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2000 NOMOR 58 DLN
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 2/13/PBI/2000 </reg_id> <reg_title> JAMINAN PEMBIAYAAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL </reg_title> <set_date> 16 Mei 2000 </set_date> <effective_date> 16 Mei 2000 </effective_date> <replaced_reg> '31/174/KEP/DIR|SKDIR-BI/1998', '31/89/KEP/DIR|SKDIR-BI/1998' </replaced_reg> <related_reg> '1/3/PBI/1999', '23/UU/1999', '1/9/PBI/1999', '2/4/PBI/2000', '7/UU/1992', '10/UU/1998', '24/UU/1999' </related_reg> <penalty_list> 'BAB VIII' </penalty_list>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 8/11/PBI/2006 TENTANG PENCABUTAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 2/12/PBI/2000 TENTANG JAMINAN PINJAMAN LUAR NEGERI ANTAR BANK SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 3/14/PBI/2001 GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka meningkatkan kegiatan ekonomi nasional khususnya kegiatan restrukturisasi pinjaman luar negeri, Bank Indonesia untuk dan atas nama Pemerintah telah memberikan jaminan terhadap pinjaman luar negeri antar bank; b. bahwa fasilitas jaminan terhadap pinjaman luar negeri antar bank tersebut telah berakhir sehubungan dengan berakhirnya program Interbank Debt Exchange Offer pada tanggal 1 Juni 2005; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, dipandang perlu untuk melakukan pencabutan Peraturan Bank Indonesia Nomor 2/12/PBI/2000 tentang Jaminan Pinjaman Luar Negeri sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 3/14/PBI/2001; Mengingat : ... Antar Bank Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472), sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); 2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 3 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357); 3. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3844); MEMUTUSKAN : Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PENCABUTAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 2/12/PBI/2000 TENTANG JAMINAN PINJAMAN LUAR NEGERI ... NEGERI ANTAR BANK SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 3/14/PBI/2001 Pasal 1 Peraturan Bank Indonesia Nomor 2/12/PBI/2000 tentang Jaminan Pinjaman Luar Negeri Antar Bank (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 57, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3953) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 3/14/PBI/2001 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 121, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4140) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 2 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 29 Juni 2006 GUBERNUR BANK INDONESIA BURHANUDDIN ABDULLAH LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2006 NOMOR 55 DInt
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 8/11/PBI/2006 </reg_id> <reg_title> PENCABUTAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 2/12/PBI/2000 TENTANG JAMINAN PINJAMAN LUAR NEGERI ANTAR BANK SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 3/14/PBI/2001 </reg_title> <set_date> 29 Juni 2006 </set_date> <effective_date> 29 Juni 2006 </effective_date> <replaced_reg> '2/12/PBI/2000', '3/14/PBI/2001' </replaced_reg> <related_reg> '7/UU/1992', '10/UU/1998', '23/UU/1999', '3/UU/2004', '24/UU/1999' </related_reg>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 3/24/PBI/2001 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 3/15/PBI/2001 TENTANG PENETAPAN STATUS BANK PERKREDITAN RAKYAT DALAM PENGAWASAN KHUSUS DAN PEMBEKUAN KEGIATAN USAHA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : bahwa dalam rangka mempercepat penyelesaian BPR bermasalah sebagai upaya penyehatan industri BPR dipandang perlu dilakukan penyesuaian terhadap Peraturan Bank Indonesia Nomor 3/15/PBI/2001 tentang Penetapan Status Perkreditan Rakyat Dalam Pengawasan Khusus dan Pembekuan Kegiatan Usaha dalam suatu Peraturan Bank Indonesia; Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3790); 2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3843); 3. Peraturan… Bank -2- 3. Peraturan Pemerintah Nomor 25 tahun 1999 tentang Pencabutan Izin Usaha, Pembubaran dan Likuidasi Bank (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 52; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3831); 4. Peraturan Bank Indonesia Nomor 3/15/PBI/2001 tentang Penetapan Status Bank Perkreditan Rakyat Dalam Pengawasan Khusus dan Pembekuan Kegiatan Usaha (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 122; Tambahan Lembaran Negara Nomor 4141); MEMUTUSKAN : Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 3/15/PBI/2001 TENTANG PENETAPAN STATUS BANK PERKREDITAN RAKYAT DALAM PENGAWASAN KHUSUS DAN PEMBEKUAN KEGIATAN USAHA. Pasal I Mengubah ketentuan dalam Pasal 9 Peraturan Bank Indonesia, sehingga seluruhnya berbunyi sebagai berikut: “Pasal 9 1. Pada saat ditetapkannya Peraturan Bank Indonesia ini, terhadap: a. BPR yang sudah tidak melakukan kegiatan usaha dan atau pengurus dan atau pemiliknya sudah tidak diketahui keberadaannya, atau b. BPR… -3- b. BPR yang memiliki Rasio KPMM sama dengan atau kurang dari 0% (nol perseratus), dan atau CR rata-rata selama 6 (enam) bulan terakhir kurang dari 1 % (satu perseratus), serta merupakan peserta Program Penjaminan Pemerintah ditetapkan status BBKU 2. Penetapan status BBKU terhadap BPR sebagaimana dimaksud dalam angka 1 tidak berlaku apabila BPR sedang dalam proses merger, konsolidasi, akuisisi yang diikuti dengan penambahan modal disetor, penambahan modal disetor oleh pemilik atau masuknya investor baru. 3. BPR yang sedang dalam proses sebagaimana dimaksud dalam angka 2 diberikan waktu penyelesaian selambat-lambatnya 6 (enam) bulan sejak ditetapkannya Peraturan Bank Indonesia ini. 4. Dalam hal BPR tidak dapat menyelesaikan proses sebagaimana dimaksud dalam angka 2 dalam batas waktu sebagaimana dimaksud dalam angka 3, maka Bank Indonesia menetapkan BPR tersebut dalam status BBKU 5. BPR yang memiliki Rasio KPMM sama dengan atau kurang dari 0% (nol perseratus), dan atau CR rata-rata selama 6 (enam) bulan terakhir kurang dari 1 % (satu perseratus), tetapi tidak merupakan peserta Program Penjaminan Pemerintah, maka Bank Indonesia dapat mencabut izin usaha BPR yang bersangkutan.” Pasal II … -4- Pasal II Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 24 Desember 2001 GUBERNUR BANK INDONESIA SYAHRIL SABIRIN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2001 NOMOR 155 DPBPR -5- PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 3/ 24 /PBI/2001 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 3/15/PBI/2001 TENTANG PENETAPAN STATUS BANK PERKREDITAN RAKYAT DALAM PENGAWASAN KHUSUS DAN PEMBEKUAN KEGIATAN USAHA I. UMUM Dalam rangka mempercepat penyelesaian BPR bermasalah sebagai upaya penyehatan industri BPR perlu dilakukan penyesuaian terhadap Peraturan Bank Indonesia Nomor 3/15/PBI/2001 tentang Penetapan Status Bank Perkreditan Rakyat Dalam Pengawasan Khusus dan Pembekuan Kegiatan Usaha dalam suatu Peraturan Bank Indonesia. II. PASAL DEMI PASAL Pasal I Pasal 9 Angka 1 Huruf a BPR yang sudah tidak melakukan kegiatan usaha antara lain dibuktikan dengan: -6- 1. BPR tidak menyampaikan bulanan kepada Bank Indonesia 12 (dua belas) bulan terakhir; laporan selama 2. Laporan bulanan yang disampaikan oleh BPR kepada Bank Indonesia selama 12 (dua belas) bulan terakhir tidak memiliki perubahan dalam pos-pos neraca; 3. Adanya laporan dari pengurus atau pemilik BPR bahwa BPR melakukan kegiatan usaha; Huruf b Cukup jelas Angka 2 Pengecualian dimaksudkan untuk memberikan kesempatan kepada BPR guna menyelesaikan proses merger, konsolidasi, akuisisi atau penambahan modal disetor oleh pemilik atau investor baru. BPR yang sedang dalam proses merger, konsolidasi atau akuisisi termasuk di dalamnya BPR yang telah mengajukan permohonan izin merger, konsolidasi atau akuisisi kepada Bank Indonesia atau BPR telah menyampaikan pernyataan untuk menambah modal disetor. Angka 3 Cukup jelas Angka 4 1. BPR… tidak -7- Cukup jelas Angka 5 Cukup jelas Pasal II Cukup Jelas TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA NOMOR 4163 DPBPR Angka 5…
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 3/24/PBI/2001 </reg_id> <reg_title> PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 3/15/PBI/2001 TENTANG PENETAPAN STATUS BANK PERKREDITAN RAKYAT DALAM PENGAWASAN KHUSUS DAN PEMBEKUAN KEGIATAN USAHA </reg_title> <set_date> 24 Desember 2001 </set_date> <effective_date> 24 Desember 2001 </effective_date> <changed_reg> '3/15/PBI/2001' </changed_reg> <related_reg> '25/PP/1999', '23/UU/1999', '7/UU/1992', '10/UU/1998', '3/15/PBI/2001' </related_reg>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 8/20/PBI/2006 TENTANG TRANSPARANSI KONDISI KEUANGAN BANK PERKREDITAN RAKYAT GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 10 Tahun 1998, Bank Perkreditan Rakyat wajib mengumumkan laporan keuangan dalam waktu dan bentuk yang ditetapkan oleh Bank Indonesia; b. bahwa dalam rangka transparansi kondisi keuangan dan kinerja Bank Perkreditan Rakyat, diperlukan informasi keadaan keuangan dan informasi lainnya kepada publik secara berkala, akurat dan benar; c. bahwa Laporan Keuangan Tahunan dan Laporan Keuangan Publikasi Bank Perkreditan Rakyat yang berlaku belum sepenuhnya disusun berdasarkan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku; d. bahwa … -2- d. bahwa berhubung dengan itu, dipandang menyempurnakan ketentuan tentang Laporan perlu untuk Keuangan Tahunan dan Laporan Keuangan Publikasi bagi Bank Perkreditan Rakyat dalam Peraturan Bank Indonesia tentang Transparansi Kondisi Keuangan Bank Perkreditan Rakyat; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); 2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 3 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357); MEMUTUSKAN: … -3- MEMUTUSKAN: Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TRANSPARANSI KONDISI PERKREDITAN RAKYAT. TENTANG KEUANGAN BANK BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan: 1. Bank Perkreditan Rakyat, selanjutnya disebut BPR, adalah Bank Perkreditan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional. 2. Laporan Tahunan adalah laporan lengkap mengenai kinerja suatu BPR dalam kurun waktu satu tahun yang berisi Laporan Keuangan Tahunan dan informasi umum. 3. Laporan Keuangan Tahunan adalah laporan keuangan akhir tahun BPR yang disusun berdasarkan standar akuntansi keuangan yang berlaku. 4. Laporan Keuangan Publikasi adalah laporan keuangan BPR yang disusun berdasarkan standar akuntansi keuangan yang berlaku dan dipublikasikan setiap triwulan sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia. 5. Akuntan … -4- 5. Akuntan Publik adalah akuntan yang memiliki izin usaha dari Menteri Keuangan untuk melakukan kegiatan pemberian jasa audit. 6. Tahun Buku adalah tahun takwim atau tahun yang dimulai dari bulan Januari sampai dengan bulan Desember. 7. Surat Komentar (Management Letter) adalah komentar tertulis dari Akuntan Publik kepada manajemen bank mengenai hasil kaji ulang terhadap struktur pengendalian intern, pelaksanaan standar akuntansi keuangan atau masalah lain yang ditemui dalam pelaksanaan audit, beserta saran-saran perbaikannya. Pasal 2 Dalam rangka transparansi kondisi keuangan, BPR wajib membuat dan menyajikan laporan keuangan dengan bentuk dan cakupan sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Bank Indonesia ini, yang terdiri dari: a. Laporan Tahunan; dan b. Laporan Keuangan Publikasi. BAB II LAPORAN TAHUNAN DAN LAPORAN KEUANGAN TAHUNAN Pasal 3 (1) BPR wajib menyampaikan kepada Bank Indonesia Laporan Tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a. (2) Laporan … -5- (2) Laporan Keuangan Tahunan yang disampaikan dalam Laporan Tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dibuat untuk 1 (satu) tahun buku dan disajikan dengan perbandingan 1 (satu) tahun buku sebelumnya. Pasal 4 (1) Bagi BPR yang mempunyai total aset Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) atau lebih, Laporan Keuangan Tahunan yang disampaikan dalam Laporan Tahunan wajib diaudit oleh Akuntan Publik. (2) Bagi BPR yang mempunyai total aset kurang dari Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah), Laporan Keuangan Tahunan yang disampaikan dalam Laporan Tahunan adalah Laporan Keuangan Tahunan yang telah dipertanggungjawabkan oleh Direksi atau Pengurus kepada Rapat Umum Pemegang Saham atau Rapat Anggota. (3) Dalam hal Laporan Keuangan Tahunan BPR sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diaudit oleh Akuntan Publik, maka Laporan Keuangan Tahunan yang disampaikan adalah Laporan Keuangan Tahunan yang diaudit. Pasal 5 (1) Laporan Tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dan ayat (3), wajib disampaikan kepada Bank Indonesia paling lambat akhir bulan April tahun berikutnya. (2) Laporan … -6- (2) Laporan Tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) wajib disampaikan kepada Bank Indonesia paling lambat akhir bulan Februari tahun berikutnya. Pasal 6 (1) BPR dinyatakan terlambat menyampaikan Laporan Tahunan, apabila menyampaikan Laporan Tahunan kepada Bank Indonesia melampaui batas akhir waktu penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 tetapi belum melampaui 1 (satu) bulan sejak batas akhir penyampaian laporan. (2) BPR dinyatakan tidak menyampaikan Laporan Tahunan, apabila belum menyampaikan Laporan Tahunan dalam kurun waktu keterlambatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) BPR yang telah menyampaikan Laporan Tahunan namun tidak sesuai dengan bentuk dan tata cara sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Bank Indonesia ini dinyatakan belum menyampaikan Laporan Tahunan. BAB III LAPORAN KEUANGAN PUBLIKASI Pasal 7 (1) BPR wajib mengumumkan Laporan Keuangan Publikasi secara triwulanan untuk posisi pelaporan akhir bulan Maret, Juni, September dan Desember sesuai dengan bentuk dan tata cara yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. (2) Laporan … -7- (2) Laporan Keuangan Publikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari laporan keuangan dan informasi lainnya. (3) Laporan Keuangan Publikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disajikan dalam bentuk perbandingan dengan laporan posisi yang sama tahun sebelumnya. Pasal 8 (1) Laporan Keuangan Publikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) diumumkan pada surat kabar lokal atau ditempelkan pada papan pengumuman di kantor BPR yang bersangkutan. (2) Pengumuman Laporan Keuangan Publikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lambat: a. 1 (satu) bulan setelah berakhirnya bulan laporan untuk laporan keuangan posisi akhir bulan Maret, Juni dan September; b. 2 (dua) bulan setelah berakhirnya bulan laporan untuk laporan keuangan posisi akhir bulan Desember yang tidak diaudit oleh Akuntan Publik; c. 4 (empat) bulan setelah berakhirnya bulan laporan untuk laporan keuangan posisi akhir bulan Desember yang diaudit oleh Akuntan Publik. Pasal 9 … -8- Pasal 9 (1) BPR dinyatakan terlambat mengumumkan Laporan Keuangan Publikasi, apabila mengumumkan Laporan Keuangan Publikasi melampaui batas akhir pengumuman laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2), tetapi tidak melampaui 1 (satu) bulan setelah batas akhir pengumuman laporan. (2) BPR dinyatakan tidak mengumumkan Laporan Keuangan Publikasi, apabila belum mengumumkan Laporan Keuangan Publikasi dalam kurun waktu keterlambatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) BPR yang telah mengumumkan Laporan Keuangan Publikasi namun tidak sesuai dengan bentuk dan tata cara sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Bank Indonesia ini dinyatakan belum mengumumkan Laporan Keuangan Publikasi. Pasal 10 (1) Laporan Keuangan Publikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 wajib ditandatangani oleh salah satu anggota Direksi BPR dengan mencantumkan nama secara jelas. (2) Dalam hal Direksi berhalangan, Laporan Keuangan Publikasi ditandatangani oleh pejabat yang diberi wewenang oleh Direksi dengan mencantumkan nama secara jelas. (3) Bagi … -9- (3) Bagi BPR yang laporan keuangannya diaudit oleh Akuntan Publik, untuk Laporan Keuangan Publikasi posisi akhir bulan Desember, selain wajib memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga wajib mencantumkan nama Akuntan Publik yang bertanggung jawab dalam audit (partner in charge) dan nama Kantor Akuntan Publik yang mengaudit Laporan Keuangan Tahunan. Pasal 11 (1) BPR wajib menyampaikan kepada Bank Indonesia: a. guntingan surat kabar yang berisi Laporan Keuangan Publikasi atau fotokopi Laporan Keuangan Publikasi yang ditempelkan pada papan pengumuman, paling lambat tanggal 14 (empat belas) setelah batas akhir pengumuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2); dan b. rekaman data Laporan Keuangan Publikasi secara on-line melalui fasilitas ekstranet Bank Indonesia atau sarana teknologi lainnya atau secara off-line dalam bentuk disket atau compact disk, paling lambat tanggal 14 (empat belas) setelah batas akhir pengumuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2). (2) Pemenuhan kewajiban penyampaian rekaman data Laporan Keuangan Publikasi BPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b tunduk kepada ketentuan Bank Indonesia yang berlaku tentang Laporan Bulanan BPR. Pasal 12 … -10- Pasal 12 (1) BPR dinyatakan terlambat menyampaikan guntingan surat kabar atau fotokopi Laporan Keuangan Publikasi dan/atau rekaman data Laporan Keuangan Publikasi kepada Bank Indonesia, apabila menyampaikan guntingan surat kabar atau fotokopi Laporan Keuangan Publikasi dan/atau rekaman data Laporan Keuangan Publikasi melampaui batas akhir penyampaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1), tetapi tidak melampaui 1 (satu) bulan sejak batas akhir penyampaian. (2) BPR dinyatakan tidak menyampaikan guntingan surat kabar atau fotokopi Laporan Keuangan Publikasi dan/atau rekaman data Laporan Keuangan Publikasi, apabila belum menyampaikan guntingan surat kabar atau fotokopi Laporan Keuangan Publikasi dan/atau rekaman data Laporan Keuangan Publikasi dalam kurun waktu keterlambatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) BPR yang telah menyampaikan guntingan surat kabar atau fotokopi Laporan Keuangan Publikasi dan/atau rekaman data Laporan Keuangan Publikasi namun tidak sesuai dengan bentuk dan tata cara sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Bank Indonesia ini dinyatakan belum menyampaikan guntingan surat kabar atau fotokopi Laporan Keuangan Publikasi dan/atau rekaman data Laporan Keuangan Publikasi. BAB IV … -11- BAB IV HUBUNGAN ANTARA BPR, AKUNTAN PUBLIK DAN BANK INDONESIA Pasal 13 (1) BPR dalam memberikan penugasan audit terhadap Laporan Keuangan Tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, BPR wajib menunjuk Akuntan Publik dan Kantor Akuntan Publik yang terdaftar di Bank Indonesia. (2) Akuntan Publik dan Kantor Akuntan Publik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diperkenankan memiliki keterkaitan dengan BPR. (3) Penugasan atau Penunjukan Akuntan Publik dan Kantor Akuntan Publik yang sama oleh BPR paling lama dilakukan untuk periode audit 3 (tiga) tahun buku berturut-turut. (4) Perhitungan jangka waktu 3 (tiga) tahun buku berturut-turut sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dimulai sejak berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini. Pasal 14 (1) Penunjukan Akuntan Publik dan Kantor Akuntan Publik dalam rangka audit Laporan Keuangan Tahunan BPR wajib didasarkan pada perjanjian kerja. (2) Perjanjian kerja antara BPR dan Kantor Akuntan Publik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit mencakup: a. nama … -12- a. nama Kantor Akuntan Publik; b. Akuntan Publik yang bertanggung jawab terhadap audit (partner in charge); c. kewajiban Akuntan Publik untuk melaksanakan audit sesuai Standar Profesional Akuntan Publik; d. ruang lingkup audit; e. jangka waktu penyelesaian audit; f. pernyataan dari BPR mengenai izin kepada Kantor Akuntan Publik dan kewajiban Kantor Akuntan Publik untuk menyampaikan secara langsung kepada Bank Indonesia: 1) laporan hasil audit; 2) Surat Komentar (Management Letter); 3) informasi yang dibutuhkan oleh Bank Indonesia dari Akuntan Publik yang dilakukan setiap saat apabila diperlukan; dan 4) informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 huruf b. g. kewajiban Akuntan Publik untuk memberitahukan Indonesia sebelum pelaksanaan audit. (3) Laporan hasil audit dan Surat Komentar (Management Letter) sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf f angka 1 dan angka 2 wajib disampaikan kepada Bank Indonesia paling lambat 4 (empat) bulan setelah tahun buku yang bersangkutan. (4) Ruang … kepada Bank -13- (4) Ruang lingkup audit sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d paling sedikit mencakup: a. penggolongan kualitas aktiva produktif dan kecukupan penyisihan penghapusan aktiva produktif yang dibentuk BPR; b. penilaian terhadap rupa-rupa aktiva termasuk, namun tidak terbatas pada, agunan yang diambil alih BPR; c. pendapat terhadap kewajaran atas transaksi dengan pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa maupun transaksi yang dilakukan dengan perlakuan khusus; d. jumlah dan kualitas penyediaan dana kepada pihak terkait; e. rincian pelanggaran batas maksimum pemberian kredit yang meliputi nama nasabah, kualitas penyediaan dana, persentase dan jumlah pelanggaran batas maksimum pemberian kredit; f. perhitungan kewajiban penyediaan modal minimum; g. keandalan sistem pelaporan BPR kepada Bank Indonesia dan pengujian terhadap keandalan laporan-laporan yang disampaikan oleh BPR kepada Bank Indonesia; dan h. hal-hal lain yang diatur dalam standar akuntansi keuangan yang berlaku dan Pedoman Akuntansi Perbankan Indonesia, termasuk catatan atas Laporan Keuangan. Pasal 15 … -14- Pasal 15 (1) Bank Indonesia dapat menyatakan keberatan atas penunjukan Akuntan Publik dan/atau Kantor Akuntan Publik tertentu oleh BPR. (2) Bank Indonesia memiliki akses informasi kepada Akuntan Publik dan/atau Kantor Akuntan Publik meskipun perjanjian kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) telah berakhir. Pasal 16 Akuntan Publik yang melakukan audit terhadap Laporan Keuangan Tahunan BPR wajib: a. melakukan audit sesuai dengan standar profesional Akuntan Publik, serta perjanjian kerja dan ruang lingkup audit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14; b. memberitahukan ke Bank Indonesia paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak ditemukannya: 1) pelanggaran peraturan perundang-undangan yang berlaku di bidang keuangan dan perbankan; dan 2) keadaan dan perkiraan keadaan yang dapat membahayakan kelangsungan usaha BPR. c. menyampaikan laporan hasil audit dan Surat Komentar (Management Letter) kepada Bank Indonesia; dan d. memenuhi … -15- d. memenuhi ketentuan rahasia Bank sebagaimana diatur dalam Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998. BAB V TANGGUNG JAWAB LAPORAN KEUANGAN Pasal 17 Laporan Keuangan Tahunan dan Laporan Keuangan Publikasi sepenuhnya menjadi tanggung jawab Direksi BPR. BAB VI SANKSI Pasal 18 Laporan Tahunan 1) BPR yang terlambat menyampaikan Laporan Tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1), dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp50.000,00 (lima puluh ribu rupiah) per hari kerja keterlambatan. 2) BPR yang tidak menyampaikan Laporan Tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2), dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah). Pasal 19 … -16- Pasal 19 (1) Apabila isi Laporan Tahunan secara material tidak sesuai dengan keadaan sebenarnya dan/atau tidak disajikan sesuai ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia ini dan/atau Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku maka: a. setelah diberi peringatan 2 (dua) kali surat teguran oleh Bank Indonesia dengan tenggang waktu 2 (dua) minggu untuk setiap teguran, BPR tidak memperbaiki laporan dimaksud, dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah); dan b. dikenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, berupa: 1) penurunan nilai kredit dalam perhitungan tingkat kesehatan; dan/atau 2) pencantuman pengurus dan/atau pemegang saham dalam daftar pihak-pihak yang memperoleh predikat tidak lulus dalam penilaian kemampuan dan kepatutan BPR sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku. (2) Apabila berdasarkan penilaian Bank Indonesia, Laporan Tahunan BPR secara material tidak sesuai dengan keadaan sebenarnya dan/atau tidak disajikan sesuai ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia ini dan/atau Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku, selain dikenai sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terhadap Dewan Komisaris, Direksi, pegawai BPR maupun pihak terafiliasi lainnya dapat dikenakan … -17- dikenakan sanksi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (1) dan Pasal 50 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998. Pasal 20 Laporan Keuangan Publikasi (1) BPR yang terlambat mengumumkan Laporan Keuangan Publikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1), dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp50.000,00 (lima puluh ribu rupiah) per hari kerja keterlambatan. (2) BPR yang tidak mengumumkan Laporan Keuangan Publikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2), dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah). Pasal 21 (1) BPR yang terlambat menyampaikan guntingan surat kabar atau fotokopi Laporan Keuangan Publikasi dan/atau rekaman data Laporan Keuangan Publikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1), dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp50.000,00 (lima puluh ribu rupiah) per hari kerja keterlambatan. (2) BPR … -18- (2) BPR yang tidak menyampaikan guntingan surat kabar atau fotokopi Laporan Keuangan Publikasi dan/atau rekaman data Laporan Keuangan Publikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2), dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah). Pasal 22 (1) Apabila berdasarkan penilaian Bank Indonesia Laporan Keuangan Publikasi secara material tidak sesuai dengan keadaan sebenarnya dan/atau Penyataan Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku, maka: a. setelah diberi peringatan 2 (dua) kali surat teguran oleh Bank Indonesia dengan tenggang waktu 2 (dua) minggu untuk setiap teguran, BPR tidak memperbaiki dan/atau mengumumkan kembali laporan dimaksud, dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah); dan b. dikenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, berupa: 1) penurunan nilai kredit dalam perhitungan tingkat kesehatan; dan atau 2) pencantuman pengurus dan/atau pemegang saham dalam daftar pihak-pihak yang memperoleh predikat tidak lulus dalam penilaian kemampuan dan kepatutan BPR sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku. (2) Apabila … -19- (2) Apabila berdasarkan penilaian Bank Indonesia, Laporan Keuangan Publikasi secara material tidak sesuai dengan keadaan sebenarnya dan/atau tidak disajikan sesuai ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia ini dan/atau Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku, selain dikenai sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terhadap Dewan Komisaris, Direksi, pegawai BPR maupun pihak terafiliasi lainnya dapat dikenakan sanksi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (1) dan Pasal 50 Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998. Pasal 23 Akuntan Publik dan Kantor Akuntan Publik (1) Akuntan Publik dan/atau Kantor Akuntan Publik yang secara material melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 dikenakan sanksi administratif sebagaimana tercantum dalam Pasal 53 Undang- Undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, berupa: a. penghapusan nama Akuntan Publik dari daftar Akuntan Publik di Bank Indonesia; b. penghapusan Kantor Akuntan Publik dari daftar Kantor Akuntan Publik di Bank Indonesia, apabila pelanggaran dilakukan oleh 2 (dua) orang Akuntan Publik yang bertanggung jawab (partner in charge) dalam audit BPR dari Kantor Akuntan Publik yang sama; dan/atau c. penyampaian … -20- c. penyampaian usulan kepada instansi yang berwenang untuk mencabut atau membatalkan izin usaha sebagai pemberi jasa bagi bank sesuai dengan ketentuan atau kode etik yang berlaku. (2) Akuntan Publik yang tidak memenuhi ketentuan rahasia bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 huruf d, selain dikenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), juga dapat dikenakan sanksi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 10 Tahun 1998. BAB VII LAIN – LAIN Pasal 24 BPR yang telah dikenakan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18, Pasal 19, Pasal 20 dan Pasal 21 tetap diwajibkan untuk menyampaikan laporan dimaksud sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia ini. Pasal 25 Pembebanan sanksi kewajiban membayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18, Pasal 19 ayat (1) huruf a, Pasal 20, Pasal 21 dan Pasal 22 ayat (1) huruf a, dilakukan dengan cara transfer atau tunai kepada Bank Indonesia. BAB VIII … -21- BAB VIII KEADAAN MEMAKSA (FORCE MAJEURE) Pasal 26 (1) BPR yang mengalami keadaan memaksa (force majeure) selama lebih dari satu bulan dalam periode di bulan yang terakhir seharusnya mengumumkan dan/atau menyampaikan laporan, dikecualikan dari kewajiban mengumumkan dan/atau menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 7 ayat (1) dan Pasal 11 ayat (1). (2) Untuk memperoleh pengecualian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), BPR harus menyampaikan permohonan secara tertulis kepada Bank Indonesia disertai penjelasan mengenai keadaan memaksa yang dialami. (3) BPR yang memperoleh pengecualian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib mengumumkan dan/atau menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 7 ayat (1) dan Pasal 11 ayat (1), setelah BPR kembali melakukan kegiatan operasional secara normal. BAB IX … -22- BAB IX KETENTUAN PENUTUP Pasal 27 Ketentuan lebih lanjut mengenai Transparansi Kondisi Keuangan BPR akan diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 28 Dengan diberlakukannya Peraturan Bank Indonesia ini maka: a. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 27/119/KEP/DIR tanggal 25 Januari 1995 tentang Laporan Keuangan Tahunan dan Laporan Keuangan Publikasi; dan b. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 27/5/UPPB tanggal 25 Januari 1995 tentang Laporan Keuangan Tahunan dan Laporan Keuangan Publikasi, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku bagi BPR. Pasal 29 Peraturan Bank Indonesia ini tidak diberlakukan bagi Bank Perkreditan Rakyat eks Badan Kredit Desa (BKD) yang didirikan berdasarkan Staatsblad Tahun 1929 Nomor 357 dan Rijksblad Tahun 1937 Nomor 9. Pasal 30 … -23- Pasal 30 Peraturan Bank Indonesia ini berlaku sejak Laporan Keuangan Publikasi bulan Desember 2006 dan Laporan Tahunan tahun 2006. Ditetapkan di: Jakarta Pada tanggal : 5 Oktober 2006 GUBERNUR BANK INDONESIA, BURHANUDDIN ABDULLAH LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2006 NOMOR 77 DPBPR PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 8/20/PBI/2006 TENTANG TRANSPARANSI KONDISI KEUANGAN BANK PERKREDITAN RAKYAT UMUM Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, Bank Perkreditan Rakyat wajib mengumumkan laporan keuangan dalam bentuk neraca, perhitungan laba rugi dan bentuk lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Dalam rangka melindungi kepentingan masyarakat melalui penerapan good corporate governance, yang mana salah satu aspek pentingnya adalah transparansi kondisi keuangan kepada publik, maka laporan keuangan yang diumumkan tersebut diharapkan dapat melindungi kepentingan masyarakat penyimpan dana, investor dan/atau pengguna lainnya sehingga akhirnya dapat meningkatkan kepercayaan publik terhadap perbankan nasional. Agar … -2- Agar informasi yang disampaikan dapat memberikan informasi yang akurat dan benar maka diperlukan suatu standar akuntansi dan pedoman dalam pencatatan dan pelaporan serta diperlukan audit terhadap laporan keuangan yang memenuhi kriteria untuk diaudit oleh akuntan publik. Dalam kaitan dengan kewajiban untuk diaudit oleh akuntan publik, perlu diatur antara lain mengenai persyaratan akuntan publik yang dapat mengaudit, ruang lingkup audit dan komunikasi dengan Bank Indonesia. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Cukup jelas. Pasal 3 Cukup jelas. Pasal 4 Cukup jelas. Pasal 5 Cukup jelas. Pasal 6 … -3- Pasal 6 Ayat (1) Contoh: Laporan Tahunan 2006 yang wajib diaudit dinyatakan terlambat disampaikan apabila disampaikan dalam kurun waktu 1 Mei sampai dengan 31 Mei 2007. Ayat (2) Contoh: Laporan Tahunan 2006 yang wajib diaudit dinyatakan tidak disampaikan apabila disampaikan setelah tanggal 31 Mei 2007. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 7 Cukup jelas. Pasal 8 Ayat (1) Yang dimaksud dengan surat kabar lokal adalah surat kabar yang mempunyai peredaran di wilayah kedudukan BPR. Papan pengumuman diletakkan pada tempat yang mudah dilihat dan dibaca. Dalam … -4- Dalam hal pengumuman dilakukan dengan cara menempelkan pada papan pengumuman, pengumuman dimaksud tetap dilakukan sampai dengan berikutnya. pengumuman Laporan Keuangan Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 9 Ayat (1) Contoh: Untuk Laporan Keuangan Publikasi bulan Maret 2007, BPR dinyatakan terlambat mengumumkan Laporan Keuangan Publikasi jika diumumkan setelah tanggal 30 April sampai dengan 31 Mei 2007. Ayat (2) Contoh: Untuk Laporan Keuangan Publikasi bulan Maret 2007, BPR dinyatakan tidak mengumumkan Laporan Keuangan Publikasi jika diumumkan setelah tanggal 31 Mei 2007. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 10 … Publikasi -5- Pasal 10 Cukup jelas. Pasal 11 Ayat (1) Contoh: Laporan Keuangan Publikasi bulan Maret 2007 wajib diumumkan paling lambat tanggal 30 April 2007. Selanjutnya, BPR wajib menyampaikan guntingan surat kabar atau fotokopi Laporan Keuangan Publikasi dan rekaman data Laporan Publikasi paling lambat tanggal 14 Mei 2007. Ayat (2) Termasuk dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku tentang Laporan Bulanan BPR adalah kewajiban BPR untuk menyampaikan Laporan Bulanan secara on-line kecuali bagi BPR yang memenuhi kriteria tertentu untuk dikecualikan menyampaikan Laporan Bulanan secara on-line Pasal 12 Ayat (1) Contoh: Untuk Laporan Keuangan Publikasi bulan Maret 2007, BPR dinyatakan terlambat menyampaikan guntingan surat kabar atau fotokopi … -6- fotokopi Laporan Keuangan Publikasi dan/atau rekaman data Laporan Keuangan Publikasi, jika disampaikan setelah tanggal 14 Mei sampai dengan tanggal 14 Juni 2007. Ayat (2) Contoh: Untuk Laporan Keuangan Publikasi bulan Maret 2007, BPR dinyatakan tidak menyampaikan guntingan surat kabar atau fotokopi Laporan Keuangan Publikasi dan/atau rekaman data Laporan Keuangan Publikasi, jika disampaikan setelah tanggal 14 Juni 2007. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 13 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan keterkaitan adalah keterkaitan kepemilikan, kepengurusan dan/atau keuangan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia tentang Batas Maksimum Pemberian Kredit BPR. Ayat (3) … -7- Ayat (3) Pengaturan ini dimaksudkan agar terdapat penilaian dari pihak yang berbeda dalam rangka meningkatkan independensi profesi Akuntan Publik. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 14 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c … -8- Huruf c Pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa adalah pihak-pihak sebagaimana dimaksud dalam Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Pengujian terhadap keandalan laporan termasuk penilaian Akuntan Publik mengenai laporan yang disampaikan ke Bank Indonesia telah disusun dan sesuai dengan data yang ada di BPR. Laporan sebagaimana dimaksud dalam huruf ini termasuk, laporan bulanan BPR dan laporan batas maksimum pemberian kredit. Huruf h Cukup jelas. Pasal 15 … -9- Pasal 15 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “keberatan” pada ayat ini, apabila selama penugasan audit Bank Indonesia memiliki informasi tentang Akuntan Publik yang bersangkutan yang mempengaruhi kelancaran pelaksanaan tugasnya, seperti track record yang tidak baik dan/atau memiliki keterkaitan dengan BPR. Ayat (2) Pengaturan ini dimaksudkan untuk melindungi integritas keuangan BPR dalam rangka pengawasan oleh Bank Indonesia. Pasal 16 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan keadaan dan/atau perkiraan yang dapat membahayakan kelangsungan usaha BPR, antara lain: a. kekurangan kewajiban penyediaan modal minimum; b. kekurangan pembentukan penyisihan penghapusan aktiva produktif yang material; c. pelanggaran batas maksimum pemberian kredit; d. kecurangan (fraud) yang bernilai material. Huruf c … -10- Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Pasal 17 Cukup jelas. Pasal 18 Cukup jelas. Pasal 19 Ayat (1) Dalam hal materi kesalahan yang sama telah dikenakan sanksi dalam Laporan Keuangan Publikasi maka BPR tidak dikenakan sanksi dalam ayat ini. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 20 Cukup jelas. Pasal 21 Cukup jelas. Pasal 22 … -11- Pasal 22 Cukup jelas. Pasal 23 Cukup jelas. Pasal 24 Cukup jelas. Pasal 25 Cukup jelas. Pasal 26 Ayat (1) Yang dimaksud dengan keadaan memaksa (force majeure) adalah keadaan yang secara nyata-nyata menyebabkan BPR tidak dapat mengumumkan dan/atau menyampaikan laporan, antara lain kebakaran, kerusuhan massa, perang, sabotase, serta bencana alam seperti gempa bumi dan banjir, yang dibenarkan oleh penguasa atau pejabat dari instansi terkait di daerah setempat. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 27 … -12- Pasal 27 Cukup jelas. Pasal 28 Cukup jelas. Pasal 29 Cukup jelas. Pasal 30 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4646
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 8/20/PBI/2006 </reg_id> <reg_title> TRANSPARANSI KONDISI KEUANGAN BANK PERKREDITAN RAKYAT </reg_title> <set_date> 5 Oktober 2006 </set_date> <effective_date> sejak Laporan Keuangan Publikasi bulan Desember 2006 dan Laporan Tahunan tahun 2006. </effective_date> <replaced_reg> '27/119/KEP/DIR|SKDIR-BI/1995', '27/5/UPPB|SE-BI/1995' </replaced_reg> <related_reg> '23/UU/1999', '3/UU/2004', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg> <penalty_list> 'BAB VI' </penalty_list>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 15/17/ PBI/ 2013 TENTANG TRANSAKSI SWAP LINDUNG NILAI KEPADA BANK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa tujuan Bank Indonesia adalah mencapai dan memelihara kestabilan nilai Rupiah; b. bahwa kestabilan nilai Rupiah yang salah satunya dipengaruhi oleh kestabilan nilai tukar Rupiah memerlukan dukungan pasar keuangan yang dalam dan sehat dengan tersedianya likuiditas di pasar keuangan domestik antara lain melalui aktivitas lindung nilai dalam upaya untuk memitigasi risiko pergerakan nilai tukar Rupiah; c. bahwa dalam rangka mendorong pendalaman pasar keuangan, Bank Indonesia mengembangkan aktivitas lindung nilai yang terkait dengan kegiatan ekonomi; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu mengatur kembali Peraturan Bank Indonesia tentang Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang … - 2 - tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962); 2. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa Dan Sistem Nilai Tukar (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3844); M E M U T U S K A N: Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG TRANSAKSI SWAP LINDUNG NILAI KEPADA BANK INDONESIA. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan: 1. Bank adalah bank umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 termasuk kantor cabang bank asing di Indonesia, namun tidak termasuk kantor bank berbadan hukum Indonesia yang beroperasi di luar negeri. 2. Transaksi Swap adalah transaksi pertukaran dua valuta melalui pembelian atau penjualan tunai (spot) dengan penjualan atau pembelian kembali secara berjangka yang dilakukan secara simultan dengan Bank yang sama dan pada tingkat premi atau diskon dan kurs yang dibuat dan disepakati pada tanggal transaksi dilakukan. 3. Transaksi Swap Beli Bank kepada Bank Indonesia adalah transaksi pertukaran dua valuta melalui penjualan tunai (spot) dengan pembelian kembali … - 3 - kembali secara berjangka yang dilakukan secara simultan dengan Bank Indonesia dan pada tingkat premi atau diskon dan kurs yang dibuat dan disepakati pada tanggal transaksi dilakukan. 4. Lindung Nilai adalah cara atau teknik untuk mengurangi risiko yang timbul maupun yang diperkirakan akan timbul akibat adanya fluktuasi harga di pasar keuangan. 5. Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia adalah Transaksi Swap Beli Bank dalam valuta asing terhadap Rupiah, dalam rangka Lindung Nilai yang dilakukan antara Bank dengan Bank Indonesia. 6. Underlying Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia yang selanjutnya disebut Underlying Transaksi adalah kegiatan yang mendasari Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia. 7. Pinjaman Luar Negeri adalah kewajiban Penduduk kepada bukan Penduduk dalam valuta asing. 8. Penduduk adalah orang, badan hukum, atau badan lainnya yang berdomisili atau berencana berdomisili di Indonesia sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun, termasuk perwakilan dan staf diplomatik Republik Indonesia di luar negeri. 9. Investasi Langsung di Indonesia yang selanjutnya disebut Investasi Langsung adalah investasi jangka panjang secara langsung, yang tidak melalui pasar modal, dilakukan oleh investor asing untuk melakukan kegiatan usaha di wilayah Republik Indonesia. 10. Kontrak Lindung Nilai adalah informasi dari Bank yang disampaikan kepada Bank Indonesia berisi rencana jangka waktu dan jumlah Underlying Transaksi yang digunakan sebagai dasar Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia, melalui media komunikasi yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. BAB II TRANSAKSI SWAP LINDUNG NILAI KEPADA BANK INDONESIA Pasal 2 (1) Bank dapat melakukan Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia. (2) Transaksi … - 4 - (2) Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. dilakukan berdasarkan Underlying Transaksi yang dimiliki oleh Bank atau nasabah; b. jangka waktu Underlying Transaksi sama dengan atau lebih panjang dari jangka waktu Kontrak Lindung Nilai Bank kepada Bank Indonesia; dan c. nilai nominal Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia paling banyak sebesar nilai nominal Underlying Transaksi. (3) Dalam hal Underlying Transaksi dimiliki oleh Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ruang lingkup Underlying Transaksi meliputi Pinjaman Luar Negeri Bank dalam bentuk perjanjian kredit dan/atau penerbitan surat utang. (4) Dalam hal Underlying Transaksi dimiliki oleh nasabah sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ruang lingkup Underlying Transaksi meliputi transaksi swap jual antara Bank dengan nasabah yang terkait dengan lindung nilai atas: a. Pinjaman Luar Negeri dalam bentuk perjanjian kredit dan/atau penerbitan surat utang; b. Investasi Langsung; c. Devisa Hasil Ekspor; d. investasi pada infrastruktur pembangunan sarana umum dan produksi; e. investasi pada surat berharga yang diterbitkan oleh Pemerintah Republik Indonesia; dan/atau f. investasi pada kegiatan ekonomi lainnya. Pasal 3 Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) harus termasuk dalam klasifikasi Bank yang melakukan kegiatan dalam valuta asing dengan Peringkat Komposit paling rendah 3 (tiga). Pasal … - 5 - Pasal 4 (1) Bank dapat menyampaikan Kontrak Lindung Nilai dengan jangka waktu paling lama 3 (tiga) tahun. (2) Pelaksanaan Kontrak Lindung Nilai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia dengan jangka waktu 3 (tiga) bulan, 6 (enam) bulan, atau 12 (dua belas) bulan. (3) Penyampaian Kontrak Lindung Nilai kepada Bank Indonesia dilakukan bersamaan dengan Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia. Pasal 5 Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia ditetapkan paling sedikit sebesar USD10,000,000.00 (sepuluh juta dolar Amerika Serikat) dan paling banyak sebesar nilai Underlying Transaksi, dengan kelipatan USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika Serikat). Pasal 6 (1) Bank dapat mengajukan perpanjangan Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia. (2) Bank Indonesia menerima perpanjangan Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia yang diajukan oleh Bank. (3) Jangka waktu perpanjangan Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah 3 (tiga) bulan, 6 (enam) bulan, atau 12 (dua belas) bulan. (4) Bank wajib memenuhi persyaratan perpanjangan Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang diatur sebagai berikut: a. menggunakan Kontrak Lindung Nilai yang masih berlaku; b. menggunakan jenis Underlying Transaksi yang sama sesuai dengan nomor referensi yang tercantum dalam Kontrak Lindung Nilai; c. dalam hal jenis Underlying Transaksi sebagaimana dimaksud pada huruf b dimiliki oleh Bank maka nilai nominal perpanjangan Transaksi Swap … - 6 - Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia paling banyak sebesar nilai outstanding Pinjaman Luar Negeri Bank; dan d. jangka waktu perpanjangan Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia paling lama sebesar sisa jangka waktu Kontrak Lindung Nilai. (5) Setelmen perpanjangan Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia dapat dilakukan secara netting. Pasal 7 Bank dilarang menggunakan Underlying Transaksi yang sama untuk lebih dari satu Kontrak Lindung Nilai dan satu Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia. Pasal 8 Bank Indonesia menetapkan dan mengumumkan tingkat premi atau diskon dari Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia. Pasal 9 (1) Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia dilakukan dalam valuta Dolar Amerika Serikat terhadap Rupiah. (2) Kurs spot Dolar Amerika Serikat terhadap Rupiah yang digunakan dalam Transaksi Swap Lindung Nilai Kepada Bank Indonesia adalah kurs Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR). BAB III PELAKSANAAN TRANSAKSI Pasal 10 (1) Bank Indonesia mengumumkan Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia pada setiap hari kerja melalui sarana informasi yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. (2) Bank Indonesia dapat meniadakan Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia, kecuali dalam rangka perpanjangan Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia. Pasal … - 7 - Pasal 11 Pelaksanaan Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia diatur sebagai berikut: a. Bank Indonesia mengumumkan tingkat premi atau diskon Transaksi Swap Lindung Nilai pada hari pelaksanaan Transaksi Swap Lindung Nilai, melalui sarana informasi yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. b. Bank dapat melakukan Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia melalui media komunikasi yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. c. Pada setiap perpanjangan Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia, Bank wajib mencantumkan pada deal conversation nomor referensi Kontrak Lindung Nilai yang sesuai. BAB IV DOKUMEN TRANSAKSI Pasal 12 (1) Bank wajib bertanggung jawab atas kelengkapan dokumen asli Underlying Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia dan dokumen fotokopi Underlying Transaksi swap jual antara Bank dengan nasabah. (2) Dalam hal Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia didasarkan atas Underlying Transaksi yang dimiliki oleh nasabah maka dokumen Underlying Transaksi berupa kontrak swap jual antara Bank dengan nasabah. (3) Dalam hal Transaksi Swap Lindung Nilai Kepada Bank Indonesia didasarkan atas Underlying Transaksi yang dimiliki oleh Bank maka dokumen Underlying Transaksi berupa dokumen Pinjaman Luar Negeri. BAB … - 8 - BAB V SETELMEN TRANSAKSI Pasal 13 (1) Bank bertanggung jawab atas setelmen Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia. (2) Bank wajib menyerahkan dana Dolar Amerika Serikat pada first leg dari Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia pada tanggal valuta. (3) Bank wajib menyediakan dana Rupiah pada tanggal valuta di rekening giro Bank pada Bank Indonesia pada second leg dari Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia. Pasal 14 Setelmen secara netting sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (5) untuk perpanjangan Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia, meliputi: a. netting untuk nilai nominal yang sama pada setiap perpanjangan; b. netting untuk nilai nominal yang lebih kecil pada setiap perpanjangan; atau c. netting untuk nilai nominal yang sesuai dengan nilai outstanding Pinjaman Luar Negeri Bank pada setiap periode perpanjangan. BAB VI SANKSI Pasal 15 (1) Setiap pelanggaran Bank pada setiap Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2), Pasal 6 ayat (4), Pasal 7, Pasal 11 huruf c, Pasal 12 ayat (1), dikenakan sanksi: a. teguran tertulis; dan/atau b. kewajiban membayar sebesar 1‰ (satu perseribu) dari nilai Transaksi Swap Lindung Nilai Kepada Bank Indonesia dalam denominasi Rupiah dengan menggunakan kurs JISDOR pada tanggal transaksi dan paling banyak … - 9 - banyak sebesar Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) per Transaksi Swap Lindung Nilai Kepada Bank Indonesia. (2) Bank yang tidak memenuhi kewajiban setelmen transaksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) dan ayat (3) dikenakan sanksi: a. teguran tertulis; dan b. kewajiban membayar yang dihitung atas dasar : 1. rata-rata suku bunga Fed Fund yang berlaku selama periode keterlambatan ditambah 200 (dua ratus) basis point dikalikan nominal transaksi dikalikan hari keterlambatan dibagi dengan 360 (tiga ratus enam puluh) untuk penyelesaian kewajiban pembayaran dalam valuta Dolar Amerika Serikat; dan 2. suku bunga kebijakan Bank Indonesia (BI rate) yang berlaku ditambah 200 (dua ratus) basis point dikalikan nominal transaksi dikalikan hari keterlambatan dibagi dengan 360 (tiga ratus enam puluh) untuk penyelesaian kewajiban pembayaran dalam Rupiah. (3) Penyelesaian sanksi kewajiban membayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan melalui pendebetan rekening giro Rupiah Bank yang bersangkutan pada Bank Indonesia. (4) Penyelesaian sanksi kewajiban membayar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dilakukan melalui pendebetan rekening giro valuta asing atau Rupiah Bank yang bersangkutan pada Bank Indonesia. Pasal 16 Dalam hal ditemukan pelanggaran atas Pasal 2 ayat (2), Pasal 6 ayat (4), Pasal 7, dan Pasal 12 ayat (1) pada periode Kontrak Lindung Nilai maka Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia tidak dapat diperpanjang. BAB VII PENUTUP Pasal 17 Ketentuan pelaksanaan Peraturan Bank Indonesia ini diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal … - 10 - Pasal 18 Pada saat Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku maka Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/36/PBI/2005 tentang Transaksi Swap Lindung Nilai (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 91, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4537) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 19 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 3 Februari 2014. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 24 Desember 2013 GUBERNUR BANK INDONESIA, AGUS D. W. MARTOWARDOJO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 24 Desember 2013 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, AMIR SYAMSUDIN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2013 NOMOR 237 DPM PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 15/17/ PBI/ 2013 TENTANG TRANSAKSI SWAP LINDUNG NILAI KEPADA BANK INDONESIA I. UMUM Sistem keuangan internasional yang semakin kompetitif dan terintegrasi telah membentuk suatu perekonomian global yang memudahkan pergerakan arus modal yang berpengaruh terhadap kondisi likuiditas dan pergerakan nilai tukar Rupiah. Sebagai bagian dari pengelolaan likuiditas dan upaya untuk meminimalkan risiko nilai tukar perlu dikembangkan aktivitas Lindung Nilai antara lain melalui penggunaan instrumen swap. Dalam kondisi masih terbatasnya instrumen swap di pasar keuangan dengan jangka waktu menengah panjang, Bank Indonesia menyediakan instrumen swap Lindung Nilai bagi pelaku pasar domestik. Hal tersebut merupakan bagian dari upaya pendalaman pasar keuangan yang selanjutnya diharapkan dapat menjaga stabilitas harga dan meningkatkan kegiatan investasi ekonomi di Indonesia. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat … - 2 - Ayat (4) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Yang dimaksud dengan investasi pada kegiatan ekonomi lainnya antara lain investasi untuk modal kerja pada perusahaan di Indonesia. Pasal 3 Peringkat Komposit mengacu kepada ketentuan mengenai sistem penilaian tingkat kesehatan Bank yang berlaku. Pasal 4 Cukup jelas. Pasal 5 Cukup jelas. Pasal 6 Cukup jelas. Pasal 7 Cukup jelas. Pasal 8 Cukup jelas. Pasal … - 3 - Pasal 9 Cukup jelas. Pasal 10 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Bank Indonesia akan mengumumkan ketiadaan Transaksi Swap Lindung Nilai Kepada Bank Indonesia 3 (tiga) hari kerja sebelum pelaksanaan transaksi antara lain melalui sarana informasi yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Pasal 11 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Bank Indonesia memberikan nomor referensi Kontrak Lindung Nilai kepada Bank setelah Bank Indonesia menerima Kontrak Lindung Nilai dari Bank. Nomor referensi Kontrak Lindung Nilai digunakan untuk mengidentifikasikan Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia dan kaitannya dengan dokumen Underlying Transaksi yang ditatausahakan oleh Bank maupun sebagai dasar bagi perpanjangan Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia. Pasal 12 Cukup Jelas. Pasal … - 4 - Pasal 13 Cukup jelas. Pasal 14 Cukup jelas. Pasal 15 Cukup jelas. Pasal 16 Cukup jelas. Pasal 17 Cukup jelas. Pasal 18 Cukup jelas. Pasal 19 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5480 DPM
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 15/17/PBI/2013 </reg_id> <reg_title> TRANSAKSI SWAP LINDUNG NILAI KEPADA BANK INDONESIA </reg_title> <set_date> 24 Desember 2013 </set_date> <effective_date> 3 Februari 2014 </effective_date> <issued_date> 24 Desember 2013 </issued_date> <replaced_reg> '7/36/PBI/2005' </replaced_reg> <related_reg> '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '24/UU/1999' </related_reg> <penalty_list> 'BAB VI' </penalty_list>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 10/ 20 /PBI/2008 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 7/1/PBI/2005 TENTANG PINJAMAN LUAR NEGERI BANK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dengan memperhatikan kondisi perekonomian global yang berdampak terhadap kondisi pasar keuangan domestik; b. bahwa berbagai perkembangan di pasar keuangan domestik tersebut perlu disikapi secara tepat oleh semua pihak agar tetap memberikan suasana kondusif bagi perekenomian; c. bahwa ketentuan tentang pinjaman luar negeri perlu disesuaikan dengan perkembangan perbankan dan pasar keuangan domestik dengan tetap memperhatikan prinsip kehati-hatian; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b dan huruf c, dipandang perlu untuk melakukan perubahan atas Peraturan Bank Indonesia tentang Pinjaman Luar Negeri Bank dalam suatu Peraturan Bank Indonesia; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor… - 2 - Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); 2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357); 3. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3844); M E M U T U S K A N: Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 7/1/PBI/2005 TENTANG PINJAMAN LUAR NEGERI BANK. Pasal I Beberapa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/1/PBI/2005 tentang Pinjaman Luar Negeri Bank (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4467)… - 3 - 4467) diubah sebagai berikut : 1. Pasal 4 dihapus. 2. Pasal 5 dihapus. 3. Pasal 14 ayat (1) dihapus sehingga Pasal 14 berbunyi sebagai berikut : Pasal 14 (1) Dihapus. (2) Bank yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar 1% (satu per seratus) per tahun dari jumlah kekurangan per hari. (3) Bank yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar 2%0 per seribu) dari jumlah pinjaman yang diterima. (dua (4) Bank yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar 2%0 (dua per seribu) dari kelebihan jumlah yang telah disetujui oleh Bank Indonesia. (5) Bank yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) per hari kerja dan setinggi-tingginya Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah). (6) Apabila menurut Bank Indonesia terdapat perubahan yang mendasar berkaitan dengan terms and conditions sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2) dan Bank tidak dapat memberikan penjelasan yang memadai, maka Bank Indonesia dapat mengenakan sanksi administratif berupa : a. surat teguran; dan/atau b. larangan melakukan PLN untuk jangka waktu tertentu. Pasal II… - 4 - Pasal II Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan dan berlaku surut sejak tanggal 13 Oktober 2008. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 14 Oktober 2008 GUBERNUR BANK INDONESIA, BOEDIONO Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 14 Oktober 2008 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA ANDI MATTALATTA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2008 NOMOR 146 DPNP/DInt PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 10/ 20 /PBI/2008 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 7/1/PBI/2005 TENTANG PINJAMAN LUAR NEGERI BANK UMUM Kondisi perekonomian global belakangan ini yang berdampak terhadap kondisi pasar keuangan domestik, perlu disikapi secara tepat oleh semua pihak agar tetap memberikan suasana kondusif bagi perekonomian nasional. Oleh karena itu, ketentuan tentang pinjaman luar negeri perlu disesuaikan dengan perkembangan perbankan dan pasar keuangan domestik dengan tetap memperhatikan prinsip kehati-hatian. Untuk itu, dalam upaya menjaga stabilitas nilai tukar secara lebih efisien dan memberikan kelonggaran bagi perbankan dalam menerima PLN Jangka Pendeknya untuk kepentingan likuiditas, maka ketentuan batasan saldo harian PLN Jangka Pendek perlu disesuaikan. PASAL DEMI PASAL Pasal I Angka 1 Pasal 4 Dihapus Angka 2 Pasal 5 … - 2 - Pasal 5 Dihapus Angka 3 Pasal 14 Cukup jelas Pasal II Cukup jelas TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4905
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 10/20/PBI/2008 </reg_id> <reg_title> PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 7/1/PBI/2005 TENTANG PINJAMAN LUAR NEGERI BANK </reg_title> <set_date> 14 Oktober 2008 </set_date> <effective_date> 13 Oktober 2008 </effective_date> <issued_date> 14 Oktober 2008 </issued_date> <changed_reg> '7/1/PBI/2005' </changed_reg> <related_reg> '23/UU/1999', '3/UU/2004', '24/UU/1999', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg> <penalty_list> 'Pasal I Angka 3 Pasal 14 Ayat 2', 'Pasal I Angka 3 Pasal 14 Ayat 3', 'Pasal I Angka 3 Pasal 14 Ayat 4', 'Pasal I Angka 3 Pasal 14 Ayat 5', 'Pasal I Angka 3 Pasal 14 Ayat 6' </penalty_list>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 8/6/PBI/2006 TENTANG PENERAPAN MANAJEMEN RISIKO SECARA KONSOLIDASI BAGI BANK YANG MELAKUKAN PENGENDALIAN TERHADAP PERUSAHAAN ANAK GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kelangsungan usaha bank dipengaruhi oleh eksposur risiko yang timbul baik secara langsung dari kegiatan usahanya maupun secara tidak langsung dari kegiatan usaha perusahaan anak; b. bahwa untuk mengelola eksposur risiko tersebut bank wajib menerapkan manajemen risiko secara konsolidasi; dalam menerapkan manajemen risiko c. bahwa secara konsolidasi, bank harus dapat mengidentifikasi, mengukur, memantau, dan mengendalikan risiko yang timbul dari kegiatan usaha bank dan perusahaan anak; d. bahwa dalam menerapkan manajemen risiko secara konsolidasi bank harus pula memastikan prinsip kehati- hatian yang diterapkan pada kegiatan usaha bank diterapkan pula pada perusahaan anak; e. bahwa penerapan manajemen risiko secara konsolidasi bagi bank yang melakukan pengendalian terhadap perusahaan anak … - 2 - anak merupakan salah satu prinsip dari standar internasional; f. bahwa sehubungan dengan hal-hal sebagaimana dimaksud pada huruf a sampai dengan huruf e, maka dipandang perlu untuk mengatur penerapan manajemen risiko secara konsolidasi bagi bank yang melakukan pengendalian terhadap perusahaan anak dalam suatu Peraturan Bank Indonesia; Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); 2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357); MEMUTUSKAN … - 3 - M E M U T U S K A N: Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PENERAPAN MANAJEMEN RISIKO SECARA KONSOLIDASI BAGI BANK YANG MELAKUKAN PENGENDALIAN TERHADAP PERUSAHAAN ANAK. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan: 1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, termasuk kantor cabang bank asing. 2. Perusahaan Anak adalah badan hukum atau perusahaan yang dimiliki dan atau dikendalikan oleh Bank secara langsung maupun tidak langsung, baik di dalam maupun di luar negeri, yang memenuhi kriteria sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini. 3. Pengendalian adalah Pengendalian sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku tentang Transparansi Kondisi Keuangan Bank. 4. Kewajiban Penyediaan Modal Minimum yang untuk selanjutnya disebut KPMM adalah KPMM sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank … - 4 - Bank Umum dan Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah. 5. Batas Maksimum Pemberian Kredit yang untuk selanjutnya disebut BMPK adalah BMPK sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku tentang Batas Maksimum Pemberian Kredit Bank Umum. Pasal 2 (1) Bank yang memiliki dan atau melakukan Pengendalian terhadap Perusahaan Anak wajib melakukan penerapan manajemen risiko secara konsolidasi. (2) Penerapan manajemen risiko secara konsolidasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi Perusahaan Anak yang dimiliki dan atau dikendalikan oleh Bank karena adanya penyertaan modal sementara dalam rangka restrukturisasi kredit. Pasal 3 Perusahaan Anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) adalah perusahaan yang melakukan kegiatan usaha di bidang keuangan, yang terdiri dari: a. b. Perusahaan Subsidiari (subsidiary company) yaitu Perusahaan Anak dengan kepemilikan Bank lebih dari 50% (lima puluh perseratus); Perusahaan Partisipasi dengan kepemilikan Bank 50% (lima puluh perseratus) atau kurang, namun Bank memiliki Pengendalian terhadap perusahaan; (participation company) adalah Perusahaan Anak c. Perusahaan … - 5 - c. Perusahaan dengan kepemilikan Bank lebih dari 20% (dua puluh perseratus) sampai dengan 50% (lima puluh perseratus) yang memenuhi persyaratan yaitu: i. kepemilikan Bank dan para pihak lainnya pada Perusahaan Anak adalah masing-masing sama besar; dan ii. masing-masing pemilik melakukan Pengendalian terhadap Perusahaan Anak; d. secara bersama Entitas lain yang berdasarkan Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku wajib dikonsolidasikan. Pasal 4 Dalam hal Bank memiliki dan atau mengendalikan Perusahaan Anak yang melakukan kegiatan usaha asuransi, maka: a. penerapan manajemen risiko secara konsolidasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dilakukan melalui penilaian dan penyampaian laporan penerapan manajemen risiko pada perusahaan asuransi secara tersendiri; b. ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 12, Pasal 13, Pasal 16 dan Pasal 18 tidak diterapkan. BAB II SISTEM INFORMASI DAN PELAPORAN Pasal 5 (1) Bank wajib memiliki sistem yang dapat mengidentifikasi, mengukur, memantau dan mengendalikan risiko usaha dari Bank dan Perusahaan Anak agar dapat menerapkan manajemen risiko secara konsolidasi dengan efektif. (2) Sistem … - 6 - (2) Sistem yang wajib dimiliki Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1), paling kurang mencakup: a. Sistem informasi akuntansi; dan b. Sistem informasi manajemen risiko. BAB III PERHITUNGAN KPMM Pasal 6 Bank wajib memenuhi ketentuan KPMM baik untuk Bank secara individual maupun untuk Bank dan Perusahaan Anak secara konsolidasi. Pasal 7 Bank wajib melakukan perhitungan aktiva tertimbang menurut risiko untuk eksposur risiko Perusahaan Anak sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia yang berlaku. BAB IV PENILAIAN KUALITAS AKTIVA Pasal 8 Untuk kepentingan penyusunan laporan keuangan konsolidasi dan perhitungan KPMM, Bank wajib melakukan penilaian kualitas aktiva dan membentuk penyisihan penghapusan aktiva untuk seluruh aktiva Perusahaan Anak paling kurang sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia yang berlaku. BAB V … - 7 - BAB V PERHITUNGAN BMPK Pasal 9 (1) Bank wajib memenuhi ketentuan BMPK baik untuk penyediaan dana Bank secara individual maupun untuk penyediaan dana Bank dan Perusahaan Anak secara konsolidasi. (2) Dalam perhitungan BMPK untuk penyediaan dana Bank dan Perusahaan Anak secara konsolidasi, maka: a. penyediaan dana dari Perusahaan Anak kepada debitur Bank wajib diperhitungkan sebagai satu kesatuan dengan penyediaan dana Bank; b. komponen modal menggunakan modal secara konsolidasi. Pasal 10 Penyertaan Bank pada Perusahaan Anak dimana Bank melakukan penerapan manajemen risiko secara konsolidasi, tidak diperhitungkan sebagai penyediaan dana dalam perhitungan BMPK. BAB VI PENGELOLAAN PERUSAHAAN ANAK Pasal 11 (1) Bank wajib memastikan pengurus yang mengelola Perusahaan Anak memiliki integritas yang baik. (2) Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk pengurus yang mengelola Perusahaan Anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf c. (3) Dalam … - 8 - (3) Dalam rangka memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank wajib menyampaikan daftar calon pengurus yang mengelola Perusahaan Anak yang diusulkan dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) kepada Bank Indonesia. (4) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib disampaikan paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja sebelum pelaksanaan RUPS. (5) Selain memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Bank wajib menyampaikan daftar nama yang menjabat sebagai pengurus yang mengelola Perusahaan Anak pada akhir bulan Desember 2006. BAB VII PENILAIAN TINGKAT KESEHATAN DAN PROFIL RISIKO BANK Pasal 12 (1) Bank wajib melakukan penilaian tingkat kesehatan baik secara individual maupun secara konsolidasi. (2) Dalam hal terdapat perbedaan karakteristik usaha Perusahaan Anak dengan Bank, maka komponen-komponen tertentu dalam penilaian tingkat kesehatan Bank dapat disesuaikan untuk penilaian tingkat kesehatan secara konsolidasi. Pasal 13 (1) Bank wajib menyusun dan menyampaikan laporan profil risiko baik secara individual maupun secara konsolidasi. (2) Dalam hal terdapat perbedaan karakteristik usaha Perusahaan Anak dengan Bank maka parameter-parameter pengukuran risiko tertentu dalam penyusunan profil risiko Bank dapat disesuaikan untuk penyusunan profil risiko secara konsolidasi. BAB VIII … - 9 - BAB VIII TINDAK LANJUT PENGAWASAN DAN PENETAPAN STATUS BANK Pasal 14 Ketentuan Bank Indonesia yang berlaku tentang Tindak Lanjut Pengawasan dan Penetapan Status Bank yang diterapkan bagi Bank secara individual diterapkan juga bagi Bank secara konsolidasi. Pasal 15 Dalam penerapan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14, bagi Bank yang secara konsolidasi telah memenuhi kriteria untuk dapat dicabut izin usahanya maka dalam pelaksanaannya Bank Indonesia akan berkoordinasi dengan otoritas pengawas terkait. BAB IX PELAPORAN Pasal 16 (1) Bank wajib menyampaikan laporan keuangan Perusahaan Anak secara online sesuai format dan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. (2) Pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang berlaku tentang Laporan Bulanan Bank Umum atau Laporan Berkala Bank Umum. (3) Selama belum dimungkinkan pelaporan secara online sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) maka Bank wajib menyampaikan laporan secara offline setiap triwulan untuk periode bulan Maret, Juni, September dan Desember yang mencakup: a. Laporan … - 10 - a. Laporan keuangan setiap Perusahaan Anak. b. Laporan keuangan konsolidasi c. Laporan perhitungan KPMM dan rincian aktiva tertimbang menurut risiko secara konsolidasi. d. Laporan perhitungan BMPK secara konsolidasi. (4) Pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan paling lambat pada tanggal 15 (lima belas) bulan kedua setelah berakhirnya bulan laporan yang bersangkutan. (5) Dalam hal tanggal 15 (lima belas) jatuh pada hari Sabtu/Minggu/Libur, maka laporan disampaikan pada hari kerja sebelumnya. (6) Laporan profil risiko secara konsolidasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan laporan penilaian terhadap penerapan manajemen risiko pada perusahaan asuransi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 wajib disampaikan secara triwulanan untuk posisi bulan Maret, Juni, September dan Desember. (7) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) wajib disampaikan paling lambat 30 (tiga puluh) hari setelah akhir bulan laporan. (8) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (6) wajib disampaikan oleh Bank kepada Bank Indonesia dengan alamat: a. Direktorat Pengawasan Bank terkait, Jl. M.H. Thamrin No.2 Jakarta 10110, bagi Bank yang berkantor pusat di wilayah kerja kantor pusat Bank Indonesia; atau b. Kantor Bank Indonesia, bagi Bank yang berkantor pusat di luar wilayah kerja kantor pusat Bank Indonesia. BAB X … - 11 - BAB X SANKSI Pasal 17 (1) Bank yang tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 11, Pasal 12, dan Pasal 13 dikenakan sanksi sesuai ketentuan terkait yang berlaku dan dapat dikenakan sanksi administratif, antara lain berupa: a. teguran tertulis; b. pembekuan kegiatan usaha tertentu; c. pencantuman pengurus dan atau pemegang saham Bank dalam daftar orang yang terlarang menjadi pemegang saham dan pengurus Bank, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998. (2) Bank yang menyampaikan laporan setelah batas akhir waktu penyampaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (4) dan ayat (7) sampai dengan 14 (empat belas) hari kerja setelah batas akhir waktu tersebut, dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) per hari kerja keterlambatan. (3) Bank yang belum menyampaikan atau menyampaikan laporan setelah batas akhir waktu penyampaian sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). (4) Bank yang belum menyampaikan laporan setelah batas akhir waktu penyampaian sebagaimana dimaksud pada ayat menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16. BAB XI … (2), tetap diwajibkan - 12 - BAB XI KETENTUAN LAIN-LAIN Pasal 18 Peningkatan penyertaan Bank karena akumulasi laba Perusahaan Anak dimana Bank melakukan penerapan manajemen risiko secara konsolidasi, tidak diperhitungkan dalam batasan portofolio penyertaan Bank. Pasal 19 Ketentuan lebih lanjut dari Peraturan Bank Indonesia ini akan diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. BAB XII PENUTUP Pasal 20 (1) Kewajiban Bank untuk menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (3) dan Pasal 16 diberlakukan sejak pelaporan posisi akhir bulan Desember 2006. (2) Kewajiban Bank untuk melakukan penilaian tingkat kesehatan dan menyusun profil risiko secara konsolidasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 dan Pasal 13 serta kewajiban pelaporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (6), diberlakukan sejak pelaporan posisi akhir bulan Desember 2008. (3) Selain pemenuhan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (2), penerapan sanksi pemenuhan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) dan penerapan ketentuan dalam Pasal 10, Pasal 14, Pasal 15 dan Pasal 18, mulai diterapkan sejak laporan posisi akhir bulan Desember 2007. Pasal 21 … - 13 - Pasal 21 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 30 Januari 2006 GUBERNUR BANK INDONESIA, BURHANUDDIN ABDULLAH LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2006 NOMOR 8 DPNP PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 8/6/PBI/2006 TENTANG PENERAPAN MANAJEMEN RISIKO SECARA KONSOLIDASI BAGI BANK YANG MELAKUKAN PENGENDALIAN TERHADAP PERUSAHAAN ANAK UMUM Bank senantiasa dihadapkan pada risiko-risiko yang melekat dalam setiap kegiatan usaha. Risiko-risiko yang melekat tersebut dapat berasal dari kegiatan Bank itu sendiri maupun dari perusahaan yang terkait dengan Bank. Sementara itu perkembangan transaksi keuangan dalam era globalisasi menyebabkan semakin terintegrasinya produk dan jasa keuangan yang dilakukan oleh Bank. Produk dan jasa keuangan yang semakin terintegrasi menyebabkan eksposur risiko yang harus dihadapi bank menjadi semakin kompleks dan meningkat. yang Menghadapi kondisi tersebut, Bank perlu memperhatikan seluruh risiko dapat mempengaruhi kelangsungan usahanya. Risiko yang harus diperhatikan mencakup seluruh risiko yang secara langsung maupun tidak langsung dapat mempengaruhi kelangsungan usaha Bank, baik yang berasal dari Perusahaan Anak maupun dari kelompok usahanya. Sebagai … - 2 - Sebagai langkah awal untuk mengukur risiko secara lebih menyeluruh, Bank diminta untuk menerapkan manajemen risiko secara konsolidasi pada Perusahaan Anak yang dikendalikannya. Penerapan manajemen risiko pada Perusahaan Anak juga dimaksudkan untuk meningkatkan daya saing perbankan Indonesia di dunia internasional, mengingat hal ini merupakan salah satu pemenuhan tingkat kepatuhan Bank terhadap standar internasional. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Ayat (1) Penerapan manajemen risiko secara konsolidasi dilakukan dengan mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang berlaku tentang Penerapan Manajemen Risiko bagi Bank Umum, yang mencakup: a. pengawasan aktif Dewan Komisaris dan Direksi; b. kecukupan kebijakan, prosedur dan penetapan limit; c. kecukupan proses identifikasi, pengukuran, pemantauan pengendalian risiko serta sistem informasi manajemen risiko; dan d. sistem pengendalian intern yang menyeluruh. dan Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 3 … - 3 - Pasal 3 Termasuk dalam kegiatan usaha di bidang keuangan antara lain jasa perbankan, sewa guna usaha, modal ventura, perusahaan efek, asuransi, perusahaan pembiayaan serta lembaga kliring penyelesaian dan penyimpanan. huruf a Cukup jelas. huruf b Cukup jelas. huruf c angka i Cukup jelas. angka ii Yang dimaksud dengan Pengendalian secara bersama adalah pengendalian bersama oleh para pemilik atas Perusahaan Anak yang didasarkan pada perjanjian kontraktual. Pengendalian bersama harus dibuktikan dengan adanya kesepakatan atau komitmen secara tertulis dari para pemilik untuk memberikan dukungan baik finansial maupun non finansial sesuai kepemilikannya masing-masing. huruf d Cukup jelas. Pasal 4 … - 4 - Pasal 4 Asuransi memiliki karakteristik risiko yang sangat berbeda dengan Bank sehingga tidak diterapkan penilaian manajemen risiko secara konsolidasi terutama untuk hal-hal yang bersifat kuantitatif. Huruf a Penilaian dilakukan dengan mengacu pada ketentuan dari otoritas yang berwenang. Huruf b Cukup jelas. Pasal 5 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Sistem informasi akuntansi antara lain meliputi sistem yang dapat menghasilkan laporan keuangan, perhitungan KPMM, penilaian kualitas aktiva dan pembentukan penyisihan penghapusan aktiva, perhitungan BMPK yang menghitung seluruh eksposur bank dan eksposur Perusahaan Anak secara konsolidasi serta penilaian tingkat kesehatan secara konsolidasi. Penyusunan laporan keuangan konsolidasi mengacu pada Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku. Huruf b … - 5 - Huruf b Sistem informasi manajemen risiko mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang berlaku tentang Penerapan Manajemen Risiko bagi Bank Umum. Pasal 6 Perhitungan KPMM secara konsolidasi dilakukan dengan menghitung modal dan aktiva tertimbang menurut risiko dari laporan keuangan konsolidasi. Berdasarkan ketentuan dalam ayat ini, maka persentase KPMM untuk Bank sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku tentang KPMM Bank Umum dan KPMM Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah, juga diberlakukan secara konsolidasi. Penyertaan pada perusahaan yang tidak diwajibkan untuk memenuhi ketentuan KPMM secara konsolidasi, tetap diperhitungkan sebagai faktor pengurang modal dalam perhitungan KPMM secara konsolidasi. Untuk perhitungan KPMM Bank secara individual, penyertaan pada Perusahaan Anak yang dikonsolidasikan tetap diperhitungkan sebagai faktor pengurang modal sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku tentang KPMM Bank Umum dan KPMM Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah. Pasal 7 Sebagai contoh, bagi Bank yang telah diwajibkan untuk menghitung risiko pasar dan memiliki Perusahaan Anak berupa perusahaan efek, maka perhitungan aktiva tertimbang menurut risiko secara konsolidasi untuk risiko… - 6 - risiko pasar juga mencakup perhitungan risiko ekuitas (equity risk) dari perusahaan efek tersebut. Pasal 8 Ketentuan dalam ayat ini dimaksudkan agar laporan keuangan konsolidasi dan perhitungan KPMM dapat dilakukan secara lebih tepat, sesuai dengan risiko yang telah dapat diperkirakan (expected risk). Pasal 9 Ayat (1) Berdasarkan ketentuan dalam ayat ini, maka persentase BMPK untuk Bank secara individual sebagaimana diatur dalam ketentuan yang berlaku tentang Batas Maksimum Pemberian Kredit Bank Umum juga diberlakukan secara konsolidasi. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 10 Cukup jelas. Pasal 11 Ayat (1) Integritas yang baik antara lain dibuktikan dengan pengurus Perusahaan Anak tidak berasal dari pihak-pihak yang terdapat dalam Daftar Tidak Lulus Bank Indonesia atau Daftar Kredit Macet. Yang … - 7 - Yang dimaksud dengan pengurus yang mengelola Perusahaan Anak adalah komisaris dan direksi bagi badan hukum Perseroan Terbatas atau jabatan lain yang setara pada badan hukum lainnya. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 12 Ayat (1) Penilaian tingkat kesehatan secara konsolidasi mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang berlaku tentang Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum. Penilaian tingkat kesehatan meliputi penilaian kuantitatif dan kualitatif. Penilaian kuantitatif adalah penilaian terhadap posisi, perkembangan dan proyeksi rasio-rasio keuangan. Penilaian kualitatif adalah penilaian terhadap faktor-faktor yang mendukung hasil penilaian kuantitatif, penerapan manajemen risiko, dan kepatuhan. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 13 … - 8 - Pasal 13 Ayat (1) Penyusunan laporan profil risiko secara konsolidasi mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang Manajemen Risiko bagi Bank Umum. berlaku tentang Penerapan Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 14 Parameter yang digunakan dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku tentang Tindak Lanjut Pengawasan dan Penetapan Status Bank antara lain rasio KPMM dan rasio kredit bermasalah adalah yang dihitung secara konsolidasi. Pasal 15 Cukup jelas. Pasal 16 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) … - 9 - Ayat (3) Huruf a Laporan keuangan Perusahaan Anak yang disampaikan telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Penyampaian laporan profil risiko Bank secara individual tetap mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang berlaku tentang Penerapan Manajemen Risiko bagi Bank Umum. Ayat (7) Cukup jelas. Ayat (8) Cukup jelas. Pasal 17 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) … - 10 - Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Bank yang telah dikenakan sanksi kewajiban membayar dalam ayat ini tidak dikenakan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2). Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 18 Batasan portofolio penyertaan Bank mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang berlaku tentang Prinsip Kehati-hatian dalam Kegiatan Penyertaan Modal. Akumulasi laba Perusahaan Anak yang tidak diperhitungkan dalam batasan portofolio penyertaan Bank tidak dibatasi jangka waktunya. Pasal 19 Cukup jelas. Pasal 20 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 21 … - 11 - Pasal 21 Cukup Jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4602
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 8/6/PBI/2006 </reg_id> <reg_title> PENERAPAN MANAJEMEN RISIKO SECARA KONSOLIDASI BAGI BANK YANG MELAKUKAN PENGENDALIAN TERHADAP PERUSAHAAN ANAK </reg_title> <set_date> 30 Januari 2006 </set_date> <effective_date> 30 Januari 2006 </effective_date> <related_reg> '3/UU/2004', '7/UU/1992', '23/UU/1999', '10/UU/1998' </related_reg> <penalty_list> 'BAB X', 'BAB XII Pasal 20 Ayat 3' </penalty_list>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 10/ 36 /PBI/2008 TENTANG OPERASI MONETER SYARIAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka memenuhi tujuan untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah, Bank Indonesia memiliki tugas menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter; b. bahwa dalam rangka mendukung tugas dalam menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter, Bank Indonesia dapat melakukan pengendalian moneter berdasarkan prinsip syariah; c. bahwa dalam rangka pengendalian moneter berdasarkan prinsip syariah, Bank Indonesia melakukan operasi moneter syariah untuk mempengaruhi kecukupan likuiditas perbankan syariah; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c tersebut di atas, dipandang perlu mengatur ketentuan mengenai operasi moneter syariah dalam suatu Peraturan Bank Indonesia; Mengingat... - 2 - Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 142; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4901); 2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867); MEMUTUSKAN : Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG OPERASI MONETER SYARIAH. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan: 1. Bank adalah Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah. 2. Bank Umum Syariah adalah Bank Umum Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. 3. Unit… - 3 - 3. Unit Usaha Syariah adalah Unit Usaha Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. 4. Operasi Moneter Syariah yang selanjutnya disebut OMS adalah pelaksanaan kebijakan moneter oleh Bank Indonesia dalam rangka pengendalian moneter melalui kegiatan operasi pasar terbuka dan penyediaan standing facilities berdasarkan prinsip syariah. 5. Operasi Pasar Terbuka Syariah yang selanjutnya disebut OPT Syariah adalah kegiatan transaksi pasar uang berdasarkan prinsip syariah yang dilakukan oleh Bank Indonesia dengan Bank dan pihak lain dalam rangka OMS. 6. Standing Facilities Syariah adalah fasilitas yang disediakan oleh Bank Indonesia kepada Bank dalam rangka OMS. 7. Sertifikat Bank Indonesia Syariah yang selanjutnya disebut SBIS adalah surat berharga berdasarkan prinsip syariah berjangka waktu pendek dalam mata uang rupiah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia. 8. Surat Berharga Syariah Negara yang selanjutnya disebut SBSN adalah surat berharga negara yang diterbitkan berdasarkan prinsip syariah, sebagai bukti atas bagian penyertaan terhadap aset SBSN dalam mata uang rupiah. BAB II TUJUAN OPERASI MONETER SYARIAH Pasal 2 (1) OMS bertujuan mencapai target operasional pengendalian moneter syariah dalam rangka mendukung pencapaian sasaran akhir kebijakan moneter Bank Indonesia. (2) Target… - 4 - (2) Target operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa kecukupan likuiditas perbankan syariah atau variabel lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Pasal 3 Pencapaian target operasional kebijakan moneter sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, dilakukan dengan cara mempengaruhi likuiditas perbankan syariah melalui kontraksi moneter atau ekspansi moneter. BAB III KEGIATAN OPERASI MONETER SYARIAH Pasal 4 (1) Kegiatan OMS harus memenuhi prinsip syariah (2) Pemenuhan prinsip syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan dalam bentuk pemberian fatwa dan/atau opini syariah oleh otoritas fatwa yang berwenang. Pasal 5 Kegiatan OMS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dilakukan dalam bentuk antara lain: a. OPT Syariah; dan b. Standing Facilities Syariah. BAB IV… - 5 - BAB IV OPT SYARIAH Pasal 6 OPT Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a dilakukan dengan cara antara lain : a. penerbitan SBIS; b. jual beli surat berharga dalam rupiah yang memenuhi prinsip syariah yang meliputi SBIS, SBSN, dan surat berharga lain yang berkualitas tinggi dan mudah dicairkan; dan/atau c. penyerapan dana tanpa penerbitan surat berharga. Pasal 7 Jual beli surat berharga dalam rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b dapat dilakukan dengan cara antara lain: a. pembelian secara lepas (outright buying); b. penjualan secara lepas (outright selling); c. penjualan secara bersyarat (repurchase agreement/repo); dan/atau d. pembelian secara bersyarat (reverse repo). Pasal 8 (1) OPT Syariah dilaksanakan secara berkala. (2) Dalam hal diperlukan, OPT Syariah dapat dilakukan sewaktu-waktu. Pasal 9 OPT Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dilakukan melalui mekanisme lelang dan/atau non-lelang. BAB V… - 6 - BAB V STANDING FACILITIES SYARIAH Pasal 10 Standing Facilities Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b dilakukan dengan cara : a. penyediaan fasilitas simpanan (deposit facility); dan b. penyediaan fasilitas pembiayaan (financing facility). Pasal 11 (1) Fasilitas simpanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf a antara lain dilakukan dalam bentuk Fasilitas Simpanan Bank Indonesia Syariah (FASBIS). (2) Fasilitas pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf b antara lain dilakukan dalam bentuk repo surat berharga dalam rupiah. Pasal 12 Standing Facilities Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 dilakukan melalui mekanisme non-lelang. BAB VI PESERTA OMS Pasal 13 (1) Peserta OMS terdiri dari Bank dan pihak lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. (2) Bank dan/atau pihak lain dapat mengikuti kegiatan OMS secara langsung maupun tidak langsung melalui lembaga perantara. Pasal 14… - 7 - Pasal 14 Bank Indonesia menetapkan persyaratan bagi peserta OMS. Pasal 15 (1) Peserta OMS bertanggung jawab atas kebenaran penawaran yang diajukan. (2) Peserta OMS yang telah mengajukan penawaran dilarang membatalkan penawarannya. (3) Peserta OMS harus memenuhi tata cara pengajuan penawaran dan persyaratan dalam transaksi OMS yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. (4) Dalam hal Peserta OMS tidak memenuhi tata cara pengajuan penawaran dan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), penawaran yang telah diajukan dinyatakan batal. Pasal 16 Dalam mengikuti kegiatan OMS, lembaga perantara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) dilarang mengajukan penawaran untuk kepentingan diri sendiri. Pasal 17 (1) Bank dan/atau pihak lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) yang mengikuti kegiatan OMS secara langsung maupun tidak langsung, wajib menyediakan dana pada rekening giro rupiah dan/atau surat berharga dalam rupiah yang memenuhi prinsip syariah di Bank Indonesia yang cukup untuk penyelesaian kewajiban pembayaran dan/atau surat berharga pada waktu penyelesaian transaksi. (2) Dalam… - 8 - (2) Dalam hal pada waktu penyelesaian transaksi, Bank atau pihak lain tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), transaksi OMS yang bersangkutan dinyatakan batal. BAB VII SANKSI Pasal 18 (1) Dalam hal transaksi OMS dinyatakan batal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2), Peserta OMS yang bersangkutan dikenakan sanksi berupa: a. teguran tertulis; dan b. kewajiban membayar sebesar 10/00 (satu per seribu) dari nilai transaksi yang dinyatakan batal atau paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah); (2) Dengan tidak mengurangi sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), atas batalnya transaksi yang ketiga kali dalam kurun waktu 6 (enam) bulan, juga dikenakan sanksi berupa penghentian sementara untuk mengikuti kegiatan OMS selama 5 (lima) hari kerja berturut-turut. BAB VIII PENUTUP Pasal 19 Ketentuan pelaksanaan dari Peraturan Bank Indonesia ini diatur lebih lanjut dengan Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 20… - 9 - Pasal 20 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 10 Desember 2008. Maret 2008 GUBERNUR BANK INDONESIA 31 BOEDIONO Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 10 Desember 2008. MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA ANDI MATTALATTA AD INTERIM ANDI MATTALATTA WIDODO A. S. LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2008 NOMOR 197 DPM PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 10/ 36 /PBI/2008 TENTANG OPERASI MONETER SYARIAH I. UMUM Dalam rangka mendukung tujuan Bank Indonesia untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah, Bank Indonesia dapat melaksanakan pengendalian moneter berdasarkan prinsip syariah sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 10 ayat (2) Undang- Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008. Salah satu ukuran keberhasilan pencapaian tujuan dimaksud adalah laju inflasi tahunan yang terkendali yang ditetapkan sebagai sasaran akhir dari pelaksanaan tugas Bank Indonesia di bidang moneter. Dalam rangka mencapai sasaran akhir kebijakan moneter, salah satu cara pengendalian moneter berdasarkan prinsip syariah adalah dengan pelaksanaan operasi moneter syariah untuk mempengaruhi kecukupan likuiditas perbankan syariah. Dalam pelaksanaannya, Bank Indonesia dapat melakukan operasi moneter syariah yang bersifat kontraksi atau ekspansi. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas Pasal 2… -2- Pasal 2 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Kecukupan likuiditas dapat berupa target uang primer atau komponennya yang terdiri dari: a. uang kartal yang ada di Bank dan masyarakat; dan b. saldo giro Bank dalam rupiah di Bank Indonesia. Yang dimaksud dengan “variabel lain” adalah variabel selain kecukupan likuiditas, yang ditetapkan sebagai target operasional moneter syariah yang antara lain berupa tingkat imbalan pasar uang antar bank berdasarkan prinsip syariah. Pasal 3 Yang dimaksud dengan “kontraksi moneter” adalah pengurangan likuiditas Bank melalui kegiatan OMS. Yang dimaksud dengan “ekspansi moneter” adalah penambahan likuiditas Bank melalui kegiatan OMS. Pasal 4 Cukup jelas Pasal 5 Cukup jelas Pasal 6 Huruf a Cukup jelas Huruf b… -3- Huruf b Yang dimaksud dengan “surat berharga lain yang berkualitas tinggi dan mudah dicairkan” adalah surat berharga dalam mata uang rupiah yang diterbitkan oleh badan hukum lain yang mempunyai peringkat tinggi berdasarkan hasil penilaian lembaga pemeringkat yang diakui Bank Indonesia sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai lembaga pemeringkat dan peringkat yang diakui Bank Indonesia, dan sewaktu-waktu dengan mudah dapat dijual ke pasar untuk dijadikan uang tunai. Huruf c Cukup jelas Pasal 7 Huruf a Yang dimaksud dengan “pembelian secara lepas (outright buying)” adalah transaksi pembelian surat berharga oleh Bank Indonesia tanpa kewajiban untuk menjual kembali. Huruf b Yang dimaksud dengan “penjualan secara lepas (outright selling)” adalah transaksi penjualan surat berharga oleh Bank Indonesia tanpa kewajiban untuk membeli kembali. Huruf c Yang dimaksud dengan “penjualan secara bersyarat (repurchase agreement/repo )” adalah transaksi penjualan bersyarat surat berharga oleh Bank kepada Bank Indonesia dengan kewajiban pembelian kembali sesuai dengan harga dan jangka waktu yang disepakati. Huruf d … -4- Huruf d Yang dimaksud dengan “pembelian secara bersyarat (reverse repo)” adalah transaksi pembelian bersyarat surat berharga oleh Bank dari Bank Indonesia dengan kewajiban penjualan kembali sesuai dengan harga dan jangka waktu yang disepakati. Pasal 8 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Pelaksanaan OPT Syariah sewaktu-waktu antara lain dalam bentuk Fine Tune Operation (FTO). Pasal 9 Cukup jelas Pasal 10 Cukup jelas Pasal 11 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Yang dimaksud dengan “repo surat berharga” adalah transaksi penjualan bersyarat surat berharga oleh Bank kepada Bank Indonesia dengan kewajiban pembelian kembali sesuai dengan harga dan jangka waktu yang disepakati (sell and buy back) dan pemberian pinjaman oleh Bank Indonesia kepada Bank dengan agunan surat berharga (collateralized borrowing). Pasal 12 … -5- Pasal 12 Cukup jelas Pasal 13 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “pihak lain” antara lain badan hukum non bank, badan lainnya dan perorangan yang memiliki keterkaitan dengan pelaksanaan tugas Bank Indonesia di bidang pengendalian moneter. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “lembaga perantara” antara lain pialang pasar uang dan pialang pasar modal. Pasal 14 Cukup jelas Pasal 15 Cukup jelas Pasal 16 Cukup jelas Pasal 17 Ayat (1) Bank dan/atau pihak lain yang mengikuti kegiatan OMS secara langsung dapat bertindak untuk kepentingannya sendiri maupun kepentingan pihak lain. Ayat (2) Cukup jelas Pasal 18 … -6- Pasal 18 Cukup jelas. Pasal 19 Pokok-pokok ketentuan yang diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia antara lain: a. pelaksanaan OPT Syariah; b. pelaksanaan Standing Facilities Syariah; c. jangka waktu kegiatan OMS; d. persyaratan bagi peserta OMS; e. sifat kepesertaan dalam OMS; dan f. tata cara pengenaan sanksi. Pasal 20 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2008 NOMOR 4944 DPM
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 10/36/PBI/2008 </reg_id> <reg_title> OPERASI MONETER SYARIAH </reg_title> <set_date> 10 Desember 2008 </set_date> <effective_date> 10 Desember 2008 </effective_date> <issued_date> 10 Desember 2008 </issued_date> <related_reg> '21/UU/2008', '2/PERPPU/2008', '23/UU/1999' </related_reg> <penalty_list> 'BAB VII' </penalty_list>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 21/ 16 /PBI/2019 TENTANG STANDARDISASI KOMPETENSI DI BIDANG SISTEM PEMBAYARAN DAN PENGELOLAAN UANG RUPIAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa perkembangan teknologi dan sistem informasi terus melahirkan berbagai inovasi di bidang sistem pembayaran dan pengelolaan uang rupiah; b. bahwa inovasi di bidang sistem pembayaran dan pengelolaan uang rupiah harus diimbangi dengan peningkatan kompetensi sumber daya manusia pelaku industri agar dapat mendukung terciptanya sistem pembayaran yang lancar, aman, efisien, dan andal, serta pengelolaan uang rupiah yang mampu memenuhi kebutuhan uang rupiah di masyarakat dalam jumlah nominal yang cukup, jenis pecahan yang sesuai, tepat waktu, dan dalam kondisi yang layak edar serta aman dari upaya pemalsuan di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, dengan memperhatikan aspek perluasan akses, perlindungan konsumen, dan kepentingan nasional; - 2 - c. bahwa untuk meningkatkan kompetensi sumber daya manusia pelaku industri, diperlukan standardisasi kompetensi sumber daya manusia di bidang sistem pembayaran dan pengelolaan uang rupiah; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Bank Indonesia tentang Standardisasi Kompetensi di Bidang Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang Rupiah; Mengingat : Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang- Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG STANDARDISASI KOMPETENSI DI BIDANG SISTEM PEMBAYARAN DAN PENGELOLAAN UANG RUPIAH. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan: 1. Standardisasi Kompetensi Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang Rupiah yang selanjutnya disebut Standardisasi Kompetensi SPPUR adalah penerapan standar kompetensi kerja nasional Indonesia bidang sistem pembayaran dan pengelolaan uang rupiah dan jenjang - 3 - kualifikasi nasional Indonesia bidang sistem pembayaran dan pengelolaan uang rupiah. 2. Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia Bidang Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang Rupiah yang selanjutnya disebut SKKNI Bidang SPPUR adalah rumusan kemampuan kerja di bidang sistem pembayaran dan pengelolaan uang rupiah yang mencakup aspek pengetahuan, keterampilan dan/atau keahlian, serta sikap kerja. 3. Jenjang Kualifikasi Nasional Indonesia Bidang Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang Rupiah yang selanjutnya disebut Jenjang Kualifikasi SPPUR adalah jenjang pencapaian pembelajaran di bidang sistem pembayaran dan pengelolaan uang rupiah yang kedudukannya disetarakan dengan jenjang tertentu dalam kerangka kualifikasi nasional Indonesia sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang- undangan mengenai kerangka kualifikasi nasional Indonesia. 4. Pelatihan Berbasis Kompetensi Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang Rupiah yang selanjutnya disingkat PBK SPPUR adalah pelatihan kerja yang menitikberatkan pada penguasaan kemampuan kerja sesuai dengan SKKNI Bidang SPPUR dan persyaratan di tempat kerja. 5. Sertifikasi Kompetensi Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang Rupiah yang selanjutnya disebut Sertifikasi Kompetensi SPPUR adalah proses pemberian sertifikat kompetensi sistem pembayaran dan pengelolaan uang rupiah yang dilakukan secara sistematis dan objektif melalui uji kompetensi sesuai dengan SKKNI Bidang SPPUR. 6. Sertifikat Pelatihan Berbasis Kompetensi Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang Rupiah yang selanjutnya disebut Sertifikat PBK SPPUR adalah bukti tertulis yang diterbitkan oleh lembaga pelatihan kerja sistem pembayaran dan pengelolaan uang rupiah yang - 4 - menyatakan bahwa seseorang telah kompeten sesuai dengan PBK SPPUR yang diikuti. 7. Sertifikat Kompetensi Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang Rupiah yang selanjutnya disebut Sertifikat Kompetensi SPPUR adalah bukti tertulis yang diterbitkan oleh lembaga sertifikasi profesi sistem pembayaran dan pengelolaan uang rupiah yang menerangkan bahwa seseorang telah menguasai kompetensi kerja tertentu di bidang sistem pembayaran dan pengelolaan uang rupiah. 8. Sertifikat Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang Rupiah yang selanjutnya disebut Sertifikat SPPUR adalah Sertifikat PBK SPPUR dan Sertifikat Kompetensi SPPUR. 9. Pelaku Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang Rupiah yang selanjutnya disebut Pelaku SPPUR adalah bank dan lembaga selain bank yang menyelenggarakan jasa sistem pembayaran dan pengelolaan uang rupiah. 10. Bank adalah bank umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai perbankan termasuk kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri serta bank umum syariah dan unit usaha syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai perbankan syariah. 11. Lembaga Selain Bank yang selanjutnya disingkat LSB adalah badan usaha bukan Bank yang berbadan hukum dan didirikan berdasarkan hukum Indonesia. 12. Kegiatan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang Rupiah yang selanjutnya disebut Kegiatan SPPUR adalah kegiatan operasional di bidang sistem pembayaran dan pengelolaan uang rupiah. 13. Satuan Kerja Operasional adalah unit kerja atau fungsi operasional pada struktur organisasi Pelaku SPPUR yang melaksanakan Kegiatan SPPUR. 14. Pegawai Pelaku SPPUR yang selanjutnya disebut Pegawai adalah orang dalam kelompok jenjang jabatan tertentu pada Satuan Kerja Operasional yang melaksanakan Kegiatan SPPUR. - 5 - 15. Lembaga Pelatihan Kerja Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang Rupiah yang selanjutnya disingkat LPK SPPUR adalah lembaga pelatihan kerja yang telah memperoleh izin atau tanda daftar dari lembaga yang berwenang untuk menyelenggarakan PBK SPPUR. 16. Lembaga Sertifikasi Profesi Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang Rupiah yang selanjutnya disingkat LSP SPPUR adalah lembaga sertifikasi profesi yang memperoleh lisensi dari lembaga yang berwenang untuk menyelenggarakan Sertifikasi Kompetensi SPPUR. 17. Penyelenggara Standardisasi Kompetensi SPPUR yang selanjutnya disebut Penyelenggara adalah LPK SPPUR yang diakui oleh Bank Indonesia dan LSP SPPUR yang diakui oleh Bank Indonesia. 18. Program Pelatihan Berbasis Kompetensi Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang Rupiah yang selanjutnya disebut Program PBK SPPUR adalah program pelatihan Kegiatan SPPUR bagi Pegawai yang disusun secara sistematis yang digunakan sebagai acuan dalam melaksanakan PBK SPPUR. 19. Skema Sertifikasi Kompetensi Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang Rupiah yang selanjutnya disebut Skema Sertifikasi Kompetensi SPPUR adalah paket kompetensi dan persyaratan spesifik sesuai dengan jenjang jabatan tertentu dalam Kegiatan SPPUR yang digunakan sebagai acuan dalam melaksanakan Sertifikasi Kompetensi SPPUR. 20. Pemeliharaan Kompetensi Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang Rupiah yang selanjutnya disebut Pemeliharaan Kompetensi SPPUR adalah proses pengkinian kompetensi Pegawai pemilik Sertifikat SPPUR. Pasal 2 Bank Indonesia melakukan pengaturan Standardisasi Kompetensi SPPUR dengan tujuan: a. membangun dan memastikan kompetensi Pegawai; b. meningkatkan integritas Pegawai; - 6 - c. mewujudkan penyelenggaraan PBK SPPUR dan Sertifikasi Kompetensi SPPUR yang kredibel; dan d. meningkatkan perlindungan bagi konsumen pengguna produk atau jasa sistem pembayaran dan pengelolaan uang rupiah. Pasal 3 Pengaturan Standardisasi Kompetensi SPPUR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 berlaku bagi Pelaku SPPUR. BAB II STANDARDISASI KOMPETENSI SPPUR Pasal 4 Standardisasi Kompetensi SPPUR mencakup Kegiatan SPPUR yang terdiri atas: a. kegiatan operasional sistem pembayaran tunai; b. kegiatan operasional sistem pembayaran nontunai; c. kegiatan operasional sistem setelmen transaksi tresuri dan pembiayaan perdagangan; d. kegiatan operasional sistem penatausahaan surat berharga; dan e. Kegiatan SPPUR lainnya yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Pasal 5 (1) Standardisasi Kompetensi SPPUR terdiri atas penerapan: a. SKKNI Bidang SPPUR; dan b. Jenjang Kualifikasi SPPUR. (2) SKKNI Bidang SPPUR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a ditetapkan oleh Menteri Ketenagakerjaan Republik Indonesia. (3) Jenjang Kualifikasi SPPUR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b ditetapkan oleh Bank Indonesia. - 7 - Pasal 6 (1) Standardisasi Kompetensi SPPUR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dilakukan melalui: a. PBK SPPUR; dan b. Sertifikasi Kompetensi SPPUR. (2) PBK SPPUR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diselenggarakan oleh LPK SPPUR yang diakui oleh Bank Indonesia. (3) Sertifikasi Kompetensi SPPUR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b diselenggarakan oleh LSP SPPUR yang diakui oleh Bank Indonesia. (4) Ruang lingkup penyelenggaraan PBK SPPUR sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan penyelenggaraan Sertifikasi Kompetensi SPPUR sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat mencakup seluruh atau sebagian: a. SKKNI Bidang SPPUR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a; dan b. Jenjang Kualifikasi SPPUR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b. Pasal 7 (1) Pelaku SPPUR wajib memastikan Pegawai yang melaksanakan Kegiatan SPPUR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 memiliki Sertifikat SPPUR. (2) Pegawai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas: a. pejabat eksekutif; b. penyelia; dan c. pelaksana. (3) Pejabat eksekutif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a terdiri atas: a. anggota direksi dan dewan komisaris LSB yang menyelenggarakan kegiatan usaha penukaran valuta asing dan LSB lainnya yang ditetapkan Bank Indonesia; atau - 8 - b. kelompok jenjang jabatan pada Pelaku SPPUR selain sebagaimana dimaksud pada huruf a yang berada paling banyak 2 (dua) level di bawah direksi yang bertanggung jawab atas Kegiatan SPPUR. (4) Penyelia sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b merupakan kelompok jenjang jabatan pada Satuan Kerja Operasional yang berada di bawah pejabat eksekutif yang melakukan supervisi atas Kegiatan SPPUR yang dilakukan oleh pelaksana. (5) Pelaksana sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c merupakan kelompok jenjang jabatan pada Satuan Kerja Operasional yang berada di bawah penyelia yang melaksanakan Kegiatan SPPUR. (6) Kepemilikan Sertifikat SPPUR bagi Pegawai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan: a. Jenjang Kualifikasi SPPUR; b. Kegiatan SPPUR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4; dan c. skala usaha Pelaku SPPUR. (7) Kepemilikan Sertifikat SPPUR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dipenuhi paling lambat 6 (enam) bulan terhitung sejak tanggal efektif menduduki jabatan. (8) Pelaku SPPUR yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa: a. teguran tertulis; b. penundaan pemberian persetujuan atas pengembangan produk, kerja sama, dan kegiatan lainnya di bidang sistem pembayaran dan pengelolaan uang rupiah; dan/atau c. pencabutan izin sebagai penyelenggara jasa sistem pembayaran dan pengelolaan uang rupiah. - 9 - Pasal 8 (1) Sertifikat Kompetensi SPPUR berlaku untuk jangka waktu tertentu dan dapat diperpanjang. (2) Perpanjangan Sertifikat Kompetensi SPPUR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan apabila Pegawai pemilik Sertifikat Kompetensi SPPUR telah melakukan Pemeliharaan Kompetensi SPPUR sebelum jangka waktu Sertifikat Kompetensi SPPUR berakhir. (3) Dalam hal Pegawai pemilik Sertifikat Kompetensi SPPUR tidak melakukan Pemeliharaan Kompetensi SPPUR sampai dengan jangka waktu Sertifikat Kompetensi SPPUR berakhir maka Sertifikat Kompetensi SPPUR dinyatakan tidak berlaku. Pasal 9 (1) Sertifikat profesi yang diterbitkan oleh lembaga sertifikasi di luar negeri dapat diakui oleh LSP SPPUR yang diakui oleh Bank Indonesia. (2) Pengakuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan persetujuan Bank Indonesia dengan persyaratan sebagai berikut: a. terkait dengan Kegiatan SPPUR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4; b. masih berlaku; dan c. mendapatkan rekomendasi dari asosiasi profesi dan/atau asosiasi industri. (3) Pengakuan sertifikat profesi yang diterbitkan oleh lembaga sertifikasi di luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui penerbitan Sertifikat Kompetensi SPPUR. (4) LSP SPPUR yang diakui oleh Bank Indonesia menetapkan penyetaraan Sertifikat Kompetensi SPPUR sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sesuai dengan Jenjang Kualifikasi SPPUR. - 10 - Pasal 10 (1) Pelaku SPPUR wajib menatausahakan data Pegawai pemilik Sertifikat SPPUR. (2) Pelaku SPPUR yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa: a. teguran tertulis; b. penundaan pemberian persetujuan atas pengembangan produk, kerja sama, dan kegiatan lainnya di bidang sistem pembayaran dan pengelolaan uang rupiah; dan/atau c. pencabutan izin sebagai penyelenggara jasa sistem pembayaran dan pengelolaan uang rupiah. Pasal 11 Ketentuan lebih lanjut mengenai Standardisasi Kompetensi SPPUR diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. BAB III PENYELENGGARA Bagian Kesatu LPK SPPUR yang Diakui oleh Bank Indonesia Pasal 12 (1) LPK SPPUR dapat dibentuk oleh: a. Pelaku SPPUR; b. asosiasi profesi dan/atau asosiasi industri; dan c. pihak lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. (2) Calon LPK SPPUR harus memperoleh rekomendasi dari Bank Indonesia untuk mengajukan permohonan: a. izin atau pendaftaran sebagai LPK SPPUR; dan/atau b. penambahan Program PBK SPPUR, kepada lembaga yang berwenang. - 11 - (3) Rekomendasi dari Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan kepada calon LPK SPPUR yang memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. memperoleh rekomendasi dari asosiasi profesi dan/atau asosiasi industri, khusus untuk calon LPK SPPUR yang dibentuk oleh asosiasi profesi dan/atau asosiasi industri dan pihak lainnya; b. memiliki perangkat organisasi; c. memiliki Program PBK SPPUR; d. memiliki instruktur dan mentor yang berpengalaman di bidang sistem pembayaran dan pengelolaan uang rupiah; dan e. persyaratan lainnya yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. (4) Dalam memberikan rekomendasi kepada calon LPK SPPUR sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Bank Indonesia dapat melakukan pemeriksaan lokasi kepada calon LPK SPPUR. (5) Penyusunan Program PBK SPPUR oleh calon LPK SPPUR sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c harus mengacu pada pedoman penyelenggaraan PBK SPPUR yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Pasal 13 (1) Calon LPK SPPUR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2) yang telah memperoleh: a. izin atau tanda daftar sebagai LPK SPPUR; dan/atau b. izin penambahan Program PBK SPPUR, harus mengajukan permohonan kepada Bank Indonesia untuk memperoleh pengakuan sebagai LPK SPPUR yang diakui oleh Bank Indonesia. (2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan secara tertulis dengan dilengkapi fotokopi bukti izin atau tanda daftar sebagai LPK SPPUR dan/atau izin penambahan Program PBK SPPUR dari lembaga yang berwenang. (3) Bank Indonesia menetapkan LPK SPPUR yang diakui oleh Bank Indonesia. - 12 - (4) Bank Indonesia melakukan publikasi daftar LPK SPPUR yang diakui oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (3) melalui sarana yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Pasal 14 (1) LPK SPPUR yang diakui oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3) wajib terakreditasi oleh lembaga yang berwenang sesuai dengan jangka waktu yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. (2) LPK SPPUR yang diakui oleh Bank Indonesia yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa: a. teguran tertulis; b. pembekuan dari daftar LPK SPPUR yang diakui oleh Bank Indonesia; dan/atau c. pencabutan dari daftar LPK SPPUR yang diakui oleh Bank Indonesia. Pasal 15 Bank Indonesia dapat menetapkan kebijakan tertentu dalam pemberian rekomendasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2) berdasarkan pertimbangan: a. menjaga efektivitas pelaksanaan PBK SPPUR; dan/atau b. pertimbangan lainnya yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Pasal 16 (1) LPK SPPUR yang diakui oleh Bank Indonesia memiliki tugas: a. menyelenggarakan PBK SPPUR dengan mengacu pada Program PBK SPPUR; b. melakukan evaluasi atas Program PBK SPPUR secara berkala; dan c. menatausahakan data Sertifikat PBK SPPUR yang diterbitkan dan data Pemeliharaan Kompetensi SPPUR yang diselenggarakan oleh LPK SPPUR. - 13 - (2) LPK SPPUR yang diakui oleh Bank Indonesia memiliki wewenang menerbitkan Sertifikat PBK SPPUR. (3) Selain memiliki tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (2), LPK SPPUR yang diakui oleh Bank Indonesia juga memiliki tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pedoman penyelenggaraan pelatihan berbasis kompetensi. Pasal 17 (1) Perubahan Program PBK SPPUR wajib memperoleh persetujuan dari Bank Indonesia. (2) LPK SPPUR yang diakui oleh Bank Indonesia yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa: a. teguran tertulis; b. pembekuan dari daftar LPK SPPUR yang diakui oleh Bank Indonesia; dan/atau c. pencabutan dari daftar LPK SPPUR yang diakui oleh Bank Indonesia. Pasal 18 (1) Bank Indonesia dapat melakukan kerja sama dengan LPK SPPUR yang diakui oleh Bank Indonesia untuk melaksanakan PBK SPPUR bagi Pegawai dari Pelaku SPPUR yang memenuhi kriteria yang ditetapkan Bank Indonesia. (2) Bank Indonesia dapat membantu pembiayaan penyelenggaraan PBK SPPUR sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal 19 Ketentuan lebih lanjut mengenai LPK SPPUR yang diakui oleh Bank Indonesia diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. - 14 - Bagian Kedua LSP SPPUR yang Diakui oleh Bank Indonesia Pasal 20 (1) LSP SPPUR dibentuk oleh asosiasi profesi dan/atau asosiasi industri. (2) Calon LSP SPPUR harus memperoleh rekomendasi dari Bank Indonesia untuk mengajukan permohonan: a. pembentukan LSP SPPUR; dan/atau b. lisensi sebagai LSP SPPUR, kepada lembaga yang berwenang. (3) Rekomendasi dari Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan kepada calon LSP SPPUR yang memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. memiliki rekomendasi dari asosiasi profesi dan/atau asosiasi industri; b. memiliki perangkat organisasi; c. memiliki asesor di bidang sistem pembayaran dan pengelolaan uang rupiah; d. memiliki Skema Sertifikasi Kompetensi SPPUR; dan e. persyaratan lainnya yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. (4) Dalam memberikan rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Bank Indonesia dapat melakukan pemeriksaan lokasi kepada calon LSP SPPUR. (5) Skema Sertifikasi Kompetensi SPPUR yang disusun oleh calon LSP SPPUR sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf d harus mengacu pada skema sertifikasi kerangka kualifikasi nasional Indonesia bidang sistem pembayaran dan pengelolaan uang rupiah yang ditetapkan oleh komite skema sertifikasi kompetensi. - 15 - Pasal 21 (1) Calon LSP SPPUR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (2) yang telah memperoleh lisensi sebagai LSP SPPUR harus mengajukan permohonan kepada Bank Indonesia untuk memperoleh pengakuan sebagai LSP SPPUR yang diakui oleh Bank Indonesia. (2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan secara tertulis dengan dilengkapi dokumen pendukung. (3) Bank Indonesia menetapkan LSP SPPUR yang diakui oleh Bank Indonesia. (4) Bank Indonesia melakukan publikasi daftar LSP SPPUR yang diakui oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (3) melalui sarana yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Pasal 22 Bank Indonesia dapat menetapkan kebijakan tertentu dalam pemberian rekomendasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (2) berdasarkan pertimbangan: a. menjaga efektivitas pelaksanaan Sertifikasi Kompetensi SPPUR; dan/atau b. pertimbangan lainnya yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Pasal 23 (1) LSP SPPUR yang diakui oleh Bank Indonesia memiliki tugas: a. menyelenggarakan Sertifikasi Kompetensi SPPUR dengan mengacu pada Skema Sertifikasi Kompetensi SPPUR; b. melakukan evaluasi Skema Sertifikasi Kompetensi SPPUR secara berkala; c. menyusun dan melakukan evaluasi materi uji kompetensi secara berkala; dan - 16 - d. menatausahakan data Sertifikat Kompetensi SPPUR yang telah diterbitkan dan data Pemeliharaan Kompetensi SPPUR pemilik Sertifikat Kompetensi SPPUR. (2) LSP SPPUR yang diakui oleh Bank Indonesia memiliki wewenang: a. menerbitkan Sertifikat Kompetensi SPPUR; dan b. menunda, mencabut, atau membatalkan penerbitan Sertifikat Kompetensi SPPUR. (3) Selain memiliki tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (2), LSP SPPUR yang diakui oleh Bank Indonesia juga memiliki tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai lembaga sertifikasi profesi. Pasal 24 (1) Perubahan Skema Sertifikasi Kompetensi SPPUR wajib memperoleh persetujuan dari Bank Indonesia. (2) LSP SPPUR yang diakui oleh Bank Indonesia yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa: a. teguran tertulis; b. pembekuan dari daftar LSP SPPUR yang diakui oleh Bank Indonesia; dan/atau c. pencabutan dari daftar LSP SPPUR yang diakui oleh Bank Indonesia. Pasal 25 Ketentuan lebih lanjut mengenai LSP SPPUR yang diakui oleh Bank Indonesia diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. - 17 - BAB IV PEMELIHARAAN KOMPETENSI SPPUR Pasal 26 (1) Pelaku SPPUR wajib memastikan Pegawai yang memiliki Sertifikat SPPUR melakukan Pemeliharaan Kompetensi SPPUR secara berkala. (2) Dalam memastikan Pemeliharaan Kompetensi SPPUR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Pegawai pemilik Sertifikat PBK SPPUR, Pelaku SPPUR wajib mengacu pada pedoman penyelenggaraan PBK SPPUR yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. (3) Dalam memastikan Pemeliharaan Kompetensi SPPUR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Pegawai pemilik Sertifikat Kompetensi SPPUR, Pelaku SPPUR wajib mengacu pada Skema Sertifikasi Kompetensi SPPUR. (4) Pelaku SPPUR yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan/atau ayat (3) dikenai sanksi administratif berupa: a. teguran tertulis; b. penundaan pemberian persetujuan pengembangan produk, kerja sama, dan kegiatan lainnya di bidang sistem pembayaran dan pengelolaan uang rupiah; dan/atau c. pencabutan izin sebagai penyelenggara jasa sistem pembayaran dan pengelolaan uang rupiah. Pasal 27 (1) Pemeliharaan Kompetensi SPPUR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) diselenggarakan oleh: a. lembaga pendidikan; b. c. asosiasi profesi; asosiasi industri; d. Pelaku SPPUR; e. LPK SPPUR yang diakui oleh Bank Indonesia; f. LSP SPPUR yang diakui oleh Bank Indonesia; - 18 - g. otoritas terkait; dan h. pihak lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. (2) Dalam menyelenggarakan Pemeliharaan Kompetensi SPPUR bagi pemilik Sertifikat PBK SPPUR, pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mengacu pada pedoman penyelenggaraan PBK SPPUR yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. (3) Dalam menyelenggarakan Pemeliharaan Kompetensi SPPUR bagi pemilik Sertifikat Kompetensi SPPUR, pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mengacu pada Skema Sertifikasi Kompetensi SPPUR. Pasal 28 (1) Pelaku SPPUR wajib menatausahakan data Pegawai pemilik Sertifikat SPPUR yang telah melakukan Pemeliharaan Kompetensi SPPUR. (2) Pelaku SPPUR yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa: a. teguran tertulis; b. penundaan pemberian persetujuan pengembangan produk, kerja sama, dan kegiatan lainnya di bidang sistem pembayaran dan pengelolaan uang rupiah; dan/atau c. pencabutan izin sebagai penyelenggara jasa sistem pembayaran dan pengelolaan uang rupiah. Pasal 29 Ketentuan lebih lanjut mengenai Pemeliharaan Kompetensi SPPUR diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. - 19 - BAB V PELAPORAN DAN PENGAWASAN Bagian Kesatu Pelaporan Paragraf 1 Pelaporan bagi Pelaku SPPUR Pasal 30 (1) Pelaku SPPUR wajib menyampaikan laporan berkala dan laporan insidental kepada Bank Indonesia secara benar dan lengkap. (2) Dalam hal laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak benar dan/atau tidak lengkap, Pelaku SPPUR wajib menyampaikan koreksi laporan. (3) Pelaku SPPUR yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau ayat (2) dikenai sanksi administratif berupa: a. teguran tertulis; b. penundaan pemberian persetujuan pengembangan produk, kerja sama, dan kegiatan lainnya di bidang sistem pembayaran dan pengelolaan uang rupiah; dan/atau c. pencabutan izin sebagai penyelenggara jasa sistem pembayaran dan pengelolaan uang rupiah. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaporan bagi Pelaku SPPUR diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. Paragraf 2 Pelaporan bagi LPK SPPUR yang Diakui oleh Bank Indonesia Pasal 31 (1) LPK SPPUR yang diakui oleh Bank Indonesia wajib menyampaikan laporan berkala dan laporan insidental kepada Bank Indonesia secara benar dan lengkap. - 20 - (2) Dalam hal laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak benar dan/atau tidak lengkap, LPK SPPUR yang diakui oleh Bank Indonesia wajib menyampaikan koreksi laporan. (3) LPK SPPUR yang diakui oleh Bank Indonesia yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau ayat (2) dikenai sanksi administratif berupa: a. teguran tertulis; b. pembekuan dari daftar LPK SPPUR yang diakui oleh Bank Indonesia; dan/atau c. pencabutan dari daftar LPK SPPUR yang diakui oleh Bank Indonesia. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaporan bagi LPK SPPUR yang diakui oleh Bank Indonesia diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. Paragraf 3 Pelaporan bagi LSP SPPUR yang Diakui oleh Bank Indonesia Pasal 32 (1) LSP SPPUR yang diakui oleh Bank Indonesia wajib menyampaikan laporan berkala dan laporan insidental kepada Bank Indonesia secara benar dan lengkap. (2) Dalam hal laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak benar dan/atau tidak lengkap, LSP SPPUR yang diakui oleh Bank Indonesia wajib menyampaikan koreksi laporan. (3) LSP SPPUR yang diakui oleh Bank Indonesia yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau ayat (2) dikenai sanksi administratif berupa: a. teguran tertulis; b. pembekuan dari daftar LSP SPPUR yang diakui oleh Bank Indonesia; dan/atau c. pencabutan dari daftar LSP SPPUR yang diakui oleh Bank Indonesia. - 21 - (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaporan bagi LSP SPPUR yang diakui oleh Bank Indonesia diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. Bagian Kedua Pengawasan Pasal 33 (1) Bank Indonesia melakukan pengawasan kepada: a. Pelaku SPPUR; dan b. Penyelenggara, terhadap pemenuhan ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia ini. (2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. pengawasan tidak langsung; dan b. pengawasan langsung. (3) Pengawasan tidak langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dilakukan terhadap laporan berkala dan laporan insidental yang disampaikan oleh: a. Pelaku SPPUR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1); b. LPK SPPUR yang diakui oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1); dan c. LSP SPPUR yang diakui oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1). (4) Pengawasan langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dilakukan melalui pemeriksaan terhadap Pelaku SPPUR dan Penyelenggara. (5) Pelaku SPPUR dan Penyelenggara wajib memberikan keterangan, penjelasan, rekaman, dan/atau dokumen yang dibutuhkan dalam pemeriksaan oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (4). (6) Pelaku SPPUR dan Penyelenggara wajib menindaklanjuti hasil pengawasan yang dilakukan oleh Bank Indonesia. - 22 - (7) Pelaku SPPUR yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan/atau ayat (6) dikenai sanksi administratif berupa: a. teguran tertulis; b. penundaan pemberian persetujuan pengembangan produk, kerja sama, dan kegiatan lainnya di bidang sistem pembayaran dan pengelolaan uang rupiah; dan/atau c. pencabutan izin sebagai penyelenggara jasa sistem pembayaran dan pengelolaan uang rupiah. (8) Penyelenggara yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan/atau ayat (6) dikenai sanksi administratif berupa: a. teguran tertulis; b. pembekuan dari daftar Penyelenggara yang diakui oleh Bank Indonesia; dan/atau c. pencabutan dari daftar Penyelenggara yang diakui oleh Bank Indonesia. Pasal 34 Ketentuan lebih lanjut mengenai pengawasan diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. BAB VI KOORDINASI Pasal 35 (1) Dalam melaksanakan ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia ini, Bank Indonesia dapat berkoordinasi dengan otoritas terkait, lembaga yang berwenang, asosiasi profesi, dan/atau asosiasi industri. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai koordinasi diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. - 23 - BAB VII TAHAPAN IMPLEMENTASI Pasal 36 Implementasi ketentuan mengenai kewajiban Pelaku SPPUR untuk memastikan kepemilikan Sertifikat SPPUR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) dilakukan dalam 3 (tiga) tahap: a. tahap 1; b. tahap 2; dan c. tahap 3. Pasal 37 (1) Implementasi tahap 1 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 huruf a diberlakukan bagi Pelaku SPPUR berupa: a. Bank dengan kategori Bank Umum Kegiatan Usaha 4 dan kategori Bank Umum Kegiatan Usaha 3; dan b. LSB. (2) Bank dan LSB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas Bank dan LSB yang melaksanakan: a. kegiatan operasional sistem pembayaran tunai; b. kegiatan operasional sistem pembayaran nontunai sebagai penyelenggara transfer dana; c. kegiatan operasional sistem setelmen transaksi tresuri dan pembiayaan perdagangan; dan d. kegiatan operasional sistem penatausahaan surat berharga. (3) Kegiatan operasional sistem pembayaran tunai oleh LSB sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a berupa: a. kegiatan usaha penukaran valuta asing; dan b. kegiatan pembawaan uang kertas asing ke dalam dan/atau ke luar daerah pabean Indonesia, dengan rata-rata nilai transaksi lebih besar dari Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) per bulan dan memiliki risiko menengah sampai dengan tinggi. - 24 - (4) Kegiatan operasional sistem pembayaran nontunai sebagai penyelenggara transfer dana oleh LSB sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b berupa kegiatan dengan rata-rata transaksi lebih besar dari Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) per bulan dan risiko menengah sampai dengan tinggi. Pasal 38 (1) Implementasi tahap 2 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 huruf b diberlakukan bagi Pelaku SPPUR berupa: a. Bank dengan kategori Bank Umum Kegiatan Usaha 2 dan kategori Bank Umum Kegiatan Usaha 1; dan b. LSB. (2) Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri atas Bank yang melaksanakan: a. kegiatan operasional sistem pembayaran tunai; b. kegiatan operasional sistem pembayaran nontunai sebagai penyelenggara transfer dana; c. kegiatan operasional sistem setelmen transaksi tresuri dan pembiayaan perdagangan; dan d. kegiatan operasional sistem penatausahaan surat berharga. (3) LSB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b terdiri atas LSB yang melaksanakan: a. kegiatan operasional sistem pembayaran tunai; dan b. kegiatan operasional sistem pembayaran nontunai sebagai penyelenggara transfer dana. (4) Kegiatan operasional sistem pembayaran tunai oleh LSB sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a berupa kegiatan usaha penukaran valuta asing dan kegiatan pembawaan uang kertas asing ke dalam dan/atau ke luar daerah pabean Indonesia, dengan rata-rata nilai transaksi: a. lebih besar dari Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) per bulan yang memiliki risiko rendah; dan - 25 - b. lebih kecil sama dengan Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) per bulan yang memiliki risiko rendah sampai dengan tinggi. (5) Kegiatan operasional sistem pembayaran nontunai sebagai penyelenggara transfer dana oleh LSB sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b berupa kegiatan dengan rata-rata nilai transaksi: a. lebih besar dari Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) per bulan yang memiliki risiko rendah; dan b. lebih kecil sama dengan Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) per bulan yang memiliki risiko rendah sampai dengan tinggi. Pasal 39 (1) Implementasi tahap 3 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 huruf c diberlakukan bagi Pelaku SPPUR berupa: a. Bank; dan b. LSB. (2) Pelaku SPPUR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan Pelaku SPPUR yang melaksanakan kegiatan operasional sistem pembayaran nontunai sebagai: a. prinsipal; b. penyelenggara switching; c. penerbit; d. acquirer; e. penyelenggara payment gateway; f. penyelenggara kliring; g. penyelenggara penyelesaian akhir; dan h. penyelenggara dompet elektronik. (3) LSB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan LSB yang melaksanakan kegiatan operasional sistem pembayaran tunai berupa kegiatan layanan kas. - 26 - Pasal 40 (1) Penetapan Bank yang masuk dalam kategori Bank Umum Kegiatan Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) huruf a dan Pasal 38 ayat (1) huruf a menggunakan data terakhir pada saat Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku. (2) Penetapan implementasi pada LSB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (2) dan Pasal 38 ayat (3) menggunakan data sebagai berikut: a. data rata-rata transaksi 12 (dua belas) bulan terakhir pada saat Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku; dan b. data national risk assessment dan sectoral risk assessment posisi terakhir pada saat Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku. Pasal 41 Ketentuan lebih lanjut mengenai tahapan implementasi diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. BAB VIII KETENTUAN PERALIHAN Pasal 42 (1) Untuk implementasi tahap 1 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37, kewajiban Pelaku SPPUR untuk memastikan kepemilikan Sertifikat SPPUR bagi Pegawai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut: a. bagi pelaksana yang telah menduduki jabatannya sebelum tanggal 1 Januari 2023 dilakukan mulai: 1. tanggal 1 Juli 2020 sampai dengan tanggal 30 Juni 2021, paling sedikit 30% (tiga puluh persen) dari jumlah pelaksana; 2. tanggal 1 Juli 2021 sampai dengan tanggal 30 Juni 2022, paling sedikit 70% (tujuh puluh persen) dari jumlah pelaksana; - 27 - 3. tanggal 1 Juli 2022 sampai dengan tanggal 30 Juni 2023, untuk seluruh pelaksana; dan b. bagi penyelia dan pejabat eksekutif yang telah menduduki jabatannya sebelum tanggal 1 Januari 2024 dilakukan mulai: 1. tanggal 1 Juli 2021 sampai dengan tanggal 30 Juni 2022, paling sedikit 30% (tiga puluh persen) dari jumlah penyelia dan pejabat eksekutif; 2. tanggal 1 Juli 2022 sampai dengan tanggal 30 Juni 2023, paling sedikit 70% (tujuh puluh persen) dari jumlah penyelia dan pejabat eksekutif; dan 3. tanggal 1 Juli 2023 sampai dengan tanggal 30 Juni 2024, untuk seluruh penyelia dan pejabat eksekutif. (2) Untuk implementasi tahap 2 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38, kewajiban Pelaku SPPUR untuk memastikan kepemilikan Sertifikat SPPUR bagi Pegawai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) yang telah menduduki jabatannya sebelum tanggal 1 Juli 2023 dilakukan mulai: a. tanggal 1 Januari 2022 sampai dengan tanggal 31 Desember 2022, paling sedikit 40% (empat puluh persen) dari jumlah Pegawai; dan b. tanggal 1 Januari 2023 sampai dengan tanggal 31 Desember 2023, untuk seluruh Pegawai. (3) Untuk implementasi tahap 3 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39, kewajiban Pelaku SPPUR untuk memastikan kepemilikan Sertifikat SPPUR bagi Pegawai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) yang telah menduduki jabatannya sebelum tanggal 1 Juli 2024 dilakukan mulai: a. tanggal 1 Januari 2023 sampai dengan tanggal 31 Desember 2023, paling sedikit 40% (empat puluh persen) dari jumlah Pegawai; dan b. tanggal 1 Januari 2024 sampai dengan tanggal 31 Desember 2024, untuk seluruh Pegawai. - 28 - BAB IX KETENTUAN PENUTUP Pasal 43 Kewajiban Pelaku SPPUR untuk memastikan kepemilikan Sertifikat SPPUR setelah berakhirnya tahapan implementasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Pasal 7 ayat (7), dengan pengaturan sebagai berikut: a. bagi pelaksana dalam implementasi tahap 1 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37, mulai berlaku sejak tanggal 1 Juli 2023; b. bagi penyelia dan pejabat eksekutif dalam implementasi tahap 1 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37, mulai berlaku sejak tanggal 1 Juli 2024; c. bagi Pegawai dalam implementasi tahap 2 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38, mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari 2024; dan d. bagi Pegawai dalam implementasi tahap 3 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39, mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari 2025. Pasal 44 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. - 29 - Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 30 Desember 2019 GUBERNUR BANK INDONESIA, TTD PERRY WARJIYO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 31 Desember 2019 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, TTD YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2019 NOMOR 260 - 1 - PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 21/ 16 /PBI/2019 TENTANG STANDARDISASI KOMPETENSI DI BIDANG SISTEM PEMBAYARAN DAN PENGELOLAAN UANG RUPIAH I. UMUM Perkembangan teknologi dan sistem informasi mendorong berkembangnya sistem pembayaran dan pengelolaan uang rupiah sehingga memunculkan berbagai inovasi yang mencakup antara lain instrumen pembayaran, mekanisme pembayaran, dan infrastruktur sistem pembayaran. Untuk mengimbangi perkembangan tersebut, perlu didukung dengan sumber daya manusia yang memiliki kompetensi di bidang sistem pembayaran dan pengelolaan uang rupiah yang terstandar sehingga mendukung terciptanya sistem pembayaran yang lancar, aman, efisien, dan andal, serta pengelolaan uang rupiah yang mampu memenuhi kebutuhan uang rupiah di masyarakat dalam jumlah nominal yang cukup, jenis pecahan yang sesuai, tepat waktu, dan dalam kondisi yang layak edar serta aman dari upaya pemalsuan di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, sehingga berkontribusi terhadap perekonomian nasional dengan memperhatikan aspek perluasan akses, perlindungan konsumen, dan kepentingan nasional. Sebagai salah satu upaya untuk menciptakan sumber daya manusia yang memiliki kompetensi di bidang sistem pembayaran dan pengelolaan uang rupiah, Bank Indonesia perlu mengatur Standardisasi Kompetensi SPPUR. Dalam mengembangkan Standardisasi Kompetensi SPPUR, Bank - 2 - Indonesia mempertimbangkan ketentuan mengenai sistem standardisasi kompetensi kerja nasional dengan mengikutsertakan otoritas atau lembaga yang berwenang, asosiasi profesi, asosiasi industri, perwakilan Pelaku SPPUR, dan akademisi. Pengaturan standardisasi kompetensi di bidang sistem pembayaran dan pengelolaan uang rupiah diwujudkan dalam bentuk kewajiban Pelaku SPPUR untuk memastikan pelaksana, penyelia, dan pejabat eksekutif memiliki kompetensi di bidang sistem pembayaran dan pengelolaan uang rupiah yang dibuktikan dengan kepemilikan Sertifikat SPPUR. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Cukup jelas. Pasal 3 Cukup jelas. Pasal 4 Huruf a Yang termasuk kegiatan operasional sistem pembayaran tunai antara lain kegiatan layanan kas, kegiatan usaha penukaran valuta asing, dan kegiatan pembawaan uang kertas asing ke dalam dan/atau ke luar daerah pabean Indonesia. Huruf b Yang termasuk kegiatan operasional sistem pembayaran nontunai antara lain kegiatan pemrosesan transaksi pembayaran yang dilakukan oleh Pelaku SPPUR. Pelaku SPPUR yang melakukan kegiatan pemrosesan transaksi pembayaran nontunai antara lain sebagai prinsipal, penyelenggara switching, penerbit, acquirer, penyelenggara payment gateway, penyelenggara kliring, penyelenggara penyelesaian akhir, penyelenggara transfer dana, dan penyelenggara dompet elektronik. - 3 - Huruf c Yang dimaksud dengan “kegiatan operasional sistem setelmen transaksi tresuri” adalah kegiatan setelmen atas transaksi tresuri antara lain transaksi money market, transaksi fixed income, transaksi foreign exchange, dan transaksi derivatif. Yang dimaksud dengan “kegiatan operasional sistem setelmen transaksi pembiayaan perdagangan” adalah kegiatan setelmen pembayaran atas transaksi pembelian dan penjualan barang dan jasa dalam perdagangan internasional maupun dalam negeri (trade finance) antara lain documentary credit dan documentary collection seperti letter of credit, surat kredit berdokumen dalam negeri, open account, bank garansi, standby letter of credit, demand guarantee, dan bank payment obligation. Huruf d Yang dimaksud dengan “kegiatan operasional sistem penatausahaan surat berharga” adalah kegiatan penatausahaan surat berharga milik nasabah yang dilakukan oleh Pelaku SPPUR sebagai sub-registry yang dilakukan melalui Bank Indonesia Scripless Securities Settlement System, meliputi kegiatan pencatatan kepemilikan, penyelesaian transaksi, dan aksi korporasi. Huruf e Cukup jelas. Pasal 5 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) SKKNI Bidang SPPUR yang ditetapkan oleh Menteri Ketenagakerjaan Republik Indonesia merupakan hasil kesepakatan dalam konvensi nasional. Ayat (3) Jenjang Kualifikasi SPPUR yang ditetapkan oleh Bank Indonesia merupakan hasil kesepakatan dalam konvensi nasional. Pasal 6 Cukup jelas. - 4 - Pasal 7 Ayat (1) Pelaku SPPUR memastikan Pegawai yang melaksanakan Kegiatan SPPUR memiliki Sertifikat SPPUR antara lain dengan mengidentifikasi Pegawai yang harus memiliki Sertifikat SPPUR dan mengikutsertakan Pegawai dalam PBK SPPUR atau Sertifikasi Kompetensi SPPUR. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Skala usaha ditetapkan berdasarkan antara lain rata-rata transaksi Pelaku SPPUR. Ayat (7) Cukup jelas. Ayat (8) Cukup jelas. Pasal 8 Cukup jelas. Pasal 9 Ayat (1) Cukup jelas. - 5 - Ayat (2) Dalam memberikan persetujuan, Bank Indonesia dapat melibatkan antara lain otoritas terkait, lembaga yang berwenang, asosiasi profesi, dan/atau asosiasi industri. Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Yang dimaksud dengan “asosiasi profesi” antara lain asosiasi profesi di bidang jasa keuangan yang telah tercatat dalam Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia. Yang dimaksud dengan “asosiasi industri” antara lain Asosiasi Bank Kustodian Indonesia, Afiliasi Pedagang Valuta Asing, Asosiasi Bank Pembangunan Daerah, Asosiasi Bank Syariah Indonesia, Asosiasi Sistem Pembayaran Indonesia, Himpunan Bank Milik Negara, International Chamber of Commerce Indonesia, Indonesia Foreign Exchange Market Committee, Perhimpunan Bank Nasional, dan Perhimpunan Bank- Bank Internasional Indonesia. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 10 Cukup jelas. Pasal 11 Cukup jelas. Pasal 12 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. - 6 - Huruf b Termasuk asosiasi profesi antara lain asosiasi profesi di bidang jasa keuangan yang telah tercatat dalam Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia. Termasuk asosiasi industri antara lain Asosiasi Bank Kustodian Indonesia, Afiliasi Pedagang Valuta Asing, Asosiasi Bank Pembangunan Daerah, Asosiasi Bank Syariah Indonesia, Asosiasi Sistem Pembayaran Indonesia, Himpunan Bank Milik Negara, International Chamber of Commerce Indonesia, Indonesia Foreign Exchange Market Committee, Perhimpunan Bank Nasional, dan Perhimpunan Bank-Bank Internasional Indonesia. Huruf c Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “lembaga yang berwenang” adalah lembaga yang berwenang memberikan izin dan tanda daftar sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang- undangan mengenai tata cara perizinan dan pendaftaran lembaga pelatihan kerja. Ayat (3) Huruf a Termasuk asosiasi profesi antara lain asosiasi profesi di bidang jasa keuangan yang telah tercatat dalam Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia. Termasuk asosiasi industri antara lain Asosiasi Bank Kustodian Indonesia, Afiliasi Pedagang Valuta Asing, Asosiasi Bank Pembangunan Daerah, Asosiasi Bank Syariah Indonesia, Asosiasi Sistem Pembayaran Indonesia, Himpunan Bank Milik Negara, International Chamber of Commerce Indonesia, Indonesia Foreign Exchange Market Committee, Perhimpunan Bank Nasional, dan Perhimpunan Bank-Bank Internasional Indonesia. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. - 7 - Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 13 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “lembaga yang berwenang” adalah lembaga yang berwenang memberikan izin dan tanda daftar sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang- undangan mengenai tata cara perizinan dan pendaftaran lembaga pelatihan kerja. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Sarana yang ditetapkan oleh Bank Indonesia antara lain laman resmi Bank Indonesia dan/atau media publikasi lainnya. Pasal 14 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “akreditasi” adalah proses pemberian pengakuan formal yang menyatakan bahwa suatu lembaga telah memenuhi persyaratan untuk melakukan kegiatan pelatihan kerja sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai akreditasi lembaga pelatihan kerja. Yang dimaksud dengan “lembaga yang berwenang” adalah lembaga yang melakukan akreditasi lembaga pelatihan kerja sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang- undangan mengenai akreditasi lembaga pelatihan kerja. - 8 - Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 15 Cukup jelas. Pasal 16 Cukup jelas. Pasal 17 Cukup jelas. Pasal 18 Ayat (1) Pelaku SPPUR yang memenuhi kriteria yang ditetapkan Bank Indonesia antara lain Pelaku SPPUR yang mengalami kesulitan pembiayaan dan Pelaku SPPUR merupakan industri yang baru berdiri atau kegiatannya masih berkembang. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 19 Cukup jelas. Pasal 20 Ayat (1) Termasuk asosiasi profesi antara lain asosiasi profesi di bidang jasa keuangan yang telah tercatat dalam Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia. Termasuk asosiasi industri antara lain Asosiasi Bank Kustodian Indonesia, Afiliasi Pedagang Valuta Asing, Asosiasi Bank Pembangunan Daerah, Asosiasi Bank Syariah Indonesia, Asosiasi Sistem Pembayaran Indonesia, Himpunan Bank Milik Negara, International Chamber of Commerce Indonesia, Indonesia Foreign Exchange Market Committee, Perhimpunan Bank Nasional, dan Perhimpunan Bank-Bank Internasional Indonesia. - 9 - Ayat (2) Yang dimaksud dengan “lembaga yang berwenang” adalah lembaga yang berwenang melaksanakan sertifikasi kompetensi kerja sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai badan nasional sertifikasi profesi. Ayat (3) Huruf a Termasuk asosiasi profesi antara lain asosiasi profesi di bidang jasa keuangan yang telah tercatat dalam Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia. Termasuk asosiasi industri antara lain Asosiasi Bank Kustodian Indonesia, Afiliasi Pedagang Valuta Asing, Asosiasi Bank Pembangunan Daerah, Asosiasi Bank Syariah Indonesia, Asosiasi Sistem Pembayaran Indonesia, Himpunan Bank Milik Negara, International Chamber of Commerce Indonesia, Indonesia Foreign Exchange Market Committee, Perhimpunan Bank Nasional, dan Perhimpunan Bank-Bank Internasional Indonesia. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Yang dimaksud dengan “komite skema sertifikasi kompetensi” adalah komite sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pedoman pengembangan dan pemeliharaan skema sertifikasi profesi. Pasal 21 Ayat (1) Cukup jelas. - 10 - Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Sarana yang ditetapkan oleh Bank Indonesia antara lain laman resmi Bank Indonesia dan/atau media publikasi lainnya. Pasal 22 Cukup jelas. Pasal 23 Cukup jelas. Pasal 24 Cukup jelas. Pasal 25 Cukup jelas. Pasal 26 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “memastikan Pegawai yang memiliki Sertifikat SPPUR melakukan Pemeliharaan Kompetensi SPPUR” antara lain mengikutsertakan Pegawai pemilik Sertifikat SPPUR dalam Pemeliharaan Kompetensi SPPUR. Pemeliharaan Kompetensi SPPUR dilakukan antara lain melalui ujian tertulis, in-house training, seminar, workshop, lokakarya, dan/atau e-learning dengan topik yang sejalan dengan Sertifikat SPPUR yang dimiliki. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. - 11 - Pasal 27 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan “lembaga pendidikan” antara lain lembaga pendidikan formal dan lembaga pendidikan nonformal. Huruf b Termasuk asosiasi profesi antara lain asosiasi profesi di bidang jasa keuangan yang telah tercatat dalam Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia. Huruf c Termasuk asosiasi industri antara lain Asosiasi Bank Kustodian Indonesia, Afiliasi Pedagang Valuta Asing, Asosiasi Bank Pembangunan Daerah, Asosiasi Bank Syariah Indonesia, Asosiasi Sistem Pembayaran Indonesia, Himpunan Bank Milik Negara, International Chamber of Commerce Indonesia, Indonesia Foreign Exchange Market Committee, Perhimpunan Bank Nasional, dan Perhimpunan Bank-Bank Internasional Indonesia. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 28 Cukup jelas. - 12 - Pasal 29 Cukup jelas. Pasal 30 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “laporan berkala” adalah laporan dengan periode waktu yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 31 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “laporan berkala” adalah laporan dengan periode waktu yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 32 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “laporan berkala” adalah laporan dengan periode waktu yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. - 13 - Pasal 33 Ayat (1) Huruf a Pengawasan terhadap Pelaku SPPUR berupa pemenuhan ketentuan Bank Indonesia mengenai standardisasi kompetensi di bidang sistem pembayaran dan pengelolaan uang rupiah terkait pemenuhan kewajiban Pelaku SPPUR dalam penerapan SKKNI Bidang SPPUR dan Jenjang Kualifikasi SPPUR. Huruf b Pengawasan terhadap Penyelenggara berupa pemenuhan ketentuan Bank Indonesia mengenai standardisasi kompetensi di bidang sistem pembayaran dan pengelolaan uang rupiah terkait penyelenggaraan PBK SPPUR dan Sertifikasi Kompetensi SPPUR. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Ayat (8) Cukup jelas. Pasal 34 Cukup jelas. Pasal 35 Ayat (1) Otoritas terkait antara lain Otoritas Jasa Keuangan dan Kementerian Ketenagakerjaan Republik Indonesia. - 14 - Yang dimaksud dengan “lembaga yang berwenang” adalah: a. lembaga yang berwenang memberikan izin dan tanda daftar lembaga pelatihan kerja sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai tata cara perizinan dan pendaftaran lembaga pelatihan kerja; dan b. lembaga yang berwenang melaksanakan sertifikasi kompetensi kerja sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai badan nasional sertifikasi profesi. Termasuk asosiasi profesi antara lain asosiasi profesi di bidang jasa keuangan yang telah tercatat dalam Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia. Termasuk asosiasi industri antara lain Asosiasi Bank Kustodian Indonesia, Afiliasi Pedagang Valuta Asing, Asosiasi Bank Pembangunan Daerah, Asosiasi Bank Syariah Indonesia, Asosiasi Sistem Pembayaran Indonesia, Himpunan Bank Milik Negara, International Chamber of Commerce Indonesia, Indonesia Foreign Exchange Market Committee, Perhimpunan Bank Nasional, dan Perhimpunan Bank-Bank Internasional Indonesia. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 36 Cukup jelas. Pasal 37 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan “Bank dengan kategori Bank Umum Kegiatan Usaha 4 dan Bank Umum Kegiatan Usaha 3” adalah Bank kategori Bank Umum Kegiatan Usaha 4 dan Bank Umum Kegiatan Usaha 3 sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai kegiatan usaha dan jaringan kantor berdasarkan modal inti bank. Huruf b Cukup jelas. - 15 - Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Risiko menengah sampai dengan tinggi ditetapkan berdasarkan national risk assessment dan sectoral risk assessment sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang- undangan mengenai penerapan anti pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme bagi penyelenggara jasa sistem pembayaran selain bank dan penyelenggara kegiatan usaha penukaran valuta asing bukan bank. Ayat (4) Risiko menengah sampai dengan tinggi ditetapkan berdasarkan national risk assessment dan sectoral risk assessment sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang- undangan mengenai penerapan anti pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme bagi penyelenggara jasa sistem pembayaran selain bank dan penyelenggara kegiatan usaha penukaran valuta asing bukan bank. Pasal 38 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan “Bank dengan kategori Bank Umum Kegiatan Usaha 2 dan Bank Umum Kegiatan Usaha 1” adalah Bank kategori Bank Umum Kegiatan Usaha 2 dan Bank Umum Kegiatan Usaha 1 sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai kegiatan usaha dan jaringan kantor berdasarkan modal inti bank. Huruf b Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. - 16 - Ayat (4) Risiko rendah sampai dengan tinggi ditetapkan berdasarkan national risk assessment dan sectoral risk assessment sebagaimana dimaksud dalam ketentuan perundang-undangan mengenai penerapan anti pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme bagi penyelenggara jasa sistem pembayaran selain bank dan penyelenggara kegiatan usaha penukaran valuta asing bukan bank. Ayat (5) Risiko rendah sampai dengan tinggi ditetapkan berdasarkan national risk assessment dan sectoral risk assessment sebagaimana dimaksud dalam ketentuan perundang-undangan mengenai penerapan anti pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme bagi penyelenggara jasa sistem pembayaran selain bank dan penyelenggara kegiatan usaha penukaran valuta asing bukan bank. Pasal 39 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud dengan “prinsipal” adalah prinsipal sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai penyelenggaraan kegiatan alat pembayaran dengan menggunakan kartu dan ketentuan Bank Indonesia mengenai uang elektronik. Huruf b Yang dimaksud dengan “penyelenggara switching” adalah penyelenggara switching sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai penyelenggaraan pemrosesan transaksi pembayaran. Huruf c Yang dimaksud dengan “penerbit” adalah penerbit sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai penyelenggaraan kegiatan alat pembayaran - 17 - dengan menggunakan kartu dan ketentuan Bank Indonesia mengenai uang elektronik. Huruf d Yang dimaksud dengan “acquirer” adalah acquirer sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai penyelenggaraan kegiatan alat pembayaran dengan menggunakan kartu dan ketentuan Bank Indonesia mengenai uang elektronik. Huruf e Yang dimaksud dengan “penyelenggara payment gateway” adalah penyelenggara payment gateway sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai penyelenggaraan pemrosesan transaksi pembayaran. Huruf f Yang dimaksud dengan “penyelenggara kliring” adalah penyelenggara kliring sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai penyelenggaraan kegiatan alat pembayaran dengan menggunakan kartu dan ketentuan Bank Indonesia mengenai uang elektronik. Huruf g Yang dimaksud dengan “penyelenggara penyelesaian akhir” adalah penyelenggara penyelesaian akhir sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai penyelenggaraan kegiatan alat pembayaran dengan menggunakan kartu dan ketentuan Bank Indonesia mengenai uang elektronik. Huruf h Yang dimaksud dengan “penyelenggara dompet elektronik” adalah penyelenggara dompet elektronik sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai penyelenggaraan pemrosesan transaksi pembayaran. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 40 Cukup jelas. - 18 - Pasal 41 Cukup jelas. Pasal 42 Cukup jelas. Pasal 43 Cukup jelas. Pasal 44 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6448
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 21/16/PBI/2019 </reg_id> <reg_title> STANDARDISASI KOMPETENSI DI BIDANG SISTEM PEMBAYARAN DAN PENGELOLAAN UANG RUPIAH </reg_title> <set_date> 30 Desember 2019 </set_date> <effective_date> 31 Desember 2019 </effective_date> <issued_date> 31 Desember 2019 </issued_date> <related_reg> '2/PERPPU/2008', '6/UU/2009', '23/UU/1999' </related_reg> <penalty_list> 'BAB II Pasal 7 Ayat (8)', 'BAB II Pasal 10 Ayat (2)', 'BAB III Bagian Kesatu Pasal 14 Ayat (2)', 'BAB III Bagian Kesatu Pasal 17 Ayat (2)', 'BAB III Bagian Kedua Pasal 24 Ayat (2)', 'BAB IV Pasal 26 Ayat (4)', 'BAB IV Pasal 28 Ayat (2)', 'BAB V Bagian Kesatu Paragraf 1 Pasal 30 Ayat (3)', 'BAB V Bagian Kesatu Paragraf 2 Pasal 31 Ayat (3)', 'BAB V Bagian Kesatu Paragraf 3 Pasal 32 Ayat (3)', 'BAB V Bagian Kedua Pasal 33 Ayat (7)', 'BAB V Bagian Kedua Pasal 33 Ayat (8)' </penalty_list>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 7/2/PBI/2005 TENTANG PENILAIAN KUALITAS AKTIVA BANK UMUM GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kelangsungan usaha bank antara lain tergantung dari kemampuan dan efektifitas bank dalam mengelola risiko kredit dan meminimalkan potensi kerugian; rangka mengelola b. bahwa dalam risiko kredit dan meminimalkan potensi kerugian, bank wajib menjaga kualitas aktiva dan wajib membentuk penyisihan penghapusan aktiva; c. bahwa kewajiban pembentukan penyisihan penghapusan aktiva perlu diberlakukan terhadap aktiva produktif dan aktiva non produktif; d. bahwa sebagai salah satu upaya untuk meminimalkan potensi kerugian dari debitur bermasalah, bank dapat melakukan restrukturisasi kredit atas debitur yang masih memiliki prospek usaha dan kemampuan membayar; e. bahwa … - 2 - e. bahwa ketentuan mengenai kualitas aktiva, pembentukan penyisihan penghapusan aktiva dan restrukturisasi kredit merupakan ketentuan yang saling terkait sehingga dipandang perlu untuk menyatukan ketentuan tersebut dalam satu pengaturan; f. bahwa sehubungan dengan hal tersebut dipandang perlu untuk mengatur kembali penilaian kualitas aktiva bank umum dalam suatu Peraturan Bank Indonesia; Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); 2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaga Negara Republik Indonesia Nomor 4357); MEMUTUSKAN … - 3 - M E M U T U S K A N: Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PENILAIAN KUALITAS AKTIVA BANK UMUM. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan: 1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 termasuk kantor cabang bank asing, yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional. 2. Aktiva adalah aktiva produktif dan aktiva non produktif. 3. Aktiva Produktif adalah penyediaan dana Bank untuk memperoleh penghasilan, dalam bentuk kredit, surat berharga, penempatan dana antar bank, tagihan akseptasi, tagihan atas surat berharga yang dibeli dengan janji dijual kembali (reverse repurchase agreement), tagihan derivatif, penyertaan, transaksi rekening administratif serta bentuk penyediaan dana lainnya yang dapat dipersamakan dengan itu. 4. Aktiva Non Produktif adalah aset Bank selain Aktiva Produktif yang memiliki potensi kerugian, antara lain dalam bentuk agunan yang diambil alih, properti terbengkalai (abandoned property), rekening antar kantor dan suspense account. 5. Kredit … - 4 - 5. Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara Bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga, termasuk: a. cerukan (overdraft), yaitu saldo negatif pada rekening giro nasabah yang tidak dapat dibayar lunas pada akhir hari; b. pengambilalihan tagihan dalam rangka kegiatan anjak piutang; c. pengambilalihan atau pembelian kredit dari pihak lain. 6. Surat Berharga adalah surat pengakuan utang, wesel, obligasi, sekuritas kredit, atau setiap derivatifnya, atau kepentingan lain, atau suatu kewajiban dari penerbit, dalam bentuk yang lazim diperdagangkan dalam pasar modal dan pasar uang. 7. Penempatan adalah penanaman dana Bank pada bank lain dalam bentuk giro, interbank call money, deposito berjangka, sertifikat deposito, kredit dan penanaman dana lainnya yang sejenis. 8. 9. Tagihan Akseptasi adalah tagihan yang timbul sebagai akibat akseptasi yang dilakukan terhadap wesel berjangka. Tagihan Derivatif adalah tagihan karena potensi keuntungan dari suatu perjanjian/kontrak transaksi derivatif (selisih positif antara nilai kontrak dengan nilai wajar transaksi derivatif pada tanggal laporan), termasuk potensi keuntungan karena mark to market dari transaksi spot yang masih berjalan. 10. Penyertaan Modal adalah penanaman dana Bank dalam bentuk saham pada bank dan perusahaan di bidang keuangan lainnya sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, seperti perusahaan sewa guna … - 5 - guna usaha, modal ventura, perusahaan efek, asuransi, serta lembaga kliring penyelesaian dan penyimpanan, termasuk penanaman dalam bentuk surat utang konversi (convertible bonds) dengan opsi saham (equity options) atau jenis transaksi tertentu yang berakibat Bank memiliki atau akan memiliki saham pada bank dan atau perusahaan yang bergerak di bidang keuangan lainnya. 11. Penyertaan Modal Sementara adalah penyertaan modal oleh Bank pada perusahaan debitur untuk mengatasi kegagalan Kredit (debt to equity swap), termasuk penanaman dalam bentuk surat utang konversi (convertible bonds) dengan opsi saham (equity options) atau jenis transaksi tertentu yang berakibat Bank memiliki atau akan memiliki saham pada perusahaan debitur. 12. Transaksi Rekening Administratif adalah kewajiban komitmen dan kontinjensi yang antara lain meliputi penerbitan jaminan, letter of credit, standby letter of credit, fasilitas Kredit yang belum ditarik dan atau kewajiban komitmen dan kontinjensi lain. 13. Sertifikat Bank Indonesia yang untuk selanjutnya disebut SBI adalah surat berharga dalam mata uang Rupiah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia sebagai pengakuan utang berjangka waktu pendek. 14. Surat Utang Negara yang untuk selanjutnya disebut SUN adalah surat berharga yang berupa surat pengakuan utang dalam mata uang Rupiah maupun valuta asing yang diterbitkan dan dijamin pembayaran bunga dan pokoknya oleh Negara Republik Indonesia, sesuai dengan masa berlakunya. 15. Agunan yang Diambil Alih yang untuk selanjutnya disebut AYDA adalah aktiva yang diperoleh Bank, baik melalui pelelangan maupun diluar pelelangan … - 6 - pelelangan berdasarkan penyerahan secara sukarela oleh pemilik agunan atau berdasarkan kuasa untuk menjual di luar lelang dari pemilik agunan dalam hal debitur tidak memenuhi kewajibannya kepada Bank. 16. Properti Terbengkalai (abandoned property) adalah aktiva tetap dalam bentuk properti yang dimiliki Bank tetapi tidak digunakan untuk kegiatan usaha Bank yang lazim. 17. Rekening Antar Kantor adalah tagihan yang timbul dari transaksi antar kantor yang belum diselesaikan dalam jangka waktu tertentu. 18. Suspense Account adalah akun yang tujuan pencatatannya tidak teridentifikasi atau tidak didukung dengan dokumentasi pencatatan yang memadai sehingga tidak dapat direklasifikasi dalam akun yang seharusnya. 19. Penyisihan Penghapusan Aktiva yang untuk selanjutnya disebut PPA adalah cadangan yang harus dibentuk berdasarkan kualitas Aktiva. 20. Pihak Terkait adalah pihak terkait sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai Batas Maksimum Pemberian Kredit. 21. Kelompok Peminjam adalah kelompok peminjam sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai Batas Maksimum Pemberian Kredit. 22. Kewajiban Penyediaan Modal Minimum yang untuk selanjutnya disebut KPMM adalah Kewajiban Penyediaan Modal Minimum sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum. 23. Direksi: a. bagi Bank berbentuk hukum perseroan terbatas adalah direksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas; b. bagi … sebesar persentase tertentu - 7 - b. bagi Bank berbentuk hukum perusahaan daerah adalah direksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 Undang-Undang Nomor 5 tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah; c. bagi Bank berbentuk hukum koperasi adalah pengurus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 Undang-Undang Nomor 25 tahun 1992 tentang Perkoperasian, termasuk pimpinan kantor cabang bank asing. 24. Komisaris: a. bagi Bank berbentuk hukum perseroan terbatas adalah komisaris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas; b. bagi Bank berbentuk hukum perusahaan daerah adalah pengawas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah; Undang-Undang Nomor 5 c. bagi Bank berbentuk hukum koperasi adalah pengawas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 Undang-Undang Nomor 25 tahun 1992 tentang Perkoperasian, termasuk pejabat yang ditunjuk kantor pusat bank asing untuk melakukan fungsi pengawasan. 25. Restrukturisasi Kredit adalah upaya perbaikan yang dilakukan Bank dalam kegiatan perkreditan terhadap debitur yang mengalami kesulitan untuk memenuhi kewajibannya, yang dilakukan antara lain melalui: a. penurunan suku bunga Kredit; b. perpanjangan jangka waktu Kredit; c. pengurangan tunggakan bunga Kredit; d. pengurangan tunggakan pokok Kredit; e. penambahan … - 8 - e. penambahan fasilitas Kredit; dan atau f. konversi Kredit menjadi Penyertaan Modal Sementara. BAB II KUALITAS AKTIVA Pasal 2 (1) Penyediaan dana oleh Bank wajib dilaksanakan berdasarkan prinsip kehati- hatian. (2) Dalam rangka pelaksanaan prinsip kehati-hatian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direksi wajib menilai, memantau dan mengambil langkah- langkah yang diperlukan agar kualitas Aktiva senantiasa baik. Pasal 3 Penilaian kualitas dilakukan terhadap Aktiva Produktif dan Aktiva Non Produktif. Pasal 4 (1) Bank wajib melakukan penilaian dan penetapan kualitas Aktiva sesuai dengan Peraturan Bank Indonesia ini. (2) Dalam hal terjadi perbedaan penilaian kualitas Aktiva antara Bank dan Bank Indonesia, kualitas Aktiva yang diberlakukan adalah kualitas yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. (3) Bank … - 9 - (3) Bank wajib menyesuaikan kualitas Aktiva sesuai dengan penilaian kualitas yang ditetapkan oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam laporan-laporan yang disampaikan kepada Bank Indonesia dan atau laporan publikasi sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku, paling lambat pada periode laporan berikutnya setelah pemberitahuan dari Bank Indonesia. BAB III AKTIVA PRODUKTIF Bagian Pertama Umum Pasal 5 (1) Bank wajib menetapkan kualitas yang sama terhadap beberapa rekening Aktiva Produktif yang digunakan untuk membiayai 1 (satu) debitur. (2) Penetapan kualitas yang sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku pula untuk Aktiva Produktif yang diberikan oleh lebih dari 1 (satu) Bank. (3) Dalam hal terdapat penetapan kualitas Aktiva Produktif yang berbeda untuk 1 (satu) debitur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), kualitas masing-masing Aktiva Produktif mengikuti kualitas Aktiva Produktif yang paling rendah. Pasal 6 (1) Bank wajib menetapkan kualitas yang sama terhadap Aktiva Produktif yang digunakan untuk membiayai proyek yang sama. (2) Penetapan … - 10 - (2) Penetapan kualitas yang sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku pula untuk Aktiva Produktif yang diberikan oleh lebih dari 1 (satu) Bank. (3) Dalam hal terdapat penetapan kualitas Aktiva Produktif yang berbeda untuk proyek yang sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), kualitas masing-masing Aktiva Produktif yang paling rendah. Produktif mengikuti kualitas Aktiva Pasal 7 Bank wajib menyesuaikan penilaian kualitas Aktiva Produktif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) dan Pasal 6 ayat (2) paling kurang setiap 3 (tiga) bulan, yaitu untuk posisi akhir bulan Maret, Juni, September dan Desember. Pasal 8 Penetapan kualitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) dan Pasal 6 ayat (2) tidak diberlakukan untuk Aktiva Produktif yang diberikan oleh setiap Bank sampai dengan jumlah Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) kepada setiap debitur atau proyek yang sama. Pasal 9 (1) Bank wajib memiliki ketentuan intern yang mengatur kriteria dan persyaratan debitur yang wajib menyampaikan laporan keuangan yang telah diaudit Akuntan Publik kepada Bank, termasuk aturan mengenai batas waktu penyampaian laporan tersebut. (2) Kewajiban … - 11 - (2) Kewajiban debitur untuk menyampaikan laporan keuangan yang telah diaudit Akuntan Publik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dicantumkan dalam perjanjian antara Bank dan debitur. (3) Ketentuan intern sebagaimana dimaksud memperhatikan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (4) Kualitas Aktiva Produktif dari debitur yang tidak menyampaikan laporan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diturunkan satu tingkat dan dinilai paling tinggi Kurang Lancar. Bagian Kedua Kredit Pasal 10 Kualitas Kredit ditetapkan berdasarkan faktor penilaian sebagai berikut: a. prospek usaha; b. c. kinerja (performance) debitur; dan kemampuan membayar. Pasal 11 (1) Penilaian terhadap prospek usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf a meliputi penilaian terhadap komponen-komponen sebagai berikut: a. potensi pertumbuhan usaha; b. kondisi pasar dan posisi debitur dalam persaingan; c. kualitas manajemen dan permasalahan tenaga kerja; d. dukungan dari grup atau afiliasi; dan e. upaya yang dilakukan debitur dalam rangka memelihara lingkungan hidup. (2) Penilaian … pada ayat (1) wajib - 12 - (2) Penilaian terhadap kinerja debitur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf b meliputi penilaian terhadap komponen-komponen sebagai berikut: a. perolehan laba; b. struktur permodalan; c. arus kas; dan d. sensitivitas terhadap risiko pasar. (3) Penilaian terhadap kemampuan membayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf c meliputi penilaian terhadap komponen-komponen sebagai berikut: a. ketepatan pembayaran pokok dan bunga; b. ketersediaan dan keakuratan informasi keuangan debitur; c. kelengkapan dokumentasi Kredit; d. kepatuhan terhadap perjanjian Kredit; e. kesesuaian penggunaan dana; dan f. kewajaran sumber pembayaran kewajiban. Pasal 12 (1) Penetapan kualitas Kredit dilakukan dengan melakukan analisis terhadap faktor penilaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 dengan mempertimbangkan komponen-komponen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11. (2) Penetapan kualitas Kredit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan mempertimbangkan: a. signifikansi dan materialitas dari setiap faktor penilaian dan komponen; serta b. relevansi … - 13 - b. relevansi dari faktor penilaian dan komponen terhadap debitur yang bersangkutan. (3) Berdasarkan penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), kualitas Kredit ditetapkan menjadi: a. Lancar; b. Dalam Perhatian Khusus; c. Kurang Lancar; d. Diragukan; atau e. Macet. Bagian Ketiga Surat Berharga Pasal 13 (1) Bank wajib memiliki kebijakan dan prosedur tertulis mengenai Aktiva Produktif dalam bentuk Surat Berharga. (2) Kebijakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disetujui oleh Komisaris. (3) Prosedur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disetujui paling kurang oleh Direksi. (4) Komisaris wajib melakukan pengawasan secara aktif terhadap pelaksanaan kebijakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (5) Kebijakan dan prosedur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kebijakan manajemen risiko Bank sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku. Pasal 14 … - 14 - Pasal 14 (1) Kualitas Surat Berharga yang diakui berdasarkan nilai pasar ditetapkan memiliki kualitas Lancar sepanjang memenuhi persyaratan: a. aktif diperdagangkan di bursa efek di Indonesia; b. terdapat informasi nilai pasar secara transparan; c. kupon atau kewajiban lain yang sejenis dibayar dalam jumlah dan waktu yang tepat, sesuai perjanjian; dan d. belum jatuh tempo. (2) Kualitas Surat Berharga yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan atau huruf b atau Surat Berharga yang diakui berdasarkan harga perolehan ditetapkan sebagai berikut: a. Lancar, apabila: 1) memiliki peringkat investasi atau lebih tinggi; 2) kupon atau kewajiban lain yang sejenis dibayar dalam jumlah dan waktu yang tepat, sesuai perjanjian; dan 3) belum jatuh tempo. b. Kurang Lancar, apabila: 1) memiliki peringkat investasi atau lebih tinggi; 2) terdapat penundaan pembayaran kupon atau kewajiban lain yang sejenis; dan 3) belum jatuh tempo, atau 1) memiliki peringkat paling kurang 1 (satu) tingkat dibawah peringkat investasi; 2) tidak terdapat penundaan pembayaran penundaan pembayaran kupon atau kewajiban lain yang sejenis; dan 3) belum jatuh tempo. c. Macet … - 15 - c. Macet, apabila Surat Berharga tidak memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud pada huruf a dan b. Pasal 15 (1) Peringkat Surat Berharga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2) didasarkan pada peringkat yang diterbitkan oleh lembaga pemeringkat dalam satu tahun terakhir, sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia yang berlaku. (2) Dalam hal peringkat yang diterbitkan oleh lembaga pemeringkat dalam satu tahun terakhir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak tersedia maka Surat Berharga dianggap tidak memiliki peringkat. Pasal 16 SBI dan SUN ditetapkan memiliki kualitas Lancar. Pasal 17 Bank dilarang memiliki Aktiva Produktif dalam bentuk saham dan atau Surat Berharga yang dihubungkan atau dijamin dengan aset tertentu yang mendasari (underlying reference asset) yang berbentuk saham. Pasal 18 Bank hanya dapat memiliki Surat Berharga yang dihubungkan atau dijamin dengan aset tertentu yang mendasari sepanjang: a. aset yang mendasari dapat diyakini keberadaannya; b. Bank … - 16 - b. Bank memiliki hak atas aset yang mendasari atau hak atas nilai dari aset yang mendasari; c. Bank memiliki informasi yang jelas, tepat dan akurat mengenai rincian aset yang mendasari, yang mencakup penerbit dan nilai dari masing-masing aset dasar, termasuk setiap perubahannya; dan d. Bank menatausahakan rincian komposisi dan penerbit aset yang mendasari serta menyesuaikan penatausahaan dalam hal terjadi perubahan komposisi aset. Pasal 19 (1) Kualitas Surat Berharga yang dihubungkan atau dijamin dengan aset tertentu yang mendasari sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ditetapkan sebagai berikut: a. untuk Surat Berharga yang pembayaran kewajibannya terkait langsung dengan aset yang mendasari (pass through) dan tidak dapat dibeli kembali (non redemption) oleh penerbit, penetapan kualitas didasarkan pada: 1) kualitas Surat Berharga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14; atau 2) kualitas aset yang mendasari Surat Berharga apabila Surat Berharga tidak memiliki peringkat. b. untuk Surat Berharga yang tidak memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud pada huruf a, penetapan kualitas didasarkan pada kualitas Surat Berharga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14. (2) Kualitas … - 17 - (2) Kualitas aset yang mendasari Surat Berharga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a.2) ditetapkan berdasarkan kualitas setiap jenis aset yang mendasari sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini. (3) Untuk Surat Berharga dalam bentuk sertifikat reksadana, penetapan kualitas didasarkan pada: a. kualitas sertifikat reksadana sesuai dengan penilaian kualitas Surat Berharga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14; atau b. kualitas aset yang mendasari sertifikat reksadana dan kualitas penerbit sertifikat reksadana, apabila sertifikat reksadana tidak memiliki peringkat. Pasal 20 (1) Kualitas Surat Berharga yang diterbitkan atau diendos oleh bank lain ditetapkan sebagai berikut: a. untuk Surat Berharga yang memiliki peringkat dan atau aktif diperdagangkan di bursa efek di Indonesia, ditetapkan berdasarkan kualitas yang terendah antara: 1) hasil penilaian berdasarkan ketentuan kualitas Surat Berharga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14; atau 2) hasil penilaian berdasarkan ketentuan kualitas Penempatan pada bank penerbit atau bank dimaksud dalam Pasal 23 dan Pasal 24. b. untuk Surat Berharga yang berdasarkan karakteristiknya tidak aktif diperdagangkan di bursa efek dan tidak memiliki peringkat, ditetapkan berdasarkan ketentuan kualitas Penempatan pada bank penerbit atau bank pemberi endosemen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 dan Pasal 24. (2) Dalam … pemberi endosemen sebagaimana - 18 - (2) Dalam hal Surat Berharga yang diterbitkan oleh bank lain berbentuk Surat Berharga yang dihubungkan atau dijamin dengan aset tertentu yang mendasari maka Bank tetap harus memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18. Pasal 21 Kualitas pengambilalihan (negosiasi) wesel yang tidak diaksep oleh bank lain ditetapkan berdasarkan ketentuan kualitas Kredit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10. Bagian Keempat Penempatan Pasal 22 (1) Bank wajib memiliki kebijakan dan prosedur tertulis mengenai Aktiva Produktif dalam bentuk Penempatan. (2) Kebijakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disetujui oleh Komisaris. (3) Prosedur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disetujui paling kurang oleh Direksi. (4) Komisaris wajib melakukan pengawasan secara aktif terhadap pelaksanaan kebijakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (5) Kebijakan dan prosedur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kebijakan manajemen risiko Bank sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku. Pasal 23 … - 19 - Pasal 23 Kualitas Penempatan ditetapkan Lancar sepanjang Pemerintah untuk program penjaminan Penempatan berlaku dan transaksi Penempatan yang bersangkutan serta Bank yang menerima Penempatan memenuhi persyaratan program penjaminan Pemerintah. Pasal 24 Dalam hal program penjaminan Pemerintah tidak meliputi Penempatan atau transaksi Penempatan tidak memenuhi persyaratan program penjaminan Pemerintah atau bank yang menerima Penempatan bukan merupakan peserta program penjaminan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23, kualitas Penempatan ditetapkan sebagai berikut: a. Lancar, apabila: 1) bank yang menerima Penempatan memiliki rasio KPMM paling kurang sama dengan ketentuan yang berlaku; dan 2) tidak terdapat tunggakan pembayaran pokok dan atau bunga. b. Kurang Lancar, apabila: 1) bank yang menerima Penempatan memiliki rasio KPMM paling kurang sama dengan ketentuan yang berlaku; dan 2) terdapat tunggakan pembayaran pokok dan atau bunga sampai dengan 5 (lima) hari kerja. c. Macet, apabila: 1) bank yang menerima Penempatan memiliki rasio KPMM kurang dari ketentuan yang berlaku; 2) bank … - 20 - 2) bank yang menerima Penempatan telah ditetapkan dan diumumkan sebagai bank surveillance) atau bank telah dikenakan sanksi pembekuan seluruh kegiatan usaha; 3) bank yang menerima Penempatan ditetapkan sebagai bank dalam likuidasi; dan atau 4) terdapat tunggakan pembayaran pokok dan atau bunga lebih dari 5 (lima) hari kerja. Bagian Kelima Tagihan Akseptasi, Tagihan atas Surat Berharga yang dibeli dengan janji dijual kembali dan Tagihan Derivatif Pasal 25 Kualitas Tagihan Akseptasi ditetapkan berdasarkan: a. b. ketentuan kualitas Penempatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 dan Pasal 24 apabila pihak yang wajib melunasi tagihan adalah bank lain; ketentuan kualitas Kredit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 apabila pihak yang wajib melunasi tagihan adalah debitur. Pasal 26 (1) Tagihan atas Surat Berharga yang dibeli dengan janji dijual kembali ditetapkan berdasarkan kualitas dari pihak yang menjual Surat Berharga dengan janji dibeli kembali. (2) Kualitas dari pihak yang menjual Surat Berharga dengan janji dibeli kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan: a. ketentuan … dengan status dalam pengawasan khusus (special - 21 - a. ketentuan kualitas Penempatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 dan Pasal 24 apabila pihak yang menjual Surat Berharga adalah bank lain; atau b. ketentuan kualitas Kredit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 apabila pihak yang menjual Surat Berharga adalah bukan bank. (3) Tagihan atas Surat Berharga yang dibeli dengan janji dijual kembali dengan aset yang mendasari berupa SBI dan atau SUN ditetapkan memiliki kualitas Lancar. Pasal 27 Kualitas Tagihan Derivatif ditetapkan berdasarkan: a. ketentuan penetapan kualitas Penempatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 dan Pasal 24 apabila pihak lawan transaksi (counterparty) adalah bank lain; atau b. ketentuan kualitas Kredit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 apabila pihak lawan transaksi (counterparty) adalah bukan bank. Bagian Keenam Penyertaan Modal Pasal 28 Kualitas Penyertaan Modal yang dinilai berdasarkan metode biaya (cost method) ditetapkan sebagai berikut: a. Lancar, apabila Perusahaan tempat Bank melakukan Penyertaan Modal (investee) memperoleh laba dan tidak mengalami kerugian kumulatif berdasarkan laporan keuangan tahun buku terakhir yang telah diaudit; b. Kurang … - 22 - b. Kurang Lancar, apabila investee mengalami kerugian kumulatif sampai dengan 25% (dua puluh lima perseratus) dari modal investee berdasarkan laporan keuangan tahun buku terakhir yang telah diaudit; c. Diragukan, apabila investee mengalami kerugian kumulatif lebih dari 25% (dua puluh lima perseratus) sampai dengan 50% (lima puluh perseratus) dari modal investee berdasarkan laporan keuangan tahun buku terakhir yang telah diaudit; d. Macet, apabila investee mengalami kerugian kumulatif lebih dari 50% (lima puluh perseratus) dari modal investee berdasarkan laporan keuangan tahun buku terakhir yang telah diaudit. Pasal 29 Kualitas Penyertaan Modal yang dinilai berdasarkan metode ekuitas (equity method) ditetapkan Lancar. Bagian Ketujuh Penyertaan Modal Sementara Pasal 30 (1) Kualitas Penyertaan Modal Sementara ditetapkan sebagai berikut: a. Lancar, apabila belum melampaui jangka waktu 1 (satu) tahun; b. Kurang Lancar, apabila telah melampaui jangka waktu 1 (satu) tahun namun belum melampaui jangka waktu 4 (empat) tahun; c. Diragukan, apabila telah melampaui jangka waktu 4 (empat) tahun namun belum melampaui jangka waktu 5 (lima) tahun; d. Macet … - 23 - d. Macet, apabila telah melampaui jangka waktu 5 (lima) tahun atau belum ditarik kembali meskipun perusahaan debitur telah memiliki laba kumulatif. (2) Bank Indonesia dapat menurunkan kualitas Penyertaan Modal Sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) apabila terdapat bukti yang memadai bahwa: a. penjualan Penyertaan Modal Sementara diperkirakan akan dilakukan dengan harga yang lebih rendah dari nilai buku; dan atau b. penjualan Penyertaan Modal Sementara dalam jangka waktu 5 (lima) tahun diperkirakan sulit untuk dilakukan. Bagian Kedelapan Transaksi Rekening Administratif Pasal 31 Kualitas Transaksi Rekening Administratif ditetapkan berdasarkan: a. ketentuan penetapan kualitas Penempatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 dan Pasal 24 apabila pihak lawan transaksi (counterparty) Transaksi Rekening Administratif tersebut adalah bank lain; b. ketentuan penetapan kualitas Kredit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 apabila pihak lawan transaksi (counterparty) Transaksi Rekening Administratif tersebut adalah debitur. Pasal 32 (1) Penetapan kualitas Transaksi Rekening Administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 tidak berlaku untuk kewajiban komitmen dan kontinjensi yang: a. dapat … - 24 - a. b. dapat dibatalkan sewaktu-waktu tanpa syarat (unconditionally cancelled at any time) oleh Bank; atau dibatalkan secara otomatis oleh Bank apabila kondisi debitur menurun menjadi Kurang Lancar, Diragukan atau Macet. (2) Bank yang memiliki kewajiban komitmen dan kontinjensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mencantumkan klausula dimaksud dalam perjanjian antara Bank dengan debitur. Bagian Kesembilan Aktiva Produktif yang Dijamin dengan Agunan Tunai Pasal 33 (1) Bagian dari Aktiva Produktif yang dijamin dengan agunan tunai ditetapkan memiliki kualitas Lancar. (2) Agunan tunai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah agunan berupa: a. giro, deposito, tabungan, setoran jaminan dan atau emas; b. SBI dan atau SUN; c. jaminan Pemerintah Indonesia sesuai dengan peraturan perundang- undangan yang berlaku; dan atau d. standby letter of credit dari prime bank, yang diterbitkan sesuai dengan Uniform Customs and Practice for Documentary Credits (UCP) atau International Standby Practices (ISP) yang berlaku. (3) Agunan tunai sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan huruf b wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. agunan diblokir dan dilengkapi dengan surat kuasa pencairan dari pemilik agunan untuk keuntungan Bank penerima agunan, termasuk pencairan sebagian untuk membayar tunggakan angsuran pokok atau bunga; b. jangka … - 25 - b. jangka waktu pemblokiran sebagaimana dimaksud pada huruf a paling kurang sama dengan jangka waktu Aktiva Produktif; c. memiliki pengikatan hukum yang kuat (legally enforceable) sebagai agunan, bebas dari segala bentuk perikatan lain, bebas dari sengketa, tidak sedang dijaminkan kepada pihak lain, termasuk penjaminan yang jelas; dan d. untuk agunan tunai sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a disimpan pada Bank penyedia dana atau pada prime bank. (4) Agunan tunai sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c dan huruf d wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. bersifat tanpa syarat (unconditional) dan tidak dapat dibatalkan (irrevocable); b. harus dapat dicairkan selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak diajukannya klaim, termasuk pencairan sebagian untuk membayar tunggakan angsuran pokok atau bunga; c. mempunyai jangka waktu paling kurang sama dengan jangka waktu Aktiva Produktif; dan d. tidak dijamin kembali (counter guarantee) oleh Bank penyedia dana atau bank yang bukan prime bank. (5) Prime bank sebagaimana dimaksud ayat (2) huruf d dan ayat (3) huruf d wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. memiliki peringkat investasi yang diberikan oleh lembaga pemeringkat paling kurang: tujuan 1) BBB- … - 26 - 1) BBB- berdasarkan penilaian Standard & Poors; 2) Baa3 berdasarkan penilaian Moody’s; 3) BBB- berdasarkan penilaian Fitch; atau 4) Peringkat setara dengan angka 1), angka 2), dan atau angka 3) berdasarkan penilaian lembaga pemeringkat terkemuka lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia, berdasarkan penilaian terhadap prospek usaha jangka panjang (long term outlook) bank tersebut; dan b. memiliki total aset yang termasuk dalam 200 besar dunia berdasarkan informasi yang tercantum dalam banker’s almanac. Pasal 34 (1) Bank wajib mengajukan klaim pencairan agunan tunai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah debitur wanprestasi (event of default). (2) Debitur dinyatakan wanprestasi apabila: a. terjadi tunggakan pokok dan atau bunga dan atau tagihan lainnya selama 90 (sembilan puluh) hari walaupun Aktiva Produktif belum jatuh tempo; b. tidak diterimanya pembayaran pokok dan atau bunga dan atau tagihan lainnya pada saat Aktiva Produktif jatuh tempo; atau c. tidak dipenuhinya persyaratan lainnya selain pembayaran pokok dan atau bunga yang dapat mengakibatkan terjadinya wanprestasi. Bagian … - 27 - Bagian Kesepuluh Kredit dan Penyediaan Dana dalam Jumlah Kecil serta Kredit dan Penyediaan Dana di Daerah Tertentu Pasal 35 Penetapan kualitas untuk: a. b. c. Kredit dan penyediaan dana lain sampai dengan jumlah Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah); Kredit usaha kecil sesuai ketentuan Bank Indonesia yang berlaku; dan Kredit dan penyediaan dana lain kepada debitur dengan lokasi kegiatan usaha berada di daerah tertentu sampai dengan jumlah Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah), didasarkan atas ketepatan pembayaran pokok dan atau bunga. BAB IV AKTIVA NON PRODUKTIF Bagian Pertama Umum Pasal 36 Aktiva Non Produktif yang wajib dinilai kualitasnya meliputi AYDA, Properti Terbengkalai, Rekening Antar Kantor dan Suspense Account. Bagian Kedua AYDA Pasal 37 (1) Bank wajib melakukan upaya penyelesaian terhadap AYDA yang dimiliki. (2) Bank … - 28 - (2) Bank wajib mendokumentasikan upaya penyelesaian AYDA sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal 38 (1) Bank wajib melakukan penilaian kembali terhadap AYDA untuk menetapkan net realizable value dari AYDA. (2) Penilaian kembali terhadap AYDA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pada saat pengambilalihan agunan. (3) Tunggakan bunga yang diselesaikan dengan AYDA tidak dapat diakui sebagai pendapatan sampai dengan adanya realisasi. (4) Penetapan net realizable value sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan oleh penilai independen, untuk AYDA dengan nilai Rp5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah) atau lebih. (5) Penetapan net realizable value sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan oleh penilai intern Bank, untuk nilai AYDA yang kurang dari Rp5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah). (6) Bank wajib menggunakan nilai yang terendah apabila terdapat beberapa nilai dari penilai independen sebagaimana dimaksud pada ayat (4) atau penilai intern sebagaimana dimaksud pada ayat (5). (7) Penilai independen sebagaimana dimaksud pada ayat (4) adalah perusahaan penilai yang: a. tidak merupakan Pihak Terkait dengan Bank; b. tidak merupakan Kelompok Peminjam dengan debitur Bank; c. melakukan kegiatan penilaian berdasarkan kode etik profesi dan ketentuan-ketentuan yang ditetapkan oleh institusi yang berwenang; d. menggunakan … - 29 - d. menggunakan metode penilaian berdasarkan standar profesi penilaian yang diterbitkan oleh institusi yang berwenang; e. memiliki izin usaha dari institusi yang berwenang untuk beroperasi sebagai perusahaan penilai; dan f. tercatat sebagai anggota asosiasi yang diakui oleh institusi yang berwenang. Pasal 39 (1) AYDA yang telah dilakukan upaya penyelesaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37, ditetapkan memiliki kualitas sebagai berikut: a. Lancar, apabila AYDA dimiliki sampai dengan 1 (satu) tahun; b. Kurang Lancar, apabila AYDA dimiliki sampai dengan 3 (tiga) tahun; lebih dari 1 (satu) tahun c. Diragukan, apabila AYDA dimiliki lebih dari 3 (tiga) tahun sampai dengan 5 (lima) tahun; d. Macet, apabila AYDA dimiliki lebih dari 5 (lima) tahun. (2) AYDA yang tidak dilakukan upaya penyelesaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37, ditetapkan memiliki kualitas satu tingkat dibawah ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Bagian Ketiga Properti Terbengkalai Pasal 40 (1) Bank wajib melakukan identifikasi dan penetapan terhadap Properti Terbengkalai yang dimiliki. (2) Penetapan … - 30 - (2) Penetapan Properti Terbengkalai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disetujui oleh Direksi dan didokumentasikan. Pasal 41 (1) Bank wajib melakukan upaya penyelesaian terhadap Properti Terbengkalai yang dimiliki. (2) Bank wajib mendokumentasikan upaya penyelesaian Properti Terbengkalai sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal 42 (1) Properti Terbengkalai yang telah dilakukan upaya penyelesaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41, ditetapkan memiliki kualitas sebagai berikut: a. Lancar, apabila Properti Terbengkalai dimiliki sampai dengan 1 (satu) tahun; b. Kurang Lancar, apabila Properti Terbengkalai dimiliki lebih dari 1 (satu) tahun sampai dengan 3 (tiga) tahun; c. Diragukan, apabila Properti Terbengkalai dimiliki lebih dari 3 (tiga) tahun sampai dengan 5 (lima) tahun; (2) Properti Terbengkalai yang d. Macet, apabila Properti Terbengkalai dimiliki lebih dari 5 (lima) tahun. tidak dilakukan upaya penyelesaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41, ditetapkan memiliki kualitas satu tingkat dibawah ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Bagian … - 31 - Bagian Keempat Rekening Antar Kantor dan Suspense Account Pasal 43 (1) Bank wajib melakukan upaya penyelesaian Rekening Antar Kantor dan Suspense Account. (2) Kualitas Rekening Antar Kantor dan Suspense Account ditetapkan sebagai berikut: a. Lancar, apabila Rekening Antar Kantor dan Suspense Account tercatat dalam pembukuan Bank sampai dengan 180 (seratus delapan puluh) hari; b. Macet, apabila Rekening antar kantor dan Suspense Account tercatat dalam pembukuan Bank lebih dari 180 (seratus delapan puluh) hari. BAB V PENYISIHAN PENGHAPUSAN AKTIVA Bagian Pertama Umum Pasal 44 (1) Bank wajib membentuk PPA terhadap Aktiva Produktif dan Aktiva Non Produktif. (2) PPA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa: a. cadangan umum dan cadangan khusus untuk Aktiva Produktif; dan b. cadangan khusus untuk Aktiva Non Produktif. (3) PPA … - 32 - (3) PPA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dibentuk paling kurang sesuai dengan Peraturan Bank Indonesia ini. Pasal 45 (1) Cadangan umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (2) huruf a ditetapkan paling kurang sebesar 1% (satu perseratus) dari Aktiva Produktif yang memiliki kualitas Lancar. (2) Pembentukan cadangan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan untuk Aktiva Produktif dalam bentuk SBI dan SUN serta bagian Aktiva Produktif yang dijamin dengan agunan tunai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33. (3) Cadangan khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (2) ditetapkan paling kurang sebesar: a. 5% (lima perseratus) dari Aktiva dengan kualitas Dalam Perhatian Khusus setelah dikurangi nilai agunan; b. 15% (lima belas perseratus) dari Aktiva dengan kualitas Kurang Lancar setelah dikurangi nilai agunan; c. 50% (lima puluh perseratus) dari Aktiva dengan kualitas Diragukan setelah dikurangi nilai agunan; d. 100% (seratus perseratus) dari Aktiva dengan kualitas Macet setelah dikurangi nilai agunan. (4) Penggunaan nilai agunan sebagai faktor pengurang dalam perhitungan PPA sebagaimana dimaksud pada ayat (3) hanya dapat dilakukan untuk Aktiva Produktif. Bagian … - 33 - Bagian Kedua Persyaratan Agunan dan Perhitungan Agunan sebagai Faktor Pengurang PPA Pasal 46 Agunan yang dapat diperhitungkan sebagai pengurang dalam pembentukan PPA ditetapkan sebagai berikut: a. Surat Berharga dan saham yang aktif diperdagangkan di bursa efek di Indonesia atau memiliki peringkat investasi dan diikat secara gadai; tanah, rumah tinggal dan gedung yang diikat dengan hak tanggungan; b. c. d. pesawat udara atau kapal laut dengan ukuran di atas 20 (dua puluh) meter kubik yang diikat dengan hipotek; dan atau kendaraan bermotor dan persediaan yang diikat secara fidusia. Pasal 47 (1) Agunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 wajib: a. dilengkapi dengan dokumen hukum yang sah; b. diikat sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku sehingga memberikan hak preferensi bagi Bank; dan c. dilindungi asuransi dengan banker’s clause yaitu klausula yang memberikan hak kepada Bank untuk menerima uang pertanggungan dalam hal terjadi pembayaran klaim. (2) Perusahaan asuransi yang memberikan perlindungan asuransi terhadap agunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c wajib memenuhi syarat sebagai berikut: a. perusahaan asuransi memenuhi ketentuan permodalan sesuai yang ditetapkan institusi yang berwenang; dan b. perusahaan … - 34 - b. perusahaan asuransi bukan merupakan Pihak Terkait dengan Bank atau Kelompok Peminjam dengan debitur Bank, kecuali direasuransikan kepada perusahaan asuransi yang bukan merupakan Pihak Terkait dengan Bank atau Kelompok Peminjam dengan debitur Bank. Pasal 48 (1) Nilai agunan yang dapat diperhitungkan sebagai pengurang dalam pembentukan PPA ditetapkan sebagai berikut: a. Surat Berharga dan saham yang aktif diperdagangkan di bursa efek di Indonesia atau memiliki peringkat investasi paling tinggi sebesar 50% (lima puluh perseratus) dari nilai yang tercatat di bursa efek pada akhir bulan; b. tanah, gedung, rumah tinggal, pesawat udara, kapal laut, kendaraan bermotor dan persediaan paling tinggi sebesar: 1) 70% (tujuh puluh perseratus) dari penilaian, apabila penilaian dilakukan dalam 12 (dua belas) bulan terakhir; 2) 50% (lima puluh perseratus) dari penilaian, apabila penilaian yang dilakukan telah melampaui jangka waktu 12 (dua belas) bulan namun belum melampaui 18 (delapan belas) bulan; 3) 30% (tiga puluh perseratus) dari penilaian, apabila penilaian yang dilakukan telah melampaui jangka waktu 18 (delapan belas) bulan namun belum melampaui 24 (dua puluh empat) bulan; 4) 0% (nol perseratus) dari penilaian, apabila penilaian yang dilakukan telah melampaui jangka waktu 24 (dua puluh empat) bulan. (2) Penilaian … - 35 - (2) Penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan oleh penilai independen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (7) atau penilai intern Bank, sesuai ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49. (3) Bank wajib menggunakan nilai yang terendah apabila terdapat beberapa nilai dari penilai independen atau penilai intern. Pasal 49 (1) Dalam hal agunan akan digunakan sebagai pengurang PPA, penilaian agunan wajib dilakukan oleh penilai independen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (7) bagi Aktiva Produktif lebih dari Rp5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah) kepada debitur atau Kelompok Peminjam. (2) Penilaian agunan dapat dilakukan oleh penilai intern Bank, bagi Aktiva Produktif yang diberikan sampai dengan jumlah Rp 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah) kepada debitur atau Kelompok Peminjam. Pasal 50 (1) Bank Indonesia berwenang melakukan perhitungan kembali atas nilai agunan yang telah dikurangkan dalam PPA apabila Bank tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46, Pasal 47, Pasal 48 dan atau Pasal 49. (2) Bank wajib menyesuaikan perhitungan PPA sesuai dengan perhitungan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam laporan-laporan yang disampaikan kepada Bank Indonesia dan atau laporan publikasi yang diatur dalam ketentuan yang berlaku paling lambat pada … - 36 - pada periode laporan berikutnya setelah pemberitahuan dari Bank Indonesia. BAB VI RESTRUKTURISASI KREDIT Bagian Pertama Umum Pasal 51 Bank hanya dapat melakukan Restrukturisasi Kredit terhadap debitur yang memenuhi kriteria sebagai berikut: a. b. debitur memiliki debitur mengalami kesulitan pembayaran pokok dan atau bunga Kredit; dan prospek usaha yang baik kewajiban setelah Kredit direstrukturisasi. Pasal 52 Bank dilarang melakukan Restrukturisasi Kredit dengan tujuan hanya untuk menghindari: a. b. c. penurunan penggolongan kualitas Kredit; peningkatan pembentukan PPA; atau penghentian pengakuan pendapatan bunga secara akrual. Bagian Kedua Perlakuan Akuntansi Restrukturisasi Kredit Pasal 53 Bank wajib menerapkan perlakuan akuntansi Restrukturisasi Kredit, termasuk namun … dan mampu memenuhi - 37 - namun tidak terbatas pada pengakuan kerugian yang timbul dalam rangka Restrukturisasi Kredit, sesuai dengan Standar Akuntansi Keuangan dan Prinsip Akuntansi Perbankan Indonesia yang berlaku. Bagian Ketiga Kebijakan dan Prosedur Restrukturisasi Kredit Pasal 54 (1) Bank wajib memiliki kebijakan dan prosedur tertulis mengenai Restrukturisasi Kredit. (2) Kebijakan Restrukturisasi Kredit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disetujui oleh Komisaris. (3) Prosedur Restrukturisasi Kredit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disetujui paling kurang oleh Direksi. (4) Komisaris wajib melakukan pengawasan secara aktif terhadap pelaksanaan kebijakan Restrukturisasi Kredit sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (5) Kebijakan dan prosedur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kebijakan manajemen risiko Bank sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku. Pasal 55 (1) Untuk menjaga obyektivitas, Restrukturisasi Kredit wajib dilakukan oleh pejabat atau pegawai yang tidak terlibat dalam pemberian Kredit yang direstrukturisasi. (2) Keputusan Restrukturisasi Kredit harus dilakukan oleh pejabat yang lebih tinggi dari pejabat yang memutuskan pemberian Kredit. (3) Dalam … - 38 - (3) Dalam hal keputusan pemberian Kredit dilakukan oleh pihak yang memiliki kewenangan tertinggi sesuai anggaran dasar Bank maka keputusan Restrukturisasi Kredit dilakukan oleh pejabat yang setingkat dengan pejabat yang memutuskan pemberian Kredit. (4) Pembentukan satuan kerja khusus untuk pelaksanaan Restrukturisasi Kredit disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing Bank mengikuti ketentuan Bank Indonesia yang berlaku. Pasal 56 (1) Kredit yang akan direstrukturisasi wajib dianalisis berdasarkan prospek usaha debitur dan kemampuan membayar sesuai proyeksi arus kas. (2) Kredit kepada Pihak Terkait yang akan direstrukturisasi wajib dianalisis oleh konsultan keuangan independen yang memiliki izin usaha dan reputasi yang baik. (3) Analisis yang dilakukan Bank dan konsultan keuangan independen terhadap Kredit yang pelaksanaan Restrukturisasi Kredit wajib lengkap dan jelas. direstrukturisasi dan setiap tahapan dalam didokumentasikan secara (4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) juga diterapkan dalam hal dilakukan restrukturisasi ulang terhadap Kredit. Bagian Keempat Penetapan Kualitas Kredit yang Direstrukturisasi Pasal 57 (1) Kualitas Kredit setelah dilakukan restrukturisasi ditetapkan sebagai berikut: a. setinggi … dengan tetap - 39 - a. setinggi-tingginya Kurang Lancar untuk b. kualitas tidak Kredit yang dilakukan restrukturisasi tergolong Diragukan atau Macet; berubah untuk Kredit yang sebelum sebelum dilakukan restrukturisasi tergolong Lancar, Dalam Perhatian Khusus atau Kurang Lancar. (2) Kualitas Kredit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat: a. menjadi Lancar, apabila tidak terdapat tunggakan selama 3 (tiga) kali periode pembayaran angsuran pokok dan atau bunga secara berturut- turut sesuai dengan perjanjian Restrukturisasi Kredit; atau b. kembali sesuai dengan kualitas Kredit sebelum dilakukan Restrukturisasi Kredit atau kualitas yang sebenarnya apabila lebih buruk sesuai dengan kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 jika debitur tidak memenuhi kriteria dan atau syarat-syarat dalam perjanjian Restrukturisasi Kredit dan atau pelaksanaan Restrukturisasi Kredit tidak didukung dengan analisis dan dokumentasi yang memadai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56. (3) Dalam hal periode pembayaran angsuran pokok dan atau bunga kurang dari 1 (satu) bulan, peningkatan kualitas menjadi Lancar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dapat dilakukan secepat-cepatnya dalam waktu 3 (tiga) bulan sejak dilakukan Restrukturisasi Kredit. (4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) berlaku juga untuk restrukturisasi ulang terhadap Kredit. (5) Tambahan Kredit sebagai bagian dari paket Restrukturisasi Kredit ditetapkan memiliki kualitas Lancar apabila diberikan sesuai dengan prosedur yang ketat dan memiliki agunan yang cukup. Pasal 58 … - 40 - Pasal 58 Kredit yang direstrukturisasi dengan pemberian tenggang waktu pembayaran (grace period) ditetapkan memiliki kualitas sebagai berikut: a. selama grace period, kualitas mengikuti kualitas Kredit sebelum dilakukan restrukturisasi; dan b. setelah grace period berakhir, kualitas Kredit mengikuti penetapan kualitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57. Pasal 59 (1) Penilaian kualitas Kredit yang telah direstrukturisasi dan kualitas tambahan Kredit sebagai bagian dari paket Restrukturisasi Kredit wajib dilakukan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 selambat- lambatnya 1 (satu) tahun sejak penetapan kualitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (1) dan Pasal 58 huruf b. (2) Penilaian kualitas Kredit yang tidak memenuhi kriteria dan atau syarat- syarat dalam perjanjian Restrukturisasi Kredit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (2) huruf b wajib dilakukan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10. Pasal 60 Penetapan kualitas Aktiva yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dan Pasal 6 berlaku pula bagi Kredit yang direstrukturisasi. Bagian … - 41 - Bagian Kelima PPA dan Pengakuan Pendapatan dari Kredit yang Direstrukturisasi Pasal 61 Pendapatan bunga dan penerimaan lain dari Kredit yang direstrukturisasi hanya dapat diakui apabila telah diterima secara tunai sebelum kualitas Kredit menjadi Lancar. Pasal 62 Bank wajib membentuk PPA terhadap Kredit yang telah direstrukturisasi sesuai ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45. Pasal 63 (1) Bank wajib membebankan kerugian yang timbul dari Restrukturisasi Kredit, setelah diperhitungkan dengan kelebihan PPA karena perbaikan kualitas Kredit setelah dilakukan restrukturisasi. (2) Kelebihan PPA karena perbaikan kualitas Kredit yang direstrukturisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), setelah diperhitungkan dengan kerugian yang timbul dari Restrukturisasi Kredit dimaksud, hanya dapat diakui sebagai pendapatan apabila telah terdapat penerimaan angsuran pokok atas Kredit yang direstrukturisasi. (3) Pengakuan pendapatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan secara proporsional dengan penerimaan angsuran pokok dari Kredit yang direstrukturisasi. Bagian … - 42 - Bagian Keenam Restrukturisasi Kredit melalui Penyertaan Modal Sementara Pasal 64 (1) Bank dapat melakukan Restrukturisasi Kredit dalam bentuk Penyertaan Modal Sementara. (2) Penyertaan Modal Sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan untuk Kredit yang memiliki kualitas Kurang Lancar, Diragukan atau Macet. Pasal 65 (1) Penyertaan Modal Sementara wajib ditarik kembali apabila: a. telah melampaui jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun; atau b. perusahaan debitur tempat penyertaan telah memperoleh laba kumulatif. (2) Penyertaan Modal Sementara wajib dihapusbukukan dari neraca Bank apabila telah melampaui jangka waktu 5 (lima) tahun. Bagian Ketujuh Laporan Restrukturisasi Kredit Pasal 66 Bank wajib melaporkan kepada Bank Indonesia seluruh Restrukturisasi Kredit yang telah dilakukan selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja setelah berakhirnya bulan laporan yang bersangkutan dengan menggunakan formulir pelaporan Restrukturisasi Kredit. Pasal 67 … - 43 - Pasal 67 Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 disampaikan kepada Bank Indonesia dengan alamat: a. Direktorat Pengawasan Bank terkait, Jl.M.H. Thamrin Nomor 2 Jakarta 10010, bagi Bank yang berkantor pusat di wilayah kerja kantor pusat Bank Indonesia; b. Kantor Bank Indonesia setempat, bagi Bank yang berkantor pusat di luar wilayah kerja kantor pusat Bank Indonesia. Bagian Kedelapan Lain-lain Pasal 68 Bank Indonesia berwenang melakukan koreksi terhadap penetapan kualitas Kredit, pembentukan PPA dan pendapatan bunga yang telah diakui secara akrual, apabila: a. Restrukturisasi Kredit menurut b. penilaian Bank Indonesia ternyata dilakukan dengan tujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52; Restrukturisasi Kredit tidak didukung dokumen yang lengkap dan analisis yang memadai mengenai kemampuan membayar dan prospek usaha debitur; c. d. debitur tidak melaksanakan perjanjian atau akad Restrukturisasi Kredit (cidera janji/wanprestasi); Restrukturisasi Kredit dilakukan secara berulang dengan tujuan hanya untuk memperbaiki kualitas Kredit tanpa memperhatikan prospek usaha debitur; e. Restrukturisasi … - 44 - e. Restrukturisasi Kredit tidak dilakukan sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini. BAB VII HAPUS BUKU DAN HAPUS TAGIH Pasal 69 (1) Bank wajib memiliki kebijakan dan prosedur tertulis mengenai hapus buku dan hapus tagih. (2) Kebijakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disetujui oleh Komisaris. (3) Prosedur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disetujui paling kurang oleh Direksi. (4) Komisaris wajib melakukan pengawasan secara aktif terhadap pelaksanaan kebijakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (5) Kebijakan dan prosedur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kebijakan manajemen risiko Bank sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku. Pasal 70 (1) Hapus buku dan atau hapus tagih hanya dapat dilakukan terhadap penyediaan dana yang memiliki kualitas Macet. (2) Hapus buku tidak dapat dilakukan terhadap sebagian penyediaan dana (partial write off). (3) Hapus … - 45 - (3) Hapus tagih dapat dilakukan baik untuk sebagian atau seluruh penyediaan dana. (4) Hapus tagih terhadap sebagian penyediaan dana sebagaimana dimaksud pada ayat (3) hanya dapat dilakukan dalam rangka Restrukturisasi Kredit atau dalam rangka penyelesaian Kredit. Pasal 71 (1) Hapus buku dan atau hapus tagih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 hanya dapat dilakukan setelah Bank melakukan berbagai upaya untuk memperoleh kembali Aktiva Produktif yang diberikan. (2) Bank wajib mendokumentasikan upaya yang dilakukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) serta dasar pertimbangan pelaksanaan hapus buku dan atau hapus tagih. (3) Bank wajib mengadministrasikan data dan informasi mengenai Aktiva Produktif yang telah dihapus buku dan atau dihapus tagih. BAB VIII LAIN-LAIN Pasal 72 (1) Bank yang diperkirakan mengalami penurunan rasio KPMM secara signifikan dan atau kurang dari ketentuan yang berlaku karena pemberlakuan Peraturan Bank Indonesia ini wajib menyusun action plan untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi. (2) Selain … - 46 - (2) Selain penyusunan action plan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyusunan action plan juga wajib dilakukan oleh Bank apabila terdapat perintah dari Bank Indonesia. (3) Action plan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disampaikan paling lambat 6 (enam) bulan sejak berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini kepada Bank Indonesia dengan alamat: a. Direktorat Pengawasan Bank terkait, Jl.M.H. Thamrin Nomor 2 Jakarta 10010, bagi Bank yang berkantor pusat di wilayah kerja kantor pusat Bank Indonesia; b. Kantor Bank Indonesia setempat, bagi Bank yang berkantor pusat di luar wilayah kerja kantor pusat Bank Indonesia. BAB IX SANKSI Pasal 73 (1) Bank yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 2, Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 9, Pasal 13, Pasal 17, Pasal 18, Pasal 22, Pasal 33 ayat (3), Pasal 34, Pasal 37, Pasal 38, Pasal 40, Pasal 41, Pasal 43, Pasal 44, Pasal 47, Pasal 49, Pasal 50 ayat (2), Pasal 51, Pasal 52, Pasal 53, Pasal 54, Pasal 55, Pasal 56, Pasal 61, Pasal 62, Pasal 63, Pasal 64 ayat (2), Pasal 65, Pasal 66, Pasal 69, Pasal 70, Pasal 71 dan Pasal 72 dapat dikenakan sanksi administratif antara lain berupa: a. teguran tertulis; b. pembekuan kegiatan usaha tertentu; c. pencantuman … - 47 - c. pencantuman pengurus dan atau pemegang saham Bank dalam daftar orang yang dilarang menjadi pemegang saham dan pengurus Bank, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998. (2) Selain sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank yang melakukan pelanggaran terhadap Pasal 17 dan Pasal 18 wajib membentuk PPA sebesar 100% (seratus perseratus) terhadap Aktiva dimaksud. BAB X KETENTUAN PENUTUP Pasal 74 (1) Penetapan kualitas untuk AYDA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39, penetapan kualitas untuk Properti Terbengkalai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 dan penetapan kualitas untuk Rekening Antar Kantor dan Suspense Account sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 mulai berlaku 12 (dua belas) bulan sejak ditetapkannya Peraturan Bank Indonesia ini. (2) Penetapan kualitas untuk Transaksi Rekening Administratif berupa fasilitas Kredit yang belum ditarik mulai berlaku 12 (dua belas) bulan sejak Peraturan Bank Indonesia ini ditetapkan. Pasal 75 Ketentuan pelaksanaan tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum akan diatur lebih lanjut dengan Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 76 … - 48 - Pasal 76 (1) Dengan dikeluarkannya Peraturan Bank Indonesia ini maka: a. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 31/147/KEP/DIR tanggal 12 November 1998 tentang Kualitas Aktiva Produktif; b. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 31/148/KEP/DIR tanggal 12 November 1998 tentang Penghapusan Aktiva Produktif; Pembentukan Penyisihan c. Peraturan Bank Indonesia Nomor 4/6/PBI/2002 tanggal 6 September 2002 tentang Perubahan Atas Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 31/147/KEP/DIR tanggal 12 November 1998 tentang Kualitas Aktiva Produktif; d. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 31/150/KEP/DIR tanggal 12 November 1998 tentang Restrukturisasi Kredit, khusus untuk Bank Umum yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional; e. Peraturan Bank Indonesia Nomor 2/15/PBI/2000 tanggal 12 Juni 2000 tentang Perubahan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 31/150/KEP/DIR tanggal 12 November 1998 tentang Restrukturisasi Kredit, khusus untuk Bank Umum yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional; dan f. Peraturan Bank Indonesia Nomor 4/11/PBI/2002 tanggal 20 Desember 2002 tentang Perlakuan Khusus terhadap Kredit Bank Umum Pascatragedi Bali, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. (2) Seluruh ketentuan Bank Indonesia yang mengacu kepada ketentuan mengenai Kualitas Aktiva Produktif, Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif dan Restrukturisasi Kredit selanjutnya mengacu kepada Peraturan Bank Indonesia ini, kecuali diatur tersendiri. Pasal 77 … - 49 - Pasal 77 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Ditetapkan di : Jakarta Pada tanggal : 20 Januari 2005 GUBERNUR BANK INDONESIA BURHANUDDIN ABDULLAH LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2005 NOMOR 12 DPNP PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 7/2/PBI/2005 TENTANG PENILAIAN KUALITAS AKTIVA BANK UMUM UMUM Kondisi dan karakteristik dari aset perbankan nasional, baik pada saat ini maupun di waktu yang akan datang, masih tetap dipengaruhi oleh risiko kredit, yang apabila tidak dikelola secara efektif akan berpotensi mengganggu kelangsungan usaha Bank. Pengelolaan risiko kredit yang tidak efektif antara lain disebabkan kelemahan dalam penerapan kebijakan dan prosedur penyediaan dana, termasuk penetapan kualitasnya, kelemahan dalam mengelola portofolio aset Bank, serta kelemahan dalam mengantisipasi perubahan faktor eksternal yang mempengaruhi kualitas penyediaan dana. Untuk memelihara kelangsungan usahanya, Bank perlu meminimalkan potensi kerugian dari penyediaan dana, antara lain dengan memelihara eksposur risiko kredit pada tingkat yang memadai. Berkaitan dengan hal tersebut, pengurus Bank wajib menerapkan manajemen risiko kredit secara efektif pada setiap jenis penyediaan dana serta melaksanakan prinsip kehati-hatian yang terkait dengan transaksi-transaksi dimaksud. Dalam ketentuan yang disempurnakan ini, aset yang dinilai kualitasnya mencakup aktiva produktif dan aktiva non produktif. Perluasan cakupan aset yang … - 2 - yang dinilai tersebut dimaksudkan agar Bank sedini mungkin mengatur kembali portofolio aset-asetnya terutama pada sisi aktiva non produktif sehingga dapat mengembalikan fungsi bank sebagai lembaga intermediasi yang menyalurkan dana kepada sektor usaha yang eligible. Selain itu, untuk menentukan kualitas penyediaan dana yang lebih mencerminkan tingkat eksposur risiko kredit, perlu ditata kembali kriteria, persyaratan dan tata cara penilaian kualitas pada setiap jenis penyediaan dana. Secara umum, dalam penetapan kualitas aktiva produktif antara lain digunakan pendekatan uniform classification untuk aktiva produktif yang digunakan untuk membiayai satu debitur atau satu proyek. Dalam penetapan kualitas kredit, Bank wajib memperhatikan faktor prospek usaha, kinerja, dan kemampuan membayar debitur. Mengingat pentingnya upaya memelihara lingkungan hidup, dalam penilaian prospek usaha, Bank perlu memperhatikan pula upaya yang dilakukan debitur dalam rangka memelihara lingkungan hidup. Sejalan dengan semakin berkembangnya jenis Surat Berharga, dalam ketentuan ini diatur pula penilaian kualitas Surat Berharga yang dijamin atau dihubungkan dengan aset tertentu (underlying reference assets). Selain itu, dengan akan berakhirnya program penjaminan pemerintah untuk penempatan kepada Bank lain maka Bank perlu menilai kualitas penempatan kepada pada bank lain, baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Dalam rangka meningkatkan kredit perbankan, khusus di daerah-daerah tertentu yang menurut penilaian Bank Indonesia memerlukan penanganan khusus untuk mendorong pembangunan ekonomi di daerah yang bersangkutan diberikan keringanan persyaratan penilaian kualitas penyediaan dana, yakni hanya berdasarkan ketepatan pembayaran. Keringanan yang sama juga diberikan untuk Kredit usaha kecil dan penyediaan dana sampai dengan Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Untuk … - 3 - membentuk Untuk mengantisipasi potensi kerugian dari penyediaan dana, Bank wajib penyisihan penghapusan aktiva berupa cadangan umum dan cadangan khusus untuk aktiva produktif dengan memperhitungkan agunan yang memenuhi persyaratan sebagai faktor pengurang cadangan. Selain itu, sejalan dengan amanat Undang-Undang Perbankan agar Bank segera menyelesaikan aktiva non produktif yang dimiliki, Bank perlu melakukan langkah-langkah termasuk melakukan antisipasi potensi kerugian melalui pembentukan cadangan khusus. Sebagai salah satu upaya untuk meminimalkan potensi kerugian dari kredit bermasalah, Bank juga dapat melakukan restrukturisasi kredit untuk debitur yang masih memiliki prospek usaha dan kemampuan membayar setelah dilakukan restrukturisasi. Untuk eksposur penyediaan dana yang sudah tidak memiliki prospek usaha dan kemampuan membayar atau telah dikategorikan Macet serta Bank telah melakukan berbagai upaya untuk memperoleh kembali penyediaan dana tersebut, Bank dapat melakukan hapus buku atau hapus tagih. Mengingat diperlukan ketentuan yang terintegrasi mengenai hal-hal tersebut di atas, baik dari sisi operasional maupun prinsip kehati-hatian, maka pengaturan tentang kualitas aktiva produktif, pembentukan penyisihan penghapusan aktiva produktif dan restrukturisasi kredit perlu disempurnakan dan disatukan dalam Peraturan Bank Indonesia ini. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 … - 4 - Pasal 2 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Langkah-langkah yang diperlukan agar kualitas Aktiva senantiasa baik antara lain dengan cara menerapkan manajemen risiko kredit secara efektif, termasuk penyusunan kebijakan dan pedoman sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku. Pasal 3 Cukup jelas. Pasal 4 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Termasuk dalam pengertian pemberitahuan adalah pemberitahuan yang dilakukan oleh Bank Indonesia kepada Bank dalam pertemuan terakhir (exit meeting) dalam rangka pemeriksaan Bank. Pasal 5 … - 5 - Pasal 5 Ayat (1) Debitur dalam ayat ini merupakan perseorangan atau badan usaha yang merupakan entitas tersendiri yang menghasilkan arus kas sebagai sumber dalam pembayaran kembali Aktiva Produktif. Ayat (2) Termasuk dalam Aktiva Produktif yang diberikan oleh lebih dari 1 (satu) Bank adalah penyediaan dana yang diberikan secara sindikasi. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 6 Ayat (1) Termasuk dalam proyek yang sama antara lain apabila: a. terdapat keterkaitan rantai bisnis secara signifikan dalam proses produksi yang dilakukan oleh beberapa debitur. Keterkaitan dianggap signifikan antara lain apabila proses produksi di suatu entitas tergantung kepada proses produksi entitas lain, misalnya adanya ketergantungan bahan baku dalam proses produksi. b. kelangsungan cash flow suatu entitas akan terganggu secara signifikan apabila cash flow entitas lain mengalami gangguan. Ayat (2) Termasuk dalam Aktiva Produktif yang diberikan oleh lebih dari 1 (satu) Bank adalah penyediaan dana yang diberikan secara sindikasi. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 7 … - 6 - Pasal 7 Cukup jelas. Pasal 8 Debitur dalam Pasal ini merupakan perseorangan atau badan usaha yang merupakan entitas tersendiri yang menghasilkan arus kas sebagai sumber dalam pembayaran kembali Aktiva Produktif. Pasal 9 Ayat (1) Kewajiban audit laporan keuangan dimaksudkan agar laporan keuangan debitur akurat dan dapat dipercaya, mengingat kondisi keuangan debitur merupakan salah satu kriteria dalam penetapan kualitas Aktiva Produktif. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku antara lain adalah Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1998 tentang Informasi Keuangan Tahunan Perusahaan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 64 Tahun 1999. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 10 … - 7 - Pasal 10 Cukup jelas. Pasal 11 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Yang dimaksud dengan debitur dalam huruf ini adalah debitur yang wajib melakukan upaya pengelolaan lingkungan hidup sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 12 Cukup jelas. Pasal 13 … - 8 - Pasal 13 Cukup jelas. Pasal 14 Ayat (1) Surat Berharga dalam portofolio diperdagangkan (trading) dan tersedia untuk dijual (available for sale) diakui berdasarkan nilai pasar sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum dengan memperhitungkan Risiko Pasar (market risk). Huruf a Kriteria aktif diperdagangkan di bursa efek adalah terdapat volume transaksi yang signifikan dan wajar (arms length transaction) di bursa efek di Indonesia dalam 10 (sepuluh) hari kerja terakhir. Huruf b Informasi nilai pasar secara transparan harus dapat diperoleh dari media publikasi yang lazim untuk transaksi bursa efek. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Ayat (2) Surat Berharga yang diakui berdasarkan harga perolehan adalah Surat Berharga dalam portofolio dimiliki hingga jatuh tempo (held to maturity). Pasal 15 … - 9 - Pasal 15 Cukup jelas. Pasal 16 Cukup jelas. Pasal 17 Kepemilikan Surat Berharga yang dihubungkan atau dijamin dengan aset tertentu yang mendasari (underlying reference asset) yang berbentuk saham hanya dapat dilakukan untuk tujuan Penyertaan Modal atau Penyertaan Modal Sementara dan dilakukan dengan izin Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku. Pasal 18 Yang dimaksud dengan Surat Berharga yang dihubungkan atau dijamin dengan aset tertentu yang mendasari antara lain adalah sertifikat reksadana, credit linked note dan efek beragun aset. Huruf a Keberadaan aset dapat diyakini apabila aset dimaksud antara lain disimpan di bank kustodian, Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) atau Bank Indonesia. Huruf b Cukup jelas. Huruf c … - 10 - Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Pasal 19 Ayat (1) Huruf a Pembayaran kewajiban Surat Berharga dikatakan terkait langsung dengan aset yang mendasari (pass through) apabila pembayaran pokok dan bunga Surat Berharga semata-mata bersumber dari pembayaran pokok dan bunga dari aset yang mendasari. Huruf b Cukup jelas. Ayat (2) Kualitas aset yang mendasari ditetapkan berdasarkan jenis aset dan kualitas dari aset tersebut. Misalnya, aset dalam bentuk Kredit kepada debitur dinilai berdasarkan ketentuan kualitas Kredit kepada debitur, aset dalam bentuk Surat Berharga dinilai berdasarkan kualitas Surat Berharga dan aset dalam bentuk deposito pada bank lain dinilai berdasarkan kualitas Penempatan. Dalam hal aset yang mendasari memiliki kualitas yang berbeda-beda maka kualitas Surat Berharga ditetapkan berdasarkan kualitas dari masing-masing aset yang mendasari dan dihitung secara proporsional. Ayat (3) … - 11 - Ayat (3) Huruf a Penetapan kualitas sertifikat reksadana berdasarkan ketentuan penilaian kualitas Surat Berharga dilakukan terhadap sertifikat reksadana sebagai satu produk dan bukan terhadap setiap jenis aset yang mendasari sertifikat reksadana dimaksud. Huruf b Kualitas sertifikat reksadana ditetapkan berdasarkan kualitas setiap jenis aset yang mendasari dan kualitas penerbit sertifikat reksadana sesuai dengan ketentuan kualitas Kredit, dengan penekanan antara lain terhadap: a. kinerja, likuiditas dan reputasi penerbit; dan b. diversifikasi portofolio yang dimiliki penerbit. Pasal 20 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Surat Berharga yang berdasarkan karakteristiknya tidak aktif diperdagangkan di bursa efek dan tidak memiliki peringkat antara lain adalah medium term notes. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 21 … - 12 - Pasal 21 Termasuk dalam pengambilalihan (negosiasi) wesel adalah wesel ekspor dan Surat Kredit Berdokumen Dalam Negeri (SKBDN). Pasal 22 Cukup jelas. Pasal 23 Cukup jelas. Pasal 24 Rasio KPMM sesuai dengan ketentuan yang berlaku adalah rasio KPMM yang ditetapkan oleh otoritas yang berwenang terhadap bank yang menerima Penempatan. Rasio KPMM didasarkan pada laporan keuangan publikasi terakhir sesuai dengan periode yang ditetapkan oleh otoritas yang berwenang. Apabila laporan keuangan publikasi terakhir atau data KPMM pada laporan keuangan publikasi terakhir tidak tersedia, bank dianggap memiliki KPMM kurang dari ketentuan yang berlaku. Pasal 25 Cukup jelas. Pasal 26 … - 13 - Pasal 26 Ayat (1) Surat Berharga yang dibeli dengan janji dijual kembali (reverse repurchase agreement) adalah pembelian Surat Berharga dari pihak lain yang dilengkapi dengan perjanjian untuk menjual kembali kepada pihak lain tersebut pada akhir periode dengan harga atau imbalan yang telah disepakati sebelumnya. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 27 Sesuai ketentuan yang berlaku, transaksi derivatif yang diperkenankan adalah yang berkaitan dengan suku bunga atau valuta asing. Transaksi derivatif yang berkaitan dengan saham hanya dapat dilakukan atas izin Bank Indonesia atau dalam rangka Penyertaan Modal atau Penyertaan Modal Sementara sesuai ketentuan Bank Indonesia yang berlaku. Pasal 28 Penyertaan Modal dinilai berdasarkan metode biaya apabila Penyertaan Modal kurang dari 20% (dua puluh perseratus) dari modal perusahaan tempat Bank melakukan Penyertaan Modal (investee) dan tidak memenuhi kriteria … - 14 - kriteria unsur pengendalian. Kriteria pengendalian mengacu kepada ketentuan Bank Indonesia yang berlaku tentang Transparansi Kondisi Keuangan Bank. Pasal 29 Penyertaan Modal dinilai berdasarkan metode ekuitas apabila Penyertaan Modal mencapai 20% (dua puluh perseratus) atau lebih dari modal investee dan atau memenuhi kriteria unsur pengendalian. Kriteria pengendalian mengacu kepada ketentuan Bank Indonesia yang Transparansi Kondisi Keuangan Bank. Pasal 30 Ayat (1) Perhitungan jangka waktu Penyertaan Modal Sementara dihitung sejak Bank melakukan Penyertaan Modal Sementara. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 31 Cukup jelas. Pasal 32 Cukup jelas. Pasal 33 … berlaku tentang - 15 - Pasal 33 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Dalam hal agunan tunai berupa emas maka nilai agunan ditetapkan berdasarkan nilai pasar (market value). Huruf b Dalam hal agunan tunai berupa SUN maka nilai agunan ditetapkan berdasarkan nilai pasar SUN atau dalam hal tidak ada nilai pasar ditetapkan berdasarkan nilai wajar (fair value). Huruf c Yang dimaksud dengan Pemerintah Indonesia dalam huruf ini adalah Pemerintah Pusat. Huruf d Cukup jelas. Ayat (3) Pemblokiran dan pengikatan untuk SBI dan SUN saat ini diadministrasikan oleh Bank Indonesia. Ayat (4) Yang dimaksud dengan tanpa syarat (unconditional) adalah apabila: a. manfaat yang diperoleh Bank penyedia dana dari jaminan tidak berkurang secara substansial walaupun terjadi kerugian yang disebabkan oleh faktor-faktor di luar kendali Bank; dan tidak memuat persyaratan prosedural, seperti: b. 1. mempersyaratkan … - 16 - 1. mempersyaratkan waktu pengajuan pemberitahuan wanprestasi (notification of default); 2. mempersyaratkan kewajiban pembuktian good faith oleh Bank penyedia dana; dan atau 3. mempersyaratkan pencairan jaminan dengan cara dilakukannya saling hapus (set-off) terlebih dahulu dengan kewajiban Bank penyedia dana kepada pihak penjamin. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 34 Cukup jelas. Pasal 35 Huruf a Batas pemberian fasilitas Kredit dan penyediaan dana lain akan diperhitungkan terhadap seluruh fasilitas yang diterima oleh setiap debitur baik untuk debitur individual maupun Kelompok Peminjam yang diterima dari satu Bank. Yang dimaksud dengan penyediaan dana lain adalah penerbitan jaminan atau pembukaan letter of credit. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Batas pemberian fasilitas Kredit dan penyediaan dana lain akan diperhitungkan terhadap seluruh fasilitas yang diterima oleh setiap debitur baik untuk debitur individual maupun Kelompok Peminjam yang … - 17 - yang diterima dari satu Bank Kredit dan penyediaan dana lain kepada debitur dengan lokasi kegiatan usaha berada di daerah tertentu adalah Kredit atau penyediaan dana lain dari Bank untuk investasi dan atau modal kerja di daerah tertentu yang menurut penilaian Bank Indonesia memerlukan penanganan khusus untuk mendorong pembangunan ekonomi di daerah yang bersangkutan. Yang dimaksud dengan penyediaan dana lain adalah penerbitan jaminan atau pembukaan letter of credit. Pasal 36 Cukup jelas. Pasal 37 Ayat (1) Pengaturan ini dimaksudkan agar Bank melakukan kegiatan usaha sesuai fungsinya sebagai penghimpun dan penyalur dana masyarakat. Upaya penyelesaian antara lain dapat dilakukan dengan secara aktif memasarkan dan menjual AYDA. Ayat (2) Dokumentasi antara lain mencakup bukti data dan informasi mengenai upaya pemasaran dan penjualan AYDA. Pasal 38 Ayat (1) Yang dimaksud dengan net realizable value adalah nilai wajar agunan dikurangi … - 18 - dikurangi estimasi biaya pelepasan. Maksimum net realizable value adalah sebesar nilai Aktiva Produktif yang diselesaikan dengan AYDA. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Pasal 39 Cukup jelas. Pasal 40 Ayat (1) Termasuk dalam Properti Terbengkalai adalah properti yang menghasilkan bukan dalam rangka usaha Bank, seperti gedung atau bagian gedung yang disewakan. Dalam … - 19 - Dalam hal Bank hanya menggunakan sebagian gedung untuk kegiatan usaha, maka bagian gedung yang tidak digunakan untuk kegiatan usaha digolongkan sebagai Properti Terbengkalai secara proporsional. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 41 Ayat (1) Pengaturan ini dimaksudkan agar Bank melakukan kegiatan usaha sesuai fungsinya sebagai penghimpun dan penyalur dana masyarakat. Upaya penyelesaian antara lain dapat dilakukan dengan secara aktif memasarkan dan menjual Properti Terbengkalai. Ayat (2) Dokumentasi antara lain mencakup bukti data dan informasi mengenai upaya pemasaran dan penjualan Properti Terbengkalai. Pasal 42 Cukup jelas. Pasal 43 Ayat (1) Upaya penyelesaian diperlukan agar seluruh transaksi Bank diakui dan dicatat berdasarkan karakteristik dari transaksi tersebut dan mengurangi … - 20 - mengurangi kemungkinan terjadinya rekayasa transaksi yang dapat mengakibatkan kerugian bagi Bank. Ayat (2) Rekening Antar Kantor yang dinilai adalah akun Rekening Antar Kantor di sisi aktiva tanpa dilakukan set off dengan Rekening Antar Kantor di sisi pasiva, mengingat pihak lawan transaksi belum dapat dipastikan sebagai pihak atau kantor yang sama. Pasal 44 Ayat (1) Pembentukan PPA terhadap Aktiva Non Produktif dimaksudkan untuk mendorong Bank melakukan upaya penyelesaian dan untuk antisipasi terhadap potensi kerugian. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 45 Cukup jelas. Pasal 46 Huruf a Kriteria aktif diperdagangkan di bursa efek adalah terdapat volume transaksi yang signifikan dan wajar (arms length transaction) di bursa … - 21 - bursa efek di Indonesia dalam 10 (sepuluh) hari kerja terakhir. Peringkat investasi didasarkan pada peringkat yang diterbitkan oleh lembaga pemeringkat dalam satu tahun terakhir. Apabila peringkat yang diterbitkan oleh lembaga pemeringkat dalam satu tahun terakhir tidak tersedia maka Surat Berharga dianggap tidak memiliki peringkat. Huruf b Pengikatan agunan secara hak tanggungan dan hipotek harus sesuai dengan ketentuan dan prosedur dalam peraturan perundang- undangan yang berlaku, termasuk namun tidak terbatas pada masalah pendaftaran, sehingga Bank memiliki hak preferensi terhadap agunan dimaksud. Huruf c Pengikatan agunan secara fidusia harus sesuai dengan ketentuan dan prosedur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, termasuk namun tidak terbatas pada masalah pendaftaran, sehingga Bank memiliki hak preferensi terhadap agunan dimaksud. Pasal 47 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan pengikatan yang memberikan hak preferensi adalah pengikatan yang dilakukan dengan gadai, hipotek, hak tanggungan dan fidusia. Huruf c … - 22 - Huruf c Jangka waktu perlindungan asuransi untuk agunan paling kurang sama dengan jangka waktu Aktiva Produktif. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 48 Penilaian adalah pernyataan tertulis dari penilai independen atau penilai intern Bank mengenai taksiran dan pendapat atas nilai ekonomis dari agunan berdasarkan analisis terhadap fakta-fakta obyektif dan relevan menurut metode dan prinsip-prinsip yang berlaku umum yang ditetapkan oleh asosiasi dan atau institusi yang berwenang. Pasal 49 Ayat (1) Batasan Rp5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah) diperhitungkan terhadap seluruh fasilitas yang Kelompok Peminjam. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 50 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) … diberikan kepada debitur atau - 23 - Ayat (2) Termasuk dalam pemberitahuan adalah pemberitahuan yang dilakukan oleh Bank Indonesia kepada Bank dalam pertemuan terakhir (exit meeting) dalam rangka pemeriksaan Bank. Pasal 51 Cukup jelas. Pasal 52 Cukup jelas Pasal 53 Cukup jelas. Pasal 54 Cukup jelas. Pasal 55 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) … - 24 - Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Yang dimaksud dengan ketentuan Bank Indonesia yang berlaku antara lain adalah ketentuan tentang Kewajiban Penyusunan dan Pelaksanaan Kebijaksanaan Perkreditan Bank bagi Bank Umum. Pasal 56 Cukup jelas. Pasal 57 Cukup jelas. Pasal 58 Yang dimaksud dengan grace period dalam ayat ini adalah grace period untuk pembayaran pokok dan bunga. Pasal 59 Cukup jelas. Pasal 60 Cukup jelas. Pasal 61 … - 25 - Pasal 61 Cukup jelas. Pasal 62 Cukup jelas. Pasal 63 Cukup jelas. Pasal 64 Cukup jelas. Pasal 65 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Laba kumulatif adalah laba perusahaan setelah diperhitungkan dengan kerugian tahun-tahun sebelumnya. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 66 … - 26 - Pasal 66 Cukup jelas. Pasal 67 Cukup jelas. Pasal 68 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Termasuk pengertian tidak dilakukan sesuai ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia ini adalah tidak melakukan perhitungan kerugian restrukturisasi antara lain dengan metode present value. Huruf e Cukup jelas. Pasal 69 Ayat (1) Hapus buku adalah tindakan administratif Bank untuk menghapus buku Kredit yang memiliki kualitas Macet dari neraca sebesar kewajiban … - 27 - kewajiban debitur tanpa menghapus hak tagih Bank kepada debitur. Hapus tagih adalah tindakan Bank menghapus kewajiban debitur yang tidak dapat diselesaikan. Kebijakan dan prosedur hapus buku dan hapus tagih antara lain memuat kriteria, persyaratan, limit, kewenangan dan tanggung jawab serta tata cara hapus buku dan hapus tagih. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 70 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Pelaksanaan hapus buku dilakukan terhadap seluruh penyediaan dana yang diberikan dan diikat dalam satu perjanjian. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Hapus tagih dalam rangka Restrukturisasi Kredit dan penyelesaian Kredit dimaksudkan untuk kepentingan transparansi kepada debitur. Penyelesaian … - 28 - Penyelesaian Kredit dapat dilakukan melalui pengambilalihan agunan atau pelunasan oleh debitur. Pasal 71 Ayat (1) Upaya yang dapat dilakukan antara lain dalam bentuk penagihan kepada debitur, Restrukturisasi Kredit, meminta pembayaran dari pihak yang memberikan garansi atas Aktiva Produktif dimaksud, dan penyelesaian Kredit melalui pengambilalihan agunan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 72 Ayat (1) Termasuk dalam penurunan rasio KPMM secara signifikan adalah penurunan rasio KPMM sehingga mendekati rasio KPMM sesuai ketentuan yang berlaku. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 73 … - 29 - Pasal 73 Cukup jelas. Pasal 74 Ayat (1) Berdasarkan ketentuan ayat ini maka perhitungan jangka waktu kepemilikan AYDA dan Properti Terbengkalai serta perhitungan jangka waktu pencatatan dalam pembukuan Bank untuk Rekening Antar Kantor dan Suspense Account dimulai 12 (dua belas) bulan sejak Peraturan Bank Indonesia ini ditetapkan. Ketentuan ini juga berlaku untuk AYDA, Properti Terbengkalai, Rekening Antar Kantor dan Suspense Account yang telah dimiliki atau tercatat dalam pembukuan Bank sebelum berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini. Sebagai contoh, untuk AYDA yang telah dimiliki Bank sebelum Peraturan Bank Indonesia ini ditetapkan dan terhadap AYDA dimaksud dilakukan upaya penyelesaian maka AYDA akan dinilai Macet pada Januari 2011. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 75 Cukup jelas. Pasal 76 … - 30 - Pasal 76 Cukup jelas. Pasal 77 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4471 DPNP
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 7/2/PBI/2005 </reg_id> <reg_title> PENILAIAN KUALITAS AKTIVA BANK UMUM </reg_title> <set_date> 20 Januari 2005 </set_date> <effective_date> 20 Januari 2005 </effective_date> <replaced_reg> '31/147/KEP/DIR|SKDIR-BI/1998', '2/15/PBI/2000', '31/148/KEP/DIR|SKDIR-BI/1998', '31/150/KEP/DIR|SKDIR-BI/1998', '4/11/PBI/2002', '4/6/PBI/2002' </replaced_reg> <related_reg> '23/UU/1999', '3/UU/2004', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg> <penalty_list> 'BAB IX' </penalty_list>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 16/ 13 /PBI/2014 TENTANG PENGELUARAN DAN PENGEDARAN UANG RUPIAH KERTAS PECAHAN 100.000 (SERATUS RIBU) TAHUN EMISI 2014 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sesuai amanat dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang, perlu diberlakukan, dikeluarkan, dan diedarkan uang Rupiah kertas dengan ciri tertentu; b. bahwa pengeluaran dan pengedaran uang Rupiah ditujukan untuk menyediakan uang tunai di masyarakat sebagai alat pembayaran yang sah (legal tender) di Negara Kesatuan Republik Indonesia; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Bank Indonesia tentang Pengeluaran dan Pengedaran Uang Rupiah Kertas Pecahan 100.000 (Seratus Ribu) Tahun Emisi 2014; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843), sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang . . . -2- tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962); 2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5223); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PENGELUARAN DAN PENGEDARAN UANG RUPIAH KERTAS PECAHAN 100.000 (SERATUS RIBU) TAHUN EMISI 2014. Pasal 1 Bank Indonesia mengeluarkan dan mengedarkan uang Rupiah kertas pecahan 100.000 (seratus ribu) tahun emisi 2014 sebagai alat pembayaran yang sah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pasal 2 Macam uang Rupiah kertas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 merupakan jenis uang kertas yang memiliki ciri tertentu pada desain, bahan, dan teknik cetak. Pasal 3 Harga uang Rupiah kertas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 mempunyai nilai nominal Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah). Pasal 4 . . . -3- Pasal 4 Uang Rupiah kertas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 memiliki ciri sebagai berikut: a. warna bagian muka dan bagian belakang dicetak dengan warna dominan merah; b. gambar 1. bagian muka a) gambar utama berupa gambar Proklamator Dr. (H.C.) Ir. Soekarno dan Dr. (H.C.) Drs. Mohammad Hatta, dan di bawahnya dicantumkan tulisan “Dr. (H.C.) Ir. SOEKARNO” dan “Dr. (H.C.) Drs. MOHAMMAD HATTA”; b) di antara gambar Proklamator terdapat teks Proklamasi; c) di atas teks Proklamasi terdapat cetakan garis-garis lurus dalam bidang berbentuk segi empat yang apabila dilihat dari sudut pandang tertentu akan timbul efek warna pelangi (rainbow effect); d) pada sebelah kiri atas gambar utama terdapat angka nominal “100000” dengan arah horizontal; e) pada sebelah kanan gambar utama di bawah gambar lambang negara Garuda Pancasila terdapat angka nominal “100000” dengan arah vertikal; f) pada sebelah kiri gambar utama terdapat gambar Gedung Proklamasi; g) pada sebelah kiri gambar utama di bawah angka nominal “100000” terdapat gambar saling isi (rectoverso) yang apabila diterawangkan ke arah cahaya akan terlihat logo Bank Indonesia secara utuh; h) pada sebelah kiri bawah gambar utama terdapat tulisan “NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA” dan di bawah tulisan . . . -4- tulisan tersebut terdapat tulisan “SERATUS RIBU RUPIAH”; i) pada sebelah kiri gambar utama di atas tulisan “NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA” terdapat kode tuna netra (blind code) berupa 2 (dua) buah lingkaran berwarna merah yang terasa kasar apabila diraba; j) pada sebelah kanan atas gambar utama terdapat gambar tersembunyi (latent image) berupa tulisan “BI” yang dapat dilihat dari sudut pandang tertentu dalam bingkai persegi panjang berbentuk ornamen tertentu; k) pada sebelah kanan atas gambar utama terdapat gambar lambang negara Garuda Pancasila, dengan latar belakang berwarna hijau; l) pada sebelah kanan gambar utama terdapat lingkaran-lingkaran berwarna jingga yang letaknya tersebar; m) pada sebelah kanan gambar utama di bawah angka nominal “100000” terdapat logo Bank Indonesia di dalam bidang berbentuk perisai yang dicetak dengan tinta khusus yang akan berubah warna (colour shifting ink) dari kuning keemasan menjadi hijau apabila dilihat dari sudut pandang tertentu; n) pada sebelah kanan gambar utama di bawah bidang berbentuk perisai terdapat bidang persegi panjang berwarna hijau; o) pada sebelah kanan gambar utama di bawah tanda air terdapat angka tahun emisi dengan tulisan “TE. 2014”, tanda tangan Gubernur Bank Indonesia beserta tulisan “GUBERNUR”, dan tanda tangan Menteri Keuangan beserta tulisan “MENTERI KEUANGAN”; p) terdapat teks mikro (microtext) dengan tulisan “BANKINDONESIA” atau “BI” dan hanya dapat dibaca dengan bantuan kaca pembesar pada: 1) tepi . . . -5- 1) tepi kiri atas, tepi kiri tengah, dan tepi kiri bawah yang berbentuk pola tertentu dengan warna yang berbeda; 2) bagian tengah dan di bawah teks Proklamasi dengan warna merah; 3) sebelah kanan gambar utama di bawah gambar tersembunyi (latent image) yang berbentuk gambar bunga teratai; dan 4) tepi kanan atas, tepi kanan tengah, dan tepi kanan bawah yang berbentuk pola tertentu dengan warna yang berbeda; q) pada bagian atas dan bawah tanda air terdapat teks mini (minitext) dengan tulisan “BANKINDONESIA” berwarna merah dan berbentuk pola tertentu dengan ukuran teks berbeda yang dapat dibaca tanpa bantuan kaca pembesar; 2. bagian belakang a) gambar utama berupa gambar Gedung Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia; b) pada sebelah bawah gambar utama terdapat tulisan “DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA MENGELUARKAN UANG SEBAGAI ALAT PEMBAYARAN YANG SAH DENGAN NILAI SERATUS RIBU RUPIAH”; c) pada sebelah atas gambar utama terdapat gambar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang akan memendar kuning di bawah sinar ultraviolet; d) pada sebelah kiri atas gambar utama terdapat cetakan tidak kasat mata berupa bagian gambar Gedung Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia yang akan memendar merah di bawah sinar ultraviolet; e) pada sebelah kiri gambar utama, terdapat cetakan tidak kasat mata berupa angka nominal “100000” yang berada dalam bidang . . . -6- bidang persegi panjang yang akan memendar hijau di bawah sinar ultraviolet; f) pada sebelah kiri gambar utama terdapat lingkaran-lingkaran berwarna jingga yang letaknya tersebar; g) pada sebelah kanan atas gambar utama terdapat tulisan “BANK INDONESIA”; h) pada sebelah kanan gambar utama di bawah tulisan “BANK INDONESIA” terdapat nomor seri dengan bentuk asimetris yang terdiri atas 3 (tiga) huruf dan 6 (enam) angka yang dicetak dengan tinta berwarna hitam yang akan memendar hijau di bawah sinar ultraviolet; i) pada sebelah kiri bawah gambar utama terdapat nomor seri dengan bentuk asimetris yang terdiri atas 3 (tiga) huruf dan 6 (enam) angka yang dicetak dengan tinta berwarna merah yang akan memendar kuning di bawah sinar ultraviolet; j) pada sebelah kanan gambar utama di bawah nomor seri terdapat gambar saling isi (rectoverso) yang apabila diterawangkan ke arah cahaya akan terlihat logo Bank Indonesia secara utuh; k) pada sebelah kanan bawah gambar utama terdapat angka nominal “100000” dengan arah horizontal; l) pada sebelah kiri atas gambar utama terdapat angka nominal “100000” dengan arah vertikal dan latar belakang berwarna hijau; m) pada sebelah kiri gambar utama di bawah nomor seri terdapat bidang persegi panjang berwarna hijau; n) pada sebelah kanan gambar utama di bawah angka nominal “100000” terdapat tulisan “PERUM PERCETAKAN UANG RI IMP.” dan angka tahun cetak; o) terdapat . . . -7- o) terdapat teks mikro (microtext) dengan tulisan “BANKINDONESIA” atau “BI” dan hanya dapat dibaca dengan bantuan kaca pembesar pada: 1) tepi kiri tengah yang berbentuk pola tertentu dengan warna yang berbeda; 2) sebelah kiri gambar utama yang berbentuk pola tertentu dengan warna yang berbeda; dan 3) tepi kanan tengah yang berbentuk pola tertentu dengan warna berbeda; p) pada bagian atas dan bawah tanda air terdapat teks mini (minitext) dengan tulisan “BANKINDONESIA” berwarna jingga dan berbentuk pola tertentu dengan ukuran teks berbeda yang dapat dibaca tanpa bantuan kaca pembesar; c. bahan kertas uang memiliki spesifikasi sebagai berikut: 1. terbuat dari serat kapas; 2. ukuran panjang 151 mm dan lebar 65 mm; 3. warna merah muda; 4. tidak memendar di bawah sinar ultraviolet; 5. tanda air berupa gambar Pahlawan Nasional W.R. Soepratman dan electrotype berupa logo Bank Indonesia dan ornamen tertentu; dan 6. benang pengaman berbentuk anyaman yang memuat tulisan “BI 100000” berulang-ulang dan terbaca utuh atau terpotong sebagian. Pasal 5 Uang Rupiah kertas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 mulai berlaku, dikeluarkan, dan diedarkan pada tanggal 17 Agustus 2014. Pasal 6 . . . -8- Pasal 6 Uang Rupiah kertas pecahan 100.000 (seratus ribu) tahun emisi 2004 yang telah dikeluarkan oleh Bank Indonesia dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang belum dicabut dan ditarik dari peredaran. Pasal 7 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 24 Juli 2014 GUBERNUR BANK INDONESIA, AGUS D.W. MARTOWARDOJO Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 24 Juli 2014 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, AMIR SYAMSUDIN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2014 NOMOR 180 DPU
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 16/13/PBI/2014 </reg_id> <reg_title> PENGELUARAN DAN PENGEDARAN UANG RUPIAH KERTAS PECAHAN 100.000 (SERATUS RIBU) TAHUN EMISI 2014 </reg_title> <set_date> 24 Juli 2014 </set_date> <effective_date> 24 Juli 2014 </effective_date> <issued_date> 24 Juli 2014 </issued_date> <related_reg> '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '6/UU/2009', '7/UU/2011' </related_reg>
- 1- PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 2/ 27 /PBI/2000 TENTANG BANK UMUM GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam menghadapi perkembangan perekonomian nasional yang mengalami perubahan yang cepat dan tantangan yang semakin berat, serta terintegrasi dengan perekonomian internasional yang terus berkembang, diperlukan perbankan nasional yang tangguh; b. bahwa untuk lebih mendorong terciptanya perbankan nasional yang tangguh dan efisien, diperlukan pengaturan kegiatan lembaga bank yang komprehensif, jelas, dan memberikan kepastian hukum; c. bahwa sejalan dengan perkembangan dunia perbankan yang dinamis dan tuntutan masyarakat akan sistem perbankan yang sehat maka dipandang perlu untuk melakukan penyesuaian terhadap pengaturan kelembagaan bank; d. bahwa sehubungan dengan itu dipandang perlu untuk menyempurnakan ketentuan tentang Bank Umum dalam Peraturan Bank Indonesia; Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang- undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3790); 2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3843); MEMUTUSKAN … - 2- MEMUTUSKAN Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG BANK UMUM BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan: 1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 3 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998, yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional; 2. Kantor Cabang adalah kantor Bank yang secara langsung bertanggung jawab kepada kantor pusat Bank yang bersangkutan, dengan alamat tempat usaha yang jelas dimana Kantor Cabang tersebut melakukan usahanya; 3. Kantor Cabang Pembantu atau Kantor Kas adalah kantor di bawah Kantor Cabang yang kegiatan usahanya membantu Kantor Cabang induknya; 4. Kegiatan Kas di luar Kantor Bank adalah kegiatan pelayanan kas terhadap pihak yang telah menjadi nasabah Bank, meliputi antara lain: a. Kas Mobil atau Kas Terapung yaitu kegiatan kas dengan menggunakan alat transportasi darat atau air; b. Payment Point yaitu kegiatan pelayanan pembayaran melalui kerjasama antara Bank dengan pihak lain yang merupakan nasabah Bank; c. Anjungan Tunai Mandiri (ATM) yaitu kegiatan kas yang dilakukan secara elektronis untuk memudahkan nasabah, antara lain dalam rangka menarik atau menyetor secara tunai, atau melakukan pembayaran melalui pemindahbukuan, dan memperoleh informasi mengenai saldo/mutasi rekening nasabah; 5. Kegiatan … - 3- 5. Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah adalah kegiatan usaha perbankan yang dilakukan berdasarkan Prinsip Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 13 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998; 6. Prinsip Syariah adalah prinsip syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 13 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998; 7. Kantor Cabang Syariah adalah Kantor Cabang Bank yang melakukan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah; 8. Dewan Syariah Nasional adalah dewan yang dibentuk oleh Majelis Ulama Indonesia yang bertugas dan memiliki kewenangan untuk memastikan kesesuaian antara produk, jasa, dan kegiatan usaha bank dengan Prinsip Syariah; 9. Dewan Pengawas Syariah adalah dewan yang bersifat independen, yang dibentuk oleh Dewan Syariah Nasional dan ditempatkan pada Bank yang melakukan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah, dengan tugas yang diatur oleh Dewan Syariah Nasional; 10. Direksi: a. bagi Bank berbentuk hukum Perseroan Terbatas adalah direksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 4 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas; b. bagi Bank berbentuk hukum Perusahaan Daerah adalah direksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah; c. bagi Bank berbentuk hukum Koperasi adalah pengurus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 Undang-undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian; 11. Komisaris: a. bagi Bank berbentuk hukum Perseroan Terbatas adalah komisaris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 5 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas; b. bagi … - 4- b. bagi Bank berbentuk hukum Perusahaan Daerah adalah pengawas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah; c. bagi Bank berbentuk hukum Koperasi adalah pengawas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 Undang-undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian; 12. Pejabat Eksekutif adalah pejabat yang mempunyai pengaruh terhadap kebijakan dan operasional Bank Direksi; serta bertanggungjawab langsung kepada 13. Pemegang Saham Pengendali adalah badan hukum dan atau perorangan dan atau kelompok usaha yang: a. memiliki saham Bank sebesar 25% (dua puluh lima perseratus) atau lebih dari jumlah saham yang dikeluarkan Bank dan mempunyai hak suara; atau b. memiliki saham Bank kurang dari 25% (dua puluh lima perseratus) dari jumlah saham yang dikeluarkan Bank dan mempunyai hak suara namun dapat dibuktikan telah melakukan pengendalian Bank baik secara langsung maupun tidak langsung. Pasal 2 Bentuk hukum suatu Bank dapat berupa: a. Perseroan Terbatas; b. Koperasi; atau c. Perusahaan Daerah. BAB II … - 5- BAB II PERIZINAN Bagian Pertama Pendirian Bank Pasal 3 (1) Bank hanya dapat didirikan dan melakukan kegiatan usaha dengan izin Dewan Gubernur Bank Indonesia. (2) Pemberian izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam dua tahap: a. persetujuan prinsip, yaitu persetujuan untuk melakukan persiapan pendirian Bank; dan b. izin usaha, yaitu izin yang diberikan untuk melakukan kegiatan usaha Bank setelah persiapan sebagaimana dimaksud dalam huruf a selesai dilakukan. Pasal 4 Modal disetor untuk mendirikan Bank ditetapkan sekurang-kurangnya sebesar Rp3.000.000.000.000,00 (tiga triliun rupiah). Pasal 5 (1) Bank hanya dapat didirikan oleh: a. warga negara Indonesia dan atau badan hukum Indonesia; atau b. warga negara Indonesia dan atau badan hukum Indonesia dengan warga negara asing dan atau badan hukum asing secara kemitraan. (2) Kepemilikan yang berasal dari warga negara asing dan atau badan hukum asing sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b setinggi-tingginya sebesar 99% (sembilan puluh sembilan perseratus) dari modal disetor Bank. Bagian … - 6- Bagian Kedua Persetujuan Prinsip dan Izin Usaha Pasal 6 (1) Permohonan untuk mendapatkan persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf a diajukan sekurang-kurangnya oleh salah satu calon pemilik kepada Dewan Gubernur Bank Indonesia dan wajib disertai dengan: a. rancangan akta pendirian badan hukum, termasuk rancangan anggaran dasar yang sekurang-kurangnya memuat: 1. nama dan tempat kedudukan; 2. kegiatan usaha sebagai Bank; 3. permodalan; 4. kepemilikan; 5. wewenang, tanggung jawab, dan masa jabatan dewan Komisaris serta Direksi; b. data kepemilikan berupa: 1. daftar calon pemegang saham berikut rincian besarnya masing-masing kepemilikan saham bagi Bank yang berbentuk hukum Perseroan Terbatas/Perusahaan Daerah; 2. daftar calon anggota berikut rincian jumlah simpanan pokok dan simpanan wajib, serta daftar hibah bagi Bank yang berbentuk hukum Koperasi; c. daftar calon anggota dewan Komisaris dan anggota Direksi, disertai dengan: 1. pas foto 1 (satu) bulan terakhir ukuran 4 x 6 cm; 2. fotokopi tanda pengenal berupa Kartu Tanda Penduduk (KTP) atau paspor; 3. riwayat hidup; 4. surat … - 7- 4. surat pernyataan pribadi yang menyatakan tidak pernah melakukan tindakan tercela di bidang perbankan, keuangan, dan usaha lainnya, tidak pernah dihukum karena terbukti melakukan tindak pidana kejahatan, dan tidak sedang dalam masa pengenaan sanksi untuk dilarang menjadi pengurus bank dan atau Bank Perkreditan Rakyat sebagaimana diatur dalam ketentuan Penilaian Kemampuan dan Kepatutan (Fit and Proper Test) yang ditetapkan oleh Bank Indonesia; 5. surat pernyataan pribadi yang menyatakan bahwa yang bersangkutan tidak pernah dinyatakan pailit dan tidak pernah menjadi pemegang saham, anggota Direksi atau Komisaris yang dinyatakan bersalah menyebabkan suatu perseroan dinyatakan pailit berdasarkan ketetapan pengadilan dalam waktu permohonan; dan 6. surat keterangan atau bukti tertulis dari Bank tempat bekerja sebelumnya mengenai pengalaman operasional di bidang perbankan bagi calon anggota Direksi atau bagi calon anggota dewan Komisaris yang telah berpengalaman; d. rencana susunan dan struktur organisasi, serta personalia; e. rencana kerja (business plan) untuk tahun pertama yang sekurang- kurangnya memuat: 1. studi kelayakan mengenai peluang pasar dan potensi ekonomi; 2. rencana kegiatan usaha yang mencakup penghimpunan dan penyaluran dana serta langkah-langkah kegiatan yang akan dilakukan dalam mewujudkan rencana dimaksud; dan 3. proyeksi neraca, laporan laba rugi dan laporan arus kas bulanan selama 12 (dua belas) bulan yang dimulai sejak Bank melakukan kegiatan operasional; f. rencana strategis jangka menengah dan panjang (corporate plan); g. pedoman manajemen risiko, rencana sistem pengendalian intern, rencana sistem teknologi informasi yang digunakan, dan skala kewenangan; h. sistem dan prosedur kerja; i. bukti … 5 (lima) tahun sebelum tanggal pengajuan - 8- i. bukti setoran modal sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus) dari modal disetor minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, dalam bentuk fotokopi bilyet deposito pada Bank di Indonesia dan atas nama “Dewan Gubernur Bank Indonesia qq. salah satu calon pemilik untuk pendirian Bank yang bersangkutan”, dengan mencantumkan keterangan bahwa pencairannya hanya dapat dilakukan setelah mendapat persetujuan tertulis dari Dewan Gubernur Bank Indonesia; dan j. surat pernyataan dari calon pemegang saham bagi Bank yang berbentuk hukum Perseroan Terbatas/Perusahaan Daerah atau dari calon anggota bagi Bank yang berbentuk hukum Koperasi, bahwa setoran modal sebagaimana dimaksud dalam huruf i: 1. tidak berasal dari pinjaman atau fasilitas pembiayaan dalam bentuk apapun dari Bank dan atau pihak lain di Indonesia; dan atau 2. tidak berasal dari dan untuk tujuan pencucian uang (money laundering). (2) Daftar calon pemegang saham atau daftar calon anggota sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b: a. dalam hal perorangan wajib disertai dengan: 1. dokumen sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf c angka 1, angka 2, angka 3, dan angka 5; 2. surat pernyataan dari calon Pemegang Saham Pengendali yang menyatakan kesediaan untuk mengatasi kesulitan permodalan maupun likuiditas yang dihadapi Bank dalam menjalankan kegiatan usahanya; dan 3. surat pernyataan pribadi yang menyatakan tidak pernah melakukan tindakan tercela di bidang perbankan, keuangan, dan usaha lainnya, tidak pernah dihukum karena terbukti melakukan tindak pidana kejahatan, dan tidak sedang dalam masa pengenaan sanksi untuk dilarang menjadi pemilik, pemilik dengan kepemilikan di atas 10% (sepuluh perseratus), dan atau Pemegang Saham Pengendali dari bank dan atau Bank Perkreditan Rakyat sebagaimana diatur dalam ketentuan Penilaian Kemampuan dan Kepatutan (Fit and Proper Test) yang ditetapkan oleh Bank Indonesia; b. dalam … - 9- b. dalam hal badan hukum wajib disertai dengan: 1. akta pendirian badan hukum, yang memuat anggaran dasar berikut perubahan-perubahan yang telah mendapat pengesahan dari instansi berwenang termasuk bagi badan hukum asing sesuai dengan ketentuan yang berlaku di negara asal badan hukum tersebut; 2. dokumen sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf c angka 1 sampai dengan angka 5 dari seluruh dewan Komisaris dan Direksi badan hukum yang bersangkutan; 3. rekomendasi dari instansi berwenang di negara asal bagi badan hukum asing; 4. daftar pemegang saham berikut rincian besarnya masing-masing kepemilikan saham bagi badan hukum Perseroan Terbatas/Perusahaan Daerah, atau daftar anggota berikut rincian jumlah simpanan pokok dan simpanan wajib, serta daftar hibah bagi badan hukum Koperasi; 5. laporan keuangan badan hukum yang telah diaudit oleh akuntan publik dengan posisi paling lama 6 (enam) bulan sebelum tanggal pengajuan permohonan persetujuan prinsip; 6. seluruh struktur kelompok usaha yang terkait dengan Bank dan badan hukum pemilik Bank sampai dengan pemilik terakhir; dan 7. surat pernyataan dari calon Pemegang Saham Pengendali yang menyatakan kesediaan untuk mengatasi kesulitan permodalan maupun likuiditas yang dihadapi Bank dalam menjalankan kegiatan usahanya. Pasal 7 (1) Persetujuan atau penolakan atas permohonan persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf a diberikan selambat-lambatnya 60 (enam puluh) hari setelah dokumen permohonan diterima secara lengkap. (2) Dalam rangka memberikan persetujuan atau penolakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Bank Indonesia melakukan: a. penelitian atas kelengkapan dan kebenaran dokumen; b. analisis … - 10- b. analisis yang mencakup antara lain tingkat persaingan yang sehat antar Bank, tingkat kejenuhan jumlah Bank, dan pemerataan pembangunan ekonomi nasional; dan c. wawancara terhadap calon Pemegang Saham Pengendali, calon anggota dewan Komisaris, dan calon anggota Direksi. (3) Selain ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) pihak-pihak yang mengajukan permohonan pendirian Bank wajib melakukan presentasi kepada Bank Indonesia mengenai keseluruhan rencana pendirian Bank. Pasal 8 (1) Persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) berlaku untuk jangka waktu 1 (satu) tahun terhitung sejak tanggal persetujuan prinsip dikeluarkan. (2) Pihak yang telah mendapat persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilarang melakukan kegiatan usaha perbankan, sebelum mendapat izin usaha. (3) Apabila setelah jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pihak yang telah mendapat persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) belum mengajukan permohonan izin usaha, Dewan Gubernur Bank Indonesia membatalkan persetujuan prinsip yang telah dikeluarkan. Pasal 9 Permohonan untuk mendapatkan izin usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf b diajukan oleh pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) kepada Dewan Gubernur Bank Indonesia dan wajib disertai dengan: a. akta pendirian badan hukum, yang memuat anggaran dasar yang telah disahkan oleh instansi berwenang; b. data kepemilikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b yang masing-masing disertai dengan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2), dalam hal terjadi perubahan; c. daftar susunan dewan Komisaris dan Direksi, disertai dengan: 1. contoh … - 11- 1. contoh tanda tangan dan paraf; 2. identitas dan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c, dalam hal terjadi perubahan; 3. fotokopi Kartu Izin Menetap Sementara (KIMS) dan fotokopi surat izin bekerja dari instansi berwenang, bagi warga negara asing: i. untuk Direksi; dan atau ii. untuk anggota dewan Komisaris yang bermaksud menetap di Indonesia; d. dokumen sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (1) huruf d, huruf e, huruf f, huruf g, dan huruf h, dalam hal terjadi perubahan; e. bukti pelunasan modal disetor minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, dalam bentuk fotokopi bilyet deposito pada Bank di Indonesia dan atas nama “Dewan Gubernur Bank Indonesia qq. salah satu pemilik Bank yang bersangkutan”, dengan mencantumkan keterangan bahwa pencairannya hanya dapat dilakukan setelah mendapat persetujuan tertulis dari Dewan Gubernur Bank Indonesia; f. bukti kesiapan operasional sekurang-kurangnya berupa: 1. daftar aktiva tetap dan inventaris; 2. bukti kepemilikan, penguasaan atau perjanjian sewa gedung kantor; 3. foto gedung kantor dan tata letak ruangan; 4. contoh formulir/warkat yang akan digunakan untuk operasional Bank; dan 5. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan Tanda Daftar Perusahaan (TDP); g. surat pernyataan dari pemegang saham bagi Bank yang berbentuk hukum Perseroan Terbatas/Perusahaan Daerah atau dari anggota bagi Bank yang berbentuk hukum Koperasi, bahwa pelunasan modal disetor sebagaimana dimaksud dalam huruf e: 1. tidak berasal dari pinjaman atau fasilitas pembiayaan dalam bentuk apapun dari Bank dan atau pihak lain di Indonesia; dan atau 2. tidak berasal dari dan untuk tujuan pencucian uang (money laundering); h. surat … - 12- h. surat pernyataan tidak merangkap jabatan melebihi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (5) bagi anggota dewan Komisaris; i. surat pernyataan tidak merangkap jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2) bagi anggota Direksi; j. surat pernyataan dari anggota dewan Komisaris bahwa yang bersangkutan tidak mempunyai hubungan keluarga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (6); k. surat pernyataan dari anggota Direksi bahwa yang bersangkutan tidak mempunyai hubungan keluarga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1); dan l. surat pernyataan dari anggota Direksi bahwa yang bersangkutan baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama tidak memiliki saham melebihi 25% (dua puluh lima perseratus) dari modal disetor pada suatu perusahaan lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (3). Pasal 10 (1) Persetujuan atau penolakan atas permohonan izin usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf b diberikan selambat-lambatnya 60 (enam puluh) hari setelah dokumen permohonan diterima secara lengkap. (2) Dalam rangka memberikan persetujuan atau penolakan atas permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Bank Indonesia melakukan: a. penelitian atas kelengkapan dan kebenaran dokumen; dan b. wawancara terhadap Pemegang Saham Pengendali, anggota dewan Komisaris, dan Direksi dalam hal terdapat penggantian atas calon yang diajukan sebelumnya. Pasal 11… - 13- Pasal 11 (1) Bank yang telah mendapat izin usaha dari Dewan Gubernur Bank Indonesia wajib melakukan kegiatan usaha perbankan selambat-lambatnya 60 (enam puluh) hari terhitung sejak tanggal izin usaha dikeluarkan. (2) Pelaksanaan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dilaporkan oleh Direksi Bank kepada Bank Indonesia selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari setelah tanggal pelaksanaan kegiatan operasional. (3) Apabila setelah jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Bank belum melakukan kegiatan usaha, Dewan Gubernur Bank Indonesia membatalkan izin usaha yang telah dikeluarkan. Pasal 12 Bank yang telah mendapat izin usaha dari Dewan Gubernur Bank Indonesia wajib mencantumkan secara jelas kata “Bank” pada penulisan namanya. BAB III KEPEMILIKAN DAN PERUBAHAN MODAL BANK Pasal 13 (1) Kepemilikan Bank oleh badan hukum Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) setinggi-tingginya sebesar modal sendiri bersih badan hukum yang bersangkutan. (2) Ketentuan modal sendiri bersih sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dipenuhi pada saat badan hukum yang bersangkutan melakukan penyetoran modal untuk pendirian Bank atau pada saat badan hukum yang bersangkutan melakukan penambahan modal disetor Bank. Pasal 14 … - 14- Pasal 14 Sumber dana yang digunakan dalam rangka kepemilikan Bank dilarang: a. berasal dari pinjaman atau fasilitas pembiayaan dalam bentuk apapun dari Bank dan atau pihak lain di Indonesia; dan atau b. berasal dari dan untuk tujuan pencucian uang (money laundering). Pasal 15 (1) Yang dapat menjadi pemilik Bank adalah pihak-pihak yang: a. tidak termasuk dalam daftar orang-orang yang dilarang menjadi pemegang saham dan atau pengurus bank dan atau Bank Perkreditan Rakyat sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia; b. menurut penilaian Bank Indonesia yang bersangkutan memiliki integritas yang baik. (2) Pemilik Bank yang memiliki integritas yang baik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, antara lain adalah pihak-pihak yang: a. memiliki akhlak dan moral yang baik; b. mematuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku; dan c. memiliki komitmen yang tinggi terhadap pengembangan operasional Bank yang sehat. (3) Selain ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Pemegang Saham Pengendali wajib memenuhi persyaratan bahwa yang bersangkutan bersedia untuk mengatasi kesulitan permodalan dan likuiditas yang dihadapi Bank dalam menjalankan kegiatan usahanya. Pasal 16 Penggantian dan atau penambahan pemilik Bank dan atau Pemegang Saham Pengendali tunduk kepada tata cara penggantian dan atau penambahan pemilik Bank yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku mengenai merger, konsolidasi, dan akuisisi Bank serta mengenai pembelian saham bank umum. Pasal 17 … - 15- Pasal 17 (1) Perubahan komposisi kepemilikan Bank yang tidak mengakibatkan penggantian dan atau penambahan pemilik wajib dilaporkan oleh Bank kepada Bank Indonesia selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari setelah perubahan dilakukan. (2) Laporan perubahan komposisi kepemilikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang diakibatkan oleh adanya penambahan modal disetor wajib disertai dengan: a. bukti penyetoran; b. notulen rapat umum pemegang saham/rapat anggota; c. surat pernyataan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf g; dan d. data kepemilikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf b. (3) Laporan perubahan komposisi kepemilikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang tidak mengubah jumlah modal disetor wajib disertai dengan dokumen sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf b, huruf c, dan huruf d serta fotokopi dokumen pengalihan saham. Pasal 18 (1) Perubahan modal dasar bagi Bank yang berbentuk hukum Perseroan Terbatas/Perusahaan Daerah, wajib dilaporkan oleh Bank kepada Bank Indonesia selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari setelah tanggal diterimanya persetujuan perubahan anggaran dasar dari instansi berwenang disertai dengan: a. notulen rapat umum pemegang saham; dan b. akta perubahan anggaran dasar yang telah disetujui oleh instansi berwenang. (2) Perubahan modal bagi Bank yang berbentuk hukum Koperasi, wajib dilaporkan oleh Bank kepada Bank Indonesia selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari setelah tanggal perubahan anggaran dasar disertai dengan: a. notulen rapat anggota; dan b. akta perubahan anggaran dasar yang telah disetujui oleh rapat anggota. (3) Pembelian … - 16- (3) Pembelian kembali saham yang telah dikeluarkan oleh Bank wajib memperoleh persetujuan terlebih dahulu dari Bank Indonesia dan dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. BAB IV DEWAN KOMISARIS, DIREKSI, PEJABAT EKSEKUTIF DAN PEMIMPIN KANTOR CABANG Pasal 19 Dalam hal terjadi benturan kepentingan, anggota dewan Komisaris, anggota Direksi, Pejabat Eksekutif, dan Pemimpin Kantor Cabang dilarang mengambil tindakan yang dapat merugikan Bank dan wajib mengungkapkan benturan kepentingan dimaksud dalam setiap keputusan. Pasal 20 (1) Anggota dewan Komisaris dan Direksi wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. tidak termasuk dalam daftar orang-orang yang dilarang menjadi pemegang saham dan atau pengurus bank dan atau Bank Perkreditan Rakyat sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia; dan b. menurut penilaian Bank Indonesia yang bersangkutan memiliki kompetensi dan integritas yang baik. (2) Anggota dewan Komisaris dan Direksi Bank yang memiliki kompetensi dan integritas yang baik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, antara lain adalah pihak-pihak yang: a. memiliki akhlak dan moral yang baik; b. mematuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku; c. memiliki komitmen yang tinggi terhadap pengembangan operasional Bank yang sehat; dan d. memiliki kemampuan dalam menjalankan tugas. Pasal 21 … - 17- Pasal 21 (1) Bank yang sebagian sahamnya dimiliki oleh pihak asing dapat menempatkan warga negara asing sebagai anggota dewan Komisaris dan Direksi. (2) Diantara anggota dewan Komisaris dan Direksi Bank sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), sekurang-kurangnya terdapat 1 (satu) orang anggota dewan Komisaris dan 1 (satu) orang anggota Direksi berkewarganegaraan Indonesia. Pasal 22 (1) Jumlah anggota dewan Komisaris sekurang-kurangnya 2 (dua) orang. (2) Sekurang-kurangnya 1 (satu) orang anggota dewan Komisaris wajib berdomisili di Indonesia. (3) Sekurang-kurangnya 1 (satu) orang anggota dewan Komisaris wajib berasal dari pihak yang independen terhadap pemilik. (4) Anggota dewan Komisaris wajib memiliki pengetahuan dan atau pengalaman di bidang perbankan. (5) Anggota dewan Komisaris hanya dapat merangkap jabatan sebagai: a. anggota dewan Komisaris sebanyak-banyaknya pada 1 (satu) bank lain atau Bank Perkreditan Rakyat; atau b. anggota dewan Komisaris, Direksi, atau Pejabat Eksekutif yang memerlukan tanggung jawab penuh sebanyak-banyaknya pada 2 (dua) lembaga/perusahaan lain bukan bank atau bukan Bank Perkreditan Rakyat. (6) Mayoritas anggota dewan Komisaris dilarang saling memiliki hubungan keluarga sampai derajat kedua dengan sesama anggota dewan Komisaris. Pasal 23 (1) Direksi Bank sekurang-kurangnya berjumlah 3 (tiga) orang. (2) Mayoritas anggota Direksi wajib berpengalaman dalam operasional bank sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun sebagai Pejabat Eksekutif pada bank. (3) Direktur … - 18- (3) Direktur Utama Bank wajib berasal dari pihak yang independen terhadap Pemegang Saham Pengendali. Pasal 24 (1) Mayoritas anggota Direksi dilarang saling memiliki hubungan keluarga sampai derajat kedua termasuk besan dengan sesama anggota Direksi atau anggota dewan Komisaris. (2) Anggota Direksi dilarang merangkap jabatan sebagai anggota dewan Komisaris, Direksi atau Pejabat Eksekutif pada lembaga perbankan, perusahaan atau lembaga lain. (3) Anggota Direksi baik secara sendiri-sendiri atau bersama-sama dilarang memiliki saham melebihi 25% (dua puluh lima perseratus) dari modal disetor pada suatu perusahaan lain. (4) Anggota Direksi dilarang memberikan kuasa umum kepada pihak lain yang mengakibatkan pengalihan tugas dan wewenang tanpa batas. Pasal 25 (1) Calon anggota dewan Komisaris atau Direksi wajib memperoleh persetujuan dari Bank Indonesia sebelum diangkat dan menduduki jabatannya. (2) Sebelum dimintakan persetujuan dari Bank Indonesia, penetapan calon anggota dewan Komisaris atau Direksi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dilakukan dengan berpedoman pada ketentuan perundang-undangan yang berlaku. (3) Permohonan untuk memperoleh persetujuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diajukan oleh Bank kepada Dewan Gubernur Bank Indonesia, dan wajib disertai dengan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf c, huruf h, huruf i, huruf j, huruf k, dan huruf l. (4) Dalam rangka memberikan persetujuan atau penolakan atas permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) Bank Indonesia melakukan: a. penelitian atas kelengkapan dan kebenaran dokumen; dan b. wawancara terhadap calon anggota dewan Komisaris atau Direksi. (5) Persetujuan… - 19- (5) Persetujuan atau penolakan atas pengajuan calon anggota dewan Komisaris atau Direksi diberikan selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sejak dokumen permohonan diterima secara lengkap. (6) Dalam hal rapat umum pemegang saham atau rapat anggota telah mengangkat anggota dewan Komisaris dan atau Direksi sebelum persetujuan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) dan apabila Bank Indonesia tidak menyetujui pihak-pihak dimaksud maka Bank wajib mengajukan kembali calon anggota dewan Komisaris atau Direksi baru sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3); (7) Dalam hal rapat umum pemegang saham atau rapat anggota membatalkan pengangkatan calon anggota dewan Komisaris atau calon anggota Direksi yang telah disetujui oleh Bank Indonesia maka Bank wajib melaporkan pembatalan tersebut kepada Bank Indonesia, selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari setelah tanggal pembatalan pengangkatan, disertai dengan notulen rapat umum pemegang saham atau notulen rapat anggota. (8) Pengangkatan anggota dewan Komisaris atau Direksi wajib dilaporkan oleh Bank kepada Bank Indonesia selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari setelah tanggal pengangkatan efektif, disertai dengan notulen rapat umum pemegang saham atau notulen rapat anggota. Pasal 26 (1) Pengangkatan atau penggantian Pejabat Eksekutif atau pemimpin Kantor Cabang wajib dilaporkan oleh Bank kepada Bank Indonesia selambat- lambatnya 10 (sepuluh) hari setelah tanggal pengangkatan efektif dan disertai dengan: a. surat pengangkatan dan pemberian kuasa sebagai Pejabat Eksekutif atau pemimpin Kantor Cabang dari Direksi Bank; dan b. dokumen yang menyatakan identitas Pejabat Eksekutif atau pemimpin Kantor Cabang Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c angka 1, angka 2, angka 3 dan Pasal 9 huruf c angka 1. (2) Apabila… - 20- (2) Apabila berdasarkan penilaian dan penelitian Bank Indonesia, Pejabat Eksekutif atau pemimpin Kantor Cabang termasuk dalam daftar orang-orang yang dilarang menjadi pemegang saham, Pemegang Saham Pengendali, pengurus, Pejabat Eksekutif bank dan atau Bank Perkreditan Rakyat maka Bank wajib segera memberhentikan yang bersangkutan. BAB V PEMBUKAAN KANTOR BANK Bagian Pertama Pembukaan Kantor Cabang di Dalam Negeri Pasal 27 (1) Pembukaan Kantor Cabang Bank di dalam negeri hanya dapat dilakukan dengan izin Dewan Gubernur Bank Indonesia. (2) Rencana pembukaan Kantor Cabang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dicantumkan dalam rencana kerja tahunan Bank. (3) Permohonan izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diajukan oleh Bank kepada Dewan Gubernur Bank Indonesia dan wajib disertai dengan: a. laporan keuangan gabungan dan rincian kualitas aktiva produktif 2 (dua) bulan terakhir sebelum tanggal surat permohonan; b. rencana persiapan operasional dalam rangka pembukaan Kantor Cabang; c. hasil studi kelayakan yang sekurang-kurangnya memuat potensi ekonomi, peluang pasar, tingkat persaingan yang sehat antar Bank, tingkat kejenuhan jumlah Bank; d. proyeksi arus kas bulanan selama 12 (dua belas) bulan; dan e. rencana kerja Kantor Cabang sekurang-kurangnya selama 12 (dua belas) bulan. (4) Dalam … - 21- (4) Dalam rangka memberikan persetujuan atau penolakan atas permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), Bank Indonesia melakukan: a. penelitian atas kelengkapan dan kebenaran dokumen; dan b. analisis yang mencakup antara lain kemampuan Bank termasuk tingkat kesehatan, tingkat persaingan yang sehat antar Bank, tingkat kejenuhan jumlah Bank, dan pemerataan pembangunan ekonomi nasional. (5) Apabila diperlukan, Bank Indonesia dapat melakukan pemeriksaan untuk meneliti persiapan pembukaan kantor dan kebenaran dokumen yang disampaikan. (6) Persetujuan atau penolakan atas permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diberikan selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah dokumen permohonan diterima secara lengkap termasuk pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (5). Pasal 28 (1) Pelaksanaan pembukaan Kantor Cabang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 wajib dilakukan selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal izin dari Dewan Gubernur Bank Indonesia dikeluarkan. (2) Pelaksanaan pembukaan Kantor Cabang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dilaporkan oleh Bank kepada Bank Indonesia selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari setelah tanggal pembukaan. (3) Apabila setelah jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Bank tidak melaksanakan pembukaan Kantor Cabang, Dewan Gubernur Bank Indonesia membatalkan izin pembukaan Kantor Cabang yang telah dikeluarkan. Bagian … - 22- Bagian Kedua Pembukaan Kantor di bawah Kantor Cabang dan Kegiatan Kas di luar Kantor Bank di Dalam Negeri Pasal 29 (1) Rencana pembukaan kantor di bawah Kantor Cabang Bank di dalam negeri wajib dicantumkan dalam rencana kerja tahunan Bank. (2) Pembukaan kantor sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dilakukan: a. hanya dalam satu wilayah kliring dengan Kantor Cabang induknya, kecuali dengan persetujuan Bank Indonesia; dan b. dengan memperhatikan hasil studi kelayakan yang memuat tingkat kejenuhan jumlah Bank. (3) Laporan keuangan kantor di bawah Kantor Cabang wajib digabungkan dengan laporan keuangan Kantor Cabang induknya pada hari yang sama. Pasal 30 (1) Bank wajib menyampaikan rencana pembukaan kantor di bawah Kantor Cabang kepada Bank Indonesia selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sebelum pelaksanaan pembukaan kantor, disertai dengan hasil studi kelayakan yang memuat tingkat kejenuhan jumlah Bank. (2) Pelaksanaan pembukaan kantor di bawah Kantor Cabang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dilakukan selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah tanggal penegasan dari Bank Indonesia. (3) Pelaksanaan pembukaan kantor di bawah Kantor Cabang wajib dilaporkan oleh Bank kepada Bank Indonesia selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari setelah tanggal pelaksanaan pembukaan. Pasal 31 … - 23- Pasal 31 (1) Rencana Kegiatan Kas di luar Kantor Bank wajib dicantumkan dalam rencana kerja tahunan Bank. (2) Bank wajib menyampaikan laporan rencana Kegiatan Kas di luar Kantor Bank sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) kepada Bank Indonesia selambat- lambatnya 30 (tiga puluh) hari sebelum pelaksanaan kegiatan. (3) Pelaksanaan Kegiatan Kas di luar Kantor Bank sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) wajib dilakukan selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah tanggal penegasan dari Bank Indonesia. (4) Pelaksanaan Kegiatan Kas di luar Kantor Bank wajib dilaporkan oleh Bank kepada Bank Indonesia selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari setelah tanggal pelaksanaan kegiatan. Bagian Ketiga Pembukaan Kantor di Luar Negeri Pasal 32 (1) Bank yang akan membuka Kantor Cabang, kantor perwakilan, dan jenis-jenis kantor lainnya di luar negeri hanya dapat dilakukan dengan izin Dewan Gubernur Bank Indonesia. (2) Pemberian izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat diberikan apabila Bank: a. telah menjadi Bank devisa sekurang-kurangnya 24 (dua puluh empat) bulan; dan b. telah mencantumkan rencana pembukaan Kantor Cabang, kantor perwakilan, dan jenis-jenis kantor lainnya di luar negeri dalam rencana kerja tahunan Bank. (3) Permohonan … - 24- (3) Permohonan izin membuka Kantor Cabang dan jenis-jenis kantor lainnya yang bersifat operasional sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diajukan oleh Bank kepada Dewan Gubernur Bank Indonesia dan wajib disertai dengan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3) huruf a, huruf b, huruf d dan huruf e serta hasil studi kelayakan yang memuat sekurang- kurangnya peluang pasar dan potensi ekonomi. (4) Permohonan izin membuka kantor perwakilan dan jenis-jenis kantor lainnya yang tidak bersifat operasional sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diajukan oleh Bank kepada Dewan Gubenur Bank Indonesia, dan wajib disertai dengan dokumen berupa laporan keuangan gabungan 2 (dua) bulan terakhir sebelum tanggal surat permohonan serta alasan pembukaan kantor. (5) Dalam rangka memberikan persetujuan atau penolakan atas permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (4), Bank Indonesia melakukan: a. penelitian atas kelengkapan dan kebenaran dokumen; dan b. analisis yang mencakup antara lain kemampuan Bank termasuk tingkat kesehatan dan hasil studi kelayakan. (6) Persetujuan atau penolakan atas permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) diberikan selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah dokumen permohonan diterima secara lengkap. Pasal 33 (1) Pembukaan kantor di luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 hanya dapat dilakukan setelah mendapat izin dari otoritas di negara setempat. (2) Pelaksanaan pembukaan kantor sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dilaporkan oleh Bank kepada Bank Indonesia selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari setelah tanggal pelaksanaan pembukaan, dan wajib disertai dengan salinan/fotokopi izin pembukaan kantor dari otoritas di negara setempat. BAB VI … - 25- BAB VI PENINGKATAN DAN PENURUNAN STATUS KANTOR BANK Pasal 34 (1) Peningkatan status dari kantor di bawah Kantor Cabang menjadi Kantor Cabang hanya dapat dilakukan dengan cara menutup kantor di bawah Kantor Cabang dengan memenuhi ketentuan Pasal 43 dan diikuti dengan membuka Kantor Cabang dengan memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 dan Pasal 28. (2) Peningkatan status dari Kegiatan Kas di luar Kantor Bank menjadi kantor di bawah Kantor Cabang hanya dapat dilakukan dengan cara menghentikan Kegiatan Kas di luar Kantor Bank dengan memenuhi ketentuan Pasal 43 dan diikuti dengan membuka kantor di bawah Kantor Cabang dengan memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 dan Pasal 30. Pasal 35 (1) Penurunan status dari Kantor Cabang menjadi kantor di bawah Kantor Cabang hanya dapat dilakukan dengan cara menutup Kantor Cabang dengan memenuhi ketentuan Pasal 42 dan diikuti dengan membuka kantor di bawah Kantor Cabang dengan memenuhi ketentuan Pasal 29 ayat (1), ayat (2) huruf a dan ayat (3) serta Pasal 30 kecuali hasil studi kelayakan yang memuat tingkat kejenuhan jumlah Bank. (2) Penurunan status dari kantor di bawah Kantor Cabang menjadi Kegiatan Kas di luar Kantor Bank hanya dapat dilakukan dengan cara menutup kantor di bawah Kantor Cabang dengan memenuhi ketentuan Pasal 43 dan diikuti dengan membuka Kegiatan Kas di luar Kantor Bank dengan memenuhi ketentuan Pasal 31. BAB VII… - 26- BAB VII PEMINDAHAN ALAMAT KANTOR BANK Pasal 36 (1) Pemindahan alamat kantor pusat dan Kantor Cabang hanya dapat dilakukan dengan izin Dewan Gubernur Bank Indonesia. (2) Permohonan izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diajukan oleh Bank kepada Dewan Gubernur Bank Indonesia sebelum pemindahan alamat dilaksanakan. (3) Permohonan izin pemindahan alamat kantor pusat dan Kantor Cabang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib disertai dengan: a. alasan pemindahan alamat dan rencana persiapan operasional kantor Bank; b. rencana penyelesaian atau pengalihan tagihan dan kewajiban Bank; dan c. hasil studi kelayakan di tempat kedudukan baru yang sekurang-kurangnya memuat potensi ekonomi, peluang pasar, tingkat persaingan yang sehat antar Bank, dan tingkat kejenuhan jumlah Bank. (4) Pemindahan alamat Kantor Cabang yang dilakukan: a. dalam kotamadya/kabupaten dan wilayah kliring yang sama wajib memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) huruf a dan huruf b; b. di jalan yang sama atau lokasi yang berdekatan wajib memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) huruf a; c. di luar kotamadya/kabupaten atau wilayah kliring sebelumnya, wajib memenuhi ketentuan penutupan Kantor Cabang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 dan pembukaan Kantor Cabang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 dan Pasal 28. (5) Pemindahan alamat kantor pusat wajib memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3). (6) Dalam… - 27- (6) Dalam rangka memberikan persetujuan atau penolakan atas permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), Bank Indonesia melakukan: a. penelitian atas kelengkapan dan kebenaran dokumen; dan b. analisis yang mencakup antara lain tingkat persaingan yang sehat antar Bank, tingkat kejenuhan jumlah Bank, dan pemerataan pembangunan ekonomi nasional. (7) Apabila diperlukan, Bank Indonesia dapat melakukan pemeriksaan untuk meneliti persiapan pemindahan alamat kantor dan kebenaran dokumen yang disampaikan. (8) Persetujuan atau penolakan atas permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diberikan selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah dokumen permohonan diterima secara lengkap termasuk pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (7). (9) Pemindahan alamat kantor yang telah mendapat persetujuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (8) wajib dilaksanakan selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal pemberian izin dari Dewan Gubernur Bank Indonesia. (10) Pelaksanaan pemindahan alamat kantor sebagaimana dimaksud dalam ayat (9) wajib diumumkan oleh Bank dalam: a. surat kabar yang mempunyai peredaran nasional, bagi pemindahan alamat kantor pusat; atau b. surat kabar yang mempunyai peredaran luas di tempat kedudukan Kantor Cabang, bagi pemindahan alamat Kantor Cabang, selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari sebelum tanggal pelaksanaan pemindahan alamat kantor. (11) Pelaksanaan pemindahan alamat kantor wajib dilaporkan oleh Bank kepada Bank Indonesia selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari setelah tanggal pelaksanaan pemindahan alamat. (12) Apabila setelah jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (9), Bank tidak melaksanakan pemindahan alamat kantor, Dewan Gubernur Bank Indonesia membatalkan izin yang telah dikeluarkan. Pasal 37 … - 28- Pasal 37 (1) Rencana pemindahan alamat: a. kantor di bawah Kantor Cabang dan Kegiatan Kas di luar Kantor Bank di dalam negeri; atau b. Kantor Cabang, kantor perwakilan, dan jenis-jenis kantor lainnya di luar negeri, wajib dilaporkan oleh Bank kepada Bank Indonesia selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sebelum pelaksanaan pemindahan alamat kantor. (2) Laporan rencana pemindahan alamat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a wajib disertai dengan: a. alasan pemindahan alamat dan rencana persiapan operasional kantor Bank; b. rencana penyelesaian atau pengalihan tagihan dan kewajiban Bank; dan c. hasil studi kelayakan di tempat kedudukan baru yang sekurang-kurangnya memuat tingkat kejenuhan jumlah Bank. (3) Pemindahan alamat kantor di bawah Kantor Cabang di dalam negeri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a, yang dilakukan: a. dalam satu kotamadya/kabupaten yang sama wajib memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a dan huruf b; b. di jalan yang sama atau lokasi yang berdekatan wajib memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a; c. di luar kotamadya/kabupaten sebelumnya wajib memenuhi ketentuan penutupan kantor di bawah Kantor Cabang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 dan pembukaan kantor di bawah Kantor Cabang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 dan Pasal 30. (4) Pemindahan alamat Kegiatan Kas di luar Kantor Bank di dalam negeri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a, yang dilakukan: a. dalam satu kotamadya/kabupaten yang sama, di jalan yang sama atau lokasi yang berdekatan wajib memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a; b. diluar … - 29- b. di luar kotamadya/kabupaten sebelumnya wajib memenuhi ketentuan penghentian Kegiatan Kas di luar Kantor Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 dan pembukaan Kegiatan Kas di luar Kantor Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31. (5) Pemindahan alamat kantor di bawah Kantor Cabang dan Kegiatan Kas di luar Kantor Bank di dalam negeri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a wajib dilaksanakan selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah tanggal penegasan dari Bank Indonesia. (6) Pelaksanaan pemindahan alamat kantor di bawah Kantor Cabang sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) huruf c wajib diumumkan oleh Bank dalam surat kabar yang mempunyai peredaran luas di tempat kedudukan Kantor Cabang induknya selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari sebelum tanggal pelaksanaan pemindahan alamat kantor. (7) Pelaksanaan pemindahan alamat kantor di bawah Kantor Cabang dan Kegiatan Kas di luar Kantor Bank di dalam negeri wajib dilaporkan oleh Bank kepada Bank Indonesia selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari setelah tanggal pelaksanaan pemindahan alamat. (8) Pelaksanaan pemindahan alamat Kantor Cabang, kantor perwakilan, dan jenis- jenis kantor lainnya di luar negeri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b wajib dilaporkan oleh Bank kepada Bank Indonesia selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari setelah tanggal pelaksaanaan pemindahan alamat, disertai dengan salinan/fotokopi izin dari otoritas di negara setempat. BAB VIII PERUBAHAN NAMA DAN BENTUK BADAN HUKUM Bagian Pertama Perubahan Nama Bank Pasal 38 (1) Perubahan nama Bank wajib dilakukan dengan memenuhi ketentuan perundang- undangan yang berlaku. (2) Bagi … - 30- (2) Bagi Bank yang telah memperoleh persetujuan perubahan nama dari instansi berwenang wajib mengajukan permohonan kepada Bank Indonesia mengenai penetapan penggunaan izin usaha yang dimiliki untuk Bank dengan nama yang baru. (3) Permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diajukan oleh Bank kepada Bank Indonesia selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah perubahan nama dan wajib disertai dengan akta perubahan anggaran dasar yang telah disetujui oleh instansi berwenang bagi Bank yang berbentuk hukum Perseroan Terbatas/ Perusahaan Daerah atau perubahan anggaran dasar yang telah disahkan oleh rapat anggota bagi Bank yang berbentuk hukum Koperasi. (4) Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), Bank Indonesia menerbitkan Keputusan Dewan Gubernur Bank Indonesia tentang perubahan nama Bank dalam jangka waktu 15 (lima belas) hari setelah dokumen permohonan diterima secara lengkap. (5) Pelaksanaan perubahan nama Bank wajib diumumkan dalam surat kabar yang mempunyai peredaran nasional selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari setelah tanggal penerbitan Keputusan Dewan Gubenur Bank Indonesia. Bagian Kedua Perubahan Bentuk Badan Hukum Bank Pasal 39 (1) Perubahan bentuk badan hukum Bank wajib dilakukan dengan persetujuan Dewan Gubernur Bank Indonesia. (2) Pemberian persetujuan perubahan bentuk badan hukum Bank sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dilakukan dalam dua tahap: a. persetujuan prinsip, yaitu persetujuan untuk melakukan persiapan perubahan bentuk badan hukum Bank; dan b. persetujuan pengalihan izin usaha, yaitu persetujuan yang diberikan untuk mengalihkan izin usaha dari badan hukum lama kepada badan hukum baru. Pasal 40… - 31- Pasal 40 (1) Permohonan untuk mendapatkan persetujuan prinsip perubahan bentuk badan hukum Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (2) huruf a diajukan oleh Bank kepada Dewan Gubernur Bank Indonesia sebelum dilakukan rapat umum pemegang saham atau rapat anggota untuk memutuskan perubahan bentuk badan hukum Bank, dan wajib disertai dengan: a. alasan perubahan bentuk badan hukum; b. rancangan akta pendirian badan hukum baru termasuk anggaran dasar; c. rencana pengalihan seluruh hak dan kewajiban dari badan hukum lama kepada badan hukum baru; d. daftar anggota dewan Komisaris dan Direksi disertai dengan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c dan Pasal 9 huruf c angka 1 dan angka 3, dalam hal terjadi perubahan; dan e. data kepemilikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b disertai dengan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2), dalam hal terjadi perubahan. (2) Dalam rangka memberikan persetujuan atau penolakan atas permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Bank Indonesia melakukan: a. penelitian atas kelengkapan dan kebenaran dokumen; dan b. wawancara terhadap calon Pemegang Saham Pengendali, calon anggota dewan Komisaris dan calon anggota Direksi, dalam hal terjadi perubahan. (3) Persetujuan atau penolakan atas permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diberikan selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah dokumen permohonan diterima secara lengkap. Pasal 41 (1) Permohonan untuk mengalihkan izin usaha Bank dari badan hukum lama kepada badan hukum baru sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (2) huruf b, diajukan oleh Bank kepada Dewan Gubernur Bank Indonesia dan wajib disertai dengan: a. akta… - 32- a. akta pendirian badan hukum baru termasuk anggaran dasar yang telah disahkan oleh instansi berwenang; b. daftar anggota dewan Komisaris dan Direksi disertai dengan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c dan Pasal 9 huruf c angka 1 dan angka 3, dalam hal terjadi perubahan; c. data kepemilikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b disertai dengan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2), dalam hal terjadi perubahan; d. rancangan berita acara pengalihan seluruh hak dan kewajiban dari badan hukum lama kepada badan hukum baru; dan e. notulen rapat umum pemegang saham atau rapat anggota badan hukum lama yang menyetujui perubahan bentuk hukum dan pembubaran badan hukum lama. (2) Dalam rangka memberikan persetujuan atau penolakan atas permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Bank Indonesia melakukan: a. penelitian atas kelengkapan dan kebenaran dokumen; dan b. wawancara terhadap Pemegang Saham Pengendali, anggota dewan Komisaris dan Direksi dalam hal terjadi perubahan. (3) Persetujuan atau penolakan atas permohonan pengalihan izin usaha dari badan hukum lama kepada badan hukum baru diberikan selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah dokumen permohonan diterima secara lengkap. (4) Pembubaran badan hukum lama hanya dapat dilakukan setelah: a. Bank Indonesia memberikan persetujuan pengalihan izin usaha sebagaimana dimaksud dalam ayat (3); dan b. pengalihan seluruh hak dan kewajiban dari badan hukum lama kepada badan hukum baru dilaksanakan sesuai dengan rancangan berita acara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf d. (5) Pelaksanaan perubahan bentuk badan hukum Bank wajib diumumkan oleh Bank dalam surat kabar yang mempunyai peredaran nasional selambat- lambatnya 10 (sepuluh) hari setelah tanggal dikeluarkannya Keputusan Dewan Gubenur Bank Indonesia. BAB IX … - 33- BAB IX PENUTUPAN KANTOR BANK Pasal 42 (1) Penutupan Kantor Cabang di dalam negeri hanya dapat dilakukan dengan izin Dewan Gubernur Bank Indonesia. (2) Pemberian izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam dua tahap: a. persetujuan prinsip, yaitu persetujuan untuk melakukan persiapan penutupan Kantor Cabang; dan b. persetujuan penutupan, yaitu persetujuan untuk melakukan penutupan Kantor Cabang. (3) Permohonan untuk memperoleh persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a diajukan oleh Bank kepada Dewan Gubernur Bank Indonesia dan wajib disertai dengan: a. alasan penutupan; dan b. langkah-langkah yang ditempuh dalam rangka penyelesaian seluruh kewajiban Kantor Cabang kepada nasabah dan pihak lainnya. (4) Permohonan untuk memperoleh persetujuan penutupan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf b diajukan oleh Bank kepada Dewan Gubernur Bank Indonesia setelah Bank memperoleh persetujuan prinsip, dan wajib disertai dengan: a. bukti penyelesaian kewajiban kepada nasabah serta pihak lainnya; dan b. surat pernyataan dari Direksi Bank bahwa langkah-langkah penyelesaian seluruh kewajiban Kantor Cabang kepada nasabah dan pihak lainnya telah diselesaikan dan apabila terdapat tuntutan di kemudian hari menjadi tanggung jawab Direksi untuk dan atas nama Bank. (5) Apabila dipandang perlu, Bank Indonesia melakukan pemeriksaan kepada Bank dalam rangka meneliti penyelesaian seluruh kewajiban Kantor Cabang yang akan ditutup. (6) Persetujuan … - 34- (6) Persetujuan atau penolakan permohonan persetujuan prinsip dan persetujuan penutupan Kantor Cabang sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (4) masing-masing diberikan dalam batas waktu selambat-lambatnya 15 (lima belas) hari setelah dokumen permohonan diterima secara lengkap termasuk pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (5). (7) Pelaksanaan penutupan kantor yang telah mendapat persetujuan penutupan sebagaimana dimaksud dalam ayat (6) wajib dilaksanakan selambat- lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah tanggal persetujuan penutupan. (8) Penutupan kantor sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib diumumkan oleh Bank dalam surat kabar yang mempunyai peredaran luas di tempat kedudukan kantor Bank selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari setelah tanggal persetujuan penutupan dari Dewan Gubernur Bank Indonesia. (9) Pelaksanaan penutupan kantor yang telah mendapat persetujuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (6) wajib dilaporkan oleh Bank kepada Bank Indonesia selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari setelah tanggal penutupan. (10) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (7), Bank tidak melaksanakan penutupan Kantor Cabang, Dewan Gubernur Bank Indonesia membatalkan persetujuan penutupan Kantor Cabang yang telah dikeluarkan. Pasal 43 (1) Rencana penutupan kantor di bawah Kantor Cabang wajib dilaporkan oleh Bank kepada Bank Indonesia selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sebelum pelaksanaan penutupan kantor dimaksud dan disertai dengan: a. alasan penutupan; dan b. langkah-langkah yang ditempuh dalam rangka penyelesaian kewajiban kantor di bawah Kantor Cabang kepada nasabah dan pihak lainnya. (2) Rencana penghentian Kegiatan Kas di luar Kantor Bank wajib dilaporkan oleh Bank kepada Bank Indonesia selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sebelum pelaksanaan penghentian Kegiatan Kas di luar Kantor Bank dan disertai dengan alasan penutupan. (3) Pelaksanaan … - 35- (3) Pelaksanaan penutupan kantor di bawah Kantor Cabang wajib dilaporkan oleh Bank kepada Bank Indonesia selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari setelah tanggal penutupan dan wajib disertai dengan: a. bukti penyelesaian kewajiban kepada nasabah serta pihak lainnya; dan b. surat pernyataan dari pemimpin Kantor Cabang induknya bahwa langkah- langkah penyelesaian seluruh kewajiban kantor di bawah Kantor Cabang kepada nasabah dan pihak lainnya telah diselesaikan dan apabila terdapat tuntutan di kemudian hari menjadi tanggung jawab pemimpin Kantor Cabang induk untuk dan atas nama Bank. (4) Pelaksanaan penghentian Kegiatan Kas di luar Kantor Bank wajib dilaporkan oleh Bank kepada Bank Indonesia selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari setelah tanggal penghentian Kegiatan Kas di luar Kantor Bank. Pasal 44 (1) Penutupan Kantor Cabang, kantor perwakilan dan jenis-jenis kantor lainnya di luar negeri hanya dapat dilakukan dengan izin Dewan Gubernur Bank Indonesia. (2) Permohonan untuk memperoleh izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) bagi Kantor Cabang dan jenis-jenis kantor lainnya yang bersifat operasional diajukan oleh Bank kepada Dewan Gubernur Bank Indonesia dan wajib disertai dengan: a. alasan penutupan; b. langkah-langkah yang ditempuh dalam rangka penyelesaian seluruh kewajiban kantor kepada nasabah dan pihak lainnya; dan c. langkah-langkah yang ditempuh dalam rangka perolehan izin dari otoritas di negara setempat. (3) Permohonan untuk memperoleh izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) bagi kantor perwakilan dan jenis-jenis kantor yang tidak bersifat operasional diajukan oleh Bank kepada Dewan Gubernur Bank Indonesia dan wajib disertai dengan alasan penutupan dan langkah-langkah yang ditempuh dalam rangka perolehan izin dari otoritas di negara setempat. (4) Persetujuan… - 36- (4) Persetujuan atau penolakan atas permohonan izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) diberikan dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah dokumen permohonan diterima secara lengkap. (5) Penutupan kantor di luar negeri sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) hanya dapat dilakukan setelah mendapat izin dari otoritas di negara setempat. (6) Pelaksanaan penutupan Kantor Cabang dan jenis-jenis kantor lainnya yang bersifat operasional sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) wajib dilaporkan oleh Bank kepada Bank Indonesia selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari setelah tanggal pelaksanaan penutupan dan wajib disertai dengan: a. bukti penyelesaian kewajiban kepada nasabah serta pihak lainnya; b. surat pernyataan dari Direksi Bank bahwa langkah-langkah penyelesaian seluruh kewajiban kantor kepada nasabah dan pihak lainnya telah diselesaikan dan apabila terdapat tuntutan di kemudian hari menjadi tanggung jawab Direksi untuk dan atas nama Bank; dan c. salinan/fotokopi izin dari otoritas di negara setempat. (7) Pelaksanaan penutupan kantor perwakilan dan jenis-jenis kantor lainnya yang bersifat tidak operasional sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) wajib dilaporkan oleh Bank kepada Bank Indonesia selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari setelah tanggal pelaksanaan penutupan dan wajib disertai dengan: a. surat pernyataan dari Direksi Bank bahwa langkah-langkah penyelesaian seluruh kewajiban kantor kepada pihak lainnya telah diselesaikan dan apabila terdapat tuntutan di kemudian hari menjadi tanggung jawab Direksi untuk dan atas nama Bank; dan b. salinan/fotokopi izin dari otoritas di negara setempat. BAB X … - 37- BAB X PERUBAHAN KEGIATAN USAHA DAN PEMBUKAAN KANTOR CABANG SYARIAH Bagian Pertama Perizinan Perubahan Kegiatan Usaha Pasal 45 (1) Bank yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional hanya dapat mengubah kegiatan usahanya menjadi Bank yang melakukan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah dengan izin dari Dewan Gubernur Bank Indonesia. (2) Rencana perubahan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dicantumkan dalam rencana kerja tahunan Bank. (3) Pemberian izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam dua tahap: a. persetujuan prinsip, yaitu persetujuan untuk melakukan persiapan perubahan kegiatan usaha; dan b. izin perubahan kegiatan usaha, yaitu izin untuk melakukan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah setelah persiapan sebagaimana dimaksud dalam huruf a selesai dilakukan. Pasal 46 Permohonan untuk mendapatkan persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (3) huruf a, diajukan oleh Bank kepada Dewan Gubernur Bank Indonesia disertai alasan perubahan dan wajib disertai dengan: a. rancangan perubahan anggaran dasar yang secara tegas mencantumkan bahwa Bank melakukan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah serta penempatan dan tugas-tugas Dewan Pengawas Syariah; b. data … - 38- b. data kepemilikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b dan dokumen serta surat pernyataan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2), dalam hal terjadi perubahan; c. daftar calon anggota dewan Komisaris dan Direksi yang memenuhi persyaratan sebagaimana ditetapkan dalam peraturan Bank Indonesia tentang Bank Umum berdasarkan Prinsip Syariah, dan disertai dengan: 1. dokumen dan identitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf c; dan 2. surat pernyataan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf h, huruf i, huruf j, huruf k, dan huruf l, dalam hal terjadi perubahan; d. rencana susunan dan struktur organisasi serta personalia; e. rencana kerja (business plan) tahun pertama yang sekurang-kurangnya memuat: 1. studi kelayakan mengenai peluang pasar dan potensi ekonomi yang berkaitan dengan perbankan syariah; 2. rencana kegiatan usaha yang mencakup penghimpunan dan penyaluran dana serta langkah-langkah kegiatan yang akan dilakukan dalam mewujudkan rencana dimaksud; dan 3. proyeksi neraca, laporan laba rugi dan laporan arus kas bulanan selama 12 (dua belas) bulan yang dimulai sejak Bank akan melakukan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah; f. rencana strategis jangka menengah dan panjang (corporate plan); g. pedoman manajemen risiko, rencana sistem pengendalian intern, rencana sistem teknologi informasi yang digunakan, dan skala kewenangan; h. sistem dan prosedur kerja mengenai Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah. i. rencana penyelesaian seluruh hak dan kewajiban Bank terhadap nasabah yang tidak bersedia menjadi nasabah Bank berdasarkan Prinsip Syariah; j. daftar … - 39- j. daftar calon anggota Dewan Pengawas Syariah disertai dengan dokumen identitas berupa fotokopi KTP, pas foto, riwayat hidup, surat keterangan atau bukti tertulis dari bank tempat bekerja sebelumnya mengenai pengalaman operasional di bidang perbankan bagi calon anggota Dewan Pengawas Syariah yang telah berpengalaman; Pasal 47 (1) Persetujuan atau penolakan atas permohonan persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 diberikan selambat-lambatnya 60 (enam puluh) hari setelah dokumen permohonan diterima secara lengkap. (2) Dalam rangka memberikan persetujuan atau penolakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Bank Indonesia melakukan: a. penelitian atas kelengkapan dan kebenaran dokumen; b. analisis yang mencakup antara lain kemampuan Bank termasuk tingkat kesehatan, tingkat persaingan yang sehat antar Bank yang melakukan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah, tingkat kejenuhan jumlah Bank yang melakukan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah, dan peluang pasar; dan c. wawancara terhadap calon Pemegang Saham Pengendali, anggota dewan Komisaris dan Direksi. (3) Selain ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), Bank yang mengajukan permohonan perubahan kegiatan usaha wajib melakukan presentasi kepada Bank Indonesia mengenai keseluruhan rencana perubahan kegiatan usaha Bank. Pasal 48 (1) Persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (1) berlaku untuk jangka waktu 180 (seratus delapan puluh) hari terhitung sejak tanggal persetujuan prinsip dikeluarkan. (2) Bank yang telah mendapat persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilarang melakukan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah sebelum mendapat izin perubahan kegiatan usaha. (3) Apabila … - 40- (3) Apabila setelah jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Bank belum mengajukan permohonan izin perubahan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (3) huruf b, Dewan Gubernur Bank Indonesia membatalkan persetujuan prinsip yang telah dikeluarkan. Pasal 49 Permohonan untuk mendapatkan izin perubahan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (3) huruf b, diajukan oleh Bank kepada Dewan Gubernur Bank Indonesia, dan wajib disertai dengan: a. perubahan anggaran dasar, yang secara tegas mencantumkan bahwa Bank melakukan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah serta penempatan dan tugas Dewan Pengawas Syariah, yang telah disahkan oleh instansi yang berwenang; b. data kepemilikan dan surat pernyataan dari pemegang saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 huruf b, dalam hal terjadi perubahan; c. daftar susunan dan surat pernyataan dari dewan Komisaris dan Direksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 huruf c, dalam hal terjadi perubahan; d. daftar calon anggota Dewan Pengawas Syariah disertai dengan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 huruf j, dalam hal terjadi perubahan; e. dokumen sebagaimana diatur dalam Pasal 46 huruf d, huruf e, huruf f, huruf g, dan huruf h, dalam hal terjadi perubahan; f. bukti kesiapan operasional berupa: 1. daftar sarana dan prasarana pendukung; 2. contoh formulir/warkat yang akan digunakan untuk operasional; dan 3. Nomor Pokok Wajib Pajak dan Tanda Daftar Perusahaan; g. laporan realisasi dan rencana tindak lanjut penyelesaian hak dan kewajiban Bank terhadap nasabah yang tidak bersedia menjadi nasabah Bank berdasarkan Prinsip Syariah. Pasal 50 … - 41- Pasal 50 (1) Persetujuan atau penolakan atas permohonan izin perubahan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 diberikan selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah dokumen permohonan diterima secara lengkap. (2) Dalam rangka memberikan persetujuan atau penolakan atas permohonan izin perubahan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Bank Indonesia melakukan: a. penelitian atas kelengkapan dan kebenaran dokumen; dan b. wawancara terhadap Pemegang Saham Pengendali, anggota Direksi, dan anggota dewan Komisaris dalam hal terdapat penggantian atas calon yang diajukan sebelumnya. Pasal 51 (1) Bank yang telah mendapat izin perubahan kegiatan usaha dari Dewan Gubernur Bank Indonesia wajib melakukan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal izin perubahan kegiatan usaha dikeluarkan. (2) Pelaksanaan perubahan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dilaporkan oleh Bank kepada Bank Indonesia selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari setelah tanggal pelaksanaan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah. (3) Apabila dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari setelah tanggal izin perubahan kegiatan usaha, Bank belum melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah, Dewan Gubernur Bank Indonesia membatalkan izin perubahan kegiatan usaha yang telah dikeluarkan. (4) Bank yang telah mendapat izin perubahan kegiatan usaha wajib menyelesaikan seluruh hak dan kewajiban debitur dan kreditur dari kegiatan konvensional selambat-lambatnya 360 (tiga ratus enam puluh) hari sejak tanggal izin perubahan kegiatan usaha dikeluarkan. (5) Bank Indonesia dapat memperpanjang jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) untuk tujuan penyelesaian aktiva produktif kegiatan usaha secara konvensional yang telah dihapus buku. (6) Permohonan … - 42- (6) Permohonan perpanjangan jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) diajukan selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sebelum berakhirnya jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), disertai dengan alasan perpanjangan jangka waktu dan bukti-bukti pendukung. (7) Bank yang telah mendapat izin perubahan kegiatan usaha dilarang melakukan kegiatan usaha secara konvensional, kecuali dalam rangka penyelesaian transaksi-transaksi sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) dan ayat (5). Pasal 52 Bank yang telah mendapat izin perubahan kegiatan usaha dari Dewan Gubernur Bank Indonesia wajib mencantumkan secara jelas kata “Syariah” sesudah kata “Bank” pada penulisan namanya. Pasal 53 Bank yang semula memiliki izin usaha sebagai Bank yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional dan telah memperoleh izin perubahan kegiatan usaha menjadi Bank yang melakukan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah, dilarang untuk mengubah Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah menjadi kegiatan usaha secara konvensional. Bagian Kedua Pembukaan Kantor Cabang Syariah oleh Bank yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional Pasal 54 (1) Bank yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional dapat membuka Kantor Cabang Syariah dengan cara: a. membuka Kantor Cabang Syariah yang baru; b. mengubah kegiatan usaha Kantor Cabang yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional menjadi Kantor Cabang Syariah; dan atau c. meningkatkan … - 43- c. meningkatkan status kantor di bawah Kantor Cabang yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional menjadi Kantor Cabang Syariah. (2) Bank hanya dapat membuka Kantor Cabang Syariah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dengan izin dari Dewan Gubernur Bank Indonesia. (3) Rencana pembukaan Kantor Cabang Syariah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dicantumkan dalam rencana kerja tahunan Bank. (4) Pemberian izin pembukaan Kantor Cabang Syariah sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilakukan dalam dua tahap: a. persetujuan prinsip, yaitu persetujuan untuk melakukan persiapan pembukaan Kantor Cabang Syariah; b. izin pembukaan Kantor Cabang Syariah, yaitu izin untuk melakukan kegiatan usaha Kantor Cabang Syariah setelah persiapan sebagaimana dimaksud dalam huruf a selesai dilakukan. Pasal 55 (1) Bank yang akan membuka Kantor Cabang Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (1), wajib membentuk Unit Usaha Syariah di kantor pusat Bank. (2) Unit Usaha Syariah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan unit kerja di kantor pusat Bank yang berfungsi sebagai kantor induk dari Kantor Cabang Syariah, yang mempunyai tugas: a. mengatur dan mengawasi seluruh kegiatan Kantor Cabang Syariah; b. menempatkan dan mengelola dana yang bersumber dari Kantor Cabang Syariah; c. menerima dan menatausahakan laporan keuangan dari Kantor Cabang Syariah; dan d. melakukan kegiatan lain sebagai kantor induk dari Kantor Cabang Syariah. (3) Pada Unit Usaha Syariah sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) wajib ditempatkan Dewan Pengawas Syariah yang telah disetujui oleh Dewan Syariah Nasional. (4) Pemimpin … - 44- (4) Pemimpin Unit Usaha Syariah wajib memenuhi persyaratan: a. sekurang-kurangnya merupakan Pejabat Eksekutif; b. memiliki komitmen dalam menjalankan operasional Bank berdasarkan Prinsip Syariah; c. memiliki integritas dan moral yang baik; dan d. berpengalaman dalam operasional Bank Syariah dan atau telah mengikuti pelatihan operasional Bank Syariah baik di dalam maupun di luar negeri. Pasal 56 Bank yang membuka Kantor Cabang Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (1) wajib menyediakan modal kerja sekurang-kurangnya sebesar: a. Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) untuk setiap Kantor Cabang Syariah yang berkedudukan di wilayah Jabotabek; atau b. Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) untuk setiap Kantor Cabang Syariah yang berkedudukan di luar wilayah Jabotabek. Pasal 57 Kantor Bank yang telah mendapat izin pembukaan Kantor Cabang Syariah wajib mencantumkan kata “Kantor Cabang Syariah” pada setiap penulisan nama kantornya. Pasal 58 Kantor Bank yang telah mendapat izin pembukaan Kantor Cabang Syariah dilarang untuk mengubah kegiatan Kantor Cabang Syariah menjadi Kantor Cabang yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional. Bagian … - 45- Bagian Ketiga Perizinan Pembukaan Kantor Cabang Syariah Pasal 59 (1) Permohonan untuk mendapatkan persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (4) huruf a, untuk pembukaan Kantor Cabang Syariah yang baru sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (1) huruf a diajukan oleh Bank kepada Dewan Gubernur Bank Indonesia dan wajib disertai dengan: a. dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3) huruf a dan huruf b serta Pasal 46 huruf a, huruf d dan huruf e; b. dokumen dan identitas pemimpin Kantor Cabang Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26, serta: 1. bukti pengalaman dalam operasional Bank Syariah; dan atau 2. surat keterangan dari lembaga pelatihan mengenai pelatihan perbankan syariah; c. dokumen mengenai identitas calon anggota Dewan Pengawas Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 huruf j, untuk pembukaan Kantor Cabang Syariah yang pertama kali; d. dokumen dan identitas pemimpin Unit Usaha Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26, serta: 1. bukti pengalaman dalam operasional Bank Syariah; dan atau 2. surat keterangan dari lembaga pelatihan mengenai pelatihan perbankan syariah yang telah diikuti di dalam maupun di luar negeri, untuk pembukaan Kantor Cabang Syariah yang pertama kali; e. bukti setoran modal kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56; f. hasil studi kelayakan tentang tingkat persaingan yang sehat antar Bank yang melakukan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah dan tingkat kejenuhan jumlah Bank yang melakukan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah. (2) Permohonan … - 46- (2) Permohonan untuk mendapatkan persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (4) huruf a untuk mengubah kegiatan usaha Kantor Cabang yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional menjadi Kantor Cabang Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (1) huruf b dan atau untuk meningkatkan status kantor di bawah Kantor Cabang yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional menjadi Kantor Cabang Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (1) huruf c, diajukan oleh Bank kepada Dewan Gubernur Bank Indonesia dan wajib disertai dengan: a. dokumen sebagaimana dimaksud dalam ayat (1); dan b. rencana penyelesaian seluruh hak dan kewajiban kantor Bank terhadap nasabah yang tidak bersedia menjadi nasabah Kantor Cabang Syariah. Pasal 60 (1) Dalam rangka memberikan persetujuan atau penolakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59, Bank Indonesia melakukan: a. penelitian atas kelengkapan dan kebenaran dokumen; dan b. analisis yang mencakup antara lain kemampuan Bank termasuk tingkat kesehatan, tingkat persaingan yang sehat antar Bank yang melakukan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah, tingkat kejenuhan jumlah Bank yang melakukan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah, dan peluang pasar. (2) Apabila diperlukan, Bank Indonesia dapat melakukan pemeriksaan untuk meneliti persiapan pembukaan kantor dan kebenaran dokumen yang disampaikan. (3) Persetujuan atau penolakan atas permohonan persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberikan selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah dokumen permohonan diterima secara lengkap termasuk pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2). Pasal 61 … - 47- Pasal 61 (1) Persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1) berlaku untuk jangka waktu 180 (seratus delapan puluh) hari terhitung sejak tanggal persetujuan prinsip dikeluarkan. (2) Bank dan atau kantor Bank yang telah mendapat persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilarang melakukan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah sebelum mendapat izin pembukaan Kantor Cabang Syariah. (3) Apabila setelah jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Bank dan atau kantor Bank yang telah mendapat persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) belum mengajukan permohonan izin pembukaan Kantor Cabang Syariah, Dewan Gubernur Bank Indonesia membatalkan persetujuan prinsip yang telah dikeluarkan. Pasal 62 Permohonan untuk mendapatkan izin pembukaan Kantor Cabang Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (4) huruf b diajukan oleh Bank kepada Dewan Gubernur Bank Indonesia dan wajib disertai dengan: a. dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 huruf a dan huruf f; b. dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 huruf d, huruf e, huruf f, huruf g, dan huruf h, dalam hal terjadi perubahan; c. laporan realisasi penyelesaian seluruh hak dan kewajiban kantor Bank terhadap nasabah yang tidak bersedia menjadi nasabah Kantor Cabang Syariah. Pasal 63 (1) Dalam rangka memberikan persetujuan atau penolakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62, Bank Indonesia melakukan penelitian atas kelengkapan dan kebenaran dokumen. (2) Persetujuan atau penolakan atas permohonan izin pembukaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberikan selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah dokumen permohonan diterima secara lengkap. (3) Bank … - 48- (3) Bank dan atau kantor Bank yang telah mendapat izin pembukaan Kantor Cabang Syariah sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), wajib melakukan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal izin pembukaan dikeluarkan. (4) Pelaksanaan pembukaan Kantor Cabang Syariah sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) wajib dilaporkan oleh Bank kepada Bank Indonesia selambat- lambatnya 10 (sepuluh) hari setelah tanggal pembukaan. (5) Apabila setelah jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) Kantor Cabang Syariah belum melakukan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah, Dewan Gubernur Bank Indonesia membatalkan izin pembukaan Kantor Cabang Syariah yang telah dikeluarkan. (6) Kantor Cabang Syariah yang berasal dari pembukaan dengan cara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (1) huruf b dan huruf c wajib menyelesaikan seluruh hak dan kewajiban debitur dan kreditur dari kegiatan usaha secara konvensional selambat-lambatnya 360 (tiga ratus enam puluh) hari sejak tanggal izin pembukaan dikeluarkan. (7) Kantor Cabang Syariah dilarang melakukan kegiatan usaha perbankan secara konvensional, kecuali dalam rangka penyelesaian transaksi-transaksi sebagaimana dimaksud dalam ayat (6). Bagian Keempat Pembukaan Kantor Cabang Syariah Berikutnya Pasal 64 (1) Bank yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional dan telah memiliki Kantor Cabang Syariah hanya dapat membuka Kantor Cabang Syariah berikutnya dengan izin Dewan Gubernur Bank Indonesia. (2) Rencana pembukaan Kantor Cabang Syariah berikutnya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dicantumkan dalam rencana kerja tahunan Bank. (3) Permohonan … - 49- (3) Permohonan izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diajukan oleh Bank kepada Dewan Gubernur Bank Indonesia dengan ketentuan sebagai berikut: a. untuk pembukaan Kantor Cabang Syariah berikutnya yang dilakukan dengan cara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (1) huruf a, wajib disertai dengan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3) huruf a dan huruf b, Pasal 46 huruf d dan huruf e, Pasal 56, Pasal 57, Pasal 58 serta Pasal 59 ayat (1) huruf b, huruf e dan huruf f; b. untuk pembukaan Kantor Cabang Syariah berikutnya yang dilakukan dengan cara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (1) huruf b dan huruf c, wajib disertai dengan dokumen sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan Pasal 59 ayat (2) huruf b. (4) Dalam rangka memberikan persetujuan atau penolakan atas permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), Bank Indonesia melakukan: a. penelitian atas kelengkapan dan kebenaran dokumen; dan b. analisis yang mencakup antara lain kemampuan Bank termasuk tingkat kesehatan, tingkat persaingan yang sehat antar Bank yang melakukan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah, tingkat kejenuhan jumlah Bank yang melakukan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah, dan peluang pasar. (5) Apabila diperlukan, Bank Indonesia dapat melakukan pemeriksaan untuk meneliti persiapan pembukaan kantor dan kebenaran dokumen yang disampaikan. (6) Persetujuan atau penolakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diberikan selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah dokumen permohonan diterima secara lengkap termasuk pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (5). (7) Pelaksanaan pembukaan Kantor Cabang Syariah berikutnya sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) wajib dilakukan selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal izin dari Dewan Gubernur Bank Indonesia dikeluarkan. (8) Pelaksanaan pembukaan Kantor Cabang Syariah berikutnya sebagaimana dimaksud dalam ayat (7) wajib dilaporkan kepada Bank Indonesia selambat- lambatnya 10 (sepuluh) hari setelah tanggal pembukaan. (9) Apabila … - 50- (9) Apabila setelah jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (7) Bank tidak melaksanakan pembukaan Kantor Cabang Syariah, Dewan Gubernur Bank Indonesia membatalkan izin pembukaan Kantor Cabang Syariah yang telah dikeluarkan. Bagian Kelima Pembukaan Kantor di bawah Kantor Cabang, Pelaksanaan Kegiatan Kas di luar Kantor Bank, Peningkatan dan Penurunan Status Kantor, Pemindahan Alamat Kantor, serta Penutupan Kantor Pasal 65 Bagi Bank yang memiliki Kantor Cabang Syariah hanya dapat melakukan pembukaan kantor di bawah Kantor Cabang Syariah dengan memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 dan Pasal 30 serta melakukan Kegiatan Kas di luar Kantor Bank Syariah dengan memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31. Pasal 66 (1) Peningkatan status dari kantor di bawah Kantor Cabang Syariah menjadi Kantor Cabang Syariah hanya dapat dilakukan dengan cara menutup kantor di bawah Kantor Cabang Syariah dengan memenuhi ketentuan Pasal 43 dan diikuti dengan membuka Kantor Cabang Syariah dengan memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64. (2) Peningkatan status dari Kegiatan Kas diluar kantor Bank Syariah menjadi kantor di bawah Kantor Cabang Syariah hanya dapat dilakukan dengan cara menghentikan Kegiatan Kas diluar kantor Bank Syariah dengan memenuhi ketentuan Pasal 43 dan diikuti dengan membuka kantor di bawah Kantor Cabang Syariah dengan memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 dan Pasal 30. Pasal 67 … - 51- Pasal 67 (1) Penurunan status dari Kantor Cabang Syariah menjadi kantor di bawah Kantor Cabang Syariah hanya dapat dilakukan dengan cara menutup Kantor Cabang Syariah dengan memenuhi ketentuan Pasal 42 dan diikuti dengan membuka kantor di bawah Kantor Cabang Syariah dengan memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 dan Pasal 30. (2) Penurunan status dari kantor di bawah Kantor Cabang Syariah menjadi Kegiatan Kas di luar Kantor Bank Syariah hanya dapat dilakukan dengan cara menutup kantor di bawah Kantor Cabang Syariah dengan memenuhi ketentuan Pasal 43 dan diikuti dengan membuka Kegiatan Kas di luar Kantor Bank Syariah dengan memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31. Pasal 68 Pemindahan alamat Kantor Cabang Syariah dan alamat kantor di bawah Kantor Cabang Syariah hanya dapat dilakukan dengan memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 dan Pasal 37. Pasal 69 Penutupan Kantor Cabang Syariah, kantor dibawah Kantor Cabang Syariah, dan penghentian Kegiatan Kas di luar Kantor Bank Syariah hanya dapat dilakukan dengan memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 dan Pasal 43. Bagian Keenam Dewan Pengawas Syariah, Pemimpin Unit Usaha Syariah dan Pemimpin Kantor Cabang Syariah Pasal 70 Perubahan Dewan Pengawas Syariah wajib dilaporkan secara tertulis kepada Bank Indonesia selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari setelah tanggal pengangkatan efektif dan disertai dengan dokumen identitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 huruf j dan surat persetujuan Dewan Syariah Nasional. Pasal 71 … - 52- Pasal 71 Pengangkatan atau penggantian pemimpin Unit Usaha Syariah dan pemimpin Kantor Cabang Syariah wajib dilaporkan oleh Bank kepada Bank Indonesia selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari setelah tanggal pengangkatan efektif dan wajib disertai dengan dokumen dan identitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (1) huruf b dan atau huruf d. Bagian Ketujuh Pencabutan Izin Pembukaan Kantor Cabang Syariah Pasal 72 Bank Indonesia mencabut izin pembukaan Kantor Cabang Syariah yang terbukti melakukan kegiatan usaha secara konvensional. Bagian Kedelapan Akuntansi Kantor Cabang Syariah Pasal 73 (1) Sistem akuntansi Kantor Cabang Syariah mengacu kepada Standar Akuntansi Keuangan (SAK) yang berlaku, sepanjang standar akuntansi tersebut memenuhi Prinsip Syariah. (2) Bank yang memiliki Kantor Cabang Syariah wajib: a. memiliki pencatatan dan pembukuan tersendiri untuk Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah; b. menyusun laporan keuangan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah; dan c. memasukkan laporan keuangan sebagaimana dimaksud dalam huruf b ke dalam laporan keuangan konsolidasi. BAB XI … - 53- BAB XI S A N K S I Pasal 74 (1) Bank yang tidak menaati ketentuan dalam Pasal 5 ayat (2), Pasal 12, Pasal 13 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 14, Pasal 15, Pasal 16, Pasal 18 ayat (3), Pasal 19, Pasal 20, Pasal 21 ayat (2), Pasal 22, Pasal 23, Pasal 24, Pasal 25 ayat (1), ayat (2) dan ayat (6), Pasal 26 ayat (2), Pasal 27 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28 ayat (1), Pasal 29, Pasal 30 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 31 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3), Pasal 32 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 33 ayat (1), Pasal 34, Pasal 35, Pasal 36 ayat (1), ayat (2), ayat (4), ayat (5) dan ayat (9), Pasal 37 ayat (1), ayat (3), ayat (4) dan ayat (5), Pasal 38 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 39 ayat (1), Pasal 41 ayat (4), Pasal 42 ayat (1) dan ayat (7), Pasal 43 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 44 ayat (1) dan ayat (5), Pasal 45 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 48 ayat (2), Pasal 51 ayat (1), ayat (4) dan ayat (7), Pasal 52, Pasal 53, Pasal 54 ayat (3), Pasal 55 ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4), Pasal 56, Pasal 57, Pasal 58, Pasal 61 ayat (2), Pasal 63 ayat (3), ayat (6) dan ayat (7), Pasal 64 ayat (2) dan ayat (7), Pasal 65, Pasal 66, Pasal 67, Pasal 68, Pasal 69, Pasal 73, Pasal 75, Pasal 77 ayat (1), Pasal 78, Pasal 81 dan Pasal 82 dapat dikenakan sanksi administratif sesuai dengan Pasal 52 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998. (2) Bank yang tidak menaati ketentuan dalam Pasal 11 ayat (2), Pasal 17, Pasal 18 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 25 ayat (7) dan ayat (8), Pasal 26 ayat (1), Pasal 28 ayat (2), Pasal 30 ayat (3), Pasal 31 ayat (4), Pasal 33 ayat (2), Pasal 36 ayat (10) dan ayat (11), Pasal 37 ayat (6), ayat (7) dan ayat (8), Pasal 38 ayat (3) dan ayat (5), Pasal 41 ayat (5), Pasal 42 ayat (8) dan ayat (9), Pasal 43 ayat (3) dan ayat (4), Pasal 44 ayat (6) dan ayat (7), Pasal 51 ayat (2) dan ayat (6), Pasal 63 ayat (4), Pasal 64 ayat (8), Pasal 70, Pasal 71, Pasal 77 ayat (2) dan Pasal 80 dapat dikenakan sanksi administratif sesuai Pasal 52 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998, berupa: a. teguran … - 54- a. teguran tertulis dan kewajiban membayar sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) per hari kelambatan untuk setiap laporan dan atau pengumuman; b. teguran tertulis dan kewajiban membayar sebesar Rp30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah) apabila Bank tidak menyampaikan laporan dan atau pengumuman. (3) Bank dinyatakan tidak menyampaikan laporan dan atau pengumuman sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf b apabila Bank belum menyampaikan laporan dimaksud setelah 30 (tiga puluh) hari sejak batas akhir penyampaian laporan dan atau pengumuman. (4) Setiap pihak yang tidak menaati ketentuan Pasal 3 ayat (1), Pasal 8 ayat (2), Pasal 27 ayat (1), Pasal 54 ayat (2) dan Pasal 64 ayat (1) dapat dikenakan sanksi pidana sesuai dengan Pasal 46 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998. BAB XII LAIN-LAIN Pasal 75 (1) Bank wajib mengadministrasikan dengan tertib: a. daftar pemegang saham dan perubahannya bagi Bank yang berbentuk hukum Perseroan Terbatas/ Perusahaan Daerah; atau b. buku daftar anggota dan perubahannya bagi Bank yang berbentuk hukum Koperasi. (2) Bank yang telah terdaftar di pasar modal wajib memperbaharui daftar sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a. Pasal 76 Bank Indonesia tidak memberikan persetujuan atas permohonan izin yang tidak sesuai dengan ketentuan, tata cara dan persyaratan yang diatur dalam Peraturan Pasal 77… - 55- Bank Indonesia ini. Pasal 77 (1) Bank wajib menyampaikan perubahan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf f, huruf g dan huruf h, pada: a. setiap akhir tahun apabila terjadi perubahan; dan b. setiap saat apabila terjadi perubahan yang bersifat material. (2) Penyampaian dokumen sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib disampaikan kepada Bank Indonesia selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sejak jangka waktu yang ditetapkan. Pasal 78 Bank wajib menjamin kebenaran dokumen atau identitas yang dikeluarkan oleh instansi terkait atau pihak ketiga yang disampaikan kepada Bank Indonesia. BAB XIII KETENTUAN PERALIHAN Pasal 79 Permohonan izin yang diajukan sebelum berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini wajib disesuaikan dengan persyaratan dan dokumen sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini. Pasal 80 Bank yang telah memiliki izin usaha sebelum berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini wajib menyampaikan: a. dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf f, huruf g dan huruf h; b. surat pernyataan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c angka 5 dan ayat (2) huruf a angka 2 dan atau huruf b angka 7; c. seluruh struktur kelompok usaha dari Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal kepada … - 56- 6 ayat (2) huruf b angka 6, kepada Bank Indonesia selambat-lambatnya 90 (sembilan puluh) hari sejak berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini. Pasal 81 Anggota dewan Komisaris dan Direktur Utama Bank yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 22 ayat (3) dan Pasal 23 ayat (3), wajib menyesuaikan dengan ketentuan tersebut dalam waktu selambat-lambatnya pada tanggal 31 Desember 2002. Pasal 82 Pejabat Eksekutif yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 26 ayat (1) , wajib menyesuaikan dengan ketentuan tersebut dalam jangka waktu selambat-lambatnya 60 (enam puluh) hari sejak berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini. BAB XIV KETENTUAN PENUTUP Pasal 83 Ketentuan lebih lanjut mengenai Bank Umum diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 84 Dengan dikeluarkannya Peraturan Bank Indonesia ini maka Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 32/33/KEP/DIR tanggal 12 Mei 1999 tentang Bank Umum, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 85 … - 57- Pasal 85 Peraturan Bank Indonesia ini berlaku sejak tanggal ditetapkan. Ditetapkan di : Jakarta Pada tanggal : 15 Desember 2000 GUBERNUR BANK INDONESIA SYAHRIL SABIRIN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2000 NOMOR 234 DPNP - 58- PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 2/ 27 /PBI/2000 TENTANG BANK UMUM UMUM Dalam rangka menghadapi perkembangan perekonomian nasional yang mengalami perubahan yang cepat, tantangan yang dinamis dan semakin kompleks, serta terintegrasi dengan perekonomian internasional, diperlukan berbagai penyesuaian kebijakan di bidang perbankan yang diharapkan dapat memperbaiki dan memperkukuh ketahanan perbankan nasional. Kebijakan perbankan yang komprehensif, transparan dan mengandung kepastian hukum tersebut diantaranya yang berkaitan dengan pengaturan kepemilikan dan permodalan, kepengurusan, perluasan jaringan, serta perubahan kegiatan usaha Bank. Sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku, Bank Indonesia dan tanggung jawab untuk menetapkan perizinan, memiliki kewenangan pembinaan dan pengawasan bank serta pengenaan sanksi terhadap Bank yang tidak mematuhi peraturan menerapkan kewenangan perbankan yang berlaku. Bank Indonesia dalam dan tanggung jawab dimaksud, antara lain tetap mempertimbangkan faktor-faktor kemampuan Bank, prinsip kehati-hatian operasional Bank, tingkat persaingan yang sehat, tingkat kejenuhan jumlah Bank, pemerataan pembangunan ekonomi nasional, kelayakan rencana kerja Bank, serta kemampuan dan atau kepatutan pemilik, pengurus dan pejabat Bank. Dalam pendirian Bank diperlukan dukungan permodalan yang kuat dan pemilik Bank yang patut serta memiliki kondisi keuangan yang sehat sehingga Bank tersebut mampu bersaing dalam dunia perbankan internasional. Hal ini sejalan dengan perkembangan globalisasi sistim keuangan dan pembukaan akses pasar serta perlakuan non-diskriminasi. Sehubungan dengan itu terhadap pihak asing diberikan juga kesempatan untuk berperan serta dalam kepemilikan dan kepengurusan Bank dengan tetap memperhatikan aspek kemitraan dengan pihak nasional. Selain … - 59- Selain permodalan yang kuat, Bank perlu didukung pula oleh pengurus dan pejabat Bank yang mampu dan kompeten untuk mengelola Bank secara sehat. Oleh sebab itu persyaratan kepengurusan Bank perlu disempurnakan antara lain yang berkaitan dengan kualitas dan kuantitas kepengurusan dengan cara seleksi administratif dan wawancara sebagai salah satu pilar dalam menciptakan good corporate governance di dunia perbankan. Disamping itu kualitas pengelolaan Bank perlu didukung oleh pengurus yang independen terhadap pengaruh dari pihak lain serta benturan kepentingan yang dapat membahayakan kelangsungan usaha Bank. Sementara itu penambahan jaringan Bank dimungkinkan untuk memperluas jangkauan layanan namun dengan tetap memperhatikan rencana kerja Bank dan kelayakan serta kemampuan keuangan Bank. Hal ini didasarkan pertimbangan bahwa perluasan jaringan Bank diharapkan tidak akan mengganggu kondisi keuangan Bank khususnya permodalan di waktu yang akan datang. Selain itu perluasan jaringan Bank juga harus memperhatikan tingkat kejenuhan jumlah Bank, tingkat persaingan Bank yang sehat, dan tingkat pemerataan pembangunan ekonomi nasional. Disadari bahwa perbankan nasional juga memiliki pasar yang spesifik dalam kegiatan operasionalnya. Oleh sebab itu peranan Bank yang menyelenggarakan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah perlu ditingkatkan untuk menampung kebutuhan masyarakat. Ketentuan ini juga mengatur pendirian Bank melalui kegiatan usaha konvensionalnya menjadi kegiatan usaha Bank berdasarkan prinsip Syariah, termasuk pula pemberian kesempatan bagi Bank untuk membuka kantor Bank yang khusus melakukan kegiatan berdasarkan Prinsip Syariah. Dalam rangka mendukung kebijakan yang transparan dan mengandung kepastian hukum maka pengaturan kelembagaan Bank ini juga antara lain memuat prosedur perizinan, aspek-aspek penilaian dalam perizinan, dan batas waktu pemberian izin pembukaan Bank atau kantor, batas waktu dan alasan penolakan serta batas waktu pelaporan pelaksanaan kegiatan Bank. Sementara itu dalam rangka kepastian hukum perlu dicantumkan sanksi yang tegas dan transparan kepada Bank dan atau pihak lain yang melanggar ketentuan ini. Persyaratan untuk melengkapi dokumen-dokumen administratif antara lain struktur kelompok usaha, rencana jangka menengah dan jangka panjang, pedoman kerja dan pedoman pengelolaan risiko serta kesediaan Pemegang Saham Pengendali … - 60- Pengendali untuk mengatasi kesulitan pendanaan Bank, selain diberlakukan kepada Bank yang akan beroperasi juga diberlakukan kepada Bank yang telah beroperasi sebelum dikeluarkannya Peraturan Bank Indonesia ini. Hal ini dimaksudkan sebagai upaya Bank Indonesia untuk mendorong Bank lebih memperhatikan prinsip kehati-hatian dalam menjalankan kegiatan usahanya dan untuk kelancaran pelaksanaan tugas pengawasan dan pembinaan Bank oleh Bank Indonesia. Dalam hubungan dengan hal-hal tersebut di atas, perlu diperhatikan pula peraturan perundang-undangan yang mempunyai relevansi dengan ketentuan ini, antara lain peraturan perundang-undangan yang berlaku tentang Perseroan Terbatas, Perusahaan Daerah, Perkoperasian, Pasar Modal dan ketentuan lainnya. Selain itu penyusunan Peraturan Bank Indonesia ini juga mengacu praktek- praktek yang berlaku secara internasional dan prinsip-prinsip dasar pengawasan bank sebagaimana direkomendasikan oleh Basle Committee dalam 25’s Core Principles for Effective Banking Supervision. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Angka 1 Cukup jelas. Angka 2 Cukup jelas. Angka 3 Termasuk dalam pengertian Kantor Kas adalah kantor Bank yang melakukan kegiatan pelayanan kas dengan alamat tempat usaha yang jelas dan tetap serta memberikan pelayanan terhadap nasabah baru, selain kegiatan pameran untuk promosi. Angka 4 Huruf a Cukup jelas. Huruf b … - 61- Huruf b Yang dimaksud dengan kegiatan pelayanan pembayaran adalah kegiatan pembayaran maupun penyetoran transaksi tertentu antara lain meliputi pembayaran gaji pegawai, penerimaan setoran biaya listrik, dan biaya telepon. Huruf c Termasuk dalam pengertian ATM adalah pembukaan jaringan ATM yang dilakukan dengan pemanfaatan teknologi melalui kerjasama dengan Bank lain. Angka 5 Cukup jelas. Angka 6 Cukup jelas. Angka 7 Cukup jelas. Angka 8 Cukup jelas. Angka 9 Cukup jelas. Angka 10 Cukup jelas. Angka 11 Cukup jelas. Angka 12 Yang dimaksud Pejabat Eksekutif adalah pejabat satu tingkat di bawah Direksi. - 62- Angka 13 Angka 13… Termasuk dalam pengertian perorangan adalah beberapa orang dengan hubungan keluarga sampai dengan derajat kedua, dan besan yang secara bersama-sama memiliki saham Bank. Yang dimaksud dengan kelompok usaha adalah: a. perorangan dan badan hukum; b. beberapa orang; atau c. beberapa badan hukum yang memiliki keterkaitan kepengurusan, kepemilikan atau hubungan keuangan. Pasal 2 Huruf a Termasuk bentuk hukum Perseroan Terbatas adalah Perusahaan Perseroan (PERSERO) sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Huruf b dan huruf c Cukup jelas. Pasal 3 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 4 Modal disetor sebesar Rp3.000.000.000.000,00 (tiga triliun rupiah) dalam Pasal ini adalah setoran yang dilakukan dalam bentuk setoran tunai diluar setoran dalam bentuk lain yang dimungkinkan oleh peraturan perundang- undangan yang berlaku. - 63- Modal … Modal disetor bagi Bank yang berbentuk hukum Koperasi adalah simpanan pokok, simpanan wajib, dan hibah sebagaimana diatur dalam Undang- undang tentang Perkoperasian. Pasal 5 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 6 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Angka 1 sampai dengan angka 4 Cukup jelas. Angka 5 Yang dimaksud dengan tanggal pengajuan permohonan adalah tanggal pada saat calon pemilik mengajukan permohonan pendirian Bank. Angka 6 Cukup jelas. Huruf d Susunan dan struktur organisasi serta personalia antara lain meliputi organization chart, garis tanggung jawab horisontal dan vertikal, serta jabatan dan nama-nama personalia sekurang-kurangnya sampai dengan tingkatan Pejabat Huruf e … - 64- Eksekutif. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Corporate plan antara lain meliputi rencana-rencana strategis Bank dalam jangka menengah (tiga tahunan) dan jangka panjang (lima tahunan) dalam rangka pencapaian tujuan Bank. Huruf g Pedoman manajemen risiko antara lain memuat teknik dan metode yang digunakan Bank untuk mengidentifikasi, mengukur, memantau dan mengendalikan risiko-risiko yang timbul sebagai akibat operasional Bank. Pedoman manajemen risiko tidak hanya didasarkan atas data historis namun mencakup juga proyeksi risiko yang akan datang (forward looking). Huruf h Termasuk dalam sistem dan prosedur kerja adalah buku pedoman (manual) yang lengkap dan komprehensif yang akan digunakan untuk kegiatan operasional Bank. Huruf i Dalam hal pendirian Bank dilakukan oleh Pemerintah maka ketentuan mengenai bukti setoran modal dan tata cara penyetoran modal dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Huruf j Dalam hal calon pemegang saham Bank berbentuk badan hukum, maka surat pernyataan pribadi dibuat dan disampaikan oleh pengurus yang mempunyai wewenang untuk mewakili badan hukum yang bersangkutan. Angka 1 Yang dimaksud dengan pihak lain antara lain meliputi lembaga keuangan non-bank, lembaga pembiayaan Tidak … - 65- atau perusahaan. Tidak termasuk dalam pengertian pihak lain adalah Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, atau Badan Khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37A Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang- undang Nomor 10 Tahun 1998. Angka 2 Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Angka 1 sampai dengan angka 5 Cukup jelas. Angka 6 Yang dimaksud dengan kelompok usaha adalah: a. perorangan dan badan hukum; b. beberapa orang; atau c. beberapa badan hukum, yang memiliki keterkaitan kepengurusan, kepemilikan atau hubungan keuangan. Kewajiban menyampaikan data mengenai struktur kelompok usaha dikecualikan dalam hal pemilik Bank adalah Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah atau Badan Khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37A Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang- undang Nomor 10 Tahun 1998. Apabila terdapat pemilik lain maka kewajiban menyampaikan struktur kelompok usaha diberlakukan bagi pemilik lain tersebut. - 66- Angka 7 Surat pernyataan Pemegang Saham Pengendali berbentuk badan hukum dibuat dan disampaikan oleh pengurus yang mempunyai wewenang untuk mewakili badan hukum yang bersangkutan. Angka 7… Dalam hal Bank merupakan bagian dari kepemilikan suatu kelompok usaha maka surat pernyataan disampaikan oleh pihak-pihak yang berdasarkan penilaian Bank Indonesia mengendalikan baik secara langsung maupun tidak langsung atas seluruh kelompok usaha. Kewajiban menyampaikan surat pernyataan dalam huruf ini dikecualikan dalam hal Pemegang Saham Pengendali adalah Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah atau Badan Khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37A Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998. Pasal 7 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Apabila diperlukan, dalam rangka penelitian atas kebenaran dokumen, Bank Indonesia dapat melakukan pemeriksaan. Huruf b Cukup jelas. - 67- Huruf c Huruf c… Wawancara dilakukan terhadap pihak-pihak: a. yang belum pernah bekerja dan atau menjadi Pemegang Saham Pengendali di lembaga perbankan; atau b. pihak-pihak yang pernah bekerja dan atau menjadi Pemegang Saham Pengendali di lembaga perbankan yang masih diperlukan keterangan lebih lanjut mengenai integritas dan atau kompetensi yang bersangkutan. Materi wawancara antara lain meliputi masalah integritas dan atau kompetensi. Dalam hal calon Pemegang Saham Pengendali Bank berbentuk badan hukum atau yayasan maka wawancara dilakukan terhadap anggota pengurus badan hukum atau yayasan, atau pejabat yang diberikan wewenang mewakili badan hukum atau yayasan yang bersangkutan. Dalam hal Bank merupakan bagian dari kepemilikan suatu kelompok usaha maka wawancara terhadap calon Pemegang Saham Pengendali dilakukan terhadap pihak-pihak yang berdasarkan penilaian Bank Indonesia mengendalikan baik secara langsung maupun tidak langsung atas seluruh kelompok usaha. Dalam hal calon Pemegang Saham Pengendali adalah Pemerintah atau Pemerintah Daerah maka tidak dilakukan wawancara terhadap calon Pemegang Saham Pengendali. Dalam hal tidak terdapat calon Pemegang Saham Pengendali maka wawancara dilakukan terhadap calon pemegang saham pendiri tertentu berdasarkan penilaian Bank Indonesia. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 8 Ayat (1) Ayat (2) … - 68- Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 9 Huruf a dan huruf b Cukup jelas. Huruf c Angka 1 dan angka 2 Cukup jelas. Angka 3 Dalam hal KIMS dan surat izin bekerja masih dalam proses penyelesaian, untuk sementara Bank dapat menyampaikan surat keterangan atau bukti pengurusan dokumen dari instansi berwenang. KIMS dan surat izin bekerja yang telah dikeluarkan oleh instansi berwenang disampaikan pada saat melaporkan pengangkatan yang bersangkutan. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Dalam hal pendirian Bank dilakukan oleh Pemerintah maka ketentuan mengenai bukti setoran modal dan tata cara penyetoran modal dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Huruf f Cukup jelas. Huruf g … - 69- Huruf g Dalam hal calon pemegang saham Bank berbentuk badan hukum maka surat pernyataan pribadi dibuat dan disampaikan oleh pengurus yang mempunyai wewenang untuk mewakili badan hukum yang bersangkutan. Angka 1 Yang dimaksud dengan pihak lain antara lain meliputi lembaga keuangan non-bank, lembaga pembiayaan atau perusahaan. Tidak termasuk dalam pengertian pihak lain adalah Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, atau Badan Khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37A Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998. Angka 2 Cukup jelas. Huruf h sampai dengan huruf l Cukup jelas. Pasal 10 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Apabila diperlukan, dalam rangka penelitian atas kebenaran dokumen, Bank Indonesia dapat melakukan pemeriksaan. Huruf b Wawancara dilakukan terhadap: a. pihak-pihak yang belum pernah bekerja dan atau menjadi Pemegang Saham Pengendali di lembaga perbankan; atau - 70- b. pihak … b. pihak-pihak yang pernah bekerja dan atau menjadi Pemegang Saham Pengendali di lembaga perbankan yang masih diperlukan keterangan lebih lanjut mengenai integritas dan atau kompetensi yang bersangkutan. Materi wawancara antara lain meliputi masalah integritas dan atau kompetensi. Dalam hal calon Pemegang Saham Pengendali Bank berbentuk badan hukum atau yayasan maka wawancara dilakukan terhadap anggota pengurus badan hukum atau yayasan, atau pejabat yang diberikan wewenang mewakili badan hukum atau yayasan yang bersangkutan. Dalam hal Bank merupakan bagian dari kepemilikan suatu kelompok usaha maka wawancara terhadap calon Pemegang Saham Pengendali dilakukan terhadap pihak-pihak yang berdasarkan penilaian Bank Indonesia mengendalikan baik secara langsung maupun tidak langsung atas seluruh kelompok usaha. Dalam hal calon Pemegang Saham Pengendali adalah Pemerintah atau Pemerintah Daerah maka tidak dilakukan wawancara terhadap calon Pemegang Saham Pengendali. Dalam hal tidak terdapat calon Pemegang Saham Pengendali maka wawancara dilakukan terhadap calon pemegang saham pendiri tertentu berdasarkan penilaian Bank Indonesia. Pasal 11 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 12 - 71- Cukup jelas. Pasal 13 Ayat (1) Yang dimaksud dengan modal sendiri bersih adalah: a. penjumlahan dari modal disetor, Pasal 13… cadangan dan laba, dikurangi penyertaan dan kerugian, bagi badan hukum Perseroan Terbatas/Perusahaan Daerah; atau b. penjumlahan dari simpanan pokok, simpanan wajib, hibah, modal penyertaan, dana cadangan, dan sisa hasil usaha, dikurangi penyertaan dan kerugian, bagi badan hukum Koperasi. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 14 Huruf a Ketentuan dalam huruf ini dikecualikan dalam hal pemilik Bank adalah Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, atau Badan Khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37A Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998. Yang dimaksud dengan pihak lain antara lain meliputi lembaga keuangan non-bank, lembaga pembiayaan atau perusahaan. Tidak termasuk dalam pengertian pihak lain adalah Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, atau Badan Khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37A Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang- undang Nomor 10 Tahun 1998. Huruf b Cukup jelas. Pasal 15 … - 72- Pasal 15 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan bank dalam huruf ini adalah bank umum konvensional dan syariah. Huruf b Cukup jelas. Ayat (2) Termasuk pihak-pihak yang dianggap memiliki integritas yang baik adalah pihak-pihak yang mendapat predikat lulus atau lulus bersyarat dalam penilaian kemampuan dan kepatutan yang telah dilakukan Bank Indonesia atau pihak-pihak yang mendapat predikat tidak lulus namun telah disetujui oleh Bank Indonesia untuk kembali menjadi Pemegang Saham Pengendali, meningkatkan kepemilikan atau kembali menjadi pemilik, sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku tentang Penilaian Kemampuan dan Kepatutan (Fit and Proper Test). Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 16 Cukup jelas. Pasal 17 Ayat (1) Dalam hal perubahan komposisi kepemilikan termasuk dalam kategori akuisisi yang mengakibatkan beralihnya pengendalian Bank maka perubahan komposisi tersebut mengikuti ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16. Ayat (2) Yang dimaksud dengan perubahan komposisi kepemilikan dalam Ayat (3) … - 73- ayat ini adalah perubahan dalam hal nominal dan atau prosentase kepemilikan. Ayat (3) Perubahan komposisi kepemilikan yang tidak mengubah modal disetor antara lain disebabkan oleh hibah atau warisan saham diantara pemilik lama. Pasal 18 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Termasuk dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku adalah standar akuntansi keuangan yang berlaku untuk transaksi dimaksud. Pasal 19 Yang dimaksud dengan benturan kepentingan antara lain adalah perbedaan antara kepentingan ekonomis Bank dengan kepentingan ekonomis pribadi pemilik, anggota dewan Komisaris, anggota Direksi, Pejabat Eksekutif, pemimpin Kantor Cabang, dan atau pihak terkait dengan Bank. Ketentuan dalam Pasal ini pada dasarnya dimaksudkan agar anggota dewan Komisaris, anggota Direksi, Pejabat Eksekutif, dan pemimpin Kantor Cabang menghindarkan diri dari pengambilan suatu keputusan dalam situasi dan kondisi adanya benturan kepentingan. Namun demikian apabila keputusan tetap harus diambil maka pihak-pihak dimaksud wajib mengutamakan kepentingan ekonomis Bank dan menghindarkan Bank dari kerugian yang mungkin timbul serta wajib mengungkapkan kondisi benturan kepentingan tersebut dalam setiap keputusan. Termasuk dalam pengertian kerugian Bank antara lain mengurangi keuntungan Bank. - 74- Dalam … Dalam kaitan ini pemberian perlakuan istimewa kepada pihak-pihak tertentu di luar prosedur dan ketentuan yang berlaku termasuk dalam kategori benturan kepentingan yang menimbulkan kerugian Bank, antara lain pemberian suku bunga yang ditetapkan tidak berdasarkan prosedur dan ketentuan yang berlaku. Pasal 20 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan bank dalam huruf ini adalah bank umum konvensional dan syariah. Huruf b Cukup jelas. Ayat (2) Pihak-pihak yang dianggap memiliki integritas yang baik adalah pihak-pihak yang mendapat predikat lulus atau lulus bersyarat dalam penilaian kemampuan dan kepatutan yang telah dilakukan Bank Indonesia atau pihak-pihak yang mendapat predikat tidak lulus namun telah disetujui oleh Bank Indonesia untuk kembali menjadi pengurus, sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku tentang Penilaian Kemampuan dan Kepatutan (Fit and Proper Test). Pasal 21 Ayat (1) Yang dimaksud dengan pihak asing dalam ayat ini adalah warga negara asing dan atau badan hukum asing. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 22 - 75- Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Penilaian independensi didasarkan pada keterkaitan yang bersangkutan pada kepengurusan, kepemilikan dan atau hubungan keuangan dengan seluruh kelompok usaha Pemegang Saham Pengendali. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Tidak termasuk dalam rangkap jabatan bagi anggota dewan Komisaris apabila: a. menjalankan tugas fungsional dari pemilik Bank yang berbentuk badan hukum; atau b. merangkap jabatan pada organisasi atau lembaga nirlaba, sepanjang yang bersangkutan tidak mengabaikan pelaksanaan tugas dan tanggung jawab sebagai anggota dewan Komisaris Bank. Yang dimaksud dengan bank dalam ayat ini adalah bank umum konvensional dan syariah. Ayat (6) Hubungan keluarga sampai dengan derajat kedua adalah hubungan baik dalam garis lurus maupun garis ke samping, termasuk mertua, menantu dan ipar, sehingga yang dimaksud dengan keluarga meliputi sebagai berikut: 1. orang tua kandung/tiri/angkat; 2. saudara kandung/tiri/angkat; 3. suami/istri; 4. anak kandung/tiri/angkat; Ayat (2) … - 76- 5. suami/istri dari anak kandung/tiri/angkat; 6. kakek/nenek kandung/tiri/angkat; 7. cucu kandung/tiri/angkat; 8. saudara kandung/tiri/angkat dari suami/istri 9. suami/istri dari saudara kandung/tiri/angkat; 10. saudara kandung/tiri/angkat dari orang tua; 11. mertua. Pasal 23 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan mayoritas adalah lebih dari 50% (lima puluh perseratus) dari seluruh jumlah anggota Direksi. Yang dimaksud dengan bank dalam ayat ini adalah bank umum konvensional dan atau syariah. Ayat (3) Penilaian independensi didasarkan pada keterkaitan yang bersangkutan pada kepengurusan, kepemilikan dan atau hubungan keuangan dengan seluruh kelompok usaha Pemegang Saham Pengendali. Termasuk dalam pengertian Direktur Utama antara lain Presiden Direktur atau jabatan yang dipersamakan dengan itu. Pasal 24 Ayat (1) Hubungan keluarga sampai dengan derajat kedua adalah hubungan baik dalam garis lurus maupun garis ke samping, termasuk mertua, menantu dan ipar, sehingga yang dimaksud dengan keluarga meliputi sebagai berikut: 1. orang tua kandung/tiri/angkat; 2. saudara kandung/tiri/angkat; 7. cucu … Yang dimaksud dengan mayoritas adalah lebih dari 50% (lima puluh perseratus) dari seluruh jumlah anggota dewan Komisaris. - 77- 3. suami/istri; 4. anak kandung/tiri/angkat; 5. suami/istri dari anak kandung/tiri/angkat; 6. kakek/nenek kandung/tiri/angkat; 7. cucu kandung/tiri/angkat; 8. saudara kandung/tiri/angkat dari suami/istri 9. suami/istri dari saudara kandung/tiri/angkat; 10. saudara kandung/tiri/angkat dari orang tua; 11. mertua. Ayat (2) Ketentuan dalam ayat ini dimaksudkan agar setiap anggota Direksi tidak melakukan kegiatan yang dapat menganggu pelaksanaan tugas dan tanggung jawab sebagai Direksi Bank. Ayat (3) Yang dimaksud dengan perusahaan lain antara lain meliputi perusahaan-perusahaan lain di luar Bank yang bersangkutan seperti lembaga keuangan bank dan non-bank, lembaga pembiayaan atau perusahaan. Ayat (4) Yang dimaksud dengan pihak lain adalah satu orang karyawan atau lebih, atau orang lain untuk dan atas nama Direksi melakukan perbuatan hukum tertentu. Pasal 25 Ayat (1) Ketentuan ini berlaku juga terhadap peralihan jabatan dari anggota Direksi menjadi anggota dewan Komisaris atau sebaliknya. Khusus bagi anggota Direksi Bank yang menjadi direktur kepatuhan (compliance director), tata cara persetujuan anggota Direksi dimaksud juga berpedoman pada ketentuan Bank Indonesia tentang Ayat (2) … 5. suami … Yang dimaksud dengan mayoritas adalah lebih dari 50% (lima puluh perseratus) dari seluruh jumlah anggota Direksi. - 78- Direktur Kepatuhan dan Standar Pelaksanaan Fungsi Audit Intern Bank. Ayat (2) Yang dimaksud dengan berpedoman pada ketentuan perundang- undangan yang berlaku antara lain berpedoman pada ketentuan perundang-undangan tentang Perseroan Terbatas yang mengatur bahwa setiap penetapan calon anggota dewan Komisaris atau Direksi dilakukan oleh dan dengan sepengetahuan Rapat Umum Pemegang Saham atau rapat anggota atau sekurang-kurangnya oleh dan dengan sepengetahuan Pemegang Saham Pengendali. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Wawancara dilakukan terhadap: b. pihak-pihak yang belum pernah bekerja di lembaga perbankan; atau c. pihak-pihak yang pernah bekerja di lembaga perbankan namun masih diperlukan keterangan lebih lanjut mengenai integritas dan atau kompetensi yang bersangkutan. Materi wawancara antara lain meliputi masalah integritas dan atau kompetensi. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. - 79- Ayat (8) Pasal 26 Ayat (1) Laporan sebagaimana diatur dalam ayat ini berbeda dengan laporan yang disampaikan oleh Bank dalam kaitan dengan transaksi keuangan antara Bank dengan Bank Indonesia. Yang dimaksud dengan Pejabat Eksekutif dalam Pasal ini adalah Pejabat Eksekutif yang memiliki peranan dalam pelaksanaan kebijakan dan operasional Bank antara lain dalam kegiatan kredit, treasury, penghimpunan dana, dan kegiatan operasional lainnya. Yang dimaksud dengan tanggal pengangkatan efektif adalah sejak yang bersangkutan secara efektif memangku jabatannya. Ayat (2) Penilaian dan penelitian yang dilakukan oleh Bank Indonesia tidak dimaksudkan untuk menunda pengangkatan atau penggantian Pejabat Eksekutif atau pemimpin Kantor Cabang. Yang dimaksud dengan bank dalam ayat ini adalah bank umum konvensional dan syariah. Pasal 27 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Bank hanya dapat melakukan pembukaan Kantor Cabang sesuai dengan penegasan Bank Indonesia terhadap rencana kerja tahunan Bank sepanjang tidak terdapat perubahan kondisi keuangan yang bersifat material antara rencana kerja dengan realisasi rencana kerja pada saat pembukaan kantor, antara lain seperti terjadi penurunan permodalan Bank yang material. Ayat (8) … Yang dimaksud dengan tanggal pengangkatan efektif adalah sejak yang bersangkutan secara efektif memangku jabatannya. - 80- Ayat (3) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Dalam hal Bank akan menggunakan gedung kantor yang disewa maka untuk sementara dokumen rencana persiapan operasional gedung kantor dapat berupa nota kesepakatan sewa menyewa gedung kantor. Perjanjian sewa disampaikan pada saat Bank melaporkan pelaksanaan pembukaan kantor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2). Huruf c sampai dengan huruf e Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 28 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (3)… - 81- Pasal 29 Ayat (1) Kantor di bawah Kantor Cabang Bank meliputi Kantor Cabang Pembantu, Kantor Kas, atau yang dipersamakan dengan itu. Bank hanya dapat melakukan pembukaan kantor di bawah Kantor Cabang sesuai dengan penegasan Bank Indonesia terhadap rencana kerja tahunan Bank sepanjang tidak terdapat perubahan kondisi keuangan yang bersifat material antara rencana kerja dengan realisasi rencana kerja pada saat pembukaan kantor, antara lain seperti terjadi penurunan permodalan Bank yang material. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 30 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Ketentuan dalam Undang-undang tentang Perbankan yang berlaku mewajibkan pembukaan kantor di bawah Kantor Cabang dilaporkan terlebih dahulu kepada Bank Indonesia, namun penegasan dari Bank Indonesia tetap diperlukan mengingat sesuai dengan Undang-undang tentang Perbankan tersebut, Bank Indonesia juga akan melakukan penelitian terhadap tingkat kejenuhan jumlah Bank, tingkat persaingan antar Bank, dan pemerataan pembangunan ekonomi nasional. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 29 … - 82- Pasal 31 Pasal 31… Ayat (1) Tidak termasuk dalam Kegiatan Kas di luar Kantor Bank adalah kegiatan pameran yang dilakukan dalam rangka promosi, tidak bersifat permanen dan tidak melakukan kegiatan kas. Bank hanya dapat melaksanakan Kegiatan Kas di luar Kantor Bank sesuai dengan penegasan Bank Indonesia terhadap rencana kerja tahunan Bank sepanjang tidak terdapat perubahan kondisi keuangan yang bersifat material antara rencana kerja dengan realisasi rencana kerja pada saat pelaksanaan Kegiatan Kas di luar Kantor Bank, antara lain seperti terjadi penurunan permodalan Bank yang material. Ayat (2) Kewajiban pelaporan hanya dilakukan satu kali pada saat pertama kali Kegiatan Kas di luar Kantor Bank diajukan di lokasi tersebut. Ayat (3) Ketentuan dalam Undang-undang tentang Perbankan yang berlaku mewajibkan pembukaan kantor di bawah Kantor Cabang dilaporkan terlebih dahulu kepada Bank Indonesia, namun penegasan dari Bank Indonesia tetap diperlukan mengingat sesuai dengan Undang-undang tentang Perbankan tersebut, Bank Indonesia juga akan melakukan penelitian terhadap tingkat kejenuhan jumlah Bank, tingkat persaingan antar Bank, dan pemerataan pembangunan ekonomi nasional. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 32 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. - 83- Ayat (3) Ayat (3) … Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 33 Ayat (1) Pengajuan permohonan izin kepada otoritas di negara setempat dilakukan setelah adanya persetujuan dari Bank Indonesia. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 34 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Peningkatan status dalam ayat ini antara lain peningkatan status dari Kas Mobil menjadi kantor di bawah Kantor Cabang. Pasal 35 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Penurunan status dalam ayat ini antara lain penurunan status dari kantor di bawah Kantor Cabang menjadi Kas Mobil. - 84- Pasal 36 Pasal 36 … Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Huruf a Dalam hal Bank akan menggunakan gedung kantor yang disewa maka untuk sementara dokumen rencana persiapan operasional gedung kantor dapat berupa nota kesepakatan sewa menyewa gedung kantor. Perjanjian sewa disampaikan pada saat Bank melaporkan pelaksanaan pemindahan alamat kantor sebagaimana dimaksud dalam ayat (11). Huruf b dan huruf c Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Dalam hal Bank akan memindahkan alamat kantor pusat ke lokasi yang baru dan lokasi yang lama akan digunakan sebagai Kantor Cabang maka pemindahan alamat kantor pusat memenuhi ketentuan dalam ayat ini sedangkan untuk Kantor Cabang di lokasi yang lama memenuhi ketentuan pembukaan Kantor Cabang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 dan Pasal 28. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Ayat (8) … - 85- Ayat (8) Cukup jelas. Ayat (9) Cukup jelas. Ayat (10) Cukup jelas. Ayat (11) Cukup jelas. Ayat (12) Cukup jelas. Pasal 37 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Dalam hal Bank akan menggunakan gedung kantor yang disewa maka untuk sementara dokumen rencana persiapan operasional gedung kantor dapat berupa nota kesepakatan sewa menyewa gedung kantor. Perjanjian sewa disampaikan pada saat Bank melaporkan pelaksanaan pemindahan alamat kantor sebagaimana dimaksud dalam ayat (7). Huruf b dan huruf c Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. - 86- Ayat (5) Ayat (5) … Ketentuan dalam Undang-undang tentang Perbankan yang berlaku mewajibkan pembukaan kantor di bawah Kantor Cabang dilaporkan terlebih dahulu kepada Bank Indonesia, namun penegasan dari Bank Indonesia tetap diperlukan mengingat sesuai dengan Undang-undang tentang Perbankan tersebut, Bank Indonesia juga akan melakukan penelitian terhadap tingkat kejenuhan jumlah Bank, tingkat persaingan antar Bank, dan pemerataan pembangunan ekonomi nasional. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Ayat (8) Cukup jelas. Pasal 38 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 39 Ayat (1) - 87- Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 40 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Apabila diperlukan, dalam rangka penelitian atas kebenaran dokumen, Bank Indonesia dapat melakukan pemeriksaan. Huruf b Wawancara dilakukan terhadap pihak-pihak: a. yang belum pernah bekerja dan atau menjadi Pemegang Saham Pengendali di lembaga perbankan; atau b. pihak-pihak yang pernah bekerja dan atau menjadi Pemegang Saham Pengendali di lembaga perbankan yang masih diperlukan keterangan lebih lanjut mengenai integritas dan atau kompetensi yang bersangkutan. Materi wawancara antara lain meliputi masalah integritas dan atau kompetensi. Dalam hal calon Pemegang Saham Pengendali Bank berbentuk badan hukum atau yayasan maka wawancara dilakukan terhadap anggota pengurus badan hukum atau yayasan, atau pejabat yang diberikan wewenang mewakili badan hukum atau yayasan yang bersangkutan. Dalam hal Bank merupakan bagian dari kepemilikan suatu kelompok usaha maka wawancara terhadap calon Pemegang Saham Pengendali dilakukan terhadap pihak-pihak yang berdasarkan penilaian Bank Indonesia mengendalikan baik secara langsung maupun tidak langsung atas seluruh kelompok usaha. Ayat (2) … - 88- Dalam … Dalam hal calon Pemegang Saham Pengendali adalah Pemerintah atau Pemerintah Daerah maka tidak dilakukan wawancara terhadap calon Pemegang Saham Pengendali. Dalam hal tidak terdapat calon Pemegang Saham Pengendali maka wawancara dilakukan terhadap calon pemegang saham pendiri tertentu berdasarkan penilaian Bank Indonesia. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 41 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Apabila diperlukan, dalam rangka penelitian atas kebenaran dokumen, Bank Indonesia dapat melakukan pemeriksaan. Huruf b Wawancara dilakukan terhadap pihak-pihak: a. yang belum pernah bekerja dan atau menjadi Pemegang Saham Pengendali di lembaga perbankan; atau b. pihak-pihak yang pernah bekerja dan atau menjadi Pemegang Saham Pengendali di lembaga perbankan yang masih diperlukan keterangan lebih lanjut mengenai integritas dan atau kompetensi yang bersangkutan. Materi wawancara antara lain meliputi masalah integritas dan atau kompetensi. Dalam hal calon Pemegang Saham Pengendali Bank berbentuk badan hukum atau yayasan maka wawancara dilakukan terhadap anggota pengurus badan hukum atau yayasan, atau pejabat yang diberikan wewenang mewakili badan hukum atau yayasan yang bersangkutan. Dalam … - 89- Dalam hal Bank merupakan bagian dari kepemilikan suatu kelompok usaha maka wawancara terhadap calon Pemegang Saham Pengendali dilakukan terhadap pihak-pihak yang berdasarkan penilaian Bank Indonesia mengendalikan baik secara langsung maupun tidak langsung atas seluruh kelompok usaha. Dalam hal calon Pemegang Saham Pengendali adalah Pemerintah atau Pemerintah Daerah maka tidak dilakukan wawancara terhadap calon Pemegang Saham Pengendali. Dalam hal tidak terdapat calon Pemegang Saham Pengendali maka wawancara dilakukan terhadap calon pemegang saham pendiri tertentu berdasarkan penilaian Bank Indonesia. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 42 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Penyelesaian kewajiban kepada nasabah dan pihak lainnya dapat dilakukan antara lain melalui pengalihan seluruh kewajiban kepada kantor Bank atau pihak lain dengan persetujuan nasabah atau pihak Bukti … - 90- lain. Bukti penyelesaian kewajiban kepada nasabah adalah berupa neraca Kantor Cabang yang menunjukkan seluruh kewajiban Kantor Cabang kepada nasabah dan pihak lain telah selesai. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Yang dimaksud dengan tanggal persetujuan penutupan dalam ayat ini adalah tanggal rencana penutupan yang disetujui oleh Bank Indonesia. Ayat (8) Cukup jelas. Ayat (9) Cukup jelas. Ayat (10) Cukup jelas. Pasal 43 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Penyelesaian kewajiban kepada nasabah dan pihak lainnya dapat dilakukan antara lain melalui pengalihan seluruh kewajiban kepada kantor Bank atau pihak lain dengan persetujuan nasabah atau pihak lain. Bukti penyelesaian kewajiban kepada nasabah adalah berupa neraca kantor di bawah Kantor Cabang yang menunjukkan seluruh kewajiban kantor di bawah Kantor Cabang kepada nasabah dan pihak lain telah selesai. Ayat (4) … - 91- Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 44 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Pengajuan permohonan izin kepada otoritas di negera setempat dilakukan setelah adanya persetujuan dari Bank Indonesia. Ayat (6) Penyelesaian kewajiban kepada nasabah dan pihak lainnya dapat dilakukan antara lain melalui pengalihan seluruh kewajiban kepada kantor Bank atau pihak lain dengan persetujuan nasabah atau pihak lain. Bukti penyelesaian kewajiban kepada nasabah adalah berupa neraca Kantor Cabang dan jenis-jenis kantor lainnya yang bersifat operasional yang menunjukkan seluruh kewajiban Kantor Cabang dan jenis-jenis kantor lainnya yang bersifat operasional kepada nasabah dan pihak lain telah selesai. Ayat (7) Cukup jelas. Pasal 45 … - 92- Pasal 45 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 46 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Susunan dan struktur organisasi serta personalia antara lain meliputi organization chart, garis tanggung jawab horizontal dan vertikal, serta jabatan dan nama-nama personalia sekurang-kurangnya sampai dengan tingkatan Pejabat Eksekutif. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Corporate Plan antara lain meliputi rencana-rencana strategis Bank jangka menengah (tiga tahunan) dan jangka panjang (lima tahunan) dalam rangka pencapaian tujuan perubahan kegiatan usaha dari Bank konvensional menjadi Bank yang melakukan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah. - 93- Huruf g Huruf g… Pedoman manajemen risiko antara lain memuat tehnik dan metode yang digunakan Bank untuk mengidentifikasi, mengukur, memantau dan mengendalikan risiko-risiko yang timbul sebagai akibat operasional Bank berdasarkan Prinsip Syariah. Pedoman manajemen risiko tidak hanya didasarkan atas data historis namun mencakup juga proyeksi risiko yang akan datang (forward looking). Huruf h Termasuk dalam sistem dan prosedur kerja adalah buku pedoman (manual) yang lengkap dan komprehensif yang akan digunakan untuk kegiatan operasional Bank berdasarkan Prinsip Syariah. Huruf i Penyelesaian kewajiban kepada nasabah yang tidak bersedia menjadi nasabah Bank berdasrkan Prinsip Syariah dapat dilakukan antara lain melalui pengalihan seluruh kewajiban kepada Bank lain atau pihak lain dengan persetujuan nasabah. Huruf j Cukup jelas. Pasal 47 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Apabila diperlukan, dalam rangka penelitian atas kebenaran dokumen, Bank dapat melakukan pemeriksaan. Huruf b Cukup jelas. - 94- Huruf c… Huruf c Wawancara dilakukan terhadap: a. pihak-pihak yang belum pernah bekerja dan atau menjadi Pemegang Saham Pengendali di lembaga perbankan; atau b. pihak-pihak yang pernah bekerja dan atau menjadi Pemegang Saham Pengendali di lembaga perbankan yang masih diperlukan keterangan lebih lanjut mengenai integritas dan atau kompetensi yang bersangkutan. Materi wawancara antara lain meliputi masalah integritas dan atau kompetensi. Dalam hal calon Pemegang Saham Pengendali Bank yang melakukan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah berbentuk badan hukum atau yayasan maka wawancara dilakukan terhadap anggota pengurus badan hukum atau yayasan atau pejabat yang diberikan wewenang mewakili badan hukum atau yayasan yang bersangkutan. Dalam hal Bank merupakan bagian dari kepemilikan suatu kelompok usaha maka wawancara terhadap calon Pemegang Saham Pengendali dilakukan terhadap pihak-pihak yang berdasarkan penilaian Bank Indonesia mengendalikan baik secara langsung maupun tidak langsung atas seluruh kelompok usaha. Dalam hal calon Pemegang Saham Pengendali adalah Pemerintah atau Pemerintah Daerah maka tidak dilakukan wawancara terhadap calon Pemegang Saham Pengendali. Dalam tidak terdapat calon Pemegang Saham Pengendali maka wawancara dilakukan terhadap pemegang saham pendiri tertentu berdasarkan penilaian Bank Indonesia. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 48 - 95- Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 49 Huruf a sampai dengan huruf g Cukup jelas. Pasal 50 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Apabila diperlukan, dalam rangka penelitian atas kebenaran dokumen, Bank Indonesia dapat melakukan pemeriksaan. Huruf b Wawancara dilakukan terhadap: a. pihak-pihak yang belum pernah bekerja dan atau menjadi Pemegang Saham Pengendali di lembaga perbankan yang melakukan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah; atau b. pihak-pihak yang pernah bekerja dan atau menjadi Pemegang Saham Pengendali di lembaga perbankan yang melakukan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah yang masih diperlukan keterangan lebih lanjut mengenai integritas dan atau kompetensi yang bersangkutan. Materi wawancara antara lain meliputi masalah integritas dan atau kompetensi. Dalam hal calon Pemegang Saham Pengendali Bank yang melakukan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah berbentuk badan hukum atau yayasan maka wawancara Ayat (2)… Dalam … - 96- dilakukan terhadap anggota pengurus badan hukum atau yayasan atau pejabat yang diberikan wewenang mewakili badan hukum atau yayasan yang bersangkutan. Dalam hal Bank merupakan bagian dari kepemilikan suatu kelompok usaha maka wawancara terhadap calon Pemegang Saham Pengendali dilakukan terhadap pihak-pihak yang berdasarkan penilaian Bank Indonesia mengendalikan baik secara langsung maupun tidak langsung atas seluruh kelompok usaha. Dalam hal calon Pemegang Saham Pengendali adalah Pemerintah atau Pemerintah Daerah maka tidak dilakukan wawancara terhadap calon Pemegang Saham Pengendali. Dalam tidak terdapat calon Pemegang Saham Pengendali maka wawancara dilakukan terhadap pemegang saham pendiri tertentu berdasarkan penilaian Bank Indonesia. Pasal 51 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Dalam rangka memperoleh persetujuan nasabah untuk penyelesaian seluruh hak dan kewajiban debitur dan kreditur sebagaimana dimaksud dalam ayat ini Bank dapat melakukan pemberitahuan/ pengumuman kepada kreditur dan debitur secara langsung atau melalui media massa mengenai konversi hak dan kewajiban dari kegiatan usaha konvensional menjadi Prinsip Syariah. Kegiatan Usaha Berdasarkan Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Bukti pendukung sebagaimana dimaksud dalam ayat ini dapat berupa bukti kesanggupan pembayaran dari debitur sampai dengan jangka waktu tertentu. - 97- Ayat (7) Cukup jelas. Pasal 52 Cukup jelas. Pasal 53 Cukup jelas. Pasal 54 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Bank hanya dapat melakukan pembukaan Kantor Cabang Syariah sesuai dengan penegasan Bank Indonesia terhadap rencana kerja tahunan Bank sepanjang tidak terdapat perubahan kondisi keuangan yang bersifat material antara rencana kerja dengan realisasi rencana kerja pada saat pembukaan kantor, antara lain seperti terjadi penurunan permodalan Bank yang material. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 55 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 56 Yang dimaksud dengan modal kerja dalam Pasal ini adalah dana Pasal 52 … - 98- yang disisihkan oleh kantor pusat Bank pada rekening tersendiri atas nama Unit Usaha Syariah dan yang dipergunakan semata-mata sebagai modal dalam Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah. Pada pembukuan kantor pusat Bank, dana yang disisihkan untuk modal kerja tersebut diperlakukan sebagai penempatan antar kantor. Pasal 57 Cukup jelas. Pasal 58 Cukup jelas. Pasal 59 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Penyelesaian kewajiban kepada nasabah yang tidak bersedia menjadi nasabah Bank berdasarkan Prinsip Syariah dapat dilakukan antara lain melalui pengalihan seluruh kewajiban kepada Bank lain atau pihak lain dengan persetujuan nasabah. Pasal 60 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 61 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) … - 99- Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 62 Cukup jelas. Pasal 63 Ayat (1) Apabila diperlukan, dalam rangka penelitian kebenaran dokumen, Bank Indonesia dapat melakukan pemeriksaan. Ayat (2) Dalam hal Kantor Cabang Syariah berasal dari konversi Kantor Cabang dan atau peningkatan status kantor di bawah Kantor Cabang yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional maka izin pembukaan Kantor Cabang Syariah menggantikan izin dan status keberadaan kantor sebelumnya. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Dalam rangka memperoleh persetujuan nasabah untuk penyelesaian seluruh hak dan kewajiban debitur dan kreditur sebagaimana dimaksud dalam ayat ini Bank dapat melakukan pemberitahuan/ pengumuman kepada kreditur dan debitur secara langsung atau melalui media massa mengenai konversi hak dan kewajiban dari kegiatan usaha konvensional menjadi Kegiatan Usaha Berdasarkan - 100- Prinsip Syariah. Ayat (7) Cukup jelas. Pasal 64 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Bank hanya dapat melakukan pembukaan Kantor Cabang Syariah sesuai dengan penegasan Bank Indonesia terhadap rencana kerja tahunan Bank sepanjang tidak terdapat perubahan kondisi keuangan yang bersifat material antara rencana kerja dengan realisasi rencana kerja pada saat pembukaan kantor, antara lain seperti terjadi penurunan permodalan Bank yang material. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Dalam hal Kantor Cabang Syariah berasal dari konversi Kantor Cabang dan atau peningkatan status kantor di bawah Kantor Cabang yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional maka izin pembukaan Kantor Cabang Syariah menggantikan izin dan status keberadaan kantor sebelumnya. Pasal 64 … - 101- Ayat (7) Cukup jelas. Ayat (8) Cukup jelas. Ayat (9) Cukup jelas. Pasal 65 Cukup jelas. Pasal 66 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Peningkatan status dalam ayat ini antara lain peningkatan status dari Kas Mobil menjadi kantor di bawah Kantor Cabang Syariah. Pasal 67 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Penurunan status dalam ayat ini antara lain penurunan status dari kantor di bawah Kantor Cabang Syariah menjadi Kas Mobil. Pasal 68 Cukup jelas. Pasal 69 Cukup jelas. Pasal 70 Cukup jelas. Pasal 71… - 102- Pasal 71 Cukup jelas. Pasal 72 Cukup jelas. Pasal 73 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 74 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Jumlah sanksi kewajiban membayar dihitung berdasarkan keterlambatan laporan. Huruf b Jumlah sanksi kewajiban membayar dihitung berdasarkan laporan yang tidak disampaikan. Dalam hal Bank dikenakan sanksi tidak menyampaikan laporan, tidak penyampaian laporan. Ayat (3) Termasuk dalam penyampaian laporan adalah data, informasi dan dokumen yang dipersyaratkan. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5)… lagi dikenakan sanksi keterlambatan - 103- Pasal 75 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 76 Cukup jelas. Pasal 77 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 78 Cukup jelas. Pasal 79 Cukup jelas. Pasal 80 Cukup jelas. Pasal 81 Cukup jelas. Pasal 82 Cukup jelas. Pasal 83 Cukup jelas. Pasal 84… - 104- Pasal 84 Cukup jelas. Pasal 85 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4037 DPNP - 105-
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 2/27/PBI/2000 </reg_id> <reg_title> BANK UMUM </reg_title> <set_date> 15 Desember 2000 </set_date> <effective_date> 15 Desember 2000 </effective_date> <replaced_reg> '32/33/KEP/DIR|SKDIR-BI/1999' </replaced_reg> <related_reg> '23/UU/1999', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg> <penalty_list> 'BAB XI' </penalty_list>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 14/25/PBI/2012 TENTANG PENERIMAAN DEVISA HASIL EKSPOR DAN PENARIKAN DEVISA UTANG LUAR NEGERI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa devisa hasil ekspor dan devisa utang luar negeri dapat menjadi sumber dana yang berkesinambungan bagi pembangunan ekonomi nasional; b. bahwa devisa hasil ekspor dan devisa utang luar negeri dapat memberikan kontribusi yang optimal secara nasional dalam hal penempatannya dilakukan melalui perbankan di Indonesia; c. bahwa devisa hasil ekspor dan devisa utang luar negeri juga bermanfaat untuk mendukung terciptanya pasar keuangan yang lebih sehat dan upaya menjaga kestabilan nilai rupiah; d. bahwa pemantauan penerimaan devisa hasil ekspor dan penarikan devisa utang luar negeri melalui perbankan di Indonesia perlu ditingkatkan efektivitasnya guna mendukung optimalisasi pemanfaatan devisa hasil ekspor dan devisa utang luar negeri; e. bahwa … - 2 - e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d, perlu untuk mengatur kembali Peraturan Bank Indonesia tentang Penerimaan Devisa Hasil Ekspor dan Penarikan Devisa Utang Luar Negeri; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3612) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4661); 2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962); 3. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa Dan Sistem Nilai Tukar (Lembaran … - 3 - (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3844); MEMUTUSKAN: Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PENERIMAAN DEVISA HASIL EKSPOR DAN PENARIKAN DEVISA UTANG LUAR NEGERI. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan: 1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, termasuk kantor cabang bank asing di Indonesia, dan Bank Umum Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. 2. Bank Devisa adalah Bank yang memperoleh surat penunjukan dari Bank Indonesia untuk dapat melakukan kegiatan usaha perbankan dalam valuta asing, termasuk kantor cabang bank asing di Indonesia, namun tidak termasuk kantor cabang luar negeri dari Bank yang berkantor pusat di Indonesia. 3. Penduduk adalah orang, badan hukum, atau badan lainnya yang berdomisili atau berencana berdomisili di Indonesia paling singkat 1 (satu) tahun, termasuk perwakilan dan staf diplomatik Republik Indonesia … - 4 - Indonesia di luar negeri sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. 4. Ekspor adalah kegiatan mengeluarkan barang dari daerah pabean sebagaimana diatur dalam ketentuan kepabeanan. 5. Eksportir adalah orang perseorangan, badan hukum, atau badan lainnya yang tidak berbadan hukum yang melakukan kegiatan mengeluarkan barang dari daerah pabean. 6. Perusahaan Jasa Titipan yang selanjutnya disingkat PJT adalah perusahaan yang menangani layanan kiriman secara ekspres atau peka waktu, memiliki izin penyelenggaraan jasa titipan dari instansi terkait, serta mendapatkan persetujuan untuk melaksanakan kegiatan kepabeanan dari Kepala Kantor Pelayanan Bea dan Cukai. 7. Pemberitahuan Ekspor Barang yang selanjutnya disingkat PEB adalah dokumen pabean yang digunakan untuk pemberitahuan pelaksanaan ekspor barang yang dapat berupa tulisan di atas formulir atau media elektronik sebagaimana diatur dalam ketentuan kepabeanan. 8. Devisa Hasil Ekspor yang selanjutnya disingkat DHE adalah devisa dari hasil kegiatan Ekspor. 9. Nilai PEB adalah nilai Ekspor free on board (FOB) yang tercantum pada PEB. 10. Hari adalah hari kalender. 11. Hari Kerja adalah hari kerja Bank Indonesia. 12. Utang Luar Negeri yang selanjutnya disingkat ULN adalah utang Penduduk kepada bukan Penduduk dalam valuta asing. 13. Debitur Utang Luar Negeri yang selanjutnya disebut Debitur ULN adalah perorangan, badan hukum bukan bank, dan badan lainnya, yang memiliki ULN. 14. Devisa … - 5 - 14. Devisa Utang Luar Negeri yang selanjutnya disingkat DULN adalah devisa yang diperoleh Debitur ULN dari penarikan Utang Luar Negeri. BAB II KEWAJIBAN PENERIMAAN DHE MELALUI BANK DEVISA Pasal 2 (1) Seluruh DHE wajib diterima melalui Bank Devisa. (2) Kewajiban penerimaan DHE melalui Bank Devisa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk: a. DHE milik pemerintah yang diterima melalui Bank Indonesia; atau b. DHE yang diterima secara tunai di dalam negeri sepanjang dibuktikan dengan penjelasan tertulis yang disertai dokumen pendukung yang memadai. Pasal 3 (1) Penerimaan DHE sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 2 ayat (2) huruf b wajib dilakukan paling lambat akhir bulan ketiga setelah bulan pendaftaran PEB. (2) Penerimaan DHE sebagaimana dimaksud pada ayat (1), yang berasal dari cara pembayaran usance L/C, konsinyasi, pembayaran kemudian, collection, yang jatuh temponya melebihi atau sama dengan 3 (tiga) bulan setelah bulan pendaftaran PEB, wajib dilakukan paling lama 14 (empat belas) Hari setelah tanggal jatuh tempo pembayaran yang bersangkutan. (3) Dalam … - 6 - (3) Dalam hal batas akhir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) jatuh pada hari libur, maka penerimaan DHE dapat dilakukan pada Hari Kerja berikutnya. Pasal 4 (1) Eksportir harus menyampaikan informasi yang tercantum pada PEB terkait DHE yang diterima kepada Bank Devisa. (2) Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh Bank Devisa kepada Bank Indonesia dalam laporan rincian transaksi Ekspor sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai kewajiban pelaporan lalu lintas devisa. (3) Untuk DHE yang diterima secara tunai di dalam negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf b, Eksportir harus menyampaikan penjelasan tertulis disertai dokumen pendukung yang memadai kepada Bank Indonesia. (4) Keharusan menyampaikan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan penjelasan tertulis disertai dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berlaku untuk PEB dengan nilai lebih besar dari USD10,000.00 (sepuluh ribu US Dollar) atau ekuivalennya. (5) Penyampaian informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lambat tanggal 5 bulan berikutnya setelah DHE diterima. (6) Penyampaian penjelasan tertulis disertai dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan paling lambat tanggal 5 bulan berikutnya setelah bulan pendaftaran PEB. (7) Dalam hal batas akhir penyampaian informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan penjelasan tertulis disertai dokumen pendukung … - 7 - pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (6) merupakan hari libur maka penyampaian informasi dan/atau penjelasan tertulis disertai dokumen pendukung dapat dilakukan pada Hari Kerja berikutnya. Pasal 5 (1) Eksportir yang akan menerima DHE dengan cara pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2), harus menyampaikan penjelasan tertulis disertai dengan dokumen pendukung kepada Bank Devisa untuk diteruskan kepada Bank Indonesia. (2) Penjelasan tertulis disertai dengan dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan paling lambat tanggal 5 bulan berikutnya setelah bulan pendaftaran PEB. (3) Dalam hal batas akhir penyampaian penjelasan tertulis disertai dengan dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan hari libur maka penyampaian penjelasan tertulis disertai dengan dokumen pendukung dapat dilakukan pada Hari Kerja berikutnya. Pasal 6 (1) DHE yang diterima sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 2 ayat (2) huruf b harus sesuai dengan Nilai PEB. (2) Dalam hal DHE lebih kecil dari Nilai PEB dengan selisih kurang paling banyak ekuivalen Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) maka DHE yang diterima dianggap sesuai dengan Nilai PEB dan Eksportir tidak perlu menyampaikan penjelasan tertulis dan dokumen pendukung. (3) Dalam … - 8 - (3) Dalam hal selisih kurang nilai DHE dengan Nilai PEB lebih besar dari ekuivalen Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) yang disebabkan oleh: a. selisih kurs, diskon/rabat, biaya administrasi, dan/atau biaya lainnya terkait perdagangan internasional, sehingga terdapat selisih kurang antara DHE dan Nilai PEB paling banyak 10% (sepuluh per seratus) dari nilai PEB; dan/atau b. maklon, jasa perbaikan, operational leasing atau financial leasing, perbedaan penilaian harga barang pada saat perjanjian ekspor dengan harga pada saat barang diterima, perbedaan komposisi barang, perbedaan kualitas barang, dan/atau perbedaan kuantitas barang, maka DHE yang diterima dianggap sesuai dengan Nilai PEB apabila Eksportir menyampaikan penjelasan tertulis disertai dokumen pendukung yang memadai. (4) Penjelasan tertulis disertai dengan dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan kepada Bank Devisa untuk diteruskan kepada Bank Indonesia paling lambat tanggal 5 bulan berikutnya setelah DHE diterima oleh Eksportir melalui Bank Devisa. (5) Untuk DHE yang diterima secara tunai di dalam negeri, penjelasan tertulis disertai dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan kepada Bank Indonesia paling lambat tanggal 5 bulan berikutnya setelah bulan pendaftaran PEB. (6) Dalam hal Eksportir tidak menyampaikan penjelasan tertulis disertai dengan dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (3) maka DHE yang diterima Eksportir dianggap tidak sesuai dengan PEB dan Eksportir dianggap tidak memenuhi kewajiban untuk … - 9 - untuk melakukan penerimaan seluruh DHE sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2. Pasal 7 Dalam hal terdapat perbedaan antara data PEB yang disampaikan Eksportir dengan data PEB yang diterima Bank Indonesia dari Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) maka Bank Indonesia dapat memutuskan data PEB yang akan dijadikan acuan pemenuhan ketentuan DHE. Pasal 8 (1) Penerimaan DHE yang lebih kecil dari nilai PEB yang disebabkan netting antara tagihan Ekspor dengan kewajiban Eksportir hanya diperbolehkan untuk netting dengan pembayaran impor barang terkait kegiatan Ekspor yang bersangkutan, sepanjang terdapat kesepakatan netting antara Eksportir yang bersangkutan dengan importir terkait (counterparty). (2) Penerimaan DHE yang berasal dari hasil netting sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dianggap sesuai dengan Nilai PEB apabila Eksportir menyampaikan penjelasan tertulis disertai dokumen pendukung yang memadai. Pasal 9 (1) Eksportir yang menerima DHE melalui Bank Devisa lebih kecil dari Nilai PEB, dengan selisih kurang lebih besar dari ekuivalen Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) yang disebabkan importir wanprestasi, pailit, atau mengalami keadaan memaksa (force majeure), harus menyampaikan penjelasan tertulis disertai dengan … - 10 - dengan dokumen pendukung yang memadai kepada Bank Devisa untuk diteruskan kepada Bank Indonesia. (2) Eksportir yang tidak menerima DHE, atau menerima DHE secara tunai lebih kecil dari Nilai PEB dengan selisih kurang lebih besar dari ekuivalen Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah), yang disebabkan importir wanprestasi, pailit, atau mengalami keadaan memaksa, harus menyampaikan penjelasan tertulis disertai dengan dokumen pendukung yang memadai kepada Bank Indonesia. (3) Penjelasan tertulis disertai dengan dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) disampaikan paling lambat akhir bulan ketiga setelah bulan pendaftaran PEB. (4) Penjelasan tertulis disertai dengan dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) untuk penerimaan DHE yang berasal dari cara pembayaran usance L/C, konsinyasi, pembayaran kemudian, dan/atau collection yang jatuh temponya melebihi atau sama dengan 3 (tiga) bulan setelah bulan pendaftaran PEB, disampaikan paling lama 14 (empat belas) Hari setelah tanggal jatuh tempo pembayaran. Pasal 10 (1) Dalam hal Ekspor dilakukan melalui PJT, kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), Pasal 2 ayat (2) huruf b, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, dan Pasal 9 menjadi tanggung jawab pemilik barang. (2) PJT harus menyampaikan informasi terkait PEB kepada pemilik barang. BAB III … - 11 - BAB III KEWAJIBAN PENARIKAN DULN MELALUI BANK DEVISA Pasal 11 (1) Setiap DULN wajib ditarik oleh Debitur ULN melalui Bank Devisa. (2) Kewajiban penarikan DULN oleh Debitur ULN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku bagi DULN yang berbentuk dana tunai yang berasal dari: a. ULN berdasarkan perjanjian kredit (loan agreement) dalam bentuk non revolving yang tidak digunakan untuk refinancing; b. selisih fasilitas refinancing dengan jumlah ULN lama; dan c. ULN berdasarkan surat utang (debt securities) dalam bentuk Bonds, Medium Term Notes (MTN), Floating Rate Notes (FRN), Promissory Notes (PN), dan Commercial Paper (CP). (3) Penarikan DULN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilaporkan kepada Bank Indonesia. Pasal 12 (1) Nilai akumulasi penarikan DULN harus sama dengan nilai komitmen. (2) Dalam hal nilai akumulasi penarikan DULN melalui Bank Devisa oleh Debitur ULN lebih kecil dari komitmen, Debitur ULN harus menyampaikan penjelasan tertulis kepada Bank Indonesia. BAB IV PENELITIAN KEBENARAN LAPORAN Pasal 13 (1) Bank Indonesia melakukan penelitian atas kepatuhan terhadap pemenuhan kewajiban penerimaan DHE sebagaimana dimaksud dalam … - 12 - dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 2 ayat (2) huruf b dan kepatuhan Debitur ULN terhadap pemenuhan kewajiban penarikan DULN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1). (2) Dalam melakukan penelitian kepatuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia dapat meminta bukti, catatan, dan dokumen pendukung, dengan atau tanpa melibatkan instansi terkait. BAB V PENGENAAN SANKSI Pasal 14 (1) Eksportir yang melakukan pelanggaran terhadap kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), Pasal 2 ayat (2) huruf b, dan/atau Pasal 3 dikenakan sanksi administratif berupa denda sebesar 0,5% (nol koma lima persen) dari nilai nominal DHE yang belum diterima dengan nominal paling banyak sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) untuk satu bulan pendaftaran PEB. (2) Dalam hal Ekspor dilakukan melalui PJT maka sanksi denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan pada pemilik barang. (3) Pengenaan sanksi denda dilakukan dalam mata uang rupiah dengan menggunakan kurs tengah Bank Indonesia pada tanggal pengenaan sanksi denda. (4) Dalam hal Eksportir tidak membayar sanksi denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dikenakan sanksi penangguhan atas pelayanan Ekspor sesuai dengan peraturan perundang-undangan mengenai kepabeanan dan peraturan perundang-undangan terkait yang berlaku. (5) Dalam … - 13 - (5) Dalam hal Ekspor dilakukan melalui PJT dimana pemilik barang tidak membayar sanksi denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sanksi penangguhan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dikenakan kepada pemilik barang. Pasal 15 Debitur ULN yang melakukan pelanggaran terhadap kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) dikenakan sanksi administratif berupa denda sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) pada setiap penarikan DULN. Pasal 16 (1) Pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) dan Pasal 15 tidak menggugurkan kewajiban penerimaan DHE sesuai ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan penarikan DULN melalui Bank Devisa sesuai ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11. (2) Eksportir yang tetap tidak memenuhi kewajiban penerimaan DHE sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan sanksi penangguhan atas pelayanan Ekspor sesuai dengan peraturan perundang-undangan mengenai kepabeanan dan peraturan perundang-undangan terkait yang berlaku. (3) Dalam hal Ekspor dilakukan melalui PJT, sanksi penangguhan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikenakan kepada pemilik barang. Pasal 17 … - 14 - Pasal 17 (1) Pembayaran sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 dan Pasal 15 disetorkan ke Bank Indonesia. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembayaran sanksi denda ke Bank Indonesia diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 18 Pembebasan sanksi penangguhan atas pelayanan Ekspor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (4) dan Pasal 16 ayat (2), dilakukan setelah Bank Indonesia menerima dan melakukan verifikasi atas bukti pembayaran sanksi denda dan bukti penerimaan DHE sesuai ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 2 ayat (2) huruf b. BAB VI PENYAMPAIAN INFORMASI DAN LAPORAN Pasal 19 (1) Untuk penerimaan DHE, prosedur penyampaian informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, serta penjelasan tertulis dan dokumen pendukung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, Pasal 6, Pasal 8, Pasal 9, dan Pasal 13 dilakukan sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai kewajiban pelaporan lalu lintas devisa. (2) Untuk penarikan DULN, prosedur penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, serta penjelasan tertulis dan dokumen pendukung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 dan … - 15 - dan Pasal 13 dilakukan sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai kewajiban pelaporan penarikan DULN. BAB VII KETENTUAN PERALIHAN Pasal 20 (1) Penerimaan DHE yang dilakukan tidak melalui Bank Devisa karena telah diperjanjikan pembayarannya melalui trustee yang berada di luar Indonesia, tidak wajib diterima melalui Bank Devisa sampai dengan tanggal 30 Juni 2013. (2) Penerimaan DHE sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilaporkan Eksportir kepada Bank Indonesia dilengkapi dengan penjelasan tertulis disertai dokumen pendukung. (3) Khusus bagi penerimaan DHE yang berasal dari PEB yang dikeluarkan tahun 2012, kewajiban penerimaan DHE melalui Bank Devisa berlaku 6 (enam) bulan setelah bulan pendaftaran PEB. (4) Penarikan DULN yang berasal dari perjanjian ULN yang ditandatangani sebelum tanggal 2 Januari 2012 tidak wajib dilakukan melalui Bank Devisa, kecuali untuk penarikan DULN yang berasal dari penambahan plafon ULN karena adanya perubahan perjanjian (amandemen) yang ditandatangani setelah tanggal 2 Januari 2012. BAB VIII … - 16 - BAB VIII KETENTUAN PENUTUP Pasal 21 Ketentuan lebih lanjut dari Peraturan Bank Indonesia ini diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 22 Pada saat Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku: a. ketentuan Pasal 12 Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/22/PBI/2011 tentang Kewajiban Pelaporan Penarikan Devisa Utang Luar Negeri (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 95, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5243); b. Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/20/PBI/2011 tentang Penerimaan Devisa Hasil Ekspor dan Penarikan Devisa Utang Luar Negeri (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5241); dan c. Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/11/PBI/2012 tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/20/PBI/2011 tentang Penerimaan Devisa Hasil Ekspor dan Penarikan Devisa Utang Luar Negeri (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 169, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5338), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 23 … - 17 - Pasal 23 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2013. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 27 Desember 2012 GUBERNUR BANK INDONESIA, DARMIN NASUTION Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 27 Desember 2012 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, AMIR SYAMSUDIN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2012 NOMOR 285 DSM/DInt - 18 - PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 14/25/PBI/2012 TENTANG PENERIMAAN DEVISA HASIL EKSPOR DAN PENARIKAN DEVISA UTANG LUAR NEGERI I. UMUM Pasokan valuta asing di pasar domestik saat ini sebagian besar berasal dari dana asing dalam bentuk investasi portofolio yang rentan terhadap risiko pembalikan (sudden capital reversal). Sementara itu pembangunan ekonomi nasional membutuhkan sumber dana yang memadai dan berkesinambungan. Salah satu sumber pasokan devisa yang relatif stabil dan berkesinambungan (sustainable) berasal dari DHE dan DULN yang juga penting untuk mendukung stabilitas nilai rupiah dan makroekonomi secara keseluruhan. Namun demikian, dalam pelaksanaannya tidak seluruh DHE dan DULN ditempatkan pada perbankan Indonesia atau masuk ke Indonesia. Oleh karena itu, diperlukan pengaturan yang dapat memastikan penerimaan DHE dan penarikan DULN dilakukan melalui perbankan Indonesia atau diterima secara tunai di dalam negeri. Pengaturan ini tetap berlandaskan pada sistem devisa bebas yang berlaku selama ini, dimana setiap penduduk dapat dengan bebas memiliki dan menggunakan devisa sebagaimana diatur dalam Undang-Undang … - 19 - Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar. Dalam rangka mendukung kebijakan penerimaan devisa hasil ekspor, Bank Indonesia, Kementerian Keuangan, dan Badan Pusat Statistik telah membuat Nota Kesepahaman Nomor tentang Pertukaran Data terkait Kegiatan Ekspor dan Impor. PER-2277/MK/2011 13/1/BI/DSM/NK 13/KS/10-VIII/2011 II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “wajib diterima melalui Bank Devisa” tidak termasuk kewajiban menyimpan dalam jangka waktu tertentu dan/atau mengonversi ke dalam rupiah. Contoh: PT. DN menerima DHE sebesar USD3 juta melalui Bank Devisa pada tanggal 5 Februari 2013. Dalam hal ini, PT. DN bebas menggunakan atau mentransfer seluruh DHE yang diterima melalui Bank Devisa tersebut tanpa harus dikonversikan terlebih dahulu ke dalam mata uang rupiah. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan “diterima secara tunai” adalah penerimaan DHE dalam bentuk pembayaran uang kartal (uang kertas dan/atau uang logam). DHE … - 20 - DHE dikategorikan sebagai DHE yang diterima secara tunai apabila menurut Bank Indonesia memenuhi aspek kewajaran untuk dilakukan pembayaran secara tunai antara lain dari aspek jumlah dan jenis transaksinya. Pasal 3 Ayat (1) Contoh 1: Untuk Ekspor dengan tanggal PEB 10 April 2013, penerimaan DHE melalui Bank Devisa paling lambat tanggal 31 Juli 2013. Contoh 2: Untuk Ekspor dengan tanggal PEB 30 Juni 2013, penerimaan DHE melalui Bank Devisa paling lambat tanggal 30 September 2013. Ayat (2) Contoh: PT. ZA melakukan Ekspor dengan Usance L/C yang jatuh tempo pembayarannya 180 (seratus delapan puluh) Hari setelah tanggal pengiriman barang/Bill of Lading (17 April 2013). Adapun tanggal PEB untuk Ekspor tersebut 15 April 2013. Berdasarkan contoh di atas, dapat diketahui bahwa jatuh tempo pembayaran Ekspor melebihi 3 (tiga) bulan setelah pendaftaran PEB, yaitu terhitung dari bulan Mei sampai dengan akhir bulan Juli 2013, sehingga penerimaan DHE melalui Bank Devisa wajib dilakukan paling lama 14 (empat belas) Hari setelah tanggal jatuh tempo pembayaran Ekspor tersebut. Dengan demikian, penerimaan DHE melalui … - 21 - melalui Bank Devisa paling lambat tanggal 28 Oktober 2013, yaitu 14 Hari setelah tanggal 14 Oktober 2013 (180 (seratus delapan puluh) Hari setelah tanggal pengiriman barang). Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 4 Ayat (1) Informasi yang disampaikan paling kurang meliputi tanggal PEB, sandi kantor pelayanan Bea Cukai, nomor pendaftaran PEB, dan NPWP Eksportir. Dalam hal DHE diterima oleh pihak lain selain Eksportir maka informasi dimaksud dapat disampaikan oleh pihak yang menerima DHE tersebut. Dalam hal ini, nama dan NPWP yang disampaikan adalah nama dan NPWP penerima DHE. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Dokumen pendukung dinilai memadai apabila menurut Bank Indonesia dokumen yang bersangkutan dapat membuktikan terjadinya penerimaan DHE secara tunai di dalam negeri. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) … - 22 - Ayat (7) Cukup jelas. Pasal 5 Ayat (1) Dokumen pendukung meliputi antara lain fotokopi dokumen PEB, usance L/C, surat keterangan tentang penangguhan pembayaran dari importir. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 6 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan “maklon” adalah pemberian jasa dalam rangka proses penyelesaian suatu barang tertentu yang proses pengerjaannya dilakukan oleh pihak pemberi jasa (disubkontrakkan), dan pengguna jasa menetapkan spesifikasi, serta menyediakan bahan baku dan/atau barang setengah jadi dan/atau bahan penolong/pembantu yang akan diproses sebagian atau seluruhnya, dengan kepemilikan atas barang jadi berada pada pengguna jasa. Penjelasan … - 23 - Penjelasan atas perbedaan antara DHE dan Nilai PEB dan jenis dokumen pendukung mengacu kepada ketentuan yang mengatur mengenai pelaporan lalu lintas devisa. Dokumen pendukung dinilai memadai apabila menurut Bank Indonesia dokumen yang bersangkutan dapat membuktikan terjadinya selisih kurang antara DHE dan Nilai PEB. Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Dokumen pendukung meliputi antara lain fotokopi kuitansi pembayaran terkait penerimaan DHE secara tunai di dalam negeri. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 7 Bank Indonesia menginformasikan perbedaan antara data PEB dimaksud kepada DJBC. Pasal 8 Ayat (1) Contoh penerimaan DHE yang berasal dari hasil netting antara tagihan Ekspor dengan kewajiban impor barang terkait kegiatan Ekspor: Pada bulan Maret 2013, PT. SY mencatat kewajiban terhadap perusahaan MQ di Malaysia berupa (1) pinjaman sebesar USD700,000.00 (tujuh ratus ribu US Dollar); (2) impor bahan baku untuk keperluan ekspor sebesar USD1,000,000.00 (satu juta US Dollar). Pada bulan yang sama PT. SY mencatat tagihan Ekspor kepada perusahaan tersebut … - 24 - tersebut sebesar USD1,250,000.00 (satu juta dua ratus lima puluh ribu US Dollar). Semua kewajiban dan tagihan di atas jatuh tempo pada bulan Mei 2013 dan kedua perusahaan telah menyepakati penyelesaiannya dilakukan secara netting, dimana hanya selisih dari kewajiban dan tagihan tersebut yang akan dibayarkan. Nilai kewajiban yang boleh di-netting-kan dengan tagihan Ekspor adalah sebesar USD1,000,000.00 (satu juta US Dollar) dan PT. SY wajib menerima sisa tagihan Ekspor sebesar USD250,000.00 (dua ratus lima puluh ribu US Dollar) melalui Bank Devisa. Ayat (2) Dokumen pendukung antara lain berupa kesepakatan penyelesaian tagihan Ekspor dengan kewajiban impor barang, fotokopi Pemberitahuan Impor Barang (PIB), dan invoice. Dokumen pendukung dinilai memadai apabila menurut Bank Indonesia dokumen yang bersangkutan dapat membuktikan adanya netting yang diperbolehkan. Pasal 9 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “keadaan memaksa (force majeure)” adalah keadaan yang menyebabkan Eksportir menerima DHE kurang dari nilai PEB atau tidak menerima DHE, yang disebabkan karena kebakaran, kerusuhan massa, terorisme, bom, perang, sabotase, pemogokan buruh, kegagalan sistem yang digunakan dalam bertransaksi serta bencana alam seperti gempa bumi, banjir, yang dibenarkan oleh … - 25 - oleh penguasa atau pejabat dari instansi terkait di daerah setempat. Dokumen pendukung dinilai memadai apabila menurut Bank Indonesia dokumen yang bersangkutan dapat membuktikan kondisi importir wanprestasi, pailit, atau keadaan memaksa. Ayat (2) Dokumen pendukung dinilai memadai apabila menurut Bank Indonesia dokumen yang bersangkutan dapat membuktikan kondisi importir wanprestasi, pailit, atau keadaan memaksa. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 10 Ayat (1) Dalam hal DHE diterima oleh pihak lain selain pemilik barang maka penyampaian informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dapat disampaikan oleh pihak yang menerima DHE. Ayat (2) Informasi yang disampaikan PJT mencakup antara lain sandi kantor pabean, nomor pendaftaran PEB, tanggal PEB, dan Nilai PEB. Pasal 11 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) … - 26 - Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud dengan ”perjanjian kredit (loan agreement) dalam bentuk non revolving” adalah perjanjian pinjaman yang tidak memperbolehkan akumulasi realisasi penarikan ULN melebihi komitmen. Huruf b Contoh 1: PT. SN memperoleh ULN sebesar USD20,000,000.00 (dua puluh juta US Dollar) dari kreditur XY di Singapura untuk refinancing ULN sebelumnya dengan jumlah outstanding yang sama yaitu sebesar USD20,000,000.00 (dua puluh juta US Dollar) yang diterima dari kreditur Bank AB di Singapura. Pertimbangan PT. SN melakukan refinancing tersebut karena adanya tawaran suku bunga yang lebih rendah dan term & condition yang lebih longgar. Berhubung refinancing tersebut tidak ada kelebihan aliran dana valuta asing maka tidak dikenakan kewajiban menarik DULN melalui Bank Devisa. Contoh 2: PT. EW memperoleh ULN sebesar USD30,000,000.00 (tiga puluh juta US Dollar) dari kreditur Bank DE di Singapura. ULN tersebut dipergunakan untuk refinancing outstanding ULN sebelumnya yang tercatat sebesar USD20,000,000.00 (dua puluh juta US Dollar) yang diterima dari kreditur Bank GH di Singapura dan selisihnya USD10,000,000.00 (sepuluh … - 27 - (sepuluh juta US Dollar) dipergunakan untuk tambahan modal kerja. Penarikan DULN sebesar USD10,000,000.00 (sepuluh juta US Dollar) wajib dilakukan melalui Bank Devisa. Huruf c Yang dimaksud dengan “surat utang (debt securities)” adalah surat pengakuan utang yang dapat diperdagangkan di pasar uang atau pasar modal di dalam maupun di luar negeri. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 12 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Nilai akumulasi penarikan DULN dihitung sampai dengan penarikan terakhir DULN. Contoh: PT. AT memperoleh ULN dalam bentuk loan agreement dari kreditur KL di Singapura sebesar USD100,000,000.00 (seratus juta US Dollar). Diperjanjikan bahwa penarikan dilakukan sebanyak 10 (sepuluh) kali selama masa berlakunya loan agreement. Sampai dengan penarikan yang terakhir atau ke 10 ternyata jumlah yang ditarik tercatat sebesar USD80,000,000.00 (delapan puluh juta US Dollar). Dengan demikian terdapat selisih sebesar USD20,000,000.00 (dua puluh juta US Dollar) antara nilai total akumulasi penarikan dengan nilai komitmen yang diberikan oleh kreditur. Atas perbedaan antara nilai total akumulasi … - 28 - akumulasi penarikan dengan nilai komitmen tersebut maka debitur harus menyampaikan penjelasan secara tertulis kepada Bank Indonesia. Pasal 13 Cukup jelas. Pasal 14 Ayat (1) Yang dimaksud dengan ”nilai nominal DHE yang belum diterima” adalah Nilai PEB dikurangi dengan nilai DHE yang telah diterima. Contoh 1: Perusahan SY melakukan Ekspor dengan total Nilai PEB bulan Juni 2013 sebesar USD500,000.00 (lima ratus ribu US Dollar). DHE yang diterima dari Ekspor tersebut melalui Bank Devisa sebesar USD100,000.00 (seratus ribu US Dollar). Sisanya sebesar USD400,000.00 (empat ratus ribu US Dollar) tidak diterima melalui Bank Devisa sampai dengan batas waktu yang ditentukan, yaitu akhir bulan September 2013 (akhir bulan ketiga setelah bulan pendaftaran PEB) dan Perusahan SY tidak dapat memberikan dokumen pendukung yang memadai. Berdasarkan contoh di atas dan dengan kurs Rp9.700/USD, Eksportir dikenakan denda sebesar 0,5% X USD400,000.00 X Rp9.700/USD = Rp19.400.000,00 (sembilan belas juta empat ratus ribu rupiah) untuk PEB bulan Juni 2013. Contoh 2: … - 29 - Contoh 2: Perusahaan AW melakukan Ekspor pada bulan April 2013 dan menerima DHE-nya melalui Bank Devisa dengan rincian PEB dan penerimaan DHE sebagai berikut: Nomor PEB Tanggal PEB Nilai PEB - FOB (USD) 000012 3 April 2013 500,000.00 000013 9 April 2013 600,000.00 000014 30 April 2013 2,000,000.00 3,100,000.00 Total Nilai DHE yang Diterima (USD) 400,000.00 100,000.00 100,000.00 600,000.00 Selisih Kurang (USD) 100,000.00 500,000.00 1,900,000.00 2,500,000.00 Sampai dengan akhir Juli 2013 (akhir bulan ketiga setelah bulan pendaftaran PEB) masih terdapat selisih kurang antara nilai PEB dan Nilai DHE yang telah diterima oleh Perusahaan AW untuk ketiga PEB dan perusahaan AW tidak dapat memberikan dokumen pendukung yang memadai. Dengan kurs yang sama pada contoh 1, perusahaan AW akan dikenakan sanksi denda untuk PEB bulan April 2013 dengan perhitungan sebagai berikut: - untuk Nomor PEB 000012 sebesar 0.5% X USD100,000.00 X Rp9.700 = Rp4.850.000,00; - untuk Nomor PEB 000013 sebesar 0.5% X USD500,000.00 X Rp9.700 = Rp24.250.000,00; - untuk Nomor PEB 000014 sebesar 0.5% X USD1,900,000.00 X Rp9.700 = Rp92.150.000,00. Mengingat perhitungan denda perusahaan AW untuk 1 (satu) bulan pendaftaran PEB sebesar Rp121.250.000,00 (seratus dua puluh satu juta dua ratus lima puluh ribu rupiah) melebihi nilai denda maksimal maka perusahaan AW … - 30 - AW dikenakan denda maksimal sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) untuk PEB bulan April 2013. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan ”kurs tengah Bank Indonesia” adalah kurs transaksi Bank Indonesia yang dihitung dengan cara kurs jual transaksi ditambah kurs beli transaksi, dibagi 2 (dua). Yang dimaksud dengan “tanggal pengenaan sanksi” adalah tanggal diterbitkannya surat pemberitahuan secara tertulis dari Bank Indonesia. Ayat (4) Pengenaan sanksi penangguhan atas pelayanan Ekspor dilakukan oleh otoritas yang berwenang di bidang kepabeanan atas dasar permintaan Bank Indonesia. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 15 Cukup jelas. Pasal 16 Cukup jelas. Pasal 17 Cukup jelas. Pasal 18 Pembebasan sanksi penangguhan atas pelayanan Ekspor dilakukan oleh otoritas yang berwenang di bidang kepabeanan atas dasar permintaan Bank Indonesia. Bukti … - 31 - Bukti pembayaran sanksi denda atau bukti penerimaan DHE antara lain berupa fotokopi bukti transfer pembayaran sanksi denda ke Bank Indonesia dan/atau fotokopi SWIFT message yang disahkan oleh Bank Devisa penerima. Penyampaian bukti pembayaran sanksi administratif/ penerimaan DHE ditujukan kepada: Bank Indonesia Departemen Statistik Ekonomi dan Moneter Menara Sjafruddin Prawiranegara Lt. 16 Jl. M.H. Thamrin No. 2 Jakarta Pusat 10350 Pasal 19 Cukup jelas. Pasal 20 Ayat (1) Contoh penerimaan DHE yang dilakukan tidak melalui Bank Devisa karena telah diperjanjikan pembayarannya melalui trustee yang berada di luar Indonesia: Pada bulan Januari 2009, perusahaan FZ memperoleh pinjaman sindikasi selama 5 (lima) tahun dari beberapa kreditur di luar negeri sebesar USD500,000,000.00 (lima ratus juta US Dollar) dengan ketentuan sebagai berikut: a. Pembayaran pokok dan bunga sebesar USD8,540,000.00 (delapan juta lima ratus empat puluh ribu US Dollar) dilakukan setiap akhir bulan mulai Juli 2009. b. Penerimaan hasil Ekspor setiap bulan wajib ditempatkan pada suatu rekening di Bank HK di Hongkong yang berfungsi sebagai trustee. c. Bank … - 32 - c. Bank HK mendebet rekening tersebut setiap akhir bulan sebesar USD8,540,000.00 (delapan juta lima ratus empat puluh ribu US Dollar) untuk pembayaran pokok dan bunga kepada kreditur. Mekanisme penerimaan DHE dikaitkan dengan pembayaran kewajiban perusahaan sebagaimana contoh di atas hanya diperbolehkan sampai dengan tanggal 30 Juni 2013. Dengan demikian, penerimaan DHE perusahaan tersebut mulai bulan Juli 2013 wajib dilakukan melalui Bank Devisa. Adapun pembayaran pokok dan bunga pinjaman dilakukan setelah seluruh DHE diterima melalui Bank Devisa. Ayat (2) Dokumen pendukung meliputi antara lain fotokopi kontrak perjanjian terkait dengan penerimaan DHE yang dilakukan tidak melalui Bank Devisa karena telah diperjanjikan pembayarannya melalui trustee yang berada di luar Indonesia. Penyampaian penjelasan tertulis dan dokumen pendukung ditujukan kepada: Bank Indonesia Departemen Statistik Ekonomi dan Moneter Menara Sjafruddin Prawiranegara Lt. 16 Jl. M.H. Thamrin No. 2 Jakarta Pusat 10350 Ayat (3) … - 33 - Ayat (3) Contoh 1: Untuk Ekspor dengan tanggal PEB 2 Januari 2012, penerimaan DHE melalui Bank Devisa paling lambat tanggal 31 Juli 2012. Contoh 2: Untuk Ekspor dengan tanggal PEB 31 Desember 2012, penerimaan DHE melalui Bank Devisa paling lambat tanggal 30 Juni 2013. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal Pasal Pasal 21 Cukup jelas. 22 Cukup jelas. 23 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5383
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 14/25/PBI/2012 </reg_id> <reg_title> PENERIMAAN DEVISA HASIL EKSPOR DAN PENARIKAN DEVISA UTANG LUAR NEGERI </reg_title> <set_date> 27 Desember 2012 </set_date> <effective_date> 1 Januari 2013 </effective_date> <issued_date> 27 Desember 2012 </issued_date> <replaced_reg> '13/22/PBI/2011 | Pasal 12', '13/20/PBI/2011', '14/11/PBI/2012' </replaced_reg> <related_reg> '10/UU/1995', '17/UU/2006', '23/UU/1999', '6/UU/2009', '2/PERPPU/2008', '24/UU/1999' </related_reg> <penalty_list> 'BAB V' </penalty_list>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 13/ 24 /PBI/2011 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 10/36/PBI/2008 TENTANG OPERASI MONETER SYARIAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka meningkatkan efektifitas pelaksanaan pengendalian moneter dan pemenuhan prinsip-prinsip syariah dalam pelaksanaan transaksi khususnya transaksi yang memiliki second leg, diperlukan penyesuaian ketentuan pengenaan sanksi transaksi operasi moneter syariah yang dinyatakan batal; b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu melakukan perubahan kedua atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/36/PBI/2008 tentang Operasi Moneter Syariah; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang- Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor … - 2 - Nomor 2 tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962); 2. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4852); 3. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867); MEMUTUSKAN : Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 10/36/PBI/2008 TENTANG OPERASI MONETER SYARIAH. Pasal I Ketentuan Pasal 18 diubah sehingga Pasal 18 berbunyi sebagai berikut : Pasal 18 (1) Dalam hal transaksi OMS dinyatakan batal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2), peserta OMS dikenakan sanksi berupa : a. teguran tertulis; dan b. kewajiban membayar sebesar 0,01% (satu per sepuluh ribu) dari nilai transaksi OMS yang dinyatakan batal, paling sedikit sebesar Rp10.000.000,00 … - 3 - Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah). (2) Dengan tidak mengurangi sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dalam hal peserta OMS melakukan transaksi OMS yang dinyatakan batal sebanyak 3 (tiga) kali dalam kurun waktu 6 (enam) bulan, peserta OMS dikenakan sanksi berupa penghentian sementara untuk mengikuti kegiatan OMS selama 5 (lima) hari kerja berturut- turut. (3) Dalam hal terjadi pembatalan transaksi pada saat second leg transaksi repo sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) dan dalam hal harga surat berharga pada transaksi second leg lebih rendah dari harga surat berharga pada transaksi first leg, selain dikenakan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), peserta OMS dikenakan sanksi tambahan berupa kewajiban membayar sebesar selisih antara harga pada transaksi first leg dan harga pada transaksi second leg setelah dikalikan dengan nominal surat berharga yang di- repo-kan. (4) Dalam hal terjadi pembatalan transaksi pada saat second leg transaksi reverse repo sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) dan dalam hal harga pasar SBSN pada transaksi second leg lebih tinggi dari harga pada transaksi first leg, selain dikenakan sanksi sebagaimana dimaksud pada angka 1, peserta OMS dikenakan sanksi tambahan berupa kewajiban membayar sebesar selisih harga pada transaksi second leg dan harga pada transaksi first leg, setelah dikalikan dengan nominal SBSN yang di-reverse repo-kan. Pasal II Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Agar … - 4 - Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 1 Desember 2011 GUBERNUR BANK INDONESIA, DARMIN NASUTION Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 1 Desember 2011 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, AMIR SYAMSUDDIN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2011 NOMOR 119 DPM
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 13/24/PBI/2011 </reg_id> <reg_title> PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 10/36/PBI/2008 TENTANG OPERASI MONETER SYARIAH </reg_title> <set_date> 1 Desember 2011 </set_date> <effective_date> 1 Desember 2011 </effective_date> <issued_date> 1 Desember 2011 </issued_date> <changed_reg> '10/36/PBI/2008' </changed_reg> <related_reg> '21/UU/2008', '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '19/UU/2008' </related_reg> <penalty_list> 'Pasal I Pasal 18' </penalty_list>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 7/51/PBI/2005 TENTANG LAPORAN BULANAN BANK PERKREDITAN RAKYAT GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka penyusunan laporan dan informasi untuk keperluan pemantauan bank, diperlukan informasi mengenai kondisi keuangan dan kegiatan usaha bank secara individual yang tepat waktu, akurat dan benar; b. bahwa dalam rangka memperoleh informasi kondisi keuangan dan kegiatan usaha Bank Perkreditan Rakyat secara tepat waktu, akurat dan benar maka bentuk dan tatacara penyampaian laporan bulanan Bank Perkreditan Rakyat yang berlaku dewasa ini perlu disempurnakan menjadi secara on- line agar mampu mendukung efektivitas dan efisiensi pelaporan; c. bahwa berhubung dengan itu, dipandang perlu untuk menyempurnakan ketentuan tentang pedoman penyampaian laporan bulanan Bank Perkreditan Rakyat dalam Peraturan Bank Indonesia; Mengingat ... -2- Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); 2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 3 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357); MEMUTUSKAN : Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG LAPORAN BULANAN BANK PERKREDITAN RAKYAT. BAB I … -3- BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan: 1. Bank Perkreditan Rakyat, selanjutnya disebut BPR, adalah Bank Perkreditan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 4 Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional. 2. BPR Pelapor adalah kantor pusat dan kantor cabang BPR yang menyampaikan Laporan Bulanan untuk masing-masing kantor. 3. Laporan Bulanan BPR, selanjutnya disebut Laporan Bulanan, adalah laporan keuangan yang disusun oleh BPR Pelapor untuk kepentingan Bank Indonesia, yang disajikan menurut sistematika yang ditentukan oleh Bank Indonesia dalam format dan definisi yang seragam serta dilaporkan dengan menggunakan sandi dan angka. 4. Penyampaian Laporan Bulanan melalui Jaringan On-Line adalah penyampaian laporan dengan mengirim atau mentransfer rekaman data secara langsung kepada Kantor Pusat Bank Indonesia melalui fasilitas ekstranet Bank Indonesia atau sarana teknologi lainnya. 5. Penyampaian … -4- 5. Penyampaian Laporan Bulanan secara Off-Line adalah penyampaian laporan dengan menyampaikan rekaman data dalam bentuk disket atau cd-rom disertai hasil validasi kepada Kantor Bank Indonesia setempat. 6. Keadaan Memaksa (force majeure) adalah keadaan yang secara nyata menyebabkan BPR Pelapor tidak dapat menyusun dan/atau menyampaikan Laporan Bulanan dan/atau koreksi Laporan Bulanan, antara lain kebakaran, kerusuhan massa, perang, sabotase, serta bencana alam seperti gempa bumi dan banjir, yang dibenarkan oleh pejabat instansi yang berwenang dari daerah setempat. Pasal 2 (1) BPR Pelapor wajib menyusun dan menyampaikan Laporan Bulanan kepada Bank Indonesia secara on-line setiap bulan secara benar, lengkap, dan tepat waktu. (2) Laporan Bulanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup seluruh aspek keuangan yaitu : a. neraca, b. rekening administratif, c. daftar rincian dari pos-pos tertentu neraca. (3) Laporan Bulanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mengikuti pedoman penyusunan Laporan Bulanan yang diatur oleh Bank Indonesia. (4) BPR … -5- (4) BPR Pelapor bertanggungjawab atas kebenaran dan kelengkapan isi Laporan Bulanan serta ketepatan waktu penyampaian Laporan Bulanan kepada Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (5) Dalam hal terdapat kekeliruan dan/atau kesalahan atas Laporan Bulanan yang telah disampaikan, BPR Pelapor wajib menyampaikan koreksi atas Laporan Bulanan dimaksud secara on-line dengan memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4 ). Pasal 3 (1) Kewajiban penyampaian Laporan Bulanan dan/atau koreksi Laporan Bulanan secara on-line sebagaimana dimaksud pada Pasal 2 ayat (1) dan (5) dikecualikan dalam hal: a. BPR Pelapor berkedudukan di daerah yang belum tersedia fasilitas komunikasi, sehingga Laporan Bulanan dan/atau koreksi Laporan Bulanan secara on-line, b. BPR Pelapor baru beroperasi dengan batas waktu paling lama 2 (dua) bulan setelah melakukan kegiatan operasional, c. BPR Pelapor mengalami gangguan teknis, atau d. Terjadi kerusakan dan/atau gangguan pada database atau jaringan komunikasi di Bank Indonesia. (2) BPR … tidak memungkinkan untuk menyampaikan -6- (2) BPR Pelapor memperoleh pengecualian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b dan huruf c setelah menyampaikan pemberitahuan tertulis terlebih dahulu kepada Bank Indonesia dengan mengemukakan alasannya. Pasal 4 BPR Pelapor wajib memiliki sistem dan prosedur konversi yang dituangkan dalam pedoman tertulis. Pasal 5 (1) BPR Pelapor wajib menunjuk petugas dan penanggungjawab untuk menyusun dan menyampaikan Laporan Bulanan dan/atau koreksi Laporan Bulanan serta menyampaikan nama petugas dan penanggungjawab dimaksud kepada Bank Indonesia. (2) Nama petugas dan penanggungjawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk pertama kali disampaikan paling lambat tanggal 31 Januari 2006. (3) BPR Pelapor wajib melaporkan setiap perubahan nama petugas dan/atau penanggungjawab kepada Bank Indonesia selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari sebelum perubahan. BAB II … -7- BAB II PERIODE PENYAMPAIAN LAPORAN BULANAN DAN KOREKSI LAPORAN BULANAN Pasal 6 (1) BPR Pelapor wajib menyampaikan Laporan Bulanan paling lambat tanggal 14 (empat belas) pada bulan berikutnya setelah berakhirnya bulan laporan yang bersangkutan. (2) Dalam hal tanggal 14 (empat belas) jatuh pada hari libur atau hari Sabtu maka BPR Pelapor yang menyampaikan Laporan Bulanan secara off-line wajib menyampaikan Laporan Bulanan pada hari kerja sebelumnya. (3) BPR Pelapor dinyatakan telah menyampaikan Laporan Bulanan pada tanggal diterimanya Laporan Bulanan oleh Bank Indonesia. Pasal 7 (1) BPR Pelapor wajib menyampaikan koreksi atas kesalahan Laporan Bulanan sebagaimana dimaksud pada Pasal 2 ayat (5) paling lambat tanggal 20 (dua puluh) pada bulan berikutnya setelah berakhirnya bulan laporan yang bersangkutan. (2) Dalam … -8- (2) Dalam hal tanggal 20 (dua puluh) jatuh pada hari libur atau hari Sabtu maka BPR Pelapor yang menyampaikan koreksi Laporan Bulanan secara off-line wajib menyampaikan koreksi Laporan Bulanan pada hari kerja sebelumnya. (3) BPR Pelapor dinyatakan telah menyampaikan koreksi Laporan Bulanan pada tanggal diterimanya koreksi Laporan Bulanan oleh Bank Indonesia. Pasal 8 (1) BPR Pelapor dinyatakan terlambat menyampaikan Laporan Bulanan apabila belum menyampaikan Laporan Bulanan sampai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) atau ayat (2). dengan batas waktu (2) BPR Pelapor dinyatakan terlambat menyampaikan koreksi Laporan Bulanan apabila belum menyampaikan koreksi Laporan Bulanan sampai dengan batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) atau ayat (2). (3) BPR Pelapor dinyatakan tidak menyampaikan Laporan Bulanan dan/atau koreksi Laporan Bulanan apabila belum menyampaikan Laporan Bulanan dan/atau koreksi Laporan Bulanan sampai dengan akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya bulan laporan yang bersangkutan. (4) BPR Pelapor yang dinyatakan tidak menyampaikan Laporan Bulanan dan/atau koreksi Laporan Bulanan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), tetap wajib menyampaikan Laporan Bulanan dan/atau koreksi Laporan Bulanan. Pasal 9 … -9- Pasal 9 (1) Dalam hal berdasarkan penelitian dan/atau pemeriksaan Bank Indonesia atas Laporan Bulanan yang telah disampaikan oleh BPR Pelapor ditemukan adanya kesalahan maka BPR Pelapor wajib menyampaikan koreksi Laporan Bulanan berdasarkan hasil penelitian dan/atau hasil pemeriksaan dimaksud, untuk posisi sejak ditemukannya kesalahan. (2) Koreksi Laporan Bulanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan paling lambat 14 (empat belas) hari sejak tanggal pemberitahuan oleh Bank Indonesia atau sejak tanggal pertemuan akhir antara pengurus BPR dengan Bank Indonesia untuk membahas hasil pemeriksaan (exit meeting). (3) BPR Pelapor wajib menggunakan hasil penelitian dan/atau hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk menyusun Laporan Bulanan. BAB III PEDOMAN PENCATATAN Pasal 10 BPR wajib melakukan pencatatan atas kegiatan usaha berdasarkan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan yang relevan bagi bank dan Pedoman Akuntansi Perbankan Indonesia. BAB IV … -10- BAB IV KEADAAN MEMAKSA (FORCE MAJEURE) Pasal 11 (1) BPR Pelapor yang mengalami Keadaan Memaksa (force majeure) selama satu atau lebih periode penyampaian Laporan Bulanan dan/atau koreksi Laporan Bulanan dikecualikan dari kewajiban menyampaikan Laporan Bulanan dan/atau koreksi Laporan Bulanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (5) dan Pasal 3. (2) BPR Pelapor yang mengalami Keadaan Memaksa (force majeure) kurang dari satu periode penyampaian Laporan Bulanan dan/atau koreksi Laporan Bulanan dikecualikan dari kewajiban menyampaikan Laporan Bulanan dan/atau koreksi Laporan Bulanan dalam batas waktu dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) dan Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2). (3) BPR Pelapor yang mengalami Keadaan Memaksa (force majeure), menyampaikan pemberitahuan secara tertulis kepada Bank Indonesia, dengan disertai penjelasan mengenai Keadaan Memaksa yang dialami. (4) BPR Pelapor wajib menyampaikan Laporan Bulanan dan/atau koreksi Laporan Bulanan setelah kembali melakukan kegiatan operasional secara normal. sebagaimana BAB V … -11- BAB V SANKSI Pasal 12 (1) BPR Pelapor yang tidak menyampaikan Laporan Bulanan dan/atau koreksi Laporan Bulanan secara on-line tanpa memenuhi kondisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah) untuk setiap penyampaian Laporan Bulanan dan/atau koreksi Laporan Bulanan. (2) BPR Pelapor yang dinyatakan terlambat menyampaikan Laporan Bulanan dan/atau koreksi Laporan Bulanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) dan ayat (2) dan Pasal 9 ayat (2) dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp50.000,00 (lima puluh ribu rupiah) per hari keterlambatan. (3) BPR Pelapor yang dinyatakan tidak menyampaikan Laporan Bulanan dan/atau koreksi Laporan Bulanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah). (4) Terhadap setiap kesalahan Laporan Bulanan yang ditemukan berdasarkan penelitian dan/atau pemeriksaan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud Pasal 9 ayat (1), dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp10.000,00 (sepuluh ribu rupiah) Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah). Pasal 13 … per item kesalahan atau paling banyak sebesar -12- Pasal 13 Pemenuhan sanksi kewajiban membayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, dilakukan dengan cara transfer atau tunai kepada Bank Indonesia. Pasal 14 BPR Pelapor yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (5 ), Pasal 4, Pasal 5, Pasal 8 ayat (4), Pasal 9 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 10, Pasal 11 ayat (4) dan Pasal 18 dikenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 10 Tahun 1998, berupa teguran tertulis dan/atau penurunan tingkat kesehatan. Pasal 15 BPR Pelapor yang: a. tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2) dan Pasal 9 ayat (2), b. tidak menyampaikan Laporan Bulanan dan/atau koreksi Laporan Bulanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3), dan/atau c. melakukan kesalahan dalam Laporan Bulanan berdasarkan penelitian dan/atau pemeriksaan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1), selain … -13- selain dikenakan sanksi kewajiban membayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 dikenakan pula sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, berupa teguran tertulis dan/atau penurunan tingkat kesehatan. Pasal 16 Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 dan/atau rekayasa transaksi yang tidak wajar sehingga menyebabkan terpenuhinya kondisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, berlaku ketentuan sanksi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (1) dan Pasal 50 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998. Pasal 17 Pengenaan sanksi kewajiban membayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2) dan ayat (4) dikecualikan terhadap hasil audit tahunan yang dilakukan oleh akuntan publik. BAB VI … -14- BAB VI LAIN-LAIN Pasal 18 Dalam hal BPR dibubarkan karena merger atau konsolidasi dengan BPR lain sehingga tidak lagi menjadi BPR Pelapor, BPR tetap wajib menyampaikan Laporan Bulanan untuk data akhir bulan laporan sebelum berlakunya izin merger atau konsolidasi, sesuai ketentuan yang berlaku. Pasal 19 Laporan Bulanan untuk data bulan Maret, April dan Mei 2006 disampaikan secara on-line disertai dengan rekaman data dalam bentuk disket atau cd-rom beserta hasil cetakan yang ditandatangani oleh pejabat yang berwenang. Pasal 20 Ketentuan lebih lanjut tentang pelaksanaan Laporan Bulanan BPR diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. BAB VII … -15- BAB VII KETENTUAN PENUTUP Pasal 21 Kewajiban penyampaian Laporan Bulanan dan/atau koreksi Laporan Bulanan sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia ini berlaku sejak pelaporan data bulan Maret 2006. Pasal 22 Ketentuan sanksi sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Bank Indonesia ini berlaku sejak pelaporan data bulan Juni 2006. Pasal 23 Dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini maka Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 28/58/KEP/DIR dan Surat Edaran Bank Indonesia No. 28/02/UPPB masing-masing tanggal 29 Agustus 1995 tentang Pedoman Penyusunan Laporan Bulanan Bank Perkreditan Rakyat serta Surat Edaran Bank Indonesia No. 29/01/UPPB tanggal 19 April 1996 perihal Komputerisasi Laporan Bulanan Bank Perkreditan Rakyat, dinyatakan tidak berlaku terhitung sejak pelaporan data bulan Maret 2006. Pasal 24 … -16- Pasal 24 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Ditetapkan di: Jakarta Pada tanggal : 14 Desember 2005 GUBERNUR BANK INDONESIA, BURHANUDDIN ABDULLAH LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2005 NOMOR 145 DPBPR PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 7/51/PBI/2005 TENTANG LAPORAN BULANAN BANK PERKREDITAN RAKYAT UMUM Dalam Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 ditetapkan bahwa Bank Perkreditan Rakyat yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional wajib menyampaikan kepada Bank Indonesia neraca dan perhitungan laba/rugi tahunan serta penjelasannya, serta laporan berkala lainnya, dalam waktu dan bentuk yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Laporan, keterangan dan penjelasan dimaksud diperlukan oleh Bank Indonesia dalam rangka penyusunan laporan dan informasi serta statistik perbankan. Sejalan dengan pesatnya perkembangan teknologi informasi dan meningkatnya kebutuhan terhadap sistem informasi manajemen dalam rangka pengawasan terhadap Bank Perkreditan Rakyat maka bentuk dan tatacara penyampaian Laporan Bulanan Bank Perkreditan Rakyat perlu ditingkatkan untuk mendorong terciptanya sistem perbankan yang sehat. Sehubungan … -2- Sehubungan dengan hal tersebut, Bank Indonesia telah memperbaiki ketentuan tentang penyusunan dan penyampaian Laporan Bulanan Bank Perkreditan Rakyat agar dapat memberikan informasi tentang keadaan keuangan dan kondisi usaha Bank Perkreditan Rakyat secara tepat waktu, akurat, dan benar berdasarkan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan tentang Perbankan dan Pedoman Akuntansi Perbankan Indonesia dalam mendukung sistem pengawasan selain untuk memenuhi kepentingan pihak-pihak yang membutuhkan. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) … -3- Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Yang dimaksud dengan kekeliruan dan/atau kesalahan laporan antara lain ketidaksesuaian antara Laporan Bulanan yang disampaikan dengan pedoman penyusunan Laporan Bulanan. Pengertian koreksi dalam ayat ini adalah koreksi yang dilakukan oleh BPR atas inisiatif sendiri. Pasal 3 Ayat (1) BPR Pelapor yang tidak dapat menyampaikan Laporan Bulanan dan/atau koreksi Laporan Bulanan secara on-line, menyampaikan Laporan Bulanan dimaksud secara off-line Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Yang dimaksud dengan gangguan teknis adalah gangguan yang mengakibatkan BPR Pelapor tidak dapat menyampaikan … -4- menyampaikan laporan secara on-line, antara lain gangguan pada jaringan telekomunikasi, kebakaran atau pemadaman listrik. Huruf d Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 4 Yang dimaksud dengan ”prosedur konversi” adalah prosedur yang digunakan oleh BPR Pelapor untuk menyesuaikan penyajian data dari format pembukuan intern BPR Pelapor ke dalam format Laporan Bulanan sebagaimana diatur dalam pedoman penyusunan Laporan Bulanan. Pasal 5 Ayat (1) Yang dimaksud petugas adalah pegawai BPR Pelapor yang diberi tugas menyusun dan melakukan verifikasi Laporan Bulanan dan/atau koreksi Laporan Bulanan. Yang dimaksud dengan penanggungjawab adalah pejabat atau pegawai BPR Pelapor yang bertanggungjawab melakukan verifikasi ulang dan menyampaikan Laporan Bulanan dan/atau Laporan Bulanan kepada Bank Indonesia. Petugas … koreksi -5- Petugas dan penanggungjawab yang ditunjuk adalah orang yang berbeda. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 6 Ayat (1) Laporan Bulanan dapat disampaikan secara on-line pada hari libur atau hari Sabtu. Ayat (2) Contoh : Laporan Bulanan untuk data bulan April 2006 disampaikan secara off-line paling lambat pada tanggal 12 Mei 2006 (hari Jumat) untuk penyampaian secara langsung ke Bank Indonesia atau tanggal 13 Mei 2006 (hari Sabtu) untuk penyampaian melalui pos, mengingat tanggal 14 Mei 2006 jatuh pada hari Minggu. Ayat (3) … -6- Ayat (3) Bukti penerimaan untuk Laporan Bulanan yang disampaikan secara on-line adalah berupa soft copy yang dapat diambil secara on-line (download). Sedangkan bukti penerimaan untuk Laporan Bulanan yang disampaikan secara off-line adalah berupa tanda terima apabila disampaikan langsung kepada Bank Indonesia atau tanggal stempel pos apabila dikirimkan melalui pos. Pasal 7 Ayat (1) Koreksi Laporan Bulanan dapat disampaikan secara on-line pada hari libur atau hari Sabtu. Ayat (2) Contoh : Koreksi Laporan Bulanan untuk data bulan Juli 2006 disampaikan secara off-line paling lambat tanggal 18 Agustus 2006 (hari Jumat) untuk penyampaian secara langsung ke Bank Indonesia atau tanggal 19 Mei 2006 (hari Sabtu) untuk penyampaian melalui pos, mengingat tanggal 20 Agustus 2006 jatuh pada hari Minggu. Ayat (3) … -7- Ayat (3) Bukti penerimaan untuk koreksi Laporan Bulanan yang disampaikan secara on-line adalah berupa soft copy yang dapat diambil secara on-line (download). Sedangkan bukti penerimaan untuk koreksi Laporan Bulanan yang disampaikan secara off-line adalah berupa tanda terima apabila disampaikan langsung kepada Bank Indonesia atau tanggal stempel pos apabila dikirimkan melalui pos. Pasal 8 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Contoh : BPR Pelapor dinyatakan tidak menyampaikan Laporan Bulanan dan/atau koreksi Laporan Bulanan untuk data bulan Juli 2006 apabila laporan dimaksud belum diterima Bank Indonesia sampai dengan tanggal 31 Agustus 2006. Ayat (4) … -8- Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 9 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 10 Cukup jelas. Pasal 11 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) … -9- Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 12 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Dalam hal terdapat kesalahan Laporan Bulanan berdasarkan hasil pemeriksaan Bank Indonesia, sanksi hanya dikenakan kesalahan untuk data bulan laporan pada posisi pemeriksaan. Pasal 13 Cukup jelas. Pasal 14 Cukup jelas. atas Pasal 15… -10- Pasal 15 Cukup jelas. Pasal 16 Cukup jelas. Pasal 17 Cukup jelas. Pasal 18 Contoh: Apabila izin merger antara BPR X dan BPR Y berlaku sejak tanggal 1 Maret 2006 yaitu sejak memperoleh persetujuan perubahan Anggaran Dasar atau Akta Pendirian BPR dari instansi yang berwenang atau tanggal pendaftaran Akta Merger dan perubahan Anggaran Dasar dalam Daftar Perusahaan apabila perubahan Anggaran Dasar tidak memerlukan persetujuan dari instansi yang berwenang, maka BPR X dan BPR Y tetap menyampaikan Laporan Bulanan untuk data bulan Februari 2006. Pasal 19 Cukup jelas. Pasal 20 Cukup jelas. Pasal 21 … -11- Pasal 21 Cukup jelas. Pasal 22 Cukup jelas. Pasal 23 Cukup jelas. Pasal 24 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4580
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 7/51/PBI/2005 </reg_id> <reg_title> LAPORAN BULANAN BANK PERKREDITAN RAKYAT </reg_title> <set_date> 14 Desember 2005 </set_date> <effective_date> 14 Desember 2005 </effective_date> <replaced_reg> '28/02/UPPB|SE-BI/1995', '28/58/KEP/DIR|SKDIR-BI/1995', '29/01/UPPB|SE-BI/1996' </replaced_reg> <related_reg> '23/UU/1999', '3/UU/2004', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg> <penalty_list> 'BAB V' </penalty_list>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 5/2/PBI/2003 TENTANG PEDAGANG VALUTA ASING GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam upaya turut memelihara dan mendukung pencapaian stabilisasi nilai rupiah, pedagang valuta asing sebagai lembaga penunjang sektor keuangan memiliki peranan yang cukup strategis, khususnya dalam perkembangan pasar valuta asing domestik; b. bahwa dalam upaya mendukung peningkatan penerimaan devisa nasional melalui pengembangan pariwisata maka pelayanan dan kemampuan pedagang valuta asing perlu ditingkatkan; c. bahwa dalam upaya menciptakan iklim usaha yang lebih sehat dan bertanggung jawab serta kegiatan usaha yang berkesinambungan, pedagang valuta asing perlu melaksanakan kegiatan usaha dengan berlandaskan prinsip kehati-hatian; d. bahwa dalam upaya turut menanggulangi tindak pidana pencucian uang, pedagang valuta asing mempunyai peranan yang cukup strategis dalam membantu instansi yang berwenang; e. bahwa berhubung dengan hal-hal tersebut maka ketentuan tentang pedagang valuta asing perlu diatur kembali dalam Peraturan Bank Indonesia tentang Pedagang Valuta Asing; Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran … - 2 - (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3472), sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3790); 2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3843); 3. Undang-undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 67; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3844); M E M U T U S K A N : Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PEDAGANG VALUTA ASING. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan: 1. Uang Kertas Asing yang selanjutnya disebut UKA adalah uang kertas dalam valuta asing yang resmi diterbitkan oleh suatu negara di luar Indonesia yang diakui sebagai alat pembayaran yang sah negara yang bersangkutan (legal tender). 2. Traveller’s Cheque yang selanjutnya disebut TC adalah cek perjalanan dalam valuta asing yang dapat digunakan sebagai alat pembayaran. 3. Perseroan … - 3 - 3. Perseroan Terbatas adalah badan hukum sebagaimana dimaksud dalam ketentuan yang berlaku. 4. Bank adalah Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam ketentuan yang berlaku, yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional. 5. Pedagang Valuta Asing yang selanjutnya disebut PVA adalah perusahaan yang melakukan jual beli UKA dan pembelian TC. 6. PVA Bukan Bank adalah perusahaan berbadan hukum Perseroan Terbatas yang maksud dan tujuan perseroan melakukan kegiatan usaha jual beli UKA dan pembelian TC. 7. PVA Bank adalah Bank Umum bukan bank devisa, kantor cabang Bank Umum devisa yang belum ditingkatkan menjadi kantor cabang bank devisa dan Bank Perkreditan Rakyat yang melakukan kegiatan usaha jual beli UKA dan pembelian TC. BAB II BIDANG USAHA Pasal 2 Kegiatan usaha yang dilakukan oleh PVA adalah jual beli UKA dan pembelian TC. Pasal 3 PVA dilarang melakukan kegiatan-kegiatan, antara lain: a. memelihara hubungan korespondensi dengan bank-bank di luar negeri guna mengeluarkan langsung perintah pembayaran yang diuangkan di luar negeri; b. mentransfer/menagih sendiri ke luar negeri; c. bertindak sebagai agen penjualan TC; dan atau d. melakukan … - 4 - d. melakukan kegiatan margin trading, spot, forward, swap dan transaksi derivatif lainnya. Pasal 4 Kurs jual beli UKA dan kurs beli TC ditetapkan oleh PVA sesuai dengan mekanisme pasar. BAB III PERSYARATAN PEDAGANG VALUTA ASING Bagian I PVA Bukan Bank Pasal 5 PVA Bukan Bank dapat melakukan kegiatan usaha setelah mendapat izin dari Bank Indonesia. Pasal 6 Persyaratan izin usaha bagi PVA Bukan Bank adalah sebagai berikut : a. perusahaan merupakan badan hukum Perseroan Terbatas yang maksud dan tujuan perseroan adalah melakukan kegiatan jual beli UKA dan pembelian TC dan telah mendapat pengesahan dari instansi berwenang; b. kepemilikan perusahaan adalah perorangan warga negara Indonesia dan atau badan hukum Indonesia yang seluruh pemilik dan pengurusnya terdiri dari warga negara Indonesia; c. modal disetor sekurang-kurangnya Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah); d. memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak atas nama PVA yang bersangkutan; e. pengurus … - 5 - e. pengurus adalah perorangan warga negara Indonesia; f. pengurus dan pemegang saham tidak tercatat sebagai penarik cek/bilyet giro kosong dan tidak memiliki kredit macet yang tercatat pada administrasi Bank Indonesia; g. memiliki tempat usaha dengan alamat yang jelas, sumber daya manusia dan sarana penunjang kegiatan yang memadai. Pasal 7 Bank Indonesia melakukan pemeriksaan lokasi tempat usaha PVA Bukan Bank untuk mengetahui keberadaan dan kelayakan lokasi tempat usaha. Pasal 8 (1) PVA Bukan Bank yang telah mendapat izin usaha dari Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, wajib melaksanakan pembukaan kegiatan usaha selambat- lambatnya 60 (enampuluh) hari sejak tanggal dikeluarkannya izin usaha sebagai PVA. (2) PVA Bukan Bank yang telah melaksanakan pembukaan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib melaporkan pembukaan kegiatan usaha dimaksud selambat-lambatnya 14 (empatbelas) hari sejak dimulainya kegiatan usaha. Pasal 9 PVA Bukan Bank dapat melakukan pembukaan kantor cabang setelah mendapat izin dari Bank Indonesia. Pasal 10 … - 6 - Pasal 10 Persyaratan pembukaan kantor cabang bagi PVA Bukan Bank adalah sebagai berikut: a. untuk pembukaan kantor cabang di propinsi yang sama dengan kedudukan kantor pusat, sekurang-kurangnya telah beroperasi 2 (dua) tahun sejak tanggal dikeluarkannya izin usaha sebagai PVA; b. untuk pembukaan kantor cabang di luar propinsi kedudukan kantor pusat, sekurang- kurangnya telah beroperasi 3 (tiga) tahun sejak tanggal dikeluarkannya izin usaha sebagai PVA; c. setiap kantor cabang memiliki lokasi usaha dengan alamat yang jelas; d. dalam jangka waktu 1 (satu) tahun terakhir belum pernah memperoleh sanksi sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini. Pasal 11 (1) PVA Bukan Bank yang memperoleh izin pembukaan kantor cabang dari Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, wajib melaksanakan pembukaan kantor cabang selambat-lambatnya 30 (tigapuluh) hari sejak tanggal dikeluarkannya izin pembukaan kantor cabang. (2) PVA Bukan Bank yang telah melaksanakan pembukaan kantor cabang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib melaporkan pembukaan kantor cabang selambat- lambatnya 14 (empatbelas) hari sejak dimulainya pembukaan kantor cabang yang bersangkutan. Pasal 12 PVA Bukan Bank dapat melaksanakan pemindahan alamat kantor setelah mendapat izin dari Bank Indonesia. Pasal 13 … - 7 - Pasal 13 (1) PVA Bukan Bank yang telah mendapat izin pemindahan alamat kantor dari Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, wajib melaksanakan pemindahan alamat kantor selambat-lambatnya 30 (tigapuluh) hari sejak tanggal dikeluarkannya izin pemindahan alamat kantor. (2) PVA Bukan Bank yang telah melaksanakan pemindahan alamat kantor sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib melaporkan pelaksanaan pemindahan alamat kantor tersebut selambat-lambatnya 14 (empatbelas) hari sejak dilaksanakannya pemindahan alamat kantor. Pasal 14 PVA Bukan Bank dapat melakukan perubahan pengurus dan atau pemegang saham setelah mendapat izin dari Bank Indonesia. Pasal 15 Calon pengurus dan atau pemegang saham bagi PVA Bukan Bank yang diusulkan sebagai pengganti wajib memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6. Pasal 16 (1) PVA Bukan Bank wajib melapor kepada Bank Indonesia dalam hal terjadi penghentian kegiatan usaha kantor pusat atau kantor cabang baik yang bersifat sementara maupun permanen. (2) Dalam hal PVA Bukan Bank melaporkan penghentian kegiatan usaha kantor pusat yang bersifat permanen sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), izin usaha PVA Bukan Bank dinyatakan tidak berlaku. (3) Dalam … - 8 - (3) Dalam hal PVA Bukan Bank melaporkan penghentian kegiatan usaha kantor cabang yang bersifat permanen sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), izin pembukaan kantor cabang PVA Bukan Bank dinyatakan tidak berlaku. (4) PVA Bukan Bank wajib melakukan pembukaan kembali kegiatan usaha kantor pusat dan atau kantor cabang selambat-lambatnya 30 (tigapuluh) hari sejak berakhirnya jangka waktu penghentian sementara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). (5) PVA Bukan Bank wajib melaporkan pembukaan kembali kegiatan usaha kantor pusat dan atau kantor cabang sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) selambat-lambatnya 14 (empatbelas) hari sejak dibukanya kembali kegiatan usaha. Bagian II PVA Bank Pasal 17 (1) Kantor pusat Bank Umum devisa wajib melapor kepada Bank Indonesia dalam hal kantor cabang bank yang bersangkutan yang belum ditingkatkan menjadi kantor cabang bank devisa akan melakukan kegiatan usaha sebagai PVA. (2) Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur sebagai berikut: a. bagi bank yang berkantor pusat di wilayah kerja kantor pusat Bank Indonesia disampaikan kepada Bank Indonesia, cq.Direktorat Pengawasan Bank terkait Jl. M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10010; b. bagi bank yang berkantor pusat di luar wilayah kerja kantor pusat Bank Indonesia disampaikan kepada Kantor Bank Indonesia setempat dengan mengacu pada pembagian wilayah kerja Kantor Bank Indonesia. Pasal 18 … - 9 - Pasal 18 (1) Bank Umum bukan bank devisa dan Bank Perkreditan Rakyat yang akan melakukan kegiatan usaha sebagai PVA wajib mengajukan permohonan izin kepada Bank Indonesia. (2) Penyampaian permohonan izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur sebagai berikut: a. bagi bank yang berkantor pusat di wilayah kerja kantor pusat Bank Indonesia disampaikan kepada Bank Indonesia, cq.Direktorat Perizinan dan Informasi Perbankan bagi Bank Umum bukan bank devisa atau Direktorat Pengawasan Bank Perkreditan Rakyat bagi Bank Perkreditan Rakyat, Jl. M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10010; b. bagi Bank Umum bukan bank devisa dan Bank Perkreditan Rakyat yang berkantor pusat diluar wilayah kerja kantor pusat Bank Indonesia disampaikan kepada Kantor Bank Indonesia setempat dengan mengacu kepada pembagian wilayah kerja Kantor Bank Indonesia. Pasal 19 (1) Bank Umum bukan bank devisa yang akan melakukan kegiatan usaha sebagai PVA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. memiliki rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum sesuai dengan ketentuan yang berlaku; b. rencana melakukan kegiatan usaha sebagai PVA tercantum dalam Rencana Kerja dan Anggaran Tahunan; c. menyertakan rencana persiapan operasional dan hasil studi kelayakan yang sekurang-kurangnya memuat potensi ekonomi dan peluang pasar. (2) Bank … - 10 - (2) Bank Perkreditan Rakyat yang akan melakukan kegiatan usaha sebagai PVA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. tingkat kesehatan selama 12 (duabelas) bulan terakhir sehat; b. dalam 12 (duabelas) bulan terakhir memiliki rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum sesuai dengan ketentuan yang berlaku; c. rencana melakukan kegiatan usaha sebagai PVA tercantum dalam Rencana Kerja dan Anggaran Tahunan. (3) Persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a dan ayat (2) huruf a dan b berdasarkan data administrasi Bank Indonesia. Pasal 20 Izin atau persetujuan untuk melakukan kegiatan usaha sebagai PVA yang telah dikeluarkan oleh Bank Indonesia bagi PVA Bank dinyatakan tidak berlaku dalam hal: a. kantor pusat Bank yang bersangkutan dinyatakan dibekukan atau dicabut izin usahanya oleh otoritas yang berwenang; atau b. kantor cabang Bank dinyatakan ditutup atau tidak beroperasi oleh kantor pusat Bank yang bersangkutan; atau c. kantor cabang Bank dinyatakan tidak melakukan lagi kegiatan usaha sebagai PVA oleh kantor pusat Bank yang bersangkutan. BAB IV PENGAWASAN DAN PELAPORAN Pasal 21 (1) Bank Indonesia melakukan pengawasan dan pembinaan terhadap PVA. (2) Pelaksanaan pengawasan dan pembinaan terhadap PVA sebagaimana dimaksud dalam (2) Pelaksanaan … - 11 - ayat (1) khusus bagi PVA Bank dilakukan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 22 (1) Dalam pelaksanaan pengawasan dan pembinaan terhadap PVA Bukan Bank, Bank Indonesia dapat bekerja sama dengan Asosiasi PVA dan atau pihak lain yang ditunjuk. (2) Asosiasi PVA dan atau pihak lain yang bekerja sama dengan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib: a. menjaga kerahasiaan data yang diperolehnya dari hasil pengawasan dan pembinaan yang dilakukan dan tunduk kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku mengenai rahasia jabatan; dan atau b. menyampaikan laporan kepada Bank Indonesia. Pasal 23 (1) PVA wajib menyampaikan laporan berkala, meliputi laporan kegiatan usaha dan laporan keuangan, serta laporan khusus secara benar dan akurat. (2) Laporan berkala sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang disampaikan oleh PVA Bank hanya berupa laporan kegiatan usaha. (3) PVA wajib menyimpan warkat transaksi jual-beli UKA dan pembelian TC dalam jangka waktu 10 (sepuluh) tahun sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan. (4) Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur sebagai berikut : a. bagi PVA yang berkantor pusat di wilayah kerja kantor pusat Bank Indonesia disampaikan kepada Bank Indonesia, Direktorat Pengelolaan Moneter cq. Bagian a. bagi … - 12 - Pengembangan Pasar Uang, Jl. M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10010; b. bagi PVA yang berkantor pusat di wilayah kerja Kantor Bank Indonesia disampaikan kepada Kantor Bank Indonesia setempat dengan mengacu kepada pembagian wilayah kerja Kantor Bank Indonesia. Pasal 24 Selain laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1), PVA wajib menyampaikan laporan sebagai berikut: a. kegiatan Lalu Lintas Devisa sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang No.24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar; b. transaksi nasabah yang meliputi Transaksi Keuangan Mencurigakan dan Transaksi yang dilakukan secara tunai dalam jumlah kumulatif sebesar Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) atau lebih atau yang nilainya setara, baik dilakukan dalam satu kali transaksi maupun beberapa transaksi dalam 1 (satu) hari kerja sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. BAB V SANKSI Pasal 25 (1) Dalam hal PVA Bukan Bank melakukan pelanggaran terhadap hal-hal yang diatur dalam Peraturan ini, Bank Indonesia mengenakan sanksi sebagai berikut: a. peringatan pertama; c. peringatan kedua; c. pemanggilan … - 13 - c. pemanggilan pengurus dan atau pemegang saham; d. pencabutan izin usaha. (2) Bank Indonesia mengenakan sanksi peringatan pertama dalam hal PVA Bukan Bank melakukan pelanggaran sebagai berikut: a. tidak melaksanakan pembukaan kegiatan usaha atau pembukaan kantor cabang atau pemindahan alamat kantor atau pembukaan kembali kegiatan usaha hingga batas waktu yang ditetapkan; atau b. tidak melaporkan pelaksanaan kegiatan usaha atau pembukaan kantor cabang atau pemindahan alamat kantor atau pembukaan kembali kegiatan usaha hingga batas waktu yang ditetapkan; atau c. tidak menyampaikan laporan kegiatan usaha hingga batas waktu yang ditetapkan; atau d. tidak menyampaikan laporan keuangan hingga batas waktu yang ditetapkan. (3) Bank Indonesia mengenakan sanksi peringatan kedua dalam hal PVA Bukan Bank melakukan pelanggaran sebagai berikut: a. tidak mengindahkan dan atau tidak menindaklanjuti sanksi peringatan pertama atas pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan sejak tanggal dikeluarkannya sanksi peringatan pertama; atau b. melakukan pelanggaran yang sama sebagaimana dimaksud ayat (2) untuk kedua kali. (4) Bank Indonesia mengenakan sanksi pemanggilan pengurus dan atau pemegang saham dalam hal PVA Bukan Bank melakukan pelanggaran sebagai berikut: a. melakukan pembukaan kantor cabang sebelum mendapat izin dari Bank Indonesia; atau b. melakukan pemindahan alamat kantor sebelum mendapat izin dari Bank Indonesia; atau c. melakukan … - 14 - c. melakukan perubahan pengurus dan atau pemegang saham sebelum mendapat izin dari Bank Indonesia; atau d. tidak mengindahkan dan atau tidak menindaklanjuti sanksi peringatan kedua selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan sejak tanggal dikeluarkannya sanksi peringatan kedua; atau e. tidak melaporkan penghentian kegiatan usaha kantor pusat atau kantor cabang yang bersifat sementara; atau f. melakukan kegiatan usaha di luar kegiatan usaha yang ditetapkan yaitu hanya terbatas melakukan kegiatan jual beli UKA serta pembelian TC. (5) Bank Indonesia mengenakan sanksi pencabutan izin usaha dalam hal PVA Bukan Bank tidak mengindahkan dan atau tidak menindaklanjuti sanksi sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) selambat-lambatnya 6 (enam) bulan sejak tanggal dikeluarkannya sanksi pemanggilan pengurus dan atau pemegang saham. Pasal 26 Dalam hal PVA Bank melakukan pelanggaran terhadap ketentuan yang diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini, Bank Indonesia mengenakan sanksi sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. BAB VI KETENTUAN PERALIHAN Pasal 27 (1) PVA Bukan Bank yang telah memperoleh izin sebelum berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini wajib melakukan pendaftaran ulang untuk memperoleh izin usaha berdasarkan Peraturan Bank Indonesia ini. (2) Izin … - 15 - (2) Izin usaha PVA Bukan Bank yang dikeluarkan sebelum berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini dinyatakan tetap berlaku sampai dengan dikeluarkannya izin usaha PVA yang baru. (3) Izin usaha PVA Bukan Bank dicabut dan dinyatakan tidak berlaku dalam hal tidak melakukan pendaftaran ulang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). Pasal 28 (1) PVA Bank bukan bank devisa yang telah memperoleh izin sebelum berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini wajib melakukan pendaftaran ulang untuk memperoleh izin usaha berdasarkan Peraturan Bank Indonesia ini. (2) Izin usaha PVA Bank bukan bank devisa yang dikeluarkan sebelum berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini dinyatakan tetap berlaku sampai dengan dikeluarkannya izin usaha PVA yang baru. (3) Izin usaha PVA Bank bukan bank devisa dicabut dan dinyatakan tidak berlaku dalam hal tidak melakukan pendaftaran ulang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). Pasal 29 Pendaftaran ulang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28 ayat (1) disampaikan dengan permohonan secara tertulis selambat-lambatnya tanggal 31 Desember 2003. Pasal 30 (1) Penyampaian permohonan pendaftaran ulang sebagaimana dimaksud pasal 27 ayat (1) diatur sebagai berikut: a. bagi … - 16 - a. bagi PVA Bukan Bank yang berkantor pusat di wilayah kerja kantor pusat Bank Indonesia disampaikan kepada Bank Indonesia, Direktorat Pengelolaan Moneter cq. Bagian Pengembangan Pasar Uang, Jl. M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10010; b. bagi PVA Bukan Bank yang berkantor pusat di wilayah kerja Kantor Bank Indonesia disampaikan kepada Kantor Bank Indonesia setempat dengan mengacu kepada pembagian wilayah kerja Kantor Bank Indonesia. (2) Penyampaian permohonan pendaftaran ulang sebagaimana dimaksud Pasal 28 ayat (1) diatur sebagai berikut: a. bagi PVA Bank bukan bank devisa yang berkantor pusat di wilayah kerja kantor pusat Bank Indonesia disampaikan kepada Bank Indonesia, Direktorat Perizinan dan Informasi Perbankan, Jl. M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10010; b. bagi PVA Bank bukan bank devisa yang berkantor pusat di wilayah kerja Kantor Bank Indonesia disampaikan kepada Kantor Bank Indonesia setempat dengan mengacu kepada pembagian wilayah kerja Kantor Bank Indonesia. BAB VII KETENTUAN PENUTUP Pasal 31 Ketentuan pelaksanaan Peraturan Bank Indonesia ini akan diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 32 Dengan dikeluarkannya Peraturan Bank Indonesia ini, Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 31/171/KEP/DIR tentang Pedagang Valuta Asing dinyatakan tidak berlaku lagi. Pasal 33 … - 17 - Pasal 33 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku sejak tanggal 3 Maret 2003. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 3 Februari 2003 GUBERNUR BANK INDONESIA, Ttd SYAHRIL SABIRIN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2003 NOMOR 12 DPM PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 5/2/PBI/2003 TENTANG PEDAGANG VALUTA ASING UMUM Dalam rangka kesinambungan pengaturan terhadap pedagang valuta asing yang meliputi kegiatan pemberian izin usaha, pengawasan dan pembinaan yang dilakukan oleh Bank Indonesia sejak tahun 1967 berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1965 tentang Tata Tjara Penggunaan, Pembebanan dan Pemindahan Hak Atas Devisa Jang Tidak Diharuskan Untuk Diserahkan Kepada Dana Devisa (Devisa Pelengkap), dan upaya melindungi kepentingan publik agar tidak terjadi distorsi (market failure) dalam kegiatan perekonomian nasional khususnya transaksi jual beli uang kertas asing, Bank Indonesia mengeluarkan Peraturan Bank Indonesia tentang Pedagang Valuta Asing. Dalam perkembangan pasar keuangan domestik, pedagang valuta asing sebagai lembaga penunjang sektor keuangan memiliki peranan yang cukup strategis dalam mempengaruhi perkembangan kegiatan transaksi jual-beli uang kertas asing dan pembelian traveller’s cheque. Sehubungan dengan hal itu, dalam rangka memberikan rasa aman dan kepastian hukum kepada masyarakat dalam melakukan transaksi, salah satu persyaratan pokok menjadi pedagang valuta asing adalah berbadan hukum perseroan terbatas sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas. Hal ini mengingat badan hukum perseroan terbatas memiliki sifat/karakteristik lebih tegas dan jelas dari sisi pengaturan akuntabilitas dan pengaturan … - 2 - transparansi kepada publik dibandingkan bentuk badan hukum lain. Sementara itu, untuk lebih meningkatkan efesiensi dan efektifitas kegiatan yang berkaitan dengan pedagang valuta asing sejalan dengan semakin pesatnya perkembangan kelembagaan dan kegiatan transaksi, maka perlu dilakukan desentralisasi kewenangan dalam perizinan, pengawasan dan pembinaan terhadap pedagang valuta asing yang berkedudukan di wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia dan Kantor Bank Indonesia. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas Pasal 2 Cukup jelas Pasal 3 Huruf a Cukup jelas Huruf b Cukup jelas Huruf c Cukup jelas Huruf d Yang dimaksud margin trading adalah transaksi jual/beli mata uang (valuta) tanpa diikuti pergerakan dana, melainkan hanya marjin selisih kurs. Yang dimaksud spot adalah transaksi jual/beli tunai antara dua mata uang Yang … - 3 - (valuta) dengan penyerahan dana dilakukan dua hari kerja setelah tanggal transaksi. Yang dimaksud forward adalah transaksi jual/beli berjangka antara dua mata uang (valuta) dengan penyerahan dana dilakukan lebih dari dua hari kerja setelah tanggal transaksi. Yang dimaksud swap adalah transaksi pertukaran antara dua mata uang (valuta) melalui pembelian atau penjualan tunai (spot) dengan penjualan atau pembelian secara berjangka (forward) yang dilakukan secara bersamaan. Pasal 4 Cukup jelas Pasal 5 Cukup jelas Pasal 6 Cukup jelas Pasal 7 Cukup jelas Pasal 8 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 9 Cukup jelas Pasal 10 … - 4 - Pasal 10 Cukup jelas Pasal 11 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 12 Cukup jelas Pasal 13 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 14 Cukup jelas Pasal 15 Cukup jelas Pasal 16 Ayat (1) Yang dimaksud dengan penghentian kegiatan usaha yang bersifat sementara adalah dalam hal PVA menghentikan kegiatan usahanya untuk jangka waktu kurang dari 1 (satu) tahun. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Ayat (4) … - 5 - Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas Pasal 17 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 18 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 19 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 20 Cukup jelas Pasal 21 Ayat (1) Pengawasan yang dilakukan oleh Bank Indonesia meliputi kegiatan Pengawasan … - 6 - pengawasan langsung atau pemeriksaan (on the spot) dan pengawasan tidak langsung, antara lain pemantauan terhadap pelaksanaan ketentuan yang berlaku dan penelitian terhadap kebenaran laporan yang disampaikan. Pembinaan yang dilakukan oleh Bank Indonesia antara lain pelatihan penyusunan laporan dan penyuluhan mengenai uang palsu. Ayat (2) Cukup jelas Pasal 22 Ayat (1) Yang dimaksud dengan bekerja sama dalam ayat ini adalah bahwa dalam melakukan pengawasan dan pembinaan terhadap PVA Bukan Bank, Bank Indonesia dapat bermitra atau menunjuk Asosiasi PVA atau pihak lain. Ayat (2) Cukup jelas Pasal 23 Ayat (1) Yang dimaksud dengan laporan khusus adalah laporan yang bersifat insidentil yang dapat diminta Bank Indonesia dalam hal diperlukan. Yang dimaksud dengan laporan lain adalah laporan selain laporan berkala dan laporan khusus, misalnya laporan yang terkait dengan tindak pidana pencucian uang. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) … - 7 - Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Pasal 24 Cukup jelas Pasal 25 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas Pasal 26 Cukup jelas Pasal 27 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 28… - 8 - Pasal 28 Ayat (1) Pendaftaran ulang bagi PVA Bank bukan bank devisa untuk mendapatkan izin usaha yang baru dilakukan dengan mengembalikan asli Sertifikat Izin Usaha sebelumnya. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 29 Cukup jelas Pasal 30 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 31 Hal-hal yang diatur antara lain meliputi tatacara perizinan, pengawasan, pelaporan, pengenaan sanksi dan pendaftaran ulang. Pasal 32 Cukup jelas Pasal 33 Cukup jelas TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4260 DPM
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 5/2/PBI/2003 </reg_id> <reg_title> PEDAGANG VALUTA ASING </reg_title> <set_date> 3 Februari 2003 </set_date> <effective_date> 3 Maret 2003 </effective_date> <replaced_reg> '31/171/KEP/DIR|SKDIR-BI' </replaced_reg> <related_reg> '23/UU/1999', '7/UU/1992', '24/UU/1999', '10/UU/1998' </related_reg> <penalty_list> 'BAB V' </penalty_list>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 10/ 26 /PBI/2008 TENTANG FASILITAS PENDANAAN JANGKA PENDEK BAGI BANK UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa berhubung telah terjadi krisis keuangan secara global yang mempengaruhi perekonomian nasional, diperlukan upaya untuk mengantisipasi terjadinya risiko likuiditas dan menjaga kepercayaan masyarakat terhadap perbankan; b. bahwa dalam rangka mengantisipasi terjadinya risiko likuiditas bank wajib menerapkan manajemen risiko; c. bahwa dalam rangka menjaga kepercayaan masyarakat terhadap perbankan perlu diberikan akses bagi Bank yang mengalami kesulitan likuiditas untuk memperoleh Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf c, perlu diatur kembali peraturan mengenai Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek bagi Bank Umum dalam Peraturan Bank Indonesia; Mengingat: … - 2 - Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); 2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor. 2 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 142, Tambahan Lembaran Negara Tahun 2008 Nomor 4901); M E M U T U S K A N: Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG FASILITAS PENDANAAN JANGKA PENDEK BAGI BANK UMUM. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan: 1. Bank Indonesia adalah Bank sentral Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Bank Indonesia. 2. Bank … - 3 - 2. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional. 3. Giro Wajib Minimum rupiah yang selanjutnya disebut GWM adalah GWM sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai GWM rupiah. 4. Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek, yang selanjutnya disebut FPJP, adalah fasilitas pendanaan dari Bank Indonesia kepada Bank untuk mengatasi kesulitan Pendanaan Jangka Pendek yang dialami oleh Bank. 5. Kesulitan Pendanaan Jangka Pendek adalah keadaan yang dialami Bank yang disebabkan oleh terjadinya arus dana masuk yang lebih kecil dibandingkan dengan arus dana keluar (mismatch) dalam Rupiah sehingga Bank tidak dapat memenuhi kewajiban GWM rupiah. 6. Sertifikat Bank Indonesia yang untuk selanjutnya disebut SBI adalah surat berharga dalam mata uang Rupiah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia sebagai pengakuan utang berjangka waktu pendek. 7. Sertifikat Bank Indonesia Syariah yang untuk selanjutnya disebut SBIS adalah surat berharga berdasarkan Prinsip Syariah berjangka waktu pendek dalam mata uang Rupiah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia. 8. Surat Utang Negara yang untuk selanjutnya disebut SUN adalah surat berharga yang berupa surat pengakuan utang dalam mata uang Rupiah maupun valuta asing yang dijamin pembayaran bunga dan pokoknya oleh Negara Republik Indonesia, sesuai dengan masa berlakunya. 9. Surat … - 4 - 9. Surat Berharga Syariah Negara yang untuk selanjutnya disebut SBSN atau dapat disebut Sukuk Negara adalah surat berharga negara yang diterbitkan berdasarkan prinsip syariah, sebagai bukti atas bagian penyertaan terhadap aset SBSN, baik dalam mata uang Rupiah maupun valuta asing. 10. Aset kredit adalah kredit sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum. BAB II PERSYARATAN DAN TATA CARA PERMOHONAN FPJP Pasal 2 (1) Bank yang mengalami Kesulitan Pendanaan Jangka Pendek dapat memperoleh FPJP dengan memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini. (2) Bank yang dapat mengajukan permohonan FPJP wajib memiliki rasio kewajiban penyediaan modal minimum (capital adequacy ratio) paling kurang 8% (delapan persen). (3) Plafon FPJP diberikan berdasarkan perkiraan jumlah kebutuhan likuiditas sampai dengan Bank memenuhi GWM sesuai dengan ketentuan yang berlaku (4) Pencairan FPJP dilakukan sebesar kebutuhan Bank untuk memenuhi kewajiban GWM. Pasal 3 FPJP wajib dijamin oleh Bank dengan agunan yang berkualitas tinggi yang nilainya memadai sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini. Pasal 4 … - 5 - Pasal 4 (1) Agunan yang berkualitas tinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 berupa: a. Surat berharga; b. Aset Kredit; (2) Jenis surat berharga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a: a. Surat berharga yang diterbitkan oleh Pemerintah Republik Indonesia atau Bank Indonesia yang meliputi SUN, SBSN, SBI, dan SBI Syariah; dan atau b. Surat berharga yang diterbitkan oleh badan hukum lainnya yang pada saat permohonan FPJP memiliki peringkat paling kurang peringkat investasi (investment grade), aktif diperdagangkan, dan sisa jangka waktu surat berharga paling kurang 90 (sembilan puluh) hari. (3) Aset kredit yang dapat dijadikan agunan FPJP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b wajib memenuhi kriteria sebagai berikut: a. Kolektibilitas lancar selama 12 (dua belas) bulan terakhir; b. Bukan merupakan kredit konsumsi kecuali kredit pemilikan rumah (KPR); c. Kredit dijamin dengan agunan yang memiliki nilai paling kurang 110% (seratus sepuluh persen) dari plafon kredit; d. Bukan merupakan kredit kepada pihak terkait Bank; e. Kredit belum pernah direstrukturisasi; f. Sisa jangka waktu jatuh tempo kredit paling cepat 3 (tiga) bulan dari saat persetujuan FPJP; g. Baki debet (Outstanding) kredit tidak melebihi plafon kredit dan batas maksimum pemberian kredit; dan h. Memiliki … - 6 - h. Memiliki perjanjian kredit dan pengikatan agunan yang mempunyai kekuatan hukum. (4) Surat Berharga sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b hanya dapat digunakan sebagai agunan FPJP dalam hal: a. Bank tidak memiliki surat berharga sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a; atau b. Bank memiliki surat berharga sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a namun tidak mencukupi untuk menjadi agunan FPJP. (5) Aset kredit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b hanya dapat digunakan sebagai agunan FPJP dalam hal Bank tidak memiliki surat berharga atau surat berharga yang dimiliki oleh Bank tidak mencukupi untuk menjadi agunan FPJP. Pasal 5 (1) Nilai aset yang digunakan sebagai agunan FPJP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ditetapkan sebagai berikut: a. Dalam hal agunan berupa SBI atau SBIS, nilai agunan ditetapkan sebesar 100% (seratus persen) dari plafon FPJP yang dihitung berdasarkan nilai jual surat berharga tersebut; b. Dalam hal agunan berupa SUN atau SBSN, nilai agunan FPJP ditetapkan sebesar 105% (seratus lima persen) dari plafon FPJP yang dihitung berdasarkan nilai pasar surat berharga tersebut. c. Dalam hal agunan berupa surat berharga yang diterbitkan oleh badan hukum lainnya, nilai agunan FPJP ditetapkan sesuai dengan jenis surat berharga sebesar paling kurang 120% (seratus duapuluh persen) dari plafon FPJP, yang dihitung berdasarkan nilai pasar surat berharga. d. Dalam … - 7 - d. Dalam hal agunan berupa aset kredit, nilai agunan FPJP tersebut ditetapkan paling kurang 150% (seratus lima puluh persen) dari plafon FPJP, yang dihitung berdasarkan baki debet (outstanding) aset kredit. (2) Ketentuan mengenai nilai jual dan nilai pasar sebagaimana tersebut pada ayat (1) huruf a dan huruf b akan diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 6 (1) Agunan FPJP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) harus bebas dari segala bentuk perikatan, sengketa, dan tidak sedang dijaminkan kepada pihak lain dan atau Bank Indonesia, yang dinyatakan dalam surat pernyataan Bank kepada Bank Indonesia. (2) Bank yang telah memperoleh FPJP dilarang untuk memperjualbelikan dan/atau menjaminkan kembali surat berharga yang masih dalam status sebagai jaminan agunan FPJP. (3) Bank wajib mengganti dan/atau menambah agunan FPJP apabila tidak memenuhi kondisi-kondisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan ayat (2). (4) Bank wajib melakukan penilaian terhadap agunan FPJP secara berkala yang penentuan periode penilaiannya diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia. (5) Dalam hal terjadi penurunan nilai agunan FPJP setelah dilakukan penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan/atau terjadi penurunan kolektibilitas aset kredit yang diagunkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3), Bank wajib menambah dan atau mengganti agunan FPJP. (6) Untuk … - 8 - (6) Untuk keperluan perpanjangan FPJP, Bank dapat menjaminkan kembali aset yang sedang menjadi agunan FPJP. Pasal 7 (1) Pengikatan agunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dilakukan sesuai dengan peraturan perundangan-undangan yang berlaku. (2) Dokumen-dokumen atas aset yang menjadi agunan FPJP ditatausahakan oleh Bank Indonesia. (3) Ketentuan mengenai bentuk pengikatan agunan akan diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 8 (1) Bank yang memerlukan FPJP wajib mengajukan permohonan secara tertulis kepada Bank Indonesia. (2) Permohonan FPJP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilengkapi dengan dokumen-dokumen sebagai berikut: a. Surat pernyataan Bank yang menyatakan bahwa Bank mengalami kesulitan likuiditas; b. Dokumen yang mendukung jumlah kebutuhan likuiditas; c. Daftar aset yang menjadi agunan beserta dokumen pendukung; d. Surat pernyataan bahwa seluruh aset yang menjadi agunan FPJP tidak sedang dijaminkan kepada pihak lain, tidak dibawah sitaan, tidak tersangkut dalam suatu perkara atau sengketa, dan memenuhi seluruh persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4; e. Surat … - 9 - e. Surat kesanggupan Bank untuk membayar segala kewajiban terkait FPJP pada saat jatuh tempo. (3) Bank wajib meyakini kebenaran data dan dokumen yang disampaikan termasuk namun tidak terbatas pada kualitas kredit dan agunan yang menyertainya. (4) Tata cara permohonan FPJP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 9 (1) Persetujuan Bank Indonesia atas permohonan FPJP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) dilakukan apabila: a. Bank memenuhi persyaratan permohonan FPJP; b. Bank memenuhi persyaratan kelengkapan dokumen permohonan FPJP; c. Berdasarkan analisis Bank Indonesia diperkirakan bahwa Bank tidak dapat memenuhi kewajiban GWM berdasarkan perkiraan arus kas selama 14 hari kedepan. (2) Persetujuan pemberian FPJP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam perjanjian pemberian FPJP antara Bank Indonesia dengan Bank penerima FPJP. (3) Perjanjian pemberian FPJP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilampiri dengan perjanjian pengikatan agunan FPJP. (4) Realisasi pemberian FPJP oleh Bank Indonesia dilakukan melalui rekening giro rupiah Bank yang bersangkutan pada Bank Indonesia. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai perjanjian pemberian FPJP diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 10 … - 10 - Pasal 10 Bank Indonesia dapat menolak permohonan FPJP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 yang tidak sesuai dengan ketentuan, tatacara dan persyaratan yang diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini. Pasal 11 (1) Jangka waktu setiap FPJP paling lama 14 (empat belas) hari. (2) Jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diperpanjang secara berturut-turut dengan jangka waktu FPJP keseluruhan paling lama 90 (sembilan puluh) hari. Pasal 12 Perpanjangan FPJP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) hanya dapat dilakukan apabila: a. Bunga atas FPJP yang jatuh tempo dilunasi terlebih dahulu; b. Bank tidak dapat memenuhi kewajiban GWM berdasarkan perkiraan arus kas selama 14 hari kedepan; c. Agunan masih mencukupi dan memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6. Pasal 13 Dalam rangka perpanjangan FPJP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2), Bank dapat mengajukan tambahan nilai FPJP yang dibutuhkan untuk menutupi kewajiban yang tidak dapat diselesaikan Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) sepanjang: a. Agunan … - 11 - a. Agunan masih mencukupi dan memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 5 dan Pasal 6; dan b. Penggunaan FPJP belum melampaui 90 (Sembilan puluh) hari berturut- turut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2). BAB III PERHITUNGAN BUNGA Pasal 14 (1) Bank Indonesia mengenakan biaya bunga kepada Bank atas realisasi penggunaan FPJP. (2) Tingkat suku bunga FPJP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebesar BI rate ditambah dengan 100 basis poin. (3) Tingkat suku bunga FPJP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diubah oleh Bank Indonesia yang penetapannya dilakukan dengan Surat Edaran Bank Indonesia. BAB IV PELUNASAN DAN EKSEKUSI AGUNAN Pasal 15 (1) Pada saat FPJP jatuh tempo, Bank Indonesia mendebet rekening giro Rupiah Bank yang bersangkutan di Bank Indonesia sebesar nilai FPJP ditambah bunga FPJP. (2) Dalam hal FPJP jatuh tempo dan saldo giro Rupiah Bank yang bersangkutan di Bank Indonesia tidak mencukupi untuk membayar pokok dan bunga FPJP dan Bank tidak lagi memenuhi persyaratan untuk memperoleh … - 12 - memperoleh perpanjangan FPJP maka Bank Indonesia melakukan eksekusi agunan FPJP. (3) Bank Indonesia tetap mengenakan biaya bunga sampai dengan eksekusi agunan selesai dilaksanakan. (4) Apabila nilai hasil eksekusi agunan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) lebih kecil dibandingkan dengan jumlah pokok dan bunga FPJP yang harus dilunasi oleh Bank maka Bank wajib membayar kekurangannya kepada Bank Indonesia. (5) Apabila nilai hasil eksekusi agunan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) lebih besar dibandingkan dengan jumlah pokok dan bunga FPJP yang harus dilunasi oleh Bank maka Bank Indonesia mengembalikan kelebihan tersebut kepada Bank. BAB V PENGAWASAN Pasal 16 (1) Bank wajib menyampaikan rencana tindak perbaikan (remedial action plan) untuk mengatasi kesulitan likuiditas paling lambat 5 hari setelah pencairan FPJP. (2) Bank wajib menyampaikan laporan kepada Bank Indonesia mengenai penggunaan FPJP dan kondisi likuiditas Bank pada setiap akhir hari kerja. Pasal 17 Dalam rangka pengawasan atas penggunaan FPJP, Bank Indonesia dapat melakukan pemeriksaan terhadap Bank yang bersangkutan. BAB VI … - 13 - BAB VI BIAYA PEMBERIAN FPJP Pasal 18 Biaya-biaya yang timbul sehubungan dengan pengikatan perjanjian, pengikatan dan eksekusi agunan serta biaya lainnya yang mungkin timbul dalam rangka pemberian FPJP menjadi beban Bank. BAB VII SANKSI Pasal 19 Dalam hal Bank tidak melunasi FPJP dan/atau melakukan pelanggaran atas ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia ini dan/atau berdasarkan pemeriksaan sebagaimana dimaksud Pasal 17 diketahui adanya penyimpangan penggunaan FPJP, maka Bank dapat dikenakan sanksi berupa: a. Tidak dapat menerima FPJP dalam jangka waktu tertentu; dan b. Sanksi administratif sebagaimana diatur dalam Pasal 52 ayat (2) Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 antara lain berupa teguran tertulis, larangan untuk turut serta dalam kegiatan kliring, pembekuan kegiatan usaha tertentu dan atau pemberhentian Pengurus Bank. Pasal 20 Apabila Pengurus Bank, Pemegang Saham Pengendali dan pejabat eksekutif Bank dengan sengaja tidak melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan Untuk … - 14 - untuk memastikan ketaatan Bank terhadap ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia ini dan atau memberikan keterangan atau dokumen yang diwajibkan dalam Peraturan Bank Indonesia ini secara tidak benar, selain dikenakan sanksi sebagaimana pada Pasal 19 dikenakan juga sanksi sebagaimana dimaksud pada Pasal 49 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998. BAB VIII KETENTUAN PENUTUP Pasal 21 Ketentuan lebih lanjut mengenai FPJP diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 22 Dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini maka Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/15/PBI/2003 tanggal 14 Agustus 2003 tentang Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek Bagi Bank Umum sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/21/PBI/2005 tanggal 3 Agustus 2005 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 23 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan dan berlaku surut sejak tanggal 29 Oktober 2008. Agar … - 15 - Agar setiap orang mengetahuinya memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 30 Oktober 2008 GUBERNUR BANK INDONESIA, BOEDIONO Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 30 Oktober 2008 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA ANDI MATTALATTA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2008 NOMOR 160 DPNP/DPM PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 10/ 26 /PBI/2008 TENTANG FASILITAS PENDANAAN JANGKA PENDEK BAGI BANK UMUM I. UMUM Dampak dari krisis keuangan global yang berlangsung saat ini berimbas pada berbagai negara termasuk Indonesia. Hal tersebut secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi stabilitas sistem keuangan Indonesia termasuk sistem perbankan. Salah satu pengaruh dari krisis keuangan global tersebut adalah meningkatnya potensi keraguan masyarakat terhadap sistem perbankan yang dapat ditandai antara lain dengan meningkatnya kepanikan masyarakat dalam menyikapi krisis. Sementara itu, kepercayaan masyarakat merupakan salah satu prasyarat utama yang diperlukan untuk menciptakan sistem perbankan yang stabil. Dengan memperhatikan hal-hal tersebut di atas diperlukan langkah- langkah tertentu dalam mengantisipasi terjadinya risiko likuiditas dan upaya untuk menjaga kepercayaan masyarakat terhadap perbankan. Dalam mengantisipasi terjadinya risiko likuiditas Bank wajib menerapkan manajemen risiko yang efektif dan memadai. Berdasarkan … - 2 - Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008, Bank Indonesia dapat memberikan kredit kepada Bank untuk mengatasi kesulitan pendanaan jangka pendek yang dijamin dengan agunan yang berkualitas tinggi termasuk aset kredit kolektibilitas lancar. Sejalan dengan hal tersebut, Bank Indonesia menyediakan fasilitas pendanaan dalam rangka mengatasi kesulitan pendanaan jangka pendek kepada Bank dengan maksud agar kelangsungan kegiatan usaha Bank dapat terpelihara. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Rasio kewajiban penyediaan modal minimum yang digunakan adalah berdasarkan perhitungan Bank Indonesia. Ayat (3) Perkiraan Bank atas jumlah kebutuhan likuiditas didasarkan pada proyeksi arus kas paling lama 14 hari kalender ke depan. Ayat (4) Yang dimaksud dengan kewajiban GWM adalah berdasarkan perhitungan Bank Indonesia. Pasal 3 … - 3 - Pasal 3 Cukup jelas. Pasal 4 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan Surat Berharga yang diterbitkan oleh badan hukum lainnya adalah obligasi korporasi baik yang konvensional maupun yang syariah. Peringkat tersebut berdasarkan hasil penilaian lembaga pemeringkat yang diakui Bank Indonesia sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai lembaga pemeringkat dan peringkat yang diakui Bank Indonesia. Ayat (3) Huruf a Kolektibilitas lancar adalah kualitas lancar sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Agunan dari kredit yang dijaminkan diprioritaskan mulai dari agunan yang paling likuid. Penilaian … - 4 - Penilaian agunan dilakukan sesuai ketentuan Bank Indonesia mengenai Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum, termasuk namun tidak terbatas pada batasan kredit yang agunannya harus dinilai oleh penilai independen, kriteria penilai independen, dan waktu dilakukannya penilaian. Huruf d Yang dimaksud dengan pihak terkait adalah pihak terkait sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK) Bank Umum. Huruf e Restrukturisasi dimaksud dilakukan terhadap debitur yang mengalami kesulitan pembayaran pokok dan/atau bunga kredit. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Batas maksimum pemberian kredit mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai BMPK Bank Umum. Huruf h Cukup jelas. Ayat (4) Cukup Jelas. Ayat (5) Apabila Bank memiliki surat berharga sebagaimana dimaksud pada ayat (2) namun nilainya tidak mencukupi untuk menjadi agunan FPJP maka Bank dapat menggunakan aset kredit untuk menambah kekurangan nilai agunan. Pasal 5 … - 5 - Pasal 5 Cukup jelas. Pasal 6 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Penggantian atau penambahan agunan FPJP dimaksudkan agar nilai aset agunan FPJP sesuai dengan ketentuan Pasal 5. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 7 Ayat (1) Yang dimaksud dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku antara lain adalah peraturan yang mengatur gadai atau fidusia. Ayat (2) Yang dimaksud dengan dokumen-dokumen atas aset yang menjadi agunan FPJP antara lain perjanjian kredit antara Bank dengan nasabah, bukti pengikatan agunan dan bukti kepemilikan atas aset yang menjadi agunan kredit Bank. Ayat (3) … - 6 - Ayat (3) Cukup Jelas. Pasal 8 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Yang dimaksud dengan dokumen pendukung antara lain adalah perjanjian kredit antara bank dengan nasabah dan perjanjian pengikatan agunan atas kredit tersebut dan dokumen lain yang dapat membuktikan terpenuhinya persyaratan agunan sebagaimana dalam Pasal 4. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 9 … - 7 - Pasal 9 Cukup jelas. Pasal 10 Cukup jelas. Pasal 11 Ayat (1) Yang dimaksud dengan hari pada ayat ini adalah hari kalender. Apabila saat jatuh tempo FPJP bertepatan pada hari Sabtu, Minggu atau hari libur, maka saat jatuh tempo FPJP adalah pada hari kerja berikutnya. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 12 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Dalam rangka pelaksanaan perpanjangan FPJP, agunan yang telah diagunkan Bank untuk menjamin FPJP yang diterima Bank sebelumnya akan dinilai kembali, sehingga Bank perlu menyesuaikan jumlah agunan yang diserahkan untuk menjamin perpanjangan FPJP. Pasal 13 … - 8 - Pasal 13 Tambahan nilai FPJP yang diajukan akan diakumulasikan terhadap nilai FPJP yang belum dilunasi. Pasal 14 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan BI rate adalah suku bunga kebijakan yang ditetapkan Bank Indonesia secara periodik sebagai sinyal kebijakan moneter untuk jangka waktu tertentu serta diumumkan kepada publik. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 15 Ayat (1) Yang dimaksud dengan jatuh tempo adalah berakhirnya jangka waktu FPJP dan tidak terdapat perpanjangan atas FPJP dimaksud. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 16 … - 9 - Pasal 16 Cukup jelas. Pasal 17 Pemeriksaan terhadap Bank yang menerima FPJP dapat dilakukan pada periode diterimanya atau setelah jatuh tempo FPJP. Pasal 18 Yang dimaksud biaya dalam pasal ini antara lain adalah biaya notaris untuk pengikatan perjanjian dan pengikatan agunan dalam rangka pemberian FPJP serta biaya-biaya lainnya yang timbul karena eksekusi agunan FPJP. Pasal 19 Cukup Jelas. Pasal 20 Cukup Jelas. Pasal 21 Cukup Jelas. Pasal 22 Cukup Jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2008 NOMOR 4912 DPNP/DPM
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 10/26/PBI/2008 </reg_id> <reg_title> FASILITAS PENDANAAN JANGKA PENDEK BAGI BANK UMUM </reg_title> <set_date> 30 Oktober 2008 </set_date> <effective_date> 29 Oktober 2008 </effective_date> <issued_date> 30 Oktober 2008 </issued_date> <replaced_reg> '7/21/PBI/2005', '5/15/PBI/2003' </replaced_reg> <related_reg> '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '10/UU/1998', '7/UU/1992' </related_reg> <penalty_list> 'BAB VII' </penalty_list>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 13/ 12 /PBI/2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 5/26/PBI/2003 TENTANG LAPORAN BULANAN BANK UMUM SYARIAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka penerapan Laporan Bulanan Bank Umum Syariah yang lebih efektif, akurat, dan lengkap diperlukan persiapan yang memadai dari infrastruktur pendukung serta semua pihak yang terkait dengan penerapannya; b. bahwa dalam rangka lebih meningkatkan ketersediaan data perbankan untuk pengambilan keputusan di bidang moneter dan perbankan secara lebih cepat, diperlukan penyesuaian batas waktu penyampaian Laporan dari Bank Pelapor kepada Bank Indonesia; c. bahwa ... -2- c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu untuk melakukan perubahan terhadap Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/26/PBI/2003 tentang Laporan Bulanan Bank Umum Syariah; Mengingat : : 1. Undang–Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang–Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); 2. Undang–Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang- Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962); 3. Undang-Undang ... -3- 3. Undang–Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3844); 4. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867); MEMUTUSKAN : Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 5/26/PBI/2003 TENTANG LAPORAN BULANAN BANK UMUM SYARIAH. Pasal I Beberapa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/26/PBI/2003 tentang Laporan Bulanan Bank Umum Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 136, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4336) diubah sebagai berikut : 1. Ketentuan ... -4- 1. Ketentuan Bab III diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut : BAB III PERIODE PENYAMPAIAN LAPORAN DAN KOREKSI LAPORAN Pasal 9 (1) Bank Pelapor setiap bulan wajib menyampaikan Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) kepada Bank Indonesia paling lama pada tanggal 5 bulan berikutnya setelah berakhirnya bulan Laporan yang bersangkutan. (2) Bank Pelapor dinyatakan telah menyampaikan Laporan pada tanggal diterimanya Laporan oleh Bank Indonesia. Pasal 10 Bank Pelapor dinyatakan terlambat menyampaikan Laporan apabila menyampaikan Laporan melampaui batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) sampai dengan tanggal 7 bulan berikutnya setelah berakhirnya bulan Laporan yang bersangkutan. Pasal 11 Bank Pelapor dinyatakan tidak menyampaikan Laporan, apabila Bank Indonesia belum menerima Laporan sampai dengan batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10. Pasal 12 Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) dan Pasal 10 yang disampaikan secara online dapat disampaikan pada hari Sabtu, Minggu, hari libur, dan cuti bersama yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Pasal 13 ... -5- Pasal 13 (1) Bank Pelapor wajib menyampaikan koreksi atas kesalahan Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) yang telah disampaikan kepada Bank Indonesia, paling lama pada tanggal 5 bulan berikutnya setelah berakhirnya bulan Laporan yang bersangkutan. (2) Bank Pelapor dinyatakan telah menyampaikan koreksi Laporan pada tanggal diterimanya koreksi Laporan oleh Bank Indonesia. Pasal 14 Bank Pelapor dinyatakan terlambat menyampaikan koreksi Laporan apabila menyampaikan koreksi Laporan melampaui batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) sampai dengan tanggal 7 bulan berikutnya setelah berakhirnya bulan Laporan yang bersangkutan. Pasal 15 Bank Pelapor dinyatakan tidak menyampaikan koreksi Laporan apabila Bank Indonesia belum menerima koreksi Laporan sampai dengan batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14. Pasal 16 Koreksi Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) dan Pasal 14 yang disampaikan secara online dapat disampaikan pada hari Sabtu, Minggu, hari libur, dan cuti bersama yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. 2. Ketentuan ... -6- 2. Ketentuan Pasal 17 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 17 (1) Bank Pelapor wajib menyampaikan Laporan dan/atau koreksi Laporan kepada Bank Indonesia secara online sampai dengan batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1), Pasal 10, Pasal 13 ayat (1), dan/atau Pasal 14. (2) Kewajiban penyampaian Laporan dan/atau koreksi Laporan secara online sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan terhadap: a. Bank Pelapor yang berkedudukan di daerah yang belum tersedia fasilitas komunikasi, sehingga tidak memungkinkan untuk menyampaikan Laporan secara online; b. Bank Pelapor yang baru dibuka dengan batas waktu paling lama 2 (dua) bulan setelah melakukan kegiatan operasional; c. Bank Pelapor yang mengalami gangguan teknis dalam menyampaikan Laporan dan/atau koreksi Laporan, dengan disertai pemberitahuan tertulis kepada Bank Indonesia mengenai sebab- sebab terjadinya gangguan teknis tersebut, yang disampaikan bersamaan dengan penyampaian Laporan dan/atau koreksi Laporan secara offline; atau d. Bank Pelapor yang tidak dapat menyampaikan Laporan dan/atau koreksi Laporan yang disebabkan karena gangguan teknis dan/atau gangguan lainnya pada sistem atau jaringan telekomunikasi di Bank Indonesia, setelah menerima pemberitahuan secara tertulis atau melalui sarana lain dari Bank Indonesia mengenai terjadinya gangguan tersebut. (3). Bank ... -7- (3) Bank Pelapor yang tidak dapat menyampaikan Laporan dan/atau koreksi Laporan secara online sebagaimana dimaksud pada ayat (2), wajib menyampaikan Laporan dan/atau koreksi Laporan secara offline. (4) Bank Pelapor yang dinyatakan tidak menyampaikan Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dan/atau koreksi Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 tetap wajib menyampaikan Laporan dan/atau koreksi Laporan kepada Bank Indonesia secara offline. (5) Penyampaian Laporan dan/atau koreksi Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) wajib disampaikan pada hari kerja. (6) Dalam hal Laporan dan/atau koreksi Laporan yang diterima oleh Bank Indonesia tidak dapat diolah karena adanya gangguan pada sistem database dan/atau jaringan komunikasi di Bank Indonesia maka Bank Indonesia dapat meminta Bank Pelapor untuk menyampaikan ulang Laporan dan/atau koreksi Laporan secara online dan/atau offline. 3. Di antara Pasal 17 dan Pasal 18 disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 17A yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 17A (1) Dalam hal gangguan teknis di Bank Indonesia dan/atau Bank Pelapor terjadi pada batas akhir penyampaian Laporan dan/atau koreksi Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1), Pasal 10, Pasal 13 ayat (1) dan Pasal 14, Laporan dan/atau koreksi Laporan disampaikan paling lama pada hari kerja berikutnya secara offline. (2) Dalam hal Bank Pelapor tidak menyampaikan Laporan dan/atau koreksi Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka Bank Pelapor dianggap: a. terlambat ... -8- a. terlambat menyampaikan Laporan dan/atau koreksi Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 dan Pasal 14; dan/atau b. tidak menyampaikan Laporan dan/atau koreksi Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dan Pasal 15. 4. Ketentuan Pasal 18 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 18 (1) Bank Pelapor yang melakukan kegiatan operasional di Indonesia, wajib menyampaikan: a. Laporan secara online kepada Bank Indonesia. b. Laporan secara offline kepada: 1. Direktorat Statistik Ekonomi dan Moneter c.q. Tim Statistik Moneter, Keuangan, dan Fiskal, Jl. MH. Thamrin No. 2 Jakarta 10350 bagi Bank Pelapor yang berkedudukan di wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia; atau 2. Kantor Bank Indonesia setempat, bagi Bank Pelapor yang berkedudukan di luar wilayah sebagaimana dimaksud dalam angka 1. (2) Bagi Bank Pelapor yang melakukan kegiatan operasional di luar Indonesia, Laporan wajib disusun dan disampaikan oleh kantor pusat Bank atau Unit Usaha Syariah dari Bank Pelapor. 5. Ketentuan Pasal 19 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 19 ... -9- Pasal 19 (1) Bank Pelapor yang terlambat menyampaikan Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) per hari kerja keterlambatan. (2) Bank Pelapor yang tidak menyampaikan Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). (3) Bank Pelapor yang terlambat menyampaikan koreksi Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) per hari kerja keterlambatan. (4) Bank Pelapor yang menyampaikan koreksi Laporan atas inisiatif Bank Pelapor setelah melampaui batas waktu keterlambatan penyampaian koreksi Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp50.000,00 (lima puluh ribu rupiah) per item kesalahan dan paling banyak seluruhnya sebesar Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah). (5) Dalam hal berdasarkan penelitian dan/atau pemeriksaan Bank Indonesia atas Laporan yang telah disampaikan oleh Bank Pelapor ditemukan kesalahan, maka Bank Pelapor dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) per item kesalahan dan paling banyak seluruhnya sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah). (6) Bank Pelapor yang menyampaikan Laporan dan/atau koreksi Laporan secara offline pada periode penyampaian online tanpa memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) dan ayat (3), dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) untuk setiap penyampaian Laporan atau koreksi Laporan. (7). Dalam ... -10- (7) Dalam hal Bank Pelapor mengirimkan ulang Laporan dan/atau koreksi Laporan atas permintaan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (6), Bank Pelapor tidak dikenakan sanksi kewajiban membayar. 6. Ketentuan Pasal 21 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 21 Bank Pelapor yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 5, Pasal 7 ayat (4), Pasal 8 ayat (2) dan ayat (3) dikenakan sanksi administratif dalam rangka pembinaan dan pengawasan Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, berupa teguran tertulis. 7. Ketentuan Pasal 22 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 22 Bank Pelapor yang telah dikenakan sanksi kewajiban membayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, dikenakan sanksi administratif dalam rangka pembinaan dan pengawasan Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, berupa teguran tertulis. Pasal II Kewajiban sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini mulai diberlakukan sejak pelaporan data bulan Maret 2011 yang disampaikan pada bulan April 2011. Pasal III ... -11- Pasal III Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 17 Maret 2011 GUBERNUR BANK INDONESIA, DARMIN NASUTION Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 17 Maret 2011 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, PATRIALIS AKBAR LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2011 NOMOR 38 DSM/DPbS -12- PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 13/ 12 /PBI/2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 5/26/PBI/2003 TENTANG LAPORAN BULANAN BANK UMUM SYARIAH I. UMUM Dalam rangka penerapan Laporan Bulanan Bank Umum Syariah yang lebih efektif, akurat, dan lengkap diperlukan persiapan yang memadai dari infrastruktur pendukung serta semua pihak yang terkait dengan penerapannya. Selanjutnya, untuk lebih meningkatkan ketersediaan data perbankan untuk pengambilan keputusan di bidang moneter dan perbankan secara lebih cepat, diperlukan penyesuaian batas waktu penyampaian Laporan Bulanan Bank Umum Syariah kepada Bank Indonesia. Penyesuaian batas waktu penyampaian Laporan Bulanan Bank Umum Syariah tersebut juga diperlukan dalam rangka harmonisasi dengan ketentuan penyampaian Laporan Bulanan Bank Umum yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional agar dapat dilakukan konsolidasi data. II. Pasal ... -13- II. PASAL DEMI PASAL Pasal I Angka 1 Pasal 9 Ayat (1) Contoh: Laporan untuk data bulan Maret 2011 wajib disampaikan paling lama pada tanggal 5 April 2011. Ayat (2) Apabila Laporan disampaikan secara online dan diterima oleh Bank Indonesia dengan baik dan telah lolos validasi, maka tanda bukti penerimaan Laporan dapat diambil secara online (download). Apabila Laporan disampaikan secara offline dan diterima oleh Bank Indonesia dengan baik dan telah lolos validasi, maka Bank Pelapor dapat mengambil tanda bukti penerimaan Laporan dari Bank Indonesia. Pasal 10 Contoh: Penyampaian Laporan untuk data bulan Maret 2011 dinyatakan terlambat apabila disampaikan mulai tanggal 6 April 2011 sampai dengan 7 April 2011. Pasal 11 Contoh: Laporan untuk data bulan Maret 2011 dinyatakan tidak disampaikan apabila Laporan disampaikan setelah tanggal 7 April 2011. Pasal 12 ... -14- Pasal 12 Yang termasuk “hari libur” adalah hari libur Nasional dan hari libur setempat yang ditetapkan oleh Pemerintah Provinsi. Contoh: Laporan yang disampaikan secara online sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 untuk Laporan data bulan Oktober 2011 disampaikan paling lama tanggal 5 November 2011 yang jatuh pada hari Sabtu. Laporan yang disampaikan secara online sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 untuk Laporan data bulan Juli 2011 disampaikan paling lama tanggal 7 Agustus 2011 yang jatuh pada hari Minggu. Pasal 13 Ayat (1) Contoh: Koreksi Laporan untuk data bulan Maret 2011 wajib disampaikan paling lama pada tanggal 5 April 2011. Ayat (2) Apabila koreksi Laporan disampaikan secara online dan diterima oleh Bank Indonesia dengan baik dan telah lolos validasi, maka tanda bukti penerimaan koreksi Laporan dapat diambil secara online (download). Apabila koreksi Laporan disampaikan secara offline dan diterima oleh Bank Indonesia dengan baik dan telah lolos validasi, maka Bank Pelapor dapat mengambil tanda bukti penerimaan koreksi Laporan dari Bank Indonesia. Pasal 14 ... -15- Pasal 14 Contoh: Penyampaian koreksi Laporan untuk data bulan Maret 2011 dinyatakan terlambat apabila disampaikan mulai tanggal 6 April 2011 sampai dengan tanggal 7 April 2011. Pasal 15 Contoh: Koreksi Laporan untuk data bulan Maret 2011 dinyatakan tidak disampaikan apabila Laporan disampaikan setelah tanggal 7 April 2011. Pasal 16 Contoh: Koreksi Laporan yang disampaikan secara online sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 untuk Laporan data bulan Oktober 2011 dapat disampaikan paling lama tanggal 5 November 2011 yang jatuh pada hari Sabtu. Koreksi Laporan yang disampaikan secara online sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 untuk Laporan data bulan Juli 2011 dapat disampaikan paling lama tanggal 7 Agustus 2011 yang jatuh pada hari Minggu. Angka 2 Pasal 17 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) ... -16- Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Contoh: Kantor Cabang Bank X baru dibuka dan mulai melakukan kegiatan operasional pada tanggal 20 Maret 2011, maka Kantor Cabang Bank X tersebut wajib menyampaikan Laporan data bulan Maret 2011 paling lama tanggal 5 April 2011 yang dapat disampaikan secara offline. Untuk Laporan data bulan April 2011, maka Kantor Cabang Bank X tersebut wajib menyampaikan Laporan data bulan April 2011 paling lama tanggal 5 Mei 2011 yang dapat disampaikan secara offline. Huruf c Yang dimaksud dengan “gangguan teknis di Bank Pelapor” adalah gangguan yang menyebabkan Bank Pelapor tidak dapat menyampaikan Laporan dan/atau koreksi Laporan secara online kepada Bank Indonesia antara lain karena gangguan pada sistem di internal Bank Pelapor. Huruf d ... -17- Huruf d Yang dimaksud dengan “gangguan teknis di Bank Indonesia” adalah gangguan yang menyebabkan Bank Indonesia tidak dapat menerima penyampaian Laporan dan/atau koreksi Laporan secara online dari Bank Pelapor antara lain karena gangguan pada jaringan telekomunikasi dan/atau penyebab lainnya. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Angka 3 Pasal 17A Ayat (1) Contoh : Pada Tanggal 5 Juni 2011 yang jatuh pada hari Minggu, Bank A mengalami gangguan teknis atau terjadi gangguan teknis di Bank Indonesia untuk menyampaikan Laporan secara online. Tanggal tersebut merupakan batas akhir penyampaian Laporan dan/atau koreksi Laporan untuk data bulan Mei 2011. Bank diperkenankan menyampaikan Laporan dan/atau koreksi Laporan pada tanggal 6 Juni 2011 yang jatuh pada hari Senin secara offline. Ayat (2) ... -18- Ayat (2) Cukup jelas. Angka 4 Pasal 18 Cukup jelas. Angka 5 Pasal 19 Ayat (1) Contoh: Tanggal 5 Juni 2011 jatuh pada hari Minggu. Bank A menyampaikan Laporan data bulan Mei 2011 pada hari Selasa tanggal 7 Juni 2011. Bank A dinyatakan terlambat menyampaikan Laporan selama 2 (dua) hari kerja, yaitu Senin dan Selasa (tanggal 6 dan 7 Juni 2011), sehingga Bank A dikenakan sanksi sebesar 2 (dua) hari x Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) = Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah). Ayat (2) Contoh: Tanggal 7 Agustus 2011 jatuh pada hari Minggu. Bank A menyampaikan Laporan data bulan Juli 2011 pada hari Senin tanggal 8 Agustus 2011, sehingga Bank A dikenakan sanksi tidak menyampaikan Laporan sebesar Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). Ayat (3) ... -19- Ayat (3) Contoh: Tanggal 5 Juni 2011 jatuh pada hari Minggu. Bank A menyampaikan koreksi Laporan data bulan Mei 2011 pada hari Senin tanggal 6 Juni 2011 sebanyak 3 (tiga) kali penyampaian koreksi. Bank A dinyatakan terlambat menyampaikan koreksi Laporan selama 1 (satu) hari kerja, yaitu Senin (tanggal 6 Juni 2011), sehingga Bank A dikenakan sanksi sebesar 1 (satu) hari x Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) = Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah). Penyampaian koreksi Laporan yang berulang kali pada hari yang sama tetap di hitung 1 (satu) hari. Ayat (4) Contoh: Yang dimaksud dengan “per item kesalahan” adalah kesalahan per field data. Apabila dalam satu baris data terdapat kesalahan lebih dari satu field, kesalahan dihitung berdasarkan banyaknya field yang salah dalam baris bersangkutan. Sebagai contoh, pada Daftar Rincian Piutang Murabahah, dalam satu baris terdapat kesalahan pada kolom Kolektibilitas dan Sektor Ekonomi, maka dihitung sebagai 2 (dua) item kesalahan. Selanjutnya apabila terdapat 700 (tujuh ratus) item kesalahan, maka perhitungan sanksi adalah 700 (tujuh ratus) x Rp50.000,00 (lima puluh ribu rupiah) = Rp35.000.000,00 (tiga puluh lima juta rupiah), namun Bank hanya dikenakan sanksi paling banyak, yaitu Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah). Ayat (5) ... -20- Ayat (5) Contoh: Pada Daftar Rincian Piutang Murabahah, dalam satu baris terdapat kesalahan pada kolom Kolektibilitas dan Sektor Ekonomi, maka dihitung sebagai 2 (dua) item kesalahan. Selanjutnya apabila terdapat 700 (tujuh ratus) item kesalahan, maka perhitungan sanksi adalah 700 (tujuh ratus) x Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) = Rp70.000.000,00 (tujuh puluh juta rupiah), namun Bank hanya dikenakan sanksi paling banyak, yaitu Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah). Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Angka 6 Pasal 21 Cukup jelas. Angka 7 Pasal 22 Cukup jelas. Pasal II ... -21- Pasal II Cukup jelas. Pasal III Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5203
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 13/12/PBI/2011 </reg_id> <reg_title> PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 5/26/PBI/2003 TENTANG LAPORAN BULANAN BANK UMUM SYARIAH </reg_title> <set_date> 17 Maret 2011 </set_date> <effective_date> 17 Maret 2011 </effective_date> <issued_date> 17 Maret 2011 </issued_date> <changed_reg> '5/26/PBI/2003' </changed_reg> <related_reg> '21/UU/2008', '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '24/UU/1999', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg> <penalty_list> 'Pasal I Angka 5 Pasal 19', 'Pasal I Angka 6 Pasal 21', 'Pasal I Angka 7 Pasal 22' </penalty_list>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 15/5/ PBI/ 2013 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 12/11/PBI/2010 TENTANG OPERASI MONETER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka penguatan operasi moneter dan manajemen ekses likuiditas melalui strategi operasi moneter yang memperpanjang profil jatuh waktu instrumen operasi moneter, diperlukan pengkayaan instrumen yang dapat membawa likuiditas yang saat ini terkonsentrasi di jangka sangat pendek ke jangka lebih panjang; b. bahwa instrumen tersebut perlu untuk memenuhi kebutuhan pelaku pasar sehingga sekaligus dapat mendukung upaya pendalaman pasar keuangan; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu melakukan perubahan terhadap Peraturan Bank Indonesia Nomor 12/11/PBI/2010 tentang Operasi Moneter; Mengingat : a. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182; Tambahan … - 2 - Tambahan Lembaran Negara Nomor 3790); b. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3843) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia Menjadi Undang- Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7; Tambahan Lembaran Negara Nomor 4962); M E M U T U S K A N: Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 12/11/PBI/2010 TENTANG OPERASI MONETER. Pasal I Beberapa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 12/11/PBI/2010 tentang Operasi Moneter (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5141) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/5/PBI/2012 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5321) diubah sebagai berikut : 1. Di … - 3 - 1. Di antara Pasal 1 angka 7 dan Pasal 1 angka 8 disisipkan 1 angka yaitu angka 7a sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut : Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan : 1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang tentang Perbankan yang berlaku, yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional. 2. Operasi Moneter adalah pelaksanaan kebijakan moneter oleh Bank Indonesia dalam rangka pengendalian moneter melalui operasi pasar terbuka dan koridor suku bunga (standing facilities). 3. Operasi Pasar Terbuka yang selanjutnya disingkat OPT adalah kegiatan transaksi di pasar uang yang dilakukan oleh Bank Indonesia dengan Bank dan/atau pihak lain dalam rangka Operasi Moneter. 4. Koridor Suku Bunga (Standing Facilities) yang selanjutnya disebut Standing Facilities adalah kegiatan penyediaan dana rupiah (lending facility) dari Bank Indonesia kepada Bank dan penempatan dana rupiah (deposit facility) oleh Bank di Bank Indonesia dalam rangka Operasi Moneter. 5. Absorpsi Likuiditas adalah pengurangan likuiditas di pasar uang rupiah melalui kegiatan Operasi Moneter. 6. Injeksi Likuiditas adalah penambahan likuiditas di pasar uang rupiah melalui kegiatan Operasi Moneter. 7. Sertifikat Bank Indonesia yang selanjutnya disingkat SBI adalah surat berharga dalam mata uang rupiah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia sebagai pengakuan utang berjangka waktu pendek. 7a. Sertifikat Deposito Bank Indonesia yang selanjutnya disingkat SDBI adalah surat berharga dalam mata uang rupiah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia sebagai pengakuan utang berjangka waktu pendek yang dapat diperdagangkan hanya antar Bank. 8. Surat Berharga Negara yang selanjutnya disingkat SBN adalah Surat Utang Negara dan Surat Berharga Syariah Negara. 9. Surat … - 4 - 9. Surat Utang Negara yang selanjutnya disingkat SUN adalah surat berharga yang berupa surat pengakuan utang dalam mata uang rupiah maupun valuta asing yang dijamin pembayaran bunga dan pokoknya oleh Negara Republik Indonesia, sesuai dengan masa berlakunya, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang berlaku. 10. Surat Berharga Syariah Negara yang selanjutnya disingkat SBSN, atau dapat disebut Sukuk Negara, adalah SBN yang diterbitkan berdasarkan prinsip syariah, sebagai bukti atas penyertaan terhadap aset SBSN, baik dalam mata uang rupiah maupun valuta asing, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang berlaku. 11. Bank Indonesia – Scripless Securities Settlement System yang selanjutnya disingkat BI-SSSS adalah sarana transaksi dengan Bank Indonesia termasuk penatausahaannya, dan penatausahaan surat berharga secara elektronik dan terhubung langsung antara peserta, penyelenggara dan Sistem Bank Indonesia – Real Time Gross Settlement. 12. Sistem Bank Indonesia – Real Time Gross Settlement yang selanjutnya disebut Sistem BI-RTGS adalah suatu sistem transfer dana elektronik antar peserta Sistem BI-RTGS dalam mata uang rupiah yang penyelesaiannya dilakukan secara seketika per transaksi secara individual. 2. Ketentuan Pasal 5 diubah sehingga Pasal 5 berbunyi sebagai berikut : Pasal 5 Kegiatan OPT meliputi : a. penerbitan SBI dan SDBI; b. transaksi repurchase agreement (repo) dan reverse repo surat berharga; c. transaksi pembelian dan penjualan surat berharga secara outright; d. penempatan berjangka (term deposit) di Bank Indonesia dalam rupiah; e. penempatan berjangka (term deposit) di Bank Indonesia dalam valuta asing; f. jual … - 5 - f. jual beli valuta asing terhadap rupiah; dan g. transaksi lainnya baik di pasar uang rupiah maupun valuta asing. 3. Ketentuan dalam Bab IV diubah sehingga berbunyi sebagai berikut : BAB IV PENERBITAN SERTIFIKAT BANK INDONESIA DAN SERTIFIKAT DEPOSITO BANK INDONESIA Pasal 11 (1) SBI yang diterbitkan oleh Bank Indonesia memiliki karakteristik sebagai berikut : a. berjangka waktu paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan yang dinyatakan dalam jumlah hari dan dihitung sejak 1 (satu) hari sesudah tanggal setelmen sampai dengan tanggal jatuh waktu; b. diterbitkan dan diperdagangkan dengan sistem diskonto; c. diterbitkan tanpa warkat (scripless); dan d. dapat dipindahtangankan (negotiable). (2) SDBI yang diterbitkan oleh Bank Indonesia memiliki karakteristik sebagai berikut : a. berjangka waktu paling singkat 1 (satu) hari dan paling lama 12 bulan yang dinyatakan dalam jumlah hari dan dihitung sejak 1 (satu) hari sesudah tanggal setelmen sampai dengan tanggal jatuh waktu; b. diterbitkan dan diperdagangkan dengan sistem diskonto; c. diterbitkan tanpa warkat (scripless); d. hanya dapat dimiliki oleh Bank; dan e. dapat dipindahtangankan (negotiable) hanya antar Bank. Pasal 12 (1) Bank Indonesia menatausahakan SBI dan SDBI dalam suatu sistem penatausahaan secara elektronis melalui Sistem Book Entry Registry dalam BI-SSSS. (2) Sistem … - 6 - (2) Sistem penatausahaan yang dikelola oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup sistem pencatatan kepemilikan dan penyelesaian transaksi SBI dan SDBI. (3) Sistem pencatatan kepemilikan SBI dan SDBI sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan tanpa warkat (scripless). (4) Bank Indonesia dapat menunjuk pihak lain untuk mendukung penatausahaan SBI dan SDBI sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (5) Dalam hal pihak lain yang ditunjuk untuk mendukung penatausahaan SBI dan SDBI sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak dapat memenuhi persyaratan yang ditetapkan Bank Indonesia atau menghentikan kegiatan usahanya, Bank Indonesia berwenang mencabut penunjukan yang ditetapkan. Pasal 13 (1) Dalam jangka waktu tertentu sejak memiliki SBI, pemilik SBI dilarang melakukan transaksi atas SBI yang dimilikinya dengan pihak lain. (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tidak berlaku untuk transaksi SBI oleh peserta Operasi Moneter dengan Bank Indonesia. (3) Pihak lain yang ditunjuk untuk mendukung penatausahaan SBI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (4), wajib menatausahakan SBI milik nasabahnya dengan memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 13A (1) Bank dilarang melakukan transaksi SDBI dengan pihak selain Bank. (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk transaksi SDBI dengan Bank Indonesia. (3) Pihak … - 7 - (3) Pihak lain yang ditunjuk untuk mendukung penatausahaan SDBI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (4), wajib menatausahakan SDBI milik nasabahnya dengan memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (4) Dalam hal SDBI dimiliki oleh pihak selain Bank, Bank Indonesia akan melunasi SDBI dimaksud sebelum jatuh waktu (early redemption). Pasal 14 (1) Bank Indonesia melunasi SBI dan SDBI pada saat jatuh waktu sebesar nilai nominal. (2) Bank Indonesia dapat melunasi SBI dan SDBI sebelum jatuh waktu dengan persetujuan pemilik SBI dan SDBI. 4. Di antara Pasal 21 dan Pasal 22 disisipkan 1 Pasal yaitu Pasal 21A yang berbunyi sebagai berikut : Pasal 21A Bank dan/atau pihak lain yang ditunjuk untuk mendukung penatausahaan SDBI yang melanggar ketentuan dalam Pasal 13A, dikenakan sanksi berupa : a. teguran tertulis; dan b. kewajiban membayar sebesar 0,01% (satu per sepuluh ribu) dari nilai nominal transaksi SDBI yang tidak memenuhi persyaratan dimaksud, paling sedikit sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) per hari. Pasal II Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Agar … - 8 - Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 27 Agustus 2013 GUBERNUR BANK INDONESIA, AGUS D. W. MARTOWARDOJO Diundangkan di Jakarta Pada Tanggal 27 Agustus 2013 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, AMIR SYAMSUDIN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2013 NOMOR 144 DPM
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 15/5/PBI/2013 </reg_id> <reg_title> PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 12/11/PBI/2010 TENTANG OPERASI MONETER </reg_title> <set_date> 27 Agustus 2013 </set_date> <effective_date> 27 Agustus 2013 </effective_date> <issued_date> 27 Agustus 2013 </issued_date> <changed_reg> '12/11/PBI/2010' </changed_reg> <extension_of> '14/5/PBI/2012' </extension_of> <related_reg> '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg> <penalty_list> 'Pasal I Angka 4 Pasal 21A' </penalty_list>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 8/12/PBI/2006 TENTANG LAPORAN BERKALA BANK UMUM GUBERNUR BANK INDONESIA Menimbang: a. bahwa dalam rangka penetapan kebijakan moneter, pemantauan stabilitas sistem keuangan, dan pemantauan kondisi bank yang lebih efektif, diperlukan data dan informasi bank yang akurat, lengkap, dan tepat waktu; b. bahwa dengan semakin pesatnya perkembangan industri keuangan khususnya industri perbankan, penambahan informasi yang disampaikan; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf menyesuaikan sistem penyampaian dan tata cara penyusunan beberapa laporan bank umum serta mengatur kembali ketentuan tentang laporan berkala bank umum dalam suatu Peraturan Bank Indonesia; Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 3 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia … a dan huruf b, dipandang perlu untuk diperlukan - 2 - Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357); 2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); MEMUTUSKAN: Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG LAPORAN BERKALA BANK UMUM BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan: 1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, termasuk kantor cabang bank asing. 2. Kantor Cabang Bank Asing adalah kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri berdasarkan hukum asing atau berkantor pusat di … - 3 - di luar negeri, yang secara langsung atau tidak langsung bertanggung jawab kepada kantor pusat bank yang bersangkutan dan mempunyai alamat serta tempat kedudukan di Indonesia. 3. Unit Usaha Syariah yang selanjutnya disebut UUS adalah unit kerja di kantor pusat Bank yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor cabang syariah dan atau unit melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor cabang pembantu syariah dan atau unit syariah. 4. Laporan Berkala Bank Umum yang selanjutnya disebut dengan LBBU adalah laporan yang disusun dan disampaikan oleh Bank secara berkala kepada Bank Indonesia. 5. Penyampaian laporan secara on line yang selanjutnya disebut on line adalah penyampaian laporan yang dilakukan dengan mengirim/mentransfer rekaman data secara langsung melalui jaringan komunikasi data kepada Bank Indonesia. 6. Penyampaian laporan secara off line yang selanjutnya disebut off line adalah penyampaian laporan yang dilakukan dengan menyampaikan rekaman data menggunakan disket atau media perekaman data elektronik lainnya kepada Bank Indonesia. Pasal 2 (1) Bank dan UUS wajib menyusun dan menyampaikan LBBU kepada Bank Indonesia secara akurat, lengkap, dan tepat waktu. (2) Penyusunan dan penyampaian LBBU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh kantor pusat Bank dan UUS. (3) Penyusunan … syariah, atau unit kerja di Kantor Cabang Bank Asing yang - 4 - (3) Penyusunan LBBU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Bank yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional meliputi data mengenai: a. dana pihak ketiga; b. pos-pos neraca mingguan; c. dana pihak ketiga milik pemerintah; d. maturity profile; e. batas maksimum pemberian kredit, yang terdiri dari: 1. pelanggaran batas maksimum pemberian kredit; 2. pelampauan batas maksimum pemberian kredit; dan 3. penyediaan dana; f. restrukturisasi kredit; g. kewajiban penyediaan modal minimum dengan memperhitungkan risiko pasar; h. deposan dan debitur inti; dan i. sensitivity to market risk. (4) Penyusunan LBBU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Bank yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah meliputi data mengenai: a. dana pihak ketiga; b. pos-pos neraca mingguan; c. dana pihak ketiga milik pemerintah; d. maturity profile; e. batas maksimum pemberian kredit, yang terdiri dari: 1. pelanggaran batas maksimum pemberian kredit; 2. pelampauan batas maksimum pemberian kredit; dan 3. penyediaan dana; f. deposito … - 5 - f. deposito investasi mudharabah; g. restrukturisasi pembiayaan; h. deposan dan debitur inti; dan i. sensitivity to market risk – nilai tukar. (5) Penyusunan LBBU sebagaimana dimaksud pada meliputi data mengenai: a. dana pihak ketiga; b. pos-pos neraca mingguan; c. dana pihak ketiga milik pemerintah; d. maturity profile; e. deposito investasi mudharabah; f. restrukturisasi pembiayaan; dan g. deposan dan debitur inti. Pasal 3 (1) Bank dan UUS bertanggung jawab atas keakuratan data, kelengkapan isi, dan ketepatan waktu penyampaian LBBU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2. (2) Bank dan UUS wajib menunjuk petugas dan penanggung jawab untuk menyusun dan menyampaikan LBBU kepada Bank Indonesia. (3) Bank dan UUS wajib menyampaikan daftar pihak-pihak yang ditunjuk sebagai petugas dan penanggung jawab LBBU sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada Bank Indonesia paling lambat 30 (tiga puluh) hari setelah dikeluarkannya Peraturan Bank Indonesia ini. (4) Penunjukan penanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak mengurangi atau menghilangkan tanggung jawab pengurus Bank atas keakuratan data. (5) Dalam … ayat (1) bagi UUS - 6 - (5) Dalam hal terjadi penggantian pihak-pihak yang telah ditunjuk sebagai petugas dan penanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Bank dan UUS wajib menyampaikan rencana penggantian. (6) Rencana penggantian sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diterima oleh Bank Indonesia paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sebelum terjadinya penggantian. Pasal 4 (1) Bank dan UUS dalam menyusun LBBU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 wajib mengacu pada Pedoman Penyusunan LBBU yang ditetapkan Bank Indonesia. (2) Pedoman Penyusunan LBBU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia. BAB II PERIODE DATA DAN POSISI LBBU Pasal 5 Data LBBU berupa dana pihak ketiga, pos-pos neraca mingguan, dan dana pihak ketiga milik pemerintah, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf a, huruf b, dan huruf c, ayat (4) huruf a, huruf b, dan huruf c, serta ayat (5) huruf a, huruf b, dan huruf c, disusun untuk 4 (empat) periode data laporan pada setiap bulan yaitu: a. Periode data laporan minggu pertama, meliputi data sejak tanggal 1 sampai dengan tanggal 7; b. Periode data laporan minggu kedua, meliputi data sejak tanggal 8 sampai dengan tanggal 15; c. Periode … - 7 - c. d. Periode data laporan minggu ketiga, meliputi data sejak tanggal 16 sampai dengan tanggal 23; Periode data laporan minggu keempat, meliputi data sejak tanggal 24 sampai dengan akhir bulan. Pasal 6 (1) Data LBBU berupa maturity profile, batas maksimum pemberian kredit, restrukturisasi kredit, dan kewajiban penyediaan modal minimum dengan memperhitungkan risiko pasar, serta deposan dan debitur inti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf d, huruf e, huruf f, huruf g, dan huruf h disusun untuk posisi laporan tanggal akhir bulan pada setiap bulan. (2) Data LBBU berupa maturity profile, batas maksimum pemberian kredit, deposito investasi mudharabah, restrukturisasi pembiayaan, serta deposan dan debitur inti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4) huruf d, huruf e, huruf f, huruf g, dan huruf h disusun untuk posisi laporan tanggal akhir bulan pada setiap bulan. (3) Data LBBU berupa maturity profile, deposito investasi mudharabah, dan restrukturisasi pembiayaan, serta deposan dan debitur inti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (5) huruf d, huruf e, huruf f, dan huruf g disusun untuk posisi laporan tanggal akhir bulan pada setiap bulan. Pasal 7 Data LBBU berupa sensitivity to market risk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf i dan ayat (4) huruf i disusun untuk posisi laporan tanggal akhir bulan pada setiap akhir triwulan. BAB III … - 8 - BAB III PENYAMPAIAN LBBU DAN KOREKSI LBBU Pasal 8 Pada setiap bulan, Bank dan UUS wajib menyampaikan LBBU dalam periode penyampaian yang ditetapkan sebagai berikut: a. b. c. d. periode penyampaian I, mulai tanggal 1 sampai dengan tanggal 6; periode penyampaian II, mulai tanggal 8 sampai dengan tanggal 13; periode penyampaian III, mulai tanggal 16 sampai dengan tanggal 21; periode penyampaian IV, mulai tanggal 24 sampai dengan tanggal 29. Pasal 9 Data LBBU yang wajib disampaikan untuk masing-masing periode penyampaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 bagi Bank yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional ditetapkan sebagai berikut: a. periode penyampaian I, meliputi data mengenai: 1. dana pihak ketiga untuk periode data laporan minggu keempat bulan sebelumnya; 2. pos-pos neraca mingguan untuk periode data laporan minggu keempat bulan sebelumnya; 3. dana pihak ketiga milik pemerintah untuk periode data laporan minggu keempat bulan sebelumnya; dan b. 4. maturity profile untuk posisi laporan tanggal akhir bulan sebelumnya. periode penyampaian II, meliputi data mengenai: 1. dana … - 9 - 1. dana pihak ketiga untuk periode data laporan minggu pertama bulan yang bersangkutan; 2. pos-pos neraca mingguan untuk periode data laporan minggu pertama bulan yang bersangkutan; 3. dana pihak ketiga milik pemerintah untuk periode data laporan minggu pertama bulan yang bersangkutan; 4. restrukturisasi kredit sebelumnya; dan 5. deposan dan debitur inti untuk posisi laporan tanggal akhir bulan sebelumnya. c. periode penyampaian III, meliputi data mengenai: 1. dana pihak ketiga untuk periode data laporan minggu kedua bulan yang bersangkutan; 2. pos-pos neraca mingguan untuk periode data laporan minggu kedua bulan yang bersangkutan; 3. dana pihak ketiga milik pemerintah untuk periode data laporan minggu kedua bulan yang bersangkutan; 4. batas maksimum pemberian kredit untuk posisi laporan tanggal akhir bulan sebelumnya; 5. kewajiban penyediaan modal minimum dengan memperhitungkan risiko pasar untuk posisi laporan tanggal akhir bulan sebelumnya; dan 6. sensitivity to market risk untuk posisi laporan tanggal akhir bulan pada setiap akhir triwulan. d. periode penyampaian IV, meliputi data mengenai: 1. dana pihak ketiga untuk periode data laporan minggu ketiga bulan yang bersangkutan; 2. pos-pos … untuk posisi laporan tanggal akhir bulan - 10 - 2. pos-pos neraca mingguan untuk periode data laporan minggu ketiga bulan yang bersangkutan; dan 3. dana pihak ketiga milik pemerintah untuk periode data laporan minggu ketiga bulan yang bersangkutan. Pasal 10 Data LBBU yang wajib disampaikan untuk masing-masing periode penyampaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 bagi Bank yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah ditetapkan sebagai berikut: a. periode penyampaian I, meliputi data mengenai: 1. dana pihak ketiga untuk periode data laporan minggu keempat bulan sebelumnya; 2. pos-pos neraca mingguan untuk periode data laporan minggu keempat bulan sebelumnya; 3. dana pihak ketiga milik pemerintah untuk periode data laporan minggu keempat bulan sebelumnya; posisi 4. maturity profile sebelumnya; dan 5. b. untuk laporan tanggal akhir bulan deposito investasi mudharabah untuk posisi laporan tanggal akhir bulan sebelumnya. periode penyampaian II, meliputi data mengenai: 1. dana pihak ketiga untuk periode data laporan minggu pertama bulan yang bersangkutan; 2. pos-pos neraca mingguan untuk periode data laporan minggu pertama bulan yang bersangkutan; 3. dana pihak ketiga milik pemerintah untuk periode data laporan minggu pertama bulan yang bersangkutan; 4. restrukturisasi … - 11 - 4. restrukturisasi pembiayaan untuk posisi laporan tanggal akhir bulan sebelumnya; dan 5. deposan dan debitur inti untuk posisi laporan tanggal akhir bulan sebelumnya. c. periode penyampaian III, meliputi data mengenai: 1. dana pihak ketiga untuk periode data laporan minggu kedua bulan yang bersangkutan; 2. pos-pos neraca mingguan untuk periode data laporan minggu kedua bulan yang bersangkutan; 3. dana pihak ketiga milik pemerintah untuk periode data laporan minggu kedua bulan yang bersangkutan; 4. batas maksimum pemberian kredit untuk posisi laporan tanggal akhir bulan sebelumnya; dan 5. sensitivity to market risk untuk posisi laporan tanggal akhir bulan pada setiap akhir triwulan. d. periode penyampaian IV, meliputi data mengenai: 1. dana pihak ketiga untuk periode data laporan minggu ketiga bulan yang bersangkutan; 2. pos-pos neraca mingguan untuk periode data laporan minggu ketiga bulan yang bersangkutan; dan 3. dana pihak ketiga milik pemerintah untuk periode data laporan minggu ketiga bulan yang bersangkutan. Pasal 11 Data LBBU yang wajib disampaikan untuk masing-masing periode penyampaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 bagi UUS ditetapkan sebagai berikut: a. periode … - 12 - a. periode penyampaian I, meliputi data mengenai: 1. dana pihak ketiga untuk periode data laporan minggu keempat bulan sebelumnya; 2. pos-pos neraca mingguan untuk periode data laporan minggu keempat bulan sebelumnya; 3. dana pihak ketiga milik pemerintah untuk periode data laporan minggu keempat bulan sebelumnya; 4. maturity profile untuk posisi laporan tanggal akhir bulan sebelumnya; dan 5. deposito investasi mudharabah untuk posisi laporan tanggal akhir bulan sebelumnya. b. periode penyampaian II, meliputi data mengenai: 1. dana pihak ketiga untuk periode data laporan minggu pertama bulan yang bersangkutan; 2. pos-pos neraca mingguan untuk periode data laporan minggu pertama bulan yang bersangkutan; 3. dana pihak ketiga milik pemerintah untuk periode data laporan minggu pertama bulan yang bersangkutan; 4. restrukturisasi pembiayaan untuk posisi laporan tanggal akhir bulan sebelumnya; dan 5. deposan dan debitur inti untuk posisi laporan tanggal akhir bulan sebelumnya. c. periode penyampaian III, meliputi data mengenai: 1. dana pihak ketiga untuk periode data laporan minggu kedua bulan yang bersangkutan; 2. pos-pos … - 13 - 2. pos-pos neraca mingguan untuk periode data laporan minggu kedua bulan yang bersangkutan; dan 3. dana pihak ketiga milik pemerintah untuk periode data laporan minggu kedua bulan yang bersangkutan. d. periode penyampaian IV, meliputi data mengenai: 1. dana pihak ketiga untuk periode data laporan minggu ketiga bulan yang bersangkutan; 2. pos-pos neraca mingguan untuk periode data laporan minggu ketiga bulan yang bersangkutan; dan 3. dana pihak ketiga milik pemerintah untuk periode data laporan minggu ketiga bulan yang bersangkutan. Pasal 12 Dalam hal ditemukan kesalahan data pada LBBU yang telah disampaikan kepada Bank Indonesia, Bank dan UUS wajib melakukan koreksi atas kesalahan tersebut dan menyampaikannya kepada Bank Indonesia dalam periode penyampaian LBBU yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, dan Pasal 11. Pasal 13 Dalam hal batas akhir periode penyampaian LBBU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dan atau koreksi LBBU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 jatuh pada hari Sabtu, hari Minggu dan atau hari libur, maka LBBU dan atau koreksi LBBU disampaikan pada hari kerja sebelumnya. BAB IV … - 14 - BAB IV TERLAMBAT DAN TIDAK MENYAMPAIKAN LBBU Pasal 14 (1) Bank dan UUS dinyatakan terlambat menyampaikan LBBU untuk satu periode penyampaian apabila LBBU diterima oleh Bank Indonesia setelah batas akhir periode penyampaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, sampai penyampaian dimaksud. (2) Bank dan UUS dinyatakan terlambat menyampaikan koreksi LBBU untuk satu periode penyampaian apabila koreksi LBBU diterima oleh Bank Indonesia setelah batas akhir periode penyampaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, sampai dengan 14 (empat belas) hari setelah batas akhir periode penyampaian dimaksud. Pasal 15 (1) Bank dan UUS dinyatakan tidak menyampaikan LBBU dan atau koreksi LBBU untuk satu periode penyampaian apabila LBBU dan atau koreksi LBBU belum diterima oleh Bank Indonesia sampai dengan batas akhir waktu keterlambatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14. (2) Bank dan UUS yang dinyatakan tidak menyampaikan LBBU dan atau koreksi LBBU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tetap wajib menyampaikan LBBU dan atau koreksi LBBU kepada Bank Indonesia. dengan 14 (empat belas) hari setelah batas akhir periode BAB V … - 15 - BAB V METODE PENYAMPAIAN LBBU Pasal 16 (1) Bank dan UUS wajib menyampaikan LBBU dan atau koreksi LBBU dalam periode penyampaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dan Pasal 12 kepada Bank Indonesia secara on line. (2) Kewajiban penyampaian secara on line sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan bagi: a. Bank dan UUS yang berada di daerah yang belum tersedia fasilitas komunikasi sehingga tidak memungkinkan untuk menyampaikan LBBU dan atau koreksi LBBU secara on line; b. Bank dan UUS yang baru dibuka dengan batas waktu paling lama 2 (dua) bulan setelah melakukan kegiatan operasional; c. Bank dan UUS yang mengalami gangguan teknis dalam pengiriman LBBU dan atau koreksi LBBU secara on line. (3) Bank dan UUS yang dikecualikan untuk menyampaikan LBBU dan atau koreksi LBBU secara on line sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c, wajib menyampaikan pemberitahuan secara tertulis yang ditandatangani oleh salah satu direktur Bank atau pimpinan Kantor Cabang Bank Asing atau pimpinan UUS pada saat penyampaian LBBU kepada Bank Indonesia. (4) Bank dan UUS yang dikecualikan untuk menyampaikan LBBU dan atau koreksi LBBU secara on line karena hal-hal sebagaimana dimaksud pada ayat (2), wajib menyampaikan LBBU dan atau koreksi LBBU secara off line pada periode penyampaian yang sama disertai hasil cetak computer (hard copy). Pasal 17 … - 16 - Pasal 17 Bank dan UUS yang dinyatakan terlambat atau dinyatakan tidak menyampaikan LBBU dan atau koreksi LBBU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 dan Pasal 15 wajib menyampaikan LBBU dan atau koreksi LBBU secara off line disertai hasil cetak computer (hard copy). Pasal 18 (1) LBBU dan koreksi LBBU secara on line disampaikan kepada Kantor Pusat Bank Indonesia. (2) LBBU dan koreksi LBBU secara off line serta pemberitahuan tertulis disampaikan kepada Bank Indonesia dengan alamat: a. Direktorat Statistik Ekonomi dan Moneter, Jl. M.H.Thamrin No. 2, Jakarta 10110, bagi Bank dan UUS yang berkantor pusat di wilayah kerja kantor pusat Bank Indonesia; atau b. Kantor Bank Indonesia setempat, bagi Bank dan UUS yang berkantor pusat di luar wilayah kerja kantor pusat Bank Indonesia. BAB VI LAIN-LAIN Pasal 19 (1) Bank dan UUS yang mengalami keadaan memaksa (force majeur) dikecualikan dari kewajiban menyampaikan LBBU dan atau koreksi LBBU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, dan Pasal 11. (2) Bank dan UUS yang mengalami keadaan memaksa (force majeur) wajib memberitahukan secara tertulis kepada Bank Indonesia untuk memperoleh pengecualian … - 17 - pengecualian penyampaian LBBU dan atau koreksi LBBU sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib ditandatangani oleh salah satu direktur Bank atau pimpinan Kantor Cabang Bank Asing atau pimpinan UUS yang disertai dengan: a. penjelasan mengenai penyebab terjadinya keadaan memaksa (force majeur); dan b. jangka waktu yang diperlukan untuk mengatasi keadaan memaksa (force majeur) dimaksud. (4) Pengecualian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya diberikan sampai dengan keadaan memaksa (force majeur) tersebut dapat teratasi. (5) Kewajiban penyampaian LBBU dan atau koreksi LBBU sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku untuk LBBU yang wajib disampaikan pada periode penyampaian IV bulan Juli 2006. BAB VII SANKSI Pasal 20 (1) Bank dan UUS yang dinyatakan terlambat menyampaikan LBBU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) kewajiban membayar sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) per hari kerja keterlambatan. (2) Bank dan UUS yang dinyatakan tidak menyampaikan LBBU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). (3) Dalam… dikenakan sanksi - 18 - (3) Dalam hal Bank dikenakan sanksi kewajiban membayar karena dinyatakan tidak menyampaikan LBBU, maka sanksi kewajiban membayar karena terlambat menyampaikan LBBU tidak diberlakukan. (4) Bank dan UUS yang dinyatakan terlambat menyampaikan koreksi LBBU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2) dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp50.000,00 (lima puluh ribu rupiah) per item koreksi dengan jumlah maksimum sebesar Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah) per laporan. (5) Bank dan UUS yang dinyatakan tidak menyampaikan koreksi LBBU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) per item koreksi dengan jumlah maksimum sebesar Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah) per laporan. (6) Bank dan UUS yang menyampaikan koreksi LBBU atas dasar temuan Bank Indonesia dan atau akuntan publik dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) per item koreksi dengan jumlah maksimum sebesar Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) per laporan. Pasal 21 Bank dan UUS yang menyampaikan LBBU dan atau koreksi LBBU secara off line yang tidak disebabkan oleh hal-hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2) dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah) untuk setiap penyampaian LBBU atau koreksi LBBU. Pasal 22 … - 19 - Pasal 22 Bank dan UUS yang tidak menyampaikan LBBU atau koreksi LBBU atas dasar temuan Bank Indonesia dan atau akuntan publik, setelah 2 (dua) kali teguran tertulis dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Pasal 23 (1) Pengenaan sanksi kewajiban membayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20, Pasal 21, dan Pasal 22 dilakukan Bank Indonesia dengan mendebet rekening giro rupiah Bank dan UUS pada Bank Indonesia. (2) Dalam hal saldo rekening Bank dan UUS pada Bank Indonesia tidak mencukupi maka sanksi kewajiban membayar wajib disetorkan secara tunai kepada rekening Bank pada Bank Indonesia. Pasal 24 Pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (4) dan ayat (5) dikecualikan untuk penyampaian koreksi LBBU sebagai akibat satu atau lebih kantor cabang Bank mengalami keadaan memaksa (force majeur) sehingga tidak dapat mengirimkan data LBBU kepada kantor pusat Bank atau dalam hal Bank mengirimkan ulang koreksi LBBU atas permintaan Bank Indonesia. Pasal 25 Pelanggaran terhadap ketentuan dalam Pasal 2 ayat (1), Pasal 3 ayat (2), ayat (3), ayat (5), Pasal 4 ayat (1), Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 15 ayat (2), Pasal 16 ayat (1), ayat (3), ayat (4), dan Pasal 19 ayat (2) dikenakan sanksi administratif, antara lain berupa: a. teguran … - 20 - a. b. teguran tertulis; pencantuman anggota pengurus, pegawai, dan pemegang saham Bank dalam daftar orang-orang yang dilarang menjadi pemegang saham dan atau pengurus Bank; c. d. e. pembekuan kegiatan usaha tertentu, antara lain tidak diperkenankan untuk ekspansi penyediaan dana; pemberhentian pengurus Bank dan selanjutnya menunjuk dan mengangkat pengganti sementara; dan atau larangan untuk turut serta dalam kegiatan kliring. BAB VIII KETENTUAN PERALIHAN Pasal 26 Bank tetap wajib menyampaikan LBBU sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/27/PBI/2005 tanggal 26 Agustus 2005 tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 3/17/PBI/2001 tentang Laporan Berkala Bank Umum dan Peraturan Bank Indonesia Nomor 3/17/PBI/2001 tanggal 4 Oktober 2001 tentang Laporan Berkala Bank Umum sampai dengan periode penyampaian IV Agustus 2006. BAB IX KETENTUAN PENUTUP Pasal 27 Pengenaan sanksi kewajiban membayar sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini mulai diberlakukan untuk LBBU yang wajib disampaikan pada periode penyampaian I bulan September 2006. Pasal 28 … - 21 - Pasal 28 (1) Dengan diberlakukannya Peraturan Bank Indonesia ini maka tata cara penyusunan, penyampaian, dan pengenaan sanksi penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam: a. Pasal 2, Pasal 3 ayat (2), Pasal 6 ayat (1) khususnya mengenai Laporan Pemantauan Likuiditas dalam Pasal 2, ayat (2), ayat (3) dan ayat (4), Pasal 7 khususnya mengenai alamat penyampaian Laporan Pemantauan Likuiditas dalam Pasal 2, Pasal 9 huruf a dan b, dan Pasal 10 khususnya yang mengatur mengenai Pasal 2 serta Pasal 9 huruf a dan b, Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 31/179/KEP/DIR tanggal 31 Desember 1998 tentang Pemantauan Likuiditas Bank Umum khususnya tentang Maturity Profile; b. Pasal 66 dan Pasal 67 Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/2/PBI/2005 tanggal 20 Januari 2005 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum; dan c. Bab VII angka 1 dan angka 2 Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 7/3/DPNP tanggal 31 Januari 2005 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum; disesuaikan dengan Peraturan Bank Indonesia ini. (2) Dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini, maka Peraturan Bank Indonesia Nomor 3/17/PBI/2001 tanggal 4 Oktober 2001 tentang Laporan Berkala Bank Umum sebagaimana telah diubah dengan PBI 7/27/PBI/2005 tanggal 24 Agustus 2005 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku sejak periode penyampaian I bulan September 2006. Pasal 29 … - 22 - Pasal 29 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Ditetapkan di : Jakarta Pada tanggal : 10 Juli 2006 GUBERNUR BANK INDONESIA BURHANUDDIN ABDULLAH LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2006 NOMOR 57 DPNP/DPbS/DSM PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 8/12/PBI/2006 TENTANG LAPORAN BERKALA BANK UMUM UMUM Dalam rangka mendukung tujuan Bank Indonesia dalam mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah, Bank Indonesia menetapkan kebijakan moneter. Penetapan kebijakan moneter dapat berjalan dengan efektif apabila didukung oleh pemantauan stabilitas sistem keuangan dan pemantauan kondisi bank yang lebih efektif. Hal tersebut memerlukan data dan informasi bank yang akurat, lengkap, dan tepat waktu. Selain itu, dengan semakin pesatnya perkembangan industri keuangan, maka informasi yang disampaikan perlu dilakukan penambahan. Dengan adanya penambahan informasi yang disampaikan dan untuk mendukung perolehan informasi yang akurat, lengkap, dan tepat waktu, perlu adanya penyesuaian terhadap sistem penyampaian dan tata cara penyusunan beberapa laporan bank umum yang telah ada serta mengatur kembali ketentuan tentang laporan berkala bank umum dalam suatu Peraturan Bank Indonesia. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 … - 2 - Pasal 2 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Bagi Kantor Cabang Bank Asing penyusunan dan penyampaian LBBU dilakukan oleh Kantor Cabang Bank Asing tersebut. Ayat (3) Huruf a Yang dimaksud dengan “dana pihak ketiga” adalah Dana Pihak Ketiga dalam rupiah dan valuta asing sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku mengenai giro wajib minimum bank umum pada Bank Indonesia dalam rupiah dan valuta asing. Huruf b Yang dimaksud dengan “pos-pos neraca mingguan” adalah neraca yang disusun secara mingguan yang memuat rincian pos- pos tertentu neraca. Cakupan pos-pos tertentu neraca mingguan yang dilaporkan Huruf c Yang dimaksud dengan “dana pihak ketiga milik pemerintah” adalah giro, tabungan, dan deposito yang dimiliki baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah propinsi dan kabupaten/ kotamadya yang anggaran keuangannya merupakan bagian dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Huruf d … adalah sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia yang berlaku mengenai laporan bulanan bank umum. - 3 - Huruf d Yang dimaksud dengan “maturity profile” adalah gambaran dari pos-pos aktiva dan pasiva dalam neraca yang akan jatuh tempo sesuai kontraknya atau asumsi lainnya sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku mengenai pemantauan likuiditas bank umum. Huruf e Yang dimaksud dengan “batas maksimum pemberian kredit” adalah persentase maksimum penyediaan dana yang diperkenankan terhadap modal Bank sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku mengenai batas maksimum pemberian kredit bank umum. Huruf f Yang dimaksud dengan “restrukturisasi kredit” adalah upaya perbaikan yang dilakukan Bank dalam kegiatan perkreditan terhadap debitur yang mengalami kesulitan untuk memenuhi kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku mengenai penilaian kualitas aktiva bank umum. Huruf g Yang dimaksud dengan “kewajiban penyediaan modal minimum dengan memperhitungkan risiko pasar” adalah memperhitungkan risiko kerugian pada posisi kewajiban penyediaan modal minimum dengan neraca dan rekening administratif serta transaksi derivatif akibat perubahan secara keseluruhan dari kondisi pasar, termasuk risiko perubahan … - 4 - perubahan harga option sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku mengenai kewajiban penyediaan modal minimum bank memperhitungkan risiko pasar (market risk). Huruf h Yang dimaksud dengan “deposan inti” adalah 10 (sepuluh), 25 (dua puluh lima), atau 50 (lima puluh) nasabah penyimpan dana (depositors) terbesar dari giro, tabungan dan deposito sesuai dengan total aset Bank sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku mengenai sistem penilaian tingkat kesehatan bank umum. Yang dimaksud dengan “debitur inti” adalah 10 (sepuluh), 15 (lima belas), atau 25 (dua puluh lima) debitur inti di luar pihak terkait sesuai dengan total aset Bank sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku mengenai sistem penilaian tingkat kesehatan bank umum. Huruf i Yang dimaksud dengan “sensitivity to market risk” adalah tingkat sensitivitas terhadap risiko pasar yang disebabkan oleh risiko nilai tukar dan risiko suku bunga sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku mengenai sistem penilaian tingkat kesehatan bank umum. Ayat (4) Huruf a Yang dimaksud ”dana pihak ketiga” adalah Dana Pihak Ketiga dalam rupiah dan valuta asing sebagaimana dimaksud dalam ketentuan … umum dengan - 5 - ketentuan Bank Indonesia yang berlaku mengenai giro wajib minimum dalam rupiah dan valuta asing bagi bank umum yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah pada Bank Indonesia. Huruf b Yang dimaksud dengan ”pos-pos neraca mingguan” adalah neraca yang disusun secara mingguan sesuai dengan rincian pos-pos neraca sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku mengenai laporan bulanan bank umum syariah. Huruf c Yang dimaksud dengan ”dana pihak ketiga milik pemerintah” adalah simpanan wadiah dan investasi tidak terikat, yang dimiliki oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah propinsi dan kabupaten/ kotamadya. Huruf d Yang dimaksud dengan “maturity profile” adalah gambaran dari pos-pos aktiva dan pasiva dalam neraca yang akan jatuh tempo sesuai kontraknya atau asumsi lainnya sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku mengenai pemantauan likuiditas bank umum. Huruf e Yang dimaksud dengan “batas maksimum pemberian kredit” adalah persentase maksimum penyediaan dana yang diperkenankan terhadap modal Bank sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku mengenai batas maksimum pemberian kredit bank umum. Huruf f… - 6 - Huruf f Yang dimaksud dengan ”deposito investasi mudharabah” adalah posisi nilai transaksi deposito investasi mudharabah yang tercatat pada tanggal laporan yang disajikan berdasarkan jangka waktunya. Huruf g Yang dimaksud dengan ”restrukturisasi pembiayaan” adalah upaya perbaikan yang dilakukan bank dalam kegiatan pembiayaan, piutang, dan atau ijarah terhadap debitur yang mengalami kesulitan untuk memenuhi kewajibannya. Huruf h Yang dimaksud dengan ”deposan dan debitur inti” adalah 25 penabung/investor dan debitur/grup terbesar diluar pihak terkait bank. Huruf i Yang dimaksud dengan ”sensitivity to market risk” adalah tingkat sensitivitas terhadap risiko pasar yang disebabkan oleh risiko nilai tukar. Ayat (5) Huruf a Yang dimaksud ”dana pihak ketiga” adalah Dana Pihak Ketiga dalam rupiah dan valuta asing sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku mengenai giro wajib minimum dalam rupiah dan valuta asing bagi bank umum yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah pada Bank Indonesia. Huruf b … - 7 - Huruf b Yang dimaksud dengan ”pos-pos neraca mingguan” adalah neraca yang disusun secara mingguan sesuai dengan rincian pos-pos neraca sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku mengenai laporan bulanan bank umum syariah. Huruf c Yang dimaksud dengan ”dana pihak ketiga milik pemerintah” adalah simpanan wadiah dan investasi tidak terikat, yang dimiliki oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah propinsi dan kabupaten/ kotamadya. Huruf d Yang dimaksud dengan “maturity profile” adalah gambaran dari pos-pos aktiva dan pasiva dalam neraca yang akan jatuh tempo sesuai kontraknya atau asumsi lainnya sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia tentang Pemantauan Likuiditas Bank Umum. Huruf e Yang dimaksud dengan ”deposito investasi mudharabah” adalah posisi nilai transaksi deposito investasi mudharabah yang tercatat pada tanggal laporan yang disajikan berdasarkan jangka waktunya. Huruf f Yang dimaksud dengan ”restrukturisasi pembiayaan” adalah upaya perbaikan yang dilakukan bank dalam kegiatan pembiayaan … - 8 - pembiayaan, piutang, dan atau ijarah terhadap debitur yang mengalami kesulitan untuk memenuhi kewajibannya. Huruf g Yang dimaksud dengan ”deposan dan debitur inti” adalah 25 penabung/investor dan debitur/grup terbesar diluar pihak terkait bank. Pasal 3 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “petugas” adalah pegawai yang mengetahui, menguasai, dan mengoperasikan sistem pelaporan. Yang dimaksud dengan “penanggung jawab” adalah pejabat yang memiliki wewenang Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Yang dimaksud Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 4 … dengan pengurus Bank adalah direksi Bank, komisaris Bank, dan atau pimpinan Kantor Cabang Bank Asing. untuk memberikan keabsahan dan keakuratan data yang dikirimkan. otorisasi mengenai - 9 - Pasal 4 Cukup jelas. Pasal 5 Cukup jelas. Pasal 6 Cukup jelas. Pasal 7 Posisi laporan tanggal akhir bulan pada setiap akhir triwulan adalah data pada posisi akhir bulan Maret, Juni, September, dan Desember. Pasal 8 Cukup jelas. Pasal 9 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c … - 10 - Huruf c Angka 1 Cukup jelas. Angka 2 Cukup jelas. Angka 3 Cukup jelas. Angka 4 Cukup jelas. Angka 5 Cukup jelas. Angka 6 Data ini terdiri dari data sensitivity to market risk suku bunga dan sensitivity to market risk nilai tukar. Laporan ini hanya disampaikan pada periode penyampaian III bulan Januari, April, Juli, dan Oktober setiap tahun. Huruf d Cukup jelas. Pasal 10 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c … - 11 - Huruf c Angka 1 Cukup jelas. Angka 2 Cukup jelas. Angka 3 Cukup jelas. Angka 4 Cukup jelas. Angka 5 Data ini terdiri dari data sensitivity to market risk nilai tukar. Laporan ini hanya disampaikan pada periode penyampaian III bulan Januari, April, Juli, dan Oktober setiap tahun. Huruf d Cukup jelas. Pasal 11 Cukup jelas. Pasal 12 Sebagai contoh, Bank menyampaikan LBBU periode data laporan minggu ketiga pada tanggal 18 September 2006, kemudian pada tanggal 20 September 2006 diketahui terdapat kesalahan LBBU yang telah disampaikan. Periode … - 12 - Periode penyampaian untuk LBBU periode data laporan minggu ketiga dan koreksinya adalah mulai tanggal 16 sampai dengan tanggal 21 September 2006. Dalam hal ini Bank wajib menyampaikan koreksi atas kesalahan tersebut paling lambat pada tanggal 21 September 2006. Kesalahan LBBU antara lain disebabkan adanya temuan Bank, Bank Indonesia maupun akuntan publik. Pasal 13 Yang dimaksud dengan hari libur adalah hari libur nasional dan atau hari libur lokal yang ditetapkan oleh pemerintah daerah setempat. Dalam hal terdapat beberapa hari libur umum yang berurutan termasuk hari libur khusus, pelaksanaan penyampaian LBBU dan atau koreksi LBBU akan diberitahukan kemudian oleh Bank Indonesia. Pasal 14 Cukup jelas. Pasal 15 Cukup jelas. Pasal 16 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) … - 13 - Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Batas waktu untuk UUS adalah 2 (dua) bulan setelah kantor cabang syariah atau unit kegiatan operasional. syariah yang pertama melakukan Huruf c Yang dimaksud dengan gangguan teknis adalah gangguan yang menyebabkan Bank dan UUS tidak dapat menyampaikan LBBU dan atau koreksi LBBU secara on-line, antara lain gangguan pada jaringan telekomunikasi, gangguan pada sistem di Bank dan di Bank Indonesia, kebakaran gedung, dan atau pemadaman listrik. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 17 Cukup jelas. Pasal 18 Cukup jelas. Pasal 19 … - 14 - Pasal 19 Ayat (1) Yang dimaksud dengan keadaan memaksa (force majeur) adalah keadaan yang secara nyata-nyata menyebabkan Bank dan UUS tidak dapat menyusun dan menyampaikan LBBU dan atau koreksi LBBU, antara lain adalah gempa bumi, banjir, kerusuhan, dan perang, yang dibenarkan oleh penguasa atau pejabat dari instansi terkait di daerah setempat. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 20 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) … - 15 - Ayat (4) Yang dimaksud “per laporan” adalah LBBU yang terdiri dari beberapa laporan sesuai periode penyampaian LBBU. Yang dimaksud “per item koreksi” adalah koreksi data per field data. Penyampaian koreksi LBBU dilakukan atas inisiatif Bank. Contoh: Bank A menyampaikan koreksi atas Formulir 8 - Laporan Kredit yang direstrukturisasi untuk posisi bulan Februari 2006, pada tanggal 3 April 2006. Koreksi yang dilakukan adalah koreksi data debitur X yaitu data nilai agunan, suku bunga, dan tunggakan bunga. Sanksi kewajiban membayar yang dibebankan kepada Bank A adalah sebesar 3 (tiga) item x Rp.50.000,00 (lima puluh ribu rupiah) Rp.150.000,00 (seratus lima puluh ribu rupiah). Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 21 Cukup jelas. Pasal 22 Cukup jelas. Pasal 23 … - 16 - Pasal 23 Cukup jelas. Pasal 24 Cukup jelas. Pasal 25 Cukup jelas. Pasal 26 Cukup jelas. Pasal 27 Cukup jelas. Pasal 28 Cukup jelas. Pasal 29 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4629 DPNP/DPbS/DSM
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 8/12/PBI/2006 </reg_id> <reg_title> LAPORAN BERKALA BANK UMUM </reg_title> <set_date> 10 Juli 2006 </set_date> <effective_date> 10 Juli 2006 </effective_date> <replaced_reg> '3/17/PBI/2001', '7/27/PBI/2005' </replaced_reg> <related_reg> '23/UU/1999', '3/UU/2004', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg> <penalty_list> 'BAB VII' </penalty_list>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 7/47/PBI/2005 TENTANG TRANSPARANSI KONDISI KEUANGAN BANK PERKREDITAN RAKYAT SYARIAH GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang- undang Nomor 10 Tahun 1998, Bank Perkreditan Rakyat Syariah wajib mengumumkan laporan keuangan dalam waktu dan bentuk yang ditetapkan oleh Bank Indonesia; b. bahwa dalam rangka transparansi kondisi keuangan dan kinerja Bank Perkreditan Rakyat Syariah, diperlukan informasi keadaan keuangan dan informasi lainnya kepada publik secara berkala, akurat dan benar; c. bahwa laporan keuangan tahunan dan laporan keuangan publikasi Bank Perkreditan Rakyat Syariah yang berlaku belum sepenuhnya disusun berdasarkan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan tentang Akuntansi Perbankan Syariah serta Pedoman Akuntansi Perbankan Syariah Indonesia; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b dan huruf c dipandang perlu untuk menyempurnakan ketentuan tentang Laporan Keuangan Tahunan … - 2 - Tahunan, dan Laporan Keuangan Publikasi bagi Bank Perkreditan Rakyat Indonesia tentang Transparansi Kondisi Keuangan Bank Perkreditan Rakyat Syariah. Mengingat: 1. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); 2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357); MEMUTUSKAN: Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG TRANSPARANSI KONDISI KEUANGAN BANK PERKREDITAN RAKYAT SYARIAH BAB I … Syariah dalam suatu Peraturan Bank - 3 - BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan: 1. Bank Perkreditan Rakyat Syariah yang selanjutnya disebut BPRS adalah Bank Perkreditan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998, yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah. 2. Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah adalah kegiatan perbankan yang dilakukan usaha berdasarkan Prinsip Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998. 3. Laporan Tahunan adalah laporan lengkap mengenai kinerja suatu BPRS dalam kurun waktu satu tahun yang berisi Laporan Keuangan Tahunan dan informasi umum. 4. Laporan Keuangan Tahunan adalah laporan keuangan akhir tahun BPRS yang disusun berdasarkan standar akuntansi keuangan yang berlaku. 5. Laporan Keuangan Publikasi Triwulanan adalah laporan keuangan yang disusun berdasarkan standar akuntansi keuangan yang berlaku dan dipublikasikan setiap triwulan sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia. 6. Akuntan Publik adalah akuntan yang memiliki izin usaha untuk melakukan kegiatan pemberian jasa audit yang dikeluarkan oleh Menteri Keuangan. 7. Tahun Buku adalah tahun takwim atau tahun yang dimulai dari bulan Januari sampai dengan bulan Desember. 8. Surat … - 4 - 8. Surat Komentar (Management Letter) adalah komentar tertulis dari Akuntan Publik kepada manajemen bank mengenai hasil kaji ulang terhadap struktur pengendalian intern, pelaksanaan standar akuntansi keuangan atau masalah lain yang ditemui dalam pelaksanaan audit, beserta dengan saran-saran perbaikannya. 9. Dewan Pengawas Syariah adalah dewan yang melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan Prinsip Syariah dalam kegiatan usaha BPRS. Pasal 2 Dalam rangka transparansi kondisi keuangan, BPRS wajib membuat dan menyajikan laporan keuangan dengan bentuk dan cakupan sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Bank Indonesia ini, yang terdiri dari: a. Laporan Tahunan; b. Laporan Keuangan Publikasi Triwulanan. BAB II LAPORAN TAHUNAN Pasal 3 (1) BPRS wajib menyampaikan kepada Bank Indonesia Laporan Tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a, yang paling sedikit mencakup: a. informasi umum yang terdiri dari: 1. kepengurusan; 2. kepemilikan; 3. perkembangan usaha BPRS dan perkembangan kelompok usaha BPRS, jika ada; 4. strategi … - 5 - 4. strategi dan kebijakan manajemen; dan 5. laporan manajemen. b. Laporan Keuangan Tahunan yang terdiri dari : 1. Neraca; 2. Laporan Laba Rugi; 3. Laporan Arus Kas; 4. Laporan Perubahan Ekuitas; 5. Catatan atas laporan Komitmen dan Kontinjensi; keuangan, termasuk informasi tentang 6. Laporan Perubahan Dana Investasi Terikat, jika ada; 7. Laporan Sumber dan Penggunaan Dana Zakat, Infaq dan Shadaqah; dan 8. Laporan Sumber dan Penggunaaan Dana Qardh. (2) Laporan Tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b bagi BPRS yang mempunyai total aset diatas Rp10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah) wajib diaudit oleh Akuntan Publik. (3) Laporan Tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dibuat untuk 1 (satu) Tahun Buku dan disajikan paling sedikit dengan perbandingan 1 (satu) tahun buku sebelumnya. Pasal 4 (1) Bagi BPRS yang mempunyai total aset sampai dengan Rp10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah) Laporan Keuangan Tahunan yang disampaikan adalah laporan keuangan yang dipertanggungjawabkan Direksi atau Pengurus kepada Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) atau Rapat Anggota. (2) Dalam … - 6 - (2) Dalam hal laporan keuangan BPRS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diaudit oleh Akuntan Publik, maka laporan yang disampaikan adalah laporan yang diaudit. Pasal 5 (1) Laporan Tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 ayat (2), wajib disampaikan kepada Bank Indonesia paling lambat akhir bulan April tahun berikutnya. (2) Laporan Tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) wajib disampaikan kepada Bank Indonesia paling lambat akhir bulan Februari tahun berikutnya. Pasal 6 (1) BPRS dianggap terlambat menyampaikan Laporan Tahunan apabila BPRS menyampaikan Laporan Tahunan kepada Bank Indonesia melampaui batas akhir waktu penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 tetapi belum melampaui 1 (satu) bulan sejak batas akhir penyampaian laporan. (2) BPRS dianggap tidak menyampaikan Laporan Tahunan apabila BPRS belum menyampaikan Laporan Tahunan dalam batas waktu keterlambatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau Laporan Keuangan Tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 ayat (2) tidak diaudit oleh Akuntan Publik yang terdaftar di Bank Indonesia. BAB III … - 7 - BAB III LAPORAN KEUANGAN PUBLIKASI TRIWULANAN. Pasal 7 (1) BPRS wajib mengumumkan Laporan Keuangan Publikasi secara triwulanan untuk posisi pelaporan akhir bulan Maret, Juni, September dan Desember sesuai dengan bentuk dan tatacara yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. (2) Laporan Keuangan Publikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk posisi pelaporan akhir bulan Maret dan September paling sedikit terdiri dari: a. Laporan Keuangan yang terdiri dari : 1. Neraca; 2. Laporan Laba Rugi ; 3. Komitmen dan Kontinjensi. b. Kualitas Aktiva Produktif dan Informasi lainnya yang terdiri dari: 1. Aktiva Produktif kepada pihak terkait; 2. Kolektibilitas Aktiva Produktif; 3. Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif yang wajib dibentuk; 4. Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif yang telah dibentuk; dan 5. Komposisi pemegang saham, susunan pengurus dan Dewan Pengawas Syariah. c. Tabel Distribusi Bagi Hasil. (3) Laporan Keuangan Publikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk posisi pelaporan akhir bulan Juni dan Desember, selain paling sedikit disajikan sama dengan posisi akhir bulan Maret dan September sebagaimana dimaksud pada ayat (1), juga wajib menyajikan informasi yang terdiri dari: a. Laporan Sumber dan Penggunaan Dana ZIS dan Laporan Sumber dan Penggunaan Dana Qardh; dan b. Laporan … - 8 - b. Laporan Perubahan Dana Investasi Terikat, jika ada. (4) Laporan Keuangan Publikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disajikan dalam bentuk perbandingan dengan laporan pada periode yang sama tahun sebelumnya. Pasal 8 (1) Pengumuman Laporan Keuangan Publikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) dapat dilakukan pada surat kabar lokal atau ditempelkan pada papan pengumuman di kantor BPRS yang bersangkutan. (2) Pengumuman Laporan Keuangan Publikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan selambat-lambatnya: a. 1 (satu) bulan setelah berakhirnya bulan laporan untuk laporan keuangan posisi akhir bulan Maret dan Juni; b. 2 (dua) bulan setelah berakhirnya tahun laporan untuk laporan keuangan posisi akhir bulan Desember yang tidak diaudit oleh Akuntan Publik; c. 4 (empat) bulan setelah berakhirnya tahun laporan untuk laporan keuangan posisi akhir bulan Desember yang diaudit oleh Akuntan Publik. (3) Dalam hal pengumuman dilakukan dengan cara menempelkan pada papan pengumuman, pengumuman dimaksud dilakukan sampai dengan pengumuman Laporan Keuangan Publikasi berikutnya. Pasal 9 (1) Laporan Keuangan Publikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 wajib ditandatangani oleh Direksi BPRS dengan mencantumkan namanya secara jelas . (2) Dalam … - 9 - (2) Dalam hal Direksi berhalangan, Laporan Keuangan Publikasi ditandatangani oleh pejabat yang diberi wewenang oleh Direksi dengan mencantumkan namanya secara jelas. (3) Bagi BPRS yang laporan keuangannya diaudit oleh Akuntan Publik, untuk Laporan Keuangan Publikasi posisi akhir bulan Desember, selain wajib memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga wajib mencantumkan nama Akuntan Publik yang bertanggung jawab dalam audit dan nama Kantor Akuntan Publik yang mengaudit Laporan Keuangan Tahunan. Pasal 10 BPRS wajib menyampaikan kepada Bank Indonesia: a. guntingan surat kabar yang berisikan Laporan Keuangan Publikasi atau fotokopi Laporan Keuangan Publikasi yang ditempelkan pada papan pengumuman, selambat-lambatnya 2 (dua) minggu sejak tanggal pengumuman; b. disket yang berisi Laporan Keuangan Publikasi. Pasal 11 (1) BPRS dianggap terlambat mengumumkan atau menyampaikan Laporan Keuangan Publikasi kepada Bank Indonesia, apabila BPRS mengumumkan atau menyampaikan Laporan Keuangan Publikasi melampaui batas akhir waktu pengumuman atau penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) dan Pasal 10, tetapi tidak melampaui 1 (satu) bulan sejak batas akhir waktu pengumuman. (2) BPRS … - 10 - (2) BPRS dianggap tidak mengumumkan atau menyampaikan Laporan Keuangan Publikasi, apabila BPRS belum mengumumkan atau menyampaikan Laporan Keuangan Publikasi dalam batas waktu keterlambatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). BAB IV HUBUNGAN ANTARA BPRS, AKUNTAN PUBLIK, DEWAN PENGAWAS SYARIAH DAN BANK INDONESIA Pasal 12 (1) BPRS dalam memberikan penugasan audit wajib menunjuk Kantor Akuntan Publik dan Akuntan Publik yang telah terdaftar di Bank Indonesia. (2) Akuntan Publik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memiliki pengetahuan dan atau pengalaman di bidang perbankan syariah. (3) Penugasan atau Penunjukan Akuntan Publik dan atau Kantor Akuntan Publik yang sama oleh BPRS paling lama dilakukan untuk periode audit 5 (lima) tahun buku berturut-turut. Pasal 13 (1) Penunjukan Akuntan Publik dan Kantor Akuntan Publik dalam rangka audit Laporan Keuangan Tahunan BPRS wajib didasarkan pada perjanjian kerja. (2) Perjanjian kerja antara BPRS dan Kantor Akuntan Publik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit mencakup: a. nama Kantor Akuntan Publik; b. Akuntan Publik yang bertanggung jawab terhadap audit (partner in charge); c. kewajiban … - 11 - c. kewajiban Akuntan Publik untuk melaksanakan audit sesuai Standar Profesional Akuntan Publik; d. ruang lingkup audit; e. jangka waktu penyelesaian audit; f. pernyataan dari BPRS mengenai izin kepada Kantor Akuntan Publik dan kewajiban Kantor Akuntan Publik untuk menyampaikan pula secara langsung kepada Bank Indonesia: 1. laporan hasil audit; 2. Surat Komentar (Management Letter); 3. informasi lainnya yang dibutuhkan oleh Bank Indonesia dari Akuntan Publik yang dilakukan setiap saat apabila diperlukan; 4. informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 huruf b; g. kewajiban Akuntan Publik untuk memberitahukan kepada Bank Indonesia sebelum pelaksanaan audit. (3) Laporan hasil audit dan Surat Komentar (Management Letter) sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf f angka 1 dan angka 2 wajib disampaikan kepada Bank Indonesia paling lambat 4 (empat) bulan setelah tahun buku. (4) Ruang lingkup audit sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d, paling sedikit mencakup: a. penggolongan kualitas aktiva produktif dan kecukupan penyisihan penghapusan aktiva produktif yang dibentuk BPRS; b. penilaian terhadap rupa-rupa aktiva termasuk namun tidak terbatas pada agunan yang diambil alih BPRS; c. hal-hal lain yang diatur dalam standar akuntansi keuangan yang berlaku dan Pedoman Akuntansi Perbankan Syariah Indonesia, termasuk catatan atas Laporan Keuangan; d. pendapat… - 12 - d. pendapat terhadap kewajaran atas transaksi dengan pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa maupun transaksi yang dilakukan dengan perlakuan khusus; e. jumlah dan kualitas penyediaan dana kepada pihak terkait; f. rincian pelanggaran batas maksimum pemberian kredit yang meliputi nama nasabah, kualitas penyediaan dana, persentase dan jumlah pelanggaran batas maksimum pemberian kredit; g. perhitungan kewajiban penyediaan modal minimum; h. keandalan sistem pelaporan BPRS kepada Bank Indonesia dan pengujian terhadap keandalan laporan-laporan yang disampaikan oleh BPRS kepada Bank Indonesia. Pasal 14 (1) Bank Indonesia dapat menyatakan keberatan atas penunjukan Akuntan Publik tertentu oleh BPRS. (2) Bank Indonesia memiliki akses informasi langsung terhadap Akuntan Publik dalam hal Bank Indonesia menganggap hal tersebut adalah dalam rangka melindungi integritas keuangan BPRS dan atau dalam keadaan lain yang dianggap perlu dalam rangka pengawasan. Pasal 15 Akuntan Publik yang melakukan audit terhadap Laporan Keuangan Tahunan BPRS wajib: a. melakukan audit sesuai dengan standar profesional akuntan publik, serta perjanjian kerja dan ruang lingkup audit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13; dan b. memberitahukan … - 13 - b. memberitahukan ke Bank Indonesia selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak ditemukannya: 1. pelanggaran peraturan perundang-undangan yang berlaku di bidang keuangan dan perbankan; dan 2. keadaaan dan perkiraan keadaan yang dapat membahayakan kelangsungan usaha BPRS. c. menyampaikan laporan hasil audit dan Management Letter kepada Bank Indonesia. d. memenuhi ketentuan rahasia Bank sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998. e. memperoleh pendapat dari Dewan Pengawas Syariah mengenai ketaatan BPRS terhadap pelaksanaan prinsip syariah, sebelum menerbitkan Laporan Audit atas Laporan Keuangan BPRS. BAB V LAPORAN KEUANGAN KONSOLIDASI Pasal 16 (1) BPRS yang merupakan bagian dari suatu kelompok usaha dan atau BPRS yang memiliki perusahaan anak, wajib menyusun laporan keuangan konsolidasi berdasarkan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan. (2) Penyertaan BPRS yang mengakibatkan timbulnya pengendalian namun hanya bersifat sementara dapat dikecualikan dari penyusunan laporan keuangan konsolidasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal 17 … - 14 - Pasal 17 Laporan Keuangan konsolidasi wajib disusun secara konsolidasi untuk Laporan Keuangan Tahunan maupun Laporan Keuangan Publikasi Triwulanan BAB VI TANGGUNG JAWAB LAPORAN KEUANGAN Pasal 18 Laporan Keuangan Tahunan dan Laporan Keuangan Publikasi Triwulanan sepenuhnya menjadi tanggung jawab Direksi BPRS. BAB VII PEDOMAN AKUNTANSI PERBANKAN SYARIAH INDONESIA Pasal 19 BPRS wajib melakukan pencatatan atas kegiatan usahanya berdasarkan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan dan Pedoman Akuntansi Perbankan Syariah Indonesia yang berlaku bagi Perbankan Syariah. BAB VIII SANKSI Pasal 20 Laporan Tahunan (1) BPRS … - 15 - (1) BPRS yang terlambat menyampaikan Laporan Tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1), dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) per hari kerja keterlambatan. (2) BPRS yang tidak menyampaikan Laporan Tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2), dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah). Pasal 21 (1) Apabila isi Laporan Tahunan secara material tidak sesuai dengan keadaan sebenarnya dan atau tidak disajikan sesuai ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia ini dan atau Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku, maka: a. setelah diberi peringatan 2 (dua) kali surat teguran oleh Bank Indonesia dengan tenggang waktu 2 (dua) minggu untuk setiap teguran, BPRS tidak memperbaiki laporan dimaksud, dikenakan sanksi berupa kewajiban membayar sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah); dan b. dapat dikenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998, antara lain berupa: 1. penurunan nilai kredit dalam perhitungan tingkat kesehatan; 2. pencantuman anggota pengurus, pegawai BPRS, pemegang saham dalam daftar orang-orang yang dilarang menjadi pengurus dan pemilik BPRS; 3. pemberhentian pengurus BPRS dan selanjutnya Bank Indonesia menunjuk dan mengangkat pengganti sementara. (2) Apabila … - 16 - (2) Apabila berdasarkan penilaian Bank Indonesia, Laporan Tahunan BPRS secara material tidak sesuai dengan keadaan sebenarnya dan atau tidak disajikan sesuai ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia ini dan atau Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku, selain dikenai sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terhadap Dewan Komisaris, Direksi, pegawai BPRS maupun pihak terafiliasi lainnya dapat dikenakan sanksi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (1) dan Pasal 50 Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998. Pasal 22 Laporan Keuangan Publikasi (1) BPRS yang terlambat mengumumkan atau terlambat menyampaikan Laporan Keuangan Publikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1), dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) per hari kerja keterlambatan. (2) BPRS yang tidak mengumumkan atau tidak menyampaikan Keuangan Publikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat Laporan (2), dikenakan sanksi kewajiban membayar setinggi-tingginya sebesar Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah). (3) Apabila menurut penilaian Bank Indonesia Laporan Keuangan Publikasi secara material tidak sesuai dengan keadaan sebenarnya dan atau Penyataan Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku, maka: a. setelah diberi peringatan 2 (dua) kali surat teguran oleh Bank Indonesia dengan tenggang waktu 2 (dua) minggu untuk setiap teguran, BPRS tidak memperbaiki dan atau mengumumkan kembali laporan dimaksud, dikenakan … - 17 - dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah); dan b. dapat dikenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998, antara lain berupa: 1. teguran tertulis; 2. penurunan nilai kredit dalam perhitungan tingkat kesehatan. (4) Apabila berdasarkan penilaian Bank Indonesia, Laporan Tahunan BPRS secara material tidak sesuai dengan keadaan sebenarnya dan atau tidak disajikan sesuai ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia ini dan atau Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku, selain dikenai sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (3), terhadap Dewan Komisaris, Direksi, pegawai BPRS maupun pihak terafiliasi lainnya dapat dikenakan sanksi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (1) dan Pasal 50 Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998. Pasal 23 Akuntan Publik dan Kantor Akuntan Publik (1) Akuntan Publik atau Kantor Akuntan Publik yang secara material melanggar ketententuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 dikenakan sanksi administratif sebagaimana tercantum dalam Pasal 53 Undang-undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998, berupa: a. penghapusan nama Akuntan Publik dari daftar Akuntan Publik di Bank Indonesia; b. penghapusan … - 18 - b. penghapusan Kantor Akuntan Publik dari daftar Kantor Akuntan Publik di BI, apabila pelanggaran dilakukan oleh 2 (dua) orang Akuntan Publik yang bertanggung jawab (partner in charge) dalam audit BPRS dari Kantor Akuntan Publik yang sama; c. penyampaian usulan kepada instansi yang berwenang untuk mencabut atau membatalkan izin usaha sebagai pemberi jasa bagi Bank sesuai dengan ketentuan atau kode etik yang berlaku. (2) Akuntan Publik yang tidak memenuhi ketentuan rahasia bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 huruf d, selain dikenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), juga dapat dikenakan sanksi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (2) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang- undang Nomor 10 Tahun 1998. BAB IX LAIN – LAIN Pasal 24 BPRS yang telah dikenakan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20, Pasal 21 dan Pasal 22 tetap diwajibkan untuk menyampaikan Laporan dimaksud. Pasal 25 (1) Pembebanan sanksi kewajiban membayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20, Pasal 21 ayat (1) dan Pasal 22, dilakukan dengan cara transfer ke rekening Bank Indonesia. (2) Tatacara … - 19 - (2) Tatacara transfer ke rekening Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia. BAB XI KEADAAN MEMAKSA (FORCE MAJEURE) Pasal 26 (1) BPRS yang mengalami keadaan memaksa (force majeure) selama lebih dari satu bulan dalam periode di bulan yang terakhir seharusnya mengumumkan dan atau menyampaikan laporan, dikecualikan dari kewajiban menyampaikan Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1), Pasal 5 ayat (2), Pasal 8 ayat (2), dan Pasal 10. (2) BPRS yang mengalami keadaan memaksa (force majeure), wajib menyampaikan permohonan untuk memperoleh pengecualian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) secara tertulis kepada Bank Indonesia, dengan disertai penjelasan mengenai keadaan memaksa yang dialami. (3) BPRS yang memperoleh pengecualian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib mengumumkan dan atau menyampaikan Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1), Pasal 5 ayat (2), Pasal 8 ayat (2) dan Pasal 10, setelah BPRS kembali melakukan kegiatan operasional secara normal. BAB X … - 20 - BAB X KETENTUAN PERALIHAN Pasal 27 (1) Dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini, BPRS tetap diwajibkan untuk menyampaikan Laporan Keuangan Publikasi posisi akhir bulan September 2005 sebagaimana diatur dalam Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 27/119/KEP/DIR tanggal 25 Januari 1995 tentang Laporan Keuangan Tahunan dan Laporan Keuangan Publikasi. (2) Kewajiban Akuntan Publik untuk memperoleh pendapat Dewan Pengawas Syariah mengenai ketaatan BPRS terhadap pelaksanaan prinsip syariah, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 huruf e mulai diberlakukan sejak pelaporan Laporan Keuangan Tahunan untuk tahun buku 2006 dan Laporan Keuangan Publikasi posisi akhir bulan Desember 2006. BAB VIII KETENTUAN PENUTUP Pasal 28 Ketentuan lebih lanjut mengenai Transparansi Kondisi Keuangan Bank Perkreditan Rakyat Syariah akan diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 29 (1) Peraturan Bank Indonesia ini mulai diberlakukan sejak pelaporan untuk Laporan Keuangan Tahunan untuk Tahun Buku 2005 dan Laporan Keuangan Publikasi posisi akhir bulan Desember 2005. (2) Dengan … - 21 - (2) Dengan diberlakukannya ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) maka Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 27/119/KEP/DIR tentang Laporan Keuangan Tahunan dan Laporan Keuangan Publikasi, dan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 27/5/UPPB tentang Laporan Keuangan Tahunan dan Laporan Keuangan Publikasi masing-masing tanggal 25 Januari 1995, dinyatakan tidak berlaku bagi BPRS. Pasal 30 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal : 14 November 2005 GUBERNUR BANK INDONESIA, BURHANUDDIN ABDULLAH LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2005 NOMOR 125 DPbS PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK NDONESIA NOMOR: 7/47/PBI/2005 TENTANG TRANSPARANSI KONDISI KEUANGAN BANK PERKREDITAN RAKYAT SYARIAH UMUM Sesuai dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998, Bank Perkreditan Rakyat yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah wajib mengumumkan laporan keuangan dalam bentuk neraca, perhitungan laba rugi dan bentuk lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Dalam rangka melindungi kepentingan masyarakat dan penerapan good corporate governance, dimana salah satu aspek pentingnya adalah transparansi kondisi keuangan kepada publik, maka laporan keuangan yang diumumkan tersebut dapat melindungi kepentingan masyarakat penyimpan dana, investor dan atau pengguna lainnya sehingga akhirnya dapat meningkatkan kepercayaan publik terhadap perbankan nasional. Agar informasi yang disampaikan dapat memberikan informasi yang akurat dan benar, maka perlu adanya suatu standar akuntansi dan pedoman dalam pencatatan dan pelaporan yang sesuai dengan karateristik perbankan syariah dan perlu adanya audit atas laporan keuangan tersebut bagi yang memenuhi kriteria untuk diaudit oleh akuntan publik. Dalam kaitan dengan kewajiban untuk diaudit oleh … - 2 - oleh akuntan publik, maka perlu diatur antara lain mengenai persyaratan akuntan publik yang dapat mengaudit, ruang lingkup audit yang dilakukan, komunikasi dengan Bank Indonesia dan Dewan Pengawas Syariah. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Cukup jelas. Pasal 3 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 4 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “Pengurus” adalah Pengurus bagi BPRS yang berbadan hukum Koperasi. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 5 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) … - 3 - Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 6 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 7 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Yang dimaksud dengan Tabel Distribusi Bagi Hasil adalah tabel yang menyajikan informasi tentang jumlah dana penyimpan dan jumlah investor berdasarkan produk beserta jumlah bagi hasil dan bonus yang dibagikan dengan dilengkapi informasi indicative rate of return. Ayat (3) Huruf a Yang dimaksud dengan : - Laporan Sumber dan Penggunaan Dana ZIS adalah laporan yang menunjukkan sumber dan penggunaan dana ZIS selama suatu … - 4 - suatu jangka waktu tertentu, serta saldo ZIS pada tanggal tertentu. - Laporan Sumber dan Penggunaan Dana Qardh adalah laporan yang menunjukkan sumber dan penggunaan dana Qardh selama suatu jangka waktu tertentu, serta saldo Qardh pada tanggal tertentu. Huruf b Yang dimaksud dengan Laporan Perubahan Dana Investasi Terikat (Mudharabah muqayyadah) adalah laporan yang menunjukkan penyaluran dana Mudharabah muqayyadah yang dilakukan bank syariah, dimana bank syariah tidak menanggung risiko atas dana yang disalurkan tersebut (channeling agent). Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 8 Ayat (1) Yang dimaksud dengan surat kabar lokal adalah surat kabar yang mempunyai peredaran diwilayah BPRS tersebut berada. Papan pengumuman diletakkan pada tempat yang mudah terlihat dan dapat terbaca. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal (9) … - 5 - Pasal 9 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 10 Cukup jelas. Pasal 11 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 12 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Memiliki pengetahuan perbankan syariah dibuktikan dengan telah mengikuti pendidikan/pelatihan tentang perbankan syariah antara lain tentang sistem operasional perbankan syariah, produk dan akuntansi syariah. Ayat (3) Pengaturan ini dimaksudkan agar terdapat penilaian dari pihak yang berbeda dalam rangka meningkatkan independensi profesi Akuntan Publik … - 6 - Publik. Perhitungan jangka waktu 5 (lima) dimulai sejak berlakunya Peraturan bank Indonesia ini Pasal 13 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Huruf a sampai dengan huruf c Cukup jelas. Huruf d Pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa adalah pihak- pihak sebagaimana dimaksud dalam Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan. Huruf e sampai dengan huruf g Cukup jelas. Huruf h Pengujian terhadap keandalan laporan termasuk penilaian Akuntan Publik mengenai laporan yang disampaikan ke Bank Indonesia telah disusun dan sesuai dengan data yang ada di BPRS. Laporan sebagaimana dimaksud dalam huruf ini termasuk namun tidak terbatas pada Laporan Bulanan BPRS, Laporan Batas Maksimum Pemberian Kredit. Pasal 14 … - 7 - Pasal 14 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “keberatan” pada ayat ini, apabila selama penugasan audit Bank Indonesia memiliki informasi tentang Akuntan Publik yang bersangkutan yang bisa berpengaruh tidak baik terhadap kelancaran dan pelaksanaan tugasnya, seperti track record yang tidak baik. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 15 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan keadaan dan atau perkiraan yang dapat membayakan kelangsungan usaha BPRS, antara lain: a. Kekurangan kewajiban penyediaan modal minimum; b. Kekurangan pembentukan penyisihan penghapusan aktiva produktif yang material; c. Pelanggaran batas maksimum pemberian kredit; d. Kecurangan (fraud) yang bernilai material. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e … - 8 - Huruf e Dalam mengeluarkan pendapat mengenai ketaatan BPRS terhadap prinsip syariah, Dewan Pengawas Syariah harus mengacu kepada ketentuan Bank Indonesia tentang tugas dan peran Dewan Pengawas Syariah. Pendapat dari Dewan Pengawas Syariah ini merupakan bukti audit dan tidak mempengaruhi pendapat Akuntan Publik dalam memberikan pendapat. Pasal 16 Ayat (1) Yang dimaksud dengan perusahaan anak adalah badan hukum yang dimiliki atau dikendalikan oleh BPRS, baik langsung maupun tidak langsung. Ayat (2) Yang dimaksud dengan bersifat sementara antara lain pengendalian yang akan dilepaskan dalam jangka waktu selambat-lambatnya 12 bulan sejak akhir posisi laporan keuangan pada tahun perolehan pengendalian atau penyertaan modal sementara dalam rangka restrukturisasi. Pasal 17 Cukup jelas. Pasal 18 Cukup jelas. Pasal 19 Cukup jelas. Pasal 20 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) … - 9 - Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 21 Ayat (1) Dalam hal materi kesalahan yang sama telah dikenakan sanksi dalam Laporan Keuangan Publikasi Triwulanan maka BPRS tidak dikenakan sanksi dalam ayat ini. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 22 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 23 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 24 Cukup jelas. Pasal 25 … - 10 - Pasal 25 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 26 Ayat (1) Yang dimaksud dengan keadaan memaksa (force majeure) adalah keadaan yang secara nyata-nyata menyebabkan BPRS tidak dapat mengumumkan dan/atau menyampaikan laporan, antara lain kebakaran, kerusuhan massa, perang, sabotase, serta bencana alam seperti gempa bumi dan banjir, yang dibenarkan oleh penguasa atau pejabat dari instansi terkait di daerah setempat. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 27 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 28 Cukup jelas. Pasal 29 … - 11 - Pasal 29 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 30 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4564
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 7/47/PBI/2005 </reg_id> <reg_title> TRANSPARANSI KONDISI KEUANGAN BANK PERKREDITAN RAKYAT SYARIAH </reg_title> <set_date> 14 November 2005 </set_date> <effective_date> 14 November 2005 </effective_date> <replaced_reg> '27/119/KEP/DIR|SKDIR-BI', '27/5/UPPB|SE-BI/1995' </replaced_reg> <related_reg> '23/UU/1999', '3/UU/2004', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg> <penalty_list> 'BAB VIII' </penalty_list>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 11/ 15 /PBI/2009 TENTANG PERUBAHAN KEGIATAN USAHA BANK KONVENSIONAL MENJADI BANK SYARIAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka mendukung pertumbuhan perekonomian nasional diperlukan lembaga perbankan yang dapat melayani seluruh lapisan masyarakat; b. bahwa bank syariah sebagai bagian dari sistem perbankan nasional perlu dikembangkan secara sehat dan kuat agar dapat memberikan pelayanan jasa perbankan bagi masyarakat, antara lain melalui perubahan kegiatan usaha bank konvensional menjadi bank syariah; c. bahwa perubahan kegiatan usaha bank konvensional menjadi bank syariah harus didukung dengan modal yang cukup dan manajemen yang profesional sehingga dapat tercipta bank syariah yang sehat dan tangguh (sustainable); d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b dan huruf c dipandang perlu untuk melakukan penyesuaian terhadap ketentuan perubahan kegiatan usaha bank konvensional … -2- konvensional menjadi bank syariah dalam suatu Peraturan Bank Indonesia. Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); 2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 142, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4901) sebagaimana telah ditetapkan dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962); 3. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor … -3- Nomor 106, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4756); 4. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN KEGIATAN USAHA BANK KONVENSIONAL MENJADI BANK SYARIAH. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan: 1. Bank Syariah adalah bank yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah dan menurut jenisnya terdiri dari Bank Umum Syariah dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah; 2. Bank Umum Syariah adalah Bank Syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah; 3. Bank Pembiayaan Rakyat Syariah yang selanjutnya disebut BPRS adalah Bank Syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran sebagaimana dimaksud … -4- dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah; 4. Bank Konvensional adalah bank yang menjalankan kegiatan usahanya secara konvensional dan berdasarkan jenisnya terdiri dari Bank Umum Konvensional dan Bank Perkreditan Rakyat; 5. Bank Umum Konvensional adalah Bank Konvensional yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah; 6. Bank Perkreditan Rakyat yang selanjutnya disebut BPR adalah Bank Konvensional yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah; 7. Prinsip Syariah adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan perbankan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional – Majelis Ulama Indonesia; 8. Pemegang Saham Pengendali yang selanjutnya disebut dengan PSP adalah badan hukum, perorangan dan/atau kelompok usaha yang: a. memiliki saham perusahaan atau bank sebesar 25% (dua puluh lima persen) atau lebih dari jumlah saham yang dikeluarkan dan mempunyai hak suara; b. memiliki saham perusahaan atau bank kurang dari 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah saham yang dikeluarkan dan mempunyai hak suara namun yang bersangkutan dapat dibuktikan … -5- dibuktikan telah melakukan pengendalian perusahaan atau bank, baik secara langsung maupun tidak langsung; 9. Dewan Komisaris adalah Dewan Komisaris sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas; 10. Direksi adalah Direksi sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas; 11. Dewan Pengawas Syariah yang selanjutnya disebut DPS adalah dewan yang bertugas memberikan nasihat dan saran kepada direksi serta mengawasi kegiatan Bank Syariah agar sesuai dengan Prinsip Syariah; 12. Hari adalah hari kalender. Pasal 2 (1) Bank Konvensional dapat melakukan perubahan kegiatan usaha menjadi Bank Syariah. (2) Perubahan kegiatan usaha Bank Konvensional menjadi Bank Syariah dapat dilakukan: a. Bank Umum Konvensional menjadi Bank Umum Syariah; b. BPR menjadi BPRS. Pasal 3 Bank Syariah dilarang melakukan perubahan kegiatan usaha menjadi Bank Konvensional. Pasal 4 … -6- Pasal 4 (1) Perubahan kegiatan usaha Bank Konvensional menjadi Bank Syariah hanya dapat dilakukan dengan izin Bank Indonesia. (2) Pemberian izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam bentuk izin perubahan kegiatan usaha. BAB II PERSYARATAN PERUBAHAN KEGIATAN USAHA Bagian Kesatu Persyaratan Umum Pasal 5 Rencana perubahan kegiatan usaha Bank Konvensional menjadi Bank Syariah harus dicantumkan dalam rencana bisnis Bank Konvensional. Pasal 6 Bank Konvensional yang akan melakukan perubahan kegiatan usaha menjadi Bank Syariah harus: a. menyesuaikan anggaran dasar; b. memenuhi persyaratan permodalan; c. menyesuaikan persyaratan Direksi dan Dewan Komisaris; d. membentuk DPS; dan e. menyajikan laporan keuangan awal sebagai sebuah Bank Syariah. Pasal 7 … -7- Pasal 7 Penyesuaian anggaran dasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf a mengikuti ketentuan Undang-Undang tentang Perbankan Syariah dan ketentuan peraturan perundang-undangan lain yang berlaku. Bagian Kedua Persyaratan Menjadi Bank Umum Syariah Pasal 8 Bank Umum Konvensional yang akan melakuan perubahan kegiatan usaha menjadi Bank Umum Syariah harus: a. memiliki rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM) paling kurang sebesar 8 % (delapan persen); dan b. memiliki modal inti paling kurang sebesar Rp.100.000.000.000,00 (seratus milyar rupiah). Pasal 9 Dewan Komisaris dan Direksi Bank Umum Syariah harus memenuhi ketentuan Bank Indonesia yang terkait dengan Bank Umum Syariah. Pasal 10 (1) Bank Umum Konvensional yang akan melakukan perubahan kegiatan usahanya menjadi Bank Umum Syariah harus membentuk DPS. (2) Calon … -8- (2) Calon anggota DPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan DPS sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai Bank Umum Syariah yang berlaku. Bagian Ketiga Persyaratan Menjadi Bank Pembiayaan Rakyat Syariah Pasal 11 BPR yang akan melakukan perubahan kegiatan usaha menjadi BPRS harus memenuhi ketentuan permodalan sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang terkait dengan BPRS. Pasal 12 Dewan Komisaris dan Direksi BPRS harus memenuhi ketentuan Bank Indonesia yang terkait dengan BPRS. Pasal 13 (1) BPR yang akan melakukan perubahan kegiatan usaha menjadi BPRS harus membentuk DPS. (2) Calon anggota DPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan DPS sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai BPRS yang berlaku. BAB III … -9- BAB III TATA CARA PERIZINAN PERUBAHAN KEGIATAN USAHA Pasal 14 (1) Permohonan izin perubahan kegiatan usaha diajukan oleh Bank Konvensional disertai dengan antara lain: a. misi dan visi perubahan kegiatan usaha menjadi Bank Syariah; b. rancangan perubahan anggaran dasar; c. nama dan data identitas dari calon Pemegang Saham Pengendali, calon anggota Dewan Komisaris, calon anggota Direksi dan calon anggota DPS; d. rencana bisnis Bank Syariah; e. studi kelayakan mengenai peluang pasar dan potensi ekonomi; dan f. rencana penyelesaian hak dan kewajiban nasabah. (2) Bank Konvensional yang mengajukan permohonan izin perubahan kegiatan usaha harus memberikan penjelasan mengenai keseluruhan rencana perubahan kegiatan usaha menjadi Bank Syariah. Pasal 15 (1) Perubahan anggaran dasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) huruf b harus dimintakan persetujuan kepada instansi yang berwenang. (2) Permohonan … -10- (2) Permohonan kepada instansi yang berwenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan bersamaan dengan pengajuan permohonan izin perubahan kegiatan usaha. Pasal 16 Bank Konvensional yang telah mendapat izin perubahan kegiatan usaha menjadi Bank Syariah wajib mencantumkan secara jelas: a. kata “Syariah” pada penulisan nama; dan b. logo iB pada formulir, warkat, produk, kantor dan jaringan kantor Bank Syariah. Pasal 17 (1) Bank Konvensional yang telah mendapat izin perubahan kegiatan usaha menjadi Bank Syariah wajib melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah paling lambat 60 (enam puluh) hari terhitung sejak tanggal izin perubahan kegiatan usaha diberikan. (2) Apabila setelah jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Bank Syariah hasil perubahan kegiatan usaha belum melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah, maka izin perubahan kegiatan usaha yang telah diberikan akan ditinjau kembali. (3) Rencana pelaksanaan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib diumumkan kepada masyarakat paling lambat 10 (sepuluh) hari sebelum tanggal pelaksanaan. (4) Pelaksanaan … -11- (4) Pelaksanaan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilaporkan paling lambat 10 (sepuluh) hari setelah tanggal pelaksanaan. (5) Bank Konvensional yang telah mendapat izin perubahan kegiatan usaha menjadi Bank Syariah dilarang melakukan kegiatan usaha secara konvensional, kecuali dalam rangka penyelesaian hak dan kewajiban dari kegiatan usaha secara konvensional. Pasal 18 Bank Konvensional yang telah mendapat izin perubahan kegiatan usaha menjadi Bank Syariah wajib menyelesaikan hak dan kewajiban dari kegiatan usaha secara konvensional paling lambat 1 (satu) tahun terhitung sejak tanggal izin perubahan kegiatan usaha diberikan. BAB IV SANKSI Pasal 19 (1) Bank Konvensional yang telah mendapat izin perubahan kegiatan usaha menjadi Bank Syariah yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16, Pasal 17 ayat (1) dan ayat (5) dan Pasal 18 dapat dikenakan sanksi administratif sesuai Pasal 58 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. (2) Bank Syariah yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (3) dan ayat (4) dapat dikenakan sanksi … -12- sanksi administratif sesuai Pasal 58 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, berupa: a. teguran tertulis dan kewajiban membayar: 1. sebesar Rp.1.000.000,00 (satu juta rupiah) per hari keterlambatan untuk setiap laporan atau pengumuman dan paling banyak seluruhnya sebesar Rp.30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah) untuk Bank Umum Syariah; atau 2. sebesar Rp.100.000,00 (seratus ribu rupiah) per hari keterlambatan untuk setiap laporan atau pengumuman dan paling banyak seluruhnya sebesar Rp.1.000.000,00 (satu juta rupiah) untuk BPRS; b. teguran tertulis dan kewajiban membayar: 1. paling banyak sebesar Rp.30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah) dalam hal tidak menyampaikan laporan atau melaksanakan pengumuman untuk Bank Umum Syariah; atau 2. paling banyak sebesar Rp.1.000.000,00 (satu juta rupiah) dalam hal tidak menyampaikan laporan atau melaksanakan pengumuman untuk BPRS. (3) Bank Syariah dinyatakan tidak menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b apabila belum melaksanakan pengumuman dan/atau menyampaikan laporan dimaksud setelah 30 (tiga puluh) hari sejak batas akhir pelaksanaan pengumuman dan/atau penyampaian laporan. (4) Pengenaan sanksi teguran tertulis dan kewajiban membayar karena dinyatakan tidak menyampaikan laporan dan/atau tidak melaksanakan … -13- melaksanakan pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak menghapuskan kewajiban Bank Syariah untuk melaksanakan pengumuman dan/atau menyampaikan laporan. BAB VI KETENTUAN PERALIHAN Pasal 20 Permohonan izin perubahan kegiatan usaha menjadi Bank Syariah yang diajukan sebelum berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini tetapi belum mendapat persetujuan dari Bank Indonesia, wajib menyesuaikan dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini. BAB VII KETENTUAN PENUTUP Pasal 21 Ketentuan lebih lanjut mengenai perubahan kegiatan usaha Bank Konvensional menjadi Bank Syariah diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 22 Dengan dikeluarkannya Peraturan Bank Indonesia ini maka: a. Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/3/PBI/2006 tanggal 30 Januari 2006 tentang Perubahan Kegiatan Usaha Bank Umum Konvensional Menjadi Bank Umum Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah dan Pembukaan Kantor Bank Yang … -14- Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah Oleh Bank Umum Konvensional; b. Peraturan Bank Indonesia Nomor 9/7/PBI/2007 tanggal 4 Mei 2007 tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/3/PBI/2006 tentang Perubahan Kegiatan Usaha Bank Umum Konvensional Menjadi Bank Umum Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah dan Pembukaan Kantor Bank Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah Oleh Bank Umum Konvensional; dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi. Pasal 23 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di : Jakarta Pada tanggal : 29 April 2009. GUBERNUR BANK INDONESIA, BOEDIONO Diundangkan … -15- Diundangkan di : Jakarta Pada tanggal : 29 April 2009. MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA ANDI MATTALATTA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 69 DPbS PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 11/15/PBI/2009 TENTANG PERUBAHAN KEGIATAN USAHA BANK KONVENSIONAL MENJADI BANK SYARIAH I. UMUM Sistem perbankan nasional yang mengakomodasi konsep dual banking system memberikan jalan bagi berkembangnya perbankan syariah di Indonesia. Perbankan syariah yang semakin berkembang diharapkan mampu memberikan kontribusi yang lebih besar bagi perkembangan perekonomian nasional. Peran (share) perbankan syariah dalam sistem perbankan nasional perlu ditingkatkan antara lain dengan meningkatkan jumlah jaringan kantor melalui pembentukan bank syariah baru atau membuka peluang yang lebih besar untuk pelaksanaan perubahan kegiatan usaha (konversi) bank konvensional menjadi bank syariah. Upaya peningkatan jaringan kantor perbankan syariah tersebut juga dimaksudkan untuk mengakomodasi tuntutan masyarakat yang semakin besar terhadap keberadaan perbankan syariah serta minat para investor untuk masuk dalam industri perbankan syariah. Dengan diberlakukan Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, terdapat beberapa perubahan ketentuan yang terkait dengan kelembagaan, kepengurusan dan kegiatan usaha bank syariah, termasuk ketentuan tentang perubahan kegiatan usaha (konversi) bank konvensional menjadi bank syariah … - 2 - syariah. Pelaksanaan perubahan kegiatan usaha (konversi) bank konvensional menjadi bank syariah harus tetap memperhatikan azas perbankan yang sehat dan prinsip kehati-hatian sehingga dapat tercipta perbankan syariah yang kuat dan konsisten dalam menerapkan Prinsip Syariah. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) BPR atau BPRS yang ingin menjadi Bank Umum Syariah harus mendirikan Bank Umum Syariah terlebih dahulu. Selanjutnya, seluruh hak dan kewajiban (asset and liabilities) BPR atau BPRS dialihkan kepada Bank Umum Syariah baru, kemudian izin usaha BPR atau BPRS dicabut atas permintaan bank (self liquidation). Pasal 3 Cukup jelas. Pasal 4 Cukup jelas. Pasal 5 … - 3 - Pasal 5 Bagi Bank Umum Konvensional dicantumkan dalam rencana bisnis, sedangkan bagi BPR dicantumkan dalam rencana kerja. Pasal 6 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Yang dimaksud dengan “laporan keuangan awal sebagai sebuah Bank Syariah” adalah laporan keuangan sebagai Bank Syariah yang menunjukan laba rugi tahun berjalan dan laba rugi tahun lalu memiliki saldo Rp.0,00 (nol rupiah) atau nihil. Pasal 7 Yang dimaksud dengan “ketentuan peraturan perundang-undangan lain yang berlaku” adalah antara lain Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas. Pasal 8 … - 4 - Pasal 8 Ayat (1) Besarnya rasio KPMM didasarkan pada hasil penilaian Bank Indonesia. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 9 Yang dimaksud dengan “ketentuan Bank Indonesia yang terkait dengan Bank Umum Syariah” antara lain adalah: • uji kemampuan dan kepatutan (fit and proper test) yang berlaku bagi Bank Umum Syariah; • penerapan Good Corporate Governance (GCG) yang berlaku bagi Bank Umum Syariah; dan • Kelembagaan Bank Umum Syariah. Pasal 10 Cukup jelas. Pasal 11 Cukup jelas. Pasal 12 Yang dimaksud dengan “ketentuan Bank Indonesia yang terkait dengan BPRS” antara lain adalah: a. uji … - 5 - a. uji kemampuan dan kepatutan (fit and proper test) yang berlaku bagi BPRS; b. penerapan Good Corporate Governance (GCG) yang berlaku bagi BPRS; c. kelembagaan BPRS; dan d. Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM) BPRS. Pasal 13 Cukup jelas. Pasal 14 Ayat (1) Pemberian izin perubahan kegiatan usaha diberikan dengan mempertimbangkan antara lain: a. analisis atas rencana penyelesaian hak dan kewajiban nasabah yang tidak bersedia diubah menjadi nasabah Bank Syariah; b. analisis atas rencana bisnis jangka pendek, menengah dan jangka panjang bagi Bank Umum Syariah, dan analisis atas rencana kerja tahunan bagi BPRS; c. hasil uji kemampuan dan kepatutan (fit and proper test) terhadap calon Pemegang Saham Pengendali, calon anggota Dewan Komisaris dan calon anggota Direksi; dan d. hasil wawancara terhadap calon anggota DPS. Ayat (2) Hal-hal yang harus dijelaskan melalui presentasi di Bank Indonesia antara lain: a. misi dan visi perubahan kegiatan usaha; b. hasil … - 6 - b. hasil studi kelayakan mengenai peluang pasar penghimpunan dan penyaluran dana; c. rencana bisnis jangka pendek dan menengah bagi Bank Umum Syariah, dan rencana kerja tahunan bagi BPRS; d. sistem teknologi informasi (IT); e. jumlah dan lokasi kantor Bank Syariah; dan f. struktur organisasi dan personalia. Pasal 15 Cukup jelas. Pasal 16 Huruf a Pencantuman kata “Syariah” dilakukan sebagai berikut: 1. untuk Bank Umum Syariah, pencantuman kata “Syariah” dapat dilakukan sebelum kata “Bank” atau setelah nama bank; 2. untuk BPRS, pencatuman kata “Syariah” dilakukan dengan penyebutan frase “Bank Pembiayaan Rakyat Syariah” atau “BPR Syariah” atau “BPRS” sebelum nama bank. Huruf b Cukup jelas. Pasal 17 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) … - 7 - Ayat (2) Yang dimaksud dengan “ditinjau kembali” adalah: a. diperpanjang apabila keterlambatan tersebut disebabkan oleh hal- hal yang tidak dapat dihindari (force majeur) atau pertimbangan lain yang dapat diterima. Perpanjangan jangka waktu tersebut diberikan paling lama 60 (enam puluh) hari. b. dibatalkan apabila Bank Syariah hasil perubahan kegiatan usaha tidak dapat memberikan alasan yang relevan atas keterlambatan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah. Ayat (3) Pelaksanan pengumuman dilakukan melalui: a. surat kabar yang mempunyai peredaran nasional, untuk Bank Umum Syariah; b. surat kabar lokal atau papan pengumuman di tempat kedudukan kantor BPRS, untuk BPRS. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 18 Batas waktu penyelesaian dapat diperpanjang apabila kegagalan penyelesaian hak dan kewajiban dari kegiatan usaha secara konvensional disebabkan oleh hal-hal yang tidak dapat dihindari (force majeur) atau pertimbangan lain yang dapat diterima. Pasal 19 … - 8 - Pasal 19 Cukup jelas. Pasal 20 Cukup jelas. Pasal 21 Cukup jelas. Pasal 22 Cukup jelas. Pasal 23 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5005 DPbS
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 11/15/PBI/2009 </reg_id> <reg_title> PERUBAHAN KEGIATAN USAHA BANK KONVENSIONAL MENJADI BANK SYARIAH </reg_title> <set_date> 29 April 2009 </set_date> <effective_date> 29 April 2009 </effective_date> <issued_date> 29 April 2009 </issued_date> <replaced_reg> '9/7/PBI/2007', '8/3/PBI/2006' </replaced_reg> <related_reg> '21/UU/2008', '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '40/UU/2007', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg> <penalty_list> 'BAB IV' </penalty_list>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 6/24/PBI/2004 TENTANG BANK UMUM YANG MELAKSANAKAN KEGIATAN USAHA BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam menghadapi perkembangan perekonomian nasional yang mengalami perubahan yang cepat dan tantangan yang semakin berat, serta terintegrasi dengan perekonomian internasional yang terus berkembang, diperlukan perbankan nasional yang tangguh; b. bahwa untuk lebih mendorong terciptanya perbankan nasional yang tangguh dan efisien, diperlukan pengaturan kegiatan lembaga bank yang komprehensif, jelas dan memberikan kepastian hukum; c. bahwa ketentuan mengenai Bank Umum Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah yang saat ini berlaku perlu disempurnakan untuk mendorong perkembangan jaringan kantor Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah; d. bahwa sehubungan dengan itu dipandang perlu untuk menyempurnakan ketentuan tentang Bank Umum Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah… - 2 - Syariah dalam Peraturan Bank Indonesia; Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); 2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG BANK UMUM BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH. BAB I… - 3 - BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan: 1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 3 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998, yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah; 2. Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah adalah kegiatan usaha perbankan yang dilakukan berdasarkan prinsip syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 13 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang- undang Nomor 10 Tahun 1998; 3. Kantor Cabang adalah kantor Bank yang secara langsung bertanggung jawab kepada kantor pusat Bank yang bersangkutan, dengan alamat tempat usaha yang jelas dimana Kantor Cabang tersebut melakukan kegiatan usaha; 4. Kantor dibawah Kantor Cabang adalah Kantor Cabang Pembantu, Unit Pelayanan Syariah atau Kantor Kas yang membantu Kantor Induknya; 5. Kantor Cabang Pembantu adalah Kantor di bawah Kantor Cabang yang kegiatan usahanya membantu Kantor Cabang induknya; 6. Unit Pelayanan Syariah adalah kantor Bank setingkat Kantor Cabang Pembantu yang kegiatan usahanya membantu Kantor Cabang induknya dan berlokasi diluar ibukota provinsi, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi; 7. Kantor… - 4 - 7. Kantor Kas adalah Kantor di bawah Kantor Cabang yang kegiatan usahanya membantu Kantor induknya kecuali melakukan penyaluran dana; 8. Kegiatan Kas di luar Kantor Bank adalah kegiatan pelayanan kas terhadap pihak yang telah menjadi nasabah Bank, meliputi antara lain: a. Kas Mobil atau Kas Terapung yaitu kegiatan kas dengan menggunakan alat transportasi darat atau air; b. Payment Point yaitu kegiatan pembayaran maupun penyetoran transaksi tertentu antara lain pembayaran gaji pegawai, penerimaan setoran tagihan listrik, dan tagihan telepon melalui kerjasama antara Bank dengan pihak lain yang merupakan nasabah Bank; c. Anjungan Tunai Mandiri (ATM) yaitu kegiatan kas yang dilakukan secara elektronis untuk memudahkan nasabah, antara lain dalam rangka menarik atau menyetor secara tunai, atau melakukan pembayaran melalui pemindahbukuan, dan memperoleh informasi mengenai saldo/mutasi rekening nasabah, termasuk pembukaan jaringan ATM yang dilakukan dengan pemanfaatan teknologi melalui kerjasama dengan bank lain; 9. Dewan Syariah Nasional adalah dewan yang dibentuk oleh Majelis Ulama Indonesia yang bertugas dan memiliki kewenangan untuk menetapkan fatwa tentang produk dan jasa dalam kegiatan usaha bank yang melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah; 10. Dewan Pengawas Syariah adalah dewan yang melakukan pengawasan terhadap prinsip syariah dalam kegiatan usaha Bank; 11. Direksi… - 5 - 11. Direksi : a. bagi Bank berbentuk hukum Perseroan Terbatas adalah direksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 4 Undang-undang Nomor 1 tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas; b. bagi Bank berbentuk hukum Perusahaan Daerah adalah direksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 Undang-undang Nomor 5 tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah; c. bagi Bank berbentuk hukum Koperasi adalah pengurus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 Undang-undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian; 12. Komisaris : a. bagi Bank berbentuk hukum Perseroan Terbatas adalah komisaris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 5 Undang-undang Nomor 1 tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas; b. bagi Bank berbentuk hukum Perusahaan Daerah adalah pengawas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 Undang-undang Nomor 5 tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah; c. bagi Bank berbentuk hukum Koperasi adalah pengawas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 Undang-undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian; 13. Pejabat Eksekutif adalah pejabat yang mempunyai pengaruh terhadap kebijakan dan operasional Bank atau perusahaan dan atau bertanggung jawab langsung kepada Direksi antara lain pemimpin Kantor Cabang; 14. Pemegang… - 6 - 14. Pemegang Saham Pengendali adalah badan hukum dan atau perorangan dan atau kelompok usaha yang: a. memiliki saham Bank sebesar 25% (dua puluh lima perseratus) atau lebih dari jumlah saham yang mempunyai hak suara; atau dikeluarkan Bank dan b. memiliki saham Bank kurang dari 25% (dua puluh lima perseratus) dari jumlah saham yang dikeluarkan Bank dan mempunyai hak suara namun dapat dibuktikan telah melakukan pengendalian Bank baik secara langsung maupun tidak langsung; Pasal 2 Bentuk hukum suatu Bank dapat berupa : a. Perseroan Terbatas; b. Koperasi; atau c. Perusahaan Daerah. BAB II PERIZINAN Bagian Pertama Pendirian Bank Pasal 3 (1) Bank hanya dapat didirikan dengan izin Bank Indonesia. (2) Pemberian izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam dua tahap: a. persetujuan… - 7 - a. persetujuan prinsip, yaitu persetujuan untuk melakukan persiapan pendirian Bank; dan b. izin usaha, yaitu izin yang diberikan untuk melakukan kegiatan usaha Bank setelah persiapan sebagaimana dimaksud dalam huruf a selesai dilakukan. Pasal 4 Modal disetor untuk mendirikan Bank ditetapkan sekurang-kurangnya sebesar Rp3.000.000.000.000,00 (tiga triliun rupiah). Pasal 5 (1) Bank hanya dapat didirikan oleh: a. warga negara Indonesia dan atau badan hukum Indonesia; atau b. warga negara Indonesia dan atau badan hukum Indonesia dengan warga negara asing dan atau badan hukum asing secara kemitraan. (2) Kepemilikan yang berasal dari warga negara asing dan atau badan hukum asing sebagaimana dimaksud (1) huruf b setinggi-tingginya sebesar 99% (sembilan puluh sembilan perseratus) dari modal disetor Bank. Bagian… - 8 - Bagian Kedua Persetujuan Prinsip Pasal 6 (1) Permohonan untuk mendapatkan persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf a diajukan sekurang-kurangnya oleh salah satu calon pemilik kepada Gubernur Bank Indonesia dan wajib disertai dengan: a. rancangan akta pendirian badan hukum, termasuk rancangan anggaran dasar yang sekurang-kurangnya memuat: 1. nama dan tempat kedudukan; 2. kegiatan usaha sebagai Bank; 3. permodalan; 4. kepemilikan; 5. wewenang, tanggung jawab, dan masa jabatan Direksi serta dewan Komisaris; 6. penempatan dan tugas-tugas Dewan Pengawas Syariah; b. data kepemilikan berupa: 1. daftar calon pemegang saham berikut rincian besarnya masing- masing kepemilikan saham bagi Bank yang berbentuk hukum Perseroan Terbatas/Perusahaan Daerah; 2. daftar calon anggota berikut rincian jumlah simpanan pokok dan simpanan wajib, serta daftar hibah bagi Bank yang berbentuk hukum Koperasi. c. daftar calon anggota Direksi, dewan Komisaris dan Dewan Pengawas Syariah disertai dengan: 1. pas foto… - 9 - 1. pas foto 1 (satu) bulan terakhir ukuran 4 x 6 cm; 2. fotokopi tanda pengenal yang dapat berupa Kartu Tanda Penduduk (KTP) atau paspor; 3. riwayat hidup; 4. contoh tanda tangan dan paraf; 5. fotokopi kartu izin menetap sementara (KIMS) dan fotokopi surat izin bekerja dari instansi berwenang, bagi warga negara asing; 6. surat pernyataan pribadi yang menyatakan tidak pernah melakukan tindakan tercela di bidang perbankan, keuangan, dan usaha lainnya, tidak pernah dihukum karena terbukti melakukan tindak pidana kejahatan, dan tidak sedang dalam masa pengenaan sanksi untuk dilarang menjadi pengurus bank sebagaimana diatur dalam ketentuan Penilaian Kemampuan dan Kepatutan (Fit and Proper Test) yang ditetapkan oleh Bank Indonesia; 7. surat pernyataan pribadi yang menyatakan bahwa yang bersangkutan tidak pernah dinyatakan pailit dan tidak pernah menjadi pemegang saham, anggota Direksi atau Komisaris yang dinyatakan bersalah menyebabkan suatu perseroan dinyatakan pailit berdasarkan ketetapan pengadilan dalam waktu 5 (lima) tahun sebelum tanggal pengajuan permohonan; dan 8. surat keterangan atau bukti tertulis dari tempat bekerja sebelumnya mengenai pengalaman operasional di bidang perbankan… - 10 - perbankan syariah bagi calon anggota Direksi atau bagi calon anggota dewan Komisaris yang telah berpengalaman; 9. surat keterangan dari lembaga pendidikan mengenai pendidikan perbankan syariah yang pernah diikuti bagi calon anggota Direksi atau bagi calon anggota dewan Komisaris yang belum berpengalaman; 10. surat pernyataan dari anggota dewan Komisaris bahwa yang bersangkutan tidak merangkap jabatan melebihi ketentuan: i. sebagai anggota dewan Komisaris sebanyak-banyaknya pada 1 (satu) bank lain; atau ii. sebagai anggota dewan Komisaris, Direksi, atau Pejabat Eksekutif yang memerlukan tanggung jawab penuh sebanyak-banyaknya pada 2 (dua) lembaga/perusahaan lain bukan bank; 11. surat pernyataan dari anggota Direksi bahwa yang bersangkutan tidak merangkap jabatan sebagai anggota Direksi, Komisaris, atau Pejabat Eksekutif pada perusahaan dan atau lembaga lain; 12. surat pernyataan dari anggota Dewan Pengawas Syariah bahwa yang bersangkutan tidak merangkap jabatan sebagai anggota Dewan Pengawas Syariah lebih dari 2 (dua) bank lain dan 2 (dua) lembaga keuangan syariah bukan bank; 13. surat pernyataan dari anggota Direksi dan dewan Komisaris bahwa yang bersangkutan tidak mempunyai hubungan keluarga dengan mayoritas anggota dewan Komisaris/dewan Direksi sampai… - 11 - sampai dengan derajat kedua dengan sesama anggota dewan Komisaris atau anggota dewan Direksi; 14. surat pernyataan dari anggota Direksi bahwa yang bersangkutan baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama tidak memiliki saham melebihi 25% dari modal disetor pada suatu perusahaan lain; d. rencana susunan dan struktur organisasi, serta personalia; e. rencana kerja (business plan) untuk tahun pertama yang sekurang- kurangnya memuat: 1. studi kelayakan mengenai peluang pasar dan potensi ekonomi yang disertai dengan data pendukung; 2. rencana kegiatan usaha yang mencakup penghimpunan dan penyaluran dana serta langkah-langkah kegiatan yang akan dilakukan dalam mewujudkan rencana dimaksud; dan 3. proyeksi neraca, laporan laba rugi dan laporan arus kas bulanan selama 12 (dua belas) bulan yang melakukan kegiatan operasional; f. rencana strategis jangka menengah dan panjang (corporate plan); g. pedoman manajemen risiko, rencana sistem pengendalian intern, rencana sistem teknologi informasi yang digunakan, dan skala kewenangan; h. sistem dan prosedur kerja; i. bukti setoran modal sekurang-kurangnya 30 % (tiga puluh perseratus) dari modal disetor minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, dalam bentuk fotokopi bilyet deposito atas nama “Dewan… dimulai sejak Bank - 12 - “Dewan Gubernur Bank Indonesia qq. salah satu calon pemilik untuk pendirian Bank yang bersangkutan”, pada bank umum yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah di Indonesia yang wajib dilegalisir oleh bank penerbit, dengan mencantumkan keterangan bahwa pencairannya hanya dapat dilakukan setelah mendapat persetujuan tertulis dari Dewan Gubernur Bank Indonesia; j. surat pernyataan dari calon pemegang saham bagi Bank yang berbentuk hukum Perseroan Terbatas/Perusahaan Daerah atau dari calon anggota bagi Bank yang berbentuk hukum Koperasi, bahwa setoran modal sebagaimana dimaksud dalam huruf i: 1. tidak berasal dari pinjaman atau fasilitas pembiayaan dalam bentuk apapun dari bank dan/atau pihak lain; 2. tidak berasal dari sumber dana yang diharamkan menurut prinsip syariah termasuk dari dan untuk tujuan pencucian uang (money laundering). (2) Daftar calon pemegang saham atau daftar calon anggota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b: a. dalam hal perorangan wajib disertai dengan: 1. dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c angka 1, angka 2, angka 3, angka 4 dan angka 5; 2. surat pernyataan dari calon Pemegang Saham Pengendali yang menyatakan kesediaan untuk mengatasi kesulitan permodalan maupun likuiditas yang dihadapi Bank dalam menjalankan kegiatan usahanya; dan 3. surat… - 13 - 3. surat pernyataan pribadi yang menyatakan tidak pernah melakukan tindakan tercela di bidang perbankan, keuangan, dan usaha lainnya, tidak pernah dihukum karena terbukti melakukan tindak pidana kejahatan, dan tidak sedang dalam masa pengenaan sanksi untuk dilarang menjadi pemilik, pemilik dengan kepemilikan di atas 10% (sepuluh perseratus), dan atau Pemegang Saham Pengendali dari bank sebagaimana diatur dalam ketentuan Penilaian Kemampuan dan Kepatutan (Fit and Proper Test) yang ditetapkan oleh Bank Indonesia; b. dalam hal badan hukum wajib dilampiri dengan : 1. akta pendirian badan hukum, yang memuat anggaran dasar berikut perubahan-perubahan yang telah mendapat pengesahan dari instansi berwenang termasuk bagi badan hukum asing sesuai dengan ketentuan yang berlaku di negara asal badan hukum tersebut; 2. dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c angka 1 sampai dengan angka 5 dari seluruh Direksi dan dewan Komisaris badan hukum yang bersangkutan; 3. rekomendasi dari instansi berwenang di negara asal bagi badan hukum asing; 4. daftar pemegang saham berikut rincian besarnya masing- masing kepemilikan saham bagi badan hukum Perseroan Terbatas/Perusahaan Daerah, atau daftar anggota berikut rincian jumlah simpanan pokok dan simpanan wajib, serta daftar hibah bagi badan hukum Koperasi; 5. laporan… - 14 - 5. laporan keuangan badan hukum yang telah diaudit oleh akuntan publik dengan posisi paling lama 6 (enam) bulan sebelum tanggal pengajuan permohonan persetujuan prinsip; 6. seluruh struktur kelompok usaha yang terkait dengan Bank dan badan hukum pemilik Bank sampai dengan pemilik terakhir; dan 7. surat pernyataan dari calon Pemegang Saham Pengendali yang menyatakan kesediaan untuk mengatasi kesulitan permodalan maupun likuiditas yang dihadapi bank dalam menjalankan kegiatan usahanya. Pasal 7 (1) Persetujuan atau penolakan atas permohonan persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf a diberikan selambat-lambatnya 60 (enam puluh) hari setelah dokumen permohonan diterima secara lengkap. (2) Dalam rangka memberikan persetujuan atau penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia melakukan: a. penelitian atas kelengkapan dan kebenaran dokumen; b. analisis yang mencakup antara lain tingkat persaingan yang sehat antar bank yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, tingkat kejenuhan jumlah bank yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah dan pemerataan pembangunan ekonomi nasional; dan c. wawancara… - 15 - c. wawancara terhadap calon Pemegang Saham Pengendali, calon anggota dewan Komisaris dan calon anggota Direksi. (3) Selain ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) pihak-pihak yang mengajukan permohonan pendirian Bank wajib melakukan presentasi kepada Bank Indonesia mengenai keseluruhan rencana pendirian Bank. Pasal 8 (1) Persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) berlaku untuk jangka waktu 360 (tiga ratus enam puluh) hari terhitung sejak tanggal persetujuan prinsip dikeluarkan. (2) Pihak yang telah mendapat persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang melakukan kegiatan usaha perbankan, sebelum mendapat izin usaha. (3) Apabila setelah jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pihak yang telah mendapat persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud pada ayat (2) belum mengajukan permohonan izin usaha kepada Gubernur Bank Indonesia, maka persetujuan prinsip yang telah diberikan dinyatakan tidak berlaku. Bagian Ketiga Izin Usaha Pasal 9 Permohonan untuk mendapatkan izin usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf b diajukan oleh pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8… - 16 - Pasal 8 ayat (2) kepada Gubernur Bank Indonesia dan wajib disertai dengan: a. akta pendirian badan hukum, yang memuat anggaran dasar yang telah disahkan oleh instansi berwenang; b. data kepemilikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b yang masing-masing disertai dengan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2), dalam hal terjadi perubahan; c. daftar susunan Direksi dan dewan Komisaris, disertai dengan identitas dan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c, dalam hal terjadi perubahan; d. dokumen sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (1) huruf d, huruf e, huruf f, huruf g, dan huruf h, dalam hal terjadi perubahan; e. bukti pelunasan modal disetor minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, dalam bentuk fotokopi bilyet deposito atas nama “Dewan Gubernur Bank Indonesia qq. salah satu calon pemilik untuk pendirian Bank yang bersangkutan”, pada bank umum yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah di Indonesia yang wajib dilegalisir oleh bank penerbit, dengan mencantumkan keterangan bahwa pencairannya hanya dapat dilakukan setelah mendapat persetujuan tertulis dari Dewan Gubernur Bank Indonesia; f. bukti kesiapan operasional sekurang-kurangnya berupa: 1. daftar aktiva tetap dan inventaris; 2. bukti kepemilikan, penguasaan atau perjanjian sewa gedung kantor; 3. foto gedung kantor dan tata letak ruangan; 4. contoh… - 17 - 4. contoh formulir/warkat yang akan digunakan untuk operasional Bank; dan 5. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan Tanda Daftar Perusahaan (TDP); g. surat pernyataan dari pemegang saham bagi Bank yang berbentuk hukum Perseroan Terbatas/Perusahaan Daerah atau dari anggota bagi Bank yang berbentuk hukum Koperasi, bahwa pelunasan modal disetor sebagaimana dimaksud dalam huruf e: 1. tidak berasal dari pinjaman atau fasilitas pembiayaan dalam bentuk apapun dari bank dan/atau pihak lain; 2. tidak berasal dari sumber dana yang diharamkan menurut Prinsip Syariah, termasuk dari dan untuk tujuan pencucian uang (money laundering); Pasal 10 (1) Persetujuan atau penolakan atas permohonan izin usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf b diberikan selambat- lambatnya 60 (enam puluh) hari setelah dokumen permohonan diterima secara lengkap. (2) Dalam rangka memberikan persetujuan atau penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia melakukan: a. penelitian atas kelengkapan dan kebenaran dokumen; dan b. wawancara terhadap Pemegang Saham Pengendali, anggota Direksi ,dewan Komisaris, dan Dewan Pengawas Syariah dalam hal terdapat penggantian atas calon yang diajukan sebelumnya. Pasal 11… - 18 - Pasal 11 (1) Bank yang telah mendapat izin usaha dari Gubernur Bank Indonesia wajib melakukan kegiatan usaha perbankan selambat-lambatnya 60 (enam puluh) hari terhitung sejak tanggal izin usaha dikeluarkan. (2) Pelaksanaan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilaporkan oleh Direksi Bank kepada Bank Indonesia selambat- lambatnya 10 (sepuluh) hari setelah tanggal pelaksanaan kegiatan operasional. (3) Apabila setelah jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Bank belum melakukan kegiatan usaha, Gubernur Bank Indonesia membatalkan izin usaha yang telah dikeluarkan. Pasal 12 Bank yang telah mendapat izin usaha dari Gubernur Bank Indonesia wajib mencantumkan secara jelas kata “Syariah” sesudah kata “Bank” pada penulisan namanya. BAB III KEPEMILIKAN DAN PERUBAHAN MODAL BANK Pasal 13 (1) Kepemilikan Bank oleh badan hukum Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) setinggi-tingginya sebesar modal sendiri bersih badan hukum yang bersangkutan. (2) Ketentuan modal sendiri bersih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib… - 19 - wajib dipenuhi pada saat badan hukum yang bersangkutan melakukan penyetoran modal untuk pendirian Bank atau pada saat badan hukum yang bersangkutan melakukan penambahan modal disetor Bank. Pasal 14 Sumber dana yang digunakan dalam rangka kepemilikan Bank dilarang: a. berasal dari pinjaman atau fasilitas pembiayaan dalam bentuk apapun dari bank dan/atau pihak lain; dan atau b. berasal dari sumber yang diharamkan menurut prinsip syariah, termasuk dari dan untuk tujuan pencucian uang (money laundering). Pasal 15 (1) Yang dapat menjadi pemilik Bank adalah pihak-pihak yang: a. tidak termasuk dalam daftar orang-orang yang dilarang menjadi pemegang saham dan atau pengurus bank sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia; b. menurut penilaian Bank Indonesia yang bersangkutan memiliki integritas yang baik. (2) Pemilik Bank yang memiliki integritas yang baik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, antara lain adalah pihak-pihak yang: a. memiliki akhlak dan moral yang baik; b. mematuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku; c. memiliki komitmen yang operasional Bank yang sehat. tinggi terhadap pengembangan (3) Selain... - 20 - (3) Selain ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemegang Saham Pengendali wajib memenuhi persyaratan bahwa yang bersangkutan bersedia untuk mengatasi kesulitan permodalan dan likuiditas yang dihadapi Bank dalam menjalankan kegiatan usahanya. Pasal 16 Penggantian dan/atau penambahan pemilik Bank dan atau Pemegang Saham Pengendali tunduk kepada tatacara penggantian dan/atau penambahan pemilik Bank yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku tentang merger, konsolidasi dan akuisisi Bank serta mengenai pembelian saham bank umum. Pasal 17 (1) Perubahan komposisi kepemilikan Bank yang tidak mengakibatkan penggantian dan atau penambahan pemilik wajib dilaporkan oleh Bank kepada Bank Indonesia selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari setelah perubahan dilakukan. (2) Laporan perubahan komposisi kepemilikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang diakibatkan oleh adanya penambahan modal disetor wajib disertai dengan: a. bukti penyetoran; b. notulen rapat umum pemegang saham/rapat anggota; c. surat pernyataan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf g; dan d. data kepemilikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf b. (3) Laporan... - 21 - (3) Laporan perubahan komposisi kepemilikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang tidak mengubah jumlah modal disetor wajib disertai dengan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, huruf c, dan huruf d serta fotokopi dokumen pengalihan saham. Pasal 18 (1) Perubahan modal dasar bagi Bank yang berbentuk hukum Perseroan Terbatas/Perusahaan Daerah, wajib dilaporkan oleh Bank kepada Bank Indonesia selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari setelah tanggal diterimanya persetujuan perubahan anggaran dasar dari instansi berwenang disertai dengan: a. notulen rapat umum pemegang saham; dan b. akta perubahan anggaran dasar yang telah disetujui oleh instansi berwenang. (2) Perubahan modal bagi Bank yang berbentuk hukum Koperasi, wajib dilaporkan oleh Bank kepada Bank Indonesia selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari setelah tanggal perubahan anggaran dasar disertai dengan: a. notulen rapat anggota; dan b. akta perubahan anggaran dasar yang telah disetujui oleh rapat anggota. (3) Pembelian kembali saham yang telah dikeluarkan oleh Bank wajib memperoleh persetujuan terlebih dahulu dari Bank Indonesia dan dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. BAB IV… - 22 - BAB IV DIREKSI, DEWAN KOMISARIS, DEWAN PENGAWAS SYARIAH DAN PEJABAT EKSEKUTIF Pasal 19 (1) Kepengurusan Bank terdiri dari Direksi dan dewan Komisaris dan atau bentuk lain yang dipersamakan dengan itu. (2) Bank wajib membentuk dan memiliki Dewan Pengawas Syariah yang berkedudukan di kantor pusat Bank. Pasal 20 (1) Anggota Direksi dan dewan Komisaris wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. tidak termasuk dalam daftar orang-orang yang dilarang menjadi pemegang saham dan atau pengurus bank sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia; dan b. menurut penilaian Bank Indonesia yang bersangkutan memiliki kompetensi dan integritas yang baik. (2) Anggota Direksi dan dewan Komisaris Bank yang memiliki kompetensi dan integritas yang baik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, antara lain adalah pihak-pihak yang: a. memiliki akhlak dan moral yang baik; b. mematuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku; c. memiliki komitmen yang tinggi dalam mengikuti fatwa Dewan Syariah Nasional; dan d. memiliki kemampuan dalam menjalankan tugas dan atau mengawasi… - 23 - mengawasi kegiatan usaha Bank agar sesuai dengan prinsip syariah. Pasal 21 (1) Anggota Dewan Pengawas Syariah wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. integritas; b. kompetensi;dan c. reputasi keuangan. (2) Anggota Dewan Pengawas Syariah yang memenuhi persyaratan integritas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, antara lain adalah pihak-pihak yang: a. memiliki akhlak dan moral yang baik; b. memiliki komitmen untuk mematuhi peraturan perundang- undangan yang berlaku; c. memiliki komitmen yang operasional Bank yang sehat; tinggi terhadap pengembangan d. tidak termasuk dalam daftar tidak lulus sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. (3) Anggota Dewan Pengawas Syariah yang memenuhi persayaratan kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, antara lain adalah pihak-pihak yang memiliki pengetahuan dan pengalaman dibidang syariah mu’amalah dan pengetahuan dibidang perbankan dan atau keuangan secara umum. (4) Anggota Dewan Pengawas Syariah yang memenuhi persyaratan reputasi… - 24 - reputasi keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, antara lain adalah pihak-pihak yang: a. tidak termasuk dalam kredit/pembiayaan macet; b. tidak pernah dinyatakan pailit atau menjadi Direksi atau Komisaris yang dinyatakan bersalah menyebabkan suatu perseroan dinyatakan pailit, dalam waktu 5 (lima) tahun terakhir sebelum dicalonkan. Pasal 22 (1) Bank yang sebagian sahamnya dimiliki oleh pihak asing dapat menempatkan warga negara asing sebagai anggota Direksi dan dewan Komisaris. (2) Diantara anggota Direksi dan dewan Komisaris Bank, sekurang- kurangnya terdapat 1 (satu) orang anggota Direksi dan 1 (satu) orang anggota dewan Komisaris berkewarganegaraan Indonesia. Pasal 23 (1) Direksi Bank sekurang-kurangnya berjumlah 2 (dua) orang. (2) Mayoritas dari anggota Direksi wajib berpengalaman dalam operasional bank syariah sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun sebagai Pejabat Eksekutif. (3) Direktur Utama Bank wajib berasal dari pihak yang independen terhadap Pemegang Saham Pengendali. Pasal 24 (1) Sesama anggota Direksi dilarang saling memiliki hubungan keluarga sampai derajat kedua termasuk besan. (2) Mayoritas… - 25 - (2) Mayoritas anggota Direksi dilarang saling memiliki hubungan keluarga sampai derajat kedua termasuk besan dengan anggota dewan Komisaris. (3) Anggota Direksi dilarang merangkap jabatan sebagai anggota Direksi, dewan Komisaris atau Pejabat Eksekutif pada bank, perusahaan atau lembaga lain. (4) Anggota Direksi baik secara sendiri-sendiri atau bersama-sama dilarang memiliki saham melebihi 25% (dua puluh lima perseratus) dari modal disetor pada suatu perusahaan lain. (5) Anggota Direksi dilarang memberikan kuasa umum kepada pihak lain yang mengakibatkan pengalihan tugas dan wewenang tanpa batas. Pasal 25 (1) Jumlah anggota dewan Komisaris sekurang-kurangnya 2 (dua) orang dan sebanyak-banyaknya sama dengan jumlah anggota Direksi. (2) Sekurang-kurangnya 1 (satu) orang anggota dewan Komisaris wajib berdomisili di Indonesia. (3) Sekurang-kurangnya 1 (satu) orang anggota dewan Komisaris wajib berasal dari pihak yang independen terhadap pemilik. (4) Anggota dewan Komisaris wajib memiliki pengetahuan dan atau pengalaman di bidang perbankan. (5) Anggota dewan Komisaris hanya dapat merangkap jabatan sebagai: a. anggota dewan Komisaris sebanyak-banyaknya pada 1 (satu) bank lain; atau b. anggota dewan Komisaris, Direksi, atau Pejabat Eksekutif yang memerlukan… - 26 - memerlukan tanggung jawab penuh sebanyak-banyaknya pada 2 (dua) lembaga/perusahaan lain bukan bank. (6) Mayoritas anggota dewan Komisaris dilarang saling memiliki hubungan keluarga sampai derajat kedua dengan sesama anggota dewan Komisaris. Pasal 26 (1) Jumlah anggota Dewan Pengawas Syariah sekurang-kurangnya 2 (dua) orang dan sebanyak-banyaknya 5 (lima) orang. (2) Anggota Dewan Pengawas Syariah hanya dapat merangkap jabatan sebagai anggota Dewan Pengawas Syariah sebanyak-banyaknya pada 2 (dua) bank lain dan 2 (dua) lembaga keuangan syariah bukan bank. (3) Sebanyak-banyaknya 2 (dua) anggota Dewan Pengawas Syariah dapat merangkap jabatan sebagai anggota Dewan Syariah Nasional. (4) Anggota Dewan Pengawas Syariah digolongkan sebagai pihak terafiliasi. Pasal 27 (1) Tugas, wewenang dan tanggung jawab Dewan Pengawas Syariah antara lain meliputi: a. memastikan dan mengawasi kesesuaian kegiatan operasional Bank terhadap fatwa yang dikeluarkan oleh DSN; b. menilai aspek syariah terhadap pedoman operasional, dan produk yang dikeluarkan Bank; (c) memberikan… - 27 - c. memberikan opini dari aspek syariah terhadap pelaksanaan operasional Bank secara keseluruhan dalam laporan publikasi Bank; d. mengkaji produk dan jasa baru yang belum ada fatwa untuk dimintakan fatwa kepada DSN; e. menyampaikan laporan hasil pengawasan syariah sekurang- kurangnya setiap 6 (enam) bulan kepada Direksi, Komisaris, Dewan Syariah Nasional dan Bank Indonesia. (2) Tata cara pelaporan hasil pengawasan Dewan Pengawas Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 28 (1) Calon anggota Direksi atau dewan Komisaris wajib memperoleh persetujuan dari Bank Indonesia sebelum diangkat dan menduduki jabatannya oleh rapat umum pemegang saham atau rapat anggota. (2) Sebelum dimintakan persetujuan dari Bank Indonesia, penetapan calon anggota Direksi atau dewan Komisaris sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan dengan berpedoman pada ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 29 (1) Permohonan untuk memperoleh persetujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 diajukan oleh Bank kepada Gubernur Bank Indonesia, dan… - 28 - dan wajib disertai dengan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c kecuali angka 12. (2) Dalam rangka memberikan persetujuan atau penolakan atas permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Bank Indonesia melakukan: a. penelitian atas kelengkapan dan kebenaran dokumen; dan b. wawancara terhadap calon anggota Direksi atau dewan Komisaris. (3) Persetujuan atau penolakan atas pengajuan calon anggota Direksi dan atau dewan Komisaris diberikan selambat lambatnya 30 (tiga puluh) hari sejak dokumen permohonan diterima secara lengkap. Pasal 30 (1) Dalam hal rapat umum pemegang saham atau rapat anggota telah mengangkat calon anggota Direksi dan atau calon anggota dewan Komisaris sebelum persetujuan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (3) dan apabila Bank Indonesia tidak menyetujui pihak-pihak dimaksud maka Bank wajib mengajukan kembali calon anggota Direksi dan atau calon anggota dewan Komisaris baru sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 dan Pasal 29 ayat (1) dan ayat (2). (2) Dalam hal rapat umum pemegang saham atau rapat anggota membatalkan pengangkatan calon anggota Direksi atau calon anggota dewan Komisaris yang telah disetujui oleh Bank Indonesia maka Bank wajib melaporkan pembatalan tersebut kepada Bank Indonesia, selambat lambatnya 10 (sepuluh) hari setelah tanggal pembatalan pengangkatan… - 29 - pengangkatan, disertai dengan fotokopi notulen rapat umum pemegang saham atau fotokopi notulen rapat anggota. (3) Pengangkatan anggota Direksi dan atau dewan Komisaris wajib dilaporkan oleh Bank kepada Bank Indonesia selambat lambatnya 10 (sepuluh) hari sejak tanggal pengangkatan efektif, disertai dengan fotokopi notulen rapat umum pemegang saham atau fotokopi notulen rapat anggota. Pasal 31 Bank wajib mengajukan calon anggota Dewan Pengawas Syariah untuk memperoleh : a. persetujuan Bank Indonesia; dan b. penetapan Dewan Syariah Nasional sebelum diangkat dan menduduki jabatannya. Pasal 32 (1) Permohonan untuk memperoleh persetujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 huruf a, diajukan oleh Bank kepada Gubernur Bank Indonesia, dan wajib disertai dengan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c angka 1 sampai dengan angka 3, angka 6, angka 7 dan angka 12. (2) Persetujuan atau penolakan atas pengajuan calon anggota Dewan Pengawas Syariah diberikan selambat lambatnya 30 (tiga puluh) hari sejak dokumen permohonan diterima secara lengkap. (3) Dalam… - 30 - (3) Dalam rangka memberikan persetujuan atau penolakan atas permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Bank Indonesia melakukan: a. penelitian atas kelengkapan dan kebenaran dokumen; dan b. wawancara terhadap calon anggota Dewan Pengawas Syariah. Pasal 33 (1) Penetapan calon anggota Dewan Pengawas Syariah oleh Dewan Syariah Nasional dilakukan setelah mendapat persetujuan dari Bank Indonesia. (2) Permohonan untuk memperoleh penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 huruf b wajib disampaikan oleh Bank kepada Dewan Syariah Nasional dengan tembusan ke Bank Indonesia selambat- lambatnya 15 hari sejak diterbitkannya surat persetujuan Bank Indonesia. (3) Dewan Syariah Nasional menetapkan calon Dewan Pengawas Syariah selambat-lambatnya 30 hari sejak diterbitkannya surat persetujuan Bank Indonesia. (4) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) Dewan Syariah Nasional belum mengeluarkan penetapan calon Dewan Pengawas Syariah, maka calon Dewan Pengawas Syariah dianggap efektif sebagai Dewan Pengawas Syariah. (5) Pengangkatan anggota Dewan Pengawas Syariah wajib dilaporkan oleh Bank kepada Bank Indonesia selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari setelah tanggal pengangkatan efektif. Pasal 34… - 31 - Pasal 34 (1) Pengangkatan atau penggantian Pejabat Eksekutif atau pemimpin Kantor Cabang wajib dilaporkan oleh Bank kepada Bank Indonesia selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari setelah tanggal pengangkatan efektif dan disertai dengan: a. surat pengangkatan dan pemberian kuasa sebagai Pejabat Eksekutif atau pemimpin Kantor Cabang dari Direksi Bank; dan b. dokumen yang menyatakan identitas Pejabat Eksekutif atau pemimpin Kantor Cabang Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c angka 1, angka 2, angka 3 dan angka 4. (2) Apabila berdasarkan penilaian dan penelitian Bank Indonesia, Pejabat Eksekutif atau pemimpin Kantor Cabang termasuk dalam daftar orang- orang yang dilarang menjadi pemegang saham, Pemegang Saham Pengendali, pengurus, Pejabat Eksekutif bank maka Bank wajib segera memberhentikan yang bersangkutan. Pasal 35 (1) Anggota Direksi, anggota dewan Komisaris, anggota Dewan Pengawas Syariah, Pejabat Eksekutif dan pemimpin Kantor Cabang yang memiliki benturan kepentingan dilarang mengambil keputusan. (2) Benturan kepentingan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib diungkapkan dalam keputusan. BAB V… - 32 - BAB V KEGIATAN USAHA Pasal 36 Bank wajib menerapkan prinsip syariah dan prinsip kehati-hatian dalam melakukan kegiatan usahanya yang meliputi: a. melakukan penghimpunan dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan investasi, antara lain: 1. giro berdasarkan prinsip wadi’ah; 2. tabungan berdasarkan prinsip wadi’ah dan atau mudharabah; atau 3. deposito berjangka berdasarkan prinsip mudharabah; b. melakukan penyaluran dana melalui : 1. prinsip jual beli berdasarkan akad antara lain: a) murabahah; b) istishna; c) salam; 2. prinsip bagi hasil berdasarkan akad antara lain: a) mudharabah; b) musyarakah; 3. prinsip sewa menyewa berdasarkan akad antara lain: a) ijarah; b) ijarah muntahiya bittamlik; 4. prinsip pinjam meminjam berdasarkan akad qardh; c) melakukan… - 33 - c. melakukan pemberian jasa pelayanan perbankan berdasarkan akad antara lain: 1. wakalah; 2. hawalah; 3. kafalah; 4. rahn. d. membeli, menjual dan/atau menjamin atas risiko sendiri surat berharga pihak ketiga yang diterbitkan atas dasar transaksi nyata (underlying transaction) berdasarkan prinsip syariah; e. membeli surat berharga berdasarkan prinsip syariah yang diterbitkan oleh Pemerintah dan/atau Bank Indonesia; f. menerbitkan surat berharga berdasarkan prinsip syariah; g. memindahkan uang berdasarkan prinsip syariah; h. menerima pembayaran tagihan atas surat berharga yang diterbitkan dan melakukan perhitungan dengan atau antar pihak ketiga berdasarkan prinsip syariah; i. menyediakan tempat untuk menyimpan barang dan surat-surat berharga berdasarkan prinsip wadi’ah yad amanah; j. melakukan kegiatan penitipan kepentingan pihak lain berdasarkan suatu kontrak dengan prinsip wakalah; k. memberikan fasilitas letter of credit (L/C) berdasarkan prinsip syariah; l. memberikan fasilitas garansi bank berdasarkan prinsip syariah; m. melakukan… untuk kepentingan sendiri dan/atau nasabah termasuk penatausahaannya untuk - 34 - m. melakukan kegiatan usaha kartu debet, charge card berdasarkan prinsip syariah; n. melakukan kegiatan wali amanat berdasarkan akad wakalah; o. melakukan kegiatan lain yang lazim dilakukan Bank sepanjang disetujui oleh Bank Indonesia dan mendapatkan fatwa Dewan Syariah Nasional. Pasal 37 (1) Selain melakukan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36, Bank dapat pula : a. Melakukan kegiatan dalam valuta asing berdasarkan akad sharf; b. melakukan kegiatan penyertaan modal pada bank atau perusahaan lain dibidang keuangan berdasarkan prinsip syariah seperti sewa guna usaha, modal ventura, perusahaan efek, asuransi serta lembaga kliring penyelesaian dan penyimpanan; c. melakukan kegiatan penyertaan modal sementara berdasarkan prinsip syariah untuk mengatasi akibat kegagalan pembiayaan dengan syarat harus menarik kembali penyertaannya dengan ketentuan sebagaimana ditetapkan oleh Bank Indonesia; dan d. bertindak sebagai pendiri dana pensiun dan pengurus dana pensiun berdasarkan prinsip syariah sesuai dengan perundang-undangan dana pensiun yang berlaku. ketentuan dalam (2) Bank syariah dalam melaksanakan fungsi sosial dapat bertindak sebagai penerima dana sosial antara lain dalam bentuk zakat, infaq, shadaqah, waqaf, hibah dan menyalurkannya sesuai syariah atas nama Bank atau lembaga amil zakat yang ditunjuk oleh pemerintah. Pasal 38… - 35 - Pasal 38 (1) Bank wajib mengajukan permohonan persetujuan kepada Bank Indonesia atas produk dan jasa baru yang akan dikeluarkan. (2) Permohonan persetujuan atas produk dan jasa baru yang akan dikeluarkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilampiri dengan fatwa dari Dewan Syariah Nasional. Pasal 39 (1) Bank dilarang melakukan kegiatan usaha perbankan secara konvensional. (2) Bank dilarang mengubah kegiatan usaha menjadi bank konvensional. BAB VI PEMBUKAAN KANTOR BANK Bagian Pertama Pembukaan Kantor Cabang di Dalam Negeri Pasal 40 (1) Pembukaan Kantor Cabang Bank di dalam negeri hanya dapat dilakukan dengan izin Gubernur Bank Indonesia. (2) Rencana pembukaan Kantor Cabang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dicantumkan dalam rencana kerja tahunan Bank yang telah mendapat surat penegasan dari Bank Indonesia. Pasal 41 (1) Permohonan izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40, diajukan oleh… - 36 - oleh Bank kepada Gubernur Bank Indonesia dan wajib disertai dengan: a. laporan keuangan gabungan dan rincian kualitas aktiva produktif 2 (dua) bulan terakhir sebelum tanggal surat permohonan; b. rencana persiapan operasional dalam rangka pembukaan Kantor Cabang; c. hasil studi kelayakan yang sekurang-kurangnya memuat potensi ekonomi, peluang pasar, tingkat persaingan yang sehat antar bank yang melaksanakan kegiatan berdasarkan prinsip syariah, tingkat kejenuhan jumlah bank yang melaksanakan kegiatan berdasarkan prinsip syariah yang dilengkapi dengan data-data pendukung dari instansi terkait; d. proyeksi arus kas bulanan selama 12 (dua belas) bulan; dan e. rencana kerja Kantor Cabang sekurang-kurangnya selama 12 (dua belas) bulan. (2) Dalam rangka memberikan persetujuan atau penolakan atas permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia melakukan: a. penelitian atas kelengkapan dan kebenaran dokumen; dan b. analisis yang mencakup antara lain kemampuan Bank termasuk tingkat kesehatan, tingkat persaingan yang sehat antar bank yang melaksanakan kegiatan berdasarkan prinsip syariah, tingkat kejenuhan jumlah bank yang melaksanakan kegiatan berdasarkan prinsip syariah, dan pemerataan pembangunan ekonomi nasional. (3) Apabila diperlukan, Bank Indonesia dapat melakukan pemeriksaan untuk… - 37 - untuk meneliti persiapan pembukaan kantor dan kebenaran dokumen yang disampaikan. (4) Persetujuan atau penolakan atas permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah dokumen permohonan diterima secara lengkap termasuk pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3). Pasal 42 (1) Pelaksanaan pembukaan Kantor Cabang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 wajib dilakukan selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal izin dari Gubernur Bank Indonesia dikeluarkan. (2) Pelaksanaan pembukaan Kantor Cabang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilaporkan oleh Bank kepada Bank Indonesia selambat- lambatnya 10 (sepuluh) hari setelah tanggal pembukaan. (3) Apabila setelah jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Bank tidak melaksanakan pembukaan Kantor Cabang, maka izin pembukaan Kantor Cabang yang telah diberikan dinyatakan tidak berlaku. Bagian Kedua Pembukaan Kantor di Bawah Kantor Cabang dan Kegiatan Kas di Luar Kantor Bank di Dalam Negeri Pasal 43 (1) Rencana pembukaan Kantor di bawah Kantor Cabang Bank di dalam negeri yang meliputi Kantor Cabang Pembantu, Unit Pelayanan Syariah… - 38 - Syariah dan atau Kantor Kas wajib dicantumkan dalam rencana kerja tahunan Bank yang telah mendapat surat penegasan dari Bank Indonesia. (2) Pembukaan Kantor Cabang Pembantu dan atau Kantor Kas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan: a. dalam satu wilayah kliring dengan Kantor induknya; b. dengan mempertimbangkan hasil studi kelayakan yang memuat tingkat kejenuhan jumlah bank yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah; dan c. dengan mempergunakan sumber daya manusia sendiri Bank. (3) Pembukaan Unit Pelayanan Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan: a. dalam satu wilayah Kantor Bank Indonesia dengan Kantor Cabang induknya; b. berlokasi diluar Ibukota Propinsi, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi; c. dengan mempertimbangkan hasil studi kelayakan yang memuat tingkat kejenuhan jumlah bank yang melaksanakan kegiatan usaha berdasar prinsip syariah; dan d. dengan mempergunakan sumber daya manusia sendiri Bank. (4) Pembukaan Kantor Kas, Kantor Cabang Pembantu dan atau Unit Pelayanan Syariah dapat beralamat yang sama dengan kantor lain dengan tetap memperhatikan faktor pengamanan. (5) Laporan… - 39 - (5) Laporan keuangan Kantor di bawah Kantor Cabang wajib digabungkan dengan laporan keuangan Kantor Cabang induknya pada hari yang sama. Pasal 44 (1) Bank wajib menyampaikan rencana pembukaan Kantor di bawah Kantor Cabang kepada Bank Indonesia selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sebelum pelaksanaan pembukaan kantor, disertai dengan hasil studi kelayakan yang memuat tingkat kejenuhan jumlah bank yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah. (2) Pelaksanaan pembukaan Kantor di bawah Kantor Cabang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah tanggal penegasan dari Bank Indonesia. (3) Pelaksanaan pembukaan Kantor di bawah Kantor Cabang wajib dilaporkan oleh Bank kepada Bank Indonesia selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari setelah tanggal pelaksanaan pembukaan. Pasal 45 (1) Rencana Kegiatan Kas di luar Kantor Bank wajib dicantumkan dalam rencana kerja tahunan Bank yang telah mendapat surat penegasan dari Bank Indonesia. (2) Bank wajib menyampaikan laporan rencana Kegiatan Kas di luar Kantor Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Bank Indonesia selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sebelum pelaksanaan kegiatan. (3) Pelaksanaan… - 40 - (3) Pelaksanaan Kegiatan Kas di luar Kantor Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib dilakukan selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah tanggal penegasan dari Bank Indonesia. (4) Pelaksanaan Kegiatan Kas di luar Kantor Bank wajib dilaporkan oleh Bank kepada Bank Indonesia selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari setelah tanggal pelaksanaan kegiatan. Bagian Ketiga Pembukaan Kantor di Luar Negeri Pasal 46 (1) Bank yang akan membuka Kantor Cabang, kantor perwakilan dan jenis-jenis kantor lainnya di luar negeri hanya dapat dilakukan dengan izin Gubernur Bank Indonesia. (2) Pemberian izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat diberikan apabila Bank: a. telah menjadi Bank devisa sekurang-kurangnya 24 (dua puluh empat) bulan; dan b. telah mencantumkan rencana pembukaan Kantor Cabang, kantor perwakilan dan jenis-jenis kantor lainnya di luar negeri dalam rencana kerja tahunan Bank yang telah mendapat surat penegasan dari Bank Indonesia. Pasal 47 (1) Permohonan izin membuka Kantor Cabang dan jenis-jenis kantor lainnya yang bersifat operasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46… - 41 - 46 ayat (1), diajukan oleh Bank kepada Gubernur Bank Indonesia dan wajib disertai dengan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat 1 huruf a, huruf b, huruf d, dan huruf e serta hasil studi kelayakan yang memuat sekurang-kurangnya peluang pasar dan potensi ekonomi. (2) Permohonan izin membuka kantor perwakilan dan jenis-jenis kantor lainnya yang tidak bersifat operasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (1) diajukan oleh Bank kepada Gubernur Bank Indonesia, dan wajib disertai dengan dokumen berupa laporan keuangan gabungan 2 (dua) bulan terakhir sebelum tanggal surat permohonan serta alasan pembukaan kantor. (3) Persetujuan atau penolakan atas permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diberikan selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah dokumen permohonan diterima secara lengkap. rangka memberikan persetujuan atau penolakan atas (4) Dalam permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Bank Indonesia melakukan: a. penelitian atas kelengkapan dan kebenaran dokumen; b. analisis yang mencakup antara lain kemampuan Bank termasuk tingkat kesehatan dan hasil studi kelayakan. Pasal 48 (1) Pembukaan kantor di luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 hanya dapat dilaksanakan setelah mendapat izin dari otoritas di negara setempat. (2) Pelaksanaan… - 42 - (2) Pelaksanaan pembukaan kantor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilaporkan oleh Bank kepada Bank Indonesia selambat- lambatnya 10 (sepuluh) hari setelah tanggal pelaksanaan pembukaan dan wajib disertai dengan salinan/fotokopi izin pembukaan kantor dari otoritas di negara setempat. BAB VII PENINGKATAN DAN PENURUNAN STATUS KANTOR BANK Pasal 49 (1) Peningkatan status dari Kantor di bawah Kantor Cabang menjadi Kantor Cabang hanya dapat dilakukan dengan cara menutup Kantor di bawah Kantor Cabang dengan memenuhi ketentuan Pasal 64 dan diikuti dengan membuka Kantor Cabang dengan memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40, Pasal 41 dan Pasal 42. (2) Peningkatan status dari Kegiatan Kas di luar Kantor Bank menjadi Kantor di bawah Kantor Cabang hanya dapat dilakukan dengan cara menghentikan Kegiatan Kas di luar Kantor Bank dengan memenuhi ketentuan Pasal 64 dan diikuti dengan membuka Kantor di bawah Kantor Cabang dengan memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 dan Pasal 44. Pasal 50 (1) Penurunan status dari Kantor Cabang menjadi Kantor di bawah Kantor Cabang… - 43 - Cabang hanya dapat dilakukan dengan cara menutup Kantor Cabang dengan memenuhi ketentuan Pasal 61, Pasal 62 dan Pasal 63 dan diikuti dengan membuka Kantor di bawah Kantor Cabang dengan memenuhi ketentuan Pasal 43 dan Pasal 44 kecuali hasil studi kelayakan yang memuat tingkat kejenuhan jumlah bank melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah. yang (2) Penurunan status dari Kantor di bawah Kantor Cabang menjadi Kegiatan Kas di luar Kantor Bank hanya dapat dilakukan dengan cara menutup Kantor di bawah Kantor Cabang dengan memenuhi ketentuan Pasal 64 dan diikuti dengan membuka Kegiatan Kas di luar Kantor Bank dengan memenuhi ketentuan Pasal 45. BAB VIII PEMINDAHAN ALAMAT KANTOR BANK Pasal 51 (1) Pemindahan alamat kantor pusat dan Kantor Cabang hanya dapat dilakukan dengan izin Gubernur Bank Indonesia. (2) Permohonan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh Bank kepada Gubernur Bank Indonesia sebelum pemindahan alamat dilaksanakan. Pasal 52… - 44 - Pasal 52 (1) Permohonan izin pemindahan alamat kantor pusat dan Kantor Cabang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) wajib disertai dengan: a. alasan pemindahan alamat dan rencana persiapan operasional kantor Bank; b. rencana penyelesaian atau pengalihan tagihan dan kewajiban Bank; dan c. hasil studi kelayakan di tempat kedudukan baru yang sekurang- kurangnya memuat potensi ekonomi, peluang pasar, tingkat persaingan yang sehat antar bank yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, dan tingkat kejenuhan jumlah bank yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah yang dilengkapi dengan data-data pendukung. (2) Pemindahan alamat Kantor Cabang Bank yang dilakukan: a. di jalan yang sama atau dilokasi yang berdekatan wajib memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a; b. dalam lokasi diluar kotamadya/kabupaten wilayah kantor sebelumnya namun masih dalam satu wilayah Kantor Bank Indonesia wajib memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, b dan c; c. di luar wilayah kerja Kantor Bank Indonesia sebelumnya wajib memenuhi ketentuan penutupan Kantor Cabang dan pembukaan Kantor Cabang. (3) Pemindahan alamat kantor pusat wajib memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (4) Dalam… - 45 - (4) Dalam rangka memberikan persetujuan atau penolakan atas permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia melakukan: a. penelitian atas kelengkapan dan kebenaran dokumen; dan b. analisis yang mencakup antara lain tingkat persaingan yang sehat antar bank yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, tingkat kejenuhan jumlah bank yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, dan pemerataan pembangunan ekonomi nasional. (5) Apabila diperlukan, Bank Indonesia dapat melakukan pemeriksaan untuk meneliti persiapan pemindahan alamat kantor dan kebenaran dokumen yang disampaikan. (6) Persetujuan atau penolakan atas permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah dokumen permohonan diterima secara lengkap termasuk pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (5). Pasal 53 (1) Pemindahan alamat kantor yang telah mendapat persetujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (6) wajib dilaksanakan selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal pemberian izin dari Gubernur Bank Indonesia. (2) Pelaksanaan pemindahan alamat kantor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib diumumkan oleh Bank dalam: a. surat kabar yang mempunyai peredaran nasional, bagi pemindahan alamat… - 46 - alamat kantor pusat; atau b. surat kabar yang mempunyai peredaran luas di tempat kedudukan Kantor Cabang, bagi pemindahan alamat Kantor Cabang, selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari sebelum tanggal pelaksanaan pemindahan alamat kantor. (3) Pelaksanaan pemindahan alamat kantor wajib dilaporkan oleh Bank kepada Bank Indonesia selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari setelah tanggal pelaksanaan pemindahan alamat. (4) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank tidak melaksanakan pemindahan alamat kantor, Gubernur Bank Indonesia membatalkan izin yang telah dikeluarkan. Pasal 54 (1) Rencana pemindahan alamat: a. Kantor di bawah Kantor Cabang dan Kegiatan Kas di luar Kantor Bank di dalam negeri; atau b. Kantor Cabang, kantor perwakilan, dan jenis-jenis kantor lainnya di luar negeri, wajib dilaporkan oleh Bank kepada Bank Indonesia selambat- lambatnya 30 (tiga puluh) hari sebelum pelaksanaan pemindahan alamat kantor. (2) Laporan rencana pemindahan alamat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a wajib disertai dengan: a. alasan pemindahan alamat dan rencana persiapan operasional kantor Bank; b. rencana… - 47 - b. rencana penyelesaian atau pengalihan tagihan dan kewajiban Bank; dan c. hasil studi kelayakan di tempat kedudukan baru yang sekurang- kurangnya memuat tingkat kejenuhan jumlah bank melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah. Pasal 55 (1) Pemindahan alamat Kantor di bawah Kantor Cabang di dalam negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (1) huruf a, yang dilakukan: a. di jalan yang sama atau lokasi yang berdekatan wajib memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (2) huruf a; b. dalam lokasi diluar kotamadya/kabupaten wilayah kantor sebelumnya namun masih dalam satu wilayah Kantor Bank Indonesia wajib memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (2) huruf a, b dan c; c. di luar wilayah kerja Kantor Bank Indonesia sebelumnya wajib memenuhi ketentuan penutupan Kantor di bawah Kantor Cabang dan pembukaan Kantor di bawah Kantor Cabang. (2) Pemindahan alamat Kegiatan Kas di luar Kantor Bank di dalam negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (1) huruf a, yang dilakukan: yang a. di jalan… - 48 - a. di jalan yang sama atau lokasi yang berdekatan wajib memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (2) huruf a; diluar kotamadya/kabupaten wilayah kantor b. dalam lokasi sebelumnya namun masih dalam satu wilayah Kantor Bank Indonesia wajib memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (2) huruf a, b dan c; c. di luar wilayah kerja Kantor Bank Indonesia sebelumnya wajib memenuhi ketentuan penutupan Kegiatan Kas di luar Kantor Bank dan pembukaan Kegiatan Kas di luar Kantor Bank. (3) Pemindahan alamat Kantor di bawah Kantor Cabang dan Kegiatan Kas di luar Kantor Bank di dalam negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (1) huruf a wajib dilaksanakan selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah tanggal penegasan dari Bank Indonesia. Pasal 56 (1) Pelaksanaan pemindahan alamat Kantor di bawah Kantor Cabang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) wajib diumumkan oleh Bank dalam surat kabar yang mempunyai peredaran luas di tempat kedudukan Kantor Cabang induknya selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari sebelum tanggal pelaksanaan pemindahan alamat kantor. (2) Pelaksanaan pemindahan alamat Kantor di bawah Kantor Cabang dan Kegiatan Kas di luar Kantor Bank di dalam negeri wajib dilaporkan oleh Bank kepada Bank Indonesia selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari setelah tanggal pelaksanaan pemindahan alamat. (3) Pelaksanaan pemindahan alamat Kantor Cabang, kantor perwakilan, dan… - 49 - dan jenis-jenis kantor lainnya di luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (1) huruf b wajib dilaporkan oleh Bank kepada Bank Indonesia selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari setelah tanggal pelaksaanaan pemindahan alamat, disertai dengan salinan/fotokopi izin dari otoritas di negara setempat. BAB IX PERUBAHAN NAMA DAN BENTUK BADAN HUKUM Bagian Pertama Perubahan Nama Bank Pasal 57 (1) Perubahan nama Bank wajib dilakukan dengan memenuhi ketentuan perundang-undangan yang berlaku. (2) Bagi Bank yang telah memperoleh persetujuan perubahan nama dari instansi berwenang wajib mengajukan permohonan kepada Bank Indonesia mengenai penetapan penggunaan izin usaha yang dimiliki untuk Bank dengan nama yang baru. (3) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diajukan oleh Bank kepada Bank Indonesia selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah perubahan nama dan wajib disertai dengan akta perubahan anggaran dasar yang telah disetujui oleh instansi berwenang bagi Bank yang berbentuk hukum Perseroan Terbatas/Perusahaan Daerah atau perubahan anggaran dasar yang telah disahkan oleh rapat anggota bagi Bank… - 50 - Bank yang berbentuk hukum Koperasi. (4) Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Bank Indonesia menerbitkan Keputusan Gubernur Bank Indonesia tentang perubahan nama Bank dalam jangka waktu 15 (lima belas) hari setelah dokumen permohonan diterima secara lengkap. (5) Pelaksanaan perubahan nama Bank wajib diumumkan dalam surat kabar yang mempunyai peredaran nasional selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari setelah tanggal penerbitan Keputusan Gubernur Bank Indonesia. Bagian Kedua Perubahan Bentuk Badan Hukum Bank Pasal 58 (1) Perubahan bentuk badan hukum Bank wajib dilakukan dengan persetujuan Gubernur Bank Indonesia. (2) Pemberian persetujuan perubahan bentuk badan hukum Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan dalam dua tahap: a. persetujuan prinsip, yaitu persetujuan untuk melakukan persiapan perubahan bentuk badan hukum Bank; dan b. persetujuan pengalihan izin usaha, yaitu persetujuan yang diberikan untuk mengalihkan izin usaha dari badan hukum lama kepada badan hukum baru. Pasal 59 (1) Permohonan untuk mendapatkan persetujuan prinsip perubahan bentuk badan… - 51 - badan hukum Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (2) huruf a diajukan oleh Bank kepada Gubernur Bank Indonesia sebelum dilakukan rapat umum pemegang saham atau rapat anggota untuk memutuskan perubahan bentuk badan hukum Bank, dan wajib disertai dengan: a. alasan perubahan bentuk badan hukum; b. rancangan akta pendirian badan hukum baru termasuk anggaran dasar; c. rencana pengalihan seluruh hak dan kewajiban dari badan hukum lama kepada badan hukum baru; d. daftar anggota Direksi, dewan Komisaris dan Dewan Pengawas Syariah disertai dengan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c, dalam hal terjadi perubahan; dan e. data kepemilikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b disertai dengan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2), dalam hal terjadi perubahan. (2) Dalam rangka memberikan persetujuan atau penolakan atas permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia melakukan: a. penelitian atas kelengkapan dan kebenaran dokumen; b. wawancara terhadap calon Pemegang Saham Pengendali, calon anggota Direksi, calon anggota dewan Komisaris dan calon anggota Dewan Pengawas Syariah, dalam hal terjadi perubahan. (3) Persetujuan atau penolakan atas permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah… - 52 - setelah dokumen permohonan diterima secara lengkap. Pasal 60 (1) Permohonan untuk mengalihkan izin usaha Bank dari badan hukum lama kepada badan hukum baru sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (2) huruf b, diajukan oleh Bank kepada Gubernur Bank Indonesia dan wajib disertai dengan: a. akta pendirian badan hukum baru termasuk anggaran dasar yang telah disahkan oleh instansi berwenang; b. daftar anggota Direksi, dewan Komisaris dan Dewan Pengawas Syariah disertai dengan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c, dalam hal terjadi perubahan; c. data kepemilikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b disertai dengan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2), dalam hal terjadi perubahan; d. rancangan berita acara pengalihan seluruh hak dan kewajiban dari badan hukum lama kepada badan hukum baru; dan e. notulen rapat umum pemegang saham atau rapat anggota badan hukum lama yang menyetujui perubahan bentuk hukum dan pembubaran badan hukum lama. (2) Dalam rangka memberikan persetujuan atau penolakan atas permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia melakukan: a. penelitian atas kelengkapan dan kebenaran dokumen; dan b. wawancara terhadap Pemegang Saham Pengendali, anggota Direksi… - 53 - Direksi, dewan Komisaris dan Dewan Pengawas Syariah dalam hal terjadi perubahan. (3) Persetujuan atau penolakan atas permohonan pengalihan izin usaha dari badan hukum lama kepada badan hukum baru diberikan selambat- lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah dokumen permohonan diterima secara lengkap. (4) Pembubaran badan hukum lama hanya dapat dilakukan setelah: a. Bank Indonesia memberikan persetujuan pengalihan izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (3); dan b. pengalihan seluruh hak dan kewajiban dari badan hukum lama kepada badan hukum baru dilaksanakan sesuai dengan rancangan berita acara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d. (5) Pelaksanaan perubahan bentuk badan hukum Bank wajib diumumkan oleh Bank dalam surat kabar yang mempunyai peredaran nasional selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari setelah tanggal dikeluarkannya keputusan Gubernur Bank Indonesia. BAB X PENUTUPAN KANTOR BANK Pasal 61 (1) Penutupan Kantor Cabang di dalam negeri hanya dapat dilakukan dengan izin Gubernur Bank Indonesia. (2) Pemberian izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam dua tahap: a. persetujuan… - 54 - a. persetujuan prinsip, yaitu persetujuan untuk melakukan persiapan penutupan Kantor Cabang; dan b. persetujuan penutupan, yaitu persetujuan untuk melakukan penutupan Kantor Cabang. Pasal 62 (1) Permohonan untuk memperoleh persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (2) huruf a diajukan oleh Bank kepada Gubernur Bank Indonesia dan wajib disertai dengan: a. alasan penutupan; dan b. langkah-langkah yang ditempuh dalam rangka penyelesaian seluruh kewajiban Kantor Cabang kepada nasabah dan pihak lainnya. (2) Permohonan untuk memperoleh persetujuan penutupan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (2) huruf b diajukan oleh Bank kepada Gubernur Bank Indonesia setelah Bank memperoleh persetujuan prinsip, dan wajib disertai dengan: a. bukti penyelesaian kewajiban kepada nasabah serta pihak lainnya; dan b. surat pernyataan dari Direksi Bank bahwa langkah-langkah penyelesaian seluruh kewajiban Kantor Cabang kepada nasabah dan pihak lainnya telah diselesaikan dan apabila terdapat tuntutan di kemudian hari menjadi tanggung jawab Direksi untuk dan atas nama Bank. (3) Apabila… - 55 - (3) Apabila dipandang perlu, Bank Indonesia melakukan pemeriksaan kepada Bank dalam rangka meneliti penyelesaian seluruh kewajiban Kantor Cabang yang akan ditutup. (4) Persetujuan atau penolakan permohonan persetujuan prinsip dan persetujuan penutupan Kantor Cabang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) masing-masing diberikan dalam batas waktu selambat-lambatnya 15 (lima belas) hari setelah dokumen permohonan diterima secara lengkap termasuk pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3). Pasal 63 (1) Pelaksanaan penutupan kantor yang telah mendapat persetujuan penutupan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (4) wajib dilaksanakan selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah tanggal persetujuan penutupan. (2) Penutupan kantor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib diumumkan oleh Bank dalam surat kabar yang mempunyai peredaran luas di tempat kedudukan kantor Bank selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari setelah tanggal persetujuan penutupan dari Gubernur Bank Indonesia. (3) Pelaksanaan penutupan kantor yang telah mendapat persetujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (4) wajib dilaporkan oleh Bank kepada Bank Indonesia selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari setelah tanggal penutupan. (4) Apabila… - 56 - (4) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank tidak melaksanakan penutupan Kantor Cabang, maka persetujuan penutupan kantor yang telah diberikan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 64 (1) Rencana penutupan Kantor di bawah Kantor Cabang wajib dilaporkan oleh Bank kepada Bank Indonesia selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sebelum pelaksanaan penutupan kantor dimaksud dan disertai dengan: a. alasan penutupan; dan b. langkah-langkah yang ditempuh dalam rangka penyelesaian kewajiban Kantor di bawah Kantor Cabang kepada nasabah dan pihak lainnya. (2) Rencana penghentian Kegiatan Kas di luar Kantor Bank wajib dilaporkan oleh Bank kepada Bank Indonesia selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sebelum pelaksanaan penghentian Kegiatan Kas di luar Kantor Bank dan disertai dengan alasan penutupan. (3) Pelaksanaan penutupan Kantor di bawah Kantor Cabang wajib dilaporkan oleh Bank kepada Bank Indonesia selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari setelah tanggal penutupan dan wajib disertai dengan: a. bukti penyelesaian kewajiban kepada nasabah serta pihak lainnya; dan b. surat pernyataan dari pemimpin Kantor Cabang induknya bahwa langkah-langkah penyelesaian seluruh kewajiban Kantor di bawah Kantor… - 57 - Kantor Cabang kepada nasabah dan pihak lainnya telah diselesaikan dan apabila terdapat tuntutan di kemudian hari menjadi tanggung jawab pemimpin Kantor Cabang induk untuk dan atas nama Bank. (4) Pelaksanaan penghentian Kegiatan Kas di luar Kantor Bank wajib dilaporkan oleh Bank kepada Bank Indonesia selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari setelah tanggal penghentian Kegiatan Kas di luar Kantor Bank. Pasal 65 Penutupan Kantor Cabang, kantor perwakilan dan jenis-jenis kantor lainnya di luar negeri hanya dapat dilakukan dengan izin Gubernur Bank Indonesia. Pasal 66 (1) Permohonan untuk memperoleh izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 bagi Kantor Cabang dan jenis-jenis kantor lainnya yang bersifat operasional diajukan oleh Bank kepada Gubernur Bank Indonesia dan wajib disertai dengan: alasan penutupan; a. b. c. langkah-langkah yang ditempuh dalam rangka penyelesaian seluruh kewajiban kantor kepada nasabah dan pihak lainnya; dan langkah-langkah yang ditempuh dalam rangka perolehan izin dari otoritas di negara setempat. (2) Permohonan untuk memperoleh izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 bagi kantor perwakilan dan jenis-jenis kantor yang tidak bersifat… - 58 - bersifat operasional diajukan oleh Bank kepada Gubernur Bank Indonesia dan wajib disertai dengan alasan penutupan dan langkah- langkah yang ditempuh dalam rangka perolehan izin dari otoritas di negara setempat. (3) Persetujuan atau penolakan atas permohonan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diberikan dalam waktu selambat- lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah dokumen permohonan diterima secara lengkap. (4) Penutupan kantor di luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) hanya dapat dilakukan setelah mendapat izin dari otoritas di negara setempat. Pasal 67 (1) Pelaksanaan penutupan Kantor Cabang dan jenis-jenis kantor lainnya yang bersifat operasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (4) wajib dilaporkan oleh Bank kepada Bank Indonesia selambat- lambatnya 10 (sepuluh) hari setelah tanggal pelaksanaan penutupan dan wajib disertai dengan: a. bukti penyelesaian kewajiban kepada nasabah serta pihak lainnya; b. surat pernyataan dari Direksi Bank bahwa langkah-langkah penyelesaian seluruh kewajiban kantor kepada nasabah dan pihak lainnya telah diselesaikan dan apabila terdapat tuntutan di kemudian hari menjadi tanggung jawab Direksi untuk dan atas nama Bank; dan c. salinan/fotokopi izin dari otoritas di negara setempat. (2) Pelaksanaan… - 59 - (2) Pelaksanaan penutupan kantor perwakilan dan jenis-jenis kantor lainnya yang bersifat tidak operasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (4) wajib dilaporkan oleh Bank kepada Bank Indonesia selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari setelah tanggal pelaksanaan penutupan dan wajib disertai dengan: a. surat pernyataan dari Direksi Bank bahwa langkah-langkah penyelesaian seluruh kewajiban kantor kepada pihak lainnya telah diselesaikan dan apabila terdapat tuntutan di kemudian hari menjadi tanggung jawab Direksi untuk dan atas nama Bank; dan b. salinan/fotokopi izin dari otoritas di negara setempat. BAB XI LAIN-LAIN Pasal 68 (1) Bank wajib mengadministrasikan dengan tertib: a. daftar pemegang saham dan perubahannya bagi Bank yang berbentuk hukum Perseroan Terbatas/Perusahaan Daerah; atau b. buku daftar anggota dan perubahannya bagi Bank yang berbentuk hukum Koperasi. (2) Bank yang telah terdaftar di pasar modal wajib memperbaharui daftar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a. Pasal 69 Bank Indonesia tidak memberikan persetujuan atas permohonan izin yang tidak… - 60 - tidak sesuai dengan ketentuan, tata cara dan persyaratan yang diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini. Pasal 70 (1) Bank wajib menyampaikan perubahan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf f, huruf g dan huruf h, apabila terjadi perubahan. (2) Penyampaian dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disampaikan kepada Bank Indonesia selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sejak terjadinya perubahan. Pasal 71 Bank wajib menjamin kebenaran dokumen atau identitas yang dikeluarkan oleh instansi terkait atau pihak ketiga yang disampaikan kepada Bank Indonesia. BAB XII KETENTUAN PERALIHAN Pasal 72 Permohonan izin yang diajukan sebelum berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini wajib disesuaikan dengan persyaratan dan dokumen sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini. Pasal 73… - 61 - Pasal 73 Bank yang telah beroperasi sebelum berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini dan belum memenuhi ketentuan sebagaimana diatur dalam: a. Pasal 6 ayat (1) huruf f, huruf g dan huruf h; b. Pasal 6 ayat (1) huruf c angka 5 dan ayat (2) huruf a angka 2 dan atau huruf b angka 7; c. Pasal 6 ayat (2) huruf b angka 6, wajib menyampaikan kepada Bank Indonesia selambat-lambatnya 90 (sembilan puluh) hari sejak berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini. Pasal 74 Bank yang telah beroperasi sebelum berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini dan belum memenuhi ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 23 ayat (3) dan Pasal 25 ayat (1) dan ayat (3), wajib menyesuaikan dengan ketentuan tersebut dalam waktu selambat-lambatnya satu tahun sejak dikeluarkannya Peraturan Bank Indonesia ini. Pasal 75 Anggota Dewan Pengawas Syariah yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 wajib menyesuaikan dengan ketentuan tersebut dalam waktu selambat-lambatnya 3 (tiga) tahun sejak tanggal berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini. Pasal 76 Kantor Cabang Pembantu dan atau Kantor Kas yang telah beroperasi sebelum… - 62 - sebelum berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini dan belum memenuhi ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 43, wajib menyesuaikan dengan ketentuan tersebut dalam waktu selambat-lambatnya satu tahun sejak dikeluarkannya Peraturan Bank Indonesia ini. BAB XIII SANKSI Pasal 77 (1) Bank yang tidak menaati ketentuan dalam Pasal 5 ayat (2), Pasal 12, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, Pasal 16, Pasal 18 ayat (3), Pasal 19 ayat (2), Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22 ayat (2), Pasal 23, Pasal 24, Pasal 25, Pasal 26, Pasal 27 ayat (1), Pasal 28, Pasal 30 ayat (1), Pasal 31, Pasal 33 ayat (2), Pasal 34 ayat (2), Pasal 35, Pasal 36, Pasal 37, Pasal 38, Pasal 39, Pasal 40, Pasal 42 ayat (1), Pasal 43, Pasal 44 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 45 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3), Pasal 46, Pasal 48 ayat (1), Pasal 49, Pasal 50, Pasal 51, Pasal 52 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 53 ayat (1), Pasal 54 ayat (1), Pasal 55, Pasal 57 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 58 ayat (1), Pasal 60 ayat (4), Pasal 61 ayat (1), Pasal 63 ayat (1), Pasal 64 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 65, Pasal 66 ayat (4), Pasal 68, Pasal 70 ayat (1), Pasal 71, Pasal 74, Pasal 75, dan Pasal 76 dapat dikenakan sanksi administratif sesuai Pasal 52 Undang-undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 tahun 1998. (2) Bank… - 63 - (2) Bank yang tidak menaati ketentuan dalam Pasal 11 ayat (2), Pasal 17 ayat (1), Pasal 18 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 30 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 33 ayat (5), Pasal 34 ayat (1), Pasal 42 ayat (2), Pasal 44 ayat (3), Pasal 45 ayat (4), Pasal 48 ayat (2), Pasal 53 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 56, Pasal 57 ayat (5), Pasal 60 ayat 5, Pasal 63 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 64 ayat (3) dan (4), Pasal 67 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 70 ayat (2), dan Pasal 73 dapat dikenakan sanksi administratif sesuai Pasal 52 Undang-undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 tahun 1998, berupa : a. teguran tertulis dan denda sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) per hari kelambatan untuk pengumuman; setiap laporan dan/atau b. teguran tertulis dan denda sebesar Rp30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah) apabila Bank tidak menyampaikan laporan dan/atau pengumuman. (3) Bank dinyatakan tidak menyampaikan laporan dan/atau pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b apabila Bank belum menyampaikan laporan dimaksud setelah 30 (tiga puluh) hari sejak batas akhir penyampaian laporan dan/atau pengumuman. (4) Setiap pihak yang tidak menaati ketentuan Pasal 3 ayat (1), Pasal 8 ayat (2), Pasal 40 ayat (1), dan Pasal 46 ayat (1) dapat dikenakan sanksi pidana sesuai dengan Pasal 46 Undang-undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang- undang Nomor 10 tahun 1998. BAB XIV… - 64 - BAB XIV KETENTUAN PENUTUP Pasal 78 Ketentuan lebih lanjut mengenai Bank Umum Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah akan diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 79 Dengan dikeluarkannya Peraturan Bank Indonesia ini maka Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 32/34/KEP/DIR tanggal 12 Mei 1999 tentang Bank Umum Berdasarkan Prinisip Syariah, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 80 Peraturan Bank Indonesia ini berlaku sejak tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal : 14 Oktober 2004 GUBERNUR BANK INDONESIA Ttd. BURHANUDDIN ABDULLAH LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 122 DPbS PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 6/24/PBI/2004 TENTANG BANK UMUM YANG MELAKSANAKAN KEGIATAN USAHA BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH UMUM Dalam rangka menghadapi perkembangan perekonomian nasional yang mengalami perubahan yang cepat, tantangan yang dinamis dan semakin kompleks, serta terintegrasi dengan perekonomian internasional, diperlukan berbagai penyesuaian kebijakan di bidang perbankan yang diharapkan dapat memperbaiki dan memperkokoh ketahanan perbankan nasional. Kebijakan perbankan yang komprehensif, transparan dan mengandung kepastian hukum tersebut diantaranya yang berkaitan dengan pengaturan kepemilikan dan permodalan, kepengurusan, perluasan jaringan, serta perubahan kegiatan usaha Bank. Sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku, Bank Indonesia memiliki kewenangan dan tanggung jawab untuk menetapkan perizinan, pembinaan, dan pengawasan Bank serta pengenaan sanksi terhadap Bank yang tidak mematuhi peraturan perbankan yang berlaku. Bank Indonesia dalam menerapkan… - 2 - menerapkan kewenangan dan tanggung jawab dimaksud, antara lain tetap mempertimbangkan faktor-faktor kemampuan Bank, prinsip kehati-hatian operasional Bank, tingkat persaingan yang sehat, tingkat kejenuhan jumlah bank yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, pemerataan pembangunan ekonomi nasional, kelayakan rencana kerja Bank, serta kemampuan dan atau kepatutan pemilik, pengurus, dan pejabat Bank. Dalam pendirian Bank diperlukan dukungan permodalan yang kuat dan pemilik Bank yang patut serta memiliki kondisi keuangan yang sehat sehingga Bank tersebut mampu bersaing dalam dunia perbankan internasional. Hal ini sejalan dengan perkembangan globalisasi sistim keuangan dan pembukaan akses pasar serta perlakuan non-diskriminasi. Sehubungan dengan itu terhadap pihak asing diberikan juga kesempatan untuk berperan serta dalam kepemilikan dan kepengurusan Bank dengan tetap memperhatikan aspek kemitraan dengan pihak nasional. Selain permodalan yang kuat, Bank perlu didukung pula oleh pengurus, Dewan Pengawas Syariah dan pejabat Bank yang mampu dan kompeten untuk mengelola Bank secara sehat. Oleh sebab itu persyaratan kepengurusan dan Dewan Pengawas Syariah Bank perlu disempurnakan antara lain yang berkaitan dengan kualitas, kuantitas, perangkapan jabatan, dan independensi dari pengurus dan Dewan Pengawas Syariah dengan cara seleksi administratif dan wawancara sebagai salah satu pilar dalam menciptakan good corporate governance di dunia perbankan. Sementara… - 3 - Sementara itu penambahan jaringan Bank dimungkinkan untuk memperluas jangkauan layanan melalui pembukaan Unit Pelayanan Syariah namun dengan tetap memperhatikan rencana kerja Bank dan kelayakan serta kemampuan keuangan Bank. Hal ini didasarkan pertimbangan bahwa perluasan jaringan Bank diharapkan tidak akan mengganggu kondisi keuangan Bank khususnya permodalan di waktu yang akan datang. Selain itu perluasan jaringan Bank juga harus memperhatikan tingkat kejenuhan jumlah bank yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, tingkat persaingan bank yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah yang sehat, dan tingkat pemerataan pembangunan ekonomi nasional. Dalam rangka mendukung kebijakan yang transparan dan mengandung kepastian hukum maka pengaturan kelembagaan Bank ini juga antara lain memuat prosedur perizinan, aspek-aspek penilaian dalam perizinan, dan batas waktu pemberian izin pembukaan Bank atau kantor, batas waktu dan alasan penolakan serta batas waktu pelaporan pelaksanaan kegiatan Bank. Sementara itu dalam rangka kepastian hukum perlu dicantumkan sanksi yang tegas dan transparan kepada Bank dan atau pihak lain yang melanggar ketentuan ini. Persyaratan untuk melengkapi dokumen-dokumen administratif antara lain struktur kelompok usaha, rencana jangka menengah dan jangka panjang, pedoman kerja dan pedoman pengelolaan risiko serta kesediaan Pemegang Saham Pengendali untuk mengatasi kesulitan pendanaan Bank, selain diberlakukan kepada Bank yang akan beroperasi juga diberlakukan kepada Bank… - 4 - Bank yang telah beroperasi sebelum dikeluarkannya Peraturan Bank Indonesia ini. Hal ini dimaksudkan sebagai upaya Bank Indonesia untuk mendorong Bank lebih memperhatikan prinsip kehati-hatian dalam menjalankan kegiatan usahanya dan untuk kelancaran pelaksanaan tugas pengawasan dan pembinaan Bank oleh Bank Indonesia. Dalam hubungan dengan hal-hal tersebut di atas, perlu diperhatikan pula peraturan perundang-undangan yang mempunyai relevansi dengan ketentuan ini, antara lain peraturan perundang-undangan yang berlaku tentang Perseroan Terbatas, Perusahaan Daerah, Perkoperasian, Pasar Modal dan ketentuan lainnya. Selain itu penyusunan Peraturan Bank Indonesia ini juga mengacu praktek-praktek yang berlaku secara internasional dan prinsip-prinsip dasar pengawasan bank sebagaimana direkomendasikan oleh Basle Committee dalam 25’s Core Principles for Effective Banking Supervision. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Angka 1 sampai dengan angka 14 Cukup jelas. Pasal 2 Huruf a Termasuk bentuk hukum Perseroan Terbatas adalah Perusahaan Perseroan… - 5 - Perseroan (PERSERO) sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Pasal 3 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 4 Modal disetor sebesar Rp3.000.000.000.000,00 (tiga triliun rupiah) dalam Pasal ini adalah setoran yang dilakukan dalam bentuk setoran tunai diluar setoran dalam bentuk lain yang dimungkinkan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku. Modal disetor bagi Bank yang berbentuk hukum Koperasi adalah simpanan pokok, simpanan wajib, dan hibah sebagaimana diatur dalam Undang-undang tentang Perkoperasian. Pasal 5 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2)… - 6 - Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 6 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Angka 1 sampai dengan angka 6 Cukup jelas. Angka 7 Yang dimaksud dengan tanggal pengajuan permohonan adalah tanggal pada saat calon pemilik mengajukan permohonan pendirian Bank. Angka 8 sampai dengan angka 9 Cukup jelas. Angka 10 Tidak termasuk dalam pengertian lembaga lain dalam ayat ini adalah Asosiasi Perbankan. Angka 11 Tidak termasuk dalam pengertian lembaga lain dalam ayat… - 7 - ayat ini adalah Asosiasi Perbankan. Angka 12 sampai dengan angka 14 Cukup jelas. Huruf d Susunan dan struktur organisasi serta personalia antara lain meliputi organization chart, garis tanggung jawab horisontal dan vertikal, serta jabatan dan nama-nama personalia sekurang-kurangnya sampai dengan tingkatan Pejabat Eksekutif. Huruf e Angka 1 Data pendukung adalah data yang digunakan dalam perhitungan/analisis studi kelayakan yang dikeluarkan oleh instansi berwenang. Angka 2 sampai dengan angka 3 Cukup jelas Huruh f Corporate plan antara lain meliputi rencana-rencana strategis Bank dalam jangka menengah (tiga tahunan) dan jangka panjang (lima tahunan) dalam rangka pencapaian tujuan Bank. Huruf g Pedoman manajemen risiko antara lain memuat teknik dan metode… - 8 - metode yang digunakan Bank untuk mengidentifikasi, mengukur, memantau dan mengendalikan risiko-risiko yang timbul sebagai akibat operasional Bank. Pedoman manajemen risiko tidak hanya didasarkan atas data historis namun mencakup juga proyeksi risiko yang akan datang (forward looking). Huruf h Termasuk dalam sistem dan prosedur kerja adalah buku pedoman (manual) yang lengkap dan komprehensif yang akan digunakan untuk kegiatan operasional Bank. Huruf i Dalam hal pendirian Bank dilakukan oleh Pemerintah maka ketentuan mengenai bukti setoran modal dan tata cara penyetoran modal dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Huruf j Dalam hal calon pemegang saham Bank berbentuk badan hukum, maka surat pernyataan pribadi dibuat dan disampaikan oleh pengurus yang mempunyai wewenang untuk mewakili badan hukum yang bersangkutan. Angka 1 Yang dimaksud dengan pihak lain antara lain meliputi… - 9 - meliputi lembaga keuangan non-bank, lembaga pembiayaan atau perusahaan. Tidak termasuk dalam pengertian pihak lain adalah Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, atau Badan Khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37A Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998. Angka 2 Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Angka 1 sampai dengan angka 5 Cukup jelas Angka 6 Yang dimaksud dengan kelompok usaha adalah: a. perorangan dan badan hukum; b. beberapa orang; atau c. beberapa badan hukum, yang… - 10 - yang memiliki keterkaitan kepengurusan, kepemilikan atau hubungan keuangan sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Bank Indonesia tentang Batas Maksimum Pemberian Kredit. Kewajiban menyampaikan data mengenai struktur kelompok usaha dikecualikan dalam hal pemilik Bank adalah Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah atau Badan Khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37A Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang- undang Nomor 10 Tahun 1998. Apabila terdapat pemilik lain maka kewajiban menyampaikan struktur kelompok usaha diberlakukan bagi pemilik lain tersebut. Angka 7 Surat pernyataan Pemegang Saham Pengendali berbentuk badan hukum dibuat dan disampaikan oleh pengurus yang mempunyai wewenang untuk mewakili badan hukum yang bersangkutan. Dalam hal Bank merupakan bagian dari kepemilikan suatu kelompok disampaikan oleh pihak-pihak usaha maka surat pernyataan yang berdasarkan penilaian… - 11 - penilaian Bank Indonesia mengendalikan baik secara langsung maupun tidak langsung atas seluruh kelompok usaha. Kewajiban menyampaikan surat pernyataan dalam huruf ini dikecualikan dalam hal Pemegang Saham Pengendali adalah Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah atau Badan Khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37A Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998. Pasal 7 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Apabila diperlukan, dalam rangka penelitian atas kebenaran dokumen, Bank Indonesia dapat melakukan pemeriksaan Huruf b Cukup jelas. Huruf c Wawancara dilakukan terhadap pihak-pihak: a. yang… - 12 - a. yang belum pernah bekerja dan atau menjadi Pemegang Saham Pengendali di lembaga perbankan; atau b. pihak-pihak yang pernah bekerja dan atau menjadi Pemegang Saham Pengendali di lembaga perbankan yang masih diperlukan keterangan lebih lanjut mengenai integritas dan atau kompetensi yang bersangkutan. Materi wawancara antara lain meliputi masalah integritas dan atau kompetensi. Dalam hal calon Pemegang Saham Pengendali Bank berbentuk badan hukum atau yayasan maka wawancara dilakukan terhadap anggota pengurus badan hukum atau yayasan, atau pejabat yang diberikan wewenang mewakili badan hukum atau yayasan yang bersangkutan. Dalam hal Bank merupakan bagian dari kepemilikan suatu kelompok usaha maka wawancara terhadap calon Pemegang Saham Pengendali dilakukan terhadap pihak- pihak yang berdasarkan penilaian Bank mengendalikan baik langsung atas seluruh kelompok usaha. Dalam hal calon Pemegang Saham Pengendali adalah Pemerintah atau Pemerintah Daerah maka tidak dilakukan wawancara terhadap calon Pemegang Saham Pengendali. Dalam… Indonesia secara langsung maupun tidak - 13 - Dalam hal tidak terdapat calon Pemegang Saham Pengendali maka wawancara dilakukan terhadap calon pemegang saham pendiri tertentu berdasarkan penilaian Bank Indonesia. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 8 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 9 Huruf a sampai dengan huruf d Cukup jelas. Huruf e Dalam hal pendirian Bank dilakukan oleh Pemerintah maka ketentuan mengenai bukti setoran modal dan tata cara penyetoran modal dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Huruf f… - 14 - Huruf f Cukup jelas. Huruf g Dalam hal calon pemegang saham Bank berbentuk badan hukum maka surat pernyataan pribadi dibuat dan disampaikan oleh pengurus yang mempunyai wewenang untuk mewakili badan hukum yang bersangkutan. Angka 1 Yang dimaksud dengan pihak lain antara lain meliputi lembaga keuangan non-bank, lembaga pembiayaan atau perusahaan. Tidak termasuk dalam pengertian pihak lain adalah Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, atau Badan Khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37A Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998. Angka 2 Cukup jelas. Pasal 10 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2)… - 15 - Ayat (2) Huruf a Apabila diperlukan, dalam rangka penelitian atas kebenaran dokumen, Bank Indonesia dapat melakukan pemeriksaan. Huruf b Wawancara dilakukan terhadap: a. pihak-pihak yang belum pernah bekerja dan atau menjadi Pemegang Saham Pengendali di lembaga perbankan; atau b. pihak-pihak yang pernah bekerja dan atau menjadi Pemegang Saham Pengendali di lembaga perbakan yang masih diperlukan keterangan lebih lanjut mengenaii integritas dan atau kompetensi yang bersangkutan. Materi wawancara antara lain meliputi masalah integritas dan atau kompetensi Dalam hal calon Pemegang Saham Pengendali Bank berbentuk badan hukum atau yayasan maka wawancara dilakukan terhadap anggota pengurus badan hukum atau yayasan, atau pejabat yang diberikan wewenang mewakili badan hukum atau yayasan yang bersangkutan. Dalam… - 16 - Dalam hal Bank merupakan bagian dari kepemilikan suatu kelompok usaha maka wawancara terhadap calon Pemegang Saham Pengendali dilakukan terhadap pihak- pihak yang berdasarkan penilaian Bank mengendalikan baik langsung atas seluruh kelompok usaha. Dalam hal calon Pemegang Saham Pengendali adalah Pemerintah atau Pemerintah Daerah maka tidak dilakukan wawancara terhadap calon Pemegang Saham Pengendali. Dalam hal tidak Indonesia secara langsung maupun tidak terdapat calon Pemegang Saham Pengendali maka wawancara dilakukan terhadap calon pemegang saham pendiri tertentu berdasarkan penilaian Bank Indonesia. Pasal 11 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 12 Cukup jelas. Pasal 13… - 17 - Pasal 13 Ayat (1) Yang dimaksud dengan modal sendiri bersih adalah: a. penjumlahan dari modal disetor, cadangan dan laba, dikurangi penyertaan dan kerugian, bagi badan hukum Perseroan Terbatas/Perusahaan Daerah; atau b. penjumlahan dari simpanan pokok, simpanan wajib, hibah, modal penyertaan, dana cadangan, dan sisa hasil usaha, dikurangi penyertaan dan kerugian, bagi badan hukum Koperasi. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 14 Huruf a Ketentuan dalam huruf ini dikecualikan dalam hal pemilik Bank adalah Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, atau Badan Khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37A Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998. Yang dimaksud dengan pihak lain antara lain meliputi lembaga keuangan non-bank, lembaga pembiayaan atau perusahaan. Tidak termasuk dalam pengertian pihak lain adalah Pemerintah Pusat,… - 18 - Pusat, Pemerintah Daerah, atau Badan Khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37A Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998. Huruf b Cukup jelas. Pasal 15 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Termasuk pihak-pihak yang dianggap memiliki integritas yang baik adalah pihak-pihak yang mendapat predikat lulus atau lulus bersyarat dalam penilaian kemampuan dan kepatutan yang telah dilakukan Bank Indonesia atau pihak-pihak yang mendapat predikat tidak lulus namun telah disetujui oleh Bank Indonesia untuk meningkatkan kepemilikan kembali menjadi Pemegang atau Saham kembali menjadi Pengendali, pemilik, sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku tentang Penilaian Kemampuan dan Kepatutan (Fit and Proper Test). Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 16… - 19 - Pasal 16 Cukup jelas. Pasal 17 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan perubahan komposisi kepemilikan dalam ayat ini adalah perubahan dalam hal nominal dan atau persentase kepemilikan. Ayat (3) Perubahan komposisi kepemilikan yang tidak mengubah modal disetor antara lain disebabkan oleh hibah atau warisan saham diantara pemilik lama. Pasal 18 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Termasuk dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku adalah standar akuntansi keuangan yang berlaku untuk transaksi dimaksud. Pasal 19… - 20 - Pasal 19 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 20 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Pihak-pihak yang dianggap memiliki integritas yang baik adalah pihak-pihak yang mendapat predikat lulus atau lulus bersyarat dalam penilaian kemampuan dan kepatutan yang telah dilakukan Bank Indonesia atau pihak-pihak yang mendapat predikat tidak lulus namun telah disetujui oleh Bank Indonesia untuk kembali menjadi pengurus, sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku tentang Penilaian Kemampuan dan Kepatutan (Fit and Proper Test). Pasal 21 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3)… - 21 - Ayat (3) Yang dimaksud dengan syariah mu’amalah adalah hubungan sosial, termasuk kegiatan bisnis, yang sejalan atau didasarkan pada prinsip syariah. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 22 Ayat (1) Yang dimaksud dengan pihak asing dalam ayat ini adalah warga negara asing dan atau badan hukum asing. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 23 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan mayoritas adalah lebih dari 50% (lima puluh perseratus) dari seluruh jumlah anggota Direksi. Ayat (3) Penilaian independensi didasarkan pada keterkaitan yang bersangkutan pada kepengurusan, kepemilikan dan atau hubungan keuangan dengan seluruh kelompok usaha Pemegang Saham Pengendali… - 22 - Pengendali. Termasuk dalam pengertian Direktur Utama antara lain Presiden Direktur atau jabatan yang dipersamakan dengan itu. Pasal 24 Ayat (1) Hubungan keluarga sampai dengan derajat kedua adalah hubungan baik dalam garis lurus maupun garis ke samping, termasuk mertua, menantu dan ipar, sehingga yang dimaksud dengan keluarga meliputi sebagai berikut: 1. orang tua kandung/tiri/angkat; 2. saudara kandung/tiri/angkat; 3. suami/istri; 4. anak kandung/tiri/angkat; 5. suami/istri dari anak kandung/tiri/ angkat; 6. kakek/nenek kandung/tiri/angkat; 7. cucu kandung/tiri/angkat; 8. saudara kandung/tiri/angkat dari suami/istri 9. suami/istri dari saudara kandung/tiri/angkat; 10. saudara kandung/tiri/angkat dari orang tua; 11. mertua. Ayat (2) Hubungan keluarga sampai dengan derajat kedua adalah hubungan… - 23 - hubungan baik dalam garis lurus maupun garis ke samping, termasuk mertua, menantu dan ipar, sehingga yang dimaksud dengan keluarga meliputi sebagai berikut: 1. orang tua kandung/tiri/angkat; 2. saudara kandung/tiri/angkat; 3. suami/istri; 4. anak kandung/tiri/angkat; 5. suami/istri dari anak kandung/tiri/ angkat; 6. kakek/nenek kandung/tiri/angkat; 7. cucu kandung/tiri/angkat; 8. saudara kandung/tiri/angkat dari suami/istri 9. suami/istri dari saudara kandung/tiri/angkat; 10. saudara kandung/tiri/angkat dari orang tua; 11. mertua. Ayat (3) Ketentuan dalam ayat ini dimaksudkan agar setiap anggota Direksi tidak melakukan kegiatan yang dapat menganggu pelaksanaan tugas dan tanggung jawab sebagai Direksi Bank. Tidak termasuk dalam pengertian lembaga lain dalam ayat ini adalah Asosiasi Perbankan. Ayat (4) Yang dimaksud dengan perusahaan lain antara lain meliputi perusahaan… - 24 - perusahaan-perusahaan lain di luar Bank yang bersangkutan seperti lembaga keuangan bank dan non-bank, lembaga pembiayaan atau perusahaan. Ayat (5) Yang dimaksud dengan pihak lain adalah satu orang karyawan atau lebih, atau orang lain untuk dan atas nama Direksi melakukan perbuatan hukum tertentu. Pasal 25 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Penilaian independensi didasarkan pada keterkaitan yang bersangkutan pada kepengurusan, kepemilikan dan atau hubungan keuangan dengan seluruh kelompok usaha Pemegang Saham Pengendali. Ayat (4) Cukup jelas . Ayat (5)… - 25 - Ayat (5) Cukup jelas Ayat (6) Hubungan keluarga sampai dengan derajat kedua adalah hubungan baik dalam garis lurus maupun garis ke samping, termasuk mertua, menantu dan ipar, sehingga yang dimaksud dengan keluarga meliputi sebagai berikut: 1. orang tua kandung/tiri/angkat; 2. saudara kandung/tiri/angkat; 3. suami/istri; 4. anak kandung/tiri/angkat; 5. suami/istri dari anak kandung/tiri/ angkat; 6. kakek/nenek kandung/tiri/angkat; 7. cucu kandung/tiri/angkat; 8. saudara kandung/tiri/angkat dari suami/istri 9. suami/istri dari saudara kandung/tiri/angkat; 10. saudara kandung/tiri/angkat dari orang tua; 11. mertua. Yang dimaksud dengan mayoritas adalah lebih dari 50% (lima puluh perseratus) dari seluruh jumlah anggota dewan Komisaris. Pasal 26 Ayat (1) Cukup jelas… - 26 - Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 27 Ayat (1) Dalam pelaksanaan tugas Dewan Pengawas Syariah dapat meminta dokumen dan penjelasan langsung dari satuan kerja Bank serta ikut dalam pembahasan intern termasuk dalam pembahasan komite pembiayaan. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 28 Ayat (1) Ketentuan ini berlaku juga terhadap peralihan jabatan dari anggota Direksi menjadi anggota dewan Komisaris atau sebaliknya. Khusus bagi kepatuhan (compliance director), tata cara persetujuan anggota Direksi… anggota Direksi Bank yang menjadi direktur - 27 - Direksi dimaksud juga berpedoman pada ketentuan Bank Indonesia tentang Direktur Kepatuhan dan Standar Pelaksanaan Fungsi Audit Intern Bank. Ayat (2) Yang dimaksud dengan berpedoman pada ketentuan perundang- undangan yang berlaku antara lain berpedoman pada ketentuan perundang-undangan tentang Perseroan Terbatas yang mengatur bahwa setiap penetapan calon anggota dewan Komisaris atau Direksi dilakukan oleh dan dengan sepengetahuan rapat umum pemegang saham atau rapat anggota atau sekurang-kurangnya oleh dan dengan sepengetahuan Pemegang Saham Pengendali. Pasal 29 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Wawancara dilakukan terhadap: a. b. yang pihak-pihak yang belum pernah bekerja di lembaga perbankan; atau pihak-pihak pernah bekerja di lembaga perbankan… - 28 - perbankan namun masih diperlukan keterangan lebih lanjut mengenai integritas dan atau kompetensi yang bersangkutan. Materi wawancara antara lain meliputi masalah integritas dan atau kompetensi. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 30 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan tanggal pengangkatan efektif adalah sejak yang bersangkutan secara efektif memangku jabatannya. Pasal 31 Cukup jelas. Pasal 32 Ayat (1) Dalam menetapkan calon anggota Dewan Pengawas Syariah yang akan diajukan ke Bank Indonesia, Bank berkoordinasi dengan Dewan Syariah Nasional. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3)… wajib - 29 - Ayat (3) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Wawancara dilakukan terhadap: a. pihak-pihak yang belum pernah bekerja di lembaga perbankan; atau b. pihak-pihak yang pernah bekerja di lembaga perbankan namun masih diperlukan keterangan lebih lanjut mengenai integritas dan atau kompetensi yang bersangkutan. Materi wawancara antara lain meliputi masalah integritas dan atau kompetensi. Pasal 33 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5)… - 30 - Ayat (5) Yang dimaksud dengan tanggal pengangkatan efektif adalah sejak yang bersangkutan secara efektif memangku jabatannya selambat-lambatnya 30 hari sejak diterbitkannya surat persetujuan Bank Indonesia. Pasal 34 Ayat (1) Yang dimaksud dengan tanggal pengangkatan efektif adalah sejak yang bersangkutan secara efektif memangku jabatannya. Ayat (2) Penilaian dan penelitian yang dilakukan oleh Bank Indonesia tidak dimaksudkan untuk menunda pengangkatan atau penggantian Pejabat Eksekutif atau pemimpin Kantor Cabang. Pasal 35 Yang dimaksud dengan benturan kepentingan antara lain adalah perbedaan antara kepentingan ekonomis Bank dengan kepentingan ekonomis pribadi pemilik, anggota Direksi, anggota dewan Komisaris, anggota Dewan Pengawas Syariah, Pejabat Eksekutif, pemimpin Kantor Cabang, dan atau pihak terkait dengan Bank. Ketentuan dalam Pasal ini pada dasarnya dimaksudkan agar anggota anggota Direksi, dewan Komisaris, Dewan Pengawas Syariah, Pejabat Eksekutif, dan pemimpin Kantor Cabang menghindarkan diri dari pengambilan… - 31 - pengambilan suatu keputusan dalam situasi dan kondisi adanya benturan kepentingan. Pasal 36 Yang dimaksud dengan prinsip syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dan pihak penyimpanan dana dan atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan syariah. Pasal 37 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan kegiatan valuta asing berdasarkan akad sharf adalah kegiatan jual beli valuta asing (money changer). Huruf b Cukup jelas. Huruf c Ketentuan Bank Indonesia tentang Penyertaan. Huruf d Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 38 Ayat (1)… lain untuk - 32 - Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) DSN dalam memberikan fatwa atas produk dan jasa baru dapat berkoordinasi dengan Bank Indonesia Pasal 39 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 40 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Bank hanya dapat melakukan pembukaan Kantor Cabang sesuai dengan penegasan Bank Indonesia terhadap rencana kerja tahunan Bank sepanjang tidak terdapat perubahan kondisi keuangan yang bersifat material antara rencana kerja dengan realisasi rencana kerja pada saat pembukaan kantor, antara lain seperti terjadi penurunan permodalan Bank yang material Pasal 41 Ayat (1) Huruf a… - 33 - Huruf a Cukup jelas. Huruf b Dalam hal Bank akan menggunakan gedung kantor yang disewa maka untuk sementara dokumen rencana persiapan operasional gedung kantor dapat berupa nota kesepakatan sewa menyewa gedung kantor. Perjanjian sewa disampaikan pada saat Bank melaporkan pelaksanaan pembukaan kantor. Huruf c sampai dengan huruf e Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 42 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3)… - 34 - Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 43 Ayat (1) Bank hanya dapat melakukan pembukaan Kantor di bawah Kantor Cabang sesuai dengan penegasan Bank Indonesia terhadap rencana kerja tahunan Bank sepanjang tidak terdapat perubahan kondisi keuangan yang bersifat material antara rencana kerja dengan realisasi rencana kerja pada saat pembukaan kantor, antara lain seperti terjadi penurunan permodalan Bank yang material. Ayat (2) Huruf a dan huruf b Cukup jelas Huruf c Yang dimaksud sumber daya manusia sendiri Bank adalah pegawai Bank berdasarkan perjanjian kerja yang dibuat untuk waktu tertentu dan atau untuk waktu tidak tertentu berdasarkan peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan yang berlaku serta yang bertanggung jawab atas aktifitas operasional di kantor Bank tersebut. Ayat (3) Huruf a… - 35 - Huruf a sampai dengan huruf c Cukup jelas. Huruf d Yang dimaksud dengan mempergunakan sumber daya manusia sendiri bank adalah dalam Penjelasan ayat (2). Huruf e Cukup jelas. Ayat (4) Yang dimaksud dengan kantor lain adalah bank lain atau perusahaan lain. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 44 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Ketentuan dalam Undang-undang tentang Perbankan yang berlaku mewajibkan pembukaan Kantor di bawah Kantor Cabang dilaporkan terlebih dahulu kepada Bank Indonesia, namun penegasan dari Bank Indonesia tetap diperlukan mengingat sesuai dengan Undang-undang tentang Perbankan tersebut, Bank Indonesia… sebagaimana dimaksud - 36 - Indonesia juga akan melakukan penelitian terhadap tingkat kejenuhan jumlah bank yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, tingkat persaingan antar bank yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, dan pemerataan pembangunan ekonomi nasional. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 45 Ayat (1) Tidak termasuk dalam Kegiatan Kas di luar Kantor Bank adalah kegiatan pameran yang dilakukan dalam rangka promosi, tidak bersifat permanen dan tidak melakukan kegiatan kas. Bank hanya dapat melaksanakan Kegiatan Kas di luar Kantor Bank sesuai dengan penegasan Bank Indonesia terhadap rencana kerja tahunan Bank sepanjang tidak terdapat perubahan kondisi keuangan yang bersifat material antara rencana kerja dengan realisasi rencana kerja pada saat pelaksanaan Kegiatan Kas di luar Kantor Bank, antara lain seperti terjadi penurunan permodalan Bank yang material. Ayat (2) Kewajiban pelaporan hanya dilakukan satu kali pada saat pertama kali Kegiatan Kas di luar Kantor Bank diajukan di lokasi tersebut… - 37 - tersebut. Ayat (3) Ketentuan dalam Undang-undang tentang Perbankan yang berlaku mewajibkan pembukaan kantor di bawah Kantor Cabang dilaporkan terlebih dahulu kepada Bank Indonesia, namun penegasan dari Bank Indonesia tetap diperlukan mengingat sesuai dengan Undang-undang tentang Perbankan tersebut, Bank Indonesia juga akan melakukan penelitian terhadap tingkat kejenuhan jumlah Bank, tingkat persaingan antar Bank, dan pemerataan pembangunan ekonomi nasional. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 46 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 47 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3)… - 38 - Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 48 Ayat (1) Pengajuan permohonan izin kepada otoritas di negara setempat dilakukan setelah adanya persetujuan dari Bank Indonesia. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 49 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Peningkatan status dalam ayat ini antara lain peningkatan status dari Kas Mobil menjadi Kantor di bawah Kantor Cabang. Pasal 50 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Penurunan status Kantor dibawah Kantor Cabang dalam ayat ini antara lain penurunan status dari kantor di bawah Kantor Cabang menjadi… - 39 - menjadi Kas Mobil. Pasal 51 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 52 Ayat (1) Huruf a Dalam hal Bank akan menggunakan gedung kantor yang disewa maka untuk sementara dokumen rencana persiapan operasional gedung kantor dapat berupa nota kesepakatan sewa menyewa gedung kantor. Perjanjian sewa disampaikan pada saat Bank melaporkan pelaksanaan pemindahan alamat kantor. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3)… - 40 - Ayat (3) Dalam hal Bank akan memindahkan alamat kantor pusat ke lokasi yang baru dan lokasi yang lama akan digunakan sebagai Kantor Cabang maka pemindahan alamat kantor pusat memenuhi ketentuan dalam ayat ini sedangkan untuk Kantor Cabang di lokasi yang lama memenuhi ketentuan pembukaan Kantor Cabang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40, Pasal 41 dan Pasal 42. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 53 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4)… - 41 - Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 54 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Dalam hal Bank akan menggunakan gedung kantor yang disewa maka untuk sementara dokumen rencana persiapan operasional gedung kantor dapat berupa nota kesepakatan sewa menyewa gedung kantor. Perjanjian sewa disampaikan pada saat Bank melaporkan pelaksanaan pemindahan alamat kantor. Huruf b dan huruf c Cukup jelas. Pasal 55 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Ketentuan dalam Undang-undang tentang Perbankan yang berlaku… - 42 - berlaku mewajibkan pembukaan Kantor di bawah Kantor Cabang dilaporkan terlebih dahulu kepada Bank Indonesia, namun penegasan dari Bank Indonesia tetap diperlukan mengingat sesuai dengan Undang-undang tentang Perbankan tersebut, Bank Indonesia juga akan melakukan penelitian terhadap tingkat kejenuhan jumlah bank yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, tingkat persaingan antar bank yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, dan pemerataan pembangunan ekonomi nasional. Pasal 56 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 57 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3)… - 43 - Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 58 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 59 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Apabila diperlukan, dalam rangka penelitian atas kebenaran dokumen, Bank Indonesia dapat melakukan pemeriksaan. Huruf b Wawancara dilakukan terhadap pihak-pihak: a. yang belum pernah bekerja dan atau menjadi Pemegang… - 44 - Pemegang Saham Pengendali di lembaga perbankan; atau b. pihak-pihak yang pernah bekerja dan atau menjadi Pemegang Saham Pengendali di yang masih diperlukan keterangan lebih mengenai bersangkutan. Materi wawancara antara lain meliputi masalah integritas dan atau kompetensi. Dalam hal calon Pemegang Saham Pengendali Bank berbentuk badan hukum atau yayasan maka wawancara dilakukan terhadap anggota pengurus badan hukum atau yayasan, atau pejabat yang diberikan wewenang mewakili badan hukum atau yayasan yang bersangkutan. Dalam hal Bank merupakan bagian dari kepemilikan suatu kelompok usaha maka wawancara terhadap calon Pemegang Saham Pengendali dilakukan terhadap pihak- pihak yang berdasarkan penilaian Bank mengendalikan baik langsung atas seluruh kelompok usaha. Dalam hal calon Pemegang Saham Pengendali adalah Pemerintah atau Pemerintah Daerah maka tidak dilakukan wawancara… Indonesia secara langsung maupun tidak lembaga perbankan lanjut integritas dan atau kompetensi yang - 45 - wawancara terhadap calon Pemegang Saham Pengendali. Dalam hal tidak terdapat calon Pemegang Saham Pengendali maka wawancara dilakukan terhadap calon pemegang saham pendiri tertentu berdasarkan penilaian Bank Indonesia. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 60 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Apabila diperlukan, dalam rangka penelitian atas kebenaran dokumen, Bank Indonesia dapat melakukan pemeriksaan. Huruf b Wawancara dilakukan terhadap pihak-pihak: a. yang belum pernah bekerja dan atau menjadi Pemegang Saham Pengendali di lembaga perbankan; atau b. pihak-pihak yang pernah bekerja dan atau menjadi Pemegang Saham Pengendali di lembaga perbankan yang… - 46 - yang masih diperlukan keterangan lebih mengenai bersangkutan. Materi wawancara antara lain meliputi masalah integritas dan atau kompetensi. Dalam hal calon Pemegang Saham Pengendali Bank berbentuk badan hukum atau yayasan maka wawancara dilakukan terhadap anggota pengurus badan hukum atau yayasan, atau pejabat yang diberikan wewenang mewakili badan hukum atau yayasan yang bersangkutan. Dalam hal Bank merupakan bagian dari kepemilikan suatu kelompok usaha maka wawancara terhadap calon Pemegang Saham Pengendali dilakukan terhadap pihak- pihak yang berdasarkan penilaian Bank mengendalikan baik langsung atas seluruh kelompok usaha. Dalam hal calon Pemegang Saham Pengendali adalah Pemerintah atau Pemerintah Daerah maka tidak dilakukan wawancara terhadap calon Pemegang Saham Pengendali. Dalam hal tidak Indonesia secara langsung maupun tidak lanjut integritas dan atau kompetensi yang terdapat calon Pemegang Saham Pengendali maka wawancara dilakukan terhadap calon pemegang saham pendiri tertentu berdasarkan penilaian Bank… - 47 - Bank Indonesia. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 61 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 62 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Penyelesaian kewajiban kepada nasabah dan pihak lainnya dapat dilakukan antara lain melalui pengalihan seluruh kewajiban kepada kantor Bank atau pihak lain dengan persetujuan nasabah atau pihak lain. Bukti penyelesaian kewajiban kepada nasabah adalah berupa… - 48 - berupa neraca Kantor Cabang yang menunjukkan seluruh kewajiban Kantor Cabang kepada nasabah dan pihak lain telah selesai. Huruf b Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 63 Ayat (1) Yang dimaksud dengan tanggal persetujuan penutupan dalam ayat ini adalah tanggal rencana penutupan yang disetujui oleh Bank Indonesia. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 64 Ayat (1) Cukup jelas … - 49 - Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Huruf a Penyelesaian kewajiban kepada nasabah dan pihak lainnya dapat dilakukan antara lain melalui pengalihan seluruh kewajiban kepada kantor Bank atau pihak lain dengan persetujuan nasabah atau pihak lain. Bukti penyelesaian kewajiban kepada nasabah adalah berupa neraca kantor di bawah Kantor Cabang yang menunjukkan seluruh kewajiban kantor di bawah Kantor Cabang kepada nasabah dan pihak lain telah selesai. Huruf b Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 65 Cukup jelas. Pasal 66 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2)… - 50 - Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Pengajuan permohonan izin kepada otoritas di negera setempat dilakukan setelah adanya persetujuan dari Bank Indonesia. Pasal 67 Ayat (1) Huruf a Penyelesaian kewajiban kepada nasabah dan pihak lainnya dapat dilakukan antara lain melalui pengalihan seluruh kewajiban kepada kantor Bank atau pihak lain dengan persetujuan nasabah atau pihak lain. Bukti penyelesaian kewajiban kepada nasabah adalah berupa neraca Kantor Cabang dan jenis-jenis kantor lainnya yang bersifat operasional yang menunjukkan seluruh kewajiban Kantor Cabang dan jenis-jenis kantor lainnya yang bersifat operasional kepada nasabah dan pihak lain telah selesai. Huruf b sampai dengan huruf c Cukup jelas. Ayat (2)… - 51 - Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 68 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 69 Cukup jelas. Pasal 70 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 71 Cukup jelas. Pasal 72 Cukup jelas. Pasal 73 Cukup jelas. Pasal 74 Cukup jelas. Pasal 75… - 52 - Pasal 75 Cukup jelas. Pasal 76 Cukup jelas. Pasal 77 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas Huruf b Jumlah sanksi kewajiban membayar dihitung berdasarkan laporan yang tidak disampaikan. Dalam hal Bank dikenakan sanksi tidak menyampaikan laporan, tidak lagi dikenakan sanksi keterlambatan penyampaian laporan. Ayat (3) Termasuk dalam penyampaian laporan adalah data, informasi dan dokumen yang dipersyaratkan. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 78 … - 53 - Pasal 78 Cukup jelas. Pasal 79 Cukup jelas. Pasal 80 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 4434
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 6/24/PBI/2004 </reg_id> <reg_title> BANK UMUM YANG MELAKSANAKAN KEGIATAN USAHA BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH </reg_title> <set_date> 14 Oktober 2004 </set_date> <effective_date> 14 Oktober 2004 </effective_date> <replaced_reg> '32/34/KEP/DIR|SKDIR-BI/1999' </replaced_reg> <related_reg> '23/UU/1999', '3/UU/2004', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg> <penalty_list> 'BAB XIII' </penalty_list>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 10/2/PBI/2008 TENTANG BANK INDONESIA - SCRIPLESS SECURITIES SETTLEMENT SYSTEM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka membantu pemerintah melakukan pengelolaan surat berharga negara, Bank Indonesia-Scripless Securities Settlement System mengakomodasi pelaksanaan lelang dan penatausahaan surat berharga negara baik yang diterbitkan secara konvensional maupun berdasarkan prinsip syariah; b. bahwa dalam rangka efisiensi pelaksanaan transaksi dengan Bank Indonesia yang mencakup transaksi Operasi Pasar Terbuka, pemberian fasilitas pendanaan Bank Indonesia kepada Bank dan transaksi surat berharga negara untuk dan atas nama pemerintah, Bank Indonesia-Scripless Securities Settlement System mengakomodasi sistem transaksi yang terintegrasi dengan sistem penatausahaannya; c. bahwa dengan terintegrasinya Bank Indonesia-Scripless Securities Settlement System dengan sistem setelmen pembayaran melalui Sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement, dipandang perlu keselarasan pengaturan yang terkait dengan status kepesertaan dan kepastian setelmen (finality of settlement) transaksi melalui Bank Indonesia-Scripless Securities Settlement System; d. bahwa … - 2 - d. bahwa dalam rangka mengakomodasi perkembangan transaksi surat berharga dipandang perlu menyempurnakan mekanisme penatausahaan surat berharga melalui Bank Indonesia–Scripless Securities Settlement System; e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c dan huruf d tersebut di atas dipandang perlu untuk melakukan pengaturan kembali ketentuan mengenai Bank Indonesia–Scripless Securities Settlement System; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); 2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3608); 3. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357); 4. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2002 tentang Surat Utang Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor … - 3 - Nomor 110, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4236); MEMUTUSKAN : Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG BANK INDONESIA-SCRIPLESS SECURITIES SETTLEMENT SYSTEM BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksudkan dengan : 1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998. 2. Operasi Pasar Terbuka yang selanjutnya disebut OPT adalah kegiatan transaksi di pasar uang yang dilakukan oleh Bank Indonesia dengan Bank dan pihak lain dalam rangka pengendalian moneter. 3. Instrumen OPT adalah instrumen yang digunakan dalam rangka OPT dan ditatausahakan pada Bank Indonesia-Scripless Securities Settlement System. 4. Fasilitas Pendanaan adalah penyediaan dana berupa pemberian kredit atau pembiayaan dari Bank Indonesia kepada Bank yang penatausahaannya dilakukan melalui Bank Indonesia-Scripless Securities Settlement System. 5. Surat Utang Negara yang selanjutnya disebut SUN adalah surat pengakuan utang dalam mata uang Rupiah yang diterbitkan oleh Pemerintah Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2002 tentang Surat Utang Negara. 6. Surat … - 4 - 6. Surat Berharga Negara yang selanjutnya disebut SBN adalah surat berharga berupa SUN dan/atau surat berharga berdasarkan prinsip syariah yang diterbitkan oleh pemerintah. 7. Surat Berharga adalah surat berharga yang diterbitkan oleh Bank Indonesia, pemerintah dan/atau lembaga lain, yang ditatausahakan dalam Bank Indonesia- Scripless Securities Settlement System. 8. Sistem Bank Indonesia - Real Time Gross Settlement yang selanjutnya disebut Sistem BI-RTGS adalah suatu sistem transfer dana elektronik antar peserta Sistem BI-RTGS dalam mata uang Rupiah yang penyelesaiannya dilakukan secara seketika per transaksi secara individual. 9. Bank Indonesia - Scripless Securities Settlement System yang selanjutnya disebut BI-SSSS adalah sarana transaksi dengan Bank Indonesia termasuk penatausahaannya dan penatausahaan Surat Berharga secara elektronik dan terhubung langsung antara Peserta, Penyelenggara dan Sistem BI-RTGS. 10. Transaksi Dengan Bank Indonesia adalah transaksi yang dilakukan oleh Bank Indonesia dalam rangka kegiatan OPT, Fasilitas Pendanaan, transaksi SBN untuk dan atas nama pemerintah dan/atau transaksi lainnya melalui BI-SSSS. 11. Penatausahaan Surat Berharga adalah kegiatan yang mencakup pencatatan kepemilikan, kliring dan setelmen serta pembayaran kupon (bunga) atau imbalan dan nilai pokok/nominal Surat Berharga. 12. Penyelenggara BI-SSSS yang selanjutnya disebut Penyelenggara adalah pihak pengelola BI-SSSS yang menyelenggarakan kegiatan Transaksi Dengan Bank Indonesia dan penatausahaannya serta Penatausahaan Surat Berharga. 13. Peserta BI-SSSS yang selanjutnya disebut Peserta adalah pengguna BI-SSSS yang memenuhi persyaratan dan/atau disetujui oleh Bank Indonesia untuk melakukan kegiatan Transaksi Dengan Bank Indonesia dan/atau Penatausahaan Surat Berharga. 14. Peserta … - 5 - 14. Peserta Lelang SBN adalah Bank dan/atau lembaga keuangan lain yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan sebagai Dealer Utama untuk dapat ikut serta dalam lelang SBN. 15. Central Registry adalah Bank Indonesia yang melakukan fungsi Penatausahaan Surat Berharga untuk kepentingan Peserta yang memiliki rekening Surat Berharga di BI-SSSS. 16. Sub-Registry adalah Bank dan lembaga yang melakukan kegiatan kustodian yang memenuhi persyaratan dan disetujui oleh Bank Indonesia melakukan fungsi Penatausahaan Surat Berharga untuk kepentingan nasabah. 17. Setelmen Surat Berharga adalah kegiatan pendebetan dan pengkreditan rekening Surat Berharga melalui BI-SSSS dalam rangka penatausahaan Transaksi Dengan Bank Indonesia dan Penatausahaan Surat Berharga. 18. Setelmen Dana adalah kegiatan pendebetan dan pengkreditan rekening giro dan/atau rekening lainnya di Bank Indonesia melalui Sistem BI-RTGS dalam rangka penatausahaan Transaksi Dengan Bank Indonesia dan Penatausahaan Surat Berharga melalui BI-SSSS. 19. Delivery Versus Payment yang selanjutnya disebut DVP adalah setelmen transaksi Surat Berharga dengan cara Setelmen Surat Berharga dilakukan bersamaan dengan Setelmen Dana. 20. Free of Payment yang selanjutnya disebut FoP adalah setelmen transaksi Surat Berharga dengan cara Setelmen Surat Berharga dilakukan melalui BI-SSSS, sedangkan Setelmen Dana dilakukan tidak secara bersamaan dengan Setelmen Surat Berharga atau tanpa Setelmen Dana. 21. Rekening Surat Berharga adalah rekening milik Peserta tertentu di BI-SSSS untuk mencatat kepemilikan Surat Berharga dan/atau Instrumen OPT. 22. Rekening Giro adalah rekening dalam mata uang Rupiah yang ditatausahakan di Bank Indonesia yang digunakan dalam rangka pelaksanaan BI-SSSS. BAB II … - 6 - BAB II PENYELENGGARA DAN PESERTA BI-SSSS Pasal 2 (1) Penyelenggara adalah Bank Indonesia. (2) Penyelenggara membuat ketentuan dan menetapkan prosedur operasional BI-SSSS dalam rangka menjaga kelancaran penyelenggaraan BI-SSSS. Pasal 3 (1) Pihak-pihak yang dapat menjadi Peserta adalah : a. Bank Indonesia; b. Departemen Keuangan; c. Bank; d. Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian; e. Perusahaan Pialang Pasar Uang Rupiah dan Valuta Asing; f. Perusahaan Efek; dan g. lembaga lain yang disetujui oleh Bank Indonesia. (2) Pihak-pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertindak sebagai: a. Penerbit Surat Berharga; b. Peserta OPT; c. Peserta Fasilitas Pendanaan; d. Peserta Lelang SBN; dan/atau e. Pemilik Rekening Surat Berharga di Central Registry. (3) Pihak-pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menjadi Peserta setelah memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Pasal 4 Penyelenggara dan Peserta menggunakan BI-SSSS untuk melakukan kegiatan sebagai berikut : a. Transaksi … - 7 - a. Transaksi Dengan Bank Indonesia; b. Penatausahaan Transaksi Dengan Bank Indonesia; dan/atau c. Penatausahaan Surat Berharga. Pasal 5 (1) Dalam hal Bank melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional serta kegiatan usaha dalam bentuk Unit Usaha Syariah (UUS), kepesertaan dalam BI-SSSS untuk kegiatan usaha secara konvensional harus dipisahkan dari kegiatan usaha dalam bentuk Unit Usaha Syariah (UUS). (2) Dalam hal Bank melaksanakan kegiatan Sub-Registry, kepesertaan dalam BI-SSSS untuk kegiatan Bank harus dipisahkan dari kegiatan Sub-Registry. Pasal 6 Bank Indonesia menetapkan 3 (tiga) jenis status kepesertaan dalam BI-SSSS yaitu : a. aktif ; b. dibekukan; dan c. ditutup. Pasal 7 Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf b tidak berlaku bagi Peserta penerbit Surat Berharga dan Sub-Registry. Pasal 8 (1) Penyelenggara dapat mengubah status kepesertaan Peserta berdasarkan : a. permintaan tertulis dan/atau keputusan lembaga yang berwenang melakukan pengawasan terhadap kegiatan usaha Peserta; b. keputusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap yang dapat mengakibatkan perubahan status kepesertaan; atau c. permintaan tertulis dari Peserta yang bersangkutan. (2) Perubahan … - 8 - (2) Perubahan status kepesertaan Peserta berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b dapat berupa : a. aktif menjadi dibekukan atau sebaliknya; b. dibekukan menjadi ditutup; atau c. aktif menjadi ditutup. (3) Perubahan status kepesertaan Peserta berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c hanya berupa perubahan aktif menjadi ditutup. Pasal 9 Bagi Peserta yang menjadi peserta Sistem BI-RTGS, perubahan status kepesertaan diatur sebagai berikut: a. perubahan status kepesertaan menjadi dibekukan atau ditutup pada BI-SSSS tidak menyebabkan perubahan status kepesertaan pada Sistem BI-RTGS; b. perubahan status kepesertaan menjadi ditangguhkan pada Sistem BI-RTGS tidak menyebabkan perubahan status kepesertaan pada BI-SSSS; c. perubahan status kepesertaan menjadi dibekukan atau ditutup pada Sistem BI- RTGS menyebabkan perubahan status kepesertaan yang sama pada BI-SSSS. Pasal 10 (1) Dalam hal status Peserta pada Sistem BI-RTGS dan BI-SSSS dibekukan, Penyelenggara membuka rekening penampung (escrow account) di Bank Indonesia atas nama Peserta untuk menerima pembayaran kupon (bunga) atau imbalan dan pelunasan nilai pokok/nominal Surat Berharga. (2) Dalam hal status Peserta pada BI-SSSS ditutup atas permintaan lembaga pengawas yang berwenang, Penyelenggara memindahkan pencatatan Rekening Surat Berharga atas nama Peserta ke Rekening Surat Berharga di Bank Indonesia yang dibuka oleh Penyelenggara, kecuali lembaga pengawas yang berwenang menetapkan rekening lain. Pasal 11 … - 9 - Pasal 11 Hubungan hukum antara Penyelenggara dengan Peserta diatur dalam Perjanjian Penggunaan BI-SSSS antara Penyelenggara dan Peserta. Pasal 12 Peserta wajib : a. menjaga kelancaran dan keamanan dalam penggunaan BI-SSSS; b. bertanggung jawab atas kebenaran transaksi, instruksi transaksi dan/atau setelmen, serta seluruh informasi yang dikirim Peserta kepada Penyelenggara melalui BI-SSSS; c. memenuhi ketentuan Bank Indonesia dan ketentuan terkait; dan d. memenuhi Perjanjian Penggunaan BI-SSSS antara Penyelenggara dan Peserta maupun kesepakatan tertulis antar Peserta (Bye-Laws) dengan tetap mengacu kepada Peraturan Bank Indonesia ini. Pasal 13 Kewajiban Peserta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 berlaku bagi Bank Indonesia sebagai Peserta kecuali : a. kewajiban untuk membuat Perjanjian Penggunaan BI-SSSS antara Penyelenggara dan Peserta; dan b. kewajiban untuk memenuhi kesepakatan tertulis antar Peserta (Bye-Laws). BAB III TRANSAKSI DENGAN BANK INDONESIA Pasal 14 Penyelenggara melaksanakan Transaksi Dengan Bank Indonesia secara lelang dan/atau bukan lelang. Pasal 15 … - 10 - Pasal 15 (1) Peserta melakukan kegiatan Transaksi Dengan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 baik secara langsung maupun dengan menunjuk Peserta lain sebagai perantara (broker) sesuai ketentuan Bank Indonesia yang berlaku. (2) Dalam hal menunjuk broker sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Peserta menetapkan batas paling tinggi nominal penawaran (broker bidding limit) per hari bagi broker yang ditunjuk. (3) Ketentuan penetapan batas paling tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam perjanjian tersendiri antara Peserta dengan broker atau dalam prosedur internal Peserta. BAB IV PENATAUSAHAAN Bagian Kesatu Penatausahaan Transaksi Dengan Bank Indonesia Pasal 16 (1) Penyelenggara melakukan penatausahaan Transaksi Dengan Bank Indonesia. (2) Penatausahaan Transaksi Dengan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup kegiatan penatausahaan Instrumen OPT, penatausahaan Fasilitas Pendanaan, penatausahaan transaksi SBN untuk dan atas nama pemerintah serta penatausahaan transaksi lainnya melalui BI-SSSS. (3) Penatausahaan Transaksi Dengan Bank Indonesia terdiri dari penatausahaan transaksi yang terkait Surat Berharga dan tanpa Surat Berharga. (4) Penatausahaan Transaksi Dengan Bank Indonesia yang terkait Surat Berharga dilakukan sesuai ketentuan yang diatur dalam Pasal 17 sampai dengan Pasal 31. Bagian … - 11 - Bagian Kedua Penatausahaan Surat Berharga Pasal 17 (1) Penyelenggara melakukan Penatausahaan Surat Berharga secara elektronis dengan menggunakan BI-SSSS. (2) Dalam Penatausahaan Surat Berharga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Penyelenggara berfungsi sebagai Central Registry. Pasal 18 Penatausahaan Surat Berharga di BI-SSSS dilakukan secara two tier system yang terdiri dari: a. Central Registry, yang melakukan Penatausahaan Surat Berharga untuk kepentingan Bank, Sub-Registry dan pihak lain pemilik Rekening Surat Berharga di BI-SSSS; dan b. Sub-Registry, yang melakukan Penatausahaan Surat Berharga untuk kepentingan nasabah. Pasal 19 Pihak yang akan melakukan transaksi Surat Berharga dan tidak memiliki Rekening Surat Berharga di Central Registry harus menunjuk Sub-Registry untuk melakukan Penatausahaan Surat Berharga yang dimilikinya. Pasal 20 (1) Central Registry dapat bekerja sama dengan pihak lain guna mendukung Penatausahaan Surat Berharga. (2) Central Registry dapat memberikan persetujuan kepada Bank dan lembaga yang melakukan kegiatan kustodian untuk menjadi Sub-Registry. (3) Pihak … - 12 - (3) Pihak-pihak yang dapat menjadi Sub-Registry adalah Bank, Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, dan Perusahaan Efek. (4) Pihak-pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dapat disetujui menjadi Sub-Registry setelah memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. (5) Sub-Registry wajib memenuhi ketentuan Penatausahaan Surat Berharga sebagaimana ditetapkan oleh Bank Indonesia. Pasal 21 (1) Pencatatan kepemilikan Surat Berharga dilakukan tanpa warkat (scripless) dan secara book entry. (2) Catatan kepemilikan Surat Berharga pada Central Registry dan Sub-Registry merupakan bukti kepemilikan yang sah. Pasal 22 (1) Pencatatan kepemilikan Surat Berharga pada rekening Surat Berharga Sub-Registry di Central Registry bersifat global (omnibus account). (2) Pencatatan kepemilikan Surat Berharga pada Rekening Surat Berharga Sub-Registry di Central Registry sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bukan merupakan bukti kepemilikan Surat Berharga atas nama Sub-Registry. (3) Sub-Registry wajib mencatat secara terpisah kepemilikan Surat Berharga atas nama nasabah dari aset Sub-Registry. (4) Sub-Registry tidak diperbolehkan memelihara rekening Surat Berharga untuk dan atas nama diri sendiri, pengurus, pemegang saham dan pengelola. (5) Sub-Registry bertanggung jawab atas kebenaran pencatatan dan laporan kepemilikan Surat Berharga atas nama nasabah. Bagian … - 13 - Bagian Ketiga Setelmen Transaksi Surat Berharga Pasal 23 (1) Setelmen transaksi Surat Berharga di Pasar Perdana dan di Pasar Sekunder dilakukan atas dasar prinsip DVP. (2) Setelmen transaksi Surat Berharga secara DVP dilakukan atas dasar sistem setelmen gross to gross atau gross to net. (3) Setelmen transaksi Surat Berharga dapat dilakukan secara FoP dalam rangka : a. pemindahbukuan yang dilakukan oleh pemilik Surat Berharga dengan identitas yang sama; b. perpindahan kepemilikan Surat Berharga dalam rangka hibah, warisan, pelunasan kewajiban, tukar menukar, pengalihan karena penetapan pengadilan, dan pinjam meminjam; c. transaksi lainnya, sepanjang telah memperoleh persetujuan dari lembaga yang berwenang. Pasal 24 Ketentuan setelmen transaksi Surat Berharga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 juga berlaku bagi Sub-Registry dalam melakukan Penatausahaan Surat Berharga nasabah. Pasal 25 Setelmen transaksi Surat Berharga melalui BI-SSSS bersifat final. Pasal 26 (1) Dalam pelaksanaan Setelmen Dana dan/atau pembayaran kewajiban lainnya melalui BI-SSSS, Peserta yang bukan peserta Sistem BI-RTGS harus menunjuk Bank peserta Sistem BI-RTGS sebagai Bank penerima dan/atau pembayar … - 14 - pembayar untuk melakukan Setelmen Dana dan/atau pembayaran kewajiban lainnya. (2) Bank peserta Sistem BI-RTGS yang ditunjuk sebagai Bank pembayar dalam Setelmen Dana atas transaksi Surat Berharga harus menetapkan batas paling tinggi nominal per transaksi dan total nominal transaksi per hari untuk setiap Peserta yang menunjuk Bank dimaksud. (3) Ketentuan penetapan batas paling tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam perjanjian tersendiri antara Bank peserta Sistem BI-RTGS dengan Peserta yang menunjuk Bank dimaksud atau dalam prosedur internal Bank peserta Sistem BI-RTGS. Pasal 27 (1) Peserta yang memiliki Rekening Giro di Sistem BI-RTGS harus memiliki saldo yang mencukupi pada Rekening Giro untuk pelaksanaan setelmen transaksi Surat Berharga dan pembayaran kewajiban lainnya. (2) Peserta yang memiliki Rekening Surat Berharga di Central Registry harus memiliki saldo yang mencukupi pada Rekening Surat Berharga untuk pelaksanaan setelmen transaksi Surat Berharga. Pasal 28 BI-SSSS melakukan setelmen transaksi Surat Berharga antar Peserta berdasarkan data setelmen yang dikirimkan Peserta melalui BI-SSSS dan diterima oleh Penyelenggara. Pasal 29 (1) Penyelenggara berwenang tidak meneruskan setelmen transaksi Surat Berharga di Pasar Sekunder yang belum jatuh waktu (early termination) untuk transaksi jual beli secara bersyarat (repo), pencatatan agunan (pledge) dan/atau transaksi lainnya yang dilakukan oleh Peserta melalui BI-SSSS. (2) Penyelenggara … - 15 - (2) Penyelenggara tidak meneruskan setelmen transaksi Surat Berharga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan permintaan salah satu Peserta, keputusan lembaga pengawas yang berwenang, keputusan pengadilan dan/atau lembaga arbitrase yang telah memiliki kekuatan hukum yang tetap. (3) Penyelenggara tidak meneruskan setelmen transaksi Surat Berharga atas permintaan salah satu Peserta sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) apabila Peserta dapat menunjukkan adanya pemberian kuasa kepada Peserta dimaksud untuk membatalkan transaksi dari Peserta lawan transaksinya. (4) Peserta yang mengajukan permintaan kepada Penyelenggara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) bertanggung jawab atas kebenaran pemberian kuasa pembatalan transaksi. (5) Peserta yang mengajukan permintaan kepada Penyelenggara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) membebaskan Penyelenggara dari tuntutan hukum dan bertanggung jawab atas tuntutan hukum terhadap Penyelenggara dan tuntutan lainnya, yang timbul akibat tidak diteruskannya setelmen transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Bagian Keempat Pembayaran Kupon (Bunga) atau Imbalan dan Nilai Pokok/Nominal Surat Berharga Pasal 30 Peserta yang menerbitkan Surat Berharga harus memiliki dana yang mencukupi pada Rekening Giro Peserta untuk membayar kupon (bunga) atau imbalan dan nilai pokok/nominal Surat Berharga pada saat jatuh waktu. Pasal 31 … - 16 - Pasal 31 (1) Penyelenggara melakukan pembayaran kupon (bunga) atau imbalan dan nilai pokok/nominal Surat Berharga pada saat jatuh waktu kepada pemilik Rekening Surat Berharga dengan mendebet Rekening Giro Peserta yang menerbitkan Surat Berharga dan mengkredit Rekening Giro Peserta melalui Sistem BI-RTGS. (2) Penyelenggara dapat melakukan pembayaran nilai pokok/nominal Surat Berharga sebelum tanggal jatuh waktu dan accrued interest atas kupon (bunga) atau bagian imbalan kepada pemilik Rekening Surat Berharga berdasarkan permintaan tertulis Peserta yang menerbitkan Surat Berharga, sepanjang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30. (3) Dalam hal pemilik Rekening Surat Berharga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) adalah Sub-Registry, Sub-Registry tersebut wajib meneruskan pembayaran dimaksud pada hari yang sama kepada nasabah pemilik Surat Berharga. BAB V OPERASIONAL BI-SSSS Bagian Kesatu Waktu Operasional Pasal 32 (1) BI-SSSS diselenggarakan setiap hari kerja kecuali ditetapkan lain oleh Penyelenggara. (2) Penyelenggaraan BI-SSSS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pada jam operasional yang ditetapkan oleh Penyelenggara. (3) Penyelenggara … - 17 - (3) Penyelenggara dapat melakukan perubahan jam operasional BI-SSSS sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berdasarkan : a. kebijakan Penyelenggara; atau b. permintaan Peserta yang telah disetujui oleh Penyelenggara. Bagian Kedua Data Transaksi dan Setelmen Pasal 33 (1) Peserta mengirimkan data transaksi dan setelmen melalui BI-SSSS kepada Penyelenggara berdasarkan instruksi tertulis yang digunakan oleh masing- masing Peserta sesuai ketentuan internal yang berlaku. (2) Peserta harus menyimpan dan menatausahakan instruksi tertulis berikut data transaksi dan setelmen Peserta yang dikirimkan kepada Penyelenggara melalui BI-SSSS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai peraturan perundang- undangan yang berlaku. Pasal 34 (1) Penyelenggara menerima data transaksi dan setelmen yang dikirimkan oleh Peserta melalui BI-SSSS. (2) Penyelenggara mengirimkan data posisi harian Rekening Surat Berharga masing-masing Peserta kepada Peserta dimaksud melalui BI-SSSS pada akhir hari. Pasal 35 Dalam hal terjadi perbedaan antara data transaksi dan setelmen serta data posisi harian Rekening Surat Berharga yang dimiliki oleh masing-masing Peserta dengan data yang dimiliki oleh Penyelenggara, data yang dianggap benar adalah data yang ada pada Penyelenggara. Bagian … - 18 - Bagian Ketiga Biaya Pasal 36 (1) (2) Penyelenggara menetapkan jenis dan besar biaya penggunaan BI-SSSS yang wajib dibayar oleh Peserta. Dalam hal Peserta mengajukan permintaan perpanjangan jam operasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (3) huruf b, Peserta dikenakan biaya perpanjangan jam operasional Sistem BI-RTGS sesuai ketentuan Bank Indonesia yang berlaku. Bagian Keempat Pembebanan Rekening Giro dan/atau Rekening Surat Berharga Peserta Pasal 37 Dalam rangka melakukan Transaksi Dengan Bank Indonesia dan kegiatan penatausahaan melalui BI-SSSS, Penyelenggara berwenang melakukan pendebetan Rekening Giro Peserta, Rekening Giro Bank yang ditunjuk oleh Peserta dan/atau Rekening Surat Berharga Peserta. Bagian Kelima Pembebasan Tanggung Jawab Penyelenggara Pasal 38 Peserta membebaskan Penyelenggara dari tuntutan kerugian yang timbul dan/atau yang akan timbul yang dialami Peserta atau pihak ketiga akibat terlambat atau tidak terlaksananya transaksi, setelmen Surat Berharga, pembayaran kupon (bunga) atau imbalan dan nilai pokok/nominal Surat Berharga dan/atau sebab lainnya yang timbul. BAB VI … - 19 - BAB VI PENGAWASAN Pasal 39 (1) Penyelenggara berwenang melakukan pengawasan terhadap Peserta atas penggunaan BI-SSSS. (2) Penyelenggara berwenang melakukan pengawasan terhadap kegiatan Penatausahaan Surat Berharga yang dilakukan oleh pihak lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) dan/atau Sub-Registry sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (2). (3) Penyelenggara melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) secara langsung maupun tidak langsung. (4) Penyelenggara dapat menunjuk pihak lain untuk melaksanakan pengawasan secara langsung terhadap Peserta atas penggunaan BI-SSSS sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (5) Pihak lain yang ditunjuk Penyelenggara untuk melaksanakan pengawasan secara langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (4) wajib merahasiakan informasi dan data yang diperoleh dalam pengawasan. (6) Dalam rangka pengawasan, Peserta wajib memberikan : a. informasi dan data yang terkait dengan pelaksanaan pengawasan BI-SSSS; b. kesempatan untuk melakukan pengawasan secara langsung terhadap sarana fisik dan aplikasi pendukungnya yang terkait dengan operasional BI-SSSS dan/atau kegiatan Penatausahaan Surat Berharga oleh Sub-Registry. BAB VII … - 20 - BAB VII KEADAAN DARURAT Pasal 40 (1) Dalam hal terjadi keadaan tidak normal dan/atau keadaan darurat (force majeure), Penyelenggara memberlakukan prosedur dan rencana mengatasi keadaan darurat (contingency plan). (2) Keadaan darurat (force majeure) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan pengumuman dari Bank Indonesia atau diajukan oleh Peserta kepada Penyelenggara dengan didukung oleh keterangan tertulis dari lembaga berwenang yang terkait. BAB VIII SANKSI Pasal 41 (1) Penyelenggara mengenakan sanksi administrasi berupa teguran tertulis terhadap Peserta yang tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12. (2) Penyelenggara mengenakan sanksi administrasi berupa teguran tertulis atau pencabutan atas persetujuan sebagai Sub-Registry dalam hal Peserta Sub-Registry tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (5). BAB IX … - 21 - BAB IX KETENTUAN PENUTUP Pasal 42 Ketentuan pelaksanaan dari Peraturan Bank Indonesia ini diatur lebih lanjut dengan Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 43 Pada saat Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku, peraturan pelaksanaan dari Peraturan Bank Indonesia No. 6/2/PBI/2004 tentang Bank Indonesia–Scripless Securities Settlement System, Perjanjian Penggunaan BI-SSSS antara Penyelenggara dan Peserta, kesepakatan tertulis antar Peserta (Bye-Laws), dan petunjuk teknis penggunaan BI-SSSS yang telah dikeluarkan sebelum berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini, dinyatakan masih tetap berlaku sampai dengan dicabut, diganti atau diperbaharui. Pasal 44 Dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini, Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/2/PBI/2004 tentang Bank Indonesia-Scripless Securities Settlement System dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 45 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan … … - 22 - Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 4 Februari 2008 GUBERNUR BANK INDONESIA, BURHANUDDIN ABDULLAH Diundangkan di Jakarta Pada tgl.4 Februari 2008 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA ANDI MATTALATTA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2008 NOMOR 11 DPM PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NO. 10/2/PBI/2008 TENTANG BANK INDONESIA – SCRIPLESS SECURITIES SETTLEMENT SYSTEM UMUM Sehubungan dengan rencana pemerintah menerbitkan surat berharga berdasarkan prinsip syariah maka Bank Indonesia sebagai agen lelang yang menatausahakan surat berharga yang diterbitkan oleh pemerintah, perlu mengakomodasi pelaksanaan lelang dan penatausahaan SBN baik yang diterbitkan berdasarkan prinsip konvensional maupun berdasarkan prinsip syariah melalui BI-SSSS. Selanjutnya, untuk memberikan kepastian hukum kepada investor dalam melakukan Setelmen Surat Berharga melalui BI-SSSS perlu pencantuman prinsip kepastian penyelesaian akhir transaksi (finality of settlement) Surat Berharga yang dilakukan melalui BI-SSSS sebagaimana mengacu kepada Recommendation for Securities Settlement System yang diterbitkan oleh Bank for International Settlement (BIS). Hal ini selaras dengan prinsip penyelesaian akhir pada Sistem BI-RTGS yang bersifat final yang merupakan sarana Setelmen Dana bagi Peserta dalam pelaksanaan setelmen transaksi Surat Berharga secara DVP. Di samping itu, dalam rangka mengakomodasi perkembangan transaksi Surat Berharga di Pasar Sekunder dan meningkatkan efektifitas penyelenggaraan BI-SSSS diperlukan penyempurnaan pengaturan antara lain memperjelas fungsi dan kewenangan Bank Indonesia sebagai regulator dan Penyelenggara, menyelaraskan status kepesertaan pada BI-SSSS dengan Sistem BI-RTGS, memperjelas pengaturan setelmen transaksi secara FoP, dan penyempurnaan sanksi kepada Peserta, serta memperjelas … - 2 - memperjelas pengertian keadaan darurat untuk memberikan persepsi yang sama antara Penyelenggara dan Peserta. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas Pasal 2 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Dalam rangka menjaga kelancaran penyelenggaraan BI-SSSS, Penyelenggara antara lain menyediakan aplikasi BI-SSSS dan Help Desk terkait dengan operasional BI-SSSS serta ketentuan dan prosedur baik dalam keadaan normal, keadaan tidak normal maupun keadaan darurat. Pasal 3 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas Huruf b Cukup jelas Huruf c Cukup jelas Huruf d Yang dimaksud “Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian” adalah pihak yang menyelenggarakan kegiatan kustodian sentral bagi … - 3 - bagi Bank Kustodian, Perusahaan Efek, dan pihak lain, sebagaimana diatur dalam perundang-undangan yang berlaku. Huruf e Yang dimaksud “Perusahaan Pialang Pasar Uang Rupiah dan Valuta Asing” adalah perusahaan yang didirikan khusus untuk melakukan kegiatan jasa perantara bagi kegiatan nasabahnya di bidang pasar uang Rupiah dan valuta asing dengan memperoleh imbalan atas jasanya. Huruf f Yang dimaksud “Perusahaan Efek” adalah pihak yang melakukan kegiatan usaha sebagai penjamin emisi efek, perantara pedagang efek dan/atau manajer investasi. Huruf g Persetujuan oleh Bank Indonesia antara lain didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang terkait, pertimbangan pengembangan pasar surat berharga di Indonesia, dan/atau pertimbangan teknis. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 4 Huruf a Transaksi Dengan Bank Indonesia melalui BI-SSSS dilakukan dalam rangka : 1. pelaksanaan OPT oleh Bank Indonesia sesuai ketentuan yang berlaku, 2. pemberian … - 4 - 2. pemberian Fasilitas Pendanaan sesuai ketentuan yang berlaku; 3. pelaksanaan transaksi SBN oleh Bank Indonesia untuk dan atas nama pemerintah sesuai ketentuan yang berlaku; dan 4. pelaksanaan transaksi lainnya yang dilakukan oleh Bank Indonesia melalui BI-SSSS. Huruf b Cukup jelas Huruf c Cukup jelas Pasal 5 Ayat (1) Bank yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional sekaligus kegiatan usaha dalam bentuk Unit Usaha Syariah (UUS) memiliki 2 (dua) member code Peserta, yaitu 1 (satu) member code Peserta untuk kegiatan usaha secara konvensional dan 1 (satu) member code Peserta untuk kegiatan usaha dalam bentuk Unit Usaha Syariah (UUS). Ayat (2) Dalam hal Bank bertindak sebagai Sub-Registry, Bank dapat melakukan transaksi baik atas nama nasabah maupun atas nama Bank sendiri. Pemisahan kepesertaan Bank dalam pelaksanaan kegiatan Sub-Registry dengan kepesertaan Bank atas nama diri sendiri dimaksudkan untuk memperjelas pemisahan kepemilikan aset Surat Berharga atas nama Bank dengan aset Surat Berharga nasabah. Pasal 6 … - 5 - Pasal 6 Dalam sistem, status kepesertaan dibedakan menjadi aktif (active), dibekukan (freeze) dan ditutup (closed). Peserta dengan status aktif dapat melakukan seluruh kegiatan sesuai dengan fungsi Peserta dalam BI-SSSS. Peserta dengan status dibekukan tidak dapat melakukan kegiatan Transaksi Dengan Bank Indonesia dan setelmen transaksi Surat Berharga, kecuali kegiatan untuk memperoleh informasi yang terdapat dalam BI-SSSS. Peserta dengan status ditutup tidak dapat melakukan seluruh kegiatan operasional BI-SSSS. Pasal 7 Pengecualian ketentuan ini dimaksudkan untuk memberikan kepastian kepada nasabah Sub-Registry agar tetap dapat melakukan setelmen transaksi Surat Berharga melalui BI-SSSS. Pasal 8 Ayat (1) Huruf a “lembaga yang berwenang” dalam ayat ini adalah Bank Indonesia dan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK). Huruf b Cukup jelas Huruf c Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) … - 6 - Ayat (3) Cukup jelas Pasal 9 Huruf a Cukup jelas Huruf b Dalam hal status Peserta aktif, namun status Peserta yang bersangkutan dalam Sistem BI-RTGS ditangguhkan maka Peserta tidak dapat melakukan pembelian Surat Berharga secara DVP mengingat status ditangguhkan dalam Sistem BI-RTGS mengakibatkan tidak dapat dilakukannya pembayaran. Huruf c Dalam hal status Peserta dalam Sistem BI-RTGS menjadi dibekukan maka status Peserta dalam BI-SSSS berubah menjadi dibekukan. Apabila status Peserta dalam Sistem BI-RTGS menjadi ditutup maka status Peserta dalam BI-SSSS berubah menjadi ditutup. Pasal 10 Cukup jelas Pasal 11 Cukup jelas Pasal 12 Huruf a Yang dimaksud dengan “menjaga kelancaran dan keamanan” adalah menjamin agar BI-SSSS berfungsi dengan baik antara lain dengan menyusun kebijakan dan membuat prosedur tertulis yang mendukung sistem … - 7 - sistem internal kontrol yang baik dalam pelaksanaan operasional BI-SSSS, termasuk prosedur pengamanan penggunaan BI-SSSS baik dari sisi kewenangan pengguna, maupun pengamanan dan pemeliharaan perangkat keras (hardware) dan perangkat lunak (software) aplikasi BI-SSSS. Huruf b Yang dimaksud dengan “bertanggung jawab atas kebenaran transaksi, instruksi transaksi dan/atau setelmen” adalah Peserta wajib melakukan pengiriman instruksi transaksi atau instruksi setelmen berdasarkan dokumen pendukung sesuai format yang diatur oleh masing-masing Peserta, termasuk menyampaikan data dan informasi yang benar. Huruf c Ketentuan Bank Indonesia antara lain mengenai Sistem BI-RTGS, OPT, Sertifikat Bank Indonesia (SBI), Fasilitas Pendanaan, dan SUN. Ketentuan terkait adalah ketentuan yang dikeluarkan oleh instansi lain antara lain Departemen Keuangan dan Bapepam-LK. Huruf d Yang dimaksud dengan “Bye Laws” adalah kesepakatan tertulis antar Peserta yang bertujuan untuk mencapai keseragaman peraturan dan prosedur serta memberikan panduan untuk penyelesaian perselisihan yang timbul antar Peserta dalam penggunaan BI-SSSS. Pasal 13 Cukup jelas Pasal 14 Jenis Transaksi Dengan Bank Indonesia secara lelang antara lain transaksi SBI, Fine Tune Operation (Fine Tune Kontraksi dan Fine Tune Ekspansi), jual … - 8 - jual beli secara bersyarat (reverse repo) dan SBN untuk dan atas nama pemerintah. Jenis Transaksi Dengan Bank Indonesia secara bukan lelang antara lain transaksi Fasilitas Simpanan Bank Indonesia (FASBI), jual beli secara bersyarat (repo), dan pengajuan Fasilitas Pendanaan. Pasal 15 Ayat (1) Transaksi Dengan Bank Indonesia secara langsung hanya dapat dilakukan oleh Peserta yang terdaftar pada Penyelenggara untuk dapat mengikuti Transaksi Dengan Bank Indonesia. Transaksi Dengan Bank Indonesia yang harus dilakukan oleh Peserta secara langsung antara lain transaksi Fasilitas Pendanaan dan transaksi jual beli secara bersyarat (repo). Yang dimaksud dengan “broker” adalah Perusahaan Pialang Pasar Uang Rupiah dan Valuta Asing sebagai peserta OPT, Bank dan Perusahaan Efek sebagai peserta lelang SBN. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Pengaturan dalam prosedur internal Peserta berlaku dalam hal Peserta yang menunjuk dan broker adalah institusi yang sama. Pasal 16 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) … - 9 - Ayat (2) Penatausahaan Instrumen OPT mencakup antara lain kegiatan Setelmen Dana, Setelmen Surat Berharga, pencatatan penerbitan/kepemilikan/penempatan, perhitungan diskonto, pembayaran bunga atau imbalan, nilai pokok/nominal Surat Berharga, dan/atau kewajiban membayar karena kegagalan setelmen. Penatausahaan Fasilitas Pendanaan mencakup antara lain kegiatan Setelmen Dana, pencatatan agunan Surat Berharga, perhitungan dan pembayaran bunga atau imbalan atas penggunaan fasilitas, pelunasan fasilitas saat jatuh waktu dan/atau pelaksanaan eksekusi agunan dalam hal Bank tidak dapat melunasi kewajiban. Penatausahaan SBN untuk dan atas nama pemerintah yaitu kegiatan setelmen hasil lelang penerbitan SBN yang antara lain mencakup pencatatan penerbitan dan kepemilikan, Setelmen Dana dan Setelmen Surat Berharga. Ayat (3) Penatausahaan Transaksi Dengan Bank Indonesia yang terkait dengan Surat Berharga antara lain terdiri dari penatausahaan transaksi SBI, jual beli secara bersyarat (repo dan reverse repo) dengan Surat Berharga sebagai underlying transaksi, SBN untuk dan atas nama pemerintah dan Fasilitas Pendanaan dengan jaminan Surat Berharga. Penatausahaan Transaksi Dengan Bank Indonesia tanpa Surat Berharga antara lain terdiri dari transaksi Fine Tune Kontraksi dan penempatan dana Bank di Bank Indonesia. Ayat (4) Cukup Jelas Pasal 17 … - 10 - Pasal 17 Cukup jelas Pasal 18 Huruf a Cukup jelas Huruf b Sub-Registry menggunakan sistem internal Sub-Registry dalam penatausahaan Surat Berharga untuk kepentingan nasabah. Pasal 19 Cukup jelas Pasal 20 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas Pasal 21 … - 11 - Pasal 21 Ayat (1) Yang dimaksud dengan book entry adalah pencatatan kepemilikan dan perpindahan kepemilikan tanpa warkat (scripless) dalam suatu jurnal elektronis. Ayat (2) Cukup jelas Pasal 22 Ayat (1) Pencatatan kepemilikan Surat Berharga pada rekening Sub-Registry secara omnibus account di Central Registry tidak dilakukan secara individual dan rinci per nasabah. Pencatatan secara individual dan rinci per nasabah dilakukan oleh Sub-Registry secara book entry dalam sistem penatausahaan internal yang bersangkutan. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Pengelola Sub-Registry adalah pejabat yang bertanggung jawab dalam pelaksanaan operasional Sub-Registry. Ayat (5) Cukup jelas Pasal 23 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) … - 12 - Ayat (2) Yang dimaksud dengan “gross to gross” adalah proses setelmen dimana Setelmen Surat Berharga dan Setelmen Dana dilakukan berdasarkan transaksi per transaksi. Yang dimaksud dengan “gross to net” adalah proses setelmen dimana Setelmen Surat Berharga dilakukan berdasarkan transaksi per transaksi dan Setelmen Dana dilakukan secara keseluruhan setelah proses perhitungan transaksi jual beli Surat Berharga (netting system). Ayat (3) Huruf a Cukup jelas Huruf b Cukup jelas Huruf c Yang dimaksud dengan ”transaksi lainnya” misalnya penerbitan Surat Berharga dalam rangka penyertaan modal (private placement) atau Exchange Traded Fund (ETF). Yang dimaksud dengan ”lembaga atau instansi yang berwenang” adalah Departemen Keuangan, Bapepam-LK untuk transaksi terkait dengan Pasar Modal dan Bank Indonesia untuk transaksi terkait perbankan. Pasal 24 Sub-Registry merupakan perpanjangan tangan Central Registry sehingga dalam melakukan Penatausahaan Surat Berharga nasabah melalui sistem internalnya, Sub-Registry mengacu juga pada ketentuan setelmen transaksi Surat Berharga di Central Registry. Pasal 25 … - 13 - Pasal 25 BI-SSSS tidak mengakomodasi pembatalan setelmen (unwinding) atas transaksi Surat Berharga yang telah dilakukan setelmennya di BI-SSSS. Pasal 26 Ayat (1) Kewajiban lainnya antara lain pembebanan sanksi kewajiban membayar dan biaya penggunaan BI-SSSS. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Pengaturan dalam prosedur internal Bank peserta Sistem BI-RTGS berlaku dalam hal Peserta yang menunjuk dan Bank peserta Sistem BI-RTGS adalah institusi yang sama. Pasal 27 Ayat (1) Persyaratan kecukupan saldo Rekening Giro di Sistem BI-RTGS termasuk pula dalam rangka pembayaran untuk dan atas nama Peserta lain yang menunjuk Peserta dimaksud sebagai Bank pembayar. Dalam hal saldo Rekening Giro di Sistem BI-RTGS tidak mencukupi maka setelmen transaksi yang bersangkutan tidak dapat dilakukan. Ayat (2) Dalam hal saldo Rekening Surat Berharga Peserta tidak mencukupi maka setelmen transaksi yang bersangkutan tidak dapat dilakukan. Pasal 28 … - 14 - Pasal 28 Setelmen transaksi Surat Berharga antar Peserta meliputi antara lain setelmen transaksi jual beli putus (outright), jual beli secara bersyarat (repo dan reverse repo), pinjam meminjam Surat Berharga (securities borrowing and lending), dan pencatatan agunan (pledge). Pasal 29 Ayat (1) Kewenangan Penyelenggara untuk tidak meneruskan setelmen transaksi Surat Berharga hanya berlaku untuk transaksi Surat Berharga yang telah disepakati memiliki dua proses setelmen yaitu setelmen transaksi pertama (first leg) dan setelmen transaksi kedua (second leg). Kewenangan Penyelenggara dimaksud adalah untuk setelmen transaksi kedua (second leg) dan didasarkan pada Pasal 29 ayat (2). Transaksi lainnya adalah transaksi yang memiliki dua kali proses setelmen sebagaimana halnya transaksi jual beli secara bersyarat (repo) dan pledge. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Adanya pemberian kuasa pembatalan transaksi dari Peserta lawan transaksi dibuktikan dalam bentuk klausula pemberian kuasa pembatalan dalam perjanjian transaksi dimaksud atau surat kuasa. Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas Pasal 30 … - 15 - Pasal 30 Cukup jelas Pasal 31 Cukup jelas Pasal 32 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Perubahan jam operasional BI-SSSS dapat berupa perpanjangan atau pengurangan jangka waktu operasional BI-SSSS. Perubahan jam operasional BI-SSSS yang dapat dilakukan berdasarkan permintaan Peserta hanya berupa perpanjangan jam operasional BI-SSSS. Perpanjangan jam operasional BI-SSSS berdampak terhadap perpanjangan jam operasional Sistem BI-RTGS. Pasal 33 Cukup jelas Pasal 34 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) … - 16 - Ayat (2) Data posisi harian Rekening Surat Berharga memuat data atau informasi kepemilikan masing-masing Peserta berdasarkan hasil setelmen transaksi Surat Berharga Pasal 35 Perbedaan data transaksi dan setelmen serta data posisi harian Rekening Surat Berharga antara Peserta dan Penyelenggara antara lain dapat terjadi karena adanya gangguan teknis dan komunikasi. Pasal 36 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “biaya” adalah biaya-biaya yang dibebankan oleh Penyelenggara kepada Peserta, antara lain biaya atas setiap pengiriman data transaksi, instruksi setelmen serta permintaan data oleh Peserta ke dan dari Penyelenggara, serta penggunaan BI-SSSS di lokasi Penyelenggara. Ayat (2) Perpanjangan jam operasional BI-SSSS berdampak terhadap perpanjangan jam operasional Sistem BI-RTGS. Pasal 37 Penyelenggara melakukan pendebetan Rekening Giro Peserta, Rekening Giro Bank yang ditunjuk oleh Peserta dan/atau Rekening Surat Berharga Peserta untuk transaksi antara lain sebagai berikut : a. setelmen Transaksi Dengan Bank Indonesia; b. setelmen transaksi Surat Berharga antar Peserta; c. pembayaran … - 17 - c. pembayaran kewajiban kupon (bunga) atau imbalan dan nilai pokok/nominal Surat Berharga yang jatuh waktu; d. pembebanan biaya penggunaan BI-SSSS; e. sanksi kewajiban membayar terkait transaksi OPT; f. kewajiban pelunasan Fasilitas Pendanaan; g. eksekusi agunan/jaminan sesuai ketentuan yang berlaku mengenai Fasilitas Pendanaan dan/atau fasilitas pemerintah kepada Peserta; dan/atau h. biaya lainnya. Pasal 38 Keterlambatan atau tidak terlaksananya transaksi, setelmen Surat Berharga, pembayaran kupon (bunga) atau imbalan dan nilai pokok/nominan Surat Berharga disebabkan antara lain : a. pengiriman data transaksi atau instruksi setelmen oleh Peserta yang salah, terlambat atau dilakukan oleh pejabat yang tidak berwenang; b. tidak tersedianya dana yang cukup pada Rekening Giro penerbit Surat Berharga untuk pelaksanaan pembayaran kewajiban transaksi Surat Berharga saat jatuh waktu; dan c. terjadinya keadaan tidak normal dan/atau keadaan darurat. Pasal 39 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Penyelenggara dalam hal ini bertindak sebagai Central Registry. Pengawasan Central Registry terhadap kegiatan Penatausahaan Surat Berharga yang dilakukan oleh Sub-Registry dan/atau pihak lain dilakukan berkoordinasi dengan otoritas yang berwenang. Ayat (3) … - 18 - Ayat (3) Penyelenggara melakukan pengawasan langsung sewaktu-waktu melalui pemeriksaan atas sistem dan aplikasi BI-SSSS dan/atau dokumen-dokumen yang terkait dengan penggunaan BI-SSSS di lokasi Peserta. Penyelenggara melakukan pengawasan tidak langsung atas data dan informasi yang terkait dengan penggunaan BI-SSSS oleh Peserta yang diserahkan oleh Peserta kepada Penyelenggara termasuk laporan dan/atau dokumen lain yang diminta oleh Penyelenggara kepada Peserta. Ayat (4) Yang dimaksud dengan “pihak lain” adalah pihak-pihak yang memiliki keahlian antara lain di bidang pengembangan aplikasi BI- SSSS, jasa komunikasi dan audit teknologi informasi. Hubungan hukum antara Penyelenggara dengan pihak lain yang ditunjuk tersebut diatur dalam suatu perjanjian. Ayat (5) Kewajiban merahasiakan informasi dan data yang diperoleh dalam pengawasan termasuk seluruh komisaris, direksi, manajer, tenaga ahli, staf pengawas dan staf pendukung lainnya yang terkait dengan pelaksanaan pengawasan. Ayat (6) Huruf a Yang dimaksud dengan “informasi dan data” antara lain data elektronik dan penjelasan yang berkaitan dengan tujuan pengawasan pemeriksaan. Huruf b Cukup jelas Pasal 40 … - 19 - Pasal 40 Ayat (1) Yang dimaksud dengan ”keadaan tidak normal” adalah situasi atau kondisi yang terjadi sebagai akibat adanya gangguan atau kerusakan pada perangkat keras, perangkat lunak, jaringan komunikasi, aplikasi maupun sarana pendukung BI-SSSS yang mempengaruhi kelancaran penyelenggaraan BI-SSSS. Yang dimaksud dengan ”keadaan darurat (force majeure)” adalah situasi atau kondisi yang terjadi sebagai akibat adanya peristiwa- peristiwa yang secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi kelancaran pelaksanaan BI-SSSS dan terjadi di luar kekuasaan serta kemampuan Penyelenggara dan/atau Peserta sehingga BI-SSSS tidak dapat dioperasikan sebagaimana mestinya, yang meliputi antara lain bencana alam, kebakaran, pemogokan, huru-hara, pemberontakan, sabotase, perang dan/atau peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Ayat (2) Cukup Jelas Pasal 41 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Penyelenggara dalam hal ini bertindak dalam kapasitas sebagai Central Registry. Pasal 42 Ketentuan dalam Surat Edaran Bank Indonesia mengatur antara lain namun tidak terbatas pada hal-hal sebagai berikut: a. persyaratan … - 20 - a. persyaratan dan prosedur menjadi Peserta; b. persyaratan dan kewajiban Sub-Registry; c. d. prosedur pemindahan pencatatan rekening Surat Berharga milik Peserta dalam hal status kepesertaan ditutup; prosedur early termination transaksi jual beli secara bersyarat (repo) atau pledge oleh Penyelenggara; e. jenis dan biaya penggunaan BI-SSSS; dan f. prosedur dan rencana mengatasi keadaan tidak normal dan keadaan darurat (contingency plan). Pasal 43 Cukup jelas Pasal 44 Cukup jelas Pasal 45 Cukup jelas TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4809
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 10/2/PBI/2008 </reg_id> <reg_title> BANK INDONESIA - SCRIPLESS SECURITIES SETTLEMENT SYSTEM </reg_title> <set_date> 4 Februari 2008 </set_date> <effective_date> 4 Februari 2008 </effective_date> <issued_date> 4 Februari 2008 </issued_date> <replaced_reg> '6/2/PBI/2004' </replaced_reg> <related_reg> '23/UU/1999', '3/UU/2004', '8/UU/1995', '7/UU/1992', '24/UU/2002', '10/UU/1998' </related_reg> <penalty_list> 'BAB VIII' </penalty_list>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 10/13/PBI/2008 TENTANG LELANG DAN PENATAUSAHAAN SURAT BERHARGA NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. Bahwa dalam rangka penerbitan Surat Berharga Negara yang terdiri dari Surat Utang Negara dan Surat Berharga Syariah Negara, Pemerintah dapat menunjuk Bank Indonesia sebagai agen lelang Surat Berharga Negara di pasar perdana; b. Bahwa Bank Indonesia memiliki tugas sebagai agen penatausaha dan agen pembayar Surat Berharga Syariah Negara serta pelaksana kegiatan penatausahaan Surat Utang Negara; c. Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu untuk menyusun Peraturan Bank Indonesia tentang Lelang dan Penatausahaan Surat Berharga Negara. Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); 2. Undang … -2- 2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 3 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357); 3. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2002 tentang Surat Utang Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 110, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4236); 4. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4852). 5. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867) MEMUTUSKAN : Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG LELANG DAN PENATAUSAHAAN SURAT BERHARGA NEGARA. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam peraturan ini yang dimaksud dengan : 1. Surat Berharga Negara yang selanjutnya disingkat SBN adalah Surat Utang Negara dan Surat Berharga Syariah Negara. 2. Surat … -3- 2. Surat Utang Negara yang selanjutnya disingkat SUN adalah surat berharga yang berupa surat pengakuan utang dalam mata uang rupiah yang dijamin pembayaran bunga dan pokoknya oleh Negara Republik Indonesia, sesuai dengan masa berlakunya. 3. Surat Berharga Syariah Negara yang selanjutnya disingkat SBSN, atau dapat disebut Sukuk Negara, adalah surat berharga negara yang diterbitkan berdasarkan prinsip syariah, dalam mata uang rupiah, sebagai bukti atas bagian penyertaan terhadap aset SBSN. 4. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 dan Bank Umum Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. 5. Pasar Perdana adalah kegiatan penawaran dan penjualan SBN untuk pertama kali. 6. Pasar Sekunder adalah kegiatan perdagangan SBN yang telah dijual di Pasar Perdana. 7. Peserta Lelang SBN adalah pihak-pihak yang dapat mengikuti lelang SBN sesuai ketentuan yang berlaku. 8. Penawaran Pembelian Kompetitif (Competitive Bidding) adalah pengajuan penawaran pembelian dengan mencantumkan volume dan tingkat imbal hasil (yield) atau harga (price) yang diinginkan penawar. 9. Penawaran Pembelian Non-kompetitif (Non-competitive Bidding) adalah pengajuan penawaran pembelian dengan mencantumkan volume tanpa tingkat imbal hasil (yield) atau harga (price) yang diinginkan penawar. 10. Bank Indonesia–Scripless Securities Settlement System yang untuk selanjutnya disebut BI-SSSS adalah sarana transaksi dengan Bank Indonesia termasuk penatausahaannya dan penatausahaan surat berharga secara elektronik dan terhubung … -4- terhubung langsung antara peserta BI-SSSS, penyelenggara BI-SSSS dan Sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement (Sistem BI-RTGS). 11. Sub-Registry adalah Bank dan lembaga yang melakukan kegiatan kustodian yang memenuhi persyaratan dan disetujui oleh Bank Indonesia melakukan fungsi penatausahaan surat berharga, termasuk SBN, untuk kepentingan nasabah. 12. Delivery Versus Payment yang untuk selanjutnya disingkat DVP adalah setelmen transaksi SBN dengan cara setelmen surat berharga melalui BI-SSSS dilakukan bersamaan dengan setelmen dana di Bank Indonesia melalui Sistem BI-RTGS. 13. Free of Payment yang untuk selanjutnya disingkat FoP adalah setelmen transaksi SBN dengan cara setelmen surat berharga dilakukan melalui BI-SSSS, sedangkan setelmen dana dilakukan tidak secara bersamaan dengan setelmen surat berharga atau tanpa setelmen dana. 14. Menteri adalah Menteri Keuangan Republik Indonesia. BAB II FUNGSI BANK INDONESIA DALAM LELANG DAN PENATAUSAHAAN SURAT BERHARGA NEGARA Pasal 2 Dalam rangka membantu Pemerintah untuk mengelola SBN, Bank Indonesia melakukan hal-hal sebagai berikut : a. memberikan masukan dalam rangka penerbitan SBN termasuk penyusunan ketentuan dan persyaratan penerbitan SBN; b. bertindak sebagai agen lelang dalam penerbitan SBN di Pasar Perdana; dan c. menatausahakan SBN. BAB III … -5- BAB III BENTUK DAN JENIS SURAT BERHARGA NEGARA Pasal 3 SBN yang ditatausahakan oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf c mempunyai bentuk dan jenis sebagaimana diatur dalam Undang-Undang SUN dan Undang-Undang SBSN yang berlaku. BAB IV LELANG SURAT BERHARGA NEGARA DI PASAR PERDANA Pasal 4 Bank Indonesia melaksanakan lelang SBN di Pasar Perdana berdasarkan pemberitahuan dari Menteri. Pasal 5 (1) Dalam melaksanakan fungsi sebagai agen lelang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b, Bank Indonesia untuk dan atas nama Pemerintah melakukan kegiatan antara lain sebagai berikut : a. mengumumkan rencana lelang SBN; b. melaksanakan lelang SBN; c. menyampaikan hasil penawaran lelang SBN kepada Menteri; dan d. mengumumkan keputusan hasil lelang SBN. (2) Bank Indonesia melaksanakan lelang SBN dengan menggunakan BI-SSSS atau sarana lain yang ditetapkan Bank Indonesia. Pasal 6 Peserta Lelang SBN di Pasar Perdana dapat melakukan penawaran pembelian dalam lelang SBN dengan cara Penawaran Pembelian Kompetitif (Competitive Bidding) dan/atau … -6- dan/atau Penawaran Pembelian Non-kompetitif (Non-competitive Bidding) sesuai ketentuan Menteri yang berlaku. BAB V PENATAUSAHAAN SURAT BERHARGA NEGARA Pasal 7 (1) Bank Indonesia melakukan penatausahaan SBN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf c mencakup : a. b. pencatatan kepemilikan, kliring dan setelmen SBN; dan agen pembayar bunga (kupon)/imbalan dan pokok/nilai nominal SBN. (2) Bank Indonesia melakukan penatausahaan SBN atas transaksi penerbitan SBN di Pasar Perdana dan transaksi SBN di Pasar Sekunder. (3) Bank Indonesia melakukan penatausahaan SBN menggunakan BI-SSSS sesuai ketentuan Bank Indonesia yang berlaku. Pasal 8 Dalam melaksanakan kegiatan penatausahaan SBN, Bank Indonesia dapat menunjuk atau bekerja sama dengan pihak lain. Pasal 9 (1) Pencatatan kepemilikan SBN dilakukan secara book entry. (2) Catatan kepemilikan SBN di BI-SSSS merupakan bukti kepemilikan yang sah. Pasal 10 (1) Bank Indonesia melakukan setelmen atas transaksi penerbitan SBN di Pasar Perdana baik yang dilakukan secara lelang maupun non lelang. (2) Bank Indonesia melakukan setelmen atas transaksi SBN di Pasar Sekunder yang meliputi : a. setelmen … -7- a. setelmen atas transaksi SBN antara pelaku pasar dengan Pemerintah yang dilakukan secara lelang maupun non lelang; dan b. setelmen atas transaksi SBN yang dilakukan antar pelaku pasar. (3) Setelmen SBN atas transaksi penerbitan SBN di Pasar Perdana baik yang dilakukan secara lelang maupun non lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan setelmen transaksi SBN yang dilakukan oleh Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dilakukan sesuai jangka waktu yang telah ditetapkan oleh Menteri. (4) Setelmen SBN atas transaksi SBN yang dilakukan antar pelaku pasar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dilakukan sesuai data setelmen yang disepakati oleh pelaku pasar yang bertransaksi. Pasal 11 (1) Setelmen transaksi SBN baik di Pasar Perdana maupun di Pasar Sekunder dilakukan atas dasar prinsip DVP atau FoP. (2) Setelmen transaksi SBN secara DVP dilakukan atas dasar sistem setelmen gross to gross atau gross to net. (3) Setelmen SBN secara FoP di Pasar Perdana dan di Pasar Sekunder dapat dilakukan dalam rangka: a. pemindahbukuan yang dilakukan oleh pemilik SBN dengan identitas yang sama; b. pengalihan kepemilikan SBN dalam rangka hibah, warisan, pelunasan kewajiban, tukar menukar, pengalihan karena penetapan pengadilan dan pinjam meminjam; atau c. transaksi lainnya, sepanjang telah memperoleh persetujuan dari lembaga yang berwenang. Pasal 12 … -8- Pasal 12 Dalam rangka setelmen SBN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) dan Pasal 10 ayat (2), Bank Indonesia berwenang untuk : a. mendebet rekening giro rupiah di Bank Indonesia milik Bank untuk dan atas nama diri sendiri dan Bank pembayar untuk dan atas nama pihak lain; dan b. mendebet rekening SBN di BI-SSSS milik Pemerintah, Bank untuk dan atas nama diri sendiri dan Sub-Registry untuk dan atas nama pihak lain. Pasal 13 (1) Bank untuk dan atas nama diri sendiri dan Bank pembayar untuk dan atas nama pihak lain harus menyediakan dana yang cukup dalam rekening giro rupiah di Bank Indonesia untuk kepentingan setelmen transaksi SBN yang dilakukan oleh peserta di Pasar Perdana dan Pasar Sekunder. (2) Dalam hal dana dalam rekening giro rupiah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mencukupi untuk melunasi seluruh atau sebagian kewajibannya sampai dengan batas akhir waktu setelmen dana maka seluruh hasil lelang SBN yang setelmennya dilakukan melalui Bank tersebut dinyatakan gagal. (3) Bank Indonesia menyampaikan pemberitahuan secara tertulis kepada Menteri mengenai setelmen yang gagal sebagaimana dimaksud dalam ayat (2). Pasal 14 (1) Bank untuk dan atas nama diri sendiri dan Sub-Registry untuk dan atas nama pihak lain harus menyediakan SBN yang cukup dalam rekening surat berharga di Bank Indonesia untuk kepentingan setelmen transaksi SBN yang dilakukan oleh peserta transaksi SBN di Pasar Sekunder. (2) Dalam hal SBN dalam rekening surat berharga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mencukupi untuk memenuhi seluruh atau sebagian kewajibannya … -9- kewajibannya sampai batas akhir setelmen surat berharga, transaksi tersebut dinyatakan gagal. (3) Bank Indonesia menyampaikan pemberitahuan secara tertulis kepada Menteri mengenai setelmen yang gagal sebagaimana dimaksud pada ayat (2). Pasal 15 Atas transaksi SBN yang gagal yang diberitahukan kepada Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3) dan/atau Pasal 14 ayat (3), Bank Indonesia melakukan tindak lanjut sesuai dengan permintaan atau pemberitahuan Menteri. Pasal 16 (1) Bank Indonesia melakukan pembayaran bunga (kupon)/imbalan dan/atau pelunasan pokok/nilai nominal SBN pada saat jatuh waktu atas beban Pemerintah. (2) Atas permintaan Pemerintah, Bank Indonesia melakukan pelunasan pokok/nilai nominal SBN sebelum tanggal jatuh waktu atas beban Pemerintah. (3) Bank Indonesia melakukan pembayaran : a. bunga (kupon)/imbalan; b. pokok/nilai nominal SBN pada tanggal jatuh waktu; dan/atau c. pokok/nilai nominal SBN sebelum tanggal jatuh waktu; sepanjang tersedianya dana yang cukup pada rekening giro rupiah Pemerintah di Bank Indonesia. (4) Pembayaran bunga (kupon)/imbalan dan/atau pelunasan pokok/nilai nominal SBN dilakukan oleh Bank Indonesia berdasarkan posisi kepemilikan SBN yang tercatat di BI-SSSS. (5) Dalam rangka pembayaran bunga (kupon)/imbalan dan/atau pelunasan pokok/nilai nominal SBN, Bank Indonesia berwenang : a. mendebet … -10- a. mendebet rekening giro rupiah Pemerintah di Bank Indonesia untuk melakukan pembayaran bunga (kupon)/imbalan dan/atau pelunasan pokok/nilai nominal SBN; dan b. mendebet rekening surat berharga pemilik SBN di BI-SSSS terhadap SBN yang telah dinyatakan lunas oleh Pemerintah. BAB VI BIAYA Pasal 17 (1) Bank Indonesia mengenakan biaya atas: a. pelaksanaan lelang SBN kepada Peserta Lelang SBN; dan b. penatausahaan SBN kepada pemilik rekening SBN di Bank Indonesia. (2) Pengenaan biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengacu pada ketentuan BI-SSSS yang berlaku. BAB VII PELAPORAN PENATAUSAHAAN SURAT BERHARGA NEGARA Pasal 18 Bank Indonesia menyampaikan laporan kegiatan penatausahaan SBN secara berkala kepada Menteri. BAB VIII KETENTUAN PENUTUP Pasal 19 Ketentuan pelaksanaan dari Peraturan Bank Indonesia ini diatur lebih lanjut dengan Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 20 … -11- Pasal 20 (1) Dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini, Peraturan Bank Indonesia Nomor 9/3/PBI/2007 tentang Lelang dan Penatausahaan Surat Utang Negara dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. (2) Pada saat Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku, peraturan pelaksanaan dari Peraturan Bank Indonesia Nomor 9/3/PBI/2007 tentang Lelang dan Penatausahaan Surat Utang Negara sepanjang belum diperbaharui dan tidak bertentangan dengan Peraturan Bank Indonesia ini dinyatakan tetap berlaku. Pasal 21 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 21 Agustus 2008 GUBERNUR BANK INDONESIA, Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 21 Agustus 2008 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA ANDI MATTALATTA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2008 NOMOR 123 DPM BOEDIONO PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 10/ 13 /PBI/2008 TENTANG LELANG DAN PENATAUSAHAAN SURAT BERHARGA NEGARA UMUM Dalam rangka membiayai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, termasuk membiayai pembangunan proyek, menutup kekurangan kas jangka pendek akibat ketidaksesuaian antara arus kas penerimaan dan pengeluaran dari Rekening Kas Negara dalam satu tahun anggaran dan/atau mengelola portofolio utang negara, Pemerintah menerbitkan SBN di dalam negeri. Sehubungan dengan penerbitan SBN tersebut, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2002 tentang Surat Utang Negara dan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara, Pemerintah dapat menunjuk Bank Indonesia sebagai agen lelang yang menyelenggarakan kegiatan penjualan SBN di Pasar Perdana, agen penatausaha dan agen pembayar SBSN serta pelaksana kegiatan penatausahaan SUN yang mencakup pencatatan kepemilikan, kliring dan setelmen, serta agen pembayar bunga (kupon)/imbalan dan pokok/nilai nominal SBN. Dalam rangka efisiensi dan efektifitas pelaksanaan tugas Bank Indonesia yang terkait dengan lelang SBN di Pasar Perdana dan penatausahaan SBN, Bank Indonesia menggunakan BI-SSSS. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas Pasal 2 … -2- Pasal 2 Huruf a Masukan ini dimaksudkan untuk mengevaluasi implikasi moneter dari penerbitan SBN agar keselarasan antara kebijakan fiskal termasuk manajemen utang dan kebijakan moneter dapat tercapai. Huruf b Cukup jelas Huruf c Cukup jelas Pasal 3 Cukup jelas Pasal 4 Cukup Jelas Pasal 5 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Dalam hal menggunakan sarana lain selain BI-SSSS, Bank Indonesia akan memberitahukan sebelumnya kepada Menteri dan peserta lelang. Pasal 6 Cukup jelas Pasal 7 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan setelmen SBN adalah setelmen yang terdiri dari setelmen surat berharga dan/atau setelmen dana. Huruf b … -3- Huruf b Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 8 Penunjukan pihak lain dilakukan dalam rangka menjalankan fungsi sebagai agen penatausaha SBSN berdasarkan permintaan Menteri. Kerjasama dengan pihak lain antara lain dilakukan dalam rangka penatausahaan SBN melalui BI-SSSS. Pasal 9 Ayat (1) Yang dimaksud dengan book entry adalah pencatatan kepemilikan dan perpindahan kepemilikan surat berharga tanpa warkat (scripless) dalam suatu jurnal elektronis. Ayat (2) Cukup jelas Pasal 10 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Huruf a Setelmen transaksi SBN dengan Pemerintah mencakup setelmen hasil lelang pembelian kembali (buyback) SBN di Pasar Sekunder, transaksi Fasilitas Peminjaman SBN bagi Dealer Utama dan transaksi lainnya sesuai ketentuan Menteri. Huruf b … -4- Huruf b Setelmen transaksi SBN yang dilakukan antar pelaku pasar mencakup antara lain setelmen transaksi jual beli putus (outright), jual beli secara bersyarat (repo dan reverse repo), pinjam meminjam surat berharga (securities borrowing and lending) dan pencatatan agunan (pledge). Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Pasal 11 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Yang dimaksud dengan setelmen gross to gross adalah setelmen SBN dimana setelmen surat berharga dan setelmen dana dilakukan berdasarkan transaksi per transaksi (trade by trade). Yang dimaksud dengan setelmen gross to net adalah setelmen SBN dimana setelmen surat berharga dilakukan secara transaksi per transaksi (trade by trade) sedangkan setelmen dana secara netting system. Ayat (3) Cukup jelas Pasal 12 Bank pembayar ditunjuk oleh peserta transaksi SBN yang tidak memiliki rekening di Bank Indonesia untuk melakukan setelmen dana. Pasal 13 … -5- Pasal 13 Cukup jelas Pasal 14 Cukup jelas Pasal 15 Cukup jelas Pasal 16 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Kecukupan dana pada rekening giro rupiah Pemerintah di Bank Indonesia merupakan satu kesatuan dari dana yang disediakan oleh Pemerintah untuk pembayaran bunga (kupon)/imbalan dan/atau pelunasan pokok/nilai nominal SBN dan dana yang disediakan Pemerintah untuk keperluan lainnya. Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas Pasal 17 Ayat (1) Huruf a Biaya … -6- Biaya pelaksanaan lelang SBN adalah biaya transaksi yang dikenakan kepada Peserta Lelang SBN yang mengikuti lelang SBN. Huruf b Biaya penatausahaan SBN antara lain berupa biaya transaksi dan biaya setelmen SBN serta biaya permohonan informasi terkait transaksi SBN. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 18 Laporan antara lain berisi jumlah SBN yang diterbitkan, posisi kepemilikan SBN, bunga (kupon)/imbalan dan/atau pokok/nilai nominal yang dibayarkan, dan data transaksi perdagangan SBN. Pasal 19 Cukup jelas. Pasal 20 Cukup jelas Pasal 21 Cukup jelas TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4888
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 10/13/PBI/2008 </reg_id> <reg_title> LELANG DAN PENATAUSAHAAN SURAT BERHARGA NEGARA </reg_title> <set_date> 21 Agustus 2008 </set_date> <effective_date> 21 Agustus 2008 </effective_date> <issued_date> 21 Agustus 2008 </issued_date> <replaced_reg> '9/3/PBI/2007' </replaced_reg> <related_reg> '21/UU/2008', '19/UU/2008', '23/UU/1999', '3/UU/2004', '7/UU/1992', '24/UU/2002', '10/UU/1998' </related_reg>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 5/ 19 /PBI/2003 TENTANG PERLAKUAN KHUSUS TERHADAP KREDIT ATAU PEMBIAYAAN BANK PERKREDITAN RAKYAT PASCA TRAGEDI BALI GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dengan terjadinya tragedi di Propinsi Bali, perlu dilakukan berbagai upaya untuk mendukung pemulihan kondisi perekonomian; b. bahwa salah satu upaya untuk mendukung pemulihan kondisi perekonomian adalah dengan memberikan perlakuan khusus terhadap kredit atau pembiayaan Bank Perkreditan Rakyat; c. bahwa sehubungan dengan itu dipandang perlu untuk menetapkan ketentuan mengenai perlakuan khusus terhadap kredit atau pembiayaan Bank Perkreditan Rakyat pasca tragedi Bali dalam Peraturan Bank Indonesia; Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3472) sebagaimana telah diubah … - 2 - diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3790); 2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3843); M E M U T U S K A N : Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PERLAKUAN KHUSUS TERHADAP KREDIT ATAU PEMBIAYAAN BANK PERKREDITAN RAKYAT PASCA TRAGEDI BALI Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan: 1. Bank adalah Bank Perkreditan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 10 Tahun 1998 yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional maupun berdasarkan Prinsip Syariah; 2. Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara Bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga. 3. Pembiayaan … - 3 - 3. Pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah adalah penyediaan uang atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil. Pasal 2 (1) Perlakuan khusus terhadap Kredit atau Pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah Bank pasca tragedi Bali hanya diberlakukan terhadap Kredit atau Pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah yang diselamatkan. (2) Kredit atau Pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah yang diselamatkan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dilakukan dengan cara : a. Penjadualan kembali (rescheduling ), yaitu perubahan syarat Kredit atau Pembiayaan yang hanya menyangkut jadual pembayaran dan atau jangka waktunya; b. Persyaratan kembali (reconditioning), yaitu perubahan sebagian atau seluruh syarat-syarat Kredit atau Pembiayaan yang tidak terbatas pada perubahan jadual pembayaran, jangka waktu, dan atau persyaratan lainnya sepanjang tidak menyangkut perubahan maksimum saldo Kredit atau Pembiayaan; atau c. Penataan kembali (restructuring), yaitu perubahan syarat-syarat Kredit atau Pembiayaan yang menyangkut : 1) Penambahan dana bank, dan atau 2) Konversi seluruh atau sebagian tunggakan bunga menjadi Kredit baru, yang dapat disertai dengan penjadualan kembali dan atau persyaratan kembali. Pasal 3 … - 4 - Pasal 3 (1) Penggolongan kualitas Kredit atau Pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah yang diselamatkan dapat ditetapkan menjadi Lancar dalam jangka waktu 1 (satu) tahun. (2) Penggolongan kualitas Kredit atau Pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah yang diselamatkan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya berlaku untuk Kredit atau Pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah yang memenuhi persyaratan sebagai berikut : a. disalurkan kepada nasabah debitur yang dibiayai oleh Bank dan memiliki usaha produktif dengan lokasi proyek atau lokasi usaha di Propinsi Bali; b. memiliki kualitas Lancar sebelum terjadinya tragedi Bali; dan c. mengalami kesulitan pembayaran pokok dan/atau bunga Kredit atau margin/bagi hasil Pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah yang disebabkan dampak dari tragedi Bali. Pasal 4 … - 5 - Pasal 4 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan dan mempunyai daya laku surut sejak tanggal 20 Desember 2002. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 10 September 2003 GUBERNUR BANK INDONESIA Ttd BURHANUDDIN ABDULLAH LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2003 NOMOR 103 DPBPR/BPS PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 5/ 19 /PBI/2003 TENTANG PERLAKUAN KHUSUS TERHADAP KREDIT ATAU PEMBIAYAAN BANK PERKREDITAN RAKYAT PASCA TRAGEDI BALI UMUM Peristiwa tragedi Bali pada tanggal 12 Oktober 2002 memberikan dampak pada perekonomian Indonesia khususnya di Propinsi Bali. Nasabah debitur yang terkena dampak tragedi Bali diperkirakan mengalami kesulitan dalam melunasi kewajibannya sesuai dengan perjanjian kredit. Sehubungan dengan itu, maka Bank Indonesia memandang perlu untuk memberikan perlakukan khusus terhadap kredit atau pembiayaan BPR dalam rangka memberikan kesempatan bagi nasabah debitur untuk melakukan perbaikan usaha guna mendukung pemulihan perekonomian di Propinsi Bali. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Angka 1 Cukup jelas Angka 2 Cukup jelas Angka 3 … - 2 - Angka 3 Cukup jelas Pasal 2 Ayat (1) Kredit atau Pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah yang diselamatkan adalah kredit atau Pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah yang semula tergolong diragukan atau macet kemudian diusahakan untuk diperbaiki sebagaimana dicantumkan dalam akad penyelamatan kredit atau pembiayaan. Ayat (2) Cukup jelas Pasal 3 Ayat (1) Jangka waktu 1 (satu) tahun dihitung sejak tanggal diberlakukannya Peraturan Bank Indonesia ini. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 4 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4321 DPBPR/BPS - 3 -
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 5/19/PBI/2003 </reg_id> <reg_title> PERLAKUAN KHUSUS TERHADAP KREDIT ATAU PEMBIAYAAN BANK PERKREDITAN RAKYAT PASCA TRAGEDI BALI </reg_title> <set_date> 10 September 2003 </set_date> <effective_date> 10 September 2003 dan mempunyai daya laku surut sejak tanggal 20 Desember 2002 </effective_date> <related_reg> '23/UU/1999', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 11/23/PBI/2009 TENTANG BANK PEMBIAYAAN RAKYAT SYARIAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa perekonomian nasional perlu memiliki sistem perbankan syariah yang dapat melayani seluruh lapisan masyarakat termasuk kepada pengusaha menengah, kecil dan mikro; b. bahwa untuk meningkatkan pelayanan jasa perbankan syariah kepada usaha menengah, kecil dan mikro secara optimal, Bank Pembiayaan Rakyat Syariah harus sehat dan tangguh (sustainable); c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b maka diperlukan penyesuaian terhadap ketentuan mengenai Bank Pembiayaan Rakyat Syariah dalam suatu Peraturan Bank Indonesia. Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 142, Tambahan Lembaran ... -2- Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4901) sebagaimana telah ditetapkan dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962); 2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867); 3. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 106, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4756); MEMUTUSKAN: Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG BANK PEMBIAYAAN RAKYAT SYARIAH. BAB I ... -3- BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan: 1. Bank Pembiayaan Rakyat Syariah yang selanjutnya disebut BPRS adalah Bank Pembiayaan Rakyat Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah; 2. Kantor Cabang adalah kantor BPRS yang bertanggungjawab kepada kantor pusat BPRS yang bersangkutan dengan alamat tempat usaha yang jelas sesuai dengan lokasi Kantor Cabang tersebut melakukan usahanya; 3. Kantor Kas adalah kantor yang kegiatan usahanya melakukan pelayanan kas dalam rangka membantu kantor induknya; 4. Kegiatan Kas di luar Kantor adalah kegiatan kas dalam rangka melayani nasabah BPRS meliputi antara lain: a. Kas Keliling yaitu kegiatan pelayanan kas secara berpindah- pindah dengan menggunakan alat transportasi atau pada lokasi tertentu secara tidak permanen, antara lain kas mobil, kas terapung atau counter bank non permanen; b. Payment Point yaitu kegiatan dalam bentuk penerimaan pembayaran melalui kerjasama antara BPRS dengan pihak lain pada suatu lokasi tertentu, seperti untuk penerimaan pembayaran tagihan telepon, tagihan listrik dan/atau penerimaan setoran dari pihak ketiga; dan c. Anjungan Tunai Mandiri (ATM) yaitu kegiatan kas atau non kas ... -4- kas yang dilakukan secara elektronis untuk memudahkan nasabah antara lain dalam rangka menarik atau menyetor secara tunai atau melakukan pembayaran melalui pemindahbukuan, transfer antar bank dan/atau memperoleh informasi mengenai saldo/mutasi rekening nasabah, termasuk ATM yang dilakukan dengan pemanfaatan teknologi melalui kerja sama dengan pihak lain; 5. Prinsip Syariah adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan perbankan syariah berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional – Majelis Ulama Indonesia; 6. Dewan Komisaris adalah Dewan Komisaris sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas; 7. Direksi adalah Direksi sebagaimana dimaksud dalam Undang- undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas; 8. Dewan Pengawas Syariah yang selanjutnya disebut DPS adalah dewan yang bertugas memberikan nasihat dan saran kepada Direksi serta mengawasi kegiatan BPRS agar sesuai dengan Prinsip Syariah; 9. Pejabat Eksekutif adalah pemimpin Kantor Cabang yang bertanggung jawab langsung kepada Direktur BPRS dan/atau mempunyai pengaruh terhadap kebijakan dan operasional BPRS; 10. Pemegang Saham Pengendali yang selanjutnya disebut PSP adalah badan hukum, orang perseorangan, dan/atau kelompok usaha yang: a. memiliki saham BPRS sebesar 25% (dua puluh lima persen) atau ... -5- atau lebih dari jumlah saham yang dikeluarkan dan memperoleh hak suara; atau b. memiliki saham BPRS kurang dari 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah saham yang dikeluarkan dan mempunyai hak suara, tetapi yang bersangkutan dapat dibuktikan telah melakukan pengendalian BPRS baik secara langsung maupun tidak langsung; 11. Hari adalah hari kalender. Pasal 2 Bentuk badan hukum BPRS adalah Perseroan Terbatas. Pasal 3 BPRS harus memiliki anggaran dasar yang selain memenuhi persyaratan anggaran dasar sebagaimana diatur dalam ketentuan perundang-undangan juga harus memuat ketentuan bahwa: a. calon anggota Dewan Komisaris, calon anggota Direksi dan calon anggota DPS diangkat oleh rapat umum pemegang saham; b. pengangkatan anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi dan anggota DPS berlaku efektif setelah mendapat persetujuan Bank Indonesia; c. tugas, wewenang, tanggung jawab dan hal-hal lain yang terkait dengan persyaratan Dewan Komisaris, Direksi dan DPS harus sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; d. rapat umum pemegang saham BPRS harus menetapkan remunerasi ... -6- remunerasi anggota Dewan Komisaris dan Direksi, laporan pertanggungjawaban tahunan, penunjukan dan biaya jasa akuntan publik, dan hal-hal lainnya yang ditetapkan dalam ketentuan Bank Indonesia; dan e. rapat umum pemegang saham harus dipimpin oleh Komisaris Utama. BAB II PERIZINAN Bagian Pertama Pendirian BPRS Pasal 4 (1) BPRS hanya dapat didirikan dan melakukan kegiatan usaha setelah memperoleh izin Bank Indonesia. (2) Pemberian izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam 2 (dua) tahap: a. persetujuan prinsip, yaitu persetujuan untuk melakukan persiapan pendirian BPRS; dan b. izin usaha, yaitu izin untuk melakukan kegiatan usaha BPRS setelah persiapan sebagaimana dimaksud dalam huruf a selesai dilakukan. Pasal 5 Modal disetor BPRS paling kurang sebesar: a. Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) untuk BPRS yang didirikan ... -7- didirikan di wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta Raya dan Kabupaten/Kota Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi; b. Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) untuk BPRS yang didirikan di wilayah ibukota propinsi di luar wilayah tersebut pada huruf a di atas; c. Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) untuk BPRS yang didirikan di luar wilayah tersebut pada huruf a dan huruf b di atas. Pasal 6 BPRS hanya dapat didirikan dan/atau dimiliki oleh: a. warga negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia yang seluruh pemiliknya warga negara Indonesia; b. pemerintah daerah; atau c. dua pihak atau lebih sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b. Bagian Kedua Persetujuan Prinsip Pasal 7 (1) Permohonan persetujuan prinsip pendirian BPRS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf a diajukan paling kurang oleh salah satu calon pemilik BPRS disertai dengan antara lain: a. akta pendirian atau rancangan akta pendirian badan hukum Perseroan Terbatas (PT), termasuk anggaran dasar atau rancangan ... -8- rancangan anggaran dasar; b. daftar pemegang saham berikut rincian besarnya masing- masing kepemilikan saham; c. daftar calon anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi dan anggota DPS disertai dengan dokumen yang akan diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia; d. studi kelayakan mengenai potensi ekonomi dan peluang pasar; e. rencana bisnis (business plan); dan f. bukti setoran modal paling kurang 30% (tiga puluh persen) dari modal disetor minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5. (2) Calon pemilik BPRS harus memberikan penjelasan mengenai sumber dana, rencana dan tujuan pendirian serta kemampuan keuangan dalam rangka memelihara solvabilitas dan pertumbuhan BPRS. Pasal 8 (1) Persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) berlaku untuk jangka waktu 1 (satu) tahun terhitung sejak tanggal persetujuan prinsip diberikan dan tidak dapat diperpanjang. (2) Pihak yang telah mendapat persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang melakukan kegiatan usaha sebelum mendapat izin usaha. (3) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) calon ... -9- (1) calon pemilik BPRS belum mengajukan permohonan izin usaha kepada Bank Indonesia, maka persetujuan prinsip yang telah diberikan menjadi tidak berlaku. Bagian Ketiga Izin Usaha Pasal 9 Permohonan untuk mendapatkan izin usaha BPRS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf b, diajukan oleh pihak yang telah mendapat persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) disertai dengan, antara lain: a. akta pendirian badan hukum Perseroan Terbatas (PT), yang memuat anggaran dasar yang telah disahkan oleh instansi berwenang; b. daftar pemegang saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf b, dalam hal terjadi perubahan pemegang saham; c. daftar calon anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi dan anggota DPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf c, dalam hal terjadi perubahan calon anggota Dewan Komisaris, Direksi dan/atau DPS; dan d. bukti pemenuhan modal disetor minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5. Pasal 10 ... -10- Pasal 10 (1) BPRS yang telah mendapat izin usaha dari Bank Indonesia wajib melaksanakan kegiatan usaha paling lambat 60 (enam puluh) hari terhitung sejak tanggal izin usaha diberikan. (2) Pelaksanaan kegiatan usaha BPRS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilaporkan oleh Direksi BPRS kepada Bank Indonesia paling lambat 10 (sepuluh) hari terhitung sejak tanggal pelaksanaan kegiatan usaha. (3) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) BPRS belum melakukan kegiatan usaha, maka izin usaha BPRS yang telah diberikan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 11 BPRS yang telah mendapat izin usaha dari Bank Indonesia wajib mencantumkan secara jelas frase “Bank Pembiayaan Rakyat Syariah” atau “BPR Syariah” atau “BPRS” pada penulisan namanya dan logo iB pada kantor BPRS yang bersangkutan. BAB III KEPEMILIKAN DAN PERUBAHAN MODAL Bagian Pertama Kepemilikan Pasal 12 Kepemilikan BPRS oleh badan hukum Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 paling tinggi sebesar modal bersih badan hukum ... -11- hukum yang bersangkutan. Pasal 13 Sumber dana yang digunakan dalam rangka kepemilikan BPRS dilarang: a. berasal dari pinjaman atau fasilitas pembiayaan dalam bentuk apapun dari bank dan/atau pihak lain; dan/atau b. berasal dari dan untuk tujuan pencucian uang (money laundering). Pasal 14 (1) Pihak-pihak yang dapat menjadi pemilik BPRS harus memenuhi persyaratan integritas, yang paling kurang mencakup: a. memiliki akhlak dan moral yang baik; b. memiliki komitmen untuk mematuhi peraturan perbankan syariah dan peraturan perundang-undangan yang berlaku; dan c. memiliki komitmen yang tinggi terhadap pengembangan BPRS yang sehat dan tangguh (sustainable). (2) BPRS wajib memiliki PSP. (3) Pemegang saham yang ditunjuk sebagai PSP sebagaimana dimaksud pada ayat (2), selain memenuhi persyaratan integritas sebagaimana pada ayat (1) juga harus memenuhi persyaratan kelayakan keuangan. Bagian ... -12- Bagian Kedua Perubahan Kepemilikan Pasal 15 (1) Perubahan kepemilikan BPRS yang mengakibatkan perubahan dan/atau terjadinya PSP baru, tunduk kepada tatacara perubahan pemilik BPRS yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang- undangan yang berlaku mengenai penggabungan (merger), peleburan (konsolidasi), dan pengambilalihan (akuisisi). (2) Perubahan kepemilikan BPRS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebagai akibat adanya pewarisan tidak diperlakukan sebagai akuisisi namun tetap wajib memperoleh persetujuan dari Bank Indonesia. (3) Perubahan kepemilikan BPRS yang tidak mengakibatkan perubahan dan/atau terjadinya PSP baru wajib dilaporkan oleh Direksi BPRS kepada Bank Indonesia paling lambat 10 (sepuluh) hari setelah perubahan. Bagian Ketiga Perubahan Modal Dasar Pasal 16 Perubahan modal dasar wajib dilaporkan oleh Direksi BPRS kepada Bank Indonesia paling lambat 10 (sepuluh) hari setelah tanggal diterimanya persetujuan perubahan anggaran dasar dari instansi berwenang. Pasal 17 ... -13- Pasal 17 Pembelian kembali saham yang telah dikeluarkan oleh BPRS wajib memperoleh persetujuan terlebih dahulu dari Bank Indonesia dan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Pasal 18 BPRS wajib mengadministrasikan dengan tertib daftar pemegang saham dan perubahannya. BAB IV DEWAN KOMISARIS, DIREKSI, DEWAN PENGAWAS SYARIAH DAN PEJABAT EKSEKUTIF Bagian Kesatu Dewan Komisaris dan Direksi Pasal 19 Anggota Dewan Komisaris dan anggota Direksi wajib memenuhi dan memelihara integritas, kompetensi dan reputasi keuangan. Pasal 20 (1) Dewan Komisaris melakukan pengawasan atas pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Direksi, serta memberikan nasihat kepada Direksi. (2) Pengawasan dan nasihat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sedemikian rupa sehingga Direksi dapat mengembangkan dan memitigasi risiko atas kegiatan bisnisnya. (3) Dewan ... -14- (3) Dewan Komisaris wajib mendorong Direksi BPRS untuk memenuhi prinsip kehati-hatian dan Prinsip Syariah. Pasal 21 (1) Jumlah anggota Dewan Komisaris paling sedikit 2 (dua) orang dan paling banyak 3 (tiga) orang. (2) Anggota Dewan Komisaris sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit 1 (satu) orang wajib berdomisili di dekat tempat kedudukan BPRS. (3) Dewan Komisaris dipimpin oleh Presiden Komisaris atau Komisaris Utama. Pasal 22 Anggota Dewan Komisaris hanya dapat merangkap jabatan sebagai: a. b. anggota Dewan Komisaris paling banyak pada 2 (dua) BPRS atau Bank Perkreditan Rakyat lain; atau anggota Dewan Komisaris, Direksi, atau Pejabat Eksekutif pada 2 (dua) lembaga/perusahaan lain bukan bank. Pasal 23 (1) Direksi mengelola BPRS sesuai dengan kewenangan dan tanggung jawabnya sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi perbankan syariah. (2) Direksi bertanggungjawab untuk melaksanakan pengelolaan BPRS sebagai lembaga intermediasi dengan memenuhi prinsip kehati-hatian ... -15- kehati-hatian dan Prinsip Syariah. Pasal 24 (1) Jumlah anggota Direksi BPRS paling sedikit 2 (dua) orang. (2) Direksi dipimpin oleh Presiden Direktur atau Direktur Utama. (3) Paling sedikit 50% (lima puluh persen) dari anggota Direksi termasuk Direktur Utama harus berpengalaman operasional paling kurang: a. 2 (dua) tahun sebagai pejabat di bidang pendanaan dan/atau pembiayaan di perbankan syariah; b. 2 (dua) tahun sebagai pejabat di bidang pendanaan dan/atau perkreditan di perbankan konvensional dan memiliki pengetahuan di bidang perbankan syariah; atau c. 3 (tiga) tahun sebagai direksi atau setingkat dengan direksi di lembaga keuangan mikro syariah. (4) Anggota Direksi berpendidikan formal paling kurang setingkat Diploma III atau Sarjana Muda. (5) Anggota Direksi wajib memiliki sertifikasi kelulusan dari lembaga sertifikasi paling lambat 2 (dua) tahun setelah tanggal pengangkatan efektif. (6) Direktur Utama dan anggota Direksi lainnya wajib bersikap independen dalam menjalankan tugasnya. (7) Direktur Utama wajib berasal dari pihak independen terhadap PSP. Pasal 25 ... -16- Pasal 25 (1) Seluruh anggota Direksi wajib berdomisili di sekitar tempat kedudukan kantor pusat BPRS. (2) Anggota Direksi dilarang memiliki hubungan keluarga dengan: a. anggota Direksi lainnya dalam hubungan sebagai orang tua, anak, mertua, besan, menantu, suami, istri, saudara kandung atau ipar; dan/atau b. anggota Dewan Komisaris dalam hubungan sebagai orang tua, anak, mertua, besan, menantu, suami, istri atau saudara kandung. (3) Anggota Direksi dilarang merangkap jabatan sebagai anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, anggota DPS atau Pejabat Eksekutif pada lembaga keuangan, badan usaha atau lembaga lain. (4) Anggota Direksi dilarang memberikan kuasa umum yang mengakibatkan pengalihan tugas, wewenang dan tanggung jawab kepada pihak lain. Pasal 26 (1) Penunjukkan anggota Dewan Komisaris dan/atau anggota Direksi BPRS harus mendapat persetujuan rapat umum pemegang saham. (2) Pengangkatan anggota Dewan Komisaris dan/atau anggota Direksi berlaku efektif setelah mendapat persetujuan dari Bank Indonesia. (3) Pemegang saham dapat mengajukan calon anggota Dewan Komisaris ... -17- Komisaris dan/atau calon anggota Direksi BPRS sebelum rapat umum pemegang saham. (4) Calon anggota Dewan Komisaris dan/atau calon anggota Direksi BPRS sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib diangkat dalam rapat umum pemegang saham paling lambat 45 (empat puluh lima) hari terhitung sejak tanggal persetujuan Bank Indonesia diberikan. (5) Pengangkatan anggota Dewan Komisaris dan/atau anggota Direksi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) wajib dilaporkan oleh BPRS kepada Bank Indonesia paling lambat 10 (sepuluh) hari sejak tanggal rapat umum pemegang saham. Pasal 27 (1) Rencana pemberhentian dan/atau pengunduran diri anggota Dewan Komisaris dan/atau anggota Direksi wajib disampaikan kepada Bank Indonesia. (2) Pemberhentian dan/atau pengunduran diri anggota Dewan Komisaris dan/atau anggota Direksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku efektif setelah mendapat penegasan dari Bank Indonesia. Bagian ... -18- Bagian Kedua Dewan Pengawas Syariah Pasal 28 (1) BPRS wajib membentuk DPS yang berkedudukan di kantor pusat BPRS. (2) Anggota DPS wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. Integritas, yang paling kurang mencakup: 1. memiliki akhlak dan moral yang baik; 2. memiliki komitmen untuk mematuhi peraturan perbankan syariah dan peraturan perundang-undangan yang berlaku; 3. memiliki komitmen yang tinggi pengembangan operasional BPRS yang sehat; 4. terhadap tidak termasuk dalam Daftar Kepatutan dan Kelayakan (Daftar Tidak Lulus) sebagaimana diatur dalam ketentuan mengenai uji kemampuan dan kepatutan (fit and proper test) yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. b. Kompetensi, yang paling kurang memiliki pengetahuan dan pengalaman di bidang syariah mu’amalah dan pengetahuan di bidang perbankan dan/atau keuangan secara umum; dan c. Reputasi keuangan, yang paling kurang mencakup: 1. tidak termasuk dalam daftar kredit macet; 2. tidak pernah dinyatakan pailit atau menjadi pemegang saham, anggota Dewan Komisaris atau anggota Direksi yang dinyatakan bersalah menyebabkan suatu perseroan dinyatakan pailit, dalam waktu 5 (lima) tahun ... -19- tahun terakhir sebelum dicalonkan. Pasal 29 (1) DPS bertugas dan bertanggungjawab memberikan nasihat dan saran kepada Direksi serta mengawasi penerapan Prinsip Syariah dalam penghimpunan dana, pembiayaan dan kegiatan jasa BPRS lainnya. (2) Pelaksanaan tugas dan tanggung jawab DPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi antara lain: a. mengawasi proses pengembangan produk baru BPRS; b. meminta fatwa kepada Dewan Syariah Nasional untuk produk baru BPRS yang belum ada fatwanya. c. melakukan review secara berkala terhadap mekanisme penghimpunan dana dan penyaluran dana serta pelayanan jasa BPRS; dan d. meminta data dan informasi terkait dengan aspek syariah dari satuan kerja BPRS dalam rangka pelaksanan tugasnya. (3) Pedoman pelaksanaan tugas dan tanggung jawab DPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) akan diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 30 (1) Jumlah anggota DPS paling sedikit 2 (dua) orang dan paling banyak 3 (tiga) orang. (2) DPS dipimpin oleh seorang ketua yang berasal dari salah satu anggota DPS. (3) Anggota ... -20- (3) Anggota DPS dapat merangkap jabatan sebagai anggota DPS paling banyak pada 4 (empat) lembaga keuangan syariah lain. Pasal 31 (1) Penunjukkan anggota DPS harus mendapat persetujuan rapat umum pemegang saham. (2) Penunjukkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah mendapat rekomendasi Dewan Syariah Nasional - Majelis Ulama Indonesia. (3) Pengangkatan anggota DPS berlaku efektif setelah mendapat persetujuan dari Bank Indonesia. Pasal 32 (1) Rencana pemberhentian dan/atau pengunduran diri anggota DPS wajib disampaikan kepada Bank Indonesia. (2) Pemberhentian dan/atau pengunduran diri anggota DPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku efektif setelah mendapat penegasan dari Bank Indonesia. Bagian Ketiga Pejabat Eksekutif Pasal 33 (1) Pengangkatan, penggantian atau pemberhentian Pejabat Eksekutif BPRS wajib dilaporkan oleh Direksi BPRS kepada Bank Indonesia paling lambat 10 (sepuluh) hari terhitung sejak tanggal ... -21- tanggal pengangkatan, penggantian atau pemberhentian efektif. (2) Apabila menurut penilaian dan penelitian Bank Indonesia, Pejabat Eksekutif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Daftar Kepatutan dan Kelayakan (Daftar Tidak Lulus), Daftar Kredit Macet atau terdapat informasi lain yang menunjukkan tidak terpenuhinya aspek integritas dan kompetensi, maka pengangkatan Pejabat Eksekutif tersebut wajib dibatalkan paling lambat 30 (tiga puluh) hari setelah tanggal surat penegasan dari Bank Indonesia. BAB V KEGIATAN USAHA Pasal 34 BPRS wajib melaksanakan kegiatan usaha sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Perbankan Syariah dengan menerapkan Prinsip Syariah dan prinsip kehati-hatian. BAB VI PEMBUKAAN KANTOR BPRS Bagian Pertama Kantor Cabang Pasal 35 (1) Pembukaan Kantor Cabang hanya dapat dilakukan dengan izin Bank Indonesia. (2) Pembukaan Kantor Cabang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus ... -22- harus memenuhi persyaratan paling kurang: a. berlokasi dalam 1 (satu) wilayah propinsi yang sama dengan kantor pusatnya; b. telah tercantum dalam rencana kerja tahunan BPRS; c. didukung dengan teknologi sistem informasi yang memadai; dan d. menambah modal disetor paling kurang sebesar 75% (tujuh puluh lima persen) dari ketentuan modal minimal BPRS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 sesuai dengan lokasi pembukaan Kantor Cabang. (3) Khusus untuk BPRS yang berkantor pusat di wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta Raya dan Kabupaten/Kota Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi, selain dapat membuka Kantor Cabang di wilayah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, juga dapat membuka Kantor Cabang di wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta Raya dan Kabupaten/Kota Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi. Pasal 36 (1) Pelaksanaan pembukaan Kantor Cabang wajib dilakukan paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal izin diterbitkan. (2) Pelaksanaan pembukaan Kantor Cabang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilaporkan oleh Direksi BPRS kepada Bank Indonesia paling lambat 10 (sepuluh) hari setelah tanggal pembukaan. (3) Apabila ... -23- (3) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) BPRS tidak melaksanakan pembukaan Kantor Cabang, maka izin pembukaan Kantor Cabang yang telah diberikan menjadi tidak berlaku. Bagian Kedua Kantor Kas dan Kegiatan Kas di luar Kantor Pasal 37 (1) Rencana pembukaan Kantor Kas dan Kegiatan Kas di luar Kantor harus dicantumkan dalam rencana kerja tahunan BPRS. (2) Pembukaan Kantor Kas dan Kegiatan Kas di luar Kantor hanya dapat dilakukan di wilayah sekitar kantor BPRS yang menjadi induknya. (3) Laporan keuangan Kantor Kas dan transaksi keuangan yang dilakukan dalam Kegiatan Kas di luar Kantor wajib digabungkan dengan laporan keuangan kantor BPRS yang menjadi induknya pada hari yang sama. Pasal 38 Pelaksanaan pembukaan Kantor Kas wajib dilaporkan oleh Direksi BPRS kepada Bank Indonesia paling lambat 10 (sepuluh) setelah tanggal pembukaan. Pasal 39 (1) Pembukaan Kegiatan Kas di luar Kantor wajib dilaporkan oleh Direksi ... -24- Direksi BPRS kepada Bank Indonesia secara semesteran untuk posisi akhir bulan Juni dan Desember. (2) Laporan pembukaan Kegiatan Kas di luar Kantor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disampaikan paling lambat 10 (sepuluh) hari setelah akhir bulan laporan. BAB VII PEMINDAHAN ALAMAT KANTOR Bagian Kesatu Kantor Pusat dan Kantor Cabang Pasal 40 (1) Pemindahan alamat kantor pusat dan Kantor Cabang hanya dapat dilakukan dengan izin Bank Indonesia. (2) Pemindahan alamat kantor pusat dan Kantor Cabang hanya dapat dilakukan dalam wilayah Kabupaten/Kota yang sama. (3) Pemindahan alamat kantor pusat dan Kantor Cabang harus mempertimbangkan kepentingan nasabah. Pasal 41 (1) Pemindahan alamat kantor pusat dan Kantor Cabang wajib diumumkan kepada nasabah dan masyarakat paling lambat 10 (sepuluh) hari sebelum pelaksanaan pemindahan alamat kantor. (2) Pelaksanaan pemindahan alamat kantor pusat dan Kantor Cabang wajib dilaporkan oleh Direksi BPRS kepada Bank Indonesia paling lambat 10 (sepuluh) hari setelah tanggal pelaksanaan ... -25- pelaksanaan pemindahan alamat. (3) Apabila dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal izin diberikan, BPRS tidak melaksanakan pemindahan alamat kantor, maka izin pemindahan alamat kantor pusat dan Kantor Cabang yang telah diberikan akan ditinjau kembali. Bagian Kedua Kantor Kas dan Kegiatan Kas di luar Kantor Pasal 42 (1) Pemindahan alamat Kantor Kas dan Kegiatan Kas di luar Kantor hanya dapat dilakukan di wilayah sekitar kantor BPRS yang menjadi induknya. (2) Pemindahan alamat Kantor Kas dan Kegiatan Kas di luar Kantor harus mempertimbangkan kepentingan nasabah. Pasal 43 (1) Pemindahan alamat Kantor Kas wajib diumumkan kepada nasabah dan masyarakat paling lambat 10 (sepuluh) hari sebelum tanggal pelaksanaan. (2) Pelaksanaan pemindahan alamat Kantor Kas wajib dilaporkan oleh Direksi BPRS paling lambat 10 (sepuluh) hari setelah tanggal pelaksanaan. Pasal 44 (1) Pemindahan alamat Kegiatan Kas di luar Kantor wajib dilaporkan ... -26- dilaporkan oleh Direksi BPRS kepada Bank Indonesia secara semesteran untuk posisi akhir bulan Juni dan Desember. (2) Laporan pemindahan alamat Kegiatan Kas di luar Kantor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disampaikan paling lambat 10 (sepuluh) hari setelah akhir bulan laporan. BAB VIII PENUTUPAN KANTOR Bagian Kesatu Kantor Cabang Pasal 45 Penutupan Kantor Cabang hanya dapat dilakukan dengan izin Bank Indonesia. Pasal 46 (1) BPRS yang telah memperoleh izin penutupan Kantor Cabang wajib untuk: a. menyelesaikan seluruh kewajiban Kantor Cabang; b. mengumumkan rencana penutupan Kantor Cabang kepada nasabah dan masyarakat paling lambat 3 (tiga) hari sebelum tanggal pelaksanaan penutupan; dan c. menghentikan seluruh kegiatan usaha pada Kantor Cabang dimaksud. (2) Pelaksanaan penutupan Kantor Cabang wajib dilaporkan oleh Direksi BPRS paling lambat 10 (sepuluh) hari setelah tanggal pelaksanaan ... -27- pelaksanaan. Bagian Kedua Kantor Kas dan Kegiatan Kas di luar Kantor Pasal 47 Pelaksanaan penutupan Kantor Kas wajib dilaporkan oleh Direksi BPRS paling lambat 10 (sepuluh) hari setelah tanggal penutupan. Pasal 48 (1) Penutupan Kegiatan Kas di luar Kantor wajib dilaporkan oleh Direksi BPRS kepada Bank Indonesia secara semesteran untuk posisi akhir bulan Juni dan Desember. (2) Laporan penutupan Kegiatan Kas di luar Kantor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disampaikan paling lambat 10 (sepuluh) hari setelah akhir bulan laporan. BAB IX PERUBAHAN ANGGARAN DASAR DAN NAMA Bagian Kesatu Perubahan Anggaran Dasar Pasal 49 BPRS wajib melaporkan setiap perubahan anggaran dasar BPRS paling lambat 10 (sepuluh) hari setelah diterimanya persetujuan atau penerimaan pemberitahuan perubahan anggaran dasar dari instansi yang berwenang. Bagian ... -28- Bagian Kedua Perubahan Nama Pasal 50 (1) Perubahan nama BPRS wajib dilakukan dengan memenuhi ketentuan perundang-undangan yang berlaku. (2) BPRS yang telah memperoleh persetujuan perubahan anggaran dasar terkait penggunaan nama baru dari instansi berwenang wajib mengajukan permohonan mengenai penetapan penggunaan izin usaha yang dimiliki untuk BPRS dengan nama yang baru. (3) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diajukan oleh Direksi BPRS paling lambat 30 (tiga puluh) hari setelah perubahan nama mendapat persetujuan dari instansi berwenang. Pasal 51 Pelaksanaan perubahan nama BPRS wajib diumumkan dalam surat kabar harian lokal atau pada papan pengumuman di kantor kecamatan setempat dan kantor BPRS paling lambat 10 (sepuluh) hari setelah tanggal persetujuan Bank Indonesia. BAB X PENCABUTAN IZIN USAHA ATAS PERMINTAAN BPRS Pasal 52 Bank Indonesia dapat mencabut izin usaha BPRS atas permintaan BPRS. Pasal 53 ... -29- Pasal 53 (1) BPRS yang telah memperoleh persetujuan pencabutan izin usaha wajib untuk: a. menghentikan seluruh kegiatan usaha BPRS; b. mengumumkan kepada nasabah dan masyarakat paling lambat 10 (sepuluh) hari sejak tanggal surat persetujuan persiapan pencabutan izin usaha BPRS; dan c. segera menyelesaikan seluruh hak dan kewajiban BPRS. (2) Pelaksanaan penghentian kegiatan BPRS wajib dilaporkan oleh Direksi BPRS paling lambat 10 (sepuluh) hari setelah tanggal penghentian. Pasal 54 Status badan hukum BPRS berakhir sejak tanggal pengumuman berakhirnya badan hukum BPRS dalam Berita Negara Republik Indonesia. BAB XI KANTOR BPRS TIDAK BEROPERASI PADA HARI KERJA Pasal 55 Penutupan sementara kantor BPRS di luar hari libur resmi wajib memperoleh persetujuan dari Bank Indonesia. Pasal 56 ... -30- Pasal 56 (1) BPRS wajib mengajukan persetujuan atas rencana untuk tidak beroperasi pada hari kerja paling lambat 15 (lima belas) hari sebelum tanggal tidak beroperasi. (2) Rencana kantor BPRS untuk tidak beroperasi pada hari kerja wajib diumumkan kepada masyarakat paling lambat 3 (tiga) hari sebelum tanggal tidak beroperasi. BAB XII PENCANTUMAN STATUS DAN LOGO PADA KANTOR BPRS Pasal 57 (1) BPRS wajib mencantumkan secara jelas nama dan jenis status kantor pada masing-masing kantornya. (2) BPRS wajib mencantumkan logo iB pada formulir, warkat, produk dan kantor serta Kegiatan Kas di luar Kantor BPRS. BAB XIII S A N K S I Pasal 58 (1) BPRS yang tidak memenuhi ketentuan dalam Pasal 6, Pasal 10 ayat (1), Pasal 11, Pasal 13, Pasal 14 ayat (2), Pasal 15 ayat (2), Pasal 17, Pasal 18, Pasal 19, Pasal 20 ayat (3), Pasal 21 ayat (2), Pasal 22, Pasal 24 ayat (5), ayat (6) dan ayat (7), Pasal 25, Pasal 26 ayat (4), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28, Pasal 32 ayat (1), Pasal 33 ayat (2), Pasal 34, Pasal 35 ayat (1), Pasal 36 ayat (1), Pasal 37 ... -31- 37 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 39 ayat (1), Pasal 40 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 42 ayat (1), Pasal 44 ayat (1), Pasal 45, Pasal 46 ayat (1), Pasal 48 ayat (1), Pasal 50, Pasal 53 ayat (1), Pasal 55, Pasal 56 ayat (1), Pasal 57, Pasal 59 ayat (3) dan ayat (4), dan Pasal 60 dapat dikenakan sanksi administratif sesuai Pasal 58 Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. (2) BPRS yang tidak memenuhi ketentuan dalam Pasal 10 ayat (2), Pasal 15 ayat (3), Pasal 16, Pasal 26 ayat (5), Pasal 33 ayat (1), Pasal 36 ayat (2), Pasal 38, Pasal 39 ayat (2), Pasal 41 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 43, Pasal 44 ayat (2), Pasal 46 ayat (2), Pasal 47, Pasal 48 ayat (2), Pasal 49, Pasal 51, Pasal 53 ayat (2) dan Pasal 56 ayat (2) dapat dikenakan sanksi administratif sesuai Pasal 58 Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, berupa: a. teguran tertulis dan denda uang sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) per hari kerja kelambatan untuk setiap laporan dan/atau pengumuman atau paling banyak sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) untuk setiap laporan dan/atau pengumuman; b. teguran tertulis dan denda uang paling banyak sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) apabila BPRS tidak menyampaikan laporan dan/atau melaksanakan pengumuman. (3) BPRS dinyatakan tidak menyampaikan laporan dan/atau pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b apabila BPRS belum menyampaikan laporan dan/atau melaksanakan ... -32- melaksanakan pengumuman setelah 30 (tiga puluh) hari sejak batas akhir penyampaian laporan dan/atau melaksanakan pengumuman. (4) Pengenaan sanksi teguran tertulis dan denda uang karena tidak menyampaikan laporan dan/atau melaksanakan pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b tidak menghapus kewajiban BPRS untuk menyampaikan laporan dan/atau melaksanakan pengumuman. (5) Setiap pihak yang tidak mentaati ketentuan dalam Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 8 ayat (2), dapat dikenakan sanksi pidana sesuai dengan Pasal 59 Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. BAB XIV KETENTUAN PERALIHAN Pasal 59 (1) Persetujuan prinsip pendirian BPRS yang telah dikeluarkan oleh Bank Indonesia sebelum berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini, dinyatakan tetap berlaku. (2) Persyaratan anggota Direksi paling kurang berpendidikan formal setingkat Diploma III atau Sarjana Muda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (4), dikecualikan bagi anggota Direksi BPRS yang telah disetujui Bank Indonesia dan diangkat sebelum berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini. (3) Anggota DPS yang tidak memenuhi persyaratan rangkap jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (3), wajib menyesuaikan ... -33- menyesuaikan dengan ketentuan tersebut paling lambat 1 (satu) tahun terhitung sejak berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini. (4) BPRS yang telah memiliki izin usaha sebagai BPRS wajib menyesuaikan ketentuan sesuai dengan amanat Undang-Undang Perbankan Syariah. Pasal 60 BPRS yang belum memenuhi persyaratan modal disetor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, wajib memenuhi persyaratan modal disetor dengan ketentuan sebagai berikut: a. paling kurang 70% (tujuh puluh persen) dari jumlah modal disetor yang ditetapkan paling lambat pada tanggal 31 Desember 2010; b. 100% (seratus persen) dari jumlah modal disetor yang ditetapkan paling lambat pada tanggal 31 Desember 2012. BAB XV KETENTUAN PENUTUP Pasal 61 Peraturan pelaksanaan tentang Bank Pembiayaan Rakyat Syariah diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia Pasal 62 ... -34- Pasal 62 Dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini, maka Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/17/PBI/2004 tanggal 1 Juli 2004 tentang Bank Perkreditan Rakyat Berdasarkan Prinsip Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4392) dan Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/25/PBI/2006 tanggal 5 Oktober 2006 tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/17/PBI/2004 tanggal 1 Juli 2004 tentang Bank Perkreditan Rakyat Berdasarkan Prinsip Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4651) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 63 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Agar ... -35- Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 1 Juli 2009 Pjs. GUBERNUR BANK INDONESIA, MIRANDA S. GOELTOM Diundangkan di : Pada tanggal : 1 Juli 2009 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ANDI MATTALATTA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 101 DPbS PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 11 /23/PBI/2009 TENTANG BANK PEMBIAYAAN RAKYAT SYARIAH I. UMUM Dalam rangka mendukung perkembangan perekonomian nasional, maka diperlukan lembaga perbankan yang mampu memberikan layanan secara luas kepada masyarakat. Kebutuhan masyarakat akan adanya lembaga perbankan syariah dirasa cukup tinggi. Untuk memenuhi tuntutan masyarakat tersebut, maka dalam sistem perbankan nasional dimungkinkan adanya pendirian bank syariah yang salah satu jenisnya adalah Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS). Keberadaan BPRS dimaksudkan untuk dapat memberikan layanan perbankan secara cepat, mudah dan sederhana kepada masyarakat khususnya pengusaha menengah, kecil dan mikro baik di perdesaan maupun perkotaan yang selama ini belum terjangkau oleh layanan bank umum. BPRS sebagai salah satu lembaga kepercayaan masyarakat yang kegiatan usahanya berdasarkan Prinsip Syariah, dituntut agar selalu dapat mengemban amanah dari para pemilik dana dengan cara menyalurkannya untuk usaha produktif dalam rangka meningkatkan taraf hidup masyarakat. Dalam menjalankan kegiatan usahanya, BPRS harus selalu memegang teguh prinsip kehati-hatian serta mampu menerapkan Prinsip Syariah secara konsisten, sehingga tercipta BPRS yang sehat yang mampu memberikan layanan terbaik kepada masyarakat. Untuk ... -2- Untuk menciptakan BPRS yang sehat diperlakukan kebijakan yang komprehensif, transparan dan mengandung kepastian hukum, diantaranya berkaitan dengan pengaturan kepemilikan dan permodalan, kepengurusan, perluasan jaringan, serta kegiatan usaha BPRS. Dengan diberlakukannya Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, terdapat beberapa perubahan pengaturan yang terkait dengan kelembagaan dan kegiatan usaha BPRS, sehingga dipandang perlu untuk melakukan penyempurnaan terhadap ketentuan BPRS yang telah ada. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Cukup jelas. Pasal 3 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Pokok-pokok pengaturan tugas Direksi BPRS dalam anggaran dasar antara lain: a. tugas dan tanggung jawab; b. pelaporan.... -3- b. pelaporan; c. perlindungan dalam pelaksanaan tugas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Dalam hal Komisaris Utama berhalangan, maka Rapat Umum Pemegang Saham dapat dipimpin oleh anggota Dewan Komisaris lainnya. Pasal 4 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Pemberian persetujuan prinsip pendirian BPRS diberikan oleh Bank Indonesia berdasarkan pada antara lain: a. penilaian terhadap komitmen calon pemilik BPRS dalam pendirian BPRS; b. analis terhadap studi kelayakan pendirian BPRS; c. analisis yang mencakup antara lain tingkat kejenuhan jumlah BPRS serta pemerataan pembangunan ekonomi nasional; dan d. uji kemampuan dan kepatutan (fit and proper test) terhadap calon PSP, anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris, dan wawancara terhadap calon anggota DPS. Huruf b... -4- Huruf b Pemberian izin usaha pendirian BPRS diberikan oleh Bank Indonesia berdasarkan pada antara lain: a. analis terhadap kesiapan operasional pendirian BPRS; dan b. uji kemampuan dan kepatutan (fit and proper test) terhadap calon PSP, anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris, dan wawancara terhadap calon anggota DPS, apabila terdapat penggantian. Pasal 5 Mengingat kondisi dan perkembangan perekonomian daerah yang berbeda- beda, maka Bank Indonesia dapat meminta calon pemilik BPRS untuk menyediakan modal disetor di atas jumlah minimum yang dipersyaratkan. Pasal 6 Cukup jelas. Pasal 7 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d... -5- Huruf d Cukup jelas. Huruf e Yang dimaksud dengan “rencana bisnis” adalah rencana kegiatan usaha BPRS yang paling kurang memuat: 1. rencana penghimpunan dan penyaluran dana serta strategi pencapaiannya; dan 2. proyeksi neraca bulanan dan laporan laba rugi kumulatif bulanan selama 12 (dua belas) bulan yang dimulai sejak BPRS melakukan kegiatan operasional; Huruf f Cukup jelas. Ayat (2) Hal-hal yang harus dijelaskan melalui presentasi di Bank Indonesia antara lain: a. tujuan dan alasan pendirian BPRS; b. target pasar penghimpunan dan penyaluran dana; c. rencana bisnis jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang; d. sistem teknologi informasi (IT); dan e. struktur organisasi dan personalia. Pasal 8 Cukup jelas. Pasal 9 ... -6- Pasal 9 Cukup jelas. Pasal 10 Cukup jelas. Pasal 11 Contoh : PT Bank Pembiayaan Rakyat Syariah “ABC”; atau PT BPR Syariah “ABC”; atau PT BPRS “ABC”; atau Bank Pembiayaan Rakyat Syariah “ABC”; atau BPR Syariah “ABC”; atau BPRS “ABC”. Pasal 12 Yang dimaksud dengan “modal bersih” adalah: a. penjumlahan dari modal disetor, cadangan umum, cadangan tujuan, laba tahun lalu dan laba tahun berjalan dikurangi penyertaan dan kerugian, untuk badan hukum Perseroan Terbatas/Perusahaan Daerah; b. penjumlahan dari simpanan pokok, simpanan wajib, hibah, modal penyertaan, dana cadangan, dan sisa hasil usaha, dikurangi penyertaan dan kerugian, untuk badan hukum Koperasi; atau c. perhitungan modal bersih atau yang dapat dipersamakan dengan itu sesuai jenis badan hukum yang bersangkutan, untuk badan hukum lainnya. Pasal 13 ... -7- Pasal 13 Huruf a Tidak termasuk dalam pengertian pihak lain adalah Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, atau lembaga yang bertugas untuk melakukan penyelamatan BPRS sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Huruf b Cukup jelas. Pasal 14 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Yang dimaksud dengan “memiliki komitmen yang tinggi” antara lain kesediaan untuk membantu mengembangkan BPRS agar menjadi sehat, tangguh dan berkembang (sustainable). Ayat (2) PSP berfungsi sebagai koordinator pemegang saham untuk mengefektifkan komunikasi antara pemilik bank dengan stakeholder. Dalam hal BPRS tidak memiliki PSP, maka salah satu pemegang saham akan ditunjuk sebagai PSP oleh Bank Indonesia. Ayat (3) ... -8- Ayat (3) Persyaratan dan tata cara penilaian pemenuhan persyaratan PSP mengikuti ketentuan Bank Indonesia mengenai uji kemampuan dan kepatutan (fit and proper test). Pasal 15 Ayat (1) Perubahan kepemilikan BPRS mencakup: a. penggantian pemegang saham; b. penambahan pemegang saham baru; dan/atau c. perubahan komposisi jumlah kepemilikan saham diantara para pemegang saham lama tanpa penggantian maupun penambahan pemegang saham baru; dengan atau tanpa disertai dengan penambahan modal disetor. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “tidak diperlakukan sebagai pengambilalihan (akuisisi)” adalah penggantian PSP yang tidak melalui persyaratan dan tatacara pengambilalihan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ayat (3) Perubahan kepemilikan BPRS mencakup: a. penggantian pemegang saham; b. penambahan pemegang saham baru; dan/atau c. perubahan komposisi jumlah kepemilikan saham diantara para pemegang saham lama tanpa penggantian maupun penambahan pemegang ... -9- pemegang saham baru; dengan atau tanpa disertai dengan penambahan modal disetor. Pasal 16 Cukup jelas. Pasal 17 Cukup jelas. Pasal 18 Cukup jelas. Pasal 19 Persyaratan dan tata cara penilaian pemenuhan persyaratan anggota Dewan Komisaris dan anggota Direksi diatur dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai uji kemampuan dan kepatutan (fit and proper test). Pasal 20 Cukup jelas. Pasal 21 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) ... -10- Ayat (2) Kedekatan domisili komisaris dengan tempat kedudukan BPRS pada prinsipnya dimaksudkan agar Dewan Komisaris dapat melaksanakan tugas secara efektif sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Yang dimaksud dengan “berdomisili di dekat” adalah jarak tempuh dapat dicapai melalui perjalanan darat dan/atau air paling lama dalam waktu 2 (dua) jam, pada kondisi normal. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 22 Anggota Dewan Komisaris tidak dapat merangkap jabatan sebagai anggota Direksi pada BPRS lain, Bank Perkreditan Rakyat dan/atau Bank Umum. Pasal 23 Cukup jelas. Pasal 24 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Huruf a Cukup jelas. Huruf b ... -11- Huruf b Cukup jelas. Huruf c Yang dimaksud dengan “lembaga keuangan mikro syariah” adalah antara lain koperasi simpan pinjam syariah, dan Baitul Maal wa Tamwil (BMT). Ayat (4) Pendidikan setingkat Diploma III atau Sarjana Muda harus dibuktikan dengan ijazah yang diterbitkan oleh perguruan tinggi yang bersangkutan. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Yang dimaksud dengan “bersikap independen” adalah pengambilan keputusan dilakukan secara profesional dan obyektif. Ayat (7) Penilaian independen didasarkan pada keterkaitan yang bersangkutan pada kepengurusan, kepemilikan dan/atau hubungan keuangan dengan seluruh kelompok usaha Pemegang Saham pengendali. Pasal 25 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “berdomisili di dekat” adalah jarak tempuh dapat dicapai melalui perjalanan darat dan/atau air paling lama dalam waktu 2 (dua) jam, pada kondisi normal. Ayat (2) ... -12- Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Anggota Direksi BPRS yang merangkap jabatan sebagai pengurus organisasi/lembaga non profit harus melaporkan kepada Bank Indonesia. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 26 Ayat (1) Dalam kondisi tertentu terhadap calon anggota Dewan Komisaris dan/atau calon anggota Direksi BPRS dapat dilakukan proses uji kemampuan dan kepatutan (fit & proper test) sebelum rapat umum pemegang saham. Ayat (2) Ketentuan ini berlaku juga terhadap peralihan jabatan dari anggota Direksi menjadi anggota Dewan Komisaris atau sebaliknya. Pemberian persetujuan terhadap calon anggota Dewan Komisaris dan/atau calon anggota Direksi diberikan oleh Bank Indonesia berdasarkan pada antara lain: a. penelitian atas kelengkapan dan kebenaran dokumen; dan b. uji kemampuan dan kepatutan (fit and proper test) terhadap calon anggota Dewan Komisaris dan/atau calon anggota Direksi. Ayat (3) Pengajuan calon anggota Dewan Komisaris dan/atau calon anggota Direksi ... -13- Direksi BPRS sebelum rapat umum pemegang saham hanya dapat dilakukan setelah BPRS memberikan penjelasan disertai dengan alasan yang cukup kuat kepada Bank Indonesia. Ayat (4) Calon anggota Dewan Komisaris dan/atau calon anggota Direksi yang tidak diangkat oleh rapat umum pemegang saham dalam jangka waktu 45 (empat puluh lima) hari, maka persetujuan yang telah diberikan oleh Bank Indonesia menjadi tidak berlaku. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 27 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “pemberhentian efektif” adalah tanggal setelah pemberhentian yang bersangkutan mendapat persetujuan dari rapat umum pemegang saham, serah terima jabatan, atau mekanisme lainnya sebagaimana diatur dalam anggaran dasar. Pasal 28 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a ... -14- Huruf a Angka 1 Cukup jelas. Angka 2 Cukup jelas. Angka 3 Yang dimaksud dengan “memiliki komitmen” antara lain kesediaan untuk menyediakan waktu yang cukup kepada BPRS dalam rangka melaksanakan tugasnya secara efektif. Angka 4 Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan ”syariah mu’amalah” adalah hubungan sosial, termasuk kegiatan bisnis, yang sejalan atau didasarkan pada prinsip Syariah. Huruf c Angka 1 Yang dimaksud dengan “daftar kredit macet” adalah daftar kredit macet sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai Sistem Informasi Debitur. Angka 2 Cukup jelas. Pasal 29 ... -15- Pasal 29 Cukup jelas. Pasal 30 Cukup jelas. Pasal 31 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Persetujuan terhadap calon anggota DPS diberikan berdasarkan pada antara lain: a. penilaian terhadap komitmen calon anggota DPS dalam pengawasan BPRS dan ketersediaan waktu; dan b. wawancara terhadap calon anggota DPS. Pasal 32 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “pemberhentian efektif” adalah tanggal setelah pemberhentian yang bersangkutan mendapat persetujuan dari rapat umum pemegang saham, serah terima jabatan, atau mekanisme lainnya ... -16- lainnya sebagaimana diatur dalam anggaran dasar. Pasal 33 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan ”informasi lain yang menunjukkan tidak terpenuhinya aspek integritas” antara lain dilakukan melalui wawancara, pengamatan dan pengujian (interview, observation and test) pada saat pelaksanaan pemeriksaan BPRS, informasi track record yang berasal dari hasil pengawasan Bank Indonesia atau sumber-sumber lainnya. Pasal 34 Cukup jelas. Pasal 35 Ayat (1) Persetujuan atas permohonan pembukaan Kantor Cabang diberikan berdasarkan pada antara lain: a. penilaian terhadap kesiapan operasional Kantor Cabang; b. analisis atas hasil studi kelayakan yang disampaikan oleh BPRS; c. analisis atas kinerja keuangan BPRS, antara lain: 1. rasio... -17- 1. 2. rasio Non Performing Financing (NPF) gross tidak lebih dari 15%; tidak dalam keadaan rugi yang semakin besar; dan 3. memiliki peringkat komposit paling rendah 3 (tiga) selama 2 (dua) periode penilaian terakhir. d. pemenuhan persyaratan modal; dan e. tidak terdapat pelampauan dan/atau pelanggaran Batas Maksimum Penyaluran Dana. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Yang dimaksud dengan “teknologi sistem informasi yang memadai” adalah teknologi sistem informasi yang memungkinkan adanya pencatatan transaksi nasabah di Kantor Cabang secara otomasi dan online dengan kantor lain BPRS. Huruf d Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 36 Cukup jelas. Pasal 37 ... -18- Pasal 37 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “wilayah sekitar” adalah antara lain dalam wilayah Kabupaten/Kota yang sama dengan tempat kedudukan kantor BPRS yang menjadi induknya. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 38 Cukup jelas. Pasal 39 Cukup jelas. Pasal 40 Ayat (1) Persetujuan atas permohonan izin pemindahan alamat kantor pusat dan Kantor Cabang diberikan berdasarkan pertimbangan antara lain: a. alasan pemindahan kantor; b. kesiapan operasional kantor pusat dan Kantor Cabang; dan c. hasil analisis atas kinerja pada lokasi kantor lama dan studi kelayakan usaha pada lokasi kantor yang baru. Ayat (2) ... -19- Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Faktor-faktor yang harus dipertimbangkan antara lain: a. jarak lokasi kantor lama dengan yang baru; b. jumlah nasabah yang telah dibiayai; dan c. infrastruktur penunjang pada lokasi kantor yang baru Pasal 41 Ayat (1) Pengumuman dilakukan dalam surat kabar harian lokal atau dengan menempelkan pengumuman di lokasi kantor yang lama. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan “ditinjau kembali” adalah izin pemindahan dibatalkan apabila BPRS tidak dapat menyampaikan alasan yang relevan atas keterlambatan pelaksanaan pemindahan kantor atau diperpanjang apabila penundaan disebabkan oleh hal-hal yang tidak dapat dihindari (force majeur) oleh BPRS atau pertimbangan lain yang dapat diterima. Pasal 42 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “wilayah sekitar” adalah antara lain dalam wilayah ... -20- wilayah Kabupaten/Kota yang sama dengan tempat kedudukan kantor BPRS yang menjadi induknya. Ayat (2) Faktor-faktor yang harus dipertimbangkan antara lain: a. jarak lokasi kantor lama dengan yang baru; b. jumlah nasabah yang telah dibiayai; dan c. infrastruktur penunjang pada lokasi kantor yang baru. Pasal 43 Ayat (1) Pengumuman dapat dilakukan antara lain dengan menempelkan pengumuman di lokasi kantor yang lama. Ayat (2) Cukup jelas. . Pasal 44 Cukup jelas. Pasal 45 Cukup jelas. Pasal 46 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b ... -21- Huruf b Pengumuman dilakukan dalam surat kabar harian lokal atau dengan menempelkan pengumuman di lokasi kantor yang lama. Huruf c Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 47 Cukup jelas. Pasal 48 Cukup jelas. Pasal 49 Cukup jelas. Pasal 50 Cukup jelas. Pasal 51 Cukup jelas. Pasal 52 Cukup jelas. Pasal 53 ... -22- Pasal 53 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Pengumuman dilakukan dalam surat kabar harian lokal atau dengan menempelkan pengumuman di kantor kecamatan dan lokasi kantor BPRS yang lama. Pengumumam pencabutan izin usaha memuat antara lain rencana pembubaran badan hukum BPRS, rencana penyelesaian seluruh hak dan kewajiban BPRS. Huruf c Termasuk dalam penyelesaian kewajiban dimaksud antara lain penyelesaian kewajiban kepada nasabah dan kreditur lainnya, pembayaran gaji terhutang, pembayaran biaya kantor, pajak terhutang dan biaya-biaya lain yang relevan. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 54 Pembubaran badan hukum BPRS dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 55 Cukup jelas. Pasal 56 ... -23- Pasal 56 Cukup jelas. Pasal 57 Ayat (1) Kantor BPRS yang dimaksud meliputi kantor pusat, Kantor Cabang dan Kantor Kas. Pencantuman nama dan jenis kantor BPRS dapat dilakukan antara lain melalui papan nama dan/atau pada dinding atau kaca depan kantor BPRS agar mudah terlihat oleh nasabah. Contoh: 1. Penulisan Kantor Cabang PT BANK PEMBIAYAAN RAKYAT SYARIAH/ BANK PEMBIAYAAN RAKYAT SYARIAH/ PT BPR SYARIAH/ BPR SYARIAH/ PT BPRS/BPRS/ “XXX” Kantor Cabang “YYY”. 2. Penulisan Kantor Kas PT BANK PEMBIAYAAN RAKYAT SYARIAH/ BANK PEMBIAYAAN RAKYAT SYARIAH/ PT BPR SYARIAH/ BPR SYARIAH/ PT BPRS/BPRS/ “XXX” Kantor Kas “YYY”. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 58... -24- Pasal 58 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Laporan dinyatakan diterima oleh Bank Indonesia apabila telah disampaikan secara lengkap dengan memuat data, informasi dan/atau dokumen yang dipersyaratkan sesuai jenis laporannya. Tanggal penerimaan laporan oleh Bank Indonesia adalah tanggal: a. stempel pos (time stamp), apabila laporan dikirimkan melalui P.T. Pos Indonesia; atau b. penerimaan laporan, apabila laporan disampaikan secara langsung oleh BUK atau UUS atau dikirimkan melalui perusahaan jasa pengiriman selain P.T. Pos Indonesia. Huruf a Jumlah sanksi kewajiban membayar dihitung sebagai berikut: Jumlah kewajiban membayar = jumlah hari kerja keterlambatan x Rp100.000,00 x jumlah laporan/ pengumuman. Huruf b Jumlah sanksi kewajiban membayar dihitung sebagai berikut: Jumlah kewajiban membayar = Rp1.000.000,00 x jumlah laporan/ pengumuman. BPRS yang dikenakan sanksi tidak menyampaikan laporan/pengumuman, tidak dikenakan sanksi keterlambatan penyampaian laporan/pengumuman. Ayat (3) ... -25- Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 59 Cukup jelas. Pasal 60 Cukup jelas Pasal 61 Cukup jelas. Pasal 62 Cukup jelas Pasal 63 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5027 DPbS
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 11/23/PBI/2009 </reg_id> <reg_title> BANK PEMBIAYAAN RAKYAT SYARIAH </reg_title> <set_date> 1 Juli 2009 </set_date> <effective_date> 1 Juli 2009 </effective_date> <issued_date> 1 Juli 2009 </issued_date> <replaced_reg> '6/17/PBI/2004', '8/25/PBI/2006' </replaced_reg> <related_reg> '21/UU/2008', '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '40/UU/2007' </related_reg> <penalty_list> 'BAB XIII' </penalty_list>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 17/8/PBI/2015 TENTANG PENGATURAN DAN PENGAWASAN MONETER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam upaya mencapai dan memelihara kestabilan nilai Rupiah, Bank Indonesia bertugas menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter; b. bahwa dalam menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter, Bank Indonesia perlu melakukan pengaturan dan pengawasan di bidang moneter terhadap orang perserorangan, bank, dan korporasi nonbank; c. bahwa pengaturan dan pengawasan moneter diperlukan untuk mencapai dan memelihara kestabilan moneter, memastikan efektivitas kebijakan moneter, mencegah dan mengurangi risiko di bidang moneter, dan memastikan kepatuhan ketentuan di bidang moneter; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Bank Indonesia tentang Pengaturan dan Pengawasan Moneter; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik ... - 2 - Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang- Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962); 2. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3844); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PENGATURAN DAN PENGAWASAN MONETER. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan: 1. Kebijakan Moneter adalah kebijakan yang ditetapkan dan dilaksanakan oleh Bank Indonesia untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai Rupiah yang dilakukan antara lain melalui pengendalian jumlah uang beredar dan/atau suku bunga. 2. Setiap ... - 3 - 2. Setiap Orang adalah orang perseorangan dan korporasi termasuk Bank dan Korporasi Non-Bank. 3. Bank adalah bank umum konvensional sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan, termasuk kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri, dan bank umum syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan syariah. 4. Korporasi Non-Bank adalah badan usaha selain Bank dan badan lainnya. BAB II PENGATURAN MONETER Pasal 2 Bank Indonesia melakukan pengaturan moneter dalam rangka: a. mencapai dan memelihara stabilitas moneter; b. memastikan efektivitas Kebijakan Moneter; dan c. mencegah dan mengurangi risiko di bidang moneter. Pasal 3 (1) Pengaturan moneter sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 mencakup antara lain: a. suku bunga; b. nilai tukar; c. likuiditas; d. lalu lintas devisa; dan e. pasar uang dan pasar valuta asing. (2) Pengaturan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk ketentuan mengenai pelaporan. Pasal ... - 4 - Pasal 4 Ketentuan lebih lanjut mengenai pengaturan moneter sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 diatur dalam Peraturan Bank Indonesia. Pasal 5 Setiap Orang wajib mematuhi ketentuan Bank Indonesia di bidang moneter. BAB III PENGAWASAN MONETER Pasal 6 Bank Indonesia melakukan pengawasan moneter kepada Setiap Orang dalam rangka: a. memastikan kepatuhan terhadap ketentuan di bidang moneter; dan b. mencegah dan mengurangi risiko di bidang moneter. Pasal 7 Pengawasan moneter sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dilakukan melalui: a. b. pengawasan tidak langsung; dan pemeriksaan. Pasal 8 (1) Dalam rangka pelaksanaan pengawasan tidak langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf a, Setiap Orang wajib menyediakan dan menyampaikan data, informasi dan/atau keterangan yang diperlukan oleh Bank Indonesia. (2) Setiap ... - 5 - (2) Setiap Orang wajib bertanggung jawab atas kebenaran data, informasi dan/atau keterangan yang disampaikan kepada Bank Indonesia. (3) Data, informasi dan/atau keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan melalui pelaporan, pertemuan langsung, dan/atau sarana komunikasi lain yang ditetapkan Bank Indonesia. Pasal 9 Dalam rangka pelaksanaan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b, Setiap Orang wajib memberikan kepada pemeriksa: a. b. dokumen dan/atau data yang diminta; c. d. informasi dan keterangan yang berkaitan dengan kegiatan yang diperiksa, baik lisan maupun tertulis; akses terhadap sistem informasi; dan/atau hal lain yang diperlukan dalam pemeriksaan. Pasal 10 (1) Bank Indonesia dapat menugaskan pihak lain untuk melakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b. (2) Pihak yang ditugaskan melakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menjaga kerahasiaan data, informasi dan keterangan yang diperoleh dari hasil pemeriksaan. BAB IV TINDAK LANJUT PENGAWASAN MONETER Pasal 11 (1) Setiap Orang wajib melaksanakan tindak lanjut atas hasil pengawasan moneter yang dilakukan oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6. (2) Bank ... - 6 - (2) Bank Indonesia dapat menyampaikan informasi dan/atau rekomendasi hasil pengawasan moneter kepada otoritas lain, dalam hal terdapat hasil pengawasan moneter yang terkait dengan kewenangan otoritas lain. BAB V SANKSI Pasal 12 (1) Setiap Orang yang melanggar ketentuan dalam Pasal 5 dan/atau Pasal 8 dikenakan sanksi sesuai dengan Peraturan Bank Indonesia yang terkait. (2) Setiap Orang yang melanggar ketentuan dalam Pasal 9 dan/atau Pasal 11 ayat (1) dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis. (3) Setiap Orang yang dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tetap wajib memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dan Pasal 11 ayat (1). (4) Dalam hal setelah dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (2), orang perseorangan dan Korporasi Non-Bank tetap melanggar ketentuan dalam Pasal 9 dan/atau Pasal 11 ayat (1), Bank Indonesia menyampaikan informasi mengenai pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada pihak-pihak terkait antara lain: a. kreditor; b. Kementerian Negara Badan Usaha Milik Negara (BUMN), bagi korporasi BUMN; c. Kementerian Keuangan c.q. Direktorat Jenderal Pajak; d. Otoritas Jasa Keuangan (OJK); dan/atau e. Bursa Efek Indonesia (BEI), bagi korporasi publik yang tercatat di BEI. (5) Dalam ... - 7 - (5) Dalam hal setelah dikenakan sanksi teguran tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), Bank tetap melanggar ketentuan dalam Pasal 9 dan/atau Pasal 11 ayat (1), Bank dapat dikenakan sanksi berupa: a. pembatasan dan/atau larangan keikutsertaan dalam operasi moneter; b. c. penghentian sementara sebagian atau seluruh kegiatan Alat Pembayaran Menggunakan Kartu (APMK); perubahan status kepesertaan dalam Sistem Bank Indonesia Real Time Gross Settlement (RTGS) dari status aktif menjadi ditangguhkan (suspended); dan/atau d. penghentian sementara dalam Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia; (6) Bank Indonesia menyampaikan informasi kepada OJK mengenai pengenaan sanksi kepada Bank. Pasal 13 Pihak yang ditugaskan oleh Bank Indonesia untuk melakukan pemeriksaan yang melanggar Pasal 10 ayat (2) dikenakan sanksi administratif berupa: a. teguran tertulis; b. rekomendasi untuk dikeluarkan dari daftar profesi yang memberikan jasa di sektor keuangan yang dikeluarkan oleh instansi yang berwenang; dan/atau c. rekomendasi pencabutan izin usaha kepada instansi yang berwenang. BAB ... - 8 - BAB VI KETENTUAN PENUTUP Pasal 14 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 29 Mei 2015 GUBERNUR BANK INDONESIA, AGUS D.W. MARTOWARDOJO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 4 Juni 2015 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2015 NOMOR 121 DKEM PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 17/8/PBI/2015 TENTANG PENGATURAN DAN PENGAWASAN MONETER I. UMUM Sebagaimana yang diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana yang telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang, kebijakan Bank Indonesia ditujukan untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai Rupiah. Dalam mencapai tujuannya, sebagai otoritas moneter Bank Indonesia diberikan tugas menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter. Dalam pelaksanaan tugas tersebut, Bank Indonesia diberikan kewenangan dalam mengatur dan mengawasi korporasi, termasuk Bank, Korporasi Non-Bank, dan orang perseorangan. Hal ini mengingat korporasi dan orang perseorangan berperan sangat penting dalam menentukan perkembangan indikator moneter, diantaranya inflasi, suku bunga, nilai tukar, dan likuiditas. Pengaturan moneter oleh Bank Indonesia dimaksudkan untuk mencapai dan memelihara kestabilan moneter, memastikan efektivitas kebijakan moneter, serta mencegah dan mengurangi risiko di bidang moneter. Pengawasan ... - 2 - Pengawasan moneter oleh Bank Indonesia merupakan konsekuensi dari tugas Bank Indonesia dalam mengatur kebijakan moneter. Pengawasan ini tidak dimaksudkan untuk melakukan penilaian kesehatan keuangan korporasi dan orang perseorangan, melainkan untuk memastikan kepatuhan terhadap ketentuan yang ditetapkan Bank Indonesia, dan mencegah serta mengurangi risiko di bidang moneter. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Huruf a Yang dimaksud dengan “stabilitas moneter” adalah suatu kondisi dimana inflasi berada dalam sasarannya dan nilai tukar bergerak sesuai dengan kondisi fundamentalnya, serta didukung oleh kondisi lainnya yang favorable. Kondisi yang favorable ini ditunjukkan oleh beberapa indikator seperti neraca pembayaran yang sehat, level suku bunga dan likuiditas yang cukup, kondisi sistem keuangan yang stabil, kondisi sistem pembayaran yang aman, efisien, dan lancar serta pertumbuhan ekonomi dan kondisi fiskal yang berkesinambungan. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Risiko di bidang moneter antara lain berupa risiko nilai tukar, risiko likuiditas, dan risiko inflasi yang dapat mengganggu stabilitas moneter. Pasal ... - 3 - Pasal 3 Ayat (1) Huruf a Termasuk dalam pengaturan suku bunga meliputi: 1. suku bunga kebijakan; 2. suku bunga instrumen operasi moneter; dan 3. suku bunga lainnya. Huruf b Termasuk dalam pengaturan nilai tukar antara lain meliputi: 1. jual-beli valuta asing; 2. penempatan valuta asing di Bank Indonesia; dan 3. monitoring transaksi valuta asing. Huruf c Termasuk dalam pengaturan likuiditas antara lain meliputi: 1. likuiditas Pasar Uang Antar Bank (PUAB) dan Pasar Uang Antar Bank Syariah (PUAS); 2. giro wajib minimum (primer dan sekunder); 3. kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah; dan 4. transaksi antar pelaku di pasar uang. Huruf d Termasuk dalam pengaturan lalu lintas devisa antara lain meliputi: 1. devisa hasil ekspor; 2. utang ... - 4 - 2. utang luar negeri; 3. eksposur risiko valuta asing; 4. remitansi; 5. pembawaan valuta asing dari dan ke luar negeri; 6. penukaran valuta asing; 7. transaksi di dalam negeri yang menggunakan valuta asing; 8. minimum holding period Sertifikat Bank Indonesia; dan 9. unremunerated reserve requirement. Huruf e Termasuk dalam pengaturan pasar uang dan pasar valuta asing antara lain meliputi: 1. pelaku yang dapat bertransaksi di pasar uang dan pasar valuta asing, termasuk perizinan Pialang Pasar Uang (PPU) dan Kegiatan Usaha Penukaran Valuta Asing (KUPVA) nonbank; 2. instrumen yang dapat ditransaksikan di pasar uang, termasuk karakteristik instrumen; 3. transaksi di pasar uang dan di pasar valuta asing, termasuk mekanisme dan jenis transaksi dan penerapan prinsip kehati- hatian; 4. mekanisme penetapan suku bunga acuan (Jakarta Interbank Offered Rate) dan nilai tukar acuan (Jakarta Interbank Spot Dollar Rate); dan 5. pengembangan infrastruktur, termasuk penyelesaian transaksi, penatausahaan transaksi, dan sistem yang digunakan. Ayat ... - 5 - Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 4 Cukup jelas. Pasal 5 Cukup jelas. Pasal 6 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Pengawasan juga ditujukan untuk mendeteksi berbagai risiko yang dapat membahayakan stabilitas moneter. Pasal 7 Cukup jelas. Pasal 8 Ayat (1) Data, informasi, dan/atau keterangan yang diperoleh, digunakan Bank Indonesia untuk menilai, mencegah, dan mengurangi risiko di bidang moneter. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 9 Dokumen dan/atau data yang diminta oleh pemeriksa termasuk kebijakan, peraturan, dan/atau Standard Operating Procedure ... - 6 - Procedure (SOP), dalam bentuk hardcopy, softcopy, atau bentuk lainnya. Akses terhadap sistem informasi antara lain mencakup pemeriksaan terhadap aplikasi, sistem pelaporan, dan jaringan yang terkait cakupan pemeriksaan. Pasal 10 Ayat (1) Pemeriksaan oleh pihak lain dilakukan untuk dan atas nama Bank Indonesia. Pihak lain yang ditugaskan oleh Bank Indonesia antara lain akuntan publik dan penilai publik. Dalam menugaskan pihak lain untuk melakukan pemeriksaan, Bank Indonesia mengeluarkan surat perintah kerja dan menetapkan terms of reference. Ayat (2) Kewajiban merahasiakan data, informasi, dan keterangan yang diperoleh dari pemeriksaan berlaku untuk seluruh komisaris, direksi, manajer, tenaga ahli, staf pengawas, dan staf pendukung lainnya yang terkait dengan pemeriksaan. Pasal 11 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “otoritas lain” adalah antara lain Otoritas Jasa Keuangan dan Kementerian Keuangan c.q. Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dan Direktorat Jenderal Pajak. Pasal ... - 7 - Pasal 12 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Huruf a Sanksi yang terkait dengan pembatasan atau larangan keikutsertaan dalam operasi moneter antara lain mencakup penghentian sementara dari kegiatan Operasi Pasar Terbuka (OPT) dan Standing Facilities (SF). Huruf b Contoh penghentian sementara sebagian atau seluruh kegiatan APMK antara lain pembatasan ekspansi penerbitan kartu kredit kepada nasabah baru. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Ayat ... - 8 - Ayat (6) Penyampaian informasi kepada OJK dapat berupa tembusan surat pengenaan sanksi terhadap Bank. Pasal 13 Cukup jelas. Pasal 14 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5703
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 17/8/PBI/2015 </reg_id> <reg_title> PENGATURAN DAN PENGAWASAN MONETER </reg_title> <set_date> 29 Mei 2015 </set_date> <effective_date> 4 Juni 2015 </effective_date> <issued_date> 4 Juni 2015 </issued_date> <related_reg> '24/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '6/UU/2009', '23/UU/1999' </related_reg> <penalty_list> 'BAB V' </penalty_list>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 19/10/PBI/2017 TENTANG PENERAPAN ANTI PENCUCIAN UANG DAN PENCEGAHAN PENDANAAN TERORISME BAGI PENYELENGGARA JASA SISTEM PEMBAYARAN SELAIN BANK DAN PENYELENGGARA KEGIATAN USAHA PENUKARAN VALUTA ASING BUKAN BANK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa perkembangan teknologi dan sistem informasi yang sangat pesat terus mendorong berbagai inovasi di bidang jasa sistem pembayaran dan kegiatan usaha penukaran valuta asing; b. bahwa inovasi dimaksud mengakibatkan produk, jasa, transaksi, dan model bisnis menjadi semakin kompleks sehingga meningkatkan risiko pencucian uang dan/atau pendanaan terorisme di bidang jasa sistem pembayaran dan kegiatan usaha penukaran valuta asing; c. bahwa peningkatan risiko yang dihadapi perlu diimbangi dengan peningkatan kualitas dan efektivitas penerapan anti pencucian uang dan/atau pencegahan pendanaan terorisme dengan menggunakan pendekatan berbasis risiko sesuai dengan prinsip umum yang berlaku secara internasional; - 2 - d. bahwa perlu adanya harmonisasi dan integrasi pengaturan mengenai penerapan anti pencucian uang dan/atau pencegahan pendanaan terorisme dalam penyelenggaraan kegiatan jasa sistem pembayaran dan kegiatan usaha penukaran valuta asing; e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf d, perlu menetapkan Peraturan Bank Indonesia tentang Penerapan Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme bagi Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran Selain Bank dan Penyelenggara Kegiatan Usaha Penukaran Valuta Asing Bukan Bank; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962); 2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 122, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5164); 3. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2011 tentang Transfer Dana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5204); 4. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor - 3 - 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5406); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PENERAPAN ANTI PENCUCIAN UANG DAN PENCEGAHAN PENDANAAN TERORISME BAGI PENYELENGGARA JASA SISTEM PEMBAYARAN SELAIN BANK DAN PENYELENGGARA KEGIATAN USAHA PENUKARAN VALUTA ASING BUKAN BANK. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan: 1. Pencucian Uang adalah pencucian uang sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang. 2. Pendanaan Terorisme adalah pendanaan terorisme sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pendanaan terorisme. 3. Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme yang selanjutnya disebut APU dan PPT adalah upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme. 4. Penyelenggara adalah badan usaha berbadan hukum selain bank yang menyelenggarakan kegiatan jasa sistem pembayaran dan badan usaha berbadan hukum selain bank yang menyelenggarakan kegiatan usaha penukaran valuta asing. 5. Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran Selain Bank yang selanjutnya disebut PJSP Selain Bank adalah pihak selain bank yang telah memperoleh izin untuk menyelenggarakan kegiatan jasa sistem pembayaran sebagaimana dimaksud - 4 - dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai sistem pembayaran. 6. Penyelenggara Kegiatan Usaha Penukaran Valuta Asing Bukan Bank yang selanjutnya disebut Penyelenggara KUPVA Bukan Bank adalah pihak yang telah memperoleh izin untuk menyelenggarakan kegiatan usaha penukaran valuta asing sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai kegiatan usaha penukaran valuta asing bukan bank. 7. Bank adalah bank sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang yang mengatur mengenai perbankan dan bank syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan syariah. 8. Lembaga Selain Bank adalah badan usaha bukan Bank yang berbadan hukum dan didirikan berdasarkan hukum Indonesia. 9. Pengguna Jasa adalah pihak yang menggunakan jasa Penyelenggara, melakukan hubungan usaha dengan Penyelenggara, atau melakukan transaksi melalui Penyelenggara. 10. Pemilik Manfaat (Beneficial Owner) yang selanjutnya disebut Beneficial Owner adalah setiap orang perseorangan, baik sendiri atau bersama-sama, secara langsung atau tidak langsung, yang: a. merupakan pemilik sebenarnya dari dana; b. mengendalikan transaksi Pengguna Jasa; c. mengendalikan korporasi atau perikatan lainnya (legal arrangement); dan/atau d. memberikan kuasa untuk melakukan transaksi. 11. Korporasi adalah kumpulan orang dan/atau kelompok yang terorganisasi, baik yang merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum, termasuk perusahaan, yayasan, koperasi, perkumpulan keagamaan, partai politik, lembaga swadaya masyarakat atau organisasi non-profit, dan organisasi kemasyarakatan. - 5 - 12. Orang yang Populer Secara Politis (Politically Exposed Person) yang selanjutnya disingkat PEP meliputi: a. PEP asing yaitu orang yang diberi kewenangan untuk melakukan fungsi penting (prominent function) oleh negara lain; b. PEP Domestik yaitu orang yang diberi kewenangan untuk melakukan fungsi penting (prominent function) oleh negara; dan c. orang yang diberi kewenangan untuk melakukan fungsi penting (prominent function) oleh organisasi internasional. 13. Transfer Dana adalah transfer dana sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai transfer dana. 14. Transaksi Keuangan Mencurigakan adalah transaksi keuangan mencurigakan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang dan Undang-Undang yang mengatur mengenai pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pendanaan terorisme. 15. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan yang selanjutnya disingkat PPATK adalah Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang. 16. Kelompok Usaha adalah grup atau sekelompok perusahaan yang memiliki keterkaitan kepemilikan dan/atau pengendalian dengan Penyelenggara. 17. Manajemen Senior adalah anggota Direksi dan Pejabat Eksekutif yang dapat mengambil kebijakan/keputusan dalam operasional Penyelenggara. 18. Direksi adalah Direksi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perseroan terbatas. 19. Pejabat Eksekutif adalah pejabat yang bertanggung jawab langsung kepada anggota Direksi atau mempunyai - 6 - pengaruh yang signifikan terhadap kebijakan dan/atau operasional Penyelenggara. 20. Dewan Komisaris adalah dewan komisaris sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perseroan terbatas. BAB II RUANG LINGKUP Pasal 2 (1) Ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia ini berlaku bagi Penyelenggara berupa: a. PJSP Selain Bank; dan b. Penyelenggara KUPVA Bukan Bank. (2) PJSP Selain Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. penyelenggara transfer dana; b. penerbit alat pembayaran dengan menggunakan kartu (APMK); c. penerbit uang elektronik; dan d. penyelenggara dompet elektronik. BAB III KEWAJIBAN PENERAPAN ANTI PENCUCIAN UANG DAN PENCEGAHAN PENDANAAN TERORISME Bagian Kesatu Kewajiban dan Cakupan Program APU dan PPT Pasal 3 Penyelenggara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 wajib menerapkan APU dan PPT yang meliputi: a. b. kebijakan dan prosedur tertulis; c. proses manajemen risiko; tugas dan tanggung jawab Direksi dan pengawasan aktif Dewan Komisaris; - 7 - d. manajemen sumber daya manusia; dan e. sistem pengendalian internal. Bagian Kedua Tugas dan Tanggung Jawab Direksi dan Pengawasan Aktif Dewan Komisaris Pasal 4 Tugas dan tanggung jawab Direksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a, paling sedikit mencakup hal sebagai berikut: a. menetapkan kebijakan dan prosedur tertulis APU dan PPT berdasarkan persetujuan Dewan Komisaris; b. memastikan penerapan APU dan PPT dilaksanakan sesuai dengan kebijakan dan prosedur tertulis yang telah ditetapkan; c. memastikan pengkinian kebijakan dan prosedur tertulis APU dan PPT terhadap perubahan dan pengembangan produk, jasa, teknologi, modus Pencucian Uang atau Pendanaan Terorisme, serta ketentuan yang terkait dengan APU dan PPT; d. memastikan penyampaian laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan, transaksi keuangan tunai, serta transaksi keuangan transfer dana dari dan ke luar negeri kepada PPATK sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan; e. memastikan bahwa seluruh pegawai telah memperoleh pengetahuan dan/atau pelatihan mengenai penerapan APU dan PPT; dan f. memastikan pengkinian profil nasabah dan profil transaksi nasabah. - 8 - Pasal 5 Pengawasan aktif Dewan Komisaris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a paling sedikit mencakup hal sebagai berikut: a. memberikan persetujuan atas kebijakan dan prosedur tertulis terhadap penerapan APU dan PPT; dan b. mengawasi pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Direksi terhadap penerapan APU dan PPT. Bagian Ketiga Kebijakan dan Prosedur Tertulis Pasal 6 (1) Penyelenggara wajib memiliki, menerapkan, dan mengembangkan kebijakan dan prosedur tertulis untuk mengelola risiko Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme. (2) Kebijakan dan prosedur tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit: a. customer due diligence (CDD); b. pengelolaan data, informasi, dan dokumen; dan c. pelaporan Transaksi Keuangan Mencurigakan dan laporan lainnya. (3) Bagi Penyelenggara yang menyelenggarakan kegiatan Transfer Dana, selain memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) juga wajib memiliki kebijakan dan prosedur Transfer Dana. (4) Penyelenggara wajib memantau, mengevaluasi, dan meningkatkan efektivitas penerapan kebijakan dan prosedur tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (5) Penyelenggara wajib menyampaikan kebijakan dan prosedur tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), termasuk dalam hal terdapat perubahan, kepada Bank Indonesia. - 9 - Bagian Keempat Proses Manajemen Risiko Pasal 7 (1) Penyelenggara wajib menerapkan proses manajemen risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf c, yang meliputi identifikasi, penilaian, pengendalian, dan mitigasi risiko. (2) Penyelenggara melakukan identifikasi, penilaian, pengendalian, dan mitigasi risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terkait dengan: a. Pengguna Jasa; b. negara atau wilayah geografis; c. produk atau jasa; dan d. jalur atau jaringan transaksi. (3) Dalam menerapkan manajemen risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Penyelenggara wajib menggunakan hasil identifikasi dan penilaian risiko oleh otoritas yang berwenang serta dokumen serta informasi terkait lainnya. (4) Terhadap hasil penerapan manajemen risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Penyelenggara wajib: a. melakukan pengkinian secara berkala; b. mendokumentasikan; dan c. memiliki mekanisme penyediaan informasi yang memadai bagi otoritas yang berwenang. (5) Penerapan manajemen risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada karakteristik, skala, dan kompleksitas kegiatan usaha Penyelenggara, serta eksposur risiko yang relevan. (6) Dalam hal Penyelenggara menilai risiko yang dihadapi dalam kegiatan usahanya semakin meningkat, Penyelenggara wajib melakukan peningkatan pengendalian dan mitigasi risiko. - 10 - Bagian Kelima Manajemen Sumber Daya Manusia Pasal 8 Manajemen sumber daya manusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf d, paling sedikit berupa: a. penyaringan untuk penerimaan pegawai (pre-employee screening); b. pemantauan profil pegawai; dan c. program pelatihan dan peningkatan pemahaman (awareness) pegawai secara berkesinambungan. Bagian Keenam Sistem Pengendalian Internal Pasal 9 Sistem pengendalian internal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf e paling sedikit berupa: a. pembentukan unit kerja, penetapan fungsi, dan/atau penunjukan anggota Direksi/Pejabat Eksekutif yang bertanggung jawab khusus untuk penerapan APU dan PPT; b. pemisahan wewenang dan tanggung jawab antara pihak yang melaksanakan fungsi audit dengan unit bisnis Penyelenggara; dan c. pelaksanaan audit independen secara berkala untuk menguji kepatuhan dan efektivitas penerapan APU dan PPT. Bagian Ketujuh Penerapan APU dan PPT pada Kelompok Usaha Pasal 10 (1) Penyelenggara yang merupakan Kelompok Usaha wajib memastikan penerapan APU dan PPT secara efektif pada perusahaan anak dan kantor cabang Penyelenggara, baik di dalam maupun di luar negeri. - 11 - (2) Penerapan APU dan PPT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup juga ketersediaan: a. kebijakan dan prosedur tertulis mengenai pertukaran informasi antarperusahaan induk, perusahaan anak, dan kantor cabang; b. kebijakan dan prosedur tertulis bagi fungsi audit internal dan/atau unit kerja APU dan PPT untuk memperoleh data dan informasi dari perusahaan anak dan kantor cabang; dan c. kebijakan dan prosedur tertulis pengamanan kerahasiaan data dan informasi. Pasal 11 (1) Dalam hal negara tempat kedudukan perusahaan anak atau kantor cabang menerapkan APU dan PPT dengan standar yang lebih rendah dari ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia ini maka ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia ini wajib diterapkan. (2) Dalam hal ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia ini tidak dapat diterapkan sebagian atau seluruhnya oleh perusahaan anak dan kantor cabang yang berada di luar negeri berdasarkan aturan di negara setempat, Penyelenggara wajib mengambil langkah terbaik untuk penerapan APU dan PPT yang diperlukan dan melaporkannya kepada Bank Indonesia. Bagian Kedelapan Penerapan APU dan PPT oleh Pihak Ketiga Pasal 12 Dalam hal Penyelenggara melakukan kerja sama dengan pihak ketiga, Penyelenggara wajib memastikan penerapan APU dan PPT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 oleh pihak ketiga tersebut. - 12 - BAB IV CUSTOMER DUE DILIGENCE (CDD) Bagian Kesatu Kewajiban dan Prosedur Pelaksanaan CDD Pasal 13 Penyelenggara wajib melaksanakan CDD terhadap Pengguna Jasa untuk memastikan efektivitas penerapan APU dan PPT. Pasal 14 Prosedur pelaksanaan CDD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 meliputi kegiatan sebagai berikut: a. melakukan identifikasi Pengguna Jasa, pihak yang bertindak untuk dan atas nama Pengguna Jasa, dan/atau Beneficial Owner dari transaksi Pengguna Jasa; b. melakukan verifikasi identitas Pengguna Jasa, pihak yang bertindak untuk dan atas nama Pengguna Jasa, dan/atau Beneficial Owner dari transaksi Pengguna Jasa berdasarkan data, informasi, dan/atau dokumen dari sumber yang independen dan terpercaya; c. melakukan pemantauan secara berkesinambungan (on going due diligence) dan melakukan upaya pengkinian data, informasi, dan/atau dokumen Pengguna Jasa; dan d. memahami maksud dan tujuan hubungan usaha atau transaksi yang dilakukannya dan sumber dana yang dipergunakan. Pasal 15 Kewajiban melaksanakan prosedur CDD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 dilakukan oleh Penyelenggara pada saat: a. melakukan hubungan usaha dengan Pengguna Jasa atau calon Pengguna Jasa; - 13 - b. c. d. terdapat transaksi keuangan dengan mata uang rupiah dan/atau mata uang asing yang nilainya paling sedikit Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) atau setara; terdapat transaksi Transfer Dana; terdapat indikasi Transaksi Keuangan Mencurigakan yang terkait dengan Pencucian Uang dan/atau Pendanaan Terorisme; atau e. terdapat keraguan atas kebenaran informasi yang diberikan oleh calon Pengguna Jasa, Pengguna Jasa, penerima kuasa, dan/atau Beneficial Owner. Bagian Kedua Identifikasi dan Verifikasi Pasal 16 (1) Identifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf a dilakukan dengan mewajibkan penyampaian data dan informasi paling sedikit: a. bagi Pengguna Jasa berupa orang perseorangan: 1. nama lengkap termasuk nama alias apabila ada; 2. nomor dokumen identitas; 3. alamat tempat tinggal sesuai dokumen identitas dan alamat tempat tinggal lain apabila ada; tempat dan tanggal lahir; 4. 5. kewarganegaraan; 6. nomor telepon; 7. pekerjaan; 8. 9. jenis kelamin; dan tanda tangan atau data biometrik; b. bagi Pengguna Jasa berupa Korporasi: 1. nama korporasi; 2. bentuk badan hukum atau badan usaha; 3. tempat dan tanggal pendirian; 4. nomor izin usaha; 5. alamat tempat kedudukan; 6. 7. nomor telepon; jenis bidang usaha atau kegiatan; - 14 - 8. nama pengurus; 9. nama pemegang saham; dan 10. data dan informasi identitas orang perseorangan yang diberi kuasa bertindak untuk dan atas nama Korporasi; dan c. bagi Pengguna Jasa berupa perikatan lainnya (legal arrangement): 1. nama; 2. nomor izin dari instansi berwenang apabila ada; 3. alamat kedudukan; 4. bentuk perikatan (legal arrangement); dan 5. data dan informasi identitas orang perseorangan yang diberi kuasa bertindak untuk dan atas nama perikatan lainnya. (2) Untuk mengidentifikasi Pengguna Jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Penyelenggara wajib meminta Pengguna Jasa menyampaikan dokumen identitas berupa: a. bagi Pengguna Jasa berupa orang perseorangan: 1. kartu tanda penduduk (KTP); 2. surat izin mengemudi (SIM); 3. paspor; atau 4. dokumen resmi lainnya yang dikeluarkan oleh Instansi Pemerintah; b. bagi Pengguna Jasa berupa Korporasi: 1. akta pendirian dan/atau anggaran dasar dan anggaran rumah tangga Korporasi dan perubahan terkini apabila ada; 2. izin usaha atau izin lainnya dari otoritas yang berwenang; 3. kartu nomor pokok wajib pajak (NPWP) bagi Pengguna Jasa yang diwajibkan untuk memiliki NPWP sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan 4. dokumen identitas orang perseorangan yang diberi kuasa bertindak untuk dan atas nama Korporasi; dan - 15 - c. bagi Pengguna Jasa berupa perikatan lainnya (legal arrangement): 1. bukti pendaftaran pada instansi yang berwenang; 2. akta pendirian dan/atau anggaran dasar dan anggaran rumah tangga apabila ada; dan 3. dokumen identitas orang perseorangan dari: a) bagi perikatan lainnya (legal arrangement) berupa trust: 1) orang perseorangan yang diberi kuasa bertindak untuk dan atas nama perikatan lainnya (legal arrangement); 2) penitip harta (settlor); 3) penerima dan pengelola harta (trustee); 4) penjamin (protector) apabila ada; 5) penerima manfaat (beneficiary) atau kelas penerima manfaat (class of beneficiary); dan 6) orang perseorangan yang menjadi pengendali akhir dari trust; dan b) bagi perikatan lainnya (legal arrangement) dalam bentuk selain trust, berupa identitas orang perseorangan yang mempunyai posisi yang sama atau setara dengan pihak dalam trust sebagaimana dimaksud dalam huruf a). Pasal 17 (1) Identifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf a terhadap Pengguna Jasa yang melakukan transaksi kurang dari Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan tidak memiliki hubungan usaha yang berkelanjutan (walk in customer) dilakukan dengan mewajibkan penyampaian data dan informasi paling sedikit: a. bagi Pengguna Jasa berupa orang perseorangan: 1. nama lengkap termasuk nama alias apabila ada; 2. nomor dokumen identitas; 3. alamat tempat tinggal sesuai dokumen identitas dan alamat tempat tinggal lain apabila ada; - 16 - 4. 5. tempat dan tanggal lahir; dan tanda tangan atau data biometrik; b. bagi Pengguna Jasa berupa Korporasi: 1. nama korporasi; 2. alamat kedudukan apabila ada; dan 3. data dan informasi identitas orang perseorangan yang diberi kuasa bertindak untuk dan atas nama Korporasi; dan c. bagi Pengguna Jasa berupa perikatan lainnya (legal arrangement): 1. nama; 2. alamat kedudukan; dan 3. data dan informasi identitas perseorangan yang diberi kuasa bertindak untuk dan atas nama perikatan lainnya (legal arrangement). (2) Untuk mengidentifikasi Pengguna Jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Penyelenggara wajib meminta Pengguna Jasa menyampaikan dokumen identitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2). Pasal 18 (1) Penyelenggara dapat mewajibkan Pengguna Jasa untuk menyampaikan data, informasi, dan/atau dokumen tambahan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 dan Pasal 17. (2) Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam hal terdapat keraguan terhadap identitas Pengguna Jasa. Pasal 19 Identifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf a terhadap Pengguna Jasa berupa lembaga negara, instansi pemerintah, lembaga internasional, dan perwakilan negara asing, dilakukan dengan mewajibkan penyampaian data, informasi, dan/atau dokumen berupa nama dan alamat kedudukan lembaga, instansi, atau perwakilan tersebut. - 17 - Pasal 20 Penyelenggara melakukan verifikasi terhadap identitas Pengguna Jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 dan Pasal 17 dengan melakukan pemeriksaan kesesuaian terhadap: a. dokumen identitas yang diterbitkan instansi pemerintah; b. data dan informasi kependudukan yang ditatausahakan instansi pemerintah; dan/atau c. data biometrik atau data elektronik sepanjang Penyelenggara dapat memastikan kebenaran data tersebut. Pasal 21 (1) Proses verifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 dapat dilakukan dengan cara: a. pertemuan langsung; atau b. penggunaan cara lain. (2) Penggunaan cara lain dalam melakukan verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dilakukan sepanjang terdapat: a. metode atau sarana teknologi yang memadai untuk melakukan verifikasi terhadap identitas Pengguna Jasa; dan b. kebijakan dan prosedur pengendalian risiko yang dilaksanakan secara efektif. (3) Penggunaan cara lain dalam melakukan verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b wajib dilaporkan kepada Bank Indonesia. Pasal 22 (1) Proses verifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 harus dilakukan oleh Penyelenggara sebelum pembukaan hubungan usaha atau sebelum pelaksanaan transaksi dengan Pengguna Jasa. (2) Penyelenggara dapat menyelesaikan proses verifikasi setelah pembukaan hubungan usaha dengan Pengguna Jasa sepanjang: a. risiko Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme dapat dikelola secara efektif; - 18 - b. hal tersebut merupakan praktik bisnis yang wajar; dan c. proses verifikasi dapat segera diselesaikan. Bagian Ketiga Identifikasi dan Verifikasi Beneficial Owner Pasal 23 (1) Penyelenggara wajib memastikan Pengguna Jasa bertindak untuk diri sendiri atau untuk kepentingan Beneficial Owner. (2) Dalam hal Pengguna Jasa bertindak untuk kepentingan Beneficial Owner, Penyelenggara wajib melakukan identifikasi dan verifikasi terhadap identitas Beneficial Owner. (3) Dalam hal Pengguna Jasa berupa Korporasi maka Beneficial Owner ditentukan berdasarkan kepemilikan saham mayoritas pada Korporasi. (4) Selain melakukan identifikasi dan verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Penyelenggara wajib: a. meneliti hubungan hukum antara Pengguna Jasa dengan Beneficial Owner; b. meminta pernyataan tertulis dari Pengguna Jasa mengenai kebenaran identitas maupun sumber dana dari Beneficial Owner; dan c. meminta pernyataan tertulis dari Beneficial Owner bahwa yang bersangkutan adalah pemilik sebenarnya dari dana Pengguna Jasa. Pasal 24 (1) Penyelenggara dapat menentukan Beneficial Owner Korporasi dengan cara selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (3) dalam hal: a. terdapat keraguan bahwa orang perseorangan yang memiliki saham mayoritas merupakan Beneficial Owner Korporasi; atau b. tidak ada orang perseorangan yang diketahui memiliki saham mayoritas. - 19 - (2) Dalam hal Beneficial Owner Korporasi tidak dapat ditentukan dengan cara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Penyelenggara melakukan identifikasi dan verifikasi atas identitas dari orang perseorangan yang memegang posisi sebagai Direksi pada Korporasi atau jabatan yang dipersamakan dengan itu. Pasal 25 Identifikasi dan verifikasi identitas Beneficial Owner tidak dilakukan terhadap Pengguna Jasa berupa: a. lembaga negara atau instansi pemerintah; b. perusahaan yang mayoritas sahamnya dimiliki oleh negara; atau c. perusahaan publik atau emiten. Bagian Keempat Identifikasi dan Verifikasi Calon Pengguna Jasa Pasal 26 Ketentuan mengenai identifikasi dan verifikasi Pengguna Jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 sampai dengan Pasal 25 berlaku pula bagi calon Pengguna Jasa. Bagian Kelima Pemantauan Pasal 27 (1) Pemantauan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf c dilakukan terhadap Pengguna Jasa untuk memastikan transaksi yang dilakukan sesuai dengan profil Pengguna Jasa. (2) Penyelenggara harus memiliki prosedur yang memadai untuk melakukan pemantauan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Penyelenggara yang memiliki skala usaha dan layanan yang kompleks wajib memiliki sistem untuk melakukan pemantauan secara efektif. - 20 - Pasal 28 (1) Pengkinian data, informasi, dan/atau dokumen Pengguna Jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf c wajib dilakukan Penyelenggara termasuk data, informasi, dan/atau dokumen terkait pelaksanaan CDD. (2) Pengkinian data, informasi, dan/atau dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan apabila terdapat: a. perubahan data, informasi, dan/atau dokumen Pengguna Jasa; b. perubahan pola transaksi, ketidaksesuaian transaksi dengan profil Pengguna Jasa, atau peningkatan risiko Pengguna Jasa yang signifikan; dan/atau c. dugaan adanya Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme. Bagian Keenam CDD Sederhana Pasal 29 (1) Prosedur pelaksanaan CDD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 dapat diterapkan secara sederhana berupa CDD sederhana terhadap calon Pengguna Jasa, Pengguna Jasa, atau Beneficial Owner yang termasuk kategori berisiko rendah. (2) Pelaksanaan CDD sederhana dilakukan dengan cara: a. menyederhanakan permintaan data dan informasi identitas Pengguna Jasa; b. melakukan verifikasi identitas Pengguna Jasa setelah pembukaan hubungan usaha dilakukan; c. melakukan verifikasi identitas Pengguna Jasa pada saat saldo atau jumlah transaksi Pengguna Jasa mencapai limit tertentu; d. mengurangi frekuensi pengkinian data Pengguna Jasa; - 21 - e. melakukan pemantauan terhadap Pengguna Jasa dengan saldo atau jumlah transaksi tertentu; dan/atau f. memahami maksud dan tujuan hubungan usaha Pengguna Jasa berdasarkan analisis terhadap pola transaksi atau jenis produk atau jasa yang secara spesifik telah ditetapkan oleh Penyelenggara. (3) Penyelenggara wajib memiliki kebijakan dan prosedur untuk menentukan calon Pengguna Jasa, Pengguna Jasa, atau Beneficial Owner termasuk kategori berisiko rendah dengan berdasarkan faktor: a. Pengguna Jasa; b. negara atau area geografis; c. produk atau jasa; dan d. jalur atau jaringan transaksi. (4) Penyelenggara dapat melaksanakan CDD sederhana apabila telah memiliki kebijakan dan prosedur pengendalian dan mitigasi risiko yang efektif. (5) Pelaksanaan CDD sederhana tidak berlaku dalam hal terdapat dugaan Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme. (6) Daftar Pengguna Jasa yang mendapat perlakuan CDD sederhana wajib ditatausahakan oleh Penyelenggara. Pasal 30 Penyelenggara berupa penerbit uang elektronik yang menerbitkan uang elektronik: a. dengan nilai nominal yang dibatasi sehingga tidak diwajibkan melakukan pencatatan data identitas pemegang sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai uang elektronik; dan b. yang tidak dapat melakukan Transfer Dana, tidak diwajibkan melakukan proses identifikasi dan verifikasi. - 22 - Bagian Ketujuh Enhanced Due Diligence (EDD) Pasal 31 (1) Prosedur pelaksanaan CDD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 wajib diterapkan secara lebih mendalam berupa EDD terhadap calon Pengguna Jasa, Pengguna Jasa, atau Beneficial Owner yang termasuk kategori berisiko tinggi. (2) Calon Pengguna Jasa, Pengguna Jasa, atau Beneficial Owner yang termasuk kategori berisiko tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan berdasarkan faktor: a. Pengguna Jasa; b. negara atau area geografis; c. produk atau jasa; dan d. jalur atau jaringan transaksi. (3) Penyelenggara wajib memiliki kebijakan dan prosedur untuk menentukan calon Pengguna Jasa, Pengguna Jasa, atau Beneficial Owner termasuk kategori berisiko tinggi. (4) Pelaksanaan EDD dilakukan dengan cara: a. memperoleh informasi tambahan tentang profil Pengguna Jasa; b. melakukan pengkinian data identitas secara lebih rutin; c. memperoleh informasi tambahan mengenai maksud dan tujuan hubungan usaha atau transaksi; d. memperoleh informasi tambahan mengenai sumber dana dan sumber kekayaan; dan/atau e. melakukan pemantauan secara lebih ketat terhadap hubungan usaha atau transaksi, termasuk menentukan kriteria transaksi yang perlu dianalisis lebih lanjut. (5) Penyelenggara wajib menunjuk Direksi atau Pejabat Eksekutif yang bertanggung jawab dalam pelaksanaan hubungan usaha dengan calon Pengguna Jasa, Pengguna Jasa, atau Beneficial Owner yang termasuk kategori berisiko tinggi. - 23 - (6) Tanggung jawab Direksi atau Pejabat Eksekutif sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilaksanakan dengan: a. memberikan persetujuan atau penolakan terhadap calon Pengguna Jasa, Pengguna Jasa, atau Beneficial Owner yang tergolong berisiko tinggi; dan b. membuat keputusan untuk meneruskan atau menghentikan hubungan usaha dengan calon Pengguna Jasa, Pengguna Jasa, atau Beneficial Owner yang tergolong berisiko tinggi. (7) Daftar Pengguna Jasa yang mendapat perlakuan EDD wajib ditatausahakan oleh Penyelenggara. Pasal 32 Dalam hal Penyelenggara melakukan hubungan usaha dengan Pengguna Jasa dan/atau melakukan transaksi yang berasal dari negara berisiko tinggi (high risk countries) yang dipublikasikan oleh Financial Action Task Force on Money Laundering (FATF) untuk dilakukan langkah pencegahan (counter measures), Penyelenggara wajib melakukan EDD dengan meminta konfirmasi dan klarifikasi kepada otoritas terkait. Pasal 33 Kewajiban melaksanakan EDD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 juga berlaku dalam hal Penyelenggara melakukan transaksi dengan Pengguna Jasa yang patut diduga merupakan pihak yang tidak memiliki izin dari otoritas yang berwenang untuk melakukan kegiatan usaha Transfer Dana, penukaran valuta asing, atau kegiatan sebagai penyedia jasa keuangan lainnya. Pasal 34 (1) Penyelenggara wajib memiliki kebijakan dan prosedur untuk mengenali calon Pengguna Jasa, Pengguna Jasa, atau Beneficial Owner yang termasuk dalam kategori PEP. (2) Dalam hal calon Pengguna Jasa, Pengguna Jasa, atau Beneficial Owner termasuk dalam kategori PEP, Penyelenggara wajib melaksanakan EDD. - 24 - (3) Pelaksanaan EDD yang wajib dilakukan terhadap PEP paling sedikit berupa identifikasi dan verifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16, Pasal 17, Pasal 20, Pasal 21, dan Pasal 23 serta: a. melakukan langkah yang diperlukan untuk menentukan sumber dana; dan b. meningkatkan pemantauan termasuk menambah kriteria pola transaksi yang perlu dianalisis lebih lanjut. Pasal 35 Ketentuan yang berlaku bagi PEP, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 berlaku pula bagi anggota keluarga PEP atau pihak terkait dengan PEP. Bagian Kedelapan Penolakan dan Penghentian Hubungan Usaha Pasal 36 (1) Penyelenggara wajib menolak melakukan hubungan usaha, menolak transaksi, membatalkan transaksi, dan/atau menutup hubungan usaha, dalam hal: a. calon Pengguna Jasa, Pengguna Jasa, dan/atau Beneficial Owner tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 dan Pasal 17; b. Penyelenggara mengetahui atau patut menduga bahwa calon Pengguna Jasa, Pengguna Jasa, dan/atau Beneficial Owner menggunakan nama fiktif dan/atau anonim; dan/atau c. Penyelenggara meragukan atau tidak dapat meyakini kebenaran identitas calon Pengguna Jasa, Pengguna Jasa dan/atau Beneficial Owner. (2) Penyelenggara harus mendokumentasikan identitas calon Pengguna Jasa, Pengguna Jasa, dan/atau Beneficial Owner sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Penyelenggara wajib melaporkan calon Pengguna Jasa, Pengguna Jasa dan/atau Beneficial Owner sebagaimana - 25 - dimaksud pada ayat (1) dalam laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan. (4) Kewenangan Penyelenggara untuk menolak, membatalkan dan/atau menutup hubungan usaha dengan Pengguna Jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dicantumkan dalam perjanjian pembukaan rekening dan diberitahukan kepada Pengguna Jasa. Pasal 37 (1) Dalam hal Penyelenggara melakukan penutupan hubungan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1), Penyelenggara wajib memberitahukan secara tertulis kepada Pengguna Jasa mengenai penutupan hubungan usaha tersebut. (2) Dalam hal setelah dilakukan pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pengguna Jasa tidak mengambil sisa dana yang tersimpan di Penyelenggara maka penyelesaian terhadap sisa dana Pengguna Jasa yang tersimpan di Penyelenggara dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 38 Dalam hal Penyelenggara menduga terdapat transaksi yang terkait dengan Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme, dan meyakini bahwa pelaksanaan CDD dapat mengakibatkan pelanggaran ketentuan anti tipping-off maka Penyelenggara: a. dapat menghentikan pelaksanaan CDD; dan b. wajib melaporkan transaksi tersebut sebagai Transaksi Keuangan Mencurigakan kepada PPATK. Bagian Kesembilan Pelaksanaan CDD oleh Pihak Ketiga Pasal 39 (1) Penyelenggara dapat melakukan kerja sama dengan pihak ketiga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 untuk melaksanakan CDD. - 26 - (2) Penyelenggara dapat menggunakan hasil CDD yang dilakukan oleh pihak ketiga. (3) Pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu: a. pihak yang mewakili Penyelenggara bertindak untuk dan atas nama Penyelenggara; b. Penyelenggara lain yang telah melaksanakan CDD terhadap calon Pengguna Jasa atau Pengguna Jasa; atau c. Perusahaan yang berada dalam kelompok usaha yang sama dengan Penyelenggara. (4) Penyelenggara wajib melaporkan penggunaan hasil CDD pihak ketiga kepada Bank Indonesia. (5) Tanggung jawab atas penggunaan hasil CDD pihak ketiga tetap berada pada Penyelenggara. Pasal 40 (1) Dalam hal Penyelenggara menggunakan hasil CDD pihak ketiga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (3) huruf a, berlaku ketentuan sebagai berikut: a. Penyelenggara dianggap melakukan CDD sendiri dan merupakan bagian dari kebijakan, prosedur, dan sistem pengendalian intern yang telah ditetapkan Penyelenggara; b. Penyelenggara wajib mendapatkan hasil CDD, termasuk dokumen identitas Pengguna Jasa dan dokumen pendukung CDD lainnya dengan segera; c. Penyelenggara wajib memastikan kepatuhan pihak ketiga terhadap ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia ini dan/atau terhadap kebijakan dan prosedur APU dan PPT yang ditetapkan oleh Penyelenggara; dan d. Penyelenggara wajib menatausahakan daftar pihak ketiga. (2) Dalam hal Penyelenggara akan menggunakan hasil CDD dari Penyelenggara lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (3) huruf b atau perusahaan yang berada - 27 - dalam Kelompok Usaha yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (3) huruf c, Penyelenggara wajib: a. memiliki hubungan kerja sama dengan pihak ketiga dalam bentuk kesepakatan tertulis; b. segera mendapatkan informasi hasil CDD; c. memastikan ketersediaan salinan dokumen identitas Pengguna Jasa dan dokumen pendukung CDD lainnya pada saat diminta; d. memastikan bahwa pihak ketiga diawasi oleh otoritas yang berwenang terhadap kepatuhan atas ketentuan APU dan PPT; dan e. memastikan negara tempat pihak ketiga tersebut tidak termasuk negara berisiko tinggi. (3) Penyelenggara wajib memastikan pihak ketiga tetap menjaga keamanan dan kerahasiaan hasil CDD. Bagian Kesepuluh Transfer Dana Pasal 41 (1) Identifikasi dan verifikasi Pengguna Jasa dalam kegiatan Transfer Dana wajib dilakukan oleh: a. penyelenggara pengirim asal terhadap pengirim asal (originator); dan b. penyelenggara penerima akhir terhadap penerima (beneficiary). (2) Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi penyelenggara penerus. Pasal 42 (1) Informasi yang disampaikan oleh penyelenggara pengirim asal kepada penyelenggara penerus atau kepada penyelenggara penerima akhir paling sedikit mengenai: a. identitas pengirim asal; b. nomor rekening pengirim asal atau nomor referensi unik transaksi; c. nama penerima; dan - 28 - d. nomor rekening penerima atau nomor referensi unik transaksi. (2) Untuk Transfer Dana lintas negara dengan nilai kurang dari Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau setara, identitas pengirim asal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a hanya berupa nama pengirim asal. (3) Untuk Transfer Dana domestik, informasi yang disampaikan oleh penyelenggara pengirim asal kepada penyelenggara penerus atau penyelenggara penerima akhir dapat berupa: a. nomor rekening pengirim asal atau nomor referensi unik transaksi; dan b. nomor rekening penerima atau nomor referensi unik transaksi, sepanjang nomor rekening atau nomor referensi unik transaksi dimaksud dapat digunakan untuk menelusuri identitas pengirim asal dan penerima. (4) Dalam hal terdapat permintaan informasi dari otoritas yang berwenang, Penyelenggara wajib menyampaikan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), atau ayat (3) paling lambat 3 (tiga) hari kerja sejak permintaan diterima. (5) Penyelenggara pengirim asal yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4), dilarang melaksanakan perintah Transfer Dana dari pengirim asal. Pasal 43 (1) Penyelenggara penerus wajib memastikan kelengkapan informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 yang disampaikan penyelenggara pengirim asal. (2) Penyelenggara penerus wajib memiliki dan melaksanakan kebijakan dan prosedur tindak lanjut, termasuk apabila informasi yang disampaikan tidak lengkap. (3) Penyelenggara penerus wajib meneruskan seluruh informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada penyelenggara penerus lainnya atau penyelenggara penerima akhir. - 29 - (4) Penyelenggara penerus wajib menatausahakan seluruh informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal 44 (1) Penyelenggara penerima akhir wajib memastikan kelengkapan informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 yang disampaikan penyelenggara pengirim asal atau penyelenggara penerus. (2) Penyelenggara penerima akhir wajib memiliki dan melaksanakan kebijakan dan prosedur untuk menentukan tindak lanjut, termasuk apabila informasi yang disampaikan tidak lengkap. Pasal 45 Penyelenggara pengirim asal yang sekaligus bertindak sebagai penyelenggara penerima akhir harus memperhatikan dan menganalisis seluruh informasi tentang pengirim asal dan penerima yang dimilikinya dalam menyusun laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan yang disampaikan kepada otoritas yang berwenang. Pasal 46 Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42, Pasal 43, dan Pasal 44 tidak berlaku terhadap: a. transaksi yang menggunakan kartu debit, kartu ATM, kartu kredit, atau uang elektronik sepanjang digunakan untuk pembayaran atas barang atau jasa; dan b. Transfer Dana antar-Penyelenggara untuk kepentingan Penyelenggara sendiri. Bagian Kesebelas Penanganan Daftar Terduga Teroris dan Organisasi Teroris serta Daftar Pendanaan Proliferasi Senjata Pemusnah Massal Pasal 47 (1) Penyelenggara wajib menatausahakan dan mengkinikan daftar terduga teroris dan organisasi teroris serta daftar - 30 - pendanaan proliferasi senjata pemusnah massal sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pencegahan pendanaan terorisme dan pendanaan proliferasi senjata pemusnah massal. (2) Penyelenggara wajib melakukan pengecekan kesamaan nama dan informasi lainnya dari calon Pengguna Jasa dan Pengguna Jasa dengan daftar sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Dalam hal terdapat kesamaan nama dan informasi lainnya dari calon Pengguna Jasa dan Pengguna Jasa dengan daftar sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Penyelenggara wajib segera melakukan pemblokiran secara serta merta, melaporkannya sebagai laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan, dan melakukan tindak lanjut lainnya sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. BAB V ANTI TIPPING-OFF Pasal 48 (1) Dewan Komisaris, Direksi, pengurus, dan/atau pegawai Penyelenggara dilarang memberitahukan kepada Pengguna Jasa atau pihak lain manapun, baik secara langsung maupun tidak langsung, dengan cara apapun mengenai laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan yang sedang disusun atau telah disampaikan kepada PPATK. (2) Penyelenggara wajib menjaga kerahasiaan informasi dalam pelaksanaan CDD dengan memperhatikan ketentuan anti tipping-off sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang. (3) Ketentuan mengenai larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk pemberian informasi kepada Bank Indonesia. - 31 - BAB VI KERJA SAMA DAN PENGEMBANGAN PRODUK ATAU TEKNOLOGI BARU Bagian Kesatu Hubungan Kerja Sama Pasal 49 (1) Penyelenggara wajib mengumpulkan informasi mengenai pihak yang akan diajak bekerja sama dan melakukan penilaian dampak pelaksanaan hubungan kerja sama terhadap profil risiko Penyelenggara dalam APU dan PPT sebelum melakukan hubungan kerja sama dengan pihak lain. (2) Dalam kerja sama Transfer Dana, penyelenggara pengirim yang menyediakan jasa Transfer Dana lintas negara wajib: a. menolak untuk melakukan kerja sama dengan shell bank; dan b. memastikan bahwa pihak yang melakukan kerja sama tidak mengizinkan rekeningnya digunakan oleh shell bank. Bagian Kedua Pengembangan Produk dan Teknologi Baru Pasal 50 (1) Penyelenggara wajib melakukan identifikasi dan penilaian risiko Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 sebelum melakukan pengembangan produk baru dan/atau menggunakan teknologi baru. (2) Penyelenggara wajib melakukan pengendalian dan mitigasi atas risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1). - 32 - BAB VII PENATAUSAHAAN DOKUMEN Pasal 51 (1) Penyelenggara wajib menatausahakan: a. dokumen yang terkait dengan data Pengguna Jasa dengan jangka waktu paling singkat 5 (lima) tahun sejak: 1. berakhirnya hubungan usaha atau transaksi dengan Pengguna Jasa; atau 2. ditemukan ketidaksesuaian transaksi dengan profil risiko Pengguna Jasa; dan b. dokumen yang terkait dengan transaksi keuangan Pengguna Jasa dengan jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai dokumen perusahaan. (2) Dokumen yang terkait dengan data Pengguna Jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a paling sedikit berupa: a. identitas Pengguna Jasa termasuk dokumen pendukungnya; b. bukti verifikasi data Pengguna Jasa; c. hasil pemantauan dan analisis yang telah dilakukan; d. korespondensi dengan Pengguna Jasa; dan e. dokumen yang terkait dengan pelaporan Transaksi Keuangan Mencurigakan apabila ada. (3) Penyelenggara wajib segera memberikan data, informasi, dan/atau dokumen yang ditatausahakan apabila diminta oleh Bank Indonesia, penegak hukum dan/atau otoritas lain yang berwenang sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. (4) Penatausahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan lebih lama jika terkait kasus tertentu dan/atau diminta oleh Bank Indonesia, otoritas yang berwenang, dan/atau penegak hukum sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. - 33 - BAB VIII PENGAWASAN Pasal 52 (1) Bank Indonesia melakukan pengawasan berbasis risiko terhadap penerapan APU dan PPT oleh Penyelenggara. (2) Pengawasan berbasis risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan suatu kegiatan pengawasan secara berkesinambungan yang meliputi proses identifikasi, pemantauan, dan penilaian risiko. (3) Pengawasan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara langsung dan tidak langsung. Pasal 53 Untuk pengawasan oleh Bank Indonesia, Penyelenggara wajib: a. mengenali, menatausahakan, dan melakukan pengkinian data mengenai Beneficial Owner Penyelenggara; dan b. memastikan ketersediaan data mengenai Beneficial Owner sebagaimana dimaksud pada huruf a untuk kepentingan pengawasan Bank Indonesia. BAB IX PELAPORAN Pasal 54 (1) Penyelenggara wajib menyampaikan kepada Bank Indonesia: a. laporan perubahan kebijakan dan prosedur tertulis penerapan APU dan PPT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (5) paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja sejak perubahan dilakukan; b. c. laporan tahunan penerapan APU dan PPT paling lambat pada bulan Januari tahun berikutnya; laporan pembekuan transaksi, pemblokiran rekening, dan/atau penolakan transaksi terkait daftar terduga teroris dan organisasi teroris atau daftar pendanaan - 34 - d. proliferasi senjata pemusnah massal, paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja sejak pembekuan, pemblokiran, dan/atau penolakan transaksi dilakukan; dan laporan lainnya. (2) Dalam hal tanggal pelaporan jatuh pada hari libur, penyampaian laporan dilakukan pada hari kerja berikutnya. Pasal 55 (1) Penyelenggara wajib menyampaikan laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan, laporan transaksi keuangan tunai, laporan transaksi keuangan transfer dana dari dan ke luar negeri, dan laporan lain kepada PPATK sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Kewajiban Penyelenggara untuk melaporkan Transaksi Keuangan Mencurigakan juga berlaku untuk transaksi yang diduga terkait dengan kegiatan terorisme atau pendanaan terorisme. (3) Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan berpedoman pada ketentuan yang diterbitkan oleh PPATK. BAB X KOORDINASI Pasal 56 (1) Bank Indonesia dapat melakukan koordinasi dan kerja sama dengan pihak dan otoritas lain yang berwenang, baik di dalam maupun di luar negeri. (2) Koordinasi dan kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dalam bentuk: a. pertukaran informasi; b. perumusan ketentuan dan/atau pedoman; c. pelaksanaan pengawasan; d. sosialisasi; e. pendidikan dan pelatihan; - 35 - f. penelitian atau riset; g. penugasan pegawai; dan/atau h. pengembangan sistem informasi. (3) Bank Indonesia dapat merekomendasikan kepada otoritas berwenang lainnya untuk melakukan pembinaan atau mengenakan sanksi kepada Penyelenggara yang juga berada di bawah pengawasan otoritas tersebut. BAB XI SANKSI Pasal 57 (1) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13, Pasal 16, Pasal 17 ayat (2), Pasal 19, Pasal 21 ayat (3), Pasal 23, Pasal 27 ayat (3), Pasal 28 ayat (1), Pasal 29 ayat (3), Pasal 29 ayat (6), Pasal 31, Pasal 32, Pasal 33, Pasal 34, Pasal 36, Pasal 37 ayat (1), Pasal 38, Pasal 39 ayat (4), Pasal 40, Pasal 41 ayat (1), Pasal 42 ayat (4), Pasal 43, Pasal 44, Pasal 47, Pasal 48 ayat (2), Pasal 49, Pasal 50, Pasal 51 ayat (1), Pasal 51 ayat (3), Pasal 53, Pasal 54 ayat (1), Pasal 55 ayat (1), Pasal 59 ayat (1), dan/atau Pasal 61, dikenakan sanksi administratif: a. kepada Penyelenggara berupa: 1. teguran tertulis; 2. kewajiban membayar; 3. pembatasan kegiatan usaha; 4. penghentian sementara terhadap sebagian atau seluruh kegiatan usaha; dan/atau 5. pencabutan izin; dan/atau - 36 - b. kepada anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, pemegang saham dan/atau Pejabat Eksekutif Penyelenggara berupa: 1. pemberhentian sebagai anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, dan/atau Pejabat Eksekutif; dan/atau 2. larangan untuk menjadi anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, Pemegang Saham, dan/atau Pejabat Eksekutif pada lembaga yang menyelenggarakan jasa sistem pembayaran dan kegiatan usaha penukaran valuta asing, yang berada di bawah pengawasan Bank Indonesia paling lama 5 (lima) tahun. (2) Pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan tingkat pelanggaran, akibat yang ditimbulkan dan/atau faktor lainnya yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. (3) Bank Indonesia dapat mengumumkan kepada publik mengenai pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal 58 Sanksi berupa pencabutan izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (1) huruf a dan/atau larangan menjadi anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris dan/atau pemegang saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (1) huruf b juga dapat dikenakan dalam hal Penyelenggara, anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, Pemegang Saham, dan/atau Pejabat Eksekutif diputus bersalah karena terbukti melakukan tindak pidana tertentu berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. - 37 - Pasal 59 (1) Dalam hal Bank Indonesia mengenakan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (1) huruf b dan Pasal 58 maka: a. anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, dan/atau pemegang saham dilarang mengambil keputusan dan/atau melakukan kegiatan lain yang mempunyai pengaruh terhadap kebijakan dan kondisi keuangan Penyelenggara sejak tanggal surat pemberitahuan dari Bank Indonesia; b. Penyelenggara wajib menyelenggarakan rapat umum pemegang saham untuk memberhentikan anggota Direksi dan/atau anggota Dewan Komisaris paling lama 20 (dua puluh) hari kerja sejak tanggal surat pemberitahuan dari Bank Indonesia; dan c. pemegang saham wajib mengalihkan sahamnya paling lama 90 (sembilan puluh) hari sejak tanggal surat pemberitahuan dari Bank Indonesia. (2) Selama jangka waktu pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia dapat menghentikan sementara kegiatan usaha Penyelenggara. (3) Dalam hal setelah berakhirnya jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan huruf c Penyelenggara tidak melakukan perubahan terhadap anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, dan/atau pemegang saham, berlaku ketentuan sebagai berikut: a. Penyelenggara dapat dikenakan sanksi administratif; b. Bank Indonesia tidak mengakui segala hubungan hukum yang dilakukan anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, dan/atau pemegang saham; dan c. segala tindakan yang dilakukan oleh anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, dan/atau pemegang saham merupakan tanggung jawab pribadi yang bersangkutan. - 38 - BAB XII KETENTUAN LAIN-LAIN Pasal 60 Bank Indonesia dapat menetapkan pihak selain PJSP Selain Bank dan Penyelenggara KUPVA Bukan Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 untuk tunduk pada ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia ini. BAB XIII KETENTUAN PERALIHAN Pasal 61 (1) Penyelenggara yang telah memperoleh izin dari Bank Indonesia sebelum berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini wajib menyesuaikan kebijakan dan prosedur tertulis penerapan APU dan PPT sesuai dengan Peraturan Bank Indonesia ini paling lambat 6 (enam) bulan sejak Peraturan Bank Indonesia ini diundangkan. (2) Kebijakan dan prosedur tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) serta penyesuaiannya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib dilaporkan kepada Bank Indonesia paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja sejak berakhirnya jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1). BAB XIV KETENTUAN PENUTUP Pasal 62 Pada saat Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku: a. Peraturan Bank Indonesia Nomor 12/3/PBI/2010 tentang Penerapan Program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme pada Pedagang Valuta Asing Bukan Bank (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 46, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5118); - 39 - b. Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/3/2012 tentang Program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme bagi Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran Selain Bank (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5302); c. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 12/10/DPM tanggal 30 Maret 2010 perihal Pedoman Standar Penerapan Program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme pada Pedagang Valuta Asing Bukan Bank; dan d. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 14/38/DASP tanggal 28 Desember 2012 perihal Pedoman Standar Penerapan Program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme bagi Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran Selain Bank, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 63 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. - 40 - Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 6 September 2017 GUBERNUR BANK INDONESIA, AGUS D.W. MARTOWARDOJO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 11 September 2017 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2017.NOMOR 204 PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 19/10/PBI/2017 TENTANG PENERAPAN ANTI PENCUCIAN UANG DAN PENCEGAHAN PENDANAAN TERORISME BAGI PENYELENGGARA JASA SISTEM PEMBAYARAN SELAIN BANK DAN PENYELENGGARA KEGIATAN USAHA PENUKARAN VALUTA ASING BUKAN BANK I. UMUM Sesuai dengan Undang-Undang tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU) dan Undang- Undang tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme (UU TPPT), Bank Indonesia merupakan salah satu Lembaga Pengawas dan Pengatur (LPP) yang memiliki kewenangan untuk melakukan pengawasan, pengaturan, dan mengenakan sanksi terhadap pihak pelapor dalam penerapan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai anti pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme. Pihak pelapor yang berada di bawah kewenangan Bank Indonesia yaitu Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran (PJSP) selain Bank berupa penyelenggara alat pembayaran dengan menggunakan kartu, penyelenggara uang elektronik dan/atau dompet elektronik, dan penyelenggara transfer dana. Selain PJSP selain Bank, pihak pelapor yang juga berada di bawah kewenangan Bank Indonesia adalah penyelenggara kegiatan usaha penukaran valuta asing bukan bank. Untuk menjalankan kewenangan tersebut, Bank Indonesia menerbitkan Peraturan Bank Indonesia mengenai penerapan Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme (APU dan PPT) dan melakukan pengawasan terhadap penerapannya. -2- Peraturan Bank Indonesia ini telah diselaraskan dengan rekomendasi FATF sebagai lembaga yang menetapkan standar acuan bagi negara di seluruh dunia dalam menerapkan langkah pencegahan dan pemberantasan pencucian uang dan pendanaan terorisme. Sebagai suatu dokumen yang bersifat dinamis, rekomendasi FATF terus menerus mengalami penyesuaian seiring dengan perkembangan praktik pencucian uang dan pendanaan terorisme. Perkembangan inovasi teknologi mendorong perkembangan produk atau jasa dan model bisnis kegiatan sistem pembayaran sehingga menjadi lebih maju dan kompleks. Selain itu, kemajuan teknologi informasi telah menghilangkan batas negara yang memudahkan terjadinya kejahatan terorganisasi (organized crime) secara lintas batas (transnational crime) sehingga risiko pencucian uang dan pendanaan terorisme semakin meningkat. Sebagai langkah antisipasi atas perkembangan tersebut, Bank Indonesia memandang perlu untuk melakukan penyempurnaan pengaturan tentang penerapan APU dan PPT di bidang sistem pembayaran dan kegiatan usaha penukaran valuta asing, sehingga terdapat keseimbangan antara upaya mengendalikan risiko Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme dengan upaya mendukung penggunaan kegiatan ekonomi nasional. Salah satu pendekatan yang direkomendasikan oleh FATF dalam menerapkan APU dan PPT adalah dengan menggunakan pendekatan berbasis risiko (risk based approach) terhadap faktor risiko terkait karakteristik nasabah, produk, wilayah geografis, dan jalur atau jaringan transaksi (delivery channel). Pendekatan berbasis risiko wajib diterapkan baik oleh Penyelenggara dalam melaksanakan kegiatan usahanya maupun oleh Bank Indonesia dalam melaksanakan pengawasan. Dengan menggunakan pendekatan berbasis risiko diharapkan pengelolaan sumber daya pengawasan dapat diaplikasikan pada area yang memiliki risiko tinggi. Pengelolaan dan mitigasi risiko Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme juga harus dilakukan secara terintegrasi dengan hasil penilaian risiko secara nasional dan sektoral. Penyusunan Peraturan Bank Indonesia ini diharapkan dapat mendukung upaya mewujudkan sistem keuangan yang lebih bersih, sehat, dengan integritas tinggi, yang sejalan dengan upaya mewujudkan sistem pembayaran yang aman, efisien, lancar, dan andal yang berkontribusi terhadap perekonomian, stabilitas moneter, dan stabilitas sistem keuangan -3- dengan memperhatikan perluasan akses, perlindungan konsumen, dan kepentingan nasional. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Ayat (1) Huruf a Kewajiban penerapan APU dan PPT didasarkan pada alasan dan pertimbangan karena pihak tersebut melakukan hubungan usaha dalam bentuk pembukaan rekening dan/atau menyediakan fasilitas pemindahan dana. Huruf b Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud dengan “penyelenggara transfer dana” adalah penyelenggara transfer dana sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai transfer dana. Huruf b Yang dimaksud dengan “penerbit alat pembayaran dengan menggunakan kartu (APMK)” adalah penerbit kartu debet, kartu ATM dan/atau kartu kredit sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai alat pembayaran dengan menggunakan kartu. Huruf c Yang dimaksud dengan “penerbit uang elektronik” adalah penerbit uang elektronik sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai uang elektronik. Huruf d Yang dimaksud dengan “penyelenggara dompet elektronik” adalah penyelenggara dompet elektronik yang memberikan -4- layanan elektronik untuk menyimpan data instrumen pembayaran dan menampung dana untuk melakukan pembayaran sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan pemrosesan transaksi pembayaran. Pemenuhan ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia ini bagi penyelenggara dompet elektronik terbatas untuk sisi dana yang ditampung dalam dompet elektronik yang diselenggarakannya. Pasal 3 Penerapan APU dan PPT diselaraskan dengan penerapan prinsip good corporate governance. Pasal 4 Cukup jelas. Pasal 5 Cukup jelas. Pasal 6 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cakupan kebijakan dan prosedur dapat disesuaikan apabila: a. Penyelenggara hanya memberikan jasa kepada Penyelenggara lain dan tidak berhubungan langsung dengan Pengguna Jasa, misalnya penyelenggara penerus dalam Transfer Dana; atau b. Penyelenggara tidak melakukan kegiatan Transfer Dana, misalnya Penyelenggara KUPVA Bukan Bank. Huruf a Kebijakan dan prosedur CDD antara lain: 1. pembukaan hubungan usaha dengan Pengguna Jasa; 2. identifikasi dan verifikasi identitas Pengguna Jasa dan Beneficial Owner apabila ada; -5- 3. penentuan profil risiko dan pengelompokan Pengguna Jasa ke dalam tingkat risiko rendah, sedang atau tinggi; 4. pemantauan terhadap transaksi dengan memperhatikan profil Pengguna Jasa; dan 5. penolakan pembukaan hubungan usaha, pelaksanaan transaksi, dan penutupan hubungan usaha. Huruf b Termasuk dalam prosedur pengelolaan data, informasi, dan dokumen yaitu: 1. pengkinian data, informasi, dan dokumen; dan 2. penyediaan data, informasi, dan dokumen untuk kepentingan internal seperti unit kepatuhan, unit audit internal, dan unit bisnis lain maupun eksternal seperti Bank Indonesia, PPATK, penegak hukum dan otoritas yang berwenang. Huruf c Termasuk dalam prosedur pelaporan adalah: 1. identifikasi, analisis, investigasi, dan pelaporan Transaksi Keuangan Mencurigakan; 2. pelaporan lainnya sesuai dengan ketentuan perundang-undangan antara lain laporan transaksi keuangan tunai dan laporan Transfer Dana dari dan ke luar negeri; dan 3. pengamanan data dan kerahasiaan laporan tersebut. Ayat (3) Kebijakan dan prosedur Transfer Dana antara lain: a. penerimaan dan/atau penerusan Transfer Dana; b. penelitian kelengkapan informasi dalam Transfer Dana dan tindak lanjutnya; dan c. penyerahan dana kepada penerima (beneficiary). Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. -6- Pasal 7 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Risiko Pengguna Jasa ditentukan antara lain dengan berdasarkan jenis pekerjaan, kewarganegaraan, bidang usaha, skala kegiatan usaha, dan kepemilikan. Huruf b Risiko negara atau wilayah geografis ditentukan antara lain berdasarkan lokasi pengiriman dan/atau penerimaan dana, atau wilayah yang berbatasan dengan negara lain. Huruf c Risiko produk atau jasa ditentukan antara lain berdasarkan penggunaan uang tunai, limit transaksi yang dapat dilakukan, penggunaan teknologi baru, ketersediaan fitur Transfer Dana person to person (P2P) dan Transfer Dana lintas negara. Huruf d Risiko jalur atau jaringan transaksi (delivery channels) ditentukan antara lain berdasarkan penggunaan platform berbasis web, internet atau media lainnya yang memungkinkan transaksi dilakukan tanpa hubungan face- to-face, dan penggunaan pihak ketiga dalam melakukan hubungan usaha dengan Pengguna Jasa. Ayat (3) Hasil identifikasi dan penilaian risiko oleh otoritas yang berwenang antara lain berupa national risk assessment (NRA) dan sectoral risk assesment (SRA). Yang dimaksud dengan “otoritas yang berwenang” adalah Bank Indonesia, PPATK dan/atau otoritas yang berwenang lainnya. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. -7- Ayat (6) Peningkatan pengelolaan dan mitigasi risiko (enhanced measure) dilakukan antara lain dengan memperketat prosedur pembukaan hubungan usaha, meningkatkan frekuensi pengkinian data, dan memperkuat mekanisme untuk mendeteksi Transaksi Keuangan Mencurigakan. Pasal 8 Huruf a Penyaringan dalam rangka penerimaan pegawai (pre-employee screening) merupakan prosedur untuk mengenali profil calon pegawai dengan tujuan untuk memastikan industri keuangan hanya dijalankan oleh orang yang memiliki standar etik, integritas, dan profesionalisme yang tinggi. Huruf b Pemantauan profil pegawai (know your employee) dapat dilakukan melalui pengenalan latar belakang, karakter, perilaku, dan gaya hidup pegawai. Huruf c Materi pelatihan dan peningkatan pemahaman (awareness) pegawai antara lain: 1. penerapan ketentuan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan APU dan PPT; 2. teknik, metode, dan tipologi Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme; dan 3. kebijakan dan prosedur penerapan APU dan PPT serta peran dan tanggung jawab pegawai dalam mencegah dan memberantas Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme. Pasal 9 Huruf a Dalam hal Penyelenggara memiliki skala usaha yang kecil, teknologi yang digunakan sederhana atau tingkat risiko Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme yang rendah, Penyelenggara dapat menunjuk Direksi atau Pejabat Eksekutif yang memiliki fungsi atau bertanggung jawab untuk memastikan -8- efektivitas penerapan APU dan PPT dalam kegiatan operasional sehari-hari. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Pelaksanaan audit terhadap penerapan APU dan PPT dapat dilakukan oleh auditor internal maupun auditor eksternal, sepanjang Penyelenggara dapat memastikan independensi dan objektivitas pelaksanaan audit dimaksud. Frekuensi, cakupan, dan kedalaman audit disesuaikan dengan karakteristik, skala, dan kompleksitas kegiatan usaha Penyelenggara serta tingkat risiko Penyelenggara. Cakupan audit antara lain pengujian terhadap: 1. kecukupan kebijakan dan prosedur pengelolaan dan mitigasi risiko; 2. efektivitas pelaksanaan kebijakan dan prosedur; 3. kualitas parameter yang diterapkan untuk mengidentifikasi risiko; dan 4. efektivitas pelaksanaan kebijakan dan prosedur manajemen sumber daya manusia. Pasal 10 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “perusahaan anak” adalah perusahaan yang mayoritas kepemilikan saham dan/atau pengendaliannya berada pada Penyelenggara. Termasuk dalam pengertian kantor cabang adalah seluruh kantor yang melakukan kegiatan operasional dan melayani Pengguna Jasa. Ayat (2) Huruf a Pertukaran informasi dilakukan dalam rangka pelaksanaan CDD dan pengelolaan risiko Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme. Huruf b Data dan informasi dari perusahaan anak dan kantor cabang antara lain profil Pengguna Jasa, rekening, dan/atau -9- transaksi Pengguna Jasa, serta tipologi atau modus Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme. Huruf c Cukup jelas. Pasal 11 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Penyampaian informasi kepada Bank Indonesia disertai dengan penjelasan, ketentuan terkait, dan/atau surat atau keterangan dari otoritas yang berwenang di negara tempat kedudukan perusahaan anak dan kantor cabang apabila memungkinkan. Pasal 12 Yang dimaksud dengan “pihak ketiga” adalah pihak yang mewakili Penyelenggara atau bertindak untuk dan atas nama Penyelenggara dalam berhubungan dengan calon Pengguna Jasa atau Pengguna Jasa secara langsung. Termasuk dalam pengertian pihak ketiga antara lain agen, tempat penguangan tunai (TPT) dari penyelenggara transfer dana, dan agen layanan keuangan digital (LKD) dari penerbit uang elektronik. Pasal 13 Cukup jelas. Pasal 14 Huruf a Dalam rangka melakukan identifikasi, Penyelenggara mengklasifikasikan Pengguna Jasa ke dalam kelompok orang perseorangan (natural person), Korporasi berupa badan hukum atau badan usaha, dan perikatan lainnya (legal arrangement). Penyelenggara mengkategorikan Pengguna Jasa sesuai tingkat risiko yaitu risiko rendah, risiko sedang, atau risiko tinggi. -10- Penetapan tingkat risiko Pengguna Jasa dapat dilakukan antara lain berdasarkan identitas, lokasi usaha, profil risiko, jumlah transaksi, penghasilan, dan struktur kepemilikan pengguna jasa. Huruf b Untuk melakukan verifikasi pihak yang bertindak untuk dan atas nama Pengguna Jasa maka verifikasi harus dilakukan terhadap pemberi dan penerima kuasa, dan kuasa yang diberikan kepada penerima kuasa. Huruf c Pemantauan secara berkesinambungan antara lain dilakukan dengan menganalisis kesesuaian transaksi Pengguna Jasa termasuk sumber dana apabila diperlukan. Huruf d Penyelenggara meminta langsung informasi mengenai maksud dan tujuan transaksi/hubungan usaha dan sumber dana kepada Pengguna Jasa atau dapat memperoleh informasi mengenai hal tersebut dengan cara lain yang relevan, sepanjang dapat diyakini kebenarannya. Pasal 15 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Terhadap dua atau beberapa transaksi yang diduga saling terkait, berhubungan, atau merupakan transaksi yang dipecah-pecah menjadi lebih kecil atau direstrukturisasi untuk menghindari ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia ini, Penyelenggara harus memperlakukannya sebagai satu kesatuan transaksi. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Prosedur CDD dilakukan tanpa memperhatikan adanya pengecualian atau batasan nilai transaksi sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini terhadap Transaksi Keuangan Mencurigakan. Huruf e Cukup jelas. -11- Pasal 16 Ayat (1) Penyampaian data dan informasi dapat dilakukan secara langsung atau melalui sarana teknologi/elektronik. Huruf a Angka 1 Cukup jelas. Angka 2 Cukup jelas. Angka 3 Informasi mengenai alamat tempat tinggal lain diperlukan apabila calon Pengguna Jasa atau Pengguna Jasa memiliki alamat tempat tinggal berbeda dengan alamat yang tercatat pada dokumen identitas. Angka 4 Cukup jelas. Angka 5 Cukup jelas. Angka 6 Cukup jelas. Angka 7 Cukup jelas. Angka 8 Cukup jelas. Angka 9 Termasuk tanda tangan adalah tanda tangan digital sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan. Data biometerik antara lain dalam bentuk sidik jari milik Pengguna Jasa. Huruf b Angka 1 Cukup jelas. Angka 2 Cukup jelas. Angka 3 Cukup jelas. -12- Angka 4 Termasuk izin yaitu izin lainnya yang dipersamakan dengan izin yang dikeluarkan oleh instansi yang berwenang. Angka 5 Penyelenggara dapat meminta informasi mengenai alamat kegiatan usaha lain apabila diperlukan. Angka 6 Cukup jelas. Angka 7 Cukup jelas. Angka 8 Bagi Korporasi dalam bentuk selain perseroan terbatas, berupa nama orang perseorangan (natural person) yang mempunyai posisi yang sama atau setara dengan pengurus dalam perseroan terbatas. Angka 9 Bagi Korporasi dalam bentuk selain perseroan terbatas atau tidak menggunakan saham sebagai ukuran kepemilikan, berupa nama orang perseorangan (natural person) yang merupakan pihak yang memiliki kewenangan untuk mempengaruhi atau mengendalikan Korporasi tanpa harus mendapat otorisasi dari pihak manapun. Angka 10 Cukup jelas. Huruf c Perikatan lainnya (legal arrangement) antara lain trustee. Contoh bank umum sebagai trustee yaitu pengelola atau penerima harta trust. Angka 1 Cukup jelas. Angka 2 Termasuk izin yaitu izin lainnya yang dipersamakan dengan izin yang dikeluarkan oleh instansi yang berwenang. -13- Angka 3 Cukup jelas. Angka 4 Cukup jelas. Angka 5 Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Angka 1 Cukup jelas. Angka 2 Cukup jelas. Angka 3 Bagi calon Pengguna Jasa atau Pengguna Jasa orang perseorangan (natural person) yang berkewarganegaraan asing, paspor sebagaimana dimaksud harus disertai dengan kartu izin tinggal sesuai dengan ketentuan keimigrasian apabila hubungan usaha dengan Penyelenggara dilakukan dalam bentuk pembukaan rekening atau hubungan usaha lain yang berkelanjutan. Dokumen kartu izin tinggal dapat digantikan oleh dokumen lainnya yang dapat memberikan keyakinan kepada Penyelenggara tentang profil calon Pengguna Jasa berkewarganegaraan asing tersebut antara lain surat referensi dari: a) seorang berkewarganegaraan Indonesia atau perusahaan/instansi/pemerintah Indonesia mengenai profil calon Pengguna Jasa berkewarganegaraan asing; atau b) bank di negara atau jurisdiksi tempat kedudukan calon Pengguna Jasa, dimana negara atau jurisdiksi tersebut tidak tergolong berisiko tinggi. Angka 4 Dokumen resmi lainnya yang dikeluarkan oleh Instansi Pemerintah berupa dokumen identitas lainnya yang -14- menampilkan foto calon Pengguna Jasa atau Pengguna Jasa dan memuat informasi identitas. Huruf b Dokumen pendirian dan izin Korporasi disesuaikan dengan bentuk badan hukum atau badan usaha dan bidang usaha yang dilakukan. Huruf c Cukup jelas. Pasal 17 Cukup jelas. Pasal 18 Ayat (1) Termasuk dengan meminta lebih dari satu dokumen identitas, misalnya selain kartu tanda penduduk meminta pula paspor atau surat izin mengemudi. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 19 Yang dimaksud dengan “lembaga negara” adalah lembaga yang memiliki kewenangan eksekutif, yudikatif, atau legislatif. Yang dimaksud dengan “instansi pemerintah” adalah sebutan kolektif dari unit organisasi pemerintahan yang menjalankan tugas dan fungsinya, meliputi: a. kementerian koordinator; b. kementerian negara; c. kementerian; d. lembaga negara nonkementerian; e. pemerintah propinsi; f. pemerintah kota; g. pemerintah kabupaten; h. lembaga negara yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang; dan i. lembaga negara yang menjalankan fungsi pemerintahan dengan menggunakan anggaran pendapatan belanja negara dan/atau anggaran pendapatan belanja daerah. -15- Dokumen bagi lembaga, instansi atau perwakilan berupa surat penunjukan bagi pihak yang berwenang mewakili lembaga, instansi atau perwakilan dalam melakukan hubungan usaha. Pasal 20 Penyelenggara memastikan penggunaan data, informasi, dan dokumen yang lebih dapat diyakini validitasnya pada saat risiko Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme yang dihadapi lebih tinggi. Pasal 21 Ayat (1) Huruf a Pertemuan langsung dapat dilakukan melalui tatap muka secara langsung atau melalui sarana teknologi misalnya video call. Huruf b Termasuk cara lain yang memadai dapat dilakukan antara lain dengan menggunakan data biometrik dan penyampaian foto secara online real time. Ayat (2) Huruf a Termasuk menggunakan sarana teknologi dan media komunikasi, untuk melakukan verifikasi identitas Pengguna Jasa. Huruf b Cukup jelas. Ayat (3) Penyampaian laporan oleh Penyelenggara antara lain disertai dengan penjelasan mengenai metode verifikasi yang akan diterapkan dan teknologi yang akan digunakan. Pasal 22 Ayat (1) Cukup jelas. -16- Ayat (2) Pengelolaan risiko Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme antara lain dapat dilakukan melalui: a. pembatasan nilai, frekuensi, dan/atau jenis transaksi yang dapat dilakukan Pengguna Jasa; dan b. pemantauan terhadap kewajaran jumlah, kompleksitas dan pola transaksi. Penyelesaian verifikasi dilakukan segera setelah pembukaan hubungan usaha sesuai batas waktu dalam praktek bisnis yang wajar (normal conduct of business). Pasal 23 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Untuk Korporasi yang tidak berbentuk perseroan terbatas, misalnya yayasan atau perkumpulan, atau tidak menggunakan saham sebagai ukuran kepemilikan maka Beneficial Owner dari Korporasi tersebut yaitu orang perseorangan yang menurut penilaian Penyelenggara memiliki kewenangan untuk mempengaruhi atau mengendalikan Korporasi tanpa harus mendapat otorisasi dari pihak manapun. Ayat (4) Huruf a Hubungan hukum antara antara calon Pengguna Jasa atau Pengguna Jasa dengan Beneficial Owner ditunjukkan antara lain dengan surat penugasan, surat perjanjian, atau surat kuasa. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. -17- Pasal 24 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Contoh pengendalian Korporasi melalui bentuk lain yaitu pengendalian melalui kemampuan untuk menunjuk atau mengganti Direksi dari Korporasi. Pasal 25 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Perusahaan publik atau emiten yaitu perusahaan yang diwajibkan untuk menyampaikan informasi atas pengendali Korporasi secara terbuka, termasuk anak perusahaan yang mayoritas sahamnya dimiliki oleh perusahaan tersebut. Pasal 26 Cukup jelas. Pasal 27 Ayat (1) Pemantauan dilakukan dengan cara menganalisis seluruh transaksi khususnya Transaksi Keuangan Mencurigakan antara lain transaksi yang kompleks, dengan jumlah atau pola yang tidak wajar, serta di luar kebiasaan atau diduga tidak memiliki tujuan ekonomi yang jelas. Pemantauan termasuk pula pemantauan terhadap: a. transaksi Pengguna Jasa yang melakukan hubungan usaha dengan Penyelenggara tanpa menggunakan rekening; dan b. transaksi yang diproses melalui sistem atau jaringan milik Penyelenggara misalnya penerusan transfer dana. Pemantauan dapat dilakukan terhadap transaksi yang telah terjadi (post transaction) dalam kurun waktu tertentu. -18- Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Skala usaha dan layanan yang kompleks antara lain dapat dilihat dari jumlah jaringan kantor, jumlah pengguna jasa, jumlah variasi produk dan fitur produk. Sistem dapat berupa sistem komputer atau metode pemantauan dengan menggunakan cara lain untuk: a. mengidentifikasi, menganalisis, memantau, dan menyediakan laporan secara efektif mengenai profil, karakteristik dan/atau kebiasaan pola transaksi yang dilakukan oleh Pengguna Jasa; dan b. menelusuri setiap transaksi, apabila diperlukan, termasuk penelusuran atas identitas Pengguna Jasa, bentuk transaksi, tanggal transaksi, jumlah dan denominasi transaksi, serta sumber dana transaksi. Pasal 28 Ayat (1) Data, informasi, dan/atau dokumen Pengguna Jasa termasuk yang dikumpulkan dalam pelaksanaan CDD. Pengguna Jasa meliputi Pengguna Jasa baru dan Pengguna Jasa existing. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 29 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Prosedur CDD harus diterapkan secara proporsional terhadap faktor dari tingkat risiko yang dinilai rendah. Ayat (3) Huruf a Pengguna Jasa yang termasuk kategori berisiko rendah antara lain: 1. lembaga negara atau instansi pemerintah; -19- 2. perusahaan yang mayoritas sahamnya dimiliki oleh pemerintah; 3. perusahaan publik atau emiten yang tunduk pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai kewajiban transparansi keuangan; atau 4. pengguna jasa dari produk atau jasa yang dibuat untuk program pemerintah terkait pengentasan kemiskinan. Huruf b Negara atau area geografis yang termasuk kategori berisiko rendah antara lain: 1. negara yang memiliki tingkat tata kelola (good governance) yang tinggi sebagaimana ditentukan oleh World Bank; dan/atau 2. negara yang memiliki tingkat risiko korupsi yang rendah sebagaimana diidentifikasi dalam transparancy international corruption perception index. Huruf c Produk atau jasa yang termasuk kategori berisiko rendah antara lain: 1. produk atau jasa yang dibuat khusus untuk mendukung program pemerintah dalam rangka inklusi keuangan, peningkatan kesejahteraan masyarakat, pengentasan kemiskinan dan/atau ditujukan bagi penyandang disabilitas, yang dibatasi jumlah dan penggunaannya; dan/atau 2. produk atau jasa yang dibuat dengan tujuan, kegunaan, fitur, Pengguna Jasa, saldo, atau limit yang terbatas dan memiliki risiko Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme yang terkendali secara efektif. Huruf d Jalur atau jaringan transaksi (delivery channels) yang termasuk kriteria berisiko rendah antara lain transaksi yang dilakukan melalui pertemuan langsung dengan nilai yang sedikit. -20- Ayat (4) Kebijakan dan prosedur penerapan APU dan PPT harus memuat kriteria penetapan risiko rendah dan prosedur CDD sederhana. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Daftar yang dibuat antara lain memuat informasi mengenai alasan penetapan risiko sehingga digolongkan sebagai risiko rendah. Pasal 30 Cukup jelas. Pasal 31 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Pengguna Jasa yang termasuk kategori berisiko tinggi antara lain: 1. PEP, keluarga PEP, atau pihak terkait dengan PEP (close associates); 2. memiliki bidang usaha yang berisiko tinggi (high risk business); 3. menunjuk pihak ketiga untuk membuka hubungan usaha atau melakukan transaksi; atau 4. tercantum dalam daftar terduga teroris dan organisasi teroris atau daftar pendanaan proliferasi senjata pemusnah massal. Huruf b Negara atau area geografis yang termasuk kategori berisiko tinggi antara lain: 1. yurisdiksi yang diidentifikasi sebagai negara yang tidak melaksanakan rekomendasi FATF secara memadai berdasarkan penilaian oleh organisasi seperti Financial Action Task Force on Money Laundering (FATF), Asia -21- Pacific Group on Money Laundering (APG), Caribbean Financial Action Task Force (CFATF), Committee of Experts on the Evaluation of Anti-Money Laundering Measures and the Financing of Terrorism (MONEYVAL), Eastern and Southern Africa Anti-Money Laundering Group (ESAAMLG), The Eurasian Group on Combating Money Laundering and Financing of Terrorism (EAG), The Grupo de Accion Financiera de Sudamerica (GAFISUD), Intergovernmental Anti-Money Laundering Group in Africa (GIABA), atau Middle East & North Africa Financial Action Task Force (MENAFATF); 2. negara yang diidentifikasi sebagai yang tidak cooperative atau tax haven oleh Organization for Economic Cooperation and Development (OECD); 3. negara yang memiliki tingkat tata kelola (good governance) yang rendah sebagaimana ditentukan oleh World Bank; 4. negara yang memiliki tingkat risiko korupsi yang tinggi sebagaimana diidentifikasi dalam transparancy international corruption perception index; 5. negara yang diketahui secara luas sebagai tempat penghasil dan pusat perdagangan narkoba; 6. negara yang dikenakan sanksi, embargo, atau yang serupa, antara lain oleh PBB; atau 7. negara atau yurisdiksi yang diidentifikasi oleh lembaga yang terpercaya, sebagai penyandang dana atau mendukung kegiatan terorisme, atau yang membolehkan kegiatan organisasi teroris di negaranya. Huruf c Produk atau jasa yang termasuk kategori berisiko tinggi antara lain: 1. private banking atau hubungan bisnis yang sejenis; 2. 3. pembayaran yang diterima dari pihak ketiga yang tidak dikenal atau yang tidak terkait. transaksi anonim (anonymous transactions) yang terutama dilakukan secara tunai; atau -22- Huruf d Jalur atau jaringan transaksi (delivery channels) yang termasuk kriteria berisiko tinggi antara lain transaksi yang dilakukan secara online dengan jumlah besar. Kriteria berisiko tinggi dapat mengacu dari sumber yang independen dan terpercaya antara lain Bank Indonesia, PPATK dan otoritas yang berwenang, termasuk hasil national risk assesment (NRA) dan sectoral risk assesment (SRA). Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Pasal 32 Cukup jelas. Pasal 33 Cukup jelas. Pasal 34 Ayat (1) Contoh PEP asing yaitu orang yang diberi kewenangan melakukan fungsi penting (prominent function) oleh negara lain, seperti kepala negara atau pemerintahan, politisi senior, pejabat pemerintah senior, pejabat militer, pejabat di bidang penegakan hukum, Manajemen Senior pada perusahaan yang dimiliki oleh negara, atau pejabat penting dalam partai politik. Contoh PEP domestik yaitu orang yang diberi kewenangan melakukan fungsi penting (prominent function) oleh negara, seperti kepala negara atau pemerintahan, politisi senior, pejabat pemerintah senior, pejabat militer, pejabat di bidang penegakan -23- hukum, Manajemen Senior pada perusahaan yang dimiliki oleh negara, atau pejabat penting dalam partai politik. Contoh PEP pada organisasi internasional yaitu orang yang diberi kewenangan melakukan fungsi penting (prominent function) oleh organisasi internasional, seperti Manajemen Senior yang meliputi antara lain direktur, deputi direktur, dan anggota dewan atau fungsi yang setara. Ayat (2) Penerapan EDD dilakukan baik terhadap PEP asing, PEP domestik atau orang yang diberi kewenangan untuk melakukan fungsi penting (prominent function) dalam organisasi internasional misalnya International Monetary Fund (IMF), World Bank, United Nations (UN), Organization for Economic Co-operation and Development (OECD), Asian Development Bank (ADB), dan Islamic Development Bank (IDB). Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 35 Yang dimaksud dengan “anggota keluarga dari PEP” adalah anggota keluarga PEP sampai dengan derajat kedua, baik horisontal maupun vertikal, yaitu: a. orang tua kandung/tiri/angkat; b. saudara kandung/tiri/angkat; c. anak kandung/tiri/angkat; d. kakek atau nenek kandung/tiri/angkat; e. f. cucu kandung/tiri/angkat; saudara kandung/tiri/angkat dari orang tua; g. suami atau istri; h. mertua atau besan; i. suami atau istri dari anak kandung/tiri/angkat; j. kakek atau nenek dari suami atau istri; k. suami atau istri dari cucu kandung/tiri/angkat; l. saudara kandung/tiri/angkat dari suami; dan/atau m. istri beserta suami atau istrinya dari saudara. Pihak terkait dengan PEP antara lain: a. perusahaan yang dimiliki atau dikelola oleh PEP; atau -24- b. pihak yang secara umum dan diketahui publik mempunyai hubungan dekat dengan PEP, misalnya: supir, asisten pribadi, dan sekretaris pribadi. Kriteria PEP, anggota keluarga dari PEP, dan pihak terkait dengan PEP dapat mengacu dari sumber yang independen dan terpercaya antara lain Bank Indonesia, PPATK, dan otoritas yang berwenang. Pasal 36 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Kewajiban Penyelenggara untuk mendokumentasikan calon Pengguna Jasa, Pengguna Jasa, dan Beneficial Owner dimaksudkan sebagai dokumen pendukung pelaporan Transaksi Keuangan Mencurigakan kepada PPATK. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 37 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “hubungan usaha” adalah hubungan usaha dengan menggunakan rekening yaitu APMK, uang elektronik, dan dompet elekronik. Pemberitahuan dapat dilakukan secara tertulis yang ditujukan kepada Pengguna Jasa sesuai dengan alamat yang tercantum dalam database Penyelenggara. Ayat (2) Penyelesaian terhadap sisa dana Pengguna Jasa antara lain berupa penyerahan sisa dana kepada Balai Harta Peninggalan. Pasal 38 Yang dimaksud dengan “anti tipping-off” adalah larangan bagi Direksi, Komisaris, pengurus, dan/atau pegawai Penyelenggara memberitahukan kepada Pengguna Jasa atau pihak lain, baik secara langsung maupun tidak langsung, dengan cara apa pun mengenai -25- laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan yang sedang disusun atau telah disampaikan kepada PPATK. Pasal 39 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Huruf a Pihak ketiga yang mewakili Penyelenggara atau bertindak untuk dan atas nama Penyelenggara dalam berhubungan dengan calon Pengguna Jasa atau Pengguna Jasa secara langsung antara lain agen yang bekerja sama dengan Penyelenggara. Termasuk agen antara lain agen pemasaran, tempat penguangan tunai (TPT) dari penyelenggara transfer dana, dan agen layanan keuangan digital (LKD) dari penerbit uang elektronik. Huruf b Penyelenggara lain dapat berupa Penyedia Jasa Keuangan lain yang diawasi dan diatur oleh Bank Indonesia atau otoritas yang berwenang lainnya. Huruf c Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 40 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. -26- Huruf c Kewajiban memastikan kepatuhan pihak ketiga antara lain dilakukan dalam bentuk: 1. mencantumkan kewajiban pihak ketiga untuk mematuhi ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia ini dan/atau kebijakan dan prosedur APU dan PPT Penyelenggara dalam perjanjian tertulis; 2. melakukan edukasi atau sosialisasi terhadap pihak ketiga terkait ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia ini dan/atau kebijakan dan prosedur APU dan PPT Penyelenggara; atau 3. melakukan pemantauan dan evaluasi secara berkala terhadap pihak ketiga atas pemenuhan ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia ini dan/atau kebijakan dan prosedur APU dan PPT Penyelenggara. Huruf d Penyelenggara harus dapat menyampaikan informasi mengenai pihak ketiga yang bekerja sama dengan Penyelenggara apabila diminta oleh Bank Indonesia atau otoritas yang berwenang lainnya. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Yang dimaksud dengan “otoritas yang berwenang” adalah otoritas negara dimana pihak ketiga tersebut berasal, yang mengawasi kepatuhan atas ketentuan APU dan PPT Penyelenggara. Huruf e Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. -27- Pasal 41 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan “penyelenggara pengirim asal” adalah Penyelenggara Transfer Dana yang menerima perintah transfer dana dari pengirim asal untuk membayarkan atau memerintahkan kepada Penyelenggara lain untuk membayar sejumlah dana tertentu kepada penerima sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai transfer dana. Yang dimaksud dengan “pengirim asal (originator)” adalah pihak yang pertama kali mengeluarkan perintah transfer dana sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai transfer dana. Huruf b Yang dimaksud dengan “penyelenggara penerima akhir” adalah Penyelenggara Transfer Dana yang melakukan pembayaran atau menyampaikan dana hasil transfer kepada penerima sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai transfer dana. Termasuk penyelenggara penerima akhir yang melakukan pembayaran secara tunai atau ekuivalennya, baik secara langsung atau melalui agen, perantara atau TPT. Yang dimaksud dengan “penerima (beneficiary)” adalah pihak yang disebut dalam Perintah Transfer Dana untuk menerima dana hasil transfer sebagaimana dimaksud dalam Undang Undang yang mengatur mengenai transfer dana. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “penyelenggara penerus” adalah penyelenggara transfer dana selain penyelenggara pengirim asal dan penyelenggara penerima akhir sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai transfer dana. Pasal 42 Ayat (1) Identitas meliputi nama dan alamat yang dapat disertai informasi lain seperti nomor dokumen identitas, tempat, dan tanggal lahir -28- atau informasi lainnya sesuai ketentuan peraturan perundang- undangan. Yang dimaksud dengan “nomor referensi unik transaksi” adalah huruf, angka, dan/atau simbol yang digunakan dalam sistem atau prosedur pembayaran dan penyelesaian transaksi transfer dana yang memungkinkan penelusuran transaksi transfer dana, sebagai pengganti nomor rekening. Informasi yang disampaikan oleh penyelenggara pengirim asal kepada penyelenggara penerus atau penyelenggara penerima akhir juga dimuat dalam Perintah Transfer Dana yang dikumpulkan menjadi satu (batch transfer). Ayat (2) Yang dimaksud dengan “Transfer Dana lintas negara” adalah transfer dana dimana paling sedikit 1 (satu) Penyelenggara di antara Penyelenggara Pengirim asal, penyelenggara penerus, atau penyelenggara penerima akhir, berada di luar wilayah Negara Republik Indonesia. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 43 Ayat (1) Penyelenggara penerus memastikan kelengkapan informasi termasuk melalui post event monitoring atau real time monitoring apabila memungkinkan. Ayat (2) Tindak lanjut penyelenggara penerus dapat berupa: a. melakukan transaksi; b. menolak transaksi; c. menunda transaksi; atau d. tindakan lainnya yang diperlukan termasuk melaporkan transaksi tersebut kepada otoritas yang berwenang sesuai ketentuan. -29- Penentuan tindak lanjut dilakukan dengan memperhatikan tingkat risiko yang dihadapi. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 44 Ayat (1) Penyelenggara penerima akhir memastikan kelengkapan informasi termasuk melalui post event monitoring atau real time monitoring dalam hal dimungkinkan. Ayat (2) Tindak lanjut Penyelenggara penerima akhir dapat berupa: a. melakukan transaksi; b. menolak transaksi; c. menunda transaksi; atau d. tindakan lainnya yang diperlukan termasuk melaporkan transaksi tersebut kepada otoritas yang berwenang sesuai ketentuan. Penentuan tindak lanjut dilakukan dengan memperhatikan tingkat risiko yang dihadapi. Pasal 45 Laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan yang disampaikan pada otoritas di negara lain, disampaikan pula kepada PPATK. Pasal 46 Huruf a Transaksi menggunakan kartu debit, kartu ATM, kartu kredit, atau uang elektronik dapat ditelusuri antara lain melalui nomor kartu. Tidak termasuk pembayaran barang atau jasa antara lain Transfer Dana person to person (P2P). Huruf b Cukup jelas. -30- Pasal 47 Ayat (1) Penyelenggara memastikan ketersediaan daftar terduga teroris dan organisasi teroris serta daftar pendanaan proliferasi senjata pemusnah massal di seluruh kantor Penyelenggara. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Tindak lanjut lainnya antara lain membuat dan menyampaikan berita acara pemblokiran kepada otoritas yang berwenang, serta menolak dan/atau menutup hubungan usaha dengan Pengguna Jasa. Pasal 48 Cukup jelas. Pasal 49 Ayat (1) Penyelenggara mengumpulkan informasi antara lain: a. profil perusahaan pihak lain termasuk produk dan Pengguna Jasanya; b. lokasi kedudukan dan wilayah operasional pihak lain termasuk induk atau kelompok usahanya sepanjang dianggap perlu; c. d. izin untuk melakukan kegiatan usaha; dan informasi terkait lainnya misalnya reputasi keuangan dan kepatuhan terhadap hukum yang berlaku, informasi mengenai struktur kepemilikan dan kepengurusan. Penyelenggara dapat memperoleh informasi antara lain melalui sumber yang dapat diakses oleh publik sepanjang dapat diyakini kebenarannya. Hubungan kerjasama antara lain berupa kerjasama Transfer Dana domestik, kerjasama remitansi, atau Transfer Dana lintas negara, dan kerja sama terkait jasa pembayaran. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “shell bank” adalah bank atau shell financial institution yang didirikan dan memperoleh izin di suatu -31- negara atau wilayah dimana bank tersebut tidak memiliki kantor secara fisik dan/atau tidak memiliki keterkaitan/afiliasi dengan lembaga keuangan yang diatur dan diawasi secara terkonsolidasi oleh otoritas yang berwenang. Pasal 50 Ayat (1) Pengembangan produk termasuk pengembangan model bisnis dan mekanisme pemberian layanan (delivery). Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 51 Ayat (1) Dokumen dapat ditatausahakan dalam bentuk asli, salinan, dokumen elektronik, microfilm, atau dokumen yang berdasarkan Undang-Undang yang berlaku dapat digunakan sebagai alat bukti yang sah. Huruf a Cukup jelas. Huruf b Dokumen yang terkait dengan transaksi keuangan Pengguna Jasa antara lain berupa rekening, jurnal transaksi, pembukuan, perintah transfer dana, tanda terima dan/atau bukti transaksi Pengguna Jasa. Penatausahaan dokumen transaksi keuangan Pengguna Jasa dilakukan dengan cara yang memudahkan penelusuran dan rekonstruksi transaksi dalam hal diminta oleh Bank Indonesia, penegak hukum, dan/atau otoritas yang berwenang. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. -32- Pasal 52 Cukup jelas. Pasal 53 Cukup jelas. Pasal 54 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Laporan paling sedikit memuat penerapan APU dan PPT yang telah dilaksanakan oleh Penyelenggara. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Laporan lainnya antara lain berupa: 1. 2. laporan kerja sama penggunaan hasil CDD pihak ketiga, paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja sejak tanggal dimulainya pelaksanaan kerja sama; dan laporan yang diminta oleh Bank Indonesia. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 55 Cukup jelas. Pasal 56 Ayat (1) Koordinasi dan kerja sama dilaksanakan untuk pencegahan dan pemberantasan tindak pidana Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. -33- Pasal 57 Ayat (1) Huruf a Angka 1 Pengenaan sanksi administratif berupa teguran tertulis dapat disertai dengan kewajiban untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam rangka memastikan pemenuhan ketentuan sesuai batas waktu yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Angka 2 Cukup jelas. Angka 3 Cukup jelas. Angka 4 Pengenaan sanksi administratif berupa penghentian kegiatan usaha disertai dengan jangka waktu pengenaan sanksi dan dapat diperpanjang. Penyelenggara yang dikenakan sanksi penghentian kegiatan usaha mengumumkan penghentian kegiatan usaha kepada masyarakat pada tanggal yang sama dengan tanggal surat mengenai pengenaan sanksi dari Bank Indonesia. Pengumuman dapat dilakukan di kantor Penyelenggara dengan letak dan/atau bentuk yang mudah terlihat dan mudah dibaca. Angka 5 Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Pengumuman dilakukan melalui situs web Bank Indonesia, surat kabar, atau media lain. -34- Pasal 58 Yang dimaksud dengan “tindak pidana tertentu” adalah tindak pidana Pencucian Uang, tindak pidana Pendanaan Terorisme, dan tindak pidana asal sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang, antara lain korupsi, penyuapan, narkotika, psikotropika, penyelundupan tenaga kerja, penyelundupan migran, di bidang perbankan, di bidang pasar modal, di bidang perasuransian, kepabeanan, cukai, perdagangan orang, perdagangan senjata gelap, terorisme, penculikan, pencurian, penggelapan, penipuan, pemalsuan uang, perjudian, prostitusi, di bidang perpajakan, di bidang kehutanan, di bidang lingkungan hidup, di bidang kelautan dan perikanan, atau tindak pidana lain yang diancam dengan pidana penjara 4 (empat) tahun atau lebih. Pasal 59 Cukup jelas. Pasal 60 Pihak yang dapat ditetapkan untuk menerapkan APU dan PPT yaitu pihak yang menyelenggarakan kegiatan di bidang sistem pembayaran atau kegiatan penukaran valuta asing. Pasal 61 Cukup jelas. Pasal 62 Cukup jelas. Pasal 63 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6121
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 19/10/PBI/2017 </reg_id> <reg_title> PENERAPAN ANTI PENCUCIAN UANG DAN PENCEGAHAN PENDANAAN TERORISME BAGI PENYELENGGARA JASA SISTEM PEMBAYARAN SELAIN BANK DAN PENYELENGGARA KEGIATAN USAHA PENUKARAN VALUTA ASING BUKAN BANK </reg_title> <set_date> 6 September 2017 </set_date> <effective_date> 11 September 2017 </effective_date> <issued_date> 11 September 2017 </issued_date> <replaced_reg> '12/3/PBI/2010', '14/38/DASP|SE-BI/2012', '12/10/DPM|SE-BI/2010', '14/3/2012|PBI/2012' </replaced_reg> <related_reg> '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '3/UU/2011', '9/UU/2013', '8/UU/2010' </related_reg> <penalty_list> 'BAB XI' </penalty_list>
-2- PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 18/3/PBI/2016 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 15/15/PBI/2013 TENTANG GIRO WAJIB MINIMUM BANK UMUM DALAM RUPIAH DAN VALUTA ASING BAGI BANK UMUM KONVENSIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa kondisi stabilitas makroekonomi yang semakin terjaga, khususnya tekanan inflasi yang terkendali, dan meredanya ketidakpastian di pasar keuangan global memberikan ruang untuk dilakukan pelonggaran kebijakan moneter; b. bahwa diperlukan peningkatan kapasitas pembiayaan dari perbankan untuk mendukung kegiatan ekonomi; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu melakukan perubahan ketiga atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 15/15/PBI/2013 tentang Giro Wajib Minimum Bank Umum dalam Rupiah dan Valuta Asing bagi Bank Umum Konvensional; Mengingat : Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 -2- Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 15/15/PBI/2013 TENTANG GIRO WAJIB MINIMUM BANK UMUM DALAM RUPIAH DAN VALUTA ASING BAGI BANK UMUM KONVENSIONAL. Pasal I Beberapa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 15/15/PBI/2013 tentang Giro Wajib Minimum Bank Umum dalam Rupiah dan Valuta Asing bagi Bank Umum Konvensional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 235, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5478) yang telah beberapa kali diubah dengan Peraturan Bank Indonesia: a. Nomor 17/11/PBI/2015 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 152, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5712); b. Nomor 17/21/PBI/2015 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 286, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5769); diubah sebagai berikut: 1. Ketentuan Pasal 3 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: - 3 - Pasal 3 Pemenuhan GWM dalam Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) ditetapkan sebagai berikut: a. GWM Primer dalam Rupiah sebesar 6,5% (enam koma lima persen) dari DPK dalam Rupiah. b. GWM Sekunder dalam Rupiah sebesar 4% (empat persen) dari DPK dalam Rupiah. c. GWM LFR dalam Rupiah sebesar hasil perhitungan antara Parameter Disinsentif Bawah atau Parameter Disinsentif Atas dengan selisih antara LFR Bank dan LFR Target dengan memperhatikan selisih antara KPMM Bank dan KPMM Insentif. 2. Penjelasan Pasal 4 diubah sebagaimana tercantum dalam penjelasan. 3. Penjelasan Pasal 12 diubah sebagaimana tercantum dalam penjelasan. 4. Ketentuan Pasal 17 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 17 (1) Bank Indonesia memberikan jasa giro setiap hari kerja terhadap bagian tertentu dari pemenuhan kewajiban GWM Primer dalam Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a. (2) Bagian tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebesar 1,5% (satu koma lima persen) dari DPK dalam Rupiah. (3) Jasa giro sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dengan tingkat bunga sebesar 2,5% (dua koma lima persen) per tahun. (4) Jasa giro sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan apabila Bank telah memenuhi seluruh kewajiban GWM dalam Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3. - 4 - (5) Bank Indonesia dapat mengubah kebijakan pemberian jasa giro dan/atau persentase jasa giro dengan mempertimbangkan kondisi perekonomian dan arah kebijakan Bank Indonesia. 5. Penjelasan Pasal 18 diubah sebagaimana tercantum dalam penjelasan. 6. Penjelasan Pasal 20 diubah sebagaimana tercantum dalam penjelasan. 7. Penjelasan Pasal 22 diubah sebagaimana tercantum dalam penjelasan. Pasal II Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 16 Maret 2016. - 5 - Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 10 Maret 2016 GUBERNUR BANK INDONESIA, AGUS D.W. MARTOWARDOJO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 10 Maret 2016 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 45
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 18/03/PBI/2016 </reg_id> <reg_title> PERUBAHAN KETIGA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 15/15/PBI/2013 TENTANG GIRO WAJIB MINIMUM BANK UMUM DALAM RUPIAH DAN VALUTA ASING BAGI BANK UMUM KONVENSIONAL </reg_title> <set_date> 10 Maret 2016 </set_date> <effective_date> 16 Maret 2016 </effective_date> <issued_date> 10 Maret 2016 </issued_date> <changed_reg> '15/15/PBI/2013' </changed_reg> <extension_of> '17/11/PBI/2015', '17/21/PBI/2015' </extension_of> <related_reg> '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008' </related_reg>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 20/5/PBI/2018 TENTANG OPERASI MONETER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk memenuhi tujuan Bank Indonesia yaitu mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah, Bank Indonesia menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter; b. bahwa untuk melaksanakan kebijakan moneter, Bank Indonesia melakukan pengendalian moneter yang salah satunya dilakukan melalui pelaksanaan operasi moneter, baik secara konvensional maupun berdasarkan prinsip syariah; c. bahwa untuk memperkuat efektivitas transmisi kebijakan moneter tersebut, diperlukan upaya reformulasi kerangka kebijakan moneter secara berkesinambungan; d. bahwa sebagai bagian dari upaya reformulasi kerangka kebijakan moneter secara berkesinambungan, Bank Indonesia melakukan penguatan ketentuan operasi moneter yang salah satunya terkait dengan perizinan kepesertaan dalam operasi moneter; e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf d, perlu menetapkan Peraturan Bank Indonesia tentang Operasi Moneter; - 2 - Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962); 2. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3844); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG OPERASI MONETER. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan: 1. Bank adalah bank umum konvensional, bank umum syariah, dan unit usaha syariah. 2. Bank Umum Konvensional yang selanjutnya disingkat BUK adalah bank umum yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan. 3. Bank Umum Syariah yang selanjutnya disingkat BUS adalah bank umum yang menjalankan kegiatan usaha - 3 - berdasarkan prinsip syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan syariah. 4. Unit Usaha Syariah yang selanjutnya disingkat UUS adalah unit usaha syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan syariah. 5. Operasi Moneter adalah pelaksanaan kebijakan moneter oleh Bank Indonesia untuk pengendalian moneter yang dilakukan secara konvensional dan berdasarkan prinsip syariah. 6. Operasi Moneter Konvensional yang selanjutnya disingkat OMK adalah pelaksanaan kebijakan moneter oleh Bank Indonesia untuk pengendalian moneter yang dilakukan secara konvensional. 7. Operasi Moneter Syariah yang selanjutnya disingkat OMS adalah pelaksanaan kebijakan moneter oleh Bank Indonesia untuk pengendalian moneter yang dilakukan berdasarkan prinsip syariah. 8. Operasi Pasar Terbuka yang selanjutnya disingkat OPT adalah kegiatan transaksi di pasar uang dan/atau pasar valuta asing yang dilakukan oleh Bank Indonesia dengan Bank dan/atau pihak lain untuk Operasi Moneter yang dilakukan secara konvensional dan berdasarkan prinsip syariah. 9. Operasi Pasar Terbuka Konvensional yang selanjutnya disebut OPT Konvensional adalah kegiatan transaksi di pasar uang dan/atau pasar valuta asing yang dilakukan oleh Bank Indonesia dengan BUK dan/atau pihak lain. 10. Operasi Pasar Terbuka Syariah yang selanjutnya disebut OPT Syariah adalah kegiatan transaksi di pasar uang berdasarkan prinsip syariah dan/atau pasar valuta asing yang dilakukan oleh Bank Indonesia dengan BUS, UUS, dan/atau pihak lain. 11. Standing Facilities adalah kegiatan penyediaan dana rupiah dari Bank Indonesia kepada Bank dan penempatan dana rupiah oleh Bank di Bank Indonesia untuk Operasi - 4 - Moneter yang dilakukan secara konvensional dan berdasarkan prinsip syariah. 12. Standing Facilities Konvensional adalah kegiatan penyediaan dana rupiah (lending facility) dari Bank Indonesia kepada BUK dan penempatan dana rupiah (deposit facility) oleh BUK di Bank Indonesia. 13. Standing Facilities Syariah adalah kegiatan penyediaan dana rupiah (financing facility) dari Bank Indonesia kepada BUS atau UUS dan penempatan dana rupiah (deposit facility) oleh BUS atau UUS di Bank Indonesia. 14. Sertifikat Bank Indonesia yang selanjutnya disingkat SBI adalah surat berharga dalam mata uang rupiah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia sebagai pengakuan utang berjangka waktu pendek. 15. Sertifikat Bank Indonesia Syariah yang selanjutnya disingkat SBIS adalah surat berharga berdasarkan prinsip syariah dalam mata uang rupiah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia dan berjangka waktu pendek. 16. Sertifikat Deposito Bank Indonesia yang selanjutnya disingkat SDBI adalah surat berharga dalam mata uang rupiah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia sebagai pengakuan utang berjangka waktu pendek yang dapat diperdagangkan hanya antar-BUK. 17. Surat Berharga Bank Indonesia dalam Valuta Asing yang selanjutnya disebut SBBI Valas adalah surat berharga dalam valuta asing yang diterbitkan oleh Bank Indonesia sebagai pengakuan utang berjangka waktu pendek. 18. Surat Berharga Negara yang selanjutnya disingkat SBN adalah surat utang negara dan surat berharga syariah negara. 19. Surat Utang Negara yang selanjutnya disingkat SUN adalah surat utang negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai surat utang negara. 20. Surat Berharga Syariah Negara yang selanjutnya disingkat SBSN adalah surat berharga syariah negara sebagaimana - 5 - dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai surat berharga syariah negara. 21. Hari Kerja adalah hari kerja Bank Indonesia, termasuk hari kerja operasional terbatas Bank Indonesia. BAB II TUJUAN OPERASI MONETER Pasal 2 (1) Operasi Moneter bertujuan untuk mendukung pencapaian stabilitas moneter. (2) Operasi Moneter sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan di pasar uang dan pasar valuta asing secara terintegrasi. (3) Operasi Moneter sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara konvensional dan berdasarkan prinsip syariah. Pasal 3 (1) Untuk mencapai stabilitas moneter sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), OMK diarahkan untuk mengendalikan suku bunga Pasar Uang Antar Bank Overnight (PUAB O/N) dan menjaga stabilitas nilai tukar rupiah. (2) Suku bunga PUAB O/N sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikendalikan agar bergerak di sekitar suku bunga kebijakan Bank Indonesia. (3) Untuk mengendalikan suku bunga PUAB O/N sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Bank Indonesia melakukan pengelolaan likuiditas di pasar uang rupiah dengan cara absorpsi likuiditas dan/atau injeksi likuiditas. (4) Suku bunga kebijakan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yaitu Bank Indonesia 7-day (Reverse) Repo Rate. - 6 - Pasal 4 (1) Nilai tukar rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dijaga agar bergerak stabil sejalan dengan nilai tukar fundamental. (2) Untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia melakukan intervensi dan/atau transaksi lainnya di pasar valuta asing. Pasal 5 Untuk mencapai stabilitas moneter sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), OMS diarahkan untuk memengaruhi kecukupan likuiditas di pasar uang berdasarkan prinsip syariah dan pasar valuta asing. Pasal 6 (1) Pelaksanaan OMS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dilakukan berdasarkan prinsip syariah. (2) Pemenuhan prinsip syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan dalam bentuk pemberian fatwa dan/atau opini syariah oleh otoritas yang berwenang mengeluarkan fatwa dan/atau opini syariah. Pasal 7 (1) Untuk memengaruhi kecukupan likuiditas di pasar uang berdasarkan prinsip syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, Bank Indonesia melakukan pengelolaan likuiditas dengan cara absorpsi likuiditas dan/atau injeksi likuiditas. (2) Untuk memengaruhi kecukupan likuiditas di pasar valuta asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, Bank Indonesia melakukan intervensi dan/atau transaksi lainnya di pasar valuta asing. - 7 - BAB III PELAKSANAAN OPERASI MONETER Pasal 8 Operasi Moneter dilaksanakan melalui: a. OPT; dan b. Standing Facilities. Pasal 9 (1) OPT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf a dapat dilaksanakan oleh Bank Indonesia pada setiap Hari Kerja. (2) OPT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui mekanisme lelang dan/atau nonlelang. Pasal 10 (1) Standing Facilities sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf b dilaksanakan oleh Bank Indonesia pada setiap Hari Kerja. (2) Pelaksanaan Standing Facilities sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui mekanisme nonlelang. Bagian Kesatu Pelaksanaan OMK Pasal 11 OMK dilakukan dalam bentuk: a. OPT Konvensional; dan b. Standing Facilities Konvensional. Paragraf 1 OPT Konvensional Pasal 12 OPT Konvensional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 huruf a dilaksanakan dengan cara melakukan: a. penerbitan SBI, SDBI, dan/atau SBBI Valas; - 8 - b. transaksi repurchase agreement (repo) dan/atau reverse repo surat berharga; c. transaksi pembelian dan/atau penjualan surat berharga secara outright; d. penempatan berjangka (term deposit) di Bank Indonesia dalam rupiah; e. penempatan berjangka (term deposit) di Bank Indonesia dalam valuta asing; f. jual beli valuta asing terhadap rupiah; dan/atau g. transaksi lainnya baik di pasar uang rupiah maupun pasar valuta asing. Pasal 13 (1) Penempatan berjangka (term deposit) di Bank Indonesia dalam rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf d dan penempatan berjangka (term deposit) di Bank Indonesia dalam valuta asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf e dapat dicairkan oleh peserta OPT Konvensional sebelum jatuh waktu (early redemption) dengan memenuhi persyaratan tertentu. (2) Penempatan berjangka (term deposit) di Bank Indonesia dalam valuta asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf e dapat dialihkan oleh peserta OPT Konvensional menjadi transaksi swap jual valuta asing terhadap rupiah Bank Indonesia. Pasal 14 (1) Penempatan berjangka (term deposit) di Bank Indonesia dalam valuta asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf e dapat menjadi pengurang posisi devisa neto secara keseluruhan yang wajib dipelihara BUK pada akhir hari kerja sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai posisi devisa neto bank umum. (2) Nilai penempatan berjangka (term deposit) di Bank Indonesia dalam valuta asing yang menjadi pengurang - 9 - posisi devisa neto sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling tinggi sebesar nilai yang terendah dari: a. nilai posisi devisa neto secara keseluruhan pada akhir hari kerja yang bersangkutan sebelum dikurangi dengan penempatan berjangka (term deposit) di Bank Indonesia dalam valuta asing; b. nilai penempatan berjangka (term deposit) di Bank Indonesia dalam valuta asing; atau c. 5% (lima persen) dari modal BUK. (3) BUK wajib melaporkan secara harian posisi devisa neto secara keseluruhan pada akhir hari kerja sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang- undangan yang mengatur mengenai posisi devisa neto bank umum, setelah memperhitungkan penempatan berjangka (term deposit) di Bank Indonesia dalam valuta asing sebagai pengurang. (4) Dalam hal BUK tidak menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) maka penempatan berjangka (term deposit) di Bank Indonesia dalam valuta asing tidak diperhitungkan sebagai pengurang posisi devisa neto. Pasal 15 Dalam kegiatan OPT Konvensional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf b, Bank Indonesia dapat menggunakan surat berharga milik pihak lain yang ditetapkan Bank Indonesia. Pasal 16 Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan OPT Konvensional diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. - 10 - Paragraf 2 Standing Facilities Konvensional Pasal 17 Standing Facilities Konvensional memiliki jangka waktu 1 (satu) Hari Kerja. Pasal 18 (1) Penyediaan dana rupiah (lending facility) dalam Standing Facilities Konvensional dilakukan dengan mekanisme Bank Indonesia menerima repo surat berharga dalam rupiah dari peserta Standing Facilities Konvensional. (2) Surat berharga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa: a. SBI; b. SDBI; c. SBN; dan/atau d. surat berharga lain yang berkualitas tinggi dan mudah dicairkan, yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Pasal 19 Penempatan dana rupiah (deposit facility) dalam Standing Facilities Konvensional dilakukan dengan mekanisme Bank Indonesia menerima penempatan dana rupiah dari peserta Standing Facilities Konvensional tanpa menerbitkan surat berharga. Pasal 20 Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan Standing Facilities Konvensional diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. - 11 - Bagian Kedua Pelaksanaan OMS Pasal 21 OMS dilakukan dalam bentuk: a. OPT Syariah; dan b. Standing Facilities Syariah. Paragraf 1 OPT Syariah Pasal 22 OPT Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf a dilaksanakan dengan cara melakukan: a. penerbitan SBIS; b. transaksi repo dan/atau reverse repo surat berharga yang memenuhi prinsip syariah; c. transaksi pembelian dan/atau penjualan surat berharga yang memenuhi prinsip syariah secara outright; d. penempatan berjangka (term deposit) syariah di Bank Indonesia dalam valuta asing; dan/atau e. transaksi lainnya yang memenuhi prinsip syariah baik di pasar uang rupiah maupun pasar valuta asing. Pasal 23 (1) Transaksi repo dan reverse repo surat berharga yang memenuhi prinsip syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 huruf b menggunakan akad al ba’i yang diikuti dengan wa’d. (2) Dalam hal terdapat perubahan akad sebagaimana dimaksud pada ayat (1), perubahan tersebut ditetapkan dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. Pasal 24 (1) Penempatan berjangka (term deposit) syariah di Bank Indonesia dalam valuta asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 huruf d menggunakan akad ju’alah. - 12 - (2) Bank Indonesia menetapkan dan memberikan imbalan atas penempatan berjangka (term deposit) syariah di Bank Indonesia dalam valuta asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Dalam hal terdapat perubahan akad sebagaimana dimaksud pada ayat (1), perubahan tersebut ditetapkan dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. Pasal 25 Penempatan berjangka (term deposit) syariah di Bank Indonesia dalam valuta asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 huruf d dapat dicairkan oleh peserta OPT Syariah sebelum jatuh waktu (early redemption) dengan memenuhi persyaratan tertentu. Pasal 26 (1) Penempatan berjangka (term deposit) syariah di Bank Indonesia dalam valuta asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 huruf d dapat menjadi pengurang posisi devisa neto secara keseluruhan yang wajib dipelihara BUS pada akhir hari kerja sebagaimana dimaksud dalam ketentuan mengatur mengenai posisi devisa neto bank umum. (2) Nilai penempatan berjangka (term deposit) syariah di Bank Indonesia dalam valuta asing yang dapat menjadi pengurang posisi devisa neto sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling tinggi sebesar nilai yang terendah dari: a. peraturan perundang-undangan yang nilai posisi devisa neto secara keseluruhan pada akhir hari kerja yang bersangkutan sebelum dikurangi dengan penempatan berjangka (term deposit) syariah di Bank Indonesia dalam valuta asing; b. nilai penempatan berjangka (term deposit) syariah di Bank Indonesia dalam valuta asing; atau c. 5% (lima persen) dari modal BUS. (3) BUS wajib melaporkan secara harian posisi devisa neto secara keseluruhan pada akhir hari kerja sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang- - 13 - undangan yang mengatur mengenai posisi devisa neto bank umum, setelah memperhitungkan penempatan berjangka (term deposit) syariah di Bank Indonesia dalam valuta asing sebagai pengurang. (4) Dalam hal BUS tidak menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) maka penempatan berjangka (term deposit) syariah di Bank Indonesia dalam valuta asing tidak diperhitungkan sebagai pengurang posisi devisa neto. (5) Dalam hal UUS melakukan penempatan berjangka (term deposit) syariah di Bank Indonesia dalam valuta asing maka perhitungan nilai penempatan berjangka (term deposit) syariah di Bank Indonesia dalam valuta asing dapat menjadi pengurang posisi devisa neto BUK yang memiliki UUS. (6) Dalam hal UUS melakukan penempatan berjangka (term deposit) syariah di Bank Indonesia dalam valuta asing sebagaimana dimaksud pada ayat (5), laporan harian posisi devisa neto secara keseluruhan pada akhir hari kerja setelah memperhitungkan penempatan berjangka (term deposit) syariah di Bank Indonesia dalam valuta asing disampaikan oleh BUK yang memiliki UUS. Pasal 27 Dalam kegiatan OPT Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 huruf b, Bank Indonesia dapat menggunakan surat berharga milik pihak lain yang ditetapkan Bank Indonesia. Pasal 28 Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan OPT Syariah diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. - 14 - Paragraf 2 Standing Facilities Syariah Pasal 29 Standing Facilities Syariah memiliki jangka waktu sebagai berikut: a. Standing Facilities Syariah yang berupa penyediaan dana rupiah (financing facility) dari Bank Indonesia kepada BUS atau UUS memiliki jangka waktu 1 (satu) Hari Kerja; dan b. Standing Facilities Syariah yang berupa penempatan dana rupiah (deposit facility) oleh BUS atau UUS di Bank Indonesia memiliki jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari kalender. Pasal 30 (1) Penyediaan dana rupiah (financing facility) dalam Standing Facilities Syariah dilakukan dengan mekanisme Bank Indonesia menerima repo surat berharga dalam rupiah yang memenuhi prinsip syariah dari peserta Standing Facilities Syariah. (2) Surat berharga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa: a. SBIS; dan/atau b. SBSN. (3) Penyediaan dana rupiah (financing facility) berupa repo SBIS sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a menggunakan akad qard yang diikuti dengan rahn. (4) Penyediaan dana rupiah (financing facility) berupa repo SBSN sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b menggunakan akad al ba’i yang diikuti dengan wa’d. (5) Dalam hal terdapat perubahan akad sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4), perubahan tersebut ditetapkan dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. Pasal 31 (1) Penempatan dana rupiah (deposit facility) dalam Standing Facilities Syariah dilakukan dengan mekanisme Bank - 15 - Indonesia menerima penempatan dana rupiah dari peserta Standing Facilities Syariah tanpa menerbitkan surat berharga. (2) Penempatan dana rupiah (deposit facility) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) salah satunya dilakukan dalam bentuk Fasilitas Simpanan Bank Indonesia Syariah (FASBIS). (3) Penempatan dana rupiah (deposit facility) sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menggunakan akad wadi’ah atau titipan. (4) Dalam hal terdapat perubahan akad sebagaimana dimaksud pada ayat (3), perubahan tersebut ditetapkan dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. Pasal 32 Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan Standing Facilities Syariah diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. BAB IV INSTRUMEN OPERASI MONETER YANG DITERBITKAN BANK INDONESIA Bagian Kesatu Instrumen OMK yang Diterbitkan Bank Indonesia Paragraf 1 SBI, SDBI, dan SBBI Valas Pasal 33 SBI memiliki karakteristik sebagai berikut: a. berjangka waktu paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan yang dinyatakan dalam jumlah hari kalender dan dihitung sejak 1 (satu) hari kalender sesudah tanggal setelmen sampai dengan tanggal jatuh waktu; b. diterbitkan dan diperdagangkan dengan sistem diskonto; - 16 - c. diterbitkan tanpa warkat (scripless); dan d. dapat dipindahtangankan (negotiable). Pasal 34 SDBI memiliki karakteristik sebagai berikut: a. berjangka waktu paling singkat 1 (satu) hari kalender dan paling lama 12 (dua belas) bulan yang dinyatakan dalam jumlah hari kalender dan dihitung sejak 1 (satu) hari kalender sesudah tanggal setelmen sampai dengan tanggal jatuh waktu; b. diterbitkan dan diperdagangkan dengan sistem diskonto; c. diterbitkan tanpa warkat (scripless); d. hanya dapat dimiliki oleh BUK; dan e. dapat dipindahtangankan (negotiable) hanya antar-BUK. Pasal 35 SBBI Valas memiliki karakteristik sebagai berikut: a. berjangka waktu paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan yang dinyatakan dalam jumlah hari kalender dan dihitung sejak 1 (satu) hari kalender sesudah tanggal setelmen sampai dengan tanggal jatuh waktu; b. diterbitkan dalam valuta asing; c. diterbitkan tanpa warkat (scripless); d. dapat dimiliki oleh penduduk atau bukan penduduk di pasar perdana atau pasar sekunder; e. dapat diperdagangkan (tradable); dan f. diterbitkan dan diperdagangkan dengan sistem diskonto. Pasal 36 Ketentuan lebih lanjut mengenai SBI, SDBI, dan SBBI Valas diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. - 17 - Paragraf 2 Penatausahaan SBI, SDBI, dan SBBI Valas Pasal 37 (1) Bank Indonesia menatausahakan SBI, SDBI, dan SBBI Valas dalam suatu sistem penatausahaan secara elektronis di Bank Indonesia. (2) Sistem penatausahaan yang dikelola oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup sistem pencatatan kepemilikan dan penyelesaian transaksi SBI, SDBI, dan SBBI Valas. (3) Sistem pencatatan kepemilikan SBI, SDBI, dan SBBI Valas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan tanpa warkat (scripless). (4) Bank Indonesia dapat menunjuk pihak lain untuk mendukung pelaksanaan penatausahaan SBI, SDBI, dan SBBI Valas sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (5) Dalam hal pihak lain yang ditunjuk untuk mendukung penatausahaan SBI, SDBI, dan/atau SBBI Valas sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak dapat memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia dan/atau menghentikan kegiatan usahanya, Bank Indonesia berwenang mencabut penunjukan yang telah ditetapkan. Pasal 38 Bank Indonesia dapat menatausahakan SBI, SDBI, dan SBBI Valas dengan menggunakan sarana lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Paragraf 3 Pembatasan Transaksi SBI dan SDBI di Pasar Sekunder Pasal 39 (1) Pemilik SBI dilarang melakukan transaksi atas SBI yang dimilikinya dengan pihak lain dalam jangka waktu tertentu sejak memiliki SBI. - 18 - (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk transaksi SBI yang dilakukan peserta Operasi Moneter dengan Bank Indonesia. (3) Pihak lain yang ditunjuk untuk mendukung penatausahaan SBI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (4) wajib menatausahakan SBI milik nasabahnya dengan memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal 40 (1) BUK dilarang melakukan transaksi SDBI dengan pihak selain BUK. (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk transaksi SDBI yang dilakukan BUK dengan Bank Indonesia. (3) Pihak lain yang ditunjuk untuk mendukung penatausahaan SDBI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (4) wajib menatausahakan SDBI milik nasabahnya dengan memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (4) Lembaga perantara wajib melakukan transaksi SDBI atas nama nasabahnya dengan memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (5) Dalam hal SDBI dimiliki oleh pihak selain BUK, Bank Indonesia melunasi SDBI dimaksud sebelum jatuh waktu (early redemption) tanpa persetujuan pemilik SDBI. Pasal 41 Ketentuan lebih lanjut mengenai pembatasan transaksi terkait SBI dan SDBI diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. - 19 - Paragraf 4 Pelunasan SBI, SDBI, dan SBBI Valas Pasal 42 (1) Bank Indonesia melunasi SBI, SDBI, dan SBBI Valas pada saat jatuh waktu sebesar nilai nominal. (2) Bank Indonesia dapat melunasi SBI, SDBI, dan SBBI Valas sebelum jatuh waktu (early redemption) dengan persetujuan pemilik SBI, SDBI, dan SBBI Valas. Pasal 43 Ketentuan lebih lanjut mengenai pelunasan SBI, SDBI, dan SBBI Valas diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. Bagian Kedua Instrumen OMS yang Diterbitkan Bank Indonesia Paragraf 1 SBIS Pasal 44 (1) SBIS yang diterbitkan oleh Bank Indonesia menggunakan akad ju’alah. (2) Bank Indonesia menetapkan dan memberikan imbalan atas SBIS yang diterbitkan. (3) Bank Indonesia membayar imbalan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dengan ketentuan sebagai berikut: a. pada saat SBIS jatuh waktu; atau b. sebelum jatuh waktu, dalam hal BUS atau UUS tidak dapat memenuhi kewajiban repo SBIS. (4) Dalam hal terdapat perubahan akad sebagaimana dimaksud pada ayat (1), perubahan tersebut ditetapkan dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. - 20 - Pasal 45 SBIS memiliki karakteristik sebagai berikut: a. berjangka waktu paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan yang dinyatakan dalam jumlah hari kalender dan dihitung sejak 1 (satu) hari setelah tanggal penyelesaian transaksi sampai dengan tanggal jatuh waktu; b. diterbitkan tanpa warkat (scripless); c. dapat diagunkan kepada Bank Indonesia; d. tidak dapat diperdagangkan (non-tradable) di pasar sekunder; dan e. hanya dapat dimiliki oleh BUS atau UUS. Pasal 46 Ketentuan lebih lanjut mengenai SBIS diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. Paragraf 2 Penatausahaan SBIS Pasal 47 (1) Bank Indonesia menatausahakan SBIS dalam suatu sistem penatausahaan secara elektronis di Bank Indonesia. (2) Sistem penatausahaan yang dikelola oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup sistem pencatatan kepemilikan dan penyelesaian transaksi SBIS. (3) Sistem pencatatan kepemilikan SBIS sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan tanpa warkat (scripless). (4) Bank Indonesia dapat menunjuk pihak lain untuk mendukung pelaksanaan penatausahaan SBIS sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal 48 Bank Indonesia dapat menatausahakan SBIS dengan menggunakan sarana lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. - 21 - Paragraf 3 Pelunasan SBIS Pasal 49 Bank Indonesia melunasi SBIS pada saat jatuh waktu sebesar nilai nominal dan membayar imbalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (3). Pasal 50 Ketentuan lebih lanjut mengenai pelunasan SBIS diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. BAB V PERIZINAN PESERTA DAN LEMBAGA PERANTARA DALAM OPERASI MONETER Bagian Kesatu Peserta dan Lembaga Perantara dalam Operasi Moneter Pasal 51 (1) Peserta Operasi Moneter terdiri atas: a. peserta OPT, yaitu Bank dan/atau pihak lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia; dan b. peserta Standing Facilities, yaitu Bank, yang sudah memperoleh izin dari Bank Indonesia. (2) Lembaga perantara dalam Operasi Moneter terdiri atas: a. pialang pasar uang rupiah dan valuta asing; dan/atau b. perusahaan efek yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan Republik Indonesia sebagai dealer utama, yang sudah memperoleh izin dari Bank Indonesia. (3) Peserta OPT dapat mengikuti OPT secara langsung dan/atau tidak langsung melalui lembaga perantara. (4) Peserta Standing Facilities hanya dapat mengikuti Standing Facilities secara langsung. (5) Lembaga perantara hanya dapat mengajukan penawaran transaksi OPT untuk dan atas nama peserta OPT. - 22 - (6) Peserta OPT Konvensional dapat mengikuti lelang SBBI Valas untuk kepentingan diri sendiri dan/atau pihak lain. Pasal 52 Ketentuan lebih lanjut mengenai peserta dan lembaga perantara dalam Operasi Moneter diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. Bagian Kedua Perizinan Peserta dan Lembaga Perantara dalam Operasi Moneter Pasal 53 (1) Pihak yang akan menjadi peserta dan lembaga perantara dalam Operasi Moneter harus memperoleh izin dari Bank Indonesia. (2) Untuk memperoleh izin sebagai peserta Operasi Moneter sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pihak yang akan menjadi peserta menyampaikan permohonan kepada Bank Indonesia disertai dengan dokumen pendukung pemenuhan persyaratan kepesertaan Operasi Moneter. (3) Untuk memperoleh izin sebagai lembaga perantara dalam Operasi Moneter sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pihak yang akan menjadi lembaga perantara menyampaikan permohonan kepada Bank Indonesia disertai dengan dokumen pendukung pemenuhan persyaratan kepesertaan Operasi Moneter. Pasal 54 (1) Peserta Operasi Moneter berupa Bank yang melakukan langkah strategis dan mendasar serta yang berdampak pada hubungan operasional Bank dengan Bank Indonesia di bidang moneter atau Bank baru yang telah memperoleh izin usaha dari otoritas yang berwenang, harus mengajukan izin sebagai peserta Operasi Moneter sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (2). - 23 - (2) Lembaga perantara dalam Operasi Moneter yang melakukan langkah strategis dan mendasar atau lembaga perantara baru yang telah memperoleh izin usaha dari otoritas yang berwenang, harus mengajukan izin keikutsertaan dalam Operasi Moneter sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (3). (3) Langkah strategis dan mendasar serta yang berdampak pada hubungan operasional Bank dengan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai pelayanan perizinan terpadu terkait hubungan operasional bank dengan Bank Indonesia. Pasal 55 Ketentuan lebih lanjut mengenai perizinan peserta dan lembaga perantara dalam Operasi Moneter diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. Bagian Ketiga Persyaratan untuk Memperoleh Izin bagi Pihak yang Akan Menjadi Peserta dan Lembaga Perantara dalam Operasi Moneter Pasal 56 (1) Bank Indonesia menetapkan persyaratan untuk memperoleh izin bagi pihak yang akan menjadi peserta dan lembaga perantara dalam Operasi Moneter. (2) Penetapan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan mempertimbangkan: a. aspek kapasitas; b. aspek kapabilitas; dan c. aspek reputasi. (3) Persyaratan yang harus dipenuhi oleh pihak yang akan menjadi peserta dan lembaga perantara dalam Operasi Moneter sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. aspek kelembagaan; b. aspek infrastruktur; - 24 - c. aspek kompetensi sumber daya manusia; dan d. aspek manajemen risiko. Pasal 57 Pemenuhan aspek kompetensi sumber daya manusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (3) huruf c dilakukan dengan mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai sertifikasi tresuri dan penerapan kode etik pasar. Pasal 58 Peserta dan lembaga perantara dalam Operasi Moneter wajib menyampaikan data, informasi, dan/atau keterangan apabila terdapat perubahan data dan/atau informasi terkait pemenuhan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (3). Pasal 59 Bank Indonesia dapat menunjuk peserta OPT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) huruf a yang memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia untuk mendukung pelaksanaan transaksi Operasi Moneter. Pasal 60 Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan untuk memperoleh izin bagi pihak yang akan menjadi peserta dan lembaga perantara dalam Operasi Moneter diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. Bagian Keempat Pencabutan Izin Peserta dan Lembaga Perantara dalam Operasi Moneter Pasal 61 (1) Bank Indonesia dapat mencabut izin Bank dan/atau pihak lain sebagai peserta Operasi Moneter dan mencabut izin pialang pasar uang rupiah dan valuta asing dan/atau - 25 - perusahaan efek sebagai lembaga perantara dalam Operasi Moneter dalam hal Bank dan/atau pihak lain serta pialang pasar uang rupiah dan valuta asing dan/atau perusahaan efek: a. dicabut izin usahanya oleh otoritas terkait; b. melakukan langkah strategis dan mendasar; dan/atau c. mengajukan pencabutan izin sebagai peserta atau lembaga perantara dalam Operasi Moneter atas permintaan sendiri. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pencabutan izin sebagai peserta dan lembaga perantara dalam Operasi Moneter diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. Bagian Kelima Tanggung Jawab Peserta dan Lembaga Perantara dalam Operasi Moneter Pasal 62 (1) Peserta dan lembaga perantara dalam Operasi Moneter bertanggung jawab atas kebenaran data penawaran transaksi yang diajukan. (2) Peserta dan lembaga perantara dalam Operasi Moneter yang telah mengajukan penawaran transaksi tidak dapat membatalkan penawarannya. (3) Peserta dan lembaga perantara dalam Operasi Moneter harus memenuhi tata cara dan persyaratan pengajuan penawaran transaksi Operasi Moneter yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. (4) Dalam hal peserta dan lembaga perantara dalam Operasi Moneter tidak memenuhi tata cara dan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), penawaran transaksi yang telah diajukan akan ditolak dan/atau tidak diproses oleh Bank Indonesia. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tanggung jawab peserta dan lembaga perantara dalam Operasi Moneter diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. - 26 - BAB VI PENYELESAIAN TRANSAKSI DALAM OPERASI MONETER Pasal 63 (1) Peserta Operasi Moneter harus memiliki: a. rekening giro rupiah di Bank Indonesia; dan b. rekening giro valuta asing di Bank Indonesia, dalam hal peserta Operasi Moneter mengikuti transaksi OPT dalam valuta asing. (2) Peserta Operasi Moneter harus memiliki rekening surat berharga di Bank Indonesia dan/atau di lembaga kustodian yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. (3) Peserta Operasi Moneter yang mengikuti kegiatan Operasi Moneter wajib menyediakan dana yang cukup pada rekening giro rupiah di Bank Indonesia dan/atau surat berharga dalam rupiah yang cukup pada rekening surat berharga di Bank Indonesia atau di lembaga kustodian, untuk penyelesaian kewajiban pada tanggal penyelesaian transaksi. (4) Peserta Operasi Moneter yang mengikuti transaksi OPT dalam valuta asing wajib: a. menyediakan dana yang cukup di rekening giro rupiah di Bank Indonesia; b. menyediakan dana yang cukup di rekening giro valuta asing di Bank Indonesia; atau c. melakukan transfer dana dalam valuta asing yang cukup ke rekening Bank Indonesia di bank koresponden, untuk penyelesaian transaksi. (5) Dalam hal peserta Operasi Moneter tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (3), transaksi Operasi Moneter yang bersangkutan dinyatakan batal. - 27 - (6) Dalam hal peserta Operasi Moneter tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (4) maka transaksi OPT dalam valuta asing yang bersangkutan: a. dinyatakan batal, untuk transaksi penempatan berjangka (term deposit) di Bank Indonesia dalam valuta asing dan SBBI Valas; dan b. tetap wajib diselesaikan setelah tanggal penyelesaian transaksi, untuk transaksi OPT di pasar valuta asing selain transaksi penempatan berjangka (term deposit) di Bank Indonesia dalam valuta asing dan SBBI Valas sebagaimana dimaksud dalam huruf a. Pasal 64 Bank Indonesia berwenang melakukan pendebitan rekening giro di Bank Indonesia dan/atau rekening surat berharga di Bank Indonesia dan/atau di lembaga kustodian milik peserta Operasi Moneter untuk penyelesaian transaksi Operasi Moneter sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63. Pasal 65 Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelesaian transaksi dalam Operasi Moneter diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. BAB VII PEMANTAUAN PASAR KEUANGAN Pasal 66 (1) Untuk mendukung pelaksanaan Operasi Moneter, Bank Indonesia melakukan pemantauan pasar keuangan. (2) Pemantauan pasar keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas pemantauan: a. pasar uang; b. pasar uang berdasarkan prinsip syariah; c. pasar valuta asing; d. pasar SBN; dan/atau e. pasar keuangan lainnya. - 28 - (3) Pemantauan pasar keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui pemonitoran transaksi secara langsung atau tidak langsung. BAB VIII PENGAWASAN BANK INDONESIA DALAM OPERASI MONETER Pasal 67 (1) Bank Indonesia melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan Operasi Moneter yang meliputi: a. pengawasan tidak langsung; dan/atau b. pemeriksaan, apabila diperlukan. (2) Dalam melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia dapat meminta peserta dan lembaga perantara dalam Operasi Moneter untuk menyediakan dan menyampaikan data, informasi, dan/atau keterangan yang diperlukan oleh Bank Indonesia. BAB IX SANKSI Bagian Kesatu Sanksi Terkait Penyelesaian Transaksi Operasi Moneter Pasal 68 Dalam hal transaksi Operasi Moneter dinyatakan batal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (5), peserta Operasi Moneter dikenakan sanksi berupa: a. teguran tertulis; dan b. kewajiban membayar sebesar 0,01% (nol koma nol satu persen) dari nilai transaksi Operasi Moneter yang dinyatakan batal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (2), paling sedikit sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah). - 29 - Pasal 69 (1) Dalam hal terjadi batal transaksi yang ketiga kali dalam jangka waktu 6 (enam) bulan, selain dikenakan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68, peserta Operasi Moneter juga dikenakan sanksi penghentian sementara untuk mengikuti kegiatan Operasi Moneter selama 5 (lima) Hari Kerja berturut-turut. (2) Sanksi berupa penghentian sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan untuk: a. transaksi repo terkait penyediaan dana rupiah (lending facility) Konvensional yang berasal dari transaksi fasilitas likuiditas intrahari; atau b. transaksi repo terkait penyediaan dana rupiah (financing facility) peserta Standing Facilities Syariah yang berasal dari transaksi fasilitas likuiditas intrahari syariah, yang tidak lunas. Pasal 70 Perhitungan sanksi kewajiban membayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 huruf b menggunakan nilai transaksi pada saat first leg, baik untuk transaksi Operasi Moneter yang batal pada saat first leg maupun second leg. Pasal 71 Dalam hal terjadi pembatalan transaksi pada saat second leg dalam OMS: a. untuk transaksi repo dan harga surat berharga pada transaksi second leg lebih rendah dari harga surat berharga pada transaksi first leg, selain dikenakan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68, peserta OMS dikenakan sanksi tambahan berupa kewajiban membayar sebesar selisih antara harga pada transaksi first leg dan harga pada transaksi second leg setelah dikalikan dengan nominal surat berharga yang di-repo-kan; dan peserta Standing Facilities - 30 - b. untuk transaksi reverse repo dan harga surat berharga pada transaksi second leg lebih tinggi dari harga pada transaksi first leg, selain dikenakan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68, peserta OMS dikenakan sanksi tambahan berupa kewajiban membayar sebesar selisih antara harga pada transaksi second leg dan harga pada transaksi first leg, setelah dikalikan dengan nominal surat berharga yang di-reverse repo-kan. Pasal 72 Peserta OMK yang tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (4) sehingga menyebabkan batalnya transaksi penempatan berjangka (term deposit) di Bank Indonesia dalam valuta asing dan SBBI Valas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (6) huruf a, dikenakan sanksi berupa: a. teguran tertulis; dan b. kewajiban membayar yang dihitung atas dasar: 1. suku bunga efektif Fed Fund yang berlaku pada tanggal penyelesaian transaksi ditambah margin sebesar 200 (dua ratus) basis point dikalikan nilai transaksi dan dikalikan 1/360 (satu per tiga ratus enam puluh), untuk transaksi dalam dolar Amerika Serikat; dan 2. suku bunga yang dikeluarkan oleh bank sentral atau otoritas moneter di negara valuta yang bersangkutan (official rate) yang berlaku pada tanggal penyelesaian transaksi ditambah margin sebesar 200 (dua ratus) basis point dikalikan nilai transaksi dan dikalikan 1/360 (satu per tiga ratus enam puluh), untuk transaksi dalam valuta asing nondolar Amerika Serikat. Pasal 73 (1) Peserta OMK yang melakukan transaksi OPT di pasar valuta asing selain penempatan berjangka (term deposit) di Bank Indonesia dalam valuta asing dan SBBI Valas yang - 31 - tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (4), wajib membayar nilai transaksi yang bersangkutan pada hari kerja berikutnya setelah tanggal penyelesaian transaksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (6) huruf b. (2) Selain kewajiban membayar nilai transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Peserta OMK juga dikenakan sanksi sebagai berikut: a. teguran tertulis; dan b. kewajiban membayar yang dihitung atas dasar: 1. rata-rata suku bunga efektif Fed Fund yang berlaku pada tanggal penyelesaian transaksi ditambah margin sebesar 200 (dua ratus) basis point dikalikan nilai transaksi dan dikalikan 1/360 (satu per tiga ratus enam puluh), untuk penyelesaian kewajiban pembayaran dalam valuta asing dolar Amerika Serikat; 2. rata-rata suku bunga yang dikeluarkan oleh bank sentral atau otoritas moneter di negara valuta yang bersangkutan (official rate) yang berlaku pada tanggal penyelesaian transaksi ditambah margin sebesar 200 (dua ratus) basis point dikalikan nilai transaksi dan dikalikan 1/360 (satu per tiga ratus enam puluh), untuk penyelesaian kewajiban pembayaran dalam valuta asing nondolar Amerika Serikat; dan 3. rata-rata suku bunga kebijakan Bank Indonesia yang berlaku ditambah margin sebesar 350 (tiga ratus lima puluh) basis point dikalikan nilai transaksi dan dikalikan 1/360 (satu per tiga ratus enam puluh), untuk penyelesaian kewajiban pembayaran dalam rupiah. - 32 - (3) Penyelesaian kewajiban pembayaran nilai transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: a. Bank Indonesia mendebit rekening giro valuta asing peserta OMK di Bank Indonesia untuk penyelesaian kewajiban pembayaran dalam valuta asing dolar Amerika Serikat dan valuta asing nondolar Amerika Serikat; b. perhitungan penyelesaian kewajiban pembayaran dalam valuta asing nondolar Amerika Serikat sebagaimana dimaksud dalam huruf a menggunakan kurs tengah Bank Indonesia pada tanggal penyelesaian transaksi; dan c. Bank Indonesia mendebit rekening giro rupiah peserta OMK di Bank Indonesia untuk penyelesaian kewajiban pembayaran peserta OMK dalam rupiah. Pasal 74 Dalam hal transaksi penempatan berjangka (term deposit) syariah di Bank Indonesia dalam valuta asing dinyatakan batal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (5), peserta OMS dikenakan sanksi berupa: a. teguran tertulis; dan b. kewajiban membayar sebesar persentase tertentu dari nilai transaksi yang batal, yang diumumkan oleh Bank Indonesia pada saat pengumuman rencana transaksi. Pasal 75 (1) Dalam hal terdapat perubahan besaran margin dalam pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 huruf b dan Pasal 73 ayat (2) huruf b, perubahan tersebut ditetapkan dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi terkait penyelesaian transaksi Operasi Moneter diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. - 33 - Bagian Kedua Sanksi Terkait Pembatasan Transaksi SBI dan SDBI di Pasar Sekunder Pasal 76 Pemilik SBI yang merupakan peserta OMK yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (1) dan/atau pihak lain yang ditunjuk untuk mendukung penatausahaan SBI yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (3) dikenakan sanksi berupa: a. teguran tertulis; dan b. kewajiban membayar sebesar 0,01% (nol koma nol satu persen) dari nilai transaksi SBI yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (1) dan ayat (3), paling sedikit sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) per hari. Pasal 77 BUK yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1) dan/atau pihak lain yang ditunjuk untuk mendukung penatausahaan SDBI yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (3), dikenakan sanksi berupa: a. teguran tertulis; dan b. kewajiban membayar sebesar 0,01% (nol koma nol satu persen) dari nilai transaksi SDBI yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (3), paling sedikit sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) per hari. Pasal 78 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi terkait pembatasan transaksi SBI dan SDBI di pasar sekunder diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. - 34 - Bagian Ketiga Sanksi terkait Pengaturan dan Pengawasan Moneter dan/atau Pengaturan dan Pengawasan Makroprudensial Pasal 79 Bank Indonesia dapat mengenakan pembatasan dan/atau larangan keikutsertaan dalam Operasi Moneter bagi peserta Operasi Moneter yang tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai pengaturan dan pengawasan moneter dan/atau ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai pengaturan dan pengawasan makroprudensial. Bagian Keempat Sanksi Terkait Kepesertaan dalam Operasi Moneter Pasal 80 (1) Dalam hal peserta dan/atau lembaga perantara dalam Operasi Moneter tidak menyampaikan informasi perubahan data dan/atau informasi terkait pemenuhan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58, Bank Indonesia mengenakan sanksi administratif berupa: a. teguran tertulis; b. pembatasan keikutsertaan dalam Operasi Moneter; dan/atau c. pencabutan izin kepesertaan dalam Operasi Moneter. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi terkait kepesertaan diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. BAB IX KETENTUAN LAIN-LAIN Pasal 81 (1) Selama periode pemberian pinjaman likuiditas jangka pendek atau pembiayaan likuiditas jangka pendek - 35 - syariah, BUK, BUS, atau UUS hanya dapat mengikuti OMK atau OMS yang bersifat ekspansi. (2) Pemberian pinjaman likuiditas jangka pendek atau pembiayaan likuiditas jangka pendek syariah mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai pinjaman likuiditas jangka pendek dan pembiayaan likuiditas jangka pendek syariah. BAB X KETENTUAN PERALIHAN Pasal 82 (1) Bank dan/atau pialang pasar uang rupiah dan valuta asing yang telah mengikuti Operasi Moneter sebelum berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini, wajib mengajukan izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1) kepada Bank Indonesia paling lambat 6 (enam) bulan setelah Peraturan Bank Indonesia ini berlaku, dengan ketentuan sebagai berikut: a. bagi Bank dan/atau pialang pasar uang rupiah dan valuta asing yang telah mengikuti Operasi Moneter namun belum memenuhi persyaratan untuk mendapatkan izin sebagai peserta atau lembaga perantara dalam Operasi Moneter sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56, wajib menyusun rencana tindak (action plan); b. rencana tindak (action plan) sebagaimana dimaksud dalam huruf a disampaikan kepada Bank Indonesia paling lambat 3 (tiga) bulan setelah Peraturan Bank Indonesia ini berlaku; dan c. rencana tindak (action plan) sebagaimana dimaksud dalam huruf b harus disetujui oleh Bank Indonesia. (2) Rencana tindak (action plan) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diimplementasikan paling lambat 6 (enam) bulan setelah Peraturan Bank Indonesia ini berlaku. - 36 - Pasal 83 (1) Dalam hal Bank dan/atau pialang pasar uang rupiah dan valuta asing yang telah mengikuti Operasi Moneter sebelum Peraturan Bank Indonesia ini berlaku tidak dapat memenuhi persyaratan perizinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 sampai dengan jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82, Bank dan/atau pialang pasar uang rupiah dan valuta asing tersebut dikenakan sanksi administratif berupa: a. teguran tertulis; b. pembatasan kepesertaan dalam Operasi Moneter; dan/atau c. pelarangan keikutsertaan dalam Operasi Moneter sampai dengan pemenuhan persyaratan yang ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 terpenuhi. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif terkait kepesertaan diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. Pasal 84 Bagi Bank dan pialang pasar uang rupiah dan valuta asing yang telah mengikuti Operasi Moneter sebelum Peraturan Bank Indonesia ini berlaku, yang tidak mengajukan izin dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82, Bank dan pialang pasar uang rupiah dan valuta asing tersebut tidak dapat mengikuti Operasi Moneter. BAB XI KETENTUAN PENUTUP Pasal 85 Pada saat Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku, semua peraturan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Peraturan Bank Indonesia Nomor 17/17/PBI/2015 tentang Surat Berharga Bank Indonesia dalam Valuta Asing (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun - 37 - 2015 Nomor 264, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5753), dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia ini. Pasal 86 Pada saat Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku: a. Peraturan Bank Indonesia Nomor 16/12/PBI/2014 tanggal 24 Juli 2014 tentang Operasi Moneter Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 178, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5567); b. Peraturan Bank Indonesia Nomor 17/17/PBI/2015 tanggal 10 November 2015 tentang Surat Berharga Bank Indonesia dalam Valuta Asing (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 264, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5753); dan c. Peraturan Bank Indonesia Nomor 18/12/PBI/2016 tanggal 15 Agustus 2016 tentang Operasi Moneter (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 172, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5919), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 87 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. - 38 - Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 12 April 2018 GUBERNUR BANK INDONESIA, TTD AGUS D.W. MARTOWARDOJO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 16 April 2018 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, TTD YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2018 NOMOR 60 PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 20/5/PBI/2018 TENTANG OPERASI MONETER I. UMUM Dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang, telah diatur secara jelas bahwa tujuan Bank Indonesia yaitu mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Guna mencapai tujuan dimaksud dan menghadapi tantangan kondisi makroekonomi, Bank Indonesia melaksanakan pengendalian moneter dengan berdasarkan pada kebijakan moneter yang terintegrasi dengan kebijakan makroprudensial serta kebijakan sistem pembayaran dan pengelolaan uang rupiah. Kebijakan moneter tersebut diimplementasikan dalam pelaksanaan Operasi Moneter yang dapat dilakukan secara konvensional dan berdasarkan prinsip syariah. Untuk memperkuat efektivitas transmisi kebijakan moneter, diperlukan upaya reformulasi kerangka kebijakan moneter yang berkesinambungan. Upaya reformulasi yang dilakukan antara lain dalam bentuk penguatan ketentuan operasi moneter yang mengatur tentang perizinan kepesertaan dalam operasi moneter. - 2 - II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “stabilitas moneter” adalah suatu kondisi saat inflasi bergerak di dalam kisaran sasarannya dan nilai tukar bergerak stabil perekonomian. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 3 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “suku bunga Pasar Uang Antar Bank Overnight (PUAB O/N)” adalah suku bunga transaksi pinjam- meminjam uang dalam mata uang rupiah antar-BUK yang berjangka waktu 1 (satu) hari (overnight). Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan “absorpsi likuiditas” adalah pengurangan likuiditas di pasar uang rupiah melalui kegiatan OMK. Yang dimaksud dengan “injeksi likuiditas” adalah penambahan likuiditas di pasar uang rupiah melalui kegiatan OMK. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 4 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “nilai tukar fundamental” adalah nilai tukar yang mencerminkan keseimbangan ekonomi eksternal dan ekonomi internal. sejalan dengan kondisi fundamental - 3 - Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 5 Cukup jelas. Pasal 6 Cukup jelas. Pasal 7 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “absorpsi likuiditas” adalah pengurangan likuiditas rupiah di pasar uang berdasarkan prinsip syariah melalui kegiatan OMS. Yang dimaksud dengan “injeksi likuiditas” adalah penambahan likuiditas rupiah di pasar uang berdasarkan prinsip syariah melalui kegiatan OMS. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 8 Cukup jelas. Pasal 9 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Mekanisme lelang dilakukan dengan metode lelang harga tetap (fixed rate tender) atau metode lelang harga beragam (variable rate tender). Mekanisme nonlelang dilakukan secara bilateral antara Bank Indonesia dan peserta OPT. Pasal 10 Ayat (1) Cukup jelas. - 4 - Ayat (2) Mekanisme nonlelang dalam Standing Facilities dilakukan secara bilateral antara Bank Indonesia dan Bank. Pasal 11 Cukup jelas. Pasal 12 Huruf a Yang dimaksud dengan “penerbitan SBI, SDBI, dan/atau SBBI Valas” adalah penjualan SBI, SDBI, dan/atau SBBI Valas oleh Bank Indonesia di pasar perdana. Huruf b Yang dimaksud dengan “transaksi repurchase agreement (repo)” adalah transaksi penjualan surat berharga oleh peserta OPT Konvensional kepada Bank Indonesia dengan kewajiban pembelian kembali oleh peserta OPT Konvensional sesuai dengan harga dan jangka waktu yang disepakati. Yang dimaksud dengan “transaksi reverse repo” adalah transaksi pembelian surat berharga oleh peserta OPT Konvensional dari Bank Indonesia dengan kewajiban penjualan kembali oleh peserta OPT Konvensional sesuai dengan harga dan jangka waktu yang disepakati. Yang dimaksud dengan “surat berharga” adalah SBI, SDBI, SBN, dan surat berharga lain yang berkualitas tinggi dan mudah dicairkan, yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Huruf c Yang dimaksud dengan “transaksi pembelian dan/atau penjualan surat berharga secara outright” adalah transaksi pembelian dan penjualan surat berharga secara putus. Yang dimaksud dengan “surat berharga” adalah SBN dan surat berharga lain yang berkualitas tinggi dan mudah dicairkan, yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Huruf d Yang dimaksud dengan “penempatan berjangka (term deposit) di Bank Indonesia dalam rupiah” adalah penempatan dana milik - 5 - peserta OPT Konvensional secara berjangka di Bank Indonesia dalam rupiah. Huruf e Yang dimaksud dengan “penempatan berjangka (term deposit) di Bank Indonesia dalam valuta asing” adalah penempatan dana milik peserta OPT Konvensional secara berjangka di Bank Indonesia dalam valuta asing. Huruf f Jual beli valuta asing terhadap rupiah dilakukan antara lain dalam bentuk spot, forward, dan/atau swap. Yang dimaksud dengan “spot” adalah transaksi jual atau beli antara valuta asing terhadap rupiah dengan penyerahan dana dilakukan 2 (dua) Hari Kerja setelah tanggal transaksi. Termasuk dalam transaksi spot yaitu transaksi dengan penyerahan valuta pada hari yang sama (today) atau dengan penyerahan 1 (satu) Hari Kerja setelah tanggal transaksi (tomorrow). Yang dimaksud dengan “forward” adalah transaksi jual atau beli antara valuta asing terhadap rupiah dengan penyerahan dana dilakukan lebih dari 2 (dua) Hari Kerja setelah tanggal transaksi. Yang dimaksud dengan “swap” adalah transaksi pertukaran valuta asing terhadap rupiah melalui pembelian atau penjualan tunai (spot) dengan penjualan atau pembelian kembali secara berjangka (forward) yang dilakukan secara simultan, dengan counterpart yang sama dan pada tingkat harga yang dibuat dan disepakati pada tanggal transaksi dilakukan. Transaksi swap dengan metode lelang yang dilakukan antara BUK dan Bank Indonesia dapat dianggap sebagai penerusan (pass on) posisi transaksi derivatif BUK dengan pihak terkait BUK. Huruf g Cukup jelas. Pasal 13 Ayat (1) Persyaratan tertentu yang harus dipenuhi oleh peserta OPT Konvensional untuk mengajukan early redemption antara lain peserta OPT Konvensional dapat mengajukan early redemption - 6 - paling cepat 3 (tiga) hari setelah setelmen hasil lelang transaksi term deposit valuta asing. Ayat (2) Yang dimaksud “transaksi swap jual valuta asing terhadap rupiah Bank Indonesia” adalah transaksi beli valuta asing oleh Bank Indonesia melalui pembelian tunai (spot), dengan diikuti transaksi penjualan kembali valuta asing oleh Bank Indonesia secara berjangka (forward) yang dilakukan secara simultan, dengan counterpart yang sama pada tingkat harga yang dibuat dan disepakati pada tanggal transaksi dilakukan. Pasal 14 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “posisi devisa neto” adalah posisi devisa neto sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai posisi devisa neto bank umum. Ayat (2) Contoh perhitungan pengurangan posisi devisa neto BUK yang dipengaruhi oleh penempatan berjangka (term deposit) di Bank Indonesia dalam valuta asing adalah sebagai berikut: dalam juta rupiah No Modal* PDN sebelum TD Valas a Absolut PDN b 1 200.000 30.000 2 200.000 30.000 3 200.000 Rasio PDN c c = b/a 6.000 15% 35.000 15% 5.000 3% 6.000 TD Valas d TD Valas sebagai Pengurang PDN TD Valas ≤ PDN e d ≤ b 30.000 5.000 6.000 TD Valas ≤ 5% Modal f d ≤ 5% x a 10.000 10.000 10.000 6.000 Maksimum TD Valas Pengurang PDN g** PDN Sesudah TD Valas Absolut PDN h Rasio PDN i h = b-g i = h/a 10.000 20.000 10% 5.000 25.000 12,5% 0 0% *) Modal yaitu modal sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai posisi devisa neto bank umum. **) Nilai maksimum penempatan berjangka (term deposit) valuta asing (TD Valas) pengurang posisi devisa neto (PDN) (kolom g) yaitu yang memenuhi syarat TD Valas ≤ PDN (kolom e) dan TD ≤ 5% dari modal (kolom f). - 7 - Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Yang dimaksud dengan “modal” adalah modal sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai posisi devisa neto bank umum. Ayat (3) Laporan harian posisi devisa neto secara keseluruhan pada akhir hari kerja dengan memperhitungkan penempatan berjangka (term deposit) di Bank Indonesia dalam valuta asing sebagai pengurang posisi devisa neto dilaporkan melalui laporan harian bank umum (LHBU). Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 15 Penggunaan surat berharga milik pihak lain oleh Bank Indonesia dalam kegiatan OPT didasarkan pada suatu perjanjian antara Bank Indonesia dan pemilik surat berharga. Pasal 16 Cukup jelas. Pasal 17 Cukup jelas. Pasal 18 Cukup jelas. Pasal 19 Cukup jelas. Pasal 20 Cukup jelas. - 8 - Pasal 21 Cukup jelas. Pasal 22 Huruf a Yang dimaksud dengan “penerbitan SBIS” adalah penjualan SBIS oleh Bank Indonesia di pasar perdana. Huruf b Yang dimaksud dengan “transaksi repo” adalah transaksi penjualan surat berharga oleh peserta OPT Syariah kepada Bank Indonesia dengan kewajiban pembelian kembali oleh peserta OPT Syariah sesuai dengan harga dan jangka waktu yang disepakati. Yang dimaksud dengan “transaksi reverse repo” adalah transaksi pembelian surat berharga oleh peserta OPT Syariah dari Bank Indonesia dengan kewajiban penjualan kembali oleh peserta OPT Syariah sesuai dengan harga dan jangka waktu yang disepakati. Yang dimaksud dengan ”surat berharga yang memenuhi prinsip syariah” adalah SBSN dan surat berharga lain yang berkualitas tinggi dan mudah dicairkan yang memenuhi prinsip syariah, yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Huruf c Yang dimaksud dengan “transaksi pembelian dan/atau penjualan surat berharga yang memenuhi prinsip syariah secara outright” adalah transaksi pembelian dan penjualan secara putus. Yang dimaksud dengan “surat berharga yang memenuhi prinsip syariah” adalah SBSN dan surat berharga lain yang berkualitas tinggi dan mudah dicairkan yang memenuhi prinsip syariah, yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Huruf d Yang dimaksud dengan “penempatan berjangka (term deposit) syariah di Bank Indonesia dalam valuta asing” adalah penempatan dana milik peserta OPT Syariah secara berjangka di Bank Indonesia dalam valuta asing. Huruf e Termasuk dalam transaksi lainnya yang memenuhi prinsip syariah di pasar valuta asing yaitu transaksi spot dan/atau - 9 - transaksi derivatif yang bertujuan untuk lindung nilai (hedging) berdasarkan prinsip syariah serta memiliki underlying. Pasal 23 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “akad al ba’i yang diikuti dengan wa’d” adalah jual beli yang disertai dengan janji (al wa’d) oleh peserta OPT Syariah kepada Bank Indonesia, dalam dokumen terpisah, untuk membeli atau menjual kembali surat berharga dalam jangka waktu dan harga tertentu yang disepakati. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 24 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “akad ju’alah” adalah janji atau komitmen (iltizam) untuk memberikan imbalan tertentu (’iwadh/ju’l) atas pencapaian hasil (natijah) yang ditentukan dari suatu pekerjaan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 25 Persyaratan tertentu yang harus dipenuhi oleh peserta OPT Syariah untuk mengajukan early redemption antara lain peserta OPT Syariah dapat mengajukan early redemption paling cepat 3 (tiga) hari setelah setelmen hasil lelang transaksi term deposit valuta asing. Pasal 26 Ayat (1) Cukup jelas. - 10 - Ayat (2) Contoh perhitungan pengurangan posisi devisa neto BUS yang dipengaruhi oleh penempatan berjangka (term deposit) syariah di Bank Indonesia dalam valuta asing yaitu sebagai berikut: dalam juta rupiah No Modal* PDN sebelum TD Valas Syariah Absolut PDN a b 1 200.000 30.000 2 200.000 30.000 3 200.000 Rasio PDN c c = b/a 6.000 15% 35.000 15% 5.000 3% 6.000 TD Valas Syariah d e 5% Modal Maksimum TD Valas Syariah Pengurang PDN f **) e = 5% x a d ≤ 5% x a 10.000 10.000 10.000 PDN sesudah TD Valas Syariah Absolut PDN g g = b -f 10.000 20.000 10.000 25.000 10.000 0 Rasio PDN h h = g/a 10% 12,5% 0% *) Modal yaitu modal sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai posisi devisa neto bank umum. **) Nilai maksimum penempatan berjangka (term deposit) syariah dalam valuta asing (TD Valas Syariah) pengurang posisi devisa neto (PDN) (kolom f) yaitu nilai terkecil antara kolom b, kolom d, dan kolom e. Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Yang dimaksud dengan “modal” adalah modal sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai posisi devisa neto bank umum. Ayat (3) Laporan harian posisi devisa neto secara keseluruhan pada akhir hari kerja dengan memperhitungkan penempatan berjangka (term deposit) syariah di Bank Indonesia dalam valuta asing sebagai pengurang posisi devisa neto dilaporkan melalui laporan harian bank umum (LHBU). Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. - 11 - Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 27 Penggunaan surat berharga milik pihak lain oleh Bank Indonesia dalam kegiatan OPT Syariah didasarkan pada suatu perjanjian antara Bank Indonesia dan pemilik surat berharga. Pasal 28 Cukup jelas. Pasal 29 Cukup jelas. Pasal 30 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “repo surat berharga” adalah transaksi penjualan bersyarat surat berharga oleh peserta Standing Facilities Syariah kepada Bank Indonesia dengan kewajiban pembelian kembali sesuai dengan harga dan jangka waktu yang disepakati (sell and buy back) dan pemberian pinjaman oleh Bank Indonesia kepada peserta Standing Facilities Syariah dengan agunan surat berharga (collateralized borrowing). Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan “akad qard” adalah pinjaman dana tanpa imbalan dengan kewajiban pihak peminjam mengembalikan pokok pinjaman secara sekaligus dalam jangka waktu tertentu. Yang dimaksud dengan “rahn” adalah penyerahan agunan dari BUS atau UUS (rahin) kepada Bank Indonesia (murtahin) sebagai jaminan untuk mendapatkan qard. Ayat (4) Yang dimaksud dengan “akad al ba’i yang diikuti dengan wa’d” adalah jual beli yang disertai dengan janji (al wa’d) oleh peserta Standing Facilities Syariah kepada Bank Indonesia, dalam - 12 - dokumen terpisah, untuk membeli atau menjual kembali surat berharga dalam jangka waktu dan harga tertentu yang disepakati. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 31 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan “akad wadi’ah” adalah perjanjian penitipan dana antara pemilik dana dan pihak penerima titipan yang dipercaya untuk menjaga dana tersebut. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 32 Cukup jelas. Pasal 33 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Yang dimaksud dengan “tanpa warkat (scripless)” adalah diterbitkan tanpa adanya fisik SBI dan bukti kepemilikan bagi pemegang SBI berupa pencatatan elektronis. Huruf d SBI dapat dipindahtangankan melalui perdagangan di pasar sekunder antara lain secara outright, hibah, repo, atau dijadikan agunan. Pasal 34 Huruf a Cukup jelas. - 13 - Huruf b Cukup jelas. Huruf c Yang dimaksud dengan “tanpa warkat (scripless)” adalah diterbitkan tanpa adanya fisik SDBI dan bukti kepemilikan bagi pemegang SDBI berupa pencatatan elektronis. Huruf d Cukup jelas. Huruf e SDBI dapat dipindahtangankan antar-BUK melalui perdagangan di pasar sekunder antara lain secara outright, hibah, repo, atau dijadikan agunan. Pasal 35 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Yang dimaksud dengan “tanpa warkat (scripless)” adalah diterbitkan tanpa adanya fisik SBBI Valas dan bukti kepemilikan bagi pemegang SBBI Valas berupa pencatatan elektronis. Huruf d Yang dimaksud dengan “penduduk” adalah orang, badan hukum, atau badan lainnya, yang berdomisili di Indonesia paling singkat 1 (satu) tahun, termasuk perwakilan dan staf diplomatik Republik Indonesia di luar negeri. Kepemilikan SBBI Valas di pasar perdana dilakukan melalui pengajuan pembelian SBBI Valas kepada peserta lelang yang telah ditunjuk oleh Bank Indonesia. Kepemilikan SBBI Valas di pasar sekunder dilakukan melalui mekanisme pasar. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. - 14 - Pasal 36 Cukup jelas. Pasal 37 Ayat (1) Penatausahaan secara elektronis di Bank Indonesia dilakukan sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan transaksi, penatausahaan surat berharga, dan setelmen dana seketika. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan “tanpa warkat (scripless)” adalah diterbitkan tanpa adanya fisik SBI, SDBI, dan SBBI Valas, dan bukti kepemilikan bagi pemegangnya berupa pencatatan elektronis. Ayat (4) Yang dimaksud dengan “pihak lain” antara lain sub-registry. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 38 Cukup jelas. Pasal 39 Ayat (1) Termasuk dalam transaksi SBI dengan pihak lain antara lain transaksi repo, penjualan secara outright, pinjam-meminjam, hibah, dan pengagunan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. - 15 - Pasal 40 Ayat (1) Termasuk dalam transaksi SDBI antara lain transaksi jual atau beli secara outright, pinjam-meminjam, memberi atau menerima hibah, repo, atau memberikan atau menerima agunan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Dalam hal pihak lain ditunjuk untuk mendukung penatausahaan SDBI maka pihak lain tersebut hanya dapat menatausahakan SDBI milik BUK. Ayat (4) Dalam hal lembaga perantara melakukan transaksi terkait SDBI maka lembaga perantara tersebut hanya dapat melakukan transaksi terkait SDBI antar-BUK. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 41 Cukup jelas. Pasal 42 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Pelunasan SBI, SDBI, dan SBBI Valas sebelum jatuh waktu (early redemption) dilakukan atas inisiatif Bank Indonesia berdasarkan pertimbangan terkait strategi pengelolaan moneter. Pasal 43 Cukup jelas. Pasal 44 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “akad ju’alah” adalah janji atau komitmen (iltizam) untuk memberikan imbalan tertentu (’iwadh/ju’l) atas pencapaian hasil (natijah) yang ditentukan dari suatu pekerjaan. - 16 - Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 45 Huruf a Jangka waktu SBIS dinyatakan dalam jumlah hari kalender dan dihitung 1 (satu) hari kalender setelah tanggal penyelesaian transaksi sampai dengan tanggal jatuh waktu. Huruf b Yang dimaksud dengan “tanpa warkat (scripless)” adalah diterbitkan tanpa adanya fisik SBIS, dan bukti kepemilikan bagi pemegang SBIS berupa pencatatan elektronis. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Pasal 46 Cukup jelas. Pasal 47 Ayat (1) Penatausahaan secara elektronis di Bank Indonesia dilakukan sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan transaksi, penatausahaan surat berharga, dan setelmen dana seketika. Ayat (2) Cukup jelas. - 17 - Ayat (3) Yang dimaksud dengan “tanpa warkat (scripless)” adalah diterbitkan tanpa adanya fisik SBIS dan bukti kepemilikan bagi pemegang SBIS berupa pencatatan elektronis. Ayat (4) Yang dimaksud dengan “pihak lain” antara lain sub-registry. Pasal 48 Cukup jelas. Pasal 49 Cukup jelas. Pasal 50 Cukup jelas. Pasal 51 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan “pihak lain” adalah lembaga keuangan bukan Bank yang memberikan kontribusi dalam transmisi kebijakan moneter dan pencapaian sasaran Operasi Moneter. Huruf b Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. - 18 - Pasal 52 Cukup jelas. Pasal 53 Cukup jelas. Pasal 54 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “hubungan operasional Bank dengan Bank Indonesia di bidang moneter” adalah izin kepesertaan untuk mengikuti Operasi Moneter di Bank Indonesia. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 55 Cukup jelas. Pasal 56 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Aspek kapasitas merupakan potensi kemampuan peserta dan lembaga perantara dalam Operasi Moneter untuk bertransaksi secara optimal pada seluruh instrumen Operasi Moneter, yang dinyatakan dengan kelengkapan dan kekinian sarana atau prasarana untuk bertransaksi dalam Operasi Moneter. Huruf b Aspek kapabilitas merupakan ukuran dari kemampuan peserta dan lembaga perantara dalam Operasi Moneter untuk melaksanakan transaksi Operasi Moneter dengan Bank Indonesia yang dapat dinyatakan dari level sertifikasi tresuri yang dimiliki. - 19 - Huruf c Aspek reputasi merupakan ukuran dari tingkat kepercayaan stakeholder terhadap peserta dan lembaga perantara dalam Operasi Moneter. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 57 Cukup jelas. Pasal 58 Cukup jelas. Pasal 59 Bank Indonesia dapat menunjuk peserta OPT untuk mendukung pelaksanaan transaksi Operasi Moneter antara lain sebagai agent bank dan/atau dealer utama (primary dealer). Pasal 60 Cukup jelas. Pasal 61 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Langkah strategis dan mendasar yang dapat berdampak pada pencabutan izin kepesertaan dalam Operasi Moneter meliputi penggabungan, peleburan, pemisahan, dan perubahan status. Huruf c Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. - 20 - Pasal 62 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “membatalkan penawaran transaksi” adalah peserta dan lembaga perantara dalam Operasi Moneter menarik kembali penawaran transaksi yang telah diajukan. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 63 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Huruf a Penyediaan dana di rekening giro rupiah di Bank Indonesia berlaku untuk kewajiban penyelesaian transaksi dalam rupiah. Huruf b Penyediaan dana yang cukup di rekening giro valuta asing di Bank Indonesia berlaku untuk kewajiban penyelesaian transaksi dalam valuta asing. Huruf c Pelaksanaan transfer dana valuta asing ke rekening Bank Indonesia di bank koresponden yang ditunjuk oleh Bank Indonesia berlaku untuk kewajiban penyelesaian transaksi dalam valuta asing. Ayat (5) Cukup jelas. - 21 - Ayat (6) Huruf a Transaksi penempatan berjangka (term deposit) di Bank Indonesia dalam valuta asing mencakup transaksi penempatan berjangka (term deposit) di Bank Indonesia dalam valuta asing dan transaksi penempatan berjangka (term deposit) syariah di Bank Indonesia dalam valuta asing. Huruf b Cukup jelas. Pasal 64 Cukup jelas. Pasal 65 Cukup jelas. Pasal 66 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Pemonitoran transaksi secara langsung dilakukan melalui interaksi dengan pelaku di pasar keuangan. Pemonitoran transaksi secara tidak langsung dilakukan melalui pemanfaatan berbagai informasi dan data pasar keuangan yang tersedia dalam sistem yang khusus dibangun untuk pemantauan atau dalam media lainnya. Pasal 67 Ayat (1) Pengawasan terhadap pelaksanaan Operasi Moneter antara lain dilakukan terhadap peserta dan lembaga perantara dalam Operasi Moneter serta transaksi yang dilakukan oleh peserta dan lembaga perantara dalam Operasi Moneter. - 22 - Pengawasan terhadap pelaksanaan Operasi Moneter dilakukan dengan mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai pengaturan dan pengawasan moneter. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 68 Cukup jelas. Pasal 69 Cukup jelas. Pasal 70 Transaksi Operasi Moneter yang memiliki second leg antara lain transaksi repo dan reverse repo. Pasal 71 Cukup jelas. Pasal 72 Cukup jelas. Pasal 73 Cukup jelas. Pasal 74 Cukup jelas. Pasal 75 Cukup jelas. Pasal 76 Cukup jelas. Pasal 77 Cukup jelas. - 23 - Pasal 78 Cukup jelas. Pasal 79 Cukup jelas. Pasal 80 Cukup jelas. Pasal 81 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “pinjaman likuiditas jangka pendek atau pembiayaan likuiditas jangka pendek syariah” adalah pinjaman likuiditas jangka pendek atau pembiayaan likuiditas jangka pendek syariah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai pinjaman likuiditas jangka pendek atau pembiayaan likuiditas jangka pendek syariah. OMK yang bersifat ekspansi antara lain transaksi repo untuk OPT Konvensional dan transaksi lending facility untuk Standing Facilities Konvensional. OMS yang bersifat ekspansi antara lain transaksi repo untuk OPT Syariah dan transaksi financing facility untuk Standing Facilities Syariah. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 82 Ayat (1) Huruf a Belum dipenuhinya persyaratan untuk mendapatkan izin sebagai peserta atau lembaga perantara didasarkan atas asesmen Bank dan/atau lembaga perantara yang bersangkutan atau penelitian administratif Bank Indonesia atas permohonan perizinan yang diajukan oleh Bank dan/atau lembaga perantara. Huruf b Cukup jelas. - 24 - Huruf c Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 83 Ayat (1) Bank dan pialang pasar uang rupiah dan valuta asing dapat mengikuti Operasi Moneter setelah mendapatkan izin dari Bank Indonesia. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 84 Cukup jelas. Pasal 85 Cukup jelas. Pasal 86 Cukup jelas. Pasal 87 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6198
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 20/5/PBI/2018 </reg_id> <reg_title> OPERASI MONETER </reg_title> <set_date> 12 April 2018 </set_date> <effective_date> 16 April 2018 </effective_date> <issued_date> 16 April 2018 </issued_date> <replaced_reg> '16/12/PBI/2014', '17/17/PBI/2015', '18/12/PBI/2016' </replaced_reg> <related_reg> '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '24/UU/1999' </related_reg> <penalty_list> 'BAB IX', 'BAB X Pasal 83' </penalty_list>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 12/19/PBI/2010 TENTANG GIRO WAJIB MINIMUM BANK UMUM PADA BANK INDONESIA DALAM RUPIAH DAN VALUTA ASING DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa tekanan inflasi serta kondisi ekses likuiditas perbankan yang tinggi dan persisten perlu dikendalikan agar tidak berdampak pada peningkatan ekspektasi inflasi yang dapat berpengaruh pada stabilitas moneter; b. bahwa stabilitas sektor keuangan perlu terus didukung oleh penguatan kondisi sektor perbankan dalam menghadapi berbagai risiko dan pengoptimalan fungsi intermediasi perbankan; c. bahwa guna mendukung stabilitas moneter dan sektor keuangan perlu dilakukan pengelolaan ekses likuiditas perbankan secara optimal, antara lain melalui kebijakan giro wajib minimum; d. bahwa pengaturan mengenai giro wajib minimum yang berlaku perlu disesuaikan dengan memperhatikan kondisi likuiditas perbankan serta peran bank dalam menjalankan fungsi intermediasi; e. bahwa . . . - 2 - e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d perlu untuk mengatur kembali ketentuan mengenai giro wajib minimum bank umum pada Bank Indonesia dalam rupiah dan valuta asing dalam suatu Peraturan Bank Indonesia; Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); 2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962); MEMUTUSKAN . . . - 3 - M E M U T U S K A N: Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG GIRO WAJIB MINIMUM BANK UMUM PADA BANK INDONESIA DALAM RUPIAH DAN VALUTA ASING. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan: 1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, termasuk kantor cabang bank asing, yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional. 2. Bank Devisa adalah Bank yang memperoleh surat penunjukan dari Bank Indonesia untuk dapat melakukan kegiatan usaha perbankan dalam valuta asing. 3. Dana Pihak Ketiga Bank, yang untuk selanjutnya disebut DPK, adalah kewajiban Bank kepada penduduk dan bukan penduduk dalam rupiah dan valuta asing. 4. Rekening Giro adalah rekening pihak ekstern tertentu di Bank Indonesia yang merupakan sarana bagi penatausahaan transaksi dari simpanan yang penarikannya dapat dilakukan setiap saat. 5. Rekening Giro dalam Rupiah, yang untuk selanjutnya disebut Rekening Giro Rupiah, adalah Rekening Giro dalam mata uang rupiah yang penarikannya dapat dilakukan dengan menggunakan cek Bank Indonesia, bilyet . . . - 4 - bilyet giro Bank Indonesia, atau sarana lainnya sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku mengenai hubungan Rekening Giro antara Bank Indonesia dengan pihak ekstern. 6. Rekening Giro dalam valuta asing, yang untuk selanjutnya disebut Rekening Giro Valas, adalah Rekening Giro dalam valuta asing yang penarikannya dapat dilakukan dengan cara pemindahbukuan atau sarana lainnya sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku mengenai hubungan Rekening Giro antara Bank Indonesia dengan pihak ekstern. 7. Loan to Deposit Ratio, yang untuk selanjutnya disebut LDR, adalah rasio kredit yang diberikan kepada pihak ketiga dalam rupiah dan valuta asing, tidak termasuk kredit kepada Bank lain, terhadap dana pihak ketiga yang mencakup giro, tabungan, dan deposito dalam rupiah dan valuta asing, tidak termasuk dana antar Bank. 8. LDR Target adalah kisaran rasio LDR yang dibatasi oleh batas bawah dan batas atas yang ditetapkan oleh Bank Indonesia dalam rangka perhitungan GWM LDR. 9. Giro Wajib Minimum, yang untuk selanjutnya disebut GWM, adalah jumlah dana minimum yang wajib dipelihara oleh Bank yang besarnya ditetapkan oleh Bank Indonesia sebesar Persentase tertentu dari DPK. 10. GWM Primer adalah simpanan minimum yang wajib dipelihara oleh Bank dalam bentuk saldo Rekening Giro pada Bank Indonesia yang besarnya ditetapkan oleh Bank Indonesia sebesar persentase tertentu dari DPK. 11. GWM Sekunder adalah cadangan minimum yang wajib dipelihara oleh Bank berupa SBI, SUN, SBSN, dan/atau Excess Reserve, yang besarnya ditetapkan oleh Bank Indonesia sebesar persentase tertentu dari DPK. 12. GWM . . . - 5 - 12. GWM LDR adalah simpanan minimum yang wajib dipelihara oleh Bank dalam bentuk saldo Rekening Giro pada Bank Indonesia sebesar persentase dari DPK yang dihitung berdasarkan selisih antara LDR yang dimiliki oleh Bank dengan LDR Target. 13. Jakarta Interbank Offered Rate, yang untuk selanjutnya disebut JIBOR, adalah suku bunga antar bank untuk berbagai jangka waktu yang ditawarkan oleh bank-bank tertentu di Jakarta. 14. Sertifikat Bank Indonesia, yang untuk selanjutnya disebut SBI, adalah surat berharga dalam mata uang rupiah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia sebagai pengakuan utang berjangka waktu pendek. 15. Surat Utang Negara, yang untuk selanjutnya disebut SUN, adalah surat utang negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2002 tentang Surat Utang Negara. 16. Surat Berharga Syariah Negara, yang untuk selanjutnya disebut SBSN atau dapat disebut Sukuk Negara, adalah surat berharga syariah negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara, namun terbatas hanya dalam mata uang rupiah. 17. Excess Reserve adalah kelebihan saldo Rekening Giro Rupiah Bank dari GWM Primer dan GWM LDR yang wajib dipelihara di Bank Indonesia. 18. Rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum, yang untuk selanjutnya disebut KPMM, adalah rasio perbandingan antara modal dengan aset tertimbang menurut risiko sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai kewajiban penyediaan modal minimum bank umum. 19. KPMM Insentif adalah KPMM yang ditetapkan oleh Bank Indonesia dalam rangka perhitungan GWM LDR. 20. Parameter . . . - 6 - 20. Parameter Disinsentif Bawah adalah parameter pengali yang digunakan dalam perhitungan GWM LDR bagi Bank yang memiliki LDR kurang dari batas bawah LDR Target. 21. Parameter Disinsentif Atas adalah parameter pengali yang digunakan dalam perhitungan GWM LDR bagi Bank yang memiliki LDR lebih dari batas atas LDR Target. BAB II PEMENUHAN GIRO WAJIB MINIMUM Pasal 2 (1) Bank wajib memenuhi GWM dalam rupiah. (2) GWM dalam rupiah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari GWM Primer, GWM Sekunder, dan GWM LDR. (3) Bank Devisa selain wajib memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga wajib memenuhi GWM dalam valuta asing. Pasal 3 Pemenuhan GWM dalam rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) ditetapkan sebagai berikut: a. GWM Primer dalam rupiah sebesar 8% (delapan persen) dari DPK dalam rupiah. b. GWM Sekunder dalam rupiah sebesar 2,5% (dua koma lima persen) dari DPK dalam rupiah. c. GWM LDR dalam rupiah sebesar perhitungan antara Parameter Disinsentif Bawah atau Parameter Disinsentif Atas dengan selisih antara LDR Bank dan LDR Target dengan memperhatikan selisih antara KPMM Bank dan KPMM Insentif. Pasal 4 . . . - 7 - Pasal 4 GWM dalam valuta asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) ditetapkan sebesar 1% (satu persen) dari DPK dalam valuta asing. Pasal 5 Persentase GWM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan Pasal 4 dapat disesuaikan dari waktu ke waktu. BAB III REKENING GIRO BANK PADA BANK INDONESIA Pasal 6 (1) Setiap Bank wajib memelihara Rekening Giro Rupiah pada Bank Indonesia. (2) Bank Devisa selain wajib memelihara Rekening Giro Rupiah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga wajib memelihara Rekening Giro Valas pada Bank Indonesia. (3) Tata cara pembukaan, penyetoran, penarikan, dan penutupan Rekening Giro Rupiah dan Rekening Giro Valas Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), ditetapkan berdasarkan ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai hubungan Rekening Giro antara Bank Indonesia dengan pihak ekstern. BAB IV PERHITUNGAN GIRO WAJIB MINIMUM Pasal 7 Bank wajib memenuhi GWM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan Pasal 4 secara harian. Pasal 8 . . . - 8 - Pasal 8 Pemenuhan GWM Primer dalam rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a dan GWM LDR dalam rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf c, serta pemenuhan GWM dalam valuta asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, dihitung dengan membandingkan saldo Rekening Giro Bank pada Bank Indonesia setiap akhir hari dalam 1 (satu) masa laporan terhadap rata-rata harian jumlah DPK dalam 1 (satu) masa laporan pada 2 (dua) masa laporan sebelumnya. Pasal 9 (1) Pemenuhan GWM Sekunder dalam rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf b dihitung dengan membandingkan jumlah SBI, SUN, SBSN, dan/atau Excess Reserve setiap akhir hari dalam 1 (satu) masa laporan terhadap rata-rata harian jumlah DPK dalam 1 (satu) masa laporan pada 2 (dua) masa laporan sebelumnya. (2) Tata cara pemenuhan GWM Sekunder dalam rupiah dilakukan sesuai dengan Surat Edaran Bank Indonesia yang mengatur mengenai perhitungan giro wajib minimum sekunder dalam rupiah. Pasal 10 (1) Untuk pertama kali, besaran dan parameter yang digunakan dalam perhitungan GWM LDR dalam rupiah ditetapkan sebagai berikut: a. Batas bawah LDR Target sebesar 78% (tujuh puluh delapan persen). b. Batas atas LDR Target sebesar 100% (seratus persen). c. KPMM Insentif sebesar 14% (empat belas persen). d. Parameter Disinsentif Bawah sebesar 0,1 (nol koma satu). e. Parameter Disinsentif Atas sebesar 0,2 (nol koma dua). (2) Bank . . . - 9 - (2) Bank Indonesia sewaktu-waktu dapat mengubah besaran dan parameter sebagaimana dimaksud pada ayat (1) apabila diperlukan. Pasal 11 Pemenuhan GWM LDR dalam rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf c dilakukan sebagai berikut: a. Dalam hal LDR Bank berada dalam kisaran LDR Target maka GWM LDR Bank adalah sebesar 0% (nol persen) dari DPK dalam rupiah. b. Dalam hal LDR Bank lebih kecil dari batas bawah LDR Target maka GWM LDR merupakan hasil perkalian antara Parameter Disinsentif Bawah, selisih antara batas bawah LDR Target dan LDR Bank, dan DPK dalam rupiah. c. Dalam hal LDR Bank lebih besar dari batas atas LDR Target dan KPMM Bank lebih kecil dari KPMM Insentif maka GWM LDR merupakan hasil perkalian antara Parameter Disinsentif Atas, selisih antara LDR Bank dan batas atas LDR Target, dan DPK dalam rupiah. d. Dalam hal LDR Bank lebih besar dari batas atas LDR Target dan KPMM Bank sama atau lebih besar dari KPMM Insentif, maka GWM LDR Bank adalah sebesar 0% (nol persen) dari DPK dalam rupiah. Pasal 12 (1) DPK dalam rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a dan huruf b, Pasal 11, Pasal 16 ayat (2) serta DPK dalam valuta asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 diperoleh dari Laporan DPK dalam Rupiah dan Valuta Asing pada Laporan Berkala Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai laporan berkala bank umum. (2) LDR . . . - 10 - (2) LDR Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf c dan Pasal 11 diperoleh dari pos-pos neraca mingguan yang disampaikan Bank kepada Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai laporan berkala bank umum. (3) KPMM Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf c dan Pasal 11 adalah KPMM triwulanan hasil perhitungan Bank Indonesia yang digunakan dalam rangka pengawasan terhadap Bank yang bersangkutan dan dapat diperoleh Bank dari Bank Indonesia. (4) KPMM triwulanan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan KPMM Bank untuk posisi tanggal akhir triwulan, sebagai berikut: a. KPMM pada posisi akhir bulan September digunakan untuk perhitungan GWM LDR dalam rupiah harian untuk bulan Desember, Januari, dan Februari. b. KPMM pada posisi akhir bulan Desember digunakan untuk perhitungan GWM LDR dalam rupiah harian untuk bulan Maret, April, dan Mei. c. KPMM pada posisi akhir bulan Maret digunakan untuk perhitungan GWM LDR dalam rupiah harian untuk bulan Juni, Juli, dan Agustus. d. KPMM pada posisi akhir bulan Juni digunakan untuk perhitungan GWM LDR dalam rupiah harian untuk bulan September, Oktober, dan November. (5) Dalam hal terdapat perbedaan hasil perhitungan KPMM yang dilakukan oleh Bank Indonesia dengan hasil perhitungan KPMM yang dilakukan oleh Bank maka yang berlaku adalah hasil perhitungan KPMM yang dilakukan oleh Bank Indonesia. Pasal 13 . . . - 11 - Pasal 13 (1) Saldo Rekening Giro Bank pada Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 masing-masing terdiri dari: a. b. saldo Rekening Giro Rupiah Bank; saldo Rekening Giro Valas Bank. (2) Informasi mengenai saldo Rekening Giro Bank pada Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperoleh dari sistem BI-RTGS untuk Rekening Giro Rupiah Bank dan dari sistem akunting Bank Indonesia untuk Rekening Giro Valas Bank. Pasal 14 (1) DPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 11, Pasal 16 ayat (2) dan Pasal 4 terdiri dari: a. b. rata-rata harian total DPK dalam rupiah pada seluruh kantor Bank di Indonesia; rata-rata harian total DPK dalam valuta asing pada seluruh kantor Bank di Indonesia. (2) DPK dalam rupiah meliputi kewajiban dalam rupiah kepada pihak ketiga bukan bank, baik kepada penduduk maupun bukan penduduk, yang terdiri dari: a. giro; b. c. tabungan; simpanan berjangka/deposito; dan d. kewajiban-kewajiban lainnya. (3) DPK dalam valuta asing meliputi kewajiban dalam valuta asing kepada pihak ketiga, termasuk Bank di Indonesia, baik kepada penduduk maupun bukan penduduk, yang terdiri dari: a. giro . . . - 12 - a. giro; b. c. tabungan; simpanan berjangka/deposito; dan d. kewajiban-kewajiban lainnya. BAB V PELAPORAN Pasal 15 Bank wajib menyampaikan laporan mengenai DPK dan pos-pos neraca mingguan, dalam rupiah dan valuta asing, secara berkala kepada Bank Indonesia sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai laporan berkala bank umum. BAB VI JASA GIRO Pasal 16 (1) Bank Indonesia memberikan jasa giro setiap hari kerja terhadap bagian tertentu dari pemenuhan kewajiban GWM Primer dalam Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a. (2) Bagian tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebesar 3% (tiga persen) dari DPK dalam Rupiah. (3) Jasa giro sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dengan tingkat bunga sebesar 2,5% (dua koma lima persen) per tahun. (4) Jasa giro sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan apabila Bank telah memenuhi seluruh kewajiban GWM dalam rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3. (5) Bank . . . - 13 - (5) Bank Indonesia dapat mengubah kebijakan pemberian jasa giro dan/atau persentase jasa giro dengan mempertimbangkan kondisi perekonomian dan arah kebijakan Bank Indonesia. Pasal 17 (1) Pemberian jasa giro sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 dilaksanakan dengan mengkredit Rekening Giro Rupiah Bank pada Bank Indonesia. (2) Pengkreditan Rekening Giro Rupiah Bank dalam rangka pemberian jasa giro sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sebagai berikut: a. Jasa giro periode tanggal 1 sampai dengan tanggal 7 dikreditkan paling lambat 2 (dua) hari kerja setelah tanggal 7 bulan yang sama; b. Jasa giro periode tanggal 8 sampai dengan tanggal 15 dikreditkan paling lambat 2 (dua) hari kerja setelah tanggal 15 bulan yang sama; c. Jasa giro periode tanggal 16 sampai dengan tanggal 23 dikreditkan paling lambat 2 (dua) hari kerja setelah tanggal 23 bulan yang sama; d. Jasa giro periode tanggal 24 sampai dengan tanggal akhir bulan dikreditkan pada bulan berikutnya paling lambat 2 (dua) hari kerja setelah tanggal akhir bulan. (3) Dalam hal di kemudian hari diketahui terjadi kekurangan atau kelebihan dalam pengkreditan yang terkait dengan pemberian jasa giro sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia dapat langsung mengkredit atau mendebet Rekening Giro Bank yang bersangkutan sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai Sistem Bank Indonesia Real Time Gross Settlement. BAB VII . . . - 14 - BAB VII SANKSI Pasal 18 (1) Bank yang melanggar kewajiban pemenuhan GWM dalam rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar 125% (seratus dua puluh lima persen) dari rata-rata suku bunga jangka waktu 1 (satu) hari overnight dari JIBOR dalam rupiah pada hari terjadinya pelanggaran, terhadap kekurangan GWM dalam rupiah, untuk setiap hari kerja pelanggaran. (2) Bank yang melanggar kewajiban pemenuhan GWM dalam valuta asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar 0,04% (nol koma nol empat persen) per hari kerja, yang dihitung dari selisih antara saldo harian Rekening Giro Valas Bank pada Bank Indonesia yang wajib dipenuhi dengan saldo harian Rekening Giro Valas Bank yang dicatat pada sistem akunting Bank Indonesia. (3) Sanksi kewajiban membayar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibayarkan dalam valuta rupiah dengan menggunakan kurs transaksi Bank Indonesia pada hari terjadinya pelanggaran. (4) Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan bagi Bank yang mendapatkan insentif kelonggaran pemenuhan kewajiban GWM dalam rupiah sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia tentang Insentif dalam rangka Konsolidasi Perbankan, sepanjang kekurangan GWM Primer dalam rupiah tidak lebih dari 1% (satu persen) dari DPK dalam rupiah. Pasal 19 Selain mengenakan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18, Bank Indonesia berwenang mengenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana . . . - 15 - sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, terhadap Bank yang tidak memenuhi kewajiban GWM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan Pasal 4. Pasal 20 Dalam rangka melakukan langkah-langkah pengawasan (supervisory action) terhadap Bank yang sedang dikenakan Cease and Desist Order (CDO) yang terkait dengan penyaluran kredit dan penghimpunan dana, Bank Indonesia berwenang melakukan perhitungan yang berbeda dari ketentuan GWM LDR sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini. Pasal 21 (1) Pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 dilaksanakan dengan mendebet Rekening Giro Rupiah Bank pada Bank Indonesia. (2) Pendebetan Rekening Giro Rupiah Bank dalam rangka pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lambat 3 (tiga) hari kerja berikutnya setelah tanggal terjadinya pelanggaran GWM. (3) Dalam hal di kemudian hari diketahui terjadi kekurangan atau kelebihan dalam pendebetan yang terkait dengan pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia dapat langsung mendebet atau mengkredit Rekening Giro Bank yang bersangkutan sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai Sistem Bank Indonesia Real Time Gross Settlement untuk Rekening Giro Rupiah Bank dan sistem akunting Bank Indonesia untuk Rekening Giro Valas Bank. (4) Dalam hal saldo Rekening Giro Rupiah Bank tidak mencukupi untuk pendebetan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) maka atas kekurangan tersebut juga dikenakan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1). BAB VIII . . . - 16 - BAB VIII KETENTUAN PENUTUP Pasal 22 Ketentuan mengenai kewajiban pemenuhan GWM LDR dalam rupiah dan ketentuan sanksi atas pelanggaran kewajiban pemenuhan GWM LDR dalam rupiah mulai berlaku pada tanggal 1 Maret 2011. Pasal 23 Dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini maka Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/19/PBI/2008 tanggal 14 Oktober 2008 tentang Giro Wajib Minimum Bank Umum pada Bank Indonesia dalam Rupiah dan Valuta Asing sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/25/PBI/2008 tanggal 23 Oktober 2008 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 24 (1) Peraturan pelaksanaan dari Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/19/PBI/2008 tanggal 14 Oktober 2008 tentang Giro Wajib Minimum Bank Umum pada Bank Indonesia dalam Rupiah dan Valuta Asing sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/25/PBI/2008 tanggal 23 Oktober 2008, dinyatakan tetap berlaku sepanjang belum diperbarui dan tidak bertentangan dengan Peraturan Bank Indonesia ini. (2) Semua istilah GWM Utama yang tercantum di dalam ketentuan Bank Indonesia yang sudah ada sebelum Peraturan Bank Indonesia ini berlaku, harus dibaca sebagai GWM Primer sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Bank Indonesia ini. Pasal 25 . . . - 17 - Pasal 25 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 1 November 2010. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 4 Oktober 2010 GUBERNUR BANK INDONESIA, DARMIN NASUTION Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 4 Oktober 2010 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, PATRIALIS AKBAR LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2010 NOMOR 115 DPNP/DKM PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 12/19/PBI/2010 TENTANG GIRO WAJIB MINIMUM BANK UMUM PADA BANK INDONESIA DALAM RUPIAH DAN VALUTA ASING I. UMUM Pengendalian tekanan inflasi serta pengelolaan kondisi ekses likuiditas perbankan yang tinggi dan persisten, merupakan hal yang sangat diperlukan agar tidak berdampak pada peningkatan ekspektasi inflasi yang dapat mengganggu stabilitas moneter. Selain itu, stabilitas sektor keuangan perlu terus didukung oleh penguatan kondisi sektor perbankan dalam menghadapi berbagai risiko dan pengoptimalan fungsi intermediasi perbankan. Salah satu pendekatan yang digunakan oleh Bank Indonesia untuk mendukung stabilitas moneter dan sektor keuangan adalah melalui penerapan kewajiban memelihara giro wajib minimum. Penerapan kebijakan giro wajib minimum perlu disesuaikan dari waktu ke waktu sesuai dengan kondisi likuiditas perbankan serta dengan memperhatikan peran bank dalam pelaksanaan fungsi intermediasi sejalan dengan arah kebijakan Bank Indonesia. Sehubungan . . . - 2 - Sehubungan dengan hal tersebut di atas, dengan mempertimbangkan kondisi likuiditas perbankan dan kemampuan intermediasi perbankan dewasa ini, dipandang perlu untuk mengatur kembali ketentuan mengenai giro wajib minimum. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Cukup jelas. Pasal 3 Huruf a Contoh perhitungan GWM Primer dalam rupiah: Bank A memiliki rata-rata harian total DPK dalam rupiah dalam masa laporan sejak tanggal 8 sampai dengan tanggal 15 bulan November sebesar Rp55.000.000.000.000,00 (lima puluh lima triliun rupiah). GWM Primer dalam rupiah harian untuk masa laporan sejak tanggal 24 sampai dengan akhir bulan November yang wajib dipenuhi adalah sebesar 8% (delapan persen) dari DPK dalam rupiah, yaitu sebesar Rp4.400.000.000.000,00 (empat triliun empat ratus miliar rupiah). Huruf b . . . - 3 - Huruf b Contoh perhitungan GWM Sekunder dalam rupiah: Bank A memiliki rata-rata harian total DPK dalam rupiah dalam masa laporan sejak tanggal 8 sampai dengan tanggal 15 bulan November sebesar Rp55.000.000.000.000,00 (lima puluh lima triliun rupiah). GWM Sekunder dalam rupiah harian untuk masa laporan sejak tanggal 24 sampai dengan tanggal akhir bulan November yang wajib dipenuhi adalah sebesar 2,5% (dua koma lima persen) dari DPK dalam rupiah yaitu sebesar Rp1.375.000.000.000,00 (satu triliun tiga ratus tujuh puluh lima miliar rupiah). Huruf c Cukup jelas. Pasal 4 Contoh perhitungan GWM dalam valuta asing: Bank A memiliki rata-rata harian total DPK dalam valuta asing dalam masa laporan sejak tanggal 8 sampai dengan tanggal 15 bulan November sebesar USD100.000.000,00 (seratus juta US dollar). GWM dalam valuta asing harian untuk masa laporan sejak tanggal 24 sampai dengan tanggal akhir bulan November adalah sebesar: 1% x USD100.000.000,00 = USD1.000.000,00 (satu juta US dollar). Pasal 5 Penyesuaian dilakukan sesuai arah kebijakan Bank Indonesia dengan memperhatikan pula antara lain kondisi makroekonomi, macroprudential, dan microprudential. Pasal 6 . . . - 4 - Pasal 6 Cukup jelas. Pasal 7 Perhitungan secara harian dilakukan berdasarkan posisi akhir hari. Pasal 8 Perhitungan pemenuhan persentase GWM Primer dalam rupiah dan GWM LDR dalam rupiah serta GWM dalam valuta asing adalah sebagai berikut: Jumlah harian saldo Rekening Giro Bank yang tercatat di Bank Indonesia setiap hari dalam 1 (satu) masa laporan Rata-rata harian jumlah DPK Bank dalam 1 (satu) masa laporan pada 2 (dua) masa laporan sebelumnya Perhitungan pemenuhan GWM Primer dalam rupiah dan GWM LDR dalam rupiah serta GWM dalam valuta asing didasarkan pada DPK Bank sebagai berikut: a. GWM harian untuk masa laporan sejak tanggal 1 sampai dengan tanggal 7 adalah sebesar persentase GWM yang ditetapkan dari rata-rata harian jumlah DPK dalam masa laporan sejak tanggal 16 sampai dengan tanggal 23 bulan sebelumnya; b. GWM harian untuk masa laporan sejak tanggal 8 sampai dengan tanggal 15 adalah sebesar persentase GWM yang ditetapkan dari rata-rata harian jumlah DPK dalam masa laporan sejak tanggal 24 sampai dengan tanggal akhir bulan sebelumnya; x 100% c. GWM . . . - 5 - c. GWM harian untuk masa laporan sejak tanggal 16 sampai dengan tanggal 23 adalah sebesar persentase GWM yang ditetapkan dari rata-rata harian jumlah DPK dalam masa laporan sejak tanggal 1 sampai dengan tanggal 7 bulan yang sama; d. GWM harian untuk masa laporan sejak tanggal 24 sampai dengan tanggal akhir bulan adalah sebesar persentase GWM yang ditetapkan dari rata-rata harian jumlah DPK dalam masa laporan sejak tanggal 8 sampai dengan tanggal 15 bulan yang sama. Pasal 9 Ayat (1) Perhitungan pemenuhan persentase GWM Sekunder dalam rupiah adalah sebagai berikut: SBI + SUN + SBSN + Excess Reserve Rata-rata harian jumlah DPK Bank dalam 1 (satu) masa laporan pada 2 (dua) masa laporan sebelumnya x 100% Perhitungan pemenuhan GWM Sekunder dalam rupiah didasarkan pada DPK Bank sebagai berikut: a. GWM harian untuk masa laporan sejak tanggal 1 sampai dengan tanggal 7 adalah sebesar persentase GWM yang ditetapkan dari rata-rata harian jumlah DPK dalam masa laporan sejak tanggal 16 sampai dengan tanggal 23 bulan sebelumnya; b. GWM harian untuk masa laporan sejak tanggal 8 sampai dengan tanggal 15 adalah sebesar persentase GWM yang ditetapkan dari rata-rata harian jumlah DPK dalam masa laporan sejak tanggal 24 sampai dengan tanggal akhir bulan sebelumnya; c. GWM . . . - 6 - c. GWM harian untuk masa laporan sejak tanggal 16 sampai dengan tanggal 23 adalah sebesar persentase GWM yang ditetapkan dari rata-rata harian jumlah DPK dalam masa laporan sejak tanggal 1 sampai dengan tanggal 7 bulan yang sama; d. GWM harian untuk masa laporan sejak tanggal 24 sampai dengan tanggal akhir bulan adalah sebesar persentase GWM yang ditetapkan dari rata-rata harian jumlah DPK dalam masa laporan sejak tanggal 8 sampai dengan tanggal 15 bulan yang sama. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 10 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Penetapan persentase LDR Target, KPMM Insentif, Parameter Disinsentif Bawah, dan Parameter Disinsentif Atas dilakukan sesuai dengan arah kebijakan Bank Indonesia dengan memperhatikan antara lain kondisi makroekonomi, macroprudential, dan microprudential. Pasal 11 Huruf a Contoh perhitungan GWM LDR dalam rupiah: Bank A memiliki rata-rata harian total DPK dalam rupiah dalam masa laporan sejak tanggal 8 sampai dengan tanggal 15 November sebesar Rp55.000.000.000.000,00 . . . - 7 - Rp55.000.000.000.000,00 (lima puluh lima triliun rupiah) dan LDR Bank posisi akhir masa laporan tanggal 8 sampai dengan tanggal 15 November sebesar 90% (sembilan puluh persen). Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1), batas bawah LDR Target ditetapkan sebesar 78% (tujuh puluh delapan persen) dan batas atas LDR Target sebesar 100% (seratus persen) sehingga LDR Bank berada dalam kisaran LDR Target. Dengan demikian GWM LDR dalam rupiah harian Bank A untuk masa laporan sejak tanggal 24 sampai dengan tanggal akhir bulan November adalah sebesar 0% (nol persen) dari DPK dalam rupiah. GWM dalam rupiah harian Bank A untuk masa laporan sejak tanggal 24 sampai dengan tanggal akhir bulan November yang wajib dipenuhi adalah sebesar: a. GWM Primer sebesar 8% (delapan persen) dari DPK dalam rupiah yaitu sebesar Rp4.400.000.000.000,00 (empat triliun empat ratus miliar rupiah), dipenuhi dalam bentuk saldo Rekening Giro Rupiah pada Bank Indonesia. b. GWM Sekunder sebesar 2,5% (dua koma lima persen) dari DPK dalam rupiah yaitu sebesar Rp1.375.000.000.000,00 (satu triliun tiga ratus tujuh puluh lima miliar rupiah) dipenuhi dalam bentuk SBI, SUN, SBSN, dan/atau Excess Reserve. c. GWM LDR sebesar 0% (nol persen) dari DPK dalam rupiah yaitu sebesar Rp0,00 (nol rupiah). Huruf b Contoh perhitungan GWM LDR dalam rupiah: Bank A memiliki rata-rata harian total DPK dalam rupiah dalam masa laporan sejak tanggal 8 sampai dengan tanggal 15 November sebesar Rp55.000.000.000.000,00 . . . - 8 - Rp55.000.000.000.000,00 (lima puluh lima triliun rupiah) dan LDR Bank posisi akhir masa laporan tanggal 8 sampai dengan tanggal 15 November sebesar 50% (lima puluh persen). Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1): a. Batas bawah LDR Target ditetapkan sebesar 78% (tujuh puluh delapan persen) dan batas atas LDR Target ditetapkan sebesar 100% (seratus persen). b. Parameter Disinsentif Bawah ditetapkan sebesar 0,1 (nol koma satu). LDR Bank lebih kecil dari batas bawah LDR Target, sehingga GWM LDR dalam rupiah harian Bank untuk masa laporan sejak tanggal 24 sampai dengan tanggal akhir bulan November adalah sebesar: Parameter Disinsentif Bawah x (Batas bawah LDR Target - LDR Bank) x DPK dalam rupiah = 0,1 x (78% - 50%) x DPK dalam rupiah = 0,1 x 28% x DPK dalam rupiah = 2,8% x DPK dalam rupiah GWM dalam rupiah harian Bank A untuk masa laporan sejak tanggal 24 sampai dengan tanggal akhir bulan November yang wajib dipenuhi adalah sebesar: a. GWM Primer sebesar 8% (delapan persen) dari DPK dalam rupiah yaitu sebesar Rp4.400.000.000.000,00 (empat triliun empat ratus miliar rupiah), dipenuhi dalam bentuk saldo Rekening Giro Rupiah pada Bank Indonesia. b. GWM Sekunder sebesar 2,5% (dua koma lima persen) dari DPK dalam rupiah yaitu sebesar Rp1.375.000.000.000,00 (satu triliun tiga . . . - 9 - tiga ratus tujuh puluh lima miliar rupiah), dipenuhi dalam bentuk SBI, SUN, SBSN, dan/atau Excess Reserve. c. GWM LDR sebesar 2,8 % (dua koma delapan persen) dari DPK dalam rupiah yaitu sebesar Rp1.540.000.000.000,00 (satu triliun lima ratus empat puluh miliar rupiah), dipenuhi dalam bentuk saldo Rekening Giro Rupiah pada Bank Indonesia. Huruf c Contoh perhitungan GWM LDR dalam rupiah: Bank A memiliki rata-rata harian total DPK dalam rupiah dalam masa laporan sejak tanggal 8 sampai dengan tanggal 15 November sebesar Rp55.000.000.000.000,00 (lima puluh lima triliun rupiah) dan LDR Bank posisi akhir masa laporan tanggal 8 sampai dengan tanggal 15 November sebesar 105% (seratus lima persen) dan KPMM Bank posisi akhir bulan Juni sebesar 12% (dua belas persen). Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1): a. Batas bawah LDR Target ditetapkan sebesar 78% (tujuh puluh delapan persen) dan batas atas LDR Target ditetapkan sebesar 100% (seratus persen). b. Parameter Disinsentif Atas ditetapkan sebesar 0,2 (nol koma dua). c. KPMM Insentif ditetapkan sebesar 14% (empat belas persen). LDR Bank lebih besar dari batas atas LDR Target dan KPMM Bank lebih kecil dari KPMM Insentif, sehingga GWM LDR dalam rupiah harian Bank untuk masa laporan sejak tanggal 24 sampai dengan tanggal akhir bulan November adalah sebesar: Parameter . . . - 10 - Parameter Disinsentif Atas x (LDR Bank – batas atas LDR Target) x DPK dalam rupiah = 0,2 x (105% – 100%) x DPK dalam rupiah = 0,2 x 5% x DPK dalam rupiah = 1% x DPK dalam rupiah GWM dalam rupiah harian Bank A untuk masa laporan sejak tanggal 24 sampai dengan tanggal akhir bulan November yang wajib dipenuhi adalah sebesar: a. GWM Primer sebesar 8% (delapan persen) dari DPK dalam rupiah yaitu sebesar Rp4.400.000.000.000,00 (empat triliun empat ratus miliar rupiah), dipenuhi dalam bentuk saldo Rekening Giro Rupiah pada Bank Indonesia. b. GWM Sekunder sebesar 2,5% (dua koma lima persen) dari DPK dalam rupiah yaitu sebesar Rp1.375.000.000.000,00 (satu triliun tiga ratus tujuh puluh lima miliar rupiah), dipenuhi dalam bentuk SBI, SUN, SBSN, dan/atau Excess Reserve. c. GWM LDR sebesar 1% (satu persen) dari DPK dalam rupiah yaitu sebesar Rp550.000.000.000,00 (lima ratus lima puluh miliar rupiah), dipenuhi dalam bentuk saldo Rekening Giro Rupiah pada Bank Indonesia. Huruf d Contoh perhitungan GWM LDR dalam rupiah: Bank A memiliki rata-rata harian total DPK dalam rupiah dalam masa laporan sejak tanggal 8 sampai dengan tanggal 15 November sebesar Rp55.000.000.000.000,00 (lima puluh lima triliun rupiah) dan LDR Bank . . . - 11 - Bank posisi akhir masa laporan tanggal 8 sampai dengan tanggal 15 November sebesar 125% (seratus dua puluh lima persen) dan KPMM Bank posisi akhir bulan Juni sebesar 20% (dua puluh persen). Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1): a. Batas bawah LDR Target ditetapkan sebesar 78% (tujuh puluh delapan persen) dan batas atas LDR Target ditetapkan sebesar 100% (seratus persen). b. Parameter Disinsentif Atas ditetapkan sebesar 0,2 (nol koma dua). c. KPMM Insentif ditetapkan sebesar 14% (empat belas persen). LDR Bank lebih besar dari batas atas LDR Target dan KPMM Bank lebih besar dari KPMM Insentif, sehingga GWM LDR dalam rupiah harian Bank untuk masa laporan sejak tanggal 24 sampai dengan tanggal akhir bulan November adalah sebesar 0% (nol persen) dari DPK dalam rupiah. GWM dalam rupiah harian Bank A untuk masa laporan sejak tanggal 24 sampai dengan tanggal akhir bulan November yang wajib dipenuhi adalah sebesar: a. GWM Primer sebesar 8% (delapan persen) dari DPK dalam rupiah yaitu sebesar Rp4.400.000.000.000,00 (empat triliun empat ratus miliar rupiah), dipenuhi dalam bentuk saldo Rekening Giro Rupiah pada Bank Indonesia. b. GWM Sekunder sebesar 2,5% (dua koma lima persen) dari DPK dalam rupiah yaitu sebesar Rp1.375.000.000.000,00 (satu triliun tiga ratus tujuh puluh lima miliar rupiah) dipenuhi dalam bentuk SBI, SUN, SBSN, dan/atau Excess Reserve. c. GWM . . . - 12 - c. GWM LDR sebesar 0% (nol persen) dari DPK dalam rupiah yaitu sebesar Rp0,00 (nol rupiah). Pasal 12 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) LDR Bank yang digunakan sebagai dasar perhitungan GWM LDR dalam rupiah didasarkan pada pos-pos neraca mingguan Laporan Berkala Bank Umum posisi akhir tanggal laporan pada 2 (dua) masa laporan sebelumnya. Dengan demikian, perhitungan GWM LDR dalam rupiah ditetapkan sebagai berikut: a. GWM LDR dalam rupiah harian untuk masa laporan sejak tanggal 1 sampai dengan tanggal 7 didasarkan pada perhitungan besarnya LDR pada akhir masa laporan sejak tanggal 16 sampai dengan tanggal 23 bulan sebelumnya; b. GWM LDR dalam rupiah harian untuk masa laporan sejak tanggal 8 sampai dengan tanggal 15 didasarkan pada perhitungan besarnya LDR pada akhir masa laporan sejak tanggal 24 sampai dengan akhir bulan sebelumnya; c. GWM LDR dalam rupiah harian untuk masa laporan sejak tanggal 16 sampai dengan tanggal 23 didasarkan pada perhitungan besarnya LDR pada akhir masa laporan sejak tanggal 1 sampai dengan tanggal 7 bulan yang sama; d. GWM . . . - 13 - d. GWM LDR dalam rupiah harian untuk masa laporan sejak tanggal 24 sampai dengan tanggal akhir bulan didasarkan pada perhitungan besarnya LDR pada akhir masa laporan sejak tanggal 8 sampai dengan tanggal 15 bulan yang sama. Ayat (3) KPMM triwulanan hasil perhitungan Bank Indonesia yang digunakan sebagai dasar perhitungan GWM LDR dalam rupiah merupakan hasil olahan sistem aplikasi yang digunakan Bank Indonesia dalam rangka pengawasan berdasarkan laporan yang disampaikan oleh Bank dan telah dilakukan penyesuaian apabila diperlukan oleh Bank Indonesia, untuk posisi tanggal akhir Maret, Juni, September, dan Desember. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 13 Ayat (1) Bagi Bank umum konvensional yang juga melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, saldo Rekening Giro Bank tidak termasuk saldo Rekening Giro unit usaha syariah. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 14 . . . - 14 - Pasal 14 Ayat (1) Bagi Bank umum konvensional yang juga melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, dalam menentukan DPK dalam rupiah dan DPK dalam valuta asing tidak termasuk DPK yang dilaporkan unit usaha syariah. Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud dengan giro dalam rupiah adalah komponen giro sebagaimana dimaksud dalam penjelasan komponen Dana Pihak Ketiga dalam Rupiah dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai laporan berkala bank umum. Huruf b Yang dimaksud dengan tabungan dalam rupiah adalah komponen tabungan sebagaimana dimaksud dalam penjelasan komponen Dana Pihak Ketiga dalam Rupiah dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai laporan berkala bank umum. Huruf c Yang dimaksud dengan simpanan berjangka/deposito dalam rupiah adalah komponen simpanan berjangka sebagaimana dimaksud dalam penjelasan komponen Dana Pihak Ketiga dalam Rupiah dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai laporan berkala bank umum. Huruf d . . . - 15 - Huruf d Yang dimaksud dengan kewajiban-kewajiban lainnya dalam rupiah adalah kewajiban-kewajiban lainnya kepada pihak ketiga bukan bank sebagaimana dimaksud dalam penjelasan komponen Dana Pihak Ketiga dalam Rupiah dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai laporan berkala bank umum. Ayat (3) Huruf a Yang dimaksud dengan giro dalam valuta asing adalah komponen giro sebagaimana dimaksud dalam penjelasan komponen Dana Pihak Ketiga dalam Valuta Asing dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai laporan berkala bank umum. Huruf b Yang dimaksud dengan tabungan dalam valuta asing adalah komponen tabungan sebagaimana dimaksud dalam penjelasan komponen Dana Pihak Ketiga dalam Valuta Asing dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai laporan berkala bank umum. Huruf c Yang dimaksud dengan simpanan berjangka/deposito dalam valuta asing adalah komponen simpanan berjangka sebagaimana dimaksud dalam penjelasan komponen Dana Pihak Ketiga dalam Valuta Asing dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai laporan berkala bank umum. Huruf d . . . - 16 - Huruf d Yang dimaksud dengan kewajiban-kewajiban lainnya dalam valuta asing adalah kewajiban-kewajiban lainnya kepada pihak ketiga termasuk bank sebagaimana dimaksud dalam penjelasan komponen Dana Pihak Ketiga dalam Valuta Asing dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai laporan berkala bank umum. Pasal 15 Cukup jelas. Pasal 16 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Perhitungan jasa giro harian dalam 1 (satu) masa laporan dilakukan dengan mengalikan persentase jasa giro terhadap bagian tertentu dari rata-rata harian jumlah DPK dalam 1 (satu) masa laporan pada 2 (dua) masa laporan sebelumnya. Ayat (3) Tingkat bunga sebesar 2,5% (dua koma lima persen) merupakan tingkat bunga efektif tahunan (effective annual rate) yang ditentukan berdasarkan periode compounding harian selama 360 hari. Metode perhitungan persentase jasa giro harian menggunakan tingkat bunga sebesar 2,5% (dua koma lima persen) sebagai berikut: Persentase jasa giro harian = {1 + tingkat bunga efektif tahunan}(1/360) -1 = {1+2,5%}(1/360) - 1 = 0,00686% Hasil . . . - 17 - Hasil perhitungan persentase jasa giro harian dibulatkan menjadi 5 (lima) digit di belakang koma. Ayat (4) Bank yang mendapat insentif kelonggaran pemenuhan kewajiban GWM dalam rupiah sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia tentang Insentif dalam Rangka Konsolidasi Perbankan, dianggap telah memenuhi seluruh kewajiban GWM dalam rupiah apabila Bank telah memenuhi kewajiban GWM Primer dalam rupiah paling kurang 7 % dari DPK dalam rupiah dan memenuhi kewajiban GWM Sekunder dan GWM LDR dalam rupiah sesuai ketentuan yang berlaku. Contoh perhitungan jasa giro: Sesuai contoh perhitungan penjelasan Pasal 11 huruf c, Bank A wajib memenuhi GWM dalam rupiah harian untuk masa laporan sejak tanggal 24 sampai dengan tanggal akhir bulan November sebagai berikut: a. GWM Primer dalam rupiah sebesar 8% (delapan persen) dari DPK dalam rupiah, yaitu sebesar Rp4.400.000.000.000,00 (empat triliun empat ratus miliar rupiah); b. GWM Sekunder dalam rupiah sebesar 2,5% (dua koma lima persen) dari DPK dalam rupiah yaitu sebesar Rp1.375.000.000.000,00 (satu triliun tiga ratus tujuh puluh lima miliar rupiah); dan c. GWM LDR dalam rupiah sebesar 1% (satu persen) dari DPK dalam rupiah, yaitu sebesar Rp550.000.000.000,00 (lima ratus lima puluh miliar rupiah), GWM . . . - 18 - GWM Primer dalam rupiah dan GWM LDR dalam rupiah sebesar 9% (sembilan persen) dari DPK dalam rupiah yaitu sebesar Rp4.950.000.000.000,00 (empat triliun sembilan ratus lima puluh miliar rupiah) wajib dipenuhi dalam bentuk saldo Rekening Giro Rupiah pada Bank Indonesia. Sedangkan GWM Sekunder sebesar 2,5% (dua koma lima persen) dari DPK dalam rupiah yaitu sebesar Rp1.375.000.000.000,00 (satu triliun tiga ratus tujuh puluh lima miliar rupiah) wajib dipenuhi dalam bentuk SBI, SUN, SBSN, dan/atau Excess Reserve. Pada tanggal 24 November, saldo Rekening Giro Rupiah Bank A pada Bank Indonesia adalah sebesar Rp5.000.000.000.000,00 (lima triliun rupiah) dan Bank A memiliki SBI, SUN, dan SBSN sebesar Rp1.500.000.000.000,00 (satu triliun lima ratus miliar rupiah) sehingga Bank telah memenuhi seluruh kewajiban GWM dalam rupiah dan dapat memperoleh jasa giro untuk bagian tertentu dari saldo Rekening Giro Rupiah yang digunakan untuk pemenuhan kewajiban GWM Primer dalam rupiah. Bagian saldo Rekening Giro Rupiah yang mendapat jasa giro ditetapkan sebesar 3% (tiga persen) dari DPK dalam rupiah yaitu sebesar: 3% x Rp55.000.000.000.000,00 = Rp1.650.000.000.000,00 (satu triliun enam ratus lima puluh miliar rupiah). Perhitungan jasa giro dengan tingkat bunga 2,5% (dua koma lima persen) per tahun untuk tanggal 24 November adalah sebagai berikut: = persentase jasa giro harian x bagian saldo Rekening Giro Rupiah yang mendapat jasa giro = 0,00686% x Rp1.650.000.000.000,00 = Rp113.190.000,00 (seratus tiga belas juta seratus sembilan puluh ribu rupiah. Ayat (5) . . . - 19 - Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 17 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Contoh perhitungan jasa giro: Sesuai contoh perhitungan penjelasan Pasal 11 huruf c, Bank A wajib memenuhi GWM dalam rupiah harian untuk masa laporan sejak tanggal 24 sampai dengan tanggal akhir bulan November sebagai berikut: a. GWM Primer dalam rupiah sebesar 8% (delapan persen) dari DPK dalam rupiah, yaitu sebesar Rp4.400.000.000.000,00 (empat triliun empat ratus miliar rupiah); b. GWM Sekunder dalam rupiah sebesar 2,5% (dua koma lima persen) dari DPK dalam rupiah yaitu sebesar Rp1.375.000.000.000,00 (satu triliun tiga ratus tujuh puluh lima miliar rupiah); dan c. GWM LDR dalam rupiah sebesar 1% (satu persen) dari DPK dalam rupiah, yaitu sebesar Rp550.000.000.000,00 (lima ratus lima puluh miliar rupiah), GWM Primer dalam rupiah dan GWM LDR dalam rupiah sebesar 9% (sembilan persen) dari DPK dalam rupiah yaitu sebesar Rp4.950.000.000.000,00 (empat triliun sembilan ratus lima puluh miliar . . . - 20 - miliar rupiah) wajib dipenuhi dalam bentuk saldo Rekening Giro Rupiah pada Bank Indonesia. Sedangkan GWM Sekunder sebesar 2,5% (dua koma lima persen) dari DPK dalam rupiah yaitu sebesar Rp1.375.000.000.000,00 (satu triliun tiga ratus tujuh puluh lima miliar rupiah) wajib dipenuhi dalam bentuk SBI, SUN, SBSN, dan/atau Excess Reserve. Untuk periode tanggal 24 sampai dengan tanggal akhir bulan November, Bank A memiliki Saldo Rekening Giro Rupiah di Bank Indonesia serta jumlah SBI, SUN, serta SBSN sebagai berikut: a. Tanggal 24 November, Saldo Rekening Giro Rupiah sebesar Rp5.000.000.000.000,00 (lima triliun rupiah) serta jumlah SBI, SUN, dan SBSN sebesar Rp1.500.000.000.000,00 (satu triliun lima ratus miliar rupiah); b. Tanggal 25 November, Saldo Rekening Giro Rupiah sebesar Rp4.900.000.000.000,00 (empat triliun sembilan ratus miliar rupiah) serta jumlah SBI, SUN, dan SBSN sebesar Rp1.500.000.000.000,00 (satu triliun lima ratus miliar rupiah); c. Tanggal 26 November, Saldo Rekening Giro Rupiah sebesar Rp5.000.000.000.000,00 (lima triliun rupiah) serta jumlah SBI, SUN, dan SBSN sebesar Rp1.000.000.000.000,00 (satu triliun rupiah); d. Tanggal 27 November, Saldo Rekening Giro Rupiah sebesar Rp5.000.000.000.000,00 (lima triliun rupiah) serta jumlah SBI, SUN, dan SBSN sebesar Rp1.400.000.000.000,00 (satu triliun empat ratus miliar rupiah); e. Tanggal 28 November, Saldo Rekening Giro Rupiah sebesar Rp4.950.000.000.000,00 (empat triliun sembilan ratus lima puluh miliar . . . - 21 - miliar rupiah) serta jumlah SBI, SUN, dan SBSN sebesar Rp1.500.000.000.000,00 (satu triliun lima ratus miliar rupiah); f. Tanggal 29 November, Saldo Rekening Giro Rupiah sebesar Rp4.950.000.000.000,00 (empat triliun sembilan ratus lima puluh miliar rupiah) serta jumlah SBI, SUN, dan SBSN sebesar Rp1.500.000.000.000,00 (satu triliun lima ratus miliar rupiah); g. Tanggal 30 November, Saldo Rekening Giro Rupiah sebesar Rp4.950.000.000.000,00 (empat triliun sembilan ratus lima puluh miliar rupiah) serta jumlah SBI, SUN, dan SBSN sebesar Rp1.500.000.000.000,00 (satu triliun lima ratus miliar rupiah). Diasumsikan tanggal 29 dan 30 November serta tanggal 2 Desember adalah hari libur. Berdasarkan contoh tersebut maka Bank A mendapatkan jasa giro hanya untuk tanggal 24, 27 dan 28 November karena pada tanggal 25 November Bank A kekurangan Saldo Rekening Giro Rupiah untuk pemenuhan GWM Primer dan GWM LDR, sedangkan pada tanggal 26 November Bank A kekurangan jumlah SBI, SUN, dan SBSN serta Excess Reserve untuk pemenuhan GWM Sekunder. Perhitungan jasa giro untuk masing-masing tanggal 24, 27 dan 28 November adalah sebagai berikut: = persentase jasa giro harian x bagian saldo Rekening Giro Rupiah yang mendapat jasa giro = persentase jasa giro harian x (3% x DPK dalam rupiah) = 0,00686% x (3% x Rp55.000.000.000.000,00) = 0,00686% x Rp1.650.000.000.000,00 = Rp113.190.000,00 (seratus tiga belas juta seratus sembilan puluh ribu rupiah). Pengkreditan . . . - 22 - Pengkreditan jasa giro untuk masing-masing tanggal 24, 27 dan 28 November dilakukan oleh Bank Indonesia pada Rekening Giro Rupiah Bank selambat-lambatnya pada tanggal 3 Desember karena tanggal 2 Desember jatuh pada hari libur. Jasa giro yang dikreditkan ke Rekening Giro Rupiah Bank selambat-lambatnya pada tanggal 3 Desember adalah sebesar: 3 x Rp113.190.000,00 = Rp339.570.000,00 (tiga ratus tiga puluh sembilan juta lima ratus tujuh puluh ribu rupiah). Pembulatan dalam rangka pengkreditan Rekening Giro Bank oleh Bank Indonesia dilakukan dengan memperhatikan sistem Akunting Bank Indonesia. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 18 Ayat (1) Contoh perhitungan sanksi: Bank A memiliki rata-rata harian DPK dalam rupiah dalam masa laporan sejak tanggal 8 sampai dengan tanggal 15 bulan November sebesar Rp55.000.000.000.000,00 (lima puluh lima triliun rupiah), LDR Bank posisi akhir masa laporan tanggal 8 sampai dengan tanggal 15 November sebesar 105% (seratus lima persen) dan KPMM Bank posisi akhir bulan Juni sebesar 12% (dua belas persen). GWM dalam rupiah harian Bank A yang wajib dipenuhi untuk masa laporan sejak tanggal 24 sampai dengan tanggal akhir bulan November adalah sebesar: a. GWM . . . - 23 - a. GWM Primer dalam rupiah sebesar 8% (delapan persen) dari DPK dalam rupiah, yaitu sebesar Rp4.400.000.000.000,00 (empat triliun empat ratus miliar rupiah); b. GWM Sekunder dalam rupiah sebesar 2,5% (dua koma lima persen) dari DPK dalam rupiah yaitu sebesar Rp1.375.000.000.000,00 (satu triliun tiga ratus tujuh puluh lima miliar rupiah); dan c. GWM LDR dalam rupiah sebesar 1% (satu persen) dari DPK dalam rupiah, yaitu sebesar Rp550.000.000.000,00 (lima ratus lima puluh miliar rupiah), sesuai contoh perhitungan penjelasan Pasal 11 huruf c. GWM Primer dalam rupiah dan GWM LDR dalam rupiah sebesar 9% (sembilan persen) dari DPK dalam rupiah yaitu sebesar Rp4.950.000.000.000,00 (empat triliun sembilan ratus lima puluh miliar rupiah) wajib dipenuhi dalam bentuk saldo Rekening Giro Rupiah pada Bank Indonesia. Sedangkan GWM Sekunder sebesar 2,5% dari DPK dalam rupiah yaitu sebesar Rp1.375.000.000.000,00 (satu triliun tiga ratus tujuh puluh lima miliar rupiah) wajib dipenuhi dalam bentuk SBI, SUN, SBSN, dan/atau Excess Reserve. Contoh 1: Pada tanggal 24 November, saldo Rekening Giro Rupiah Bank A pada Bank Indonesia adalah sebesar Rp4.500.000.000.000,00 (empat triliun lima ratus miliar rupiah) dan Bank A memiliki SBI, SUN, dan SBSN sebesar Rp1.500.000.000.000,00 (satu triliun lima ratus miliar rupiah) sehingga terdapat kekurangan pemenuhan GWM Primer dan GWM LDR . . . - 24 - LDR sebesar Rp450.000.000.000,00 (empat ratus lima puluh miliar rupiah). Kekurangan GWM Primer dan GWM LDR tidak dapat dipenuhi dari kelebihan GWM Sekunder. Suku Bunga JIBOR dalam rupiah pada tanggal 24 November adalah sebesar 6% (enam persen). Perhitungan sanksi kewajiban membayar atas pelanggaran GWM dalam rupiah untuk Bank A pada tanggal 24 November adalah sebagai berikut: Kekurangan GWM dalam rupiah x 125% x suku bunga JIBOR dalam rupiah x hari kerja 360 yaitu Rp450.000.000.000,00 x 125% x 6% x 1 360 Selain itu pada tanggal 24 November Bank A tidak memperoleh jasa giro karena tidak dapat memenuhi seluruh kewajiban GWM dalam rupiah (kekurangan saldo Rekening Giro Rupiah untuk pemenuhan GWM Primer dan GWM LDR). Contoh 2: Pada tanggal 24 November, saldo Rekening Giro Rupiah Bank A pada Bank Indonesia adalah sebesar Rp5.100.000.000.000,00 (lima triliun seratus miliar rupiah) dan Bank A memiliki SBI, SUN, dan SBSN sebesar Rp1.000.000.000.000,00 (satu triliun rupiah) sehingga terdapat kekurangan pemenuhan GWM Sekunder dalam rupiah sebesar Rp375.000.000.000,00 (tiga ratus tujuh puluh lima miliar rupiah). Bank A . . . - 25 - Bank A memiliki Excess Reserve sebesar Rp150.000.000.000,00 (seratus lima puluh miliar rupiah) yang dapat digunakan untuk pemenuhan kekurangan GWM Sekunder dalam rupiah sehingga Bank masih kekurangan untuk pemenuhan GWM Sekunder sebesar : Rp375.000.000.000,00–Rp150.000.000.000,00 = Rp225.000.000.000,00 Suku Bunga JIBOR dalam rupiah pada tanggal 24 November adalah sebesar 6% (enam persen). Perhitungan sanksi kewajiban membayar atas pelanggaran GWM dalam rupiah untuk Bank A pada tanggal 24 November adalah sebagai berikut: Kekurangan GWM dalam rupiah x 125% x suku bunga JIBOR dalam rupiah x hari kerja 360 yaitu Rp225.000.000.000,00 x 125% x 6% x 1 360 Selain itu pada tanggal 24 November Bank A tidak memperoleh jasa giro karena tidak dapat memenuhi seluruh kewajiban GWM dalam rupiah (kekurangan SBI, SUN, SBSN dan/atau Excess Reserve untuk memenuhi kewajiban GWM Sekunder). Contoh 3: Pada tanggal 24 November, saldo Rekening Giro Rupiah Bank A pada Bank Indonesia adalah sebesar Rp4.500.000.000.000,00 (empat triliun lima ratus miliar rupiah) dan Bank A memiliki SBI, SUN, dan SBSN . . . - 26 - SBSN sebesar Rp1.000.000.000.000,00 (satu triliun rupiah) sehingga terdapat kekurangan pemenuhan GWM dalam rupiah sebesar Rp825.000.000.000,00 (delapan ratus dua puluh lima miliar rupiah) yaitu terdiri dari kekurangan pemenuhan GWM Primer dalam rupiah dan GWM LDR dalam rupiah sebesar Rp450.000.000.000,00 (empat ratus lima puluh miliar rupiah) dan kekurangan pemenuhan GWM Sekunder dalam rupiah sebesar Rp375.000.000.000,00 (tiga ratus tujuh puluh lima miliar rupiah). Suku Bunga JIBOR dalam rupiah pada tanggal 24 November adalah sebesar 6% (enam persen). Perhitungan sanksi kewajiban membayar atas pelanggaran GWM dalam rupiah untuk Bank A pada tanggal 24 November adalah sebagai berikut: Kekurangan GWM dalam rupiah x 125% x suku bunga JIBOR dalam rupiah x hari kerja 360 yaitu Rp825.000.000.000,00 x 125% x 6% x 1 360 Selain itu pada tanggal 24 November Bank A tidak memperoleh jasa giro karena tidak dapat memenuhi kewajiban GWM dalam rupiah (kekurangan saldo Rekening Giro Rupiah untuk pemenuhan kewajiban GWM Primer dan GWM LDR serta kekurangan SBI, SUN, SBSN dan/atau Excess Reserve untuk memenuhi kewajiban GWM Sekunder). Ayat (2) . . . - 27 - Ayat (2) Contoh perhitungan: Bank A memiliki rata-rata harian total DPK dalam valuta asing dalam masa laporan sejak tanggal 8 sampai dengan tanggal 15 bulan November sebesar USD100.000.000,00 (seratus juta US dollar). GWM dalam valuta asing harian untuk masa laporan sejak tanggal 24 sampai dengan tanggal akhir bulan November adalah sebesar: 1% x USD100.000.000,00 = USD1.000.000,00 (satu juta US dollar) Saldo Rekening Giro Valas Bank A pada Bank Indonesia pada tanggal 24 November adalah sebesar USD900.000,00 (sembilan ratus ribu US dollar) sehingga terdapat kekurangan pemenuhan GWM sebesar USD100.000,00 (seratus ribu US dollar). Perhitungan sanksi kewajiban membayar atas pelanggaran GWM dalam valuta asing untuk Bank A pada tanggal 24 November adalah sebagai berikut: 0,04% x (USD1.000.000,00 – USD900.000,00) = USD40,00 (empat puluh US dollar) Ayat (3) Yang dimaksud dengan kurs transaksi adalah kurs jual ditambah dengan kurs beli dibagi dua. Dengan sanksi kewajiban membayar sebesar USD40,00 (empat puluh US dollar) sebagaimana contoh perhitungan pada penjelasan ayat (2) dan asumsi kurs transaksi Bank Indonesia pada hari terjadinya pelanggaran adalah Rp9.000,00/USD (sembilan ribu rupiah per US dollar), maka sanksi kewajiban membayar yang harus dibayarkan adalah sebesar: 40 x Rp9.000,00 = Rp360.000,00 (tiga ratus enam puluh ribu rupiah). Ayat (4) . . . - 28 - Ayat (4) Kelonggaran pemenuhan GWM dalam rupiah bagi Bank yang mendapatkan insentif dalam rangka konsolidasi perbankan diperuntukkan bagi pemenuhan GWM Primer dalam rupiah yang sesuai ketentuan saat ini menjadi paling kurang sebesar 7% (tujuh persen) dari DPK dalam rupiah. Pasal 19 Cukup jelas. Pasal 20 Yang dimaksud dengan CDO adalah langkah-langkah yang ditetapkan oleh Bank Indonesia kepada Bank untuk melakukan atau tidak melakukan hal tertentu. Contoh CDO adalah larangan bagi Bank untuk melakukan ekspansi kredit. Perhitungan yang berbeda antara lain berupa pengurangan/penambahan persentase GWM LDR yang diperoleh berdasarkan hasil perhitungan sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Bank Indonesia ini. Pasal 21 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Contoh: Bank A memiliki rata-rata harian DPK dalam rupiah dalam masa laporan sejak tanggal 8 sampai dengan tanggal 15 bulan November . . . - 29 - November sebesar Rp55.000.000.000.000,00 (lima puluh lima triliun rupiah), LDR Bank posisi akhir masa laporan tanggal 8 sampai dengan tanggal 15 bulan November sebesar 105% (seratus lima persen) dan KPMM Bank posisi akhir bulan Juni sebesar 12% (dua belas persen). GWM dalam rupiah harian Bank A yang wajib dipenuhi untuk masa laporan sejak tanggal 24 sampai dengan tanggal akhir bulan November adalah sebesar: a. GWM Primer dalam rupiah sebesar 8% (delapan persen) dari DPK dalam rupiah, yaitu sebesar Rp4.400.000.000.000,00 (empat triliun empat ratus miliar rupiah); b. GWM Sekunder dalam rupiah sebesar 2,5% (dua koma lima persen) dari DPK dalam rupiah yaitu sebesar Rp1.375.000.000.000,00 (satu triliun tiga ratus tujuh puluh lima miliar rupiah); dan c. GWM LDR dalam rupiah sebesar 1% ( satu persen) dari DPK dalam rupiah, yaitu sebesar Rp550.000.000.000,00 ( lima ratus lima puluh miliar rupiah), perhitungan sesuai contoh pada penjelasan Pasal 11 huruf c. Saldo Rekening Giro Rupiah Bank A pada Bank Indonesia pada tanggal 24 November adalah sebesar Rp4.500.000.000.000,00 (empat triliun lima ratus rupiah) dan Bank memiliki SBI, SUN, dan SBSN sebesar Rp1.000.000.000.000,00 (satu triliun rupiah) sehingga terdapat kekurangan pemenuhan GWM dalam rupiah sebesar Rp825.000.000.000,00 (delapan ratus dua puluh lima miliar rupiah) yaitu . . . - 30 - yaitu terdiri dari kekurangan pemenuhan GWM Primer dalam rupiah dan GWM LDR dalam rupiah sebesar Rp450.000.000.000,00 (empat ratus lima puluh miliar rupiah) dan kekurangan pemenuhan GWM Sekunder dalam rupiah sebesar Rp375.000.000.000,00 (tiga ratus tujuh puluh lima miliar rupiah). Pelanggaran GWM dalam rupiah terjadi tanggal 24 November (Senin), pembebanan rekening giro dilakukan paling lambat tanggal 27 November dan apabila tanggal 25 November (Selasa) adalah hari libur nasional maka sanksi dibebankan paling lambat tanggal 28 November (Jumat). Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Bank A memiliki rata-rata harian DPK dalam rupiah dalam masa laporan sejak tanggal 8 sampai dengan tanggal 15 bulan November sebesar Rp55.000.000.000.000,00 (lima puluh lima triliun rupiah), LDR Bank posisi akhir masa laporan tanggal 8 sampai dengan tanggal 15 bulan November sebesar 105% (seratus lima persen) dan KPMM Bank posisi akhir bulan Juni sebesar 12% (dua belas persen). GWM harian dalam rupiah yang wajib dipenuhi untuk masa laporan sejak tanggal 24 sampai dengan tanggal akhir bulan November adalah sebesar: a. GWM Primer dalam rupiah sebesar 8% (delapan persen) dari DPK dalam rupiah, yaitu sebesar Rp4.400.000.000.000,00 (empat triliun empat ratus miliar rupiah); b. GWM . . . - 31 - b. GWM Sekunder dalam rupiah sebesar 2,5% (dua koma lima persen) dari DPK dalam rupiah yaitu sebesar Rp1.375.000.000.000,00 (satu triliun tiga ratus tujuh puluh lima miliar rupiah); dan c. GWM LDR dalam rupiah sebesar 1% (satu persen) dari DPK dalam rupiah, yaitu sebesar Rp550.000.000.000,00 (lima ratus lima puluh miliar rupiah), perhitungan sesuai contoh pada penjelasan Pasal 11 huruf c. Saldo Rekening Giro Rupiah Bank A pada Bank Indonesia pada tanggal 24 November adalah sebesar Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan Bank tidak memiliki SBI, SUN, dan SBSN sehingga terdapat kekurangan pemenuhan GWM dalam rupiah sebesar Rp6.324.000.000.000,00 (enam triliun tiga ratus dua puluh empat miliar rupiah) yaitu terdiri dari kekurangan pemenuhan GWM Primer dalam rupiah dan GWM LDR dalam rupiah sebesar Rp4.949.000.000.000,00 (empat triliun sembilan ratus empat puluh sembilan miliar rupiah) dan kekurangan pemenuhan GWM Sekunder dalam rupiah sebesar Rp1.375.000.000.000,00 (satu triliun tiga ratus tujuh puluh lima miliar rupiah). Suku bunga JIBOR dalam rupiah pada tanggal 24 dan 26 November adalah sebesar 6% (enam persen). Perhitungan sanksi kewajiban membayar atas pelanggaran GWM rupiah untuk Bank A pada tanggal 24 November adalah sebagai berikut: Kekurangan GWM dalam rupiah x 125% x suku bunga JIBOR dalam rupiah x hari kerja 360 Rp6.324.000.000.000,00 . . . - 32 - Rp6.324.000.000.000,00 x 125% x 6% x 1 360 yaitu sebesar Rp1.317. 500.000,00 ( satu miliar tiga ratus tujuh belas juta lima ratus ribu rupiah). Pendebetan Rekening Giro Rupiah Bank dalam rangka pengenaan sanksi atas kekurangan GWM dalam rupiah yang terjadi pada tanggal 24 November dimaksud dilakukan paling lambat 3 (tiga) hari kerja berikutnya. Misalkan pendebetan Rekening Giro Rupiah Bank dilakukan pada tanggal 26 November dan saldo Rekening Giro Rupiah Bank tidak mencukupi untuk pendebetan sanksi sehingga terdapat kekurangan dalam rangka pendebetan sanksi sebesar Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah), maka atas kekurangan tersebut Bank A dikenakan sanksi sebesar: Rp200.000.000,00 x 125% x 6% x 1 360 Pasal 22 Cukup jelas. Pasal 23 Cukup jelas. Pasal 24 Cukup jelas. Pasal 25 . . . - 33 - Pasal 25 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5158
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 12/19/PBI/2010 </reg_id> <reg_title> GIRO WAJIB MINIMUM BANK UMUM PADA BANK INDONESIA DALAM RUPIAH DAN VALUTA ASING </reg_title> <set_date> 4 Oktober 2010 </set_date> <effective_date> 1 November 2010 </effective_date> <issued_date> 4 Oktober 2010 </issued_date> <replaced_reg> '10/25/PBI/2008', '10/19/PBI/2008' </replaced_reg> <related_reg> '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg> <penalty_list> 'BAB VII' </penalty_list>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 16/10/PBI/2014 TENTANG PENERIMAAN DEVISA HASIL EKSPOR DAN PENARIKAN DEVISA UTANG LUAR NEGERI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa devisa hasil ekspor dan devisa utang luar negeri dapat menjadi sumber dana yang berkesinambungan bagi pembangunan ekonomi nasional; b. bahwa devisa hasil ekspor dan devisa utang luar negeri dapat memberikan kontribusi yang optimal secara nasional dalam hal penempatannya dilakukan melalui perbankan di Indonesia; c. bahwa devisa hasil ekspor dan devisa utang luar negeri juga bermanfaat untuk mendukung terciptanya pasar keuangan yang lebih sehat dan upaya menjaga kestabilan nilai rupiah; d. bahwa pemantauan penerimaan devisa hasil ekspor dan penarikan devisa utang luar negeri melalui perbankan di Indonesia perlu lebih ditingkatkan efektivitasnya guna mendukung optimalisasi pemanfaatan devisa hasil ekspor dan devisa utang luar negeri; e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d, perlu untuk mengatur kembali Peraturan Bank Indonesia tentang Penerimaan Devisa Hasil Ekspor dan … - 2 - dan Penarikan Devisa Utang Luar Negeri. Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3612) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4661); 2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang- Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962); 3. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa Dan Sistem Nilai Tukar (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3844); MEMUTUSKAN: Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PENERIMAAN DEVISA HASIL EKSPOR DAN PENARIKAN DEVISA UTANG LUAR NEGERI. BAB I … - 3 - BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan: 1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, termasuk kantor cabang bank asing di Indonesia, dan Bank Umum Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. 2. Bank Devisa adalah Bank yang memperoleh persetujuan dari otoritas yang berwenang untuk dapat melakukan kegiatan usaha perbankan dalam valuta asing, termasuk kantor cabang bank asing di Indonesia, namun tidak termasuk kantor cabang luar negeri dari Bank yang berkantor pusat di Indonesia. 3. Penduduk adalah penduduk sebagaimana dimaksud dalam undang- undang yang mengatur mengenai lalu lintas devisa dan sistem nilai tukar. 4. Ekspor adalah kegiatan mengeluarkan barang dari daerah pabean sebagaimana dimaksud dalam ketentuan yang mengatur mengenai kepabeanan. 5. Eksportir adalah orang perseorangan, badan hukum, atau badan lainnya yang tidak berbadan hukum yang melakukan kegiatan mengeluarkan barang dari daerah pabean. 6. Perusahaan Jasa Titipan yang selanjutnya disingkat PJT adalah perusahaan yang menangani layanan kiriman secara ekspres atau peka waktu, memiliki izin penyelenggaraan jasa titipan dari instansi terkait, serta mendapatkan persetujuan untuk melaksanakan kegiatan kepabeanan dari Kepala Kantor Pelayanan Bea dan Cukai. 7. Pemberitahuan Ekspor Barang yang selanjutnya disingkat PEB adalah dokumen pabean yang digunakan untuk pemberitahuan pelaksanaan ekspor barang yang dapat berupa tulisan di atas formulir … - 4 - formulir atau media elektronik sebagaimana dimaksud dalam ketentuan yang mengatur mengenai kepabeanan. 8. Devisa Hasil Ekspor yang selanjutnya disingkat DHE adalah devisa dari hasil kegiatan Ekspor. 9. Nilai PEB adalah nilai Ekspor free on board (FOB) yang tercantum pada PEB. 10. Barang Tambang adalah Minyak dan Gas Bumi, Mineral, dan Batubara. 11. Minyak dan Gas Bumi adalah Minyak Bumi dan Gas Bumi. 12. Minyak Bumi adalah minyak bumi sebagaimana dimaksud dalam undang-undang yang mengatur mengenai minyak dan gas bumi. 13. Gas Bumi adalah gas bumi sebagaimana dimaksud dalam undang- undang yang mengatur mengenai minyak dan gas bumi. 14. Mineral adalah mineral sebagaimana dimaksud dalam undang- undang yang mengatur mengenai pertambangan mineral dan batubara. 15. Batubara adalah batubara sebagaimana dimaksud dalam undang- undang yang mengatur mengenai pertambangan mineral dan batubara. 16. Pihak-Pihak Yang Tunduk Kepada Kontrak Kerja Sama Minyak Dan Gas Bumi yang selanjutnya disebut Pihak Dalam Kontrak Migas adalah operator dan/atau pemegang participating interest beserta para penggantinya dari waktu ke waktu, yang tercatat di otoritas yang berwenang. 17. Utang Luar Negeri yang selanjutnya disingkat ULN adalah utang Penduduk kepada bukan Penduduk dalam valuta asing. 18. Debitur Utang Luar Negeri yang selanjutnya disebut Debitur ULN adalah perorangan, badan hukum bukan Bank, dan badan lainnya, yang memiliki ULN. 19. Devisa Utang Luar Negeri yang selanjutnya disingkat DULN adalah devisa yang diperoleh Debitur ULN dari penarikan Utang Luar Negeri. 20. Pelapor DULN adalah Debitur ULN. 21. Hari adalah hari kerja Bank Indonesia. BAB II … - 5 - BAB II KEWAJIBAN PENERIMAAN DHE MELALUI BANK DEVISA Pasal 2 (1) Seluruh DHE wajib diterima melalui Bank Devisa. (2) Kewajiban penerimaan DHE melalui Bank Devisa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk: a. DHE milik pemerintah yang diterima melalui Bank Indonesia; atau b. DHE yang diterima dalam bentuk uang tunai di dalam negeri sepanjang dibuktikan dengan dokumen pendukung yang memadai. Pasal 3 (1) Penerimaan DHE sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 2 ayat (2) huruf b wajib dilakukan paling lambat pada akhir bulan ketiga setelah bulan pendaftaran PEB. (2) Penerimaan DHE sebagaimana dimaksud pada ayat (1), yang berasal dari cara pembayaran usance L/C, konsinyasi, pembayaran kemudian, collection, yang jatuh temponya melebihi atau sama dengan 3 (tiga) bulan setelah bulan pendaftaran PEB, wajib dilakukan paling lama 14 (empat belas) hari kalender setelah tanggal jatuh tempo pembayaran yang bersangkutan. (3) Dalam hal batas akhir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) jatuh pada hari libur maka penerimaan DHE dapat dilakukan pada Hari berikutnya. Pasal 4 (1) Eksportir harus menyampaikan informasi yang tercantum pada PEB terkait DHE yang diterima kepada Bank Devisa. (2) Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh Bank Devisa kepada Bank Indonesia dalam laporan rincian transaksi Ekspor sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang … - 6 - yang mengatur mengenai pemantauan kegiatan lalu lintas devisa Bank. (3) Penyampaian informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lambat tanggal 5 bulan berikutnya setelah DHE diterima. (4) Untuk DHE yang diterima dalam bentuk uang tunai di dalam negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf b, Eksportir harus menyampaikan dokumen pendukung yang memadai kepada Bank Indonesia. (5) Penyampaian dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan paling lambat tanggal 5 bulan berikutnya setelah bulan pendaftaran PEB. (6) Keharusan menyampaikan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (4) berlaku untuk PEB dengan nilai lebih besar dari USD10,000.00 (sepuluh ribu dolar Amerika Serikat) atau ekuivalennya. (7) Dalam hal batas akhir penyampaian informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (5) merupakan hari libur maka penyampaian informasi dan/atau dokumen pendukung dapat dilakukan pada Hari berikutnya. Pasal 5 (1) Eksportir yang akan menerima DHE dengan cara pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2), harus menyampaikan dokumen pendukung kepada Bank Devisa untuk diteruskan kepada Bank Indonesia. (2) Dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan paling lambat tanggal 5 bulan berikutnya setelah bulan pendaftaran PEB. (3) Dalam hal batas akhir penyampaian dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan hari libur maka penyampaian … - 7 - penyampaian dokumen pendukung dapat dilakukan pada Hari berikutnya. Pasal 6 (1) Nilai DHE yang diterima sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 2 ayat (2) huruf b harus sesuai dengan Nilai PEB. (2) Dalam hal nilai DHE lebih kecil dari Nilai PEB dengan selisih kurang paling banyak ekuivalen Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) maka nilai DHE yang diterima dianggap sesuai dengan Nilai PEB dan Eksportir tidak perlu menyampaikan dokumen pendukung. (3) Dalam hal selisih kurang nilai DHE dengan Nilai PEB lebih besar dari ekuivalen Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) yang disebabkan oleh: a. selisih kurs, diskon/rabat, biaya administrasi, dan/atau biaya lainnya terkait perdagangan internasional, sehingga terdapat selisih kurang antara nilai DHE dan Nilai PEB paling banyak 10% (sepuluh persen) dari nilai PEB; dan/atau b. maklon, jasa perbaikan, operational leasing atau financial leasing, perbedaan harga barang, perbedaan kualitas barang, perbedaan komposisi barang, dan perbedaan kuantitas barang, maka nilai DHE yang diterima dianggap sesuai dengan Nilai PEB apabila Eksportir menyampaikan dokumen pendukung yang memadai. (4) Untuk Barang Tambang, dalam hal nilai DHE lebih kecil dari Nilai PEB dengan selisih kurang antara nilai DHE dan Nilai PEB yang disebabkan oleh perbedaan harga, kualitas, komposisi, dan kuantitas barang: a. paling banyak 10% (sepuluh persen) dari Nilai PEB maka nilai DHE yang diterima dianggap sesuai dengan Nilai PEB dan Eksportir tidak perlu menyampaikan dokumen pendukung; atau b. lebih besar dari 10% (sepuluh persen) dari Nilai PEB maka nilai DHE yang diterima dianggap sesuai dengan Nilai PEB apabila Eksportir menyampaikan dokumen pendukung yang memadai. (5) Dalam … - 8 - (5) Dalam hal selisih kurang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) untuk DHE yang diterima dalam bentuk uang tunai di dalam negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf b, Eksportir harus menyampaikan dokumen pendukung yang memadai kepada Bank Indonesia. (6) Dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) huruf b disampaikan kepada Bank Devisa paling lambat tanggal 5 bulan berikutnya setelah DHE diterima oleh Eksportir melalui Bank Devisa, untuk diteruskan kepada Bank Indonesia. (7) Dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (5) disampaikan kepada Bank Indonesia paling lambat tanggal 5 bulan berikutnya setelah bulan pendaftaran PEB. Pasal 7 Dalam hal terdapat perbedaan antara data PEB yang disampaikan Eksportir dengan data PEB yang diterima Bank Indonesia dari Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) maka Bank Indonesia dapat memutuskan data PEB yang akan dijadikan acuan pemenuhan ketentuan DHE. Pasal 8 (1) Penerimaan nilai DHE yang lebih kecil dari Nilai PEB yang disebabkan netting antara tagihan Ekspor dengan kewajiban Eksportir hanya diperbolehkan untuk netting dengan pembayaran impor barang terkait kegiatan Ekspor yang bersangkutan yang hanya melibatkan 2 (dua) pihak. (2) Dalam hal melibatkan lebih dari 2 (dua) pihak, netting antara tagihan Ekspor dengan kewajiban Eksportir dalam bentuk impor barang terkait kegiatan Ekspor yang bersangkutan, hanya diperbolehkan apabila pihak-pihak dimaksud berada dalam 1 (satu) grup. (3) Eksportir harus menyampaikan surat pernyataan bahwa: a. barang yang diimpor digunakan dalam proses menghasilkan barang Ekspor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2); dan b. pihak … - 9 - b. pihak-pihak yang melakukan netting antara tagihan Ekspor dengan kewajiban impor barang terkait kegiatan Ekspor yang bersangkutan berada dalam 1 (satu) grup, dalam hal netting melibatkan lebih dari 2 (dua) pihak. (4) Penerimaan DHE yang berasal dari hasil netting sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dianggap sesuai dengan Nilai PEB apabila Eksportir menyampaikan bukti transaksi netting yang memadai. Pasal 9 (1) Eksportir yang menerima nilai DHE melalui Bank Devisa lebih kecil dari Nilai PEB, dengan selisih kurang lebih besar dari ekuivalen Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) yang disebabkan importir wanprestasi, pailit, atau mengalami keadaan memaksa (force majeure), harus menyampaikan dokumen pendukung yang memadai kepada Bank Devisa untuk diteruskan kepada Bank Indonesia. (2) Eksportir yang tidak menerima DHE, atau menerima DHE dalam bentuk uang tunai lebih kecil dari Nilai PEB dengan selisih kurang lebih besar dari ekuivalen Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah), yang disebabkan importir wanprestasi, pailit, atau mengalami keadaan memaksa, harus menyampaikan dokumen pendukung yang memadai kepada Bank Indonesia. (3) Dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) disampaikan paling lambat akhir bulan ketiga setelah bulan pendaftaran PEB. (4) Dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) untuk penerimaan DHE yang berasal dari cara pembayaran usance L/C, konsinyasi, pembayaran kemudian, dan/atau collection yang jatuh temponya melebihi atau sama dengan 3 (tiga) bulan setelah bulan pendaftaran PEB, harus disampaikan paling lama 14 (empat belas) hari kalender setelah tanggal jatuh tempo pembayaran. Pasal 10 … - 10 - Pasal 10 Dalam hal Eksportir tidak menyampaikan dokumen pendukung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (4), Pasal 5 ayat (1), Pasal 6 ayat (3), Pasal 6 ayat (4) huruf b, Pasal 6 ayat (5), Pasal 9 ayat (1), Pasal 9 ayat (2), surat pernyataan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3), dan/atau bukti transaksi netting sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (4) maka nilai DHE yang diterima Eksportir dianggap tidak sesuai dengan PEB dan Eksportir dianggap tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1). Pasal 11 (1) Dalam hal Ekspor dilakukan melalui PJT, kewajiban Eksportir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), Pasal 2 ayat (2) huruf b, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 8, dan Pasal 9 menjadi tanggung jawab pemilik barang. (2) PJT harus menyampaikan informasi terkait PEB kepada pemilik barang. Pasal 12 Dalam hal Ekspor Minyak dan Gas Bumi, kewajiban Eksportir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), Pasal 2 ayat (2) huruf b, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 8, dan Pasal 9 menjadi tanggung jawab Eksportir dan/atau Pihak Dalam Kontrak Migas. BAB III KEWAJIBAN PENARIKAN DULN MELALUI BANK DEVISA Pasal 13 (1) Setiap DULN wajib ditarik oleh Debitur ULN melalui Bank Devisa. (2) Kewajiban penarikan DULN oleh Debitur ULN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku bagi DULN yang berbentuk dana tunai yang berasal dari: a. ULN … - 11 - a. ULN berdasarkan perjanjian kredit (loan agreement) dalam bentuk non revolving yang tidak digunakan untuk refinancing; b. selisih fasilitas refinancing dengan jumlah ULN lama; dan c. ULN berdasarkan surat utang (debt securities) dalam bentuk Bonds, Medium Term Notes (MTN), Floating Rate Notes (FRN), Promissory Notes (PN), dan Commercial Paper (CP). (3) Penarikan DULN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilaporkan kepada Bank Indonesia. Pasal 14 (1) Nilai akumulasi penarikan DULN harus sama dengan nilai komitmen. (2) Dalam hal nilai akumulasi penarikan DULN melalui Bank Devisa lebih kecil dari nilai komitmen ULN dengan selisih kurang paling banyak ekuivalen Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) maka DULN dianggap sesuai dengan nilai komitmen ULN, dan Debitur ULN tidak perlu menyampaikan penjelasan tertulis dan dokumen pendukung. (3) Dalam hal selisih kurang antara akumulasi penarikan DULN melalui Bank Devisa dengan nilai komitmen ULN lebih besar dari ekuivalen Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) maka DULN dianggap sesuai dengan nilai komitmen ULN apabila Debitur ULN menyampaikan penjelasan tertulis dan dokumen pendukung yang memadai. (4) Penjelasan tertulis dan dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus disampaikan kepada Bank Indonesia paling lambat sebelum berakhirnya jangka waktu ULN. (5) Dalam hal Pelapor DULN tidak menyampaikan penjelasan tertulis dan dokumen pendukung dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (4), maka Pelapor DULN dianggap tidak melakukan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1). Pasal 15 … - 12 - Pasal 15 (1) Laporan penarikan DULN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3) menggunakan laporan realisasi penarikan ULN sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai pelaporan kegiatan lalu lintas devisa. (2) Laporan penarikan DULN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disertai dokumen pendukung yang dapat membuktikan bahwa penarikan DULN telah dilakukan melalui Bank Devisa. (3) Dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan kepada Bank Indonesia melalui kurir atau pos, atau menggunakan faksimili, email, atau media lainnya. Pasal 16 (1) Dokumen pendukung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 wajib disampaikan kepada Bank Indonesia secara bulanan paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya. (2) Dalam hal hari terakhir penyampaian dokumen pendukung jatuh pada hari Sabtu atau hari libur, maka penyampaian dokumen pendukung dapat disampaikan pada Hari berikutnya. (3) Pelapor DULN dinyatakan terlambat menyampaikan dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) apabila dokumen pendukung disampaikan melampaui batas waktu yang ditentukan sampai dengan akhir bulan yang bersangkutan. (4) Pelapor DULN dinyatakan tidak menyampaikan dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) apabila dokumen pendukung tidak disampaikan sampai dengan akhir bulan sebagaimana dimaksud pada ayat (3). (5) Pelapor DULN dianggap tidak melakukan penarikan DULN melalui Bank Devisa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) apabila Pelapor DULN tidak menyampaikan dokumen pendukung yang dapat membuktikan penarikan DULN telah dilakukan melalui Bank Devisa sampai dengan akhir bulan sebagaimana dimaksud pada ayat (3). Pasal 17 … - 13 - Pasal 17 Laporan penarikan DULN yang memuat data/informasi individual yang disampaikan kepada Bank Indonesia bersifat rahasia. BAB IV PENELITIAN KEPATUHAN LAPORAN Pasal 18 (1) Bank Indonesia melakukan penelitian atas kepatuhan: a. Eksportir, pemilik barang, dan/atau Pihak Dalam Kontrak Migas terhadap pemenuhan kewajiban penerimaan DHE sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), Pasal 2 ayat (2) huruf b, dan/atau Pasal 3; dan/atau b. Debitur ULN terhadap pemenuhan kewajiban penarikan DULN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1). (2) Dalam melakukan penelitian kepatuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia dapat meminta penjelasan, bukti, catatan, dan/atau dokumen pendukung, dengan atau tanpa melibatkan instansi terkait. BAB V PENGENAAN SANKSI Pasal 19 (1) Eksportir yang melakukan pelanggaran terhadap kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), Pasal 2 ayat (2) huruf b, dan/atau Pasal 3 dikenakan sanksi administratif berupa denda sebesar 0,5% (nol koma lima persen) dari nilai nominal DHE yang belum diterima dengan nominal paling banyak sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) untuk 1 (satu) bulan pendaftaran PEB. (2) Dalam hal Ekspor dilakukan melalui PJT, sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan kepada pemilik barang. (3) Dalam … - 14 - (3) Dalam hal Ekspor Minyak dan Gas Bumi, sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan kepada Eksportir dan/atau Pihak Dalam Kontrak Migas. Pasal 20 (1) Eksportir dikenakan sanksi penangguhan atas pelayanan Ekspor sesuai dengan peraturan perundang-undangan mengenai kepabeanan dan peraturan perundang-undangan terkait yang berlaku, dalam hal: a. Eksportir belum memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan belum membayar sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1); b. Eksportir belum memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 namun telah membayar administratif berupa sanksi denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1); atau c. Eksportir telah memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 namun tidak memenuhi Pasal 3 dan belum membayar sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1). (2) Dalam hal Ekspor dilakukan melalui PJT, sanksi penangguhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan kepada pemilik barang. (3) Dalam hal Ekspor Minyak dan Gas Bumi, sanksi penangguhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan kepada Eksportir dan/atau Pihak Dalam Kontrak Migas. Pasal 21 (1) Debitur ULN yang melakukan pelanggaran terhadap kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) dikenakan sanksi administratif berupa denda sebesar 0,25% (nol koma dua lima persen) dari setiap nilai nominal penarikan DULN yang tidak melalui Bank Devisa, dengan nominal paling banyak sebesar Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). (2) Pelapor … - 15 - (2) Pelapor DULN yang terlambat menyampaikan dokumen pendukung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (3) dikenakan sanksi administratif berupa denda sebesar Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) setiap Hari keterlambatan. Pasal 22 Pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, Pasal 20, dan/atau Pasal 21 tidak menggugurkan kewajiban penerimaan DHE sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan penarikan DULN melalui Bank Devisa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13. Pasal 23 (1) Pembayaran sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 dan Pasal 21 disetorkan ke Bank Indonesia. (2) Pengenaan sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 dan Pasal 21 dilakukan dalam mata uang rupiah dengan menggunakan kurs tengah Bank Indonesia yang berlaku 1 (satu) Hari sebelum tanggal pengenaan sanksi administratif berupa denda. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan dan/atau pembayaran sanksi administratif berupa denda kepada Bank Indonesia diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 24 (1) Untuk Eksportir yang telah dikenakan sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, pembebasan sanksi administratif berupa denda dilakukan setelah Eksportir menyampaikan bukti pemenuhan kewajiban penerimaan DHE dan berdasarkan penelitian Bank Indonesia, Eksportir tidak melakukan pelanggaran terhadap kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), Pasal 2 ayat (2) huruf b, dan Pasal 3. (2) Dalam … - 16 - (2) Dalam hal Ekspor dilakukan melalui PJT, pembebasan sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada pemilik barang. (3) Dalam hal Ekspor Minyak dan Gas Bumi, pembebasan sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada Eksportir dan/atau Pihak Dalam Kontrak Migas. Pasal 25 (1) Untuk Eksportir yang telah dikenakan sanksi penangguhan atas pelayanan Ekspor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20, pembebasan sanksi penangguhan atas pelayanan Ekspor, dilakukan sebagai berikut: a. dalam hal berdasarkan penelitian Bank Indonesia terhadap bukti- bukti yang disampaikan setelah dikenakannya sanksi penangguhan atas pelayanan Ekspor, Eksportir tidak melakukan pelanggaran terhadap kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), Pasal 2 ayat (2) huruf b, dan Pasal 3; b. dalam hal Eksportir melakukan pelanggaran terhadap kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Eksportir telah menyampaikan bukti pembayaran sanksi denda; atau c. dalam hal Eksportir melakukan pelanggaran terhadap kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), Pasal 2 ayat (2) huruf b, dan Pasal 3, Eksportir telah menyampaikan bukti pembayaran sanksi denda dan bukti pemenuhan kewajiban penerimaan DHE sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), Pasal 2 ayat (2) huruf b, dan Pasal 3. (2) Dalam hal Ekspor dilakukan melalui PJT, pembebasan sanksi penangguhan atas pelayanan Ekspor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada pemilik barang. (3) Dalam hal Ekspor Minyak dan Gas Bumi, pembebasan sanksi penangguhan atas pelayanan Ekspor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada Eksportir dan/atau Pihak Dalam Kontrak Migas. BAB VI … - 17 - BAB VI PENYAMPAIAN INFORMASI DAN LAPORAN Pasal 26 (1) Untuk penerimaan DHE, prosedur penyampaian informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, serta dokumen pendukung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, Pasal 6, dan Pasal 9, serta bukti transaksi netting sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dilakukan sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai pemantauan kegiatan lalu lintas devisa Bank. (2) Untuk penarikan DULN, prosedur penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1), dilakukan sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai pelaporan kegiatan lalu lintas devisa. BAB VII KETENTUAN PERALIHAN Pasal 27 (1) Pemenuhan kewajiban penerimaan DHE yang timbul dari PEB yang terbit sampai dengan akhir bulan Mei 2014 mengacu pada Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/25/PBI/2012 tentang Penerimaan Devisa Hasil Ekspor dan Penarikan Devisa Utang Luar Negeri. (2) Penarikan DULN yang berasal dari perjanjian ULN yang ditandatangani sebelum tanggal 2 Januari 2012 tidak wajib dilakukan melalui Bank Devisa, kecuali untuk penarikan DULN yang berasal dari penambahan plafon ULN karena adanya perubahan perjanjian (amandemen) yang ditandatangani setelah tanggal 2 Januari 2012. BAB VIII KETENTUAN PENUTUP Pasal 28 Ketentuan lebih lanjut dari Peraturan Bank Indonesia ini diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 29 … - 18 - Pasal 29 Pada saat Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku: a. Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/22/PBI/2011 tentang Kewajiban Pelaporan Penarikan Devisa Utang Luar Negeri (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 95, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5243); dan b. Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/25/PBI/2012 tentang Penerimaan Devisa Hasil Ekspor dan Penarikan Devisa Utang Luar Negeri (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 285, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5383), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 30 Ketentuan yang mengatur mengenai penerimaan DHE sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 18, Pasal 19, Pasal 20, Pasal 22, Pasal 23, Pasal 24, Pasal 25, dan Pasal 26 ayat (1), mulai berlaku untuk pemenuhan kewajiban yang timbul dari PEB yang terbit sejak Juni 2014. Pasal 31 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar … - 19 - Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 14 Mei 2014 GUBERNUR BANK INDONESIA, AGUS D.W. MARTOWARDOJO Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 14 Mei 2014 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, AMIR SYAMSUDIN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2014 NOMOR 98 - 20 - PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 16/10/PBI/2014 TENTANG PENERIMAAN DEVISA HASIL EKSPOR DAN PENARIKAN DEVISA UTANG LUAR NEGERI I. UMUM Pasokan valuta asing di pasar domestik saat ini sebagian besar berasal dari dana asing dalam bentuk investasi portofolio yang rentan terhadap risiko pembalikan (sudden capital reversal). Sementara itu pembangunan ekonomi nasional membutuhkan sumber dana yang memadai dan berkesinambungan. Salah satu sumber pasokan devisa yang relatif stabil dan berkesinambungan (sustainable) berasal dari DHE dan DULN yang juga penting untuk mendukung stabilitas nilai rupiah dan makroekonomi secara keseluruhan. Namun demikian, dalam pelaksanaannya tidak seluruh DHE dan DULN ditempatkan pada perbankan Indonesia atau masuk ke Indonesia. Oleh karena itu, diperlukan pengaturan yang dapat memastikan penerimaan DHE dan penarikan DULN dilakukan melalui perbankan Indonesia atau diterima secara tunai di dalam negeri. Pengaturan ini tetap berlandaskan pada sistem devisa bebas yang berlaku selama ini, dimana setiap penduduk dapat dengan bebas memiliki dan menggunakan devisa sebagaimana diatur dalam Undang- Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar. Dalam rangka mendukung kebijakan penerimaan devisa hasil ekspor, Bank Indonesia, Kementerian Keuangan, dan Badan Pusat Statistik telah membuat Nota Kesepahaman Nomor tentang Pertukaran Data terkait Kegiatan Ekspor dan Impor. PER-2277/MK/2011 13/1/BI/DSM/NK 13/KS/10-VIII/2011 II. PASAL … - 21 - II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “wajib diterima melalui Bank Devisa” tidak termasuk kewajiban menyimpan dalam jangka waktu tertentu dan/atau mengonversi ke dalam rupiah. Contoh: PT. DN menerima DHE sebesar USD3,000,000.00 (tiga juta dolar Amerika Serikat) melalui Bank Devisa pada tanggal 5 Mei 2014. Dalam hal ini, PT. DN bebas menggunakan atau mentransfer seluruh DHE yang diterima melalui Bank Devisa tersebut tanpa harus dikonversikan terlebih dahulu ke dalam mata uang rupiah. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan “diterima dalam bentuk uang tunai” adalah penerimaan DHE dalam bentuk pembayaran uang kertas dan/atau uang logam. DHE dikategorikan sebagai DHE yang diterima dalam bentuk uang tunai apabila menurut Bank Indonesia memenuhi aspek kewajaran untuk dilakukan pembayaran dengan menggunakan uang tunai, antara lain berdasarkan aspek jumlah dan jenis transaksinya. Pasal 3 Ayat (1) Contoh 1: Untuk Ekspor dengan tanggal PEB 12 April 2014, penerimaan DHE melalui Bank Devisa paling lambat tanggal 31 Juli 2014. Dalam … - 22 - Dalam hal ini, bulan pendaftaran PEB adalah bulan April 2014 sehingga penerimaan DHE wajib dilakukan paling lambat akhir bulan Juli 2014. Contoh 2: Untuk Ekspor dengan tanggal PEB 30 Juni 2014, penerimaan DHE melalui Bank Devisa paling lambat tanggal 30 September 2014. Dalam hal ini, bulan pendaftaran PEB adalah bulan Juni 2014 sehingga penerimaan DHE wajib dilakukan paling lambat akhir bulan September 2014. Ayat (2) Contoh: PT. ZA melakukan Ekspor dengan Usance L/C yang jatuh tempo pembayarannya 180 (seratus delapan puluh) hari kalender setelah tanggal pengiriman barang/Bill of Lading (17 April 2014). Adapun tanggal PEB untuk Ekspor tersebut 15 April 2014. Berdasarkan contoh di atas, dapat diketahui bahwa jatuh tempo pembayaran Ekspor melebihi 3 (tiga) bulan setelah pendaftaran PEB, yaitu terhitung dari bulan Mei sampai dengan akhir bulan Juli 2014, sehingga penerimaan DHE melalui Bank Devisa wajib dilakukan paling lama 14 (empat belas) hari kalender setelah tanggal jatuh tempo pembayaran Ekspor tersebut. Dengan demikian, penerimaan DHE melalui Bank Devisa paling lambat tanggal 28 Oktober 2014, yaitu 14 hari kalender setelah tanggal 14 Oktober 2014 (180 (seratus delapan puluh) hari kalender setelah tanggal pengiriman barang). Untuk penerimaan DHE dengan cara pembayaran konsinyasi, tanggal jatuh tempo pembayaran adalah tanggal jatuh tempo pembayaran oleh pembeli (buyer) kepada consignee (penerima barang konsinyasi) setelah barang konsinyasi terjual oleh consignee. Ayat (3) … - 23 - Ayat (3) Contoh: Untuk Ekspor dengan tanggal PEB 12 Mei 2014, penerimaan DHE melalui Bank Devisa paling lambat tanggal 31 Agustus 2014 (hari Minggu). Dalam hal ini, penerimaan DHE dapat dilakukan tanggal 1 September 2014 (hari Senin). Pasal 4 Ayat (1) Informasi yang disampaikan paling kurang meliputi tanggal PEB, sandi kantor pelayanan Bea Cukai, nomor pendaftaran PEB, dan NPWP Eksportir. Dalam hal DHE diterima oleh pihak lain selain Eksportir maka informasi dimaksud dapat disampaikan oleh pihak yang menerima DHE tersebut. Dalam hal ini, nama dan NPWP yang disampaikan adalah nama dan NPWP penerima DHE. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Dokumen pendukung dinilai memadai apabila menurut Bank Indonesia dokumen yang bersangkutan dapat membuktikan terjadinya penerimaan DHE dalam bentuk uang tunai di dalam negeri. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Pasal 5 … - 24 - Pasal 5 Ayat (1) Dokumen pendukung antara lain fotokopi dokumen PEB, usance L/C, dan/atau surat keterangan tentang penangguhan pembayaran dari importir. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 6 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan “maklon” adalah pemberian jasa dalam rangka proses penyelesaian suatu barang tertentu yang proses pengerjaannya dilakukan oleh pihak pemberi jasa (disubkontrakkan), dan pengguna jasa menetapkan spesifikasi, serta menyediakan bahan baku dan/atau barang setengah jadi dan/atau bahan penolong/pembantu yang akan diproses sebagian atau seluruhnya, dengan kepemilikan atas barang jadi berada pada pengguna jasa. Dokumen pendukung dinilai memadai apabila menurut Bank Indonesia dokumen yang bersangkutan dapat membuktikan terjadinya selisih kurang antara nilai DHE dan Nilai PEB. Ayat (4) Dokumen pendukung antara lain fotokopi invoice, certificate of analysis, dan/atau swift message. Ayat (5) … - 25 - Ayat (5) Dokumen pendukung antara lain fotokopi kuitansi pembayaran terkait penerimaan DHE dalam bentuk uang tunai di dalam negeri. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Pasal 7 Cukup jelas. Pasal 8 Ayat (1) Contoh penerimaan DHE yang berasal dari hasil netting antara tagihan Ekspor dengan kewajiban impor barang terkait kegiatan Ekspor yang bersangkutan yang hanya melibatkan 2 (dua) pihak: Pada bulan Maret 2014, PT. SY mencatat kewajiban terhadap perusahaan MQ di Malaysia berupa (1) pinjaman sebesar USD700,000.00 (tujuh ratus ribu dolar Amerika Serikat); (2) impor bahan baku untuk keperluan ekspor sebesar USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika Serikat). Pada bulan yang sama PT. SY mencatat tagihan Ekspor kepada perusahaan tersebut sebesar USD1,250,000.00 (satu juta dua ratus lima puluh ribu dolar Amerika Serikat). Semua kewajiban dan tagihan di atas jatuh tempo pada bulan Mei 2014 dan kedua perusahaan telah menyepakati penyelesaiannya dilakukan secara netting, dimana hanya selisih dari kewajiban dan tagihan tersebut yang akan dibayarkan. Nilai kewajiban yang boleh di-netting-kan dengan tagihan Ekspor adalah sebesar USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika Serikat) untuk impor bahan baku sementara pinjaman sebesar USD700,000.00 (tujuh ratus ribu dolar Amerika … - 26 - Amerika Serikat) tidak boleh di-netting-kan. Dalam hal ini, PT. SY wajib menerima sisa tagihan Ekspor sebesar USD250,000.00 (dua ratus lima puluh ribu dolar Amerika Serikat) melalui Bank Devisa. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “pihak-pihak dimaksud berada dalam 1 (satu) grup” adalah badan hukum atau badan lain yang memiliki hubungan berdasarkan kepemilikan dan/atau pemegang saham yang sama. Contoh penerimaan DHE yang berasal dari hasil netting antara tagihan Ekspor dengan kewajiban impor barang terkait kegiatan Ekspor yang bersangkutan yang melibatkan lebih 2 (dua) pihak yang berada dalam 1 (satu) grup: Perusahaan HK yang berkedudukan di Hongkong memiliki tiga anak perusahaan, yaitu perusahaan MY di Malaysia, perusahaan SG di Singapura, dan PT ID di Indonesia yang bergerak di bidang produk elektronik. Seluruh tagihan dan kewajiban antara keempat perusahaan tersebut diselesaikan secara netting yang dikoordinir oleh perusahaan HK sebagai induk. Pada bulan Mei 2014, PT ID mencatat kewajiban berupa (1) pinjaman sebesar USD5,000,000.00 (lima juta dolar Amerika Serikat) dari perusahaan HK; (2) impor integrated circuit dari perusahaan MY di Malaysia sebesar USD2,000,000.00 (dua juta dolar Amerika Serikat). Pada bulan Juni 2014 PT ID mencatat tagihan Ekspor kepada perusahaan SG dan perusahaan HK masing-masing sebesar USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika Serikat) dan USD2,500,000.00 (dua juta lima ratus ribu dolar Amerika Serikat). Semua kewajiban dan tagihan di atas jatuh tempo pada bulan Juli 2014. Nilai kewajiban yang boleh di-netting-kan dengan tagihan Ekspor adalah hanya sebesar USD2,000,000.00 (dua juta dolar … - 27 - dolar Amerika Serikat) untuk impor integrated circuit, sementara pinjaman sebesar USD5,000,000.00 (lima juta dolar Amerika Serikat) tidak boleh di-netting-kan. Dalam hal ini PT. ID wajib menerima sisa tagihan Ekspor sebesar USD1,500,000.00 (satu juta lima ratus ribu dolar Amerika Serikat) melalui Bank Devisa, yaitu selisih antara total tagihan Ekspor sebesar USD3,500,000.00 (tiga juta lima ratus ribu dolar Amerika Serikat) dikurangi kewajiban impor barang sebesar USD2,000,000.00 (dua juta dolar Amerika Serikat). Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Bukti transaksi netting antara lain berupa kesepakatan penyelesaian netting tagihan Ekspor dengan kewajiban impor barang terkait kegiatan Ekspor yang bersangkutan, laporan konsolidasi netting tagihan Ekspor dengan kewajiban impor barang, dan/atau invoice. Bukti transaksi netting dinilai memadai apabila menurut penilaian Bank Indonesia dokumen yang bersangkutan dapat membuktikan adanya netting yang diperbolehkan. Pasal 9 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “keadaan memaksa (force majeure)” adalah keadaan yang menyebabkan Eksportir menerima DHE kurang dari Nilai PEB atau tidak menerima DHE, yang disebabkan antara lain karena kebakaran, kerusuhan massa, terorisme, bom, perang, sabotase, pemogokan buruh, kegagalan sistem yang digunakan dalam bertransaksi serta bencana alam seperti gempa bumi, banjir, yang dibenarkan oleh penguasa atau pejabat dari instansi terkait di daerah setempat. Dokumen … - 28 - Dokumen pendukung dinilai memadai apabila menurut Bank Indonesia dokumen yang bersangkutan dapat membuktikan kondisi importir wanprestasi, pailit, atau keadaan memaksa. Ayat (2) Dokumen pendukung dinilai memadai apabila menurut Bank Indonesia dokumen yang bersangkutan dapat membuktikan kondisi importir wanprestasi, pailit, atau keadaan memaksa. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 10 Cukup jelas. Pasal 11 Cukup jelas. Pasal 12 Cukup jelas. Pasal 13 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “DULN yang berbentuk dana tunai” dalam ayat ini adalah DULN selain barang dan jasa. Huruf a Yang dimaksud dengan ”perjanjian kredit (loan agreement) dalam bentuk non revolving” adalah perjanjian pinjaman yang tidak memperbolehkan akumulasi realisasi penarikan ULN melebihi komitmen. Huruf b Contoh 1: PT. SN memperoleh ULN sebesar USD20,000,000.00 (dua puluh juta dolar Amerika Serikat) dari kreditur XY di Singapura untuk refinancing ULN sebelumnya dengan jumlah … - 29 - jumlah outstanding yang sama yaitu sebesar USD20,000,000.00 (dua puluh juta dolar Amerika Serikat) yang diterima dari kreditur Bank AB di Singapura. Pertimbangan PT. SN melakukan refinancing tersebut karena adanya tawaran suku bunga yang lebih rendah dan term & condition yang lebih longgar. Berhubung refinancing tersebut tidak ada kelebihan aliran dana valuta asing maka tidak dikenakan kewajiban menarik DULN melalui Bank Devisa. Contoh 2: PT. EW memperoleh ULN sebesar USD30,000,000.00 (tiga puluh juta dolar Amerika Serikat) dari kreditur Bank DE di Singapura. ULN tersebut dipergunakan untuk refinancing outstanding ULN sebelumnya yang tercatat sebesar USD20,000,000.00 (dua puluh juta dolar Amerika Serikat) yang diterima dari kreditur Bank GH di Singapura dan selisihnya USD10,000,000.00 (sepuluh juta dolar Amerika Serikat) dipergunakan untuk tambahan modal kerja. Penarikan DULN sebesar USD10,000,000.00 (sepuluh juta dolar Amerika Serikat) wajib dilakukan melalui Bank Devisa. Huruf c Yang dimaksud dengan “surat utang (debt securities)” adalah surat pengakuan utang yang dapat diperdagangkan di pasar uang atau pasar modal di dalam maupun di luar negeri. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 14 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) … - 30 - Ayat (2) Nilai akumulasi penarikan DULN dihitung sampai dengan penarikan terakhir DULN. Contoh: PT. AT memperoleh ULN dalam bentuk loan agreement dari kreditur KL di Singapura dalam mata uang USD sebesar ekuivalen Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Diperjanjikan bahwa penarikan dilakukan sebanyak 5 (lima) kali selama masa berlakunya loan agreement. Sampai dengan penarikan yang terakhir atau ke 5 ternyata jumlah yang ditarik tercatat sebesar ekuivalen Rp475.000.000,00 (empat ratus tujuh puluh lima juta rupiah). Dengan demikian terdapat selisih sebesar ekuivalen Rp25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah) antara nilai total akumulasi penarikan dengan nilai komitmen yang diberikan oleh kreditur. Perbedaan antara nilai total akumulasi penarikan dengan nilai komitmen tersebut di bawah Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) maka DULN dianggap sesuai dengan nilai komitmen ULN dan debitur tidak perlu menyampaikan penjelasan tertulis dan dokumen pendukung kepada Bank Indonesia. Ayat (3) Dokumen pendukung dinilai memadai apabila menurut Bank Indonesia dokumen yang bersangkutan dapat membuktikan terjadinya selisih kurang antara nilai akumulasi penarikan DULN dengan nilai komitmen ULN. Contoh: PT. AM memperoleh ULN dalam bentuk loan agreement dari kreditur WA di Jepang dalam mata uang JPY sebesar ekuivalen Rp750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah). Diperjanjikan bahwa penarikan dilakukan sebanyak 5 (lima) kali selama masa berlakunya loan agreement. Sampai dengan penarikan yang terakhir atau ke 5 ternyata jumlah yang … - 31 - yang ditarik tercatat sebesar ekuivalen Rp650.000.000,00 (enam ratus lima puluh juta rupiah). Dengan demikian terdapat selisih sebesar ekuivalen Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) antara nilai total akumulasi penarikan dengan nilai komitmen. Dalam hal ini, DULN dianggap sesuai dengan nilai komitmen ULN apabila Debitur ULN menyampaikan penjelasan tertulis dan dokumen pendukung yang memadai kepada Bank Indonesia. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Contoh: PT. CE memperoleh ULN dalam bentuk loan agreement dengan jangka waktu 10 tahun dari kreditur AP di Hongkong dalam mata uang USD sebesar ekuivalen Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Diperjanjikan bahwa penarikan ULN tersebut dilakukan sebanyak 10 (sepuluh) kali selama masa berlakunya loan agreement. Sampai dengan penarikan yang terakhir atau ke 10 ternyata jumlah yang ditarik tercatat sebesar ekuivalen Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah). Dengan demikian terdapat selisih sebesar ekuivalen Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) antara nilai total akumulasi penarikan dengan nilai komitmen yang diberikan oleh kreditur. Apabila PT. CE tidak menyampaikan penjelasan tertulis dan dokumen pendukung yang memadai sampai dengan sebelum berakhirnya jangka waktu ULN maka PT. CE dianggap tidak melakukan penarikan DULN melalui Bank Devisa sebesar ekuivalen Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). Pasal 15 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) … - 32 - Ayat (2) Dokumen pendukung berupa bukti transfer antara lain SWIFT message. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 16 Cukup jelas. Pasal 17 Cukup jelas. Pasal 18 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan “pemilik barang” adalah pihak yang melakukan ekspor melalui PJT. Huruf b Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 19 Ayat (1) Yang dimaksud dengan ”nilai nominal DHE yang belum diterima” adalah Nilai PEB dikurangi dengan nilai DHE yang telah diterima. Contoh 1: Perusahan SY melakukan Ekspor dengan total Nilai PEB bulan Juni 2014 sebesar USD500,000.00 (lima ratus ribu dolar Amerika Serikat). DHE yang diterima dari Ekspor tersebut melalui Bank Devisa sebesar USD100,000.00 (seratus ribu dolar Amerika Serikat). Sisanya sebesar USD400,000.00 (empat ratus ribu dolar Amerika Serikat) tidak diterima melalui Bank Devisa sampai dengan batas waktu yang ditentukan, yaitu akhir bulan September 2014 (akhir bulan ketiga setelah bulan pendaftaran PEB) dan Perusahaan … - 33 - Perusahaan SY tidak dapat memberikan dokumen pendukung yang memadai. Berdasarkan contoh di atas dan dengan kurs Rp10.700,00/USD, Eksportir dikenakan sanksi administratif berupa denda sebesar 0,5% X USD400,000.00 X Rp10.700,00/USD = Rp21.400.000,00 (dua puluh satu juta empat ratus ribu rupiah) untuk PEB bulan Juni 2014. Contoh 2: Perusahaan AW melakukan Ekspor pada bulan Juli 2014 dan menerima DHE-nya melalui Bank Devisa dengan rincian PEB dan penerimaan DHE sebagai berikut: Nomor PEB Tanggal PEB 000012 3 Juli 2014 000013 9 Juli 2014 Nilai PEB - FOB (USD) 500,000.00 600,000.00 000014 30 Juli 2014 2,000,000.00 Total 3,100,000.00 Nilai DHE yang Diterima (USD) 400,000.00 100,000.00 100,000.00 600,000.00 Selisih Kurang (USD) 100,000.00 500,000.00 1,900,000.00 2,500,000.00 Sampai dengan akhir Oktober 2014 (akhir bulan ketiga setelah bulan pendaftaran PEB) masih terdapat selisih kurang antara Nilai PEB dan nilai DHE yang telah diterima oleh Perusahaan AW untuk ketiga PEB dan perusahaan AW tidak dapat memberikan dokumen pendukung yang memadai. Berdasarkan contoh di atas dan dengan kurs Rp10.600,00/USD, perusahaan AW akan dikenakan sanksi administratif berupa denda untuk PEB bulan Juli 2014 dengan perhitungan sebagai berikut: - untuk Nomor PEB 000012 sebesar 0.5% X USD100,000.00 X Rp10.600,00 = Rp5.300.000,00; - untuk Nomor PEB 000013 sebesar 0.5% X USD500,000.00 X Rp10.600,00 = Rp26.500.000,00; - untuk Nomor PEB 000014 sebesar 0.5% X USD1,900,000.00 X Rp10.600,00 = Rp100.700.000,00. Mengingat perhitungan sanksi administratif berupa denda perusahaan AW untuk 1 (satu) bulan pendaftaran PEB sebesar … - 34 - sebesar Rp132.500.000,00 (seratus tiga puluh dua juta lima ratus ribu rupiah) melebihi nilai denda maksimal maka perusahaan AW dikenakan sanksi administratif berupa denda maksimal sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) untuk PEB bulan Juli 2014. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 20 Ayat (1) Pelaksanaan penangguhan atas pelayanan Ekspor dilakukan oleh otoritas yang berwenang di bidang kepabeanan atas dasar permintaan Bank Indonesia. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 21 Ayat (1) Contoh 1: PT. SU memperoleh ULN dalam bentuk loan agreement dari kreditur AP di Jerman sebesar USD100,000.00 (seratus ribu dolar Amerika Serikat) namun ULN tersebut tidak ditarik melalui Bank Devisa. Berdasarkan contoh di atas dan dengan kurs Rp11.300,00/USD, Debitur ULN dikenakan sanksi administratif berupa denda sebesar 0,25% X USD100,000.00 X Rp11.300,00/USD = Rp2.825.000,00 (dua juta delapan ratus dua puluh lima ribu rupiah). Contoh 2: PT. HD memperoleh ULN dalam bentuk loan agreement dari kreditur MZ di Inggris sebesar USD4,000,000.00 (empat juta dolar … - 35 - dolar Amerika Serikat) namun yang ditarik melalui Bank Devisa hanya sebesar USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika Serikat). Sedangkan sisanya sebesar USD3,000,000.00 (tiga juta dolar Amerika Serikat) disimpan di bank di luar negeri. Berdasarkan contoh di atas dan dengan kurs Rp11.300,00/USD, Debitur ULN dikenakan sanksi administratif berupa denda sebesar 0,25% X USD3,000,000.00 X Rp11.300,00 = Rp84.750.000,00 (delapan puluh empat juta tujuh ratus lima puluh ribu rupiah). Namun berhubung denda paling banyak sebesar Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) maka PT. HD hanya dikenakan sanksi administratif berupa denda maksimal sebesar Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). Ayat (2) Contoh: Perusahaan HI melakukan realisasi penarikan Perjanjian Kredit pada tanggal 5 Agustus 2014. Batas waktu penyampaian dokumen pendukung adalah tanggal 15 September 2014. Perusahaan HI baru menyampaikan dokumen pendukung penarikan DULN pada tanggal 18 September 2014. Dengan demikian perusahaan HI terlambat selama 3 (tiga) Hari. Atas keterlambatan tersebut, perusahaan HI dikenakan sanksi administratif berupa denda sebesar 3 (tiga) Hari x Rp500.000,00 = Rp1.500.000,00 (satu juta lima ratus ribu rupiah). Pasal 22 Cukup jelas. Pasal 23 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) … - 36 - Ayat (2) Yang dimaksud dengan ”kurs tengah Bank Indonesia” adalah kurs transaksi Bank Indonesia yang dihitung dengan cara kurs jual transaksi ditambah kurs beli transaksi, dibagi 2 (dua). Yang dimaksud dengan “tanggal pengenaan sanksi” adalah tanggal diterbitkannya surat mengenai pengenaan sanksi dari Bank Indonesia. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 24 Cukup jelas. Pasal 25 Ayat (1) Pembebasan sanksi penangguhan atas pelayanan Ekspor dilakukan oleh otoritas yang berwenang di bidang kepabeanan atas dasar permintaan Bank Indonesia. Bukti pembayaran sanksi administratif berupa denda atau bukti penerimaan DHE antara lain berupa fotokopi bukti transfer pembayaran sanksi administratif berupa denda ke Bank Indonesia dan/atau fotokopi SWIFT message yang disahkan oleh Bank Devisa penerima. Contoh untuk huruf a: Eksportir AW telah dikenakan sanksi penangguhan atas pelayanan Ekspor terkait kegiatan Ekspor untuk PEB yang diterbitkan bulan Maret 2014 dengan nilai USD300.000,00 (tiga ratus ribu dolar Amerika Serikat). Selanjutnya, Eksportir tersebut menyampaikan bukti penerimaan DHE dari suatu Bank Devisa kepada Bank Indonesia, yaitu berupa SWIFT tanggal 8 Mei 2014 senilai USD300.000,00 (tiga ratus ribu dolar Amerika Serikat). Berdasarkan bukti ini, Bank Indonesia melakukan penelitian dengan kesimpulan bahwa Eksportir AW tidak melakukan pelanggaran Pasal 2 dan Pasal 3. Oleh karena … - 37 - karena itu, Eksportir AW dibebaskan dari sanksi penangguhan atas pelayanan Ekspor. Contoh untuk huruf b: Eksportir AS telah dikenakan sanksi penangguhan atas pelayanan Ekspor terkait kegiatan Ekspor untuk PEB yang diterbitkan bulan Juni 2014 dengan nilai USD750.000,00 (tujuh ratus lima puluh ribu dolar Amerika Serikat). Eksportir tersebut menerima DHE sebesar USD750.000,00 (tujuh ratus lima puluh ribu dolar Amerika Serikat) melalui Bank Devisa pada bulan November 2014, melewati akhir bulan ketiga setelah bulan pendaftaran PEB (akhir September 2014). Oleh karena itu, pembebasan sanksi penangguhan atas pelayanan Ekspor dilakukan setelah Eksportir AS menyampaikan bukti pembayaran sanksi administratif berupa denda kepada Bank Indonesia. Contoh untuk huruf c: Eksportir TG telah dikenakan sanksi penangguhan atas pelayanan Ekspor terkait kegiatan Ekspor untuk PEB yang diterbitkan bulan Juli 2014 dengan nilai sebesar ekuivalen Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah). DHE baru diterima Eksportir tanggal 10 Agustus 2014 sebesar ekuivalen Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah). Sampai dengan akhir Oktober 2014 (akhir bulan ketiga setelah bulan pendaftaran PEB), selisih kurang antara Nilai PEB dan Nilai DHE, yaitu sebesar ekuivalen Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) terbukti belum diterima Eksportir melalui Bank Devisa. Oleh karena itu, pembebasan sanksi penangguhan atas pelayanan Ekspor dilakukan setelah Eksportir TG menyampaikan bukti pembayaran sanksi administratif berupa denda kepada Bank Indonesia dan bukti penerimaan DHE melalui Bank Devisa atas selisih antara nilai PEB dan Nilai DHE, yaitu sebesar ekuivalen Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). Ayat (2) … - 38 - Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 26 Cukup jelas. Pasal 27 Cukup jelas. Pasal 28 Cukup jelas. Pasal 29 Cukup jelas. Pasal 30 Cukup jelas. Pasal 31 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5534
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 16/10/PBI/2014 </reg_id> <reg_title> PENERIMAAN DEVISA HASIL EKSPOR DAN PENARIKAN DEVISA UTANG LUAR NEGERI </reg_title> <set_date> 14 Mei 2014 </set_date> <effective_date> 14 Mei 2014 </effective_date> <issued_date> 14 Mei 2014 </issued_date> <replaced_reg> '13/22/PBI/2011', '14/25/PBI/2012' </replaced_reg> <related_reg> '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '24/UU/1999', '17/UU/2006', '10/UU/1995' </related_reg> <penalty_list> 'BAB V' </penalty_list>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 3/ 6 / PBI/2001 TENTANG PENCABUTAN SURAT KEPUTUSAN DIREKSI BANK INDONESIA NOMOR 30/138/KEP/DIR TENTANG JUAL BELI TAGIHAN ATAS DASAR SURAT KREDIT BERDOKUMEN DALAM NEGERI KEPADA BANK INDONESIA, SURAT KEPUTUSAN DIREKSI BANK INDONESIA NOMOR 30/193/KEP/DIR TENTANG JUAL BELI DEVISA HASIL EKSPOR UNTUK EKSPORTIR DAN EKSPORTIR TERTENTU, SURAT KEPUTUSAN DIREKSI BANK INDONESIA NOMOR 30/194/KEP/DIR TENTANG JUAL BELI DEVISA HASIL EKSPOR YANG AKAN DATANG UNTUK EKSPORTIR TERTENTU, DAN SURAT KEPUTUSAN DIREKSI BANK INDONESIA NOMOR 31/187/KEP/DIR TENTANG PENJAMINAN DAN ATAU PEMBIAYAAN LETTER OF CREDIT MELALUI PENEMPATAN DANA BANK INDONESIA PADA BANK ASING GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. Bahwa dalam rangka mendorong ekspor nasional dan menyediakan likuiditas kepada bank, Bank Indonesia memberikan fasilitas penjaminan dan pembiayaan; b. Bahwa dengan diberlakukannya Undang-Undang No.23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia, Bank Indonesia tidak diperkenankan untuk menyediakan fasilitas pembiayaan kecuali untuk mengatasi kesulitan jangka pendek perbankan dengan disertai oleh agunan yang berkualitas tinggi dan mudah dicairkan; c. Bahwa mengingat dalam fasilitas penjaminan dan pembiayaan yang disediakan Bank Indonesia tersebut terdapat unsur pemberian kredit maka dipandang perlu untuk mencabut ketentuan-ketentuan yang mengaturnya; Mengingat : ………. - 2 - Mengingat : Undang-undang Nomor 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843); MEMUTUSKAN : Menetapkan : PENCABUTAN SURAT KEPUTUSAN DIREKSI BANK INDONESIA NOMOR 30/138/KEP/DIR TENTANG JUAL BELI TAGIHAN ATAS DASAR SURAT KREDIT BERDOKUMEN DALAM NEGERI KEPADA BANK INDONESIA, SURAT KEPUTUSAN DIREKSI BANK INDONESIA NOMOR 30/193/KEP/DIR TENTANG JUAL BELI DEVISA HASIL EKSPOR UNTUK EKSPORTIR DAN EKSPORTIR TERTENTU, SURAT KEPUTUSAN DIREKSI BANK INDONESIA NOMOR 30/194/KEP/DIR TENTANG JUAL BELI DEVISA HASIL EKSPOR YANG AKAN DATANG UNTUK EKSPORTIR TERTENTU, DAN SURAT KEPUTUSAN DIREKSI BANK INDONESIA NOMOR 31/187/KEP/DIR TENTANG PENJAMINAN DAN ATAU PEMBIAYAAN LETTER OF CREDIT MELALUI PENEMPATAN DANA BANK INDONESIA PADA BANK ASING. Pasal 1 Mencabut dan menyatakan tidak berlaku : a. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 30/138/KEP/DIR tentang Jual Beli Tagihan Atas Dasar Surat Kredit Berdokumen Dalam Negeri Kepada Bank Indonesia; b. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 30/193/KEP/DIR tentang Jual Beli Devisa Hasil Ekspor Untuk Eksportir Dan Eksportir Tertentu; c. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 30/194/KEP/DIR tentang Jual Beli Devisa Hasil Ekspor Yang Akan Datang Untuk Eksportir Tertentu; d. Surat Keputusan ………. - 3 - d. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 31/187/KEP/DIR tentang Penjaminan Dan Atau Pembiayaan Letter Of Credit Melalui Penempatan Dana Bank Indonesia Pada Bank Asing. Pasal 2 Fasilitas penjaminan dan pembiayaan Bank Indonesia sebagaimana diatur dalam Surat Keputusan Direksi tersebut pada pasal 1 yang masih berjalan dan belum jatuh tempo dan yang sudah jatuh tempo namun belum diselesaikan, masih mengacu pada ketentuan – ketentuan dimaksud sampai dengan fasilitas yang diberikan dilunasi oleh bank. Pasal 3 Peraturan Bank Indonesia ini berlaku pada tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 2 April 2001 GUBERNUR BANK INDONESIA SYAHRIL SABIRIN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2001 NOMOR 31 DLN.
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 3/6/PBI/2001 </reg_id> <reg_title> PENCABUTAN SURAT KEPUTUSAN DIREKSI BANK INDONESIA NOMOR 30/138/KEP/DIR TENTANG JUAL BELI TAGIHAN ATAS DASAR SURAT KREDIT BERDOKUMEN DALAM NEGERI KEPADA BANK INDONESIA, SURAT KEPUTUSAN DIREKSI BANK INDONESIA NOMOR 30/193/KEP/DIR TENTANG JUAL BELI DEVISA HASIL EKSPOR UNTUK EKSPORTIR DAN EKSPORTIR TERTENTU, SURAT KEPUTUSAN DIREKSI BANK INDONESIA NOMOR 30/194/KEP/DIR TENTANG JUAL BELI DEVISA HASIL EKSPOR YANG AKAN DATANG UNTUK EKSPORTIR TERTENTU, DAN SURAT KEPUTUSAN DIREKSI BANK INDONESIA NOMOR 31/187/KEP/DIR TENTANG PENJAMINAN DAN ATAU PEMBIAYAAN LETTER OF CREDIT MELALUI PENEMPATAN DANA BANK INDONESIA PADA BANK ASING </reg_title> <set_date> 2 April 2001 </set_date> <effective_date> 2 April 2001 </effective_date> <replaced_reg> '30/194/KEP/DIR|SKDIR-BI', '30/193/KEP/DIR|SKDIR-BI', '30/138/KEP/DIR|SKDIR-BI', '31/187/KEP/DIR|SKDIR-BI' </replaced_reg> <related_reg> '23/UU/1999' </related_reg>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 10/ 19 /PBI/2008 TENTANG GIRO WAJIB MINIMUM BANK UMUM PADA BANK INDONESIA DALAM RUPIAH DAN VALUTA ASING DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa dampak krisis ekonomi global berpotensi menimbulkan kekeringan likuiditas keuangan dan perbankan; b. bahwa untuk mengatasi kekeringan likuiditas, Bank Indonesia perlu menempuh beberapa kebijakan pelonggaran likuiditas untuk meminimalkan risiko yang dapat mempengaruhi stabilitas; c. bahwa pengaturan likuiditas perbankan antara lain dilakukan melalui penetapan giro wajib minimum; d. bahwa sehubungan dengan pertimbangan pada huruf a, huruf b, dan huruf c, dipandang perlu untuk mengatur kembali ketentuan mengenai giro wajib minimum pada Bank Indonesia dalam rupiah dan valuta asing dalam suatu Peraturan Bank Indonesia; Mengingat: … - 2 - Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); 2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3843) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4357); M E M U T U S K A N: Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG GIRO WAJIB MINIMUM BANK UMUM PADA BANK INDONESIA DALAM RUPIAH DAN VALUTA ASING. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan: 1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang … - 3 - Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, termasuk kantor cabang bank asing, yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional; 2. Bank Devisa adalah Bank yang memperoleh surat penunjukan dari Bank Indonesia untuk dapat melakukan kegiatan usaha perbankan dalam valuta asing; 3. Dana Pihak Ketiga Bank, untuk selanjutnya disebut DPK, adalah kewajiban Bank kepada penduduk dan bukan penduduk dalam rupiah dan valuta asing; 4. Rekening Giro adalah rekening pihak eksternal tertentu di Bank Indonesia yang merupakan sarana bagi penatausahaan transaksi dari simpanan yang penarikannya dapat dilakukan setiap saat; 5. Rekening Giro dalam Rupiah, yang untuk selanjutnya disebut Rekening Giro Rupiah, adalah Rekening Giro dalam mata uang rupiah yang penarikannya dapat dilakukan dengan menggunakan cek Bank Indonesia, bilyet giro Bank Indonesia, atau sarana lainnya sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku mengenai hubungan rekening giro antara Bank Indonesia dengan pihak ekstern; 6. Rekening Giro dalam valuta asing, yang untuk selanjutnya disebut Rekening Giro Valas, adalah Rekening Giro dalam valuta asing yang penarikannya dapat dilakukan dengan cara pemindahbukuan atau sarana lainnya sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku mengenai hubungan rekening giro antara Bank Indonesia dengan pihak ekstern; 7. Giro Wajib Minimum (statutory reserve), atau yang untuk selanjutnya disebut GWM, adalah simpanan minimum yang harus dipelihara oleh Bank dalam bentuk saldo Rekening Giro pada Bank Indonesia yang besarnya ditetapkan oleh Bank Indonesia sebesar persentase tertentu dari DPK; 8. Jakarta … - 4 - 8. Jakarta Interbank Offered Rate, yang untuk selanjutnya disebut JIBOR, adalah suku bunga antar bank untuk berbagai jangka waktu yang ditawarkan oleh bank-bank tertentu di Jakarta. BAB II PEMENUHAN GIRO WAJIB MINIMUM Pasal 2 (1) Bank wajib memenuhi GWM dalam rupiah. (2) Bank Devisa selain wajib memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga wajib memenuhi GWM dalam valuta asing. Pasal 3 GWM dalam rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) ditetapkan sebesar 7,5% (tujuh koma lima persen) dari DPK dalam rupiah. Pasal 4 GWM dalam valuta asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) ditetapkan sebesar 1% (satu persen) dari DPK dalam valuta asing. Pasal 5 Persentase GWM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan Pasal 4 dapat disesuaikan dari waktu ke waktu dengan mempertimbangkan kondisi perekonomian dan arah kebijakan Bank Indonesia. BAB III … - 5 - BAB III REKENING GIRO BANK PADA BANK INDONESIA Pasal 6 (1) Setiap Bank wajib memelihara Rekening Giro Rupiah pada Bank Indonesia. (2) Bank Devisa selain wajib memelihara Rekening Giro Rupiah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga wajib memelihara Rekening Giro Valas pada Bank Indonesia. (3) Tata cara pembukaan, penyetoran, penarikan dan penutupan Rekening Giro Rupiah dan Rekening Giro Valas Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), ditetapkan berdasarkan ketentuan Bank Indonesia yang berlaku mengenai hubungan rekening giro antara Bank Indonesia dengan pihak ekstern. BAB IV PERHITUNGAN GIRO WAJIB MINIMUM Pasal 7 (1) Bank wajib memenuhi GWM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan Pasal 4 secara harian. (2) Pemenuhan GWM sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung dengan membandingkan saldo Rekening Giro Bank pada Bank Indonesia setiap hari dalam 1 (satu) masa laporan terhadap rata-rata harian total DPK dalam 1 (satu) masa laporan pada 2 (dua) masa laporan sebelumnya. (3) DPK dalam rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan DPK dalam valuta asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 diperoleh dari Laporan DPK dalam Rupiah dan Valuta Asing pada Laporan Berkala Bank Umum sesuai … - 6 - sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia mengenai laporan berkala bank umum. Pasal 8 (1) Saldo Rekening Giro Bank pada Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) masing-masing terdiri dari: a. saldo Rekening Giro Rupiah Bank pada Bank Indonesia; b. saldo Rekening Giro Valas Bank pada Bank Indonesia. (2) Informasi mengenai saldo Rekening Giro Bank pada Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperoleh dari sistem akunting Bank Indonesia. Pasal 9 (1) DPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan Pasal 4 terdiri dari: a. rata-rata harian total DPK dalam rupiah pada seluruh kantor Bank di Indonesia; b. rata-rata harian total DPK dalam valuta asing pada seluruh kantor Bank di Indonesia. (2) DPK dalam rupiah meliputi kewajiban dalam rupiah kepada pihak ketiga bukan bank, baik kepada penduduk maupun bukan penduduk, yang masing- masing terdiri dari: a. giro; b. tabungan; c. simpanan berjangka/deposito; dan d. kewajiban-kewajiban lainnya. (3) DPK … - 7 - (3) DPK dalam valuta asing meliputi kewajiban dalam valuta asing kepada pihak ketiga, termasuk bank di Indonesia, baik kepada penduduk maupun bukan penduduk, yang masing-masing terdiri dari: a. giro; b. tabungan; c. simpanan berjangka/deposito; dan d. kewajiban-kewajiban lainnya. BAB V PELAPORAN Pasal 10 Bank wajib menyampaikan laporan mengenai DPK dan pos-pos neraca mingguan, dalam rupiah dan valuta asing, secara berkala kepada Bank Indonesia sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai laporan berkala bank umum. BAB VI JASA GIRO Pasal 11 (1) Bank yang memenuhi GWM dalam rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 akan diberikan jasa giro terhadap bagian tertentu dari GWM. (2) Bagian tertentu dari GWM dalam rupiah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebesar 2,5% (dua koma lima persen) dari rata-rata harian total DPK dalam rupiah. (3) Jasa … - 8 - (3) Jasa giro sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setiap hari kerja dengan tingkat bunga sebesar tingkat bunga efektif tahunan, yaitu sebesar BI Rate yang berlaku dikurangi dengan 600 basis points. (4) Pemberian jasa giro dan atau tingkat bunga jasa giro sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) dapat disesuaikan dengan mempertimbangkan kondisi perekonomian dan arah kebijakan Bank Indonesia. (5) Penyesuaian tingkat bunga jasa giro sebagaimana dimaksud pada ayat (4), perhitungan dan tata cara pembayaran jasa giro diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 12 Pemberian jasa giro sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 tidak berlaku bagi: a. bagian saldo Rekening Giro Rupiah Bank yang melebihi kewajiban pemenuhan GWM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3; b. bagian saldo Rekening Giro Rupiah Bank yang tidak memenuhi kewajiban GWM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, termasuk Bank yang mendapatkan insentif kelonggaran pemenuhan kewajiban GWM sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai insentif dalam rangka konsolidasi perbankan. BAB VII SANKSI Pasal 13 (1) Bank yang melanggar kewajiban pemenuhan GWM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar 125% … - 9 - 125% (seratus dua puluh lima persen) dari rata-rata suku bunga jangka waktu 1 (satu) hari overnight dari JIBOR pada hari terjadinya pelanggaran, terhadap kekurangan GWM dalam rupiah, untuk setiap hari pelanggaran. (2) Bank yang melanggar kewajiban pemenuhan GWM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar 0,04% (nol koma nol empat persen) per hari kerja, yang dihitung dari selisih antara saldo harian Rekening Giro Valas Bank pada Bank Indonesia yang wajib dipenuhi dengan saldo harian Rekening Giro Valas Bank yang dicatat pada sistem akunting Bank Indonesia. (3) Sanksi kewajiban membayar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibayarkan dalam valuta rupiah dengan menggunakan kurs transaksi Bank Indonesia pada hari terjadinya pelanggaran. (4) Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan bagi Bank yang mendapatkan insentif kelonggaran pemenuhan kewajiban GWM rupiah sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai insentif dalam rangka konsolidasi perbankan. Pasal 14 Selain dikenakan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, Bank yang tidak memenuhi kewajiban pemeliharaan GWM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan atau Pasal 4, dapat dikenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998. BAB VIII … - 10 - BAB VIII KETENTUAN LAIN-LAIN Pasal 15 (1) Pemberian jasa giro sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 atau pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan dengan pengkreditan atau pendebetan Rekening Giro Rupiah Bank pada Bank Indonesia. (2) Dalam hal saldo Rekening Giro Rupiah tidak mencukupi untuk pendebetan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) maka atas kekurangan tersebut juga dikenakan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1). BAB IX PENUTUP Pasal 16 Dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini maka Peraturan Bank Indonesia No. 6/15/PBI/2004 tanggal 28 Juni 2004 tentang Giro Wajib Minimum Bank Umum Pada Bank Indonesia Dalam Rupiah Dan Valuta Asing sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Bank Indonesia No. 7/49/PBI/2005 tanggal 29 November 2005 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 17 (1) Ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang berkaitan dengan kewajiban pemenuhan GWM dalam valuta asing mulai berlaku pada tanggal ditetapkan dan berlaku surut sejak tanggal 13 Oktober 2008. (2) Ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang berkaitan dengan kewajiban pemenuhan GWM dalam rupiah mulai berlaku pada tanggal 24 Oktober 2008. Agar … - 11 - Agar setiap orang mengetahuinya memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 14 Oktober 2008 GUBERNUR BANK INDONESIA, BOEDIONO Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 14 Oktober 2008 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA ANDI MATTALATA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2008 NOMOR 145 DPNP/DKM PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 10/ 19 /PBI/2008 TENTANG GIRO WAJIB MINIMUM BANK UMUM PADA BANK INDONESIA DALAM RUPIAH DAN VALUTA ASING I. UMUM Terciptanya stabilitas moneter merupakan hal yang sangat diperlukan dalam rangka mewujudkan kondisi perekonomian yang stabil. Untuk menciptakan stabilitas moneter diperlukan langkah-langkah untuk mengatasi dampak krisis ekonomi global yang berpotensi menimbulkan kekeringan likuiditas keuangan dan perbankan. Salah satu pendekatan yang dapat digunakan oleh Bank Indonesia untuk mencapai stabilitas moneter adalah melalui pengendalian likuiditas perbankan. Dalam melakukan pengendalian likuiditas perbankan, salah satu piranti moneter yang dapat digunakan adalah melalui penetapan kebijakan giro wajib minimum yang merupakan perbandingan antara saldo giro bank yang wajib ditempatkan pada Bank Indonesia terhadap dana pihak ketiga yang dimiliki bank. Sejalan dengan hal tersebut di atas, dengan mempertimbangkan kondisi perekonomian, kondisi likuiditas perbankan, dan arah kebijakan Bank Indonesia dewasa ini dipandang perlu untuk mengatur kembali ketentuan mengenai giro wajib minimum. II. PASAL … - 2 - II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Cukup jelas. Pasal 3 Contoh perhitungan: Bank A memiliki rata-rata harian total DPK dalam rupiah dalam masa laporan sejak tanggal 8 sampai dengan tanggal 15 bulan Januari sebesar Rp55.000.000.000.000,00 (lima puluh lima trilyun rupiah). GWM harian untuk masa laporan sejak tanggal 24 sampai dengan tanggal akhir bulan Januari adalah sebesar : 7,5% x Rp55.000.000.000.000,00 = Rp4.125.000.000.000,00 (empat trilyun seratus dua puluh lima milyar rupiah). Pasal 4 Contoh perhitungan: Bank A memiliki rata-rata harian total DPK dalam valuta asing dalam masa laporan sejak tanggal 8 sampai dengan tanggal 15 bulan Januari sebesar USD100.000.000,00 (seratus juta US dollar). GWM harian untuk masa laporan sejak tanggal 24 sampai dengan tanggal akhir bulan Januari adalah sebesar : 1% x USD100.000.000,00 = USD1.000.000,00 (satu juta US dollar). Pasal 5 … - 3 - Pasal 5 Cukup jelas. Pasal 6 Cukup jelas. Pasal 7 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Formula perhitungan persentase GWM adalah sebagai berikut: Jumlah harian saldo Rekening Giro Bank yang tercatat di Bank Indonesia setiap hari dalam 1 (satu) masa laporan x 100% Rata-rata harian jumlah DPK Bank dalam 1 (satu) masa laporan pada 2 (dua) masa laporan sebelumnya Persentase GWM Bank dalam rupiah atau valuta asing sebagaimana dimaksud di atas didasarkan pada DPK Bank sebagai berikut: a. GWM harian untuk masa laporan sejak tanggal 1 sampai dengan 7 adalah sebesar persentase GWM yang ditetapkan dari rata-rata DPK dalam masa laporan sejak tanggal 16 sampai dengan tanggal 23 bulan sebelumnya; b. GWM harian untuk masa laporan sejak tanggal 8 sampai dengan tanggal 15 adalah persentase GWM yang ditetapkan dari rata-rata DPK dalam masa laporan sejak tanggal 24 sampai dengan akhir bulan sebelumnya; c. GWM … - 4 - c. GWM harian untuk masa laporan sejak tanggal 16 sampai dengan tanggal 23 adalah sebesar persentase GWM yang ditetapkan dari rata-rata DPK dalam masa laporan sejak tanggal 1 sampai dengan tanggal 7 bulan yang sama; d. GWM harian untuk masa laporan sejak tanggal 24 sampai dengan tanggal akhir bulan adalah sebesar persentase GWM yang ditetapkan dari rata-rata DPK dalam masa laporan sejak tanggal 8 sampai dengan tanggal 15 bulan yang sama. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 8 Ayat (1) Bagi Bank umum konvensional yang juga melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, saldo Rekening Giro Bank tidak termasuk saldo Rekening Giro unit usaha syariah. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 9 Ayat (1) Bagi Bank umum konvensional yang juga melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, dalam menentukan DPK dalam rupiah dan DPK dalam valuta asing tidak termasuk DPK yang dilaporkan unit usaha syariah. Ayat (2) … - 5 - Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud dengan giro dalam rupiah adalah komponen giro sebagaimana dimaksud dalam penjelasan komponen Dana Pihak Ketiga Dalam Rupiah dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku mengenai laporan berkala bank umum. Huruf b Yang dimaksud dengan tabungan dalam rupiah adalah komponen tabungan sebagaimana dimaksud dalam penjelasan komponen Dana Pihak Ketiga Dalam Rupiah dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku mengenai laporan berkala bank umum. Huruf c Yang dimaksud dengan simpanan berjangka/deposito dalam rupiah adalah komponen simpanan berjangka sebagaimana dimaksud dalam penjelasan komponen Dana Pihak Ketiga Dalam Rupiah dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku mengenai laporan berkala bank umum. Huruf d Yang dimaksud dengan kewajiban-kewajiban lainnya dalam rupiah adalah kewajiban-kewajiban lainnya kepada pihak ketiga bukan bank sebagaimana dimaksud dalam penjelasan komponen Dana Pihak Ketiga Dalam Rupiah dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku mengenai laporan berkala bank umum. Ayat (3) … - 6 - Ayat (3) Huruf a Yang dimaksud dengan giro dalam valuta asing adalah komponen giro sebagaimana dimaksud dalam penjelasan komponen Dana Pihak Ketiga Dalam Valuta Asing dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku mengenai laporan berkala bank umum. Huruf b Yang dimaksud dengan tabungan dalam valuta asing adalah komponen tabungan sebagaimana dimaksud dalam penjelasan komponen Dana Pihak Ketiga Dalam Valuta Asing dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku mengenai laporan berkala bank umum. Huruf c Yang dimaksud dengan simpanan berjangka/deposito dalam valuta asing adalah komponen simpanan berjangka sebagaimana dimaksud dalam penjelasan komponen Dana Pihak Ketiga Dalam Valuta Asing dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku mengenai laporan berkala bank umum Huruf d Yang dimaksud dengan kewajiban-kewajiban lainnya dalam valuta asing adalah kewajiban-kewajiban lainnya kepada pihak ketiga termasuk bank sebagaimana dimaksud dalam penjelasan komponen Dana Pihak Ketiga Dalam Valuta Asing dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku mengenai laporan berkala bank umum. Pasal 10 … - 7 - Pasal 10 Cukup jelas. Pasal 11 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Contoh perhitungan: Bank A memiliki rata-rata harian total DPK dalam rupiah dalam masa laporan sejak tanggal 8 sampai dengan tanggal 15 bulan Januari sebesar Rp55.000.000.000.000,00 (lima puluh lima trilyun rupiah). Bagian tertentu dari GWM yang diberikan jasa giro adalah sebesar 2,5% (dua koma lima persen) dari Rp55.000.000.000.000,00 (lima puluh lima trilyun rupiah) yaitu sebesar Rp1.375.000.000.000,00 (satu trilyun tiga ratus tujuh puluh lima milyar rupiah). Ayat (3) BI Rate yang berlaku adalah BI Rate pada hari yang sama dengan perhitungan bagian tertentu dari pemenuhan kewajiban GWM dalam rupiah yang diberikan jasa giro. Perhitungan bunga efektif tahunan (effective annual rate) ditentukan berdasarkan periode compounding harian selama 360 (tiga ratus enam puluh) hari. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 12 … - 8 - Pasal 12 Huruf a Contoh : Bank A memiliki rata-rata harian total DPK dalam rupiah dalam masa laporan sejak tanggal 8 sampai dengan tanggal 15 bulan Januari sebesar Rp55.000.000.000.000,00 (lima puluh lima trilyun rupiah). GWM harian yang wajib dipenuhi untuk masa laporan sejak tanggal 24 sampai dengan tanggal akhir bulan Januari adalah sebesar: 7,5% x Rp55.000.000.000.000,00 = Rp4.125.000.000.000,00 (empat trilyun seratus dua puluh lima milyar rupiah). Saldo Rekening Giro Rupiah Bank A pada Bank Indonesia pada tanggal 24 Januari adalah sebesar Rp6.050.000.000.000,00 (enam trilyun lima puluh milyar rupiah) atau 11% (sebelas persen) dari rata-rata harian total DPK dalam rupiah sehingga terdapat kelebihan sebesar 3,5% (tiga koma lima persen) dari rata-rata harian total DPK dalam rupiah. Dalam hal ini bagi Bank A jasa giro pada tanggal 24 Januari tetap hanya diberikan terhadap 2,5% dari rata-rata harian total DPK dalam rupiah, yaitu terhadap Rp1.375.000.000.000,00 (satu trilyun tiga ratus tujuh puluh lima milyar rupiah). Huruf b Contoh perhitungan: Bank A memiliki rata-rata harian total DPK dalam rupiah dalam masa laporan sejak tanggal 8 sampai dengan 15 bulan Januari sebesar Rp55.000.000.000.000,00 (lima puluh lima trilyun rupiah). GWM … - 9 - GWM harian yang wajib dipenuhi untuk masa laporan sejak tanggal 24 sampai dengan tanggal akhir bulan Januari adalah sebesar: 7,5% x Rp55.000.000.000.000,00 = Rp4.125.000.000.000,00 (empat trilyun seratus dua puluh lima milyar rupiah). Saldo Rekening Giro Rupiah Bank A pada Bank Indonesia pada tanggal 24 Januari adalah sebesar Rp3.575.000.000.000,00 (tiga trilyun lima ratus tujuh puluh lima milyar rupiah), sehingga terdapat kekurangan sebesar Rp550.000.000.000,00 (lima ratus lima puluh milyar rupiah). Dalam hal ini bagi Bank A jasa giro pada tanggal 24 Januari tidak diberikan karena Bank A tidak memenuhi kewajiban GWM, termasuk apabila Bank A mendapat insentif kelonggaran pemenuhan kewajiban GWM rupiah. Pasal 13 Ayat (1) Yang dimaksud dengan hari pelanggaran adalah hari kerja. Contoh perhitungan sanksi: Bank A memiliki rata-rata harian DPK dalam rupiah dalam masa laporan sejak tanggal 8 sampai dengan 15 bulan Januari sebesar Rp55.000.000.000.000,00 (lima puluh lima trilyun rupiah). GWM harian yang wajib dipenuhi untuk masa laporan sejak tanggal 24 sampai dengan tanggal akhir bulan Januari adalah sebesar : 7,5% (tujuh koma lima persen) dari Rp55.000.000.000.000,00 (lima puluh lima trilyun rupiah) yaitu sebesar Rp4.125.000.000.000,00 (empat trilyun seratus dua puluh lima milyar rupiah). Saldo … - 10 - Saldo Rekening Giro Rupiah Bank A pada Bank Indonesia pada tanggal 24 Januari adalah sebesar Rp4.000.000.000.000,00, (empat trilyun rupiah) sehingga terdapat kekurangan pemenuhan GWM sebesar Rp125.000.000.000,00 (seratus dua puluh lima milyar rupiah). Suku Bunga JIBOR pada tanggal 24 Januari adalah sebesar 9% (sembilan persen). Perhitungan sanksi kewajiban membayar atas pelanggaran GWM rupiah untuk Bank A pada tanggal 24 Januari adalah sebagai berikut: Kekurangan GWM x 125% x suku bunga JIBOR x hari kerja 360 x 100 yaitu Rp125.000.000.000,00 x 1,25 x 9 x 1 360 x 100 Ayat (2) Contoh perhitungan: Bank A memiliki rata-rata harian total DPK dalam valuta asing dalam masa laporan sejak tanggal 8 sampai dengan tanggal 15 bulan Januari sebesar USD100.000.000,00 (seratus juta US dollar). GWM harian untuk masa laporan sejak tanggal 24 sampai dengan tanggal akhir bulan Januari adalah sebesar : 1% x USD100.000.000,00 = USD1.000.000,00 (satu juta US dollar) Saldo Rekening Giro Valas Bank A pada Bank Indonesia pada tanggal 24 Januari adalah sebesar USD900.000,00 (sembilan ratus ribu US dollar) sehingga terdapat kekurangan pemenuhan GWM sebesar USD100.000,00 (seratus ribu US dollar). Perhitungan … - 11 - Perhitungan sanksi kewajiban membayar atas pelanggaran GWM dalam valuta asing untuk Bank A pada tanggal 24 Januari adalah sebagai berikut: 0.04% x (USD1.000.000,00 – USD900.000,00) = USD40,00 (empat puluh US dollar). Ayat (3) Yang dimaksud dengan kurs transaksi adalah kurs jual ditambah dengan kurs beli dibagi dua. Dengan sanksi kewajiban membayar sebesar USD40,00 (empat puluh US dollar) sebagaimana contoh perhitungan pada ayat (2) di atas dan asumsi kurs transaksi Bank Indonesia pada hari terjadinya pelanggaran adalah Rp9.700,00/USD (sembilan ribu tujuh ratus rupiah per US dollar), maka sanksi kewajiban membayar yang harus dibayarkan adalah sebesar: 40 x Rp9.700,00 = Rp388.000,00 (tiga ratus delapan puluh delapan ribu rupiah) Ayat (4) Sesuai ketentuan Bank Indonesia mengenai insentif dalam rangka konsolidasi perbankan, penurunan pemenuhan GWM dalam rupiah bagi Bank yang melakukan merger atau konsolidasi dikecualikan dari pengenaan sanksi apabila GWM yang dimiliki tidak kurang dari 6,5% (yaitu 7,5% - 1%) dari DPK dalam rupiah. Pasal 14 Cukup jelas Pasal 15 … - 12 - Pasal 15 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Contoh perhitungan sanksi: Bank A memiliki rata-rata harian total DPK dalam rupiah dalam masa laporan sejak tanggal 8 sampai dengan tanggal 15 bulan Januari sebesar Rp55.000.000.000.000,00 (lima puluh lima trilyun rupiah). Berdasarkan data tersebut, GWM harian untuk masa laporan sejak tanggal 24 sampai dengan tanggal akhir bulan Januari adalah sebesar Rp4.125.000.000.000,00 (empat trilyun seratus dua puluh lima milyar rupiah). Saldo Rekening Giro Rupiah Bank A pada Bank Indonesia pada tanggal 24 Januari adalah sebesar Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah), terdapat kekurangan sebesar Rp4.124.000.000.000,00 (empat trilyun seratus dua puluh empat milyar rupiah). Suku Bunga JIBOR pada tanggal 24 Januari adalah sebesar 9% (sembilan persen). Perhitungan sanksi kewajiban membayar atas pelanggaran GWM rupiah untuk Bank A pada tanggal 24 Januari adalah sebagai berikut: Kekurangan GWM x 125% x suku bunga JIBOR x hari kerja 360 x 100 yaitu Rp4.124.000.000.000,00 x 1,25 x 9 x 1 360 x 100 yaitu sebesar Rp1.288.750.000,00 (satu milyar dua ratus delapan puluh delapan juta tujuh ratus lima puluh ribu rupiah). Untuk … - 13 - Untuk pendebetan sanksi tersebut terdapat kekurangan saldo Rekening Giro Bank sebesar Rp288.750.000,00 (Rp1.000.000.000,00 – Rp1.288.750.000,00). Untuk kekurangan saldo Rekening Giro Bank sebesar Rp288.750.000,00 tersebut dikenakan sanksi sebesar: Kekurangan saldo x 125% x suku bunga JIBOR x hari kerja 360 x 100 yaitu Rp288.750.000,00 x 125% x 9 x 1 360 x 100 Pasal 16 Cukup jelas. Pasal 17 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR DPNP/DKM 4904
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 10/19/PBI/2008 </reg_id> <reg_title> GIRO WAJIB MINIMUM BANK UMUM PADA BANK INDONESIA DALAM RUPIAH DAN VALUTA ASING </reg_title> <set_date> 14 Oktober 2008 </set_date> <issued_date> 14 Oktober 2008 </issued_date> <replaced_reg> '7/49/PBI/2005', '6/15/PBI/2004' </replaced_reg> <related_reg> '23/UU/1999', '3/UU/2004', '10/UU/1998', '7/UU/1992' </related_reg> <penalty_list> 'BAB VII', 'BAB VIII' </penalty_list>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 7/ 37 /PBI/2005 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 5/13/PBI/2003 TENTANG POSISI DEVISA NETO BANK UMUM GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa untuk mendukung pertumbuhan perekonomian nasional, perlu diciptakan dan dipelihara stabilitas nilai tukar; b. bahwa salah satu upaya yang perlu dilakukan untuk menciptakan dan memelihara stabilitas nilai tukar adalah mengatur mengenai pengelolaan risiko transaksi valuta asing oleh perbankan; c. bahwa salah satu faktor yang perlu diperhatikan dalam pengelolaan risiko transaksi valuta asing oleh perbankan adalah besaran posisi devisa neto yang diperkenankan dipelihara oleh bank baik ditinjau dari metode perhitungan maupun dari sisi saat perhitungan posisi devisa neto; d. bahwa sehubungan dengan itu dipandang perlu untuk melakukan perubahan terhadap Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/13/PBI/2003 tentang Posisi Devisa Neto Bank Umum sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/20/PBI/2004; Mengingat … 2 Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); 2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357); 3. Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/13/PBI/2003 tentang Posisi Devisa Neto Bank Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4307) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/20/PBI/2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 61, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4395); MEMUTUSKAN … 3 M E M U T U S K A N: Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 5/13/PBI/2003 TENTANG POSISI DEVISA NETO BANK UMUM. Pasal I Beberapa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/13/PBI/2003 tentang Posisi Devisa Neto Bank Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4307) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/20/PBI/2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 61, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4395) diubah sebagai berikut: 1. Ketentuan Pasal 1 angka (3) diubah dan angka (4) dihapus, sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut: Pasal 1 1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 yang telah memperoleh surat penunjukan dari Bank Indonesia untuk melakukan kegiatan usaha perbankan dalam valuta asing, termasuk kantor cabang bank asing. 2. Modal … 4 2. Modal adalah modal inti dan modal pelengkap sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku mengenai Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum pada posisi akhir bulan sebelum bulan laporan. 3. Kurs Penutupan adalah kurs penutupan pada pukul 16.00 WIB setiap hari yang dapat dilihat pada informasi Laporan Harian Bank Umum yang dikelola Bank Indonesia. 4. Dihapus 2. Diantara Pasal 1 dan Pasal 2 disisipkan 1 (satu) pasal baru menjadi Pasal 1A yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 1A Bank wajib mengelola dan memelihara Posisi Devisa Neto sepanjang hari berdasarkan prinsip kehati-hatian. 3. Ketentuan Pasal 2 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 2 (1) Bank wajib mengelola dan memelihara Posisi Devisa Neto pada akhir hari kerja dengan ketentuan sebagai berikut: a. secara keseluruhan paling tinggi 20% (dua puluh perseratus) dari Modal; dan b. untuk neraca paling tinggi 20% (dua puluh perseratus) dari Modal. (2) Posisi Devisa Neto secara keseluruhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a adalah angka yang merupakan penjumlahan dari nilai absolut untuk jumlah dari: a. selisih bersih aktiva dan pasiva dalam neraca untuk setiap valuta asing; ditambah dengan b. selisih … 5 b. selisih bersih tagihan dan kewajiban baik yang merupakan komitmen maupun kontinjensi dalam rekening administratif untuk setiap valuta asing, yang semuanya dinyatakan dalam rupiah. (3) Posisi Devisa Neto untuk neraca sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b adalah selisih bersih total aktiva dan total pasiva dalam valuta asing yang semuanya dinyatakan dalam rupiah. (4) Aktiva valuta asing sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan ayat (3) terdiri dari kas, emas, giro (termasuk giro pada Bank Indonesia), deposit on call, deposito berjangka, sertifikat deposito, margin deposit, surat berharga, kredit yang diberikan, nilai bersih wesel ekspor yang telah diambilalih, rekening antar kantor aktiva dan tagihan lainnya, dalam valuta asing baik kepada penduduk maupun bukan penduduk. (5) Pasiva valuta asing sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan ayat (3) terdiri dari giro, deposit on call, deposito berjangka, sertifikat deposito, margin deposit, pinjaman yang diterima, jaminan impor, rekening antar kantor pasiva, pendapatan komprehensif lainnya dari surat-surat berharga valuta asing selain saham dan kewajiban lainnya dalam valuta asing baik terhadap penduduk maupun bukan penduduk. (6) Rekening administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b adalah rekening dalam valuta asing yang dapat menimbulkan tagihan dan atau kewajiban di masa mendatang yang merupakan komitmen dan kontinjensi yang mencakup spot, bank garansi maupun L/C yang dipastikan menjadi kewajiban Bank setelah dikurangi margin deposit, serta transaksi derivatif antara lain transaksi forward, option dan future maupun … 6 maupun produk-produk lain yang sejenis baik terhadap penduduk maupun bukan penduduk. 4. Ketentuan Pasal 3 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 3 (1) Selain mengelola dan memelihara Posisi Devisa Neto pada akhir hari kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Bank wajib mengelola dan memelihara Posisi Devisa Neto setiap saat paling tinggi 20% (dua puluh perseratus) dari Modal. (2) Perhitungan Posisi Devisa Neto setiap saat menggunakan Kurs Penutupan pada hari kerja sebelumnya. (3) Posisi Devisa Neto setiap saat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah penjumlahan antara Posisi Devisa Neto secara keseluruhan akhir hari kerja sebelumnya dengan posisi terbuka tresuri setiap saat pada hari kerja berjalan. (4) Posisi terbuka tresuri setiap saat pada hari kerja berjalan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan selisih bersih antara transaksi beli dan jual valuta asing yang terkait dengan kegiatan tresuri Bank setiap saat pada hari berjalan. 5. Ketentuan Pasal 3A diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 3A Pemeliharaan Posisi Devisa Neto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dihitung secara gabungan yaitu: a. bagi Bank yang berbadan hukum Indonesia mencakup seluruh kantor cabang di dalam negeri maupun di luar negeri. b. bagi kantor cabang bank asing mencakup seluruh kantor-kantornya di Indonesia. 6. Ketentuan … 7 6. Ketentuan Pasal 7 ayat (2) dan ayat (3) diubah, sehingga Pasal 7 berbunyi sebagai berikut: Pasal 7 (1) Bank wajib menyampaikan laporan Posisi Devisa Neto akhir hari kerja secara berkala dan benar kepada Bank Indonesia. (2) Tata cara mengenai penyusunan dan penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengacu kepada ketentuan Bank Indonesia yang berlaku tentang Laporan Harian Bank Umum. (3) Bank wajib menyesuaikan Penyusunan Laporan Harian Bank Umum untuk Laporan Posisi Devisa Neto sesuai dengan Peraturan Bank Indonesia ini. 7. Ketentuan Pasal 7A ayat (1) diubah sehingga Pasal 7A berbunyi sebagai berikut: Pasal 7A (1) Bank wajib menatausahakan informasi yang mendukung pemantauan Posisi Devisa Neto setiap saat. (2) Bank Indonesia dapat meminta informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) apabila diperlukan. 8. Ketentuan Pasal 8 ayat (2) dihapus dan ayat (3) diubah, sehingga Pasal 8 berbunyi sebagai berikut: Pasal 8 (1) Bank wajib menyusun laporan Posisi Devisa Neto akhir hari kerja dengan menggunakan Kurs Penutupan. (2) Dihapus (3) Dalam … 8 (3) Dalam hal Kurs Penutupan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk valuta asing tertentu tidak tersedia, Bank dapat menggunakan crossing rate pada waktu yang sama dengan Kurs Penutupan. 9. Ketentuan Pasal 10 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 10 (1) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1A, Pasal 2 ayat (1), Pasal 3 ayat (1), Pasal 6 ayat (4), Pasal 7A ayat (1) dan Pasal 9A dikenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, antara lain berupa: a. teguran tertulis; b. mempengaruhi penilaian tingkat kesehatan Bank; c. pembekuan kegiatan usaha tertentu; d. pencantuman anggota pengurus, pegawai Bank, pemegang saham dalam daftar orang-orang yang dilarang menjadi pemilik dan pengurus Bank; e. pemberhentian pengurus Bank dan selanjutnya menunjuk dan mengangkat pengganti sementara sampai Rapat Umum Pemegang Saham atau Rapat Anggota Koperasi mengangkat pengganti tetap dengan persetujuan Bank Indonesia. (2) Bank yang tidak mematuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 ayat (1) selain dikenakan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), juga dikenakan sanksi berupa kewajiban membayar sebesar Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) setiap hari pelanggaran. Pasal II … 9 Pasal II Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku sejak tanggal 3 Oktober 2005. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 30 September 2005 GUBERNUR BANK INDONESIA BURHANUDDIN ABDULLAH LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2005 NOMOR 92 DPNP/DPD 10 PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 7/ 37 /PBI/2005 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 5/13/PBI/2003 TENTANG POSISI DEVISA NETO BANK UMUM UMUM Dalam rangka mendukung pertumbuhan perekonomian nasional perlu diciptakan dan dipelihara stabilitas nilai tukar yang antara lain dapat dicapai melalui pengaturan besaran posisi devisa neto perbankan. Sehubungan dengan itu, dalam peraturan ini dilakukan beberapa perubahan terhadap ketentuan yang berlaku yaitu dari sisi metode perhitungan posisi devisa neto dan juga sisi saat perhitungan posisi devisa neto yang dimiliki Bank, Dari sisi metode perhitungan, terdapat perubahan perhitungan posisi devisa neto untuk neraca pada akhir hari kerja dari metode gross aggregate position menjadi metode net aggregate position. Dari sisi saat perhitungan, posisi devisa neto tidak hanya diatur pada tengah hari tetapi diatur pula posisi devisa neto setiap saat dengan menggunakan kurs penutupan hari kerja sebelumnya. PASAL … 11 PASAL DEMI PASAL Pasal I Angka 1 Pasal 1 Cukup jelas. Angka 2 Pasal 1A Cukup jelas. Angka 3 Pasal 2 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Sebagai contoh: Bank memiliki: a. total aktiva dalam berbagai valuta asing ekuivalen dalam rupiah sebesar Rp25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah); b. total pasiva dalam berbagai valuta asing ekuivalen dalam rupiah sebesar Rp15.000.000,00 (lima belas juta rupiah); c. Modal … 12 c. Modal sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah), dengan kondisi tersebut, maka Posisi Devisa Neto untuk neraca adalah ((Rp25.000.000,00 Rp15.000.000,00)/ Rp100.000.000,00) x 100% =10% Ayat (4) Nilai aktiva yang diperhitungkan adalah sebesar nilai buku yaitu nilai setelah diperhitungkan dengan penyisihan penghapusan yang dibentuk dalam valuta yang sama. Termasuk dalam pengertian tagihan lainnya antara lain adalah penyertaan dalam valuta asing, aktiva tetap kantor cabang di luar negeri (setelah dikurangi depresiasi), pendapatan bunga yang masih harus diterima (accrued interest), tagihan akseptasi, transaksi reverse repo dan tagihan derivatif. Rekening antar kantor aktiva bagi kantor cabang bank asing adalah seluruh rekening antar kantor aktiva dengan kantor di luar negeri, termasuk yang diperhitungkan dalam komponen modal (Dana Usaha). Ayat (5) Termasuk dalam pengertian kewajiban lainnya antara lain adalah surat berharga yang diterbitkan bank, biaya yang masih harus dibayar (accrued expense), kewajiban akseptasi, transaksi repo dan kewajiban derivatif. Rekening antar kantor pasiva bagi kantor cabang bank asing adalah seluruh rekening antar kantor pasiva dari kantor - kantor di luar negeri, termasuk yang diperhitungkan dalam komponen modal (Dana Usaha). Ayat (6) … – 13 Ayat (6) Nilai rekening administratif yang diperhitungkan adalah sebesar nilai buku, yaitu nilai setelah diperhitungkan dengan penyisihan penghapusan yang dibentuk dalam valuta yang sama. Angka 4 Pasal 3 Ayat (1) Yang dimaksud dengan setiap saat adalah waktu selama Bank beroperasi sampai dengan sebelum akhir hari kerja. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Posisi Devisa Neto secara keseluruhan akhir hari kerja sebelumnya merupakan Posisi Devisa Neto masing- masing valuta asing sebelum diabsolutkan. Contoh: USD Posisi Devisa Neto secara keseluruhan akhir hari kerja sebelumnya Posisi terbuka tresuri setiap saat pada hari kerja berjalan Posisi Devisa Neto Setiap saat 50 (10) 40 Yen Dalam rupiah Total (40) 20 (20) 20 Asumsi Modal = 100, maka Posisi Devisa Neto setiap saat = ( 20 / 100 ) x 100% = 20% Ayat (4) … 14 Ayat (4) Yang dimaksud dengan kegiatan tresuri antara lain transaksi beli dan jual valuta asing yang dilakukan di dealing room. Angka 5 Cukup jelas. Pasal 3A Cukup jelas. Angka 6 Pasal 7 Cukup jelas. Angka 7 Pasal 7A Ayat (1) Informasi yang mendukung antara lain berupa deal conversation, deal confirmation, blotter, dan atau informasi pendukung lainnya. Ayat (2) Cukup jelas. Angka 8 Pasal 8 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Angka 9 … 15 Angka 9 Pasal 10 Ayat (1) Huruf a Termasuk dalam sanksi berupa teguran tertulis adalah pencabutan persetujuan pengecualian posisi struktural sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6. Huruf b sampai dengan huruf e Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal II Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4538 DPNP/DPD
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 7/37/PBI/2005 </reg_id> <reg_title> PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 5/13/PBI/2003 TENTANG POSISI DEVISA NETO BANK UMUM </reg_title> <set_date> 30 September 2005 </set_date> <effective_date> 3 Oktober 2005 </effective_date> <changed_reg> '5/13/PBI/2003' </changed_reg> <extension_of> '6/20/PBI/2004' </extension_of> <related_reg> '6/20/PBI/2004', '23/UU/1999', '3/UU/2004', '7/UU/1992', '5/13/PBI/2003', '10/UU/1998' </related_reg> <penalty_list> 'Pasal I Angka 9 Pasal 10' </penalty_list>
- 2 - PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 22/4/PBI/2020 TENTANG INSENTIF BAGI BANK YANG MEMBERIKAN PENYEDIAAN DANA UNTUK KEGIATAN EKONOMI TERTENTU GUNA MENDUKUNG PENANGANAN DAMPAK PEREKONOMIAN AKIBAT WABAH VIRUS CORONA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk memitigasi dampak meningkatnya risiko ketidakpastian global terhadap perekonomian domestik, Bank Indonesia perlu memberikan respons kebijakan makroprudensial untuk menjaga stabilitas sistem keuangan; b. bahwa mempertimbangkan dampak risiko wabah virus corona yang berpotensi mengganggu aktivitas produksi dalam negeri yang dapat berimbas kepada menurunnya siklus keuangan maka diperlukan penguatan fungsi intermediasi perbankan melalui kebijakan makroprudensial yang akomodatif berupa dukungan terhadap kegiatan ekonomi tertentu; c. bahwa kebijakan makroprudensial yang akomodatif dilakukan melalui pemberian insentif untuk mendorong intermediasi perbankan selama periode tertentu kepada bank yang memberikan penyediaan dana untuk kegiatan ekonomi tertentu; - 2 - d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Bank Indonesia tentang Insentif bagi Bank yang Memberikan Penyediaan Dana untuk Kegiatan Ekonomi Tertentu guna Mendukung Penanganan Dampak Perekonomian Akibat Wabah Virus Corona; Mengingat : Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang- Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG INSENTIF BAGI BANK YANG MEMBERIKAN PENYEDIAAN DANA UNTUK KEGIATAN EKONOMI TERTENTU GUNA MENDUKUNG PENANGANAN DAMPAK PEREKONOMIAN AKIBAT WABAH VIRUS CORONA. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan: 1. Bank Umum Konvensional yang selanjutnya disingkat BUK adalah bank umum yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran, termasuk kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri. - 3 - 2. Bank Umum Syariah yang selanjutnya disingkat BUS adalah bank umum yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. 3. Unit Usaha Syariah yang selanjutnya disingkat UUS adalah unit kerja dari kantor pusat BUK yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor atau unit yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, atau unit kerja di kantor cabang dari suatu bank yang berkedudukan di luar negeri yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor cabang pembantu syariah dan/atau unit syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai perbankan syariah. 4. Bank adalah BUK, BUS, dan UUS. 5. Letter of Credit yang selanjutnya disebut L/C adalah janji membayar dari bank penerbit kepada penerima jika penerima menyerahkan kepada bank penerbit dokumen yang sesuai dengan persyaratan L/C. 6. Usaha Mikro adalah usaha produktif milik orang perorangan dan/atau badan usaha perorangan, yang memenuhi kriteria Usaha Mikro sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai usaha mikro, kecil, dan menengah. 7. Usaha Kecil adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dari usaha menengah atau usaha besar yang memenuhi kriteria Usaha Kecil sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai usaha mikro, kecil, dan menengah. 8. Usaha Menengah adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau - 4 - menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dengan Usaha Kecil atau usaha besar dengan jumlah kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai usaha mikro, kecil, dan menengah. 9. Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah yang selanjutnya disebut UMKM adalah Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah. 10. Giro Wajib Minimum yang selanjutnya disingkat GWM adalah jumlah dana minimum yang wajib dipelihara oleh BUK atau BUS dan UUS yang besarnya ditetapkan oleh Bank Indonesia sebesar persentase tertentu dari dana pihak ketiga BUK atau dana pihak ketiga BUS dan UUS sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai giro wajib minimum dalam rupiah dan valuta asing bagi bank umum konvensional, bank umum syariah, dan unit usaha syariah. 11. Rekening Giro dalam Rupiah yang selanjutnya disebut Rekening Giro Rupiah adalah rekening pihak ekstern di Bank Indonesia yang merupakan sarana bagi penatausahaan transaksi dari simpanan yang penyetoran dan penarikannya dapat dilakukan sesuai dengan ketentuan dan persyaratan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia dalam mata uang rupiah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai rekening giro di Bank Indonesia. 12. Giro atas Pemenuhan Rasio Intermediasi Makroprudensial yang selanjutnya disebut Giro RIM adalah saldo giro dalam Rekening Giro Rupiah di Bank Indonesia yang wajib dipelihara oleh BUK untuk pemenuhan rasio intermediasi makroprudensial sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai rasio intermediasi makroprudensial dan penyangga likuiditas makroprudensial bagi bank umum konvensional, bank umum syariah, dan unit usaha syariah. 13. Giro atas Pemenuhan Rasio Intermediasi Makroprudensial Syariah yang selanjutnya disebut Giro RIM Syariah adalah - 5 - saldo giro dalam Rekening Giro Rupiah di Bank Indonesia yang wajib dipelihara oleh BUS dan UUS untuk pemenuhan rasio intermediasi makroprudensial syariah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai rasio intermediasi makroprudensial dan penyangga likuiditas makroprudensial bagi bank umum konvensional, bank umum syariah, dan unit usaha syariah. 14. Indonesia Overnight Index Average yang selanjutnya disebut IndONIA adalah indeks suku bunga atas transaksi pinjam-meminjamkan rupiah tanpa agunan yang dilakukan antarbank untuk jangka waktu overnight di Indonesia sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai Indonesia overnight index average dan Jakarta interbank offered rate. 15. Sertifikat Investasi Mudarabah Antarbank yang selanjutnya disingkat SIMA adalah sertifikat yang diterbitkan oleh BUS atau UUS yang digunakan sebagai sarana investasi jangka pendek di pasar uang antarbank berdasarkan prinsip syariah dengan akad mudarabah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai sertifikat investasi mudarabah antarbank. 16. Tingkat Indikasi Imbalan SIMA adalah rata-rata tertimbang tingkat indikasi imbalan SIMA dalam rupiah yang terjadi di pasar uang antarbank berdasarkan prinsip syariah pada pasar perdana. BAB II INSENTIF Pasal 2 (1) Bank Indonesia memberikan insentif bagi Bank yang melakukan penyediaan dana untuk kegiatan ekonomi tertentu berupa: a. kegiatan ekspor; b. kegiatan impor; - 6 - c. kegiatan UMKM; dan/atau d. kegiatan ekonomi pada sektor prioritas lainnya yang ditetapkan Bank Indonesia. (2) Dalam menerapkan kebijakan pemberian insentif bagi Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia dapat berkoordinasi dengan: a. pemerintah; dan/atau b. otoritas terkait. (3) Insentif bagi Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa kelonggaran atas kewajiban pemenuhan GWM dalam rupiah yang wajib dipenuhi secara harian, dengan besaran yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai kegiatan ekonomi tertentu dan besaran insentif bagi Bank yang melakukan penyediaan dana untuk kegiatan ekonomi tertentu diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. Pasal 3 (1) Pemberian insentif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dilakukan oleh Bank Indonesia secara bulanan. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian insentif secara bulanan diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. Pasal 4 (1) Cakupan penyediaan dana oleh Bank untuk kegiatan ekonomi tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) terdiri atas: a. kredit ekspor atau pembiayaan ekspor; b. kredit impor yang bersifat produktif atau pembiayaan impor yang bersifat produktif; c. L/C; d. kredit UMKM atau pembiayaan UMKM; dan/atau e. kredit atau pembiayaan lainnya yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. - 7 - (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai cakupan penyediaan dana oleh Bank untuk kegiatan ekonomi tertentu diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. BAB III SUMBER DATA Pasal 5 (1) Bank wajib menyampaikan data penyediaan dana untuk kegiatan ekonomi tertentu secara benar kepada Bank Indonesia. (2) Data penyediaan dana untuk kegiatan ekonomi tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan Bank secara bulanan dan penyampaian data dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia. (3) Bank Indonesia menggunakan data penyediaan dana untuk kegiatan ekonomi tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebagai dasar pemberian insentif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1). (4) Data penyediaan dana untuk kegiatan ekonomi tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diperoleh dari: a. laporan bulanan bank umum; b. laporan stabilitas moneter dan sistem keuangan bulanan bank umum syariah dan unit usaha syariah; c. laporan bank umum terintegrasi; dan/atau d. laporan atau data lainnya yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai data penyediaan dana untuk kegiatan ekonomi tertentu diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. Pasal 6 (1) Bank yang tidak menyampaikan data penyediaan dana untuk kegiatan ekonomi tertentu secara benar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dikenai sanksi teguran tertulis. - 8 - (2) Bank yang menyampaikan data penyediaan dana untuk kegiatan ekonomi tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) yang berdasarkan pengawasan Bank Indonesia diketahui tidak memiliki eksposur penyediaan dana untuk kegiatan ekonomi tertentu dinyatakan tidak pernah diberikan insentif oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) selama periode penggunaan data yang tidak benar. (3) Bagi Bank yang dinyatakan tidak pernah diberikan insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Bank Indonesia melakukan perhitungan ulang kewajiban pemenuhan GWM dalam rupiah dan/atau Giro RIM atau Giro RIM Syariah sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia. (4) Dalam hal berdasarkan perhitungan ulang sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Bank tidak memenuhi kewajiban pemenuhan GWM dalam rupiah dan/atau Giro RIM atau Giro RIM Syariah maka Bank dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan sanksi diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. BAB IV PENGAWASAN Pasal 7 (1) Bank Indonesia melakukan pengawasan kepada Bank yang telah memperoleh insentif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 melalui: a. surveilans; dan/atau b. pemeriksaan. (2) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut: a. Bank Indonesia melakukan pemeriksaan langsung kepada Bank; atau b. Bank Indonesia melakukan pemeriksaan bersama Otoritas Jasa Keuangan kepada Bank. - 9 - BAB V EVALUASI Pasal 8 (1) Bank Indonesia melakukan evaluasi atas kebijakan pemberian insentif sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini paling sedikit 1 (satu) kali sebelum masa berlaku kebijakan berakhir. (2) Hasil evaluasi kebijakan pemberian insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diinformasikan oleh Bank Indonesia kepada Bank. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai evaluasi kebijakan pemberian insentif diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. BAB VI MASA BERLAKU PEMBERIAN INSENTIF Pasal 9 (1) Pemberian insentif secara bulanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) pertama kali dilakukan oleh Bank Indonesia pada tanggal 16 April 2020. (2) Pemberian insentif secara bulanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menggunakan data bulan Maret 2020. Pasal 10 Pemberian insentif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 berlaku sampai dengan tanggal 31 Desember 2020. BAB VII KETENTUAN PENUTUP Pasal 11 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 1 April 2020. - 10 - Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 26 Maret 2020 GUBERNUR BANK INDONESIA, TTD PERRY WARJIYO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 27 Maret 2020 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, TTD YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2020 NOMOR 86… PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 22/4/PBI/2020 TENTANG INSENTIF BAGI BANK YANG MEMBERIKAN PENYEDIAAN DANA UNTUK KEGIATAN EKONOMI TERTENTU GUNA MENDUKUNG PENANGANAN DAMPAK PEREKONOMIAN AKIBAT WABAH VIRUS CORONA I. UMUM Dalam menjaga stabilitas sistem keuangan, Bank Indonesia melakukan upaya meningkatkan ketahanan sistem keuangan yang ditempuh melalui kebijakan makroprudensial. Kebijakan tersebut untuk memitigasi dampak risiko ketidakpastian global terhadap perekonomian domestik yang dipicu oleh merebaknya wabah virus corona atau Coronavirus Disease 2019 (COVID-19). Wabah virus corona telah menyebar cepat ke berbagai negara dan mengakibatkan pertumbuhan ekonomi global tertahan. Penyebaran virus tersebut membuat kinerja ekonomi Tiongkok menurun dan berdampak pada perdagangan dunia mengingat dominasi Tiongkok dalam perdagangan dunia, baik dari sisi supply maupun demand. Penurunan pasokan bahan baku dari Tiongkok memicu kenaikan harga bahan baku baik di Tiongkok maupun negara lain yang menjadi pemasok alternatif. Di sisi lain, permintaan dari Tiongkok bahkan permintaan global juga menurun. Hal tersebut berpotensi mengganggu aktivitas produksi ekonomi domestik sehingga diperlukan dukungan penyediaan dana untuk kegiatan ekspor dan/atau impor yang terdiri atas kredit ekspor atau pembiayaan ekspor, kredit impor atau pembiayaan impor yang bersifat produktif, dan/atau L/C. - 2 - Kegiatan UMKM yang menjadi penggerak perekonomian turut terdampak signifikan atas penyebaran COVID-19. Selain dikarenakan penurunan permintaan global, penurunan aktivitas pariwisata yang tercermin dari berkurangnya kunjungan wisatawan nusantara dan mancanegara turut memengaruhi kinerja UMKM. Kondisi tersebut berpotensi meningkatkan risiko kredit UMKM atau pembiayaan UMKM. Bank Indonesia memberikan insentif berupa kelonggaran atas kewajiban pemenuhan GWM dalam rupiah yang wajib dipenuhi secara harian kepada Bank yang mendukung penyediaan dana untuk kegiatan ekspor, impor, dan/atau UMKM serta untuk kegiatan ekonomi pada sektor prioritas lainnya yang ditetapkan Bank Indonesia. Kebijakan ini bertujuan untuk mendorong intermediasi perbankan dalam menopang momentum pertumbuhan ekonomi domestik dan memitigasi risiko makin menurunnya siklus keuangan yang masih berada di bawah level optimal. Insentif diberlakukan dalam periode tertentu dan akan dievaluasi dalam implementasinya. Sehubungan dengan kebijakan tersebut di atas, Bank Indonesia perlu menyusun ketentuan mengenai insentif bagi Bank yang memberikan penyediaan dana untuk kegiatan ekonomi tertentu dalam rangka mendukung penanganan dampak perekonomian akibat wabah virus corona. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Ayat (1) Pemberian insentif dilakukan untuk memitigasi dampak wabah virus corona atau Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) terhadap perekonomian domestik. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. - 3 - Huruf b Yang dimaksud dengan “otoritas terkait” antara lain Otoritas Jasa Keuangan. Ayat (3) Yang dimaksud dengan “GWM dalam rupiah yang wajib dipenuhi secara harian” adalah GWM dalam rupiah yang wajib dipenuhi secara harian sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai giro wajib minimum dalam rupiah dan valuta asing bagi bank umum konvensional, bank umum syariah, dan unit usaha syariah. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 3 Cukup jelas. Pasal 4 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan “kredit” adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu dalam rupiah dan valuta asing, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara BUK dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai perbankan. Yang dimaksud dengan “pembiayaan” adalah penyediaan dana atau tagihan yang dipersamakan dengan itu dalam rupiah dan valuta asing berupa: a. transaksi bagi hasil dalam bentuk mudarabah dan musyarakah; b. transaksi sewa-menyewa dalam bentuk ijarah atau sewa beli dalam bentuk ijarah muntahiya bittamlik; c. transaksi jual beli dalam bentuk piutang murabahah dan istishna’; - 4 - d. transaksi pinjam-meminjam dalam bentuk piutang qardh; dan e. transaksi sewa-menyewa jasa dalam bentuk ijarah untuk transaksi multijasa, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara BUS dan/atau UUS dan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai dan/atau diberi fasilitas dana untuk mengembalikan dana tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan ujrah, tanpa imbalan, atau bagi hasil. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Yang termasuk L/C yaitu L/C luar negeri namun tidak termasuk surat kredit berdokumen dalam negeri (SKBDN) atau L/C dalam negeri. Huruf d Yang dimaksud dengan “kredit UMKM atau pembiayaan UMKM” adalah kredit atau pembiayaan yang diberikan kepada pelaku usaha yang memenuhi kriteria Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah. Huruf e Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 5 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “data penyediaan dana untuk kegiatan ekonomi tertentu secara benar” adalah data penyediaan dana untuk kegiatan ekonomi tertentu sesuai dengan eksposur yang dimiliki oleh Bank. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “ketentuan Bank Indonesia” adalah ketentuan Bank Indonesia antara lain mengenai: a. laporan bulanan bank umum; - 5 - b. laporan stabilitas moneter dan sistem keuangan bulanan bank umum syariah dan unit usaha syariah; dan c. laporan bank umum terintegrasi. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Huruf a Yang dimaksud dengan “laporan bulanan bank umum” adalah laporan bulanan bank umum sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai laporan bulanan bank umum. Huruf b Yang dimaksud dengan “laporan stabilitas moneter dan sistem keuangan bulanan bank umum syariah dan unit usaha syariah” adalah laporan stabilitas moneter dan sistem keuangan bulanan bank umum syariah dan unit usaha syariah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai laporan stabilitas moneter dan sistem keuangan bulanan bank umum syariah dan unit usaha syariah. Huruf c Yang dimaksud dengan “laporan bank umum terintegrasi” adalah laporan bank umum terintegrasi sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai laporan bank umum terintegrasi. Huruf d Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 6 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Contoh: Bank menyampaikan data penyediaan dana kegiatan ekonomi tertentu untuk data posisi bulan April 2020 sehingga Bank - 6 - memperoleh kelonggaran atas kewajiban pemenuhan GWM dalam rupiah yang wajib dipenuhi secara harian untuk periode tanggal 16 Mei 2020 sampai dengan tanggal 15 Juni 2020. Kemudian berdasarkan hasil pemeriksaan oleh Bank Indonesia diketahui Bank tidak pernah menyalurkan dana untuk kegiatan ekonomi tertentu maka Bank dinyatakan tidak pernah diberikan insentif oleh Bank Indonesia pada periode tersebut. Ayat (3) Yang dimaksud dengan “ketentuan Bank Indonesia” adalah ketentuan Bank Indonesia mengenai: a. giro wajib minimum dalam rupiah dan valuta asing bagi bank umum konvensional, bank umum syariah, dan unit usaha syariah; dan/atau b. rasio intermediasi makroprudensial dan penyangga likuiditas makroprudensial bagi bank umum konvensional, bank umum syariah, dan unit usaha syariah. Ayat (4) Yang dimaksud dengan “ketentuan Bank Indonesia” adalah ketentuan Bank Indonesia mengenai: a. giro wajib minimum dalam rupiah dan valuta asing bagi bank umum konvensional, bank umum syariah, dan unit usaha syariah; dan/atau b. rasio intermediasi makroprudensial dan penyangga likuiditas makroprudensial bagi bank umum konvensional, bank umum syariah, dan unit usaha syariah. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 7 Cukup jelas. Pasal 8 Ayat (1) Evaluasi atas kebijakan pemberian insentif dilakukan antara lain terhadap cakupan kegiatan ekonomi tertentu, besaran insentif, cakupan penyediaan dana untuk kegiatan ekonomi tertentu, dan masa berlaku kebijakan. - 7 - Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 9 Cukup jelas. Pasal 10 Cukup jelas. Pasal 11 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6484…
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 22/4/PBI/2020 </reg_id> <reg_title> INSENTIF BAGI BANK YANG MEMBERIKAN PENYEDIAAN DANA UNTUK KEGIATAN EKONOMI TERTENTU GUNA MENDUKUNG PENANGANAN DAMPAK PEREKONOMIAN AKIBAT WABAH VIRUS CORONA </reg_title> <set_date> 26 Maret 2020 </set_date> <effective_date> 1 April 2020 </effective_date> <issued_date> 27 Maret 2020 </issued_date> <related_reg> '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '6/UU/2009' </related_reg> <penalty_list> 'BAB III Pasal 6 Ayat (1)' </penalty_list>
-2- PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 18/2/PBI/2016 TENTANG TRANSAKSI LINDUNG NILAI BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa tujuan Bank Indonesia adalah mencapai dan memelihara kestabilan nilai Rupiah; b. bahwa kestabilan nilai Rupiah yang salah satunya dipengaruhi oleh kestabilan nilai tukar Rupiah memerlukan dukungan pasar keuangan yang likuid dan dalam, khususnya pasar valuta asing domestik, untuk menjaga kelangsungan kegiatan ekonomi nasional; c. bahwa dalam rangka menjaga kelangsungan ekonomi nasional perlu dilakukan penguatan struktur pasar valuta asing domestik yang salah satunya dilakukan melalui pengembangan transaksi lindung nilai untuk memitigasi risiko ketidakpastian pergerakan nilai tukar, yang diperlukan oleh pelaku ekonomi termasuk pelaku ekonomi yang berbasis syariah; d. bahwa peran Bank Indonesia diperlukan untuk mendorong pendalaman pasar valuta asing domestik melalui harmonisasi pengaturan yang terkait dengan transaksi lindung nilai berdasarkan prinsip syariah secara komprehensif; -2- e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d perlu menetapkan Peraturan Bank Indonesia tentang Transaksi Lindung Nilai kepada Bank berdasarkan Prinsip Syariah; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3843) sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962); 2. Undang-Undang Nomor 24 tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3844); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG TRANSAKSI LINDUNG NILAI BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan: 1. Bank Umum Konvensional yang selanjutnya disingkat BUK adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan, termasuk kantor cabang dari bank yang berkedudukan di -3- luar negeri, yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional. 2. Bank Umum Syariah yang selanjutnya disingkat BUS adalah Bank Umum Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan syariah. 3. Unit Usaha Syariah yang selanjutnya disingkat UUS adalah Unit Usaha Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai Perbankan Syariah. 4. Nasabah adalah: a. Perorangan yang memiliki kewarganegaraan Indonesia; atau b. Badan usaha selain Bank yang berbadan hukum Indonesia, berdomisili di Indonesia termasuk Badan Usaha Milik Negara (BUMN), yang melaksanakan kegiatan usaha yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah. 5. Lindung Nilai Berdasarkan Prinsip Syariah (Al tahawwuth al-Islami) yang selanjutnya disebut Lindung Nilai Syariah adalah cara atau teknik lindung nilai atas risiko perubahan nilai tukar berdasarkan Prinsip Syariah. 6. Transaksi Lindung Nilai Berdasarkan Prinsip Syariah yang selanjutnya disebut Transaksi Lindung Nilai Syariah adalah transaksi yang dilakukan berdasarkan pada Prinsip Syariah dalam rangka memitigasi risiko perubahan nilai tukar atas mata uang tertentu di masa yang akan datang. 7. Underlying Transaksi adalah kegiatan yang mendasari kebutuhan untuk melakukan Transaksi Lindung Nilai Syariah, yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah. 8. Transaksi Spot adalah transaksi pembelian dan penjualan valuta asing yang penyerahan dananya dilakukan paling lambat 2 (dua) hari kerja setelah tanggal transaksi. Termasuk dalam pengertian Transaksi Spot adalah transaksi dengan penyerahan valuta pada hari -4- yang sama (today) atau dengan penyerahan 1 (satu) hari kerja setelah tanggal transaksi (tomorrow). 9. Forward Agreement (Al-muwa’adat li ‘aqd al-sharf al-fawri fi al-mustaqbal) yang selanjutnya disebut Forward Agreement adalah saling berjanji (muwa’adah) untuk melakukan Transaksi Spot dalam jumlah tertentu di masa yang akan datang dengan nilai tukar atau perhitungan nilai tukar yang disepakati pada saat saling berjanji. 10. Pemohon Transaksi Lindung Nilai Syariah yang selanjutnya disebut Pemohon adalah BUS, UUS, atau Nasabah yang memohon Transaksi Lindung Nilai Syariah. 11. Pemberi Transaksi Lindung Nilai Syariah yang selanjutnya disebut Pemberi adalah BUS, UUS, atau BUK yang memberikan Transaksi Lindung Nilai Syariah. 12. Prinsip Syariah adalah prinsip syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan syariah. BAB II PELAKU TRANSAKSI LINDUNG NILAI SYARIAH Pasal 2 Pelaku Transaksi Lindung Nilai Syariah adalah BUS, UUS, BUK, dan Nasabah. Pasal 3 Transaksi Lindung Nilai Syariah hanya dapat dimohonkan oleh: a. Nasabah kepada BUS atau UUS; b. BUS atau UUS kepada BUS lainnya atau UUS lainnya; atau c. BUS atau UUS kepada BUK. -5- BAB III PELAKSANAAN TRANSAKSI LINDUNG NILAI SYARIAH Pasal 4 Transaksi Lindung Nilai Syariah tidak boleh dilakukan untuk tujuan yang bersifat spekulatif. Pasal 5 (1) Transaksi Lindung Nilai Syariah harus didahului dengan Forward Agreement atau rangkaian Forward Agreement. (2) Dalam hal Forward Agreement tidak dipenuhi maka pihak yang tidak memenuhi dapat dikenakan ganti rugi (ta’widh). (3) Dokumen dari Forward Agreement sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang diperjualbelikan. Pasal 6 (1) Nilai nominal Transaksi Lindung Nilai Syariah paling banyak sebesar nilai nominal Underlying Transaksi yang tercantum dalam dokumen Underlying Transaksi. (2) Jangka waktu Transaksi Lindung Nilai Syariah paling lama sama dengan jangka waktu Underlying Transaksi yang tercantum dalam dokumen Underlying Transaksi. (3) Nilai tukar dan perhitungan nilai tukar: a. harus ditentukan pada saat Forward Agreement; dan b. tidak boleh bertentangan dengan Prinsip Syariah. Pasal 7 Transaksi Lindung Nilai Syariah dilakukan dengan transaksi lindung nilai sederhana (‘Aqd al Tahawwuth al-Basith) atau transaksi lindung nilai kompleks (‘Aqd al Tahawwuth al- Murakkab). Pasal 8 (1) Penyelesaian Transaksi Lindung Nilai Syariah wajib dilakukan dengan pemindahan dana pokok secara penuh. -6- (2) Pembatalan terhadap Transaksi Lindung Nilai Syariah yang telah diikuti dengan pemindahan dana wajib dilakukan dengan pengembalian dana secara penuh. BAB IV UNDERLYING TRANSAKSI Pasal 9 Setiap Transaksi Lindung Nilai Syariah wajib memiliki Underlying Transaksi. Pasal 10 (1) Underlying Transaksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 tidak boleh bertentangan dengan Prinsip Syariah. (2) Underlying Transaksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 meliputi seluruh kegiatan: a. perdagangan barang dan jasa di dalam dan di luar negeri; dan/atau b. investasi berupa direct investment, portfolio investment, pembiayaan, modal, dan investasi lainnya di dalam dan di luar negeri. (3) Underlying Transaksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 tidak termasuk: a. penempatan dana pada bank antara lain berupa tabungan, giro, deposito, dan Negotiable Certificate of Deposit (NCD); b. kegiatan pengiriman uang oleh perusahaan transfer dana; dan c. fasilitas pembiayaan yang masih belum ditarik, antara lain berupa standby financing dan undisbursed financing. Pasal 11 (1) Underlying Transaksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 wajib didukung dengan dokumen Underlying Transaksi. -7- (2) Dokumen tagihan dalam valuta asing dari transaksi yang diwajibkan menggunakan Rupiah sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai kewajiban penggunaan Rupiah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, tidak dapat menjadi dokumen Underlying Transaksi. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis dokumen Underlying Transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 12 Pemberi wajib memastikan Pemohon untuk menyampaikan dokumen sebagai berikut: a. dokumen Underlying Transaksi yang dapat dipertanggungjawabkan baik yang bersifat final maupun berupa perkiraan, yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah; dan b. dokumen pendukung berupa: 1. fotokopi dokumen identitas Pemohon dan fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP); dan 2. pernyataan tertulis bermeterai cukup yang ditandatangani oleh pihak yang berwenang dari Pemohon atau pernyataan tertulis yang authenticated dari Pemohon yang memuat informasi mengenai: a) keaslian dan kebenaran dokumen Underlying Transaksi sebagaimana dimaksud pada huruf a dan penggunaan dokumen Underlying Transaksi untuk Transaksi Lindung Nilai Syariah paling banyak sebesar nominal Underlying Transaksi; dan b) jumlah kebutuhan, tujuan penggunaan, dan tanggal penggunaan mata uang, dalam hal dokumen Underlying Transaksi sebagaimana dimaksud pada huruf a berupa perkiraan. -8- Pasal 13 (1) Pemberi harus memastikan Pemohon untuk menyampaikan dokumen Underlying Transaksi dan/atau dokumen pendukung Transaksi Lindung Nilai Syariah untuk setiap Transaksi Lindung Nilai Syariah pada saat Forward Agreement. (2) Dalam hal Pemberi telah mengetahui track record Pemohon dengan baik dan Pemohon menyampaikan dokumen Underlying Transaksi yang bersifat final, Pemberi dapat menerima dokumen pendukung Transaksi Lindung Nilai Syariah yang disampaikan Pemohon secara berkala. BAB V PENCATATAN TRANSAKSI DAN PELAPORAN Pasal 14 Perlakuan akuntansi terhadap Transaksi Lindung Nilai Syariah tunduk pada standar akuntansi keuangan yang berlaku. Pasal 15 Transaksi Lindung Nilai Syariah yang dilakukan oleh BUS, UUS atau BUK wajib dilaporkan kepada Bank Indonesia sesuai ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai laporan harian bank umum. BAB VI PENGENAAN SANKSI Pasal 16 (1) BUS, UUS, dan BUK yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 5 ayat (3), Pasal 6, Pasal 8 ayat (1) dan (2), Pasal 10 ayat (1) dan (3), Pasal 11 ayat (1) dan (2), Pasal 12, dan/atau Pasal 15 dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis. -9- (2) BUS atau UUS sebagai pemohon Transaksi Lindung Nilai Syariah yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis. (3) BUS atau UUS sebagai pemberi Transaksi Lindung Nilai Syariah kepada Nasabah yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis dan kewajiban membayar sebesar 1% (satu persen) dari nilai nominal transaksi yang dilanggar untuk setiap pelanggaran, dengan jumlah paling sedikit sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak sebesar Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). (4) BUS, UUS, atau BUK yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai laporan harian bank umum. BAB VII KETENTUAN LAIN-LAIN Pasal 17 Dalam melakukan Transaksi Lindung Nilai Syariah, BUS, UUS, atau BUK wajib: a. memperhatikan ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai transaksi valuta asing terhadap rupiah dengan pihak domestik; b. menerapkan manajemen risiko sesuai dengan ketentuan yang mengatur mengenai penerapan manajemen risiko bank yang diterbitkan oleh otoritas yang berwenang; dan c. memperhatikan ketentuan yang mengatur mengenai batas minimum pemberian pembiayaan atau kredit yang diterbitkan oleh otoritas yang berwenang. -10- BAB VIII KETENTUAN PENUTUP Pasal 18 Pada saat Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku: a. Peraturan Bank Indonesia Nomor 15/8/PBI/2013 tentang Transaksi Lindung Nilai kepada Bank (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 162, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5451); dan b. Peraturan Bank Indonesia Nomor 16/18/PBI/2014 tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 15/8/PBI/2013 tentang Transaksi Lindung Nilai kepada Bank (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 214), dinyatakan tidak berlaku bagi BUS dan UUS. Pasal 19 Ketentuan lebih lanjut dari Peraturan Bank Indonesia ini diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 20 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. -11- Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 24 Februari 2016 GUBERNUR BANK INDONESIA, AGUS D.W. MARTOWARDOJO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 26 Februari 2016 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 36 - 1 - PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 18/2/PBI/2016 TENTANG TRANSAKSI LINDUNG NILAI BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH I. UMUM Sebagai bank sentral yang diamanatkan undang-undang untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai Rupiah yang salah satunya dipengaruhi oleh stabilitas nilai tukar Rupiah, Bank Indonesia merumuskan berbagai kebijakan yang ditujukan bagi pencapaian tujuan tersebut. Salah satu langkah yang diperlukan dalam rangka pencapaian stabilitas Rupiah dan kelangsungan ekonomi nasional adalah dengan melakukan pendalaman pasar valuta asing domestik melalui penguatan struktur pasar keuangan domestik. Pergerakan nilai tukar Rupiah antara lain dipengaruhi oleh dinamika pasar valuta asing domestik antara lain faktor keseimbangan permintaan dan penawaran valuta asing, serta faktor perekonomian domestik atau global, yang pada akhirnya berpotensi menimbulkan risiko fluktuasi nilai tukar kepada pelaku ekonomi termasuk pelaku ekonomi yang berbasis syariah. Dalam upaya meminimalkan risiko tersebut, pelaku ekonomi termasuk pelaku ekonomi berbasis syariah perlu melakukan transaksi lindung nilai terhadap kegiatan ekonominya. Dalam upaya meminimalkan risiko kerugian akibat dari pergerakan nilai tukar dan mengembangkan transaksi lindung nilai di pasar valuta asing, Bank Indonesia merasa perlu melakukan pengaturan atas transaksi lindung nilai tersebut khususnya Transaksi Lindung Nilai Syariah. Dengan cara tersebut, diharapkan stabilitas nilai tukar Rupiah dapat terjaga dan tercipta pendalaman pasar valuta asing domestik. - 2 - Transaksi Lindung Nilai Syariah dilakukan berdasarkan Fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) Nomor 96/DSN-MUI/IV/2015 tentang Transaksi Lindung Nilai Syariah (Al-Tahawwuth al Islami/Islamic Hedging) atas Nilai Tukar. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Cukup jelas. Pasal 3 Cukup jelas. Pasal 4 Cukup jelas. Pasal 5 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “rangkaian Forward Agreement” adalah Forward Agreement yang didahului dengan Transaksi Spot. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 6 Cukup jelas. Pasal 7 Yang dimaksud dengan “transaksi lindung nilai sederhana (‘Aqd al Tahawwuth al-Basith)” adalah transaksi lindung nilai dengan skema Forward Agreement yang diikuti dengan Transaksi Spot. Yang dimaksud dengan “transaksi lindung nilai kompleks (‘Aqd al Tahawwuth al- Murakkab)” adalah transaksi lindung nilai dengan - 3 - skema rangkaian Forward Agreement yang kemudian diikuti dengan Transaksi Spot. Pasal 8 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “pemindahan dana pokok secara penuh” adalah penyerahan dana secara riil untuk masing-masing Transaksi Lindung Nilai Syariah sebesar nilai penuh nominal transaksi atau ekuivalennya. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 9 Cukup jelas. Pasal 10 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud dengan perdagangan jasa di dalam dan di luar negeri antara lain berupa layanan haji dan umrah. Huruf b Yang dimaksud dengan “direct investment” adalah investasi langsung Nasabah ke luar negeri. Ayat (3) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Dalam hal perusahaan transfer dana menerima perintah Nasabahnya untuk melakukan pembelian valuta asing untuk memenuhi kebutuhan transfer Nasabahnya, perintah Nasabah dimaksud tidak dapat menjadi Underlying Transaksi. Huruf c Cukup jelas. - 4 - Pasal 11 Cukup jelas. Pasal 12 Huruf a Yang dimaksud dengan ”dokumen Underlying Transaksi yang bersifat final” adalah dokumen yang tidak akan mengalami perubahan dalam hal jumlah dan/atau waktu pemenuhan kebutuhannya. Huruf b Angka 1 Cukup jelas. Angka 2 Yang dimaksud dengan ”pernyataan tertulis yang authenticated” adalah pernyataan tertulis yang telah diverifikasi atau dibuktikan kebenarannya secara sistem. Pasal 13 Cukup jelas. Pasal 14 Cukup jelas. Pasal 15 Cukup jelas. Pasal 16 Cukup jelas. Pasal 17 Cukup jelas. Pasal 18 Cukup jelas. Pasal 19 Cukup jelas. - 5 - Pasal 20 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5850
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 18/2/PBI/2016 </reg_id> <reg_title> TRANSAKSI LINDUNG NILAI BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH </reg_title> <set_date> 24 Februari 2016 </set_date> <effective_date> 26 Februari 2016 </effective_date> <issued_date> 26 Februari 2016 </issued_date> <replaced_reg> '15/8/PBI/2013', '16/18/PBI/2014' </replaced_reg> <related_reg> '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '24/UU/1999' </related_reg> <penalty_list> 'BAB VI' </penalty_list>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 1 / 2 / PBI/1999 TENTANG PENGELUARAN DAN PENGEDARAN UANG KERTAS BARU PECAHAN RP 50.000 TAHUN EMISI 1999 GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka meningkatkan, memperkuat unsur pengaman dan agar memudahkan masyarakat mengenali ciri- ciri keaslian uang kertas pecahan Rp50.000, dipandang perlu untuk mengadakan perubahan desain uang kertas pecahan Rp50.000; b. bahwa berhubung dengan hal sebagaimana dimaksud dalam huruf a, dipandang perlu untuk mengeluarkan dan mengedarkan uang kertas pecahan Rp50.000 tahun emisi 1999; c. bahwa pengeluaran dan pengedaran uang kertas pecahan Rp50.000 tahun emisi 1999 perlu ditetapkan dalam Peraturan Bank Indonesia. Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3843); 2. Surat Keputusan Direksi Bank 13/52/Kep/Dir/UPU tanggal 1 Desember 1980 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pelaksanaan Pengedaran Uang. MEMUTUSKAN : Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PENGELUARAN DAN PENGEDARAN UANG KERTAS PECAHAN RP 50.000 TAHUN EMISI 1999. Pasal 1...... Indonesia Nomor PBI NO. 1/2/PBI/1999 - 2 - Pasal 1 (1) Mulai tanggal 1 Juni 1999 Bank Indonesia mengeluarkan dan mengedarkan uang kertas pecahan Rp50.000 tahun emisi 1999 sebagai alat pembayaran yang sah di Indonesia. (2) Uang kertas pecahan Rp50.000 yang beredar saat ini masih tetap berlaku sebagai alat pembayaran yang sah sampai dicabut kembali serta ditarik dari peredaran yang waktunya akan ditetapkan kemudian. Pasal 2 Ciri-ciri umum uang kertas pecahan Rp50.000 tahun emisi 1999 sebagaimana tercantum pada Penjelasan Peraturan Bank Indonesia ini. Pasal 3 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 1 Juni 1999. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 26 Mei 1999 GUBERNUR BANK INDONESIA SYAHRIL SABIRIN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1999 NOMOR 101 UPU PENJELASAN PERATURAN BANK INDONESIA NO. : 1/ 2 / PBI/1999 TENTANG PENGELUARAN DAN PENGEDARAN UANG KERTAS BARU PECAHAN RP 50.000 TAHUN EMISI 1999 GUBERNUR BANK INDONESIA, PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas Pasal 2 CIRI-CIRI UMUM UANG KERTAS PECAHAN RP 50.000 TAHUN EMISI 1999 1. Bagian Muka a. Gambar utama berupa gambar Pahlawan Nasional W.R. Soepratman, pada jas sebelah kanan terdapat cetakan laten image dengan tulisan “BI” dan di kanan bawahnya terdapat tulisan “WAGE RUDOLF SOEPRATMAN PENCIPTA LAGU INDONESIA RAYA”. b. Angka “50000” dalam posisi horizontal disisi kiri atas dan dalam posisi vertikal disisi kanan dengan ukuran yang lebih kecil.Gambar bunga yang membentuk rectoverso, angka “1999”, tulisan “DEWAN GUBERNUR”, tandatangan Gubernur Bank Indonesia (Syahril Sabirin) beserta tulisan “GUBERNUR”, tandatangan Deputi Gubernur (Dono Iskandar Djojosubroto) beserta tulisan “DEPUTI GUBERNUR”, tulisan mikro teks Lagu Indonesia Raya dalam bingkai segi empat, tulisan “BANK INDONESIA” dan di bawahnya terdapat tulisan “LIMA PULUH RIBU RUPIAH”, seluruhnya berada disebelah kiri gambar utama. c. Cetakan ......... - 2 - c. Cetakan metal layer memuat logo BI dan gambar biola, di bawahnya terdapat tulisan mikro “Bank Indonesia” berulang-ulang tanpa spasi yang utuh atau terpotong, disisi kanan atas terdapat gambar Lambang Negara Garuda Pancasila dan disisi kanan bawah terdapat gambar logo BI yang dicetak dengan tinta optical variable ink (OVI). d. Tulisan “PERUM PERCETAKAN UANG RI IMP.1999” terdapat di sisi kanan bawah. Angka tahunnya akan berubah sesuai dengan tahun pencetakan uang. 2. Bagian Belakang a. Gambar utama berupa kegiatan Pengibaran Bendera Sang Saka Merah Putih dengan empat orang pengibar bendera beserta dua orang pengawal, pada bagian bendera yang berwarna merah terdapat microtexts screen “BI” dan logo BI berulang-ulang tanpa spasi yang utuh atau terpotong, dan di bagian atasnya terdapat tulisan “PENGIBARAN BENDERA“. b. Disamping kiri tulisan “PENGIBARAN BENDERA“ terdapat gambar globe yang memuat Kepulauan Indonesia yang dibentuk dari tulisan “BI” berulang tanpa spasi yang utuh atau terpotong sebagian dengan Text Gauss Effects, dan disamping kanannya terdapat tulisan “BANK INDONESIA” serta gambar bunga yang membentuk rectoverso. c. Angka “50000” dalam posisi horizontal terdapat disisi kanan bawah dan dalam posisi vertikal terdapat disisi kiri atas dengan ukuran yang lebih kecil. d. Dibawah gambar utama terdapat tulisan “DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, BANK INDONESIA MENGELUARKAN UANG SEBAGAI ALAT PEMBAYARAN YANG SAH DENGAN NILAI LIMA PULUH RIBU RUPIAH”. e. Nomor seri terdiri dari tiga huruf dan enam angka terdapat disisi kiri bawah dengan warna hitam dan disisi kanan atas dengan warna merah. II. WARNA 1. Bagian muka dicetak dengan warna ungu, hijau muda, kuning, ungu kebiruan, biru, abu-abu perak, hijau tua dan coklat serta warna tinta OVI dari kuning emas berubah menjadi hijau. Bagian belakang dicetak dengan warna ungu, hijau, kuning, ungu kebiruan, hitam, merah, ungu kemerahan dan hijau tua. III. KERTAS............ III. KERTAS 1. Ukuran kertas 152 x 72 mm. 2. Dalam keadaan baru kertas bersuara nyaring bila dikibas-kibaskan. 3. Memiliki tanda air berbayang (shadow watermark) berupa gambar Pahlawan Nasional H.O.S. Cokroaminoto dan tanda air elektrotip (electrotype watermark) berbentuk logo Bank Indonesia di tengah ragam hias, seluruhnya berada disisi kanan bila dilihat dari bagian muka. 4. Memiliki benang pengaman plastik tembus pandang yang memuat tulisan mikro “BANK INDONESIA 50000” berwarna hitam yang utuh atau terpotong sebagian dan dapat dibaca dari bagian muka maupun belakang dengan susunan: BANK INDONESIA 50000 BANK INDONESIA 50000 Benang pengaman tersebut memendar merah di bawah sinar lampu ultra violet. Pasal 3 Cukup jelas TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3856 UPU
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 1/2/PBI/1999 </reg_id> <reg_title> PENGELUARAN DAN PENGEDARAN UANG KERTAS BARU PECAHAN RP 50.000 TAHUN EMISI 1999 </reg_title> <set_date> 26 Mei 1999 </set_date> <effective_date> 1 Juni 1999 </effective_date> <related_reg> '23/UU/1999', '13/52/Kep/Dir/UPU|SKDIR-BI/1980' </related_reg>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 13/ 15 /PBI/2011 TENTANG PEMANTAUAN KEGIATAN LALU LINTAS DEVISA LEMBAGA BUKAN BANK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pemantauan kegiatan lalu lintas devisa sangat diperlukan untuk mendukung perumusan kebijakan, baik di bidang moneter, perbankan, maupun sistem pembayaran; b. bahwa keterangan dan data yang benar dan tepat waktu, yang diperoleh dari pemantauan kegiatan lalu lintas devisa sangat diperlukan dalam rangka penyusunan statistik, yang meliputi statistik Neraca Pembayaran Indonesia, Posisi Investasi Internasional Indonesia, dan statistik lainnya; c. bahwa efektivitas dan efisiensi pemantauan kegiatan lalu lintas devisa penduduk melalui sistem pelaporan kegiatan lalu lintas devisa kepada Bank Indonesia perlu ditingkatkan; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu untuk mengatur kembali ketentuan mengenai pemantauan kegiatan lalu lintas devisa lembaga bukan bank; Mengingat ... -2- Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3843) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962); 2. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3844); MEMUTUSKAN: Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PEMANTAUAN KEGIATAN LALU LINTAS DEVISA LEMBAGA BUKAN BANK. BAB I ... -3- BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini, yang dimaksud dengan: 1. Lalu Lintas Devisa yang selanjutnya disebut LLD adalah perpindahan aset dan kewajiban finansial antara penduduk dan bukan penduduk termasuk perpindahan aset dan kewajiban finansial luar negeri antar penduduk. 2. Kegiatan Lalu Lintas Devisa yang selanjutnya disebut Kegiatan LLD adalah kegiatan yang menimbulkan perpindahan aset dan kewajiban finansial antara penduduk dan bukan penduduk termasuk perpindahan aset dan kewajiban finansial luar negeri antar penduduk. 3. Aset Finansial Luar Negeri yang selanjutnya disebut AFLN adalah aktiva penduduk terhadap bukan penduduk baik dalam valuta asing maupun rupiah, antara lain dalam bentuk kas dalam valuta asing, simpanan pada bukan penduduk, piutang dagang atau usaha dengan bukan penduduk, kepemilikan surat berharga yang diterbitkan oleh bukan penduduk, dan penyertaan modal pada bukan penduduk. 4. Kewajiban Finansial Luar Negeri yang selanjutnya disebut KFLN adalah pasiva penduduk terhadap bukan penduduk baik dalam valuta asing maupun rupiah, antara lain dalam bentuk simpanan milik bukan penduduk, utang dagang atau usaha dengan bukan penduduk, kepemilikan bukan penduduk pada surat berharga yang diterbitkan penduduk, pinjaman dari bukan penduduk, dan ekuitas dari bukan penduduk. 5. Penduduk ... -4- 5. Penduduk adalah orang, badan hukum, atau badan lainnya yang berdomisili atau berencana berdomisili di Indonesia sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun, termasuk perwakilan dan staf diplomatik Republik Indonesia di luar negeri sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. 6. Lembaga Bukan Bank yang selanjutnya disebut LBB adalah lembaga selain bank yang berstatus Penduduk, yang meliputi: a. Badan Usaha Milik Negara yang selanjutnya disebut BUMN adalah badan usaha sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan tentang Badan Usaha Milik Negara yang berlaku. b. Badan Usaha Milik Daerah yang selanjutnya disebut BUMD adalah badan usaha sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan tentang perusahaan dan lembaga keuangan daerah yang berlaku. c. Badan Usaha Milik Swasta yang selanjutnya disebut BUMS adalah badan usaha yang tidak termasuk dalam pengertian BUMN dan BUMD yang berkedudukan di Indonesia, baik yang berbentuk badan hukum maupun yang tidak berbentuk badan hukum. d. Badan lainnya yang bukan merupakan badan usaha baik berbentuk badan hukum maupun tidak berbentuk badan hukum, antara lain Yayasan, Lembaga Swadaya Masyarakat, dan lembaga pendidikan yang didirikan oleh pemerintah atau masyarakat. 7. Nasabah adalah pihak yang menggunakan jasa LBB yang menjalankan kegiatan usaha sebagai perantara keuangan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. 8. Laporan Kegiatan LLD yang selanjutnya disebut Laporan LLD adalah laporan atas kegiatan yang menimbulkan perpindahan aset dan kewajiban finansial antara Penduduk dan bukan Penduduk termasuk perpindahan aset dan kewajiban finansial luar negeri antar Penduduk. BAB II ... -5- BAB II KEWAJIBAN PENYAMPAIAN LAPORAN DAN KOREKSI LAPORAN Pasal 2 (1) LBB yang melakukan Kegiatan LLD wajib menyampaikan Laporan LLD kepada Bank Indonesia secara benar dan tepat waktu. (2) LBB yang wajib menyampaikan Laporan LLD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi LBB yang memenuhi salah satu kriteria sebagai berikut: a. BUMN; b. BUMD yang memiliki utang luar negeri; c. Lembaga Keuangan Non Bank; d. Perusahaan Publik; e. Perusahaan yang bergerak di sektor pertambangan minyak dan gas; f. Perusahaan yang memiliki kegiatan ekspor dan/atau impor barang; g. Perusahaan yang bergerak di sektor jasa; h. Perusahaan penanaman modal asing; i. BUMS yang memiliki utang luar negeri; j. Badan Lainnya yang memiliki utang luar negeri; atau k. LBB di luar huruf a sampai dengan huruf j yang memiliki total aset atau omset tertentu yang diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. (3) Laporan LLD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi laporan: a. transaksi perdagangan barang, jasa dan transaksi lainnya antara Penduduk dan bukan Penduduk; dan/atau b. posisi dan perubahan AFLN dan/atau KFLN. (4) Transaksi ... -6- (4) Transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a, meliputi seluruh transaksi yang dilakukan melalui bank domestik, bank luar negeri, rekening antarkantor (inter company account), dan/atau melalui sarana lainnya. (5) Bagi LBB yang menjalankan kegiatan usaha sebagai perantara keuangan, Laporan LLD sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi transaksi dan/atau posisi yang dilakukan untuk kepentingan LBB sendiri maupun untuk kepentingan Nasabah LBB. Pasal 3 (1) LBB wajib menyampaikan Laporan LLD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 secara bulanan paling lama tanggal 10 bulan berikutnya secara online. (2) Dalam hal terdapat kesalahan Laporan LLD yang telah disampaikan oleh LBB kepada Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1), LBB harus menyampaikan koreksi atas kesalahan Laporan LLD paling lama tanggal 15 bulan berikutnya secara online. (3) Dalam hal pada hari terakhir penyampaian Laporan LLD dan/atau koreksi Laporan LLD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) terjadi gangguan teknis yang mengakibatkan LBB tidak dapat menyampaikan Laporan LLD dan/atau koreksi Laporan LLD secara online, maka Laporan LLD dan/atau koreksi Laporan LLD disampaikan secara offline pada hari kerja berikutnya. (4) Dalam hal pada hari kerja berikutnya gangguan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) telah dapat diatasi, maka Laporan LLD dan/atau koreksi Laporan LLD disampaikan secara online. (5) LBB ... -7- (5) LBB dinyatakan terlambat menyampaikan Laporan LLD apabila Laporan LLD disampaikan melampaui batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan akhir bulan. (6) LBB dinyatakan tidak menyampaikan Laporan LLD apabila Laporan LLD tidak disampaikan sampai dengan akhir bulan sebagaimana dimaksud pada ayat (5). (7) Dalam hal LBB dinyatakan tidak menyampaikan Laporan LLD sebagaimana dimaksud pada ayat (6), hal tersebut tidak meniadakan kewajiban LBB untuk menyampaikan Laporan LLD kepada Bank Indonesia. Pasal 4 (1) Dalam rangka penyampaian Laporan LLD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (5), LBB dapat meminta keterangan dan data kepada Nasabah yang melakukan Kegiatan LLD melalui LBB. (2) Nasabah harus memberikan keterangan dan data kepada LBB. BAB III PENELITIAN KEBENARAN LAPORAN Pasal 5 (1) Dalam hal diperlukan penelitian kebenaran Laporan LLD yang disampaikan LBB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Bank Indonesia dapat meminta informasi, bukti pembukuan, catatan, dan dokumen lain yang berkaitan dengan Laporan LLD LBB. (2) LBB ... -8- (2) LBB harus menyampaikan informasi, bukti pembukuan, catatan, dan dokumen lain yang diperlukan dalam rangka penelitian kebenaran Laporan LLD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam jangka waktu yang ditentukan oleh Bank Indonesia. (3) Dalam hal LBB tidak memberikan informasi, bukti pembukuan, catatan, dan dokumen lain sebagaimana dimaksud pada ayat (2), maka Laporan LLD yang disampaikan LBB kepada Bank Indonesia dinyatakan tidak benar. BAB IV SANKSI Pasal 6 (1) LBB yang menyampaikan Laporan LLD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 secara tidak benar yang tidak ditindaklanjuti dengan penyampaian koreksi laporan LLD atau tidak menyampaikan bukti-bukti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3), maka dikenakan sanksi berupa denda sebesar Rp50.000,00 (lima puluh ribu rupiah) untuk setiap baris (record) yang tidak benar dengan denda paling banyak sebesar Rp20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah). (2) LBB yang terlambat menyampaikan Laporan LLD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (5) dikenakan sanksi berupa denda sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) untuk setiap hari keterlambatan dengan denda paling banyak sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah). (3) LBB yang tidak menyampaikan Laporan LLD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (6) dikenakan sanksi berupa denda sebesar Rp20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah). (4) Bagi ... -9- (4) Bagi LBB yang tidak menyampaikan Laporan LLD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (6) selama 6 (enam) periode laporan berturut-turut, selain mengenakan denda sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Bank Indonesia juga menyampaikan surat teguran dengan tembusan kepada instansi yang terkait. Pasal 7 (1) Pembayaran sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 disetorkan ke rekening Kas Negara yang berada di Bank Indonesia. (2) Pelaksanaan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan LBB setelah Bank Indonesia menerbitkan surat pemberitahuan secara tertulis kepada LBB dengan tembusan kepada Kantor Kas Negara. BAB V LAIN-LAIN Pasal 8 (1) LBB yang mengalami keadaan memaksa (force majeure) selama satu periode penyampaian laporan atau lebih, dikecualikan dari kewajiban menyampaikan Laporan LLD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2. (2) LBB yang mengalami keadaan memaksa (force majeure) kurang dari satu periode penyampaian laporan, dikecualikan dari kewajiban menyampaikan Laporan LLD dalam batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3. (3) LBB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) wajib menyampaikan Laporan LLD setelah LBB kembali melakukan kegiatan operasional secara normal. (4) LBB... -10- (4) LBB yang mengalami keadaan memaksa (force majeure) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau ayat (2), harus segera menyampaikan pemberitahuan secara tertulis kepada Bank Indonesia, dengan disertai penjelasan mengenai keadaan memaksa (force majeure) yang dialami. BAB VI KETENTUAN PERALIHAN Pasal 9 (1) Dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini, selain wajib menyampaikan Laporan LLD sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini, LBB tetap diwajibkan untuk menyampaikan Laporan LLD sampai dengan data bulan Desember 2011 sebagaimana diatur dalam: a. Peraturan Bank Indonesia Nomor 1/9/PBI/1999 tanggal 28 Oktober 1999 tentang Pemantauan Kegiatan Lalu Lintas Devisa Bank dan Lembaga Keuangan Non Bank; dan b. Peraturan Bank Indonesia Nomor 4/2/PBI/2002 tanggal 28 Maret 2002 tentang Pemantauan Kegiatan Lalu Lintas Devisa Perusahaan Bukan Lembaga Keuangan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/1/PBI/2003 tanggal 31 Januari 2003. (2) Untuk data bulan Juni 2011 yang disampaikan pada bulan Juli 2011 sampai dengan data bulan Juni 2012 yang disampaikan pada bulan Juli 2012, batas waktu penyampaian Laporan LLD paling lama tanggal 15 bulan berikutnya dan batas waktu penyampaian koreksi Laporan LLD paling lama tanggal 20 bulan berikutnya. BAB VII ... -11- BAB VII KETENTUAN PENUTUP Pasal 10 Ketentuan lebih lanjut dari Peraturan Bank Indonesia ini akan ditetapkan dengan Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 11 (1) Ketentuan mengenai sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 mulai berlaku untuk data bulan Januari 2012 yang disampaikan pada bulan Februari 2012. (2) Ketentuan mengenai batas waktu penyampaian Laporan LLD dan koreksi Laporan LLD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2) mulai berlaku untuk Laporan LLD dan koreksi Laporan LLD data bulan Juli 2012 yang disampaikan pada bulan Agustus 2012. Pasal 12 Dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini maka: a. Ketentuan mengenai pemantauan kegiatan Lalu Lintas Devisa Lembaga Keuangan Non Bank sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 1/9/PBI/1999 tanggal 28 Oktober 1999 tentang Pemantauan Kegiatan Lalu Lintas Devisa Bank dan Lembaga Keuangan Non Bank; b. Peraturan Bank Indonesia Nomor 4/2/PBI/2002 tanggal 28 Maret 2002 tentang Pemantauan Kegiatan Lalu Lintas Devisa Perusahaan Bukan Lembaga Keuangan; dan c. Peraturan ... -12- c. Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/1/PBI/2003 tanggal 31 Januari 2003 tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 4/2/PBI/2002 tanggal 28 Maret 2002 tentang Pemantauan Kegiatan Lalu Lintas Devisa Perusahaan Bukan Lembaga Keuangan, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku sejak data bulan Januari 2012 yang disampaikan bulan Februari 2012. Pasal 13 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan ... -13- Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 23 Juni 2011 GUBERNUR BANK INDONESIA, DARMIN NASUTION Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 23 Juni 2011 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, PATRIALIS AKBAR LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2011 NOMOR 62 DSM -14- PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 13/ 15 /PBI/2011 TENTANG PEMANTAUAN KEGIATAN LALU LINTAS DEVISA LEMBAGA BUKAN BANK I. UMUM Sebagaimana telah ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar, Indonesia menganut sistem devisa bebas, dimana setiap Penduduk dapat dengan bebas memiliki dan menggunakan devisa. Penerapan sistem devisa bebas tersebut perlu didukung dengan pemantauan Kegiatan LLD yang efektif agar tidak menimbulkan dampak negatif bagi perekonomian nasional. Dalam rangka pemantauan Kegiatan LLD, Bank Indonesia telah mengimplementasikan sistem pelaporan kegiatan LLD Bank, Lembaga Keuangan Non Bank, dan Perusahaan Bukan Lembaga Keuangan, yang mencakup semua transaksi yang menimbulkan perpindahan aset dan kewajiban finansial antara Penduduk dan bukan Penduduk, termasuk perpindahan aset dan kewajiban finansial luar negeri antar Penduduk. Keterangan ... -15- Keterangan dan data yang diperoleh melalui sistem pelaporan tersebut diperlukan untuk penyusunan statistik, yang meliputi statistik Neraca Pembayaran Indonesia, Posisi Investasi Internasional Indonesia, dan statistik lainnya. Keterangan dan data yang diperoleh dari sistem pelaporan tersebut, khususnya pelaporan dari lembaga bukan bank, sampai saat ini masih memiliki beberapa kelemahan sehingga belum dapat digunakan secara optimal dalam penyusunan statistik dimaksud. Sehubungan dengan pentingnya statistik tersebut untuk mendukung perumusan dan peningkatan efektifitas kebijakan khususnya di bidang moneter, dan di sisi lain perlunya efisiensi dalam pengelolaan laporan, maka sistem pelaporan Kegiatan LLD lembaga bukan bank perlu disempurnakan. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “laporan yang benar” adalah laporan yang memuat keterangan dan data Kegiatan LLD sesuai dengan fakta sebenarnya atau dokumen pendukungnya serta telah memenuhi rincian cakupan laporan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia, antara lain mengenai mitra transaksi, jenis transaksi, nilai transaksi, jenis AFLN, jenis KFLN, dan keterangan dan data lainnya yang terkait dengan Kegiatan LLD Penduduk. Yang ... -16- Yang dimaksud dengan “menyampaikan laporan tepat waktu” adalah menyampaikan laporan sesuai dengan batas waktu yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Ayat (2) Dalam pengertian Lembaga Keuangan Non Bank tidak termasuk Pedagang Valuta Asing. Yang dimaksud dengan “Perusahaan Publik” adalah Perusahaan Publik sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Pasar Modal. Ayat (3) Laporan posisi AFLN dan/atau KFLN mencakup baik posisi AFLN dan/atau KFLN yang sudah efektif menjadi tagihan atau kewajiban LBB (on balance sheet) maupun yang belum efektif menjadi tagihan atau kewajiban LBB (off balance sheet). Laporan tersebut meliputi antara lain: a. posisi dan perubahan AFLN; b. posisi dan perubahan ekuitas luar negeri dan kewajiban lain yang terkait; c. posisi dan perubahan kewajiban derivatif luar negeri; d. posisi komitmen dan kontinjensi luar negeri; dan e. posisi kustodian surat berharga yang dimiliki nasabah. Yang dimaksud dengan “posisi komitmen dan kontinjensi luar negeri” adalah tagihan dan/atau kewajiban komitmen dan/atau kontinjensi luar negeri, antara lain posisi pembelian spot dan derivatif yang masih berjalan, garansi yang diterima, dan fasilitas pinjaman kepada bukan Penduduk yang belum ditarik. Kewajiban ... -17- Kewajiban pelaporan untuk kustodian surat berharga yang dimiliki nasabah hanya diberlakukan pada perusahaan sekuritas yang menyelenggarakan kegiatan usaha sebagai kustodian sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 3 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “secara online” adalah dengan menggunakan media internet pada website pelaporan LLD di Bank Indonesia. Laporan LLD secara online dapat disampaikan pada hari Sabtu, Minggu, hari libur dan cuti bersama yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Ayat (2) Koreksi Laporan LLD secara online dapat disampaikan pada hari Sabtu, Minggu, hari libur dan cuti bersama yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Ayat (3) Yang dimaksud dengan “gangguan teknis” adalah gangguan yang terjadi di Bank Indonesia yang meliputi antara lain gangguan jaringan dan/atau komunikasi. Yang ... -18- Yang dimaksud dengan “secara offline” adalah dengan menggunakan media antara lain attachment email, compact disk (CD), flash disk, dan/atau media perekaman data elektronik lainnya yang disampaikan pada jam kerja Bank Indonesia setempat. Kriteria bahwa Laporan LLD dan koreksi Laporan LLD telah disampaikan akan diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Pasal 4 Cukup jelas. Pasal 5 Ayat (1) Termasuk sebagai dokumen lain yang berkaitan dengan Laporan LLD antara lain laporan keuangan dan daftar mutasi rekening koran (bank statement). Ayat (2) ... -19- Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 6 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “hari” adalah hari kalender. Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Yang dimaksud dengan “periode laporan” adalah tanggal 1 sampai dengan akhir bulan. Pasal 7 Cukup jelas. Pasal 8 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “keadaan memaksa (force majeure)” adalah keadaan yang secara nyata-nyata menyebabkan LBB tidak dapat menyusun dan menyampaikan Laporan LLD dan/atau koreksi Laporan LLD, antara lain kebakaran, kerusuhan massa, terorisme, bom, perang, sabotase, serta bencana alam seperti gempa bumi ... -20- bumi dan banjir yang dibenarkan oleh penguasa atau pejabat dari instansi terkait di daerah setempat. Yang dimaksud dengan “periode penyampaian laporan” adalah tanggal 1 (satu) bulan berikutnya sampai dengan batas waktu penyampaian Laporan LLD. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 9 Cukup jelas. Pasal 10 Hal-hal yang akan diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia antara lain: a. cakupan keterangan dan data yang harus dilaporkan, termasuk keterangan dan data yang harus dilengkapi dokumen pendukung; b. prosedur dan tata cara penyampaian laporan; dan c. prosedur dan tata cara pengenaan sanksi. Pasal 11 Cukup jelas. Pasal 12 ... -21- Pasal 12 Cukup jelas. Pasal 13 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5222 DSM
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 13/15/PBI/2011 </reg_id> <reg_title> PEMANTAUAN KEGIATAN LALU LINTAS DEVISA LEMBAGA BUKAN BANK </reg_title> <set_date> 23 Juni 2011 </set_date> <effective_date> 23 Juni 2011 </effective_date> <issued_date> 23 Juni 2011 </issued_date> <replaced_reg> '4/2/PBI/2002', '1/9/PBI/1999', '5/1/PBI/2003' </replaced_reg> <related_reg> '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '24/UU/1999' </related_reg> <penalty_list> 'BAB IV' </penalty_list>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 10/ 39 /PBI/2008 TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN PENANGANAN KHUSUS PERMASALAHAN PERBANKAN PASCABENCANA NASIONAL DI PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM DAN KEPULAUAN NIAS, PROVINSI SUMATERA UTARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa dengan terjadinya bencana nasional di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Kepulauan Nias, Provinsi Sumatera Utara, perlu dilakukan berbagai upaya untuk mendukung pemulihan kondisi perekonomian; b. bahwa salah satu upaya untuk mendukung pemulihan kondisi perekonomian adalah dengan melakukan penanganan khusus terhadap permasalahan Perbankan; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b dipandang perlu untuk menetapkan ketentuan mengenai penanganan khusus terhadap permasalahan Perbankan pascabencana nasional di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Kepulauan Nias, Provinsi Sumatera Utara dalam suatu Peraturan Bank Indonesia; Mengingat: … - 2 - Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); 2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 142, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4901); 3. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2007 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2007 tentang Penanganan Permasalahan Hukum Dalam Rangka Pelaksanaan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah dan Kehidupan Masyarakat di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Kepulauan Nias Provinsi Sumatera Utara Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 168, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4796); 4. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor … - 3 - Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867); MEMUTUSKAN: Menetapkan: PERATURAN PELAKSANAAN PENANGANAN KHUSUS PERMASALAHAN PERBANKAN PASCABENCANA NASIONAL DI PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM DAN KEPULAUAN NIAS, PROVINSI SUMATERA UTARA. Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan: 1. Bank adalah Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, termasuk kantor cabang Bank asing, atau Bank Umum Syariah dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. 2. Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara Bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga, termasuk: a. cerukan (overdraft), yaitu saldo negatif pada rekening giro nasabah yang tidak dapat dibayar lunas pada akhir hari; b. pengambilalihan tagihan dalam rangka anjak piutang; c. pengambilalihan … - 4 - c. pengambilalihan atau pembelian Kredit dari pihak lain. 3. Pembiayaan berdasarkan prinsip syariah yang untuk selanjutnya disebut Pembiayaan adalah penyediaan dana atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berupa: a. transaksi bagi hasil dalam bentuk mudharabah dan musyarakah; b. transaksi sewa-menyewa dalam bentuk ijarah atau sewa beli dalam bentuk ijarah muntahiya bittamlik; c. transaksi jual beli dalam bentuk piutang murabahah, salam, dan istishna’; d. transaksi pinjam meminjam dalam bentuk piutang qardh; dan e. transaksi sewa-menyewa jasa dalam bentuk ijarah untuk transaksi multijasa berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara Bank Syariah dan/atau Unit Usaha Syariah dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai dan/atau diberi fasilitas dana untuk mengembalikan dana tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan ujrah, tanpa imbalan, atau bagi hasil. 4. Simpanan adalah Simpanan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 atau Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. 5. Investasi adalah dana yang dipercayakan oleh Nasabah kepada Bank Syariah dan/atau Unit Usaha Syariah berdasarkan akad mudharabah atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah dalam bentuk Deposito, Tabungan, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu. 6. Wali … - 5 - 6. Wali adalah orang atau badan yang menjalankan kekuasaan asuh sebagai orang tua terhadap anak. 7. Baitul Mal adalah Lembaga Agama Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang berwenang menjaga, memelihara, mengembangkan, dan mengelola harta agama dengan tujuan untuk kemaslahatan umat serta menjadi wali pengawas berdasarkan Syariat Islam. 8. Balai Harta Peninggalan adalah lembaga yang berada di dalam lingkungan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, yang mengurus perwalian, pengampuan, ketidakhadiran, harta peninggalan tidak terurus, pendaftaran akta wasiat, surat keterangan waris, dan kepailitan bagi penduduk yang bukan beragama Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam atau penduduk, baik yang beragama Islam maupun yang tidak beragama Islam di Kepulauan Nias Provinsi Sumatera Utara. 9. Pengadilan adalah Mahkamah Syar’iyah kabupaten/kota di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Pengadilan Agama di Kepulauan Nias Provinsi Sumatera Utara bagi yang beragama Islam atau Pengadilan Negeri bagi yang tidak beragama Islam. Pasal 2 (1) Bank atas dasar permintaan nasabah atau ahli waris/Wali nasabah dapat mengeluarkan bukti kepemilikan baru atas Simpanan/Investasi di Bank setelah Bank meyakini kebenaran identitas nasabah atau ahli waris/Wali nasabah. (2) Pengeluaran bukti kepemilikan baru atas Simpanan/Investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disesuaikan dengan tata cara dan pencatatan yang ada pada Bank. (3) Keyakinan … - 6 - (3) Keyakinan atas kebenaran identitas nasabah atau ahli waris/Wali nasabah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat diperoleh dengan cara: a. meminta nasabah atau ahli waris/Wali nasabah mengisi formulir identifikasi nasabah Bank; dan b. meminta bukti keterangan ahli waris/Wali nasabah yang dikeluarkan oleh Pengadilan apabila yang mengajukan adalah ahli waris/Wali nasabah. (4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) berlaku pula bagi Bank untuk melayani penarikan dana yang dilakukan oleh nasabah atau ahli waris/Wali nasabah yang tidak didukung dokumen yang lengkap dengan tetap memperhatikan prinsip kehati-hatian. Pasal 3 (1) Dalam hal catatan mengenai Simpanan/Investasi nasabah di Bank musnah dan nasabah atau ahli waris/Wali nasabah dapat menunjukkan bukti kepemilikan atas Simpanan/Investasi di Bank, maka Bank melakukan pencatatan setelah Bank meyakini kebenaran atau keaslian bukti kepemilikan atas Simpanan/Investasi tersebut. (2) Keyakinan atas kebenaran atau keaslian bukti kepemilikan atas Simpanan/Investasi di Bank, dapat diperoleh dengan cara : a. Bank meneliti kebenaran dan/atau keaslian buku/bilyet Simpanan/Investasi atau rekening koran, jumlah Simpanan/Investasi, serta otorisasi dari pejabat/petugas Bank, b. Bank meminta bukti keterangan ahli waris/Wali nasabah yang dikeluarkan oleh Pengadilan apabila yang mengajukan adalah ahli waris/Wali nasabah. Pasal 4 … - 7 - Pasal 4 (1) Dalam hal terdapat Simpanan/Investasi dana nasabah yang tidak diketahui lagi keberadaan pemilik atau ahli waris/Wali nasabah, Bank menyerahkan Simpanan/Investasi tersebut kepada Baitul Mal atau Balai Harta Peninggalan setelah memperoleh penetapan dari Pengadilan. (2) Penyerahan Simpanan/Investasi nasabah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Bank setelah melalui langkah-langkah sebagai berikut: a. melakukan penelitian terhadap rekening-rekening Simpanan/Investasi yang diduga tidak ada lagi pemilik atau ahli waris/Wali nasabah; b. mengumumkan nama dan alamat nasabah sebagaimana dimaksud pada huruf a paling kurang 3 (tiga) kali sampai dengan 6 September 2009; c. pengumuman sebagaimana dimaksud pada huruf b dilakukan: 1. melalui surat kabar berbahasa Indonesia yang mempunyai peredaran luas di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Kepulauan Nias, Provinsi Sumatera Utara yang berskala lokal paling sedikit 2 (dua) kali; dan 2. melalui surat kabar berskala nasional paling sedikit 1 (satu) kali; d. menyampaikan pengumuman sebagaimana dimaksud pada huruf c untuk dimuat pada Berita Daerah atas pengumuman melalui surat kabar lokal dan pada Berita Negara atas pengumuman melalui surat kabar nasional; dan e. mengajukan permohonan penetapan kepada Pengadilan yang berwenang mengenai penyerahan Simpanan/Investasi nasabah sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Kegiatan mengumumkan nama dan alamat nasabah penyimpan oleh Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dan huruf c dikecualikan dari ketentuan … - 8 - ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai kerahasiaan Bank. Pasal 5 Dalam rangka pelayanan penarikan dana dan penyerahan Simpanan/Investasi nasabah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4) dan Pasal 4 ayat (1), Bank memperhitungkan terlebih dahulu Simpanan/Investasi nasabah tersebut dengan kewajiban Kredit atau Pembiayaan, dan fasilitas lainnya yang belum diselesaikan oleh nasabah yang bersangkutan. Pasal 6 (1) Penyerahan Simpanan/Investasi yang dianggap tidak ada nasabah penyimpan atau ahli waris/Wali nasabah oleh Bank kepada Baitul Mal atau Balai Harta Peninggalan tidak menyebabkan hak tagih atas Simpanan/Investasi nasabah tersebut menjadi hapus. (2) Bank dibebaskan dari tuntutan hukum atas penyerahan Simpanan/Investasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dan ayat (2). Pasal 7 (1) Dalam hal tanah yang diagunkan ke Bank dinyatakan musnah dan debitur yang bersangkutan tidak dapat menyelesaikan kewajibannya kepada Bank, maka penyelesaian Kredit debitur diserahkan kepada kebijakan masing- masing Bank. (2) Kebijakan Bank dalam menyelesaikan Kredit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memperhatikan kondisi keuangan Bank. Pasal 8 … - 9 - Pasal 8 (1) Dalam hal dokumen yang berkaitan dengan hak tanggungan yang sudah terdaftar hilang atau rusak akibat gempa bumi dan gelombang tsunami, Bank mengajukan dokumen pengganti untuk hak atas tanah dan hak tanggungannya kepada Badan Pertanahan Nasional setempat. (2) Prosedur dan tata cara pengajuan dokumen pengganti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tunduk pada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 9 Dengan akan diterbitkannya tanda bukti hak pengganti atas tanah yang sudah terdaftar yang tanda bukti haknya rusak, hilang atau musnah, maka Bank menginformasikan tanah-tanah yang hak kepemilikannya diagunkan ke Bank kepada Kantor Pertanahan. Pasal 10 Dalam hal gedung kantor Bank mengalami kerusakan sehingga untuk sementara tidak dapat digunakan, pengurus Bank dapat memindahkan lokasi kegiatan operasionalnya ke tempat yang lebih aman dalam satu wilayah kota/kabupaten dan melaporkan kepindahan tersebut kepada Bank Indonesia. Pasal 11 Segala tindakan yang sudah dilakukan untuk penanganan permasalahan perbankan pascabencana nasional di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Kepulauan Nias, Provinsi Sumatera Utara sebelum Peraturan Bank Indonesia ini berlaku dan sepanjang dilakukan berdasarkan prinsip kehati-hatian dan itikad baik dianggap sebagai pelaksanaan dari Peraturan Bank Indonesia ini. Pasal 12 … - 10 - Pasal 12 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 24 Desember 2008. GUBERNUR BANK INDONESIA, BOEDIONO Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 24 Desember 2008. MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA ANDI MATTALATTA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2008 NOMOR 204 DPNP PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 10/ 39 /PBI/2008 TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN PENANGANAN KHUSUS PERMASALAHAN PERBANKAN PASCABENCANA NASIONAL DI PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM DAN KEPULAUAN NIAS, PROVINSI SUMATERA UTARA I. UMUM Sebagaimana dimaklumi peristiwa bencana nasional di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Kabupaten Nias, Provinsi Sumatera Utara pada tanggal 26 Desember 2004 telah memberikan dampak terhadap perekonomian Indonesia khususnya di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Kepulauan Nias, Provinsi Sumatera Utara. Khusus di sektor Perbankan, telah menimbulkan hambatan dalam fungsi pelayanan Perbankan karena hilangnya dokumen bukti kepemilikan Simpanan/Investasi di Bank, bukti identitas diri nasabah, dan tidak diketahuinya keberadaan nasabah atau ahli waris/Wali nasabah, serta penyelesaian Kredit debitur yang menjadi korban bencana khususnya terkait dengan debitur yang memiliki simpanan di bank dan/atau tanah yang menjadi agunan musnah. Sehubungan dengan itu sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2007 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2007 tentang Penanganan Permasalahan Hukum Dalam Rangka Pelaksanaan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah dan Kehidupan Masyarakat di … - 2 - di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Kepulauan Nias Provinsi Sumatera Utara menjadi Undang-Undang, maka Bank Indonesia memandang perlu untuk mengeluarkan ketentuan penanganan khusus permasalahan sektor Perbankan, dalam rangka memberikan kejelasan bagi Bank dan nasabah Bank untuk menyelesaikan permasalahan yang berkaitan dengan Simpanan/Investasi serta Kredit guna mendukung pemulihan perekonomian di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Kabupaten Nias, Provinsi Sumatera Utara. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Ayat (1) Bukti kepemilikan baru atas Simpanan/Investasi di Bank antara lain buku tabungan, bilyet deposito, dan rekening koran. Ayat (2) Pencatatan yang ada pada Bank termasuk pencatatan mengenai jumlah Simpanan/Investasi. Ayat (3) Huruf a Untuk meyakini data dalam formulir identifikasi nasabah Bank, Bank dapat melakukan identifikasi lebih lanjut terhadap nasabah dengan cara melakukan wawancara terhadap nasabah, mengambil … - 3 - mengambil sidik jari nasabah, dan/atau membuat dokumentasi atau foto nasabah. Huruf b Cukup jelas. Ayat (4) Yang dimaksud dengan “prinsip kehati-hatian” antara lain dengan menetapkan batas nilai maksimal dan frekuensi penarikan dana. Penarikan dana yang tidak didukung oleh dokumen yang lengkap misalnya penarikan oleh ahli waris/Wali nasabah yang tidak disertai surat kuasa, atau tidak dapat menunjukkan bukti kepemilikan atas Simpanan/Investasi. Pasal 3 Ayat (1) Yang dimaksud bukti kepemilikan atas Simpanan/Investasi di Bank antara lain buku tabungan, bilyet deposito, rekening koran. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 4 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b … - 4 - Huruf b Pengumuman mengenai nama dan alamat nasabah penyimpan dimaksudkan untuk memberikan kesempatan kepada nasabah penyimpan atau ahli waris/Wali nasabah untuk mengajukan klaim atas Simpanan/Investasi tersebut. Di samping itu pengumuman tersebut dimaksudkan untuk memperkuat keyakinan Bank bahwa nasabah penyimpan atau ahli waris/Wali nasabah tidak ada. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 5 Kewajiban Kredit atau Pembiayaan termasuk beban bunga dan biaya lainnya yang menjadi kewajiban sesuai dengan yang diperjanjikan. Pasal 6 Ayat (1) Nasabah penyimpan atau ahli waris/Wali nasabah tetap dapat mengajukan tagihan kepada Baitul Mal atau Balai Harta Peninggalan dengan … - 5 - dengan memenuhi persyaratan yang ditentukan oleh Baitul Mal atau Balai Harta Peninggalan. Ayat (2) Bank dibebaskan dari tanggung jawab apabila telah melakukan langkah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dan ayat (2). Pasal 7 Cukup jelas. Pasal 8 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “dokumen” adalah tanda bukti hak atas tanah, sertifikat hak tanggungan, dan akta-akta yang terkait. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 9 Pemberian informasi oleh Bank dimaksudkan untuk menghindari duplikasi penerbitan tanda bukti hak pengganti atas tanah-tanah yang hak kepemilikannya diagunkan kepada Bank. Pasal 10 Cukup jelas. Pasal 11 … - 6 - Pasal 11 Cukup jelas. Pasal 12 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4949
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 10/39/PBI/2008 </reg_id> <reg_title> PERATURAN PELAKSANAAN PENANGANAN KHUSUS PERMASALAHAN PERBANKAN PASCABENCANA NASIONAL DI PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM DAN KEPULAUAN NIAS, PROVINSI SUMATERA UTARA </reg_title> <set_date> 24 Desember 2008 </set_date> <effective_date> 24 Desember 2008 </effective_date> <issued_date> 24 Desember 2008 </issued_date> <related_reg> '21/UU/2008', '23/UU/1999', '48/UU/2007', '2/PERPPU/2008', '2/PERPPU/2007', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 9/19/PBI/2007 TENTANG PELAKSANAAN PRINSIP SYARIAH DALAM KEGIATAN PENGHIMPUNAN DANA DAN PENYALURAN DANA SERTA PELAYANAN JASA BANK SYARIAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa perbankan syariah harus senantiasa memenuhi prinsip syariah yang terus berkembang sejalan dengan perkembangan transaksi-transaksi keuangan syariah; b. bahwa para pihak dalam industri perbankan syariah, antara lain meliputi pemerintah, otoritas pengawas, pengurus bank, Dewan Pengawas Syariah, nasabah bank, dan pihak-pihak yang memiliki kepentingan terhadap perbankan syariah harus memiliki penafsiran yang sama terhadap prinsip syariah; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b dipandang perlu untuk mengatur ketentuan tentang pelaksanaan prinsip syariah dalam kegiatan penghimpunan dana dan penyaluran dana serta pelayanan jasa bank syariah dalam Peraturan Bank Indonesia. Mengingat .… - 2 - Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); 2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357). MEMUTUSKAN Menetapkan : PELAKSANAAN PRINSIP SYARIAH DALAM KEGIATAN PENGHIMPUNAN DANA DAN PENYALURAN DANA SERTA PELAYANAN JASA BANK SYARIAH BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Yang dimaksud dalam Peraturan Bank Indonesia ini dengan: 1. Bank Syariah, yang selanjutnya disebut dengan Bank adalah Bank Umum atau Bank Perkreditan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang… - 3 - Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, termasuk unit usaha syariah dan kantor cabang bank asing yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah. 2. Prinsip Syariah adalah prinsip syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 13 UU Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 10 Tahun 1998. 3. Pembiayaan adalah penyediaan dana atau tagihan/piutang yang dapat dipersamakan dengan itu dalam : a. transaksi investasi yang didasarkan antara lain atas Akad Mudharabah dan/atau Musyarakah; b. transaksi sewa yang didasarkan antara lain atas Akad Ijarah atau Akad Ijarah dengan opsi perpindahan hak milik (Ijarah Muntahiyah bit Tamlik); c. transaksi jual beli yang didasarkan antara lain atas Akad Murabahah, Salam, dan Istishna; d. transaksi pinjaman yang didasarkan antara lain atas Akad Qardh; dan e. transaksi multijasa yang didasarkan antara lain atas Akad Ijarah atau Kafalah. 4. Akad adalah kesepakatan tertulis antara Bank dengan nasabah dan/atau pihak lain yang memuat hak dan kewajiban bagi masing-masing pihak sesuai dengan prinsip syariah. Pasal 2 (1) Dalam melaksanakan kegiatan penghimpunan dana, penyaluran dana dan pelayanan jasa, Bank wajib memenuhi Prinsip Syariah. (2) Pemenuhan … - 4 - (2) Pemenuhan Prinsip Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan memenuhi ketentuan pokok hukum Islam antara lain prinsip keadilan dan keseimbangan (‘adl wa tawazun), kemaslahatan (maslahah), dan universalisme (alamiyah) serta tidak mengandung gharar, maysir, riba, dzalim, riswah, dan objek haram. BAB II PENGHIMPUNAN DANA, PENYALURAN DANA DAN PELAYANAN JASA Pasal 3 Pemenuhan Prinsip Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), dilakukan sebagai berikut : a. dalam kegiatan penghimpunan dana dengan mempergunakan antara lain Akad Wadi’ah dan Mudharabah; b. dalam kegiatan penyaluran dana berupa Pembiayaan dengan mempergunakan antara lain Akad Mudharabah, Musyarakah, Murabahah, Salam, Istishna’, Ijarah, Ijarah Muntahiya Bitamlik dan Qardh; dan c. dalam kegiatan pelayanan jasa dengan mempergunakan antara lain Akad Kafalah, Hawalah dan Sharf. BAB III PENYELESAIAN SENGKETA ANTARA BANK DENGAN NASABAH Pasal 4 (1) Dalam hal salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya sebagaimana tertuang dalam Akad antara Bank dengan nasabah, atau jika terjadi sengketa… - 5 - sengketa antara Bank dengan nasabah, penyelesaian dilakukan melalui musyawarah. (2) Dalam hal musyawarah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mencapai kesepakatan, maka penyelesaian sengketa dapat dilakukan antara lain melalui mediasi termasuk mediasi perbankan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. (3) Dalam hal penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak mencapai kesepakatan, maka penyelesaian sengketa dapat dilakukan melalui mekanisme arbitrase syariah atau melalui lembaga peradilan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. BAB IV SANKSI Pasal 5 Bank yang tidak melaksanakan Prinsip Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dikenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 berupa: a. teguran tertulis; b. penurunan tingkat kesehatan Bank; c. penggantian pengurus; dan/atau d. pembekuan kegiatan usaha tertentu, baik untuk kantor cabang tertentu maupun untuk Bank secara keseluruhan. BAB V… - 6 - BAB V KETENTUAN PERALIHAN Pasal 6 (1) Akad antara Bank dengan Nasabah yang mengacu pada Peraturan Bank Indonesia No. 7/46/PBI/2005 tanggal 14 November 2005 tentang Akad Penghimpunan dan Penyaluran Dana Bagi Bank Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah dan belum jatuh tempo pada saat Peraturan Bank Indonesia ini berlaku, tetap berpedoman pada Peraturan Bank Indonesia No. 7/46/PBI/2005 tanggal 14 November 2005 tentang Akad Penghimpunan dan Penyaluran Dana Bagi Bank Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah. (2) Akad antara Bank dengan Nasabah yang mengacu pada Peraturan Bank Indonesia No. 7/46/PBI/2005 tanggal 14 November 2005 tentang Akad Penghimpunan dan Penyaluran Dana Bagi Bank Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah yang jatuh tempo setelah Peraturan Bank Indonesia ini berlaku dan akan diperpanjang, harus disesuaikan dengan memenuhi prinsip syariah sesuai Peraturan Bank Indonesia ini. BAB VI KETENTUAN PENUTUP Pasal 7 Ketentuan lebih lanjut tentang pelaksanaan Peraturan Bank Indonesia ini diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia Pasal 8… - 7 - Pasal 8 Pada saat Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku, maka Peraturan Bank Indonesia No. 7/46/PBI/2005 tanggal 14 November 2005 tentang Akad Penghimpunan dan Penyaluran Dana Bagi Bank Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 124, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4563) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 9 Peraturan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta Pada Tanggal 17 Desember 2007 a.n.GUBERNUR BANK INDONESIA MIRANDA S.GOELTOM DEPUTI GUBERNUR SENIOR Diundangkan di Jakarta Pada tanggal MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA ANDI MATTALATTA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2007 NOMOR 165 DPbS - 8 - PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 9/19/PBI/2007 TENTANG PELAKSANAAN PRINSIP SYARIAH DALAM KEGIATAN PENGHIMPUNAN DANA DAN PENYALURAN DANA SERTA PELAYANAN JASA BAGI BANK SYARIAH UMUM Perkembangan yang pesat di dunia bisnis dan keuangan telah mendorong berkembangnya inovasi transaksi-transaksi keuangan syariah. Untuk mengantisipasi timbulnya risiko reputasi atas pesatnya perkembangan inovasi transaksi keuangan syariah tersebut diperlukan kesesuaian dengan prinsip syariah secara istiqomah sebagaimana difatwakan oleh Dewan Syariah Nasional. Untuk itu diperlukan adanya penyesuaian dan penyempurnaan pengaturan yang berlaku terhadap pelaksanaan prinsip syariah dalam kegiatan penghimpunan dana dan penyaluran dana serta pelayanan jasa bank syariah dalam rangka memelihara kepercayaan masyarakat terhadap bank syariah. Dengan adanya ketentuan tentang pelaksanaan prinsip syariah dalam kegiatan penghimpunan dana dan penyaluran dana serta pelayanan jasa bank syariah, akan memberikan manfaat kepada semua pihak yang berkepentingan dimana pada gilirannya akan mewujudkan pengelolaan bank syariah yang sehat. Selain itu, adanya ketentuan ini dapat memberikan kejelasan pelaksanaan prinsip syariah dalam kegiatan penghimpunan dana dan penyaluran dana serta pelayanan jasa bank syariah sehingga dapat membantu operasional bank syariah menjadi lebih efisien dan meningkatkan kepastian hukum para pihak termasuk bagi pengawas dan auditor bank syariah. PASAL…. - 2 - PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Angka 1 sampai dengan angka 4 Cukup jelas. Pasal 2 Ayat (1) Prinsip Syariah yang wajib dipenuhi oleh Bank bersumber pada Fatwa yang dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional. Ayat (2) Yang dimaksud dengan: “ ‘Adl” adalah menempatkan sesuatu hanya pada tempatnya, dan memberikan sesuatu hanya pada yang berhak serta memperlakukan sesuatu sesuai posisinya. “Tawazun” adalah meliputi keseimbangan aspek material dan spiritual, aspek privat dan publik, sektor keuangan dan sektor riil, bisnis dan sosial, dan keseimbangan aspek pemanfaatan dan kelestarian. “Maslahah” adalah merupakan segala bentuk kebaikan yang berdimensi duniawi dan ukhrawi, material dan spiritual serta individual dan kolektif serta harus memenuhi 3 (tiga) unsur yakni kepatuhan syariah (halal), bermanfaat dan membawa kebaikan (thoyib) dalam semua aspek secara keseluruhan yang tidak menimbulkan kemudaratan. “Alamiyah” adalah dapat dilakukan oleh, dengan, dan untuk semua pihak yang berkepentingan (stakeholders) tanpa membedakan suku, agama, ras dan golongan, sesuai dengan semangat kerahmatan semesta (rahmatan lil alamin). “Gharar” adalah transaksi yang objeknya tidak jelas, tidak dimiliki, tidak diketahui keberadaannya, atau tidak dapat diserahkan pada saat transaksi dilakukan kecuali diatur lain dalam syariah. “Maysir”…. - 3 - “Maysir” adalah transaksi yang bersifat spekulatif (untung-untungan) yang tidak terkait langsung dengan produktifitas di sektor riil. “Riba” adalah pemastian penambahan pendapatan secara tidak sah (bathil) antara lain dalam transaksi pertukaran barang sejenis yang tidak sama kualitas, kuantitas, dan waktu penyerahan (fadhl), atau dalam transaksi pinjam-meminjam yang mempersyaratkan nasabah penerima fasilitas mengembalikan dana yang diterima melebihi pokok pinjaman karena berjalannya waktu (nasiah). “Dzalim” adalah transaksi yang menimbulkan ketidakadilan bagi pihak lainnya. "Risywah" adalah tindakan suap dalam bentuk uang, fasilitas, atau bentuk lainnya yang melanggar hukum sebagai upaya mendapatkan fasilitas atau kemudahan dalam suatu transaksi. Objek Haram adalah suatu barang atau jasa yang diharamkan dalam syariah. Pasal 3 Yang dimaksud dengan : Wadi’ah adalah transaksi penitipan dana atau barang dari pemilik kepada penyimpan dana atau barang dengan kewajiban bagi pihak yang menyimpan untuk mengembalikan dana atau barang titipan sewaktu-waktu. Mudharabah adalah transaksi penanaman dana dari pemilik dana (shahibul maal) kepada pengelola dana (mudharib) untuk melakukan kegiatan usaha tertentu yang sesuai syariah, dengan pembagian hasil usaha antara kedua belah pihak berdasarkan nisbah yang telah disepakati sebelumnya. Musyarakah adalah transaksi penanaman dana dari dua atau lebih pemilik dana dan/atau barang untuk menjalankan usaha tertentu sesuai syariah dengan pembagian hasil usaha antara kedua belah pihak berdasarkan nisbah yang disepakati, sedangkan pembagian kerugian berdasarkan proporsi modal masing-masing. Murabahah…. - 4 - Murabahah adalah transaksi jual beli suatu barang sebesar harga perolehan barang ditambah dengan margin yang disepakati olah para pihak, dimana penjual menginformasikan terlebih dahulu harga perolehan kepada pembeli. Salam adalah transaksi jual beli barang dengan cara pemesanan dengan syarat-syarat tertentu dan pembayaran tunai terlebih dahulu secara penuh. Istishna’ adalah transaksi jual beli barang dalam bentuk pemesanan pembuatan barang dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati dengan pembayaran sesuai dengan kesepakatan. Ijarah adalah transaksi sewa menyewa atas suatu barang dan/atau jasa antara pemilik objek sewa termasuk kepemilikan hak pakai atas objek sewa dengan penyewa untuk mendapatkan imbalan atas objek sewa yang disewakan. Ijarah Muntahiyah bit Tamlik adalah transaksi sewa menyewa antara pemilik objek sewa dan penyewa untuk mendapatkan imbalan atas objek sewa yang disewakannya dengan opsi perpindahan hak milik objek sewa. Qardh adalah transaksi pinjam meminjam dana tanpa imbalan dengan kewajiban pihak peminjam mengembalikan pokok pinjaman secara sekaligus atau cicilan dalam jangka waktu tertentu. Kafalah adalah transaksi penjaminan yang diberikan oleh penanggung (kafil) kepada pihak ketiga atau yang tertanggung (makful lahu) untuk memenuhi kewajiban pihak kedua (makful ‘anhu/ashil). Hawalah adalah transaksi pengalihan hutang dari satu pihak yang berhutang kepada pihak lain yang wajib menanggung atau membayar. Sharf adalah transaksi pertukaran antar mata uang berlainan jenis. Pasal 4 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2)…. - 5 - Ayat (2) Peraturan perundang-undangan yang berlaku antara lain Peraturan Bank Indonesia mengenai Mediasi Perbankan. Ayat (3) Cukup jelas Pasal 5 Cukup jelas Pasal 6 Cukup jelas Pasal 7 Cukup jelas Pasal 8 Cukup jelas Pasal 9 Cukup jelas TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4793
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 9/19/PBI/2007 </reg_id> <reg_title> PELAKSANAAN PRINSIP SYARIAH DALAM KEGIATAN PENGHIMPUNAN DANA DAN PENYALURAN DANA SERTA PELAYANAN JASA BANK SYARIAH </reg_title> <set_date> 17 Desember 2007 </set_date> <effective_date> 17 Desember 2007 </effective_date> <replaced_reg> '7/46/PBI/2005' </replaced_reg> <related_reg> '7/UU/1992', '10/UU/1998', '23/UU/1999', '3/UU/2004' </related_reg> <penalty_list> 'BAB IV' </penalty_list>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 2/ 25 /PBI/2000 TENTANG PENGELUARAN DAN PENGEDARAN UANG RUPIAH PECAHAN 1.000 (SERIBU) TAHUN EMISI 2000 GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka standarisasi ukuran dan meningkatkan unsur pengamanan pada uang rupiah pecahan 1.000 (seribu) tahun emisi 1992 yang telah beredar delapan tahun, dipandang perlu untuk mengeluarkan dan mengedarkan uang rupiah pecahan 1.000 (seribu); b. bahwa pengeluaran dan pengedaran uang rupiah pecahan 1.000 (seribu) tahun emisi 2000 perlu ditetapkan dalam Peraturan Bank Indonesia; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3843); 2. Peraturan Bank Indonesia Nomor 2/17/PBI/2000 tanggal 20 Juli 2000 tentang Pengeluaran dan Pengedaran serta Pencabutan dan Penarikan Uang Rupiah (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 116; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3983); MEMUTUSKAN : Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PENGELUARAN DAN PENGEDARAN UANG RUPIAH PECAHAN 1.000 (SERIBU) TAHUN EMISI 2000. Pasal 1 ………. - 2 - Pasal 1 Bank Indonesia mengeluarkan dan mengedarkan uang rupiah pecahan 1.000 (seribu) tahun emisi 2000 sebagai alat pembayaran yang sah di wilayah negara Republik Indonesia. Pasal 2 Macam uang rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 merupakan jenis uang kertas yang terbuat dari bahan serat kapas. Pasal 3 Harga uang rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 mempunyai nilai nominal Rp 1.000 (seribu rupiah). Pasal 4 Ciri uang rupiah pecahan 1.000 (seribu) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 adalah: A. WARNA 1. Bagian muka dicetak dengan warna biru, jingga, violet merah dan hijau; 2. Bagian belakang dicetak dengan warna biru kemerahan, hijau, kuning, biru dan violet; B. GAMBAR 1. Bagian Muka a. gambar utama berupa gambar Pahlawan Nasional Kapitan Pattimura, dan dibawahnya dicantumkan tulisan “KAPITAN PATTIMURA”; b. di sebelah kiri gambar utama terdapat angka nominal “1000” arah horizontal, sebagian gambar recto verso yang apabila diterawangkan ke arah cahaya akan terlihat logo “BI”, embossed latent image yang memuat angka “1000” dan tulisan “BI” negatif/positif, tulisan “BANK INDONESIA” dan tulisan “SERIBU RUPIAH”; c. di sebelah ………. - 3 - c. di sebelah kanan gambar utama terdapat cetakan latent image memuat logo “BI” yang dapat dilihat dari sudut pandang tertentu, tulisan mikro “BI” yang disusun secara miring kekiri dan kekanan bergantian membentuk garis-garis horizontal, gambar Lambang Negara Garuda Pancasila, angka nominal “1000” arah vertikal, angka “2000”, tulisan “DEWAN GUBERNUR”, tanda tangan Deputi Gubernur Senior (Anwar Nasution) beserta tulisan “DEPUTI GUBERNUR SENIOR”, tanda tangan Deputi Gubernur (Aulia Pohan) beserta tulisan “DEPUTI GUBERNUR”, dan tulisan “PERUM PERCETAKAN UANG RI IMP 2000” (angka 2000 akan berubah sesuai dengan tahun pencetakan uang); d. sebagai latar belakang dan pengisi bidang terdiri dari : - garis-garis lengkung yang membentuk hiasan; - garis-garis halus guilloche; - garis-garis vertikal dan horizontal yang membentuk hiasan anak tangga; - belah ketupat yang membentuk hiasan teratai; - ornamen Maluku yang terpahat pada batu peninggalan zaman Megalithicum; 2. Bagian Belakang a. gambar utama berupa gambar Pulau Maitara dan Tidore, dan di tengahnya terdapat gambar nelayan yang sedang menebarkan jala ikan yang terbentuk dari tulisan modulasi “BI” yang utuh atau terpotong sebagian; b. di sebelah atas gambar utama terdapat tulisan “PULAU MAITARA DAN TIDORE”, tulisan “BANK INDONESIA”, tulisan mikro “BANKINDONESIA” yang berulang-ulang tanpa spasi, dan nomor seri berwarna merah (terdiri dari tiga huruf dan enam angka) yang akan memendar merah kekuningan di bawah sinar ultra violet; c. di sebelah bawah gambar utama terdapat tulisan “DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, BANK INDONESIA MENGELUARKAN UANG SEBAGAI ALAT PEMBAYARAN YANG SAH DENGAN NILAI SERIBU RUPIAH”, angka nominal “1000” arah horizontal, dan tulisan mikro “BANKINDONESIA” yang berulang tanpa spasi; d. di sebelah kiri gambar utama terdapat angka nominal “1000” arah vertikal, dan nomor seri berwarna hitam (terdiri dari tiga huruf dan enam angka) yang akan memendar hijau kekuningan di bawah sinar ultra violet; e. di sebelah ………. - 4 - e. di sebelah kanan gambar utama terdapat sebagian gambar recto verso yang apabila diterawangkan ke arah cahaya akan terlihat logo “BI”; b. sebagai latar belakang dan pengisi bidang terdiri dari : - garis-garis halus guilloche; - hiasan roset; - C. BAHAN Jenis bahan terbuat dari 100% serat kapas, dan memiliki spesifikasi sebagai berikut: 1. ukuran 141 mm x 65 mm; 2. warna krem (putih kekuning-kuningan); 3. tidak memendar di bawah sinar ultra violet; 4. tanda air berupa gambar Pahlawan Nasional Cut Nyak Meutia; 5. benang pengaman terbuat dari plastik tembus pandang yang memuat tulisan mikro berwarna hitam “BANK INDONESIA” yang utuh atau terpotong sebagian, dan memendar merah di bawah sinar ultra violet. Pasal 5 Uang rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 dikeluarkan dan diedarkan mulai tanggal 29 November 2000. garis-garis bergelombang, bulatan-bulatan dan titik-titik, garis vertikal dan horizontal yang membentuk hiasan; - roncean bunga membentuk pagar; Pasal 6 ………. - 5 - Pasal 6 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 23 November 2000 a.n. GUBERNUR BANK INDONESIA ANWAR NASUTION DEPUTI GUBERNUR SENIOR LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2000 NOMOR 207 DPU
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 2/25/PBI/2000 </reg_id> <reg_title> PENGELUARAN DAN PENGEDARAN UANG RUPIAH PECAHAN 1.000 (SERIBU) TAHUN EMISI 2000 </reg_title> <set_date> 23 November 2000 </set_date> <effective_date> 23 November 2000 </effective_date> <related_reg> '23/UU/1999', '2/17/PBI/2000' </related_reg>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 10/12/PBI/2008 TENTANG PENCABUTAN SURAT KEPUTUSAN DIREKSI BANK INDONESIA NOMOR 31/71/KEP/DIR TANGGAL 29 JULI 1998 TENTANG BADAN RESTRUKTURISASI UTANG LUAR NEGERI PERUSAHAAN SWASTA INDONESIA (INDONESIAN DEBT RESTRUCTURING AGENCY) DAN SURAT KEPUTUSAN DIREKSI BANK INDONESIA NOMOR 31/109/KEP/DIR TANGGAL 30 SEPTEMBER 1998 TENTANG TUGAS POKOK, TANGGUNG JAWAB DAN WEWENANG KETUA BADAN RESTRUKTURISASI UTANG LUAR NEGERI PERUSAHAAN SWASTA INDONESIA (INDONESIAN DEBT RESTRUCTURING AGENCY) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Badan Restrukturisasi Utang Luar Negeri Perusahaan Swasta Indonesia (Indonesian Debt Restructuring Agency) telah dibubarkan berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2008 Tanggal 19 Mei 2008 Tentang Pembubaran Badan Restrukturisasi Utang Luar Negeri Perusahaan Indonesia (Indonesian Debt Restructuring Agency); b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a tersebut di atas, perlu dilakukan pencabutan atas Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 31/71/KEP/DIR tanggal 29 Juli 1998 tentang Badan Restrukturisasi Utang Luar Negeri Perusahaan Swasta Indonesia (Indonesian Debt Restructuring Agency) dan Surat… Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 31/109/KEP/DIR tanggal 30 September 1998 tentang Tugas Pokok, Tanggung Jawab dan Wewenang Ketua Badan Restrukturisasi Utang Luar Negeri Swasta Indonesia (Indonesian Debt Restructuring Agency) dalam suatu Peraturan Bank Indonesia; Mengingat : Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 3 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357); M E M U T U S K A N : Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PENCABUTAN SURAT KEPUTUSAN DIREKSI BANK INDONESIA NOMOR 31/71/KEP/DIR TANGGAL 29 JULI 1998 TENTANG BADAN RESTRUKTURISASI UTANG LUAR NEGERI PERUSAHAAN SWASTA INDONESIA (INDONESIAN DEBT RESTRUCTURING AGENCY) DAN SURAT KEPUTUSAN DIREKSI BANK INDONESIA NOMOR 31/109/KEP/DIR TANGGAL 30 SEPTEMBER 1998 TENTANG TUGAS POKOK, TANGGUNG JAWAB DAN WEWENANG KETUA BADAN RESTRUKTURISASI UTANG LUAR NEGERI PERUSAHAAN SWASTA INDONESIA (INDONESIAN DEBT RESTRUCTURING AGENCY). Pasal 1 Mencabut dan menyatakan tidak berlaku : 1. Surat … 1. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 31/71/KEP/DIR tanggal 29 Juli 1998 tentang Badan Restrukturisasi Utang Luar Negeri Perusahaan Swasta Indonesia (Indonesian Debt Restructuring Agency); dan 2. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 31/109/KEP/DIR tanggal 30 September 1998 tentang Tugas Pokok, Tanggung Jawab dan Wewenang Ketua Badan Restrukturisasi Utang Luar Negeri Perusahaan Swasta Indonesia (Indonesian Debt Restructuring Agency). Pasal 2 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal : 19 Agustus 2008 GUBERNUR BANK INDONESIA, BOEDIONO Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 19 Agustus 2008 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA ANDI MATTALATTA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2008 NOMOR 121 DInt
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 10/12/PBI/2008 </reg_id> <reg_title> PENCABUTAN SURAT KEPUTUSAN DIREKSI BANK INDONESIA NOMOR 31/71/KEP/DIR TANGGAL 29 JULI 1998 TENTANG BADAN RESTRUKTURISASI UTANG LUAR NEGERI PERUSAHAAN SWASTA INDONESIA (INDONESIAN DEBT RESTRUCTURING AGENCY) DAN SURAT KEPUTUSAN DIREKSI BANK INDONESIA NOMOR 31/109/KEP/DIR TANGGAL 30 SEPTEMBER 1998 TENTANG TUGAS POKOK, TANGGUNG JAWAB DAN WEWENANG KETUA BADAN RESTRUKTURISASI UTANG LUAR NEGERI PERUSAHAAN SWASTA INDONESIA (INDONESIAN DEBT RESTRUCTURING AGENCY) </reg_title> <set_date> 19 Agustus 2008 </set_date> <effective_date> 19 Agustus 2008 </effective_date> <issued_date> 19 Agustus 2008 </issued_date> <replaced_reg> '31/71/KEP/DIR|SKDIR-BI/1998', '31/109/KEP/DIR|SKDIR-BI/1998' </replaced_reg> <related_reg> '23/UU/1999', '3/UU/2004' </related_reg>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 8/26/PBI/2006 TENTANG BANK PERKREDITAN RAKYAT GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa untuk mendorong pertumbuhan ekonomi nasional dan mendukung perkembangan usaha yang bersifat dinamis, diperlukan perbankan nasional yang tangguh dan efisien; b. bahwa sebagai bagian dari perbankan nasional, kelembagaan Bank Perkreditan Rakyat perlu diperkuat untuk mewujudkan industri yang sehat, kuat, produktif dan berdaya saing agar mampu meningkatkan pelayanan kepada masyarakat, khususnya usaha mikro dan kecil; c. bahwa sehubungan dengan itu, dipandang perlu untuk mengatur kembali ketentuan kelembagaan Bank Perkreditan Rakyat dalam Peraturan Bank Indonesia; Mengingat: … - 2 - Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3790); 2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3843) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4357); MEMUTUSKAN: Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG BANK PERKREDITAN RAKYAT. BAB I … - 3 - BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan: 1. Bank Perkreditan Rakyat, yang selanjutnya disebut BPR, adalah Bank Perkreditan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 4 Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional. 2. Bank Perkreditan Rakyat Syariah, yang selanjutnya disebut BPRS, adalah Bank Perkreditan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah. 3. Bank Umum adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional dan/atau berdasarkan prinsip syariah; 4. Kantor Cabang adalah kantor BPR yang secara langsung bertanggungjawab kepada kantor pusat BPR yang bersangkutan, dengan alamat tempat usaha yang jelas dimana Kantor Cabang tersebut melakukan usahanya. 5. Kantor … - 4 - 5. Kantor Kas adalah kantor BPR yang melakukan pelayanan kas, tidak termasuk pemberian kredit, dalam rangka membantu kantor induknya, dengan alamat tempat usaha yang jelas dimana Kantor Kas tersebut melakukan usahanya. 6. Kegiatan Kas di Luar Kantor adalah kegiatan pelayanan kas kepada masyarakat, antara lain: a. Kas Mobil atau Kas Terapung yaitu kegiatan kas dengan menggunakan alat transportasi darat atau air; b. Payment Point yaitu kegiatan pelayanan pembayaran melalui kerjasama antara BPR dan pihak lain; c. Anjungan Tunai Mandiri (ATM) yaitu kegiatan kas yang dilakukan dengan menggunakan peralatan elektronik untuk memudahkan nasabah melakukan transaksi perbankan antara lain penarikan tunai, pemindahbukuan, dan memperoleh informasi mengenai saldo atau mutasi rekening nasabah. 7. Direksi: a. bagi BPR berbentuk hukum Perseroan Terbatas, adalah direksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas; b. bagi BPR berbentuk hukum Perusahaan Daerah, adalah direksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah; c. bagi …. - 5 - c. bagi BPR berbentuk hukum Koperasi, adalah pengurus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian. 8. Komisaris: a. bagi BPR berbentuk hukum Perseroan Terbatas, adalah komisaris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas; b. bagi BPR berbentuk hukum Perusahaan Daerah, adalah pengawas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah; c. bagi BPR berbentuk hukum Koperasi, adalah pengawas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian. 9. Pejabat Eksekutif adalah pejabat yang mempunyai pengaruh terhadap kebijakan dan operasional BPR atau perusahaan, dan/atau bertanggung jawab langsung kepada Direksi, antara lain pemimpin Kantor Cabang. 10. Pemegang Saham Pengendali adalah badan hukum, perorangan dan/atau kelompok usaha yang: a. memiliki saham perusahaan atau BPR sebesar 25% (dua puluh lima perseratus) atau lebih dari jumlah saham yang dikeluarkan dan mempunyai hak suara; atau b. memiliki…. - 6 - b. memiliki saham perusahaan atau BPR kurang dari 25% (dua puluh lima perseratus) dari jumlah saham yang dikeluarkan dan mempunyai hak suara namun dapat dibuktikan telah melakukan pengendalian BPR, baik secara langsung maupun tidak langsung. 11. Lembaga Sertifikasi Profesi, yang selanjutnya disebut Lembaga Sertifikasi, adalah lembaga yang mengatur dan menetapkan sistem sertifikasi bagi anggota dan calon anggota Direksi BPR, telah memenuhi persyaratan minimum yang ditetapkan oleh Bank Indonesia dan memiliki akreditasi dari instansi yang berwenang. Pasal 2 Bentuk badan hukum BPR dapat berupa : a. Perseroan Terbatas; b. Koperasi; atau c. Perusahaan Daerah. BAB II PENDIRIAN BPR Pasal 3 (1) BPR hanya dapat didirikan dan melakukan kegiatan usaha dengan izin Bank Indonesia. (2) BPR…. - 7 - (2) BPR hanya dapat didirikan dan dimiliki oleh: a. warga negara Indonesia; b. badan hukum Indonesia yang seluruh pemiliknya warga negara Indonesia; c. Pemerintah Daerah; atau d. dua pihak atau lebih sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b dan huruf c. Pasal 4 (1) Modal disetor untuk mendirikan BPR ditetapkan paling sedikit sebesar: a. Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah), bagi BPR yang didirikan di wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta; b. Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah), bagi BPR yang didirikan di ibukota Provinsi di pulau Jawa dan Bali dan di wilayah Kabupaten atau Kota Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi; c. Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah), bagi BPR yang didirikan di ibukota Provinsi di luar pulau Jawa dan Bali dan di wilayah pulau Jawa dan Bali di luar wilayah sebagaimana disebut dalam huruf a dan huruf b; d. Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah), bagi BPR yang didirikan di wilayah lain di luar wilayah sebagaimana disebut dalam huruf a, huruf b dan huruf c. (2) Modal…. - 8 - (2) Modal disetor bagi BPR yang berbentuk hukum Koperasi adalah simpanan pokok, simpanan wajib, dan hibah sebagaimana diatur dalam Undang- Undang tentang Perkoperasian. (3) Paling sedikit 50% (lima puluh perseratus) dari modal disetor BPR wajib digunakan untuk modal kerja. BAB III PERIZINAN BPR Bagian Pertama Umum Pasal 5 Pemberian izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dilakukan dalam dua tahap: a. persetujuan prinsip, yaitu persetujuan untuk melakukan persiapan pendirian BPR; b. izin usaha, yaitu izin yang diberikan untuk melakukan kegiatan usaha BPR setelah persiapan sebagaimana dimaksud dalam huruf a selesai dilakukan. Bagian…. - 9 - Bagian Kedua Persetujuan Prinsip Pasal 6 (1) Permohonan untuk mendapatkan persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a diajukan paling sedikit oleh seorang calon pemilik kepada Dewan Gubernur Bank Indonesia dan dilampiri: a. rancangan akta pendirian badan hukum, termasuk rancangan anggaran dasar yang paling sedikit memuat: 1. nama dan tempat kedudukan; 2. kegiatan usaha sebagai BPR; 3. permodalan; 4. kepemilikan; dan 5. wewenang, tanggung jawab, dan masa jabatan anggota Direksi serta dewan Komisaris; b. data kepemilikan berupa: 1. daftar calon pemegang saham berikut rincian besarnya masing- masing kepemilikan saham, bagi BPR yang berbentuk hukum Perseroan Terbatas atau Perusahaan Daerah; 2. daftar calon anggota berikut rincian jumlah simpanan pokok dan simpanan wajib serta daftar hibah, bagi BPR yang berbentuk hukum Koperasi; c. daftar…. - 10 - c. daftar calon anggota Direksi dan dewan Komisaris, disertai dengan: 1. pasfoto terakhir ukuran 4x6 cm; 2. fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang masih berlaku; 3. riwayat hidup; 4. surat pernyataan pribadi yang menyatakan tidak pernah melakukan tindakan tercela di bidang perbankan, keuangan dan usaha lainnya dan/atau tidak pernah dihukum karena terbukti melakukan tindak pidana kejahatan dan/atau tidak sedang dalam masa pengenaan sanksi untuk dilarang menjadi pengurus BPR, BPRS dan/atau Bank Umum sebagaimana diatur dalam ketentuan mengenai penilaian kemampuan dan kepatutan (fit and proper test) BPR; 5. surat pernyataan pribadi yang menyatakan bahwa yang bersangkutan tidak pernah dinyatakan pailit dan tidak pernah menjadi pemegang saham, anggota direksi atau dewan Komisaris yang dinyatakan bersalah menyebabkan suatu perseroan dinyatakan pailit berdasarkan ketetapan pengadilan dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sebelum tanggal pengajuan permohonan; 6. contoh tandatangan dan paraf; 7. fotokopi ijazah D-3 atau Sarjana Muda atau transkrip nilai telah menyelesaikan 110 SKS dalam pendidikan S-1 yang dilegalisasi oleh lembaga yang berwenang, bagi calon anggota Direksi; 8. surat…. - 11 - 8. surat keterangan atau bukti tertulis dari bank tempat bekerja sebelumnya mengenai pengalaman operasional di bidang perbankan, bagi calon anggota Direksi yang telah berpengalaman; 9. surat keterangan telah mengikuti magang paling singkat selama 3 (tiga) bulan di BPR, bagi calon anggota Direksi yang belum berpengalaman, yang ditandatangani oleh anggota Direksi BPR dimana calon anggota Direksi dimaksud mengikuti magang; 10. sertifikat kelulusan dari Lembaga Sertifikasi, bagi calon anggota Direksi; 11. surat keterangan atau bukti tertulis mengenai pengalaman di bidang perbankan dari bank tempat bekerja sebelumnya, bagi calon anggota dewan Komisaris yang telah berpengalaman; 12. surat keterangan atau bukti tertulis dari instansi yang berwenang dan/atau lembaga pendidikan mengenai pendidikan di bidang perbankan yang pernah diikuti, bagi calon anggota dewan Komisaris yang belum berpengalaman; 13. surat pernyataan dari calon anggota Direksi bahwa yang bersangkutan tidak mempunyai hubungan keluarga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1); 14. surat pernyataan dari calon anggota Direksi mengenai kesediaan untuk tidak merangkap jabatan melebihi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2); 15. surat…. - 12 - 15. surat pernyataan dari calon anggota dewan Komisaris mengenai kesediaan untuk tidak merangkap jabatan melebihi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (3) dan ayat (4); dan 16. surat pernyataan dari calon anggota dewan Komisaris mengenai kesediaan untuk mempresentasikan hasil pengawasan terhadap BPR kepada Bank Indonesia; d. rencana struktur organisasi dan jumlah personalia; e. analisis atas potensi dan kelayakan pendirian BPR, yang meliputi penilaian terhadap: 1. aspek demografi dan ekonomi wilayah; 2. jumlah dan pertumbuhan lembaga perbankan, termasuk lembaga keuangan mikro; 3. rencana kegiatan usaha yang mencakup sumber dana dan penyaluran dana serta langkah-langkah yang akan dilakukan dalam mewujudkan rencana dimaksud; 4. proyeksi keuangan setiap bulan untuk tahun pertama dan secara tahunan untuk dua tahun berikutnya, sejak BPR melakukan kegiatan operasional; dan f. 5. perencanaan sumber daya manusia; rencana sistem dan prosedur kerja; g. bukti…. - 13 - g. bukti setoran modal paling sedikit 30% (tiga puluh perseratus) dari modal disetor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dalam bentuk fotokopi bilyet deposito pada Bank Umum di Indonesia, atas nama “Dewan Gubernur Bank Indonesia q.q. salah seorang calon pemilik untuk pendirian BPR yang bersangkutan” dengan mencantumkan keterangan bahwa pencairannya hanya dapat dilakukan setelah mendapat persetujuan tertulis dari Dewan Gubernur Bank Indonesia; dan h. surat pernyataan dari calon pemegang saham bagi BPR yang berbentuk hukum Perseroan Terbatas atau Perusahaan Daerah atau dari calon anggota bagi BPR yang berbentuk hukum Koperasi, bahwa setoran modal sebagaimana dimaksud dalam huruf g: 1. tidak berasal dari pinjaman atau fasilitas pembiayaan dalam bentuk apapun dari bank dan/atau pihak lain, dan 2. tidak berasal dari dan untuk tujuan pencucian uang. (2) Daftar calon pemegang saham atau calon anggota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b: a. dalam hal perorangan wajib dilampiri dengan: 1. dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c angka 1 sampai dengan angka 5; dan 2. surat pernyataan dari calon Pemegang Saham Pengendali yang menyatakan kesediaan untuk mengatasi kesulitan permodalan dan likuiditas…. - 14 - likuiditas yang dihadapi BPR dalam menjalankan kegiatan usahanya; b. dalam hal badan hukum wajib dilampiri dengan: 1. akta pendirian badan hukum, yang memuat anggaran dasar berikut perubahan-perubahan yang telah mendapat pengesahan dari instansi yang berwenang, kecuali bagi Pemerintah Daerah; 2. dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c angka 1 sampai dengan angka 5, dari seluruh anggota Direksi dan dewan Komisaris badan hukum yang bersangkutan, kecuali bagi Pemerintah Daerah; 3. daftar pemegang saham berikut rincian besarnya masing-masing kepemilikan saham, bagi badan hukum Perseroan Terbatas atau susunan pengurus dan rekapitulasi simpanan pokok dan simpanan wajib serta daftar hibah, bagi badan hukum Koperasi; 4. laporan keuangan posisi akhir bulan sebelum tanggal pengajuan permohonan persetujuan prinsip; 5. laporan keuangan badan hukum yang diaudit oleh Akuntan Publik dengan posisi paling lama 6 (enam) bulan sebelum tanggal pengajuan permohonan persetujuan prinsip, bagi badan hukum yang melakukan penyertaan sebesar Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) atau lebih, kecuali bagi Pemerintah Daerah; 6. surat…. - 15 - 6. surat pernyataan dari pengurus badan hukum yang menyatakan kesediaan untuk mengatasi kesulitan permodalan dan likuiditas yang dihadapi BPR dalam menjalankan kegiatan usahanya, dalam hal badan hukum tersebut merupakan calon Pemegang Saham Pengendali BPR; 7. surat pernyataan dari Pemegang Saham Pengendali dari calon Pemegang Saham Pengendali yang menyatakan kesediaan untuk mengatasi kesulitan permodalan dan likuiditas yang dihadapi BPR dalam menjalankan kegiatan usahanya, kecuali bagi Pemerintah Daerah; 8. seluruh struktur kelompok usaha yang terkait dengan BPR dan badan hukum pengendali BPR sampai dengan pemilik terakhir (ultimate shareholder), kecuali bagi Pemerintah Daerah; dan 9. surat pernyataan dari pengurus badan hukum yang menyatakan bahwa yang bersangkutan telah menyampaikan informasi secara benar dan lengkap mengenai struktur kelompok usaha BPR sampai dengan pemilik terakhir, dalam hal badan hukum tersebut merupakan calon Pemegang Saham Pengendali BPR. Pasal 7 (1) Persetujuan atau penolakan atas permohonan persetujuan prinsip diberikan paling lambat 60 (enam puluh) hari sejak permohonan berikut dokumen yang dipersyaratkan diterima secara lengkap. (2) Dalam…. - 16 - (2) Dalam rangka memberikan persetujuan atau penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia melakukan: a. penelitian atas kelengkapan dan kebenaran dokumen; b. penilaian kemampuan dan kepatutan melalui penelitian administratif dan wawancara terhadap calon Pemegang Saham Pengendali, calon anggota Direksi dan dewan Komisaris, sesuai dengan ketentuan mengenai penilaian kemampuan dan kepatutan (fit and proper test) BPR; dan c. penilaian terhadap analisis atas potensi dan kelayakan pendirian BPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf e. (3) Selain ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pihak-pihak yang mengajukan permohonan pendirian BPR wajib melakukan presentasi kepada Bank Indonesia mengenai analisis atas potensi dan kelayakan pendirian BPR. Pasal 8 (1) Persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) berlaku untuk jangka waktu 360 (tiga ratus enam puluh) hari terhitung sejak tanggal persetujuan prinsip diberikan, dan tidak dapat diperpanjang. (2) Pihak yang mendapat persetujuan prinsip dilarang melakukan kegiatan usaha sebelum mendapat izin usaha. (3) Apabila…. - 17 - (3) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) calon pemilik BPR belum mengajukan permohonan izin usaha kepada Bank Indonesia maka persetujuan prinsip yang telah diberikan dinyatakan tidak berlaku. Bagian Ketiga Izin Usaha Pasal 9 Permohonan untuk mendapatkan izin usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b diajukan oleh Direksi BPR kepada Dewan Gubernur Bank Indonesia dan wajib dilampiri dengan: a. akta pendirian badan hukum, yang memuat anggaran dasar badan hukum yang telah disahkan oleh instansi yang berwenang; b. data kepemilikan berupa: 1. daftar pemegang saham berikut rincian besarnya masing-masing kepemilikan saham bagi BPR yang berbentuk hukum Perseroan Terbatas atau Perusahaan Daerah; atau 2. daftar anggota berikut rincian jumlah simpanan pokok dan simpanan wajib serta daftar hibah bagi BPR yang berbentuk hukum Koperasi, yang masing-masing disertai dengan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2), dalam hal terjadi perubahan; c. daftar…. - 18 - c. daftar susunan calon anggota Direksi dan dewan Komisaris disertai dengan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c, dalam hal terjadi perubahan; d. susunan organisasi serta sistem dan prosedur kerja, termasuk susunan personalia; e. bukti pelunasan modal disetor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), dalam bentuk fotokopi bilyet deposito pada Bank Umum di Indonesia atas nama “Dewan Gubernur Bank Indonesia q.q. salah seorang pemilik untuk pendirian BPR yang bersangkutan” dengan mencantumkan keterangan bahwa pencairannya hanya dapat dilakukan setelah mendapat persetujuan tertulis dari Dewan Gubernur Bank Indonesia; f. surat pernyataan dari pemegang saham bagi BPR yang berbentuk hukum Perseroan Terbatas atau Perusahaan Daerah atau dari anggota bagi BPR yang berbentuk hukum Koperasi, bahwa setoran modal sebagaimana dimaksud dalam huruf e: 1. tidak berasal dari pinjaman atau fasilitas pembiayaan dalam bentuk apapun dari bank dan/atau pihak lain; dan 2. tidak berasal dari dan untuk tujuan pencucian uang; dan g. bukti kesiapan operasional, yang paling sedikit mencakup: 1. daftar aktiva tetap dan inventaris; 2. bukti penguasaan gedung kantor berupa bukti kepemilikan atau perjanjian sewa-menyewa gedung kantor yang didukung oleh bukti kepemilikan dari pihak yang menyewakan; 3. foto…. - 19 - 3. foto gedung kantor dan tata letak ruangan; 4. contoh formulir/warkat yang akan digunakan untuk operasional BPR; 5. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Pasal 10 (1) Persetujuan atau penolakan atas permohonan izin usaha diberikan paling lambat 60 (enam puluh) hari sejak permohonan berikut dokumen yang dipersyaratkan diterima secara lengkap. (2) Dalam rangka memberikan persetujuan atau penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia melakukan: a. penelitian atas kelengkapan dan kebenaran dokumen; dan b. penilaian kemampuan dan kepatutan yang meliputi penelitian administratif dan wawancara terhadap calon Pemegang Saham Pengendali, calon anggota Direksi dan dewan Komisaris sesuai dengan ketentuan mengenai penilaian kemampuan dan kepatutan (fit and proper test) BPR, dalam hal terdapat penggantian atas calon yang diajukan sebelumnya. Pasal 11 (1) BPR yang telah mendapat izin usaha dari Bank Indonesia wajib melakukan kegiatan usaha paling lambat 60 (enam puluh) hari terhitung sejak tanggal izin usaha diberikan. (2) Kegiatan…. - 20 - (2) Kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilaporkan kepada Bank Indonesia paling lambat 10 (sepuluh) hari sejak tanggal dimulainya kegiatan usaha, dengan melampirkan Tanda Daftar Perusahaan. (3) Dalam hal BPR belum melakukan kegiatan usaha dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), izin usaha yang telah diberikan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 12 BPR yang telah mendapat izin usaha dari Dewan Gubernur Bank Indonesia wajib mencantumkan bentuk badan hukum dan kata “Bank Perkreditan Rakyat” atau disingkat “BPR” di depan nama BPR, sesuai dengan anggaran dasar BPR. BAB IV KEPEMILIKAN DAN PERUBAHAN MODAL BPR Pasal 13 (1) Kepemilikan BPR oleh badan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf b paling tinggi sebesar modal sendiri bersih badan hukum yang bersangkutan dan tidak melebihi jumlah yang diperkenankan bagi badan hukum tersebut sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. (2) Modal…. - 21 - (2) Modal sendiri bersih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan: a. penjumlahan dari modal disetor, cadangan dan laba dikurangi penyertaan dan kerugian, bagi badan hukum Perseroan Terbatas atau Perusahaan Daerah; b. penjumlahan dari simpanan pokok, simpanan wajib, hibah, modal penyertaan, dana cadangan dan sisa hasil usaha dikurangi penyertaan dan kerugian, bagi badan hukum Koperasi; c. penjumlahan sumbangan atau bantuan yang tidak mengikat, wakaf, dan hibah yang tidak bertentangan dengan anggaran dasar dan/atau peraturan perundangan yang berlaku, bagi badan hukum yayasan. Pasal 14 Sumber dana untuk kepemilikan BPR dilarang: a. berasal dari pinjaman atau fasilitas pembiayaan dalam bentuk apapun dari bank dan/atau pihak lain, kecuali berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD); dan b. berasal dari dan untuk tujuan pencucian uang. Pasal 15 (1) Yang dapat menjadi pemilik BPR adalah pihak-pihak yang: a. tidak termasuk dalam daftar orang-orang yang dilarang menjadi pemegang saham dan/atau pengurus BPR, BPRS dan/atau bank umum sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. b. menurut…. - 22 - b. menurut penilaian Bank Indonesia yang bersangkutan memiliki integritas, antara lain: 1. memiliki akhlak dan moral yang baik; 2. bersedia mematuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku; dan 3. bersedia mengembangkan operasional BPR secara sehat. (2) Bagi Pemegang Saham Pengendali, selain wajib memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), juga wajib memenuhi persyaratan kelayakan keuangan sesuai dengan ketentuan mengenai penilaian kemampuan dan kepatutan (fit and proper test) BPR. Pasal 16 (1) Perubahan kepemilikan karena pengalihan saham yang mengakibatkan perubahan dan/atau mengakibatkan terjadinya Pemegang Saham Pengendali BPR, wajib mendapat persetujuan Bank Indonesia terlebih dahulu dan tunduk kepada tata cara penggantian dan/atau penambahan pemilik BPR yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. (2) Permohonan persetujuan perubahan kepemilikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Bank Indonesia dengan dilampiri dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b dan huruf c angka 1 sampai dengan angka 5. (3) Persetujuan…. - 23 - (3) Persetujuan atau penolakan atas permohonan perubahan kepemilikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak permohonan berikut dokumen yang dipersyaratkan diterima secara lengkap. (4) BPR wajib menyelenggarakan Rapat Umum Pemegang Saham atau Rapat Anggota untuk mengesahkan perubahan kepemilikan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), paling lambat 90 (sembilan puluh) hari sejak tanggal persetujuan Bank Indonesia. (5) Dalam hal Rapat Umum Pemegang Saham atau Rapat Anggota sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak dapat diselenggarakan dalam waktu yang ditentukan, persetujuan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dinyatakan tidak berlaku. (6) Pelaksanaan perubahan kepemilikan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) wajib dilaporkan kepada Bank Indonesia paling lambat 10 (sepuluh) hari setelah perubahan, dengan dilampiri: a. bukti penyetoran; b. risalah Rapat Umum Pemegang Saham atau Rapat Anggota; c. perubahan anggaran dasar yang telah dinotariilkan; d. bukti pelaporan perubahan anggaran dasar sebagaimana dimaksud pada huruf c kepada instansi yang berwenang; e. surat pernyataan dari pemegang saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf h; dan f. daftar…. - 24 - f. daftar pemegang saham berikut rincian besarnya masing-masing kepemilikan saham, bagi BPR yang berbentuk hukum Perseroan Terbatas atau Perusahaan Daerah, atau daftar anggota berikut jumlah simpanan pokok dan simpanan wajib serta daftar hibah, bagi BPR yang berbentuk hukum Koperasi. Pasal 17 (1) Penggantian dan/atau penambahan pemilik yang tidak mengakibatkan perubahan Pemegang Saham Pengendali BPR, wajib terlebih dahulu mendapatkan persetujuan Bank Indonesia. (2) Permohonan penggantian dan/atau penambahan pemilik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Bank Indonesia dengan dilengkapi dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b dan huruf c angka 1 sampai dengan angka 5. (3) Persetujuan atas rencana penggantian dan/atau penambahan pemilik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak permohonan berikut dokumen yang dipersyaratkan diterima secara lengkap. (4) BPR wajib menyelenggarakan Rapat Umum Pemegang Saham atau Rapat Anggota untuk mengesahkan penggantian dan/atau penambahan pemilik yang telah memperoleh persetujuan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (3), paling lambat 90 (sembilan puluh) hari sejak tanggal persetujuan Bank Indonesia. (5) Dalam…. - 25 - (5) Dalam hal Rapat Umum Pemegang Saham atau Rapat Anggota sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak dapat diselenggarakan dalam waktu yang ditentukan, persetujuan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dinyatakan tidak berlaku. (6) Penggantian dan/atau penambahan pemilik sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib dilaporkan kepada Bank Indonesia paling lambat 10 (sepuluh) hari sejak pelaksanaan penggantian dan/atau penambahan, dengan dilampiri dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (6). Pasal 18 (1) Perubahan komposisi kepemilikan BPR yang tidak mengakibatkan penggantian dan/atau penambahan Pemegang Saham Pengendali wajib dilaporkan kepada Bank Indonesia paling lambat 10 (sepuluh) hari sejak perubahan dilakukan. (2) Perubahan komposisi kepemilikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang diakibatkan oleh penambahan modal disetor dilaporkan kepada Bank Indonesia dengan dilampiri dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (6). (3) Perubahan komposisi kepemilikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang tidak diakibatkan oleh perubahan modal disetor dilaporkan kepada Bank Indonesia dengan dilampiri dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (6) huruf b, huruf c, huruf d dan huruf f. Pasal 19…. - 26 - Pasal 19 Penambahan modal disetor yang tidak mengakibatkan perubahan komposisi kepemilikan BPR wajib dilaporkan kepada Bank Indonesia paling lambat 10 (sepuluh) hari sejak penambahan modal disetor dengan dilampiri dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (6). Pasal 20 (1) Jumlah modal disetor BPR setelah perubahan kepemilikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16, Pasal 17, Pasal 18 ayat (2) dan Pasal 19 wajib memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3). (2) Dalam rangka menjaga kecukupan modal kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3), BPR wajib menjaga agar jumlah aktiva tetap dan inventaris paling banyak sebesar 50% (lima puluh perseratus) dari modal disetor. Pasal 21 (1) Perubahan modal dasar wajib dilaporkan kepada Bank Indonesia paling lambat 10 (sepuluh) hari sejak BPR menerima surat persetujuan perubahan anggaran dasar dari instansi yang berwenang, dilampiri dengan: a. risalah Rapat Umum Pemegang Saham atau Rapat Anggota; dan b. perubahan anggaran dasar yang disetujui oleh instansi yang berwenang. (2) BPR…. - 27 - (2) BPR wajib mengadministrasikan dengan tertib: a. daftar pemegang saham dan perubahannya, bagi BPR yang berbentuk hukum Perseroan Terbatas atau Perusahaan Daerah; b. buku daftar anggota dan perubahannya, bagi BPR yang berbentuk hukum Koperasi. BAB V ANGGOTA DIREKSI, DEWAN KOMISARIS DAN PEJABAT EKSEKUTIF Pasal 22 (1) Anggota Direksi dan dewan Komisaris wajib memenuhi persyaratan: a. kompetensi; b. integritas; dan c. reputasi keuangan (2) Persyaratan kompetensi bagi anggota Dewan Komisaris sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a wajib dipenuhi oleh paling sedikit 50% (lima puluh perseratus) anggota Dewan Komisaris berupa pengetahuan dan/atau pengalaman di bidang perbankan. (3) Pemenuhan persyaratan bagi anggota Direksi dan dewan Komisaris sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan mengenai penilaian kemampuan dan kepatutan (fit and proper test) BPR. Pasal 23…. - 28 - Pasal 23 (1) Anggota Direksi paling sedikit berjumlah 2 (dua) orang. (2) Anggota Direksi wajib memiliki pendidikan formal paling rendah setingkat D-3 atau Sarjana Muda atau telah menyelesaikan paling sedikit 110 SKS dalam pendidikan S-1. (3) Paling sedikit 50% (lima puluh perseratus) dari anggota Direksi: a. wajib memiliki pengalaman sebagai pejabat di bidang operasional perbankan paling singkat selama 2 (dua) tahun, atau b. telah mengikuti magang paling singkat selama 3 (tiga) bulan di BPR dan memiliki sertifikat kelulusan dari Lembaga Sertifikasi, pada saat diajukan sebagai calon anggota Direksi. Pasal 24 Anggota Direksi wajib memiliki sertifikat kelulusan dari Lembaga Sertifikasi. Pasal 25 (1) Anggota Direksi dilarang memiliki hubungan keluarga dengan: a. anggota Direksi lainnya dalam hubungan sebagai orang tua, anak, mertua, menantu, suami, istri, saudara kandung atau ipar; dan/atau b. anggota dewan Komisaris dalam hubungan sebagai orang tua, anak, mertua, menantu, suami, istri atau saudara kandung. (2) Anggota…. - 29 - (2) Anggota Direksi dilarang merangkap jabatan sebagai anggota Direksi atau Pejabat Eksekutif pada lembaga perbankan, perusahaan atau lembaga lain. (3) Anggota Direksi dilarang memberikan kuasa umum yang mengakibatkan pengalihan tugas dan wewenang tanpa batas. Pasal 26 (1) Anggota dewan Komisaris paling sedikit berjumlah 2 (dua) orang. (2) Paling sedikit 50 % (lima puluh perseratus) anggota dewan Komisaris sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memiliki pengetahuan dan/atau pengalaman di bidang perbankan. (3) Anggota dewan Komisaris hanya dapat merangkap jabatan sebagai komisaris paling banyak pada 2 (dua) BPR atau BPRS lain. (4) Anggota dewan Komisaris dilarang merangkap jabatan sebagai anggota Direksi pada BPR, BPRS dan/atau Bank Umum. (5) Anggota dewan Komisaris wajib melakukan rapat dewan Komisaris secara berkala, paling sedikit 4 (empat) kali dalam setahun. (6) Dalam hal diperlukan oleh Bank Indonesia, anggota dewan Komisaris wajib mempresentasikan hasil pengawasan terhadap BPR. Pasal 27 Dalam hal terjadi benturan kepentingan, anggota Direksi, dewan Komisaris dan Pejabat Eksekutif dilarang mengambil keputusan. Pasal 28…. - 30 - Pasal 28 (1) Dalam hal terjadi perpanjangan masa jabatan dan/atau penggantian anggota Direksi dan/atau dewan Komisaris, calon anggota Direksi dan/atau dewan Komisaris wajib memperoleh persetujuan dari Bank Indonesia sebelum diangkat dan menduduki jabatannya. (2) Permohonan perpanjangan masa jabatan anggota Direksi dan/atau dewan Komisaris sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disampaikan oleh anggota Direksi kepada Bank Indonesia sebelum Rapat Umum Pemegang Saham atau Rapat Anggota untuk mengesahkan perpanjangan masa jabatan dimaksud disertai dengan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c angka 1 sampai dengan angka 6 dan angka 13 sampai dengan angka 16. (3) Permohonan penggantian anggota Direksi dan/atau dewan Komisaris sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disampaikan oleh anggota Direksi kepada Bank Indonesia sebelum Rapat Umum Pemegang Saham atau Rapat Anggota untuk mengesahkan penggantian dimaksud, disertai dengan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c angka 1 sampai dengan angka 16. (4) Persetujuan atau penolakan atas permohonan perpanjangan masa jabatan dan/atau penggantian anggota Direksi dan/atau dewan Komisaris diberikan paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak permohonan berikut dokumen yang dipersyaratkan diterima secara lengkap. (5) Dalam…. - 31 - (5) Dalam rangka memberikan persetujuan atau penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Bank Indonesia melakukan penilaian sesuai dengan ketentuan mengenai penilaian kemampuan dan kepatutan (fit and proper test) BPR. Pasal 29 (1) BPR wajib menyelenggarakan Rapat Umum Pemegang Saham atau Rapat Anggota untuk mengangkat anggota Direksi dan/atau dewan Komisaris paling lambat 90 (sembilan puluh) hari sejak tanggal persetujuan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1). (2) Pengangkatan anggota Direksi dan/atau dewan Komisaris wajib dilaporkan kepada Bank Indonesia paling lambat 10 (sepuluh) hari sejak pengangkatan disertai dengan risalah Rapat Umum Pemegang Saham atau Rapat Anggota. (3) Risalah Rapat Umum Pemegang Saham atau Rapat Anggota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib disertai dengan perubahan anggaran dasar yang telah dinotariilkan, bukti pelaporan perubahan anggaran dasar kepada instansi yang berwenang dan susunan pengurus BPR terakhir. (4) Dalam hal Rapat Umum Pemegang Saham atau Rapat Anggota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak terselenggara dalam waktu yang ditentukan, persetujuan Bank Indonesia terhadap calon anggota Direksi dan/atau dewan Komisaris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) dinyatakan tidak berlaku. Pasal 30…. - 32 - Pasal 30 (1) Pengangkatan Pejabat Eksekutif wajib dilaporkan kepada Bank Indonesia paling lambat 10 (sepuluh) hari sejak tanggal pengangkatan dengan dilampiri: a. surat pengangkatan, dan khusus bagi Pemimpin Cabang disertai dengan surat kuasa dari anggota Direksi BPR; b. pasfoto terakhir ukuran 4x6 cm; c. fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang masih berlaku; d. riwayat hidup; dan e. contoh tandatangan dan paraf. (2) Apabila berdasarkan penilaian dan penelitian Bank Indonesia, Pejabat Eksekutif termasuk dalam daftar orang-orang yang dilarang menjadi pemegang saham, Pemegang Saham Pengendali, pengurus, Pejabat Eksekutif BPR, BPRS dan/atau Bank Umum maka BPR wajib memberhentikan yang bersangkutan paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal surat pemberitahuan dari Bank Indonesia. (3) Pemberhentian Pejabat Eksekutif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib dilaporkan kepada Bank Indonesia paling lambat 10 (sepuluh) hari sejak tanggal pemberhentian. BAB VI…. - 33 - BAB VI PEMBUKAAN KANTOR BPR Bagian Pertama Pembukaan Kantor Cabang Pasal 31 (1) BPR hanya dapat membuka Kantor Cabang di wilayah Provinsi yang sama dengan kantor pusatnya. (2) Pembukaan Kantor Cabang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan dengan izin Bank Indonesia. (3) Wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta dan Kabupaten atau Kota Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi dan Karawang ditetapkan sebagai satu wilayah Provinsi untuk keperluan pembukaan Kantor Cabang. (4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berlaku pula bagi pembukaan Kantor Cabang BPR di dalam wilayah dimaksud sebagai akibat merger atau konsolidasi. Pasal 32 (1) BPR dapat mengajukan permohonan pembukaan Kantor Cabang dengan persyaratan sebagai berikut: a. rencana pembukaan Kantor Cabang telah dicantumkan dalam rencana kerja tahunan BPR; b. selama…. - 34 - b. selama 12 (dua belas) bulan terakhir memiliki tingkat kesehatan tergolong sehat; c. selama 3 (tiga) bulan terakhir memiliki rasio kewajiban penyediaan modal minimum (CAR) paling sedikit 10% (sepuluh perseratus); dan d. memiliki teknologi informasi yang memadai (2) Setiap permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat diajukan untuk pembukaan 1 (satu) Kantor Cabang. (3) Permohonan pembukaan Kantor Cabang berikutnya hanya dapat diajukan paling cepat 3 (tiga) bulan setelah permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disetujui Bank Indonesia. Pasal 33 Izin pembukaan Kantor Cabang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (2) diberikan dalam 2 (dua) tahap: a. persetujuan prinsip pembukaan Kantor Cabang, yaitu persetujuan untuk melakukan persiapan pembukaan Kantor Cabang; b. izin operasional Kantor Cabang, yaitu izin membuka Kantor Cabang setelah persiapan sebagaimana dimaksud pada huruf a selesai dilakukan. Pasal 34 Permohonan untuk memperoleh persetujuan prinsip pembukaan Kantor Cabang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 huruf a diajukan oleh BPR kepada Bank Indonesia…. - 35 - Indonesia dengan dilampiri analisis atas potensi dan kelayakan pembukaan Kantor Cabang, dengan merujuk kepada Pasal 6 ayat (1) huruf e. Pasal 35 (1) Persetujuan atau penolakan atas permohonan persetujuan prinsip pembukaan Kantor Cabang diberikan paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak permohonan berikut dokumen yang dipersyaratkan diterima secara lengkap. (2) Dalam rangka memberikan persetujuan atau penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia melakukan: a. penelitian atas kelengkapan dan kebenaran dokumen; dan b. penilaian terhadap analisis atas potensi dan kelayakan pembukaan Kantor Cabang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34. Pasal 36 (1) Persetujuan prinsip pembukaan Kantor Cabang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 huruf a berlaku selama 120 (seratus dua puluh) hari terhitung sejak tanggal persetujuan prinsip pembukaan Kantor Cabang. (2) Dalam hal BPR belum mengajukan permohonan izin operasional Kantor Cabang kepada Bank Indonesia dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), persetujuan prinsip pembukaan Kantor Cabang yang diberikan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 37…. - 36 - Pasal 37 (1) Permohonan untuk memperoleh izin operasional Kantor Cabang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 huruf b diajukan oleh BPR dengan dilampiri bukti kesiapan operasional dalam rangka pembukaan Kantor Cabang. (2) Persetujuan atau penolakan atas permohonan izin operasional Kantor Cabang diberikan paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak permohonan berikut dokumen yang dipersyaratkan diterima secara lengkap (3) Dalam rangka memberikan persetujuan atau penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia melakukan penelitian atas kesiapan operasional BPR dalam rangka pembukaan Kantor Cabang. Pasal 38 (1) BPR yang memperoleh izin operasional Kantor Cabang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 huruf b wajib melakukan kegiatan usaha pada Kantor Cabang dimaksud paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal izin diberikan. (2) Pelaksanaan pembukaan Kantor Cabang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilaporkan kepada Bank Indonesia paling lambat 10 (sepuluh) hari sejak tanggal pembukaan. (3) Apabila setelah jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) BPR belum melakukan kegiatan usaha pada Kantor Cabang, izin operasional Kantor Cabang yang telah diberikan dinyatakan tidak berlaku. Bagian…. - 37 - Bagian Kedua Pembukaan Kantor Kas Pasal 39 (1) Pembukaan Kantor Kas hanya dapat dilakukan dalam satu wilayah Kabupaten atau Kota dengan kantor induknya. (2) BPR yang akan membuka Kantor Kas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. rencana pembukaan Kantor Kas telah dicantumkan dalam rencana kerja tahunan BPR; dan b. tingkat kesehatan selama 12 (dua belas) bulan terakhir paling rendah tergolong cukup sehat. Pasal 40 (1) BPR wajib mengajukan rencana pembukaan Kantor Kas kepada Bank Indonesia . (2) Bank Indonesia memberikan penegasan terhadap rencana pembukaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak menerima rencana pembukaan Kantor Kas. (3) Pembukaan Kantor Kas wajib dilaksanakan paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal penegasan dari Bank Indonesia. (4) Dalam…. - 38 - (4) Dalam hal BPR tidak melaksanakan pembukaan Kantor Kas dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3), penegasan pembukaan Kantor Kas yang telah diberikan dinyatakan tidak berlaku. (5) Pelaksanaan pembukaan Kantor Kas sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib dilaporkan kepada Bank Indonesia paling lambat 10 (sepuluh puluh) hari sejak tanggal pembukaan. Bagian Ketiga Kegiatan Kas di Luar Kantor Pasal 41 (1) Kegiatan Kas di Luar Kantor dengan menggunakan Kas Mobil, Kas Terapung dan Payment Point hanya dapat dilakukan dalam wilayah Kabupaten atau Kota yang sama dengan kantor induknya. (2) Kegiatan Kas di Luar Kantor dengan menggunakan ATM yang diselenggarakan sendiri oleh BPR hanya dapat dilakukan dalam wilayah Provinsi yang sama dengan kantor induknya. (3) Kegiatan Kas di Luar Kantor dengan menggunakan ATM melalui kerjasama dengan bank umum dapat dilakukan sampai luar wilayah Provinsi tempat kedudukan kantor induknya. (4) Kegiatan Kas di Luar Kantor sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) wajib dilaporkan kepada Bank Indonesia paling lambat 10 (sepuluh) hari sejak tanggal pelaksanaan kegiatan. (5) Kegiatan…. - 39 - (5) Kegiatan Kas di Luar Kantor dengan menggunakan ATM sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) wajib mendapat persetujuan Bank Indonesia. (6) Rencana Kegiatan Kas di Luar Kantor sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2) dan (3) wajib dicantumkan dalam rencana kerja tahunan BPR. Pasal 42 Laporan keuangan Kantor Kas dan Kegiatan Kas di Luar Kantor wajib digabungkan dengan laporan keuangan kantor induk pada hari yang sama. BAB VII PEMINDAHAN ALAMAT KANTOR Pasal 43 Pemindahan alamat kantor pusat dan Kantor Cabang wajib memperoleh persetujuan Bank Indonesia. Pasal 44 Pemberian izin pemindahan alamat kantor dilakukan dalam dua tahap : a. persetujuan prinsip pemindahan alamat kantor, yaitu persetujuan untuk melakukan persiapan pemindahan alamat kantor; b. izin…. - 40 - b. izin efektif pemindahan alamat kantor, yaitu izin pindah alamat kantor setelah persiapan sebagaimana dimaksud dalam huruf a selesai dilakukan. Pasal 45 (1) Persetujuan prinsip pemindahan alamat kantor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 huruf a hanya diberlakukan bagi pemindahan alamat kantor ke luar wilayah Kabupaten, Kota atau Provinsi. (2) Permohonan untuk mendapatkan persetujuan prinsip pemindahan alamat kantor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan kepada Bank Indonesia dengan dilampiri: a. alasan pemindahan alamat kantor dan rencana penyelesaian atau pengalihan tagihan dan kewajiban; dan b. analisis atas potensi dan kelayakan pemindahan alamat kantor, dengan merujuk kepada Pasal 6 ayat (1) huruf e. Pasal 46 (1) Persetujuan atau penolakan atas permohonan persetujuan prinsip pemindahan alamat kantor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (2) diberikan paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak permohonan berikut dokumen yang dipersyaratkan diterima secara lengkap. (2) Dalam rangka memberikan persetujuan atau penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia melakukan: a. penelitian…. - 41 - a. penelitian atas kelengkapan dan kebenaran dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (2) huruf a; dan b. penilaian terhadap analisis atas potensi dan kelayakan pemindahan alamat kantor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (2) huruf b. Pasal 47 (1) Persetujuan prinsip pemindahan alamat kantor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 huruf a berlaku untuk jangka waktu 180 (seratus delapan puluh) hari terhitung sejak tanggal persetujuan Bank Indonesia. (2) BPR dilarang melakukan pemindahan alamat kantor sebelum mendapat izin efektif pemindahan alamat kantor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 huruf b. (3) Dalam hal BPR belum mengajukan permohonan izin efektif pemindahan alamat kantor dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), persetujuan prinsip pemindahan alamat kantor yang telah diberikan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 48 Permohonan untuk mendapatkan izin efektif pemindahan alamat kantor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 huruf b diajukan kepada Bank Indonesia dengan dilampiri: a. bukti…. - 42 - a. bukti pengumuman kepada masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (1) dan bukti kesiapan kantor termasuk sarananya, bagi BPR yang akan melakukan pemindahan alamat kantor keluar wilayah Kabupaten, Kota atau Provinsi; b. bukti pengumuman kepada masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (1), alasan pemindahan alamat kantor, rencana penyelesaian atau pengalihan tagihan dan kewajiban serta bukti kesiapan kantor termasuk sarananya, bagi BPR yang akan melakukan pemindahan alamat kantor dalam satu Kabupaten atau Kota. Pasal 49 (1) BPR wajib mengumumkan kepada masyarakat di tempat kedudukan BPR dalam surat kabar harian lokal atau pada papan pengumuman di seluruh kantor BPR yang bersangkutan mengenai rencana pemindahan alamat kantor, paling lambat 10 (sepuluh) hari sebelum mengajukan permohonan izin efektif pemindahan alamat kantor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 kepada Bank Indonesia. (2) Dalam rangka memberikan persetujuan atau penolakan atas permohonan izin efektif pemindahan alamat kantor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48, Bank Indonesia melakukan penelitian atas kebenaran dan kelengkapan dokumen. (3) Persetujuan…. - 43 - (3) Persetujuan atau penolakan atas permohonan izin efektif pemindahan alamat kantor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan paling lambat: a. 30 (tiga puluh) hari bagi BPR yang akan melakukan pemindahan alamat kantor dalam 1 (satu) Kabupaten atau Kota; atau b. 60 (enam puluh) hari bagi BPR yang akan melakukan pemindahan alamat kantor keluar wilayah kabupaten, Kota atau Provinsi, sejak permohonan berikut dokumen yang dipersyaratkan diterima secara lengkap (4) Pemindahan alamat kantor dilaksanakan paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal izin efektif pemindahan alamat kantor dari Bank Indonesia. (5) Dalam hal BPR tidak melaksanakan pemindahan alamat kantor dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (4), izin efektif pemindahan alamat kantor yang telah diberikan dinyatakan tidak berlaku. (6) Pemindahan alamat kantor wajib dilaporkan kepada Bank Indonesia paling lambat 10 (sepuluh) hari sejak tanggal pelaksanaan pemindahan alamat kantor. Pasal 50 (1) BPR wajib melaporkan rencana pemindahan alamat Kantor Kas kepada Bank Indonesia dengan menjelaskan alasan pemindahan dan kesiapan Kantor Kas. (2) Pemindahan…. - 44 - (2) Pemindahan alamat Kantor Kas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan setelah BPR memperoleh surat penegasan dari Bank Indonesia. (3) Penegasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan paling lambat 15 (lima belas) hari sejak Bank Indonesia menerima laporan pemindahan alamat Kantor Kas sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (4) Pemindahan alamat Kantor Kas dilaporkan kepada Bank Indonesia paling lambat 10 (sepuluh) hari sejak tanggal pemindahan. Pasal 51 BPR wajib melaporkan pemindahan Kegiatan Kas di Luar Kantor berupa ATM dan Payment Point kepada Bank Indonesia paling lambat 10 (sepuluh) hari sejak tanggal pemindahan. BAB VIII PERUBAHAN NAMA DAN BENTUK BADAN HUKUM Bagian Pertama Perubahan Nama Pasal 52 (1) BPR yang telah memperoleh persetujuan perubahan nama dari instansi yang berwenang wajib mengajukan permohonan kepada Bank Indonesia mengenai …. - 45 - mengenai penetapan penggunaan izin usaha yang dimiliki BPR dengan nama yang baru. (2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diajukan paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak persetujuan perubahan nama dan disertai dengan: a. alasan perubahan nama; dan b. akta perubahan anggaran dasar yang telah disetujui oleh instansi berwenang. (3) Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Bank Indonesia memberikan persetujuan tentang perubahan nama BPR paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak dokumen diterima secara lengkap. (4) BPR wajib mengumumkan pelaksanaan perubahan nama kepada masyarakat dalam surat kabar harian lokal atau pada papan pengumuman di seluruh kantor BPR yang bersangkutan, paling lambat 20 (dua puluh) hari sejak tanggal persetujuan dari Bank Indonesia. (5) BPR wajib menyampaikan bukti pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (5) kepada Bank Indonesia, paling lambat 10 (sepuluh) hari sejak tanggal pengumuman. Bagian…. - 46 - Bagian Kedua Perubahan Bentuk Badan Hukum Pasal 53 (1) Perubahan bentuk badan hukum dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan hanya dapat dilakukan dengan persetujuan Bank Indonesia. (2) Pemberian persetujuan perubahan bentuk badan hukum BPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam dua tahap: a. persetujuan prinsip, yaitu persetujuan untuk melakukan persiapan perubahan bentuk badan hukum BPR; b. persetujuan pengalihan izin usaha, yaitu persetujuan yang diberikan untuk mengalihkan izin usaha dari badan hukum lama kepada badan hukum baru. Pasal 54 (1) Permohonan untuk mendapatkan persetujuan prinsip perubahan bentuk badan hukum BPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (2) huruf a diajukan kepada Bank Indonesia sebelum dilakukan Rapat Umum Pemegang Saham atau Rapat Anggota untuk memutuskan perubahan bentuk badan hukum BPR, dan wajib dilampiri dengan: a. alasan perubahan bentuk badan hukum BPR; b. rancangan akta pendirian badan hukum baru termasuk anggaran dasar; c. rencana…. - 47 - c. rencana pengalihan seluruh hak dan kewajiban dari badan hukum lama kepada badan hukum baru; d. dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c angka 1 sampai dengan angka 16; dan e. data kepemilikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b. (2) Persetujuan atau penolakan atas permohonan persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak permohonan berikut dokumen yang dipersyaratkan diterima secara lengkap. (3) Dalam rangka memberikan persetujuan atau penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Bank Indonesia melakukan: a. penelitian atas kelengkapan dan kebenaran dokumen; dan b. penilaian terhadap calon Pemegang Saham Pengendali, calon anggota Direksi dan/atau dewan Komisaris sesuai ketentuan mengenai penilaian kemampuan dan kepatutan (fit and proper test) BPR, dalam hal terjadi penggantian atau perubahan. (4) Persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berlaku selama 180 (seratus delapan puluh) hari sejak tanggal persetujuan. (5) Dalam hal BPR tidak mengajukan permohonan pengalihan izin usaha dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (4), persetujuan prinsip yang telah diberikan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 55 … - 48 - Pasal 55 (1) Permohonan untuk mengalihkan izin usaha BPR dari badan hukum lama kepada badan hukum baru sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (2) huruf b, diajukan kepada Bank Indonesia dan wajib dilampiri dengan: a. akta pendirian badan hukum baru termasuk anggaran dasar yang telah disahkan oleh instansi berwenang; b. daftar calon anggota dewan Komisaris dan Direksi disertai dengan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c angka 1 sampai dengan angka 16, dalam hal terjadi penggantian; c. data kepemilikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b, dalam hal terjadi perubahan; d. akta berita acara yang dinotariilkan mengenai pengalihan seluruh hak dan kewajiban dari badan hukum lama kepada badan hukum baru; dan e. risalah Rapat Umum Pemegang Saham atau Rapat Anggota badan hukum lama yang menyetujui perubahan bentuk hukum dan pembubaran badan hukum lama. (2) Persetujuan atau penolakan atas permohonan pengalihan izin usaha dari badan hukum lama kepada badan hukum baru diberikan paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak permohonan berikut dokumen yang dipersyaratkan diterima secara lengkap. (3) Dalam rangka memberikan persetujuan atau penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Bank Indonesia melakukan: a. penelitian …. - 49 - a. penelitian atas kelengkapan dan kebenaran dokumen; dan b. penilaian terhadap calon anggota Direksi dan/atau dewan Komisaris dan/atau Pemegang Saham Pengendali sesuai ketentuan mengenai penilaian kemampuan dan kepatutan (fit and proper test) BPR, dalam hal terjadi penggantian atau perubahan. Pasal 56 (1) Pembubaran badan hukum lama hanya dapat dilakukan setelah: a. Bank Indonesia memberikan persetujuan pengalihan izin usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (2) huruf b; dan b. pengalihan seluruh hak dan kewajiban dari badan hukum lama kepada badan hukum baru dilaksanakan sesuai dengan akta berita acara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) huruf d. (2) Pelaksanaan perubahan bentuk badan hukum BPR wajib diumumkan kepada masyarakat dalam surat kabar harian lokal atau pada papan pengumuman di seluruh kantor BPR yang bersangkutan, paling lambat 20 (dua puluh) hari sejak tanggal pemberian persetujuan dari Bank Indonesia. (3) BPR wajib menyampaikan bukti pengumuman perubahan bentuk badan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada Bank Indonesia paling lambat 10 (sepuluh) hari sejak tanggal pengumuman. BAB IX…. - 50 - BAB IX PENUTUPAN KANTOR Pasal 57 (1) Penutupan Kantor Cabang hanya dapat dilakukan dengan persetujuan Bank Indonesia. (2) Permohonan penutupan Kantor Cabang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan kepada Bank Indonesia disertai dengan alasan penutupan dan penyelesaian seluruh kewajiban kepada nasabah serta pihak-pihak lain. (3) Persetujuan atau penolakan atas permohonan penutupan Kantor Cabang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan paling lambat 15 (lima belas) hari setelah: a. permohonan berikut dokumen yang dipersyaratkan diterima secara lengkap; dan b. berdasarkan hasil pemeriksaan, seluruh kewajiban telah diselesaikan. (4) Penutupan Kantor Cabang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib diumumkan kepada masyarakat dalam surat kabar harian lokal atau pada papan pengumuman di seluruh kantor BPR yang bersangkutan, paling lambat 10 (sepuluh) hari sejak tanggal persetujuan dari Bank Indonesia, sebelum penutupan. (5) Pelaksanaan penutupan Kantor Cabang yang telah mendapat persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib dilaporkan kepada Bank Indonesia…. - 51 - Indonesia paling lambat 10 (sepuluh) hari sejak tanggal penutupan, disertai dengan bukti pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (4). Pasal 58 (1) Rencana penutupan Kantor Kas dan Kegiatan Kas di Luar Kantor wajib dilaporkan kepada Bank Indonesia disertai dengan alasan penutupan paling lambat 30 (tiga puluh) hari sebelum pelaksanaan. (2) BPR wajib mengumumkan rencana penutupan Kantor Kas dan Kegiatan Kas di Luar Kantor kepada masyarakat dalam surat kabar harian lokal atau pada papan pengumuman di seluruh kantor BPR yang bersangkutan, paling lambat 10 (sepuluh) hari sebelum pelaksanaan penutupan. (3) Pelaksanaan penutupan Kantor Kas dan Kegiatan Kas di Luar Kantor BPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilaporkan kepada Bank Indonesia paling lambat 10 (sepuluh) hari sejak tanggal penutupan disertai dengan bukti pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (2). Pasal 59 (1) Penutupan sementara kantor pusat dan Kantor Cabang di luar hari libur resmi wajib memperoleh persetujuan Bank Indonesia. (2) Permohonan penutupan kantor sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan dengan menyebutkan alasan penutupan, jangka waktu penutupan dan tanggal akan dibukanya kembali kantor dimaksud. (3) Persetujuan…. - 52 - (3) Persetujuan atau penolakan izin penutupan kantor sementara diberikan paling lambat 10 (sepuluh) hari sejak permohonan diterima. (4) BPR wajib mengumumkan rencana penutupan kantor sementara kepada masyarakat dalam surat kabar harian lokal atau pada papan pengumuman di seluruh kantor BPR yang bersangkutan paling lambat 10 (sepuluh) hari sebelum tanggal penutupan, sejak memperoleh persetujuan Bank Indonesia. (5) BPR wajib menyampaikan bukti pengumuman penutupan kantor sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (4) kepada Bank Indonesia, paling lambat 3 (tiga) hari sejak tanggal pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (4). (6) Penutupan kantor sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sebanyak-banyaknya 5 (lima) hari kerja dalam kurun waktu 1 (satu) tahun takwim. (7) BPR wajib melaporkan pembukaan kembali kantor paling lambat 10 (sepuluh) hari sejak tanggal pembukaan. BAB X PERUBAHAN KEGIATAN USAHA Pasal 60 (1) BPR dapat mengubah kegiatan usahanya menjadi BPRS dengan izin Dewan Gubernur Bank Indonesia. (2) Ketentuan…. - 53 - (2) Ketentuan mengenai pemberian izin perubahan kegiatan usaha dari BPR menjadi BPRS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tunduk kepada Peraturan Bank Indonesia tentang BPR Berdasarkan Prinsip Syariah. BAB XI PELANGGARAN TERHADAP KEWAJIBAN PELAPORAN Pasal 61 (1) BPR dinyatakan terlambat menyampaikan laporan apabila menyampaikan laporan melampaui batas akhir penyampaian pelaporan tetapi belum melampaui 30 (tiga puluh) hari sejak batas akhir penyampaian laporan. (2) BPR dinyatakan tidak menyampaikan laporan apabila belum menyampaikan laporan dalam kurun waktu keterlambatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). BAB XII SANKSI Pasal 62 (1) BPR yang melanggar ketentuan dalam Pasal 4 ayat (3), Pasal 12, Pasal 13 ayat (1), Pasal 14, Pasal 16 ayat (1), Pasal 17 ayat (1), Pasal 20, Pasal 21 ayat (2), Pasal 25 ayat (3), Pasal 26 ayat (5) dan ayat (6), Pasal 27, Pasal 28 ayat (1), Pasal 39 ayat (1), Pasal 40 ayat (1), Pasal 41 ayat (1), ayat (2) dan ayat (5), Pasal 42, Pasal 43, Pasal 47 ayat (2), Pasal 49 ayat (1), Pasal 50 ayat (1) …. - 54 - ayat (1) dan ayat (2), Pasal 52 ayat (1) dan ayat (4), Pasal 53 ayat (1), Pasal 56 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 57 ayat (1) dan ayat (4), Pasal 58 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 59 ayat (1), ayat (4) dan ayat (6), dan Pasal 70 ayat (1) dan ayat (4), dikenakan sanksi administratif sesuai dengan Pasal 52 Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, berupa: a. teguran tertulis; dan/atau b. penurunan nilai kredit dalam perhitungan tingkat kesehatan. (2) BPR yang melanggar ketentuan dalam Pasal 11 ayat (2), Pasal 16 ayat (6), Pasal 17 ayat (6), Pasal 18 ayat (1), Pasal 19, Pasal 21 ayat (1), Pasal 29 ayat (2), Pasal 30 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 38 ayat (2), Pasal 40 ayat (5), Pasal 41 ayat (4), Pasal 49 ayat (6), Pasal 50 ayat (4), Pasal 51, Pasal 56 ayat (3), Pasal 57 ayat (5), Pasal 58 ayat (3) dan Pasal 59 ayat (5) dan ayat (7) dikenakan sanksi administratif sesuai dengan Pasal 52 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, berupa: a. teguran tertulis dan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) untuk setiap keterlambatan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1); b. teguran tertulis dan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah), dalam hal BPR tidak menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (2). (3) Setiap…. - 55 - (3) Setiap pihak yang melanggar ketentuan dalam Pasal 3 ayat (1), Pasal 8 ayat (2) dan Pasal 31 ayat (2) dapat dikenakan sanksi pidana sesuai dengan Pasal 46 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998. Pasal 63 (1) BPR yang melanggar ketentuan pemenuhan modal disetor secara bertahap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) dikenakan sanksi sebagai berikut: a. dilarang melakukan penyediaan dana baru; b. menutup Kantor Cabang dan Kantor Kas; c. menghentikan Kegiatan Kas di Luar Kantor; d. menghentikan kegiatan usaha sebagai pedagang valuta asing (PVA), dan e. wajib memindahkan alamat kantor ke wilayah yang sesuai dengan tahapan pemenuhan modal disetor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1). (2) Pemindahan alamat kantor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e dikecualikan dari persyaratan menyampaikan analisis potensi dan kelayakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf e. Pasal 64…. - 56 - Pasal 64 BPR yang melanggar ketentuan dalam Pasal 70 ayat (2) dan ayat (3) dikenakan sanksi sebagai berikut: a. menutup Kantor Cabang dan Kantor Kas, b. menghentikan Kegiatan Kas di Luar Kantor, dan c. menghentikan kegiatan usaha sebagai pedagang valuta asing (PVA). Pasal 65 Anggota Direksi atau dewan Komisaris yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2), Pasal 24, Pasal 25 ayat (1), Pasal 30 ayat (2) dan Pasal 71 ayat (1) dan ayat (3), dilarang menjadi pengurus BPR. Pasal 66 (1) Anggota Direksi atau dewan Komisaris yang melanggar ketentuan rangkap jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2) dan Pasal 26 ayat (3) dan ayat (4) wajib melepaskan jabatan yang mengakibatkan terjadinya rangkap jabatan, paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal surat pemberitahuan dari Bank Indonesia. (2) Anggota Direksi atau dewan Komisaris yang tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang menjadi pengurus BPR. Pasal 67…. - 57 - Pasal 67 (1) Anggota Direksi dan/atau dewan Komisaris yang dilarang menjadi pengurus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 dan Pasal 66 ayat (2) wajib mengundurkan diri paling lambat 90 (sembilan puluh) hari sejak tanggal surat pemberitahuan dari Bank Indonesia. (2) Pihak-pihak yang dilarang menjadi anggota Direksi dan/atau dewan Komisaris sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang melakukan tugas operasional BPR dan/atau kegiatan lain yang mempunyai pengaruh signifikan terhadap kebijakan dan kondisi keuangan BPR. (3) Dalam hal pihak-pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak bersedia mengundurkan diri maka: a. BPR wajib menyelenggarakan Rapat Umum Pemegang Saham atau Rapat Anggota dalam waktu paling lambat 90 (sembilan puluh) hari sejak berakhirnya jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk memberhentikan yang bersangkutan; b. Bank Indonesia tidak mengakui segala hubungan hukum antara Bank Indonesia dengan BPR yang diwakili oleh pihak-pihak yang bersangkutan; dan c. segala tindakan yang dilakukan oleh pihak-pihak tersebut merupakan tanggung jawab pribadi yang bersangkutan. (4) Dalam hal Rapat Umum Pemegang Saham atau Rapat Anggota sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a tidak dapat diselenggarakan, Bank Indonesia dapat menunjuk dan mengangkat pengganti sementara sampai …. - 58 - sampai Rapat Umum Pemegang Saham atau Rapat Anggota mengangkat pengganti tetap dengan persetujuan Bank Indonesia. (5) Pemegang saham yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a, dapat dikenakan sanksi sesuai dengan Pasal 50 Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998. BAB XIII KETENTUAN PERALIHAN Pasal 68 (1) Persetujuan prinsip pendirian BPR yang telah diberikan oleh Bank Indonesia namun belum memperoleh izin usaha pada saat berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini, dinyatakan tetap berlaku. (2) Permohonan persetujuan prinsip untuk pendirian BPR, permohonan pembukaan kantor, permohonan Kegiatan Kas di Luar Kantor dengan menggunakan ATM, pemindahan alamat kantor, perubahan nama dan bentuk badan hukum serta penutupan kantor yang telah diajukan kepada Bank Indonesia dan belum mendapat persetujuan atau penolakan, akan diselesaikan berdasarkan Peraturan Bank Indonesia ini. Pasal 69…. - 59 - Pasal 69 (1) BPR yang belum memenuhi persyaratan modal disetor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) wajib memenuhi ketentuan dimaksud sebagai berikut: a. paling sedikit 40% (empat puluh perseratus) dari modal disetor pada tanggal 31 Desember 2006; b. paling sedikit 70% (tujuh puluh perseratus) dari modal disetor pada tanggal 31 Desember 2008; c. 100% (seratus perseratus) dari modal disetor pada tanggal 31 Desember 2010. (2) BPR yang telah melakukan setoran modal secara riil namun belum didukung dengan kelengkapan persyaratan untuk digolongkan sebagai modal disetor, dinyatakan telah memenuhi persyaratan modal disetor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sepanjang telah melapor kepada atau meminta persetujuan/pengesahan dari instansi berwenang. Pasal 70 (1) BPR yang belum memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 wajib memenuhi ketentuan dimaksud paling lambat 6 (enam) bulan sejak berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini. (2) BPR…. - 60 - (2) BPR yang belum memiliki jumlah anggota Direksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) wajib memenuhi ketentuan dimaksud paling lambat tanggal 31 Desember 2006. (3) BPR yang belum memiliki jumlah anggota dewan Komisaris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) wajib memenuhi ketentuan dimaksud paling lambat tanggal 31 Desember 2008. (4) Dalam hal jumlah anggota dewan Komisaris belum memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) sehingga rapat dewan Komisaris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (5) belum dapat dilaksanakan, anggota dewan Komisaris wajib melakukan rapat berkala dengan Direksi paling sedikit 4 (empat) kali dalam setahun, dihitung mulai tahun 2007. Pasal 71 (1) Anggota Direksi yang belum memenuhi pendidikan formal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) wajib memenuhi ketentuan dimaksud paling lambat pada tanggal 31 Desember 2008. (2) Pemenuhan kewajiban bagi calon anggota Direksi untuk memiliki sertifikat kelulusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c angka 10 diatur sebagai berikut: a. setelah tanggal 31 Desember 2006, bagi paling sedikit 1 (satu) orang calon anggota Direksi; b. setelah tanggal 31 Desember 2008, bagi seluruh calon anggota Direksi. (3) Pemenuhan…. - 61 - (3) Pemenuhan kewajiban bagi anggota Direksi untuk memiliki sertifikat kelulusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 diatur sebagai berikut: a. paling sedikit 1 (satu) orang anggota Direksi wajib memiliki sertifikat kelulusan paling lambat pada tanggal 31 Desember 2006; b. anggota Direksi lainnya wajib memiliki sertifikat kelulusan paling lambat pada tanggal 31 Desember 2008. BAB XIV KETENTUAN PENUTUP Pasal 72 Peraturan Bank Indonesia ini tidak diberlakukan bagi BPR eks Badan Kredit Desa (BKD) yang didirikan berdasarkan Staatsblad Tahun 1929 Nomor 357 dan Rijksblad Tahun 1937 Nomor 9. Pasal 73 Ketentuan pelaksanaan tentang BPR diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 74 (1) Dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini maka Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/22/PBI/2004 tanggal 9 Agustus 2004 tentang Bank Perkreditan Rakyat dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. (2) Ketentuan…. - 62 - (2) Ketentuan pelaksanaan Peraturan Bank Indonesia No. 6/22/PBI/2004 tanggal 9 Agustus 2004 tentang BPR, sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Bank Indonesia ini dinyatakan tetap berlaku sampai dengan dicabut, diganti atau diperbaharui. Pasal 75 Peraturan Bank Indonesia ini berlaku sejak tanggal ditetapkan. Ditetapkan di : Jakarta Pada tanggal : 8 November 2006 GUBERNUR BANK INDONESIA, BURHANUDDIN ABDULLAH LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2006 NOMOR 87 DPBPR PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 8/26/PBI/2006 TENTANG BANK PERKREDITAN RAKYAT UMUM Dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi nasional dan mendukung perkembangan usaha yang bersifat dinamis, diperlukan perbankan nasional yang tangguh, termasuk industri Bank Perkreditan Rakyat yang sehat, kuat, produktif dan memiliki daya saing agar mampu melayani masyarakat, terutama pengusaha mikro dan kecil. Sejalan dengan visi perbankan nasional untuk mencapai sistem perbankan yang sehat, kuat dan efisien guna menciptakan kestabilan sistem keuangan maka kelembagaan industri Bank Perkreditan Rakyat perlu diperkuat, antara lain pada aspek permodalan dan aspek kompetensi anggota dan calon anggota Direksi. Selain itu, dalam rangka meningkatkan fungsi intermediasi Bank Perkreditan Rakyat melalui perluasan jaringan kantor, ketentuan pembukaan Kantor Cabang perlu direlaksasi dengan tetap memperhatikan prinsip kehati- hatian berupa kemampuan permodalan dan aspek kelayakan usaha (feasibility study). PASAL …. - 2 - PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Cukup jelas. Pasal 3 Pemberian izin kegiatan usaha dilakukan dengan keputusan Gubernur Bank Indonesia. Pasal 4 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Paling sedikit 50% (lima puluh perseratus) dari modal disetor BPR digunakan untuk modal kerja, setelah dikurangi biaya dalam rangka pendirian dan mempersiapkan operasional BPR, antara lain biaya pendirian dan beli/sewa tempat usaha. Pasal 5 Cukup jelas. Pasal 6 … - 3 - Pasal 6 Ayat (1) Huruf a Di depan nama BPR dicantumkan bentuk badan hukum dan kata “Bank Perkreditan Rakyat” atau disingkat BPR. Contoh : PT BPR XYZ Huruf b Cukup jelas. Huruf c Angka 1 Cukup jelas. Angka 2 Cukup jelas. Angka 3 Cukup jelas. Angka 4 Cukup jelas. Angka 5 Cukup jelas. Angka 6… - 4 - Angka 6 Cukup jelas. Angka 7 Cukup jelas. Angka 8 Cukup jelas. Angka 9 Cukup jelas. Angka 10 Cukup jelas. Angka 11 Cukup jelas. Angka 12 Cukup jelas. Angka 13 Cukup jelas. Angka 14 Ketentuan ini dimaksudkan agar anggota Direksi tidak melakukan kegiatan yang dapat menganggu pelaksanaan … - 5 - pelaksanaan tugas dan tanggung jawab sebagai Direksi. Angka 15 Cukup jelas. Angka 16 Ketentuan ini dimaksudkan agar anggota dewan Komisaris secara sungguh-sungguh memenuhi fungsinya dalam mengawasi BPR. Huruf d Antara lain meliputi bagan organisasi, garis tanggung jawab horizontal dan vertikal, serta jabatan paling rendah sampai dengan tingkatan Pejabat Eksekutif. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Contoh penulisan keterangan atas setoran modal pada bilyet deposito adalah “Dewan Gubernur Bank Indonesia qq. Sdr. ‘A’ untuk pendirian PT BPR ‘XYZ’ ”. Huruf h … - 6 - Huruf h Dalam hal calon pemegang saham BPR berbentuk badan hukum, surat pernyataan dibuat dan disampaikan oleh pengurus yang mempunyai wewenang untuk mewakili badan hukum yang bersangkutan. Dalam hal calon pemegang saham BPR adalah Pemerintah Daerah, surat pernyataan dapat digantikan oleh surat keputusan Kepala Daerah. Ayat (2) Huruf a Angka 1 Cukup jelas. Angka 2 Dalam hal tidak terdapat calon Pemegang Saham Pengendali maka surat pernyataan ditandatangani oleh calon pemegang saham yang mewakili calon pemegang saham lain sehingga jumlah kepemilikan saham paling sedikit mencapai 51% (lima puluh satu perseratus). Huruf b Angka 1 Cukup jelas. Angka 2 … - 7 - Angka 2 Cukup jelas. Angka 3 Cukup jelas. Angka 4 BPR yang dimiliki Pemerintah Daerah dapat menyampaikan APBD tahun berjalan yang memuat anggaran pendirian BPR dimaksud dan telah disahkan oleh DPRD setempat. Angka 5 Cukup jelas. Angka 6 Dalam hal tidak terdapat badan hukum yang merupakan calon Pemegang Saham Pengendali maka surat pernyataan ditandatangani oleh para pengurus yang mewakili badan hukum tersebut sehingga jumlah kepemilikan saham paling sedikit mencapai 51% (lima puluh satu perseratus). Surat pernyataan dari pengurus badan hukum Pemerintah Daerah dibuat oleh Gubernur, Bupati atau Walikota. Angka 7… - 8 - Angka 7 Surat pernyataan disampaikan oleh pihak-pihak yang berdasarkan penilaian Bank Indonesia mengendalikan baik secara langsung maupun tidak langsung atas seluruh kelompok usaha. Angka 8 Yang dimaksud dengan kelompok usaha adalah: a. perorangan dan badan hukum; b. beberapa orang; atau c. beberapa badan hukum, yang memiliki keterkaitan kepengurusan, kepemilikan atau hubungan keuangan. Angka 9 Cukup jelas. Pasal 7 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Apabila diperlukan, Bank Indonesia dapat melakukan pemeriksaan dalam rangka meneliti kebenaran dokumen. Huruf b… - 9 - Huruf b Dalam hal calon Pemegang Saham Pengendali berbentuk badan hukum maka wawancara dilakukan terhadap pengurus badan hukum atau pejabat yang diberikan wewenang mewakili badan hukum yang bersangkutan. Dalam hal tidak terdapat calon Pemegang Saham Pengendali maka wawancara dilakukan terhadap para calon pemegang saham yang secara keseluruhan memiliki saham paling sedikit mencapai 51% (lima puluh satu perseratus). Dalam hal BPR merupakan bagian dari kepemilikan suatu kelompok usaha maka wawancara terhadap calon Pemegang Saham Pengendali dilakukan terhadap pihak-pihak yang menurut penilaian Bank Indonesia mengendalikan baik secara langsung maupun tidak langsung atas seluruh kelompok usaha. Huruf c Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 8 Cukup jelas. Pasal 9… - 10 - Pasal 9 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Contoh penulisan keterangan atas setoran modal pada bilyet deposito adalah “Dewan Gubernur Bank Indonesia qq. Sdr. ‘A’ untuk pendirian PT BPR ‘XYZ’. Huruf f Dalam hal pemegang saham adalah Pemerintah Daerah, surat pernyataan dapat digantikan oleh surat keputusan Kepala Daerah. Huruf g Yang dimaksud dengan aktiva tetap dan inventaris adalah aktiva berwujud yang diperoleh dalam bentuk siap pakai atau dibangun lebih dahulu, yang digunakan dalam kegiatan operasional dan tidak dimaksudkan untuk dijual. Daftar … - 11 - Daftar aktiva tetap dan inventaris disertai dengan harga perolehan. Pasal 10 Cukup jelas. Pasal 11 Ayat (1) Pelaksanaan kegiatan usaha ditunjukkan oleh telah beroperasinya kantor BPR dalam menghimpun atau menyalurkan dana. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 12 Bentuk badan hukum dan kata “Bank Perkreditan Rakyat” atau “BPR” dicantumkan secara jelas, antara lain pada papan nama, kop surat, sarana publikasi yang digunakan, buku tabungan, bilyet deposito dan warkat pembukuan. Contoh: PT Bank Perkreditan Rakyat XYZ, atau PT BPR XYZ Pasal 13 Cukup jelas. Pasal 14… - 12 - Pasal 14 Cukup jelas. Pasal 15 Cukup jelas. Pasal 16 Ayat (1) Yang dimaksud dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku antara lain ketentuan mengenai merger, konsolidasi dan akuisisi BPR dan ketentuan mengenai penilaian kemampuan dan kepatutan (fit and proper test) BPR. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 17… - 13 - Pasal 17 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Dalam rangka memberikan persetujuan Bank Indonesia melakukan penelitian administratif untuk memastikan bahwa pihak-pihak yang menjadi pengganti atau pemilik baru tidak termasuk dalam daftar kredit macet dan tidak sedang dalam masa pengenaan sanksi untuk dilarang menjadi pengurus BPR, BPRS dan/atau Bank Umum sebagaimana diatur dalam ketentuan mengenai penilaian kemampuan dan kepatutan (fit and proper test) BPR. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat ( 6) Cukup jelas. Pasal 18…. - 14 - Pasal 18 Ayat (1) Yang dimaksud dengan perubahan komposisi kepemilikan adalah perubahan persentase kepemilikan saham diantara para pemegang saham lama, tanpa penggantian dan/atau penambahan Pemegang Saham Pengendali. Ayat (2) Penyampaian risalah Rapat Umum Pemegang Saham atau Rapat Anggota dilampiri bukti pelaporan kepada instansi yang berwenang. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 19 Cukup jelas. Pasal 20 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Nilai aktiva tetap dan inventaris yang diperhitungkan adalah sebesar nilai buku. Pasal 21…. - 15 - Pasal 21 Ayat (1) Dalam hal BPR menerima surat persetujuan perubahan anggaran dasar dari instansi yang berwenang melalui Notaris maka laporan perubahan modal dasar dilampiri tanda terima surat persetujuan perubahan dari Notaris. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 22 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 23 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3)…. - 16 - Ayat (3) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Pasal 24 Cukup jelas. Pasal 25 Cukup jelas. Pasal 26 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Pengetahuan dan/atau pengalaman di bidang perbankan ditunjukkan dengan bukti formal mengikuti pendidikan atau surat keterangan mengenai pengalaman di bidang perbankan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c angka 11 dan angka 12. Ayat (3)…. - 17 - Ayat (3) Yang dimaksud dengan ayat ini adalah bahwa seseorang hanya dapat menjabat sebagai Komisaris paling banyak pada 3 (tiga) BPR, pada 1 (satu) BPR dan 2 (dua) BPRS atau pada 2 (dua) BPR dan 1 (satu) BPRS. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Rapat dewan Komisaris dibuktikan dengan risalah rapat dan dimaksudkan sebagai pengawasan terhadap pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Direksi. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 27 Yang dimaksud dengan benturan kepentingan adalah terjadinya benturan kepentingan ekonomis BPR dengan kepentingan ekonomis pribadi pemilik, anggota Direksi, dewan Komisaris, Pejabat Eksekutif, dan/atau pihak terkait lainnya. Pasal 28 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2)…. - 18 - Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Penilaian meliputi penelitian atas kelengkapan dan kebenaran dokumen termasuk informasi mengenai Daftar Tidak Lulus dan Daftar Kredit Macet. Pasal 29 Cukup jelas. Pasal 30 Cukup jelas. Pasal 31 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3)…. - 19 - Ayat (3) Sebagai konsekuensi maka: a. BPR di Provinsi Jawa Barat di luar Kabupaten atau Kota Bogor, Depok, Bekasi dan Karawang tidak dapat membuka Kantor Cabang di Kabupaten atau Kota Bogor, Depok, Bekasi dan Karawang; b. BPR di Provinsi Banten di luar Kabupaten atau Kota Tangerang tidak dapat membuka Kantor Cabang di Kabupaten atau Kota Tangerang. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 32 Ayat (1) Pembukaan Kantor Cabang yang disebabkan oleh merger atau konsolidasi dilakukan dengan mengacu pada ketentuan yang berlaku mengenai merger, konsolidasi dan akuisisi BPR. Huruf a Di dalam rencana kerja disebutkan jumlah Kantor Cabang yang akan dibuka Huruf b…. - 20 - Huruf b Pemenuhan persyaratan tingkat kesehatan didasarkan pada administrasi Bank Indonesia, dengan merujuk pada laporan terakhir yang diterima Bank Indonesia. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Teknologi informasi yang memadai termasuk, namun tidak terbatas pada, aplikasi tabungan, deposito dan kredit. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Contoh: Yang dimaksud dengan disetujui Bank Indonesia adalah izin operasional Kantor Cabang. Apabila permohonan pembukaan 1 (satu) Kantor Cabang pada bulan Februari 2007 disetujui oleh Bank Indonesia pada bulan April 2007 maka permohonan pembukaan 1 (satu) Kantor Cabang berikutnya dapat diajukan paling cepat pada bulan Juli 2007. Pasal 33 …. - 21 - Pasal 33 Cukup jelas. Pasal 34 Cukup jelas. Pasal 35 Cukup jelas. Pasal 36 Ayat (1) Pemberlakuan persetujuan prinsip dimaksudkan agar BPR memiliki waktu untuk mempersiapkan sarana dan prasarana yang diperlukan untuk melakukan kegiatan operasional Kantor Cabang. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 37 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3)…. - 22 - Ayat (3) Apabila diperlukan, Bank Indonesia dapat melakukan pemeriksaan dalam rangka meneliti kesiapan operasional Kantor Cabang. Pasal 38 Cukup jelas. Pasal 39 Ayat (1) Kantor induk dapat berupa kantor pusat atau Kantor Cabang. Ayat (2) Pemenuhan persyaratan tingkat kesehatan didasarkan pada administrasi Bank Indonesia, dengan merujuk pada laporan terakhir yang diterima Bank Indonesia. Pasal 40 Cukup jelas. Pasal 41 Ayat (1) Tidak termasuk dalam pengertian Kegiatan Kas di Luar Kantor adalah kegiatan yang dilakukan dalam rangka promosi, tidak bersifat permanen dan tidak melakukan kegiatan kas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3)…. - 23 - Ayat (3) Dalam kerjasama ini BPR tidak bertindak sebagai anggota langsung dari jaringan bersama ATM. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Dalam hal BPR bertindak sebagai penerbit kartu ATM maka tunduk pada ketentuan Bank Indonesia yang berlaku mengenai alat pembayaran dengan menggunakan kartu. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 42 Cukup jelas. Pasal 43 Cukup jelas. Pasal 44 Cukup jelas. Pasal 45…. - 24 - Pasal 45 Ayat (1) Pemindahan alamat kantor BPR dalam satu wilayah Kabupaten atau Kota tidak membutuhkan persetujuan prinsip. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 46 Cukup jelas. Pasal 47 Cukup jelas. Pasal 48 Bukti kesiapan kantor antara lain termasuk surat perizinan dari instansi setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 49 Ayat (1) Yang dimaksud dengan surat kabar harian lokal adalah surat kabar yang mempunyai peredaran di wilayah kedudukan BPR. Papan pengumuman diletakkan pada tempat yang mudah dilihat dan dibaca. Ayat (2) …. - 25 - Ayat (2) Apabila diperlukan, Bank Indonesia dapat melakukan pemeriksaan. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 50 Cukup jelas. Pasal 51 Cukup jelas. Pasal 52 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) …. - 26 - Ayat (3) Persetujuan Bank Indonesia diberikan dalam bentuk keputusan. Ayat (4) Yang dimaksud dengan surat kabar harian lokal adalah surat kabar yang mempunyai peredaran di wilayah kedudukan BPR. Papan pengumuman diletakkan pada tempat yang mudah dilihat dan dibaca. Ayat (5) Bukti pengumuman berupa guntingan surat kabar yang memuat pengumuman atau fotokopi pengumuman yang ditempel di kantor BPR. Pasal 53 Ayat (1) Peraturan perundang-undangan yang berlaku antara lain Undang- Undang tentang Perseroan Terbatas, Undang-Undang tentang Perkoperasian dan Undang-Undang tentang Perusahaan Daerah. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 54 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2)…. - 27 - Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Huruf a Terhadap calon Pemegang Saham, penelitian atas kelengkapan dan kebenaran dokumen termasuk informasi mengenai Daftar Tidak Lulus dan Daftar Kredit Macet. Huruf b Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 55 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) …. - 28 - Ayat (3) Terhadap calon Pemegang Saham, penelitian atas kelengkapan dan kebenaran dokumen termasuk informasi mengenai Daftar Tidak Lulus dan Daftar Kredit Macet. Pasal 56 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Pelaksanaan pengalihan seluruh hak dan kewajiban dibuktikan dengan akta berita acara pengalihan yang dinotariilkan Ayat (2) Persetujuan Bank Indonesia diberikan dalam bentuk keputusan. Yang dimaksud dengan surat kabar harian lokal adalah surat kabar yang mempunyai peredaran di wilayah kedudukan BPR. Papan pengumuman diletakkan pada tempat yang mudah dilihat dan dibaca. Ayat (3) …. - 29 - Ayat (3) Bukti pengumuman berupa guntingan surat kabar yang memuat pengumuman atau fotokopi pengumuman yang ditempel di kantor BPR. Pasal 57 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Yang dimaksud dengan surat kabar harian lokal adalah surat kabar yang mempunyai peredaran di wilayah kedudukan BPR. Papan pengumuman diletakkan pada tempat yang mudah dilihat dan dibaca. Ayat (5) Bukti pengumuman berupa guntingan surat kabar yang memuat pengumuman atau fotokopi pengumuman yang ditempel di kantor BPR. Pasal 58 …. - 30 - Pasal 58 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan surat kabar harian lokal adalah surat kabar yang mempunyai peredaran di wilayah kedudukan BPR. Papan pengumuman diletakkan pada tempat yang mudah dilihat dan dibaca. Ayat (3) Bukti pengumuman berupa guntingan surat kabar yang memuat pengumuman atau fotokopi pengumuman yang ditempel di kantor BPR. Pasal 59 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) …. - 31 - Ayat (4) Yang dimaksud dengan surat kabar harian lokal adalah surat kabar yang mempunyai peredaran di wilayah kedudukan BPR. Papan pengumuman diletakkan pada tempat yang mudah dilihat dan dibaca. Ayat (5) Bukti pengumuman berupa guntingan surat kabar yang memuat pengumuman atau fotokopi pengumuman yang ditempel di kantor BPR. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Pasal 60 Cukup jelas. Pasal 61 Termasuk dalam pengertian menyampaikan laporan adalah menyampaikan bukti-bukti pengumuman sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini. Pasal 62 Cukup jelas. Pasal 63…. - 32 - Pasal 63 Ayat (1) Yang dimaksud dengan larangan penyediaan dana baru adalah larangan pemberian kredit kepada debitur baru, larangan menempatkan dana dan/atau memperpanjang penempatan dana antar bank. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 64 Cukup jelas. Pasal 65 Cukup jelas. Pasal 66 Cukup jelas. Pasal 67 Cukup jelas. Pasal 68 Cukup jelas. Pasal 69…. - 33 - Pasal 69 Ayat (1) Dalam rangka mendukung pemenuhan persyaratan modal disetor, Bank Indonesia mendorong BPR untuk melakukan merger, konsolidasi atau akuisisi. Ayat (2) Permintaan pengesahan atau pelaporan/permintaan persetujuan dibuktikan oleh dokumen tertulis dari Kepala Daerah kepada DPRD, bagi BPR berbentuk hukum Perusahaan Daerah atau dari Direksi kepada instansi berwenang, bagi BPR berbentuk hukum Perseroran Terbatas atau Koperasi. Pasal 70 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4)…. - 34 - Ayat (4) Rapat anggota dewan Komisaris dengan Direksi dibuktikan dengan risalah rapat dan dimaksudkan sebagai pengawasan terhadap pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Direksi. Pasal 71 Cukup jelas. Pasal 72 Cukup jelas. Pasal 73 Cukup jelas. Pasal 74 Cukup jelas. Pasal 75 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4656
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 8/26/PBI/2006 </reg_id> <reg_title> BANK PERKREDITAN RAKYAT </reg_title> <set_date> 8 November 2006 </set_date> <effective_date> 8 November 2006 </effective_date> <replaced_reg> '6/22/PBI/2004' </replaced_reg> <related_reg> '23/UU/1999', '3/UU/2004', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg> <penalty_list> 'BAB XII' </penalty_list>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 5/ 18 /PBI/2003 TENTANG PEMBERIAN BANTUAN TEKNIS DALAM RANGKA PENGEMBANGAN USAHA MIKRO DAN KECIL GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Usaha Mikro dan Kecil mampu bertahan dalam kondisi krisis ekonomi dan memiliki peran yang strategis dalam struktur perekonomian nasional sehingga perlu didukung dalam pengembangannya; b. bahwa dalam rangka mendukung pengembangan Usaha Mikro dan Kecil, maka Bank Indonesia menganggap perlu memperluas peranannya dalam pemberian Bantuan Teknis yang selama ini hanya diberikan kepada Bank menjadi meliputi pula kepada Lembaga Penyedia Jasa; c. bahwa berhubung dengan itu dipandang perlu untuk menetapkan ketentuan tentang Pemberian Bantuan Teknis Dalam Rangka Pengembangan Usaha Mikro dan Kecil dalam Peraturan Bank Indonesia; Mengingat : 1. Undang-undang No. 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3843); 2. Undang …. -2- 2. Undang-undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 No. 31, Tambahan Lembaran Negara No. 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 No. 182, Tambahan Lembaran Negara No. 3790); 3. Undang-undang No. 9 tahun 1995 tentang Usaha Kecil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3611); 4. Peraturan Bank Indonesia No. 3/2/PBI/2001 tanggal 4 Januari 2001 tentang Pemberian Kredit Usaha Kecil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 No. 3, Tambahan Lembaran Negara No. 4072); 5. Keputusan Menteri Keuangan No.40/KMK.06/2003 tanggal 29 Januari 2003 tentang Pendanaan Kredit Usaha Mikro dan Kecil. MEMUTUSKAN : Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PEMBERIAN BANTUAN TEKNIS DALAM RANGKA PENGEMBANGAN USAHA MIKRO DAN KECIL. BAB …. -3- BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan ini yang dimaksud dengan : 1. Bank adalah Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 tahun 1998. 2. Bantuan Teknis adalah bantuan yang diberikan Bank Indonesia kepada Bank dan Lembaga Penyedia Jasa dalam rangka pengembangan Usaha Mikro dan Kecil. 3. Usaha Mikro adalah usaha produktif milik keluarga atau perorangan Warga Negara Indonesia dan memiliki hasil penjualan paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta Rupiah) per tahun sebagaimana dimaksud dalam Keputusan Menteri Keuangan No.40/KMK.06/2003 tanggal 29 Januari 2003 tentang Pendanaan Kredit Usaha Mikro dan Kecil. 4. Usaha Kecil adalah kegiatan ekonomi rakyat yang berskala kecil dan memenuhi kriteria sebagai berikut : a. memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah), tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau b. memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah); c. milik Warga Negara Indonesia; d. berdiri…. -4- d. berdiri sendiri, bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau berafiliasi baik langsung maupun tidak langsung dengan Usaha Menengah atau Usaha Besar; e. berbentuk usaha perseorangan, badan usaha yang tidak berbadan hukum, atau badan usaha yang berbadan hukum, termasuk koperasi, sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 9 tahun 1995 tentang Usaha Kecil. 5. Lembaga Pelatih adalah lembaga yang mempunyai kemampuan dan pengalaman untuk memberikan pelatihan kepada Bank dan atau Lembaga Penyedia Jasa dalam rangka pengembangan Usaha Mikro dan Kecil. 6. Lembaga Penyedia Jasa (Business Development Services Provider) adalah lembaga yang menyediakan jasa konsultasi dan atau pendampingan di bidang manajemen/analisis keuangan kepada Usaha Mikro dan Kecil agar terjalin kemitraan dengan Bank atau terjadinya penyaluran dana Bank kepada Usaha Mikro dan Kecil tersebut disertai pembinaannya. BAB II TUJUAN BANTUAN TEKNIS Pasal 2 Tujuan pemberian Bantuan Teknis adalah dalam rangka membantu pengembangan Usaha Mikro dan Kecil. BAB…. -5- BAB III PEMBERIAN BANTUAN TEKNIS Pasal 3 (1) Bantuan Teknis dapat diberikan kepada Bank dan Lembaga Penyedia Jasa. (2) Lembaga Penyedia Jasa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sekurang-kurangnya memenuhi standar kualifikasi sebagai berikut : a. telah terdaftar pada instansi pemerintah atau dibentuk oleh instansi pemerintah sekurang-kurangnya selama 2 (dua) tahun; b. mempunyai pengalaman dalam membina Usaha Mikro dan Kecil di bidang keuangan sekurang-kurangnya 1(satu) tahun; c. mempunyai perangkat organisasi yang memadai, sekurang- kurangnya memiliki pengurus dan konsultan serta alamat kantor yang jelas; dan d. mempunyai komitmen dalam pengembangan Usaha Mikro dan Kecil. BAB IV BENTUK BANTUAN TEKNIS Pasal 4 Bantuan Teknis diberikan dalam bentuk pelatihan dan penyediaan informasi. BAB V PELATIHAN Pasal 5 (1) Pelatihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 mencakup : a. aspek …. -6- a. aspek pemberian kredit mikro dan kecil secara individual; b. aspek pemberian kredit mikro dan kecil secara kelompok; c. aspek keuangan. (2) Materi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a dan b diberikan dalam bentuk pelatihan kepada Bank. (3) Materi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf c diberikan dalam bentuk pelatihan kepada Lembaga Penyedia Jasa. Pasal 6 (1) Pelatihan kepada Bank dapat diberikan oleh Bank Indonesia atau Lembaga Pelatih. (2) Pelatihan kepada Lembaga Penyedia Jasa diberikan oleh Bank Indonesia melalui Lembaga Pelatih. Pasal 7 (1) Lembaga Pelatih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 sekurang- kurangnya memenuhi kriteria sebagai berikut : a. telah terdaftar pada instansi pemerintah atau dibentuk oleh instansi pemerintah sekurang-kurangnya selama 5 (lima) tahun; b. mempunyai tenaga pelatih di bidang jasa keuangan dengan pendidikan sekurang-kurangnya lulusan Strata satu; dan c. mempunyai pengalaman dalam memberikan pelatihan di bidang jasa keuangan dalam rangka pengembangan Usaha Mikro dan Kecil sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun. (2) Bank Indonesia akan melakukan seleksi terhadap Lembaga Pelatih yang memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). (3) Berdasarkan …. -7- (3) Berdasarkan hasil seleksi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) Bank Indonesia menunjuk Lembaga Pelatih yang akan melaksanakan pelatihan. (4) Pelaksanaan pelatihan oleh Lembaga Pelatih sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) didasarkan pada perjanjian kerjasama. Pasal 8 (1) Bank Indonesia memberitahukan rencana pelatihan kepada Bank secara langsung atau melalui Lembaga Pelatih pada triwulan pertama setiap tahun untuk program selama 1 (satu) tahun. (2) Bank mengajukan permohonan keikutsertaan pelatihan kepada Bank Indonesia sebagai berikut : a. Bank Indonesia cq Biro Kredit atau Direktorat Pengawasan Bank Perkreditan Rakyat, Jl. MH Thamrin No. 2 Jakarta Pusat, bagi Bank yang berkedudukan di Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Propinsi Banten (Kabupaten Lebak, Kabupaten Pandeglang, Kabupaten Serang, Kabupaten/Kota Tangerang, Kota Cilegon), Kabupaten/Kota Bekasi, Kabupaten/Kota Bogor, Kabupaten Karawang dan Kota Depok. b. Kantor Bank Indonesia setempat, bagi Bank yang berkedudukan di luar wilayah sebagaimana dimaksud dalam huruf a. Pasal 9 Bank Indonesia memberitahukan rencana pelatihan kepada Lembaga Penyedia Jasa melalui Lembaga Pelatih yang ditunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3). Pasal …. -8- Pasal 10 (1) Biaya pelaksanaan pelatihan ditanggung bersama oleh Bank Indonesia dan peserta pelatihan. (2) Peserta pelatihan akan dibebani biaya partisipasi pelatihan sebanyak- banyaknya 50% (lima puluh per seratus) dari biaya pelatihan. BAB VI PENYEDIAAN INFORMASI Pasal 11 (1) Informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 meliputi : a. data statistik perkreditan; b. data komoditas di suatu daerah yang potensial untuk dikembangkan; c. data komoditas yang potensial untuk diekspor; d. model pembiayaan komoditas yang potensial dibiayai bank; e. informasi lain dalam rangka pengembangan Usaha Mikro dan Kecil. (2) Informasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diberikan sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan yang mengatur mengenai rahasia bank. Pasal 12 Permohonan untuk mendapatkan informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) dialamatkan kepada : a. Bank Indonesia cq Biro Kredit, Jl. MH Thamrin No. 2 Jakarta Pusat, bagi Bank, Lembaga Penyedia Jasa dan pihak lain yang berkedudukan di Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Propinsi Banten (Kabupaten Lebak, Kabupaten Pandeglang, Kabupaten Serang, Kabupaten/Kota Tangerang …. -9- Tangerang, Kota Cilegon), Kabupaten/Kota Bekasi, Kabupaten/Kota Bogor, Kabupaten Karawang dan Kota Depok. b. Kantor Bank Indonesia setempat, bagi Bank, Lembaga Penyedia Jasa, dan pihak lain yang berkedudukan di luar wilayah sebagaimana dimaksud dalam huruf a. BAB VII KETENTUAN PERALIHAN Pasal 13 (1) Lembaga yang telah melakukan kerjasama dengan Bank Indonesia dalam rangka memberikan pelatihan kepada Lembaga Penyedia Jasa dan belum memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) diberikan status sebagai Lembaga Pelatih berdasarkan Peraturan Bank Indonesia ini. (2) Dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sejak berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini, lembaga sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagai Lembaga Pelatih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1). BAB VIII KETENTUAN PENUTUP Pasal 14 Dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini, maka: 1. Pasal 4 PBI Nomor 3/2/PBI/2001 tanggal 4 Januari 2001 tentang Pemberian Kredit Usaha Kecil; 2. angka VII Surat Edaran Nomor 3/9/BKr tanggal 17 Mei 2001 tentang…. -10- tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemberian Kredit Usaha Kecil, dinyatakan tidak berlaku. Pasal 15 Peraturan pelaksanaan Peraturan Bank Indonesia ini diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 16 Peraturan Bank Indonesia ini berlaku sejak tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 9 September 2003 GUBERNUR BANK INDONESIA BURHANUDDIN ABDULLAH LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2003 NOMOR 102 BKr -11- PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 5/ 18 /PBI/2003 TENTANG PEMBERIAN BANTUAN TEKNIS DALAM RANGKA PENGEMBANGAN USAHA MIKRO DAN KECIL UMUM Usaha Mikro dan Kecil di Indonesia menunjukkan peran yang strategis dalam mempertahankan dan memulihkan perekonomian nasional. Berkaitan dengan hal tersebut, Pemerintah, Bank Indonesia dan berbagai pihak telah memberikan perhatian terhadap pengembangan Usaha Mikro dan Kecil tersebut. Pengalaman dan keahlian yang dimiliki oleh Bank Indonesia diharapkan dapat membantu pengembangan Usaha Mikro dan Kecil. Oleh karena itu Bank Indonesia sejauh yang diperkenankan oleh UU No. 23 tahun 1999 tetap akan membantu pengembangan Usaha Mikro dan Kecil secara tidak langsung dengan meningkatkan intensitas dan efektifitas pemberian Bantuan Teknis. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Angka 1 Cukup jelas Angka 2 Cukup jelas Angka 3 Cukup jelas Angka …. -12- Angka 4 Cukup jelas Angka 5 Cukup jelas Angka 6 Cukup jelas Pasal 2 Cukup jelas Pasal 3 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud dengan instansi pemerintah antara lain Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, Kantor Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah, Departemen Dalam Negeri, Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN). Huruf b Cukup jelas Huruf c Yang dimaksud dengan konsultan adalah tenaga ahli yang memberikan bimbingan kepada usaha mikro dan kecil di bidang keuangan dan atau non keuangan. Huruf d Komitmen pengembangan Usaha Mikro dan Kecil, antara …. -13- antara lain tertuang dalam visi dan misi pada Akta Pendirian dan atau Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga Lembaga Penyedia Jasa. Pasal 4 Untuk penyediaan informasi dalam rangka pengembangan Usaha Mikro dan Kecil dapat dilakukan penelitian. Pasal 5 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan aspek pemberian kredit mikro dan kecil secara individual antara lain analisis kredit usaha mikro dan kecil, pencegahan dan penanganan kredit bermasalah, metode penggalian potensi daerah dan usaha kecil. Huruf b Yang dimaksud dengan aspek pemberian kredit mikro dan kecil secara kelompok antara lain pasar keuangan mikro, kelompok pengusaha mikro, kelayakan kredit usaha mikro dengan pendekatan kelompok. Huruf c Yang dimaksud dengan aspek keuangan antara lain permodalan, analisis keuangan/kelayakan keuangan, perbankan dan perkreditan. Ayat (2) Cukup jelas Ayat …. -14- Ayat (3) Cukup jelas Pasal 6 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 7 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan instansi pemerintah antara lain Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, Kantor Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah, Departemen Dalam Negeri, Departemen Pendidikan Nasional. Huruf b Cukup jelas Huruf c Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Dalam Perjanjian Kerjasama sebaiknya memuat antara lain : - Hak …. -15- - Hak dan Kewajiban Lembaga Pelatih dan Lembaga Penyedia Jasa; - Hak dan Kewajiban Bank Indonesia; - Sanksi ; - Jangka waktu. Pasal 8 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 9 Cukup jelas Pasal 10 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 11 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal…. -16- Pasal 12 Cukup jelas Pasal 13 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 14 Cukup jelas Pasal 15 Cukup jelas Pasal 16 Cukup jelas TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4320 BKr
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 5/18/PBI/2003 </reg_id> <reg_title> PEMBERIAN BANTUAN TEKNIS DALAM RANGKA PENGEMBANGAN USAHA MIKRO DAN KECIL </reg_title> <set_date> 9 September 2003 </set_date> <effective_date> 9 September 2003 </effective_date> <replaced_reg> '3/9/BKr|SE-BI/2001 | angka VII', '3/2/PBI/2001 | Pasal 4' </replaced_reg> <related_reg> '23/UU/1999', '9/UU/1995', '7/UU/1992', '3/2/PBI/2001', '10/UU/1998', '40/KMK.06/2003|KEP-MENKEU/2003' </related_reg>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 1 / 12 / PBI / 1999 TENTANG UANG RUPIAH KHUSUS (COMMEMORATIVE) GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka memperingati suatu peristiwa yang bersifat khusus, Bank Indonesia dapat mengeluarkan dan mengedarkan Uang Rupiah Khusus; b. bahwa sehubungan dengan itu, dipandang perlu untuk mengatur pengeluaran dan pengedaran Uang Rupiah Khusus tersebut dalam suatu Peraturan Bank Indonesia; Mengingat : Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3843); MEMUTUSKAN : Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG UANG RUPIAH KHUSUS (COMMEMORATIVE) Pasal 1 Uang Rupiah Khusus adalah uang rupiah yang dikeluarkan secara khusus dalam rangka memperingati peristiwa atau tujuan tertentu. Pasal 2 (1) Uang Rupiah Khusus yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia merupakan alat pembayaran yang sah di wilayah negara Republik Indonesia. (2) Macam ...... - 2 - (2) Macam atau jenis, harga atau nilai nominal dan ciri Uang Rupiah Khusus ditetapkan oleh Bank Indonesia di dalam suatu Peraturan Bank Indonesia tentang pengeluaran dan pengedaran Uang Rupiah Khusus dimaksud. Pasal 3 Uang Rupiah Khusus sebagaimana dimaksud pada Pasal 1 dikeluarkan dalam jumlah terbatas. Pasal 4 Uang Rupiah Khusus dijamin oleh Bank Indonesia sebesar nilai nominal. Pasal 5 Pengeluaran dan pengedaran Uang Rupiah Khusus dilakukan oleh Bank Indonesia atau pihak lain bekerja sama dengan Bank Indonesia. Pasal 6 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 29 Desember 1999 GUBERNUR BANK INDONESIA SYAHRIL SABIRIN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1999 NOMOR 228 DPU PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 1/ 12 /PBI/1999 TENTANG UANG RUPIAH KHUSUS (COMMEMORATIVE) PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Yang dimaksud dengan khusus adalah selain untuk memperingati peristiwa atau tujuan tertentu juga memiliki nilai nominal yang berbeda dengan nilai jualnya. Pasal 2 ayat (1) Cukup jelas ayat (2) Cukup jelas Pasal 3 Cukup jelas Pasal 4 Cukup jelas Pasal 5 Dalam bekerja sama dengan pihak lain, Bank Indonesia dapat menerima royalti yang mekanisme pelaksanaannya diatur lebih lanjut dengan Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 6 Cukup jelas TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3921 DPU
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 1/12/PBI/1999 </reg_id> <reg_title> UANG RUPIAH KHUSUS (COMMEMORATIVE) </reg_title> <set_date> 29 Desember 1999 </set_date> <effective_date> 29 Desember 1999 </effective_date> <related_reg> '23/UU/1999' </related_reg>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 3/13/PBI/2001 TENTANG PERUBAHAN ATAS SURAT KEPUTUSAN DIREKSI BANK INDONESIA NOMOR 31/67/KEP/DIR TENTANG PENERBITAN DAN PERDAGANGAN SERTIFIKAT BANK INDONESIA SERTA INTERVENSI RUPIAH GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk meningkatkan efektifitas pelaksanaan kegiatan operasi pasar terbuka yang menggunakan piranti Intervensi Rupiah, dipandang perlu untuk menyelaraskan waktu pelaksanaan Intervensi Rupiah dengan jadwal operasional Sistem Bank Indonesia Real Time Gross Settlement; b. bahwa sehubungan dengan itu perlu dilakukan perubahan terhadap Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 31/67/KEP/DIR tentang Penerbitan dan Perdagangan Sertifikat Bank Indonesia serta Intervensi Rupiah; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843); 2. Peraturan ….. -2- 2. Peraturan Bank Indonesia Nomor 2/24/PBI/2000 tentang Hubungan Rekening Giro Antara Bank Indonesia Dengan Pihak Ekstern (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 205, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4025); 3. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 31/67/KEP/DIR tanggal 23 Juli 1998 tentang Penerbitan dan Perdagangan Sertifikat Bank Indonesia serta Intervensi Rupiah; MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERUBAHAN ATAS SURAT KEPUTUSAN DIREKSI BANK INDONESIA NOMOR 31/67/KEP/DIR TENTANG PENERBITAN DAN PERDAGANGAN SERTIFIKAT BANK INDONESIA SERTA INTERVENSI RUPIAH. Pasal I Mengubah beberapa ketentuan dalam Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 31/67/KEP/DIR tentang Penerbitan dan Perdagangan Sertifikat Bank Indonesia serta Intervensi Rupiah sebagai berikut: 1. Ketentuan Pasal 23 ayat (1) diubah sehingga menjadi berbunyi sebagai berikut: “Pasal 23 (1) Bank Indonesia dapat melaksanakan kegiatan operasi pasar terbuka yang menggunakan piranti Intervensi Rupiah pada setiap hari kerja dari pukul 08.00 WIB sampai dengan pukul 16.30 WIB.” 2. Ketentuan Pasal 25 diubah sehingga seluruhnya menjadi berbunyi sebagai berikut: “Pasal 25 …. -3- “Pasal 25 Waktu pelaksanaan Intervensi Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) dan tata cara pelaksanaan serta penyelesaian transaksi Intervensi Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 dapat diubah dengan Surat Edaran Bank Indonesia.” Pasal II Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 3 September 2001 GUBERNUR BANK INDONESIA SYAHRIL SABIRIN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2001 NOMOR 115 DPM -4- PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 3/13/PBI/2001 TENTANG PERUBAHAN ATAS SURAT KEPUTUSAN DIREKSI BANK INDONESIA NOMOR 31/67/KEP/DIR TENTANG PENERBITAN DAN PERDAGANGAN SERTIFIKAT BANK INDONESIA SERTA INTERVENSI RUPIAH I. UMUM Dalam rangka mencapai tujuan Bank Indonesia untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 Undang- Undang Nomor 23 Tahun 1999, Bank Indonesia melakukan pengendalian moneter diantaranya melalui kegiatan operasi pasar terbuka. Kegiatan operasi pasar terbuka antara lain menggunakan piranti Intervensi Rupiah untuk menyerap kelebihan likuiditas bank-bank yang bersifat harian. Pada saat ini pelaksanaan intervensi rupiah kurang efektif karena terdapat ketidakselarasan antara waktu penutupan Intervensi Rupiah dengan jadwal operasional Sistem Bank Indonesia Real Time Gross Settlement, yang dapat mengakibatkan bank tidak optimal dalam mengelola likuiditasnya. Sehubungan dengan itu, pelaksanaan Intervensi Rupiah perlu diselaraskan dengan jadwal operasional Sistem Bank Indonesia Real Time Gross Settlement. II. PASAL DEMI PASAL Pasal I …. -5- Pasal I Angka 1 Cukup jelas. Angka 2 Cukup jelas. Pasal II Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4315 DPM
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 3/13/PBI/2001 </reg_id> <reg_title> PERUBAHAN ATAS SURAT KEPUTUSAN DIREKSI BANK INDONESIA NOMOR 31/67/KEP/DIR TENTANG PENERBITAN DAN PERDAGANGAN SERTIFIKAT BANK INDONESIA SERTA INTERVENSI RUPIAH </reg_title> <set_date> 3 September 2001 </set_date> <effective_date> 3 September 2001 </effective_date> <changed_reg> '31/67/KEP/DIR|SKDIR-BI' </changed_reg> <related_reg> '23/UU/1999', '31/67/KEP/DIR|SKDIR-BI/1998', '2/24/PBI/2000' </related_reg>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 17/3/PBI/2015 TENTANG KEWAJIBAN PENGGUNAAN RUPIAH DI WILAYAH NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Rupiah merupakan alat pembayaran yang sah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan simbol kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia; b. bahwa penggunaan Rupiah dalam setiap transaksi di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia juga diperlukan untuk mendukung tercapainya kestabilan nilai tukar Rupiah; c. bahwa untuk mewujudkan kedaulatan Rupiah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan untuk mendukung tercapainya kestabilan nilai tukar Rupiah, perlu diterapkan kebijakan kewajiban penggunaan Rupiah dalam setiap transaksi di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; d. bahwa berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009, Bank Indonesia sebagai otoritas moneter dan sistem pembayaran berwenang mengatur kewajiban penggunaan Rupiah dalam setiap transaksi di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d, perlu menetapkan Peraturan Bank Indonesia . . . -2- Indonesia tentang Kewajiban Penggunaan Rupiah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); 2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962); 3. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867); 4. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5223); MEMUTUSKAN . . . -3- MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG KEWAJIBAN PENGGUNAAN RUPIAH DI WILAYAH NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan: 1. Rupiah adalah mata uang Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berlaku sebagai alat pembayaran yang sah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. 2. Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang yang mengatur mengenai mata uang. 3. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang yang mengatur mengenai perbankan dan Bank Umum Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan syariah. BAB II KEWAJIBAN PENGGUNAAN RUPIAH Pasal 2 (1) Setiap pihak wajib menggunakan Rupiah dalam transaksi yang dilakukan di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. (2) Transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. setiap transaksi yang mempunyai tujuan pembayaran; b. penyelesaian kewajiban lainnya yang harus dipenuhi dengan uang; dan/atau c. transaksi keuangan lainnya. Pasal 3 . . . -4- Pasal 3 (1) Kewajiban penggunaan Rupiah dalam setiap transaksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) berlaku untuk: a. transaksi tunai; dan b. transaksi nontunai. (2) Transaksi tunai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a mencakup transaksi yang menggunakan uang kertas dan/atau uang logam sebagai alat pembayaran. (3) Transaksi nontunai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b mencakup transaksi yang menggunakan alat dan mekanisme pembayaran secara nontunai. BAB III PENGECUALIAN KEWAJIBAN PENGGUNAAN RUPIAH Pasal 4 Kewajiban penggunaan Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) tidak berlaku bagi transaksi sebagai berikut: a. transaksi tertentu dalam rangka pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara; b. penerimaan atau pemberian hibah dari atau ke luar negeri; c. transaksi perdagangan internasional; d. simpanan di Bank dalam bentuk valuta asing; atau e. transaksi pembiayaan internasional. Pasal 5 Kewajiban penggunaan Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) juga tidak berlaku untuk transaksi dalam valuta asing yang dilakukan berdasarkan ketentuan Undang-Undang yang meliputi: a. kegiatan usaha dalam valuta asing yang dilakukan oleh Bank berdasarkan Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan dan perbankan syariah; b. transaksi . . . -5- b. transaksi surat berharga yang diterbitkan oleh Pemerintah dalam valuta asing di pasar perdana dan pasar sekunder berdasarkan Undang-Undang yang mengatur mengenai surat utang negara dan surat berharga syariah negara; dan c. transaksi lainnya dalam valuta asing yang dilakukan berdasarkan Undang-Undang. Pasal 6 Transaksi tertentu dalam rangka pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a meliputi: a. pembayaran utang luar negeri; b. pembayaran utang dalam negeri dalam valuta asing; c. belanja barang dari luar negeri; d. belanja modal dari luar negeri; e. penerimaan negara yang berasal dari penjualan surat utang negara dalam valuta asing; dan f. transaksi lainnya dalam rangka pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara. Pasal 7 Penerimaan atau pemberian hibah dari atau ke luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf b hanya dapat dilakukan oleh penerima atau pemberi hibah yang salah satunya berkedudukan di luar negeri. Pasal 8 (1) Transaksi perdagangan internasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf c meliputi: a. kegiatan ekspor dan/atau impor barang ke atau dari luar wilayah pabean Republik Indonesia; dan/atau b. kegiatan perdagangan jasa yang melampaui batas wilayah negara yang dilakukan dengan cara: 1. pasokan lintas batas (cross border supply); dan 2. konsumsi . . . -6- 2. konsumsi di luar negeri (consumption abroad). (2) Transaksi untuk kegiatan tambahan dalam kegiatan ekspor dan/atau impor barang ke atau dari luar wilayah pabean Republik Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a tidak dikategorikan sebagai transaksi perdagangan internasional sehingga wajib menggunakan Rupiah. Pasal 9 (1) Transaksi pembiayaan internasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf e hanya dapat dilakukan oleh pemberi atau penerima pembiayaan yang salah satunya berkedudukan di luar negeri. (2) Dalam hal pemberi pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa Bank maka wajib memenuhi ketentuan yang mengatur mengenai transaksi valuta asing terhadap Rupiah antara Bank dengan pihak asing. BAB IV LARANGAN MENOLAK RUPIAH Pasal 10 (1) Setiap pihak dilarang menolak untuk menerima Rupiah yang penyerahannya dimaksudkan sebagai pembayaran atau untuk menyelesaikan kewajiban yang harus dipenuhi dengan Rupiah dan/atau untuk transaksi keuangan lainnya di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan dalam hal: a. terdapat keraguan atas keaslian Rupiah yang diterima untuk transaksi tunai; atau b. pembayaran atau penyelesaian kewajiban dalam valuta asing telah diperjanjikan secara tertulis. (3) Perjanjian tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b hanya dapat dilakukan untuk: a. transaksi yang dikecualikan dari kewajiban penggunaan Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dan Pasal 5; atau b. proyek . . . -7- b. proyek infrastruktur strategis dan mendapat persetujuan Bank Indonesia. BAB V PENCANTUMAN HARGA BARANG DAN/ATAU JASA Pasal 11 Dalam rangka mendukung pelaksanaan kewajiban penggunaan Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), pelaku usaha wajib mencantumkan harga barang dan/atau jasa hanya dalam Rupiah. BAB VI LAPORAN DAN PENGAWASAN KEPATUHAN Pasal 12 (1) Bank Indonesia berwenang untuk meminta laporan, keterangan, dan/atau data kepada setiap pihak yang terkait dengan pelaksanaan kewajiban penggunaan Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan kewajiban pencantuman harga barang dan/atau jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11. (2) Pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menyampaikan laporan, keterangan, dan/atau data yang diminta oleh Bank Indonesia. Pasal 13 (1) Bank Indonesia melakukan pengawasan terhadap kepatuhan setiap pihak dalam melaksanakan kewajiban penggunaan Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan kewajiban pencantuman harga barang dan/atau jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11. (2) Dalam melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia menempuh berbagai cara antara lain sebagai berikut: a. meminta laporan, keterangan, data, dan/atau dokumen pendukung, dengan atau tanpa melibatkan instansi terkait; b. melakukan pengawasan langsung terhadap setiap pihak; dan/atau c. menunjuk . . . -8- c. menunjuk pihak lain untuk melakukan penelitian dalam rangka pengawasan terhadap kepatuhan setiap pihak. BAB VII KETENTUAN LAIN-LAIN Pasal 14 Kegiatan yang berupa: a. penukaran valuta asing yang dilakukan oleh penyelenggara kegiatan usaha penukaran valuta asing sesuai dengan peraturan perundang- undangan; dan b. pembawaan uang kertas asing ke dalam atau ke luar wilayah pabean Republik Indonesia yang dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan, tidak dikategorikan sebagai transaksi yang wajib menggunakan Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1). Pasal 15 Dalam melaksanakan Peraturan Bank Indonesia ini Bank Indonesia dapat melakukan koordinasi dan kerja sama dengan pihak lain. Pasal 16 Dalam hal terdapat permasalahan bagi pelaku usaha dengan karakteristik tertentu terkait pelaksanaan kewajiban penggunaan Rupiah untuk transaksi nontunai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf b, Bank Indonesia dapat mengambil kebijakan tertentu dengan tetap memperhatikan kewajiban penggunaan Rupiah sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini. BAB VIII . . . -9- BAB VIII SANKSI Pasal 17 Terhadap pelanggaran atas: a. kewajiban penggunaan Rupiah untuk transaksi tunai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a; dan/atau b. larangan menolak Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, berlaku ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang. Pasal 18 (1) Pelanggaran atas kewajiban penggunaan Rupiah untuk transaksi nontunai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf b dikenakan sanksi administratif berupa: a. teguran tertulis; b. kewajiban membayar; dan/atau c. larangan untuk ikut dalam lalu lintas pembayaran. (2) Sanksi kewajiban membayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b ditetapkan sebesar 1% (satu persen) dari nilai transaksi, dengan jumlah kewajiban membayar paling banyak sebesar Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Pasal 19 Pelanggaran atas kewajiban pencantuman harga barang dan/atau jasa dalam Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dan kewajiban penyampaian laporan, keterangan, dan/atau data sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2) dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis. Pasal 20 Selain mengenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) dan Pasal 19, Bank Indonesia dapat merekomendasikan kepada . . . -10- kepada otoritas yang berwenang untuk melakukan tindakan sesuai dengan kewenangannya. BAB IX KETENTUAN PERALIHAN Pasal 21 (1) Perjanjian tertulis mengenai pembayaran atau penyelesaian kewajiban dalam valuta asing selain perjanjian tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (3) yang dibuat sebelum tanggal 1 Juli 2015, tetap berlaku sampai dengan berakhirnya perjanjian tertulis tersebut. (2) Perjanjian tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya berlaku untuk perjanjian tertulis mengenai pembayaran atau penyelesaian kewajiban dalam valuta asing untuk transaksi nontunai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf b. (3) Perpanjangan dan/atau perubahan atas perjanjian tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus tunduk pada Peraturan Bank Indonesia ini. BAB X KETENTUAN PENUTUP Pasal 22 Ketentuan lebih lanjut dari Peraturan Bank Indonesia ini diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 23 Ketentuan mengenai kewajiban penggunaan Rupiah untuk transaksi nontunai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf b mulai berlaku pada tanggal 1 Juli 2015. Pasal 24 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar . . . -11- Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 31 Maret 2015 GUBERNUR BANK INDONESIA, AGUS D.W. MARTOWARDOJO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 31 Maret 2015 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2015 NOMOR 70 DPU PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 17/3/PBI/2015 TENTANG KEWAJIBAN PENGGUNAAN RUPIAH DI WILAYAH NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA I. UMUM Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai negara yang merdeka dan berdaulat memiliki simbol kedaulatan negara yang harus dihormati oleh seluruh warga negara Indonesia. Salah satu simbol kedaulatan negara tersebut adalah Rupiah sebagai mata uang yang dikeluarkan oleh Negara Kesatuan Republik Indonesia. Rupiah dipergunakan sebagai alat pembayaran yang sah di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam kegiatan perekonomian nasional dan internasional guna mewujudkan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Pengaturan kewajiban penggunaan Rupiah di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia diperlukan untuk mendukung kestabilan nilai tukar Rupiah yang merupakan bagian dari tujuan yang diamanatkan kepada Bank Indonesia dalam Undang-Undang mengenai Bank Indonesia, yaitu mencapai dan memelihara kestabilan nilai Rupiah. Dalam kondisi pasar valuta asing di dalam negeri mengalami kelebihan permintaan valuta asing, penggunaan valuta asing untuk transaksi di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia akan memberikan tambahan tekanan terhadap nilai tukar Rupiah dimana hal ini berpotensi mengganggu stabilitas nilai Rupiah. Sejalan dengan kewenangan Bank Indonesia dalam pengaturan terhadap Rupiah maka diperlukan pengaturan mengenai kewajiban penggunaan Rupiah di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia baik untuk transaksi tunai maupun transaksi nontunai. Pengaturan kewajiban penggunaan Rupiah di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia juga dimaksudkan untuk lebih mengefektifkan pelaksanaan ketentuan dalam Undang-Undang mengenai . . . -2- mengenai mata uang yang mewajibkan penggunaan Rupiah dalam setiap transaksi yang mempunyai tujuan pembayaran, penyelesaian kewajiban lainnya yang harus dipenuhi dengan uang, dan/atau transaksi keuangan lainnya, yang dilakukan di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam rangka mendukung perekonomian Negara Kesatuan Republik Indonesia, pengaturan kewajiban penggunaan Rupiah di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia perlu tetap memperhatikan adanya kebutuhan penggunaan valuta asing dalam masyarakat yang diperkenankan berdasarkan Undang-Undang. Pengaturan kewajiban penggunaan Rupiah di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini telah disusun dengan memperhatikan Undang- Undang, seperti Undang-Undang mengenai perbankan, Undang- Undang mengenai Bank Indonesia, Undang-Undang mengenai lalu lintas devisa dan sistem nilai tukar, Undang-Undang mengenai surat utang negara, Undang-Undang mengenai perbankan syariah, Undang- Undang mengenai surat berharga syariah negara, Undang-Undang mengenai transfer dana, dan Undang-Undang mengenai mata uang. Penerapan kewajiban penggunaan Rupiah di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dilakukan dengan memperhatikan kesiapan pelaku usaha, kontinuitas kegiatan usaha, kegiatan investasi, dan pertumbuhan ekonomi nasional. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “pihak” adalah orang perseorangan atau korporasi. Korporasi adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi, baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum. Ayat (2) . . . -3- Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Yang dimaksud dengan “transaksi keuangan lainnya” antara lain meliputi kegiatan penyetoran Rupiah dalam berbagai jumlah dan jenis pecahan dari nasabah kepada Bank. Pasal 3 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Contoh alat pembayaran secara nontunai antara lain cek, bilyet giro, kartu kredit, kartu debit, kartu Automated Teller Machine (ATM), dan uang elektronik. Contoh mekanisme pembayaran secara nontunai antara lain melalui transfer dana. Pasal 4 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Simpanan di Bank dalam bentuk valuta asing hanya dapat diselenggarakan oleh Bank yang melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing. Transaksi terkait simpanan di Bank yang melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing dapat berupa penyetoran dan/atau penarikan valuta asing. Huruf e . . . -4- Huruf e Cukup jelas Pasal 5 Huruf a Kegiatan usaha dalam valuta asing yang dilakukan oleh Bank berdasarkan Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan dan perbankan syariah meliputi antara lain: 1. kredit dalam valuta asing untuk kegiatan ekspor dan kegiatan lainnya; 2. pasar uang antar Bank dalam valuta asing; 3. obligasi dalam valuta asing; 4. sub debt dalam valuta asing; 5. jual beli surat berharga dalam valuta asing; dan 6. transaksi perbankan lainnya dalam valuta asing yang diatur dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan dan perbankan syariah beserta peraturan pelaksanaannya. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Undang-Undang yang mengatur mengenai transaksi lainnya dalam valuta asing antara lain Undang-Undang mengenai Bank Indonesia, Undang-Undang mengenai penanaman modal, dan Undang-Undang mengenai lembaga pembiayaan ekspor Indonesia. Pasal 6 Cukup jelas. Pasal 7 Cukup jelas. Pasal 8 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan “kegiatan ekspor dan/atau impor barang ke atau dari luar wilayah pabean Republik Indonesia” adalah perdagangan barang antarnegara atau lintas negara. Huruf b . . . -5- Huruf b Yang dimaksud dengan “kegiatan perdagangan jasa yang melampaui batas wilayah negara dalam bentuk pasokan lintas batas (cross border supply)” adalah kegiatan penyediaan jasa dari wilayah suatu negara ke wilayah negara lain seperti pembelian secara online (dalam jaringan) atau call center. Yang dimaksud dengan “kegiatan perdagangan jasa yang melampaui batas wilayah negara dalam bentuk konsumsi di luar negeri (consumption abroad)” adalah kegiatan penyediaan jasa di luar negeri untuk melayani konsumen dari Indonesia seperti warga negara Indonesia yang kuliah di luar negeri atau rawat di rumah sakit luar negeri. Ayat (2) Kegiatan tambahan berkaitan dengan kegiatan ekspor dan/atau impor barang yang dilakukan di wilayah pabean Republik Indonesia melalui sarana pengangkutan kapal, pesawat, atau sarana angkut lainnya tidak dikategorikan sebagai kegiatan ekspor dan/atau impor barang. Kegiatan tambahan berkaitan dengan kegiatan ekspor dan/atau impor barang antara lain meliputi: sandar kapal di pelabuhan, bongkar muat kontainer, penyimpanan sementara kontainer di pelabuhan, dan parkir pesawat di bandara. Pasal 9 Cukup jelas. Pasal 10 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “pihak” adalah orang perseorangan atau korporasi. Korporasi adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi, baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum. Ayat (2) . . . -6- Ayat (2) Huruf a Setiap pihak yang memiliki Rupiah yang diragukan keasliannya tersebut dapat meminta klarifikasi kepada Bank Indonesia. Huruf b Cukup jelas. Ayat (3) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan “proyek infrastruktur strategis” adalah: 1. proyek infrastruktur sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penerapan prinsip kehati-hatian dalam pengelolaan utang luar negeri korporasi nonbank; dan 2. dibuktikan dengan surat keterangan dari kementerian atau lembaga yang berwenang. Pasal 11 Cukup jelas. Pasal 12 Cukup jelas. Pasal 13 Ayat (1) Pengawasan oleh Bank Indonesia terutama dilakukan terhadap pemenuhan kewajiban penggunaan Rupiah untuk transaksi nontunai. Sedangkan pengawasan dan/atau penegakan hukum terhadap pemenuhan kewajiban penggunaan Rupiah untuk transaksi tunai dilakukan bekerja sama dengan aparat penegak hukum. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 14 . . . -7- Pasal 14 Huruf a Yang dimaksud “kegiatan usaha penukaran valuta asing sesuai dengan peraturan perundang-undangan” antara lain kegiatan usaha penukaran valuta asing bukan Bank yang memiliki izin dari Bank Indonesia. Huruf b Cukup jelas. Pasal 15 Koordinasi dan kerja sama dengan pihak lain dapat dilakukan antara lain dengan aparat penegak hukum, dan otoritas yang berwenang. Pasal 16 Penetapan kebijakan oleh Bank Indonesia dilakukan dengan mempertimbangkan antara lain kesiapan pelaku usaha, kontinuitas kegiatan usaha, kegiatan investasi, dan/atau pertumbuhan ekonomi nasional. Pasal 17 Cukup jelas. Pasal 18 Cukup jelas. Pasal 19 Cukup jelas. Pasal 20 Rekomendasi yang disampaikan oleh Bank Indonesia antara lain berupa rekomendasi untuk mencabut izin usaha atau menghentikan kegiatan usaha. Pasal 21 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) . . . -8- Ayat (3) Yang dimaksud dengan “perubahan atas perjanjian tertulis” adalah perubahan yang terutama terkait dengan perubahan subjek dan/atau objek pada perjanjian tertulis. Pasal 22 Cukup jelas. Pasal 23 Cukup jelas. Pasal 24 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5683 DPU
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 17/3/PBI/2015 </reg_id> <reg_title> KEWAJIBAN PENGGUNAAN RUPIAH DI WILAYAH NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA </reg_title> <set_date> 31 Maret 2015 </set_date> <effective_date> 31 Maret 2015 </effective_date> <issued_date> 31 Maret 2015 </issued_date> <related_reg> '21/UU/2008', '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '7/UU/2011', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg> <penalty_list> 'BAB VIII' </penalty_list>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 11/ 18 /PBI/2009 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 10/40/PBI/2008 TENTANG LAPORAN BULANAN BANK UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka penerapan Laporan Bulanan Bank Umum yang lebih efektif, akurat, dan lengkap diperlukan persiapan yang memadai dari infrastruktur pendukung serta semua pihak yang terkait dengan penerapannya; b. bahwa dalam rangka lebih meningkatkan kesiapan Bank Pelapor dalam memenuhi ketentuan pelaporan Laporan Bulanan Bank Umum, Bank Indonesia memandang perlu untuk menunda pemberlakuan pengenaan sanksi administratif serta memperpanjang masa peralihan; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, dipandang perlu untuk melakukan perubahan terhadap Peraturan Bank Indonesia… -2- Indonesia Nomor 10/40/PBI/2008 tentang Laporan Bulanan Bank Umum; Mengingat : 1. Undang–Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang–Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); 2. Undang–Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang- Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 4962); 3. Undang–Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar (Lembaran Negara … -3- Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3844); MEMUTUSKAN : Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 10/40/PBI/2008 TENTANG LAPORAN BULANAN BANK UMUM. Pasal I Beberapa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/40/PBI/2008 tentang Laporan Bulanan Bank Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 205, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4950) diubah sebagai berikut : 1. Ketentuan Pasal 16 ayat (2) diubah, sehingga Pasal 16 berbunyi sebagai berikut : Pasal 16 (1) Bank Pelapor yang terlambat menyampaikan Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) per Laporan per hari kerja keterlambatan. (2) Bank Pelapor yang terlambat menyampaikan koreksi Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 dikenakan sanksi kewajiban membayar … -4- membayar sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) per hari kerja keterlambatan. (3) Bank Pelapor yang menyampaikan koreksi Laporan atas inisiatif Bank Pelapor setelah melampaui batas waktu keterlambatan penyampaian koreksi Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp50.000,00 (lima puluh ribu rupiah) per item kesalahan Laporan dan paling banyak seluruhnya sebesar Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) per Laporan. (4) Bank Pelapor yang menyampaikan koreksi Laporan atas dasar temuan Bank Indonesia setelah melampaui batas waktu keterlambatan penyampaian koreksi Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) per item kesalahan Laporan dan paling banyak seluruhnya sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) per Laporan. (5) Dalam hal Bank dikenakan sanksi kewajiban membayar karena dinyatakan telah menyampaikan koreksi Laporan atas dasar inisiatif Bank atau temuan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan (4) maka sanksi kewajiban membayar karena terlambat menyampaikan koreksi Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak diberlakukan. (6) Bank Pelapor yang dinyatakan tidak menyampaikan Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) per Laporan. (7) Dalam hal Bank dikenakan sanksi kewajiban membayar karena dinyatakan tidak menyampaikan Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (6), maka sanksi kewajiban membayar karena terlambat menyampaikan … -5- menyampaikan Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diberlakukan. (8) Dalam hal Bank dikenakan sanksi kewajiban membayar karena menyampaikan koreksi Laporan per Kantor dan/atau koreksi Laporan Perusahaan Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan/atau ayat (4) yang berdampak pada koreksi Laporan Gabungan dan Laporan Konsolidasi maka koreksi Laporan Gabungan dan/atau Laporan Konsolidasi tersebut tidak dikenakan sanksi kewajiban membayar. 2. Ketentuan Pasal 22 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut : Pasal 22 Dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini, Bank Pelapor tetap diwajibkan untuk menyampaikan Laporan sebagaimana diatur dalam PBI Nomor 2/21/PBI/2000 tanggal 19 September 2000 tentang Laporan Bulanan Bank Umum sampai dengan data bulan Desember 2009. 3. Diantara Pasal 22 dan Pasal 23 disisipkan 3 (tiga) pasal baru yaitu Pasal 22A, Pasal 22B, dan Pasal 22C yang berbunyi sebagai berikut : Pasal 22A Batas waktu penyampaian Laporan dan/atau koreksi Laporan dalam masa peralihan yaitu untuk data bulan Mei 2009 yang disampaikan pada bulan Juni 2009 sampai dengan data bulan Desember 2009 yang disampaikan pada bulan Januari 2010 diatur sebagai berikut : a. Laporan per Kantor dan/atau koreksi Laporan per Kantor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) dan Pasal 6 ayat (1) disampaikan kepada Bank… -6- Bank Indonesia setiap bulan paling lambat tanggal 17 bulan berikutnya setelah berakhirnya bulan Laporan yang bersangkutan. b. Laporan Gabungan dan/atau koreksi Laporan Gabungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) dan Pasal 6 ayat (1) disampaikan kepada Bank Indonesia setiap bulan paling lambat pada tanggal 22 bulan berikutnya setelah berakhirnya bulan Laporan yang bersangkutan. c. Laporan Perusahaan Anak dan/atau koreksi Laporan Perusahaan Anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (4) dan Pasal 6 ayat (1) disampaikan kepada Bank Indonesia setiap triwulan paling lambat pada tanggal 7 bulan kedua setelah berakhirnya bulan Laporan yang bersangkutan. d. Laporan Konsolidasi dan/atau koreksi Laporan Konsolidasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (5) dan Pasal 6 ayat (1) disampaikan kepada Bank Indonesia setiap triwulan paling lambat pada tanggal 7 bulan kedua setelah berakhirnya bulan Laporan yang bersangkutan. Pasal 22B Dalam masa peralihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22A, Bank Pelapor dinyatakan terlambat apabila : a. menyampaikan Laporan per Kantor dan/atau koreksi Laporan per Kantor melampaui batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22A huruf a, sampai dengan tanggal 20 bulan berikutnya setelah berakhirnya bulan Laporan yang bersangkutan; b. menyampaikan Laporan Gabungan dan/atau koreksi Laporan Gabungan melampaui batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22A huruf b, sampai… -7- sampai dengan tanggal 25 bulan berikutnya setelah berakhirnya bulan Laporan yang bersangkutan; c. menyampaikan Laporan Perusahaan Anak dan/atau koreksi Laporan Perusahaan Anak melampaui batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22A huruf c, sampai dengan tanggal 12 bulan kedua setelah berakhirnya bulan Laporan yang bersangkutan; d. menyampaikan Laporan Konsolidasi dan/atau koreksi Laporan Konsolidasi melampaui batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22A huruf d, sampai dengan tanggal 12 bulan kedua setelah berakhirnya bulan Laporan yang bersangkutan. Pasal 22C Dalam masa peralihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22A, Bank Pelapor dinyatakan tidak menyampaikan Laporan dan/atau koreksi Laporan, apabila Bank Indonesia belum menerima Laporan dan/atau koreksi Laporan sampai dengan batas waktu sebagaimana dimaksud pada Pasal 22B. 4. Ketentuan Pasal 24 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut : Pasal 24 Dengan diberlakukannya Peraturan Bank Indonesia ini, maka Peraturan Bank Indonesia Nomor 2/21/PBI/2000 tanggal 19 September 2000 tentang Laporan Bulanan Bank Umum dicabut dan dinyatakan tidak berlaku terhitung sejak pelaporan data bulan Januari 2010. 5. Ketentuan Pasal 25 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut : Pasal 25… -8- Pasal 25 (1) Ketentuan sanksi kewajiban membayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 dan Pasal 17 mulai berlaku sejak pelaporan data bulan Oktober 2009 yang disampaikan pada bulan November 2009. (2) Ketentuan sanksi dalam rangka pembinaan dan pengawasan Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dikenakan kepada Bank Pelapor yang tidak menyampaikan Laporan dan/atau menyampaikan Laporan yang tidak benar dan tidak lengkap sejak data bulan Mei 2009 yang disampaikan pada bulan Juni 2009. Pasal II Peraturan Bank Indonesia ini berlaku surut sejak tanggal 29 Mei 2009. Agar… -9- Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 3 Juni 2009 Pjs. GUBERNUR BANK INDONESIA, MIRANDA S. GOELTOM Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 3 Juni 2009 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA ANDI MATTALATTA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 79 DSM -10- PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 11/18/PBI/2009 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 10/40/PBI/2008 TENTANG LAPORAN BULANAN BANK UMUM I. UMUM II. PASAL DEMI PASAL Pasal I Angka 1 Pasal 16 Ayat (1) Contoh : Laporan per Kantor; Tanggal 10 April 2010 jatuh pada hari Sabtu. Bank A menyampaikan Laporan per Kantor periode data bulan Maret 2010 pada hari Selasa tanggal 13 April 2010. Bank A dinyatakan terlambat menyampaikan Laporan per Kantor selama 2 hari kerja, yaitu Senin dan Selasa (tanggal 12 dan 13 April 2010), sehingga Bank … -11- Bank A dikenakan Sanksi sebesar 2 hari x Rp1.000.000,00 = Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah). Tanggal 10 April 2010 jatuh pada hari Sabtu. Bank A menyampaikan Laporan per Kantor periode data bulan Maret 2010 pada hari Minggu tanggal 11 April 2010. Bank A dinyatakan terlambat menyampaikan Laporan per Kantor selama 1 hari yaitu hari Minggu (tanggal 11 April 2010). Berhubung sanksi kewajiban membayar dikenakan per hari kerja, maka Bank A tidak dikenakan sanksi kewajiban membayar. Laporan Gabungan; Tanggal 15 Mei 2010 jatuh pada hari Sabtu. Bank A menyampaikan Laporan Gabungan periode data bulan April 2010 pada hari Senin tanggal 17 Mei 2010. Bank A dinyatakan terlambat menyampaikan Laporan Gabungan selama 1 hari kerja yaitu Senin (17 Mei 2010), sehingga Bank A dikenakan Sanksi keterlambatan penyampaian Laporan Gabungan sebesar 1 hari x Rp1.000.000,00 = Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah). Tanggal 15 Mei 2010 jatuh pada hari Sabtu. Bank A menyampaikan Laporan Gabungan periode data bulan April 2010 pada hari Minggu tanggal 16 Mei 2010. Bank A dinyatakan terlambat menyampaikan Laporan… -12- Laporan Gabungan selama 1 hari yaitu hari Minggu (tanggal 16 Mei 2010). Berhubung sanksi kewajiban membayar dikenakan per hari kerja, maka Bank A tidak dikenakan sanksi kewajiban membayar. Ayat (2) Contoh : Koreksi Laporan per Kantor; Tanggal 10 April 2010 jatuh pada hari Sabtu. Bank A menyampaikan koreksi Laporan per Kantor periode data bulan Maret 2010 pada hari Senin tanggal 12 April 2010. Bank A dinyatakan terlambat menyampaikan koreksi Laporan per Kantor selama 1 hari kerja, yaitu Senin (tanggal 12 April 2010), sehingga Bank A dikenakan Sanksi sebesar 1 hari x Rp100.000,00 = Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah). Koreksi Laporan Gabungan; Tanggal 15 Mei 2010 jatuh pada hari Sabtu. Bank A menyampaikan koreksi Laporan Gabungan periode data bulan April 2010 pada hari Selasa tanggal 18 Mei 2010. Bank A dinyatakan terlambat menyampaikan koreksi Laporan Gabungan selama 2 hari kerja kerja, yaitu Senin dan Selasa (17 dan 18 Mei 2010), sehingga Bank A dikenakan Sanksi keterlambatan penyampaian koreksi Laporan Gabungan… -13- Gabungan sebesar 2 hari x Rp100.000,00 = Rp200.000,00 (dua ratus ribu rupiah). Ayat (3) Yang dimaksud dengan “per item kesalahan atau item yang seharusnya dilaporkan” adalah kesalahan per field data. Apabila dalam satu baris data terdapat kesalahan lebih dari satu field, kesalahan dihitung berdasarkan banyaknya field yang salah dalam baris yang bersangkutan. Contoh : Pada Daftar Rincian Kredit Yang Diberikan, dalam satu baris terdapat kesalahan pada kolom Kolektibilitas, Sektor Ekonomi dan Jumlah, maka dihitung sebagai 3 item kesalahan. Selanjutnya apabila terdapat 200 item kesalahan, maka perhitungan Sanksi adalah 200 x Rp50.000,00 = Rp10.000.000 (sepuluh juta rupiah), namun Bank hanya dikenakan Sanksi maksimum, yaitu Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah). Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas Ayat (6) Contoh : Laporan per Kantor; Tanggal … -14- Tanggal 13 Juni 2010 jatuh pada hari Minggu. Bank A menyampaikan Laporan per Kantor periode data bulan Mei 2010 pada hari Senin tanggal 14 Juni 2010, sehingga Bank A dikenakan Sanksi tidak menyampaikan Laporan per Kantor sebesar Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). Laporan Gabungan; Tanggal 21 Maret 2010 jatuh pada hari Minggu. Bank A menyampaikan Laporan Gabungan periode data bulan Februari 2010 pada hari Senin tanggal 22 Maret 2010, sehingga Bank A dikenakan Sanksi tidak menyampaikan Laporan Gabungan sebesar Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). Ayat (7) Cukup jelas Ayat (8) Cukup jelas Angka 2 Pasal 22 Cukup jelas Angka 3 Pasal 22A Huruf a Contoh : Laporan per Kantor dan/atau koreksi Laporan per Kantor untuk bulan Laporan Oktober 2009 wajib disampaikan … -15- disampaikan paling lambat pada tanggal 17 November 2009. Huruf b Contoh : Laporan Gabungan dan/atau koreksi Laporan Gabungan untuk bulan Laporan Oktober 2009 wajib disampaikan paling lambat pada tanggal 22 November 2009. Yang dimaksud dengan ”bulan Laporan” adalah bulan dimana data yang tercatat pada akhir bulan yang bersangkutan wajib dilaporkan, misalnya bulan Laporan Oktober 2009 maka yang wajib dilaporkan adalah data akhir Oktober 2009 atau periode data tahun berjalan yang berakhir sampai dengan akhir bulan Oktober 2009. Huruf c Data yang disampaikan adalah data akhir bulan Maret, Juni, September, dan Desember atau periode data tahun berjalan yang berakhir sampai dengan akhir bulan Maret, Juni, September, dan Desember. Contoh : Laporan Perusahaan Anak dan/atau koreksi Laporan Perusahaan Anak untuk bulan Laporan Desember 2009 wajib disampaikan paling lambat pada tanggal 7 Februari 2010. Huruf d … -16- Huruf d Data yang disampaikan adalah data akhir bulan Maret, Juni, September, dan Desember atau periode data tahun berjalan yang berakhir sampai dengan akhir bulan Maret, Juni, September, dan Desember. Contoh : Laporan Konsolidasi dan/atau koreksi Laporan Konsolidasi untuk bulan laporan Desember 2009 wajib disampaikan paling lambat pada tanggal 7 Februari 2010. Pasal 22B Huruf a Contoh : Penyampaian Laporan per Kantor dan/atau koreksi Laporan per Kantor untuk bulan Laporan Oktober 2009 dinyatakan terlambat apabila disampaikan mulai dari tanggal 18 November 2009 sampai dengan tanggal 20 November 2009. Huruf b Contoh : Penyampaian Laporan Gabungan dan/atau koreksi Laporan Gabungan untuk bulan laporan Oktober 2009 dinyatakan terlambat apabila disampaikan mulai dari tanggal 23 November 2009 sampai dengan tanggal 25 November 2009. Huruf c... -17- Huruf c Contoh : Penyampaian Laporan Perusahaan Anak dan/atau koreksi Laporan Perusahaan Anak untuk bulan Laporan Desember 2009 dinyatakan terlambat apabila disampaikan mulai dari tanggal 8 Februari 2010 sampai dengan tanggal 12 Februari 2010. Huruf d Contoh : Penyampaian Laporan Konsolidasi dan/atau koreksi Laporan Konsolidasi untuk bulan laporan Juni 2009 dinyatakan terlambat apabila disampaikan mulai dari tanggal 8 Februari 2010 sampai dengan tanggal 12 Februari 2010. Pasal 22C Contoh : Laporan per Kantor dan/atau koreksi Laporan per Kantor; Laporan per Kantor dan/atau koreksi Laporan per Kantor untuk bulan Laporan Mei 2009 dinyatakan tidak disampaikan, apabila Laporan dan/atau koreksi Laporan disampaikan melampaui tanggal 20 Juni 2009. Laporan Gabungan dan/atau dan/atau koreksi Laporan Gabungan; Laporan Gabungan dan/atau koreksi Laporan Gabungan untuk bulan laporan Mei 2009 dinyatakan tidak disampaikan... -18- disampaikan, apabila Laporan dan/atau koreksi Laporan disampaikan melampaui tanggal 25 Juni 2009. Laporan Perusahaan Anak dan/atau koreksi Laporan Perusahaan Anak; Laporan Perusahaan Anak dan/atau koreksi Laporan Perusahaan Anak untuk bulan laporan Juni 2009, dinyatakan tidak disampaikan, apabila Laporan dan/atau koreksi Laporan disampaikan melampaui tanggal 12 Agustus 2009. Laporan Konsolidasi dan/atau koreksi Laporan Konsolidasi; Laporan Konsolidasi dan/atau koreksi Laporan Konsolidasi untuk bulan Laporan Juni 2009, dinyatakan tidak disampaikan, apabila Laporan dan/atau koreksi Laporan disampaikan melampaui tanggal 12 Agustus 2009. Angka 4 Pasal 24 Cukup jelas. Angka 5 Pasal 25 Ayat (1) Untuk periode data bulan Oktober 2009 yang disampaikan pada bulan November 2009 sampai dengan... -19- dengan data bulan Desember 2009 yang disampaikan pada bulan Januari 2010, berlaku ketentuan penyampaian Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22A, Pasal 22B, dan Pasal 22C. Mulai periode data Januari 2010 yang disampaikan pada bulan Februari 2010 berlaku ketentuan penyampaian Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, dan Pasal 11. Ayat (2) Untuk periode data bulan Mei 2009 yang disampaikan pada bulan Juni 2009 sampai dengan data bulan September 2009 yang disampaikan pada bulan Oktober 2009, bagi bank yang tidak menyampaikan Laporan dan/atau menyampaikan Laporan yang tidak benar dan tidak lengkap akan dikenakan sanksi dalam rangka pembinaan dan pengawasan bank. Yang dimaksud dengan Bank Pelapor dinyatakan tidak menyampaikan Laporan dan/atau koreksi Laporan adalah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22C. Pasal II Cukup Jelas TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5010
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 11/18/PBI/2009 </reg_id> <reg_title> PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 10/40/PBI/2008 TENTANG LAPORAN BULANAN BANK UMUM </reg_title> <set_date> 3 Juni 2009 </set_date> <effective_date> 29 Mei 2009 </effective_date> <issued_date> 3 Juni 2009 </issued_date> <changed_reg> '10/40/PBI/2008' </changed_reg> <replaced_reg> '2/21/PBI/2000' </replaced_reg> <related_reg> '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '24/UU/1999', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg> <penalty_list> 'Pasal I Angka 1 Pasal 16', 'Pasal I Angka 5 Pasal 25' </penalty_list>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 8/7/PBI/2006 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 7/13/PBI/2005 TENTANG KEWAJIBAN PENYEDIAAN MODAL MINIMUM BANK UMUM BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka membantu pengembangan usaha kecil dan mendukung pemberian penyaluran dana kepada pegawai/pensiunan sebagai bentuk perwujudan peranan perbankan khususnya perbankan syariah sebagai alat intermediasi bagi sektor riil dalam rangka menunjang sektor perekonomian usaha kecil di Indonesia, diperlukan adanya perubahan penghitungan aktiva tertimbang menurut risiko bagi penyaluran dana sektor terkait; b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, maka diperlukan penyesuaian terhadap ketentuan mengenai kewajiban penyediaan modal minimum bank umum berdasarkan prinsip syariah dalam suatu Peraturan Bank Indonesia: Mengingat… - 2 - Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); 2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Republik Indonesia Negara Nomor 3843) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No.3 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357); MEMUTUSKAN: Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 7/13/PBI/2005 TENTANG KEWAJIBAN PENYEDIAAN MODAL MINIMUM BANK UMUM BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH. Pasal I Beberapa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia No. 7/13/PBI/2005 tanggal 10 Juni 2005 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 47 … - 3 - Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4501) diubah sebagai berikut : 1. Penjelasan Pasal 4, ayat (5) huruf d diubah sebagaimana tercantum dalam penjelasan. 2. Pasal 7 diubah sehingga Pasal 7 berbunyi sebagai berikut : Pasal 7 (1) Aktiva tertimbang menurut risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 untuk aktiva produktif dibedakan sebagai berikut : a. penyaluran dana dalam berbagai bentuk aktiva produktif yang sumber dananya berasal dari dana pihak ketiga dengan prinsip mudharabah mutlaqah berdasarkan sistem bagi untung atau rugi (profit and loss sharing method) diberikan bobot sebesar 1% (satu perseratus); b. penyaluran dana dalam berbagai bentuk aktiva produktif berdasarkan sistem bagi pendapatan (revenue sharing) yang sumber dananya berasal dari modal sendiri dan/atau dana pihak ketiga dengan prinsip wadiah, qardh dan mudharabah muthlaqah berdasarkan sistem bagi pendapatan (revenue sharing) yang dibedakan sebagai berikut: 1. diberikan atau dijamin oleh pemerintah atau bank sentral diberikan bobot sebesar 0% (nol perseratus); 2. diberikan atau dijamin oleh bank lain diberikan bobot sebesar 20% (dua puluh perseratus); 3. diberikan atau dijamin oleh swasta penetapan bobot berdasarkan peringkat (rating) yang bersangkutan. dimiliki oleh perusahaan yang c. penyaluran … - 4 - c. penyaluran dana dalam bentuk piutang untuk kepemilikan rumah yang dijamin oleh hak tanggungan pertama dan bertujuan untuk dihuni yang sumber dananya berasal dari modal sendiri dan atau dana pihak ketiga dengan prinsip wadiah, qardh dan mudharabah muthlaqah berdasarkan sistem bagi pendapatan (revenue sharing) diberikan bobot sebesar 35% (tiga puluh lima perseratus); d. penyaluran dana dalam berbagai bentuk aktiva produktif kepada pegawai/pensiunan diluar kepemilikan rumah dan usaha kecil yang sumber dananya dari wadiah, modal sendiri, qardh dan mudharabah mutlaqah berdasarkan sistem bagi pendapatan (revenue sharing) diberikan bobot sebesar 50 % (lima puluh perseratus); e. penyaluran dana dalam berbagai bentuk aktiva produktif kepada usaha kecil yang sumber dananya dari wadiah, modal sendiri, qardh dan mudharabah mutlaqah berdasarkan sistem bagi pendapatan (revenue sharing) diberikan bobot sebesar 85 % (delapan puluh lima perseratus); f. penyaluran dana dalam berbagai bentuk aktiva produktif berdasarkan sistem bagi untung atau rugi (profit and loss sharing method) yang sumber dananya dari wadiah, modal sendiri, qardh dan mudharabah muthlaqah berdasarkan sistem bagi pendapatan (revenue sharing) diberikan bobot sebesar 150% (seratus lima puluh perseratus); (2) Peringkat (rating) yang menjadi dasar pemberian bobot risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b angka 3 atau setara diklasifikasikan sebagai berikut: a. perusahaan dengan peringkat AAA sampai dengan AA- diberikan bobot sebesar 20% (dua puluh perseratus); b. perusahaan … - 5 - b. perusahaan dengan peringkat A+ sampai dengan A- diberikan bobot sebesar 50% (lima puluh perseratus); c. perusahaan dengan peringkat BBB+ sampai dengan BBB- diberikan bobot sebesar 100% (seratus perseratus); d. perusahaan dengan peringkat BB+ sampai dengan B- diberikan bobot sebesar 100% (seratus perseratus); e. perusahaan dengan peringkat dibawah B- diberikan bobot sebesar 150% (seratus lima puluh perseratus); f. perusahaan yang tidak memiliki peringkat (unrated) diberikan bobot sebesar 100% (seratus perseratus). Pasal II pa Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Ditetapkan di : Jakarta Pada tanggal : 27 Februari 2006 GUBERNUR BANK INDONESIA, BURHANUDDIN ABDULLAH LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2006 NOMOR 17 DPbS PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK NDONESIA NOMOR: 8/7/PBI/2006 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 7/13/PBI/2005 TENTANG KEWAJIBAN PENYEDIAAN MODAL MINIMUM BANK UMUM BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH UMUM Dalam rangka meningkatkan peranan perbankan syariah dalam menggerakkan sektor riil dengan lebih memfokuskan kepada pemberian penyaluran dana kepada sektor usaha kecil serta mendukung pembiayaan pihak pegawai dan atau pensiunan maka diperlukan adanya penyesuaian besarnya aktiva tertimbang menurut risiko dalam ketentuan penghitungan kewajiban penyediaan modal minimum yang lebih dapat mengakomodasi dan mendukung pengembangan usaha kecil dan pemberian penyaluran dana kepada pegawai dan atau pensiunan tersebut. PASAL DEMI PASAL Pasal I Angka 1 Pasal 4 Ayat (5) Huruf d … - 2 - Huruf d Yang dimaksud dengan Investasi Subordinasi dalam Laporan Bulanan Bank Syariah yaitu pinjaman subordinasi dan obligasi syariah subordinasi. Angka 2 Pasal 7 Ayat (1) Yang dimaksud dengan: “aktiva produktif” adalah penanaman dana Bank baik dalam rupiah maupun valuta asing dalam bentuk pembiayaan, piutang, pinjaman dengan prinsip qardh, penempatan, penyertaan modal, penyertaan modal sementara, komitmen dan kontinjensi pada transaksi rekening administratif serta sertifikat wadiah Bank Indonesia; “mudharabah mutlaqah” adalah prinsip Syariah dalam perjanjian antara penanam dana dan pengelola dana untuk melakukan kegiatan usaha tertentu, dengan pembagian keuntungan antara kedua belah pihak berdasarkan nisbah yang telah disepakati sebelumnya dimana Bank diberikan kebebasan oleh pihak pemilik dana untuk menanamkan dananya; “wadiah” adalah prinsip Syariah dalam perjanjian penitipan dana antara pemilik dana dengan pihak yang dipercaya untuk menjaga dana penitipan tersebut; “qardh” adalah prinsip Syariah dalam perjanjian pinjam meminjam penyediaan dana antara bank Syariah sebagai pemberi pinjaman dengan pihak peminjam yang mewajibkan pihak peminjam … - 3 - peminjam melakukan pembayaran pokok pinjaman dengan cara sekaligus atau cicilan dalam jangka waktu tertentu; “pegawai” adalah pegawai negeri sipil (PNS), anggota TNI/POLRI, pegawai lembaga negara dan pegawai Badan Usaha Milik Negara/Daerah “pensiunan” adalah pensiunan dari PNS, anggota TNI/Polri, pegawai lembaga negara dan pegawai Badan Usaha Milik Negara/Daerah Ayat (2) Cukup jelas Pasal II Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4606
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 8/7/PBI/2006 </reg_id> <reg_title> PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 7/13/PBI/2005 TENTANG KEWAJIBAN PENYEDIAAN MODAL MINIMUM BANK UMUM BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH </reg_title> <set_date> 27 Februari 2006 </set_date> <effective_date> 27 Februari 2006 </effective_date> <changed_reg> '7/13/PBI/2005' </changed_reg> <related_reg> '7/UU/1992', '23/UU/1999', '10/UU/1998', '3/UU/2004' </related_reg>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 13/ 1 /PBI/2011 TENTANG PENILAIAN TINGKAT KESEHATAN BANK UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kesehatan bank merupakan sarana bagi otoritas pengawas dalam menetapkan strategi dan fokus pengawasan terhadap bank; b. bahwa perubahan kompleksitas usaha dan profil risiko yang dapat berasal dari bank maupun dari perusahaan anak bank serta perubahan pendekatan penilaian kondisi bank yang diterapkan secara internasional mempengaruhi pendekatan penilaian tingkat kesehatan bank; c. bahwa dalam rangka meningkatkan efektivitas penilaian tingkat kesehatan bank untuk menghadapi perubahan sebagaimana dimaksud pada huruf b diperlukan penyempurnaan penilaian tingkat kesehatan bank dengan pendekatan berdasarkan risiko; d. bahwa penilaian tingkat kesehatan bank juga perlu disesuaikan dengan penerapan pengawasan secara konsolidasi; e. bahwa . . . e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d, perlu untuk mengatur kembali Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum dalam suatu Peraturan Bank Indonesia; Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); 2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962); MEMUTUSKAN: Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PENILAIAN TINGKAT KESEHATAN BANK UMUM. BAB I . . . BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan: 1. Bank adalah Bank Umum yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, termasuk kantor cabang bank asing. 2. Direksi: a. Bagi Bank berbentuk hukum Perseroan Terbatas adalah direksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas; b. Bagi Bank berbentuk hukum Perusahaan Daerah adalah direksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah; c. Bagi Bank berbentuk hukum Koperasi adalah pengurus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian; d. Bagi kantor cabang bank asing adalah pimpinan kantor cabang bank asing. 3. Dewan Komisaris: a. Bagi Bank berbentuk hukum Perseroan Terbatas adalah dewan komisaris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas; b. Bagi Bank berbentuk hukum Perusahaan Daerah adalah pengawas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah; c. Bagi . . . c. Bagi Bank berbentuk hukum Koperasi adalah pengawas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian. 4. Tingkat Kesehatan Bank adalah hasil penilaian kondisi Bank yang dilakukan terhadap risiko dan kinerja Bank. 5. Peringkat Komposit adalah peringkat akhir hasil penilaian Tingkat Kesehatan Bank. 6. Perusahaan Anak adalah perusahaan yang dimiliki dan/atau dikendalikan oleh Bank secara langsung maupun tidak langsung, baik di dalam negeri maupun di luar negeri, yang memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai penerapan manajemen risiko secara konsolidasi bagi Bank yang melakukan pengendalian terhadap perusahaan anak. 7. Pengendalian adalah Pengendalian sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku mengenai transparansi kondisi keuangan bank. Pasal 2 (1) Bank wajib memelihara dan/atau meningkatkan Tingkat Kesehatan Bank dengan menerapkan prinsip kehati-hatian dan manajemen risiko dalam melaksanakan kegiatan usaha. (2) Dalam rangka melaksanakan tanggung jawab atas kelangsungan usaha Bank, Direksi dan Dewan Komisaris bertanggung jawab untuk memelihara dan memantau Tingkat Kesehatan Bank serta mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk memelihara dan/atau meningkatkan Tingkat Kesehatan Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Bank . . . (3) Bank wajib melakukan penilaian tingkat kesehatan dengan menggunakan pendekatan risiko (Risk-based Bank Rating) baik secara individual maupun secara konsolidasi. BAB II PENILAIAN TINGKAT KESEHATAN BANK Pasal 3 (1) Bank wajib melakukan penilaian sendiri (self assessment) atas Tingkat Kesehatan Bank sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (3). (2) Penilaian sendiri (self assessment) Tingkat Kesehatan Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling kurang setiap semester untuk posisi akhir bulan Juni dan Desember. (3) Bank wajib melakukan pengkinian self assesment Tingkat Kesehatan Bank sewaktu-waktu apabila diperlukan. (4) Hasil self assessment Tingkat Kesehatan Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) yang telah mendapat persetujuan dari Direksi wajib disampaikan kepada Dewan Komisaris. (5) Bank wajib menyampaikan hasil self assessment Tingkat Kesehatan Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (4) kepada Bank Indonesia sebagai berikut: a. untuk penilaian Tingkat Kesehatan Bank secara individual, paling lambat pada tanggal 31 Juli untuk penilaian Tingkat Kesehatan Bank posisi akhir bulan Juni dan tanggal 31 Januari untuk penilaian Tingkat Kesehatan Bank posisi akhir bulan Desember; dan b. untuk penilaian Tingkat Kesehatan Bank secara konsolidasi, paling lambat pada tanggal 15 Agustus untuk penilaian Tingkat Kesehatan Bank posisi akhir bulan Juni dan tanggal 15 Februari untuk penilaian Tingkat Kesehatan Bank posisi akhir bulan Desember. Pasal 4 . . . Pasal 4 (1) Bank Indonesia melakukan penilaian Tingkat Kesehatan Bank setiap semester untuk posisi akhir bulan Juni dan Desember. (2) Bank Indonesia melakukan pengkinian penilaian Tingkat Kesehatan Bank sewaktu-waktu apabila diperlukan. (3) Penilaian Tingkat Kesehatan Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pengkinian penilaian Tingkat Kesehatan Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan berdasarkan hasil pemeriksaan, laporan berkala yang disampaikan Bank, dan/atau informasi lain. Pasal 5 Dalam rangka pengawasan Bank, apabila terdapat perbedaan hasil penilaian Tingkat Kesehatan Bank yang dilakukan oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dengan hasil self assesment penilaian Tingkat Kesehatan Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 maka yang berlaku adalah hasil penilaian Tingkat Kesehatan Bank yang dilakukan oleh Bank Indonesia. BAB III MEKANISME PENILAIAN TINGKAT KESEHATAN BANK SECARA INDIVIDUAL Pasal 6 Bank wajib melakukan penilaian Tingkat Kesehatan Bank secara individual dengan menggunakan pendekatan risiko (Risk-based Bank Rating) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3), dengan cakupan penilaian terhadap faktor- faktor sebagai berikut: a. Profil risiko (risk profile); b. Good . . . b. Good Corporate Governance (GCG); c. Rentabilitas (earnings); dan d. Permodalan (capital). Pasal 7 (1) Penilaian terhadap faktor profil risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf a merupakan penilaian terhadap risiko inheren dan kualitas penerapan manajemen risiko dalam operasional Bank yang dilakukan terhadap 8 (delapan) risiko yaitu: a. b. c. d. e. f. risiko kredit; risiko pasar; risiko likuiditas; risiko operasional; risiko hukum; risiko stratejik; g. h. risiko kepatuhan; dan risiko reputasi. (2) Penilaian terhadap faktor GCG sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf b merupakan penilaian terhadap manajemen Bank atas pelaksanaan prinsip-prinsip GCG. (3) Penilaian terhadap faktor rentabilitas (earnings) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c meliputi penilaian terhadap kinerja earnings, sumber-sumber earnings, dan sustainability earnings Bank. (4) Penilaian terhadap faktor permodalan (capital) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf d meliputi penilaian terhadap tingkat kecukupan permodalan dan pengelolaan permodalan. Pasal 8 . . . Pasal 8 (1) Setiap faktor penilaian Tingkat Kesehatan Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ditetapkan peringkatnya berdasarkan kerangka analisis yang komprehensif dan terstruktur. (2) Penetapan peringkat faktor profil risiko dilakukan dengan tahapan sebagai berikut: a. penetapan tingkat risiko dari masing-masing risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1); b. penetapan tingkat risiko inheren secara komposit dan kualitas penerapan manajemen risiko secara komposit; dan c. penetapan peringkat faktor profil risiko berdasarkan analisis secara komprehensif dan terstruktur atas hasil penetapan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b dengan memperhatikan signifikansi masing-masing risiko terhadap profil risiko secara keseluruhan. (3) Penetapan peringkat faktor GCG dilakukan berdasarkan analisis yang komprehensif dan terstruktur terhadap hasil penilaian pelaksanaan prinsip-prinsip GCG Bank dan informasi lain yang terkait dengan GCG Bank. (4) Penetapan peringkat faktor rentabilitas (earnings) dilakukan berdasarkan analisis secara komprehensif terhadap parameter/indikator rentabilitas dengan memperhatikan signifikansi masing-masing parameter/indikator serta mempertimbangkan permasalahan lain yang mempengaruhi rentabilitas Bank. (5) Penetapan . . . (5) Penetapan peringkat penilaian faktor permodalan Bank dilakukan berdasarkan analisis secara komprehensif terhadap parameter/indikator permodalan dengan memperhatikan signifikansi masing-masing parameter/indikator serta mempertimbangkan permasalahan lain yang mempengaruhi permodalan Bank. Pasal 9 (1) Peringkat Komposit Tingkat Kesehatan Bank ditetapkan berdasarkan analisis secara komprehensif dan terstruktur terhadap peringkat setiap faktor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) dengan memperhatikan materialitas dan signifikansi masing- masing faktor. (2) Peringkat Komposit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikategorikan sebagai berikut: a. Peringkat Komposit 1 (PK-1). b. Peringkat Komposit 2 (PK-2). c. Peringkat Komposit 3 (PK-3). d. Peringkat Komposit 4 (PK-4). e. Peringkat Komposit 5 (PK-5). (3) Peringkat Komposit 1 (PK-1), mencerminkan kondisi Bank yang secara umum sangat sehat sehingga dinilai sangat mampu menghadapi pengaruh negatif yang signifikan dari perubahan kondisi bisnis dan faktor eksternal lainnya. (4) Peringkat Komposit 2 (PK-2), mencerminkan kondisi Bank yang secara umum sehat sehingga dinilai mampu menghadapi pengaruh negatif yang signifikan dari perubahan kondisi bisnis dan faktor eksternal lainnya. (5) Peringkat . . . (5) Peringkat Komposit 3 (PK-3), mencerminkan kondisi Bank yang secara umum cukup sehat sehingga dinilai cukup mampu menghadapi pengaruh negatif yang signifikan dari perubahan kondisi bisnis dan faktor eksternal lainnya. (6) Peringkat Komposit 4 (PK-4), mencerminkan kondisi Bank yang secara umum kurang sehat sehingga dinilai kurang mampu menghadapi pengaruh negatif yang signifikan dari perubahan kondisi bisnis dan faktor eksternal lainnya. (7) Peringkat Komposit 5 (PK-5), mencerminkan kondisi Bank yang secara umum tidak sehat sehingga dinilai tidak mampu menghadapi pengaruh negatif yang signifikan dari perubahan kondisi bisnis dan faktor eksternal lainnya. Pasal 10 Dalam hal berdasarkan hasil identifikasi dan penilaian Bank Indonesia ditemukan permasalahan atau pelanggaran yang secara signifikan mempengaruhi atau akan mempengaruhi operasional dan/atau kelangsungan usaha Bank, Bank Indonesia berwenang menurunkan Peringkat Komposit Tingkat Kesehatan Bank. BAB IV MEKANISME PENILAIAN TINGKAT KESEHATAN BANK SECARA KONSOLIDASI Pasal 11 (1) Bank wajib melakukan penilaian Tingkat Kesehatan Bank secara konsolidasi dengan menggunakan pendekatan risiko (Risk-based Bank Rating) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3), dengan cakupan penilaian terhadap faktor-faktor sebagai berikut: a. Profil . . . a. Profil risiko (Risk Profile); b. Good Corporate Governance (GCG); c. Rentabilitas (Earnings); dan d. Permodalan (Capital), (2) Penetapan peringkat faktor profil risiko Bank secara konsolidasi dilakukan dengan memperhatikan: a. signifikansi atau materialitas pangsa Perusahaan Anak terhadap Bank secara konsolidasi; dan/atau b. permasalahan Perusahaan Anak yang berpengaruh secara signifikan terhadap profil risiko Bank secara konsolidasi; (3) Penetapan peringkat faktor GCG secara konsolidasi dilakukan dengan memperhatikan: a. signifikansi atau materialitas pangsa Perusahaan Anak terhadap Bank secara konsolidasi; dan/atau b. permasalahan terkait dengan pelaksanaan prinsip-prinsip GCG pada Perusahaan Anak yang berpengaruh secara signifikan terhadap pelaksanaan prinsip-prinsip GCG. (4) Penetapan peringkat faktor rentabilitas secara konsolidasi dilakukan berdasarkan analisis secara komprehensif dan terstruktur terhadap parameter/indikator rentabilitas tertentu yang dihasilkan dari laporan keuangan Bank secara konsolidasi dan informasi keuangan lainnya dengan memperhatikan: a. signifikansi atau materialitas pangsa Perusahaan Anak terhadap Bank secara konsolidasi; dan/atau b. permasalahan rentabilitas pada Perusahaan Anak yang berpengaruh secara signifikan terhadap rentabilitas secara konsolidasi. (5) Penetapan . . . (5) Penetapan peringkat faktor permodalan secara konsolidasi dilakukan berdasarkan analisis secara komprehensif dan terstruktur terhadap parameter/indikator permodalan tertentu yang dihasilkan dari laporan keuangan Bank secara konsolidasi dan informasi keuangan lainnya dengan memperhatikan: a. b. permasalahan permodalan pada Perusahaan Anak yang berpengaruh secara signifikan terhadap permodalan secara konsolidasi. Pasal 12 Bagi Bank yang melakukan penilaian Tingkat Kesehatan Bank secara konsolidasi maka: a. mekanisme penetapan peringkat setiap faktor penilaian dan penetapan peringkat komposit Tingkat Kesehatan Bank secara konsolidasi; dan b. pengkategorian peringkat setiap faktor penilaian dan peringkat komposit secara konsolidasi, wajib mengacu pada mekanisme penetapan dan pengkategorian peringkat Bank secara individual sebagaimana diatur dalam Pasal 8, Pasal 9, dan Pasal 10. BAB V TINDAK LANJUT HASIL PENILAIAN TINGKAT KESEHATAN BANK Pasal 13 (1) Dalam hal berdasarkan hasil penilaian Tingkat Kesehatan Bank yang dilakukan oleh Bank Indonesia dan/atau hasil self assesment oleh Bank terdapat: a. b. Peringkat . . . signifikansi atau materialitas pangsa Perusahaan Anak terhadap Bank secara konsolidasi; dan/atau faktor Tingkat Kesehatan Bank yang ditetapkan dengan peringkat 4 atau peringkat 5; b. Peringkat Komposit Tingkat Kesehatan Bank yang ditetapkan dengan peringkat 4 atau peringkat 5; dan/atau c. Peringkat Komposit Tingkat Kesehatan Bank yang ditetapkan dengan peringkat 3, namun terdapat permasalahan signifikan yang perlu diatasi agar tidak mengganggu kelangsungan usaha Bank, maka Direksi, Dewan Komisaris, dan/atau pemegang saham pengendali Bank wajib menyampaikan action plan kepada Bank Indonesia (2) Bank Indonesia berwenang meminta Bank untuk melakukan penyesuaian terhadap action plan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Bank wajib menyampaikan action plan: a. sesuai batas waktu tertentu yang ditetapkan Bank Indonesia, untuk action plan yang merupakan tindak lanjut dari hasil penilaian Tingkat Kesehatan Bank oleh Bank Indonesia; b. paling lambat pada tanggal 15 Agustus, untuk penilaian Tingkat Kesehatan Bank posisi akhir bulan Juni dan tanggal 15 Februari untuk penilaian Tingkat Kesehatan Bank posisi akhir bulan Desember, untuk action plan yang merupakan tindak lanjut dari hasil self assesment Bank. Pasal 14 Bank wajib menyampaikan laporan pelaksanaan action plan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 paling lambat: a. 10 (sepuluh) hari kerja setelah target waktu penyelesaian action plan; dan/atau b. 10 (sepuluh) hari kerja setelah akhir bulan dan dilakukan secara bulanan, apabila terdapat permasalahan yang signifikan yang akan mengganggu penyelesaian action plan secara tepat waktu. Pasal 15 . . . Pasal 15 Bank Indonesia berwenang melakukan pemeriksaan terhadap pelaksanaan action plan oleh Bank. BAB VI UJI COBA PENILAIAN TINGKAT KESEHATAN BANK Pasal 16 (1) Dalam rangka persiapan penerapan secara efektif penilaian Tingkat Kesehatan Bank baik secara individual maupun konsolidasi, Bank wajib melaksanakan uji coba penilaian Tingkat Kesehatan Bank sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Bank Indonesia ini sejak tanggal 1 Juli 2011 yaitu untuk posisi penilaian Tingkat Kesehatan Bank akhir bulan Juni 2011. (2) Bank Indonesia berwenang meminta hasil uji coba penilaian Tingkat Kesehatan Bank sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1). BAB VII SANKSI Pasal 17 Bank yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13, Pasal 14, dan Pasal 16 ayat (1) dikenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 berupa: a. teguran tertulis; b. penurunan Tingkat Kesehatan Bank; c. Pembekuan . . . c. pembekuan kegiatan usaha tertentu; dan/atau d. pencantuman pengurus dan/atau pemegang saham Bank dalam daftar pihak- pihak yang mendapatkan predikat tidak lulus dalam penilaian kemampuan dan kepatutan (Fit and Proper Test). BAB VIII KETENTUAN PENUTUP Pasal 18 Ketentuan pelaksanaan Peraturan Bank Indonesia ini diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 19 Dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini, maka: a. Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/10/PBI/2004 tentang Sistem Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku sejak tanggal 1 Januari 2012 yaitu untuk penilaian Tingkat Kesehatan Bank posisi akhir bulan Desember 2011; b. penilaian Tingkat Kesehatan Bank sesuai Peraturan Bank Indonesia ini secara efektif dilaksanakan sejak tanggal 1 Januari 2012 yaitu untuk penilaian Tingkat Kesehatan Bank posisi akhir bulan Desember 2011. Pasal 20 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Agar . . . Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 5 Januari 2011 GUBERNUR BANK INDONESIA, DARMIN NASUTION Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 5 Januari 2011 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA PATRIALIS AKBAR LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2011 NOMOR 1 DPNP PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 13/ 1 /PBI/2011 TENTANG PENILAIAN TINGKAT KESEHATAN BANK UMUM I. UMUM Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, Bank wajib memelihara kesehatannya. Kesehatan Bank yang merupakan cerminan kondisi dan kinerja Bank merupakan sarana bagi otoritas pengawas dalam menetapkan strategi dan fokus pengawasan terhadap Bank. Selain itu, kesehatan Bank juga menjadi kepentingan semua pihak terkait, baik pemilik, pengelola (manajemen), dan masyarakat pengguna jasa Bank. Perkembangan industri perbankan, terutama produk dan jasa yang semakin kompleks dan beragam dapat meningkatkan eksposur risiko dan profil risiko Bank. Sejalan dengan itu pendekatan penilaian secara internasional juga mengarah pada pendekatan pengawasan berdasarkan risiko. Peningkatan eksposur risiko dan profil risiko serta penerapan pendekatan Pengawasan berdasarkan risiko tersebut selanjutnya akan mempengaruhi penilaian Tingkat Kesehatan Bank. Sesuai dengan perkembangan usaha Bank yang senantiasa bersifat dinamis dan berpengaruh pada tingkat risiko yang dihadapi, maka metodologi penilaian Tingkat Kesehatan Bank perlu disempurnakan agar dapat . . . dapat lebih mencerminkan kondisi Bank saat ini dan di waktu yang akan datang. Penyesuaian tersebut perlu dilakukan agar penilaian Tingkat Kesehatan Bank dapat lebih efektif digunakan sebagai alat untuk mengevaluasi kinerja Bank termasuk dalam penerapan manajemen risiko dengan fokus pada risiko yang signifikan, dan kepatuhan terhadap ketentuan yang berlaku serta penerapan prinsip kehati-hatian. Penyesuaian tersebut dilakukan dengan menyempurnakan penilaian Tingkat Kesehatan Bank menggunakan pendekatan berdasarkan risiko dan menyesuaikan faktor-faktor penilaian Tingkat Kesehatan Bank. Penilaian Tingkat Kesehatan Bank dengan menggunakan pendekatan berdasarkan risiko merupakan penilaian yang komprehensif dan terstruktur terhadap hasil integrasi profil risiko dan kinerja yang meliputi penerapan tata kelola yang baik, rentabilitas, dan permodalan. Pendekatan tersebut memungkinkan Bank Indonesia sebagai pengawas melakukan tindakan pengawasan yang sesuai dan tepat waktu karena penilaian dilakukan secara komprehensif terhadap semua faktor penilaian dan difokuskan pada risiko yang signifikan serta dapat segera dikomunikasikan kepada Bank dalam rangka menetapkan tindak lanjut pengawasan. Selain itu sejalan dengan penerapan pengawasan berdasarkan risiko maka pengawasan tidak cukup dilakukan hanya untuk Bank secara individual tetapi juga harus dilakukan terhadap Bank secara konsolidasi termasuk dalam penilaian tingkat kesehatan. Oleh karena itu, penilaian Tingkat Kesehatan Bank juga harus mencakup penilaian Tingkat Kesehatan Bank secara konsolidasi. Sehubungan dengan itu, penilaian Tingkat Kesehatan Bank perlu diatur kembali agar sejalan dengan perkembangan yang terjadi. II. PASAL . . . II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Ayat (1) Kesehatan Bank harus dipelihara dan/atau ditingkatkan agar kepercayaan masyarakat terhadap Bank dapat tetap terjaga. Selain itu, Tingkat Kesehatan Bank digunakan sebagai salah satu sarana dalam melakukan evaluasi terhadap kondisi dan permasalahan yang dihadapi Bank serta menentukan tindak lanjut untuk mengatasi kelemahan atau permasalahan Bank, baik berupa corrective action oleh Bank maupun supervisory action oleh Bank Indonesia. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Penilaian Tingkat Kesehatan Bank secara konsolidasi diterapkan bagi Bank yang melakukan Pengendalian terhadap Perusahaan Anak. Pasal 3 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) . . . Ayat (3) Pengkinian self assesment Tingkat Kesehatan Bank sewaktu-waktu dilakukan antara lain dalam hal: a. kondisi keuangan Bank memburuk; b. Bank menghadapi permasalahan antara lain risiko likuiditas dan permodalan; atau c. kondisi lainnya yang menurut Bank Indonesia perlu dilakukan pengkinian penilaian tingkat kesehatan. Ayat (4) Bagi kantor cabang bank asing, hasil self assessment disampaikan kepada pihak yang sesuai struktur organisasi internal Bank bertanggung jawab untuk mengawasi secara langsung kegiatan dan kinerja kantor cabang bank asing di Indonesia. Ayat (5) Dalam hal batas waktu penyampaian hasil self assessment Tingkat Kesehatan Bank jatuh pada hari libur maka hasil self assessment Tingkat Kesehatan Bank disampaikan pada hari kerja berikutnya. Pasal 4 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Informasi lain dapat berupa: a. b. informasi hasil penilaian dari otoritas lain yang berwenang; informasi yang diketahui secara umum seperti hasil penilaian dari lembaga pemeringkat dan informasi dari media masa; dan/atau c. data . . . c. data atau informasi terkait kantor cabang Bank asing mengenai kondisi keuangan dan peringkat (rating) dari kantor pusatnya di luar negeri yang dihasilkan oleh otoritas yang berwenang atau lembaga pemeringkat internasional. Pasal 5 Cukup jelas. Pasal 6 Penilaian Tingkat Kesehatan Bank dengan menggunakan pendekatan risiko (Risk-based Bank Rating) dilakukan berdasarkan analisis yang komprehensif terhadap kinerja, profil risiko, permasalahan yang dihadapi, dan prospek perkembangan Bank. Pasal 7 Ayat (1) Penilaian risiko inheren merupakan penilaian atas risiko melekat pada kegiatan bisnis Bank, baik yang dapat dikuantifikasikan maupun yang tidak, yang berpotensi mempengaruhi posisi keuangan Bank. Penilaian kualitas penerapan manajemen risiko merupakan penilaian terhadap aspek: (i) tata kelola risiko, (ii) kerangka manajemen risiko, (iii) proses manajemen risiko, kecukupan sumber daya manusia, dan kecukupan sistem informasi manajemen; serta (iv) kecukupan sistem pengendalian risiko dengan memperhatikan karakteristik dan kompleksitas usaha Bank. Definisi dan cakupan terhadap masing-masing risiko mengacu pada ketentuan Bank Indonesia mengenai penerapan manajemen risiko bagi bank umum. Ayat (2) . . . Ayat (2) Prinsip-prinsip GCG dan fokus penilaian terhadap pelaksanaan prinsip-prinsip GCG mengacu pada ketentuan Bank Indonesia mengenai Good Corporate Governance bagi Bank Umum dengan memperhatikan karakteristik dan kompleksitas usaha Bank. Ayat (3) Penilaian terhadap kinerja earnings, sumber-sumber earnings, dan sustainability earnings Bank dilakukan dengan mempertimbangkan aspek tingkat, trend, struktur, dan stabilitas, dengan memperhatikan kinerja peer group serta manajemen rentabilitas Bank, baik melalui analisis aspek kuantitatif maupun kualitatif. Analisis aspek kuantitatif dilakukan dengan menggunakan indikator utama sebagai dasar penilaian. Selain itu, apabila diperlukan dapat ditambahkan penggunaan indikator pendukung lainnya untuk mempertajam analisis, yang disesuaikan dengan skala bisnis, karakteristik, dan/atau kompleksitas usaha Bank. Analisis aspek kualitatif dilakukan antara lain dengan mempertimbangkan manajemen rentabilitas, kontribusi earnings dalam meningkatkan modal, dan prospek rentabilitas. Ayat (4) Penilaian terhadap tingkat kecukupan permodalan dan pengelolaan permodalan dilakukan Bank dengan mempertimbangkan tingkat, trend, struktur, dan stabilitas, dengan memperhatikan kinerja peer group serta manajemen permodalan Bank, baik melalui analisis aspek kuantitatif maupun kualitatif. Analisis aspek kuantitatif dilakukan dengan menggunakan indikator utama. Selain itu, apabila diperlukan dapat ditambahkan penggunaan indikator . . . indikator pendukung lainnya untuk mempertajam analisis, yang disesuaikan dengan skala bisnis, karakteristik, dan/atau kompleksitas usaha Bank. Analisis aspek kualitatif dilakukan antara lain dengan mempertimbangkan manajemen permodalan dan kemampuan akses permodalan. Pasal 8 Ayat (1) Peringkat setiap faktor dikategorikan sebagai berikut: a. peringkat 1; b. peringkat 2; c. peringkat 5. peringkat 3; d. peringkat 4; dan e. Urutan peringkat faktor yang lebih kecil mencerminkan kondisi Bank yang lebih baik. Ayat (2) Huruf a Tingkat risiko ditetapkan berdasarkan tingkat risiko inheren dan kualitas penerapan manajemen risiko dari masing-masing risiko. Huruf b Penetapan tingkat risiko inheren dan kualitas penerapan manajemen risiko secara komposit dilakukan berdasarkan analisis secara komprehensif dan terstruktur terhadap tingkat risiko inheren dan kualitas penerapan manajemen risiko dari masing-masing risiko dengan memperhatikan signifikansi masing-masing risiko terhadap profil risiko secara keseluruhan. Huruf c . . . Huruf c Cukup jelas. Ayat (3) Hasil penilaian pelaksanaan prinsip-prinsip GCG Bank sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai Good Corporate Governance bagi Bank Umum hanya merupakan salah satu sumber penilaian peringkat faktor GCG Bank dalam penilaian Tingkat Kesehatan Bank. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 9 Ayat (1) Analisis secara komprehensif dilakukan juga dengan mempertimbangkan kemampuan Bank dalam menghadapi perubahan kondisi eksternal yang signifikan. Ayat (2) Urutan Peringkat Komposit yang lebih kecil mencerminkan kondisi Bank yang lebih sehat. Ayat (3) Kondisi yang secara umum sangat sehat sehingga dinilai sangat mampu menghadapi pengaruh negatif yang signifikan dari perubahan kondisi bisnis dan faktor eksternal lainnya tercermin dari peringkat faktor-faktor penilaian, antara lain profil risiko, penerapan GCG, rentabilitas, dan permodalan yang secara umum sangat baik. Apabila terdapat kelemahan maka secara umum kelemahan tersebut tidak signifikan. Ayat (4) . . . Ayat (4) Kondisi yang secara umum sehat sehingga dinilai mampu menghadapi pengaruh negatif yang signifikan dari perubahan kondisi bisnis dan faktor eksternal lainnya, tercermin dari peringkat faktor-faktor penilaian, antara lain profil risiko, penerapan GCG, rentabilitas, dan permodalan yang secara umum baik. Apabila terdapat kelemahan maka secara umum kelemahan tersebut kurang signifikan. Ayat (5) Kondisi yang secara umum cukup sehat sehingga dinilai cukup mampu menghadapi pengaruh negatif yang signifikan dari perubahan kondisi bisnis dan faktor eksternal lainnya, tercermin dari peringkat faktor-faktor penilaian, antara lain profil risiko, penerapan GCG, rentabilitas, dan permodalan, yang secara umum cukup baik. Apabila terdapat kelemahan maka secara umum kelemahan tersebut cukup signifikan dan apabila tidak berhasil diatasi dengan baik oleh manajemen dapat mengganggu kelangsungan usaha Bank. Ayat (6) Kondisi yang secara umum kurang sehat sehingga dinilai kurang mampu menghadapi pengaruh negatif yang signifikan dari perubahan kondisi bisnis dan faktor eksternal lainnya, tercermin dari peringkat faktor-faktor penilaian, antara lain profil risiko, penerapan GCG, rentabilitas, dan permodalan, yang secara umum kurang baik. Terdapat kelemahan yang secara umum signifikan dan tidak dapat diatasi dengan baik oleh manajemen serta mengganggu kelangsungan usaha Bank. Ayat (7) . . . Ayat (7) Kondisi yang secara umum tidak sehat sehingga dinilai tidak mampu menghadapi pengaruh negatif yang signifikan dari perubahan kondisi bisnis dan faktor eksternal lainnya, tercermin dari peringkat faktor- faktor penilaian, antara lain profil risiko, penerapan GCG, rentabilitas, dan permodalan, yang secara umum tidak baik. Terdapat kelemahan yang secara umum sangat signifikan sehingga untuk mengatasinya dibutuhkan dukungan dana dari pemegang saham atau sumber dana dari pihak lain untuk memperkuat kondisi keuangan Bank. Pasal 10 Analisis signifikansi pengaruh suatu permasalahan dilakukan dengan mempertimbangkan antara lain hal-hal berikut: a. dampak negatif permasalahan dan/atau pelanggaran ketentuan terhadap kelangsungan usaha/kinerja Bank; b. c. d. terdapat indikasi kesengajaan dari pelanggaran ketentuan; terdapat indikasi kesengajaan tidak terpenuhinya komitmen; dan/atau jumlah dan/atau frekuensi pelanggaran. Contoh permasalahan atau pelanggaran yang berpengaruh signifikan antara lain adalah rekayasa termasuk window dressing dan perselisihan intern manajemen yang mempengaruhi operasional dan/atau kelangsungan usaha Bank. Pasal 11 . . . Pasal 11 Ayat (1) Penilaian Tingkat Kesehatan Bank dengan menggunakan pendekatan risiko (Risk-based Bank Rating) dilakukan berdasarkan analisis yang komprehensif terhadap kinerja, profil risiko, permasalahan yang dihadapi, dan prospek perkembangan Bank. Penilaian terhadap masing-masing faktor dilakukan secara konsolidasi antara Bank dengan Perusahaan Anak. Ayat (2) Risiko Perusahaan Anak yang dinilai untuk pengukuran profil risiko secara konsolidasi ditetapkan dengan memperhatikan karakteristik usaha Perusahaan Anak dan pengaruhnya terhadap profil risiko Bank secara konsolidasi. Pengukuran tingkat risiko secara konsolidasi dilakukan dengan menggunakan parameter-parameter pengukuran risiko yang sesuai dengan karakteristik usaha Perusahaan Anak. Ayat (3) Faktor-faktor penilaian GCG Perusahaan Anak yang digunakan untuk penilaian pelaksanaan prinsip-prinsip GCG secara konsolidasi ditetapkan dengan memperhatikan karakteristik usaha Perusahaan Anak dan pengaruhnya terhadap GCG Bank secara konsolidasi. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 12 Cukup jelas. Pasal 13 . . . Pasal 13 Ayat (1) Action plan memuat langkah-langkah perbaikan yang akan dilaksanakan oleh Bank dalam rangka mengatasi permasalahan signifikan yang dihadapi beserta target waktu penyelesaiannya. Action plan yang disampaikan oleh Bank merupakan komitmen Bank kepada Bank Indonesia. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Huruf a Batas waktu tertentu penyampaian action plan ditetapkan Bank Indonesia dengan mempertimbangkan tingkat kompleksitas dan signifikansi permasalahan Bank. Huruf b Dalam hal batas waktu penyampaian action plan atas hasil self assesment jatuh pada hari libur maka action plan atas hasil self assesment Tingkat Kesehatan Bank disampaikan pada hari kerja berikutnya. Pasal 14 Huruf a Target waktu penyelesaian action plan meliputi target waktu penyelesaian setiap tahapan action plan maupun penyelesaian secara keseluruhan. Laporan . . . Laporan pelaksanaan action plan yang disampaikan oleh Bank antara lain memuat penjelasan mengenai realisasi pelaksanaan action plan, disertai bukti pelaksanaan dan/atau dokumen pendukung terkait. Huruf b Laporan pelaksanaan action plan yang disampaikan oleh Bank antara lain memuat penjelasan mengenai perkembangan dan permasalahan yang dihadapi dalam pelaksanaan action plan disertai bukti dan/atau dokumen pendukung terkait. Pasal 15 Cukup jelas. Pasal 16 Ayat (1) Sejak pelaksanaan uji coba ini yaitu sejak tanggal 1 Juli 2011, Bank secara efektif menggunakan penetapan peringkat faktor profil risiko dengan menggunakan 5 (lima) peringkat sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai penerapan manajemen risiko bagi Bank Umum. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 17 Cukup jelas. Pasal 18 Cukup jelas. Pasal 19 . . . Pasal 19 Cukup jelas. Pasal 20 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5184 DPNP
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 13/1/PBI/2011 </reg_id> <reg_title> PENILAIAN TINGKAT KESEHATAN BANK UMUM </reg_title> <set_date> 5 Januari 2011 </set_date> <effective_date> 5 Januari 2011 </effective_date> <issued_date> 5 Januari 2011 </issued_date> <replaced_reg> '6/10/PBI/2004' </replaced_reg> <related_reg> '6/UU/2009', '23/UU/1999', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg> <penalty_list> 'BAB VII' </penalty_list>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 4/ 3 /PBI/2002 TENTANG PENCABUTAN DAN PENARIKAN DARI PEREDARAN UANG LOGAM PECAHAN RP5 TAHUN EMISI 1970 DAN 1974, RP25 TAHUN EMISI 1971, RP50 TAHUN EMISI 1971, SERTA RP100 TAHUN EMISI 1973 DAN 1978 GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa uang logam pecahan Rp5 tahun emisi 1970 dan 1974, Rp25 tahun emisi 1971, Rp50 tahun emisi 1971, serta Rp100 tahun emisi 1973 dan 1978, telah beredar cukup lama; b. bahwa pada tahun 1979 telah dikeluarkan dan diedarkan uang logam pecahan Rp5 tahun emisi 1979, pada tahun 1991 telah dikeluarkan dan diedarkan uang logam pecahan Rp25 tahun emisi 1991, serta pada tahun 1991 dan 1999 telah dikeluarkan dan diedarkan uang logam pecahan Rp50 dan Rp100 masing- masing tahun emisi 1991 dan 1999; c. bahwa berhubung dengan itu, untuk menghindari terlalu banyaknya emisi uang logam yang beredar, dipandang perlu untuk menetapkan pencabutan dan penarikan dari peredaran uang logam pecahan Rp5 tahun emisi 1970 dan 1974, Rp25 tahun emisi 1971, Rp50 tahun emisi 1971, serta Rp100 tahun emisi 1973 dan 1978, dalam suatu Peraturan Bank Indonesia; Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3843); 2. Peraturan Bank Indonesia Nomor 2/17/PBI/2000 tanggal 20 Juli 2000 tentang pengeluaran dan pengedaran serta pencabutan dan penarikan uang rupiah; Memperhatikan : 1. Pengumuman Direksi Bank Indonesia No. 6/Dir/70 tanggal 18 September 1970 tentang pengedaran mata uang logam pecahan Rp5 tahun emisi 1970; 2. Pengumuman ……… 1 2. Pengumuman Direksi Bank Indonesia tanggal 23 Maret 1974 tentang pengedaran uang logam pecahan Rp5 tahun emisi 1974; 3. Pengumuman Direksi Bank Indonesia No. 5/Dir/1971 tanggal 26 Juli 1971 tentang pengedaran uang logam pecahan Rp50 dan Rp25 tahun emisi 1971; 4. Pengumuman Direksi Bank Indonesia No. 1/Dir/1973 tanggal 6 November 1973 tentang pengedaran uang logam pecahan Rp100 tahun emisi 1973; 5. Pengumuman Direksi Bank Indonesia tanggal 31 Juli 1978 tentang pengedaran uang logam pecahan Rp100 tahun emisi 1978; MEMUTUSKAN : Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PENCABUTAN DAN PENARIKAN DARI PEREDARAN UANG LOGAM PECAHAN RP5 TAHUN EMISI 1970 DAN 1974, RP25 TAHUN EMISI 1971, RP50 TAHUN EMISI 1971, SERTA RP100 TAHUN EMISI 1973 DAN 1978. Pasal 1 Terhitung sejak tanggal 25 Juni 2002, uang logam pecahan Rp5 tahun emisi 1970 dan 1974, Rp25 tahun emisi 1971, Rp50 tahun emisi 1971, serta Rp100 tahun emisi 1973 dan 1978, dicabut dan ditarik dari peredaran serta dinyatakan tidak berlaku lagi sebagai alat pembayaran yang sah. Pasal 2 Para pemegang uang logam pecahan sebagaimana dimaksud pada Pasal 1 di atas dapat menyerahkan uang logam tersebut guna ditukarkan dengan uang lainnya yang masih berlaku pada Kantor Bank Indonesia dan Bank Umum. Pasal 3………... 2 Pasal 3 Jangka waktu penukaran sebagaimana dimaksud pada pasal 2 ditetapkan sebagai berikut : (1) Terhitung sejak tanggal 25 Juni 2002 sampai dengan tanggal 24 Juni 2007 penukaran dilakukan di Kantor Bank Indonesia dan Bank Umum. (2) Terhitung sejak tanggal 25 Juni 2007 sampai dengan tanggal 24 Juni 2012 penukaran hanya dilakukan di Kantor Bank Indonesia. Pasal 4 Hak untuk menuntut penukaran uang logam sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 tidak berlaku lagi setelah 10 (sepuluh) tahun terhitung sejak tanggal pencabutan atau tanggal 24 Juni 2012. Pasal 5 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 6 Juni 2002 GUBERNUR BANK INDONESIA SYAHRIL SABIRIN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2002 NOMOR 65 DPU 3
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 4/3/PBI/2002 </reg_id> <reg_title> PENCABUTAN DAN PENARIKAN DARI PEREDARAN UANG LOGAM PECAHAN RP5 TAHUN EMISI 1970 DAN 1974, RP25 TAHUN EMISI 1971, RP50 TAHUN EMISI 1971, SERTA RP100 TAHUN EMISI 1973 DAN 1978 </reg_title> <set_date> 6 Juni 2002 </set_date> <effective_date> 6 Juni 2002 </effective_date> <related_reg> '2/17/PBI/2000', '23/UU/1999' </related_reg>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 2/11/PBI/2000 TENTANG PENETAPAN STATUS BANK DAN PENYERAHAN BANK KEPADA BADAN PENYEHATAN PERBANKAN NASIONAL GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pada saat ini Indonesia masih mengalami kesulitan perbankan yang membahayakan perekonomian nasional; b. bahwa dalam rangka mengatasi kesulitan perbankan nasional, telah dilakukan program restrukturisasi perbankan nasional dan pemulihan kepercayaan masyarakat, antara lain melalui pembentukan Badan Penyehatan Perbankan Nasional dan program penjaminan Pemerintah; c. bahwa dalam rangka pelaksanaan program restrukturisasi perbankan nasional, perlu dilakukan langkah-langkah terhadap bank yang dinilai mengalami kesulitan dalam kegiatan usahanya antara lain dengan penyerahan bank kepada Badan Penyehatan Perbankan Nasional; d. bahwa sehubungan dengan itu perlu diatur mengenai Penetapan Status Bank dan Penyerahan Bank kepada Badan Penyehatan Perbankan Nasional dalam suatu Peraturan Bank Indonesia; Mengingat ... - 2 - Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3790); 2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3843); 3. Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1999 tentang Badan Penyehatan Perbankan Nasional (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 30, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3814) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 1999 (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 227); 4. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 1999 tentang Pencabutan Izin Usaha, Pembubaran dan Likuidasi Bank (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 52, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3831); 5. Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1998 tentang Jaminan terhadap Kewajiban Pembayaran Bank Umum (Lembaran Negara Tahun 1998 Nomor 29); MEMUTUSKAN ... - 3 - MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PENETAPAN STATUS BANK DAN PENYERAHAN BANK KEPADA BADAN PENYEHATAN PERBANKAN NASIONAL. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan: 1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 yang ikut serta dalam Program Penjaminan Pemerintah; 2. Badan Penyehatan Perbankan Nasional, yang untuk selanjutnya disebut dengan BPPN adalah badan khusus yang dibentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1999 tentang Badan Penyehatan Perbankan Nasional sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 1999; 3. Program Penjaminan Pemerintah adalah program penjaminan terhadap kewajiban pembayaran Bank sebagaimana dimaksud dalam Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1998 tentang Jaminan terhadap Pembayaran Bank Umum; Kewajiban 4. Bank ... - 4 - 4. Bank Dalam Penyehatan, yang untuk selanjutnya disebut dengan BDP adalah Bank yang diserahkan oleh Bank Indonesia kepada BPPN untuk tujuan penyehatan; 5. Bank Beku Kegiatan Usaha, yang untuk selanjutnya disebut dengan BBKU adalah Bank yang dibekukan kegiatan usahanya oleh Bank Indonesia dan selanjutnya diserahkan kepada BPPN untuk tujuan penyelesaian kewajiban Bank melalui Program Penjaminan Pemerintah, penyelesaian hak-hak karyawan, dan upaya pengembalian uang negara. BAB II BANK DALAM PENGAWASAN KHUSUS (SPECIAL SURVEILLANCE) Pasal 2 (1) Dalam hal Bank Indonesia menilai suatu Bank mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya maka Bank tersebut ditempatkan dalam pengawasan khusus Bank Indonesia. (2) Bank yang dinilai mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah Bank yang memenuhi satu atau lebih kriteria sebagai berikut: a. rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum kurang dari 4% (empat perseratus); b. kredit bermasalah sama dengan atau lebih dari 35% (tiga puluh lima perseratus) dari total kredit; c. pelampauan ... - 5 - c. pelampauan dan atau pelanggaran Batas Maksimum Pemberian Kredit tidak dapat diselesaikan sesuai dengan batas waktu dalam rencana kegiatan (action plan); d. rasio Giro Wajib Minimum dalam rupiah kurang dari 5% (lima perseratus) dengan perkembangan yang memburuk dalam waktu singkat. (3) Dalam rangka pengawasan khusus sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Bank Indonesia dapat: a. memerintahkan Bank untuk menghentikan kegiatan usaha tertentu dalam waktu yang ditetapkan oleh Bank Indonesia; dan atau b. memerintahkan Bank dan atau pemegang saham Bank untuk melakukan tindakan antara lain: 1) menambah modal; 2) mengganti dewan komisaris dan atau direksi Bank; 3) menghapusbukukan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah yang tergolong macet dan memperhitungkannya dalam permodalan Bank; 4) melakukan merger atau konsolidasi dengan bank lain; 5) menjual Bank kepada pembeli yang bersedia mengambil alih seluruh kewajiban; 6) menyerahkan pengelolaan seluruh atau sebagian kegiatan Bank kepada pihak lain; dan atau 7) menjual sebagian harta dan atau kewajiban Bank kepada bank atau pihak lain. Pasal 3 ... - 6 - Pasal 3 (1) Bank dan atau pemegang saham wajib melakukan tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf b dalam jangka waktu: a. paling lama 6 (enam) bulan untuk Bank yang telah terdaftar di Pasar Modal; b. paling lama 3 (tiga) bulan untuk Bank yang tidak terdaftar di Pasar Modal; sejak tanggal dikeluarkannya perintah tertulis dari Bank Indonesia. (2) Jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat diperpanjang 1 (satu) kali dengan jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan. BAB III PENETAPAN BANK DENGAN STATUS BDP DAN PENYERAHAN KEPADA BPPN Pasal 4 Bank Indonesia menetapkan Bank dengan status BDP dan menyerahkan Bank tersebut kepada BPPN apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 terlampaui, rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum kurang dari 4% (empat perseratus) dan Bank memenuhi persyaratan : a. rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum dinilai dapat ditingkatkan menjadi 8% (delapan perseratus) pada akhir tahun 2001; b. dinilai ... - 7 - b. dinilai dapat menyelesaikan pelampauan dan atau pelanggaran Batas Maksimum Pemberian Kredit apabila pada saat penyerahan Bank memiliki pelampauan dan atau pelanggaran Batas Maksimum Pemberian Kredit; c. dinilai dapat menurunkan kredit bermasalah menjadi 5% (lima perseratus) dari total kredit pada akhir tahun 2001 apabila pada saat penyerahan Bank memiliki kredit bermasalah lebih dari 5% (lima perseratus); dan d. memiliki pengaruh yang cukup besar bagi perekonomian nasional atau daerah. Pasal 5 (1) Pelaksanaan penyehatan Bank dengan status BDP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dinyatakan telah selesai apabila Bank telah memenuhi persyaratan: a. memiliki rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum 4% (empat perseratus) atau lebih; b. memiliki rasio Giro Wajib Minimum dalam rupiah 5% (lima perseratus) atau lebih; c. memiliki kredit bermasalah dengan perkembangan yang membaik dan dinilai dapat diturunkan menjadi 5% (lima perseratus) pada akhir tahun 2001; d. tidak terdapat pelanggaran ketentuan Batas Maksimum Pemberian Kredit, Posisi Devisa Neto dan Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif; dan e. kriteria lain yang ditetapkan oleh Ketua BPPN. (2) Bank ... - 8 - (2) Bank Indonesia mencabut status BDP apabila Bank Indonesia telah menerima surat penetapan dari BPPN yang menyatakan program penyehatan terhadap Bank yang bersangkutan telah selesai dilaksanakan sesuai dengan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). BAB IV PENETAPAN BANK DENGAN STATUS BBKU DAN PENYERAHAN KEPADA BPPN Pasal 6 Bank Indonesia menetapkan Bank dengan status BBKU dan menyerahkan Bank tersebut kepada BPPN apabila memenuhi persyaratan: a. jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 belum terlampaui, dan kondisi Bank menurun dengan cepat yaitu: 1. memiliki rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum kurang dari 2% (dua perseratus) dan dinilai tidak dapat ditingkatkan menjadi 8% (delapan perseratus) pada akhir tahun 2001; atau 2. memiliki rasio Giro Wajib Minimum dalam rupiah kurang dari 0% (nol perseratus) dan tidak dapat diselesaikan. b. jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 telah terlampaui, rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum kurang dari 4% (empat perseratus) dan kondisi Bank tidak mengalami perbaikan serta tidak memenuhi persyaratan untuk ditetapkan sebagai Bank dengan status BDP. Pasal 7 ... - 9 - Pasal 7 Bank Indonesia mengubah Bank dengan status BDP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 menjadi Bank dengan status BBKU apabila memenuhi persyaratan: a. program penyehatan oleh BPPN tidak dapat diselesaikan dalam jangka waktu yang disepakati; atau b. berdasarkan pertimbangan BPPN program penyehatan tidak dapat dilaksanakan meskipun jangka waktu yang disepakati belum terlampaui. Pasal 8 Dalam hal BPPN telah selesai melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk penyelesaian Bank dengan status BBKU, penyelesaian selanjutnya dilakukan berdasarkan ketentuan yang berlaku mengenai pencabutan izin usaha, pembubaran badan hukum dan likuidasi Bank. BAB V KRITERIA DAN PROSEDUR PENYEHATAN BANK YANG TIDAK IKUT SERTA DALAM PROGRAM PENJAMINAN PEMERINTAH Pasal 9 (1) Bank yang tidak mengikuti Program Penjaminan Pemerintah dan memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2), ditempatkan oleh Bank Indonesia dalam pengawasan khusus Bank Indonesia. (2) Bank ... - 10 - (2) Bank Indonesia memerintahkan bank dan atau pemegang saham bank sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) untuk melakukan tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) dengan ketentuan dan jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3. Pasal 10 Dalam hal tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 tidak berhasil memperbaiki kondisi bank, Bank Indonesia melakukan langkah-langkah untuk tujuan pencabutan izin usaha, dan memerintahkan direksi bank untuk segera menyelenggarakan Rapat Umum Pemegang Saham guna membubarkan badan hukum bank dan membentuk tim likuidasi sesuai ketentuan yang berlaku apabila: a. jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 belum terlampaui dan kondisi bank menurun dengan cepat sesuai persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf a; atau b. jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 telah terlampaui namun rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum tidak dapat ditingkatkan menjadi 4% (empat perseratus) atau lebih. BAB VI LAIN-LAIN Pasal 11 (1) Selain ketentuan dalam Pasal 4 dan Pasal 6, Bank Indonesia dapat menyerahkan Bank kepada BPPN apabila: a. Bank ... - 11 - a. Bank memiliki aktiva produktif bermasalah yang akan diselesaikan melalui pengalihan kepada BPPN; dan b. terdapat kesepakatan antara Bank Indonesia, BPPN dan pemegang saham Bank untuk mengalihkan aktiva produktif bermasalah sebagaimana dimaksud dalam huruf a. (2) Pelaksanaan penyerahan Bank sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan penyerahan kembali Bank dari BPPN kepada Bank Indonesia dinyatakan telah selesai dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) hari kerja. Pasal 12 (1) Bank Indonesia tetap melakukan pengaturan dan pengawasan terhadap Bank yang diserahkan kepada BPPN dengan status BDP. (2) Bank Indonesia dapat meminta data dan informasi yang diperlukan mengenai Bank yang diserahkan kepada BPPN dengan status BBKU, baik secara langsung dari Bank yang bersangkutan maupun dari BPPN. Pasal 13 Dalam rangka penyerahan Bank dengan status BDP atau status BBKU kepada BPPN, Bank Indonesia menyampaikan informasi dan dokumen yang menyangkut: a. susunan direksi dan komisaris selama 3 (tiga) tahun terakhir; b. struktur permodalan dan susunan pemegang saham selama 3 (tiga) tahun terakhir; c. informasi ... - 12 - c. informasi mengenai data nasabah penyimpan dana; d. informasi terakhir mengenai hasil pengawasan dan pemeriksaan yang telah dilakukan oleh Bank Indonesia terhadap Bank; dan e. informasi lainnya yang diperlukan oleh BPPN sepanjang tersedia di Bank Indonesia. Pasal 14 Bank Indonesia mengumumkan pada 2 (dua) surat kabar harian nasional yang mempunyai peredaran luas, terhadap Bank yang: a. diserahkan kepada BPPN dengan status BDP atau status BBKU; b. dinyatakan telah selesai dilakukan penyehatan oleh BPPN. Pasal 15 Perubahan terhadap kriteria dan persyaratan: a. Bank yang dinilai mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 9; b. Bank yang ditetapkan memiliki status BDP yang diserahkan kepada BPPN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4; c. Bank yang telah selesai dilaksanakan penyehatan oleh BPPN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5; d. Bank yang ditetapkan memiliki status BBKU yang diserahkan kepada BPPN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dan Pasal 7; dan atau e. Bank yang tidak berhasil memperbaiki kondisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, ditetapkan dengan Surat Edaran Bank Indonesia. BAB VII ... - 13 - BAB VII SANKSI Pasal 16 Bank Indonesia dapat mengenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998, antara lain berupa pemberhentian pengurus bank dan atau larangan turut serta dalam kegiatan kliring bagi bank yang: a. tidak melaksanakan kewajiban sesuai perintah Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3); dan atau b. telah ditetapkan oleh Bank Indonesia memiliki status BBKU. BAB VIII KETENTUAN PENUTUP Pasal 17 Dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini maka Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 31/225/KEP/DIR tanggal 11 Maret 1999 tentang Penyerahan Bank Kepada Badan Penyehatan Perbankan Nasional Dalam Rangka Penyehatan, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 18 ... - 14 - Pasal 18 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 31 Maret 2000 GUBERNUR BANK INDONESIA SYAHRIL SABIRIN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2000 NOMOR DPNP. - 15 - PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 2/11/PBI/2000 TENTANG PENETAPAN STATUS BANK DAN PENYERAHAN BANK KEPADA BADAN PENYEHATAN PERBANKAN NASIONAL I. UMUM Program restrukturisasi perbankan nasional telah dilaksanakan melalui langkah-langkah antara lain pembentukan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), program penjaminan Pemerintah, dan program rekapitalisasi perbankan. Dalam perkembangannya masih terdapat Bank yang dinilai mengalami kesulitan yang dapat membahayakan kelangsungan usahanya dan atau sistem perbankan nasional. Sehubungan dengan itu terhadap Bank dimaksud perlu dilakukan berbagai upaya agar sistem perbankan yang sehat dapat tercipta secara efektif. Dalam rangka mencapai sistem perbankan yang sehat tersebut perlu dilakukan langkah-langkah penyehatan bagi Bank yang masih mempunyai prospek untuk menjadi sehat atau melakukan langkah-langkah penyelesaian bagi Bank yang tidak mungkin lagi dapat disehatkan. Oleh karena itu perlu ditetapkan persyaratan dan kriteria yang jelas serta transparan mengenai tingkat kesulitan Bank dalam kegiatan usahanya, serta langkah-langkah koordinasi dan mekanisme yang diperlukan dalam rangka pelaksanaan restrukturisasi perbankan nasional. Langkah-langkah koordinasi antara Bank Indonesia dengan ... - 16 - dengan BPPN dalam rangka restrukturisasi perbankan nasional antara lain dituangkan dalam Kesepakatan Bersama antara Gubernur Bank Indonesia dan Ketua BPPN. Sesuai dengan program rekapitalisasi perbankan, maka pada akhir tahun 2001 perbankan diwajibkan untuk memenuhi rasio kewajiban penyediaan modal minimum sama dengan atau lebih dari 8% (delapan perseratus) dan kredit bermasalah sama dengan atau kurang dari 5% (lima perseratus). II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Angka 1 sampai dengan angka 5 Cukup jelas Pasal 2 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Huruf a Ketentuan mengenai rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM) didasarkan atas ketentuan Bank Indonesia tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum. Huruf b ... - 17 - Huruf b Yang dimaksud dengan kredit bermasalah adalah kredit dengan kualitas kurang lancar, diragukan dan macet berdasarkan ketentuan Bank Indonesia tentang Kualitas Aktiva Produktif. Huruf c Ketentuan mengenai Batas Maksimum Pemberian Kredit didasarkan atas ketentuan Bank Indonesia tentang Batas Maksimum Pemberian Kredit Bank Umum. Penetapan Bank dalam pengawasan khusus tidak menghilangkan sanksi atas pelanggaran dan atau pelampauan Batas Maksimum Pemberian Kredit sebagaimana diatur dalam ketentuan yang berlaku. Huruf d Ketentuan mengenai rasio Giro Wajib Minimum dalam rupiah didasarkan atas ketentuan Bank Indonesia tentang Giro Wajib Minimum Bank. Ayat (3) Pelaksanaan perintah Bank Indonesia dalam ayat ini didasarkan atas penelitian yang mendalam terhadap kondisi Bank antara lain melalui pemeriksaan khusus. Penelitian mendalam dan perintah yang dilakukan Bank Indonesia termasuk melakukan pemantauan secara langsung atas kegiatan operasional bank tidak menghilangkan tanggung jawab pemegang saham maupun pengurus terhadap operasional Bank serta kewajiban- kewajiban Bank, baik sebelum maupun setelah dilakukan perintah atau penelitian mendalam. Pelaksanaan perintah Bank Indonesia dalam ayat ini didasarkan atas ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 37 dan Pasal 52 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998. Pengenaan sanksi administratif sesuai ketentuan dalam Pasal 52 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 disebabkan pelanggaran ketentuan kehati-hatian oleh Bank dan atau pelanggaran komitmen sesuai kewajiban Bank kepada Bank Indonesia. Pasal 3 Ayat (1) Pelaksanaan ... - 18 - Jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat ini tidak termasuk jangka waktu yang dibutuhkan untuk memenuhi persyaratan dalam proses hukum sesuai ketentuan perundang- undangan yang berlaku. Proses hukum yang diperlukan tersebut antara lain penyesuaian terhadap perubahan anggaran dasar, pengalihan hak kepemilikan dan proses perizinan. Ayat (2) Perpanjangan tersebut hanya dapat dilakukan apabila terdapat alasan yang cukup bahwa realisasi penyehatan Bank dapat dilakukan dalam jangka waktu perpanjangan paling lama 1 (satu) bulan sejak akhir jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). Pasal 4 Penilaian kondisi keuangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b dan huruf c pada ayat ini dilakukan oleh Bank Indonesia berdasarkan business plan dan atau komitmen yang diajukan sesuai kewajiban Bank. Huruf a Cukup jelas Huruf b Penilaian terhadap kemampuan Bank untuk menyelesaikan pelampauan dan atau pelanggaran Batas Maksimum Pemberian Kredit sebagaimana didasarkan atas jangka waktu penyehatan Bank di BPPN. Penetapan Bank dengan status BDP tidak menghilangkan sanksi atas pelanggaran dan atau pelampauan Batas Maksimum Pemberian Kredit sebagaimana diatur dalam ketentuan yang berlaku. Huruf c Cukup jelas Huruf d Bank yang dinilai mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap perekonomian nasional adalah Bank yang memiliki rekening giro, deposito, dan tabungan sama dengan atau lebih dari 150.000 (seratus lima puluh ribu) rekening, Huruf a ... - 19 - mengingat Bank tersebut berpengaruh dalam pelaksanaan fungsi intermediasi perbankan. Bank yang dinilai mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap perekonomian daerah adalah Bank yang mempunyai peranan khusus dalam rangka kelancaran perekonomian dan pelaksanaan pemerintahan di suatu daerah. Pasal 5 ... Pasal 5 Ayat (1) Jangka waktu penyehatan Bank dengan status BDP oleh BPPN dilakukan didasarkan atas Kesepakatan Bersama antara Gubernur Bank Indonesia dengan Ketua BPPN. Penilaian kondisi keuangan sebagaimana dimaksud dalam ayat ini didasarkan pada perkembangan kondisi keuangan, business plan dan komitmen yang diajukan Bank. Ayat (2) Cukup jelas Pasal 6 Huruf a Cukup jelas Huruf b Yang dimaksud dengan kondisi Bank tidak mengalami perbaikan adalah Bank tetap mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya sesuai dengan kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2). - 20 - Yang dimaksud dengan persyaratan penetapan Bank dengan status BDP adalah persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4. Penetapan Bank dengan status BBKU tidak menghilangkan sanksi atas pelanggaran dan atau pelampauan Batas Maksimum Pemberian Kredit sebagaimana diatur dalam ketentuan yang berlaku. Pasal 7 Kesepakatan jangka waktu pada ayat ini didasarkan atas Kesepakatan Bersama antara Gubernur Bank Indonesia dan Ketua BPPN. Dalam hal jangka waktu yang disepakati telah terlampaui, BPPN menyampaikan rekomendasi kepada Bank Indonesia untuk: Pasal 7 ... c. perpanjangan jangka waktu penyehatan disertai penjelasan atas terjadinya penundaan penyelesaian program penyehatan terhadap Bank; atau d. perubahan status Bank dari status BDP menjadi status BBKU disertai penjelasan mengenai permasalahan yang dihadapi. Pasal 8 Cukup jelas Pasal 9 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 10 Langkah-langkah untuk tujuan pencabutan izin usaha, pembubaran badan hukum dan likuidasi bank dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku tentang Pencabutan Izin Usaha, Pembubaran Badan Hukum dan Likuidasi Bank. Pasal 11 ... - 21 - Pasal 11 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 12 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 13 Cukup jelas Pasal 14 Cukup jelas Pasal 15 Cukup jelas Pasal 16 Yang dimaksud dengan bank pada ayat ini adalah bank yang ikut serta maupun yang tidak ikut serta dalam Program Penjaminan Pemerintah. Pasal 17 Pasal 17 ... - 22 - Cukup jelas Pasal 18 Cukup jelas TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR DPNP
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 2/11/PBI/2000 </reg_id> <reg_title> PENETAPAN STATUS BANK DAN PENYERAHAN BANK KEPADA BADAN PENYEHATAN PERBANKAN NASIONAL </reg_title> <set_date> 31 Maret 2000 </set_date> <effective_date> 31 Maret 2000 </effective_date> <replaced_reg> '31/225/KEP/DIR|SKDIR-BI/1999' </replaced_reg> <related_reg> '25/PP/1999', '23/UU/1999', '99/PP/1999', '26/KEPPRES/1998', '7/UU/1992', '17/PP/1999', '10/UU/1998' </related_reg> <penalty_list> 'BAB VII' </penalty_list>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 10/ 24 /PBI/2008 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 8/21/PBI/2006 TENTANG PENILAIAN KUALITAS AKTIVA BANK UMUM YANG MELAKSANAKAN KEGIATAN USAHA BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH. DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa sejalan dengan semakin berkembangnya jenis aktiva yang tersedia di pasar, antara lain dalam bentuk Surat Berharga Syariah yang dapat dimiliki oleh bank umum yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah maka semakin bertambah pilihan bagi bank dalam penempatan dananya; b. Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) yang diterbitkan oleh Pemerintah dapat dimiliki oleh bank dan bersifat dapat diperdagangkan; c. bahwa kepemilikan Surat Berharga Syariah oleh bank umum yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah saat ini dibatasi hanya untuk tujuan investasi yang harus dimiliki hingga jatuh tempo (Hold to Maturity), sehingga dirasakan perlu untuk dilakukan penyesuaian dalam upaya meningkatkan perkembangan sektor keuangan dan mendukung pengembangan Surat Berharga Syariah di Indonesia; d. bahwa ... -2- d. bahwa berkenaan dengan perdagangan Surat Berharga Syariah, Majelis Ulama Indonesia telah menegaskan bahwa Surat Berharga Syariah (obligasi syariah) dapat dipindahtangankan kepada pihak lain e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam butir a, butir b, butir c dan butir d, perlu untuk melakukan perubahan kedua atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/21/PBI/2006 tentang Kualitas Aktiva Bank Umum Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah. Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Republik Indonesia Negara Nomor 3843) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357); 2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867). MEMUTUSKAN: Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 8/21/PBI/2006 TENTANG PENILAIAN KUALITAS AKTIVA BANK UMUM YANG MELAKSANAKAN KEGIATAN USAHA BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH. Pasal I ... -3- Pasal I Beberapa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/21/PBI/2006 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4647) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 9/9/PBI/2007 tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/21/PBI/2006 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 77, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4733) diubah sebagai berikut : 1. Ketentuan Pasal 15 diubah, sehingga Pasal 15 berbunyi sebagai berikut : Pasal 15 (1) Bank dapat melakukan investasi pada Surat Berharga Syariah. (2) Investasi pada Surat Berharga Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diperdagangkan. 2. Ketentuan Pasal 16 diubah, sehingga Pasal 16 berbunyi sebagai berikut : Pasal 16 (1) Kualitas Surat Berharga Syariah, yang diakui berdasarkan nilai pasar ditetapkan memiliki kualitas Lancar sepanjang memenuhi persyaratan: a. aktif ... -4- a. aktif diperdagangkan di bursa efek di Indonesia; b. terdapat informasi nilai pasar secara transparan; c. telah diterima imbalan dalam jumlah dan waktu yang tepat, sesuai perjanjian; d. belum jatuh tempo (2) Kualitas Surat Berharga Syariah yang diakui berdasarkan harga perolehan atau yang diakui berdasarkan nilai pasar namun tidak aktif diperdagangkan di bursa efek di Indonesia dan/atau tidak terdapat informasi yang transparan, ditetapkan memiliki kualitas sebagai berikut : a. Lancar, apabila: 1) Memiliki peringkat investasi (investment grade) atau lebih tinggi yang diterbitkan oleh lembaga pemeringkat (rating agency) yang diakui oleh Bank Indonesia dan diterbitkan dalam waktu satu tahun terakhir; 2) Telah diterima imbalan dalam jumlah dan waktu yang tepat, sesuai perjanjian; dan 3) Belum jatuh tempo; b. Kurang Lancar, apabila: 1) Memiliki peringkat investasi (investment grade) atau lebih tinggi yang diterbitkan oleh lembaga pemeringkat (rating agency) yang diakui oleh Bank Indonesia dan diterbitkan dalam waktu satu tahun terakhir; 2) Terdapat penundaan pembayaran bagi hasil/marjin/fee berkala atau kewajiban lain sejenis; dan 3) Belum jatuh tempo; atau ... -5- atau 1) Memiliki peringkat paling kurang 1 (satu) tingkat di bawah peringkat investasi (investment grade) yang diterbitkan oleh lembaga pemeringkat (rating agency) yang diakui oleh Bank Indonesia dan diterbitkan dalam waktu satu tahun terakhir; 2) Tidak terdapat penundaan pembayaran bagi hasil/marjin/fee berkala atau kewajiban lain sejenis; dan 3) Belum jatuh tempo; c. Macet, apabila surat berharga tidak memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b. (3) Kualitas Surat Berharga Syariah di luar Surat Berharga Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), yang diterbitkan oleh nasabah mengikuti kualitas Pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9. 3. Diantara Pasal 18 dan Pasal 19, disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 18A sehingga berbunyi sebagai berikut : Pasal 18A Kualitas Surat Berharga Syariah yang diterbitkan atau diendos Bank lain ditetapkan sebagai berikut: a. Untuk Surat Berharga Syariah yang memiliki peringkat dan/atau aktif diperdagangkan di bursa efek di Indonesia, ditetapkan berdasarkan kualitas terendah antara: 1) hasil penilaian berdasarkan ketentuan kualitas Surat Berharga Syariah yang berlaku, atau 2) hasil ... -6- 2) hasil penilaian berdasarkan ketentuan kualitas Penempatan pada bank penerbit atau bank pemberi endosemen. b. Surat Berharga Syariah yang berdasarkan karakteristiknya tidak aktif diperdagangkan di bursa efek di Indonesia dan tidak memiliki peringkat, ditetapkan berdasarkan kualitas Penempatan pada bank penerbit atau bank pemberi endosemen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1). Pasal II Dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini, maka Pasal 12 Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/13/PBI/2005 tanggal 10 Juni 2005 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal III Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Agar ... -7- Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta Tanggal 16 Oktober 2008 GUBERNUR BANK INDONESIA, BOEDIONO undangkan di Jakarta Pada tanggal MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA ANDI MATTALATTA Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 16 Oktober 2008 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA ANDI MATTALATTA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2008 NOMOR 151........ DPbS PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 10/ 24 /PBI/2008 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 8/21/PBI/2006 TENTANG PENILAIAN KUALITAS AKTIVA BANK UMUM YANG MELAKSANAKAN KEGIATAN USAHA BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH I. UMUM Perkembangan usaha bank umum yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah antara lain akan tergantung kepada semakin beragamnya aktiva, tingkat risiko dan semakin optimalnya aktiva yang dimiliki dalam menghasilkan return dengan tetap memenuhi prinsip syariah dan mempertimbangkan prinsip kehati-hatian. Berkembangnya jenis aktiva yang tersedia di pasar membuat bank umum yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah memiliki lebih banyak pilihan dalam penempatan dananya, dimana jenis aktiva yang semakin beragam saat ini antara lain adalah dalam bentuk Surat Berharga Syariah yang dapat dimiliki dan dapat dipindahtangankan. Sementara batasan kepemilikan Surat Berharga Syariah (obligasi syariah) yang ada saat ini bagi bank umum yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah (bank umum syariah dan unit usaha syariah) adalah hanya dimiliki hingga jatuh tempo (Hold To Maturity), dan kurang mendukung pengembangan Surat Berharga Syariah. Pengembangan Surat Berharga Syariah di Indonesia saat ini tidak hanya dari sektor korporasi, tetapi juga oleh pemerintah dengan terbitnya Undang-undang No. 19 ... -2- 19 tanggal 7 Mei 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara, dimana pemerintah dapat menerbitkan Surat Berharga Syariah yang dapat dimiliki dan dapat diperdagangkan. Hal ini juga sejalan dengan upaya meningkatkan perkembangan sektor keuangan (financial deepening) dan pengembangan perbankan syariah sendiri, dengan asumsi bahwa salah satu investor terbesar surat berharga di Indonesia adalah sektor perbankan. Mekanisme transaksi Surat Berharga Syariah (obligasi syariah) untuk dapat dipindahtangankan atau diperdagangkan tidak bertentangan dengan prinsip syariah, sebagaimana telah ditegaskan oleh Majelis Ulama Indonesia sepanjang tidak untuk kegiatan spekulatif dan sifat akadnya memperbolehkan untuk diperdagangkan, dimana mekanisme dan penetapan harga dalam pemindahtanganan diserahkan kepada mekanisme perdagangan yang biasa dilakukan di pasar sekunder. Berdasarkan hal-hal tersebut, dipandang perlu untuk melakukan pengaturan kembali tentang penilaian kualitas aktiva yaitu berupa Perubahan Kedua atas Peraturan Bank Indonesia tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bagi Bank Umum Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah II. PASAL DEMI PASAL Pasal I Angka 1 Pasal 15 Ayat (1) Cukup Jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “dapat diperdagangkan” adalah sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip syariah (termasuk didalamnya akad yang dipakai sebagai dasar penerbitan ... -3- penerbitan Surat Berharga Syariah memperbolehkan untuk diperdagangkan), yang mengacu kepada fatwa dari Majelis Ulama Indonesia. Angka 2 Pasal 16 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “Surat Berharga Syariah yang diakui berdasarkan nilai pasar” adalah surat berharga yang tersedia untuk dijual (available for sale) dan Surat Berharga Syariah dalam portofolio untuk diperdagangkan (trading) Huruf a Yang dimaksud dengan “aktif diperdagangkan di bursa efek” adalah terdapat volume transaksi yang signifikan dan wajar (arms lengh transaction) di bursa efek di Indonesia dalam 10 (sepuluh) hari kerja terakhir. Huruf b Informasi nilai pasar secara transparan harus dapat diperoleh dari media publikasi yang lazim untuk transaksi bursa efek. Huruf c Cukup jelas Huruf d Cukup jelas Ayat (2) Yang ... -4- Yang dimaksud dengan “Surat Berharga Syariah yang diakui berdasarkan harga perolehan” adalah surat berharga yang dimiliki hingga jatuh tempo (hold to maturity). Yang dimaksud dengan “peringkat investasi (investment grade) dan lembaga pemeringkat” yaitu peringkat dan lembaga pemeringkat yang diakui oleh Bank Indonesia sesuai dengan ketentuan yang berlaku mengenai Lembaga Pemeringkat dan Peringkat. Ayat (3) Cukup jelas. Angka 3 Pasal 18A Huruf a Cukup Jelas. Huruf b Surat Berharga Syariah yang berdasarkan karakteristiknya tidak aktif diperdagangkan di bursa efek di Indonesia dan tidak memiliki peringkat antara lain medium term notes dan pengambilalihan wesel ekspor. Pasal II Cukup jelas. Pasal III Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4909
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 10/24/PBI/2008 </reg_id> <reg_title> PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 8/21/PBI/2006 TENTANG PENILAIAN KUALITAS AKTIVA BANK UMUM YANG MELAKSANAKAN KEGIATAN USAHA BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH. </reg_title> <set_date> 16 Oktober 2008 </set_date> <effective_date> 16 Oktober 2008 </effective_date> <issued_date> 16 Oktober 2008 </issued_date> <changed_reg> '8/21/PBI/2006' </changed_reg> <extension_of> '9/9/PBI/2007' </extension_of> <replaced_reg> '7/13/PBI/2005 | Pasal 12' </replaced_reg> <related_reg> '21/UU/2008', '23/UU/1999', '3/UU/2004' </related_reg>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 3/ 9 /PBI/2001 TENTANG PENGELUARAN DAN PENGEDARAN UANG RUPIAH KHUSUS PECAHAN 500.000 (LIMA RATUS RIBU) DAN PECAHAN 25.000 (DUA PULUH LIMA RIBU) SERI “PERINGATAN 100 TAHUN BUNG KARNO” TANDA TAHUN 2001 GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka memperingati 100 tahun kelahiran Bung Karno Proklamator Republik Indonesia dan membantu menghimpun dana untuk mendirikan Persada Sukarno (Museum Bung Karno), Bank Indonesia memandang perlu untuk berpartisipasi dalam penerbitan Uang Rupiah Khusus seri “Peringatan 100 Tahun Bung Karno” tanda tahun 2001; b. bahwa dalam rangka partisipasi tersebut, Bank Indonesia mengeluarkan dan mengedarkan Uang Rupiah Khusus pecahan 500.000 (lima ratus ribu) dan pecahan 25.000 (dua puluh lima ribu) seri “Peringatan 100 Tahun Bung Karno” tanda tahun 2001; c. bahwa sehubungan dengan itu, dipandang perlu untuk mengatur pengeluaran dan pengedaran Uang Rupiah Khusus pecahan 500.000 (lima ratus ribu) dan pecahan 25.000 (dua puluh lima ribu) seri “Peringatan 100 Tahun Bung Karno” tanda tahun 2001 dalam Peraturan Bank Indonesia; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843); 2. Peraturan Bank Indonesia Nomor 1/12/PBI/1999 tanggal 29 Desember 1999 tentang Uang Rupiah Khusus (Commemorative), (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 228, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3921); 3. Peraturan ………. - 2 - 3. Peraturan Bank Indonesia Nomor 2/17/PBI/2000 tanggal 20 Juli 2000 tentang Pengeluaran dan Pengedaran serta Pencabutan dan Penarikan Uang Rupiah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 116; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3983); Memperhatikan : Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia tanggal 4 Mei 2001 MEMUTUSKAN : Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PENGELUARAN DAN PENGEDARAN UANG RUPIAH KHUSUS PECAHAN 500.000 (LIMA RATUS RIBU) DAN PECAHAN 25.000 (DUA PULUH LIMA RIBU) SERI “PERINGATAN 100 TAHUN BUNG KARNO” TANDA TAHUN 2001 Pasal 1 Bank Indonesia mengeluarkan dan mengedarkan Uang Rupiah Khusus pecahan 500.000 (lima ratus ribu) dan pecahan 25.000 (dua puluh lima ribu) seri “Peringatan 100 Tahun Bung Karno” tanda tahun 2001 sebagai alat pembayaran yang sah di wilayah negara Republik Indonesia. Pasal 2 Uang Rupiah Khusus sebagaimana dimaksud pada pasal 1 dikeluarkan dalam jumlah terbatas dan dicetak di Perusahaan Umum Percetakan Uang Republik Indonesia. Pasal 3 Ciri Uang Rupiah Khusus sebagaimana dimaksud pada pasal 1 adalah : A. Pecahan 500.000 (Lima Ratus Ribu) 1. Bahan 2. Kadar : : Logam Emas 0,999 3. Gambar ………. - 3 - 3. Gambar Disain a. Sisi Muka : : 1). Gambar utama Lambang Negara Garuda Pancasila 2). Teks “BANK INDONESIA”, di bagian atas 3). Logo Panitia Peringatan 100 Tahun Bung Karno, di bagian tengah sisi kiri 4). Tahun Penerbitan “2001” di bagian tengah sisi kanan b. Sisi Belakang : 1). Gambar utama Bung Karno Proklamator RI 2). Teks “100 TAHUN BUNG KARNO (1901-2001)”, di bagian atas 3). Nilai Nominal “Rp 500000”, di bagian bawah c. Sisi Samping : 4. Warna 5. Bentuk 6. Diameter 7. Berat 8. Kualitas : : : : : Bergerigi Kuning emas Bulat (lingkaran) 28,20 mm 15,00 gram Proof B. Pecahan 25.000 (Dua Puluh Lima Ribu) 1. Bahan 2. Kadar 3. Gambar Disain a. Sisi Muka : : : : 1). Gambar utama Lambang Negara Garuda Pancasila 2). Teks “BANK INDONESIA”, di bagian atas 3). Logo Panitia Peringatan 100 Tahun Bung Karno, di bagian tengah sisi kiri 4). Tahun Penerbitan “2001” di bagian tengah sisi kanan b. Sisi Belakang : 1). Gambar utama Bung Karno Proklamator RI 2). Teks “100 TAHUN BUNG KARNO (1901-2001)”, di bagian atas 3). Nilai Nominal “Rp 25000”, di bagian bawah c. Sisi Samping : Bergerigi 4. Warna ……….. Logam Perak 0,925 - 4 - 4. Warna 5. Bentuk 6. Diameter 7. Berat 8. Kualitas : : : : : Putih perak Bulat (lingkaran) 38,61 mm 28,28 gram Proof Pasal 4 Uang Rupiah Khusus sebagaimana dimaksud pada Pasal 1 dikeluarkan dan diedarkan mulai tanggal 6 Juni 2001. Pasal 5 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 6 Juni 2001 GUBERNUR BANK INDONESIA SYAHRIL SABIRIN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2001 NOMOR 70 DPU
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 3/9/PBI/2001 </reg_id> <reg_title> PENGELUARAN DAN PENGEDARAN UANG RUPIAH KHUSUS PECAHAN 500.000 (LIMA RATUS RIBU) DAN PECAHAN 25.000 (DUA PULUH LIMA RIBU) SERI “PERINGATAN 100 TAHUN BUNG KARNO” TANDA TAHUN 2001 </reg_title> <set_date> 6 Juni 2001 </set_date> <effective_date> 6 Juni 2001 </effective_date> <related_reg> '23/UU/1999', '1/12/PBI/1999', '2/17/PBI/2000' </related_reg>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 2/ 21 /PBI/2000 TENTANG LAPORAN BULANAN BANK UMUM GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka penyusunan laporan dan informasi dalam penetapan kebijakan bidang moneter, sistem pembayaran, dan perbankan serta untuk keperluan pemantauan keadaan bank secara benar, diperlukan informasi keadaan keuangan, dan kegiatan usaha bank secara individual yang lebih lengkap termasuk kegiatan usaha bank yang dilakukan di luar negeri; b. bahwa dengan pesatnya kemajuan teknologi informasi dan diberlakukannya Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan Nomor 31 (Revisi 2000) tentang Akuntansi Perbankan, maka sistem penyampaian dan tata cara mengenai penyusunan laporan bulanan bank umum perlu disesuaikan agar lebih akurat, tepat waktu, dan bermanfaat bagi berbagai pihak yang berkepentingan; c. bahwa berhubung dengan itu, dipandang perlu untuk menyempurnakan ketentuan mengenai penyusunan laporan bulanan bank umum dalam Peraturan Bank Indonesia; Mengingat … - 2 - Mengingat : 1. Undang–undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang–undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3790); 2. Undang–undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3843); M E M U T U S K A N : Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG LAPORAN BULANAN BANK UMUM BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan : 1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 3 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998, termasuk kantor cabang Bank asing; 2. Kantor Cabang adalah kantor Bank yang secara langsung bertanggung jawab kepada kantor pusat Bank yang bersangkutan dengan alamat tempat usaha yang jelas dimana Kantor Cabang tersebut melakukan usahanya; 3. Kantor … - 3 - 3. Kantor Cabang Bank Asing adalah Kantor Cabang dari Bank yang berkedudukan di luar negeri berdasarkan hukum asing atau berkantor pusat di luar negeri, yang secara langsung atau tidak langsung bertanggung jawab kepada kantor pusat Bank yang bersangkutan dan mempunyai alamat serta tempat kedudukan di Indonesia; 4. Kantor Cabang Pembantu Bank Asing adalah kantor Bank yang secara langsung bertanggung jawab kepada Kantor Cabang Bank Asing yang berkedudukan di Indonesia, dan mempunyai alamat serta tempat kedudukan di Indonesia; 5. Bank Pelapor adalah kantor Bank yang meliputi kantor pusat dan Kantor Cabang Bank yang berbadan hukum Indonesia serta Kantor Cabang Bank Asing dan Kantor Cabang Pembantu Bank Asing yang berkedudukan di Indonesia; 6. Laporan Bulanan Bank Umum yang selanjutnya disebut Laporan adalah laporan keuangan yang disusun oleh Bank untuk kepentingan Bank Indonesia yang disajikan menurut sistematika yang ditentukan oleh Bank Indonesia dalam format dan definisi yang seragam serta dilaporkan dengan menggunakan sandi-sandi dan angka; 7. Laporan Gabungan adalah laporan keuangan yang disusun oleh kantor pusat Bank yang mencakup data keuangan dari kantor pusat Bank dan seluruh kantor cabangnya baik yang melakukan kegiatan operasional di Indonesia maupun yang melakukan kegiatan operasional di luar Indonesia atau laporan keuangan yang disusun oleh Kantor Cabang Bank Asing dan seluruh kantor cabang pembantunya yang melakukan kegiatan operasional di Indonesia; 8. Laporan per Kantor adalah laporan keuangan yang disusun oleh kantor pusat Bank yang melakukan kegiatan operasional, Kantor Cabang Bank, Kantor Cabang … - 4 - Cabang Bank Asing, dan Kantor Cabang Pembantu Bank Asing, termasuk kegiatan operasional dari kantor-kantor Bank yang berada di bawah koordinasinya; 9. Penyampaian Laporan secara on line adalah penyampaian laporan yang dilakukan dengan mengirim atau mentransfer rekaman data secara langsung melalui media komputer yang dihubungkan dengan pusat komputer Bank Indonesia dengan bantuan computer switching pihak ketiga; dan 10. Penyampaian Laporan secara off line adalah penyampaian laporan yang dilakukan dengan menyampaikan rekaman data dalam bentuk disket kepada Bank Indonesia. Pasal 2 (1) Bank Pelapor wajib menyampaikan Laporan kepada Bank Indonesia secara benar, lengkap, dan tepat waktu. (2) Bank Pelapor bertanggung jawab atas kebenaran dan kelengkapan isi Laporan serta ketepatan waktu penyampaian Laporan kepada Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). (3) Bank Pelapor dalam menyusun Laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), wajib mengikuti Buku Pedoman Penyusunan Laporan Bulanan Bank Umum yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. (4) Buku Pedoman Penyusunan Laporan Bulanan Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) beserta perubahannya diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 3 … - 5 - Pasal 3 Bank Pelapor wajib menyampaikan koreksi atas kesalahan Laporan yang telah disampaikan kepada Bank Indonesia. Pasal 4 Bank Pelapor wajib memiliki sistem dan prosedur konversi yang dituangkan dalam suatu pedoman tertulis, sehingga memungkinkan Bank Pelapor untuk menyesuaikan penyajian data dari format pembukuan intern ke dalam format Laporan sebagaimana diatur dalam Buku Pedoman Penyusunan Laporan Bulanan Bank Umum. Pasal 5 Bank Pelapor wajib menunjuk petugas dan penanggung jawab untuk menyusun dan menyampaikan Laporan kepada Bank Indonesia. BAB II JENIS LAPORAN DAN BANK PELAPOR Pasal 6 (1) Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) terdiri dari Laporan Gabungan dan Laporan per Kantor. (2) Laporan Gabungan wajib disusun dan disampaikan oleh Kantor Pusat Bank yang memiliki Kantor Cabang atau oleh Kantor Cabang Bank Asing yang memiliki kantor cabang pembantu. (3) Laporan … - 6 - (3) Laporan per Kantor wajib disusun dan disampaikan oleh Kantor Pusat Bank yang melakukan kegiatan operasional, Kantor Cabang Bank, Kantor Cabang Bank Asing, dan Kantor Cabang Pembantu Bank Asing. Pasal 7 (1) Dalam hal Bank telah mampu menyusun dan mengirimkan Laporan per Kantor dari seluruh atau sebagian kantor cabangnya secara terpusat (sentralisasi), laporan dimaksud dapat disusun dan dikirim oleh Kantor Pusat Bank atau kantor Bank yang bertindak sebagai koordinator. (2) Laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dapat diidentifikasi untuk masing-masing kantor. (3) Dalam hal Kantor Pusat atau kantor wilayah Bank tidak melakukan kegiatan operasional, laporan keuangannya dapat digabungkan dengan kantor Bank yang ditunjuk oleh Kantor Pusat atau kantor wilayah Bank yang bersangkutan. BAB III PERIODE PENYAMPAIAN LAPORAN DAN KOREKSI LAPORAN Pasal 8 (1) Bank Pelapor setiap bulan wajib menyampaikan Laporan Gabungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) kepada Bank Indonesia paling lambat pada akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya bulan Laporan yang bersangkutan. (2) Bagi … - 7 - (2) Bagi Bank yang sistem antar kantornya belum on line dan memiliki lebih dari 100 (seratus) Kantor Cabang, jangka waktu penyampaian Laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) selambat-lambatnya pada tanggal 15 (lima belas) bulan kedua setelah berakhirnya bulan Laporan yang bersangkutan. (3) Bank sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) wajib terlebih dahulu menyampaikan permohonan tertulis untuk memperoleh persetujuan dari Bank Indonesia. (4) Bank Pelapor setiap bulan wajib menyampaikan Laporan per Kantor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3) kepada Bank Indonesia paling lambat tanggal 12 (dua belas) bulan berikutnya setelah berakhirnya bulan Laporan yang bersangkutan. (5) Bank Pelapor dinyatakan telah menyampaikan Laporan pada tanggal diterimanya Laporan oleh Bank Indonesia. Pasal 9 Bank Pelapor dinyatakan terlambat menyampaikan Laporan apabila : 1. menyampaikan Laporan Gabungan : a. melampaui batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) sampai dengan tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya; atau b. melampaui batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) sampai dengan akhir bulan kedua setelah berakhirnya bulan Laporan yang bersangkutan. 2. menyampaikan Laporan per Kantor melampaui batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (4) sampai dengan tanggal 21 (dua puluh satu) bulan berikutnya setelah berakhirnya bulan Laporan yang bersangkutan. Pasal 10 … - 8 - Pasal 10 Bank Pelapor dinyatakan tidak menyampaikan Laporan, apabila Bank Indonesia belum menerima Laporan sampai dengan batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9. Pasal 11 Dalam hal tanggal berakhirnya penyampaian Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1), ayat (2), dan ayat (4) serta Pasal 9, jatuh pada hari Sabtu, Minggu atau hari libur maka Laporan disampaikan pada hari kerja sebelumnya. Pasal 12 (1) Bank Pelapor wajib menyampaikan koreksi atas kesalahan Laporan Gabungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) yang telah disampaikan kepada Bank Indonesia, paling lambat akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya bulan Laporan yang bersangkutan. (2) Bagi Bank yang sistem antar kantornya belum on line dan memiliki lebih dari 100 (seratus) Kantor Cabang, jangka waktu penyampaian koreksi Laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) selambat-lambatnya pada tanggal 15 (lima belas) bulan kedua setelah berakhirnya bulan Laporan yang bersangkutan. (3) Bank Pelapor wajib menyampaikan koreksi atas kesalahan Laporan per Kantor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3) yang telah disampaikan kepada Bank Indonesia, paling lambat tanggal 12 (dua belas) bulan berikutnya setelah berakhirnya bulan Laporan yang bersangkutan. (4) Bagi … - 9 - (4) Bagi Bank sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), jangka waktu penyampaian koreksi Laporan per Kantor sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) selambat-lambatnya pada tanggal 21 (dua puluh satu) bulan berikutnya setelah berakhirnya bulan Laporan yang bersangkutan. (5) Bank Pelapor dinyatakan telah menyampaikan koreksi Laporan pada tanggal diterimanya koreksi Laporan oleh Bank Indonesia. Pasal 13 Bank Pelapor dinyatakan terlambat menyampaikan koreksi Laporan apabila : 1. menyampaikan koreksi Laporan Gabungan : a. melampaui batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) sampai dengan tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya; atau b. melampaui batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2) sampai dengan akhir bulan kedua setelah berakhirnya bulan Laporan yang bersangkutan. 2. menyampaikan koreksi Laporan per Kantor : a. melampaui batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3) sampai dengan tanggal 21 (dua puluh satu) bulan berikutnya setelah berakhirnya bulan Laporan yang bersangkutan; atau b. melampaui batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (4) sampai dengan akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya bulan Laporan yang bersangkutan. Pasal 14 … - 10 - Pasal 14 Bank pelapor dinyatakan tidak menyampaikan koreksi Laporan apabila Bank Pelapor belum menyampaikan koreksi Laporan sampai dengan batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13. Pasal 15 Dalam hal tanggal berakhirnya penyampaian koreksi Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1), ayat (2), dan ayat (4) serta Pasal 13 jatuh pada hari Sabtu, Minggu atau hari libur, maka koreksi Laporan disampaikan pada hari kerja sebelumnya. BAB IV PROSEDUR PENYAMPAIAN LAPORAN DAN KOREKSI LAPORAN Pasal 16 (1) Bank Pelapor wajib menyampaikan Laporan Gabungan dan atau Laporan per Kantor serta koreksi Laporan Gabungan dan atau koreksi Laporan per Kantor kepada Bank Indonesia secara on line sampai dengan batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dan atau Pasal 13 angka 1 dan angka 2 huruf a. (2) Kewajiban penyampaian Laporan dan atau koreksi Laporan secara on line dikecualikan terhadap : a. Bank Pelapor yang berkedudukan di daerah yang belum tersedia fasilitas komunikasi, sehingga tidak memungkinkan untuk menyampaikan Laporan secara on line; b. Bank … - 11 - b. Bank Pelapor yang baru dibuka dengan batas waktu paling lama 2 (dua) bulan setelah melakukan kegiatan operasional; atau c. Bank Pelapor yang mengalami gangguan teknis dalam menyampaikan Laporan atau koreksi Laporan, namun harus disertai pemberitahuan tertulis kepada Bank Indonesia mengenai sebab–sebab terjadinya gangguan teknis tersebut, bersamaan dengan penyampaian Laporan dan atau koreksi Laporan secara off line. (3) Penyampaian koreksi Laporan per Kantor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (4) yang dilakukan sesudah tanggal 21 (dua puluh satu) bulan berikutnya setelah berakhirnya bulan Laporan yang bersangkutan, wajib dilakukan secara off line disertai hasil cetak komputer (hard copy). (4) Bank Pelapor yang tidak dapat menyampaikan Laporan dan atau koreksi Laporan secara on line sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), atau menyampaikan Laporan dan atau koreksi Laporan melampaui batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dan atau Pasal 13 angka 1 dan angka 2 huruf a, wajib menyampaikan Laporan dan atau koreksi Laporan secara off line disertai hasil cetak komputer (hard copy). Pasal 17 (1) Bank Pelapor yang melakukan kegiatan operasional di Indonesia, wajib menyampaikan Laporan kepada : a. Direktorat Statistik Ekonomi dan Moneter Bank Indonesia c.q. Bagian Statistik Moneter, Jl. M.H.Thamrin Nomor 2 Jakarta 10010, bagi Bank Pelapor yang berkedudukan di wilayah DKI Jakarta Raya, Kabupaten/Kotamadya Serang, Pandeglang, Lebak, Tangerang, Bogor, Depok, Karawang, dan Bekasi; atau b. Kantor … - 12 - b. Kantor Bank Indonesia setempat, bagi Bank Pelapor yang berkedudukan di luar wilayah sebagaimana dimaksud dalam huruf a. (2) Bank Pelapor yang telah mampu menyusun Laporan secara terpusat (sentralisasi) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1), dapat menyampaikan Laporan secara langsung kepada Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dengan terlebih dahulu menyampaikan pemberitahuan secara tertulis kepada Direktorat Statistik Ekonomi dan Moneter c.q. Bagian Statistik Moneter. (3) Bagi Bank Pelapor yang melakukan kegiatan operasional di luar Indonesia, Laporan wajib disusun dan disampaikan oleh kantor pusat Bank yang bersangkutan kepada Bank Indonesia, sesuai dengan kedudukan kantor pusat Bank dengan berpedoman pada ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). BAB V SANKSI Pasal 18 (1) Bank Pelapor yang terlambat menyampaikan Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp1.000.000,- (satu juta rupiah) untuk setiap Laporan per hari kerja keterlambatan. (2) Bank Pelapor yang tidak menyampaikan Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) untuk setiap Laporan. (3) Bank … - 13 - (3) Bank Pelapor yang terlambat menyampaikan koreksi Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp100.000,- (seratus ribu rupiah) untuk setiap penyampaian koreksi Laporan per hari kerja keterlambatan. (4) Bank Pelapor yang menyampaikan koreksi Laporan atas inisiatif Bank Pelapor setelah melampaui batas waktu keterlambatan penyampaian koreksi Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp50.000,- (lima puluh ribu rupiah) per item kesalahan dan paling banyak seluruhnya sebesar Rp5.000.000,- (lima juta rupiah) per Laporan. (5) Bank Pelapor yang menyampaikan koreksi Laporan atas dasar temuan Bank Indonesia setelah melampaui batas waktu keterlambatan penyampaian koreksi Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp100.000,- (seratus ribu rupiah) per item kesalahan dan paling banyak seluruhnya sebesar Rp10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) per Laporan. Pasal 19 Bank Pelapor yang menyampaikan Laporan dan atau koreksi Laporan secara off line pada periode penyampaian on line tanpa memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2), dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp500.000,- (lima ratus ribu rupiah) untuk setiap penyampaian Laporan atau koreksi Laporan. Pasal 20 … - 14 - Pasal 20 Pembebanan sanksi kewajiban membayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 dan Pasal 19, dilakukan dengan cara mendebet rekening giro Bank di Bank Indonesia. Pasal 21 Bank Pelapor yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dan Pasal 5 dikenakan sanksi dalam rangka pembinaan dan pengawasan Bank. Pasal 22 Bank Pelapor yang telah dikenakan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 dan Pasal 19, dapat pula dikenakan sanksi dalam rangka pembinaan dan pengawasan Bank. BAB VI LAIN - LAIN Pasal 23 (1) Bank Pelapor yang mengalami keadaan memaksa (force majeure) selama satu atau lebih periode penyampaian Laporan dikecualikan dari kewajiban menyampaikan Laporan dan atau koreksi Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan atau Pasal 3. (2) Bank … - 15 - (2) Bank Pelapor yang mengalami keadaan memaksa (force majeure) kurang dari satu periode penyampaian Laporan dikecualikan dari kewajiban menyampaikan Laporan dan atau koreksi Laporan dalam batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1), ayat (2), dan ayat (4) serta Pasal 12 ayat (1), ayat (2), dan ayat (4). (3) Bank Pelapor sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) wajib menyampaikan Laporan dan atau koreksi Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan atau Pasal 3 setelah Bank Pelapor kembali melakukan kegiatan operasional secara normal. (4) Bank Pelapor yang mengalami keadaan memaksa (force majeure), wajib menyampaikan permohonan untuk memperoleh pengecualian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) atau ayat (2) secara tertulis kepada Bank Indonesia sebagaimana diatur dalam Pasal 17 ayat (1), dengan disertai penjelasan mengenai keadaan memaksa yang dialami. (5) Pengecualian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) atau ayat (2) berlaku setelah Bank Pelapor memperoleh persetujuan dari Bank Indonesia sebagaimana diatur dalam Pasal 17 ayat (1). Pasal 24 Pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (4) dan ayat (5) dikecualikan untuk penyampaian koreksi Laporan sebagai akibat hasil audit tahunan oleh akuntan publik. BAB VII … - 16 - BAB VII KETENTUAN PENUTUP Pasal 25 Ketentuan lebih lanjut tentang tata cara penyampaian Laporan diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 26 Dengan diberlakukannya Peraturan Bank Indonesia ini maka Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 26/42/KEP/DIR tanggal 22 Juni 1993 tentang Pedoman Penyusunan Laporan Bulanan Bank Umum dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 27 … - 17 - Pasal 27 (1) Ketentuan di dalam Peraturan Bank Indonesia ini mulai diberlakukan sejak pelaporan data bulan September 2000 yang mulai disampaikan bulan Oktober 2000. (2) Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 19 September 2000 a.n. GUBERNUR BANK INDONESIA ANWAR NASUTION DEPUTI GUBERNUR SENIOR LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2000 NOMOR 157 xxxx DSM - 18 - PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 2 / 21 / PBI / 2000 TENTANG LAPORAN BULANAN BANK UMUM I. PENJELASAN UMUM Dalam Pasal 34 Ayat (1) Undang-undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang – undang Nomor 10 Tahun 1998, ditetapkan bahwa Bank wajib menyampaikan kepada Bank Indonesia neraca dan perhitungan laba/rugi tahunan serta penjelasannya, serta laporan berkala lainnya, dalam waktu dan bentuk yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Selain itu di dalam Pasal 28 Ayat (1) Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, ditegaskan pula bahwa Bank Indonesia mewajibkan Bank untuk menyampaikan laporan, keterangan, dan penjelasan sesuai dengan tata cara yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Laporan, keterangan, dan penjelasan dimaksud diperlukan oleh Bank Indonesia dalam rangka penyusunan laporan dan informasi serta statistik perbankan dan moneter dalam penetapan kebijakan bidang moneter, sistem pembayaran, dan perbankan serta untuk pemantauan keadaan Bank. Guna keperluan tersebut dibutuhkan data keuangan dan kegiatan usaha Bank secara individual yang lebih lengkap termasuk kegiatan usaha Bank yang dilakukan di luar negeri, yang menggambarkan kondisi Bank sesuai dengan keadaan yang sebenarnya, dan dalam bentuk yang seragam, sehingga dapat mendukung perumusan kebijakan di bidang moneter, sistem pembayaran … - 19 - pembayaran, dan perbankan secara lebih efektif. Berkaitan dengan hal tersebut maka Bank diwajibkan menyusun laporan secara benar dan lengkap serta disampaikan kepada Bank Indonesia secara tepat waktu. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Angka 1 sampai dengan angka 9 Cukup jelas Pasal 2 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup Jelas Ayat (3) Buku Pedoman Penyusunan Laporan Bulanan Bank Umum adalah buku petunjuk teknis penyusunan Laporan yang diterbitkan oleh Bank Indonesia sebagai lampiran dari Surat Edaran Bank Indonesia tentang Laporan Bulanan Bank Umum. Ayat (4) Cukup Jelas Pasal 3 Cukup jelas Pasal 4 Cukup jelas Pasal 5 … - 20 - Pasal 5 Yang dimaksud dengan petugas dan atau penanggung jawab yang ditunjuk untuk menyusun dan menyampaikan Laporan adalah karyawan Bank yang diberi wewenang dan atau tanggung jawab untuk menyusun, memverifikasi, dan menyampaikan Laporan kepada Bank Indonesia. Dengan demikian, setiap Laporan yang telah diterima oleh Bank Indonesia dianggap sah. Pasal 6 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Bagi Bank yang tidak memiliki kantor cabang, tidak diwajibkan untuk menyusun dan menyampaikan Laporan Gabungan. Ayat (3) Bagi Kantor Bank yang status kantornya dibawah Kantor Cabang (antara lain Kantor Cabang Pembantu, Kantor Kas, Payment Point), Laporannya digabungkan dengan kantor induknya. Sementara bagi Kantor Bank Asing yang status kantornya dibawah Kantor Cabang Pembantu, Laporannya digabung dengan kantor induknya. Pasal 7 Ayat (1) Yang dimaksud dengan Laporan secara terpusat (sentralisasi) adalah Laporan dari seluruh atau sebagain Kantor Bank Pelapor yang disusun dan disampaikan oleh Kantor Pusat atau kantor yang ditunjuk. Ayat 2 … - 21 - Ayat (2) Laporan masing-masing kantor dikatakan dapat teridentifikasi apabila Laporan dimaksud tetap dapat menunjukkan Sandi dari Kantor Bank Pelapor. Sebagai contoh, apabila Kantor Pusat Bank atau Kantor Koordinator mampu menyusun Laporan per Kantor untuk 10 Kantor Cabangnya, maka Laporan yang disampaikan harus terdiri dari 10 Laporan per Kantor yang sesuai dengan Sandi masing-masing Kantor Bank Pelapor, ditambah dengan Laporan per Kantor dari kantor Bank yang bersangkutan sebagai Bank Pelapor. Ayat (3) Yang dimaksud dengan laporan keuangan adalah laporan yang mencakup neraca, laba/rugi dan rekening administratif. Pasal 8 Ayat (1) Contoh; Laporan Gabungan untuk bulan laporan September 2000 wajib disampaikan paling lambat pada akhir bulan Oktober 2000. Yang dimaksud dengan bulan laporan adalah bulan dimana data yang tercatat pada akhir bulan yang bersangkutan wajib dilaporkan, misalnya bulan laporan September 2000 berarti, yang wajib dilaporkan adalah data akhir September 2000 atau periode data tahun berjalan yang berakhir sampai dengan akhir bulan September 2000. Ayat (2) Contoh; Laporan … - 22 - Laporan Gabungan untuk bulan laporan September 2000 bagi Bank yang sistem antar kantornya belum on line dan memiliki lebih dari 100 (seratus) Kantor Cabang, wajib disampaikan paling lambat pada tanggal 15 Nopember 2000. Yang dimaksud dengan sistem antar kantor belum on line adalah transaksi antara satu kantor dengan kantor lainnya belum dapat dieliminasi secara on line. Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Contoh; Laporan per Kantor untuk bulan laporan September 2000 wajib disampaikan paling lambat pada tanggal 12 Oktober 2000. Ayat (5) Apabila Laporan disampaikan secara on line, maka Bank Pelapor akan menerima tanda bukti penyampaian Laporan yang tercetak secara otomatis pada komputer Bank Pelapor, setelah Bank Pelapor selesai menyampaikan Laporan. Sementara itu, apabila Laporan disampaikan secara off line, maka Bank Pelapor akan menerima tanda bukti penerimaan Laporan dari Bank Indonesia. Pasal 9 Angka 1 Huruf a Contoh, Penyampaian … - 23 - Penyampaian Laporan Gabungan untuk bulan laporan September 2000 dinyatakan terlambat apabila disampaikan mulai tanggal 1 Nopember 2000 sampai dengan tanggal 15 Nopember 2000. Huruf b Contoh, Penyampaian Laporan Gabungan untuk bulan laporan September 2000 bagi Bank yang sistem antar kantornya belum on line dan memiliki lebih dari 100 (seratus) Kantor Cabang, dinyatakan terlambat apabila disampaikan mulai tanggal 16 Nopember 2000 sampai dengan akhir bulan Nopember 2000. Angka 2 Contoh; Penyampaian Laporan per Kantor untuk bulan laporan September 2000 dinyatakan terlambat apabila disampaikan mulai tanggal 13 Oktober 2000 sampai dengan tanggal 21 Oktober 2000. Pasal 10 Contoh; Laporan Gabungan : • Laporan Gabungan untuk bulan laporan September 2000 dinyatakan tidak disampaikan apabila Laporan disampaikan melampaui tanggal 15 Nopember 2000. • Laporan Gabungan untuk bulan laporan September 2000 bagi Bank yang sistem antar kantornya belum on line dan memiliki lebih dari 100 (seratus) Kantor Cabang, dinyatakan tidak disampaikan apabila Laporan disampaikan melampaui akhir bulan Nopember 2000. Contoh … - 24 - Contoh; Laporan per Kantor untuk bulan laporan September 2000 dinyatakan tidak disampaikan apabila Laporan disampaikan melampaui tanggal 21 Oktober 2000. Pasal 11 Yang termasuk hari libur adalah Hari libur Nasional dan hari libur setempat yang ditetapkan oleh Pemerintah Daerah Tingkat I. Yang dimaksud dengan hari kerja sebelumnya adalah hari kerja yang jatuh sebelum hari Sabtu, Minggu, atau hari libur. Contoh; Apabila data Laporan per Kantor untuk bulan laporan Oktober 2000 yang wajib disampaikan selambat-lambatnya tanggal 12 Nopember 2000 jatuh pada hari Minggu, maka batas akhir penyampaian Laporan per Kantor data bulan Oktober 2000 adalah pada hari Jumat tanggal 10 Nopember 2000. Pasal 12 Ayat (1) Contoh; Koreksi Laporan Gabungan untuk bulan laporan September 2000 wajib disampaikan paling lambat pada akhir bulan Oktober 2000. Ayat (2) Contoh; Koreksi Laporan Gabungan untuk bulan laporan September 2000 bagi Bank yang sistem antar kantornya belum on line dan memiliki lebih dari … - 25 - dari 100 (seratus) Kantor Cabang, wajib disampaikan paling lambat pada tanggal 15 Nopember 2000. Ayat (3) Contoh; Koreksi Laporan per Kantor untuk bulan laporan September 2000 wajib disampaikan paling lambat pada tanggal 12 Oktober 2000. Ayat (4) Contoh; Koreksi Laporan per Kantor untuk bulan laporan September 2000 bagi Bank yang sistem antar kantornya belum on line dan memiliki lebih dari 100 (seratus) Kantor Cabang, wajib disampaikan paling lambat pada tanggal 21 Oktober 2000. Ayat (5) Cukup jelas Pasal 13 Angka 1 Huruf a Contoh; Penyampaian koreksi Laporan Gabungan untuk bulan laporan September 2000 dinyatakan terlambat apabila disampaikan mulai tanggal 1 Nopember 2000 sampai dengan tanggal 15 Nopember 2000. Huruf b Contoh; Penyampaian koreksi Laporan Gabungan untuk bulan laporan September 2000 bagi Bank yang sistem antar kantornya belum on line … - 26 - line dan memiliki lebih dari 100 (seratus) Kantor Cabang, dinyatakan terlambat apabila disampaikan mulai tanggal 16 Nopember 2000 sampai dengan akhir bulan Nopember 2000. Angka 2 Huruf a Contoh; Penyampaian koreksi Laporan per Kantor untuk bulan laporan September 2000 dinyatakan terlambat apabila disampaikan mulai tanggal 13 Oktober 2000 sampai dengan tanggal 21 Oktober 2000. Huruf b Contoh; Penyampaian koreksi Laporan per Kantor untuk bulan laporan September 2000 bagi Bank yang sistem antar kantornya belum on line dan memiliki lebih dari 100 (seratus) Kantor Cabang, dinyatakan terlambat apabila disampaikan mulai tanggal 22 Oktober 2000 sampai dengan akhir bulan Oktober 2000. Pasal 14 Contoh; Koreksi Laporan Gabungan; • Koreksi Laporan Gabungan untuk bulan laporan September 2000 dinyatakan tidak disampaikan apabila Laporan disampaikan melampaui tanggal 15 Nopember 2000. • Koreksi Laporan Gabungan untuk bulan laporan September 2000 bagi Bank Yang belum on line dan memiliki lebih dari 100 (seratus) Kantor Cabang, dinyatakan tidak disampaikan apabila Laporan disampaikan melampaui akhir bulan Nopember 2000. Koreksi … - 27 - Koreksi Laporan per Kantor; • Koreksi Laporan per Kantor untuk bulan laporan September 2000 dinyatakan tidak disampaikan apabila Laporan disampaikan melampaui tanggal 21 Oktober 2000. • Koreksi Laporan per Kantor untuk bulan laporan September 2000 bagi Bank Yang belum on line dan memiliki lebih dari 100 (seratus) Kantor Cabang, dinyatakan tidak disampaikan apabila Laporan disampaikan melampaui akhir bulan Oktober 2000. Pasal 15 Cukup jelas Pasal 16 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Huruf a. Cukup jelas Huruf b. Cukup jelas Huruf c. Yang dimaksud dengan gangguan teknis adalah gangguan yang menyebabkan Bank Pelapor tidak dapat menyampaikan Laporan secara on line. Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) … - 28 - Ayat (4) Cukup Jelas Pasal 17 Ayat (1) Huruf a. Cukup jelas Huruf b. Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup Jelas Pasal 18 Ayat (1) Contoh : Laporan Gabungan; Tanggal 31 Desember 2000 jatuh pada hari Minggu. Tanggal 1 Januari 2001 adalah hari libur Nasional. Bank A menyampaikan Laporan Gabungan data bulan Nopember 2000 pada hari Kamis tanggal 4 Januari 2001. Bank A dinyatakan terlambat menyampaikan Laporan Gabungan 3 hari kerja, yaitu Selasa, Rabu, Kamis, sehingga Bank A dikenakan Sanksi keterlambatan penyampaian Laporan Gabungan sebesar 3 x Rp1.000.000,- = Rp3.000.000,- (tiga juta rupiah) Laporan … - 29 - Laporan per Kantor; Tanggal 12 Nopember 2000 jatuh pada hari Minggu. Bank A menyampaikan Laporan per Kantor data bulan Oktober 2000 pada hari Selasa tanggal 14 Nopember 2000. Bank A dinyatakan terlambat menyampaikan Laporan per Kantor 2 hari kerja, yaitu Senin dan Selasa, sehingga Bank A dikenakan Sanksi sebesar 2 x Rp1.000.000,- = Rp2.000.000,- (dua juta rupiah). Ayat (2) Contoh : Laporan Gabungan; Tanggal 15 April 2001 jatuh pada hari Minggu. Bank A menyampaikan Laporan Gabungan data bulan Februari 2001 pada hari Rabu tanggal 18 April 2001, sehingga Bank A dikenakan Sanksi tidak menyampaikan Laporan Gabungan sebesar Rp50.000.000,- (lima puluh juta rupiah). Laporan per Kantor; Tanggal 21 Januari 2001 jatuh pada hari Minggu. Bank A menyampaikan Laporan per Kantor data bulan Desember 2000 pada hari Senin tanggal 22 Januari 2001, sehingga Bank A dikenakan Sanksi tidak menyampaikan Laporan per Kantor Rp50.000.000,- (lima puluh juta rupiah). Ayat (3) Contoh : Koreksi Laporan Gabungan; Tanggal 31 Desember 2000 jatuh pada hari Minggu. Tanggal 1 Januari 2001 adalah hari libur Nasional. Bank A menyampaikan koreksi Laporan … - 30 - Laporan Gabungan data bulan Nopember 2000 pada hari Kamis tanggal 4 Januari 2001. Bank A dinyatakan terlambat menyampaikan koreksi Laporan Gabungan 3 hari kerja, yaitu Selasa, Rabu, Kamis, sehingga Bank A dikenakan Sanksi keterlambatan penyampaian koreksi Laporan Gabungan sebesar 3 x Rp100.000,- = Rp300.000,- (tiga ratus ribu rupiah) Koreksi Laporan per Kantor; Tanggal 12 Nopember 2000 jatuh pada hari Minggu. Bank A menyampaikan koreksi Laporan per Kantor data bulan Oktober 2000 pada hari Selasa tanggal 14 Nopember 2000. Bank A dinyatakan terlambat menyampaikan koreksi Laporan per Kantor 2 hari kerja, yaitu Senin dan Selasa, sehingga Bank A dikenakan Sanksi sebesar 2 x Rp100.000,- = Rp200.000,- (dua ratus ribu rupiah). Ayat (4) Yang dimaksud dengan per item kesalahan adalah kesalahan per sandi. Apabila dalam satu baris data terdapat kesalahan lebih dari satu sandi, kesalahan dihitung berdasarkan banyaknya sandi yang salah dalam baris yang bersangkutan. Sebagai contoh, pada Daftar Rincian Kredit Yang Diberikan, dalam satu baris terdapat kesalahan pada kolom Kolektibilitas dan Sektor Ekonomi, maka dihitung sebagai 2 item kesalahan. Selanjutnya apabila terdapat 700 item kesalahan, maka perhitungan Sanksi adalah 700 x Rp100.000,- = Rp70.000.000 (tujuh puluh juta rupiah), namun Bank hanya dikenakan Sanksi maksimum, yaitu Rp5.000.000,- (lima juta rupiah). Ayat (5) … - 31 - Ayat (5) Cukup jelas Pasal 19 Cukup jelas Pasal 20 Cukup jelas Pasal 21 Cukup jelas Pasal 22 Cukup jelas Pasal 23 Ayat (1) Yang dimaksud dengan keadaan memaksa (force majeure) adalah keadaan yang secara nyata-nyata menyebabkan Bank Pelapor tidak dapat menyusun dan menyampaikan Laporan dan atau koreksi Laporan, antara lain kebakaran, kerusuhan massa, perang, sabotase, serta bencana alam seperti gempa bumi dan banjir, yang dibenarkan oleh penguasa atau pejabat dari instansi terkait di daerah setempat. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) … - 32 - Ayat (4) Kewajiban menyampaikan pemberitahuan secara tertulis mengenai keadaan memaksa (force majeure) tersebut, dapat dilakukan baik oleh Bank Pelapor, Kantor Pusat maupun oleh kantor lainnya yang ditunjuk. Ayat (5) Cukup jelas Pasal 24 Cukup jelas Pasal 25 Cukup jelas Pasal 26 Cukup jelas Pasal 27 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2000 NOMOR 4000
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 2/21/PBI/2000 </reg_id> <reg_title> LAPORAN BULANAN BANK UMUM </reg_title> <set_date> 19 September 2000 </set_date> <effective_date> 19 September 2000 </effective_date> <replaced_reg> '26/42/KEP/DIR|SKDIR-BI/1993' </replaced_reg> <related_reg> '23/UU/1999', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg> <penalty_list> 'BAB V' </penalty_list>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 10/ 21 /PBI/2008 TENTANG PERUBAHAN KELIMA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 4/9/PBI/2002 TENTANG OPERASI PASAR TERBUKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk meningkatkan efektifitas pelaksanaan kegiatan operasi pasar terbuka di pasar valuta asing dan mengantisipasi gejolak pasar keuangan global, Bank Indonesia perlu mengatur kembali jangka waktu transaksi swap dengan Bank Indonesia; b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, dipandang perlu untuk melakukan perubahan kelima atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 4/9/PBI/2002 tentang Operasi Pasar Terbuka. Mengingat : Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357). MEMUTUSKAN … - 2- MEMUTUSKAN : Menetapkan : PERUBAHAN KELIMA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 4/9/PBI/2002 TENTANG OPERASI PASAR TERBUKA Pasal I Beberapa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 4/9/PBI/2002 tentang Operasi Pasar Terbuka sebagaimana telah diubah beberapa kali dengan Peraturan Bank Indonesia : a. Nomor 6/4/PBI/2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 17, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4365); b. Nomor 6/33/PBI/2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 169, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4463); c. Nomor 7/30/PBI/2005 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4533); d. Nomor 10/14/PBI/2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 131, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4537), diubah sebagai berikut: 1. Ketentuan Pasal 4B diubah sehingga berbunyi sebagai berikut : Pasal 4B Kegiatan OPT di pasar valuta asing dilakukan dalam rangka manajemen likuiditas, baik Rupiah maupun valuta asing melalui kegiatan jual beli valuta asing terhadap Rupiah antara lain dalam bentuk spot, forward dan swap. 2. Ketentuan … - 3- 2. Ketentuan Pasal 4C diubah sehingga berbunyi sebagai berikut : Pasal 4C Kegiatan OPT di pasar valuta asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4B untuk transaksi swap ditetapkan memiliki jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan yang dinyatakan dalam hari kalender. Pasal II Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 15 Oktober 2008 GUBERNUR BANK INDONESIA, Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 15 Oktober 2008 BOEDIONO MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA ANDI MATTALATTA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2008 NOMOR 147 DPM
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 10/21/PBI/2008 </reg_id> <reg_title> PERUBAHAN KELIMA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 4/9/PBI/2002 TENTANG OPERASI PASAR TERBUKA </reg_title> <set_date> 15 Oktober 2008 </set_date> <effective_date> 15 Oktober 2008 </effective_date> <issued_date> 15 Oktober 2008 </issued_date> <changed_reg> '4/9/PBI/2002' </changed_reg> <extension_of> '6/4/PBI/2004', '6/33/PBI/2004', '7/30/PBI/2005', '10/14/PBI/2008' </extension_of> <related_reg> '23/UU/1999', '3/UU/2004' </related_reg>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 1/ 4 /PBI/1999 TENTANG PENYELENGGARAAN SURVEI OLEH BANK INDONESIA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah, Bank Indonesia bertugas menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter, mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran, serta mengatur dan mengawasi bank; b. bahwa guna pelaksanaan tugas-tugas tersebut di atas secara efektif dan efisien, Bank Indonesia memerlukan informasi yang akurat dan terkini, baik yang bersifat makro maupun mikro antara lain dengan melakukan survei; c. bahwa sehubungan dengan hal-hal tersebut di atas, dipandang perlu menyusun ketentuan tentang penyelenggaraan survei oleh Bank Indonesia dalam Peraturan Bank Indonesia; Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 16 tahun 1997 tentang Statistik (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 39 dan Tambahan Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 3683); 2. Undang-undang Nomor 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 66 dan Tambahan Lembaran Negara Nomor 3843); MEMUTUSKAN... PBI No. 1 / 4 / PBI / 1999 - 2 - MEMUTUSKAN : Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PENYELENGGARAAN SURVEI OLEH BANK INDONESIA. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Yang dimaksud dalam Peraturan Bank Indonesia ini dengan : 1. Survei adalah cara mengumpulkan keterangan dan data melalui pencacahan sampel untuk memperkirakan karakteristik suatu populasi pada saat tertentu; 2. Keterangan adalah informasi yang bersifat kualitatif tentang karakteristik setiap unit populasi yang menjadi objek Survei; 3. Data adalah informasi yang bersifat kuantitatif tentang karakteristik dari setiap unit populasi yang menjadi objek Survei; 4. Lembaga Survei adalah lembaga penelitian atau lembaga lain (lembaga konsultan, asosiasi peneliti, atau lembaga lain yang disetarakan) yang ditunjuk oleh Bank Indonesia untuk melaksanakan kegiatan Survei berdasarkan suatu perjanjian kerja; 5. Perjanjian Kerja adalah perjanjian yang memuat kesepakatan kerja antara Bank Indonesia dan Lembaga Survei yang mencakup tugas pekerjaan yang diberikan oleh Bank Indonesia kepada Lembaga Survei; 6. Responden adalah perseorangan dan/atau badan yang ditetapkan sebagai sumber Keterangan dan Data dalam rangka Survei; 7. Badan ... - 3 - 7. Badan adalah semua badan, misalnya badan hukum, persekutuan perdata, yayasan, dan asosiasi; 8. Petugas Survei adalah orang yang diberi tugas oleh pelaksana Survei untuk melakukan pengumpulan Keterangan dan Data; 9. Laporan Hasil Survei adalah laporan hasil pengolahan Keterangan dan Data yang diperoleh dari kegiatan Survei. BAB II TUJUAN DAN RUANG LINGKUP SURVEI Pasal 2 Survei bertujuan untuk memperoleh informasi melalui pengumpulan Keterangan dan Data yang diperlukan untuk mendukung pelaksanaan tugas Bank Indonesia dalam menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter, mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran, serta mengatur dan mengawasi bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Pasal 3 Ruang lingkup Survei meliputi seluruh Keterangan dan Data yang dapat mendukung pelaksanaan tugas Bank Indonesia. BAB III ... - 4 - BAB III PENYELENGGARAAN SURVEI Pasal 4 (1) Bank Indonesia bertindak sebagai penyelenggara Survei. (2) Pelaksanaan Survei dapat dilakukan oleh Bank Indonesia dan/atau Lembaga Survei. (3) Pelaksanaan Survei yang dilakukan oleh Lembaga Survei diatur dalam Perjanjian Kerja. Pasal 5 (1) Survei yang diselenggarakan oleh Bank Indonesia bersifat makro atau mikro. (2) Penyelenggaraan Survei sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara berkala atau sewaktu-waktu. Pasal 6 Lembaga penelitian atau lembaga lain yang dapat ditunjuk sebagai pelaksana Survei harus memenuhi persyaratan : a. independen, kompeten, dan profesional; b. persyaratan lain yang ditetapkan dengan Surat Edaran Bank Indonesia. BAB IV ... - 5 - BAB IV KOORDINASI DAN KERJA SAMA DENGAN PIHAK LAIN Pasal 7 (1) Bank Indonesia dapat melakukan koordinasi dan kerja sama dengan pihak lain dalam pengumpulan, pengolahan, dan penyajian Keterangan dan Data. (2) Kerja sama dengan pihak lain diatur dengan perjanjian kerja sama. BAB V PENGUMPULAN DAN PENYAMPAIAN KETERANGAN DAN DATA Pasal 8 (1) Pengumpulan Keterangan dan Data dilakukan dengan : a. wawancara; b. pengisian kuesioner oleh Responden; c. cara lain. (2) Penyampaian Keterangan dan Data dari Responden kepada pelaksana Survei dapat melalui : a. pos atau kurir; b. telepon, faksimile, electronic mail (surat elektronik); c. media komunikasi lain. (3) Tata cara pengumpulan dan penyampaian Keterangan dan Data diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia. BAB VI ... - 6 - BAB VI HASIL SURVEI Pasal 9 (1) Laporan Hasil Survei adalah milik Bank Indonesia. (2) Bank Indonesia dapat mempublikasikan dan menyebarluaskan Laporan Hasil Survei sebagai bagian dari pernyataan kebijakan di bidang moneter, sistem pembayaran, dan perbankan, ataupun dalam rangka transparansi informasi. BAB VII HAK DAN KEWAJIBAN Pasal 10 (1) Bank Indonesia berhak meminta Keterangan dan Data dari Responden mengenai objek Survei. (2) Bank Indonesia wajib merahasiakan sumber, Keterangan, dan Data Responden yang bersifat individual. Pasal 11 (1) Lembaga Survei berhak meminta Keterangan dan Data dari Responden. (2) Hak Lembaga Survei sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terbatas dalam jangka waktu yang telah ditetapkan dalam Perjanjian Kerja. (3) Keterangan ... - 7 - (3) Keterangan dan Data yang diminta oleh Lembaga Survei sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terbatas pada tujuan dan ruang lingkup survei yang telah ditetapkan dalam Perjanjian Kerja. (4) Lembaga Survei wajib merahasiakan sumber, Keterangan, dan Data Responden yang bersifat individual. (5) Lembaga Survei dilarang memberikan kepada pihak lain kertas kerja dan Laporan Hasil Survei yang dibuat dalam rangka pelaksanaan Survei. (6) Lembaga Survei bertanggung jawab sepenuhnya terhadap pelaksanaan tugas yang dilakukan oleh Petugas Survei. (7) Lembaga Survei wajib menyampaikan kertas kerja, Laporan Hasil Survei, Keterangan, dan Data kepada Bank Indonesia. Pasal 12 Dalam melaksanakan tugas, setiap Petugas Survei wajib : a. membawa surat tugas dan tanda pengenal; b. memperhatikan nilai-nilai agama, adat istiadat setempat, tata krama, dan ketertiban umum; c. menjaga kerahasiaan sumber, Keterangan, dan Data Responden yang bersifat individual; d. menyampaikan Keterangan dan Data dari Responden kepada pelaksana Survei yang memberi tugas. Pasal 13 (1) Setiap Responden berhak mengetahui tujuan, ruang lingkup, dan manfaat kegiatan Survei. (2) Setiap ... - 8 - (2) Setiap Responden berhak menolak Petugas Survei yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf a. (3) Setiap Responden wajib memberikan Keterangan dan Data yang diminta oleh Petugas Survei secara lengkap, akurat, dan tepat waktu. (4) Dalam hal Survei dilakukan secara berkala, setiap Responden wajib menyampaikan Keterangan dan Data secara berkala kepada Bank Indonesia. BAB VIII SANKSI ADMINISTRATIF Pasal 14 (1) Lembaga Survei yang tidak memenuhi kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (4), ayat (5), ayat (6), dan/atau ayat (7) dikenakan sanksi administratif berupa : a. teguran tertulis; b. denda sekurang-kurangnya Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah); c. ketidakikutsertaan dalam pelaksanaan Survei yang diselenggarakan oleh Bank Indonesia; dan/atau d. pencabutan izin usaha melalui instansi berwenang. (2) Prosedur pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 15 ... - 9 - Pasal 15 (1) Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, bagi Badan yang ditetapkan sebagai Responden dalam suatu Survei yang tidak memenuhi kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3) dan/atau ayat (4) dikenakan sanksi administratif berupa : a. teguran tertulis; b. denda sekurang-kurangnya Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) dan paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah); dan/atau c. pencabutan izin usaha melalui instansi yang berwenang. (2) Prosedur pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia. BAB IX KETENTUAN PENUTUP Pasal 16 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Ditetapkan ... - 10 - Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 18 Agustus 1999 GUBERNUR BANK INDONESIA SYAHRIL SABIRIN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1999 NOMOR 141 USEM PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 1/ 4 /PBI/1999 TENTANG PENYELENGGARAAN SURVEI OLEH BANK INDONESIA UMUM Sejalan dengan perkembangan ekonomi internasional yang semakin kompleks, pentingnya peranan data statistik yang dapat dipercaya bagi suatu negara menjadi sangat menonjol. Data statistik selalu digunakan dalam setiap tahap pembangunan sehingga setiap tahapan kegiatan dapat berjalan secara efektif dan efisien. Mengingat pentingnya peranan statistik dalam menunjang pembangunan perekonomian, setiap pihak baik lembaga maupun individu termasuk Bank Indonesia berkewajiban mendukung terwujudnya sistem statistik nasional yang andal, efektif, dan efisien. Sejak beberapa tahun terakhir Bank Indonesia secara intensif telah berusaha menata dan membangun statistik ekonomi keuangan moneter yang dimiliki. Perbaikan dimaksud dilakukan melalui berbagai cara, baik melalui koordinasi dan kerja sama dengan pihak lain maupun melalui Survei secara langsung. Berkaitan dengan kedudukan Bank Indonesia sebagai lembaga negara yang independen dan mempunyai tujuan mencapai dan memelihara kestabilan nilai ... - 2 - nilai rupiah, penyediaan informasi berupa kajian yang lengkap, akurat, dan tepat P B I No. 1 / 4 / PBI / 1999 waktu merupakan persyaratan penting yang harus dimiliki guna mendukung perumusan kebijakan yang didasarkan pada riset yang mendalam. Dalam penyediaan informasi dimaksud, Bank Indonesia, di samping memanfaatkan (dengan cara mengolah) data dan hasil Survei berbagai pihak, juga akan melakukan Survei secara langsung sesuai dengan kebutuhan Bank Indonesia, yang biasanya jarang diperoleh dari Lembaga Survei lain karena bersifat khusus yang terkait dengan perumusan kebijakan Bank Indonesia di bidang moneter (misalnya Survei tentang kegiatan dunia usaha), di bidang sistem pembayaran (misalnya Survei tentang kartu kredit), dan di bidang perbankan (misalnya Survei tentang tingkat kejenuhan bank). Agar pelaksanaan Survei dapat berjalan secara efektif dan efisien, perlu ditetapkan Peraturan Bank Indonesia tentang penyelenggaraan Survei oleh Bank Indonesia. Dalam peraturan ini diatur ihwal penyelenggaraan Survei yang mencakup pelaksanaannya oleh Bank Indonesia dan/atau Lembaga Survei, koordinasi dan kerja sama dengan pihak lain, hak dan kewajiban pihak-pihak yang terlibat dalam pelaksanaan Survei, termasuk sanksi administratif terhadap pelanggarannya. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas Pasal 2 Cukup jelas Pasal 3... - 3 - Pasal 3 Cukup jelas Pasal 4 Ayat (1) Sebagai pihak yang berkepentingan untuk mendapatkan suatu informasi, Bank Indonesia berinisiatif mengadakan Survei dan bertanggung jawab terhadap seluruh keberhasilan penyelenggaraan Survei, mulai dari tahap persiapan, pelaksanaan, sampai dengan penyusunan Laporan Hasil Survei. Ayat (2) Bank Indonesia berwenang menunjuk lembaga penelitian tertentu sebagai Lembaga Survei berdasarkan asas-asas penilaian yang baik terhadap pemenuhan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), baik yang berstandar nasional maupun internasional. Ayat (3) Pokok-pokok persyaratan yang diatur dalam Perjanjian Kerja sebagaimana tertuang dalam kerangka acuan kerja (terms of reference) sekurang-kurangnya memuat : a. pokok yang diperjanjikan dengan uraian yang jelas mengenai Laporan Hasil Survei, jenis ataupun ruang lingkup Keterangan dan Data, serta jumlah Responden; b. harga ... - 4 - b. harga nilai kontrak, cara, dan persyaratan pembayaran; c. persyaratan dan spesifikasi teknis yang jelas dan terperinci; d. jangka waktu dan syarat penyelesaian/penyerahan; e. hak dan kewajiban para pihak yang terikat dalam perjanjian; f. sanksi dalam hal Lembaga Survei tidak memenuhi kewajibannya; dan g. kepemilikan produk yang dihasilkan dari Perjanjian Kerja. Pasal 5 Ayat (1) dan ayat (2) Survei yang bersifat makro dimaksudkan untuk mendukung pelaksanaan kebijakan yang mempengaruhi besaran/agregat ekonomi dan moneter, baik secara langsung maupun tidak langsung, seperti Survei pasar uang, Survei kegiatan dunia usaha, Survei ekspektasi konsumen, dan Survei harga aset. Survei yang bersifat makro pada umumnya dilakukan secara berkala berkenaan dengan informasi yang berkaitan dengan upaya pengendalian moneter yang sifatnya terus-menerus. Survei yang bersifat mikro dimaksudkan untuk mendukung pelaksanaan kebijakan yang mempengaruhi secara langsung kepentingan individual pelaku dunia usaha, seperti Survei kartu kredit, Survei biaya pendirian kantor bank, Survei tingkat kejenuhan bank, dan Survei tingkat hunian hotel. Survei yang bersifat ... - 5 - bersifat mikro pada umumnya dilakukan sewaktu-waktu berkenaan dengan informasi spesifik yang dibutuhkan pada waktu tertentu. Pasal 6 Huruf a 1) suatu Lembaga Survei dapat dikatakan independen apabila dalam mengambil keputusan untuk membuat Laporan Hasil Survei bebas dari pengaruh pihak mana pun; 2) suatu Lembaga Survei dapat dikatakan kompeten apabila memiliki kewenangan dan kemampuan yang berstandar tinggi dalam melakukan kegiatan Survei, antara lain berbentuk badan hukum, memiliki izin dari instansi terkait, dan memiliki sumber daya manusia yang cukup. Khusus lembaga yang berafiliasi dengan universitas atau lembaga pendidikan tinggi lainnya dikecualikan dari persyaratan badan hukum, tetapi harus dapat diyakini kejelasan pihak yang bertanggung jawab atas lembaga dimaksud; 3) suatu Lembaga Survei dapat dikatakan profesional apabila mempunyai keahlian dan menguasai bidang pekerjaan yang dilakukannya, antara lain mempunyai kinerja yang baik dan berpengalaman melakukan kegiatan Survei minimal selama tiga tahun. Penunjukan ... - 6 - Penunjukan Lembaga Survei dilakukan dengan memperhatikan aspek efektivitas dan efisiensi. Huruf b Cukup jelas Pasal 7 Ayat (1) Yang dimaksud dengan pihak lain adalah semua Badan, instansi pemerintah, asosiasi, lembaga penelitian, dan pihak yang dapat menyediakan Keterangan dan Data yang diperlukan oleh Bank Indonesia. Ayat (2) Cukup jelas Pasal 8 Ayat (1) Huruf a Wawancara adalah suatu metode untuk memperoleh Keterangan dan Data dengan cara menanyakan langsung kepada Responden, baik melalui tatap muka maupun melalui media telekomunikasi. Huruf b Pengisian kuesioner adalah suatu metode untuk memperoleh Keterangan ... - 7 - Keterangan dan Data dengan cara meminta Responden melakukan pengisian atau menjawab sendiri semua pertanyaan yang terdapat pada kuesioner yang telah dirancang/dipersiapkan. Huruf c Yang dimaksud dengan cara lain seperti observasi dan pengukuran. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 9 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 10 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) ... - 8 - Ayat (2) Cukup jelas Pasal 11 Ayat(1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas Ayat (6) Tanggung jawab Lembaga Survei termasuk pula atas pelanggaran yang dilakukan oleh Petugas Survei dalam menjaga kerahasiaan kertas kerja, sumber, Keterangan, dan Data Responden yang bersifat individual. Ayat (7) Kertas kerja, Laporan Hasil Survei, Keterangan, dan Data yang ... - 9 - yang disampaikan oleh Lembaga Survei kepada Bank Indonesia disesuaikan dengan kualitas dan persyaratan yang ditetapkan dalam Perjanjian Kerja. Pasal 12 Huruf a Dalam hal Survei dilaksanakan oleh Lembaga Survei, surat tugas dikeluarkan oleh Lembaga Survei dengan melampirkan kopi surat penugasan dari Bank Indonesia kepada Lembaga Survei yang bersangkutan. Huruf b Cukup jelas Huruf c Cukup jelas Huruf d Yang dimaksud dengan pelaksana Survei adalah Bank Indonesia atau Lembaga Survei. Pasal 13 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) ... - 10 - Ayat (3) Keterangan dan Data yang diminta oleh Bank Indonesia tidak dimaksudkan untuk pemeriksaan tetapi untuk kepentingan statistik. Ayat (4) Cukup jelas Pasal 14 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas Huruf b Penetapan besarnya sanksi dilakukan dengan mempertimbangkan antara lain : 1) besarnya dampak cidera janji Lembaga Survei terhadap kualitas hasil Survei; 2) pentingnya Survei dan besarnya nilai kontrak. Huruf c Cukup jelas Huruf d Pencabutan atau pembatalan izin usaha terhadap Badan dilakukan ... - 11 - dilakukan oleh instansi yang berwenang berdasarkan permintaan Bank Indonesia. Ayat (2) Cukup jelas Pasal 15 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas Huruf b Penetapan besarnya sanksi dilakukan dengan mempertimbangkan antara lain : 1) kontribusi jawaban Responden terhadap hasil Survei; 2) pentingnya Survei; 3) besarnya skala usaha Responden. Huruf c Pencabutan atau pembatalan izin usaha terhadap badan usaha dilakukan oleh instansi yang berwenang berdasarkan permintaan Bank Indonesia. Ayat (2) Cukup jelas Pasal 16 ... - 12 - Pasal 16 Cukup jelas TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3875 USEM
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 1/4/PBI/1999 </reg_id> <reg_title> PENYELENGGARAAN SURVEI OLEH BANK INDONESIA </reg_title> <set_date> 18 Agustus 1999 </set_date> <effective_date> 18 Agustus 1999 </effective_date> <related_reg> '23/UU/1999', '16/UU/1997' </related_reg> <penalty_list> 'BAB VIII' </penalty_list>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 16/ 1 /PBI/2014 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN JASA SISTEM PEMBAYARAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa dalam rangka melaksanakan tugas mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran, selain melakukan pengaturan mengenai aspek kelembagaan dan mekanisme, perlu pula memperhatikan aspek perlindungan konsumen jasa sistem pembayaran; b. bahwa pengaturan terkait dengan perlindungan konsumen jasa sistem pembayaran yang saat ini tersebar dalam beberapa ketentuan perlu diperkuat agar lebih mencerminkan prinsip- prinsip perlindungan konsumen; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Bank Indonesia tentang Perlindungan Konsumen Jasa Sistem Pembayaran; Mengingat ... - 2 - Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3843) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4962); 2. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2011 tentang Transfer Dana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5204); 3. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5223); MEMUTUSKAN ... - 3 - M E M U T U S K A N: Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN JASA SISTEM PEMBAYARAN. BAB I KETENTUAN UMUM Bagian Kesatu Definisi Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan: 1. Sistem Pembayaran adalah sistem pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai Bank Indonesia. 2. Perlindungan Konsumen Jasa Sistem Pembayaran yang selanjutnya disebut Perlindungan Konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada Konsumen Jasa Sistem Pembayaran. 3. Konsumen Jasa Sistem Pembayaran yang selanjutnya disebut Konsumen adalah setiap pihak individu yang memanfaatkan jasa Sistem Pembayaran dari Penyelenggara untuk kepentingan diri sendiri dan tidak untuk diperdagangkan. 4. Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran yang selanjutnya disebut Penyelenggara adalah Bank atau Lembaga Selain Bank yang menyelenggarakan kegiatan jasa Sistem Pembayaran yang telah memperoleh izin dari Bank Indonesia. 5. Bank adalah bank sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan dan bank syariah sebagaimana dimaksud ... - 4 - dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan syariah. 6. Lembaga Selain Bank adalah lembaga selain bank yang berbadan hukum Indonesia dan menyelenggarakan kegiatan jasa Sistem Pembayaran. Bagian Kedua Ruang Lingkup Pasal 2 Perlindungan Konsumen yang diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini mencakup Perlindungan Konsumen dalam kegiatan jasa Sistem Pembayaran yang meliputi: a. penerbitan instrumen pemindahan dana dan/atau penarikan dana; b. kegiatan transfer dana; c. kegiatan alat pembayaran dengan menggunakan kartu; d. kegiatan uang elektronik; e. kegiatan penyediaan dan/atau penyetoran uang Rupiah; dan f. penyelenggaraan Sistem Pembayaran lainnya yang akan ditetapkan dalam ketentuan Bank Indonesia. BAB II PERLINDUNGAN KONSUMEN Pasal 3 Prinsip Perlindungan Konsumen meliputi: a. keadilan dan keandalan; b. transparansi; c. perlindungan data dan/atau informasi Konsumen; dan d. penanganan ... - 5 - d. penanganan dan penyelesaian pengaduan yang efektif. Pasal 4 Penyelenggara berhak untuk memastikan itikad baik Konsumen dan mendapatkan informasi dan/atau dokumen mengenai Konsumen yang akurat, jujur, jelas, dan tidak menyesatkan. Pasal 5 (1) Penyelenggara wajib memberikan kesetaraan akses kepada setiap Konsumen. (2) Untuk memberikan kesetaraan akses sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Penyelenggara wajib memiliki mekanisme dan prosedur pemberian layanan akses kepada Konsumen. (3) Selain memiliki mekanisme dan prosedur pemberian layanan akses sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Penyelenggara juga wajib memiliki mekanisme dan prosedur pemberian layanan akses kepada Konsumen berkebutuhan khusus. Pasal 6 Dalam memberikan jasa Sistem Pembayaran yang berdampak adanya biaya bagi Konsumen, Penyelenggara wajib memperoleh persetujuan secara tertulis terlebih dahulu dari Konsumen. Pasal 7 (1) Dalam hal Penyelenggara mengenakan biaya kepada Konsumen dalam penyediaan jasa Sistem Pembayaran, Penyelenggara wajib menetapkan biaya secara wajar. (2) Untuk menetapkan biaya yang wajar Penyelenggara wajib memiliki pedoman penetapan biaya. Pasal ... - 6 - Pasal 8 (1) Dalam membuat perjanjian dengan Konsumen, Penyelenggara dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian yang bersifat: a. menyatakan pelepasan/pengalihan tanggung jawab Penyelenggara kepada Konsumen; b. mengatur perihal pembuktian atas hilangnya pemanfaatan jasa Sistem Pembayaran yang digunakan oleh Konsumen; c. memberi hak kepada Penyelenggara untuk mengurangi manfaat jasa Sistem Pembayaran yang digunakan atau mengurangi harta kekayaan Konsumen yang menjadi objek jual beli menggunakan jasa Sistem Pembayaran; dan/atau d. menyatakan tunduknya Konsumen kepada peraturan Penyelenggara yang berupa aturan baru, aturan tambahan, aturan lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat secara sepihak oleh Penyelenggara dalam masa Konsumen memanfaatkan jasa Sistem Pembayaran dari Penyelenggara. (2) Penyelenggara dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas atau yang pengungkapannya sulit dimengerti oleh Konsumen. Pasal 9 (1) Penyelenggara wajib menyediakan sistem yang andal dalam menyelenggarakan kegiatan jasa Sistem Pembayaran. (2) Penyediaan sistem yang andal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai masing-masing jasa Sistem Pembayaran. Pasal ... - 7 - Pasal 10 Penyelenggara wajib bertanggung jawab kepada Konsumen atas kerugian yang timbul akibat kesalahan pengurus dan pegawai Penyelenggara. Pasal 11 (1) Penyelenggara wajib memberikan informasi mengenai manfaat, risiko, dan konsekuensi bagi Konsumen atas penggunaan jasa Sistem Pembayaran. (2) Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan secara lisan atau tertulis sesuai ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai jasa Sistem Pembayaran. (3) Informasi yang diberikan oleh Penyelenggara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib: a. menggunakan frasa dan bahasa yang mudah dimengerti; dan b. menggunakan tulisan yang mudah dibaca dalam hal informasi diberikan secara tertulis. (4) Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib diberikan oleh Penyelenggara kepada Konsumen secara akurat, terkini, jelas, tidak menyesatkan, jujur, dan etis. Pasal 12 (1) Penyelenggara wajib menyediakan sarana yang memudahkan Konsumen untuk memperoleh informasi. (2) Penyediaan sarana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan tata cara penyampaian informasi mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai jasa Sistem Pembayaran. Pasal ... - 8 - Pasal 13 Penyelenggara wajib mengelola dan menatausahakan dokumen Konsumen yang memuat data dan/atau informasi yang akurat, terkini, dan jelas. Pasal 14 (1) Penyelenggara wajib menjaga kerahasiaan data dan/atau informasi Konsumen. (2) Dalam rangka menjaga kerahasiaan data dan/atau informasi Konsumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Penyelenggara wajib memiliki dan melaksanakan kebijakan perlindungan data dan/atau informasi Konsumen. Pasal 15 (1) Penyelenggara dilarang memberikan data dan/atau informasi Konsumen kepada pihak lain. (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku dalam hal: a. Konsumen memberikan persetujuan secara tertulis; dan/atau b. diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku. (3) Persetujuan secara tertulis dari Konsumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a wajib diperoleh Penyelenggara sebelum Penyelenggara memberikan data dan/atau informasi Konsumen yang bersangkutan. Pasal 16 (1) Penyelenggara wajib memiliki dan melaksanakan mekanisme penanganan pengaduan bagi Konsumen. (2) Mekanisme ... - 9 - (2) Mekanisme penanganan pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dituangkan dalam bentuk tertulis yang meliputi: a. penerimaan pengaduan; b. penanganan dan penyelesaian pengaduan; dan c. pemantauan penanganan dan penyelesaian pengaduan. (3) Mekanisme penanganan pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib diberitahukan kepada Konsumen. Pasal 17 Penyelenggara dilarang mengenakan biaya kepada Konsumen atas pengajuan pengaduan yang dilakukannya. Pasal 18 (1) Penyelenggara wajib memiliki unit kerja atau fungsi yang menangani dan menyelesaikan pengaduan yang diajukan Konsumen. (2) Kewenangan unit kerja atau fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib diatur dalam mekanisme penanganan pengaduan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16. Pasal 19 Penyelenggara wajib menindaklanjuti dan menyelesaikan pengaduan yang disampaikan oleh Konsumen. Pasal 20 (1) Konsumen dapat menyampaikan pengaduan kepada Bank Indonesia sepanjang memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. Konsumen telah menyampaikan pengaduan kepada Penyelenggara dan telah ditindaklanjuti oleh Penyelenggara, namun ... - 10 - namun tidak terdapat kesepakatan antara Konsumen dengan Penyelenggara; b. permasalahan yang diadukan merupakan masalah perdata yang tidak sedang dalam proses atau belum pernah diputus oleh lembaga arbitrase atau peradilan atau belum terdapat kesepakatan yang difasilitasi oleh lembaga mediasi; dan c. Konsumen mengalami potensi kerugian finansial yang ditimbulkan oleh Penyelenggara dengan nilai tertentu yang ditentukan oleh Bank Indonesia. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyampaian pengaduan, besarnya nilai potensi kerugian finansial yang dapat disampaikan pengaduannya kepada Bank Indonesia, dan tindak lanjut penyelesaian pengaduan diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 21 (1) Khusus dalam penyediaan dan/atau penyetoran uang Rupiah kepada Konsumen, Penyelenggara juga: a. harus menyediakan uang Rupiah dalam: 1. kondisi layak edar; dan 2. jenis pecahan yang sesuai dengan kebutuhan Konsumen; b. wajib memastikan bahwa uang Rupiah yang disediakan merupakan uang Rupiah: 1. asli; 2. masih berlaku sebagai alat pembayaran yang sah; dan 3. dalam jumlah nominal yang sesuai dengan kebutuhan Konsumen; dan c. wajib menerima penyetoran uang Rupiah dari Konsumen. (2) Dalam menerima penyetoran uang Rupiah dari Konsumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, Penyelenggara harus memeriksa ... - 11 - memeriksa keaslian uang Rupiah yang disetorkan oleh Konsumen sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai uang Rupiah yang diragukan keasliannya. Pasal 22 Dalam penyediaan dan/atau penyetoran uang Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, Penyelenggara dilarang mengenakan biaya kepada Konsumen. Pasal 23 Penyelenggara harus memastikan penerapan prinsip Perlindungan Konsumen oleh pihak lain yang bekerjasama dengan Penyelenggara. BAB III PENGENDALIAN INTERNAL Pasal 24 (1) Direksi atau pengurus Penyelenggara bertanggung jawab atas ketaatan pelaksanaan ketentuan Peraturan Bank Indonesia ini. (2) Penyelenggara wajib memiliki sistem pengawasan aktif bagi direksi atau pengurus dalam rangka perlindungan Konsumen. BAB IV SOSIALISASI DAN EDUKASI Pasal 25 Penyelenggara wajib melakukan kegiatan sosialisasi dan edukasi terkait dengan penerapan Perlindungan Konsumen yang dilakukan. BAB ... - 12 - BAB V PELAPORAN Pasal 26 Penyelenggara wajib menyampaikan laporan penanganan dan penyelesaian pengaduan Konsumen kepada Bank Indonesia sesuai dengan ketentuan yang berlaku pada masing-masing jasa Sistem Pembayaran. BAB VI PENGAWASAN Pasal 27 (1) Bank Indonesia melakukan pengawasan terhadap penerapan ketentuan Perlindungan Konsumen oleh Penyelenggara. (2) Ketentuan mengenai pelaksanaan pengawasan oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. BAB VII KOORDINASI ANTAR LEMBAGA Pasal 28 Dalam rangka penerapan Peraturan Bank Indonesia ini, Bank Indonesia dapat berkoordinasi dengan lembaga terkait. BAB VIII SANKSI Pasal 29 (1) Penyelenggara yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, Pasal 16, Pasal 17, Pasal 18, Pasal ... - 13 - Pasal 19, Pasal 21 ayat (1) huruf b, Pasal 21 ayat (1) huruf c, Pasal 22, Pasal 24, Pasal 25, dan Pasal 26 dikenakan sanksi administratif berupa: a. teguran tertulis; b. denda; c. penghentian sementara sebagian atau seluruh kegiatan jasa Sistem Pembayaran; dan/atau d. pencabutan izin penyelenggaraan kegiatan jasa Sistem Pembayaran. (2) Ketentuan mengenai tata cara pengenaan sanksi dan besarnya sanksi denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. BAB IX KETENTUAN PENUTUP Pasal 30 Ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai Perlindungan Konsumen jasa Sistem Pembayaran dalam penyelenggaraan kegiatan transfer dana melalui Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia (SKNBI) dan Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement (BI-RTGS), kegiatan alat pembayaran dengan menggunakan kartu, dan kegiatan uang elektronik, dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Bank Indonesia ini. Pasal 31 Kewajiban Penyelenggara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3), Pasal 16, Pasal 18, Pasal 24 ayat (2), dan Pasal 25 mulai berlaku pada tanggal 1 Juli 2014. Pasal ... - 14 - Pasal 32 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 16 Januari 2014 GUBERNUR BANK INDONESIA, AGUS D.W. MARTOWARDOJO Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 21 Januari 2014 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, AMIR SYAMSUDIN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2014 NOMOR 10 DKSP PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 16/ 1 /PBI/2014 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN JASA SISTEM PEMBAYARAN I. UMUM Dalam hubungan antara Penyelenggara dengan Konsumen kerap kali Konsumen berada pada pihak yang lemah. Ketidakseimbangan hubungan antara Penyelenggara dengan Konsumen tersebut antara lain disebabkan karena terdapatnya asymmetric information dan power imbalances, rendahnya kualitas pelayanan kepada Konsumen, penyalahgunaan data pribadi Konsumen, dan kurang efektifnya mekanisme penyelesaian sengketa antara Penyelenggara dengan Konsumen. Dengan memahami kondisi seperti tersebut di atas, perlu dibentuk suatu budaya Perlindungan Konsumen yang menjadi tanggung jawab dan perhatian semua pihak. Bank Indonesia sesuai kewenangan yang diberikan oleh Undang-Undang dalam rangka melaksanakan tugas mengatur dan menjaga kelancaran Sistem Pembayaran, selain mengatur aspek kelembagaan dan mekanisme, mengatur pula ketentuan dari aspek Perlindungan Konsumen dan mengawasi implementasi terhadap aturan tersebut. Industri jasa Sistem Pembayaran berkewajiban untuk melaksanakan aturan–aturan tersebut sesuai dengan prinsip-prinsip Perlindungan Konsumen, sedangkan dari sisi masyarakat juga turut berperan serta untuk menjadi masyarakat yang kritis dan peduli pada Perlindungan Konsumen. Perlindungan Konsumen diciptakan dengan mengakomodasi prinsip Perlindungan Konsumen yang berlaku sebagai standar internasional ... - 2 - internasional, yang meliputi prinsip keadilan dan keandalan, transparansi, perlindungan data pribadi, serta penanganan dan penyelesaian pengaduan Konsumen secara efektif. Penerapan prinsip- prinsip tersebut oleh Penyelenggara diharapkan dapat menciptakan keseimbangan hubungan antara Penyelenggara dengan Konsumen, sehingga dapat mendukung terciptanya iklim usaha industri Sistem Pembayaran yang sehat. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Huruf a Instrumen pemindahan dana dan/atau penarikan dana antara lain bilyet giro dan cek. Huruf b Kegiatan transfer dana dalam hal ini termasuk transfer dana yang dilakukan melalui sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement (BI-RTGS) dan Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia (SKNBI). Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Yang dimaksud dengan “uang Rupiah” yaitu Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang. Yang ... - 3 - Yang dimaksud dengan “penyediaan uang Rupiah” antara lain penyediaan uang Rupiah oleh Penyelenggara kepada Konsumen dalam rangka: a. penarikan uang Rupiah oleh Konsumen melalui loket Penyelenggara (counter), Automated Teller Machine (ATM), atau sarana lainnya; dan b. penukaran uang Rupiah oleh Penyelenggara (counter). Yang dimaksud dengan “penyetoran uang Rupiah” antara lain penyetoran uang Rupiah oleh Konsumen kepada Penyelenggara melalui loket Penyelenggara (counter), Cash Deposit Machine (CDM), atau sarana lainnya. Penyetoran uang Rupiah oleh Konsumen dapat bertujuan untuk simpanan, pemindahbukuan, pembayaran, dan/atau penyelesaian kewajiban lainnya yang harus dipenuhi dengan uang Rupiah. Huruf f Cukup jelas. Pasal 3 Huruf a Prinsip keadilan dan keandalan memastikan Penyelenggara memperlakukan Konsumen secara adil dan tidak diskriminatif serta memastikan Penyelenggara memberikan jasa Sistem Pembayaran yang akurat dan aman baik dari aspek: a. aturan, kelembagaan, mekanisme, infrastruktur, dan instrumen; dan/atau b. alat pembayaran. Huruf b Prinsip transparansi memastikan Penyelenggara memberikan informasi kepada Konsumen baik secara lisan maupun ... - 4 - maupun tertulis, termasuk informasi melalui sarana elektronis secara jelas dan lengkap, dengan bahasa yang mudah dimengerti. Huruf c Prinsip perlindungan data dan/atau informasi Konsumen memastikan Penyelenggara menjaga kerahasiaan dan keamanan data dan/atau informasi Konsumen, serta hanya menggunakan data dan/atau informasi tersebut sesuai kepentingan dan tujuan yang disetujui oleh Konsumen. Huruf d Prinsip penanganan dan penyelesaian pengaduan yang efektif memastikan Penyelenggara memiliki dan melaksanakan mekanisme penanganan dan penyelesaian pengaduan Konsumen secara efektif, efisien, responsif, dan tepat waktu. Pasal 4 Cukup jelas. Pasal 5 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “kesetaraan akses” adalah Penyelenggara memberikan perlakuan yang sama kepada setiap Konsumen terhadap layanan jasa Sistem Pembayaran. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan “Konsumen berkebutuhan khusus” dalam ayat ini adalah tuna netra, tuna rungu/wicara, dan usia ... - 5 - usia lanjut dengan umur 60 (enam puluh) tahun atau lebih. Pasal 6 Yang dimaksud dengan “persetujuan secara tertulis” dalam pasal ini adalah persetujuan yang diberikan oleh Konsumen melalui media komunikasi yang khusus dibangun oleh Penyelenggara untuk komunikasi Penyelenggara dengan Konsumen seperti e-mail dan faksimili. Persetujuan secara tertulis termasuk juga persetujuan melalui telepon yang kemudian dituangkan dalam catatan resmi Penyelenggara yang bersangkutan dalam bentuk transkrip. Pasal 7 Cukup jelas. Pasal 8 Cukup jelas. Pasal 9 Ayat (1) Sistem yang andal antara lain dibuktikan dengan penyediaan sistem yang aman, baik untuk database maupun back-up, penyediaan sistem dan/atau prosedur yang menjamin efektivitas pengendalian internal, audit trail atas transaksi yang dilakukan, kelangsungan penyelenggaraan kegiatan, sarana/peralatan yang memadai, dan sumber daya manusia yang memadai serta kompeten. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 10 Cukup jelas. Pasal 11 Ayat (1) ... - 6 - Ayat (1) Termasuk sebagai informasi yang diberikan kepada Konsumen yakni informasi mengenai penolakan, penundaan, dan persetujuan permohonan produk serta perubahan produk. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 12 Ayat (1) Sarana yang memudahkan Konsumen untuk memperoleh informasi antara lain berupa: a. publikasi tertulis di setiap kantor Penyelenggara atau melalui website Penyelenggara; atau b. informasi lisan melalui call center Penyelenggara. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 13 Cukup jelas. Pasal 14 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Kebijakan perlindungan data dan/atau informasi Konsumen dilakukan antara lain dengan: a. menunjuk ... - 7 - a. menunjuk pegawai yang bertanggungjawab terhadap pengelolaan data dan/atau informasi Konsumen; b. memiliki sistem informasi atau prosedur tertulis mengenai perlindungan data dan/atau informasi Konsumen; dan c. menerapkan mekanisme pengamanan data dan/atau informasi Konsumen. Pasal 15 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud dengan “persetujuan secara tertulis” dalam hal ini adalah persetujuan yang diberikan oleh Konsumen melalui media komunikasi yang khusus dibangun oleh Penyelenggara untuk komunikasi Penyelenggara dengan Konsumen seperti e-mail dan faksimili. Persetujuan secara tertulis termasuk juga persetujuan melalui telepon yang kemudian dituangkan dalam catatan resmi Penyelenggara yang bersangkutan dalam bentuk transkrip. Huruf b Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 16 Ayat (1) Mekanisme ... - 8 - Mekanisme penanganan pengaduan dalam hal ini termasuk penyediaan media dan/atau sarana yang dapat digunakan dengan mudah oleh Konsumen untuk mengajukan pengaduan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Pemberitahuan mekanisme penanganan pengaduan kepada Konsumen antara lain dapat dilakukan melalui website atau brosur. Pasal 17 Cukup jelas. Pasal 18 Cukup jelas. Pasal 19 Cukup jelas. Pasal 20 Ayat (1) Penyampaian pengaduan kepada Bank Indonesia dapat dilakukan baik secara lisan maupun tertulis. Ayat (2) Tindak lanjut atas penyampaian pengaduan Konsumen tersebut oleh Bank Indonesia antara lain berupa penyampaian kepada Penyelenggara untuk diselesaikan sesuai dengan mekanisme yang berlaku, pemberian edukasi, konsultasi, dan/atau fasilitasi. Pasal ... - 9 - Pasal 21 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “penyediaan uang Rupiah” antara lain penyediaan uang Rupiah oleh Penyelenggara kepada Konsumen dalam rangka: a. penarikan uang Rupiah oleh Konsumen melalui loket Penyelenggara (counter), Automated Teller Machine (ATM), atau sarana lainnya; dan b. penukaran uang Rupiah melalui loket Penyelenggara (counter). Penukaran uang Rupiah mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai pengelolaan uang Rupiah. Huruf a Angka 1 Yang dimaksud dengan “kondisi layak edar” adalah tingkat kondisi layak edar uang Rupiah yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Angka 2 Penyediaan uang Rupiah dalam jenis pecahan yang sesuai dengan kebutuhan Konsumen dilakukan sepanjang Penyelenggara masih memiliki persediaan jenis pecahan yang dibutuhkan Konsumen. Huruf b Angka 1 Cukup jelas. Angka 2 Yang ... - 10 - Yang dimaksud dengan “alat pembayaran yang sah” adalah uang Rupiah yang belum dicabut dan ditarik dari peredaran. Angka 3 Yang dimaksud dengan “jumlah nominal yang sesuai kebutuhan Konsumen” adalah jumlah nominal uang yang tidak selisih kurang atau selisih lebih. Huruf c Uang Rupiah yang disetorkan kepada Penyelenggara telah disusun rapi dan dipisahkan sesuai jenis pecahan oleh Konsumen. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 22 Cukup jelas. Pasal 23 Yang dimaksud dengan “pihak lain” antara lain perusahaan alih daya dan/atau pihak yang bekerjasama dengan Penyelenggara dalam memberikan jasa Sistem Pembayaran kepada Konsumen seperti pemasaran produk atau jasa, pemberian informasi, dan penerimaan pengaduan. Pasal 24 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Sistem pengawasan aktif bagi direksi atau pengurus Penyelenggara dibuat sesuai dengan kebutuhan dan risiko masing-masing Penyelenggara. Pasal ... - 11 - Pasal 25 Pelaksanaan sosialisasi dan edukasi seperti cara, media, tema, dan frekuensi disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing Penyelenggara. Pasal 26 Cukup jelas. Pasal 27 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “pengawasan” adalah pengawasan langsung dan/atau tidak langsung. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 28 Cukup jelas. Pasal 29 Cukup jelas. Pasal 30 Cukup jelas. Pasal 31 Cukup jelas. Pasal 32 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5498
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 16/1/PBI/2014 </reg_id> <reg_title> PERLINDUNGAN KONSUMEN JASA SISTEM PEMBAYARAN </reg_title> <set_date> 16 Januari 2014 </set_date> <effective_date> 21 Januari 2014 </effective_date> <issued_date> 21 Januari 2014 </issued_date> <related_reg> '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '3/UU/2011', '7/UU/2011' </related_reg> <penalty_list> 'BAB VIII' </penalty_list>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 8/15/PBI/2006 TENTANG PERLAKUAN KHUSUS TERHADAP KREDIT BANK BAGI DAERAH-DAERAH TERTENTU DI INDONESIA YANG TERKENA BENCANA ALAM GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang: a. Bahwa bencana alam yang telah beberapa kali melanda berbagai daerah di Indonesia pada umumnya menimbulkan dampak kerugian yang cukup signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi di daerah-daerah tertentu yang terkena bencana alam; b. Bahwa letak Indonesia yang berada di wilayah yang rawan terkena bencana alam menyebabkan dimungkinkan mengalami bencana alam; c. Bahwa salah satu upaya untuk mendukung pemulihan kondisi perekonomian adalah dengan memberikan perlakuan khusus terhadap kredit Bank dengan jumlah tertentu dan kredit yang direstrukturisasi; d. Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b dan huruf c dipandang perlu untuk menetapkan ketentuan mengenai perlakuan khusus terhadap kredit Bank di daerah-daerah tertentu yang terkena bencana alam … Indonesia - 2 - alam dalam suatu Peraturan Bank Indonesia; Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); 2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357); MEMUTUSKAN: Menetapkan: PERLAKUAN KHUSUS TERHADAP KREDIT BANK BAGI DAERAH-DAERAH TERTENTU DI INDONESIA YANG TERKENA BENCANA ALAM. Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan: 1. Bank adalah Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana … - 3 - sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, termasuk kantor cabang bank asing. 2. Kredit Bagi Bank Umum adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam- meminjam antara Bank dengan pihak lain peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga, termasuk: a. cerukan (overdraft), yaitu saldo negatif pada rekening giro nasabah yang tidak dapat dibayar lunas pada akhir hari; b. pengambilalihan tagihan dalam rangka kegiatan anjak piutang; c. pengambilalihan atau pembelian kredit dari pihak lain. 3. Kredit Bagi Bank Perkreditan Rakyat adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara Bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga. Pasal 2 (1) Penetapan kualitas Kredit Bagi Bank Umum dan/atau penyediaan dana lain dari Bank bagi nasabah debitur dengan plafon sampai dengan Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) hanya didasarkan pada ketepatan pembayaran pokok dan/atau bunga. (2) Tata cara penetapan kualitas Kredit Bagi Bank Umum dan/atau penyediaan dana lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia yang berlaku. (3) Plafon … yang mewajibkan pihak - 4 - (3) Plafon Kredit Bagi Bank Umum dan/atau penyediaan dana lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku baik untuk debitur individual maupun debitur grup dan untuk seluruh fasilitas yang diterima dari 1 (satu) Bank Umum. (4) Penetapan kualitas Kredit Bagi Bank Umum dan/atau penyediaan dana lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku bagi Kredit Bagi Bank Umum dan/atau penyediaan dana lain yang disalurkan sebelum maupun setelah terjadinya bencana. (5) Penetapan kualitas Kredit Bagi Bank Umum dan/atau penyediaan dana lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya berlaku untuk Kredit Bagi Bank Umum dan/atau penyediaan dana lain yang disalurkan kepada nasabah debitur dengan lokasi proyek atau lokasi usaha di daerah-daerah tertentu yang terkena bencana alam untuk jangka waktu 3 (tiga) tahun sejak terjadinya bencana. (6) Penetapan kualitas Kredit Bagi Bank Perkreditan Rakyat dilakukan sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia yang berlaku. Pasal 3 (1) Kualitas Kredit Bagi Bank Umum dan Kredit Bagi Bank Perkreditan Rakyat yang direstrukturisasi ditetapkan Lancar sejak restrukturisasi sampai dengan 3 (tiga) tahun setelah terjadinya bencana. (2) Pelaksanaan restrukturisasi Kredit Bagi Bank Umum dan restrukturisasi Kredit Bagi Bank Perkreditan Rakyat dilakukan sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia yang berlaku. (3) Restrukturisasi … - 5 - (3) Restrukturisasi Kredit Bagi Bank Umum dan restrukturisasi Kredit Bagi Bank Perkreditan Rakyat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan terhadap kredit yang terjadinya bencana. disalurkan sebelum maupun setelah Pasal 4 Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 hanya berlaku untuk Kredit Bagi Bank Umum dan Kredit Bagi Bank Perkreditan Rakyat yang memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. disalurkan kepada nasabah debitur dengan lokasi proyek atau lokasi usaha di daerah-daerah tertentu yang terkena bencana alam; b. telah atau diperkirakan akan mengalami kesulitan pembayaran pokok dan/atau bunga kredit yang disebabkan dampak dari bencana alam di daerah-daerah tertentu; dan c. direstrukturisasi setelah terjadinya bencana alam. Pasal 5 Penetapan kualitas Kredit Bagi Bank Umum dan Kredit Bagi Bank Perkreditan Rakyat yang tidak direstrukturisasi maupun yang direstrukturisasi setelah jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (5) dan Pasal 3 ayat (1) mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang berlaku. Pasal 6 Penentuan daerah-daerah tertentu yang terkena bencana alam akan ditetapkan kemudian dalam suatu Surat Keputusan Bank Indonesia, dengan memperhatikan aspek-aspek antara lain: a. luas … - 6 - a. luas wilayah yang terkena bencana; b. jumlah korban jiwa; c. jumlah kerugian materiil; d. jumlah debitur yang diperkirakan terkena dampak bencana alam; e. persentase jumlah kredit yang diberikan kepada debitur yang terkena dampak bencana alam terhadap jumlah kredit di daerah bencana; dan f. persentase jumlah kredit dengan plafon sampai dengan Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) terhadap jumlah kredit di daerah yang terkena bencana alam. Pasal 7 (1) Bank dapat memberikan kredit dan/atau penyediaan dana lain baru bagi debitur yang terkena dampak bencana alam di daerah-daerah tertentu di Indonesia yang terkena bencana alam. (2) Penetapan kualitas kredit dan/atau penyediaan dana lain baru sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara terpisah dengan kualitas kredit dan/atau penyediaan dana lain sebelumnya. (3) Penetapan kualitas Kredit Bagi Bank Umum dan/atau penyediaan dana lain baru sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah sebagai berikut: a. Untuk kredit dan/atau penyediaan dana lain baru dengan plafon sampai dengan Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah), penetapan kualitas kredit mengacu pada ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1); b. Untuk … - 7 - b. Untuk kredit dan/atau penyediaan dana lain baru dengan plafon lebih dari Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah), penetapan kualitas kredit mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang berlaku. (4) Penetapan kualitas Kredit Bagi Bank Umum dan/atau penyediaan dana lain sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a hanya berlaku untuk Kredit Bagi Bank Umum dan/atau penyediaan dana lain yang disalurkan kepada nasabah debitur dengan lokasi proyek atau lokasi usaha di daerah-daerah tertentu yang terkena bencana alam untuk jangka waktu 3 (tiga) tahun sejak terjadinya bencana. Pasal 8 Bank Indonesia dapat menetapkan plafon kredit dan/atau penyediaan dana lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 7 ayat (3), serta jangka waktu penetapan kualitas kredit yang tidak direstrukturisasi maupun yang direstrukturisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (5), Pasal 3 ayat (1), dan Pasal 7 ayat (4) yang berbeda dalam suatu Surat Keputusan Bank Indonesia dengan memperhatikan kondisi bencana yang terjadi di daerah tertentu. Pasal 9 Ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia ini berlaku juga bagi Bank Umum konvensional yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah, Bank Umum berdasarkan Prinsip Syariah dan Bank Perkreditan Rakyat berdasarkan Prinsip Syariah untuk penyediaan dana yang mencakup pembiayaan (mudharabah atau musyarakah), piutang (murabahah, salam, atau istishna), sewa (ijarah), pinjaman (qardh), dan penyediaan dana lain. Pasal 10 … - 8 - Pasal 10 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 5 Oktober 2006 GUBERNUR BANK INDONESIA, BURHANUDDIN ABDULLAH LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2006 NOMOR 72 DPNP/DPBPR/DPbS PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 8/15/PBI/2006 TENTANG PERLAKUAN KHUSUS TERHADAP KREDIT BANK BAGI DAERAH-DAERAH TERTENTU DI INDONESIA YANG TERKENA BENCANA ALAM UMUM Sebagaimana diketahui beberapa tahun terakhir ini sebagian wilayah di Indonesia dilanda bencana alam, seperti gempa bumi dan tsunami di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Kabupaten Nias dan Kabupaten Nias Selatan, gempa bumi di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan Daerah Sekitarnya di Propinsi Jawa Tengah, serta gempa bumi dan tsunami di daerah sekitar pantai selatan Jawa. Dampak bencana alam ini dapat mengganggu perekonomian Indonesia, khususnya di daerah yang terkena bencana dimaksud. Nasabah debitur yang terkena dampak bencana tersebut diperkirakan akan mengalami kesulitan dalam melunasi kewajibannya sesuai dengan perjanjian kredit. Sehubungan dengan itu maka Bank Indonesia memandang perlu untuk memberikan perlakuan khusus terhadap kredit Bank berupa kelonggaran dalam penetapan kualitas kredit dan pemberian kredit baru kepada debitur yang terkena dampak bencana alam dimaksud. PASAL … - 2 - PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “penyediaan dana lain” adalah penerbitan jaminan dan pembukaan letter of credit. Ayat (2) Ketentuan Bank Indonesia yang berlaku adalah ketentuan mengenai Penilaian Kualitas Aktiva bagi Bank Umum dan ketentuan mengenai Kualitas Aktiva bagi Bank Umum Syariah. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas Ayat (6) Ketentuan Bank Indonesia yang berlaku adalah ketentuan mengenai Kualitas Aktiva Produktif dan Pembentukan Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif bagi Bank Perkreditan Rakyat. Pasal 3 … - 3 - Pasal 3 Ayat (1) Restrukturisasi Kredit Bagi Bank Umum dan restrukturisasi Kredit Bagi Bank Perkreditan Rakyat dapat dilakukan terhadap seluruh kredit yang diberikan. Ayat (2) Ketentuan Bank Indonesia yang berlaku adalah ketentuan mengenai Penilaian Kualitas Aktiva bagi Bank Umum, ketentuan mengenai restrukturisasi kredit bagi Bank Umum Syariah, serta ketentuan mengenai Kualitas Aktiva Produktif dan Pembentukan Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif bagi Bank Perkreditan Rakyat. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 4 Cukup jelas. Pasal 5 Ketentuan Bank Indonesia yang berlaku adalah ketentuan mengenai Penilaian Kualitas Aktiva bagi Bank Umum, ketentuan mengenai Kualitas Aktiva bagi Bank Umum Syariah serta ketentuan mengenai Kualitas Aktiva Produktif dan Pembentukan Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif bagi Bank Perkreditan Rakyat. Pasal 6 … - 4 - Pasal 6 Cukup jelas. Pasal 7 Ayat (1) Pemberian kredit dan/atau penyediaan dana baru tersebut dilakukan secara selektif sesuai dengan kebijakan perkreditan Bank. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Huruf a Yang Huruf b Yang dimaksud dengan “penyediaan dana lain” adalah penerbitan jaminan dan pembukaan letter of credit. Ketentuan Bank Indonesia yang berlaku adalah ketentuan mengenai Penilaian Kualitas Aktiva bagi Bank Umum dan ketentuan mengenai Kualitas Aktiva bagi Bank Umum Syariah. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 8 Cukup jelas. dimaksud dengan “penyediaan dana lain” adalah penerbitan jaminan dan pembukaan letter of credit. Pasal 9 … - 5 - Pasal 9 Yang dimaksud dengan “penyediaan dana lain” adalah penerbitan jaminan dan pembukaan letter of credit. Pasal 10 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4641 DPNP/DPBPR/DPbS
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 8/15/PBI/2006 </reg_id> <reg_title> PERLAKUAN KHUSUS TERHADAP KREDIT BANK BAGI DAERAH-DAERAH TERTENTU DI INDONESIA YANG TERKENA BENCANA ALAM </reg_title> <set_date> 5 Oktober 2006 </set_date> <effective_date> 5 Oktober 2006 </effective_date> <related_reg> '7/UU/1992', '10/UU/1998', '23/UU/1999', '3/UU/2004' </related_reg>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 12/ 8 /PBI/2010 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 7/40/PBI/2005 TENTANG PENGELUARAN DAN PENGEDARAN UANG KERTAS RUPIAH PECAHAN 10.000 (SEPULUH RIBU) TAHUN EMISI 2005 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pengeluaran dan pengedaran uang rupiah ditujukan untuk menyediakan uang tunai di masyarakat sebagai alat pembayaran yang sah (legal tender) di Negara Kesatuan Republik Indonesia; b. bahwa untuk lebih mengoptimalkan fungsi elemen pada desain uang kertas rupiah pecahan 10.000 (sepuluh ribu), diperlukan perubahan warna dominan dan unsur pengaman pada desain uang rupiah; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu untuk melakukan perubahan kedua atas Peraturan Bank Indonesia tentang Pengeluaran dan Pengedaran Uang Kertas Rupiah Pecahan 10.000 (Sepuluh Ribu) Tahun Emisi 2005; Mengingat . . . -2- Mengingat : 1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang- Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962); 2. Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/14/PBI/2004 tentang Pengeluaran, Pengedaran, Pencabutan dan Penarikan, serta Pemusnahan Uang Rupiah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 52, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4388) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 9/10/PBI/2007 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 113, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4762); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 7/40/PBI/2005 TENTANG PENGELUARAN DAN PENGEDARAN UANG KERTAS . . . -3- KERTAS RUPIAH PECAHAN 10.000 (SEPULUH RIBU) TAHUN EMISI 2005. Pasal I Beberapa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/40/PBI/2005 tentang Pengeluaran dan Pengedaran Uang Kertas Rupiah Pecahan 10.000 (Sepuluh Ribu) Tahun Emisi 2005 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 100) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/6/PBI/2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 43) diubah sebagai berikut: 1. Ketentuan Pasal 4 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 4 Ciri uang rupiah pecahan 10.000 (sepuluh ribu) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1, untuk tahun pencetakan sampai dengan tahun 2009 adalah: a. Warna bagian muka dan bagian belakang uang dicetak dengan warna dominan ungu; b. Gambar 1. bagian muka a) gambar utama berupa gambar Pahlawan Nasional Sultan Mahmud Badaruddin II dan dibawahnya dicantumkan tulisan ”SULTAN MAHMUD BADARUDDIN II”; b) pada sebelah kiri gambar utama terdapat gambar ornamen daerah Palembang berbentuk lingkaran berwarna oranye yang akan memendar kuning di bawah sinar ultra violet; c) pada . . . -4- c) pada sebelah kiri bawah gambar utama dengan arah horizontal terdapat tulisan ”BANK INDONESIA” dan di bawah tulisan tersebut terdapat tulisan ”SEPULUH RIBU RUPIAH”; d) pada sebelah kiri atas gambar utama dengan arah horizontal dan pada sebelah kanan tanda air dengan arah vertikal, terdapat angka nominal ”10000”; e) pada sebelah kiri gambar utama, di bawah angka nominal ”10000” terdapat gambar saling isi (rectoverso) yang apabila diterawangkan ke arah cahaya akan terlihat logo Bank Indonesia secara utuh; f) pada sebelah kanan atas gambar utama terdapat gambar tersembunyi (latent image) tulisan BI dalam bingkai persegi panjang berbentuk ornamen daerah Palembang yang dapat dilihat dari sudut pandang tertentu; g) pada sebelah kanan atas gambar utama terdapat gambar Lambang Negara Kesatuan Republik Indonesia, yaitu Garuda Pancasila; h) pada sebelah kanan bawah terdapat logo Bank Indonesia di dalam bidang segi delapan yang dicetak dengan tinta khusus (optically variable ink) yang akan berubah warna dari hijau menjadi biru apabila dilihat dari sudut pandang berbeda; i) pada sebelah kanan bawah gambar utama terdapat angka tahun pencetakan “2009” (angka 2009 akan berubah sesuai dengan tahun pencetakan uang), tulisan “DEWAN GUBERNUR”, tanda tangan Gubernur Bank Indonesia beserta tulisan “GUBERNUR”, dan tanda tangan Deputi Gubernur Bank Indonesia beserta tulisan “DEPUTI GUBERNUR”; j) sebagai . . . -5- j) sebagai latar belakang dan pengisi bidang terdiri dari garis-garis bergelombang, miring, dan rangkaian garis melengkung yang membentuk ornamen daerah Palembang; k) mikroteks yaitu teks yang hanya dapat dibaca dengan bantuan kaca pembesar terdapat pada: 1) sebelah kiri gambar utama yang mengisi angka nominal ”10000” berupa tulisan BI; 2) sebelah kiri gambar utama di atas dan bawah gambar saling isi (rectoverso) berupa angka 10000 yang membentuk garis vertikal; 3) sebelah kiri atas dan bawah gambar utama berupa tulisan ”BANKINDONESIA” sebagai latar belakang uang; 4) sebelah kanan gambar utama berupa tulisan ”BANKINDONESIA10000” yang tersusun diagonal membentuk warna dasar dan gambar ornamen daerah Palembang; l) miniteks yaitu teks dengan ukuran kecil yang dapat dibaca tanpa bantuan kaca pembesar terdapat di atas dan di bawah tanda air berupa tulisan “BI10000” yang berbentuk lengkungan dengan ukuran teks yang berbeda. 2. bagian belakang a) gambar utama berupa gambar Rumah Limas, Palembang; b) pada sebelah kanan atas gambar utama terdapat tulisan ”BANK INDONESIA”; c) di bawah gambar utama terdapat tulisan ”DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, BANK INDONESIA MENGELUARKAN UANG SEBAGAI ALAT PEMBAYARAN . . . -6- PEMBAYARAN YANG SAH DENGAN NILAI SEPULUH RIBU RUPIAH”; d) pada sebelah kanan bawah dengan arah horizontal dan pada sebelah kiri atas dengan arah vertikal terdapat angka nominal ”10000”; e) nomor seri yang terdiri dari 3 (tiga) huruf dan 6 (enam) angka terletak pada sebelah kiri bawah uang yang dicetak dengan tinta berwarna hitam yang akan memendar hijau di bawah sinar ultra violet dan pada sebelah kanan atas di bawah tulisan ”BANK INDONESIA” dicetak dengan tinta berwarna merah yang akan memendar oranye di bawah sinar ultra violet; f) pada sebelah kanan atas di bawah nomor seri terdapat gambar saling isi (rectoverso) yang apabila diterawangkan ke arah cahaya akan terlihat logo Bank Indonesia secara utuh; g) pada sebelah kanan bawah tepat di bawah angka nominal “10000” terdapat tulisan “PERUM PERCETAKAN UANG RI IMP” dan angka tahun pengeluaran atau tahun emisi “2005”; h) di atas tanda air, terdapat cetakan tidak kasat mata berupa gambar siluet Rumah Limas yang akan memendar hijau kekuningan di bawah sinar ultra violet; i) pada sebelah kiri bawah gambar utama terdapat cetakan tidak kasat mata berupa angka nominal ”10000” dalam kotak persegi panjang yang akan memendar hijau kekuningan di bawah sinar ultra violet; j) pada sebelah kanan atas dan bawah gambar utama terdapat angka nominal “10000” yang membentuk warna dasar; k) mikroteks yaitu teks yang hanya dapat dibaca dengan bantuan kaca pembesar terdapat pada: 1) sebelah . . . -7- 1) sebelah kanan di atas atap Rumah Limas berupa angka 10000 yang membentuk daun-daun pepohonan; 2) sebelah kanan bawah gambar utama yang mengisi angka nominal ”10000” berupa tulisan “BI”; l) miniteks yaitu teks dengan ukuran kecil yang dapat dibaca tanpa bantuan kaca pembesar terdapat: 1) di atas dan bawah tanda air berupa tulisan “BANKINDONESIA” yang berbentuk garis melengkung dengan ukuran teks yang berbeda; 2) pada sebelah kanan di atas tulisan “BANKINDONESIA” dan di bawah angka nominal ”10000” berupa tulisan “BANKINDONESIA” yang membentuk lingkaran. c. Bahan kertas uang memiliki spesifikasi sebagai berikut: 1. terbuat dari serat kapas; 2. ukuran panjang 145 mm dan lebar 65 mm; 3. warna ungu muda; 4. tidak memendar di bawah sinar ultra violet; 5. tanda air berupa gambar Pahlawan Nasional Sultan Mahmud Badaruddin II dan electrotype berupa logo BI dan ornamen daerah Palembang; 6. benang pengaman yang tertanam di dalam kertas uang yang memuat tulisan ”BI10000” berulang-ulang dan akan memendar berwarna merah di bawah sinar ultra violet. 2. Di antara . . . -8- 2. Di antara Pasal 4 dan Pasal 5 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 4A yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 4A Ciri uang rupiah pecahan 10.000 (sepuluh ribu) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1, untuk tahun pencetakan mulai tahun 2010 adalah: a. Warna bagian muka dan bagian belakang uang dicetak dengan warna dominan ungu kebiruan. b. Gambar 1. bagian muka a) gambar utama berupa gambar Pahlawan Nasional Sultan Mahmud Badaruddin II dan dibawahnya dicantumkan tulisan ”SULTAN MAHMUD BADARUDDIN II”; b) pada sebelah kiri gambar utama terdapat gambar ornamen daerah Palembang berbentuk lingkaran berwarna ungu muda yang akan memendar kuning di bawah sinar ultra violet; c) pada sebelah kiri bawah gambar utama dengan arah horizontal terdapat tulisan ”BANK INDONESIA” dan di bawah tulisan tersebut terdapat tulisan ”SEPULUH RIBU RUPIAH”; d) pada sebelah kiri bawah gambar utama di atas tulisan “BANK INDONESIA” terdapat kode bagi tuna netra (blind code) berupa 1 (satu) buah lingkaran yang terasa kasar bila diraba; e) pada sebelah kiri atas gambar utama dengan arah horizontal dan pada sebelah kanan tanda air dengan arah vertikal, terdapat angka nominal ”10000”; f) pada sebelah kiri gambar utama, di bawah angka nominal ”10000” terdapat gambar saling isi (rectoverso) yang apabila diterawangkan . . . -9- diterawangkan ke arah cahaya akan terlihat logo Bank Indonesia secara utuh; g) pada sebelah kanan atas gambar utama terdapat gambar tersembunyi (latent image) tulisan BI dalam bingkai persegi panjang berbentuk ornamen daerah Palembang yang dapat dilihat dari sudut pandang tertentu; h) pada sebelah kanan atas gambar utama terdapat gambar Lambang Negara Kesatuan Republik Indonesia, yaitu Garuda Pancasila; i) pada sebelah kanan bawah terdapat logo Bank Indonesia di dalam bingkai berbentuk ornamen daerah Palembang; j) pada sebelah kanan bawah gambar utama terdapat angka tahun pencetakan “2010” (angka 2010 akan berubah sesuai dengan tahun pencetakan uang), tulisan “DEWAN GUBERNUR”, tanda tangan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia beserta tulisan “DEPUTI GUBERNUR SENIOR”, dan tanda tangan Deputi Gubernur Bank Indonesia beserta tulisan “DEPUTI GUBERNUR”; k) pada sebelah kanan gambar utama terdapat rainbow printing dalam bidang berbentuk segi lima yang akan berubah warna apabila dilihat dari sudut pandang berbeda; l) pada sebelah kanan gambar utama terdapat elemen desain berbentuk lingkaran-lingkaran kecil berwarna merah dan ditengahnya berwarna putih yang letaknya tersebar; m) sebagai latar belakang dan pengisi bidang terdiri dari garis-garis bergelombang, miring, dan rangkaian garis melengkung yang membentuk ornamen daerah Palembang; n) mikroteks . . . -10- n) mikroteks yaitu teks yang hanya dapat dibaca dengan bantuan kaca pembesar terdapat pada: 1) sebelah kiri gambar utama yang mengisi angka nominal ”10000” berupa tulisan BI; 2) sebelah kiri gambar utama di atas dan bawah gambar saling isi (rectoverso) berupa angka 10000 yang membentuk garis vertikal; 3) sebelah kiri atas dan bawah gambar utama berupa tulisan ”BANKINDONESIA” sebagai latar belakang uang; o) miniteks yaitu teks dengan ukuran kecil yang dapat dibaca tanpa bantuan kaca pembesar terdapat di atas dan di bawah tanda air berupa tulisan “BI10000” yang berbentuk lengkungan dengan ukuran teks yang berbeda. 2. bagian belakang a) gambar utama berupa gambar Rumah Limas, Palembang; b) pada sebelah kanan atas gambar utama terdapat tulisan ”BANK INDONESIA”; c) di bawah gambar utama terdapat tulisan ”DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, BANK INDONESIA MENGELUARKAN UANG SEBAGAI ALAT PEMBAYARAN YANG SAH DENGAN NILAI SEPULUH RIBU RUPIAH”; d) pada sebelah kanan bawah dengan arah horizontal dan pada sebelah kiri atas dengan arah vertikal terdapat angka nominal ”10000”; e) nomor seri yang terdiri dari 3 (tiga) huruf dan 6 (enam) angka terletak pada sebelah kiri bawah uang yang dicetak dengan tinta berwarna hitam yang akan memendar hijau di bawah sinar ultra . . . -11- ultra violet dan pada sebelah kanan atas di bawah tulisan ”BANK INDONESIA” yang dicetak dengan tinta berwarna merah yang akan memendar oranye di bawah sinar ultra violet; f) pada sebelah kanan atas di bawah nomor seri terdapat gambar saling isi (rectoverso) yang apabila diterawangkan ke arah cahaya akan terlihat logo Bank Indonesia secara utuh dalam posisi terbalik; g) pada sebelah kanan bawah tepat di bawah angka nominal “10000” terdapat tulisan “PERUM PERCETAKAN UANG RI IMP” dan angka tahun pengeluaran atau tahun emisi “2005”; h) di atas tanda air, terdapat cetakan tidak kasat mata berupa gambar siluet Rumah Limas yang akan memendar hijau kekuningan di bawah sinar ultra violet; i) pada sebelah kiri bawah gambar utama terdapat cetakan tidak kasat mata berupa angka nominal ”10000” dalam kotak persegi panjang yang akan memendar hijau kekuningan di bawah sinar ultra violet; j) pada sebelah kiri gambar utama terdapat elemen desain berbentuk lingkaran-lingkaran kecil berwarna merah dan ditengahnya berwarna putih yang letaknya tersebar; k) mikroteks yaitu teks yang hanya dapat dibaca dengan bantuan kaca pembesar terdapat pada: 1) sebelah kanan di atas atap Rumah Limas berupa angka 10000 terdapat pada daun-daun pepohonan; 2) sebelah kanan bawah gambar utama yang mengisi angka nominal ”10000” berupa tulisan “BI”; l) miniteks yaitu teks dengan ukuran kecil yang dapat dibaca tanpa bantuan kaca pembesar terdapat: 1) di atas . . . -12- 1) di atas dan bawah tanda air berupa tulisan “BANKINDONESIA” yang berbentuk garis melengkung dengan ukuran teks yang berbeda; 2) pada sebelah kanan di atas tulisan “BANKINDONESIA” dan di bawah angka nominal ”10000” berupa tulisan “BANKINDONESIA” yang membentuk lingkaran. c. Bahan kertas uang memiliki spesifikasi sebagai berikut: 1. terbuat dari serat kapas; 2. ukuran panjang 145 mm dan lebar 65 mm; 3. warna ungu muda; 4. tidak memendar di bawah sinar ultra violet; 5. tanda air berupa gambar Pahlawan Nasional Sultan Mahmud Badaruddin II dan electrotype berupa logo BI dan ornamen daerah Palembang; 6. benang pengaman yang tertanam di dalam kertas uang yang memuat tulisan ”BI10000” berulang-ulang dan akan memendar berwarna merah di bawah sinar ultra violet. 3. Pasal 5A dihapus. Pasal II Uang kertas rupiah pecahan 10.000 (sepuluh ribu) yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia sebelum berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini, masih tetap berlaku sepanjang belum dicabut dan ditarik dari peredaran. Pasal . . . -13- Pasal III Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 3 Juni 2010 Pjs. GUBERNUR BANK INDONESIA, DARMIN NASUTION Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 3 Juni 2010 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, PATRIALIS AKBAR LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2010 NOMOR 71 DPU
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 12/8/PBI/2010 </reg_id> <reg_title> PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 7/40/PBI/2005 TENTANG PENGELUARAN DAN PENGEDARAN UANG KERTAS RUPIAH PECAHAN 10.000 (SEPULUH RIBU) TAHUN EMISI 2005 </reg_title> <set_date> 3 Juni 2010 </set_date> <effective_date> 3 Juni 2010 </effective_date> <issued_date> 3 Juni 2010 </issued_date> <changed_reg> '7/40/PBI/2005' </changed_reg> <extension_of> '11/6/PBI/2009' </extension_of> <related_reg> '6/UU/2009', '23/UU/1999', '6/14/PBI/2004', '2/PERPPU/2008', '9/10/PBI/2007' </related_reg>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 10/ 31 /PBI/2008 TENTANG FASILITAS PEMBIAYAAN DARURAT BAGI BANK UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam menjalankan kegiatan usahanya, Bank dapat mengalami Kesulitan Likuiditas yang membahayakan kelangsungan usahanya dan memiliki Dampak Sistemik sehingga berpotensi mengakibatkan krisis yang membahayakan stabilitas sistem keuangan; b. bahwa untuk mengatasi Kesulitan Likuiditas yang memiliki Dampak Sistemik, Bank Indonesia dalam melaksanakan fungsinya sebagai lender of last resort dapat memberikan fasilitas pembiayaan darurat kepada Bank Umum dalam rangka pencegahan dan penanganan krisis; c. bahwa sehubungan dengan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b, dipandang perlu untuk mengatur ketentuan mengenai fasilitas pembiayaan darurat bagi Bank umum dalam Peraturan Bank Indonesia; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Republik Indonesia Negara Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); 2. Undang… - 2 - 2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 142, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4901); 3. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2002 tentang Surat Utang Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 110, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4236); 4. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4286); 5. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 5, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4355); 6. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867); 7. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 149, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4907); MEMUTUSKAN… - 3 - MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG FASILITAS PEMBIAYAAN DARURAT BAGI BANK UMUM. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan: 1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 dan Bank Umum Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. 2. Bank Bermasalah adalah Bank yang mengalami kesulitan keuangan dalam bentuk kesulitan likuiditas dan/atau kesulitan solvabilitas yang membahayakan kelangsungan usahanya. 3. Bank Gagal adalah Bank yang mengalami kesulitan keuangan dan membahayakan kelangsungan usahanya serta dinyatakan tidak dapat lagi disehatkan oleh Bank Indonesia. 4. Rekening Giro Rupiah adalah Rekening Giro dalam mata uang rupiah sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Bank Indonesia mengenai Hubungan Rekening Giro Antara Bank Indonesia dengan Pihak Ekstern 5. Kesulitan Likuiditas adalah kesulitan pendanaan jangka pendek yang dialami Bank yang disebabkan oleh terjadinya arus dana masuk yang lebih kecil dibandingkan dengan arus dana keluar (mismatch) yang diperkirakan dapat mengakibatkan terjadinya saldo giro negatif. 6. Permasalahan… - 4 - 6. Permasalahan Solvabilitas adalah kesulitan permodalan yang dialami Bank sehingga tidak memenuhi Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM) yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. 7. Krisis adalah suatu kondisi sistem keuangan yang sudah gagal secara efektif menjalankan fungsi dan perannya dalam perekonomian nasional. 8. Dampak Sistemik adalah potensi penyebaran masalah (contagion effect) dari satu Bank Bermasalah ke bank lainnya baik secara langsung maupun tidak langsung sehingga mengakibatkan kesulitan likuiditas Bank-Bank lain dan berpotensi menyebabkan hilangnya kepercayaan terhadap sistem perbankan dan mengancam stabilitas sistem keuangan. 9. Fasilitas Pembiayaan Darurat, yang selanjutnya disebut FPD, adalah fasilitas pembiayaan dari Bank Indonesia yang diputuskan oleh Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK), yang dijamin oleh Pemerintah kepada Bank yang mengalami kesulitan likuiditas yang Memiliki Dampak Sistemik dan berpotensi Krisis namun masih memenuhi tingkat solvabilitas. 10. Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) adalah komite yang terdiri dari Menteri Keuangan sebagai Ketua merangkap Anggota dan Gubernur Bank Indonesia sebagai Anggota yang berfungsi sebagai sarana pengambilan keputusan pemberian FPD. 11. Surat Berharga Negara, yang selanjutnya disebut SBN, adalah surat utang negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Surat Utang Negara dan surat berharga syariah negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Surat Berharga Syariah Negara. 12. Pasar Uang Antar Bank yang untuk selanjutnya disingkat PUAB adalah kegiatan pinjam-meminjam dana antara satu Bank dengan Bank lainnya. 13. Pencegahan Krisis adalah tindakan untuk mencegah terjadinya Krisis. 14. Penanganan… - 5 - 14. Penanganan Krisis adalah tindakan untuk mengatasi dan menyelesaikan Krisis agar sistem keuangan kembali berfungsi secara normal. BAB II TUJUAN DAN RUANG LINGKUP Pasal 2 FPD diberikan untuk mengatasi Kesulitan Likuiditas Bank yang memiliki Dampak Sistemik baik dalam rangka Pencegahan Krisis maupun Penanganan Krisis; BAB III SUMBER PENDANAAN FPD Pasal 3 (1) Sumber pendanaan FPD dalam rangka Pencegahan Krisis berasal dari Bank Indonesia yang dijamin oleh Pemerintah. (2) Sumber pendanaan FPD dalam rangka Penanganan Krisis berasal dari Pemerintah. BAB IV PEMBERIAN FPD Bagian Kesatu Persyaratan Pengajuan FPD Pasal 4 (1) Bank wajib melaksanakan kegiatan usahanya dengan berpedoman pada prinsip kehati-hatian yang berlaku, termasuk dalam menjaga kecukupan likuiditasnya. (2) Dalam… - 6 - (2) Dalam hal mengalami Kesulitan Likuiditas, Bank wajib mencari sumber dana lain untuk mengatasi Kesulitan Likuiditas dimaksud. Pasal 5 (1) Dalam hal Bank tidak dapat memperoleh dana untuk mengatasi Kesulitan Likuiditas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2), Bank dapat mengajukan permohonan untuk memperoleh FPD dari Bank Indonesia dengan memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini. (2) Persyaratan pemberian FPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. Bank mengalami Kesulitan Likuiditas yang memiliki Dampak Sistemik; b. Bank memiliki rasio kewajiban penyediaan modal minimum (KPMM) positif; dan c. Bank memiliki aset yang dapat dijadikan agunan. Pasal 6 FPD hanya diberikan kepada Bank yang berbadan hukum Indonesia. Bagian Kedua Permohonan Pengajuan FPD Pasal 7 (1) Permohonan FPD ditujukan kepada Gubernur Bank Indonesia dengan alamat Jalan M.H. Thamrin No. 2 Jakarta Pusat dengan tembusan kepada Menteri Keuangan RI dengan alamat Jalan Lapangan Banteng No. 2-4 Jakarta Pusat dan: a. Direktorat Pengelolaan Moneter dengan alamat Jalan M.H. Thamrin No. 2 Jakarta Pusat; b. Direktorat… - 7 - b. Direktorat Pengawasan Bank dengan alamat Jalan M.H. Thamrin No. 2 Jakarta Pusat untuk Bank yang berkantor pusat di Jakarta; c. Direktorat Perbankan Syariah dengan alamat Jalan M.H. Thamrin No. 2 Jakarta Pusat untuk Bank Umum Syariah yang berkantor pusat di Jakarta; atau d. Kantor Bank Indonesia setempat bagi Bank umum konvensional dan Bank Umum Syariah yang berkantor pusat di luar wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia. (2) Bank penerima FPD wajib menyampaikan action plan, realisasi action plan dan laporan likuiditas harian sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini kepada Bank Indonesia dengan alamat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, dan huruf d. Pasal 8 Permohonan FPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) harus dilengkapi dengan dokumen-dokumen yang dipersyaratkan, yaitu: a. Surat Pernyataan dari Pengurus Bank bahwa Bank telah mencari sumber dana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) sebelum mengajukan FPD; b. Dokumen yang mendukung jumlah kebutuhan FPD; c. Daftar aset yang akan dijadikan agunan beserta nilai taksiran sementara dan dokumen asli bukti kepemilikan, yang akan diikuti dengan pemasangan Hak Tanggungan, gadai, atau jaminan fidusia; d. Surat Pernyataan Kesanggupan Pemegang Saham Pengendali dan atau Pengurus Bank untuk menyerahkan tambahan aset yang akan diagunkan kepada Pemerintah dalam hal Bank tidak dapat melunasi FPD yang dibuat dihadapan notaris; e. Surat Pernyataan Kesanggupan dari Pemegang Saham Pengendali untuk menyerahkan kewenangan RUPS; f. Surat… - 8 - f. Surat Pernyataan Kesanggupan Pemegang Saham Pengendali dan Pengurus Bank untuk membayar kembali FPD yang dibuat di hadapan notaris; g. Surat Kesanggupan untuk menerbitkan Personal Guarantee dan/atau Corporate Guarantee dari Pemegang Saham Pengendali yang dibuat di hadapan notaris, dan dilampiri daftar aset; dan h. Surat Pernyataan kesediaan Pemegang Saham Pengendali dan Pengurus Bank Bermasalah untuk melakukan tindakan yang diperintahkan oleh BI yang dibuat di hadapan notaris. Bagian Ketiga Mekanisme Pengambilan Keputusan Pasal 9 (1) Dalam hal Bank Indonesia mengindikasikan bahwa Bank yang mengajukan permohonan FPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) memiliki Dampak Sistemik, Gubernur Bank Indonesia segera meminta kepada Menteri Keuangan untuk menyelenggarakan rapat KSSK guna membahas permasalahan Bank dan menetapkan langkah-langkah penyelesaian. (2) Indikasi mengenai adanya Bank yang memiliki Dampak Sistemik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan antara lain pada analisis kondisi keuangan Bank dan dampaknya terhadap sistem perbankan. Pasal 10 (1) Rapat KSSK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, memutuskan kondisi Bank tersebut memiliki Dampak Sistemik atau tidak memiliki Dampak Sistemik. (2) Dalam hal Bank diputuskan Memiliki Dampak Sistemik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), KSSK memutuskan : a. pemberian… - 9 - a. pemberian FPD; b. penetapan pagu FPD; c. jangka waktu; d. suku bunga atau imbalan; dan e. kriteria umum agunan FPD. (3) Pemberian FPD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat diberikan kepada Bank yang mengajukan permohonan FPD dan memenuhi kriteria solvabilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf b. (4) Dalam hal rapat KSSK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 memutuskan Bank memiliki Dampak Sistemik namun tidak mengajukan permohonan FPD, atau mengajukan permohonan FPD namun diputuskan bahwa Bank tidak Memiliki Dampak Sistemik, Bank Indonesia menetapkan Bank dimaksud sebagai Bank Gagal. (5) Tindak lanjut penanganan terhadap Bank Gagal sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 11 (1) Penetapan pagu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) huruf b dengan mempertimbangkan perkiraan kebutuhan likuiditas yang diajukan oleh Bank. (2) Jangka waktu FPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) huruf c paling lama adalah 90 (sembilan puluh) hari kalender yang dapat diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari kalender. BAB V… - 10 - BAB V KRITERIA UMUM AGUNAN FPD Pasal 12 (1) Bank yang mengajukan permohonan FPD wajib menyerahkan agunan pokok dan agunan tambahan. (2) Agunan pokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa aset Bank yang tersedia dengan prioritas dari aset yang paling likuid dan berkualitas. (3) Agunan tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa aset pemegang saham pengendali. (4) Bank menyampaikan nilai taksasi agunan pokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang penilaiannya terakhir kali dilakukan oleh penilai independen. Pasal 13 (1) Aset yang dijadikan agunan oleh Bank Penerima FPD harus bebas dari sitaan, tidak sedang digadaikan, atau dipertanggungkan secara apapun juga kepada pihak lain, serta tidak tersangkut dalam suatu perkara atau sengketa. (2) Aset yang dijadikan agunan oleh Bank penerima FPD tidak dapat dialihkan, diperjualbelikan atau dijaminkan kembali oleh Bank penerima FPD. (3) Bank penerima FPD wajib mengganti agunan FPD apabila tidak memenuhi kondisi-kondisi sebagaimana diatur pada ayat (1) dan ayat (2). Pasal 14 (1) Agunan dinilai oleh Penilai Independen yang ditetapkan oleh Bank Indonesia berdasarkan daftar nominasi penilai independen yang disampaikan Bank penerima FPD. (2) Seluruh… - 11 - (2) Seluruh biaya yang timbul dalam rangka penilaian agunan menjadi beban Bank penerima FPD. Pasal 15 (1) Pengikatan agunan dilaksanakan oleh Bank Indonesia setelah dokumen agunan lengkap. (2) Pengikatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan mengacu pada nilai yang ditetapkan oleh penilai independen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1). (3) Penatausahaan bukti kepemilikan agunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Bank Indonesia. (4) Bank dan/atau Pemegang Saham Pengendali Bank wajib memelihara fisik agunan yang diserahkan dalam rangka FPD. BAB VI PERJANJIAN FPD DAN REALISASI PEMBERIAN FPD Bagian Kesatu Pencegahan Krisis Pasal 16 Perjanjian pemberian FPD dilakukan secara notariil dan ditandatangani oleh pengurus Bank penerima FPD dengan Bank Indonesia. Pasal 17 (1) Pemberian FPD dilakukan setelah ditandatanganinya perjanjian FPD. (2) Realisasi… - 12 - (2) Realisasi pemberian FPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan mendebet rekening khusus FPD di Bank Indonesia dan mengkredit Rekening Giro Rupiah Bank penerima FPD di Bank Indonesia. (3) Realisasi pemberian FPD dilakukan sebesar kebutuhan Bank untuk memenuhi kebutuhan Giro Wajib Minimum (GWM) yang berlaku. Pasal 18 (1) FPD yang telah digunakan oleh Bank penerima FPD dikenakan bunga atau imbalan sesuai suku bunga atau imbalan yang besarnya ditetapkan oleh KSSK. (2) Suku bunga atau imbalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) nilainya sebesar BI Rate ditambah dengan marjin tertentu. (3) Bank Indonesia melakukan perhitungan bunga atau imbalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan saldo akhir hari FPD. (4) Pembebanan bunga atau imbalan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan pada saat FPD jatuh tempo yang dibebankan ke Rekening Giro Rupiah Bank penerima FPD di Bank Indonesia. Pasal 19 (1) Bank Indonesia memperoleh jaminan secara tertulis dari Menteri Keuangan atas nama Pemerintah atas FPD yang diberikan kepada Bank. (2) Jaminan pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa penggantian dana FPD yang belum dilunasi oleh Bank kepada Bank Indonesia dalam hal: a. Bank tidak melunasi FPD dalam jangka waktu yang ditetapkan KSSK; atau b. Bank dinyatakan sebagai Bank Gagal sebelum berakhirnya jangka waktu FPD. (3) Dalam hal Bank penerima FPD tidak melunasi FPD dan/atau dinyatakan sebagai Bank Gagal sebagaimana dimaksud pada ayat (2), maka: a. Pemerintah… - 13 - a. Pemerintah mengganti dana FPD yang belum dilunasi oleh Bank penerima FPD kepada Bank Indonesia baik dalam bentuk tunai dan atau penerbitan SBN; b. Bank Indonesia menyerahkan piutang FPD dan agunannya kepada Menteri Keuangan melalui Perjanjian Pengalihan Hak Atas Piutang beserta seluruh dokumen yang telah dicek kelengkapannya oleh Bank Indonesia; c. Dengan adanya pengalihan piutang sebagaimana dimaksud huruf b, maka utang Bank Penerima FPD beralih dari utang kepada Bank Indonesia menjadi utang kepada Pemerintah. Bagian Kedua Penanganan Krisis Pasal 20 (1) Pemberian FPD dalam kondisi Krisis kepada Bank yang mengalami Kesulitan Likuiditas dilakukan oleh Bank Indonesia yang pembiayaannya dari Pemerintah. (2) Pemberian FPD dalam kondisi Krisis dituangkan dalam perjanjian antara Bank dan Bank Indonesia yang bertindak untuk dan atas nama Pemerintah, yang dilengkapi dengan: a. daftar aset Bank dengan nilai transaksi sementara yang menjadi agunan FPD; dan b. rencana kerja Bank dalam menyelesaikan permasalahan yang dihadapi. (3) Perjanjian pemberian FPD dilakukan secara notariil dan ditandatangani oleh pengurus Bank penerima FPD dengan Bank Indonesia yang bertindak untuk dan atas nama Pemerintah. (4) Pencairan… - 14 - (4) Pencairan FPD dalam rangka penanganan Krisis dilakukan setelah Pemerintah melakukan penerbitan SBN dan/atau dengan mendebet rekening Pemerintah di Bank Indonesia. BAB VII BIAYA-BIAYA PEMBERIAN FPD Pasal 21 Biaya-biaya yang timbul berkaitan dengan: a. penilaian atas agunan yang dilakukan oleh Perusahaan Penilai Independen; b. biaya pembuatan Perjanjian FPD berikut Pengikatan Agunan yang dilakukan oleh Notaris atau Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT); dan c. biaya-biaya lain yang terkait dengan pemberian FPD; menjadi beban Bank penerima FPD. BAB VIII PELUNASAN FPD Pasal 22 (1) Bank dapat melakukan pelunasan dan atau pengurangan baki debet FPD selama jangka waktu pemberian FPD. (2) Pelunasan dan atau pengurangan baki debet sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dengan mendebet Rekening Giro Rupiah Bank penerima FPD di Bank Indonesia apabila saldo Rekening Giro Rupiah Bank penerima FPD di Bank Indonesia telah melebihi ketentuan GWM. Pasal 23… - 15 - Pasal 23 (1) Bank Indonesia mendebet Rekening Giro Rupiah Bank penerima FPD yang bersangkutan dan mengkredit rekening khusus FPD Bank Indonesia pada saat FPD jatuh tempo sebagai pelunasan FPD. (2) Dalam hal saldo Rekening Giro Rupiah Bank penerima FPD yang bersangkutan di Bank Indonesia tidak mencukupi untuk pelunasan FPD pada saat FPD jatuh tempo, Gubernur Bank Indonesia meminta rapat KSSK membahas permasalahan Bank antara lain mengenai kondisi dan prospek keuangan Bank, serta memutuskan langkah-langkah yang diperlukan untuk mengatasinya. (3) Langkah-langkah untuk mengatasi permasalahan Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah untuk memutuskan : a. FPD tersebut dapat diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari kalender, apabila rasio KPMM Bank masih positif; atau b. FPD tidak diperpanjang apabila rasio KPMM bank negatif . (4) Perpanjangan dan perubahan perjanjian FPD sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a didasarkan pada permohonan yang diajukan oleh Bank Penerima FPD. Pasal 24 (1) Dalam hal terjadi kondisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (3) huruf b, atau Bank Penerima FPD tidak mampu melunasi FPD pada saat jatuh tempo setelah adanya perpanjangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (3) huruf a maka Bank Indonesia menyatakan sebagai Bank Gagal. (2) Gubernur Bank Indonesia meminta Rapat KSSK untuk memutuskan langkah- langkah penanganan Bank Gagal sebagaimana yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 25… - 16 - Pasal 25 (1) Dalam hal Bank penerima FPD tidak mampu membayar FPD (default) dan FPD dialihkan kepada Pemerintah, maka Pemerintah selaku kreditur dapat melakukan eksekusi atas agunan. (2) Apabila hasil eksekusi agunan lebih kecil dari nilai FPD dan kewajiban bunga yang harus dilunasi oleh Bank Penerima FPD, maka kekurangan pelunasan FPD merupakan utang Bank dan/atau Pemegang Saham Pengendali Bank kepada Pemerintah. BAB IX PENGAWASAN Pasal 26 Dengan diberikannya FPD kepada Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 dan Pasal 20, Bank Indonesia berwenang: a. mengambil alih hak dan wewenang Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) untuk mengganti sebagian atau seluruh direksi dan komisaris Bank; b. menempatkan pihak yang mewakili Bank Indonesia sebagai direksi dan/atau komisaris Bank sampai dengan FPD dilunasi. c. melaksanakan kewenangan lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 27 (1) Bank penerima FPD ditempatkan dalam status Bank Dalam Pengawasan Khusus. (2) Status… - 17 - (2) Status Bank Dalam Pengawasan Khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berakhir apabila Bank penerima FPD telah menyelesaikan kewajiban pelunasan FPD dan memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia yang berlaku. Pasal 28 (1) Bank Penerima FPD wajib menyampaikan action plan kepada Bank Indonesia dengan tembusan kepada Menteri Keuangan Republik Indonesia paling lambat 5 (lima) hari kerja setelah realisasi FPD untuk menyelesaikan masalah likuiditas serta menyusun rencana pengembalian FPD yang diterima. (2) Bank wajib menyampaikan laporan pelaksanaan action plan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) secara mingguan kepada Bank Indonesia dengan tembusan kepada Menteri Keuangan. (3) Bank penerima FPD wajib melaporkan kondisi likuiditasnya kepada Bank Indonesia secara harian. (4) Bank dianggap terlambat menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) apabila Bank belum menyampaikan laporan sampai dengan batas waktu penyampaian laporan. (5) Bank dianggap tidak menyampaikan laporan apabila Bank tidak menyampaikan laporan sampai dengan periode laporan berikutnya. Pasal 29 (1) Bank penerima FPD dilarang mencairkan rekening simpanan pihak terkait kecuali ditetapkan lain oleh KSSK. (2) Bank penerima FPD dilarang membagikan dividen dalam bentuk apapun selama kewajiban Bank atas FPD belum lunas. (3) Pemegang… - 18 - (3) Pemegang Saham Pengendali Bank Penerima FPD dilarang mengalihkan kepemilikan sahamnya kepada pihak lain tanpa seijin Bank Indonesia. BAB X LAPORAN KEPADA DPR Pasal 30 Gubernur Bank Indonesia bersama-sama Menteri Keuangan menyampaikan dan menjelaskan keputusan KSSK kepada Dewan Perwakilan Rakyat paling lambat 30 (tiga puluh) hari kalender sejak Keputusan pemberian FPD. BAB XI SANKSI Pasal 31 Dalam hal Bank tidak melunasi FPD dan/atau melakukan pelanggaran atas ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia ini dan/atau berdasarkan pemeriksaan Bank Indonesia diketahui adanya penyimpangan penggunaan FPD, maka Bank dikenakan sanksi administratif sebagaimana diatur dalam Pasal 52 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998, antara lain berupa teguran tertulis, larangan untuk turut serta dalam kegiatan kliring, pembekuan kegiatan usaha tertentu, dan/atau pemberhentian pengurus Bank. Pasal 32… - 19 - Pasal 32 Apabila Pengurus Bank, Pemegang Saham Pengendali dan pejabat eksekutif Bank dengan sengaja tidak melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan Bank terhadap ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia ini, dan/atau memberikan keterangan atau dokumen yang diwajibkan dalam Peraturan Bank Indonesia ini secara tidak benar, selain dikenakan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 dikenakan juga sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998. BAB XII PENUTUP Pasal 33 Dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini maka Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/1/PBI/2006 tentang Fasilitas Pembiayaan Darurat dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 34 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Agar… - 20 - Agar setiap orang mengetahuinya memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 18 November 2008. GUBERNUR BANK INDONESIA, BOEDIONO Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 18 November 2008. MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA ANDI MATTALATTA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2008 NOMOR 178 PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 10/ 31 /PBI/2008 TENTANG FASILITAS PEMBIAYAAN DARURAT BAGI BANK UMUM I. UMUM Dalam menjalankan usahanya Bank menghadapi berbagai risiko antara lain risiko likuiditas. Risiko likuiditas merupakan kesulitan pendanaan jangka pendek yang timbul akibat ketidaksesuaian (mismatch) antara arus dana masuk (cash inflow) dengan arus dana keluar (cash outflow). Kondisi tersebut dapat mengakibatkan terjadinya saldo giro negatif Bank pada Bank Indonesia. Apabila tidak segera diatasi, kesulitan likuiditas tersebut dapat menimbulkan masalah yang lebih besar bahkan dapat menimbulkan kesulitan likuiditas bagi bank-bank lainnya. Untuk menutup kesulitan likuiditas, pada dasarnya Bank pertama-tama harus mengupayakan dana di pasar uang dengan menggunakan berbagai instrumen pasar uang yang tersedia. Apabila Bank gagal memperoleh dana di pasar uang, maka Bank Indonesia dalam fungsinya sebagai lender of last resort dapat membantu Bank untuk mengatasi kesulitan pendanaan jangka pendek tersebut. Kebijakan lender of last resort tersebut merupakan bagian dari jaring pengaman keuangan (financial safety net) yang diperlukan dalam rangka memelihara stabilitas sistem keuangan. Kerangka jaring pengaman keuangan yang komprehensif memuat secara jelas mengenai peran masing-masing lembaga terkait dan mekanisme koordinasi baik dalam pencegahan maupun penyelesaian krisis. Stabilitas sistem keuangan tersebut mutlak dipelihara untuk stabilitas moneter dalam rangka menunjang pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Fasilitas… - 2 - Fasilitas lender of last resort yang diberikan bank sentral kepada bank, baik untuk situasi normal maupun untuk penanganan krisis, secara umum dapat dikategorikan kedalam beberapa jenis yakni: 1. Fasilitas Likuiditas Intrahari (FLI) untuk mengatasi kekurangan likuiditas (liquidity mismatch) akibat kesenjangan antara arus dana masuk dan arus dana keluar. Pemberian fasilitas ini kepada Bank ditujukan untuk memperlancar operasi sistem pembayaran dengan didukung agunan likuid dan bernilai tinggi kepada Bank Indonesia; 2. Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP) diberikan kepada Bank yang mengalami kesulitan pendanaan jangka pendek. Pemberian FPJP harus didukung dengan agunan yang berkualitas tinggi yang nilainya memadai; 3. Fasilitas Pembiayaan Darurat (FPD) kepada Bank yang mengalami kesulitan likuiditas, tetapi masih memenuhi tingkat solvabilitas yang ditetapkan Bank Indonesia, serta berdampak sistemik yang pemberiannya didasarkan pada keputusan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK). FLI dan FPJP merupakan fasilitas yang diberikan Bank Indonesia untuk mengatasi kesulitan likuiditas dalam kondisi normal, sedangkan FPD merupakan fasilitas untuk mengatasi dampak atau risiko sistemik dalam kondisi darurat untuk mencegah dan mengatasi krisis. FPD yang diberikan dalam rangka pencegahan krisis diberikan oleh Bank Indonesia dan dijamin oleh Pemerintah. Sedangkan FPD dalam rangka penanganan krisis pendanaannya berasal dari Pemerintah yang diberikan melalui Bank Indonesia. Oleh karena itu, sumber pendanaan dalam rangka pencegahan dan penanganan krisis terkait dengan pemberian FPD menjadi beban APBN melalui penerbitan SBN atau tunai oleh Pemerintah. Untuk meyakinkan akuntabilitas dan transparansi, proses pengambilan keputusan dalam penetapan dampak atau risiko sistemik dan pemberian FPD kepada Bank dilakukan secara bersama (joint decision) oleh Menteri Keuangan dan Bank Indonesia… II. PASAL…. - 3 - Indonesia melalui Komite Stabilitas Sistem Keuangan. Keputusan pemberian FPD dilakukan berdasarkan penilaian atas potensi risiko sistemik yang dapat terjadi terhadap stabilitas sistem keuangan dan dampak negatif terhadap perekonomian jika FPD tersebut tidak diberikan kepada Bank. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Cukup jelas. Pasal 3 Ayat (1) Terkait dengan fungsi Bank Indonesia sebagai Lender of The Last Resort maka pendanaan FPD terkait dengan kebijakan moneter Bank Indonesia. Namun demikian apabila bank dinyatakan sebagai Bank Gagal, maka Pemerintah mengganti dana yang sudah dikeluarkan Bank Indonesia melalui penerbitan SBN atau tunai. Ayat (2) Untuk pendanaan dalam rangka penanganan Krisis bersumber dari APBN. Pasal 4 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2)… - 4 - Ayat (2) Yang dimaksud dengan sumber dana lain antara lain Pinjaman Antar Bank, Fasilitas Likuiditas Intrahari (FLI), Repo SBI dan/atau SBN, dan Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP) sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Pasal 5 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Huruf a Dampak sistemik dapat dinilai dari beberapa aspek pokok antara lain ancaman penurunan kepercayaan masyarakat terhadap sistem perbankan, penyebaran masalah (contagion) dan kerugian ekonomis (degree of loss) yang ditimbulkan. Faktor-faktor yang dipertimbangkan dalam penetapan dampak sistemik adalah: a. Faktor internal yakni kesulitan likuiditas yang dihadapi satu atau lebih bank yang berdampak sistemik; dan/atau b. Faktor eksternal antara lain namun tidak terbatas pada gangguan pada sistem pembayaran, krisis keuangan global, krisis mata uang (currency crisis), gangguan operasional akibat kegagalan teknologi dan sistem informasi, dan/atau bencana alam yang mengganggu stabilitas sistem keuangan. Huruf b Yang dimaksud dengan rasio KPMM adalah rasio KPMM posisi terakhir pada saat permohonan FPD diajukan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Huruf c… - 5 - Huruf c Pemberian FPD tidak harus didasarkan pada nilai taksasi agunan yang diajukan oleh bank, mengingat FPD diberikan untuk mengatasi dampak sistemik sehingga tidak dapat diperlakukan sebagai normal lending. Namun demikian Bank wajib memberikan agunan sesuai dengan kriteria yang ditetapkan dalam Peraturan Bank Indonesia ini. Pasal 6 Cukup jelas. Pasal 7 Cukup jelas. Pasal 8 Huruf a Surat pernyataan dimaksud ditandatangani oleh Pengurus Bank yang bertindak untuk dan atas nama Bank yang dibubuhi meterai sesuai ketentuan yang berlaku. Huruf b Dokumen yang diperlukan untuk mendukung jumlah kebutuhan FPD antara lain perkiraan kebutuhan pagu FPD, proyeksi arus dana (cash flow), laporan keuangan terakhir berupa neraca dan laboran laba rugi, laporan maturity profile 1 (satu) bulan terakhir. Huruf c… - 6 - Huruf c Daftar aset Bank Pemohon FPD yang akan dijadikan agunan FPD disertai dengan harga taksiran sementara.Harga taksiran sementara tersebut antara lain dapat diperoleh dari Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP)untuk aset berupa tanah, nilai pasar terkini untuk aset berupa surat berharga. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Pasal 9 Cukup jelas. Pasal 10 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4)… - 7 - Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Yang dimaksud dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku antara lain Undang-undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2008, dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan. Pasal 11 Ayat (1) Bank Indonesia memberikan masukan kepada KSSK setelah melakukan analisis terhadap kebutuhan likuiditas Bank berdasarkan data-data yang disampaikan oleh Bank dan data yang dimiliki oleh Bank Indonesia. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 12 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan agunan pokok adalah aset Bank yang tersedia dengan prioritas dari aset yang paling likuid dan berkualitas paling kurang namun tidak terbatas yaitu : a. Surat… - 8 - a. Surat berharga yaitu surat berharga yang diterbitkan oleh Pemerintah Republik Indonesia atau Bank Indonesia yang meliputi SBN, SBI dan SBI Syariah; b. Surat berharga yang diterbitkan oleh badan hukum lainnya dengan prioritas yang berkualitas baik dan aktif diperdagangkan. Surat berharga yang diagunkan tidak boleh berasal dari surat berharga yang diterbitkan oleh pihak terkait dengan Bank atau pihak-pihak yang mengendalikan dari Bank yang mengajukan permohonan FPD; c. Aset Kredit dan Aktiva produktif lainnya yang berkolektibilitas Lancar; d. Aktiva tetap Bank; dan/atau e. Seluruh tagihan bank kepada pihak ketiga lainnya. Ayat (3) Pengikatan aset Pemegang Saham Pengendali menjadi agunan FPD dilakukan dengan penerbitan Personal Guarantee dan/atau Corporate Guarantee yang dibuat di hadapan notaris disertai dengan lampiran daftar aset. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 13 Ayat (1) Penyerahan aset yang akan dijadikan agunan FPD harus disertai dengan keterangan dari Bank Bermasalah atau Pemegang Saham Pengendali mengenai kondisi dan status dari setiap aset yang akan diagunkan tersebut. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3)… - 9 - Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 14 Ayat (1) Yang dimaksud dengan Penilai Independen adalah perusahaan penilai yang: a. tidak mempunyai keterkaitan dalam kepemilikan, kepengurusan dan keuangan dengan Bank Bermasalah; b. melakukan kegiatan penilaian berdasarkan Kode Etik Penilai Indonesia dan ketentuan-ketentuan lain yang ditetapkan oleh Dewan Penilai Indonesia; dan c. memiliki izin usaha dari instansi berwenang untuk beroperasi sebagai perusahaan penilai. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 15 Ayat (1) Pengikatan agunan dilakukan dengan pemasangan Hak Tanggungan, gadai, atau jaminan fidusia sesuai dengan jenis agunannya. Penelitian atas kelengkapan dokumen aset yang akan menjadi agunan dapat dilakukan oleh pihak ketiga atas biaya bank. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4)… - 10 - Ayat (4) Bank dan/atau Pemegang Saham Pengendali Bank Penerima FPD memelihara agunan yang secara fisik tidak diserahkan kepada Bank Indonesia, seperti tanah, bangunan dan inventaris kantor. Pasal 16 Cukup jelas. Pasal 17 Cukup jelas. Pasal 18 Cukup jelas. Pasal 19 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Penggantian dana FPD oleh pemerintah terdiri dari pokok dan bunga FPD serta seluruh biaya yang timbul terkait FPD. Huruf b Penyerahan piutang dan agunan dari Bank Indonesia dilakukan segera setelah Bank dinyatakan Bank Gagal dan disertai dengan penerbitan SBN atau pendebetan rekening Pemerintah apabila dilakukan secara tunai. Ayat (3)… - 11 - Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 20 Ayat (1) Pemberian FPD dalam rangka penanganan Krisis merupakan utang Bank kepada Pemerintah. Ayat (2) Huruf a Pengikatan aset Bank dilakukan oleh Bank Indonesia yang bertindak untuk dan atas nama Pemerintah setelah dokumen agunan lengkap. Huruf b Rencana kerja Bank harus disampaikan paling lambat 14 (empat belas) hari kerja setelah pemberian FPD. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 21 Cukup jelas. Pasal 22 Cukup jelas. Pasal 23 Cukup jelas. Pasal 24… - 12 - Pasal 24 Cukup jelas. Pasal 25 Cukup jelas. Pasal 26 Huruf a Pengambilalihan hak dan wewenang RUPS bersifat sementara sampai dengan FPD dilunasi. Huruf b Penempatan pihak yang mewakili Bank Indonesia dapat berasal dari Bank Indonesia dan atau pihak lainnya yang ditunjuk oleh Bank Indonesia yang memiliki pengetahuan dan pengalaman di bidang keuangan, ekonomi, hukum, dan industri. Huruf c Cukup jelas. Pasal 27 Ayat (1) Bank Indonesia melakukan Cease and Desist Order (CDO) kepada Bank, termasuk melakukan pemeriksaan dan/atau menempatkan tenaga pengawas terhadap Bank penerima FPD, dalam rangka pengawasan terhadap operasional bank secara umum. Ayat (2)… - 13 - Ayat (2) Yang dimaksud dengan Peraturan Bank Indonesia yang berlaku, antara lain Peraturan Bank Indonesia yang mengatur mengenai Tindak Lanjut Pengawasan dan Penetapan Status Bank. Pasal 28 Ayat (1) Action plan paling kurang memuat langkah-langkah Bank penerima FPD untuk menyelesaikan permasalahan likuiditas dan rencana pengembalian FPD. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 29 Cukup jelas. Pasal 30 Cukup jelas. Pasal 31 Cukup jelas. Pasal 32… - 14 - Pasal 32 Cukup jelas. Pasal 33 Cukup jelas. Pasal 34 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2008 NOMOR 4926 DPNP/DPM
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 10/31/PBI/2008 </reg_id> <reg_title> FASILITAS PEMBIAYAAN DARURAT BAGI BANK UMUM </reg_title> <set_date> 18 November 2008 </set_date> <effective_date> 18 November 2008 </effective_date> <issued_date> 18 November 2008 </issued_date> <replaced_reg> '8/1/PBI/2006' </replaced_reg> <related_reg> '21/UU/2008', '17/UU/2003', '23/UU/1999', '2/Perppu/2008', '1/UU/2004', '4/PERPPU/2008', '7/UU/1992', '24/UU/2002', '10/UU/1998' </related_reg> <penalty_list> 'BAB XI' </penalty_list>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 14/3/PBI/2012 TENTANG PROGRAM ANTI PENCUCIAN UANG DAN PENCEGAHAN PENDANAAN TERORISME BAGI PENYELENGGARA JASA SISTEM PEMBAYARAN SELAIN BANK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa penyelenggaraan jasa sistem pembayaran yang dilakukan oleh penyelenggara selain bank telah menunjukkan peningkatan baik dari jumlah penyelenggara, maupun jumlah dan nominal transaksi; b. bahwa untuk mencegah dimanfaatkannya kegiatan penyelenggaraan jasa sistem pembayaran selain bank untuk kegiatan pencucian uang dan pendanaan terorisme perlu diterapkan program anti pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme bagi penyelenggara jasa sistem pembayaran selain bank; c. bahwa program anti pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme bagi penyelenggara jasa sistem pembayaran selain bank perlu mengacu pada prinsip-prinsip umum yang berlaku secara internasional; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Bank Indonesia tentang Program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme bagi Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran Selain Bank; Mengingat ... -2- Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962); 2. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi Undang-undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 45, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4284); 3. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 122, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5164); 4. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2011 tentang Transfer Dana(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5204); MEMUTUSKAN ... -3- M E M U T U S K A N: Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PROGRAM ANTI PENCUCIAN UANG DAN PENCEGAHAN PENDANAAN TERORISME BAGI PENYELENGGARA JASA SISTEM PEMBAYARAN SELAIN BANK. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Yang dimaksud dalam Peraturan Bank Indonesia ini: 1. Bank adalah Bank sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 dan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. 2. Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran Selain Bank, yang selanjutnya disebut Penyelenggara, adalah badan usaha berbadan hukum Indonesia yang telah memperoleh izin dari Bank Indonesia untuk menyelenggarakan kegiatan jasa sistem pembayaran. 3. Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu, yang selanjutnya disebut APMK, adalah alat pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Bank Indonesia yang mengatur mengenai alat pembayaran dengan menggunakan kartu. 4. Uang Elektronik (Electronic Money), yang selanjutnya disebut Uang Elektronik, adalah alat pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Bank Indonesia yang mengatur mengenai uang elektronik (electronic money). 5. Kegiatan Usaha Pengiriman Uang, yang selanjutnya disingkat KUPU, adalah kegiatan usaha pengiriman uang atau transfer dana sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Bank Indonesia yang mengatur mengenai kegiatan usaha pengiriman uang atau transfer dana. 6. Pengguna ... -4- 6. Pengguna Jasa adalah pihak yang menggunakan jasa Penyelenggara. 7. Pencucian Uang adalah pencucian uang sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang. 8. Pendanaan Terorisme adalah penggunaan harta kekayaan secara langsung atau tidak langsung untuk kegiatan terorisme sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai pemberantasan tindak pidana terorisme. 9. Customer Due Diligence, yang selanjutnya disingkat CDD, adalah kegiatan berupa identifikasi, verifikasi, dan pemantauan yang dilakukan Penyelenggara untuk memastikan bahwa transaksi tersebut sesuai dengan profil Pengguna Jasa. 10. Enhanced Due Diligence, yang selanjutnya disingkat EDD, adalah tindakan CDD lebih mendalam yang dilakukan Penyelenggara pada saat berhubungan dengan Pengguna Jasa yang tergolong berisiko tinggi termasuk Politically Exposed Person terhadap kemungkinan pencucian uang dan pendanaan terorisme. 11. Beneficial Owner adalah setiap orang perorangan yang memiliki dana, yang mengendalikan transaksi Pengguna Jasa, yang memberikan kuasa atas terjadinya suatu transaksi dan/atau yang melakukan pengendalian melalui badan hukum atau perjanjian. 12. Politically Exposed Person, yang selanjutnya disingkat PEP, adalah orang yang mendapatkan kepercayaan untuk memiliki kewenangan publik diantaranya adalah penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai penyelenggara negara, dan/atau orang yang tercatat sebagai anggota partai politik yang memiliki pengaruh terhadap kebijakan dan operasional partai politik, baik yang berkewarganegaraan Indonesia maupun yang berkewarganegaraan asing. 13. Transaksi Keuangan Mencurigakan adalah transaksi keuangan mencurigakan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang ... -5- yang mengatur mengenai pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang. 14. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, yang selanjutnya disingkat PPATK, adalah PPATK sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang. 15. Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme, yang selanjutnya disingkat APU dan PPT, adalah upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang dan pendanaan terorisme. BAB II RUANG LINGKUP PENYELENGGARA SERTAPROGRAM APU DAN PPT Pasal 2 (1) Penyelenggara wajib menerapkan program APU dan PPT. (2) Penyelenggara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. penerbit dan/atau acquirer dalam kegiatan APMK; b. penerbit dan/atau acquirer dalam kegiatan Uang Elektronik; dan/atau c. penyelenggara KUPU. Pasal 3 (1) Penerapan program APU dan PPT sebagaimana dimaksud padaPasal 2 ayat (1) paling kurang mencakup: a. b. kebijakan dan prosedur tertulis; c. pengendalian internal; dan d. sumber daya manusia. (2) Dalam menerapkan program APU dan PPT sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Penyelenggara wajib berpedoman pada ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia ini. BAB ... tanggung jawab Direksi dan pengawasan aktif Dewan Komisaris; -6- BAB III TANGGUNG JAWAB DIREKSI DAN PENGAWASAN AKTIF DEWAN KOMISARIS Pasal 4 Tanggung jawab Direksi Penyelenggarasebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a, paling kurang mencakup hal-hal sebagai berikut: a. menetapkan kebijakan dan prosedur tertulis penerapan program APU dan PPT berdasarkan persetujuan Dewan Komisaris; b. memastikan penerapan program APU dan PPT dilaksanakan sesuai dengan kebijakan dan prosedur tertulis yang telah ditetapkan; c. memastikan kebijakan dan prosedur tertulis mengenai program APU dan PPT sejalan dengan perubahan dan pengembangan produk, jasa, teknologi, modus Pencucian Uang atau Pendanaan Terorisme, serta ketentuan yang berlaku terkait dengan program APU dan PPT; d. memastikan penyampaian laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan, transaksi keuangan tunai, serta transaksi keuangan dari dan ke luar negeri kepada PPATK sesuai dengan peraturan perundang-undangan; e. memastikan bahwa seluruh pegawai telah memperoleh pengetahuan dan/atau pelatihan mengenai penerapan program APU dan PPT; dan f. memastikan pengkinian profil nasabah dan profil transaksi nasabah. Pasal 5 Pengawasan aktif Dewan Komisaris Penyelenggara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a paling kurang mencakup hal- hal sebagai berikut: a. memberikan persetujuan atas kebijakan penerapan program APU dan PPT; dan b. mengawasi ... -7- b. mengawasi pelaksanaan tanggung jawab Direksi terhadap penerapan program APU dan PPT. BAB IV KEBIJAKAN DAN PROSEDUR Pasal 6 (1) Kebijakan dan prosedur tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf b paling kurang mencakup: a. pelaksanaan CDD dan EDD; b. penatausahaan dokumen; c. penetapan profil Pengguna Jasa dan pengkinian informasi Pengguna Jasa; d. penolakan dan penghentian hubungan usaha; e. kebijakan dan prosedur transfer dana; dan f. pelaporan kepada PPATK; (2) Penyelenggara wajib menyampaikan kebijakan dan prosedur tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan setiap perubahannya kepada Bank Indonesia. (3) Penyelenggara yang mempunyai cabang atau anak perusahaan yang beroperasi di luar wilayah negara kesatuan Republik Indonesia memastikan bahwa cabang atau anak perusahaan tersebut paling kurang memenuhi persyaratan kebijakan dan prosedur program APU dan PPT sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini. Bagian Pertama Pelaksanaan CDD dan EDD Paragraf 1 Umum Pasal 7 (1) Penyelenggara wajib melaksanakan CDD atau EDD terhadap Pengguna Jasa. (2)Pengguna ... -8- (2) Pengguna Jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk calon Pengguna Jasa. (3) Kewajiban untuk melakukan CDD atau EDD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan untuk penyelenggaraan jasa sistem pembayaran yang memiliki risiko rendah. (4) Dalam melaksanakan CDD atau EDD sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Penyelenggara melakukan pendekatan berdasarkan risiko (risk-based approach) dengan memperhatikan karakteristik jasa sistem pembayaran yang dilakukan serta profil Pengguna Jasa. Paragraf 2 Pelaksanaan CDD Pasal 8 Penyelenggara wajib melakukan CDD pada saat: a. Penyelenggara melakukan hubungan usaha dengan Pengguna Jasa atau calon Pengguna Jasa; b. terdapat keraguan mengenai kebenaran informasi identitas yang diperoleh dari Pengguna Jasa atau calon Pengguna Jasa. Pasal 9 (1) Dalam pelaksanaan CDD bagi Pengguna Jasa dan/atau calon Pengguna Jasa perorangan, Penyelenggara wajib meminta dokumen yang memuat informasi mengenai: a. identitas Pengguna Jasa yang paling kurang memuat: 1. nama lengkap termasuk alias, jika ada; 2. nomor dokumen identitas yang dibuktikan dengan menunjukkan dokumen dimaksud; 3. alamat tempat tinggal yang tercantum pada kartu identitas; 4. alamat tempat tinggal terkini termasuk nomor telepon apabila ada; 5. tempat dan tanggal lahir; 6. kewarganegaraan; dan 7. jenis kelamin; b. nilai ... -9- b. nilai dan tanggal transaksi; dan c. informasi lain yang memungkinkan Penyelenggara untuk dapat mengetahui profil Pengguna Jasa, apabila diperlukan. (2) Permintaan dokumen yang memuat informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dikecualikan untuk Pengguna Jasa yang melakukan transaksi yang bersifat penerimaan. Pasal 10 (1) Dalam pelaksanaan CDD bagi Pengguna Jasa dan/atau calon Pengguna Jasa selain perorangan, Penyelenggara wajib meminta dokumen yang memuat informasi mengenai: a. identitas Pengguna Jasa yang paling kurang memuat: 1. nama dan bentuk badan usaha Pengguna Jasa; 2. nomor izin usaha dari instansi berwenang; 3. alamat kedudukan Pengguna Jasa; dan 4. Nomor Pokok Wajib Pajak Pengguna Jasa. b. identitas perorangan yang bertindak untuk dan atas nama Pengguna Jasa, dengan menggunakan dokumen-dokumen sebagaimana disebutkan dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a. c. surat kuasa atau dokumen hukum lainnya yang memberikan kewenangan bagi perorangan sebagaimana dimaksud pada huruf b guna bertindak untuk dan atas nama Pengguna Jasa; d. nilai dan tanggal transaksi; dan e. informasi lain yang memungkinkan Penyelenggara untuk dapat mengetahui profil Pengguna Jasa, apabila diperlukan. (2) Permintaan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dikecualikan untuk Pengguna Jasa yang melakukan transaksi yang bersifat penerimaan. Paragraf 3 Pelaksanaan CDD oleh Pihak Ketiga Pasal 11 (1) Penyelenggara dapat menggunakan hasil CDD yang telah dilakukan oleh pihak ketiga terhadap Pengguna Jasa yang telah menjadi nasabah atau konsumen pihak ketiga tersebut. (2) Hasil ... -10- (2) Hasil CDD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat digunakan oleh Penyelenggara apabila pihak ketiga: a. memiliki prosedur CDD sesuai ketentuan yang berlaku; b. memiliki kerjasama dengan Penyelenggara dalam bentuk kesepakatan tertulis; c. bersedia memenuhi permintaan informasi dan salinan dokumen pendukung apabila sewaktu-waktu dibutuhkan oleh Penyelenggara dalam rangka pelaksanaan program APU dan PPT; dan d. berkedudukan di negara yang telah menerapkan rekomendasi Financial Action Task Force (FATF). (3) Penyelenggara wajib melakukan identifikasi dan verifikasi atas hasil CDD yang telah dilakukan oleh pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (4) Penyelenggara yang menggunakan hasil CDD dari pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggung jawab untuk melaksanakan penatausahaan dokumen sebagaimana dimaksud pada Pasal 22. Paragraf 4 Pelaksanaan EDD Pasal 12 Penyelenggara wajib melakukan EDD terhadap Pengguna Jasa dan/atau calon Pengguna Jasa yang: a. tergolong berisiko tinggi, termasuk PEP; b. diduga melakukan kegiatan mencurigakan yang terkait dengan tindak pidana pencucian uang atau pendanaan terorisme; dan/atau c. bertransaksi dalam mata uang rupiah dan/atau mata uang asing yang nilainya paling sedikit atau setara dengan Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Pasal ... -11- Pasal 13 (1) Dalam pelaksanaan EDD terhadap Pengguna Jasa dan/atau calon Pengguna Jasa perorangan, Penyelenggara wajib meminta dokumen yang memuat informasi mengenai: a. identitas Pengguna Jasa dan calon Pengguna Jasa yang memuat: 1. nama lengkap termasuk alias jika ada; 2. nomor dokumen identitas yang dibuktikan dengan menunjukkan dokumen dimaksud; 3. alamat tempat tinggal yang tercantum pada kartu identitas; 4. alamat tempat tinggal terkini termasuk nomor telepon apabila ada; 5. tempat dan tanggal lahir; 6. kewarganegaraan; serta 7. jenis kelamin; b. nilai dan tanggal transaksi; c. sumber dana; d. maksud dan tujuan transaksi; serta e. informasi lain yang memungkinkan Penyelenggara untuk dapat mengetahui profil Pengguna Jasa dan/atau calon Pengguna Jasa, apabila diperlukan. (2) Permintaan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf bsampai dengan huruf d dikecualikan untuk Pengguna Jasa yang melakukan transaksi yang bersifat penerimaan. (3) Selain meminta dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Penyelenggara wajib meneliti kewajaran transaksi yang dilakukan Pengguna Jasa. Pasal 14 (1) Dalam pelaksanaan EDD bagi Pengguna Jasa dan calon Pengguna Jasa selain perorangan, Penyelenggara wajib meminta dokumen yang memuat informasi mengenai: a.identitas ... -12- a. identitas PenggunaJasa dan calon Pengguna Jasa yang memuat: 1. nama dan bentuk hukum Pengguna Jasa; 2. nomor izin usaha dari instansi berwenang; 3. alamat kedudukan Pengguna Jasa; 4. b. c. tempat dan tanggal pendirian Pengguna Jasa; dan 5. Nomor Pokok Wajib Pajak Pengguna Jasa; identitas pengurus Pengguna Jasa; identitas perorangan yang bertindak untuk dan atas nama Pengguna Jasa, dengan menggunakan dokumen-dokumen sebagaimana disebutkan dalam Pasal 13 ayat (1) huruf a. d. surat kuasa atau dokumen hukum lainnya yang memberikan kewenangan bagi orang sebagaimana dimaksud pada huruf c guna bertindak untuk dan atas nama Pengguna Jasa; e. nilai dan tanggal transaksi; f. sumber dana; g. maksud dan tujuan transaksi; dan h. informasi lain yang memungkinkan Penyelenggara untuk dapat mengetahui profil Pengguna Jasa, jika diperlukan. (2) Permintaan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf esampai dengan huruf g dikecualikan untuk Pengguna Jasa yang melakukan transaksi yang bersifat penerimaan. (3) Selain meminta dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Penyelenggara wajib meneliti kewajaran transaksi yang dilakukan Pengguna Jasa. Pasal 15 Pemberian jasa kepada Pengguna Jasa berisiko tinggi hanya dapat dilakukan dengan persetujuan dari pejabat senior Penyelenggara. Pasal 16 Dalam hal Penyelenggara melakukan transaksi dengan Pengguna Jasa yang tergolong PEP atau berisiko tinggi, maka Direksi Penyelenggara bertanggung jawab langsung atas penerapan program APU dan PPT terhadap Pengguna Jasa tersebut. Paragraf ... -13- Paragraf 5 Pelaksanaan Verifikasi Dokumen Pasal 17 (1) Penyelenggara wajib meyakini kebenaran identitas Pengguna Jasa dan/atau calon Pengguna Jasa. (2) Penyelenggara wajib melakukan pertemuan langsung (face to face) dengan calon Pengguna Jasa dan/atau Pengguna Jasa yang pertama kali menggunakan jasa sistem pembayaran yang diselenggarakan oleh Penyelenggara, guna meyakini kebenaran identitas calon Pengguna Jasa dan/atau Pengguna Jasa tersebut. Pasal 18 (1) Penyelenggara wajib meneliti kebenaran dan melakukan verifikasi dokumen pendukung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, Pasal 10, Pasal 13 dan Pasal 14 berdasarkan dokumen resmi dan/atau sumber informasi lainnya yang dapat dipercaya serta memastikannya sebagai data terkini. (2) Penyelenggara dapat melakukan wawancara dengan Pengguna Jasa dan/atau calon Pengguna Jasa untuk meneliti dan meyakini keabsahan dan kebenaran dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Dalam hal terdapat keraguan, Penyelenggara harus meminta kepada Pengguna Jasadan/atau calon Pengguna Jasa untuk memberikan lebih dari satu dokumen identitas yang dikeluarkan oleh pihak yang berwenang, untuk memastikan kebenaran identitas Pengguna Jasa. (4) Penyelenggara wajib menyelesaikan proses verifikasi identitas Pengguna Jasadan/atau calon Pengguna Jasa sebelum menyelenggarakanjasa sistem pembayaran kepada Pengguna Jasa. Paragraf ... -14- Paragraf 6 Pemantauan Transaksi Pengguna Jasa Pasal 19 (1) Penyelenggara wajib melakukan pemantauan secara berkesinambungan untuk mengidentifikasi kesesuaian antara transaksi Pengguna Jasa dengan profil Pengguna Jasa. (2) Penyelenggara wajib melakukan analisis terhadap seluruh transaksi yang tidak sesuai dengan profil Pengguna Jasa. (3) Analisis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus memperhatikan transaksi yang bersifat kompleks, yang bernilai besar dan diluar kebiasaan, atau yang tidak memiliki kepentingan ekonomi. Paragraf 7 Beneficial Owner Pasal 20 (1) Penyelenggara wajib memastikan apakah Pengguna Jasa atau calon Pengguna Jasa bertindak mewakili Beneficial Owner untuk melakukan hubungan usaha dengan Penyelenggara. (2) Penyelenggara wajib melakukan seluruh prosedur CDD atau EDD terhadap Beneficial Owner sebagaimana dilakukan terhadap Pengguna Jasa atau calon Pengguna Jasa. (3) Dalam pelaksanaan CDD atau EDD bagi Beneficial Owner sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Penyelenggara wajib meminta dokumen identitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a atau Pasal 13 ayat (1) huruf a dari Beneficial Owner. (4) Pelaksanaan verifikasi terhadap kebenaran informasi Beneficial Owner dilakukan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 dan Pasal 18. Pasal 21 Kewajiban penyampaian dokumen identitas dan pelaksanaan verifikasi terhadap kebenaran informasi Beneficial Owner dalam rangka pelaksanaan ... -15- pelaksanaan CDD atau EDD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 tidak berlaku bagi Beneficial Owner yang mewakili: a. lembaga negara/pemerintah; atau b. perusahaan yang terdaftar di bursa efek. Bagian Kedua Penatausahaan Dokumen Pasal 22 (1) Penyelenggara wajib menatausahakan: a. dokumen yang terkait dengan informasi Pengguna Jasa, calon Pengguna Jasa dan/atau Beneficial Owner dengan jangka waktu paling singkat 5 (lima) tahun sejak berakhirnya transaksi dan/atau pemberian jasa kepada Pengguna Jasa; b. dokumen keuangan yang terkait Pengguna Jasa dengan jangka waktu sebagaimana diatur dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai dokumen perusahaan. (2) Dalam hal terdapat transaksi yang memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud pada Pasal 19 ayat (2) dan ayat (3), Penyelenggara wajib menatausahakan secara khusus data dan/atau dokumen transaksi dimaksud untuk jangka waktu 5 (lima) tahun sejak transaksi dinyatakan sebagai transaksi yang memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) dan ayat (3). Pasal 23 Penatausahaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 dapat dilakukan lebih lama jika terkait kasus tertentu dan diminta oleh otoritas yang berwenang seperti Bank Indonesia atau PPATK. Bagian Ketiga Penetapan Profil dan Pengkinian Informasi Pengguna Jasa Pasal 24 (1) Penyelenggara wajib menetapkan profil Pengguna Jasa dalam mengimplementasikan CDD dan EDD. (2) Profil ... -16- (2) Profil Pengguna Jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus didasarkan atas informasi yang cukup mengenai Pengguna Jasa. Pasal 25 (1) Penyelenggara wajib melakukan pengkinian informasi Pengguna Jasa. (2) Pengkinian informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap seluruh dokumen, data dan informasi yang dikumpulkan dalam rangka CDD dan/atau EDD. Bagian Keempat Penolakan dan Penghentian Hubungan Usaha Pasal 26 Penyelenggara wajib menolak menyelenggarakan jasa kepada calon Pengguna Jasa yang: a. b. tidak memiliki dokumen identitas yang sah; tidak dapat menunjukkan identitas yang sah dari Beneficial Owner-nya; c. tidak dapat menyediakan informasi yang cukup untuk penyusunan profil Pengguna Jasa; atau d. diduga menggunakan nama fiktif atau tidak bersedia menginformasikan nama (anonim). Pasal 27 Penyelenggara wajib memutuskan hubungan usaha dengan Pengguna Jasa yang tidak memenuhi persyaratan terkait penerapan CDD atau EDD. Bagian Kelima Kebijakan dan Prosedur Transfer Dana Pasal 28 Dalam melakukan kegiatan transfer dana, Penyelenggara wajib memperoleh dan memastikan kelengkapan informasi identitas Pengguna Jasa pengirim. Bagian ... -17- Bagian Keenam Pelaporan Kepada PPATK Pasal 29 (1) Penyelenggara wajib menyampaikan laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan, laporan transaksi keuangan tunai, laporan keuangan transfer dana dari dan ke luar negeri sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan mengenai pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang. (2) Kewajiban Penyelenggara untuk melaporkan Transaksi Keuangan Mencurigakan juga berlaku untuk transaksi yang diduga terkait dengan kegiatan terorisme atau Pendanaan Terorisme; (3) Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan berpedoman pada ketentuan yang dikeluarkan oleh PPATK. BAB V PENGENDALIAN INTERNAL Pasal 30 (1) Penyelenggara wajib menyusun dan menerapkan pengendalian internal. (2) Pengendalian internal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara lain dilakukan dengan penetapan kebijakan direksi mengenai: a. adanya batas wewenang dan tanggung jawab satuan kerja terkait dengan penerapan program APU dan PPT; dan b. pelaksanaan pemeriksaan terhadap efektifitas pelaksanaan program APU dan PPT oleh fungsi audit intern. (3) Pelaksana fungsi audit intern Penyelenggara melaporkan kepada PPATK setiap Transaksi Keuangan Mencurigakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 yang ditemukan saat melakukan audit dan belum dilaporkan oleh Penyelenggara. BAB ... -18- BAB VI SUMBER DAYA MANUSIA Pasal 31 Untuk mencegah digunakannya Penyelenggara sebagai media atau tujuan Pencucian Uang atau Pendanaan Terorisme yang melibatkan pihak intern, Penyelenggara wajib melakukan prosedur penyaringan (screening) dalam rangka penerimaan pegawai baru. Pasal 32 Penyelenggara wajib menyelenggarakan pelatihan yang berkesinambungan tentang: a. b. implementasi peraturan perundang-undangan yang terkait dengan program APU dan PPT; teknik, metode dan tipologi Pencucian Uang atau Pendanaan Terorisme; dan c. kebijakan dan prosedur penerapan program APU dan PPT serta peran dan tanggung jawab pegawai dalam memberantas Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme. Pasal 33 (1) Penyelenggara wajib membentuk unit kerja khusus dan/atau menunjuk pejabat Penyelenggara yang bertanggungjawab atas penerapan program APU dan PPT. (2) Unit kerja khusus dan/atau pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggung jawab kepada direksi. (3) Unit kerja khusus dan/atau pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memiliki kemampuan yang memadai dan memiliki kewenangan untuk mengakses seluruh data Pengguna Jasa dan informasi lainnya yang terkait. (4) Dalam hal Penyelenggara tidak dapat membentuk unit kerja khusus dan/atau menunjuk pejabat Penyelenggara yang bertanggung jawab atas penerapan program APU dan PPT sebagaimana dimaksud pada ayat (1), fungsi dimaksud dilaksanakan oleh salah satu anggota direksi. BAB ... -19- BAB VII LARANGAN MELAKUKAN PEMBOCORAN RAHASIA (TIPPING OFF) Pasal 34 (1) Komisaris, Direksi, dan/atau pegawai Penyelenggara, dilarang memberitahukan kepada Pengguna Jasa atau pihak lain, baik secara langsung maupun tidak langsung, dengan cara apapun mengenai laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan yang sedang disusun atau telah disampaikan kepada PPATK, dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan yang terkait. (2) Ketentuan mengenai larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk pemberian informasi kepada Bank Indonesia. BAB VIII PENGAWASAN Pasal 35 Bank Indonesia melakukan pengawasan terhadap penerapan program APU dan PPT oleh Penyelenggara. BAB IX SANKSI Pasal 36 (1) Penyelenggara yang terlambat menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 dikenakan sanksi administratif berupa kewajiban membayar sebesar Rp50.000,00 (lima puluh ribu rupiah) per hari keterlambatan per laporan. (2) Penyelenggara yang tidak menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam waktu 30 (tiga puluh) hari sejak batas akhir waktu penyampaian laporan dikenakan sanksi berupa berupa teguran tertulis dan kewajiban membayar sebesar Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah). Pasal ... -20- Pasal 37 Penyelenggara yang tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 17, Pasal 18, Pasal 19, Pasal 20, Pasal 22, Pasal 24, Pasal 25, Pasal 26, Pasal 27, Pasal 28, Pasal 29, Pasal 30, Pasal 31, Pasal 32, Pasal 33 dan Pasal 39 dapat dikenakan sanksi administratif berupa: a. teguran tertulis; b. penghentian sementara seluruh atau sebagian kegiatan usaha Penyelenggara; c. pembatalan izin; dan/atau d. pencabutan izin. Pasal 38 Bank Indonesia dapat mencabut izin usaha Penyelenggara atas dasar rekomendasi PPATK. BAB X KETENTUAN PERALIHAN Pasal 39 Penyelenggara yang telah memperoleh izin dari Bank Indonesia sebelum berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini wajib menyampaikan dan menerapkan kebijakan dan prosedur tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) paling lama 3 (tiga) bulan sejak berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini. BAB XI KETENTUAN PENUTUP Pasal 40 Ketentuan lebih lanjut mengenai Program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme bagi Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran Selain Bank diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal ... -21- Pasal 41 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 8 Juni 2013. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 29 Maret 2012 GUBERNUR BANK INDONESIA, DARMIN NASUTION Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 29 Maret 2012 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, AMIR SYAMSUDDIN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2012 NOMOR 86 DASP PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 14/ 3 /PBI/2012 TENTANG PROGRAM ANTI PENCUCIAN UANG DAN PENCEGAHAN PENDANAAN TERORISME BAGI PENYELENGGARA JASA SISTEM PEMBAYARAN SELAIN BANK I. UMUM Penerapan program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme (APU dan PPT) bagi penyelenggara jasa sistem pembayaran bukanlah hal baru. Jika penyelenggara jasa sistem pembayaran itu berasal dari bank umum maka sepenuhnya tunduk pada peraturan Bank Indonesia yang mengatur mengenai APU dan PPT bagi bank umum. Sementara itu, jika penyelenggaranya dari Bank Perkreditan Rakyat maka sepenuhnya tunduk pada peraturan Bank Indonesia yang mengatur APU dan PPT bagi Bank Perkreditan Rakyat. Pengaturan APU dan PPT bagi Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran Selain Bank ini diperuntukkan bagi penyelenggara jasa sistem pembayaran yang berasal dari bukan bank, baik bukan sebagai bank umum maupun bukan sebagai Bank Perkreditan Rakyat. Sebagaimana dalam prinsip non diskriminatif yang lazim dianut dalam sistem pembayaran, maka tidak ada pembeda dalam penerapan APU dan PPT bagi siapapun penyelenggara jasa sistem pembayaran baik dari bank maupun dari selain bank. Dalam penyelenggaraan jasa sistem pembayaran yang esensinya mengandung kegiatan perpindahan dana dan kegiatan pembayaran, dua kegiatan tersebut sangat berpotensi untuk dimanfaatkan dalam kegiatan Pencucian Uang dan pemanfaatannya dalam Pendanaan Terorisme. Semakin pesat kegiatan sistem pembayaran dan makin banyaknya pihak selain bank yang terlibat sebagai penyelenggara jasa sistem pembayaran, maka makin mengukuhkan keinginan untuk mengatur ... -2- mengatur dan meningkatkan peran dan kerjasama para penyelenggara dalam penegakan hukum untuk menjalankan program APU dan PPT. Untuk itu, pencegahan dari awal melalui pengenalan yang mendalam tentang pengguna jasa sistem pembayaran sangatlah signifikan dilakukan. Pemenuhan sejumlah persyaratan oleh pengguna jasa sebelum dilakukannya suatu transaksi dan pemenuhan sejumlah langkah yang harus dilakukan oleh penyelenggara sangat penting untuk dipatuhi guna memitigasi risiko hukum, risiko operasional, dan risiko reputasi. Para Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran Selain Bank seperti penerbit atau acquirer dalam penyelenggaraan Alat Pembayaran Menggunakan Kartu (APMK) atau Uang Elektronik, dan/atau penyelenggara Kegiatan Usaha Pengiriman Uang atau transfer dana, memegang peran penting untuk melakukan proses tersebut. Penerapan program APU dan PPT bagi penyelenggara jasa sistem pembayaran mengacu pada standar internasional pencegahan dan pemberantasan pencucian uang dan pendanaan terorisme dari Financial Action Task Force(FATF) on Money Laundering sebagaimana dalam Recommendation/Special Recommendation 40+9 FATF. Rekomendasi tersebut juga menjadi acuan yang digunakan oleh masyarakat internasional dalam melakukan penilaian terhadap kepatuhan suatu negara terhadap pelaksanaan program anti pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme. Peran Bank Indonesia sebagai Lembaga Pengawas dan Pengatur (LPP) sebagaimana dimaksud dalam UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU PP TPPU), yakni untuk mengeluarkan aturan, melakukan pengawasan dan/atau mengenakan sanksi atas pelanggaran ketentuan APU dan PPT mempunyai arti penting pula dalam menegakkan program APU dan PPT tersebut. Penerbitan ketentuan dalam peraturan Bank Indonesia ini merupakan salah satu dari peran Bank Indonesia sebagai LPP. Peraturan Bank Indonesia ini antara lain memuat batasan pengertian dari para penyelenggara, cakupan program APU dan PPT, pelaksanaan Customer Due Diligence (CDD) dan Enhanced Due Diligence ... -3- Diligence (EDD), persyaratan yang harus dipenuhi dan peran yang harus dilakukan oleh pengurus dari penyelenggara, kewajiban pelaporan, termasuk pengenaan sanksi administratif jika tidak memenuhi kewajiban. Kegiatan untuk melakukan identifikasi, verifikasi dan pemantauan terhadap dokumen dan kegiatan pengguna jasa menjadi salah satu kegiatan utama yang harus dilakukan oleh penyelenggara, terlebih jika pengguna jasa termasuk pihak yang mempunyai risiko tinggi. Pengaturan dalam peraturan Bank Indonesia ini utamanya diperuntukkan bagi Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran Selain Bank dalam kegiatan Alat Pembayaran Menggunakan Kartu, Uang Elektronik dan/atau penyelenggaraan Kegiatan Usaha Pengiriman Uang atau kegiatan transfer dana sebagaimana dimaksud dalam UU PP TPPU. Perkembangan produk jasa sistem pembayaran di kemudian hari sangat berpotensi untuk terus berkembang. Apabila di kemudian hari otoritas di bidang APU dan PPT, mengeluarkan kebijakan dan mengakui adanya penyelenggara baru di bidang jasa sistem pembayaran, maka program APU dan PPT yang telah diatur dalam peraturan Bank Indonesia ini dimungkinkan untuk diterapkan kepada penyelenggara baru tersebut. Dengan penerapan program APU dan PPT yang efektif kepada para penyelenggara jasa sistem pembayaran, diharapkan para penyelenggara dapat beroperasi secara sehat sehingga pada akhirnya secara keseluruhan dapat meningkatkan keamanan dan efisiensi dalam memelihara sistem pembayaran. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat ... -4- Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud dengan “penerbit dan/atau acquirer dalam kegiatan APMK” adalah penerbit dan/atau acquirer sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia yang mengatur mengenai APMK. Huruf b Yang dimaksud dengan “penerbit dan/atau acquirer dalam kegiatan Uang Elektronik” adalah penerbit dan/atau acquirersebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia yang mengatur mengenai uang elektronik. Huruf c Yang dimaksud dengan “penyelenggara KUPU” adalah Penyelenggara yang melakukan Kegiatan Usaha Pengiriman Uang atau transfer dana sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Bank Indonesia yang mengatur mengenai KUPU atau transfer dana. Penyelenggara APMK dan Uang Elektronik selain penerbit dan/atau acquirerharus mendukung penerapan program APU dan PPT yang dilakukan oleh penerbit dan/atau acquirer. Dukungan terhadap program APU dan PPT oleh penyelenggara selain penerbit dan/atau acquirerantara lain dilakukan dengan menyediakan data yang diperlukan untuk penerapan program APU dan PPT. Pasal 3 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan “Direksi” adalah: a. bagi Penyelenggara berbentuk badan hukum Perseroan Terbatas adalah direksi sebagaimana dimaksud ... -5- dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai Perseroan Terbatas; b. bagi Penyelenggara berbentuk badan hukum Perusahaan Daerah adalah direksi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai Perusahaan Daerah; c. bagi Penyelenggara berbentuk badan hukum Koperasi adalah pengurus sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai Perkoperasian; d. bagi Penyelenggara berbentuk badan hukum Perusahaan Umum adalah direksi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai Badan Usaha Milik Negara. Yang dimaksud dengan “Dewan Komisaris” adalah: a. bagi Penyelenggara berbentuk badan hukum Perseroan Terbatas adalah komisaris sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai Perseroan Terbatas; b. bagi Penyelenggara berbentuk badan hukum Perusahaan Daerah adalah komisaris sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai Perusahaan Daerah; c. bagi Penyelenggara berbentuk badan hukum Koperasi adalah pengawas sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenaiPerkoperasian; d. bagi Penyelenggara berbentuk badan hukum Perusahaan Umum adalah dewan pengawas sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai Badan Usaha Milik Negara. Huruf ... -6- Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 4 Cukup jelas. Pasal 5 Cukup jelas. Pasal 6 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Perubahan kebijakan dan prosedur tertulis yang wajib disampaikan kepada Bank Indonesia adalah perubahan yang signifikan terhadap kebijakan dan prosedur APU dan PPT. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 7 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “calon Pengguna Jasa” adalah pihak yang menunjukkan maksud untuk menggunakan jasa Penyelenggara. Ayat ... -7- Ayat (3) Yang dimaksud dengan “penyelenggaraan jasa sistem pembayaran dengan risiko rendah” adalah penyelenggaraan jasa sistem pembayaran yang memiliki potensi penyalahgunaan yang rendah, antara lain karena cakupan penggunaan dan nilainya terbatas. Cakupan penggunaan yang terbatas dapat terlihat dari fungsi instrumen yang hanya dapat digunakan untuk melakukan fungsi pembayaran. Nilai yang terbatas dapat terlihat dari adanya batasan nilai maksimum nominal yang relatif rendah pada suatu instrumen pembayaran. Contoh jasa sistem pembayaran dengan risiko rendah antara lain adalah uang elektronik dengan nilai paling banyak Rp1.000.000,- (satu juta rupiah) dan tidak dapat digunakan untuk melakukan transfer dana. Ayat (4) Pendekatan berdasarkan risiko dilakukan dengan berpedoman pada ketentuan PPATK antara lain dengan mengelompokkan Pengguna Jasa berdasarkan tingkat risiko terhadap kemungkinan terjadinya pencucian uang atau pendanaan terorisme berdasarkan tingkat risiko rendah, menengah dan tinggi. Selain pendekatan berdasarkan risiko, Penyelenggara juga harus memperhatikan karakteristik jasa system pembayaran seperti misalnya nilai, volume dan pengguna jasa. Aspek-aspek yang dapat dipertimbangkan oleh Penyelenggara dalam menetapkan kebijakan dan prosedur tertulis untuk pelaksanaan CDD dan EDD, antara lain jumlah dan nilai transaksi profil Pengguna Jasa (perorangan, perusahaan, atau Beneficial Owner), kegiatan usaha, faktor geografis, frekuensi dan nilai transaksi Pengguna Jasa. Pasal ... -8- Pasal 8 Cukup jelas. Pasal 9 Ayat (1) Yang dimaksud dengan Pengguna Jasa perorangan adalah pengguna jasa dari orang perseorangan atau individu (natural person) selain badan usaha atau badan hukum. Huruf a Yang dimaksud dengan dokumen identitas Pengguna Jasa antara lain adalah kartu tanda penduduk, surat izin mengemudi, paspor, atau dokumen identitas lain yang memuat foto Pengguna Jasa. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “transaksi yang bersifat penerimaan” adalah transaksi dimana Pengguna Jasa merupakan pihak penerima dalam transaksi tersebut, antara lain penerimaan transaksi pengiriman uang. Pasal 10 Ayat (1) Yang dimaksud dengan Pengguna Jasa selain perseorangan antara lain adalah Pengguna Jasa dari lembaga, badan usaha atau badan hukum (legal person). Huruf a Dokumen yang memuat informasi nama dan bentuk badan usaha Pengguna Jasa antara lain berupa akta pendirian atau anggaran dasar Pengguna Jasa. Untuk Pengguna Jasa berupa lembaga pemerintah/negara ... -9- pemerintah/negara maka dokumen yang disampaikan cukup memuat keterangan nama dan alamat kedudukan lembaga pemerintah/negara tersebut. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Dokumen hukum lainnya dapat berupa anggaran dasar atau ketentuan internal Pengguna Jasa yang memberikan dasar kewenangan untuk mewakili Pengguna Jasa. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “transaksi yang bersifat penerimaan” adalah transaksi dimana Pengguna Jasa merupakan pihak penerima dalam transaksi tersebut, antara lain penerimaan transaksi pengiriman uang. Pasal 11 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “pihak ketiga” adalah pihak yang merupakan pihak pelapor sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan mengenai pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang.Kegiatan CDD yang dapat dilakukan oleh pihak ketiga adalah kegiatan identifikasi dan verifikasi Pengguna Jasa, dan Beneficial Owner apabila ada. Jika dalam melaksanakan CDD Penyelenggara bekerjasama dengan pihak lain yang bukan merupakan pihak pelapor, maka pelaksanaan kegiatan CDD oleh pihak lain tersebut dipandang sebagai bagian dari pelaksanaan CDD yang dilakukan oleh Penyelenggara sendiri. Penyelenggara ... -10- Penyelenggara bertanggung jawab penuh atas pelaksanaan kegiatan CDD oleh pihak lain tersebut, dan memastikan kesesuaiannya dengan ketentuan yang berlaku. Ayat (2) Huruf a Prosedur CDD antara lain mencakup identifikasi dan verifikasi calon Pengguna Jasa. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Informasi ini paling kurang berupa informasi mengenai nama lengkap sesuai dengan yang tercantum dalam kartu identitas, alamat atau tempat dan tanggal lahir, nomor kartu identitas, dan kewarganegaraan dari calon Pengguna Jasa Huruf d Memadai atau tidaknya suatu negara dalam menerapkan rekomendasi FATF antara lain dapat dilihat di website www.fatf-gafi.org atau www.apgml.org. Ayat (3) Tanggung jawab akhir atas hasil identifikasi dan verifikasi serta keputusan untuk melakukan hubungan usaha dengan Pengguna Jasa sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penyelenggara. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 12 Huruf a Penggolongan Pengguna Jasa yang berisiko tinggi dilakukan antara lain dengan mengacu pada kategori Pengguna Jasa yang berpotensi melakukan pencucian uang ... -11- uang dan/atau pedoman Pengguna Jasa berisiko tinggi yang ditetapkan PPATK. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Besarnya nilai transaksi mengacu pada Undang-Undang No. 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Pasal 13 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Yang dimaksud dengan “transaksi” termasuk permohonan untuk menjadi pemegang APMK, pemegang Uang Elektronik dan/atau perintah pelaksanaan pengiriman uang. Huruf e Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “transaksi yang bersifat penerimaan” adalah transaksi dimana Pengguna Jasa merupakan pihak penerima dalam transaksi tersebut, antara lain penerimaan transaksi pengiriman uang. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal ... -12- Pasal 14 Ayat (1) Huruf a Dokumen yang memuat informasi nama dan bentuk badan usaha Pengguna Jasa antara lain berupa akta pendirian atau anggaran dasar Pengguna Jasa. Untuk Pengguna Jasa berupa lembaga pemerintah/negara maka dokumen yang disampaikan cukup memuat keterangan nama dan alamat kedudukan lembaga pemerintah/negara tersebut. Huruf b Identitas pengurus paling kurang mencakup nama dan alamat pengurus Pengguna Jasa. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Dokumen hukum lainnya dapat berupa anggaran dasar atau ketentuan internal Pengguna Jasa yang memberikan dasar kewenangan untuk mewakili Pengguna Jasa. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Yang dimaksud dengan “transaksi” termasuk permohonan untuk menjadi pemegang APMK, pemegang Uang Elektronik dan perintah pelaksanaan pengiriman uang atau transfer dana. Huruf h Cukup jelas. Ayat ... -13- Ayat (2) Yang dimaksud dengan “transaksi yang bersifat penerimaan” adalah transaksi dimana Pengguna Jasa merupakan pihak penerima dalam transaksi tersebut, antara lain penerimaan transaksi pengiriman uang. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 15 Penggolongan Pengguna Jasa yang berisiko tinggi dilakukan antara lain dengan mengacu pada kategori Pengguna Jasa yang berpotensi melakukan Pencucian Uang dan/atau pedoman Pengguna Jasa berisiko tinggi yang ditetapkan PPATK. Yang dimaksud dengan “pejabat senior” adalah pejabat Penyelenggara yang telah memiliki pengetahuan dan pengalaman mengenai APU atau PPT dan memiliki kewenangan penuh pada Penyelenggara. Pasal 16 Tanggung jawab langsung antara lain dilakukan dengan Direksi terlibat langsung dalam proses APU dan PPT transaksi Pengguna Jasa PEP tersebut, antara lain dengan melakukan review dan menyetujui pelaksanaan EDD yang telah dilakukan terhadap Pengguna Jasa tersebut. Pasal 17 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Bagi Penyelenggara yang menggunakan hasil CDD yang dilakukan oleh pihak ketiga, maka pertemuan langsung (face to face) dapat dilakukan oleh pihak ketiga tersebut. Pasal ... -14- Pasal 18 Ayat (1) Guna mendukung proses verifikasi dokumen, Penyelenggara dapat meminta jenis dokumen pendukung lainnya yang disertai dengan foto identitas diri terkini dari Pengguna Jasa dan/atau calon Pengguna Jasa dalam jangka waktu yang masih berlaku. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Pemberian lebih dari satu dokumen identitas dapat dipenuhi misalnya dengan menyampaikan Kartu Tanda Penduduk dan Surat Izin Mengemudi. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 19 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Dalam melakukan pemantauan, Penyelenggara dapat menetapkan batasan nilai nominal dan jenis transaksi yang menyimpang dari profil. Ayat (3) Contoh transaksi yang bersifat kompleks antara lain adalah sejumlah transaksi yang dikirimkan dari beberapa orang untuk kepentingan satu orang yang sama, dan sejumlah transaksi dari satu orang yang sama untuk kepentingan beberapa orang. Pasal ... -15- Pasal 20 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Identifikasi dan verifikasi terhadap Beneficial Owner dilakukan dengan menggunakan sumber data yang terpercaya, antara lain Anggaran Dasar yang telah disahkan Menkumham dan/atau daftar pemegang saham Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 21 Dalam hal Penyelenggara menemukan bahwa Pengguna Jasa bertindak untuk kepentingan lembaga negara/pemerintah atau perusahaan yang terdaftar di bursa efek, maka Penyelenggara cukup mencatat identitas dari Beneficial Ownertersebut. Yang dimaksud dengan “lembaga negara/pemerintah” adalah lembaga yang memiliki kewenangan di bidang legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Pasal 22 Ayat (1) Dokumen dapat ditatausahakan dalam bentuk asli, salinan, electronic form, microfilm, atau dokumen yang berdasarkan Undang-Undang dapat dipergunakan sebagai alat bukti. Huruf ... -16- Huruf a Dokumen yang ditatausahakan paling kurang mencakup identitas Pengguna Jasa, calon Pengguna Jasa dan/atau Beneficial Owner, serta informasi transaksi.Informasi transaksi antara lain meliputi tanggal transaksi, jenis dan nilai transaksi, mata uang yang digunakan, sumber dana, maksud dan tujuan transaksi. Huruf b Dokumen keuangan terdiri dari catatan, bukti pembukuan, dan data pendukung administrasi keuangan, yangmerupakan bukti adanya hak dan kewajiban serta kegiatan usaha Penyelenggara. Ayat (2) Dalam hal hasil temuan dikategorikan sebagai laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan, Penyelenggara meneruskan laporan tersebut kepada PPATK sebagaimana dimaksud dalam Bagian Keenam. Pasal 23 Cukup jelas. Pasal 24 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Informasi yang digunakan dalam menetapkan profil Pengguna Jasa antara lain informasi identitas Pengguna Jasa, transaksi yang dilakukan, termasuk tujuan pelaksanaan transaksi dan sumber dana apabila diperlukan. Pasal 25 Cukup jelas. Pasal ... -17- Pasal 26 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan “dokumen identitas yang sah” adalah Kartu Tanda Penduduk, Surat Izin Mengemudi, Paspor, atau dokumen identitas lain yang paling kurang memuat foto dan tanda tangan, yang dikeluarkan oleh otoritas berwenang serta masih berlaku. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 27 Cukup jelas. Pasal 28 Yang dimaksud dengan “Pengguna Jasa pengirim” adalah Pengguna Jasa yang pertama kali mengeluarkan perintah transfer dana. Dalam melakukan kegiatan transfer dana, Penyelenggara dapat bertindak sebagai Penyelenggara pengirim, Penyelenggara penerus atau Penyelenggara penerima. Penyelenggara pengirim merupakan Penyelenggara yang mengirimkan perintah transfer dana.Penyelenggara penerus merupakan Penyelenggara yang meneruskan perintah transfer dana.Penyelenggara penerima merupakan Penyelenggara yang memiliki kewajiban untuk menyampaikan ... -18- menyampaikan dana kepada Pengguna Jasa yang berhak untuk menerima dana. Informasi identitas Pengguna Jasa pengirim paling kurang meliputi: a. nama; dan b. nomor rekening, nomor referensi unik lainnya, alamat, nomor identitas, atau informasi tempat dan tanggal lahir. Pasal 29 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Ketentuan yang dikeluarkan oleh PPATK antara lain mengenai jangka waktu penyampaian laporan. Pasal 30 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Fungsi audit harus memiliki kemampuan dan pengetahuan terkait APU dan PPT. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 31 Pemanfaatan jasa sistem pembayaran sebagai media pencucian uang dan pendanaan terorisme dimungkinkan juga melibatkan pegawai penyelenggara jasa sistem pembayaran itu sendiri. Dengan demikian untuk mencegah ataupun mendeteksi terjadinya dugaan tindak pidana pencucian uang yang dilakukan melalui penyelenggaraan jasa sistem pembayaran perlu diterapkan ... -19- diterapkan Know Your Employee (KYE) yang diantaranya adalah melalui prosedur screening. Pasal 32 Cukup jelas. Pasal 33 Ayat (1) Pembentukan unit kerja khusus dan/atau penunjukan pejabat dilakukan dengan memperhatikan kebutuhan dan kompleksitas penyelenggaraan jasa sistem pembayaran yang dilakukan oleh Penyelenggara. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Kemampuan yang memadai antara lain mencakup pengalaman dan pengetahuan mengenai perkembangan rezim APU dan PPT. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 34 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “peraturan perundang-undangan yang terkait” antara lain adalah Undang-Undang yang mengatur mengenai pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 35 Cukup jelas. Pasal 36 Cukup jelas. Pasal ... -20- Pasal 37 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan “kegiatan usaha” adalah kegiatan APMK, Uang Elektronik atau KUPU. Huruf c Yang dimaksud dengan “izin” adalah izin Penyelenggara untuk menyelenggarakan kegiatan APMK, Uang Elektronik, atau KUPU. Pembatalan merupakan pembatalan atas izin yang diberikan oleh Bank Indonesia kepada Penyelenggara yang belum menjalankan kegiatan usahanya secara efektif. Huruf d Pencabutan merupakan pencabutan atas izin yang diberikan oleh Bank Indonesia kepada Penyelenggara yang telah menjalankan kegiatan usahanya secara efektif. Pasal 38 Yang dimaksud dengan “izin” adalah izin Penyelenggara untuk menyelenggarakan kegiatan APMK, Uang Elektronik atau KUPU. Pasal 39 Cukup jelas. Pasal 40 Cukup jelas. Pasal 41 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5302 NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAH
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 14/3/PBI/2012 </reg_id> <reg_title> PROGRAM ANTI PENCUCIAN UANG DAN PENCEGAHAN PENDANAAN TERORISME BAGI PENYELENGGARA JASA SISTEM PEMBAYARAN SELAIN BANK </reg_title> <set_date> 29 Maret 2012 </set_date> <effective_date> 8 Juni 2013 </effective_date> <issued_date> 29 Maret 2012 </issued_date> <related_reg> '6/UU/2009', '1/PERPPU/2002', '23/UU/1999', '15/UU/2003', '2/PERPPU/2008', '3/UU/2011', '8/UU/2010' </related_reg> <penalty_list> 'BAB IX' </penalty_list>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 8/3/PBI/2006 TENTANG PERUBAHAN KEGIATAN USAHA BANK UMUM KONVENSIONAL MENJADI BANK UMUM YANG MELAKSANAKAN KEGIATAN USAHA BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH DAN PEMBUKAAN KANTOR BANK YANG MELAKSANAKAN KEGIATAN USAHA BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH OLEH BANK UMUM KONVENSIONAL GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa dalam rangka menghadapi perkembangan perekonomian nasional, diperlukan sistem perbankan nasional yang tangguh dan dapat melayani seluruh lapisan masyarakat; b. bahwa dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat akan jasa pelayanan perbankan syariah yang semakin meningkat, diperlukan jaringan kantor bank yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah yang lebih luas dan mudah dijangkau; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam butir a dan butir b di atas, dipandang perlu untuk melakukan pengaturan kembali terhadap ketentuan mengenai Perubahan Kegiatan Usaha Bank Umum Konvensional Menjadi Bank Umum Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah dan Pembukaan Kantor Bank Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah oleh Bank Umum Konvensional; Mengingat … - 2 - Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); 2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 3 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357); MEMUTUSKAN: Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN KEGIATAN USAHA BANK UMUM KONVENSIONAL MENJADI BANK UMUM YANG MELAKSANAKAN KEGIATAN USAHA BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH DAN PEMBUKAAN KANTOR BANK YANG MELAKSANAKAN KEGIATAN USAHA BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH OLEH BANK UMUM KONVENSIONAL. BAB I … - 3 - BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan: 1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional, termasuk kantor cabang dari suatu bank yang berkedudukan di luar negeri. 2. Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah adalah kegiatan usaha perbankan yang dilakukan berdasarkan Prinsip Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 13 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998. 3. Kantor Cabang adalah kantor Bank yang bertanggung jawab secara langsung kepada kantor pusat Bank yang bersangkutan, dengan alamat tempat usaha yang jelas dimana Kantor Cabang tersebut melakukan usaha. 4. Kantor dibawah Kantor Cabang Bank adalah Kantor Cabang Pembantu atau Kantor Kas yang kegiatan usahanya membantu Kantor Cabang induknya. 5. Kantor Cabang Pembantu adalah Kantor dibawah Kantor Cabang yang kegiatan usahanya membantu Kantor Cabang induknya. 6. Kantor Kas adalah Kantor dibawah Kantor Cabang yang kegiatan usahanya membantu Kantor induknya kecuali melakukan penyaluran dana. 7. Unit Usaha Syariah adalah unit kerja di kantor pusat Bank yang berfungsi sebagai kantor induk dari Kantor Cabang Syariah dan atau Unit Syariah. 8. Kantor Cabang Syariah adalah Kantor Cabang Bank yang melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah. 9. Kantor … - 4 - 9. Kantor Cabang Pembantu Syariah adalah Kantor dibawah Kantor Cabang Syariah yang kegiatan usahanya membantu Kantor Cabang Syariah induknya. 10. Kantor dibawah Kantor Cabang Syariah adalah Kantor Cabang Pembantu Syariah atau Kantor Kas Syariah yang melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah dalam rangka membantu Kantor Cabang Syariah induknya. 11. Kantor Kas Syariah adalah Kantor dibawah KantorCabang Syariah yang kegiatan usahanya membantu kantor induknya kecuali melakukan penyaluran dana. 12. Unit Syariah adalah satuan kerja khusus yang menginduk kepada Unit Usaha Syariah, yang kegiatan usahanya melakukan penghimpunan dana, penyaluran dana, dan pemberian jasa perbankan lainnya Berdasarkan Prinsip Syariah pada Kantor Cabang atau Kantor Cabang Pembantu Bank, dalam rangka persiapan menjadi Kantor Cabang Syariah. 13. Kegiatan Kas di luar Kantor Bank adalah kegiatan pelayanan kas berdasarkan Prinsip Syariah terhadap nasabah Bank, meliputi antara lain: a. Kas Mobil atau Kas Terapung yaitu kegiatan kas dengan menggunakan alat transportasi darat atau air; b. Payment Point yaitu kegiatan pembayaran atau penyetoran transaksi tertentu antara lain gaji pegawai, tagihan listrik, dan tagihan telepon melalui kerjasama antara Bank dengan nasabah Bank; c. Anjungan Tunai Mandiri (ATM) yaitu kegiatan kas yang dilakukan secara elektronis untuk memudahkan nasabah, antara lain dalam rangka menarik atau menyetor secara tunai, atau melakukan pembayaran melalui pemindahbukuan, dan memperoleh informasi mengenai saldo/mutasi rekening nasabah, termasuk ATM yang dilakukan dengan pemanfaatan teknologi melalui kerjasama dengan bank lain. 14. Dewan … - 5 - 14. Dewan Syariah Nasional adalah dewan yang dibentuk oleh Majelis Ulama Indonesia yang bertugas dan memiliki kewenangan untuk menetapkan fatwa tentang produk dan jasa dalam kegiatan usaha Bank yang melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah. 15. Dewan Pengawas Syariah adalah dewan yang melakukan pengawasan terhadap penerapan prinsip syariah dalam kegiatan usaha Bank. 16. Direksi : a. bagi Bank berbentuk hukum Perseroan Terbatas adalah direksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas; b. bagi Bank berbentuk hukum Perusahaan Daerah adalah direksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah; c. bagi Bank berbentuk hukum Koperasi adalah pengurus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian. 17. Komisaris: a. bagi Bank berbentuk hukum Perseroan Terbatas adalah komisaris sebagaimana diamaksud dalam Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas; b. bagi Bank berbentuk hukum Perusahaan Daerah adalah pengawas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah; c. bagi Bank berbentuk hukum Koperasi adalah pengawas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian. 18. Pejabat … - 6 - 18. Pejabat Eksekutif adalah pejabat yang mempunyai pengaruh terhadap kebijakan dan operasional Bank dan atau bertanggungjawab langsung kepada Direksi antara lain pemimpin Kantor Cabang. 19. Pemegang Saham Pengendali adalah badan hukum, orang perseorangan dan atau kelompok usaha yang : a. memiliki saham perusahaan atau Bank sebesar 25% (dua puluh lima perseratus) atau lebih dari jumlah saham yang dikeluarkan dan mempunyai hak suara; b. memiliki saham perusahaan atau Bank kurang dari 25% (dua puluh lima perseratus) dari jumlah saham yang dikeluarkan dan mempunyai hak suara namun yang bersangkutan dapat dibuktikan telah melakukan pengendalian perusahaan atau Bank, baik secara langsung maupun tidak langsung. 20. Layanan Syariah adalah kegiatan penghimpunan dana yang dilakukan di Kantor Cabang dan atau di Kantor dibawah Kantor Cabang untuk dan atas nama Kantor Cabang Syariah pada Bank yang sama. BAB II PERUBAHAN KEGIATAN USAHA BANK UMUM KONVENSIONAL MENJADI BANK UMUM YANG MELAKSANAKAN KEGIATAN USAHA BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH Pasal 2 (1) Bank hanya dapat mengubah kegiatan usahanya menjadi Bank yang melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah dengan izin dari Gubernur Bank Indonesia. (2) Rencana perubahan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dicantumkan dalam rencana bisnis Bank. Pasal 3 … - 7 - Pasal 3 (1) Permohonan izin perubahan kegiatan usaha diajukan oleh Bank kepada Gubernur Bank Indonesia dan wajib disertai dengan: a. anggaran dasar Bank; b. rancangan akta perubahan anggaran dasar yang paling kurang memuat: 1. nama dan tempat kedudukan; 2. penegasan bahwa Bank melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah; 3. permodalan; dalam hal terjadi perubahan 4. kepemilikan; dalam hal terjadi perubahan 5. wewenang, tanggung jawab, dan masa jabatan Direksi serta dewan Komisaris; dalam hal terjadi perubahan 6. penempatan Dewan Pengawas Syariah dan tugas-tugasnya. yang telah disetujui oleh rapat umum pemegang saham dan dibuat dihadapan notaris dalam bahasa Indonesia. c. notulen rapat umum pemegang saham; d. data berupa: 1. daftar calon pemegang saham berikut rincian besarnya masing-masing kepemilikan saham bagi Bank yang berbentuk hukum Perseroan Terbatas/Perusahaan Daerah; 2. daftar calon anggota berikut rincian jumlah simpanan pokok dan simpanan wajib, serta daftar hibah bagi Bank yang berbentuk hukum Koperasi; dalam hal terjadi perubahan kepemilikan. e. daftar calon anggota Direksi, dewan Komisaris dan Dewan Pengawas Syariah disertai dengan: 1. pas foto 1 (satu) bulan terakhir ukuran 4 x 6 cm; 2. fotokopi … - 8 - 2. fotokopi tanda pengenal yang dapat berupa Kartu Tanda Penduduk (KTP) atau paspor; 3. riwayat hidup; 4. contoh tanda tangan dan paraf; 5. fotokopi kartu izin menetap sementara (KIMS) dan fotokopi surat izin bekerja dari instansi berwenang, bagi warga negara asing; 6. surat pernyataan pribadi yang menyatakan tidak pernah melakukan tindakan tercela di bidang perbankan, keuangan dan usaha lainnya, tidak pernah dihukum karena terbukti melakukan tindak pidana kejahatan dan tidak sedang dalam masa pengenaan sanksi untuk dilarang menjadi pengurus bank sebagaimana diatur dalam ketentuan Penilaian Kemampuan dan Kepatutan (Fit and Proper Test) yang ditetapkan oleh Bank Indonesia; 7. surat pernyataan pribadi yang menyatakan bahwa yang bersangkutan tidak pernah dinyatakan pailit dan tidak pernah menjadi pemegang saham, anggota Direksi atau Komisaris yang dinyatakan bersalah menyebabkan suatu perseroan dinyatakan pailit berdasarkan ketetapan pengadilan dalam waktu 5 (lima) tahun sebelum tanggal pengajuan permohonan; 8. surat keterangan atau bukti tertulis dari Bank tempat bekerja sebelumnya mengenai pengalaman operasional di bidang perbankan syariah bagi calon anggota Direksi atau bagi calon anggota dewan Komisaris yang telah berpengalaman; 9. surat keterangan dari lembaga pendidikan mengenai pendidikan perbankan syariah yang pernah diikuti bagi calon anggota Direksi atau bagi calon anggota dewan Komisaris yang belum berpengalaman; 10. surat … - 9 - 10. surat pernyataan dari anggota dewan Komisaris bahwa yang bersangkutan tidak merangkap jabatan melebihi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Bank Indonesia tentang Pelaksanaan Good Corporate Govenance yang berlaku bagi bank yang melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah. 11. surat pernyataan dari anggota Direksi bahwa yang bersangkutan tidak merangkap jabatan sebagai anggota Direksi, Komisaris, atau Pejabat Eksekutif pada bank, perusahaan dan atau lembaga lain sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Bank Indonesia tentang Pelaksanaan Good Corporate Govenance yang berlaku bagi bank yang melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah; 12. surat pernyataan dari anggota Direksi dan dewan Komisaris bahwa yang bersangkutan tidak mempunyai hubungan keluarga dengan mayoritas anggota dewan Komisaris/dewan Direksi sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Bank Indonesia tentang Pelaksanaan Good Corporate Govenance yang berlaku bagi bank yang melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah; 13. surat pernyataan dari anggota Direksi bahwa yang bersangkutan baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama tidak memiliki saham melebihi 25% (dua puluh lima perseratus) dari modal disetor pada suatu perusahaan lain; 14. surat pernyataan dari anggota Dewan Pengawas Syariah bahwa yang bersangkutan tidak merangkap jabatan melebihi ketentuan rangkap jabatan sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia tentang bank umum yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah; f. rencana struktur organisasi, dan susunan personalia; g. rencana … - 10 - g. rencana bisnis Bank untuk tahun pertama yang paling kurang memuat: 1. studi kelayakan mengenai peluang pasar perbankan syariah dan potensi ekonomi yang disertai dengan data pendukung; 2. rencana kegiatan usaha yang mencakup penghimpunan dan penyaluran dana serta langkah-langkah kegiatan yang akan dilakukan dalam mewujudkan rencana dimaksud; dan 3. proyeksi neraca, laporan laba rugi dan laporan arus kas bulanan selama 12 (dua belas) bulan yang dimulai sejak Bank melakukan kegiatan operasional berdasarkan prinsip syariah; h. rencana strategis jangka menengah dan panjang (corporate plan); i. pedoman manajemen risiko, rencana sistem pengendalian intern, rencana sistem teknologi informasi yang digunakan, dan skala kewenangan; sistem dan prosedur kerja; j. k. rencana penyelesaian seluruh hak dan kewajiban Bank terhadap nasabah yang tidak bersedia menjadi nasabah Bank berdasarkan Prinsip Syariah; l. bukti kesiapan operasional paling kurang berupa: 1. daftar aktiva tetap dan inventaris; 2. bukti kepemilikan, penguasaan atau perjanjian sewa gedung kantor; 3. foto gedung kantor dan tata letak ruangan; 4. contoh formulir/warkat yang akan digunakan untuk operasional bank; dan 5. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan Tanda Daftar Perusahaan (TDP); (2) Daftar calon pemegang saham atau daftar calon anggota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d; a. dalam hal perorangan wajib disertai dengan: 1. dokumen … - 11 - 1. dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e angka 1, angka 2, angka 3, angka 4 dan angka 5; 2. surat pernyataan dari calon Pemegang Saham Pengendali yang menyatakan kesediaan untuk mengatasi kesulitan permodalan maupun likuiditas yang dihadapi bank dalam menjalankan kegiatan usahanya; dan 3. surat pernyataan pribadi yang menyatakan tidak pernah melakukan tindakan tercela di bidang perbankan, keuangan dan usaha lainnya, tidak pernah dihukum karena terbukti melakukan tindak pidana kejahatan dan tidak sedang dalam masa pengenaan sanksi untuk dilarang menjadi pemilik, pemilik dengan kepemilikan di atas 10% (sepuluh perseratus), dan atau Pemegang Saham Pengendali dari bank sebagaimana diatur dalam ketentuan Penilaian Kemampuan dan Kepatutan (Fit and Proper Test) yang ditetapkan oleh Bank Indonesia; b. dalam hal badan hukum wajib disertai dengan: 1. akta pendirian badan hukum, yang memuat anggaran dasar berikut perubahan-perubahan yang telah mendapat pengesahan dari instansi berwenang termasuk bagi badan hukum asing sesuai dengan ketentuan yang berlaku di negara asal badan hukum tersebut; 2. dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e angka 1 sampai dengan angka 5 dari seluruh Direksi dan dewan Komisaris badan hukum yang bersangkutan; 3. rekomendasi dari instansi berwenang di negara asal bagi badan hukum asing; 4. daftar pemegang saham berikut rincian besarnya masing-masing kepemilikan saham bagi badan hukum Perseroan Terbatas/ Perusahaan Daerah … - 12 - Daerah, atau daftar anggota berikut rincian jumlah simpanan pokok dan simpanan wajib, serta daftar hibah bagi badan hukum Koperasi; 5. laporan keuangan badan hukum yang telah diaudit oleh akuntan publik dengan posisi paling lama 6 (enam) bulan sebelum tanggal pengajuan permohonan persetujuan prinsip; 6. seluruh struktur kelompok usaha yang terkait dengan bank dan badan hukum pemilik bank sampai dengan pemilik terakhir; kecuali bagi Pemerintah Pusat dan atau Pemerintah Daerah; dan dari calon Pemegang 7. surat pernyataan Saham Pengendali yang menyatakan kesediaan untuk mengatasi kesulitan permodalan maupun likuiditas yang dihadapi Bank dalam menjalankan kegiatan usahanya, kecuali bagi Pemerintah Pusat dan atau Pemerintah Daerah. Pasal 4 (1) Persetujuan atau penolakan permohonan izin perubahan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 diberikan paling lambat dalam jangka waktu 60 (enam puluh) hari setelah dokumen permohonan diterima secara lengkap. (2) Dalam rangka memberikan persetujuan atau penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia melakukan: a. penelitian atas kelengkapan dan kebenaran dokumen; b. analisis yang mencakup antara lain tingkat persaingan yang sehat antar bank yang melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah atau tingkat kejenuhan jumlah bank yang melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah dan pemerataan kegiatan ekonomi; dan c. wawancara … - 13 - c. wawancara terhadap calon Pemegang Saham Pengendali, calon anggota dewan Komisaris, calon anggota Direksi dan calon Dewan Pengawas Syariah; (3) Bank yang mengajukan permohonan izin perubahan kegiatan usaha wajib melakukan presentasi kepada Bank Indonesia mengenai keseluruhan rencana perubahan kegiatan usaha. Pasal 5 Dalam hal perubahan anggaran dasar Bank memerlukan persetujuan dari instansi berwenang, permohonan persetujuan atas perubahan anggaran dasar kepada instansi berwenang diajukan bersamaan dengan pengajuan izin perubahan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam pasal 3. Pasal 6 Izin perubahan kegiatan usaha berlaku sejak: a. b. tanggal persetujuan perubahan anggaran dasar atau akta pendirian termasuk anggaran dasar oleh instansi berwenang tanggal pendaftaran akta perubahan anggaran dasar dalam daftar perusahaan apabila perubahan anggaran dasar tidak memerlukan persetujuan instansi yang berwenang. Pasal 7 (1) Bank yang telah mendapat izin perubahan kegiatan usaha dari Gubernur Bank Indonesia wajib melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah paling lambat 60 (enam puluh) hari sejak izin perubahan kegiatan usaha diberlakukan. (2) Pelaksanaan … - 14 - (2) Pelaksanaan perubahan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilaporkan oleh Direksi bank kepada Bank Indonesia paling lambat 10 (sepuluh) hari setelah tanggal dimulainya pelaksanaan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah. (3) Apabila setelah jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Bank belum melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah, maka izin perubahan kegiatan usaha yang telah diberikan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 8 (1) Bank yang telah mendapat izin perubahan kegiatan usaha wajib menyelesaikan seluruh hak dan kewajiban debitur dan kreditur dari kegiatan usaha secara konvensional paling lambat 360 (tiga ratus enam puluh) hari sejak tanggal surat izin perubahan kegiatan usaha dikeluarkan. (2) Dalam rangka penyelesaian seluruh hak dan kewajiban debitur dan kreditur sebagaimana dimaksud pada ayat (1), bank dapat melakukan pemberitahuan/pengumuman kepada kreditur dan debitur secara langsung dan atau melalui media massa. (3) Berdasarkan permohonan bank, Bank Indonesia dapat memperpanjang jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk tujuan penyelesaian aktiva produktif Bank. (4) Permohonan perpanjangan jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diajukan paling lambat 30 (tiga puluh) hari sebelum berakhirnya jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), disertai dengan alasan perpanjangan jangka waktu dan bukti-bukti pendukung. (5) Bank yang telah mendapat izin perubahan kegiatan usaha dilarang melakukan kegiatan usaha secara konvensional, kecuali dalam rangka penyelesaian transaksi-transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3). Pasal 9 … - 15 - Pasal 9 Bank yang telah mendapat izin perubahan kegiatan usaha dari Gubernur Bank Indonesia wajib mencantumkan secara jelas kata “Syariah” sesudah kata “Bank” pada penulisan namanya. Pasal 10 Bank yang semula memiliki izin usaha sebagai Bank yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional dan telah memperoleh izin perubahan kegiatan usaha menjadi bank yang melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah, dilarang untuk mengubah Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah menjadi kegiatan usaha secara konvensional. BAB III PEMBUKAAN KANTOR YANG MELAKSANAKAN KEGIATAN USAHA BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH OLEH BANK Bagian Kesatu Unit Usaha Syariah Pasal 11 (1) Bank yang akan membuka kantor Bank yang melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah wajib membentuk Unit Usaha Syariah di kantor pusat Bank. (2) Unit Usaha Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai tugas: a. mengatur dan mengawasi seluruh kegiatan Kantor Cabang Syariah dan atau Unit Syariah; b. menempatkan dan mengelola dana yang bersumber dari Kantor Cabang Syariah dan atau Unit Syariah; c. menerima … - 16 - c. menerima dan menata usahakan laporan keuangan dari Kantor Cabang Syariah dan atau Unit Syariah dalam rangka penyusunan laporan gabungan; d. melakukan kegiatan lain sebagai kantor induk dari Kantor Cabang Syariah dan atau Unit Syariah. (3) Rencana kegiatan Unit Usaha Syariah wajib dicantumkan dalam rencana bisnis Bank yang paling kurang memuat: a. rencana penghimpunan dana; b. rencana penyaluran dana; c. rencana permodalan; d. proyeksi rasio dan pos-pos tertentu; e. rencana pengembangan oganisasi dan sumber daya manusia; f. rencana pengembangan produk dan aktivitas baru; g. rencana pengembangan jaringan kantor. (4) Pemimpin Unit Usaha Syariah wajib memenuhi persyaratan: a. paling rendah merupakan Pejabat Eksekutif satu tingkat di bawah Direksi; b. memiliki komitmen dalam menjalankan operasional Bank yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah; c. memiliki integritas dan moral yang baik; dan d. berpengalaman dalam operasional bank yang melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah dan atau telah mengikuti pelatihan operasional bank yang melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah baik di dalam maupun di luar negeri. (5) Pada Unit Usaha Syariah wajib ditempatkan Dewan Pengawas Syariah. Bagian … - 17 - Bagian Kedua Dewan Pengawas Syariah dan Pejabat Eksekutif Pasal 12 Pengaturan mengenai Dewan Pengawas Syariah dan Pejabat Eksekutif berpedoman pada ketentuan Dewan Pengawas Syariah dan Pejabat Eksekutif sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia tentang Bank Umum Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah. Bagian Ketiga Pembukaan Kantor Cabang Syariah Pertama Kali Pasal 13 (1) Bank yang telah membuka Unit Usaha Syariah, dapat membuka Kantor Cabang Syariah dengan cara: a. membuka Kantor Cabang Syariah yang baru; b. mengubah kegiatan usaha Kantor Cabang menjadi Kantor Cabang Syariah; c. meningkatkan status Kantor dibawah KantorCabang menjadi Kantor Cabang Syariah; d. mengubah kegiatan usaha Kantor Cabang yang sebelumnya telah membuka Unit Syariah menjadi Kantor Cabang Syariah; e. meningkatkan status Kantor Cabang Pembantu yang sebelumnya telah membuka Unit Syariah menjadi Kantor Cabang Syariah; dan atau f. membuka Kantor Cabang Syariah baru yang berasal dari Unit Syariah dari Kantor Cabang dan atau Kantor Cabang Pembantu, di lokasi yang sama atau di luar lokasi Kantor Cabang dan atau Kantor Cabang Pembantu dimana Unit Syariah sebelumnya berada. (2) Bank hanya dapat membuka Kantor Cabang Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan izin dari Gubernur Bank Indonesia. (3) Rencana … - 18 - (3) Rencana pembukaan Kantor Cabang Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dicantumkan dalam rencana bisnis Bank yang telah mendapat surat penegasan dari Bank Indonesia. (4) Pemberian izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf c dilakukan dalam dua tahap: a. persetujuan prinsip, yaitu persetujuan untuk melakukan pembukaan Kantor Cabang Syariah; b. izin pembukaan Kantor Cabang Syariah, yaitu izin untuk melakukan kegiatan usaha Kantor Cabang Syariah setelah persiapan sebagaimana dimaksud dalam huruf a selesai dilakukan. (5) Pemberian izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, huruf e dan huruf f diberikan dalam satu tahap yaitu izin pembukaan Kantor Cabang Syariah tanpa melalui persetujuan prinsip. Pasal 14 Bank yang membuka Kantor Cabang Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) wajib: a. menyisihkan modal kerja untuk kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah minimum untuk mengcover biaya operasional awal , dan b. memenuhi rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum bagi Unit Usaha Syariah. Pasal 15 Bank yang memiliki Kantor Cabang Syariah wajib: a. memiliki pencatatan dan pembukuan tersendiri untuk Kegiatan Berdasarkan Prinsip Syariah; Usaha persiapan b. menyusun … - 19 - b. menyusun laporan keuangan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah; dan c. memasukkan laporan keuangan sebagaimana dimaksud dalam huruf b ke dalam laporan keuangan gabungan. Pasal 16 Kantor Bank yang telah mendapat izin pembukaan Kantor Cabang Syariah wajib mencantumkan kata “Syariah” pada setiap penulisan nama kantornya. Pasal 17 (1) Kantor Bank yang telah mendapat izin pembukaan Kantor Cabang Syariah dilarang untuk mengubah kegiatan Kantor Cabang Syariah menjadi Kantor Cabang yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional. (2) Bank Indonesia mencabut izin pembukaan Kantor Cabang Syariah yang terbukti melakukan kegiatan usaha secara konvensional. Pasal 18 (1) Permohonan persetujuan prinsip untuk pembukaan Kantor Cabang Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf a, diajukan oleh Bank kepada Gubernur Bank Indonesia dan wajib disertai dengan: a. laporan keuangan gabungan dan rincian kualitas aktiva produktif 2 (dua) bulan terakhir sebelum tanggal surat permohonan; b. rencana persiapan operasional dalam rangka pembukaan Kantor Cabang Syariah; c. dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf f, dan huruf g; d. dokumen dan identitas pemimpin Kantor Cabang Syariah berupa: 1. pas foto … - 20 - 1. pas foto 1 (satu) bulan terakhir ukuran 4x6 cm; 2. fotokopi tanda pengenal berupa Kartu Tanda Penduduk (KTP) atau paspor; 3. riwayat hidup; 4. contoh tanda tangan dan paraf; serta 5. bukti pengalaman dalam operasional bank yang melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah dan atau surat keterangan dari lembaga pelatihan perbankan syariah yang telah diikuti di dalam maupun di luar negeri. e. dokumen mengenai identitas calon anggota Dewan Pengawas Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf e angka 1 sampai dengan angka 7, untuk pembukaan Kantor Cabang Syariah yang pertama kali; f. dokumen dan identitas pemimpin Unit Usaha Syariah, untuk pembukaan Kantor Cabang Syariah yang pertama kali berupa: 1. pas foto 1 (satu) bulan terakhir ukuran 4x6 cm; 2. fotokopi tanda pengenal berupa Kartu Tanda Penduduk (KTP) atau paspor; 3. riwayat hidup; 4. contoh tanda tangan dan paraf; serta 5. bukti pengalaman dalam operasional bank yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah dan atau surat keterangan dari lembaga pelatihan mengenai pelatihan perbankan syariah yang telah diikuti di dalam maupun di luar negeri; g. hasil studi kelayakan yang sekurang-kurangnya memuat potensi ekonomi, peluang pasar, tingkat persaingan yang sehat antar bank yang melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah, tingkat kejenuhan … - 21 - kejenuhan jumlah bank yang melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah yang dilengkapi dengan data-data pendukung dari instansi terkait; h. proyeksi arus kas bulanan selama 12 (dua belas) bulan; i. j. alasan pembukaan Kantor Cabang Syariah. (2) Permohonan persetujuan prinsip untuk pembukaan Kantor Cabang Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf b dan huruf c, diajukan oleh Bank kepada Gubernur Bank Indonesia dan wajib disertai dengan: a. dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1); dan b. rencana penyelesaian seluruh hak dan kewajiban kantor Bank terhadap nasabah yang tidak bersedia menjadi nasabah Kantor Cabang Syariah. Pasal 19 (1) Dalam rangka memberikan persetujuan atau penolakan atas permohonan persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18, Bank Indonesia melakukan: a. penelitian atas kelengkapan dan kebenaran dokumen; b. analisis yang mencakup antara lain kemampuan Bank termasuk tingkat kesehatan, tingkat persaingan yang sehat antar bank yang melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah, tingkat kejenuhan jumlah bank yang melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah dan peluang pasar; dan c. wawancara terhadap calon anggota Dewan Pengawas Syariah. rencana bisnis Kantor Cabang sekurang-kurangnya selama 12 (dua belas) bulan; dan (2) Dalam … - 22 - (2) Dalam hal diperlukan, Bank Indonesia dapat melakukan pemeriksaan untuk meneliti persiapan pembukaan kantor dan disampaikan. (3) Persetujuan atau penolakan atas permohonan persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan paling lambat 30 (tiga puluh) hari setelah dokumen permohonan diterima secara lengkap. Pasal 20 (1) Persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) berlaku untuk jangka waktu 180 (seratus delapan puluh) hari sejak tanggal persetujuan prinsip dikeluarkan. (2) Bank dan atau kantor Bank yang telah mendapat persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah sebelum mendapat izin pembukaan Kantor Cabang Syariah. (3) Apabila setelah jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Bank dan atau kantor Bank yang telah mendapat persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud pada ayat (2) belum mengajukan permohonan izin pembukaan Kantor Cabang Syariah, maka persetujuan prinsip yang telah diberikan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 21 (1) Permohonan izin pembukaan Kantor Cabang Syariah untuk pembukaan Kantor Cabang Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf a, diajukan oleh Bank kepada Gubernur Bank Indonesia dan wajib disertai dengan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf f, huruf g, huruf h, huruf i, huruf j, dan huruf l, dalam hal terjadi perubahan, dan … kebenaran dokumen yang - 23 - dan perubahan anggaran dasar yang telah disetujui oleh instansi yang berwenang. (2) Permohonan izin pembukaan Kantor Cabang Syariah, untuk mengubah kegiatan usaha Kantor Cabang yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional menjadi Kantor Cabang Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf b, dan atau untuk meningkatkan status Kantor dibawah Kantor Cabang yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional menjadi Kantor Cabang Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf c, diajukan oleh Bank kepada Gubernur Bank Indonesia dan wajib disertai dengan: a. dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1); dan b. laporan realisasi penyelesaian seluruh hak dan kewajiban kantor Bank terhadap nasabah yang tidak bersedia menjadi nasabah Kantor Cabang Syariah. Pasal 22 (1) Dalam rangka memberikan persetujuan atau penolakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, Bank Indonesia melakukan penelitian atas kelengkapan dan kebenaran dokumen dan wawancara terhadap calon anggota Dewan Pengawas Syariah. (2) Persetujuan atau penolakan atas permohonan izin pembukaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan paling lambat dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari setelah dokumen permohonan diterima secara lengkap. (3) Bank dan atau kantor Bank yang telah mendapat izin pembukaan Kantor Cabang Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (2), wajib melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal izin pembukaan dikeluarkan. (4) Pelaksanaan … - 24 - (4) Pelaksanaan pembukaan Kantor Cabang Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib dilaporkan oleh Bank kepada Bank Indonesia paling lambat 10 (sepuluh) hari setelah tanggal pembukaan. (5) Apabila setelah jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) Kantor Cabang Syariah belum melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah, maka izin pembukaan Kantor Cabang Syariah yang telah dikeluarkan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 23 (1) Kantor Cabang Syariah yang berasal dari pembukaan dengan cara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf b dan huruf c wajib menyelesaikan seluruh hak dan kewajiban debitur dan kreditur dari kegiatan usaha secara konvensional paling lambat 360 (tiga ratus enam puluh) hari sejak tanggal izin pembukaan dikeluarkan. (2) Dalam rangka penyelesaian seluruh hak dan kewajiban debitur dan kreditur sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank dapat melakukan pemberitahuan/pengumuman kepada kreditur dan debitur secara langsung dan atau melalui media massa. (3) Kantor Cabang Syariah dilarang melakukan kegiatan usaha perbankan secara konvensional, kecuali dalam rangka penyelesaian transaksi-transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Bagian Keempat Pembukaan Kantor Cabang Syariah Melalui Pembukaan Unit Syariah Pasal 24 (1) Pembukaan Unit Syariah di dalam negeri hanya dapat dilakukan dengan izin Gubernur Bank Indonesia. (2) Pembukaan … - 25 - (2) Pembukaan Unit Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dibuka setelah Bank memiliki Unit Usaha Syariah. (3) Pembukaan Unit Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam rangka : a. mengubah Kantor Cabang menjadi Kantor Cabang Syariah; b. meningkatkan status Kantor Cabang Pembantu Bank menjadi Kantor Cabang Syariah; c. mendirikan Kantor Cabang Syariah baru di lokasi yang sama atau di luar lokasi kantor konvensional dimana Unit Syariah sebelumnya berada. (4) Rencana pembukaan Unit Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dicantumkan dalam rencana bisnis Bank yang telah mendapat surat penegasan dari Bank Indonesia. Pasal 25 Bank yang membuka Unit Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) wajib : a. menyisihkan modal kerja untuk Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah minimum untuk mengcover biaya operasional awal; dan b. memenuhi rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum bagi Unit Usaha Syariah. Pasal 26 (1) Permohonan izin pembukaan Unit Syariah diajukan oleh Bank kepada Gubernur Bank Indonesia dan wajib disertai dengan: a. hasil studi kelayakan tentang tingkat persaingan yang sehat antar bank yang melakukan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah; b. rencana … - 26 - b. rencana persiapan operasional dalam rangka pembukaan Unit Syariah termasuk kesiapan sumberdaya manusia, sistem akuntansi dan teknologi informasi; c. rencana jangka waktu yang wajar mengenai perubahan Unit Syariah menjadi Kantor Cabang Syariah; d. perubahan anggaran dasar yang secara tegas mencantumkan bahwa Bank melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah serta penempatan dan tugas-tugas Dewan Pengawas Syariah, untuk pembukaan Unit Syariah pertama kali; e. rencana bisnis Bank tahun pertama yang sekurang-kurangnya memuat: 1. studi kelayakan mengenai peluang pasar perbankan syariah dan potensi ekonomi yang disertai dengan bukti pendukung; 2. rencana kegiatan usaha yang mencakup penghimpunan dana dan penyaluran dana serta langkah-langkah kegiatan yang akan dilakukan dalam mewujudkan rencana dimaksud; dan 3. proyeksi neraca, laporan laba-rugi dan laporan arus kas bulanan selama 12 (dua belas) bulan sejak Unit Syariah melakukan kegiatan operasional; f. rencana struktur organisasi dan susunan personalia yang menangani kegiatan Unit Syariah; g. bukti pengalaman di bidang operasional bank yang melaksanakan kegiatan berdasarkan prinsip syariah dan atau sertifikat pelatihan operasional bank yang melakukan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah bagi Pemimpin Kantor Cabang atau Kantor Cabang Pembantu Bank; h. dokumen mengenai identitas calon anggota Dewan Pengawas Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf e, untuk pembukaan Unit Syariah pertama kali; i. dokumen … - 27 - i. dokumen dan identitas pemimpin Unit Usaha Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) huruf f, untuk pembukaan Unit Syariah yang pertama kali; (2) Dalam rangka memberikan persetujuan atau penolakan atas permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia melakukan: a. penelitian atas kelengkapan dan kebenaran dokumen; b. analisis yang mencakup antara lain kemampuan Bank termasuk tingkat kesehatan, tingkat persaingan yang sehat antar bank yang melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah, tingkat kejenuhan jumlah bank yang melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah dan peluang pasar perbankan syariah; dan c. wawancara terhadap calon anggota Dewan Pengawas Syariah. (3) Dalam hal diperlukan, Bank Indonesia dapat melakukan pemeriksaan untuk meneliti persiapan pembukaan Unit Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (4) Persetujuan atau penolakan atas permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan paling lambat dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari setelah dokumen permohonan diterima secara lengkap. Pasal 27 (1) Pelaksanaan pembukaan Unit Syariah wajib dilakukan paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal persetujuan pembukaan diberikan. (2) Pelaksanaan pembukaan Unit Syariah wajib dilaporkan oleh Bank kepada Bank Indonesia paling lambat dalam jangka waktu 10 (sepuluh) hari setelah tanggal pembukaan. (3) Dalam … - 28 - (3) Dalam hal setelah jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Bank tidak melaksanakan pembukaan Unit Syariah, maka izin pembukaan Unit Syariah yang telah dikeluarkan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 28 (1) Kantor Cabang dan atau Kantor Cabang Pembantu Bank yang telah mendapat izin membuka Unit Syariah wajib mencantumkan kata “Unit Syariah” pada tempat kegiatan usaha Unit Syariah berada. (2) Unit Syariah wajib: a. menyusun laporan keuangan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah; b. memiliki pencatatan dan pembukuan tersendiri untuk Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah; dan c. memasukkan laporan keuangan sebagaimana dimaksud pada huruf b ke dalam laporan keuangan gabungan. Pasal 29 (1) Dalam hal Bank tidak memenuhi rencana jangka waktu perubahan Unit Syariah menjadi Kantor Cabang Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) huruf c, maka Bank Indonesia mencabut izin Unit Syariah tersebut. (2) Bank wajib menyelesaikan kewajiban kepada nasabah serta pihak lainnya paling lambat dalam jangka waktu 90 (sembilan puluh) hari terhitung sejak pencabutan izin Unit Syariah. (3) Bank wajib menyampaikan laporan penyelesaian kewajiban kepada nasabah serta pihak lainnya kepada Bank Indonesia paling lambat 10 (sepuluh) hari terhitung sejak jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2). (4) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) wajib dilampiri dengan bukti penyelesaian kewajiban dan surat pernyataan dari pemimpin kantor Bank bahwa … - 29 - bahwa langkah-langkah penyelesaian seluruh kewajiban Unit Syariah kepada nasabah dan pihak lainnya telah diselesaikan. Pasal 30 (1) Permohonan untuk mendapatkan izin pembukaan Kantor Cabang Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf d, huruf e, diajukan oleh Bank kepada Gubernur Bank Indonesia selambat-lambatnya dalam jangka waktu 60 (enam puluh) hari sebelum berakhirnya batas waktu rencana perubahan Unit Syariah menjadi Kantor Cabang Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) huruf c, dan wajib disertai dengan: a. dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf f, huruf g, huruf h, huruf i, huruf j dan huruf l; b. dokumen dan identitas pemimpin Kantor Cabang Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) huruf d; dan c. laporan penyelesaian seluruh hak dan kewajiban Kantor Cabang dan atau Kantor Cabang Pembantu. (2) Permohonan untuk mendapatkan izin pembukaan Kantor Cabang Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf f, diajukan oleh Bank kepada Gubernur Bank Indonesia dalam jangka waktu 60 (enam puluh) hari sebelum berakhirnya batas waktu rencana perubahan Unit Syariah menjadi Kantor Cabang Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) huruf c, dengan memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf g, huruf h, dan huruf i. (3) Dalam rangka memberikan persetujuan atau penolakan atas permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Bank Indonesia melakukan penelitian atas: a. kelengkapan dan kebenaran dokumen; dan b. analisis … - 30 - b. analisis yang mencakup antara lain kemampuan Bank termasuk tingkat kesehatan, tingkat persaingan yang sehat antar bank yang melaksanakan kegiatan berdasarkan prinsip syariah atau tingkat kejenuhan jumlah bank yang melaksanakan kegiatan berdasarkan prinsip syariah, dan pemerataan pembangunan ekonomi nasional. (4) Dalam hal diperlukan Bank Indonesia melakukan pemeriksaan untuk meneliti persiapan pembukaan Kantor Cabang Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2). (5) Persetujuan atau penolakan atas permohonan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diberikan paling lambat dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari setelah dokumen permohonan diterima secara lengkap. Pasal 31 Dalam hal pembukaan Kantor Cabang Syariah dilakukan dengan mengubah Kantor Cabang Bank menjadi Kantor Cabang Syariah, maka seluruh Kantor dibawah KantorCabang Bank tersebut dapat: a. diubah menjadi kantor yang melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah; atau b. dipindahkan dengan menginduk kepada Kantor Cabang lain dalam satu wilayah kliring; atau c. ditutup. Bagian Kelima Pembukaan Kantor Cabang Syariah berikutnya Pasal 32 (1) Bank yang telah memiliki Kantor Cabang Syariah hanya dapat membuka Kantor Cabang Syariah berikutnya dengan izin Gubernur Bank Indonesia. (2) Rencana … - 31 - (2) Rencana pembukaan Kantor Cabang Syariah berikutnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dicantumkan dalam rencana bisnis Bank yang telah mendapat surat penegasan dari Bank Indonesia. (3) Bank yang memiliki Kantor Cabang Syariah wajib: a. memiliki pencatatan dan pembukuan tersendiri untuk Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah; b. menyusun laporan Syariah; keuangan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip c. memasukkan laporan keuangan sebagaimana dimaksud dalam huruf b ke dalam laporan keuangan konsolidasi; dan d. memenuhi rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum bagi Unit Usaha Syariah. Pasal 33 (1) Permohonan izin pembukaan Kantor Cabang Syariah berikutnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) diajukan oleh Bank kepada Gubernur Bank Indonesia dengan ketentuan sebagai berikut: a. untuk pembukaan Kantor Cabang Syariah berikutnya yang dilakukan dengan cara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf a, wajib disertai dengan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf f dan huruf g, Pasal 14 huruf b, Pasal 15, Pasal 16, serta Pasal 17 dan Pasal 18 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf d, dan huruf g; b. untuk pembukaan Kantor Cabang Syariah berikutnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf b dan huruf c, wajib disertai dengan dokumen sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan Pasal 18 ayat (2) huruf b; c. untuk … - 32 - c. untuk pembukaan Kantor Cabang Syariah berikutnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf d huruf e, wajib mengikuti ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1); d. untuk pembukaan Kantor Cabang Syariah berikutnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf f, wajib mengikuti ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2); (2) Dalam rangka memberikan persetujuan atau penolakan atas permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b, Bank Indonesia melakukan: a. penelitian atas kelengkapan dan kebenaran dokumen; dan b. analisis yang mencakup antara lain kemampuan Bank termasuk tingkat kesehatan, tingkat persaingan yang sehat antar bank yang melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah, tingkat kejenuhan jumlah bank yang melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah, dan pemerataan pembangunan ekonomi nasional. (3) Dalam hal diperlukan, Bank Indonesia dapat melakukan pemeriksaan untuk meneliti persiapan pembukaan kantor dan kebenaran dokumen yang disampaikan. (4) Persetujuan atau penolakan atas permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b diberikan paling lambat dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari setelah dokumen permohonan diterima secara lengkap. Pasal 34 (1) Pelaksanaan pembukaan Kantor Cabang Syariah wajib dilakukan paling lambat dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal izin dari Gubernur Bank Indonesia dikeluarkan. (2) Pelaksanaan … - 33 - (2) Pelaksanaan pembukaan Kantor Cabang Syariah berikutnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilaporkan kepada Bank Indonesia paling lambat 10 (sepuluh) hari setelah tanggal pembukaan. (3) Apabila setelah jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Bank tidak melaksanakan pembukaan Kantor Cabang Syariah, maka izin pembukaan Kantor Cabang Syariah yang telah diberikan dinyatakan tidak berlaku. Bagian Keenam Pembukaan Kantor dibawah Kantor Cabang Pasal 35 (1) Rencana pembukaan Kantor dibawah Kantor Cabang Syariah di dalam negeri wajib dicantumkan dalam rencana bisnis Bank yang telah mendapat surat penegasan dari Bank Indonesia. (2) Pembukaan Kantor dibawah Kantor Cabang Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan: a. dalam satu wilayah kerja Kantor Bank Indonesia dengan Kantor Cabang Syariah induknya; b. dengan memperhatikan hasil studi kelayakan yang memuat tingkat kejenuhan jumlah bank yang melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah; c. dengan mempergunakan sumber daya manusia sendiri Bank; dan d. memenuhi rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum bagi Unit Usaha Syariah. (3) Pembukaan Kantor dibawah Kantor Cabang Syariah dapat bertempat di alamat yang sama dengan Kantor Cabang dan atau Kantor dibawah Kantor Cabang Bank dengan tetap memperhatikan faktor keamanan. (4) Laporan … - 34 - (4) Laporan keuangan Kantor dibawah Kantor Cabang Syariah wajib digabungkan dengan laporan keuangan Kantor Cabang Syariah induknya pada hari yang sama. Pasal 36 (1) Bank wajib menyampaikan rencana pembukaan Kantor dibawah Kantor Cabang Syariah kepada Bank Indonesia selambat-lambatnya dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sebelum pelaksanaan pembukaan kantor, disertai dengan hasil studi kelayakan yang memuat tingkat kejenuhan jumlah bank yang melakukan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah; dan (2) Pelaksanaan pembukaan Kantor dibawah Kantor Cabang Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan selambat-lambatnya dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari setelah tanggal surat penegasan dari Bank Indonesia. (3) Pelaksanaan pembukaan Kantor dibawah Kantor Cabang Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (2), wajib dilaporkan kepada Bank Indonesia selambat-lambatnya dalam jangka waktu 10 (sepuluh) hari setelah tanggal pelaksanaan pembukaan. Bagian Ketujuh Kegiatan Kas di luar Kantor Bank Pasal 37 Pengaturan mengenai Kegiatan Kas di luar Kantor Bank berpedoman pada ketentuan kegiatan kas diluar kantor bank sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia tentang Bank Umum Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah. Bagian … - 35 - Bagian Kedelapan Layanan Syariah Pasal 38 (1) Rencana Layanan Syariah wajib dicantumkan dalam rencana bisnis Bank yang telah mendapatkan penegasan dari Bank Indonesia. (2) Layanan Syariah dapat dibuka: a. dalam satu wilayah kerja Kantor Bank Indonesia dengan Kantor Cabang Syariah induknya; b. dengan menggunakan pola kerjasama antara Kantor Cabang Syariah induknya dengan Kantor Cabang dan atau Kantor Cabang Pembantu; dan c. dengan mempergunakan sumber daya manusia sendiri Bank yang telah memiliki pengetahuan mengenai produk dan operasional Bank Syariah. (3) Layanan Syariah wajib: a. memiliki pencatatan dan pembukuan yang terpisah dari Kantor Cabang dan atau Kantor Cabang Pembantu; dan b. menggunakan standar akuntansi keuangan yang berlaku bagi perbankan syariah. (4) Laporan keuangan Layanan Syariah wajib digabungkan dengan laporan keuangan Kantor Cabang Syariah induknya pada hari yang sama. Pasal 39 (1) Bank wajib menyampaikan laporan rencana Layanan Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 kepada Bank Indonesia paling lambat dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sebelum pelaksanaan kegiatan. (2) Pelaksanaan kegiatan Layanan Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 wajib dilakukan paling lambat dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari setelah tanggal penegasan dari Bank Indonesia. (3) Pelaksanaan … - 36 - (3) Pelaksanaan Layanan Syariah wajib dilaporkan oleh Bank kepada Bank Indonesia paling lambat 10 (sepuluh) hari setelah tanggal pelaksanaan kegiatan. Bagian Kesembilan Kegiatan Usaha Pasal 40 (1) Bank yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah wajib menerapkan prinsip syariah dan prinsip kehati-hatian dalam melakukan kegiatan usahanya (2) Pengaturan mengenai kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah berpedoman pada ketentuan kegiatan usaha sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia tentang Bank Umum Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah. Bagian Kesepuluh Pindah Alamat Kantor Pasal 41 Pengaturan mengenai pemindahan alamat Kantor Cabang Syariah, Kantor dibawah Kantor Cabang Syariah dan Kegiatan Kas di luar Kantor Bank berpedoman pada ketentuan mengenai pemindahan alamat kantor sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia tentang Bank Umum Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah. Bagian … - 37 - Bagian Kesebelas Peningkatan dan Penurunan Status Kantor Pasal 42 (1) Peningkatan status dari Kantor dibawah Kantor Cabang Syariah menjadi Kantor Cabang Syariah dilakukan dengan memenuhi ketentuan pembukaan Kantor Cabang Syariah. (2) Peningkatan status dari Kegiatan Kas di luar Kantor Bank Syariah menjadi Kantor dibawah Kantor ketentuan pembukaan kantor dibawah Kantor Cabang Syariah. Pasal 43 (1) Penurunan status dari Kantor Cabang Syariah menjadi Kantor dibawah Kantor Cabang Syariah hanya dapat dilakukan dengan cara menutup Kantor Cabang Syariah dan membuka Kantor dibawah Kantor Cabang Syariah. (2) Penurunan status dari Kantor dibawah Kantor Cabang Syariah menjadi Kegiatan Kas diluar Kantor Bank Syariah hanya dapat dilakukan dengan cara menutup Kantor dibawah Kantor Cabang Syariah dan membuka Kegiatan Kas diluar Kantor Bank Syariah. Bagian Keduabelas Penutupan Kantor-Kantor Syariah Pasal 44 Pengaturan mengenai penutupan Kantor Cabang Syariah dan Kantor dibawah Kantor Cabang Syariah serta penghentian Kegiatan Kas di luar Kantor Bank, berpedoman pada ketentuan mengenai penutupan kantor sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia tentang Bank Umum Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah. Pasal 45… Cabang Syariah dilakukan dengan memenuhi - 38 - Pasal 45 (1) Penutupan Unit Syariah hanya dapat dilakukan dengan izin Gubernur Bank Indonesia. (2) Rencana penutupan Unit Syariah wajib dilaporkan oleh Bank kepada Bank Indonesia paling lambat 30 (tiga puluh) hari sebelum pelaksanaan penutupan dan disertai dengan: a. b. alasan penutupan; langkah-langkah yang ditempuh dalam rangka penyelesaian kewajiban Unit Syariah kepada nasabah dan pihak lainnya. (3) Pelaksanaan penutupan Unit Syariah wajib dilaporkan oleh Bank kepada Bank Indonesia paling lambat 10 (sepuluh) hari setelah tanggal penutupan dan wajib disertai dengan: a. laporan penyelesaian kewajiban kepada nasabah serta pihak lainnya; dan b. surat pernyataan dari pemimpin Unit Usaha Syariah bahwa langkah- langkah penyelesaian seluruh kewajiban Unit Syariah kepada nasabah dan pihak lainnya telah diselesaikan dan apabila terdapat tuntutan di kemudian hari menjadi tanggung jawab pemimpin Unit Usaha Syariah untuk dan atas nama Bank. (4) Dalam hal dipandang perlu Bank Indonesia melakukan pemeriksaan kepada Unit Syariah dalam rangka meneliti penyelesaian seluruh kewajiban Unit Syariah yang akan ditutup. Pasal 46 (1) Pelaksanaan penutupan Unit Syariah wajib dilaporkan oleh Bank kepada Bank Indonesia paling lambat 10 (sepuluh) hari setelah tanggal penutupan Unit Syariah. (2) Penutupan … - 39 - (2) Penutupan Unit Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib diumumkan oleh Bank dalam surat kabar yang mempunyai peredaran luas ditempat kedudukan kantor Bank paling lambat 10 (sepuluh) hari setelah tanggal penutupan. Pasal 47 (1) Rencana penghentian Layanan Syariah wajib dilaporkan oleh Bank kepada Bank Indonesia paling lambat 30 (tiga puluh) hari sebelum pelaksanaan penghentian dan disertai dengan: a. alasan penghentian; dan b. langkah-langkah yang ditempuh dalam rangka penyelesaian kewajiban kepada nasabah dan pihak lainnya. (2) Pelaksanaan penghentian Layanan Syariah wajib dilaporkan oleh Bank kepada Bank Indonesia paling lambat 10 (sepuluh) hari setelah tanggal penghentian dan wajib disertai dengan: a. bukti penyelesaian kewajiban kepada nasabah serta pihak lainnya; dan b. surat pernyataan dari pemimpin Kantor Cabang Syariah induknya bahwa langkah-langkah penyelesaian seluruh Layanan Syariah kepada nasabah dan pihak lainnya telah diselesaikan dan apabila terdapat tuntutan di kemudian hari menjadi tanggung jawab pemimpin Kantor Cabang Syariah induk untuk dan atas nama Bank. Bagian Ketigabelas Akuntansi Pasal 48 Sistem akuntansi kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah mengacu kepada Standar Akuntansi Keuangan Syariah yang berlaku bagi perbankan syariah. Bagian … - 40 - Bagian Keempatbelas Administrasi Dokumen Pasal 49 (1) Bank wajib mengadministrasikan dengan tertib: a. daftar pemegang saham dan perubahannya bagi Bank yang berbentuk hukum Perseroan Terbatas/Perusahaan Daerah; atau b. buku daftar anggota dan perubahannya bagi Bank yang berbentuk hukum Koperasi. (2) Bank yang telah terdaftar di pasar modal wajib memperbarui daftar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a. Pasal 50 (1) Bank wajib menyampaikan perubahan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (3) dengan mengacu kepada ketentuan yang berlaku tentang rencana bisnis Bank. (2) Bank wajib menyampaikan perubahan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf h, huruf i, dan huruf j pada setiap saat apabila terjadi perubahan yang bersifat material. (3) Penyampaian dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib disampaikan kepada Bank Indonesia paling lambat 30 (tiga puluh) hari setelah terjadi perubahan. Pasal 51 Bank wajib menjamin kebenaran dokumen atau identitas yang dikeluarkan oleh instansi terkait atau pihak ketiga yang disampaikan kepada Bank Indonesia. BAB IV … - 41 - BAB IV KETENTUAN PERALIHAN Pasal 52 (1) Permohonan izin yang diajukan sebelum berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini tetapi belum disetujui wajib disesuaikan dengan persyaratan dan dokumen sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini. (2) Pemimpin Unit Usaha Syariah yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (4) huruf a wajib menyesuaikan dengan ketentuan tersebut dalam waktu selambat-lambatnya 1 (satu) tahun sejak dikeluarkannya Peraturan Bank Indonesia ini. BAB V SANKSI Pasal 53 (1) Bank yang tidak menaati ketentuan dalam Pasal 2, Pasal 4 ayat (3), Pasal 7 ayat (1), Pasal 8 ayat (1), ayat (4) dan ayat (5), Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13 ayat (3), Pasal 14, Pasal 15, Pasal 16, Pasal 17 ayat (1), Pasal 20 ayat (2), Pasal 22 ayat (3), Pasal 23 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 24, Pasal 25, Pasal 27 ayat (1), Pasal 28, Pasal 29 ayat (2), Pasal 32, Pasal 34 ayat (1), Pasal 35, Pasal 36 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 37, Pasal 38, Pasal 39 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 40, Pasal 41, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 44, Pasal 45 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 47 ayat (1), Pasal 48, Pasal 49, Pasal 50, Pasal 51, dan Pasal 52 ayat (2) dikenakan sanksi administratif sesuai dengan Pasal 52 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998. (2) Bank yang tidak menaati ketentuan dalam Pasal 7 ayat (4), Pasal 27 ayat ayat (2), Pasal 22 (2), Pasal 29 ayat (3), Pasal 34 ayat (2), Pasal 36 ayat (3) … - 42 - ayat (3), Pasal 39 ayat (3), Pasal 46 dan Pasal 47 ayat (2) dikenakan sanksi administratif sesuai Pasal 52 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, berupa: a. teguran tertulis dan kewajiban membayar sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) per hari kelambatan untuk setiap laporan dan atau pengumuman; b. teguran tertulis dan kewajiban membayar sebesar Rp30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah) dalam hal Bank tidak menyampaikan laporan dan atau pengumuman. (3) Bank dinyatakan tidak menyampaikan laporan dan atau pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b apabila Bank belum menyampaikan laporan dimaksud setelah 30 (tiga puluh) hari sejak batas akhir penyampaian laporan dan atau pengumuman. (4) Setiap pihak yang tidak menaati ketentuan Pasal 13 ayat (2), Pasal 24 ayat (1), dan Pasal 32 ayat (1) dapat dikenakan sanksi pidana sesuai dengan Pasal 46 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998. BAB VI KETENTUAN PENUTUP Pasal 54 Dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini maka Peraturan Bank Indonesia Nomor 4/1/PBI/2002 tanggal 27 Maret 2002 tentang Bank Umum Konvensional yang melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 55 … - 43 - Pasal 55 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Ditetapkan di : Jakarta Pada tanggal : 30 Januari 2006 GUBERNUR BANK INDONESIA, BURHANUDDIN ABDULLAH LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2006 NOMOR 5 DPbS PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 8/3/PBI/2006 TENTANG PERUBAHAN KEGIATAN USAHA BANK UMUM KONVENSIONAL MENJADI BANK UMUM YANG MELAKSANAKAN KEGIATAN USAHA BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH DAN PEMBUKAAN KANTOR BANK YANG MELAKSANAKAN KEGIATAN USAHA BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH OLEH BANK UMUM KONVENSIONAL UMUM Dalam rangka menghadapi perkembangan perekonomian nasional yang semakin kompleks dan terintegrasi dengan perekonomian internasional, diperlukan penyesuaian terhadap kebijakan di bidang perbankan. Penyesuaian kebijakan tersebut diharapkan dapat memperbaiki dan memperkokoh ketahanan perbankan nasional. Penyesuaian kebijakan tersebut juga dimaksudkan untuk mendorong percepatan pertumbuhan jaringan kantor Bank Umum Konvensional yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah dalam rangka memperluas jangkauan layanan kepada masyarakat. Sehubungan dengan itu terhadap Kantor Cabang yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dari suatu bank yang berkedudukan di luar negeri diberikan juga kesempatan untuk berperan serta dalam perbankan syariah. Perkembangan perbankan syariah harus didukung oleh permodalan yang kuat dan pemilik bank yang patut serta memiliki kondisi keuangan yang sehat sehingga … - 2 - sehingga sejalan dengan perkembangan globalisasi sistem keuangan dan pembukaan akses pasar. Selain permodalan yang kuat, bank harus didukung pula oleh pengurus, Dewan Pengawas Syariah, pejabat bank dan sumber daya manusia yang kompeten untuk mengelola bank secara sehat. Sementara itu, optimalisasi perluasan jaringan kantor bank dilakukan dengan tetap mempertimbangkan kelayakan dan rencana bisnis bank. Perluasan jaringan kantor bank juga harus memperhatikan tingkat kejenuhan jumlah bank dan tingkat persaingan antar bank yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, serta pemerataan pembangunan ekonomi. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Angka 1 Cukup jelas. Angka 2 Cukup jelas. Angka 3 Cukup jelas. Angka 4 Cukup jelas. Angka 5 Cukup jelas. Angka 6 Cukup jelas. Angka 7 Cukup jelas. Angka 8 Cukup … - 3 - Cukup jelas. Angka 9 Cukup jelas. Angka 10 Cukup jelas. Angka 11 Cukup jelas. Angka 12 Cukup jelas. Angka 13 Cukup jelas. Angka 14 Cukup jelas. Angka 15 Cukup jelas. Angka 16 Cukup jelas. Angka 17 Cukup jelas. Angka 18 Cukup jelas. Angka 19 Cukup jelas. Angka 20 Cukup jelas. Pasal 2 Ayat (1) Cukup … - 4 - Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 3 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Angka 1 sampai dengan angka 6 Cukup jelas. Angka 7 Yang dimaksud dengan tanggal pengajuan permohonan adalah tanggal pada saat Bank mengajukan permohonan perubahan kegiatan usaha Bank. Angka 8 Pengaturan mengenai jumlah anggota Direksi atau komisaris yang telah berpengalaman berpedoman pada Peraturan Bank Indonesia tentang Pelaksanaan Good Corporate Govenance yang berlaku bagi bank yang melaksanakan … - 5 - melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah. Angka 9 sampai dengan angka 13 Cukup jelas. Angka 14 Cukup jelas. Huruf f Struktur organisasi dan susunan personalia antara lain meliputi organization chart, garis tanggung jawab horizontal dan vertikal, serta jabatan dan nama-nama personalia sekurang-kurangnya sampai dengan tingkatan Pejabat Eksekutif. Huruf g Angka 1 Data pendukung adalah data yang digunakan dalam perhitungan/analisis studi kelayakan yang dikeluarkan oleh instansi berwenang. Angka 2 dan angka 3 Cukup jelas. Huruf h Corporate plan antara lain meliputi rencana-rencana strategis Bank dalam jangka menengah (tiga tahunan) dan jangka panjang (lima tahunan) dalam rangka pencapaian tujuan perubahan kegiatan usaha Bank menjadi Bank yang melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah. Huruf i Pedoman … - 6 - Pedoman manajemen risiko antara lain memuat teknik dan metode yang digunakan Bank untuk mengidentifikasi, mengukur, memantau dan mengendalikan risiko-risiko yang timbul sebagai akibat operasional Bank. Pedoman manajemen risiko tidak hanya didasarkan atas data historis namun mencakup juga proyeksi risiko yang akan datang (forward looking). Huruf j Termasuk dalam sistem dan prosedur kerja adalah buku pedoman (manual) yang lengkap dan komprehensif yang akan digunakan untuk Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah. Huruf k Penyelesaian kewajiban kepada nasabah yang tidak bersedia menjadi nasabah Bank berdasarkan Prinsip Syariah dapat dilakukan antara lain melalui pengalihan seluruh kewajiban kepada Bank lain atau pihak lain dengan persetujuan nasabah. Huruf l Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Angka 1 sampai dengan angka 5 Cukup jelas. Angka 6 Yang … - 7 - Yang dimaksud dengan kelompok usaha yang terkait dengan Bank adalah: a. perorangan dan badan hukum; b. beberapa orang; atau c. beberapa badan hukum, yang memiliki keterkaitan kepengurusan, kepemilikan atau hubungan keluarga sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Bank Indonesia tentang Batas Maksimum Pemberian Kredit; Angka 7 Surat pernyataan Pemegang Saham Pengendali berbentuk badan hukum dibuat dan disampaikan oleh pengurus yang mempunyai wewenang untuk mewakili badan hukum yang bersangkutan. Dalam hal Bank merupakan bagian dari kepemilikan suatu kelompok usaha maka surat pernyataan disampaikan oleh pihak-pihak yang berdasarkan penilaian Bank Indonesia mengendalikan baik secara langsung maupun tidak langsung atas seluruh kelompok usaha. Pasal 4 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Termasuk dalam kegiatan penelitian adalah melakukan pemeriksaan apabila diperlukan. Huruf b Cukup jelas. Huruf c … - 8 - Huruf c Pelaksanaan wawancara terhadap calon Pemegang Saham Pengendali, calon anggota dewan Komisaris, dan calon anggota Direksi dilakukan sesuai dengan Peraturan Bank Indonesia tentang Penilaian Kemampuan dan Kepatutan (Fit and Proper Test). Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 5 Cukup jelas. Pasal 6 Cukup jelas. Pasal 7 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 8 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Bukti … - 9 - Bukti pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat ini dapat berupa bukti kesanggupan pembayaran dari debitur sampai dengan jangka waktu tertentu. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 9 Cukup jelas. Pasal 10 Cukup jelas. Pasal 11 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud menempatkan dan mengelola dana adalah kegiatan treasury di pasar uang syariah, bukan penyaluran masyarakat. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 12 Cukup jelas. Pasal 13 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) … dana ke - 10 - Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Bank hanya dapat melakukan pembukaan Kantor Cabang Syariah sesuai dengan penegasan Bank Indonesia terhadap rencana bisnis Bank sepanjang tidak terdapat perubahan kondisi keuangan yang bersifat material antara rencana bisnis dengan realisasi rencana bisnis pada saat pembukaan kantor, antara lain seperti terjadi penurunan permodalan Bank yang material. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 14 Biaya operasional awal antara lain biaya sewa gedung, gaji karyawan, dan over head cost. Rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum dalam Pasal ini mengacu pada Peraturan Bank Indonesia tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum. Pasal 15 Cukup jelas. Pasal 16 Cukup jelas. Pasal 17 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup … - 11 - Cukup jelas. Pasal 18 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Dalam hal Bank akan menggunakan gedung kantor yang disewa, maka untuk sementara dokumen rencana persiapan operasional gedung kantor dapat berupa nota kesepakatan sewa menyewa gedung kantor. Perjanjian sewa disampaikan pada saat Bank melaporkan pelaksanaan pembukaan kantor. Huruf c sampai dengan huruf j Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Penyelesaian kewajiban kepada nasabah yang tidak bersedia menjadi nasabah bank yang melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah dapat dilakukan antara lain melalui pengalihan seluruh kewajiban kepada Bank lain atau pihak lain dengan persetujuan nasabah. Pasal 19 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) … - 12 - Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 20 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 21 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 22 Ayat (1) Apabila diperlukan dalam rangka penelitian kebenaran dokumen, Bank Indonesia dapat melakukan pemeriksaan. Ayat (2) Dalam hal Kantor Cabang Syariah berasal dari konversi Kantor Cabang dan atau peningkatan status Kantor dibawah Kantor Cabang yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional maka izin pembukaan Kantor Cabang Syariah menggantikan izin dan status keberadaan kantor Bank sebelumnya. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup … - 13 - Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 23 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 24 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Bank hanya dapat melakukan pembukaan Unit Syariah sesuai dengan penegasan Bank Indonesia terhadap rencana bisnis Bank sepanjang tidak terdapat perubahan kondisi keuangan yang bersifat material antara rencana kerja dengan realisasi rencana kerja pada saat pembukaan kantor, antara lain seperti terjadi penurunan permodalan Bank yang material. Pasal 25 Yang dimaksud biaya operasional awal antara lain biaya sewa gedung, gaji karyawan, dan over head cost. Rasio … - 14 - Rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum dalam Pasal ini mengacu pada Peraturan Bank Indonesia tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum. Pasal 26 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Kesiapan sumberdaya manusia adalah adanya petugas yang ditunjuk secara khusus oleh Bank untuk menangani kegiatan operasional Unit Syariah. Sistem akuntansi yang diterapkan dapat memisahkan laporan kantor Bank dengan laporan Unit Syariah. Huruf c dan huruf d Cukup jelas. Huruf e Angka 1 Data pendukung adalah data yang digunakan dalam perhitungan analsis studi kelayakan yang dikeluarkan oleh instansi yang berwenang. Angka 2 dan angka 3 Cukup jelas. Huruf f sampai dengan huruf i Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup … - 15 - Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 27 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 28 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 29 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Penyelesaian kewajiban kepada nasabah serta pihak lainnya, dapat dilakukan dengan cara mengalihkan kepada bank yang melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah lain dan atau mengalihkan kepada pihak lain dan atau cara lain dengan persetujuan nasabah.. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup … - 16 - Cukup jelas. Pasal 30 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 31 Cukup jelas. Pasal 32 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Bank hanya dapat melakukan pembukaan Kantor Cabang Syariah sesuai dengan penegasan Bank Indonesia terhadap rencana bisnis Bank sepanjang tidak terdapat perubahan kondisi keuangan yang bersifat material antara rencana bisnis dengan realisasi rencana bisnis pada saat pembukaan kantor, antara lain seperti terjadi penurunan permodalan Bank yang material. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 33 … - 17 - Pasal 33 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Dalam hal Kantor Cabang Syariah berasal dari konversi Kantor Cabang dan atau peningkatan status Kantor dibawah Kantor Cabang yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional maka izin pembukaan Kantor Cabang Syariah menggantikan izin dan status keberadaan kantor Bank sebelumnya. Pasal 34 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 35 Ayat (1) Bank hanya dapat melakukan pembukaan Kantor dibawah Kantor Cabang Syariah sesuai dengan penegasan Bank Indonesia terhadap rencana bisnis Bank, sepanjang tidak terdapat perubahan kondisi keuangan yang bersifat material antara rencana bisnis dengan realisasi … - 18 - realisasi rencana bisnis pada saat pembukaan kantor, antara lain seperti terjadi penurunan permodalan Bank yang material. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Dalam hal Kantor dibawah Kantor Cabang Syariah bertempat di alamat yang sama dengan Kantor Cabang dan atau Kantor dibawah Kantor Cabang Bank, harus ada pemisahan fisik yang jelas antara Kantor dibawah Kantor Cabang Syariah dengan Kantor Cabang dan atau Kantor dibawah Kantor Cabang Bank. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 36 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 37 Cukup jelas. Pasal 38 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) … - 19 - Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 39 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 40 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 41 Cukup jelas. Pasal 42 Ayat (1) Dengan diberikannya persetujuan pembukaan Kantor Cabang Syariah, maka secara langsung Kantor dibawah Kantor Cabang Syariah ditutup. Ayat (2) Dengan diberikannya persetujuan pembukaan Kantor dibawah Kantor Cabang Syariah, maka secara langsung Kegiatan Kas di luar Kantor Bank Syariah dihentikan. Pasal 43 … - 20 - Pasal 43 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 44 Cukup jelas. Pasal 45 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 46 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 47 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Penyelesaian … - 21 - Penyelesaian kewajiban kepada nasabah dan pihak lainnya dapat dilakukan antara lain melalui pengalihan seluruh kewajiban kepada kantor syariah lainnya atau pihak lain dengan persetujuan nasabah. Ayat (2) Huruf a Bukti penyelesaian kewajiban kepada nasabah adalah berupa laporan keuangan Kantor Cabang Syariah yang menunjukkan seluruh kewajiban Layanan Syariah kepada nasabah dan pihak lain telah selesai. Huruf b Penyelesaian kewajiban kepada nasabah dan pihak lainnya dapat dilakukan antara lain melalui pengalihan seluruh kewajiban kepada kantor syariah lainnya atau pihak lain dengan persetujuan nasabah. Pasal 48 Cukup jelas. Pasal 49 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 50 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) … - 22 - Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 51 Cukup jelas. Pasal 52 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 53 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Jumlah sanksi kewajiban membayar dihitung berdasarkan keterlambatan laporan. Huruf b Jumlah sanksi kewajiban membayar dihitung berdasarkan laporan yang tidak disampaikan. Dalam hal Bank dikenakan sanksi tidak menyampaikan laporan, tidak lagi dikenakan sanksi keterlambatan penyampaian laporan. Ayat (3) Batas waktu penyampaian laporan 30 (tiga puluh) hari termasuk batas waktu penyampaian laporan koreksi. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 54 … - 23 - Pasal 54 Cukup jelas. Pasal 55 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4599
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 8/3/PBI/2006 </reg_id> <reg_title> PERUBAHAN KEGIATAN USAHA BANK UMUM KONVENSIONAL MENJADI BANK UMUM YANG MELAKSANAKAN KEGIATAN USAHA BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH DAN PEMBUKAAN KANTOR BANK YANG MELAKSANAKAN KEGIATAN USAHA BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH OLEH BANK UMUM KONVENSIONAL </reg_title> <set_date> 30 Januari 2006 </set_date> <effective_date> 30 Januari 2006 </effective_date> <replaced_reg> '4/1/PBI/2002' </replaced_reg> <related_reg> '23/UU/1999', '3/UU/2004', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg> <penalty_list> 'BAB V' </penalty_list>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 13/ 17 /PBI/2011 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 7/42/PBI/2005 TENTANG PENGELUARAN DAN PENGEDARAN UANG KERTAS RUPIAH PECAHAN 50.000 (LIMA PULUH RIBU) TAHUN EMISI 2005 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pengeluaran dan pengedaran uang rupiah ditujukan untuk menyediakan uang tunai di masyarakat sebagai alat pembayaran yang sah (legal tender) di Negara Kesatuan Republik Indonesia; b. bahwa untuk lebih mengoptimalkan fungsi elemen pada desain uang kertas rupiah pecahan 50.000 (lima puluh ribu) sebagai legal tender di Negara Kesatuan Republik Indonesia, diperlukan perubahan unsur pengaman pada desain uang rupiah; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu untuk melakukan perubahan kedua atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/42/PBI/2005 tentang Pengeluaran dan Pengedaran Uang Kertas Rupiah Pecahan 50.000 (Lima Puluh Ribu) Tahun Emisi 2005; Mengingat ... -2- Mengingat : 1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843), sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962); 2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5223); 3. Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/14/PBI/2004 tentang Pengeluaran, Pengedaran, Pencabutan dan Penarikan, serta Pemusnahan Uang Rupiah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 52, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4388) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 9/10/PBI/2007 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 113, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4762); MEMUTUSKAN ... -3- MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 7/42/PBI/2005 TENTANG PENGELUARAN DAN PENGEDARAN UANG KERTAS RUPIAH PECAHAN 50.000 (LIMA PULUH RIBU) TAHUN EMISI 2005. Pasal I Beberapa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/42/PBI/2005 tentang Pengeluaran dan Pengedaran Uang Kertas Rupiah Pecahan 50.000 (Lima Puluh Ribu) Tahun Emisi 2005 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 102) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/8/PBI/2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 45) diubah sebagai berikut: 1. Ketentuan Pasal 4 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 4 Ciri uang rupiah pecahan 50.000 (lima puluh ribu) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1, untuk tahun pencetakan mulai bulan Januari tahun 2009 sampai dengan bulan Juni tahun 2011 adalah: a. Warna bagian muka dan bagian belakang uang dicetak dengan warna dominan biru; b. Gambar 1. bagian muka a) gambar ... -4- a) gambar utama berupa gambar Pahlawan Nasional I Gusti Ngurah Rai dan dibawahnya dicantumkan tulisan “I GUSTI NGURAH RAI”; b) pada sebelah kiri gambar utama dengan arah vertikal terdapat gambar ornamen daerah Bali berwarna biru yang akan memendar hijau di bawah sinar ultra violet; c) pada sebelah kiri atas gambar utama dengan arah horizontal dan pada sebelah kanan tanda air dengan arah vertikal, terdapat angka nominal “50000”; d) pada sebelah kiri gambar utama, di bawah angka nominal “50000” terdapat gambar saling isi (rectoverso) yang apabila diterawangkan ke arah cahaya akan terlihat logo Bank Indonesia secara utuh; e) pada sebelah kiri bawah gambar utama dengan arah horizontal terdapat tulisan “BANK INDONESIA” dan di bawah tulisan tersebut terdapat tulisan “LIMA PULUH RIBU RUPIAH”; f) pada sebelah kiri gambar utama, di atas tulisan “BANK INDONESIA” terdapat kode tuna netra (blind code) berupa 2 (dua) buah segitiga yang terasa kasar apabila diraba; g) pada sebelah kanan atas gambar utama terdapat gambar tersembunyi (latent image) tulisan ”BI” dalam bingkai persegi panjang berbentuk ornamen daerah Bali yang dapat dilihat dari sudut pandang tertentu; h) pada sebelah kanan atas gambar utama terdapat gambar Lambang Negara Kesatuan Republik Indonesia, yaitu Garuda Pancasila; i) pada sebelah kanan bawah terdapat logo Bank Indonesia di dalam bidang segi empat yang dicetak dengan tinta khusus (optically ... -5- (optically variable ink) yang akan berubah warna dari magenta menjadi hijau apabila dilihat dari sudut pandang berbeda; j) pada sebelah kanan bawah gambar utama terdapat angka tahun pencetakan “2009” (angka 2009 akan berubah sesuai dengan tahun pencetakan uang), tulisan “DEWAN GUBERNUR”, tanda tangan Gubernur Bank Indonesia beserta tulisan “GUBERNUR”, dan tanda tangan Deputi Gubernur Bank Indonesia beserta tulisan “DEPUTI GUBERNUR”; k) sebagai latar belakang dan pengisi bidang terdiri dari garis-garis bergelombang, miring, dan rangkaian garis melengkung yang membentuk ornamen daerah Bali; l) mikroteks yaitu teks yang hanya dapat dibaca dengan bantuan kaca pembesar terdapat: 1) pada sebelah kiri gambar utama yang mengisi angka nominal “50000” berupa tulisan ”BI”; 2) pada sebelah kiri gambar utama berupa tulisan ”BI” sebagai latar belakang ornamen daerah Bali; 3) di tepi kiri ornamen daerah Bali berupa tulisan ”BI” dan di tepi kanan ornamen daerah Bali berupa angka nominal ”50000” yang keduanya membentuk garis vertikal; 4) pada sebelah kiri atas dan bawah gambar utama berbentuk kotak-kotak dengan kombinasi tulisan ”BI” dan ”BI50000” yang tersusun horizontal dan tulisan ”BANKINDONESIA” dan ”BI50000” yang tersusun diagonal; 5) pada sebelah kanan gambar utama berupa tulisan ”BI” yang membentuk warna dasar dan gambar relief daerah Bali; 6) di tepi kiri atas dan bawah serta di tepi kanan atas dan bawah berupa logo BI yang membentuk pola dasar uang; m) miniteks ... -6- m) miniteks yaitu teks dengan ukuran kecil yang dapat dibaca tanpa bantuan kaca pembesar terdapat di atas dan di bawah tanda air berupa tulisan ”BANKINDONESIA50000” yang berbentuk lengkungan dengan warna dan ukuran teks yang berbeda; 2. bagian belakang a) gambar utama berupa gambar Danau Beratan, Bedugul, Bali dan di sebelah kanannya dicantumkan tulisan “DANAU BERATAN, BEDUGUL” dengan arah vertikal; b) di bawah gambar utama terdapat tulisan “DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, BANK INDONESIA MENGELUARKAN UANG SEBAGAI ALAT PEMBAYARAN YANG SAH DENGAN NILAI LIMA PULUH RIBU RUPIAH”; c) di atas tanda air, terdapat cetakan tidak kasat mata berupa gambar siluet penari Bali yang akan memendar hijau kekuningan di bawah sinar ultra violet; d) pada bagian kiri bawah gambar utama, terdapat cetakan tidak kasat mata berupa angka nominal “50000” dalam kotak persegi panjang yang akan memendar hijau kekuningan di bawah sinar ultra violet; e) di tepi kiri dan kanan bagian tengah uang, terdapat gambar ornamen daerah Bali yang akan memendar hijau di bawah sinar ultra violet; f) nomor seri yang terdiri dari 3 (tiga) huruf dan 6 (enam) angka terletak pada sebelah kiri bawah uang yang dicetak dengan tinta berwarna hitam yang akan memendar hijau di bawah sinar ultra violet dan pada sebelah kanan atas di bawah tulisan “BANK INDONESIA ... -7- INDONESIA” dicetak dengan tinta berwarna merah yang akan memendar oranye di bawah sinar ultra violet; g) pada sebelah kanan atas gambar utama terdapat tulisan “BANK INDONESIA”; h) pada sebelah kanan atas di bawah nomor seri terdapat gambar saling isi (rectoverso) yang apabila diterawangkan ke arah cahaya akan terlihat logo Bank Indonesia secara utuh; i) pada sebelah kanan bawah dengan arah horizontal dan pada sebelah kiri atas dengan arah vertikal terdapat angka nominal “50000”; j) pada sebelah kanan bawah tepat di bawah angka nominal “50000” terdapat tulisan “PERUM PERCETAKAN UANG RI IMP” dan angka tahun pengeluaran “2005”; k) mikroteks yaitu teks yang hanya dapat dibaca dengan bantuan kaca pembesar terdapat: 1) di tepi kiri atas dan bawah serta tepi kanan atas dan bawah berbentuk kotak-kotak berupa tulisan “BI” yang tersusun horizontal serta tulisan “BI50000” dan “BANK INDONESIA” yang tersusun diagonal; 2) di tepi kiri gambar utama berupa tulisan “BANK INDONESIA” yang membentuk garis vertikal; 3) pada bagian kiri atas gambar utama berupa tulisan ”BI” yang membentuk ornamen daerah Bali; 4) pada sebelah kanan bawah gambar utama yang mengisi angka nominal “50000” berupa tulisan ”BI”; l) miniteks yaitu teks dengan ukuran kecil yang dapat dibaca tanpa bantuan kaca pembesar terdapat di atas dan di bawah tanda air berupa ... -8- berupa angka nominal ”50000” yang berbentuk garis melengkung dengan ukuran teks yang berbeda; c. Bahan kertas uang memiliki spesifikasi sebagai berikut: 1. terbuat dari serat kapas; 2. ukuran panjang 149 mm dan lebar 65 mm; 3. warna biru muda; 4. tidak memendar di bawah sinar ultra violet; 5. tanda air berupa gambar Pahlawan Nasional I Gusti Ngurah Rai dan electrotype berupa logo BI dan ornamen daerah Bali; 6. benang pengaman berbentuk anyaman yang memuat tulisan “BI50000” berulang-ulang dan terbaca utuh atau terpotong sebagian serta akan berubah warna dari magenta menjadi hijau apabila dilihat dari sudut pandang berbeda. 2. Di antara Pasal 4 dan Pasal 5 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 4A yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 4A Ciri uang rupiah pecahan 50.000 (lima puluh ribu) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1, untuk tahun pencetakan mulai bulan Juli tahun 2011 adalah: a. Warna bagian muka dan bagian belakang uang dicetak dengan warna dominan biru; b. Gambar 1. bagian muka a) gambar utama berupa gambar Pahlawan Nasional I Gusti Ngurah Rai, dan dibawahnya dicantumkan tulisan “I GUSTI NGURAH RAI”; b) pada ... -9- b) pada sebelah kiri gambar utama dengan arah vertikal terdapat gambar ornamen daerah Bali berwarna biru yang akan memendar hijau di bawah sinar ultra violet; c) pada sebelah kiri atas gambar utama dengan arah horizontal dan pada sebelah kanan tanda air dengan arah vertikal, terdapat angka nominal “50000”; d) pada sebelah kiri gambar utama, di bawah angka nominal “50000” terdapat gambar saling isi (rectoverso) yang apabila diterawangkan ke arah cahaya akan terlihat logo Bank Indonesia secara utuh; e) pada sebelah kiri bawah gambar utama dengan arah horizontal terdapat tulisan “BANK INDONESIA” dan di bawah tulisan tersebut terdapat tulisan “LIMA PULUH RIBU RUPIAH”; f) pada sebelah kiri gambar utama dan di atas tulisan “BANK INDONESIA” terdapat kode tuna netra (blind code) berupa 2 (dua) buah segitiga berwarna magenta yang terasa kasar apabila diraba; g) pada sebelah kanan atas gambar utama terdapat gambar tersembunyi (latent image) tulisan ”BI” dalam bingkai persegi panjang berbentuk ornamen daerah Bali yang dapat dilihat dari sudut pandang tertentu; h) pada sebelah kanan atas gambar utama terdapat gambar Lambang Negara Kesatuan Republik Indonesia, yaitu Garuda Pancasila; i) pada sebelah kanan gambar utama terdapat rainbow printing dalam bidang berbentuk segi empat yang akan berubah warna apabila dilihat dari sudut pandang berbeda; j) pada ... -10- j) pada sebelah kanan gambar utama terdapat elemen desain berbentuk lingkaran-lingkaran kecil berwarna oranye dan ditengahnya berwarna putih yang letaknya tersebar; k) pada sebelah kanan bawah terdapat logo Bank Indonesia di dalam bidang segi empat yang dicetak dengan tinta khusus (optically variable ink) yang akan berubah warna dari magenta menjadi hijau apabila dilihat dari sudut pandang tertentu; l) pada sebelah kanan bawah gambar utama terdapat angka tahun pencetakan “2011” (angka 2011 akan berubah sesuai dengan tahun pencetakan uang), tulisan “DEWAN GUBERNUR”, tanda tangan Gubernur Bank Indonesia beserta tulisan “GUBERNUR”, dan tanda tangan Deputi Gubernur Bank Indonesia beserta tulisan “DEPUTI GUBERNUR”; m) sebagai latar belakang dan pengisi bidang terdiri dari garis-garis bergelombang, miring, dan rangkaian garis melengkung yang membentuk ornamen daerah Bali; n) mikroteks yaitu teks yang hanya dapat dibaca dengan bantuan kaca pembesar terdapat: 1) pada sebelah kiri gambar utama yang mengisi angka nominal “50000” berupa tulisan ”BI”; 2) pada sebelah kiri gambar utama berupa tulisan ”BI” sebagai latar belakang ornamen daerah Bali; 3) di tepi kiri ornamen daerah Bali berupa tulisan ”BI” dan di tepi kanan ornamen daerah Bali berupa angka nominal ”50000” yang keduanya membentuk garis vertikal; 4) pada sebelah kiri atas dan bawah gambar utama berbentuk kotak-kotak dengan kombinasi tulisan ”BI” dan ”BI50000” yang ... -11- yang tersusun horizontal dan tulisan ”BANKINDONESIA” dan ”BI50000” yang tersusun diagonal; 5) di tepi kiri atas dan bawah serta di tepi kanan atas dan bawah berupa logo BI yang membentuk pola dasar uang; o) miniteks yaitu teks dengan ukuran kecil yang dapat dibaca tanpa bantuan kaca pembesar terdapat di atas dan di bawah tanda air berupa tulisan ”BANKINDONESIA50000” yang berbentuk lengkungan dengan warna dan ukuran teks yang berbeda; 2. bagian belakang a) gambar utama berupa gambar Danau Beratan, Bedugul, Bali dan di sebelah kanannya dicantumkan tulisan “DANAU BERATAN, BEDUGUL” dengan arah vertikal; b) di bawah gambar utama terdapat tulisan “DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, BANK INDONESIA MENGELUARKAN UANG SEBAGAI ALAT PEMBAYARAN YANG SAH DENGAN NILAI LIMA PULUH RIBU RUPIAH”; c) di atas tanda air, terdapat cetakan tidak kasat mata berupa gambar siluet penari Bali yang akan memendar hijau kekuningan di bawah sinar ultra violet; d) pada bagian kiri bawah gambar utama, terdapat cetakan tidak kasat mata berupa angka nominal “50000” dalam kotak persegi panjang yang akan memendar hijau kekuningan di bawah sinar ultra violet; e) di tepi kiri dan kanan bagian tengah uang, terdapat gambar ornamen daerah Bali yang akan memendar hijau di bawah sinar ultra violet; f) pada ... -12- f) pada sebelah kanan gambar utama terdapat elemen desain berbentuk lingkaran-lingkaran kecil berwarna oranye dan ditengahnya berwarna putih yang letaknya tersebar; g) nomor seri yang terdiri dari 3 (tiga) huruf dan 6 (enam) angka terletak pada sebelah kiri bawah uang yang dicetak dengan tinta berwarna hitam yang akan memendar hijau di bawah sinar ultra violet dan pada sebelah kanan atas di bawah tulisan “BANK INDONESIA” dicetak dengan tinta berwarna merah yang akan memendar oranye di bawah sinar ultra violet; h) pada sebelah kanan atas gambar utama terdapat tulisan “BANK INDONESIA”; i) pada sebelah kanan atas di bawah nomor seri terdapat gambar saling isi (rectoverso) yang apabila diterawangkan ke arah cahaya akan terlihat logo Bank Indonesia secara utuh; j) pada sebelah kanan bawah dengan arah horizontal dan pada sebelah kiri atas dengan arah vertikal terdapat angka nominal “50000”; k) pada sebelah kanan bawah tepat di bawah angka nominal “50000” terdapat tulisan “PERUM PERCETAKAN UANG RI IMP” dan angka tahun pengeluaran “2005”; l) mikroteks yaitu teks yang hanya dapat dibaca dengan bantuan kaca pembesar terdapat: 1) di tepi kiri atas dan bawah serta tepi kanan atas dan bawah berbentuk kotak-kotak berupa tulisan “BI” yang tersusun horizontal serta 2) di tulisan “BI50000” “BANKINDONESIA” yang tersusun diagonal; tepi kiri gambar utama berupa tulisan “BANKINDONESIA” yang membentuk garis vertikal; 3) pada ... dan -13- 3) pada bagian kiri atas gambar utama berupa tulisan ”BI” yang membentuk ornamen daerah Bali; 4) pada sebelah kanan bawah gambar utama yang mengisi angka nominal “50000” berupa tulisan ”BI”; m) miniteks yaitu teks dengan ukuran kecil yang dapat dibaca tanpa bantuan kaca pembesar terdapat di atas dan di bawah tanda air berupa angka nominal ”50000” yang berbentuk garis melengkung dengan ukuran teks yang berbeda; c. Bahan kertas uang memiliki spesifikasi sebagai berikut: 1. terbuat dari serat kapas; 2. ukuran panjang 149 mm dan lebar 65 mm; 3. warna biru muda; 4. tidak memendar di bawah sinar ultra violet; 5. tanda air berupa gambar Pahlawan Nasional I Gusti Ngurah Rai dan electrotype berupa logo BI dan ornamen daerah Bali; 6. benang pengaman berbentuk anyaman yang memuat tulisan “BI50000” berulang-ulang dan terbaca utuh atau terpotong sebagian serta akan berubah warna dari magenta menjadi hijau apabila dilihat dari sudut pandang berbeda. 3. Pasal 5A dihapus. Pasal II Uang kertas rupiah pecahan 50.000 (lima puluh ribu) yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia sebelum berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini, masih tetap berlaku sepanjang belum dicabut dan ditarik dari peredaran. Pasal ... -14- Pasal III Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 1 Agustus 2011 GUBERNUR BANK INDONESIA, DARMIN NASUTION Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 1 Agustus 2011 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, PATRIALIS AKBAR LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2011 NOMOR 76 DPU
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 13/17/PBI/2011 </reg_id> <reg_title> PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 7/42/PBI/2005 TENTANG PENGELUARAN DAN PENGEDARAN UANG KERTAS RUPIAH PECAHAN 50.000 (LIMA PULUH RIBU) TAHUN EMISI 2005 </reg_title> <set_date> 1 Agustus 2011 </set_date> <effective_date> 1 Agustus 2011 </effective_date> <issued_date> 1 Agustus 2011 </issued_date> <changed_reg> '7/42/PBI/2005' </changed_reg> <related_reg> '6/UU/2009', '23/UU/1999', '6/14/PBI/2004', '2/PERPPU/2008', '9/10/PBI/2007', '7/UU/2011' </related_reg>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 13/13 /PBI/2011 TENTANG PENILAIAN KUALITAS AKTIVA BAGI BANK UMUM SYARIAH DAN UNIT USAHA SYARIAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kelangsungan usaha bank tergantung dari kemampuan bank dalam melakukan penanaman dana dengan mempertimbangkan prinsip kehati-hatian dan Prinsip Syariah; b. bahwa penilaian kualitas aktiva dalam rangka pembentukan penyisihan penghapusan aktiva merupakan salah satu bentuk pengelolaan risiko yang bertujuan agar bank dapat menyerap potensi kerugian yang telah diperkirakan (expected loss); c. bahwa dengan diberlakukannya undang-undang tentang perbankan syariah serta harmonisasi dengan ketentuan terkait lainnya, perlu dilakukan penyesuaian ketentuan yang terkait dengan penilaian kualitas aktiva dan pembentukan penyisihan penghapusan aktiva; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, dan huruf c perlu mengatur kembali ketentuan mengenai kualitas aktiva bagi bank umum syariah dan unit usaha syariah dalam Peraturan Bank Indonesia; Mengingat … - 2 - Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962); 2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867); MEMUTUSKAN: Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PENILAIAN KUALITAS AKTIVA BAGI BANK UMUM SYARIAH DAN UNIT USAHA SYARIAH. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan: 1. Bank adalah Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah … - 3 - Syariah. 2. Bank Pembiayaan Rakyat Syariah, yang selanjutnya disebut BPRS, adalah Bank Pembiayaan Rakyat Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. 3. Aktiva Produktif adalah penanaman dana Bank baik dalam rupiah maupun valuta asing untuk memperoleh penghasilan, dalam bentuk Pembiayaan, Surat Berharga Syariah, Sertifikat Bank Indonesia Syariah, Penyertaan Modal, Penyertaan Modal Sementara, Penempatan Pada Bank Lain, komitmen dan kontinjensi pada Transaksi Rekening Administratif, dan bentuk penyediaan dana lainnya yang dapat dipersamakan dengan itu. 4. Pembiayaan adalah penyediaan dana atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berupa: a. b. transaksi bagi hasil dalam bentuk mudharabah dan musyarakah; transaksi sewa-menyewa dalam bentuk ijarah atau sewa beli dalam bentuk ijarah muntahiya bittamlik; c. d. e. transaksi jual beli dalam bentuk piutang murabahah, salam, dan istishna’; transaksi pinjam meminjam dalam bentuk piutang qardh; dan transaksi sewa-menyewa jasa dalam bentuk ijarah untuk transaksi multijasa, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara Bank dan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai dan/atau diberi fasilitas dana untuk mengembalikan dana tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan ujrah, tanpa imbalan, atau bagi hasil. 5. Pembiayaan berdasarkan akad mudharabah, yang selanjutnya disebut Pembiayaan Mudharabah, adalah Pembiayaan dalam bentuk kerja sama suatu usaha antara Bank yang menyediakan seluruh modal dan nasabah yang bertindak selaku pengelola dana dengan membagi keuntungan usaha sesuai dengan kesepakatan … - 4 - kesepakatan yang dituangkan dalam akad, sedangkan kerugian ditanggung sepenuhnya oleh Bank kecuali jika nasabah melakukan kesalahan yang disengaja, lalai atau menyalahi perjanjian. 6. Pembiayaan berdasarkan akad musyarakah, yang selanjutnya disebut Pembiayaan Musyarakah, adalah Pembiayaan dalam bentuk kerja sama antara Bank dengan nasabah untuk suatu usaha tertentu yang masing-masing pihak memberikan porsi dana dengan ketentuan bahwa keuntungan akan dibagi sesuai dengan kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung sesuai dengan porsi dana masing- masing. 7. Pembiayaan berdasarkan akad murabahah, yang selanjutnya disebut Pembiayaan Murabahah, adalah Pembiayaan suatu barang dengan menegaskan harga belinya kepada pembeli dan pembeli membayarnya dengan harga yang lebih sebagai keuntungan yang disepakati. 8. Pembiayaan berdasarkan akad salam, yang selanjutnya disebut Pembiayaan Salam, adalah Pembiayaan suatu barang dengan cara pemesanan dan pembayaran harga yang dilakukan terlebih dahulu dengan syarat tertentu yang disepakati. 9. Pembiayaan berdasarkan akad istishna’, yang selanjutnya disebut Pembiayaan Istishna’, adalah Pembiayaan suatu barang dalam bentuk pemesanan pembuatan barang tertentu dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati antara nasabah dan penjual atau pembuat barang. 10. Pembiayaan berdasarkan akad ijarah, yang selanjutnya disebut Pembiayaan Ijarah, adalah Pembiayaan dalam rangka memindahkan hak guna atau manfaat dari suatu barang atau jasa berdasarkan transaksi sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan barang itu sendiri. 11. Pembiayaan berdasarkan akad ijarah muntahiya bittamlik, yang selanjutnya disebut Pembiayaan Ijarah Muntahiya Bittamlik, adalah Pembiayaan dalam rangka memindahkan hak guna atau manfaat dari suatu barang atau jasa berdasarkan … - 5 - berdasarkan transaksi sewa dengan opsi pemindahan kepemilikan barang. 12. Pembiayaan berdasarkan akad qardh, yang selanjutnya disebut Pembiayaan Qardh, adalah Pembiayaan dalam bentuk pinjaman dana kepada nasabah dengan ketentuan bahwa nasabah wajib mengembalikan dana yang diterimanya pada waktu yang telah disepakati. 13. Surat Berharga Syariah adalah surat bukti berinvestasi berdasarkan Prinsip Syariah yang lazim diperdagangkan di pasar uang dan/atau pasar modal antara lain obligasi syariah, sertifikat reksadana syariah, dan surat berharga lainnya berdasarkan Prinsip Syariah. 14. Sertifikat Bank Indonesia Syariah, yang selanjutnya disebut sebagai SBIS, adalah surat berharga berdasarkan Prinsip Syariah berjangka waktu pendek dalam mata uang rupiah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia. 15. Prinsip Syariah adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan perbankan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah. 16. Penyertaan Modal adalah penanaman dana Bank dalam bentuk saham pada perusahaan yang bergerak di bidang keuangan syariah, termasuk penanaman dana dalam bentuk surat berharga yang dapat dikonversi menjadi saham (convertible bonds) atau jenis transaksi tertentu berdasarkan Prinsip Syariah yang berakibat Bank memiliki atau akan memiliki saham pada perusahaan yang bergerak di bidang keuangan syariah. 17. Penyertaan Modal Sementara adalah penyertaan modal Bank, antara lain berupa pembelian saham dan/atau konversi Pembiayaan menjadi saham dalam perusahaan nasabah untuk mengatasi kegagalan penyaluran dana dan/atau piutang dalam jangka waktu tertentu sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia. 18. Penempatan … - 6 - 18. Penempatan Pada Bank Lain adalah penanaman dana pada Bank Umum Syariah, Unit Usaha Syariah dan/atau BPRS antara lain dalam bentuk giro, tabungan, deposito, Pembiayaan, dan/atau bentuk penempatan lainnya berdasarkan Prinsip Syariah. 19. Transaksi Rekening Administratif adalah komitmen dan kontinjensi (off-balance sheet) berdasarkan Prinsip Syariah yang terdiri atas bank garansi, akseptasi/endosemen, irrevocable Letter of Credit (L/C) yang masih berjalan, akseptasi wesel impor atas dasar L/C berjangka, standby L/C dan garansi lain berdasarkan Prinsip Syariah. 20. Proyeksi Bagi Hasil, yang selanjutnya disebut PBH, adalah perkiraan pendapatan yang akan diterima Bank dari nasabah atas Pembiayaan Mudharabah dan Pembiayaan Musyarakah setelah memperhitungkan nisbah bagi hasil, dengan jumlah dan tanggal jatuh tempo yang disepakati antara Bank dan nasabah. 21. Realisasi Bagi Hasil, yang selanjutnya disebut RBH, adalah pendapatan yang diterima Bank dari nasabah atas Pembiayaan Mudharabah dan Pembiayaan Musyarakah setelah memperhitungkan nisbah bagi hasil. 22. Aktiva Non Produktif adalah aset Bank selain Aktiva Produktif yang memiliki potensi kerugian, antara lain dalam bentuk Agunan Yang Diambil Alih, properti terbengkalai, serta Rekening Antar Kantor dan Suspense Account. 23. Agunan Yang Diambil Alih, yang untuk selanjutnya disebut AYDA, adalah sebagian atau seluruh agunan yang dibeli Bank, baik melalui pelelangan maupun di luar pelelangan, berdasarkan penyerahan sukarela oleh pemilik agunan atau berdasarkan pemberian kuasa untuk menjual dari pemilik agunan, dengan kewajiban untuk dicairkan kembali. 24. Rekening Antar Kantor adalah akun tagihan yang timbul dari transaksi antar kantor yang belum diselesaikan dalam jangka waktu tertentu. 25. Suspense … - 7 - 25. Suspense Account adalah akun yang digunakan untuk menampung transaksi yang tidak teridentifikasi atau tidak didukung dengan dokumen pencatatan yang memadai sehingga tidak dapat diklasifikasikan dalam akun yang seharusnya. 26. Penyisihan Penghapusan Aktiva, yang selanjutnya disebut PPA, adalah cadangan yang harus dibentuk sebesar persentase tertentu berdasarkan kualitas aktiva. 27. Penilai Independen adalah Kantor Jasa Penilai Publik (KJPP) yang: a. tidak ada keterkaitan dalam hal kepemilikan, kepengurusan dan keuangan baik dengan Bank maupun nasabah yang menerima fasilitas; b. melakukan kegiatan penilaian berdasarkan kode etik profesi dan ketentuan- ketentuan lain yang ditetapkan oleh institusi yang berwenang; c. menggunakan metode penilaian berdasarkan standar profesi penilaian yang diterbitkan oleh institusi yang berwenang; d. memiliki izin usaha dari institusi yang berwenang untuk beroperasi sebagai perusahaan penilai; dan e. tercatat sebagai anggota asosiasi yang diakui oleh institusi yang berwenang. 28. Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah, yang selanjutnya disebut UMKM, adalah UMKM sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah. 29. Kewajiban Penyediaan Modal Minimum, yang selanjutnya disebut KPMM, adalah KPMM sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai kewajiban penyediaan modal minimum. BAB II KUALITAS AKTIVA Pasal 2 (1) Penanaman dan/atau penyediaan dana Bank wajib dilaksanakan berdasarkan prinsip kehati-hatian dan Prinsip Syariah. (2) Bank … - 8 - (2) Bank wajib menilai, memantau dan mengambil langkah-langkah antisipasi agar kualitas aktiva senantiasa dalam keadaan Lancar. Pasal 3 Penilaian kualitas aktiva dilakukan terhadap Aktiva Produktif dan Aktiva Non Produktif. Pasal 4 (1) Bank wajib melakukan penilaian dan penggolongan kualitas aktiva sesuai dengan Peraturan Bank Indonesia ini. (2) Dalam hal terjadi perbedaan penilaian kualitas aktiva antara Bank dan Bank Indonesia, kualitas aktiva yang diberlakukan adalah kualitas yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. (3) Bank wajib menyesuaikan kualitas aktiva sesuai dengan penilaian kualitas yang ditetapkan oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam laporan-laporan yang disampaikan kepada Bank Indonesia dan/atau laporan publikasi sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku, paling lambat pada periode laporan berikutnya setelah pemberitahuan dari Bank Indonesia. BAB III AKTIVA PRODUKTIF Bagian Kesatu Umum Pasal 5 (1) Bank wajib menggolongkan kualitas yang sama terhadap beberapa rekening Aktiva Produktif yang digunakan untuk membiayai 1 (satu) nasabah pada Bank yang … - 9 - yang sama. (2) Penggolongan kualitas yang sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku pula untuk Aktiva Produktif berupa penyediaan dana atau tagihan yang diberikan oleh lebih dari 1 (satu) Bank yang dilaksanakan berdasarkan perjanjian Pembiayaan bersama dan/atau sindikasi. (3) Dalam hal terdapat kualitas Aktiva Produktif yang berbeda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Bank wajib menggolongkan kualitas yang sama untuk masing-masing Aktiva Produktif mengikuti kualitas Aktiva Produktif yang paling rendah. (4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dikecualikan dalam hal Aktiva Produktif digolongkan berdasarkan faktor penilaian yang berbeda. Pasal 6 Bank wajib melakukan penilaian kualitas Aktiva Produktif secara bulanan. Pasal 7 (1) Penanaman dana Bank dalam bentuk Aktiva Produktif wajib didukung dengan dokumen yang lengkap dan memberikan informasi yang cukup. (2) Bank Indonesia berwenang menurunkan kualitas Aktiva Produktif yang oleh Bank digolongkan Lancar dan Dalam Perhatian Khusus menjadi paling tinggi Kurang Lancar, apabila dokumen penanaman dana tidak memberikan informasi yang cukup untuk mendukung penggolongan dimaksud. Bagian Kedua … - 10 - Bagian Kedua Pembiayaan Pasal 8 (1) Penilaian atas kualitas Aktiva Produktif dalam bentuk Pembiayaan dilakukan berdasarkan faktor-faktor sebagai berikut: a. prospek usaha; b. kinerja (performance) nasabah; dan c. kemampuan membayar. (2) Kualitas Aktiva Produktif dalam bentuk Pembiayaan digolongkan menjadi Lancar, Dalam Perhatian Khusus, Kurang Lancar, Diragukan, dan Macet. Pasal 9 (1) Penilaian terhadap prospek usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf a meliputi penilaian terhadap komponen-komponen sebagai berikut: a. potensi pertumbuhan usaha; b. kondisi pasar dan posisi nasabah dalam persaingan; c. kualitas manajemen dan permasalahan tenaga kerja; d. dukungan dari grup atau afiliasi; dan e. upaya yang dilakukan nasabah dalam rangka memelihara lingkungan hidup. (2) Penilaian terhadap kinerja nasabah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf b meliputi penilaian terhadap komponen-komponen sebagai berikut: a. perolehan laba; b. c. d. struktur permodalan; arus kas; dan sensitivitas terhadap risiko pasar. (3) Penilaian terhadap kemampuan membayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf c meliputi penilaian terhadap komponen-komponen sebagai berikut … - 11 - berikut: a. ketepatan pembayaran pokok dan marjin/bagi hasil/fee; b. ketersediaan dan keakuratan informasi keuangan nasabah; c. kelengkapan dokumen Pembiayaan; d. kepatuhan terhadap perjanjian Pembiayaan; e. kesesuaian penggunaan dana; dan f. kewajaran sumber pembayaran kewajiban. Pasal 10 (1) Penggolongan kualitas Aktiva Produktif dalam bentuk Pembiayaan dilakukan dengan melakukan analisis terhadap faktor penilaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dengan mempertimbangkan komponen-komponen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9. (2) Penggolongan kualitas Aktiva Produktif dalam bentuk Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan mempertimbangkan: a. b. signifikansi dan materialitas dari setiap faktor penilaian dan komponen; serta relevansi dari faktor penilaian dan komponen terhadap nasabah yang bersangkutan. Pasal 11 (1) Bank wajib memiliki ketentuan intern yang mengatur kriteria dan persyaratan nasabah Pembiayaan yang wajib menyampaikan laporan keuangan yang telah diaudit akuntan publik, termasuk aturan mengenai batas waktu penyampaian laporan tersebut. (2) Kewajiban nasabah untuk menyampaikan laporan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dicantumkan dalam perjanjian antara Bank dan nasabah … - 12 - nasabah. (3) Ketentuan intern sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memperhatikan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (4) Kualitas Aktiva Produktif dalam bentuk Pembiayaan dari nasabah yang tidak menyampaikan laporan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diturunkan satu tingkat dan digolongkan paling tinggi Kurang Lancar. Pasal 12 (1) Penilaian terhadap kualitas Aktiva Produktif dalam bentuk Pembiayaan Mudharabah dan Pembiayaan Musyarakah yang dilakukan berdasarkan kemampuan membayar mengacu pada rasio RBH terhadap PBH dan/atau ketepatan pembayaran pokok. (2) Penghitungan rasio RBH terhadap PBH sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan berdasarkan akumulasi selama periode Pembiayaan Mudharabah dan Pembiayaan Musyarakah yang telah berjalan. (3) PBH dihitung berdasarkan analisis kelayakan usaha dan arus kas masuk (cash inflow) nasabah selama jangka waktu Pembiayaan Mudharabah dan Pembiayaan Musyarakah. (4) Bank dapat mengubah PBH berdasarkan kesepakatan dengan nasabah apabila terdapat perubahan atas kondisi ekonomi makro, pasar, dan politik yang mempengaruhi usaha nasabah. (5) Bank wajib mencantumkan PBH dan perubahan PBH dalam perjanjian Pembiayaan Mudharabah dan Pembiayaan Musyarakah antara Bank dengan nasabah. Pasal 13 … - 13 - Pasal 13 (1) Dalam Pembiayaan Mudharabah, Bank tidak diwajibkan menetapkan pembayaran angsuran pokok secara berkala oleh Nasabah. (2) Bank wajib melakukan langkah-langkah untuk mengurangi risiko tidak terbayarnya pokok Pembiayaan pada saat jatuh tempo apabila dalam Pembiayaan Mudharabah disepakati tidak ada pembayaran angsuran pokok secara berkala. (3) Untuk Pembiayaan Musyarakah dengan jangka waktu lebih dari 1 (satu) tahun, Bank wajib menetapkan pembayaran angsuran pokok secara berkala sesuai dengan proyeksi arus kas masuk (cash inflow) usaha nasabah. (4) Pembayaran angsuran atau pelunasan pokok Pembiayaan Mudharabah dan Pembiayaan Musyarakah wajib dicantumkan dalam perjanjian Pembiayaan antara Bank dengan nasabah. Pasal 14 (1) Penilaian atas kualitas Aktiva Produktif dalam bentuk Pembiayaan dan penyediaan dana lainnya dapat hanya didasarkan atas faktor penilaian kemampuan membayar untuk: a. Pembiayaan dan penyediaan dana lainnya yang diberikan oleh setiap Bank kepada 1 (satu) nasabah atau 1 (satu) proyek dengan jumlah paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah); b. Pembiayaan dan penyediaan dana lainnya yang diberikan oleh setiap Bank kepada nasabah UMKM dengan jumlah: 1) lebih besar dari Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah) sampai dengan Rp20.000.000.000,00 (dua puluh milyar rupiah) bagi Bank yang memenuhi kriteria sebagai berikut: i. memiliki predikat penilaian kecukupan sistem pengendalian risiko (risk control system) untuk risiko kredit “sangat memadai” (strong); … - 14 - (strong); ii. memiliki peringkat komposit tingkat kesehatan paling rendah 3 (tiga); dan iii. memiliki rasio KPMM paling rendah sama dengan ketentuan yang berlaku; 2) lebih besar dari Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah) sampai dengan Rp10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah) bagi Bank yang memenuhi kriteria sebagai berikut: i. memiliki predikat penilaian kecukupan sistem pengendalian risiko (risk control system) untuk risiko kredit “dapat diandalkan” (acceptable); ii. memiliki peringkat komposit tingkat kesehatan paling rendah 3 (tiga); dan iii. memiliki rasio KPMM paling rendah sama dengan ketentuan yang berlaku. (2) Penilaian atas kualitas Aktiva Produktif dalam bentuk Pembiayaan dan penyediaan dana lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b bagi Unit Usaha Syariah berlaku ketentuan sebagai berikut: a. predikat penilaian kecukupan sistem pengendalian risiko (risk control system) untuk risiko kredit mengacu pada predikat penilaian kecukupan sistem pengendalian risiko (risk control system) Unit Usaha Syariah; dan b. peringkat komposit tingkat kesehatan dan rasio KPMM mengacu pada peringkat komposit tingkat kesehatan dan rasio KPMM bank induknya. (3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b tidak diberlakukan untuk Pembiayaan dan penyediaan dana lainnya yang diberikan kepada 1 (satu) nasabah UMKM dengan jumlah lebih besar dari Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah) yang merupakan: a. Pembiayaan … - 15 - a. Pembiayaan yang direstrukturisasi; dan/atau b. penyediaan dana kepada 50 (lima puluh) nasabah terbesar Bank. (4) Dalam hal terdapat penyimpangan yang signifikan atas prinsip pembiayaan yang sehat, penilaian kualitas Aktiva Produktif dalam bentuk Pembiayaan dan penyediaan dana lainnya yang diberikan oleh Bank kepada nasabah UMKM sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan berdasarkan faktor penilaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1). Pasal 15 (1) Predikat penilaian kecukupan sistem pengendalian risiko (risk control system) untuk risiko kredit, peringkat komposit tingkat kesehatan, dan rasio KPMM yang digunakan dalam penilaian kualitas Aktiva Produktif dalam bentuk Pembiayaan dan penyediaan dana lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) huruf b didasarkan pada penilaian Bank Indonesia yang diberitahukan kepada Bank pada tiap semester. (2) Penggunaan predikat penilaian kecukupan sistem pengendalian risiko (risk control system) untuk risiko kredit, peringkat komposit tingkat kesehatan Bank, dan rasio KPMM yang digunakan dalam penilaian kualitas Aktiva Produktif dalam bentuk Pembiayaan dan penyediaan dana lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) huruf b dilakukan sebagai berikut: a. penilaian kualitas Aktiva Produktif dalam bentuk Pembiayaan dan penyediaan dana lainnya bulan Januari sampai dengan Juni menggunakan predikat penilaian kecukupan sistem pengendalian risiko (risk control system) untuk risiko kredit, peringkat komposit tingkat kesehatan, dan rasio KPMM Bank paling lama posisi bulan September tahun sebelumnya; dan b. penilaian kualitas Aktiva Produktif dalam bentuk Pembiayaan dan penyediaan dana lainnya bulan Juli sampai dengan Desember menggunakan predikat … - 16 - predikat penilaian kecukupan sistem pengendalian risiko (risk control system) untuk risiko kredit, peringkat komposit tingkat kesehatan, dan rasio KPMM Bank paling lama posisi bulan Maret tahun yang sama. Bagian Ketiga Surat Berharga Syariah Pasal 16 Bank wajib memiliki kebijakan dan prosedur tertulis mengenai Aktiva Produktif dalam bentuk Surat Berharga Syariah, sebagai berikut: a. kebijakan mengenai Aktiva Produktif dalam bentuk Surat Berharga Syariah wajib disetujui oleh Dewan Komisaris; b. prosedur mengenai Aktiva Produktif dalam bentuk Surat Berharga Syariah wajib disetujui paling kurang oleh Direksi; c. Dewan Komisaris wajib melakukan pengawasan secara aktif terhadap pelaksanaan kebijakan mengenai Aktiva Produktif dalam bentuk Surat Berharga Syariah; dan d. kebijakan dan prosedur mengenai Aktiva Produktif dalam bentuk Surat Berharga Syariah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kebijakan manajemen risiko Bank sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku. Pasal 17 (1) Bank dapat melakukan investasi pada Surat Berharga Syariah. (2) Surat Berharga Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diperdagangkan sepanjang sesuai dengan Prinsip Syariah. Pasal 18 … - 17 - Pasal 18 (1) Kualitas Aktiva Produktif dalam bentuk Surat Berharga Syariah yang diakui berdasarkan nilai pasar digolongkan Lancar sepanjang memenuhi persyaratan: a. aktif diperdagangkan di bursa efek di Indonesia; b. terdapat informasi nilai pasar secara transparan; c. telah diterima imbalan dalam jumlah dan waktu yang tepat, sesuai perjanjian; dan d. belum jatuh tempo. (2) Kualitas Aktiva Produktif dalam bentuk Surat Berharga Syariah yang diakui berdasarkan harga perolehan atau yang diakui berdasarkan nilai pasar namun tidak aktif diperdagangkan di bursa efek di Indonesia dan/atau tidak terdapat informasi nilai pasar yang transparan, digolongkan sebagai berikut: a. Lancar, apabila: 1) memiliki peringkat investasi (investment grade) atau lebih tinggi yang diterbitkan oleh lembaga pemeringkat (rating agency) yang diakui oleh Bank Indonesia dan diterbitkan dalam waktu satu tahun terakhir; 2) telah diterima imbalan dalam jumlah dan waktu yang tepat, sesuai perjanjian; dan 3) belum jatuh tempo; b. Kurang Lancar, apabila: 1) memiliki peringkat investasi (investment grade) atau lebih tinggi yang diterbitkan oleh lembaga pemeringkat (rating agency) yang diakui oleh Bank Indonesia dan diterbitkan dalam waktu satu tahun terakhir; 2) terdapat penundaan pembayaran bagi hasil/marjin/fee berkala atau kewajiban lain sejenis; dan 3) belum jatuh tempo; atau 1) memiliki … - 18 - 1) memiliki peringkat paling kurang 1 (satu) tingkat di bawah peringkat investasi (investment grade) yang diterbitkan oleh lembaga pemeringkat (rating agency) yang diakui oleh Bank Indonesia dan diterbitkan dalam waktu satu tahun terakhir; 2) tidak terdapat penundaan pembayaran bagi hasil/marjin/fee berkala atau kewajiban lain sejenis; dan 3) belum jatuh tempo; c. Macet, apabila Surat Berharga Syariah tidak memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b. (3) Kualitas Aktiva Produktif dalam bentuk Surat Berharga Syariah di luar Surat Berharga Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), yang diterbitkan oleh nasabah mengikuti kualitas Aktiva Produktif dalam bentuk Pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8. Pasal 19 (1) Bank dilarang memiliki Aktiva Produktif dalam bentuk saham dan/atau Surat Berharga Syariah yang dihubungkan atau dijamin dengan aset tertentu yang mendasari (underlying reference asset) yang berbentuk saham. (2) Bank hanya dapat memiliki Surat Berharga Syariah yang dihubungkan atau dijamin dengan aset tertentu yang mendasari sepanjang: a. aset yang mendasari dapat diyakini kebenarannya; b. Bank memiliki hak atas aset yang mendasari atau hak atas nilai dari aset yang mendasari; c. Bank memiliki informasi yang jelas, tepat, dan akurat mengenai rincian aset yang mendasari, yang mencakup penerbit dan nilai dari masing-masing aset dasar, termasuk setiap perubahannya; dan d. Bank menatausahakan rincian komposisi dan penerbit aset yang mendasari serta … - 19 - serta menyesuaikan penatausahaan dalam hal terjadi perubahan komposisi aset. Pasal 20 (1) Penilaian atas kualitas Aktiva Produktif dalam bentuk Surat Berharga Syariah yang dihubungkan atau dijamin dengan aset tertentu yang mendasari sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, yang pembayaran kewajibannya terkait langsung dengan aset yang mendasari (pass through), baik yang dapat dibeli kembali maupun tidak dapat dibeli kembali (non redemption) oleh penerbit, didasarkan pada: a. kualitas Aktiva Produktif dalam bentuk Surat Berharga Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2); atau b. kualitas aset yang mendasari Surat Berharga Syariah apabila Surat Berharga Syariah tidak memiliki peringkat. (2) Penilaian atas kualitas Aktiva Produktif dalam bentuk Surat Berharga Syariah berupa sertifikat reksadana, didasarkan pada: a. kualitas Aktiva Produktif dalam bentuk Surat Berharga Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2); atau b. kualitas aset yang mendasari sertifikat reksadana dan kualitas penerbit sertifikat reksadana, apabila sertifikat reksadana tidak memiliki peringkat. Pasal 21 Kualitas Aktiva Produktif dalam bentuk Surat Berharga Syariah yang diterbitkan atau diendos oleh Bank lain digolongkan sebagai berikut: a. untuk Surat Berharga Syariah yang memiliki peringkat dan/atau aktif diperdagangkan di bursa efek di Indonesia, ditetapkan berdasarkan kualitas terendah antara: 1) hasil … - 20 - 1) hasil penilaian berdasarkan ketentuan kualitas Aktiva Produktif dalam bentuk Surat Berharga Syariah yang berlaku, atau 2) hasil penilaian berdasarkan ketentuan kualitas Aktiva Produktif dalam bentuk Penempatan Pada Bank Lain. b. Surat Berharga Syariah yang berdasarkan karakteristiknya tidak aktif diperdagangkan di bursa efek di Indonesia dan tidak memiliki peringkat, digolongkan berdasarkan kualitas Aktiva Produktif dalam bentuk Penempatan Pada Bank Lain. Pasal 22 Kualitas Aktiva Produktif dalam bentuk SBIS dan Surat Berharga Syariah dan/atau tagihan yang diterbitkan oleh Pemerintah Indonesia berdasarkan Prinsip Syariah digolongkan Lancar. Bagian Keempat Penyertaan Modal Pasal 23 (1) Penyertaan Modal dengan pangsa Bank lebih rendah dari 20% (dua puluh persen) wajib dicatat dengan metode biaya (cost method) dan digolongkan sebagai berikut: a. Lancar, apabila berdasarkan laporan keuangan tahun buku terakhir yang telah diaudit, perusahaan tempat Bank melakukan penyertaan memperoleh laba dan tidak mengalami kerugian kumulatif; b. Kurang Lancar, apabila berdasarkan laporan keuangan tahun buku terakhir yang telah diaudit, perusahaan tempat Bank melakukan penyertaan mengalami kerugian sampai dengan 25% (dua puluh lima persen) dari modal perusahaan; c. Diragukan … - 21 - c. Diragukan, apabila berdasarkan laporan keuangan tahun buku terakhir yang telah diaudit, perusahaan tempat Bank melakukan penyertaan mengalami kerugian lebih dari 25% (dua puluh lima persen) sampai dengan 50% (lima puluh persen) dari modal perusahaan; atau d. Macet, apabila berdasarkan laporan keuangan tahun buku terakhir yang telah diaudit, perusahaan tempat Bank melakukan penyertaan mengalami kerugian lebih dari 50% (lima puluh persen) dari modal perusahaan; (2) Penyertaan Modal dengan pangsa Bank 20% (dua puluh persen) atau lebih wajib dicatat dengan metode ekuitas (equity method) dan digolongkan Lancar. (3) Dalam rangka Penyertaan Modal, Bank wajib juga tunduk pada Peraturan Bank Indonesia yang mengatur mengenai prinsip kehati-hatian dalam penyertaan modal, dan fatwa Dewan Syariah Nasional – Majelis Ulama Indonesia yang berlaku. Pasal 24 (1) Kualitas Aktiva Produktif dalam bentuk Penyertaan Modal Sementara dinilai berdasarkan jangka waktu penyertaan yang ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Bank Indonesia ini. (2) Kualitas Aktiva Produktif dalam bentuk Penyertaan Modal Sementara digolongkan sebagai berikut: a. Lancar, apabila belum melampaui jangka waktu 1 (satu ) tahun; b. Kurang Lancar, apabila telah melampaui jangka waktu 1 (satu) tahun dan belum melampaui jangka waktu 4 (empat) tahun; c. Diragukan, apabila telah melampaui jangka waktu 4 (empat) tahun dan belum melampaui 5 (lima) tahun; atau d. Macet, apabila telah melampaui jangka waktu 5 (lima) tahun atau belum ditarik kembali meskipun perusahaan nasabah telah memiliki laba kumulatif … - 22 - kumulatif. (3) Bank Indonesia berwenang menurunkan kualitas Penyertaan Modal Sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) apabila terdapat bukti yang memadai bahwa: a. penjualan Penyertaan Modal Sementara diperkirakan akan dilakukan dengan harga yang lebih rendah dari nilai buku; dan/atau b. penjualan Penyertaan Modal Sementara dalam jangka waktu 5 (lima) tahun diperkirakan sulit untuk dilakukan. (4) Dalam rangka Penyertaan Modal Sementara, Bank wajib juga tunduk pada Peraturan Bank Indonesia yang mengatur mengenai prinsip kehati-hatian dalam kegiatan penyertaan modal dan fatwa Dewan Syariah Nasional – Majelis Ulama Indonesia yang berlaku. Bagian Kelima Penempatan Pada Bank Lain Pasal 25 Bank wajib memiliki kebijakan dan prosedur tertulis mengenai Aktiva Produktif dalam bentuk Penempatan Pada Bank Lain, dengan ketentuan: a. kebijakan penempatan wajib disetujui oleh Dewan Komisaris; b. prosedur penempatan wajib disetujui paling kurang oleh Direksi; c. Dewan Komisaris wajib melakukan pengawasan secara aktif terhadap pelaksanaan kebijakan penempatan; dan d. kebijakan dan prosedur penempatan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kebijakan manajemen risiko Bank sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku. Pasal 26 … - 23 - Pasal 26 (1) Kualitas Aktiva Produktif dalam bentuk Penempatan Pada Bank Lain digolongkan sebagai berikut: a. Lancar, apabila: 1) bank yang menerima penempatan memiliki rasio KPMM paling rendah sama dengan ketentuan yang berlaku; dan 2) Penempatan Pada Bank Lain memenuhi kondisi sebagai berikut: i. tidak terdapat tunggakan pembayaran pokok untuk akad qardh; ii. dapat ditarik setiap saat untuk giro dan tabungan berdasarkan akad wadiah; iii. tidak terdapat tunggakan pembayaran nominal investasi dan/atau bagi hasil untuk tabungan atau deposito berdasarkan akad mudharabah; iv. tidak terdapat tunggakan pembayaran pokok investasi dan/atau rasio RBH terhadap PBH lebih besar dari atau sama dengan 80% (delapan puluh persen) untuk Pembiayaan Mudharabah dan Pembiayaan Musyarakah; atau v. tidak terdapat tunggakan pembayaran pokok dan/atau marjin untuk Pembiayaan Murabahah. b. Kurang Lancar, apabila: 1) bank yang menerima penempatan memiliki rasio KPMM paling rendah sama dengan ketentuan yang berlaku; dan 2) Penempatan Pada Bank Lain memenuhi kondisi sebagai berikut: i. ii. terdapat tunggakan pembayaran pokok sampai dengan 5 (lima) hari kerja untuk akad qardh; tidak dapat ditarik sampai dengan 5 (lima) hari kerja untuk giro dan tabungan berdasarkan akad wadiah; iii. terdapat … - 24 - iii. terdapat tunggakan pembayaran nominal investasi dan/atau bagi hasil sampai dengan 5 (lima) hari kerja untuk tabungan atau deposito berdasarkan akad mudharabah; iv. terdapat tunggakan pembayaran pokok investasi sampai dengan 5 (lima) hari kerja dan/atau rasio RBH terhadap PBH lebih besar dari 30% (tiga puluh persen) dan lebih kecil dari 80% (delapan puluh persen), atau rasio RBH terhadap PBH sama atau lebih kecil dari 30% (tiga puluh persen) sampai dengan 3 (tiga) periode pembayaran untuk Pembiayaan Mudharabah dan Pembiayaan Musyarakah; atau v. terdapat tunggakan pembayaran pokok dan/atau marjin sampai dengan 5 (lima) hari kerja untuk Pembiayaan Murabahah. c. Macet, apabila: 1) bank yang menerima penempatan memiliki rasio KPMM lebih rendah dari ketentuan yang berlaku; 2) bank yang menerima penempatan telah ditetapkan dalam pengawasan khusus, telah dikenakan sanksi pembekuan seluruh kegiatan usaha, atau telah dicabut izin usahanya; dan/atau 3) Penempatan Pada Bank Lain memenuhi kondisi sebagai berikut: i. ii. iii. terdapat tunggakan pembayaran pokok lebih dari 5 (lima) hari kerja untuk akad qardh; tidak dapat ditarik lebih dari 5 (lima) hari kerja untuk giro dan tabungan berdasarkan akad wadiah; terdapat tunggakan pembayaran nominal investasi dan/atau bagi hasil lebih dari 5 (lima) hari kerja untuk tabungan atau deposito berdasarkan akad mudharabah; iv. terdapat … - 25 - iv. terdapat tunggakan pembayaran pokok investasi lebih dari 5 (lima) hari kerja dan/atau rasio RBH terhadap PBH sama dengan atau lebih kecil dari 30% (tiga puluh persen) lebih dari 3 (tiga) periode pembayaran untuk Pembiayaan Mudharabah dan Pembiayaan Musyarakah; atau v. terdapat tunggakan pembayaran pokok dan/atau marjin lebih dari 5 (lima) hari kerja untuk Pembiayaan Murabahah. (2) Kualitas Aktiva Produktif dalam bentuk Penempatan Pada Bank Lain berupa Pembiayaan kepada BPRS dalam rangka Linkage Program dengan pola executing digolongkan sebagai berikut: a. Lancar, apabila: 1) BPRS yang menerima penempatan memiliki rasio KPMM paling rendah sama dengan ketentuan yang berlaku; dan 2) penempatan pada BPRS memenuhi kondisi sebagai berikut: i. tidak terdapat tunggakan pembayaran pokok untuk akad qardh; ii. dapat ditarik setiap saat untuk tabungan berdasarkan akad wadiah; iii. tidak terdapat tunggakan pembayaran nominal investasi dan/atau bagi hasil untuk tabungan atau deposito berdasarkan akad mudharabah; iv. tidak terdapat tunggakan pembayaran pokok investasi dan/atau rasio RBH terhadap PBH lebih besar dari atau sama dengan 80% (delapan puluh persen) untuk Pembiayaan Mudharabah dan Pembiayaan Musyarakah; atau v. tidak terdapat tunggakan pembayaran pokok dan/atau marjin untuk Pembiayaan Murabahah. b. Kurang … - 26 - b. Kurang Lancar, apabila: 1) BPRS yang menerima penempatan memiliki rasio KPMM paling rendah sama dengan ketentuan yang berlaku; dan 2) penempatan pada BPRS memenuhi kondisi sebagai berikut: i. ii. iii. terdapat tunggakan pembayaran pokok sampai dengan 30 (tiga puluh) hari untuk akad qardh; tidak dapat ditarik sampai dengan 30 (tiga puluh) hari untuk tabungan berdasarkan akad wadiah; terdapat tunggakan pembayaran nominal investasi dan/atau bagi hasil sampai dengan 30 (tiga puluh) hari untuk tabungan atau deposito berdasarkan akad mudharabah; iv. terdapat tunggakan pembayaran pokok investasi sampai dengan 30 (tiga puluh) hari dan/atau rasio RBH terhadap PBH lebih besar dari 30% (tiga puluh persen) dan lebih kecil dari 80% (delapan puluh persen), atau rasio RBH terhadap PBH sama atau lebih kecil dari 30% (tiga puluh persen) sampai dengan 3 (tiga) periode pembayaran untuk Pembiayaan Mudharabah dan Pembiayaan Musyarakah; atau v. terdapat tunggakan pembayaran pokok dan/atau marjin sampai dengan 30 (tiga puluh) hari untuk Pembiayaan Murabahah. c. Macet, apabila: 1) BPRS yang menerima penempatan memiliki rasio KPMM lebih rendah dari ketentuan yang berlaku; 2) BPRS yang menerima penempatan telah ditetapkan dalam pengawasan khusus, telah dikenakan sanksi pembekuan seluruh kegiatan usaha, atau telah dicabut izin usahanya; dan/atau 3) penempatan … - 27 - 3) penempatan pada BPRS memenuhi kondisi sebagai berikut: i. ii. iii. terdapat tunggakan pembayaran pokok lebih dari 30 (tiga puluh) hari untuk akad qardh; tidak dapat ditarik lebih dari 30 (tiga puluh) hari untuk tabungan berdasarkan akad wadiah; terdapat tunggakan pembayaran nominal investasi dan/atau bagi hasil lebih dari 30 (tiga puluh) hari untuk tabungan atau deposito berdasarkan akad mudharabah; iv. terdapat tunggakan pembayaran pokok investasi lebih dari 30 (tiga puluh) hari dan/atau rasio RBH terhadap PBH sama dengan atau lebih kecil dari 30% (tiga puluh persen) lebih dari 3 (tiga) periode pembayaran untuk Pembiayaan Mudharabah dan Pembiayaan Musyarakah; atau v. terdapat tunggakan pembayaran pokok dan/atau marjin lebih dari 30 (tiga puluh) hari untuk Pembiayaan Murabahah. Pasal 27 Kualitas tagihan akseptasi digolongkan sebagai berikut: a. mengikuti kualitas Aktiva Produktif dalam bentuk Penempatan Pada Bank Lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 apabila pihak yang wajib melunasi tagihan adalah bank lain; atau b. mengikuti kualitas Aktiva Produktif dalam bentuk Pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 apabila pihak yang wajib melunasi tagihan adalah nasabah. Bagian Keenam … - 28 - Bagian Keenam Transaksi Rekening Administratif Pasal 28 Kualitas Aktiva Produktif dalam bentuk Transaksi Rekening Administratif digolongkan sebagai berikut: a. mengikuti kualitas Aktiva Produktif dalam bentuk Penempatan Pada Bank Lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 apabila pihak lawan transaksi dari Transaksi Rekening Administratif tersebut adalah bank lain; atau b. mengikuti kualitas Aktiva Produktif dalam bentuk Pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 apabila pihak lawan transaksi dari Transaksi Rekening Administratif tersebut adalah nasabah. Pasal 29 (1) Penetapan kualitas Aktiva Produktif dalam bentuk Transaksi Rekening Administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 tidak berlaku untuk kewajiban komitmen dan kontinjensi yang: a. dapat dibatalkan sewaktu-waktu tanpa syarat oleh Bank; atau b. dibatalkan secara otomatis oleh Bank apabila kondisi nasabah menurun menjadi Kurang Lancar, Diragukan, atau Macet. (2) Bank yang memiliki kewajiban komitmen dan kontinjensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mencantumkan klausula sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a atau huruf b ke dalam perjanjian antara Bank dengan nasabah. BAB IV … - 29 - BAB IV AKTIVA NON PRODUKTIF Bagian Kesatu Umum Pasal 30 Bank wajib menilai kualitas Aktiva Non Produktif secara bulanan. Bagian Kedua Agunan yang Diambil Alih Pasal 31 Bank wajib memiliki kebijakan dan prosedur tertulis mengenai Aktiva Non Produktif dalam bentuk AYDA. Pasal 32 (1) Bank dapat mengambilalih agunan dalam rangka penyelesaian Pembiayaan. (2) Pengambilalihan agunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan terhadap nasabah Pembiayaan yang memiliki kualitas Macet. Pasal 33 (1) Bank wajib menilai AYDA pada saat pengambilalihan agunan atas dasar net realizable value. (2) Penetapan net realizable value sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan oleh Penilai Independen, untuk AYDA dengan nilai Rp5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah) atau lebih. (3) Maksimum net realizable value adalah sebesar nilai Pembiayaan yang diselesaikan dengan AYDA. Pasal 34 … - 30 - Pasal 34 (1) Bank yang mengambil alih agunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 wajib mencairkan AYDA paling lama 1 (satu) tahun terhitung sejak tanggal pengambilalihan. (2) Bank wajib mendokumentasikan upaya pencairan AYDA sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal 35 Kualitas Aktiva Non Produktif dalam bentuk AYDA digolongkan sebagai berikut: a. Lancar, apabila AYDA dimiliki sampai dengan 1 (satu) tahun; atau b. Macet, apabila AYDA dimiliki lebih dari 1 (satu) tahun. Bagian Ketiga Properti Terbengkalai Pasal 36 (1) Bank wajib melakukan identifikasi dan penggolongan terhadap Properti Terbengkalai yang dimiliki. (2) Penetapan Properti Terbengkalai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disetujui oleh Direksi dan didokumentasikan. (3) Dalam hal sebagian besar dari suatu properti digunakan untuk kegiatan usaha Bank yang lazim maka bagian lainnya yang tidak digunakan tidak digolongkan sebagai Properti Terbengkalai. (4) Dalam hal sebagian kecil dari suatu properti digunakan untuk kegiatan usaha Bank yang lazim maka bagian lainnya yang tidak digunakan digolongkan sebagai Properti Terbengkalai. Pasal 37 … - 31 - Pasal 37 (1) Bank wajib melakukan upaya penyelesaian terhadap Properti Terbengkalai yang dimiliki. (2) Bank wajib mendokumentasikan upaya penyelesaian Properti Terbengkalai sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal 38 (1) Kualitas Aktiva Non Produktif dalam bentuk Properti Terbengkalai digolongkan sebagai berikut: a. Lancar, apabila Properti Terbengkalai dimiliki sampai dengan 1 (satu) tahun; b. Kurang Lancar, apabila Properti Terbengkalai dimiliki lebih dari 1 (satu) tahun sampai dengan 3 (tiga) tahun; c. Diragukan, apabila Properti Terbengkalai dimiliki lebih dari 3 (tiga) tahun sampai dengan 5 (lima) tahun; atau d. Macet, apabila Properti Terbengkalai dimiliki lebih dari 5 (lima) tahun. (2) Properti Terbengkalai yang tidak dilakukan upaya penyelesaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37, ditetapkan memiliki kualitas satu tingkat di bawah ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Bagian Keempat Rekening Antar Kantor dan Suspense Account Pasal 39 (1) Bank wajib melakukan upaya penyelesaian Rekening Antar Kantor dan Suspense Account. (2) Kualitas Aktiva Produktif dalam bentuk Rekening Antar Kantor dan Suspense Account digolongkan sebagai berikut: a. Lancar, … - 32 - a. Lancar, apabila Rekening Antar Kantor dan Suspense Account tercatat dalam pembukuan Bank sampai dengan 6 (enam) bulan; atau b. Macet, apabila Rekening Antar Kantor dan Suspense Account tercatat dalam pembukuan Bank lebih dari 6 (enam) bulan. BAB V PENYISIHAN PENGHAPUSAN AKTIVA Bagian Kesatu Umum Pasal 40 (1) Bank wajib membentuk PPA terhadap Aktiva Produktif dan Aktiva Non Produktif. (2) PPA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa: a. b. cadangan umum dan cadangan khusus untuk Aktiva Produktif; dan cadangan khusus untuk Aktiva Non Produktif. (3) PPA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dibentuk paling kurang sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini. Bagian Kedua Tata Cara Pembentukan Pasal 41 (1) Pembentukan cadangan umum PPA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (2) huruf a, ditetapkan paling rendah sebesar 1 % (satu persen) dari seluruh Aktiva Produktif yang digolongkan Lancar. (2) Pembentukan cadangan umum PPA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi Aktiva Produktif dalam bentuk SBIS, Surat Berharga Syariah yang diterbitkan Pemerintah Indonesia, dan bagian Aktiva Produktif yang dijamin dengan … - 33 - dengan jaminan Pemerintah Indonesia atau agunan tunai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 huruf a dan huruf b. (3) Pembentukan cadangan khusus PPA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (2) ditetapkan paling rendah sebesar: a. 5% (lima persen) dari Aktiva Produktif yang digolongkan Dalam Perhatian Khusus setelah dikurangi nilai agunan; b. 15% (lima belas persen) dari Aktiva Produktif dan Aktiva Non Produktif yang digolongkan Kurang Lancar setelah dikurangi nilai agunan; c. 50% (lima puluh persen) dari Aktiva Produktif dan Aktiva Non Produktif yang digolongkan Diragukan setelah dikurangi nilai agunan; atau d. 100% (seratus persen) dari Aktiva Produktif dan Aktiva Non Produktif yang digolongkan Macet setelah dikurangi nilai agunan. (4) Kewajiban membentuk PPA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) tidak berlaku bagi Aktiva Produktif dalam bentuk Pembiayaan Ijarah atau Pembiayaan Ijarah Muntahiya Bittamlik. (5) Bank wajib membentuk penyusutan atau amortisasi Aktiva Produktif dalam bentuk: a. Pembiayaan Ijarah sesuai dengan kebijakan penyusutan atau amortisasi Bank bagi aktiva yang sejenis; dan/atau b. Pembiayaan Ijarah Muntahiya Bittamlik sesuai dengan masa sewa. (6) Penggunaan nilai agunan sebagai faktor pengurang dalam perhitungan PPA sebagaimana dimaksud pada ayat (3) hanya dilakukan untuk Aktiva Produktif. Pasal 42 Pembentukan PPA untuk Aktiva Produktif dalam bentuk Pembiayaan ditetapkan sebagai berikut: a. Pembiayaan Murabahah, Pembiayaan Istishna’, dan Pembiayaan multijasa dihitung … - 34 - dihitung berdasarkan saldo harga pokok; b. Pembiayaan Salam dihitung berdasarkan harga perolehan; dan c. Pembiayaan Mudharabah, Pembiayaan Musyarakah, dan Pembiayaan Qardh dihitung berdasarkan saldo baki debet. Bagian Ketiga Penilaian Agunan Pasal 43 Nilai agunan yang diperhitungkan sebagai pengurang dalam pembentukan PPA ditetapkan sebagai berikut: a. untuk agunan berupa jaminan Pemerintah Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, sebesar 100% (seratus persen) dari nilai yang dijamin; b. untuk agunan tunai berupa giro, tabungan, deposito, setoran jaminan, dan/atau emas yang diblokir dan disertai dengan surat kuasa pencairan, paling tinggi sebesar 100% (seratus persen); c. untuk agunan berupa surat berharga dan/atau tagihan yang diterbitkan oleh Pemerintah Indonesia, paling tinggi sebesar 100% (seratus persen); d. untuk agunan berupa Surat Berharga Syariah yang aktif diperdagangkan di bursa efek di Indonesia atau memiliki peringkat investasi yang diikat secara gadai, paling tinggi sebesar 50% (lima puluh persen) dari nilai yang tercatat di bursa efek pada akhir bulan; e. untuk agunan berupa tanah dan/atau bangunan yang digunakan untuk tempat tinggal yang diikat dengan hak tanggungan, paling tinggi sebesar: 1) 70% (tujuh puluh persen) dari nilai wajar apabila: a) penilaian oleh Penilai Independen dilakukan dalam 18 (delapan belas) bulan terakhir; atau b) penilaian … - 35 - b) penilaian oleh penilai intern dilakukan dalam 12 (dua belas) bulan terakhir; 2) 50% (lima puluh persen) dari nilai wajar apabila: a) penilaian yang dilakukan oleh Penilai Independen telah melampaui 18 (delapan belas) bulan namun belum melampaui 24 (dua puluh empat) bulan terakhir; atau b) penilaian yang dilakukan oleh penilai intern telah melampaui 12 (dua belas) bulan namun belum melampaui 18 (delapan belas) bulan terakhir; 3) 30% (tiga puluh persen) dari nilai wajar apabila: a) penilaian yang dilakukan oleh Penilai Independen telah melampaui 24 (dua puluh empat) bulan namun belum melampaui 30 (tiga puluh) bulan terakhir; atau b) penilaian yang dilakukan oleh penilai intern telah melampaui 18 (delapan belas) bulan namun belum melampaui 24 (dua puluh empat) bulan terakhir; 4) 0% (nol persen) dari nilai wajar apabila: a) penilaian yang dilakukan oleh Penilai Independen telah melampaui 30 (tiga puluh) bulan terakhir; atau b) penilaian yang dilakukan oleh penilai intern telah melampaui 24 (dua puluh empat) bulan terakhir; f. untuk agunan berupa tanah dan/atau bangunan bukan untuk tempat tinggal dan mesin yang dianggap sebagai satu kesatuan dengan tanah yang diikat dengan hak tanggungan; pesawat udara dan kapal laut dengan ukuran di atas 20 (dua puluh) meter kubik yang diikat dengan hipotek; kendaraan bermotor dan persediaan yang diikat secara fidusia; serta resi gudang yang diikat dengan hak jaminan atas resi gudang, paling tinggi sebesar: 1) 70% (tujuh … - 36 - 1) 70% (tujuh puluh persen) dari nilai wajar apabila penilaian dilakukan dalam 12 (dua belas) bulan terakhir; 2) 50% (lima puluh persen) dari nilai wajar apabila penilaian yang dilakukan telah melampaui 12 (dua belas) bulan namun belum melampaui 18 (delapan belas) bulan terakhir; 3) 30% (tiga puluh persen) dari nilai wajar apabila penilaian yang dilakukan telah melampaui 18 (delapan belas) bulan namun belum melampaui 24 (dua puluh empat) bulan terakhir; atau 4) 0% (nol persen) dari nilai wajar apabila penilaian yang dilakukan telah melampaui 24 (dua puluh empat) bulan terakhir. Pasal 44 (1) Nilai agunan yang diperhitungkan sebagai faktor pengurang dalam pembentukan PPA dilarang melebihi nilai pengikatan agunan. (2) Nilai agunan yang diperhitungkan sebagai faktor pengurang dalam pembentukan PPA ditetapkan berdasarkan nilai terendah antara perhitungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 dengan nilai pengikatan agunan. Pasal 45 (1) Penilaian agunan wajib dilakukan oleh Penilai Independen bagi Pembiayaan yang diberikan kepada nasabah atau grup nasabah lebih dari Rp5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah). (2) Penilaian agunan dapat dilakukan oleh penilai intern Bank bagi Pembiayaan yang diberikan kepada nasabah atau grup nasabah paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah). (3) Dalam hal penilaian agunan tidak dilakukan oleh Penilai Independen bagi Pembiayaan lebih dari Rp5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah) sebagaimana dimaksud … - 37 - dimaksud pada ayat (1) maka hasil penilaian agunan tidak diperhitungkan sebagai faktor pengurang PPA. (4) Bank wajib menggunakan nilai yang terendah apabila terdapat beberapa nilai dari Penilai Independen atau penilai intern. Pasal 46 (1) Bank Indonesia berwenang melakukan penghitungan kembali atas nilai agunan yang telah dikurangkan dalam PPA, antara lain apabila: a. agunan tidak dilengkapi dengan dokumen terkait dan pengikatan agunan belum sesuai dengan peraturan perundangan-undangan yang berlaku; b. penilaian tidak dilakukan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43, Pasal 44, dan Pasal 45; atau c. perjanjian asuransi yang melindungi agunan tidak mencantumkan banker’s clause yaitu klausula yang memberikan hak kepada Bank untuk menerima uang pertanggungan dalam hal terjadi pembayaran klaim. (2) Perusahaan asuransi yang memberikan perlindungan terhadap agunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c harus: a. memenuhi ketentuan permodalan sesuai ketentuan yang ditetapkan institusi yang berwenang; dan b. bukan merupakan pihak terkait dengan Bank atau kelompok peminjam dengan nasabah Bank, kecuali agunan dimaksud direasuransikan kepada perusahaan asuransi yang bukan merupakan pihak terkait dengan Bank atau kelompok peminjam dengan nasabah Bank. (3) Bank wajib menyesuaikan perhitungan PPA sesuai dengan perhitungan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam laporan-laporan yang disampaikan kepada Bank Indonesia dan/atau laporan publikasi sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku, paling … - 38 - paling lambat pada periode laporan berikutnya setelah pemberitahuan dari Bank Indonesia. BAB VI HAPUS BUKU DAN HAPUS TAGIH Pasal 47 (1) Bank wajib memiliki kebijakan dan prosedur tertulis mengenai hapus buku dan hapus tagih Pembiayaan yang antara lain mencakup sebagai berikut: a. kebijakan hapus buku dan hapus tagih wajib disetujui oleh Dewan Komisaris; b. prosedur hapus buku dan hapus tagih wajib disetujui paling kurang oleh Direksi; c. Dewan Komisaris wajib melakukan pengawasan secara aktif terhadap pelaksanaan kebijakan hapus buku dan hapus tagih; dan d. kebijakan dan prosedur hapus buku dan hapus tagih merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kebijakan manajemen risiko Bank sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku. (2) Hapus buku dan/atau hapus tagih hanya dapat dilakukan terhadap Aktiva Produktif dalam bentuk Pembiayaan yang memiliki kualitas Macet. (3) Hapus buku tidak dapat dilakukan terhadap sebagian Aktiva Produktif dalam bentuk Pembiayaan (partial write off). (4) Hapus tagih dapat dilakukan baik untuk sebagian maupun untuk seluruh Aktiva Produktif dalam bentuk Pembiayaan. Pasal 48 (1) Hapus buku dan/atau hapus tagih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 hanya dapat dilakukan setelah Bank melakukan berbagai upaya yang maksimal untuk menyelesaikan … - 39 - menyelesaikan Aktiva Produktif yang digolongkan Macet. (2) Bank wajib menatausahakan dokumen mengenai upaya yang dilakukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan dasar pertimbangan pelaksanaan hapus buku dan/atau hapus hak tagih. (3) Bank wajib menatausahakan data dan informasi mengenai Aktiva Produktif dalam bentuk Pembiayaan yang telah dihapus buku dan/atau dihapus tagih. BAB VII SANKSI Pasal 49 (1) Bank yang tidak melaksanakan ketentuan dalam Pasal 2, Pasal 4 ayat (1), Pasal 4 ayat (3), Pasal 5 ayat (1), Pasal 5 ayat (3), Pasal 6, Pasal 7 ayat (1), Pasal 11 ayat (1), Pasal 11 ayat (2), Pasal 11 ayat (3), Pasal 12 ayat (5), Pasal 13 ayat (2), Pasal 13 ayat (3), Pasal 13 ayat (4), Pasal 16, Pasal 19 ayat (1), Pasal 23, Pasal 24 ayat (4), Pasal 25, Pasal 30, Pasal 31, Pasal 32 ayat (2), Pasal 33 ayat (1), Pasal 33 ayat (2), Pasal 34, Pasal 36 ayat (1), Pasal 36 ayat (2), Pasal 37, Pasal 39 ayat (1), Pasal 40 ayat (1), Pasal 41 ayat (5), Pasal 44 ayat (1), Pasal 45 ayat (1), Pasal 45 ayat (4), Pasal 46 ayat (3), Pasal 47 ayat (1), Pasal 47 ayat (2), dan/atau Pasal 48 dikenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (1) Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. (2) Selain sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank yang melakukan pelanggaran terhadap Pasal 19 wajib membentuk PPA sebesar 100% (seratus persen) terhadap aktiva dimaksud. BAB VIII … - 40 - BAB VIII KETENTUAN PERALIHAN Pasal 50 Penggolongan kualitas dan pembentukan PPA untuk Aktiva Non Produktif dalam bentuk AYDA yang dimiliki Bank sebelum berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini dilakukan dengan mengacu pada Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/21/PBI/2006 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/24/PBI/2008. BAB IX KETENTUAN PENUTUP Pasal 51 Ketentuan lebih lanjut dari Peraturan Bank Indonesia ini ditetapkan dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 52 Dengan diberlakukannya Peraturan Bank Indonesia ini, maka: a. Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/21/PBI/2006 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah; b. Peraturan Bank Indonesia Nomor 9/9/PBI/2007 tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/21/PBI/2006 Tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah; dan c. Peraturan … - 41 - c. Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/24/PBI/2008 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/21/PBI/2006 Tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah; dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 53 Ketentuan pelaksanaan dari Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/21/PBI/2006 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/24/PBI/2008 dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Bank Indonesia ini. Pasal 54 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Agar … - 42 - Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 24 Maret 2011 GUBERNUR BANK INDONESIA, DARMIN NASUTION Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 24 Maret 2011 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, PATRIALIS AKBAR LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2011 NOMOR 40 DPbS PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 13/ 13 /PBI/2011 TENTANG PENILAIAN KUALITAS AKTIVA BAGI BANK UMUM SYARIAH DAN UNIT USAHA SYARIAH I. UMUM Untuk menghadapi persaingan usaha yang semakin ketat, Bank harus mampu melakukan penanaman dana yang dapat menghasilkan keuntungan optimal dengan tetap berpegang kepada prinsip kehati-hatian dan Prinsip Syariah. Pengembangan industri perbankan syariah tersebut perlu didukung dengan perangkat kebijakan dan pengaturan yang memberikan keleluasan kepada perbankan syariah untuk menawarkan produk dan jasa yang lebih sesuai dengan karakteristik kegiatan usaha nasabah yang dibiayai. Dalam rangka mengantisipasi risiko kerugian yang mungkin muncul atas penanaman dana tersebut, Bank wajib membentuk penyisihan penghapusan aktiva berdasarkan hasil penilaian kualitas aktiva. Dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara, dan perubahan ketentuan terkait lainnya, serta untuk mendukung pengembangan industri perbankan syariah maka perlu diatur kembali beberapa batasan dan kriteria penilaian kualitas aktiva serta pembentukan penyisihan penghapusan aktiva untuk setiap penyediaan dana. II. PASAL … - 2 - II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “prinsip kehati-hatian dalam penanaman dan/atau penyediaan dana” adalah penanaman dan/atau penyediaan dana dilakukan antara lain berdasarkan: 1) analisis kelayakan usaha dengan memperhatikan paling kurang faktor 5C (Character, Capital, Capacity, Condition of economy dan Collateral); dan/atau 2) penilaian terhadap aspek prospek usaha, kinerja (performance), dan kemampuan membayar. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “menilai” adalah mengevaluasi kondisi nasabah dan/atau kelayakan usaha yang akan dibiayai. Yang dimaksud dengan “memantau” adalah mengawasi perkembangan kinerja usaha nasabah dari waktu ke waktu. Yang dimaksud dengan “mengambil langkah-langkah antisipasi” adalah melakukan tindakan dan upaya pencegahan atas kemungkinan timbulnya kegagalan dalam penanaman dana. Pasal 3 Cukup jelas. Pasal 4 … - 3 - Pasal 4 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Penilaian kualitas aktiva yang ditetapkan oleh Bank Indonesia antara lain didasarkan pada pemeriksaan atau pengawasan Bank. Ayat (3) Termasuk dalam pengertian pemberitahuan adalah pemberitahuan yang dilakukan oleh Bank Indonesia kepada Bank dalam pertemuan terakhir dalam rangka pemeriksaan Bank (exit meeting). Pasal 5 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Contoh: Bank A memberikan Pembiayaan Mudharabah dan Pembiayaan Murabahah kepada nasabah X. Hasil penilaian yang dilakukan Bank A untuk masing-masing Aktiva Produktif adalah sebagai berikut: a. Dalam Perhatian Khusus, untuk Pembiayaan Mudharabah; dan b. Kurang Lancar, untuk Pembiayaan Murabahah. Karena Pembiayaan digunakan untuk membiayai 1 (satu) nasabah, maka kualitas Aktiva Produktif yang digolongkan oleh Bank A kepada nasabah X mengikuti yang paling rendah yaitu Kurang Lancar. Ayat (4) … - 4 - Ayat (4) Mengingat faktor penilaian untuk penggolongan kualitas Aktiva Produktif dalam bentuk Pembiayaan berbeda dengan faktor penilaian untuk penggolongan kualitas Aktiva Produktif dalam bentuk Surat Berharga Syariah maka kualitas untuk kedua jenis Aktiva Produktif tersebut dapat digolongkan secara berbeda meskipun untuk nasabah yang sama. Pasal 6 Cukup jelas. Pasal 7 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “dokumen yang lengkap” adalah dokumen penanaman dana yang paling kurang meliputi aplikasi, analisa, keputusan, dan pemantauan atas penanaman dana serta perubahannya. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 8 Cukup jelas. Pasal 9 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b … - 5 - Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Yang dimaksud dengan “nasabah” adalah nasabah yang wajib melakukan upaya pengelolaan lingkungan hidup sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 10 Cukup jelas. Pasal 11 Ayat (1) Kewajiban audit laporan keuangan dimaksudkan agar laporan keuangan nasabah akurat dan dapat dipercaya, mengingat kondisi keuangan nasabah merupakan salah satu kriteria dalam penggolongan kualitas Aktiva Produktif dalam bentuk Pembiayaan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) … - 6 - Ayat (3) Yang dimaksud dengan “peraturan perundang-undangan yang berlaku” antara lain adalah Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1998 tentang Informasi Keuangan Tahunan Perusahaan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 64 Tahun 1999. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 12 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “akumulasi selama periode Pembiayaan yang telah berjalan” adalah penjumlahan RBH atau PBH sejak awal Pembiayaan sampai dengan posisi bulan penilaian. Contoh: Pembiayaan Mudharabah diberikan pada bulan Maret 2011, dengan jangka waktu selama 1 (satu) tahun. Penghitungan akumulasi PBH yang dilakukan pada bulan Juni 2011 adalah PBH bulan Maret 2011 ditambah PBH bulan April 2011 ditambah PBH bulan Mei 2011 ditambah PBH bulan Juni 2011. Ayat (3) PBH tidak selalu ditetapkan dalam periode bulanan. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 13 … - 7 - Pasal 13 Ayat (1) Penetapan perlu atau tidaknya pembayaran angsuran pokok secara berkala disesuaikan dengan karakteristik usaha nasabah yang dibiayai. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “langkah-langkah untuk mengurangi risiko” antara lain melakukan evaluasi kinerja usaha nasabah paling kurang 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 14 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan “penyediaan dana lainnya” adalah penerbitan jaminan dan/atau pembukaan Letter of Credit (L/C). Huruf b Kecukupan sistem pengendalian risiko (risk control system) mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai manajemen risiko bagi Bank. Penilaian tingkat kesehatan mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai tingkat kesehatan Bank. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) … - 8 - Ayat (3) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Bagi Unit Usaha Syariah, yang dimaksud dengan “50 (lima puluh) nasabah terbesar” adalah 50 (lima puluh) nasabah terbesar dari Unit Usaha Syariah, tidak termasuk nasabah dari bank induknya. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 15 Cukup jelas. Pasal 16 Cukup jelas. Pasal 17 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “dapat diperdagangkan sepanjang sesuai dengan Prinsip Syariah” adalah akad yang dipakai sebagai dasar penerbitan Surat Berharga Syariah memperbolehkan Surat Berharga Syariah tersebut untuk diperdagangkan dengan mengacu pada fatwa Dewan Syariah Nasional - Majelis Ulama Indonesia. Pasal 18 … - 9 - Pasal 18 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “Surat Berharga Syariah yang diakui berdasarkan nilai pasar” adalah surat berharga yang tersedia untuk dijual (available for sale) dan Surat Berharga Syariah dalam portofolio untuk diperdagangkan (trading). Huruf a Yang dimaksud dengan “aktif diperdagangkan di bursa efek” adalah terdapat volume transaksi yang signifikan dan wajar (arms length transaction) di bursa efek di Indonesia dalam 10 (sepuluh) hari kerja terakhir. Huruf b Informasi nilai pasar secara transparan harus dapat diperoleh dari media publikasi yang lazim untuk transaksi bursa efek. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “Surat Berharga Syariah yang diakui berdasarkan harga perolehan” adalah surat berharga yang dimiliki hingga jatuh tempo (hold to maturity). Yang dimaksud dengan “peringkat investasi (investment grade) dan lembaga pemeringkat” yaitu peringkat dan lembaga pemeringkat yang diakui oleh Bank Indonesia sesuai dengan ketentuan yang berlaku mengenai lembaga pemeringkat dan peringkat. Ayat (3) … - 10 - Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 19 Ayat (1) Kepemilikan Surat Berharga Syariah yang dihubungkan atau dijamin dengan aset tertentu yang mendasari (underlying reference asset) yang berbentuk saham hanya dapat dilakukan untuk tujuan Penyertaan Modal atau Penyertaan Modal Sementara dan dilakukan dengan persetujuan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku. Ayat (2) Huruf a Keberadaan aset dapat diyakini apabila aset dimaksud antara lain disimpan di bank kustodian, Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI), atau Bank Indonesia. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Pasal 20 Ayat (1) Pembayaran kewajiban Surat Berharga Syariah dikatakan terkait langsung dengan aset yang mendasari (pass through) apabila pembayaran … - 11 - pembayaran pokok dan marjin/bagi hasil/fee Surat Berharga Syariah semata-mata bersumber dari pembayaran pokok dan marjin/bagi hasil/fee dari aset yang mendasari. Ayat (2) Huruf a Penggolongan kualitas Aktiva Produktif dalam bentuk Surat Berharga Syariah berupa sertifikat reksadana yang berdasarkan ketentuan penilaian kualitas Aktiva Produktif dalam bentuk Surat Berharga Syariah, dilakukan terhadap sertifikat reksadana sebagai satu produk dan bukan terhadap setiap jenis aset yang mendasari sertifikat reksadana dimaksud. Huruf b Penilaian atas kualitas aset yang mendasari sertifikat reksadana dan kualitas penerbit sertifikat reksadana ditekankan pada: 1. kinerja, likuiditas dan reputasi penerbit maupun pihak terkait lainnya seperti asuransi; dan 2. diversifikasi portofolio yang dimiliki penerbit yang mempertimbangkan risiko dan prinsip kehati-hatian. Pasal 21 Huruf a Angka 1) Cukup jelas. Angka 2) Yang dimaksud dengan “Bank Lain” yaitu bank penerbit atau bank pemberi endosemen. Huruf b … - 12 - Huruf b Surat Berharga Syariah yang berdasarkan karakteristiknya tidak aktif diperdagangkan di bursa efek di Indonesia dan tidak memiliki peringkat antara lain wesel ekspor. Yang dimaksud dengan “Bank Lain” yaitu bank penerbit atau bank pemberi endosemen. Pasal 22 Cukup jelas. Pasal 23 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “kerugian kumulatif” adalah kerugian perusahaan setelah diperhitungkan dengan laba dan kerugian tahun- tahun sebelumnya. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 24 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “laba kumulatif” adalah laba perusahaan setelah diperhitungkan dengan kerugian tahun-tahun sebelumnya. Ayat (3) … - 13 - Ayat (3) Penjualan yang lebih rendah dari nilai buku dan atau kesulitan penjualan dalam jangka waktu 5 (lima) tahun antara lain disebabkan karena kelemahan dalam kondisi keuangan, manajemen perusahaan, kondisi pasar atau rendahnya permintaan terhadap saham perusahaan. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 25 Cukup jelas. Pasal 26 Ayat (1) Huruf a Angka 1) Yang dimaksud dengan “rasio KPMM” adalah rasio KPMM yang ditetapkan oleh Bank Indonesia untuk bank di dalam negeri atau oleh otoritas yang berwenang untuk bank di luar negeri sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Angka 2) Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Ayat (2) … - 14 - Ayat (2) Yang dimaksud dengan “Linkage Program” adalah kerja sama antara Bank dan BPRS, dalam menyalurkan Pembiayaan kepada UMKM. Linkage Program dengan pola executing adalah Pembiayaan yang diberikan Bank kepada BPRS untuk diteruspinjamkan kepada nasabah Usaha Mikro dan Usaha Kecil yang risikonya menjadi beban BPRS. Pasal 27 Yang dimaksud dengan “tagihan akseptasi” adalah tagihan yang timbul sebagai akibat akseptasi yang dilakukan terhadap wesel berjangka. Pasal 28 Cukup jelas. Pasal 29 Cukup jelas. Pasal 30 Cukup jelas. Pasal 31 Yang dimaksud dengan “kebijakan dan prosedur tertulis” termasuk mekanisme pengambilalihan AYDA dan persyaratan AYDA. Pasal 32 Cukup jelas. Pasal 33 … - 15 - Pasal 33 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “net realizable value” adalah estimasi harga pasar dikurangi estimasi biaya dalam rangka pengambilalihan AYDA. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Pada saat pengambilalihan AYDA, Bank melakukan pencatatan sebagai berikut: - apabila net realizable value lebih besar dari nilai Pembiayaan (hutang nasabah) maka Bank mencatat nilai AYDA sebesar nilai Pembiayaan dan selisih lebihnya dicatat dalam rekening administratif Bank karena merupakan hak nasabah; atau - apabila net realizable value lebih kecil dari nilai Pembiayaan (hutang nasabah) maka Bank mencatat nilai AYDA sebesar net realizable value dan selisih kurangnya dicatat dalam pembukuan Bank sebagai kewajiban nasabah. Pasal 34 Ayat (1) Pengaturan ini dimaksudkan agar Bank segera menjual AYDA dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun sesuai Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah dan bukan untuk memiliki agunan lebih dari jangka waktu tersebut. Dalam hal hasil pencairan AYDA lebih besar dari hutang nasabah maka selisih lebihnya merupakan hak nasabah. Dalam hal hasil pencairan AYDA lebih kecil dari hutang nasabah maka selisih kurangnya … - 16 - kurangnya tetap merupakan kewajiban nasabah. Dalam hal Bank tidak dapat menagih kewajiban nasabah tersebut maka Bank dapat mencatatnya sebagai kerugian Bank. Ayat (2) Dokumentasi antara lain mencakup bukti data dan informasi mengenai upaya pemasaran dan penjualan AYDA. Pasal 35 Cukup jelas. Pasal 36 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “Properti Terbengkalai” adalah aktiva tetap yang dimiliki Bank dalam bentuk tanah dan/atau bangunan yang tidak digunakan untuk kegiatan usaha Bank yang lazim. Tidak termasuk dalam pengertian properti terbengkalai adalah: - properti yang dikategorikan memiliki klasifikasi sebagai aset Bank dalam Pembiayaan Ijarah sesuai fatwa dan ketentuan berlaku; - properti yang digunakan sebagai penunjang kegiatan usaha Bank, sepanjang dimiliki dalam jumlah yang wajar, seperti rumah dinas dan properti untuk sarana pendidikan; atau - properti lain yang telah ditetapkan untuk digunakan Bank dalam kegiatan usaha dalam waktu dekat, misalnya tanah dan bangunan di atasnya yang sedang dipersiapkan untuk menjadi kantor Bank. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) … - 17 - Ayat (3) Contoh: Suatu properti berupa gedung terdiri dari 10 (sepuluh) lantai. Lantai 1 sampai dengan lantai 6 digunakan untuk kegiatan usaha yang lazim. Lantai 7 sampai dengan lantai 10 tidak digolongkan sebagai Properti Terbengkalai meskipun tidak digunakan. Ayat (4) Contoh: Suatu properti berupa gedung mempunyai luas 1.000 meter persegi. Yang digunakan untuk kegiatan usaha yang lazim seluas 200 meter persegi. Sisanya seluas 800 meter persegi digolongkan sebagai Properti Terbengkalai. Pasal 37 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “upaya penyelesaian” antara lain upaya pemasaran dan penjualan Properti Terbengkalai. Ayat (2) Dokumentasi antara lain mencakup bukti data dan informasi mengenai upaya pemasaran dan penjualan Properti Terbengkalai. Pasal 38 Cukup jelas. Pasal 39 … - 18 - Pasal 39 Ayat (1) Upaya penyelesaian diperlukan agar seluruh transaksi Bank diakui dan dicatat berdasarkan karakteristik dari transaksi tersebut dan mengurangi kemungkinan terjadinya rekayasa transaksi yang dapat mengakibatkan kerugian bagi Bank. Ayat (2) Rekening Antar Kantor yang dinilai adalah akun Rekening Antar Kantor di sisi aktiva tanpa dilakukan set off dengan Rekening Antar Kantor di sisi pasiva, mengingat pihak lawan transaksi belum dapat dipastikan sebagai pihak atau kantor yang sama. Pasal 40 Ayat (1) Pembentukan PPA terhadap Aktiva Non Produktif dimaksudkan untuk mendorong Bank melakukan upaya penyelesaian dan untuk antisipasi terhadap potensi kerugian. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 41 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) … - 19 - Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Penyusutan atau amortisasi untuk Pembiayaan Ijarah atau Ijarah Muntahiya Bittamlik mengacu pada standar akuntansi keuangan yang berlaku untuk bank syariah. Kebijakan penyusutan atau amortisasi yang dipilih harus konsisten dan mencerminkan pola konsumsi yang diharapkan dari manfaat ekonomi di masa depan dari objek ijarah. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 42 Yang dimaksud dengan “Pembiayaan multijasa” adalah Pembiayaan Bank kepada nasabah dalam rangka memperoleh manfaat atas suatu jasa. Pasal 43 Huruf a Yang dimaksud dengan “Pemerintah Indonesia” adalah pemerintah pusat. Huruf b Yang dimaksud dengan “giro, tabungan, dan deposito” adalah termasuk giro, tabungan, dan deposito di bank umum konvensional. Huruf c Cukup jelas. Huruf d … - 20 - Huruf d Peringkat investasi (investment grade) didasarkan pada peringkat dalam satu tahun terakhir yang diakui oleh Bank Indonesia sesuai dengan ketentuan yang berlaku mengenai lembaga pemeringkat dan peringkat. Apabila peringkat yang diterbitkan oleh lembaga pemeringkat dalam satu tahun terakhir tidak tersedia maka surat berharga dianggap tidak memiliki peringkat. Huruf e Pengikatan agunan dengan hak tanggungan harus sesuai dengan ketentuan dan prosedur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, termasuk namun tidak terbatas pada masalah pendaftaran, sehingga Bank memiliki hak preferensi terhadap agunan dimaksud. Yang dimaksud dengan “nilai wajar” adalah mengacu kepada standar akuntansi keuangan yang berlaku. Huruf f Pemasangan hak tanggungan atas tanah beserta mesin yang berada diatasnya harus dicantumkan dengan jelas dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan. Pengikatan agunan dengan hipotek harus sesuai dengan ketentuan dan prosedur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, termasuk namun tidak terbatas pada masalah pendaftaran, sehingga Bank memiliki hak preferensi terhadap agunan dimaksud. Pengikatan agunan secara fidusia harus sesuai dengan ketentuan dan prosedur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, termasuk namun tidak terbatas pada masalah pendaftaran, sehingga Bank memiliki hak preferensi terhadap agunan dimaksud. Yang … - 21 - Yang dimaksud dengan “resi gudang” adalah resi gudang sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2006 tentang Sistem Resi Gudang dan peraturan perundang-undangan lainnya. Hak jaminan atas resi gudang adalah hak jaminan yang dibebankan pada resi gudang untuk pelunasan utang, yang memberikan kedudukan untuk diutamakan bagi penerima hak jaminan terhadap kreditor yang lain. Nilai wajar untuk resi gudang adalah nilai yang ditentukan oleh pihak atau lembaga yang berwenang sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk resi gudang. Pasal 44 Nilai agunan dapat mengalami perubahan sesuai hasil penilaian terkini antara lain karena terjadinya perubahan nilai pasar, Nilai Jual Objek Pajak (NJOP), dan perubahan fisik agunan. Pasal 45 Ayat (1) Batasan Rp5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah) diperhitungkan terhadap seluruh fasilitas yang diberikan kepada nasabah atau grup nasabah. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 46 … - 22 - Pasal 46 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Termasuk dalam pengertian pemberitahuan adalah pemberitahuan yang dilakukan oleh Bank Indonesia kepada Bank dalam pertemuan terakhir dalam rangka pemeriksaan Bank (exit meeting). Pasal 47 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “hapus buku” adalah tindakan administratif Bank untuk menghapus buku Pembiayaan yang memiliki kualitas Macet dari neraca sebesar kewajiban nasabah tanpa menghapus atau menghilangkan hak tagih Bank kepada nasabah. Yang dimaksud dengan “hapus tagih” adalah tindakan Bank menghapus kewajiban nasabah yang tidak dapat diselesaikan untuk selamanya (hak tagih menjadi hapus). Kebijakan dan prosedur hapus buku dan hapus tagih antara lain memuat kriteria, persyaratan, limit, kewenangan dan tanggung jawab serta tata cara hapus buku dan hapus tagih. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) … - 23 - Ayat (3) Pelaksanaan hapus buku dilakukan terhadap seluruh Pembiayaan yang diberikan dan diikat dalam satu perjanjian. Ayat (4) Hapus tagih terhadap sebagian Aktiva Produktif dalam bentuk Pembiayaan hanya dapat dilakukan dalam rangka restrukturisasi Pembiayaan atau dalam rangka penyelesaian Pembiayaan. Pasal 48 Ayat (1) Upaya yang dapat dilakukan antara lain dalam bentuk penagihan kepada nasabah, restrukturisasi Pembiayaan, meminta pembayaran dari pihak yang memberikan garansi atas Aktiva Produktif dimaksud, dan/atau penyelesaian Pembiayaan melalui pengambilalihan agunan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 49 Cukup jelas. Pasal 50 Cukup jelas. Pasal 51 Cukup jelas. Pasal 52 … - 24 - Pasal 52 Cukup jelas. Pasal 53 Cukup jelas. Pasal 54 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5205 DPbS
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 13/13/PBI/2011 </reg_id> <reg_title> PENILAIAN KUALITAS AKTIVA BAGI BANK UMUM SYARIAH DAN UNIT USAHA SYARIAH </reg_title> <set_date> 24 Maret 2011 </set_date> <effective_date> 24 Maret 2011 </effective_date> <issued_date> 24 Maret 2011 </issued_date> <replaced_reg> '8/21/PBI/2006', '9/9/PBI/2007', '10/24/PBI/2008' </replaced_reg> <related_reg> '21/UU/2008', '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008' </related_reg> <penalty_list> 'BAB VII' </penalty_list>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 19/9/PBI/2017 TENTANG PENERBITAN DAN TRANSAKSI SURAT BERHARGA KOMERSIAL DI PASAR UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa tujuan Bank Indonesia mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah; b. bahwa untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah, Bank Indonesia menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter, makroprudensial, dan sistem pembayaran dan pengelolaan uang rupiah, yang perlu didukung oleh pasar keuangan yang likuid dan efisien, termasuk di dalamnya pasar uang; c. bahwa Bank Indonesia memiliki kewenangan untuk melakukan pembinaan, pengaturan, dan pengawasan pasar uang; d. bahwa untuk mencapai pasar keuangan yang likuid dan efisien dibutuhkan pengembangan instrumen pasar uang yang dapat ditransaksikan oleh pelaku pasar uang; e. bahwa surat berharga komersial merupakan salah satu instrumen pasar uang yang perlu dikembangkan untuk memberikan fleksibilitas pengelolaan likuiditas pelaku pasar uang dan mendorong pembiayaan ekonomi nasional; - 2 - f. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf e, perlu menetapkan Peraturan Bank Indonesia tentang Penerbitan dan Transaksi Surat Berharga Komersial di Pasar Uang; Mengingat : Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PENERBITAN DAN TRANSAKSI SURAT BERHARGA KOMERSIAL DI PASAR UANG. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan: 1. Pasar Uang adalah bagian dari sistem keuangan yang bersangkutan dengan kegiatan perdagangan, pinjam- meminjam, atau pendanaan berjangka pendek sampai dengan 1 (satu) tahun dalam mata uang rupiah dan valuta asing, yang berperan dalam transmisi kebijakan moneter, pencapaian stabilitas sistem keuangan, serta kelancaran sistem pembayaran dan pengelolaan uang rupiah. - 3 - 2. Bank adalah bank umum yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan, termasuk kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri. 3. Korporasi Non-Bank adalah badan hukum yang berbentuk perseroan terbatas selain Bank. 4. Instrumen Pasar Uang adalah instrumen yang ditransaksikan di Pasar Uang, yang meliputi instrumen yang diterbitkan dengan jangka waktu sampai dengan 1 (satu) tahun, sertifikat deposito, dan instrumen lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia, termasuk yang berdasarkan prinsip syariah. 5. Surat Berharga Komersial adalah surat berharga yang diterbitkan oleh Korporasi Non-Bank berbentuk surat sanggup (promissory note) dan berjangka waktu sampai dengan 1 (satu) tahun yang terdaftar di Bank Indonesia. 6. Pelaku Pasar Uang yang selanjutnya disebut Pelaku Pasar adalah pihak yang melakukan kegiatan penerbitan Instrumen Pasar Uang dan/atau melakukan transaksi di Pasar Uang. 7. Penerbit Surat Berharga Komersial adalah pihak yang memenuhi persyaratan untuk menerbitkan Surat Berharga Komersial. 8. Pelaku Transaksi Surat Berharga Komersial adalah Pelaku Pasar yang melakukan transaksi Surat Berharga Komersial. 9. Lembaga Pendukung Pasar Uang adalah pihak yang memberikan jasa terkait penerbitan Instrumen Pasar Uang, perantara pelaksanaan transaksi, penyelesaian transaksi dan/atau penatausahaan Instrumen Pasar Uang dan transaksi di Pasar Uang, dan pihak lainnya yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. 10. Lembaga Pendukung Penerbitan Surat Berharga Komersial adalah Lembaga Pendukung Pasar Uang yang memberikan jasa dalam penerbitan Surat Berharga Komersial. - 4 - 11. Lembaga Pendukung Transaksi Surat Berharga Komersial adalah Lembaga Pendukung Pasar Uang yang memberikan jasa perantara pelaksanaan transaksi Surat Berharga Komersial. 12. Lembaga Pendukung Penatausahaan dan Penyelesaian Transaksi Surat Berharga adalah Lembaga Pendukung Pasar Uang yang memberikan jasa penatausahaan dan penyelesaian transaksi Surat Berharga Komersial. 13. Perusahaan Efek adalah perusahaan efek sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai pasar modal. 14. Perusahaan Pialang Pasar Uang Rupiah dan Valuta Asing yang selanjutnya disebut Perusahaan Pialang adalah perusahaan pialang sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai perusahaan pialang pasar uang rupiah dan valuta asing. 15. Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian yang selanjutnya disingkat LPP adalah pihak yang menyelenggarakan kegiatan kustodian sentral sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai pasar modal. BAB II TUJUAN PENGATURAN Pasal 2 Bank Indonesia melakukan pengaturan dan pengawasan atas penerbitan dan transaksi Surat Berharga Komersial dengan tujuan: a. meningkatkan tata kelola penerbitan, mekanisme transaksi, penyelesaian transaksi, pencatatan, dan penatausahaan Surat Berharga Komersial; b. menciptakan pasar Surat Berharga Komersial yang kredibel, efektif, dan efisien; c. meningkatkan pendalaman pasar keuangan melalui peningkatan jumlah variasi instrumen; dan d. meningkatkan efektivitas transmisi kebijakan moneter. - 5 - BAB III PENERBIT SURAT BERHARGA KOMERSIAL Pasal 3 (1) Pihak yang dapat menerbitkan Surat Berharga Komersial yaitu Korporasi Non-Bank yang memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. tercatat sebagai emiten saham pada Bursa Efek Indonesia atau pernah menerbitkan obligasi dan/atau sukuk yang dicatat di Bursa Efek Indonesia dalam 5 (lima) tahun terakhir sampai dengan tanggal pengajuan permohonan pendaftaran penerbitan Surat Berharga Komersial; atau b. tidak tercatat sebagai emiten atau perusahaan publik namun memenuhi persyaratan sebagai berikut: 1. 2. memiliki telah beroperasi paling singkat 3 (tiga) tahun atau kurang dari 3 (tiga) tahun sepanjang memiliki penjaminan atau penanggungan; paling ekuitas sedikit Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah); dan 3. menghasilkan laba bersih untuk 1 (satu) tahun terakhir. (2) Korporasi Non-Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. memiliki laporan keuangan yang memperoleh pendapat wajar tanpa modifikasian (WTM) secara berturut-turut dari akuntan publik terdaftar di Bank Indonesia untuk periode 3 (tiga) tahun terakhir atau sejak Korporasi Non-Bank beroperasi untuk Korporasi Non-Bank yang beroperasi kurang dari 3 (tiga) tahun; b. tidak pernah mengalami kondisi gagal bayar selama 3 (tiga) tahun terakhir sampai dengan tanggal pengajuan permohonan pendaftaran penerbitan Surat Berharga Komersial atau tidak pernah - 6 - mengalami kondisi gagal bayar untuk Korporasi Non-Bank yang beroperasi kurang dari 3 (tiga) tahun; c. Korporasi Non-Bank yang pernah mengalami gagal bayar dapat menerbitkan Surat Berharga Komersial paling singkat 3 (tiga) tahun setelah tanggal pernyataan penyelesaian gagal bayar sepanjang penyelesaian dilakukan secara wajar; d. memiliki manajemen dengan rekam jejak yang baik; e. memiliki pedoman penerapan prinsip kehati-hatian dan manajemen risiko; dan f. memenuhi persyaratan administratif yang ditetapkan Bank Indonesia. (3) Penjaminan atau penanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b angka 1 dapat dilakukan oleh bank atau korporasi yang menjadi induk dari Korporasi Non- Bank yang akan menerbitkan Surat Berharga Komersial. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai penerbit, penjamin atau penanggung, dan dokumen terkait dengan Surat Berharga Komersial diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. BAB IV KRITERIA SURAT BERHARGA KOMERSIAL Pasal 4 (1) Surat Berharga Komersial harus memenuhi kriteria sebagai berikut: a. diterbitkan dan ditatausahakan dalam bentuk tanpa warkat (scripless); b. dialihkan secara elektronik; c. diterbitkan dengan sistem diskonto; d. diterbitkan dalam denominasi rupiah atau valuta asing; e. nilai untuk setiap penerbitan paling sedikit: 1. nominal Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah); atau - 7 - 2. nominal USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika Serikat) atau ekuivalennya dalam valuta asing lainnya; f. pembelian Surat Berharga Komersial oleh investor paling sedikit: 1. nominal Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah); atau 2. nominal USD50,000.00 (lima puluh ribu dolar Amerika Serikat) atau ekuivalennya dalam valuta asing lainnya; g. memiliki tenor 1 (satu) bulan, 3 (tiga) bulan, 6 (enam) bulan, 9 (sembilan) bulan, atau 12 (dua belas) bulan; dan h. memiliki peringkat instrumen yang diterbitkan oleh lembaga pemeringkat yang terdaftar di Bank Indonesia, dengan batasan minimum tertentu yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. (2) Surat Berharga Komersial yang diatur dalam ketentuan ini harus memenuhi persyaratan surat sanggup sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang kecuali untuk hal yang diatur secara tersendiri dalam Peraturan Bank Indonesia ini dan peraturan pelaksanaan, serta ketentuan peraturan perundang- undangan terkait lainnya. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria Surat Berharga Komersial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. BAB V KETERBUKAAN INFORMASI PENERBITAN Pasal 5 (1) Korporasi Non-Bank yang akan menerbitkan Surat Berharga Komersial wajib memenuhi prinsip keterbukaan informasi dalam pengungkapan informasi maupun fakta material. - 8 - (2) Prinsip keterbukaan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi adanya kelengkapan, kecukupan, objektivitas, kejelasan, dan kemudahan untuk dimengerti dalam memorandum informasi dan/atau dokumen lainnya yang akan disampaikan kepada calon investor Surat Berharga Komersial. (3) Memorandum informasi dan/atau dokumen lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling sedikit memuat: a. ringkasan struktur Surat Berharga Komersial; b. syarat dan kondisi; c. opini hukum; d. e. f. g. rencana penggunaan dana; ikhtisar kegiatan usaha penerbit; risiko usaha; ikhtisar kinerja keuangan; dan h. informasi pendukung lain yang relevan dengan penerbitan Surat Berharga Komersial. (4) Korporasi Non-Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memastikan memorandum informasi dan/atau dokumen lainnya memuat informasi yang benar dan tidak menyesatkan. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai keterbukaan informasi diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. BAB VI PENDAFTARAN PENERBITAN SURAT BERHARGA KOMERSIAL Bagian Kesatu Mekanisme Penerbitan Pasal 6 Pada saat mengajukan permohonan pendaftaran penerbitan Surat Berharga Komersial, Korporasi Non-Bank yang akan menerbitkan Surat Berharga Komersial harus menyampaikan mekanisme penerbitan yang dipilih. - 9 - Pasal 7 Mekanisme penerbitan Surat Berharga Komersial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dapat dilakukan melalui: a. penerbitan secara tunggal atau individual; atau b. penerbitan secara berkelanjutan. Bagian Kedua Pendaftaran Penerbitan Pasal 8 Surat Berharga Komersial yang akan diterbitkan wajib memperoleh persetujuan pendaftaran penerbitan Surat Berharga Komersial dari Bank Indonesia. Pasal 9 (1) Dalam memberikan persetujuan pendaftaran penerbitan Surat Berharga Komersial, Bank Indonesia mempertimbangkan: a. pemenuhan persyaratan sebagai Penerbit Surat Berharga Komersial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3; dan b. pemenuhan kriteria instrumen Surat Berharga Komersial yang akan diterbitkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4. (2) Selain pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia mempertimbangkan pemenuhan ketentuan mengenai keterbukaan informasi Penerbit Surat Berharga Komersial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5. (3) Dalam hal diperlukan, Bank Indonesia dapat memberikan tanggapan dan/atau meminta tambahan informasi kepada Korporasi Non-Bank yang akan menerbitkan Surat Berharga Komersial sebagai bagian dari proses penelaahan terhadap pemenuhan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2). - 10 - (4) Korporasi Non-Bank yang akan menerbitkan Surat Berharga Komersial harus menyampaikan tambahan dokumen atau informasi dalam hal diperlukan oleh Bank Indonesia selama proses penelaahan permohonan pendaftaran penerbitan Surat Berharga Komersial. Pasal 10 (1) Bank Indonesia dalam memberikan persetujuan pendaftaran penerbitan Surat Berharga Komersial tidak memberikan penilaian atas keunggulan atau kelemahan Surat Berharga Komersial yang akan diterbitkan. (2) Persetujuan pendaftaran penerbitan Surat Berharga Komersial yang diperoleh Penerbit Surat Berharga Komersial dari Bank Indonesia tidak dapat dipergunakan untuk penerbitan surat berharga lainnya maupun tindakan lainnya yang menguntungkan Penerbit Surat Berharga Komersial. (3) Pemenuhan kewajiban Penerbit Surat Berharga Komersial sepenuhnya menjadi tanggung jawab dari Penerbit Surat Berharga Komersial. Pasal 11 (1) Dalam hal Penerbit Surat Berharga Komersial akan menerbitkan Surat Berharga Komersial tahap lanjutan, Penerbit Surat Berharga Komersial harus menyampaikan permohonan pendaftaran kepada Bank Indonesia untuk melakukan penerbitan Surat Berharga Komersial tahap lanjutan disertai dengan informasi paling sedikit mengenai: a. rencana penerbitan Surat Berharga Komersial tahap lanjutan; b. kondisi terkini Penerbit Surat Berharga Komersial; dan c. persyaratan administratif lainnya. - 11 - (2) Kondisi terkini sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b paling sedikit memuat informasi mengenai: a. peringkat Surat Berharga Komersial yang akan diterbitkan; dan b. kondisi tidak mengalami gagal bayar. Pasal 12 (1) Dalam hal terdapat perubahan informasi maupun fakta material sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, Penerbit Surat Berharga Komersial wajib mencantumkan perubahan informasi maupun fakta material tersebut dalam memorandum informasi dan/atau dokumen lainnya yang akan disampaikan kepada calon investor Surat Berharga Komersial. (2) Perubahan informasi maupun fakta material dalam memorandum informasi dan/atau dokumen lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disampaikan kepada Bank Indonesia. Pasal 13 (1) Persetujuan Bank Indonesia terhadap permohonan pendaftaran penerbitan Surat Berharga Komersial tahap lanjutan dilakukan dengan mempertimbangkan pemenuhan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dan Pasal 12. (2) Bank Indonesia tidak dapat memberikan persetujuan pendaftaran penerbitan Surat Berharga Komersial tahap lanjutan sampai dengan Penerbit Surat Berharga Komersial dapat memenuhi seluruh persyaratan dan menyampaikannya kepada Bank Indonesia. Pasal 14 Penerbit Surat Berharga Komersial wajib memastikan bahwa seluruh informasi yang tercantum dalam dokumen yang diperlukan dalam pendaftaran penerbitan Surat Berharga Komersial benar dan tidak menyesatkan. - 12 - Pasal 15 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pendaftaran penerbitan Surat Berharga Komersial kepada Bank Indonesia diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. BAB VII PENAWARAN SURAT BERHARGA KOMERSIAL DAN AKSES TERHADAP KETERBUKAAN INFORMASI PENERBITAN SURAT BERHARGA KOMERSIAL Pasal 16 (1) Setelah memperoleh persetujuan pendaftaran penerbitan Surat Berharga Komersial dari Bank Indonesia, Penerbit Surat Berharga Komersial dapat melakukan: a. penawaran kepada calon investor Surat Berharga Komersial; dan b. pengajuan permohonan pendaftaran penatausahaan Surat Berharga Komersial kepada Bank Indonesia atau LPP yang ditunjuk oleh Bank Indonesia. (2) Penerbit Surat Berharga Komersial harus menyampaikan hasil penawaran kepada Bank Indonesia beserta: a. salinan memorandum informasi dan/atau dokumen lainnya yang diberikan kepada calon investor Surat Berharga Komersial; dan b. surat pernyataan yang menerangkan bahwa memorandum informasi dan/atau dokumen lainnya yang diserahkan kepada calon investor Surat Berharga Komersial sama dengan memorandum informasi dan/atau dokumen lainnya yang telah disampaikan kepada Bank Indonesia. (3) Apabila dalam jangka waktu tertentu dari tanggal persetujuan pendaftaran penerbitan Surat Berharga Komersial yang diberikan oleh Bank Indonesia, Penerbit Surat Berharga Komersial tidak menyampaikan hasil penawaran maka persetujuan pendaftaran penerbitan Surat Berharga Komersial menjadi batal. - 13 - (4) Dalam kondisi tertentu, Penerbit Surat Berharga Komersial dapat melakukan penundaan penawaran Surat Berharga Komersial dengan terlebih dahulu menyampaikan rencana penundaan dimaksud kepada Bank Indonesia. (5) Dalam hal penundaan penawaran Surat Berharga Komersial melampaui jangka waktu yang telah ditetapkan oleh Bank Indonesia maka persetujuan pendaftaran penerbitan Surat Berharga Komersial menjadi batal. Pasal 17 (1) Penerbit Surat Berharga Komersial dan Lembaga Pendukung Pasar Uang yang berperan sebagai penata laksana (arranger) penerbitan Surat Berharga Komersial harus memastikan bahwa calon investor Surat Berharga Komersial telah membaca memorandum informasi dan/atau dokumen lainnya yang berkaitan dengan keterbukaan informasi sebelum menyatakan pemesanan. (2) Calon investor Surat Berharga Komersial dapat meminta memorandum informasi dan/atau dokumen lainnya kepada Penerbit Surat Berharga Komersial dan/atau Lembaga Pendukung Pasar Uang yang berperan sebagai penata laksana (arranger) penerbitan Surat Berharga Komersial. (3) Penerbit dan/atau Lembaga Pendukung Pasar Uang yang berperan sebagai penata laksana (arranger) penerbitan Surat Berharga Komersial harus memberikan kemudahan kepada calon investor Surat Berharga Komersial untuk mengakses memorandum informasi dan/atau dokumen lainnya terkait Penerbit Surat Berharga Komersial maupun Surat Berharga Komersial. Pasal 18 (1) Penerbit Surat Berharga Komersial wajib mengungkapkan peringkat Surat Berharga Komersial yang diterbitkan kepada investor dan/atau calon investor - 14 - Surat Berharga Komersial, setelah memperoleh persetujuan pendaftaran penerbitan Surat Berharga Komersial dari Bank Indonesia. (2) Lembaga pemeringkat harus melakukan diseminasi peringkat Surat Berharga Komersial pada laman lembaga pemeringkat atau media lainnya untuk mendukung pengungkapan peringkat Surat Berharga Komersial sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal 19 Ketentuan lebih lanjut mengenai penawaran Surat Berharga Komersial dan akses terhadap keterbukaan informasi penerbitan diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. BAB VIII PENERBITAN DAN PENATAUSAHAAN SURAT BERHARGA KOMERSIAL SERTA PENYELESAIAN TRANSAKSI Pasal 20 (1) Penatausahaan Surat Berharga Komersial dan penyelesaian transaksi Surat Berharga Komersial dapat dilaksanakan melalui sarana yang diselenggarakan oleh Bank Indonesia atau LPP yang ditunjuk oleh Bank Indonesia. (2) Dalam hal penatausahaan Surat Berharga Komersial dan penyelesaian transaksi Surat Berharga Komersial dilakukan di Bank Indonesia maka penatausahaan Surat Berharga Komersial dan penyelesaian transaksi Surat Berharga Komersial dilakukan dengan mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penatausahaan surat berharga. (3) Dalam hal penatausahaan Surat Berharga Komersial dan penyelesaian transaksi Surat Berharga Komersial dilakukan di LPP yang ditunjuk oleh Bank Indonesia maka penatausahaan Surat Berharga Komersial dan penyelesaian transaksi Surat Berharga Komersial dilakukan dengan mengacu pada ketentuan peraturan - 15 - perundang-undangan yang terkait LPP atau ketentuan yang diterbitkan oleh LPP. Pasal 21 (1) Penerbit Surat Berharga Komersial harus menerbitkan bukti penerbitan kolektif yang disampaikan kepada Bank Indonesia atau LPP yang ditunjuk oleh Bank Indonesia. (2) Bukti penerbitan kolektif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2). (3) Dalam hal Surat Berharga Komersial diterbitkan dengan disertai adanya penjaminan atau penanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf b angka 1, penjaminan atau penanggungan tersebut harus dicantumkan dalam bukti penerbitan kolektif sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai bukti penerbitan kolektif diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. Pasal 22 (1) Penerbit Surat Berharga Komersial wajib menyampaikan data posisi kepemilikan investor atas Surat Berharga Komersial yang diterbitkannya kepada Bank Indonesia. (2) Dalam hal penatausahaan dan penyelesaian transaksi Surat Berharga Komersial dilakukan oleh LPP yang ditunjuk oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1), data posisi kepemilikan investor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disampaikan oleh Penerbit Surat Berharga Komersial kepada Bank Indonesia melalui LPP. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai mekanisme penyampaian data posisi kepemilikan investor atas Surat Berharga Komersial diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. - 16 - BAB IX LEMBAGA PENDUKUNG PASAR UANG YANG MELAKUKAN KEGIATAN DI PASAR SURAT BERHARGA KOMERSIAL Bagian Kesatu Lembaga Pendukung Penerbitan Surat Berharga Komersial Pasal 23 (1) Penerbit Surat Berharga Komersial harus menggunakan jasa Lembaga Pendukung Penerbitan Surat Berharga Komersial. (2) Lembaga Pendukung Penerbitan Surat Berharga Komersial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. Bank atau Perusahaan Efek yang berfungsi sebagai penata laksana (arranger) penerbitan; lembaga pemeringkat; b. c. konsultan hukum; d. akuntan publik; e. notaris; dan f. lembaga lainnya yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. (3) Lembaga Pendukung Penerbitan Surat Berharga Komersial harus terdaftar di Bank Indonesia. (4) Lembaga Pendukung Penerbitan Surat Berharga Komersial harus mengajukan permohonan pendaftaran kepada Bank Indonesia. (5) Dalam memberikan persetujuan terhadap permohonan pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Bank Indonesia mempertimbangkan pemenuhan persyaratan terkait: a. keabsahan aspek kelembagaan dan/atau individual profesi dari Lembaga Pendukung Penerbitan Surat Berharga Komersial; dan b. kemampuan Lembaga Pendukung Penerbitan Surat Berharga Komersial dalam menjalankan fungsinya. (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai uraian tugas, tata cara, dan persyaratan pendaftaran Lembaga Pendukung - 17 - Penerbitan Surat Berharga Komersial diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. Pasal 24 (1) Dalam hal Lembaga Pendukung Penerbitan Surat Berharga Komersial merupakan pihak yang terafiliasi dengan Penerbit Surat Berharga Komersial dan/atau pihak lain yang terlibat dalam penerbitan Surat Berharga Komersial, Lembaga Pendukung Penerbitan Surat Berharga Komersial harus menyampaikan informasi mengenai hubungan afiliasi tersebut di dalam memorandum informasi dan/atau dokumen lainnya. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengungkapan informasi terkait adanya hubungan afiliasi serta hubungan yang menyebabkan satu pihak menjadi terafiliasi dengan Penerbit Surat Berharga Komersial diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. Pasal 25 Lembaga Pendukung Penerbitan Surat Berharga Komersial wajib memberikan pendapat dan keterangan yang objektif, independen, dan tidak menyesatkan. Bagian Kedua Pelaku Transaksi Surat Berharga Komersial dan Lembaga Pendukung Transaksi Surat Berharga Komersial Pasal 26 (1) Pelaku Transaksi Surat Berharga Komersial meliputi: a. Bank dan Perusahaan Efek yang berperan dalam perdagangan Surat Berharga Komersial; dan b. nasabah yang berperan sebagai investor Surat Berharga Komersial. (2) Pihak yang dapat menjadi Lembaga Pendukung Transaksi Surat Berharga Komersial meliputi: a. Perusahaan Efek; dan b. Perusahaan Pialang. - 18 - (3) Lembaga Pendukung Transaksi Surat Berharga Komersial harus terdaftar di Bank Indonesia. (4) Lembaga Pendukung Transaksi Surat Berharga Komersial harus mengajukan permohonan pendaftaran kepada Bank Indonesia. (5) Dalam memberikan persetujuan terhadap permohonan pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Bank Indonesia mempertimbangkan pemenuhan persyaratan terkait: a. keabsahan aspek kelembagaan dari Lembaga Pendukung Transaksi Surat Berharga Komersial; dan b. kemampuan Lembaga Pendukung Transaksi Surat Berharga Komersial dalam menjalankan fungsinya. (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan persyaratan pendaftaran Lembaga Pendukung Transaksi Surat Berharga Komersial diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. Bagian Ketiga Lembaga Pendukung Penatausahaan dan Penyelesaian Transaksi Surat Berharga Komersial Pasal 27 (1) Pihak yang dapat menjadi Lembaga Pendukung Penatausahaan dan Penyelesaian Transaksi Surat Berharga Komersial untuk kepentingan investor Surat Berharga Komersial meliputi: a. Bank yang melaksanakan kegiatan kustodian; atau b. Perusahaan Efek. (2) Lembaga Pendukung Penatausahaan dan Penyelesaian Transaksi Surat Berharga Komersial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus terdaftar di Bank Indonesia. (3) Lembaga Pendukung Penatausahaan dan Penyelesaian Transaksi Surat Berharga Komersial harus mengajukan permohonan pendaftaran kepada Bank Indonesia. - 19 - (4) Dalam memberikan persetujuan pendaftaran, Bank Indonesia mempertimbangkan pemenuhan persyaratan terkait: a. keabsahan aspek kelembagaan dari Lembaga Pendukung Penatausahaan dan Penyelesaian Transaksi Surat Berharga Komersial; dan b. kemampuan Lembaga Pendukung Penatausahaan dan Penyelesaian Transaksi Surat Berharga Komersial dalam menjalankan fungsi. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pendaftaran Lembaga Pendukung Penatausahaan dan Penyelesaian Transaksi Surat Berharga Komersial diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. BAB X KETERBUKAAN INFORMASI PASCA-PENERBITAN SURAT BERHARGA KOMERSIAL Pasal 28 (1) Penerbit Surat Berharga Komersial wajib mengungkapkan informasi maupun fakta material kepada investor Surat Berharga Komersial dan/atau calon investor Surat Berharga Komersial dalam hal terdapat perubahan atas informasi maupun fakta material terkait kondisi Penerbit Surat Berharga Komersial pascapenerbitan Surat Berharga Komersial. (2) Pengungkapan informasi maupun fakta material sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan segera setelah perubahan informasi maupun fakta material terjadi. (3) Pengungkapan informasi maupun fakta material sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi prinsip keterbukaan informasi yang meliputi adanya kelengkapan, kecukupan, objektivitas, kejelasan, dan kemudahan untuk dimengerti. (4) Pengungkapan informasi maupun fakta material sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan - 20 - melalui sarana yang memudahkan akses informasi oleh investor Surat Berharga Komersial dan/atau calon investor Surat Berharga Komersial. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengungkapan informasi maupun fakta material pascapenerbitan Surat Berharga Komersial diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. Pasal 29 Penerbit Surat Berharga Komersial wajib memastikan seluruh informasi maupun fakta material sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 benar dan tidak menyesatkan. BAB XI TRANSAKSI SURAT BERHARGA KOMERSIAL DI PASAR SEKUNDER Bagian Kesatu Transaksi dan Sarana Transaksi Surat Berharga Komersial di Pasar Sekunder Pasal 30 (1) Pelaku Transaksi Surat Berharga Komersial dapat melakukan transaksi Surat Berharga Komersial di pasar sekunder: a. secara langsung; atau b. melalui perantara Lembaga Pendukung Transaksi Surat Berharga Komersial yang telah terdaftar di Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (3). (2) Dengan melakukan transaksi Surat Berharga Komersial, Pelaku Transaksi Surat Berharga Komersial dianggap telah menyetujui untuk memberikan akses kepada Bank Indonesia atas detil data transaksi, penyelesaian transaksi, dan posisi kepemilikan Surat Berharga Komersial. - 21 - (3) Lembaga Pendukung Transaksi Surat Berharga Komersial serta Lembaga Penatausahaan dan Penyelesaian Transaksi Surat Berharga Komersial harus secara aktif menyampaikan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada investor Surat Berharga Komersial. (4) Perhitungan harga transaksi Surat Berharga Komersial menggunakan konvensi perhitungan hari (day-count convention) yaitu Actual/360. (5) Penentuan harga dalam transaksi dapat mengacu pada suku bunga acuan yang berlaku secara umum di Pasar Uang. (6) Penyelesaian transaksi Surat Berharga Komersial di pasar sekunder harus dilakukan paling lambat 3 (tiga) hari kerja setelah transaksi (T+3). (7) Ketentuan lebih lanjut mengenai transaksi Surat Berharga Komersial dan penyelesaiannya diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. Pasal 31 Pelaksanaan transaksi Surat Berharga Komersial di pasar sekunder dapat dilakukan dengan menggunakan sistem Bank Indonesia Electronic Trading Platform (BI-ETP) atau sarana pelaksanaan transaksi lainnya yang lazim digunakan di Pasar Uang. Pasal 32 Pelaku Transaksi Surat Berharga Komersial dan Lembaga Pendukung Transaksi Surat Berharga Komersial harus mendukung pembentukan harga secara transparan dan kredibel. - 22 - BAB XII PENERAPAN PRINSIP KEHATI-HATIAN DAN MANAJEMEN RISIKO Bagian Kesatu Penerbit Surat Berharga Komersial Pasal 33 (1) Penerbit Surat Berharga Komersial wajib menerapkan prinsip kehati-hatian dan manajemen risiko. (2) Prinsip kehati-hatian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit mencakup: a. transparansi dan keterbukaan informasi; b. perlindungan konsumen; dan c. mekanisme penyelesaian sengketa. (3) Penerapan manajemen risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap risiko yang dihadapi. Bagian Kedua Lembaga Pendukung Penerbitan Surat Berharga Komersial Pasal 34 (1) Lembaga Pendukung Penerbitan Surat Berharga Komersial wajib menerapkan prinsip kehati-hatian dan manajemen risiko. (2) Prinsip kehati-hatian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit mencakup: a. transparansi dan keterbukaan informasi; b. perlindungan konsumen; dan c. mekanisme penyelesaian sengketa. (3) Penerapan manajemen risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap risiko yang dihadapi. - 23 - Bagian Ketiga Pelaku Transaksi Surat Berharga Komersial dan Lembaga Pendukung Transaksi Surat Berharga Komersial Pasal 35 (1) Pelaku Transaksi Surat Berharga Komersial yang berperan dalam perdagangan Surat Berharga Komersial dan Lembaga Pendukung Transaksi Surat Berharga Komersial wajib menerapkan prinsip kehati-hatian dan manajemen risiko. (2) Prinsip kehati-hatian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit mencakup: a. etika bertransaksi dan kode etik pasar atau pedoman sejenis; b. transparansi dan keterbukaan informasi; c. perlindungan konsumen; dan d. mekanisme penyelesaian sengketa. (3) Penerapan manajemen risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap risiko yang dihadapi. (4) Investor Surat Berharga Komersial harus memiliki pemahaman yang baik terhadap risiko investasi dan menerapkan prinsip kehati-hatian dalam berinvestasi. Bagian Keempat Lembaga Pendukung Penatausahaan dan Penyelesaian Transaksi Surat Berharga Komersial Pasal 36 (1) Lembaga Pendukung Penatausahaan dan Penyelesaian Transaksi Surat Berharga Komersial wajib menerapkan prinsip kehati-hatian dan manajemen risiko. (2) Prinsip kehati-hatian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit mencakup: a. transparansi dan keterbukaan informasi; b. perlindungan konsumen; dan c. mekanisme penyelesaian sengketa. - 24 - (3) Penerapan manajemen risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap risiko yang dihadapi. BAB XIII PENGAWASAN Pasal 37 (1) Bank Indonesia melakukan pengawasan terhadap penerbitan dan transaksi Surat Berharga Komersial sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai Pasar Uang. (2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap Penerbit Surat Berharga Komersial, Pelaku Transaksi Surat Berharga Komersial yang berperan dalam perdagangan di pasar Surat Berharga Komersial, dan Lembaga Pendukung Pasar Uang yang melakukan kegiatan di pasar Surat Berharga Komersial. (3) Dalam melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia dapat berkoordinasi dengan otoritas lain yang berwenang, instansi, dan/atau lembaga profesi yang terkait. (4) Pengawasan terhadap penerbitan dan transaksi Surat Berharga Komersial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. pengawasan tidak langsung; dan/atau b. pemeriksaan. (5) Untuk pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Penerbit Surat Berharga Komersial, Pelaku Transaksi Surat Berharga Komersial yang berperan dalam perdagangan di pasar Surat Berharga Komersial, dan Lembaga Pendukung Pasar Uang yang melakukan kegiatan di pasar Surat Berharga Komersial wajib menyediakan dan menyampaikan data, informasi, dan/atau keterangan yang diperlukan oleh Bank Indonesia. (6) Penerbit Surat Berharga Komersial, Pelaku Transaksi Surat Berharga Komersial yang berperan dalam - 25 - perdagangan di pasar Surat Berharga Komersial, dan Lembaga Pendukung Pasar Uang sebagaimana dimaksud pada ayat (5) wajib bertanggung jawab atas kebenaran data, informasi, dan/atau keterangan yang disampaikan kepada Bank Indonesia. (7) Bank Indonesia dapat menugaskan pihak lain untuk melakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b. (8) Pihak yang ditugaskan melakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) wajib menjaga kerahasiaan data, informasi, dan keterangan yang diperoleh dari hasil pemeriksaaan. BAB XIV PELAPORAN Bagian Kesatu Laporan Penerbit Surat Berharga Komersial Pasal 38 (1) Penerbit Surat Berharga Komersial wajib menyampaikan laporan secara berkala kepada Bank Indonesia. (2) Laporan secara berkala sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas: a. laporan realisasi penerbitan yang memuat informasi mengenai: 1. realisasi distribusi Surat Berharga Komersial; dan 2. penggunaan dana hasil penerbitan; dan b. laporan perubahan informasi maupun fakta material sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28. (3) Selain menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Penerbit Surat Berharga Komersial yang melakukan penerbitan secara berkelanjutan wajib menyampaikan laporan realisasi penerbitan berkelanjutan. - 26 - Pasal 39 Dalam hal terdapat perubahan informasi maupun fakta material yang signifikan, selain dilaporkan secara berkala dalam laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (2) huruf b, Penerbit Surat Berharga Komersial wajib menyampaikan laporan perubahan informasi maupun fakta material kepada Bank Indonesia segera setelah terjadi perubahan tersebut. Pasal 40 Dalam hal Bank Indonesia memerlukan informasi tambahan atas laporan: a. realisasi penerbitan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (2) huruf a; b. perubahan informasi maupun fakta material sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (2) huruf b; c. realisasi penerbitan berkelanjutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (3); dan/atau d. perubahan informasi maupun fakta material yang signifikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39, Penerbit Surat Berharga Komersial wajib menyampaikan informasi tambahan tersebut kepada Bank Indonesia. Pasal 41 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyampaian laporan oleh Penerbit Surat Berharga Komersial diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. Bagian Kedua Laporan Lembaga Pendukung Penerbitan Surat Berharga Komersial Pasal 42 (1) Lembaga Pendukung Penerbitan Surat Berharga Komersial wajib menyampaikan laporan secara berkala kepada Bank Indonesia. - 27 - (2) Penyampaian laporan secara berkala sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk laporan yang terkait dengan aspek kemampuan Lembaga Pendukung Penerbitan Surat Berharga Komersial dalam menjalankan fungsinya. Pasal 43 (1) Dalam hal terdapat perubahan data pendukung terkait aspek kelembagaan dan aspek kemampuan dalam menjalankan fungsinya, Lembaga Pendukung Penerbitan Surat Berharga Komersial wajib menyampaikan laporan perubahan tersebut kepada Bank Indonesia. (2) Penyampaian laporan perubahan data pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara insidental. Pasal 44 Dalam hal Bank Indonesia memerlukan informasi tambahan atas laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 dan/atau Pasal 43, Lembaga Pendukung Penerbitan Surat Berharga Komersial wajib menyampaikan informasi tambahan tersebut kepada Bank Indonesia. Pasal 45 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyampaian laporan oleh Lembaga Pendukung Penerbitan Surat Berharga Komersial diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. Bagian Ketiga Laporan Lembaga Pendukung Transaksi Surat Berharga Komersial Pasal 46 (1) Lembaga Pendukung Transaksi Surat Berharga Komersial wajib menyampaikan laporan kepada Bank Indonesia dalam hal terdapat perubahan data pendukung terkait aspek kelembagaan dan aspek kemampuan dalam - 28 - menjalankan fungsi dari Lembaga Pendukung Transaksi Surat Berharga Komersial. (2) Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara insidental. (3) Penyampaian laporan oleh Lembaga Pendukung Transaksi Surat Berharga Komersial berupa Perusahaan Pialang dilakukan sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai pialang pasar uang. (4) Dalam hal Bank Indonesia memerlukan informasi tambahan atas laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Lembaga Pendukung Transaksi Surat Berharga Komersial wajib menyampaikan informasi tambahan tersebut kepada Bank Indonesia. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaporan bagi Lembaga Pendukung Transaksi Surat Berharga Komersial diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. Bagian Keempat Laporan Lembaga Pendukung Penatausahaan dan Penyelesaian Transaksi Surat Berharga Komersial Pasal 47 (1) Lembaga Pendukung Penatausahaan dan Penyelesaian Transaksi Surat Berharga Komersial wajib menyampaikan laporan kepada Bank Indonesia dalam hal terdapat perubahan data pendukung terkait aspek kelembagaan dan aspek kemampuan dalam menjalankan fungsi dari Lembaga Pendukung Penatausahaan dan Penyelesaian Transaksi Surat Berharga Komersial. (2) Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara insidental. (3) Dalam hal Bank Indonesia memerlukan informasi tambahan atas laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Lembaga Pendukung Penatausahaan dan Penyelesaian Transaksi Surat Berharga Komersial wajib - 29 - menyampaikan informasi tambahan tersebut kepada Bank Indonesia. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyampaian laporan oleh Lembaga Pendukung Penatausahaan dan Penyelesaian Transaksi Surat Berharga Komersial diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. Bagian Kelima Laporan Transaksi oleh Pelaku Transaksi, Lembaga Pendukung Transaksi, serta Lembaga Pendukung Penatausahaan dan Penyelesaian Surat Berharga Komersial Pasal 48 (1) Pelaku Transaksi berupa nasabah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) huruf b harus melaporkan informasi mengenai transaksi Surat Berharga Komersial yang dilakukan kepada Bank Indonesia melalui: a. Bank, apabila transaksi Surat Berharga Komersial dilakukan dengan Bank; b. Lembaga Pendukung Transaksi Surat Berharga Komersial, apabila transaksi Surat Berharga Komersial dilakukan dengan perantara Lembaga Pendukung Transaksi Surat Berharga Komersial; dan/atau c. Lembaga Pendukung Penatausahaan dan Penyelesaian Transaksi Surat Berharga Komersial, apabila transaksi Surat Berharga Komersial dilakukan oleh nasabah secara langsung tanpa melibatkan Bank dan/atau Perusahaan Efek. (2) Pelaku Transaksi Surat Berharga Komersial berupa Bank dan Perusahaan Efek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) huruf a wajib melaporkan informasi mengenai transaksi Surat Berharga Komersial yang dilakukan kepada Bank Indonesia. (3) Bank, Lembaga Pendukung Transaksi Surat Berharga Komersial, dan/atau Lembaga Pendukung - 30 - Penatausahaan dan Penyelesaian Transaksi Surat Berharga Komersial yang terlibat dalam transaksi Surat Berharga Komersial nasabah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib melaporkan informasi mengenai transaksi Surat Berharga Komersial yang dilakukan oleh nasabah tersebut kepada Bank Indonesia. (4) Pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) melakukan pelaporan melalui sistem pelaporan Bank Indonesia. (5) Tata cara penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai sistem pelaporan Bank Indonesia. (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. Bagian Keenam Laporan Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian Surat Berharga Komersial. Pasal 49 (1) LPP yang ditunjuk oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) wajib menyampaikan laporan kepada Bank Indonesia. (2) Tata cara penyampaian laporan oleh LPP yang ditunjuk oleh Bank Indonesia dituangkan dalam perjanjian antara Bank Indonesia dengan LPP. BAB XV PENCABUTAN STATUS TERDAFTAR Pasal 50 (1) Bank Indonesia dapat mencabut status terdaftar Lembaga Pendukung Pasar Uang yang melakukan kegiatan di pasar Surat Berharga Komersial sebagaimana - 31 - dimaksud dalam Pasal 23 ayat (3), Pasal 26 ayat (3), dan Pasal 27 ayat (2). (2) Pencabutan status terdaftar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan: a. dalam hal berdasarkan penilaian dan evaluasi Bank Indonesia terdapat permasalahan yang mengganggu kemampuan Lembaga Pendukung Pasar Uang dalam melaksanakan kegiatan di Pasar Surat Berharga Komersial maupun Pasar Uang; b. berdasarkan permintaan dari otoritas atau lembaga profesi terkait; c. berdasarkan permintaan dari lembaga atau individu yang bersangkutan; dan/atau d. dalam hal terdapat pengenaan sanksi atas pelanggaran dalam Peraturan Bank Indonesia ini. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pencabutan status terdaftar dari Lembaga Pendukung Pasar Uang yang melakukan kegiatan di pasar Surat Berharga Komersial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. BAB XVI SANKSI Pasal 51 (1) Penerbit Surat Berharga Komersial yang melakukan pelanggaran atas kewajiban untuk : a. memenuhi ketentuan mengenai prinsip keterbukaan serta pencantuman informasi yang benar dan tidak menyesatkan pada dokumen memorandum informasi dan/atau dokumen lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5; dan/atau b. mencantumkan informasi yang benar dan tidak menyesatkan pada dokumen pendaftaran penerbitan Surat Berharga Komersial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14, dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis. - 32 - (2) Penerbit Surat Berharga Komersial yang mencantumkan informasi maupun fakta material sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 dan Pasal 29 yang tidak benar dan menyesatkan dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis. (3) Dalam hal informasi yang tercantum dalam dokumen memorandum informasi dan/atau dokumen lainnya serta dokumen persetujuan pendaftaran penerbitan Surat Berharga Komersial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diketahui tidak benar dan menyesatkan setelah persetujuan pendaftaran diberikan, Bank Indonesia tetap dapat mengenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis terhadap Penerbit Surat Berharga Komersial. (4) Penerbit Surat Berharga Komersial yang tidak mencantumkan perubahan informasi maupun fakta material dalam memorandum informasi dan/atau dokumen lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, dikenakan sanksi berupa teguran tertulis. Pasal 52 Penerbit Surat Berharga Komersial yang tidak menerapkan prinsip kehati-hatian dan manajemen risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis. Pasal 53 (1) Penerbit Surat Berharga Komersial yang tidak melaporkan: a. b. perubahan informasi maupun fakta material sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (2) huruf b; c. realisasi penerbitan berkelanjutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (3); dan/atau d. perubahan informasi maupun fakta material yang signifikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39, realisasi penerbitan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (2) huruf a; - 33 - dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis. (2) Penerbit Surat Berharga Komersial yang tidak memenuhi kewajiban menyampaikan data posisi kepemilikan investor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis. (3) Penerbit Surat Berharga Komersial yang tidak menyampaikan tambahan informasi yang diminta oleh Bank Indonesia atas laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis. (4) Penerbit Surat Berharga Komersial yang tidak menyampaikan laporan kepada Bank Indonesia dalam jangka waktu tertentu sejak penyampaian teguran tertulis atas pelanggaran kewajiban penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), dikenakan sanksi teguran tertulis berikutnya. (5) Pengenaan sanksi teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) tidak menghilangkan kewajiban Penerbit Surat Berharga Komersial untuk menyampaikan laporan kepada Bank Indonesia. Pasal 54 (1) Penerbit Surat Berharga Komersial yang tidak menyediakan data, informasi, dan/atau keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (5) dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis. (2) Penerbit Surat Berharga Komersial yang tidak menyediakan data, informasi, dan/atau keterangan secara benar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (6) dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis. - 34 - Pasal 55 Penerbit Surat Berharga Komersial yang mendapatkan sanksi administratif berupa teguran tertulis, tetap harus memenuhi kewajiban yang diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini. Pasal 56 Penerbit Surat Berharga Komersial yang telah menerima sanksi administratif berupa teguran tertulis sebanyak 3 (tiga) kali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 sampai dengan Pasal 54 dalam jangka waktu 1 (satu) tahun, dikenakan sanksi tidak dapat menerbitkan Surat Berharga Komersial selama 1 (satu) tahun ke depan. Pasal 57 Dalam hal Penerbit Surat Berharga Komersial melakukan pelanggaran atas kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, Pasal 12, Pasal 14, Pasal 28, Pasal 29, Pasal 37 ayat (5), dan/atau Pasal 37 ayat (6) yang berdampak signifikan dan/atau menimbulkan kerugian, Bank Indonesia mengenakan sanksi kepada Penerbit Surat Berharga Komersial berupa larangan penerbitan Surat Berharga Komersial selama 1 (satu) tahun dari tanggal pengenaan sanksi. Pasal 58 (1) Lembaga Pendukung Penerbitan Surat Berharga Komersial yang tidak menyampaikan laporan berkala sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis. (2) Lembaga Pendukung Penerbitan Surat Berharga Komersial yang tidak menyediakan data, informasi, dan/atau keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (5) dan/atau ayat (6) secara benar dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis. (3) Lembaga Pendukung Penerbitan Surat Berharga Komersial yang tidak menyampaikan laporan dalam hal terdapat perubahan data pendukung sebagaimana - 35 - dimaksud dalam Pasal 43 dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis. (4) Lembaga Pendukung Penerbitan Surat Berharga Komersial yang tidak menyampaikan tambahan informasi yang diminta oleh Bank Indonesia atas laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis. (5) Lembaga Pendukung Penerbitan Surat Berharga Komersial yang tidak menyampaikan laporan kepada Bank Indonesia dalam jangka tertentu sejak dikenakan teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4) dikenakan sanksi teguran tertulis berikutnya. (6) Lembaga Pendukung Penerbitan Surat Berharga Komersial yang memberikan jasa penerbitan Surat Berharga Komersial yang tidak terdaftar di Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis. (7) Lembaga Pendukung Penerbitan Surat Berharga Komersial yang memberikan pendapat dan keterangan yang tidak objektif, tidak independen serta memberikan pendapat dan keterangan yang menyesatkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis. (8) Lembaga Pendukung Penerbitan Surat Berharga Komersial yang tidak menerapkan prinsip kehati-hatian dan manajemen risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis. (9) Lembaga Pendukung Penerbitan Surat Berharga Komersial yang mendapatkan sanksi administratif berupa teguran tertulis tetap harus memenuhi kewajiban yang diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini. (10) Lembaga Pendukung Penerbitan Surat Berharga Komersial yang menerima sanksi administratif berupa teguran tertulis sebanyak 3 (tiga) kali dalam jangka waktu 6 (enam) bulan, dikenakan sanksi penghentian - 36 - sementara pemberian jasa dalam penerbitan Surat Berharga Komersial selama 1 (satu) bulan ke depan. (11) Lembaga Pendukung Penerbitan Surat Berharga Komersial yang mendapatkan sanksi penghentian sementara pemberian jasa dalam penerbitan Surat Berharga Komersial sebagaimana dimaksud pada ayat (10) sebanyak 3 (tiga) kali, dikenakan sanksi dikeluarkan dari daftar Lembaga Pendukung Penerbitan Surat Berharga Komersial yang terdaftar di Bank Indonesia. Pasal 59 Lembaga Pendukung Penerbitan Surat Berharga Komersial yang melakukan pelanggaran atas kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25, Pasal 37 ayat (5) dan Pasal 37 ayat (6) yang berdampak signifikan dan/atau menimbulkan kerugian dikenakan sanksi berupa penghentian sementara pemberian jasa dalam penerbitan Surat Berharga Komersial selama 1 (satu) bulan ke depan. Pasal 60 (1) Pelaku Transaksi Surat Berharga Komersial yang berperan dalam perdagangan Surat Berharga Komersial yang tidak menerapkan prinsip kehati-hatian dan manajemen risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis. (2) Pelaku Transaksi Surat Berharga Komersial yang berperan dalam perdagangan Surat Berharga Komersial yang tidak menyediakan data, informasi, dan/atau keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (5) dan/atau ayat (6) secara benar dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis. (3) Pelaku Transaksi Surat Berharga Komersial yang berperan dalam perdagangan Surat Berharga Komersial yang tidak menyampaikan data, informasi, dan/atau keterangan kepada Bank Indonesia dalam jangka waktu tertentu sejak penyampaian teguran tertulis atas - 37 - pelanggaran ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikenakan sanksi teguran tertulis berikutnya. (4) Pelaku Transaksi Surat Berharga Komersial yang berperan dalam perdagangan Surat Berharga Komersial yang tidak terdaftar di Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis. (5) Pelaku Transaksi Surat Berharga Komersial yang berperan dalam perdagangan Surat Berharga Komersial yang mendapatkan sanksi administratif berupa teguran tertulis tetap harus memenuhi kewajiban yang diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini. Pasal 61 (1) Lembaga Pendukung Transaksi Surat Berharga Komersial yang tidak menyediakan data, informasi, dan/atau keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (5) dan/atau ayat (6) secara benar dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis. (2) Lembaga Pendukung Transaksi Surat Berharga Komersial yang tidak menyampaikan laporan dalam hal terdapat perubahan data pendukung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis. (3) Lembaga Pendukung Transaksi Surat Berharga Komersial yang tidak menyampaikan laporan kepada Bank Indonesia dalam jangka waktu tertentu sejak penyampaian teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dikenakan sanksi teguran tertulis berikutnya. (4) Lembaga Pendukung Transaksi Surat Berharga Komersial yang memberikan jasa perantara pelaksanaan transaksi Surat Berharga Komersial yang tidak terdaftar di Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis. (5) Lembaga Pendukung Transaksi Surat Berharga Komersial yang tidak menerapkan prinsip kehati-hatian dan - 38 - manajemen risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis. (6) Lembaga Pendukung Transaksi Surat Berharga Komersial yang mendapatkan sanksi administratif berupa teguran tertulis tetap harus memenuhi kewajiban yang diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini. (7) Lembaga Pendukung Transaksi Surat Berharga Komersial yang menerima sanksi administratif berupa teguran tertulis sebanyak 3 (tiga) kali dalam jangka waktu 6 (enam) bulan dikenakan sanksi penghentian sementara pemberian jasa perantara pelaksanaan transaksi Surat Berharga Komersial selama 1 (satu) bulan ke depan. (8) Lembaga Pendukung Transaksi Surat Berharga Komersial yang mendapatkan sanksi penghentian sementara pemberian jasa perantara pelaksanaan Transaksi Surat Berharga Komersial sebanyak 3 (tiga) kali sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dikeluarkan dari daftar Lembaga Pendukung Transaksi Surat Berharga Komersial yang terdaftar di Bank Indonesia. Pasal 62 (1) Lembaga Pendukung Penatausahaan dan Penyelesaian Transaksi Surat Berharga Komersial yang tidak menyediakan data, informasi, dan/atau keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (5) dan/atau ayat (6) secara benar dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis. (2) Lembaga Pendukung Penatausahaan dan Penyelesaian Transaksi Surat Berharga Komersial yang tidak menyampaikan laporan dalam hal terdapat perubahan data pendukung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis. (3) Lembaga Pendukung Penatausahaan dan Penyelesaian Transaksi Surat Berharga Komersial yang tidak menyampaikan laporan kepada Bank Indonesia dalam jangka waktu tertentu sejak penyampaian teguran - 39 - tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dikenakan sanksi teguran tertulis berikutnya. (4) Lembaga Pendukung Penatausahaan dan Penyelesaian Transaksi Surat Berharga Komersial yang tidak menerapkan prinsip kehati-hatian dan manajemen risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis. (5) Lembaga Pendukung Penatausahaan dan Penyelesaian Transaksi Surat Berharga Komersial yang mendapatkan sanksi administratif berupa teguran tertulis tetap harus memenuhi kewajiban yang diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini. (6) Lembaga Pendukung Penatausahaan dan Penyelesaian Transaksi Surat Berharga Komersial yang menerima sanksi administratif berupa teguran tertulis sebanyak 3 (tiga) kali dalam jangka waktu 6 (enam) bulan, dikenakan sanksi penghentian sementara penerimaan penatausahaan Surat Berharga Komersial dari nasabah baru selama 1 (satu) bulan ke depan. (7) Lembaga Pendukung Penatausahaan dan Penyelesaian Transaksi Surat Berharga Komersial yang mendapatkan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (6) sebanyak 3 (tiga) kali dikenakan sanksi dikeluarkan dari daftar Lembaga Pendukung Penatausahaan dan Penyelesaian Transaksi Surat Berharga Komersial yang terdaftar di Bank Indonesia. Pasal 63 Pengenaan sanksi atas pelanggaran ketentuan pelaporan sebagaimana diatur dalam Pasal 48 mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai sistem pelaporan Bank Indonesia. Pasal 64 Bank Indonesia dapat menyampaikan informasi mengenai pengenaan sanksi terhadap Penerbit Surat Berharga Komersial, Pelaku Transaksi Surat Berharga Komersial yang - 40 - berperan dalam perdagangan Surat Berharga Komersial, dan Lembaga Pendukung Pasar Uang yang melakukan kegiatan di pasar Surat Berharga Komersial kepada otoritas dan/atau lembaga profesi terkait. Pasal 65 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. BAB XVII KETENTUAN PENUTUP Pasal 66 Pada saat Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku, Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 28/52/KEP/DIR tanggal 11 Agustus 1995 tentang Persyaratan Penerbitan dan Perdagangan Surat Berharga Komersial (Commercial Paper) melalui Bank Umum di Indonesia, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 67 Ketentuan mengenai pendaftaran penerbitan Surat Berharga Komersial oleh Korporasi Non-Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 mulai berlaku pada tanggal 2 Januari 2018. Pasal 68 Kewajiban pelaporan transaksi Surat Berharga Komersial yang disampaikan oleh: a. Perusahaan Efek sebagai Pelaku Transaksi Surat Berharga Komersial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (2) dan Perusahaan Efek sebagai Lembaga Pendukung Transaksi Surat Berharga Komersial dan/atau Lembaga Pendukung Penatausahaan dan Penyelesaian Transaksi Surat Berharga Komersial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (3); - 41 - b. Perusahaan Pialang sebagai Lembaga Pendukung Transaksi Surat Berharga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (3); dan c. Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (3) yang melaksanakan kegiatan kustodian, mulai berlaku pada tanggal 1 Juli 2018. Pasal 69 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 4 September 2017. - 42 - Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 19 Juli 2017 GUBERNUR BANK INDONESIA, AGUS D.W. MARTOWARDOJO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 20 Juli 2017 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2017 NOMOR 164 PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 19/9/PBI/2017 TENTANG PENERBITAN DAN TRANSAKSI SURAT BERHARGA KOMERSIAL DI PASAR UANG I. UMUM Pasar Uang yang dalam, likuid, dan efisien mempunyai fungsi strategis dalam mendukung transmisi kebijakan moneter, makroprudensial, serta kelancaran sistem pembayaran dan pengelolaan uang rupiah. Guna pengembangan Pasar Uang tersebut diperlukan pengembangan instrumen Pasar Uang, salah satunya berupa Surat Berharga Komersial. Surat Berharga Komersial merupakan instrumen Pasar Uang yang diterbitkan oleh Korporasi Non-Bank dengan jangka waktu sampai dengan 1 (satu) tahun, sebagai alternatif pendanaan atau pengelolaan likuiditas jangka pendek bagi Korporasi Non-Bank. Penambahan alternatif tersebut diharapkan dapat mendorong peningkatan efisiensi dalam pembiayaan ekonomi nasional. Sementara itu, pengembangan Surat Berharga Komersial sebagai instrumen Pasar Uang akan memberikan fleksibilitas pengelolaan likuiditas yang lebih baik bagi Pelaku Pasar, yang pada akhirnya berkontribusi dalam mendukung transmisi kebijakan moneter, makroprudensial, serta kelancaran sistem pembayaran dan pengelolaan uang rupiah. Kewenangan Bank Indonesia dalam mengatur instrumen Pasar Uang yang memiliki jangka waktu sampai dengan 1 (satu) tahun sejalan dengan pengaturan dalam Pasal 70 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal beserta penjelasannya. Dalam Pasal 70 tersebut diatur - 2 - bahwa Surat Berharga Komersial sebagai salah satu bentuk efek yang merupakan instrumen Pasar Uang dikecualikan dari kewajiban penawaran umum dengan pertimbangan pembinaan, pengaturan, dan pengawasan efek yang memiliki jangka waktu sampai dengan 1 (satu) tahun dilaksanakan oleh instansi lain. Sehubungan dengan hal tersebut, Bank Indonesia sebagai otoritas Pasar Uang telah mengatur Pasar Uang dan instrumennya dalam Peraturan Bank Indonesia yang mengatur mengenai Pasar Uang. Disamping itu, untuk memperkuat kredibilitas Pasar Uang sebagai media transmisi kebijakan moneter pada umumnya dan pasar Surat Berharga Komersial pada khususnya, Bank Indonesia juga mengatur Surat Berharga Komersial sebagai salah satu instrumen Pasar Uang dalam Peraturan Bank Indonesia ini. Pengaturan Surat Berharga Komersial difokuskan pada pembentukan pasar dengan basis investor profesional (qualified investor). Investor profesional (qualified investor) merupakan investor yang memiliki pengetahuan investasi yang baik termasuk pemahaman atas risiko investasi. Salah satu cara untuk membentuk pasar dengan basis investor profesional (qualified investor) dilakukan melalui pembatasan nominal pembelian Surat Berharga Komersial paling sedikit Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Mempertimbangkan hal tersebut, dalam Peraturan Bank Indonesia ini diatur aspek keterbukaan informasi yang berbeda dengan aspek keterbukaan informasi bagi investor yang bukan merupakan investor profesional (unqualified investor). II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Yang dimaksud dengan “pengaturan dan pengawasan atas penerbitan dan transaksi Surat Berharga Komersial” antara lain pengaturan dan pengawasan terhadap Penerbit Surat Berharga Komersial, Pelaku Transaksi dan Lembaga Pendukung Pasar Uang yang melakukan kegiatan di pasar Surat Berharga Komersial. - 3 - Pasal 3 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Angka 1 Yang dimaksud dengan “penjaminan atau penanggungan” adalah aval sebagaimana dimaksud dalam Pasal 129 sampai dengan Pasal 131 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, yang ditujukan untuk Surat Berharga Komersial dan dituangkan dalam bukti penerbitan kolektif. Penjaminan atau penanggungan tersebut dimaksudkan untuk memberikan keyakinan terhadap kapabilitas Korporasi Non-Bank yang akan menerbitkan Surat Berharga Komersial dalam memenuhi kewajibannya dengan mempertimbangkan data historis (track record) pemenuhan kewajiban maupun arus kas dari Korporasi Non-Bank yang baru berdiri masih terbatas. Data historis (track record) diperlukan sebagai bahan penilaian kualitas kredit oleh calon investor Surat Berharga Komersial. Angka 2 Yang dimaksud dengan “ekuitas” adalah modal yang disetor ditambah dengan laba yang ditahan. Angka 3 Yang dimaksud dengan “laba bersih” adalah laba yang diperoleh setelah memperhitungkan pemotongan pajak. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan “gagal bayar” adalah kondisi tidak terpenuhinya kewajiban finansial Korporasi Non-Bank yang akan menerbitkan Surat Berharga Komersial terhadap - 4 - kreditur pada saat jatuh tempo yang nilainya lebih besar dari 0,5% (nol koma lima persen) dari modal disetor. Huruf c Penyelesaian secara wajar atas kondisi gagal bayar dinyatakan antara lain melalui: 1. bukti pelunasan atas pinjaman atau kredit; 2. surat pernyataan dari kreditur bahwa pinjaman atau kredit menjadi lunas dalam bentuk akta notarial; dan/atau 3. putusan pengadilan. Informasi mengenai gagal bayar yang telah dialami beserta penyelesaiannya harus dicantumkan secara rinci dalam dokumen memorandum informasi. Huruf d Yang dimaksud dengan “manajemen” adalah manajemen inti (direksi) dan pengawas (komisaris) dari Korporasi Non- Bank yang akan menerbitkan Surat Berharga Komersial. Huruf e Yang dimaksud dengan “manajemen risiko” antara lain manajemen risiko atas risiko usaha, risiko kredit dari Surat Berharga Komersial dan risiko sistemik. Huruf f Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 4 Ayat (1) Huruf a Penerbitan dan penatausahaan Surat Berharga Komersial tanpa warkat (scripless) dimaksudkan untuk memudahkan transaksi antar investor. Sementara itu, tetap terdapat keharusan bagi Penerbit Surat Berharga Komersial untuk menerbitkan bukti penerbitan kolektif atau bentuk lain yang disimpan di Bank Indonesia atau Lembaga - 5 - Penyimpanan dan Penyelesaian yang ditunjuk oleh Bank Indonesia. Huruf b Pengalihan secara elektronik dimaksudkan sebagai bentuk endosemen yaitu penerimaan terkait pemindahan kepemilikan sebagaimana diatur dalam Kitab Undang- Undang Hukum Dagang. Pengalihan secara elektronik meliputi pula pemindahan atau mutasi pencatatan. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Penetapan besaran nominal dilakukan untuk mendorong penggunaan instrumen Surat Berharga Komersial sebagai wholesale funding dan meningkatkan potensi untuk ditransaksikan di pasar sekunder. Huruf f Penetapan besaran nominal pembelian Surat Berharga Komersial oleh investor bertujuan untuk mendorong pembelian Surat Berharga Komersial oleh investor profesional (qualified investor) yang dapat berupa investor institusi maupun investor individu. Investor profesional (qualified investor) dianggap dapat mencari informasi yang diperlukan dalam menilai risiko investasi secara mandiri, memitigasi, dan/atau mengambil risiko investasi. Nominal pembelian Surat Berharga Komersial berlaku di pasar perdana dan pasar sekunder serta tidak bersifat kelipatan. Huruf g Penetapan standarisasi tenor dilakukan untuk mendorong likuiditas transaksi di pasar sekunder dan terciptanya term structure suku bunga pasar uang. Huruf h Cukup jelas. - 6 - Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 5 Ayat (1) Pemenuhan prinsip keterbukaan informasi bertujuan untuk memastikan calon investor Surat Berharga Komersial memperoleh informasi maupun fakta material yang mencukupi mengenai kondisi Korporasi Non-Bank yang akan menerbitkan Surat Berharga Komersial serta informasi terkait penerbitan Surat Berharga Komersial. Yang dimaksud dengan “informasi maupun fakta material” adalah informasi atau fakta mengenai kondisi Korporasi Non- Bank yang akan menerbitkan Surat Berharga Komersial, yang bersifat material meliputi peristiwa, kejadian, atau fakta yang dapat mempengaruhi harga Surat Berharga Komersial, mempengaruhi kemampuan Penerbit Surat Berharga Komersial dalam membayar kewajiban Penerbit Surat Berharga Komersial, dan/atau mempengaruhi pengambilan keputusan oleh investor maupun calon investor Surat Berharga Komersial serta pihak lain yang berkepentingan atas informasi tersebut. Informasi maupun fakta material dapat berupa informasi dari kejadian, peristiwa, atau fakta yang bersifat transaksional maupun non-transaksional. Suatu kejadian, peristiwa, atau fakta transaksional dianggap material apabila memiliki nilai paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari nilai ekuitas. Keterbukaan informasi memungkinkan informasi mengenai Korporasi Non-Bank yang akan menerbitkan Surat Berharga Komersial dapat diakses secara luas, sehingga terdapat konsekuensi bahwa kinerja dan kredibilitas Korporasi Non-Bank yang menerbitkan Surat Berharga Komersial akan selalu dimonitor dan dinilai oleh publik. - 7 - Ayat (2) Yang dimaksud dengan “memorandum informasi” adalah dokumen keterbukaan informasi yang diberikan kepada calon investor Surat Berharga Komersial. Dokumen memorandum informasi dapat memuat berbagai dokumen yang merupakan satu kesatuan. Ayat (3) Huruf a Ringkasan struktur Surat Berharga Komersial mencakup pula informasi peringkat Surat Berharga Komersial. Huruf b Yang dimaksud dengan “syarat dan kondisi” paling sedikit meliputi persyaratan maupun kondisi tertentu yang diberlakukan dalam tahapan penawaran, penerbitan Surat Berharga Komersial termasuk diantaranya informasi Bank untuk pembayaran pemesanan Surat Berharga Komersial, dan pelunasan Surat Berharga Komersial serta aspek pendukung seperti perpajakan, mekanisme penyelesaian sengketa maupun yurisdiksi hukum. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Mengingat Surat Berharga Komersial merupakan instrumen jangka pendek maka penggunaan dana ditujukan untuk pendanaan jangka pendek seperti modal kerja, pembiayaan aset jangka pendek atau sebagai dana talangan sementara (bridging financing) sebelum melakukan pendanaan jangka panjang. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Informasi pendukung lain yang relevan dengan penerbitan Surat Berharga Komersial, antara lain ikhtisar perjanjian - 8 - dalam hal terdapat penjaminan Surat Berharga Komersial atau dalam hal digunakan agen pemantau yaitu pihak yang ditunjuk untuk mewakili kepentingan investor. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 6 Cukup jelas. Pasal 7 Huruf a Yang dimaksud dengan “penerbitan secara tunggal atau individual” adalah penerbitan Surat Berharga Komersial yang dilakukan 1 (satu) kali setelah diperoleh persetujuan pendaftaran penerbitan atas Surat Berharga Komersial dari Bank Indonesia. Huruf b Yang dimaksud dengan “penerbitan secara berkelanjutan” adalah penerbitan Surat Berharga Komersial yang dilakukan secara bertahap dalam 1 (satu) tahun setelah diperoleh persetujuan pendaftaran penerbitan atas Surat Berharga Komersial dari Bank Indonesia. Pasal 8 Cukup jelas. Pasal 9 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Persetujuan pendaftaran penerbitan Surat Berharga Komersial akan diberikan oleh Bank Indonesia apabila tidak terdapat tanggapan, perubahan, dan/atau tambahan informasi lebih - 9 - lanjut yang harus dipenuhi Korporasi Non-Bank yang akan menerbitkan Surat Berharga Komersial. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 10 Ayat (1) Bank Indonesia tidak melakukan penilaian atas kualitas Surat Berharga Komersial yang ditawarkan. Penilaian atas kualitas Surat Berharga Komersial oleh calon investor Surat Berharga Komersial antara lain dapat dilakukan berdasarkan informasi dari memorandum informasi dan/atau dokumen lainnya. Keputusan melakukan investasi sepenuhnya berada di tangan investor. Risiko investasi termasuk di dalamnya potensi penurunan kinerja Penerbit Surat Berharga Komersial, sepenuhnya menjadi tanggung jawab investor. Persetujuan pendaftaran yang diberikan oleh Bank Indonesia bertujuan untuk menegaskan bahwa prinsip keterbukaan informasi dan akuntabilitas dalam proses persiapan penerbitan Surat Berharga Komersial telah dipenuhi oleh Penerbit Surat Berharga Komersial. Yang dimaksud dengan “keterbukaan informasi” antara lain pemenuhan prinsip keterbukaan informasi dalam pengungkapan informasi maupun fakta material dari Penerbit Surat Berharga Komersial. Yang dimaksud dengan “akuntabilitas” antara lain pemenuhan persyaratan, tahapan penerbitan, dan penggunaan Lembaga Pendukung Pasar Uang yang telah terdaftar di Bank Indonesia. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Kewajiban Penerbit Surat Berharga Komersial paling sedikit meliputi pembayaran pokok atau nominal dari Surat Berharga Komersial dan kewajiban lain yang timbul sebagai akibat dari terjadinya kondisi yang dipersyaratkan dalam Surat Berharga Komersial dan memorandum informasi seperti pembayaran - 10 - denda atau penalti atas keterlambatan pembayaran yang dipersyaratkan di muka. Pasal 11 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “Penerbitan Surat Berharga Komersial tahap lanjutan” adalah penerbitan Surat Berharga Komersial tahap kedua dan seterusnya. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan “gagal bayar” adalah kondisi tidak terpenuhinya kewajiban finansial Penerbit Surat Berharga Komersial dengan nilai lebih besar dari 0,5% (nol koma lima persen) dari modal disetor yang terjadi sejak tanggal persetujuan pendaftaran penerbitan Surat Berharga Komersial sampai dengan tanggal pengajuan permohonan pendaftaran penerbitan Surat Berharga Komersial tahap lanjutan. Pasal 12 Ayat (1) Perubahan informasi maupun fakta material yang harus diketahui oleh calon investor Surat Berharga Komersial yaitu perubahan informasi maupun fakta material yang terjadi dari sejak pemberian persetujuan pendaftaran Surat Berharga Komersial sampai dengan tanggal pengajuan permohonan penerbitan Surat Berharga Komersial tahap lanjutan. Ayat (2) Perubahan informasi maupun fakta material yang dicantumkan dalam memorandum informasi dan/atau dokumen lainnya dapat berupa perubahan informasi maupun fakta material yang telah dilaporkan dalam laporan berkala penerbit Surat Berharga Komersial maupun informasi maupun fakta material yang belum dilaporkan. - 11 - Perubahan informasi maupun fakta material yang harus dilaporkan kepada Bank Indonesia meliputi seluruh perubahan informasi maupun fakta material yang terjadi sejak pemberian persetujuan pendaftaran Surat Berharga Komersial sampai dengan tanggal pengajuan permohonan pendaftaran penerbitan Surat Berharga Komersial tahap lanjutan. Pasal 13 Cukup jelas. Pasal 14 Cukup jelas. Pasal 15 Cukup jelas. Pasal 16 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Hasil penawaran paling sedikit berisi jumlah Surat Berharga Komersial dan tingkat diskonto. Dokumen hasil penawaran merupakan bagian dari memorandum informasi yang sebelumnya masih bersifat sementara karena belum dilakukannya penawaran. Perubahan informasi dalam memorandum informasi hanya diperbolehkan untuk informasi yang sebelumnya masih bersifat sementara karena belum dilakukannya penawaran. Penyerahan salinan memorandum informasi dan/atau dokumen lainnya disertai surat pernyataan dari Penerbit Surat Berharga Komersial yang menerangkan bahwa memorandum informasi dan/atau dokumen lainnya yang diserahkan kepada calon investor Surat Berharga Komersial sama dengan memorandum informasi dan/atau dokumen lainnya yang telah ditelaah oleh Bank Indonesia pada saat persetujuan pendaftaran penerbitan Surat Berharga Komersial. - 12 - Ayat (3) Yang dimaksud dengan “jangka waktu tertentu” adalah jangka waktu dari pemberian persetujuan pendaftaran penerbitan sampai dengan penawaran kepada calon investor. Jangka waktu ini perlu ditetapkan mengingat apabila jangka waktu dari pemberian persetujuan pendaftaran sampai dengan penawaran kepada calon investor terlalu lama, kemungkinan terjadinya perubahan informasi maupun fakta material dalam dokumen memorandum informasi dan/atau dokumen lainnya akan semakin besar sehingga dokumen keterbukaan informasi yang ditelaah Bank Indonesia menjadi tidak valid. Ayat (4) Rencana penundaan penerbitan Surat Berharga Komersial antara lain memuat alasan penundaan penerbitan Surat Berharga Komersial. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 17 Ayat (1) Guna memastikan bahwa calon investor Surat Berharga Komersial melakukan penilaian dan mempelajari risiko dalam berinvestasi di Surat Berharga Komersial, Penerbit Surat Berharga Komersial dan Lembaga Pendukung Penerbitan Surat Berharga Komersial yang berperan dalam menatalaksanakan penerbitan Surat Berharga Komersial harus memberikan kemudahan bagi investor Surat Berharga Komersial untuk mengakses informasi yang diperlukan, memberikan kesempatan bagi investor Surat Berharga Komersial untuk membaca dan mempelajari informasi dimaksud, serta memastikan bahwa investor telah membaca dan mempelajari informasi tersebut. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Sarana yang memudahkan akses informasi oleh calon investor Surat Berharga Komersial antara lain laman korporasi dari Penerbit Surat Berharga Komersial, laman lain yang ditetapkan - 13 - oleh Bank Indonesia, dan/atau sarana lain yang dipandang mudah untuk diakses dan efektif dengan tetap memperhatikan unsur keamanan. Pasal 18 Cukup jelas. Pasal 19 Cukup jelas. Pasal 20 Ayat (1) Penatausahaan Surat Berharga Komersial dan penyelesaian transaksi Surat Berharga Komersial antara lain mencakup pencatatan kepemilikan, penyimpanan dokumen, pemindahan kepemilikan, pemindahan atau mutasi pencatatan, dan pembayaran pelunasan Surat Berharga Komersial. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 21 Ayat (1) Bukti penerbitan kolektif dimaksudkan sebagai pemenuhan persyaratan surat sanggup sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 22 Cukup jelas. - 14 - Pasal 23 Ayat (1) Lembaga Pendukung Penerbitan Surat Berharga Komersial memiliki tugas membantu Penerbit Surat Berharga Komersial untuk mempersiapkan pendaftaran penerbitan Surat Berharga Komersial dan penerbitan Surat Berharga Komersial, termasuk memastikan keterbukaan informasi oleh Penerbit Surat Berharga Komersial. Dalam memberikan jasa membantu Penerbit Surat Berharga Komersial untuk melakukan penerbitan Surat Berharga Komersial, Lembaga Pendukung Penerbitan memiliki tanggung jawab tertinggi kepada investor Surat Berharga Komersial. Dengan demikian, Lembaga Pendukung Penerbitan Surat Berharga Komersial harus senantiasa melakukan upaya terbaik bagi perlindungan investor. Ayat (2) Huruf a Jasa penata laksana (arranger) penerbitan dapat berupa kegiatan persiapan penerbitan, penawaran kepada calon investor, dan/atau persiapan distribusi Surat Berharga Komersial. Huruf b Yang dimaksud dengan “lembaga pemeringkat” adalah pihak yang melakukan penilaian terhadap peringkat kredit dari Surat Berharga Komersial termasuk penjaminan atau penanggungan yang dapat mempengaruhi peringkat kredit dari Surat Berharga Komersial. Huruf c Yang dimaksud dengan “konsultan hukum” adalah pihak yang melakukan kegiatan uji tuntas aspek hukum (legal due diligence) atas Korporasi Non-Bank yang akan menerbitkan Surat Berharga Komersial. Huruf d Yang dimaksud dengan “akuntan publik” adalah pihak yang melakukan kegiatan uji tuntas aspek keuangan (financial due diligence) atas Korporasi Non-Bank yang akan menerbitkan Surat Berharga Komersial. - 15 - Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Ayat (3) Lembaga Pendukung Penerbitan Surat Berharga Komersial yang telah terdaftar di Bank Indonesia dapat memberikan jasa dalam penerbitan Surat Berharga Komersial dengan mematuhi ketentuan ini, sepanjang tidak sedang menjalani sanksi yang mengakibatkan Lembaga Pendukung Penerbitan Surat Berharga Komersial tidak dapat memberikan jasa dalam penerbitan Surat Berharga Komersial baik untuk sementara maupun permanen. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Huruf a Keabsahan aspek kelembagaan dan/atau individual profesi dinilai antara lain dari keabsahan dan izin kelembagaan dan/atau individual profesi yang dimiliki oleh Lembaga Pendukung Penerbitan Surat Berharga Komersial dari otoritas atau lembaga profesi terkait untuk menjalankan fungsinya. Huruf b Kemampuan Lembaga Pendukung Penerbitan Surat Berharga Komersial dalam menjalankan fungsinya dinilai antara lain dari: 1. memiliki keilmuan dan/atau keahlian yang sesuai dengan fungsi yang dijalankan; 2. memiliki standar profesi; 3. memiliki etika dalam berprofesi; dan 4. memiliki pengalaman atas profesi serupa di sektor jasa keuangan. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 24 Cukup jelas. - 16 - Pasal 25 Lembaga Pendukung Penerbitan Surat Berharga Komersial diwajibkan memberikan pendapat dan keterangan yang objektif, independen, dan tidak menyesatkan dengan pertimbangan bahwa Lembaga Pendukung Penerbitan Surat Berharga Komersial bertindak untuk kepentingan investor Surat Berharga Komersial. Apabila Lembaga Pendukung Penerbitan Surat Berharga Komersial memberikan pendapat dan/atau keterangan menyesatkan yang menyebabkan kerugian, termasuk diantaranya kerugian investor, Lembaga Pendukung Penerbitan Surat Berharga Komersial harus bertanggung jawab atas kerugian tersebut. Tanggung jawab Lembaga Pendukung Penerbitan Surat Berharga Komersial dapat dilakukan baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama dengan mempertimbangkan pendapat dan/atau keterangan yang diberikan. Namun demikian, tanggung jawab atas kerugian yang timbul sebatas keterangan yang diberikannya. Tanggung jawab dimaksud tidak berlaku dalam hal Lembaga Pendukung Penerbitan Surat Berharga Komersial dapat membuktikan telah bertindak secara profesional dan telah mengambil langkah yang mencukupi untuk membuktikan kecukupan, objektivitas, independensi, dan kebenaran informasi. Pasal 26 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Lembaga Pendukung Transaksi Surat Berharga Komersial yang telah terdaftar di Bank Indonesia dapat memberikan jasa perantara pelaksanaan transaksi Surat Berharga Komersial dengan mematuhi ketentuan ini, sepanjang tidak sedang menjalani sanksi yang mengakibatkan Lembaga Pendukung Transaksi Surat Berharga Komersial tidak dapat memberikan jasa perantara pelaksanaan transaksi Surat Berharga Komersial baik untuk sementara maupun permanen. Ayat (4) Cukup jelas. - 17 - Ayat (5) Huruf a Keabsahan aspek kelembagaan mencakup antara lain keabsahan dan izin kelembagaan yang dimiliki oleh Lembaga Pendukung Transaksi Surat Berharga Komersial dari otoritas terkait untuk menjalankan fungsinya. Huruf b Kemampuan Lembaga Pendukung Transaksi Surat Berharga Komersial dalam menjalankan fungsinya dinilai antara lain dari: 1. memiliki keilmuan dan/atau keahlian yang sesuai dengan fungsi yang dijalankan; 2. memiliki standar profesi; dan 3. memiliki etika dalam berprofesi. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 27 Ayat (1) Dalam hal penatausahaan dilakukan oleh LPP yang ditunjuk oleh Bank Indonesia, Bank yang melaksanakan kegiatan kustodian dan Perusahaan Efek merupakan pemegang rekening di LPP yang ditunjuk oleh Bank Indonesia. Ayat (2) Lembaga Pendukung Penatausahaan dan Penyelesaian Transaksi Surat Berharga Komersial yang telah terdaftar di Bank Indonesia dapat memberikan jasa penatausahaan Surat Berharga Komersial dan penyelesaian transaksi Surat Berharga Komersial dengan mematuhi ketentuan ini, sepanjang tidak sedang menjalani sanksi yang mengakibatkan Lembaga Pendukung Penatausahaan dan Penyelesaian Transaksi Surat Berharga Komersial tidak dapat memberikan jasa penatausahaan Surat Berharga Komersial dan penyelesaian transaksi Surat Berharga Komersial baik untuk sementara maupun permanen. Ayat (3) Cukup jelas. - 18 - Ayat (4) Huruf a Keabsahan aspek kelembagaan dinilai antara lain dari keabsahan dan izin kelembagaan yang dimiliki oleh Lembaga Pendukung Penatausahaan dan Penyelesaian Transaksi Surat Berharga Komersial dari otoritas terkait untuk menjalankan fungsinya. Huruf b Kemampuan Lembaga Pendukung Penatausahaan dan Penyelesaian Transaksi Surat Berharga Komersial dalam menjalankan fungsinya dinilai antara lain dari: 1. memiliki keilmuan dan/atau keahlian yang sesuai dengan fungsi yang dijalankan; 2. memiliki standar profesi; dan 3. memiliki etika dalam berprofesi. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 28 Ayat (1) Perubahan informasi maupun fakta material dapat berupa pengkinian informasi maupun fakta material yang telah terkandung di dalam memorandum informasi dan/atau dokumen lainnya dan penambahan informasi maupun fakta material baru. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Akses informasi bertujuan untuk memastikan investor Surat Berharga Komersial dan/atau calon investor Surat Berharga Komersial memperoleh informasi yang cukup tentang Surat Berharga Komersial beserta kondisi Penerbit Surat Berharga Komersial. Pengungkapan informasi maupun fakta material pascapenerbitan Surat Berharga Komersial antara lain dapat dilakukan melalui laman korporasi dari calon Penerbit Surat - 19 - Berharga Komersial, laman lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia, dan/atau sarana lain yang dipandang mudah untuk diakses dan efektif dengan tetap memperhatikan unsur keamanan. Pemberian akses informasi memungkinkan informasi mengenai Korporasi Non-Bank yang akan menerbitkan Surat Berharga Komersial dapat diketahui secara luas, sehingga terdapat konsekuensi bahwa kinerja dan kredibilitas Korporasi Non-Bank yang menerbitkan Surat Berharga Komersial akan selalu dimonitor dan dinilai oleh publik. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 29 Cukup jelas. Pasal 30 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan “secara langsung” adalah transaksi Surat Berharga Komersial yang dilakukan tanpa melalui jasa perantara pelaksanaan transaksi. Huruf b Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Suku bunga acuan yang berlaku secara umum di Pasar Uang antara lain Jakarta Interbank Offered Rate (JIBOR) untuk mata uang rupiah atau suku bunga acuan lainnya seperti London Interbank Offered Rate (LIBOR) untuk valuta asing. - 20 - Ayat (6) Yang dimaksud dengan “hari kerja” adalah hari kerja Bank Indonesia atau LPP yang ditunjuk oleh Bank Indonesia. Ayat (7) Cukup jelas. Pasal 31 Cukup jelas. Pasal 32 Dukungan dalam pembentukan harga secara transparan dan kredibel antara lain melalui pelaporan transaksi Surat Berharga Komersial. Pasal 33 Ayat (1) Pemenuhan prinsip kehati-hatian dan penerapan manajemen risiko oleh Penerbit Surat Berharga Komersial dimulai sejak persiapan penerbitan, penerbitan, dan pascapenerbitan sampai dengan pelunasan kewajiban Penerbit Surat Berharga Komersial. Pemenuhan prinsip kehatian-hatian dan penerapan manajemen risiko bertujuan untuk memastikan bahwa Penerbit Surat Berharga Komersial dapat memenuhi kewajiban Penerbit Surat Berharga Komersial terutama terkait pembayaran Surat Berharga Komersial. Ayat (2) Huruf a Pemenuhan prinsip transparansi dan keterbukaan informasi antara lain dilakukan melalui pengungkapan informasi kondisi korporasi baik pada saat penerbitan maupun pascapenerbitan. Pemenuhan prinsip transparansi dan keterbukaan informasi antara lain dilakukan untuk melindungi kepentingan konsumen yang dalam hal ini merupakan investor Surat Berharga Komersial. - 21 - Huruf b Prinsip perlindungan konsumen oleh Penerbit Surat Berharga Komersial dilakukan melalui penerapan tata kelola yang baik dalam proses persiapan penerbitan, penerbitan, dan pelunasan. Huruf c Mekanisme penyelesaian sengketa perlu ditegaskan dan disepakati di awal antara lain melalui pengungkapan di dalam memorandum informasi dan/atau dokumen lainnya. Ayat (3) Manajemen risiko yang dilakukan oleh Penerbit Surat Berharga Komersial antara lain terhadap risiko kredit yang berpotensi menyebabkan tidak terbayarnya Surat Berharga Komersial dan risiko usaha yang berpotensi mengganggu kelangsungan usaha dari Penerbit Surat Berharga Komersial sehingga mempengaruhi kemampuan Penerbit Surat Berharga Komersial dalam melakukan pembayaran Surat Berharga Komersial. Prinsip manajemen risiko oleh Penerbit Surat Berharga Komersial yang paling sedikit mencakup identifikasi risiko dan upaya mitigasi risiko merupakan salah satu aspek keterbukaan informasi dalam penerbitan Surat Berharga Komersial. Dalam menyusun prinsip manajemen risiko, Penerbit Surat Berharga Komersial dapat mengacu pada ketentuan yang diterbitkan oleh otoritas terkait. Pasal 34 Ayat (1) Penerapan prinsip kehatian-hatian oleh Lembaga Pendukung Penerbitan Surat Berharga Komersial dilakukan mulai dari proses persiapan penerbitan, penawaran, distribusi penerbitan, dan kegiatan pascapenerbitan seperti pelaporan. Penerapan prinsip kehatian-hatian dan manajemen risiko oleh Lembaga Pendukung Penerbitan Surat Berharga Komersial bertujuan untuk mendorong terbentuknya pasar Surat Berharga Komersial yang kredibel dimulai dari penerapan akuntabilitas dan tata kelola yang baik dalam penyiapan penerbitan, - 22 - penawaran, distribusi Surat Berharga Komersial, penanganan pascapenerbitan. Ayat (2) Huruf a Pemenuhan prinsip transparansi dan keterbukaan informasi antara lain dilakukan melalui pengungkapan informasi Lembaga Pendukung Penerbitan Surat Berharga Komersial pada saat memberikan jasa menatalaksanakan penerbitan suatu Surat Berharga Komersial. Pengungkapan informasi tersebut antara lain dilakukan melalui pengungkapan informasi mengenai hubungan afiliasi dengan penerbit Surat Berharga Komersial maupun pihak lain yang terlibat dalam penerbitan Surat Berharga Komersial. Huruf b Penerapan prinsip perlindungan konsumen dilakukan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dan ketentuan lainnya yang terkait dengan perlindungan konsumen. Upaya perlindungan konsumen oleh Lembaga Pendukung Penerbitan Surat Berharga Komersial antara lain dilakukan melalui penyampaian informasi yang transparan, objektif dan independen, penerapan tata kelola yang baik selama membantu Penerbit Surat Berharga Komersial saat mempersiapkan penerbitan maupun melakukan penawaran kepada calon investor, dan penerapan tata kelola yang baik dalam melakukan distribusi Surat Berharga Komersial di pasar perdana. Huruf c Mekanisme penyelesaian sengketa perlu ditegaskan dan disepakati di awal antara lain antara Lembaga Pendukung Penerbitan Surat Berharga Komersial dan Penerbit Surat Berharga Komersial. Ayat (3) Prinsip manajemen risiko oleh Lembaga Pendukung Penerbitan Surat Berharga Komersial yang paling sedikit mencakup identifikasi risiko dan upaya mitigasi risiko merupakan salah - 23 - satu aspek persyaratan permohonan pendaftaran untuk melaksanakan kegiatan sebagai Lembaga Pendukung Penerbitan Surat Berharga Komersial kepada Bank Indonesia. Pasal 35 Ayat (1) Penerapan prinsip kehati-hatian dan manajemen risiko oleh Pelaku Transaksi Surat Berharga Komersial yang berperan dalam perdagangan Surat Berharga Komersial dan Lembaga Pendukung Transaksi Surat Berharga Komersial dilakukan dalam setiap aspek transaksi atau perdagangan mulai dari pratransaksi, transaksi, dan pascatransaksi. Penerapan prinsip kehatian-hatian oleh Pelaku Transaksi Surat Berharga Komersial yang berperan dalam perdagangan Surat Berharga Komersial dan Lembaga Pendukung Transaksi Surat Berharga Komersial bertujuan untuk mendorong terciptanya perdagangan Surat Berharga Komersial yang kredibel. Ayat (2) Huruf a Pemenuhan etika bertransaksi dan kode etik pasar (market code of conduct) atau pedoman sejenis dapat menggunakan kode etik pasar yang tersedia seperti kode etik pasar yang diterbitkan oleh Indonesia Foreign Exchange Market Committee (IFEMC) dan Association Cambiste Internationale (ACI) atau The Financial Markets Association. Huruf b Pemenuhan prinsip transparansi dan keterbukaan informasi antara lain dilakukan pada saat penyampaian kuotasi kepada calon investor Surat Berharga Komersial dengan didasarkan pada pedoman internal maupun kode etik pasar yang secara umum digunakan oleh Pelaku Transaksi Surat Berharga Komersial yang berperan dalam perdagangan Surat Berharga Komersial dan Lembaga Pendukung Transaksi Surat Berharga Komersial. Huruf c Upaya perlindungan konsumen Surat Berharga Komersial oleh Pelaku Transaksi Surat Berharga Komersial yang - 24 - berperan dalam perdagangan Surat Berharga Komersial dan Lembaga Pendukung Transaksi Surat Berharga Komersial antara lain dilakukan melalui penyusunan dan penerapan standar layanan transaksi sesuai dengan praktik terbaik, penerapan tata kelola yang baik dalam melakukan perdagangan Surat Berharga Komersial, dan pemberian jasa perantara sesuai dengan kode etik serta ketentuan lainnya terkait dengan perlindungan konsumen. Huruf d Mekanisme penyelesaian sengketa perlu ditegaskan dan disepakati di awal antara lain dalam perjanjian atau dokumen lain antara Lembaga Pendukung Transaksi Surat Berharga Komersial dan konsumen yang dalam hal ini merupakan investor Surat Berharga Komersial. Ayat (3) Manajemen risiko yang dilakukan oleh Pelaku Transaksi Surat Berharga Komersial yang berperan dalam perdagangan Surat Berharga Komersial dan Lembaga Pendukung Transaksi Surat Berharga Komersial antara lain manajemen risiko dalam perdagangan dan perantara perdagangan Surat Berharga Komersial. Prinsip manajemen risiko oleh Lembaga Pendukung Transaksi Surat Berharga Komersial yang paling sedikit mencakup identifikasi risiko dan upaya mitigasi risiko, merupakan salah satu aspek persyaratan permohonan pendaftaran untuk melaksanakan kegiatan sebagai Lembaga Pendukung Transaksi Surat Berharga Komersial kepada Bank Indonesia. Dalam menyusun prinsip manajemen risiko, Pelaku Transaksi Surat Berharga Komersial yang berperan dalam perdagangan Surat Berharga Komersial dapat mengacu pada ketentuan yang diterbitkan oleh otoritas terkait. Ayat (4) Basis investor Surat Berharga Komersial yaitu investor profesional (qualified investor). Pengaturan basis investor Surat Berharga Komersial ini dilakukan dengan penerapan batasan minimum pembelian Surat Berharga Komersial di pasar perdana dan pasar sekunder. Investor profesional diharapkan memiliki - 25 - kemampuan untuk menilai risiko dalam melakukan investasi di Surat Berharga Komersial dengan penerapan prinsip kehati- hatian antara lain melalui pemahaman terhadap memorandum informasi. Pasal 36 Ayat (1) Penerapan prinsip kehatian-hatian oleh Lembaga Pendukung Penatausahaan dan Penyelesaian Transaksi Surat Berharga Komersial dilakukan mulai dari penerimaan nasabah Surat Berharga Komersial, pengadministrasian rekening nasabah Surat Berharga Komersial, penyelesaian transaksi Surat Berharga Komersial, penatausahaan Surat Berharga Komersial, penyampaian laporan kepada nasabah Surat Berharga Komersial, dan pemberian jasa penatausahaan (kustodian) lainnya. Penerapan prinsip kehatian-hatian bertujuan untuk memastikan perlindungan bagi konsumen yang dalam hal ini merupakan investor Surat Berharga Komersial dari potensi kerugian yang disebabkan oleh risiko operasional dalam kegiatan penatausahaan Surat Berharga Komersial dan penyelesaian transaksi Surat Berharga Komersial. Ayat (2) Huruf a Pemenuhan prinsip transparansi dan keterbukaan informasi antara lain dilakukan melalui pengungkapan informasi oleh Lembaga Pendukung Penatausahaan dan Penyelesaian Transaksi Surat Berharga Komersial dengan memberikan kemudahan akses bagi konsumen yang dalam hal ini merupakan investor Surat Berharga Komersial untuk memperoleh informasi mengenai penatausahaan dan penyelesaian transaksi Surat Berharga Komersial. Huruf b Upaya perlindungan konsumen yang dalam hal ini merupakan investor Surat Berharga Komersial oleh Lembaga Pendukung Penatausahaan dan Penyelesaian Transaksi Surat Berharga Komersial antara lain dilakukan - 26 - melalui penerapan tata kelola yang baik dalam melakukan pendaftaran nasabah Surat Berharga Komersial, penyelesaian transaksi Surat Berharga Komersial, distribusi Surat Berharga Komersial di pasar perdana, dan penatausahaan Surat Berharga Komersial. Huruf c Mekanisme penyelesaian sengketa perlu ditegaskan dan disepakati di awal antara lain dalam perjanjian atau dokumen lain antara Lembaga Pendukung Penatausahaan dan Penyelesaian Transaksi Surat Berharga Komersial dan konsumen yang dalam hal ini merupakan investor Surat Berharga Komersial. Ayat (3) Manajemen risiko yang dilakukan oleh Lembaga Pendukung Penatausahaan dan Penyelesaian Transaksi Surat Berharga Komersial dilakukan antara lain terhadap risiko dalam pelaksanaan penatausahaan dan penyelesaian transaksi Surat Berharga Komersial. Prinsip manajemen risiko oleh Lembaga Pendukung Penatausahaan dan Penyelesaian Transaksi Surat Berharga Komersial yang paling sedikit mencakup identifikasi risiko dan upaya mitigasi risiko merupakan salah satu aspek persyaratan permohonan pendaftaran untuk melaksanakan kegiatan sebagai Lembaga Pendukung Penatausahaan dan Penyelesaian Transaksi Surat Berharga Komersial kepada Bank Indonesia. Pasal 37 Ayat (1) Pengawasan terhadap penerbitan dan transaksi Surat Berharga Komersial mencakup penerbitan Surat Berharga Komersial, transaksi Surat Berharga Komersial sampai dengan penyelesaiannya, dan penatausahaan Surat Berharga Komersial sampai dengan pelunasan, termasuk aspek keterbukaan informasi. Ayat (2) Cukup jelas. - 27 - Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Ayat (8) Cukup jelas. Pasal 38 Cukup jelas. Pasal 39 Yang dimaksud dengan “perubahan informasi maupun fakta material yang signifikan” antara lain informasi maupun fakta material yang terkait dengan perubahan dalam kegiatan usaha, perubahan status korporasi, perubahan manajemen inti korporasi, perkara hukum yang dialami oleh korporasi maupun manajemen inti korporasi, hasil pengawasan khusus dari regulator yang mengakibatkan adanya status pengawasan khusus yang dikenakan oleh regulator terkait, dan transaksi material yang memiliki nilai paling sedikit 40 % (empat puluh persen) dari ekuitas. Yang dimaksud dengan “segera setelah terjadi perubahan” adalah tidak menunggu sampai dengan jadwal pelaporan berkala. Pasal 40 Penyampaian informasi tambahan atas laporan dapat disampaikan di luar dari jadwal pelaporan berkala. Pasal 41 Cukup jelas. - 28 - Pasal 42 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Laporan yang terkait dengan aspek kemampuan Lembaga Pendukung Penerbitan Surat Berharga Komersial dalam menjalankan fungsinya antara lain berupa laporan peningkatan kompetensi. Pasal 43 Ayat (1) Perubahan data pendukung terkait aspek kelembagaan dan aspek kemampuan dalam menjalankan fungsi dari Lembaga Pendukung Penerbitan Surat Berharga Komersial, meliputi : a. perubahan informasi kelembagaan; b. perubahan izin usaha, izin profesi, atau keanggotaan pada suatu lembaga profesi; c. perubahan pedoman internal; dan/atau d. perubahan lainnya. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “insidental” adalah penyampaian laporan perubahan data pendukung dilakukan sewaktu-sewaktu segera setelah terjadinya perubahan. Pasal 44 Cukup jelas. Pasal 45 Cukup jelas. Pasal 46 Ayat (1) Perubahan data pendukung terkait aspek kelembagaan dan aspek kemampuan dalam menjalankan fungsi dari Lembaga Pendukung Transaksi Surat Berharga Komersial, meliputi: a. perubahan informasi kelembagaan; b. perubahan izin usaha; - 29 - c. perubahan pedoman internal; dan/atau d. perubahan lainnya. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “insidental” adalah penyampaian laporan perubahan data pendukung dilakukan sewaktu-sewaktu segera setelah terjadinya perubahan. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 47 Ayat (1) Perubahan data pendukung terkait aspek kelembagaan dan aspek kemampuan dalam menjalankan fungsi dari Lembaga Pendukung Penatausahaan dan Penyelesaian Transaksi Surat Berharga Komersial, meliputi: a. perubahan informasi kelembagaan; b. perubahan izin usaha; c. perubahan pedoman internal; dan/atau d. perubahan lainnya. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “insidental” adalah penyampaian laporan perubahan data pendukung dilakukan sewaktu-sewaktu segera setelah terjadinya perubahan. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 48 Cukup jelas. - 30 - Pasal 49 Ayat (1) Laporan paling sedikit meliputi: a. pencatatan data Surat Berharga Komersial; b. kepemilikan Surat Berharga Komersial; dan c. penyelesaian transaksi Surat Berharga Komersial. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 50 Cukup jelas. Pasal 51 Cukup jelas. Pasal 52 Cukup jelas. Pasal 53 Cukup jelas. Pasal 54 Cukup jelas. Pasal 55 Cukup jelas. Pasal 56 Sanksi tidak dapat menerbitkan Surat Berharga Komersial berlaku untuk penerbitan Surat Berharga Komersial secara tunggal atau individual maupun penerbitan Surat Berharga Komersial secara berkelanjutan. - 31 - Pasal 57 Yang dimaksud dengan “berdampak signifikan dan/atau menimbulkan kerugian” antara lain: a. menyembunyikan informasi yang sangat signifikan mempengaruhi keputusan investasi Surat Berharga Komersial oleh investor dan/atau calon investor atau keputusan membayar oleh Penerbit Surat Berharga Komersial seperti informasi terkait perkara pengadilan yang sedang dihadapi; dan b. menyembunyikan informasi yang memiliki dampak secara langsung terhadap kemampuan Penerbit Surat Berharga Komersial dalam membayar Surat Berharga Komersial yang diterbitkan seperti kontrak kerja fiktif yang memalsukan adanya unsur pendapatan yang signifikan bagi Penerbit Surat Berharga Komersial. Pasal 58 Cukup jelas. Pasal 59 Yang dimaksud dengan “berdampak signifikan dan/atau menimbulkan kerugian” antara lain: a. menyembunyikan informasi terkait Penerbit Surat Berharga Komersial yang sangat signifikan mempengaruhi keputusan investasi Surat Berharga Komersial oleh investor dan/atau calon investor atau keputusan membayar oleh Penerbit Surat Berharga Komersial seperti informasi terkait perkara pengadilan yang sedang dihadapi; dan b. menyembunyikan informasi terkait Penerbit Surat Berharga Komersial yang memiliki dampak secara langsung terhadap kemampuan Penerbit Surat Berharga Komersial dalam membayar Surat Berharga Komersial yang diterbitkan seperti kontrak kerja fiktif yang memalsukan adanya unsur pendapatan yang signifikan bagi Penerbit Surat Berharga Komersial. Pasal 60 Cukup jelas. - 32 - Pasal 61 Cukup jelas. Pasal 62 Cukup jelas. Pasal 63 Cukup jelas. Pasal 64 Bank Indonesia dapat menyampaikan informasi mengenai pengenaan sanksi dalam hal diperlukan. Otoritas terkait dan/atau lembaga profesi terkait, antara lain: a. Otoritas Jasa Keuangan, dalam hal sanksi dikenakan kepada lembaga/pihak yang berada dibawah pengawasan Otoritas Jasa Keuangan termasuk didalamnya emiten; b. Kementerian Badan Usaha Milik Negara, dalam hal sanksi dikenakan kepada korporasi Badan Usaha Milik Negara; c. Bursa Efek Indonesia, dalam sanksi dikenakan kepada korporasi publik yang tercatat di Bursa Efek Indonesia; d. instansi atau otoritas lain yang berwenang sesuai dengan relevansi kegiatan dan pelanggaran; e. asosiasi yang menaungi pihak yang melakukan pelanggaran; dan f. lembaga lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Pasal 65 Cukup jelas. Pasal 66 Cukup jelas. Pasal 67 Cukup jelas. Pasal 68 Cukup jelas. - 33 - Pasal 69 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6100
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 19/9/PBI/2017 </reg_id> <reg_title> PENERBITAN DAN TRANSAKSI SURAT BERHARGA KOMERSIAL DI PASAR UANG </reg_title> <set_date> 19 Juli 2017 </set_date> <effective_date> 4 September 2017 </effective_date> <issued_date> 20 Juli 2017 </issued_date> <replaced_reg> '28/52/KEP/DIR|SKDIR-BI/1995' </replaced_reg> <related_reg> '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008' </related_reg> <penalty_list> 'BAB XVI' </penalty_list>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 17/1/PBI/2015 TENTANG JUMLAH DAN NILAI NOMINAL UANG RUPIAH YANG DIMUSNAHKAN TAHUN 2014 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa salah satu tugas Bank Indonesia adalah melakukan pemusnahan terhadap uang Rupiah yang ditarik dari peredaran; b. bahwa jumlah dan nilai nominal uang Rupiah yang ditarik dari peredaran yang dimusnahkan oleh Bank Indonesia ditempatkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia secara periodik setiap 1 (satu) tahun sekali; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Bank Indonesia tentang Jumlah dan Nilai Nominal Uang Rupiah yang Dimusnahkan Tahun 2014; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia . . . Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962); 2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5223); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG JUMLAH DAN NILAI NOMINAL UANG RUPIAH YANG DIMUSNAHKAN TAHUN 2014. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan: 1. Uang Rupiah adalah Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang. 2. Uang Rupiah Tidak Layak Edar adalah Uang Rupiah yang terdiri atas Uang Rupiah lusuh, Uang Rupiah cacat, dan Uang Rupiah rusak. 3. Pemusnahan adalah suatu rangkaian kegiatan meracik, melebur, atau cara lain memusnahkan Uang Rupiah sehingga tidak menyerupai Uang Rupiah. BAB II PEMUSNAHAN UANG RUPIAH Pasal 2 (1) Bank Indonesia melaksanakan Pemusnahan terhadap: a. Uang Rupiah Tidak Layak Edar; b. Uang Rupiah yang masih layak edar yang dengan pertimbangan tertentu tidak lagi mempunyai manfaat ekonomis dan/atau kurang diminati . . . diminati oleh masyarakat; dan/atau c. Uang Rupiah yang sudah tidak berlaku yaitu Uang Rupiah yang dicabut dan ditarik dari peredaran. (2) Pemusnahan Uang Rupiah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam suatu berita acara. Pasal 3 Pemusnahan Uang Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dilakukan dengan cara sebagai berikut: a. Uang Rupiah kertas diracik dengan menggunakan mesin yang memiliki fungsi untuk meracik Uang Rupiah kertas atau dengan cara lain sehingga tidak menyerupai Uang Rupiah kertas; b. Uang Rupiah logam dilebur atau dengan cara lain sehingga tidak menyerupai Uang Rupiah logam. BAB III PENEMPATAN JUMLAH DAN NILAI NOMINAL UANG RUPIAH YANG DIMUSNAHKAN DALAM LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Pasal 4 (1) Jumlah dan nilai nominal Uang Rupiah yang dimusnahkan oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) ditempatkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia secara periodik setiap 1 (satu) tahun sekali. (2) Informasi jumlah dan nilai nominal Uang Rupiah yang dimusnahkan oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi jenis pecahan, jumlah bilyet atau keping, dan nilai nominal. (3) Informasi jumlah dan nilai nominal Uang Rupiah yang dimusnahkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk periode tanggal 1 Januari 2014 sampai dengan 31 Desember 2014 tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Bank Indonesia ini. BAB IV . . . BAB IV KETENTUAN PENUTUP Pasal 5 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 30 Januari 2015 GUBERNUR BANK INDONESIA, AGUS D.W. MARTOWARDOJO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 30 Januari 2015 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2015 NOMOR 22 DPU
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 17/1/PBI/2015 </reg_id> <reg_title> JUMLAH DAN NILAI NOMINAL UANG RUPIAH YANG DIMUSNAHKAN TAHUN 2014 </reg_title> <set_date> 30 Januari 2015 </set_date> <effective_date> 30 Januari 2015 </effective_date> <issued_date> 30 Januari 2015 </issued_date> <related_reg> '7/UU/2011', '2/PERPPU/2008', '6/UU/2009', '23/UU/1999' </related_reg>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 15/4/PBI/2013 TENTANG LAPORAN STABILITAS MONETER DAN SISTEM KEUANGAN BULANAN BANK UMUM SYARIAH DAN UNIT USAHA SYARIAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa dalam rangka penyusunan laporan dan informasi guna mendukung pengambilan kebijakan di bidang moneter, sistem pembayaran, dan pengawasan perbankan, diperlukan informasi mengenai kondisi keuangan dan kegiatan usaha bank, baik secara individual maupun secara konsolidasi dengan perusahaan anak, termasuk kegiatan usaha bank dan perusahaan anak yang dilakukan di luar negeri; b. bahwa dalam rangka penyediaan informasi diperlu- kan sistem pelaporan yang terintegrasi yang implementasinya dilakukan secara bertahap dimulai dari penyampaian laporan stabilitas moneter dan sistem keuangan bulanan Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu untuk mengatur kembali Peraturan Bank Indonesia tentang Laporan Bulanan Bank Umum Syariah; Mengingat … - 2 - Mengingat: 1. Undang–Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang–Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); 2. Undang–Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962); 3. Undang–Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3844); 4. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867); MEMUTUSKAN … - 3 - MEMUTUSKAN: Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG LAPORAN STABILITAS MONETER DAN SISTEM KEUANGAN BULANAN BANK UMUM SYARIAH DAN UNIT USAHA SYARIAH. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini, yang dimaksud dengan: 1. Bank adalah Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. 2. Perusahaan Anak adalah badan hukum yang dimiliki atau dikendalikan oleh Bank, baik secara langsung maupun tidak langsung, yang terdiri atas: a. perusahaan subsidiari (subsidiary company) yaitu perusahaan anak dengan kepemilikan Bank lebih dari 50% (lima puluh persen); b. perusahaan partisipasi (participation company) adalah perusahaan anak dengan kepemilikan Bank 50% (lima puluh persen) atau kurang, namun Bank memiliki pengendalian terhadap perusahaan; c. perusahaan dengan kepemilikan Bank lebih dari 20% (dua puluh persen) sampai dengan 50% (lima puluh persen) yang memenuhi persyaratan yaitu: 1) kepemilikan Bank dan para pihak lainnya pada perusahaan anak adalah masing-masing sama besar; dan 2) masing-masing pemilik melakukan pengendalian secara bersama terhadap perusahaan anak; dan/atau d. entitas … - 4 - d. entitas lain yang berdasarkan standar akuntansi keuangan yang berlaku wajib dikonsolidasikan, namun tidak termasuk perusahaan asuransi dan perusahaan yang dimiliki dalam rangka restrukturisasi kredit. 3. Kantor Wilayah Bank adalah kantor Bank yang membantu kantor pusatnya melakukan fungsi administrasi dan koordinasi terhadap beberapa kantor cabang di suatu wilayah tertentu, baik yang melakukan kegiatan operasional maupun tidak melakukan kegiatan operasional. 4. Kantor Cabang adalah kantor cabang dari Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah, baik yang melakukan kegiatan operasional di Indonesia maupun di luar Indonesia, termasuk Kantor Wilayah Bank yang melakukan kegiatan operasional. 5. Bank Pelapor adalah kantor Bank yang meliputi kantor pusat Bank dan Kantor Cabang. 6. Laporan Stabilitas Moneter dan Sistem Keuangan Bulanan Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah, yang selanjutnya disebut Laporan adalah informasi yang disusun dan disampaikan oleh Bank Pelapor kepada Bank Indonesia secara terintegrasi dalam format dan definisi yang seragam sesuai dengan kamus data yang ditetapkan oleh Bank Indonesia guna mendukung pengambilan kebijakan di bidang moneter, sistem pembayaran, dan pengawasan perbankan. 7. Laporan Per Kantor adalah Laporan dari Unit Usaha Syariah dan kantor pusat Bank Umum Syariah yang melakukan kegiatan operasional dan Kantor Cabang, termasuk kantor-kantor bank yang berada di bawah koordinasi Kantor Cabang. 8. Laporan Gabungan adalah Laporan per Bank dari kantor pusat Bank Umum Syariah yang menggabungkan laporan dari seluruh kantornya atau dari Unit Usaha Syariah yang menggabungkan laporan dari seluruh kantornya. 9. Laporan Perusahaan Anak adalah Laporan dari kantor pusat Perusahaan Anak yang tidak berbentuk bank, dan seluruh kantor cabang … 10. Laporan … - 5 - cabang Perusahaan Anak baik yang melakukan kegiatan operasional di Indonesia maupun di luar Indonesia. 10. Laporan Konsolidasi adalah Laporan yang merupakan konsolidasi dari Laporan Gabungan Bank Umum Syariah dan laporan Perusahaan Anak termasuk Perusahaan Anak yang berbentuk bank. 11. Penyampaian Laporan Secara Online, yang selanjutnya disebut Online, adalah penyampaian Laporan secara langsung melalui jaringan komunikasi data ke Bank Indonesia. 12. Penyampaian Laporan Secara Offline, yang selanjutnya disebut Offline, adalah penyampaian rekaman Laporan dalam media perekaman data elektronik disertai hasil cetak komputer (hardcopy) kepada Bank Indonesia. 13. Hari Kerja adalah hari kerja Bank Indonesia yang mewilayahi Bank Pelapor. BAB II KEWAJIBAN DAN TANGGUNG JAWAB BANK PELAPOR Pasal 2 (1) Bank Pelapor wajib menyusun dan menyampaikan Laporan kepada Bank Indonesia secara benar, lengkap, dan tepat waktu. (2) Bank Pelapor bertanggung jawab atas kebenaran dan kelengkapan Laporan serta ketepatan waktu penyampaian Laporan kepada Bank Indonesia. Pasal 3 Bank Pelapor wajib memiliki sistem dan prosedur konversi yang dituangkan dalam suatu pedoman tertulis yang mengatur penyesuaian penyajian data dari format pembukuan intern Bank Pelapor menjadi format Laporan. Pasal 4 … - 6 - Pasal 4 (1) Bank Pelapor wajib menunjuk petugas dan/atau penanggung jawab untuk menyusun, memverifikasi, dan menyampaikan Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) kepada Bank Indonesia. (2) Petugas dan/atau penanggung jawab yang ditunjuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib dilaporkan kepada Bank Indonesia. (3) Penunjukan petugas dan/atau penanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mengurangi dan/atau menghilangkan tanggung jawab Direksi Bank dan/atau pimpinan Kantor Cabang. (4) Dalam hal terjadi perubahan petugas dan/atau penanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Pelapor wajib melaporkan perubahan tersebut kepada Bank Indonesia. BAB III PENYUSUNAN DAN PENYAMPAIAN LAPORAN DAN KOREKSI LAPORAN Pasal 5 (1) Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) terdiri atas 4 (empat) cakupan Laporan yaitu: a. Laporan Per Kantor; b. Laporan Gabungan; c. Laporan Perusahaan Anak; dan d. Laporan Konsolidasi. (2) Ketentuan mengenai pedoman penyusunan Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 6 (1) Laporan Per Kantor wajib disusun dan disampaikan oleh Unit Usaha Syariah, kantor pusat Bank Umum Syariah yang melakukan kegiatan operasional dan Kantor Cabang. (2) Dalam … - 7 - (2) Dalam hal Unit Usaha Syariah, kantor pusat Bank Umum Syariah, atau Kantor Wilayah Bank tidak melakukan kegiatan operasional, maka laporan Unit Usaha Syariah, kantor pusat Bank Umum Syariah, atau Kantor Wilayah Bank yang tidak melakukan kegiatan operasional digabungkan dengan Laporan Per Kantor dari Kantor Cabang yang ditunjuk. (3) Dalam hal Bank Pelapor telah mampu menyusun dan menyampaikan Laporan Per Kantor dari seluruh atau sebagian Kantor Cabang secara terpusat atau sentralisasi, Laporan Per Kantor dapat disusun dan disampaikan oleh Unit Usaha Syariah, kantor pusat Bank Umum Syariah atau Kantor Cabang yang ditunjuk sebagai koordinator. (4) Laporan Per Kantor yang disampaikan secara terpusat atau sentralisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus bisa diidentifikasi untuk masing-masing kantor. (5) Bank Pelapor yang telah mampu menyusun Laporan Per Kantor secara terpusat atau sentralisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat menyampaikan Laporan kepada Bank Indonesia dengan terlebih dahulu menyampaikan pemberitahuan secara tertulis kepada Departemen Pengelolaan dan Kepatuhan Laporan c.q. Divisi Pengelolaan dan Pengawasan 1. Pasal 7 Laporan Gabungan wajib disusun dan disampaikan oleh Unit Usaha Syariah dan kantor pusat Bank Umum Syariah yang memiliki Kantor Cabang. Pasal 8 Laporan Perusahaan Anak wajib disampaikan oleh kantor pusat Bank Umum Syariah. Pasal 9 … - 8 - Pasal 9 Laporan Konsolidasi wajib disusun dan disampaikan oleh kantor pusat Bank Umum Syariah. Pasal 10 (1) Bank Pelapor wajib menyampaikan koreksi atas kesalahan Laporan yang telah disampaikan kepada Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8 dan Pasal 9. (2) Dalam hal terdapat koreksi Laporan Per Kantor dan/atau koreksi Laporan Perusahaan Anak yang berdampak pada Laporan Gabungan dan/atau Laporan Konsolidasi maka Bank Pelapor wajib menyampaikan koreksi Laporan Gabungan dan/atau Laporan Konsolidasi. BAB IV PERIODE PENYAMPAIAN LAPORAN DAN KOREKSI LAPORAN Pasal 11 (1) Bank Pelapor wajib menyampaikan Laporan Per Kantor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dan/atau koreksi Laporan Per Kantor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) kepada Bank Indonesia secara bulanan paling lambat tanggal 5 (lima) pada bulan berikutnya setelah berakhirnya bulan Laporan yang bersangkutan. (2) Bank Pelapor wajib menyampaikan Laporan Gabungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dan/atau koreksi Laporan Gabungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) kepada Bank Indonesia secara bulanan paling lambat tanggal 10 (sepuluh) pada bulan berikutnya setelah berakhirnya bulan Laporan yang bersangkutan. (3) Bank … - 9 - (3) Bank Pelapor wajib menyampaikan Laporan Perusahaan Anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dan/atau koreksi Laporan Perusahaan Anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) kepada Bank Indonesia secara triwulanan untuk posisi akhir bulan Maret, bulan Juni, bulan September, dan bulan Desember masing-masing paling lambat pada tanggal 23 (dua puluh tiga) bulan April, bulan Juli, bulan Oktober, dan bulan Januari. (4) Bank Pelapor wajib menyampaikan Laporan Konsolidasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dan/atau koreksi Laporan Konsolidasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) kepada Bank Indonesia secara triwulanan untuk posisi akhir bulan Maret, bulan Juni, bulan September, dan bulan Desember masing-masing paling lambat pada tanggal 23 (dua puluh tiga) bulan April, bulan Juli, bulan Oktober, dan bulan Januari. Pasal 12 Bank Pelapor dinyatakan terlambat menyampaikan Laporan dan/atau koreksi Laporan apabila: a. menyampaikan Laporan Per Kantor dan/atau koreksi Laporan Per Kantor melampaui batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1), sampai dengan tanggal 7 (tujuh) pada bulan berikutnya setelah berakhirnya bulan Laporan yang bersangkutan; b. menyampaikan Laporan Gabungan dan/atau koreksi Laporan Gabungan melampaui batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2), sampai dengan tanggal 12 (dua belas) pada bulan berikutnya setelah berakhirnya bulan Laporan yang bersangkutan; c. menyampaikan Laporan Perusahaan Anak dan/atau koreksi Laporan Perusahaan Anak melampaui batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (3), untuk posisi akhir bulan Maret, bulan Juni, bulan September, dan bulan Desember, masing- masing sampai dengan tanggal 25 (dua puluh lima) bulan April, bulan Juli, bulan Oktober, dan bulan Januari; d. menyampaikan … - 10 - d. menyampaikan Laporan Konsolidasi dan/atau koreksi Laporan Konsolidasi melampaui batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (4), untuk posisi akhir bulan Maret, bulan Juni, bulan September, dan bulan Desember, masing-masing sampai dengan tanggal 25 (dua puluh lima) bulan April, bulan Juli, bulan Oktober, dan bulan Januari. Pasal 13 Bank Pelapor dinyatakan tidak menyampaikan Laporan dan/atau koreksi Laporan, apabila Bank Indonesia belum menerima Laporan dan/atau koreksi Laporan sampai dengan batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12. BAB V PROSEDUR PENYAMPAIAN LAPORAN DAN KOREKSI LAPORAN Pasal 14 (1) Bank Pelapor wajib menyampaikan Laporan dan/atau koreksi Laporan secara Online. (2) Penyampaian Laporan dan/atau koreksi Laporan secara Online sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sampai dengan batas waktu penyampaian Laporan dan/atau koreksi Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dan/atau Pasal 12. (3) Dalam hal penyampaian Laporan dan/atau koreksi Laporan melampaui batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, penyampaian Laporan dan/atau koreksi Laporan dilakukan secara Offline. (4) Bank Pelapor yang dinyatakan tidak menyampaikan Laporan dan/atau koreksi Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 tetap wajib menyampaikan Laporan kepada Bank Indonesia secara Offline disertai hasil cetak komputer (hardcopy). Pasal 15 … - 11 - Pasal 15 (1) Laporan dan/atau koreksi Laporan secara Online dapat disampaikan pada hari Sabtu, hari Minggu, hari libur nasional atau cuti bersama yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. (2) Dalam hal tanggal berakhirnya penyampaian Laporan dan/atau koreksi Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jatuh pada hari libur nasional dan/atau hari cuti bersama yang ditetapkan oleh Bank Indonesia sehubungan dengan perayaan hari raya keagamaan, maka Laporan dan/atau koreksi Laporan disampaikan paling lambat pada Hari Kerja berikutnya, kecuali ditetapkan lain oleh Bank Indonesia. Pasal 16 (1) Kewajiban penyampaian Laporan dan/atau koreksi Laporan secara Online sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) dan ayat (2) dikecualikan terhadap: a. Bank Pelapor yang berkedudukan di daerah yang belum tersedia fasilitas komunikasi, sehingga tidak memungkinkan untuk menyampaikan Laporan secara Online; b. Bank Pelapor yang baru dibuka dengan batas waktu paling lama 2 (dua) bulan setelah melakukan kegiatan operasional; c. Bank Pelapor yang mengalami gangguan teknis dalam menyampaikan Laporan dan/atau koreksi Laporan; atau d. Bank Pelapor yang tidak dapat menyampaikan Laporan dan/atau koreksi Laporan yang disebabkan karena gangguan teknis dan/atau gangguan lainnya pada sistem atau jaringan telekomunikasi di Bank Indonesia. (2) Dalam hal Bank Pelapor mengalami gangguan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, Bank Pelapor harus menyampaikan pemberitahuan tertulis kepada Bank Indonesia, dengan disertai bukti dan penjelasan mengenai gangguan teknis yang dimaksud bersamaan dengan penyampaian Laporan dan/atau koreksi Laporan secara Offline. (3) Dalam … - 12 - (3) Dalam hal Bank Indonesia mengalami gangguan teknis dan/atau gangguan lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, Bank Indonesia akan memberitahukan kepada Bank Pelapor mengenai terjadinya gangguan tersebut secara tertulis atau dengan menggunakan sarana lain. Pasal 17 (1) Bank Pelapor yang tidak dapat menyampaikan Laporan dan/atau koreksi Laporan secara Online sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16, wajib menyampaikan Laporan dan/atau koreksi Laporan secara Offline disertai hasil cetak komputer (hardcopy) dan surat pemberitahuan. (2) Penyampaian Laporan dan/atau koreksi Laporan secara Offline sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disampaikan pada Hari Kerja, dengan batas waktu penyampaian Laporan dan/atau koreksi Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dan/atau Pasal 12. (3) Dalam hal batas akhir penyampaian Laporan dan/atau koreksi Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dan Pasal 12 bagi Bank Pelapor yang dikecualikan dari pelaporan secara Online sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf a dan huruf b, jatuh pada bukan Hari Kerja maka pelaporan secara Offline disampaikan paling lambat pada Hari Kerja berikutnya. (4) Dalam hal gangguan teknis di Bank Pelapor dan/atau Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf c dan huruf d terjadi pada batas akhir penyampaian Laporan dan/atau koreksi Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dan Pasal 12, Laporan dan/atau koreksi Laporan disampaikan paling lambat pada Hari Kerja berikutnya secara Offline. (5) Dalam hal Bank Indonesia belum menerima Laporan dan/atau koreksi Laporan dari Bank Pelapor sampai dengan batas akhir penyampaian Laporan dan/atau koreksi Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4), maka Bank Pelapor dianggap terlambat … - 13 - terlambat menyampaikan Laporan dan/atau koreksi Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 dan/atau tidak menyampaikan Laporan dan/atau koreksi Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13. Pasal 18 Dalam hal terjadi kerusakan pada Laporan dan/atau koreksi Laporan yang diterima karena adanya gangguan pada sistem database dan/atau jaringan komunikasi di Bank Indonesia maka Bank Indonesia dapat meminta Bank Pelapor untuk menyampaikan ulang Laporan dan/atau koreksi Laporan. Pasal 19 (1) Bank Pelapor dinyatakan telah menyampaikan Laporan dan/atau koreksi Laporan pada tanggal diterimanya Laporan dan/atau koreksi Laporan oleh Bank Indonesia yang tercantum pada tanda terima penyampaian Laporan. (2) Tanda terima penyampaian Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan apabila Laporan dan/atau koreksi Laporan dinyatakan lolos validasi oleh Bank Indonesia. Pasal 20 (1) Bank Pelapor yang melakukan kegiatan operasional di Indonesia, wajib menyampaikan: a. Laporan secara Online kepada Bank Indonesia. b. Laporan secara Offline sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (4) dan Pasal 17 kepada: 1. Departemen Pengelolaan dan Kepatuhan Laporan c.q Divisi Pengelolaan dan Pengawasan 1, Menara Sjafruddin Prawiranegara, Jl. M.H. Thamrin No.2, Jakarta 10350, bagi Bank Pelapor atau kantor Bank yang ditunjuk sebagai koordinator penyampaian Laporan sebagaimana dimaksud dalam … - 14 - dalam Pasal 6 ayat (3) yang berkedudukan di wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia; atau 2. Kantor Perwakilan Bank Indonesia setempat, bagi Bank Pelapor atau kantor Bank yang ditunjuk sebagai koordinator penyampaian Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3) yang berkedudukan di luar wilayah sebagaimana dimaksud dalam angka 1, pada jam kerja Bank Indonesia. (2) Bagi Bank Pelapor yang melakukan kegiatan operasional di luar Indonesia, Laporan wajib disusun dan disampaikan kepada Bank Indonesia oleh kantor pusat Bank Pelapor, sesuai dengan kedudukan kantor pusat Bank Pelapor sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal 21 (1) Bank Pelapor yang mengalami keadaan memaksa (force majeure) sehingga menyebabkan tidak tersedianya data selama satu periode Laporan, dikecualikan dari kewajiban menyampaikan Laporan dan/atau koreksi Laporan untuk periode Laporan tersebut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan/atau Pasal 10. (2) Bank Pelapor yang mengalami keadaan memaksa (force majeure) sehingga menyebabkan terhambatnya penyampaian Laporan dan/atau koreksi Laporan untuk satu periode Laporan, dikecualikan dari kewajiban menyampaikan Laporan dan/atau koreksi Laporan untuk periode Laporan tersebut dalam batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dan/atau Pasal 12. (3) Bank Pelapor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) wajib menyampaikan Laporan dan/atau koreksi Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan/atau Pasal 10 setelah Bank Pelapor kembali melakukan kegiatan operasional secara normal. (4) Bank … - 15 - (4) Bank Pelapor yang mengalami keadaan memaksa (force majeure) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau ayat (2), wajib menyampaikan permohonan untuk memperoleh pengecualian secara tertulis kepada Bank Indonesia dengan alamat sebagaimana diatur dalam Pasal 20 ayat (1) huruf b, dengan disertai penjelasan mengenai keadaan memaksa yang dialami. (5) Pengecualian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau ayat (2) berlaku setelah Bank Pelapor memperoleh persetujuan dari Bank Indonesia sebagaimana diatur pada ayat (4). BAB VI SANKSI Pasal 22 (1) Bank Pelapor yang terlambat menyampaikan Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) per cakupan Laporan per Hari Kerja keterlambatan. (2) Bank Pelapor yang terlambat menyampaikan koreksi Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) per cakupan Laporan per Hari Kerja keterlambatan. (3) Bank Pelapor yang menyampaikan koreksi Laporan atas inisiatif Bank Pelapor setelah melampaui batas waktu keterlambatan penyampaian koreksi Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp50.000,00 (lima puluh ribu rupiah) per item kesalahan Laporan dan paling banyak seluruhnya sebesar Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) per cakupan Laporan. (4) Dalam hal berdasarkan penelitian dan/atau pemeriksaan Bank Indonesia atas Laporan yang telah disampaikan oleh Bank Pelapor ditemukan kesalahan, maka Bank Pelapor dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) per … - 16 - per item kesalahan Laporan dan paling banyak seluruhnya sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) per cakupan Laporan. (5) Bank Pelapor yang dinyatakan tidak menyampaikan Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) per cakupan Laporan. (6) Bank Pelapor yang menyampaikan Laporan dan/atau koreksi Laporan secara Offline pada periode penyampaian Online tanpa memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1), dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) untuk setiap penyampaian Laporan dan/atau koreksi Laporan. (7) Bank yang telah dikenakan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) tetap diwajibkan untuk menyampaikan Laporan dimaksud. Pasal 23 (1) Dalam hal Bank dikenakan sanksi kewajiban membayar karena menyampaikan koreksi Laporan Per Kantor dan/atau koreksi Laporan Perusahaan Anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (3) dan/atau ayat (4) yang berdampak pada koreksi Laporan Gabungan dan Laporan Konsolidasi maka koreksi Laporan Gabungan dan/atau Laporan Konsolidasi tersebut tidak dikenakan sanksi kewajiban membayar (2) Dalam hal Bank Pelapor mengirimkan ulang Laporan dan/atau koreksi Laporan atas permintaan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18, Bank Pelapor tidak dikenakan sanksi kewajiban membayar. Pasal 24 Pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (3), dikecualikan untuk penyampaian koreksi Laporan atas dasar hasil audit oleh akuntan publik. Pasal 25 … - 17 - Pasal 25 Pembebanan sanksi kewajiban membayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 dilakukan oleh Bank Indonesia dengan cara mendebet rekening giro Bank di Bank Indonesia. Pasal 26 Bank Pelapor yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 4, Pasal 11 dan/atau Pasal 22 ayat (7) dikenakan sanksi berupa teguran tertulis dalam rangka kepatuhan Laporan dan/atau sanksi dalam rangka pembinaan serta pengawasan Bank. BAB VII KETENTUAN PERALIHAN Pasal 27 Pada saat berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini, Bank Pelapor tetap diwajibkan untuk menyampaikan Laporan sampai dengan data bulan April 2014 yang disampaikan pada bulan Mei 2014 sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/26/PBI/2003 tentang Laporan Bulanan Bank Umum Syariah sebagaimana yang telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/12/PBI/2011. Pasal 28 Batas waktu penyampaian Laporan berdasarkan Peraturan Bank Indonesia ini, khusus untuk data bulan Agustus 2013 yang disampaikan pada bulan September 2013 sampai dengan data bulan April 2014 yang disampaikan pada bulan Mei 2014 diatur sebagai berikut: a. Laporan Per Kantor dan/atau koreksi Laporan Per Kantor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dan Pasal 10 ayat (1) disampaikan kepada Bank Indonesia secara bulanan paling lambat tanggal 15 (lima belas) pada bulan berikutnya setelah berakhirnya bulan Laporan yang bersangkutan. b. Laporan … - 18 - b. Laporan Gabungan dan/atau koreksi Laporan Gabungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dan Pasal 10 ayat (1) disampaikan kepada Bank Indonesia secara bulanan paling lambat tanggal 20 (dua puluh) pada bulan berikutnya setelah berakhirnya bulan Laporan yang bersangkutan. c. Laporan Perusahaan Anak dan/atau koreksi Laporan Perusahaan Anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dan Pasal 10 ayat (1) disampaikan kepada Bank Indonesia secara triwulanan untuk posisi akhir bulan September 2013, bulan Desember 2013, dan bulan Maret 2014, masing-masing paling lambat tanggal 31 Oktober 2013, tanggal 31 Januari 2014, dan tanggal 30 April 2014. d. Laporan Konsolidasi dan/atau koreksi Laporan Konsolidasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dan Pasal 10 ayat (1) disampaikan kepada Bank Indonesia secara triwulanan untuk posisi akhir bulan September 2013, bulan Desember 2013, dan bulan Maret 2014, masing-masing paling lambat tanggal 31 Oktober 2013, tanggal 31 Januari 2014, dan tanggal 30 April 2014. Pasal 29 Untuk data bulan Agustus 2013 yang disampaikan pada bulan September 2013 sampai dengan data bulan April 2014 yang disampaikan pada bulan Mei 2014 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28, Bank Pelapor dinyatakan terlambat, apabila: a. menyampaikan Laporan Per Kantor dan/atau koreksi Laporan Per Kantor melampaui batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf a, sampai dengan tanggal 17 (tujuh belas) bulan berikutnya setelah berakhirnya bulan Laporan yang bersangkutan; b. menyampaikan Laporan Gabungan dan/atau koreksi Laporan Gabungan melampaui batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf b, sampai dengan tanggal 22 (dua puluh dua) bulan … - 19 - bulan berikutnya setelah berakhirnya bulan Laporan yang bersangkutan; c. menyampaikan Laporan Perusahaan Anak dan/atau koreksi Laporan Perusahaan Anak melampaui batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf c, untuk posisi akhir bulan September 2013, bulan Desember 2013 dan bulan Maret 2014, masing-masing sampai dengan tanggal 2 November 2013, tanggal 2 Februari 2014, dan tanggal 2 Mei 2014; d. menyampaikan Laporan Konsolidasi dan/atau koreksi Laporan Konsolidasi melampaui batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf d, untuk posisi akhir bulan September 2013, bulan Desember 2013 dan bulan Maret 2014, masing-masing sampai dengan tanggal 2 November 2013, tanggal 2 Februari 2014, dan tanggal 2 Mei 2014. Pasal 30 Untuk data bulan Agustus 2013 yang disampaikan pada bulan September 2013 sampai dengan data bulan April 2014 yang disampaikan pada bulan Mei 2014, Bank Pelapor dinyatakan tidak menyampaikan Laporan dan/atau koreksi Laporan apabila Bank Indonesia belum menerima Laporan dan/atau koreksi Laporan sampai dengan batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29. Pasal 31 (1) Sanksi kewajiban membayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 tidak berlaku untuk penyampaian Laporan data bulan Agustus 2013 yang disampaikan pada bulan September 2013 sampai dengan data bulan Oktober 2013 yang disampaikan pada bulan November 2013. (2) Ketentuan sanksi kewajiban membayar untuk penyampaian Laporan data bulan November 2013 yang disampaikan pada bulan Desember 2013 sampai dengan data bulan April 2014 yang disampaikan pada bulan Mei 2014 diatur sebagai berikut: a. Bank … - 20 - a. Bank Pelapor yang terlambat menyampaikan Laporan sebagaimana dimaksud dalam pasal 29 dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) per cakupan Laporan per Hari Kerja keterlambatan; b. Bank Pelapor yang terlambat menyampaikan koreksi Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) per cakupan Laporan per Hari Kerja keterlambatan; c. Bank Pelapor yang dinyatakan tidak menyampaikan Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) per cakupan Laporan. BAB VIII KETENTUAN PENUTUP Pasal 32 Ketentuan lebih lanjut tentang format, tata cara penyusunan dan penyampaian Laporan, serta tata cara pengenaan sanksi diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 33 Pada saat Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku : a. Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/26/PBI/2003 tentang Laporan Bulanan Bank Umum Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 136, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4336); dan b. Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/12/PBI/2011 tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/26/PBI/2003 tentang Laporan Bulanan Bank Umum Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 38, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5203), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku terhitung sejak Laporan data bulan Mei 2014. Pasal 34 … - 21 - Pasal 34 (1) Ketentuan sanksi sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 22 mulai berlaku sejak Laporan data bulan Mei 2014 yang disampaikan pada bulan Juni 2014. (2) Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Agar … - 22 - Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 12 Agustus 2013 GUBERNUR BANK INDONESIA, AGUS D. W. MARTOWARDOJO Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 12 Agustus 2013 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, AMIR SYAMSUDIN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2013 NOMOR 141 - 23 - PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 15/4/PBI/2013 TENTANG LAPORAN STABILITAS MONETER DAN SISTEM KEUANGAN BULANAN BANK UMUM SYARIAH DAN UNIT USAHA SYARIAH I. UMUM Dalam Pasal 35 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, ditetapkan bahwa Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah wajib menyampaikan kepada Bank Indonesia laporan keuangan berupa neraca tahunan dan perhitungan laba/rugi tahunan serta penjelasannya yang disusun berdasarkan prinsip akuntansi syariah yang berlaku umum, serta laporan berkala lainnya, dalam waktu dan bentuk yang diatur dengan Peraturan Bank Indonesia. Selain itu di dalam Pasal 28 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang- Undang Nomor 6 Tahun 2009, ditegaskan pula bahwa Bank Indonesia mewajibkan Bank untuk menyampaikan laporan, keterangan, dan penjelasan sesuai dengan tata cara yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Laporan, keterangan, dan penjelasan dimaksud diperlukan oleh Bank Indonesia dalam rangka penyusunan laporan dan informasi serta statistik perbankan dan moneter guna mendukung pengambilan kebijakan moneter, sistem pembayaran, dan pengawasan perbankan. Guna keperluan tersebut dibutuhkan data keuangan dan kegiatan usaha Bank secara individual maupun secara konsolidasi dengan perusahaan anak, termasuk kegiatan usaha Bank dan perusahaan anaknya yang dilakukan di luar negeri, yang … - 24 - yang menggambarkan kondisi Bank sesuai dengan keadaan yang sebenarnya, dan dalam bentuk yang seragam. Dengan diberlakukannya penyempurnaan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) Syariah, PSAK yang berlaku untuk bank syariah, dan penerapan Basel II maka pelaporan keuangan berdasarkan prinsip syariah perlu disesuaikan dalam menciptakan sistem perbankan yang sehat bagi bank yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah. Kebutuhan akan laporan yang akuntabel dan sesuai dengan karakteristik perbankan syariah menjadi semakin mendesak. Sehubungan dengan hal tersebut, maka Bank Indonesia menyusun pedoman laporan bulanan bank yang dapat memberikan informasi tentang keadaan sebenarnya, dan dalam bentuk yang seragam mengenai kegiatan Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah. Dengan demikian, maka Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah diwajibkan menyusun laporan secara benar dan lengkap serta disampaikan kepada Bank Indonesia secara tepat waktu. Dalam rangka mengintegrasikan seluruh sistem pelaporan dari bank kepada Bank Indonesia maka disusun Laporan Stabilitas Moneter dan Sistem Keuangan yang penerapannya akan dilakukan secara bertahap yang sebagai tahap awal dimulai dari penyampaian laporan bulanan Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “Laporan secara benar” adalah Laporan yang memuat data sesuai dengan fakta sebenarnya atau dokumen pendukungnya. Yang … - 25 - Yang dimaksud dengan “Laporan secara lengkap” adalah Laporan yang telah memenuhi rincian cakupan laporan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Yang dimaksud dengan “Laporan secara tepat waktu” adalah Laporan yang disampaikan sesuai dengan batas waktu yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 3 Cukup jelas. Pasal 4 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “petugas dan/atau penanggung jawab” adalah petugas dan/atau penanggung jawab di Bank yang diberi wewenang dan/atau tanggung jawab untuk menyusun, melakukan verifikasi, dan menyampaikan Laporan kepada Bank Indonesia. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 5 Cukup jelas. Pasal 6 Ayat (1) Laporan kantor Bank yang status kantornya di bawah Kantor Cabang, antara lain kantor cabang pembantu, kantor kas, dan payment point, Laporan-nya digabungkan dengan kantor pusat Bank yang melakukan kegiatan operasional atau Kantor Cabang yang menjadi induknya. Ayat (2) … - 26 - Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Yang dimaksud dengan “harus bisa diidentifikasi untuk masing-masing kantor” yaitu apabila Laporan Per Kantor dimaksud tetap dapat menunjukkan sandi dari kantor Bank Pelapor. Sebagai contoh, apabila Unit Usaha Syariah, kantor pusat Bank Umum Syariah atau Kantor Cabang yang ditunjuk sebagai koordinator mampu menyusun Laporan Per Kantor untuk 10 (sepuluh) Kantor Cabang, maka Laporan yang disampaikan harus terdiri dari 10 (sepuluh) Laporan Per Kantor yang sesuai dengan sandi masing-masing kantor Bank Pelapor, ditambah dengan Laporan Per Kantor dari kantor Bank yang bersangkutan sebagai Bank Pelapor. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 7 Bagi Bank yang tidak memiliki Kantor Cabang, tidak perlu menyusun dan menyampaikan Laporan Gabungan. Pasal 8 Perusahaan Anak yang berbentuk Bank tidak perlu dilaporkan karena Perusahaan Anak tersebut merupakan Bank Pelapor. Pasal 9 Bagi Bank yang tidak memiliki Perusahaan Anak, tidak perlu menyusun dan menyampaikan Laporan Konsolidasi. Pasal 10 Cukup jelas. Pasal 11 … - 27 - Pasal 11 Ayat (1) Yang dimaksud dengan ”bulan Laporan” adalah bulan dimana data yang tercatat pada akhir bulan yang bersangkutan wajib dilaporkan, misalnya bulan Laporan September 2014 maka yang wajib dilaporkan adalah data akhir September 2014. Contoh: Laporan Per Kantor dan/atau koreksi Laporan Per Kantor untuk bulan Laporan September 2014 wajib disampaikan paling lambat pada tanggal 5 Oktober 2014. Ayat (2) Contoh: Laporan Gabungan dan/atau koreksi Laporan Gabungan untuk bulan Laporan September 2014 wajib disampaikan paling lambat pada tanggal 10 Oktober 2014. Ayat (3) Contoh: Laporan Perusahaan Anak dan/atau koreksi Laporan Perusahaan Anak untuk bulan Laporan September 2014 wajib disampaikan paling lambat pada tanggal 23 Oktober 2014. Ayat (4) Contoh: Laporan Konsolidasi dan/atau koreksi Laporan Konsolidasi untuk bulan Laporan September 2014 wajib disampaikan paling lambat pada tanggal 23 Oktober 2014. Pasal 12 Huruf a Contoh: Penyampaian Laporan Per Kantor dan/atau koreksi Laporan Per Kantor untuk bulan Laporan Juli 2014 dinyatakan terlambat apabila disampaikan mulai dari tanggal … - 28 - tanggal 6 Agustus 2014 sampai dengan tanggal 7 Agustus 2014. Huruf b Contoh: Penyampaian Laporan Gabungan dan/atau koreksi Laporan Gabungan untuk bulan Laporan Agustus 2014 dinyatakan terlambat apabila disampaikan mulai dari tanggal 11 September 2014 sampai dengan tanggal 12 September 2014. Huruf c Contoh: Penyampaian Laporan Perusahaan Anak dan/atau koreksi Laporan Perusahaan Anak untuk bulan Laporan Juni 2014 dinyatakan terlambat apabila disampaikan mulai dari tanggal 24 Juli 2014 sampai dengan tanggal 25 Juli 2014. Huruf d Contoh: Penyampaian Laporan Konsolidasi dan/atau koreksi Laporan Konsolidasi untuk bulan Laporan Juni 2014 dinyatakan terlambat apabila disampaikan mulai dari tanggal 24 Juli 2014 sampai dengan tanggal 25 Juli 2014. Pasal 13 Contoh: Laporan Per Kantor dan/atau koreksi Laporan Per Kantor; Laporan Per Kantor dan/atau koreksi Laporan Per Kantor untuk bulan Laporan Juni 2014 dinyatakan tidak disampaikan, apabila Laporan Per Kantor dan/atau koreksi Laporan Per Kantor belum diterima oleh Bank Indonesia sampai dengan tanggal 7 Juli 2014. Laporan Gabungan dan/atau koreksi Laporan Gabungan; Laporan Gabungan dan/atau koreksi Laporan Gabungan untuk bulan Laporan Juni 2014 dinyatakan tidak disampaikan, apabila Laporan Gabungan dan/atau koreksi Laporan Gabungan belum diterima … - 29 - diterima oleh Bank Indonesia sampai dengan tanggal 12 Juli 2014. Laporan Perusahaan Anak dan/atau koreksi Laporan Perusahaan Anak; Laporan Perusahaan Anak dan/atau koreksi Laporan Perusahaan Anak untuk bulan Laporan Juni 2014, dinyatakan tidak disampaikan, apabila Laporan Perusahaan Anak dan/atau koreksi Laporan Perusahaan Anak belum diterima oleh Bank Indonesia sampai dengan tanggal 25 Juli 2014. Laporan Konsolidasi dan/atau koreksi Laporan Konsolidasi; Laporan Konsolidasi dan/atau koreksi Laporan Konsolidasi untuk bulan Laporan Juni 2014, dinyatakan tidak disampaikan, apabila Laporan Konsolidasi dan/atau koreksi Laporan Konsolidasi belum diterima oleh Bank Indonesia sampai dengan tanggal 25 Juli 2014. Pasal 14 Cukup jelas. Pasal 15 Ayat (1) Contoh : Laporan Per Kantor dan/atau koreksi Laporan Per Kantor untuk bulan Laporan September 2014 wajib disampaikan secara Online paling lambat pada hari Sabtu tanggal 5 Oktober 2014. Ayat (2) Contoh: Penyampaian Laporan Per Kantor dan/atau koreksi Laporan Per Kantor untuk bulan Laporan Agustus 2014 wajib disampaikan paling lambat pada hari Jumat tanggal 5 September 2014. Dalam hal pemerintah menetapkan hari Jumat, 5 September 2014 sebagai hari libur nasional sehubungan dengan hari raya keagamaan (Idul Fitri, Idul Adha … - 30 - Adha, Natal, Waisak dan Nyepi), maka Bank Pelapor dapat menyampaikan Laporan Per Kantor dan/atau koreksi Laporan Per Kantor pada Hari Kerja berikutnya yaitu hari Senin tanggal 8 September 2014, kecuali ditetapkan lain oleh Bank Indonesia. Penyampaian Laporan Gabungan dan/atau koreksi Laporan Gabungan untuk bulan Laporan Juni 2014 wajib disampaikan paling lambat pada hari Kamis tanggal 10 Juli 2014. Dalam hal pemerintah menetapkan hari Kamis, 10 Juli 2014 sebagai hari libur nasional, namun tidak terkait dengan hari raya keagamaan (seperti: Tahun Baru Hijriah, Kenaikan Isa Almasih), maka Bank Pelapor tetap menyampaikan Laporan Gabungan dan/atau koreksi Laporan Gabungan paling lambat hari Kamis tanggal 10 Juli 2014, kecuali ditetapkan lain oleh Bank Indonesia. Bank Indonesia akan menyampaikan penetapan hari lain sebagai batas waktu penyampaian Laporan melalui surat pemberitahuan dan/atau media lainnya. Pasal 16 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Yang dimaksud dengan ”gangguan teknis di Bank Pelapor” adalah gangguan yang menyebabkan Bank Pelapor tidak dapat menyampaikan Laporan dan/atau koreksi Laporan secara Online kepada Bank Indonesia antara lain karena gangguan pada sistem di intern Bank Pelapor. Huruf d … - 31 - Huruf d Yang dimaksud dengan ”gangguan teknis di Bank Indonesia” adalah gangguan yang menyebabkan Bank Indonesia tidak dapat menerima Laporan dan/atau koreksi Laporan yang disampaikan secara Online dari Bank Pelapor antara lain karena gangguan pada jaringan telekomunikasi dan/atau penyebab lainnya. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 17 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Contoh: Bank A yang baru dibuka dan melakukan kegiatan operasional pada tanggal 10 Juni 2014. Bank dikecualikan menyampaikan Laporan secara Online paling lama 2 bulan setelah melakukan kegiatan operasional yaitu untuk bulan Laporan Juni 2014 sampai dengan bulan Laporan Juli 2014. Tanggal 5 Juli 2014 yang jatuh pada hari Sabtu, merupakan batas akhir penyampaian Laporan Per Kantor dan/atau koreksi Laporan Per Kantor secara Online untuk bulan Laporan Juni 2014. Bank diperkenankan menyampaikan Laporan dan/atau koreksi Laporan Per Kantor secara Offline paling lambat Hari Kerja berikutnya yaitu hari Senin tanggal 7 Juli 2014 pada jam kerja Bank Indonesia yang mewilayahi Bank A. Bank … - 32 - Bank B berkedudukan di daerah terpencil dan belum tersedia fasilitas komunikasi. Tanggal 5 Agustus 2014 yang jatuh pada hari Selasa, merupakan batas akhir penyampaian Laporan Per Kantor dan/atau koreksi Laporan Per Kantor secara Online untuk data bulan Juli 2014. Bank diperkenankan menyampaikan Laporan dan/atau koreksi Laporan Per Kantor secara Offline paling lambat hari Selasa tanggal 5 Agustus 2014 pada jam kerja Bank Indonesia yang mewilayahi Bank B. Ayat (4) Contoh: Pada Tanggal 5 Juli 2014 yang jatuh pada hari Sabtu, Bank A mengalami gangguan teknis atau terjadi gangguan teknis di Bank Indonesia. Tanggal tersebut merupakan batas akhir penyampaian Laporan Per Kantor dan/atau koreksi Laporan Per Kantor secara Online untuk data bulan Juni 2014. Bank diperkenankan menyampaikan Laporan Per Kantor dan/atau koreksi Laporan Per Kantor secara Offline paling lambat Hari Kerja berikutnya yaitu Senin tanggal 7 Juli 2014 pada jam kerja Bank Indonesia yang mewilayahi Bank A. Ayat (5) Contoh: Pada Tanggal 5 Oktober 2014 yang jatuh pada hari Minggu, Bank A mengalami gangguan teknis atau terjadi gangguan teknis di Bank Indonesia. Tanggal tersebut merupakan batas akhir penyampaian Laporan Per Kantor secara Online untuk data bulan September 2014. Bank diperkenankan menyampaikan Laporan Per Kantor secara Offline paling lambat Hari Kerja berikutnya yaitu hari Senin tanggal 6 Oktober 2014 pada jam kerja Bank Indonesia yang mewilayahi Bank A. Apabila Bank A menyampaikan Laporan Per Kantor secara Offline pada hari Selasa tanggal 7 Oktober 2014 … - 33 - 2014, maka Bank A dinyatakan terlambat selama 1 (satu) Hari Kerja. Pasal 18 Cukup jelas. Pasal 19 Ayat (1) Tanda terima penyampaian atas Laporan yang disampaikan oleh Bank Pelapor secara Online atau Offline, dapat diakses oleh Bank Pelapor melalui web penyampaian Laporan yang dikelola oleh Bank Indonesia. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 20 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan "wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia" adalah kantor Bank Pelapor yang berada di wilayah Jakarta, Bogor, Tangerang, Depok, Bekasi, Karawang, dan Banten. Yang dimaksud dengan "jam kerja Bank Indonesia" adalah jam kerja Bank Indonesia yang mewilayahi Bank Pelapor. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 21 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “keadaan memaksa (force majeure)” adalah keadaan yang secara nyata menyebabkan Bank Pelapor tidak dapat menyusun dan menyampaikan Laporan dan/atau koreksi Laporan, antara lain kebakaran, kerusuhan massa, terorisme, bom, perang, sabotase, serta bencana … - 34 - bencana alam seperti gempa bumi dan banjir, yang dibenarkan oleh penguasa atau pejabat dari instansi terkait di daerah setempat. Contoh: Pada bulan Juli 2014 wilayah tempat kedudukan Bank A mengalami kebakaran yang mengakibatkan Bank tidak dapat menyusun Laporan Per Kantor karena kehilangan data keuangan bulan Laporan Juli 2014. Dalam hal ini, Bank dikecualikan dari kewajiban menyampaikan Laporan Per Kantor untuk data bulan Juli 2014 yang dilaporkan pada bulan Agustus 2014. Ayat (2) Contoh: Pada tanggal 1 sampai dengan 5 Juli 2014 terjadi banjir di wilayah tempat kedudukan Bank A yang mengakibatkan perusahaan terhambat menyampaikan Laporan Per Kantor untuk bulan Laporan Juni 2014. Dalam hal ini Bank dapat menyampaikan Laporan melewati tanggal 5 Juli 2014 dan tidak dikenai sanksi administratif berupa denda. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Kewajiban menyampaikan pemberitahuan secara tertulis mengenai keadaan memaksa (force majeure) tersebut, dapat dilakukan baik oleh Bank Pelapor, kantor pusat maupun oleh kantor lainnya yang ditunjuk. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 22 Ayat (1) Contoh: Laporan Per Kantor; Tanggal … - 35 - Tanggal 5 Oktober 2014 jatuh pada hari Minggu. Bank A menyampaikan Laporan Per Kantor untuk bulan Laporan September 2014 pada hari Senin tanggal 6 Oktober 2014. Bank A dinyatakan terlambat menyampaikan Laporan Per Kantor selama 1 (satu) Hari Kerja, yaitu Senin tanggal 6 Oktober 2014, sehingga Bank A dikenakan sanksi sebesar 1 hari x Rp1.000.000,00 = Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah). Tanggal 5 Oktober 2014 jatuh pada hari Minggu. Bank B bertindak sebagai koordinator penyampaian Laporan untuk 5 (lima) Kantor Cabang. Bank B menyampaikan Laporan Per Kantor untuk bulan Laporan September 2014 pada hari Senin tanggal 6 Oktober 2014. Bank B dinyatakan terlambat menyampaikan Laporan Per Kantor selama 1 (satu) Hari Kerja, yaitu Senin tanggal 6 Oktober 2014 untuk 6 (enam) Bank Pelapor, yaitu Bank B dan kelima Kantor Cabang dibawah koordinasinya, sehingga Bank B dikenakan sanksi sebesar 1 hari x 6 bank pelapor x Rp 1.000.000,00 = Rp. 6.000.000,00 (enam juta rupiah) Laporan Gabungan; Tanggal 10 Agustus 2014 jatuh pada hari Minggu. Bank A menyampaikan Laporan Gabungan untuk bulan Laporan Juli 2014 pada hari Selasa tanggal 12 Agustus 2014. Bank A dinyatakan terlambat menyampaikan Laporan Gabungan selama 2 (dua) Hari Kerja yaitu Senin dan Selasa (11 dan 12 Agustus 2014), sehingga Bank A dikenakan sanksi keterlambatan penyampaian Laporan Gabungan sebesar 2 hari x Rp1.000.000,00 = Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah). Ayat (2) Contoh : Koreksi Laporan Per Kantor; Tanggal … - 36 - Tanggal 5 Oktober 2014 jatuh pada hari Minggu. Bank A menyampaikan koreksi Laporan Per Kantor untuk bulan Laporan September 2014 pada hari Senin tanggal 6 Oktober 2014. Bank A dinyatakan terlambat menyampaikan koreksi Laporan Per Kantor selama 1 (satu) Hari Kerja yaitu Senin tanggal 6 Oktober 2014, sehingga Bank A dikenakan sanksi sebesar 1 hari x Rp100.000,00 = Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah). Koreksi Laporan Gabungan; Tanggal 10 September 2014 jatuh pada hari Rabu. Bank A menyampaikan koreksi Laporan Gabungan untuk bulan Laporan Agustus 2014 pada hari Jumat tanggal 12 September 2014. Bank A dinyatakan terlambat menyampaikan koreksi Laporan Gabungan selama 2 (dua) Hari Kerja, yaitu Kamis dan Jumat (11 dan 12 September 2014), sehingga Bank A dikenakan sanksi keterlambatan penyampaian koreksi Laporan Gabungan sebesar 2 hari x Rp100.000,00 = Rp200.000,00 (dua ratus ribu rupiah). Ayat (3) Yang dimaksud dengan “per item kesalahan Laporan” adalah kesalahan per field data. Contoh : Pada piutang murabahah, terdapat kesalahan pada jenis valuta, sumber dana dan lokasi proyek, maka dihitung sebagai 3 (tiga) item kesalahan. Atas kesalahan ini Bank Pelapor dikenakan sanksi sebesar 3 x Rp. 50.000,00 = Rp. 150.000,00 (seratus lima puluh ribu rupiah). Selanjutnya apabila terdapat 200 (dua ratus) kesalahan, maka perhitungan sanksi adalah 200 x Rp50.000,00 = Rp10.000.000 (sepuluh juta rupiah), namun Bank hanya dikenakan sanksi maksimum, yaitu Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah). Ayat (4) … item - 37 - Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Laporan Per Kantor; Tanggal 5 Agustus 2014 jatuh pada hari Rabu. Bank A menyampaikan Laporan Per Kantor untuk bulan Laporan Juli 2014 pada hari Senin tanggal 10 Agustus 2014, sehingga Bank A dikenakan sanksi tidak menyampaikan Laporan Per Kantor sebesar Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). Laporan Gabungan; Tanggal 10 Oktober 2014 jatuh pada hari Jumat. Bank A menyampaikan Laporan Gabungan untuk bulan Laporan September 2014 pada hari Rabu tanggal 15 Oktober 2014, sehingga Bank A dikenakan sanksi tidak menyampaikan Laporan Gabungan sebesar Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Pasal 23 Cukup jelas. Pasal 24 Cukup jelas. Pasal 25 Cukup jelas. Pasal 26 Cukup jelas. Pasal 27 Cukup jelas. Pasal 28 … - 38 - Pasal 28 Huruf a Contoh: Laporan Per Kantor dan/atau koreksi Laporan Per Kantor untuk bulan Laporan September 2013 disampaikan paling lambat tanggal 15 Oktober 2013. Huruf b Contoh: Laporan Gabungan dan/atau koreksi Laporan Gabungan untuk bulan Laporan September 2013 disampaikan paling lambat tanggal 20 Oktober 2013. Huruf c Contoh: Laporan Perusahaan Anak dan/atau koreksi Laporan Perusahaan Anak untuk bulan Laporan September 2013 disampaikan paling lambat tanggal 31 Oktober 2013. Huruf d Contoh: Laporan Konsolidasi dan/atau koreksi Laporan Konsolidasi untuk bulan Laporan September 2013 disampaikan paling lambat tanggal 31 Oktober 2013. Pasal 29 Huruf a Contoh: Penyampaian Laporan Per Kantor dan/atau koreksi Laporan Per Kantor untuk bulan Laporan September 2013 dinyatakan terlambat apabila disampaikan mulai dari tanggal 16 Oktober 2013 sampai dengan tanggal 17 Oktober 2013. Huruf b Contoh: Penyampaian Laporan Gabungan dan/atau koreksi Laporan Gabungan untuk bulan Laporan September 2013 dinyatakan … - 39 - dinyatakan terlambat apabila disampaikan mulai dari tanggal 21 Oktober 2013 sampai dengan tanggal 22 Oktober 2013. Huruf c Contoh: Penyampaian Laporan Perusahaan Anak dan/atau koreksi Laporan Perusahaan Anak untuk bulan Laporan September 2013 dinyatakan terlambat apabila disampaikan mulai dari tanggal 1 November 2013 sampai dengan tanggal 2 November 2013. Huruf d Contoh: Penyampaian Laporan Konsolidasi dan/atau koreksi Laporan Konsolidasi untuk bulan Laporan September 2013 dinyatakan terlambat apabila disampaikan mulai dari tanggal 1 November 2013 sampai dengan tanggal 2 November 2013. Pasal 30 Contoh: Laporan Per Kantor dan/atau koreksi Laporan Per Kantor untuk bulan Laporan September 2013 dinyatakan tidak disampaikan, apabila Laporan dan/atau koreksi Laporan belum diterima oleh Bank Indonesia sampai dengan tanggal 17 Oktober 2013. Pasal 31 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Contoh: Tanggal 15 Oktober 2013 jatuh pada hari Selasa. Bank A menyampaikan Laporan Per Kantor periode data bulan September 2013 pada hari Kamis tanggal 17 Oktober 2013. Bank A dinyatakan terlambat menyampaikan … - 40 - menyampaikan Laporan Per Kantor selama 2 (dua) Hari Kerja, yaitu Rabu dan Kamis (tanggal 16 dan 17 Oktober 2014), sehingga Bank A dikenakan sanksi sebesar 2 hari x Rp1.000.000,00 = Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah). Huruf b Contoh: Tanggal 15 Oktober 2013 jatuh pada hari Selasa. Bank A menyampaikan koreksi Laporan Per Kantor periode data bulan September 2013 pada hari Rabu tanggal 16 Oktober 2013. Bank A dinyatakan terlambat menyampaikan koreksi Laporan Per Kantor selama 1 (satu) Hari Kerja, yaitu Rabu tanggal 16 Oktober 2014, sehingga Bank A dikenakan sanksi sebesar 1 hari x Rp100.000,00 = Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah). Huruf c Contoh: Tanggal 15 Oktober 2013 jatuh pada hari Selasa. Bank A menyampaikan Laporan Per Kantor untuk bulan Laporan September 2013 pada hari Jumat tanggal 18 Oktober 2013. Bank A dinyatakan tidak menyampaikan Laporan Per Kantor untuk bulan Laporan September 2013, sehingga Bank A dikenakan sanksi sebesar Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). Pasal 32 Cukup jelas. Pasal 33 Cukup jelas. Pasal 34 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5437
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 15/4/PBI/2013 </reg_id> <reg_title> LAPORAN STABILITAS MONETER DAN SISTEM KEUANGAN BULANAN BANK UMUM SYARIAH DAN UNIT USAHA SYARIAH </reg_title> <set_date> 12 Agustus 2013 </set_date> <effective_date> 12 Agustus 2013 </effective_date> <issued_date> 12 Agusutus 2013 </issued_date> <replaced_reg> '13/12/PBI/2011', '5/26/PBI/2003' </replaced_reg> <related_reg> '21/UU/2008', '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '24/UU/1999', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg> <penalty_list> 'BAB VI', 'BAB VII Pasal 31 Ayat (2)' </penalty_list>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 2 / 6 /PBI/2000 TENTANG PERSYARATAN DAN TATA CARA PEMERIKSAAN BANK GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa bank sebagai badan usaha yang menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat harus mampu melindungi kepentingan masyarakat pengguna jasa bank, serta memelihara prinsip-prinsip dan sistem perbankan yang sehat; b. bahwa guna mengetahui dan memastikan bank telah melindungi kepentingan masyarakat serta memelihara prinsip-prinsip dan sistem perbankan yang sehat, diperlukan gambaran mengenai kebijaksanaan dan kegiatan usaha bank yang bersifat strategis dan yang mengandung risiko; c. bahwa guna memperoleh gambaran yang jelas, lengkap dan akurat perlu dilakukan pemeriksaan terhadap kebijaksanaan dan kegiatan usaha bank yang bersifat strategis dan mengandung risiko; d. bahwa berhubung dengan itu dipandang perlu untuk menetapkan ketentuan tentang persyaratan dan tatacara pemeriksaan bank dalam Peraturan Bank Indonesia; Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Mengingat … -2- Lembaran Negara Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3790); 2. Undang-undang No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3843); MEMUTUSKAN : Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PERSYARATAN DAN TATACARA PEMERIKSAAN BANK. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Yang dimaksud dalam Peraturan Bank Indonesia ini dengan: 1. Bank adalah Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998, termasuk kantor cabang bank asing; 2. Kantor Cabang Bank Asing adalah kantor dari bank yang berkedudukan di 3. luar negeri yang secara langsung atau tidak langsung bertanggung jawab kepada kantor pusat bank yang bersangkutan, dan mempunyai alamat serta tempat kedudukan di Indonesia; luar … -3- 4. Kantor Perwakilan Bank Asing adalah kantor dari bank yang berkedudukan di luar negeri yang bertindak semata-mata sebagai penghubung antara bank yang berkedudukan di luar negeri dengan nasabahnya; 5. Pihak Terkait adalah pihak-pihak yang mempunyai keterkaitan dengan Bank karena merupakan: 1) pemegang saham perorangan yang memiliki saham 10% (sepuluh perseratus) atau lebih dari modal disetor Bank; 2) pemegang saham berbentuk perusahaan/badan yang memiliki saham 10% (sepuluh perseratus) atau lebih dari modal disetor Bank; 3) anggota dewan komisaris Bank; 4) anggota direksi Bank; 5) keluarga dari pihak-pihak tersebut dalam angka 1), angka 3) dan angka 4); 6) perorangan yang memiliki saham 25% (dua puluh lima perseratus) atau lebih dan/atau yang mengendalikan operasional, pengawasan atau pengambilan keputusan baik langsung maupun tidak langsung, atas perusahaan-perusahaan sebagaimana dimaksud dalam angka 2); 7) pejabat Bank yang mempunyai fungsi eksekutif, yaitu yang mempunyai pengaruh terhadap operasional Bank dan/atau bertanggung jawab langsung kepada direksi termasuk pejabat Satuan Kerja Audit Intern; 8) perusahaan-perusahaan yang di dalamnya terdapat kepentingan dari pihak- pihak dimaksud dalam angka 1) sampai dengan angka 7) di atas dengan kepemilikan 10% (sepuluh perseratus) atau lebih dari modal disetor perusahaan; dengan … 9) perusahaan-perusahaan yang di dalamnya terdapat pengaruh dalam operasional, pengawasan atau pengambilan keputusan dari pihak- pihak sebagaimana dimaksud dalam angka 1) sampai dengan angka 7) -4- walaupun pihak-pihak tersebut tidak memiliki saham pada perusahaan dimaksud; 10) anak perusahaan Bank dengan kepemilikan Bank lebih dari 25% (dua puluh lima perseratus) dari modal disetor perusahaan dan/atau apabila Bank mempengaruhi perusahaan tersebut; 6. Pihak Terafiliasi adalah pihak terafiliasi sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998; 7. Pihak Lain adalah pihak-pihak yang ditugaskan untuk dan atas nama Bank Indonesia serta dinilai memiliki kemampuan untuk melaksanakan pemeriksaan, misalnya akuntan publik, sebagaimana dimaksud dalam penjelasan Pasal 30 ayat (1) Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia. BAB II PIHAK-PIHAK YANG DIPERIKSA Pasal 2 Bank Indonesia dapat melakukan pemeriksaan terhadap: a. Bank; dan/atau b. Kantor Perwakilan Bank Asing. a. Bank ... Pasal 3 (1) Dalam melakukan pemeriksaan terhadap Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a, Bank Indonesia dapat melakukan pemeriksaan terhadap: a. perusahaan induk dari Bank; b. perusahaan anak dari Bank; c. Pihak Terkait dengan Bank; -5- d. Pihak Terafiliasi dengan Bank; e. debitur Bank. (2) Pemeriksaan terhadap pihak-pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan apabila terdapat indikasi bahwa pihak-pihak tersebut antara lain: a. memperoleh penyediaan dana dari Bank; b. mempunyai peran dalam kegiatan operasional Bank; c. melakukan tindakan yang menimbulkan kerugian terhadap Bank; d. memperoleh keuntungan yang tidak wajar dari Bank; e. mengalami kesulitan keuangan yang dapat mempengaruhi kinerja Bank. Pasal 4 (1) Pemeriksaan terhadap Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a terdiri dari pemeriksaan secara berkala dan pemeriksaan setiap waktu apabila diperlukan. (2) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pemeriksaan terhadap aspek-aspek kegiatan usaha Bank, termasuk sarana pendukungnya dan hal-hal lain yang berkaitan dengan keuangan Bank. apabila ... Pasal 5 (1) Pemeriksaan terhadap Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a dapat dilakukan dalam rangka: a. memperoleh gambaran menyeluruh tentang perkembangan usaha dan keadaan keuangan Bank, termasuk mendeteksi hal-hal yang dapat mempengaruhi tingkat kesehatan maupun kelangsungan usaha Bank; b. mendapatkan keyakinan atas kebenaran laporan yang disampaikan oleh -6- Bank kepada Bank Indonesia, laporan yang dipublikasikan kepada masyarakat, dan informasi lainnya; c. memastikan kepatuhan Bank terhadap Peraturan Bank Indonesia, peraturan perundang-undangan lain yang berlaku, dan pedoman, ketentuan serta prosedur kerja yang ditetapkan Bank; d. meneliti kebenaran atas dugaan adanya transaksi yang merupakan tindak pidana di bidang perbankan. (2) Pemeriksaan terhadap Kantor Perwakilan Bank Asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b ditujukan untuk memastikan kepatuhan Kantor Perwakilan Bank Asing terhadap Peraturan Bank Indonesia dan peraturan perundang-undangan lain yang berlaku. Pasal 6 Pasal 6 ... (1) Bank, Kantor Perwakilan Bank Asing, dan pihak-pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) wajib segera memperlihatkan dan/atau memberikan kepada pemeriksa: a. buku-buku, berkas-berkas, warkat, catatan, disposisi, memorandum, dokumen, data elektronis, termasuk salinan-salinannya; b. segala keterangan dan penjelasan yang berkaitan dengan kegiatan usaha baik lisan maupun tertulis; c. kesempatan penelitian keberadaan dan penggunaan sarana fisik yang berkaitan dengan kegiatan usaha; d. hal-hal lain yang diperlukan dalam pemeriksaan. (2) Bank, Kantor Perwakilan Bank Asing dan pihak-pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) wajib memberikan bantuan dalam rangka memperoleh -7- kebenaran dari segala keterangan, dokumen dan penjelasan yang didapat pemeriksa. (3) Bank, Kantor Perwakilan Bank Asing dan pihak-pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dan/atau pihak-pihak lain dilarang untuk menghambat proses pemeriksaan serta mempengaruhi pendapat, penilaian atau hasil dari tim pemeriksa. BAB III BAB III ... PERSYARATAN BAGI PIHAK-PIHAK YANG MELAKUKAN PEMERIKSAAN Pasal 7 (1) Pihak Lain yang dapat melakukan pemeriksaan harus berbentuk badan. (2) Pemeriksaan dilakukan oleh tim pemeriksa yang sekurang-kurangnya terdiri dari 2 (dua) orang. (3) Tim pemeriksa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat terdiri dari: a. pegawai Bank Indonesia yang ditunjuk untuk melakukan pemeriksaan; b. Pihak Lain yang ditugaskan Bank Indonesia; atau c. gabungan antara pegawai Bank Indonesia dan Pihak Lain. Pasal 8 -8- (1) Tim pemeriksa dari Pihak Lain wajib memenuhi syarat: a. tidak termasuk dalam daftar orang tercela sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia; b. bukan Pihak Terafiliasi terhadap obyek yang diperiksa; c. memiliki sikap mental yang baik dan etika serta tanggung jawab profesi yang tinggi; d. bersikap independen, jujur, dan obyektif; e. kompeten dibidangnya dan memahami peraturan perundang-undangan perbankan yang berlaku dan peraturan perundang-undangan lainnya; f. secara terus -menerus mengikuti program pendidikan profesi dalam bidangnya masing-masing. f. secara ... (2) Penanggung jawab dari Pihak Lain harus memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal 9 (1) Dalam hal Pihak Lain merupakan kantor akuntan publik, wajib terdaftar di Bank Indonesia. (2) Ketua dan mayoritas anggota tim pemeriksa dari kantor akuntan publik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) selain memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) wajib: a. memiliki pengetahuan yang memadai tentang industri perbankan; dan b. memiliki kemampuan melakukan pemeriksaan. (3) Penanggung jawab kantor akuntan publik harus memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2) dan dalam Pasal 8 ayat (1). -9- Pasal 10 (1) Dalam memberikan penugasan kepada Pihak Lain untuk melakukan pemeriksaan, Bank Indonesia menerbitkan surat perintah kerja. (2) Pelaksanaan pemeriksaan oleh Pihak Lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilaksanakan sesuai dengan surat perintah kerja dan Terms of Reference yang ditetapkan oleh Bank Indonesia yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari surat perintah kerja. Pasal 11 Pasal 11 ... (1) Tim pemeriksa wajib menyerahkan surat instruksi pemeriksaan dari Bank Indonesia kepada pihak-pihak yang diperiksa. (2) Bank, Kantor Perwakilan Bank Asing atau pihak-pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) wajib menolak tim pemeriksa yang akan melakukan pemeriksaan tanpa menyerahkan surat instruksi pemeriksaan dari Bank Indonesia. Pasal 12 (1) Sebelum akhir pemeriksaan, tim pemeriksa wajib melakukan konfirmasi dengan pimpinan Bank, pemimpin Kantor Perwakilan Bank Asing atau pimpinan dari pihak-pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) atas hasil pemeriksaan. (2) Apabila setelah proses konfirmasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) masih terdapat perbedaan pendapat, pimpinan Bank, pemimpin Kantor -10- Perwakilan Bank Asing atau pimpinan pihak-pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dapat mengajukan penjelasan secara tertulis kepada Bank Indonesia selambat-lambatnya 3 (tiga) hari kerja setelah berakhirnya proses pemeriksaan. Pasal 13 (1) Setelah proses pemeriksaan berakhir, tim pemeriksa menyusun laporan hasil pemeriksaan. (2) Bank Indonesia menyampaikan laporan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Bank atau Kantor Perwakilan Bank Asing. dimaksud ... (3) Laporan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersifat rahasia. (4) Penggunaan laporan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) oleh pihak-pihak diluar bank harus dikonsultasikan dan memperoleh persetujuan terlebih dahulu dari Bank Indonesia. Pasal 14 (1) Bank dan Kantor Perwakilan Bank Asing wajib melakukan langkah-langkah perbaikan dan/atau penyempurnaan atas hal-hal yang ditemukan dalam pemeriksaan serta melaporkan perbaikan yang dilakukan kepada Bank Indonesia. (2) Apabila dipandang perlu, Bank Indonesia dapat melakukan pemeriksaan untuk memastikan kebenaran laporan hasil perbaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). -11- BAB IV PEMERIKSAAN OLEH PIHAK ASING Pasal 15 (1) Pemeriksaan terhadap Kantor Cabang Bank Asing oleh otoritas pengawas bank di negara asal atau yang mewakili otoritas pengawas bank di negara asal kantor pusat Bank yang bersangkutan, hanya dapat dilakukan setelah memperoleh izin dari Bank Indonesia. (2) Permohonan ... (2) Permohonan izin kepada Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disampaikan secara tertulis selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari sebelum pemeriksaan. (3) Persetujuan atau penolakan atas permohonan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari sejak surat permohonan diterima secara lengkap. (4) Bank Indonesia dapat meminta kepada pemeriksa sebagaimana dimaksud pada ayat (1), agar dalam pemeriksaan sekaligus memeriksa hal-hal yang dibutuhkan oleh Bank Indonesia. (5) Pemberian izin pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan menganut azas timbal balik. Pasal 16 (1) Pemeriksaan terhadap Kantor Cabang Bank Asing di Indonesia yang dilakukan oleh pemeriksa intern atau kantor akuntan publik yang ditugaskan kantor pusat Bank yang bersangkutan wajib diberitahukan terlebih dahulu kepada Bank -12- Indonesia. (2) Pemeriksaan terhadap Bank yang sebagian sahamnya dimiliki bank asing yang dilakukan oleh pemeriksa yang ditugaskan oleh bank asing yang menjadi pemegang saham Bank wajib diberitahukan terlebih dahulu kepada Bank Indonesia. Pasal 17 (1) Pemeriksaan terhadap Bank yang sebagian sahamnya dimiliki bank asing yang dilakukan oleh otoritas pengawas bank atau yang mewakili otoritas pengawas bank di negara asal pihak asing yang bersangkutan hanya dapat dilakukan setelah memperoleh izin dari Bank Indonesia. (2) Permohonan izin kepada Bank Indonesia wajib disampaikan secara tertulis oleh pihak yang melakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari sebelum pemeriksaan. (3) Persetujuan atau penolakan atas permohonan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari sejak surat permohonan diterima secara lengkap. (4) Pemberian izin pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan menganut azas timbal balik. Pasal 18 (1) Tim pemeriksa yang melakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam -13- Pasal 15, Pasal 16 dan Pasal 17 wajib melapor dan menyampaikan hasil pemeriksaan kepada Bank Indonesia segera setelah pemeriksaan berakhir. (2) Kantor Cabang Bank Asing dan Bank yang sebagian sahamnya dimiliki bank asing yang diperiksa oleh tim pemeriksa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menyampaikan hasil pemeriksaan kepada Bank Indonesia segera setelah hasil pemeriksaan diperoleh. BAB V RAHASIA BANK Pasal 19 BAB V ... (1) Pihak Lain, pihak-pihak yang melakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15, Pasal 16, dan Pasal 17 serta pihak-pihak yang mengetahui hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, wajib merahasiakan keterangan dan data yang diperoleh dalam pemeriksaan. (2) Kewajiban merahasiakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku pula bagi petugas yang ditugaskan Pihak Lain atau pihak-pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15, Pasal 16, dan Pasal 17. BAB VI ALAMAT PENYAMPAIAN LAPORAN, PEMBERITAHUAN DAN IZIN PEMERIKSAAN Pasal 20 Laporan-laporan, pemberitahuan serta permohonan izin pemeriksaan sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini disampaikan kepada Bank Indonesia -14- dengan alamat: a. Direktorat Pengawasan Bank, Jl. M.H. Thamrin No.2 Jakarta 10110, sesuai dengan Direktorat yang mengawasi Bank yang bersangkutan, bagi Bank yang berkantor pusat di wilayah kerja Bank Indonesia Jakarta; b. Kantor Bank Indonesia setempat bagi Bank yang berkantor pusat di wilayah kerja Kantor Bank Indonesia. BAB VII SANKSI Pasal 21 (1) Perusahaan induk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 akan diberi peringatan tertulis sebanyak 2 (dua) kali masing-masing dengan tenggang waktu 7 (tujuh) hari oleh Bank Indonesia; (2) Apabila setelah diberikan peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) namun perusahaan induk tetap tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Bank Indonesia akan meminta pengalihan kepemilikan perusahaan induk pada pihak lain. Pasal 22 (1) Perusahaan anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, akan diberi peringatan tertulis sebanyak 2 (dua) kali masing-masing dengan tenggang waktu 7 (tujuh) hari oleh Bank Indonesia; (2) Apabila setelah diberikan peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) namun perusahaan anak tetap tidak memenuhi ketentuan -15- sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Bank Indonesia meminta kepada Bank untuk melepaskan kepemilikannya pada perusahaan anak selambat-lambatnya 180 (seratus delapan puluh) hari sejak tanggal peringatan terakhir. Pasal 23 (1) Debitur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, akan diberi peringatan tertulis sebanyak 2 (dua) kali masing-masing dengan tenggang waktu 7 (tujuh) hari oleh Bank Indonesia; (2) Apabila setelah diberikan peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) namun debitur tetap tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Bank Indonesia meminta kepada Bank dimaksud untuk: a. tidak melanjutkan pemberian fasilitas kepada debitur yang bersangkutan; b. tidak memberikan fasilitas dalam bentuk apapun kepada debitur yang bersangkutan; dan/atau c. mengkaji kembali penggolongan kualitas dari fasilitas debitur yang bersangkutan. Pasal 24 (1) Anggota dewan komisaris, direksi, pimpinan Kantor Cabang Bank Asing, pemimpin Kantor Perwakilan Bank Asing, serta pihak-pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, akan diberi peringatan tertulis -16- sebanyak 2 (dua) kali masing-masing dengan tenggang waktu 7 (tujuh) hari oleh Bank Indonesia; (2) Apabila setelah diberikan peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), namun anggota dewan komisaris, direksi, pimpinan Kantor Cabang Bank Asing, pemimpin Kantor Perwakilan Bank Asing, serta pihak-pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) tetap tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Bank Indonesia dapat mengenakan sanksi administratif berupa: a. pemberhentian anggota dewan komisaris dan/atau direksi dan selanjutnya menunjuk dan mengangkat pengganti sementara sampai Rapat Umum Pemegang Saham atau Rapat Anggota Koperasi mengangkat pengganti tetap dengan persetujuan Bank Indonesia; b. peninjauan kembali persetujuan Bank Indonesia atas pengangkatan sebagai pimpinan Kantor Cabang Bank Asing dan/atau pemimpin Kantor Perwakilan Bank Asing; c. pencantuman dalam daftar orang tercela dibidang perbankan; dan/atau d. merekomendasikan pencabutan atau pembatalan izin usaha oleh instansi yang berwenang. Pasal 25 (1) Pihak Lain yang oleh Bank Indonesia dinilai tidak melaksanakan tugasnya sesuai dengan surat perintah kerja dan Terms of Reference sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, akan diberi peringatan tertulis oleh Bank Indonesia. -17- (2) Setelah diberikan peringatan tertulis sebanyak 2 (dua) kali dalam tenggang waktu 3 (tiga) hari, namun Pihak Lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tetap tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, Bank Indonesia dapat mengenakan sanksi berupa: a. pemutusan hubungan kerja secara sepihak tanpa ganti rugi; b. denda sebesar biaya yang dikeluarkan dalam rangka penyelesaian tugas oleh Pihak Lain; ayat (1) ... c. merekomendasikan pencabutan atau pembatalan izin usaha kepada instansi yang berwenang; dan/atau d. bagi akuntan publik dikeluarkan dari daftar akuntan yang tercatat di Bank Indonesia. Pasal 26 Bank yang tidak menyampaikan laporan perbaikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) dapat dikenakan sanksi administratif antara lain berupa: a. teguran tertulis; b. penurunan tingkat kesehatan Bank; dan/atau c. pemberhentian anggota dewan komisaris dan/atau direksi dan selanjutnya menunjuk dan mengangkat pengganti sementara sampai Rapat Umum Pemegang Saham atau Rapat Anggota Koperasi mengangkat pengganti tetap dengan persetujuan Bank Indonesia. Pasal 27 Kantor Cabang Bank Asing dan Bank yang sebagian sahamnya dimiliki oleh bank asing yang tidak menyampaikan Laporan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud ... -18- dimaksud dalam Pasal 18 setelah diberikan peringatan tertulis sebanyak 2 (dua) kali dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari dapat dikenakan sanksi administratif antara lain berupa: a. pemberhentian anggota dewan komisaris dan/atau direksi dan selanjutnya menunjuk dan mengangkat pengganti sementara sampai Rapat Umum Pemegang Saham atau Rapat Anggota Koperasi mengangkat pengganti tetap dengan persetujuan Bank Indonesia; b. peninjauan kembali persetujuan Bank Indonesia atas pengangkatan sebagai pimpinan Kantor Cabang Bank Asing; dan/atau c. pencantuman dalam daftar orang tercela dibidang perbankan. Pasal 28 Pihak-pihak yang tidak mematuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 dikenakan sanksi administratif antara lain berupa: a. merekomendasikan pencabutan atau pembatalan izin usaha kepada instansi yang berwenang; atau b. bagi akuntan publik, dikeluarkan dari daftar akuntan yang tercatat di Bank Indonesia. BAB VIII KETENTUAN PENUTUP Pasal 29 Dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini maka: BAB VIII ... -19- 1. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 27/52/KEP/DIR tanggal 3 Agustus 1994 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemeriksaan Bank; 2. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 27/1/BPPP tanggal 3 Agustus 1994 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemeriksaan Bank; 3. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 5/155/UPPB/PbB tanggal 15 Februari 1973 tentang Pemeriksaan oleh Pejabat-Pejabat Pemeriksa dari Luar Negeri terhadap Bank-Bank Asing di Indonesia; dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 30 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 21 Pebruari 2000 GUBERNUR BANK INDONESIA SYAHRIL SABIRIN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2000 NOMOR 19 DPNP -20- -21- PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 2 / 6 /PBI/2000 TENTANG PERSYARATAN DAN TATACARA PEMERIKSAAN BANK I. UMUM Dalam melindungi kepentingan masyarakat dan memelihara prinsip-prinsip dan sistem perbankan yang sehat diperlukan gambaran mengenai kebijakan dan keadaan bank yang bersifat strategis dan mengandung resiko. Untuk memperoleh gambaran tersebut perlu dilakukan pemeriksaan terhadap bank baik yang bersifat umum maupun khusus. Agar gambaran tersebut dapat diperoleh secara menyeluruh dan komprehensif, pemeriksaan dapat dilakukan terhadap pihak-pihak tertentu yang mempunyai andil baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap risiko yang dihadapi bank dalam melakukan kegiatan usahanya. Pihak-pihak lain tersebut meliputi perusahaan induk, perusahaan anak, pihak terkait, pihak terafiliasi dan/atau debitur bank. Dalam rangka meningkatkan efektifitas dan efisiensi pemeriksaan, Bank Indonesia dapat melakukan pemeriksaan baik dengan menggunakan tenaga Bank Indonesia maupun dengan menggunakan jasa pihak lain seperti akuntan publik. Untuk mencapai hal tersebut diperlukan adanya ketentuan yang mengatur mengenai persyaratan dan tatacara pemeriksaan bank. II. PASAL … -22- II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Angka 1 Ketentuan mengenai Bank Umum berpedoman pada ketentuan Bank Indonesia tentang Bank Umum dan ketentuan Bank Indonesia tentang Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah. Ketentuan mengenai Bank Perkreditan Rakyat berpedoman pada ketentuan Direksi Bank Indonesia tentang Bank Perkreditan Rakyat dan ketentuan Bank Indonesia tentang Bank Perkreditan Rakyat Berdasarkan Prinsip Syariah. Angka 2 Ketentuan mengenai Kantor Cabang Bank Asing berpedoman pada ketentuan Bank Indonesia tentang Persyaratan dan Tata Cara Pembukaan Kantor Cabang, Kantor Cabang Pembantu, dan Kantor Perwakilan dari Bank yang Berkedudukan di Luar Negeri. Angka 3 Ketentuan mengenai Kantor Perwakilan Bank Asing berpedoman pada ketentuan Bank Indonesia tentang Persyaratan dan Tata Cara Pembukaan Kantor Cabang, Kantor Cabang Pembantu, dan Kantor Perwakilan dari Bank yang Berkedudukan di Luar Negeri. Angka 4 Ketentuan mengenai Pihak Terkait berpedoman pada ketentuan Bank Indonesia tentang Batas Maksimum Pemberian Kredit. Angka 5 Angka 5 … -23- Cukup jelas Angka 6 Cukup jelas Pasal 2 Huruf a Cukup jelas Huruf b Cukup jelas Pasal 3 Ayat (1) Apabila dipandang perlu pemeriksaan oleh Bank Indonesia dapat dilakukan di luar jam kerja. Huruf a Perusahaan induk adalah perusahaan yang secara langsung atau tidak langsung memiliki saham Bank. Huruf b Perusahaan anak adalah perusahaan yang seluruh atau sebagian sahamnya dimiliki Bank. Huruf c Cukup jelas Huruf d Cukup jelas Huruf e Huruf d … Debitur Bank adalah pihak yang memperoleh fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah atau bentuk lain yang dipersamakan dengan itu berdasarkan perjanjian Bank dengan nasabah yang bersangkutan. Ayat (2) Pemeriksaan terhadap perusahaan induk dari Bank, perusahaan anak -24- dari Bank, Pihak Terkait dengan Bank, Pihak Terafiliasi dengan Bank, dan debitur Bank dimaksudkan agar diperoleh gambaran yang menyeluruh mengenai kondisi Bank, termasuk risiko yang mungkin akan mempengaruhi Bank. Pemeriksaaan tersebut merupakan bagian dari pemeriksaan terhadap Bank. Pasal 4 Ayat (1) Pada dasarnya pemeriksaan yang dilakukan oleh Bank Indonesia dilaksanakan secara berkala sekurang-kurangnya satu tahun sekali untuk setiap Bank. Di samping itu, pemeriksaan dapat dilakukan setiap waktu jika dipandang perlu untuk meyakinkan hasil pengawasan tidak langsung dan apabila terdapat indikasi adanya penyimpangan dari praktik perbankan yang sehat. Ayat (2) … Ayat (2) Yang dimaksud dengan sarana pendukung antara lain mencakup -25- jaringan telekomunikasi dan komputer beserta softwarenya. Pasal 5 Ayat (1) Selain mencakup aspek keuangan, pemeriksaan juga dapat mencakup penilaian kemampuan dan kepatutan (fit and proper test) terhadap pemegang saham pengendali, pengurus, dan pejabat eksekutif Bank. Huruf a Cukup jelas Huruf b Yang dimaksud dengan informasi lain adalah informasi yang diperoleh dari sumber lain. Huruf c Cukup jelas Huruf d Dalam hal ini, Bank dapat sebagai sasaran atau sarana tindak pidana. Bank sebagai sasaran tindak pidana, misalnya Bank sebagai korban pembobolan bank, transfer fiktif melalui teleks atau fax, dan lain-lain, yang pada akhirnya dapat merugikan Bank. Bank sebagai sarana tindak pidana, misalnya penghimpunan … penghimpunan dana masyarakat yang tidak dicatat dalam pembukuan Bank. Ayat (2) Yang dimaksud dengan Peraturan Bank Indonesia yang berlaku -26- antara lain adalah ketentuan tentang Persyaratan dan Tata Cara Pembukaan Kantor Cabang, Kantor Cabang Pembantu, dan Kantor Perwakilan dari Bank Yang Berkedudukan Di Luar Negeri serta ketentuan tentang Sistem Informasi Debitur. Pasal 6 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan Bank, Kantor Perwakilan Bank Asing, dan pihak-pihak lain adalah termasuk dewan komisaris, direksi, pimpinan Kantor Cabang Bank Asing, pimpinan Kantor Perwakilan Bank Asing, dan pegawai yang langsung bertanggung jawab. Ayat (3) Cukup jelas Pasal 7 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Huruf a Cukup jelas Huruf b Penugasan Pihak Lain oleh Bank Indonesia dapat Ayat (2) … -27- dilakukan dengan cara : a. lelang; b. penunjukan langsung dengan syarat antara lain : (1) Bank Indonesia memerlukan adanya bantuan yang berhubungan dengan keahlian khusus; (2) keterbatasan waktu. Huruf c Dalam hal tim gabungan terdiri dari pegawai Bank Indonesia dan Pihak Lain yang ditugasi Bank Indonesia, maka ketua tim pemeriksa adalah pegawai Bank Indonesia. Pasal 8 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 9 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 10 -28- Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Terms of Reference memuat antara lain : a. tujuan dan ruang lingkup pemeriksaan; b. jangka waktu pelaksanaan; c. penyusunan Laporan Hasil Pemeriksaan; d. teknik dan etika pemeriksaan; e. jumlah dan kualifikasi tenaga pemeriksa yang digunakan; f. kerahasiaan pemeriksaan; g. kertas kerja pemeriksaan; Pasal 11 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 12 Ayat (1) Konfirmasi dilakukan dalam pertemuan antara tim pemeriksa dengan pimpinan pihak-pihak yang diperiksa dan hasilnya dituangkan dalam risalah pertemuan yang ditandatangani oleh kedua belah pihak. Ayat (2) Ayat (2) … -29- Pengajuan penjelasan disampaikan oleh pihak-pihak yang diperiksa kepada Bank Indonesia cq. Direktorat Pemeriksaan Bank terkait secara tertulis dan wajib dilampiri dengan bukti dan dokumen pendukung. Pasal 13 Ayat (1) Laporan hasil pemeriksaan akan digunakan oleh Bank Indonesia sebagai bahan pengawasan Bank yang diperiksa antara lain melalui pembahasan intensif dengan pengurus Bank dalam pertemuan wawancara. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Laporan hasil pemeriksaan dimaksudkan sebagai alat pembinaan dalam rangka peningkatan kinerja Bank. Oleh karena itu pengurus dan pegawai Bank tidak diperkenankan untuk menyebarluaskan data dan/atau informasi yang terdapat dalam laporan hasil pemeriksaan. Ayat (3) … Ayat (4) Cukup jelas Pasal 14 Ayat (1) -30- Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 15 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Ayat (5) … Dalam hal Bank Indonesia tidak diperkenankan untuk melakukan pemeriksaan di suatu negara, maka terhadap negara tersebut akan diterapkan perlakuan yang sama, demikian pula sebaliknya. Pasal 16 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 17 Ayat (1) -31- Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Dalam hal Bank Indonesia tidak diperkenankan untuk melakukan pemeriksaan di suatu negara, maka terhadap negara tersebut akan diterapkan perlakuan yang sama, demikian pula sebaliknya. Pasal 18 Ayat (1) Pasal 18 … Hasil pemeriksaan disampaikan dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris. Laporan hasil pemeriksaan disampaikan dan dibahas dalam pertemuan dengan Direktorat Pengawasan Bank yang membidangi. Ayat (2) Hasil pemeriksaan disampaikan dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris. Ayat (2) … Pasal 19 Ayat (1) Cukup jelas -32- Ayat (2) Cukup jelas Pasal 20 Cukup jelas Pasal 21 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup Jelas Pasal 22 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 23 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (2) … -33- Pasal 24 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 25 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Huruf a Cukup jelas Huruf b Besarnya pengenaan denda akan dicantumkan dalam perjanjian kerja antara Bank Indonesia dengan Pihak Lain tersebut. Huruf c Cukup jelas Huruf d Bank Indonesia akan mencantumkan daftar akuntan yang tercatat di Bank Indonesia dalam internet Bank Indonesia. Pasal 26 Cukup jelas Pasal 27 Ayat (2) … -34- Cukup jelas Pasal 28 Cukup jelas Pasal 29 Cukup jelas Pasal 30 … Pasal 30 Cukup jelas -35- TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3933 DPNP
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 2/6/PBI/2000 </reg_id> <reg_title> PERSYARATAN DAN TATA CARA PEMERIKSAAN BANK </reg_title> <set_date> 21 Pebruari 2000 </set_date> <effective_date> 21 Pebruari 2000 </effective_date> <replaced_reg> '5/155/UPPB/PbB|SE-BI/1973', '27/52/KEP/DIR|SKDIR-BI/1994', '27/1/BPPP|SE-BI/1994' </replaced_reg> <related_reg> '23/UU/1999', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg> <penalty_list> 'BAB VII' </penalty_list>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 17/23/PBI/2015 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 16/10/PBI/2014 TENTANG PENERIMAAN DEVISA HASIL EKSPOR DAN PENARIKAN DEVISA UTANG LUAR NEGERI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka meningkatkan pemanfaatan devisa utang luar negeri sebagai sumber dana yang berkesinambungan bagi pembangunan ekonomi nasional diperlukan penguatan pemantauan atas kegiatan penarikan devisa utang luar negeri; b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu melakukan perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 16/10/PBI/2014 tentang Penerimaan Devisa Hasil Ekspor dan Penarikan Devisa Utang Luar Negeri; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah - 2 - Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962); 2. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3844); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 16/10/PBI/2014 TENTANG PENERIMAAN DEVISA HASIL EKSPOR DAN PENARIKAN DEVISA UTANG LUAR NEGERI. Pasal I Beberapa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 16/10/PBI/2014 tentang Penerimaan Devisa Hasil Ekspor dan Penarikan Devisa Utang Luar Negeri (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5534) diubah sebagai berikut: 1. Ketentuan Pasal 13 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 13 (1) Setiap penarikan DULN wajib diterima oleh Debitur ULN melalui Bank Devisa. (2) Debitur ULN yang menerima DULN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus menyampaikan informasi penerimaan DULN kepada Bank Devisa secara akurat. - 3 - (3) DULN yang diterima oleh Debitur ULN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilaporkan oleh Debitur ULN kepada Bank Indonesia. 2. Di antara Pasal 13 dan Pasal 14 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 13A yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 13A (1) Kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) berlaku bagi DULN yang berbentuk dana yang berasal dari: a. ULN berdasarkan perjanjian kredit (loan agreement) dalam bentuk nonrevolving; b. ULN berdasarkan surat utang (debt securities). (2) Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga termasuk DULN yang berasal dari selisih antara nilai ULN baru dengan tujuan refinancing terhadap nilai ULN lama. 3. Ketentuan Pasal 14 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 14 (1) Nilai akumulasi penerimaan DULN harus sama dengan nilai komitmen ULN. (2) Dalam hal nilai akumulasi penerimaan DULN melalui Bank Devisa lebih kecil dari nilai komitmen ULN dengan selisih kurang lebih besar dari ekuivalen Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah), Debitur ULN harus menyampaikan penjelasan tertulis dan dokumen pendukung yang memadai kepada Bank Indonesia. (3) Dalam hal selisih kurang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berjumlah paling banyak ekuivalen Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah), Debitur ULN tidak perlu menyampaikan penjelasan tertulis dan dokumen pendukung. - 4 - (4) Penjelasan tertulis dan dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus disampaikan kepada Bank Indonesia paling lambat sebelum berakhirnya jangka waktu ULN. 4. Di antara Pasal 14 dan Pasal 15 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 14A yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 14A (1) Nilai setiap penerimaan DULN melalui Bank Devisa harus sama dengan nilai setiap penarikan ULN. (2) Dalam hal nilai setiap penerimaan DULN melalui Bank Devisa lebih kecil dari nilai setiap penarikan ULN dengan selisih kurang lebih besar dari ekuivalen Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah), nilai penerimaan DULN dianggap sama dengan nilai penarikan ULN apabila Debitur ULN menyampaikan dokumen pendukung yang memadai kepada Bank Indonesia. (3) Dalam hal selisih kurang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berjumlah paling banyak ekuivalen Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah), nilai penerimaan DULN dianggap sama dengan nilai penarikan ULN dan Debitur ULN tidak perlu menyampaikan dokumen pendukung. (4) Dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib disampaikan kepada Bank Indonesia paling lambat akhir bulan berikutnya setelah tanggal penarikan ULN. 5. Ketentuan Pasal 15 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 15 (1) Penerimaan DULN yang dilaporkan ke Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3) disampaikan melalui laporan realisasi dan - 5 - posisi ULN sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai pelaporan kegiatan lalu lintas devisa. (2) Penyampaian laporan penerimaan DULN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disertai dokumen pendukung yang dapat membuktikan bahwa penerimaan DULN telah dilakukan melalui Bank Devisa. (3) Dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan kepada Bank Indonesia paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya setelah tanggal penarikan ULN. 6. Ketentuan Pasal 16 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 16 (1) Dokumen pendukung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2) dapat disampaikan kepada Bank Indonesia dalam bentuk softcopy melalui e-mail atau media lainnya. (2) Dokumen pendukung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14A ayat (2) dan Pasal 15 ayat (2) dapat disampaikan kepada Bank Indonesia dalam bentuk softcopy melalui e-mail atau media lainnya. (3) Dalam hal hari terakhir penyampaian dokumen pendukung jatuh pada hari Sabtu, Minggu, hari libur, dan/atau cuti bersama yang ditetapkan oleh Bank Indonesia, penyampaian dokumen pendukung dapat disampaikan pada Hari berikutnya. (4) Pelapor DULN dinyatakan tidak menyampaikan dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) apabila dokumen pendukung tidak disampaikan sampai dengan batas waktu yang ditentukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14A ayat (4) dan Pasal 15 ayat (3). - 6 - (5) Dalam hal Pelapor DULN tidak menyampaikan dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Pelapor DULN dianggap tidak melakukan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1). 7. Ketentuan Pasal 21 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 21 (1) Debitur ULN yang melakukan pelanggaran terhadap kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) dikenakan sanksi administratif berupa denda sebesar 0,25% (nol koma dua puluh lima persen) dari setiap nilai penarikan ULN yang tidak diterima melalui Bank Devisa, dengan nominal paling banyak sebesar Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). (2) Selain dikenakan sanksi administratif berupa denda, Debitur ULN yang melakukan pelanggaran terhadap kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) dapat dikenakan sanksi administratif berupa: a. teguran tertulis; dan/atau b. pemberitahuan kepada: 1. kreditor yang bersangkutan di luar negeri; dan/atau 2. instansi yang berwenang. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. 8. Di antara Pasal 24 dan Pasal 25 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 24A dan Pasal 24B yang berbunyi sebagai berikut: - 7 - Pasal 24A (1) Debitur ULN yang telah dikenakan sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1), dapat diberikan pembebasan sanksi administratif berupa denda. (2) Pembebasan sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan setelah Debitur ULN menyampaikan bukti pemenuhan kewajiban penerimaan DULN dan berdasarkan penelitian Bank Indonesia, Debitur ULN tidak melakukan pelanggaran terhadap kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1). Pasal 24B (1) Permohonan untuk pembebasan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24A harus disampaikan kepada Bank Indonesia dalam batas waktu tertentu. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai batas waktu tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia. 9. Di antara Bab VI dan Bab VII disisipkan 1 (satu) Bab, yakni Bab VIA yang berbunyi sebagai berikut: BAB VIA KETENTUAN LAIN-LAIN Pasal 26A Dalam hal terdapat permasalahan terkait penerapan kewajiban penerimaan DHE dan DULN yang berdampak strategis, Bank Indonesia dapat mengambil kebijakan tertentu dengan tetap memperhatikan ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini dan peraturan perundang-undangan lainnya. - 8 - Pasal II 1. Penarikan DULN yang berasal dari perjanjian ULN yang ditandatangani sebelum berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini tetap mengacu pada Peraturan Bank Indonesia Nomor 16/10/PBI/2014 tentang Penerimaan Devisa Hasil Ekspor dan Penarikan Devisa Utang Luar Negeri (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5534) sampai dengan berakhirnya perjanjian ULN dimaksud, kecuali untuk penarikan DULN yang berasal dari penambahan plafon ULN karena adanya perubahan perjanjian (amandemen) yang ditandatangani setelah berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini. 2. Ketentuan mengenai pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 mulai berlaku untuk penarikan ULN yang dilakukan sejak tanggal 1 Maret 2016. 3. Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 2 Januari 2016. - 9 - Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 23 Desember 2015 GUBERNUR BANK INDONESIA, AGUS D.W. MARTOWARDOJO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 28 Desember 2015 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2015 NOMOR 374 PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 17/23/PBI/20152015 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 16/10/PBI/2014 TENTANG PENERIMAAN DEVISA HASIL EKSPOR DAN PENARIKAN DEVISA UTANG LUAR NEGERI I. UMUM Pemenuhan kewajiban atas peraturan ini oleh Debitur DULN membutuhkan penyempurnaan, baik terkait mekanisme pemantauan penerimaan DULN maupun keakuratan informasi yang disampaikan Debitur DULN kepada Bank Devisa. Oleh karena itu, pemantauan penerimaan DULN perlu diperkuat antara lain dengan memonitor setiap penerimaan DULN tanpa menunggu penarikan ULN terakhir. Selain itu dipandang perlu untuk mengharuskan Debitur ULN untuk menyampaikan informasi mengenai penerimaan DULN secara akurat kepada Bank Devisa. Perubahan ketentuan ini diharapkan dapat meningkatkan efektivitas mekanisme pamantauan DULN dan tingkat kepatuhan Debitur ULN terhadap kewajiban penerimaan DULN melalui Bank Devisa. II. PASAL DEMI PASAL Pasal I Angka 1 Pasal 13 - 2 - Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Debitur ULN harus menyampaikan informasi kepada Bank Devisa bahwa transaksi penerimaan (incoming transfer) yang terjadi merupakan penerimaan DULN dari penarikan ULN yang dilakukan. Ayat (3) Cukup jelas. Angka 2 Pasal 13A Ayat (1) Yang dimaksud dengan “DULN yang berbentuk dana” dalam ayat ini adalah DULN yang diterima dalam bentuk selain barang dan jasa. Huruf a Yang dimaksud dengan ”perjanjian kredit (loan agreement)” adalah perjanjian tertulis yang berisi syarat dan kondisi pinjaman yang antara lain mengatur besarnya plafon kredit, suku bunga, jangka waktu, dan cara-cara pelunasannya. Yang dimaksud dengan ”perjanjian kredit (loan agreement) dalam bentuk nonrevolving” adalah perjanjian kredit (loan agreement) yang tidak memperbolehkan akumulasi penarikan ULN melebihi komitmen. Huruf b Yang dimaksud dengan “surat utang (debt securities)” adalah surat pengakuan utang yang dapat diperdagangkan di pasar uang atau pasar modal di dalam maupun di luar negeri, antara lain dalam bentuk Bonds, Medium Term Notes (MTN), Floating Rate Notes (FRN), Promissory Notes (PN), dan Commercial Paper (CP). - 3 - Ayat (2) Yang dimaksud dengan ”ULN baru” adalah ULN berdasarkan perjanjian kredit (loan agreement) dan surat utang (debt securities). Yang dimaksud dengan ”ULN lama” adalah ULN berdasarkan perjanjian kredit (loan agreement), surat utang (debt securities), dan utang dagang (trade credit) dalam bentuk barang. Contoh 1: PT FZ memperoleh ULN sebesar USD20,000,000.00 (dua puluh juta dolar Amerika Serikat) dari kreditur RF di Singapura untuk refinancing ULN lama dengan jumlah outstanding yang sama yaitu sebesar USD20,000,000.00 (dua puluh juta dolar Amerika Serikat) yang diterima dari kreditur AA di Singapura. Pertimbangan PT FZ melakukan refinancing tersebut karena adanya tawaran suku bunga yang lebih rendah serta term & condition yang lebih longgar. Oleh karena tidak ada selisih antara nilai ULN baru dengan tujuan refinancing terhadap nilai ULN lama, PT FZ tidak diwajibkan menerima DULN melalui Bank Devisa. Contoh 2: PT AK memperoleh ULN yang berasal dari penerbitan obligasi sebesar USD30,000,000.00 (tiga puluh juta dolar Amerika Serikat) di Singapura. ULN tersebut dipergunakan untuk refinancing ULN lama dengan jumlah outstanding sebesar USD20,000,000.00 (dua puluh juta dolar Amerika Serikat) yang diterima dari kreditur Bank AT di Singapura dan untuk tambahan modal kerja sebesar USD10,000,000.00 (sepuluh juta dolar Amerika Serikat). Selisih antara nilai ULN baru dengan tujuan refinancing terhadap nilai ULN lama, yaitu sebesar USD10,000,000.00 (sepuluh juta dolar Amerika Serikat) wajib diterima melalui Bank Devisa. Angka 3 Pasal 14 - 4 - Ayat (1) Nilai akumulasi penerimaan DULN dihitung dengan cara menjumlahkan seluruh penerimaan DULN sampai dengan berakhirnya jangka waktu ULN. Ayat (2) Penjelasan tertulis merupakan pernyataan pihak perusahaan yang menjelaskan adanya selisih kurang antara nilai akumulasi penerimaan DULN dengan nilai komitmen ULN. Dokumen pendukung dinilai memadai apabila dokumen tersebut dapat membuktikan penyebab terjadinya selisih kurang antara nilai akumulasi penerimaan DULN dengan nilai komitmen ULN, antara lain biaya konsultan, biaya provisi, dan biaya transfer. Dokumen pendukung antara lain berupa bank statement dan creditor statement. Contoh: PT ZA memperoleh ULN dalam bentuk loan agreement dari kreditur AO di Jepang dalam mata uang JPY sebesar ekuivalen Rp750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah). Diperjanjikan bahwa penarikan dilakukan sebanyak 5 (lima) kali sampai dengan berakhirnya jangka waktu loan agreement, yaitu tanggal 31 Desember 2017. Sampai dengan penarikan yang terakhir atau ke-5, jumlah penerimaan DULN tercatat sebesar ekuivalen Rp650.000.000,00 (enam ratus lima puluh juta rupiah). Dengan demikian, terdapat selisih kurang antara nilai akumulasi penerimaan DULN dengan nilai komitmen ULN sebesar ekuivalen Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah). PT ZA harus menyampaikan penjelasan tertulis dan dokumen pendukung yang memadai kepada Bank Indonesia yang dapat membuktikan penyebab terjadinya selisih kurang tersebut. Ayat (3) Contoh: - 5 - PT DA memperoleh ULN dalam bentuk loan agreement dari kreditur CE di Singapura dalam mata uang USD sebesar ekuivalen Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Diperjanjikan bahwa penarikan dilakukan sebanyak 5 (lima) kali sampai dengan berakhirnya jangka waktu loan agreement. Sampai dengan penarikan yang terakhir atau ke-5, jumlah penerimaan DULN tercatat sebesar ekuivalen Rp475.000.000,00 (empat ratus tujuh puluh lima juta rupiah). Dengan demikian, terdapat selisih kurang antara nilai akumulasi penerimaan DULN dengan nilai komitmen ULN sebesar ekuivalen Rp25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah). Selisih kurang antara nilai akumulasi penerimaan DULN dengan nilai komitmen ULN tersebut di bawah Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) sehingga PT DA tidak perlu menyampaikan penjelasan tertulis dan dokumen pendukung kepada Bank Indonesia. Ayat (4) Contoh: PT ZA sebagaimana contoh pada penjelasan ayat (2) harus menyampaikan penjelasan tertulis dan dokumen pendukung paling lambat sebelum tanggal 31 Desember 2017. Angka 4 Pasal 14A Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Dokumen pendukung dinilai memadai apabila dokumen tersebut dapat membuktikan penyebab terjadinya selisih kurang antara nilai setiap penerimaan DULN melalui Bank Devisa dengan nilai setiap penarikan ULN, antara lain biaya konsultan, biaya provisi, dan biaya transfer. Dokumen pendukung - 6 - antara lain berupa bank statement dan creditor statement. Contoh: PT AB memperoleh ULN dalam bentuk loan agreement dari kreditur IS di Jepang dalam mata uang JPY sebesar ekuivalen Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). Pada penarikan kedua tanggal 1 Juni 2017, nilai penarikan ULN dilaporkan sebesar ekuivalen Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Sementara itu, nilai penerimaan DULN melalui Bank Devisa tercatat sebesar ekuivalen Rp400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah). Dengan demikian, terdapat selisih kurang antara nilai penerimaan DULN melalui Bank Devisa dengan nilai penarikan ULN sebesar ekuivalen Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Dalam hal ini, nilai penerimaan DULN dianggap sama dengan nilai penarikan ULN apabila PT AB menyampaikan dokumen pendukung yang memadai kepada Bank Indonesia. Ayat (3) Contoh: PT SN memperoleh ULN dalam bentuk loan agreement dari kreditur FH di Singapura dalam mata uang USD sebesar ekuivalen Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Pada penarikan pertama, nilai penarikan ULN dilaporkan sebesar ekuivalen Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah). Sementara itu, nilai penerimaan DULN melalui Bank Devisa tercatat sebesar ekuivalen Rp225.000.000,00 (dua ratus dua puluh lima juta rupiah). Dengan demikian, terdapat selisih kurang antara nilai penerimaan DULN melalui Bank Devisa dengan nilai penarikan ULN sebesar ekuivalen Rp25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah). Oleh karena selisih kurang tersebut di bawah Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah), nilai penerimaan DULN dianggap sama dengan nilai - 7 - penarikan ULN dan PT SN tidak perlu menyampaikan dokumen pendukung kepada Bank Indonesia. Ayat (4) Contoh: PT AB sebagaimana contoh pada penjelasan ayat (2) harus menyampaikan dokumen pendukung paling lambat sebelum tanggal 31 Juli 2017. Angka 5 Pasal 15 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Dokumen pendukung antara lain berupa bukti transfer dan/atau SWIFT message. Ayat (3) Cukup jelas. Angka 6 Pasal 16 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Contoh: PT FP memperoleh ULN dalam bentuk loan agreement dari kreditur DM di Jerman dalam mata uang EUR sebesar ekuivalen Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Pada tanggal 1 Juni 2017, PT FP melaporkan bahwa dilakukan penarikan seluruh ULN tersebut. Sementara itu, nilai penerimaan DULN melalui Bank Devisa tercatat sebesar ekuivalen Rp800.000.000,00 - 8 - (delapan ratus juta rupiah). Dengan demikian, terdapat selisih kurang antara nilai penerimaan DULN melalui Bank Devisa dengan nilai penarikan ULN sebesar ekuivalen Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). Apabila PT FP tidak menyampaikan dokumen pendukung yang memadai sampai dengan tanggal 31 Juli 2017, PT FP dianggap tidak melakukan penerimaan DULN melalui Bank Devisa sebesar ekuivalen Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). Angka 7 Pasal 21 Ayat (1) Contoh 1: PT JD memperoleh ULN dari penerbitan surat utang di Jerman sebesar ekuivalen Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah). Akan tetapi, ULN tersebut tidak diterima melalui Bank Devisa. Berdasarkan contoh tersebut, PT JD dikenakan sanksi administratif berupa denda sebesar 0,25% X Rp1.500.000.000,00 = Rp3.750.000,00 (tiga juta tujuh ratus lima puluh ribu rupiah). Contoh 2: PT AW memperoleh ULN dalam bentuk loan agreement dari kreditur AZ di Inggris sebesar ekuivalen Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah). Pada penarikan pertama, jumlah ULN yang ditarik dilaporkan sebesar ekuivalen Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah). Sementara itu, nilai penerimaan DULN melalui Bank Devisa tercatat sebesar ekuivalen Rp20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah). Sedangkan sisanya sebesar ekuivalen Rp30.000.000.000,00 (tiga puluh miliar rupiah) disimpan di bank di luar negeri. Berdasarkan contoh tersebut, perhitungan sanksi administratif berupa denda adalah sebesar 0,25% X Rp30.000.000.000,00 = Rp75.000.000,00 (tujuh puluh - 9 - lima juta rupiah). Mengingat denda tersebut lebih besar dari Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah), PT AW hanya dikenakan sanksi administratif berupa denda sebesar Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Angka 1 Cukup jelas. Angka 2 Yang dimaksud dengan “instansi yang berwenang” antara lain Otoritas Jasa Keuangan dan kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang badan usaha milik negara. Ayat (3) Cukup jelas. Angka 8 Pasal 24A Cukup jelas. Pasal 24B Ayat (1) Bank Indonesia tidak memproses pengajuan permohonan untuk pembebasan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24A yang disampaikan setelah berakhirnya batas waktu tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Ayat (2) Cukup jelas. Angka 9 Pasal 26A Cukup jelas. - 10 - Pasal II Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5814
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 17/23/PBI/2015 </reg_id> <reg_title> PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 16/10/PBI/2014 TENTANG PENERIMAAN DEVISA HASIL EKSPOR DAN PENARIKAN DEVISA UTANG LUAR NEGERI </reg_title> <set_date> 23 Desember 2015 </set_date> <effective_date> 2 Januari 2016 </effective_date> <issued_date> 28 Desember 2015 </issued_date> <changed_reg> '16/10/PBI/2014' </changed_reg> <related_reg> '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '24/UU/1999' </related_reg> <penalty_list> 'Pasal I Angka 7 Pasal 21', 'Pasal I Angka 8 Pasal 24A' </penalty_list>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 14/ 16 /PBI/2012 TENTANG FASILITAS PENDANAAN JANGKA PENDEK BAGI BANK UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kondisi makro ekonomi dan stabilitas sektor keuangan saat ini cukup terjaga dan perlu dipertahankan dalam rangka memelihara stabilitas sistem keuangan dan stabilitas sistem perbankan serta menjaga kepercayaan masyarakat terhadap perbankan; b. bahwa dalam rangka memelihara stabilitas sistem keuangan dan stabilitas sistem perbankan serta menjaga kepercayaan masyarakat terhadap perbankan tetap diperlukan upaya untuk mengatasi kesulitan likuiditas jangka pendek; c. bahwa upaya untuk mengatasi kesulitan likuiditas jangka pendek dapat ditempuh melalui upaya penyediaan fasilitas pendanaan jangka pendek kepada bank; d. bahwa … - 2 - d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c perlu mengatur kembali Peraturan Bank Indonesia tentang Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek Bagi Bank Umum; Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); 2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3843) sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang- Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962); MEMUTUSKAN … - 3 - MEMUTUSKAN: Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG FASILITAS PENDANAAN JANGKA PENDEK BAGI BANK UMUM. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan: 1. Bank Indonesia adalah Bank Sentral Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai Bank Indonesia. 2. Bank adalah Bank Umum yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional sebagaimana dimaksud dalam Undang- undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, tidak termasuk kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri. 3. Giro Wajib Minimum yang selanjutnya disingkat GWM adalah GWM Primer dalam rupiah sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai giro wajib minimum Bank Umum pada Bank Indonesia dalam rupiah dan valuta asing. 4. Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek, yang selanjutnya disingkat FPJP, adalah fasilitas pendanaan dari Bank Indonesia kepada Bank untuk mengatasi Kesulitan Pendanaan Jangka Pendek yang dialami oleh Bank. 5. Kesulitan … - 4 - 5. Kesulitan Pendanaan Jangka Pendek adalah keadaan yang dialami Bank yang disebabkan oleh terjadinya arus dana masuk yang lebih kecil dibandingkan dengan arus dana keluar (mismatch) dalam rupiah sehingga Bank tidak dapat memenuhi kewajiban GWM. 6. Sertifikat Bank Indonesia yang untuk selanjutnya disingkat SBI adalah surat berharga dalam mata uang rupiah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia sebagai pengakuan utang berjangka waktu pendek. 7. Sertifikat Bank Indonesia Syariah yang untuk selanjutnya disingkat SBIS adalah surat berharga berdasarkan Prinsip Syariah berjangka waktu pendek dalam mata uang rupiah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia. 8. Surat Berharga Negara yang selanjutnya disingkat SBN adalah Surat Utang Negara dan Surat Berharga Syariah Negara. 9. Surat Utang Negara yang selanjutnya disingkat SUN adalah surat berharga yang berupa surat pengakuan utang dalam mata uang rupiah maupun valuta asing yang dijamin pembayaran bunga dan pokoknya oleh Negara Republik Indonesia, sesuai dengan masa berlakunya, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang berlaku. 10. Surat Berharga Syariah Negara yang selanjutnya disingkat SBSN, atau yang dapat disebut Sukuk Negara adalah surat berharga negara yang diterbitkan berdasarkan prinsip syariah, sebagai bukti atas penyertaan terhadap aset SBSN, baik dalam mata uang rupiah maupun valuta asing, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang berlaku. 11. Aset … - 5 - 11. Aset Kredit adalah kredit sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai penilaian kualitas aset Bank Umum. BAB II PERSYARATAN DAN TATA CARA PERMOHONAN FPJP Pasal 2 (1) Bank yang mengalami Kesulitan Pendanaan Jangka Pendek dapat mengajukan permohonan untuk memperoleh FPJP apabila memiliki rasio kewajiban penyediaan modal minimum paling rendah 8% (delapan persen) dan memenuhi modal sesuai dengan profil risiko Bank. (2) Bank mengajukan plafon FPJP berdasarkan perkiraan jumlah kebutuhan likuiditas sampai dengan Bank memenuhi GWM sesuai dengan ketentuan yang berlaku. (3) Pencairan FPJP dilakukan sebesar kebutuhan Bank untuk memenuhi kewajiban GWM. Pasal 3 FPJP wajib dijamin oleh Bank dengan agunan yang berkualitas tinggi dengan nilai sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini. Pasal 4 (1) Agunan yang berkualitas tinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 berupa: a. surat berharga; dan/atau b. Aset Kredit. (2) Jenis … - 6 - (2) Jenis surat berharga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a berupa: a. SBI dan SBIS; b. SBN; dan/atau c. surat berharga yang diterbitkan oleh badan hukum lain yang pada saat permohonan FPJP memiliki peringkat paling rendah peringkat investasi (investment grade), aktif diperdagangkan, dan sisa jangka waktu surat berharga paling singkat 90 (sembilan puluh) hari. (3) Surat berharga sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c hanya dapat digunakan sebagai agunan FPJP dalam hal: a. Bank tidak memiliki surat berharga sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan/atau huruf b; atau b. Bank memiliki surat berharga sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan/atau huruf b namun tidak mencukupi untuk menjadi agunan FPJP. (4) Aset Kredit yang dapat dijadikan agunan FPJP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b wajib memenuhi kriteria sebagai berikut: a. kualitas tergolong lancar selama 12 (dua belas) bulan terakhir berturut-turut; b. bukan merupakan kredit konsumsi kecuali kredit pemilikan rumah (KPR); c. kredit dijamin dengan agunan tanah dan/atau bangunan dengan nilai paling rendah 140% (seratus empat puluh persen) dari plafon kredit; d. bukan merupakan kredit kepada pihak terkait Bank; e. kredit … - 7 - e. kredit belum pernah direstrukturisasi; f. sisa jangka waktu jatuh tempo kredit paling singkat 12 (dua belas) bulan dari saat persetujuan FPJP; g. baki debet (outstanding) kredit tidak melebihi batas maksimum pemberian kredit pada saat diberikan dan tidak melebihi plafon kredit; dan h. memiliki perjanjian kredit dan pengikatan agunan yang mempunyai kekuatan hukum. (5) Aset Kredit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b hanya dapat digunakan sebagai agunan FPJP dalam hal Bank tidak memiliki surat berharga atau surat berharga yang dimiliki oleh Bank tidak mencukupi untuk menjadi agunan FPJP. (6) Dalam hal setelah memperoleh FPJP yang dijamin oleh sebagian atau seluruhnya dengan Aset Kredit, Bank memiliki surat berharga yang memenuhi syarat untuk menjadi agunan FPJP, Bank wajib mengganti Aset Kredit yang diagunkan dengan surat berharga tersebut. Pasal 5 (1) Nilai aset yang digunakan sebagai agunan FPJP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ditetapkan sebagai berikut: a. nilai agunan sebesar 100% (seratus persen) dari plafon FPJP yang dihitung berdasarkan nilai jual surat berharga, dalam hal agunan berupa SBI; b. nilai agunan sebesar 100% (seratus persen) dari plafon FPJP yang dihitung berdasarkan nilai nominal surat berharga, dalam hal agunan berupa SBIS; c. nilai … - 8 - c. nilai agunan paling rendah sebesar 105% (seratus lima persen) dari plafon FPJP yang dihitung berdasarkan nilai pasar surat berharga, dalam hal agunan berupa SBN; d. nilai agunan sesuai dengan jenis surat berharga, paling rendah sebesar 120% (seratus dua puluh persen) dari plafon FPJP yang dihitung berdasarkan nilai pasar surat berharga, dalam hal agunan berupa surat berharga yang diterbitkan oleh badan hukum lain; dan e. nilai agunan paling rendah sebesar 200% (dua ratus persen) dari plafon FPJP yang dihitung berdasarkan baki debet (outstanding) Aset Kredit, dalam hal agunan berupa Aset Kredit. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai nilai jual dan nilai pasar sebagaimana tersebut pada ayat (1) huruf a, huruf c, dan huruf d diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 6 (1) Agunan FPJP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) harus bebas dari segala bentuk perikatan, sengketa, dan tidak sedang dijaminkan kepada pihak lain dan/atau Bank Indonesia, yang dinyatakan dalam surat pernyataan Bank kepada Bank Indonesia. (2) Bank yang telah memperoleh FPJP dilarang untuk memperjualbelikan dan/atau menjaminkan kembali surat berharga yang masih dalam status sebagai agunan FPJP. (3) Bank … - 9 - (3) Bank wajib mengganti dan/atau menambah agunan FPJP apabila tidak memenuhi kondisi-kondisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2). (4) Bank wajib melakukan penilaian terhadap agunan FPJP secara berkala dalam periode tertentu. (5) Bank wajib menambah dan/atau mengganti agunan FPJP, apabila: a. terjadi penurunan nilai surat berharga berupa SBN dan surat berharga yang diterbitkan oleh badan hukum lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf c dan huruf d; dan/atau b. Aset Kredit yang diagunkan tidak memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (4) dan/atau terjadi penurunan nilai Aset Kredit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf e. (6) Untuk keperluan perpanjangan FPJP, Bank dapat menjaminkan kembali aset yang sedang menjadi agunan FPJP. (7) Ketentuan lebih lanjut mengenai periode penilaian agunan FPJP diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 7 (1) Bank Indonesia dapat menetapkan: a. penambahan persentase tertentu dari nilai agunan surat berharga berupa SBN dan surat berharga yang diterbitkan oleh badan hukum lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf c dan huruf d; dan/atau b. batas … - 10 - b. batas persentase penurunan nilai agunan surat berharga berupa SBN dan surat berharga yang diterbitkan oleh badan hukum lain yang lebih tinggi dari persentase sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf c dan huruf d. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penambahan persentase tertentu dan batas persentase penurunan nilai agunan surat berharga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 8 (1) Bank wajib memelihara dan menatausahakan daftar Aset Kredit yang memenuhi persyaratan untuk menjadi agunan FPJP. (2) Bank wajib menyampaikan laporan daftar Aset Kredit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Bank Indonesia setiap 6 (enam) bulan sekali, yaitu untuk posisi akhir bulan Juni dan akhir bulan Desember, paling lambat tanggal 15 (lima belas) setelah posisi akhir bulan bersangkutan. (3) Untuk pertama kali, laporan daftar Aset Kredit disampaikan untuk posisi bulan Juni 2013. (4) Bank dapat menyampaikan laporan nihil apabila tidak memiliki aset kredit yang memenuhi persyaratan sebagai agunan FPJP atau tidak mengalokasikan aset kredit sebagai agunan untuk mengantisipasi kebutuhan FPJP. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyampaian daftar Aset Kredit dan dokumen pendukungnya diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal … - 11 - Pasal 9 (1) Pengikatan agunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dilakukan sesuai dengan peraturan perundangan-undangan yang berlaku. (2) Dokumen-dokumen atas aset yang menjadi agunan FPJP ditatausahakan oleh Bank Indonesia. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk pengikatan agunan diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 10 (1) Permohonan FPJP wajib diajukan oleh Bank secara tertulis kepada Bank Indonesia. (2) Permohonan FPJP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilengkapi dengan dokumen-dokumen sebagai berikut: a. surat pernyataan Bank yang menyatakan bahwa Bank mengalami Kesulitan Pendanaan Jangka Pendek; b. dokumen yang mendukung jumlah kebutuhan untuk mengatasi Kesulitan Pendanaan Jangka Pendek; c. daftar aset yang menjadi agunan beserta dokumen pendukung; d. surat pernyataan bahwa seluruh aset yang menjadi agunan FPJP tidak sedang dijaminkan kepada pihak lain, tidak dibawah sitaan, tidak tersangkut dalam suatu perkara atau sengketa, dan memenuhi seluruh persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4; dan e. surat kesanggupan Bank untuk membayar segala kewajiban terkait FPJP pada saat jatuh tempo. (3) Bank … - 12 - (3) Bank wajib meyakini kebenaran data dan dokumen yang disampaikan termasuk namun tidak terbatas pada kualitas kredit dan agunan yang menyertainya. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara permohonan FPJP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 11 (1) Jangka waktu setiap FPJP paling lama 14 (empat belas) hari kalender. (2) Jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diperpanjang secara berturut-turut dengan jangka waktu FPJP keseluruhan paling lama 90 (sembilan puluh) hari kalender. Pasal 12 Bank dapat mengajukan permohonan perpanjangan FPJP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2), dengan ketentuan sebagai berikut: a. bunga atas FPJP yang jatuh tempo dilunasi terlebih dahulu; b. Bank tidak dapat memenuhi kewajiban GWM berdasarkan perkiraan arus kas selama 14 (empat belas) hari ke depan; c. agunan masih mencukupi dan memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6. Pasal … - 13 - Pasal 13 Bank dapat mengajukan tambahan nilai FPJP yang dibutuhkan dalam hal Bank masih memiliki Kesulitan Pendanaan Jangka Pendek sepanjang: a. agunan masih mencukupi dan memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 5 dan Pasal 6; dan b. penggunaan FPJP belum melampaui 90 (sembilan puluh) hari kalender berturut-turut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2). BAB III PERSETUJUAN DAN PENCAIRAN FPJP Pasal 14 (1) Persetujuan Bank Indonesia atas permohonan FPJP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1), perpanjangan FPJP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, dan/atau penambahan FPJP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dilakukan apabila: a. Bank memenuhi persyaratan permohonan FPJP; b. Bank memenuhi persyaratan kelengkapan dokumen permohonan FPJP; dan c. berdasarkan analisis Bank Indonesia diperkirakan bahwa Bank tidak dapat memenuhi kewajiban GWM berdasarkan perkiraan arus kas paling lama 14 (empat belas) hari kalender ke depan. (2) Persetujuan pemberian FPJP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam perjanjian pemberian FPJP antara Bank Indonesia dengan Bank penerima FPJP. (3) Perjanjian … - 14 - (3) Perjanjian pemberian FPJP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilampiri dengan perjanjian pengikatan agunan FPJP. (4) Realisasi pemberian FPJP oleh Bank Indonesia dilakukan melalui rekening giro rupiah Bank yang bersangkutan pada Bank Indonesia. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai perjanjian pemberian FPJP diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 15 Bank Indonesia menolak permohonan FPJP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 dalam hal Bank yang mengajukan permohonan FPJP tidak memenuhi ketentuan, tata cara dan persyaratan yang diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini. Pasal 16 Bank Indonesia menolak permohonan perpanjangan FPJP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 dan/atau permohonan penambahan FPJP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, apabila: a. permohonan perpanjangan FPJP dan/atau permohonan penambahan FPJP tidak sesuai dengan ketentuan, tata cara dan persyaratan yang diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini; dan/atau b. Bank penerima FPJP mengalami perkembangan yang memburuk, permasalahan likuiditas mendasar, dan/atau mengalami perubahan status sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penetapan status dan tindak lanjut pengawasan Bank. Pasal … - 15 - Pasal 17 (1) Bank Indonesia menghentikan pencairan FPJP dan/atau mengakhiri perjanjian FPJP sebelum jatuh waktu dalam hal terjadi pelanggaran persyaratan FPJP oleh Bank. (2) Penghentian pencairan FPJP dan/atau pengakhiran perjanjian FPJP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang disebabkan karena pelanggaran persyaratan agunan FPJP, dilakukan setelah tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (5) ditempuh. BAB IV PERHITUNGAN BUNGA Pasal 18 (1) Bank Indonesia mengenakan biaya bunga kepada Bank atas realisasi penggunaan FPJP. (2) Tingkat suku bunga FPJP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebesar repurchase agreement (repo) rate ditambah dengan 100 (seratus) basis poin. BAB V PELUNASAN DAN EKSEKUSI AGUNAN Pasal 19 (1) Bank Indonesia mendebet rekening giro Rupiah Bank penerima FPJP di Bank Indonesia dalam hal: a. sebelum FPJP jatuh tempo dan saldo rekening giro Bank di Bank Indonesia melebihi kewajiban GWM, paling tinggi sebesar nilai pokok FPJP yang telah diterima Bank; b. FPJP … - 16 - b. FPJP jatuh tempo, sebesar nilai pokok dan bunga FPJP; dan/atau c. FPJP diakhiri sebelum perjanjian jatuh tempo, sebesar nilai pokok dan bunga FPJP. (2) Dalam hal saldo giro Rupiah Bank penerima FPJP di Bank Indonesia tidak mencukupi untuk membayar pokok dan bunga FPJP maka Bank Indonesia melakukan eksekusi agunan FPJP. (3) Bank Indonesia tetap mengenakan biaya bunga sampai dengan eksekusi agunan selesai dilaksanakan. (4) Apabila nilai hasil eksekusi agunan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) lebih kecil dibandingkan dengan jumlah pokok dan bunga FPJP yang harus dilunasi oleh Bank maka Bank wajib membayar kekurangannya kepada Bank Indonesia. (5) Apabila nilai hasil eksekusi agunan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) lebih besar dibandingkan dengan jumlah pokok dan bunga FPJP yang harus dilunasi oleh Bank maka Bank Indonesia mengembalikan kelebihan tersebut kepada Bank. BAB VI BIAYA PEMBERIAN FPJP Pasal 20 Biaya-biaya yang timbul sehubungan dengan pengikatan perjanjian, pengikatan dan eksekusi agunan serta biaya lainnya yang mungkin timbul dalam rangka pemberian FPJP menjadi beban Bank. BAB … - 17 - BAB VII PENGAWASAN Pasal 21 Dalam rangka pengawasan terhadap penggunaan FPJP, Bank wajib: a. menyampaikan laporan kepada Bank Indonesia mengenai penggunaan FPJP, kondisi likuiditas Bank, pemantauan pemenuhan persyaratan FPJP dan persyaratan agunan FPJP pada setiap akhir hari kerja. b. menyampaikan rencana tindak perbaikan (remedial action plan) untuk mengatasi Kesulitan Pendanaan Jangka Pendek paling lama 5 (lima) hari kerja setelah pencairan FPJP. Pasal 22 Bank Indonesia melakukan pemeriksaan atas penggunaan FPJP yang diberikan kepada Bank. BAB VIII SANKSI Pasal 23 Dalam hal Bank tidak melunasi FPJP dan/atau melakukan pelanggaran atas ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia ini, Bank dikenakan sanksi berupa: a. tidak dapat menerima FPJP dalam jangka waktu tertentu; dan/atau b. sanksi … - 18 - b. sanksi administratif sebagaimana diatur dalam Pasal 52 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 antara lain berupa teguran tertulis, larangan untuk turut serta dalam kegiatan kliring, pembekuan kegiatan usaha tertentu dan/atau pemberhentian Pengurus Bank. Pasal 24 Pengurus Bank, Pemegang Saham Pengendali dan pejabat eksekutif Bank yang dengan sengaja tidak melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan Bank terhadap ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia ini dan/atau memberikan keterangan atau dokumen yang diwajibkan dalam Peraturan Bank Indonesia ini secara tidak benar, selain dikenakan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 huruf b juga dikenakan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 dan Pasal 50 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998. BAB … - 19 - BAB IX KETENTUAN PENUTUP Pasal 25 Ketentuan lebih lanjut mengenai FPJP diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 26 Pada saat Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku maka: a. Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/26/PBI/2008 tentang Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek Bagi Bank Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 160, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4912); dan b. Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/30/PBI/2008 tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/26/PBI/2008 tentang Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek Bagi Bank Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 175, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4923), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 27 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan Agar ... - 20 - Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 23 November 2012 GUBERNUR BANK INDONESIA, DARMIN NASUTION Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 23 November 2012 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, AMIR SYAMSUDIN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2012 NOMOR 259 DPNP/DPM - 21 - PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 14/16 /PBI/2012 TENTANG FASILITAS PENDANAAN JANGKA PENDEK BAGI BANK UMUM I. UMUM Perkembangan terkini mengindikasikan terpeliharanya kondisi ekonomi makro dan stabilitas sistem keuangan serta cukup kuatnya sistem perbankan dalam menghadapi tekanan sehingga tetap mampu berkembang cukup pesat yang berkontribusi terhadap pertumbuhan perekonomian. Namun demikian, sebagai konsekuensi dari globalisasi, sistem keuangan domestik terekspos terhadap perekonomian global, yang di satu sisi mendorong pesatnya perkembangan pasar, namun di sisi lain dapat meningkatkan risiko pada sistem keuangan dan sistem perbankan. Berdasarkan pengalaman di masa lalu, tekanan terhadap sistem perbankan secara langsung akan tercermin pada keketatan likuiditas yang terjadi secara mendadak. Apabila tidak diatasi secara cepat, Bank dapat mengalami liquidity mismatch sehingga tidak mampu memenuhi kewajiban GWM. Dalam rangka mengantisipasi terdapatnya tekanan terhadap sistem perbankan yang bersumber dari keketatan likuiditas, perlu diberikan akses bagi Bank untuk memperoleh Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek dari Bank Indonesia sebagai lender of the last resort. Pengaturan … - 22 - Pengaturan kembali Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek diharapkan dapat memelihara kepercayaan masyarakat serta menjaga integritas sistem perbankan secara khusus dan sistem keuangan secara menyeluruh. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Ayat (1) Penetapan besarnya rasio kewajiban penyediaan modal minimum mengacu kepada pemenuhan modal minimum sesuai profil risiko sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai kewajiban penyediaan modal minimum bagi Bank Umum. Rasio kewajiban penyediaan modal minimum yang digunakan adalah berdasarkan perhitungan terkini Bank Indonesia. Ayat (2) Perkiraan Bank atas jumlah kebutuhan likuiditas didasarkan pada proyeksi arus kas paling lama 14 (empat belas) hari kalender ke depan. Ayat (3) Yang dimaksud dengan kewajiban GWM adalah kewajiban GWM berdasarkan perhitungan Bank Indonesia. Pasal … - 23 - Pasal 3 Cukup jelas. Pasal 4 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Yang dimaksud dengan “surat berharga yang diterbitkan oleh badan hukum lain” adalah obligasi korporasi baik yang konvensional maupun yang syariah. Yang dimaksud dengan ”peringkat investasi” adalah hasil penilaian lembaga pemeringkat yang diakui Bank Indonesia sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai lembaga pemeringkat dan peringkat yang diakui Bank Indonesia. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Huruf a Kualitas tergolong lancar adalah sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai penilaian kualitas aset Bank Umum. Huruf … - 24 - Huruf b Cukup jelas. Huruf c Nilai agunan yang digunakan adalah nilai terendah antara nilai taksasi dan nilai pasar. Penilaian agunan dilakukan sesuai ketentuan Bank Indonesia mengenai penilaian kualitas aset Bank Umum, termasuk namun tidak terbatas pada batasan kredit yang agunannya harus dinilai oleh penilai independen, kriteria penilai independen, dan waktu dilakukannya penilaian. Huruf d Yang dimaksud dengan ”pihak terkait” adalah pihak terkait sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai batas maksimum pemberian kredit Bank Umum. Huruf e Yang dimaksud dengan ”restrukturisasi” adalah restrukturisasi sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penilaian kualitas aset Bank Umum. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Batas maksimum pemberian kredit mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai batas maksimum pemberian kredit Bank Umum. Huruf … - 25 - Huruf h Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 5 Cukup jelas. Pasal 6 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Penggantian atau penambahan agunan FPJP dimaksudkan agar nilai aset agunan FPJP sesuai dengan ketentuan Pasal 5. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Pasal … - 26 - Pasal 7 Ayat (1) Penambahan persentase tertentu dan batas persentase penurunan nilai agunan surat berharga dilakukan untuk mengantisipasi fluktuasi nilai pasar surat berharga. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 8 Ayat (1) Pemeliharaan dan penatausahaan daftar Aset Kredit dilakukan terhadap Aset Kredit yang akan dialokasikan oleh Bank sebagai agunan dalam rangka mengantisipasi kebutuhan FPJP dengan agunan berupa Aset Kredit. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 9 Ayat (1) Yang dimaksud dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku antara lain adalah peraturan yang mengatur gadai atau fidusia. Ayat … - 27 - Ayat (2) Yang dimaksud dengan ”dokumen-dokumen atas aset yang menjadi agunan FPJP” antara lain perjanjian kredit antara Bank dengan nasabah, bukti pengikatan agunan, dan bukti kepemilikan atas aset yang menjadi agunan kredit Bank. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 10 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Dokumen pendukung antara lain berupa perjanjian kredit antara Bank dengan nasabah dan perjanjian pengikatan agunan atas kredit tersebut dan dokumen lain yang dapat membuktikan terpenuhinya persyaratan agunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Ayat … - 28 - Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 11 Ayat (1) Apabila saat jatuh tempo FPJP bertepatan pada hari Sabtu, Minggu atau hari libur, maka saat jatuh tempo FPJP adalah pada hari kerja berikutnya. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 12 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Dalam rangka pelaksanaan perpanjangan FPJP, agunan yang telah diagunkan Bank untuk menjamin FPJP yang diterima Bank sebelumnya akan dinilai kembali, sehingga Bank perlu menyesuaikan jumlah agunan yang diserahkan untuk menjamin perpanjangan FPJP. Pasal … - 29 - Pasal 13 Tambahan nilai FPJP yang diajukan akan diakumulasikan terhadap nilai FPJP yang belum dilunasi. Pasal 14 Cukup jelas. Pasal 15 Cukup jelas. Pasal 16 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan ”mengalami perkembangan yang memburuk” adalah apabila arah rasio GWM Bank semakin menurun. Yang dimaksud dengan ”permasalahan likuiditas mendasar” antara lain adalah posisi arus kas yang semakin memburuk sebagai akibat maturity mismatch yang besar terutama pada skala waktu jangka pendek. Pasal … - 30 - Pasal 17 Ayat (1) Yang dimaksud dengan pelanggaran persyaratan FPJP adalah pelanggaran atas persyaratan Bank penerima FPJP dan persyaratan agunan FPJP. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 18 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “repurchase agreement (repo) rate” adalah tingkat suku bunga Lending Facility sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai operasi moneter. Pasal 19 Cukup jelas. Pasal 20 Biaya antara lain berupa biaya notaris untuk pengikatan perjanjian dan pengikatan agunan dalam rangka pemberian FPJP, biaya jasa penilai agunan serta biaya-biaya lainnya yang timbul karena eksekusi agunan FPJP. Pasal … - 31 - Pasal 21 Cukup jelas. Pasal 22 Pemeriksaan terhadap Bank yang menerima FPJP dapat dilakukan pada periode diterimanya atau setelah jatuh tempo FPJP. Pasal 23 Cukup jelas. Pasal 24 Cukup jelas. Pasal 25 Cukup jelas. Pasal 26 Cukup jelas. Pasal 27 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5367
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 14/16/PBI/2012 </reg_id> <reg_title> FASILITAS PENDANAAN JANGKA PENDEK BAGI BANK UMUM </reg_title> <set_date> 23 November 2012 </set_date> <effective_date> 23 November 2012 </effective_date> <issued_date> 23 November 2012 </issued_date> <replaced_reg> '10/30/PBI/2008', '10/26/PBI/2008' </replaced_reg> <related_reg> '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg> <penalty_list> 'BAB VIII' </penalty_list>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 16/21/PBI/2014 TENTANG PENERAPAN PRINSIP KEHATI-HATIAN DALAM PENGELOLAAN UTANG LUAR NEGERI KORPORASI NONBANK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa utang luar negeri merupakan salah satu sumber pembiayaan perekonomian domestik; b. bahwa utang luar negeri, khususnya yang dilakukan oleh korporasi nonbank, perlu dikelola secara baik oleh korporasi nonbank agar memberikan kontribusi yang optimal terhadap perekonomian nasional dan tidak menimbulkan gangguan pada kestabilan makroekonomi; c. bahwa untuk mencapai tujuan tersebut, utang luar negeri, khususnya yang dilakukan oleh korporasi nonbank, perlu dikelola dengan memperhatikan prinsip kehati-hatian untuk memitigasi berbagai risiko yang dapat timbul, termasuk risiko nilai tukar, risiko likuiditas, dan risiko utang yang terlalu tinggi atau berlebihan (overleverage); d. bahwa penerapan prinsip kehati-hatian tersebut sejalan dengan upaya untuk mendorong pendalaman pasar keuangan domestik; e. bahwa penerapan prinsip kehati-hatian tersebut dilakukan dengan tetap memperhatikan kegiatan usaha yang berkelanjutan dan mendukung kegiatan investasi; f. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan ... - 2 - dan huruf e perlu mengatur kembali Peraturan Bank Indonesia tentang Penerapan Prinsip Kehati-hatian dalam Pengelolaan Utang Luar Negeri Korporasi Nonbank; Mengingat : Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang- Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962); M E M U T U S K A N: Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PENERAPAN PRINSIP KEHATI-HATIAN DALAM PENGELOLAAN UTANG LUAR NEGERI KORPORASI NONBANK. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan: 1. Utang Luar Negeri yang selanjutnya disingkat ULN adalah utang Penduduk kepada bukan Penduduk dalam Valuta Asing dan/atau Rupiah, termasuk di dalamnya pembiayaan berdasarkan prinsip syariah. 2. Penduduk ... - 3 - 2. Penduduk adalah penduduk sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang yang mengatur mengenai lalu lintas devisa dan sistem nilai tukar. 3. Korporasi Nonbank adalah badan usaha selain bank dan badan lainnya. 4. Valuta Asing adalah valuta yang berdenominasi selain mata uang Rupiah. 5. Aset Valuta Asing adalah aset dalam Valuta Asing yang digunakan dalam perhitungan Rasio Lindung Nilai dan Rasio Likuiditas. 6. Kewajiban Valuta Asing adalah kewajiban dalam Valuta Asing yang digunakan dalam perhitungan Rasio Lindung Nilai dan Rasio Likuiditas. 7. Lindung Nilai adalah cara atau teknik untuk mengurangi risiko yang timbul maupun yang akan timbul akibat fluktuasi harga di pasar keuangan. 8. Rasio Lindung Nilai adalah rasio jumlah nilai yang dilindungnilaikan terhadap selisih negatif antara Aset Valuta Asing dan Kewajiban Valuta Asing. 9. Rasio Likuiditas adalah rasio Aset Valuta Asing terhadap Kewajiban Valuta Asing. 10. Lembaga Pemeringkat adalah lembaga yang mengeluarkan Peringkat Utang (Credit Rating). 11. Peringkat Utang (Credit Rating) adalah penilaian yang dilakukan oleh Lembaga Pemeringkat untuk menggambarkan kondisi keuangan perusahaan atau kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajibannya secara tepat waktu (credit worthiness). BAB II PRINSIP KEHATI-HATIAN Pasal 2 (1) Korporasi Nonbank yang memiliki ULN dalam Valuta Asing wajib menerapkan prinsip kehati-hatian. (2) Prinsip ... - 4 - (2) Prinsip kehati-hatian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pemenuhan: a. Rasio Lindung Nilai; b. Rasio Likuiditas; dan c. Peringkat Utang (Credit Rating). Pasal 3 (1) Korporasi Nonbank yang memiliki ULN dalam Valuta Asing wajib memenuhi Rasio Lindung Nilai minimum tertentu dengan melakukan transaksi Lindung Nilai Valuta Asing terhadap Rupiah. (2) Rasio Lindung Nilai minimum tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebesar 25% (dua puluh lima persen) dari: a. selisih negatif antara Aset Valuta Asing dan Kewajiban Valuta Asing, yang akan jatuh waktu sampai dengan 3 (tiga) bulan ke depan sejak akhir triwulan; dan b. selisih negatif antara Aset Valuta Asing dan Kewajiban Valuta Asing, yang akan jatuh waktu lebih dari 3 (tiga) bulan sampai dengan 6 (enam) bulan ke depan sejak akhir triwulan. (3) Transaksi Lindung Nilai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan dengan perbankan di Indonesia. (4) Bank Indonesia dapat menetapkan batasan nilai selisih negatif (threshold) yang wajib dilindungnilaikan untuk memenuhi Rasio Lindung Nilai sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai rincian Aset Valuta Asing, Kewajiban Valuta Asing, dan Rasio Lindung Nilai minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) serta batasan nilai selisih negatif (threshold) sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 4 (1) Korporasi Nonbank yang memiliki ULN dalam Valuta Asing wajib memenuhi Rasio Likuiditas minimum tertentu dengan menyediakan Aset Valuta Asing yang memadai terhadap Kewajiban Valuta Asing yang ... - 5 - yang akan jatuh waktu sampai dengan 3 (tiga) bulan ke depan sejak akhir triwulan. (2) Rasio Likuiditas minimum tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan paling rendah sebesar 70% (tujuh puluh persen). Pasal 5 (1) Korporasi Nonbank yang melakukan ULN dalam Valuta Asing wajib memenuhi minimum Peringkat Utang (Credit Rating) setara BB- yang dikeluarkan oleh Lembaga Pemeringkat yang diakui oleh Bank Indonesia. (2) Peringkat Utang (Credit Rating) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa peringkat yang masih berlaku atas korporasi (issuer rating) dan/atau surat utang (issue rating) sesuai dengan jenis dan jangka waktu ULN dalam Valuta Asing. (3) Masa berlaku Peringkat Utang (Credit Rating) atas korporasi (issuer rating) dan/atau surat utang (issue rating) sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling lama 2 (dua) tahun setelah peringkat tersebut diterbitkan dan/atau ditetapkan. (4) Kewajiban pemenuhan Peringkat Utang (Credit Rating) dilakukan pada saat pinjaman ditandatangani dan/atau diterbitkan. (5) Kewajiban pemenuhan Peringkat Utang (Credit Rating) bagi Korporasi Nonbank yang melakukan perjanjian ULN dalam Valuta Asing dari perusahaan induk, atau yang dijamin oleh perusahaan induk, dapat dilakukan dengan menggunakan Peringkat Utang (Credit Rating) perusahaan induk. (6) Kewajiban pemenuhan Peringkat Utang (Credit Rating) bagi Korporasi Nonbank yang baru didirikan dapat dilakukan dengan menggunakan Peringkat Utang (Credit Rating) perusahaan induk paling lama 3 (tiga) tahun sejak Korporasi Nonbank beroperasi secara komersial. (7) Ketentuan lebih lanjut mengenai Peringkat Utang (Credit Rating) dan Lembaga Pemeringkat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. BAB ... - 6 - BAB III PENGECUALIAN Pasal 6 (1) Kewajiban pemenuhan Rasio Lindung Nilai minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, dikecualikan bagi Korporasi Nonbank yang melakukan pencatatan laporan keuangan dalam mata uang dolar Amerika Serikat dan memenuhi kriteria tertentu. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 7 (1) Kewajiban pemenuhan ketentuan minimum Peringkat Utang (Credit Rating) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dikecualikan bagi: a. ULN dalam Valuta Asing yang digunakan untuk menggantikan ULN sebelumnya (refinancing); b. ULN dalam Valuta Asing untuk pembiayaan proyek infrastruktur yang bersumber dari: 1) seluruhnya dari kreditor lembaga internasional (bilateral atau multilateral); 2) pinjaman sindikasi dengan kontribusi kreditor lembaga internasional (bilateral atau multilateral) lebih besar dari 50% (lima puluh persen); c. ULN dalam Valuta Asing untuk pembiayaan proyek infrastruktur pemerintah baik pusat maupun daerah; d. ULN dalam Valuta Asing yang dijamin oleh lembaga internasional (bilateral atau multilateral); e. ULN dalam Valuta Asing berupa utang dagang (trade credit); atau f. ULN dalam Valuta Asing berupa utang lainnya (other loans). (2) ULN dalam Valuta Asing yang merupakan refinancing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a hanya dapat dikecualikan sepanjang tidak menambah jumlah (outstanding) utang atau penambahannya tidak lebih dari nilai tertentu (threshold). (3) Bank Indonesia menetapkan besaran nilai tertentu (threshold) atas penambahan jumlah (outstanding) utang pada ULN refinancing yang dikecualikan ... - 7 - dikecualikan dari pemenuhan ketentuan minimum Peringkat Utang (Credit Rating) sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai lembaga internasional (bilateral atau multilateral) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan ayat (1) huruf d, ULN refinancing sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dan besaran nilai tertentu (threshold) atas penambahan jumlah (outstanding) utang sebagaimana dimaksud pada ayat (3), diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. BAB IV PEMANTAUAN KEPATUHAN DAN PENYAMPAIAN LAPORAN SERTA DOKUMEN PENDUKUNG Pasal 8 (1) Korporasi Nonbank wajib menyampaikan laporan kepada Bank Indonesia terkait penerapan prinsip kehati-hatian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5. (2) Korporasi Nonbank wajib menyampaikan dokumen pendukung kepada Bank Indonesia terkait: a. pelaksanaan penerapan prinsip kehati-hatian sebagaimana dimaksud pada ayat (1); dan b. pengecualian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dan Pasal 7. Pasal 9 Rincian dan tata cara penyampaian laporan dan dokumen pendukung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, termasuk pengenaan sanksi, dilakukan sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai pelaporan kegiatan lalu lintas devisa dan pelaporan penerapan prinsip kehati-hatian dalam pengelolaan ULN Korporasi Nonbank. Pasal 10 (1) Bank Indonesia memantau kepatuhan Korporasi Nonbank dengan melakukan penelitian atas laporan dan/atau dokumen pendukung yang disampaikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9. (2) Dalam ... - 8 - (2) Dalam melakukan penelitian atas laporan dan/atau dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia dapat melakukan hal-hal antara lain sebagai berikut: a. meminta penjelasan, bukti, catatan, dan/atau dokumen pendukung, dengan atau tanpa melibatkan pihak instansi terkait; b. melakukan pemeriksaan langsung terhadap korporasi; dan/atau c. menunjuk pihak lain untuk melakukan penelitian bagi Bank Indonesia. BAB V KETENTUAN LAIN-LAIN Pasal 11 Dalam hal terdapat permasalahan terkait penerapan prinsip kehati-hatian dalam pengelolaan ULN Korporasi Nonbank yang berdampak strategis, Bank Indonesia dapat mengambil kebijakan tertentu dengan tetap memperhatikan prinsip kehati-hatian sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini dan peraturan perundang-undangan lainnya. BAB VI SANKSI Pasal 12 (1) Korporasi Nonbank yang melakukan pelanggaran terhadap kewajiban pemenuhan prinsip kehati-hatian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3 ayat (1), Pasal 4, dan/atau Pasal 5 dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis. (2) Bank Indonesia akan menyampaikan informasi mengenai pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada pihak-pihak terkait antara lain: a. kreditor yang bersangkutan di luar negeri; b. Kementerian Negara Badan Usaha Milik Negara (BUMN), bagi korporasi BUMN; c. Kementerian Keuangan c.q. Direktorat Jenderal Pajak; d. Otoritas ... - 9 - d. Otoritas Jasa Keuangan (OJK); dan/atau e. Bursa Efek Indonesia (BEI), bagi korporasi publik yang tercatat di BEI. BAB VII KETENTUAN PENUTUP Pasal 13 Pada saat Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku: a. ketentuan mengenai Rasio Lindung Nilai minimum tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ditetapkan paling rendah sebesar 20% (dua puluh persen) dari: 1. selisih negatif antara Aset Valuta Asing dan Kewajiban Valuta Asing, yang akan jatuh waktu sampai dengan 3 (tiga) bulan ke depan sejak akhir triwulan; dan 2. selisih negatif antara Aset Valuta Asing dan Kewajiban Valuta Asing, yang akan jatuh waktu lebih dari 3 (tiga) bulan sampai dengan 6 (enam) bulan ke depan sejak akhir triwulan, sampai dengan 31 Desember 2015. b. ketentuan mengenai Rasio Likuiditas minimum tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ditetapkan paling rendah sebesar 50% (lima puluh persen) sampai dengan 31 Desember 2015. Pasal 14 (1) Ketentuan mengenai transaksi Lindung Nilai dengan perbankan di Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2017. (2) Transaksi Lindung Nilai yang dilakukan dengan bank di luar negeri yang perjanjiannya telah dilakukan sebelum 1 Januari 2017 tetap diakui sebagai Aset Valuta Asing dan diperhitungkan dalam pemenuhan Rasio Lindung Nilai minimum dan Rasio Likuiditas minimum. (3) Ketentuan mengenai pemenuhan minimum Peringkat Utang (Credit Rating) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) berlaku bagi ULN ... - 10 - ULN yang ditandatangani atau diterbitkan sejak tanggal 1 Januari 2016. Pasal 15 Ketentuan mengenai sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 mulai berlaku sejak penyampaian laporan triwulan keempat tahun 2015. Pasal 16 Pada saat Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku, Peraturan Bank Indonesia Nomor 16/20/PBI/2014 tentang Penerapan Prinsip Kehati- hatian dalam Pengelolaan Utang Luar Negeri Korporasi Nonbank (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 340, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5620), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 17 Ketentuan lebih lanjut dari Peraturan Bank Indonesia ini diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 18 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2015. Agar ... - 11 - Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 29 Desember 2014 GUBERNUR BANK INDONESIA, AGUS D.W. MARTOWARDOJO Diundangkan di Jakarta pada tanggal MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2014 NOMOR 394 DKEM PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 16/21/PBI/2014 TENTANG PENERAPAN PRINSIP KEHATI-HATIAN DALAM PENGELOLAAN UTANG LUAR NEGERI KORPORASI NONBANK I. UMUM Utang Luar Negeri (ULN) merupakan salah satu sumber pembiayaan pembangunan yang lazim dilakukan oleh negara sedang berkembang. ULN ini digunakan untuk menutup kesenjangan antara investasi dan tabungan dalam negeri (saving-investment gap) sehingga memberikan manfaat bagi perekonomian. Dalam beberapa tahun terakhir, jumlah ULN swasta terus meningkat tajam, bahkan saat ini telah melebihi jumlah ULN Pemerintah. Peningkatan ULN swasta tanpa disertai dengan manajemen risiko yang baik berpotensi menimbulkan dampak negatif terhadap perekonomian nasional, seperti yang terjadi pada krisis 1997/1998. Risiko ULN swasta tersebut semakin meningkat mengingat adanya faktor risiko yang bersumber dari ekonomi global berupa pengetatan likuiditas global dan perlambatan ekonomi emerging market yang disertai dengan masih rendahnya harga komoditas internasional. Keseluruhan kondisi tersebut menyebabkan meningkatnya risiko penurunan capacity to repay (default) dari ULN Korporasi Nonbank. Selain itu, sebagian besar Korporasi Nonbank tersebut tidak melakukan Lindung Nilai terhadap posisi ULN mereka. Kondisi ini menyebabkan Korporasi Nonbank peminjam ULN di Indonesia menghadapi risiko nilai tukar, likuiditas, dan overleverage yang cukup besar. Oleh karena itu, korporasi perlu memperhatikan prinsip kehati-hatian untuk memitigasi berbagai risiko tersebut. Penerapan prinsip kehati-hatian tersebut, yang dilakukan melalui penggunaan instrumen Lindung Nilai, sejalan dengan upaya pendalaman ... - 2 - pendalaman pasar keuangan di Indonesia. Penerapan prinsip kehati- hatian tersebut dilakukan dengan memperhatikan praktek umum pengelolaan usaha agar kontinuitas kegiatan usaha dan kegiatan investasi tetap terjaga sehingga mendukung pertumbuhan ekonomi nasional. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Cukup jelas. Pasal 3 Ayat (1) Lindung Nilai dilakukan dalam bentuk transaksi derivatif Valuta Asing terhadap Rupiah berupa transaksi forward, swap, dan/atau option sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai transaksi lindung nilai. Ayat (2) Aset Valuta Asing termasuk tagihan yang berasal dari transaksi forward, swap dan/atau option yang akan direalisasikan sampai dengan 3 (tiga) bulan ke depan dan/atau lebih dari 3 (tiga) bulan sampai dengan 6 (enam) bulan ke depan sejak akhir triwulan. Yang dimaksud dengan “transaksi forward” adalah transaksi jual atau beli Valuta Asing terhadap Rupiah yang penyerahan dananya dilakukan lebih dari 2 (dua) hari kerja setelah tanggal transaksi. Yang dimaksud dengan “transaksi swap” adalah transaksi pertukaran Valuta Asing terhadap Rupiah melalui pembelian/penjualan tunai (spot) dengan penjualan atau pembelian kembali secara berjangka yang dilakukan secara simultan dengan counterparty yang sama dan pada tingkat harga yang dibuat dan disepakati pada tanggal transaksi dilakukan. Yang ... - 3 - Yang dimaksud dengan “transaksi option” adalah transaksi atas dasar perjanjian atau kontrak antara penjual opsi (seller atau writer) dengan pembeli opsi (buyer), dimana penjual opsi menjamin adanya hak (bukan suatu kewajiban) dari pembeli opsi untuk membeli atau menjual Valuta Asing terhadap Rupiah pada waktu dan harga yang telah ditetapkan. Akhir triwulan adalah tanggal terakhir pada setiap triwulan, yakni 31 Maret, 30 Juni, 30 September, dan 31 Desember. Ayat (3) Tagihan yang timbul dari transaksi Lindung Nilai yang tidak dilakukan dengan perbankan di Indonesia tidak dihitung sebagai Aset Valuta Asing. Transaksi Lindung Nilai yang tidak dilakukan dengan perbankan di Indonesia juga tidak dihitung sebagai pemenuhan atas kewajiban Rasio Lindung Nilai minimum dan Rasio Likuiditas minimum. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 4 Ayat (1) Aset Valuta Asing termasuk tagihan yang berasal dari transaksi forward, swap, dan/atau option yang akan direalisasikan sampai dengan 3 (tiga) bulan ke depan sejak akhir triwulan. Akhir triwulan adalah tanggal terakhir pada setiap triwulan, yakni 31 Maret, 30 Juni, 30 September, dan 31 Desember. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal ... - 4 - Pasal 5 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Apabila Korporasi Nonbank akan melakukan ULN dengan menerbitkan surat utang berjangka panjang maka Peringkat Utang (Credit Rating) yang harus disampaikan adalah Peringkat Utang jangka panjang. Ayat (3) Cukup Jelas. Ayat (4) Untuk ULN dalam Valuta Asing yang memiliki fitur berupa fasilitas yang dapat ditarik sewaktu-waktu atau memiliki opsi untuk diperpanjang, yang diikat dengan perjanjian kredit jangka panjang (master-agreement), kewajiban pemenuhan Peringkat Utang (Credit Rating) minimum dilakukan pada saat perjanjian kredit jangka panjang (master-agreement) ditandatangani. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Untuk Korporasi Nonbank yang baru didirikan oleh beberapa perusahaan (joint venture), pemenuhan Peringkat Utang (Credit Rating) dapat menggunakan Peringkat Utang (Credit Rating) pemegang saham terbesar. Ayat (7) Cukup jelas. Pasal 6 Cukup jelas. Pasal 7 Ayat (1) Huruf ... - 5 - Huruf a Cukup jelas. Huruf b Dalam hal Korporasi Nonbank memperoleh utang luar negeri dari sindikasi untuk pembiayaan proyek infrastruktur, Korporasi Nonbank tersebut tidak wajib memenuhi ketentuan minimum Peringkat Utang (Credit Rating) sepanjang keikutsertaan kreditor lembaga internasional (bilateral atau multilateral) pada sindikasi tersebut lebih besar dari 50% (lima puluh persen). Pengecualian terkait pembiayaan proyek infrastruktur tersebut sebagai upaya mendukung pengembangan infrastruktur di dalam negeri. Proyek infrastruktur yang dimaksud mencakup: 1. infrastruktur transportasi, meliputi pelayanan jasa kebandarudaraan, penyediaan dan/atau pelayanan jasa kepelabuhanan, sarana dan prasarana perkeretaapian; 2. infrastruktur jalan, meliputi jalan tol dan jembatan tol; 3. infrastruktur pengairan, meliputi saluran pembawa air baku; 4. infrastruktur air minum yang meliputi bangunan pengambilan air baku, jaringan transmisi, jaringan distribusi, instalasi pengolahan air minum; 5. infrastruktur sanitasi yang meliputi instalasi pengolah air limbah, jaringan pengumpul dan jaringan utama, dan sarana persampahan yang meliputi pengangkut dan tempat pembuangan; 6. infrastruktur telekomunikasi dan informatika, meliputi jaringan telekomunikasi dan infrastruktur e-government; 7. infrastruktur ... - 6 - 7. infrastruktur ketenagalistrikan, meliputi pembangkit, termasuk pengembangan tenaga listrik yang berasal dari panas bumi, transmisi atau distribusi tenaga listrik; dan 8. infrastruktur minyak dan gas bumi, meliputi transmisi dan/atau distribusi minyak dan gas bumi. Huruf c Yang dimaksud dengan “proyek infrastruktur pemerintah baik pusat maupun daerah” adalah proyek-proyek yang sudah dicantumkan dalam dokumen perencanaan Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Yang dimaksud dengan “utang dagang (trade credit)” adalah utang yang timbul dalam rangka kredit yang diberikan oleh supplier luar negeri atas transaksi barang dan/atau jasa. Huruf f Yang dimaksud dengan “utang lainnya (other loan)” adalah seluruh utang yang tidak termasuk utang berdasarkan perjanjian kredit (loan agreement), surat utang (debt securities), dan utang dagang (trade credit) antara lain berupa pembayaran klaim asuransi dan dividen yang sudah ditetapkan namun belum dibayar. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal ... - 7 - Pasal 8 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “dokumen pendukung” antara lain Laporan Keuangan lengkap baik secara triwulanan maupun tahunan. Pasal 9 Cukup jelas. Pasal 10 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud dengan “instansi terkait” adalah lembaga, kementerian, atau otoritas yang memiliki kewenangan pengaturan atas Korporasi Nonbank, sebagai contoh Kementerian Negara BUMN bagi korporasi BUMN. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Pasal 11 Cukup jelas. Pasal 12 Cukup jelas. Pasal ... - 8 - Pasal 13 Untuk periode 1 Januari 2015 sampai dengan 31 Desember 2015, Rasio Lindung Nilai dan Rasio Likuiditas ditetapkan masing-masing sebesar 20% (dua puluh persen) dan 50% (lima puluh persen) untuk memberikan kesempatan bagi Korporasi Nonbank melakukan penyesuaian dalam pengelolaan risiko, termasuk ketersediaan instrumen lindung nilai. Pasal 14 Cukup jelas. Pasal 15 Cukup jelas. Pasal 16 Cukup jelas. Pasal 17 Cukup jelas. Pasal 18 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5651
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 16/21/PBI/2014 </reg_id> <reg_title> PENERAPAN PRINSIP KEHATI-HATIAN DALAM PENGELOLAAN UTANG LUAR NEGERI KORPORASI NONBANK </reg_title> <set_date> 29 Desember 2014 </set_date> <effective_date> 1 Januari 2015 </effective_date> <replaced_reg> '16/20/PBI/2014' </replaced_reg> <related_reg> '2/PERPPU/2008', '6/UU/2009', '23/UU/1999' </related_reg> <penalty_list> 'BAB VI' </penalty_list>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 5/ 9 /PBI/2003 TENTANG PENYISIHAN PENGHAPUSAN AKTIVA PRODUKTIF BAGI BANK SYARIAH GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa kelangsungan usaha bank yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah tergantung pada untuk menghadapi risiko kerugian dari penanaman dana; kesiapan b. bahwa untuk menutup risiko kerugian yang mungkin timbul dari penanaman dana, maka bank yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah wajib membentuk penyisihan penghapusan aktiva produktif; c. bahwa produk penanaman dana dalam bentuk aktiva produktif bank yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah memiliki karakteristik yang unik dan beragam; d. bahwa oleh karena itu dipandang perlu untuk menetapkan ketentuan tentang penyisihan penghapusan aktiva produktif bagi bank yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah dalam Peraturan Bank Indonesia; Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, … 2 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Republik Indonesia Nomor 3790); Negara 2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Indonesia (Lembaran 1999 Nomor 66, Negara Republik Indonesia Indonesia Nomor 3843); M E M U T U S K A N: Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PENYISIHAN PENGHAPUSAN AKTIVA PRODUKTIF BAGI BANK SYARIAH. Bank Tahun Tambahan Lembaran Negara Republik BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan : 1. Bank Syariah adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang- undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, termasuk unit usaha syariah dan kantor cabang … 3 cabang bank asing yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah; 2. Unit Usaha Syariah, yang untuk selanjutnya disebut UUS adalah unit kerja di kantor pusat bank umum konvensional yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor cabang syariah dan atau unit syariah; 3. Unit Syariah adalah satuan kerja khusus dari kantor cabang atau kantor cabang pembantu bank umum konvensional yang kegiatan melakukan penghimpunan dana, penyaluran dana dan pemberian perbankan lainnya berdasarkan prinsip syariah dalam rangka perubahan menjadi kantor cabang syariah; asing dalam bentuk pembiayaan, piutang, qardh, surat usahanya jasa persiapan 4. Aktiva Produktif adalah penanaman dana Bank Syariah baik dalam rupiah maupun valuta berharga syariah, penempatan, penyertaan modal, penyertaan modal sementara, komitmen dan kontinjensi pada transaksi rekening administratif serta titipan sertifikat wadiah Bank Indonesia; 5. Pembiayaan adalah penyediaan dana dan atau tagihan berdasarkan akad Mudharabah dan atau Musyarakah dan atau pembiayaan lainnya berdasarkan prinsip bagi hasil; 6. Mudharabah adalah perjanjian antara penanam dana dan pengelola dana untuk melakukan kegiatan usaha tertentu, dengan pembagian keuntungan antara kedua belah pihak berdasarkan sebelumnya; nisbah yang telah disepakati 7. Musyarakah adalah perjanjian diantara para pemilik dana/modal mencampurkan dana/modal mereka pada suatu usaha tertentu, untuk dengan pembagian keuntungan diantara pemilik dana/modal berdasarkan nisbah yang telah disepakati sebelumnya; 8. Piutang … 4 8. Piutang adalah tagihan yang timbul dari transaksi jual beli dan atau sewa berdasarkan akad murabahah, salam, istishna dan atau ijarah; 9. Murabahah adalah perjanjian jual beli antara bank dan nasabah dimana Bank Syariah membeli barang yang diperlukan oleh nasabah dan kemudian menjualnya kepada nasabah yang bersangkutan sebesar harga perolehan ditambah dengan margin/keuntungan yang disepakati antara Bank Syariah dan nasabah; 10. Salam adalah perjanjian jual beli barang dengan cara pemesanan dengan syarat-syarat tertentu dan pembayaran harga terlebih dahulu; 11. Istishna adalah perjanjian jual beli barang dalam bentuk pemesanan pembuatan barang dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati antara pemesan dan penjual; 12. Ijarah adalah perjanjian sewa menyewa suatu barang dalam waktu tertentu melalui pembayaran sewa; 13. Qardh adalah penyediaan dana atau tagihan antara Bank Syariah dengan pihak peminjam yang mewajibkan pihak peminjam melakukan pembayaran sekaligus atau secara cicilan dalam jangka waktu tertentu; 14. Surat Berharga Syariah adalah surat bukti berinvestasi berdasarkan prinsip syariah yang lazim diperdagangkan di pasar uang dan atau pasar modal antara lain wesel, obligasi syariah, sertifikat reksadana syariah dan surat berharga lainnya berdasarkan prinsip syariah; 15. Penempatan adalah penanaman dana Bank Syariah pada Bank Syariah lainnya dan atau Bank Perkreditan Rakyat berdasarkan prinsip syariah antara lain dalam bentuk giro dan atau tabungan Wadiah, deposito berjangka dan atau tabungan Mudharabah, Pembiayaan yang diberikan, Sertifikat Investasi Mudharabah Antarbank (Sertifikat IMA) dan atau bentuk-bentuk penempatan lainnya … 5 lainnya berdasarkan prinsip syariah; 16. Penyertaan Modal adalah penanaman dana Bank Syariah dalam bentuk saham pada perusahaan yang bergerak di bidang keuangan syariah, termasuk penanaman dalam bentuk surat utang konversi (convertible bonds) dengan opsi saham (equity options) atau jenis transaksi tertentu berdasarkan prinsip syariah yang berakibat Bank Syariah memiliki atau akan memiliki saham pada perusahaan yang bergerak di bidang keuangan syariah; 17. Perusahaan Yang Bergerak di Bidang Keuangan Syariah adalah Bank Syariah, Bank Perkreditan Rakyat berdasarkan prinsip syariah, dan perusahaan di bidang keuangan lain berdasarkan prinsip syariah sebagaimana diatur dalam perundang-undangan yang berlaku antara lain sewa guna usaha, modal ventura, perusahaan efek, asuransi serta lembaga kliring penyelesaian dan penyimpanan; 18. Penyertaan Modal Sementara adalah penyertaan modal Bank Syariah dalam perusahaan nasabah untuk mengatasi kegagalan pembiayaan dan atau piutang (debt to equity swap) sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku, termasuk dalam bentuk surat utang konversi (convertible bonds) dengan opsi saham (equity options) atau jenis transaksi tertentu yang berakibat Bank Syariah memiliki atau akan memiliki saham pada perusahaan nasabah; 19. Transaksi Rekening Administratif adalah komitmen dan kontinjensi (Off Balance Sheet) yang terdiri dari bank garansi, akseptasi/endosemen, Irrevocable Letter of Credit (L/C) yang masih berjalan, akseptasi wesel impor atas dasar L/C berjangka, standby L/C dan garansi lainnya berdasarkan prinsip syariah; 20. Sertifikat Wadiah Bank Indonesia adalah sertifikat yang diterbitkan oleh Bank … 6 Bank Indonesia sebagai bukti penitipan dana berjangka pendek dengan prinsip Wadiah; 21. Wadiah adalah perjanjian penitipan dana antara pemilik dana dengan pihak yang dipercaya untuk menjaga dana titipan tersebut; 22. Penilai Independen adalah perusahaan penilai yang: a. tidak ada keterkaitan dalam hal kepemilikan, kepengurusan dan keuangan baik dengan Bank Syariah maupun nasabah yang menerima fasilitas; b. melakukan kegiatan penilaian berdasarkan Kode Etik Penilai Indonesia dan ketentuan-ketentuan lain yang Indonesia; c. memiliki izin usaha dari instansi berwenang untuk beroperasi sebagai perusahaan penilai; serta tercatat sebagai anggota (GAPPI). d. Gabungan Perusahaan Penilai ditetapkan oleh Dewan Penilai Indonesia 22. Penilaian adalah pernyataan tertulis dari Penilai Independen atau penilai intern Bank Syariah mengenai taksiran dan pendapat atas nilai ekonomis dari agunan berupa aktiva tetap berdasarkan analisis terhadap fakta-fakta objektif dan relevan menurut metode dan prinsip-prinsip yang berlaku umum yang ditetapkan oleh Masyarakat Profesi Penilai Indonesia (MAPPI); 23.Nilai Pasar Wajar (Market Approach) adalah jumlah uang yang diperkirakan dapat diperoleh dari transaksi jual beli atau hasil penukaran suatu aset pada tanggal penilaian setelah dikurangi biaya-biaya transaksi, pihak penjual dan pembeli sebelumnya tidak mempunyai ikatan, memiliki pengetahuan tentang aset yang diperdagangkan dan melakukan transaksi terpaksa; 24.Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif (PPAP) adalah cadangan yang harus … tidak dalam keadaan 7 harus dibentuk sebesar persentase tertentu dari baki debet berdasarkan penggolongan Kualitas Aktiva Produktif sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Bank Indonesia; BAB II TATA CARA PEMBENTUKAN Pasal 2 (1). Bank Syariah wajib membentuk penyisihan penghapusan aktiva produktif berupa cadangan umum dan cadangan khusus guna menutup risiko kerugian. (2). Cadangan umum penyisihan penghapusan aktiva produktif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan sekurang-kurangnya sebesar 1 % (satu perseratus) dari seluruh Aktiva Produktif yang digolongkan lancar, tidak termasuk Sertifikat Wadiah Bank Indonesia dan Surat Utang Pemerintah. (3). Cadangan khusus Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan sekurang-kurangnya sebesar: a. 5% (lima perseratus) dari Aktiva Produktif yang digolongkan dalam perhatian khusus; dan b. 15% (lima belas perseratus) dari Aktiva Produktif yang digolongkan kurang lancar setelah dikurangi nilai agunan; dan c. 50% (lima puluh perseratus) dari Aktiva Produktif yang digolongkan diragukan setelah dikurangi nilai agunan; dan d. 100% (seratus perseratus) dari Aktiva Produktif yang digolongkan macet setelah dikurangi nilai agunan. (4). Cadangan khusus penyisihan penghapusan aktiva produktif untuk Piutang Ijarah … 8 Ijarah yang digolongkan dalam perhatian khusus, kurang lancar, diragukan dan macet ditetapkan sekurang-kurangnya sebesar 50% dari masing-masing kewajiban pembentukan penyisihan penghapusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3). BAB III PENILAIAN AGUNAN Pasal 3 Agunan yang dapat diperhitungkan sebagai pengurang dalam pembentukan Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif terdiri dari: a. Giro dan atau tabungan Wadiah, tabungan dan atau deposito Mudharabah dan setoran jaminan dalam mata uang rupiah dan valuta asing yang diblokir disertai dengan surat kuasa pencairan; b. Sertifikat Wadiah Bank Indonesia dan atau Surat Utang Pemerintah; c. Surat Berharga Syariah yang berkualitas tinggi dan mudah dicairkan dan aktif diperdagangkan di pasar modal; d. Tanah, gedung, rumah tinggal, pesawat udara dan kapal laut dengan ukuran di atas 20 (dua puluh) meter kubik. Pasal 4 Nilai agunan yang dapat diperhitungkan sebagai pengurang pada pembentukan Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif sebagaimana dimaksud pada Pasal 2 dan Pasal 3 ditetapkan; a. untuk agunan tunai berupa giro dan atau tabungan Wadiah, tabungan dan atau deposito … 9 deposito Mudharabah, dan setoran jaminan dalam mata uang rupiah dan valuta asing yang diblokir disertai dengan surat kuasa pencairan setinggi- tingginya sebesar 100% (seratus perseratus); b. untuk agunan berupa Sertifikat Wadiah Bank Indonesia dan Surat Utang Pemerintah setinggi-tingginya sebesar 100% (seratus perseratus); c. untuk agunan berupa Surat Berharga Syariah setinggi-tingginya sebesar 50% (lima puluh perseratus); d. untuk agunan berupa tanah, gedung, rumah tinggal, pesawat udara dan kapal laut setinggi-tingginya sebesar: 1) 70% (tujuh puluh perseratus) dari nilai taksiran untuk penilaian yang dilakukan sebelum melampaui 6 (enam) bulan; 2) 50% (lima puluh perseratus) dari nilai taksiran untuk penilaian yang dilakukan setelah 6 (enam) bulan tetapi belum melampaui 18 (delapan belas) bulan; 3) 30% (tiga puluh perseratus) dari nilai dilakukan setelah melampaui 18 (delapan belas) bulan melampaui 30 (tiga puluh) bulan; taksiran untuk penilaian yang tetapi belum 4) 0% (nol perseratus) untuk penilaian yang dilakukan setelah melampaui 30 (tiga puluh) bulan. Pasal 5 Penilaian terhadap agunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 wajib dilakukan dengan cara: a. untuk Surat Berharga Syariah dinilai dengan menggunakan Nilai Pasar yang tercatat di pasar modal syariah pada akhir bulan; b. untuk tanah dan rumah tinggal dinilai berdasarkan Nilai Pasar Wajar; c. untuk … 10 c. untuk gedung, pesawat udara dan kapal laut dinilai berdasarkan Nilai Pasar Wajar. Pasal 6 (1) Penilaian agunan wajib dilakukan oleh Penilai Independen bagi Pembiayaan, Piutang dan atau Qardh yang diberikan kepada nasabah atau grup nasabah lebih dari Rp1.500.000.000,00 (satu milyar lima ratus juta rupiah). (2) Penilaian agunan dapat dilakukan oleh penilai intern Bank Syariah, bagi Pembiayaan, Piutang dan atau Qardh dengan jumlah lebih kecil dari jumlah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). (3) Dalam hal penilaian agunan tidak dilakukan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) maka hasil penilaian agunan tidak diperhitungkan sebagai faktor pengurang Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif. Pasal 7 Bank Indonesia dapat melakukan penghitungan kembali atas nilai agunan yang telah dikurangkan dalam Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif apabila: a. Agunan tidak pengikatan agunan belum sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku; b. Penilaian tidak dilakukan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 5 dan Pasal 6; atau c. Agunan tidak dilindungi asuransi dengan banker’s clause yaitu klausula yang memberikan hak kepada Bank Syariah untuk menerima uang pertanggungan dalam hal terjadi pembayaran klaim. dilengkapi dengan dokumen hukum yang sah dan atau BAB IV … 11 BAB IV SANKSI Pasal 8 Bank yang tidak mentaati ketentuan dalam Pasal 2, Pasal 5 dan Pasal 6 ayat (1) dikenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam pasal 52 Undang- undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 berupa: a. teguran tertulis; b. penurunan tingkat kesehatan; dan atau c. penggantian pengurus. BAB V KETENTUAN PENUTUP Pasal 9 Dengan dikeluarkannya Peraturan Bank Indonesia ini, maka Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 31/148/KEP/DIR tanggal 12 November 1998 tentang Pembentukan Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif dinyatakan tidak berlaku bagi Bank Syariah. Pasal 10 Peraturan Bank Indonesia ini berlaku sejak tanggal ditetapkan. Ditetapkan … 12 Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 19 Mei 2003 GUBERNUR BANK INDONESIA SYAHRIL SABIRIN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2003 NOMOR 57 BPS
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 5/9/PBI/2003 </reg_id> <reg_title> PENYISIHAN PENGHAPUSAN AKTIVA PRODUKTIF BAGI BANK SYARIAH </reg_title> <set_date> 19 Mei 2003 </set_date> <effective_date> 19 Mei 2003 </effective_date> <replaced_reg> '31/148/KEP/DIR|SKDIR-BI/1998' </replaced_reg> <related_reg> '23/UU/1999', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg> <penalty_list> 'BAB IV' </penalty_list>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 6/2/PBI/2004 TENTANG BANK INDONESIA - SCRIPLESS SECURITIES SETTLEMENT SYSTEM (BI-SSSS) GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka membantu Pemerintah melakukan pengelolaan Surat Utang Negara, Bank Indonesia telah ditunjuk sebagai agen lelang dan pelaksana penatausahaan sebagaimana tertuang dalam Undang-undang Nomor 24 tahun 2002 tentang Surat Utang Negara; b. bahwa dalam rangka pelaksanaan transaksi dengan Bank Indonesia yang mencakup transaksi Operasi Pasar Terbuka, pemberian fasilitas pendanaan Bank Indonesia kepada Bank dan transaksi Surat Utang Negara untuk dan atas nama Pemerintah dipandang perlu untuk menggabungkan sistem transaksi tersebut dengan sistem penatausahaannya dalam suatu sistem yang terintegrasi; c. bahwa dalam rangka meningkatkan pelaksanaan tugas Bank Indonesia tersebut di atas agar lebih efektif, efisien dan aman, dipandang perlu untuk menyempurnakan sistem yang digunakan saat ini menjadi suatu sistem yang terintegrasi dan terhubung langsung antara sistem pelaku pasar dengan sistem Bank Indonesia yang disebut dengan Bank Indonesia - Scripless Securities Settlement System dan Sistem Bank Indonesia - Real Time Gross Settlement; d. bahwa … -2- d. bahwa untuk lebih memberikan kepastian hukum terhadap pelaksanaan tugas Bank Indonesia yang terkait dengan penggunaan Bank Indonesia - Scripless Securities Settlement System maka dipandang perlu untuk menetapkan ketentuan mengenai Bank Indonesia - Scripless Securities Settlement System dalam Peraturan Bank Indonesia; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3790); 2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3608); 3. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3843) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4357); 4. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2002 tentang Surat Utang Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 110, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4236); MEMUTUSKAN … -3- MEMUTUSKAN : Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG BANK INDONESIA - SCRIPLESS SECURITIES SETTLEMENT SYSTEM. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan ini yang dimaksud dengan : 1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 tahun 1998. 2. Operasi Pasar Terbuka yang selanjutnya disebut OPT adalah kegiatan transaksi di pasar uang yang dilakukan oleh Bank Indonesia dengan Bank dan pihak lain dalam rangka pengendalian moneter. 3. Sertifikat Bank Indonesia yang selanjutnya disebut SBI adalah surat berharga dalam mata uang Rupiah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia sebagai pengakuan utang berjangka waktu pendek. 4. Sertifikat Wadiah Bank Indonesia yang selanjutnya disebut SWBI adalah bukti penitipan dana berjangka pendek dengan prinsip wadiah yang disediakan oleh Bank Indonesia. 5. Fasilitas Simpanan Bank Indonesia yang selanjutnya disebut FASBI adalah fasilitas yang diberikan Bank Indonesia kepada Bank untuk menempatkan dananya di Bank Indonesia dalam rangka OPT. 6. Surat … -4- 6. Surat Utang Negara yang selanjutnya disebut SUN adalah surat pengakuan utang dalam mata uang Rupiah yang diterbitkan oleh Pemerintah Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 24 tahun 2002 tentang Surat Utang Negara. 7. Surat Berharga adalah SBI dan SUN yang ditatausahakan dalam Bank Indonesia - Scripless Securities Settlement System. 8. Sistem Bank Indonesia - Real Time Gross Settlement yang selanjutnya disebut Sistem BI-RTGS adalah suatu sistem transfer dana elektronik antar peserta Sistem BI-RTGS dalam mata uang Rupiah yang penyelesaiannya dilakukan secara seketika per transaksi secara individual. 9. Bank Indonesia- Scripless Securities Settlement System yang selanjutnya disebut BI-SSSS adalah sarana Transaksi Dengan Bank Indonesia termasuk penatausahaannya dan Penatausahaan Surat Berharga secara elektronik dan terhubung langsung antara Peserta, Penyelenggara dan Sistem BI-RTGS. 10. Transaksi Dengan Bank Indonesia adalah transaksi yang dilakukan oleh Bank Indonesia dalam rangka kegiatan OPT, pemberian fasilitas pendanaan Bank Indonesia kepada Bank dan transaksi SUN untuk dan atas nama Pemerintah. 11. Penatausahaan Surat Berharga adalah kegiatan yang mencakup pencatatan kepemilikan, kliring dan setelmen serta agen pembayar bunga (kupon) dan pokok Surat Berharga. 12. Penyelenggara BI-SSSS yang selanjutnya disebut Penyelenggara adalah pihak pengelola BI-SSSS yang menyelenggarakan kegiatan Transaksi Dengan Bank Indonesia dan penatausahaannya termasuk Penatausahaan Surat Berharga. 13. Peserta BI-SSSS yang selanjutnya disebut Peserta adalah Departemen Keuangan dan pihak-pihak yang melakukan Transaksi Dengan Bank Indonesia dan atau setelmen Surat Berharga melalui sarana BI-SSSS. 14. Peserta … -5- 14. Peserta Lelang SUN adalah Bank, Perusahaan Pialang Pasar Uang dan Valuta Asing, dan Perusahaan Efek yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan untuk dapat ikut serta dalam lelang SUN. 15. Peserta OPT adalah Bank, lembaga perantara dan pihak lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. 16. Central Registry adalah Bank Indonesia yang melakukan fungsi Penatausahaan Surat Berharga untuk kepentingan Bank, Sub-Registry dan pihak lain yang disetujui oleh Bank Indonesia. 17. Sub-Registry adalah Bank dan lembaga yang melakukan kegiatan kustodian, yang disetujui Bank Indonesia untuk melakukan fungsi Penatausahaan Surat Berharga untuk kepentingan nasabah. 18. Setelmen Surat Berharga adalah perpindahan kepemilikan Surat Berharga antar pemilik rekening Surat Berharga yang tercatat dalam BI-SSSS dalam rangka pelaksanaan setelmen transaksi Surat Berharga melalui BI-SSSS. 19. Setelmen Dana adalah perpindahan dana antar pemilik rekening giro Rupiah di Bank Indonesia melalui Sistem BI-RTGS dalam rangka pelaksanaan setelmen transaksi Surat Berharga melalui BI-SSSS. 20. Delivery Versus Payment yang selanjutnya disebut DVP adalah setelmen transaksi Surat Berharga dengan cara Setelmen Surat Berharga melalui BI-SSSS dilakukan bersamaan dengan Setelmen Dana di Bank Indonesia melalui Sistem BI-RTGS. 21. Free of Payment yang selanjutnya disebut FoP adalah setelmen transaksi Surat Berharga dengan cara Setelmen Surat Berharga dilakukan melalui BI-SSSS, sedangkan Setelmen Dana dilakukan tidak secara bersamaan dengan Setelmen Surat Berharga atau tanpa Setelmen Dana. BAB II … -6- BAB II PENYELENGGARA DAN PESERTA BI-SSSS Pasal 2 Penyelenggara adalah Bank Indonesia. Pasal 3 (1) Pihak-pihak yang wajib menjadi Peserta adalah pihak yang mempunyai fungsi sebagai: a. Peserta Lelang SUN; dan atau b. Peserta OPT; dan atau c. Pemilik rekening Surat Berharga di Central Registry. (2) Dalam hal Bank melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional serta kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, kepesertaan Bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional wajib dipisahkan dari kepesertaan Unit Usaha Syariah (UUS). Pasal 4 Status kepesertaan dalam BI-SSSS terdiri atas : a. aktif (active); b. diberhentikan sementara (suspend); dan c. diberhentikan secara permanen (close). Pasal 5 … -7- Pasal 5 (1) Peserta dengan status kepesertaan aktif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 butir a, berhak melakukan seluruh kegiatan sesuai dengan fungsi Peserta dalam BI- SSSS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1). (2) Peserta dengan status kepesertaan diberhentikan sementara (suspend) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 butir b, tidak dapat melakukan kegiatan Transaksi Dengan Bank Indonesia dan setelmen transaksi Surat Berharga, kecuali kegiatan untuk memperoleh informasi yang terdapat dalam BI-SSSS. (3) Peserta dengan status kepesertaan diberhentikan secara permanen (close) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 butir c, tidak dapat melakukan seluruh kegiatan operasional BI-SSSS. Pasal 6 (1) Penyelenggara dapat mengubah status kepesertaan Peserta berdasarkan permintaan tertulis atau keputusan lembaga yang berwenang dalam pengawasan Peserta. (2) Permintaan tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mencakup perubahan status kepesertaan Peserta sebagai berikut : a. dari status kepesertaan aktif menjadi diberhentikan sementara (suspend) atau sebaliknya; atau b. dari status kepesertaan aktif menjadi diberhentikan secara permanen (close); atau c. dari status kepesertaan diberhentikan sementara (suspend) menjadi diberhentikan secara permanen (close). Pasal 7 … -8- Pasal 7 (1) Dalam hal Peserta adalah peserta Sistem BI-RTGS maka status diberhentikan sementara (suspend) atau status diberhentikan secara permanen (close) kepesertaan BI-SSSS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) dan ayat (3), tidak menyebabkan perubahan status kepesertaan dalam Sistem BI-RTGS. (2) Dalam hal Peserta adalah peserta Sistem BI-RTGS maka status ditangguhkan (suspend) atau dibekukan (freeze) dalam Sistem BI-RTGS tidak menyebabkan perubahan status kepesertaan BI-SSSS. (3) Dalam hal status Peserta BI-SSSS aktif, namun apabila status yang bersangkutan dalam Sistem BI-RTGS dalam kondisi ditangguhkan (suspend) atau dibekukan (freeze) sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) maka kegiatan Peserta dibatasi sebagai berikut : a. Dalam kondisi ditangguhkan (suspend) dalam Sistem BI-RTGS, Peserta tidak dapat melakukan pembelian Surat Berharga secara DVP karena tidak dapat melakukan Setelmen Dana kepada pihak penjual melalui Sistem BI-RTGS. b. Dalam kondisi dibekukan (freeze) dalam Sistem BI-RTGS, Peserta tidak dapat melakukan Setelmen Dana baik untuk pembelian maupun penjualan Surat Berharga secara DVP serta penerimaan atas pembayaran kupon atau bonus, pokok Surat Berharga dan atau penempatan atau penitipan dana lainnya saat jatuh waktu. (4) Dalam hal Peserta adalah peserta Sistem BI-RTGS dan status kepesertaannya dalam Sistem BI-RTGS ditutup (close) maka status kepesertaan BI-SSSS diberhentikan secara permanen (close). Pasal 8 … -9- Pasal 8 Hubungan hukum antara Penyelenggara dengan Peserta dituangkan dalam “Perjanjian Penggunaan BI-SSSS antara Bank Indonesia dengan Peserta”. Pasal 9 Persyaratan menjadi Peserta : a. Memiliki sarana dan prasarana BI-SSSS serta back-up yang ditentukan oleh Bank Indonesia; dan b. menandatangani “Perjanjian Penggunaan BI-SSSS antara Bank Indonesia dengan Peserta” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8. Pasal 10 Peserta wajib : a. menjaga kelancaran dan keamanan dalam penggunaan BI-SSSS; b. bertanggungjawab atas kebenaran transaksi dan atau instruksi setelmen transaksi Surat Berharga yang dikirim Peserta kepada Penyelenggara melalui BI-SSSS; dan c. memenuhi ketentuan terkait dan perjanjian yang ditetapkan oleh Bank Indonesia dan atau Penyelenggara maupun kesepakatan tertulis antar Peserta (By-Laws). BAB III KOMPONEN DAN FUNGSI BI-SSSS Pasal 11 (1) Komponen BI-SSSS dan fungsi utama dari masing-masing komponen adalah sebagai berikut : a. Automatic … -10- a. Automatic Bidding System Central Computer (BidCC) di Penyelenggara, yang berfungsi sebagai sarana Transaksi Dengan Bank Indonesia; b. SSSS Central Computer (SCC) di Penyelenggara, yang berfungsi sebagai sarana penatausahaan Transaksi Dengan Bank Indonesia dan Penatausahaan Surat Berharga; dan c. SSSS Terminal (ST) di Peserta, yang berfungsi sebagai sarana pengiriman Transaksi Dengan Bank Indonesia dan pengiriman instruksi setelmen transaksi Surat Berharga ke Penyelenggara. (2) Selain fungsi utama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), BI-SSSS mempunyai fungsi pendukung dalam distribusi informasi dan komunikasi dari dan ke Penyelenggara serta antar Peserta. BAB IV TRANSAKSI DENGAN BANK INDONESIA Pasal 12 Transaksi Dengan Bank Indonesia dilakukan Peserta dalam rangka: a. Pelaksanaan OPT oleh Bank Indonesia sesuai ketentuan yang berlaku antara lain mencakup kegiatan : 1) penerbitan dan penjualan SBI secara lelang dan bukan lelang di pasar perdana; dan atau 2) penjualan dan pembelian SBI dan SUN secara lelang dan bukan lelang di pasar sekunder; dan atau 3) penyediaan FASBI dalam Rupiah; dan atau 4) penyediaan SWBI; dan atau 5) OPT lainnya. b. Pemberian … -11- b. Pemberian fasilitas pendanaan Bank Indonesia kepada Bank yang mencakup Fasilitas Likuiditas Intrahari, Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek dan Fasilitas Pembiayaan Jangka Pendek Bagi Bank Syariah serta fasilitas pendanaan lainnya yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. c. Pelaksanaan transaksi SUN oleh Bank Indonesia untuk dan atas nama Pemerintah yang mencakup kegiatan : 1) penjualan SUN secara lelang di pasar perdana; dan atau 2) penjualan dan pembelian SUN secara lelang dan bukan lelang di pasar sekunder. Pasal 13 (1) Dalam hal Bank sebagai Peserta menunjuk Peserta lain sebagai perantara (broker) untuk melakukan transaksi OPT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 butir a dan atau transaksi SUN yang dilaksanakan oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 butir c, yang bersangkutan wajib menetapkan batas maksimum nominal penawaran (broker bidding limit) per hari bagi broker yang ditunjuk. (2) Ketentuan penetapan batas maksimum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib diatur dalam perjanjian tersendiri antara Bank dengan broker. BAB V … -12- BAB V PENATAUSAHAAN Bagian Pertama Penatausahaan Transaksi Dengan Bank Indonesia Pasal 14 (1) Bank Indonesia melakukan penatausahaan Transaksi Dengan Bank Indonesia dengan menggunakan sarana BI-SSSS. (2) Penatausahaan Transaksi Dengan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mencakup kegiatan penatausahaan transaksi OPT, penatausahaan fasilitas pendanaan Bank Indonesia kepada Bank dan penatausahaan transaksi SUN untuk dan atas nama Pemerintah. (3) Penatausahaan transaksi OPT dengan instrumen Surat Berharga dan penatausahaan transaksi SUN untuk dan atas nama Pemerintah termasuk dalam Penatausahaan Surat Berharga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 sampai dengan Pasal 22. (4) Penatausahaan transaksi OPT dalam bentuk penyediaan FASBI dalam Rupiah dan penyediaan SWBI mencakup kegiatan setelmen, pencatatan kepemilikan, perhitungan diskonto atau pembayaran bonus dan pembayaran nominal FASBI dan SWBI pada saat jatuh waktu. (5) Dalam rangka setelmen transaksi OPT, Bank Indonesia berwenang untuk mendebet rekening giro Rupiah Bank Peserta di Bank Indonesia melalui Sistem BI-RTGS atau mendebet rekening Surat Berharga Peserta di BI-SSSS yang melakukan transaksi OPT. (6) Dalam rangka setelmen transaksi OPT sebagaimana dimaksud dalam ayat (5), Bank wajib memiliki saldo yang mencukupi pada rekening giro Rupiah Bank di Bank Indonesia untuk pelaksanaan Setelmen Dana baik untuk dan atas nama sendiri … -13- sendiri maupun untuk dan atas nama Peserta lain yang menunjuk Bank tersebut sebagai Bank pembayar. (7) Dalam rangka setelmen transaksi OPT sebagaimana dimaksud dalam ayat (5), Peserta wajib memiliki saldo yang mencukupi pada rekening Surat Berharga Peserta di BI-SSSS untuk pelaksanaan Setelmen Surat Berharga. (8) Dalam hal Bank dan atau Peserta tidak dapat memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (6) dan ayat (7), Bank Indonesia mengenakan sanksi sesuai ketentuan mengenai OPT yang berlaku. Pasal 15 (1) Penatausahaan fasilitas pendanaan Bank Indonesia kepada Bank mencakup kegiatan setelmen, perhitungan dan pembayaran bunga atau imbalan atas penggunaan fasilitas pendanaan, pelunasan fasilitas pendanaan saat jatuh waktu, serta pelaksanaan eksekusi agunan dalam hal Bank tidak dapat memenuhi kewajiban. (2) Bank Indonesia berwenang untuk mendebet rekening giro Rupiah Bank Peserta di Bank Indonesia melalui Sistem BI-RTGS untuk memenuhi kewajiban bunga dan pelunasan pokok fasilitas pendanaan pada saat jatuh waktu. (3) Dalam hal Bank tidak dapat memenuhi kewajiban fasilitas pendanaan pada saat jatuh waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), Bank Indonesia berwenang melaksanakan eksekusi agunan sesuai ketentuan yang berlaku mengenai fasilitas pendanaan Bank Indonesia kepada Bank. Bagian … -14- Bagian Kedua Penatausahaan Surat Berharga Pasal 16 (1) Bank Indonesia melakukan Penatausahaan Surat Berharga yang diterbitkan oleh Bank Indonesia dan Pemerintah Republik Indonesia secara elektronis dengan menggunakan sarana BI-SSSS. (2) Dalam melakukan Penatausahaan Surat Berharga sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Bank Indonesia sebagai Central Registry melakukan fungsi pencatatan kepemilikan Surat Berharga, kliring dan setelmen serta agen pembayar bunga (kupon) dan pelunasan pokok Surat Berharga. (3) Bank Indonesia sebagai Central Registry dapat menunjuk Sub-Registry dan atau bekerjasama dengan pihak lain untuk mendukung Penatausahaan Surat Berharga sebagaimana dimaksud dalam ayat (2). (4) Persyaratan penunjukan dan pencabutan Sub-Registry serta kewajiban pelaporan ditetapkan lebih lanjut dengan Surat Edaran Bank Indonesia. (5) Dalam hal Bank Indonesia menunjuk Sub-Registry maka Bank Indonesia berwenang melakukan pengawasan terhadap kegiatan Sub-Registry yang terkait dengan Penatausahaan Surat Berharga. (6) Bank Indonesia dapat mengenakan sanksi kepada Sub-Registry atas pelanggaran terhadap ketentuan mengenai Sub-Registry yang berlaku. (7) Sanksi sebagaimana dimaksud dalam ayat (6) dapat berupa pemberhentian sementara atau pencabutan atas penunjukannya sebagai Sub-Registry. Pasal 17 … -15- Pasal 17 (1) Pencatatan kepemilikan Surat Berharga dilakukan tanpa warkat (scripless) dan secara book entry. (2) Pencatatan kepemilikan Surat Berharga dilakukan secara two tier system yang terdiri dari: a. Central Registry yang melakukan pencatatan dan perubahan kepemilikan Surat Berharga untuk kepentingan Bank, Sub-Registry dan pihak lain yang disetujui Bank Indonesia; dan b. Sub-Registry yang melakukan pencatatan dan perubahan kepemilikan Surat Berharga untuk kepentingan nasabah. (3) Catatan kepemilikan Surat Berharga pada Central Registry dan Sub-Registry merupakan bukti kepemilikan yang sah. Pasal 18 (1) Pencatatan kepemilikan Surat Berharga pada rekening Surat Berharga Sub- Registry di Central Registry bersifat global (omnibus account). (2) Pencatatan kepemilikan Surat Berharga pada rekening Surat Berharga Sub- Registry di Central Registry sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) bukan merupakan bukti kepemilikan Surat Berharga atas nama Sub-Registry. (3) Kepemilikan Surat Berharga atas nama nasabah wajib dicatat secara terpisah dari aset Sub-Registry. (4) Sub-Registry tidak diperbolehkan memelihara rekening Surat Berharga untuk dan atas nama diri sendiri, pengurus, pemegang saham dan pengelola serta pegawai. Pasal 19 … -16- Pasal 19 (1) Setelmen transaksi Surat Berharga di pasar perdana dan di pasar sekunder terdiri dari Setelmen Surat Berharga atau Setelmen Surat Berharga dan Setelmen Dana. (2) Setelmen transaksi Surat Berharga di pasar perdana dan di pasar sekunder dilakukan atas dasar prinsip DVP. (3) Setelmen transaksi Surat Berharga secara DVP dilakukan atas dasar sistem setelmen gross to gross atau gross to gross dan gross to net. (4) Setelmen transaksi Surat Berharga di pasar perdana dan di pasar sekunder secara FoP hanya dilakukan untuk perpindahan kepemilikan Surat Berharga dalam rangka hibah, warisan, pelunasan kewajiban dari dan kepada Bank Indonesia atau Pemerintah dan tujuan lainnya. (5) Setelmen transaksi Surat Berharga di pasar sekunder termasuk tetapi tidak terbatas pada setelmen transaksi jual putus (outright), repurchase aggreement (repo), pinjam meminjam Surat Berharga (securities borrowing and lending), dan pencatatan agunan (pledge). Pasal 20 (1) Dalam melakukan transaksi pembelian Surat Berharga, pihak yang tidak memiliki rekening Surat Berharga di Central Registry wajib menunjuk Sub-Registry. (2) Dalam hal Peserta pemilik rekening Surat Berharga di Central Registry bukan peserta Sistem BI-RTGS, yang bersangkutan wajib menunjuk Bank peserta Sistem BI-RTGS sebagai Bank penerima dan atau pembayar untuk melakukan Setelmen Dana dan atau pembayaran kewajiban lainnya. (3) Bank peserta Sistem BI-RTGS yang ditunjuk sebagai Bank pembayar dalam Setelmen Dana sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) wajib menetapkan batas maksimum … -17- maksimum nominal per transaksi dan total nominal transaksi per hari untuk setiap Peserta yang menunjuk Bank dimaksud. (4) Ketentuan penetapan batas maksimum sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) wajib diatur dalam perjanjian tersendiri antara Bank peserta Sistem BI-RTGS dengan Peserta yang menunjuk Bank dimaksud. (5) Dalam memenuhi kewajiban setelmen Surat Berharga, Peserta yang melakukan transaksi Surat Berharga di pasar sekunder wajib memiliki saldo Surat Berharga yang mencukupi di Central Registry. (6) Dalam memenuhi kewajiban Setelmen Dana, Bank Peserta yang melakukan transaksi Surat Berharga baik untuk dan atas nama diri sendiri maupun untuk dan atas nama pihak lain, wajib memiliki saldo yang mencukupi pada rekening giro Rupiah di Bank Indonesia. (7) Dalam hal Peserta yang melakukan transaksi Surat Berharga tidak dapat memenuhi kewajiban untuk Setelmen Surat Berharga dan atau Setelmen Dana maka setelmen untuk transaksi yang bersangkutan tidak dapat dilakukan dan secara otomatis akan dibatalkan oleh sistem setelah berakhirnya jam operasional BI-SSSS yang ditetapkan oleh Penyelenggara. Pasal 21 (1) Dalam rangka setelmen transaksi SUN untuk dan atas nama Pemerintah, Bank Indonesia berwenang untuk : a. mendebet rekening giro Rupiah Bank Peserta di Bank Indonesia melalui Sistem BI-RTGS yang melakukan pembelian baik untuk dan atas nama diri sendiri maupun untuk dan atas nama pihak lain; atau b. mendebet rekening Surat Berharga Peserta sebagai penjual; dan c. mendebet … -18- c. mendebet rekening Surat Berharga Pemerintah atau rekening giro Rupiah Pemerintah di Bank Indonesia dalam rangka setelmen transaksi SUN. (2) Dalam hal Bank dan atau Peserta tidak dapat memenuhi kewajiban setelmen transaksi SUN dengan Pemerintah, Bank Indonesia mengenakan sanksi sesuai ketentuan mengenai SUN yang berlaku. Pasal 22 (1) Bank Indonesia melakukan pembayaran bunga (kupon) dan pokok Surat Berharga pada saat jatuh waktu kepada pemilik Surat Berharga yang tercatat dalam BI-SSSS atas beban penerbit dengan mengkredit rekening giro Rupiah Bank Peserta di Bank Indonesia melalui Sistem BI-RTGS. (2) Bank Indonesia dapat melakukan pembayaran pokok Surat Berharga sebelum tanggal jatuh waktu dan accrued interest atas bunga (kupon) berdasarkan permintaan penerbit secara tertulis dengan persetujuan pemilik Surat Berharga. (3) Dalam melakukan pembayaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), Bank Indonesia berwenang untuk mendebet rekening giro Rupiah Pemerintah di Bank Indonesia. (4) Dalam hal Peserta pemilik rekening Surat Berharga bukan peserta Sistem BI- RTGS, Peserta dimaksud wajib menunjuk Bank peserta Sistem BI-RTGS untuk menerima pembayaran bunga (kupon) dan pelunasan pokok Surat Berharga. BAB VI … -19- BAB VI WAKTU OPERASIONAL BI-SSSS Pasal 23 (1) Penyelenggaraan BI-SSSS diadakan setiap hari kerja kecuali ditetapkan lain oleh Penyelenggara. (2) Operasional BI-SSSS dilakukan pada jam operasional yang ditetapkan oleh Penyelenggara. (3) Perubahan jam operasional dapat dilakukan berdasarkan: a. b. kebijakan Penyelenggara; atau permintaan Peserta. (4) Perubahan jam operasional berdasarkan kebijakan Penyelenggara sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) butir a dilakukan dalam hal terjadi: a. kerusakan pada sistem BI-SSSS; atau b. adanya kebijakan yang menyebabkan Bank Indonesia harus melakukan setelmen melebihi jam operasional BI-SSSS. (5) Perubahan jam operasional berdasarkan permintaan Peserta sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) butir b dilakukan untuk permintaan perpanjangan jam operasional dalam hal terjadi: a. kondisi darurat pada lokasi produksi BI-SSSS Peserta; atau b. kerusakan pada SSSS Terminal (ST) Peserta sehingga waktu yang tersedia untuk melakukan Transaksi Dengan Bank Indonesia dan atau setelmen transaksi Surat Berharga menjadi terbatas. (6) Waktu operasional BI-SSSS sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), persyaratan dan tata cara perubahannya sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) dan ayat (5), ditetapkan dengan Surat Edaran Bank Indonesia. BAB VII … -20- BAB VII LAPORAN Pasal 24 (1) Pada saat penutupan sistem akhir hari, Peserta dapat mencetak laporan aktifitas transaksi dan setelmen keseluruhan pada hari tersebut antara lain namun tak terbatas pada laporan mutasi Surat Berharga dan posisi akhir kepemilikan Surat Berharga milik Peserta. (2) Dalam hal terjadi perbedaan data laporan antara Peserta dan Penyelenggara maka yang dianggap benar adalah data yang dimiliki oleh Penyelenggara. BAB VIII BIAYA Pasal 25 (1) Penyelenggara menetapkan jenis dan besarnya biaya penggunaan BI-SSSS yang wajib dibayar oleh Peserta. (2) Penyelenggara berwenang untuk mendebet rekening giro Rupiah Bank Peserta di Bank Indonesia dalam rangka pembebanan biaya penggunaan BI-SSSS. (3) Jenis dan besarnya biaya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia. (4) Dalam hal Peserta mengajukan permintaan perpanjangan jam operasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (5) maka Peserta dikenakan biaya sesuai ketentuan Sistem BI-RTGS yang berlaku. BAB IX … -21- BAB IX PENGAWASAN Pasal 26 (1) Penyelenggara berwenang melakukan pengawasan terhadap peserta atas penggunaan BI-SSSS. (2) Pelaksanaan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara langsung atau tidak langsung secara berkala atau sewaktu-waktu. (3) Penyelenggara dapat menugasi pihak lain untuk dan atas nama Bank Indonesia melaksanakan pengawasan secara langsung sebagaimana dimaksud dalam ayat (2). (4) Dalam rangka pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3), Peserta wajib memberikan: a. Informasi dan data yang terkait dengan pelaksanaan penggunaan BI-SSSS; b. Kesempatan untuk melakukan pengawasan secara langsung sarana fisik dan aplikasi pendukungnya yang terkait dengan operasional BI-SSSS. (5) Pihak lain yang ditugasi Bank Indonesia untuk melaksanakan pengawasan secara langsung sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) wajib merahasiakan informasi dan data yang diperoleh dalam pengawasan. BAB X SANKSI Pasal 27 Dalam hal Peserta tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, Penyelenggara dapat mengenakan sanksi berupa teguran tertulis, diberhentikan sementara (suspend), atau diberhentikan secara permanen (close) dari statusnya sebagai Peserta. BAB XI … -22- BAB XI KEADAAN DARURAT Pasal 28 (1) Dalam hal terjadi gangguan BI-SSSS di luar kemampuan Peserta dan atau Penyelenggara (force majeur), Penyelenggara akan memberlakukan prosedur dan rencana mengatasi keadaan darurat (contingency plan). (2) Prosedur dan rencana mengatasi keadaan darurat (contingency plan) akan ditetapkan lebih lanjut dengan Surat Edaran Bank Indonesia. BAB XII KETENTUAN PERALIHAN Pasal 29 Bank dan pihak lain yang pada saat ditetapkannya Peraturan Bank Indonesia ini telah menjadi peserta Sistem BI-RTGS, Peserta OPT, Peserta Lelang SUN, Sub-Registry dan pemilik rekening Surat Berharga di Central Registry dianggap telah menjadi Peserta berdasarkan Peraturan Bank Indonesia ini sepanjang telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9. BAB XIII KETENTUAN PENUTUP Pasal 30 Ketentuan pelaksanaan dari Peraturan Bank Indonesia ini diatur lebih lanjut dengan Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 31 … -23- Pasal 31 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 16 Februari 2004 a.n. GUBERNUR BANK INDONESIA ANWAR NASUTION DEPUTI GUBERNUR SENIOR LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2004 NOMOR 15 DPM PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 6/2/PBI/2004 TENTANG BANK INDONESIA - SCRIPLESS SECURITIES SETTLEMENT SYSTEM (BI-SSSS) UMUM Dalam rangka penjualan Surat Utang Negara (SUN) di pasar perdana, Bank Indonesia dapat ditunjuk sebagai agen lelang yang melakukan lelang secara terbuka kepada masyarakat dengan penyampaian penawaran melalui peserta lelang. Selanjutnya Bank Indonesia juga berfungsi sebagai penatausaha SUN yang bertindak sebagai Central Registry yang melakukan kegiatan pencatatan penerbitan dan pencatatan kepemilikan, kliring dan setelmen serta pembayaran bunga (kupon) dan pelunasan pokok SUN. Dalam menatausahakan SUN yang diperdagangkan secara tanpa warkat (scripless), Bank Indonesia menggunakan penatausahaan secara elektronis dengan sistem Book Entry Registry (BER) yang dikenal dengan Bank Indonesia Sistem Kliring, Registrasi, Informasi dan Penatausahaan Surat Berharga (BI-SKRIP). Dalam pelaksanaan Operasi Pasar Terbuka (OPT), Bank Indonesia menggunakan sarana Automatic Bidding System (ABS) yang disediakan oleh pihak lain untuk melakukan transaksi Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dan Fasilitas Simpanan Bank Indonesia (FASBI). Sistem ABS ini tidak terhubung dengan sistem penatausahaan Bank Indonesia, sehingga pelaksanaan setelmen kurang efisien. Selain itu … -2- itu sarana transaksi dan penatausahaan lainnya seperti fasilitas pendanaan Bank Indonesia kepada Bank dan penyediaan Sertifikat Wadiah Bank Indonesia (SWBI) juga masih dilakukan secara manual. Sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan efisiensi penatausahaan SBI, sejak tahun 2002 SBI sebagai instrumen utama dalam kegiatan OPT mulai beralih dari bentuk warkat menjadi tanpa warkat (scripless). Penatausahaan SBI scripless menggunakan sarana yang sama dengan penatausahaan SUN yaitu BI-SKRIP. Namun demikian, BI-SKRIP sebagai sarana penatausahaan SUN dan SBI belum terhubung langsung (online) dengan pemilik surat berharga sebagai pelaku pasar. Proses setelmen transaksi yang dilakukan oleh pelaku pasar masih secara manual dimana pelaku pasar mengirimkan formulir berupa instruksi setelmen penjualan atau pembelian kepada Bank Indonesia sebagai Central Registry, sehingga risiko setelmen masih dihadapi oleh pelaku pasar. Sejalan dengan perkembangan transaksi SUN yang semakin meningkat maka infrastruktur penatausahaan surat berharga yang aman, akurat, terpercaya dan cepat, menjadi prasyarat penting untuk dapat mendukung pengembangan pasar sekunder SUN. Lebih lanjut perkembangan pasar sekunder SUN selain akan mendukung Pemerintah dalam membiayai defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) juga memberi peluang bagi Bank Indonesia untuk menggunakan SUN sebagai alternatif instrumen OPT yang lebih efektif. Dengan pertimbangan tersebut di atas, dalam rangka otomasi sistem untuk meningkatkan efisiensi pelaksanaan transaksi Bank Indonesia dan penatausahaannya termasuk penatausahaan SUN dan SBI maka Bank Indonesia mengimplementasikan sistem baru menggantikan BI-SKRIP. Sistem tersebut menggabungkan sistem transaksi Bank Indonesia dan penatausahaannya dalam satu sistem yang terintegrasi dan terhubung langsung (on-line) antara Bank Indonesia dengan para pelaku pasar. Sistem yang … -3- yang dikenal dengan Bank Indonesia - Scripless Securities Settlement System (BI-SSSS) ini mencakup sistem lelang elektronis dan sarana transaksi dengan Bank Indonesia, sistem informasi dan sistem setelmen surat berharga antar pengguna BI-SSSS. Pengembangan sistem setelmen surat berharga secara seamless dengan sistem setelmen dana peserta melalui Sistem Bank Indonesia – Real Time Gross Settlement (Sistem BI- RTGS) memungkinkan pelaku pasar memanfaatkan fasilitas setelmen secara Delivery Versus Payment (DVP) yang dapat dilakukan secara cepat dan seketika sehingga risiko setelmen dapat diminimalkan. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas Pasal 2 Cukup jelas Pasal 3 Ayat (1) Butir a Cukup jelas Butir b Cukup jelas Butir c Pemilik rekening Surat Berharga di Central Registry terdiri dari Bank, Sub- Registry dan pihak-pihak lain yang disetujui Bank Indonesia. Ayat (2) … -4- Ayat (2) Cukup jelas Pasal 4 Cukup jelas Pasal 5 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Informasi yang dapat diperoleh dari BI-SSSS antara lain posisi kepemilikan Surat Berharga dan informasi mengenai Surat Berharga yang diperdagangkan di pasar sekunder. Ayat (3) Cukup jelas Pasal 6 Ayat (1) Yang dimaksud dengan lembaga yang berwenang dalam pengawasan Peserta adalah Bank Indonesia dalam hal Peserta adalah Bank dan Perusahaan Pialang Pasar Uang dan Valuta Asing, Badan Pengawasan Pasar Modal (Bapepam) dalam hal Peserta adalah Perusahaan Efek. Ayat (2) Cukup jelas Pasal 7 … -5- Pasal 7 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Butir a Cukup jelas Butir b Pembayaran kupon atau bonus dan pelunasan pokok Surat Berharga yang jatuh waktu bagi Peserta dengan kondisi kepesertaan dalam Sistem BI- RTGS berstatus dibekukan (freeze) akan ditampung dalam rekening khusus (escrow account) di Bank Indonesia. Ayat (4) Sarana penghubung antara RTGS Terminal (RT) ke RTGS Central Computer (RCC) dan antara SSSS Terminal (ST) ke SSSS Central Computer (SCC) menggunakan satu jaringan komunikasi yang sama sehingga Peserta Sistem BI- RTGS yang telah ditutup (close) juga tidak dapat melakukan hubungan secara on-line ke SCC. Pasal 8 Cukup jelas Pasal 9 Butir a Yang dimaksud dengan back-up adalah sistem teknologi informasi cadangan yang memiliki aplikasi dan data yang sama dengan yang ada pada sistem utama. Butir b … -6- Butir b Cukup jelas Pasal 10 Butir a Yang dimaksud dengan menjaga keamanan dalam BI-SSSS diantaranya adalah menjaga keamanan fisik perangkat keras (hardware) dan perangkat lunak (software) serta pengaturan kewenangan internal pengguna dalam pemakaian aplikasi BI-SSSS. Butir b Cukup jelas Butir c Yang dimaksud dengan ketentuan terkait antara lain ketentuan mengenai Sistem BI-RTGS, OPT, SBI dan fasilitas pendanaan Bank Indonesia kepada Bank. Yang dimaksud dengan By-Laws adalah kesepakatan tertulis antar Peserta yang bertujuan untuk mencapai keseragaman dalam pelaksanaan setelmen transaksi Surat Berharga diantara para Peserta. Pasal 11 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 12 Butir a Cukup jelas Butir b … -7- Butir b Yang dimaksud dengan Fasilitas Likuiditas Intrahari yang selanjutnya disebut FLI adalah fasilitas pendanaan selama jam operasional Sistem BI-RTGS berupa suatu nilai maksimum tertentu yang disediakan oleh Bank Indonesia untuk Bank Peserta BI-RTGS guna mengatasi kesulitan pendanaan jangka sangat pendek dalam rangka mendukung kelancaran sistem pembayaran nasional, sebagaimana dimaksud dalam ketentuan FLI. Yang dimaksud dengan Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek yang selanjutnya disebut FPJP adalah fasilitas pendanaan dari Bank Indonesia kepada Bank yang hanya dapat digunakan untuk mengatasi kesulitan pendanaan jangka pendek, sebagaimana dimaksud dalam ketentuan FPJP. Yang dimaksud dengan Fasilitas Pembiayaan Jangka Pendek Bagi Bank Syariah yang selanjutnya disebut FPJPS adalah fasilitas pembiayaan dari Bank Indonesia kepada Bank Syariah yang hanya dapat digunakan untuk mengatasi kesulitan pendanaan jangka pendek, sebagaimana dimaksud dalam ketentuan FPJPS. Butir c Cukup jelas Pasal 13 Ayat (1) Yang dimaksud dengan broker adalah Perusahaan Pialang Pasar Uang dan Valuta Asing dan atau Perusahaan Efek yang disetujui dan atau ditunjuk sebagai peserta OPT dan atau Peserta Lelang SUN. Ayat (2) Cukup jelas Pasal 14 … -8- Pasal 14 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas Ayat (6) Cukup jelas Ayat (7) Cukup jelas Ayat (8) Cukup jelas Pasal 15 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 16 … -9- Pasal 16 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas Ayat (6) Cukup jelas Ayat (7) Cukup jelas Pasal 17 Ayat (1) Yang dimaksud dengan book entry adalah pencatatan kepemilikan dan perpindahan kepemilikan tanpa warkat (scripless) dalam suatu jurnal elektronis. Ayat (2) Cukup Jelas Ayat (3) Cukup Jelas Pasal 18 … -10- Pasal 18 Ayat (1) Pencatatan rinci per nasabah individual dilakukan oleh Sub-Registry secara book entry dalam sistem penatausahaan yang bersangkutan. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Pasal 19 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Gross to gross adalah proses setelmen dimana Setelmen Surat Berharga dan Setelmen Dana dilakukan berdasarkan transaksi per transaksi. Gross to net adalah proses setelmen dimana Setelmen Surat Berharga dilakukan secara transaksi per transaksi sedangkan Setelmen Dana dilakukan secara keseluruhan setelah proses perhitungan transaksi jual beli Surat Berharga (netting system). Ayat (4) Yang dimaksud dengan tujuan lainnya misalnya perpindahan kepemilikan Surat Berharga dalam rangka penutupan rekening Surat Berharga dan jual beli Surat Berharga … -11- Berharga antar nasabah dalam Sub-Registry yang sama tetapi dengan tipe investor dan atau status residen berbeda. Ayat (5) Yang dimaksud dengan outright adalah transaksi pembelian atau penjualan Surat Berharga secara lepas atau putus tanpa kewajiban untuk menjual atau membeli kembali. Yang dimaksud dengan repurchase agreement (repo) adalah transaksi penjualan Surat Berharga secara bersyarat dengan kewajiban pembelian kembali Surat Berharga dimaksud sesuai dengan harga dan jangka waktu yang telah disepakati. Yang dimaksud dengan securities borrowing and lending adalah transaksi pinjam meminjam Surat Berharga sesuai jangka waktu yang telah disepakati. Yang dimaksud dengan pencatatan agunan (pledge) adalah transaksi pengagunan Surat Berharga antar Peserta BI-SSSS sesuai jangka waktu yang telah disepakati. Pasal 20 Ayat (1) Cukup Jelas Ayat (2) Yang dimaksud dengan kewajiban lainnya antara lain untuk pembebanan sanksi dan atau biaya dalam rangka penggunaan BI-SSSS. Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) … -12- Ayat (5) Cukup jelas Ayat (6) Cukup jelas Ayat (7) Cukup jelas Pasal 21 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 22 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Pasal 23 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) … -13- Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Perubahan jam operasional BI-SSSS hanya dapat dilakukan melalui perubahan jam operasional Sistem BI-RTGS. Butir a Yang dimaksud lokasi produksi adalah lokasi yang ditetapkan oleh Peserta untuk menempatkan SSSS Terminal (ST). Butir b Yang dimaksud SSSS Terminal (ST) adalah terminal komputer sebagai sarana bagi Peserta untuk melakukan transaksi dengan Bank Indonesia dan setelmen Surat Berharga. Ayat (6) Cukup jelas Pasal 24 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 25 … -14- Pasal 25 Ayat (1) Yang dimaksud dengan biaya adalah biaya-biaya yang dibebankan kepada Peserta antara lain biaya atas setiap pengiriman data transaksi dan instruksi setelmen serta permintaan data oleh Peserta ke dan dari Penyelenggara (SCC/BidCC). Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Pasal 26 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Yang dimaksud dengan pihak lain antara lain adalah pihak ketiga yang melakukan pengembangan aplikasi BI-SSSS, pihak ketiga sebagai penyedia jasa komunikasi dan konsultan audit teknologi informasi. Ayat (4) Butir a Yang dimaksud dengan informasi dan data antara lain data elektronik dan penjelasan yang berkaitan dengan tujuan pengawasan pemeriksaan. Butir b … -15- Butir b Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas Pasal 27 Cukup jelas Pasal 28 Ayat (1) Yang dimaksud dengan keadaan darurat (force majeur) adalah situasi atau kondisi di luar normal sebagai akibat adanya peristiwa-peristiwa yang secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi tugas Peserta dan atau Penyelenggara dan terjadi di luar kekuasaan dan kemampuan Peserta dan atau Penyelenggara sehingga satuan kerja operasional tidak dapat melakukan tugasnya. Contingency Plan adalah tahapan-tahapan yang harus dilakukan dalam hal BI- SSSS tidak dapat berfungsi. Ayat (2) Cukup jelas Pasal 29 Cukup jelas Pasal 30 … -16- Pasal 30 Cukup jelas Pasal 31 Cukup jelas TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4363
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 6/2/PBI/2004 </reg_id> <reg_title> BANK INDONESIA - SCRIPLESS SECURITIES SETTLEMENT SYSTEM (BI-SSSS) </reg_title> <set_date> 16 Februari 2004 </set_date> <effective_date> 16 Februari 2004 </effective_date> <related_reg> '23/UU/1999', '3/UU/2004', '7/UU/1992', '24/UU/2002', '10/UU/1998', '8/UU/1995' </related_reg> <penalty_list> 'BAB V Bagian Kedua Pasal 16 Ayat (7)', 'BAB X' </penalty_list>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 18/16/PBI/2016 TENTANG RASIO LOAN TO VALUE UNTUK KREDIT PROPERTI, RASIO FINANCING TO VALUE UNTUK PEMBIAYAAN PROPERTI, DAN UANG MUKA UNTUK KREDIT ATAU PEMBIAYAAN KENDARAAN BERMOTOR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka meningkatkan permintaan domestik guna terus mendorong pertumbuhan ekonomi nasional dengan tetap menjaga stabilitas makroekonomi, diperlukan penyesuaian terhadap makroprudensial; kebijakan b. bahwa penyesuaian ketentuan makroprudensial dilakukan untuk mendorong berjalannya fungsi intermediasi perbankan dengan tetap memperhatikan prinsip kehati-hatian dan perlindungan konsumen; c. bahwa penyesuaian ketentuan makroprudensial dilakukan antara lain melalui pengaturan rasio loan to value untuk kredit properti dan rasio financing to value untuk pembiayaan properti; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Bank Indonesia tentang Rasio Loan To Value untuk Kredit Properti, Rasio Financing To - 2 - Value untuk Pembiayaan Properti, dan Uang Muka untuk Kredit atau Pembiayaan Kendaraan Bermotor; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962); 2. Peraturan Bank Indonesia Nomor 16/11/PBI/2014 tentang Pengaturan dan Pengawasan Makroprudensial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 141, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5546); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG RASIO LOAN TO VALUE UNTUK KREDIT PROPERTI, RASIO FINANCING TO VALUE UNTUK PEMBIAYAAN PROPERTI, DAN UANG MUKA UNTUK KREDIT ATAU PEMBIAYAAN KENDARAAN BERMOTOR. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan: 1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan, - 3 - termasuk kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri, dan Bank Umum Syariah serta Unit Usaha Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan syariah. 2. Kredit adalah kredit sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan. 3. Pembiayaan adalah pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan syariah. 4. Properti adalah Rumah Tapak, Rumah Susun, dan Rumah Toko atau Rumah Kantor. 5. Rumah Tapak adalah bangunan yang berfungsi sebagai tempat tinggal yang merupakan kesatuan antara tanah dan bangunan dengan bukti kepemilikan berupa surat keterangan, sertifikat, atau akta yang dikeluarkan oleh lembaga atau pejabat yang berwenang. 6. Rumah Susun adalah bangunan gedung bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan yang terbagi dalam bagian yang distrukturkan secara fungsional baik dalam arah horizontal maupun vertikal dan merupakan satuan yang masing-masing dapat dimiliki dan digunakan secara terpisah, antara lain griya tawang, kondominium, apartemen, dan flat. 7. Rumah Toko atau Rumah Kantor adalah tanah berikut bangunan yang izin pendiriannya sebagai rumah tinggal sekaligus untuk tujuan komersial antara lain pertokoan, perkantoran, atau gudang. 8. Kredit Properti yang selanjutnya disingkat KP adalah kredit konsumsi yang terdiri atas: a. Kredit yang diberikan Bank untuk pemilikan Rumah Tapak, termasuk Kredit konsumsi beragun Rumah Tapak, yang selanjutnya disebut KP Rumah Tapak; b. Kredit yang diberikan Bank untuk pemilikan Rumah Susun, termasuk Kredit konsumsi beragun Rumah Susun, yang selanjutnya disebut KP Rusun; dan - 4 - c. Kredit yang diberikan Bank untuk pemilikan Rumah Toko atau Rumah Kantor, termasuk Kredit konsumsi beragun Rumah Toko atau Rumah Kantor, yang selanjutnya disebut KP Ruko atau KP Rukan. 9. Pembiayaan Properti yang selanjutnya disingkat PP adalah Pembiayaan konsumsi yang terdiri atas: a. Pembiayaan yang diberikan Bank untuk pemilikan Rumah Tapak, termasuk Pembiayaan konsumsi beragun Rumah Tapak, yang selanjutnya disebut PP Rumah Tapak; b. Pembiayaan yang diberikan Bank untuk pemilikan Rumah Susun, termasuk Pembiayaan konsumsi beragun Rumah Susun, yang selanjutnya disebut PP Rusun; dan c. Pembiayaan yang diberikan Bank untuk pemilikan Rumah Toko atau Rumah Kantor, termasuk Pembiayaan konsumsi beragun Rumah Toko atau Rumah Kantor, yang selanjutnya disebut PP Ruko atau PP Rukan. 10. Akad Murabahah adalah akad pembiayaan suatu barang dengan menegaskan harga belinya kepada pembeli dan pembeli membayarnya dengan harga yang lebih sebagai keuntungan yang disepakati. 11. Akad Istishna’ adalah akad pembiayaan barang dalam bentuk pemesanan pembuatan barang tertentu dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati antara pemesan atau pembeli (mustashni’) dan penjual atau pembuat (shani’). 12. Akad Musyarakah Mutanaqisah yang selanjutnya disebut Akad MMQ adalah Pembiayaan musyarakah yang kepemilikan aset (barang) atau modal salah satu pihak (syarik) berkurang disebabkan pembelian secara bertahap oleh pihak lainnya. - 5 - 13. Akad Ijarah Muntahiya Bittamlik yang selanjutnya disebut Akad IMBT adalah akad penyediaan dana dalam rangka memindahkan hak guna atau manfaat dari suatu barang atau jasa berdasarkan transaksi sewa dengan opsi pemindahan kepemilikan barang. 14. Rasio Loan to Value yang selanjutnya disebut Rasio LTV adalah angka rasio antara nilai Kredit yang dapat diberikan oleh Bank terhadap nilai agunan berupa Properti pada saat pemberian Kredit berdasarkan hasil penilaian terkini. 15. Rasio Financing to Value yang selanjutnya disebut Rasio FTV adalah angka rasio antara nilai Pembiayaan yang dapat diberikan oleh Bank terhadap nilai agunan berupa Properti pada saat pemberian Pembiayaan berdasarkan hasil penilaian terkini. 16. Kredit atau Pembiayaan Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disebut KKB atau PKB adalah Kredit atau Pembiayaan yang diberikan Bank untuk pembelian kendaraan bermotor. 17. Uang Muka adalah pembayaran di muka sebesar persentase tertentu dari nilai pembelian Properti atau harga kendaraan bermotor yang sumber dananya berasal dari debitur atau nasabah. Pasal 2 (1) Bank Indonesia menetapkan batasan Rasio LTV untuk KP, Rasio FTV untuk PP, dan batasan Uang Muka KKB atau PKB. (2) Bank wajib memenuhi batasan Rasio LTV untuk KP, Rasio FTV untuk PP, dan batasan Uang Muka KKB atau PKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1). - 6 - BAB II PENGATURAN RASIO LTV DAN RASIO FTV Bagian Kesatu Perhitungan Kredit, Perhitungan Pembiayaan, Nilai Agunan, dan Penilaian Agunan Pasal 3 (1) Bank Umum wajib melakukan perhitungan Kredit dan nilai agunan dalam perhitungan Rasio LTV untuk KP dengan ketentuan sebagai berikut: a. Kredit ditetapkan berdasarkan plafon Kredit yang diterima oleh debitur sebagaimana tercantum dalam perjanjian Kredit; dan b. nilai agunan ditetapkan berdasarkan nilai taksiran yang dilakukan penilai intern Bank Umum atau penilai independen terhadap Properti yang menjadi agunan. (2) Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah wajib melakukan perhitungan Pembiayaan dan nilai agunan dalam perhitungan Rasio FTV untuk PP dengan ketentuan sebagai berikut: a. Pembiayaan ditetapkan berdasarkan jenis akad yang digunakan, yaitu: 1. Pembiayaan berdasarkan Akad Murabahah atau Akad Istishna’ ditetapkan berdasarkan harga pokok Pembiayaan yang diberikan kepada nasabah sebagaimana tercantum dalam akad Pembiayaan; 2. Pembiayaan berdasarkan Akad MMQ ditetapkan berdasarkan penyertaan Bank dalam rangka kepemilikan Properti sebagaimana tercantum dalam akad Pembiayaan; dan 3. Pembiayaan berdasarkan Akad IMBT ditetapkan berdasarkan hasil pengurangan harga Properti dengan deposit sebagaimana tercantum dalam akad Pembiayaan; - 7 - b. nilai agunan ditetapkan berdasarkan nilai taksiran yang dilakukan penilai intern Bank Umum Syariah atau Unit Usaha Syariah, atau penilai independen terhadap Properti yang menjadi agunan. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai perhitungan Kredit, perhitungan Pembiayaan, dan penilaian agunan diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 4 (1) Tata cara penilaian agunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf b dan ayat (2) huruf b ditetapkan sebagai berikut: a. untuk KP atau PP yang diberikan dengan plafon sampai dengan Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) maka nilai agunan didasarkan pada taksiran yang dilakukan oleh penilai intern Bank atau penilai independen; dan b. untuk KP atau PP yang diberikan dengan plafon di atas Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) maka nilai agunan didasarkan pada taksiran yang dilakukan oleh penilai independen. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penilaian agunan diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 5 Penilai independen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan Pasal 4 adalah kantor jasa penilai publik yang paling kurang memenuhi kriteria sebagai berikut: a. memiliki izin usaha dari institusi yang berwenang; b. tidak merupakan pihak terkait dengan Bank; c. tidak merupakan pihak terafiliasi dengan debitur atau nasabah dan pengembang yang dinyatakan dalam surat pernyataan dari kantor jasa penilai publik (KJPP); dan d. tercatat sebagai anggota asosiasi penilai independen atau asosiasi penilai publik. - 8 - Bagian Kedua Rasio LTV dan Rasio FTV Pasal 6 (1) Bank yang memberikan KP atau PP wajib memenuhi ketentuan Rasio LTV untuk KP dan Rasio FTV untuk PP sebagai berikut: a. Rasio LTV untuk KP dan Rasio FTV untuk PP berdasarkan Akad Murabahah dan Akad Istishna’ untuk fasilitas pertama ditetapkan sebagai berikut: 1. KP Rumah Tapak dan PP Rumah Tapak dengan luas bangunan di atas 70m2 (tujuh puluh meter persegi) paling tinggi sebesar 85% (delapan puluh lima persen); 2. KP Rusun dan PP Rusun dengan luas bangunan di atas 70m2 (tujuh puluh meter persegi) paling tinggi sebesar 85% (delapan puluh lima persen); dan 3. KP Rusun dan PP Rusun dengan luas bangunan 22m2 (dua puluh dua meter persegi) sampai dengan 70m2 (tujuh puluh meter persegi) paling tinggi sebesar 90% (sembilan puluh persen); b. Rasio LTV untuk KP dan Rasio FTV untuk PP berdasarkan Akad Murabahah dan Akad Istishna’ untuk fasilitas kedua ditetapkan sebagai berikut: 1. KP Rumah Tapak dan PP Rumah Tapak dengan luas bangunan di atas 70m2 (tujuh puluh meter persegi) paling tinggi sebesar 80% (delapan puluh persen); 2. KP Rumah Tapak dan PP Rumah Tapak dengan luas bangunan 22m2 (dua puluh dua meter persegi) sampai dengan 70m2 (tujuh puluh meter persegi) paling tinggi sebesar 85% (delapan puluh lima persen); - 9 - 3. KP Rusun dan PP Rusun dengan luas bangunan di atas 70m2 (tujuh puluh meter persegi) paling tinggi sebesar 80% (delapan puluh persen); 4. KP Rusun dan PP Rusun dengan luas bangunan 22m2 (dua puluh dua meter persegi) sampai dengan 70m2 (tujuh puluh meter persegi) paling tinggi sebesar 85% (delapan puluh lima persen); 5. KP Rusun dan PP Rusun dengan luas bangunan sampai dengan 21m2 (dua puluh satu meter persegi) paling tinggi sebesar 85% (delapan puluh lima persen); dan 6. KP Ruko atau KP Rukan dan PP Ruko atau PP Rukan paling tinggi sebesar 85% (delapan puluh lima persen); c. Rasio LTV untuk KP dan Rasio FTV untuk PP berdasarkan Akad Murabahah dan Akad Istishna’ untuk fasilitas ketiga dan seterusnya ditetapkan sebagai berikut: 1. KP Rumah Tapak dan PP Rumah Tapak dengan luas bangunan di atas 70m2 (tujuh puluh meter persegi) paling tinggi sebesar 75% (tujuh puluh lima persen); 2. KP Rumah Tapak dan PP Rumah Tapak dengan luas bangunan 22m2 (dua puluh dua meter persegi) sampai dengan 70m2 (tujuh puluh meter persegi) paling tinggi sebesar 80% (delapan puluh persen); 3. KP Rusun dan PP Rusun dengan luas bangunan di atas 70m2 (tujuh puluh meter persegi) paling tinggi sebesar 75% (tujuh puluh lima persen); 4. KP Rusun dan PP Rusun dengan luas bangunan 22m2 (dua puluh dua meter persegi) sampai dengan 70m2 (tujuh puluh meter - 10 - persegi) paling tinggi sebesar 80% (delapan puluh persen); 5. KP Rusun dan PP Rusun dengan luas bangunan sampai dengan 21m2 (dua puluh satu meter persegi) paling tinggi sebesar 80% (delapan puluh persen); dan 6. KP Ruko atau KP Rukan dan PP Ruko atau PP Rukan paling tinggi sebesar 80% (delapan puluh persen); d. Rasio FTV untuk PP berdasarkan Akad MMQ dan Akad IMBT untuk fasilitas pertama ditetapkan sebagai berikut: 1. PP Rumah Tapak dengan luas bangunan di atas 70m2 (tujuh puluh meter persegi) paling tinggi sebesar 90% (sembilan puluh persen); 2. PP Rusun dengan luas bangunan di atas 70m2 (tujuh puluh meter persegi) paling tinggi sebesar 90% (sembilan puluh persen); dan 3. PP Rusun dengan luas bangunan 22m2 (dua puluh dua meter persegi) sampai dengan 70m2 (tujuh puluh meter persegi) paling tinggi sebesar 90% (sembilan puluh persen); e. Rasio FTV untuk PP berdasarkan Akad MMQ dan Akad IMBT untuk fasilitas kedua ditetapkan sebagai berikut: 1. PP Rumah Tapak dengan luas bangunan di atas 70m2 (tujuh puluh meter persegi) paling tinggi sebesar 85% (delapan puluh lima persen); 2. PP Rumah Tapak dengan luas bangunan 22m2 (dua puluh dua meter persegi) sampai dengan 70m2 (tujuh puluh meter persegi) paling tinggi sebesar 90% (sembilan puluh persen); 3. PP Rusun dengan luas bangunan di atas 70m2 (tujuh puluh meter persegi) paling tinggi sebesar 85% (delapan puluh lima persen); - 11 - 4. PP Rusun dengan luas bangunan 22m2 (dua puluh dua meter persegi) sampai dengan 70m2 (tujuh puluh meter persegi) paling tinggi sebesar 85% (delapan puluh lima persen); 5. PP Rusun dengan luas bangunan sampai dengan 21m2 (dua puluh satu meter persegi) paling tinggi sebesar 85% (delapan puluh lima persen); dan 6. PP Ruko atau PP Rukan paling tinggi sebesar 85% (delapan puluh lima persen); dan f. Rasio FTV untuk PP berdasarkan Akad MMQ dan Akad IMBT untuk fasilitas ketiga dan seterusnya ditetapkan sebagai berikut: 1. PP Rumah Tapak dengan luas bangunan di atas 70m2 (tujuh puluh meter persegi) paling tinggi sebesar 80% (delapan puluh persen); 2. PP Rumah Tapak dengan luas bangunan 22m2 (dua puluh dua meter persegi) sampai dengan 70m2 (tujuh puluh meter persegi) paling tinggi sebesar 85% (delapan puluh lima persen); 3. PP Rusun dengan luas bangunan di atas 70m2 (tujuh puluh meter persegi) paling tinggi sebesar 80% (delapan puluh persen); 4. PP Rusun dengan luas bangunan 22m2 (dua puluh dua meter persegi) sampai dengan 70m2 (tujuh puluh meter persegi) paling tinggi sebesar 80% (delapan puluh persen); 5. PP Rusun dengan luas bangunan sampai dengan 21m2 (dua puluh satu meter persegi) paling tinggi sebesar 80% (delapan puluh persen); dan 6. PP Ruko atau PP Rukan paling tinggi sebesar 80% (delapan puluh persen). (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai Rasio LTV dan Rasio FTV diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. - 12 - Pasal 7 (1) Dalam menentukan urutan fasilitas Kredit atau Pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Bank wajib memperhitungkan seluruh KP dan PP yang telah diterima debitur atau nasabah di Bank yang sama maupun Bank lainnya. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penentuan urutan fasilitas Kredit atau Pembiayaan diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 8 (1) Ketentuan mengenai Rasio LTV untuk KP dan Rasio FTV untuk PP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 berlaku bagi Bank yang memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. rasio Kredit bermasalah dari total Kredit atau rasio Pembiayaan bermasalah dari total Pembiayaan secara bersih (net) kurang dari 5% (lima persen); dan b. rasio KP bermasalah dari total KP atau rasio PP bermasalah dari total PP secara bruto (gross) kurang dari 5% (lima persen). (2) Penghitungan rasio Kredit bermasalah dari total Kredit atau rasio Pembiayaan bermasalah dari total Pembiayaan dan rasio KP bermasalah dari total KP atau rasio PP bermasalah dari total PP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada Laporan Bulanan Bank Umum atau Laporan Stabilitas Moneter dan Sistem Keuangan Bulanan Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah periode 2 (dua) bulan sebelumnya. (3) Dalam hal terdapat kebutuhan data yang belum dapat dipenuhi dari Laporan Bulanan Bank Umum atau Laporan Stabilitas Moneter dan Sistem Keuangan Bulanan Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) maka Bank Indonesia dapat meminta Bank untuk menyampaikan laporan lain. (4) Bank wajib menyampaikan laporan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (3). - 13 - (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai penghitungan rasio Kredit bermasalah, rasio Pembiayaan bermasalah, rasio KP bermasalah, rasio PP bermasalah, dan laporan lain diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 9 (1) Bagi Bank yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) maka Bank wajib memenuhi ketentuan Rasio LTV untuk KP dan Rasio FTV untuk PP sebagai berikut: a. Rasio LTV untuk KP dan Rasio FTV untuk PP berdasarkan Akad Murabahah dan Akad Istishna’ untuk fasilitas pertama ditetapkan sebagai berikut: 1. KP Rumah Tapak dan PP Rumah Tapak dengan luas bangunan di atas 70m2 (tujuh puluh meter persegi) paling tinggi sebesar 80% (delapan puluh persen); 2. KP Rusun dan PP Rusun dengan luas bangunan di atas 70m2 (tujuh puluh meter persegi) paling tinggi sebesar 80% (delapan puluh persen); dan 3. KP Rusun dan PP Rusun dengan luas bangunan 22m2 (dua puluh dua meter persegi) sampai dengan 70m2 (tujuh puluh meter persegi) paling tinggi sebesar 90% (sembilan puluh persen); b. Rasio LTV untuk KP dan Rasio FTV untuk PP berdasarkan Akad Murabahah dan Akad Istishna’ untuk fasilitas kedua ditetapkan sebagai berikut: 1. KP Rumah Tapak dan PP Rumah Tapak dengan luas bangunan di atas 70m2 (tujuh puluh meter persegi) paling tinggi sebesar 70% (tujuh puluh persen); 2. KP Rumah Tapak dan PP Rumah Tapak dengan luas bangunan 22m2 (dua puluh dua meter persegi) sampai dengan 70m2 (tujuh puluh - 14 - meter persegi) paling tinggi sebesar 80% (delapan puluh persen); 3. KP Rusun dan PP Rusun dengan luas bangunan di atas 70m2 (tujuh puluh meter persegi) paling tinggi sebesar 70% (tujuh puluh persen); 4. KP Rusun dan PP Rusun dengan luas bangunan 22m2 (dua puluh dua meter persegi) sampai dengan 70m2 (tujuh puluh meter persegi) paling tinggi sebesar 80% (delapan puluh persen); 5. KP Rusun dan PP Rusun dengan luas bangunan sampai dengan 21m2 (dua puluh satu meter persegi) paling tinggi sebesar 80% (delapan puluh persen); dan 6. KP Ruko atau KP Rukan dan PP Ruko atau PP Rukan paling tinggi sebesar 80% (delapan puluh persen); c. Rasio LTV untuk KP dan Rasio FTV untuk PP berdasarkan Akad Murabahah dan Akad Istishna’ untuk fasilitas ketiga dan seterusnya ditetapkan sebagai berikut: 1. KP Rumah Tapak dan PP Rumah Tapak dengan luas bangunan di atas 70m2 (tujuh puluh meter persegi) paling tinggi sebesar 60% (enam puluh persen); 2. KP Rumah Tapak dan PP Rumah Tapak dengan luas bangunan 22m2 (dua puluh dua meter persegi) sampai dengan 70m2 (tujuh puluh meter persegi) paling tinggi sebesar 70% (tujuh puluh persen); 3. KP Rusun dan PP Rusun dengan luas bangunan di atas 70m2 (tujuh puluh meter persegi) paling tinggi sebesar 60% (enam puluh persen); - 15 - 4. KP Rusun dan PP Rusun dengan luas bangunan 22m2 (dua puluh dua meter persegi) sampai dengan 70m2 (tujuh puluh meter persegi) paling tinggi sebesar 70% (tujuh puluh persen); 5. KP Rusun dan PP Rusun dengan luas bangunan sampai dengan 21m2 (dua puluh satu meter persegi) paling tinggi sebesar 70% (tujuh puluh persen); dan 6. KP Ruko atau KP Rukan dan PP Ruko atau PP Rukan paling tinggi sebesar 70% (tujuh puluh persen); d. Rasio FTV untuk PP berdasarkan Akad MMQ dan Akad IMBT untuk fasilitas pertama ditetapkan sebagai berikut: 1. PP Rumah Tapak dengan luas bangunan di atas 70m2 (tujuh puluh meter persegi) paling tinggi sebesar 85% (delapan puluh lima persen); 2. PP Rusun dengan luas bangunan di atas 70m2 (tujuh puluh meter persegi) paling tinggi sebesar 85% (delapan puluh lima persen); dan 3. PP Rusun dengan luas bangunan 22m2 (dua puluh dua meter persegi) sampai dengan 70m2 (tujuh puluh meter persegi) paling tinggi sebesar 90% (sembilan puluh persen); e. Rasio FTV untuk PP berdasarkan Akad MMQ dan Akad IMBT untuk fasilitas kedua ditetapkan sebagai berikut: 1. PP Rumah Tapak dengan luas bangunan di atas 70m2 (tujuh puluh meter persegi) paling tinggi sebesar 75% (tujuh puluh lima persen); 2. PP Rumah Tapak dengan luas bangunan 22m2 (dua puluh dua meter persegi) sampai dengan 70m2 (tujuh puluh meter persegi) paling tinggi sebesar 80% (delapan puluh persen); - 16 - 3. PP Rusun dengan luas bangunan di atas 70m2 (tujuh puluh meter persegi) paling tinggi sebesar 75% (tujuh puluh lima persen); 4. PP Rusun dengan luas bangunan 22m2 (dua puluh dua meter persegi) sampai dengan 70m2 (tujuh puluh meter persegi) paling tinggi sebesar 80% (delapan puluh persen); 5. PP Rusun dengan luas bangunan sampai dengan 21m2 (dua puluh satu meter persegi) paling tinggi sebesar 80% (delapan puluh persen); dan 6. PP Ruko atau PP Rukan paling tinggi sebesar 80% (delapan puluh persen); dan f. Rasio FTV untuk PP berdasarkan Akad MMQ dan Akad IMBT untuk fasilitas ketiga dan seterusnya ditetapkan sebagai berikut: 1. PP Rumah Tapak dengan luas bangunan di atas 70m2 (tujuh puluh meter persegi) paling tinggi sebesar 65% (enam puluh lima persen); 2. PP Rumah Tapak dengan luas bangunan 22m2 (dua puluh dua meter persegi) sampai dengan 70m2 (tujuh puluh meter persegi) paling tinggi sebesar 70% (tujuh puluh persen); 3. PP Rusun dengan luas bangunan di atas 70m2 (tujuh puluh meter persegi) paling tinggi sebesar 65% (enam puluh lima persen); 4. PP Rusun dengan luas bangunan 22m2 (dua puluh dua meter persegi) sampai dengan 70m2 (tujuh puluh meter persegi) paling tinggi sebesar 70% (tujuh puluh persen); 5. PP Rusun dengan luas bangunan sampai dengan 21m2 (dua puluh satu meter persegi) paling tinggi sebesar 70% (tujuh puluh persen); dan 6. PP Ruko atau PP Rukan paling tinggi sebesar 70% (tujuh puluh persen). - 17 - (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai Rasio LTV dan Rasio FTV bagi Bank yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 10 Penetapan Rasio LTV untuk KP dan Rasio FTV untuk PP selain yang diatur dalam Pasal 6 dan Pasal 9 diserahkan kepada kebijakan Bank dengan tetap memperhatikan prinsip kehati-hatian dalam pemberian Kredit atau Pembiayaan. Bagian Ketiga Kewajiban Administratif Pasal 11 (1) Dalam rangka penetapan Rasio LTV dan/atau Rasio FTV sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dan Pasal 9, Bank wajib: a. memperlakukan debitur dan suami atau istrinya menjadi 1 (satu) debitur, atau nasabah dan suami atau istrinya menjadi 1 (satu) nasabah, kecuali terdapat perjanjian pemisahan harta; b. meminta surat pernyataan dari calon debitur atau nasabah yang paling kurang memuat keterangan mengenai KP dan/atau PP yang masih berjalan (outstanding) termasuk informasi mengenai Kredit tambahan (top up) atau Pembiayaan baru yang berasal dari Kredit atau Pembiayaan yang tidak lancar, KP atau PP dengan mengambil alih (take over) yang disertai Kredit tambahan (top up) atau Pembiayaan baru yang berasal dari Kredit atau Pembiayaan yang tidak lancar, dan/atau yang sedang dalam proses pengajuan permohonan, baik pada Bank yang sama maupun pada Bank yang lain; dan c. menolak permohonan KP dan/atau PP yang diajukan apabila calon debitur atau nasabah tidak - 18 - bersedia menyerahkan surat pernyataan sebagaimana dimaksud pada huruf b. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kewajiban administratif Bank diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Bagian Keempat Kredit Tambahan (Top Up) atau Pembiayaan Baru Berdasarkan Properti Yang Masih Menjadi Agunan dan KP atau PP yang Diambil Alih (Take Over) Pasal 12 (1) Dalam hal Bank memberikan Kredit tambahan (top up) atau Pembiayaan baru berdasarkan Properti yang masih menjadi agunan dari KP atau PP sebelumnya, Bank wajib memenuhi ketentuan Rasio LTV untuk KP dan Rasio FTV untuk PP sebagai berikut: a. Kredit tambahan (top up) oleh Bank Umum menggunakan Rasio LTV KP yang sama sepanjang KP tersebut memiliki kualitas lancar; b. pemberian Pembiayaan baru oleh Bank Umum Syariah atau Unit Usaha Syariah yang merupakan tambahan dari Pembiayaan sebelumnya menggunakan Rasio FTV PP sebelumnya sepanjang kedua Pembiayaan tersebut memiliki agunan sama dan Pembiayaan sebelumnya memiliki kualitas lancar; c. dalam hal KP tidak memenuhi kualitas lancar sebagaimana dimaksud pada huruf a atau PP tidak memenuhi kualitas lancar sebagaimana dimaksud pada huruf b maka Kredit tambahan (top up) menggunakan Rasio LTV KP sebagaimana Kredit baru, atau Pembiayaan baru yang merupakan tambahan dari pembiayaan sebelumnya menggunakan Rasio FTV PP sebagaimana Pembiayaan baru; d. dalam hal Bank memberikan Kredit tambahan (top up) sebagaimana dimaksud pada huruf c maka - 19 - dalam menetapkan Rasio LTV untuk Kredit selanjutnya, Bank memperhitungkan Kredit awal dan Kredit tambahan (top up) dimaksud sebagai 2 (dua) fasilitas; e. Rasio LTV untuk KP dalam rangka Kredit tambahan (top up) atau Rasio FTV untuk PP dalam rangka Pembiayaan baru sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d mengacu pada Rasio LTV atau Rasio FTV sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 atau Pasal 9; dan f. jumlah Kredit tambahan (top up) atau Pembiayaan baru yang diberikan oleh Bank wajib memperhitungkan jumlah baki debet Kredit atau Pembiayaan sebelumnya yang menggunakan agunan yang sama. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai Kredit tambahan (top up) atau Pembiayaan baru diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 13 (1) Dalam hal Bank memberikan KP atau PP dengan mengambil alih (take over) KP atau PP dari Bank lain, Bank wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. KP atau PP yang hanya ditujukan untuk pelunasan KP atau PP sebelumnya di Bank lain, tidak diperlakukan sebagai Kredit atau Pembiayaan baru; atau b. dalam hal Bank memberikan KP atau PP dengan mengambil alih (take over) KP atau PP dari Bank lain, dengan tambahan (top up) atau disertai dengan Pembiayaan baru maka perlakuan KP atau PP dengan mengambil alih (take over) KP atau PP dari Bank lain mengacu pada ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian KP atau PP dengan mengambil alih (take over) KP atau PP dari Bank lain diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. - 20 - Bagian Kelima Larangan Pemberian Kredit atau Pembiayaan Uang Muka Pasal 14 (1) Bank dilarang memberikan Kredit atau Pembiayaan untuk pemenuhan Uang Muka dalam rangka KP, PP, KKB, dan PKB kepada debitur atau nasabah. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai larangan pemberian Kredit atau Pembiayaan Uang Muka diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Bagian Keenam KP atau PP Untuk Pemilikan Properti yang Belum Tersedia Secara Utuh Pasal 15 (1) Dalam rangka penerapan ketentuan mengenai Rasio LTV untuk KP dan Rasio FTV untuk PP, Bank hanya dapat memberikan KP atau PP jika Properti yang akan dibiayai telah tersedia secara utuh. (2) Dalam hal Bank memberikan KP atau PP untuk pemilikan Properti yang akan dibiayai belum tersedia secara utuh, Bank wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. Kredit atau Pembiayaan merupakan KP atau PP sampai dengan urutan fasilitas kedua dengan penentuan urutan fasilitas Kredit atau Pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1); b. terdapat perjanjian kerjasama antara Bank dengan pengembang yang paling kurang memuat kesanggupan pengembang untuk menyelesaikan Properti sesuai dengan yang diperjanjikan dengan debitur atau nasabah; dan c. terdapat jaminan yang diberikan oleh pengembang kepada Bank baik yang berasal dari pengembang sendiri atau pihak lain yang dapat digunakan untuk menyelesaikan kewajiban pengembang apabila - 21 - Properti tidak dapat diselesaikan dan/atau tidak dapat diserahterimakan sesuai perjanjian. (3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) juga berlaku bagi Bank yang memberikan KP atau PP dengan mengambil alih (take over) KP atau PP dari Bank lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai KP atau PP untuk pemilikan Properti yang belum tersedia secara utuh diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 16 (1) Dalam hal Bank memberikan KP atau PP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2) maka Bank wajib melakukan pencairan KP atau PP secara bertahap. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tahapan pencairan KP atau PP diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Bagian Ketujuh Program Perumahan Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah Pasal 17 Kredit atau Pembiayaan dalam rangka pelaksanaan Program Perumahan Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang- undangan yang berlaku, sepanjang didukung dengan dokumen yang menyatakan bahwa Kredit atau Pembiayaan tersebut merupakan Program Perumahan Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah dikecualikan dari ketentuan ini dengan tetap memperhatikan prinsip kehati-hatian dan peraturan perundang-undangan terkait yang berlaku. - 22 - BAB III PENGATURAN UANG MUKA KREDIT ATAU PEMBIAYAAN KENDARAAN BERMOTOR Pasal 18 Bank yang memberikan KKB atau PKB wajib memenuhi ketentuan Uang Muka sebagai berikut: a. untuk pembelian kendaraan bermotor roda dua paling rendah sebesar 20% (dua puluh persen); b. untuk pembelian kendaraan bermotor roda tiga atau lebih dengan peruntukan kegiatan produktif paling rendah sebesar 20% (dua puluh persen) jika memenuhi persyaratan sebagai berikut: 1. merupakan kendaraan yang memiliki izin untuk angkutan orang atau barang yang dikeluarkan oleh pihak berwenang; atau 2. diajukan oleh perorangan atau badan hukum yang memiliki izin usaha tertentu yang dikeluarkan oleh pihak berwenang dan digunakan untuk mendukung kegiatan operasional dari usaha yang dimilikinya; dan c. untuk pembelian kendaraan bermotor roda tiga atau lebih yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam huruf b paling rendah sebesar 25% (dua puluh lima persen). Pasal 19 (1) Ketentuan mengenai Uang Muka sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 berlaku bagi Bank yang memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. rasio Kredit bermasalah dari total Kredit atau rasio Pembiayaan bermasalah dari total Pembiayaan secara bruto (gross) kurang dari 5% (lima persen); dan b. rasio KKB bermasalah dari total KKB atau rasio PKB bermasalah dari total PKB secara bruto (gross) kurang dari 5% (lima persen). - 23 - (2) Penghitungan rasio Kredit bermasalah dari total Kredit atau rasio Pembiayaan bermasalah dari total Pembiayaan dan rasio KKB bermasalah dari total KKB atau rasio PKB bermasalah dari total PKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada Laporan Bulanan Bank Umum atau Laporan Statistik Moneter dan Stabilitas Keuangan Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah periode 2 (dua) bulan sebelumnya. (3) Dalam hal terdapat kebutuhan data yang belum dapat dipenuhi dari Laporan Bulanan Bank Umum atau Laporan Stabilitas Moneter dan Sistem Keuangan Bulanan Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) maka Bank Indonesia dapat meminta Bank untuk menyampaikan laporan lain. (4) Bank wajib menyampaikan laporan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (3). Pasal 20 Bagi Bank yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) maka Bank wajib memenuhi ketentuan Uang Muka sebagai berikut: a. untuk pembelian kendaraan bermotor roda dua paling rendah sebesar 25% (dua puluh lima persen); b. untuk pembelian kendaraan bermotor roda tiga atau lebih dengan peruntukan kegiatan produktif paling rendah sebesar 20% (dua puluh persen) jika memenuhi persyaratan sebagai berikut: 1. merupakan kendaraan yang memiliki izin untuk angkutan orang atau barang yang dikeluarkan oleh pihak berwenang; atau 2. diajukan oleh perorangan atau badan hukum yang memiliki izin usaha tertentu yang dikeluarkan oleh pihak berwenang dan digunakan untuk mendukung kegiatan operasional dari usaha yang dimilikinya; dan - 24 - c. untuk pembelian kendaraan bermotor roda tiga atau lebih yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam huruf b paling rendah sebesar 30% (tiga puluh persen). Pasal 21 Ketentuan lebih lanjut mengenai Uang Muka dalam rangka KKB dan PKB, penghitungan rasio Kredit bermasalah, rasio Pembiayaan bermasalah, rasio KKB bermasalah, dan rasio PKB bermasalah serta laporan lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18, Pasal 19, dan Pasal 20 diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. BAB IV PEMERIKSAAN OLEH BANK INDONESIA Pasal 22 (1) Bank Indonesia berwenang melakukan pemeriksaan kepada Bank dalam rangka pelaksanaan Peraturan Bank Indonesia ini. (2) Bank Indonesia dapat menunjuk pihak lain untuk dan atas nama Bank Indonesia guna melaksanakan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Dalam melaksanakan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia dapat berkoordinasi dan bekerjasama dengan otoritas lain. BAB V SANKSI Pasal 23 (1) Bank yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2), Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 6 ayat (1), Pasal 7 ayat (1), Pasal 8 ayat (4), Pasal 9 ayat (1), Pasal 11 ayat (1), Pasal 12 ayat (1), Pasal 13 ayat (1), Pasal 14 ayat (1), Pasal 15 ayat (2), Pasal 16 ayat (1), - 25 - Pasal 18, Pasal 19 ayat (4), dan/atau Pasal 20, dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis. (2) Bank yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1), Pasal 9 ayat (1), Pasal 18, dan Pasal 20, selain dikenakan sanksi teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar 1% (satu persen) dari selisih antara plafon Kredit yang diberikan dengan plafon Kredit yang seharusnya atau plafon Pembiayaan yang diberikan dengan plafon Pembiayaan yang seharusnya. (3) Bank yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) dan Pasal 15 ayat (2) selain dikenakan sanksi teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar 1% (satu persen) dari plafon Kredit atau Pembiayaan Uang Muka atau plafon KP dan PP. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 24 (1) Selain sanksi teguran tertulis dan sanksi kewajiban membayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) dan ayat (3), Bank Indonesia dapat meminta Bank untuk menyampaikan rencana pelaksanaan perbaikan (action plan) atas pelanggaran Bank. (2) Dalam hal Bank Indonesia meminta Bank menyampaikan action plan sebagaimana dimaksud ayat (1), Bank wajib menyampaikan dan melaksanakan action plan tersebut. (3) Bank yang tidak menyampaikan action plan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar 1% (satu persen) per bulan dari plafon Kredit untuk setiap Kredit yang melanggar ketentuan atau plafon Pembiayaan untuk setiap Pembiayaan yang melanggar ketentuan. (4) Bank yang tidak melaksanakan action plan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikenakan sanksi kewajiban - 26 - membayar sebesar 1% (satu persen) per bulan dari plafon Kredit untuk setiap Kredit yang melanggar ketentuan atau plafon Pembiayaan untuk setiap Pembiayaan yang melanggar ketentuan. (5) Pengenaan sanksi kewajiban membayar sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) tidak menghilangkan kewajiban Bank untuk menyampaikan dan melaksanakan action plan sebagaimana dimaksud pada ayat (2). (6) Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) dikenakan setiap akhir bulan untuk periode paling lama 12 (dua belas) bulan. Pasal 25 Selain mengenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 dan/atau Pasal 24, Bank Indonesia dapat merekomendasikan kepada otoritas yang berwenang untuk melakukan tindakan sesuai dengan kewenangannya. Pasal 26 Bank Indonesia mengenakan sanksi kewajiban membayar kepada Bank dengan mendebit rekening giro Rupiah Bank pada Bank Indonesia. BAB VI KETENTUAN PENUTUP Pasal 27 Pada saat Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku, Peraturan Bank Indonesia Nomor 17/10/PBI/2015 tentang Rasio Loan To Value atau Rasio Financing To Value Untuk Kredit Atau Pembiayaan Properti Dan Uang Muka Untuk Kredit Atau Pembiayaan Kendaraan Bermotor (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 141, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5706) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. - 27 - Pasal 28 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 26 Agustus 2016 GUBERNUR BANK INDONESIA, AGUS D.W. MARTOWARDOJO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 29 Agustus 2016 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 178 - 2 - PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 18/16/PBI/2016 TENTANG RASIO LOAN TO VALUE UNTUK KREDIT PROPERTI, RASIO FINANCING TO VALUE UNTUK PEMBIAYAAN PROPERTI, DAN UANG MUKA UNTUK KREDIT ATAU PEMBIAYAAN KENDARAAN BERMOTOR I. UMUM Dalam rangka memperkuat upaya untuk meningkatkan permintaan domestik di tengah masih lemahnya perekonomian global, Bank Indonesia melakukan pelonggaran terhadap ketentuan makroprudensial untuk mendorong berjalannya fungsi intermediasi perbankan, khususnya terhadap ketentuan yang mengatur mengenai Rasio LTV atau Rasio FTV. Adapun bentuk pelonggaran yang diberikan yaitu penyesuaian besaran Rasio LTV dan Rasio FTV, penyesuaian pemberian Kredit atau Pembiayaan pembelian Properti yang belum tersedia secara utuh hingga fasilitas Kredit atau Pembiayaan kedua, dan perubahan persyaratan penggunaan Rasio LTV atau Rasio FTV. Dalam melakukan penyusunan pelonggaran ketentuan tersebut, Bank Indonesia tetap memperhatikan prinsip kehati-hatian dan prinsip perlindungan konsumen antara lain pemenuhan rasio Kredit bermasalah atau rasio Pembiayaan bermasalah yang terjaga. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. - 2 - Pasal 2 Cukup jelas. Pasal 3 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Penetapan nilai taksiran mengacu pada metode dan prinsip- prinsip yang berlaku umum dalam penilaian agunan yang ditetapkan oleh asosiasi dan/atau institusi yang berwenang. Ayat (2) Huruf a Angka 1 Cukup jelas. Angka 2 Cukup jelas. Angka 3 Yang dimaksud dengan “deposit” adalah uang yang harus diserahkan oleh nasabah kepada Bank dalam rangka kepemilikan Properti yang dilakukan dengan Akad IMBT. Huruf b Penetapan nilai taksiran mengacu pada metode dan prinsip- prinsip yang berlaku umum dalam penilaian agunan yang ditetapkan oleh asosiasi dan/atau institusi yang berwenang. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 4 Cukup jelas. - 3 - Pasal 5 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan “pihak terkait dengan Bank” adalah pihak terkait Bank sebagaimana dimaksud pada ketentuan perbankan yang mengatur mengenai batas maksimum pemberian kredit. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Yang dimaksud dengan “asosiasi penilai independen” atau “asosiasi penilai publik” adalah asosiasi yang diakui oleh instansi yang berwenang mengatur kantor jasa penilai publik. Pasal 6 Cukup jelas. Pasal 7 Ayat (1) Penentuan urutan fasilitas Kredit atau Pembiayaan dilakukan dengan memperhitungkan seluruh Kredit dan Pembiayaan yang telah diperoleh debitur atau nasabah yang masih berjalan, baik berupa KP dan/atau PP di Bank yang sama maupun Bank lainnya berdasarkan urutan tanggal perjanjian Kredit atau akad Pembiayaan. Dalam hal terdapat tanggal perjanjian Kredit atau akad Pembiayaan yang sama maka penentuan urutan fasilitas diawali dari Kredit atau Pembiayaan dengan nilai agunan paling rendah. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 8 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan “rasio Kredit bermasalah dari total Kredit secara bersih (net)” adalah rasio antara jumlah Kredit - 4 - dengan kualitas kurang lancar, diragukan, dan macet kepada pihak ketiga bukan Bank setelah dikurangi Cadangan Kerugian Penurunan Nilai Kredit bermasalah terhadap total Kredit kepada pihak ketiga bukan Bank setelah dikurangi Cadangan Kerugian Penurunan Nilai Kredit bermasalah. Yang dimaksud dengan “rasio Pembiayaan bermasalah dari total Pembiayaan secara bersih (net)” adalah rasio antara jumlah Pembiayaan dengan kualitas kurang lancar, diragukan, dan macet kepada pihak ketiga bukan Bank setelah dikurangi Cadangan Kerugian Penurunan Nilai Pembiayaan bermasalah terhadap total Pembiayaan kepada pihak ketiga bukan Bank setelah dikurangi Cadangan Kerugian Penurunan Nilai Pembiayaan bermasalah. Yang dimaksud dengan “Cadangan Kerugian Penurunan Nilai” adalah cadangan kerugian penurunan nilai sebagaimana dimaksud pada ketentuan perbankan yang mengatur mengenai penilaian kualitas aset Bank. Huruf b Yang dimaksud dengan “rasio KP bermasalah dari total KP secara bruto (gross)” adalah rasio antara jumlah KP dengan kualitas kurang lancar, diragukan, dan macet, terhadap total KP. Yang dimaksud dengan “rasio PP bermasalah dari total PP secara bruto (gross)” adalah rasio antara jumlah PP dengan kualitas kurang lancar, diragukan, dan macet, terhadap total PP. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Contoh laporan lain berupa laporan KP dan KKB untuk Bank Umum, laporan PP untuk Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. - 5 - Pasal 9 Cukup jelas. Pasal 10 Contoh penetapan Rasio LTV yang diserahkan kepada kebijakan Bank berupa Rasio LTV untuk KP Rumah Tapak dengan luas bangunan sampai dengan 21m2 (dua puluh satu meter persegi). Pasal 11 Ayat (1) Huruf a Perjanjian pemisahan harta dibuktikan dengan fotokopi perjanjian yang disahkan atau dilegalisir oleh notaris. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 12 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Pemberian fasilitas Kredit tambahan (top up) atau Pembiayaan baru tetap mengacu pada ketentuan otoritas yang berwenang antara lain mengenai penyusunan dan pelaksanaan kebijakan perkreditan bank, penilaian kualitas aset bank, serta produk dan aktivitas bank. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. - 6 - Huruf f Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 13 Cukup jelas. Pasal 14 Ayat (1) Termasuk pengertian debitur atau nasabah antara lain debitur atau nasabah yang merupakan karyawan Bank yang bersangkutan. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 15 Ayat (1) Yang dimaksud “telah tersedia secara utuh” adalah telah terlihat wujud fisiknya sesuai yang diperjanjikan dan siap diserahterimakan. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Jaminan yang diberikan oleh pengembang kepada Bank dapat berupa aset tetap, aset bergerak, bank guarantee, standby letter of credit dan/atau dana yang dititipkan dan/atau disimpan dalam escrow account di Bank pemberi Kredit atau Pembiayaan. Yang dimaksud dengan “dana yang dititipkan dan/atau yang disimpan dalam escrow account di Bank pemberi Kredit atau Pembiayaan” adalah dana yang ditahan atas nama pengembang yang digunakan untuk menyelesaikan pembangunan Properti. - 7 - Nilai jaminan yang diberikan oleh pengembang paling kurang sebesar selisih antara komitmen Kredit atau Pembiayaan dengan pencairan yang telah dilakukan oleh Bank. Jaminan yang diberikan oleh pihak lain dapat berbentuk corporate guarantee, stand by letter of credit, atau bank guarantee. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 16 Cukup jelas. Pasal 17 Cukup jelas. Pasal 18 Cukup jelas. Pasal 19 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan “rasio Kredit bermasalah dari total Kredit secara bruto (gross)” adalah rasio antara jumlah Kredit dengan kualitas kurang lancar, diragukan, dan macet kepada pihak ketiga bukan Bank terhadap total Kredit kepada pihak ketiga bukan Bank. Yang dimaksud dengan “rasio Pembiayaan bermasalah dari total Pembiayaan” adalah rasio antara jumlah Pembiayaan dengan kualitas kurang lancar, diragukan, dan macet kepada pihak ketiga bukan Bank terhadap total Pembiayaan kepada pihak ketiga bukan Bank. Huruf b Yang dimaksud dengan “rasio KKB bermasalah dari total KKB” adalah rasio antara jumlah KKB dengan kualitas - 8 - kurang lancar, diragukan, dan macet terhadap total KKB. Yang dimaksud dengan “rasio PKB bermasalah dari total PKB” adalah rasio antara jumlah PKB dengan kualitas kurang lancar, diragukan, dan macet terhadap total PKB. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “Laporan Bulanan Bank Umum” adalah Laporan Bulanan Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai laporan bulanan bank umum. Yang dimaksud dengan “Laporan Statistik Moneter dan Sistem Keuangan Bulanan Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah” adalah Laporan Statistik Moneter dan Sistem Keuangan Bulanan Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai laporan statistik moneter dan sistem keuangan bulanan bank umum syariah dan unit usaha syariah. Ayat (3) Contoh laporan lain berupa laporan KP dan KKB untuk Bank Umum. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 20 Cukup jelas. Pasal 21 Cukup jelas. Pasal 22 Cukup jelas. Pasal 23 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. - 9 - Ayat (3) Pengenaan sanksi dihitung sebesar 1% (satu persen) dari plafon Kredit atau Pembiayaan Uang Muka atau plafon KP atau PP dari setiap debitur atau nasabah. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 24 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Pengenaan sanksi dihitung sebesar 1% (satu persen) per bulan dari plafon Kredit atau Pembiayaan dari setiap debitur atau nasabah. Dalam hal Kredit atau Pembiayaan yang melanggar ketentuan tersebut telah dilunasi pada periode pengenaan sanksi, maka pengenaan sanksi dilakukan sampai dengan satu periode sebelum pelunasan. Ayat (4) Pengenaan sanksi dihitung sebesar 1% (satu persen) per bulan dari plafon Kredit atau Pembiayaan dari setiap debitur atau nasabah. Dalam hal Kredit atau Pembiayaan yang melanggar ketentuan tersebut telah dilunasi pada periode pengenaan sanksi, maka pengenaan sanksi dilakukan sampai dengan satu periode sebelum pelunasan. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 25 Cukup jelas. - 10 - Pasal 26 Cukup jelas. Pasal 27 Cukup jelas. Pasal 28 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5924
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 18/16/PBI/2016 </reg_id> <reg_title> RASIO LOAN TO VALUE UNTUK KREDIT PROPERTI, RASIO FINANCING TO VALUE UNTUK PEMBIAYAAN PROPERTI, DAN UANG MUKA UNTUK KREDIT ATAU PEMBIAYAAN KENDARAAN BERMOTOR </reg_title> <set_date> 26 Agustus 2016 </set_date> <effective_date> 29 Agustus 2016 </effective_date> <issued_date> 29 Agustus 2016 </issued_date> <replaced_reg> '17/10/PBI/2015' </replaced_reg> <related_reg> '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '6/UU/2009', '16/11/PBI/2014' </related_reg> <penalty_list> 'BAB V' </penalty_list>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 18/35/PBI/2016 TENTANG PENGELUARAN UANG RUPIAH KERTAS BERSAMBUNG PECAHAN 20.000 (DUA PULUH RIBU) TAHUN EMISI 2016 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk menandai suatu era baru dalam pengeluaran seluruh pecahan uang Rupiah kertas sebagai mata uang Negara Kesatuan Republik Indonesia sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang maka perlu dikeluarkan uang Rupiah kertas khusus dalam bentuk bersambung; b. bahwa pengeluaran uang Rupiah kertas khusus dalam bentuk bersambung, juga dilakukan sebagai bagian dari upaya Bank Indonesia untuk mengembangkan kegiatan numismatika; c. bahwa uang Rupiah kertas khusus dalam bentuk bersambung merupakan alat pembayaran yang sah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Bank Indonesia tentang - 2 - Pengeluaran Uang Rupiah Kertas Bersambung Pecahan 20.000 (Dua Puluh Ribu) Tahun Emisi 2016; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843), sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962); 2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5223); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PENGELUARAN UANG RUPIAH KERTAS BERSAMBUNG PECAHAN 20.000 (DUA PULUH RIBU) TAHUN EMISI 2016. Pasal 1 Bank Indonesia mengeluarkan uang Rupiah khusus pecahan 20.000 (dua puluh ribu) tahun emisi 2016 sebagai alat pembayaran yang sah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pasal 2 Macam uang Rupiah khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 merupakan uang Rupiah kertas khusus yang memiliki ciri tertentu. - 3 - Pasal 3 (1) Uang Rupiah kertas khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 berbentuk uang Rupiah kertas bersambung yang meliputi: a. 1 (satu) lembaran yang memuat 2 (dua) lembar (bilyet); b. 1 (satu) lembaran yang memuat 4 (empat) lembar (bilyet); dan c. 1 (satu) lembaran yang memuat 45 (empat puluh lima) lembar (bilyet), yang masing-masing lembaran merupakan satu kesatuan. (2) Bentuk lembaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah persegi panjang dengan ukuran sebagai berikut: a. panjang 147 (seratus empat puluh tujuh) milimeter dan lebar 130 (seratus tiga puluh) milimeter untuk lembaran yang memuat 2 (dua) lembar (bilyet); b. panjang 294 (dua ratus sembilan puluh empat) milimeter dan lebar 130 (seratus tiga puluh) milimeter untuk lembaran yang memuat 4 (empat) lembar (bilyet); dan c. panjang 735 (tujuh ratus tiga puluh lima) milimeter dan lebar 585 (lima ratus delapan puluh lima) milimeter untuk lembaran yang memuat 45 (empat puluh lima) lembar (bilyet). Pasal 4 (1) Harga setiap lembar (bilyet) uang Rupiah dalam lembaran uang Rupiah kertas khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) merupakan nilai nominal pada pecahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 yaitu sebesar Rp20.000,00 (dua puluh ribu rupiah). (2) Dalam hal uang Rupiah kertas khusus digunakan sebagai alat transaksi maka harga setiap lembar (bilyet) sebesar nilai nominal sebagaimana dimaksud pada ayat (1). - 4 - Pasal 5 Ciri tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 yang terdapat pada bagian depan dan bagian belakang setiap lembar (bilyet) dari uang Rupiah kertas bersambung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) meliputi: a. ciri umum; dan b. ciri khusus. Pasal 6 (1) Ciri umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a, pada bagian depan terdapat: a. gambar lambang negara “Garuda Pancasila”; b. frasa “NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA”; c. sebutan pecahan dalam angka “20000” dan tulisan “DUA PULUH RIBU RUPIAH”; d. tanda tangan Gubernur Bank Indonesia beserta tulisan “GUBERNUR” dan tanda tangan Menteri Keuangan Republik Indonesia beserta tulisan “MENTERI KEUANGAN”; e. tulisan tahun emisi yaitu “EMISI 2016”; f. gambar utama yaitu Pahlawan Nasional Dr. G.S.S.J. Ratulangi beserta tulisan “Dr. G.S.S.J. RATULANGI”; g. gambar ornamen batik; dan h. gambar lingkaran-lingkaran kecil. (2) Ciri khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b, pada bagian depan yang berupa desain dan teknik cetak, terdapat: a. warna dominan hijau; b. hasil cetak yang terasa kasar apabila diraba pada ciri umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf e, dan huruf f; c. gambar saling isi (rectoverso) dari logo Bank Indonesia yang dapat dilihat secara utuh apabila diterawangkan ke arah cahaya; d. gambar tersembunyi (latent image) berupa tulisan “BI” yang dapat dilihat dari sudut pandang tertentu; - 5 - e. gambar tersembunyi (latent image) multiwarna berupa angka “20” yang dapat dilihat dari sudut pandang tertentu; f. gambar perisai yang di dalamnya berisi logo Bank Indonesia yang akan berubah warna apabila dilihat dari sudut pandang berbeda (colour shifting); g. kode tuna netra (blind code) berupa efek rabaan (tactile); h. gambar raster berupa tulisan “NKRI” yang tertulis utuh dan/atau sebagian; i. mikroteks yang memuat tulisan “BI20”, tulisan “BI20000”, dan angka “20”, yang dapat dilihat dengan bantuan kaca pembesar; dan j. hasil cetak yang akan memendar dalam 1 (satu) atau beberapa warna apabila dilihat dengan sinar ultraviolet berupa: 1. 2 (dua) bidang persegi empat yang salah satunya berisi tulisan “BI”; 2. angka nominal “20000”; 3. ornamen batik; dan 4. gambar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pasal 7 (1) Ciri umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a, pada bagian belakang terdapat: a. angka nominal “20000”; b. nomor seri dengan bentuk asimetris yang meliputi 3 (tiga) huruf dan 6 (enam) angka; c. teks “DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA MENGELUARKAN RUPIAH SEBAGAI ALAT PEMBAYARAN YANG SAH DENGAN NILAI DUA PULUH RIBU RUPIAH”; d. tulisan tahun cetak “TC 2016”; - 6 - e. gambar utama yaitu tari gong beserta tulisan “TARI GONG”, pemandangan alam Derawan beserta tulisan “Derawan”, dan bunga anggrek hitam; f. tulisan “BANK INDONESIA”; g. gambar ornamen batik; h. gambar lingkaran-lingkaran kecil; dan i. tulisan “PERURI”. (2) Ciri khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b, pada bagian belakang yang berupa desain dan teknik cetak, terdapat: a. warna dominan hijau; b. hasil cetak yang terasa kasar apabila diraba pada ciri umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf c, dan huruf f; c. hasil cetak yang terasa kasar apabila diraba pada gambar tari gong, tulisan “TARI GONG”, dan tulisan “Derawan”; d. gambar saling isi (rectoverso) dari logo Bank Indonesia yang dapat dilihat secara utuh apabila diterawangkan ke arah cahaya; e. gambar tersembunyi (latent image) berupa angka “20” yang dapat dilihat dari sudut pandang tertentu; f. gambar raster berupa tulisan “NKRI” dan angka “20000”; g. mikroteks yang memuat tulisan “BI20000”, tulisan “BANKINDONESIA20000”, dan angka “20000”, yang dapat dilihat dengan bantuan kaca pembesar; dan h. hasil cetak yang akan memendar dalam 1 (satu) atau beberapa warna apabila dilihat dengan sinar ultraviolet berupa: 1. gambar bunga anggrek hitam; 2. gambar burung enggang gading; 3. bidang persegi empat yang berisi tulisan “BI”; 4. gambar lingkaran-lingkaran kecil; dan 5. nomor seri dengan bentuk asimetris yang meliputi 3 (tiga) huruf dan 6 (enam) angka. - 7 - Pasal 8 Selain ciri khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) dan Pasal 7 ayat (2), uang Rupiah memiliki ciri khusus sebagai berikut: a. bahan berupa kertas uang yang memiliki spesifikasi: 1. terbuat dari serat kapas; 2. berwarna hijau muda; 3. tidak memendar dengan sinar ultraviolet; 4. terdapat tanda air (watermark) berupa gambar Pahlawan Nasional Oto Iskandar Di Nata dan ornamen tertentu; dan 5. terdapat benang pengaman berbentuk anyaman yang memuat tulisan “BI 20000” secara berulang, yang akan memendar multiwarna apabila dilihat dengan sinar ultraviolet; dan b. ukuran yaitu panjang 147 (seratus empat puluh tujuh) milimeter dan lebar 65 (enam puluh lima) milimeter. Pasal 9 Uang Rupiah kertas khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dikeluarkan paling banyak: a. 5.000 (lima ribu) lembaran yang masing-masing memuat 2 (dua) lembar (bilyet); b. 5.000 (lima ribu) lembaran yang masing-masing memuat 4 (empat) lembar (bilyet); dan c. 100 (seratus) lembaran yang masing-masing memuat 45 (empat puluh lima) lembar (bilyet). Pasal 10 Harga jual lembaran uang Rupiah kertas khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ditetapkan oleh Bank Indonesia. Pasal 11 Setiap lembaran uang Rupiah kertas khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dilengkapi dengan sertifikat keaslian dari Bank Indonesia. - 8 - Pasal 12 (1) Pengedaran uang Rupiah kertas khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dilakukan dengan cara menjual secara langsung atau secara lelang kepada masyarakat. (2) Penjualan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Bank Indonesia atau pihak lain yang ditunjuk oleh Bank Indonesia. Pasal 13 (1) Uang Rupiah kertas khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dapat ditukarkan kepada Bank Indonesia atau pihak lain yang ditunjuk oleh Bank Indonesia. (2) Penukaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan penggantian untuk masing-masing lembar (bilyet) dalam bentuk uang Rupiah lainnya yang bukan uang Rupiah khusus. (3) Besarnya nilai penggantian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penukaran uang Rupiah. Pasal 14 Uang Rupiah khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 mulai berlaku dan diedarkan pada tanggal 19 Desember 2016. Pasal 15 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. - 9 - Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 26 Oktober 2016 GUBERNUR BANK INDONESIA, AGUS D. W. MARTOWARDOJO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 28 Oktober 2016 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 219
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 18/35/PBI/2016 </reg_id> <reg_title> PENGELUARAN UANG RUPIAH KERTAS BERSAMBUNG PECAHAN 20.000 (DUA PULUH RIBU) TAHUN EMISI 2016 </reg_title> <set_date> 26 Oktober 2016 </set_date> <effective_date> 28 Oktober 2016 </effective_date> <issued_date> 28 Oktober 2016 </issued_date> <related_reg> '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '6/UU/2009', '7/UU/2011' </related_reg>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 5/3/PBI/2003 TENTANG FASILITAS PEMBIAYAAN JANGKA PENDEK BAGI BANK SYARIAH GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam menjalankan kegiatan usahanya, Bank Syariah menghadapi risiko kesulitan pendanaan jangka pendek yang disebabkan oleh terjadinya arus dana masuk yang lebih kecil dibandingkan dengan arus dana keluar; b. bahwa untuk mengatasi kesulitan pendanaan jangka pendek tersebut, Bank Indonesia sebagai the lender of last resort dapat memberikan pembiayaan kepada Bank Syariah yang dijamin dengan agunan berkualitas tinggi dan mudah dicairkan; c. bahwa berhubung dengan hal tersebut di atas, dipandang perlu untuk mengatur ketentuan mengenai fasilitas pembiayaan jangka pendek bagi Bank Syariah dalam suatu Peraturan Bank Indonesia tersendiri; Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 31; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan … 2 dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); 2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843); M E M U T U S K A N: Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG FASILITAS PEMBIAYAAN JANGKA PENDEK BAGI BANK SYARIAH. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Yang dimaksud dalam Peraturan Bank Indonesia ini dengan: 1. Bank Syariah adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang- undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998, yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, termasuk Unit Usaha Syariah; 2. Unit Usaha Syariah, yang untuk selanjutnya disebut UUS adalah unit kerja di … 3 di kantor pusat bank umum konvensional yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor cabang syariah dan atau Unit Syariah; 3. Unit Syariah adalah satuan kerja khusus dari kantor cabang atau kantor cabang pembantu bank umum konvensional yang kegiatan usahanya melakukan penghimpunan dana, penyaluran dana dan pemberian jasa perbankan lainnya berdasarkan prinsip syariah dalam rangka persiapan perubahan menjadi kantor cabang syariah; 4. Fasilitas Pembiayaan Jangka Pendek bagi Bank Syariah, yang untuk selanjutnya disebut FPJPS adalah fasilitas pembiayaan dari Bank Indonesia kepada Bank Syariah yang hanya dapat digunakan untuk mengatasi Kesulitan Pendanaan Jangka Pendek; 5. Kesulitan Pendanaan Jangka Pendek adalah keadaan yang dialami Bank Syariah yang disebabkan oleh terjadinya arus dana masuk yang lebih kecil dibandingkan dengan arus dana keluar (mismatch); 6. Sertifikat Wadiah Bank Indonesia, yang untuk selanjutnya disebut SWBI adalah sertifikat yang diterbitkan Bank Indonesia sebagai bukti penitipan dana berjangka pendek dengan prinsip wadiah; 7. Wadiah adalah perjanjian penitipan dana antara pemilik dana dengan pihak penerima titipan yang dipercaya untuk menjaga dana tersebut; dan 8. Mudharabah adalah perjanjian antara pemilik dana dan pengelola dana untuk melakukan kegiatan usaha tertentu, dengan pembagian keuntungan antara kedua belah pihak berdasarkan nisbah yang telah disepakati sebelumnya. Pasal 2 … 4 Pasal 2 (1) Bank Syariah yang mengalami Kesulitan Pendanaan Jangka Pendek sehingga pada akhir hari tidak dapat menyelesaikan kewajibannya, dapat memperoleh FPJPS dengan memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini. (2) FPJPS diberikan maksimum sebesar kewajiban yang tidak dapat diselesaikan. Pasal 3 FPJPS yang diterima oleh Bank Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) menggunakan prinsip mudharabah. BAB II PERSYARATAN DAN TATA CARA PERMOHONAN FPJPS Pasal 4 Bank Syariah yang dapat mengajukan FPJPS wajib memenuhi persyaratan tingkat kesehatan 3 (tiga) bulan terakhir berdasarkan hasil penilaian tingkat kesehatan yang ditatausahakan oleh Bank Indonesia, yaitu: (1) Sekurang-kurangnya Cukup Sehat (CS) untuk predikat tingkat kesehatan secara keseluruhan; dan (2) Sehat (S) untuk predikat tingkat kesehatan permodalan. Pasal 5 … 5 Pasal 5 (1) FPJPS wajib dijamin dengan agunan milik bank yang bersangkutan, yang berkualitas tinggi, mudah dicairkan, tidak bertentangan dengan prinsip syariah dan tercatat di Bank Indonesia. (2) Agunan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berupa : a. SWBI yang mempunyai sisa jangka waktu sekurang-kurangnya 3 (tiga) hari kerja pada saat FPJPS jatuh waktu; dan atau b. surat berharga dan atau tagihan lain. (3) Pengaturan surat berharga dan atau tagihan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf b ditetapkan kemudian dengan Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 6 Nilai agunan yang wajib diserahkan kepada Bank Indonesia ditetapkan sebagai berikut: a. dalam hal agunan berupa SWBI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf a besarnya nilai agunan ditetapkan sebesar 103% (seratus tiga perseratus) dari nilai nominal FPJPS; b. dalam hal agunan berupa surat berharga dan atau tagihan lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf b besarnya nilai agunan ditetapkan 118 % (seratus delapan belas perseratus) dari nilai nominal FPJPS. Pasal 7 … 6 Pasal 7 (1) Agunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) harus bebas dari segala bentuk perikatan, sengketa, dan tidak sedang dijaminkan kepada pihak lain dan atau Bank Indonesia yang dinyatakan dalam surat pernyataan bank kepada Bank Indonesia. (2) Bank yang telah memperoleh FPJPS dilarang untuk memperjualbelikan dan atau menjaminkan kembali agunan yang masih dalam status agunan FPJPS. (3) Bank wajib mengganti agunan FPJPS apabila tidak memenuhi kondisi- kondisi sebagaimana diatur dalam ayat (1) dan ayat (2). (4) Persyaratan agunan tidak sedang dijaminkan kepada Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku apabila agunan dimaksud dijaminkan kembali kepada Bank Indonesia dalam rangka permohonan perpanjangan FPJPS yang telah diperoleh Bank Syariah. (5) Larangan untuk menjaminkan kembali agunan yang masih dalam status FPJPS sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), tidak berlaku apabila agunan dimaksud dijaminkan kembali dalam rangka permohonan perpanjangan FPJPS yang telah diterima oleh Bank Syariah. Pasal 8 (1) Bank Syariah yang memerlukan FPJPS wajib mengajukan permohonan secara … 7 secara tertulis kepada Bank Indonesia sesuai dengan format yang diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia tentang FPJPS yang berlaku. (2) Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Bank Indonesia akan melakukan antara lain : a. pengecekan atas kelengkapan dokumen permohonan FPJPS. b. pengecekan atas pemenuhan persyaratan permohonan FPJPS. c. pengecekan jumlah kewajiban jangka pendek yang tidak dapat diselesaikan pada hari itu dengan jumlah permohonan FPJPS. (3) Apabila berdasarkan pengecekan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) Bank Indonesia menyetujui permohonan FPJPS, maka Bank Indonesia akan memberikan FPJPS maksimum sebesar kewajiban yang tidak dapat diselesaikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) (4) Bank Indonesia melakukan perjanjian FPJPS dengan bank sesuai dengan format yang diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia tentang FPJPS yang berlaku. (5) Perjanjian sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) wajib dilampiri dengan perjanjian pengikatan agunan. (6) Dalam hal permohonan FPJPS dilakukan oleh UUS, perjanjian pembiayaan dan perjanjian pengikatan agunan dilakukan oleh kantor pusat bank umum konvensional dari UUS tersebut atau berdasarkan surat kuasa yang diberikan oleh kantor pusatnya kepada UUS tersebut. (7) Permohonan FPJPS yang diajukan oleh UUS kepada Bank Indonesia selain dilampiri persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), juga dilampiri dengan surat pernyataan dari direksi bank yang menyatakan ketidakmampuan … 8 ketidakmampuan kantor pusat bank memberikan bantuan dana kepada UUS. Pasal 9 Bank Indonesia menolak permohonan FPJPS yang tidak sesuai dengan persyaratan dan tatacara permohonan yang diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini. Pasal 10 (1) Jangka waktu setiap FPJPS adalah 1 (satu) hari kerja (overnight). (2) Jangka waktu FPJPS sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diperpanjang sampai dengan maksimum 90 (sembilan puluh) hari berturut- turut. Pasal 11 (1) Perpanjangan FPJPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) hanya dapat dilakukan apabila : a. imbalan atas FPJPS yang jatuh tempo dilunasi terlebih dahulu; b. agunan masih mencukupi dan memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dan Pasal 6. (2) Dalam rangka perpanjangan FPJPS sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Bank Syariah dapat menggunakan agunan lama maupun agunan baru. Pasal 12 … 9 Pasal 12 Dalam rangka pengawasan atas penggunaan FPJPS oleh Bank Syariah, Bank Indonesia dapat melakukan pemeriksaan terhadap Bank Syariah yang bersangkutan. BAB III PERHITUNGAN IMBALAN Pasal 13 (1) Bank Indonesia memperoleh imbalan atas setiap FPJPS yang diterima oleh Bank Syariah. (2) Perhitungan besarnya imbalan FPJPS sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dihitung berdasarkan jumlah nominal FPJPS, tingkat realisasi imbalan, nisbah bagi hasil bagi Bank Indonesia dan jumlah hari kalender penggunaan FPJPS. (3) Besarnya nisbah bagi hasil bagi Bank Indonesia dalam perhitungan rumus imbalan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), untuk permohonan FPJPS pertama kali ditetapkan sebesar 90% (sembilan puluh perseratus). Pasal 14 (1) Bank Indonesia dapat menerapkan nisbah bagi hasil bagi Bank Indonesia yang … 10 yang lebih tinggi untuk setiap permohonan perpanjangan FPJPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2). (2) Besarnya peningkatan nisbah bagi hasil untuk setiap permohonan perpanjangan FPJPS ditetapkan sebesar 2,25% (dua koma dua puluh lima perseratus). (3) Besarnya nisbah bagi hasil bagi Bank Indonesia untuk perpanjangan FPJPS ditetapkan setinggi-tingginya sebesar 99% (sembilan puluh sembilan perseratus). BAB IV PELUNASAN DAN EKSEKUSI AGUNAN Pasal 15 (1) Pada saat FPJPS jatuh waktu, Bank Indonesia mendebet rekening giro Rupiah Bank Syariah yang bersangkutan di Bank Indonesia sebesar nilai FPJPS ditambah imbalan FPJPS. (2) Dalam hal pada saat FPJPS jatuh waktu, saldo giro Rupiah Bank Syariah yang bersangkutan di Bank Indonesia hanya cukup untuk membayar imbalan FPJPS maka: a. Bank Syariah dapat mengajukan permohonan perpanjangan FPJPS; atau b. Apabila Bank Syariah tidak mengajukan permohonan perpanjangan FPJPS maka Bank Indonesia mengeksekusi agunan FPJPS. (3) Pada … 11 (3) Pada saat FPJPS jatuh waktu, saldo giro Rupiah Bank Syariah yang bersangkutan di Bank Indonesia tidak mencukupi untuk membayar nilai nominal dan imbalan FPJPS serta Bank Syariah masih mengalami Kesulitan Pendanaan Jangka Pendek, maka: a. Bank Indonesia dapat mengeksekusi agunan FPJPS; dan b. Bank Syariah dapat mengajukan permohonan FPJPS baru. (4) Perpanjangan FPJPS sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a dan permohonan FPJPS baru sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) huruf b hanya dapat dilakukan oleh Bank Syariah sepanjang penggunaan FPJPS belum mencapai 90 (sembilan puluh) hari berturut-turut. (5) Bank Indonesia dapat mengeksekusi agunan FPJPS apabila Bank Syariah telah menggunakan FPJPS termasuk perpanjangannya selama 90 (sembilan puluh) hari berturut-turut. (6) Apabila hasil eksekusi agunan lebih kecil dari nilai FPJPS ditambah imbalan FPJPS yang harus dibayar oleh Bank Syariah, maka Bank Syariah wajib menyetor dana untuk menutupi kekurangannya kepada Bank Indonesia. (7) Apabila hasil eksekusi agunan lebih besar dari nilai FPJPS ditambah imbalan FPJPS yang harus dibayar oleh Bank Syariah, maka Bank Indonesia wajib mengembalikan kelebihan dana tersebut kepada Bank Syariah. BAB V … 12 BAB V SANKSI Pasal 16 Pelanggaran atas ketentuan persyaratan agunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dapat dikenakan sanksi berupa: a. melunasi FPJPS; b. eksekusi agunan FPJPS; c. tidak diperkenankan memperoleh FPJPS dalam jangka waktu maksimal 90 (sembilan puluh) hari; dan atau d. sanksi administratif sebagaimana diatur dalam Pasal 52 ayat (2) Undang- undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998. BAB VI KETENTUAN PENUTUP Pasal 17 Peraturan pelaksanaan mengenai FPJPS diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 18 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan. Ditetapkan … 13 Ditetapkan di : Jakarta Pada tanggal 4 Februari 2003 GUBERNUR BANK INDONESIA Ttd SYAHRIL SABIRIN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2003 NOMOR 13 BPS 14 PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 5/3/PBI/2003 TENTANG FASILITAS PEMBIAYAAN JANGKA PENDEK BAGI BANK SYARIAH UMUM Dalam menjalankan kegiatan usahanya, bank termasuk Bank Syariah menghadapi risiko likuiditas berupa kesulitan pendanaan jangka pendek. Kesulitan pendanaan jangka pendek yang dialami Bank Syariah disebabkan oleh adanya ketidaksesuaian antara arus dana masuk dibandingkan dengan arus dana keluar (mismatch). Kesulitan pendanaan jangka pendek tersebut dapat mengakibatkan terjadinya saldo giro Bank Syariah pada Bank Indonesia menjadi negatif. Untuk menutup kesulitan pendanaan yang bersifat jangka pendek, pada dasarnya Bank Syariah pertama-tama harus mengupayakan dana di pasar uang antar bank berdasarkan prinsip syariah dengan menggunakan berbagai instrumen pasar uang yang tersedia di pasar uang tersebut. Unit Usaha Syariah dari bank umum konvensional, dalam menutup kesulitan pendanaan yang bersifat jangka pendek selain mengupayakan dana di pasar uang antar bank berdasarkan prinsip syariah, harus mengupayakan pula dana dari kantor pusat bank umum konvensionalnya. Dalam hal Bank Syariah gagal memperoleh dana di pasar uang tersebut dan Unit Usaha Syariah tidak berhasil mendapatkan dana dari … 15 dari kantor pusat bank umum konvensionalnya, maka berdasarkan Undang- undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, Bank Indonesia sebagai the lender of last resort dapat memberikan pembiayaan berdasarkan prinsip syariah kepada Bank Syariah untuk mengatasi kesulitan pendanaan jangka pendek tersebut. Tujuan dari fasilitas pembiayaan ini diberikan agar kelangsungan kegiatan usaha Bank Syariah dan kelancaran sistem pembayaran dapat terpelihara. Fasilitas pembiayaan tersebut di atas yang diberikan dalam bentuk Fasilitas Pembiayaan Jangka Pendek Bagi Bank Syariah wajib dijamin dengan agunan berupa Sertifikat Wadiah Bank Indonesia, dan atau surat berharga dan atau tagihan lain yang berkualitas tinggi dan mudah dicairkan yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah. Fasilitas Pembiayaan Jangka Pendek Bagi Bank Syariah hanya diberikan kepada Bank Syariah yang mengalami kesulitan pendanaan jangka pendek namun memenuhi persyaratan tingkat kesehatan dan permodalan (illiquid but solvent). PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Angka 1 Cukup jelas Angka 2 Cukup jelas Angka 3 … 16 Angka 3 Cukup jelas Angka 4 Cukup jelas Angka 5 Cukup jelas Angka 6 Cukup jelas Angka 7 Cukup jelas Angka 8 Cukup jelas Pasal 2 Ayat (1) Yang dimaksud dengan tidak dapat menyelesaikan kewajibannya adalah ketidakmampuan Bank Syariah dalam menyelesaikan kewajiban, baik yang terjadi melalui sistem kliring dan atau karena pemakaian fasilitas pendanaan dalam rangka sistem BI-RTGS. Yang dimaksud dengan kewajiban tidak termasuk kewajiban Bank Syariah untuk membayar denda Giro Wajib Minimum dan imbalan FPJPS. Ayat (2) … 17 Ayat (2) Cukup jelas Pasal 3 Cukup jelas Pasal 4 Ketentuan ini dimaksudkan untuk membatasi pemberian FPJPS hanya kepada Bank Syariah yang solvabel namun mengalami permasalahan likuiditas akibat mismatch (illiquid but solvent bank) Bagi UUS, persyaratan pemenuhan kewajiban penyediaan modal minimum dan tingkat kesehatan yang dipergunakan adalah perhitungan kewajiban penyediaan modal minimum dan tingkat kesehatan dari bank umum konvensionalnya. Pasal 5 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Huruf a Cukup jelas Huruf b Cukup Jelas Ayat (3) … 18 Ayat (3) Pokok-pokok pengaturan yang akan ditetapkan dalam Surat Edaran Bank Indonesia memuat antara lain : a. lembaga penerbit b. persyaratan peringkat c. lembaga pemeringkat Pasal 6 Cukup jelas Pasal 7 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) … 19 Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas Pasal 8 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas Ayat (6) Cukup jelas Ayat (7) Yang dimaksud bank disini adalah bank umum konvensional dari UUS tersebut. Pasal 9 … 20 Pasal 9 Cukup jelas Pasal 10 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 11 Ayat (1) Yang dimaksud dengan imbalan disini adalah jumlah yang harus dibayar oleh Bank Syariah atas pemakaian FPJPS. Ayat (2) Cukup jelas Pasal 12 Pemeriksaan terhadap Bank Syariah yang menerima FPJPS dapat dilakukan pada periode diterimanya FPJPS atau setelah jatuh waktu FPJPS. Pasal 13 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Rumus perhitungan besarnya imbalan FPJPS adalah sebagai berikut: … 21 berikut: X = P x R x k x t/360 dimana : X : Besarnya imbalan yang diterima oleh Bank Indonesia P : Jumlah nominal FPJPS R : Realisasi tingkat imbalan sebelum didistribusikan pada bulan terakhir atas deposito mudharabah 3 (tiga) bulan atau deposito mudharabah 1 (satu) bulan dari Bank Syariah penerima FPJPS dalam hal deposito mudharabah 3 (tiga) bulan tidak tersedia. k : Nisbah bagi hasil bagi Bank Indonesia t : Jumlah hari kalender penggunaan FPJPS Dalam menghitung tingkat imbalan (R) dapat menggunakan 2 (dua) metode bagi hasil yaitu metode revenue sharing dan metode profit sharing. Metode revenue sharing yaitu bagi hasil dihitung dari total pengelolaan pendapatan mudharabah, sedangkan metode profit sharing yaitu bagi hasil dihitung dari pendapatan pengelolaan mudharabah setelah dikurangi biaya yang berkaitan langsung dengan pengelolaan dana mudharabah. Penetapan R yang digunakan dalam perhitungan imbalan FPJPS mengikuti metode bagi hasil yang digunakan oleh Bank Syariah penerima FPJPS. Ayat (3) … 22 Ayat (3) Cukup jelas Pasal 14 Ayat (1) Pemberlakuan peningkatan nisbah bagi hasil pada setiap perpanjangan FPJPS bertujuan untuk meminimalkan moral hazard. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 15 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) … 23 Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas Ayat (6) Cukup jelas Ayat (7) Cukup jelas Pasal 16 Cukup jelas Pasal 17 Cukup jelas Pasal 18 Cukup jelas TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4261 BPS
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 5/3/PBI/2003 </reg_id> <reg_title> FASILITAS PEMBIAYAAN JANGKA PENDEK BAGI BANK SYARIAH </reg_title> <set_date> 4 Februari 2003 </set_date> <effective_date> 4 Februari 2003 </effective_date> <related_reg> '23/UU/1999', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg> <penalty_list> 'BAB V' </penalty_list>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 7/7/PBI/2005 TENTANG PENYELESAIAN PENGADUAN NASABAH GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa penyelesaian pengaduan nasabah merupakan salah satu bentuk rangka menjamin hak-hak nasabah dalam berhubungan dengan bank; b. bahwa pengaduan nasabah yang tidak segera ditindaklanjuti berpotensi meningkatkan risiko reputasi bagi bank dan dalam jangka panjang dapat menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga perbankan; c. bahwa oleh karena itu dipandang perlu untuk mengatur penyelesaian pengaduan nasabah dalam suatu Peraturan Bank Indonesia; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); 2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Lembaran Negara Republik Indonesia ..... peningkatan perlindungan nasabah dalam - 2 - Indonesia Tahun 1999 Nomor 42 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3821); 3. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357); M E M U T U S K A N: Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PENYELESAIAN PENGADUAN NASABAH BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan: 1. Bank adalah Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, termasuk kantor cabang bank asing. 2. Nasabah adalah pihak yang menggunakan jasa Bank, termasuk pihak yang tidak memiliki rekening namun memanfaatkan jasa Bank untuk melakukan transaksi keuangan (walk-in customer). 3. Perwakilan ..... - 3 - 3. Perwakilan Nasabah adalah perseorangan, lembaga dan atau badan hukum yang bertindak untuk dan atas nama Nasabah dengan berdasarkan surat kuasa khusus dari Nasabah. 4. Pengaduan adalah ungkapan ketidakpuasan Nasabah yang disebabkan oleh adanya potensi kerugian finansial pada Nasabah yang diduga karena kesalahan atau kelalaian Bank. 5. Transaksi Keuangan adalah pemanfaatan produk dan atau jasa perbankan maupun produk dan atau jasa lembaga keuangan lain dan atau pihak ketiga lainnya yang ditawarkan melalui Bank. 6. Kantor Bank adalah kantor pusat, kantor cabang, dan kantor di bawah kantor cabang. Pasal 2 (1) Bank wajib menyelesaikan setiap Pengaduan yang diajukan Nasabah dan atau Perwakilan Nasabah. (2) Untuk menyelesaikan Pengaduan, Bank wajib menetapkan kebijakan dan memiliki prosedur tertulis yang meliputi: a. penerimaan Pengaduan; b. penanganan dan penyelesaian Pengaduan; dan c. pemantauan penanganan dan penyelesaian Pengaduan. Pasal 3 Direksi Bank bertanggung jawab atas pelaksanaan kebijakan dan prosedur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2. Pasal 4 ..... - 4 - Pasal 4 (1) Bank wajib memiliki unit dan atau fungsi yang dibentuk secara khusus di setiap Kantor Bank untuk menangani dan menyelesaikan Pengaduan yang diajukan oleh Nasabah dan atau Perwakilan Nasabah. (2) Kewenangan unit dan atau fungsi khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib diatur dalam kebijakan dan prosedur penyelesaian Pengaduan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2. Pasal 5 Bank wajib mempublikasikan keberadaan unit dan atau fungsi khusus penanganan dan penyelesaian Pengaduan kepada masyarakat secara tertulis dan atau elektronis. BAB II PENERIMAAN PENGADUAN Pasal 6 (1) Bank wajib menerima setiap Pengaduan yang diajukan oleh Nasabah dan atau Perwakilan Nasabah yang terkait dengan Transaksi Keuangan yang dilakukan oleh Nasabah. (2) Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara tertulis dan atau lisan. (3) Dalam hal Pengaduan dilakukan secara tertulis, maka Pengaduan tersebut wajib dilengkapi fotokopi identitas dan dokumen pendukung lainnya (4) Pengaduan yang dilakukan secara lisan wajib diselesaikan dalam waktu 2 (dua) hari kerja. (5) Dalam ..... - 5 - (5) Dalam hal Pengaduan yang diajukan secara lisan tidak dapat diselesaikan oleh Bank dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Bank wajib meminta Nasabah dan atau Perwakilan Nasabah untuk mengajukan Pengaduan secara tertulis dengan dilengkapi dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (3). Pasal 7 (1) Penerimaan Pengaduan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dapat dilakukan pada setiap Kantor Bank dan tidak terbatas hanya pada Kantor Bank tempat Nasabah membuka rekening dan atau Kantor Bank tempat Nasabah melakukan Transaksi Keuangan. (2) Bank wajib memberikan penjelasan kepada Nasabah dan atau Perwakilan Nasabah mengenai kebijakan dan prosedur penyelesaian Pengaduan pada saat Nasabah dan atau Perwakilan Nasabah mengajukan Pengaduan. Pasal 8 (1) Bank wajib menyampaikan bukti tanda terima Pengaduan kepada Nasabah dan atau Perwakilan Nasabah yang mengajukan Pengaduan secara tertulis. (2) Bukti penerimaan Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling kurang memuat: a. nomor registrasi Pengaduan; b. tanggal penerimaan Pengaduan; c. nama Nasabah; d. nama dan nomor telepon petugas Bank yang menerima Pengaduan; dan e. deskripsi singkat Pengaduan. (3) Bukti ..... - 6 - (3) Bukti penerimaan Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditandatangani oleh petugas yang menerima Pengaduan. Pasal 9 (1) Bank wajib memelihara catatan penerimaan Pengaduan. (2) Catatan penerimaan Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling kurang memuat: a. nomor registrasi Pengaduan; b. tanggal penerimaan Pengaduan; c. nama Nasabah; d. petugas penerima Pengaduan; dan e. deskripsi singkat Pengaduan. BAB III PENANGANAN DAN PENYELESAIAN PENGADUAN Pasal 10 (1) Bank wajib menyelesaikan Pengaduan paling lambat 20 (dua puluh) hari kerja setelah tanggal penerimaan Pengaduan tertulis. (2) Dalam hal terdapat kondisi tertentu, Bank dapat memperpanjang jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan paling lama 20 (dua puluh) hari kerja. (3) Kondisi tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah: a. Kantor Bank yang menerima Pengaduan tidak sama dengan Kantor Bank tempat terjadinya permasalahan yang diadukan dan terdapat kendala komunikasi diantara kedua Kantor Bank tersebut; b. Transaksi ..... - 7 - b. Transaksi Keuangan yang diadukan oleh Nasabah dan atau Perwakilan Nasabah memerlukan penelitian khusus terhadap dokumen-dokumen Bank; c. Terdapat hal-hal lain yang berada diluar kendali bank, seperti adanya keterlibatan pihak ketiga diluar Bank dalam Transaksi Keuangan yang dilakukan Nasabah. (4) Perpanjangan jangka waktu penyelesaian Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib diberitahukan secara tertulis kepada Nasabah dan atau Perwakilan Nasabah yang mengajukan Pengaduan sebelum jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berakhir. Pasal 11 (1) Dalam hal Pengaduan terkait dengan Transaksi Keuangan yang melibatkan pejabat Bank yang memiliki kewenangan untuk menyelesaikan Pengaduan tersebut, maka penanganan dan penyelesaian Pengaduan wajib dilakukan oleh pejabat Bank yang tingkatannya lebih tinggi. (2) Apabila Pengaduan terkait dengan kewenangan pemimpin Kantor Bank tempat Nasabah mengalami permasalahan, maka penanganan dan penyelesaian Pengaduan diselesaikan oleh unit dan atau fungsi khusus penanganan dan penyelesaian Pengaduan di Kantor Bank yang lebih tinggi tingkatannya. Pasal 12 Bank wajib menginformasikan status penyelesaian Pengaduan setiap saat Nasabah dan atau Perwakilan Nasabah meminta penjelasan kepada Bank mengenai Pengaduan yang diajukannya. Pasal 13 ..... - 8 - Pasal 13 (1) Dalam hal Pengaduan diajukan secara tertulis, Bank wajib menyampaikan hasil penyelesaian Pengaduan secara tertulis kepada Nasabah dan atau Perwakilan Nasabah sesuai batas waktu yang ditentukan dalam Pasal 10. (2) Dalam hal Pengaduan diajukan secara lisan, Bank dapat menyampaikan hasil penyelesaian Pengaduan secara tertulis dan atau lisan kepada Nasabah dan atau Perwakilan Nasabah sesuai batas waktu yang ditentukan dalam Pasal 6 ayat (4). (3) Hasil penyelesaian Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling kurang memuat: a. Nomor registrasi Pengaduan; b. Permasalahan yang diadukan; dan c. Hasil penyelesaian Pengaduan yang disertai penjelasan dan alasan yang cukup. BAB IV PEMANTAUAN PENANGANAN DAN PENYELESAIAN PENGADUAN Pasal 14 Bank wajib menatausahakan seluruh dokumen yang penerimaan, penanganan, dan penyelesaian Pengaduan. Pasal 15 Bank wajib memiliki mekanisme pelaporan internal penyelesaian Pengaduan. berkaitan dengan BAB V ..... - 9 - BAB V PELAPORAN Pasal 16 (1) Bank wajib menyampaikan laporan penanganan dan penyelesaian Pengaduan secara triwulanan kepada Bank Indonesia. (2) Laporan penanganan dan penyelesaian Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disampaikan sesuai dengan format yang ditetapkan Bank Indonesia. (3) Pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lambat 1 (satu) bulan setelah berakhirnya masa laporan. (4) Bank dinyatakan terlambat menyampaikan laporan apabila laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan melampaui batas waktu penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tetapi belum melampaui 1 (satu) bulan sejak akhir batas waktu penyampaian laporan. (5) Bank dinyatakan tidak menyampaikan laporan apabila laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum disampaikan oleh Bank sampai dengan berakhirnya batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (4). (6) Laporan penanganan dan penyelesaian Pengaduan wajib disampaikan kepada: a. Direktorat Pengawasan Bank terkait, Jl. M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10110, bagi Bank yang berkantor pusat di wilayah kerja kantor pusat Bank Indonesia; atau b. Kantor ..... - 10 - b. Kantor Bank Indonesia setempat, bagi Bank yang berkantor pusat di luar wilayah kantor pusat Bank Indonesia; dengan tembusan ditujukan kepada Unit Khusus Investigasi Perbankan, Jl. M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10110. BAB VI SANKSI Pasal 17 (1) Bank yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7 , Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15 dan Pasal 16 dikenakan sanksi administratif sesuai Pasal 52 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 berupa teguran tertulis. (2) Pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diperhitungkan dengan komponen penilaian tingkat kesehatan Bank. Pasal 18 (1) Bank umum yang melanggar ketentuan Pasal 16 ayat (4) dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) per hari kerja keterlambatan. (2) Bank umum yang melanggar ketentuan Pasal 16 ayat (5) dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah). Pasal 19 ..... - 11 - Pasal 19 (1) Bank Perkreditan Rakyat yang melanggar ketentuan Pasal 16 ayat (4) dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah). (2) Bank Perkreditan Rakyat yang melanggar ketentuan Pasal 16 ayat (5) dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah). BAB VII PENUTUP Pasal 20 Ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia ini tidak berlaku bagi Badan Kredit Desa yang didirikan berdasarkan Staatsblad Tahun 1929 Nomor 357 dan Rijksblad Tahun 1937 Nomor 9. Pasal 21 Ketentuan lebih lanjut mengenai Peraturan Bank Indonesia ini akan diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 22 ….. - 12 - Pasal 22 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku 6 (enam) bulan sejak tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 20 Januari 2005 GUBERNUR BANK INDONESIA BURHANUDDIN ABDULLAH LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2005 NOMOR 17 DPNP/DPbS/DPBPR PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 7/7/PBI/2005 TENTANG PENYELESAIAN PENGADUAN NASABAH UMUM Dalam pelaksanaan kegiatan usaha perbankan seringkali hak-hak nasabah tidak dapat terlaksana dengan baik sehingga menimbulkan friksi antara nasabah dengan bank yang ditunjukkan dengan munculnya pengaduan nasabah. Pengaduan nasabah ini apabila tidak diselesaikan dengan baik oleh bank berpotensi menjadi perselisihan atau sengketa yang pada akhirnya akan dapat merugikan nasabah dan atau bank. Tidak adanya mekanisme standar dalam penanganan pengaduan nasabah selama ini telah menyebabkan perselisihan atau sengketa antara nasabah dengan bank cenderung berlarut-larut, antara lain ditunjukkan dengan cukup banyaknya keluhan-keluhan nasabah di berbagai media. Munculnya keluhan-keluhan yang tersebar kepada publik melalui berbagai media tersebut dapat menurunkan reputasi bank di mata masyarakat dan berpotensi menurunkan kepercayaan masyarakat pada lembaga perbankan apabila tidak segera ditanggulangi. Oleh karena itu, untuk mengurangi publikasi negatif terhadap operasional dan menjamin terselenggaranya mekanisme penyelesaian pengaduan bank nasabah secara efektif dalam jangka waktu yang memadai, maka Bank Indonesia memandang perlu untuk menetapkan standar minimum mekanisme penyelesaian pengaduan nasabah dalam Peraturan Bank Indonesia yang wajib dilaksanakan oleh ..... - 2 - oleh seluruh bank. Selain tujuan tersebut, Peraturan Bank Indonesia ini juga ditujukan untuk mendukung kesetaraan hubungan antara bank sebagai pelaku usaha dengan nasabah sebagai konsumen pengguna jasa perbankan sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Konsumen. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup Jelas Pasal 2 ayat (1) Cukup jelas ayat (2) Cukup jelas Pasal 3 Cukup jelas Pasal 4 ayat (1) Pembentukan unit dan atau fungsi khusus untuk menangani dan menyelesaikan Pengaduan disesuaikan dengan skala usaha dan kompleksitas kegiatan usaha Bank. ayat (2) Unit dan atau fungsi khusus diberikan kewenangan yang cukup sehingga dapat menjamin terselesaikannya Pengaduan yang diajukan Nasabah dan atau Perwakilan Nasabah secara efektif. Pemberian ..... No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan - 3 - Pemberian kewenangan unit dan atau fungsi khusus tersebut dapat dilakukan secara berjenjang sesuai dengan tingkatan kantor atau jabatan. Pasal 5 Cukup jelas Pasal 6 ayat (1) Cukup jelas ayat (2) Termasuk dalam pengertian Pengaduan secara tertulis adalah Pengaduan yang diajukan melalui sarana/media seperti e-mail, faksimili atau sarana elektronik lainnya. Termasuk Pengaduan yang diajukan melalui telepon. ayat (3) Yang dimaksud dengan dokumen pendukung lainnya adalah dokumen yang mendasari Transaksi Keuangan, seperti bukti setoran dan bukti transfer. ayat (4) Batas waktu 2 (dua) hari kerja dihitung sejak tanggal pencatatan Pengaduan oleh Bank. ayat (5) Permintaan pengajuan Pengaduan secara tertulis disertai dengan penjelasan mengenai alasan-alasan tidak terselesaikannya Pengaduan secara lisan. Pasal 7 ..... dalam pengertian Pengaduan secara lisan adalah - 4 - Pasal 7 ayat (1) Cukup jelas ayat (2) Cukup jelas Pasal 8 ayat (1) Cukup jelas ayat (2) Cukup jelas ayat (3) Cukup jelas Pasal 9 Cukup jelas Pasal 10 ayat (1) Cukup jelas ayat (2) Cukup jelas ayat (3) Cukup jelas ayat (4) Pemberitahuan secara tertulis mencantumkan alasan perpanjangan jangka waktu penyelesaian Pengaduan. Pasal 11 ..... - 5 - Pasal 11 ayat (1) Cukup jelas ayat (2) Cukup jelas Pasal 12 Cukup jelas Pasal 13 Cukup jelas Pasal 14 Cukup jelas Pasal 15 Cukup jelas Pasal 16 ayat (1) Laporan penanganan dan penyelesaian Pengaduan paling kurang memuat Pengaduan yang sedang dan telah diselesaikan dalam periode Pelaporan. Triwulanan adalah periode yang berakhir pada bulan Maret, Juni, September, dan Desember. ayat (2) Cukup jelas ayat (3) ..... - 6 - ayat (3) Cukup jelas ayat (4) Cukup jelas ayat (5) Cukup jelas ayat (6) Cukup jelas Pasal 17 ayat (1) Cukup jelas ayat (2) Perhitungan dalam komponen penilaian tingkat kesehatan Bank dilakukan pada penilaian aspek manajemen. Pasal 18 Cukup jelas Pasal 19 Cukup jelas Pasal 20 Cukup jelas Pasal 21 Cukup jelas Pasal 22 ….. - 7 - Pasal 22 Cukup jelas TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4476
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 7/7/PBI/2005 </reg_id> <reg_title> PENYELESAIAN PENGADUAN NASABAH </reg_title> <set_date> 20 Januari 2005 </set_date> <effective_date> 6 (enam) bulan sejak tanggal 20 Januari 2005 </effective_date> <related_reg> '7/UU/1992', '10/UU/1998', '8/UU/1999', '23/UU/1999', '3/UU/2004' </related_reg> <penalty_list> 'BAB VI' </penalty_list>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 14/ 13 /PBI/2012 TENTANG PENITIPAN SEMENTARA SURAT YANG BERHARGA DAN BARANG BERHARGA PADA BANK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Bank Indonesia melakukan kegiatan penitipan sementara surat yang berharga, sekuritas dan barang berharga pada Bank Indonesia dalam rangka membantu pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan; b. bahwa untuk membantu pelaksanaan tugas- tugas pemerintahan sebagaimana dimaksud pada huruf a, Bank Indonesia memandang perlu untuk menyempurnakan ketentuan mengenai jenis titipan, pihak yang dapat menitipkan, dan mekanisme penitipan sementara pada Bank Indonesia; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu untuk mengatur kembali Peraturan Bank Indonesia mengenai penitipan sementara surat yang berharga dan barang berharga pada Bank Indonesia; Mengingat . . . -2- Mengingat : Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PENITIPAN SEMENTARA SURAT YANG BERHARGA DAN BARANG BERHARGA PADA BANK INDONESIA. Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan: 1. Titipan adalah barang milik pihak lain yang dititipkan sementara dan ditatausahakan pada Bank Indonesia. 2. Penitip adalah pihak tertentu yang ditetapkan oleh Bank Indonesia yang dapat melakukan penitipan sementara pada Bank Indonesia. 3. Surat yang Berharga adalah dokumen yang mempunyai nilai bagi Penitip yang tidak dapat diperdagangkan di pasar uang dan/atau pasar modal. 4. Sekuritas . . . - 3 - 4. Sekuritas adalah surat berharga dalam bentuk fisik (warkat) yang mempunyai nilai uang baik yang diperdagangkan maupun yang tidak dapat diperdagangkan di pasar uang dan pasar modal. Pasal 2 (1) Bank Indonesia dapat menerima Titipan dari Penitip. (2) Titipan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan Titipan tertutup. (3) Titipan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas: a. Surat yang Berharga, antara lain sertifikat tanah dan dokumen perjanjian; b. Sekuritas, antara lain saham dan obligasi; dan/atau c. barang berharga, antara lain, uang baik dalam Rupiah maupun valuta asing, logam mulia, platina dan batu mulia. (4) Bank Indonesia dapat menerima Titipan dari Penitip sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa uang Rupiah palsu dan uang Rupiah tiruan. (5) Titipan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memiliki kriteria sebagai berikut: a. dalam rangka membantu pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan; dan/atau b. dalam rangka penyitaan oleh penyidik dan/atau penetapan sita oleh pengadilan tingkat pertama dalam perkara pidana, perdata atau tata usaha negara dalam rangka penanganan kasus yang berdampak luas. (6) Titipan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) bukan merupakan Titipan yang dianggap berbahaya atau dilarang oleh Pemerintah atau peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 3 . . . -4- Pasal 3 (1) Penitip sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) terdiri atas: a. kementerian negara/lembaga pemerintah non kementerian negara/lembaga negara; b. pengadilan tingkat pertama atau lembaga yang mempunyai kewenangan penyidikan berdasarkan Undang-Undang; c. Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota; dan/atau d. pihak internal Bank Indonesia. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan titipan untuk pihak internal Bank Indonesia diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia yang bersifat internal. Pasal 4 (1) Bank Indonesia menerima Titipan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) berdasarkan permohonan secara tertulis dari Penitip. (2) Bank Indonesia menolak permohonan penitipan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) apabila tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3), ayat (4), ayat (5), ayat (6), Pasal 3 ayat (1), dan/atau apabila terdapat pertimbangan tertentu. Pasal 5 (1) Jangka waktu penitipan ditetapkan paling lama 12 (dua belas) bulan sejak tanggal penitipan. (2) Penitip dapat menentukan jangka waktu penitipan pada Bank Indonesia dengan mengacu kepada ketentuan jangka waktu penitipan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Jangka . . . - 5 - (3) Jangka waktu penitipan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dapat diperpanjang paling lama 12 (dua belas) bulan sejak tanggal jatuh waktu penitipan untuk setiap perpanjangan. Pasal 6 (1) Perpanjangan jangka waktu penitipan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) dilakukan oleh Penitip dengan mengajukan permohonan secara tertulis kepada Bank Indonesia. (2) Bank Indonesia dapat menerima atau menolak permohonan perpanjangan jangka waktu penitipan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal 7 (1) Titipan yang telah jatuh waktu harus diambil oleh Penitip. (2) Penitip dapat mengambil Titipan sebelum jatuh waktu dengan mengajukan permohonan secara tertulis kepada Bank Indonesia. Pasal 8 (1) Bank Indonesia dapat memutuskan hubungan penitipan dengan pertimbangan tertentu. (2) Dalam hal Bank Indonesia memutuskan hubungan penitipan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Titipan harus diambil oleh Penitip. Pasal 9 (1) Penatausahaan Titipan pada Bank Indonesia mencakup penerimaan, penyimpanan dan penyerahan Titipan. (2) Dalam rangka penatausahaan Titipan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia menerbitkan: a. Bukti . . . -6- a. Bukti Titipan Sementara sebagai bukti penerimaan Titipan pada Bank Indonesia. b. Bukti Penyerahan Titipan sebagai bukti penyerahan Titipan oleh Bank Indonesia. Pasal 10 (1) Bank Indonesia menerbitkan Bukti Titipan Sementara Pengganti untuk Bukti Titipan Sementara yang hilang atau rusak berdasarkan permohonan secara tertulis dari Penitip sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. (2) Bukti Titipan Sementara yang dilaporkan hilang atau rusak dinyatakan tidak berlaku setelah diterbitkannya Bukti Titipan Sementara Pengganti. (3) Bank Indonesia dapat menolak permohonan untuk menerbitkan Bukti Titipan Sementara Pengganti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan pertimbangan tertentu. Pasal 11 Bank Indonesia tidak mengenakan biaya atas Titipan yang ditatausahakan pada Bank Indonesia. Pasal 12 (1) Bank Indonesia mengkategorikan Titipan menjadi Titipan kedaluwarsa apabila: a. Titipan telah jatuh waktu dan tidak diambil oleh Penitip; b. permohonan perpanjangan secara tertulis dari Penitip diterima setelah lewat jatuh waktu Titipan; atau c. Bank Indonesia telah memutuskan hubungan penitipan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1), dan Titipan tidak diambil oleh Penitip. (2) Dalam . . . -7- (2) Dalam hal Titipan dikategorikan sebagai Titipan kedaluwarsa sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Penitip harus mengambil Titipan dimaksud. (3) Bank Indonesia memberitahukan secara tertulis kepada Penitip mengenai penyelesaian Titipan kedaluwarsa sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (4) Dalam hal Penitip tidak memberikan tanggapan atas surat pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dalam jangka waktu tertentu maka Bank Indonesia: a. mengembalikan Titipan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) yang telah kedaluwarsa kepada Penitip atau mengalihkan kepada pihak yang berwenang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku; atau b. mengembalikan Titipan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4) yang telah kedaluwarsa kepada Penitip. Pasal 13 (1) Penitip bertanggungjawab sepenuhnya atas kebenaran, kualitas, jumlah, dan/atau keaslian dari Titipan yang disebutkan dalam Bukti Titipan Sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) huruf a. (2) Bank Indonesia dibebaskan dari tanggung jawab apabila terjadi kehilangan, kerusakan, penyusutan, kedaluwarsa dan/atau hal- hal lain yang mungkin timbul atas Titipan yang mengakibatkan berkurangnya nilai, kualitas dan/atau fisik Titipan. Pasal 14 (1) Titipan yang telah dikategorikan sebagai Titipan kedaluwarsa sebelum berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini, diselesaikan paling . . . -8- paling lama 2 (dua) tahun sejak berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini. (2) Dalam hal Titipan tidak dapat diselesaikan sampai dengan batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia mengembalikan Titipan kepada Penitip atau mengalihkan kepada pihak yang berwenang sesuai dengan peraturan perundang- undangan yang berlaku. Pasal 15 Ketentuan lebih lanjut dari Peraturan Bank Indonesia ini diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 16 Pada saat Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku, Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/16/PBI/2005 tanggal 1 Juli 2005 tentang Penyimpanan Sekuritas, Surat Yang Berharga dan Barang Berharga Pada Bank Indonesia dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 17 . . . -9- Pasal 17 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 16 Oktober 2012 GUBERNUR BANK INDONESIA, DARMIN NASUTION Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 16 Oktober 2012 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, AMIR SYAMSUDIN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2012 NOMOR 191 DPU PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 14/ 13 /PBI/2012 TENTANG PENITIPAN SEMENTARA SURAT YANG BERHARGA DAN BARANG BERHARGA PADA BANK INDONESIA I. UMUM Bank Indonesia melakukan kegiatan penitipan sementara barang milik Penitip yang meliputi surat yang berharga, sekuritas dan barang berharga dalam rangka mendukung tugas-tugas pemerintahan dan penyitaan oleh penyidik dan/atau penetapan sita oleh pengadilan tingkat pertama dalam perkara pidana, perdata atau tata usaha negara dalam rangka penanganan kasus yang berdampak luas. Seiring dengan tugas Bank Indonesia untuk turut serta mencegah beredarnya uang Rupiah palsu dan uang Rupiah tiruan, maka Bank Indonesia juga menerima penitipan sementara uang Rupiah palsu dan uang Rupiah tiruan dari penyidik sebelum dimusnahkan. Pelaksanaan kegiatan penitipan sementara dimaksud selama ini dipandang tidak efisien dan tidak efektif sehubungan dengan terlalu luasnya cakupan jenis titipan, pihak penitip, dan ketidakjelasan mekanisme penitipan. Sehubungan dengan hal tersebut, dalam rangka mendukung efektifitas dan efisiensi pelaksanaan kegiatan penitipan pada Bank Indonesia, dipandang perlu untuk mengatur kembali ketentuan penitipan sementara surat yang berharga dan barang berharga pada Bank Indonesia. II. PASAL . . . -2- II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “Titipan tertutup” adalah Titipan yang pada waktu penyerahan, petugas Bank Indonesia bersama-sama dengan Penitip melihat isi dan wujudnya sesuai dengan surat permohonan, tanpa harus memastikan kebenaran, kualitas, jumlah, dan/atau keaslian dari Titipan. Titipan selanjutnya dikemas dan disegel oleh Penitip. Ayat (3) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Yang termasuk batu mulia antara lain berlian, intan, dan permata. Ayat (4) Cakupan uang Rupiah palsu dan uang Rupiah tiruan yang dapat dititipkan pada Bank Indonesia merupakan uang Rupiah palsu dan uang Rupiah tiruan yang merupakan barang temuan. Yang dimaksud dengan uang Rupiah palsu adalah suatu benda yang bahan, ukuran, warna, gambar, dan/atau desainnya menyerupai Rupiah yang dibuat, dibentuk, dicetak . . . -3- dicetak, digandakan, diedarkan, atau digunakan sebagai alat pembayaran secara melawan hukum. Yang dimaksud dengan uang Rupiah tiruan adalah suatu benda yang bahan, ukuran, warna, gambar, dan/atau desainnya menyerupai Rupiah yang dibuat, dibentuk, dicetak, digandakan, atau diedarkan, tidak digunakan sebagai alat pembayaran dengan merendahkan kehormatan Rupiah sebagai simbol negara. Ayat (5) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan “kasus yang berdampak luas” antara lain yang dapat menimbulkan dampak berskala regional atau nasional. Ayat (6) Yang dimaksud dengan “Titipan yang dianggap berbahaya atau dilarang oleh Pemerintah atau peraturan perundang- undangan yang berlaku” antara lain senjata api, peluru, bahan peledak, bahan kimia, senjata tajam, narkotika dan psikotropika. Pasal 3 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan lembaga yang mempunyai kewenangan penyidikan berdasarkan Undang-Undang antara lain Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kejaksaan Republik Indonesia, Komisi Pemberantasan . . . -4- Pemberantasan Korupsi, dan Otoritas Jasa Keuangan. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 4 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “pertimbangan tertentu” antara lain keterbatasan kapasitas ruangan penyimpanan di Bank Indonesia. Ruang penyimpanan adalah khazanah yang merupakan ruangan yang dibuat khusus dengan memperhatikan faktor keamanan dan digunakan terutama untuk menyimpan uang Rupiah. Pasal 5 Cukup jelas. Pasal 6 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Penolakan permohonan perpanjangan jangka waktu penitipan dilakukan dengan mempertimbangkan antara lain keterbatasan kapasitas ruangan penyimpanan di Bank Indonesia dan/atau Penitip mengajukan permohonan perpanjangan setelah melewati tanggal jatuh waktu Titipan. Pasal 7 . . . -5- Pasal 7 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “Titipan yang telah jatuh waktu” adalah Titipan yang telah melewati tanggal jatuh waktu Titipan. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 8 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “pertimbangan tertentu” antara lain adalah keterbatasan kapasitas ruangan penyimpanan di Bank Indonesia. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 9 Ayat (1) Yang dimaksud dengan kegiatan penyerahan Titipan termasuk kegiatan penyelesaian Titipan kedaluwarsa. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 10 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan “pertimbangan tertentu” antara lain adalah ketidaksesuaian antara data dalam surat permohonan dengan data yang tercantum dalam Bukti Titipan Sementara yang ditatausahakan di Bank Indonesia. Pasal 11 . . . -6- Pasal 11 Cukup jelas. Pasal 12 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Huruf a Proses penyelesaian atas Titipan kedaluwarsa yang telah dialihkan selanjutnya merupakan tanggung jawab pihak yang berwenang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Huruf b Cukup jelas. Pasal 13 Cukup jelas. Pasal 14 Cukup jelas. Pasal 15 Cukup jelas. Pasal 16 Cukup jelas. Pasal 17 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5350
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 14/13/PBI/2012 </reg_id> <reg_title> PENITIPAN SEMENTARA SURAT YANG BERHARGA DAN BARANG BERHARGA PADA BANK INDONESIA </reg_title> <set_date> 16 Oktober 2012 </set_date> <effective_date> 16 Oktober 2012 </effective_date> <issued_date> 16 Oktober 2012 </issued_date> <replaced_reg> '7/16/PBI/2005' </replaced_reg> <related_reg> '2/PERPPU/2008', '6/UU/2009', '23/UU/1999' </related_reg>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 7/22/PBI/2005 TENTANG FASILITAS LIKUIDITAS INTRAHARI BAGI BANK UMUM GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk mendukung kelancaran sistem pembayaran di Indonesia, Bank Indonesia telah mengimplementasikan Sistem Bank Indonesia - Real Time Gross Settlement (Sistem BI-RTGS) dan sistem kliring nasional Bank Indonesia; b. bahwa untuk menghindari terjadinya kemacetan dalam sistem pembayaran (gridlock) dalam Sistem BI-RTGS, yang dapat membahayakan stabilitas sistem keuangan, Bank Indonesia telah memberikan Fasilitas Likuiditas Intrahari kepada Bank Umum peserta Sistem BI-RTGS; c. bahwa untuk mengantisipasi kemungkinan kegagalan Bank dalam memenuhi kewajibannya sebagai peserta dalam sistem kliring nasional Bank Indonesia, Bank Indonesia memandang perlu untuk memperluas penyediaan Fasilitas Likuiditas Intrahari selain untuk tujuan sebagaimana dimaksud dalam huruf b juga untuk penyelesaian akhir kliring debet kepada Bank Umum; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b dan huruf c, dipandang perlu untuk menyempurnakan …. - 2 - menyempurnakan ketentuan mengenai Fasilitas Intrahari Bagi Bank Umum dalam Peraturan Bank Indonesia; Mengingat : Likuiditas 1. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); 2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357); 3. Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/15/PBI/2003 tentang Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek Bagi Bank Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 99, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4317) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/21/PBI/2005 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4518); 4. Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/2/PBI/2004 tentang Bank Indonesia – Scripless Securities Settlement System (BI-SSSS) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 15, Tambahan …. - 3 - Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4363); 5. Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/8/PBI/2004 tentang Sistem Bank Indonesia Real Time Gross Settlement (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 28, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4373). 6. Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/18/PBI/2005 tentang Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 65,Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4516); MEMUTUSKAN : Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG FASILITAS LIKUIDITAS INTRAHARI BAGI BANK UMUM. Pasal 1 Yang dimaksud dalam Peraturan Bank Indonesia ini dengan: 1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional. 2. Sistem Bank Indonesia - Real Time Gross Settlement yang selanjutnya disebut dengan Sistem BI-RTGS adalah suatu sistem transfer dana sebagaimana dimaksud …. - 4 - dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai Sistem Bank Indonesia Real Time Gross Settlement. 3. Bank Indonesia - Scripless Securities Settlement System yang selanjutnya disebut BI-SSSS adalah sarana transaksi dengan Bank Indonesia dan penatausahaan surat berharga secara elektronik sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai Bank Indonesia - Scripless Securities Settlement System. 4. Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia yang selanjutnya disebut SKNBI adalah suatu sistem kliring yang diselenggarakan oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai sistem kliring nasional Bank Indonesia. 5. Kliring Debet adalah kegiatan dalam SKNBI untuk transfer debet sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai sistem kliring nasional Bank Indonesia. 6. Fasilitas Likuiditas Intrahari yang selanjutnya disebut FLI adalah penyediaan pendanaan oleh Bank Indonesia kepada Bank dalam kedudukan Bank sebagai peserta Sistem BI-RTGS dan peserta SKNBI, yang harus dilunasi pada hari yang sama dengan hari penggunaan. 7. FLI dalam rangka RTGS yang selanjutnya disebut FLI-RTGS adalah FLI untuk mengatasi kesulitan pendanaan Bank operasional Sistem BI-RTGS. yang yang terjadi pada saat terjadi selama jam 8. FLI dalam rangka Kliring yang selanjutnya disebut FLI-Kliring adalah FLI untuk mengatasi kesulitan pendanaan Bank penyelesaian akhir atas hasil Kliring Debet. 9. Fasilitas …. - 5 - 9. Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek yang selanjutnya disebut FPJP adalah fasilitas pendanaan dari Bank Indonesia kepada Bank sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek Bagi Bank Umum. 10. Sertifikat Bank Indonesia yang selanjutnya disebut SBI adalah surat berharga dalam mata uang Rupiah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia sebagai pengakuan utang berjangka waktu pendek. 11. Surat Utang Negara yang selanjutnya disebut SUN adalah surat berharga yang berupa surat pengakuan utang sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2002 tentang Surat Utang Negara. Pasal 2 (1) Bank dapat memperoleh FLI, baik dalam bentuk FLI-RTGS maupun FLI- Kliring, setelah menandatangani Perjanjian Penggunaan dan Pengagunan FLI dan menyampaikan dokumen pendukung yang dipersyaratkan kepada Bank Indonesia. (2) Bank dapat menggunakan FLI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jika memenuhi persyaratan sebagai berikut : a. memiliki surat berharga yang dapat diagunkan berupa SBI dan atau SUN; b. tidak sedang dikenakan sanksi penangguhan sebagai Bank peserta BI- RTGS, dan atau peserta BI-SSSS, dan atau penghentian sebagai Bank peserta kliring; dan c. tidak sedang dikenakan sanksi tidak dapat memperoleh FPJP. Pasal …. - 6 - Pasal 3 Bank Indonesia berwenang untuk menolak atau menghentikan penggunaan FLI dalam hal Bank tidak lagi memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf a sampai dengan huruf c. Pasal 4 (1) Pengagunan surat berharga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf a dalam rangka penggunaan FLI-RTGS dan atau FLI-Kliring dilakukan melalui BI-SSSS yang diatur sebagai berikut: a. Untuk FLI-RTGS, Bank harus memindahkan surat berharga ke rekening agunan FLI-RTGS di BI-SSSS selama jam operasional Sistem BI-RTGS pada saat Bank menilai adanya kebutuhan FLI (self asessment) untuk kelancaran transaksi di Sistem BI-RTGS; dan b. Untuk FLI-Kliring, Bank harus memindahkan surat berharga ke rekening agunan FLI-Kliring di BI-SSSS dalam rangka penyediaan pendanaan awal (prefund) sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai sistem kliring nasional Bank Indonesia. (2) Surat berharga yang telah dipindahkan ke rekening agunan FLI-Kliring sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b tidak dapat digunakan sebagai agunan FLI-RTGS. Pasal 5 (1) Perhitungan nilai jual SBI dan nilai pasar SUN yang diagunkan Bank dalam rangka penggunaan FLI tunduk pada Peraturan Bank Indonesia tentang Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek Bagi Bank Umum yang berlaku. (2) Nilai …. - 7 - (2) Nilai maksimum FLI yang dapat digunakan Bank adalah sebesar nilai agunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang telah dipindahkan Bank ke rekening agunan surat berharga di BI-SSSS. Pasal 6 (1) Penggunaan FLI-RTGS dilakukan secara otomatis pada saat saldo rekening giro Rupiah Bank di Bank Indonesia tidak mencukupi untuk melakukan transaksi keluar (outgoing transaction). (2) Penggunaan FLI-Kliring dilakukan secara otomatis pada saat saldo rekening giro Rupiah Bank di Bank Indonesia tidak mencukupi untuk memenuhi kewajiban Bank atas penyelesaian akhir Kliring Debet. (3) Penggunaan FLI-RTGS dan FLI-Kliring sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan masing-masing berdasarkan kecukupan nilai agunan FLI yang tersedia di rekening agunan FLI-RTGS dan FLI-Kliring. (4) Dalam hal nilai agunan FLI-Kliring tidak cukup untuk menutup kewajiban penyelesaian akhir Kliring Debet sebagaimana dimaksud ayat (3) maka nilai agunan FLI-RTGS yang tersedia di rekening agunan FLI- RTGS secara otomatis digunakan untuk menutup kewajiban penyelesaian akhir Kliring Debet. Pasal 7 Bank Indonesia dapat membatasi jenis-jenis transaksi yang diperkenankan untuk menggunakan FLI. pada ayat (2) dan Pasal …. - 8 - Pasal 8 Bank Indonesia dapat mengenakan biaya bunga atas FLI dan atau biaya lainnya yang terkait dengan penggunaan FLI kepada Bank. Pasal 9 (1) Pelunasan FLI dilakukan secara otomatis oleh Sistem BI-RTGS setiap terdapat transaksi masuk (incoming transaction) yang mengkredit rekening giro rupiah Bank yang bersangkutan di Bank Indonesia sampai dengan batas waktu pelunasan FLI. (2) Bank wajib melunasi FLI sampai dengan batas waktu pelunasan FLI yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. (3) Dalam hal Bank tidak melunasi nilai FLI sampai dengan batas waktu pelunasan FLI yang ditetapkan maka terhadap nilai FLI yang tidak dapat dilunasi diberlakukan sebagai FPJP. Pasal 10 (1) Bank dapat memindahkan kembali surat berharga dari rekening agunan ke rekening perdagangan di BI-SSSS dalam hal : a. FLI telah dilunasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1); b. surat berharga yang telah dipindahkan ke rekening agunan tidak sedang digunakan sebagai agunan FLI. (2) Pemindahan kembali surat berharga dari rekening agunan ke rekening perdagangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk kepentingan FLI- Kliring tunduk pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai sistem kliring nasional Bank Indonesia. Pasal …. - 9 - Pasal 11 Dalam hal FLI diberlakukan sebagai FPJP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) maka : a. Bank tunduk pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai FPJP Bagi Bank Umum yang berlaku; dan b. agunan FLI diberlakukan sebagai agunan FPJP. Pasal 12 Dalam hal Bank tidak dapat melunasi FLI karena kegagalan Sistem BI-RTGS dan atau BI-SSSS maka pelunasan FLI dilakukan secara otomatis jika terdapat transaksi masuk (incoming transaction) segera setelah sistem BI-RTGS dan atau BI-SSSS berfungsi kembali. Pasal 13 Bank yang pada saat berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini telah menandatangani Perjanjian Penggunaan dan Pengagunan FLI harus memperbaharui Perjanjian Penggunaan dan Pengagunan FLI. Pasal 14 Bank peserta kliring yang berada di wilayah Kliring yang belum menerapkan SKNBI dapat menggunakan FLI RTGS untuk penyelesaian akhir kliring yang terjadi sebelum cut off warning Sistem BI-RTGS. Pasal …. - 10 - Pasal 15 Ketentuan lebih lanjut mengenai FLI diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 16 Dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini maka Peraturan Bank Indonesia Nomor: 6/6/PBI/2004 tanggal 16 Februari 2004 tentang Fasilitas Likuiditas Intrahari Bagi Bank Umum dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 17 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 3 Agustus 2005. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 3 Agustus 2005 GUBERNUR BANK INDONESIA, BURHANUDDIN ABDULLAH LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2005 NOMOR 69 DPM, DASP PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 7/22/PBI/2005 TENTANG FASILITAS LIKUIDITAS INTRAHARI BAGI BANK UMUM UMUM Dalam kegiatan usaha, Bank sangat lazim mengalami kesulitan pendanaan jangka pendek yang disebabkan ketidaksesuaian pendanaan antara arus masuk dan arus keluar (mismatch). Dengan berlakunya penyelesaian transaksi melalui sistem Bank Indonesia - Real Time Gross Settlement (BI-RTGS) dimana transaksi pembayaran diselesaikan satu demi satu secara seketika (real time), Bank sangat mungkin mengalami kesulitan pendanaan dalam waktu yang sangat pendek. Kesulitan pendanaan dimaksud sebagai akibat terjadi ketidaksesuaian antara waktu dan atau nilai transaksi yang dikirim (outgoing transaction) dengan transaksi yang diterima (incoming transaction). Apabila kesulitan yang dialami oleh Bank atau beberapa Bank tersebut tidak segera diatasi, dikhawatirkan dapat menyebabkan kemacetan pembayaran (gridlock) yang dapat mengganggu kelancaran sistem pembayaran yang pada akhirnya dapat menimbulkan ketidakstabilan sistem keuangan secara keseluruhan. Untuk mengatasi timbulnya kemacetan pembayaran diatas maka Bank Indonesia menyediakan fasilitas pendanaan untuk jangka waktu yang sangat pendek selama waktu operasional Sistem BI-RTGS dalam bentuk Fasilitas Likuiditas Intrahari (FLI) Bagi Bank Umum yang wajib dilunasi oleh Bank pada akhir hari yang sama. Selain …. - 2 - penyediaan FLI Selain penyediaan FLI untuk mengatasi gridlock dalam Sistem BI-RTGS, juga diperlukan untuk mengatasi timbulnya kewajiban penyelesaian akhir kliring debet yang ditanggung oleh Bank Indonesia sebagai penyelenggara sistem kliring. Berkenaan dengan hal tersebut maka Bank Indonesia memandang perlu untuk menerapkan suatu kebijakan yang mewajibkan peserta dalam Kliring Debet untuk menyediakan pendanaan awal (prefund) dalam bentuk dana (cash) dan atau surat berharga (collateral) pada setiap awal hari sebelum kliring debet dimulai. Berkenaan dengan penyediaan setoran awal dalam bentuk surat berharga tersebut maka mekanisme penyediaan, penggunaan dan pelunasannya akan diberikan dalam bentuk Fasilitas Likuiditas Intrahari khusus kliring sebelumnya telah disediakan oleh Bank Indonesia untuk transaksi Sistem BI- RTGS. Pemberian FLI ini sejalan dengan pelaksanaan tugas Bank Indonesia untuk menjaga kelancaran sistem pembayaran sebagaimana ditetapkan dalam pasal 15 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004. Pengajuan FLI dan penatausahaan surat berharga dalam rangka pengajuan FLI telah menggunakan sarana Bank Indonesia – Scripless Securities Settlement System (BI-SSSS) yang terhubung langsung dengan Sistem BI-RTGS. Dengan menggunakan sarana BI-SSSS diharapkan dapat mempercepat proses pengajuan FLI dan meminimalkan resiko setelmen. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal …. sebagaimana Fasilitas Likuiditas Intrahari yang - 3 - Pasal 2 Ayat (1) Dokumen pendukung yang disertakan antara lain meliputi fotokopi Anggaran Dasar Bank atau kuasa (power of attorney) dari kantor cabang Bank yang kantor pusatnya berkedudukan di luar negeri yang telah dinyatakan sesuai dengan aslinya oleh Bank. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Kriteria pengenaan sanksi penangguhan (suspend) tunduk pada Peraturan Bank Indonesia tentang Bank Indonesia – Real Time Gross Settlement dan atau Peraturan Bank Indonesia tentang Bank Indonesia – Scripless Securities Settlement System yang berlaku dan atau Peraturan Bank Indonesia tentang Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia. Huruf c Cukup jelas. Pasal 3 Cukup jelas. Pasal 4 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas Huruf …. - 4 - Huruf b Yang dimaksud dengan pendanaan awal (prefund) adalah penyediaan dana dan atau surat berharga oleh Bank peserta SKNBI pada awal hari sebelum kegiatan kliring debet dimulai. Dalam ketentuan ini, penyediaan pendanaan awal yang diatur adalah dalam bentuk surat berharga. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 5 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 6 Ayat (1) Penggunaan FLI-RTGS secara otomatis dimaksudkan bahwa nilai atas pengagunan surat berharga yang telah dilakukan Bank langsung digunakan untuk menutup ketidakcukupan saldo rekening giro Rupiah di Bank Indonesia. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat …. - 5 - Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 7 Cukup jelas. Pasal 8 Besarnya biaya bunga FLI dan biaya lainnya ditetapkan dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 9 Ayat (1) Sepanjang Bank masih menggunakan FLI maka Sistem BI-RTGS secara otomatis menggunakan dana yang berasal dari transaksi masuk (incoming transaction) untuk terlebih dahulu melunasi FLI tersebut. Proses penggunaan dan pelunasan FLI berlangsung terus sampai dengan batas akhir waktu pelunasan FLI. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 10 Cukup jelas. Pasal 11 Dalam hal FLI diberlakukan sebagai FPJP maka Bank tidak perlu mengajukan surat pengajuan FPJP secara tertulis atas pengalihan FLI yang tidak dapat dilunasi menjadi FPJP. Apabila …. - 6 - Apabila Bank sedang menggunakan dan melakukan perpanjangan FPJP maka nilai FLI dimaksud akan disatukan dengan nilai FPJP yang sedang digunakan Bank dan jumlah hari penggunaan FPJP yang sudah digunakan Bank. Pasal 12 Yang dimaksud dengan kegagalan Sistem BI-RTGS adalah kegagalan RTGS Central Computer (RCC) sehingga seluruh Bank Peserta BI-RTGS dan/atau Bank Indonesia tidak dapat mengirimkan transaksi dari terminal RTGS (RT) ke RCC. Gangguan pada salah satu atau beberapa RT dan/atau gangguan pada jaringan RTGS yang mengakibatkan satu atau beberapa Bank Peserta BI- RTGS tidak dapat mengirimkan transaksi ke RCC, tidak dianggap sebagai kegagalan Sistem BI-RTGS. Yang dimaksud dengan kegagalan Sistem BI-SSSS adalah kegagalan System Central Computer (SCC) pada sarana BI-SSSS sehingga seluruh Bank dan/atau Bank Indonesia tidak dapat mengirimkan transaksi dari terminal (System Terminal/ST) ke SCC. Pasal 13 Cukup jelas. Pasal 14 Cukup jelas. Pasal 15 Pokok-pokok ketentuan yang akan diatur dalam SE BI meliputi antara lain: 1. Tata cara penyampaian Perjanjian Penggunaan dan Pengagunan FLI; 2. Batas …. - 7 - 2. Batas akhir waktu penggunaan dan pelunasan FLI; 3. Tata cara pemindahan surat berharga dari rekening perdagangan ke rekening agunan dan sebaliknya; 4. Tata cara perhitungan dan pembebanan biaya bunga FLI dan atau biaya penggunaan FLI. Pasal 16 Cukup jelas. Pasal 17 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4519 DPM, DASP
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 7/22/PBI/2005 </reg_id> <reg_title> FASILITAS LIKUIDITAS INTRAHARI BAGI BANK UMUM </reg_title> <set_date> 3 Agustus 2005 </set_date> <effective_date> 3 Agustus 2005 </effective_date> <replaced_reg> '6/6/PBI/2004' </replaced_reg> <related_reg> '23/UU/1999', '6/8/PBI/2004', '3/UU/2004', '7/21/PBI/2005', '7/18/PBI/2005', '10/UU/1998', '6/2/PBI/2004', '7/UU/1992', '5/15/PBI/2003' </related_reg>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 11/24/PBI/2009 TENTANG FASILITAS PENDANAAN JANGKA PENDEK SYARIAH BAGI BANK UMUM SYARIAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa perkembangan perekonomian nasional dapat berfluktuasi karena dipengaruhi oleh berbagai hal, termasuk ekonomi global; b. bahwa dalam kondisi perekonomian yang sedang mengalami penurunan dapat menimbulkan krisis keuangan nasional; c. bahwa krisis keuangan nasional dapat meningkatkan risiko likuiditas pada perbankan syariah; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b dan huruf c, dipandang perlu untuk mengatur kembali ketentuan mengenai fasilitas pendanaan jangka pendek bagi Bank Umum Syariah; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962); 2. Undang-Undang ... -2- 2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867); M E M U T U S K A N: Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG FASILITAS PENDANAAN JANGKA PENDEK SYARIAH BAGI BANK UMUM SYARIAH. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Yang dimaksud dalam Peraturan Bank Indonesia ini dengan: 1. Bank Indonesia adalah Bank sentral Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009; 2. Bank Umum Syariah, yang selanjutnya disebut Bank adalah bank syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran; 3. Giro Wajib Minimum yang selanjutnya disebut GWM adalah simpanan minimum yang harus dipelihara oleh Bank dalam bentuk saldo rekening giro pada Bank Indonesia sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai GWM bagi Bank; 4. Fasilitas ... -3- 4. Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek Syariah, yang untuk selanjutnya disebut FPJPS adalah fasilitas pendanaan berdasarkan prinsip syariah dari Bank Indonesia kepada Bank yang hanya dapat digunakan untuk mengatasi kesulitan pendanaan jangka pendek; 5. Kesulitan Pendanaan Jangka Pendek adalah suatu kondisi yang dialami Bank yaitu arus dana masuk lebih kecil dibandingkan dengan arus dana keluar yang dapat menimbulkan tidak terpenuhinya kewajiban GWM dalam mata uang rupiah pada Bank; 6. Sertifikat Bank Indonesia Syariah, yang untuk selanjutnya disebut SBIS adalah surat berharga berdasarkan prinsip syariah berjangka waktu pendek dalam mata uang rupiah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia; 7. Surat Berharga Syariah Negara, yang selanjutnya disebut SBSN adalah surat berharga negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara; 8. Pembiayaan adalah pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah; 9. Mudharabah adalah perjanjian antara pemilik dana dengan pengelola dana untuk memelihara likuiditas Bank. BAB II ... -4- BAB II PERSYARATAN DAN TATA CARA PERMOHONAN FPJPS Pasal 2 (1) Bank yang mengalami Kesulitan Pendanaan Jangka Pendek dapat memperoleh FPJPS dengan memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini. (2) FPJPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat diajukan apabila Bank memiliki rasio kewajiban penyediaan modal minimum (capital adequacy ratio) positif. (3) Plafon FPJPS diberikan berdasarkan perkiraan jumlah kebutuhan likuiditas sampai dengan Bank memenuhi GWM dalam mata uang rupiah sesuai dengan ketentuan yang berlaku. (4) Pencairan FPJPS dilakukan sebesar kebutuhan Bank untuk memenuhi kewajiban GWM dalam mata uang rupiah. Pasal 3 FPJPS yang diterima oleh Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) berdasarkan akad Mudharabah. Pasal 4 FPJPS wajib dijamin oleh Bank dengan agunan yang berkualitas tinggi yang nilainya memadai sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini. Pasal 5 (1) Agunan yang berkualitas tinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 berupa: a.surat berharga ... -5- a. surat berharga; b. aset Pembiayaan. (2) Jenis surat berharga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a: a. surat berharga yang diterbitkan oleh Pemerintah Republik Indonesia dan/atau Bank Indonesia yang meliputi SBSN dan SBIS; b. surat berharga syariah yang diterbitkan oleh badan hukum lainnya yang pada saat permohonan FPJPS memiliki peringkat paling kurang peringkat investasi (investment grade), aktif diperdagangkan, dan sisa jangka waktu surat berharga paling kurang 90 (sembilan puluh) hari. (3) Aset Pembiayaan yang dapat dijadikan agunan FPJPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b wajib memenuhi kriteria sebagai berikut: a. kolektibilitas lancar selama 3 (tiga) bulan terakhir; b. bukan merupakan Pembiayaan konsumsi kecuali Pembiayaan pemilikan rumah; c. bukan merupakan Pembiayaan kepada pihak terkait Bank; d. aset Pembiayaan memiliki agunan; e. saldo pokok Pembiayaan tidak melebihi plafon Pembiayaan dan batas maksimum penyaluran dana pada saat diberikan; dan f. memiliki akad Pembiayaan dan pengikatan agunan yang memiliki kekuatan hukum. (4) Surat berharga sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b hanya dapat digunakan sebagai agunan FPJPS dalam hal: a. Bank ... -6- a. Bank tidak memiliki surat berharga sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a; atau b. Bank memiliki surat berharga sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a namun tidak mencukupi untuk menjadi agunan FPJPS. (5) Aset Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b hanya dapat digunakan sebagai agunan FPJPS dalam hal Bank tidak memiliki surat berharga atau surat berharga yang dimiliki oleh Bank tidak mencukupi untuk menjadi agunan FPJPS. Pasal 6 (1) Nilai aset yang digunakan sebagai agunan FPJPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ditetapkan sebagai berikut : a. dalam hal agunan berupa SBIS, nilai agunan ditetapkan paling kurang sebesar 100% (seratus persen) dari plafon FPJPS yang dihitung berdasarkan nilai nominal surat berharga tersebut; b. dalam hal agunan berupa SBSN, nilai agunan ditetapkan paling kurang sebesar 105% (seratus lima persen) dari plafon FPJPS yang dihitung berdasarkan nilai pasar surat berharga tersebut. c. dalam hal agunan berupa surat berharga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf b, nilai agunan ditetapkan sesuai dengan jenis surat berharga paling kurang sebesar 120% (seratus dua puluh persen) dari plafon FPJPS, yang dihitung berdasarkan nilai pasar surat berharga. d. dalam ... -7- d. dalam hal agunan berupa aset Pembiayaan, nilai agunan tersebut ditetapkan paling kurang sebesar 150% (seratus lima puluh persen) dari plafon FPJPS, yang dihitung berdasarkan saldo pokok aset Pembiayaan. (2) Ketentuan mengenai nilai nominal dan nilai pasar sebagaimana tersebut pada ayat (1) huruf a, huruf b dan huruf c akan diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 7 (1) Agunan FPJPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) harus bebas dari segala bentuk perikatan, sengketa, dan tidak sedang dijaminkan kepada pihak lain dan/atau Bank Indonesia, yang dinyatakan dalam surat pernyataan Direksi Bank kepada Bank Indonesia. (2) Bank yang telah memperoleh FPJPS dilarang untuk memperjualbelikan dan/atau menjaminkan kembali agunan surat berharga yang masih dalam status sebagai agunan FPJPS. (3) Bank wajib mengganti dan/atau menambahkan agunan FPJPS apabila tidak memenuhi kondisi-kondisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2). (4) Bank wajib melakukan penilaian terhadap agunan FPJPS secara berkala yang penentuan periode penilaiannya diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia. (5) Dalam hal terjadi penurunan nilai agunan FPJPS setelah dilakukan penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan/atau terjadi penurunan kolektibilitas aset Pembiayaan yang diagunkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3), Bank wajib ... -8- wajib menambah dan/atau mengganti agunan FPJPS. (6) Untuk keperluan perpanjangan FPJPS, Bank dapat menjaminkan kembali aset yang sedang menjadi agunan FPJPS. Pasal 8 (1) Pengikatan agunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (2) Dokumen-dokumen atas aset yang menjadi agunan FPJPS ditatausahakan oleh Bank Indonesia atau pihak lain yang ditunjuk oleh Bank Indonesia. (3) Ketentuan mengenai bentuk pengikatan agunan diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 9 (1) Bank yang memerlukan FPJPS wajib mengajukan permohonan secara tertulis kepada Bank Indonesia. (2) Permohonan FPJPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilengkapi dengan dokumen-dokumen sebagai berikut: a. surat pernyataan Direksi Bank yang menyatakan bahwa Bank mengalami kesulitan likuiditas; b. dokumen yang mendukung jumlah kebutuhan likuiditas; c. daftar aset yang menjadi agunan beserta dokumen pendukung; d. surat pernyataan bahwa seluruh aset yang akan menjadi agunan FPJPS tidak sedang dijaminkan kepada pihak lain, tidak di bawah sitaan, tidak tersangkut dalam suatu perkara atau ... -9- atau sengketa, dan memenuhi seluruh persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5; e. surat kesanggupan Direksi Bank untuk membayar segala kewajiban terkait FPJPS pada saat jatuh tempo. (3) Bank wajib meyakini kebenaran data dan dokumen yang disampaikan termasuk namun tidak terbatas pada kualitas pembiayaan dan agunan yang menyertainya. (4) Tatacara permohonan FPJPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 10 (1) Persetujuan Bank Indonesia atas permohonan FPJPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) dilakukan apabila: a. Bank memenuhi persyaratan permohonan FPJPS; b. Bank memenuhi persyaratan kelengkapan dokumen permohonan FPJPS; c. Berdasarkan analisis Bank Indonesia diperkirakan bahwa Bank tidak dapat memenuhi kewajiban GWM berdasarkan perkiraan arus kas selama 14 (empat belas) hari ke depan. (2) Persetujuan pemberian FPJPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam perjanjian pemberian FPJPS antara Bank Indonesia dengan Bank penerima FPJPS. (3) Perjanjian pemberian FPJPS sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilampiri dengan perjanjian pengikatan agunan FPJPS. (4) Realisasi pemberian FPJPS oleh Bank Indonesia dilakukan melalui rekening giro rupiah Bank yang bersangkutan pada Bank Indonesia. (5) Ketentuan ... -10- (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai perjanjian pemberian FPJPS diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 11 Bank Indonesia dapat menolak permohonan FPJPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 yang tidak sesuai dengan ketentuan, persyaratan dan tatacara yang diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini. Pasal 12 (1) Jangka waktu setiap FPJPS paling lama adalah 14 (empat belas) hari. (2) Jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diperpanjang secara berturut-turut dengan jangka waktu FPJPS keseluruhan paling lama 90 (sembilan puluh) hari. Pasal 13 Perpanjangan FPJPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2) hanya dapat dilakukan apabila: a. imbalan atas FPJPS yang jatuh tempo dilunasi terlebih dahulu; b. Bank tidak dapat memenuhi kewajiban GWM rupiah berdasarkan perkiraan arus kas selama 14 (empat belas) hari ke depan; c. agunan masih mencukupi dan memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, Pasal 6 dan Pasal 7. Pasal 14 ... -11- Pasal 14 Dalam rangka perpanjangan FPJPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2), Bank dapat mengajukan tambahan nilai FPJPS yang dibutuhkan untuk menutup kewajiban yang tidak dapat diselesaikan oleh Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) sepanjang: a. agunan masih mencukupi dan memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, Pasal 6 dan Pasal 7; dan b. penggunaan FPJPS belum melampaui 90 (sembilan puluh) hari berturut-turut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2). BAB III PERHITUNGAN IMBALAN Pasal 15 (1) Bank Indonesia memperoleh imbalan atas setiap FPJPS yang diterima oleh Bank. (2) Besarnya imbalan FPJPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan jumlah pokok FPJPS, tingkat realisasi imbalan, nisbah bagi hasil bagi Bank Indonesia dan jumlah hari kalender penggunaan FPJPS. (3) Besarnya nisbah bagi hasil bagi Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ditetapkan sebesar 90% (sembilan puluh persen). BAB IV ... -12- BAB IV PELUNASAN DAN EKSEKUSI AGUNAN Pasal 16 (1) Pada saat FPJPS jatuh tempo, Bank Indonesia mendebet rekening giro rupiah Bank yang bersangkutan di Bank Indonesia sebesar nilai FPJPS dan imbalan FPJPS. (2) Dalam hal FPJPS jatuh tempo dan saldo giro rupiah Bank yang bersangkutan di Bank Indonesia tidak mencukupi untuk membayar pokok dan imbalan FPJPS dan Bank tidak lagi memenuhi persyaratan untuk memperoleh perpanjangan FPJPS, maka agunan FPJPS dieksekusi. (3) Bank Indonesia tetap mengenakan imbalan sampai dengan eksekusi agunan selesai dilaksanakan. (4) Apabila nilai hasil eksekusi agunan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) lebih kecil dibandingkan dengan jumlah pokok dan imbalan FPJPS yang harus dilunasi oleh Bank, maka Bank wajib membayar kekurangannya kepada Bank Indonesia. (5) Apabila nilai hasil eksekusi agunan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) lebih besar dibandingkan dengan jumlah pokok dan imbalan FPJPS yang harus dilunasi oleh Bank, maka Bank Indonesia mengembalikan kelebihan tersebut kepada Bank. (6) Eksekusi agunan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. BAB V ... -13- BAB V PENGAWASAN Pasal 17 (1) Bank wajib menyampaikan rencana tindak perbaikan (action plan) untuk mengatasi kesulitan likuiditas paling lambat 5 (lima) hari kerja setelah pencairan FPJPS. (2) Bank wajib menyampaikan laporan kepada Bank Indonesia mengenai penggunaan FPJPS dan kondisi likuiditas Bank pada setiap akhir hari kerja. Pasal 18 Bank Indonesia melakukan pemeriksaan khusus atas penggunaan FPJPS terhadap Bank penerima FPJPS. Pasal 19 Bank Indonesia menetapkan Bank penerima FPJPS dalam status pengawasan khusus. BAB VI BIAYA PEMBERIAN FPJPS Pasal 20 Biaya-biaya yang timbul sehubungan dengan pengikatan perjanjian, pengikatan dan eksekusi agunan serta biaya lainnya yang mungkin timbul dalam rangka pemberian FPJPS menjadi beban Bank. BAB VII ... -14- BAB VII SANKSI Pasal 21 Dalam hal Bank tidak melunasi FPJPS dan/atau melakukan pelanggaran atas ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia ini dan/atau berdasarkan pemeriksaan sebagaimana dimaksud Pasal 18 diketahui adanya penyimpangan penggunaan FPJPS, maka Bank dapat dikenakan sanksi berupa: a. tidak dapat menerima FPJPS dalam jangka waktu tertentu; dan b. sanksi administratif sebagaimana diatur dalam Pasal 58 ayat (1) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah antara lain berupa teguran tertulis, larangan untuk turut serta dalam kegiatan kliring, pembekuan kegiatan usaha tertentu dan/atau pemberhentian pengurus Bank. Pasal 22 Apabila pengurus Bank, pemegang saham pengendali dan pejabat eksekutif Bank dengan sengaja tidak melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan Bank terhadap ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia ini dan/atau memberikan keterangan atau dokumen yang diwajibkan dalam Peraturan Bank Indonesia ini secara tidak benar, selain dikenakan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dikenakan juga sanksi sebagaimana diatur dalam Pasal 63 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. BAB VIII ... -15- BAB VIII KETENTUAN PENUTUP Pasal 23 Ketentuan lebih lanjut mengenai FPJPS diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 24 Dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini maka : a. Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/3/PBI/2003 tanggal 4 Februari 2003 tentang Fasilitas Pembiayaan Jangka Pendek Bagi Bank Syariah; dan b. Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/23/PBI/2005 tanggal 3 Agustus 2005 tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/3/PBI/2003 tanggal 4 Februari 2003 tentang Fasilitas Pembiayaan Jangka Pendek Bagi Bank Syariah; dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 25 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan. Agar ... -16- Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 1 Juli 2009 Pjs. GUBERNUR BANK INDONESIA, MIRANDA S. GOELTOM Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 1 Juli 2009 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA ANDI MATTALATTA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 102 DPbS PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 11/24/PBI/2009 TENTANG FASILITAS PENDANAAN JANGKA PENDEK SYARIAH BAGI BANK UMUM SYARIAH I. UMUM Dampak dari krisis keuangan global yang berlangsung saat ini berimbas pada berbagai negara termasuk Indonesia. Hal tersebut secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi stabilitas sistem keuangan Indonesia termasuk sistem perbankan. Salah satu pengaruh dari krisis keuangan global tersebut adalah meningkatnya potensi keraguan masyarakat terhadap sistem perbankan termasuk perbankan syariah yang ditandai antara lain dengan meningkatnya kepanikan masyarakat dalam menyikapi krisis. Sementara itu, kepercayaan masyarakat merupakan salah satu prasyarat utama yang diperlukan untuk menciptakan sistem perbankan yang stabil. Dengan memperhatikan hal-hal tersebut di atas diperlukan langkah-langkah tertentu dalam mengantisipasi terjadinya risiko likuiditas dan upaya untuk menjaga kepercayaan masyarakat terhadap perbankan syariah. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009, Bank Indonesia dapat memberikan Pembiayaan berdasarkan prinsip syariah kepada bank untuk mengatasi kesulitan pendanaan jangka pendek yang dijamin dengan agunan yang berkualitas tinggi termasuk aset Pembiayaan lancar. Sejalan ... -2- Sejalan dengan hal tersebut, Bank Indonesia menyediakan fasilitas pendanaan dalam rangka mengatasi kesulitan pendanaan jangka pendek kepada bank dengan maksud agar kelangsungan kegiatan usaha Bank Umum Syariah dapat terpelihara. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Ayat (1) Apabila terdapat unit usaha syariah yang mengalami Kesulitan Pendanaan Jangka Pendek, maka unit usaha syariah wajib meminta tambahan dana dari bank umum konvensional yang menjadi induknya. Ayat (2) Rasio kewajiban penyediaan modal minimum yang digunakan adalah berdasarkan perhitungan Bank Indonesia. Ayat (3) Perkiraan Bank atas jumlah kebutuhan likuiditas didasarkan pada proyeksi arus kas paling lama 14 hari kalender ke depan. Ayat (4) Yang dimaksud dengan “kewajiban GWM” adalah berdasarkan perhitungan Bank Indonesia. Pasal 3 Cukup jelas. Pasal 4 ... -3- Pasal 4 Cukup jelas. Pasal 5 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan “surat berharga syariah yang diterbitkan oleh badan hukum lainnya” adalah obligasi syariah korporasi (sukuk korporasi). Peringkat tersebut berdasarkan hasil penilaian lembaga pemeringkat yang diakui Bank Indonesia sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai lembaga pemeringkat dan peringkat yang diakui Bank Indonesia. Ayat (3) Huruf a Kolektibilitas lancar adalah kualitas lancar sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Yang dimaksud dengan “pihak terkait” adalah pihak terkait sebagaimana ... -4- sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK) Bank Umum. Huruf d Adanya agunan disini dimaksudkan untuk memberi tambahan keyakinan mengenai kualitas Pembiayaan yang dijadikan agunan FPJPS. Huruf e Batas maksimum penyaluran dana mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK) Bank Umum. Huruf f Cukup jelas. Ayat (4) Cukup Jelas. Ayat (5) Apabila Bank memiliki surat berharga sebagaimana dimaksud pada ayat (2) namun nilainya tidak mencukupi untuk menjadi agunan FPJPS maka Bank dapat menggunakan aset Pembiayaan untuk menambah kekurangan nilai agunan. Pasal 6 Cukup jelas. Pasal 7 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) ... -5- Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Penggantian atau penambahan agunan FPJPS dimaksudkan agar nilai aset agunan FPJPS sesuai dengan ketentuan Pasal 6. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 8 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “peraturan perundang-undangan yang berlaku” adalah antara lain peraturan yang mengatur gadai atau fidusia. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “dokumen-dokumen atas aset yang menjadi agunan FPJPS” adalah antara lain akad Pembiayaan antara Bank dengan nasabah, bukti pengikatan agunan dan kepemilikan atas aset yang menjadi agunan Pembiayaan Bank. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 9 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) ... -6- Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Yang dimaksud dengan “dokumen pendukung” adalah antara lain akad Pembiayaan antara Bank dengan nasabah dan perjanjian pengikatan agunan atas Pembiayaan tersebut dan dokumen lain yang dapat membuktikan terpenuhinya persyaratan agunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 10 Cukup jelas. Pasal 11 Cukup jelas. Pasal 12 ... -7- Pasal 12 Ayat (1) Yang dimaksud dengan ”hari pada ayat ini” adalah hari kalender. Apabila saat jatuh tempo FPJPS bertepatan pada hari Sabtu, Minggu atau hari libur, maka pendebetan saldo rekening giro Bank pada Bank Indonesia dilakukan pada hari kerja berikutnya. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 13 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan ”hari” pada ayat ini adalah hari kalender. Huruf c Dalam rangka pelaksanaan perpanjangan FPJPS, agunan yang telah diagunkan Bank untuk menjamin FPJPS yang diterima Bank sebelumnya akan dinilai kembali, sehingga Bank perlu menyesuaikan jumlah agunan yang diserahkan untuk menjamin perpanjangan FPJPS. Pasal 14 Tambahan nilai FPJPS yang diajukan akan diakumulasikan terhadap nilai FPJPS yang belum dilunasi. Pasal 15 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) ... -8- Ayat (2) Rumus perhitungan besarnya imbalan FPJPS adalah sebagai berikut: X = P x R x k x t/360 Dimana : X : Besarnya imbalan yang diterima Bank Indonesia. P : Jumlah pokok FPJPS. R : Realisasi tingkat imbalan sebelum distribusi pada Bank penerima FPJPS. k : Nisbah bagi hasil bagi Bank Indonesia t : Jumlah hari kalender penggunaan FPJPS. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 16 Ayat (1) Yang dimaksud dengan jatuh tempo adalah berakhirnya jangka waktu FPJPS dan tidak terdapat perpanjangan atas FPJPS dimaksud. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 17 ... -9- Pasal 17 Cukup jelas. Pasal 18 Pemeriksaan terhadap Bank yang menerima FPJPS dapat dilakukan pada periode diterimanya atau setelah jatuh tempo FPJPS. Pasal 19 Cukup jelas. Pasal 20 Yang dimaksud biaya dalam pasal ini antara lain adalah biaya notaris untuk pengikatan perjanjian dan pengikatan agunan dalam rangka pemberian FPJPS serta biaya-biaya lainnya yang timbul karena eksekusi agunan FPJPS. Pasal 21 Cukup jelas. Pasal 22 Cukup jelas. Pasal 23 Cukup jelas. Pasal 24 Cukup jelas. Pasal 25 ... -10- Pasal 25 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5028 DPbS
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 11/24/PBI/2009 </reg_id> <reg_title> FASILITAS PENDANAAN JANGKA PENDEK SYARIAH BAGI BANK UMUM SYARIAH </reg_title> <set_date> 1 Juli 2009 </set_date> <effective_date> 1 Juli 2009 </effective_date> <issued_date> 1 Juli 2009 </issued_date> <replaced_reg> '7/23/PBI/2005', '5/3/PBI/2003' </replaced_reg> <related_reg> '21/UU/2008', '6/UU/2009', '23/UU/1999' </related_reg> <penalty_list> 'BAB VII' </penalty_list>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 7 / 14 / PBI / 2005 TENTANG PEMBATASAN TRANSAKSI RUPIAH DAN PEMBERIAN KREDIT VALUTA ASING OLEH BANK GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Bank Indonesia mempunyai tugas menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter, mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran, serta mengatur dan mengawasi bank untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah; b. bahwa sistem devisa bebas yang diterapkan di Indonesia telah mempercepat perkembangan dan terintegrasinya pasar keuangan Indonesia dengan pasar keuangan global termasuk meningkatkan transaksi rupiah antara bank dengan warga negara asing, badan hukum asing atau lembaga asing lainnya, warga negara Indonesia yang memiliki status penduduk tetap (permanent resident) negara lain dan tidak berdomisili di Indonesia, kantor bank di luar negeri dari bank yang berkantor pusat di Indonesia, dan kantor perusahaan di luar negeri dari perusahaaan yang berbadan hukum Indonesia; c. bahwa transaksi rupiah antara bank dengan pihak-pihak sebagaimana disebut dalam huruf b di atas, termasuk yang dilakukan melalui transaksi derivatif, serta pemberian kredit valuta asing yang diikuti dengan kegiatan spekulasi dapat menimbulkan gejolak nilai tukar rupiah, sehingga menghambat pencapaian kestabilan nilai rupiah dan sistem keuangan; d. bahwa… -2- d. bahwa pengaturan pembatasan transaksi rupiah diperlukan dalam rangka menjamin integritas dan stabilitas sistem keuangan Indonesia serta meminimalkan hal-hal yang menghambat kegiatan produktif bagi perekonomian Indonesia; e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d, dipandang perlu untuk mengatur kembali ketentuan Pembatasan Transaksi Rupiah dan Pemberian Kredit Valuta Asing oleh Bank dalam suatu Peraturan Bank Indonesia; Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); 2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357); 3. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3844); Republik Indonesia Nomor 3843) MEMUTUSKAN… -3- MEMUTUSKAN : Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PEMBATASAN TRANSAKSI RUPIAH DAN PEMBERIAN KREDIT VALUTA ASING OLEH BANK. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan : 1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 10 Tahun 1998 termasuk kantor cabang bank asing di Indonesia namun tidak termasuk kantor Bank berbadan hukum Indonesia yang beroperasi di luar negeri. 2. Pihak Asing adalah : a. warga negara asing; b. badan hukum asing atau lembaga asing lainnya; c. warga negara Indonesia yang memiliki status penduduk tetap (permanent resident) negara lain dan tidak berdomisili di Indonesia; d. kantor Bank di luar negeri dari Bank yang berkantor pusat di Indonesia; e. kantor perusahaan di luar negeri dari perusahaan yang berbadan hukum Indonesia. 3. Warga Negara Asing adalah orang yang memiliki kewarganegaraan selain Indonesia, termasuk yang memiliki izin menetap atau izin tinggal di Indonesia. 4. Badan Hukum Asing atau lembaga asing lainnya adalah badan hukum atau lembaga asing yang didirikan di luar negeri, namun tidak termasuk : a. Kantor cabang bank asing di Indonesia; b. Perusahaan Penanaman Modal Asing (PMA); c. Badan… -4- c. Badan hukum asing atau lembaga asing yang memiliki kegiatan yang bersifat nirlaba. 5. Transaksi Rupiah adalah transaksi yang dilakukan Bank dengan menggunakan mata uang Rupiah, termasuk transaksi antara mata uang Rupiah terhadap mata uang asing. 6. Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara Bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga atau imbalan jasa, termasuk : a. cerukan (overdraft), yaitu saldo negatif pada rekening giro nasabah yang tidak dapat dibayar lunas pada akhir hari; b. pengambilalihan tagihan dalam rangka kegiatan anjak piutang; c. pengambilalihan atau pembelian kredit dari pihak lain. 7. Prinsip Syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara Bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan syariah, antara lain pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil (mudharabah), pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal (musharakah), prinsip jual beli barang dengan memperoleh keuntungan (murabahah), atau pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan (ijarah), atau dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak Bank oleh pihak lain (ijarah wa iqtina). 8. Penempatan adalah penanaman dana Bank pada bank lain dalam bentuk giro, interbank call money, deposito berjangka, sertifikat deposito, Kredit atau Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Syariah, dan penanaman dana lainnya yang sejenis. 9. Transfer Rupiah adalah pemindahan sejumlah dana rupiah yang ditujukan kepada penerima dana untuk kepentingan Bank maupun nasabah, baik melalui setoran tunai maupun pemindahbukuan antar rekening pada Bank yang sama atau Bank yang … -5- yang berbeda, yang menyebabkan bertambahnya saldo rekening rupiah penerima dana. 10. Surat Berharga adalah surat pengakuan utang, wesel, obligasi, sekuritas kredit, atau setiap derivatifnya, atau kepentingan lain, atau suatu kewajiban dari penerbit, dalam bentuk yang lazim diperdagangkan dalam pasar modal dan pasar uang, termasuk obligasi yang diterbitkan oleh lembaga multilateral atau supranasional yang seluruh dana hasil penerbitan obligasi tersebut digunakan untuk kepentingan pembiayaan kegiatan ekonomi di Indonesia. 11. Tagihan Antar Kantor adalah semua tagihan yang dimiliki Bank terhadap kantor pusat atau kantor cabang di luar negeri baik untuk kepentingan Bank maupun nasabah, yaitu : a. bagi kantor cabang bank asing di Indonesia, tagihan adalah dari kantor cabang bank asing di Indonesia terhadap kantor pusat dan atau kantor cabang lain di luar negeri; b. bagi bank yang berkantor pusat di Indonesia, tagihan adalah dari kantor pusat dan atau kantor cabang di Indonesia terhadap kantor cabang di luar negeri. 12. Penyertaan Modal adalah penanaman dana Bank dalam bentuk saham pada bank dan perusahaan di bidang keuangan lainnya sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, seperti perusahaan sewa guna usaha, modal ventura, perusahaan efek, asuransi, serta lembaga kliring penyelesaian dan penyimpanan, termasuk penanaman dalam bentuk surat utang konversi (convertible bonds) dengan opsi saham (equity option) atau jenis transaksi tertentu yang berakibat Bank memiliki atau akan memiliki saham pada bank dan atau perusahaan yang bergerak di bidang keuangan lainnya. 13. Penyertaan Langsung adalah penanaman dana dalam bentuk saham pada perusahaan yang tidak melalui pasar modal. 14. Transaksi Derivatif adalah transaksi yang didasari oleh suatu kontrak atau perjanjian pembayaran yang nilainya merupakan turunan dari nilai tukar dalam bentuk … -6- bentuk transaksi outright forward, swap, option valuta asing terhadap rupiah dan transaksi lainnya yang dapat dipersamakan dengan itu. 15. Prime Bank adalah bank yang memiliki peringkat investasi tertentu dari lembaga pemeringkat dan total aset yang termasuk dalam 200 (dua ratus) besar dunia berdasarkan informasi yang tercantum dalam banker’s almanac. BAB II PELARANGAN, PEMBATASAN DAN PENGECUALIAN TRANSAKSI BAGI BANK Pasal 2 Bank dilarang dan atau dibatasi dan atau dikecualikan melakukan transaksi-transaksi tertentu dengan Pihak Asing. BAB III PELARANGAN TRANSAKSI Pasal 3 Transaksi-transaksi tertentu yang dilarang dilakukan Bank dengan Pihak Asing meliputi : a. Pemberian Kredit dalam rupiah dan atau valuta asing; b. Penempatan dalam rupiah; c. Pembelian Surat Berharga dalam rupiah yang diterbitkan oleh Pihak Asing; d. Tagihan Antar Kantor dalam rupiah; e. Tagihan Antar Kantor dalam valuta asing dalam rangka pemberian Kredit di luar negeri; f. Penyertaan Modal dalam rupiah; g. Transfer Rupiah ke rekening yang dimiliki Pihak Asing dan atau yang dimiliki secara gabungan (joint account) antara Pihak Asing dengan bukan Pihak Asing pada Bank di dalam negeri; h. Transfer… -7- h. Transfer Rupiah ke rekening yang dimiliki Pihak Asing dan atau yang dimiliki secara gabungan (joint account) antara Pihak Asing dengan bukan Pihak Asing pada Bank di luar negeri. Pasal 4 Bank dilarang melaksanakan Transfer Rupiah kepada bukan Pihak Asing di luar negeri. Pasal 5 Larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan Pasal 4 berlaku pula terhadap transaksi sejenis berdasarkan Prinsip Syariah. BAB IV PEMBATASAN TRANSAKSI Pasal 6 Transaksi-transaksi tertentu yang dibatasi untuk dilakukan oleh Bank dengan Pihak Asing meliputi : a. Transaksi Derivatif jual valuta asing terhadap rupiah; b. Transaksi Derivatif beli valuta asing terhadap rupiah. Pasal 7 (1) Transaksi Derivatif jual valuta asing terhadap rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf a yang dibatasi untuk dilakukan oleh Bank dengan Pihak Asing meliputi : a. Transaksi outright forward jual valuta asing terhadap rupiah; b. Transaksi swap jual valuta asing terhadap rupiah; c. Transaksi jual call option valuta asing terhadap rupiah; d. Transaksi… -8- d. Transaksi beli put option valuta asing terhadap rupiah; e. Transaksi Derivatif lainnya yang dapat dipersamakan dengan transaksi- transaksi sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d. (2) Transaksi Derivatif beli valuta asing terhadap rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf b yang dibatasi untuk dilakukan oleh Bank dengan Pihak Asing meliputi : a. Transaksi outright forward beli valuta asing terhadap rupiah; b. Transaksi swap beli valuta asing terhadap rupiah; c. Transaksi beli call option valuta asing terhadap rupiah; d. Transaksi jual put option valuta asing terhadap rupiah; e. Transaksi Derivatif lainnya yang dapat dipersamakan dengan transaksi- transaksi sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d. (3) Bank hanya dapat melakukan Transaksi Derivatif valuta asing terhadap rupiah dengan Pihak Asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) sampai batas maksimum nominal yaitu USD 1.000.000 (satu juta US Dollar) atau ekuivalen dari nilai dimaksud, baik untuk setiap transaksi individual maupun posisi (outstanding) masing-masing Transaksi Derivatif jual dan Transaksi Derivatif beli per Bank. Pasal 8 Pembatasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 berlaku pula terhadap transaksi sejenis berdasarkan Prinsip Syariah. BAB V… -9- BAB V PENGECUALIAN TERHADAP PELARANGAN DAN PEMBATASAN TRANSAKSI Pasal 9 (1) Larangan terhadap pemberian Kredit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a tidak berlaku terhadap : a. Kredit dalam bentuk sindikasi yang memenuhi persyaratan berikut : 1) mengikutsertakan Prime Bank sebagai lead bank; 2) diberikan untuk pembiayaan proyek di sektor riil untuk usaha produktif yang berada di wilayah Indonesia; dan 3) kontribusi bank asing sebagai anggota sindikasi lebih besar dibandingkan dengan kontribusi bank dalam negeri; b. kartu kredit; c. kredit konsumsi yang digunakan di dalam negeri; d. cerukan intra hari rupiah dan valuta asing yang didukung oleh dokumen- dokumen yang bersifat authenticated yang menunjukkan konfirmasi akan adanya dana masuk ke rekening bersangkutan pada hari yang sama dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam Surat Edaran Bank Indonesia; e. cerukan dalam rupiah dan valuta asing karena pembebanan biaya administrasi; f. pengambilalihan tagihan dari badan yang ditunjuk pemerintah untuk mengelola aset-aset bank dalam rangka restrukturisasi perbankan Indonesia oleh Pihak Asing yang pembayarannya dijamin oleh Prime Bank. (2) Prime Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut : a. Memiliki peringkat investasi yang diberikan oleh lembaga pemeringkat paling kurang : 1) BBB- dari lembaga pemeringkat Standard & Poors; 2) Baa3 dari lembaga pemeringkat Moody's; 3) BBB-… -10- 3) BBB- dari lembaga pemeringkat Fitch; atau 4) Setara dengan angka 1), angka 2), dan atau angka 3), berdasarkan penilaian lembaga pemeringkat terkemuka lain yang ditetapkan oleh Indonesia; berdasarkan penilaian terhadap prospek usaha jangka panjang (long term outlook) bank tersebut; dan b. Memiliki total aset yang termasuk dalam 200 (dua ratus) besar dunia berdasarkan informasi yang tercantum dalam banker’s almanac. Pasal 10 Larangan pembelian Surat Berharga dalam rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf c tidak berlaku untuk : a. pembelian Surat Berharga yang berkaitan dengan kegiatan ekspor barang dari Indonesia dan impor barang ke Indonesia serta perdagangan dalam negeri; b. pembelian bank draft dalam rupiah yang diterbitkan oleh bank di luar negeri untuk kepentingan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang bekerja di luar negeri dan dana rupiah tersebut diterima di dalam negeri oleh bukan Pihak Asing. Pasal 11 (1) Larangan Transfer Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 berlaku apabila dilakukan : a. dalam rangka kegiatan ekonomi di Indonesia; atau b. antar rekening yang dimiliki oleh Pihak Asing yang sama. (2) Cakupan kegiatan ekonomi di Indonesia diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia. (3) Bank penerima dari suatu Transfer Rupiah yang ditujukan kepada Pihak Asing wajib melakukan verifikasi terhadap status pihak penerima dana dan kelengkapan dokumen kegiatan yang dilakukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) . Pasal 12… huruf g tidak Bank -11- Pasal 12 (1) Pembatasan Transaksi Derivatif valuta asing terhadap rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3) tidak berlaku dalam hal Transaksi Derivatif dilakukan untuk keperluan lindung-nilai (hedging) dalam rangka kegiatan : a. investasi di Indonesia yang berjangka waktu paling singkat 3 (tiga) bulan; b. ekspor barang dari Indonesia dan impor barang ke Indonesia yang menggunakan Letter of Credit (L/C); dan atau c. perdagangan dalam negeri yang menggunakan Surat Kredit Berdokumen Dalam Negeri (SKBDN); (2) Hedging sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atas suatu kegiatan investasi di Indonesia hanya dapat dilakukan apabila : a. kegiatan investasi telah mulai direalisasikan; b. nilai hedging paling banyak sebesar nilai realisasi investasi yang tercantum dalam dokumen pendukung; c. jangka waktu hedging paling sedikit 3 (tiga) bulan dan paling lama sama dengan jangka waktu investasi; dan d. disertai dengan dokumen-dokumen pendukung hedging dan investasi yang bersangkutan. Pasal 13 Dalam hal kegiatan investasi berupa Penyertaan Langsung dilakukan melalui proses lelang dan karena sesuatu hal di luar kendali investor investasi tersebut belum dapat direalisasikan, maka hedging dapat dilakukan dengan kondisi sebagai berikut : a. Apabila investor sudah termasuk dalam short list, hedging dapat dilakukan setelah realisasi setoran jaminan dengan jangka waktu paling lama 1 bulan dan hanya dapat diperpanjang sebanyak 1 (satu) kali dengan perpanjangan paling lama 1 (satu) bulan yang dibuktikan dengan dokumen pendukung; b. Apabila… -12- b. Apabila investor sudah dinyatakan sebagai pemenang lelang, hedging dapat dilakukan sebelum realisasi investasi dengan jangka waktu paling lama 1 bulan dan hanya dapat diperpanjang sebanyak 1 (satu) kali dengan perpanjangan paling lama 1 (satu) bulan yang dibuktikan dengan dokumen pendukung; c. Hedging sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b di atas paling banyak sebesar realisasi nilai setoran jaminan lelang. Pasal 14 Pengecualian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 sampai dengan Pasal 13 berlaku pula terhadap transaksi sejenis berdasarkan Prinsip Syariah. BAB VI DOKUMEN PENDUKUNG Pasal 15 (1) Dokumen pendukung yang diperlukan dalam ketentuan ini diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia. (2) Bank wajib menatausahakan dokumen-dokumen yang diperlukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk kepentingan pemeriksaan Bank Indonesia. BAB VII PELAPORAN Pasal 16 Bank wajib menyampaikan laporan Transaksi Derivatif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 kepada Bank Indonesia secara akurat, benar, dan lengkap sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia yang berlaku mengenai pelaporan transaksi devisa. BAB VIII… -13- BAB VIII SANKSI Pasal 17 (1) Bank yang melakukan pelanggaran terhadap Pasal 3 sampai dengan Pasal 13 dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis dan kewajiban membayar sebesar 10% (sepuluh per seratus) dari nilai nominal transaksi yang dilanggar. (2) Total kewajiban membayar untuk sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling banyak sebesar Rp 27.000.000.000 (dua puluh tujuh milyar rupiah) dalam 1 (satu) tahun kalender. BAB IX KETENTUAN PENUTUP Pasal 18 Peraturan pelaksanaan dari Peraturan Bank Indonesia ini diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 19 Dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini maka, Peraturan Bank Indonesia Nomor 3/3/PBI/2001 tanggal 12 Januari 2001 dan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 3/5/DPD tanggal 31 Januari 2001 tentang Pembatasan Transaksi Rupiah dan Pemberian Kredit Valuta Asing oleh Bank dinyatakan tidak berlaku. Pasal 20… -14- Pasal 20 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 14 Juli 2005 Ditetapkan di : Jakarta Pada tanggal 14 Juni 2005 GUBERNUR BANK INDONESIA, BURHANUDDIN ABDULLAH LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2005 NOMOR 50 DPD PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 7/ 14 /PBI/2005 TENTANG PEMBATASAN TRANSAKSI RUPIAH DAN PEMBERIAN KREDIT VALUTA ASING OLEH BANK UMUM Penerapan sistem devisa bebas di Indonesia telah mempercepat perkembangan dan integrasi pasar keuangan Indonesia dengan pasar keuangan dunia. Perkembangan pasar keuangan antara lain tercermin pada bertambahnya keanekaragaman produk jasa keuangan, sebagai hasil dari berbagai inovasi di industri keuangan. Integrasi pasar keuangan antara lain terlihat pada penggunaan mata uang domestik, baik di dalam negeri maupun luar negeri. Pada awalnya mata uang domestik digunakan oleh warga negara asing dan badan asing di dalam negeri, namun selanjutnya penggunaan tersebut meluas ke luar negeri baik oleh warga negara Indonesia dan badan hukum Indonesia maupun oleh warga negara asing dan badan asing. Sebagai akibat dari perkembangan dan integrasi pasar keuangan di atas, peningkatan transaksi rupiah antara bank dengan warga negara asing dan badan asing dalam perkembangannya telah menimbulkan ketidakstabilan kondisi moneter di dalam negeri, khususnya dalam bentuk tekanan terhadap nilai tukar rupiah. Sehubungan dengan hal tersebut, telah diambil langkah kebijakan dengan menetapkan pembatasan-pembatasan yang diperlukan sebagaimana tertuang dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 3/3/PBI/2001 tanggal 12 Januari 2001 tentang Pembatasan Transaksi Rupiah dan Pemberian Kredit Valuta Asing oleh Bank. Peraturan… -2- Peraturan Bank Indonesia Nomor 3/3/PBI/2001 pada dasarnya mengatur transaksi rupiah antara bank dengan warga negara asing, badan hukum asing atau badan asing lainnya, warga negara Indonesia yang memiliki status penduduk tetap (permanent resident) negara lain dan tidak berdomisili di Indonesia, dan kantor bank atau badan hukum Indonesia di luar negeri, serta pengaturan pemberian kredit valuta asing oleh bank kepada pihak-pihak tersebut. Pengaturan terhadap transaksi rupiah dan pemberian kredit valas antara bank dengan pihak-pihak tersebut merupakan langkah kehati-hatian dalam rangka melindungi integritas dan stabilitas sistem keuangan Indonesia, sekaligus mengoptimalkan pemanfaatan sumber dana dalam negeri, baik dalam rupiah maupun valuta asing, bagi kegiatan-kegiatan yang dapat menunjang perekonomian domestik untuk tumbuh berkesinambungan. Di pihak lain, peraturan tersebut secara umum tidak bertentangan, baik dengan ketentuan sistem devisa bebas maupun ketentuan-ketentuan internasional yang berlaku. Dalam perkembangan selanjutnya, meskipun Peraturan Bank Indonesia Nomor 3/3/PBI/2001 tanggal 12 Januari 2001 tentang Pembatasan Transaksi Rupiah dan Pemberian Kredit Valuta Asing oleh Bank telah menyediakan kemungkinan bagi berbagai transaksi untuk kepentingan pembiayaan yang bermanfaat bagi perekonomian domestik, namun masih dirasakan perlu dilakukan beberapa penyempurnaan. Langkah penyempurnaan perlu diambil agar di satu pihak, ketentuan yang berlaku tidak menghambat kegiatan produktif dan dapat sejalan dengan beberapa perkembangan terakhir baik dalam pasar keuangan maupun dalam perekonomian domestik secara keseluruhan. Namun di pihak lain, langkah penyempurnaan tersebut dapat tetap menunjang keuangan dan moneter di dalam negeri. tercapainya stabilitas sistem PASAL… -3- PASAL DEMI PASAL BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Cukup jelas. BAB II PELARANGAN, PEMBATASAN DAN PENGECUALIAN TRANSAKSI BAGI BANK Pasal 2 Cukup jelas. BAB III PELARANGAN TRANSAKSI Pasal 3 Huruf a sampai dengan huruf f Cukup jelas. Huruf g Yang dimaksud dengan bukan Pihak Asing adalah pihak yang tidak termasuk Pihak Asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2. Huruf h Yang dimaksud dengan bukan Pihak Asing adalah pihak yang tidak termasuk Pihak Asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2. Pasal 4… -4- Pasal 4 Yang dimaksud dengan bukan Pihak Asing adalah pihak yang tidak termasuk Pihak Asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2. Pasal 5 Cukup jelas. BAB IV PEMBATASAN TRANSAKSI Pasal 6 Cukup jelas. Pasal 7 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan transaksi outright forward jual valuta asing terhadap rupiah adalah penjualan valuta asing terhadap rupiah yang penyerahan dananya dilakukan lebih dari 2 (dua) hari kerja setelah tanggal transaksi. Termasuk dalam transaksi ini adalah transaksi valuta tod, tom atau spot yang disintetiskan sebagai outright forward jual valuta asing terhadap rupiah. Huruf b Yang dimaksud dengan transaksi swap jual valuta asing terhadap rupiah adalah transaksi pertukaran valuta asing terhadap rupiah melalui pembelian tunai dengan penjualan kembali secara berjangka yang dilakukan secara simultan dengan counterparty yang sama dan pada tingkat harga yang disepakati pada tanggal transaksi dilakukan Termasuk… -5- Termasuk dalam transaksi ini adalah berbagai kombinasi dari transaksi valuta tod, tom, dan spot yang disintetiskan sebagai swap jual valuta asing terhadap rupiah; Huruf c Yang dimaksud dengan transaksi jual call option valuta asing terhadap rupiah adalah transaksi atas dasar perjanjian yang memberikan hak kepada Bank untuk menjual hak beli atas suatu transaksi valuta asing terhadap rupiah dengan harga tertentu pada tanggal berakhirnya perjanjian atau tanggal tertentu dalam periode perjanjian transaksi. Huruf d Yang dimaksud dengan transaksi beli put option valuta asing terhadap rupiah adalah transaksi atas dasar perjanjian yang memberikan hak kepada Bank untuk membeli hak jual atas suatu transaksi valuta asing terhadap rupiah dengan harga tertentu pada tanggal berakhirnya perjanjian atau tanggal tertentu dalam periode perjanjian transaksi. Huruf e Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud dengan transaksi outright forward beli valuta asing terhadap rupiah adalah pembelian valuta asing terhadap rupiah yang penyerahan dananya dilakukan lebih dari 2 (dua) hari kerja setelah tanggal transaksi. Termasuk… -6- Termasuk dalam transaksi ini adalah transaksi valuta tod, tom atau spot yang disintetiskan sebagai outright forward beli valuta asing terhadap rupiah. Huruf b Yang dimaksud dengan transaksi swap beli valuta asing terhadap rupiah adalah transaksi pertukaran valuta asing terhadap rupiah melalui penjualan tunai dengan pembelian kembali secara berjangka yang dilakukan secara simultan dengan counterparty yang sama dan pada tingkat harga yang disepakati pada tanggal transaksi dilakukan. Termasuk dalam transaksi ini adalah berbagai kombinasi dari transaksi valuta tod, tom, dan spot yang disintetiskan sebagai swap beli valuta asing terhadap rupiah. Huruf c Yang dimaksud dengan transaksi beli call option valuta asing terhadap rupiah adalah transaksi atas dasar perjanjian yang memberikan hak kepada Bank untuk membeli hak beli atas suatu transaksi valuta asing terhadap rupiah dengan harga tertentu pada tanggal berakhirnya perjanjian atau tanggal tertentu dalam periode perjanjian transaksi. Huruf d Yang dimaksud dengan transaksi jual put option valuta asing terhadap rupiah adalah transaksi atas dasar perjanjian yang memberikan hak kepada Bank untuk menjual hak jual atas suatu transaksi valuta asing terhadap rupiah dengan harga tertentu pada tanggal berakhirnya perjanjian atau tanggal tertentu dalam periode perjanjian transaksi. Huruf e Cukup jelas. Ayat 3… -7- Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 8 Cukup jelas. BAB V PENGECUALIAN TERHADAP PELARANGAN DAN PEMBATASAN TRANSAKSI Pasal 9 Ayat (1) Huruf a 1) Yang dimaksud dengan lead bank adalah bank yang berperan sebagai koordinator bagi anggota sindikasi. 2) Yang dimaksud dengan sektor riil adalah sektor produksi dan perdagangan barang dan jasa, namun tidak termasuk sektor jasa keuangan seperti kegiatan jual beli Surat Berharga. 3) Cukup jelas. Huruf b Termasuk Huruf c Kredit konsumsi yaitu pemberian Kredit untuk keperluan konsumsi di dalam negeri dengan cara membeli, menyewa, atau dengan cara lain, termasuk di dalamnya Kredit Pemilikan Rumah, Apartemen, Ruko, dan Rukan serta kredit pembelian kendaraan. jenis kartu kredit untuk (procurement card). pembelian barang produksi Huruf d… -8- Huruf d Yang dimaksud dengan dokumen yang bersifat authenticated adalah dokumen yang identitas pihak pengirim, isi pesan atau perintah, serta kode rahasia dokumen dimaksud telah disepakati para pihak sehingga hanya dapat dikonfirmasi atau diverifikasi oleh pihak penerima pesan atau perintah, secara individual. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Ketentuan ini tunduk kepada ketentuan yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia tentang prinsip kehati-hatian dalam rangka pembelian kredit oleh bank dari badan yang menangani penyehatan perbankan nasional. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 10 Huruf a Yang dimaksud dengan pembelian Surat Berharga yang berkaitan dengan kegiatan ekspor barang dari Indonesia dan impor barang ke Indonesia adalah pembelian Wesel Ekspor dan Banker’s Acceptance atas dasar transaksi L/C maupun non-L/C. Yang dimaksud dengan pembelian Surat Berharga yang berkaitan dengan perdagangan dalam negeri adalah pembelian wesel atau Banker’s Acceptance atas dasar transaksi Surat Kredit Berdokumen Dalam Negeri (SKBDN). Huruf b Cukup jelas. Pasal 11… -9- Pasal 11 Ayat (1) Huruf a Termasuk dalam kegiatan ekonomi di Indonesia antara lain transaksi Penyertaan Langsung di Indonesia, transaksi Surat Berharga, dan transaksi pembelian barang dan jasa di Indonesia. Huruf b Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan status penerima dana adalah status penerima dana sebagai Pihak Asing atau bukan Pihak Asing. Pasal 12 Ayat (1) Kegiatan investasi di Indonesia meliputi Penyertaan Langsung, pemberian Kredit, dan pembelian Surat Berharga, namun tidak termasuk Sertifikat Bank Indonesia. Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud dengan realisasi investasi adalah pada saat telah terjadi aliran dana dari Pihak Asing untuk kegiatan investasi dimaksud. Huruf b Nilai kegiatan investasi yang dapat di-hedged tidak termasuk future income dan penerimaan–penerimaan lainnya yang terkait dengan investasi dimaksud… -10- dimaksud, seperti bunga, kupon, atau dividen serta biaya-biaya yang dikeluarkan terkait dengan kegiatan investasi di Indonesia. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Pasal 13 Cukup jelas. Pasal 14 Cukup jelas. BAB VI DOKUMEN PENDUKUNG Pasal 15 Cukup jelas. BAB VII PELAPORAN Pasal 16 Laporan Transaksi Derivatif dimaksud wajib disampaikan oleh kantor pusat Bank atau kantor cabang bank asing di Indonesia yang merupakan laporan konsolidasi dari seluruh kantor operasionalnya di Indonesia. BAB VIII SANKSI Pasal 17 Cukup jelas. BAB IX… -11- BAB IX KETENTUAN PENUTUP Pasal 18 Cukup jelas. Pasal 19 Cukup jelas. Pasal 20 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4504
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 7/14/PBI/2005 </reg_id> <reg_title> PEMBATASAN TRANSAKSI RUPIAH DAN PEMBERIAN KREDIT VALUTA ASING OLEH BANK </reg_title> <set_date> 14 Juni 2005 </set_date> <effective_date> 14 Juli 2005 </effective_date> <replaced_reg> '3/3/PBI/2001', '3/5/DPD|SE-BI/2001' </replaced_reg> <related_reg> '23/UU/1999', '3/UU/2004', '24/UU/1999', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg> <penalty_list> 'BAB VIII' </penalty_list>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 15/13/PBI/2013 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 11/3/PBI/2009 TENTANG BANK UMUM SYARIAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pengelolaan kelembagaan bank yang baik merupakan salah satu faktor penting dalam mewujudkan terciptanya industri perbankan yang sehat, kuat, dan dipercaya masyarakat; b. bahwa setiap pemenuhan sumber daya manusia, pembukaan, perubahan status, pemindahan alamat, dan/atau penutupan kantor bank perlu menerapkan tata kelola yang baik (good corporate governance); c. bahwa dalam rangka peningkatan efisiensi industri perbankan nasional dan pengembangan perbankan syariah, diperlukan kerjasama antara bank umum syariah dengan bank umum konvensional yang memiliki hubungan kepemilikan untuk meningkatkan pelayanan kepada nasabah bank; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c maka perlu dilakukan perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/3/PBI/2009 tentang Bank Umum Syariah; Mengingat… - 2 - Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962); 2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867); 3. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 106, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4756); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 11/3/PBI/2009 TENTANG BANK UMUM SYARIAH. Pasal I Beberapa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/3/PBI/2009 tentang Bank Umum Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 29, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4978) diubah sebagai berikut: 1. Ketentuan… - 3 - 1. Ketentuan Pasal 1 diubah sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut: Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan: 1. Bank adalah Bank Umum Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. 2. Bank Umum Konvensional yang selanjutnya disingkat BUK adalah Bank Umum Konvensional sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. 3. Kantor Wilayah yang selanjutnya disebut Kanwil adalah kantor Bank yang membantu kantor pusat Bank yang bersangkutan melakukan fungsi administrasi dan koordinasi terhadap beberapa kantor cabang di suatu wilayah tertentu. 4. Kantor Cabang yang selanjutnya disingkat KC adalah kantor Bank yang bertanggung jawab kepada kantor pusat Bank yang bersangkutan, dengan alamat tempat usaha yang jelas sesuai dengan lokasi KC tersebut melakukan usahanya. 5. Kantor Cabang Pembantu yang selanjutnya disingkat KCP adalah kantor Bank yang kegiatan usahanya membantu KC induknya, dengan alamat tempat usaha yang jelas sesuai dengan lokasi KCP tersebut melakukan usahanya. 6. Kantor Kas yang selanjutnya disingkat KK adalah kantor Bank yang kegiatan usahanya membantu KC atau KCP induknya, kecuali melakukan penyaluran dana, dengan alamat tempat usaha yang jelas sesuai dengan lokasi KK tersebut melakukan usahanya. 7. Kantor Fungsional yang selanjutnya disingkat KF adalah kantor Bank yang melakukan kegiatan operasional atau non operasional secara terbatas dalam 1 (satu) kegiatan fungsional. 8. Kegiatan Pelayanan Kas yang selanjutnya disingkat KPK adalah kegiatan kas dalam rangka melayani pihak yang telah menjadi nasabah Bank meliputi antara lain: a. Kas… - 4 - a. Kas Keliling yaitu kegiatan pelayanan kas secara berpindah- pindah dengan menggunakan alat transportasi atau pada lokasi tertentu secara tidak permanen, antara lain kas mobil, kas terapung, atau counter bank non permanen; b. Payment Point yaitu kegiatan dalam bentuk penerimaan pembayaran melalui kerjasama antara Bank dengan pihak lain pada suatu lokasi tertentu, seperti untuk penerimaan pembayaran tagihan telepon, tagihan listrik dan/atau penerimaan setoran dari pihak ketiga; c. Perangkat Perbankan Elektronis yang selanjutnya disingkat PPE yaitu kegiatan pelayanan kas atau non kas yang dilakukan dengan menggunakan sarana mesin elektronis yang berlokasi baik di dalam maupun di luar kantor Bank, yang dapat melakukan pelayanan antara lain penarikan atau penyetoran secara tunai, pembayaran melalui pemindahbukuan, transfer antar bank, dan/atau memperoleh informasi mengenai saldo/mutasi rekening nasabah, baik menggunakan jaringan dan/atau mesin milik Bank sendiri maupun melalui kerja sama Bank dengan pihak lain, antara lain Anjungan Tunai Mandiri (ATM) termasuk dalam hal ini adalah Automatic Deposit Machine (ADM) dan Electronic Data Capture (EDC). 9. Layanan Syariah Bank yang selanjutnya disingkat LSB adalah kegiatan penghimpunan dana dan/atau pemberian jasa perbankan lainnya berdasarkan prinsip syariah, tidak termasuk kegiatan penyaluran dana, yang dilakukan di jaringan kantor BUK untuk dan atas nama Bank. 10. Jasa Konsultasi adalah kegiatan konsultasi yang dilakukan antara Bank dan BUK dalam rangka analisis risiko calon nasabah pembiayaan dan proyek yang akan dibiayai oleh Bank. 11. Pemegang Saham Pengendali yang selanjutnya disingkat PSP adalah badan hukum, orang perseorangan, dan/atau kelompok usaha yang: a. memiliki… - 5 - a. memiliki saham Bank sebesar 25% (dua puluh lima persen) atau lebih dari jumlah saham yang dikeluarkan dan memiliki hak suara; atau b. memiliki saham Bank kurang dari 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah saham yang dikeluarkan dan memiliki hak suara tetapi yang bersangkutan dapat dibuktikan telah melakukan pengendalian Bank baik secara langsung maupun tidak langsung. 12. Dewan Komisaris adalah Dewan Komisaris sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. 13. Komisaris Independen adalah anggota Dewan Komisaris yang tidak memiliki hubungan keuangan, kepengurusan, kepemilikan saham, dan/atau hubungan keluarga dengan anggota Dewan Komisaris lainnya, Direksi, dan/atau PSP atau hubungan dengan Bank, yang dapat memengaruhi kemampuannya untuk bertindak independen. 14. Direksi adalah Direksi sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. 15. Dewan Pengawas Syariah yang selanjutnya disingkat DPS adalah dewan yang bertugas memberikan nasihat dan saran kepada Direksi serta mengawasi kegiatan Bank agar sesuai dengan prinsip syariah. 16. Pejabat Eksekutif adalah pejabat yang bertanggung jawab langsung kepada Direksi dan/atau mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap kebijakan dan/atau operasional Bank, antara lain kepala divisi, kepala Kanwil, kepala KC, kepala KF yang kedudukannya paling kurang setara dengan kepala KC, kepala satuan kerja manajemen risiko, kepala satuan kerja kepatuhan, dan kepala satuan kerja audit internal atau pejabat lainnya yang setara. 17. Kelompok Usaha adalah: a. perorangan dan badan hukum; b. beberapa orang; atau c. beberapa badan hukum, yang… - 6 - yang memiliki keterkaitan kepengurusan, kepemilikan, dan/atau hubungan keuangan. 2. Ketentuan Pasal 8 ayat (1) dihapus, ayat (2) diubah, dan ditambahkan 1 (satu) ayat, yakni ayat (4) sehingga Pasal 8 berbunyi sebagai berikut: Pasal 8 (1) Dihapus. (2) Persetujuan atau penolakan atas permohonan persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, diberikan Bank Indonesia dengan mempertimbangkan antara lain: a. kelengkapan dan kebenaran dokumen; b. analisis yang mencakup antara lain tingkat persaingan yang sehat antar Bank dan unit usaha syariah, tingkat kejenuhan jumlah Bank dan unit usaha syariah; dan c. uji kemampuan dan kepatutan (fit and proper test) terhadap calon PSP, calon anggota Dewan Komisaris, dan calon anggota Direksi, serta wawancara terhadap calon anggota DPS. (3) Selain ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) pihak-pihak yang mengajukan permohonan pendirian Bank wajib melakukan presentasi kepada Bank Indonesia mengenai keseluruhan rencana pendirian Bank. (4) Bank Indonesia dapat melakukan pemeriksaan atas kebenaran dokumen yang disampaikan. 3. Ketentuan Pasal 11 ayat (1) dihapus, ayat (2) diubah, dan ditambahkan 1 (satu) ayat, yakni ayat (3) sehingga Pasal 11 berbunyi sebagai berikut: Pasal 11 (1) Dihapus. (2) Persetujuan atau penolakan atas permohonan izin usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 diberikan Bank Indonesia dengan mempertimbangkan antara lain: a. kelengkapan… - 7 - a. kelengkapan dan kebenaran dokumen; dan b. uji kemampuan dan kepatutan (fit and proper test) dan wawancara terhadap pihak-pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) huruf c dalam hal terdapat penggantian. (3) Bank Indonesia dapat melakukan pemeriksaan atas kebenaran dokumen yang disampaikan. 4. Ketentuan Pasal 32 ayat (2) dan ayat (6) diubah, ayat (3) dihapus, sehingga Pasal 32 berbunyi sebagai berikut: Pasal 32 (1) Permohonan untuk memperoleh persetujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) diajukan oleh Bank kepada Bank Indonesia disertai dengan dokumen pendukung. (2) Persetujuan atau penolakan atas permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan Bank Indonesia dengan mempertimbangkan antara lain: a. kelengkapan dan kebenaran dokumen; dan b. uji kemampuan dan kepatutan (fit and proper test) terhadap calon anggota Dewan Komisaris dan/atau anggota Direksi. (3) Dihapus. (4) Calon anggota Dewan Komisaris dan/atau calon anggota Direksi yang telah mendapat persetujuan Bank Indonesia namun tidak diangkat oleh Rapat Umum Pemegang Saham dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal persetujuan diterbitkan, maka persetujuan terhadap calon anggota Dewan Komisaris dan/atau calon anggota Direksi menjadi tidak berlaku. (5) Pengangkatan anggota Dewan Komisaris dan/atau anggota Direksi wajib dilaporkan oleh Bank kepada Bank Indonesia paling lambat 10 (sepuluh) hari sejak tanggal pengangkatan efektif disertai dengan dokumen pendukung. (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (5) diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia. 5. Ketentuan… - 8 - 5. Ketentuan Pasal 38 ayat (2) dan ayat (6) diubah, ayat (3) dihapus, sehingga Pasal 38 berbunyi sebagai berikut: Pasal 38 (1) Permohonan untuk memperoleh persetujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) diajukan oleh Bank kepada Bank Indonesia disertai dengan dokumen pendukung. (2) Persetujuan atau penolakan atas permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan Bank Indonesia dengan mempertimbangkan antara lain: a. kelengkapan dan kebenaran dokumen; dan b. wawancara terhadap calon anggota DPS. (3) Dihapus. (4) Calon anggota DPS yang telah mendapat persetujuan Bank Indonesia namun tidak diangkat oleh Rapat umum Pemegang Saham dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal persetujuan diterbitkan, maka persetujuan terhadap calon anggota DPS menjadi tidak berlaku. (5) Pengangkatan anggota DPS wajib dilaporkan oleh Bank kepada Bank Indonesia paling lambat 10 (sepuluh) hari setelah tanggal pengangkatan efektif disertai dengan dokumen pendukung. (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (5) diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia. 6. Ketentuan BAB IV Bagian Ketiga diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Bagian Ketiga Pejabat Eksekutif Pasal 40 Bank wajib melakukan penelitian terhadap calon Pejabat Eksekutif sebelum melakukan pengangkatan atau penggantian Pejabat Eksekutif. Pasal 40A… - 9 - Pasal 40A (1) Pengangkatan, pemberhentian, atau penggantian Pejabat Eksekutif wajib dilaporkan oleh Bank kepada Bank Indonesia sesuai ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai laporan kantor pusat bank umum. (2) Bank Indonesia berwenang memerintahkan Bank untuk membatalkan pengangkatan Pejabat Eksekutif apabila berdasarkan penelitian dan penilaian Bank Indonesia, Pejabat Eksekutif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memiliki rekam jejak negatif. (3) Bank wajib membatalkan pengangkatan Pejabat Eksekutif yang memiliki rekam jejak negatif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah tanggal surat penegasan dari Bank Indonesia. (4) Rekam jejak negatif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi sebagai berikut: a. termasuk dalam daftar tidak lulus uji kemampuan dan kepatutan (fit and proper test); b. memiliki kredit atau pembiayaan macet; dan/atau c. tercatat pada data dan informasi negatif yang dimiliki oleh Bank Indonesia yang berasal dari hasil pengawasan Bank Indonesia atau sumber lainnya. (5) Bank wajib menatausahakan dokumen pengangkatan, pemberhentian, dan penggantian Pejabat Eksekutif sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai dokumen pengangkatan, pemberhentian, atau penggantian Pejabat Eksekutif sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 40B Bank Indonesia berwenang meminta dokumen pengangkatan, pemberhentian, dan/atau penggantian Pejabat Eksekutif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40A ayat (5). 7. Di… - 10 - 7. Di antara BAB IV dan BAB V disisipkan 1 (satu) bab, yakni BAB IVA sehingga berbunyi sebagai berikut: BAB IVA RENCANA PEMBUKAAN, PERUBAHAN STATUS, PEMINDAHAN ALAMAT, DAN/ATAU PENUTUPAN KANTOR BANK Pasal 41A (1) Bank wajib mencantumkan rencana pembukaan, perubahan status, pemindahan alamat, dan/atau penutupan kantor Bank setahun ke depan dalam rencana bisnis Bank. (2) Rencana pembukaan, perubahan status, pemindahan alamat, dan/atau penutupan kantor Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disertai dengan kajian yang paling kurang memuat: a. analisis kondisi keuangan, kesesuaian dengan strategi bisnis dan dampak terhadap proyeksi keuangan; b. mekanisme pengawasan dan penilaian kinerja kantor Bank; c. analisis secara menyeluruh mencakup antara lain kondisi perekonomian nasional, analisis risiko, dan analisis keuangan; dan d. rencana persiapan operasional antara lain sumber daya manusia, teknologi informasi, dan sarana penunjang lainnya. (3) Dalam rangka pembukaan, perubahan status, dan/atau pemindahan alamat kantor, Bank wajib memenuhi ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai kegiatan usaha dan jaringan kantor berdasarkan modal inti. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai cakupan kajian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 41B Bank Indonesia berwenang memerintahkan Bank untuk menunda rencana pembukaan, perubahan status, dan/atau pemindahan alamat kantor Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41A ayat (1) apabila menurut penilaian Bank Indonesia antara lain terdapat penurunan tingkat… - 11 - tingkat kesehatan, penurunan kondisi keuangan Bank, dan/atau peningkatan profil risiko Bank, serta mempertimbangkan stabilitas sistem keuangan dan/atau kepentingan perekonomian nasional. 8. Ketentuan BAB V diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: BAB V PEMBUKAAN KANTOR BANK Bagian Kesatu Pembukaan Kantor di Dalam Negeri Paragraf 1 Pembukaan Kantor Cabang Pasal 42 Pembukaan KC hanya dapat dilakukan dengan izin Bank Indonesia. Pasal 43 (1) Permohonan izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 diajukan oleh Bank kepada Bank Indonesia disertai dengan dokumen pendukung. (2) Persetujuan atau penolakan atas permohonan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan Bank Indonesia dengan mempertimbangkan antara lain: a. kelengkapan dan kebenaran dokumen; b. analisis atas hasil studi kelayakan yang disampaikan oleh Bank; c. analisis atas kemampuan Bank, termasuk tingkat kesehatan, kecukupan permodalan, dan profil risiko; dan d. analisis atas kajian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41A ayat (2). (3) Bank Indonesia dapat melakukan pemeriksaan atas kebenaran dokumen yang disampaikan dan persiapan pembukaan KC. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 44… - 12 - Pasal 44 (1) Pelaksanaan pembukaan KC wajib dilakukan paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal izin dari Bank Indonesia diterbitkan. (2) Pelaksanaan pembukaan KC sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilaporkan oleh Bank kepada Bank Indonesia sesuai ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai laporan kantor pusat bank umum. (3) Apabila setelah jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank tidak melaksanakan pembukaan KC, maka izin pembukaan KC yang telah diberikan menjadi tidak berlaku. Paragraf 2 Pembukaan Kantor Cabang Pembantu Pasal 45 (1) Pembukaan KCP hanya dapat dilakukan apabila rencana pembukaan telah dilaporkan dan mendapat surat penegasan Bank Indonesia. (2) Pembukaan KCP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan dalam 1 (satu) wilayah kerja kantor Bank Indonesia yang sama dengan KC induknya, kecuali dengan persetujuan Bank Indonesia. (3) KCP dapat beralamat yang sama dengan kantor lain sepanjang memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. b. terdapat pemisahan kantor antara KCP dengan kantor lain; tidak menimbulkan risiko operasional dan risiko reputasi bagi Bank; dan c. terdapat pengaturan yang jelas dalam pemanfaatan sarana dan prasarana kerja serta penggunaan fasilitas gedung kantor, yang memungkinkan adanya pembebanan biaya masing- masing kantor dapat dilakukan dengan tepat. (4) Laporan… - 13 - (4) Laporan keuangan KCP wajib digabungkan secara otomasi dan online pada hari yang sama dengan laporan keuangan KC yang menjadi induknya. Pasal 46 (1) Bank menyampaikan laporan rencana pembukaan KCP kepada Bank Indonesia disertai dengan dokumen pendukung. (2) Surat penegasan atas laporan rencana pembukaan KCP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan Bank Indonesia dengan mempertimbangkan antara lain: a. kelengkapan dan kebenaran dokumen; b. analisis atas hasil studi kelayakan yang disampaikan oleh Bank; c. analisis atas kemampuan Bank, termasuk tingkat kesehatan dan kecukupan permodalan; dan d. analisis atas kajian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41A ayat (2). (3) Pelaksanaan pembukaan KCP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah tanggal surat penegasan dari Bank Indonesia. (4) Pelaksanaan pembukaan KCP sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib dilaporkan oleh Bank kepada Bank Indonesia sesuai ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai laporan kantor pusat bank umum. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia. Paragraf 3 Pembukaan Kantor Kas Pasal 47 (1) Pembukaan KK hanya dapat dilakukan apabila rencana pembukaan telah dilaporkan dan mendapat surat penegasan dari Bank Indonesia. (2) Pembukaan… - 14 - (2) Pembukaan KK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan dalam 1 (satu) wilayah kerja kantor Bank Indonesia yang sama dengan dengan KC induknya, kecuali dengan persetujuan Bank Indonesia. (3) KK dapat beralamat yang sama dengan kantor lain sepanjang memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. b. terdapat pemisahan kantor antara KK dengan kantor lain; tidak menimbulkan risiko operasional dan risiko reputasi bagi Bank; dan c. terdapat pengaturan yang jelas dalam pemanfaatan sarana dan prasarana kerja serta penggunaan fasilitas gedung kantor, yang memungkinkan adanya pembebanan biaya masing- masing kantor dapat dilakukan dengan tepat. (4) Laporan keuangan KK wajib digabungkan secara otomasi dan online pada hari yang sama dengan laporan keuangan KC yang menjadi induknya. Pasal 48 (1) Bank menyampaikan laporan rencana pembukaan KK kepada Bank Indonesia disertai dengan dokumen pendukung. (2) Surat penegasan atas laporan rencana pembukaan KK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan Bank Indonesia dengan mempertimbangkan antara lain: a. kelengkapan dan kebenaran dokumen; b. analisis hasil studi kelayakan yang disampaikan oleh Bank; c. analisis atas kemampuan Bank, termasuk tingkat kesehatan dan kecukupan permodalan; dan d. analisis atas kajian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41A ayat (2). (3) Pelaksanaan pembukaan KK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah tanggal surat penegasan dari Bank Indonesia. (4) Pelaksanaan… - 15 - (4) Pelaksanaan pembukaan KK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilaporkan oleh Bank kepada Bank Indonesia sesuai ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai laporan kantor pusat bank umum. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia. Paragraf 4 Pembukaan Kegiatan Pelayanan Kas Pasal 49 (1) Pembukaan KPK hanya dapat dilakukan dalam 1 (satu) wilayah kerja kantor Bank Indonesia yang sama dengan KC induknya, kecuali dengan persetujuan Bank Indonesia. (2) Laporan keuangan KPK wajib digabungkan secara otomasi dan online pada hari yang sama dengan laporan keuangan KC yang menjadi induknya, kecuali untuk kegiatan PPE. (3) Kegiatan pemasaran yang dilakukan dalam rangka promosi, tidak bersifat permanen dan hanya menerima setoran awal atau titipan kas sesuai persyaratan setoran minimal pembukaan rekening tidak termasuk KPK. (4) Pelaksanaan pembukaan KPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilaporkan oleh Bank kepada Bank Indonesia sesuai ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai laporan kantor pusat bank umum. Paragraf 5 Pembukaan Kantor Fungsional Pasal 49A (1) Pembukaan KF hanya dapat dilakukan apabila rencana pembukaan telah dilaporkan dan mendapat surat penegasan dari Bank Indonesia. (2) Jenis… - 16 - (2) Jenis KF terdiri atas: a. KF yang melakukan kegiatan operasional; dan b. KF yang melakukan kegiatan non operasional. (3) Laporan keuangan dari KF sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a wajib digabungkan secara otomasi dan online pada hari yang sama dengan laporan keuangan: a. KC yang berada dalam 1 (satu) wilayah kerja kantor Bank Indonesia; atau b. KC terdekat atau kantor pusat Bank, apabila dalam wilayah kerja kantor Bank Indonesia dimana KF tersebut berada tidak terdapat KC, dengan persetujuan Bank Indonesia. (4) Laporan keuangan dari KF sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b wajib digabungkan secara otomasi dan online pada hari yang sama dengan laporan keuangan kantor pusat Bank. (5) KF dapat beralamat yang sama dengan kantor lain sepanjang memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. b. terdapat pemisahan kantor antara KF dengan kantor lain; tidak menimbulkan risiko operasional dan risiko reputasi bagi Bank; dan c. terdapat pengaturan yang jelas dalam pemanfaatan sarana dan prasarana kerja serta penggunaan fasilitas gedung kantor, yang memungkinkan adanya pembebanan biaya masing- masing kantor dapat dilakukan dengan tepat. Pasal 49B (1) Bank menyampaikan rencana pembukaan KF kepada Bank Indonesia disertai dengan dokumen pendukung. (2) Pelaksanaan pembukaan KF sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49A ayat (1) wajib dilakukan paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah tanggal surat penegasan dari Bank Indonesia. (3) Pelaksanaan… - 17 - (3) Pelaksanaan pembukaan KF sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) wajib dilaporkan oleh Bank kepada Bank Indonesia sesuai ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai laporan kantor pusat bank umum. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia. Paragraf 5 Pembukaan Kantor Wilayah Pasal 49C (1) Pembukaan Kanwil hanya dapat dilakukan apabila rencana pembukaan telah dilaporkan dan mendapat surat penegasan dari Bank Indonesia. (2) Bank melaporkan rencana pembukaan Kanwil kepada Bank Indonesia disertai dengan dokumen pendukung. (3) Pelaksanaan pembukaan Kanwil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilaporkan oleh Bank kepada Bank Indonesia sesuai ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai laporan kantor pusat bank umum. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 49D Dalam hal Kanwil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49C ayat (1) akan melakukan kegiatan operasional sebagaimana KC maka wajib memenuhi ketentuan pembukaan KC sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42, Pasal 43, dan Pasal 44. Bagian Kedua… - 18 - Bagian Kedua Pembukaan Kantor di Luar Negeri Pasal 50 (1) Pembukaan KC, kantor perwakilan, dan jenis-jenis kantor lainnya di luar negeri baik yang melakukan kegiatan operasional maupun yang non operasional hanya dapat dilakukan dengan izin Bank Indonesia. (2) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilaksanakan dalam waktu 1 (satu) tahun terhitung sejak izin dari Bank Indonesia diterbitkan, dan dapat diperpanjang dengan persetujuan Bank Indonesia. (3) Pembukaan KC, kantor perwakilan, dan jenis-jenis kantor lainnya di luar negeri hanya dapat dilakukan oleh Bank sesuai pengelompokan Bank berdasarkan Bank Umum berdasarkan Kegiatan Usaha (BUKU) sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai kegiatan usaha dan jaringan kantor berdasarkan modal inti. (4) Pemberian izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat diberikan apabila Bank memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. telah menjadi Bank yang melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing paling singkat 24 (dua puluh empat) bulan; dan b. memenuhi persyaratan tingkat kesehatan, kecukupan permodalan, dan profil risiko. Pasal 51 (1) Permohonan izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1) diajukan oleh Bank kepada Bank Indonesia disertai dengan dokumen pendukung. (2) Persetujuan atau penolakan atas permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan Bank Indonesia dengan mempertimbangkan antara lain: a. kelengkapan dan kebenaran dokumen; b. analisis yang mencakup hasil studi kelayakan yang disampaikan oleh Bank; c. analisis… - 19 - c. analisis atas kemampuan Bank, termasuk tingkat kesehatan, kecukupan permodalan, kondisi keuangan, dan profil risiko; dan d. analisis atas kajian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41A ayat (2). (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 52 (1) Pembukaan kantor di luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 wajib memperoleh izin dari otoritas di negara setempat. (2) Pelaksanaan pembukaan kantor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilaporkan oleh Bank kepada Bank Indonesia sesuai ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai laporan kantor pusat bank umum. (3) Bank wajib menyampaikan salinan atau fotokopi izin pembukaan kantor dari otoritas di negara setempat paling lama 10 (sepuluh) hari setelah tanggal pembukaan kantor. 9. Di antara BAB V dan BAB VI disisipkan 1 (satu) bab, yakni BAB VA sehingga berbunyi sebagai berikut: BAB VA KERJASAMA BANK DENGAN BANK UMUM KONVENSIONAL YANG MEMILIKI HUBUNGAN KEPEMILIKAN Pasal 52A (1) Bank dapat melakukan kerjasama dengan BUK dalam bentuk: a. Kegiatan LSB; dan/atau b. Jasa Konsultasi. (2) Kerjasama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan dengan BUK yang memiliki hubungan kepemilikan dengan Bank. (3) Kegiatan… - 20 - (3) Kegiatan LSB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a hanya dapat dilakukan apabila memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. BUK tidak memiliki unit usaha syariah; b. kegiatan LSB berada dalam 1 (satu) wilayah dengan KC induknya Bank, yaitu: 1) dalam 1 (satu) wilayah provinsi; atau 2) dalam 1 (satu) wilayah kerja kantor Bank Indonesia dalam hal wilayah kerja kantor Bank Indonesia melebihi 1 (satu) wilayah provinsi; c. menggunakan sumber daya manusia BUK yang telah memiliki pengetahuan mengenai produk dan jasa bank syariah; d. didukung oleh teknologi sistem informasi yang memadai dengan menggunakan jaringan BUK dan/atau jaringan Bank; dan e. terdapat perjanjian kerjasama antara Bank dengan BUK. (4) Kerjasama Jasa Konsultasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b hanya dapat dilakukan apabila memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. BUK tidak memiliki unit usaha syariah; b. keputusan pemberian pembiayaan dan risiko yang terjadi merupakan tanggung jawab Bank; dan c. terdapat perjanjian kerjasama antara Bank dengan BUK. Pasal 52B (1) Bank wajib mencantumkan rencana pembukaan, pemindahan, dan/atau penghentian kegiatan LSB setahun ke depan dalam rencana bisnis Bank. (2) Rencana pembukaan, pemindahan, dan/atau penghentian kegiatan LSB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disertai dengan kajian. (3) Kajian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan bagian dari kajian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41A ayat (2). (4) Pembukaan… - 21 - (4) Pembukaan, pemindahan, dan/atau penghentian kegiatan LSB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52A ayat (1) huruf a hanya dapat dilakukan apabila rencana pembukaan, pemindahan, atau penghentian kegiatan LSB telah dilaporkan dan mendapat surat penegasan dari Bank Indonesia. (5) Laporan Keuangan kegiatan LSB wajib digabungkan secara otomasi dan online pada hari yang sama dengan laporan keuangan KC Bank yang menjadi induknya. (6) Bank wajib mencantumkan logo iB pada masing-masing jaringan kantor BUK yang melakukan kegiatan LSB. Pasal 52C (1) Bank melaporkan rencana pembukaan, pemindahan, dan/atau penghentian kegiatan LSB kepada Bank Indonesia disertai dokumen pendukung. (2) Pelaksanaan pembukaan, pemindahan, dan/atau penghentian kegiatan LSB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah tanggal surat penegasan dari Bank Indonesia. (3) Pelaksanaan pembukaan, pemindahan, dan/atau penghentian kegiatan LSB sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib dilaporkan oleh Bank kepada Bank Indonesia sesuai ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai laporan kantor pusat bank umum. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 52D (1) Kerjasama dalam bentuk Jasa Konsultasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52A ayat (1) huruf b hanya dapat dilakukan apabila rencana kerjasama telah dilaporkan dan mendapat surat penegasan dari Bank Indonesia. (2) Bank… - 22 - (2) Bank melaporkan rencana kerjasama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Bank Indonesia disertai dokumen pendukung. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 52E Kerjasama Bank dengan BUK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52A ayat (1) hanya dapat dilakukan apabila BUK telah memperoleh izin dari Bank Indonesia untuk melaksanakan aktivitas keagenan dan/atau kerjasama sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai kegiatan usaha BUK. 10. Ketentuan BAB VI diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: BAB VI PERUBAHAN STATUS KANTOR BANK Pasal 53 (1) Peningkatan status KCP atau KK menjadi KC wajib memenuhi ketentuan mengenai pembukaan KC sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42, Pasal 43, dan Pasal 44. (2) Peningkatan status KK menjadi KCP wajib memenuhi ketentuan mengenai pembukaan KCP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 dan Pasal 46. Pasal 54 (1) Penurunan status KC menjadi KCP atau KK hanya dapat dilakukan dengan izin Bank Indonesia. (2) Penurunan status KCP menjadi KK hanya dapat dilakukan apabila telah dilaporkan dan mendapat surat penegasan dari Bank Indonesia. (3) Permohonan persetujuan penurunan status kantor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau pelaporan rencana penurunan status kantor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diajukan oleh Bank kepada Bank Indonesia disertai dengan dokumen pendukung. (4) Pelaksanaan… - 23 - (4) Pelaksanaan penurunan status kantor yang telah mendapat persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau surat penegasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib dilaksanakan paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah tanggal persetujuan atau surat penegasan perubahan status. (5) Pelaksanaan penurunan status kantor wajib dilaporkan oleh Bank kepada Bank Indonesia sesuai ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai laporan kantor pusat bank umum. (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 54A (1) Perubahan status kantor dari KF menjadi KC wajib memenuhi ketentuan mengenai pembukaan KC sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42, Pasal 43, dan Pasal 44. (2) Perubahan status kantor dari KF menjadi KCP wajib memenuhi ketentuan mengenai pembukaan KCP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 dan Pasal 46. (3) Perubahan status kantor dari KF menjadi KK dilakukan dengan mengacu pada tata cara penurunan KCP menjadi KK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54, kecuali ayat (1). (4) Perubahan status kantor dari KC menjadi KF dilakukan dengan mengacu pada tata cara penurunan KC menjadi KCP atau KK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54, kecuali ayat (2). (5) Perubahan status kantor dari KCP menjadi KF dilakukan dengan mengacu pada tata cara penurunan KCP menjadi KK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54, kecuali ayat (1). 11. Ketentuan… - 24 - 11. Ketentuan BAB VII diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: BAB VII PEMINDAHAN ALAMAT KANTOR BANK Pasal 55 (1) Pemindahan alamat kantor pusat atau KC di dalam negeri hanya dapat dilakukan dengan izin Bank Indonesia. (2) Pemindahan alamat KC yang dilakukan ke luar wilayah kerja kantor Bank Indonesia tempat kedudukan awal KC, wajib memenuhi ketentuan penutupan KC sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 dan Pasal 63 serta ketentuan pembukaan KC sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42, Pasal 43, dan Pasal 44. Pasal 56 (1) Permohonan izin pemindahan alamat kantor pusat dan/atau KC di dalam negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) diajukan oleh Bank kepada Bank Indonesia disertai dengan dokumen pendukung. (2) Persetujuan atau penolakan atas permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan Bank Indonesia dengan mempertimbangkan antara lain: a. kelengkapan dan kebenaran dokumen; b. analisis atas hasil studi kelayakan yang disampaikan oleh Bank; dan c. analisis atas kajian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41A ayat (2). (3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b tidak berlaku untuk permohonan pemindahan alamat KC yang dilakukan dalam kota atau kabupaten yang sama dengan tempat kedudukan awal KC. (4) Bank Indonesia dapat melakukan pemeriksaan atas kebenaran dokumen yang disampaikan dan persiapan pemindahan alamat kantor pusat dan/atau KC. (5) Ketentuan… - 25 - (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 57 (1) Pelaksanaan pemindahan alamat kantor pusat atau KC di dalam negeri wajib dilakukan paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal izin dari Bank Indonesia diterbitkan. (2) Pelaksanaan pemindahan alamat kantor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib diumumkan oleh Bank dalam: a. surat kabar yang mempunyai peredaran nasional, bagi pemindahan alamat kantor pusat; atau b. surat kabar yang mempunyai peredaran luas di tempat kedudukan KC, bagi pemindahan alamat KC, paling lama 10 (sepuluh) hari sebelum tanggal pelaksanaan pemindahan alamat kantor. (3) Apabila setelah jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank tidak melaksanakan pemindahan alamat kantor, maka izin pemindahan alamat kantor yang telah diberikan menjadi tidak berlaku. (4) Pelaksanaan pemindahan alamat kantor pusat atau KC di dalam negeri wajib dilaporkan oleh Bank kepada Bank Indonesia sesuai ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai laporan kantor pusat bank umum. Pasal 58 (1) Pemindahan alamat: a. Kanwil, KCP, KK, dan KF di dalam negeri; atau b. KC, kantor perwakilan, dan jenis-jenis kantor lainnya di luar negeri, hanya dapat dilakukan apabila rencana pemindahan telah dilaporkan dan mendapat surat penegasan dari Bank Indonesia. (2) Bank… - 26 - (2) Bank menyampaikan rencana pemindahan alamat kantor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Bank Indonesia disertai dengan dokumen pendukung. (3) Dalam hal Kanwil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melakukan kegiatan operasional sebagaimana KC maka pemindahan alamat Kanwil tersebut wajib memenuhi ketentuan pemindahan alamat KC sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55, Pasal 56, dan Pasal 57. (4) Pemindahan alamat Kanwil, KCP, KK, atau KF yang dilakukan ke luar wilayah kerja kantor Bank Indonesia tempat kedudukan awal kantor Bank, wajib memenuhi ketentuan penutupan Kanwil, KCP, KK atau KF sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 dan Pasal 64A serta ketentuan pembukaan Kanwil, KCP, KK, atau KF sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45, Pasal 46, Pasal 47, Pasal 48, Pasal 49A, Pasal 49B, dan Pasal 49C. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 59 (1) Pelaksanaan pemindahan alamat Kanwil, KCP, KF, dan KK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (1) huruf a wajib dilakukan paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah tanggal surat penegasan dari Bank Indonesia. (2) Pelaksanaan pemindahan alamat KCP, KK, dan KF yang melakukan kegiatan operasional wajib diumumkan oleh Bank dalam surat kabar yang mempunyai peredaran luas di tempat kedudukan kantor induknya paling lama 10 (sepuluh) hari sebelum tanggal pelaksanaan pemindahan alamat kantor. (3) Pelaksanaan pemindahan alamat: a. Kanwil, KCP, KK, dan KF di dalam negeri; atau b. KC, kantor perwakilan, dan jenis-jenis kantor lainnya di luar negeri, wajib… - 27 - wajib dilaporkan oleh Bank kepada Bank Indonesia sesuai ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai laporan kantor pusat bank umum. (4) Bank wajib menyampaikan kepada Bank Indonesia salinan atau fotokopi izin otoritas negara setempat bagi pelaksanaan pemindahan alamat KC, kantor perwakilan, dan jenis-jenis kantor lainnya di luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (1) huruf b paling lama 10 (sepuluh) hari setelah tanggal pelaksanaan pemindahan alamat. Pasal 59A Pemindahan alamat KPK wajib dilaporkan oleh Bank kepada Bank Indonesia sesuai ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai laporan kantor pusat bank umum. 12. Di antara BAB VII dan BAB VIII disisipkan 1 (satu) bab, yakni BAB VIIA sehingga berbunyi sebagai berikut: BAB VIIA PEMISAHAN LOKASI KANTOR PUSAT DAN PEMINDAHAN DIVISI Pasal 59B (1) Pemisahan kantor pusat Bank menjadi 2 (dua) kantor yang masing- masing melakukan kegiatan operasional dan non operasional secara terpisah hanya dapat dilakukan apabila kantor yang melakukan kegiatan operasional menjadi KC Bank, sedangkan kantor yang melaksanakan kegiatan non operasional tetap menjadi kantor pusat Bank. (2) Pemisahan kantor pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilaksanakan dengan izin Bank Indonesia. (3) Pemisahan kantor pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan dalam 1 (satu) wilayah kerja kantor Bank Indonesia. (4) Rencana… - 28 - (4) Rencana pemisahan kantor pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dicantumkan dalam rencana bisnis Bank. (5) Permohonan izin pemisahan kantor pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Bank diajukan oleh Bank kepada Bank Indonesia disertai dengan dokumen pendukung. (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diatur lebih lanjut dengan Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 59C (1) Persetujuan atau penolakan atas permohonan izin pemisahan kantor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59B ayat (2) diberikan Bank Indonesia dengan mempertimbangkan antara lain: a. kelengkapan dan kebenaran dokumen; dan b. analisis kelayakan. (2) Pemisahan kantor pusat yang telah mendapat persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilaksanakan paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal pemberian izin Bank Indonesia. (3) Pelaksanaan pemisahan kantor pusat wajib dilaporkan oleh Bank kepada Bank Indonesia paling lama 10 (sepuluh) hari setelah tanggal pelaksanaan pemisahan kantor. (4) Apabila setelah jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Bank tidak melaksanakan pemisahan kantor pusat, maka izin pemisahan kantor yang telah diberikan menjadi tidak berlaku. (5) Bank Indonesia dapat melakukan pemeriksaan atas kebenaran dokumen yang disampaikan dan persiapan pemisahan kantor. Pasal 59D (1) Pemindahan lokasi divisi atau bagian dari lokasi kantor pusat wajib dilaporkan oleh Bank kepada Bank Indonesia paling lama 10 (sepuluh) hari setelah pelaksanaan pemindahan. (2) Pemindahan… - 29 - (2) Pemindahan lokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan dalam 1 (satu) wilayah kerja kantor Bank Indonesia, kecuali dengan persetujuan Bank Indonesia. 13. Ketentuan Pasal 61 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 61 (1) Perubahan nama Bank wajib dilakukan dengan memenuhi ketentuan perundang-undangan yang berlaku. (2) Bank yang telah memperoleh persetujuan perubahan anggaran dasar terkait penggunaan nama baru dari instansi berwenang wajib mengajukan permohonan kepada Bank Indonesia mengenai penetapan penggunaan izin usaha yang dimiliki untuk Bank dengan nama yang baru. (3) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diajukan oleh Bank kepada Bank Indonesia paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah perubahan nama disertai dengan dokumen pendukung. (4) Pelaksanaan perubahan nama Bank wajib diumumkan dalam surat kabar yang mempunyai peredaran nasional paling lama 10 (sepuluh) hari setelah tanggal persetujuan Bank Indonesia. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia. 14. Ketentuan BAB IX diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: BAB IX PENUTUPAN KANTOR BANK Bagian Kesatu Penutupan Kantor di Dalam Negeri Paragraf 1 Penutupan Kantor Cabang Pasal 62 (1) Penutupan KC hanya dapat dilakukan dengan izin Bank Indonesia. (2) Pemberian… - 30 - (2) Pemberian izin penutupan KC sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam 2 (dua) tahap: a. persetujuan prinsip, yaitu persetujuan untuk melakukan persiapan penutupan KC; dan b. persetujuan penutupan, yaitu persetujuan untuk melakukan penutupan KC. (3) Permohonan untuk memperoleh persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a diajukan oleh Bank kepada Bank Indonesia disertai dengan dokumen pendukung berupa penjelasan mengenai langkah-langkah yang akan ditempuh dalam rangka penyelesaian seluruh kewajiban KC kepada nasabah dan pihak lainnya. (4) Permohonan untuk memperoleh persetujuan penutupan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b diajukan oleh Bank kepada Bank Indonesia setelah seluruh kewajiban KC kepada nasabah dan pihak lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diselesaikan dan dalam waktu paling lama 6 (enam) bulan setelah Bank memperoleh persetujuan prinsip, disertai dengan dokumen pendukung. (5) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (4) Bank tidak mengajukan permohonan persetujuan penutupan KC maka persetujuan prinsip yang telah diberikan menjadi tidak berlaku. (6) Bank Indonesia dapat melakukan pemeriksaan kepada Bank terkait dengan penyelesaian seluruh kewajiban KC yang akan ditutup. (7) Ketentuan lebih lanjut mengenai dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 63 (1) Pelaksanaan penutupan KC wajib dilakukan paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah tanggal persetujuan penutupan dari Bank Indonesia. (2) Pelaksanaan… - 31 - (2) Pelaksanaan penutupan KC sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib diumumkan oleh Bank dalam surat kabar yang mempunyai peredaran luas di tempat kedudukan KC paling lama 10 (sepuluh) hari setelah tanggal persetujuan penutupan dari Bank Indonesia. (3) Pelaksanaan penutupan KC sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilaporkan oleh Bank kepada Bank Indonesia sesuai ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai laporan kantor pusat bank umum. Paragraf 2 Penutupan Kantor Cabang Pembantu, Kantor Fungsional, Kantor Kas, dan Kantor Pelayanan Kas Pasal 64 (1) Penutupan KCP, KF, dan KK hanya dapat dilakukan apabila rencana penutupan telah dilaporkan dan mendapat surat penegasan dari Bank indonesia. (2) Rencana penutupan KCP, KF, dan KK dilaporkan oleh Bank kepada Bank Indonesia disertai dengan dokumen pendukung berupa penjelasan mengenai langkah-langkah yang akan ditempuh dalam rangka penyelesaian seluruh kewajiban KCP, KF, dan KK kepada nasabah dan pihak lainnya. (3) Pelaksanaan penutupan KCP, KF, dan KK wajib dilakukan paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah tanggal surat penegasan dari Bank Indonesia. (4) Pelaksanaan penutupan KCP, KF, KK, dan KPK wajib dilaporkan oleh Bank kepada Bank Indonesia sesuai ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai laporan kantor pusat bank umum. (5) Bank wajib menyampaikan dokumen penutupan KCP, KF, dan KK paling lama 10 (sepuluh) hari setelah tanggal penutupan. (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan dokumen penutupan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia. Paragraf 3… - 32 - Paragraf 3 Penutupan Kanwil Pasal 64A (1) Rencana penutupan Kanwil wajib dilaporkan oleh Bank kepada Bank Indonesia paling lama 30 (tiga puluh) hari sebelum tanggal penutupan. (2) Pelaksanaan penutupan Kanwil wajib dilaporkan oleh Bank kepada Bank Indonesia sesuai ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai laporan kantor pusat bank umum. (3) Penutupan Kanwil yang melakukan kegiatan operasional sebagaimana KC wajib memenuhi ketentuan mengenai penutupan KC sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 dan Pasal 63. Bagian Kedua Penutupan Kantor di Luar Negeri Pasal 65 (1) Penutupan KC, kantor perwakilan, dan jenis-jenis kantor lainnya di luar negeri yang melakukan kegiatan operasional maupun non operasional hanya dapat dilakukan dengan izin Bank Indonesia. (2) Permohonan untuk memperoleh izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh Bank kepada Bank Indonesia disertai dengan dokumen pendukung. (3) Penutupan kantor di luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memperoleh izin dari otoritas di negara setempat. (4) Pelaksanaan penutupan kantor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilaporkan oleh Bank kepada Bank Indonesia sesuai ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai laporan kantor pusat bank umum. (5) Dalam rangka penutupan KC dan jenis-jenis kantor lainnya yang melakukan kegiatan operasional, Bank wajib menyampaikan dokumen penutupan kepada Bank Indonesia paling lama 10 (sepuluh) hari setelah tanggal pelaksanaan penutupan. (6) Ketentuan… - 33 - (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan dokumen penutupan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diatur dengan Surat Edaran Bank Indonesia. 15. Ketentuan BAB XI diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: BAB XI LAIN-LAIN Pasal 74 Pembukaan, perubahan status, pemindahan alamat, dan penutupan kantor cabang, kantor cabang pembantu, dan kantor perwakilan dari Bank yang berkedudukan di luar negeri tunduk pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai persyaratan dan tata cara pembukaan kantor cabang, kantor cabang pembantu, dan kantor perwakilan dari Bank yang berkedudukan di luar negeri. Pasal 75 (1) Permohonan izin atau laporan yang disampaikan Bank kepada Bank Indonesia wajib menggunakan Bahasa Indonesia. (2) Petunjuk pelaksanaan dan dokumen operasional Bank wajib ditulis paling kurang dalam Bahasa Indonesia. Pasal 75A (1) Rencana Bank dan/atau sebagian kantor Bank untuk melakukan kegiatan operasional di luar hari kerja operasional, pada hari libur dan/atau tidak beroperasi pada hari kerja wajib dilaporkan oleh Bank kepada Bank Indonesia paling lama 10 (sepuluh) hari sebelum pelaksanaan. (2) Rencana Bank untuk tidak beroperasi pada hari kerja wajib diumumkan kepada masyarakat. Pasal 75B… - 34 - Pasal 75B (1) Bank wajib menatausahakan dokumen pendukung: a. pembukaan kantor Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (1), Pasal 46 ayat (1), Pasal 48 ayat (1), Pasal 49B ayat (1), Pasal 49C ayat (2), Pasal 51 ayat (1), Pasal 52 ayat (3); b. perubahan status kantor Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (3); c. pemindahan alamat kantor Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (1), Pasal 57 ayat (2), Pasal 58 ayat (2), Pasal 59 ayat (2); d. penutupan kantor Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (3) dan ayat (4), Pasal 63 ayat (2), Pasal 64 ayat (2) dan ayat (5), Pasal 65 ayat (2) dan ayat (5); dan e. pembukaan, pemindahan, dan penghentian kegiatan LSB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52C ayat (1). (2) Bank Indonesia berwenang meminta dokumen pendukung pembukaan, perubahan status, pemindahan alamat, dan/atau penutupan kantor Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal 75C Dalam rangka memberikan persetujuan, penolakan, dan penegasan atas permohonan izin pendirian Bank serta permohonan pembukaan, perubahan status, pemindahan alamat, dan/atau penutupan kantor Bank, Bank Indonesia mempertimbangkan stabilitas sistem keuangan dan keselarasan dengan arah kebijakan pembangunan ekonomi nasional. Pasal 75D Pelaksanaan pembukaan, pemindahan alamat, perubahan status, dan penutupan Kanwil dan KF wajib dilaporkan secara offline setiap bulan paling lama 5 (lima) hari kerja pada awal bulan laporan berikutnya selama belum dapat dilaporkan secara online melalui laporan kantor pusat bank umum. 16. Ketentuan… - 35 - 16. Ketentuan Pasal 76 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 76 (1) Bank yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 6 ayat (2), Pasal 12 ayat (1) , Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, Pasal 16, Pasal 17, Pasal 18, Pasal 20 ayat (3), Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23, Pasal 24, Pasal 25, Pasal 26, Pasal 27, Pasal 28, Pasal 29, Pasal 30, Pasal 31, Pasal 34, Pasal 35, Pasal 36, Pasal 37, Pasal 40, Pasal 40A ayat (5), Pasal 41, Pasal 41A ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), Pasal 42, Pasal 44 ayat (1), Pasal 45 ayat (1), ayat (2), dan ayat (4), Pasal 46 ayat (3), Pasal 47 ayat (1), ayat (2), dan ayat (4), Pasal 48 ayat (3), Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 49A ayat (1), ayat (3), dan ayat (4), Pasal 49B ayat (2), Pasal 49C ayat (1), Pasal 49D, Pasal 50 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 52B ayat (1), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6), Pasal 52C ayat (2), Pasal 52D ayat (1), Pasal 52E, Pasal 53, Pasal 54 ayat (1), ayat (2), dan ayat (4), Pasal 54A, Pasal 55, Pasal 57 ayat (1), Pasal 58 ayat (1), ayat (3), dan ayat (4), Pasal 59 ayat (1), Pasal 59B ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), Pasal 59C ayat (2), Pasal 59D ayat (2), Pasal 61 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), Pasal 62 ayat (1), Pasal 63 ayat (1), Pasal 64 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 64A ayat (3), Pasal 65 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 75, Pasal 75A ayat (2), Pasal 75B, Pasal 75D dan/atau Pasal 78 dikenakan sanksi administratif sesuai Pasal 58 Undang-undang Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. (2) Bank yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2), Pasal 19, Pasal 20 ayat (1), Pasal 32 ayat (5), Pasal 33, Pasal 38 ayat (5), Pasal 39, Pasal 40A ayat (3), Pasal 52 ayat (3), Pasal 57 ayat (2), Pasal 59 ayat (2) dan ayat (4), Pasal 59C ayat (3), Pasal 59D ayat (1), Pasal 60, Pasal 61 ayat (4), Pasal 63 ayat (2), Pasal 64 ayat (5), Pasal 64A ayat (1), Pasal 65 ayat (5) dan/atau Pasal 75A ayat (1) dikenakan sanksi administratif berupa: a. teguran… - 36 - a. teguran tertulis dan denda sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) per hari kelambatan atau paling banyak sebesar Rp30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah) untuk setiap laporan dan/atau pengumuman; b. teguran tertulis dan denda sebesar Rp30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah) apabila Bank tidak menyampaikan laporan dan/atau pengumuman. (3) Bank dinyatakan tidak menyampaikan laporan dan/atau pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b apabila Bank belum menyampaikan laporan dimaksud setelah 30 (tiga puluh) hari sejak batas akhir penyampaian laporan dan/atau pengumuman. (4) Pengenaan sanksi teguran tertulis dan denda uang karena dinyatakan tidak menyampaikan laporan dan/atau pelaksanaan pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak menghapus kewajiban bank untuk menyampaikan laporan dan/atau pelaksanaan pengumuman. (5) Dalam hal penyampaian laporan dan/atau pelaksanaan pengumuman dilakukan secara gabungan maka apabila Bank dikenakan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), sanksi dimaksud dihitung per jumlah laporan dan/atau pengumuman sebagaimana tercantum dalam laporan atau pengumuman gabungan. (6) Setiap pihak yang tidak menaati ketentuan Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 9 ayat (2) dapat dikenakan sanksi pidana sesuai dengan Pasal 59 Undang-undang Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Pasal II 1. Permohonan izin atau permohonan penegasan pembukaan, pemindahan alamat, perubahan status, dan/atau penutupan jaringan kantor yang diterima secara lengkap oleh Bank Indonesia sebelum berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini ditindaklanjuti dengan Peraturan… - 37 - Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/3/PBI/2009 tentang Bank Umum Syariah. 2. Ketentuan Pasal 26 ayat (1) Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/6/PBI/2012 tentang Uji Kemampuan dan Kepatutan (Fit and Proper Test) Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku bagi Bank Umum Syariah. 3. Peraturan pelaksanaan dari Peraturan Bank Indonesia ini diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia. 4. Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 24 Desember 2013 GUBERNUR BANK INDONESIA, AGUS D.W. MARTOWARDOJO Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 24 Desember 2013 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, AMIR SYAMSUDIN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2013 NOMOR 233 DPbS PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 15/13/PBI/2013 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 11/3/PBI/2009 TENTANG BANK UMUM SYARIAH I. UMUM Salah satu faktor penting dalam mewujudkan terciptanya industri perbankan yang sehat, kuat, dan dipercaya masyarakat adalah terciptanya pengelolaan kelembagaan bank secara profesional baik dalam pemenuhan kebutuhan sumber daya manusia maupun dalam perencanaan pembukaan, perubahan status, pemindahan alamat, dan/atau penutupan kantor bank sehingga mampu mendukung pertumbuhan usaha secara sehat. Untuk mencapai maksud tersebut maka Bank perlu menerapkan prinsip tata kelola yang baik (good corporate governance) guna memitigasi berbagai risiko yang mungkin terjadi serta memastikan pemenuhan terhadap ketentuan yang berlaku. Disamping itu, dalam upaya untuk senantiasa meningkatkan efektivitas dan efisiensi, maka dipandang perlu untuk memanfaatkan perkembangan teknologi informasi sehingga laporan pengangkatan, penggantian, atau pemberhentian Pejabat Eksekutif dan laporan pelaksanaan pembukaan, perubahan status, pemindahan alamat, dan/atau penutupan kantor Bank disampaikan secara online melalui mekanisme laporan kantor pusat bank umum. Kerjasama antara Bank dengan BUK yang memiliki hubungan kepemilikan bertujuan untuk meningkatkan pelayanan kepada nasabah bank agar terdapat penyetaraan layanan (leveraging) melalui penggunaan infrastruktur BUK. Kerjasama ini akan mengoptimalkan sumber daya industri perbankan nasional dan mendukung pengembangan perbankan syariah. II. PASAL … - 2 - II. PASAL DEMI PASAL Pasal I Angka 1 Pasal 1 Cukup jelas. Angka 2 Pasal 8 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Pelaksanaan uji kemampuan dan kepatutan (fit and proper test) dilakukan sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai uji kemampuan dan kepatutan (fit and proper test). Ayat (3) Hal-hal yang harus dipresentasikan antara lain tujuan dan alasan pendirian Bank, sumber permodalan dan kepemilikan, pangsa utama penghimpunan dana, pangsa utama penyaluran dana, serta rencana struktur dan personil organisasi. Angka 3 Pasal 11 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2)… - 3 - Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Pelaksanaan uji kemampuan dan kepatutan (fit and proper test) dilakukan sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai uji kemampuan dan kepatutan (fit and proper test). Ayat (3) Cukup jelas. Angka 4 Pasal 32 Ayat (1) Permohonan untuk memperoleh persetujuan calon anggota Dewan Komisaris diajukan paling kurang oleh Presiden Direktur atau Direktur Utama kepada Bank Indonesia. Permohonan untuk memperoleh persetujuan calon anggota Direksi diajukan paling kurang oleh Presiden Komisaris atau Komisaris Utama kepada Bank Indonesia. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Angka 5 … - 4 - Angka 5 Pasal 38 Cukup jelas. Angka 6 Pasal 40 Penelitian terhadap calon Pejabat Eksekutif yang dilakukan oleh Bank mencakup antara lain meminta informasi, referensi dari tempat kerja sebelumnya dan informasi mengenai kredit atau pembiayaan macet. Pasal 40A Ayat (1) Termasuk dalam pengertian pemberhentian adalah pemberhentian Pejabat Eksekutif atas perintah Bank Indonesia karena yang bersangkutan memiliki rekam jejak negatif. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Huruf a Pengertian “daftar tidak lulus” mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai uji kemampuan dan kepatutan (fit and proper test). Huruf b Pengertian “memiliki kredit atau pembiayaan macet” mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai uji kemampuan dan kepatutan (fit and proper test). Huruf c Cukup jelas. Ayat (5)… - 5 - Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 40B Cukup jelas. Angka 7 Pasal 41A Ayat (1) Kantor Bank meliputi: a. kantor Bank di dalam negeri antara lain berupa kantor pusat, Kanwil, KC, KCP, KF, KK, dan KPK; dan b. kantor Bank di luar negeri berupa KC, kantor perwakilan, dan jenis-jenis kantor lainnya. Pencantuman rencana penutupan kantor Bank dalam rencana bisnis Bank tidak termasuk penutupan kantor Bank yang dilakukan karena pengenaan sanksi dari Bank Indonesia. Ayat (2) Kajian ini merupakan pendukung rencana pengembangan dan/atau perubahan jaringan kantor yang tercantum dalam rencana bisnis Bank. Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Kondisi perekonomian nasional antara lain perimbangan pembangunan daerah, perluasan lapangan kerja, prioritas pengembangan sektor ekonomi, perluasan akses keuangan bagi masyarakat… - 6 - masyarakat berpenghasilan rendah dan produktif (financial inclusion), dan keberpihakan kepada kepentingan nasional. Huruf d Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 41B Cukup jelas. Angka 8 Pasal 42 Cukup jelas. Pasal 43 Ayat (1) Dokumen pendukung yang disampaikan oleh Bank antara lain hasil studi kelayakan pembukaan kantor. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 44 Cukup jelas. Pasal 45 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3)… - 7 - Ayat (3) Yang dimaksud dengan “kantor lain” adalah kantor dari bank lain atau perusahaan lain. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 46 Ayat (1) Dokumen pendukung yang disampaikan oleh Bank antara lain hasil studi kelayakan pembukaan kantor. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 47 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan “kantor lain” adalah kantor dari bank lain atau perusahaan lain. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 48 Ayat (1) Dokumen pendukung yang disampaikan oleh Bank antara lain hasil studi kelayakan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3)… - 8 - Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 49 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Kegiatan pemasaran yang dilakukan dalam rangka promosi, tidak bersifat permanen, dan hanya menerima setoran awal atau titipan kas sesuai persyaratan setoran minimal pembukaan rekening tidak termasuk dalam KPK sehingga tidak perlu dilaporkan kepada Bank Indonesia. Yang dimaksud dengan “tidak bersifat permanen” adalah kegiatan pemasaran yang dilakukan dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari secara berturut-turut. Apabila kegiatan pemasaran dilakukan lebih dari 30 (tiga puluh) hari berturut-turut maka kegiatan tersebut digolongkan sebagai KPK. Contoh: Dalam hal persyaratan setoran awal minimal dalam pembukaan rekening tabungan adalah sebesar Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah), maka setoran awal yang boleh diterima Bank adalah sebesar Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah). Apabila Bank menerima setoran awal lebih besar dari Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) maka kegiatan tersebut tidak dapat… - 9 - dapat digolongkan sebagai kegiatan pemasaran, tetapi sebagai KPK. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 49A Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Kegiatan operasional yang dilakukan oleh KF meliputi kegiatan penghimpunan dana dan/atau penyaluran dana secara terbatas. Contoh KF yang melakukan kegiatan operasional antara lain financing center, card center, dan penyaluran pembiayaan kepada nasabah Usaha Mikro dan Kecil (UMK). Huruf b Contoh KF yang melakukan kegiatan non operasional antara lain kantor perwakilan pemasaran atau information technology center. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Yang dimaksud dengan “kantor lain” adalah kantor dari bank lain atau perusahaan lain. Pasal 49B Cukup jelas Pasal 49C Cukup jelas. Pasal 49D Cukup jelas. Pasal 50… - 10 - Pasal 50 Cukup jelas. Pasal 51 Ayat (1) Dokumen pendukung yang disampaikan oleh Bank antara lain hasil studi kelayakan pembukaan kantor. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 52 Cukup jelas. Angka 9 Pasal 52A Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) BUK memiliki hubungan kepemilikan dengan Bank apabila: a. BUK merupakan PSP Bank; atau b. PSP BUK juga merupakan PSP Bank. Ayat (3) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Bank dapat menempatkan sumber daya manusia yang berasal dari Bank dalam kegiatan LSB terbatas pada kegiatan pemasaran. Huruf d Cukup jelas. Huruf e … - 11 - Huruf e Perjanjian kerjasama paling kurang mencakup tujuan dan ruang lingkup kerjasama, mekanisme kerjasama, hak dan kewajiban para pihak, kerahasiaan, pembebanan biaya, pelaporan, tanggung jawab atas kerugian, evaluasi, jangka waktu perjanjian, penyelesaian perselisihan, serta analisis dan mitigasi risiko. Ayat (4) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Perjanjian kerjasama paling kurang mencakup tujuan dan ruang lingkup kerjasama, mekanisme kerjasama, hak dan kewajiban para pihak, kerahasiaan, pembebanan biaya, evaluasi, dan jangka waktu perjanjian. Pasal 52B Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Pencantuman logo iB dapat dilakukan antara lain melalui papan nama dan/atau pada dinding atau kaca depan… - 12 - depan jaringan kantor BUK agar mudah terlihat dengan jelas oleh nasabah. Pasal 52C Cukup jelas. Pasal 52D Cukup jelas. Pasal 52E Ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai kegiatan usaha BUK antara lain ketentuan mengenai penerapan manajemen risiko bagi bank umum dan ketentuan mengenai kegiatan usaha dan jaringan kantor berdasarkan modal inti. Angka 10 Pasal 53 Ayat (1) Peningkatan status KCP atau KK menjadi KC dilakukan tanpa diikuti dengan penutupan KCP atau KK. Ayat (2) Peningkatan status KK menjadi KCP dilakukan tanpa diikuti dengan penutupan KK. Pasal 54 Cukup jelas. Pasal 54A Ayat (1) Perubahan status kantor dari KF menjadi KC dilakukan tanpa diikuti dengan penutupan KF. Ayat (2) Perubahan status kantor dari KF menjadi KCP dilakukan tanpa diikuti dengan penutupan KF. Ayat (3)… - 13 - Ayat (3) Perubahan status kantor dari KF menjadi KK dilakukan tanpa diikuti dengan penutupan KF. Ayat (4) Perubahan status kantor dari KC menjadi KF dilakukan tanpa diikuti dengan penutupan KC. Ayat (5) Perubahan status kantor dari KCP menjadi KF dilakukan tanpa diikuti dengan penutupan KCP. Angka 11 Pasal 55 Ayat (1) Dalam hal pemindahan alamat kantor pusat ke lokasi yang baru diikuti dengan pembukaan KC di lokasi lama kantor pusat, maka pembukaan KC dimaksud mengacu pada ketentuan pembukaan KC. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 56 Ayat 1 Dokumen pendukung yang disampaikan oleh Bank antara lain hasil studi kelayakan pemindahan alamat di tempat kedudukan yang baru. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 57… - 14 - Pasal 57 Cukup jelas. Pasal 58 Cukup jelas. Pasal 59 Cukup jelas. Pasal 59A Cukup jelas. Angka 12 Pasal 59B Ayat (1) Apabila lokasi KC Bank yang berasal dari pemisahan kantor pusat tersebut berada pada lokasi yang sama dengan kantor pusat, KC dimaksud dapat disebut dengan nama Kantor Cabang Utama (KCU). Ayat (2) Persetujuan Bank Indonesia memuat persetujuan pemisahan kantor dan pemberian izin pembukaan KC baru. Izin pembukaan KC dimaksud diberikan secara otomatis karena kegiatan KC tersebut merupakan konversi dari kegiatan operasional yang selama ini telah dilakukan oleh kantor pusat Bank. Dengan dikeluarkannya izin pembukaan KC baru tersebut maka kantor pusat Bank tidak lagi melakukan kegiatan operasional sebagaimana KC. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6)… - 15 - Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 59C Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Analisis kelayakan meliputi: alasan, rencana lokasi kantor-kantor hasil pemisahan, dan persiapan operasional kantor yang baru. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 59D Cukup jelas. Angka 13 Pasal 61 Ayat (1) Ketentuan perundang-undangan yang berlaku antara lain Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas dan Undang-Undang tentang Perbankan Syariah. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5)… - 16 - Ayat (5) Cukup jelas. Angka 14 Pasal 62 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Penyelesaian kewajiban KC kepada nasabah dan pihak lainnya dapat dilakukan antara lain melalui pengalihan seluruh kewajiban kepada kantor Bank lainnya dari Bank tersebut atau pihak lain dengan persetujuan nasabah atau pihak lainnya. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Pasal 63 Cukup jelas. Pasal 64 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4)… - 17 - Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Dokumen penutupan antara lain dokumen terkait penyelesaian kewajiban kepada nasabah dan pihak lainnya. Penyelesaian kewajiban tersebut dapat dilakukan antara lain melalui pengalihan seluruh kewajiban kepada kantor Bank atau pihak lain. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 64A Cukup jelas. Pasal 65 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Pengajuan permohonan izin kepada otoritas di negara setempat dilakukan setelah adanya izin dari Bank Indonesia. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Angka 15 Pasal 74 Cukup jelas. Pasal 75… - 18 - Pasal 75 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Petunjuk dan dokumen operasional Bank dapat ditulis dengan lebih dari 1 (satu) bahasa dimana salah satunya adalah Bahasa Indonesia. Pasal 75A Cukup jelas. Pasal 75B Cukup jelas. Pasal 75C Arah kebijakan pembangunan ekonomi nasional antara lain terkait dengan upaya pengembangan ekonomi daerah, perluasan lapangan kerja, kesesuaian dengan prioritas sektor pembangunan, perluasan akses keuangan bagi masyarakat berpenghasilan rendah dan produktif (financial inclusion), dan keberpihakan kepada kepentingan nasional. Pasal 75D Cukup jelas. Angka 16 Pasal 76 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Laporan dinyatakan diterima oleh Bank Indonesia apabila telah disampaikan secara lengkap dengan memuat data, informasi dan/atau dokumen yang dipersyaratkan sesuai jenis laporannya. Tanggal penerimaan laporan oleh Bank Indonesia adalah tanggal: a. Stempel pos (time stamp), apabila laporan dikirimkan melalui P.T. Pos Indonesia atau jasa pengiriman lainnya; atau b. Penerimaan… b. Penerimaan… - 19 - b. Penerimaan laporan di kantor Bank Indonesia, apabila laporan disampaikan secara langsung kepada Bank Indonesia. Huruf a Jumlah sanksi kewajiban membayar dihitung sebagai berikut: Jumlah kewajiban membayar=jumlah hari keterlambatan x Rp1.000.000,00 x jumlah laporan atau pengumuman. Huruf b Jumlah sanksi kewajiban membayar dihitung sebagai berikut: Jumlah kewajiban membayar=Rp30.000.000,00 x jumlah laporan atau pengumuman. Bank yang dikenakan sanksi tidak menyampaikan laporan atau pengumuman, tidak dikenakan sanksi keterlambatan penyampaian laporan atau pengumuman. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal II Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5476
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 15/13/PBI/2013 </reg_id> <reg_title> PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 11/3/PBI/2009 TENTANG BANK UMUM SYARIAH </reg_title> <set_date> 24 Desember 2013 </set_date> <effective_date> 24 Desember 2013 </effective_date> <issued_date> 24 Desember 2013 </issued_date> <changed_reg> '11/3/PBI/2009' </changed_reg> <replaced_reg> '14/6/PBI/2012 | Pasal 26 Ayat (1)' </replaced_reg> <related_reg> '21/UU/2008', '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '40/UU/2007' </related_reg> <penalty_list> 'Pasal I Angka 16 Pasal 76' </penalty_list>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 16/16/PBI/2014 TENTANG TRANSAKSI VALUTA ASING TERHADAP RUPIAH ANTARA BANK DENGAN PIHAK DOMESTIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa tujuan Bank Indonesia adalah mencapai dan memelihara kestabilan nilai Rupiah; b. bahwa kestabilan nilai Rupiah yang salah satunya dipengaruhi oleh kestabilan nilai tukar Rupiah memerlukan dukungan pasar keuangan yang sehat khususnya pasar valuta asing domestik untuk menjaga kelangsungan kegiatan ekonomi nasional; c. bahwa untuk menjaga kelangsungan kegiatan ekonomi nasional dibutuhkan upaya pendalaman pasar valuta asing domestik dengan memberikan fleksibilitas bagi pelaku ekonomi dalam melakukan transaksi valuta asing terhadap Rupiah; d. bahwa peran Bank Indonesia diperlukan untuk mendorong pendalaman pasar valuta asing melalui pengaturan yang komprehensif, khususnya terkait dengan transaksi valuta asing terhadap Rupiah yang dilakukan antara bank dengan pihak domestik; e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d, perlu menetapkan Peraturan Bank Indonesia tentang Transaksi Valuta Asing terhadap Rupiah antara Bank dengan Pihak Domestik; Mengingat … - 2 - Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962); 2. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3844); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG TRANSAKSI VALUTA ASING TERHADAP RUPIAH ANTARA BANK DENGAN PIHAK DOMESTIK. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan: 1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 dan Bank Umum Syariah serta Unit Usaha Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, termasuk kantor cabang … - 3 - cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri namun tidak termasuk kantor Bank Umum dan Bank Umum Syariah berbadan hukum Indonesia yang beroperasi di luar negeri. 2. Nasabah adalah: a. perorangan yang memiliki kewarganegaraan Indonesia; atau b. badan usaha selain Bank yang berbadan hukum Indonesia, berdomisili di Indonesia, dan memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). 3. Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah adalah transaksi jual beli valuta asing terhadap Rupiah dalam bentuk: a. transaksi spot, termasuk transaksi yang dilakukan dengan valuta today dan/atau valuta tomorrow; b. transaksi derivatif valuta asing terhadap Rupiah yang standar (plain vanilla) dalam bentuk forward, swap, option, dan transaksi lainnya yang dapat dipersamakan dengan itu. 4. Underlying Transaksi adalah kegiatan yang mendasari pembelian atau penjualan valuta asing terhadap Rupiah. 5. Transaksi Spot adalah transaksi jual atau beli antara valuta asing terhadap Rupiah dengan penyerahan dananya dilakukan 2 (dua) hari kerja setelah tanggal transaksi. Termasuk dalam pengertian Transaksi Spot adalah transaksi dengan penyerahan valuta pada hari yang sama (today) atau dengan penyerahan 1 (satu) hari kerja setelah tanggal transaksi (tomorrow). 6. Transaksi Derivatif adalah transaksi yang didasari oleh suatu kontrak atau perjanjian pembayaran yang nilainya merupakan turunan dari nilai tukar dalam bentuk transaksi forward, swap, option valuta asing terhadap Rupiah dan transaksi lainnya yang dapat dipersamakan dengan itu. BAB … - 4 - BAB II TRANSAKSI Bagian Kesatu Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah Pasal 2 (1) Bank dapat melakukan Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah untuk kepentingan sendiri maupun untuk kepentingan pihak domestik atas dasar suatu kontrak. (2) Dalam melakukan Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank wajib memiliki pedoman internal tertulis. (3) Dalam melakukan Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah dengan Nasabah, Bank wajib menggunakan kuotasi harga (kurs) valuta asing terhadap Rupiah yang ditetapkan oleh Bank. Pasal 3 (1) Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah yang dilakukan Bank dengan Nasabah di atas jumlah tertentu (threshold) wajib memiliki Underlying Transaksi. (2) Underlying Transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi seluruh kegiatan: a. perdagangan barang dan jasa di dalam dan di luar negeri; dan/atau b. investasi berupa direct investment, portfolio investment, pinjaman, modal, dan investasi lainnya di dalam dan di luar negeri. (3) Underlying Transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak termasuk: a. penempatan dana pada Bank antara lain berupa tabungan, giro, deposito, dan Negotiable Certificate of Deposit (NCD); dan b. kegiatan pengiriman uang oleh perusahaan transfer dana. Bagian … - 5 - Bagian Kedua Transaksi Spot antara Bank dengan Nasabah Pasal 4 (1) Jumlah tertentu (threshold) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) untuk pembelian valuta asing terhadap Rupiah oleh Nasabah kepada Bank melalui Transaksi Spot adalah USD100,000.00 (seratus ribu dolar Amerika Serikat) per bulan per Nasabah atau ekuivalennya. (2) Pembelian valuta asing terhadap Rupiah oleh Nasabah kepada Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang melebihi nilai nominal Underlying Transaksi. (3) Dalam hal nilai nominal Underlying Transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dalam kelipatan USD10,000.00 (sepuluh ribu dolar Amerika Serikat) maka terhadap nilai nominal Underlying Transaksi dimaksud dapat dilakukan pembulatan ke atas dalam kelipatan USD10,000.00 (sepuluh ribu dolar Amerika Serikat). Bagian Ketiga Transaksi Derivatif antara Bank dengan Nasabah Pasal 5 (1) Jumlah tertentu (threshold) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) untuk pembelian valuta asing terhadap Rupiah oleh Nasabah kepada Bank melalui Transaksi Derivatif adalah USD100,000.00 (seratus ribu dolar Amerika Serikat) per bulan per Nasabah atau ekuivalennya. (2) Jumlah tertentu (threshold) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) untuk penjualan valuta asing terhadap Rupiah oleh Nasabah kepada Bank melalui transaksi forward atau option adalah USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika Serikat) per transaksi per Nasabah atau ekuivalennya. (3) Pembelian dan penjualan valuta asing terhadap Rupiah oleh Nasabah kepada Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilarang melebihi nilai nominal Underlying Transaksi. (4) Dalam … - 6 - (4) Dalam hal nilai nominal Underlying Transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak dalam kelipatan USD10,000.00 (sepuluh ribu dolar Amerika Serikat) maka terhadap nilai nominal Underlying Transaksi dimaksud dapat dilakukan pembulatan ke atas dalam kelipatan USD10,000.00 (sepuluh ribu dolar Amerika Serikat). (5) Jangka waktu Transaksi Derivatif dilarang melebihi jangka waktu Underlying Transaksi. Pasal 6 (1) Kewajiban memiliki Underlying Transaksi untuk pembelian valuta asing terhadap Rupiah oleh Nasabah kepada Bank melalui Transaksi Spot dan/atau Transaksi Derivatif di atas USD100,000.00 (seratus ribu dolar Amerika Serikat) per bulan per Nasabah atau ekuivalennya tidak berlaku untuk penyelesaian Transaksi Derivatif awal yang dilakukan melalui: a. perpanjangan transaksi (roll over) sepanjang jangka waktu perpanjangan transaksi (roll over) paling lama sama dengan jangka waktu Underlying Transaksi awal; b. percepatan penyelesaian transaksi (early termination); atau c. pengakhiran transaksi (unwind). (2) Kewajiban memiliki Underlying Transaksi untuk penjualan valuta asing terhadap Rupiah oleh Nasabah kepada Bank melalui transaksi forward atau option di atas USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika Serikat) per transaksi per Nasabah atau ekuivalennya tidak berlaku untuk penyelesaian Transaksi Derivatif awal yang dilakukan melalui: a. perpanjangan transaksi (roll over) sepanjang jangka waktu perpanjangan transaksi (roll over) paling lama sama dengan jangka waktu Underlying Transaksi awal; b. percepatan penyelesaian transaksi (early termination); atau c. pengakhiran transaksi (unwind). Bagian … - 7 - Bagian Keempat Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah Antar Bank Pasal 7 Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah antar Bank tidak wajib memiliki Underlying Transaksi. BAB III PENYELESAIAN TRANSAKSI Pasal 8 (1) Penyelesaian Transaksi Spot antara Bank dengan Nasabah dan antar Bank wajib dilakukan dengan pemindahan dana pokok secara penuh. (2) Penyelesaian Transaksi Derivatif antara Bank dengan Nasabah dan antar Bank dapat dilakukan secara netting atau dengan pemindahan dana pokok secara penuh. (3) Penyelesaian Transaksi Derivatif antara Bank dengan Nasabah dan antar Bank yang dapat dilakukan secara netting sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya berlaku untuk perpanjangan transaksi percepatan penyelesaian transaksi (early termination), dan pengakhiran transaksi (unwind). Pasal 9 Penyelesaian Transaksi Valuta Asing terhadap Rupiah yang dilakukan Pedagang Valuta Asing (PVA) dan travel agent untuk kepentingan nasabahnya wajib diselesaikan dengan pemindahan dana pokok secara penuh. Pasal 10 (1) Penyelesaian Transaksi Derivatif antara Bank dengan Nasabah secara netting sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) untuk transaksi pembelian valuta asing terhadap Rupiah paling banyak sebesar USD100,000.00 (seratus ribu dolar Amerika Serikat) dapat dilakukan sepanjang … (roll over), - 8 - sepanjang didukung dengan Underlying Transaksi dari Transaksi Derivatif awal. (2) Penyelesaian Transaksi forward atau option antara Bank dengan Nasabah secara netting sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) untuk transaksi penjualan valuta asing terhadap Rupiah paling banyak sebesar USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika Serikat) dapat dilakukan sepanjang didukung dengan Underlying Transaksi dari Transaksi Derivatif awal. (3) Dalam hal pada saat penyelesaian Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) Nasabah tidak dapat menyampaikan dokumen Underlying Transaksi maka penyelesaian Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah dilakukan dengan pemindahan dana pokok secara penuh. BAB IV DOKUMEN TRANSAKSI Bagian Kesatu Jenis Dokumen Underlying Transaksi Pasal 11 (1) Jenis dokumen Underlying Transaksi ditetapkan oleh Bank Indonesia. (2) Penetapan jenis dokumen sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 12 (1) Dalam hal Nasabah melakukan pembelian valuta asing terhadap Rupiah kepada Bank di atas USD100,000.00 (seratus ribu dolar Amerika Serikat) per bulan per Nasabah atau ekuivalennya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 5 ayat (1), Bank wajib memastikan Nasabah untuk menyampaikan dokumen sebagai berikut: a. dokumen … - 9 - a. dokumen Underlying Transaksi yang dapat dipertanggungjawabkan baik yang bersifat final maupun berupa perkiraan; dan b. dokumen pendukung berupa: 1. fotokopi dokumen identitas Nasabah dan fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP); dan 2. pernyataan tertulis bermaterai cukup yang ditandatangani oleh pihak yang berwenang dari Nasabah atau pernyataan tertulis yang authenticated dari Nasabah yang memuat informasi mengenai: a) keaslian dan kebenaran dokumen Underlying Transaksi sebagaimana dimaksud pada huruf a, dan penggunaan dokumen Underlying Transaksi untuk pembelian valuta asing terhadap Rupiah paling banyak sebesar nominal Underlying Transaksi dalam sistem perbankan di Indonesia; dan b) jumlah kebutuhan, tujuan penggunaan, dan tanggal penggunaan valuta asing, dalam hal dokumen Underlying Transaksi sebagaimana dimaksud pada huruf a berupa perkiraan. (2) Dalam hal Nasabah melakukan penjualan valuta asing terhadap Rupiah kepada Bank melalui transaksi forward atau option di atas USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika Serikat) per transaksi per Nasabah atau ekuivalennya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2), Bank wajib memastikan Nasabah menyampaikan dokumen sebagai berikut: a. dokumen Underlying Transaksi yang dapat dipertanggungjawabkan, baik yang bersifat final maupun berupa perkiraan; dan b. dokumen pendukung berupa pernyataan tertulis bermaterai cukup yang ditandatangani oleh pihak yang berwenang dari Nasabah atau pernyataan tertulis yang authenticated dari Nasabah yang memuat informasi mengenai: 1. keaslian dan kebenaran dokumen Underlying Transaksi sebagaimana dimaksud pada huruf a; dan 2. penggunaan … - 10 - 2. penggunaan dokumen Underlying Transaksi untuk penjualan valuta asing terhadap Rupiah paling banyak sebesar nominal Underlying Transaksi dalam sistem perbankan di Indonesia; 3. sumber dana, jumlah penjualan, dan waktu penerimaan valuta asing, dalam hal dokumen Underlying Transaksi sebagaimana dimaksud pada huruf a berupa perkiraan. (3) Dalam hal Nasabah melakukan pembelian valuta asing terhadap Rupiah kepada Bank paling banyak sebesar USD100,000.00 (seratus ribu dolar Amerika Serikat) per bulan per Nasabah atau ekuivalennya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 5 ayat (1), Bank wajib memastikan Nasabah menyampaikan dokumen berupa pernyataan tertulis bermaterai cukup atau pernyataan tertulis yang authenticated dari Nasabah yang menyatakan bahwa pembelian valuta asing terhadap Rupiah tidak lebih dari USD100,000.00 (seratus ribu dolar Amerika Serikat) per bulan per Nasabah atau ekuivalennya dalam sistem perbankan di Indonesia. (4) Dalam hal Nasabah melakukan penjualan valuta asing terhadap Rupiah kepada Bank melalui transaksi forward atau option paling banyak sebesar USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika Serikat) per transaksi per Nasabah atau ekuivalennya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2), tidak ada kewajiban bagi Nasabah untuk menyampaikan dokumen. (5) Dalam hal Nasabah melakukan penyelesaian transaksi secara netting untuk Transaksi Derivatif pembelian valuta asing terhadap Rupiah paling banyak sebesar USD100,000.00 (seratus ribu dolar Amerika Serikat) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1), Bank wajib memastikan Nasabah menyampaikan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (6) Dalam hal Nasabah melakukan penyelesaian transaksi secara netting untuk transaksi penjualan valuta asing terhadap Rupiah melalui transaksi forward atau option paling banyak sebesar USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika Serikat) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2), Bank wajib memastikan Nasabah menyampaikan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2). Bagian … - 11 - Bagian Kedua Penyampaian Dokumen Underlying Transaksi Pasal 13 (1) Bank memastikan Nasabah menyampaikan dokumen Underlying Transaksi dan/atau dokumen pendukung Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah untuk setiap transaksi pada tanggal transaksi. (2) Dalam hal Bank telah mengetahui track record Nasabah dengan baik, dan Nasabah menyampaikan dokumen Underlying Transaksi yang bersifat final, Bank dapat menerima dokumen pendukung Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah yang disampaikan oleh Nasabah secara berkala. (3) Bank dapat menerima dokumen pendukung Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah yang disampaikan oleh Nasabah atas pembelian valuta asing terhadap Rupiah paling banyak sebesar USD100,000.00 (seratus ribu dolar Amerika Serikat) per bulan per Nasabah atau ekuivalennya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3) secara berkala. (4) Dokumen Underlying Transaksi dan/atau dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk Transaksi Spot wajib diterima oleh Bank paling lambat pada tanggal valuta. (5) Dokumen Underlying Transaksi dan/atau dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk Transaksi Derivatif wajib diterima oleh Bank paling lambat pada 5 (lima) hari kerja setelah tanggal transaksi. (6) Dalam hal Transaksi Derivatif sebagaimana dimaksud pada ayat (5) memiliki jatuh waktu kurang dari 5 (lima) hari kerja setelah tanggal transaksi maka dokumen Underlying Transaksi dan/atau dokumen pendukung Transaksi Derivatif wajib diterima oleh Bank paling lambat pada tanggal jatuh waktu. (7) Penyampaian dokumen Underlying Transaksi dan dokumen pendukung Transaksi Derivatif sampai dengan jumlah tertentu (threshold) yang akan diselesaikan secara netting wajib diterima oleh Bank paling lambat: a. pada tanggal valuta dalam hal perpanjangan transaksi (roll over), percepatan penyelesaian transaksi (early termination), dan pengakhiran transaksi (unwind) dilakukan melalui Transaksi Spot; b. 5 … - 12 - b. 5 (lima) hari kerja setelah tanggal transaksi dalam hal perpanjangan transaksi (roll over), percepatan penyelesaian transaksi (early termination), dan pengakhiran transaksi (unwind) dilakukan melalui Transaksi Derivatif; atau c. pada tanggal jatuh waktu dalam hal perpanjangan transaksi (roll over), percepatan penyelesaian transaksi (early termination), dan pengakhiran transaksi (unwind) dilakukan melalui Transaksi Derivatif yang memiliki jatuh waktu kurang dari 5 (lima) hari kerja setelah tanggal transaksi. Pasal 14 (1) Bank wajib menatausahakan dokumen Underlying Transaksi dan/atau dokumen pendukung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1), Pasal 12 ayat (2), dan Pasal 12 ayat (3). (2) Penatausahaan dokumen Underlying Transaksi dan/atau dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan bagian dari pedoman internal tertulis Bank dalam melakukan Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2). BAB V PELAPORAN TRANSAKSI Pasal 15 Dalam rangka pelaporan Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah, Bank berpedoman kepada ketentuan yang mengatur mengenai laporan harian bank umum. BAB … - 13 - BAB VI LARANGAN TRANSAKSI BAGI BANK Pasal 16 (1) Bank dilarang melakukan Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah apabila transaksi atau potensi transaksi tersebut terkait dengan structured product. (2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku bagi Bank sebagai penerbit structured product maupun Bank sebagai agen penjual (selling agent) structured product. Pasal 17 (1) Bank dilarang memberikan Kredit atau Pembiayaan dalam valuta asing dan/atau dalam Rupiah kepada Nasabah untuk kepentingan Transaksi Derivatif. (2) Larangan pemberian kredit atau pembiayaan dalam valuta asing dan/atau dalam Rupiah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan untuk Transaksi Derivatif yang dilakukan dalam rangka kegiatan ekspor dan/atau impor. (3) Pemberian Kredit atau Pembiayaan dalam valuta asing dan/atau dalam Rupiah untuk Transaksi Derivatif yang dilakukan dalam rangka kegiatan ekspor dan/atau impor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib didukung dengan bukti dokumen yang dapat dipertanggungjawabkan. Pasal 18 (1) Bank dilarang memberikan cerukan kepada Nasabah dalam rangka Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah. (2) Bank dilarang memberikan fasilitas lain yang dapat dipersamakan dengan cerukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam rangka Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah. BAB … - 14 - BAB VII SANKSI Pasal 19 Bank yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2), Pasal 2 ayat (3), Pasal 12 ayat (3), dan Pasal 14 ayat (1) dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis. Pasal 20 (1) Bank yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1), Pasal 4 ayat (2), Pasal 5 ayat (3), Pasal 5 ayat (5), Pasal 8 ayat (1), Pasal 9, Pasal 12 ayat (1), Pasal 12 ayat (2), Pasal 12 ayat (5), Pasal 12 ayat (6), Pasal 13 ayat (4), Pasal 13 ayat (5), Pasal 13 ayat (6), Pasal 13 ayat (7), Pasal 16, Pasal 17, dan Pasal 18 dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis dan sanksi kewajiban membayar sebesar 1% (satu persen) dari nilai nominal transaksi yang dilanggar untuk setiap pelanggaran, dengan jumlah sanksi paling sedikit sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta Rupiah) dan paling banyak sebesar Rp1.000.000.000,00 (satu miliar Rupiah). (2) Perhitungan nilai nominal transaksi yang dilanggar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur sebagai berikut: a. selisih antara total nilai nominal Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah dengan threshold kewajiban pemenuhan Underlying Transaksi; atau b. total nilai nominal Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah yang tidak didukung dengan Underlying Transaksi dalam hal nilai nominal transaksi di bawah threshold tetapi dilakukan penyelesaian transaksi secara netting. (3) Perhitungan nilai nominal transaksi yang dilanggar untuk Pasal 17 dan Pasal 18 diatur sebagai berikut: a. pelanggaran terhadap larangan pemberian Kredit atau Pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, dihitung dari nilai persetujuan … - 15 - persetujuan Kredit atau Pembiayaan yang digunakan untuk Transaksi Derivatif; dan b. pelanggaran terhadap larangan pemberian cerukan dan/atau fasilitas lain yang dapat dipersamakan dengan cerukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18, dihitung dari nilai cerukan dan/atau fasilitas lain yang dapat dipersamakan dengan cerukan yang diberikan Bank kepada Nasabah. (4) Penghitungan sanksi kewajiban membayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menggunakan kurs Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) pada tanggal terjadinya pelanggaran. BAB VIII KETENTUAN PERALIHAN Pasal 21 (1) Bank yang telah melakukan Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah dengan pihak domestik sebelum berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini, tetap dapat meneruskan transaksi dimaksud sampai dengan jatuh waktu transaksi. (2) Transaksi Derivatif yang dilakukan sebelum berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini dan jatuh waktu setelah berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini, penyelesaiannya dapat dilakukan secara netting untuk: a. perpanjangan transaksi (roll over), sepanjang jangka waktu perpanjangan transaksi (roll over) paling lama sama dengan jangka waktu Underlying Transaksi awal; b. percepatan penyelesaian transaksi (early termination); atau c. pengakhiran transaksi (unwind). (3) Pengaturan penyelesaian transaksi secara netting sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengacu pada Peraturan Bank Indonesia ini. (4) Nasabah yang telah melakukan penjualan valuta asing terhadap Rupiah melalui transaksi forward atau option di atas USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika Serikat) yang dilakukan sebelum berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini dan jatuh waktu setelah berlakunya Peraturan Bank Indonesia … - 16 - Indonesia ini, tidak wajib menyampaikan dokumen Underlying Transaksi dan dokumen pendukung. (5) Penyampaian dokumen Underlying Transaksi dan/atau dokumen pendukung untuk Transaksi Derivatif yang dilakukan sebelum berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini dan jatuh waktu setelah berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini, dapat disampaikan paling lambat pada tanggal jatuh waktu transaksi dimaksud. BAB IX KETENTUAN PENUTUP Pasal 22 Peraturan pelaksanaan Peraturan Bank Indonesia ini diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 23 Pada saat Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku: a. Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/28/PBI/2008 tentang Pembelian Valuta Asing Terhadap Rupiah Kepada Bank (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 172, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4921); b. Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/37/PBI/2008 tentang Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 198, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4945); dan c. Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/14/PBI/2009 tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/37/PBI/2008 tentang Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5003); dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal … - 17 - Pasal 24 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 10 November 2014. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 17 September 2014 GUBERNUR BANK INDONESIA, AGUS D. W. MARTOWARDOJO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 17 September 2014 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, AMIR SYAMSUDIN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2014 NOMOR 212 DPM PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 16/16/PBI/2014 TENTANG TRANSAKSI VALUTA ASING TERHADAP RUPIAH ANTARA BANK DENGAN PIHAK DOMESTIK I. UMUM Sebagai bank sentral yang diamanatkan undang-undang untuk mengemban tujuan mencapai dan memelihara kestabilan nilai Rupiah, Bank Indonesia merumuskan berbagai kebijakan yang ditujukan bagi pencapaian tujuan tersebut termasuk upaya untuk mendorong pendalaman pasar keuangan khususnya pasar valuta asing domestik. Pendalaman pasar valuta asing domestik merupakan suatu langkah yang perlu dilakukan melalui pemberian panduan transaksi yang lebih jelas dan fleksibilitas bagi pelaku ekonomi dalam melakukan transaksi valuta asing untuk mendukung kegiatan ekonomi nasional. Sehubungan dengan itu, Bank Indonesia perlu melakukan penyempurnaan terhadap ketentuan terkait dengan Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah Antara Bank dengan Pihak Domestik, melalui pengaturan yang komprehensif untuk meminimalkan Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah yang bersifat spekulatif dan dengan tetap mendukung kelancaran aktivitas di sektor riil. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Ayat (1) Pihak domestik meliputi Nasabah dan Bank. Yang dimaksud dengan “kontrak” adalah konfirmasi tertulis yang menunjukkan terjadinya transaksi yang antara lain berupa … - 2 - berupa dealing conversation, SWIFT, atau konfirmasi tertulis lainnya. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan “kuotasi harga (kurs) valuta asing terhadap Rupiah” adalah harga (kurs) beli dan/atau harga (kurs) jual valuta asing terhadap Rupiah yang ditetapkan oleh Bank dan menjadi dasar kesepakatan untuk melakukan transaksi. Pasal 3 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Perdagangan barang dan jasa di dalam dan di luar negeri antara lain berupa kegiatan usaha pedagang valuta asing. Huruf b Yang dimaksud dengan “direct investment” adalah investasi langsung Nasabah ke luar negeri. Ayat (3) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Dalam hal perusahaan transfer dana menerima perintah nasabahnya untuk melakukan pembelian valuta asing untuk memenuhi kebutuhan transfer nasabahnya, perintah nasabah dimaksud tidak dapat menjadi Underlying Transaksi. Pasal 4 Cukup jelas. Pasal 5 Cukup jelas. Pasal … - 3 - Pasal 6 Cukup jelas. Pasal 7 Cukup jelas. Pasal 8 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “pemindahan dana pokok secara penuh” untuk Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah adalah penyerahan dana secara riil untuk masing-masing transaksi jual dan/atau transaksi beli valuta asing terhadap Rupiah sebesar nilai penuh nominal transaksi atau ekuivalennya. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 9 Cukup jelas. Pasal 10 Cukup jelas. Pasal 11 Cukup jelas. Pasal 12 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan ”dokumen Underlying Transaksi yang bersifat final” adalah dokumen yang tidak akan mengalami perubahan dalam hal jumlah dan/atau waktu pemenuhan kebutuhannya. Huruf b Angka 1 Cukup jelas. Angka 2 Dalam … - 4 - Dalam hal Nasabah merupakan badan usaha selain Bank, yang dimaksud dengan “pihak yang berwenang” adalah pejabat yang mewakili badan usaha berdasarkan anggaran dasarnya atau pejabat yang ditunjuk dengan menggunakan surat kuasa. Dalam hal Nasabah merupakan perorangan, yang dimaksud dengan ”pihak yang berwenang” adalah dirinya sendiri atau pihak yang diberi kuasa. Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud dengan ”dokumen Underlying Transaksi yang bersifat final” adalah dokumen yang tidak akan mengalami perubahan dalam hal jumlah dan/atau waktu pemenuhan kebutuhannya. Huruf b Dalam hal Nasabah merupakan badan usaha selain Bank, yang dimaksud dengan “pihak yang berwenang” adalah pejabat yang mewakili badan usaha berdasarkan anggaran dasarnya atau pejabat yang ditunjuk dengan menggunakan surat kuasa. Dalam hal Nasabah merupakan perorangan, yang dimaksud dengan ”pihak yang berwenang” adalah dirinya sendiri atau pihak yang diberi kuasa. Ayat (3) Yang dimaksud dengan ”pernyataan yang authenticated” adalah pernyataan yang telah diverifikasi atau dibuktikan kebenarannya secara sistem. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup … - 5 - Cukup jelas. Pasal 13 Cukup jelas. Pasal 14 Cukup jelas. Pasal 15 Cukup jelas. Pasal 16 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “structured product” adalah produk yang dikeluarkan oleh Bank yang merupakan kombinasi berbagai instrumen dengan Transaksi Derivatif valuta asing terhadap Rupiah, untuk tujuan mendapatkan tambahan income (return enhancement) yang dapat mendorong Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah untuk tujuan spekulatif dan dapat menimbulkan ketidakstabilan nilai Rupiah. Ayat (2) Termasuk Bank sebagai agen penjual structured product luar negeri (offshore product) yang terkait dengan valuta asing terhadap Rupiah. Pasal 17 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “Kredit atau Pembiayaan” adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara Bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga atau imbalan, termasuk pengambilalihan tagihan dalam rangka kegiatan anjak piutang dan pengambilalihan atau pembelian kredit dari pihak lain. Ayat … - 6 - Ayat (2) Yang dimaksud dengan “kegiatan ekspor dan/atau impor” adalah: a. mengirimkan barang dan/atau jasa ke luar wilayah Indonesia (ekspor); b. memasukkan barang dan/atau jasa ke dalam wilayah Indonesia (impor); dan/atau c. kegiatan perdagangan dalam negeri terkait dengan huruf a dan huruf b tersebut diatas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 18 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “cerukan” adalah saldo negatif pada rekening giro Nasabah yang tidak dapat dibayar lunas pada akhir hari. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 19 Cukup jelas. Pasal 20 Cukup jelas. Pasal 21 Cukup jelas. Pasal 22 Cukup jelas. Pasal 23 Cukup jelas. Pasal 24 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5581
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 16/16/PBI/2014 </reg_id> <reg_title> TRANSAKSI VALUTA ASING TERHADAP RUPIAH ANTARA BANK DENGAN PIHAK DOMESTIK </reg_title> <set_date> 17 September 2014 </set_date> <effective_date> 10 November 2014 </effective_date> <issued_date> 17 September 2014 </issued_date> <replaced_reg> '10/28/PBI/2008', '11/14/PBI/2009', '10/37/PBI/2008' </replaced_reg> <related_reg> '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '24/UU/1999' </related_reg> <penalty_list> 'BAB VII' </penalty_list>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 18/37/PBI/2016 TENTANG PENGELUARAN UANG RUPIAH KERTAS BERSAMBUNG PECAHAN 2.000 (DUA RIBU) TAHUN EMISI 2016 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk menandai suatu era baru dalam pengeluaran seluruh pecahan uang Rupiah kertas sebagai mata uang Negara Kesatuan Republik Indonesia sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang maka perlu dikeluarkan uang Rupiah kertas khusus dalam bentuk bersambung; b. bahwa pengeluaran uang Rupiah kertas khusus dalam bentuk bersambung, juga dilakukan sebagai bagian dari upaya Bank Indonesia untuk mengembangkan kegiatan numismatika; c. bahwa uang Rupiah kertas khusus dalam bentuk bersambung merupakan alat pembayaran yang sah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Bank Indonesia tentang - 2 - Pengeluaran Uang Rupiah Kertas Bersambung Pecahan 2.000 (Dua Ribu) Tahun Emisi 2016; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843), sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962); 2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5223); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PENGELUARAN UANG RUPIAH KERTAS BERSAMBUNG PECAHAN 2.000 (DUA RIBU) TAHUN EMISI 2016. Pasal 1 Bank Indonesia mengeluarkan uang Rupiah khusus pecahan 2.000 (dua ribu) tahun emisi 2016 sebagai alat pembayaran yang sah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pasal 2 Macam uang Rupiah khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 merupakan uang Rupiah kertas khusus yang memiliki ciri tertentu. - 3 - Pasal 3 (1) Uang Rupiah kertas khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 berbentuk uang Rupiah kertas bersambung yang meliputi: a. 1 (satu) lembaran yang memuat 2 (dua) lembar (bilyet); b. 1 (satu) lembaran yang memuat 4 (empat) lembar (bilyet); dan c. 1 (satu) lembaran yang memuat 50 (lima puluh) lembar (bilyet), yang masing-masing lembaran merupakan satu kesatuan. (2) Bentuk lembaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah persegi panjang dengan ukuran sebagai berikut: a. panjang 141 (seratus empat puluh satu) milimeter dan lebar 130 (seratus tiga puluh) milimeter untuk lembaran yang memuat 2 (dua) lembar (bilyet); b. panjang 282 (dua ratus delapan puluh dua) dan lebar 130 (seratus tiga puluh) milimeter untuk lembaran yang memuat 4 (empat) lembar (bilyet); dan c. panjang 705 (tujuh ratus lima) milimeter dan lebar 650 (enam ratus lima puluh) milimeter untuk lembaran yang memuat 50 (lima puluh) lembar (bilyet). Pasal 4 (1) Harga setiap lembar (bilyet) uang Rupiah dalam lembaran uang Rupiah kertas khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) merupakan nilai nominal pada pecahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 yaitu sebesar Rp2.000,00 (dua ribu rupiah). (2) Dalam hal uang Rupiah kertas khusus digunakan sebagai alat transaksi maka harga setiap lembar (bilyet) sebesar nilai nominal sebagaimana dimaksud pada ayat (1). - 4 - Pasal 5 Ciri tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 yang terdapat pada bagian depan dan bagian belakang setiap lembar (bilyet) dari uang Rupiah kertas bersambung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) meliputi: a. ciri umum; dan b. ciri khusus. Pasal 6 (1) Ciri umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a, pada bagian depan terdapat: a. gambar lambang negara “Garuda Pancasila”; b. frasa “NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA”; c. sebutan pecahan dalam angka “2000” dan tulisan “DUA RIBU RUPIAH”; d. tanda tangan Gubernur Bank Indonesia beserta tulisan “GUBERNUR” dan tanda tangan Menteri Keuangan Republik Indonesia beserta tulisan “MENTERI KEUANGAN”; e. tulisan tahun emisi yaitu “EMISI 2016”; f. gambar utama yaitu Pahlawan Nasional Mohammad Hoesni Thamrin beserta tulisan “MOHAMMAD HOESNI THAMRIN”; g. gambar ornamen batik; dan h. gambar lingkaran-lingkaran kecil. (2) Ciri khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b, pada bagian depan yang berupa desain dan teknik cetak, terdapat: a. warna dominan abu-abu; b. hasil cetak yang terasa kasar apabila diraba pada ciri umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf e, dan huruf f; c. gambar saling isi (rectoverso) dari logo Bank Indonesia yang dapat dilihat secara utuh apabila diterawangkan ke arah cahaya; - 5 - d. gambar tersembunyi (latent image) berupa tulisan “BI” dan angka “2” yang dapat dilihat dari sudut pandang tertentu; e. kode tuna netra (blind code) berupa efek rabaan (tactile); f. gambar raster berupa tulisan “BI” yang tertulis utuh dan/atau sebagian; g. mikroteks yang memuat tulisan “BI2”, tulisan “BI2000”, dan angka “2”, yang dapat dilihat dengan bantuan kaca pembesar; dan h. hasil cetak yang akan memendar apabila dilihat dengan sinar ultraviolet berupa: 1. 2 (dua) bidang persegi empat yang salah satunya berisi tulisan “BI”; 2. angka nominal “2000”; 3. ornamen batik; dan 4. gambar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pasal 7 (1) Ciri umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a, pada bagian belakang terdapat: a. angka nominal “2000”; b. nomor seri dengan bentuk asimetris yang meliputi 3 (tiga) huruf dan 6 (enam) angka; c. teks “DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA MENGELUARKAN RUPIAH SEBAGAI ALAT PEMBAYARAN YANG SAH DENGAN NILAI DUA RIBU RUPIAH”; d. tulisan tahun cetak “TC 2016”; e. gambar utama yaitu tari piring beserta tulisan “TARI PIRING”, pemandangan alam Ngarai Sianok beserta tulisan “Ngarai Sianok”, dan bunga jeumpa; f. tulisan “BANK INDONESIA”; g. gambar ornamen batik; - 6 - h. gambar lingkaran-lingkaran kecil; dan i. tulisan “PERURI”. (2) Ciri khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b, pada bagian belakang yang berupa desain dan teknik cetak, terdapat: a. warna dominan abu-abu; b. gambar saling isi (rectoverso) dari logo Bank Indonesia yang dapat dilihat secara utuh apabila diterawangkan ke arah cahaya; c. gambar raster berupa tulisan “NKRI” dan angka “2000”; d. mikroteks yang memuat tulisan “BI2000” dan angka “2000”, yang dapat dilihat dengan bantuan kaca pembesar; dan e. hasil cetak yang akan memendar apabila dilihat dengan sinar ultraviolet berupa: 1. gambar bunga jeumpa; 2. gambar sebagian pemandangan alam Ngarai Sianok; dan 3. nomor seri dengan bentuk asimetris yang meliputi 3 (tiga) huruf dan 6 (enam) angka. Pasal 8 Selain ciri khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) dan Pasal 7 ayat (2), uang Rupiah memiliki ciri khusus sebagai berikut: a. bahan berupa kertas uang yang memiliki spesifikasi: 1. terbuat dari serat kapas; 2. berwarna abu-abu; 3. tidak memendar dengan sinar ultraviolet; 4. terdapat tanda air (watermark) berupa gambar Pahlawan Nasional Pangeran Antasari; dan 5. terdapat benang pengaman yang memuat tulisan “BI 2000” secara berulang, yang akan memendar apabila dilihat dengan sinar ultraviolet; dan b. ukuran yaitu panjang 141 (seratus empat puluh satu) milimeter dan lebar 65 (enam puluh lima) milimeter. - 7 - Pasal 9 Uang Rupiah kertas khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dikeluarkan paling banyak: a. 10.000 (sepuluh ribu) lembaran yang masing-masing memuat 2 (dua) lembar (bilyet); b. 10.000 (sepuluh ribu) lembaran yang masing-masing memuat 4 (empat) lembar (bilyet); dan c. 100 (seratus) lembaran yang masing-masing memuat 50 (lima puluh) lembar (bilyet). Pasal 10 Harga jual lembaran uang Rupiah kertas khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ditetapkan oleh Bank Indonesia. Pasal 11 Setiap lembaran uang Rupiah kertas khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dilengkapi dengan sertifikat keaslian dari Bank Indonesia. Pasal 12 (1) Pengedaran uang Rupiah kertas khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dilakukan dengan cara menjual secara langsung atau secara lelang kepada masyarakat. (2) Penjualan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Bank Indonesia atau pihak lain yang ditunjuk oleh Bank Indonesia. Pasal 13 (1) Uang Rupiah kertas khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dapat ditukarkan kepada Bank Indonesia atau pihak lain yang ditunjuk oleh Bank Indonesia. (2) Penukaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan penggantian untuk masing-masing lembar (bilyet) dalam bentuk uang Rupiah lainnya yang bukan uang Rupiah khusus. - 8 - (3) Besarnya nilai penggantian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penukaran uang Rupiah. Pasal 14 Uang Rupiah khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 mulai berlaku dan diedarkan pada tanggal 19 Desember 2016. Pasal 15 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. - 9 - Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 26 Oktober 2016 GUBERNUR BANK INDONESIA, AGUS D. W. MARTOWARDOJO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 28 Oktober 2016 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 221
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 18/37/PBI/2016 </reg_id> <reg_title> PENGELUARAN UANG RUPIAH KERTAS BERSAMBUNG PECAHAN 2.000 (DUA RIBU) TAHUN EMISI 2016 </reg_title> <set_date> 26 Oktober 2016 </set_date> <effective_date> 28 Oktober 2016 </effective_date> <issued_date> 28 Oktober 2016 </issued_date> <related_reg> '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '6/UU/2009', '7/UU/2011' </related_reg>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 6/15/PBI/2004 TENTANG GIRO WAJIB MINIMUM BANK UMUM PADA BANK INDONESIA DALAM RUPIAH DAN VALUTA ASING GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kondisi perekonomian nasional yang stabil perlu tetap dijaga antara lain melalui stabilitas moneter; b. bahwa stabilitas moneter dapat dicapai melalui pengendalian uang beredar yang antara lain dilakukan melalui pengaturan likuiditas penetapan giro wajib minimum; perbankan kondisi termasuk c. bahwa pengaturan mengenai giro wajib minimum yang berlaku perlu disesuaikan dengan perbankan dari waktu ke waktu; likuiditas d. bahwa sehubungan dengan itu dipandang perlu untuk mengatur kembali ketentuan mengenai giro wajib minimum pada Bank Indonesia dalam rupiah dan valuta asing dalam suatu Peraturan Bank Indonesia; Mengingat: 1. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor … - 2 - Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3790); 2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3843) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4357); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG GIRO WAJIB MINIMUM BANK UMUM PADA BANK INDONESIA DALAM RUPIAH DAN VALUTA ASING BANK UMUM. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan: 1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998, termasuk kantor cabang bank asing, yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional; 2. Bank … - 3 - 2. Bank Devisa adalah Bank yang memperoleh surat penunjukan dari Bank Indonesia untuk dapat melakukan kegiatan usaha perbankan dalam valuta asing; 3. Dana Pihak Ketiga Bank, untuk selanjutnya disebut DPK, adalah kewajiban Bank kepada penduduk dan bukan penduduk dalam rupiah dan valuta asing; 4. Giro Wajib Minimum (statutory reserve), atau yang untuk selanjutnya disebut GWM, adalah simpanan minimum yang harus dipelihara oleh Bank dalam bentuk saldo rekening giro pada Bank Indonesia yang besarnya ditetapkan oleh Bank Indonesia sebesar persentase tertentu dari DPK; 5. Rekening Giro adalah rekening pihak eksternal tertentu di Bank Indonesia yang merupakan sarana bagi penatausahaan transaksi dari simpanan yang penarikannya dapat dilakukan setiap saat; 6. Rekening Giro dalam Rupiah, yang untuk selanjutnya disebut Rekening Giro Rupiah, adalah Rekening Giro dalam mata uang rupiah yang penarikannya dapat dilakukan dengan menggunakan cek Bank Indonesia, bilyet giro Bank Indonesia, atau sarana lainnya sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku tentang Hubungan Rekening Giro Antara Bank Indonesia Dengan Pihak Ekstern; 7. Rekening Giro dalam valuta asing, yang untuk selanjutnya disebut Rekening Giro Valas, adalah Rekening Giro dalam valuta asing yang penarikannya dapat dilakukan dengan cara pemindahbukuan atau sarana lainnya sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku tentang Hubungan Rekening Giro Antara Bank Indonesia Dengan Pihak Ekstern; 8. Pasar Uang Antar Bank, yang untuk selanjutnya disebut PUAB, adalah kegiatan pinjam meminjam antara satu Bank dengan Bank lainnya; 9. Pusat … - 4 - 9. Pusat Informasi Pasar Uang, yang untuk selanjutnya disebut PIPU, adalah suatu sistem otomasi yang menyediakan informasi yang meliputi namun tidak terbatas pada pasar uang rupiah dan valuta asing serta informasi lainnya yang terkait dengan pasar keuangan bagi anggota, pelanggan, dan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku tentang Pusat Informasi Pasar Uang; 10. Suku Bunga PUAB adalah rata-rata tertimbang suku bunga yang terjadi di PUAB pagi dan sore pada hari pelanggaran GWM terjadi, yang tercatat pada PIPU; 11. Jakarta Interbank Offered Rate, yang untuk selanjutnya disebut JIBOR, adalah suku bunga antar bank untuk berbagai ditawarkan oleh bank-bank tertentu di Jakarta. Pasal 2 (1) Bank wajib memelihara GWM dalam rupiah. (2) Bank Devisa selain wajib memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) juga wajib memelihara GWM dalam valuta asing. Pasal 3 (1) GWM dalam rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) ditetapkan sebesar 5% (lima perseratus) dari DPK dalam rupiah. (2) Selain memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) bagi: a. Bank yang memiliki DPK dalam rupiah lebih besar dari Rpl.000.000.000.000,00 (satu triliun rupiah) sampai dengan Rp10.000.000.000.000,00 (sepuluh triliun rupiah), wajib memelihara tambahan … jangka waktu yang - 5 - tambahan GWM dalam rupiah sebesar 1% (satu perseratus) dari DPK dalam rupiah; b. Bank yang memiliki DPK dalam rupiah lebih besar dari Rp10.000.000.000.000,00 (sepuluh triliun rupiah) sampai dengan Rp50.000.000.000.000,00 (lima puluh triliun rupiah), wajib memelihara tambahan GWM dalam rupiah sebesar 2% (dua perseratus) dari DPK dalam rupiah; c. Bank yang memiliki DPK dalam rupiah lebih besar dari (3) Bank Rp50.000.000.000.000,00 (lima puluh triliun rupiah), wajib memelihara tambahan GWM dalam rupiah sebesar 3% (tiga perseratus) dari DPK dalam rupiah. yang memiliki DPK dalam rupiah sampai dengan Rpl.000.000.000.000,00 (satu triliun rupiah) tidak dikenakan kewajiban tambahan GWM sebagaimana dimaksud dalam ayat (2). Pasal 4 GWM dalam valuta asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) ditetapkan sebesar 3% (tiga perseratus) dari DPK dalam valuta asing. Pasal 5 Persentase GWM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 4 dapat disesuaikan dari waktu ke waktu dengan mempertimbangkan kondisi perekonomian dan arah kebijakan Bank Indonesia. BAB II … - 6 - BAB II REKENING GIRO BANK PADA BANK INDONESIA Pasal 6 (1) Setiap Bank wajib memelihara Rekening Giro Rupiah pada Bank Indonesia. (2) Bank Devisa selain wajib memelihara Rekening Giro Rupiah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) juga wajib memelihara Rekening Giro Valas pada Bank Indonesia. (3) Tata cara pembukaan, penyetoran, penarikan dan penutupan Rekening Giro Rupiah dan Rekening Giro Valas Bank sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), ditetapkan berdasarkan ketentuan Bank Indonesia yang berlaku tentang Hubungan Rekening Giro Antara Bank Indonesia Dengan Pihak Ekstern. BAB III TATA CARA PEMELIHARAAN DAN PERHITUNGAN GIRO WAJIB MINIMUM Pasal 7 (1) Bank wajib memelihara GWM secara harian. (2) Kewajiban pemeliharaan GWM sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan pemenuhan persentase GWM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 4 dihitung dengan membandingkan jumlah saldo Rekening Giro Bank pada Bank Indonesia setiap hari dalam satu masa laporan terhadap rata-rata harian jumlah DPK dalam satu masa laporan pada dua masa laporan sebelumnya. (3) Informasi … - 7 - (3) Informasi mengenai DPK sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diperoleh dari data DPK yang disampaikan Bank kepada Bank Indonesia, sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia tentang Laporan Berkala Bank Umum. (4) Informasi mengenai saldo Rekening Giro Bank pada Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diperoleh dari sistem akunting Bank Indonesia. (5) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) berlaku untuk GWM dalam rupiah dan GWM dalam valuta asing. Pasal 8 Saldo Rekening Giro Bank pada Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) masing-masing terdiri dari: a. saldo Rekening Giro Rupiah Bank pada Bank Indonesia; b. saldo Rekening Giro Valas Bank pada Bank Indonesia. Pasal 9 (1) DPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) terdiri dari: a. jumlah DPK dalam rupiah pada seluruh kantor Bank di Indonesia; b. jumlah DPK dalam valuta asing pada seluruh kantor Bank di Indonesia. (2) DPK dalam rupiah meliputi kewajiban dalam rupiah kepada pihak ketiga bukan bank, baik kepada penduduk maupun bukan penduduk, yang terdiri dari: a. giro; b. simpanan berjangka; c. tabungan; dan d. kewajiban-kewajiban lainnya. (3) DPK … - 8 - (3) DPK dalam valuta asing meliputi kewajiban dalam valuta asing kepada pihak ketiga, termasuk bank di Indonesia, baik kepada penduduk maupun bukan penduduk, yang terdiri dari: a. giro; b. simpanan berjangka; dan c. kewajiban-kewajiban lainnya. BAB IV PELAPORAN Pasal 10 Bank wajib menyampaikan laporan mengenai DPK dan pos-pos neraca mingguan, dalam rupiah dan valuta asing, secara berkala kepada Bank Indonesia sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia tentang Laporan Berkala Bank Umum. BAB V JASA GIRO Pasal 11 (1) Bank Indonesia memberikan jasa giro setiap hari kerja terhadap bagian saldo Rekening Giro Rupiah Bank yang diperuntukkan untuk pemenuhan kewajiban tambahan GWM dalam rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf a, huruf b, atau huruf c, sebesar 3% (tiga perseratus) per-tahun. (2) Kebijakan pemberian jasa giro dan atau persentase jasa giro sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat disesuaikan dari waktu ke waktu dengan mempertimbangkan kondisi perekonomian dan arah kebijakan Indonesia. Pasal 12 … Bank - 9 - Pasal 12 Pemberian jasa giro sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 tidak berlaku bagi: a. bagian saldo Rekening Giro Rupiah Bank untuk pemenuhan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1); b. bagian saldo Rekening Giro Rupiah Bank yang melebihi kewajiban GWM, bagi Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3); c. bagian saldo Rekening Giro Rupiah Bank yang melebihi kewajiban tambahan GWM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf a, huruf b, atau huruf c; d. bagian saldo Rekening Giro Rupiah Bank yang merupakan kewajiban tambahan pemeliharaan GWM dalam rupiah yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf a, huruf b, atau huruf c. BAB VI SANKSI Pasal 13 Bank dinyatakan melanggar GWM apabila saldo harian Rekening Giro Bank pada Bank Indonesia lebih kecil dari saldo harian Rekening Giro Bank yang wajib dipelihara untuk pemenuhan GWM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2), dan Pasal 4. Pasal 14 (1) Dalam hal terjadi pelanggaran GWM dalam rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan Rekening Giro Rupiah Bank dimaksud bersaldo positif, maka Bank dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar 125% (seratus dua … - 10 - dua puluh lima perseratus) dari rata-rata suku bunga jangka waktu 1 (satu) hari overnight dari JIBOR pada hari terjadinya pelanggaran, terhadap kekurangan GWM dalam rupiah, untuk setiap hari pelanggaran. (2) Dalam hal terjadi pelanggaran GWM dalam rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan Rekening Giro Rupiah Bank dimaksud bersaldo negatif, maka Bank dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar: a. 125% (seratus dua puluh lima perseratus) dari rata-rata suku bunga jangka waktu 1 (satu) hari overnight dari JIBOR pada hari terjadinya pelanggaran, terhadap GWM dalam rupiah yang wajib dipelihara; ditambah dengan b. 150% (seratus lima puluh perseratus) dari Suku Bunga PUAB untuk jangka waktu 1 (satu) hari, yang tercatat di PIPU, terhadap saldo negatif, untuk setiap hari pelanggaran. Pasal 15 (1) Dalam hal terjadi pelanggaran GWM dalam valuta asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, maka Bank dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar 0,04% per hari kerja, yang dihitung dari selisih antara saldo harian Rekening Giro Valas Bank pada Bank Indonesia yang wajib dipelihara dengan saldo harian Rekening Giro Valas Bank yang dicatat pada sistem akunting Bank Indonesia. (2) Sanksi kewajiban membayar sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibayarkan dalam valuta rupiah dengan menggunakan kurs transaksi Bank Indonesia pada hari terjadinya pelanggaran. Pasal 16 … - 11 - Pasal 16 Selain dikenakan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 dan Pasal 15, Bank yang tidak memenuhi kewajiban pemeliharaan GWM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2), dan atau Pasal 4, dapat dikenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998. BAB VII KETENTUAN LAIN Pasal 17 (1) Pemberian jasa giro sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dan pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 dan Pasal 15 dilaksanakan dengan pengkreditan atau pendebetan Rekening Giro Rupiah Bank pada Bank Indonesia. (2) Dalam hal pendebetan Rekening Giro Rupiah Bank sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mengakibatkan Rekening Giro Rupiah Bank tersebut bersaldo negatif maka Bank juga dikenakan sanksi atas saldo negatif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2) huruf b. BAB VIII PENUTUP Pasal 18 Dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini maka: a. Surat … - 12 - a. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 28/113/KEP/DIR tanggal 14 Desember 1995 tentang Giro Wajib Minimum Bank Umum pada Bank Indonesia Dalam Rupiah dan Valuta Asing; b. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 30/89A/KEP/DIR tanggal 20 Oktober 1997 tentang perubahan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 28/113/KEP/DIR tanggal 14 Desember 1995 tentang Giro Wajib Minimum Bank Umum pada Bank Indonesia Dalam Rupiah dan Valuta Asing sebagaimana telah diubah terakhir dengan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 30/86/KEP/DIR tanggal 7 Oktober 1997; c. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 31/2B/KEP/DIR tanggal 6 April 1998 tentang Perubahan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 28/113/KEP/DIR tanggal 14 Desember 1995 tentang Giro Wajib Minimum Bank Umum pada Bank Indonesia Dalam Rupiah dan Valuta Asing sebagaimana telah diubah terakhir dengan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor Nomor 30/89A/KEP/DIR tanggal 20 Oktober 1997; d. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 31/55/KEP/DIR tanggal 1 Juli 1998 tentang Fasilitas Diskonto, Pelanggaran Giro Wajib Minimum Dalam Rupiah dan Saldo Giro Negatif Pada Bank Indonesia, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 19 Peraturan Bank Indonesia ini berlaku sejak tanggal 1 Juli 2004. Ditetapkan … - 13 - Ditetapkan di : Jakarta Pada tanggal : 28 Juni 2004 a.n. GUBERNUR BANK INDONESIA Ttd. ANWAR NASUTION DEPUTI GUBERNUR SENIOR LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2004 NOMOR 55 DKM/DPM/DPNP PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 6/15/PBI/2004 TENTANG GIRO WAJIB MINIMUM BANK UMUM PADA BANK INDONESIA DALAM RUPIAH DAN VALUTA ASING UMUM Terciptanya stabilitas moneter, antara lain melalui pengendalian tingkat inflasi, merupakan hal yang sangat diperlukan dalam rangka mewujudkan kondisi perekonomian yang stabil. Upaya pengendalian tingkat inflasi antara lain dilakukan dengan menyeimbangkan jumlah penawaran uang dengan permintaan uang yang sesuai dengan kondisi dan arah perekonomian. Salah satu piranti moneter yang dapat digunakan Bank Indonesia untuk menyeimbangkan permintaan dan penawaran uang tersebut adalah dengan mengendalikan likuiditas perbankan melalui penerapan giro wajib minimum yang merupakan perbandingan antara saldo giro bank yang wajib ditempatkan pada Bank Indonesia terhadap dana pihak ketiga yang dimiliki bank. Mengingat perkembangan kondisi perekonomian yang dinamis maka penerapan kebijakan giro wajib minimum dapat disesuaikan dari waktu ke waktu sejalan dengan arah kebijakan Bank Indonesia. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Angka 1 sampai dengan angka 11 Cukup jelas. Pasal 2 … - 2 - Pasal 2 Ayat (1) dan ayat (2) Kewajiban pemeliharaan GWM bagi setiap Bank merupakan salah satu cara pengendalian uang beredar dalam rangka melaksanakan tugas Bank Indonesia untuk mencapai stabilitas moneter. Pasal 3 Ayat (1) GWM dalam rupiah sebesar 5% (lima perseratus) wajib dipenuhi oleh seluruh Bank tanpa memperhatikan jumlah DPK dalam rupiah yang dimiliki. Ayat (2) Huruf a Sebagai contoh: Bank mempunyai DPK dalam rupiah Rp5.000.000.000.000,00 (lima triliun rupiah). Bank wajib memelihara GWM dalam rupiah sebesar: a. 5% (lima perseratus) dari Rp5.000.000.000.000,00 (lima triliun rupiah); ditambah dengan b. 1% (satu perseratus) dari Rp5.000.000.000.000,00 (lima triliun rupiah). Huruf b Sebagai contoh: Bank mempunyai DPK dalam rupiah Rp25.000.000.000.000,00 (dua puluh lima triliun rupiah). Bank wajib memelihara GWM dalam rupiah sebesar: a. 5% … - 3 - a. 5% (lima perseratus) dari Rp25.000.000.000.000,00 (dua puluh lima triliun rupiah); ditambah dengan b. 2% (dua perseratus) dari Rp25.000.000.000.000,00 (dua puluh lima triliun rupiah). Huruf c Sebagai contoh: Bank mempunyai DPK dalam rupiah Rp55.000.000.000.000,00 (lima puluh lima triliun rupiah). Bank wajib memelihara GWM dalam rupiah sebesar: a. 5% (lima perseratus) dari Rp55.000.000.000.000,00 (lima puluh lima triliun rupiah); ditambah dengan b. 3% (tiga perseratus) dari Rp55.000.000.000.000,00 (lima puluh lima triliun rupiah). Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 4 Cukup jelas. Pasal 5 Cukup jelas. Pasal 6 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat(2) … - 4 - Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Sehubungan dengan pemeliharaan Giro Wajib Minimum dalam valuta asing pada Bank Indonesia dapat dikemukakan bahwa penyetoran dan penarikan Rekening Giro Valas Bank hanya dapat dilakukan melalui pemindahbukuan dengan menggunakan sarana berupa SWIFT atau warkat standar intern Bank Indonesia yang didasarkan atas teleks atau surat permintaan transfer dari Bank. Apabila Bank menyetor valuta asing dengan pemindahbukuan melalui bank koresponden di luar negeri, maka Bank memerintahkan bank koresponden untuk mendebet rekening gironya untuk untung rekening Bank Indonesia pada The Federal Reserve Bank of New York, New York (FRB). Selanjutnya Bank Indonesia akan mengkredit Rekening Giro Valas Bank pada tanggal valutanya atas dasar sarana SWIFT atau warkat standar intern Bank Indonesia yang didasarkan atas teleks dari pemegang Rekening Giro tersebut selambat-lambatnya pukul 14:00 WIB pada tanggal valuta tersebut. Apabila pengkreditan rekening Bank Indonesia pada FRB melampaui tanggal valuta yang diberitahukan, maka Bank Indonesia akan membebankan bunga atas keterlambatan tersebut. Pembebanan bunga tersebut akan dilakukan pada Rekening Giro Rupiah Bank pada Bank Indonesia, berdasarkan suku bunga Federal Funds Rate dengan kurs jual USD/IDR Bank Indonesia pada tanggal perkreditan. Penarikan Rekening Giro Valas Bank hanya dapat dilakukan menggunakan sarana SWIFT atau teleks. Permintaan penarikan Rekening Giro Valas Bank dapat dilaksanakan apabila permintaan dimaksud telah diterima oleh Bank Indonesia selambat-lambatnya 2 (dua) hari kerja sebelum tanggal valuta. Biaya … - 5 - Biaya pelaksanaan transaksi dimaksud diatas dibebankan pada Rekening Giro Rupiah Bank pada Bank Indonesia. Pasal 7 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Formula perhitungan persentase GWM adalah sebagai berikut: Jumlah harian saldo Rekening Giro Bank yang tercatat di Bank Indonesia setiap hari dalam 1 (satu) masa laporan. x 100% Rata-rata harian jumlah DPK Bank dalam 1 (satu) masa laporan pada 2 (dua) masa laporan sebelumnya. Persentase GWM Bank dalam rupiah atau valuta asing sebagaimana dimaksud diatas didasarkan pada DPK Bank sebagai berikut: a. GWM harian untuk masa laporan sejak tanggal 1 sampai dengan 7 adalah sebesar persentase GWM yang ditetapkan dari rata-rata DPK dalam masa laporan sejak tanggal 16 sampai dengan tanggal 23 bulan sebelumnya; b. GWM harian untuk masa laporan sejak tanggal 8 sampai dengan tanggal 15 adalah persentase GWM yang ditetapkan dari rata-rata DPK dalam masa laporan sejak tanggal 24 sampai dengan akhir bulan sebelumnya; c. GWM harian untuk masa laporan sejak tanggal 16 sampai dengan tanggal 23 adalah sebesar persentase GWM yang ditetapkan dari rata- rata … - 6 - rata DPK dalam masa laporan sejak tanggal 1 sampai dengan tanggal 7 bulan yang sama; d. GWM harian untuk masa laporan sejak tanggal 24 sampai dengan tanggal akhir bulan adalah sebesar persentase GWM yang ditetapkan dari rata-rata DPK dalam masa laporan sejak tanggal 8 sampai dengan tanggal 15 bulan yang sama. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 8 Huruf a dan huruf b Bagi Bank yang juga melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, saldo Rekening Giro Bank tidak termasuk saldo Rekening Giro unit usaha syariah. Pasal 9 Ayat (1) Huruf a dan huruf b Bagi Bank yang juga melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, dalam menentukan DPK tidak termasuk DPK yang dilaporkan unit usaha syariah. Ayat (2) … - 7 - Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud dengan giro dalam rupiah adalah komponen giro sebagaimana dimaksud dalam penjelasan komponen Dana Pihak Ketiga Dalam Rupiah dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku tentang Laporan Berkala Bank Umum. Huruf b Yang dimaksud dengan simpanan berjangka dalam rupiah adalah komponen simpanan berjangka sebagaimana dimaksud dalam penjelasan komponen Dana Pihak Ketiga Dalam Rupiah dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku tentang Laporan Berkala Bank Umum. Huruf c Yang dimaksud dengan tabungan dalam rupiah adalah komponen tabungan sebagaimana dimaksud dalam penjelasan komponen Dana Pihak Ketiga Dalam Rupiah dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku tentang Laporan Berkala Bank Umum. Huruf d Yang dimaksud dengan kewajiban-kewajiban lainnya dalam rupiah adalah kewajiban-kewajiban lainnya kepada pihak ketiga bukan bank sebagaimana dimaksud dalam penjelasan komponen Dana Pihak Ketiga Dalam Rupiah dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku tentang Laporan Berkala Bank Umum. Ayat (3) Huruf a Yang dimaksud dengan giro dalam valuta asing adalah komponen giro sebagaimana dimaksud dalam penjelasan komponen Dana Pihak … - 8 - Pihak Ketiga Dalam Valuta Asing dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku tentang Laporan Berkala Bank Umum. Huruf b Yang dimaksud dengan simpanan berjangka dalam valuta asing adalah komponen simpanan berjangka sebagaimana dimaksud dalam penjelasan komponen Dana Pihak Ketiga Dalam Valuta Asing dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku tentang Laporan Berkala Bank Umum. Huruf c Yang dimaksud dengan kewajiban-kewajiban lainnya dalam valuta asing adalah kewajiban-kewajiban lainnya kepada pihak ketiga termasuk bank sebagaimana dimaksud dalam penjelasan komponen Dana Pihak Ketiga Dalam Valuta Asing dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku tentang Laporan Berkala Bank Umum. Pasal 10 Cukup jelas. Pasal 11 Ayat (1) Tingkat bunga sebesar 3% (tiga perseratus) merupakan tingkat bunga efektif tahunan (effective annual rate) yang ditentukan berdasarkan periode compounding harian selama 360 hari. Contoh perhitungan: Bank A memiliki rata-rata harian DPK dalam rupiah dalam masa laporan sejak … - 9 - sejak tanggal 8 sampai dengan tanggal 15 bulan Januari sebesar Rp55.000.000.000.000,00 (lima puluh lima triliun rupiah). GWM harian yang wajib diperlihara untuk masa laporan sejak tanggal 24 sampai dengan tanggal akhir bulan Januari adalah sebesar: a. 5% (lima perseratus) dari Rp55.000.000.000.000,00 (lima puluh lima triliun rupiah) yaitu sebesar Rp2.750.000.000.000,00 (dua triliun tujuh ratus lima puluh miliar rupiah), sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1); ditambah dengan b. 3% (tiga perseratus) dari Rp55.000.000.000.000,00 (lima puluh lima triliun rupiah) yaitu sebesar Rp1.650.000.000.000,00 (satu triliun enam ratus lima puluh miliar rupiah), sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2). Saldo Rekening Giro Rupiah Bank A pada Bank Indonesia pada tanggal 24 Januari adalah sebesar Rp4.400.000.000.000,00 (empat triliun empat ratus miliar rupiah) atau 8% dari DPK dalam rupiah. Bagi Bank A, jasa giro pada tanggal 24 Januari hanya diberikan terhadap bagian saldo Rekening Giro Rupiah yang ditempatkan untuk pemenuhan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2), yaitu sebesar Rp1.650.000.000.000,00 (satu triliun enam ratus lima puluh miliar rupiah) dengan cara perhitungan sebagai berikut: 0,0082% x Rp1.650.000.000.000,00 Sementara itu, terhadap bagian saldo Rekening Giro Rupiah yang ditempatkan untuk pemenuhan GWM 5% yaitu sebesar Rp2.750.000.000.000,00 (dua triliun tujuh ratus lima puluh miliar rupiah) tidak diberikan jasa giro. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 12 … - 10 - Pasal 12 Huruf a dan huruf b Contoh perhitungan: Bank A memiliki rata-rata harian DPK dalam rupiah dalam masa laporan sejak tanggal 8 sampai dengan tanggal 15 bulan Januari sebesar Rp800.000.000.000,00 (delapan ratus miliar rupiah). GWM harian yang wajib dipelihara untuk masa laporan sejak tanggal 24 sampai dengan tanggal akhir bulan Januari adalah sebesar 5% (lima perseratus) dari Rp800.000.000.000,00 (delapan ratus miliar rupiah), yaitu sebesar Rp40.000.000.000,00 (empat puluh miliar rupiah), sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1). Saldo Rekening Giro Rupiah Bank A pada Bank Indonesia pada tanggal 24 Januari adalah sebesar Rp80.000.000.000,00 (delapan puluh miliar rupiah) atau 10% dari DPK dalam rupiah. Terhadap bagian saldo Rekening Giro Rupiah Bank untuk pemenuhan GWM 5% yaitu Rp Rp40.000.000.000,00 (empat puluh miliar rupiah) dan saldo Rekening Giro Rupiah Bank yang melebihi pemenuhan GWM sebesar 5% yaitu Rp40.000.000.000,00 (empat puluh miliar rupiah), tidak diberikan jasa giro. Huruf c Contoh perhitungan: Bank B memiliki rata-rata harian DPK dalam rupiah dalam masa laporan sejak tanggal 8 sampai dengan tanggal 15 bulan Januari Rp5.000.000.000.000,00 (lima triliun rupiah). GWM harian untuk masa laporan sejak tanggal 24 sampai dengan tanggal akhir bulan Januari adalah sebesar: a. 5% … sebesar - 11 - a. 5% (lima perseratus) dari Rp5.000.000.000.000,00 (lima triliun rupiah) yaitu sebesar Rp250.000.000.000,00 (dua ratus lima puluh miliar rupiah), sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat ditambah dengan b. 1% (satu perseratus) dari Rp5.000.000.000.000,00 (lima triliun rupiah) yaitu sebesar Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah), sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2). Saldo Rekening Giro Rupiah Bank B pada Bank Indonesia pada tanggal 24 Januari adalah sebesar Rp400.000.000.000,00 (empat ratus miliar rupiah) atau 8% dari DPK dalam rupiah. Bagi Bank B, jasa giro pada tanggal 24 Januari hanya diberikan terhadap bagian saldo Rekening Giro Rupiah Bank yang ditempatkan untuk pemenuhan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2), yaitu sebesar Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) dengan cara perhitungan sebagai berikut: 0,0082% x Rp50.000.000.000,00 Sementara itu, terhadap bagian saldo Rekening Giro Rupiah Bank yang ditempatkan untuk pemenuhan GWM 5% yaitu sebesar Rp250.000.000.000,00 (dua ratus lima puluh miliar rupiah) dan sisa saldo Rekening Giro Rupiah Bank yang melebihi pemenuhan GWM yaitu sebesar Rp100.000.000.000,00 (seratus milar rupiah) atau 2% dari DPK dalam rupiah, tidak diberikan jasa giro. Huruf d Contoh perhitungan: Bank A memiliki rata-rata harian DPK dalam rupiah dalam masa laporan sejak tanggal 8 sampai dengan tanggal 15 bulan Januari Rp20.000.000.000.000,00 (dua puluh triliun rupiah). GWM … (1); sebesar - 12 - GWM harian yang wajib dipelihara untuk masa laporan sejak tanggal 24 sampai dengan tanggal akhir bulan Januari adalah sebesar: a. 5% (lima perseratus) dari Rp20.000.000.000.000,00 (dua puluh triliun rupiah) yaitu sebesar Rp1.000.000.000.000,00 (satu triliun rupiah), sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1); ditambah dengan b. 2% (tiga perseratus) dari Rp20.000.000.000.000,00 (dua puluh triliun rupiah) yaitu sebesar Rp400.000.000.000,00 (empat rupiah), sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2). Saldo Rekening Giro Rupiah Bank A pada Bank Indonesia pada tanggal 24 Januari adalah sebesar Rp1.200.000.000.000,00 (satu triliun dua ratus miliar rupiah) atau 6% dari DPK dalam rupiah, sehingga kekurangan sebesar Rp200.000.000.000,00 (dua ratus miliar pemenuhan GWM 5% yaitu ratus miliar terdapat rupiah). Untuk seluruh saldo Rekening Giro Rupiah Bank, baik bagian yang diperuntukkan untuk sebesar Rp1.000.000.000.000,00 (satu triliun rupiah) maupun bagian kewajiban tambahan pemeliharaan GWM yang sebagaimana dimaksud dalam tidak memenuhi Pasal 3 ayat (2) yaitu Rp200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah) , tidak diberikan jasa giro. Pasal 13 Cukup jelas. Pasal 14 Ayat (1) Yang dimaksud dengan hari adalah hari kerja. Contoh … ketentuan sebesar - 13 - Contoh 1 perhitungan sanksi: Bank A memiliki rata-rata harian DPK dalam rupiah dalam masa laporan sejak tanggal 8 sampai dengan tanggal 15 bulan Januari Rp20.000.000.000.000,00 (dua puluh triliun rupiah). GWM harian untuk masa laporan sejak tanggal 24 sampai dengan tanggal akhir bulan Januari adalah sebesar: a. 5% (lima perseratus) dari Rp20.000.000.000.000,00 (dua puluh triliun rupiah) yaitu sebesar Rp1.000.000.000.000,00 (satu triliun rupiah), sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1); ditambah dengan b. 2% (dua perseratus) dari Rp20.000.000.000.000,00 (dua puluh triliun rupiah) yaitu sebesar Rp400.000.000.000,00 (empat rupiah), sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2). Saldo Rekening Giro Rupiah Bank A pada Bank Indonesia pada tanggal 24 Januari adalah sebesar Rp1.200.000.000.000,00 (satu triliun dua ratus miliar rupiah) atau 6% dari DPK dalam rupiah, sehingga ratus miliar sebesar terdapat kekurangan pemenuhan GWM sebesar Rp200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah). Suku Bunga JIBOR pada tanggal 24 Januari adalah sebesar 6% (enam perseratus). Perhitungan sanksi kewajiban membayar atas pelanggaran GWM rupiah untuk Bank A pada tanggal 24 Januari adalah sebagai berikut: Kekurangan GWM x 125% x suku bunga JIBOR x hari kerja 360 x 100 yaitu … - 14 - yaitu Rp200.000.000.000,00 x 1,25 x 6 x 1 360 x 100 Yang dimaksud dengan hari adalah hari kerja. Contoh 2 perhitungan sanksi: Bank B memiliki rata-rata harian DPK dalam rupiah dalam masa laporan sejak tanggal 8 sampai dengan tanggal 15 bulan Januari Rp800.000.000.000,00 (delapan ratus miliar rupiah). GWM harian untuk masa laporan sejak tanggal 24 sampai dengan tanggal akhir bulan Januari adalah sebesar 5% (lima perseratus) sebesar dari Rp800.000.000.000,00 (delapan ratus miliar rupiah) yaitu sebesar 40.000.000.000,00 (empat puluh miliar rupiah), sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1). Saldo Rekening Giro Rupiah Bank B pada Bank Indonesia pada tanggal 24 Januari adalah sebesar Rp20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah) atau 2.5% dari DPK Bank, sehingga terdapat kekurangan pemenuhan GWM sebesar Rp20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah). Suku Bunga JIBOR pada tanggal 24 Januari adalah sebesar 6% (enam perseratus). Perhitungan sanksi kewajiban membayar atas pelanggaran GWM rupiah untuk Bank B pada tanggal 24 Januari adalah sebagai berikut: Kekurangan GWM x 125% x suku bunga JIBOR x hari kerja 360 x 100 yaitu … - 15 - yaitu Rp20.000.000.000,00 x 1,25 x 6 x 1 360 x 100 Ayat (2) Contoh perhitungan sanksi: Bank A memiliki rata-rata harian DPK dalam rupiah dalam masa laporan sejak tanggal 8 sampai dengan tanggal 15 bulan Januari Rp20.000.000.000.000,00 (dua puluh triliun rupiah). GWM harian yang wajib dipelihara untuk masa laporan sejak tanggal 24 sampai dengan tanggal akhir bulan Januari adalah sebesar: a. 5% (lima perseratus) dari Rp20.000.000.000.000,00 (dua puluh triliun rupiah) yaitu sebesar Rp1.000.000.000.000,00 (satu triliun rupiah), sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1); ditambah dengan b. 2% (dua perseratus) dari Rp20.000.000.000.000,00 (dua puluh triliun rupiah) yaitu sebesar Rp400.000.000.000,00 (empat rupiah), sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2). ratus miliar Saldo Rekening Giro Rupiah Bank A pada Bank Indonesia pada tanggal 24 Januari adalah sebesar -Rp1.200.000.000.000,00 (minus satu triliun dua ratus miliar rupiah), sehingga terdapat kekurangan pemenuhan GWM yang wajib dipelihara sebesar Rp1.400.000.000.000,00 (satu triliun empat ratus miliar rupiah) dan saldo negatif sebesar Rp1.200.000.000.000,00 (minus satu triliun dua ratus miliar rupiah). Suku Bunga JIBOR pada tanggal 24 Januari adalah sebesar 6% (enam perseratus). Suku bunga PUAB pada tanggal 24 Januari adalah sebesar 7% (tujuh perseratus). Perhitungan … sebesar - 16 - Perhitungan sanksi kewajiban membayar atas pelanggaran GWM rupiah untuk Bank A pada tanggal 24 Januari adalah sebagai berikut: GWM rupiah yang wajib dipelihara x 125% x suku bunga JIBOR x hari kerja 360 x 100 yaitu Rp1.400.000.000.000,00 x 1,25 x6x 1 360 x 100 ditambah dengan perkalian jumlah saldo negatif Rekening Giro Rupiah Bank di Bank Indonesia dengan 150% dikali Suku Bunga PUAB untuk jangka waktu 1 (satu) hari, dengan rumus sebagai berikut: |saldo negatif| x 150% x Suku Bunga PUAB 1 hari yang tercatat pada PIPU x hari 360 x 100 yaitu 1.200.000.000.000,00 x 1,5 x 7 x 1 360 x 100 Pasal 15 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) … - 17 - Ayat (2) Yang dimaksud dengan kurs transaksi adalah kurs jual ditambah dengan kurs beli dibagi dua. Pasal 16 Cukup jelas Pasal 17 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 18 Cukup jelas. Pasal 19 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4390 DKM/DPM/DPNP
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 6/15/PBI/2004 </reg_id> <reg_title> GIRO WAJIB MINIMUM BANK UMUM PADA BANK INDONESIA DALAM RUPIAH DAN VALUTA ASING </reg_title> <set_date> 28 Juni 2004 </set_date> <effective_date> 1 Juli 2004 </effective_date> <replaced_reg> '31/55/KEP/DIR|SKDIR-BI/1998', '31/2B/KEP/DIR|SKDIR-BI/1998', '30/86/KEP/DIR|SKDIR-BI/1997', '30/89A/KEP/DIR|SKDIR-BI/1997', '28/113/KEP/DIR|SKDIR-BI/1995' </replaced_reg> <related_reg> '23/UU/1999', '7/UU/1992', '3/UU/2004', '10/UU/1998' </related_reg> <penalty_list> 'BAB VI' </penalty_list>
- 1 - PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 18/5/PBI/2016 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 17/9/PBI/2015 TENTANG PENYELENGGARAAN TRANSFER DANA DAN KLIRING BERJADWAL OLEH BANK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka mewujudkan penyelenggaraan kliring antar Bank lebih efisien, lancar, dan aman, diperlukan penyempurnaan pelaksanaan setelmen dana dan pihak yang dapat menerima transfer dana melalui Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia; b. bahwa dalam rangka meningkatkan perlindungan kepada nasabah pengguna Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia, diperlukan penyesuaian ketentuan mengenai sanksi atas pemenuhan kewajiban penyediaan dana dalam penyelenggaraan kliring antar Bank; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu melakukan perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 17/9/PBI/2015 tentang Penyelenggaraan Transfer Dana dan Kliring Berjadwal oleh Bank Indonesia; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun - 2 - 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962); 2. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2011 tentang Transfer Dana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia 5204); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 17/9/PBI/2015 TENTANG PENYELENGGARAAN TRANSFER DANA DAN KLIRING BERJADWAL OLEH BANK INDONESIA. Pasal I Beberapa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 17/9/PBI/2015 tentang Penyelenggaraan Transfer Dana dan Kliring Berjadwal oleh Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 122, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5704) diubah sebagai berikut: 1. Ketentuan Pasal 1 angka 16 dan angka 17 diubah sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut: Pasal 1 1. Penyelenggaraan Transfer Dana dan Kliring Berjadwal adalah kegiatan dalam rangka memproses - 3 - perhitungan hak dan kewajiban antar Peserta Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia yang setelmennya dilakukan pada waktu tertentu. 2. Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia yang selanjutnya disingkat SKNBI adalah infrastruktur yang digunakan oleh Bank Indonesia dalam Penyelenggaraan Transfer Dana dan Kliring Berjadwal untuk memproses Data Keuangan Elektronik pada Layanan Transfer Dana, Layanan Kliring Warkat Debit, Layanan Pembayaran Reguler, dan Layanan Penagihan Reguler. 3. Peserta SKNBI yang selanjutnya disebut Peserta adalah pihak yang telah memenuhi persyaratan dan telah memperoleh persetujuan dari Penyelenggara sebagai Peserta. 4. Layanan Transfer Dana adalah layanan dalam SKNBI yang memproses pemindahan sejumlah dana antar Peserta dari 1 (satu) pengirim kepada 1 (satu) penerima. 5. Layanan Kliring Warkat Debit adalah layanan dalam SKNBI yang memproses penagihan sejumlah dana yang dilakukan antar Peserta dari 1 (satu) pengirim tagihan kepada 1 (satu) penerima tagihan, disertai dengan fisik Warkat Debit. 6. Layanan Pembayaran Reguler adalah layanan dalam SKNBI yang memproses pemindahan sejumlah dana antar Peserta dari 1 (satu) atau beberapa pengirim kepada 1 (satu) atau beberapa penerima. 7. Layanan Penagihan Reguler adalah layanan dalam SKNBI yang memproses penagihan sejumlah dana antar Peserta dari 1 (satu) pengirim tagihan kepada beberapa penerima tagihan. 8. Data Keuangan Elektronik yang selanjutnya disingkat DKE adalah data keuangan dalam format - 4 - elektronik yang digunakan sebagai dasar perhitungan dalam penyelenggaraan SKNBI. 9. DKE Transfer Dana adalah DKE yang dibuat berdasarkan perintah transfer dana dan digunakan sebagai dasar perhitungan dalam Layanan Transfer Dana. 10. DKE Warkat Debit adalah DKE yang dibuat berdasarkan perintah transfer debit dan digunakan sebagai dasar perhitungan dalam Layanan Kliring Warkat Debit. 11. DKE Pembayaran adalah DKE yang dibuat berdasarkan perintah transfer dana dan digunakan sebagai dasar perhitungan dalam Layanan Pembayaran Reguler. 12. DKE Penagihan adalah DKE yang dibuat berdasarkan perintah transfer debit dan digunakan sebagai dasar perhitungan dalam Layanan Penagihan Reguler. 13. Warkat Debit adalah alat pembayaran nontunai yang diperhitungkan atas beban nasabah atau Bank melalui Layanan Kliring Warkat Debit. 14. Penyelenggara SKNBI yang selanjutnya disebut Penyelenggara adalah Bank Indonesia. 15. Peserta Langsung Utama yang selanjutnya disingkat PLU adalah Peserta yang mengirimkan DKE ke Penyelenggara menggunakan infrastruktur SKNBI dan Setelmen Dana dilakukan ke Rekening Setelmen Dana Peserta yang bersangkutan. 16. Peserta Langsung Afiliasi yang selanjutnya disingkat PLA adalah Peserta yang mengirimkan DKE ke Penyelenggara secara langsung dengan menggunakan infrastruktur SKNBI Peserta yang bersangkutan dan Setelmen Dana dilakukan ke Rekening Setelmen Dana bank pembayar. secara langsung dengan - 5 - 17. Peserta Tidak Langsung yang selanjutnya disingkat PTL adalah Peserta yang mengirimkan DKE ke Penyelenggara secara tidak langsung melalui bank penerus dan Setelmen Dana dilakukan ke Rekening Setelmen Dana bank penerus. 18. Setelmen Dana adalah kegiatan pendebitan dan pengkreditan Rekening Setelmen Dana melalui Sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement yang dilakukan berdasarkan perhitungan hak dan kewajiban masing-masing Peserta yang timbul dalam penyelenggaraan SKNBI. 19. Rekening Setelmen Dana adalah rekening Peserta dalam mata uang Rupiah yang ditatausahakan di Bank Indonesia. 20. Sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement yang selanjutnya disebut Sistem BI-RTGS adalah infrastruktur yang digunakan sebagai sarana transfer dana elektronik yang setelmennya dilakukan seketika per transaksi secara individual. 21. Prefund adalah dana yang disediakan oleh Peserta untuk memenuhi kewajiban dalam penyelenggaraan SKNBI. 22. Prefund Kredit adalah Prefund yang disediakan untuk Layanan Transfer Dana dan Layanan Pembayaran Reguler. 23. Prefund Debit adalah Prefund yang disediakan untuk Layanan Kliring Warkat Debit dan Layanan Penagihan Reguler. 24. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan termasuk kantor cabang dari bank di luar negeri dan Bank Umum Syariah termasuk Unit Usaha Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan syariah. - 6 - 25. Penyelenggara Transfer Dana Selain Bank adalah badan usaha berbadan hukum Indonesia bukan Bank yang telah memperoleh izin dari Bank Indonesia untuk menyelenggarakan kegiatan transfer dana. 26. Keadaan Tidak Normal adalah situasi atau kondisi yang terjadi sebagai akibat adanya gangguan atau kerusakan pada perangkat keras, perangkat lunak, jaringan komunikasi, aplikasi maupun sarana pendukung yang mempengaruhi kelancaran penyelenggaraan SKNBI. 27. Keadaan Darurat adalah suatu keadaan yang terjadi di luar kekuasaan Penyelenggara dan/atau Peserta yang menyebabkan kegiatan operasional SKNBI tidak dapat diselenggarakan yang diakibatkan oleh, tetapi tidak terbatas pada kebakaran, kerusuhan massa, sabotase, dan bencana alam seperti gempa bumi dan banjir yang dinyatakan oleh pihak penguasa atau pejabat setempat yang berwenang, termasuk Bank Indonesia. 2. Penjelasan Pasal 3 ayat (4) diubah sebagaimana tercantum dalam penjelasan, dan ketentuan Pasal 3 ditambahkan 1 (satu) ayat yakni ayat (5) sehingga Pasal 3 berbunyi sebagai berikut: Pasal 3 (1) Setelmen Dana untuk masing-masing layanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dilakukan oleh Penyelenggara berdasarkan hasil perhitungan secara multilateral netting. (2) Setelmen Dana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan prinsip pembaruan utang dengan memperhatikan kecukupan dana dari Peserta. - 7 - (3) Setelmen Dana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersifat final dan tidak dapat dibatalkan. (4) Setelmen Dana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan prinsip same day settlement. (5) Prinsip same day settlement sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat tidak diterapkan dalam Layanan Pembayaran Reguler. 3. Penjelasan Pasal 17 ayat (5) diubah sebagaimana tercantum dalam penjelasan. 4. Penjelasan Pasal 21 diubah sebagaimana tercantum dalam penjelasan. 5. Ketentuan Pasal 23 ayat (3) diubah sehingga Pasal 23 berbunyi sebagai berikut: Pasal 23 (1) Peserta pengirim mengirimkan DKE Transfer Dana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (2) pada tanggal yang sama dengan tanggal diterimanya perintah transfer dana dari nasabah sesuai dengan periode waktu yang ditetapkan oleh Penyelenggara. (2) Pengiriman DKE Transfer Dana pada tanggal yang sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan oleh Peserta pengirim sesegera mungkin paling lama 2 (dua) jam sejak pengaksepan perintah transfer dana. (3) Dalam hal Peserta pengirim tidak mengirimkan DKE Transfer Dana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Peserta pengirim wajib membayar jasa, bunga, atau kompensasi kepada nasabah pengirim. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan perintah transfer dana dan besarnya jasa, bunga, - 8 - atau kompensasi kepada nasabah pengirim diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. 6. Pasal 26 ayat (4) dihapus sehingga Pasal 26 berbunyi sebagai berikut: Pasal 26 (1) Peserta penerima harus melakukan verifikasi atas DKE Transfer Dana yang diterima sesuai ketentuan yang berlaku. (2) Dalam hal Peserta penerima melakukan pengaksepan atas hasil verifikasi DKE Transfer Dana yang diterima sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Peserta penerima wajib meneruskan dana kepada nasabah penerima pada tanggal yang sama dengan Penyelenggara melakukan Setelmen Dana sebagaimana dimaksud pada Pasal 25 ayat (1). (3) Penerusan dana kepada nasabah penerima sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib dilakukan sesegera mungkin atau paling lama 2 (dua) jam setelah Penyelenggara melakukan Setelmen Dana. (4) Dihapus. (5) Dalam hal Peserta penerima tidak melakukan penerusan dana sebagaimana dimaksud pada ayat (2) maka Peserta penerima wajib membayar jasa, bunga, atau kompensasi kepada nasabah penerima. (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai batas waktu penerusan dana kepada nasabah penerima dan besarnya jasa, bunga, atau kompensasi kepada nasabah penerima diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. 7. Ketentuan Pasal 64 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: - 9 - Pasal 64 (1) Peserta yang tidak melakukan penambahan Prefund Kredit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) yang menyebabkan DKE Transfer Dana tidak diperhitungkan dalam Layanan Transfer Dana dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) per 1 (satu) hari kerja. (2) Peserta yang tidak melakukan penambahan Prefund Kredit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) yang menyebabkan DKE Pembayaran tidak diperhitungkan dalam Layanan Pembayaran Reguler dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) per 1 (satu) hari kerja. (3) Peserta yang tidak melakukan penambahan Prefund Debit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (3) yang menyebabkan DKE Warkat Debit tidak diperhitungkan dalam Layanan Kliring Warkat Debit dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) per 1 (satu) hari kerja. (4) Peserta yang tidak melakukan penambahan Prefund Debit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (3) yang menyebabkan DKE Penagihan tidak diperhitungkan dalam Layanan Penagihan Reguler dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) per 1 (satu) hari kerja. Pasal II Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 2 Mei 2016 - 10 - Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 28 April 2016 GUBERNUR BANK INDONESIA, AGUS D.W. MARTOWARDOJO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 2 Mei 2016 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 76 - 1 - PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 18/5/PBI/2016 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 17/9/PBI/2015 TENTANG PENYELENGGARAAN TRANSFER DANA DAN KLIRING BERJADWAL OLEH BANK INDONESIA I. UMUM Dalam rangka mewujudkan penyelenggaraan transfer dana dan kliring berjadwal yang efisien, lancar, dan aman, Bank Indonesia perlu melakukan penyempurnaan pelaksanaan Setelmen Dana. Penyempurnaan tersebut dilakukan dalam rangka mendukung pelaksanaan Setelmen Dana dalam Layanan Pembayaran Reguler yang dapat dilakukan pada tanggal yang berbeda dengan tanggal pengiriman DKE oleh Peserta. Selain itu, dalam rangka mendukung upaya pemerintah mencegah terjadinya tindak pidana pencucian uang dan pendanaan teroris melalui Layanan Transfer Dana SKNBI, perlu dilakukan pembatasan terhadap pihak yang dapat menerima dana melalui SKNBI. Selanjutnya, untuk memberikan kepastian dalam pelaksanaan Setelmen Dana dan meningkatkan perlindungan nasabah pengguna layanan dalam SKNBI, Bank Indonesia menyempurnakan kebijakan sanksi terhadap Peserta yang tidak memenuhi kewajiban penyediaan Prefund. II. PASAL DEMI PASAL Pasal I Angka 1 - 2 - Pasal 1 Cukup jelas. Angka 2 Pasal 3 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “multilateral netting” adalah mekanisme perhitungan hak dan kewajiban seluruh Peserta dalam penyelenggaraan SKNBI. Ayat (2) Pembaruan utang terjadi karena Penyelenggara menggantikan kedudukan Peserta sebagai pihak yang memiliki hak dari Peserta lainnya atau kewajiban kepada Peserta lainnya dalam penyelenggaraan SKNBI. Dalam hal ini Penyelenggara menggantikan kedudukan Peserta untuk melakukan perhitungan terhadap DKE Peserta yang didukung dana yang cukup. Ayat (3) Setelmen Dana yang bersifat final dan tidak dapat dibatalkan merupakan pengecualian dari prinsip zero hour rules. Oleh karena itu, apabila Peserta dibekukan kegiatan usaha, dicabut izin usaha, dipailitkan dan/atau dilikuidasi, transaksi yang sudah dilakukan sebelum keputusan pembekuan kegiatan usaha, pencabutan izin usaha, pailit dan/atau likuidasi tidak menjadi batal dan harus diteruskan dan/atau diperhitungkan. Ayat (4) Yang dimaksud dengan “prinsip same day settlement” adalah pembukuan hasil perhitungan SKNBI oleh Peserta kepada nasabah dilakukan dengan tanggal valuta yang sama dengan tanggal Setelmen Dana yang dilakukan oleh Penyelenggara. Ayat (5) Layanan Pembayaran Reguler tidak menerapkan prinsip same day settlement apabila: - 3 - a. pendebitan rekening nasabah pengirim dilakukan pada satu hari kerja sebelum tanggal Setelmen Dana; dan b. pengkreditan rekening nasabah penerima dilakukan dengan tanggal yang sama dengan tanggal valuta Setelmen Dana, sepanjang terdapat perjanjian antara Peserta pengirim dengan nasabah pengirim. Angka 3 Pasal 17 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Yang dimaksud dengan “Bank Indonesia-Scripless Securities Settlement System” adalah infrastruktur yang digunakan sebagai sarana Penatausahaan Transaksi dan Penatausahaan Surat Berharga, yang dilakukan secara elektronik. Angka 4 Pasal 21 Yang dimaksud dengan “nasabah” adalah: a. nasabah pengirim yang memiliki rekening di Peserta Pengirim dan yang tidak memiliki rekening di Peserta Pengirim; dan b. nasabah penerima yang memiliki rekening di Peserta Penerima. Angka 5 Pasal 23 Cukup jelas. - 4 - Angka 6 Pasal 26 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “pengaksepan” adalah kegiatan yang dilakukan oleh Peserta penerima yang menunjukkan persetujuan untuk melaksanakan atau memenuhi DKE Transfer Dana yang diterima. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Dihapus. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Angka 7 Pasal 64 Cukup jelas. Pasal II Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5876
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 18/05/PBI/2016 </reg_id> <reg_title> PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 17/9/PBI/2015 TENTANG PENYELENGGARAAN TRANSFER DANA DAN KLIRING BERJADWAL OLEH BANK INDONESIA </reg_title> <set_date> 28 April 2016 </set_date> <effective_date> 2 Mei 2016 </effective_date> <issued_date> 2 Mei 2016 </issued_date> <changed_reg> '17/9/PBI/2015' </changed_reg> <related_reg> '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '3/UU/2011' </related_reg> <penalty_list> 'Pasal I Angka 7 Pasal 64' </penalty_list>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 16/ 20 /PBI/2014 TENTANG PENERAPAN PRINSIP KEHATI-HATIAN DALAM PENGELOLAAN UTANG LUAR NEGERI KORPORASI NONBANK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa utang luar negeri merupakan salah satu sumber pembiayaan perekonomian domestik; b. bahwa utang luar negeri, khususnya yang dilakukan oleh korporasi nonbank, perlu dikelola secara baik oleh korporasi nonbank agar memberikan kontribusi yang optimal terhadap perekonomian nasional dan tidak menimbulkan gangguan pada kestabilan makroekonomi; c. bahwa untuk mencapai tujuan tersebut pengelolaan utang luar negeri harus dilakukan dengan memperhatikan prinsip kehati-hatian untuk memitigasi berbagai risiko yang dapat timbul, termasuk risiko nilai tukar, risiko likuiditas, dan risiko utang yang terlalu tinggi atau berlebihan (overleverage); d. bahwa penerapan prinsip kehati-hatian tersebut sejalan dengan upaya mendorong pendalaman pasar keuangan domestik; e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d, perlu menetapkan Peraturan Bank Indonesia tentang Penerapan Prinsip Kehati-hatian dalam Pengelolaan Utang Luar Negeri Korporasi Nonbank; Mengingat… - 2 - Mengingat : Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962); M E M U T U S K A N: Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PENERAPAN PRINSIP KEHATI-HATIAN DALAM PENGELOLAAN UTANG LUAR NEGERI KORPORASI NONBANK. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan: 1. Utang Luar Negeri yang selanjutnya disingkat ULN adalah utang Penduduk kepada bukan Penduduk dalam Valuta Asing dan/atau Rupiah, termasuk di dalamnya pembiayaan berdasarkan prinsip syariah. 2. Penduduk adalah penduduk sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang yang mengatur mengenai lalu lintas devisa dan sistem nilai tukar. 3. Korporasi Nonbank adalah badan usaha selain bank, dan badan lainnya. 4. Valuta… - 3 - 4. Valuta Asing adalah valuta yang berdenominasi selain mata uang Rupiah. 5. Aset Valuta Asing adalah aset lancar dalam Valuta Asing yang terdiri atas kas, giro, tabungan, deposito, surat-surat berharga yang dapat diperdagangkan (marketable securities), dan tagihan yang berasal dari transaksi forward, swap, dan/atau option. 6. Kewajiban Valuta Asing adalah kewajiban lancar dalam Valuta Asing yang harus diselesaikan atau dibayarkan dan kewajiban yang berasal dari transaksi forward, swap, dan/atau option. 7. Lindung Nilai adalah cara atau teknik untuk mengurangi risiko yang timbul maupun yang akan timbul akibat fluktuasi harga di pasar keuangan. 8. Rasio Lindung Nilai adalah suatu rasio antara jumlah nilai yang dilindungnilaikan dengan selisih negatif antara Aset Valuta Asing dengan Kewajiban Valuta Asing. 9. Rasio Likuiditas adalah rasio antara total Aset Valuta Asing terhadap Kewajiban Valuta Asing. 10. Lembaga Pemeringkat adalah lembaga yang mengeluarkan Peringkat Utang (Credit Rating). 11. Peringkat Utang (Credit Rating) adalah penilaian yang dilakukan oleh Lembaga Pemeringkat untuk menggambarkan kondisi keuangan perusahaan atau kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajibannya secara tepat waktu (credit worthiness). BAB II PRINSIP KEHATI-HATIAN Pasal 2 (1) Korporasi Nonbank yang memiliki ULN dalam Valuta Asing wajib menerapkan prinsip kehati-hatian. (2) Prinsip… - 4 - (2) Prinsip kehati-hatian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pemenuhan: a. Rasio Lindung Nilai; b. Rasio Likuiditas; dan c. Peringkat Utang (Credit Rating). Pasal 3 (1) Korporasi Nonbank yang memiliki ULN dalam Valuta Asing wajib memenuhi Rasio Lindung Nilai minimum tertentu dengan melakukan Lindung Nilai Valuta Asing terhadap Rupiah. (2) Rasio Lindung Nilai minimum tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebesar 25% (dua puluh lima persen) dari: a. selisih negatif antara Aset Valuta Asing terhadap Kewajiban Valuta Asing, yang akan jatuh waktu sampai dengan 3 (tiga) bulan ke depan sejak akhir triwulan; dan b. selisih negatif antara Aset Valuta Asing terhadap Kewajiban Valuta Asing, yang akan jatuh waktu lebih dari 3 (tiga) bulan sampai dengan 6 (enam) bulan ke depan sejak akhir triwulan. Pasal 4 (1) Korporasi Nonbank yang memiliki ULN dalam Valuta Asing wajib memenuhi Rasio Likuiditas minimum tertentu dengan menyediakan Aset Valuta Asing yang memadai terhadap Kewajiban Valuta Asing yang akan jatuh waktu sampai dengan 3 (tiga) bulan ke depan sejak akhir triwulan. (2) Rasio Likuiditas minimum tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan paling rendah sebesar 70% (tujuh puluh persen). Pasal 5 (1) Korporasi Nonbank yang melakukan ULN dalam Valuta Asing wajib memenuhi Peringkat Utang (Credit Rating) paling kurang setara BB yang dikeluarkan oleh Lembaga Pemeringkat yang diakui oleh otoritas yang berwenang. (2) Peringkat Utang (Credit Rating) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa peringkat yang masih berlaku atas korporasi dan/atau surat utang… - 5 - utang sesuai dengan jenis dan jangka waktu ULN dalam Valuta Asing. BAB III PENGECUALIAN Pasal 6 Kewajiban pemenuhan prinsip kehati-hatian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5 dikecualikan bagi ULN dalam Valuta Asing yang berupa utang dagang (trade credit). Pasal 7 Kewajiban pemenuhan ketentuan minimum Peringkat Utang (Credit Rating) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dikecualikan bagi: a. ULN dalam Valuta Asing yang merupakan refinancing; dan b. ULN dalam Valuta Asing dari kreditor lembaga internasional (bilateral/multilateral) terkait pembiayaan proyek infrastruktur. BAB IV PEMANTAUAN KEPATUHAN DAN PENYAMPAIAN LAPORAN SERTA DOKUMEN PENDUKUNG Pasal 8 (1) Korporasi Nonbank wajib menyampaikan laporan kepada Bank Indonesia terkait penerapan prinsip kehati-hatian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5. (2) Korporasi Nonbank wajib menyampaikan dokumen pendukung kepada Bank Indonesia terkait: a. pelaksanaan penerapan prinsip kehati-hatian sebagaimana dimaksud pada ayat (1); dan b. pengecualian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dan Pasal 7. Pasal 9 Tata cara penyampaian laporan dan dokumen pendukung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 termasuk pengenaan sanksi dilakukan sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai pelaporan kegiatan… - 6 - kegiatan lalu lintas devisa dan pelaporan penerapan prinsip kehati-hatian dalam pengelolaan ULN Korporasi Nonbank. Pasal 10 (1) Bank Indonesia memantau kepatuhan Korporasi Nonbank dengan melakukan penelitian atas laporan dan/atau dokumen pendukung yang disampaikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8. (2) Dalam hal diperlukan, dalam melakukan penelitian atas laporan dan/atau dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia menempuh berbagai cara antara lain sebagai berikut: a. meminta penjelasan, bukti, catatan, dan/atau dokumen pendukung, dengan atau tanpa melibatkan pihak instansi terkait; b. melakukan pemeriksaan langsung terhadap korporasi; dan/atau c. menunjuk pihak lain untuk melakukan penelitian bagi Bank Indonesia. BAB V SANKSI Pasal 11 (1) Korporasi Nonbank yang melakukan pelanggaran terhadap kewajiban pemenuhan prinsip kehati-hatian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, dan/atau Pasal 5 dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis. (2) Bank Indonesia akan menyampaikan informasi mengenai pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada pihak-pihak terkait antara lain: a. kreditor yang bersangkutan di luar negeri; b. Kementerian Negara BUMN, bagi korporasi BUMN; c. Kementerian Keuangan c.q. Direktorat Jenderal Pajak; d. Otoritas Jasa Keuangan (OJK); e. Bursa Efek Indonesia (BEI), bagi korporasi publik yang tercatat di BEI. BAB… - 7 - BAB VI KETENTUAN PENUTUP Pasal 12 Pada saat Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku: a. ketentuan mengenai Rasio Lindung Nilai minimum tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ditetapkan paling rendah sebesar 20% (dua puluh persen) dari: 1. selisih negatif antara Aset Valuta Asing terhadap Kewajiban Valuta Asing, yang akan jatuh waktu sampai dengan 3 (tiga) bulan ke depan sejak akhir triwulan; dan 2. selisih negatif antara Aset Valuta Asing terhadap Kewajiban Valuta Asing, yang akan jatuh waktu lebih dari 3 (tiga) bulan sampai dengan 6 (enam) bulan ke depan sejak akhir triwulan, sampai dengan 31 Desember 2015. b. ketentuan mengenai Rasio Likuiditas minimum tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ditetapkan paling rendah sebesar 50% (lima puluh persen) sampai dengan 31 Desember 2015. Pasal 13 Ketentuan mengenai pemenuhan Peringkat Utang (Credit Rating) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) berlaku bagi ULN yang ditandatangani atau diterbitkan sejak tanggal 1 Januari 2016. Pasal 14 Ketentuan mengenai sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 mulai berlaku sejak laporan triwulan ketiga tahun 2015. Pasal 15 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2015. Agar… - 8 - Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 28 Oktober 2014 GUBERNUR BANK INDONESIA, AGUS D.W. MARTOWARDOJO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 29 Oktober 2014 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2014 NOMOR 340 DKEM - 9 - PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 16/ 20 /PBI/2014 TENTANG PENERAPAN PRINSIP KEHATI-HATIAN DALAM PENGELOLAAN UTANG LUAR NEGERI KORPORASI NONBANK I. UMUM Utang Luar Negeri (ULN) merupakan salah satu sumber pembiayaan pembangunan yang lazim dilakukan oleh negara sedang berkembang. ULN ini digunakan untuk menutup kesenjangan antara investasi dan tabungan dalam negeri (saving investment gap) sehingga memberikan manfaat bagi perekonomian. Dalam beberapa tahun terakhir, jumlah ULN Swasta terus meningkat tajam bahkan saat ini melebihi jumlah ULN Pemerintah. Peningkatan ULN Swasta tanpa disertai dengan manajemen risiko yang baik berpotensi menimbulkan dampak negatif terhadap perekonomian nasional, seperti yang terjadi pada krisis 1997/1998. Risiko ULN Swasta tersebut semakin meningkat mengingat adanya faktor risiko yang bersumber dari ekonomi global berupa pengetatan likuiditas global dan perlambatan ekonomi emerging market yang disertai dengan masih rendahnya harga komoditas internasional. Keseluruhan kondisi tersebut menyebabkan meningkatnya risiko penurunan capacity to repay (default) dari ULN korporasi swasta nonbank. Ditambah lagi, sebagian besar korporasi swasta nonbank tersebut tidak melakukan Lindung Nilai terhadap posisi ULN mereka. Kondisi ini menyebabkan korporasi peminjam ULN Swasta di Indonesia menghadapi risiko nilai tukar, likuiditas, dan overleverage yang cukup besar. Oleh karena itu, korporasi perlu memperhatikan prinsip kehati- hatian untuk memitigasi berbagai risiko tersebut. Selain itu, prinsip kehati-hatian korporasi, yang dilakukan melalui penggunaan instrumen Lindung Nilai, sejalan dengan upaya pendalaman pasar keuangan di Indonesia. II. PASAL… - 2 - II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Cukup jelas. Pasal 3 Ayat (1) Transaksi Lindung Nilai dilakukan dalam bentuk transaksi derivatif Valuta Asing terhadap Rupiah berupa transaksi forward, swap dan/atau option. Ayat (2) Aset Valuta Asing termasuk tagihan yang berasal dari transaksi forward, swap dan/atau option yang akan direalisasikan sampai dengan 3 (tiga) bulan ke depan dan/atau lebih dari 3 (tiga) bulan sampai dengan 6 (enam) bulan ke depan sejak akhir triwulan. Yang dimaksud dengan “transaksi forward” adalah transaksi jual atau beli Valuta Asing terhadap Rupiah yang penyerahan dananya dilakukan lebih dari 2 (dua) hari kerja setelah tanggal transaksi. Yang dimaksud dengan “transaksi swap” adalah transaksi pertukaran Valuta Asing terhadap Rupiah melalui pembelian/penjualan tunai (spot) dengan penjualan atau pembelian kembali secara berjangka yang dilakukan secara simultan dengan counterparty yang sama dan pada tingkat harga yang dibuat dan disepakati pada tanggal transaksi dilakukan. Yang dimaksud dengan “transaksi option” adalah suatu perjanjian atau kontrak antara penjual opsi (seller atau writer) dengan pembeli opsi (buyer), dimana penjual opsi menjamin adanya hak (bukan suatu kewajiban) dari pembeli opsi untuk membeli atau menjual aset tertentu pada waktu dan harga yang telah ditetapkan. - 10 - Akhir… - 11 - - 3 - Akhir triwulan adalah tanggal terakhir pada setiap triwulan, yakni 31 Maret, 30 Juni, 30 September, dan 31 Desember. Contoh 1: Pada tanggal 31 Maret 2016, PT ABC memiliki aset lancar dalam Valuta Asing sebesar USD40,000.00 (empat puluh ribu dolar Amerika Serikat) yang terdiri dari giro sebesar USD10,000.00 (sepuluh ribu dolar Amerika Serikat) dan deposito sebesar USD30,000.00 (tiga puluh ribu dolar Amerika Serikat). Selain itu, PT ABC juga memiliki Kewajiban Valuta Asing yang akan jatuh waktu sampai dengan 3 (tiga) bulan ke depan sebesar USD100,000.00 (seratus ribu dolar Amerika Serikat) dan tidak memiliki Kewajiban Valuta Asing yang akan jatuh waktu lebih dari 3 (tiga) bulan sampai dengan 6 (enam) bulan ke depan. Perhitungan pemenuhan ketentuan Rasio Lindung Nilai minimum adalah sebagai berikut: 1. Perhitungan pemenuhan Rasio Lindung Nilai minimum untuk jangka waktu lebih dari 3 (tiga) bulan sampai dengan 6 (enam) bulan ke depan. Dalam hal ini, PT ABC tidak wajib melakukan Lindung Nilai karena tidak memiliki selisih negatif antara Aset Valuta Asing dan Kewajiban Valuta Asing. 2. Perhitungan pemenuhan Rasio Lindung Nilai minimum untuk jangka waktu sampai dengan 3 (tiga) bulan ke depan. PT ABC memiliki selisih negatif antara Aset Valuta Asing dan Kewajiban Valuta Asing sebesar USD40,000.00 - USD100,000.00 = -USD60,000.00, sehingga untuk memenuhi ketentuan Rasio Lindung Nilai minimum, PT ABC wajib melakukan Lindung Nilai sebesar: 25% x USD60,000.00 = USD15,000.00. Dalam kasus ini, PT ABC wajib melakukan Lindung Nilai paling sedikit sebesar USD15,000.00 (lima belas ribu dolar Amerika Serikat) dengan tanggal transaksi antara 1 Januari 2016 sampai dengan… - 12 - - 4 - dengan 31 Maret 2016 dan tanggal valuta antara 1 April 2016 sampai dengan 30 Juni 2016, guna memenuhi ketentuan Rasio Lindung Nilai minimum sampai dengan 3 (tiga) bulan ke depan. Contoh 2: Pada tanggal 31 Maret 2016, PT XYZ memiliki aset lancar dalam Valuta Asing sebesar USD40,000.00 (empat puluh ribu dolar Amerika Serikat) yang terdiri dari giro sebesar USD10,000.00 (sepuluh ribu dolar Amerika Serikat) dan deposito sebesar USD30,000.00 (tiga puluh ribu dolar Amerika Serikat), serta telah memiliki tagihan transaksi forward beli USD sebesar USD15,000.00 (lima belas ribu dolar Amerika Serikat) dengan tanggal transaksi pada 15 Desember 2015 dan akan jatuh waktu pada 15 Mei 2016. Selain itu, PT XYZ juga memiliki Kewajiban Valuta Asing yang akan jatuh waktu lebih dari 3 (tiga) bulan sampai dengan 6 (enam) bulan ke depan sebesar USD100,000.00 (seratus ribu dolar Amerika Serikat), dan Kewajiban Valuta Asing yang akan jatuh waktu sampai dengan 3 (tiga) bulan ke depan sebesar USD100,000.00 (seratus ribu dolar Amerika Serikat). Perhitungan pemenuhan ketentuan Rasio Lindung Nilai minimum adalah sebagai berikut: 1. Pemenuhan Rasio Lindung Nilai minimum untuk jangka waktu lebih dari 3 (tiga) bulan sampai dengan 6 (enam) bulan ke depan. PT XYZ memiliki selisih negatif antara Aset Valuta Asing dan Kewajiban Valuta Asing sebesar USD40,000.00 – USD100,000.00 = -USD60,000.00, sehingga untuk memenuhi ketentuan Rasio Lindung Nilai minimum PT XYZ wajib melakukan Lindung Nilai sebesar: 25% x USD60,000.00 = USD15,000.00 Dalam kasus ini, PT XYZ wajib melakukan Lindung Nilai paling sedikit sebesar USD15,000.00 (lima belas ribu dolar Amerika Serikat) dengan tanggal transaksi antara 1 Januari 2016 sampai dengan… - 5 - 13 - dengan 31 Maret 2016 dan tanggal valuta antara 1 Juli 2016 sampai dengan 30 September 2016, guna memenuhi ketentuan Rasio Lindung Nilai minimum untuk jangka waktu lebih dari 3 (tiga) bulan sampai dengan 6 (enam) bulan ke depan. 2. Pemenuhan Rasio Lindung Nilai minimum untuk jangka waktu sampai dengan 3 (tiga) bulan ke depan. PT XYZ memiliki selisih negatif antara Aset Valuta Asing dan Kewajiban Valuta Asing sebesar USD40,000.00 + USD15,000.00 – USD100,000.00 = -USD45,000.00, sehingga untuk memenuhi ketentuan Rasio Lindung Nilai minimum PT XYZ wajib melakukan Lindung Nilai sebesar: 25% x USD45,000.00 = USD11,250.00. Dalam kasus ini, PT XYZ wajib melakukan Lindung Nilai paling sedikit sebesar USD11,250.00 (sebelas ribu dua ratus lima puluh dolar Amerika Serikat) dengan tanggal transaksi antara 1 Januari 2016 sampai dengan 31 Maret 2016 dan tanggal valuta antara 1 April 2016 sampai dengan 30 Juni 2016, guna memenuhi ketentuan Rasio Lindung Nilai minimum untuk jangka waktu sampai dengan 3 (tiga) bulan ke depan. Pasal 4 Ayat (1) Aset Valuta Asing termasuk tagihan yang berasal dari transaksi forward, swap dan/atau option yang akan direalisasikan sampai dengan 3 (tiga) bulan ke depan sejak akhir triwulan. Akhir triwulan adalah tanggal terakhir pada setiap triwulan, yakni 31 Maret, 30 Juni, 30 September, dan 31 Desember. Contoh: Pada tanggal 31 Maret 2016, PT ABC memiliki aset lancar dalam Valuta Asing sebesar USD30,000.00 (tiga puluh ribu dolar Amerika Serikat) yang terdiri dari giro sebesar USD10,000.00 (sepuluh ribu dolar Amerika Serikat) dan deposito sebesar USD20,000.00 (dua puluh ribu dolar Amerika Serikat), serta tagihan transaksi forward beli 3 (tiga) bulan sebesar USD10,000.00 (sepuluh ribu dolar Amerika… - 14 - 6 - Amerika Serikat) dengan tanggal transaksi pada 1 Februari 2016 dan tanggal valuta pada 1 Mei 2016. Selain itu, PT ABC juga memiliki Kewajiban Valuta Asing yang akan jatuh waktu sampai dengan 3 (tiga) bulan ke depan sebesar USD100,000.00 (seratus ribu dolar Amerika Serikat). Berdasarkan kondisi di atas, Rasio Likuiditas PT ABC sebesar: ((USD30,000.00+USD10,000.00)/USD100,000.00)x100%=40%. Jadi, PT ABC tidak memenuhi ketentuan Rasio Likuiditas sebesar 70%. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 5 Ayat (1) Lembaga Pemeringkat yang diakui mengacu pada peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai lembaga pemeringkat dan peringkat yang diakui oleh otoritas yang berwenang. Contoh: Peringkat utang setara BB yang dikeluarkan oleh Standard & Poor’s (S&P) adalah setara dengan Ba yang dikeluarkan oleh Moody’s Investor Service atau setara dengan idBB yang dikeluarkan oleh Pefindo. Peringkat Utang BB mencakup BB-, BB, dan BB+ (S&P) atau setara Ba1, Ba2, dan Ba3 (Moody’s) atau setara idBB-, idBB, dan idBB+ (Pefindo). Ayat (2) Masa berlaku Peringkat Utang (Credit Rating) atas korporasi (issuer rating) dan/atau surat utang (issue rating) paling lama 1 (satu) tahun setelah peringkat tersebut diterbitkan dan/atau ditetapkan. Apabila… - 15 - 7 - Apabila korporasi akan melakukan ULN dengan menerbitkan surat utang berjangka panjang maka Peringkat Utang yang harus disampaikan adalah Peringkat Utang jangka panjang. Pasal 6 Yang dimaksud dengan “utang dagang (trade credit)” adalah utang yang timbul dalam rangka kredit yang diberikan oleh supplier luar negeri atas transaksi barang dan/atau jasa. Pasal 7 Huruf a ULN dalam Valuta Asing yang merupakan refinancing adalah ULN yang digunakan untuk menggantikan utang sebelumnya dengan persyaratan (terms and conditions) yang lebih baik dengan jumlah yang sama (tidak menambah outstanding ULN). Huruf b Contoh lembaga internasional (bilateral/multilateral) antara lain International Finance Corporation (IFC), Japan Bank for International Cooperation (JBIC), Japan International Cooperation Agency (JICA), Asian Development Bank (ADB), Islamic Development Bank (IDB). Pengecualian terkait pembiayaan proyek infrastruktur tersebut sebagai upaya mendukung pengembangan infrastruktur nasional. Proyek infrastruktur yang dimaksud mencakup: 1. infrastruktur transportasi, meliputi pelayanan jasa kebandarudaraan, penyediaan, dan/atau pelayanan jasa kepelabuhanan, sarana, dan prasarana perkeretaapian; 2. infrastruktur jalan, meliputi jalan tol dan jembatan tol; 3. infrastruktur pengairan, meliputi saluran pembawa air baku; 4. infrastruktur air minum yang meliputi bangunan pengambilan air baku, jaringan transmisi, jaringan distribusi, instalasi pengolahan air minum; 5. infrastruktur sanitasi yang meliputi instalasi pengolah air limbah, jaringan pengumpul dan jaringan utama, dan sarana persampahan... - 16 - - 8 - persampahan yang meliputi pengangkut dan tempat pembuangan; 6. infrastruktur telekomunikasi dan informatika, meliputi jaringan telekomunikasi dan infrastruktur e-government; 7. infrastruktur ketenagalistrikan, meliputi pembangkit, termasuk pengembangan tenaga listrik yang berasal dari panas bumi, transmisi atau distribusi tenaga listrik; dan 8. infrastruktur minyak dan gas bumi, meliputi transmisi dan/atau distribusi minyak dan gas bumi. Pasal 8 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “dokumen pendukung” antara lain Laporan Keuangan lengkap baik secara triwulanan (in house) maupun tahunan (audited). Pasal 9 Cukup jelas. Pasal 10 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud dengan “instansi terkait” adalah lembaga/kementerian/otoritas yang memiliki kewenangan pengaturan atas Korporasi Nonbank, sebagai contoh Kementerian Negara BUMN bagi korporasi BUMN. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Pasal… - 17 - - 9 - Pasal 11 Cukup jelas. Pasal 12 Untuk periode 1 Januari 2015 sampai dengan 31 Desember 2015, Rasio Lindung Nilai dan Rasio Likuiditas ditetapkan masing-masing sebesar 20% (dua puluh persen) dan 50% (lima puluh persen) untuk memberikan kesempatan bagi Korporasi Nonbank melakukan penyesuaian dalam pengelolaan risiko, termasuk ketersediaan instrumen lindung nilai. Pasal 13 Cukup jelas. Pasal 14 Cukup jelas. Pasal 15 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5620
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 16/20/PBI/2014 </reg_id> <reg_title> PENERAPAN PRINSIP KEHATI-HATIAN DALAM PENGELOLAAN UTANG LUAR NEGERI KORPORASI NONBANK </reg_title> <set_date> 28 Oktober 2014 </set_date> <effective_date> 1 Januari 2015 </effective_date> <issued_date> 29 Oktober 2014 </issued_date> <related_reg> '2/PERPPU/2008', '6/UU/2009', '23/UU/1999' </related_reg> <penalty_list> 'BAB V' </penalty_list>